..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 14 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE PENDEKAR TANGAN BAJA

matjenuh

 

"Hih...!” 

Seorang pemuda tampan bercambang lebat, dan 

berpakaian kuning, kembali melompat. Entah untuk yang 

ke berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu 

berputar beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali 

gerakannya. Dan.... 

Pyarrr...! 

Air sungai memercik tinggi, begitu sepasang kaki 

pemuda itu mendarat kembali di permukaan air. Luar 

biasa! Kalau saja ada orang yang melihatnya, tentu 

pemuda ini dikiranya hantu penunggu sungai. Mana ada 

manusia yang dapat berdiri di atas permukaan air? 

Tapi kenyataannya pemuda bercambang lebat itu 

memang mampu berdiri di atas permukaan air. Bahkan 

sesekali melompat dan bersalto beberapa kali di udara, 

kemudian kembali mendarat di permukaan air! 

Dan selagi tubuhnya berputar di udara, terlihat kalau 

sepasang kaki pemuda itu ternyata tidak hanya bersepatu 

saja, tapi ada sesuatu yang menempel pada kedua telapak 

sepatunya. Memang, pada telapak kaki pemuda ber-

pakaian kuning itu, nampak sepotong papan yang tidak 

begitu tebal, tapi agak lebar. Rupanya papan itu digunakan 

sebagai alas agar dapat mengapung di permukaan air. Tapi 

meskipun begitu, tanpa memiliki ilmu kepandaian yang 

tinggi, tidak mungkin pemuda itu dapat berbuat begitu. 

Tak lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu ber-

gegas mendekati pinggir sungai. Untungnya, di situ sepi. 

Tidak nampak sebuah rumah pun yang terlihat, sehingga 

perbuatannya tidak menarik perhatian. 

"Hih...!" 

Begitu telah mendekati pinggir sungai, pemuda ber-

cambang lebat itu melenting. Tubuhnya berputar beberapa 

kali di udara, sebelum akhimya mendarat di pinggiran


sungai. 

Begitu telah berada di tanah, pemuda itu segera 

melepaskan potongan kayu yang terikat pada kedua 

kakinya. Lalu dilemparkan begitu saja di tanah. 

Kini pemuda berpakaian kuning itu membalikkan tubuh-

nya. Sepasang matanya menerawang jauh ke seberang 

sungai. 

Cukup lama juga pemuda bercambang lebat itu berbuat 

demikian, sebelum akhimya melangkah pelan meninggal-

kan tempat itu. Mulanya langkahnya satu-satu, tapi 

beberapa saat kemudian, bergerak cepat mempergunakan 

ilmu meringankan tubuh. 

Ternyata pemuda bercambang lebat dan berpakaian 

kuning itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. 

Gerakannya cepat bukan main. Tubuhnya hampir tidak ter-

lihat oleh mata. Yang terlihat hanyalah sekelebaran 

bayangan kekuningan. 

Pemuda berpakaian kuning itu terus berlari seraya 

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. 

Sehingga dalam waktu singkat, tempat tadi telah jauh 

tertinggal. Larinya baru diperlambat dan akhimya berhenti 

sama sekali, begitu memasuki tembok batas sebuah desa. 

Luar biasa! Sungguhpun telah berlari menempuh jarak 

yang jauh, tidak nampak tanda-tanda kalau pemuda ber-

pakaian kuning ini mengalami kelelahan. Napasnya biasa 

saja. Tidak nampak memburu sedikit pun. Bahkan di wajah 

tampannya, sama sekali tidak terlihat setitik pun keringat. 

Pemuda bercambang lebat ini melangkah memasuki 

desa. Alisnya agak berkerut ketika melihat hampir semua 

anak-anak kecil di desa itu bertelanjang bulat dan ber-

tubuh kurus kering. Seolah-olah mereka tidak cukup men-

dapat makanan. Padahal tadi di pinggiran desa, jelas 

dilihatnya hamparan padi yang tumbuh subur. 

"Aneh...," gumam pemuda berpakaian kuning itu pelan 

seraya melanjutkan langkahnya. 

Setelah cukup jauh berjalan, pemuda bercambang lebat 

ini menghentikan Langkahnya. Sayup sayup didengamya


suara bentakan-bentakan keras penuh kemarahan. 

Rasa ingin tahu, membuat pemuda berpakaian kuning 

ini mempercepat langkahnya menuju ke arah asal suara. 

Dan dengan sendirinya, suara-suara bernada penuh 

kemarahan itu pun semakin keras terdengar. 

Tak lama kemudian, pandang mata pemuda berpakaian 

kuning itu tertumbuk pada beberapa sosok yang nampak-

nya tengah terlibat pertengkaran. Beberapa orang ber-

seragam prajurit, dan seorang berpakaian putih. Dua di 

antara prajurit itu berdiri angker di hadapan orang ber-

pakaian putih yang tertunduk ketakutan. 

"Rupanya kau sudah berani menentang perintah Gusti 

Prabu, Paladi," ucap seorang yang berseragam punggawa 

penuh kemarahan. Sementara di sebelahnya, berdiri se-

orang prajurit yang menggenggam sebatang cambuk. 

"Maafkan aku, Den Rupangga. Bukannya aku me-

nentang perintah Gusti Prabu. Tapi, hasil panen kali ini 

tidak sebanyak hasil sebelumnya. Kalau kami paksakan 

diri memberi upeti seperti biasa, penduduk desa ini akan 

mati kelaparan," sahut laki-laki setengah baya berpakaian 

putih yang bemama Ki Paladi. 

"Aku tidak peduli!" bentak punggawa yang bernama 

Rupangga. Keras sekali suaranya sehingga Ki Paladi 

sampat terjingkat ke belakang saking kagetnya. Sekilas 

kepala laki-laki berpakaian putih ini terangkat, tapi begitu 

melihat sepasang mata penuh amarah tertuju padanya, 

kepalanya ditundukkan kembali, "Kedatanganku kemari 

bukan untuk mendengar segala macam alasan, Paladi. Aku 

datang untuk meminta pajak sesuai dengan keputusan 

yang ditetapkan Gusti Prabu. Dan menjadi tugasmu selaku 

kepala desa untuk memenuhinya! Soal penduduk desa ini 

mati kelaparan bukan urusanku! Kau mengerti, Paladi!" 

sergah Rupangga. 

Ki Paladi yang ternyata seorang kepala desa meng-

anggukkan kepalanya. 

"Aku mengerti, Den Rupangga. Tapi kumohon Aden mau 

bermurah hati memberikan kami waktu untuk..."


"Keparat! Orang seperti kau memang harus dihukum! 

Agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berani 

menentang keinginan Gusti Prabu!" selak punggawa yang 

bernama Rupangga cepat, sebelum kepala desa itu 

menyelesaikan ucapannya. "Prajurit! Beri pembangkang ini 

sepuluh cambukan!" 

Prajurit yang sejak tadi berdiri di sebelah Rupangga ter-

senyum lebar. Kegembiraan terbayang jelas di wajahnya. 

Memang sudah menjadi kesenangannya, melihat orang 

menggeliat-geliat kesakitan menerima cambukannya. 

Maka begitu mendapat perintah, segera saja dia men-

dekati sang kepala desa. Cambuk yang sejak tadi ter-

genggam di tangannya, ditimang-timang sambil 

menyeringai lebar. 

"Ampun, Den Rupangga. Aku berjanji akan meng-

usahakannya..." ucap Ki Paladi memohon kebijaksanaan. 

Tapi punggawa ini hanya memandangi sang kepala desa 

dengan tatapan dingin. Sementara prajurit itu segera 

mengayunkan cambuknya. 

Tarr! 

"Akh...!" 

Kepala Desa itu menjerit memilukan ketika ujung 

cambuk itu melecut punggungnya. Seketika itu juga, tubuh-

nya menggeliat-geliat. Pakaiannya di bagian punggung, 

kontan sobek memanjang. Di kulit punggungnya nampak 

garis panjang menghitam. 

"Ampun, Den Rupangga..." rintih Ki Paladi lagi. Tapi 

punggawa itu tetap diam tak bergeming. Sehingga kembali 

lecutan cambuk menyambar punggungnya. 

Tarr! 

"Akh...!" 

“Jahanam!" teriak pemuda berpakaian kuning keras. 

Darahnya mendidih melihat adegan penyiksaan di depan 

matanya. Seketika itu juga pemuda ini melesat ke arah 

kepala desa yang tengah disiksa. 

Wuuut..! 

Untuk ke sekian kalinya, cambuk di tangan prajurit itu


kembali dilecutkan. Tapi…. 

Tappp...! 

Kali ini ujung cambuk itu tertahan di udara. Semula 

prajurit yang tengah menyiksa Ki Paladi, agak heran ketika 

merasakan cambuknya tertahan di udara. Segera dibalik-

kan tubuhnya. Tampak oleh prajurit itu apa yang 

menyebabkan cambuknya tertahan. Ujung cambuk itu 

ternyata tergenggam di tangan seorang pemuda ber-

pakaian kuning. 

"Keparat…!" geram prajurit bercambuk itu. Dengan 

sekuat tenaga cambuknya dihentakkan. Tapi walaupun 

telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja cambuk itu 

tidak bergeming. 

"Uh…uhhh...!" 

Terdengar suara mengeluh dari mulut prajurit itu, dalam 

upayanya menarik cambuk itu. Namun tetap saja cambuk 

itu sama sekali tidak bergeming. Padahal nampak jelas 

olehnya kalau pemuda berpakaian kuning itu sepertinya 

tidak mengerahkan tenaga sama sekali! Wajah pemuda itu 

pun biasa saja. Tidak merah padam penuh otot-otot yang 

menggembung seperti dirinya! 

Mendadak pemuda bercambang lebat itu melepaskan 

cekalan pada cambuknya. Padahal saat itu, si prajurit 

tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menarik 

kembali cambuknya. Akibatnya pun sudah bisa diduga! 

Tubuh prajurit itu terjengkang ke belakang, terbawa 

tenaganya sendiri. 

Brukkk...! 

Prajurit itu menyeringai kesakitan ketika bokongnya 

menghantam tanah dengan keras. Tentu saja hal ini mem-

buat prajurit itu menjadi naik pitam. Bergegas dia bangkit, 

dan langsung melecutkan cambuknya. Tapi kali ini tidak ke 

arah Ki Paladi, melainkan ke arah pemuda berpakaian 

kuning. 

Pemuda berpakaian kuning itu mendengus. Kemudian 

tangannya diulurkan, menangkis lecutan cambuk itu. 

Tarr!


Keras dan telak sekali ujung cambuk itu mengenai 

tangan pemuda berpakaian kuning. Luar biasa! Tidak 

nampak ada tanda-tanda kalau pemuda itu menderita 

kesakitan. Bahkan dengan kecepatan yang luar biasa, 

tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jari jemari 

tangan pemuda berpakaian kuning itu telah men-

cengkeram ujung cambuk. 

"Hih...!" 

Pemuda bercambang lebat itu menggerakkan tangan 

menghentak. Hebat sekali! Tubuh prajurit itu kontan ter-

lempar ke depan, melewati kepala pemuda berpakaian 

kuning. 

"Aaa...!" 

Prajurit itu berteriak ngeri tatkala mengetahui tubuhnya 

terlempar ke udara. Seketika itu juga, pegangan pada 

cambuknya dilepaskan. 

Brukkk...! 

Suara berdebuk keras kembali terdengar, begitu tubuh 

prajurit bercambuk itu jatuh dengan kerasnya di tanah. 

Tapi kali ini, prajurit itu tidak langsung bangkit. Dia meng-

geliat-geliat di tanah. Dari mulutnya terdengar rintihan 

kesakitan. 

Tentu saja Rupangga dan para prajurit lainnya kaget 

bukan main. Sungguh sama sekali tidak disangka, kalau 

prajurit bercambuk itu dapat dirobohkan dengan begitu 

mudah oleh pemuda berpakaian kuning. 

“Tangkap pengacau ini!" perintah Rupangga keras pada 

para prajurit yang berada di kereta, seraya menudingkan 

telunjuknya ke arah pemuda berpakaian kuning. 

Tanpa menungu di perintah dua kali, tiga orang prajurit 

yang semula hanya berdiam diri saja di atas kereta kuda, 

segera berloncatan turun. 

Srattt...! Srattt...! 

Sinar-sinar terang menyilaukan, langsung berpendar 

ketika prajurit-prajurit itu mencabut goloknya. Dan 

langsung mengurung pemuda berpakaian kuning. Suara 

berdesing nyaring terdengar, begitu golok-golok itu ber


kelebat menyambar pemuda itu. 

Lagi-lagi pemuda berpakaian kuning hanya mendengus. 

Tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya kelebatan golok 

yang menyambar ke arahnya dengan tangan kosong. 

Takkk, takkk, takkk...! 

Terdengar suara nyaring begitu golok-golok itu ber-

benturan dengan lengan pemuda berpakaian kuning. 

Seolah-olah yang beradu dengan golok-golok itu bukan 

tangan manusia yang terdiri daging dan tulang, melainkan 

sepotong baja yang amat kuat. 

Tiga orang prajurit itu terkejut bukan kepalang. Seketika 

itu juga serangan mereka terhenti. Dan kekagetan mereka 

bertambah besar begitu melihat apa yang terjadi pada 

mata golok mereka. Mata golok golok itu gompal! 

"Iblis...!" desis salah seorang dari tiga prajurit itu. 

Perasaan ngeri membayang di wajahnya. Tanpa sadar 

sepasang matanya menatap ke arah kedua tangan 

pemuda berpakaian kuning. Seketika itu juga sepasang 

matanya semakin membelalak lebar. Tangan pemuda ber-

cambang lebat itu ternyata memang agak berbeda dengan 

tangan manusia biasa. Kedua tangan pemuda itu 

menyorotkan sinar kehitaman. Kedua rekannya yang juga 

menatap tangan pemuda berpakaian kuning itu sama-

sama terperanjat. 

Semua kejadian ini tak luput dari perhatian Rupangga. 

Dan punggawa ini pun dilanda kekagetan yang serupa. 

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Rupangga. Sepasang 

matanya merayapi wajah pemuda yang berdiri tak jauh di 

hadapannya. "Sungguh berani kau menentang pasukan 

kerajaan!" 

Pemuda berpakaian kuning itu hanya tersenyum sinis. 

"Aku? Aku..., Pendekar Tangan Baja! Aku tidak peduli 

siapa kalian! Yang jelas, aku tidak bisa tinggal diam, 

melihat kekejaman di depan mataku!" sahut pemuda ber-

pakaian kuning itu tegas. 

Dua alis Rupangga berkerut. Sekarang dia mengerti, 

mengapa kedua tangan pemuda itu begitu luar biasa. Dari


julukannya, punggawa itu sudah bisa memaklumi kekuatan 

tangan pemuda itu 

"Kuperingatkan kau, Anak Muda. Jangan sekali-kali ber-

tindak sok pahlawan di depan kami. Kau tahu apa akibat 

perbuatanmu? Kau akan menjadi musuh kerajaan! Kau 

akan jadi buruan tentara Kerajaan!" gertak Rupangga. 

“Tidak usah menggertakku, Punggawa!" sahut pemuda 

berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Pendekar Tangan 

Baja itu. "Perlu kau ketahui, untuk membela kebenaran 

dan melawan kelaliman, aku tidak takut menghadapi apa 

pun!" 

"Sombong!" teriak Rupangga keras. Wajahnya langsung 

memerah menahan amarah yang bergolak di dadanya. 

Punggawa ini memang mempunyai sifat pemarah, maka 

tidak aneh jika kemarahannya langsung bergolak begitu 

melihat sikap Pendekar Tangan Baja. 

“Tangkap pemberontak ini!" perintah Rupangga keras. 

Kedua tangannya langsung bergerak ke punggung. 

Srattt, srattt...! 

Sinar terang berkilauan, begitu punggawa ini meloloskan 

sepasang pedangnya Dan secepat kedua pedang itu 

terhunus, secepat itu pula tubuhnya meluruk ke arah 

Pendekar Tangan Baja, menyusul anak buahnya yang telah 

menyerang lebih dulu. 

Pendekar Tangan Baja tidak menjadi gugup melihat 

hujan serangan yang mengancamnya. Sekali lihat saja 

pemuda berpakaian kuning ini tahu kalau di antara ke 

empat serangan itu, serangan Rupanggalah yang paling 

berbahaya. Serangan punggawa ini memang tidak bisa 

disamakan dengan serangan anak buahnya. Serangan 

Rupangga mengandung tenaga dalam dan kecepatan jauh 

di atas keempat prajurit itu. 

Meskipun Rupangga melakukan penyerangan 

belakangan dan juga jaraknya dengan Pendekar Tangan 

Baja paling jauh, tapi serangannya lebih dulu tiba daripada 

serangan anak buahnya. 

Wuk, wuk...!


Angin cukup keras telah lebih dulu menyambar, sebelum 

serangan kedua pedang Rupangga tiba. 

Pendekar Tangan Baja rupanya tidak ingin bertindak 

setengah-setengah. Segera saja kedua tangannya 

diulurkan, memapak sepasang pedang yang mengancam-

nya. Dan secepat itu pula mencengkeramnya. 

Tappp, tappp...! 

Tak pelak lagi sepasang pedang Rupangga tercekal 

pemuda berpakaian kuning itu. Dan sebelum punggawa itu 

berbuat sesuatu, kaki kanan Pendekar Tangan Baja me-

luncur cepat ke perutnya. 

Wut..! Bukkk! 

"Hugh...!" 

Rupangga memekik tertahan. Tubuhnya kontan ter-

jengkang ke belakang ketika tendangan Pendekar Tangan 

Baja telak dan keras menghantam perutnya. Seketika itu 

sepasang pedangnya terlepas dari genggaman. Rasa mules 

dan mual yang amat sangat menyerang punggawa ini. 

Untung bagi Rupangga. Pendekar Tangan Baja tidak 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu melontar-

kan tendangan. Kalau tidak, punggawa ini tentu sudah 

tidak bernyawa lagi. Walaupun begitu, selama beberapa 

saat Rupangga tidak mampu bangkit. 

*** 

Baru saja Pendekar Tangan Baja merobohkan 

Rupangga, serangan tiga batang golok dari anak buah 

punggawa itu telah datang bertubi-tubi bagaikan hujan. 

Tapi, dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh 

di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi Pendekar Tangan 

Baja untuk mengelak. Lincah laksana seekor kera, 

tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar golok yang 

menghujani. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Pendekar 

Tangan Baja. Kedua tangannya pun bergerak cepat. Sesaat 

kemudian terdengar pekik kesakitan susul-menyusul,


diiringi robohnya tubuh para prajurit itu satu persatu. 

Pendekar Tangan Baja memandangi lima sosok yang 

masih terkapar sambil merintih-rintih kesakitan. 

"Bagaimana Punggawa? Masih penasaran?" tanya 

pemuda berpakaian kuning sambil tersernyum sinis. 

Rupangga bangkit tertatih-tatih. Sepasang matanya 

menatap Pendekar Tangan Baja penuh dendam. 

"Kali ini kau menang, Pendekar Tangan Baja! Tapi, ingat! 

Tak lama lagi kau akan merasakan pembalasanku!" ancam 

punggawa itu. 

Setelah mengucapkan ancaman yang hanya ditanggapi 

pemuda berpakaian kuning sambil tertawa, punggawa itu 

berjalan menuju kereta. 

"Bangun semua, kerbau-kerbau dungu! Kita kembali ke 

kotaraja!" teriak Rupangga keras. 

Keempat orang prajurit itu pun bangkit, kemudian 

melangkah cepat ke arah kereta, walaupun agak tertatih-

tatih. 

"Paladi!" ucap Rupangga lagi sambil memandang sang 

kepala desa, sebelum kereta kuda bergerak. 

Kepala desa yang sial itu pun menoleh. 

"Kau dan seluruh penduduk desa ini pun akan 

menerima akibatnya!" ancam punggawa itu lagi. 

Seketika itu juga wajah kepala desa itu memucat. Ki 

Paladi kenal betul siapa itu Rupangga. Orang yang 

mempunyai sifat pemarah dan pendendam. Punggawa ini 

tidak akan pemah membiarkan orang menghinanya. 

“Hiya...! Hiyaaa...!" 

Dua ekor kuda penarik kereta itu pun segera berlari 

cepat, begitu kusir kereta itu melecutkan cambuknya. 

Debu mengepul tinggi begitu kereta kuda itu bergerak 

meninggalkan tempat itu. Dua pasang mata melepas 

kepergian kereta itu. Sepasang mata yang bersinar tajam 

milik Pendekar Tangan Baja, dan sepasang mata yang 

menyorotkan sinar kecemasan milik Ki Paladi. 

"Mengapa kau menolongku, Anak Muda?" tanya Ki 

Paladi ketika kereta kuda itu sudah tidak terlihat lagi.


Sepasang mata kepala desa ini menatap tajam wajah 

pemuda berpakaian kuning di hadapannya. 

Pendekar Tangan Baja terlonjak kaget. Aneh, pertanyaan 

laki-laki berpakaian putih ini terdengar penuh penyesalan. 

Sedikit pun tidak nampak rasa terima kasih mendapat 

pertolongan. Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian 

kuning hanya berdiri seperti patung. Tidak tahu harus 

berkata apa. 

"Kau tahu, Anak Muda. Perbuatanmu hanya akan mem-

bawa bencana bagi seluruh penduduk desa ini!" Jelas Ki 

Paladi 

Keras dan tajam sekali suara kepala desa itu. Tak heran 

jika Pendekar Tangan Baja yang memang mempunyai sifat 

keras kepala jadi bangkit emoslnya. 

"Jadi, kau lebih suka kalau kubiarkan prajurit-prajurit itu 

menyiksamu?!" tanya pemuda berpakaian kuning setengah 

menyindir. 

"Ya!" tandas Ki Paladi. 

Tentu saja jawaban yang sama sekali tidak disangkanya 

itu membuat Pendekar Tangan Baja terkejut. Beberapa 

saat pemuda berpakaian kuning ini tercenung. 

"Mengapa?" tanya Pendekar Tangan Baja setelah ber-

hasil menenangkan hati. 

Ki Paladi menarik napas panjang kemudian dihembus-

kannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan berbuat seperti itu, 

keresahan hatinya dapat lenyap. 

"Aku rela disiksa mereka daripada wargaku mengalami 

nasib yang lebih buruk lagi...," desah kepala desa itu 

perlahan. Sepasang matanya menerawang jauh ke langit. 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki" 

"Lebih baik kau tidak usah tahu, Anak Muda," tandas Ki 

Paladi. 

"Ki? Jangan membuatku penasaran! Jelaskan maksud 

ucapanmu tadi!" sentak Pendekar Tangan Baja keras. 

Sepasang matanya menatap tajam wajah laki-laki setengah 

baya berpakaian putih itu. 

"Kau memang berotak bebal! Perlukah kujelaskan lagi


akibat tindakanmu tadi?!” sergah kepala desa itu tak kalah 

keras. 

Merah wajah pemuda berpakaian kuning mendengar 

ucapan Ki Paladi. Kemarahannya pun bangkit. Tapi, 

Pendekar Tangan Baja mencoba menahan amarahnya, 

meskipun dadanya serasa akan meledak akibat emosi 

yang bergolak. 

"Kau tahu, Pendekar Tangan Baja! Kalau saja kau tidak 

campur tangan dalam urusan ini, paling-paling hanya aku 

yang mereka siksa. Tapi karena kau telah campur tangan, 

maka semua penduduk desa ini akan menanggung 

akibatnya. Rupangga dan anak buahnya pasti akan 

kembali kemari! Bukankah kau telah mendengar ancaman 

tadi?" sambung laki-laki setengah baya berpakaian putih 

itu berapi-api. 

Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main. Sungguh di 

luar dugaan kalau campur tangannya akan membawa 

akibat yang demikian besar. Perlahan emosinya pun mulai 

surut. 

"Aku mengaku salah, Ki. Tapi, percayalah. Kalau mereka 

datang lagi, aku yang akan menghadapinya!" tegas pemuda 

berpakaian kuning. 

"Kuhargai bantuan yang kau tawarkan itu, Anak Muda," 

ucap Ki Paladi lagi. Suaranya kini telah mulai melunak. 

Memang kemarahannya telah agak mereda begitu men-

dengar ucapan pemuda berpakaian kuning itu. “Tapi, 

sayang. Aku tidak bisa menerimanya." 

"Mengapa, Ki?!" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang 

alis pemuda berpakaian kuning ini berkerut dalam. 

Perasaan heran membayang jelas di wajahnya. 

"Sebelumnya aku mohon maaf, Anak Muda. Bukannya 

aku merendahkan kemampuanmu. Tapi, perlu kau ketahui, 

lawan yang akan kau hadapi sangat banyak, dan memiliki 

kepandaian tinggi." 

"Aku tidak takut Ki!" selak Pendekar Tangan Baja cepat. 

"Aku percaya kau tidak takut, Anak Muda. Tapi bagai-

mana dengan para penduduk? Bisakah kau melindungi


sekian banyak penduduk desa ini, sementara kau harus 

menghadapi lawan-lawan tangguh." 

Pendekar Tangan Baja terdiam. Disadari kebenaran 

yang terkandung dalam ucapan kepala desa itu. 

"Aku mohon dengan amat sangat, kau bersedia 

menyingkir dari desa ini, Anak Muda," pinta Ki Paladi. 

Sepasang matanya menatap wajah pemuda berpakaian 

kuning lekat-lekat meminta pengertian pemuda itu. 

"Hhh...!" desah Pendekar Tangan Baja setelah ter-

menung sekian lamanya "Baiklah. Kalau memang itu 

kemauanmu, Ki. Aku akan pergi. Tapi, bagaimana kalau 

mereka datang lagi?" 

"Tidak usah kau pikirkan. Anak Muda. Aku yakin akan 

dapat mengatasinya," sahut Ki Paladi. Meskipun begitu, 

Pendekar Tangan Baja menangkap adanya nada keraguan 

dalam ucapan kepala desa ini. 

"Baiklah, Ki." Pendekar Tangan Baja akhimya terpaksa 

mengalah. 

“Terima kasih atas pengertianmu, Anak Muda." 

Pendekar Tangan Baja hanya tersenyum pahit. Di 

langkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kepala desa 

menatap punggung pemuda berpakaian kuning hingga 

lenyap di kejauhan. 

"Hhh...! Mudah-mudahan saja, aku dapat mengatasi-

nya!" gumam Ki Paladi pelan. Lalu dilangkahkan kakinya 

menuju rumahnya. Kepala desa ini ingin mengobati luka-

luka akibat cambukan prajurit tadi 

***


Malam datang menjelang. Kegelapan mulai menyelimuti 

Desa Bakung. Suasana sepi pun mencekam sehuruh desa. 

Angin dingin berhembus menggigilkan, menusuk sampai ke 

tulang sumsum. Rasanya mustahil kalau ada penduduk 

yang keluar rumah di malam seperti ini. 

Namun, tak seorang penduduk pun tahu kalau di malam 

dingin ini, berkelebatan beberapa sosok bayangan yang 

bergerak cepat menuju desa. Menilik dan gerakan mereka 

yang rata-rata cukup gesit itu, bisa diperkirakan kalau 

sosok-sosok bayangan itu memiliki kepandaian yang cukup 

tinggi. 

Dalam keremangan malam, sosok-sosok bayangan yang 

berkelebatan tadi tak ubahnya hantu-hantu yang 

bergentayangan mencari mangsa. 

Tak lama kemudian, sosok-sosok bayangan itu telah 

memasuki mulut Desa Bakung. Sosok-sosok bayangan itu 

rata-rata berwajah kasar. Jumlah mereka tidak kurang dari 

tiga puluh orang! Dan begitu memasuki desa, mereka 

berpencar. Berkelompok empat-empat, menuju rumah 

rumah penduduk. 

Srattt, srattt...! 

Sinar terang berkilatan susul-menyusul begitu orang-

orang yang berwajah kasar itu menghunus senjatanya 

masing-masing. Dan dengan senjata terhunus mereka 

bergerak mendekati rumah warga desa. 

Brakkk...! 

Sebuah rumah yang letaknya paling dekat dengan mulut 

Desa Bakung menjadi sasaran pertama. Daun pintu rumah 

itu langsung hancur berantakan, mengeluarkan suara hiruk 

pikuk ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya. 

Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat penghuni 

rumah tersentak bangun. Tapi, gerombolan orang kasar itu 

tidak memberi kesempatan. Begitu pintu hancur, mereka


bergegas menerobos masuk. Dan langsung membabatkan 

senjatanya pada penghuni rumah yang baru saja beranjak 

keluar kamar. 

Cappp, ceppp...! 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!" 

Terdengar jerit kematian saling susul. Diiringi robohnya 

pemilik rumah yang sial itu dengan tubuh bermandikan 

darah. Penduduk yang sial itu menggelepar-gelepar 

sejenak sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas! 

Malam yang begitu hening membuat suara jeritan itu 

menggema ke seluruh desa. Tentu saja suara jerit 

kematian itu mengejutkan penduduk yang berada di 

sekitar rumah itu. Tapi belum sempat mereka berbuat 

sesuatu, gerombolan orang-orang kasar lainnya tiba di 

rumah mereka. 

Dan seperti kejadian di rumah yang pertama. Peristiwa 

serupa pun terjadi di rumah-rumah yang lain. 

"Bakar...!" 

Perintah seorang yang bertubuh tinggi besar, dan 

berambut jarang, begitu melihat anak buahnya telah keluar 

dari rumah yang penghuninya telah dibantai. Keras dan 

tegas suaranya. Rupanya orang ini adalah pemimpin 

rombongan. 

Begitu si tanggi besar ini selesai mengucapkan perintah, 

puluhan orang berwajah kasar itu pun segera bergerak 

cepat. Obor-obor yang terpancang di tiap sudut rumah 

diambil. Lalu dilemparkan ke rumah-rumah penduduk yang 

sebagian besar berdinding bilik. Obor-obor itu tidak hanya 

dilemparkan ke rumah-rumah yang penduduknya telah 

terbantai, tapi juga ke rumah-rumah yang belum mereka 

masuki. 

Akibatnya sudah bisa diduga. Dalam sekejap saja 

rumah-rumah itu pun dilalap api yang lama-kelamaan 

semakin membesar dan membesar. Kepanikan pun segera 

terjadi. Para penduduk berlarian keluar rumah. Tapi, di luar 

ternyata telah menghadang bahaya yang tak kalah


mengerikan. 

Puluhan orang-orang kasar itu enak saja membabatkan 

senjatanya ke sana kemari. Tentu saja para penduduk yang 

tengah sibuk menyelamatkan diri dari amukan api, tidak 

siap menghadapi bahaya yang tidak terduga itu. Dalam 

waktu sekejap. Desa Bakung menjadi arena pembantaian 

yang mengerikan! 

Jerit kesakitan dari orang yang terluka, teriakan 

ketakutan dari wanita-wanita, dan tangisan anak-anak 

berbaur menjadi satu, di tengah tengah kobaran api yang 

membumbung tinggi ke udara. 

Suara hiruk-pikuk dan jeritan yang terdengar susul 

menyusul, sayup sayup sampai di telinga Ki Paladi. Laki-

laki setengah baya berpakaian putih ini terkejut bukan 

main. Bergegas kepala desa ini berlari ke luar rumahnya. 

Kontan sepasang mata kepala desa ini terbelalak, begitu 

melihat api yang membumbung tinggi ke udara. Buru-buru 

Ki Paladi berlari menuju ke arah asal api. 

Belum juga kepala desa itu tiba di tempat kejadian, 

langkahnya terhalang oleh para penduduk yang berlari-lari 

ketakutan. Sementara agak jauh di belakang mereka, 

terlihat puluhan sosok bergerak terus memasuki desa. Di 

sepanjang perjalanan, mereka membantai para penduduk 

yang ditemui sambil terus membakari rumah. 

Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya 

berpakaian putih ini marah bukan kepalang melihat 

kejadian ini. Cepat dia melesat menuju puluhan orang 

kasar yang masih menyebar maut itu. 

Tapi langkah kaki kepala desa ini segera terhenti, ketika 

tiba-tiba sosok bayangan berkelebat menghadang di 

hadapannya. Langkah Ki Paladi terpaksa dihentikan. 

Sepasang matanya menatap tajam pada sosok yang berdiri 

menghadang. 

Sosok itu ternyata seorang laki-laki tinggi besar 

berambut jarang dan berkulit putih. Pimpinan gerombolan! 

"Ha ha ha...! Mau ke mana kau, Paladi?!" tegur laki-laki 

tinggi besar itu kasar.


Sepasang mata Ki Paladi terbelalak, begitu mengenan 

laki-laki tinggi besar di hadapannya. Tokoh itu adalah Gajah 

Putih. Bersama adik kembamya yang berjuluk Gajah Hitam, 

laki-laki tinggi besar ini menjadi kepala rampok yang kejam 

dan ganas. Biasanya gerombolan ini beroperasi di hutan-

hutan. Tapi, mengapa sekarang bisa datang ke sini? tanya 

Ki Paladi dalam hati. Perasaan bingung pun melanda hati 

Kepala Desa Bakung ini. 

"Gajah Putih! Tidak tahukah akibat dari perbuatanmu 

ini?! Gusti Prabu akan mengerahkan pasukan untuk mem-

basmi kau dan anak buahmu!" ucap Ki Paladi mencoba 

menggertak. 

"Ha ha ha...!" Gajah Putih tertawa bergelak begitu 

Kepala Desa Bakung itu menghentikan ucapannya. "Lucu! 

Lucu sekali! Gusti Prabu tidak mungkin akan menangkap-

ku! Tahukah kau mengapa aku datang ke sini?" 

Laki-laki setengah baya berpakaian putih menggeleng-

kan kepalanya. 

"Aku datang ke sini, atas perintah Gusti Prabu!" tandas 

Gajah Putih tegas. 

"Apa?!" Ki Paladi terkejut bukan alang kepalang. 

"Kau terkejut Paladi? Aku datang ke sini, untuk 

menangkap Pendekar Tangan Baja. Hidup atau mati. 

Sekaligus membumihanguskan desa ini! Semua ini atas 

perintah Gusti Prabu Jayalaksana!" jelas Gajah Putih. 

"Bohong! Kau bohong, Gajah Putih!" sentak Ki Paladi 

dengan wajah pucat 

"Ha ha ha..! Aku tidak peduli, kau mau percaya atau 

tidak! Cepat beritahukan tempat pendekar keparat itu!" 

bentak Gajah Putih. 

"Aku tidak tahu. Pemuda itu sudah pergi," sahut kepala 

desa itu. 

"Kalau begitu, sekarang giliranmu dulu, Paladi! Kau dan 

seluruh penduduk desa ini! Hiyaaat. !" 

Setelah menyelesaikan kata-katanya, laki-laki tinggi 

besar yang berjuluk Gajah Putih itu langsung menerjang 

sang kepala desa. Kepalannya yang besar, meluncur deras


ke arah kepala Ki Paladi. Angin berdesir keras mengiringi 

tibanya pukulan itu. 

Wuuuttt..! 

Tapi Ki Paladi ternyata bukanlah orang lemah. Dengan 

sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke kanan. 

Sehingga serangan tinju Gajah Putih mengenai tempat 

kosong. Lewat setengah jengkal dari pinggang laki-laki tua 

berpakaian putih itu. 

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Ki 

Paladi. Pada saat itu juga, kepala desa ini mengayunkan 

kakinya ke arah dada lawan. 

Bukkk! 

"Eh...?!" 

Ki Paladi memekik kaget. Tendangannya yang telak 

mendarat pada sasarannya, membalik. Malah sekujur 

kakinya dirasakan ngilu bukan kepalang. Seolah-olah yang 

ditendangnya tadi bukanlah dada manusia, melainkan 

segumpal baja kuat, sehingga membuat tenaga 

tendangannya tak berarti. Dan belum lagi hilang rasa 

terkejutnya, tangan kanan Gajah Putih menyambar 

kakinya. 

Tappp...! 

"Akh...!" 

Ki Paladi terkejut bukan main tatkala menyadari 

pergelangan kakinya telah tertangkap Gajah Putih. 

Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sadar kalau 

dirinya berada dalam bahaya. Cepat-cepat ditarik kakinya. 

Tapi, ternyata cengkeraman tangan Gajah Putih terlalu 

kuat. Jangankan terlepas, bergeming pun tidak! Kepala 

Desa Bakung ini pun jadi ngeri bukan main. Ki Paladi tahu 

kalau nyawanya kini terancam. Sekali saja Gajah Putih 

menggerakkan jari-jari mencengkeram, atau membetot 

kakinya, celakalah dia. 

Tapi di saat kritis bagi Ki Paladi, sesosok bayangan 

kuning melesat cepat. Dan langsung mengirimkan pukulan 

keras ke perut laki-laki tinggi besar berambut jarang itu. 

Bukkk!


"Hugh...!" . 

Tubuh Gajah Putih tertunduk. Rasa mual dan mules 

yang amat sangat melanda perutnya. Seketika itu juga 

cengkeraman pada kaki Ki Paladi terlepas. 

Tanpa membuang-buang waktu kepala desa itu 

langsung melompat mundur. Tahu-tahu di sebelah Ki 

Paladi telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning, 

dan bercambang lebat 

"Pendekar Tangan Baja," desis Ki Paladi memanggil 

pemuda itu. 

Sang penolong yang memang Pendekar Tangan Baja itu 

hanya melempar seulas senyum 

*** 

Sementara itu Gajah Putih yang kini sudah berhasil 

memulihkan rasa sakit di perutnya, segera berdiri tegak 

kembali. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan 

pada pemuda berpakaian kuning yang berdiri di depannya. 

Tapi di samping perasaan marahnya, perasaan kaget pun 

melanda hatinya. Pemuda berpakaian kuning itu mampu 

membuat perutnya sakit, hanya dengan sekali pukul. 

Padahal selama ini belum pemah seorang lawan yang 

mampu menembus kekerasan kulit tubuhnya. 

"Keparat!" geram laki-laki tinggi besar berambut jarang 

itu. "Jadi, kau orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja?!" 

“Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning seraya 

menganggukkan kepalanya. 

Gajah Putih menggeram keras. 

"Kalau begitu, kau harus mampus di tanganku! 

Hiyaaa...!" 

Laki-laki tinggi besar berambut jarang itu menerjang 

Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya yang terkepal, 

mengirimkan serangan beruntun pada dada, ulu hati, dan 

perut pemuda berpakaian kuning. 

Angin menderu dahsyat mengawali tibanya serangan 

Gajah Putih. Tapi pemuda berpakaian kuning itu seperti


tidak mempedulikannya. Bahkan kepalanya menoleh ke 

arah Ki Paladi. 

"Lebih baik kau bantu para penduduk, Ki," ucap 

Pendekar Tangan Baja pada Ki Paladi yang berdiri terpaku, 

menonton pertarungan kedua tokoh itu. 

Tentu saja sikap pemuda ini membuat Gajah Putih ber-

tambah murka. Karena dilihatnya pemuda berpakaian 

kuning itu sama sekali tidak memandang sebelah mata 

kepadanya! 

Memang bagi Pendekar Tangan Baja, serangan yang 

dilancarkan Gajah Putih tidak terlalu berbahaya. Gerakan 

laki-laki tinggi besar berambut jarang ini terlalu lamban 

baginya. Hanya saja setiap serangannya mengandung 

tenaga dalam penuh. 

"Hih...!" 

Sambil menggertakkan gigi, pemuda berpakaian kuning 

menggerakkan kedua tangannya yang terkepal, memapak 

pukulan Gajah Putih. 

Dukkk, dukkk...! 

Suara berderak keras terdengar ketika buku-buku tulang 

kedua orang ini berbenturan. Hebat akibatnya. Baik 

Pendekar Tangan Baja maupun Gajah Putih sama-sama 

terjajar ke belakang. Tenaga dalam kedua orang ini 

ternyata berimbang. 

Semula begitu melihat lawan menangkis serangannya, 

Gajah Putih tertawa dalam hati. Laki-laki tinggi besar ini 

sudah dapat meramalkan kalau kedua tangan pemuda itu 

akan patah-patah bila bertemu lengannya. Maka dapat 

dibayangkan betapa kaget hatinya begitu melihat kedua 

tangan pemuda berbaju kuning itu tidak apa-apa. 

Bukan hanya Gajah Putih saja yang terkejut Pendekar 

Tangan Baja pun mengalami hal yang serupa. Sungguh 

tidak disangkanya kalau tenaga laki-laki tinggi besar 

berambut jarang ini begitu kuatnya. Sadarlah pemuda 

berpakaian kuning kalau kali ini dia tidak boleh bertindak 

main-main. Tapi walau bagaimana pun, Gajah Putih harus 

secepatnya ditundukkan, agar tidak jatuh korban lebih


banyak lagi. 

Meskipun tengah bertempur, Pendekar Tangan Baja 

sempat melihat Ki Paladi tengah bertarung menghadapi 

gerombolan orang-orang berwajah kasar itu. Meskipun 

hanya melirik sekilas, Pendekar Tangan Baja dapat 

mengetahui kalau kepala desa itu tengah terdesak. Laki-

laki setengah baya berpakaian putih itu tengah meng-

hadapi keroyokan empat orang anggota gerombolan 

pengacau. Sedangkan sisa gerombolan masih menyebar 

maut, sambil terus melempari obor ke rumah-rumah pen-

duduk. Warga desa yang memiliki sedikit kepandaian, men-

coba mengadakan perlawanan. Tapi usaha mereka sia-sia 

belaka. Gerombolan orang kasar itu dengan mudah me-

matahkan perlawanan mereka, dan membantainya. 

Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya 

berpakaian putih ini sudah mengerahkan seluruh 

kepandaiannya. Tapi ternyata empat orang lawannya ter-

lalu tangguh. Hal ini membuat kepala desa ini menjadi 

gelisah bukan main. Sementara Pendekar Tangan Baja 

dilihatnya masih sibuk bertarung dengan Gajah Putih. Tidak 

ada lagi orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi 

gerombolan liar itu. 

Mendadak, pendengaran Ki Paladi mendengar suara 

teriakan teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya 

anggota gerombolan itu satu persatu. Tentu saja hal ini 

membuat Ki Paladi kaget. Sambil terus menghadapi empat 

orang pengeroyoknya, sudut matanya melirik. 

Tampak oleh Ki Paladi, seorang pemuda berpakaian 

ungu dan berambut putih keperakan telah berdiri di situ. 

Luar biasa! Pemuda itu hanya mengibas-ngibaskan tangan-

nya dengan sikap sembarangan saja. Tapi akibatnya, 

gerombolan perampok itu berpentalan seperti dilanda 

angin badai yang amat kuat. 

Dalam waktu singkat, belasan anggota gerombolan 

sudah berpentalan tak tentu arah. Dan hebatnya, setiap 

anggota yang berpentalan itu tidak mampu bangkit lagi. 

Meskipun begitu, tidak ada di antara mereka yang tewas!


Sementara di lain arena, Pendekar Tangan Baja sudah 

menguasai keadaan. Berkat ilmu meringankan tubuh, dan 

kecepatan geraknya yang jauh di atas Gajah Putih, pemuda 

berpakaian kuning itu dapat menekan lawannya. Tidak 

sampai delapan jurus bertarung, Gajah Putih sudah ter-

desak hebat. 

Gajah Punh meraung murka. Berkali-kali laki-laki tinggi 

besar dan berambut jarang ini dibuat pontang-panting 

menyelamatkan selembar nyawanya. Gajah Putih tidak 

berani menerima setiap pukulan yang dilontarkan pemuda 

berpakaian kuning itu. Tapi laki-laki tinggi besar dan 

berambut jarang berani membiarkan kaki Pendekar 

Tangan Baja menghantam sekujur tubuhnya. 

Gajah Putih memang mempunyai kulit tubuh yang kuat 

seperti badak. Biasanya laki-laki tinggi besar dan berambut 

jarang ini selalu memamerkan kekuatan tubuhnya, dan 

menerima setiap serangan lawannya. Tapi menghadapi 

Pendekar Tangan Baja, dia tidak berani mengandalkan 

kekuatan tubuhnya. Kehebatan tangan pemuda ber-

pakaian kuning itu sudah dia rasakan ketika menghantam 

perutnya tadi. 

"Hiyaaat..!" 

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring. Pendekar 

Tangan Baja melancarkan sebuah pukulan ke arah perut. 

Cepat bukan main gerakannya. Cepat dan tidak terduga-

duga. Gajah Putih terkejut bukan main. Sedapat mungkin 

laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini berusaha 

mengelak. Tapi... 

Bukkk! 

"Hukh...!" 

Gajah Putih melenguh tertahan. Tubuhnya terbungkuk 

seketika. Perutnya terasa mual dan mules bukan main. 

Dan di saat itulah serangan susulan dan Pendekar Tangan 

Baja kembali menyambar. Dua jari tangan pemuda ber-

pakaian kuning itu menegang kaku dan menyambar cepat 

ke arah dahi. 

Wuuuttt...! Crottt..!



"Aaakh...!" 

Gajah Putih menjerit memilukan. Kedua jari Pendekar 

Tangan Baja amblas di dahinya. Cairan merah bercampur 

cairan putih kental bermuncratan, ketika dahi laki-laki 

tinggi besar itu tertembus dua jari pemuda berpakaian 

kuning. Tubuh laki-laki tinggi besar dan berambut jarang itu 

menggelepar-gelepar sejenak. Sesaat kemudian diam, tak 

bergerak untuk selamanya. 

Sekilas Pendekar Tangan Baja menatap Gajah Putih 

yang tergolek kaku di tanah. Baru setelah itu tubuhnya 

kembali melesat. Kali ini ke arah Ki Paladi yang tengah 

terdesak oleh empat orang lawannya. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara pemuda berpakaian kuning itu 

mendarat di dekat Kepala Desa Bakung. Tangan dan 

kakinya bergerak cepat. 

"Akh...! Aaa...!" 

Jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi 

robohnya keempat tubuh tanpa nyawa di tanah. 

Ki Paladi segera melompat mundur begitu melihat 

empat lawannya sudah roboh tidak bergerak lagi. Dan 

berbareng dengan robohnya keempat pengeroyok Ki 

Paladi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah pula 

berhasil merobohkan anggota gerombolan perampok yang 

tersisa. 

Berbeda dengan lawan yang dihadapi Pendekar Tangan 

Baja, lawan yang berhadapan dengan pemuda berambut 

putih keperakan itu tidak ada seorang pun yang tewas. Tapi 

usaha pemuda berambut putih keperakan itu sia-sia 

belaka. Karena begitu orang-orang kasar itu merasa tidak 

mampu melawan lagi, mereka bunuh diri! 

Pemuda berambut putih keperakan menghela napas 

ketika melihat semua lawan yang dirobohkan itu, 

semuanya mati bunuh diri. Beberapa saat lamanya 

pemuda ini tercenung. 

***

Sementara itu api yang berkobar pun sudah mulai 

padam. Memang, setelah pemuda berambut putih 

keperakan itu muncul para penduduk tidak terganggu lagi 

oleh amukan gerombolan orang-orang kasar itu. Perhatian 

anggota gerombolan itu, semua tertumpah pada pemuda 

yang lihai itu. Sehingga para penduduk leluasa untuk 

menanggulangi kebakaran. 

Ki Paladi beranjak menghampiri pemuda berambut putih 

keperakan. Sepasang mata laki-laki tua berpakaian putih 

itu merayapi sekujur tubuh pemuda di hadapannya. Dilihat 

juga sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda 

itu. 

“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau 

tidak ada dirimu, entah apa yang terjadi dengan seluruh 

penduduk desa ini." ucap Kepala Desa Bakung. 

"Lupakanlah, Ki." sahut pemuda berambut putih 

keperakan. Pelan dan halus suaranya "Apa yang kulakukan 

ini adalah suatu hal yang biasa. Bukankah hidup di dunia 

ini kita harus saling tolong menolong?" 

Ki Paladi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Sementara Pendekar Tangan Baja hanya menggerakkan 

bagian atas bibimya. Entah apa maksudnya, hanya pemuda 

itu sendiri yang tahu. Tapi yang jelas, Pendekar Tangan 

Baja diam-diam mengagumi ketinggian ilmu yang dimiliki 

pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Kalau boleh kutahu, siapa kau, Anak Muda? Dan ke 

mana tujuanrnu?" tanya Ki Paladi lagi. 

"Namaku Arya, Ki. Aku pergi ke mana saja kakiku 

melangkah. Kalau boleh kutahu, apakah yang terjadi di 

desa ini, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan 

yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak. 

Ki Paladi tersenyum kecut. 

"Sifatmu tidak jauh berbeda dengan Pendekar Tangan 

Baja! Ataukah memang sifat semua orang muda begitu? 

Selalu ingin mencampuri urusan orang lain?" sindir Kepala 

Desa Bakung itu.


Dewa Arak saling pandang dengan Pendekar Tangan 

Baja. Bibir kedua pendekar muda itu sama-sama 

menyunggingkan senyum. 

“Tentu saja tidak semua, Ki. Yang kucampuri hanya 

urusan-urusan yang di dalamnya ada ketidak adilan," sahut 

Dewa Arak tandas. 

Pendekar Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala-

nya, pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak. 

"Bisa kumengerti apa maksudmu, Arya. Tapi, perlu kau 

ketahui, dalam urusan ini kuanjurkan kau dan Pendekar 

Tangan Baja lebih baik tidak usah ikut campur," ucap Ki 

Paladi memberi nasihat. 

"Mengapa. Ki?" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang 

alis pemuda berpakaian kuning itu berkerut dalam tanda 

kalau hatinya dilanda perasaan penasaran. "Kali ini aku 

mohon, kau mau menjelaskan alasanmu, Ki. Jangan lagi 

berteka-teki." 

Dewa Arak menatap wajah Ki Paladi dan Pendekar 

Tangan Baja bergantian. Pemuda ini tidak paham maksud 

pembicaraan kedua orang itu. 

"Jadi, kejadian ini bukan yang pertama kalinya. 

Pendekar Tangan Baja?" tanya pemuda berambut putih 

keperakan itu. 

"Benar, Arya," sahut pemuda berpakaian kuning itu 

pelan. "Pagi tadi juga ada kejadian di desa ini." Kemudian 

Pendekar Tangan Baja menceritakan semua kejadian yang 

dialaminya. 

"Apakah kejadian malam ini ada sangkut pautnya 

dengan kejadian tadi pagi, Ki?" tanya Dewa Arak. 

"Hhh...!" Ki Paladi menghela napas panjang. 

Pelahan kepalanya terangguk. Sementara Pendekar 

Tangan Baja menatap pemuda berambut putih keperakan 

itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Memang belum 

dimengertinya maksud pertanyaan Dewa Arak. 

"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. Dahi pemuda 

berambut putih keperakan itu berkemyit dalam. Jelas ada 

sesuatu yang mengganggu pikirannya.


Pendekar Tangan Baja dan Ki Paladi menatap Dewa 

Arak. 

"Apa yang aneh, Arya?" tanya pemuda berpakaian 

kuning itu agak bingung. Sedangkan Ki Paladi hanya 

terdiam. 

"Bukankah pagi tadi kau berurusan dengan prajurit-

prajurit kerajaan, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya tanpa 

mempedulikan pertanyaan pemuda berpakaian kuning itu. 

"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku begitu bodoh?!" 

sentak Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berpakaian 

kuning itu mulai dapat meraba penyebab malapetaka di 

Desa Bakung malam ini. Setelah berkata demikian, 

Pendekar Tangan Baja menatap wajah Ki Paladi lekat-

lekat. Sinar matanya menyiratkan keingintahuan yang 

mendalam. 

"Panjang sekali ceritanya. Mari ke rumahku. Akan 

kuceritakan semuanya, agar kalian berdua tidak penasaran 

lagi!" ucap laki-laki tua berpakaian putih setelah tercenung 

beberapa saat lamanya. 

"Pardi!" panggil Kepala Desa Bakung. Ditolehkan 

kepalanya ke arah kerumunan penduduk yang masih sibuk 

memadamkan api yang mulai mengecil. 

"Ya, Ki!" sahut sebuah suara. Disusul dengan munculnya 

pemuda bertubuh kekar yang menyibak dari kerumunan 

penduduk. 

"Kau wakili aku mengurus semua keadaan di sini," 

perintah Ki Paladi. 

"Baik, Ki," pemuda kekar yang bernama Pardi meng-

anggukkan kepalanya. 

Setelah Pardi berlalu, Ki Paladi kembali mengalihkan 

perhatian kepada dua orang pemuda perkasa itu. 

"Mari...," ucap kepala desa mempersilakan, seraya men-

dahului melangkah meninggalkan tempat itu. Pendekar 

Tangan Baja dan Dewa Arak segera mengikuti laki-laki tua 

berpakaian putih yang telah berjalan lebih dulu. 

***


"Semula aku tidak ingin menceritakannya pada kalian," 

ucap Ki Paladi membuka percakapan, setelah ketiganya 

berada di ruang tengah yang cukup luas di rumah kepala 

desa. 

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak hanya diam saja. 

Sedikit pun mereka tidak berusaha menyelak ucapan laki-

laki tua berpakaian putih itu. Meskipun begitu, pen-

dengaran dan pikiran mereka dipasang tajam-tajam, 

menyimak semua perkataan Ki Paladi. 

"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa semua ini 

bisa terjadi," sambung laki-laki tua berpakaian putih lagi. 

"Setahuku Gusti Prabu Jayalaksana adalah raja yang adil. 

Tidak pernah Gusti Prabu memberatkan rakyatnya. Tapi..., 

beberapa pekan belakangan ini..., banyak keputusan Gusti 

Prabu yang aneh. Dalam hal pajak, misalnya. Pajak yang 

dibebankan Gusti Prabu pada rakyatnya terlalu mencekik 

leher!" 

Ki Paladi menghentikan ceritanya sejenak untuk meng-

ambil napas. Sekaligus juga untuk melihat reaksi kedua 

pemuda perkasa yang duduk di hadapannya. Tapi, baik 

Dewa Arak maupun Pendekar Tangan Baja sama sekali 

tidak memberikan tanggapan. Rupanya kedua pemuda itu 

ingin mendengarkan cerita itu dulu hingga selesai. 

"Aku khawatir kalau keadaan seperti ini terus berlarut-

larut, rakyat akan memberontak," ucap Ki Paladi meng-

akhiri centanya. 

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak saling pandang. 

Bahkan dahi Dewa Arak berkernyit. Suatu bukti nyata ada 

hal yang mengganggu pikirannya. 

"Bagaimana? Kalian masih mau ikut campur tangan? 

Kalau menurutku, lebih baik kalian segera menyingkir dari 

sini. Keluar dari wilayah Kerajaan Kamujang. Ingat, kalian 

berhadapan dengan ribuan orang! Pikirlah baik-baik," ujar 

Ki Paladi menasihati. 

“Terima kasih atas usulmu, Ki. Tapi sayang, aku tidak 

dapat menerimanya. Aku telah telanjur mencampuri urusan



ini. Jadi mau tidak mau harus kuselesaikan hingga tuntas," 

tegas Dewa Arak. 

"Kau hanya akan mengantar nyawa saja, Arya. Sudah 

banyak pendekar yang mencoba menentang kelaliman 

Gusti Prabu Jayalaksana. Tapi, hanya kematian yang 

mereka dapatkan. Kerajaan Kamujang memiliki jago-jago 

istana yang memiliki kepandaian luar biasa!" laki-laki tua 

berpakaian putih mencoba mencegah niat pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

"Bagus sekali, Arya!" selak Pendekar Tangan Baja cepat 

"Mari kita bahu-membahu menentang kekejaman raja lalim 

itu!" 

Dewa Arak tersenyum mendengar ucapan penuh 

semangat dari pemuda berpakaian kuning itu. 

"Kau dengar sendiri, Ki? Pendekar Tangan Baja tidak 

gentar! Demi membela kebenaran kami rela mengorban-

kan nyawa kami, Ki," tukas pemuda berbaju ungu itu. 

"Hhh...! Terserahlah kalau itu memang sudah menjadi 

tekad kalian," ujar Ki Paladi seraya menghela napas 

panjang. 

“Terima kasih, Ki," sahut Dewa Arak dan Pendekar 

Tangan Baja berbarengan. 

"Kudoakan semoga kalian berhasil!" ucap Kepala Desa 

Bakung pelan. Suaranya lebih mirip desahan. 

Pendekar Tangan Baja bangkit dari duduknya Dewa Arak 

bangkit juga. 

"Untuk kesuksesan kita, Arya." ujar Pendekar Tangan 

Baja sambil mengulurkan tangan. 

Dewa Arak tersenyum lebar seraya menyambut uluran 

tangan pemuda berpakaian kuning itu. Dijabatnya tangan 

Pendekar Tangan Baja erat-erat. Diam-diam pemuda 

berambut putih keperakan itu merasa kagum ketika 

merasakan jari-jemari tangan pemuda di hadapannya. 

Sekilas pandangan Dewa Arak singgah pada tangan 

Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berambut putih 

keperakan maklum mengapa pemuda berpakaian kuning 

itu berjuluk Pendekar Tangan Baja.


Jari jemari dan tangan pemuda ini memang benar-benar 

lebih mirip baja ketimbang tangan manusia. Begitu kokoh 

dan kuat! 

"Kami permisi dulu, Ki." ucap Dewa Arak seraya 

melepaskan genggaman tangannya. Kemudian kakinya 

melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bicara 

Pendekar Tangan Baja berjalan mengikuti. 

Ki Paladi hanya menganggukkan kepalanya. Di 

pandanginya terus tubuh dua orang pemuda itu hingga 

lenyap di kejauhan. 

***


Bangunan tua itu memang besar dan megah. Halamannya 

yang luas, terkurung pagar tembok tinggi dan kokoh. Tapi 

terlihat kumuh dan tidak terawat. Apalagi letaknya memang 

terpencil, jauh di dalam hutan. Entah siapa yang telah 

membangunnya. Yang jelas, sudah sejak lama, bangunan 

yang terlihat menyeramkan itu tidak ditinggali orang lagi. 

Tapi malam ini ternyata berlainan dengan malam-malam 

biasanya. Dari dalam bangunan itu terdengar bentakan-

bentakan keras penuh kemarahan. 

Ternyata di salah satu ruangan telah berkumpul banyak 

orang. Mereka duduk bertebaran di lantai yang bersih. 

Memang, sungguhpun dari luar terlihat tidak terawat, tetapi 

bagian dalam bangunan tua itu ternyata terpelihara baik. 

Sekitar dua tombak di hadapan orang-orang yang duduk 

bertebaran, duduk seorang laki-laki setengah baya ber-

pakaian rompi coklat. Sebuah daun telinganya tidak 

terlihat. 

Rupanya laki-laki setengah baya berpakaian rompi 

coklat adalah pemimpin dari orang-orang ini. Dan rupanya 

sang Pemimpin tengah marah-marah. Terbukti suara-suara 

yang dikeluarkannya sejak tadi selalu keras bernada penuh 

kemarahan. 

"Bodoh! Dungu! Hanya membunuh satu orang saja, 

kalian tidak becus!" sang Ketua memaki. 

Sementara di depannya berdiri seorang berwajah kasar, 

berbibir tebal dan berkulit hitam dengan kepala ditunduk-

kan. 

"Maafkan kami, Ketua. Kalau saja tidak ada yang 

seorang lagi, mungkin kami berhasil membumihanguskan 

Desa Bakung, sekaligus membunuh Pendekar Tangan 

Baja...." jawab si bibir tebal. Memang, laki-laki berbibir tebal 

ini adalah salah seorang dari gerombolan pengacau di 

Desa Bakung yang selamat.



"Jadi, ada orang lain yang telah membantu Pendekar 

Tangan Baja?" selak laki-laki berdaun tellnga satu itu tak 

sabar. 

"Benar, Ketua," jawab si bibir tebal singkat. 

"Hm...," laki-laki berompi coklat yang dipanggil ketua itu 

hanya menggumam "Bagaimana ciri-ciri orang itu?" 

"Orangnya masih muda, berambut putih keperakan, dan 

berpakaian serba ungu...." 

"Dewa Arak...!" desis laki-laki setengah baya itu. Nada 

suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat 

sangat. 

"Ketua kenal dengan pemuda itu?" tanya laki-laki ber-

bibir tebal. 

Laki-laki berompi coklat menggelengkan kepalanya. 

"Hanya mendengar julukannya saja. Menurut cerita yang 

kudengar, dunia persilatan telah dibuat geger dengan 

kemunculan seorang pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti 

yang kau sebutkan. Julukannya Dewa Arak!" 

"Pemuda itu membawa guci di punggungnya, Ketua!" 

ucap laki-laki berbibir tebal itu menambahkan. Kini dia 

teringat. Memang pemuda berambut putih keperakan itu 

membawa sebuah guci di punggungnya. 

"Kalau begitu, benar dia Dewa Arak! Kali ini kita 

mendapat lawan yang benar-benar tangguh! Hhh...! Aku 

harus berbuat sesuatu." 

Setelah berkata demikian, laki-laki berompi coklat itu 

termenung. Perlahan dia bangkit dan kakinya dilangkahkan 

mondar-mandir memutari ruangan. Sementara tangannya 

terpacak di dagu. Jelas kalau dia tengah berpikir keras. 

Tak lama kemudian, laki-laki berompi coklat itu me-

langkah memasuki sebuah kamar. Cukup lama juga dia 

berada di sana. Ketika keluar dari kamar, di tangannya 

tergenggam sebuah bambu yang diserut halus, dan di 

bagian dalamnya terdapat segulung surat. 

"Berikan pada Gusti Prabu Jayalaksana," perintah laki-

laki berompi coklat kepada si bibir tebal. 

"Baik, Ketua." sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya


berjalan meninggalkan tempat itu. 

"Ha... ha... ha...!" laki-laki berpakaian rompi coklat itu 

tertawa bergelak setelah laki-laki berbibir tebal itu telah 

tidak berada lagi di situ. Suara tawanya berkumandang, 

menggema ke seluruh bangunan itu. 

*** 

Sementara itu, di balariung Istana Kerajaan Kamujang 

yang megah, tampak seorang laki-laki setengah baya 

tengah duduk di atas singgasana. Wajahnya tampan dan 

berwibawa. 

"Hhh...!" desah Prabu Jayalaksana seraya menggulung 

kembali surat yang baru saja dibacanya. Pandangannya 

dialihkan pada laki-laki berwajah kasar dan berbibir tebal 

yang duduk bersila di depannya. 

"Sampaikan pada ketuamu. Permintaannya kukabul-

kan," sabda Raja Kamujang itu penuh wibawa. 

"Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu," sahut laki-laki 

berbibir tebal itu seraya memberi hormat. 

Prabu Jayalaksana tersenyum getir. 

"Apabila sudah tidak ada lagi pesan, perkenankan 

hamba mohon diri, Gusti Prabu." 

Raja Kerajaan Kamujang ini menganggukkan kepalanya. 

"Silakan," ucap Prabu Jayalaksana pelan. 

Laki-laki berbibir tebal memberi hormat, kemudian 

melangkah meninggalkan balariung istana. 

"Prajurit...'" panggil Prabu Jayalaksana. 

Prajurit penjaga pintu balariung Istana, bergegas masuk 

dan memberi hormat. 

"Hamba, Gusti Prabu," ucap prajurit itu penuh hormat 

"Panggil Panglima Ramkin kemari! Cepat..!" perintah 

Prabu Jayalaksana keras. 

Prajurit itu kembali melangkah ke luar. Tak lama 

kemudian, prajurit itu sudah kembali bersama seorang ber-

pakaian panglima perang. 

"Gusti Prabu memanggil hamba?" tanya orang ber-

pakaian panglima perang yang bertubuh tinggi besar, dan


bercambang bauk lebat. Namanya Panglima Ramkin. 

"Ya." sahut Raja Kamujang. "Kau kuperintahkan mem-

bawa pasukanmu menangkap Dewa Arak dan Pendekar 

Tangan Baja, hidup atau mati!" Lalu Prabu Jayalaksana 

memberitahukan ciri-cirinya. 

"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut Panglima 

Ramkin tegas. 

Seorang laki-laki setengah baya berambut jarang 

tersentak kaget mendengar perintah itu. Patih Juminta 

namanya. 

"Boleh hamba bicara, Gusti Prabu?" tanya Patih Juminta 

hati-hati. 

"Silakan, Patih." sambut Prabu Jayalaksana. 

“Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba bersikap lancang 

Tapi…., apakah Gusti Prabu tidak salah membuat 

keputusan?" 

Sepasang alis Prabu Jayalaksana berkerut. 

"Aku masih belum mengerti maksudmu, Patih." 

"Mengenai perintah penangkapan itu, Gusti Prabu," jelas 

Patih Juminta. Nada bicaranya terdengar berhati-hati 

sekali. 

"Hm...! Apa ada yang aneh dalam perintah itu, Patih?" 

tanya Prabu Jayalaksana. Nada suaranya jelas menyiratkan 

perasaan tidak senang. 

Patih Juminta tentu saja merasakan ketidaksenangan 

Raja Kamujang itu. Dan ini membuatnya jadi gugup. 

"Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap sang Patih mem-

beranikan diri. 

"Katakan apa yang salah dalam perintah itu, Patih?" 

desak Prabu Jayalaksana tanpa mempedulikan permintaan 

maaf Patih Juminta. 

"Anu..., Gusti Prabu.... Mengenai pemuda berambut 

putih keperakan itu. Gusti...." 

"Hm...! Lalu...?" 

"Kalau hamba tidak salah..., pemuda itu pasti Dewa 

Arak!" 

Raja Kamujang itu tersenyum mengejek.


"Lalu mengapa kalau benar pemuda itu Dewa Arak? Kau 

takut?!" sindir Prabu Jayalaksana tajam. 

Merah wajah Patih Juminta seketika. 

"Bukannya hamba takut. Tapi...." 

"Diam!" bentak Prabu Jayalaksana keras. "Kalau kau 

membuka mulut lagi, kau akan kupenjarakan, Juminta!" 

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba mengaku salah...," ucap 

Patih Juminta sambil memberi hormat. 

"Panglima Ramkin," ucap Prabu Jayalaksana pada 

seorang bertubuh tinggi besar dan bercambang lebat di 

hadapannya. 

"Hamba, Gusti Prabu." sahut Panglima Ramkin seraya 

memberi hormat. 

"Kau sudah tahu tugasmu?" 

"Sudah, Gusti Prabu," jawab panglima itu lagi. 

"Bagus! Laksanakan segera!" perintah Raja Kamujang. 

"Baik, Gusti Prabu," sahut laki-laki bercambang lebat itu. 

"Hamba mohon diri." 

Prabu Jayalaksana hanya menganggukkan kepalanya 

saja. Dan Panglima Ramkin pun berlalu setelah terlebih 

dulu kembali memberi hormat. Sementara itu Patih 

Juminta hanya diam tertunduk. Suasana balariung istana 

kembali menjadi hening. 

*** 

Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak melangkah 

memasuki mulut sebuah desa. Dan seperti juga Desa 

Bakung, keadaan desa ini juga sangat menyedihkan. Anak-

anak yang kurus kering dan tanpa pakaian, selalu mereka 

temui di pinggir jalan. 

Pendekar Tangan Baja yang memang berwatak 

berangasan menggertakkan gigi saking geram. 

"Raja lalim itu memang harus dibinasakan!" desis 

pemuda berbaju kuning tajam. 

Dewa Arak diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya 

ucapan Pendekar Tangan Baja. Sepasang matanya


menerawang jauh memandang ke depan. Sementara 

sepasang kakinya terus dilangkahkan. 

"Kalau boteh kutahu, ke mana tujuanmu, Pendekar 

Tangan Baja?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan. 

"Hhh...!" pemuda berpakaian kuning itu menghela napas 

panjang sebelum menjawab pertanyaan Arya. "Sebenarnya, 

aku tengah mencari paman guruku." 

"Paman gurumu?" 

"Ya," jawab Pendekar Tangan Baja singkat. 

"Boleh kutahu.... Maaf, bukannya aku ingin mencampuri 

urusanmu," ucap Dewa Arak bemada ingin tahu. 

Pendekar Tangan Baja tercenung sejenak. 

"Paman guruku kabur dari tempat penyepiannya." 

"Maksudmu...?" tanya Dewa Arak masih kurang jelas. 

Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih 

belum jelas akan cerita pemuda berpakaian kuning itu. 

"Begini, Arya. Di sebuah tempat... maaf aku tidak boleh 

menyebutkan namanya, tinggal guruku dan adik seper-

guruannya. Guruku tahu kalau adik seperguruannya ber-

watak jelek, maka beliau sengaja mengurungnya di tempat 

itu. Tapi sungguh tidak disangka kalau paman guruku itu 

bisa meloloskan diri dari situ. Guruku lalu menyuruhku 

turun gunung untuk mencegah paman guruku itu 

mengacau dunia persilatan," jelas Pendekar Tangan Baja 

panjang lebar. 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini 

sudah dimengertinya semua cerita Pendekar Tangan Baja. 

Tapi mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan 

berkerut ketika sepasang matanya melihat debu mengepul 

tinggi di kejauhan. Di sela-sela kepulan debu terlihat panji-

panji kebesarah Kerajaan Kamujang berkibaran dengan 

megah. Rupanya orang-orang itu adalah prajurit-prajurit 

Kamujang. 

"Ada rintangan pertama di depan, Pendekar Tangan 

Baja," ucap Dewa Arak pelahan seraya menolehkan kepala 

menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di 

sebelahnya.


"Kebetulan sekali! Sudah sejak tadi tanganku gatal-

gatal!" sambut Pendekar Tangan Baja. Mulutnya 

menyunggingkan sebuah senyum kegembiraan. 

"Kita tunggu saja dulu, apa keinginan mereka," ujar Arya 

memberi nasihat. Setelah kepulan debu itu semakin dekat, 

jelas terlihat kalau yang datang adalah serombongan 

prajurit berkuda. 

"Kurasa tidak perlu, Arya!" bantah Pendekar Tangan 

Baja. "Menghadapi orang-orang kejam seperti mereka, 

tidak pedu lagi sikap bijaksana " 

Dewa Arak menggelengkan kepalanya. 

"Kau lupa, Pendekar Tangan Baja! Mereka itu hanya 

prajurit! Bukan tidak mungkin mereka melakukan semua 

perintah itu karena terpaksa," jelas Arya. 

"Aku tidak peduli!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas. 

Dewa Arak menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri 

di sebelahnya tajam-tajam. Tapi yang ditatap malah mem-

balasnya tak kalah tajam. 

"Selama jalan kekerasan bisa dihindari, untuk apa kita 

memaksakan diri melakukannya?" sambung Dewa Arak 

lagi. 

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas 

panjang "Sayang sekali kita mempunyai pemikiran yang 

berbeda, Arya." 

"Hhh...!" Dewa Arak pun menghela napas panjang. 

Tapi kedua pemuda perkasa ini tidak bisa berlama-lama 

terlibat pertentangan pendapat karena pasukan prajurit 

berkuda telah semakin dekat. 

"Hooop...!" 

Seorang pasukan kerajaan berpangkat panglima 

mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, seraya menarik 

tali kekang kudanya. Seketika itu juga, rombongan prajurit 

serentak menghentikan lari kudanya. 

"Hup...!" 

Dengan sebuah gerakan indah dan manis, Panglima 

Ramkin melompat dari punggung kudanya. Berturut-turut 

para prajurit dan punggawa yang berada di belakang sang


Panglima melompat dari punggung kuda masing-masing. 

Panglima Ramkin memperhatikan Dewa Arak dan 

Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung 

kaki. 

“Benar kalian berdua yang berjuluk Dewa Arak dan 

Pendekar Tangan Baja?!" tanya laki-laki bercambang lebat 

ini setengah menuduh. 

"Benar! Lalu, kalian mau apa?!" jawab Pendekar Tangan 

Baja cepat sebelum Dewa Arak sempat menjawab. 

"Kuanjurkan lebih baik kalian menyerah. Aku tidak 

segan-segan menggunakan kekerasan bila kalian mem-

bangkang!" ucap laki-laki bercambang lebat. Bibirnya 

menyunggingkan senyuman sinis. 

"Ha ha ha...! Boleh kau coba!" tantang Pendekar Tangan 

Baja sambil tertawa bergelak. "Ingin kulihat siapa di antara 

kalian yang bisa menangkap Pendekar Tangan Baja!" 

Merah wajah Panglima Ramkin mendengar tantangan 

itu. 

“Tangkap mereka!" perintah panglima itu keras. Tanpa 

menunggu diperintah dua kali, lima puluh prajurit dan 

punggawa bergerak berbarengan, mengepung Dewa Arak 

dan Pendekar Tangan Baja. 

Diam-diam Dewa Arak menyesali kecerobohan Pendekar 

Tangan Baja. Tapi, kini dia tidak bisa berbuat apa-apa, 

kecuali berjuang untuk menyelamatkan selembar nyawa-

nya. Tapi meskipun begitu, Dewa Arak merasa berat hati 

melawan pasukan kerajaan. 

Berbeda dengan Pendekar Tangan Baja, pemuda 

berbaju kuning ini malah tertawa bergelak begitu melihat 

hujan senjata pasukan kerajaan itu. Dengan meng-

andalkan keistimewaan kedua tangannya, Pendekar 

Tangan Baja tanpa ragu-ragu memapak setiap serangan 

senjata lawan. 

Luar biasa memang kekuatan kedua tangan Pendekar 

Tangan Baja. Setiap senjata yang tertangkis tangannya, 

langsung patah! Suara berderak keras terdengar setiap kali 

pedang, golok, atau tombak bertemu tangannya.


Suara-suara jeritan kaget seketika terdengar dari mulut 

lawan-lawannya. Tapi sesaat kemudian, berubah menjadi 

jeritan-jeritan kesakitan, ketika pemuda berbaju kuning 

mulai melancarkan serangan balasan. 

"Aaakh...!" 

Seorang prajurit berpangkat punggawa, memekik 

nyaring ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan 

Baja mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga 

tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sekujur tulang-

tulang dada remuk. Darah pun menyembur keluar dari 

mulut, hidung, dan telinganya. Punggawa yang sial itu pun 

tewas seketika! 

Memang tindakan pemuda berbaju kuning ini benar-

benar menggiriskan. Setiap kali tangan atau kakinya ber-

gerak, sudah dapat dipastikan akan ada lawan yang jatuh 

tanpa nyawa. Sehingga dalam waktu sekejap saja, tak 

kurang delapan orang telah tewas di tangan pemuda 

berbaju kuning ini. 

Panglima Ramkin menggeram murka melihat anak 

buahnya dibuat porak-poranda. Sambil mengeluarkan 

seruan nyaring, tubuhnya melesat ke arah Pendekar 

Tangan Baja yang tengah mengamuk hebat. 

Wuttt..! 

Selagi tubuhnya berada di udara, Panglima Ramkin 

membabatkan golok besamya ke leher pemuda berbaju 

kuning! Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak menjadi 

gugup, walaupun di saat yang bersamaan, seorang prajurit 

di belakangnya membabatkan golok ke arah leher. 

Sementara dari arah depan, seorang punggawa 

menusukkan tombak ke arah dadanya. Dan dari samping 

kanan dan kiri, dua orang prajurit juga menusukkan 

pedang ke arah pinggangnya. 

Luar biasa! Dengan sebuah perhitungan matang dari 

seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh 

tingkat tinggi, Pendekar Tangan Baja segera menundukkan 

tubuhnya serendah mungkin. Dan dengan sendirinya 

serangan dari atas, belakang dan depan berhasil dielak


kannya. Semua lewat di atas kepalanya. Sementara 

serangan dari samping kiri dan kanan, dihadapinya dengan 

cara yang lebih mengagumkan. 

Serangan dua bilah pedang itu dipunahkan oleh pemuda 

berbaju kuning dengan mencengkeram mata pedang itu. 

Dan begitu kedua bilah pedang telah berhasil dicengkeram, 

Pendekar Tangan Baja segera membetotnya dengan 

pengerahan seluruh tenaga dalamnya. 

Kedua prajurit yang memiliki tenaga dalam jauh di 

bawah Pendekar Tangan Baja, mana mampu menahan-

nya? Seketika itu juga tubuh mereka terhuyung deras ke 

depan. Dan di saat itulah, pemuda berbaju kuning 

melancarkan serangan dengan jari-jari mengembang mem-

bentuk cakar ke arah kepala. 

Crokkk, crokkk...! 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!" 

Dua teriakan menyayat terdengar saling susul diiringi 

robohnya dua prajurit naas itu. Cairan merah kental kontan 

bermuncratan begitu jari-jari tangan pemuda berbaju 

kuning amblas ke dalam batok kepala. Sesaat keduanya 

menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhimya diam 

tidak bergerak lagi. Tewas! 

Panglima Ramkin menggeram keras melihat kematian 

dua orang anak buahnya lagi. Memang kejadian itu 

berlangsung begitu cepat, sehingga dia dan anak buahnya 

tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. 

Pendekar Tangan Baja kembali mengamuk. Begitu dua 

orang lawannya tewas, segera saja tubuhnya melesat ke 

prajurit yang lainnya.. Dan kembali pemuda berbaju kuning 

itu memulai pembantaian. 

Sementara itu di arena lainnya, Dewa Arak mengerutkan 

alisnya melihat sepak terjang Pendekar Tangan Baja. 

Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kuning ini 

tega bertindak seganas itu. Dan diam-diam timbul perasa-

an tidak senang dalam hati Dewa Arak. Memang tindakan 

Arya berbeda dengan tindakan Pendekar Tangan Baja. Tak


satu pun lawan pemuda berambut putih keperakan ini yang 

tewas. Semua dirobohkan tanpa mengalami luka-luka yang 

cukup parah. 

Baik pertarungan antara Dewa Arak, maupun Pendekar 

Tangan Baja dengan lawan-lawannya tidak berlangsung 

imbang. Tingkat kepandaian dua orang pemuda perkasa 

itu memang berada jauh di atas lawannya. Maka tidak 

aneh jika pasukan Kerajaan Kamujang itu terdesak hebat. 

Dan semakin lama keadaan mereka pun semakin terjepit. 

Satu demi satu pasukan kerajaan itu berjatuhan. Baik 

dirobohkan oleh Dewa Arak maupun Pendekar Tangan 

Baja. Hanya bedanya, pasukan kerajaan yang dirobohkan 

Pendekar Tangan Baja, roboh untuk selama-lamanya. 

Sedangkan lawan yang dirobohkan oleh Dewa Arak, hanya 

mengalami luka-luka. Dan itu pun tidak parah. Walaupun 

begitu, cukup untuk membuat mereka tidak mampu lagi 

melanjutkan pertarungan. 

Dewa Arak menggertakkan gig! Kesabarannya pun habis 

melihat Pendekar Tangan Baja masih terus menyebar 

maut. Sudah puluhan prajurit dan punggawa yang tewas di 

tangan pemuda berbaju kuning itu. Dan bila perbuatannya 

dibiarkan terus, semua pasukan kerajaan akan tewas 

semua. 

"Ha... ha... ha...! Bukankah sudah kukatakan, Panglima! 

Tidak mudah menangkap Pendekar Tangan Baja! Kini 

bersiap-siaplah kau mati di tanganku! Ha... ha... ha...!" ejek 

Pendekar Tangan Baja. 

Panghma Ramkin menggertakkan gigi. Kemarahan yang 

amat sangat bergolak dalam hatinya, melihat anak 

buahnya hampir musnah dibantai pemuda berbaju kuning 

ini. Ingin sekali laki-laki bercambang bauk lebat ini 

menghancurkan kepala Pendekar Tangan Baja. Tapi 

sayang, dia tidak mampu melakukannya. Panglima ini 

yakin, tak lama lagi dirinya pun akan tewas menyusul anak 

buahnya. 

"Hih...!" 

Seorang prajurit bertombak menusukkan senjatanya ke


perut Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda berbaju kuning 

itu hanya mendengus. Seperti biasa, ditangkisnya mata 

tombak itu dengan tangan kanannya. kemudian di-

cengkeramnya, lalu ditariknya. 

Prajurit ini tidak mampu menahan tarikan Pendekar 

Tangan Baja. Seketika itu juga tubuhnya terbetot ke depan. 

"Lepaskan tombak itu...!" teriak Panglima Ramkin keras. 

Tapi sebelum prajurit itu melaksanakan perintah 

panglimanya, Pendekar Tangan Baja telah bertindak cepat 

Begitu tubuh lawannya tertarik ke depan, segera 

disodokkan tombak yang digenggamnya. 

Blesss! 

"Aaakh...!" 

Prajurit itu menjerit melengking. Gagang tombak itu 

menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung. 

Seketika itu juga, darah bermuncratan. Dan ketika 

Pendekar Tangan Baja melepaskan pegangan pada 

tombak, tubuh prajurit itu pun ambruk tak berkutik. 

Kini hanya tinggal Panglima Ramkin. Pemuda berbaju 

kuning ini tertawa terkekeh-kekeh. Dengan langkah satu-

satu, dihampirinya laki-laki bercambang lebat itu. 

Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja menyerang 

Panglima Ramkin, sesosok bayangan ungu berkelebat. 

Sesaat kemudian di depan pemuda berbaju kuning berdiri 

Dewa Arak. Rupanya, Arya tidak ingin kalau panglima itu 

juga akan menemui ajal di tangan Pendekar Tangan Baja 

yang sudah bagaikan iblis haus darah. Maka sebelum hal 

itu terjadi, cepat-cepat Dewa Arak merobohkan semua 

lawannya. Lalu melesat untuk mencegah tindakan pemuda 

berbaju kuning. 

"Cukup, Pendekar Tangan Baja! Sudah terlalu banyak 

korbanmu!" ucap Dewa Arak. Nada suaranya keras dan 

tegas. 

Pendekar Tangan Baja menatap wajah Dewa Arak tajam. 

Seulas senyuman sinis tersungging di bibimya. 

"Menyingkirlah, Arya. Dia ini lawanku! Jangan coba-coba 

menghalangiku!" sahut pemuda berbaju kuning itu. Datar


dan dingin suaranya. 

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau 

terlalu mengumbar amarah, Pendekar Tangan Baja. Hati 

boleh panas, tapi kepala harus dingin. Ingat, kita belum 

tahu persis permasalahannya dan...." 

"Tutup mulutmu, Arya!" sergah Pendekar Tangan Baja 

keras. Wajah pemuda berbaju kuning ini nampak merah 

padam. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-

apa! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Menyingkirlah 

cepat, sebelum kesabaranku hilang!" 

Dewa Arak tersenyum pahit. Sungguh tidak disangkanya 

pemuda berbaju kuning ini begitu keras kepala, di samping 

emosinya yang besar. 

"Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja...," ucap Arya. 

Nada suaranya seakan akan penuh penyesalan. 

"Kalau begitu, terpaksa kau harus kusingkirkan dulu, 

Arya. Baru setelah itu kubereskan panglima keparat itu!" 

ancam Pendekar Tangan Baja lagi. 

Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja segera 

melesat menerjang Dewa Arak. Sepasang tangannya yang 

mengepal, bertubi-tubi dipukulkan ke dada, perut, dan ulu 

hati pemuda berambut putih keperakan. 

Wuuut..! 

Serangkum angin keras mendahului menyambar 

sebelum serangan itu sendiri tiba. Dewa Arak tidak mau 

bertindak gegabah. Pemuda berambut putih keperakan 

memang selalu bertindak hati-hati dan tidak pernah 

memandang rendah lawannya. Maka begitu melihat 

serangan yang menyambar ke arahnya, Arya tidak langsung 

menangkisnya. Buru-buru didoyongkan tubuhnya ke kanan, 

sehingga semua serangan itu lewat setengah jengkal di 

samping tubuhnya. 

Kemudian secepat kilat, kaki kanannya dilontarkan ke 

perut Pendekar Tangan Baja. Cepat bukan main gerakan-

nya. Tapi meskipun begitu, pemuda berpakaian kuning 

tidak menjadi gugup. Dengan gerakan yang tidak kalah 

cepat, segera ditarik pulang tangan kanannya. Sekaligus


langsung melakukan bacokan pada kaki Arya yang meng-

ancam perutnya. 

Takkk! 

Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. 

"Heh!?" Pendekar Tangan Baja memekik kaget. Sekujur 

tangannya tergetar hebat. Bahkan tangan yang menangkis 

kaki pemuda berambut putih keperakan itu terpental balik. 

Bukan hanya Pendekar Tangan Baja saja yang dilanda 

keterkejutan itu. Hal yang serupa juga dialami Dewa Arak. 

Kaki yang berbenturan dengan tangan Pendekar Tangan 

Baja terasa ngilu. Arya tahu hal ini bukan disebabkan oleh 

keunggulan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning yang 

berada di atasnya, tapi akibat dari keistimewaan tangan 

lawannya. Pantaslah kalau pemuda berpakaian kuning ini 

berjuluk Pendekar Tangan Baja, pikirnya mulai memahami. 

Pendekar Tangan Baja penasaran bukan main. Memang 

disadari kalau kepandaian pemuda berambut putih 

keperakan itu tinggi. Tapi, sungguh di luar dugaannya kalau 

tenaga dalam yang dimiliki Arya sampai sekuat ini. Dan hal 

iniah yang membuatnya jadi penasaran. 

Sebagai seorang ahli silat Dewa Arak pun dilanda 

perasaan serupa. Tapi Dewa Arak tahu, kalau dia menurut-

kan perasaan hatinya, pertentangan antara dia dan 

pemuda berpakaian kuning ini akan semakin meruncing. 

Dan itu tidak dikehendakinya. Maka begitu dilihatnya 

Panglima Ramkin dan anak buahnya yang tersisa telah 

menaiki kuda dan cukup jauh meninggalkan tempat itu, 

pemuda berambut putih keperakan ini pun melesat kabur 

dari situ. 

"Arya! Jangan lari kau, Pemuda Sombong!" teriak 

Pendekar Tangan Baja keras seraya berlari mengejar. 

Tapi Dewa Arak yang telah mengetahui ketangguhan 

pemuda berpakaian kuning tidak bersikap main-main lagi. 

Segera saja dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh-

nya. Pendekar Tangan Baja menggertakkan gigi. Pemuda 

berpakaian kuning ini pun mengerahkan seluruh ilmu


meringankan tubuhnya mengejar Dewa Arak. 

Kembali Pendekar Tangan Baja harus menerima 

kenyataan pahit Arya ternyata tidak bisa dikejar. Bahkan 

semakin lama jarak di antara mereka bertambah jauh. Dan 

akhimya pemuda berambut putih keperakan itu mulai 

lenyap dari pandangan. 

Pemuda berpakaian kuning ini sadar, tidak ada gunanya 

lagi meneruskan pengejaran. Maka dihentikan larinya. 

Dipandangi tubuh Dewa Arak yang semakin lama semakin 

mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap. 

"Kali ini kau boleh menang, Arya. Tapi lain kali, jangan 

harap akan seberuntung ini..," ancam Pendekar Tangan 

Baja. Kemudian pelahan dibalikkan tubuhnya, lalu berlari 

kembali, meneruskan perjalanan menuju Kotaraja 

Kerajaan Kamujang. 

***


Dewa Arak baru memperlambat larinya, begitu dilihatnya 

Pendekar Tangan Baja tidak mengejar lagi. Karena sudah 

telanjur, terpaksa dia harus mengambil jalan memutar, 

menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang. Pendekar Tangan 

Baja pasti akan lebih dulu tiba di sana. Dan sudah dapat 

diperkirakan oleh Arya apa yang akan dilakukan pemuda 

pemarah itu di sana. Apalagi kalau bukan mengamuk, 

mengumbar emosinya? 

"Hhh...!" tanpa sadar Arya menghela napas panjang. Kini 

dia sudah tidak berlari lagi, melainkan berjalan biasa saja. 

Arya ingin menikmati perjalanan santai yang nikmat. 

Apalagi hutan ini mempunyai barisan pepohonan yang 

lebat. Sehingga meskipun matahari siang hari cukup terik, 

tidak membuatnya kepanasan. 

Arya mengerutkan alisnya begitu melihat seorang kakek 

berpakaian lusuh melangkah tertatih-tatih tidak jauh di 

hadapannya. Dan karena arah yang dituju pemuda 

berambut putih keperakan dan kakek itu berlawanan, 

semakin lama, jarak di antara mereka pun semakin dekat. 

Mendadak saja, begitu jarak antara Arya dengan kakek 

berpakaian lusuh itu tinggal dua tombak lagi, kakek yang 

sejak tadi memang sudah melangkah terhuyung-huyung, 

jatuh tersungkur. 

Tentu saja Arya yang memang sejak tadi memperhatikan 

kakek itu, segera melesat. Cepat sekali gerakan pemuda 

berambut putih keperakan ini. Sehingga sebelum tubuh 

kakek berpakaian lusuh itu menyentuh tanah, Arya telah 

lebih dulu menangkap tubuhnya. 

“Bantu aku berdiri, Anak Muda," ucap kakek berpakaian 

lusuh itu seraya mengulurkan tangan hendak meng-

genggam tangan Arya. Dewa Arak yang memang berwatak 

welas asih ini tidak menolak. Tapi sesaat kemudian dahi 

pemuda berambut putih keperakan ini berkemyit. Ada


sesuatu dalam genggaman kakek berpakaian lusuh itu. 

Kakek berpakaian lusuh itu rupanya menyadari 

kebingungan Arya. Maka sebelum pemuda berambut putih 

keperakan ini sempat berkata sesuatu, kakek ini segera 

mendahuluinya. 

"Ambillah surat itu, Dewa Arak! Baca. Nanti kita bertemu 

lagi. Aku khawatir ada yang mengawasi kita," bisik kakek 

berpakaian lusuh itu pelahan. 

Arya yang cerdik ini segera saja paham. Pemuda 

berambut putih keperakan ini tahu kalau kakek berpakaian 

lusuh ini hendak menyampaikan sesuatu, tapi secara diam-

diam. Maka setelah kakek itu telah kembali berdiri, benda 

yang ada dalam genggamannya secepat kilat diselipkan 

pada lipatan ikat pinggangnya. Tak lupa sebelum itu sekilas 

sepasang matanya mengawasi sekelilingnya. 

“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Aku 

Patih Juminta." ucap kakek berpakaian lusuh itu lagi. 

“Tanpa bantuanmu mungkin encokku sudah kambuh 

kembali." 

Setelah berkata demikian, kakek berpakaian lusuh itu 

kembali melangkah tertatih-tatih meninggalkan Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan ini memandangi 

kepergiannya dengan hati bertanya-tanya. Arya terus 

memandanginya hingga punggung tubuh kakek itu lenyap 

ditelan kerimbunan pepohonan. 

Rasa penasaran mendorong Arya untuk segera 

mengetahui pemberian kakek berpakaian lusuh itu. Sesaat 

kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan setelah yakin 

tidak ada orang yang melihatnya, segera diambilnya benda 

yang tadi diselipkan di pinggangnya. Pelahan dibukanya 

lipatan kain itu. 

Ternyata di balik lipatan kain itu ada tulisannya. Jadi 

lipatan kain itu berisi pesan. Cukup singkat isinya. 

Dewa Arak... 

Aku telah melihat semua tindakanmu terhadap 

pasukan Kerajaan Kamujang. Dan aku


mengagumi tindakanmu yang bijaksana. Perlu 

kau ketahui, Prabu Jayahksona bukan seorang 

raja yang lalim. Gusti Prabu melakukan semua itu 

karena terpaksa. Harap temui aku nanti malam 

di tempat ini 

Patih Juminta 

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang, setelah selesai 

membaca tulisan yang terdapat dalam lipatan kain itu. 

Sungguh sama sekali tidak diduga kalau semua 

kecurigaannya tepat. Tidak percuma selama ini dia 

bersikap hati-hati, dan tidak sembarangan membunuh 

orang. 

Pelahan pemuda berambut putih keperakan ini melipat 

kembali kain itu, dan kembali diselipkan di balik lipatan 

ikat pinggangnya. 

"Sungguh tidak kusangka kalau kakek berpakaian lusuh 

itu ternyata seorang patih kerajaan besar seperti Kerajaan 

Kamujang," gumam Arya pelan 

*** 

Matahari pelahan-lahan mulai tenggelam di ufuk Barat. 

Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Tapi hal itu tidak 

berlangsung lama karena rembulan sudah muncul di langit, 

menyinari bumi dengan sinamya yang lembut. Meng-

gantikan tugas mentari yang sudah seharian menyinari 

bumi. 

Dalam keremangan malam itu terlihat sesosok 

bayangan ungu berkelebatan cepat, dari balik sebatang 

pohon ke batang pohon lainnya. Cepat bukan main 

gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan 

bayangan ungu saja. 

Tak lama kemudian bayangan ungu itu menghentikan 

gerakannya di dekat sebatang pohon kamboja. Dan 

secepat sosok itu tiba di situ, secepat itu pula bersembunyi



di balik sebatang pohon. Dalam keremangan sinar bulan, 

tampak jelas sosok ungu itu. 

Sosok itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah 

jantan, berambut putih keperakan. Pakaiannya berwama 

ungu. Dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak dari 

perak. Sosok bayangan ungu itu adalah Dewa Arak! 

Pemuda ini datang ke tempat ini untuk memenuhi 

permintaan orang yang mengaku bernama Patih Juminta. 

Dari balik sebatang pohon itu, sepasang mata Arya 

menatap nyalang ke sekeliling. Mencari-cari barangkali 

orang yang bernama Patih Juminta itu datang. 

Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini 

menunggu, sebelum akhirnya sepasang matanya melihat 

sesosok bayangan berkelebatan cepat menghampiri 

tempatnya. Dan begitu tiba di dekat tempatnya berdiri, 

sosok bayangan yang baru datang itu, menolehkan 

kepalanya berkeliling 

"Dewa Arak...," panggil sosok bayangan itu. Pelahan 

sekali suaranya. Lebih mirip bisikan. 

Mendengar panggilan itu, Arya pun yakin kalau 

bayangan yang baru tiba ini adalah kakek berpakaian lusuh 

yang siang tadi memberinya pesan. Maka tanpa ragu-ragu 

lagi pemuda berambut putih keperakan ini keluar dari 

tempat persembunyiannya. 

"Aku di sini, Patih...," sahut Arya tak kalah pelan. 

Patih Juminta yang sejak tadi berdiri membelakangi 

Arya, segera membalikkan tubuhnya begitu mendengar 

suara sapaan dari belakangnya. 

"Sudah lama menunggu, Dewa Arak?" tanya laki-laki 

setengah baya berambut jarang ini. 

"Lumayan," sahut Arya. 

"Maafkan aku yang telah membuatmu lama menunggu. 

Dewa Arak." 

"Lupakanlah, Patih." jawab Arya bijaksana. 

“Terima kasih, Dewa Arak" 

Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Tapi hal itu 

tidak berlangsung lama.


"Apa yang hendak kau bicarakan Patih?" tanya Arya. 

Nada suaranya terdengar penuh tuntutan. 

Dalam keremangan sinar bulan, Patih Juminta menatap 

Dewa Arak tajam. 

"Kau sudah baca pesan yang kuberikan, Dewa Arak?" 

tanya laki-laki berambut jarang ini memastikan. 

Arya menganggukkan kepalanya. 

"Kau bilang, Gusti Prabu Jayalaksana tertekan. Kalau 

boleh kutahu siapa yang telah menekannya Paman Patih?" 

Patih Juminta menggelengkan kepalanya. 

"Siapa orang yang menekan Gusti Prabu, aku juga tidak 

tahu, Dewa Arak. Tapi yang jelas, tanpa setahu siapa pun, 

Gusti Permaisuri lenyap dari istana. Semula kami tidak 

tahu ke mana perginya. Tapi, akhimya kami mengetahuinya 

juga. Gusti Permaisuri diculik!" 

"Diculik?!" tanya Arya. Sepasang alis pemuda berambut 

putih keperakan ini berkerut. 

"Benar," sahut Patih Juminta membenarkan. "Gusti 

Permaisuri diculik." 

"Dari mana kau tahu kalau Gusti Permaisuri diculik, 

Patih?" tanya Arya penasaran. 

"Dari surat yang ditinggalkan penculik itu," jawab Patih 

Juminta kalem. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. 

"Sejak saat itu, melalui seorang urusan, penculik itu 

mulai mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Harta, 

penangkapan-penangkapan terhadap ketua-ketua per-

guruan silat beraliran putih, dan penghancuran terhadap 

perguruannya. Memungut upeti yang biasanya dilakukan 

prajurit kerajaan." 

"Ah...! Sampai begitu jauhnya?!" tanya Arya. Nada 

suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat 

sangat. 

Patih Juminta menganggukkan kepalanya. 

"Mengapa Gusti Prabu memenuhi permintaan-

permintaan itu?" 

“Terpaksa. Penculik itu mengancam akan membunuh


Gusti Permaisuri, bila permintaannya tidak dipenuhi," jelas 

laki-laki berambut jarang ini lebih jauh. 

"Oh...!" pekik Arya terkejut. "Apakah Patih tidak mem-

punyai dugaan sama sekali mengenai pelakunya. 

"Aku curiga ada orang di dalam lingkungan istana yang 

menjadi mata-mata komplotan penculik. Rasanya mustahil 

kalau orang luar tahu seluk beluk istana, sehingga sampai 

bisa menculik permaisuri." 

"Aku sependapat denganmu, Paman Patih," sahut Arya 

mendukung. 

"Gusti Prabu pun berpendapat begitu. Bahkan beliau 

pernah merencanakan untuk mengirimkan jago-jago silat 

istana untuk membuntuti urusan penculik. Tapi penculik itu 

mengancam akan membunuh Gusti Permaisuri apa bila 

Gusti Prabu berani mengirimkan orang-orangnya untuk 

mengikuti utusannya." 

Arya tercenung mendengar cerita ini. Sekarang baru 

diketahuinya mengapa semua kekacauan ini terjadi. 

"Di hadapan orang banyak, Gusti Prabu Jayalaksana 

bersikap keras padaku. Tapi bila kami hanya berdua. Gusti 

Prabu kembali menunjukkan sikap aslinya. Bahkan tugas 

menemuimu ini, adalah berdasarkan perintahnya. Dewa 

Arak," sambung Patih Juminta lagi. 

"Hm...," Arya hanya menggumam tidak jelas. 

"Beberapa hari yang lalu, Gusti Prabu baru menerima 

surat dari penculik itu. Kau ingin melihat isinya, Dewa 

Arak? Ini menyangkut dirimu dan Pendekar Tangan Baja." 

Setelah berkata demikian, laki-laki berambut jarang itu 

mengangsurkan segulungan kala Arya mengulurkan tangan 

menerima, lalu dibukanya gulungan kain itu. 

Prabu Jayalaksana…. 

Harap Gusti Prabu perintahkan pasukan untuk 

menangkap seorang pemuda berbaju ungu, 

berambut putih keperakan, yang berjuluk Dewa 

Arak. Dan seorang pemuda berpakaian kuning,


bercambang lebat, yang berjuluk Pendekar Tangan 

Baja. Aku berjanji akan membebaskan permaisuri-

mu, bila permintaanku ini Gusti Prabu laksanakan. 

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di-

makluminya mengapa kemarin ada pasukan kerajaan 

hendak menangkapnya bersama Pendekar Tangan Baja. 

"Jadi, satu-sarunya cara untuk mengetahui sarang 

penculik, hanya dari utusan itu?" tanya Arya lagi meminta 

kepastian. 

"Ya," sahut Patih Juminta singkat. 

"Kalau begitu, lain kali aku yang akan mengikutinya," 

usul pemuda berambut putih keperakan tiba-tiba. 

Patih Juminta menatap Dewa Arak lekat-lekat. 

“Jangan khawatir, Paman. Aku jamin mereka tidak akan 

mengetahuinya," sambung Arya memberi jaminan. 

“Yahhh….! Memang itulah yang kuharapkan, Dewa 

Arak!" ucap laki-laki berambut jarang bernada keluhan. 

"Kapan utusan itu akan datang lagi ke Istana Kerajaan 

Kamujang, Paman?" tanya Arya lagi. 

"Besok pagi. Utusan itu akan datang untuk meminta 

upeti." 

"Baiklah! Besok aku akan mulai bertugas," janji Arya. 

“Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak. Sekarang 

aku pergi dulu," ucap laki-laki berambut jarang itu. 

"Silakan, Paman," sahut Arya mempersilakan. 

Belum juga habis gema suara Arya, Patih Juminta sudah 

melesat dari situ. Cepat juga gerakannya. Dalam sekejap 

saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan 

malam. 

Beberapa saat lamanya Arya terpaku menatap 

kepergian Patih Juminta. Baru sesaat kemudian tubuhnya 

melesat meninggalkan tempat itu. 

***


"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sepasang matanya 

kembali menatap liar ke sekelilingnya dari balik 

kerimbunan daun-daun pepohonan. Memang pemuda ini 

tengah berada di cabang pohon di dalam hutan. 

Semalam, setelah mendengar cerita panjang lebar dari 

Patih Juminta, Arya memutuskan untuk mulai menyelidiki 

misteri ini. Sejak pagi-pagi sekali, pemuda berambut putih 

keperakan ini sudah berada di cabang pohon, di tempat 

yang biasa dilalui urusan si penculik. 

Cukup lama juga Arya menunggu, sebelum akhirnya 

pendengarannya yang tajam, samar-samar menangkap 

derap kaki kuda yang mendekat ke arahnya. Buru-buru, 

Dewa Arak lebih menyembunyikan diri di balik kerimbunan 

dedaunan. 

Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas. 

Tak lama kemudian di bawah pohon tempat pemuda 

berambut putih keperakan ini bertengger, lewat seekor 

kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki berusia tiga 

puluhan, berkulit gelap dan berbibir tebal. 

Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi laki-laki ber-

bibir tebal itu pun mulai menjauh. Kian lama kian jauh. Dan 

akhirnya lenyap di kejauhan. Yang tinggal hanyalah debu 

yang mengepul tinggi ke udara. 

Hati Arya lega karena penantiannya tidak sia-sia. 

Kini dia menanti laki-laki berbibir tebal itu kembali. 

Memang, pemuda berambut putih keperakan ini telah 

memutuskan untuk mengikuti urusan penculik ini sampai 

di sarangnya. 

Kini Dewa Arak baru mengetahui kalau menunggu 

adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan. 

Entah untuk yang keberapa kalinya, Arya kembali 

menyalangkan sepasang matanya ke arah perginya laki-laki 

berbibir tebal tadi. Tapi akhimya wajah pemuda itu berseri 

ketika melihat debu mengepul tinggi di kejauhan. 

Perasaan harap-harap cemas pun melanda hati Arya. 

Harapan agar debu mengepul tinggi ke udara ini berasal 

dari derap langkah kuda yang ditunggangi oleh urusan


penculik permaisuri. 

Tak lama kemudian, kuda itu semakin dekat. Dan 

betapa lega hati Arya ketika melihat kalau penunggang 

kuda itu adalah orang yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. 

Laki-laki berbibir tebal, utusan si penculik. 

Sesaat kemudian kuda yang ditunggangi laki-laki ber-

bibir tebal itu pun telah mendekati tempat pengintaian 

Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera 

menyembunyikan tubuhnya ke balik rerimbunan dedaunan, 

khawatir terlihat. 

Sekejap kemudian kuda itu pun telah melaju cepat 

melewati pohon di mana Dewa Arak bersembunyi. Pemuda 

berambut putih keperakan itu menunggu beberapa saat 

hingga buruannya berada cukup jauh. Baru setelah itu 

tubuhnya melesat dari satu pohon, ke pohon lainnya. 

Laki-laki berbibir tebal itu sama sekali tidak menyadari 

kalau dirinya dikuti. Terus saja dipacu kudanya secepat 

mungkin. Sementara Dewa Arak terus membayanginya. 

Tapi mendadak.... 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring terdengar, disusul melesatnya 

sebuah benda berkilat ke arah laki-laki berbibir tebal itu. 

Tentu saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu ter-

kejut bukan main. Buru-buru, dia melompat dari punggung 

kuda. 

"Hih...!" 

Wuuuttt..! 

Benda berkilat itu menyambar lewat di atas punggung 

kuda. Tubuh laki-laki berbibir tebal itu kini telah kembali 

menjejak tanah, tak jauh dari tempat kudanya berdiri. Tapi 

sebelum laki-laki kasar ttu berbuat sesuatu, sesosok 

bayangan berkelebat cepat ke arahnya. 

Cepat bukan main gerakan bayangan orang yang baru 

tiba itu. Dan begitu bayangan itu telah berada dekat 

dengan laki-laki berbibir tebal, tangan kanannya bergerak 

menyampok. 

Wuttt..! Prattt..!



"Aaakh...!" 

Laki-laki berbibir tebal itu menjerit melengking ketika 

sampokan bayangan itu telak dan keras sekali meng-

hantam dadanya. Seketika itu juga terdengar suara ber-

derak keras, disusul terjengkangnya laki-laki itu. Darah 

mengalir dari mulut hidung, dan telinganya. 

Brukkk! 

Suara berdebuk keras terdengar, begitu tubuh laki-laki 

berbibir tebal itu jatuh ke tanah. 

Arya terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Jaraknya 

yang cukup jauh dari utusan penculik, dan juga kejadian-

nya yang berlangsung tiba-tiba, membuat pemuda 

berambut putih keperakan tidak sempat berbuat sesuatu. 

"Hup...!" 

Sosok yang menyerang laki-laki berbibir tebal itu men-

darat ringan di tanah. Walaupun hanya sekilas, Arya dapat 

mengetahui kalau pembunuh buruannya adalah seorang 

laki-laki setengah baya yang berompi coklat. Tapi aneh, 

telinganya hanya sebuah saja. Di bagian yang kanan. 

Dewa Arak tentu saja tidak ingin kehilangan jejak. Harus 

dicegahnya laki-laki berompi coklat ini melarikan diri. Buru-

buru dilepaskan jurus 'Pukulan Belalang'! Suatu jurus yang 

jarang dikeluarkannya. 

Wusss...! 

Angin keras berhawa panas menyengat menyambar ke 

arah pembunuh laki-laki berbibir tebal itu, yang baru saja 

hendak beranjak dari tempat itu. 

"Akh...!" terdengar pekikan kaget dari mulut laki-laki 

berompi coklat. Dengan agak gugup dilempar tubuhnya, 

kemudian bergulingan di tanah menjauh. 

Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. 

Bergegas tubuhnya melesat. Dan.... 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah, 

berbareng dengan bangkitnya laki-laki berdaun telinga satu 

itu dari bergulingnya. 

"Haaat..!"


Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, laki-laki berompi 

coklat itu melesat menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya 

dengan jari-jari membentuk paruh burung, mematuk-matuk 

mencari sasaran. Laki-laki berdaun telinga satu itu men-

dahului serangannya dengan sebuah patukan ke arah 

ubun-ubun pemuda berambut putih keperakan. Angin 

keras mencicit nyaring, mengawali tibanya serangan itu. 

Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau lawan 

menggunakan jurus 'Bangau'. Posisi jari yang membentuk 

paruh itulah yang membuat Arya langsung bisa menebak-

nya. 

Dewa Arak mengenal keganasan jurus itu. Apalagi jurus 

itu dimainkan oleh tokoh seperti laki-laki berdaun telinga 

satu ini. Buru-buru kepala Arya ditarik seraya mendoyong-

kan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan lawan 

mengenai tempat kosong. Namun ternyata serangan laki-

laki berompi coklat tidak hanya sampai di situ saja. Begitu 

serangannya dapat dielakkan, segera disusuli dengan 

tendangan lurus ke arah dada. 

Dari gerakan lawan, Dewa Arak dapat mengukur kalau 

laki-laki berdaun telinga satu ini berkepandaian tinggi. 

Sehingga Arya tidak berani bertindak setengah-setengah 

lagi. Segera dilentingkan tubuhnya ke belakang kemudian 

bersalto di udara beberapa kali. Dan.... 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Di 

tangan kanannya kini tergenggam guci arak, yang lalu 

diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan ke 

mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk..! 

Suara tegukan terdengar begitu arak melewati 

tenggorokan pemuda berambut putih keperakan ini. 

Seketika itu juga ada hawa hangat merayap, mulai dari 

perutnya dan terus naik ke kepala. 

***


Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berdaun 

telinga satu itu kembali menerjang Dewa Arak begitu 

tendangannya berhasil dielakkan pemuda itu. Kedua 

tangannya yang mematuk-matuk ganas mencari sasaran, 

mengeluarkan suara angin keras bercicitan. 

Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', 

tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan 

itu. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan 

mengelak, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang 

lawan. 

Semula laki-laki berompi coklat itu kaget bukan main, 

tatkala melihat lawan yang tadi diserangnya tahu-tahu 

lenyap. Padahal jelas terlihat olehnya kalau pemuda 

berambut putih keperakan itu hanya melangkahkan kaki 

saja, itu pun dengan gerakan terhuyung-huyung. Tapi aneh, 

mengapa tubuh lawannya tahu-tahu lenyap? 

Namun kekagetan yang dialami laki-laki berompi coklat 

itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian, dia 

pun tahu di mana Dewa Arak berada, begitu dirasakan 

adanya sambaran angin kuat di belakangnya. Rupanya 

pemuda berambut putih keperakan tengah melancarkan 

serangan dengan gucinya. 

Wuttt…! 

Sambaran guci Dewa Arak mengenal tempat kosong, 

begitu laki-laki berompi coklat melempar tubuhnya ke 

depan seraya bergulingan menjauh. Arya segera melompat 

mengejar, seraya menyampirkan gucinya kembali ke 

punggung. 

Baru tiga tindak Dewa Arak melangkah, tiba-tiba saja 

laki-laki bertelinga satu mengibaskan tangan kanannya. 

Wusss...! 

"Akh...!" 

Arya memekik kaget. Ada suara mendesir halus begitu 

laki-laki berompi coklat itu mengibaskan tangannya. 

Disusul dengan melesatnya puluhan jarum-jarum halus ke 

arahnya. Terpaksa Arya mengurungkan serangannya. 

Segera dilempar tubuhnya ke tanah, dan bergulingan


menjauh. 

Kesempatan yang sedikit itu tidak disia-siakan oleh laki-

laki berompi coklat itu. Selagi Dewa Arak bergulingan di 

tanah, cepat dia melesat kabur dari situ. Sepertinya masih 

ada urusan yang lebih penting daripada bertarung dengan 

pemuda berambut putih keperakan itu. Waktu masih 

panjang untuk menantang Dewa Arak bertarung. 

"Keparat….!" desis Arya geram begitu melihat lawannya 

sudah tidak kelihatan lagi. Entah ke arah mana laki-laki 

berdaun telinga satu itu melarikan diri, pemuda berambut 

putih keperakan itu sama sekali tidak mengetahuinya. 

Pepohonan di dalam hutan ini sangat lebat. Sekali saja 

laki-laki berdaun telinga satu itu melesat, saat itu juga 

tubuhnya lenyap di balik kerimbunan pepohonan. 

Benar apa yang dikatakan Patih Juminta, desis Arya 

dalam hati. Penculik itu bertindak sangat hati-hati. Terbukti 

dia lebih suka kehilangan anak buah ketimbang sarangnya 

diketahui orang lain. 

"Hhh...'" 

Arya mendesah pelan. Apa lagi yang harus dilakukannya 

untuk mengetahui sarang penculik permaisuri itu? pikimya 

bingung. Tengah pemuda berambut putih keperakan ini 

melangkah satu-satu dengan benak berpikir keras, ter-

dengar rintihan lirih. Kontan kepala Arya ditolehkan ke arah 

asal suara. 

Ternyata rintihan lirih itu berasal dari mulut laki-laki 

berbibir tebal. Sungguh Dewa Arak hampir tidak mem-

percayai apa yang dilihatnya. Laki-laki berkulit hitam itu 

ternyata masih hidup! Padahal tulang tulang dadanya telah 

remuk. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini 

menghampiri. 

"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki 

berbibir tebal itu terputus-putus. Arya yang tengah ber-

jongkok di depan laki-laki kasar itu hanya mengangguk 

pelan. 

"Bu... bukankah, kau ingin tahu sarang penculik 

permaisuri...?" tanya laki-laki berkulit hitam itu lagi.


Suaranya terputus-putus dan hampir tidak terdengar. 

"Benar. Kau mau menunjukkannya?" sahut Arya cepat. 

Disadari kalau nyawa laki-laki berbibir tebal ini tidak bisa 

diselamatkan lagi. Kenyataan kalau dalam keadaan seperti 

Itu masih mampu bertahan hidup, menunjukkan kalau laki-

laki kasar itu memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa. 

Laki-laki berbibir tebal itu menganggukkan kepalanya. 

Kemudian mulutnya bergerak seperti hendak meng-

ucapkan sesuatu. Tapi karena terlalu pelan, Dewa Arak 

mendekatkan telinganya ke mulut orang kasar yang tengah 

menanti ajal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini 

dapat menduga mengapa laki-laki berbibir tebal ini 

bersedia memberi tahu sarang penculik. Laki-laki kasar itu 

mendendam, karena merasa dikhianati. 

Hanya sebentar saja laki-laki berbibir tebal itu meng-

gerak-gerakkan mulutnya. Sesaat kemudian kepalanya pun 

terkulai. Laki-laki kasar ini tewas dengan bibir tersenyum 

puas. Puas telah berhasil membalas sakit hatinya. 

"Hm.... Jadi orang itu pemimpin gerombolan penculik...," 

desis Arya pelan. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia telah tahu 

sarang penculik permaisuri itu. Tapi pemuda berambut 

putih keperakan tidak langsung menuju ke sana. Dia ingin 

ke Kotaraja Kerajaan Kamujang dulu. Akan dicegahnya 

pertumpahan darah yang terjadi akibat salah paham. 

Pertumpahan darah yang akan diakibatkan oleh amukan 

Pendekar Tangan Baja. 

***


Sementara itu di dalam benteng Istana Kerajaan 

Kamujang, Pendekar Tangan Baja tengah mengamuk. Ilmu 

'Tangan Baja'nya dikerahkan sampai ke puncak 

kemampuannya. Suara dentingan diikuti berpatahannya 

senjata-senjata pasukan Kerajaan Kamujang, mengiringi 

setiap gerakan tangan pemuda berpakaian kuning ini. 

Memang sudah sejak semula Pendekar Tangan Baja 

mendendam pada pasukan Kerajaan Kamujang, yang 

sering dilihatnya berbuat sewenang-wenang pada pen-

duduk. Maka tindakannya pun tidak tanggung-tanggung 

lagi. Setiap gerakan tangan atau kaki pemuda berpakaian 

kuning ini selalu menimbulkan hawa maut. 

"Haaat..!" 

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, seorang prajurit 

melompat menerjang. Golok di tangannya ditusukkan ke 

dada pemuda berpakaian kuning. 

"Hiyaaa...!" 

Dari arah belakang, prajurit lainnya pun menusukkan 

tombaknya ke punggung Pendekar Tangan Baja. Tapi 

pemuda berpakaian kuning ini hanya mendengus. Sekali 

mengenjotkan kaki, tubuhnya sudah melenting tinggi ke 

atas, melewati kepala prajurit yang menyerang dari depan. 

Dan begitu telah berada di atas lawan, tubuhnya berputar 

setengah lingkaran. Lalu kedua tangannya mendorong 

punggung prajurit yang tengah menusukkan golok itu. 

Pelahan saja kelihatan tangan pemuda berpakaian 

kuning itu menyentuh punggung prajurit itu. Tapi akibatnya 

luar biasa! Tubuh prajurit itu terdorong ke depan, seperti 

diseruduk kerbau liar. Kejadian yang sudah diperhitungkan 

matang oleh Pendekar Tangan Baja terjadi. 

Cappp, blesss...! 

"Aaakh...!" 

"Aaa...!"


Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dan terjadi 

hampir berbarengan. Akibat dorongan Pendekar Tangan 

Baja, prajurit itu tidak bisa mempertahankan 

keseimbangannya lagi. Golok yang semula bertujuan ke 

arah perut pemuda berpakaian kuning, menghunjam perut 

prajurit bertombak yang melancarkan serangan dari 

belakang. Pada saat yang bersamaan, prajurit bertombak 

tadi juga menusukkan senjatanya. Dan tak pelak lagi, perut 

prajurit bersenjata golok pun mengalami nasib yang sama 

dengan rekannya. Perutnya terhunjam tombak hingga 

tembus ke punggung! 

Beberapa saat lamanya tubuh kedua prajurit itu 

menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian diam tidak ber-

gerak lagi untuk selama lamanya. Tewas! 

"Hup...!" 

Kedua kaki Pendekar Tangan Baja mendarat ringan di 

tanah. Di wajah tampannya tersungging senyum 

kegembiraan. 

Tentu saja hal ini membuat pasukan Kerajaan 

Kamujang yang mengepung menjadi semakin geram. 

Korban yang jatuh di tangan pemuda berpakaian kuning ini 

sudah lebih dari sepuluh orang. Padahal pertarungan 

belum berlangsung lama. Tapi sebelum para prajurit itu 

kembali menyerbu, tiba-tiba terdengar suara bentakan 

keras. 

"Tahan..!" 

Kontan semua pasukan kerajaan yang akan menyerang, 

menahan gerakannya dan langsung melangkah mundur. 

Mereka semua mengenal betul pemilik suara bentakan itu. 

Siapa lagi kalau bukan Prabu Jayalaksana? 

Agak jauh di belakang pasukan kerajaan itu, berdiri 

seorang laki-laki setengah baya berkumis dan berjenggot 

rapi. Wajahnya menyiratkan keagungan dan kewibawaan. 

Hanya sayangnya, pada saat ini wajah penuh wibawa itu 

terlihat muram. 

Dan seperti biasanya Prabu Jayalaksana tidak pemah 

sendiri. Di kiri kanannya berdiri dengan wajah angker


delapan orang berseragam gemerlapan. Dan di bagian 

dada sebelah kiri tersulam gambar cakar burung garuda 

dari benang emas. Inilah pasukan pengawal khusus Prabu 

Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda. Pasukan yang terdiri 

dari jago-jago istana nomor satu. 

Pendekar Tangan Baja menatap sosok tubuh yang 

berdiri di hadapannya satu persatu. Sekali lihat saja 

pemuda berpakaian kuning ini mengetahui mana Prabu 

Jayalaksana. Pastilah orang yang berdiri di tengah-tengah 

dan memandang dirinya dengan sinar mata muram, 

pikirnya. 

Begitu pandangannya tertumbuk pada delapan orang 

yang berdiri di kanan kiri Prabu Jayalaksana, diam-diam 

Pendekar Tangan Baja terkejut. Dari sorot mata delapan 

orang itu, pemuda berpakaian kuning sudah dapat 

memperkirakan ketinggian ilmu yang mereka miliki. Dan ini 

membuat pemuda pemarah ini bersikap hati-hati. 

Prabu Jayalaksana melangkah maju beberapa tindak. 

Delapan orang Pasukan Kuku Garuda pun ikut melangkah 

maju. Kini jarak antara Raja Kamujang dengan Pendekar 

Tangan Baja, tinggal lima tombak lagi. 

Prabu Jayalaksana menatap Pendekar Tangan Baja dari 

ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sinar matanya begitu 

dingin, sehingga sulit bagi pemuda berpakaian kuning ini 

untuk mengetahui makna tatapan itu. 

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Tangan Baja, Anak 

Muda?" tanya Raja Kamujang itu. Datar dan dingin 

suaranya. 

“Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning tanpa 

sikap menghormat sama sekali. Tentu saja hal ini mem-

buat para prajurit punggawa, dan delapan orang Pasukan 

Kuku Garuda, menggeram murka. Tangan mereka yang 

telah menggenggam senjata masing-masing, menegang. 

Siap untuk menerjang. 

Tapi Prabu Jayalaksana hanya tersenyum tipis. Tidak 

nampak tanda-tanda kalau Raja Kamujang ini merasa ter-

hina. Tangan kanannya diangkat untuk meredakan


kemarahan pasukannya. Dan seketika itu juga, tangan-

tangan yang telah menegang itu pelahan mengendur 

kembali. 

"Apa maksud kedatanganmu kemari, Pendekar Tangan 

Baja?" tanya Raja Kamujang itu masih bernada sabar. 

“Tidak perlu banyak basa-basi Prabu Jayalaksana! 

Kedatanganku kemari untuk melenyapkan keangkara-

murkaanmu!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas. 

Sesabar-sabamya seseorang, tentu akan marah juga 

bila terus menerus dihina. Apalagi di hadapan banyak 

orang. Lebih-lebih lagi, jika orang itu adalah seorang raja 

seperti Prabu Jayalaksana! Seorang raja yang sudah 

terbiasa dihormati orang. 

"Kau terlalu sombong, Pendekar Tangan Baja! Orang 

sepertimu harus diberi pelajaran!" 

Setelah berkata demikian, Raja Kamujang ini menjentik-

kan jarinya. Seketika itu juga, empat orang Pasukan Kuku 

Garuda menghampiri Pendekar Tangan Baja. Sementara 

Prabu Jayalaksana segera melangkah mundur diikuti oleh 

sisa Pasukan Kuku Garudanya! 

Pendekar Tangan Baja bersikap waspada. Kali ini 

pemuda berpakaian kuning ini tidak berani menganggap 

enteng lawannya. Menilik sikap dan gerak-gerik empat 

orang lawannya, sudah bisa diperkirakan kalau keempat 

anggota Pasukan Kuku Garuda ini memiliki kepandalan 

yang tidak rendah. Maka seluruh otot-otot dan urat-urat 

syaraf pemuda ini menegang. Sepasang matanya menatap 

liar ke arah lawan. 

"Hih...!" 

Seraya berteriak keras salah seorang anggota Pasukan 

Kuku Garuda yang berkulit gelap, bertubuh agak tinggi 

melompat menyerang. Rambut orang ini panjang dan 

dikepang. Dan pada ujung ramburnya terdapat sebuah 

benda berbentuk segi lima, berwama hitam mengkilat. 

Kepalanya digoyangkannya ke kiri. Seketika itu juga ujung 

ramburnya melayang deras ke arah kepala Pendekar 

Tangan Baja. Angin bercicitan tajam mengiringi tibanya


serengan itu. 

Pendekar Tangan Baja tidak berani bertindak ceroboh. 

Sadar kalau dirinya belum mengetahui keistimewaan ilmu 

lawan, maka pemuda berpakaian kuning tidak berani 

menangkisnya. Ingin diketahuinya dulu perkembangan ilmu 

aneh lawannya ini. Itulah sebabnya, pemuda berpakaian 

kuning ini cepat-cepat menarik kakinya ke belakang. 

Wuuut..! 

Angin berhawa panas menerpa wajah Pendekar Tangan 

Baja, begitu sabetan rambut itu lewat setengah jengkal di 

depan wajahnya. 

"Hiyaaa...!" 

Cepat bukan main gerakan pengawal berambut kepang 

ini. Begitu sabetan ramburnya lolos, segera saja serangan 

selanjutnya datang menyusul. Kedua tangannya dengan 

posisi telunjuk mengacung, sementara jari-jari tangan 

lainnya terkepal, melakukan totokan-totokan beruntun ke 

tenggorokan dan bawah hidung. Dua jalan darah memati-

kan. 

Cit, cit! 

Kali ini Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak meng-

elakkan serangan itu. Segera kedua tangannya bergerak 

menangkis dengan satu jari pula. 

Tak, tak! 

"Akh...!" 

Pengawal berambut kepang itu memekik tertahan. Jari 

telunjuknya dirasakan seperti hendak patah ketika ber-

benturan dengan telunjuk pemuda berpakaian kuning di 

hadapannya. Walaupun begitu, tetap saja tidak 

mengurangi niatnya untuk kembali melancarkan serangan 

balasan. Kepalanya digoyangkan ke kiri. Seketika itu juga 

ujung rambutnya melayang ke pelipis pemuda berpakaian 

kuning. 

Serangan itu datang begitu cepat dan tidak terduga-

duga. Tapi walaupun begitu, tidak membuat Pendekar 

Tangan Baja gugup. Buru-buru tubuhnya dirundukkan 

sehingga sambaran ujung rambut lewat sejengkal di atas


kepalanya. Tepat saat itu, dilancarkan serangan balasan 

berupa totokan satu jari bertubi-tubi ke arah dada dan ulu 

hati pengawal khusus Prabu Jayalaksana. 

"Ah...!" 

Pengawal berambut kepang terpekik kaget. Sungguh 

tidak disangkanya, dalam keadaan terjepit lawannya 

mampu balik menjepit dirinya. Diam-diam dalam hati salah 

seorang Pasukan Kuku Garuda ini, timbul perasaan kagum. 

Jarang ditemuinya orang semuda laki-laki berpakaian 

kuning ini yang memiliki tingkat kepandaian setinggi itu. 

"Hih...!" 

Tidak ada jalan lain bagi pengawal berambut kepang 

kecuali melentingkan tubuh ke belakang, kemudian ber-

salto beberapa kali di udara. Manis dan indah sekali 

gerakannya. Dan... 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kaki laki-laki berambut 

kepang ini menjejak bumi. Dari peragaan ini saja sudah 

bisa diketahui ketinggian ilmu meringankan tubuh milik 

pengawal khusus Prabu Jayalaksana ini. 

Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak mengejar. 

Sepasang mata pemuda berpakaian kuning ini menatap 

lawannya lekat-lekat. 

"Kau hebat, Anak Muda," puji laki-laki berambut kepang 

itu jujur. "Tidak percuma kau berani menyandang nama 

besar. Jari-jari dan tanganmu keras seperti baja. Itukah 

sebabnya kau berjuluk Pendekar Tangan Baja?!" 

"Aku tidak perlu pujianmu, Kisanak," balas Pendekar 

Tangan Baja singkat. Dingin dan datar suaranya. 

Merah wajah laki-laki berkulit hitam itu. Pemuda di 

hadapannya ini benar-benar sombong. Orang seperti ini 

harus diberi pelajaran, agar mau menghargai orang lain. 

“Tapi itu bukan berarti aku gentar padamu, Pemuda 

Sombong!" teriak pengawal berambut kepang itu. 

Kemarahannya langsung bangkit seketika. 

"Apa peduliku?!" sentak Pendekar Tangan Baja keras. 

"Keparat! Orang seperti kau harus diberi pelajaran!"

Setelah berkata demikian, pengawal berambut kepang 

itu kembali menerjang Pendekar Tangan Baja. Rambut 

kepangnya dan juga totokan totokan telunjuknya, ber-

kelebatan cepat Bertubi-tubi mencari sasaran. Tapi lawan 

yang dihadapinya adalah Pendekar Tangan Baja. Dan kini 

pemuda berpakaian kuning itu sudah dapat membaca 

jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Maka tanpa ragu-

ragu lagi, Pendekar Tangan Baja segera mengelak sambil 

mengirim serangan balasan yang tak kalah dahsyat. 

Pertarungan sengit pun terjadi. 

Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda, dan pasukan 

kerajaan lainnya menonton pertarungan itu dari jarak agak 

jauh dengan penuh minat. Diam-diam semua memuji 

kelihaian kedua orang yang tengah bertarung. 

Memang cukup menggiriskan akibat yang ditimbulkan 

oleh pertarungan kedua orang itu. Suara decit angin tajam, 

bersiutan dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan 

itu. Tanah-tanah terbongkar di sana sini. Ranting-ranting 

berpatahan dari dahan pohon yang terserempet angin 

pukulan yang nyasar. Dan debu pun mengepul tinggi ke 

udara. 

Selama beberapa jurus, pertarungan berjalan imbang. 

Tapi setelah memasuki jurus kelima belas, mulai nampak 

keunggulan Pendekar Tangan Baja. Memang tingkat 

kepandaian pengawal berambut kepang berada jauh di 

bawah pemuda berpakaian kuning itu. Baik dalam hal ilmu 

meringankan tubuh maupun tenaga dalam, anggota 

Pasukan Kuku Garuda ini jauh di bawah lawannya. Apalagi 

di samping itu Pendekar Tangan Baja memiliki 

keistimewaan lainnya. Tangannya yang kokoh dan kebal. 

Maka tidak aneh jika setiap kali tangan atau kaki kedua 

orang itu berbenturan. Selalu pengawal berambut kepang 

itu terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya menyeringai 

kesakitan. 

Semakin lama Pendekar Tangan Baja semakin men-

desak anggota Pasukan Kuku Garuda itu. Dan kini laki-laki 

berambut kepang itu hanya mampu bertahan. Hanya


sesekali saja dia melancarkan serangan balasan. Itu pun 

dengan mudah dapat dikandaskan pemuda berbaju 

kuning. 

Tujuh orang rekannya tentu saja melihat keadaan laki-

laki berambut kepang itu. Tapi mereka diam saja. Hanya 

memandang dengan sinar mata khawatir. Mereka tidak 

berani bertindak lancang tanpa perintah Prabu 

Jayalaksana. 

Walaupun tidak memiliki ilmu kepandaian setinggi para 

pengawal khususnya, Prabu Jayalaksana sedikit banyak 

dapat mengetahui kalau anggota Pasukan Kuku Garuda itu 

terdesak. 

"Kalian bantu tangkap Pendekar Tangan Baja," perintah-

nya pada tiga orang yang tadi sudah melangkah maju. 

Tanpa menunggu diperintah dua kali, tiga orang anggota 

Pasukan Kuku Garuda itu segera melesat ke depan. 

Menceburkan diri dalam arena pertarungan, dan langsung 

melakukan serangan serangan berbahaya. 

Dengan adanya tambahan tiga anggota Pasukan Kuku 

Garuda, Pendekar Tangan Baja terpaksa menghentikan 

desakan pada laki-laki berambut kepang. Cepat pemuda 

berbaju kuning melentingkan tubuhnya ke belakang, 

kemudian bersalto beberapa kali di udara dan hinggap di 

tanah. Dan secepat itu pula bersiap. 

Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak mengejar. 

Dibiarkan saja pemuda berbaju kuning itu memperbaiki 

kuda-kudanya. Sementara Pendekar Tangan Baja bersiap 

siaga menghadapi empat orang jago-jago istarta ini. 

Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja dan empat 

pengawal khusus Raja Kamujang ini bentrok, sebuah 

bisikan di telinga pemuda berbaju kuning ini membuatnya 

tertegun. 

"Gusti Prabu Jayalaksana tidak bersalah, Pendekar 

Tangan Baja. Ada orang yang memfitnahnya...." 

"Arya...?" desah pemuda berbaju kuning ini pelan. 

Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau 

bukan Dewa Arak. Perasaan kagum menyeruak dalam hati


pemuda berbaju kuning ini. Dia tahu kalau pemuda 

berambut putih keperakan itu menggunakan ilmu 

mengirimkan suara dari jauh untuk menyampaikan pesan 

itu padanya. 

Beberapa saat lamanya Pendekar Tangan Baja jadi 

bimbang. Antara menuruti saran Dewa Arak atau melanjut-

kan pertarungan. Tapi akhimya, pemuda berbaju kuning ini 

memutuskan untuk menuruti saran Arya. Toh, kalau nanti 

ternyata apa yang dikatakan pemuda berambut putih 

keperakan itu tidak benar, masih ada kesempatan lain 

untuk melaksanakan niat nya itu. 

Setelah memutuskan demikian, Pendekar Tangan Baja 

segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Bersalto 

beberapa kali di udara kemudian melesat kabur dari situ. 

“Tangkap...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Panglima 

Ramkin, yang tiba-tiba sudah datang ke tempat itu. 

Teriakan-teriakan keras bernada perintah terdengar 

bersahut- sahutan. Tentu saja pasukan Kerajaan Kamujang 

tidak tinggal diam. Belasan prajurit mencoba menghadang, 

tapi segera buyar begitu pemuda berbaju kuning itu 

mengamuk membuka jalan. 

Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak tinggal diam. 

Mereka pun segera bergerak mengejar. Tapi Pendekar 

Tangan Baja segera mengerahkan seluruh ilmu peringan 

tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebatan cepat. Dan 

beberapa saat kemudian, sudah berada di dinding tembok 

istana. 

"Hih...!" 

Pendekar Tangan Baja menggenjotkan kakinya. Sesaat 

kemudian tubuhnya pun melayang ke atas. Tepat pada 

saat pasukan panah Kerajaan Kamujang melepaskan 

puluhan anak panah ke arahnya. 

Kembali pemuda berbaju kuning ini membuktikan 

kelihaiannya. Selagi tubuhnya berada di udara, kedua 

tangannya bergerak cepat menyampok puluhan anak 

panah yang menyambar deras ke arahnya. 

Tak, tak. tak...!


Puluhan batang anak panah itu pun berpentalan tak 

tentu arah ketika tersampok sepasang tangan Pendekar 

Tangan Baja. Ada beberapa di antara anak-anak panah itu 

yang masih utuh. Tapi sebagian besar sudah tidak 

berbentuk lagi. 

"Hup...!" 

Wataupun agak terhuyung sedikit, karena tingginya 

tembok istana dan juga karena adanya gangguan, pemuda 

berbaju kuning ini berhasil mendarat mulus di luar tembok 

istana. Tanpa membuang-buang waktu lagi Pendekar 

Tangan Baja segera melesat kabur dari situ. 

Belum berapa jauh Pendekar Tangan Baja berlari, tiba-

tiba sesosok bayangan berkelebat menghadang. Dan tahu-

tahu di depan pemuda berbaju kuning telah berdiri seorang 

pemuda berambut putih keperakan. 

"Arya...," desis Pendekar Tangan Baja seraya meng-

hentikan larinya. 

Pemuda yang memang bukan lain dari Dewa Arak itu 

tersenyum lebar. 

"Sudah kuduga kalau kau mau mendengar saranku itu, 

Pendekar Tangan Baja," ucap pemuda berambut putih 

keperakan ini. 

"Benarkah yang kau katakan tadi, Arya?" tanya pemuda 

berbaju kuning. Mulutnya menyunggingkan senyuman getir. 

"Benar, Pendekar Tangan Baja," sahut Dewa Arak sambil 

menganggukkan kepalanya. 

"Dan kau tahu siapa orang yang memfitnahnya?" desak 

Pendekar Tangan Baja lagi. Ada nada keingintahuan yang 

amat sangat terpancar dari raut wajahnya. 

"Hhh.... Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja," jawab 

Dewa Arak sambii menghela napas panjang. "Aku sama 

sekali tidak mengenalnya. Hanya yang kutahu ciri-ciri orang 

itu saja." 

"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya, Arya?" tanya pemuda 

berbaju kuning setengah hati. 

Dewa Arak menganggukkan kepalanya. Beberapa saat 

lamanya pemuda berambut putih keperakan ini tercenung.


"Seorang laki-laki setengah baya berpakaian rompi 

coklat. Dan.... hanya mempunyai sebuah daun telinga...." 

"Apa?!" tanya Pendekar Tangan Baja setengah berteriak. 

Keterkejutan yang amat sangat jelas membayang di 

wajahnya. Sepasang matanya pun membelalak lebar. 

Bagaikan melihat hantu di slang bolong. "Betulkah ciri-dri 

yang kau sebutkan itu, Arya?" 

Tentu saja Dewa Arak jadi terkejut campur bingung 

melihat sikap pemuda berbaju kuning yang nampak jelas 

begitu terkejut mendengar keterangannya. Masih dengan 

sinar mata penuh pertanyaan, pemuda berambut putih 

keperakan ini menganggukkan kepalanya. 

"Ada apa, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya hati-hati. 

Khawatir kalau pertanyaannya menyinggung perasaan 

pemuda berbaju kuning yang pemarah ini. 

"Ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan orang yang 

selama ini kucari-cari, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja 

pelahan. 

"Maksudmu...." Dewa Arak tidak melanjutkan 

ucapannya. Memang, pemuda berbaju kuning ini pernah 

bercerita mengenal tugasnya mencari paman gurunya. 

"Yahhh..., paman guruku, Arya," sahut Pendekar Tangan 

Baja dengan suara mendesah. 

Dewa Arak terdiam mendengar penjelasan itu. Sesaat 

lamanya suasana pun jadi hening. 

"Kau tahu di mana paman guruku itu berada, Arya?" 

Dewa Arak menganggukkan kepalanya. 

"Bisa kau beritahukan aku tempatnya?" tanya Pendekar 

Tangan Baja. 

"Kita pergi bersama-sama Pendekar Tangan Baja." sahut 

Dewa Arak. 

“Tidak! Ini adalah urusan pribadi. Kau tidak usah ikut 

campur, Arya," bantah pemuda berbaju kuning itu. 

Dewa Arak tersenyum. Disadari kebenaran ucapan 

pemuda berbaju kuning di hadapannya. 

“Tapi kini persoalan itu sudah bukan persoalanmu 

sendiri, Pendekar Tangan Baja."


"Apa maksudmu? Aku masih belum mengerti," tanya 

pemuda berbaju kuning ini. Nada suaranya menyiratkan 

tuntutan. 

"Karena paman gurumulah orang yang telah memfitnah 

Prabu Jayalaksana!" 

"Memfitnah?! Ceritakanlah, Arya!" desak Pendekar 

Tangan Baja ingin tahu. 

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali mencerita-

kan hal yang sebenarnya pada pemuda berbaju kuning ini. 

Dan begitu Arya menyelesaikan ceritanya. Pendekar 

Tangan Baja baru mengerti. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Arya? Mari kita serbu 

tempat itu!" ajak pemuda berbaju kuning itu penuh 

semangat. 

Dewa Arak hanya tersenyum. Sesaat kemudian tubuh 

kedua pemuda perkasa itu telah melesat meninggalkan 

tempat itu. Cepat bukan main gerakan kedua pemuda 

gagah itu. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh mereka 

telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan. 

***


Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berlari cepat 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Cepat 

bukan main gerakan kedua pemuda perkasa itu. Sehingga 

yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan keunguan 

dan kekuningan. 

Diam-diam baik Pendekar Tangan Baja maupun Dewa 

Arak sama-sama memuji kelihaian masing-maslng. Arya 

memang sudah menduga kalau pemuda berpakaian 

kuning ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi sungguh tidak 

diduganya kalau sampai setinggi ini. Ilmu meringankan 

tubuh Pendekar Tangan Baja ini amat luar biasa. Meskipun 

begitu, seandainya pemuda berambut putih keperakan ini 

mau mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, 

sudah dapat dipastikan akan mampu meninggalkan 

pemuda berpakaian kuning. 

Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa. 

Pemuda berpakaian kuning ini adalah seorang pendekar 

muda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan. 

Sehingga belum pemah mendengar julukan Dewa Arak 

alias Arya Buana yang menggemparkan dunia persilatan. 

Pendekar Tangan Baja merasa kagum bukan main 

melihat kehebatan pemuda berambut putih keperakan ini. 

Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan 

tubuhnya, tapi tetap saja tidak mampu meninggalkan Arya. 

Bahkan kini terlihat jelas kalau Dewa Arak itu pelahan 

namun pasti, mulai meninggalkan beberapa langkah di 

depannya. Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak tahu 

kalau pemuda berambut putih keperakan ini belum 

mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. 

Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda perkasa 

yang telah mencapai tingkatan tinggi, tak berapa lama 

kemudian, bangunan dimaksud telah terlihat oleh 

keduanya. Begitu bangunan itu sudah terlihat Jelas, Dewa


Arak dan Pendekar Tangan Baja segera menghentikan 

langkahnya. Agak jauh dari bangunan itu. Cepat kedua 

pemuda perkasa ini berlindung di balik sebatang pohon. 

"Kelihatannya sepi-sepi saja, Arya," ucap Pendekar 

Tangan Baja setelah sepasang matanya mengamati sekitar 

bangunan tua yang berhalaman cukup luas itu. 

Dewa Arak hanya menggumam tidak Jelas. 

"Aku khawatir kalau keterangan yang kau terima itu 

hanya tipuan belaka," ucap pemuda berpakaian kuning lagi 

begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan tidak 

menyahuti ucapannya. 

"Aku yakin orang itu tidak menipu kita," sahut Dewa Arak 

tanpa mengalihkan perhatiannya pada bangunan tua yang 

menjadi pusat perhatian mereka. 

"Apa yang membuatmu begitu yakin, Arya?" 

Dewa Arak mengalihkan pandangannya dari bangunan 

tak terurus itu. Ditatapnya wajah Pendekar Tangan Baja 

lekat-lekat. 

"Orang itu merasa sakit hati karena dikhianati oleh 

pemimpinnya. Coba kau pikirkan, Pendekar Tangan Baja. 

Andaikan kau yang menjadi orang itu. Lalu kau telah 

melaksanakan tugasmu dengan baik, tapi kau malah 

dibunuhnya. Apakah kau tidak sakit hati? Tidak ingin 

membalas kekejian pemimpinmu itu?" Arya balik bertanya. 

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas 

panjang. "Itukah dasar pemikIran yang membuatmu yakin 

akan keterangannya, Arya?" 

"Ya." sahut Dewa Arak singkat. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita serbu 

bangunan itu. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu 

dengan paman guruku!" ajak Pendekar Tangan Baja seraya 

hendak beranjak dari tempat persembunyiannya. 

"Sabar, Pendekar Tangan Baja!" ucap Dewa Arak 

mencegah. 

"Ada apa? Kau takut?" tanya pemuda berpakaian kuning 

itu seraya mengernyitkan kening. 

Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Sikap


Pendekar Tangan Baja begitu keras. Dan ucapannya pun 

terkadang sering menyakitkan hati. Sepertinya setiap 

ucapan pemuda berpakaian kuning ini keluar begitu saja 

tanpa dipikir lebih dulu. 

“Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Pendekar 

Tangan Baja!" tandas pemuda berambut putih keperakan 

itu agak keras. 

"Hm.... Lalu? Mengapa kau ragu-ragu?" desak Pendekar 

Tangan Baja lagi. 

"Dalam menghadapi setiap persoalan, kita tidak boleh 

menuruti emosi saja, Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa 

Arak setengah menggurui. Disadari kalau ucapannya itu 

agak keras. Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Ber-

bicara dengan pemuda di hadapannya ini memang harus 

tegas. 

"Jadi, menurutmu... lebih baik kita bersembunyi saja di 

sini. Begitu, Arya," sindir Pendekar Tangan Baja sambil 

tersenyum mengejek. 

"Bukan itu yang kumaksudkan!" ucap Dewa Arak agak 

keras. "Ingat, kita kemari bukan hanya untuk bertarung 

saja. Tapi juga menyelamatkan Permaisuri Kerajaan 

Kamujang." 

"Heh?! Kau salah kira rupanya, Arya." 

"Maksudmu?" tanya pemuda berambut putih keperakan 

itu masih kurang mengerti. 

"Aku datang kemari bukan untuk menyelamatkan 

permaisuri yang diculik itu! Tapi untuk membawa paman 

guruku hidup atau mati'" tandas Pendekar Tangan Baja 

tegas. 

"Kalau begitu, hapus saja julukan pendekarmu itu. 

Pendekar Tangan Baja'" sambut Dewa Arak tak kalah 

keras. 

"Apa hubungannya sebutan pendekar itu dengan 

menyelamatkan permaisuri? Hm.... Baru kali ini kudengar 

kalau seorang berhak mendapat julukan pendekar, kalau 

sudah menyelamatkan seorang permaisuri!" ejek Pendekar 

Tangan Baja.


"Hhh...! Tak kusangka kalau secepat ini kau melupakan 

janjimu pada Ki Paladi. Tak kusangka kalau kau begitu 

mudahnya mengingkan janji " keluh Dewa Arak. 

"Jaga mulutmu, Arya!" sentak Pendekar Tangan Baja 

gusar. "Aku sama sekali tidak berjanji menyelamatkan 

permaisuri raja pada Ki Paladi!" 

"Bukankah kau telah bertekad untuk menghilangkan 

kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan Kamujang?" 

tanya Arya dengan nada tinggi. 

“Benar." 

"Nah! Perlu kau ketahui! Sumber semua kekacauan di 

Kerajaan Kamujang ini adalah karena permaisuri Prabu 

Jayalaksana disandera oleh paman gurumu! Selama 

permaisuri masih di tangan mereka, Raja Kamujang tidak 

bisa berbuat apa-apa untuk menentang kekacauan itu!" 

jelas Dewa Arak panjang lebar. 

Pendekar Tangan Baja pun terdiam seketika. Kini baru 

disadarinya kalau masalah yang tengah dihadapi tidak 

sesederhana yang dia duga. Memang pemuda berpakaian 

kuning ini kurang mengandalkan pikirannya dalam 

menghadapi setiap persoalan. 

"Sekarang terserah padamu! Kalau kau tetap tidak ingin 

menyelamatkan permaisuri itu, aku tidak akan memaksa! 

Tapi kumohon, kau menahan dulu urusan dengan paman 

gurumu itu sampai aku berhasil menyelamatkan 

permaisuri," pinta pemuda berambut putih keperakan itu 

seraya menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning. 

"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas 

panjang. Kemarahannya yang sejak tadi bangkit, pelahan 

mulai mereda. 

“Bagaimana? Bisa kau penuhi permintaanku ini?" tanya 

Dewa Arak lagi begitu melihat pemuda berpakaian kuning 

belum memberikan jawaban. 

"Maafkan atas kebodohanku, Arya," ucap pemuda ber-

pakaian kuning lagi. Nada suaranya menyiratkan 

penyesalan yang mendalam. 

"Jadi...?"


"Aku ikut denganmu. Kita bersama-sama menyelamat-

kan permaisuri dulu. Biar urusan dengan paman guruku, 

kuurus setelah kita berhasil menyelamatkan permaisuri'' 

Dewa Arak tersenyum lebar. Diulurkan tangannya. 

Pendekar Tangan Baja menyambut hangat, dan meng-

genggamnya erat-erat. Perasaan kagumnya kepada Arya 

semakin besar. Sungguh tidak disangka, kalau pemuda 

berambut putih keperakan itu memiliki pandangan yang 

begitu luas. Siapakah sebenarnya Arya ini? tanya Pendekar 

Tangan Baja dalam hati. 

*** 

Matahari tepat berada di atas kepala. Sinamya yang 

terik menyorot garang ke permukaan bumi Dewa Arak dan 

Pendekar Tangan Baja melesat cepat mendekati pagar 

tembok yang mengelilingi bangunan tua yang tak terurus 

itu. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda itu yang 

sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam sekejap saja 

keduanya sudah berada di balik pagar tembok. 

"Kita bagi tugas, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa 

Arak. 

"Maksudmu?" tanya Pendekar Tangan Baja seraya 

mengernyitkan keningnya. 

"Kita harus bertindak hati-hati. Bukankah kita belum 

mengetahui seberapa besar kekuatan gerombolan paman 

gurumu itu? Untuk menghindari kegagalan, akan kucoba 

menarik perhatian mereka " 

"Bicara jangan berbelit-belit, Arya," tegur pemuda 

berpakaian kuning itu. Memang Pendekar Tangan Baja 

masih belum mengerti arah pembicaraan pemuda 

berambut putih keperakan ini. 

"Aku akan membuat kekacauan. Dan begitu semua 

perhatian mereka sudah tertuju padaku. Kau cari dan 

selamatkan permaisuri. Mengerti?" 

Pendekar Tangan Baja menganggukkan kepalanya. 

"Kalau begitu bersiapiah, aku akan menarik perhatian


mereka!" 

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih 

keperakan menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuh 

pemuda ini pun melenting ke atas. Dan.... 

"Hup...!" 

Indah dan manis sekali, kedua kakinya mendarat di 

pagar tembok. Tapi belum sempat pemuda berambut putih 

keperakan ini berbuat sesuatu, beberapa orang yang 

tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan itu telah me-

mergokinya. 

"Cepat lapor pada ketua," perintah salah seorang dari 

mereka. Sementara dia sendiri bersama beberapa orang 

lainnya segera meluruk ke arah Dewa Arak. 

Arya yang memang sengaja hendak mengalihkan 

perhatian, segera melompat turun dari pagar tembok batu. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah, 

tepat pada saat delapan anggota gerombolan itu meluruk 

ke arahnya dengan senjata terhunus. 

Karena ingin mengalihkan perhatian, Dewa Arak tidak 

bertindak setengah-setengah. Segera saja dikeluarkan 

seluruh kemampuan yang dimilikinya. 

Singgg, singgg, wuttt….! 

Delapan batang senjata tajam yang terdiri dari tombak, 

pedang dan golok berkelebatan cepat ke berbagai bagian 

tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, Dewa 

Arak tetap bersikap tenang. Dibiarkan saja hujan senjata-

senjata tajam itu meluruk ke berbagai bagian tubuhnya. 

Tak, tak, tak...! 

Suara-suara pekikan kaget segera terdengar begitu 

hujan senjata-senjata tajam itu mengenai sasarannya. 

Betapa tidak? Semua senjata yang mengenai sekujur 

tubuh Dewa Arak berbalik kembali. Seolah-olah yang 

terbabat itu bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging 

dan tulang. Melainkan gumpalan karet yang keras dan 

kenyal. 

Tapi suara pekik kekagetan itu segera berganti dengan


pekik kesakitan, begitu tangan Dewa Arak bergerak. 

Padahal gerakan tangan pemuda berambut putih 

keperakan itu terlihat pelahan saja. Tapi akibatnya, 

delapan orang kasar berpentalan tak tentu arah bagai 

dilanda angin badai! 

Tapi baru juga delapan orang itu roboh, dari dalam 

bangunan tua itu muncul puluhan orang bahkan mungkin 

seratus orang! Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki 

setengah baya berompi coklat, berdaun telinga satu. 

Dewa Arak terperanjat kaget. Sungguh tidak disangka-

nya kalau jumlah anak buah Paman Guru Pendekar Tangan 

Baja begitu besar. Beberapa saat lamanya, pemuda 

berambut putih keperakan ini terlihat bingung. 

Belum juga Arya berhasil menghilangkan perasaan 

kagetnya, tahu-tahu tangan laki-laki setengah baya ini 

berkelebat. Seketika itu juga anak buahnya yang berjumlah 

tak kurang dari tiga ratus orang itu bergerak cepat 

mengurung. Dalam sekejap Dewa Arak telah terkurung 

rapat. 

Dewa Arak menyadari keadaan yang tidak menguntung-

kan baginya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dijumput-

nya guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian 

dituangkan ke mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki 

tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang 

merayap memasuki perut Dewa Arak. Dan kemudian naik 

ke kepala. 

Baru Juga Dewa Arak menurunkan kembali gucinya. 

Laki-laki berompi coklat itu telah berseru keras. 

“Serang...!” 

Tanpa menunggu diperintah dua kali, orang-orang yang 

telah mengurung itu langsung bergerak menyerbu Dewa 

Arak. Hujan senjata pun berkelebatan ke arah pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

Bukan hanya Dewa Arak saja yang terkejut melihat hal 

ini. Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa.



Kini kekagumannya pada Dewa Arak semakin bertambah 

besar. Sikap hati-hati pemuda berambut putih keperakan 

itu begitu tepat, gumam pemuda berpakaian kuning dalam 

hati. 

Tapi Pendekar Tangan Baja tidak bisa terlalu lama larut 

dalam keterkejutannya. Pemuda berpakaian kuning ini 

tahu, betapa pun lihainya Arya, tidak mungkin mampu 

menghadapi sekian banyak orang. Apalagi di situ ada 

paman gurunya! Maka dia harus bertindak cepat kalau 

ingin Dewa Arak tetap selamat. 

Sekali lagi Pendekar Tangan Baja memandang ke arah 

Dewa Arak yang sudah sibuk bertarung menghadapi 

pengeroyokan lawannya. Kemudian tanpa membuang-

buang waktu lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat 

ke belakang. Mengelilingi bagian luar pagar tembok. 

Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya. Pendekar Tangan Baja ingin buru-

buru membantu Dewa Arak. Tapi untuk itu dia harus lebih 

dulu menyelamatkan permaisuri. 

Setelah berada di pagar tembok bagian belakang, 

Pendekar Tangan Baja menghentikan Langkahnya. 

Pemuda berpakaian kuning terdiam sejenak. Kemudian 

digenjotkan kakinya. 

"Hih...!" 

Sesaat kemudian tubuhnya melenting, melewati pagar 

tembok. Indah dan manis gerakannya. Dan.... 

"Hup...!" 

Seperti yang sudah direncanakan Dewa Arak, keadaan 

di sini hening dan sepi. Sesaat Pendekar Tangan Baja 

mengawasi keadaan di sekitar bangunan. Lalu melesat ke 

dalam melalui pinru belakang. 

Tanpa mengalami kesulitan, pemuda berpakaian kuning 

ini memasuki pintu itu dan terus menerobos ke dalam. 

Agak bingung juga pemuda berpakaian kuning melihat 

begitu banyak ruangan yang ditemuinya dalam bangunan 

ini. Tapi perkenalannya dengan Dewa Arak telah membuat 

pemuda ini mulai bisa mempergunakan akalnya.


Pendekar Tangan Baja buru-buru menyelinap ke balik 

sebuah tiang, ketika dilihatnya empat orang berwajah 

kasar dan bertubuh kekar berada di depan pintu sebuah 

ruangan. Pikiran pemuda berpakaian kuning ini pun 

bekerja. Mengapa ruangan itu dijaga sementara ruangan-

ruangan lainnya tidak? Kemungkinannya hanya satu, 

permaisuri Prabu Jayalaksana ditahan di dalam ruangan 

itu! 

Setelah yakin pada dugaannya, pemuda berpakaian 

kuning ini lalu melesat Pendekar Tangan Baja tidak ingin 

memberi kesempatan pada para penjaga itu untuk 

mempergunakan permaisuri sebagai sandera. Pemuda 

berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. 

Tentu saja empat orang penjaga itu kaget bukan main 

begitu melihat di hadapan mereka tahu-tahu berdiri 

seorang pemuda berpakaian kuning. Pendekar Tangan 

Baja terkejut begitu mengenal salah seorang di antara 

mereka adalah Rupangga. Sesaat, perasaan bimbang 

melanda hatinya. Mengapa punggawa Kerajaan Kamujang 

ini berada di sini? 

Tapi, Pendekar Tangan Baja tidak bisa berpikir lama, 

Rupangga ternyata sudah mengenalnya. Terbukti, begitu 

dilihatnya pemuda berpakaian kuning ini, segera dicabut 

goloknya. Tentu saja ketiga rekannya mengikuti gerakan-

nya itu. 

Srat, srat..! 

Serentak keempat orang itu menghunus senjatanya 

masing-masing. Dan secepat itu pula membabatkannya ke 

arah Pendekar Tangan Baja. Tak pelak lagi empat buah 

senjata yang terdiri dari pedang dan golok, berkelebatan 

cepat mengancam berbagai bagian tubuh Pendekar 

Tangan Baja. 

Pendekar Tangan Baja hanya mendengus. Sekali lihat 

saja, pemuda berpakaian kuning ini sudah dapat mengukur 

tingkat kepandaian empat orang penjaga itu. Pendekar 

Tangan Baja tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Cepat



cepat kedua tangannya digerakkan memapak hujan 

senjata yang menyambar ke arahnya. 

Tak, tak...! 

Suara benturan keras terdengar hampir bersamaan, 

begitu kedua tangan pemuda berpakaian kuning itu ber-

benturan dengan pedang dan golok di tangan para 

penjaga. Terdengar pekikan-pekikan kaget dari mulut 

orang-orang kasar itu tatkala merasakan tangan-tangan 

mereka tergetar hebat. Dan hampir hampir senjata mereka 

terlepas dari genggaman. 

Dengan perasaan terkejut mereka memandang senjata 

masing-masing. Seketika sepasang mata mereka ter-

belalak tatkala melihat mata senjata mereka gompal. Dan 

belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, kedua tangan 

Pendekar Tangan Baja sudah bergerak cepat ke arah 

mereka. 

Wut, wut...! 

Buk! Buk! 

"Hugh!" 

"Aaakh...!" 

Jertt melengking memilukan terdengar hampir 

bersamaan ketika sepasang tangan Pendekar Tangan Baja 

mendarat di perut mereka. Seketika itu juga tubuh para 

penjaga itu terlontar jauh ke belakang bagai diseruduk 

banteng. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung, 

dan telinga keempat penjaga itu. 

Suara berdebukan keras terdengar susul menyusul 

begitu tubuh mereka menghantam lantai. Saat itu juga 

keempat orang penjaga itu diam tidak bergerak lagi. Diam 

untuk selama lamanya. 

Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya lagi, 

Pendekar Tangan Baja segera bergerak ke arah pintu. 

Tinjunya dipukulkan ke daun pintu itu. Dan.... 

Brakkk! 

Daun pintu itu hancur berantakan ketika tinju Pendekar 

Tangan Baja menghantamnya. Pemuda berpakaian kuning 

itu segera melesat ke dalam. Dan terlihatlah seorang


wanita setengah baya berpakaian indah beringsut ke sudut 

ruangan. 

"Apakah Nisanak permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" 

tanya Pendekar Tangan Baja tanpa mempedulikan sikap 

wanita setengah baya itu. 

Diam tak ada jawaban dari wanita setengah baya itu. 

"Bicara cepat, Nisanak! Aku tidak mempunyai banyak 

waktu. Aku dan kawanku datang untuk menyelamatkan 

Permaisuri Kerajaan Kamujang. Kawanku tengah meng-

halangi yang lainnya. Cepat jawab, Nisanak. Benarkah kau 

permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" desak Pendekar 

Tangan Baja. 

Wanita setengah baya itu menatap wajah Pendekar 

Tangan Baja lekat-lekat. Kemudian pelahan kepalanya 

terangguk pelan. 

"Kalau begitu maafkan aku." 

Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja 

melesat cepat menyambar tubuh wanita setengah baya itu. 

Tappp...! 

"Hup...!" 

Secepat tubuh Permaisuri Kerajaan Kamujang itu 

dipondongnya, secepat itu pula Pendekar Tangan Baja 

melesat keluar. 

*** 

Sementara itu di halaman depan yang luas, laki-laki 

berompi coklat tengah memperhatikan Dewa Arak yang 

sibuk menghadapi keroyokan anak buahnya. Wajah laki-

laki setengah baya ini merah padam, menyaksikan anak 

buahnya berjatuhan dan tak bangun lagi setiap kali tangan, 

kaki, atau guci Dewa Arak bergerak. Sedangkan setiap 

serangan anak buahnya selalu kandas. Sudah belasan 

orang anak buahnya yang roboh bergeletakan di tanah. 

"Minggir semua...!" teriak laki-laki berompi coklat itu 

keras. Seketika itu juga anak buahnya berlompatan 

mundur.


"Hup...!" 

Lincah dan indah laksana seekor kera, laki-laki berompi 

coklat itu melompat mendekati Arya. 

"Jangan harap dapat lolos dari sini, Dewa Arak!" desis 

laki-laki berdaun telinga satu itu tajam. Sepasang matanya 

menatap wajah pemuda berambut putih keperakan penuh 

ancaman. 

"Kita lihat saja buktinya!" sahut Arya tenang. Memang 

luar biasa sekali kekuatan hati Dewa Arak. Meskipun 

berada dalam ancaman maut, masih mampu bersikap 

tenang. 

"Hiyaaa...!" 

Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berompi 

coklat melompat menerjang Dewa Arak. Paman Guru 

Pendekar Tangan Baja ini sebelumnya memang pernah 

merasakan kelihaian pemuda berambut putih keperakan 

itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkan seluruh 

kemampuan yang dimilikinya. Kedua tangannya yang 

berbentuk paruh bangau melakukan patukan bertubi-tubi 

ke arah ubun-ubun dan pelipis Arya. 

Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. Pemuda 

berambut putih keperakan ini menyadari posisinya tidak 

menguntungkan. Kalau dia bersikap setengah-setengah, 

sudah dapat dipastikan akan tewas terbantai di sini. Maka 

tanpa ragu- ragu lagi, segera dikeluarkan Ilmu ‘Belalang 

Sakti' andalannya. Dengan keunikan jurus 'Delapan 

Langkah Belalang’, kakinya melangkah terhuyung-huyung 

seperti akan jatuh. Laki-laki berdaun telinga satu meng-

geram keras begitu melihat lawannya tahu-tahu lenyap. 

Tapi berkat pengalaman sebelumnya, sudah dapat diduga 

kalau lawan berada di belakangnya. Maka begitu Dewa 

Arak telah tidak berada lagi di depannya segera dibalikkan 

tubuhnya. 

Bertepatan dengan berbaliknya tubuh laki-laki berompi 

coklat itu, Arya sudah melancarkan serangan, Guci di 

tangan Dewa Arak terayun deras ke arah kepala laki-laki 

berdaun telinga satu itu.


Laki-laki berompi coklat itu agak gugup. Serangan itu 

memang datangnya begitu tiba-tiba. Tapi laki-laki setengah 

baya itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat dirunduk-

kan tubuhnya. Sehingga serangan guci itu menyambar 

tempat kosong. Lewat sekitar sejengkal di atas kepalanya. 

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan oleh laki-

laki berompi coklat itu. Seraya merundukkan tubuh, kedua 

tangannya melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk 

yang tertekuk. Inilah ilmu 'Totokan Bangau'! 

Dewa Arak terkesima melihat kehebatan laki-laki 

berompi coklat itu. Sungguh di luar dugaannya kalau dalam 

keadaan terjepit seperti itu, lawan mampu berbalik meng-

ancam. 

Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit 

bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Kembali 

kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. 

Tapi hebatnya, sesaat kemudian serangan lawan kandas 

percuma. Sesaat kemudian, kedua orang sakti itu pun 

terlibat dalam pertarungan sengit. 

Dewa Arak kini berada dalam puncak tertinggi 

pemakaian ilmunya. Banyaknya lawan dan keadaan yang 

terjepitlah yang menjadikan pemuda berambut putih 

keperakan ini mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimilikinya. 

Pertarungan antara kedua orang sakti ini berlangsung 

cepat. Sehingga dalam waktu singkat tujuh puluh jurus 

telah berlalu. Meskipun begitu, belum nampak tanda-tanda 

ada yang akan terdesak. Baik Dewa Arak maupun laki-laki 

berpakaian coklat itu sama-sama memiliki tingkat 

kepandaian seimbang. Dalam hal ilmu meringankan tubuh 

dan kekuatan tenaga dalam, kedua orang ini pun ternyata 

setingkat. 

Rupanya laki-laki berdaun telinga satu itu tidak sabar 

lagi untuk mengakhiri pertarungan. Tapi sampai sejauh ini 

dia tidak yakin kalau Dewa Arak mampu dikalahkannya 

seorang diri. Bagaimana bisa mengalahkan, kalau 

menyentuh baju pemuda berambut putih keperakan itu


saja sudah sulit bukan main. Dengan langkah anehnya, 

Dewa Arak selalu membuat semua serangannya kandas. 

Perasaan tidak sabar itulah yang mendorong, laki-laki 

berompi coklat ini berteriak keras memberi perintah. 

"Maju...! Tangkap pemuda ini..!" 

Belum juga habis gema perintah itu, seorang laki-laki 

tinggi besar berkulit hitam dan berambut jarang telah 

melesat ke depan. Laki-laki ini adalah saudara kembar dari 

Gajah Putih. Dia berjuluk Gajah Hitam Begitu masuk arena 

pertarungan, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini segera 

mencabut senjatanya yang berupa ganco. Dan seketika itu 

juga diayunkan ke arah kepala Dewa Arak. 

Wuuuttt..! 

Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan itu. 

"Hih...!" 

Cepat Dewa Arak menggenjotkan kakinya. Sekejap 

kemudian, tubuhnya melesat ke udara sehingga serangan 

ganco itu lewat di bawah kakinya. 

Tapi selagi tubuh pemuda berambut putih keperakan 

masih berada di udara, laki-laki berompi coklat melompat 

memburu. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau 

itu mematuk- matuk cepat mencari sasaran. 

Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis 

serangan itu. Tubuhnya yang sedang berada di udara, 

menyulitkannya untuk mengelakkan serangan itu. 

Plak, plak….! 

Terdengar suara keras begitu dua pasang tangan yang 

sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu bertemu. 

Akibatnya, balk Dewa Arak maupun laki-laki berdaun 

telinga satu itu sama-sama terpental ke belakang. 

"Hup...!" 

Rlngan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak menjejak 

bumi. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini 

sempat berbuat sesuatu, beberapa sosok bertompatan 

menyerbu dengan senjata terhunus, dan langsung 

membabatkan senjatanya. 

Dari suara desingan senjata mereka, Dewa Arak


langsung dapat mengetahui kalau penyerangnya mem-

punyai kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Memang, 

mereka adalah para kepala-kepala rampok yang ditunduk-

kan dan dijadikan anak buah oleh laki-laki berompi coklat. 

Arya tidak berani menangkis serangan-serangan itu 

dengan tangan kosong. Cepat-cepat diayunkan gucinya 

menangkis semua serangan itu. 

Klang, kang, klanggg…! 

Suara berkerontangan terdengar begitu guci itu beradu 

dengan senjata para penyerbu itu. Seketika itu juga, 

senjata-senjata terhunus di tangan para pengeroyok itu 

berpentalan. Bahkan bukan hanya senjata-senjata itu saja, 

tapi tubuh mereka juga berpentalan. 

Tapi belum sempat Dewa Arak menarik napas lega, 

serangan selanjutnya datang menyusul. Seraya berteriak 

nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam kembali 

menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Dan 

sebelum serangan itu sendiri tiba, serangan dari laki-laki 

bertelinga satu pun datang menyusul. Berturut-turut datang 

pula serangan susulan lainnya. 

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melenting-

kan tubuh ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara 

kemudian mendarat ringan di tanah, beberapa tombak dari 

tempat semula. 

***


Baru saja Arya menjejakkan kakinya di tanah, tahu-tahu 

lawan-lawannya sudah meluruk menyerbu. Pertarungan 

sengit pun kembali berlangsung 

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Betapa pun tinggi dan 

uniknya jurus 'Delapan Langkah Belalang", tapi karena 

lawan yang dihadapinya terlalu banyak, akhirnya pemuda 

berambut putih keperakan ini mulai terdesak. 

"Hih...!" 

Wut..! 

Gajah Hitam membabatkan ganconya ke pelipis Dewa 

Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak 

berani bersikap gegabah. Dari desir angin yang mengiringi 

tibanya serangan itu, pendekar muda ini sudah dapat 

mengukur kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di 

dalamnya. Maka buru-buru dirundukkan tubuhnya. 

Wusss...! 

Sabetan ganco itu menyambar lewat di atas kepala 

Dewa Arak. Belum lagi pemuda berbaju ungu ini sempat 

berbuat sesuatu, laki-laki berompi coklat mengayunkan 

kaki ke perutnya. Agak terkejut juga Dewa Arak. Posisiya 

benar-benar tidak menguntungkan, karena pada saat itu 

dia baru saja mengelakkan serangan Gajah Hitam. Tidak 

ada jalan lain baginya, kecuali menghadang tendangan itu 

dengan guci arak nya. 

Bukkk...! 

Keras bukan main tendangan yang dilontarkan laki-laki 

berompi coklat itu. Kuda-kuda Dewa Arak sampai goyah 

dibuatnya, dan tubuh pemuda berambut putih keperakan 

ini pun oleng ke belakang. Keadaan ini segera dimanfaat-

kan oleh empat orang kepala rampok yang kini sudah 

meluruk cepat menyerbu Dewa Arak. 

Tapi untunglah Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti' 

yang membuat dirinya dapat melompat atau bergerak


dalam posisi apa pun. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak 

sudah tewas. Dan kini, dengan mempergunakan jurus 

'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berusaha meng-

elakkan serangan-serangan itu. 

Tapi di saat itu, Gajah Hitam mengayunkan ganconya. 

Cepat-cepat Arya mengelak. Tapi... 

Crattt..! 

"Akh...!" 

Dewa Arak memekik pelan. Sabetan ganco itu 

menyerempet perutnya. Cairan merah kental pun mengalir 

keluar dari perut Arya yang terobek cukup lebar. Tubuh 

pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-huyung 

ke belakang. 

"Ha ha ha….!" laki-laki berompi coklat tertawa bergelak. 

"Sekarang terimalah kematianmu, Dewa Arak!" 

Setelah berkata demikian, laki-laki berdaun telinga satu 

itu melompat menerjang Dewa Arak. Kedua jari-Jari tangan-

nya yang berbentuk cakar, meluruk ke arah dada Dewa 

Arak. 

Tercekat hati Arya melihat hal ini. Segera dicekalnya guci 

arak dengan kedua tangan, kemudian didorongkan ke 

depan, memapak serangan yang menuju dadanya. 

Plakkk...! 

Dewa Arak terjengkang ke belakang dan jatuh ber-

gulingan di tanah saking kerasnya benturan. Darah yang 

mengalir dari perutnya semakin banyak merembes keliar. 

Tapi pemuda berambut putih keperakan ini bergegas 

bangkit. Sementara laki-laki berompi coklat, melangkah 

lambat-lambat menghampiri. Namun belum tiga tindak laki-

laki berdaun telinga satu ini melangkah, tiba-tiba terdengar 

bentakan keras. 

"Sanca Mauk! Akulah lawanmu….!" 

Sebuah teriakan keras membuat langkah laki-laki 

berompi coklat ini terhenti. Kepalanya menoleh ke arah 

asal suara. Seketika wajah laki-laki setengah baya ini 

berubah begitu melihat seorang yang bergerak cepat 

mendatanginya.


"Gumintang….," desah laki-laki berompi coklat yang 

ternyata bemama Sanca Mauk ini. 

Cepat bukan main gerakan orang yang bemama 

Gumintang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada 

tiga tombak di depan laki-laki berdaun telinga satu. 

“Pendekar Tangan Baja," desah Dewa Arak begitu 

melihat orang yang dipanggil Gumintang. 

"Ooo... Jadi, kau rupanya orang yang berjuluk Pendekar 

Tangan Baja itu, Gumintang?! Ha ha ha...! Mana si tua 

bangka itu?" ucap Sanca Mauk sambil tersenyum sinis. 

"Untuk membawamu kembali, tak perlu guruku turun 

tangan. Aku sendiri pun sanggup, Sanca Mauk!" tandas 

Pendekar Tangan Baja tegas. 

"Ha ha ha….! Sanca Mauk tertawa bergelak. "Kau hanya 

mengantarkan nyawa saja, Bocah! Jangankan dirimu, 

gurumu sendiri pun tidak akan mampu melawanku!" 

"Kita lihat saja buktinya, Sanca Mauk!" sergah Pendekar 

Tangan Baja keras. 

Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian kuning 

ini melompat menerjang Sanca Mauk. Kedua tangannya 

mengirimkan pukulan beruntun ke arah dada dan ulu hati 

Sanca Mauk. 

Begitu Pendekar Tangan Baja telah terlibat pertarungan 

dengan Sanca Mauk, anak buah laki-laki berompi coklat itu 

segera menyerbu Dewa Arak. Kembali pemuda berambut 

putih keperakan ini harus mengerahkan seluruh 

kemampuannya untuk menghadapi keroyokan puluhan 

lawannya. 

Walaupun telah terluka, Dewa Arak masih mampu 

mengadakan perlawanan sengit. Ke mana saja tangan, 

kaki atau gucinya bergerak, pasti ada lawan yang roboh 

dan tidak mampu bangkit lagi. 

Tapi lawan yang dlhadapi pemuda berambut putih 

keperakan ini terlalu banyak. Lagi pula tidak sedikit di 

antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Maka 

pelahan namun pasti Dewa Arak mulai terdesak. Apa lagi, 

pemuda berambut putih keperakan ini memang sudah


terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tapi sedikit banyak 

mengurangi kelincahannya. 

Di saat Dewa Arak semakin terdesak, terdengar suara 

berderak keras disusul hancumya pintu gerbang depan. 

Tentu saja suara ribut-ribut itu mengejutkan semua yang 

ada di situ. Untuk sesaat pertarungan terhenti. Dan kini 

semua perhatian tertuju ke arah pintu gerbang. Dari sekian 

banyak orang yang ada di situ, hanya Pendekar Tangan 

Baja saja yang tidak merasa terkejut. Karena pemuda 

berpakaian kuning ini sudah bisa menduga apa yang 

terjadi. Apalagi kalau bukan perbuatan pasukan Kerajaan 

Kamujang yang datang bersamanya! Hanya saja karena 

tidak sabar lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat 

lebih dulu. 

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Sanca Mauk dan 

anak buahnya, begitu melihat beratus-ratus pasukan 

kerajaan memasuki markas mereka. Menilik dari 

banyaknya, mungkin tidak kurang dari lima ratus orang! 

Dan yang lebih gila lagi, di antara mereka terdapat 

Pasukan Kuku Garuda. Dan tentu saja di antara mereka 

ada pula Prabu Jayalaksana. 

Begitu masuk, pasukan Kerajaan Kamujang itu segera 

menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Dan dalam 

sekejap saja keadaan berbalik seratus delapan puluh 

derajat. Pasukan Kerajaan Kamujang yang datang 

menyerbu adalah pasukan pilihan. Maka dalam sekejap 

saja, anak buah Sanca Mauk berguguran. 

Sepak terjang Pasukan Kuku Garuda lebih hebat lagi. 

Setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat 

dipastikan ada anak buah Sanca Mauk yang roboh. 

Amukan pasukan khusus itu baru agak tertahan ketika 

berhadapan dengan Gajah Hitam dan empat orang kepala 

rampok lainnya. 

Sekali lihat saja, Dewa Arak sudah dapat mengetahui 

kalau tanpa bantuannya pun, pasukan Kerajaan Kamujang 

mampu memenangkan pertarungan. Maka pemuda 

berambut putih keperakan ini segera bergerak menyingkir


dari kancah pertarungan. Dan hanya berdiri memperhati-

kan saja. 

Prabu Jayalaksana yang sejak tadi berdiri mem-

perhatikan jalannya pertarungan, dengan dikawal oleh 

empat orang Pasukan Kuku Garuda, melangkah meng-

hampiri Dewa Arak. 

“Bagaimana Gusti Prabu bisa sampai kemari?" tanya 

Arya. Sebenarnya dia sudah bisa menduganya. Tapi 

pemuda berambut putih keperakan ini ingin mendengamya 

langsung dari mulut yang bersangkutan. 

"Pendekar Tangan Baja datang ke istana sambil mem-

bawa permaisuri. Pemuda perkasa itu juga menceritakan 

kalau kau tengah menghadapi banyak lawan di sini. Hhh...! 

Mudah-mudahan saja semua kekacauan di wilayah 

Kerajaan Kamujang segera berakhir karena orang dalam 

yang telah menculik permaisuri, juga telah tertangkap," 

jelas Prabu Jayalaksana. 

"Siapa orang dalam yang terlibat itu, Gusti Prabu?" tanya 

Arya setengah hati. Sekedar menyahuti ucapan Raja 

Kamujang itu. 

“Panglima Ramkin. Orang yang dulu kusuruh memimpin 

pasukan untuk menangkapmu dan Pendekar Tangan Baja," 

jawab Prabu Jayalaksana. "Dari Dinda Permaisurilah 

keterlibatannya dengan para pengacau itu kuketahui. 

Hhh,..! Sungguh tidak kusangka...." 

Dewa Arak hanya diam mendengarkan. Sedikit pun tidak 

diselanya ucapan Raja Kamujang itu. 

“Ternyata Panglima Ramkin berambisi menduduki 

jabatan yang lebih tinggi. Maka dia bergabung dengan 

komplotan penculik untuk merongrong keutuhan Kerajaan 

Kamujang," sambung Raja Kamujang lagi. "Kalau saja tidak 

ada dirimu dan Pendekar Tangan Baja, mungkin usahanya 

akan berhasil. Seluruh daerah telah siap memberontak 

akibat fitnahan yang dilancarkannya. Hhh...! Syukurlah kini 

semua telah teratasi." 

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Pandangannya segera dilayangkan ke arah pertarungan


antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk yang 

masih berlangsung sengit. Seratus jurus telah berlalu. Tapi 

belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak. 

Kepandaian kedua orang itu ternyata seimbang. 

Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan dari per-

tarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca 

Mauk itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Desir angin tajam, 

menderu dan mencicit, menyemaraki pertarungan itu. 

Debu pun mengepul tinggi ke udara. 

Sebetulnya tingkat kepandaian Pendekar Tangan Baja 

masih di bawah Sanca Mauk. Tapi karena keistimewaan 

tangan pemuda ini, tambahan lagi gurunya telah 

mewariskan ilmu yang dapat dipakai untuk melumpuhkan 

ilmu Sanca Mauk, membuat Pendekar Tangan Baja yang 

bernama Gumintang ini mampu mengimbangi lawannya. 

Sanca Mauk menggeram keras. Sungguh tidak disangka 

kalau kepandaian yang dimiliki murid keponakannya ini 

demikian tinggi. Tepat pada jurus ke seratus lima puluh, 

seraya membentak keras, laki-laki berompi coklat ini 

mengibaskan tangannya. 

Serrr...! 

Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main begitu 

melihat berpuluh puluh jarum beracun menyambar ke 

arahnya. Apalagi saat itu dirinya berada dalam posisi yang 

tidak menguntungkan. Cepat-cepat tubuhnya di lempar ke 

samping dan bergulingan di tanah beberapa kali. 

Sanca Mauk memang sudah menduganya. Maka begitu 

dilihatnya Pendekar Tangan Baja melompat, segera laki-

laki berompi coklat ini melompat menyusul. Dan langsung 

melancarkan serangan beruntun ke arah Pendekar Tangan 

Baja yang masih bergulingan di tanah. 

Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Tangan Baja selain 

terus menggulingkan tubuh, menyelamatkan selembar 

nyawanya. Tapi Sanca Mauk yang sudah menang posisi, 

tidak mau membiarkannya. Diburunya tubuh yang 

bergulingan itu seraya terus melancarkan serangan 

bertubi-tubi.


Pendekar Tangan Baja sadar bila keadaan masih terus 

seperti ini, suatu saat serangan lawan akan mengenainya 

juga. Maka pemuda berpakaian kuning ini mengambil 

keputusan nekad. Pada suatu kesempatan, tubuhnya 

melenting ke atas. 

"Hih...!" 

Ternyata hal itu sudah diperhitungkan oleh Sanca Mauk. 

Terbukti begitu tubuh Pendekar Tangan Baja itu melenting, 

kakinya bergerak menendang. Cepat bukan main gerakan-

nya. Gumintang mencoba menggeliatkan tubuh untuk 

mengelak, tapi... 

Bukkk! 

"Akh...!" 

Pendekar Tangan Baja memekik tertahan. Keras dan 

telak sekali tendangan Sanca Mauk mengenai perutnya. 

Seketika itu juga, rasa mual dan mules yang amat sangat 

mendera perutnya. Cairan merah kental pun meleleh di 

sudut bibirnya. Belum lagi pemuda berpakaian kuning ini 

berbuat sesuatu, paman gurunya kembali melancarkan 

serangan bertubi-tubi 

Tukkk! 

Plakkk! 

"Akh...!" 

Gumintang kembali memekik tertahan ketika patukan 

tangan kanan Sanca Mauk mengenai bahunya. Sementara 

tangan kiri yang mengibas mengenai dadanya. Tubuh 

Pendekar Tangan Baja kontan terpental ke belakang dan 

terbanting keras di tanah. 

Pendekar Tangan Baja berusaha bangkit. Tapi ternyata 

tidak mampu. Tiga buah serangan yang diterimanya, 

membuat pemuda itu terluka cukup parah. Belum lagi rasa 

sakit yang melanda perutnya hilang, datang lagi rasa sesak 

yang amat sangat di dadanya. Bahunya juga robek 

mengeluarkan darah segar, terkena patukan tangan Sanca 

Mauk. 

“Terimalah kematianmu, Anak Keparat!" teriak laki-laki 

berompi coklat itu seraya melompat menerkam Gumintang


yang sudah tergolek tidak berdaya. 

Sudah dapat dipastikan kalau Sanca Mauk akan 

berhasil membunuh Pendekar Tangan Baja. Tapi sebelum 

serangan laki-laki berdaun telinga satu itu mengenai 

sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memapak 

serangannya. 

Plak, plak….! 

Terdengar suara keras berkali-kali, ketika dua pasang 

tangan dari dua sosok tubuh yang sama-sama berada di 

udara berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Sanca Mauk 

maupun Dewa Arak sama-sama terjengkang ke belakang. 

Tapi baik Sanca Mauk, maupun Dewa Arak dengan 

mudah meredam daya dorong itu. Indah dan manis sekali 

tubuh keduanya bersalto di udara. 

Serrr...! 

Kembali untuk yang ke sekian katinya, Sanca Mauk 

mengibaskan tangan, melepaskan jarum-jarum beracun-

nya. Dan itu dilakukannya ketika tubuhnya masih bersaho 

di udara. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak 

kaget. Apalagi serangan jarum itu cfilepaskan selagi 

tubuhnya juga masih berada di udara. 

Cepat diturunkan kedua tangannya, dan dijadikan 

sebagai landasan kaki. Sekali kakinya bergerak 

menggenjot tubuh pemuda berambut putih keperakan ini 

telah melayang kembali ke atas. Sehingga serangan jarum 

itu lewat di bawah kakinya. 

Selagi berada di udara, Dewa Arak menghentakkan 

kedua tangannya ke bawah, ke arah tubuh lawan yang 

masih berada di udara. Dalam kemarahannya karena 

lawan berlaku licik, pemuda berambut putih keperakan ini 

telah menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang 

dipergunakannya. 

Angin berhawa panas menyengat berhembus keras ke 

arah Sanca Mauk. Laki-laki berompi coklat ini kaget bukan 

main. Apalagi saat ini tubuhnya tengah berada di udara. 

Serangan Dewa Arak benar-benar di luar dugaannya. 

Sedapat mungkin Sanca Mauk berusaha menggeliatkan



tubuhnya. Tapi…. 

Bresss...! 

"Aaakh...!" 

Sanca Mauk menjerit melengking memilukan ketika 

pukulan jarak jauh Dewa Arak, telak menghantam 

tubuhnya. Usahanya untuk menyelamatkan diri gagal total. 

Brukkk! 

Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras, tubuh 

Sanca Mauk terbanting di tanah. Seketika itu juga nyawa 

laki-laki berdaun telinga satu ini lepas dari raganya. 

Sekujur tubuhnya hangus mengeluarkan bau sangit daging 

terbakar. 

Berbareng tewasnya Sanca Mauk, pertarungan antara 

pasukan Kerajaan Kamujang dengan anak buah laki-laki 

berdaun telinga satu itu pun berakhir. Pihak pasukan 

Kerajaan Kamujang memperoleh kemenangan mutlak. 

Sebagian besar lawan tewas terbunuh. Hanya tinggal 

beberapa gelintir saja yang selamat. Itu pun karena 

menyerah. Dan kini mereka menjadi tawanan. 

Melihat kemenangan pasukannya, Prabu Jayalaksana 

gembira bukan kepalang. Sesaat lamanya Raja Kamujang 

ini melupakan Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja. Dan 

ketika akhirnya Prabu Jayalaksana teringat, kedua pemuda 

perkasa itu telah tidak berada lagi di situ. Bahkan mayat 

Sanca Mauk pun telah lenyap. 

"Hhh...!" Raja Kamujang menghela napas dalam. Orang 

nomor satu di Kerajaan Kamujang ini mengetahui betul 

alasan kedua pemuda itu pergi tanpa pamit. Dan ini jadi 

membuatnya lebih kagum. Dewa Arak dan Pendekar 

Tangan Baja tidak memerlukan ucapan terima kasih atau 

imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan. Kedua 

pemuda perkasa itu melakukan semua ini tanpa pamrih. 

"Kalau saja di dunia ini banyak orang seperti mereka, 

tidak akan ada kekacauan...," gumam Prabu Jayalaksana. 

Sepasang matanya memandang kosong ke langit. 

Sementara hari telah menjelang senja. Sinar mentari 

yang mulai meredup, menyinari dua sosok tubuh yang


tengah berjalan pelahan. Dua sosok itu adalah Dewa Arak 

dan Pendekar Tangan Baja yang tengah melangkah 

berdampingan. Di bahu Pendekar Tangan Baja nampak 

terpanggul mayat Sanca Mauk. 

Sesampainya di sebuah persimpangan kedua pemuda 

perkasa ini menghentikan langkahnya. 

"Kau tidak bersedia ikut denganku, Arya? Kurasa guruku 

senang berkenalan denganmu," ucap Pendekar Tangan 

Baja yang sudah agak sembuh dari luka dalamnya. 

“Terima kasih, Pendekar Tangan Baja! Sayang sekali aku 

tidak bisa memenuhi ajakanmu. Perjalananku masih jauh. 

Percayalah! Suatu saat nanti, pasti aku akan 

mengunjungimu," janji Dewa Arak. 

"Kalau begitu baiklah. Aku akan menunggu kedatangan-

mu, Arya, " sahut Gumintang mengalah. "O ya, terima kasih 

atas semua bantuanmu " 

"Lupakanlah, Pendekar Tangan Baja!" sambut Dewa 

Arak seraya tersenyum lebar. Pendekar Tangan Baja juga 

tersenyum. Kemudian pemuda berpakaian kuning ini 

melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. 

Dewa Arak memandangi kepergian Pendekar Tangan 

Baja beberapa saat. Baru setelah itu dilangkahkan kakinya 

meninggalkan tempat itu. Masih banyak tugas yang harus 

diselesaikannya. Tugas selaku pendekar pembela kebenaran. 



                           SELESAI












Share:

0 comments:

Posting Komentar