1
"Hih...!”
Seorang pemuda tampan bercambang lebat, dan
berpakaian kuning, kembali melompat. Entah untuk yang
ke berapa kalinya. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu
berputar beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali
gerakannya. Dan....
Pyarrr...!
Air sungai memercik tinggi, begitu sepasang kaki
pemuda itu mendarat kembali di permukaan air. Luar
biasa! Kalau saja ada orang yang melihatnya, tentu
pemuda ini dikiranya hantu penunggu sungai. Mana ada
manusia yang dapat berdiri di atas permukaan air?
Tapi kenyataannya pemuda bercambang lebat itu
memang mampu berdiri di atas permukaan air. Bahkan
sesekali melompat dan bersalto beberapa kali di udara,
kemudian kembali mendarat di permukaan air!
Dan selagi tubuhnya berputar di udara, terlihat kalau
sepasang kaki pemuda itu ternyata tidak hanya bersepatu
saja, tapi ada sesuatu yang menempel pada kedua telapak
sepatunya. Memang, pada telapak kaki pemuda ber-
pakaian kuning itu, nampak sepotong papan yang tidak
begitu tebal, tapi agak lebar. Rupanya papan itu digunakan
sebagai alas agar dapat mengapung di permukaan air. Tapi
meskipun begitu, tanpa memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi, tidak mungkin pemuda itu dapat berbuat begitu.
Tak lama kemudian, pemuda berpakaian kuning itu ber-
gegas mendekati pinggir sungai. Untungnya, di situ sepi.
Tidak nampak sebuah rumah pun yang terlihat, sehingga
perbuatannya tidak menarik perhatian.
"Hih...!"
Begitu telah mendekati pinggir sungai, pemuda ber-
cambang lebat itu melenting. Tubuhnya berputar beberapa
kali di udara, sebelum akhimya mendarat di pinggiran
sungai.
Begitu telah berada di tanah, pemuda itu segera
melepaskan potongan kayu yang terikat pada kedua
kakinya. Lalu dilemparkan begitu saja di tanah.
Kini pemuda berpakaian kuning itu membalikkan tubuh-
nya. Sepasang matanya menerawang jauh ke seberang
sungai.
Cukup lama juga pemuda bercambang lebat itu berbuat
demikian, sebelum akhimya melangkah pelan meninggal-
kan tempat itu. Mulanya langkahnya satu-satu, tapi
beberapa saat kemudian, bergerak cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
Ternyata pemuda bercambang lebat dan berpakaian
kuning itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Gerakannya cepat bukan main. Tubuhnya hampir tidak ter-
lihat oleh mata. Yang terlihat hanyalah sekelebaran
bayangan kekuningan.
Pemuda berpakaian kuning itu terus berlari seraya
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga dalam waktu singkat, tempat tadi telah jauh
tertinggal. Larinya baru diperlambat dan akhimya berhenti
sama sekali, begitu memasuki tembok batas sebuah desa.
Luar biasa! Sungguhpun telah berlari menempuh jarak
yang jauh, tidak nampak tanda-tanda kalau pemuda ber-
pakaian kuning ini mengalami kelelahan. Napasnya biasa
saja. Tidak nampak memburu sedikit pun. Bahkan di wajah
tampannya, sama sekali tidak terlihat setitik pun keringat.
Pemuda bercambang lebat ini melangkah memasuki
desa. Alisnya agak berkerut ketika melihat hampir semua
anak-anak kecil di desa itu bertelanjang bulat dan ber-
tubuh kurus kering. Seolah-olah mereka tidak cukup men-
dapat makanan. Padahal tadi di pinggiran desa, jelas
dilihatnya hamparan padi yang tumbuh subur.
"Aneh...," gumam pemuda berpakaian kuning itu pelan
seraya melanjutkan langkahnya.
Setelah cukup jauh berjalan, pemuda bercambang lebat
ini menghentikan Langkahnya. Sayup sayup didengamya
suara bentakan-bentakan keras penuh kemarahan.
Rasa ingin tahu, membuat pemuda berpakaian kuning
ini mempercepat langkahnya menuju ke arah asal suara.
Dan dengan sendirinya, suara-suara bernada penuh
kemarahan itu pun semakin keras terdengar.
Tak lama kemudian, pandang mata pemuda berpakaian
kuning itu tertumbuk pada beberapa sosok yang nampak-
nya tengah terlibat pertengkaran. Beberapa orang ber-
seragam prajurit, dan seorang berpakaian putih. Dua di
antara prajurit itu berdiri angker di hadapan orang ber-
pakaian putih yang tertunduk ketakutan.
"Rupanya kau sudah berani menentang perintah Gusti
Prabu, Paladi," ucap seorang yang berseragam punggawa
penuh kemarahan. Sementara di sebelahnya, berdiri se-
orang prajurit yang menggenggam sebatang cambuk.
"Maafkan aku, Den Rupangga. Bukannya aku me-
nentang perintah Gusti Prabu. Tapi, hasil panen kali ini
tidak sebanyak hasil sebelumnya. Kalau kami paksakan
diri memberi upeti seperti biasa, penduduk desa ini akan
mati kelaparan," sahut laki-laki setengah baya berpakaian
putih yang bemama Ki Paladi.
"Aku tidak peduli!" bentak punggawa yang bernama
Rupangga. Keras sekali suaranya sehingga Ki Paladi
sampat terjingkat ke belakang saking kagetnya. Sekilas
kepala laki-laki berpakaian putih ini terangkat, tapi begitu
melihat sepasang mata penuh amarah tertuju padanya,
kepalanya ditundukkan kembali, "Kedatanganku kemari
bukan untuk mendengar segala macam alasan, Paladi. Aku
datang untuk meminta pajak sesuai dengan keputusan
yang ditetapkan Gusti Prabu. Dan menjadi tugasmu selaku
kepala desa untuk memenuhinya! Soal penduduk desa ini
mati kelaparan bukan urusanku! Kau mengerti, Paladi!"
sergah Rupangga.
Ki Paladi yang ternyata seorang kepala desa meng-
anggukkan kepalanya.
"Aku mengerti, Den Rupangga. Tapi kumohon Aden mau
bermurah hati memberikan kami waktu untuk..."
"Keparat! Orang seperti kau memang harus dihukum!
Agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang berani
menentang keinginan Gusti Prabu!" selak punggawa yang
bernama Rupangga cepat, sebelum kepala desa itu
menyelesaikan ucapannya. "Prajurit! Beri pembangkang ini
sepuluh cambukan!"
Prajurit yang sejak tadi berdiri di sebelah Rupangga ter-
senyum lebar. Kegembiraan terbayang jelas di wajahnya.
Memang sudah menjadi kesenangannya, melihat orang
menggeliat-geliat kesakitan menerima cambukannya.
Maka begitu mendapat perintah, segera saja dia men-
dekati sang kepala desa. Cambuk yang sejak tadi ter-
genggam di tangannya, ditimang-timang sambil
menyeringai lebar.
"Ampun, Den Rupangga. Aku berjanji akan meng-
usahakannya..." ucap Ki Paladi memohon kebijaksanaan.
Tapi punggawa ini hanya memandangi sang kepala desa
dengan tatapan dingin. Sementara prajurit itu segera
mengayunkan cambuknya.
Tarr!
"Akh...!"
Kepala Desa itu menjerit memilukan ketika ujung
cambuk itu melecut punggungnya. Seketika itu juga, tubuh-
nya menggeliat-geliat. Pakaiannya di bagian punggung,
kontan sobek memanjang. Di kulit punggungnya nampak
garis panjang menghitam.
"Ampun, Den Rupangga..." rintih Ki Paladi lagi. Tapi
punggawa itu tetap diam tak bergeming. Sehingga kembali
lecutan cambuk menyambar punggungnya.
Tarr!
"Akh...!"
“Jahanam!" teriak pemuda berpakaian kuning keras.
Darahnya mendidih melihat adegan penyiksaan di depan
matanya. Seketika itu juga pemuda ini melesat ke arah
kepala desa yang tengah disiksa.
Wuuut..!
Untuk ke sekian kalinya, cambuk di tangan prajurit itu
kembali dilecutkan. Tapi….
Tappp...!
Kali ini ujung cambuk itu tertahan di udara. Semula
prajurit yang tengah menyiksa Ki Paladi, agak heran ketika
merasakan cambuknya tertahan di udara. Segera dibalik-
kan tubuhnya. Tampak oleh prajurit itu apa yang
menyebabkan cambuknya tertahan. Ujung cambuk itu
ternyata tergenggam di tangan seorang pemuda ber-
pakaian kuning.
"Keparat…!" geram prajurit bercambuk itu. Dengan
sekuat tenaga cambuknya dihentakkan. Tapi walaupun
telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja cambuk itu
tidak bergeming.
"Uh…uhhh...!"
Terdengar suara mengeluh dari mulut prajurit itu, dalam
upayanya menarik cambuk itu. Namun tetap saja cambuk
itu sama sekali tidak bergeming. Padahal nampak jelas
olehnya kalau pemuda berpakaian kuning itu sepertinya
tidak mengerahkan tenaga sama sekali! Wajah pemuda itu
pun biasa saja. Tidak merah padam penuh otot-otot yang
menggembung seperti dirinya!
Mendadak pemuda bercambang lebat itu melepaskan
cekalan pada cambuknya. Padahal saat itu, si prajurit
tengah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menarik
kembali cambuknya. Akibatnya pun sudah bisa diduga!
Tubuh prajurit itu terjengkang ke belakang, terbawa
tenaganya sendiri.
Brukkk...!
Prajurit itu menyeringai kesakitan ketika bokongnya
menghantam tanah dengan keras. Tentu saja hal ini mem-
buat prajurit itu menjadi naik pitam. Bergegas dia bangkit,
dan langsung melecutkan cambuknya. Tapi kali ini tidak ke
arah Ki Paladi, melainkan ke arah pemuda berpakaian
kuning.
Pemuda berpakaian kuning itu mendengus. Kemudian
tangannya diulurkan, menangkis lecutan cambuk itu.
Tarr!
Keras dan telak sekali ujung cambuk itu mengenai
tangan pemuda berpakaian kuning. Luar biasa! Tidak
nampak ada tanda-tanda kalau pemuda itu menderita
kesakitan. Bahkan dengan kecepatan yang luar biasa,
tangannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jari jemari
tangan pemuda berpakaian kuning itu telah men-
cengkeram ujung cambuk.
"Hih...!"
Pemuda bercambang lebat itu menggerakkan tangan
menghentak. Hebat sekali! Tubuh prajurit itu kontan ter-
lempar ke depan, melewati kepala pemuda berpakaian
kuning.
"Aaa...!"
Prajurit itu berteriak ngeri tatkala mengetahui tubuhnya
terlempar ke udara. Seketika itu juga, pegangan pada
cambuknya dilepaskan.
Brukkk...!
Suara berdebuk keras kembali terdengar, begitu tubuh
prajurit bercambuk itu jatuh dengan kerasnya di tanah.
Tapi kali ini, prajurit itu tidak langsung bangkit. Dia meng-
geliat-geliat di tanah. Dari mulutnya terdengar rintihan
kesakitan.
Tentu saja Rupangga dan para prajurit lainnya kaget
bukan main. Sungguh sama sekali tidak disangka, kalau
prajurit bercambuk itu dapat dirobohkan dengan begitu
mudah oleh pemuda berpakaian kuning.
“Tangkap pengacau ini!" perintah Rupangga keras pada
para prajurit yang berada di kereta, seraya menudingkan
telunjuknya ke arah pemuda berpakaian kuning.
Tanpa menungu di perintah dua kali, tiga orang prajurit
yang semula hanya berdiam diri saja di atas kereta kuda,
segera berloncatan turun.
Srattt...! Srattt...!
Sinar-sinar terang menyilaukan, langsung berpendar
ketika prajurit-prajurit itu mencabut goloknya. Dan
langsung mengurung pemuda berpakaian kuning. Suara
berdesing nyaring terdengar, begitu golok-golok itu ber
kelebat menyambar pemuda itu.
Lagi-lagi pemuda berpakaian kuning hanya mendengus.
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dipapaknya kelebatan golok
yang menyambar ke arahnya dengan tangan kosong.
Takkk, takkk, takkk...!
Terdengar suara nyaring begitu golok-golok itu ber-
benturan dengan lengan pemuda berpakaian kuning.
Seolah-olah yang beradu dengan golok-golok itu bukan
tangan manusia yang terdiri daging dan tulang, melainkan
sepotong baja yang amat kuat.
Tiga orang prajurit itu terkejut bukan kepalang. Seketika
itu juga serangan mereka terhenti. Dan kekagetan mereka
bertambah besar begitu melihat apa yang terjadi pada
mata golok mereka. Mata golok golok itu gompal!
"Iblis...!" desis salah seorang dari tiga prajurit itu.
Perasaan ngeri membayang di wajahnya. Tanpa sadar
sepasang matanya menatap ke arah kedua tangan
pemuda berpakaian kuning. Seketika itu juga sepasang
matanya semakin membelalak lebar. Tangan pemuda ber-
cambang lebat itu ternyata memang agak berbeda dengan
tangan manusia biasa. Kedua tangan pemuda itu
menyorotkan sinar kehitaman. Kedua rekannya yang juga
menatap tangan pemuda berpakaian kuning itu sama-
sama terperanjat.
Semua kejadian ini tak luput dari perhatian Rupangga.
Dan punggawa ini pun dilanda kekagetan yang serupa.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Rupangga. Sepasang
matanya merayapi wajah pemuda yang berdiri tak jauh di
hadapannya. "Sungguh berani kau menentang pasukan
kerajaan!"
Pemuda berpakaian kuning itu hanya tersenyum sinis.
"Aku? Aku..., Pendekar Tangan Baja! Aku tidak peduli
siapa kalian! Yang jelas, aku tidak bisa tinggal diam,
melihat kekejaman di depan mataku!" sahut pemuda ber-
pakaian kuning itu tegas.
Dua alis Rupangga berkerut. Sekarang dia mengerti,
mengapa kedua tangan pemuda itu begitu luar biasa. Dari
julukannya, punggawa itu sudah bisa memaklumi kekuatan
tangan pemuda itu
"Kuperingatkan kau, Anak Muda. Jangan sekali-kali ber-
tindak sok pahlawan di depan kami. Kau tahu apa akibat
perbuatanmu? Kau akan menjadi musuh kerajaan! Kau
akan jadi buruan tentara Kerajaan!" gertak Rupangga.
“Tidak usah menggertakku, Punggawa!" sahut pemuda
berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Pendekar Tangan
Baja itu. "Perlu kau ketahui, untuk membela kebenaran
dan melawan kelaliman, aku tidak takut menghadapi apa
pun!"
"Sombong!" teriak Rupangga keras. Wajahnya langsung
memerah menahan amarah yang bergolak di dadanya.
Punggawa ini memang mempunyai sifat pemarah, maka
tidak aneh jika kemarahannya langsung bergolak begitu
melihat sikap Pendekar Tangan Baja.
“Tangkap pemberontak ini!" perintah Rupangga keras.
Kedua tangannya langsung bergerak ke punggung.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilauan, begitu punggawa ini meloloskan
sepasang pedangnya Dan secepat kedua pedang itu
terhunus, secepat itu pula tubuhnya meluruk ke arah
Pendekar Tangan Baja, menyusul anak buahnya yang telah
menyerang lebih dulu.
Pendekar Tangan Baja tidak menjadi gugup melihat
hujan serangan yang mengancamnya. Sekali lihat saja
pemuda berpakaian kuning ini tahu kalau di antara ke
empat serangan itu, serangan Rupanggalah yang paling
berbahaya. Serangan punggawa ini memang tidak bisa
disamakan dengan serangan anak buahnya. Serangan
Rupangga mengandung tenaga dalam dan kecepatan jauh
di atas keempat prajurit itu.
Meskipun Rupangga melakukan penyerangan
belakangan dan juga jaraknya dengan Pendekar Tangan
Baja paling jauh, tapi serangannya lebih dulu tiba daripada
serangan anak buahnya.
Wuk, wuk...!
Angin cukup keras telah lebih dulu menyambar, sebelum
serangan kedua pedang Rupangga tiba.
Pendekar Tangan Baja rupanya tidak ingin bertindak
setengah-setengah. Segera saja kedua tangannya
diulurkan, memapak sepasang pedang yang mengancam-
nya. Dan secepat itu pula mencengkeramnya.
Tappp, tappp...!
Tak pelak lagi sepasang pedang Rupangga tercekal
pemuda berpakaian kuning itu. Dan sebelum punggawa itu
berbuat sesuatu, kaki kanan Pendekar Tangan Baja me-
luncur cepat ke perutnya.
Wut..! Bukkk!
"Hugh...!"
Rupangga memekik tertahan. Tubuhnya kontan ter-
jengkang ke belakang ketika tendangan Pendekar Tangan
Baja telak dan keras menghantam perutnya. Seketika itu
sepasang pedangnya terlepas dari genggaman. Rasa mules
dan mual yang amat sangat menyerang punggawa ini.
Untung bagi Rupangga. Pendekar Tangan Baja tidak
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu melontar-
kan tendangan. Kalau tidak, punggawa ini tentu sudah
tidak bernyawa lagi. Walaupun begitu, selama beberapa
saat Rupangga tidak mampu bangkit.
***
Baru saja Pendekar Tangan Baja merobohkan
Rupangga, serangan tiga batang golok dari anak buah
punggawa itu telah datang bertubi-tubi bagaikan hujan.
Tapi, dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh
di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi Pendekar Tangan
Baja untuk mengelak. Lincah laksana seekor kera,
tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar golok yang
menghujani.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Pendekar
Tangan Baja. Kedua tangannya pun bergerak cepat. Sesaat
kemudian terdengar pekik kesakitan susul-menyusul,
diiringi robohnya tubuh para prajurit itu satu persatu.
Pendekar Tangan Baja memandangi lima sosok yang
masih terkapar sambil merintih-rintih kesakitan.
"Bagaimana Punggawa? Masih penasaran?" tanya
pemuda berpakaian kuning sambil tersernyum sinis.
Rupangga bangkit tertatih-tatih. Sepasang matanya
menatap Pendekar Tangan Baja penuh dendam.
"Kali ini kau menang, Pendekar Tangan Baja! Tapi, ingat!
Tak lama lagi kau akan merasakan pembalasanku!" ancam
punggawa itu.
Setelah mengucapkan ancaman yang hanya ditanggapi
pemuda berpakaian kuning sambil tertawa, punggawa itu
berjalan menuju kereta.
"Bangun semua, kerbau-kerbau dungu! Kita kembali ke
kotaraja!" teriak Rupangga keras.
Keempat orang prajurit itu pun bangkit, kemudian
melangkah cepat ke arah kereta, walaupun agak tertatih-
tatih.
"Paladi!" ucap Rupangga lagi sambil memandang sang
kepala desa, sebelum kereta kuda bergerak.
Kepala desa yang sial itu pun menoleh.
"Kau dan seluruh penduduk desa ini pun akan
menerima akibatnya!" ancam punggawa itu lagi.
Seketika itu juga wajah kepala desa itu memucat. Ki
Paladi kenal betul siapa itu Rupangga. Orang yang
mempunyai sifat pemarah dan pendendam. Punggawa ini
tidak akan pemah membiarkan orang menghinanya.
“Hiya...! Hiyaaa...!"
Dua ekor kuda penarik kereta itu pun segera berlari
cepat, begitu kusir kereta itu melecutkan cambuknya.
Debu mengepul tinggi begitu kereta kuda itu bergerak
meninggalkan tempat itu. Dua pasang mata melepas
kepergian kereta itu. Sepasang mata yang bersinar tajam
milik Pendekar Tangan Baja, dan sepasang mata yang
menyorotkan sinar kecemasan milik Ki Paladi.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda?" tanya Ki
Paladi ketika kereta kuda itu sudah tidak terlihat lagi.
Sepasang mata kepala desa ini menatap tajam wajah
pemuda berpakaian kuning di hadapannya.
Pendekar Tangan Baja terlonjak kaget. Aneh, pertanyaan
laki-laki berpakaian putih ini terdengar penuh penyesalan.
Sedikit pun tidak nampak rasa terima kasih mendapat
pertolongan. Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian
kuning hanya berdiri seperti patung. Tidak tahu harus
berkata apa.
"Kau tahu, Anak Muda. Perbuatanmu hanya akan mem-
bawa bencana bagi seluruh penduduk desa ini!" Jelas Ki
Paladi
Keras dan tajam sekali suara kepala desa itu. Tak heran
jika Pendekar Tangan Baja yang memang mempunyai sifat
keras kepala jadi bangkit emoslnya.
"Jadi, kau lebih suka kalau kubiarkan prajurit-prajurit itu
menyiksamu?!" tanya pemuda berpakaian kuning setengah
menyindir.
"Ya!" tandas Ki Paladi.
Tentu saja jawaban yang sama sekali tidak disangkanya
itu membuat Pendekar Tangan Baja terkejut. Beberapa
saat pemuda berpakaian kuning ini tercenung.
"Mengapa?" tanya Pendekar Tangan Baja setelah ber-
hasil menenangkan hati.
Ki Paladi menarik napas panjang kemudian dihembus-
kannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan berbuat seperti itu,
keresahan hatinya dapat lenyap.
"Aku rela disiksa mereka daripada wargaku mengalami
nasib yang lebih buruk lagi...," desah kepala desa itu
perlahan. Sepasang matanya menerawang jauh ke langit.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki"
"Lebih baik kau tidak usah tahu, Anak Muda," tandas Ki
Paladi.
"Ki? Jangan membuatku penasaran! Jelaskan maksud
ucapanmu tadi!" sentak Pendekar Tangan Baja keras.
Sepasang matanya menatap tajam wajah laki-laki setengah
baya berpakaian putih itu.
"Kau memang berotak bebal! Perlukah kujelaskan lagi
akibat tindakanmu tadi?!” sergah kepala desa itu tak kalah
keras.
Merah wajah pemuda berpakaian kuning mendengar
ucapan Ki Paladi. Kemarahannya pun bangkit. Tapi,
Pendekar Tangan Baja mencoba menahan amarahnya,
meskipun dadanya serasa akan meledak akibat emosi
yang bergolak.
"Kau tahu, Pendekar Tangan Baja! Kalau saja kau tidak
campur tangan dalam urusan ini, paling-paling hanya aku
yang mereka siksa. Tapi karena kau telah campur tangan,
maka semua penduduk desa ini akan menanggung
akibatnya. Rupangga dan anak buahnya pasti akan
kembali kemari! Bukankah kau telah mendengar ancaman
tadi?" sambung laki-laki setengah baya berpakaian putih
itu berapi-api.
Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main. Sungguh di
luar dugaan kalau campur tangannya akan membawa
akibat yang demikian besar. Perlahan emosinya pun mulai
surut.
"Aku mengaku salah, Ki. Tapi, percayalah. Kalau mereka
datang lagi, aku yang akan menghadapinya!" tegas pemuda
berpakaian kuning.
"Kuhargai bantuan yang kau tawarkan itu, Anak Muda,"
ucap Ki Paladi lagi. Suaranya kini telah mulai melunak.
Memang kemarahannya telah agak mereda begitu men-
dengar ucapan pemuda berpakaian kuning itu. “Tapi,
sayang. Aku tidak bisa menerimanya."
"Mengapa, Ki?!" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang
alis pemuda berpakaian kuning ini berkerut dalam.
Perasaan heran membayang jelas di wajahnya.
"Sebelumnya aku mohon maaf, Anak Muda. Bukannya
aku merendahkan kemampuanmu. Tapi, perlu kau ketahui,
lawan yang akan kau hadapi sangat banyak, dan memiliki
kepandaian tinggi."
"Aku tidak takut Ki!" selak Pendekar Tangan Baja cepat.
"Aku percaya kau tidak takut, Anak Muda. Tapi bagai-
mana dengan para penduduk? Bisakah kau melindungi
sekian banyak penduduk desa ini, sementara kau harus
menghadapi lawan-lawan tangguh."
Pendekar Tangan Baja terdiam. Disadari kebenaran
yang terkandung dalam ucapan kepala desa itu.
"Aku mohon dengan amat sangat, kau bersedia
menyingkir dari desa ini, Anak Muda," pinta Ki Paladi.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berpakaian
kuning lekat-lekat meminta pengertian pemuda itu.
"Hhh...!" desah Pendekar Tangan Baja setelah ter-
menung sekian lamanya "Baiklah. Kalau memang itu
kemauanmu, Ki. Aku akan pergi. Tapi, bagaimana kalau
mereka datang lagi?"
"Tidak usah kau pikirkan. Anak Muda. Aku yakin akan
dapat mengatasinya," sahut Ki Paladi. Meskipun begitu,
Pendekar Tangan Baja menangkap adanya nada keraguan
dalam ucapan kepala desa ini.
"Baiklah, Ki." Pendekar Tangan Baja akhimya terpaksa
mengalah.
“Terima kasih atas pengertianmu, Anak Muda."
Pendekar Tangan Baja hanya tersenyum pahit. Di
langkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kepala desa
menatap punggung pemuda berpakaian kuning hingga
lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja, aku dapat mengatasi-
nya!" gumam Ki Paladi pelan. Lalu dilangkahkan kakinya
menuju rumahnya. Kepala desa ini ingin mengobati luka-
luka akibat cambukan prajurit tadi
***
2
Malam datang menjelang. Kegelapan mulai menyelimuti
Desa Bakung. Suasana sepi pun mencekam sehuruh desa.
Angin dingin berhembus menggigilkan, menusuk sampai ke
tulang sumsum. Rasanya mustahil kalau ada penduduk
yang keluar rumah di malam seperti ini.
Namun, tak seorang penduduk pun tahu kalau di malam
dingin ini, berkelebatan beberapa sosok bayangan yang
bergerak cepat menuju desa. Menilik dan gerakan mereka
yang rata-rata cukup gesit itu, bisa diperkirakan kalau
sosok-sosok bayangan itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi.
Dalam keremangan malam, sosok-sosok bayangan yang
berkelebatan tadi tak ubahnya hantu-hantu yang
bergentayangan mencari mangsa.
Tak lama kemudian, sosok-sosok bayangan itu telah
memasuki mulut Desa Bakung. Sosok-sosok bayangan itu
rata-rata berwajah kasar. Jumlah mereka tidak kurang dari
tiga puluh orang! Dan begitu memasuki desa, mereka
berpencar. Berkelompok empat-empat, menuju rumah
rumah penduduk.
Srattt, srattt...!
Sinar terang berkilatan susul-menyusul begitu orang-
orang yang berwajah kasar itu menghunus senjatanya
masing-masing. Dan dengan senjata terhunus mereka
bergerak mendekati rumah warga desa.
Brakkk...!
Sebuah rumah yang letaknya paling dekat dengan mulut
Desa Bakung menjadi sasaran pertama. Daun pintu rumah
itu langsung hancur berantakan, mengeluarkan suara hiruk
pikuk ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya.
Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat penghuni
rumah tersentak bangun. Tapi, gerombolan orang kasar itu
tidak memberi kesempatan. Begitu pintu hancur, mereka
bergegas menerobos masuk. Dan langsung membabatkan
senjatanya pada penghuni rumah yang baru saja beranjak
keluar kamar.
Cappp, ceppp...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian saling susul. Diiringi robohnya
pemilik rumah yang sial itu dengan tubuh bermandikan
darah. Penduduk yang sial itu menggelepar-gelepar
sejenak sebelum akhimya diam tidak bergerak lagi. Tewas!
Malam yang begitu hening membuat suara jeritan itu
menggema ke seluruh desa. Tentu saja suara jerit
kematian itu mengejutkan penduduk yang berada di
sekitar rumah itu. Tapi belum sempat mereka berbuat
sesuatu, gerombolan orang-orang kasar lainnya tiba di
rumah mereka.
Dan seperti kejadian di rumah yang pertama. Peristiwa
serupa pun terjadi di rumah-rumah yang lain.
"Bakar...!"
Perintah seorang yang bertubuh tinggi besar, dan
berambut jarang, begitu melihat anak buahnya telah keluar
dari rumah yang penghuninya telah dibantai. Keras dan
tegas suaranya. Rupanya orang ini adalah pemimpin
rombongan.
Begitu si tanggi besar ini selesai mengucapkan perintah,
puluhan orang berwajah kasar itu pun segera bergerak
cepat. Obor-obor yang terpancang di tiap sudut rumah
diambil. Lalu dilemparkan ke rumah-rumah penduduk yang
sebagian besar berdinding bilik. Obor-obor itu tidak hanya
dilemparkan ke rumah-rumah yang penduduknya telah
terbantai, tapi juga ke rumah-rumah yang belum mereka
masuki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Dalam sekejap saja
rumah-rumah itu pun dilalap api yang lama-kelamaan
semakin membesar dan membesar. Kepanikan pun segera
terjadi. Para penduduk berlarian keluar rumah. Tapi, di luar
ternyata telah menghadang bahaya yang tak kalah
mengerikan.
Puluhan orang-orang kasar itu enak saja membabatkan
senjatanya ke sana kemari. Tentu saja para penduduk yang
tengah sibuk menyelamatkan diri dari amukan api, tidak
siap menghadapi bahaya yang tidak terduga itu. Dalam
waktu sekejap. Desa Bakung menjadi arena pembantaian
yang mengerikan!
Jerit kesakitan dari orang yang terluka, teriakan
ketakutan dari wanita-wanita, dan tangisan anak-anak
berbaur menjadi satu, di tengah tengah kobaran api yang
membumbung tinggi ke udara.
Suara hiruk-pikuk dan jeritan yang terdengar susul
menyusul, sayup sayup sampai di telinga Ki Paladi. Laki-
laki setengah baya berpakaian putih ini terkejut bukan
main. Bergegas kepala desa ini berlari ke luar rumahnya.
Kontan sepasang mata kepala desa ini terbelalak, begitu
melihat api yang membumbung tinggi ke udara. Buru-buru
Ki Paladi berlari menuju ke arah asal api.
Belum juga kepala desa itu tiba di tempat kejadian,
langkahnya terhalang oleh para penduduk yang berlari-lari
ketakutan. Sementara agak jauh di belakang mereka,
terlihat puluhan sosok bergerak terus memasuki desa. Di
sepanjang perjalanan, mereka membantai para penduduk
yang ditemui sambil terus membakari rumah.
Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya
berpakaian putih ini marah bukan kepalang melihat
kejadian ini. Cepat dia melesat menuju puluhan orang
kasar yang masih menyebar maut itu.
Tapi langkah kaki kepala desa ini segera terhenti, ketika
tiba-tiba sosok bayangan berkelebat menghadang di
hadapannya. Langkah Ki Paladi terpaksa dihentikan.
Sepasang matanya menatap tajam pada sosok yang berdiri
menghadang.
Sosok itu ternyata seorang laki-laki tinggi besar
berambut jarang dan berkulit putih. Pimpinan gerombolan!
"Ha ha ha...! Mau ke mana kau, Paladi?!" tegur laki-laki
tinggi besar itu kasar.
Sepasang mata Ki Paladi terbelalak, begitu mengenan
laki-laki tinggi besar di hadapannya. Tokoh itu adalah Gajah
Putih. Bersama adik kembamya yang berjuluk Gajah Hitam,
laki-laki tinggi besar ini menjadi kepala rampok yang kejam
dan ganas. Biasanya gerombolan ini beroperasi di hutan-
hutan. Tapi, mengapa sekarang bisa datang ke sini? tanya
Ki Paladi dalam hati. Perasaan bingung pun melanda hati
Kepala Desa Bakung ini.
"Gajah Putih! Tidak tahukah akibat dari perbuatanmu
ini?! Gusti Prabu akan mengerahkan pasukan untuk mem-
basmi kau dan anak buahmu!" ucap Ki Paladi mencoba
menggertak.
"Ha ha ha...!" Gajah Putih tertawa bergelak begitu
Kepala Desa Bakung itu menghentikan ucapannya. "Lucu!
Lucu sekali! Gusti Prabu tidak mungkin akan menangkap-
ku! Tahukah kau mengapa aku datang ke sini?"
Laki-laki setengah baya berpakaian putih menggeleng-
kan kepalanya.
"Aku datang ke sini, atas perintah Gusti Prabu!" tandas
Gajah Putih tegas.
"Apa?!" Ki Paladi terkejut bukan alang kepalang.
"Kau terkejut Paladi? Aku datang ke sini, untuk
menangkap Pendekar Tangan Baja. Hidup atau mati.
Sekaligus membumihanguskan desa ini! Semua ini atas
perintah Gusti Prabu Jayalaksana!" jelas Gajah Putih.
"Bohong! Kau bohong, Gajah Putih!" sentak Ki Paladi
dengan wajah pucat
"Ha ha ha..! Aku tidak peduli, kau mau percaya atau
tidak! Cepat beritahukan tempat pendekar keparat itu!"
bentak Gajah Putih.
"Aku tidak tahu. Pemuda itu sudah pergi," sahut kepala
desa itu.
"Kalau begitu, sekarang giliranmu dulu, Paladi! Kau dan
seluruh penduduk desa ini! Hiyaaat. !"
Setelah menyelesaikan kata-katanya, laki-laki tinggi
besar yang berjuluk Gajah Putih itu langsung menerjang
sang kepala desa. Kepalannya yang besar, meluncur deras
ke arah kepala Ki Paladi. Angin berdesir keras mengiringi
tibanya pukulan itu.
Wuuuttt..!
Tapi Ki Paladi ternyata bukanlah orang lemah. Dengan
sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke kanan.
Sehingga serangan tinju Gajah Putih mengenai tempat
kosong. Lewat setengah jengkal dari pinggang laki-laki tua
berpakaian putih itu.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Ki
Paladi. Pada saat itu juga, kepala desa ini mengayunkan
kakinya ke arah dada lawan.
Bukkk!
"Eh...?!"
Ki Paladi memekik kaget. Tendangannya yang telak
mendarat pada sasarannya, membalik. Malah sekujur
kakinya dirasakan ngilu bukan kepalang. Seolah-olah yang
ditendangnya tadi bukanlah dada manusia, melainkan
segumpal baja kuat, sehingga membuat tenaga
tendangannya tak berarti. Dan belum lagi hilang rasa
terkejutnya, tangan kanan Gajah Putih menyambar
kakinya.
Tappp...!
"Akh...!"
Ki Paladi terkejut bukan main tatkala menyadari
pergelangan kakinya telah tertangkap Gajah Putih.
Laki-laki setengah baya berpakaian putih ini sadar kalau
dirinya berada dalam bahaya. Cepat-cepat ditarik kakinya.
Tapi, ternyata cengkeraman tangan Gajah Putih terlalu
kuat. Jangankan terlepas, bergeming pun tidak! Kepala
Desa Bakung ini pun jadi ngeri bukan main. Ki Paladi tahu
kalau nyawanya kini terancam. Sekali saja Gajah Putih
menggerakkan jari-jari mencengkeram, atau membetot
kakinya, celakalah dia.
Tapi di saat kritis bagi Ki Paladi, sesosok bayangan
kuning melesat cepat. Dan langsung mengirimkan pukulan
keras ke perut laki-laki tinggi besar berambut jarang itu.
Bukkk!
"Hugh...!" .
Tubuh Gajah Putih tertunduk. Rasa mual dan mules
yang amat sangat melanda perutnya. Seketika itu juga
cengkeraman pada kaki Ki Paladi terlepas.
Tanpa membuang-buang waktu kepala desa itu
langsung melompat mundur. Tahu-tahu di sebelah Ki
Paladi telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning,
dan bercambang lebat
"Pendekar Tangan Baja," desis Ki Paladi memanggil
pemuda itu.
Sang penolong yang memang Pendekar Tangan Baja itu
hanya melempar seulas senyum
***
Sementara itu Gajah Putih yang kini sudah berhasil
memulihkan rasa sakit di perutnya, segera berdiri tegak
kembali. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan
pada pemuda berpakaian kuning yang berdiri di depannya.
Tapi di samping perasaan marahnya, perasaan kaget pun
melanda hatinya. Pemuda berpakaian kuning itu mampu
membuat perutnya sakit, hanya dengan sekali pukul.
Padahal selama ini belum pemah seorang lawan yang
mampu menembus kekerasan kulit tubuhnya.
"Keparat!" geram laki-laki tinggi besar berambut jarang
itu. "Jadi, kau orang yang berjuluk Pendekar Tangan Baja?!"
“Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning seraya
menganggukkan kepalanya.
Gajah Putih menggeram keras.
"Kalau begitu, kau harus mampus di tanganku!
Hiyaaa...!"
Laki-laki tinggi besar berambut jarang itu menerjang
Pendekar Tangan Baja. Kedua tangannya yang terkepal,
mengirimkan serangan beruntun pada dada, ulu hati, dan
perut pemuda berpakaian kuning.
Angin menderu dahsyat mengawali tibanya serangan
Gajah Putih. Tapi pemuda berpakaian kuning itu seperti
tidak mempedulikannya. Bahkan kepalanya menoleh ke
arah Ki Paladi.
"Lebih baik kau bantu para penduduk, Ki," ucap
Pendekar Tangan Baja pada Ki Paladi yang berdiri terpaku,
menonton pertarungan kedua tokoh itu.
Tentu saja sikap pemuda ini membuat Gajah Putih ber-
tambah murka. Karena dilihatnya pemuda berpakaian
kuning itu sama sekali tidak memandang sebelah mata
kepadanya!
Memang bagi Pendekar Tangan Baja, serangan yang
dilancarkan Gajah Putih tidak terlalu berbahaya. Gerakan
laki-laki tinggi besar berambut jarang ini terlalu lamban
baginya. Hanya saja setiap serangannya mengandung
tenaga dalam penuh.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, pemuda berpakaian kuning
menggerakkan kedua tangannya yang terkepal, memapak
pukulan Gajah Putih.
Dukkk, dukkk...!
Suara berderak keras terdengar ketika buku-buku tulang
kedua orang ini berbenturan. Hebat akibatnya. Baik
Pendekar Tangan Baja maupun Gajah Putih sama-sama
terjajar ke belakang. Tenaga dalam kedua orang ini
ternyata berimbang.
Semula begitu melihat lawan menangkis serangannya,
Gajah Putih tertawa dalam hati. Laki-laki tinggi besar ini
sudah dapat meramalkan kalau kedua tangan pemuda itu
akan patah-patah bila bertemu lengannya. Maka dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya begitu melihat kedua
tangan pemuda berbaju kuning itu tidak apa-apa.
Bukan hanya Gajah Putih saja yang terkejut Pendekar
Tangan Baja pun mengalami hal yang serupa. Sungguh
tidak disangkanya kalau tenaga laki-laki tinggi besar
berambut jarang ini begitu kuatnya. Sadarlah pemuda
berpakaian kuning kalau kali ini dia tidak boleh bertindak
main-main. Tapi walau bagaimana pun, Gajah Putih harus
secepatnya ditundukkan, agar tidak jatuh korban lebih
banyak lagi.
Meskipun tengah bertempur, Pendekar Tangan Baja
sempat melihat Ki Paladi tengah bertarung menghadapi
gerombolan orang-orang berwajah kasar itu. Meskipun
hanya melirik sekilas, Pendekar Tangan Baja dapat
mengetahui kalau kepala desa itu tengah terdesak. Laki-
laki setengah baya berpakaian putih itu tengah meng-
hadapi keroyokan empat orang anggota gerombolan
pengacau. Sedangkan sisa gerombolan masih menyebar
maut, sambil terus melempari obor ke rumah-rumah pen-
duduk. Warga desa yang memiliki sedikit kepandaian, men-
coba mengadakan perlawanan. Tapi usaha mereka sia-sia
belaka. Gerombolan orang kasar itu dengan mudah me-
matahkan perlawanan mereka, dan membantainya.
Ki Paladi menggertakkan gigi. Laki-laki setengah baya
berpakaian putih ini sudah mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Tapi ternyata empat orang lawannya ter-
lalu tangguh. Hal ini membuat kepala desa ini menjadi
gelisah bukan main. Sementara Pendekar Tangan Baja
dilihatnya masih sibuk bertarung dengan Gajah Putih. Tidak
ada lagi orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi
gerombolan liar itu.
Mendadak, pendengaran Ki Paladi mendengar suara
teriakan teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya
anggota gerombolan itu satu persatu. Tentu saja hal ini
membuat Ki Paladi kaget. Sambil terus menghadapi empat
orang pengeroyoknya, sudut matanya melirik.
Tampak oleh Ki Paladi, seorang pemuda berpakaian
ungu dan berambut putih keperakan telah berdiri di situ.
Luar biasa! Pemuda itu hanya mengibas-ngibaskan tangan-
nya dengan sikap sembarangan saja. Tapi akibatnya,
gerombolan perampok itu berpentalan seperti dilanda
angin badai yang amat kuat.
Dalam waktu singkat, belasan anggota gerombolan
sudah berpentalan tak tentu arah. Dan hebatnya, setiap
anggota yang berpentalan itu tidak mampu bangkit lagi.
Meskipun begitu, tidak ada di antara mereka yang tewas!
Sementara di lain arena, Pendekar Tangan Baja sudah
menguasai keadaan. Berkat ilmu meringankan tubuh, dan
kecepatan geraknya yang jauh di atas Gajah Putih, pemuda
berpakaian kuning itu dapat menekan lawannya. Tidak
sampai delapan jurus bertarung, Gajah Putih sudah ter-
desak hebat.
Gajah Punh meraung murka. Berkali-kali laki-laki tinggi
besar dan berambut jarang ini dibuat pontang-panting
menyelamatkan selembar nyawanya. Gajah Putih tidak
berani menerima setiap pukulan yang dilontarkan pemuda
berpakaian kuning itu. Tapi laki-laki tinggi besar dan
berambut jarang berani membiarkan kaki Pendekar
Tangan Baja menghantam sekujur tubuhnya.
Gajah Putih memang mempunyai kulit tubuh yang kuat
seperti badak. Biasanya laki-laki tinggi besar dan berambut
jarang ini selalu memamerkan kekuatan tubuhnya, dan
menerima setiap serangan lawannya. Tapi menghadapi
Pendekar Tangan Baja, dia tidak berani mengandalkan
kekuatan tubuhnya. Kehebatan tangan pemuda ber-
pakaian kuning itu sudah dia rasakan ketika menghantam
perutnya tadi.
"Hiyaaat..!"
Seraya mengeluarkan teriakan nyaring. Pendekar
Tangan Baja melancarkan sebuah pukulan ke arah perut.
Cepat bukan main gerakannya. Cepat dan tidak terduga-
duga. Gajah Putih terkejut bukan main. Sedapat mungkin
laki-laki tinggi besar dan berambut jarang ini berusaha
mengelak. Tapi...
Bukkk!
"Hukh...!"
Gajah Putih melenguh tertahan. Tubuhnya terbungkuk
seketika. Perutnya terasa mual dan mules bukan main.
Dan di saat itulah serangan susulan dan Pendekar Tangan
Baja kembali menyambar. Dua jari tangan pemuda ber-
pakaian kuning itu menegang kaku dan menyambar cepat
ke arah dahi.
Wuuuttt...! Crottt..!
"Aaakh...!"
Gajah Putih menjerit memilukan. Kedua jari Pendekar
Tangan Baja amblas di dahinya. Cairan merah bercampur
cairan putih kental bermuncratan, ketika dahi laki-laki
tinggi besar itu tertembus dua jari pemuda berpakaian
kuning. Tubuh laki-laki tinggi besar dan berambut jarang itu
menggelepar-gelepar sejenak. Sesaat kemudian diam, tak
bergerak untuk selamanya.
Sekilas Pendekar Tangan Baja menatap Gajah Putih
yang tergolek kaku di tanah. Baru setelah itu tubuhnya
kembali melesat. Kali ini ke arah Ki Paladi yang tengah
terdesak oleh empat orang lawannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara pemuda berpakaian kuning itu
mendarat di dekat Kepala Desa Bakung. Tangan dan
kakinya bergerak cepat.
"Akh...! Aaa...!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul mengiringi
robohnya keempat tubuh tanpa nyawa di tanah.
Ki Paladi segera melompat mundur begitu melihat
empat lawannya sudah roboh tidak bergerak lagi. Dan
berbareng dengan robohnya keempat pengeroyok Ki
Paladi, pemuda berambut putih keperakan itu sudah pula
berhasil merobohkan anggota gerombolan perampok yang
tersisa.
Berbeda dengan lawan yang dihadapi Pendekar Tangan
Baja, lawan yang berhadapan dengan pemuda berambut
putih keperakan itu tidak ada seorang pun yang tewas. Tapi
usaha pemuda berambut putih keperakan itu sia-sia
belaka. Karena begitu orang-orang kasar itu merasa tidak
mampu melawan lagi, mereka bunuh diri!
Pemuda berambut putih keperakan menghela napas
ketika melihat semua lawan yang dirobohkan itu,
semuanya mati bunuh diri. Beberapa saat lamanya
pemuda ini tercenung.
***
Sementara itu api yang berkobar pun sudah mulai
padam. Memang, setelah pemuda berambut putih
keperakan itu muncul para penduduk tidak terganggu lagi
oleh amukan gerombolan orang-orang kasar itu. Perhatian
anggota gerombolan itu, semua tertumpah pada pemuda
yang lihai itu. Sehingga para penduduk leluasa untuk
menanggulangi kebakaran.
Ki Paladi beranjak menghampiri pemuda berambut putih
keperakan. Sepasang mata laki-laki tua berpakaian putih
itu merayapi sekujur tubuh pemuda di hadapannya. Dilihat
juga sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda
itu.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau
tidak ada dirimu, entah apa yang terjadi dengan seluruh
penduduk desa ini." ucap Kepala Desa Bakung.
"Lupakanlah, Ki." sahut pemuda berambut putih
keperakan. Pelan dan halus suaranya "Apa yang kulakukan
ini adalah suatu hal yang biasa. Bukankah hidup di dunia
ini kita harus saling tolong menolong?"
Ki Paladi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara Pendekar Tangan Baja hanya menggerakkan
bagian atas bibimya. Entah apa maksudnya, hanya pemuda
itu sendiri yang tahu. Tapi yang jelas, Pendekar Tangan
Baja diam-diam mengagumi ketinggian ilmu yang dimiliki
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau boleh kutahu, siapa kau, Anak Muda? Dan ke
mana tujuanrnu?" tanya Ki Paladi lagi.
"Namaku Arya, Ki. Aku pergi ke mana saja kakiku
melangkah. Kalau boleh kutahu, apakah yang terjadi di
desa ini, Ki?" tanya pemuda berambut putih keperakan
yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
Ki Paladi tersenyum kecut.
"Sifatmu tidak jauh berbeda dengan Pendekar Tangan
Baja! Ataukah memang sifat semua orang muda begitu?
Selalu ingin mencampuri urusan orang lain?" sindir Kepala
Desa Bakung itu.
Dewa Arak saling pandang dengan Pendekar Tangan
Baja. Bibir kedua pendekar muda itu sama-sama
menyunggingkan senyum.
“Tentu saja tidak semua, Ki. Yang kucampuri hanya
urusan-urusan yang di dalamnya ada ketidak adilan," sahut
Dewa Arak tandas.
Pendekar Tangan Baja mengangguk-anggukkan kepala-
nya, pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak.
"Bisa kumengerti apa maksudmu, Arya. Tapi, perlu kau
ketahui, dalam urusan ini kuanjurkan kau dan Pendekar
Tangan Baja lebih baik tidak usah ikut campur," ucap Ki
Paladi memberi nasihat.
"Mengapa. Ki?" tanya Pendekar Tangan Baja. Sepasang
alis pemuda berpakaian kuning itu berkerut dalam tanda
kalau hatinya dilanda perasaan penasaran. "Kali ini aku
mohon, kau mau menjelaskan alasanmu, Ki. Jangan lagi
berteka-teki."
Dewa Arak menatap wajah Ki Paladi dan Pendekar
Tangan Baja bergantian. Pemuda ini tidak paham maksud
pembicaraan kedua orang itu.
"Jadi, kejadian ini bukan yang pertama kalinya.
Pendekar Tangan Baja?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Benar, Arya," sahut pemuda berpakaian kuning itu
pelan. "Pagi tadi juga ada kejadian di desa ini." Kemudian
Pendekar Tangan Baja menceritakan semua kejadian yang
dialaminya.
"Apakah kejadian malam ini ada sangkut pautnya
dengan kejadian tadi pagi, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Hhh...!" Ki Paladi menghela napas panjang.
Pelahan kepalanya terangguk. Sementara Pendekar
Tangan Baja menatap pemuda berambut putih keperakan
itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Memang belum
dimengertinya maksud pertanyaan Dewa Arak.
"Aneh...," gumam Dewa Arak pelan. Dahi pemuda
berambut putih keperakan itu berkemyit dalam. Jelas ada
sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Pendekar Tangan Baja dan Ki Paladi menatap Dewa
Arak.
"Apa yang aneh, Arya?" tanya pemuda berpakaian
kuning itu agak bingung. Sedangkan Ki Paladi hanya
terdiam.
"Bukankah pagi tadi kau berurusan dengan prajurit-
prajurit kerajaan, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya tanpa
mempedulikan pertanyaan pemuda berpakaian kuning itu.
"Ahhh...! Kau benar, Arya! Mengapa aku begitu bodoh?!"
sentak Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berpakaian
kuning itu mulai dapat meraba penyebab malapetaka di
Desa Bakung malam ini. Setelah berkata demikian,
Pendekar Tangan Baja menatap wajah Ki Paladi lekat-
lekat. Sinar matanya menyiratkan keingintahuan yang
mendalam.
"Panjang sekali ceritanya. Mari ke rumahku. Akan
kuceritakan semuanya, agar kalian berdua tidak penasaran
lagi!" ucap laki-laki tua berpakaian putih setelah tercenung
beberapa saat lamanya.
"Pardi!" panggil Kepala Desa Bakung. Ditolehkan
kepalanya ke arah kerumunan penduduk yang masih sibuk
memadamkan api yang mulai mengecil.
"Ya, Ki!" sahut sebuah suara. Disusul dengan munculnya
pemuda bertubuh kekar yang menyibak dari kerumunan
penduduk.
"Kau wakili aku mengurus semua keadaan di sini,"
perintah Ki Paladi.
"Baik, Ki," pemuda kekar yang bernama Pardi meng-
anggukkan kepalanya.
Setelah Pardi berlalu, Ki Paladi kembali mengalihkan
perhatian kepada dua orang pemuda perkasa itu.
"Mari...," ucap kepala desa mempersilakan, seraya men-
dahului melangkah meninggalkan tempat itu. Pendekar
Tangan Baja dan Dewa Arak segera mengikuti laki-laki tua
berpakaian putih yang telah berjalan lebih dulu.
***
"Semula aku tidak ingin menceritakannya pada kalian,"
ucap Ki Paladi membuka percakapan, setelah ketiganya
berada di ruang tengah yang cukup luas di rumah kepala
desa.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak hanya diam saja.
Sedikit pun mereka tidak berusaha menyelak ucapan laki-
laki tua berpakaian putih itu. Meskipun begitu, pen-
dengaran dan pikiran mereka dipasang tajam-tajam,
menyimak semua perkataan Ki Paladi.
"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa semua ini
bisa terjadi," sambung laki-laki tua berpakaian putih lagi.
"Setahuku Gusti Prabu Jayalaksana adalah raja yang adil.
Tidak pernah Gusti Prabu memberatkan rakyatnya. Tapi...,
beberapa pekan belakangan ini..., banyak keputusan Gusti
Prabu yang aneh. Dalam hal pajak, misalnya. Pajak yang
dibebankan Gusti Prabu pada rakyatnya terlalu mencekik
leher!"
Ki Paladi menghentikan ceritanya sejenak untuk meng-
ambil napas. Sekaligus juga untuk melihat reaksi kedua
pemuda perkasa yang duduk di hadapannya. Tapi, baik
Dewa Arak maupun Pendekar Tangan Baja sama sekali
tidak memberikan tanggapan. Rupanya kedua pemuda itu
ingin mendengarkan cerita itu dulu hingga selesai.
"Aku khawatir kalau keadaan seperti ini terus berlarut-
larut, rakyat akan memberontak," ucap Ki Paladi meng-
akhiri centanya.
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak saling pandang.
Bahkan dahi Dewa Arak berkernyit. Suatu bukti nyata ada
hal yang mengganggu pikirannya.
"Bagaimana? Kalian masih mau ikut campur tangan?
Kalau menurutku, lebih baik kalian segera menyingkir dari
sini. Keluar dari wilayah Kerajaan Kamujang. Ingat, kalian
berhadapan dengan ribuan orang! Pikirlah baik-baik," ujar
Ki Paladi menasihati.
“Terima kasih atas usulmu, Ki. Tapi sayang, aku tidak
dapat menerimanya. Aku telah telanjur mencampuri urusan
ini. Jadi mau tidak mau harus kuselesaikan hingga tuntas,"
tegas Dewa Arak.
"Kau hanya akan mengantar nyawa saja, Arya. Sudah
banyak pendekar yang mencoba menentang kelaliman
Gusti Prabu Jayalaksana. Tapi, hanya kematian yang
mereka dapatkan. Kerajaan Kamujang memiliki jago-jago
istana yang memiliki kepandaian luar biasa!" laki-laki tua
berpakaian putih mencoba mencegah niat pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Bagus sekali, Arya!" selak Pendekar Tangan Baja cepat
"Mari kita bahu-membahu menentang kekejaman raja lalim
itu!"
Dewa Arak tersenyum mendengar ucapan penuh
semangat dari pemuda berpakaian kuning itu.
"Kau dengar sendiri, Ki? Pendekar Tangan Baja tidak
gentar! Demi membela kebenaran kami rela mengorban-
kan nyawa kami, Ki," tukas pemuda berbaju ungu itu.
"Hhh...! Terserahlah kalau itu memang sudah menjadi
tekad kalian," ujar Ki Paladi seraya menghela napas
panjang.
“Terima kasih, Ki," sahut Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja berbarengan.
"Kudoakan semoga kalian berhasil!" ucap Kepala Desa
Bakung pelan. Suaranya lebih mirip desahan.
Pendekar Tangan Baja bangkit dari duduknya Dewa Arak
bangkit juga.
"Untuk kesuksesan kita, Arya." ujar Pendekar Tangan
Baja sambil mengulurkan tangan.
Dewa Arak tersenyum lebar seraya menyambut uluran
tangan pemuda berpakaian kuning itu. Dijabatnya tangan
Pendekar Tangan Baja erat-erat. Diam-diam pemuda
berambut putih keperakan itu merasa kagum ketika
merasakan jari-jemari tangan pemuda di hadapannya.
Sekilas pandangan Dewa Arak singgah pada tangan
Pendekar Tangan Baja. Kini pemuda berambut putih
keperakan maklum mengapa pemuda berpakaian kuning
itu berjuluk Pendekar Tangan Baja.
Jari jemari dan tangan pemuda ini memang benar-benar
lebih mirip baja ketimbang tangan manusia. Begitu kokoh
dan kuat!
"Kami permisi dulu, Ki." ucap Dewa Arak seraya
melepaskan genggaman tangannya. Kemudian kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak bicara
Pendekar Tangan Baja berjalan mengikuti.
Ki Paladi hanya menganggukkan kepalanya. Di
pandanginya terus tubuh dua orang pemuda itu hingga
lenyap di kejauhan.
***
3
Bangunan tua itu memang besar dan megah. Halamannya
yang luas, terkurung pagar tembok tinggi dan kokoh. Tapi
terlihat kumuh dan tidak terawat. Apalagi letaknya memang
terpencil, jauh di dalam hutan. Entah siapa yang telah
membangunnya. Yang jelas, sudah sejak lama, bangunan
yang terlihat menyeramkan itu tidak ditinggali orang lagi.
Tapi malam ini ternyata berlainan dengan malam-malam
biasanya. Dari dalam bangunan itu terdengar bentakan-
bentakan keras penuh kemarahan.
Ternyata di salah satu ruangan telah berkumpul banyak
orang. Mereka duduk bertebaran di lantai yang bersih.
Memang, sungguhpun dari luar terlihat tidak terawat, tetapi
bagian dalam bangunan tua itu ternyata terpelihara baik.
Sekitar dua tombak di hadapan orang-orang yang duduk
bertebaran, duduk seorang laki-laki setengah baya ber-
pakaian rompi coklat. Sebuah daun telinganya tidak
terlihat.
Rupanya laki-laki setengah baya berpakaian rompi
coklat adalah pemimpin dari orang-orang ini. Dan rupanya
sang Pemimpin tengah marah-marah. Terbukti suara-suara
yang dikeluarkannya sejak tadi selalu keras bernada penuh
kemarahan.
"Bodoh! Dungu! Hanya membunuh satu orang saja,
kalian tidak becus!" sang Ketua memaki.
Sementara di depannya berdiri seorang berwajah kasar,
berbibir tebal dan berkulit hitam dengan kepala ditunduk-
kan.
"Maafkan kami, Ketua. Kalau saja tidak ada yang
seorang lagi, mungkin kami berhasil membumihanguskan
Desa Bakung, sekaligus membunuh Pendekar Tangan
Baja...." jawab si bibir tebal. Memang, laki-laki berbibir tebal
ini adalah salah seorang dari gerombolan pengacau di
Desa Bakung yang selamat.
"Jadi, ada orang lain yang telah membantu Pendekar
Tangan Baja?" selak laki-laki berdaun tellnga satu itu tak
sabar.
"Benar, Ketua," jawab si bibir tebal singkat.
"Hm...," laki-laki berompi coklat yang dipanggil ketua itu
hanya menggumam "Bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Orangnya masih muda, berambut putih keperakan, dan
berpakaian serba ungu...."
"Dewa Arak...!" desis laki-laki setengah baya itu. Nada
suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat
sangat.
"Ketua kenal dengan pemuda itu?" tanya laki-laki ber-
bibir tebal.
Laki-laki berompi coklat menggelengkan kepalanya.
"Hanya mendengar julukannya saja. Menurut cerita yang
kudengar, dunia persilatan telah dibuat geger dengan
kemunculan seorang pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti
yang kau sebutkan. Julukannya Dewa Arak!"
"Pemuda itu membawa guci di punggungnya, Ketua!"
ucap laki-laki berbibir tebal itu menambahkan. Kini dia
teringat. Memang pemuda berambut putih keperakan itu
membawa sebuah guci di punggungnya.
"Kalau begitu, benar dia Dewa Arak! Kali ini kita
mendapat lawan yang benar-benar tangguh! Hhh...! Aku
harus berbuat sesuatu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berompi coklat itu
termenung. Perlahan dia bangkit dan kakinya dilangkahkan
mondar-mandir memutari ruangan. Sementara tangannya
terpacak di dagu. Jelas kalau dia tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian, laki-laki berompi coklat itu me-
langkah memasuki sebuah kamar. Cukup lama juga dia
berada di sana. Ketika keluar dari kamar, di tangannya
tergenggam sebuah bambu yang diserut halus, dan di
bagian dalamnya terdapat segulung surat.
"Berikan pada Gusti Prabu Jayalaksana," perintah laki-
laki berompi coklat kepada si bibir tebal.
"Baik, Ketua." sahut laki-laki berbibir tebal itu seraya
berjalan meninggalkan tempat itu.
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berpakaian rompi coklat itu
tertawa bergelak setelah laki-laki berbibir tebal itu telah
tidak berada lagi di situ. Suara tawanya berkumandang,
menggema ke seluruh bangunan itu.
***
Sementara itu, di balariung Istana Kerajaan Kamujang
yang megah, tampak seorang laki-laki setengah baya
tengah duduk di atas singgasana. Wajahnya tampan dan
berwibawa.
"Hhh...!" desah Prabu Jayalaksana seraya menggulung
kembali surat yang baru saja dibacanya. Pandangannya
dialihkan pada laki-laki berwajah kasar dan berbibir tebal
yang duduk bersila di depannya.
"Sampaikan pada ketuamu. Permintaannya kukabul-
kan," sabda Raja Kamujang itu penuh wibawa.
"Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu," sahut laki-laki
berbibir tebal itu seraya memberi hormat.
Prabu Jayalaksana tersenyum getir.
"Apabila sudah tidak ada lagi pesan, perkenankan
hamba mohon diri, Gusti Prabu."
Raja Kerajaan Kamujang ini menganggukkan kepalanya.
"Silakan," ucap Prabu Jayalaksana pelan.
Laki-laki berbibir tebal memberi hormat, kemudian
melangkah meninggalkan balariung istana.
"Prajurit...'" panggil Prabu Jayalaksana.
Prajurit penjaga pintu balariung Istana, bergegas masuk
dan memberi hormat.
"Hamba, Gusti Prabu," ucap prajurit itu penuh hormat
"Panggil Panglima Ramkin kemari! Cepat..!" perintah
Prabu Jayalaksana keras.
Prajurit itu kembali melangkah ke luar. Tak lama
kemudian, prajurit itu sudah kembali bersama seorang ber-
pakaian panglima perang.
"Gusti Prabu memanggil hamba?" tanya orang ber-
pakaian panglima perang yang bertubuh tinggi besar, dan
bercambang bauk lebat. Namanya Panglima Ramkin.
"Ya." sahut Raja Kamujang. "Kau kuperintahkan mem-
bawa pasukanmu menangkap Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja, hidup atau mati!" Lalu Prabu Jayalaksana
memberitahukan ciri-cirinya.
"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu," sahut Panglima
Ramkin tegas.
Seorang laki-laki setengah baya berambut jarang
tersentak kaget mendengar perintah itu. Patih Juminta
namanya.
"Boleh hamba bicara, Gusti Prabu?" tanya Patih Juminta
hati-hati.
"Silakan, Patih." sambut Prabu Jayalaksana.
“Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba bersikap lancang
Tapi…., apakah Gusti Prabu tidak salah membuat
keputusan?"
Sepasang alis Prabu Jayalaksana berkerut.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Patih."
"Mengenai perintah penangkapan itu, Gusti Prabu," jelas
Patih Juminta. Nada bicaranya terdengar berhati-hati
sekali.
"Hm...! Apa ada yang aneh dalam perintah itu, Patih?"
tanya Prabu Jayalaksana. Nada suaranya jelas menyiratkan
perasaan tidak senang.
Patih Juminta tentu saja merasakan ketidaksenangan
Raja Kamujang itu. Dan ini membuatnya jadi gugup.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap sang Patih mem-
beranikan diri.
"Katakan apa yang salah dalam perintah itu, Patih?"
desak Prabu Jayalaksana tanpa mempedulikan permintaan
maaf Patih Juminta.
"Anu..., Gusti Prabu.... Mengenai pemuda berambut
putih keperakan itu. Gusti...."
"Hm...! Lalu...?"
"Kalau hamba tidak salah..., pemuda itu pasti Dewa
Arak!"
Raja Kamujang itu tersenyum mengejek.
"Lalu mengapa kalau benar pemuda itu Dewa Arak? Kau
takut?!" sindir Prabu Jayalaksana tajam.
Merah wajah Patih Juminta seketika.
"Bukannya hamba takut. Tapi...."
"Diam!" bentak Prabu Jayalaksana keras. "Kalau kau
membuka mulut lagi, kau akan kupenjarakan, Juminta!"
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba mengaku salah...," ucap
Patih Juminta sambil memberi hormat.
"Panglima Ramkin," ucap Prabu Jayalaksana pada
seorang bertubuh tinggi besar dan bercambang lebat di
hadapannya.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut Panglima Ramkin seraya
memberi hormat.
"Kau sudah tahu tugasmu?"
"Sudah, Gusti Prabu," jawab panglima itu lagi.
"Bagus! Laksanakan segera!" perintah Raja Kamujang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut laki-laki bercambang lebat itu.
"Hamba mohon diri."
Prabu Jayalaksana hanya menganggukkan kepalanya
saja. Dan Panglima Ramkin pun berlalu setelah terlebih
dulu kembali memberi hormat. Sementara itu Patih
Juminta hanya diam tertunduk. Suasana balariung istana
kembali menjadi hening.
***
Pendekar Tangan Baja dan Dewa Arak melangkah
memasuki mulut sebuah desa. Dan seperti juga Desa
Bakung, keadaan desa ini juga sangat menyedihkan. Anak-
anak yang kurus kering dan tanpa pakaian, selalu mereka
temui di pinggir jalan.
Pendekar Tangan Baja yang memang berwatak
berangasan menggertakkan gigi saking geram.
"Raja lalim itu memang harus dibinasakan!" desis
pemuda berbaju kuning tajam.
Dewa Arak diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya
ucapan Pendekar Tangan Baja. Sepasang matanya
menerawang jauh memandang ke depan. Sementara
sepasang kakinya terus dilangkahkan.
"Kalau boteh kutahu, ke mana tujuanmu, Pendekar
Tangan Baja?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" pemuda berpakaian kuning itu menghela napas
panjang sebelum menjawab pertanyaan Arya. "Sebenarnya,
aku tengah mencari paman guruku."
"Paman gurumu?"
"Ya," jawab Pendekar Tangan Baja singkat.
"Boleh kutahu.... Maaf, bukannya aku ingin mencampuri
urusanmu," ucap Dewa Arak bemada ingin tahu.
Pendekar Tangan Baja tercenung sejenak.
"Paman guruku kabur dari tempat penyepiannya."
"Maksudmu...?" tanya Dewa Arak masih kurang jelas.
Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih
belum jelas akan cerita pemuda berpakaian kuning itu.
"Begini, Arya. Di sebuah tempat... maaf aku tidak boleh
menyebutkan namanya, tinggal guruku dan adik seper-
guruannya. Guruku tahu kalau adik seperguruannya ber-
watak jelek, maka beliau sengaja mengurungnya di tempat
itu. Tapi sungguh tidak disangka kalau paman guruku itu
bisa meloloskan diri dari situ. Guruku lalu menyuruhku
turun gunung untuk mencegah paman guruku itu
mengacau dunia persilatan," jelas Pendekar Tangan Baja
panjang lebar.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
sudah dimengertinya semua cerita Pendekar Tangan Baja.
Tapi mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan
berkerut ketika sepasang matanya melihat debu mengepul
tinggi di kejauhan. Di sela-sela kepulan debu terlihat panji-
panji kebesarah Kerajaan Kamujang berkibaran dengan
megah. Rupanya orang-orang itu adalah prajurit-prajurit
Kamujang.
"Ada rintangan pertama di depan, Pendekar Tangan
Baja," ucap Dewa Arak pelahan seraya menolehkan kepala
menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri di
sebelahnya.
"Kebetulan sekali! Sudah sejak tadi tanganku gatal-
gatal!" sambut Pendekar Tangan Baja. Mulutnya
menyunggingkan sebuah senyum kegembiraan.
"Kita tunggu saja dulu, apa keinginan mereka," ujar Arya
memberi nasihat. Setelah kepulan debu itu semakin dekat,
jelas terlihat kalau yang datang adalah serombongan
prajurit berkuda.
"Kurasa tidak perlu, Arya!" bantah Pendekar Tangan
Baja. "Menghadapi orang-orang kejam seperti mereka,
tidak pedu lagi sikap bijaksana "
Dewa Arak menggelengkan kepalanya.
"Kau lupa, Pendekar Tangan Baja! Mereka itu hanya
prajurit! Bukan tidak mungkin mereka melakukan semua
perintah itu karena terpaksa," jelas Arya.
"Aku tidak peduli!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Dewa Arak menatap pemuda berbaju kuning yang berdiri
di sebelahnya tajam-tajam. Tapi yang ditatap malah mem-
balasnya tak kalah tajam.
"Selama jalan kekerasan bisa dihindari, untuk apa kita
memaksakan diri melakukannya?" sambung Dewa Arak
lagi.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas
panjang "Sayang sekali kita mempunyai pemikiran yang
berbeda, Arya."
"Hhh...!" Dewa Arak pun menghela napas panjang.
Tapi kedua pemuda perkasa ini tidak bisa berlama-lama
terlibat pertentangan pendapat karena pasukan prajurit
berkuda telah semakin dekat.
"Hooop...!"
Seorang pasukan kerajaan berpangkat panglima
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, seraya menarik
tali kekang kudanya. Seketika itu juga, rombongan prajurit
serentak menghentikan lari kudanya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah dan manis, Panglima
Ramkin melompat dari punggung kudanya. Berturut-turut
para prajurit dan punggawa yang berada di belakang sang
Panglima melompat dari punggung kuda masing-masing.
Panglima Ramkin memperhatikan Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki.
“Benar kalian berdua yang berjuluk Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja?!" tanya laki-laki bercambang lebat
ini setengah menuduh.
"Benar! Lalu, kalian mau apa?!" jawab Pendekar Tangan
Baja cepat sebelum Dewa Arak sempat menjawab.
"Kuanjurkan lebih baik kalian menyerah. Aku tidak
segan-segan menggunakan kekerasan bila kalian mem-
bangkang!" ucap laki-laki bercambang lebat. Bibirnya
menyunggingkan senyuman sinis.
"Ha ha ha...! Boleh kau coba!" tantang Pendekar Tangan
Baja sambil tertawa bergelak. "Ingin kulihat siapa di antara
kalian yang bisa menangkap Pendekar Tangan Baja!"
Merah wajah Panglima Ramkin mendengar tantangan
itu.
“Tangkap mereka!" perintah panglima itu keras. Tanpa
menunggu diperintah dua kali, lima puluh prajurit dan
punggawa bergerak berbarengan, mengepung Dewa Arak
dan Pendekar Tangan Baja.
Diam-diam Dewa Arak menyesali kecerobohan Pendekar
Tangan Baja. Tapi, kini dia tidak bisa berbuat apa-apa,
kecuali berjuang untuk menyelamatkan selembar nyawa-
nya. Tapi meskipun begitu, Dewa Arak merasa berat hati
melawan pasukan kerajaan.
Berbeda dengan Pendekar Tangan Baja, pemuda
berbaju kuning ini malah tertawa bergelak begitu melihat
hujan senjata pasukan kerajaan itu. Dengan meng-
andalkan keistimewaan kedua tangannya, Pendekar
Tangan Baja tanpa ragu-ragu memapak setiap serangan
senjata lawan.
Luar biasa memang kekuatan kedua tangan Pendekar
Tangan Baja. Setiap senjata yang tertangkis tangannya,
langsung patah! Suara berderak keras terdengar setiap kali
pedang, golok, atau tombak bertemu tangannya.
Suara-suara jeritan kaget seketika terdengar dari mulut
lawan-lawannya. Tapi sesaat kemudian, berubah menjadi
jeritan-jeritan kesakitan, ketika pemuda berbaju kuning
mulai melancarkan serangan balasan.
"Aaakh...!"
Seorang prajurit berpangkat punggawa, memekik
nyaring ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan
Baja mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sekujur tulang-
tulang dada remuk. Darah pun menyembur keluar dari
mulut, hidung, dan telinganya. Punggawa yang sial itu pun
tewas seketika!
Memang tindakan pemuda berbaju kuning ini benar-
benar menggiriskan. Setiap kali tangan atau kakinya ber-
gerak, sudah dapat dipastikan akan ada lawan yang jatuh
tanpa nyawa. Sehingga dalam waktu sekejap saja, tak
kurang delapan orang telah tewas di tangan pemuda
berbaju kuning ini.
Panglima Ramkin menggeram murka melihat anak
buahnya dibuat porak-poranda. Sambil mengeluarkan
seruan nyaring, tubuhnya melesat ke arah Pendekar
Tangan Baja yang tengah mengamuk hebat.
Wuttt..!
Selagi tubuhnya berada di udara, Panglima Ramkin
membabatkan golok besamya ke leher pemuda berbaju
kuning! Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak menjadi
gugup, walaupun di saat yang bersamaan, seorang prajurit
di belakangnya membabatkan golok ke arah leher.
Sementara dari arah depan, seorang punggawa
menusukkan tombak ke arah dadanya. Dan dari samping
kanan dan kiri, dua orang prajurit juga menusukkan
pedang ke arah pinggangnya.
Luar biasa! Dengan sebuah perhitungan matang dari
seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi, Pendekar Tangan Baja segera menundukkan
tubuhnya serendah mungkin. Dan dengan sendirinya
serangan dari atas, belakang dan depan berhasil dielak
kannya. Semua lewat di atas kepalanya. Sementara
serangan dari samping kiri dan kanan, dihadapinya dengan
cara yang lebih mengagumkan.
Serangan dua bilah pedang itu dipunahkan oleh pemuda
berbaju kuning dengan mencengkeram mata pedang itu.
Dan begitu kedua bilah pedang telah berhasil dicengkeram,
Pendekar Tangan Baja segera membetotnya dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Kedua prajurit yang memiliki tenaga dalam jauh di
bawah Pendekar Tangan Baja, mana mampu menahan-
nya? Seketika itu juga tubuh mereka terhuyung deras ke
depan. Dan di saat itulah, pemuda berbaju kuning
melancarkan serangan dengan jari-jari mengembang mem-
bentuk cakar ke arah kepala.
Crokkk, crokkk...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua teriakan menyayat terdengar saling susul diiringi
robohnya dua prajurit naas itu. Cairan merah kental kontan
bermuncratan begitu jari-jari tangan pemuda berbaju
kuning amblas ke dalam batok kepala. Sesaat keduanya
menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhimya diam
tidak bergerak lagi. Tewas!
Panglima Ramkin menggeram keras melihat kematian
dua orang anak buahnya lagi. Memang kejadian itu
berlangsung begitu cepat, sehingga dia dan anak buahnya
tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya.
Pendekar Tangan Baja kembali mengamuk. Begitu dua
orang lawannya tewas, segera saja tubuhnya melesat ke
prajurit yang lainnya.. Dan kembali pemuda berbaju kuning
itu memulai pembantaian.
Sementara itu di arena lainnya, Dewa Arak mengerutkan
alisnya melihat sepak terjang Pendekar Tangan Baja.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kuning ini
tega bertindak seganas itu. Dan diam-diam timbul perasa-
an tidak senang dalam hati Dewa Arak. Memang tindakan
Arya berbeda dengan tindakan Pendekar Tangan Baja. Tak
satu pun lawan pemuda berambut putih keperakan ini yang
tewas. Semua dirobohkan tanpa mengalami luka-luka yang
cukup parah.
Baik pertarungan antara Dewa Arak, maupun Pendekar
Tangan Baja dengan lawan-lawannya tidak berlangsung
imbang. Tingkat kepandaian dua orang pemuda perkasa
itu memang berada jauh di atas lawannya. Maka tidak
aneh jika pasukan Kerajaan Kamujang itu terdesak hebat.
Dan semakin lama keadaan mereka pun semakin terjepit.
Satu demi satu pasukan kerajaan itu berjatuhan. Baik
dirobohkan oleh Dewa Arak maupun Pendekar Tangan
Baja. Hanya bedanya, pasukan kerajaan yang dirobohkan
Pendekar Tangan Baja, roboh untuk selama-lamanya.
Sedangkan lawan yang dirobohkan oleh Dewa Arak, hanya
mengalami luka-luka. Dan itu pun tidak parah. Walaupun
begitu, cukup untuk membuat mereka tidak mampu lagi
melanjutkan pertarungan.
Dewa Arak menggertakkan gig! Kesabarannya pun habis
melihat Pendekar Tangan Baja masih terus menyebar
maut. Sudah puluhan prajurit dan punggawa yang tewas di
tangan pemuda berbaju kuning itu. Dan bila perbuatannya
dibiarkan terus, semua pasukan kerajaan akan tewas
semua.
"Ha... ha... ha...! Bukankah sudah kukatakan, Panglima!
Tidak mudah menangkap Pendekar Tangan Baja! Kini
bersiap-siaplah kau mati di tanganku! Ha... ha... ha...!" ejek
Pendekar Tangan Baja.
Panghma Ramkin menggertakkan gigi. Kemarahan yang
amat sangat bergolak dalam hatinya, melihat anak
buahnya hampir musnah dibantai pemuda berbaju kuning
ini. Ingin sekali laki-laki bercambang bauk lebat ini
menghancurkan kepala Pendekar Tangan Baja. Tapi
sayang, dia tidak mampu melakukannya. Panglima ini
yakin, tak lama lagi dirinya pun akan tewas menyusul anak
buahnya.
"Hih...!"
Seorang prajurit bertombak menusukkan senjatanya ke
perut Pendekar Tangan Baja. Tapi pemuda berbaju kuning
itu hanya mendengus. Seperti biasa, ditangkisnya mata
tombak itu dengan tangan kanannya. kemudian di-
cengkeramnya, lalu ditariknya.
Prajurit ini tidak mampu menahan tarikan Pendekar
Tangan Baja. Seketika itu juga tubuhnya terbetot ke depan.
"Lepaskan tombak itu...!" teriak Panglima Ramkin keras.
Tapi sebelum prajurit itu melaksanakan perintah
panglimanya, Pendekar Tangan Baja telah bertindak cepat
Begitu tubuh lawannya tertarik ke depan, segera
disodokkan tombak yang digenggamnya.
Blesss!
"Aaakh...!"
Prajurit itu menjerit melengking. Gagang tombak itu
menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung.
Seketika itu juga, darah bermuncratan. Dan ketika
Pendekar Tangan Baja melepaskan pegangan pada
tombak, tubuh prajurit itu pun ambruk tak berkutik.
Kini hanya tinggal Panglima Ramkin. Pemuda berbaju
kuning ini tertawa terkekeh-kekeh. Dengan langkah satu-
satu, dihampirinya laki-laki bercambang lebat itu.
Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja menyerang
Panglima Ramkin, sesosok bayangan ungu berkelebat.
Sesaat kemudian di depan pemuda berbaju kuning berdiri
Dewa Arak. Rupanya, Arya tidak ingin kalau panglima itu
juga akan menemui ajal di tangan Pendekar Tangan Baja
yang sudah bagaikan iblis haus darah. Maka sebelum hal
itu terjadi, cepat-cepat Dewa Arak merobohkan semua
lawannya. Lalu melesat untuk mencegah tindakan pemuda
berbaju kuning.
"Cukup, Pendekar Tangan Baja! Sudah terlalu banyak
korbanmu!" ucap Dewa Arak. Nada suaranya keras dan
tegas.
Pendekar Tangan Baja menatap wajah Dewa Arak tajam.
Seulas senyuman sinis tersungging di bibimya.
"Menyingkirlah, Arya. Dia ini lawanku! Jangan coba-coba
menghalangiku!" sahut pemuda berbaju kuning itu. Datar
dan dingin suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau
terlalu mengumbar amarah, Pendekar Tangan Baja. Hati
boleh panas, tapi kepala harus dingin. Ingat, kita belum
tahu persis permasalahannya dan...."
"Tutup mulutmu, Arya!" sergah Pendekar Tangan Baja
keras. Wajah pemuda berbaju kuning ini nampak merah
padam. "Aku bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-
apa! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Menyingkirlah
cepat, sebelum kesabaranku hilang!"
Dewa Arak tersenyum pahit. Sungguh tidak disangkanya
pemuda berbaju kuning ini begitu keras kepala, di samping
emosinya yang besar.
"Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja...," ucap Arya.
Nada suaranya seakan akan penuh penyesalan.
"Kalau begitu, terpaksa kau harus kusingkirkan dulu,
Arya. Baru setelah itu kubereskan panglima keparat itu!"
ancam Pendekar Tangan Baja lagi.
Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja segera
melesat menerjang Dewa Arak. Sepasang tangannya yang
mengepal, bertubi-tubi dipukulkan ke dada, perut, dan ulu
hati pemuda berambut putih keperakan.
Wuuut..!
Serangkum angin keras mendahului menyambar
sebelum serangan itu sendiri tiba. Dewa Arak tidak mau
bertindak gegabah. Pemuda berambut putih keperakan
memang selalu bertindak hati-hati dan tidak pernah
memandang rendah lawannya. Maka begitu melihat
serangan yang menyambar ke arahnya, Arya tidak langsung
menangkisnya. Buru-buru didoyongkan tubuhnya ke kanan,
sehingga semua serangan itu lewat setengah jengkal di
samping tubuhnya.
Kemudian secepat kilat, kaki kanannya dilontarkan ke
perut Pendekar Tangan Baja. Cepat bukan main gerakan-
nya. Tapi meskipun begitu, pemuda berpakaian kuning
tidak menjadi gugup. Dengan gerakan yang tidak kalah
cepat, segera ditarik pulang tangan kanannya. Sekaligus
langsung melakukan bacokan pada kaki Arya yang meng-
ancam perutnya.
Takkk!
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.
"Heh!?" Pendekar Tangan Baja memekik kaget. Sekujur
tangannya tergetar hebat. Bahkan tangan yang menangkis
kaki pemuda berambut putih keperakan itu terpental balik.
Bukan hanya Pendekar Tangan Baja saja yang dilanda
keterkejutan itu. Hal yang serupa juga dialami Dewa Arak.
Kaki yang berbenturan dengan tangan Pendekar Tangan
Baja terasa ngilu. Arya tahu hal ini bukan disebabkan oleh
keunggulan tenaga dalam pemuda berpakaian kuning yang
berada di atasnya, tapi akibat dari keistimewaan tangan
lawannya. Pantaslah kalau pemuda berpakaian kuning ini
berjuluk Pendekar Tangan Baja, pikirnya mulai memahami.
Pendekar Tangan Baja penasaran bukan main. Memang
disadari kalau kepandaian pemuda berambut putih
keperakan itu tinggi. Tapi, sungguh di luar dugaannya kalau
tenaga dalam yang dimiliki Arya sampai sekuat ini. Dan hal
iniah yang membuatnya jadi penasaran.
Sebagai seorang ahli silat Dewa Arak pun dilanda
perasaan serupa. Tapi Dewa Arak tahu, kalau dia menurut-
kan perasaan hatinya, pertentangan antara dia dan
pemuda berpakaian kuning ini akan semakin meruncing.
Dan itu tidak dikehendakinya. Maka begitu dilihatnya
Panglima Ramkin dan anak buahnya yang tersisa telah
menaiki kuda dan cukup jauh meninggalkan tempat itu,
pemuda berambut putih keperakan ini pun melesat kabur
dari situ.
"Arya! Jangan lari kau, Pemuda Sombong!" teriak
Pendekar Tangan Baja keras seraya berlari mengejar.
Tapi Dewa Arak yang telah mengetahui ketangguhan
pemuda berpakaian kuning tidak bersikap main-main lagi.
Segera saja dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh-
nya. Pendekar Tangan Baja menggertakkan gigi. Pemuda
berpakaian kuning ini pun mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya mengejar Dewa Arak.
Kembali Pendekar Tangan Baja harus menerima
kenyataan pahit Arya ternyata tidak bisa dikejar. Bahkan
semakin lama jarak di antara mereka bertambah jauh. Dan
akhimya pemuda berambut putih keperakan itu mulai
lenyap dari pandangan.
Pemuda berpakaian kuning ini sadar, tidak ada gunanya
lagi meneruskan pengejaran. Maka dihentikan larinya.
Dipandangi tubuh Dewa Arak yang semakin lama semakin
mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap.
"Kali ini kau boleh menang, Arya. Tapi lain kali, jangan
harap akan seberuntung ini..," ancam Pendekar Tangan
Baja. Kemudian pelahan dibalikkan tubuhnya, lalu berlari
kembali, meneruskan perjalanan menuju Kotaraja
Kerajaan Kamujang.
***
4
Dewa Arak baru memperlambat larinya, begitu dilihatnya
Pendekar Tangan Baja tidak mengejar lagi. Karena sudah
telanjur, terpaksa dia harus mengambil jalan memutar,
menuju Kotaraja Kerajaan Kamujang. Pendekar Tangan
Baja pasti akan lebih dulu tiba di sana. Dan sudah dapat
diperkirakan oleh Arya apa yang akan dilakukan pemuda
pemarah itu di sana. Apalagi kalau bukan mengamuk,
mengumbar emosinya?
"Hhh...!" tanpa sadar Arya menghela napas panjang. Kini
dia sudah tidak berlari lagi, melainkan berjalan biasa saja.
Arya ingin menikmati perjalanan santai yang nikmat.
Apalagi hutan ini mempunyai barisan pepohonan yang
lebat. Sehingga meskipun matahari siang hari cukup terik,
tidak membuatnya kepanasan.
Arya mengerutkan alisnya begitu melihat seorang kakek
berpakaian lusuh melangkah tertatih-tatih tidak jauh di
hadapannya. Dan karena arah yang dituju pemuda
berambut putih keperakan dan kakek itu berlawanan,
semakin lama, jarak di antara mereka pun semakin dekat.
Mendadak saja, begitu jarak antara Arya dengan kakek
berpakaian lusuh itu tinggal dua tombak lagi, kakek yang
sejak tadi memang sudah melangkah terhuyung-huyung,
jatuh tersungkur.
Tentu saja Arya yang memang sejak tadi memperhatikan
kakek itu, segera melesat. Cepat sekali gerakan pemuda
berambut putih keperakan ini. Sehingga sebelum tubuh
kakek berpakaian lusuh itu menyentuh tanah, Arya telah
lebih dulu menangkap tubuhnya.
“Bantu aku berdiri, Anak Muda," ucap kakek berpakaian
lusuh itu seraya mengulurkan tangan hendak meng-
genggam tangan Arya. Dewa Arak yang memang berwatak
welas asih ini tidak menolak. Tapi sesaat kemudian dahi
pemuda berambut putih keperakan ini berkemyit. Ada
sesuatu dalam genggaman kakek berpakaian lusuh itu.
Kakek berpakaian lusuh itu rupanya menyadari
kebingungan Arya. Maka sebelum pemuda berambut putih
keperakan ini sempat berkata sesuatu, kakek ini segera
mendahuluinya.
"Ambillah surat itu, Dewa Arak! Baca. Nanti kita bertemu
lagi. Aku khawatir ada yang mengawasi kita," bisik kakek
berpakaian lusuh itu pelahan.
Arya yang cerdik ini segera saja paham. Pemuda
berambut putih keperakan ini tahu kalau kakek berpakaian
lusuh ini hendak menyampaikan sesuatu, tapi secara diam-
diam. Maka setelah kakek itu telah kembali berdiri, benda
yang ada dalam genggamannya secepat kilat diselipkan
pada lipatan ikat pinggangnya. Tak lupa sebelum itu sekilas
sepasang matanya mengawasi sekelilingnya.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Aku
Patih Juminta." ucap kakek berpakaian lusuh itu lagi.
“Tanpa bantuanmu mungkin encokku sudah kambuh
kembali."
Setelah berkata demikian, kakek berpakaian lusuh itu
kembali melangkah tertatih-tatih meninggalkan Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini memandangi
kepergiannya dengan hati bertanya-tanya. Arya terus
memandanginya hingga punggung tubuh kakek itu lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan.
Rasa penasaran mendorong Arya untuk segera
mengetahui pemberian kakek berpakaian lusuh itu. Sesaat
kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan setelah yakin
tidak ada orang yang melihatnya, segera diambilnya benda
yang tadi diselipkan di pinggangnya. Pelahan dibukanya
lipatan kain itu.
Ternyata di balik lipatan kain itu ada tulisannya. Jadi
lipatan kain itu berisi pesan. Cukup singkat isinya.
Dewa Arak...
Aku telah melihat semua tindakanmu terhadap
pasukan Kerajaan Kamujang. Dan aku
mengagumi tindakanmu yang bijaksana. Perlu
kau ketahui, Prabu Jayahksona bukan seorang
raja yang lalim. Gusti Prabu melakukan semua itu
karena terpaksa. Harap temui aku nanti malam
di tempat ini
Patih Juminta
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang, setelah selesai
membaca tulisan yang terdapat dalam lipatan kain itu.
Sungguh sama sekali tidak diduga kalau semua
kecurigaannya tepat. Tidak percuma selama ini dia
bersikap hati-hati, dan tidak sembarangan membunuh
orang.
Pelahan pemuda berambut putih keperakan ini melipat
kembali kain itu, dan kembali diselipkan di balik lipatan
ikat pinggangnya.
"Sungguh tidak kusangka kalau kakek berpakaian lusuh
itu ternyata seorang patih kerajaan besar seperti Kerajaan
Kamujang," gumam Arya pelan
***
Matahari pelahan-lahan mulai tenggelam di ufuk Barat.
Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Tapi hal itu tidak
berlangsung lama karena rembulan sudah muncul di langit,
menyinari bumi dengan sinamya yang lembut. Meng-
gantikan tugas mentari yang sudah seharian menyinari
bumi.
Dalam keremangan malam itu terlihat sesosok
bayangan ungu berkelebatan cepat, dari balik sebatang
pohon ke batang pohon lainnya. Cepat bukan main
gerakannya. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan
bayangan ungu saja.
Tak lama kemudian bayangan ungu itu menghentikan
gerakannya di dekat sebatang pohon kamboja. Dan
secepat sosok itu tiba di situ, secepat itu pula bersembunyi
di balik sebatang pohon. Dalam keremangan sinar bulan,
tampak jelas sosok ungu itu.
Sosok itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah
jantan, berambut putih keperakan. Pakaiannya berwama
ungu. Dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak dari
perak. Sosok bayangan ungu itu adalah Dewa Arak!
Pemuda ini datang ke tempat ini untuk memenuhi
permintaan orang yang mengaku bernama Patih Juminta.
Dari balik sebatang pohon itu, sepasang mata Arya
menatap nyalang ke sekeliling. Mencari-cari barangkali
orang yang bernama Patih Juminta itu datang.
Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini
menunggu, sebelum akhirnya sepasang matanya melihat
sesosok bayangan berkelebatan cepat menghampiri
tempatnya. Dan begitu tiba di dekat tempatnya berdiri,
sosok bayangan yang baru datang itu, menolehkan
kepalanya berkeliling
"Dewa Arak...," panggil sosok bayangan itu. Pelahan
sekali suaranya. Lebih mirip bisikan.
Mendengar panggilan itu, Arya pun yakin kalau
bayangan yang baru tiba ini adalah kakek berpakaian lusuh
yang siang tadi memberinya pesan. Maka tanpa ragu-ragu
lagi pemuda berambut putih keperakan ini keluar dari
tempat persembunyiannya.
"Aku di sini, Patih...," sahut Arya tak kalah pelan.
Patih Juminta yang sejak tadi berdiri membelakangi
Arya, segera membalikkan tubuhnya begitu mendengar
suara sapaan dari belakangnya.
"Sudah lama menunggu, Dewa Arak?" tanya laki-laki
setengah baya berambut jarang ini.
"Lumayan," sahut Arya.
"Maafkan aku yang telah membuatmu lama menunggu.
Dewa Arak."
"Lupakanlah, Patih." jawab Arya bijaksana.
“Terima kasih, Dewa Arak"
Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Tapi hal itu
tidak berlangsung lama.
"Apa yang hendak kau bicarakan Patih?" tanya Arya.
Nada suaranya terdengar penuh tuntutan.
Dalam keremangan sinar bulan, Patih Juminta menatap
Dewa Arak tajam.
"Kau sudah baca pesan yang kuberikan, Dewa Arak?"
tanya laki-laki berambut jarang ini memastikan.
Arya menganggukkan kepalanya.
"Kau bilang, Gusti Prabu Jayalaksana tertekan. Kalau
boleh kutahu siapa yang telah menekannya Paman Patih?"
Patih Juminta menggelengkan kepalanya.
"Siapa orang yang menekan Gusti Prabu, aku juga tidak
tahu, Dewa Arak. Tapi yang jelas, tanpa setahu siapa pun,
Gusti Permaisuri lenyap dari istana. Semula kami tidak
tahu ke mana perginya. Tapi, akhimya kami mengetahuinya
juga. Gusti Permaisuri diculik!"
"Diculik?!" tanya Arya. Sepasang alis pemuda berambut
putih keperakan ini berkerut.
"Benar," sahut Patih Juminta membenarkan. "Gusti
Permaisuri diculik."
"Dari mana kau tahu kalau Gusti Permaisuri diculik,
Patih?" tanya Arya penasaran.
"Dari surat yang ditinggalkan penculik itu," jawab Patih
Juminta kalem.
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Sejak saat itu, melalui seorang urusan, penculik itu
mulai mengajukan permintaan yang aneh-aneh. Harta,
penangkapan-penangkapan terhadap ketua-ketua per-
guruan silat beraliran putih, dan penghancuran terhadap
perguruannya. Memungut upeti yang biasanya dilakukan
prajurit kerajaan."
"Ah...! Sampai begitu jauhnya?!" tanya Arya. Nada
suaranya jelas memancarkan keterkejutan yang amat
sangat.
Patih Juminta menganggukkan kepalanya.
"Mengapa Gusti Prabu memenuhi permintaan-
permintaan itu?"
“Terpaksa. Penculik itu mengancam akan membunuh
Gusti Permaisuri, bila permintaannya tidak dipenuhi," jelas
laki-laki berambut jarang ini lebih jauh.
"Oh...!" pekik Arya terkejut. "Apakah Patih tidak mem-
punyai dugaan sama sekali mengenai pelakunya.
"Aku curiga ada orang di dalam lingkungan istana yang
menjadi mata-mata komplotan penculik. Rasanya mustahil
kalau orang luar tahu seluk beluk istana, sehingga sampai
bisa menculik permaisuri."
"Aku sependapat denganmu, Paman Patih," sahut Arya
mendukung.
"Gusti Prabu pun berpendapat begitu. Bahkan beliau
pernah merencanakan untuk mengirimkan jago-jago silat
istana untuk membuntuti urusan penculik. Tapi penculik itu
mengancam akan membunuh Gusti Permaisuri apa bila
Gusti Prabu berani mengirimkan orang-orangnya untuk
mengikuti utusannya."
Arya tercenung mendengar cerita ini. Sekarang baru
diketahuinya mengapa semua kekacauan ini terjadi.
"Di hadapan orang banyak, Gusti Prabu Jayalaksana
bersikap keras padaku. Tapi bila kami hanya berdua. Gusti
Prabu kembali menunjukkan sikap aslinya. Bahkan tugas
menemuimu ini, adalah berdasarkan perintahnya. Dewa
Arak," sambung Patih Juminta lagi.
"Hm...," Arya hanya menggumam tidak jelas.
"Beberapa hari yang lalu, Gusti Prabu baru menerima
surat dari penculik itu. Kau ingin melihat isinya, Dewa
Arak? Ini menyangkut dirimu dan Pendekar Tangan Baja."
Setelah berkata demikian, laki-laki berambut jarang itu
mengangsurkan segulungan kala Arya mengulurkan tangan
menerima, lalu dibukanya gulungan kain itu.
Prabu Jayalaksana….
Harap Gusti Prabu perintahkan pasukan untuk
menangkap seorang pemuda berbaju ungu,
berambut putih keperakan, yang berjuluk Dewa
Arak. Dan seorang pemuda berpakaian kuning,
bercambang lebat, yang berjuluk Pendekar Tangan
Baja. Aku berjanji akan membebaskan permaisuri-
mu, bila permintaanku ini Gusti Prabu laksanakan.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di-
makluminya mengapa kemarin ada pasukan kerajaan
hendak menangkapnya bersama Pendekar Tangan Baja.
"Jadi, satu-sarunya cara untuk mengetahui sarang
penculik, hanya dari utusan itu?" tanya Arya lagi meminta
kepastian.
"Ya," sahut Patih Juminta singkat.
"Kalau begitu, lain kali aku yang akan mengikutinya,"
usul pemuda berambut putih keperakan tiba-tiba.
Patih Juminta menatap Dewa Arak lekat-lekat.
“Jangan khawatir, Paman. Aku jamin mereka tidak akan
mengetahuinya," sambung Arya memberi jaminan.
“Yahhh….! Memang itulah yang kuharapkan, Dewa
Arak!" ucap laki-laki berambut jarang bernada keluhan.
"Kapan utusan itu akan datang lagi ke Istana Kerajaan
Kamujang, Paman?" tanya Arya lagi.
"Besok pagi. Utusan itu akan datang untuk meminta
upeti."
"Baiklah! Besok aku akan mulai bertugas," janji Arya.
“Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak. Sekarang
aku pergi dulu," ucap laki-laki berambut jarang itu.
"Silakan, Paman," sahut Arya mempersilakan.
Belum juga habis gema suara Arya, Patih Juminta sudah
melesat dari situ. Cepat juga gerakannya. Dalam sekejap
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Beberapa saat lamanya Arya terpaku menatap
kepergian Patih Juminta. Baru sesaat kemudian tubuhnya
melesat meninggalkan tempat itu.
***
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sepasang matanya
kembali menatap liar ke sekelilingnya dari balik
kerimbunan daun-daun pepohonan. Memang pemuda ini
tengah berada di cabang pohon di dalam hutan.
Semalam, setelah mendengar cerita panjang lebar dari
Patih Juminta, Arya memutuskan untuk mulai menyelidiki
misteri ini. Sejak pagi-pagi sekali, pemuda berambut putih
keperakan ini sudah berada di cabang pohon, di tempat
yang biasa dilalui urusan si penculik.
Cukup lama juga Arya menunggu, sebelum akhirnya
pendengarannya yang tajam, samar-samar menangkap
derap kaki kuda yang mendekat ke arahnya. Buru-buru,
Dewa Arak lebih menyembunyikan diri di balik kerimbunan
dedaunan.
Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas.
Tak lama kemudian di bawah pohon tempat pemuda
berambut putih keperakan ini bertengger, lewat seekor
kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki berusia tiga
puluhan, berkulit gelap dan berbibir tebal.
Sesaat kemudian, kuda yang ditunggangi laki-laki ber-
bibir tebal itu pun mulai menjauh. Kian lama kian jauh. Dan
akhirnya lenyap di kejauhan. Yang tinggal hanyalah debu
yang mengepul tinggi ke udara.
Hati Arya lega karena penantiannya tidak sia-sia.
Kini dia menanti laki-laki berbibir tebal itu kembali.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini telah
memutuskan untuk mengikuti urusan penculik ini sampai
di sarangnya.
Kini Dewa Arak baru mengetahui kalau menunggu
adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan.
Entah untuk yang keberapa kalinya, Arya kembali
menyalangkan sepasang matanya ke arah perginya laki-laki
berbibir tebal tadi. Tapi akhimya wajah pemuda itu berseri
ketika melihat debu mengepul tinggi di kejauhan.
Perasaan harap-harap cemas pun melanda hati Arya.
Harapan agar debu mengepul tinggi ke udara ini berasal
dari derap langkah kuda yang ditunggangi oleh urusan
penculik permaisuri.
Tak lama kemudian, kuda itu semakin dekat. Dan
betapa lega hati Arya ketika melihat kalau penunggang
kuda itu adalah orang yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.
Laki-laki berbibir tebal, utusan si penculik.
Sesaat kemudian kuda yang ditunggangi laki-laki ber-
bibir tebal itu pun telah mendekati tempat pengintaian
Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera
menyembunyikan tubuhnya ke balik rerimbunan dedaunan,
khawatir terlihat.
Sekejap kemudian kuda itu pun telah melaju cepat
melewati pohon di mana Dewa Arak bersembunyi. Pemuda
berambut putih keperakan itu menunggu beberapa saat
hingga buruannya berada cukup jauh. Baru setelah itu
tubuhnya melesat dari satu pohon, ke pohon lainnya.
Laki-laki berbibir tebal itu sama sekali tidak menyadari
kalau dirinya dikuti. Terus saja dipacu kudanya secepat
mungkin. Sementara Dewa Arak terus membayanginya.
Tapi mendadak....
Singgg...!
Suara mendesing nyaring terdengar, disusul melesatnya
sebuah benda berkilat ke arah laki-laki berbibir tebal itu.
Tentu saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu ter-
kejut bukan main. Buru-buru, dia melompat dari punggung
kuda.
"Hih...!"
Wuuuttt..!
Benda berkilat itu menyambar lewat di atas punggung
kuda. Tubuh laki-laki berbibir tebal itu kini telah kembali
menjejak tanah, tak jauh dari tempat kudanya berdiri. Tapi
sebelum laki-laki kasar ttu berbuat sesuatu, sesosok
bayangan berkelebat cepat ke arahnya.
Cepat bukan main gerakan bayangan orang yang baru
tiba itu. Dan begitu bayangan itu telah berada dekat
dengan laki-laki berbibir tebal, tangan kanannya bergerak
menyampok.
Wuttt..! Prattt..!
"Aaakh...!"
Laki-laki berbibir tebal itu menjerit melengking ketika
sampokan bayangan itu telak dan keras sekali meng-
hantam dadanya. Seketika itu juga terdengar suara ber-
derak keras, disusul terjengkangnya laki-laki itu. Darah
mengalir dari mulut hidung, dan telinganya.
Brukkk!
Suara berdebuk keras terdengar, begitu tubuh laki-laki
berbibir tebal itu jatuh ke tanah.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hal itu. Jaraknya
yang cukup jauh dari utusan penculik, dan juga kejadian-
nya yang berlangsung tiba-tiba, membuat pemuda
berambut putih keperakan tidak sempat berbuat sesuatu.
"Hup...!"
Sosok yang menyerang laki-laki berbibir tebal itu men-
darat ringan di tanah. Walaupun hanya sekilas, Arya dapat
mengetahui kalau pembunuh buruannya adalah seorang
laki-laki setengah baya yang berompi coklat. Tapi aneh,
telinganya hanya sebuah saja. Di bagian yang kanan.
Dewa Arak tentu saja tidak ingin kehilangan jejak. Harus
dicegahnya laki-laki berompi coklat ini melarikan diri. Buru-
buru dilepaskan jurus 'Pukulan Belalang'! Suatu jurus yang
jarang dikeluarkannya.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat menyambar ke
arah pembunuh laki-laki berbibir tebal itu, yang baru saja
hendak beranjak dari tempat itu.
"Akh...!" terdengar pekikan kaget dari mulut laki-laki
berompi coklat. Dengan agak gugup dilempar tubuhnya,
kemudian bergulingan di tanah menjauh.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Bergegas tubuhnya melesat. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah,
berbareng dengan bangkitnya laki-laki berdaun telinga satu
itu dari bergulingnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, laki-laki berompi
coklat itu melesat menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya
dengan jari-jari membentuk paruh burung, mematuk-matuk
mencari sasaran. Laki-laki berdaun telinga satu itu men-
dahului serangannya dengan sebuah patukan ke arah
ubun-ubun pemuda berambut putih keperakan. Angin
keras mencicit nyaring, mengawali tibanya serangan itu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau lawan
menggunakan jurus 'Bangau'. Posisi jari yang membentuk
paruh itulah yang membuat Arya langsung bisa menebak-
nya.
Dewa Arak mengenal keganasan jurus itu. Apalagi jurus
itu dimainkan oleh tokoh seperti laki-laki berdaun telinga
satu ini. Buru-buru kepala Arya ditarik seraya mendoyong-
kan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan lawan
mengenai tempat kosong. Namun ternyata serangan laki-
laki berompi coklat tidak hanya sampai di situ saja. Begitu
serangannya dapat dielakkan, segera disusuli dengan
tendangan lurus ke arah dada.
Dari gerakan lawan, Dewa Arak dapat mengukur kalau
laki-laki berdaun telinga satu ini berkepandaian tinggi.
Sehingga Arya tidak berani bertindak setengah-setengah
lagi. Segera dilentingkan tubuhnya ke belakang kemudian
bersalto di udara beberapa kali. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah. Di
tangan kanannya kini tergenggam guci arak, yang lalu
diangkatnya ke atas kepala. Kemudian dituangkan ke
mulutnya.
Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar begitu arak melewati
tenggorokan pemuda berambut putih keperakan ini.
Seketika itu juga ada hawa hangat merayap, mulai dari
perutnya dan terus naik ke kepala.
***
Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berdaun
telinga satu itu kembali menerjang Dewa Arak begitu
tendangannya berhasil dielakkan pemuda itu. Kedua
tangannya yang mematuk-matuk ganas mencari sasaran,
mengeluarkan suara angin keras bercicitan.
Tapi berkat keunikan Jurus 'Delapan Langkah Belalang',
tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan
itu. Dan begitu pemuda berambut putih keperakan
mengelak, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang
lawan.
Semula laki-laki berompi coklat itu kaget bukan main,
tatkala melihat lawan yang tadi diserangnya tahu-tahu
lenyap. Padahal jelas terlihat olehnya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu hanya melangkahkan kaki
saja, itu pun dengan gerakan terhuyung-huyung. Tapi aneh,
mengapa tubuh lawannya tahu-tahu lenyap?
Namun kekagetan yang dialami laki-laki berompi coklat
itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian, dia
pun tahu di mana Dewa Arak berada, begitu dirasakan
adanya sambaran angin kuat di belakangnya. Rupanya
pemuda berambut putih keperakan tengah melancarkan
serangan dengan gucinya.
Wuttt…!
Sambaran guci Dewa Arak mengenal tempat kosong,
begitu laki-laki berompi coklat melempar tubuhnya ke
depan seraya bergulingan menjauh. Arya segera melompat
mengejar, seraya menyampirkan gucinya kembali ke
punggung.
Baru tiga tindak Dewa Arak melangkah, tiba-tiba saja
laki-laki bertelinga satu mengibaskan tangan kanannya.
Wusss...!
"Akh...!"
Arya memekik kaget. Ada suara mendesir halus begitu
laki-laki berompi coklat itu mengibaskan tangannya.
Disusul dengan melesatnya puluhan jarum-jarum halus ke
arahnya. Terpaksa Arya mengurungkan serangannya.
Segera dilempar tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
menjauh.
Kesempatan yang sedikit itu tidak disia-siakan oleh laki-
laki berompi coklat itu. Selagi Dewa Arak bergulingan di
tanah, cepat dia melesat kabur dari situ. Sepertinya masih
ada urusan yang lebih penting daripada bertarung dengan
pemuda berambut putih keperakan itu. Waktu masih
panjang untuk menantang Dewa Arak bertarung.
"Keparat….!" desis Arya geram begitu melihat lawannya
sudah tidak kelihatan lagi. Entah ke arah mana laki-laki
berdaun telinga satu itu melarikan diri, pemuda berambut
putih keperakan itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Pepohonan di dalam hutan ini sangat lebat. Sekali saja
laki-laki berdaun telinga satu itu melesat, saat itu juga
tubuhnya lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Benar apa yang dikatakan Patih Juminta, desis Arya
dalam hati. Penculik itu bertindak sangat hati-hati. Terbukti
dia lebih suka kehilangan anak buah ketimbang sarangnya
diketahui orang lain.
"Hhh...'"
Arya mendesah pelan. Apa lagi yang harus dilakukannya
untuk mengetahui sarang penculik permaisuri itu? pikimya
bingung. Tengah pemuda berambut putih keperakan ini
melangkah satu-satu dengan benak berpikir keras, ter-
dengar rintihan lirih. Kontan kepala Arya ditolehkan ke arah
asal suara.
Ternyata rintihan lirih itu berasal dari mulut laki-laki
berbibir tebal. Sungguh Dewa Arak hampir tidak mem-
percayai apa yang dilihatnya. Laki-laki berkulit hitam itu
ternyata masih hidup! Padahal tulang tulang dadanya telah
remuk. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini
menghampiri.
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki
berbibir tebal itu terputus-putus. Arya yang tengah ber-
jongkok di depan laki-laki kasar itu hanya mengangguk
pelan.
"Bu... bukankah, kau ingin tahu sarang penculik
permaisuri...?" tanya laki-laki berkulit hitam itu lagi.
Suaranya terputus-putus dan hampir tidak terdengar.
"Benar. Kau mau menunjukkannya?" sahut Arya cepat.
Disadari kalau nyawa laki-laki berbibir tebal ini tidak bisa
diselamatkan lagi. Kenyataan kalau dalam keadaan seperti
Itu masih mampu bertahan hidup, menunjukkan kalau laki-
laki kasar itu memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.
Laki-laki berbibir tebal itu menganggukkan kepalanya.
Kemudian mulutnya bergerak seperti hendak meng-
ucapkan sesuatu. Tapi karena terlalu pelan, Dewa Arak
mendekatkan telinganya ke mulut orang kasar yang tengah
menanti ajal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini
dapat menduga mengapa laki-laki berbibir tebal ini
bersedia memberi tahu sarang penculik. Laki-laki kasar itu
mendendam, karena merasa dikhianati.
Hanya sebentar saja laki-laki berbibir tebal itu meng-
gerak-gerakkan mulutnya. Sesaat kemudian kepalanya pun
terkulai. Laki-laki kasar ini tewas dengan bibir tersenyum
puas. Puas telah berhasil membalas sakit hatinya.
"Hm.... Jadi orang itu pemimpin gerombolan penculik...,"
desis Arya pelan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia telah tahu
sarang penculik permaisuri itu. Tapi pemuda berambut
putih keperakan tidak langsung menuju ke sana. Dia ingin
ke Kotaraja Kerajaan Kamujang dulu. Akan dicegahnya
pertumpahan darah yang terjadi akibat salah paham.
Pertumpahan darah yang akan diakibatkan oleh amukan
Pendekar Tangan Baja.
***
5
Sementara itu di dalam benteng Istana Kerajaan
Kamujang, Pendekar Tangan Baja tengah mengamuk. Ilmu
'Tangan Baja'nya dikerahkan sampai ke puncak
kemampuannya. Suara dentingan diikuti berpatahannya
senjata-senjata pasukan Kerajaan Kamujang, mengiringi
setiap gerakan tangan pemuda berpakaian kuning ini.
Memang sudah sejak semula Pendekar Tangan Baja
mendendam pada pasukan Kerajaan Kamujang, yang
sering dilihatnya berbuat sewenang-wenang pada pen-
duduk. Maka tindakannya pun tidak tanggung-tanggung
lagi. Setiap gerakan tangan atau kaki pemuda berpakaian
kuning ini selalu menimbulkan hawa maut.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, seorang prajurit
melompat menerjang. Golok di tangannya ditusukkan ke
dada pemuda berpakaian kuning.
"Hiyaaa...!"
Dari arah belakang, prajurit lainnya pun menusukkan
tombaknya ke punggung Pendekar Tangan Baja. Tapi
pemuda berpakaian kuning ini hanya mendengus. Sekali
mengenjotkan kaki, tubuhnya sudah melenting tinggi ke
atas, melewati kepala prajurit yang menyerang dari depan.
Dan begitu telah berada di atas lawan, tubuhnya berputar
setengah lingkaran. Lalu kedua tangannya mendorong
punggung prajurit yang tengah menusukkan golok itu.
Pelahan saja kelihatan tangan pemuda berpakaian
kuning itu menyentuh punggung prajurit itu. Tapi akibatnya
luar biasa! Tubuh prajurit itu terdorong ke depan, seperti
diseruduk kerbau liar. Kejadian yang sudah diperhitungkan
matang oleh Pendekar Tangan Baja terjadi.
Cappp, blesss...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dan terjadi
hampir berbarengan. Akibat dorongan Pendekar Tangan
Baja, prajurit itu tidak bisa mempertahankan
keseimbangannya lagi. Golok yang semula bertujuan ke
arah perut pemuda berpakaian kuning, menghunjam perut
prajurit bertombak yang melancarkan serangan dari
belakang. Pada saat yang bersamaan, prajurit bertombak
tadi juga menusukkan senjatanya. Dan tak pelak lagi, perut
prajurit bersenjata golok pun mengalami nasib yang sama
dengan rekannya. Perutnya terhunjam tombak hingga
tembus ke punggung!
Beberapa saat lamanya tubuh kedua prajurit itu
menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian diam tidak ber-
gerak lagi untuk selama lamanya. Tewas!
"Hup...!"
Kedua kaki Pendekar Tangan Baja mendarat ringan di
tanah. Di wajah tampannya tersungging senyum
kegembiraan.
Tentu saja hal ini membuat pasukan Kerajaan
Kamujang yang mengepung menjadi semakin geram.
Korban yang jatuh di tangan pemuda berpakaian kuning ini
sudah lebih dari sepuluh orang. Padahal pertarungan
belum berlangsung lama. Tapi sebelum para prajurit itu
kembali menyerbu, tiba-tiba terdengar suara bentakan
keras.
"Tahan..!"
Kontan semua pasukan kerajaan yang akan menyerang,
menahan gerakannya dan langsung melangkah mundur.
Mereka semua mengenal betul pemilik suara bentakan itu.
Siapa lagi kalau bukan Prabu Jayalaksana?
Agak jauh di belakang pasukan kerajaan itu, berdiri
seorang laki-laki setengah baya berkumis dan berjenggot
rapi. Wajahnya menyiratkan keagungan dan kewibawaan.
Hanya sayangnya, pada saat ini wajah penuh wibawa itu
terlihat muram.
Dan seperti biasanya Prabu Jayalaksana tidak pemah
sendiri. Di kiri kanannya berdiri dengan wajah angker
delapan orang berseragam gemerlapan. Dan di bagian
dada sebelah kiri tersulam gambar cakar burung garuda
dari benang emas. Inilah pasukan pengawal khusus Prabu
Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda. Pasukan yang terdiri
dari jago-jago istana nomor satu.
Pendekar Tangan Baja menatap sosok tubuh yang
berdiri di hadapannya satu persatu. Sekali lihat saja
pemuda berpakaian kuning ini mengetahui mana Prabu
Jayalaksana. Pastilah orang yang berdiri di tengah-tengah
dan memandang dirinya dengan sinar mata muram,
pikirnya.
Begitu pandangannya tertumbuk pada delapan orang
yang berdiri di kanan kiri Prabu Jayalaksana, diam-diam
Pendekar Tangan Baja terkejut. Dari sorot mata delapan
orang itu, pemuda berpakaian kuning sudah dapat
memperkirakan ketinggian ilmu yang mereka miliki. Dan ini
membuat pemuda pemarah ini bersikap hati-hati.
Prabu Jayalaksana melangkah maju beberapa tindak.
Delapan orang Pasukan Kuku Garuda pun ikut melangkah
maju. Kini jarak antara Raja Kamujang dengan Pendekar
Tangan Baja, tinggal lima tombak lagi.
Prabu Jayalaksana menatap Pendekar Tangan Baja dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sinar matanya begitu
dingin, sehingga sulit bagi pemuda berpakaian kuning ini
untuk mengetahui makna tatapan itu.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Tangan Baja, Anak
Muda?" tanya Raja Kamujang itu. Datar dan dingin
suaranya.
“Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian kuning tanpa
sikap menghormat sama sekali. Tentu saja hal ini mem-
buat para prajurit punggawa, dan delapan orang Pasukan
Kuku Garuda, menggeram murka. Tangan mereka yang
telah menggenggam senjata masing-masing, menegang.
Siap untuk menerjang.
Tapi Prabu Jayalaksana hanya tersenyum tipis. Tidak
nampak tanda-tanda kalau Raja Kamujang ini merasa ter-
hina. Tangan kanannya diangkat untuk meredakan
kemarahan pasukannya. Dan seketika itu juga, tangan-
tangan yang telah menegang itu pelahan mengendur
kembali.
"Apa maksud kedatanganmu kemari, Pendekar Tangan
Baja?" tanya Raja Kamujang itu masih bernada sabar.
“Tidak perlu banyak basa-basi Prabu Jayalaksana!
Kedatanganku kemari untuk melenyapkan keangkara-
murkaanmu!" tandas Pendekar Tangan Baja tegas.
Sesabar-sabamya seseorang, tentu akan marah juga
bila terus menerus dihina. Apalagi di hadapan banyak
orang. Lebih-lebih lagi, jika orang itu adalah seorang raja
seperti Prabu Jayalaksana! Seorang raja yang sudah
terbiasa dihormati orang.
"Kau terlalu sombong, Pendekar Tangan Baja! Orang
sepertimu harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, Raja Kamujang ini menjentik-
kan jarinya. Seketika itu juga, empat orang Pasukan Kuku
Garuda menghampiri Pendekar Tangan Baja. Sementara
Prabu Jayalaksana segera melangkah mundur diikuti oleh
sisa Pasukan Kuku Garudanya!
Pendekar Tangan Baja bersikap waspada. Kali ini
pemuda berpakaian kuning ini tidak berani menganggap
enteng lawannya. Menilik sikap dan gerak-gerik empat
orang lawannya, sudah bisa diperkirakan kalau keempat
anggota Pasukan Kuku Garuda ini memiliki kepandalan
yang tidak rendah. Maka seluruh otot-otot dan urat-urat
syaraf pemuda ini menegang. Sepasang matanya menatap
liar ke arah lawan.
"Hih...!"
Seraya berteriak keras salah seorang anggota Pasukan
Kuku Garuda yang berkulit gelap, bertubuh agak tinggi
melompat menyerang. Rambut orang ini panjang dan
dikepang. Dan pada ujung ramburnya terdapat sebuah
benda berbentuk segi lima, berwama hitam mengkilat.
Kepalanya digoyangkannya ke kiri. Seketika itu juga ujung
ramburnya melayang deras ke arah kepala Pendekar
Tangan Baja. Angin bercicitan tajam mengiringi tibanya
serengan itu.
Pendekar Tangan Baja tidak berani bertindak ceroboh.
Sadar kalau dirinya belum mengetahui keistimewaan ilmu
lawan, maka pemuda berpakaian kuning tidak berani
menangkisnya. Ingin diketahuinya dulu perkembangan ilmu
aneh lawannya ini. Itulah sebabnya, pemuda berpakaian
kuning ini cepat-cepat menarik kakinya ke belakang.
Wuuut..!
Angin berhawa panas menerpa wajah Pendekar Tangan
Baja, begitu sabetan rambut itu lewat setengah jengkal di
depan wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat bukan main gerakan pengawal berambut kepang
ini. Begitu sabetan ramburnya lolos, segera saja serangan
selanjutnya datang menyusul. Kedua tangannya dengan
posisi telunjuk mengacung, sementara jari-jari tangan
lainnya terkepal, melakukan totokan-totokan beruntun ke
tenggorokan dan bawah hidung. Dua jalan darah memati-
kan.
Cit, cit!
Kali ini Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak meng-
elakkan serangan itu. Segera kedua tangannya bergerak
menangkis dengan satu jari pula.
Tak, tak!
"Akh...!"
Pengawal berambut kepang itu memekik tertahan. Jari
telunjuknya dirasakan seperti hendak patah ketika ber-
benturan dengan telunjuk pemuda berpakaian kuning di
hadapannya. Walaupun begitu, tetap saja tidak
mengurangi niatnya untuk kembali melancarkan serangan
balasan. Kepalanya digoyangkan ke kiri. Seketika itu juga
ujung rambutnya melayang ke pelipis pemuda berpakaian
kuning.
Serangan itu datang begitu cepat dan tidak terduga-
duga. Tapi walaupun begitu, tidak membuat Pendekar
Tangan Baja gugup. Buru-buru tubuhnya dirundukkan
sehingga sambaran ujung rambut lewat sejengkal di atas
kepalanya. Tepat saat itu, dilancarkan serangan balasan
berupa totokan satu jari bertubi-tubi ke arah dada dan ulu
hati pengawal khusus Prabu Jayalaksana.
"Ah...!"
Pengawal berambut kepang terpekik kaget. Sungguh
tidak disangkanya, dalam keadaan terjepit lawannya
mampu balik menjepit dirinya. Diam-diam dalam hati salah
seorang Pasukan Kuku Garuda ini, timbul perasaan kagum.
Jarang ditemuinya orang semuda laki-laki berpakaian
kuning ini yang memiliki tingkat kepandaian setinggi itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi pengawal berambut kepang
kecuali melentingkan tubuh ke belakang, kemudian ber-
salto beberapa kali di udara. Manis dan indah sekali
gerakannya. Dan...
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki laki-laki berambut
kepang ini menjejak bumi. Dari peragaan ini saja sudah
bisa diketahui ketinggian ilmu meringankan tubuh milik
pengawal khusus Prabu Jayalaksana ini.
Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak mengejar.
Sepasang mata pemuda berpakaian kuning ini menatap
lawannya lekat-lekat.
"Kau hebat, Anak Muda," puji laki-laki berambut kepang
itu jujur. "Tidak percuma kau berani menyandang nama
besar. Jari-jari dan tanganmu keras seperti baja. Itukah
sebabnya kau berjuluk Pendekar Tangan Baja?!"
"Aku tidak perlu pujianmu, Kisanak," balas Pendekar
Tangan Baja singkat. Dingin dan datar suaranya.
Merah wajah laki-laki berkulit hitam itu. Pemuda di
hadapannya ini benar-benar sombong. Orang seperti ini
harus diberi pelajaran, agar mau menghargai orang lain.
“Tapi itu bukan berarti aku gentar padamu, Pemuda
Sombong!" teriak pengawal berambut kepang itu.
Kemarahannya langsung bangkit seketika.
"Apa peduliku?!" sentak Pendekar Tangan Baja keras.
"Keparat! Orang seperti kau harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, pengawal berambut kepang
itu kembali menerjang Pendekar Tangan Baja. Rambut
kepangnya dan juga totokan totokan telunjuknya, ber-
kelebatan cepat Bertubi-tubi mencari sasaran. Tapi lawan
yang dihadapinya adalah Pendekar Tangan Baja. Dan kini
pemuda berpakaian kuning itu sudah dapat membaca
jurus-jurus yang dimainkan lawannya. Maka tanpa ragu-
ragu lagi, Pendekar Tangan Baja segera mengelak sambil
mengirim serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Pertarungan sengit pun terjadi.
Prabu Jayalaksana, Pasukan Kuku Garuda, dan pasukan
kerajaan lainnya menonton pertarungan itu dari jarak agak
jauh dengan penuh minat. Diam-diam semua memuji
kelihaian kedua orang yang tengah bertarung.
Memang cukup menggiriskan akibat yang ditimbulkan
oleh pertarungan kedua orang itu. Suara decit angin tajam,
bersiutan dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan
itu. Tanah-tanah terbongkar di sana sini. Ranting-ranting
berpatahan dari dahan pohon yang terserempet angin
pukulan yang nyasar. Dan debu pun mengepul tinggi ke
udara.
Selama beberapa jurus, pertarungan berjalan imbang.
Tapi setelah memasuki jurus kelima belas, mulai nampak
keunggulan Pendekar Tangan Baja. Memang tingkat
kepandaian pengawal berambut kepang berada jauh di
bawah pemuda berpakaian kuning itu. Baik dalam hal ilmu
meringankan tubuh maupun tenaga dalam, anggota
Pasukan Kuku Garuda ini jauh di bawah lawannya. Apalagi
di samping itu Pendekar Tangan Baja memiliki
keistimewaan lainnya. Tangannya yang kokoh dan kebal.
Maka tidak aneh jika setiap kali tangan atau kaki kedua
orang itu berbenturan. Selalu pengawal berambut kepang
itu terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya menyeringai
kesakitan.
Semakin lama Pendekar Tangan Baja semakin men-
desak anggota Pasukan Kuku Garuda itu. Dan kini laki-laki
berambut kepang itu hanya mampu bertahan. Hanya
sesekali saja dia melancarkan serangan balasan. Itu pun
dengan mudah dapat dikandaskan pemuda berbaju
kuning.
Tujuh orang rekannya tentu saja melihat keadaan laki-
laki berambut kepang itu. Tapi mereka diam saja. Hanya
memandang dengan sinar mata khawatir. Mereka tidak
berani bertindak lancang tanpa perintah Prabu
Jayalaksana.
Walaupun tidak memiliki ilmu kepandaian setinggi para
pengawal khususnya, Prabu Jayalaksana sedikit banyak
dapat mengetahui kalau anggota Pasukan Kuku Garuda itu
terdesak.
"Kalian bantu tangkap Pendekar Tangan Baja," perintah-
nya pada tiga orang yang tadi sudah melangkah maju.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, tiga orang anggota
Pasukan Kuku Garuda itu segera melesat ke depan.
Menceburkan diri dalam arena pertarungan, dan langsung
melakukan serangan serangan berbahaya.
Dengan adanya tambahan tiga anggota Pasukan Kuku
Garuda, Pendekar Tangan Baja terpaksa menghentikan
desakan pada laki-laki berambut kepang. Cepat pemuda
berbaju kuning melentingkan tubuhnya ke belakang,
kemudian bersalto beberapa kali di udara dan hinggap di
tanah. Dan secepat itu pula bersiap.
Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak mengejar.
Dibiarkan saja pemuda berbaju kuning itu memperbaiki
kuda-kudanya. Sementara Pendekar Tangan Baja bersiap
siaga menghadapi empat orang jago-jago istarta ini.
Tapi sebelum Pendekar Tangan Baja dan empat
pengawal khusus Raja Kamujang ini bentrok, sebuah
bisikan di telinga pemuda berbaju kuning ini membuatnya
tertegun.
"Gusti Prabu Jayalaksana tidak bersalah, Pendekar
Tangan Baja. Ada orang yang memfitnahnya...."
"Arya...?" desah pemuda berbaju kuning ini pelan.
Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau
bukan Dewa Arak. Perasaan kagum menyeruak dalam hati
pemuda berbaju kuning ini. Dia tahu kalau pemuda
berambut putih keperakan itu menggunakan ilmu
mengirimkan suara dari jauh untuk menyampaikan pesan
itu padanya.
Beberapa saat lamanya Pendekar Tangan Baja jadi
bimbang. Antara menuruti saran Dewa Arak atau melanjut-
kan pertarungan. Tapi akhimya, pemuda berbaju kuning ini
memutuskan untuk menuruti saran Arya. Toh, kalau nanti
ternyata apa yang dikatakan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak benar, masih ada kesempatan lain
untuk melaksanakan niat nya itu.
Setelah memutuskan demikian, Pendekar Tangan Baja
segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Bersalto
beberapa kali di udara kemudian melesat kabur dari situ.
“Tangkap...! Jangan biarkan dia lolos...!" teriak Panglima
Ramkin, yang tiba-tiba sudah datang ke tempat itu.
Teriakan-teriakan keras bernada perintah terdengar
bersahut- sahutan. Tentu saja pasukan Kerajaan Kamujang
tidak tinggal diam. Belasan prajurit mencoba menghadang,
tapi segera buyar begitu pemuda berbaju kuning itu
mengamuk membuka jalan.
Empat orang Pasukan Kuku Garuda tidak tinggal diam.
Mereka pun segera bergerak mengejar. Tapi Pendekar
Tangan Baja segera mengerahkan seluruh ilmu peringan
tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebatan cepat. Dan
beberapa saat kemudian, sudah berada di dinding tembok
istana.
"Hih...!"
Pendekar Tangan Baja menggenjotkan kakinya. Sesaat
kemudian tubuhnya pun melayang ke atas. Tepat pada
saat pasukan panah Kerajaan Kamujang melepaskan
puluhan anak panah ke arahnya.
Kembali pemuda berbaju kuning ini membuktikan
kelihaiannya. Selagi tubuhnya berada di udara, kedua
tangannya bergerak cepat menyampok puluhan anak
panah yang menyambar deras ke arahnya.
Tak, tak. tak...!
Puluhan batang anak panah itu pun berpentalan tak
tentu arah ketika tersampok sepasang tangan Pendekar
Tangan Baja. Ada beberapa di antara anak-anak panah itu
yang masih utuh. Tapi sebagian besar sudah tidak
berbentuk lagi.
"Hup...!"
Wataupun agak terhuyung sedikit, karena tingginya
tembok istana dan juga karena adanya gangguan, pemuda
berbaju kuning ini berhasil mendarat mulus di luar tembok
istana. Tanpa membuang-buang waktu lagi Pendekar
Tangan Baja segera melesat kabur dari situ.
Belum berapa jauh Pendekar Tangan Baja berlari, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat menghadang. Dan tahu-
tahu di depan pemuda berbaju kuning telah berdiri seorang
pemuda berambut putih keperakan.
"Arya...," desis Pendekar Tangan Baja seraya meng-
hentikan larinya.
Pemuda yang memang bukan lain dari Dewa Arak itu
tersenyum lebar.
"Sudah kuduga kalau kau mau mendengar saranku itu,
Pendekar Tangan Baja," ucap pemuda berambut putih
keperakan ini.
"Benarkah yang kau katakan tadi, Arya?" tanya pemuda
berbaju kuning. Mulutnya menyunggingkan senyuman getir.
"Benar, Pendekar Tangan Baja," sahut Dewa Arak sambil
menganggukkan kepalanya.
"Dan kau tahu siapa orang yang memfitnahnya?" desak
Pendekar Tangan Baja lagi. Ada nada keingintahuan yang
amat sangat terpancar dari raut wajahnya.
"Hhh.... Sayang sekali, Pendekar Tangan Baja," jawab
Dewa Arak sambii menghela napas panjang. "Aku sama
sekali tidak mengenalnya. Hanya yang kutahu ciri-ciri orang
itu saja."
"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya, Arya?" tanya pemuda
berbaju kuning setengah hati.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya. Beberapa saat
lamanya pemuda berambut putih keperakan ini tercenung.
"Seorang laki-laki setengah baya berpakaian rompi
coklat. Dan.... hanya mempunyai sebuah daun telinga...."
"Apa?!" tanya Pendekar Tangan Baja setengah berteriak.
Keterkejutan yang amat sangat jelas membayang di
wajahnya. Sepasang matanya pun membelalak lebar.
Bagaikan melihat hantu di slang bolong. "Betulkah ciri-dri
yang kau sebutkan itu, Arya?"
Tentu saja Dewa Arak jadi terkejut campur bingung
melihat sikap pemuda berbaju kuning yang nampak jelas
begitu terkejut mendengar keterangannya. Masih dengan
sinar mata penuh pertanyaan, pemuda berambut putih
keperakan ini menganggukkan kepalanya.
"Ada apa, Pendekar Tangan Baja?" tanya Arya hati-hati.
Khawatir kalau pertanyaannya menyinggung perasaan
pemuda berbaju kuning yang pemarah ini.
"Ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan orang yang
selama ini kucari-cari, Arya," sahut Pendekar Tangan Baja
pelahan.
"Maksudmu...." Dewa Arak tidak melanjutkan
ucapannya. Memang, pemuda berbaju kuning ini pernah
bercerita mengenal tugasnya mencari paman gurunya.
"Yahhh..., paman guruku, Arya," sahut Pendekar Tangan
Baja dengan suara mendesah.
Dewa Arak terdiam mendengar penjelasan itu. Sesaat
lamanya suasana pun jadi hening.
"Kau tahu di mana paman guruku itu berada, Arya?"
Dewa Arak menganggukkan kepalanya.
"Bisa kau beritahukan aku tempatnya?" tanya Pendekar
Tangan Baja.
"Kita pergi bersama-sama Pendekar Tangan Baja." sahut
Dewa Arak.
“Tidak! Ini adalah urusan pribadi. Kau tidak usah ikut
campur, Arya," bantah pemuda berbaju kuning itu.
Dewa Arak tersenyum. Disadari kebenaran ucapan
pemuda berbaju kuning di hadapannya.
“Tapi kini persoalan itu sudah bukan persoalanmu
sendiri, Pendekar Tangan Baja."
"Apa maksudmu? Aku masih belum mengerti," tanya
pemuda berbaju kuning ini. Nada suaranya menyiratkan
tuntutan.
"Karena paman gurumulah orang yang telah memfitnah
Prabu Jayalaksana!"
"Memfitnah?! Ceritakanlah, Arya!" desak Pendekar
Tangan Baja ingin tahu.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali mencerita-
kan hal yang sebenarnya pada pemuda berbaju kuning ini.
Dan begitu Arya menyelesaikan ceritanya. Pendekar
Tangan Baja baru mengerti.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Arya? Mari kita serbu
tempat itu!" ajak pemuda berbaju kuning itu penuh
semangat.
Dewa Arak hanya tersenyum. Sesaat kemudian tubuh
kedua pemuda perkasa itu telah melesat meninggalkan
tempat itu. Cepat bukan main gerakan kedua pemuda
gagah itu. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh mereka
telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
***
6
Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja berlari cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Cepat
bukan main gerakan kedua pemuda perkasa itu. Sehingga
yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan keunguan
dan kekuningan.
Diam-diam baik Pendekar Tangan Baja maupun Dewa
Arak sama-sama memuji kelihaian masing-maslng. Arya
memang sudah menduga kalau pemuda berpakaian
kuning ini memiliki kepandaian tinggi. Tapi sungguh tidak
diduganya kalau sampai setinggi ini. Ilmu meringankan
tubuh Pendekar Tangan Baja ini amat luar biasa. Meskipun
begitu, seandainya pemuda berambut putih keperakan ini
mau mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya,
sudah dapat dipastikan akan mampu meninggalkan
pemuda berpakaian kuning.
Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa.
Pemuda berpakaian kuning ini adalah seorang pendekar
muda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan.
Sehingga belum pemah mendengar julukan Dewa Arak
alias Arya Buana yang menggemparkan dunia persilatan.
Pendekar Tangan Baja merasa kagum bukan main
melihat kehebatan pemuda berambut putih keperakan ini.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya, tapi tetap saja tidak mampu meninggalkan Arya.
Bahkan kini terlihat jelas kalau Dewa Arak itu pelahan
namun pasti, mulai meninggalkan beberapa langkah di
depannya. Pendekar Tangan Baja sama sekali tidak tahu
kalau pemuda berambut putih keperakan ini belum
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda perkasa
yang telah mencapai tingkatan tinggi, tak berapa lama
kemudian, bangunan dimaksud telah terlihat oleh
keduanya. Begitu bangunan itu sudah terlihat Jelas, Dewa
Arak dan Pendekar Tangan Baja segera menghentikan
langkahnya. Agak jauh dari bangunan itu. Cepat kedua
pemuda perkasa ini berlindung di balik sebatang pohon.
"Kelihatannya sepi-sepi saja, Arya," ucap Pendekar
Tangan Baja setelah sepasang matanya mengamati sekitar
bangunan tua yang berhalaman cukup luas itu.
Dewa Arak hanya menggumam tidak Jelas.
"Aku khawatir kalau keterangan yang kau terima itu
hanya tipuan belaka," ucap pemuda berpakaian kuning lagi
begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan tidak
menyahuti ucapannya.
"Aku yakin orang itu tidak menipu kita," sahut Dewa Arak
tanpa mengalihkan perhatiannya pada bangunan tua yang
menjadi pusat perhatian mereka.
"Apa yang membuatmu begitu yakin, Arya?"
Dewa Arak mengalihkan pandangannya dari bangunan
tak terurus itu. Ditatapnya wajah Pendekar Tangan Baja
lekat-lekat.
"Orang itu merasa sakit hati karena dikhianati oleh
pemimpinnya. Coba kau pikirkan, Pendekar Tangan Baja.
Andaikan kau yang menjadi orang itu. Lalu kau telah
melaksanakan tugasmu dengan baik, tapi kau malah
dibunuhnya. Apakah kau tidak sakit hati? Tidak ingin
membalas kekejian pemimpinmu itu?" Arya balik bertanya.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas
panjang. "Itukah dasar pemikIran yang membuatmu yakin
akan keterangannya, Arya?"
"Ya." sahut Dewa Arak singkat.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita serbu
bangunan itu. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu
dengan paman guruku!" ajak Pendekar Tangan Baja seraya
hendak beranjak dari tempat persembunyiannya.
"Sabar, Pendekar Tangan Baja!" ucap Dewa Arak
mencegah.
"Ada apa? Kau takut?" tanya pemuda berpakaian kuning
itu seraya mengernyitkan kening.
Merah wajah Dewa Arak mendengar ucapan itu. Sikap
Pendekar Tangan Baja begitu keras. Dan ucapannya pun
terkadang sering menyakitkan hati. Sepertinya setiap
ucapan pemuda berpakaian kuning ini keluar begitu saja
tanpa dipikir lebih dulu.
“Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Pendekar
Tangan Baja!" tandas pemuda berambut putih keperakan
itu agak keras.
"Hm.... Lalu? Mengapa kau ragu-ragu?" desak Pendekar
Tangan Baja lagi.
"Dalam menghadapi setiap persoalan, kita tidak boleh
menuruti emosi saja, Pendekar Tangan Baja," jawab Dewa
Arak setengah menggurui. Disadari kalau ucapannya itu
agak keras. Tapi Arya tidak mempedulikannya lagi. Ber-
bicara dengan pemuda di hadapannya ini memang harus
tegas.
"Jadi, menurutmu... lebih baik kita bersembunyi saja di
sini. Begitu, Arya," sindir Pendekar Tangan Baja sambil
tersenyum mengejek.
"Bukan itu yang kumaksudkan!" ucap Dewa Arak agak
keras. "Ingat, kita kemari bukan hanya untuk bertarung
saja. Tapi juga menyelamatkan Permaisuri Kerajaan
Kamujang."
"Heh?! Kau salah kira rupanya, Arya."
"Maksudmu?" tanya pemuda berambut putih keperakan
itu masih kurang mengerti.
"Aku datang kemari bukan untuk menyelamatkan
permaisuri yang diculik itu! Tapi untuk membawa paman
guruku hidup atau mati'" tandas Pendekar Tangan Baja
tegas.
"Kalau begitu, hapus saja julukan pendekarmu itu.
Pendekar Tangan Baja'" sambut Dewa Arak tak kalah
keras.
"Apa hubungannya sebutan pendekar itu dengan
menyelamatkan permaisuri? Hm.... Baru kali ini kudengar
kalau seorang berhak mendapat julukan pendekar, kalau
sudah menyelamatkan seorang permaisuri!" ejek Pendekar
Tangan Baja.
"Hhh...! Tak kusangka kalau secepat ini kau melupakan
janjimu pada Ki Paladi. Tak kusangka kalau kau begitu
mudahnya mengingkan janji " keluh Dewa Arak.
"Jaga mulutmu, Arya!" sentak Pendekar Tangan Baja
gusar. "Aku sama sekali tidak berjanji menyelamatkan
permaisuri raja pada Ki Paladi!"
"Bukankah kau telah bertekad untuk menghilangkan
kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan Kamujang?"
tanya Arya dengan nada tinggi.
“Benar."
"Nah! Perlu kau ketahui! Sumber semua kekacauan di
Kerajaan Kamujang ini adalah karena permaisuri Prabu
Jayalaksana disandera oleh paman gurumu! Selama
permaisuri masih di tangan mereka, Raja Kamujang tidak
bisa berbuat apa-apa untuk menentang kekacauan itu!"
jelas Dewa Arak panjang lebar.
Pendekar Tangan Baja pun terdiam seketika. Kini baru
disadarinya kalau masalah yang tengah dihadapi tidak
sesederhana yang dia duga. Memang pemuda berpakaian
kuning ini kurang mengandalkan pikirannya dalam
menghadapi setiap persoalan.
"Sekarang terserah padamu! Kalau kau tetap tidak ingin
menyelamatkan permaisuri itu, aku tidak akan memaksa!
Tapi kumohon, kau menahan dulu urusan dengan paman
gurumu itu sampai aku berhasil menyelamatkan
permaisuri," pinta pemuda berambut putih keperakan itu
seraya menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning.
"Hhh...!" Pendekar Tangan Baja menghela napas
panjang. Kemarahannya yang sejak tadi bangkit, pelahan
mulai mereda.
“Bagaimana? Bisa kau penuhi permintaanku ini?" tanya
Dewa Arak lagi begitu melihat pemuda berpakaian kuning
belum memberikan jawaban.
"Maafkan atas kebodohanku, Arya," ucap pemuda ber-
pakaian kuning lagi. Nada suaranya menyiratkan
penyesalan yang mendalam.
"Jadi...?"
"Aku ikut denganmu. Kita bersama-sama menyelamat-
kan permaisuri dulu. Biar urusan dengan paman guruku,
kuurus setelah kita berhasil menyelamatkan permaisuri''
Dewa Arak tersenyum lebar. Diulurkan tangannya.
Pendekar Tangan Baja menyambut hangat, dan meng-
genggamnya erat-erat. Perasaan kagumnya kepada Arya
semakin besar. Sungguh tidak disangka, kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki pandangan yang
begitu luas. Siapakah sebenarnya Arya ini? tanya Pendekar
Tangan Baja dalam hati.
***
Matahari tepat berada di atas kepala. Sinamya yang
terik menyorot garang ke permukaan bumi Dewa Arak dan
Pendekar Tangan Baja melesat cepat mendekati pagar
tembok yang mengelilingi bangunan tua yang tak terurus
itu. Berkat ilmu meringankan tubuh kedua pemuda itu yang
sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam sekejap saja
keduanya sudah berada di balik pagar tembok.
"Kita bagi tugas, Pendekar Tangan Baja," ucap Dewa
Arak.
"Maksudmu?" tanya Pendekar Tangan Baja seraya
mengernyitkan keningnya.
"Kita harus bertindak hati-hati. Bukankah kita belum
mengetahui seberapa besar kekuatan gerombolan paman
gurumu itu? Untuk menghindari kegagalan, akan kucoba
menarik perhatian mereka "
"Bicara jangan berbelit-belit, Arya," tegur pemuda
berpakaian kuning itu. Memang Pendekar Tangan Baja
masih belum mengerti arah pembicaraan pemuda
berambut putih keperakan ini.
"Aku akan membuat kekacauan. Dan begitu semua
perhatian mereka sudah tertuju padaku. Kau cari dan
selamatkan permaisuri. Mengerti?"
Pendekar Tangan Baja menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu bersiapiah, aku akan menarik perhatian
mereka!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian tubuh
pemuda ini pun melenting ke atas. Dan....
"Hup...!"
Indah dan manis sekali, kedua kakinya mendarat di
pagar tembok. Tapi belum sempat pemuda berambut putih
keperakan ini berbuat sesuatu, beberapa orang yang
tengah berjaga-jaga di sekitar bangunan itu telah me-
mergokinya.
"Cepat lapor pada ketua," perintah salah seorang dari
mereka. Sementara dia sendiri bersama beberapa orang
lainnya segera meluruk ke arah Dewa Arak.
Arya yang memang sengaja hendak mengalihkan
perhatian, segera melompat turun dari pagar tembok batu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah,
tepat pada saat delapan anggota gerombolan itu meluruk
ke arahnya dengan senjata terhunus.
Karena ingin mengalihkan perhatian, Dewa Arak tidak
bertindak setengah-setengah. Segera saja dikeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Singgg, singgg, wuttt….!
Delapan batang senjata tajam yang terdiri dari tombak,
pedang dan golok berkelebatan cepat ke berbagai bagian
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, Dewa
Arak tetap bersikap tenang. Dibiarkan saja hujan senjata-
senjata tajam itu meluruk ke berbagai bagian tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara-suara pekikan kaget segera terdengar begitu
hujan senjata-senjata tajam itu mengenai sasarannya.
Betapa tidak? Semua senjata yang mengenai sekujur
tubuh Dewa Arak berbalik kembali. Seolah-olah yang
terbabat itu bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging
dan tulang. Melainkan gumpalan karet yang keras dan
kenyal.
Tapi suara pekik kekagetan itu segera berganti dengan
pekik kesakitan, begitu tangan Dewa Arak bergerak.
Padahal gerakan tangan pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat pelahan saja. Tapi akibatnya,
delapan orang kasar berpentalan tak tentu arah bagai
dilanda angin badai!
Tapi baru juga delapan orang itu roboh, dari dalam
bangunan tua itu muncul puluhan orang bahkan mungkin
seratus orang! Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki
setengah baya berompi coklat, berdaun telinga satu.
Dewa Arak terperanjat kaget. Sungguh tidak disangka-
nya kalau jumlah anak buah Paman Guru Pendekar Tangan
Baja begitu besar. Beberapa saat lamanya, pemuda
berambut putih keperakan ini terlihat bingung.
Belum juga Arya berhasil menghilangkan perasaan
kagetnya, tahu-tahu tangan laki-laki setengah baya ini
berkelebat. Seketika itu juga anak buahnya yang berjumlah
tak kurang dari tiga ratus orang itu bergerak cepat
mengurung. Dalam sekejap Dewa Arak telah terkurung
rapat.
Dewa Arak menyadari keadaan yang tidak menguntung-
kan baginya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dijumput-
nya guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian
dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki
tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang
merayap memasuki perut Dewa Arak. Dan kemudian naik
ke kepala.
Baru Juga Dewa Arak menurunkan kembali gucinya.
Laki-laki berompi coklat itu telah berseru keras.
“Serang...!”
Tanpa menunggu diperintah dua kali, orang-orang yang
telah mengurung itu langsung bergerak menyerbu Dewa
Arak. Hujan senjata pun berkelebatan ke arah pemuda
berambut putih keperakan itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang terkejut melihat hal
ini. Pendekar Tangan Baja pun dilanda perasaan serupa.
Kini kekagumannya pada Dewa Arak semakin bertambah
besar. Sikap hati-hati pemuda berambut putih keperakan
itu begitu tepat, gumam pemuda berpakaian kuning dalam
hati.
Tapi Pendekar Tangan Baja tidak bisa terlalu lama larut
dalam keterkejutannya. Pemuda berpakaian kuning ini
tahu, betapa pun lihainya Arya, tidak mungkin mampu
menghadapi sekian banyak orang. Apalagi di situ ada
paman gurunya! Maka dia harus bertindak cepat kalau
ingin Dewa Arak tetap selamat.
Sekali lagi Pendekar Tangan Baja memandang ke arah
Dewa Arak yang sudah sibuk bertarung menghadapi
pengeroyokan lawannya. Kemudian tanpa membuang-
buang waktu lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat
ke belakang. Mengelilingi bagian luar pagar tembok.
Pemuda berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Pendekar Tangan Baja ingin buru-
buru membantu Dewa Arak. Tapi untuk itu dia harus lebih
dulu menyelamatkan permaisuri.
Setelah berada di pagar tembok bagian belakang,
Pendekar Tangan Baja menghentikan Langkahnya.
Pemuda berpakaian kuning terdiam sejenak. Kemudian
digenjotkan kakinya.
"Hih...!"
Sesaat kemudian tubuhnya melenting, melewati pagar
tembok. Indah dan manis gerakannya. Dan....
"Hup...!"
Seperti yang sudah direncanakan Dewa Arak, keadaan
di sini hening dan sepi. Sesaat Pendekar Tangan Baja
mengawasi keadaan di sekitar bangunan. Lalu melesat ke
dalam melalui pinru belakang.
Tanpa mengalami kesulitan, pemuda berpakaian kuning
ini memasuki pintu itu dan terus menerobos ke dalam.
Agak bingung juga pemuda berpakaian kuning melihat
begitu banyak ruangan yang ditemuinya dalam bangunan
ini. Tapi perkenalannya dengan Dewa Arak telah membuat
pemuda ini mulai bisa mempergunakan akalnya.
Pendekar Tangan Baja buru-buru menyelinap ke balik
sebuah tiang, ketika dilihatnya empat orang berwajah
kasar dan bertubuh kekar berada di depan pintu sebuah
ruangan. Pikiran pemuda berpakaian kuning ini pun
bekerja. Mengapa ruangan itu dijaga sementara ruangan-
ruangan lainnya tidak? Kemungkinannya hanya satu,
permaisuri Prabu Jayalaksana ditahan di dalam ruangan
itu!
Setelah yakin pada dugaannya, pemuda berpakaian
kuning ini lalu melesat Pendekar Tangan Baja tidak ingin
memberi kesempatan pada para penjaga itu untuk
mempergunakan permaisuri sebagai sandera. Pemuda
berpakaian kuning ini mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tentu saja empat orang penjaga itu kaget bukan main
begitu melihat di hadapan mereka tahu-tahu berdiri
seorang pemuda berpakaian kuning. Pendekar Tangan
Baja terkejut begitu mengenal salah seorang di antara
mereka adalah Rupangga. Sesaat, perasaan bimbang
melanda hatinya. Mengapa punggawa Kerajaan Kamujang
ini berada di sini?
Tapi, Pendekar Tangan Baja tidak bisa berpikir lama,
Rupangga ternyata sudah mengenalnya. Terbukti, begitu
dilihatnya pemuda berpakaian kuning ini, segera dicabut
goloknya. Tentu saja ketiga rekannya mengikuti gerakan-
nya itu.
Srat, srat..!
Serentak keempat orang itu menghunus senjatanya
masing-masing. Dan secepat itu pula membabatkannya ke
arah Pendekar Tangan Baja. Tak pelak lagi empat buah
senjata yang terdiri dari pedang dan golok, berkelebatan
cepat mengancam berbagai bagian tubuh Pendekar
Tangan Baja.
Pendekar Tangan Baja hanya mendengus. Sekali lihat
saja, pemuda berpakaian kuning ini sudah dapat mengukur
tingkat kepandaian empat orang penjaga itu. Pendekar
Tangan Baja tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Cepat
cepat kedua tangannya digerakkan memapak hujan
senjata yang menyambar ke arahnya.
Tak, tak...!
Suara benturan keras terdengar hampir bersamaan,
begitu kedua tangan pemuda berpakaian kuning itu ber-
benturan dengan pedang dan golok di tangan para
penjaga. Terdengar pekikan-pekikan kaget dari mulut
orang-orang kasar itu tatkala merasakan tangan-tangan
mereka tergetar hebat. Dan hampir hampir senjata mereka
terlepas dari genggaman.
Dengan perasaan terkejut mereka memandang senjata
masing-masing. Seketika sepasang mata mereka ter-
belalak tatkala melihat mata senjata mereka gompal. Dan
belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, kedua tangan
Pendekar Tangan Baja sudah bergerak cepat ke arah
mereka.
Wut, wut...!
Buk! Buk!
"Hugh!"
"Aaakh...!"
Jertt melengking memilukan terdengar hampir
bersamaan ketika sepasang tangan Pendekar Tangan Baja
mendarat di perut mereka. Seketika itu juga tubuh para
penjaga itu terlontar jauh ke belakang bagai diseruduk
banteng. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung,
dan telinga keempat penjaga itu.
Suara berdebukan keras terdengar susul menyusul
begitu tubuh mereka menghantam lantai. Saat itu juga
keempat orang penjaga itu diam tidak bergerak lagi. Diam
untuk selama lamanya.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya lagi,
Pendekar Tangan Baja segera bergerak ke arah pintu.
Tinjunya dipukulkan ke daun pintu itu. Dan....
Brakkk!
Daun pintu itu hancur berantakan ketika tinju Pendekar
Tangan Baja menghantamnya. Pemuda berpakaian kuning
itu segera melesat ke dalam. Dan terlihatlah seorang
wanita setengah baya berpakaian indah beringsut ke sudut
ruangan.
"Apakah Nisanak permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?"
tanya Pendekar Tangan Baja tanpa mempedulikan sikap
wanita setengah baya itu.
Diam tak ada jawaban dari wanita setengah baya itu.
"Bicara cepat, Nisanak! Aku tidak mempunyai banyak
waktu. Aku dan kawanku datang untuk menyelamatkan
Permaisuri Kerajaan Kamujang. Kawanku tengah meng-
halangi yang lainnya. Cepat jawab, Nisanak. Benarkah kau
permaisuri Gusti Prabu Jayalaksana?" desak Pendekar
Tangan Baja.
Wanita setengah baya itu menatap wajah Pendekar
Tangan Baja lekat-lekat. Kemudian pelahan kepalanya
terangguk pelan.
"Kalau begitu maafkan aku."
Setelah berkata demikian, Pendekar Tangan Baja
melesat cepat menyambar tubuh wanita setengah baya itu.
Tappp...!
"Hup...!"
Secepat tubuh Permaisuri Kerajaan Kamujang itu
dipondongnya, secepat itu pula Pendekar Tangan Baja
melesat keluar.
***
Sementara itu di halaman depan yang luas, laki-laki
berompi coklat tengah memperhatikan Dewa Arak yang
sibuk menghadapi keroyokan anak buahnya. Wajah laki-
laki setengah baya ini merah padam, menyaksikan anak
buahnya berjatuhan dan tak bangun lagi setiap kali tangan,
kaki, atau guci Dewa Arak bergerak. Sedangkan setiap
serangan anak buahnya selalu kandas. Sudah belasan
orang anak buahnya yang roboh bergeletakan di tanah.
"Minggir semua...!" teriak laki-laki berompi coklat itu
keras. Seketika itu juga anak buahnya berlompatan
mundur.
"Hup...!"
Lincah dan indah laksana seekor kera, laki-laki berompi
coklat itu melompat mendekati Arya.
"Jangan harap dapat lolos dari sini, Dewa Arak!" desis
laki-laki berdaun telinga satu itu tajam. Sepasang matanya
menatap wajah pemuda berambut putih keperakan penuh
ancaman.
"Kita lihat saja buktinya!" sahut Arya tenang. Memang
luar biasa sekali kekuatan hati Dewa Arak. Meskipun
berada dalam ancaman maut, masih mampu bersikap
tenang.
"Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan nyaring, laki-laki berompi
coklat melompat menerjang Dewa Arak. Paman Guru
Pendekar Tangan Baja ini sebelumnya memang pernah
merasakan kelihaian pemuda berambut putih keperakan
itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dikeluarkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Kedua tangannya yang
berbentuk paruh bangau melakukan patukan bertubi-tubi
ke arah ubun-ubun dan pelipis Arya.
Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. Pemuda
berambut putih keperakan ini menyadari posisinya tidak
menguntungkan. Kalau dia bersikap setengah-setengah,
sudah dapat dipastikan akan tewas terbantai di sini. Maka
tanpa ragu- ragu lagi, segera dikeluarkan Ilmu ‘Belalang
Sakti' andalannya. Dengan keunikan jurus 'Delapan
Langkah Belalang’, kakinya melangkah terhuyung-huyung
seperti akan jatuh. Laki-laki berdaun telinga satu meng-
geram keras begitu melihat lawannya tahu-tahu lenyap.
Tapi berkat pengalaman sebelumnya, sudah dapat diduga
kalau lawan berada di belakangnya. Maka begitu Dewa
Arak telah tidak berada lagi di depannya segera dibalikkan
tubuhnya.
Bertepatan dengan berbaliknya tubuh laki-laki berompi
coklat itu, Arya sudah melancarkan serangan, Guci di
tangan Dewa Arak terayun deras ke arah kepala laki-laki
berdaun telinga satu itu.
Laki-laki berompi coklat itu agak gugup. Serangan itu
memang datangnya begitu tiba-tiba. Tapi laki-laki setengah
baya itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat dirunduk-
kan tubuhnya. Sehingga serangan guci itu menyambar
tempat kosong. Lewat sekitar sejengkal di atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan oleh laki-
laki berompi coklat itu. Seraya merundukkan tubuh, kedua
tangannya melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk
yang tertekuk. Inilah ilmu 'Totokan Bangau'!
Dewa Arak terkesima melihat kehebatan laki-laki
berompi coklat itu. Sungguh di luar dugaannya kalau dalam
keadaan terjepit seperti itu, lawan mampu berbalik meng-
ancam.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit
bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Kembali
kakinya melangkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Tapi hebatnya, sesaat kemudian serangan lawan kandas
percuma. Sesaat kemudian, kedua orang sakti itu pun
terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewa Arak kini berada dalam puncak tertinggi
pemakaian ilmunya. Banyaknya lawan dan keadaan yang
terjepitlah yang menjadikan pemuda berambut putih
keperakan ini mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya.
Pertarungan antara kedua orang sakti ini berlangsung
cepat. Sehingga dalam waktu singkat tujuh puluh jurus
telah berlalu. Meskipun begitu, belum nampak tanda-tanda
ada yang akan terdesak. Baik Dewa Arak maupun laki-laki
berpakaian coklat itu sama-sama memiliki tingkat
kepandaian seimbang. Dalam hal ilmu meringankan tubuh
dan kekuatan tenaga dalam, kedua orang ini pun ternyata
setingkat.
Rupanya laki-laki berdaun telinga satu itu tidak sabar
lagi untuk mengakhiri pertarungan. Tapi sampai sejauh ini
dia tidak yakin kalau Dewa Arak mampu dikalahkannya
seorang diri. Bagaimana bisa mengalahkan, kalau
menyentuh baju pemuda berambut putih keperakan itu
saja sudah sulit bukan main. Dengan langkah anehnya,
Dewa Arak selalu membuat semua serangannya kandas.
Perasaan tidak sabar itulah yang mendorong, laki-laki
berompi coklat ini berteriak keras memberi perintah.
"Maju...! Tangkap pemuda ini..!"
Belum juga habis gema perintah itu, seorang laki-laki
tinggi besar berkulit hitam dan berambut jarang telah
melesat ke depan. Laki-laki ini adalah saudara kembar dari
Gajah Putih. Dia berjuluk Gajah Hitam Begitu masuk arena
pertarungan, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini segera
mencabut senjatanya yang berupa ganco. Dan seketika itu
juga diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan itu.
"Hih...!"
Cepat Dewa Arak menggenjotkan kakinya. Sekejap
kemudian, tubuhnya melesat ke udara sehingga serangan
ganco itu lewat di bawah kakinya.
Tapi selagi tubuh pemuda berambut putih keperakan
masih berada di udara, laki-laki berompi coklat melompat
memburu. Kedua tangannya yang berbentuk paruh bangau
itu mematuk- matuk cepat mencari sasaran.
Tidak ada pilihan lain bagi Dewa Arak kecuali menangkis
serangan itu. Tubuhnya yang sedang berada di udara,
menyulitkannya untuk mengelakkan serangan itu.
Plak, plak….!
Terdengar suara keras begitu dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu bertemu.
Akibatnya, balk Dewa Arak maupun laki-laki berdaun
telinga satu itu sama-sama terpental ke belakang.
"Hup...!"
Rlngan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak menjejak
bumi. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini
sempat berbuat sesuatu, beberapa sosok bertompatan
menyerbu dengan senjata terhunus, dan langsung
membabatkan senjatanya.
Dari suara desingan senjata mereka, Dewa Arak
langsung dapat mengetahui kalau penyerangnya mem-
punyai kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Memang,
mereka adalah para kepala-kepala rampok yang ditunduk-
kan dan dijadikan anak buah oleh laki-laki berompi coklat.
Arya tidak berani menangkis serangan-serangan itu
dengan tangan kosong. Cepat-cepat diayunkan gucinya
menangkis semua serangan itu.
Klang, kang, klanggg…!
Suara berkerontangan terdengar begitu guci itu beradu
dengan senjata para penyerbu itu. Seketika itu juga,
senjata-senjata terhunus di tangan para pengeroyok itu
berpentalan. Bahkan bukan hanya senjata-senjata itu saja,
tapi tubuh mereka juga berpentalan.
Tapi belum sempat Dewa Arak menarik napas lega,
serangan selanjutnya datang menyusul. Seraya berteriak
nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam kembali
menerjang pemuda berambut putih keperakan itu. Dan
sebelum serangan itu sendiri tiba, serangan dari laki-laki
bertelinga satu pun datang menyusul. Berturut-turut datang
pula serangan susulan lainnya.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali melenting-
kan tubuh ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara
kemudian mendarat ringan di tanah, beberapa tombak dari
tempat semula.
***
7
Baru saja Arya menjejakkan kakinya di tanah, tahu-tahu
lawan-lawannya sudah meluruk menyerbu. Pertarungan
sengit pun kembali berlangsung
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Betapa pun tinggi dan
uniknya jurus 'Delapan Langkah Belalang", tapi karena
lawan yang dihadapinya terlalu banyak, akhirnya pemuda
berambut putih keperakan ini mulai terdesak.
"Hih...!"
Wut..!
Gajah Hitam membabatkan ganconya ke pelipis Dewa
Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tidak
berani bersikap gegabah. Dari desir angin yang mengiringi
tibanya serangan itu, pendekar muda ini sudah dapat
mengukur kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya. Maka buru-buru dirundukkan tubuhnya.
Wusss...!
Sabetan ganco itu menyambar lewat di atas kepala
Dewa Arak. Belum lagi pemuda berbaju ungu ini sempat
berbuat sesuatu, laki-laki berompi coklat mengayunkan
kaki ke perutnya. Agak terkejut juga Dewa Arak. Posisiya
benar-benar tidak menguntungkan, karena pada saat itu
dia baru saja mengelakkan serangan Gajah Hitam. Tidak
ada jalan lain baginya, kecuali menghadang tendangan itu
dengan guci arak nya.
Bukkk...!
Keras bukan main tendangan yang dilontarkan laki-laki
berompi coklat itu. Kuda-kuda Dewa Arak sampai goyah
dibuatnya, dan tubuh pemuda berambut putih keperakan
ini pun oleng ke belakang. Keadaan ini segera dimanfaat-
kan oleh empat orang kepala rampok yang kini sudah
meluruk cepat menyerbu Dewa Arak.
Tapi untunglah Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'
yang membuat dirinya dapat melompat atau bergerak
dalam posisi apa pun. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak
sudah tewas. Dan kini, dengan mempergunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak berusaha meng-
elakkan serangan-serangan itu.
Tapi di saat itu, Gajah Hitam mengayunkan ganconya.
Cepat-cepat Arya mengelak. Tapi...
Crattt..!
"Akh...!"
Dewa Arak memekik pelan. Sabetan ganco itu
menyerempet perutnya. Cairan merah kental pun mengalir
keluar dari perut Arya yang terobek cukup lebar. Tubuh
pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-huyung
ke belakang.
"Ha ha ha….!" laki-laki berompi coklat tertawa bergelak.
"Sekarang terimalah kematianmu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berdaun telinga satu
itu melompat menerjang Dewa Arak. Kedua jari-Jari tangan-
nya yang berbentuk cakar, meluruk ke arah dada Dewa
Arak.
Tercekat hati Arya melihat hal ini. Segera dicekalnya guci
arak dengan kedua tangan, kemudian didorongkan ke
depan, memapak serangan yang menuju dadanya.
Plakkk...!
Dewa Arak terjengkang ke belakang dan jatuh ber-
gulingan di tanah saking kerasnya benturan. Darah yang
mengalir dari perutnya semakin banyak merembes keliar.
Tapi pemuda berambut putih keperakan ini bergegas
bangkit. Sementara laki-laki berompi coklat, melangkah
lambat-lambat menghampiri. Namun belum tiga tindak laki-
laki berdaun telinga satu ini melangkah, tiba-tiba terdengar
bentakan keras.
"Sanca Mauk! Akulah lawanmu….!"
Sebuah teriakan keras membuat langkah laki-laki
berompi coklat ini terhenti. Kepalanya menoleh ke arah
asal suara. Seketika wajah laki-laki setengah baya ini
berubah begitu melihat seorang yang bergerak cepat
mendatanginya.
"Gumintang….," desah laki-laki berompi coklat yang
ternyata bemama Sanca Mauk ini.
Cepat bukan main gerakan orang yang bemama
Gumintang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada
tiga tombak di depan laki-laki berdaun telinga satu.
“Pendekar Tangan Baja," desah Dewa Arak begitu
melihat orang yang dipanggil Gumintang.
"Ooo... Jadi, kau rupanya orang yang berjuluk Pendekar
Tangan Baja itu, Gumintang?! Ha ha ha...! Mana si tua
bangka itu?" ucap Sanca Mauk sambil tersenyum sinis.
"Untuk membawamu kembali, tak perlu guruku turun
tangan. Aku sendiri pun sanggup, Sanca Mauk!" tandas
Pendekar Tangan Baja tegas.
"Ha ha ha….! Sanca Mauk tertawa bergelak. "Kau hanya
mengantarkan nyawa saja, Bocah! Jangankan dirimu,
gurumu sendiri pun tidak akan mampu melawanku!"
"Kita lihat saja buktinya, Sanca Mauk!" sergah Pendekar
Tangan Baja keras.
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian kuning
ini melompat menerjang Sanca Mauk. Kedua tangannya
mengirimkan pukulan beruntun ke arah dada dan ulu hati
Sanca Mauk.
Begitu Pendekar Tangan Baja telah terlibat pertarungan
dengan Sanca Mauk, anak buah laki-laki berompi coklat itu
segera menyerbu Dewa Arak. Kembali pemuda berambut
putih keperakan ini harus mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk menghadapi keroyokan puluhan
lawannya.
Walaupun telah terluka, Dewa Arak masih mampu
mengadakan perlawanan sengit. Ke mana saja tangan,
kaki atau gucinya bergerak, pasti ada lawan yang roboh
dan tidak mampu bangkit lagi.
Tapi lawan yang dlhadapi pemuda berambut putih
keperakan ini terlalu banyak. Lagi pula tidak sedikit di
antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Maka
pelahan namun pasti Dewa Arak mulai terdesak. Apa lagi,
pemuda berambut putih keperakan ini memang sudah
terluka. Meskipun tidak terlalu parah, tapi sedikit banyak
mengurangi kelincahannya.
Di saat Dewa Arak semakin terdesak, terdengar suara
berderak keras disusul hancumya pintu gerbang depan.
Tentu saja suara ribut-ribut itu mengejutkan semua yang
ada di situ. Untuk sesaat pertarungan terhenti. Dan kini
semua perhatian tertuju ke arah pintu gerbang. Dari sekian
banyak orang yang ada di situ, hanya Pendekar Tangan
Baja saja yang tidak merasa terkejut. Karena pemuda
berpakaian kuning ini sudah bisa menduga apa yang
terjadi. Apalagi kalau bukan perbuatan pasukan Kerajaan
Kamujang yang datang bersamanya! Hanya saja karena
tidak sabar lagi, pemuda berpakaian kuning ini melesat
lebih dulu.
Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Sanca Mauk dan
anak buahnya, begitu melihat beratus-ratus pasukan
kerajaan memasuki markas mereka. Menilik dari
banyaknya, mungkin tidak kurang dari lima ratus orang!
Dan yang lebih gila lagi, di antara mereka terdapat
Pasukan Kuku Garuda. Dan tentu saja di antara mereka
ada pula Prabu Jayalaksana.
Begitu masuk, pasukan Kerajaan Kamujang itu segera
menceburkan diri dalam kancah pertarungan. Dan dalam
sekejap saja keadaan berbalik seratus delapan puluh
derajat. Pasukan Kerajaan Kamujang yang datang
menyerbu adalah pasukan pilihan. Maka dalam sekejap
saja, anak buah Sanca Mauk berguguran.
Sepak terjang Pasukan Kuku Garuda lebih hebat lagi.
Setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, sudah dapat
dipastikan ada anak buah Sanca Mauk yang roboh.
Amukan pasukan khusus itu baru agak tertahan ketika
berhadapan dengan Gajah Hitam dan empat orang kepala
rampok lainnya.
Sekali lihat saja, Dewa Arak sudah dapat mengetahui
kalau tanpa bantuannya pun, pasukan Kerajaan Kamujang
mampu memenangkan pertarungan. Maka pemuda
berambut putih keperakan ini segera bergerak menyingkir
dari kancah pertarungan. Dan hanya berdiri memperhati-
kan saja.
Prabu Jayalaksana yang sejak tadi berdiri mem-
perhatikan jalannya pertarungan, dengan dikawal oleh
empat orang Pasukan Kuku Garuda, melangkah meng-
hampiri Dewa Arak.
“Bagaimana Gusti Prabu bisa sampai kemari?" tanya
Arya. Sebenarnya dia sudah bisa menduganya. Tapi
pemuda berambut putih keperakan ini ingin mendengamya
langsung dari mulut yang bersangkutan.
"Pendekar Tangan Baja datang ke istana sambil mem-
bawa permaisuri. Pemuda perkasa itu juga menceritakan
kalau kau tengah menghadapi banyak lawan di sini. Hhh...!
Mudah-mudahan saja semua kekacauan di wilayah
Kerajaan Kamujang segera berakhir karena orang dalam
yang telah menculik permaisuri, juga telah tertangkap,"
jelas Prabu Jayalaksana.
"Siapa orang dalam yang terlibat itu, Gusti Prabu?" tanya
Arya setengah hati. Sekedar menyahuti ucapan Raja
Kamujang itu.
“Panglima Ramkin. Orang yang dulu kusuruh memimpin
pasukan untuk menangkapmu dan Pendekar Tangan Baja,"
jawab Prabu Jayalaksana. "Dari Dinda Permaisurilah
keterlibatannya dengan para pengacau itu kuketahui.
Hhh,..! Sungguh tidak kusangka...."
Dewa Arak hanya diam mendengarkan. Sedikit pun tidak
diselanya ucapan Raja Kamujang itu.
“Ternyata Panglima Ramkin berambisi menduduki
jabatan yang lebih tinggi. Maka dia bergabung dengan
komplotan penculik untuk merongrong keutuhan Kerajaan
Kamujang," sambung Raja Kamujang lagi. "Kalau saja tidak
ada dirimu dan Pendekar Tangan Baja, mungkin usahanya
akan berhasil. Seluruh daerah telah siap memberontak
akibat fitnahan yang dilancarkannya. Hhh...! Syukurlah kini
semua telah teratasi."
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pandangannya segera dilayangkan ke arah pertarungan
antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca Mauk yang
masih berlangsung sengit. Seratus jurus telah berlalu. Tapi
belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Kepandaian kedua orang itu ternyata seimbang.
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan dari per-
tarungan antara Pendekar Tangan Baja melawan Sanca
Mauk itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Desir angin tajam,
menderu dan mencicit, menyemaraki pertarungan itu.
Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Sebetulnya tingkat kepandaian Pendekar Tangan Baja
masih di bawah Sanca Mauk. Tapi karena keistimewaan
tangan pemuda ini, tambahan lagi gurunya telah
mewariskan ilmu yang dapat dipakai untuk melumpuhkan
ilmu Sanca Mauk, membuat Pendekar Tangan Baja yang
bernama Gumintang ini mampu mengimbangi lawannya.
Sanca Mauk menggeram keras. Sungguh tidak disangka
kalau kepandaian yang dimiliki murid keponakannya ini
demikian tinggi. Tepat pada jurus ke seratus lima puluh,
seraya membentak keras, laki-laki berompi coklat ini
mengibaskan tangannya.
Serrr...!
Pendekar Tangan Baja terkejut bukan main begitu
melihat berpuluh puluh jarum beracun menyambar ke
arahnya. Apalagi saat itu dirinya berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan. Cepat-cepat tubuhnya di lempar ke
samping dan bergulingan di tanah beberapa kali.
Sanca Mauk memang sudah menduganya. Maka begitu
dilihatnya Pendekar Tangan Baja melompat, segera laki-
laki berompi coklat ini melompat menyusul. Dan langsung
melancarkan serangan beruntun ke arah Pendekar Tangan
Baja yang masih bergulingan di tanah.
Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Tangan Baja selain
terus menggulingkan tubuh, menyelamatkan selembar
nyawanya. Tapi Sanca Mauk yang sudah menang posisi,
tidak mau membiarkannya. Diburunya tubuh yang
bergulingan itu seraya terus melancarkan serangan
bertubi-tubi.
Pendekar Tangan Baja sadar bila keadaan masih terus
seperti ini, suatu saat serangan lawan akan mengenainya
juga. Maka pemuda berpakaian kuning ini mengambil
keputusan nekad. Pada suatu kesempatan, tubuhnya
melenting ke atas.
"Hih...!"
Ternyata hal itu sudah diperhitungkan oleh Sanca Mauk.
Terbukti begitu tubuh Pendekar Tangan Baja itu melenting,
kakinya bergerak menendang. Cepat bukan main gerakan-
nya. Gumintang mencoba menggeliatkan tubuh untuk
mengelak, tapi...
Bukkk!
"Akh...!"
Pendekar Tangan Baja memekik tertahan. Keras dan
telak sekali tendangan Sanca Mauk mengenai perutnya.
Seketika itu juga, rasa mual dan mules yang amat sangat
mendera perutnya. Cairan merah kental pun meleleh di
sudut bibirnya. Belum lagi pemuda berpakaian kuning ini
berbuat sesuatu, paman gurunya kembali melancarkan
serangan bertubi-tubi
Tukkk!
Plakkk!
"Akh...!"
Gumintang kembali memekik tertahan ketika patukan
tangan kanan Sanca Mauk mengenai bahunya. Sementara
tangan kiri yang mengibas mengenai dadanya. Tubuh
Pendekar Tangan Baja kontan terpental ke belakang dan
terbanting keras di tanah.
Pendekar Tangan Baja berusaha bangkit. Tapi ternyata
tidak mampu. Tiga buah serangan yang diterimanya,
membuat pemuda itu terluka cukup parah. Belum lagi rasa
sakit yang melanda perutnya hilang, datang lagi rasa sesak
yang amat sangat di dadanya. Bahunya juga robek
mengeluarkan darah segar, terkena patukan tangan Sanca
Mauk.
“Terimalah kematianmu, Anak Keparat!" teriak laki-laki
berompi coklat itu seraya melompat menerkam Gumintang
yang sudah tergolek tidak berdaya.
Sudah dapat dipastikan kalau Sanca Mauk akan
berhasil membunuh Pendekar Tangan Baja. Tapi sebelum
serangan laki-laki berdaun telinga satu itu mengenai
sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memapak
serangannya.
Plak, plak….!
Terdengar suara keras berkali-kali, ketika dua pasang
tangan dari dua sosok tubuh yang sama-sama berada di
udara berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Sanca Mauk
maupun Dewa Arak sama-sama terjengkang ke belakang.
Tapi baik Sanca Mauk, maupun Dewa Arak dengan
mudah meredam daya dorong itu. Indah dan manis sekali
tubuh keduanya bersalto di udara.
Serrr...!
Kembali untuk yang ke sekian katinya, Sanca Mauk
mengibaskan tangan, melepaskan jarum-jarum beracun-
nya. Dan itu dilakukannya ketika tubuhnya masih bersaho
di udara. Sudah barang tentu hal ini membuat Dewa Arak
kaget. Apalagi serangan jarum itu cfilepaskan selagi
tubuhnya juga masih berada di udara.
Cepat diturunkan kedua tangannya, dan dijadikan
sebagai landasan kaki. Sekali kakinya bergerak
menggenjot tubuh pemuda berambut putih keperakan ini
telah melayang kembali ke atas. Sehingga serangan jarum
itu lewat di bawah kakinya.
Selagi berada di udara, Dewa Arak menghentakkan
kedua tangannya ke bawah, ke arah tubuh lawan yang
masih berada di udara. Dalam kemarahannya karena
lawan berlaku licik, pemuda berambut putih keperakan ini
telah menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang
dipergunakannya.
Angin berhawa panas menyengat berhembus keras ke
arah Sanca Mauk. Laki-laki berompi coklat ini kaget bukan
main. Apalagi saat ini tubuhnya tengah berada di udara.
Serangan Dewa Arak benar-benar di luar dugaannya.
Sedapat mungkin Sanca Mauk berusaha menggeliatkan
tubuhnya. Tapi….
Bresss...!
"Aaakh...!"
Sanca Mauk menjerit melengking memilukan ketika
pukulan jarak jauh Dewa Arak, telak menghantam
tubuhnya. Usahanya untuk menyelamatkan diri gagal total.
Brukkk!
Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras, tubuh
Sanca Mauk terbanting di tanah. Seketika itu juga nyawa
laki-laki berdaun telinga satu ini lepas dari raganya.
Sekujur tubuhnya hangus mengeluarkan bau sangit daging
terbakar.
Berbareng tewasnya Sanca Mauk, pertarungan antara
pasukan Kerajaan Kamujang dengan anak buah laki-laki
berdaun telinga satu itu pun berakhir. Pihak pasukan
Kerajaan Kamujang memperoleh kemenangan mutlak.
Sebagian besar lawan tewas terbunuh. Hanya tinggal
beberapa gelintir saja yang selamat. Itu pun karena
menyerah. Dan kini mereka menjadi tawanan.
Melihat kemenangan pasukannya, Prabu Jayalaksana
gembira bukan kepalang. Sesaat lamanya Raja Kamujang
ini melupakan Dewa Arak dan Pendekar Tangan Baja. Dan
ketika akhirnya Prabu Jayalaksana teringat, kedua pemuda
perkasa itu telah tidak berada lagi di situ. Bahkan mayat
Sanca Mauk pun telah lenyap.
"Hhh...!" Raja Kamujang menghela napas dalam. Orang
nomor satu di Kerajaan Kamujang ini mengetahui betul
alasan kedua pemuda itu pergi tanpa pamit. Dan ini jadi
membuatnya lebih kagum. Dewa Arak dan Pendekar
Tangan Baja tidak memerlukan ucapan terima kasih atau
imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan. Kedua
pemuda perkasa itu melakukan semua ini tanpa pamrih.
"Kalau saja di dunia ini banyak orang seperti mereka,
tidak akan ada kekacauan...," gumam Prabu Jayalaksana.
Sepasang matanya memandang kosong ke langit.
Sementara hari telah menjelang senja. Sinar mentari
yang mulai meredup, menyinari dua sosok tubuh yang
tengah berjalan pelahan. Dua sosok itu adalah Dewa Arak
dan Pendekar Tangan Baja yang tengah melangkah
berdampingan. Di bahu Pendekar Tangan Baja nampak
terpanggul mayat Sanca Mauk.
Sesampainya di sebuah persimpangan kedua pemuda
perkasa ini menghentikan langkahnya.
"Kau tidak bersedia ikut denganku, Arya? Kurasa guruku
senang berkenalan denganmu," ucap Pendekar Tangan
Baja yang sudah agak sembuh dari luka dalamnya.
“Terima kasih, Pendekar Tangan Baja! Sayang sekali aku
tidak bisa memenuhi ajakanmu. Perjalananku masih jauh.
Percayalah! Suatu saat nanti, pasti aku akan
mengunjungimu," janji Dewa Arak.
"Kalau begitu baiklah. Aku akan menunggu kedatangan-
mu, Arya, " sahut Gumintang mengalah. "O ya, terima kasih
atas semua bantuanmu "
"Lupakanlah, Pendekar Tangan Baja!" sambut Dewa
Arak seraya tersenyum lebar. Pendekar Tangan Baja juga
tersenyum. Kemudian pemuda berpakaian kuning ini
melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak memandangi kepergian Pendekar Tangan
Baja beberapa saat. Baru setelah itu dilangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Masih banyak tugas yang harus
diselesaikannya. Tugas selaku pendekar pembela kebenaran.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar