ASMARA PASAK DEWA
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Asmara Pasak Dewa
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.10
1
DOMAS Lanangseta yang berjuluk Pendekar Pusar
Bumi itu berlari paling depan. Prabima Wardana beru-
saha mengejarnya, kendati untuk itu ia harus selalu
menghalau perintang yang bertubuh molek dan cantik:
Andini, putri Panglima negeri Seberang. Setiap Andini
berhenti untuk menyerang Prabima, tubuh pemuda
bertampang ganteng itu melesat ke atas, bersalto
menghindari serangan Andini. Sementara itu Lanang-
seta berlari terus sambil membawa bunga Teratai Win-
git yang berhasil direbutnya kembali dari tangan Pra-
bima. Untuk sementara ia tak menghiraukan pertem-
puran yang terjadi antara Andini dengan Prabima.
"Larilah terus! Jangan hiraukan aku dulu. Lari, La-
nang!" teriak Andini sewaktu Lanangseta masih sering
bimbang dan mengkhawatirkan keselamatan Andini.
Perasaan cinta Andini kepada Lanangseta itulah
yang membuat ia sanggup menempuh resiko, berta-
rung melawan Prabima Wardana. Sesekali Andini sem-
pat mengingat betapa kasarnya pemuda berpedang pe-
rak itu ketika hendak memperkosanya beberapa waktu
yang lalu (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Inga-
tan itu pun yang membuat Andini bernafsu untuk
membunuh Prabima.
Ia sengaja menghadang setiap gerakan Prabima
yang berusaha merebut bunga Teratai Wingit, yaitu
bunga yang menentukan siapa lelaki yang akan men-
jadi calon istri Kirana, Putri Bukit Badai.
"Perempuan bodoh! Tak ada gunanya kau melin-
dungi Lanangseta! Minggir...!" seru Prabima yang me-
rasa dongkol sekali kepada Andini. Ia melancarkan
tendangan sejurus yang digerakkan dengan tubuh
berputar. Tendangannya mengenai pundak Andini
yang waktu itu berkelit ke kiri. Andini terguling jatuh
akibat tendangan itu, namun ia segera melesat bagai
kupu-kupu terbang. Melayang tubuhnya, dan kakinya
berhasil mengenai kepala Prabima kendati hanya me-
nyerempet saja. Prabima segera meluncurkan tangan
kanannya pada waktu Andini mendaratkan kaki ke ta-
nah. Tangan Prabima yang menghantam wajah Andini
berhasil ditangkis oleh gerakan tari yang gemulai na-
mun punya kekuatan tenaga dalam yang lumayan.
"Tak semudah dugaanmu menyentuh tubuh La-
nang, Setan!" kata Andini seraya mengembangkan ke-
dua tangannya, namun pada detik berikutnya kaki ka-
nannya maju ke depan dengan cepat sekali. Hampir
saja Prabima kehilangan dagunya yang bersih dan in-
dah itu kalau saja ia tidak segera mendongak ke atas,
menghindari tendangan kaki Andini. Pada saat itu,
Andini melihat posisi kaki Prabima lemah; sedikit ter-
tekuk kedua nya. Maka, kaki kanan yang masih di
atas itu segera turun bagai kibasan pedang menyamp-
ing, lalu berputar ke bawah dan menghentak kuat ke
lutut Prabima. Tubuh Prabima oleng, dan rubuh.
Andini tidak menyerangnya lagi. Ia juga takut ke-
tinggalan jauh dengan Lanangseta. Ia segera melesat
bagai belalang loncat dan terbang.
"Rasakan kebodohanmu ini, Betina Jalang...!" seru
Prabima yang segera melancarkan jarum-jarum bera-
cun dari ujung jemarinya. Jarum-jarum itu melesat
cepat seperti hembusan angin. Tak mudah dilihat mata
manusia biasa. Namun Andini punya kepekaan ter-
sendiri. Ia merasa ada angin berdesir dari belakangnya
dalam satu kelompok. Pasti bukan sembarang angin.
Karenanya ia segera menghentakkan kaki ke batang
pohon sebesar lengan, lalu ia bersalto ke samping den-
gan cepat. Pada saat itu, jarum-jarum melesat dan
menancap pada batang pohon itu. Tidak perlu me
nunggu sampai sepuluh hitungan, pohon itu telah
menjadi kering seketika. Daun-daunnya rontok dan
pohon itu tak akan bisa tumbuh lagi. Mati!
Lanangseta harus segera keluar dari Pulau Kramat
itu. Ia sudah sampai di pantai, namun kembali hatinya
was-was akan keselamatan Andini. Ia menunggu Andi-
ni untuk menyeberangi lautan dan menuju pantai di
seberang sana. Tetapi ketika Andini muncul, gadis itu
segera berkata:
"Menyeberanglah, Lanang. Cepat! Jangan tunggu
pemuda itu mengejarmu. Aku sanggup menghadapinya
di sini!"
"Andini, aku malu. Aku bisa mengalahkan dia, ta-
pi...!"
"Tapi aku juga tidak ingin kalau kulitmu sampai
terluka oleh kemarahan orang itu. Biar kuhadapi. Per-
gilah. Pergilah menyeberang, lekas...!" seraya Andini
mendorong-dorong tubuh Lanangseta. "Lekas, aku
nanti akan menyusulmu setelah menjebak dia dalam
perangkap...!"
Lanangseta tak mengerti apa rencana Andini sebe-
narnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus pergi se-
cepatnya, menyelamatkan bunga Teratai Wingit yang
kini ada dalam genggaman tangan kirinya itu. Ia harus
segera memakan bunga tersebut dalam upacara khu-
sus sesuai adat leluhur Bukit Badai. Karena jika tidak
segera memakan bunga itu, Prabima akan mencari pe-
luang untuk mencurinya lagi.
Dengan ilmu peringan tubuh yang sangat sempur-
na, Lanang menyeberangi laut dengan berlari di atas
permukaan air. Permukaan laut yang bergelombang
kecil itu bagai permadani yang dapat dilaluinya dengan
mudah, bahkan sambil berlari cepat. Setiap telapak
kaki Lanang menginjak permukaan air, seolah-olah ia
menginjak sebidang agar-agar yang sulit memercik.
Prabima yang melihat hal itu segera menyusul La-
nang. Ia berseru, "Aku juga bisa seperti kamu, La-
nang!"
Namun belum sempat kakinya menginjak ke per-
mukaan air laut, tiba-tiba kedua kaki Andini meluncur
cepat ke arah lengan Prabima. Tendangan dari arah
samping itu membuat Prabima terpental dan bergul-
ing-guling di tanah.
"Lanang! Hadapi aku jika kau memang jantan! Jan-
gan lari, Lanang...!" teriak Prabima dengan gemas, ka-
rena sebelum ia selesai bicara, Andini yang bergaun ti-
pis warna merah muda itu segera melancarkan puku-
lan jarak jauhnya yang diberi nama Pukulan Bidadari
Senja. Pukulan itulah yang membuat beberapa orang
Pulau Kramat mati dalam keadaan hangus di bagian
tubuh yang terkena pukulan itu.
Tapi kali ini musuh Andini tidak mudah untuk di-
robohkan. Prabima melihat gelagat tak baik dari puku-
lan Andini itu, ia segera mengeraskan kedua tangan
dan kakinya, berdiri dengan sedikit merendah dan
bungkuk, kemudian ia menghentakkan tangan kanan-
nya. Dari tangan kanannya itu keluar semacam perci-
kan api yang membentuk hawa racun dari pukulan Bi-
dadari Senja. Kedua tenaga dalam itu berbenturan dan
mengakibatkan suatu ledakan yang menggema.
Tubuh Andini terdesak mundur dua langkah, demi-
kian tubuh Prabima.
Sekali lagi Andini melancarkan pukulan Bidadari
Senja. Gerakan tangannya yang melambai bagai orang
menari itu nyaris tidak ketahuan jika itu adalah se-
buah pukulan yang sangat berbahaya. Tapi Prabima
Wardana rupanya tahu akan hal itu, sehingga karena
tak sempat memberi balasan seperti tadi, ia hanya me-
loncat ke samping dan pukulan Andini itu membentur
bongkahan karang di belakang Prabima.
Lanangseta sudah mendarat di pantai seberang pu-
lau itu, bahkan ia segera berlari menyelusup hutan
paya, dan berlari membawa bunga Teratai Wingit ke
Bukit Badai. Ia tak tahu bahwa kali ini Andini agak ke-
teter karena Prabima menggunakan pedangnya yang
bersarung perak putih.
"Kau tidak akan mampu menandingi ku, Betina Bu-
suk!" teriak Prabima seraya menebaskan pedangnya ke
arah perut Andini. Tubuh Andini melengkung ke bela-
kang dan ujung pedang itu melintas di depan perutnya
hanya berjarak beberapa centimeter saja. Gerakan
tangan kanan Prabima yang melesat ke kiri pada wak-
tu menebaskan pedang, segera disambut dengan ten-
dangan samping dari kaki kiri Andini. Prabima meng-
geloyor, nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Na-
mun ia kembali menyerang Andini dengan satu lonca-
tan ke atas dan melancarkan tendangan putar dari ka-
ki kirinya. Tendangan itu dapat ditangkis oleh sekele-
bat kain lengan baju Andini. Kemudian Andini hendak
menyerang maju, namun pedang Prabima segera me-
nusuknya. Sehingga, Andini membatalkan serangan-
nya, ia berkelit dengan merundukkan badan serendah
mungkin dalam posisi miring ke kiri. Pedang lolos, le-
wat di samping leher Andini.
Kaki Prabima mulai menginjak tanah kembali, tapi
belum genap berdiri keduanya, tahu-tahu kaki Andini
telah menyapunya dengan cepat, dan Prabima pun
terpental jatuh. Andini bermaksud menyerangnya den-
gan tendangan berikutnya dari arah atas Prabima. Te-
tapi tangan kiri Prabima tersentak ke depan, dan ke-
luarlah jarum-jarum beracun warna hitam dari ujung-
ujung jarinya itu. Akibatnya, Andini terpaksa berkelit
ke samping dengan menggulingkan badan beberapa
kali. Gaun merah mudanya yang longgar itu seperti ki-
lasan sayap kupu-kupu menyeberang taman. Indah,
namun cukup membahayakan. Sementara itu, serom-
bongan jarum beracun itu melesat ke udara dan entah
mengenai apa lagi.
Dalam satu kesempatan, Andini berhasil jatuh di
dekat sebatang ranting pohon kering. Ia segera me-
mungut ranting pohon yang panjangnya satu depa le-
bih. Ranting itu ia jadikan sebilah pedang dengan ke-
kuatan tenaga dalamnya yang cukup hebat. Ketika
Prabima menyerang dan menebaskan pedangnya, An-
dini menangkis dengan ranting itu. Suara yang timbul
akibat benturan pedang dengan ranting menjadi nyar-
ing. "Tiing...!" Prabima sedikit kaget, ia berhenti me-
nyerang. Matanya tajam memandang Andini yang juga
berdiri menunggu serangan berikutnya dengan wajah
angkuh dan mata seperti kucing marah. Diam-diam
Prabima mulai tertarik dengan kehebatan Andini. Ia
bergerak lagi dengan tiba-tiba supaya mengagetkan
Andini. Gerakan itu adalah mengayunkan pedangnya
secepat mungkin dengan kaki kanan menghentak ke
tanah, maju ke depan, pedang Prabima pun melesat
bagai hendak membelah kepala Andini. Andini me-
nangkisnya dengan kayu kering itu, sambil kaki ki-
rinya ditarik mundur dan kini ia merendahkan badan.
Sedikit.
"Trang...! Tiing...! Tiing...!"
Andini menangkis setiap kibasan pedang Prabima.
Ia agak terdesak mundur karena pukulan pedangnya
begitu kuat. Andini masih bisa bertahan menangkis-
nangkis serangan pedang Prabima. Mereka bagai sepa-
sang pemain anggar yang cukup ulet. Sebab dalam sa-
tu kesempatan. Andini pun mampu mendesak Prabima
dengan ranting keringnya.
"Kuakui kau cukup ulet, Betina Jalang!" ujar Pra-
bima sambil bermain anggar mengimbangi serang An-
dini. "Tapi keuletan mu itu sia-sia. Ku ingatkan, tena
gamu ini sangat sia-sia...!"
"Bagimu mungkin sia-sia, tapi bagiku tidak!" balas
Andini dengan tetap berkonsentrasi pada permainan
anggarnya. "Hiaaah...! Tak kuizinkan siapa pun me-
nyentuh Lanangseta!"
"Hebat. Suatu pengorbanan dan kesetiaan yang he-
bat!" kata Prabima seraya ia mengibaskan pedangnya
bolak-balik, lalu oleh Andini ditangkisnya terus. "Apa
dasar mu mempunyai kesetiaan kepada Lanangseta,
hah? Cinta?"
"Itu urusanku! Untuk apa kau tahu, Monyet Mati.
Uhh... Mampus kau...!"
Trang...! Ting, ting...! Tiing...!
Mereka sama uletnya, sama kuatnya. Permainan
pedang Andini benar-benar tak dapat diremehkan ke-
lincahannya, sekali pun yang ia gunakan itu sebenar-
nya adalah sebatang ranting kering. Namun sudah cu-
kup mewakili sebagai pedang sama kekuatannya den-
gan pedang Prabima.
Prabima sendiri masih terus menyerang Andini ba-
gai sedang berlatih. Ia kurang begitu serius, karena ia
ingin tahu siapa gadis yang dilawannya itu?
"Aku belum pernah melihatmu, Betina Jalang! Ka-
rena itu aku sangsi dengan pertarungan ini."
"Tak perlu kau sangsikan. Percayalah bahwa seben-
tar lagi kau akan mati, Setan Gropos...!" Lalu, Andini
menghentakkan pedangnya beberapa kali, "Hiaat...!
Hiaat...!"
Pergelangan tangan Prabima bagai memutar dengan
cepat dalam mempermainkan pedangnya. Ia berkata
dengan nafas tak setenang semula:
"Boleh aku mati, tapi sebelumnya sebutkan dulu
namamu. Aku tak ingin mati dengan penasaran tanpa
ku tahu siapa pembunuhku," Prabima sedikit terse-
nyum nakal.
Andini menyerang terus, kakinya bergerak maju
mundur. Ia sangat lincah dalam hal bermain pedang
seperti itu. Ia tetap bisa bicara dengan tenang. "Nama-
ku Andini. Lanang sering memanggilku, Andini
Sayang...!"
"O, ya? Woow... mesra sekali kedengarannya. La-
nang memanggilku Prabima, tapi tidak pernah pakai
embel-embel Sayang di belakang namaku." Prabima
menghentakkan kaki. Pedangnya disabetkan kuat-
kuat, namun ranting kering itu belum juga mau putus.
Padahal, biasanya pohon pun dapat dipenggal putus
oleh pedang Prabima, asal jangan terlalu besar. Namun
kali ini, ranting yang kecil, sepertinya sebatang baja
yang sukar dilebur dalam bara api apa pun.
"Kau akan mati dengan sia-sia, Andini."
"Mati membela seorang kekasih, bukan hal yang
sia-sia," Sambil Andini berputar tubuh dan mengi-
baskan senjatanya ke atas, ingin merobek perut Pra-
bima dari bawah ka atas. Tapi Prabima sempat mena-
han pedang tiruan itu dengan pedangnya yang asli se-
bilah pedang. Sambil begitu ia berkata sinis:
"Jangan bohong di depanku, sebab aku tahu kau
bukan kekasih Lanangseta."
"Matamu yang buta! Pantas dicungkil dengan kayu
ini! Hiiaat...!" Andini menusukkan ranting ke mata
Prabima, tapi Prabima berkelit ke samping dan me-
nangkisnya dengan hentakan keras.
"kurasa kau benar-benar perempuan bodoh! Kau
cukup cantik, kau menggairahkan, kenapa kau rela
menjadi gundik Lanangseta?! Kenapa sudi menjadi is-
tri simpanannya?"
Andini semakin panas hati. Ia membabatkan senja-
tanya dengan kuat dan bertubi-tubi ke arah leher Pra-
bima, sekalipun mampu di elakkan dan ditangkis oleh
Prabima.
"Kau menghinaku tanpa memikirkan keselamatan-
mu, Setan! Seenaknya saja mengatakan aku istri sim-
panan Lanangseta!"
"Hei, aku bicara dengan benar, kan? Bukankah La-
nangseta sudah punya calon istri sendiri?"
"Dia pernah bilang begitu, tapi itu bohong! Kau sen-
diri terkecoh dengan tipuan kata-katanya!" ketus An-
dini sambil terus bermain anggar dengan lawannya.
"Tipuan bagaimana? Ah, ah... kau ternyata belum
tahu keadaan Lanangseta sebenarnya."
Andini tidak menjawab, matanya tak berkedip da-
lam menghindari tebasan pedang lawan. Ia berkelit
dan menangkis, lalu sesekali menyerang dengan ber-
tubi-tubi.
"Hei, Lanangseta memang sudah punya calon istri,
bahkan dalam waktu dekat ini, kurasa ia akan me-
langsungkan perkawinannya...!" Prabima sengaja me-
manaskan hati Andini. Andini sendiri tidak berbicara
apa pun, namun otaknya berputar mencari-cari kebe-
naran apa yang sepatutnya ia ketahui. Karena itu, An-
dini membiarkan Prabima berceloteh terus.
"Apakah Lanangseta tak pernah bilang padamu,
bahwa ia akan kawin dengan Putri Bukit Badai? Apa-
kah ia tidak bercerita padamu, bahwa untuk menjadi
suami Putri Bukit Badai itu ia harus memakan bunga
Teratai Wingit yang tadi dibawanya kabur itu? Dan
apakah kau tidak tahu, bahwa bunga itu akan meru-
bah darah siapa saja yang memakannya, menjadi satu
darah dengan leluhur Bukit Badai. Dengan perubahan
darah itu, maka ia dapat kawin dengan Putri Bukit
Badai, dan mereka akan mempunyai keturunan. Tetapi
jika ia tidak memakan bunga Teratai Wingit, namun
nekad kawin dengan Putri Bukit Badai, maka ia tidak
akan mendapat keturunan, dan perempuan itu akan
mati dalam waktu kurang lebih satu minggu setelah ti
dur bersama Lanang. Sebab tanpa memakan bunga
itu, berarti Lanang tidak bisa mempunyai darah sama
dengan Putri Bukit Badai. Dan kalau perempuan itu
nekad kawin, maka darahnya akan berubah, menjadi
racun dan membusuk, lalu ia akan mati. Sebab itu,
Lanang sangat marah ketika bunga itu ku curi. Ia ta-
kut kalau bunga itu ku makan, karena dengan demi-
kian, akulah satu-satunya lelaki yang dapat kawin
dengan si Cantik Bukit Badai. Dan... dan sekarang kau
membantunya dalam usaha memperoleh bunga itu,
namun di luar kesadaran kau telah berusaha mem-
buat ia meninggalkan cinta mu, dan kawin dengan pe-
rempuan lain. Kau tidak akan memperoleh apa-apa
dari dia, Andini...!"
"Bohong...!" teriak Andini amat beremosi. Wajahnya
yang kuning langsat menjadi merah, nafasnya teren-
gah-engah. Gerakannya semakin brutal karena dilapisi
kemarahan yang sungguh membakar darahnya. "Kau
bohong, Prabima!"
Prabima bersalto ke belakang, dan berhenti menye-
rang.
"Itulah kenyataan yang belum kau ketahui. Karena
itu sejak tadi kukatakan, bahwa kau perempuan bo-
doh! Kau membela orang yang kau cintai, tapi ia sendi-
ri akan menjadi milik perempuan lain. Kau tidak akan
memilikinya!"
"Jahaaannaaamm...!" teriak Andini melengking pan-
jang. Ia membuang senjatanya dan menangis sambil
tubuhnya lemas, jatuh di hamparan pasir pantai.
Prabima tersenyum tipis. Ia memasukkan pedang-
nya pada sarung pedang perak. Ia membiarkan Andini
meraung-raung dalam tangisnya. Andini tak dapat
mengendalikan diri. Ia seperti orang kena tipu mentah-
mentah oleh Lanangseta. Penyesalannya dalam mem-
bantu Lanang memperoleh bunga itu, sungguh bagai
senjata yang menghunjam hatinya. Sakit sekali!
"Kalau ku tahu bunga itu adalah syarat perkawi-
nanmu dengan perempuan lain, aku tidak akan sudi
membantumu sampai sekarang ini, Lanang Setaaan...!"
teriak Andini dalam tangisnya. Kakinya bergerak-gerak
seperti anak kecil menangis minta jajan. Debu pasir
berhamburan dan Andini tidak perduli akan hal itu. Ia
sangat menyesal. Sangat menyesal sekali. Kegeraman
sudah bercampur dengan kemarahan. Sebentar lagi
kemarahan itu akan berubah menjadi dendam.
Prabima mendekati Andini dengan tenang, dengan
senyum kepuasan karena mampu mempengaruhi An-
dini. Ia jongkok di depan Andini. Ia yakin Andini tidak
akan menyerangnya.
"Kau tertipu, Andini. Dan orang tertipu itu sangat
memalukan, sekaligus menyakitkan hati. Lebih baik
ditampar keras-keras daripada ditipu mentah-mentah,"
tutur Prabima memberi pengaruh dendam di jiwa An-
dini.
"Aku tidak tahu kalau bunga itu adalah... adalah
kunci dari perkawinannya. Kalau ku tahu begitu, ku-
hancurkan saja bunga itu, atau ku injak-injak seperti
aku menginjak-injak calon istrinya! Bangsat memang
Lanangseta itu...!" Andini tak peduli kata-kata itu
layak atau tidak bagi perempuan secantik dia, tapi itu-
lah ungkapan kemarahan yang dibungkus oleh penye-
salan seumur hidup.
Prabima merasa mendapat angin. Ada peluang un-
tuk merebut bunga itu sebelum tiba saat upacara adat
leluhur Bukit Badai, di mana dalam upacara itu La-
nangseta akan memakan bunga tersebut. Lalu, ia pun
berkata kepada Andini dengan senyum kelicikan yang
selalu menghiasi bibirnya.
"Banyak orang menyangka Lanangseta itu pria pu-
jaan, laki-laki yang menjadi idaman setiap wanita, pe
muda tampan yang pantas menjadi buah impiannya
sepanjang malam. Namun di balik itu semua, Lanang-
seta adalah impian kebusukan. Banyak gadis yang di-
permainkan olehnya. Banyak gadis yang diperas tena-
ganya, dan dimanfaatkan untuk mencari bunga teratai
itu. Salah satu korbannya adalah kamu, Andini."
Andini tidak menyadari kalau saat itu ia sedang di-
hasut, ia juga tidak menyadari kalau saat itu Prabima
memanfaatkan penyesalannya untuk merubah sikap
Andini kepada Lanangseta, yang disadari Andini ha-
nyalah gejolak dendam kian membakar darah dan me-
nimbulkan kebencian yang besar pada diri Lanangseta.
Ia merasa cintanya kepada Lanang seperti sebuah
bungkus nasi yang dibuang begitu saja di sembarang
tempat. Sebab itu, ia meredakan tangis untuk men-
dengarkan kata-kata Prabima yang seolah menghibur-
nya.
"Penilaian seorang wanita sering terpatok pada ke-
tampanan wajah, ketegapan badan, dan daya tarik
khusus yang ada pada diri lelaki. Ia tidak tahu bagai-
mana cara menilai hati lelaki sebenarnya. Sebab itu,
banyak orang yang mengatakan kalau aku ini laki-laki
brengsek, karena sikapku memang suka slonang-
slonong. Padahal di balik sikapku yang seenaknya itu,
aku berjanji untuk tidak mau mempermainkan perem-
puan mana pun. Kalau kau suka, aku akan cinta ke-
pada perempuan itu. Kalau aku cinta, aku akan memi-
lih hanya dialah yang harus menempati hatiku. Kutu-
tup pintu hati untuk perempuan lain, sekali pun hal
itu dapat membuat aku dibenci gadis-gadis yang ingin
mencintai ku."
Diam-diam hati Andini berkata, "Baik juga pribadi
pemuda ini. Ia tegas dalam menentukan pilihan. Ia ca-
lon suami yang setia kepada istrinya..."
Dan kesempatan bungkamnya mulut Andini itu
masih terus dimanfaatkan oleh Prabima. Hasutan dan
pengaruh dimasukkan secara halus sehingga Andini
tidak merasakan adanya bahaya yang lebih kejam se-
dang mengancamnya.
"Kalau aku tahu kau adalah korban kekejian hati
Lanang, aku tak akan tega menyerangmu berkali-kali.
Tapi tadi aku sendiri sangsi, jangan-jangan kau me-
mang senang menjadi istri simpanan Lanang."
"Puihh...!" Andini meludah benci, "Kalau ku tahu
Lanang punya rencana begitu, kubunuh dia sejak ke-
marin!"
Prabima tertawa pendek, ia berdiri dan berkata:
"Itu mudah. Dan aku akan membantumu. Kita sa-
ma-sama sebagai orang yang dikecewakan Lanang, apa
salahnya kalau kita bergabung untuk ganti mengece-
wakan dia atau calon istrinya itu? Bagaimana? kau se-
tuju?!"
Andini menatap Prabima dengan tajam, sorot den-
dam terpancar dari matanya. Lalu ia menjawab dengan
gigi menggeletuk: "Setuju! Sangat setuju!"
***
2
PENDEKAR Pusar Bumi: Lanangseta, sibuk dengan
upayanya membawa lari bunga Teratai Wingit. Sece-
patnya ia harus sampai kepada Kirana, calon istrinya
itu, dan melangsungkan perkawinannya setelah men-
gadakan upacara adat leluhur Bukit Badai. Sedangkan
Andini dan Prabima sudah berkomplot untuk menye-
rang Lanangseta. Andini dibakar dendam dan Prabima
memanfaatkan dendam itu. Sebab Prabima mempu-
nyai maksud sendiri, yaitu ingin merebut Kirana dari
Lanangseta. Sudah lama ia merindukan pelukan kasih
Kirana, sudah lama juga ia hanyut bagai mimpi semu-
sim saja. Kirana tak pernah mau menyambut kehanga-
tan cintanya. Bahkan kini Kirana semakin membenci,
karena kemunculan Lanangseta yang berhasil mengisi
hati Kirana dengan sejuta mimpi kemesraan.
Kesibukan nafsu dan dendam, membuat mereka lu-
pa pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu cu-
kup berjasa juga dalam merebut kembali bunga Teratai
Wingit dari tangan Prabima. Hanya saja, sayang ia kini
dalam tangan penguasa Pulau Kramat yang bergelar
Iblis Pulau Kramat. Dalam panggilannya ia sering dis-
ebut: Nyai Katri. Seorang perempuan cantik, bertubuh
sexy, dan berilmu sangat tinggi. Dialah yang pernah
menculik Lanangseta dengan Lanangseta dalam kisah
Gerhana Tebing Neraka. Nyai Katri itulah musuh lama
Lanangseta sejak ia menyandang sebutan sebagai Peri
Sendang Bangkai maupun Gusti Dalem. Perempuan
cantik yang mempunyai kesadisan tersendiri itu ketika
menjadi istri Penghulu Badra bernama Areswara, na-
mun sejak ia punya niat menguasai dunia, namanya
berganti berkali-kali.
Nyai Katri bukan orang bodoh. Ia cukup pintar, cer-
dik, dan berilmu tinggi. Jaka Bego yang kini menjadi
tawanannya sempat mengagumi ketinggian ilmu Nyai
Katri, namun juga mengagumi kecantikannya. Hanya
saja, Jaka Bego merasa jijik ketika Nyai Katri menyu-
ruhnya menyaksikan apa yang dilakukan Nyai Katri.
"Diam di tempat, dan saksikan apa yang kulakukan
ini!" kata Nyai Katri ketika itu. Jaka Bego sebenarnya
ingin pergi dari halaman belakang pondok di tengah
Pulau Kramat itu, namun Nyai Katri telah menotok ja-
lan darah Jaka Bego, sehingga tubuh pemuda kurus
kerempeng itu tak mampu berbuat apa pun, kecuali
hanya berdiri di bawah sebuah pohon. Otak dan ma
tanya masih mampu bekerja, sehingga ia tahu apa
yang dilakukan Nyai Katri.
Dengan mengenakan gaun tipis warna biru muda,
Nyai Katri mengangkat kedua tangannya seraya kepala
mendongak ke atas. Entah mantera apa yang di-
ucapkan saat itu, yang jelas tak lama kemudian bebe-
rapa benda melayang dan berdatangan di tempatnya.
Beberapa benda itu adalah mayat para anak buahnya.
Mayat-mayat perempuan yang pernah dikalahkan An-
dini dan Lanangseta itu melayang bagai terbang dari
suatu tempat menuju ke depan Nyai Katri. Mereka
berdiri tanpa nafas. Diam, kaku dan dingin. Bagian
tubuh mereka ada yang menghitam, dan itu adalah
akibat pukulan Bidadari Senja dari Andini (dalam ki-
sah IBLIS PULAU KRAMAT).
Tujuh mayat berjejer bagai sebuah barisan. Nyai
Katri memandang Jaka Bego yang masih bisa berbica-
ra namun tidak mampu berbuat apa pun. Tubuhnya
kaku bagai patung. Ia mendengar jelas apa yang dika-
takan Nyai Katri kepadanya.
"Kuharap kau mau bersekutu denganku, kau tidak
akan ku siksa, tidak akan kubunuh, melainkan justru
akan kutambahkan ilmu kanuraganmu, seperti halnya
Putra Tunggal muridku itu, yang saat ini sedang men-
gejar Lanangseta."
"Dia tidak akan berhasil menangkap Lanangseta,"
geram Jaka Bego, merasa tak senang dengan sikap
Nyai Katri.
"Dia akan berhasil. Kau tidak tahu, bahwa separoh
dari ilmuku telah dikuasai Putra Tunggal! Dan itu sulit
ditandingi pendekar mana pun," kata Nyai Katri den-
gan suara kalem, seperti seorang penyabar.
Jaka Bego ingin mengucapkan sesuatu, namun ma-
tanya menjadi membelalak ketika ia melihat apa yang
dilakukan Nyai Katri. Perempuan cantik bergaun tipis
longgar itu mengeluarkan sinar dari matanya. Sinar
warna kuning menerpa satu demi satu dari ke tujuh
mayat wanita bekas anak buahnya. Lalu, dalam tempo
singkat mayat-mayat itu meleleh bagai sebuah lilin, sa-
tu persatu menjadi bubur berwarna kuning belerang.
Bau tak sedap pun tercium memuakkan.
"Hooeek...!" Jaka Bego ingin muntah, namun ia ti-
dak bisa menundukkan kepala, sehingga akibatnya
mulutnya saja yang menganga beberapa kali sambil
hoak-hoek. Ketujuh mayat itu telah lebur menjadi tu-
juh gundukan bubur kuning. Benar-benar tak sedikit
pun terlihat tanda-tanda bahwa ketujuh gundukan
bubur itu sebenarnya adalah bekas jasad manusia.
"Sekarang giliranmu...!" seraya Jaka Bego dipan-
dangnya tajam-tajam. Wajah Jaka Bego tegang, ngeri
membayangkan kalau tubuhnya akan meleleh seperti
ketujuh mayat itu. Ia segera berkata dalam kegugu-
pannya:
"Tubuhku kurus seperti ini, kuminta jangan dilebur
seperti mereka. Tolong, aku masih punya cita-cita lain
sebelum aku mati. Tolong, jangan dibunuh aku seka-
rang. Aku masih sibuk memikirkan cita-citaku. Nanti
kalau aku sudah tidak sibuk, kalau Nona mau bunuh
aku, bunuhlah...!"
"Nona...?! Nona...?!" Nyai Katri yang cantik merasa
aneh mendapat sebutan 'nona' dari Jaka Bego. Ia ter-
tawa lepas, suaranya hingga menggema memenuhi Pu-
lau Kramat. Dan Jaka Bego yang tidak tahu persis
mengapa Nyai Katri tertawa, ia jadi ikut-ikutan terta-
wa.
"Diam...!" bentak Nyai Katri dengan mata melotot ta-
jam. Seketika itu Jaka Bego menutup mulutnya den-
gan perasaan takut. "Kenapa kau tertawa? Kenapa,
hah?!"
"Cuma... cuma ikut-ikutan, biar meriah, Nona..."
"Jangan panggil aku Nona!"
"Apakah harus kupanggil: Nenek...?!"
Nyai Katri mendekat dengan geram. "Kulumatkan
mulutmu jika memanggilku Nenek. Panggil aku:
Nyai...!"
"Nyai...?!"
"Ya, Nyai Katri...! Tahu kau, Kunyuk?!"
"Maaf, jangan panggil aku kunyuk. Kulumatkan..."
"Apa?! Kau mau melumatkan aku...?" Nyai Katri
marah.
Jaka Bego ketakutan. "Maksudku, yang akan ku-
lumat sepotong singkong rebus, Nyai. Hemm... namaku
memang bukan Kunyuk."
"Persetan dengan namamu. Tapi aku suka me-
manggilmu: Kunyuk!"
"Jangan, Nyai. Kedengarannya kurang gagah. Na-
maku Jaka Bego, bukan..."
"Diam!" bentak Nyai Katri. "Tak ada yang mampu
menentang keinginanku. Di sini, aku penguasa! Semua
harus tunduk padaku, kalau ia tak ingin kulebur se-
perti ketujuh mayat ini. Mengerti?! Jadi, aku tetap
akan memanggilmu Kunyuk Bego! Bukan Jaka Bego!"
"Saya... saya agak keberatan, Nyai."
"Baik, kalau begitu kau kulebur seperti mereka...!"
"Oh, jangan...!" Jaka Bego ketakutan. "Hemm... se-
baiknya panggil saja aku Kunyuk Bego. Setelah kupi-
kir-pikir... nama itu lebih Kramat bagi dunia persila-
tan..."
"Lebih kramat...?!" Nyai Katri mengerutkan dahi.
"Ya. Terima kasih atas panggilan itu. Pasti aku akan
jadi terkenal, karena nama itu cukup kramat, teruta-
ma di telinga perempuan. Terima kasih..."
"O, tidak. Kau akan kupanggil Jaka Bego saja. Tidak
jadi Kunyuk Bego. Keenakan kamu nantinya...!"
"Terserah, Nyai Katri sajalah. Saya menurut..." kata
Jaka Bego dengan senyum di dalam hati. Ia lega, ia
mampu merubah keputusan Nyai Katri yang agaknya
tak bisa buat main-main itu.
"Bagus kalau kau mau menurut. Kau akan selamat
dan akan menjadi orang andalanku, Jaka Bego."
"Orang andalan, Nyai? Andalan apa?"
"Pejantanku...!"
"Pejantan, Nyai? Ah, aku ini manusia, bukan sapi!"
"Jangan menentang!" teriak Nyai Katri sambil mon-
dar-mandir seraya memeriksa keadaan sekeliling. "Ka-
lau kau mau menjadi pejantanku, dan mau menuruti
segala yang kuperintahkan, maka kau akan selamat
dan menjadi orang kuat. Kau dapat mengalahkan La-
nangseta, atau bahkan kalau kau mau tekun meresapi
semua ilmuku, kau dapat sejajar dengan kesaktianku,
Jaka Bego. Camkan itu!"
Jaka Bego tertegun beberapa saat. Mungkinkah ia
akan menjadi sejajar dengan Nyai Katri? Kedengaran-
nya menarik, namun sukar dipercaya. Tapi... ah, rasa-
rasanya tak ada pilihan lain kecuali menurut segala
perintah Nyai. Jaka Bego merasa asing di pulau itu,
dan ia tak mau celaka.
Pengaruh totokan darah dibebaskan oleh Nyai Katri.
Jaka Bego siap menerima perintah. Hal yang harus di-
lakukan adalah memindahkan bubur belerang yang
terbuat dari leburan raga mayat-mayat itu.
"Pindahkan tiap gundukan ke tanaman itu..." se-
raya Nyai Katri menunjuk beberapa pohon setinggi
manusia dewasa. Pohon itu banyak terdapat di bela-
kang rumah, seakan memang ditanam dalam satu
perkebunan. Jaka Bego tidak tahu itu pohon apa na-
manya, ia merasa asing. Sebab dilihat dari daunnya
saja pohon itu cukup anehnya. Daunnya berwarna me-
rah gelap berbentuk kecil-kecil, seperti telinga manu-
sia. Tiap satu tangkai yang berbulu mempunyai bebe
rapa helai daun yang tumbuh simetris, saling berha-
dapan, seperti daun dari pohon turi.
"Ini daun apa namanya, Nyai? Saya baru sekali ini
melihat pohon seperti ini."
"Itu yang namanya pohon Galih Urip. Ia akan men-
jadi subur dan lekas besar jika diberi pupuk larutan
daging manusia yang sudah dilebur itu. Nah, pindah-
kan semua ke bawah pohon itu. Lekas, sebentar lagi,
hari menjadi gelap, kau harus beristirahat."
Sebenarnya ada yang ingin Jaka Bego tanyakan,
yaitu tentang manfaat menanam pohon Galih Urip. Te-
tapi agaknya Nyai Katri belum mau banyak bicara soal
itu. Jaka Bego menyerok dengan geli bubur mayat itu
dengan suatu skop yang terbuat dari kulit kerang rak-
sasa. Bau memualkan perut masih mengobar dari bu-
bur belerang manusia itu, namun mau tak mau Jaka
Bego harus menahannya rasa mual itu.
Sebenarnya banyak hal-hal aneh yang ingin Jaka
Bego tanyakan. Hanya saja, rasa takutnya kepada Nyai
Katri membuat Jaka Bego belum berani melontarkan
apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Kramat itu? Apa
sebenarnya yang akan dilakukan oleh Nyai Katri itu?
"Ini adalah puriku, tempat aku dan... kau juga, ber-
naung sambil mempelajari hidup dan kehidupan" tutur
Nyai Katri ketika ia membawa masuk Jaka Bego ke
pondok panjang beratap ilalang kering. Jaka Bego me-
lompong sambil matanya memandang seluruh isi ru-
mah panjang itu.
Hanya ada satu kamar di bagian ujung, sisanya
hanya sebentang ruangan berlantai kayu. Tiang-
tiangnya juga dari kayu tanpa dihaluskan, tanpa dipo-
tong menjadi balok. Pada setiap tiang yang berjumlah
sepuluh itu terdapat tempat pelita yang terbuat dari
tempurung kelapa. Nyai Katri menyalakan kesepuluh
pelita. Jaka Bego memperhatikan tikar-tikar anyaman
daun pandan dan daun bakau. Ada beberapa tikar
yang tebal seperti kasur, dan agaknya tikar tebal itulah
kasur bagi mereka yang menempati puri tersebut. Se-
karang kasur-kasur itu telah kosong tanpa penghuni.
Penghuninya telah mati dan lebur dalam satu nasib.
"Kau bebas memilih tempat tidurmu, Jaka Bego.
Kau hanya boleh masuk ke kamar itu, jika aku me-
manggilmu dari sana. Kalau kau masuk tanpa kusu-
ruh, kau kuanggap pencuri dan hukumannya kulebur
untuk menjadi pupuk pohon Galih Urip. Jelas...?!"
Jaka Bego mengangguk dalam keheranannya. Di
tengah ruangan panjang itu ada meja seukuran dua
kali panjang tubuh Nyai Katri. Agaknya di meja itulah
mereka sering duduk bersila sambil menikmati maka-
nan yang terhidang di atas meja tersebut.
Waktu malam menjelma, suasananya benar-benar
sepi. Pulau itu bagai jalan menuju ke alam kematian.
Sepi dan menyeramkan. Hanya deburan ombak yang
sesekali terdengar sayup-sayup, bagai irama menjelang
ajal. Jaka Bego merasa tak betah tinggal di situ.
"Saya tidak betah tinggal di sini, Nyai. Saya mau
pulang saja," kata Jaka Bego kepada Nyai Katri yang
duduk di depannya. Mereka bicara sambil menghadap
meja. Nyai Katri sedang merangkai beberapa bunga
yang baunya harum mewangi. Itulah Bunga Nirmala
kesukaan Nyai Katri dari dulu.
"Saya pulang sekarang saja, Nyai. Biar tidak diberi
ongkos dan bekal tak apalah."
"Kau masih ingin hidup lama, Jaka?"
"Masih, Nyai."
"Kalau begitu, hilangkan niatmu untuk pulang.
Tinggallah bersamaku di sini..."
"Tapi saya tak tahan, Nyai."
"Tak tahan dengan apa? Suasana Sepi? Angin laut
yang dingin ini?" Nyai bicara sambil tetap merangkai
bunga.
Jaka Bego tak berani menjawab. Hanya hatinya
yang berdebar-debar dari tadi, bibirnya gemetar, kerin-
gat dingin mulai berserakan di keningnya. Nafas Jaka
Bego pun sulit diatur. Sesekali ia menelan air ludah-
nya sendiri. Matanya mencuri pandang ke arah Nyai
Katri, yang mengenakan gaun tipis sekali sehingga le-
kuk tubuhnya di balik gaun itu terlihat dengan jelas.
Jelas sekali. Itu yang membuat Jaka Bego sejak duduk
menikmati santap malam dengan ikan bakar dan air
enau, ia kelihatan gelisah resah. Dalam sorotan cahaya
api pelita, tubuh Nyai Katri sangat menggoda dan
membuat nafas kadang-kadang menjadi sesak. Mung-
kin Nyai tahu kalau setiap lelaki yang memandangnya
akan gemetar dan dicekam kegelisahan. Tetapi Nyai te-
tap berpenampilan tenang. Tenang sekali. Seakan ia
tidak menyadari apa yang sedang bergolak di hati Jaka
Bego.
"Kau sudah punya istri, Jaka?" Kali ini Nyai ber-
tanya sambil memandang Jaka Bego sekilas. Jaka Be-
go hanya menggeleng dan menghela nafas entah untuk
yang ke berapa kalinya.
"Sudah pernah punya kekasih?"
"Beb... beb... belum..." jawab Jaka Bego gemetar.
"Sama sekali belum pernah mengenal perempuan?!"
Nyai mendesak dengan sedikit senyum di ujung bibir-
nya.
"Beb... belum, Nyai..."
Nyai memandang wajah Jaka Bego. Pandangan yang
lembut dan sangat menggelisahkan Jaka Bego. Lalu,
Nyai Katri tertawa dan dalam desah. Jaka Bego jadi sa-
lah tingkah.
"Kalau begitu kau harus mengenal perempuan mu-
lai sekarang. Jangan menjadi lelaki bodoh."
"Mak... mak..."
"Mau ngomong apa kau, hah? Kok jadi gugup?"
"Maksud., maksud Nyai bagaimana itu?"
"Yaah... suatu hal yang sangat kebetulan, bahwa
kau belum pernah mengenal perempuan."
"Tapi... tapi saya naksir gadis anak pak Lodang,
Nyai," kata Jaka Bego dengan polos.
"Sudah pernah... tidur bersama?"
"Ah, gila...! Ya, belum...!" seraya mulut Jaka Bego
monyong-monyong. "Mahani itu susah didekati, Nyai."
"Kalau begitu, sangat kebetulan."
"Sangat kebetulannya, kenapa?" Jaka Bego makin
ingin tahu apa yang sedang direncanakan Nyai Katri.
"Kau akan mempunyai keturunan yang kuat.
Anakmu bisa menjadi manusia terkuat di dunia dan ia
nanti yang akan menguasai dunia."
"Anak saya? Ah, anak saya dari siapa? Saya kawin
saja tidak kok bisa punya anak?"
"Cari perempuan. Culik dia, dan bawa ke mari. Lalu
tidurlah bersamanya beberapa kali, nanti aku akan
mencampurkan benihmu dengan getah pohon Galih
Urip itu. Apabila tepat campurannya dan tepat jenis
bibitmu, maka perempuan itu akan melahirkan anak
yang terkuat di dunia. Kulitnya akan setebal baja dan
ia tak akan mati. Setiap ia mati, ia akan bangkit kem-
bali jika mencium bau tanah atau bau air. Dia akan
mampu menghancurkan gunung dengan tenaganya
yang maha hebat itu. Belum lagi kalau anak itu diisi
dengan kekuatan ilmu tenaga dalam yang sempurna,
ia akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan."
Jaka Bego terbengong saja. Manggut-manggut tidak,
tertawa, tidak. Mendesis pun tidak. Yang ia tatap
hanya bagian dada Nyai Katri yang kelihatan menan-
tang dan sangat menggoda kejantanannya itu. Nyai Ka-
tri berkata lagi, "Selama ini sudah kucoba, benih Putra
Tunggal dengan anak buahku itu, kucampur dengan
getah pohon Galih Urip, tetapi tidak menghasilkan
anak yang kuinginkan. Setelah kutanyakan kepada
Putra Tunggal, atau si Prabima, ternyata sebelumnya
ia sering jajan dengan perempuan nakal di pelabuhan.
Bahkan ia dulu pernah terkena penyakit memalukan
akibat berzinah dengan seorang perempuan desa. Nah,
sekarang... masalahnya berbeda. Kau masih murni.
Masih segar. Apakah hal itu akan kusia-siakan? Ra-
sanya kok tidak. Aku akan mencoba apa yang kuren-
canakan padamu. Maka, carilah gadis, bawalah ke ma-
ri dan kita akan lihat apakah gadis itu mampu mela-
hirkan anak seperti yang kurencanakan atau gagal la-
gi."
"Tapi... tak ada gadis yang mau kepadaku, Nyai."
"Bisa kubantu dengan ilmuku. Kau akan digan-
drungi oleh banyak gadis cantik. Kau mau, kan?"
Jaka Bego berpikir dalam keraguan. Ia sebenarnya
justru takut jika hal itu menjadi tugas baginya. Dia in-
gin memikat gadis, tapi tidak merupakan tugas yang
menjadi suatu keharusan. Dan rencananya Nyai Katri
itu sebenarnya sempat membuatnya merinding serta
tidak percaya. Tetapi, mengingat saat ini ia tidak suka
dengan kesepian pulau tersebut, dan ia tertawan oleh
Nyai Katri, maka kesempatan bebas hanya ada pada
tugasnya. Tugas mencari seorang gadis bisa membuat-
nya kabur selama-lamanya dan tak ingin kembali lagi
ke pulau itu.
"Apakah Nyai bisa membuat aku menarik di mata
para gadis cantik?" Jaka Bego berlagak tertarik.
"Di sini tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Se-
muanya pasti bisa!"
"Kalau begitu..." Jaka Bego tersipu, berlagak malu.
"Saya mau, Nyai. Saya bersedia mencari seorang gadis
sebagai bahan percobaan rencana Nyai. Kapan saya
harus berangkat, Nyai...?"
Nyai Katri tidak menjawab. Ia terdiam, sepertinya
sedang memikirkan sesuatu. Dan tiba-tiba Nyai pun
beranjak dari duduknya, lalu berkata:
"Ikut aku ke kamar, Jaka..."
Jaka Bego sempat bingung sebentar, Nyai berjalan
menuju kamarnya. Ia berpaling sambil tersenyum ke-
pada Jaka Bego. Tangannya melambai pertanda Jaka
harus segera ikut ke kamarnya. Jaka Bego sedikit ge-
metar, hatinya merasa senang jika benar Nyai Katri
mampu membuatnya jadi menarik di mata setiap wani-
ta. Maka bergegaslah ia mengikuti Nyai Katri, masuk
ke kamar yang hanya satu-satunya ada di ruangan
panjang itu.
Jaka Bego benar-benar bertambah bego setelah ma-
suk kamar Nyai Katri. Di sana ada dipan berlapis per-
madani berbulu tebal. Lantainya juga berlapis perma-
dani, walau tak setebal yang ada di dipan lebar itu. Di-
pan tersebut cukup dipakai tidur dua orang. Bau wan-
gi kembang Nirmala bagai memenuhi ruangan terse-
but. Ada beberapa peralatan semadi, tempat pembaka-
ran dupa, dan beberapa pusaka berupa keris serta
yang lainnya tertempel di dinding. Cermin seukuran
setengah badan juga ada. Selimut tebal dari kulit be-
ruang, juga ada. Yang jelas, kamar itu memang lebih
nyaman dan lebih hangat ketimbang tempat lainnya.
Nyai Katri berdiri di pinggir dipan empuk. Rambut-
nya yang tadi disanggul, kini terlepas panjang, terurai.
Jaka Bego masih terpukau memandang tubuh berlapis
kain tipis dalam keremangan cahaya api dian. Suatu
pemandangan yang benar-benar mempunyai kekuatan
magis tersendiri.
"Mendekatlah, Jaka..." kata Nyai Katri bernada de-
sah.
Jaka Bego yang tidak tahu apa-apa itu mendekat,
mulutnya masih melongo dan... jantungnya berdetak
detak. Ia merasa senang dengan apa yang dilihatnya,
namun merasa takut dengan apa yang akan terjadi
nanti. Siapa tahu ia berada dalam bahaya.
"Kau mau menjadi pengikutku?!"
Jaka Bego mengangguk, matanya belum berkedip.
Ia benar-benar kelihatan lugu dan... memang bego.
Nyai Katri melepas pakaiannya sendiri pelan-pelan,
lalu gaun tipis warna biru muda itu jatuh ke lantai se-
luruhnya, sehingga mata Jaka Bego semakin melebar
menyaksikan Nyai Katri dalam keadaan polos.
"Sebelum kau bersama perempuan lain, kau harus
belajar dulu bersamaku..."
"Be... belajar... belajar silat, Nyai?"
Nyai Katri menggeleng dalam senyuman. Tangannya
meraih pundak Jaka Bego.
"Kau benar masih perjaka. Gayamu yang polos dan
tolol membuatku yakin, kau belum pernah tidur den-
gan seorang perempuan. Karena itu, akulah yang ha-
rus merenggut kemurnianmu, Jaka..."
"Kok direnggut, Nyai? Katanya aku mau dibuat me-
narik?"
"Ya. Tapi itu setelah aku merenggut perjakamu,
dengan begitu tubuhku akan menjadi lebih segar dan
usiaku akan bertambah dua tahun lebih muda dari
yang sekarang."
"Jadi... jadi..." Jaka Bego semakin gemetar ketika
Nyai Katri merayapkan jari-jemarinya kebagian terten-
tu. "Jadi... aku harus berbuat apa sebenarnya, Nyai?"
"Tidur bersamaku, Jaka. Hanya satu kali sudah cu-
kup, tetapi itu sudah membuatku menjadi lebih segar.
Aku tak ingin kemurnianmu direnggut perempuan
lain. Harus aku dulu yang melakukannya."
"Saya... saya bingung, Nyai..."
"Berbaringlah, biar kujelaskan dengan tekun..."
Nafas Jaka Bego sesak. Tubuhnya jelas gemetar,
namun ia membiarkan segalanya berlalu, asal ia bisa
dibuat menarik.
Malam semakin kelam. Debur ombak sayup-sayup
bagai mengiringi deru detak jantung Jaka Bego. Di
kamar tersebut, Jaka Bego tak sempat menyebutkan
siapa dirinya. Ia hanyut dalam kemesraan Nyai Katri.
Namun yang lebih hanyut lagi adalah Nyai Katri. Ia
merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga
selama hidupnya. Sesuatu itu di luar dugaan ada pada
diri pemuda kurus kerempeng. Sungguh tak terduga
sama sekali, bahwa ternyata Jaka Bego telah mampu
menjerat hati Nyai Katri dengan kemesraan yang tiada
duanya.
Sekali Nyai Katri merenggut kemurnian Jaka Bego,
dua kali ia mengulanginya dan sampai beberapa kali ia
masih ingin mencengkeram Jaka Bego. Bahkan dalam
desahannya, Nyai tak sadar berkata:
"Gila...! Luar biasa kau! Mengagumkan sekali...!
Aku belum bosan-bosannya sampai sejauh ini. Benar-
benar gila!"
Jaka Bego tidak tahu apa yang dimaksud Nyai Ka-
tri. Ia hanya mengikuti perintah perempuan cantik ber-
tubuh sekal itu. Ia tak berani menolak perintah Nyai
Katri, karena ia punya rencana tersendiri untuk kabur
dalam satu kesempatan.
"Sepanjang hidup, baru ini kutemukan sesuatu
yang paling berharga, dan yang kucari selama ini. Ter-
nyata ada padamu, Jaka Bego... Ooh, mengagumkan
sekali!"
Jaka Bego tak bisa banyak bicara. Bahkan untuk
mengatakan satu kalimat pun ia tak sanggup. Ia bagai
dicengkeram kuat-kuat oleh Nyai Katri. Ia bagai ada
dalam pengaruh perempuan itu, sehingga ia seperti be-
rada di bawah alam sadar. Nyai mendengus dan men-
desah tiada berkesudahan. Bahkan ketika matahari fa
jar menyorotkan cahayanya di balik cakrawala, Nyai
masih merasa ingin merenggut sesuatu yang amat
menggetarkan jiwanya, sesuatu yang selama ini belum
pernah dialami. Kehangatan dan kemesraan yang luar
biasa dari Jaka Bego membuat Nyai lupa bahwa seben-
tar lagi matahari akan meninggi. Kehebatan Jaka Bego
yang mengagumkan membuat Nyai Katri lupa ngan-
tuk, lupa menguap dan lupa kalau tenaganya telah
terkuras habis-habisan. Jaka Bego pun demikian, sa-
ma lupanya dengan Nyai Katri. Tetapi dalam hempasan
nafas kelegaan yang terakhir, Nyai sempat berbisik,
seperti bicara sendiri, "Kau... seperti mempunyai ilmu
Pasak Dewa...! Ilmu yang membuat wanita tergila-
gila...!"
Sepatah kata pun Jaka Bego tidak bicara.
***
3
LUDIRO melihat sekelebat bayangan menuju Bukit
Badai. Segera tubuh pendek yang gempal dan me-
nyandang pedang di pinggang serta Cambuk Naga di
punggung itu melesat mengejar bayangan itu. Karena
kecepatan Lanangseta berlari, sampai-sampai Ludiro,
pengawalnya, tidak tahu bahwa bayangan yang mele-
sat itu Lanangseta sendiri.
"Hei, berhenti...!" teriak Ludiro dalam jarak yang
sudah mulai dekat. Tapi bayangan itu tetap melesat
bagai segumpal bayangan sinar. Ludiro berusaha me-
nyusulnya dengan memotong jalan lewat arah lain. Be-
tapapun jadinya, ia merasa bertanggung jawab jika ada
kejadian yang membahayakan terhadap wilayah Bukit
Badai, terutama Griya Teratai Wingit, tempat Kirana
dan ayahnya tinggal.
Lompatan yang ringan melayang, tubuh Ludiro ba-
gaikan terbang dalam satu arah. Kemudian kakinya
segera menapak kembali ke tanah di depan bayangan
yang dikejarnya. Bayangan itu terhenti seketika setelah
Ludiro mencabut pedang Jalak Pati seraya berseru:
"Berhenti! Atau kupotong kakimu itu!"
"Paman...?!"
"Oh, sialan! Kau Lanang...! Kukira siapa yang mele-
sat seperti segumpal sinar. Maaf, kukira kau orang
yang bermaksud jahat hendak membikin onar di Bukit
Badai."
Lanangseta menghempaskan nafasnya yang mem-
buru.
"Aku bangga dengan tanggung jawabmu, Paman,"
kata Lanang seraya menepuk pundak Ludiro.
"Hei, bunga Teratai Wingit sudah ada di tanganmu
kembali, Lanang? Oh, syukurlah kalau begitu."
"Aku berhasil merebutnya dari Prabima, Paman Lu-
diro."
"Prabima?! Jadi, pencurinya benar Prabima?!"
"Ya. Dan agaknya ia telah bersekutu dengan Peri
Sendang Bangkai yang kini menguasai Pulau Kramat
itu."
"Bangsat...!" geram Ludiro. "Mereka memang harus
di musnahkan, jangan diberi ampun dan peluang sedi-
kit pun!"
"Sekarang Prabima sedang mengejarku, Paman. Ta-
pi... Andini yang menghalanginya."
"O, Andini menghalangi Prabima? Apakah itu tidak
berbahaya?"
"Dia mencintai ku, Paman. Dia membelaku mati-
matian untuk menunjukkan cintanya kepadaku."
"Anak sinting dia itu!" gumam Ludiro seraya mema-
sukkan pedang peninggalan Sekar Pamikat, bekas ke-
kasih Lanang yang sudah menjadi wanita suci di da
lam Goa Malaikat.
"Lanang, apakah kau bertemu dengan Jaka Bego?
Kami berangkat bersama menyusulmu, tapi dia meng-
hilang entah lari ke mana, dan aku sibuk mencarinya."
"Jaka Bego...?! O, ya... waktu aku berusaha mere-
but bunga Teratai Wingit ini, dia tahu-tahu muncul
dan menyerobot bunga ini dari tangan Prabima. Ke-
mudian dia serahkan kepadaku, tapi... tapi dia ter-
tangkap oleh Peri Sendang Bangkai, dan tak tahu ba-
gaimana nasibnya sekarang..."
"Gila juga itu anak; tahu-tahu sudah terlibat uru-
san di Pulau Kramat. Tahu-tahu sudah jadi tawa-
nan...!" Ludiro bagai bicara sendiri. Lalu ia menatap
Lanangseta dan berkata lagi:
"Kalau begitu, biar kuhadapi Prabima, dan kau se-
geralah menghadap Rama Sabdawana dengan bunga
itu. Akan kuhadang Prabima kalau sampai ia berani
melewati batas wilayah Bukit Badai ini. Pergilah sece-
patnya, Lanang...!"
"Baik, Paman. Hati-hati, Prabima sudah bertambah
ilmunya, sebab ia sudah bersekutu dengan Peri Sen-
dang Bangkai."
"Sekali pun ia bersekutu dengan raja iblis pun aku
tidak akan takut. Cambuk Naga tak pernah gentar
menghadapi siapa pun, sejak di tangan Putri Ayu Se-
kar Pamikat sampai ke tanganku, tak pernah gentar
sedikit pun..."
Sejak Ludiro mewarisi pusaka Cambuk Naga dan
pedang Jalak Pati dari Sekar Pamikat, ia memang tak
pernah merasa takut kepada siapa pun. Apalagi ia te-
lah memakan lumut bercahaya dari sebuah goa, yang
di luar kesadarannya ternyata lumut bercahaya itu
membuat tubuhnya kebal terhadap senjata apa pun.
Ini menambah Ludiro yang bertindak sebagai pengawal
Lanangseta, sekaligus kepala keamanan keluarga Ki
rana, tak pernah mundur dalam menghadapi lawan di
mana pun dan siapa pun orangnya.
Memang pedang Jalak Pati tidak seberapa keheba-
tannya namun Cambuk Naga yang bertengger di pun-
daknya itu, bukan sekedar cambuk kuda yang tak
mempunyai kehebatan. Justru keunggulan Ludiro se-
lama ini terletak pada kehebatan cambuk itu. Jika
cambuk itu digunakan, Ludiro tak pernah tahu bagai-
mana ia harus bergerak. Tetapi Cambuk Naga itulah
yang seakan telah menuntun Ludiro untuk bergerak,
memainkan beberapa jurus yang dimiliki Sekar Pami-
kat. Jadi, pada Cambuk Naga itu seakan roh Sekar
Pamikat selalu mendampinginya.
Dulu, ketika Ludiro belum menjadi kebal dan belum
mewarisi senjata pusaka dari Sekar Pamikat, ia mem-
punyai senjata andalan berupa pisau kecil. Mata pisau
kecil itu adalah senjata rahasianya yang paling dian-
dalkan, di samping itu beberapa jurus yang menjadi
unggulannya ialah Tendangan Dewa, Pukulan Hati
Dewa, Tendangan Dewa Mimpi dan beberapa jurus
yang menjadi simpanannya. Tetapi sejak ia menyan-
dang cambuk naga di pundaknya, ia jarang menggu-
nakan senjata rahasianya itu.
Jiwa pengabdian Ludiro sungguh dapat dipercaya,
kesetiaannya begitu agung. Itulah yang membuat se-
lama ini Ludiro tidak pernah merasa hebat. Ia tetap
menghormati Lanangseta, sebagai bekas kekasih putri
asuhannya, ia juga masih merendahkan diri di hada-
pan Kirana maupun ayah Kirana, Rama Sabdawana.
Dan kepada teman-teman lainnya, Ludiro yang sudah
setengah umur itu bersifat sebagai pengayom yang tak
pernah menyombongkan kekuatannya dalam mewarisi
Cambuk Naga dan pedang Jalak Pati. Pembelaannya
begitu besar, bahkan ia tak segan-segan menjadikan
nyawanya sebagai taruhan jiwa pengabdiannya.
Kali ini, Ludiro sengaja menunggu kedatangan Pra-
bima seandainya Andini tidak dapat melumpuhkan
pemuda sombong itu. Ludiro tidak tahu apa yang telah
terjadi pada diri Andini dengan Prabima. Yang jelas, ia
yakin kalau satu di antara mereka pasti akan melewati
perbatasan Bukit Badai itu. Dan Ludiro siap menung-
gu dari atas pohon. Jika Andini yang datang, pasti di-
alah yang menang, tapi jika Prabima yang muncul, be-
rarti Andini kemungkinan besar mati terbunuh oleh
Prabima.
Dalam keremangan senja, mata Ludiro masih tajam
memandang daerah sekeliling dari atas pohon. Me-
mang enak mengawasi dari atas pohon, tempat jauh
pun masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Ia
hampir saja merasa bosan menunggu kemunculan An-
dini atau Prabima. Tetapi suatu gerakan di sebelah sa-
na membuat Ludiro menjadi bersemangat lagi. Ada ge-
rakan di sana, gerakan dua orang yang belum jelas
siapa mereka.
Dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menim-
bulkan suara, Ludiro mendekati tempat yang mencuri-
gakan itu. Samar-samar ia mendengar suara seorang
lelaki berkata:
"Tak jauh lagi tempatnya. Kita masuk ke sana sete-
lah malam tiba. Jadi kita bisa beristirahat dulu di si-
ni..."
Berdebar hati Ludiro mendengarnya. Suara itu cu-
kup dikenal; tak salah lagi, itu suara Prabima.
"Usahakan kau membuat sibuk Lanangseta dan
orang-orangnya. Pancing dia ke suatu tempat, dan aku
akan berusaha mencuri bunga teratai warna ungu itu.
Kalau calon istri Ladang memergokinya, akan kubu-
nuh sekalian dia...!"
Sekali lagi jantung Ludiro berdebar dalam kehera-
nan. Seingatnya suara perempuan yang baru saja di
dengarnya itu adalah suara Andini. Tetapi apakah An-
dini sekarang sudah berpihak kepada Prabima? Pikir
Ludiro. Mengapa Andini jadi memusuhi Lanangseta?
Bukankah dia bekas kekasih Ekayana, adik kembar
Lanangseta itu?
"Oo... ya, aku tahu," kata Ludiro dalam hati. "Pasti
ini siasat si keparat Prabima itu. Dia berhasil mengha-
sut dan mempengaruhi Andini. Kebetulan Andini me-
mang kecewa karena Lanangseta ingin kawin dengan
Putri Bukit Badai. Ah, memang tak salah lagi kalau
mereka kini bersatu untuk menyerang Lanangseta dan
keluarga Griya Teratai Wingit!"
Dengan gerakan yang sangat pelan, Ludiro semakin
mendekati mereka. Ia naik ke atas pohon dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang semula men-
jadi milik Sekar Pamikat, kini telah merasuk dalam di-
rinya sejak Cambuk Naga diwariskan kepadanya. Le-
wat atas pohon yang berdaun rimbun itu Ludiro dapat
melihat jelas apa yang dilakukan Andini bersama Pra-
bima. Ludiro tidak terburu-buru bertindak, melainkan
ia ingin tahu sampai sejauh mana pengaruh Prabima
menguasai jiwa Andini.
Andini duduk bersandar pada batang pohon. Pra-
bima masih berdiri di depannya sambil memeriksa
keadaan di sekitar mereka. Ia tak tahu ada sepasang
mata mengintai dari balik kerimbunan daun di atas
pohon. Prabima ikut duduk di samping Andini dan
berkata:
"Aku belum habis pikir, mengapa kau mencintai
Lanangseta yang berjiwa kerdil itu? Bukankah di jagad
raya ini banyak pemuda yang lebih tampan dan lebih
sempurna ketimbang Lanangseta?"
Andini menghela nafas. Ia bermain sehelai rumput
dengan mata bagai menerangi memandangi rumput
itu.
"Semula aku adalah kekasih adiknya..."
"Adik Lanangseta?!"
"Ya. Ekayana namanya," Andini bicara dengan nada
sedikit tertekan, mungkin karena pedih hatinya. Ia
menyambung lagi:
"Aku sudah berkorban untuk Ekayana. Aku lari dari
keluargaku mengikuti Ekayana, yang pada waktu itu
diculik seseorang. Lalu dalam pencarianku itu, aku
bertemu dengan Lanangseta yang ternyata kakak dari
Ekayana. Tetapi demi melihat Lanangseta, hatiku men-
jadi iri, ingin merenggut kedua saudara kembar itu..."
"O, begitu keinginanmu?"
Andini tersipu. "Mungkin aku memang serakah. Ta-
pi jika aku melihat Lanangseta, aku seperti menjadi
miliknya juga. Jika aku dicium Ekayana, aku merasa
dicium olehnya juga. Tetapi... sekarang kenyataannya
menjadi lain."
"Lanangseta sudah punya calon istri, begitu?"
Sebaris desah terhempas lewat mulut Andini.
"Kepahitanku bukan hanya itu saja. Itu yang kedua.
Tapi yang jelas, hatiku mulai terluka sejak Ekayana
melarikan gadis Cina. Dan ia jatuh cinta dengan Yin
Yin, putri seorang Laksamana dari negeri Tiongkok.
Aku dibuangnya begitu saja. Padahal kami sudah tu-
nangan. Lalu, aku lari kepada Lanang untuk menga-
dukan nasibku. Tak tahunya ada orang berkerudung
hitam yang ingin memperkosaku..." Andini melirik Pra-
bima, sebab ia tahu, Prabima itulah yang berkerudung
hitam dan ingin memperkosanya, setelah Prabima
memperoleh bunga teratai yang dicurinya dari rumah
Kirana. Prabima mendengar hal itu hanya tersenyum
malu.
"Dan kau berhasil diperkosa pemuda itu?" sindir
Prabima.
Andini menjawab, "Sayang, pemuda itu cukup bodoh. Ia tak berhasil memperkosaku, hanya... hanya
merayapkan tangannya ke ujung birahiku..."
"O, begitu? Jadi pemuda itu bodoh, ya?"
Andini tertawa geli sendiri. Kemudian ia berkata,
"Lalu aku bertemu dengan Lanangseta. Kuceritakan
tempat yang disebut oleh orang yang ingin memperko-
saku itu. Pulau Kramat. Dan Lanang pun menuju Pu-
lau Kramat. Aku ikut dengannya. Tetapi, dalam perja-
lanan ke sana, aku selalu berdebar-debar jika meman-
dang Lanangseta, terutama, memandang bibirnya. En-
tah ada daya tarik apa di bibir Lanangseta itu sehingga
aku benar-benar luluh, bahkan... sikapku seperti ma-
can betina yang kelaparan dan kehausan di padang
pasir. Aku benar-benar kasmaran kepadanya. Aku
nyaris tak dapat mengendalikan nafsuku sendiri..."
"Lalu kau bertemu denganku dan... masihkah se-
perti kau bertemu dengan Lanangseta?!" pancing Pra-
bima.
Andini memandang Prabima dalam keremangan
senja. Ia masih bisa melihat jelas betapa menggairah-
kan juga bibir Prabima yang tampak selalu basah dan
menyegarkan itu. Ia memperhatikan wajah Prabima
yang tampan dan imut-imut, seakan sebuah genangan
air sendang yang bening terhampar di wajah itu. Kese-
garan dan kesejukan ada di sana. Andini sempat kelu
melihat bibir Prabima begitu menggairahkan.
Prabima memandang Andini lekat-lekat. Ia berkata
dalam desah bisikan:
"Apakah kau masih punya gairah yang tertunda
itu?"
"Entah," jawab Andini. "Yang ku tahu, kau ternyata
jauh lebih menarik dari Lanangseta, Prabima. Aku me-
lihat kesegaran lain di bibirmu, dan... sentuhan saat
kau memperkosaku waktu itu, bagai terasa menjalar di
sekujur tubuhku."
"Kau ingin aku menyelesaikan tugasku yang dulu
tertunda itu?" desak Prabima. Tangannya mulai me-
rayap ke dada Andini. Tetapi Andini tidak menepiskan
tangan itu. Ia hanya mendesah kecil dan berkata bagai
sebuah rengekan:
"Aku benar-benar gila birahi... Apakah kau sanggup
menyembuhkannya, Prabima?"
"Akan kubuktikan, asal kau bersedia..."
"Kalau aku tidak bersedia?"
"Akan kupaksa..."
Andini tertawa kecil. "Kalau begitu, paksalah aku.
Aku akan berpura-pura tidak bersedia supaya aku
memaksaku dengan kebuasanmu. Kau bisa sebuas
singa, kan?"
Prabima semakin menjadi. Mencium leher Andini
dengan nafas yang memburu. Andini hanya menggeliat
dalam erangan yang sangat tipis. Ia pun memberikan
serangan balasan dan tak kalah gesit dengan Prabima.
"Apakah begini kurang ganas...?" bisik Prabima.
"Aku ingin lebih buas lagi, Prabima. Oh... lakukan-
lah...!"
Ludiro yang memandang dari atas pohon mengeram
dongkol. Ia berkata dalam hati, "Benar-benar perem-
puan jalang dia. Sungguh di luar dugaan semula! Du-
lu, ketika aku bertemu dengan Andini yang pertama
kali, kusangka ia perempuan yang agung dalam kecan-
tikannya. Ternyata sekarang ia tak lebih dari seekor
singa betina. Benar-benar singa betina yang jalang...!"
Ludiro menggeram-geram melihat Andini semakin
menjadi gila ketika Prabima menyerangnya dengan
buas dan kasar.
Ludiro tidak bisa menahan diri terlalu lama di atas
pohon, ia segera melompat turun dan membuat kedua
orang bercumbu itu terlonjak kaget. Andini segera me-
raih gaunnya dan mengenakan secepatnya. Prabima
segera menutup bagian tubuhnya yang sudah terlanjur
terbuka.
"Paman Ludiro...?! Kau ada di sini, rupanya?" Andi-
ni berlagak ramah, namun wajahnya menjadi pucat.
"Ya. Sudah sejak tadi aku di atas pohon itu, dan
sudah puas aku melihat kebusukan bercampur den-
gan bangkai! Kau dan Prabima, Si Keparat itu!" Ludiro
menuding Prabima dengan berani.
Prabima memerah mukanya. Selain gejolak bira-
hinya terputus, juga mendengar ucapan Ludiro bagai-
kan menembus hatinya. Karena itu Ludiro segera am-
bil posisi ketika Prabima menggeram dengan menge-
palkan kedua tangannya:
"Kurobek mulutmu yang kotor itu, Bangsat!"
"Prabima...! Jangan!" teriak Andini. "Dia telah berja-
sa menolongku dan..."
"Dan sekarang kau menjadi musuhku, Andini! Tak
ada jasa, tak ada hutang budi baik lagi! Kau sudah te-
rang-terangan menjadi sekutu setan!"
"Paman, aku sebenarnya..." Andini ingin menje-
laskan, tapi Ludiro menyerobot kata:
"Aku tahu, sekarang kau menjadi perempuan ja-
lang! Itu yang ingin kau katakan padaku, bukan? Dan
aku siap membunuh perempuan jalang semacam kau,
Andini. Ketahuilah, perempuan seperti kau tidak ada
harganya hidup di dunia. Sebaiknya kau kukirim ke
neraka sebelum kau ganggu kedamaian Lanangseta
dengan istrinya...!"
"Jangan salahkan aku kalau aku terpaksa meng-
hancurkan mulutmu, Ludiro...!" teriak Andini yang tak
tahan mendengar penghinaan Ludiro. Ia segera me-
layang dengan cepat menyerbu Ludiro dengan suatu
tendangan, tetapi Ludiro sigap. Ia menangkis tendan-
gan Andini dan segera bersalto ke belakang, karena
Prabima menyerangnya juga dengan kaki kanannya.
"Mampus kau, Ludirooo... hiaaat...!"
Prabima menyusul gerakan Ludiro. Kedua tangan-
nya memukul dengan cepat, namun Ludiro berhasil
menghindar. Kepala Ludiro miring ke kiri, pukulan
tangan kanan melesat ke tempat kosong. Dan pukulan
tangan kiri Prabima ditangkisnya dengan lengan. Sete-
lah itu secepatnya tangan yang habis dipakai untuk
menangkis itu melesat ke arah pinggang Prabima.
Mengena telak, membuat Prabima sedikit menyeringai
kesakitan. Ia segera melompat, menjauhi Ludiro.
"Andini, serang dia bersama-sama...! Dia adalah
penghalang kita...!" teriak Prabima.
Andini membuka jurus andalannya. Tangannya te-
rentang yang satu ke atas, yang satunya ke bawah.
Tubuhnya meliuk dengan kaki berjingkat. Ia seperti
seorang sedang menari. Ludiro sempat terkesima seje-
nak, namun buru-buru menyadari kalau itu hanya se-
buah tipuan pusat pikiran. Hanya saja, ia terlambat
bergerak. Ketika Prabima melancarkan pukulan jarak
jauhnya, dengan tangan terhentak ke depan keduanya
dan pekik keganasan melengking: "Hiaaatt...!"
Ludiro terpental ke belakang dan membentur po-
hon. Keseimbangan tubuhnya bagaikan hilang. Namun
ia segera bergegas bangkit dan berdiri dengan kedua
kaki merendah, tangan keras tersulur ke depan, yang
satu menekuk ke belakang dengan telapak tangan
menghadap ke depan.
Prabima sempat terhenyak sejenak. Biasanya orang
yang terkena pukulan tenaga dalamnya tak mampu la-
gi berdiri, bahkan dadanya akan bolong seketika. Tapi
Ludiro ternyata tidak. Ludiro hanya terpental ke bela-
kang lalu sigap berdiri menunggu serangan berikut-
nya.
Andini yang seperti orang menari itu makin lama
makin dekat dengan Ludiro, kemudian dengan kibasan
cepat tangannya menghentak ke depan. Pukulan Bida-
dari Senja dilancarkan ke arah Ludiro. Secepatnya Lu-
diro menarik kedua tangannya ke pinggang dan me-
nyodokkan kedua telapak tangan itu ke depan dengan
hentakan kuat. Lalu segumpal asap putih menyembur
dari dalam telapak tangannya. Asap putih itu berta-
brakan dengan kekuatan pukulan Bidadari Senja. Ada
letupan kecil yang menyemburkan bunga api pada saat
itu. Dan tubuh Ludiro terguncang sesaat, sementara
tubuh Andini diam tak bergerak.
"Kau tak akan mampu menandingi pukulan Bidada-
ri Senjaku, Ludiro," kata Andini dengan sinis.
"Andini," kata Prabima. "Cepat selesaikan orang itu,
dan kita mulai lagi kemesraan kita yang tertunda ta-
di..."
Andini mengangguk dan tersenyum. "Ya. Aku san-
gat setuju. Kita bunuh dia, dan... kau menjadi singa
lapar lagi, sedangkan aku akan menjadi mangsamu...
hi, hi, hi..." Andini tertawa manja. Ludiro segera me-
lompat menerjangnya.
Dalam keadaan bersalto ke depan, kaki Ludiro ber-
hasil menendang Andini yang tengah membuka jurus
tarian Bidadari Manja.
"Aaah...!" Andini memekik dengan tubuh terlempar
ke belakang. Ia ditangkap Prabima, sehingga tubuhnya
tak jadi membentur batang pohon.
"Kau tidak boleh diberi kesempatan, rupanya! Bera-
ni kau menendang Andini, berarti kau cari mampus...!"
geram Prabima yang kemudian segera melancarkan
pukulan sambil tubuhnya melayang lurus ke depan.
Ludiro melompat tinggi, bersalto kembali. Kakinya be-
rada di atas tubuh Prabima yang meluncur cepat itu.
Kaki Ludiro segera menghentak ke bawah dan menge-
nai punggung Prabima dengan telak. Prabima tersung-
kur mencium tanah. Ludiro tak sempat menerjangnya
lagi, sebab Andini menyerang dari arah lain. Kali ini ia
melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi, yang bi-
asanya mampu membuat hangus tubuh lawannya lalu
segera membusuk. Namun kali ini, Ludiro hanya ter-
pental lagi walau mengenai dadanya. Ludiro tidak ce-
dera sedikit pun. Ia hanya terpelanting ke belakang,
dengan dada masih utuh tanpa bekas luka. Andini pe-
nasaran. Dalam keadaan Ludiro terjungkal ke tanah, ia
melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi. Pukulan itu
bagai sebuah angin yang menghempas di lengan Ludi-
ro. Namun anehnya, tak ada luka sedikit pun di lengan
itu. Ludiro hanya merasa tertahan waktu hendak
bangkit kembali.
"Dia tak mempan senjata dan pukulan apa pun,
Prabima!" teriak Andini. Prabima segera mencabut pe-
dangnya. Ia menyerang dengan pedang hendak ditu-
sukkan ke tubuh Ludiro. Waktu itu Ludiro baru saja
berdiri, tahu-tahu ujung pedang Prabima menghentak
kuat di lehernya. Tetap pedang itu tidak mampu me-
nembus leher Ludiro, bahkan menggoreskan luka pun
tak mampu.
Ludiro sengaja tertawa sombong untuk memancing
kepenasaranan hati lawan-lawannya. Andini mendeka-
ti Prabima dan berbisik, "Dia memang kebal senjata
apa pun, Prabima!"
"O, ya...?" Prabima tersenyum tipis. Lalu ia men-
gambil sebuah cincin dari saku celananya. Cincin itu
terbuat dari batu putih, seperti berlian, berbentuk ke-
rucut. Ujungnya tajam. Dan Prabima mengenakannya
seraya berkata:
"Apakah dia akan mampu menahan cincin Cupu
Gina ini?"
"Ya, ya... cepat serang dia, Prabima. Ooh... aku su-
dah tak tahan untuk meresapi adegan tadi. Ayolah...!"
rengek Andini dengan manja.
"Cupu Gina membelah karang...!" seru Prabima se-
raya menyerbu Ludiro dengan cincin di tangannya.
Ludiro tak tahu apa kehebatan cincin Cupu Gina itu.
Namun ia tetap menghindar pukulan Prabima dengan
kaki dihentakkan ke atas, dan tangan Prabima terpen-
tal ke atas. Bagian dadanya terbuka, lalu kaki kiri Lu-
diro segera menghantam dengan tangan kiri, seperti
sebilah golok menebas bambu.
"Huughh...!" Prabima mengalami sesak nafas. Ludi-
ro hendak memukul lagi, tetapi punggungnya diten-
dang oleh Andini dengan kuat. Ludiro terjengkang da-
lam keadaan melintir. Pada saat itu, tangan Prabima
yang mengenakan cincin mengibas ke bawah, tepat
mengenai perut Ludiro. Dan pada saat itulah Ludiro
menjerit sekuat tenaga. Perut itu robek panjang dan
mengeluarkan darah kental.
"Berhasil...!" teriak Andini dengan girang. "Ia berha-
sil terluka dengan cincinmu...!"
"Serang terus...!" teriak Prabima seraya kakinya
bergerak keras bagai menendang bola. Tendangan itu
mengenai wajah Ludiro sehingga Ludiro menjerit dan
terpental beberapa langkah.
"Aaahhh...!" jeritan Ludiro melengking tinggi. Ia be-
rusaha bertahan memegangi perutnya yang robek. An-
dini menyerangnya lagi dengan tendangan Bidadari
Manja. Tendangan itu mengenai dada Ludiro, sehingga
Ludiro sempat terbatuk-batuk tak kontrol diri. Ia beru-
saha dengan sekuat tenaga untuk bangkit. Pada waktu
itu, Prabima segera melancarkan pukulan bercincin
Cupu Gina ke arah punggung Ludiro. Namun pukulan
itu meleset, karena Ludiro berguling sambil mencabut
Cambuk Naga dari punggungnya.
"Cambuk Naga...!" teriak Andini ketakutan. "Hati-
hati, Prabima... Ia mulai menggunakan Cambuk Na-
ga...!"
Prabima tak sempat menyadari kata-kata Andini. Ia
sudah semakin bernafsu membunuh Ludiro dengan
cincinnya. Ia menyerang Ludiro dengan hentakan tan-
gan mengibas lagi, tetapi: "Taaarr...!" Cambuk Naga
melecut tangan Prabima, dan Prabima menjerit:
"Aaaaahh...!" Pergelangan tangan itu nyaris putus to-
tal. Andini segera menarik Prabima, dan segera mem-
bawa lari pemuda itu dengan tangan terkuak ngeri.
"Tangguhkan dulu, Prabima...! Tunggu saat yang
baik...!" Andini kabur bersama Prabima, dan Ludiro
meringis kesakitan.
***
4
Darah Prabima banyak yang keluar. Wajahnya su-
dah menjadi pucat Andini sangat cemas. Ia mengguna-
kan tangannya yang bertenaga dalam untuk menopang
tubuh Prabima. Ke mana mereka lari? Tak lain ialah
kembali ke Pulau Kramat.
"Nyai Katri sanggup memulihkan lukaku ini. Pulih
tanpa bekas. Bawa aku kembali ke Pulau Kramat dulu,
nanti kita kembali menyerang mereka, Andini."
Tak ada pilihan lain bagi Andini, kecuali menuruti
perintah Prabima. Hatinya yang gampang luluh oleh
ketampanan itu membuat Andini merasa sayang kalau
sampai Prabima kehabisan darah dan mati. Ada sesua-
tu yang diharapkan dari Prabima, yaitu kepuasan. Te-
tapi, jika Prabima mati, Andini sulit mencari singa la-
par yang ganas seperti Prabima. Sebab itu, ia berusaha
keras untuk menolong Prabima.
Tetapi ketika sampai di Pantai, Andini dan Prabima
sama-sama terbengong dalam kebingungan. Pulau
Kramat itu hilang. Tak terlihat gugusannya walau seti
tik pun. Hari sudah menjelang petang. Ada sinar bulan
yang mengintip dari balik mega, tapi pulau itu tetap ti-
dak kelihatan.
"Ke mana pulau itu, Prabima?"
"Entahlah. Aku sendiri heran," jawab Prabima den-
gan lemas. Matanya yang sayu memandang kian ke
mari, dan pulau itu tidak diketahui di mana letaknya.
Lautan kosong, ombak bergulung rendah.
"Mungkin kita salah alamat. Mungkin bukan di pan-
tai ini seharusnya kita berdiri." kata Prabima.
"Tak mungkin," sanggah Andini. "Aku ingat, di pan-
tai ini aku nyaris merenggut kejantanan Lanangse-
ta...."
"Yaaah... seingatku memang begitu. Inilah pantai
waktu kita menyeberang bersama tadi. Tapi... pulau
itu, oh... sungguh ajaib. Apa-yang terjadi di pulau itu
sebenarnya?" Prabima berkata dengan lemah. Darah
sudah banyak yang mengalir. Rasa sakit akibat tan-
gannya nyaris terpotong itu sangat menyiksa diri Pra-
bima. Pergelangan tangan itu sedikit lagi akan putus
sama sekali. Untung ada satu urat yang belum terpo-
tong sehingga masih bisa dipakai tambatan telapak
tangan.
Apa yang terjadi dengan Pulau Kramat, agaknya tak
seorang pun tahu. Bahkan Jaka Bego yang berada di
pulau itu pun tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia ti-
dak tahu kalau pulau tersebut hilang dari pandangan
mata orang-orang yang berada di pantai.
Jaka Bego hanya menyadari bahwa dirinya sudah
dua malam berada di dalam kamar Nyai Katri. Ia dija-
dikan kuda, budak nafsu Nyai Katri yang sangat terka-
gum-kagum oleh kejantanan Jaka Bego. Suatu kejan-
tanan yang baru kali itu ditemui Nyai Katri sepanjang
hidupnya. Nyai Katri sendiri tidak menyadari bahwa
kejantanan yang ada pada Jaka Bego itu telah mem
buat dirinya lupa segala-galanya. Ia telah menjadi se-
seorang yang tergantung kepada Jaka Bego, dan ia te-
lah menjadi seseorang yang tunduk meratap di bawah
kaki Jaka Bego. Namun, posisinya sebagai penguasa
Pulau Kramat tetap dipertahankan, sehingga sekali
pun ia sangat terbuai dan luluh hatinya kepada Jaka
Bego, namun ia tetap berusaha bertindak sebagai Sang
Penguasa. Jaka Bego tetap bersikap sebagai kuda yang
selalu menurut perintah majikannya.
Bahkan, dalam pengaruh kehebatan Jaka Bego, kali
ini Nyai Katri bersedia memijit punggung Jaka Bego
yang mengeluh kecapekan. Nyai Katri mengurut pung-
gung hingga pinggang Jaka Bego dengan lembut na-
mun mantap. Udara malam yang menghembuskan ke-
dinginan tidak dihiraukan oleh mereka. Pakaian-
pakaian yang berserakan di lantai tak pernah sempat
dipungut oleh mereka. Segalanya dibiarkan terbuka
polos, dibiarkan berlalu dalam kelambu birahi yang
meledak-ledak tiada hentinya. "Kau merasa dingin, Ja-
ka?" bisik Nyai Katri seraya kembali menyusupkan bi-
birnya ke tengkuk kepala Jaka Bego.
"Ya. Dingin."
"Kita buat hangat saja malam ini, seperti malam
kemarin, Jaka. Ooh..." Nyai Katri mengusap
pungggung Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Ke-
palanya bersandarkan pinggang Jaka Bego yang mene-
lungkup di tempat tidur itu.
"Jaka... buatlah kamar ini menjadi hangat kembali."
"Sudah dua malam tanpa berhenti, Nyai. Apakah
Nyai tidak bosan padaku?"
"Bosan?!" Nyai Katri tertawa mengikik. "Bersamamu
aku tak akan bosan, Jaka. Kau benar-benar pria jan-
tan yang kuharapkan selama ini. Hanya kau satu-
satunya lelaki yang bisa menandingi ku, bahkan sam-
pai dua malam tanpa berhenti kau masih sanggup menunjukkan kejantananmu. Ooh... sungguh aku bisa
tergila-gila kepadamu, Jaka Bego. Kau punya senjata
yang jauh lebih ampuh, jauh lebih sakti dari Prabima
maupun pria lain yang pernah tidur bersamaku. Pe-
dangmu, adalah pedang berkekuatan dahsyat yang
mampu menembus dinding karang tebal, yang lebih
panjang dari pedang lelaki lainnya. Dan aku sudah la-
ma merindukan pedang sehebat itu. pedang yang
mampu menembus dinding karang, bahkan aku yakin
mampu menembus pegunungan es di dataran Tiong-
kok." Nyai Katri berceloteh sambil mengusap-usap ku-
lit punggung Jaka Bego, sesekali merayap dengan nak-
al sehingga Jaka Bego tertawa kegelian.
"Nyai tidak capek?" kata Jaka Bego sewaktu Nyai
Katri menyerangnya dengan gigitan kecil di paha. Na-
fas perempuan cantik itu mulai berpacu tak teratur
kembali.
"Mungkin aku tak akan pernah capek berlayar ber-
samamu di kamar ini, Jaka. Ayolah, kita mengarungi
lautan sorgawi lagi..."
Jaka Bego tidak menolak. Semangatnya masih tetap
seperti semula pertama ia masuk ke kamar tersebut.
Dan Nyi Katri sendiri mengakui bahwa kekuatan pacu
yang ada pada Jaka Bego bagai tak pernah berkurang
sedikit pun. Ia selalu mengerang dalam kekagumannya
menerima ketahanan Jaka Bego dalam mendayung
sampan keindahan itu.
Sebenarnya, pada saat-saat mereka berlayar itulah
Pulau Kramat menjadi hilang. Tak seorang pun bisa
melihat di mana letak Pulau Kramat, karena penguasa
tunggal pulau itu sedang dalam ayunan gelombang
asmara yang menggila. Jerit kemesraan, pekikan as-
mara, menggema di seluruh pulau itu. Jeritan seorang
perempuan yang di puncak khayalan itulah yang
membuat Pulau Kramat hilang dari pandangan mata.
Jelas dari suara jeritan dan pekikan asmara Nyai Katri
ternyata mempunyai pengaruh ajaib yang mengagum-
kan. Pulau bisa hilang, dan air laut menjadi rata.
Tetapi apabila Nyi Katri terengah dan lemas di
samping Jaka Bego, pulau kembali nyata. Terlihat je-
las. Menggunduk hitam dalam terpaan cahaya rembu-
lan. Lalu pada saat seperti itulah, Andini dan Prabima
dapat melihat pulau itu ada di seberang mereka. Sekali
pun mereka sangat kagum dan terheran-heran, namun
semua rasa itu mereka pendam di hati. Prabima me-
nyuruh Andini membawanya ke pulau itu sebelum pu-
lau tersebut hilang kembali.
Andini menggunakan ilmu Badai Es, yang mampu
membuat ombak lautan menjadi beku. Licin seperti es,
dan salju pun turun bertaburan. Dengan ilmu Badai
besi itu, ia mampu berjalan di atas permukaan air
yang membeku, yang menjadi padang es keras dan
dingin. Prabima masih dipapah Andini pada waktu
menyeberangi lautan yang membeku itu.
Malam semakin tinggi, kesunyian mencekam. Udara
es yang dingin mencekam tulang itu menyelusup ma-
suk ke kamar Nyi Katri. Namun perempuan itu masih
memeluk Jaka Bego sehingga udara dingin itu tak
sempat terasa. Kehangatan masih meresap ke tulang
mereka. Keringat masih membanjiri tubuh mereka. Se-
kali pun keadaan mereka bagaikan patung kembar
yang lengket, namun detak-detak jantung mereka se-
perti irama musik penggugah birahi.
Berjam-jam mereka berlayar dengan kemegahan ra-
sa, berulangkali Nyai Katri naik ke puncak gunung
kemesraan, namun baru sebentar mereka berlabuh,
Nyai sudah mengajaknya berlayar lagi. Jaka Bego keli-
hatan tetap segar bugar, dan Nyai yakin semangatnya
mendayung sampan masih kekar, masih seperti pemu-
la. Namun rencana berlayar terpaksa batal.
Di luar, ada suara memanggil-manggil. Suara seo-
rang perempuan.
"Nyaiiii....! Nyai, buka pintunyaaaa...!"
Nyai Katri terperanjat kaget. Ia segera bergegas
mengenakan pakaiannya, demikian juga Jaka Bego.
Hanya saja, waktu itu Jaka Bego salah ambil, gaun
Nyai yang dipakainya menutup sebagian tubuhnya.
Nyai Katri menjadi kebingungan mencari pakaiannya.
"Hei, itu pakaianku, Jaka....! Ah, kamu jadi linglung
begitu..." Nyai menertawakan Jaka Bego, lalu Jaka Be-
go menyerahkan pakaian Nyai Katri.
"Tolong pakaikan ke badanku gaun itu..." perintah
Nyai. Dan Jaka Bego menurut saja. Ia mengenakan
pakaian pada tubuh Nyai Katri yang kelihatan masih
menggairahkan itu.
"Siapa suara yang memanggilku, itu ya?"
"Saya kira itu suara perempuan, Nyai. Mungkin
anak buah Nyai Katri," kata Jaka Bego.
"Bukan. Anak buahku ada tujuh yang perempuan,
dan itu sudah mati semua..."
Suara teriakan di luar semakin jelas, "Nyaaaaiii...!
Buka pintuuuu....!"
Nyai Katri bergegas lebih dulu keluar dari kamar.
Jaka Bego segera mengenakan pakaiannya. Namun ia
sempat meneliti kamar itu beberapa saat. Banyak sen-
jata pusaka di sana, bahkan barang-barang antik atau
benda-benda aneh juga ada. Mulanya Jaka Bego ingin
mencuri satu benda yang ia sukai, yaitu kalung yang
terbuat dari batu-batuan warna merah delima, tapi ia
takut ketahuan Nyai Katri, takut dihukum. Maka ia
tinggalkan benda itu, dan ia bergegas keluar dari ka-
mar.
Pada saat ia keluar dari kamar, rupanya Prabima
dan Andini sempat memergoki keadaan Jaka Bego.
Prabima tak sempat memberi ulasan kata apa pun, ka
rena tubuhnya sangat lemas dan ia jatuh dalam pang-
kuan Nyai Katri. Tetapi Andini bergegas mendekati Ja-
ka Bego dalam keheranan. Andini tidak mengenal Jaka
Bego, tetapi ia tahu bahwa Jaka Bego adalah teman
Lanangseta yang membantu menyerobot bunga teratai
Wingit dari tangan Prabima. Andini juga tahu, bahwa
Jaka bego tertawan oleh Nyai, tetapi kenapa ia keluar
dari kamar itu setelah Nyai? Apa yang mereka laku-
kan?
"Hei, apa yang kaulakukan di kamar itu bersama
Nyai?" tanya Andini bagai menyelidik.
"Tidak apa-apa," jawab Jaka Bego berwajah takut.
"Bohong! Lihat, kau memakai celana terbalik tuh...!"
Jaka Bego membelalak kaget dan mulai tersenyum
malu, setelah menyadari bahwa ia mengenakan celana
dalam keadaan terbalik. Ia jadi salah tingkah, namun
Andini mendesak Jaka Bego.
"Kau telah berbuat zinah dengan Nyai, ya?"
"Tidak," jawab Jaka Bego ingin menyanggah.
"Bohong...! Kau pasti telah berbuat tak senonoh
dengan Nyai Katri. Iya, kan?"
"Tidak. Aku cuma disuruh Nyai..."
"Disuruh.... ya disuruh begituan..."
"Gila...!" geram Andini. "Beruntung sekali kau!"
"Malahan Nyai yang merasa beruntung," sanggah
Jaka Bego dengan kata-kata polos.
Nyai Katri mendekati Andini sebelum Andini sempat
mengatakan sesuatu lagi, Nyai langsung bicara pada
Andini:
"Apakah Lanangseta yang memenggal lengan Putra
Tunggal itu?"
"Bukan, Nyai. Tapi... Ludiro, pengawal Lanangseta
yang mencegat kami di perbatasan Bukit Badai."
"Kau juga dicegatnya?"
"Ya. Saya... saya telah bersatu dengan Prabima untuk menyerang Lanangseta, Nyai. Saya punya tujuan
sendiri."
"O, bagus sekali...!" Nyai Katri manggut-manggut.
"Bahkan kalau boleh, saya ingin bersatu dengan
Nyai juga," kata Andini yang membuat Jaka Bego ter-
bengong sejak tadi.
"Kau tidak salah. Siapa namamu?"
"Andini..."
"Kau diserang pengawal Lanangseta pada saat apa?"
Andini agak bingung untuk menjelaskan yang se-
sungguhnya. Tetapi karena Nyai berdiri dengan me-
mandangnya yang seakan menuntut kejujuran, maka
Andini pun menjawab:
"Saya... saya dan Prabima sedang... sedang ber-
cumbu, Nyai!"
"Biadab! Orang itu harus dimusnahkan juga. Tapi
sekarang, ikutlah aku membawa Prabima ke ujung pu-
lau..."
"Bagaimana kalau tawanan ini saja, Nyai. Saya ca-
pek!"
"Tidak!" jawab Nyai tegas. "Tenaganya khusus un-
tukku. Kau harus membantu membawa Prabima ke
ujung pulau."
Andini tak dapat membantah lagi. Sekali pun ia
bersungut-sungut karena ingin beristirahat, namun ia
tetap membantu mengangkat Prabima keluar rumah.
"Kenapa ia harus diobati di sana, Nyai?" tanya An-
dini.
"Di sana ada pohon yang daunnya bisa dipakai un-
tuk menutup luka separah ini, jika daun itu dikenakan
sinar bulan pada saat menempel di luka. Daun itu dan
sinar bulan itu, merupakan perpaduan yang cukup
hebat jika mendapat penyaluran hawa murni. Dalam
sekejap luka ini akan membaik dan tak meninggalkan
bekas..." tutur Nyai Katri sambil berjalan ke tempat
yang dimaksud. Prabima tak dapat berbuat apa-apa
kecuali melemas dalam erangan di ambang ajal.
Ketika mereka sampai di ujung pulau yang dimak-
sud Nyai, yaitu di tepian pantai, Prabima digeletakkan
begitu saja. Nyai Katri memetik daun berbulu, war-
nanya hijau tua, lebarnya seukuran telapak tangan
manusia dewasa. Daun itu ditempelkan pada luka ter-
potong di pergelangan tangan Prabima. Cahaya rembu-
lan menyinari ketiga sosok manusia itu. Tetapi, tiba-
tiba Nyai Katri merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia
segera menyuruh Andini pulang.
"Andini, kau pulanglah ke puri, dan jaga pemuda
kurus kerempeng itu. Ia bernama Jaka Bego, dan me-
mang bego alias tolol. Tetapi aku khawatir kalau-kalau
dia melarikan diri. Nah, ke sanalah. Jaga dia jangan
sampai melarikan diri. Aku akan kembali membawa
Prabima dalam keadaan sehat. Dan... kau boleh me-
lanjutkan cumbuanmu dengannya..."
Andini mengangguk, lalu segera pergi meninggalkan
Nyai Katri yang tengah berusaha mengobati Prabima.
Dalam benak Andini terbayang khayalan indah bersa-
ma Prabima jika pemuda ganteng itu telah sembuh.
Debar-debar hati Andini membuat nafas birahinya se-
sekali melonjak di sela khayalan. Ia berharap, mudah-
mudahan Nyai Katri tidak sampai pagi sudah memba-
wa pulang Prabima dalam keadaan sehat. Tak tahan
rasanya Andini ingin cepat bercumbu dengan Prabima,
sebab sekilas bayangan pada waktu Ludiro belum ha-
dir di antara mereka, masih melekat di hati Andini dan
menghasilkan desiran-desiran lembut yang menggoda
hati wanitanya.
Sewaktu Andini masuk ke rumah panjang itu, ia ja-
di kebingungan karena Jaka Bego sudah tidak ada di
tempat, Andini berseru:
"Jaka Begoooo....! Jaka Bego di mana kamu,
hah....?!"
Andini tidak memperolah jawaban. Gawat! Pasti Ja-
ka Bego telah melarikan diri. Ia bergegas memeriksa
kamar yang hanya ada satu-satunya di rumah panjang
itu. Oh, ternyata Jaka Bego ada di kamar itu, sedang
tiduran telentang dengan santai. Kedua tangannya di-
taruh di bawah kepala dan kakinya yang kiri menum-
pang di lutut kaki kanannya.
"Hei, sedang apa kau di sini?!" hardik Andini. "Apa-
kah kau memang tidur di sini?!"
"Ya. Aku sudah dua malam di kamar ini."
"Ini kamarmu?"
"Bukan. Aku tidak punya kamar. Ini kamar Nyai Ka-
tri."
"Celaka kau?" geram Andini. "Kalau Nyai tahu kau
bisa dibunuhnya."
"Ah, masa....?" Jaka Bego tetap santai seperti tadi.
"Seingatku, Nyai sendiri yang menyuruhku masuk ke
mari. Kemarin malam ia menyuruhku tidur di sini..."
Andini menggumam, matanya memandangi kea-
daan kamar tersebut. Lalu ia berani mendekati Jaka
Bego.
"Dua malam kau berada di kamar ini bersama
Nyai?"
"Ya. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri."
Andini berkerut dahi. "Gila, kau! Buktikan bagai-
mana maksudmu?"
"Maksudku, tanyakanlah sendiri kepada Nyai."
Andini menghela nafas panjang. Benaknya berpikir:
Dua malam di kamar bersama Nyai. Apa saja yang di-
lakukan mereka. Hal itu yang membuat Andini pena-
saran dan bertanya:
"Dua malam kau di kamar ini bersama Nyai. Apa
saja yang kau lakukan dengannya?"
"Banyak," jawab Jaka Bego dengan tenang. "Aku di
pijit oleh Nyai. Aku dipeluk dan... dan..."
"Dan apa lagi...?" Andini mendesah, jantungnya mu-
lai berdebar-debar.
"Kau dicumbu juga oleh Nyai?" bisik Andini agak
takut.
"Ya. Dan... itu berulang-ulang dilakukan Nyai."
"Berulang-ulang? Selama dua malam?"
Jaka Bego berkerut dahi," kenapa kamu kelihatan-
nya heran? Buat kami itu biasa-biasa saja."
"Gila!" Andini terheran-heran. "Dua malam tanpa
berhenti kau lakukan itu?"
"Nyai yang memintanya. Bukan aku. Aku hanya
menuruti perintah Nyai Katri."
"Dan. kau... kau tidak capek? Kau kelihatan segar
bugar begitu? Aneh sekali. Apakah Nyai juga tidak bo-
san dengan pemuda kurus kerempeng dan jelek seperti
kamu?"
Jaka Bego tahu, ia dihina. Tapi Jaka Bego tidak
menanggapi hinaan itu. Ia malahan bangkit, duduk di
pembaringan dan berkata dengan jelas:
"Nyai bilang... ia tidak akan pernah bosan jika ber-
cumbu dengan lelaki seperti aku. Kata Nyai... aku
punya kehebatan yang tidak dimiliki lelaki lain. Kata
Nyai juga, aku punya pedang panjang yang mampu
menembus dinding karang. Kata Nyai lagi, aku adalah
kuda jantan yang perkasa dan yang dicarinya selama
ini. Kata Nyai... akulah lelaki yang diharapkan selama
hidupnya, dan baru sekarang ditemukannya. Juga ka-
ta Nyai, aku lebih hebat daripada Prabima dan lelaki
yang pernah bercinta dengan Nyai..."
"Cukup, cukup...!" Andini gemetar. "Kau pandai
berbohong rupanya."
"Ah, pandai sih tidak. Cuma... aku memang dikata-
kan oleh Nyai sebagai lelaki hebat. Itu kata Nyai, bu-
kan kataku. Kalau kau tak percaya bilang saja sama
Nyai..."
Andini tertegun, debar-debar jantungnya membara.
Ia merenungkan kata-kata Jaka Bego. Ia membayang-
kan maksud kata-kata itu. Dan ia menjadi berkeringat.
Ia berkata dengan lirih, "Nyai bilang, kau lebih hebat
dari Prabima?!"
"Ah, entahlah... Itu kata Nyai, kok." jawab Jaka Be-
go kalem seakan menggoda.
"Dan kata Nyai... kau... kau mempunyai pedang
panjang yang mampu menembus karang?!"
"Iya. Itu kata Nyai lho. Aku sendiri dari dulu tidak
pernah punya pedang. Buat apa!" Jaka Bego semakin
berlagak sinis. Andini menjadi semakin salah tingkah.
Ia keluar dari kamar, berjalan bagai orang melamun.
Malam merajut mimpi. Nyai Katri belum pulang ju-
ga. Padahal Andini keburu ingin bertemu dengan Pra-
bima. Khayalan birahi menggodanya terus, apalagi se-
telah ia mendengar penuturan Jaka Bego. Ia terus
menghayal dalam kegelisahan. Sampai akhirnya, Jaka
Bego menemukan Andini diam bersandar di lantai da-
lam keadaan sendu.
"Nyai belum pulang, ya?"
Andini menggeleng. Jaka Bego heran, lalu mende-
kat, jongkok di depannya. "Kenapa kau bersedih? Ta-
kut kehilangan Prabima?"
Andini menatap Jaka Bego dengan sayu. Lama se-
kali mereka saling tatap, lalu Andini berkata dengan
suara lirih:
"Aku sangsi dengan kata-katamu tadi. Aku... aku
ingin membuktikan kehebatanmu..."
"Husy! Jangan. Itu tidak baik. Nanti kalau ketahuan
Nyai, kau bisa dibunuhnya. Aku sudah menjadi milik
Nyai. Pusaka Nyai yang tak ingin diberikan kepada
siapa pun."
"Sekali saja, Jaka...! Aku... aku tak tahan disiksa
khayalanku sendiri... oooh..." Andini meraih Jaka Be-
go, menciumnya beberapa kali. Jaka Be go masih da-
lam kebingungan.
"Jaka, lakukanlah...! Berlayarlah seperti kau men-
garungi samudra bersama Nyai Katri selama dua ma-
lam...! Berlayarlah walau sekali saja...!"
Andini semakin panas. Ia tak ingat lagi siapa di-
rinya. Namun Jaka Bego bertahan untuk tidak me-
layani keinginan Andini. Gadis itu sudah gila. Jaka Be-
go dipaksa dalam ancaman. Jaka Bego takut, lalu ia
bersedia mengarungi samudra impian bersama Andini.
Seluruh tubuh Andini bagai tidak berdesir lagi darah-
nya. Andini seperti ada di awang-awang, menggeliat,
mengerang dan menjerit beberapa kali.
"Kau... oh, kau benar, Jaka. Kau memang hebat
dan mempunyai pedang panjang yang mampu menem-
bus lapisan karang. Yaah... pantas kalau Nyai kecan-
duan asmaramu...!"
Jaka Bego masih segar, masih mengayuh dayung
sampan, membawa Andini ke lautan lepas. Andini
menjerit lagi, dan lagi-lagi menjerit dalam buaian
khayalnya. Ia bertambah gila dan meronta-ronta seper-
ti cacing kepanasan. Ia mencengkeram Jaka Bego be-
rulang kali, bahkan menggigit, pundak Jaka Bego
hingga membekas. Ia menangis dalam raung khayalan
yang terus melambung tinggi ke atas. Ia lupa Prabima
dan lupa segala-galanya.
Pagi menjelang, sinar matahari merambah permu-
kaan langit. Andini masih berpacu dalam dengus nafas
yang tak teratur. Jaka Bego tetap segar, mengayuh
sampan dengan dayung keperkasaannya. Keringat
memang berhamburan di antara kedua belah pihak,
tetapi kesegaran masih terlihat jelas di wajah Jaka Be-
go. Sedangkan Andini sudah menyerupai daun layu,
lunglai dan lemas, namun masih mengharapkan men
garungi samudra kebahagiaan dengan Jaka Bego.
Sampai akhirnya, pintu terbuka dengan mendadak.
Nyai Katri muncul. Ia segera berlari dan menendang
Jaka Bego dengan tangis yang menjerit-jerit.
"Biadab kau...! Laknat kau...!" Nyai Katri melempar-
kan apa saja yang bisa dilemparkan ke arah Jaka be-
go. Ia tidak menyerang Andini yang tengah bergeser ke
dinding dengan meraih pakaiannya sebagai penutup
badan asal jadi. Jaka Bego kebingungan. Ia ingin men-
gambil pakaiannya, namun ia tak berani karena pa-
kaiannya ada di kaki Nyai Katri. Sedangkan Nyai Katri
menangis tersedu-sedu, hilang sudah kewibawaannya.
Ia sebagai perempuan biasa yang tidak punya penga-
ruh. Ia bagai seorang istri yang melihat suaminya se-
rong dengan perempuan lain.
Andini dan Jaka Bego merasa heran. Ketegaran Nyai
Katri tidak ada sama sekali dalam keadaan seperti itu.
Ia menangis sambil menutupi wajahnya memakai tela-
pak tangannya sendiri. Saat itulah, baru ada kesempa-
tan bagi Jaka Bego untuk mengambil pakaiannya. Ia
segera mengenakan dengan terburu-buru, sampai-
sampai satu lobang celana ia masuki dua kaki dan ia
terjatuh waktu hendak melangkah.
Andini mendekati Nyai Katri dengan berkata hati-
hati:
"Maafkan saya, Nyai... Saya memang... memang tak
sadar, karena... karena ingat Prabima terus, Nyai. La-
lu...lalu Jaka Bego menceritakan apa yang ia lakukan
bersama Nyai selama dua malam, dan saya... menjadi
tergiur. Lalu..."
"Kau juga menjadi korbannya, Andini!"
"Menjadi korbannya, bagaimana, Nyai?!"
"Kau telah terkena ilmu Pasak Dewa. Dia mempu-
nyai ilmu itu. Dan kau tahu... ilmu itu menyedot se-
mua kesaktianku, semua kekuatan kita ikut tersedot.
Aku sekarang menjadi perempuan biasa, tanpa kekua-
tan sedikit pun. Nyatanya aku sejak tadi gagal menya-
lurkan hawa murni. Aku...oh, aku tak mempunyai ke-
saktian apa-apa lagiiii..! Dan, kau... kau juga tidak
mempunyai kekuatan apa-apa lagi, Andini. Asmara Pa-
sak Dewa telah merenggutmu. Merenggut semua daya
kita..."
Andini tertegun bagai tak percaya dengan kata-kata
Nyai Katri. Ia memandang Jaka Bego yang masih ber-
diri dengan sikap terbengong melompong. Jaka Bego
sendiri bagai orang yang ada dalam keheranan cukup
tinggi. Ia pun sepertinya tidak percaya dengan apa
yang dikatakan Nyai Katri.
"Apakah Nyai tidak salah ucap...?" tanya Andini.
"Tidak. Aku baru sadar setelah aku gagal menyalur-
kan hawa murni ke tubuh Prabima. Aku baru sadar
kalau aku tak mempunyai ilmu apa-apa lagi, aku tak
bisa menyalurkan hawa murni lagi. Bahkan memukul
batu pun aku tak sanggup lagi. Aku sudah menco-
banya berulangkali..." Nyai Katri memperlihatkan tan-
gan dan jarinya yang berdarah akibat memukul batu.
"Lihat... sampai tanganku luka semua, aku tetap tak
bisa memecahkan sebutir batu yang biasanya hanya
dengan satu genggaman batu itu akan menjadi debu.
Nyatanya… ooh... ini, Andini. Dia telah menyedot il-
muku dengan ilmu Pasak Dewa...."
Andini tidak percaya. Ia segera bangkit dan me-
mandang Jaka Bego. Yang dipandang jadi ketakutan.
Jaka Bego menggerak-gerakan kedua tangannya se-
raya berkata:
"Tidak...! Aku tidak tahu...! Aku tidak sengaja! Jan-
gan marah pada saya...! Nyai yang memintanya, Andi-
ni. Bukan kemauanku sendiri...! Sumpah...! Sumpah
sekali!"
Untuk menghilangkan kepenasaranannya, Andini
menggerakkan tangannya bagai sedang menari. Tu-
buhnya meliuk-liuk namun matanya masih menatap
Jaka Bego, sedangkan Jaka Bego waktu itu jadi terte-
gun melihat tarian Andini. Lalu dengan cepat Andini
menghentakkan tangan kanannya ke depan:
"Hiaaaaaat...!"
Jaka Bego masih terbengong, bahkan kini terse-
nyum karena dikira diajak bercanda oleh Andini.
"Bidadari Senjaaa...! Hiaaaatt...!" seru Andini sambil
menggunakan pukulan Bidadari Senja yang mampu
menghanguskan tubuh lawan dari jarak jauh. Tetapi
ternyata pukulan itu kosong. Tanpa tenaga sedikitpun.
Bahkan tangan Andini yang menyentak ke depan itu
merasa ngilu bagian persendian sikunya. Ia pun terbe-
lalak, tercengang memandangi tangannya. Lalu ikut
menangis penuh penyesalan, "Ilmuku... ilmuku hilang
semua, Nyaii... Ooh...!"
"Asmara Pasak Dewa telah menyedotnya, Andini...!
Kita lengah dan lalai...!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!" teriak Andini
gemas sekali.
***
5
Menjelang siang, Prabima muncul di puri. Ia sangat
heran melihat Nyai Katri dan Andini saling bertangi-
san, sedangkan Jaka Bego diam di sudut ruangan da-
lam keadaan duduk dengan kedua kakinya ditekuk,
bagai orang ketakutan.
"Nyai...? Andini...?!"
Andini bergegas bangun dan menghambur dalam
tangis memeluk Prabima.
"Prabima...! Oh, syukurlah kau selamat...!"
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua, Andini?!"
Andini yang manja tetap mengisak dalam pelukan Pra-
bima.
Nyai Katri berdiri dan memandang Prabima dengan
berurai air mata kesedihan yang baru kali itu dilihat
Prabima. Karenanya Prabima sangat heran melihat pe-
rempuan setegar Nyai Katri, yang tak pernah punya
rasa belas kasihan, kali ini menangis seperti seorang
ibu rumah tangga kehilangan kucing kesayangannya.
"Ada apa, Nyai? Apa yang telah terjadi?!"
Nyai Katri yang rambutnya panjang masih terurai
itu mengisak beberapa kali, kemudian memberi penje-
lasan dengan susah payah. Nafasnya tersengal oleh
tangis yang menyesak di dada.
"Aku... aku sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi,
Prabima. Aku telah lemah..."
"Apa maksud Nyai bicara begitu? Bukankah Nyai
guru saya? Nyai mampu berbuat apa saja dengan ke-
saktian Nyai."
"Tapi sekarang tidak lagi, Prabima!" tangis Nyai
menjadi.
"Juga aku...!" sahut Andini dengan tangis keman-
jaannya. "Aku sudah tidak mempunyai ilmu pukulan
Bidadari Senja, aku sudah tidak mempunyai tenaga
dalam lagi. Semua ilmuku habis semua. Habis!" Andini
makin meraung!
"Kenapa sampai begitu, Nyai? Kenapa, Andini?"
Prabima masih bingung.
"Dia...!" Nyai Katri menuding Jaka Bego yang tam-
pak sangat ketakutan duduk memojok. "Dia mempu-
nyai ilmu Asmara Pasak Dewa...!"
"Asmara Pasak Dewa?!" Prabima masih menge-
rutkan dahi.
Nyai Katri menjelaskan, "Ilmu Pasak Dewa adalah
ilmu kuno. Di mana pada zaman dulu hanya beberapa
orang saja yang mempunyai ilmu itu."
"Apa kehebatan ilmu itu?!" desak Prabima semakin
ingin tahu. Nyai Katri mencoba menenangkan tangis-
nya, lalu menjelaskan dengan terbata-bata:
"Ilmu Asmara Pasak Dewa... mampu menyerap se-
gala ilmu yang dimiliki oleh seorang perempuan.
Umumnya hal itu terjadi jika antara pemilik Asmara
Pasak Dewa sedang bermain cinta dengan perempuan
berilmu. Setinggi apapun ilmu seorang perempuan, ji-
ka bermain cinta dengan lelaki yang memiliki Asmara
Pasak Dewa, maka ilmu itu akan tersedot semuanya.
Tanpa tersisa sedikit pun. Melalui permainan cinta sa-
tu kali saja, semua ilmu bisa diserap oleh Asmara Pa-
sak Dewa. Dan...dan... Jaka Bego ternyata mempunyai
ilmu itu. Sehingga... sehingga..."
"Nyai bermain cinta dengannya?!" tebak Prabima.
Nyai Katri mengangguk seraya menangis sedih.
"Aku... aku menemukan kejantanan yang tak pernah
dimiliki pria mana pun. Aku terpikat dan lupa diri. Aku
tak sadar kalau Asmara Pasak Dewa memang mampu
membuat perempuan lupa diri pada saat semua il-
munya terserap habis. Dan... dan itu terjadi pada diri
Andini juga, yang waktu aku datang, ia sedang meng-
habiskan sisa kebahagiaan Asmara Pasak Dewa..."
"Gila...!" geram Prabima. "Ini gila-gilaan..!"
"Maafkan aku, Prabima. Aku sungguh tak dapat
menahan diri, dan... dan lalai kepada bahaya yang
ada. Maafkan.." Andini meratap menyesali tindakan-
nya. Ia malu, tapi apa boleh buat, semuanya telah ter-
jadi dengan menyedihkan.
"Hal itu kusadari setelah aku tak mampu menya-
lurkan tenaga inti untuk menyembuhkan lukamu,"
tambah Nyai Katri. "Lalu kucoba memecahkan batu,
ternyata juga gagal. Jadi, aku segera menyadari bahwa
Jaka Bego telah menyerap ilmuku, terkuras habis den
gan cara menggunakan Asmara Pasak Dewa..."
"Siapa monyet itu sebenarnya? Mengapa ia sampai
mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa?" kata Prabima
bagai bicara pada diri sendiri.
"Kau sudah sembuh, Prabima?" Nyai Katri meman-
dang tangan Prabima yang telah pulih seperti sedia ka-
la.
"Aku tahu waktu Nyai Katri bersusah payah menya-
lurkan tenaga inti ke tanganku. Aku juga tahu Nyai
pergi dengan hati kesal. Tapi, waktu itu keadaanku
sangat lemah dan tak bisa bicara. Namun diam-diam
aku menyalurkan tenaga intiku sendiri ke tangan, dan
berhasil..." Prabima memperlihatkan pergelangan tan-
gannya yang bagai tak pernah terluka sedikit pun itu.
Andini sempat mengagumi penyembuhan tersebut,
namun pikirannya segera kembali ke Jaka Bego.
"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Prabima ke-
pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng yang me-
nyimpan misteri itu hanya menggeleng ketakutan
sambil semakin memojokkan badan. Ia tampak cemas
dan rona wajahnya amat kasihan.
Prabima yang masih tetap berilmu tinggi itu segera
merenggut baju Jaka Bego yang terbuat dari kulit
kambing. Baju itu dulu pemberian dari seorang ne-
layan yang ditolong Jaka Bego dari hempasan ombak.
"Siapa kau sebenarnya, hah?! Ayo, mengakulah!"
"Jaka, Mas...!" jawab Jaka Bego dalam ketakutan.
"Siapa kau sebenarnya? Itu yang kutanyakan?!"
bentak Prabima dengan kesal.
"Jaka Bego...! Sungguh, nama saya Jaka Bego... be-
nar sumpah...!"
Jawaban itu membuat Prabima merasa seperti di-
permainkan. Ia menampar Jaka Bego keras-keras, dan
Jaka Bego mengejang kesakitan seraya menjerit:
"Aduh...! Ampun, Mas… Sakit...!"
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, hah? Aku
tahu, kau bukan anak tolol seperti yang kulihat ini!"
Karena gemas dan jengkelnya, Prabima menendang
Jaka Bego sampai anak itu terpental menjatuhi Nyai
Katri. Tentu saja Nyai Katri yang sudah menjadi pe-
rempuan biasa merasa kesakitan kejatuhan badan Ja-
ka Bego. Lalu dengan gemas Nyai Katri mendorong tu-
buh Jaka Bego sampai kepala Jaka Bego membentur
tiang.
"Aaaaauuuuh...!" Jaka Bego menjerit kesakitan.
Namun benturan itu telah membuat suatu getaran itu
telah mengakibatkan beberapa lampu yang menempel
pada tiang-tiang itu bergoyang. Salah satu yang ter-
buat dari tempurung kelapa jatuh, dan mengenai ke-
pala Prabima dengan keras. "Praak..!"
Prabima menyeringai kesakitan sambil memegangi
kepalanya. Kemarahannya semakin menjadi. Ia hendak
membunuh Jaka Bego dengan pedangnya, namun Nyai
Katri segera menghalangi.
"Jangan! Jangan bunuh dia..! Aku masih bisa
membujuknya untuk mengaku, dan mengembalikan
ilmu-ilmuku!"
Prabima menggeram gemas. Giginya menggeletuk.
Tangan kirinya kembali mengusap-usap kepalanya
yang kejatuhan lampu dari batok kelapa berisi minyak
penuh itu.
"Sekarang pergilah, lawanlah Lanangseta. Rebut
bunga itu sebelum sempat dimakannya. Jangan sam-
pai terlambat!" perintah Nyai masih ditaati pula oleh
Prabima.
Andini berkata, "Aku tak bisa ikut dalam keadaan
seperti ini, Prabima, Yang jelas, aku ingin kau kembali
dengan selamat dan... dan kita bisa bersatu sela-
manya."
Dengan sinis Prabima berkata kepada Andini, "Apa
kah kau masih pantas bercinta denganku?"
"Prabima...?!" Andini terkejut mendengar ucapan
tak diduga itu. Prabima agaknya serius, ia bahkan
berkata:
"Kau telah menyerahkan dirimu kepada Jaka Bego
dengan segala resiko yang harus kau tanggung. Pan-
taskah setelah itu kau ingin menyerahkan dirimu ke-
padaku? Ciiih...! Aku tak akan sudi bergumul dengan
bekas keringat Jaka Bego yang sinting itu!"
"Prabima, maafkan aku! Aku sudah mengaku salah
dan..."
"Dan kau harus menanggung akibatnya sendiri!" La-
lu Prabima pergi begitu saja dengan loncatannya yang
bagai panah melesat itu. Andini memanggilnya dalam
tangis, tapi tak dijawab.
Prabima masih penasaran dengan Kirana. Ia berha-
rap agar saat ia sampai nanti bunga Teratai Wingit be-
lum sempat dimakan Lanangseta. Betapapun juga,
Prabima lebih tertarik kepada Kirana daripada terha-
dap Andini. Apalagi Prabima tahu bahwa Andini sudah
tidak suci lagi, sedangkan Kirana pasti masih suci. Se-
bab itu, semangatnya menjadi berkobar-kobar untuk
merebut bunga Teratai Wingit itu.
"Begitu bunga berhasil berada di tanganku, lang-
sung akan ku makan di depan Lanangseta! Hah..! Ra-
sakan kau, Lanangseta! Karena kehadiranmulah yang
membuat Kirana jadi sama sekali tidak mengharap ke-
hadiranku..." pikir Prabima sambil terus melesat me-
nuju Griya Teratai Wingit.
Ternyata dugaan Prabima melesat jauh. Ia tidak ta-
hu kalau Lanangseta telah memakan bunga Teratai
Wingit pada saat itu juga, saat ia kembali membawa
bunga berwarna ungu itu. Tentu saja yang paling
bangga dan gembira adalah Kirana, Putri Bukit Badai
yang cantik, anggun dan mempunyai sepasang mata
menggetarkan hati Lanangseta.
Tengah malam, ketika mereka sedang berunding
mengenai upacara perkawinan Lanang dengan Kirana
yang akan diadakan besok pagi, tahu-tahu keadaan
Griya Teratai Wingit menjadi gempar dengan muncul-
nya Ludiro.
Lelaki pendek berbadan gempal dan berkulit kehi-
tam-hitaman itu agaknya berusaha sekuat tenaga un-
tuk sampai di Griya Teratai Wingit. Begitu sampai di
depan pintu gerbang ia rubuh tak tahan lagi. Penjaga
pintu gerbang segera membawa masuk Ludiro yang
terluka perutnya akibat cincin Cupu Gina. Salah seo-
rang memberanikan diri menghadap Sabdawana yang
sedang berembuk dengan Lanangseta dan Kirana.
"Rama, maaf saya mengganggu..." ujar penjaga itu
dengan memberi hormat terlebih dulu.
"Ada apa? Apakah kau tak tahu kami sedang berbi-
cara sangat penting?!" kata Sabdawana yang merasa
terganggu.
"Sekali lagi, saya mohon maaf, Rama Sabdawana.
Hemmm.... ada hal yang lebih penting. Kami... kami
temukan Paman Ludiro dalam keadaan luka parah,
Rama?!"
"Paman Ludiro...?!" Lanangseta yang terpekik kaget.
Sabdawana terbelalak juga melihat perut Ludiro ro-
bek dalam, nyaris isi perutnya terburai keluar. Ia sege-
ra menyuruh beberapa orang menggotong Ludiro ke
kamar khusus. Tetapi Lanangseta sendiri yang men-
gangkat tubuh Ludiro. Lanangseta merasa khawatir
melihat keadaan Ludiro yang sudah pucat pasi karena
kehabisan darah. Ia menjadi iba melihat pengorbanan
Ludiro.
"Pasti Si Keparat, Prabima itu, yang melukainya!"
geram Lanangseta.
"Aneh. Bukankah Paman Ludiro tubuhnya kebal
terhadap senjata apapun!" kata Kirana dengan cemas.
Sabdawana memperhatikan luka di perut Ludiro. Di
tepian luka itu meninggalkan serbuk putih seperti ser-
buk pada sayap kupu-kupu. Lalu, ayah Kirana itu
manggut-manggut seraya menggumam.
"Pasti seseorang telah menggunakan cincin Cupu
Gina," kata Sabdawana dalam gumamnya.
"Cincin Cupu Gina, Ayah?!" Kirana merasa asing
dengan nama senjata itu.
"Ya. Cincin Cupu Gina adalah sejenis batu-batuan
yang hanya ada satu jenis di dunia ini. Cincin itu ber-
bentuk seperti kerucut, ujungnya runcing mampu
menggores benda setebal apa pun. Lihat serbuk-
serbuk di sekitar lukanya. Ini menandakan ia tergores
cincin Cupu Gina yang dulu pernah geger di rimba
persilatan gara-gara merebutkan cincin tersebut."
"Tapi... mungkinkah Prabima memperoleh cincin
itu?!" tanya Lanangseta yang masih dalam kecemasan.
"Mungkin saja, kalau dia berkomplot dengan seo-
rang ratu bajak laut yang hidup pada masa ratusan
tahun yang lalu. Ia bernama Areswara!"
"Areswara...?!" Lanangseta teringat nama yang per-
nah didengarnya dari Ludiro.
"Areswara ratu bajak laut yang berilmu tinggi. Ke-
saktiannya sangat hebat. Ia bisa berganti-ganti wajah,
dan tak pernah tua. Ratu Areswara selalu berpenampi-
lan cantik dan mempunyai daya tarik sendiri bagi se-
tiap lelaki. Namun ia seorang yang kejam, yang sera-
kah dan ingin menguasai dunia."
"Ayah mengenalnya?" tanya Kirana.
Sabdawana mengangguk. Ia berkata pelan, "Ada tiga
orang leluhur kita yang pernah menjadi suaminya. Te-
tapi selalu mati dalam keadaan menyedihkan. Areswa-
ra itulah yang membunuhnya. Sehingga sampai seka-
rang, ia merupakan musuh bebuyutan kita juga."
Ludiro mengerang lemah, nafasnya tersengal-
sengal. Ia bagai meregang menjelang ajal. Lanangseta
kebingungan, demikian juga Kirana yang segera men-
desak ayahnya untuk melakukan sesuatu demi menye-
lamatkan nyawa Ludiro. Tetapi Sabdawana berkata
dengan nada patah semangat:
"Apakah aku akan bisa? Yang ku tahu, tak pernah
ada luka yang bisa disembuhkan jika terkena goresan
cincin Cupu Gina. Tak pernah kudengar cerita orang
yang selamat setelah terkena goresan cincin itu. Sebab,
serbuk dari batuan cincin itu merupakan racun yang
paling ganas. Ia akan menyerang otak, atau jantung.
Tergantung di mana lukanya berada. Kalau lebih dekat
dengan jantung, dia akan menyerang jantung, kalau
dekat otak, ia akan menyerang otak...."
Lanangseta tiba-tiba teringat kata-kata gurunya, Si
Tongkat Besi, yaitu seorang manusia yang sebenarnya
dewa. Dewa yang terbuang dari Suralaya karena kesa-
lahannya. Dulu, Lanangseta pernah mendengar Tong-
kat Besi berkata:
"Kalau pedangmu bisa membunuhku, maka darah-
ku akan menempel pada pedangmu, dan akan mem-
buat pedangmu menjadi pijar bagai bara besi yang
menyala panas. Tapi sebenarnya pedang itu dingin.
Keampuhan pedang itu cukup banyak, bisa memotong
besi atau baja mana pun, bisa menghancurkan gu-
nung dalam satu kali tusukan, bisa menyembuhkan
luka apa pun, dan bisa melayang sendiri membunuh
musuhmu dari jarak jauh dan lain-lain... karena itu
kau harus..."
"Lanang...!" tegur Kirana. "Kenapa malah mela-
mun?!"
"Menyembuhkan luka apapun..." gumam Lanangse-
ta seraya termangu-mangu.
"Apanya? Kau bicara apa?" Kirana menggoyang
goyang lengan Lanangseta. Lalu, segera Lanangseta
minta izin untuk mengambil pedangnya di kamar pu-
saka. Sabdawana tak keberatan, sebab dalam hati ia
percaya, pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan La-
nangseta.
Sabdawana dan Kirana menepi dari tempat Ludiro
dibaringkan di kamar perawatan itu. Lanangseta
menghunus pedangnya: Pedang Wisa Kobra, yang telah
menjadi pedang malaikat sejak ia berhasil membunuh
Tongkat Besi di luar kesengajaan. Pedang itu menyala
bagai pijar api, seakan sebatang besi yang habis di-
panggang hingga membara. Warna merah api sangat
mengerikan, dan membuat Kirana bergidik. Sementara
itu, Ludiro hanya bisa mengerang tipis nafasnya sema-
kin sesak dan seakan hampir habis. Wajah pucat pasi,
dan mata sayu berwarna putih. Manik mata hitamnya
sudah tak kelihatan lagi.
Lanangseta segera menempelkan pedang yang ber-
pijar itu pada luka memanjang di perut Ludiro. Akibat
sentuhan pedang tersebut, perut Ludiro mengepul, se-
perti besi panas yang tercelup dalam air. Suara desis
juga terdengar dan membuat Kirana serta Sabdawana
menyeringai ngeri. Ludiro tidak berteriak sedikitpun,
juga tidak mengejang kepanasan. Dan Lanangseta te-
tap menempelkan pedangnya sampai asap yang keluar
dari pedang yang menyentuh darah luka itu habis.
Memang tercium bau daging panggang, tetapi kenya-
taannya sangat ajaib.
Nafas Ludiro terhela dengan lepas. Longgar. Ma-
tanya mulai berkedip-kedip. Lanangseta mengangkat
pedang Wisa Kobranya, lalu semua mata terbelalak
melihat perut Ludiro dalam keadaan rapat. Tak ada
luka, tak ada sedikit pun bekas goresan. Perut itu ber-
sih, bahkan darah yang berceceran di sekitar bekas
luka juga bersih, bagai dihisap oleh pedang Wisa Kobra.
"Ooh... syukurlah kau segera menolongku, La-
nang..." kata Ludiro masih dengan sisa kelemahannya.
"Ya, Paman. Karena aku tidak ingin kehilangan kau,
Paman Ludiro," Lanangseta tersenyum. Ludiro dibiar-
kan berbaring. Kirana disuruh ayahnya menyelimuti
tubuh Ludiro.
Sabdawana berkata, "Kau harus beristirahat sampai
besok, Ludiro. Paling tidak untuk menghilangkan kele-
lahanmu selama bertarung dengan Prabima."
"Ya, Rama. Tapi bukan hanya Prabima yang menye-
rangku, melainkan Andini..." Ludiro berpaling kepada
Lanang. "Andini bersekutu dengan Prabima. Ia terpen-
garuh ketampanan Prabima, dan bahkan nekad ber-
buat mesum dengannya..."
"Andini...?" ucap Lanang dalam desah yang bernada
ragu.
"Ya. Andini. Mereka merencanakan menyerangmu,
mencuri bunga Teratai Wingit. Mereka ingin mengga-
galkan perkawinanmu, Karena... karena Andini pena-
saran, ingin merebutmu dari tangan istrimu."
"Siapa Andini itu?!" cetus Kirana dengan tajam. La-
nang mulai khawatir kalau-kalau Kirana cemburu. La-
lu dengan hati-hati Lanang menjelaskan secara singkat
siapa Andini itu. Dan rupanya Kirana bukan cemburu,
melainkan justru ingin menghajar Andini untuk me-
nunjukkan bahwa dialah yang berhak memiliki La-
nangseta, Si Pendekar Pusar Bumi.
"Bagaimana dengan bunga itu?" Ludiro masih
mengkhawatirkan bunga tersebut.
"Tenang, Paman. Aku telah memakannya dalam
upacara adat yang dilaksanakan tadi, begitu aku sam-
pai," kata Lanang dengan senyum ceria.
Ludiro ikut tersenyum. "Syukurlah... Kapan kau
menikah?" tanya Ludiro lagi.
"Besok...! Kalau Paman masih lemah, biar saja ber-
baring di sini."
Ya. Besok. Dan perkawinan Lanangseta dengan Ki-
rana Sari itu pun tak diketahui oleh Prabima. Dalam
perjalanannya menuju Griya Teratai Wingit, Prabima
selalu beranggapan bahwa bunga itu belum dimakan
oleh Lanangseta. Sebab ia tahu, kalau untuk memakan
bunga tersebut harus melalui upacara adat leluhur
Bukit Badai, yang tidak mudah masa persiapannya.
Tetapi dugaannya itu salah besar. Bahkan ketika ia ti-
ba di depan pintu gerbang Griya Teratai Wingit, ia me-
lihat beberapa orang meninggalkan rumah Kirana den-
gan senyum-senyum gembira. Ia tidak tahu kalau La-
nangseta hari itu sudah resmi menjadi suami Kirana
Sari, perempuan yang menjadi incaran Prabima sejak
ia menjadi murid ibu Kirana. Prabima merasa penasa-
ran, ia mencegat salah seorang tamu yang dalam perja-
lanan pulang.
"Pak... bapak dari rumah Rama Sabdawana?"
"Ya. Betul. Putri tunggalnya menikah dengan seo-
rang Pendekar gagah perkasa." jawab orang itu dengan
ceria.
Kemarahan dan kekecewaan Prabima meluap pada
saat itu juga. "Dia telah kawin..?! Bangsat...!" Ia me-
mukul orang itu pada bagian dadanya hingga orang
tersebut mengejang, dan roboh tak berkutik dengan
dada hangus akibat pukulan.
Kemarahan Prabima adalah kemarahan yang paling
tinggi sepanjang hidupnya. Ia menggunakan ilmu
Bramapati untuk menyerang para tamu yang hendak
meninggalkan rumah Kirana. Dengan sekali mengge-
rakkan tangannya ke depan, maka keluarlah kobaran
api yang segera melayang menghantam siapa saja yang
ada di depannya. Sudah tentu orang yang terbakar itu
menjerit-jerit dan berguling-guling. Bukan hanya satu
orang, tapi lebih dari tujuh atau sembilan orang yang
saat itu diserang dengan bola api dari tangan Prabima.
"Aaaooww...! Toloooong...! Aku terbakar...!"
"Aaaauuuh...! Apiii..! Apii... ooh, tolooooong...!"
Jerit mengerikan membahana. Keadaan menjadi
kacau balau. Semua orang saling lari tunggang lang-
gang. Kepanikan menghadirkan beraneka ragam teria-
kan histeris, juga pekikan kematian menggema di ma-
na-mana.
"Rama...!" teriak Lande. "Pemuda itu... eeh... Prabi-
ma mengamuk di depan gerbang. Ia membakar orang-
orang tak berdosa, Rama...!"
Kirana dan Sabdawana segera melompat dari ruang
pertemuan, mereka segera menghambur keluar. La-
nangseta bergegas masuk ke kamar pusaka dan men-
gambil pedangnya.
Pada saat itu, Prabima segera melancarkan ilmu
Bramapatinya yang ia peroleh dari Nyai Katri. Bola api
meluncur ke arah Kirana dan Sabdawana. Namun
dengan gesit Kirana yang masih mengenakan pakaian
pengantin itu melompat ke depan ayahnya, mengha-
dang kedua bola api itu. Ia memutar kedua tangannya
dengan salah satu kaki merenggang dan merendah ke
bawah. Putaran tangannya tepat berhenti dalam satu
sentakan kuat. Sentakan itu mengakibatkan bola-bola
api yang tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya itu
melesat berbalik arah menuju Prabima.
Prabima bersalto menghindari bola-bola api yang
ganti menyerangnya itu. Kirana mengeram dalam se-
ruannya:
"Saatmu untuk mati, Manusia Ibliiis...!" Lalu, tan-
gan Kirana bergerak ke depan dalam posisi jari jema-
rinya lurus semuanya. Dari ujung jari jemari itu me-
luncurlah jarum-jarum beracun, melesat cepat meng-
hantam Prabima. Prabima semakin melayang dan ber
guling di udara menghindari jarum beracun yang ia
miliki juga.
"Hiaaat....!" Prabima memekik seraya melancarkan
tendangan ke arah Kirana. Dengan tangkas Kirana
menangkis kaki kanan Prabima, lalu Kirana melam-
bung tinggi hingga kakinya berada di atas kepala Pra-
bima. Pada saat itu, kaki Kirana hendak menjejak ke-
pala Prabima, tetapi Prabima lebih dulu melancarkan
pukulan Bramapatinya sambil menelentang di tanah.
Kirana terpaksa bersalto ke samping untuk menghin-
dari bola api yang telah melesat, nyaris menyentuh
lengannya itu.
Pada saat kaki Kirana menapak di tanah, Prabima
melentikkan badan dengan berguling ke belakang
langsung melayang. Kedua kakinya berhasil mengenai
pinggang Kirana, sehingga perempuan cantik itu sem-
poyongan hampir jatuh. Seketika itu, mata Prabima
memancarkan sinar kecil berwarna kuning Saat...! Si-
nar menuju ke tubuh Kirana, tetapi Kirana berkelit
dengan menggulingkan badan ke tanah. Sambil bergul-
ing Kirana mengibaskan tangannya yang telah meng-
genggam batu-batu kecil. Batu-batu itu dilemparkan
ke arah Prabima, oleh Prabima dilawan dengan sinar
kuning yang keluar dari matanya. Batu-batu itu ber-
benturan dengan sinar kuning, dan menimbulkan se-
buah ledakan cukup keras.
Agaknya Kirana sukar diatasi, sebab itu Prabima
segera menyerang Sabdawana, ayah Kirana yang sejak
tadi memperhatikan pertarungan tersebut. Ilmu Can-
dra Geni yang mengeluarkan sinar kuning dari mata
itu dilancarkan ke arah Sabdawana. Lelaki beruban itu
menggeragap karena datangnya serangan itu secara ti-
ba-tiba dan di luar dugaan. Namun pada saat itu se-
buah bayangan melesat menyongsong gerakan sinar
kuning. Dan sinar itu pun berhenti, lalu tubuh La
nangseta tampak dalam posisi salah satu kaki berdiri
tertekuk dan satu kakinya lagi berdiri di atas lutut.
Pedang Wisa Kobra berdiri tegak di depannya, meng-
hadang sorotan sinar kuning itu.
"Kau harus berhadapan denganku, Prabima. Bukan
dengan yang lainnya...!" kata Lanangseta dengan mata
memandang tajam, memancarkan dendam. Prabima
tersenyum sinis, segera mencabut pedangnya.
"Berpamitlah kepada istrimu yang cantik itu, La-
nang. Sebab sebentar lagi kau akan kukirim ke nera-
ka, dan ia akan menjadi perawan... Janda yang masih
perawan, he, he, he...!" Prabima sengaja memancing
kemarahan Lanangseta agar ia kehilangan kontrol diri.
Tetapi Lanangseta kelihatan tenang. Ia menggerakkan
pedangnya dengan kedua tangan. Pedang ditarik ke
samping atas, dan tubuh Lanangseta meliuk bagai
hendak menari. Prabima segera menyerang:
"Hiaaatt...!"
Tubuh Prabima melayang dengan pedang terarah ke
dada Lanangseta. Lanang hendak menangkis pedang
itu, namun mendadak Prabima menggerakkan pe-
dangnya ke atas sehingga tangkisan pedang Lanang
mengenai tempat kosong. Gerakan pedang tipuan itu
hampir saja menusuk ubun-ubun Lanang kalau saja
Lanangseta tidak segera berguling ke tanah tanpa me-
nyentuh tanah sedikit pun. Posisi Lanang membela-
kangi Prabima. Kesempatan baik bagi Prabima untuk
melancarkan senjata rahasia berupa jarum-jarum be-
racun ke punggung Lanangseta. Jaraknya cukup dekat
dan gerakan jarum bagaikan angin berhembus ken-
cang. Namun pada saat itu, Kirana dengan sigap sege-
ra melancarkan pukulan Pembeku yang membuat ja-
rum-jarum berhenti seketika dan saling mengempal,
lalu jatuh ke tanah. Kalau saja Kirana kurang cekatan
sudah tentu punggung Lanangseta menjadi sasaran
empuk jarum-jarum beracun itu.
Lanangseta segera berbalik menghadapi Prabima,
yang ternyata telah meluncur menyerangnya dengan
tendangan kaki kanan. Lanangseta mengelak dengan
miringkan badan ke samping, tetapi rupanya tendan-
gan itu hanya tipuan semata, karena begitu tendangan
molos ke tempat kosong. Prabima mengibaskan pe-
dangnya ke leher Lanangseta. Dengan gesit Lanangseta
menghantam pedang itu dengan pedangnya. Trang...!
Prabima buru-buru berguling takut terkena tebasan
pedang Lanang yang bergerak cepat itu. Namun ketika
ia mendaratkan kakinya ke tanah, ia jadi terbengong
melihat pedangnya buntung, tinggal beberapa bagian.
Lanangseta berdiri tegap sambil tersenyum.
"Bangsaaaaat... kau, Lanaaang..!" geram Prabima
seraya melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh La-
nangseta setelah ia membuang pedangnya.
Dengan gesit Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto
beberapa kali dan berdiri tepat di belakang Prabima.
Prabima berpaling, dan sebuah pukulan keras menge-
nai rahangnya hingga terdengar suara gemeretak.
"Oouuuw...!" Prabima terpental jauh seraya menga-
duh. Ia segera berdiri tegak karena takut didahului se-
rang Lanang. Matanya memerah menahan rasa sakit
pada rahangnya.
"Kau masih ingusan, Bocah Bagus...!" ledek La-
nangseta. "Sebenarnya belum waktunya kau bertand-
ing melawanku. Lebih baik kau pulang dulu, netek du-
lu pada guru perempuanmu yang bergelar Iblis Pulau
Kramat itu. Nanti baru kau bisa mengalahkan aku..."
Prabima terpancing kemarahannya. Ia segera mem-
buka jurus baru dengan menggerak-gerakkan tangan-
nya seperti burung hendak terbang. Namun sebelum ia
kesampaian menjajal jurus barunya itu, Lanangseta te-
lah menerjangnya dengan memutari tubuh Prabima
secara cepat sekali. Gerakan Lanang seperti kilasan
cahaya bara merah mengelilingi Prabima, sukar diikuti
oleh pandangan mata. Dan beberapa saat kemudian,
Lanangseta menjauh dalam satu salto yang meninggi.
Gerakan melayang turun dari atas itu seperti burung
garuda turun dari langit. Rambutnya yang panjang itu
meriap, melambai bagai sayap burung garuda. Begitu
indah dan mengagumkan. Ia berdiri dengan tegap, ke-
dua kaki terentang, tangan kanannya menjadi satu
dengan tangan kiri memegang gagang pedangnya yang
berdiri di depan dada kanannya. Otot-otot pada lengan
dan dada terlihat membesar kekar. Banyak orang yang
menyaksikan keadaan Lanang itu menjadi berdecak
kagum, terutama Kirana.
Prabima menggenggam kuat-kuat, kedua tangannya
berada di samping pinggang kanan kiri dalam posisi
siap dihentakkan ke depan. Ia sempat berkata dengan
sombong:
"Jangan bertarung seperti ayam mau kawin, Mo-
nyet! Terimalah aji pukulan Guntur Sambura ini..."
"Hei, hei... tunggu," kata Lanangseta. "Lihat dulu
apakah kau masih mempunyai jari tangan atau ada
yang kurang. Lihat dulu, jangan sampai kau mati pe-
nasaran..."
Prabima tertegun sejenak. Ia mulai curiga, dan se-
gera mengendurkan tangannya, membuka telapak tan-
gannya, memelototi jari-jarinya. Oh, ternyata masih
lengkap. Ia tertipu sehingga membuatnya tak jadi me-
lancarkan aji pukulan Guntur Sambura.
"Kau hanya bisa bermain seperti anak kemarin sore,
Lanang," ejek Prabima. "Kau takut aku melancarkan
pukulan Guntur Sambura, ya? Hemm...?!"
"Kusarankan lihat dulu jarimu..." kata Lanang den-
gan senyum sinis.
"Masih utuh...! Kau pikir kau jago pedang?" seraya
Prabima menyodorkan kedua tangannya ke depan da-
lam keadaan jarinya terbuka semua. Tapi tiba-tiba jari
kelingking tangan kiri jatuh secara mengejutkan. Dis-
usul kelingking tangan yang satunya juga jatuh, seper-
ti cicak kehabisan tenaga.
"Hahhh...?!"
Bukan hanya Prabima yang terbelalak kaget melihat
jari kelingking itu berjatuhan. Tetapi Kirana dan se-
mua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi
menggumam seperti serombongan lebah hutan lewat.
Mereka berdecak kagum. Tak habis pikir mereka meli-
hat jurus pedang sakti yang dilakukan Lanangseta ta-
di. Begitu cepat, begitu halus, sampai-sampai Prabima
tidak menyadari kalau kedua jari kelingkingnya sudah
terpotong sejak tadi.
"Heaaaahh...!" Prabima berteriak dalam kejengke-
lannya. Ia merasa dipermainkan dan segera menyerang
Lanangseta dengan pukulan tenaga dalamnya. La-
nangseta melesat ke udara, tapi miring ke kiri, sehing-
ga dua kali pukulan jarak jauh Prabima yang tertuju
ke bawah dan ke atas terpaksa mengenai tanah ko-
song. Tanah itu menjadi hangus dan berongga. La-
nangseta menjejakkan kaki ke tanah, dan melayang
lagi sambil bersalto melewati kepala Prabima. Ia men-
gibaskan pedangnya dengan kecepatan yang tak mam-
pu dilihat mata manusia. Tahu-tahu ia telah mendarat
seperti burung garuda hinggap di puncak bukit ka-
rang.
Prabima hendak bergerak, namun ia merasakan ada
sesuatu yang perih di telinganya. Baru saja ia hendak
memegang telinganya, tahu-tahu telinga itu telah lepas
dan jatuh sendiri. "Plok!" Daun telinga jatuh ke tanah
dan sebaris gumam dan kata-kata "Woouw" terdengar
menggema. Sekali lagi mereka dibuat kagum oleh ge-
rakan jurus pedang.
Nafas Prabima semakin terengah-engah diburu ke-
marahan yang meninggi. Ia benar-benar dianggap mai-
nan murahan oleh Lanangseta. Gemuruh di dalam da-
danya ingin meledak saja rasanya. Segera Prabima
berseru:
"Lanang! Terimalah balasanku ini, Biadab...!"
Prabima merentangkan tangannya, lalu kaki kirinya
ditarik lurus ke belakang, dan kaki kanannya mene-
kuk rendah. Ia menggerakkan tangannya ke segala
arah, kemudian bersalto ke depan. Tiba-tiba segumpal
asap membungkus dirinya. Ia tak terlihat lagi.
Sabdawana berseru, "Siluman Raga Muspra...!"
"Hati-hati, Lanang...!" teriak Kirana Sari dengan ce-
mas.
Lanangseta bergerak sigap. Tapi tahu-tahu tubuh-
nya bagai ada yang menendang dengan kuat. Ia ter-
jengkang ke belakang dengan sentakan keras. Lanang-
seta menggeragap. Ia hendak bangkit, namun terasa
ada yang memukulnya dua kali sehingga kepala La-
nang terdongak dalam satu sentakan kuat.
Prabima tidak kelihatan. Asap itu menipis lalu hi-
lang. Namun, Lanang mendengar dengus nafas Prabi-
ma di sampingnya. Bahkan kini semua orang menden-
gar ucapan sumbar Prabima:
"Lihat...! Hanya sekuku hitamku ilmu Lanangseta
ini, ha, ha, ha....!"
Lanangseta menebaskan pedangnya ke samping,
namun ia tidak mengenai apa-apa. Tetapi justru se-
buah tendangan hebat mengenai dadanya dan mem-
buat Lanangseta memuntahkan darah beberapa per-
cik. Suara Prabima terdengar lagi tanpa terlihat ujud
manusianya:
"Ha, ha, ha... ayo, mainkanlah aku...! Sekarang gili-
ranmu yang harus kumainkan, Babi bodoh...!"
"Huuukh...!" Lanangseta terpukul punggungnya,
namun rasa-rasanya bukan pukulan, melainkan ten-
dangan beruntun yang mengenai punggungnya itu.
Lanang menjadi limbung dan darah muncrat dari mu-
lutnya.
"Lanang..!" Kirana bergegas hendak menolong, tapi
ayah Kirana segera mencegah seraya berbisik:
"Percayalah, Lanang pasti bisa mengatasi hal kecil
seperti itu. Ingat, dia murid Dewa Sinting, si Tongkat
Besi. Ia tidak mungkin akan kalah begitu saja…" Dan
kata-kata ini membuat Kirana sedikit tenang, sekali
pun kegelisahan tercampur-baur dengan kecemasan di
wajah anggun itu.
"Ucapkan selamat tinggal kepada istrimu, La-
nang...!" seru Prabima. Tapi Lanang segera berlari dan
melentik tinggi, bersalto tiga kali di udara, lalu tubuh-
nya mendarat agak jauh dari tempat pertempuran se-
mula. Di sana mata Lanangseta terpejam. Ia mem-
bayangkan tubuh Prabima, dan segera mengibaskan
pedang Wisa Kobranya dengan teriakan kuat,
"Heeiaaatt...!"
"Aaaah...!" Terdengar pekikan memanjang di tempat
pertarungan semula, tak jauh dari Kirana berdiri. Se-
mua menjadi kaget, dan Kirana sendiri sampai mun-
dur beberapa langkah bersama Sabdawana. Mereka
bagai melihat asap tipis membayang, lalu makin lama
semakin jelas terlihat tubuh Prabima berdiri dengan
kepala mendongak ke atas. Tubuh yang melengkung
ke belakang itu semakin jelas, namun juga semakin
mengerikan. Tubuh itu terpotong menjadi tiga bagian,
tanpa mengeluarkan darah berlimpah-limpah. Kaki
terkulai, lalu disusul badannya dari leher ke bawah
rubuh begitu saja, dan kini kepalanya pun ikut rubuh,
menggelinding beberapa langkah dari kedua potongan
badannya. Mereka yang menyaksikan hal itu banyak
yang memejamkan mata karena ngeri. Tetapi mereka
juga kagum, dalam jarak jauh, Lanangseta mene-
baskan pedangnya tiga kali dan langsung bisa memo-
tong tiga bagian lawannya yang tidak kelihatan. Sung-
guh merupakan ilmu pedang yang amat hebat dan
langka dimiliki pendekar lain.
Tetapi, mereka jadi tegang kembali ketika melihat
kepala Prabima yang telah terpisah dari lehernya itu
melayang sambil menyeringai bagai bola menuju La-
nangseta.
"Lanang.... awaaaaas...!" teriak Kirana. Lanang su-
dah terlanjur menyarungkan pedangnya ke punggung.
Kepala Prabima itu melayang cepat dengan gigi-gigi
siap menggigitnya.
Namun sebelum kepala itu menyentuh Lanangseta,
sebuah lecutan Cambuk Naga berbunyi nyaring:
"Taaaar...!" Dan kepala itu pecah seketika terkena
cambukan Ludiro. Lanangseta mengacungkan jempol
kepada Ludiro yang baru nongol karena kelemahan
tubuhnya. Namun semua orang tetap salut kepada
Ludiro, yang mampu melecutkan Cambuk Naga tepat
pada sasaran.
"Saatmu sangat tepat, Paman..." seraya Lanang
memeluk Ludiro. Ludiro menyeringai, tubuhnya masih
terasa lemas.
"Sudah selayaknya kau menyisakan sedikit untuk
pembalasanku. Karena dialah yang merobek perutku
dengan cincin keparat itu, dan aku berhak mendapat
balasan, walau hanya sekali cambuk..."
Lanang, Kirana dan Sabdawana tertawa mendengar
kata-kata Ludiro. Bahkan semua orang yang menyak-
sikan pertarungan sengit itu menjadi lega dalam se-
nyum mereka. Kasak-kusuk jelas terjadi seperti lebah
dan burung bersahutan, mereka membicarakan kehe-
batan-kehebatan dalam pertarungan Lanangseta den-
gan Prabima, musuh yang paling dibencinya itu.
"Lanang, dan kau Putri, kuucapkan selamat me-
nempuh hidup baru, semoga kalian bahagia dalam
perkawinan yang agung ini..." kata Ludiro seraya me-
nyalami Kirana dan Lanangseta.
"Terima kasih, Paman... terima kasih..." bisik La-
nangseta merasa bangga. Kirana pun memeluk Ludiro
dan memberikan satu ciuman damai di kedua pipi Lu-
diro.
"Bagaimana dengan Jaka Bego yang katanya terta-
wan di Pulau Kramat itu?" sela Sabdawana. Mereka ja-
di tertegun sejenak. Kirana yang menyahut,
"Iya, ya...? Bagaimana dengan dia? Kasihan dia ti-
dak ikut menikmati hari bahagia ini..."
"Aku yang akan ke sana menjemputnya," ujar Ludi-
ro.
"Kudampingi kau, Paman..." kata Lanang.
"Aku bagaimana? Masa, pengantin baru akan di-
tinggal?" Kirana berlagak cemberut.
Lanangseta tertawa seraya memeluk Kirana yang
cantik dan anggun. "Kalau begitu, biarlah paman be-
rangkat lebih dulu, setelah bulan maduku selesai, aku
akan menyusul ke sana. Bukankah begitu, Putri can-
tik...?!"
"Terserah kau, Pendekar Tampan..." bisik Kirana.
Lalu keduanya saling tertawa dan melangkah ke kamar
pengantin. Itulah saat yang ditunggu-tunggu dan di-
perjuangkan mati-matian selama ini.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar