..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 13 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE ASMARA PASAK DEWA

matjenuh

 

ASMARA PASAK DEWA

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama, 1991

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga

episode Asmara Pasak Dewa

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.10


1

DOMAS Lanangseta yang berjuluk Pendekar Pusar 

Bumi itu berlari paling depan. Prabima Wardana beru-

saha mengejarnya, kendati untuk itu ia harus selalu 

menghalau perintang yang bertubuh molek dan cantik: 

Andini, putri Panglima negeri Seberang. Setiap Andini 

berhenti untuk menyerang Prabima, tubuh pemuda 

bertampang ganteng itu melesat ke atas, bersalto 

menghindari serangan Andini. Sementara itu Lanang-

seta berlari terus sambil membawa bunga Teratai Win-

git yang berhasil direbutnya kembali dari tangan Pra-

bima. Untuk sementara ia tak menghiraukan pertem-

puran yang terjadi antara Andini dengan Prabima.

"Larilah terus! Jangan hiraukan aku dulu. Lari, La-

nang!" teriak Andini sewaktu Lanangseta masih sering 

bimbang dan mengkhawatirkan keselamatan Andini.

Perasaan cinta Andini kepada Lanangseta itulah 

yang membuat ia sanggup menempuh resiko, berta-

rung melawan Prabima Wardana. Sesekali Andini sem-

pat mengingat betapa kasarnya pemuda berpedang pe-

rak itu ketika hendak memperkosanya beberapa waktu 

yang lalu (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Inga-

tan itu pun yang membuat Andini bernafsu untuk 

membunuh Prabima.

Ia sengaja menghadang setiap gerakan Prabima 

yang berusaha merebut bunga Teratai Wingit, yaitu 

bunga yang menentukan siapa lelaki yang akan men-

jadi calon istri Kirana, Putri Bukit Badai.

"Perempuan bodoh! Tak ada gunanya kau melin-

dungi Lanangseta! Minggir...!" seru Prabima yang me-

rasa dongkol sekali kepada Andini. Ia melancarkan 

tendangan sejurus yang digerakkan dengan tubuh 

berputar. Tendangannya mengenai pundak Andini


yang waktu itu berkelit ke kiri. Andini terguling jatuh 

akibat tendangan itu, namun ia segera melesat bagai 

kupu-kupu terbang. Melayang tubuhnya, dan kakinya 

berhasil mengenai kepala Prabima kendati hanya me-

nyerempet saja. Prabima segera meluncurkan tangan 

kanannya pada waktu Andini mendaratkan kaki ke ta-

nah. Tangan Prabima yang menghantam wajah Andini 

berhasil ditangkis oleh gerakan tari yang gemulai na-

mun punya kekuatan tenaga dalam yang lumayan.

"Tak semudah dugaanmu menyentuh tubuh La-

nang, Setan!" kata Andini seraya mengembangkan ke-

dua tangannya, namun pada detik berikutnya kaki ka-

nannya maju ke depan dengan cepat sekali. Hampir 

saja Prabima kehilangan dagunya yang bersih dan in-

dah itu kalau saja ia tidak segera mendongak ke atas, 

menghindari tendangan kaki Andini. Pada saat itu, 

Andini melihat posisi kaki Prabima lemah; sedikit ter-

tekuk kedua nya. Maka, kaki kanan yang masih di 

atas itu segera turun bagai kibasan pedang menyamp-

ing, lalu berputar ke bawah dan menghentak kuat ke 

lutut Prabima. Tubuh Prabima oleng, dan rubuh.

Andini tidak menyerangnya lagi. Ia juga takut ke-

tinggalan jauh dengan Lanangseta. Ia segera melesat 

bagai belalang loncat dan terbang.

"Rasakan kebodohanmu ini, Betina Jalang...!" seru 

Prabima yang segera melancarkan jarum-jarum bera-

cun dari ujung jemarinya. Jarum-jarum itu melesat 

cepat seperti hembusan angin. Tak mudah dilihat mata 

manusia biasa. Namun Andini punya kepekaan ter-

sendiri. Ia merasa ada angin berdesir dari belakangnya 

dalam satu kelompok. Pasti bukan sembarang angin. 

Karenanya ia segera menghentakkan kaki ke batang 

pohon sebesar lengan, lalu ia bersalto ke samping den-

gan cepat. Pada saat itu, jarum-jarum melesat dan 

menancap pada batang pohon itu. Tidak perlu me


nunggu sampai sepuluh hitungan, pohon itu telah 

menjadi kering seketika. Daun-daunnya rontok dan 

pohon itu tak akan bisa tumbuh lagi. Mati!

Lanangseta harus segera keluar dari Pulau Kramat 

itu. Ia sudah sampai di pantai, namun kembali hatinya 

was-was akan keselamatan Andini. Ia menunggu Andi-

ni untuk menyeberangi lautan dan menuju pantai di 

seberang sana. Tetapi ketika Andini muncul, gadis itu 

segera berkata:

"Menyeberanglah, Lanang. Cepat! Jangan tunggu 

pemuda itu mengejarmu. Aku sanggup menghadapinya 

di sini!"

"Andini, aku malu. Aku bisa mengalahkan dia, ta-

pi...!"

"Tapi aku juga tidak ingin kalau kulitmu sampai 

terluka oleh kemarahan orang itu. Biar kuhadapi. Per-

gilah. Pergilah menyeberang, lekas...!" seraya Andini 

mendorong-dorong tubuh Lanangseta. "Lekas, aku 

nanti akan menyusulmu setelah menjebak dia dalam 

perangkap...!"

Lanangseta tak mengerti apa rencana Andini sebe-

narnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus pergi se-

cepatnya, menyelamatkan bunga Teratai Wingit yang 

kini ada dalam genggaman tangan kirinya itu. Ia harus 

segera memakan bunga tersebut dalam upacara khu-

sus sesuai adat leluhur Bukit Badai. Karena jika tidak 

segera memakan bunga itu, Prabima akan mencari pe-

luang untuk mencurinya lagi.

Dengan ilmu peringan tubuh yang sangat sempur-

na, Lanang menyeberangi laut dengan berlari di atas 

permukaan air. Permukaan laut yang bergelombang 

kecil itu bagai permadani yang dapat dilaluinya dengan 

mudah, bahkan sambil berlari cepat. Setiap telapak 

kaki Lanang menginjak permukaan air, seolah-olah ia 

menginjak sebidang agar-agar yang sulit memercik.


Prabima yang melihat hal itu segera menyusul La-

nang. Ia berseru, "Aku juga bisa seperti kamu, La-

nang!"

Namun belum sempat kakinya menginjak ke per-

mukaan air laut, tiba-tiba kedua kaki Andini meluncur 

cepat ke arah lengan Prabima. Tendangan dari arah 

samping itu membuat Prabima terpental dan bergul-

ing-guling di tanah.

"Lanang! Hadapi aku jika kau memang jantan! Jan-

gan lari, Lanang...!" teriak Prabima dengan gemas, ka-

rena sebelum ia selesai bicara, Andini yang bergaun ti-

pis warna merah muda itu segera melancarkan puku-

lan jarak jauhnya yang diberi nama Pukulan Bidadari 

Senja. Pukulan itulah yang membuat beberapa orang 

Pulau Kramat mati dalam keadaan hangus di bagian 

tubuh yang terkena pukulan itu.

Tapi kali ini musuh Andini tidak mudah untuk di-

robohkan. Prabima melihat gelagat tak baik dari puku-

lan Andini itu, ia segera mengeraskan kedua tangan 

dan kakinya, berdiri dengan sedikit merendah dan 

bungkuk, kemudian ia menghentakkan tangan kanan-

nya. Dari tangan kanannya itu keluar semacam perci-

kan api yang membentuk hawa racun dari pukulan Bi-

dadari Senja. Kedua tenaga dalam itu berbenturan dan 

mengakibatkan suatu ledakan yang menggema.

Tubuh Andini terdesak mundur dua langkah, demi-

kian tubuh Prabima.

Sekali lagi Andini melancarkan pukulan Bidadari 

Senja. Gerakan tangannya yang melambai bagai orang 

menari itu nyaris tidak ketahuan jika itu adalah se-

buah pukulan yang sangat berbahaya. Tapi Prabima 

Wardana rupanya tahu akan hal itu, sehingga karena 

tak sempat memberi balasan seperti tadi, ia hanya me-

loncat ke samping dan pukulan Andini itu membentur 

bongkahan karang di belakang Prabima.



Lanangseta sudah mendarat di pantai seberang pu-

lau itu, bahkan ia segera berlari menyelusup hutan 

paya, dan berlari membawa bunga Teratai Wingit ke 

Bukit Badai. Ia tak tahu bahwa kali ini Andini agak ke-

teter karena Prabima menggunakan pedangnya yang 

bersarung perak putih.

"Kau tidak akan mampu menandingi ku, Betina Bu-

suk!" teriak Prabima seraya menebaskan pedangnya ke 

arah perut Andini. Tubuh Andini melengkung ke bela-

kang dan ujung pedang itu melintas di depan perutnya 

hanya berjarak beberapa centimeter saja. Gerakan 

tangan kanan Prabima yang melesat ke kiri pada wak-

tu menebaskan pedang, segera disambut dengan ten-

dangan samping dari kaki kiri Andini. Prabima meng-

geloyor, nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Na-

mun ia kembali menyerang Andini dengan satu lonca-

tan ke atas dan melancarkan tendangan putar dari ka-

ki kirinya. Tendangan itu dapat ditangkis oleh sekele-

bat kain lengan baju Andini. Kemudian Andini hendak 

menyerang maju, namun pedang Prabima segera me-

nusuknya. Sehingga, Andini membatalkan serangan-

nya, ia berkelit dengan merundukkan badan serendah 

mungkin dalam posisi miring ke kiri. Pedang lolos, le-

wat di samping leher Andini.

Kaki Prabima mulai menginjak tanah kembali, tapi 

belum genap berdiri keduanya, tahu-tahu kaki Andini 

telah menyapunya dengan cepat, dan Prabima pun 

terpental jatuh. Andini bermaksud menyerangnya den-

gan tendangan berikutnya dari arah atas Prabima. Te-

tapi tangan kiri Prabima tersentak ke depan, dan ke-

luarlah jarum-jarum beracun warna hitam dari ujung-

ujung jarinya itu. Akibatnya, Andini terpaksa berkelit 

ke samping dengan menggulingkan badan beberapa 

kali. Gaun merah mudanya yang longgar itu seperti ki-

lasan sayap kupu-kupu menyeberang taman. Indah,


namun cukup membahayakan. Sementara itu, serom-

bongan jarum beracun itu melesat ke udara dan entah 

mengenai apa lagi.

Dalam satu kesempatan, Andini berhasil jatuh di 

dekat sebatang ranting pohon kering. Ia segera me-

mungut ranting pohon yang panjangnya satu depa le-

bih. Ranting itu ia jadikan sebilah pedang dengan ke-

kuatan tenaga dalamnya yang cukup hebat. Ketika 

Prabima menyerang dan menebaskan pedangnya, An-

dini menangkis dengan ranting itu. Suara yang timbul 

akibat benturan pedang dengan ranting menjadi nyar-

ing. "Tiing...!" Prabima sedikit kaget, ia berhenti me-

nyerang. Matanya tajam memandang Andini yang juga 

berdiri menunggu serangan berikutnya dengan wajah 

angkuh dan mata seperti kucing marah. Diam-diam 

Prabima mulai tertarik dengan kehebatan Andini. Ia 

bergerak lagi dengan tiba-tiba supaya mengagetkan 

Andini. Gerakan itu adalah mengayunkan pedangnya 

secepat mungkin dengan kaki kanan menghentak ke 

tanah, maju ke depan, pedang Prabima pun melesat 

bagai hendak membelah kepala Andini. Andini me-

nangkisnya dengan kayu kering itu, sambil kaki ki-

rinya ditarik mundur dan kini ia merendahkan badan. 

Sedikit.

"Trang...! Tiing...! Tiing...!"

Andini menangkis setiap kibasan pedang Prabima. 

Ia agak terdesak mundur karena pukulan pedangnya 

begitu kuat. Andini masih bisa bertahan menangkis-

nangkis serangan pedang Prabima. Mereka bagai sepa-

sang pemain anggar yang cukup ulet. Sebab dalam sa-

tu kesempatan. Andini pun mampu mendesak Prabima 

dengan ranting keringnya.

"Kuakui kau cukup ulet, Betina Jalang!" ujar Pra-

bima sambil bermain anggar mengimbangi serang An-

dini. "Tapi keuletan mu itu sia-sia. Ku ingatkan, tena


gamu ini sangat sia-sia...!"

"Bagimu mungkin sia-sia, tapi bagiku tidak!" balas 

Andini dengan tetap berkonsentrasi pada permainan 

anggarnya. "Hiaaah...! Tak kuizinkan siapa pun me-

nyentuh Lanangseta!"

"Hebat. Suatu pengorbanan dan kesetiaan yang he-

bat!" kata Prabima seraya ia mengibaskan pedangnya 

bolak-balik, lalu oleh Andini ditangkisnya terus. "Apa 

dasar mu mempunyai kesetiaan kepada Lanangseta, 

hah? Cinta?"

"Itu urusanku! Untuk apa kau tahu, Monyet Mati. 

Uhh... Mampus kau...!"

Trang...! Ting, ting...! Tiing...!

Mereka sama uletnya, sama kuatnya. Permainan 

pedang Andini benar-benar tak dapat diremehkan ke-

lincahannya, sekali pun yang ia gunakan itu sebenar-

nya adalah sebatang ranting kering. Namun sudah cu-

kup mewakili sebagai pedang sama kekuatannya den-

gan pedang Prabima.

Prabima sendiri masih terus menyerang Andini ba-

gai sedang berlatih. Ia kurang begitu serius, karena ia 

ingin tahu siapa gadis yang dilawannya itu?

"Aku belum pernah melihatmu, Betina Jalang! Ka-

rena itu aku sangsi dengan pertarungan ini."

"Tak perlu kau sangsikan. Percayalah bahwa seben-

tar lagi kau akan mati, Setan Gropos...!" Lalu, Andini 

menghentakkan pedangnya beberapa kali, "Hiaat...! 

Hiaat...!"

Pergelangan tangan Prabima bagai memutar dengan 

cepat dalam mempermainkan pedangnya. Ia berkata 

dengan nafas tak setenang semula:

"Boleh aku mati, tapi sebelumnya sebutkan dulu 

namamu. Aku tak ingin mati dengan penasaran tanpa 

ku tahu siapa pembunuhku," Prabima sedikit terse-

nyum nakal.


Andini menyerang terus, kakinya bergerak maju 

mundur. Ia sangat lincah dalam hal bermain pedang 

seperti itu. Ia tetap bisa bicara dengan tenang. "Nama-

ku Andini. Lanang sering memanggilku, Andini 

Sayang...!"

"O, ya? Woow... mesra sekali kedengarannya. La-

nang memanggilku Prabima, tapi tidak pernah pakai 

embel-embel Sayang di belakang namaku." Prabima 

menghentakkan kaki. Pedangnya disabetkan kuat-

kuat, namun ranting kering itu belum juga mau putus. 

Padahal, biasanya pohon pun dapat dipenggal putus 

oleh pedang Prabima, asal jangan terlalu besar. Namun 

kali ini, ranting yang kecil, sepertinya sebatang baja 

yang sukar dilebur dalam bara api apa pun.

"Kau akan mati dengan sia-sia, Andini."

"Mati membela seorang kekasih, bukan hal yang 

sia-sia," Sambil Andini berputar tubuh dan mengi-

baskan senjatanya ke atas, ingin merobek perut Pra-

bima dari bawah ka atas. Tapi Prabima sempat mena-

han pedang tiruan itu dengan pedangnya yang asli se-

bilah pedang. Sambil begitu ia berkata sinis:

"Jangan bohong di depanku, sebab aku tahu kau 

bukan kekasih Lanangseta."

"Matamu yang buta! Pantas dicungkil dengan kayu 

ini! Hiiaat...!" Andini menusukkan ranting ke mata 

Prabima, tapi Prabima berkelit ke samping dan me-

nangkisnya dengan hentakan keras.

"kurasa kau benar-benar perempuan bodoh! Kau 

cukup cantik, kau menggairahkan, kenapa kau rela 

menjadi gundik Lanangseta?! Kenapa sudi menjadi is-

tri simpanannya?"

Andini semakin panas hati. Ia membabatkan senja-

tanya dengan kuat dan bertubi-tubi ke arah leher Pra-

bima, sekalipun mampu di elakkan dan ditangkis oleh 

Prabima.


"Kau menghinaku tanpa memikirkan keselamatan-

mu, Setan! Seenaknya saja mengatakan aku istri sim-

panan Lanangseta!"

"Hei, aku bicara dengan benar, kan? Bukankah La-

nangseta sudah punya calon istri sendiri?"

"Dia pernah bilang begitu, tapi itu bohong! Kau sen-

diri terkecoh dengan tipuan kata-katanya!" ketus An-

dini sambil terus bermain anggar dengan lawannya.

"Tipuan bagaimana? Ah, ah... kau ternyata belum 

tahu keadaan Lanangseta sebenarnya."

Andini tidak menjawab, matanya tak berkedip da-

lam menghindari tebasan pedang lawan. Ia berkelit 

dan menangkis, lalu sesekali menyerang dengan ber-

tubi-tubi.

"Hei, Lanangseta memang sudah punya calon istri, 

bahkan dalam waktu dekat ini, kurasa ia akan me-

langsungkan perkawinannya...!" Prabima sengaja me-

manaskan hati Andini. Andini sendiri tidak berbicara 

apa pun, namun otaknya berputar mencari-cari kebe-

naran apa yang sepatutnya ia ketahui. Karena itu, An-

dini membiarkan Prabima berceloteh terus.

"Apakah Lanangseta tak pernah bilang padamu, 

bahwa ia akan kawin dengan Putri Bukit Badai? Apa-

kah ia tidak bercerita padamu, bahwa untuk menjadi 

suami Putri Bukit Badai itu ia harus memakan bunga 

Teratai Wingit yang tadi dibawanya kabur itu? Dan 

apakah kau tidak tahu, bahwa bunga itu akan meru-

bah darah siapa saja yang memakannya, menjadi satu 

darah dengan leluhur Bukit Badai. Dengan perubahan 

darah itu, maka ia dapat kawin dengan Putri Bukit 

Badai, dan mereka akan mempunyai keturunan. Tetapi 

jika ia tidak memakan bunga Teratai Wingit, namun 

nekad kawin dengan Putri Bukit Badai, maka ia tidak 

akan mendapat keturunan, dan perempuan itu akan 

mati dalam waktu kurang lebih satu minggu setelah ti


dur bersama Lanang. Sebab tanpa memakan bunga 

itu, berarti Lanang tidak bisa mempunyai darah sama 

dengan Putri Bukit Badai. Dan kalau perempuan itu 

nekad kawin, maka darahnya akan berubah, menjadi 

racun dan membusuk, lalu ia akan mati. Sebab itu, 

Lanang sangat marah ketika bunga itu ku curi. Ia ta-

kut kalau bunga itu ku makan, karena dengan demi-

kian, akulah satu-satunya lelaki yang dapat kawin 

dengan si Cantik Bukit Badai. Dan... dan sekarang kau 

membantunya dalam usaha memperoleh bunga itu, 

namun di luar kesadaran kau telah berusaha mem-

buat ia meninggalkan cinta mu, dan kawin dengan pe-

rempuan lain. Kau tidak akan memperoleh apa-apa 

dari dia, Andini...!"

"Bohong...!" teriak Andini amat beremosi. Wajahnya 

yang kuning langsat menjadi merah, nafasnya teren-

gah-engah. Gerakannya semakin brutal karena dilapisi 

kemarahan yang sungguh membakar darahnya. "Kau 

bohong, Prabima!"

Prabima bersalto ke belakang, dan berhenti menye-

rang.

"Itulah kenyataan yang belum kau ketahui. Karena 

itu sejak tadi kukatakan, bahwa kau perempuan bo-

doh! Kau membela orang yang kau cintai, tapi ia sendi-

ri akan menjadi milik perempuan lain. Kau tidak akan 

memilikinya!"

"Jahaaannaaamm...!" teriak Andini melengking pan-

jang. Ia membuang senjatanya dan menangis sambil 

tubuhnya lemas, jatuh di hamparan pasir pantai.

Prabima tersenyum tipis. Ia memasukkan pedang-

nya pada sarung pedang perak. Ia membiarkan Andini 

meraung-raung dalam tangisnya. Andini tak dapat 

mengendalikan diri. Ia seperti orang kena tipu mentah-

mentah oleh Lanangseta. Penyesalannya dalam mem-

bantu Lanang memperoleh bunga itu, sungguh bagai


senjata yang menghunjam hatinya. Sakit sekali!

"Kalau ku tahu bunga itu adalah syarat perkawi-

nanmu dengan perempuan lain, aku tidak akan sudi 

membantumu sampai sekarang ini, Lanang Setaaan...!" 

teriak Andini dalam tangisnya. Kakinya bergerak-gerak 

seperti anak kecil menangis minta jajan. Debu pasir 

berhamburan dan Andini tidak perduli akan hal itu. Ia 

sangat menyesal. Sangat menyesal sekali. Kegeraman 

sudah bercampur dengan kemarahan. Sebentar lagi 

kemarahan itu akan berubah menjadi dendam.

Prabima mendekati Andini dengan tenang, dengan 

senyum kepuasan karena mampu mempengaruhi An-

dini. Ia jongkok di depan Andini. Ia yakin Andini tidak 

akan menyerangnya.

"Kau tertipu, Andini. Dan orang tertipu itu sangat 

memalukan, sekaligus menyakitkan hati. Lebih baik 

ditampar keras-keras daripada ditipu mentah-mentah," 

tutur Prabima memberi pengaruh dendam di jiwa An-

dini.

"Aku tidak tahu kalau bunga itu adalah... adalah 

kunci dari perkawinannya. Kalau ku tahu begitu, ku-

hancurkan saja bunga itu, atau ku injak-injak seperti 

aku menginjak-injak calon istrinya! Bangsat memang 

Lanangseta itu...!" Andini tak peduli kata-kata itu 

layak atau tidak bagi perempuan secantik dia, tapi itu-

lah ungkapan kemarahan yang dibungkus oleh penye-

salan seumur hidup.

Prabima merasa mendapat angin. Ada peluang un-

tuk merebut bunga itu sebelum tiba saat upacara adat 

leluhur Bukit Badai, di mana dalam upacara itu La-

nangseta akan memakan bunga tersebut. Lalu, ia pun 

berkata kepada Andini dengan senyum kelicikan yang 

selalu menghiasi bibirnya.

"Banyak orang menyangka Lanangseta itu pria pu-

jaan, laki-laki yang menjadi idaman setiap wanita, pe


muda tampan yang pantas menjadi buah impiannya 

sepanjang malam. Namun di balik itu semua, Lanang-

seta adalah impian kebusukan. Banyak gadis yang di-

permainkan olehnya. Banyak gadis yang diperas tena-

ganya, dan dimanfaatkan untuk mencari bunga teratai 

itu. Salah satu korbannya adalah kamu, Andini."

Andini tidak menyadari kalau saat itu ia sedang di-

hasut, ia juga tidak menyadari kalau saat itu Prabima 

memanfaatkan penyesalannya untuk merubah sikap 

Andini kepada Lanangseta, yang disadari Andini ha-

nyalah gejolak dendam kian membakar darah dan me-

nimbulkan kebencian yang besar pada diri Lanangseta. 

Ia merasa cintanya kepada Lanang seperti sebuah 

bungkus nasi yang dibuang begitu saja di sembarang 

tempat. Sebab itu, ia meredakan tangis untuk men-

dengarkan kata-kata Prabima yang seolah menghibur-

nya.

"Penilaian seorang wanita sering terpatok pada ke-

tampanan wajah, ketegapan badan, dan daya tarik 

khusus yang ada pada diri lelaki. Ia tidak tahu bagai-

mana cara menilai hati lelaki sebenarnya. Sebab itu, 

banyak orang yang mengatakan kalau aku ini laki-laki 

brengsek, karena sikapku memang suka slonang-

slonong. Padahal di balik sikapku yang seenaknya itu, 

aku berjanji untuk tidak mau mempermainkan perem-

puan mana pun. Kalau kau suka, aku akan cinta ke-

pada perempuan itu. Kalau aku cinta, aku akan memi-

lih hanya dialah yang harus menempati hatiku. Kutu-

tup pintu hati untuk perempuan lain, sekali pun hal 

itu dapat membuat aku dibenci gadis-gadis yang ingin 

mencintai ku."

Diam-diam hati Andini berkata, "Baik juga pribadi 

pemuda ini. Ia tegas dalam menentukan pilihan. Ia ca-

lon suami yang setia kepada istrinya..."

Dan kesempatan bungkamnya mulut Andini itu


masih terus dimanfaatkan oleh Prabima. Hasutan dan 

pengaruh dimasukkan secara halus sehingga Andini 

tidak merasakan adanya bahaya yang lebih kejam se-

dang mengancamnya.

"Kalau aku tahu kau adalah korban kekejian hati 

Lanang, aku tak akan tega menyerangmu berkali-kali. 

Tapi tadi aku sendiri sangsi, jangan-jangan kau me-

mang senang menjadi istri simpanan Lanang."

"Puihh...!" Andini meludah benci, "Kalau ku tahu

Lanang punya rencana begitu, kubunuh dia sejak ke-

marin!"

Prabima tertawa pendek, ia berdiri dan berkata:

"Itu mudah. Dan aku akan membantumu. Kita sa-

ma-sama sebagai orang yang dikecewakan Lanang, apa 

salahnya kalau kita bergabung untuk ganti mengece-

wakan dia atau calon istrinya itu? Bagaimana? kau se-

tuju?!"

Andini menatap Prabima dengan tajam, sorot den-

dam terpancar dari matanya. Lalu ia menjawab dengan 

gigi menggeletuk: "Setuju! Sangat setuju!"

***

2

PENDEKAR Pusar Bumi: Lanangseta, sibuk dengan 

upayanya membawa lari bunga Teratai Wingit. Sece-

patnya ia harus sampai kepada Kirana, calon istrinya 

itu, dan melangsungkan perkawinannya setelah men-

gadakan upacara adat leluhur Bukit Badai. Sedangkan 

Andini dan Prabima sudah berkomplot untuk menye-

rang Lanangseta. Andini dibakar dendam dan Prabima 

memanfaatkan dendam itu. Sebab Prabima mempu-

nyai maksud sendiri, yaitu ingin merebut Kirana dari



Lanangseta. Sudah lama ia merindukan pelukan kasih 

Kirana, sudah lama juga ia hanyut bagai mimpi semu-

sim saja. Kirana tak pernah mau menyambut kehanga-

tan cintanya. Bahkan kini Kirana semakin membenci, 

karena kemunculan Lanangseta yang berhasil mengisi 

hati Kirana dengan sejuta mimpi kemesraan.

Kesibukan nafsu dan dendam, membuat mereka lu-

pa pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu cu-

kup berjasa juga dalam merebut kembali bunga Teratai 

Wingit dari tangan Prabima. Hanya saja, sayang ia kini 

dalam tangan penguasa Pulau Kramat yang bergelar 

Iblis Pulau Kramat. Dalam panggilannya ia sering dis-

ebut: Nyai Katri. Seorang perempuan cantik, bertubuh 

sexy, dan berilmu sangat tinggi. Dialah yang pernah 

menculik Lanangseta dengan Lanangseta dalam kisah 

Gerhana Tebing Neraka. Nyai Katri itulah musuh lama 

Lanangseta sejak ia menyandang sebutan sebagai Peri 

Sendang Bangkai maupun Gusti Dalem. Perempuan 

cantik yang mempunyai kesadisan tersendiri itu ketika 

menjadi istri Penghulu Badra bernama Areswara, na-

mun sejak ia punya niat menguasai dunia, namanya 

berganti berkali-kali.

Nyai Katri bukan orang bodoh. Ia cukup pintar, cer-

dik, dan berilmu tinggi. Jaka Bego yang kini menjadi 

tawanannya sempat mengagumi ketinggian ilmu Nyai 

Katri, namun juga mengagumi kecantikannya. Hanya 

saja, Jaka Bego merasa jijik ketika Nyai Katri menyu-

ruhnya menyaksikan apa yang dilakukan Nyai Katri.

"Diam di tempat, dan saksikan apa yang kulakukan 

ini!" kata Nyai Katri ketika itu. Jaka Bego sebenarnya 

ingin pergi dari halaman belakang pondok di tengah 

Pulau Kramat itu, namun Nyai Katri telah menotok ja-

lan darah Jaka Bego, sehingga tubuh pemuda kurus 

kerempeng itu tak mampu berbuat apa pun, kecuali 

hanya berdiri di bawah sebuah pohon. Otak dan ma


tanya masih mampu bekerja, sehingga ia tahu apa 

yang dilakukan Nyai Katri.

Dengan mengenakan gaun tipis warna biru muda, 

Nyai Katri mengangkat kedua tangannya seraya kepala 

mendongak ke atas. Entah mantera apa yang di-

ucapkan saat itu, yang jelas tak lama kemudian bebe-

rapa benda melayang dan berdatangan di tempatnya. 

Beberapa benda itu adalah mayat para anak buahnya. 

Mayat-mayat perempuan yang pernah dikalahkan An-

dini dan Lanangseta itu melayang bagai terbang dari 

suatu tempat menuju ke depan Nyai Katri. Mereka 

berdiri tanpa nafas. Diam, kaku dan dingin. Bagian 

tubuh mereka ada yang menghitam, dan itu adalah 

akibat pukulan Bidadari Senja dari Andini (dalam ki-

sah IBLIS PULAU KRAMAT).

Tujuh mayat berjejer bagai sebuah barisan. Nyai 

Katri memandang Jaka Bego yang masih bisa berbica-

ra namun tidak mampu berbuat apa pun. Tubuhnya 

kaku bagai patung. Ia mendengar jelas apa yang dika-

takan Nyai Katri kepadanya.

"Kuharap kau mau bersekutu denganku, kau tidak 

akan ku siksa, tidak akan kubunuh, melainkan justru 

akan kutambahkan ilmu kanuraganmu, seperti halnya 

Putra Tunggal muridku itu, yang saat ini sedang men-

gejar Lanangseta."

"Dia tidak akan berhasil menangkap Lanangseta," 

geram Jaka Bego, merasa tak senang dengan sikap 

Nyai Katri.

"Dia akan berhasil. Kau tidak tahu, bahwa separoh 

dari ilmuku telah dikuasai Putra Tunggal! Dan itu sulit 

ditandingi pendekar mana pun," kata Nyai Katri den-

gan suara kalem, seperti seorang penyabar.

Jaka Bego ingin mengucapkan sesuatu, namun ma-

tanya menjadi membelalak ketika ia melihat apa yang 

dilakukan Nyai Katri. Perempuan cantik bergaun tipis


longgar itu mengeluarkan sinar dari matanya. Sinar 

warna kuning menerpa satu demi satu dari ke tujuh 

mayat wanita bekas anak buahnya. Lalu, dalam tempo 

singkat mayat-mayat itu meleleh bagai sebuah lilin, sa-

tu persatu menjadi bubur berwarna kuning belerang. 

Bau tak sedap pun tercium memuakkan.

"Hooeek...!" Jaka Bego ingin muntah, namun ia ti-

dak bisa menundukkan kepala, sehingga akibatnya 

mulutnya saja yang menganga beberapa kali sambil 

hoak-hoek. Ketujuh mayat itu telah lebur menjadi tu-

juh gundukan bubur kuning. Benar-benar tak sedikit 

pun terlihat tanda-tanda bahwa ketujuh gundukan 

bubur itu sebenarnya adalah bekas jasad manusia.

"Sekarang giliranmu...!" seraya Jaka Bego dipan-

dangnya tajam-tajam. Wajah Jaka Bego tegang, ngeri 

membayangkan kalau tubuhnya akan meleleh seperti 

ketujuh mayat itu. Ia segera berkata dalam kegugu-

pannya:

"Tubuhku kurus seperti ini, kuminta jangan dilebur 

seperti mereka. Tolong, aku masih punya cita-cita lain 

sebelum aku mati. Tolong, jangan dibunuh aku seka-

rang. Aku masih sibuk memikirkan cita-citaku. Nanti 

kalau aku sudah tidak sibuk, kalau Nona mau bunuh 

aku, bunuhlah...!"

"Nona...?! Nona...?!" Nyai Katri yang cantik merasa 

aneh mendapat sebutan 'nona' dari Jaka Bego. Ia ter-

tawa lepas, suaranya hingga menggema memenuhi Pu-

lau Kramat. Dan Jaka Bego yang tidak tahu persis 

mengapa Nyai Katri tertawa, ia jadi ikut-ikutan terta-

wa.

"Diam...!" bentak Nyai Katri dengan mata melotot ta-

jam. Seketika itu Jaka Bego menutup mulutnya den-

gan perasaan takut. "Kenapa kau tertawa? Kenapa, 

hah?!"

"Cuma... cuma ikut-ikutan, biar meriah, Nona..."


"Jangan panggil aku Nona!"

"Apakah harus kupanggil: Nenek...?!"

Nyai Katri mendekat dengan geram. "Kulumatkan 

mulutmu jika memanggilku Nenek. Panggil aku: 

Nyai...!"

"Nyai...?!"

"Ya, Nyai Katri...! Tahu kau, Kunyuk?!"

"Maaf, jangan panggil aku kunyuk. Kulumatkan..."

"Apa?! Kau mau melumatkan aku...?" Nyai Katri 

marah.

Jaka Bego ketakutan. "Maksudku, yang akan ku-

lumat sepotong singkong rebus, Nyai. Hemm... namaku 

memang bukan Kunyuk."

"Persetan dengan namamu. Tapi aku suka me-

manggilmu: Kunyuk!"

"Jangan, Nyai. Kedengarannya kurang gagah. Na-

maku Jaka Bego, bukan..."

"Diam!" bentak Nyai Katri. "Tak ada yang mampu 

menentang keinginanku. Di sini, aku penguasa! Semua 

harus tunduk padaku, kalau ia tak ingin kulebur se-

perti ketujuh mayat ini. Mengerti?! Jadi, aku tetap 

akan memanggilmu Kunyuk Bego! Bukan Jaka Bego!"

"Saya... saya agak keberatan, Nyai."

"Baik, kalau begitu kau kulebur seperti mereka...!"

"Oh, jangan...!" Jaka Bego ketakutan. "Hemm... se-

baiknya panggil saja aku Kunyuk Bego. Setelah kupi-

kir-pikir... nama itu lebih Kramat bagi dunia persila-

tan..."

"Lebih kramat...?!" Nyai Katri mengerutkan dahi.

"Ya. Terima kasih atas panggilan itu. Pasti aku akan 

jadi terkenal, karena nama itu cukup kramat, teruta-

ma di telinga perempuan. Terima kasih..."

"O, tidak. Kau akan kupanggil Jaka Bego saja. Tidak 

jadi Kunyuk Bego. Keenakan kamu nantinya...!"

"Terserah, Nyai Katri sajalah. Saya menurut..." kata


Jaka Bego dengan senyum di dalam hati. Ia lega, ia 

mampu merubah keputusan Nyai Katri yang agaknya 

tak bisa buat main-main itu.

"Bagus kalau kau mau menurut. Kau akan selamat 

dan akan menjadi orang andalanku, Jaka Bego."

"Orang andalan, Nyai? Andalan apa?"

"Pejantanku...!"

"Pejantan, Nyai? Ah, aku ini manusia, bukan sapi!"

"Jangan menentang!" teriak Nyai Katri sambil mon-

dar-mandir seraya memeriksa keadaan sekeliling. "Ka-

lau kau mau menjadi pejantanku, dan mau menuruti 

segala yang kuperintahkan, maka kau akan selamat 

dan menjadi orang kuat. Kau dapat mengalahkan La-

nangseta, atau bahkan kalau kau mau tekun meresapi 

semua ilmuku, kau dapat sejajar dengan kesaktianku, 

Jaka Bego. Camkan itu!"

Jaka Bego tertegun beberapa saat. Mungkinkah ia 

akan menjadi sejajar dengan Nyai Katri? Kedengaran-

nya menarik, namun sukar dipercaya. Tapi... ah, rasa-

rasanya tak ada pilihan lain kecuali menurut segala 

perintah Nyai. Jaka Bego merasa asing di pulau itu, 

dan ia tak mau celaka.

Pengaruh totokan darah dibebaskan oleh Nyai Katri. 

Jaka Bego siap menerima perintah. Hal yang harus di-

lakukan adalah memindahkan bubur belerang yang 

terbuat dari leburan raga mayat-mayat itu.

"Pindahkan tiap gundukan ke tanaman itu..." se-

raya Nyai Katri menunjuk beberapa pohon setinggi 

manusia dewasa. Pohon itu banyak terdapat di bela-

kang rumah, seakan memang ditanam dalam satu 

perkebunan. Jaka Bego tidak tahu itu pohon apa na-

manya, ia merasa asing. Sebab dilihat dari daunnya 

saja pohon itu cukup anehnya. Daunnya berwarna me-

rah gelap berbentuk kecil-kecil, seperti telinga manu-

sia. Tiap satu tangkai yang berbulu mempunyai bebe


rapa helai daun yang tumbuh simetris, saling berha-

dapan, seperti daun dari pohon turi.

"Ini daun apa namanya, Nyai? Saya baru sekali ini 

melihat pohon seperti ini."

"Itu yang namanya pohon Galih Urip. Ia akan men-

jadi subur dan lekas besar jika diberi pupuk larutan 

daging manusia yang sudah dilebur itu. Nah, pindah-

kan semua ke bawah pohon itu. Lekas, sebentar lagi, 

hari menjadi gelap, kau harus beristirahat."

Sebenarnya ada yang ingin Jaka Bego tanyakan, 

yaitu tentang manfaat menanam pohon Galih Urip. Te-

tapi agaknya Nyai Katri belum mau banyak bicara soal 

itu. Jaka Bego menyerok dengan geli bubur mayat itu 

dengan suatu skop yang terbuat dari kulit kerang rak-

sasa. Bau memualkan perut masih mengobar dari bu-

bur belerang manusia itu, namun mau tak mau Jaka 

Bego harus menahannya rasa mual itu.

Sebenarnya banyak hal-hal aneh yang ingin Jaka 

Bego tanyakan. Hanya saja, rasa takutnya kepada Nyai 

Katri membuat Jaka Bego belum berani melontarkan 

apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Kramat itu? Apa 

sebenarnya yang akan dilakukan oleh Nyai Katri itu?

"Ini adalah puriku, tempat aku dan... kau juga, ber-

naung sambil mempelajari hidup dan kehidupan" tutur 

Nyai Katri ketika ia membawa masuk Jaka Bego ke 

pondok panjang beratap ilalang kering. Jaka Bego me-

lompong sambil matanya memandang seluruh isi ru-

mah panjang itu.

Hanya ada satu kamar di bagian ujung, sisanya 

hanya sebentang ruangan berlantai kayu. Tiang-

tiangnya juga dari kayu tanpa dihaluskan, tanpa dipo-

tong menjadi balok. Pada setiap tiang yang berjumlah 

sepuluh itu terdapat tempat pelita yang terbuat dari 

tempurung kelapa. Nyai Katri menyalakan kesepuluh 

pelita. Jaka Bego memperhatikan tikar-tikar anyaman



daun pandan dan daun bakau. Ada beberapa tikar 

yang tebal seperti kasur, dan agaknya tikar tebal itulah 

kasur bagi mereka yang menempati puri tersebut. Se-

karang kasur-kasur itu telah kosong tanpa penghuni. 

Penghuninya telah mati dan lebur dalam satu nasib.

"Kau bebas memilih tempat tidurmu, Jaka Bego. 

Kau hanya boleh masuk ke kamar itu, jika aku me-

manggilmu dari sana. Kalau kau masuk tanpa kusu-

ruh, kau kuanggap pencuri dan hukumannya kulebur 

untuk menjadi pupuk pohon Galih Urip. Jelas...?!"

Jaka Bego mengangguk dalam keheranannya. Di 

tengah ruangan panjang itu ada meja seukuran dua 

kali panjang tubuh Nyai Katri. Agaknya di meja itulah 

mereka sering duduk bersila sambil menikmati maka-

nan yang terhidang di atas meja tersebut.

Waktu malam menjelma, suasananya benar-benar 

sepi. Pulau itu bagai jalan menuju ke alam kematian. 

Sepi dan menyeramkan. Hanya deburan ombak yang 

sesekali terdengar sayup-sayup, bagai irama menjelang 

ajal. Jaka Bego merasa tak betah tinggal di situ.

"Saya tidak betah tinggal di sini, Nyai. Saya mau 

pulang saja," kata Jaka Bego kepada Nyai Katri yang 

duduk di depannya. Mereka bicara sambil menghadap 

meja. Nyai Katri sedang merangkai beberapa bunga 

yang baunya harum mewangi. Itulah Bunga Nirmala 

kesukaan Nyai Katri dari dulu.

"Saya pulang sekarang saja, Nyai. Biar tidak diberi 

ongkos dan bekal tak apalah."

"Kau masih ingin hidup lama, Jaka?"

"Masih, Nyai."

"Kalau begitu, hilangkan niatmu untuk pulang. 

Tinggallah bersamaku di sini..."

"Tapi saya tak tahan, Nyai."

"Tak tahan dengan apa? Suasana Sepi? Angin laut 

yang dingin ini?" Nyai bicara sambil tetap merangkai


bunga.

Jaka Bego tak berani menjawab. Hanya hatinya 

yang berdebar-debar dari tadi, bibirnya gemetar, kerin-

gat dingin mulai berserakan di keningnya. Nafas Jaka 

Bego pun sulit diatur. Sesekali ia menelan air ludah-

nya sendiri. Matanya mencuri pandang ke arah Nyai 

Katri, yang mengenakan gaun tipis sekali sehingga le-

kuk tubuhnya di balik gaun itu terlihat dengan jelas. 

Jelas sekali. Itu yang membuat Jaka Bego sejak duduk 

menikmati santap malam dengan ikan bakar dan air 

enau, ia kelihatan gelisah resah. Dalam sorotan cahaya 

api pelita, tubuh Nyai Katri sangat menggoda dan 

membuat nafas kadang-kadang menjadi sesak. Mung-

kin Nyai tahu kalau setiap lelaki yang memandangnya 

akan gemetar dan dicekam kegelisahan. Tetapi Nyai te-

tap berpenampilan tenang. Tenang sekali. Seakan ia 

tidak menyadari apa yang sedang bergolak di hati Jaka 

Bego.

"Kau sudah punya istri, Jaka?" Kali ini Nyai ber-

tanya sambil memandang Jaka Bego sekilas. Jaka Be-

go hanya menggeleng dan menghela nafas entah untuk 

yang ke berapa kalinya.

"Sudah pernah punya kekasih?"

"Beb... beb... belum..." jawab Jaka Bego gemetar.

"Sama sekali belum pernah mengenal perempuan?!" 

Nyai mendesak dengan sedikit senyum di ujung bibir-

nya.

"Beb... belum, Nyai..."

Nyai memandang wajah Jaka Bego. Pandangan yang 

lembut dan sangat menggelisahkan Jaka Bego. Lalu, 

Nyai Katri tertawa dan dalam desah. Jaka Bego jadi sa-

lah tingkah.

"Kalau begitu kau harus mengenal perempuan mu-

lai sekarang. Jangan menjadi lelaki bodoh."

"Mak... mak..."


"Mau ngomong apa kau, hah? Kok jadi gugup?"

"Maksud., maksud Nyai bagaimana itu?"

"Yaah... suatu hal yang sangat kebetulan, bahwa 

kau belum pernah mengenal perempuan."

"Tapi... tapi saya naksir gadis anak pak Lodang, 

Nyai," kata Jaka Bego dengan polos.

"Sudah pernah... tidur bersama?"

"Ah, gila...! Ya, belum...!" seraya mulut Jaka Bego 

monyong-monyong. "Mahani itu susah didekati, Nyai."

"Kalau begitu, sangat kebetulan."

"Sangat kebetulannya, kenapa?" Jaka Bego makin 

ingin tahu apa yang sedang direncanakan Nyai Katri.

"Kau akan mempunyai keturunan yang kuat. 

Anakmu bisa menjadi manusia terkuat di dunia dan ia 

nanti yang akan menguasai dunia."

"Anak saya? Ah, anak saya dari siapa? Saya kawin 

saja tidak kok bisa punya anak?"

"Cari perempuan. Culik dia, dan bawa ke mari. Lalu 

tidurlah bersamanya beberapa kali, nanti aku akan 

mencampurkan benihmu dengan getah pohon Galih 

Urip itu. Apabila tepat campurannya dan tepat jenis 

bibitmu, maka perempuan itu akan melahirkan anak 

yang terkuat di dunia. Kulitnya akan setebal baja dan 

ia tak akan mati. Setiap ia mati, ia akan bangkit kem-

bali jika mencium bau tanah atau bau air. Dia akan 

mampu menghancurkan gunung dengan tenaganya 

yang maha hebat itu. Belum lagi kalau anak itu diisi 

dengan kekuatan ilmu tenaga dalam yang sempurna, 

ia akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan."

Jaka Bego terbengong saja. Manggut-manggut tidak, 

tertawa, tidak. Mendesis pun tidak. Yang ia tatap 

hanya bagian dada Nyai Katri yang kelihatan menan-

tang dan sangat menggoda kejantanannya itu. Nyai Ka-

tri berkata lagi, "Selama ini sudah kucoba, benih Putra 

Tunggal dengan anak buahku itu, kucampur dengan


getah pohon Galih Urip, tetapi tidak menghasilkan 

anak yang kuinginkan. Setelah kutanyakan kepada 

Putra Tunggal, atau si Prabima, ternyata sebelumnya 

ia sering jajan dengan perempuan nakal di pelabuhan. 

Bahkan ia dulu pernah terkena penyakit memalukan 

akibat berzinah dengan seorang perempuan desa. Nah, 

sekarang... masalahnya berbeda. Kau masih murni. 

Masih segar. Apakah hal itu akan kusia-siakan? Ra-

sanya kok tidak. Aku akan mencoba apa yang kuren-

canakan padamu. Maka, carilah gadis, bawalah ke ma-

ri dan kita akan lihat apakah gadis itu mampu mela-

hirkan anak seperti yang kurencanakan atau gagal la-

gi."

"Tapi... tak ada gadis yang mau kepadaku, Nyai."

"Bisa kubantu dengan ilmuku. Kau akan digan-

drungi oleh banyak gadis cantik. Kau mau, kan?"

Jaka Bego berpikir dalam keraguan. Ia sebenarnya 

justru takut jika hal itu menjadi tugas baginya. Dia in-

gin memikat gadis, tapi tidak merupakan tugas yang 

menjadi suatu keharusan. Dan rencananya Nyai Katri 

itu sebenarnya sempat membuatnya merinding serta 

tidak percaya. Tetapi, mengingat saat ini ia tidak suka 

dengan kesepian pulau tersebut, dan ia tertawan oleh 

Nyai Katri, maka kesempatan bebas hanya ada pada 

tugasnya. Tugas mencari seorang gadis bisa membuat-

nya kabur selama-lamanya dan tak ingin kembali lagi 

ke pulau itu.

"Apakah Nyai bisa membuat aku menarik di mata 

para gadis cantik?" Jaka Bego berlagak tertarik.

"Di sini tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Se-

muanya pasti bisa!"

"Kalau begitu..." Jaka Bego tersipu, berlagak malu. 

"Saya mau, Nyai. Saya bersedia mencari seorang gadis 

sebagai bahan percobaan rencana Nyai. Kapan saya 

harus berangkat, Nyai...?"


Nyai Katri tidak menjawab. Ia terdiam, sepertinya 

sedang memikirkan sesuatu. Dan tiba-tiba Nyai pun 

beranjak dari duduknya, lalu berkata:

"Ikut aku ke kamar, Jaka..."

Jaka Bego sempat bingung sebentar, Nyai berjalan 

menuju kamarnya. Ia berpaling sambil tersenyum ke-

pada Jaka Bego. Tangannya melambai pertanda Jaka 

harus segera ikut ke kamarnya. Jaka Bego sedikit ge-

metar, hatinya merasa senang jika benar Nyai Katri 

mampu membuatnya jadi menarik di mata setiap wani-

ta. Maka bergegaslah ia mengikuti Nyai Katri, masuk 

ke kamar yang hanya satu-satunya ada di ruangan

panjang itu.

Jaka Bego benar-benar bertambah bego setelah ma-

suk kamar Nyai Katri. Di sana ada dipan berlapis per-

madani berbulu tebal. Lantainya juga berlapis perma-

dani, walau tak setebal yang ada di dipan lebar itu. Di-

pan tersebut cukup dipakai tidur dua orang. Bau wan-

gi kembang Nirmala bagai memenuhi ruangan terse-

but. Ada beberapa peralatan semadi, tempat pembaka-

ran dupa, dan beberapa pusaka berupa keris serta 

yang lainnya tertempel di dinding. Cermin seukuran 

setengah badan juga ada. Selimut tebal dari kulit be-

ruang, juga ada. Yang jelas, kamar itu memang lebih 

nyaman dan lebih hangat ketimbang tempat lainnya.

Nyai Katri berdiri di pinggir dipan empuk. Rambut-

nya yang tadi disanggul, kini terlepas panjang, terurai. 

Jaka Bego masih terpukau memandang tubuh berlapis 

kain tipis dalam keremangan cahaya api dian. Suatu 

pemandangan yang benar-benar mempunyai kekuatan 

magis tersendiri.

"Mendekatlah, Jaka..." kata Nyai Katri bernada de-

sah.

Jaka Bego yang tidak tahu apa-apa itu mendekat, 

mulutnya masih melongo dan... jantungnya berdetak


detak. Ia merasa senang dengan apa yang dilihatnya, 

namun merasa takut dengan apa yang akan terjadi 

nanti. Siapa tahu ia berada dalam bahaya.

"Kau mau menjadi pengikutku?!"

Jaka Bego mengangguk, matanya belum berkedip. 

Ia benar-benar kelihatan lugu dan... memang bego.

Nyai Katri melepas pakaiannya sendiri pelan-pelan, 

lalu gaun tipis warna biru muda itu jatuh ke lantai se-

luruhnya, sehingga mata Jaka Bego semakin melebar 

menyaksikan Nyai Katri dalam keadaan polos.

"Sebelum kau bersama perempuan lain, kau harus 

belajar dulu bersamaku..."

"Be... belajar... belajar silat, Nyai?"

Nyai Katri menggeleng dalam senyuman. Tangannya 

meraih pundak Jaka Bego.

"Kau benar masih perjaka. Gayamu yang polos dan 

tolol membuatku yakin, kau belum pernah tidur den-

gan seorang perempuan. Karena itu, akulah yang ha-

rus merenggut kemurnianmu, Jaka..."

"Kok direnggut, Nyai? Katanya aku mau dibuat me-

narik?"

"Ya. Tapi itu setelah aku merenggut perjakamu, 

dengan begitu tubuhku akan menjadi lebih segar dan 

usiaku akan bertambah dua tahun lebih muda dari 

yang sekarang."

"Jadi... jadi..." Jaka Bego semakin gemetar ketika 

Nyai Katri merayapkan jari-jemarinya kebagian terten-

tu. "Jadi... aku harus berbuat apa sebenarnya, Nyai?"

"Tidur bersamaku, Jaka. Hanya satu kali sudah cu-

kup, tetapi itu sudah membuatku menjadi lebih segar. 

Aku tak ingin kemurnianmu direnggut perempuan 

lain. Harus aku dulu yang melakukannya."

"Saya... saya bingung, Nyai..."

"Berbaringlah, biar kujelaskan dengan tekun..."

Nafas Jaka Bego sesak. Tubuhnya jelas gemetar,


namun ia membiarkan segalanya berlalu, asal ia bisa 

dibuat menarik.

Malam semakin kelam. Debur ombak sayup-sayup 

bagai mengiringi deru detak jantung Jaka Bego. Di 

kamar tersebut, Jaka Bego tak sempat menyebutkan 

siapa dirinya. Ia hanyut dalam kemesraan Nyai Katri. 

Namun yang lebih hanyut lagi adalah Nyai Katri. Ia 

merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga 

selama hidupnya. Sesuatu itu di luar dugaan ada pada 

diri pemuda kurus kerempeng. Sungguh tak terduga 

sama sekali, bahwa ternyata Jaka Bego telah mampu 

menjerat hati Nyai Katri dengan kemesraan yang tiada 

duanya.

Sekali Nyai Katri merenggut kemurnian Jaka Bego, 

dua kali ia mengulanginya dan sampai beberapa kali ia 

masih ingin mencengkeram Jaka Bego. Bahkan dalam 

desahannya, Nyai tak sadar berkata:

"Gila...! Luar biasa kau! Mengagumkan sekali...! 

Aku belum bosan-bosannya sampai sejauh ini. Benar-

benar gila!"

Jaka Bego tidak tahu apa yang dimaksud Nyai Ka-

tri. Ia hanya mengikuti perintah perempuan cantik ber-

tubuh sekal itu. Ia tak berani menolak perintah Nyai 

Katri, karena ia punya rencana tersendiri untuk kabur 

dalam satu kesempatan.

"Sepanjang hidup, baru ini kutemukan sesuatu 

yang paling berharga, dan yang kucari selama ini. Ter-

nyata ada padamu, Jaka Bego... Ooh, mengagumkan 

sekali!"

Jaka Bego tak bisa banyak bicara. Bahkan untuk 

mengatakan satu kalimat pun ia tak sanggup. Ia bagai 

dicengkeram kuat-kuat oleh Nyai Katri. Ia bagai ada 

dalam pengaruh perempuan itu, sehingga ia seperti be-

rada di bawah alam sadar. Nyai mendengus dan men-

desah tiada berkesudahan. Bahkan ketika matahari fa


jar menyorotkan cahayanya di balik cakrawala, Nyai 

masih merasa ingin merenggut sesuatu yang amat 

menggetarkan jiwanya, sesuatu yang selama ini belum 

pernah dialami. Kehangatan dan kemesraan yang luar 

biasa dari Jaka Bego membuat Nyai lupa bahwa seben-

tar lagi matahari akan meninggi. Kehebatan Jaka Bego 

yang mengagumkan membuat Nyai Katri lupa ngan-

tuk, lupa menguap dan lupa kalau tenaganya telah 

terkuras habis-habisan. Jaka Bego pun demikian, sa-

ma lupanya dengan Nyai Katri. Tetapi dalam hempasan 

nafas kelegaan yang terakhir, Nyai sempat berbisik, 

seperti bicara sendiri, "Kau... seperti mempunyai ilmu 

Pasak Dewa...! Ilmu yang membuat wanita tergila-

gila...!"

Sepatah kata pun Jaka Bego tidak bicara.

***

3

LUDIRO melihat sekelebat bayangan menuju Bukit 

Badai. Segera tubuh pendek yang gempal dan me-

nyandang pedang di pinggang serta Cambuk Naga di 

punggung itu melesat mengejar bayangan itu. Karena 

kecepatan Lanangseta berlari, sampai-sampai Ludiro, 

pengawalnya, tidak tahu bahwa bayangan yang mele-

sat itu Lanangseta sendiri.

"Hei, berhenti...!" teriak Ludiro dalam jarak yang 

sudah mulai dekat. Tapi bayangan itu tetap melesat 

bagai segumpal bayangan sinar. Ludiro berusaha me-

nyusulnya dengan memotong jalan lewat arah lain. Be-

tapapun jadinya, ia merasa bertanggung jawab jika ada 

kejadian yang membahayakan terhadap wilayah Bukit 

Badai, terutama Griya Teratai Wingit, tempat Kirana 

dan ayahnya tinggal.


Lompatan yang ringan melayang, tubuh Ludiro ba-

gaikan terbang dalam satu arah. Kemudian kakinya 

segera menapak kembali ke tanah di depan bayangan 

yang dikejarnya. Bayangan itu terhenti seketika setelah 

Ludiro mencabut pedang Jalak Pati seraya berseru:

"Berhenti! Atau kupotong kakimu itu!"

"Paman...?!"

"Oh, sialan! Kau Lanang...! Kukira siapa yang mele-

sat seperti segumpal sinar. Maaf, kukira kau orang 

yang bermaksud jahat hendak membikin onar di Bukit 

Badai."

Lanangseta menghempaskan nafasnya yang mem-

buru.

"Aku bangga dengan tanggung jawabmu, Paman," 

kata Lanang seraya menepuk pundak Ludiro.

"Hei, bunga Teratai Wingit sudah ada di tanganmu 

kembali, Lanang? Oh, syukurlah kalau begitu."

"Aku berhasil merebutnya dari Prabima, Paman Lu-

diro."

"Prabima?! Jadi, pencurinya benar Prabima?!"

"Ya. Dan agaknya ia telah bersekutu dengan Peri 

Sendang Bangkai yang kini menguasai Pulau Kramat 

itu."

"Bangsat...!" geram Ludiro. "Mereka memang harus 

di musnahkan, jangan diberi ampun dan peluang sedi-

kit pun!"

"Sekarang Prabima sedang mengejarku, Paman. Ta-

pi... Andini yang menghalanginya."

"O, Andini menghalangi Prabima? Apakah itu tidak 

berbahaya?"

"Dia mencintai ku, Paman. Dia membelaku mati-

matian untuk menunjukkan cintanya kepadaku."

"Anak sinting dia itu!" gumam Ludiro seraya mema-

sukkan pedang peninggalan Sekar Pamikat, bekas ke-

kasih Lanang yang sudah menjadi wanita suci di da


lam Goa Malaikat.

"Lanang, apakah kau bertemu dengan Jaka Bego? 

Kami berangkat bersama menyusulmu, tapi dia meng-

hilang entah lari ke mana, dan aku sibuk mencarinya."

"Jaka Bego...?! O, ya... waktu aku berusaha mere-

but bunga Teratai Wingit ini, dia tahu-tahu muncul 

dan menyerobot bunga ini dari tangan Prabima. Ke-

mudian dia serahkan kepadaku, tapi... tapi dia ter-

tangkap oleh Peri Sendang Bangkai, dan tak tahu ba-

gaimana nasibnya sekarang..."

"Gila juga itu anak; tahu-tahu sudah terlibat uru-

san di Pulau Kramat. Tahu-tahu sudah jadi tawa-

nan...!" Ludiro bagai bicara sendiri. Lalu ia menatap 

Lanangseta dan berkata lagi:

"Kalau begitu, biar kuhadapi Prabima, dan kau se-

geralah menghadap Rama Sabdawana dengan bunga 

itu. Akan kuhadang Prabima kalau sampai ia berani 

melewati batas wilayah Bukit Badai ini. Pergilah sece-

patnya, Lanang...!"

"Baik, Paman. Hati-hati, Prabima sudah bertambah 

ilmunya, sebab ia sudah bersekutu dengan Peri Sen-

dang Bangkai."

"Sekali pun ia bersekutu dengan raja iblis pun aku 

tidak akan takut. Cambuk Naga tak pernah gentar 

menghadapi siapa pun, sejak di tangan Putri Ayu Se-

kar Pamikat sampai ke tanganku, tak pernah gentar 

sedikit pun..."

Sejak Ludiro mewarisi pusaka Cambuk Naga dan 

pedang Jalak Pati dari Sekar Pamikat, ia memang tak

pernah merasa takut kepada siapa pun. Apalagi ia te-

lah memakan lumut bercahaya dari sebuah goa, yang 

di luar kesadarannya ternyata lumut bercahaya itu 

membuat tubuhnya kebal terhadap senjata apa pun. 

Ini menambah Ludiro yang bertindak sebagai pengawal 

Lanangseta, sekaligus kepala keamanan keluarga Ki


rana, tak pernah mundur dalam menghadapi lawan di 

mana pun dan siapa pun orangnya.

Memang pedang Jalak Pati tidak seberapa keheba-

tannya namun Cambuk Naga yang bertengger di pun-

daknya itu, bukan sekedar cambuk kuda yang tak 

mempunyai kehebatan. Justru keunggulan Ludiro se-

lama ini terletak pada kehebatan cambuk itu. Jika 

cambuk itu digunakan, Ludiro tak pernah tahu bagai-

mana ia harus bergerak. Tetapi Cambuk Naga itulah 

yang seakan telah menuntun Ludiro untuk bergerak, 

memainkan beberapa jurus yang dimiliki Sekar Pami-

kat. Jadi, pada Cambuk Naga itu seakan roh Sekar 

Pamikat selalu mendampinginya.

Dulu, ketika Ludiro belum menjadi kebal dan belum 

mewarisi senjata pusaka dari Sekar Pamikat, ia mem-

punyai senjata andalan berupa pisau kecil. Mata pisau 

kecil itu adalah senjata rahasianya yang paling dian-

dalkan, di samping itu beberapa jurus yang menjadi 

unggulannya ialah Tendangan Dewa, Pukulan Hati 

Dewa, Tendangan Dewa Mimpi dan beberapa jurus 

yang menjadi simpanannya. Tetapi sejak ia menyan-

dang cambuk naga di pundaknya, ia jarang menggu-

nakan senjata rahasianya itu.

Jiwa pengabdian Ludiro sungguh dapat dipercaya, 

kesetiaannya begitu agung. Itulah yang membuat se-

lama ini Ludiro tidak pernah merasa hebat. Ia tetap 

menghormati Lanangseta, sebagai bekas kekasih putri 

asuhannya, ia juga masih merendahkan diri di hada-

pan Kirana maupun ayah Kirana, Rama Sabdawana. 

Dan kepada teman-teman lainnya, Ludiro yang sudah 

setengah umur itu bersifat sebagai pengayom yang tak 

pernah menyombongkan kekuatannya dalam mewarisi 

Cambuk Naga dan pedang Jalak Pati. Pembelaannya 

begitu besar, bahkan ia tak segan-segan menjadikan 

nyawanya sebagai taruhan jiwa pengabdiannya.


Kali ini, Ludiro sengaja menunggu kedatangan Pra-

bima seandainya Andini tidak dapat melumpuhkan 

pemuda sombong itu. Ludiro tidak tahu apa yang telah 

terjadi pada diri Andini dengan Prabima. Yang jelas, ia 

yakin kalau satu di antara mereka pasti akan melewati 

perbatasan Bukit Badai itu. Dan Ludiro siap menung-

gu dari atas pohon. Jika Andini yang datang, pasti di-

alah yang menang, tapi jika Prabima yang muncul, be-

rarti Andini kemungkinan besar mati terbunuh oleh 

Prabima.

Dalam keremangan senja, mata Ludiro masih tajam 

memandang daerah sekeliling dari atas pohon. Me-

mang enak mengawasi dari atas pohon, tempat jauh 

pun masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Ia 

hampir saja merasa bosan menunggu kemunculan An-

dini atau Prabima. Tetapi suatu gerakan di sebelah sa-

na membuat Ludiro menjadi bersemangat lagi. Ada ge-

rakan di sana, gerakan dua orang yang belum jelas 

siapa mereka.

Dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menim-

bulkan suara, Ludiro mendekati tempat yang mencuri-

gakan itu. Samar-samar ia mendengar suara seorang 

lelaki berkata:

"Tak jauh lagi tempatnya. Kita masuk ke sana sete-

lah malam tiba. Jadi kita bisa beristirahat dulu di si-

ni..."

Berdebar hati Ludiro mendengarnya. Suara itu cu-

kup dikenal; tak salah lagi, itu suara Prabima.

"Usahakan kau membuat sibuk Lanangseta dan 

orang-orangnya. Pancing dia ke suatu tempat, dan aku 

akan berusaha mencuri bunga teratai warna ungu itu. 

Kalau calon istri Ladang memergokinya, akan kubu-

nuh sekalian dia...!"

Sekali lagi jantung Ludiro berdebar dalam kehera-

nan. Seingatnya suara perempuan yang baru saja di


dengarnya itu adalah suara Andini. Tetapi apakah An-

dini sekarang sudah berpihak kepada Prabima? Pikir 

Ludiro. Mengapa Andini jadi memusuhi Lanangseta? 

Bukankah dia bekas kekasih Ekayana, adik kembar 

Lanangseta itu?

"Oo... ya, aku tahu," kata Ludiro dalam hati. "Pasti 

ini siasat si keparat Prabima itu. Dia berhasil mengha-

sut dan mempengaruhi Andini. Kebetulan Andini me-

mang kecewa karena Lanangseta ingin kawin dengan 

Putri Bukit Badai. Ah, memang tak salah lagi kalau 

mereka kini bersatu untuk menyerang Lanangseta dan 

keluarga Griya Teratai Wingit!"

Dengan gerakan yang sangat pelan, Ludiro semakin 

mendekati mereka. Ia naik ke atas pohon dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuh yang semula men-

jadi milik Sekar Pamikat, kini telah merasuk dalam di-

rinya sejak Cambuk Naga diwariskan kepadanya. Le-

wat atas pohon yang berdaun rimbun itu Ludiro dapat 

melihat jelas apa yang dilakukan Andini bersama Pra-

bima. Ludiro tidak terburu-buru bertindak, melainkan 

ia ingin tahu sampai sejauh mana pengaruh Prabima 

menguasai jiwa Andini.

Andini duduk bersandar pada batang pohon. Pra-

bima masih berdiri di depannya sambil memeriksa 

keadaan di sekitar mereka. Ia tak tahu ada sepasang 

mata mengintai dari balik kerimbunan daun di atas 

pohon. Prabima ikut duduk di samping Andini dan 

berkata:

"Aku belum habis pikir, mengapa kau mencintai 

Lanangseta yang berjiwa kerdil itu? Bukankah di jagad 

raya ini banyak pemuda yang lebih tampan dan lebih 

sempurna ketimbang Lanangseta?"

Andini menghela nafas. Ia bermain sehelai rumput 

dengan mata bagai menerangi memandangi rumput 

itu.


"Semula aku adalah kekasih adiknya..."

"Adik Lanangseta?!"

"Ya. Ekayana namanya," Andini bicara dengan nada 

sedikit tertekan, mungkin karena pedih hatinya. Ia 

menyambung lagi:

"Aku sudah berkorban untuk Ekayana. Aku lari dari 

keluargaku mengikuti Ekayana, yang pada waktu itu 

diculik seseorang. Lalu dalam pencarianku itu, aku 

bertemu dengan Lanangseta yang ternyata kakak dari 

Ekayana. Tetapi demi melihat Lanangseta, hatiku men-

jadi iri, ingin merenggut kedua saudara kembar itu..."

"O, begitu keinginanmu?"

Andini tersipu. "Mungkin aku memang serakah. Ta-

pi jika aku melihat Lanangseta, aku seperti menjadi 

miliknya juga. Jika aku dicium Ekayana, aku merasa 

dicium olehnya juga. Tetapi... sekarang kenyataannya 

menjadi lain."

"Lanangseta sudah punya calon istri, begitu?"

Sebaris desah terhempas lewat mulut Andini.

"Kepahitanku bukan hanya itu saja. Itu yang kedua. 

Tapi yang jelas, hatiku mulai terluka sejak Ekayana 

melarikan gadis Cina. Dan ia jatuh cinta dengan Yin 

Yin, putri seorang Laksamana dari negeri Tiongkok. 

Aku dibuangnya begitu saja. Padahal kami sudah tu-

nangan. Lalu, aku lari kepada Lanang untuk menga-

dukan nasibku. Tak tahunya ada orang berkerudung 

hitam yang ingin memperkosaku..." Andini melirik Pra-

bima, sebab ia tahu, Prabima itulah yang berkerudung 

hitam dan ingin memperkosanya, setelah Prabima 

memperoleh bunga teratai yang dicurinya dari rumah 

Kirana. Prabima mendengar hal itu hanya tersenyum 

malu.

"Dan kau berhasil diperkosa pemuda itu?" sindir 

Prabima.

Andini menjawab, "Sayang, pemuda itu cukup bodoh. Ia tak berhasil memperkosaku, hanya... hanya 

merayapkan tangannya ke ujung birahiku..."

"O, begitu? Jadi pemuda itu bodoh, ya?"

Andini tertawa geli sendiri. Kemudian ia berkata, 

"Lalu aku bertemu dengan Lanangseta. Kuceritakan 

tempat yang disebut oleh orang yang ingin memperko-

saku itu. Pulau Kramat. Dan Lanang pun menuju Pu-

lau Kramat. Aku ikut dengannya. Tetapi, dalam perja-

lanan ke sana, aku selalu berdebar-debar jika meman-

dang Lanangseta, terutama, memandang bibirnya. En-

tah ada daya tarik apa di bibir Lanangseta itu sehingga 

aku benar-benar luluh, bahkan... sikapku seperti ma-

can betina yang kelaparan dan kehausan di padang 

pasir. Aku benar-benar kasmaran kepadanya. Aku 

nyaris tak dapat mengendalikan nafsuku sendiri..."

"Lalu kau bertemu denganku dan... masihkah se-

perti kau bertemu dengan Lanangseta?!" pancing Pra-

bima.

Andini memandang Prabima dalam keremangan 

senja. Ia masih bisa melihat jelas betapa menggairah-

kan juga bibir Prabima yang tampak selalu basah dan 

menyegarkan itu. Ia memperhatikan wajah Prabima 

yang tampan dan imut-imut, seakan sebuah genangan 

air sendang yang bening terhampar di wajah itu. Kese-

garan dan kesejukan ada di sana. Andini sempat kelu 

melihat bibir Prabima begitu menggairahkan.

Prabima memandang Andini lekat-lekat. Ia berkata 

dalam desah bisikan:

"Apakah kau masih punya gairah yang tertunda 

itu?"

"Entah," jawab Andini. "Yang ku tahu, kau ternyata 

jauh lebih menarik dari Lanangseta, Prabima. Aku me-

lihat kesegaran lain di bibirmu, dan... sentuhan saat 

kau memperkosaku waktu itu, bagai terasa menjalar di 

sekujur tubuhku."



"Kau ingin aku menyelesaikan tugasku yang dulu 

tertunda itu?" desak Prabima. Tangannya mulai me-

rayap ke dada Andini. Tetapi Andini tidak menepiskan 

tangan itu. Ia hanya mendesah kecil dan berkata bagai 

sebuah rengekan:

"Aku benar-benar gila birahi... Apakah kau sanggup 

menyembuhkannya, Prabima?"

"Akan kubuktikan, asal kau bersedia..."

"Kalau aku tidak bersedia?"

"Akan kupaksa..."

Andini tertawa kecil. "Kalau begitu, paksalah aku. 

Aku akan berpura-pura tidak bersedia supaya aku 

memaksaku dengan kebuasanmu. Kau bisa sebuas 

singa, kan?"

Prabima semakin menjadi. Mencium leher Andini 

dengan nafas yang memburu. Andini hanya menggeliat 

dalam erangan yang sangat tipis. Ia pun memberikan 

serangan balasan dan tak kalah gesit dengan Prabima.

"Apakah begini kurang ganas...?" bisik Prabima.

"Aku ingin lebih buas lagi, Prabima. Oh... lakukan-

lah...!"

Ludiro yang memandang dari atas pohon mengeram 

dongkol. Ia berkata dalam hati, "Benar-benar perem-

puan jalang dia. Sungguh di luar dugaan semula! Du-

lu, ketika aku bertemu dengan Andini yang pertama 

kali, kusangka ia perempuan yang agung dalam kecan-

tikannya. Ternyata sekarang ia tak lebih dari seekor 

singa betina. Benar-benar singa betina yang jalang...!" 

Ludiro menggeram-geram melihat Andini semakin 

menjadi gila ketika Prabima menyerangnya dengan 

buas dan kasar.

Ludiro tidak bisa menahan diri terlalu lama di atas 

pohon, ia segera melompat turun dan membuat kedua 

orang bercumbu itu terlonjak kaget. Andini segera me-

raih gaunnya dan mengenakan secepatnya. Prabima



segera menutup bagian tubuhnya yang sudah terlanjur 

terbuka.

"Paman Ludiro...?! Kau ada di sini, rupanya?" Andi-

ni berlagak ramah, namun wajahnya menjadi pucat.

"Ya. Sudah sejak tadi aku di atas pohon itu, dan 

sudah puas aku melihat kebusukan bercampur den-

gan bangkai! Kau dan Prabima, Si Keparat itu!" Ludiro 

menuding Prabima dengan berani.

Prabima memerah mukanya. Selain gejolak bira-

hinya terputus, juga mendengar ucapan Ludiro bagai-

kan menembus hatinya. Karena itu Ludiro segera am-

bil posisi ketika Prabima menggeram dengan menge-

palkan kedua tangannya:

"Kurobek mulutmu yang kotor itu, Bangsat!"

"Prabima...! Jangan!" teriak Andini. "Dia telah berja-

sa menolongku dan..."

"Dan sekarang kau menjadi musuhku, Andini! Tak 

ada jasa, tak ada hutang budi baik lagi! Kau sudah te-

rang-terangan menjadi sekutu setan!"

"Paman, aku sebenarnya..." Andini ingin menje-

laskan, tapi Ludiro menyerobot kata:

"Aku tahu, sekarang kau menjadi perempuan ja-

lang! Itu yang ingin kau katakan padaku, bukan? Dan 

aku siap membunuh perempuan jalang semacam kau, 

Andini. Ketahuilah, perempuan seperti kau tidak ada 

harganya hidup di dunia. Sebaiknya kau kukirim ke 

neraka sebelum kau ganggu kedamaian Lanangseta 

dengan istrinya...!"

"Jangan salahkan aku kalau aku terpaksa meng-

hancurkan mulutmu, Ludiro...!" teriak Andini yang tak 

tahan mendengar penghinaan Ludiro. Ia segera me-

layang dengan cepat menyerbu Ludiro dengan suatu 

tendangan, tetapi Ludiro sigap. Ia menangkis tendan-

gan Andini dan segera bersalto ke belakang, karena 

Prabima menyerangnya juga dengan kaki kanannya.


"Mampus kau, Ludirooo... hiaaat...!"

Prabima menyusul gerakan Ludiro. Kedua tangan-

nya memukul dengan cepat, namun Ludiro berhasil 

menghindar. Kepala Ludiro miring ke kiri, pukulan 

tangan kanan melesat ke tempat kosong. Dan pukulan 

tangan kiri Prabima ditangkisnya dengan lengan. Sete-

lah itu secepatnya tangan yang habis dipakai untuk 

menangkis itu melesat ke arah pinggang Prabima. 

Mengena telak, membuat Prabima sedikit menyeringai 

kesakitan. Ia segera melompat, menjauhi Ludiro.

"Andini, serang dia bersama-sama...! Dia adalah 

penghalang kita...!" teriak Prabima.

Andini membuka jurus andalannya. Tangannya te-

rentang yang satu ke atas, yang satunya ke bawah. 

Tubuhnya meliuk dengan kaki berjingkat. Ia seperti 

seorang sedang menari. Ludiro sempat terkesima seje-

nak, namun buru-buru menyadari kalau itu hanya se-

buah tipuan pusat pikiran. Hanya saja, ia terlambat 

bergerak. Ketika Prabima melancarkan pukulan jarak 

jauhnya, dengan tangan terhentak ke depan keduanya 

dan pekik keganasan melengking: "Hiaaatt...!"

Ludiro terpental ke belakang dan membentur po-

hon. Keseimbangan tubuhnya bagaikan hilang. Namun 

ia segera bergegas bangkit dan berdiri dengan kedua 

kaki merendah, tangan keras tersulur ke depan, yang 

satu menekuk ke belakang dengan telapak tangan 

menghadap ke depan.

Prabima sempat terhenyak sejenak. Biasanya orang 

yang terkena pukulan tenaga dalamnya tak mampu la-

gi berdiri, bahkan dadanya akan bolong seketika. Tapi 

Ludiro ternyata tidak. Ludiro hanya terpental ke bela-

kang lalu sigap berdiri menunggu serangan berikut-

nya.

Andini yang seperti orang menari itu makin lama 

makin dekat dengan Ludiro, kemudian dengan kibasan


cepat tangannya menghentak ke depan. Pukulan Bida-

dari Senja dilancarkan ke arah Ludiro. Secepatnya Lu-

diro menarik kedua tangannya ke pinggang dan me-

nyodokkan kedua telapak tangan itu ke depan dengan 

hentakan kuat. Lalu segumpal asap putih menyembur 

dari dalam telapak tangannya. Asap putih itu berta-

brakan dengan kekuatan pukulan Bidadari Senja. Ada 

letupan kecil yang menyemburkan bunga api pada saat 

itu. Dan tubuh Ludiro terguncang sesaat, sementara 

tubuh Andini diam tak bergerak.

"Kau tak akan mampu menandingi pukulan Bidada-

ri Senjaku, Ludiro," kata Andini dengan sinis.

"Andini," kata Prabima. "Cepat selesaikan orang itu, 

dan kita mulai lagi kemesraan kita yang tertunda ta-

di..."

Andini mengangguk dan tersenyum. "Ya. Aku san-

gat setuju. Kita bunuh dia, dan... kau menjadi singa 

lapar lagi, sedangkan aku akan menjadi mangsamu... 

hi, hi, hi..." Andini tertawa manja. Ludiro segera me-

lompat menerjangnya.

Dalam keadaan bersalto ke depan, kaki Ludiro ber-

hasil menendang Andini yang tengah membuka jurus 

tarian Bidadari Manja.

"Aaah...!" Andini memekik dengan tubuh terlempar 

ke belakang. Ia ditangkap Prabima, sehingga tubuhnya 

tak jadi membentur batang pohon.

"Kau tidak boleh diberi kesempatan, rupanya! Bera-

ni kau menendang Andini, berarti kau cari mampus...!" 

geram Prabima yang kemudian segera melancarkan 

pukulan sambil tubuhnya melayang lurus ke depan. 

Ludiro melompat tinggi, bersalto kembali. Kakinya be-

rada di atas tubuh Prabima yang meluncur cepat itu. 

Kaki Ludiro segera menghentak ke bawah dan menge-

nai punggung Prabima dengan telak. Prabima tersung-

kur mencium tanah. Ludiro tak sempat menerjangnya



lagi, sebab Andini menyerang dari arah lain. Kali ini ia 

melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi, yang bi-

asanya mampu membuat hangus tubuh lawannya lalu 

segera membusuk. Namun kali ini, Ludiro hanya ter-

pental lagi walau mengenai dadanya. Ludiro tidak ce-

dera sedikit pun. Ia hanya terpelanting ke belakang, 

dengan dada masih utuh tanpa bekas luka. Andini pe-

nasaran. Dalam keadaan Ludiro terjungkal ke tanah, ia 

melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi. Pukulan itu 

bagai sebuah angin yang menghempas di lengan Ludi-

ro. Namun anehnya, tak ada luka sedikit pun di lengan 

itu. Ludiro hanya merasa tertahan waktu hendak 

bangkit kembali.

"Dia tak mempan senjata dan pukulan apa pun, 

Prabima!" teriak Andini. Prabima segera mencabut pe-

dangnya. Ia menyerang dengan pedang hendak ditu-

sukkan ke tubuh Ludiro. Waktu itu Ludiro baru saja 

berdiri, tahu-tahu ujung pedang Prabima menghentak 

kuat di lehernya. Tetap pedang itu tidak mampu me-

nembus leher Ludiro, bahkan menggoreskan luka pun 

tak mampu.

Ludiro sengaja tertawa sombong untuk memancing 

kepenasaranan hati lawan-lawannya. Andini mendeka-

ti Prabima dan berbisik, "Dia memang kebal senjata 

apa pun, Prabima!"

"O, ya...?" Prabima tersenyum tipis. Lalu ia men-

gambil sebuah cincin dari saku celananya. Cincin itu 

terbuat dari batu putih, seperti berlian, berbentuk ke-

rucut. Ujungnya tajam. Dan Prabima mengenakannya 

seraya berkata:

"Apakah dia akan mampu menahan cincin Cupu 

Gina ini?"

"Ya, ya... cepat serang dia, Prabima. Ooh... aku su-

dah tak tahan untuk meresapi adegan tadi. Ayolah...!" 

rengek Andini dengan manja.


"Cupu Gina membelah karang...!" seru Prabima se-

raya menyerbu Ludiro dengan cincin di tangannya. 

Ludiro tak tahu apa kehebatan cincin Cupu Gina itu. 

Namun ia tetap menghindar pukulan Prabima dengan 

kaki dihentakkan ke atas, dan tangan Prabima terpen-

tal ke atas. Bagian dadanya terbuka, lalu kaki kiri Lu-

diro segera menghantam dengan tangan kiri, seperti 

sebilah golok menebas bambu.

"Huughh...!" Prabima mengalami sesak nafas. Ludi-

ro hendak memukul lagi, tetapi punggungnya diten-

dang oleh Andini dengan kuat. Ludiro terjengkang da-

lam keadaan melintir. Pada saat itu, tangan Prabima 

yang mengenakan cincin mengibas ke bawah, tepat 

mengenai perut Ludiro. Dan pada saat itulah Ludiro 

menjerit sekuat tenaga. Perut itu robek panjang dan 

mengeluarkan darah kental.

"Berhasil...!" teriak Andini dengan girang. "Ia berha-

sil terluka dengan cincinmu...!"

"Serang terus...!" teriak Prabima seraya kakinya 

bergerak keras bagai menendang bola. Tendangan itu 

mengenai wajah Ludiro sehingga Ludiro menjerit dan 

terpental beberapa langkah.

"Aaahhh...!" jeritan Ludiro melengking tinggi. Ia be-

rusaha bertahan memegangi perutnya yang robek. An-

dini menyerangnya lagi dengan tendangan Bidadari 

Manja. Tendangan itu mengenai dada Ludiro, sehingga 

Ludiro sempat terbatuk-batuk tak kontrol diri. Ia beru-

saha dengan sekuat tenaga untuk bangkit. Pada waktu

itu, Prabima segera melancarkan pukulan bercincin 

Cupu Gina ke arah punggung Ludiro. Namun pukulan 

itu meleset, karena Ludiro berguling sambil mencabut 

Cambuk Naga dari punggungnya.

"Cambuk Naga...!" teriak Andini ketakutan. "Hati-

hati, Prabima... Ia mulai menggunakan Cambuk Na-

ga...!"


Prabima tak sempat menyadari kata-kata Andini. Ia 

sudah semakin bernafsu membunuh Ludiro dengan 

cincinnya. Ia menyerang Ludiro dengan hentakan tan-

gan mengibas lagi, tetapi: "Taaarr...!" Cambuk Naga 

melecut tangan Prabima, dan Prabima menjerit: 

"Aaaaahh...!" Pergelangan tangan itu nyaris putus to-

tal. Andini segera menarik Prabima, dan segera mem-

bawa lari pemuda itu dengan tangan terkuak ngeri.

"Tangguhkan dulu, Prabima...! Tunggu saat yang 

baik...!" Andini kabur bersama Prabima, dan Ludiro 

meringis kesakitan.

***

4

Darah Prabima banyak yang keluar. Wajahnya su-

dah menjadi pucat Andini sangat cemas. Ia mengguna-

kan tangannya yang bertenaga dalam untuk menopang 

tubuh Prabima. Ke mana mereka lari? Tak lain ialah 

kembali ke Pulau Kramat.

"Nyai Katri sanggup memulihkan lukaku ini. Pulih 

tanpa bekas. Bawa aku kembali ke Pulau Kramat dulu, 

nanti kita kembali menyerang mereka, Andini."

Tak ada pilihan lain bagi Andini, kecuali menuruti 

perintah Prabima. Hatinya yang gampang luluh oleh 

ketampanan itu membuat Andini merasa sayang kalau 

sampai Prabima kehabisan darah dan mati. Ada sesua-

tu yang diharapkan dari Prabima, yaitu kepuasan. Te-

tapi, jika Prabima mati, Andini sulit mencari singa la-

par yang ganas seperti Prabima. Sebab itu, ia berusaha 

keras untuk menolong Prabima.

Tetapi ketika sampai di Pantai, Andini dan Prabima 

sama-sama terbengong dalam kebingungan. Pulau 

Kramat itu hilang. Tak terlihat gugusannya walau seti


tik pun. Hari sudah menjelang petang. Ada sinar bulan 

yang mengintip dari balik mega, tapi pulau itu tetap ti-

dak kelihatan.

"Ke mana pulau itu, Prabima?"

"Entahlah. Aku sendiri heran," jawab Prabima den-

gan lemas. Matanya yang sayu memandang kian ke 

mari, dan pulau itu tidak diketahui di mana letaknya. 

Lautan kosong, ombak bergulung rendah.

"Mungkin kita salah alamat. Mungkin bukan di pan-

tai ini seharusnya kita berdiri." kata Prabima.

"Tak mungkin," sanggah Andini. "Aku ingat, di pan-

tai ini aku nyaris merenggut kejantanan Lanangse-

ta...."

"Yaaah... seingatku memang begitu. Inilah pantai 

waktu kita menyeberang bersama tadi. Tapi... pulau 

itu, oh... sungguh ajaib. Apa-yang terjadi di pulau itu 

sebenarnya?" Prabima berkata dengan lemah. Darah 

sudah banyak yang mengalir. Rasa sakit akibat tan-

gannya nyaris terpotong itu sangat menyiksa diri Pra-

bima. Pergelangan tangan itu sedikit lagi akan putus 

sama sekali. Untung ada satu urat yang belum terpo-

tong sehingga masih bisa dipakai tambatan telapak 

tangan.

Apa yang terjadi dengan Pulau Kramat, agaknya tak 

seorang pun tahu. Bahkan Jaka Bego yang berada di 

pulau itu pun tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia ti-

dak tahu kalau pulau tersebut hilang dari pandangan 

mata orang-orang yang berada di pantai.

Jaka Bego hanya menyadari bahwa dirinya sudah 

dua malam berada di dalam kamar Nyai Katri. Ia dija-

dikan kuda, budak nafsu Nyai Katri yang sangat terka-

gum-kagum oleh kejantanan Jaka Bego. Suatu kejan-

tanan yang baru kali itu ditemui Nyai Katri sepanjang 

hidupnya. Nyai Katri sendiri tidak menyadari bahwa 

kejantanan yang ada pada Jaka Bego itu telah mem


buat dirinya lupa segala-galanya. Ia telah menjadi se-

seorang yang tergantung kepada Jaka Bego, dan ia te-

lah menjadi seseorang yang tunduk meratap di bawah 

kaki Jaka Bego. Namun, posisinya sebagai penguasa 

Pulau Kramat tetap dipertahankan, sehingga sekali 

pun ia sangat terbuai dan luluh hatinya kepada Jaka 

Bego, namun ia tetap berusaha bertindak sebagai Sang 

Penguasa. Jaka Bego tetap bersikap sebagai kuda yang 

selalu menurut perintah majikannya.

Bahkan, dalam pengaruh kehebatan Jaka Bego, kali 

ini Nyai Katri bersedia memijit punggung Jaka Bego 

yang mengeluh kecapekan. Nyai Katri mengurut pung-

gung hingga pinggang Jaka Bego dengan lembut na-

mun mantap. Udara malam yang menghembuskan ke-

dinginan tidak dihiraukan oleh mereka. Pakaian-

pakaian yang berserakan di lantai tak pernah sempat 

dipungut oleh mereka. Segalanya dibiarkan terbuka 

polos, dibiarkan berlalu dalam kelambu birahi yang 

meledak-ledak tiada hentinya. "Kau merasa dingin, Ja-

ka?" bisik Nyai Katri seraya kembali menyusupkan bi-

birnya ke tengkuk kepala Jaka Bego.

"Ya. Dingin."

"Kita buat hangat saja malam ini, seperti malam 

kemarin, Jaka. Ooh..." Nyai Katri mengusap 

pungggung Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Ke-

palanya bersandarkan pinggang Jaka Bego yang mene-

lungkup di tempat tidur itu.

"Jaka... buatlah kamar ini menjadi hangat kembali."

"Sudah dua malam tanpa berhenti, Nyai. Apakah 

Nyai tidak bosan padaku?"

"Bosan?!" Nyai Katri tertawa mengikik. "Bersamamu 

aku tak akan bosan, Jaka. Kau benar-benar pria jan-

tan yang kuharapkan selama ini. Hanya kau satu-

satunya lelaki yang bisa menandingi ku, bahkan sam-

pai dua malam tanpa berhenti kau masih sanggup menunjukkan kejantananmu. Ooh... sungguh aku bisa 

tergila-gila kepadamu, Jaka Bego. Kau punya senjata 

yang jauh lebih ampuh, jauh lebih sakti dari Prabima 

maupun pria lain yang pernah tidur bersamaku. Pe-

dangmu, adalah pedang berkekuatan dahsyat yang 

mampu menembus dinding karang tebal, yang lebih 

panjang dari pedang lelaki lainnya. Dan aku sudah la-

ma merindukan pedang sehebat itu. pedang yang 

mampu menembus dinding karang, bahkan aku yakin 

mampu menembus pegunungan es di dataran Tiong-

kok." Nyai Katri berceloteh sambil mengusap-usap ku-

lit punggung Jaka Bego, sesekali merayap dengan nak-

al sehingga Jaka Bego tertawa kegelian.

"Nyai tidak capek?" kata Jaka Bego sewaktu Nyai 

Katri menyerangnya dengan gigitan kecil di paha. Na-

fas perempuan cantik itu mulai berpacu tak teratur 

kembali.

"Mungkin aku tak akan pernah capek berlayar ber-

samamu di kamar ini, Jaka. Ayolah, kita mengarungi 

lautan sorgawi lagi..."

Jaka Bego tidak menolak. Semangatnya masih tetap 

seperti semula pertama ia masuk ke kamar tersebut. 

Dan Nyi Katri sendiri mengakui bahwa kekuatan pacu 

yang ada pada Jaka Bego bagai tak pernah berkurang 

sedikit pun. Ia selalu mengerang dalam kekagumannya 

menerima ketahanan Jaka Bego dalam mendayung 

sampan keindahan itu.

Sebenarnya, pada saat-saat mereka berlayar itulah 

Pulau Kramat menjadi hilang. Tak seorang pun bisa 

melihat di mana letak Pulau Kramat, karena penguasa 

tunggal pulau itu sedang dalam ayunan gelombang 

asmara yang menggila. Jerit kemesraan, pekikan as-

mara, menggema di seluruh pulau itu. Jeritan seorang 

perempuan yang di puncak khayalan itulah yang 

membuat Pulau Kramat hilang dari pandangan mata.


Jelas dari suara jeritan dan pekikan asmara Nyai Katri 

ternyata mempunyai pengaruh ajaib yang mengagum-

kan. Pulau bisa hilang, dan air laut menjadi rata.

Tetapi apabila Nyi Katri terengah dan lemas di 

samping Jaka Bego, pulau kembali nyata. Terlihat je-

las. Menggunduk hitam dalam terpaan cahaya rembu-

lan. Lalu pada saat seperti itulah, Andini dan Prabima 

dapat melihat pulau itu ada di seberang mereka. Sekali 

pun mereka sangat kagum dan terheran-heran, namun 

semua rasa itu mereka pendam di hati. Prabima me-

nyuruh Andini membawanya ke pulau itu sebelum pu-

lau tersebut hilang kembali.

Andini menggunakan ilmu Badai Es, yang mampu 

membuat ombak lautan menjadi beku. Licin seperti es, 

dan salju pun turun bertaburan. Dengan ilmu Badai 

besi itu, ia mampu berjalan di atas permukaan air 

yang membeku, yang menjadi padang es keras dan 

dingin. Prabima masih dipapah Andini pada waktu 

menyeberangi lautan yang membeku itu.

Malam semakin tinggi, kesunyian mencekam. Udara 

es yang dingin mencekam tulang itu menyelusup ma-

suk ke kamar Nyi Katri. Namun perempuan itu masih 

memeluk Jaka Bego sehingga udara dingin itu tak 

sempat terasa. Kehangatan masih meresap ke tulang 

mereka. Keringat masih membanjiri tubuh mereka. Se-

kali pun keadaan mereka bagaikan patung kembar 

yang lengket, namun detak-detak jantung mereka se-

perti irama musik penggugah birahi.

Berjam-jam mereka berlayar dengan kemegahan ra-

sa, berulangkali Nyai Katri naik ke puncak gunung 

kemesraan, namun baru sebentar mereka berlabuh, 

Nyai sudah mengajaknya berlayar lagi. Jaka Bego keli-

hatan tetap segar bugar, dan Nyai yakin semangatnya 

mendayung sampan masih kekar, masih seperti pemu-

la. Namun rencana berlayar terpaksa batal.


Di luar, ada suara memanggil-manggil. Suara seo-

rang perempuan.

"Nyaiiii....! Nyai, buka pintunyaaaa...!"

Nyai Katri terperanjat kaget. Ia segera bergegas 

mengenakan pakaiannya, demikian juga Jaka Bego. 

Hanya saja, waktu itu Jaka Bego salah ambil, gaun 

Nyai yang dipakainya menutup sebagian tubuhnya. 

Nyai Katri menjadi kebingungan mencari pakaiannya.

"Hei, itu pakaianku, Jaka....! Ah, kamu jadi linglung 

begitu..." Nyai menertawakan Jaka Bego, lalu Jaka Be-

go menyerahkan pakaian Nyai Katri.

"Tolong pakaikan ke badanku gaun itu..." perintah 

Nyai. Dan Jaka Bego menurut saja. Ia mengenakan 

pakaian pada tubuh Nyai Katri yang kelihatan masih 

menggairahkan itu.

"Siapa suara yang memanggilku, itu ya?"

"Saya kira itu suara perempuan, Nyai. Mungkin 

anak buah Nyai Katri," kata Jaka Bego.

"Bukan. Anak buahku ada tujuh yang perempuan, 

dan itu sudah mati semua..."

Suara teriakan di luar semakin jelas, "Nyaaaaiii...! 

Buka pintuuuu....!"

Nyai Katri bergegas lebih dulu keluar dari kamar. 

Jaka Bego segera mengenakan pakaiannya. Namun ia 

sempat meneliti kamar itu beberapa saat. Banyak sen-

jata pusaka di sana, bahkan barang-barang antik atau 

benda-benda aneh juga ada. Mulanya Jaka Bego ingin 

mencuri satu benda yang ia sukai, yaitu kalung yang 

terbuat dari batu-batuan warna merah delima, tapi ia 

takut ketahuan Nyai Katri, takut dihukum. Maka ia 

tinggalkan benda itu, dan ia bergegas keluar dari ka-

mar.

Pada saat ia keluar dari kamar, rupanya Prabima 

dan Andini sempat memergoki keadaan Jaka Bego. 

Prabima tak sempat memberi ulasan kata apa pun, ka


rena tubuhnya sangat lemas dan ia jatuh dalam pang-

kuan Nyai Katri. Tetapi Andini bergegas mendekati Ja-

ka Bego dalam keheranan. Andini tidak mengenal Jaka 

Bego, tetapi ia tahu bahwa Jaka Bego adalah teman 

Lanangseta yang membantu menyerobot bunga teratai 

Wingit dari tangan Prabima. Andini juga tahu, bahwa 

Jaka bego tertawan oleh Nyai, tetapi kenapa ia keluar 

dari kamar itu setelah Nyai? Apa yang mereka laku-

kan?

"Hei, apa yang kaulakukan di kamar itu bersama 

Nyai?" tanya Andini bagai menyelidik.

"Tidak apa-apa," jawab Jaka Bego berwajah takut.

"Bohong! Lihat, kau memakai celana terbalik tuh...!"

Jaka Bego membelalak kaget dan mulai tersenyum 

malu, setelah menyadari bahwa ia mengenakan celana 

dalam keadaan terbalik. Ia jadi salah tingkah, namun 

Andini mendesak Jaka Bego.

"Kau telah berbuat zinah dengan Nyai, ya?"

"Tidak," jawab Jaka Bego ingin menyanggah.

"Bohong...! Kau pasti telah berbuat tak senonoh 

dengan Nyai Katri. Iya, kan?"

"Tidak. Aku cuma disuruh Nyai..."

"Disuruh.... ya disuruh begituan..."

"Gila...!" geram Andini. "Beruntung sekali kau!"

"Malahan Nyai yang merasa beruntung," sanggah 

Jaka Bego dengan kata-kata polos.

Nyai Katri mendekati Andini sebelum Andini sempat 

mengatakan sesuatu lagi, Nyai langsung bicara pada 

Andini:

"Apakah Lanangseta yang memenggal lengan Putra 

Tunggal itu?"

"Bukan, Nyai. Tapi... Ludiro, pengawal Lanangseta 

yang mencegat kami di perbatasan Bukit Badai."

"Kau juga dicegatnya?"

"Ya. Saya... saya telah bersatu dengan Prabima untuk menyerang Lanangseta, Nyai. Saya punya tujuan 

sendiri."

"O, bagus sekali...!" Nyai Katri manggut-manggut.

"Bahkan kalau boleh, saya ingin bersatu dengan 

Nyai juga," kata Andini yang membuat Jaka Bego ter-

bengong sejak tadi.

"Kau tidak salah. Siapa namamu?"

"Andini..."

"Kau diserang pengawal Lanangseta pada saat apa?"

Andini agak bingung untuk menjelaskan yang se-

sungguhnya. Tetapi karena Nyai berdiri dengan me-

mandangnya yang seakan menuntut kejujuran, maka 

Andini pun menjawab:

"Saya... saya dan Prabima sedang... sedang ber-

cumbu, Nyai!"

"Biadab! Orang itu harus dimusnahkan juga. Tapi 

sekarang, ikutlah aku membawa Prabima ke ujung pu-

lau..."

"Bagaimana kalau tawanan ini saja, Nyai. Saya ca-

pek!"

"Tidak!" jawab Nyai tegas. "Tenaganya khusus un-

tukku. Kau harus membantu membawa Prabima ke 

ujung pulau."

Andini tak dapat membantah lagi. Sekali pun ia 

bersungut-sungut karena ingin beristirahat, namun ia 

tetap membantu mengangkat Prabima keluar rumah.

"Kenapa ia harus diobati di sana, Nyai?" tanya An-

dini.

"Di sana ada pohon yang daunnya bisa dipakai un-

tuk menutup luka separah ini, jika daun itu dikenakan 

sinar bulan pada saat menempel di luka. Daun itu dan 

sinar bulan itu, merupakan perpaduan yang cukup 

hebat jika mendapat penyaluran hawa murni. Dalam 

sekejap luka ini akan membaik dan tak meninggalkan 

bekas..." tutur Nyai Katri sambil berjalan ke tempat


yang dimaksud. Prabima tak dapat berbuat apa-apa 

kecuali melemas dalam erangan di ambang ajal.

Ketika mereka sampai di ujung pulau yang dimak-

sud Nyai, yaitu di tepian pantai, Prabima digeletakkan 

begitu saja. Nyai Katri memetik daun berbulu, war-

nanya hijau tua, lebarnya seukuran telapak tangan 

manusia dewasa. Daun itu ditempelkan pada luka ter-

potong di pergelangan tangan Prabima. Cahaya rembu-

lan menyinari ketiga sosok manusia itu. Tetapi, tiba-

tiba Nyai Katri merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia 

segera menyuruh Andini pulang.

"Andini, kau pulanglah ke puri, dan jaga pemuda 

kurus kerempeng itu. Ia bernama Jaka Bego, dan me-

mang bego alias tolol. Tetapi aku khawatir kalau-kalau 

dia melarikan diri. Nah, ke sanalah. Jaga dia jangan 

sampai melarikan diri. Aku akan kembali membawa 

Prabima dalam keadaan sehat. Dan... kau boleh me-

lanjutkan cumbuanmu dengannya..."

Andini mengangguk, lalu segera pergi meninggalkan 

Nyai Katri yang tengah berusaha mengobati Prabima. 

Dalam benak Andini terbayang khayalan indah bersa-

ma Prabima jika pemuda ganteng itu telah sembuh. 

Debar-debar hati Andini membuat nafas birahinya se-

sekali melonjak di sela khayalan. Ia berharap, mudah-

mudahan Nyai Katri tidak sampai pagi sudah memba-

wa pulang Prabima dalam keadaan sehat. Tak tahan 

rasanya Andini ingin cepat bercumbu dengan Prabima, 

sebab sekilas bayangan pada waktu Ludiro belum ha-

dir di antara mereka, masih melekat di hati Andini dan 

menghasilkan desiran-desiran lembut yang menggoda 

hati wanitanya.

Sewaktu Andini masuk ke rumah panjang itu, ia ja-

di kebingungan karena Jaka Bego sudah tidak ada di 

tempat, Andini berseru:

"Jaka Begoooo....! Jaka Bego di mana kamu,


hah....?!"

Andini tidak memperolah jawaban. Gawat! Pasti Ja-

ka Bego telah melarikan diri. Ia bergegas memeriksa 

kamar yang hanya ada satu-satunya di rumah panjang 

itu. Oh, ternyata Jaka Bego ada di kamar itu, sedang 

tiduran telentang dengan santai. Kedua tangannya di-

taruh di bawah kepala dan kakinya yang kiri menum-

pang di lutut kaki kanannya.

"Hei, sedang apa kau di sini?!" hardik Andini. "Apa-

kah kau memang tidur di sini?!"

"Ya. Aku sudah dua malam di kamar ini."

"Ini kamarmu?"

"Bukan. Aku tidak punya kamar. Ini kamar Nyai Ka-

tri."

"Celaka kau?" geram Andini. "Kalau Nyai tahu kau 

bisa dibunuhnya."

"Ah, masa....?" Jaka Bego tetap santai seperti tadi. 

"Seingatku, Nyai sendiri yang menyuruhku masuk ke 

mari. Kemarin malam ia menyuruhku tidur di sini..."

Andini menggumam, matanya memandangi kea-

daan kamar tersebut. Lalu ia berani mendekati Jaka 

Bego.

"Dua malam kau berada di kamar ini bersama 

Nyai?"

"Ya. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri."

Andini berkerut dahi. "Gila, kau! Buktikan bagai-

mana maksudmu?"

"Maksudku, tanyakanlah sendiri kepada Nyai."

Andini menghela nafas panjang. Benaknya berpikir: 

Dua malam di kamar bersama Nyai. Apa saja yang di-

lakukan mereka. Hal itu yang membuat Andini pena-

saran dan bertanya:

"Dua malam kau di kamar ini bersama Nyai. Apa 

saja yang kau lakukan dengannya?"

"Banyak," jawab Jaka Bego dengan tenang. "Aku di


pijit oleh Nyai. Aku dipeluk dan... dan..."

"Dan apa lagi...?" Andini mendesah, jantungnya mu-

lai berdebar-debar.

"Kau dicumbu juga oleh Nyai?" bisik Andini agak 

takut.

"Ya. Dan... itu berulang-ulang dilakukan Nyai."

"Berulang-ulang? Selama dua malam?"

Jaka Bego berkerut dahi," kenapa kamu kelihatan-

nya heran? Buat kami itu biasa-biasa saja."

"Gila!" Andini terheran-heran. "Dua malam tanpa 

berhenti kau lakukan itu?"

"Nyai yang memintanya. Bukan aku. Aku hanya 

menuruti perintah Nyai Katri."

"Dan. kau... kau tidak capek? Kau kelihatan segar 

bugar begitu? Aneh sekali. Apakah Nyai juga tidak bo-

san dengan pemuda kurus kerempeng dan jelek seperti 

kamu?"

Jaka Bego tahu, ia dihina. Tapi Jaka Bego tidak 

menanggapi hinaan itu. Ia malahan bangkit, duduk di 

pembaringan dan berkata dengan jelas:

"Nyai bilang... ia tidak akan pernah bosan jika ber-

cumbu dengan lelaki seperti aku. Kata Nyai... aku 

punya kehebatan yang tidak dimiliki lelaki lain. Kata 

Nyai juga, aku punya pedang panjang yang mampu 

menembus dinding karang. Kata Nyai lagi, aku adalah 

kuda jantan yang perkasa dan yang dicarinya selama 

ini. Kata Nyai... akulah lelaki yang diharapkan selama 

hidupnya, dan baru sekarang ditemukannya. Juga ka-

ta Nyai, aku lebih hebat daripada Prabima dan lelaki 

yang pernah bercinta dengan Nyai..."

"Cukup, cukup...!" Andini gemetar. "Kau pandai 

berbohong rupanya."

"Ah, pandai sih tidak. Cuma... aku memang dikata-

kan oleh Nyai sebagai lelaki hebat. Itu kata Nyai, bu-

kan kataku. Kalau kau tak percaya bilang saja sama


Nyai..."

Andini tertegun, debar-debar jantungnya membara. 

Ia merenungkan kata-kata Jaka Bego. Ia membayang-

kan maksud kata-kata itu. Dan ia menjadi berkeringat. 

Ia berkata dengan lirih, "Nyai bilang, kau lebih hebat 

dari Prabima?!"

"Ah, entahlah... Itu kata Nyai, kok." jawab Jaka Be-

go kalem seakan menggoda.

"Dan kata Nyai... kau... kau mempunyai pedang 

panjang yang mampu menembus karang?!"

"Iya. Itu kata Nyai lho. Aku sendiri dari dulu tidak 

pernah punya pedang. Buat apa!" Jaka Bego semakin 

berlagak sinis. Andini menjadi semakin salah tingkah. 

Ia keluar dari kamar, berjalan bagai orang melamun.

Malam merajut mimpi. Nyai Katri belum pulang ju-

ga. Padahal Andini keburu ingin bertemu dengan Pra-

bima. Khayalan birahi menggodanya terus, apalagi se-

telah ia mendengar penuturan Jaka Bego. Ia terus 

menghayal dalam kegelisahan. Sampai akhirnya, Jaka 

Bego menemukan Andini diam bersandar di lantai da-

lam keadaan sendu.

"Nyai belum pulang, ya?"

Andini menggeleng. Jaka Bego heran, lalu mende-

kat, jongkok di depannya. "Kenapa kau bersedih? Ta-

kut kehilangan Prabima?"

Andini menatap Jaka Bego dengan sayu. Lama se-

kali mereka saling tatap, lalu Andini berkata dengan 

suara lirih:

"Aku sangsi dengan kata-katamu tadi. Aku... aku 

ingin membuktikan kehebatanmu..."

"Husy! Jangan. Itu tidak baik. Nanti kalau ketahuan 

Nyai, kau bisa dibunuhnya. Aku sudah menjadi milik 

Nyai. Pusaka Nyai yang tak ingin diberikan kepada 

siapa pun."

"Sekali saja, Jaka...! Aku... aku tak tahan disiksa


khayalanku sendiri... oooh..." Andini meraih Jaka Be-

go, menciumnya beberapa kali. Jaka Be go masih da-

lam kebingungan.

"Jaka, lakukanlah...! Berlayarlah seperti kau men-

garungi samudra bersama Nyai Katri selama dua ma-

lam...! Berlayarlah walau sekali saja...!"

Andini semakin panas. Ia tak ingat lagi siapa di-

rinya. Namun Jaka Bego bertahan untuk tidak me-

layani keinginan Andini. Gadis itu sudah gila. Jaka Be-

go dipaksa dalam ancaman. Jaka Bego takut, lalu ia 

bersedia mengarungi samudra impian bersama Andini. 

Seluruh tubuh Andini bagai tidak berdesir lagi darah-

nya. Andini seperti ada di awang-awang, menggeliat, 

mengerang dan menjerit beberapa kali.

"Kau... oh, kau benar, Jaka. Kau memang hebat 

dan mempunyai pedang panjang yang mampu menem-

bus lapisan karang. Yaah... pantas kalau Nyai kecan-

duan asmaramu...!"

Jaka Bego masih segar, masih mengayuh dayung 

sampan, membawa Andini ke lautan lepas. Andini 

menjerit lagi, dan lagi-lagi menjerit dalam buaian 

khayalnya. Ia bertambah gila dan meronta-ronta seper-

ti cacing kepanasan. Ia mencengkeram Jaka Bego be-

rulang kali, bahkan menggigit, pundak Jaka Bego 

hingga membekas. Ia menangis dalam raung khayalan 

yang terus melambung tinggi ke atas. Ia lupa Prabima 

dan lupa segala-galanya.

Pagi menjelang, sinar matahari merambah permu-

kaan langit. Andini masih berpacu dalam dengus nafas 

yang tak teratur. Jaka Bego tetap segar, mengayuh 

sampan dengan dayung keperkasaannya. Keringat 

memang berhamburan di antara kedua belah pihak, 

tetapi kesegaran masih terlihat jelas di wajah Jaka Be-

go. Sedangkan Andini sudah menyerupai daun layu, 

lunglai dan lemas, namun masih mengharapkan men



garungi samudra kebahagiaan dengan Jaka Bego.

Sampai akhirnya, pintu terbuka dengan mendadak. 

Nyai Katri muncul. Ia segera berlari dan menendang 

Jaka Bego dengan tangis yang menjerit-jerit.

"Biadab kau...! Laknat kau...!" Nyai Katri melempar-

kan apa saja yang bisa dilemparkan ke arah Jaka be-

go. Ia tidak menyerang Andini yang tengah bergeser ke 

dinding dengan meraih pakaiannya sebagai penutup 

badan asal jadi. Jaka Bego kebingungan. Ia ingin men-

gambil pakaiannya, namun ia tak berani karena pa-

kaiannya ada di kaki Nyai Katri. Sedangkan Nyai Katri 

menangis tersedu-sedu, hilang sudah kewibawaannya. 

Ia sebagai perempuan biasa yang tidak punya penga-

ruh. Ia bagai seorang istri yang melihat suaminya se-

rong dengan perempuan lain.

Andini dan Jaka Bego merasa heran. Ketegaran Nyai 

Katri tidak ada sama sekali dalam keadaan seperti itu. 

Ia menangis sambil menutupi wajahnya memakai tela-

pak tangannya sendiri. Saat itulah, baru ada kesempa-

tan bagi Jaka Bego untuk mengambil pakaiannya. Ia 

segera mengenakan dengan terburu-buru, sampai-

sampai satu lobang celana ia masuki dua kaki dan ia 

terjatuh waktu hendak melangkah.

Andini mendekati Nyai Katri dengan berkata hati-

hati:

"Maafkan saya, Nyai... Saya memang... memang tak 

sadar, karena... karena ingat Prabima terus, Nyai. La-

lu...lalu Jaka Bego menceritakan apa yang ia lakukan 

bersama Nyai selama dua malam, dan saya... menjadi 

tergiur. Lalu..."

"Kau juga menjadi korbannya, Andini!"

"Menjadi korbannya, bagaimana, Nyai?!"

"Kau telah terkena ilmu Pasak Dewa. Dia mempu-

nyai ilmu itu. Dan kau tahu... ilmu itu menyedot se-

mua kesaktianku, semua kekuatan kita ikut tersedot.


Aku sekarang menjadi perempuan biasa, tanpa kekua-

tan sedikit pun. Nyatanya aku sejak tadi gagal menya-

lurkan hawa murni. Aku...oh, aku tak mempunyai ke-

saktian apa-apa lagiiii..! Dan, kau... kau juga tidak 

mempunyai kekuatan apa-apa lagi, Andini. Asmara Pa-

sak Dewa telah merenggutmu. Merenggut semua daya 

kita..."

Andini tertegun bagai tak percaya dengan kata-kata 

Nyai Katri. Ia memandang Jaka Bego yang masih ber-

diri dengan sikap terbengong melompong. Jaka Bego 

sendiri bagai orang yang ada dalam keheranan cukup 

tinggi. Ia pun sepertinya tidak percaya dengan apa 

yang dikatakan Nyai Katri.

"Apakah Nyai tidak salah ucap...?" tanya Andini.

"Tidak. Aku baru sadar setelah aku gagal menyalur-

kan hawa murni ke tubuh Prabima. Aku baru sadar 

kalau aku tak mempunyai ilmu apa-apa lagi, aku tak 

bisa menyalurkan hawa murni lagi. Bahkan memukul 

batu pun aku tak sanggup lagi. Aku sudah menco-

banya berulangkali..." Nyai Katri memperlihatkan tan-

gan dan jarinya yang berdarah akibat memukul batu. 

"Lihat... sampai tanganku luka semua, aku tetap tak 

bisa memecahkan sebutir batu yang biasanya hanya 

dengan satu genggaman batu itu akan menjadi debu. 

Nyatanya… ooh... ini, Andini. Dia telah menyedot il-

muku dengan ilmu Pasak Dewa...."

Andini tidak percaya. Ia segera bangkit dan me-

mandang Jaka Bego. Yang dipandang jadi ketakutan. 

Jaka Bego menggerak-gerakan kedua tangannya se-

raya berkata:

"Tidak...! Aku tidak tahu...! Aku tidak sengaja! Jan-

gan marah pada saya...! Nyai yang memintanya, Andi-

ni. Bukan kemauanku sendiri...! Sumpah...! Sumpah 

sekali!"

Untuk menghilangkan kepenasaranannya, Andini


menggerakkan tangannya bagai sedang menari. Tu-

buhnya meliuk-liuk namun matanya masih menatap 

Jaka Bego, sedangkan Jaka Bego waktu itu jadi terte-

gun melihat tarian Andini. Lalu dengan cepat Andini 

menghentakkan tangan kanannya ke depan:

"Hiaaaaaat...!"

Jaka Bego masih terbengong, bahkan kini terse-

nyum karena dikira diajak bercanda oleh Andini.

"Bidadari Senjaaa...! Hiaaaatt...!" seru Andini sambil 

menggunakan pukulan Bidadari Senja yang mampu 

menghanguskan tubuh lawan dari jarak jauh. Tetapi 

ternyata pukulan itu kosong. Tanpa tenaga sedikitpun. 

Bahkan tangan Andini yang menyentak ke depan itu 

merasa ngilu bagian persendian sikunya. Ia pun terbe-

lalak, tercengang memandangi tangannya. Lalu ikut 

menangis penuh penyesalan, "Ilmuku... ilmuku hilang 

semua, Nyaii... Ooh...!"

"Asmara Pasak Dewa telah menyedotnya, Andini...! 

Kita lengah dan lalai...!"

"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!" teriak Andini 

gemas sekali.

***

5

Menjelang siang, Prabima muncul di puri. Ia sangat 

heran melihat Nyai Katri dan Andini saling bertangi-

san, sedangkan Jaka Bego diam di sudut ruangan da-

lam keadaan duduk dengan kedua kakinya ditekuk, 

bagai orang ketakutan.

"Nyai...? Andini...?!"

Andini bergegas bangun dan menghambur dalam 

tangis memeluk Prabima.

"Prabima...! Oh, syukurlah kau selamat...!"


"Apa yang terjadi dengan kalian berdua, Andini?!" 

Andini yang manja tetap mengisak dalam pelukan Pra-

bima.

Nyai Katri berdiri dan memandang Prabima dengan 

berurai air mata kesedihan yang baru kali itu dilihat 

Prabima. Karenanya Prabima sangat heran melihat pe-

rempuan setegar Nyai Katri, yang tak pernah punya 

rasa belas kasihan, kali ini menangis seperti seorang 

ibu rumah tangga kehilangan kucing kesayangannya.

"Ada apa, Nyai? Apa yang telah terjadi?!"

Nyai Katri yang rambutnya panjang masih terurai 

itu mengisak beberapa kali, kemudian memberi penje-

lasan dengan susah payah. Nafasnya tersengal oleh 

tangis yang menyesak di dada.

"Aku... aku sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi, 

Prabima. Aku telah lemah..."

"Apa maksud Nyai bicara begitu? Bukankah Nyai 

guru saya? Nyai mampu berbuat apa saja dengan ke-

saktian Nyai."

"Tapi sekarang tidak lagi, Prabima!" tangis Nyai 

menjadi.

"Juga aku...!" sahut Andini dengan tangis keman-

jaannya. "Aku sudah tidak mempunyai ilmu pukulan 

Bidadari Senja, aku sudah tidak mempunyai tenaga 

dalam lagi. Semua ilmuku habis semua. Habis!" Andini 

makin meraung!

"Kenapa sampai begitu, Nyai? Kenapa, Andini?" 

Prabima masih bingung.

"Dia...!" Nyai Katri menuding Jaka Bego yang tam-

pak sangat ketakutan duduk memojok. "Dia mempu-

nyai ilmu Asmara Pasak Dewa...!"

"Asmara Pasak Dewa?!" Prabima masih menge-

rutkan dahi.

Nyai Katri menjelaskan, "Ilmu Pasak Dewa adalah 

ilmu kuno. Di mana pada zaman dulu hanya beberapa


orang saja yang mempunyai ilmu itu."

"Apa kehebatan ilmu itu?!" desak Prabima semakin 

ingin tahu. Nyai Katri mencoba menenangkan tangis-

nya, lalu menjelaskan dengan terbata-bata:

"Ilmu Asmara Pasak Dewa... mampu menyerap se-

gala ilmu yang dimiliki oleh seorang perempuan. 

Umumnya hal itu terjadi jika antara pemilik Asmara 

Pasak Dewa sedang bermain cinta dengan perempuan 

berilmu. Setinggi apapun ilmu seorang perempuan, ji-

ka bermain cinta dengan lelaki yang memiliki Asmara 

Pasak Dewa, maka ilmu itu akan tersedot semuanya. 

Tanpa tersisa sedikit pun. Melalui permainan cinta sa-

tu kali saja, semua ilmu bisa diserap oleh Asmara Pa-

sak Dewa. Dan...dan... Jaka Bego ternyata mempunyai 

ilmu itu. Sehingga... sehingga..."

"Nyai bermain cinta dengannya?!" tebak Prabima.

Nyai Katri mengangguk seraya menangis sedih. 

"Aku... aku menemukan kejantanan yang tak pernah 

dimiliki pria mana pun. Aku terpikat dan lupa diri. Aku 

tak sadar kalau Asmara Pasak Dewa memang mampu 

membuat perempuan lupa diri pada saat semua il-

munya terserap habis. Dan... dan itu terjadi pada diri 

Andini juga, yang waktu aku datang, ia sedang meng-

habiskan sisa kebahagiaan Asmara Pasak Dewa..."

"Gila...!" geram Prabima. "Ini gila-gilaan..!"

"Maafkan aku, Prabima. Aku sungguh tak dapat 

menahan diri, dan... dan lalai kepada bahaya yang 

ada. Maafkan.." Andini meratap menyesali tindakan-

nya. Ia malu, tapi apa boleh buat, semuanya telah ter-

jadi dengan menyedihkan.

"Hal itu kusadari setelah aku tak mampu menya-

lurkan tenaga inti untuk menyembuhkan lukamu," 

tambah Nyai Katri. "Lalu kucoba memecahkan batu, 

ternyata juga gagal. Jadi, aku segera menyadari bahwa 

Jaka Bego telah menyerap ilmuku, terkuras habis den


gan cara menggunakan Asmara Pasak Dewa..."

"Siapa monyet itu sebenarnya? Mengapa ia sampai 

mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa?" kata Prabima 

bagai bicara pada diri sendiri.

"Kau sudah sembuh, Prabima?" Nyai Katri meman-

dang tangan Prabima yang telah pulih seperti sedia ka-

la.

"Aku tahu waktu Nyai Katri bersusah payah menya-

lurkan tenaga inti ke tanganku. Aku juga tahu Nyai 

pergi dengan hati kesal. Tapi, waktu itu keadaanku 

sangat lemah dan tak bisa bicara. Namun diam-diam 

aku menyalurkan tenaga intiku sendiri ke tangan, dan 

berhasil..." Prabima memperlihatkan pergelangan tan-

gannya yang bagai tak pernah terluka sedikit pun itu. 

Andini sempat mengagumi penyembuhan tersebut, 

namun pikirannya segera kembali ke Jaka Bego.

"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Prabima ke-

pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng yang me-

nyimpan misteri itu hanya menggeleng ketakutan 

sambil semakin memojokkan badan. Ia tampak cemas 

dan rona wajahnya amat kasihan.

Prabima yang masih tetap berilmu tinggi itu segera 

merenggut baju Jaka Bego yang terbuat dari kulit 

kambing. Baju itu dulu pemberian dari seorang ne-

layan yang ditolong Jaka Bego dari hempasan ombak.

"Siapa kau sebenarnya, hah?! Ayo, mengakulah!"

"Jaka, Mas...!" jawab Jaka Bego dalam ketakutan.

"Siapa kau sebenarnya? Itu yang kutanyakan?!" 

bentak Prabima dengan kesal.

"Jaka Bego...! Sungguh, nama saya Jaka Bego... be-

nar sumpah...!"

Jawaban itu membuat Prabima merasa seperti di-

permainkan. Ia menampar Jaka Bego keras-keras, dan 

Jaka Bego mengejang kesakitan seraya menjerit:

"Aduh...! Ampun, Mas… Sakit...!"


"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, hah? Aku 

tahu, kau bukan anak tolol seperti yang kulihat ini!"

Karena gemas dan jengkelnya, Prabima menendang 

Jaka Bego sampai anak itu terpental menjatuhi Nyai 

Katri. Tentu saja Nyai Katri yang sudah menjadi pe-

rempuan biasa merasa kesakitan kejatuhan badan Ja-

ka Bego. Lalu dengan gemas Nyai Katri mendorong tu-

buh Jaka Bego sampai kepala Jaka Bego membentur 

tiang.

"Aaaaauuuuh...!" Jaka Bego menjerit kesakitan. 

Namun benturan itu telah membuat suatu getaran itu 

telah mengakibatkan beberapa lampu yang menempel 

pada tiang-tiang itu bergoyang. Salah satu yang ter-

buat dari tempurung kelapa jatuh, dan mengenai ke-

pala Prabima dengan keras. "Praak..!"

Prabima menyeringai kesakitan sambil memegangi 

kepalanya. Kemarahannya semakin menjadi. Ia hendak 

membunuh Jaka Bego dengan pedangnya, namun Nyai 

Katri segera menghalangi.

"Jangan! Jangan bunuh dia..! Aku masih bisa 

membujuknya untuk mengaku, dan mengembalikan 

ilmu-ilmuku!"

Prabima menggeram gemas. Giginya menggeletuk. 

Tangan kirinya kembali mengusap-usap kepalanya 

yang kejatuhan lampu dari batok kelapa berisi minyak 

penuh itu.

"Sekarang pergilah, lawanlah Lanangseta. Rebut 

bunga itu sebelum sempat dimakannya. Jangan sam-

pai terlambat!" perintah Nyai masih ditaati pula oleh 

Prabima.

Andini berkata, "Aku tak bisa ikut dalam keadaan 

seperti ini, Prabima, Yang jelas, aku ingin kau kembali 

dengan selamat dan... dan kita bisa bersatu sela-

manya."

Dengan sinis Prabima berkata kepada Andini, "Apa


kah kau masih pantas bercinta denganku?"

"Prabima...?!" Andini terkejut mendengar ucapan 

tak diduga itu. Prabima agaknya serius, ia bahkan 

berkata:

"Kau telah menyerahkan dirimu kepada Jaka Bego 

dengan segala resiko yang harus kau tanggung. Pan-

taskah setelah itu kau ingin menyerahkan dirimu ke-

padaku? Ciiih...! Aku tak akan sudi bergumul dengan 

bekas keringat Jaka Bego yang sinting itu!"

"Prabima, maafkan aku! Aku sudah mengaku salah 

dan..."

"Dan kau harus menanggung akibatnya sendiri!" La-

lu Prabima pergi begitu saja dengan loncatannya yang 

bagai panah melesat itu. Andini memanggilnya dalam 

tangis, tapi tak dijawab.

Prabima masih penasaran dengan Kirana. Ia berha-

rap agar saat ia sampai nanti bunga Teratai Wingit be-

lum sempat dimakan Lanangseta. Betapapun juga, 

Prabima lebih tertarik kepada Kirana daripada terha-

dap Andini. Apalagi Prabima tahu bahwa Andini sudah 

tidak suci lagi, sedangkan Kirana pasti masih suci. Se-

bab itu, semangatnya menjadi berkobar-kobar untuk 

merebut bunga Teratai Wingit itu.

"Begitu bunga berhasil berada di tanganku, lang-

sung akan ku makan di depan Lanangseta! Hah..! Ra-

sakan kau, Lanangseta! Karena kehadiranmulah yang 

membuat Kirana jadi sama sekali tidak mengharap ke-

hadiranku..." pikir Prabima sambil terus melesat me-

nuju Griya Teratai Wingit.

Ternyata dugaan Prabima melesat jauh. Ia tidak ta-

hu kalau Lanangseta telah memakan bunga Teratai 

Wingit pada saat itu juga, saat ia kembali membawa 

bunga berwarna ungu itu. Tentu saja yang paling 

bangga dan gembira adalah Kirana, Putri Bukit Badai 

yang cantik, anggun dan mempunyai sepasang mata



menggetarkan hati Lanangseta.

Tengah malam, ketika mereka sedang berunding 

mengenai upacara perkawinan Lanang dengan Kirana 

yang akan diadakan besok pagi, tahu-tahu keadaan 

Griya Teratai Wingit menjadi gempar dengan muncul-

nya Ludiro.

Lelaki pendek berbadan gempal dan berkulit kehi-

tam-hitaman itu agaknya berusaha sekuat tenaga un-

tuk sampai di Griya Teratai Wingit. Begitu sampai di 

depan pintu gerbang ia rubuh tak tahan lagi. Penjaga 

pintu gerbang segera membawa masuk Ludiro yang 

terluka perutnya akibat cincin Cupu Gina. Salah seo-

rang memberanikan diri menghadap Sabdawana yang 

sedang berembuk dengan Lanangseta dan Kirana.

"Rama, maaf saya mengganggu..." ujar penjaga itu 

dengan memberi hormat terlebih dulu.

"Ada apa? Apakah kau tak tahu kami sedang berbi-

cara sangat penting?!" kata Sabdawana yang merasa 

terganggu.

"Sekali lagi, saya mohon maaf, Rama Sabdawana. 

Hemmm.... ada hal yang lebih penting. Kami... kami 

temukan Paman Ludiro dalam keadaan luka parah, 

Rama?!"

"Paman Ludiro...?!" Lanangseta yang terpekik kaget.

Sabdawana terbelalak juga melihat perut Ludiro ro-

bek dalam, nyaris isi perutnya terburai keluar. Ia sege-

ra menyuruh beberapa orang menggotong Ludiro ke 

kamar khusus. Tetapi Lanangseta sendiri yang men-

gangkat tubuh Ludiro. Lanangseta merasa khawatir 

melihat keadaan Ludiro yang sudah pucat pasi karena 

kehabisan darah. Ia menjadi iba melihat pengorbanan 

Ludiro.

"Pasti Si Keparat, Prabima itu, yang melukainya!" 

geram Lanangseta.

"Aneh. Bukankah Paman Ludiro tubuhnya kebal


terhadap senjata apapun!" kata Kirana dengan cemas.

Sabdawana memperhatikan luka di perut Ludiro. Di 

tepian luka itu meninggalkan serbuk putih seperti ser-

buk pada sayap kupu-kupu. Lalu, ayah Kirana itu 

manggut-manggut seraya menggumam.

"Pasti seseorang telah menggunakan cincin Cupu 

Gina," kata Sabdawana dalam gumamnya.

"Cincin Cupu Gina, Ayah?!" Kirana merasa asing 

dengan nama senjata itu.

"Ya. Cincin Cupu Gina adalah sejenis batu-batuan 

yang hanya ada satu jenis di dunia ini. Cincin itu ber-

bentuk seperti kerucut, ujungnya runcing mampu 

menggores benda setebal apa pun. Lihat serbuk-

serbuk di sekitar lukanya. Ini menandakan ia tergores 

cincin Cupu Gina yang dulu pernah geger di rimba 

persilatan gara-gara merebutkan cincin tersebut."

"Tapi... mungkinkah Prabima memperoleh cincin 

itu?!" tanya Lanangseta yang masih dalam kecemasan.

"Mungkin saja, kalau dia berkomplot dengan seo-

rang ratu bajak laut yang hidup pada masa ratusan 

tahun yang lalu. Ia bernama Areswara!"

"Areswara...?!" Lanangseta teringat nama yang per-

nah didengarnya dari Ludiro.

"Areswara ratu bajak laut yang berilmu tinggi. Ke-

saktiannya sangat hebat. Ia bisa berganti-ganti wajah, 

dan tak pernah tua. Ratu Areswara selalu berpenampi-

lan cantik dan mempunyai daya tarik sendiri bagi se-

tiap lelaki. Namun ia seorang yang kejam, yang sera-

kah dan ingin menguasai dunia."

"Ayah mengenalnya?" tanya Kirana.

Sabdawana mengangguk. Ia berkata pelan, "Ada tiga 

orang leluhur kita yang pernah menjadi suaminya. Te-

tapi selalu mati dalam keadaan menyedihkan. Areswa-

ra itulah yang membunuhnya. Sehingga sampai seka-

rang, ia merupakan musuh bebuyutan kita juga."


Ludiro mengerang lemah, nafasnya tersengal-

sengal. Ia bagai meregang menjelang ajal. Lanangseta 

kebingungan, demikian juga Kirana yang segera men-

desak ayahnya untuk melakukan sesuatu demi menye-

lamatkan nyawa Ludiro. Tetapi Sabdawana berkata 

dengan nada patah semangat:

"Apakah aku akan bisa? Yang ku tahu, tak pernah 

ada luka yang bisa disembuhkan jika terkena goresan 

cincin Cupu Gina. Tak pernah kudengar cerita orang 

yang selamat setelah terkena goresan cincin itu. Sebab, 

serbuk dari batuan cincin itu merupakan racun yang 

paling ganas. Ia akan menyerang otak, atau jantung. 

Tergantung di mana lukanya berada. Kalau lebih dekat 

dengan jantung, dia akan menyerang jantung, kalau 

dekat otak, ia akan menyerang otak...."

Lanangseta tiba-tiba teringat kata-kata gurunya, Si 

Tongkat Besi, yaitu seorang manusia yang sebenarnya 

dewa. Dewa yang terbuang dari Suralaya karena kesa-

lahannya. Dulu, Lanangseta pernah mendengar Tong-

kat Besi berkata:

"Kalau pedangmu bisa membunuhku, maka darah-

ku akan menempel pada pedangmu, dan akan mem-

buat pedangmu menjadi pijar bagai bara besi yang 

menyala panas. Tapi sebenarnya pedang itu dingin. 

Keampuhan pedang itu cukup banyak, bisa memotong 

besi atau baja mana pun, bisa menghancurkan gu-

nung dalam satu kali tusukan, bisa menyembuhkan 

luka apa pun, dan bisa melayang sendiri membunuh 

musuhmu dari jarak jauh dan lain-lain... karena itu 

kau harus..."

"Lanang...!" tegur Kirana. "Kenapa malah mela-

mun?!"

"Menyembuhkan luka apapun..." gumam Lanangse-

ta seraya termangu-mangu.

"Apanya? Kau bicara apa?" Kirana menggoyang


goyang lengan Lanangseta. Lalu, segera Lanangseta 

minta izin untuk mengambil pedangnya di kamar pu-

saka. Sabdawana tak keberatan, sebab dalam hati ia 

percaya, pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan La-

nangseta.

Sabdawana dan Kirana menepi dari tempat Ludiro 

dibaringkan di kamar perawatan itu. Lanangseta 

menghunus pedangnya: Pedang Wisa Kobra, yang telah 

menjadi pedang malaikat sejak ia berhasil membunuh 

Tongkat Besi di luar kesengajaan. Pedang itu menyala 

bagai pijar api, seakan sebatang besi yang habis di-

panggang hingga membara. Warna merah api sangat 

mengerikan, dan membuat Kirana bergidik. Sementara 

itu, Ludiro hanya bisa mengerang tipis nafasnya sema-

kin sesak dan seakan hampir habis. Wajah pucat pasi, 

dan mata sayu berwarna putih. Manik mata hitamnya 

sudah tak kelihatan lagi.

Lanangseta segera menempelkan pedang yang ber-

pijar itu pada luka memanjang di perut Ludiro. Akibat 

sentuhan pedang tersebut, perut Ludiro mengepul, se-

perti besi panas yang tercelup dalam air. Suara desis 

juga terdengar dan membuat Kirana serta Sabdawana 

menyeringai ngeri. Ludiro tidak berteriak sedikitpun, 

juga tidak mengejang kepanasan. Dan Lanangseta te-

tap menempelkan pedangnya sampai asap yang keluar 

dari pedang yang menyentuh darah luka itu habis. 

Memang tercium bau daging panggang, tetapi kenya-

taannya sangat ajaib.

Nafas Ludiro terhela dengan lepas. Longgar. Ma-

tanya mulai berkedip-kedip. Lanangseta mengangkat 

pedang Wisa Kobranya, lalu semua mata terbelalak 

melihat perut Ludiro dalam keadaan rapat. Tak ada 

luka, tak ada sedikit pun bekas goresan. Perut itu ber-

sih, bahkan darah yang berceceran di sekitar bekas 

luka juga bersih, bagai dihisap oleh pedang Wisa Kobra.

"Ooh... syukurlah kau segera menolongku, La-

nang..." kata Ludiro masih dengan sisa kelemahannya.

"Ya, Paman. Karena aku tidak ingin kehilangan kau, 

Paman Ludiro," Lanangseta tersenyum. Ludiro dibiar-

kan berbaring. Kirana disuruh ayahnya menyelimuti 

tubuh Ludiro.

Sabdawana berkata, "Kau harus beristirahat sampai 

besok, Ludiro. Paling tidak untuk menghilangkan kele-

lahanmu selama bertarung dengan Prabima."

"Ya, Rama. Tapi bukan hanya Prabima yang menye-

rangku, melainkan Andini..." Ludiro berpaling kepada 

Lanang. "Andini bersekutu dengan Prabima. Ia terpen-

garuh ketampanan Prabima, dan bahkan nekad ber-

buat mesum dengannya..."

"Andini...?" ucap Lanang dalam desah yang bernada 

ragu.

"Ya. Andini. Mereka merencanakan menyerangmu, 

mencuri bunga Teratai Wingit. Mereka ingin mengga-

galkan perkawinanmu, Karena... karena Andini pena-

saran, ingin merebutmu dari tangan istrimu."

"Siapa Andini itu?!" cetus Kirana dengan tajam. La-

nang mulai khawatir kalau-kalau Kirana cemburu. La-

lu dengan hati-hati Lanang menjelaskan secara singkat 

siapa Andini itu. Dan rupanya Kirana bukan cemburu, 

melainkan justru ingin menghajar Andini untuk me-

nunjukkan bahwa dialah yang berhak memiliki La-

nangseta, Si Pendekar Pusar Bumi.

"Bagaimana dengan bunga itu?" Ludiro masih 

mengkhawatirkan bunga tersebut.

"Tenang, Paman. Aku telah memakannya dalam 

upacara adat yang dilaksanakan tadi, begitu aku sam-

pai," kata Lanang dengan senyum ceria.

Ludiro ikut tersenyum. "Syukurlah... Kapan kau 

menikah?" tanya Ludiro lagi.


"Besok...! Kalau Paman masih lemah, biar saja ber-

baring di sini."

Ya. Besok. Dan perkawinan Lanangseta dengan Ki-

rana Sari itu pun tak diketahui oleh Prabima. Dalam 

perjalanannya menuju Griya Teratai Wingit, Prabima 

selalu beranggapan bahwa bunga itu belum dimakan 

oleh Lanangseta. Sebab ia tahu, kalau untuk memakan 

bunga tersebut harus melalui upacara adat leluhur 

Bukit Badai, yang tidak mudah masa persiapannya. 

Tetapi dugaannya itu salah besar. Bahkan ketika ia ti-

ba di depan pintu gerbang Griya Teratai Wingit, ia me-

lihat beberapa orang meninggalkan rumah Kirana den-

gan senyum-senyum gembira. Ia tidak tahu kalau La-

nangseta hari itu sudah resmi menjadi suami Kirana 

Sari, perempuan yang menjadi incaran Prabima sejak 

ia menjadi murid ibu Kirana. Prabima merasa penasa-

ran, ia mencegat salah seorang tamu yang dalam perja-

lanan pulang.

"Pak... bapak dari rumah Rama Sabdawana?"

"Ya. Betul. Putri tunggalnya menikah dengan seo-

rang Pendekar gagah perkasa." jawab orang itu dengan 

ceria.

Kemarahan dan kekecewaan Prabima meluap pada 

saat itu juga. "Dia telah kawin..?! Bangsat...!" Ia me-

mukul orang itu pada bagian dadanya hingga orang 

tersebut mengejang, dan roboh tak berkutik dengan 

dada hangus akibat pukulan.

Kemarahan Prabima adalah kemarahan yang paling 

tinggi sepanjang hidupnya. Ia menggunakan ilmu 

Bramapati untuk menyerang para tamu yang hendak 

meninggalkan rumah Kirana. Dengan sekali mengge-

rakkan tangannya ke depan, maka keluarlah kobaran 

api yang segera melayang menghantam siapa saja yang 

ada di depannya. Sudah tentu orang yang terbakar itu 

menjerit-jerit dan berguling-guling. Bukan hanya satu


orang, tapi lebih dari tujuh atau sembilan orang yang

saat itu diserang dengan bola api dari tangan Prabima.

"Aaaooww...! Toloooong...! Aku terbakar...!"

"Aaaauuuh...! Apiii..! Apii... ooh, tolooooong...!"

Jerit mengerikan membahana. Keadaan menjadi 

kacau balau. Semua orang saling lari tunggang lang-

gang. Kepanikan menghadirkan beraneka ragam teria-

kan histeris, juga pekikan kematian menggema di ma-

na-mana.

"Rama...!" teriak Lande. "Pemuda itu... eeh... Prabi-

ma mengamuk di depan gerbang. Ia membakar orang-

orang tak berdosa, Rama...!"

Kirana dan Sabdawana segera melompat dari ruang 

pertemuan, mereka segera menghambur keluar. La-

nangseta bergegas masuk ke kamar pusaka dan men-

gambil pedangnya.

Pada saat itu, Prabima segera melancarkan ilmu 

Bramapatinya yang ia peroleh dari Nyai Katri. Bola api 

meluncur ke arah Kirana dan Sabdawana. Namun 

dengan gesit Kirana yang masih mengenakan pakaian 

pengantin itu melompat ke depan ayahnya, mengha-

dang kedua bola api itu. Ia memutar kedua tangannya 

dengan salah satu kaki merenggang dan merendah ke 

bawah. Putaran tangannya tepat berhenti dalam satu 

sentakan kuat. Sentakan itu mengakibatkan bola-bola 

api yang tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya itu 

melesat berbalik arah menuju Prabima.

Prabima bersalto menghindari bola-bola api yang 

ganti menyerangnya itu. Kirana mengeram dalam se-

ruannya:

"Saatmu untuk mati, Manusia Ibliiis...!" Lalu, tan-

gan Kirana bergerak ke depan dalam posisi jari jema-

rinya lurus semuanya. Dari ujung jari jemari itu me-

luncurlah jarum-jarum beracun, melesat cepat meng-

hantam Prabima. Prabima semakin melayang dan ber



guling di udara menghindari jarum beracun yang ia 

miliki juga.

"Hiaaat....!" Prabima memekik seraya melancarkan 

tendangan ke arah Kirana. Dengan tangkas Kirana 

menangkis kaki kanan Prabima, lalu Kirana melam-

bung tinggi hingga kakinya berada di atas kepala Pra-

bima. Pada saat itu, kaki Kirana hendak menjejak ke-

pala Prabima, tetapi Prabima lebih dulu melancarkan 

pukulan Bramapatinya sambil menelentang di tanah. 

Kirana terpaksa bersalto ke samping untuk menghin-

dari bola api yang telah melesat, nyaris menyentuh 

lengannya itu.

Pada saat kaki Kirana menapak di tanah, Prabima 

melentikkan badan dengan berguling ke belakang 

langsung melayang. Kedua kakinya berhasil mengenai 

pinggang Kirana, sehingga perempuan cantik itu sem-

poyongan hampir jatuh. Seketika itu, mata Prabima 

memancarkan sinar kecil berwarna kuning Saat...! Si-

nar menuju ke tubuh Kirana, tetapi Kirana berkelit 

dengan menggulingkan badan ke tanah. Sambil bergul-

ing Kirana mengibaskan tangannya yang telah meng-

genggam batu-batu kecil. Batu-batu itu dilemparkan 

ke arah Prabima, oleh Prabima dilawan dengan sinar 

kuning yang keluar dari matanya. Batu-batu itu ber-

benturan dengan sinar kuning, dan menimbulkan se-

buah ledakan cukup keras.

Agaknya Kirana sukar diatasi, sebab itu Prabima 

segera menyerang Sabdawana, ayah Kirana yang sejak 

tadi memperhatikan pertarungan tersebut. Ilmu Can-

dra Geni yang mengeluarkan sinar kuning dari mata 

itu dilancarkan ke arah Sabdawana. Lelaki beruban itu 

menggeragap karena datangnya serangan itu secara ti-

ba-tiba dan di luar dugaan. Namun pada saat itu se-

buah bayangan melesat menyongsong gerakan sinar 

kuning. Dan sinar itu pun berhenti, lalu tubuh La


nangseta tampak dalam posisi salah satu kaki berdiri 

tertekuk dan satu kakinya lagi berdiri di atas lutut. 

Pedang Wisa Kobra berdiri tegak di depannya, meng-

hadang sorotan sinar kuning itu.

"Kau harus berhadapan denganku, Prabima. Bukan 

dengan yang lainnya...!" kata Lanangseta dengan mata 

memandang tajam, memancarkan dendam. Prabima 

tersenyum sinis, segera mencabut pedangnya.

"Berpamitlah kepada istrimu yang cantik itu, La-

nang. Sebab sebentar lagi kau akan kukirim ke nera-

ka, dan ia akan menjadi perawan... Janda yang masih 

perawan, he, he, he...!" Prabima sengaja memancing 

kemarahan Lanangseta agar ia kehilangan kontrol diri. 

Tetapi Lanangseta kelihatan tenang. Ia menggerakkan 

pedangnya dengan kedua tangan. Pedang ditarik ke 

samping atas, dan tubuh Lanangseta meliuk bagai 

hendak menari. Prabima segera menyerang:

"Hiaaatt...!"

Tubuh Prabima melayang dengan pedang terarah ke 

dada Lanangseta. Lanang hendak menangkis pedang 

itu, namun mendadak Prabima menggerakkan pe-

dangnya ke atas sehingga tangkisan pedang Lanang 

mengenai tempat kosong. Gerakan pedang tipuan itu 

hampir saja menusuk ubun-ubun Lanang kalau saja 

Lanangseta tidak segera berguling ke tanah tanpa me-

nyentuh tanah sedikit pun. Posisi Lanang membela-

kangi Prabima. Kesempatan baik bagi Prabima untuk 

melancarkan senjata rahasia berupa jarum-jarum be-

racun ke punggung Lanangseta. Jaraknya cukup dekat 

dan gerakan jarum bagaikan angin berhembus ken-

cang. Namun pada saat itu, Kirana dengan sigap sege-

ra melancarkan pukulan Pembeku yang membuat ja-

rum-jarum berhenti seketika dan saling mengempal, 

lalu jatuh ke tanah. Kalau saja Kirana kurang cekatan 

sudah tentu punggung Lanangseta menjadi sasaran


empuk jarum-jarum beracun itu.

Lanangseta segera berbalik menghadapi Prabima, 

yang ternyata telah meluncur menyerangnya dengan 

tendangan kaki kanan. Lanangseta mengelak dengan 

miringkan badan ke samping, tetapi rupanya tendan-

gan itu hanya tipuan semata, karena begitu tendangan 

molos ke tempat kosong. Prabima mengibaskan pe-

dangnya ke leher Lanangseta. Dengan gesit Lanangseta 

menghantam pedang itu dengan pedangnya. Trang...! 

Prabima buru-buru berguling takut terkena tebasan 

pedang Lanang yang bergerak cepat itu. Namun ketika 

ia mendaratkan kakinya ke tanah, ia jadi terbengong 

melihat pedangnya buntung, tinggal beberapa bagian. 

Lanangseta berdiri tegap sambil tersenyum.

"Bangsaaaaat... kau, Lanaaang..!" geram Prabima 

seraya melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh La-

nangseta setelah ia membuang pedangnya.

Dengan gesit Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto 

beberapa kali dan berdiri tepat di belakang Prabima. 

Prabima berpaling, dan sebuah pukulan keras menge-

nai rahangnya hingga terdengar suara gemeretak.

"Oouuuw...!" Prabima terpental jauh seraya menga-

duh. Ia segera berdiri tegak karena takut didahului se-

rang Lanang. Matanya memerah menahan rasa sakit 

pada rahangnya.

"Kau masih ingusan, Bocah Bagus...!" ledek La-

nangseta. "Sebenarnya belum waktunya kau bertand-

ing melawanku. Lebih baik kau pulang dulu, netek du-

lu pada guru perempuanmu yang bergelar Iblis Pulau 

Kramat itu. Nanti baru kau bisa mengalahkan aku..."

Prabima terpancing kemarahannya. Ia segera mem-

buka jurus baru dengan menggerak-gerakkan tangan-

nya seperti burung hendak terbang. Namun sebelum ia 

kesampaian menjajal jurus barunya itu, Lanangseta te-

lah menerjangnya dengan memutari tubuh Prabima


secara cepat sekali. Gerakan Lanang seperti kilasan 

cahaya bara merah mengelilingi Prabima, sukar diikuti 

oleh pandangan mata. Dan beberapa saat kemudian, 

Lanangseta menjauh dalam satu salto yang meninggi. 

Gerakan melayang turun dari atas itu seperti burung 

garuda turun dari langit. Rambutnya yang panjang itu 

meriap, melambai bagai sayap burung garuda. Begitu 

indah dan mengagumkan. Ia berdiri dengan tegap, ke-

dua kaki terentang, tangan kanannya menjadi satu 

dengan tangan kiri memegang gagang pedangnya yang 

berdiri di depan dada kanannya. Otot-otot pada lengan 

dan dada terlihat membesar kekar. Banyak orang yang 

menyaksikan keadaan Lanang itu menjadi berdecak 

kagum, terutama Kirana.

Prabima menggenggam kuat-kuat, kedua tangannya 

berada di samping pinggang kanan kiri dalam posisi 

siap dihentakkan ke depan. Ia sempat berkata dengan 

sombong:

"Jangan bertarung seperti ayam mau kawin, Mo-

nyet! Terimalah aji pukulan Guntur Sambura ini..."

"Hei, hei... tunggu," kata Lanangseta. "Lihat dulu 

apakah kau masih mempunyai jari tangan atau ada 

yang kurang. Lihat dulu, jangan sampai kau mati pe-

nasaran..."

Prabima tertegun sejenak. Ia mulai curiga, dan se-

gera mengendurkan tangannya, membuka telapak tan-

gannya, memelototi jari-jarinya. Oh, ternyata masih 

lengkap. Ia tertipu sehingga membuatnya tak jadi me-

lancarkan aji pukulan Guntur Sambura.

"Kau hanya bisa bermain seperti anak kemarin sore, 

Lanang," ejek Prabima. "Kau takut aku melancarkan 

pukulan Guntur Sambura, ya? Hemm...?!"

"Kusarankan lihat dulu jarimu..." kata Lanang den-

gan senyum sinis.

"Masih utuh...! Kau pikir kau jago pedang?" seraya


Prabima menyodorkan kedua tangannya ke depan da-

lam keadaan jarinya terbuka semua. Tapi tiba-tiba jari 

kelingking tangan kiri jatuh secara mengejutkan. Dis-

usul kelingking tangan yang satunya juga jatuh, seper-

ti cicak kehabisan tenaga.

"Hahhh...?!"

Bukan hanya Prabima yang terbelalak kaget melihat 

jari kelingking itu berjatuhan. Tetapi Kirana dan se-

mua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi 

menggumam seperti serombongan lebah hutan lewat. 

Mereka berdecak kagum. Tak habis pikir mereka meli-

hat jurus pedang sakti yang dilakukan Lanangseta ta-

di. Begitu cepat, begitu halus, sampai-sampai Prabima 

tidak menyadari kalau kedua jari kelingkingnya sudah 

terpotong sejak tadi.

"Heaaaahh...!" Prabima berteriak dalam kejengke-

lannya. Ia merasa dipermainkan dan segera menyerang 

Lanangseta dengan pukulan tenaga dalamnya. La-

nangseta melesat ke udara, tapi miring ke kiri, sehing-

ga dua kali pukulan jarak jauh Prabima yang tertuju 

ke bawah dan ke atas terpaksa mengenai tanah ko-

song. Tanah itu menjadi hangus dan berongga. La-

nangseta menjejakkan kaki ke tanah, dan melayang 

lagi sambil bersalto melewati kepala Prabima. Ia men-

gibaskan pedangnya dengan kecepatan yang tak mam-

pu dilihat mata manusia. Tahu-tahu ia telah mendarat 

seperti burung garuda hinggap di puncak bukit ka-

rang.

Prabima hendak bergerak, namun ia merasakan ada 

sesuatu yang perih di telinganya. Baru saja ia hendak 

memegang telinganya, tahu-tahu telinga itu telah lepas 

dan jatuh sendiri. "Plok!" Daun telinga jatuh ke tanah 

dan sebaris gumam dan kata-kata "Woouw" terdengar 

menggema. Sekali lagi mereka dibuat kagum oleh ge-

rakan jurus pedang.


Nafas Prabima semakin terengah-engah diburu ke-

marahan yang meninggi. Ia benar-benar dianggap mai-

nan murahan oleh Lanangseta. Gemuruh di dalam da-

danya ingin meledak saja rasanya. Segera Prabima 

berseru:

"Lanang! Terimalah balasanku ini, Biadab...!"

Prabima merentangkan tangannya, lalu kaki kirinya 

ditarik lurus ke belakang, dan kaki kanannya mene-

kuk rendah. Ia menggerakkan tangannya ke segala 

arah, kemudian bersalto ke depan. Tiba-tiba segumpal 

asap membungkus dirinya. Ia tak terlihat lagi.

Sabdawana berseru, "Siluman Raga Muspra...!"

"Hati-hati, Lanang...!" teriak Kirana Sari dengan ce-

mas.

Lanangseta bergerak sigap. Tapi tahu-tahu tubuh-

nya bagai ada yang menendang dengan kuat. Ia ter-

jengkang ke belakang dengan sentakan keras. Lanang-

seta menggeragap. Ia hendak bangkit, namun terasa 

ada yang memukulnya dua kali sehingga kepala La-

nang terdongak dalam satu sentakan kuat.

Prabima tidak kelihatan. Asap itu menipis lalu hi-

lang. Namun, Lanang mendengar dengus nafas Prabi-

ma di sampingnya. Bahkan kini semua orang menden-

gar ucapan sumbar Prabima:

"Lihat...! Hanya sekuku hitamku ilmu Lanangseta 

ini, ha, ha, ha....!"

Lanangseta menebaskan pedangnya ke samping, 

namun ia tidak mengenai apa-apa. Tetapi justru se-

buah tendangan hebat mengenai dadanya dan mem-

buat Lanangseta memuntahkan darah beberapa per-

cik. Suara Prabima terdengar lagi tanpa terlihat ujud 

manusianya:

"Ha, ha, ha... ayo, mainkanlah aku...! Sekarang gili-

ranmu yang harus kumainkan, Babi bodoh...!"

"Huuukh...!" Lanangseta terpukul punggungnya,


namun rasa-rasanya bukan pukulan, melainkan ten-

dangan beruntun yang mengenai punggungnya itu. 

Lanang menjadi limbung dan darah muncrat dari mu-

lutnya.

"Lanang..!" Kirana bergegas hendak menolong, tapi 

ayah Kirana segera mencegah seraya berbisik:

"Percayalah, Lanang pasti bisa mengatasi hal kecil 

seperti itu. Ingat, dia murid Dewa Sinting, si Tongkat 

Besi. Ia tidak mungkin akan kalah begitu saja…" Dan 

kata-kata ini membuat Kirana sedikit tenang, sekali 

pun kegelisahan tercampur-baur dengan kecemasan di 

wajah anggun itu.

"Ucapkan selamat tinggal kepada istrimu, La-

nang...!" seru Prabima. Tapi Lanang segera berlari dan 

melentik tinggi, bersalto tiga kali di udara, lalu tubuh-

nya mendarat agak jauh dari tempat pertempuran se-

mula. Di sana mata Lanangseta terpejam. Ia mem-

bayangkan tubuh Prabima, dan segera mengibaskan 

pedang Wisa Kobranya dengan teriakan kuat, 

"Heeiaaatt...!"

"Aaaah...!" Terdengar pekikan memanjang di tempat 

pertarungan semula, tak jauh dari Kirana berdiri. Se-

mua menjadi kaget, dan Kirana sendiri sampai mun-

dur beberapa langkah bersama Sabdawana. Mereka 

bagai melihat asap tipis membayang, lalu makin lama 

semakin jelas terlihat tubuh Prabima berdiri dengan 

kepala mendongak ke atas. Tubuh yang melengkung 

ke belakang itu semakin jelas, namun juga semakin 

mengerikan. Tubuh itu terpotong menjadi tiga bagian, 

tanpa mengeluarkan darah berlimpah-limpah. Kaki 

terkulai, lalu disusul badannya dari leher ke bawah 

rubuh begitu saja, dan kini kepalanya pun ikut rubuh, 

menggelinding beberapa langkah dari kedua potongan 

badannya. Mereka yang menyaksikan hal itu banyak 

yang memejamkan mata karena ngeri. Tetapi mereka


juga kagum, dalam jarak jauh, Lanangseta mene-

baskan pedangnya tiga kali dan langsung bisa memo-

tong tiga bagian lawannya yang tidak kelihatan. Sung-

guh merupakan ilmu pedang yang amat hebat dan 

langka dimiliki pendekar lain.

Tetapi, mereka jadi tegang kembali ketika melihat 

kepala Prabima yang telah terpisah dari lehernya itu 

melayang sambil menyeringai bagai bola menuju La-

nangseta.

"Lanang.... awaaaaas...!" teriak Kirana. Lanang su-

dah terlanjur menyarungkan pedangnya ke punggung. 

Kepala Prabima itu melayang cepat dengan gigi-gigi 

siap menggigitnya.

Namun sebelum kepala itu menyentuh Lanangseta, 

sebuah lecutan Cambuk Naga berbunyi nyaring: 

"Taaaar...!" Dan kepala itu pecah seketika terkena 

cambukan Ludiro. Lanangseta mengacungkan jempol 

kepada Ludiro yang baru nongol karena kelemahan 

tubuhnya. Namun semua orang tetap salut kepada 

Ludiro, yang mampu melecutkan Cambuk Naga tepat 

pada sasaran.

"Saatmu sangat tepat, Paman..." seraya Lanang 

memeluk Ludiro. Ludiro menyeringai, tubuhnya masih 

terasa lemas.

"Sudah selayaknya kau menyisakan sedikit untuk 

pembalasanku. Karena dialah yang merobek perutku 

dengan cincin keparat itu, dan aku berhak mendapat 

balasan, walau hanya sekali cambuk..."

Lanang, Kirana dan Sabdawana tertawa mendengar 

kata-kata Ludiro. Bahkan semua orang yang menyak-

sikan pertarungan sengit itu menjadi lega dalam se-

nyum mereka. Kasak-kusuk jelas terjadi seperti lebah 

dan burung bersahutan, mereka membicarakan kehe-

batan-kehebatan dalam pertarungan Lanangseta den-

gan Prabima, musuh yang paling dibencinya itu.



"Lanang, dan kau Putri, kuucapkan selamat me-

nempuh hidup baru, semoga kalian bahagia dalam 

perkawinan yang agung ini..." kata Ludiro seraya me-

nyalami Kirana dan Lanangseta.

"Terima kasih, Paman... terima kasih..." bisik La-

nangseta merasa bangga. Kirana pun memeluk Ludiro 

dan memberikan satu ciuman damai di kedua pipi Lu-

diro.

"Bagaimana dengan Jaka Bego yang katanya terta-

wan di Pulau Kramat itu?" sela Sabdawana. Mereka ja-

di tertegun sejenak. Kirana yang menyahut,

"Iya, ya...? Bagaimana dengan dia? Kasihan dia ti-

dak ikut menikmati hari bahagia ini..."

"Aku yang akan ke sana menjemputnya," ujar Ludi-

ro.

"Kudampingi kau, Paman..." kata Lanang.

"Aku bagaimana? Masa, pengantin baru akan di-

tinggal?" Kirana berlagak cemberut.

Lanangseta tertawa seraya memeluk Kirana yang 

cantik dan anggun. "Kalau begitu, biarlah paman be-

rangkat lebih dulu, setelah bulan maduku selesai, aku 

akan menyusul ke sana. Bukankah begitu, Putri can-

tik...?!"

"Terserah kau, Pendekar Tampan..." bisik Kirana. 

Lalu keduanya saling tertawa dan melangkah ke kamar 

pengantin. Itulah saat yang ditunggu-tunggu dan di-

perjuangkan mati-matian selama ini.


                             TAMAT 


Share:

0 comments:

Posting Komentar