(BAGIAN KE-06 SERIAL SURO BODONG)
Karya : Barata
Ketika masuk ke sebuah kedai, Suro Bodong terperanjat mendengar obrolan dua orang
yang tengah makan di samping kanannya. Yang seorang berbadan kurus, yang seorang
lagi berbadan gemuk, pendek. Dilihat dari pakaian dan penampilannya, jelas mereka
adalah rakyat biasa. Diduga mereka hanya seorang penarik gerobak sapi untuk
angkutan ke suatu tempat.
Di depan kedai ada dua gerobak sapi memuat kayu-kayu gelondong. Suro Bodong
melirik sekeliling, hanya ada satu orang lagi yang duduk di pojokkan. Pasti dia bukan
pemilik gerobak sapi itu, sebab di sampingnya terdapat pikulan dan dua buah keranjang.
Kedua orang yang ada di samping kanan Suro Bodong itu bicara dengan seenaknya,
bagai tidak merasa ada bahaya di sebelahnya. Yang jangkung kurus berkata sambil
mencolek sambal dengan bahan lalapan.
"Kurasa sulit untuk menangkap orang yang bernama Suro Bodong itu. Jelas dia bukan
orang sembarangan, buktinya sampai diadakan sayembara seperti itu."
Yang pendek gemuk menjawab, ''Tapi... kalau dipikir-pikir hadiahnya lumayan juga ya?
Satu kantong uang emas bagi siapa saja yang bisa menangkap Suro Bodong, hidup
ataupun mati. Wah, kalau aku bisa menangkapnya, aku bisa kaya, Jo!"
"Ah, jangan mimpi di kandang kebo, kamu Min! Jangan pikirkan hadiahnya, tapi
pikirkanlah nyawamu! Bisa-bisa kau mati di tangan orang yang bernama Suro Bodong
itu!"
"Yaah... aku kan cuma berandai-andai saja, Jo... Memangnya bisa apa orang seperti
kita-kita ini. Paling-paling menjinakkan sapi!"
Sikap Suro Bodong tetap tenang, sekalipun ia sebenarnya terkejut mendengar namanya
disebut-sebut. Ia terus saja menyimak pembicaraan kedua orang yang dipanggil Min dan
Jo itu. Suro Bodong meneguk tuak pesanannya, sesekali menggaruk-garuk kumisnya
yang tebal dengan ujung telunjuk.
Pemilik kedai yang berkulit keriput itu ikut menimpali pembicaraan kedua orang itu.
"Kudengar, orang yang bernama Suro Bodong itu tadi pagi sudah tertangkap?"
"O, ya?!" sahut Jo. "Kata siapa pak?"
"Kalau tidak salah, tadi pagi ada orang diseret-seret ke rumah Ki Lurah. Banyak juga
orang yang mengaraknya."
"Ooo...!" Min dan Jo manggut-manggut seolah tertegun mendengar kabar tersebut.
Pemilik kedai membersihkan meja di depan mereka dengan kain kering. Ia berkata lagi:
''Tapi apakah betul dia yang bernama Suro Bodong, atau ada masalah lain dengan orang
itu, aku kurang jelas, Jo!"
"Pokoknya...," sahut Min. "Asalkan bertubuh besar, perutnya melendung ke depan sedikit
dengan puser yang bodong, ya itulah orangnya...!"
Suro Bodong buru-buru merapatkan baju merah yang jarang dikancingkan. Ia
memasukkan ujung bawah bajunya ke dalam celana supaya baju itu menjadi rapat. Ia
kembali menyimak pembicaraan mereka.
Kata Min, "Orangnya punya kumis tebal, dan rambutnya panjang. Kata beberapa orang,
dia punya banyak kesaktian. Herannya, kalau Raden Puger dan Dadung Wungu tidak
bisa menangkap Suro Bodong, mengapa ia serahkan kepada rakyat? Padahal Raden
Puger dan Dadung Wungu kan orang-orang sakti."
Jo menyambung, "Malah mereka konon pernah membunuh raja siluman di pesisir
Utara."
Pemilik kedai berhenti melakukan pekerjaannya, lalu menimpali pembicaraan itu.
"Mungkin yang dimaksud Raden Puger adalah keterangan. Keterangan tentang di mana
Suro Bodong ada. Jadi, siapa saja yang bisa memberi keterangan di mana Suro Bodong
berada, ia akan mendapat hadiah. Syukur bisa menangkapnya sendiri. Mungkin begitu
maksudnya."
Suro Bodong baru saja mau bertanya kepada orang bertubuh kurus itu, tetapi tiba-tiba
ada sesuatu yang menarik perhatian. Mata mereka memandang ke luar kedai. Banyak
orang berlari-lari ke satu arah. Ada yang berjalan dengan cepat dan ada pula yang lari
terburu-buru.
"Ada apa, Mo...?!" seru pemilik kedai.
Orang yang tengah berlari terburu-buru itu berhenti sejenak di depan kedai.
"Nonton orang dibakar hidup-hidup, Pak Suto! Ngeri, tapi aku ingin melihatnya seperti
apa! Yuk, ke sana...!"
"Di mana?! Di mana ada orang dibakar hidup-hidup?!''
"Di depan rumah Ki Lurah...!" jawab orang yang dipanggil, kemudian ia melanjutkan
larinya.
Min dan Jo, kedua penarik gerobak sapi itu buru-buru membayar makanannya.
"Aku juga mau melihat ke sana, ah. Seumur-umur baru sekarang aku akan melihat orang
hidup dibakar...!" kata Jo. Kemudian keduanya segera naik ke gerobak sapi masing-
masing. Orang yang makan di pojokkan juga buru-buru menyelesaikan makannya, dan
setelah membayar ia segera pergi ke arah rombongan orang berlari.
"Ki Sanak juga ingin menonton orang dibakar?!" sapa pemilik kedai kepada Suro
Bodong.
Kepala Suro Bodong hanya menggeleng. Ia tetap tenang. Ia hanya menjawab, "Saya
takut, Pak."
"Saya juga. Tapi kalau tidak melihat jadi penasaran rasanya."
"Kalau Bapak mau melihatnya, silakan ke sana. Biar saya yang menunggu kedai ini."
Seorang perempuan berlari sambil menggendong anaknya berumur dua tahun.
''Pak."
''Kamu juga mau nonton, ya Sur...?"
"Iya, Pak Aku ndak percaya ada orang kok mau dibakar hidup-hidup. Katanya sih...
orang yang dicari-cari sudah ketemu, Pak. Aku jadi penasaran, ingin melihat seperti apa
orang yang bernama Suro Bodong itu."
"Lho, jadi yang mau dibakar itu Suro Bodong?!" tegas pak Suto, pemilik kedai.
''Iya...! Itu kata orang-orang kok!"
Pak Suto tertegun sejenak. Suro Bodong juga menjadi gelisah. Katanya, orang yang
mau dibakar itu Suro Bodong. Padahal saat itu Suro Bodong sedang makan di kedai,
dan bahkan mendengar sendiri berita tersebut Ah, hati Suro jadi penasaran sendiri.
"Ki Sanak, saya titip kedai ini, ya? Saya penasaran, ingin melihat seperti apa ujud Suro
Bodong itu?" kata pemilik kedai.
"Silakan, Pak. Tapi, ngomong-ngomong, mengapa Suro Bodong mau dibunuh?"
"Hanya soal dendam saja kok, Nak. Raden Puger punya adik, konon adiknya mati di
tangan Suro Bodong. Lalu, Raden Puger hendak menuntut nyawa ganti nyawa."
"Kenapa dia mencarinya di sini? Apakah ini wilayah Raden Puger? Dan apakah Suro
Bodong itu orang desa ini?" Suro Bodong memancing beberapa pertanyaan, dan pak
Suto menjawabnya dengan polos, sebab ia tidak tahu kalau yang sedang berbicara
dengannya itu adalah Suro Bodong sendiri.
"Raden Puger dan Dadung Wungu sebenarnya bukan orang desa ini. Tapi pamannya, Ki
Lurah Jayaraga, adalah paman dari Raden Puger. Dan menurut kabar, entah dari mana
asalnya, bahwa orang yang bernama Suro Bodong itu terlihat memasuki desa ini
kemarin pagi. Jadi, Raden Puger berusaha menemukan Suro Bodong sebelum Suro
Bodong pergi meninggalkan desa ini. Ah, sudahlah... nanti akan saya ceritakan soal itu
semuanya. Saya tahu banyak, sebab Raden Puger mampir ke mari dan bercerita pada
saya. Sekarang, saya mau nonton ke sana. Titip kedai ini, ya Nak?"
''O, ya. Silahkan. Saya tunggu di sini, Pak...!"
Mungkin karena sikap dan penampilan Suro Bodong yang tenang itulah yang membuat
pak Suto tidak menyangka bahwa dia sedang berbicara dengan Suro Bodong asli.
Tetapi kepergian pak Suto membuat Suro Bodong termenung terbengong-bengong
sendirian. Nafsu makannya tidak ada. Ia minum tuak sedikit, kemudian berkecamuk
sendiri dalam hati. Ia bertanya -tanya, mengapa Raden Puger menghendaki
kematiannya? Kalau memang ingin balas dendam atas kematian adiknya, lantas siapa
adik Raden Puger itu? Dan siapa sebenarnya orang yang hendak mereka bakar itu?"
Lama-lama Suro Bodong jadi penasaran. Rasa ingin tahu tentang siapa yang hendak
dibakar jadi mendesak-desak pernafasannya. Maka, tanpa peduli keadaan warung yang
sepi, Suro Bodong pun ikut ke sana, nonton orang dibakar. Tapi tentu saja ia tidak ingin
ciri-ciri yang sudah diketahui orang itu menimbulkan kegaduhan lagi. Tanpa peduli siapa
yang memberi ciri-ciri tubuh Suro Bodong kepada Raden Puger, Suro Bodong harus
merubah dirinya agar bisa menyelidiki masalah sebenarnya.
Ia pergi ke belakang kedai. Tempatnya cukup sepi. Tak terlihat ada seorang pun di sana.
Maka, ia pun segera menggunakan jurus Luing Ayan-3, yang disebut pula jurus
Saptaraga. Ia bersalto di tanah, tubuhnya yang semula sedikit gemuk dan berambut
panjang sepundak dengan kumis tebal, kini telah berubah menjadi seorang bocah
berumur antara 10 sampai 15 tahunan.
Jurus Luing Ayan memang mampu merubah ujud Suro Bodong menjadi bentuk lain
sampai tujuh rupa. Itulah sebabnya ia pernah disebut sebagai pendekar 7 keliling karena
kehebatan ilmu semacam itu. Dalam keadaan menjadi seorang bocah, Suro Bodong
biasanya merubah namanya menjadi Tole. Ia mengenakan celana hitam, tanpa baju.
Berkalung ketapel atau slepetan, dengan potongan rambut yang kaku dan tubuh yang
kurus. Ia mirip anak yang terlantar.
Pada waktu Suro Bodong sampai di depan rumah Ki Lurah, ternyata tempat itu sudah
banyak dikelilingi manusia. Di tengah tanah lapang itu telah diikat seorang lelaki
bertubuh gemuk, rambut panjang dan perutnya sedikit buncit. Lelaki itu berdiri di tengah
tumpukan kayu bakar dalam keadaan tubuh terikat pada sebuah tiang besar dari pohon
kelapa. Orang itu tidak mengenakan baju, celananya merah. Berbeda dengan celana
Suro Bodong sebenarnya yang biru tua itu. Bagi Tole, jelas orang yang mau dibakar itu
bukan Suro Bodong. Bentuk tubuhnya memang mirip dengan Suro Bodong, namun
mereka salah comot dan memaksakan diri menganggap orang itu adalah Suro Bodong.
Maka, tak heran jika orang itu menangis ketakutan sambil berseru:
"Aku bukan Suro Bodong...!! Oh, tolonglah... aku bukan Suro Bodong...! Kalian salah
sangka! Aku Mugeni...! Aku bukan Suro Bodong! Namaku Mugeni...!"
Tapi agaknya tak ada orang yang mau mendengarkan teriakan Mugeni. Suro Bodong
berjingkat-jingkat ingin melihat lebih jelas ke arah depan. Maklum, sekarang dia menjadi
anak kecil sehingga beberapa orang dewasa menghalangi penglihatannya.
Untuk memperoleh penglihatan yang jelas, Tole naik ke atas pohon yang ada di sudut
tanah lapang itu. Pohon jambu batu yang tidak seberapa tinggi, namun ternyata dapat
membantu Tole untuk melihat keadaan di tengah lapang. Tole, atau Suro Bodong yang
sebenarnya, sempat memperhatikan beberapa orang yang tengah berembuk di depan
tumpukan kayu bakar. Mereka mungkin Ki Lurah Jayaraga, Raden Puger dan Dadung
Wungu yang didampingi beberapa pesuruhnya. Tapi yang mana Dadung Wungu, yang
mana Raden Puger, Suro Bodong tidak bisa memastikan. Ia belum mengenal mereka,
bahkan Lurah Jayaraga pun belum pernah dikenalnya.
Suro Bodong baru semalam menginap di desa itu, di sebuah penginapan darurat. Ada
seorang penduduk desa yang rumahnya dekat perbatasan desa, dan menyediakan satu
kamar untuk menginap Suro Bodong dengan harga murah. Sedangkan tujuan Suro
Bodong sebenarnya akan ke Bandar Koja, daerah pesisir Selatan untuk mencari
keterangan tentang kapal-kapal yang datang dari negeri seberang.
Ia telah dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja, yang punya kekhawatiran
tentang serangan tentara Tiongkok di bawah pimpinan seorang kaisar. Sebab ada
beberapa pemerintahan yang pernah diserang oleh tentara Tiongkok untuk dilelang
kepada orang-orang pendatang. Untuk mengatasi hal tersebut, Suro Bodong kebetulan
berhasil diangkat sebagai menantu Sultan Jurujagad, kemudian dinobatkan sebagai
Senopati Kesultanan Praja itu. (dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT ASMARA).
Karenanya, untuk melakukan pencegahan lebih awal, Suro Bodong perlu menyelidiki
keadaan di pelabuhan Bandar Koja tentang kemungkinan datangnya kapal atau perahu
asing. Tapi agaknya di desa Cengkir yang ia singgahi itu ada masalah lain yang harus
dituntaskan.
"Rakyat Desa Cengkir...!" teriak seseorang yang berdiri di depan tumpukan kayu bakar
itu. "Orang yang bernama Suro Bodong telah berhasil kami tangkap atas bantuan
Saudara Barsowi, yang memberi keterangan di mana orang itu bersembunyi. Maka,
sebelum Suro Bodong kami bakar, kami akan menyerahkan hadiah kepada Saudara
Barsowi berupa uang emas sejumlah dua puluh keping!"
Sorak rakyat membahana. Orang yang siap dibakar masih berteriak-teriak, "Aku bukan
Suro Bodong! Barsowi punya dendam kepadaku, lantas memfitnahku sebagai Suro
Bodong! Bukan...! Aku memang bukan Suro Bodong! Aku Mugeni...! Namaku Mugeni
dari desa Tundongan...!"
Seruan itu tidak dihiraukan. Orang berpakaian rapi dan mengenakan ikat kepala dari kain
batik halus itu berseru lagi kepada massa.
"Mana yang bernama Barsowi...? Barsowi... harap tampil ke depan untuk mendapat
hadiah dari Raden Puger, keponakanku sendiri...!"
Suro Bodong yang menjadi Tole segera mengerti, bahwa orang yang berseru tadi adalah
Ki Lurah Jayaraga. Di samping kirinya, ada orang yang mengenakan pakaian rapi pula
berwarna ungu, berlengan panjang dengan hiasan benang emas di tepian bajunya. Pasti
dia yang bernama Raden Puger. Orang tegap dan usianya sudah cukup banyak, antara
35 tahunan. Sedangkan yang mengenakan rompi biru muda dengan celana merah
seperti yang dikenakan Raden Puger itu, pasti yang bernama Dadung Wungu. Ia
kelihatan lebih kasar dan lebih berotot ketimbang Raden Puger. Kepalanya mengenakan
ikat kain ungu, mirip baju yang dikenakan Raden Puger. Di tangannya menggenggam
tombak berujung clurit yang berkilauan ketajamannya. Sedangkan Raden Puger hanya
menyandang sebilah pedang bersarung perunggu di pinggang. Gagang pedang itu
mempunyai manik-manik batu permata warna putih dan merah tua. Bagus sekali. Pasti
Raden Puger bukan sekedar rakyat biasa. Paling tidak orang tuanya, atau bahkan dia
sendiri adalah orang penting dalam suatu pemerintahan.
Suro Bodong masih ingat seruan Mugeni tentang dendam Barsowi, sehingga membuat
Mugeni disangka Suro Bodong. Benar-benar keji hati Barsowi itu. Ia memaksakan
musuhnya mati di tangan Raden Puger dengan mengatakan bahwa Mugeni adalah Suro
Bodong.
Ketika Mugeni berteriak sekeras-kerasnya, Barsowi hanya tertawa sambil menunjukkan
20 keping uang emas dalam kantong kecil. Kemudian Raden Puger memerintahkan
beberapa pelayannya agar menyiram minyak pada kayu bakar yang telah menumpuk di
sekitar kaki Mugeni.
Pada saat itu, Suro Bodong yang menjadi anak kecil itu segera memetik buah jambu
batu yang masih keras. Ia mulai merentangkan ketapel atau slepetannya dari atas
pohon. Ia menghirup udara banyak-banyak, lalu disimpan dalam dada, setelah
memejamkan mata sejenak, ketapel itu pun dilepaskan.
"Wesss...!"
Jambu batu yang masih sekeras batu itu melesat cepat ke arah Barsowi. Saat itu
Barsowi telah berada di antara penonton yang mengerumuninya. Suro Bodong melihat
ada celah kecil yang menampakkan tangan Barsowi sedang memegang kantong uang.
Lewat celah kecil, di antara kepala-kepala dan pundak-pundak penonton itulah jambu
batu itu meluncur cepat dan mengenai tangan Barsowi Keadaan menjadi gaduh. Barsowi
menjerit keras sekali. Jambu batu itu menghantam tangannya dan menimbulkan letupan
yang mengagetkan Barsowi dan orang di sekelilingnya. Barsowi sangat kesakitan,
karena letupan jambu batu itu mengakibatkan tangannya hancur sampai sebatas
pergelangan tangan. Ia bagai dihantam dengan bom kecil yang membuat kantong
uangnya jatuh entah ke mana, dan tangannya hancur dengan keadaan sangat
mengerikan.
"Aaaoow...!! Tangankuuu...! Tangankuu...!! Aaahh...!"
Suasana jadi kacau balau. Orang-orang menyingkir dari Barsowi dalam keadaan panik.
Raden Puger dan Ki Lurah sama-sama terkejut. Mereka memandang Barsowi.
Sementara itu, Dadung Wungu matanya jelalatan mencari orang yang mengacaukan
suasana itu.
"Lepaskan akuuu....'!" teriak Mugeni yang tubuhnya sudah banyak luka akibat siksaan
sebelumnya. "Kalau ingin Barsowi selamat, lepaskan akuuu...!!"
"Diaaam...!!" teriak Dadung Wungu sambil melemparkan batu dan mengenai dagu
Mugeni. Dagu itu berdarah dan Mugeni menjerit kesakitan. Namun, agaknya ia berusaha
terus untuk melepaskan diri. Suasana sudah kacau, dan itu kesempatan bagi Mugeni
untuk mencari peluang. "Barsowiii...! Kalau kau ingin selamat, katakan kepada mereka
bahwa aku bukan Suro Bodong! Lekas katakaaan...!"
Barsowi sibuk menjerit-jerit karena ia kehilangan telapak tangan kirinya. Mungkin karena
tertutup suara gaduh penonton yang panik, maka suara Mugeni itu tidak mendapat
sambutan dari Barsowi.
"Gotong dia ke rumah!" teriak Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang
menggotong Barsowi ke rumah Ki Lurah yang ada di belakang para penonton.
Raden Puger berseru, "Orang itu harus tetap dibakar! Dia Suro Bodong, yang telah
membunuh adikku dengan keji! Bakar dia sekarang juga!"
Beberapa orang menyiramkan minyak lagi. Lalu salah seorang menyalakan api pada
sebuah obor darurat yang akan dilemparkan ke timbunan kayu bakar. Mugeni berteriak-
teriak ketakutan.
Pada saat itu, Suro Bodong memetik buah jambu batu lagi. Dari atas pohon jambu ia
mengincar tangan pemegang obor yang belum sempat menyala. Ketapelnya ditarik
dengan nafas tersimpan kuat-kuat, lalu melesat cepat melalui celah-celah antara kepala
dengan pundak penonton. "Weees...!" dan sekali lagi jambu batu itu bagai sebuah bom
kecil yang mampu meledakkan tangan pembawa obor.
"Aaaooww...!!"
Tangan itu hancur dan bagai terpotong sebatas pergelangannya. Kepanikan semakin
menggaduhkan suasana. Barsowi sudah digotong ke ru-mah Ki Lurah, sekarang
menyusul lagi satu orang yang harus segera digotong. Sudah tentu hal itu sangat
membuat Dadung Wungu yang agaknya bertugas sebagai pelindung Raden Puger
segera menyusup keluar dari lingkaran musuhnya yang tersembunyi.
Kali ini, Tole sengaja memetik beberapa ranting kering. Ranting sebesar ibu jarinya
dipakai sebagai peluru ketapelnya. Ketapel dislepetkan ke arah kepala Dadung Wungu
yang membelakang-nya.
"Pletaak...!!"
Dadung Wungu menyeringai sakit sambil memegangi kepalanya. Kebetulan waktu itu di
belakangnya berdiri seorang pemuda yang tadi sangat kegirangan dan bertepuk tangan
ketika Barsowi menerima hadiah. Dadung Wungu segera menampar pemuda itu sambil
berteriak:
"Bangsat...!!" Kau yang melemparku dengan ranting ini, ya?!"
Plak... plak... plak...!"
"Ampun... bukan..." Pemuda itu tidak sempat bicara lebih panjang lagi. Dadung Wungu
segera menendangnya hingga pemuda itu terpental. Lalu, pingsan bersandar sebuah
pohon lain yang ada di depan rumah Ki Lurah. Dadung Wungu mengusap-usap
kepalanya yang terasa sakit dan benjol akibat slepetan tersebut. Sedangkan Suro
Bodong dalam ujud seorang bocah hanya tertawa tertahan dari atas pohon jambu batu.
"Cepat bakar...!" teriak Raden Puger dengan kemarahan yang membuat nafasnya
terengah-engah. Seorang pelayan segera menyiapkan api pada obor yang akan dipakai
untuk menyundut tumpukan kayu yang telah tersiram minyak itu.
"Wesss...!" sekali lagi Suro Bodong kecil meluncurkan sebuah jambu batu melalui
ketapelnya. Jambu itu tepat mengenai obor yang belum sempat menyala, dan
menimbulkan ledakan kecil yang mengagetkan siapa saja. Obor itu pecah, menjadi
serpihan-serpihan pada bagian ujung obor sampai ke tengahnya.
Raden Puger bertambah amarahnya. Ia sempat berteriak:
"Bangsaaat...!! Keluar dari persembunyianmu! Tampakkan wajahmu dan hadapi aku.
Jangan berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi...!!"
Para penonton mulai mundur, menjauh. Mereka takut terkena sasaran
kemarahan Raden Puger. Mata Ki Lurah dan Dadung Wungu juga jelalatan mencari
musuh mereka. Namun, anehnya tak satu pun dari mereka yang mencurigai pohon
jambu di sudut. Memang letaknya jauh dari mereka, pantas rasanya jika mereka tidak
menaruh curiga. Mereka mengira, ada serangan tenaga dalam yang di lancarkan di
sekitar itu.
"Dadung...!!" teriak Raden Puger dengan muka memerah.
''Lindungi aku di sini, biar akan kubakar sendiri Suro Bodong itu! Cepaaat...!!"
Dadung Wungu buru-buru berdiri dengan posisi bertolak belakang dengan Raden Puger.
Ia memegangi tombak berujung clurit dengan kedua tangan. Tombak seakan menyilang
di depan Dadung Wungu, dan mata Dadung Wungu bergerak liar.
Raden Puger menyalakan kayu yang sudah dicelupkan ke dalam minyak.. Kemudian
menyulutnya, sementara Dadung Wungu siap-siap menunggu serangan dari lawan. Arah
serangan itu yang ia tunggu.
Tetapi Suro Bodong tidak mau berbuat sebodoh itu. Ia tidak ingin arah serangannya
diketahui oleh Dadung Wungu. Sebab itu ia tidak melepaskan peluru ketapelnya pada
Raden Puger. Ia diam saja, duduk di sebuah dahan yang terlindung oleh segerombolan
daun jambu yang rindang.
Toloooong...!! Lepaskan akuuu...! Aku bukan Suro Bodong...!" teriak Mugeni.
Suro Bodong, si bocah berambut jabrik itu, diam saja memandang ke arah tumpukan
kayu yang hendak dibakar. Beberapa saat kemudian, tumpukan kayu itu benar-benar
menjadi terbakar. Berkobar-kobar setelah Raden Puger melemparkan api di ujung kayu.
Raden Puger kelihatan mulai lega melihat tawanannya berteriak-teriak sangat ketakutan.
Tetapi hal itu berlangsung tidak lebih dari dua hitungan. Api di atas tumpukan kayu itu
tiba-tiba menjadi padam tanpa ada hembusan angin ke kiri atau ke kanan. Semua orang
menjadi heran dan saling menggumam sendiri-sendiri.
Raden Puger mencoba lagi, mencelupkan ranting kering dan menyalakannya dengan
korek batu, kemudian melemparkan ranting itu ke tumpukan kayu.
"Buus...!" Kayu-kayu itu terbakar. Nyala apinya berkobar, sebagian ada yang sudah
menjilat celana Mugeni. Itu membuat Mugeni menjerit keras sekali dengan otot
mengejang. Tetapi, hanya dua hitungan, api itu padam lagi. Anehnya tak ada angin yang
membuat nyala api bergerak ke mana-mana. Nyala api itu bagai ditelan ke dasar bumi.
Padam. Surut begitu saja. Dan mati lagi, kecuali meninggalkan asap yang mengepul
sekejap.
Suro Bodong tersenyum. Ujudnya yang seperti bocah itu benar-benar tidak
mencurigakan seseorang. Memang ada dua orang yang pernah menengok ke atas dan
melihat Tole ada di pohon, namun mereka tidak menyangka sama sekali bahwa justru
bocah telanjang dada itulah yang mengacaukan acara pembakaran orang hidup sejak
tadi.
"Pasti pengacau itu masih berniat menggagalkan rencana kita," ujar Ki Lurah yang
sempat didengar Tole secara samar-samar.
''Pengacauuu...!" teriak Raden Puger dengan berang. "Ayo, keluar dari
persembunyianmu...! Hadapilah kami!!"
Sampai lama mereka bungkam dan menghentikan acara tersebut. Mugeni sempat
berseru:
''Itulah akibatnya jika menghukum orang tak berdosa! Kalian terancam! Kalian dalam
bahaya! Karena dari itu, lepaskanlah aku...! Aku bukan Suro Bodong...!"
Semua memandang Mugeni, sepertinya ada sorot keraguan di mata Raden Puger dan Ki
Lurah. Tetapi Dadung Wungu yang masih berdiri bertolak belakang dengan Raden
Puger segera berseru:
"Nyalakan api sekali lagi, aku ingin tahu dari mana sumber kekuatan itu...!!"
Raden Puger bertekad menyalakan api lagi. Dan memang benar, api sudah dinyalakan
lalu dibuang ke tumpukan kayu. Kayu itu terbakar seketika. Namun mata Tole
memandang tiada berkedip. Dan api itu surut, padam bagai kehabisan minyak. Gumam
orang-orang kembali menggema.
"Bangsat! Benar-benar ada yang ingin menantangku!" teriak Raden Puger dengan muka
merah. Kemudian ia mengeraskan kedua tangannya ke atas. Jari-jemarinya menekuk
kaku, kemudian kedua tangannya menghentak ke depan. Ada semacam loncatan bunga
api keluar dari kedua telapak tangannya. Api membakar tumpukan kayu, tapi Tole
memandangnya tanpa berkedip, dan api itu padam lagi. Raden Puger menggunakan
ilmu tenaga dalamnya sekali lagi, api itu terbakar, namun segera padam lagi. Dengan
jengkel, akhirnya tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan itu ditujukan ke tubuh
Mugeni. Loncatan bunga api terarah ke sana. Dan pada saat itu, Tole mengeluarkan api
warna biru yang menghadang loncatan bunga api tadi.
Kedua sinar itu bertemu dan menjadikan ledakan dahsyat
''Sinar itu dari pohon jambu...!" teriak Dadung Wungu.
DUA
Hampir saja Tole mati hangus oleh jurus tenaga dalam yang dilancarkan oleh Raden
Puger. Loncatan bunga api segera melesat ke pohon jambu batu ketika Dadung Wungu
memberi tahu bahwa lawan mereka bersembunyi di pohon tersebut. Untung waktu itu
Tole melompat secepatnya tanpa memikirkan ketinggian yang ada. Begitu Tole
melompat, pohon itu telah terbakar seketika. Dadung Wungu sempat berseru:
"Itu dia...! Bangsat cilik itu pasti yang menjadi pengacaunya!"
"Kejar...!!" seru Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang pesuruhnya mengejar
Tole yang berlari tunggang-langgang ketakutan.
Para penonton meski dilewati Tole, namun tak ada yang mau menangkapnya, sebab
mereka tidak yakin kalau anak kecil itu penyebab kekacauan tadi.
"Emaaaak...! Emaaak...!" Tole berlari sambil berseru ketakutan, selayaknya anak kecil
yang takut tertangkap kaum penyiksa. Hal itu membuat rakyat yang berkumpul di situ
merasa iba hati, mereka semakin yakin, bukan Tole yang mengacaunya. Ada yang
berbisik kepada temannya:
"Kasihan anak kecil itu. Ia belum tahu dosa apa-apa sudah menjadi bahan buruan."
"Kurasa dia hanya menjadi tempat pelampiasan amarahnya Raden Puger," kata
temannya. Sementara yang lain menggerutu pada sebelahnya:
''Ki Lurah sendiri ternyata orang yang tidak bijaksana. Masa' anak kecil seperti itu disuruh
mengejar mereka!"
Lagak Suro Bodong yang telah menjadi anak kecil itu, benar-benar menampakkan
kekecilannya. Suara dan gerak-geriknya sungguh persis bocah kemarin sore. Ia berlari
kian ke mari menghindari kejaran anak buah Ki Lurah Jayaraga. Ia melompat ke sana ke
mari seperti anak kijang yang takut dikejar pemburu. Namun tiba-tiba ia berhenti karena
di depannya sudah berdiri Dadung Wungu yang mengepungnya. Segera ia menerobos
ke arah kiri, melalui samping sebuah rumah penduduk. Namun ia terpaksa berhenti lagi
dengan mata membelalak ketakutan. Di depannya telah berdiri Raden Puger dengan
wajahnya yang memerah karena menahan amarah. Terpaksa Tole berbalik arah sekali
pun sudah ada dua orang yang menghadangnya. Ia menerobos di bawah kaki salah
seorang penghadang dan berhasil lolos. Lalu ia kembali berlari ke tanah lapang, tempat
tumpukan kayu itu berada. Ia terkejut sejenak karena melihat tiang yang dipakai
mengikat Mugeni itu telah kosong. Ke mana Mugeni? Siapa yang melepaskannya?
Karena sudah keburu ada yang mengejar, Tole segera berlari ke arah lain dengan mimik
ketakutan. Ia masuk ke sebuah rumah, tapi sebelum menginjak pekarangan rumah itu,
tahu-tahu sebuah tangan kekar menyahutnya dan membuat Tole tak dapat bergerak
ketika rambutnya dijambak oleh tangan kekar itu.
"Mau lari ke mana kau tikus busuk..!!" geram Dadung Wungu yang memegang lengan
Tole dengan genggaman keras. Tole meringis dan berseru:
"Ampuuun...! Bukan saya...! Emaaak.. tolong aku, Maak...!"
Dadung Wungu menyeret Tote dengan kasar sekali. Tiba-tiba kepalanya tersentak keras
dan ia mengaduh seketika. Sebuah tendangan melayang dan mengenai kepala Dadung
Wungu. Tendangan itu berasal dari seorang perempuan muda berbadan sekal dengan
rambutnya yang hanya sebatas punggung. Dadung Wungu tak sempat memegang Tole
ketika lehernya dipukul oleh perempuan berbaju serba kuning.
"Jangan hanya berani kepada bocah kecil, Pengecut!" teriak perempuan itu sambil
meraih tubuh Tole. Kemudian ia segera menggendong Tole dan melarikan dengan gerak
ilmu ringan tubuh yang amat cepat. Dadung Wungu dan konco-konconya tidak berhasil
mengejar perempuan tersebut, sementara Raden Puger marah-marah karena Mugeni
hilang.
Tole berlagak pingsan waktu ada dalam gendongan perempuan berpakaian serba
kuning gading itu. Ia membiarkan dirinya di bawa entah ke mana, sampai ia akan tahu
siapa perempuan yang tahu-tahu muncul dan menolongnya itu.
Rupanya Tole dibawa ke sebuah pondok di lereng tebing. Tole berlagak siuman ketika
perempuan itu meletakkan tubuh Tole di atas bale. Suara air terjun terdengar samar-
samar. Desiran angin terasa membuat bulu kuduk merinding.
''Syukurlah kalau kau sudah siuman," kata perempuan itu.
Tole mengerjap-ngerjap mata, lalu melongo sambil memandang keadaan sekeliling. Ia
bertanya dalam kebingungan yang dibuat-buat.
"Aku ada di mana?"
Perempuan itu menjawab dengan suara lembut, "Kau berada di pondokku. Pondok
Lereng Sewu." Tole masih clingak-clinguk, tak sedikit pun ada kesan bahwa sebenarnya
Tole adalah seseorang yang dewasa, yakni Suro Bodong.
"Siapa namamu?"
''Tole...!" jawab Tole dengan rasa takut yang dibuat-buat. Perempuan berpakaian serba
kuning itu berkata:
"Jangan takut. Kau di sini aman. Jauh dari mereka yang mengejarmu. O, ya... kuharap
kau betah tinggal di sini."
"Tinggal di sini?!" Tole berkerut dahi dengan wajah bagai dalam kecemasan. Suro
Bodong pintar memainkan mimik seperti itu. "Kakak sendiri siapa?!"
"Panggil saja aku: Dewi Gading. Kau boleh memanggilku pakai sebutan kakak, boleh
juga pakai sebutan Mbak, dan kalau kau mau memanggilku Dewi saja juga boleh,"
perempuan itu menyunggingkan senyumnya yang manis. Tole masih menampakkan
wajah pilonnya, melongo dengan mata kedip-kedip mirip anak cacingan.
"Dengan siapa Kakak tinggal di sini?"
"Aku sendirian. Ini dulu bekas pondok guruku yang telah lama meninggal dunia. Dan,
aku yang menempatinya sekarang. Di sini kau bisa belajar ilmu kanuragan denganku.
Kau suka ilmu silat?!" Tole hanya diam, memandang pemandangan alam di mana
banyak pohon bambu di seberang tebing yang sangat curam itu.
"Kenapa kak Dewi tinggal di sini?!" tanya Tole seakan tidak mau menanggapi pertanyaan
Dewi tadi.
"Aku ingin mewariskan ilmu dari guruku. Sebab, hanya aku pewaris tunggal ilmu dari
guru. Dan kubayangkan kalau sampai aku mati di suatu saat, tentu ilmu itu akan punah.
Maka, aku perlu mencari seorang murid yang mau menerima warisan ilmu guruku yang
ada padaku ini."
"Apakah guru kak Dewi sakti?!"
"Ya. Ia mewariskan ilmu yang cukup hebat padaku," perempuan itu berkata sambil
mengusap-usap kepala Tole.
"Apakah guru kak Dewi punya banyak ilmu?"
"Ya."
"Kenapa bisa mati? Kan ilmunya banyak?!"
"Setiap manusia bisa mati, Tole."
"Aku juga bisa mati?"
"Bisa," jawab Dewi dengan tersenyum geli.
''Tapi, aku tidak mau keburu-buru mati, ah..! Akan kupertahankan hidupku, sebab aku
belum..." Karena Tole berhenti bagai ragu-ragu, Dewi Gading memburu dengan
pertanyaannya:
''Sebab apa, maksudmu?"
"Sebab... sebab aku belum kawin...!"
Dewi Gading tertawa geli sambil memeluk kepala Tole hingga lekat betul dengan
dadanya yang menonjol padat itu. Dewi Gading mengusap-usap rambut Tole, sepertinya
kepala Tole dioser-oserkan di dada yang menonjol maju itu. Tawa Dewi Gading cukup
lepas ceria. Ia tampak gembira sekali memperoleh teman seperti Tole.
''Tole, kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus punya ilmu bela diri. Sebab manusia itu
tidak luput dari bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang, seperti yang kau alami tadi."
"Ah, itu bukan bahaya kok. Sekedar main-main saja," jawab Tole membayangkan
masalahnya dengan Raden Puger.
"Bagus. Sejak kau berlari dikejar-kejar orang-orang itu, aku sudah menduga bahwa kau
bocah yang punya keberanian. Karena itu aku ingin sekali mengangkat kau sebagai
muridku."
Tole tidak memberikan komentar selayaknya, ia bahkan berjalan keluar dari serambi
pondok dan memandang keadaan alam sekitarnya. Pondok itu sungguh merupakan
rumah yang tepat untuk mengasingkan diri. Pondok itu terletak di sebuah tebing yang
amat curam. Ada sungai di bawah sana, tapi dari pondok hanya kelihatan seperti garis
putih sebesar benang tenun. Iih... alangkah tingginya antara pondok dengan dasar
jurang itu. Sedangkan sewaktu Tole mendongak ke atas, ia pun jadi merinding melihat
tepian jurang di atas sana cukup tinggi. Entah berapa lama orang harus mendaki dari
pondok ke atas tebing dan mencapai permukaan dataran di atas sana. Mengerikan
sekali kalau sampai tergelincir dari atas pondok itu, apalagi ke dasar jurang. Ohh...
mungkin tubuh yang tergelincir tak akan sempat utuh begitu sampai di dasar jurang.
Dewi Gading jelas bukan perempuan yang hanya sekedar mempunyai ilmu silat yang
lebih dahsyat dari ilmu bela dirinya. Tanpa mempunyai keunggulan ilmu, tak mungkin
Dewi Gading bisa mencapai pondok sambil menggendong tubuh Tole. Paling tidak ia
sangat menguasai ilmu peringan tubuh yang benar-benar sempurna.
Tole berdecak sendiri memperhatikan betapa tingginya permukaan tanah di atas sana. Ia
bagai berada dalam himpitan lobang dari sebidang tanah yang meretak dalam. Ada
beberapa pohon bambu dan sejenisnya di tebing seberang, tetapi di sekitar pondok itu
tidak terlalu lebat. Tanah tebing di situ merupakan campuran antara tanah lempung
dengan cadas yang membatu. Keadaannya hampir selalu licin, sebab sinar matahari
yang masuk ke situ hanya sebagian saja. Dedaunan yang rimbun di bagian atas tebing
membuat sorot matahari tidak sepenuhnya masuk ke dalam celah tebing itu. Sedangkan
tempat datar memang ada di sekeliling pondok tersebut. Dari tanah datar tersebut
menghasilkan tebing baru di tepiannya, lalu ada lagi tanah datar walau kecil, lalu ada lagi
tebing yang curam, ada lagi tanah datar dan begitu seterusnya, bagai tangga raksasa.
Menurut Tole, tanah datar yang paling lebar hanya yang ada di pondok Lereng Sewu itu.
Di luar dugaan, malam hari hawa di lereng itu sangat dingin. Bahkan melebihi kedinginan
di puncak gunung. Tole menggigil ketika malam itu ia pergi keluar untuk buang air. Angin
berhembus tidak begitu kencang, namun udara dingin yang dibawanya sangat
mengilukan tulang.
''Dingin sekali, Kak... ''
"Memang. Alam di sini punya banyak kelainan dengan keadaan alam di lain tempat."
Dewi Gading menuang minuman penghangat tubuh, merupakan campuran jahe dengan
lada dan gula aren yang kental.
"Minumlah ini, sangat enak untuk penghangat tubuh," kata Dewi Gading.
Mereka duduk di seperangkat bangku yang terbuat dari potongan batang kayu besar.
Garis tengah batang kayu itu antara setengah meter. Dipotong papak, dan masing-
masing kayu tingginya juga sekitar setengah meter. Ada empat balok kayu yang
mengelilingi meja bundar tak teratur, juga terbuat dari balok kayu yang tipis tapi lebar
dan berkaki empat.
''Di mana orang tuamu, Tole? Apakah mereka tinggal di desa itu juga?! ''
"Aku... aku sendiri tidak tahu, kak. Aku tidak punya tempat yang pasti, kadang di sini,
kadang di sana..."
''Pantas kau punya keberanian," kata Dewi
"Kalau kepepet ya bisa punya keberanian," ujar Tole, kemudian ia menghirup minuman
penghangat tubuhnya.
"Aku sudah tiga tahun tinggal di sini," kata Dewi, "Tetapi baru kali ini aku menemukan
bocah seberani kamu!"
"Maksudmu apa, kak?" Tole bertanya begitu, karena ia merasa menemukan satu
kejanggalan yang sukar dijelaskan.
"Banyak sekali kutemukan bocah seusia kamu, tapi pada umumnya mereka mempunyai
nyali yang rendah. Kecil. Aku melihat kau loncat dari pohon jambu ketika orang yang
bernama Raden Puger itu menyerang pohon itu. Aku mulanya mengira kau setan kecil.
Eh, rupanya kau hanyalah bocah desa yang punya keberanian tinggi. Berani dan
menghindar terus dari kepungan mereka. Kau tidak mudah menyerah, lalu hatiku
berkata, bocah seperti itulah yang pantas menerima segala ilmuku. Karena itu, aku
membawamu ke mari."
"Lalu, kenapa mereka jadi berang padaku?" Tole berlagak bodoh.
"Raden Puger dan orang-orangnya mengira kau telah mengacau rencana mereka."
''Mengacau? Apakah nonton dari atas pohon itu mengacau?"
"Ada orang yang mempunyai ilmu tinggi yang telah memadamkan api di kayu bakar itu.
Kau lihat sendiri, bukan, bahwa setiap api yang dibakar selalu padam seketika, tanpa
angin. Belum lagi tangan orang yang menerima hadiah itu jadi buntung mengerikan
begitu, pasti karena serangan ilmu jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi. Aku
sendiri mengakui bahwa memang ada orang berilmu tinggi pada waktu itu."
Tole manggut-manggut dengan mulut melongo. Tubuhnya yang kurus dan telanjang
tanpa baju itu kali ini mengenakan kain selimut yang cukup tebal. Konon kain itu sering
dikenakan guru Dewi semasa hidupnya.
"Itu selimut guru semasa hidupnya. Dan, aku sendiri jarang memakainya. Tapi
berhubung tidak ada selimut lain, dan kau akan menjadi muridku, kurasa tak apalah
kalau selimut itu kau pakai."
"Guru kak Dewi siapa namanya?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Apakah tak boleh? Kalau tak boleh, ya sudah, aku tidak ingin menanyakannya lagi."
Dewi menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya, selayaknya ia mengajak
bercanda.
"Guruku adalah... Ratna!"
Tak disengaja wajah Tole tersentak kaget memandang Dewi Gading. Matanya melebar
dan wajah itu menjadi tegang. Dewi menjadi heran, lalu ia bertanya:
"Kenapa kau terkejut?! Kenapa, Le?"
Menggeragap seketika itu mulut Tole. Ia mulai bingung, dan menyadari bahwa sebagai
bocah kecil ia seharusnya tidak terkejut bahwa mendengar nama Ratna. Kalau saja ia
berdiri sebagai sosok Suro Bodong, mungkin ia akan menanyakan apakah nama
kepanjangan guru itu adalah Ratna Prawesti? Tapi, menyadari keadaannya sebagai
bocah, Tole tidak menanyakan lebih lanjut. Ia hanya terdesak oleh pertanyaan Dewi.
''Tole, kenapa kau terkejut begitu mendengar nama Ratna? Ada apa sebenarnya?"
Akhirnya, untuk menutupi perasaan sebenarnya, Suro Bodong yang berujud bocah kecil
itu menjawab asal jadi:
"Dulu aku punya teman juga bernama Ratna. Anaknya seusia denganku. Tapi... dia mati
gara-gara kebanyakan makan singkong racun."
Dewi menghempas nafas lega secara samar-samar. Ia tersenyum, bahkan tertawa kecil.
Tole sendiri merasa lega, dapat mengalihkan kecurigaan Dewi Gading.
Perempuan itu merebahkan tubuh ke bale dari bambu yang dianyam rapi. Pondok itu
tidak mempunyai kamar khusus, kecuali kamar yang ada di bagian tengah dan ditutup
dengan pintu dari anyaman kayu-kayu kering. Mirip seperti pintu kamar tahanan. Konon
kamar itu adalah kamar guru Dewi yang tidak boleh dimasuki siapa pun jika tanpa seizin
Dewi. "Kalau kau sudah merasa ngantuk, berbaringlah di sini, Tole. Jangan melek
sampai larut malam! Nanti kamu sakit. Apalagi kau belum terbiasa dengan udara
sedingin ini."
Tak ada tempat tidur lain kecuali bale itu. Tole agak riskan untuk tidur seranjang dengan
Dewi Gading. Mungkin bagi Dewi tidak masalah tidur dengan bocah kecil seperti Tole,
tapi lain masalahnya dengan Tole, sebab ia tahu bahwa dirinya sebenarnya bukan anak
kecil. Tole menyadari bahwa ia adalah Suro Bodong yang sengaja merubah ujud seperti
anak kecil. Kalau saja Tole berujud Suro Bodong yang sebenarnya, barangkali
masalahnya juga akan lain. Mungkin Dewi Gading tidak mau menolong dan
membawanya ke mari, atau mungkin Suro Bodong akan terang-terangan menolaknya.
Tetapi sebagai Tole, haruskah ia menolak tidur seranjang dengan Dewi Gading? Apa
kata Dewi nanti? Apa kecurigaan Dewi nanti jika Tole menolaknya. Tapi jika Tole mau
tidur bersama Dewi Gading, bagaimana perasaannya? Tidakkah itu akan menyiksa
jiwanya sendiri? Dewi cukup cantik, berkulit kuning, berambut hitam bening dan
bergelombang indah. Bibirnya juga sensual dan menggairahkan. Belum lagi dadanya
yang membusung penuh tantangan birahi.
Oh... seperti sebuah siksaan yang keji jika Tole tidur di samping perempuan secantik itu.
Untung ada meja kayu yang berpenampang lebar. Tole sengaja tidur di atas meja dalam
keadaan meringkuk seperti gagang golok. Ia pergi tidur setelah Dewi Gading kelihatan
nyenyak tertidur. Ia sempat memandangi perempuan itu beberapa saat, lalu untuk
menghilangkan pikiran yang menyiksa batin, ia mengambil keputusan untuk tidur di atas
meja. Namun benaknya sempat menerawang dan bertanya-tanya: mengapa ia jadi
berada di tempat seperti itu? Bagaimana dengan Nyi Mas Sendang Wangi, anak sultan
yang telah resmi menjadi istrinya itu? Bagaimana tugasnya menyelidiki keadaan di
Bandar Koja, pesisir Selatan? Lalu, bagaimana pula dengan keadaan dirinya? Haruskah
ia berujud Tole terus-menerus? Sampai kapan ia harus berada di Pondok Lereng Sewu
itu? Ah, bingung!
Tole tak sempat menemukan jawabannya malam itu, karena ia telah diserang rasa
kantuk, sehingga ia tidur dengan lelap sekali. Esok paginya ia dibangunkan oleh Dewi:
"Tinggallah di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu di
atas...!"
Tole bertanya-tanya lagi di dalam hatinya; urusan apa yang dimaksud Dewi? Perempuan
itu melompat dan bersalto beberapa kali untuk mencapai atas, ke permukaan tebing.
Melihat gerakannya yang lincah dan penuh semangat, pasti ada sesuatu yang
dirahasiakan oleh Dewi. Tole sendiri sengaja merenung dan mencari jawaban dari
pertanyaan hatinya: siapa Dewi Gading sebenarnya? Apa kerjanya dan mengapa mau
tinggal di pondok yang sangat terpencil ini? Sepertinya ia sedang menyembunyikan diri
di pondok Lereng Sewu itu. Dan... haruskah Tole mengetahui urusan Dewi?
O, ya...! Ada satu hal yang membuat Tole harus tetap bertahan di pondok itu. Dewi
menyebut nama gurunya adalah Ratna. Siapa tahu memang benar Ratna Prawesti yang
dimaksud Dewi. Dulu, Suro Bodong pernah diberi tahu oleh Eyang Panembahan bahwa
Ratna Prawesti itu tidak ada. Itu hanya bayangan dalam benak Suro Bodong. Dan Suro
Bodong yang sudah sekian lama memburu kekasihnya yang bernama Ratna Prawesti itu
sempat melupakannya, lalu ia kawin dengan anak sultan Praja yang bergelar sultan
Jurujagad.
Tapi, sekarang ia mendengar nama Ratna dari mulut Dewi sebagai nama guru Dewi
yang sudah almarhumah.
Apakah itu Ratna Prawesti? Dan pertanyaan seperti itulah yang kembali menghadirkan
rasa penasaran di hati Suro Bodong, sekali pun ia dalam ujud Tole, bocah kecil
berambut jabrik.
Dalam kesendiriannya itu, Tole berhasil menembak seekor burung dengan ketapelnya. Ia
bermaksud membakar burung itu untuk sarapan pagi Tetapi ia bingung mencari dapur di
pondok itu.
Pondok Lereng Sewu adalah sebuah rumah yang terbuat dari susunan batu kali yang
rapat. Dinding kanan kiri dan depan semuanya terbuat dari batu bersusun-susun. Tetapi
pondok itu tidak mempunyai bagian belakang, karena bagian belakangnya bagai masuk
ke dalam lereng. Rapat dengan lereng cadas yang membatu. Pondok itu hanya terdiri
dari serambi depan, dan ruang tengah yang sekaligus bisa dikatakan sebagai ruang
tamu maupun ruang tidur: Tidak ada dapur. Di luar pun tidak ada bekas tempat
memasak. Hanya ada sebuah kamar mandi, yang mendapat air dari pipa berupa
pelepah-pelepah batang daun kelapa kering, sambung menyambung panjang sekali,
yang diperkirakan ujungnya ada di tempat air terjun. Apa bila malam, pelepah daun
kelapa yang berfungsi sebagai penyalur air itu terdengar mengucurkan air ke dalam
tempayan besar. Tetapi jika pagi
sampai siang, tak ada air yang mengalir ke situ. Agaknya hal tersebut sudah dipelajari
oleh guru Dewi sebelumnya, sehingga apa bila malam hari tiba, ia tahu air di pusat akan
meluap dan mengalir ke tempat lain. Maka air yang meluap itulah yang ditampung ke
dalam tempayan besar tersebut.
Seekor burung telah dibersihkan oleh Tole. Tapi ia masih bingung mencari tempat untuk
memasak burung tersebut. Memang akhirnya ia membakar burung itu di samping rumah
lalu memakannya sebagian. Sisa daging burung bakar itu disediakan untuk Dewi. Tetapi
rasa penasaran masih menggeluti hati Suro Bodong yang menjadi bocah itu. Mengapa
tak ada dapur? Mengapa tak ada kamar lain kecuali kamar bekas mendiang guru.
Mengapa rumah harus menempel bagian belakangnya pada dinding tebing? Apa
sebenarnya yang ada di dalam kamar mendiang guru, sehingga Dewi sangat wanti-wanti
agar Tole jangan masuk ke kamar itu?
Sifat Suro Bodong yang asli keluar dalam diri Tole. Ia menjadi penasaran karena wanti-
wanti dari Dewi yang sering diucapkan itu. Sebab itu, mumpung Dewi Gading pergi, Tole
menyempatkan masuk ke, kamar mendiang guru. Pintunya yang terbuat dari
anyaman batang kayu selain berat diangkat juga dirantai rapat. Ada semacam gembok
yang membuat rantai itu susah dibuka. Tak ada cara lain bagi Tole untuk dapat
membuka rantai tersebut, kecuali membekukan lobang gembok tersebut.
Ia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian di tahan kuat-kuat di dadanya. Tangan
kanannya bergerak kaku, dari atas ke bawah, seakan sedang menarik beban yang amat
berat. Jari telunjuknya berdiri sedang jari lainnya menggenggam. Jari telunjuk itu kaku
sekali seperti besi. Kemudian, perlahan-lahan jari telunjuk itu ditempelkan ke lobang
gembok. Jari itu menjadi putih dan mengeluarkan semacam busa es yang d ingin. Asap
es dingin juga terlihat mengepul tipis. Dan sampai beberapa lama hal itu dilakukan,
kemudian gembok itu sendiri mulai berbusa pada bagian lobangnya.
Kian lama, terdengar juga suara:
"Klikk...!" Gembok itu terbuka sendiri saat tenaga inti pembeku disalurkan lewat jari
telunjuk Tole.
Kamar mendiang guru kelihatan gelap. Tirai dari kain tebal terpaksa harus disingkirkan,
dan cahaya dari luar pun masuk. Mata Tole sempat melihat beberapa barang yang
bernilai mahal dibanding barang-barang di luar kamar. Kamar itu bukan hanya sepetak,
tapi memanjang dan luas. Ada nyala api yang tampaknya dinyalakan sejak dulu dengan
bahan pembakar semacam getah damar di dalam tabung, getah itu yang mengalir ke
sumbu dan mampu membuat api menyala sampai beberapa waktu lamanya. Wouw...
penemuan yang hebat juga, pikir Tole.
Di situ juga ada kursi berukir yang indah, jumlahnya dua buah, di kanan kiri sebuah meja
marmer seperti milik seorang bangsawan. Ck, ck, ck... betapa jauh berbeda keadaan di
dalam kamar itu dengan di luar kamar. Memang di lihat dari pintu masuk, kamar itu
gelap. Tapi ada jalan yang menuju belakang dinding kamar, dan di sana ada ruangan
yang luas dan serba mewah.
Tole tertarik sekali dengan tempat tidur yang bertiang empat, lengkap dengan kelambu
sutranya warna merah muda. Selain terbuat dari kayu jati berukir warna coklat, tempat
tidur itu juga berkasur empuk, berbantal dua dan berguling satu. Kasur tersebut dilapisi
seprai warna hijau muda yang pias. Indah sekali warnanya. Demikian juga sarung bantal
dan sarung gulingnya. Hanya saja, di kasur itu juga dibentangkan kain tebal berbulu
sutra warna kuning gading, seperti pakaian Dewi Gading itu. Tempat tidur itu cukup
untuk dua orang, dan mempunyai meja di kanan kirinya. Meja kecil di kanan kiri itu juga
dipakai untuk meletakkan tempat lampu dari bahan bakar semacam getah damar, tapi
bukan damar asli. Tempat lampu itu tidak menyala. Di samping salah satu tempat lampu
ada tempat buah yang masih berisi beberapa buah jeruk serta buah-buah segar lainnya.
Apa pula dua almari berukir, yang satu memakai cermin, yang satu tidak. Ada pula meja
marmer bentuk empat persegi yang berisi tempat ramuan kecantikan. Di depan meja itu
ada cermin hias, bentuknya seperti gambar hati. Bingkainya berwarna hitam dari kayu
berukir.
Dengan berani, Tole menyalakan semua lampu yang ada sehingga ruangan tersebut
menjadi terang benderang. Lantainya terbuat dari ubin yang dilapisi permadani tebal dan
halus. Permadani itu hanya ada tepat di sekeliling ranjang dan di sekitar meja rias.
Tole melangkah dengan hati-hati sekali. Takut terkena jebakan yang tak diduga. O, ya...
ada satu lagi almari yang tidak sebegitu bagus namun cukup kekar. Terbuat dari kayu
besi berwarna hitam mengkilap. Letaknya di pojok, jauh dari tempat tidur. Di kanan kiri
almari itu terdapat tempat tombak, lengkap dengan masing-masing tombak berujung
keris, yang agaknya terbuat dari logam emas murni. Tole mendekat dan memandangi
kedua tombak di kanan kiri almari itu. Ia kagum, di samping itu juga heran, bahwa
ternyata keadaan di dalam kamar tersebut sangat jauh berbeda dengan keadaan di luar
kamar. Di situ udaranya sejuk, panas tidak, dingin juga tidak.
Ketika Tole hendak membuka almari yang diperkirakan berisi senjata-senjata pusaka,
tiba-tiba dari lobang kunci almari itu melesat sebatang jarum yang panjangnya setengah
jengkal. Jarum itu berwarna putih, mengkilap. Meluncur dengan cepat. Untung gerakan
Tole sangat gesit. Ia memiringkan pundaknya ke samping dan jarum itu tidak jadi
menancap di lehernya. Entah hilang ke mana. Namun Tole bisa memahami apa arti
jarum tersebut, tak lain dari ancaman kematian bagi siapa saja yang bertindak gegabah
di kamar tersebut. Jarum itu pasti beracun, dan sangat ganas racunnya.
"O, pintu almari ini jadi terbuka sendiri?" kata Tole pelan "Mungkin itu tadi jarum
penguncinya..."
Tangan Tole menarik pelan-pelan pintu almari yang hanya satu bagian itu. Ia membuka
dengan hati deg-degan. Ketika pintu semakin lebar, ternyata almari itu kosong. Tidak ada
barang apa pun, sebab sebenarnya almari itu adalah pintu sebuah ruangan. Ruangan
yang gelap dan berasap tipis. Tole tidak melangkah masuk ke ruangan tersebut, sebab
ia tidak tahu bahaya apa yang menunggunya di sana. Tole sangat hati-hati. Ia hanya
melongokkan kepalanya dan meneliti keadaan yang gelap dan berasap tipis itu. Ia tak
bisa melihat apa-apa kecuali keremangan yang sukar diterka.
Tetapi ia mulai menyadari kalau ia telah mencium suatu bau-bauan. Ya, aroma wangi
yang tercium olehnya saat itu. Entah wangi bunga apa, Tole atau Suro Bodong belum
pernah mengetahuinya.
Baru kali itu ia mencium aroma wangi yang enak sekali dihirup. Agaknya ada sesuatu di
tengah sana yang menjadi pusat aroma wangi itu. Namun, ketika Tole hendak
melangkah masuk ke ruangan itu melalui pintu berbentuk almari, tiba-tiba ia mendengar
suara memanggil dari belakang:
''Tole...?! Apa yang kau lakukan, hah?!" Dewi kelihatan marah begitu mengetahui Tole
berada di ambang pintu tersebut. Ia segera menarik tangan Tole, dan Tole tak sempat
bertahan karena Dewi segera menyeretnya, menjauhi tempat tersebut.
"Kenapa aku tidak boleh masuk ke sana, kak?!"
Dewi menjawab dengan geram, "Itu alam kematian, tahu?!"
"Hah...?!"
TIGA
Asap yang mengepul dari kamar gelap berpintu model almari itu mulai meresap ke
ruangan mewah. Dewi Gading buru-buru menutup pintu tersebut. Ia masih
menampakkan kejengkelannya kepada Tole, sementara Tole menampakkan rasa takut
bersalah.
''Celaka...!" gumam Dewi Gading.
"Kenapa, kak Dewi?" Tole berkerut dahi, memandang Dewi dengan mulut melongo dan
kepala sedikit miring. Ia seperti anak yang ingin tahu segala sesuatu yang belum ia
ketahui. Suro Bodong pandai mempermainkan gaya anak-anak pada saat ia menjadi
ujud bocah seperti saat ini.
"Gawat! Benar-benar gawat," Dewi bergumam lagi seraya matanya memandang ke atas
dan sekeliling atas.
"Ada apa sebenarnya?" Tole mendesak, menampakkan sikap ingin tahunya seorang
bocah.
"Aroma asap itu telah masuk ke kamar ini!" geram Dewi.
"Baunya harum, ya?" Tole seakan tak bersalah.
''Goblok! Tapi asap dan aroma harum itu akan merusak otakmu, merusak syaraf kita,
tahu?!"
Tole menunduk, menampakkan penyesalannya. Dewi Gading yang berkulit kuning mulus
itu duduk dengan resah di tepian ranjang. Sesekali ia memandang Tole, sesekali
mendesah cemas sambil memperlihatkan pintu yang berbentuk seperti pintu almari itu.
Untuk mengalihkan keresahannya sendiri, ia berkata kepada Tole:
"Kenapa kau masuk ke mari? Bukankah aku sudah melarang kamu agar tidak ke mari?!
Bandel!"
"Aku... maafkan aku, kak Dewi. Aku hanya mencari di mana dapur untuk memasak
burung buruanku. Lalu... lalu aku mencoba masuk ke mari, sebab aku... aku penasaran.
Kupikir aku yang bodoh, tak bisa mencari dapur. Dan... dan kebetulan aku melihat
gembok pintu kamar ini tidak terkunci. Jadi... jadi kupikir kakak membohongiku dengan
mengatakan ini kamar mendiang guru. Menurut dugaanku, ini adalah dapur. Tapi setelah
aku masuk, ternyata...."
"Ah, sudah-sudah...!" hardik Dewi Gading dengan bersungut-sungut. Lalu, Dewi terbatuk-
batuk. Ia segera menghempaskan nafas sambil terbaring. Pada saat itu, Tole keluar,
hendak mengambilkan air minum. Tetapi ia jadi serba kebingungan.
"Kak, pintu keluarnya tadi di mana?"
"Mau ke mana kau?"
"Aku mau mengambilkan air untuk kakak supaya tidak batuk-batuk lagi. Tapi, aku tidak
menemukan pintu keluar."
Dewi Gading menggumam dalam keluh. Tubuhnya bagaikan melemas.
''Tidak perlu ambil air. Pintu utama tadi sudah tertutup."
''Tertutup bagaimana?" Tole terperanjat.
"Mata kita tidak akan bisa melihat pintu ke luar, karena asap dari dalam ruangan itu telah
terhisap oleh kita. Terutama olehmu, yang kurasa tidak bisa sama sekali melihat pintu ke
luar karena terlalu lama menghirup aroma wangi dalam ruangan itu."
Tole kelihatan cemas dalam ketegangan. Ia mendekat. "Jadi, kita akan terkurung di
sini?!"
Dewi Gading mengangguk sambil menggumam. Tole duduk di kasur empuk itu dengan
renungan kesedihannya. Dewi Gading menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya.
"Barangkali inilah yang dinamakan nasib, Tole...!"
''Kakak harus mencari pintu dari ruangan ini. Aku takut..." ujar Tole dengan sedih.
''Tidak bisa. Aku sudah menghirup ruangan ini. Menghirup udara dalam ruangan ini.
Seandainya kau tadi tidak membuka pintu yang mirip almari itu, kita bisa menemukan
jalan keluar. Tapi karena kau membuka pintu tersebut, dan asapnya telah terhirup olehku
karena merayap di ruangan ini, maka aku pun mengalami nasib yang sama denganmu,
Tole."
"Jebol saja dinding-dindingnya Kak Dewi kan bisa menjebol dinding dengan ilmu silat
dan tenaga dalam yang kakak miliki," kata Tole seraya ikut merebah lemas.
''Tidak bisa, Tole. Mendiang guruku membangun gua ini dengan rancangan khusus,
sehingga benda atau ilmu apapun tidak bisa menembus atau menjebolkan dinding
kamar ini."
Tole dan Dewi sama-sama menghempaskan nafas. Aroma wangi masih tercium oleh
mereka dan semakin menimbulkan debaran-debaran aneh dalam dada. Dewi mengusap-
usap rambut Tole dengan suatu lamunan yang membuat dirinya sesekali menggigit bibir
sendiri.
Tole bicara pelan bagai sebuah gerutu: "Lain kali aku tidak mau ditinggalkan kakak
sendirian di sini. Lagi pula, kalau kakak pergi aku, harus ikut. Aku tidak mau terjebak
dalam bahaya seperti ini lagi."
Setelah merenung beberapa saat, Dewi pun berkata:
"Bukan aku tak mau kau ikuti terus, tapi ada hal-hal penting yang harus kulakukan di
mana tak seorang pun boleh mengikuti aku."
Tole memiringkan wajah, menatap Dewi Gading dalam jarak yang cukup dekat, sampai-
sampai dengus nafas perempuan itu pun terasa menghangat di wajah Tole.
"Urusan apa itu, kak. Beritahukan padaku."
"Rahasia,Tole."
"Aku sudah biasa menyimpan rahasia, kak. Percayalah, aku tidak akan bilang pada
siapa-siapa, toh di sini hanya ada kita berdua."
Dewi Gading mendesah, menggigit bibirnya lagi, seperti menahan suatu rasa. Namun ia
buru-buru mencoba menguasai diri, menahan suatu perasaan yang tak dimengerti Tole.
Ia berkata lirih:
"Aku..." Dewi berhenti, ragu sejenak, namun akhirnya dilanjutkan pula, "... Aku sedang
mengincar seseorang."
Tole berpikir sebentar, baru berkata lagi: "Maksudnya, kakak naksir seseorang? Begitu?"
Dewi menggeleng. "Aku ingin membunuh seseorang."
Tole berkerut dahi, ia kelihatan kurang menyukai rencana Dewi Gading, tetapi Dewi
buru-buru menjelaskan:
"Aku menyimpan dendam pribadi kepada seseorang. Belum puas rasa hatiku kalau
belum membunuh orang itu, Tole. Kuharap kau bisa mengerti, apa artinya dendam untuk
sebuah kehidupan orang seperti aku ini. Kalau dulu, ketika aku menjadi orang penting
dalam suatu kerajaan, mungkin aku tidak akan peduli dengan dendam. Tetapi, sekarang
aku bukan orang penting lagi. Aku melarikan diri hanya untuk suatu tujuan. Tapi tujuanku
itu kandas di tengah jalan Ah... panjang sekali cerita hidupku, tidak hanya menyangkut
soal dendam dan jabatan."
"Oo... kukira kakak mengincar seorang lelaki yang dicintai," ujar Tole. Dewi Gading
memaksakan diri untuk tersenyum. Ia masih mengusap-usap lengan dan kepala Tole.
"Kau masih kecil sudah mengenai cinta rupanya," kata Dewi sambil memperhatikan bola
mata Tole yang hitam tajam pada bagian manik matanya. Dalam hati Dewi berpendapat,
bahwa Tole ini sesungguhnya anak yang tampan kalau saja dia mau merawat diri, atau
kalau saja Tole anak orang kaya yang serba kecukupan dan terawat. Sayang ia anak
orang tak mampu sehingga penampilannya tak jauh dari anak gelandangan.
"Apa kau tahu banyak tentang cinta?" tanya Dewi setelah bungkam beberapa lama.
Tole menggeleng. "Hanya sedikit yang kutahu. Cinta adalah pelukan orang perempuan
dengan orang lelaki."
Dewi tertawa pelan. ''Tidak sekedar pelukan."
"Pelukan sama ciuman, kan?"
''Tidak sekedar ciuman," kata Dewi seraya tersenyum.
''Pelukan, ciuman sambil tiduran kan?"
''Tidak sekedar tiduran."
"Maksudku... maksudku..." Tole agak ragu.
"Maksudmu apa? Coba bilang, biar otakmu semakin cerdas."
"Maksudku, pelukan, lalu ciuman sambil tiduran, tapi... tapi tanpa pakaian. Begitu, kan?"
"Hei, kau pernah melakukan hal itu, ya? Ihh... kecil-kecil sudah berani melakukan
begitu."
"Ah, aku cuma pernah mengintip tetanggaku saja, kok."
Dewi mengikik, mencubit hidung Tole. "Anak nakal! Apa untungnya kau mengintip begitu.
Tidak boleh itu, Le!"
"Dengan mengintip aku bisa tahu mana yang harus dikerjakan lebih dulu jika dalam
keadaan begitu."
Dewi semakin mengikik geli. Hidung Tole yang tidak begitu bangir itu dicubitnya sampai
Tole megap-megap. Dewi tertawa riang, seakan lupa kalau diri mereka terkurung di
kamar misterius itu. Tole senang melihat Dewi jika tertawa begitu, wajahnya semakin
manis!
"Dasar kamu anak nakal. Bandel. Memangnya kamu tahu betul apa yang harus
dilakukan jika begitu?"
"Aku menghafalkannya," jawab Tole, dan Dewi tambah mengikik geli. Tole juga ikut
tertawa cekikikan. Ia ikut-ikutan memijat hidung Dewi Gading. Dewi mengelak, namun
gagal. Tole semakin terkikik-kikik ketika Dewi megap-megap karena hidungnya dipijit
Tole.
Namun, tiba-tiba tawa riang Tole itu hilang. Diam. Wajah Tole menjadi murung. Dewi pun
meredakan tawanya, memandang Tole yang tidur.
''Kenapa?"
Tole diam saja. Dewi mengulangi pertanyaannya, "Hei, kenapa kau tiba-tiba murung?"
"Kita ini sedang terkurung, kak. Kenapa kita tidak berusaha untuk mencari jalan keluar?
Kenapa hanya bercanda saja?"
Dengan bertumpu sebelah tangan, dan meletakkan kepalanya pada tangan itu, Dewi
berkata hati-hati:
"Hanya ada satu cara untuk membuka pintu keluar."
“Kakak sudah tahu caranya?!" Tole bersemangat.
Dewi mengangguk, kelihatannya tenang-tenang saja.
"Kenapa kakak tidak segera melakukannya?"
"Harus kita berdua yang melakukannya."
"Ayolah kalau memang begitu...! Mari kita lakukan!"
Tole hendak bangkit, tapi Dewi menahannya. ''Tunggu, kau belum tahu bagaimana
melakukannya, bukan?"
Dahi Tole berkerut, "Bagaimana?"
Mulut Dewi sudah menganga, hendak mengatakan sesuatu, tapi dibatalkan. Ia ragu-
ragu. Tole mendesak agar Dewi Gading mengatakannya, akhirnya Dewi hanya berkata:
"Apa yang kau rasakan saat ini?"
Tole berpikir sejenak, lalu menjawab, "Rasa takut."
"Hanya itu?" pancing Dewi Gading seraya mengusap-usap rambut di bagian atas kening
Tole.
"Kurasa memang hanya itu, kak. Sebab sejak tadi aku berdebar-debar terus."
"Aku juga berdebar-debar."
"Karena takut?"
Dewi Gading menggeleng. "Karena pengaruh asap yang meresap keluar dari ruangan
yang kau buka tadi," jawab De
Tole berkerut dahi lagi, memandang Dewi yang dengan lembut mengusap-usap
kepalanya.
Lalu, Dewi menjelaskan:
"Sebenarnya ada pintu keluar, tapi mata kita, urat syaraf kita telah tertutup dan menjadi
buta untuk melihat pintu keluar. Mata kita bisa melihat pintu itu lagi, apabila kita telah
melakukan... melakukan..." Dewi ragu-ragu.
"Melakukan apa?" desak Tole. Ia kelihatan penasaran.
"Melakukan... percintaan."
Mulut Tole terbungkam, dahinya berkerut. Ia sedang berpikir keras, sepertinya ia tidak
mengerti maksud Dewi.
"Percintaan bagaimana?" Dewi tahu, Tole dalam kebingungan. Lalu secara gampang ia
menjelaskan:
"Berpelukan, berciuman, tiduran dan... buka baju. Tepat seperti yang pernah kau intip
itu." Tole terkejut, ia bangkit dan berkata:
''Tapi... tapi saya kan masih kecil, kak."
''Tapi kau pernah mengintip dan menghafalkannya, bukan? Dan kau telah mengetahui
apa yang harus dilakukan, bukan?"
Tole terbengong. Dalam hati ia baru mengakui, bahwa sebenarnya sejak tadi memang ia
merasa gelisah. Debar-debar jantung itu bukan semata-mata karena takut, namun juga
karena ada sesuatu yang melonjak-lonjak dalam jiwanya. Pada saat seperti itu, Tole
menggunakan pikiran Suro Bodong yang sebenarnya. Kini ia mulai mengerti bahwa
akibat ia terlalu banyak menghirup asap dari dalam ruangan misterius itu, maka gairah
kejantanannya meletup-letup. Mungkin demikian juga halnya dengan Dewi Gading.
Sebab sejak tadi perempuan cantik itu sering mendesah dan menggigit bibirnya sendiri.
Wah, gawat. Apakah memang tak ada jalan lain kecuali demikian?
''Tidak ada jalan lain, Tole," bisik Dewi. "Kamar ini sengaja dipakai menjebak lawan jenis
guruku, terutama kekasih-kekasihnya. Kamar ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa
dikalahkan dengan cara... berhubungan badan. Itulah rahasia kamar ini. Karena itu,
kamar ini dinamakan oleh mendiang guru, sebagai Kamar Madu Mayat."
Tole bergidik ngeri. Ia mendesahkan kata, "Kamar Madu Mayat...?"
"Artinya, orang yang sudah terlanjur menghirup uap kamar ini, terutama jika asap dari
dalam ruangan itu menjalar ke mari, maka ia harus melakukan hubungan badan,
mengeluarkan kekuatan birahi sedapat mungkin. Hanya kekuatan birahi yang mampu
melawan uap dari ruangan kematian itu."
"Kalau kita bertahan terus?"
"Kita akan mati. Tubuh kita akan membusuk dalam tempo satu hari. Manusia mungkin
betah bertahan untuk tidak makan dalam satu hari, tapi kebusukan pada bagian dalam
tubuh kita akan sukar dihindari. Jantung kita menjadi busuk, paru-paru, limpa,.hati usus...
semua akan menjadi busuk dalam waktu satu hari."
"Lalu kita akan mati?"
Dewi mengangguk.
''Tanpa pandang bulu, tua atau muda, lelaki atau perempuan, yang sudah menghirup
udara dari dalam ruangan kematian itu akan mati dengan cepat."
Sekali lagi Tole bergidik membayangkan kematiannya sendiri. Dengan ragu ia berkata,
"Ja... jadi...? Jadi, kita harus melakukan... melakukan bercinta di sini?"
"Demi keselamatan kita, Tole. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin melakukan, tapi kita
telah terjebak dalam perangkap maut mendiang guruku. Mau tak mau kita harus
melakukannya... Aku tidak bohong, dan kalau kau tak percaya, bertahanlah sampai satu
hari, maka kau akan merasakan sukar bernafas, lalu nafasmu sendiri akan berbau
busuk, dan kau akan mati."
Tole merenung lagi. Lama sekali ia merenung, sementara itu, Dewi Gading telah
membuka pakaian atasnya dengan sesekali mendesis seperti suara ular.
"Apa aku bisa melakukannya?" ujar Tole pelan sekali.
"Aku akan membimbingmu, Tole. Aku rela bekerja keras untukmu, yang penting kita
selamat..." bisik Dewi.
Tole hanya diam, tertegun dan terbengong. Matanya hanya membelalak tanpa berkedip
ketika ia melihat Dewi Gading tampak telah dikuasai nafsunya. Ia melepaskan semua
busana yang melekat di tubuh. Matanya sesekali meredup-redup sayu. Ia tidak kenal
malu lagi berbugil ria di depan bocah sekecil Tole.
"Lakukanlah, Tole...!" bisik Dewi sambil mendekap kepala Tole ke lehernya, kemudian
menggeserkan wajah itu ke dada dengan satu desahan panjang.
"Lakukanlah.. lekas! Kau nanti akan melihat sendiri suatu keajaiban dalam kamar ini.
Jika aku bohong, kau boleh membunuhku dengan cara apa pun... Ouh... lekas, yaaaah...
begitu! Bagus, Bagus, Tole...!"
Mulut Dewi Gading menceracau dalam suara desah dan erang. Tole tak segan-segan
melakukan gerakan-gerakan yang membuat dada Dewi semakin berdebar ingin
meledak. Mata Dewi sendiri sudah jarang terbuka lebar, lebih sering menjadi sayu dan
lembut meredup.
Tangan Dewi sengaja meraih tangan kanan Tole, dan menuntunnya ke suatu tempat
yang terpeka. Ia bagai mengajarkan bagaimana seharusnya tangan itu mempermainkan
'jurus' kenikmatan yang dibutuhkan seorang wanita. Ia juga menuntun, di mana
seharusnya bibir dan mulut Tole bermukim beberapa saat. Tole bagai seorang murid
yang sangat patuh kepada perintah gurunya. Tak sekalipun Tole membantah, dan tak
sekalipun Dewi merasa dikecewakan. Justru Dewi merasa ia sedang berhadapan
dengan murid yang jauh lebih dewasa ketimbang dia. Dewi tak tahu bahwa Tole adalah
seorang Senopati yang berubah ujud menjadi bocah. Sejauh itu, Tole sendiri tidak
banyak bicara apa-apa.
"Ooh, yaah... kau memang muridku yang cerdas, Tole..." bisik Dewi Gading dalam
keadaan merebah lepas. Tole dibiarkan bekerja sendiri sesuai bimbingannya tadi.
''Tole... berhentilah sejenak. Siapkan penamu dan kita akan belajar menulis dengan
cepat..."
Tole berhenti bekerja dan berkata dengan nada polos.
"Aku tidak membawa pena. Aku tidak punya, kak."
Senyum Dewi mengembang penuh gairah, ia pun segera bangkit dari rebahannya lalu
menyuruh Tole berdiri.
"Kau pasti mempunyai pena. Berdirilah...!"
Tole memang patuh dengan perintah gurunya. Ia berdiri di atas kasur empuk itu. Ia
membiarkan gurunya melepas tali yang mengikat pada pinggangnya. Bahkan ia
membiarkan Dewi melepas satu-satunya pembungkus bagi tubuhnya itu.
"Ooh...?!"pekik Dewi dengan mata terbelalak lebar dan mulut menganga. Ia sangat
terkejut melihat kenyataan yang ada di depannya, persis di depan wajahnya itu.
Jantungnya semakin berdebar-debar, dan tangannya jadi gemetar. Ia menelan ludah
beberapa kali, sedangkan Tole hanya diam saja, karena tak ada perintah apa-apa dari
gurunya yang sangat terkejut itu.
"Kau...? Kau...?" Dewi menggeragap dengan mata masih melebar. "Ini... ini pena untuk
murid dewasa, Tole? Mengapa penamu begitu dewasa?! Dan... oh, ini gila-gilaan
namanya. Bocah seusia kamu sudah mempunyai pena untuk ukuran kelas dewasa!
Astaga...!"
"Aku... aku tidak tahu, kak. Memang beginilah keadaanku sebenarnya. Kalau memang ini
kau anggap pena, yah... hanya pena sebesar inilah yang kumiliki. Aku tidak biasa
menulis dengan huruf kecil dan pena yang kecil pula. Aku senang tulisan yang tebal-
tebal dan enak dibacanya."
Dewi masih tertegun beberapa saat. Ia meraba, mengusap dan meraba lagi sesuatu
yang menggetarkan hati. Sesuatu itu adalah kelemahan ilmu yang ada pada Suro
Bodong. Ia memang bisa merubah segala bentuk ujud dirinya. Bisa menjadi pendekar
tampan, bisa menjadi seorang kakek, bisa menjadi seorang bocah. Pokoknya tujuh rupa
ujud Suro Bodong bisa berubah. Tetapi untuk soal satu ini, ia tak bisa merubah penanya.
Pena itu adalah pena Suro Bodong, sekalipun ia berubah apa saja. Itulah bukti bahwa
dirinya masih tetap Suro Bodong, ujud yang sebenarnya dimiliki.
Hal itu ternyata semakin membuat Dewi Gading menjadi semakin menggila. Ia tak peduli
lagi kebocahan Tole, ia tak peduli lagi bahwa Tole dianggap muridnya, yang ia pikirkan
adalah ledakan-ledakan gairah yang semakin mendidihkan darah. Ia melahap dengan
rakus keadaan Tole. Ia memacunya dengan api di dada berkobar-kobar. Ia kegirangan.
Sangat kegirangan melihat kenyataan Tole ternyata memiliki sesuatu yang amat dewasa.
Bukan hanya dewasa, tapi 'amat' dewasa. Dan Dewi bermaksud melahapnya hingga
tuntas.
"Ouh... kau benar-benar murid cerdik yang luar biasa kehebatannya, Tole...! Aaah..!"
Dewi menjerit-jerit bagai orang kesurupan. Ia mengarungi lautan lepas bersama Tole,
namun ia sendiri yang mendayung perahunya. Keringat yang mengucur dibiarkan
menyatu dengan samudra. Ayunan dayung semakin cepat, perahu melaju dengan pesat,
ia menjerit kegirangan dalam amukan badai birahi yang kian membumbung tinggi
dipucuk awan-awan.
Tole juga menjerit lirih ketika ia tahu perahu berlayar dengan laju. Ia terombang-ambing
bagai diayun suatu irama gerak yang melenakan. Ia bersorak kegirangan dalam bentuk
erangan yang kuat. Dan ia pun dihantar oleh Dewi Gading menyusul ke puncak awan-
awan biru yang indah.
Ketika keduanya sama-sama menjerit dalam sorak keberhasilan meraih ujung suatu
puncak, tiba-tiba kamar itu berpijar-pijar. Ada nyala cahaya perak yang berpijar terang,
memercik-mercikkan sinar kemilau.
Tole ketakutan. Ia mendekap Dewi yang ada di atasnya. Dewi bicara dengan nafas
memburu dan gerakan melemah.
"Itu... lihat itu...! Kamar ini mengalami keajaiban bukan...? Oh, lihat...! Dia telah kita
kalahkan! Kamar ini telah kita taklukan dengan pelayaran yang indah ini, Tole...!"
Tole bicara dalam hati atas dasar pribadi Suro Bodong. Ternyata benar apa kata Dewi
Gading! pikir Suro Bodong. Kamar itu harus ditaklukkan dengan cara yang unik. Cahaya
di kamar itu berkilauan ketika mereka sama-sama bersorak di ujung sebuah pucuk
pelayarannya. Ajaib sekali misteri kamar ini. Suro merasa baru kali ini merasakan dan
menemukan tempat yang sebegitu anehnya. Semua dinding, semua benda baik dari
kayu maupun dari kain, semuanya memantulkan cahaya yang menyala-nyala
mengherankan
Cahaya itu kian lama kian menipis. Redup. Demikian juga nafas Dewi dan Tole bagai
meredup, lemas. Lalu cahaya-cahaya itu padam, kembali seperti biasa, dan tubuh
mereka pun lunglai, saling terbujur bersebelahan. Aroma wangi yang enak dihirup sudah
hilang. Yang ada hanya aroma keringat kedua insan berbeda usia itu. Sekalipun
demikian, Dewi masih belum mau berkemas membereskan pakaiannya. Ia masih
telentang seraya mendekap kepala Tole yang ada tergeletak di atas dadanya. Dewi
mengusap-usap rambut Tole.
"Luar biasa...!" puji Dewi Gading dengan senyum kelegaan. "Kau benar-benar bocah
maha hebat, Tole. Seorang laki-laki dewasa tak pernah mempunyai kehebatan seperti
dirimu. Tak ada lelaki dewasa yang mampu membuatku terkulai di samping bantal ini.
Umumnya mereka yang terkulai begini, seperti aku ini. Dan itu membuatku jadi benci!"
''Cepat kita cari pintu keluar...!" Tole mengalihkan pembicaraan. Tetapi Dewi menahan
tubuh Tole yang hendak bangkit meninggalkannya.
''Tak perlu susah payah dan terburu-buru, pintu itu pasti telah terbuka sendiri. Mata kita
akan mampu menemukan pintu jalan keluar, karena kita telah mengalahkan kekuatan
misterius yang ada di dalam kamar ini dengan permainan hebatmu tadi..." Dewi tertawa
mengikik. "Kecil-kecil bukan hanya bernyali besar, tapi juga berperangkat besar kau,
Le...!"
Tole hanya menggumam dalam senyum ketika Dewi tertawa dengan perasaan lega.
Kata Dewi, "Belum pernah kutemukan kelegaan selapang ini. Sungguh, Le! Terus
terang, aku memang nakal. Sering hanyut dalam dekapan lelaki. Tetapi baru kali ini aku
sangat tenggelam dalam kemilau kebahagiaan. Hanya denganmu. Sedangkan dengan
lelaki yang kutaksir itu, aku belum pernah merasakan kelegaan apa pun dengannya.
Sebab itu keburu mati dalam satu pertarungan."
"O, jadi kekasih kak Dewi sudah mati?"
"Ya. Dia mati dalam pertarungan. Dan untuk itulah aku merasa perlu menuntut balas
atas kematiannya. Aku harus membuat perhitungan dengan pembunuhnya yang sedang
kuincar selama ini. Ada dua orang yang harus kubunuh, yaitu Nyi Mas Sendang Wangi
dan suaminya: Suro Bodong,..!"
Bagai petir menyambar di telinga Tole mendengar kata-kata itu. Namun, secepatnya
Tole menahan kepalanya untuk tidak terangkat karena kaget. Ia menyembunyikan
kekagetannya itu, namun toh diketahui pula oleh Dewi Gading yang berpeluh, sehingga
perempuan itu bertanya: "Mengapa kau terkejut mendengar kedua nama itu?"
Dengan cepat otak Tole berputar, lalu berkata,
"Nama Suro Bodong sama seperti yang diburu oleh Raden Puger! Orang yang diikat dan
hendak dibakarnya itu katanya orang yang bernama Suro Bodong."
"Bukan! aku tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Orang itu bukan Suro Bodong, karena
itu ia kulepaskan!"
''Jadi... jadi kak Dewi yang melepaskan orang yang mengaku bernama Mugeni itu?"
"Ya. Dia tidak bersalah. Puger hanya penasaran karena selama ini ia gagal menemukan
orang yang bernama Suro Bodong. Rasa penasarannya itu dilampiaskan kepada lelaki
yang memiliki ciri-ciri hampir sama dengan Suro Bodong. Puih...! Puger memang
pengecut yang tolol!"
Debar-debar di dada Tole kali ini bukan lantaran gejolak suatu gairah kelelakiannya,
melainkan karena ia sadar, bahwa sebenarnya saat ini nyawanya ada di atas tubuh Dewi
Gading. Ia harus bisa berpenampilan tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi
Dewi Gading. "Sebenarnya, alasan apa Raden Puger mencari-cari Suro Bodong''" tanya
Tole dalam pancingannya.
"Balas dendam. Sama dengan aku. Raden Puger mempunyai adik yang mati di tangan
Suro Bodong."
"Siapa nama adiknya itu?"
"Pendekar Tapak Setan..!"
Hampir saja Tole menampakkan kekagetannya. Untung ia bisa menahan emosi
sehingga tetap kelihatan tenang. Dewi tidak curiga, bahkan ia berkata:
"Pendekar Tapak Setan adalah adik kandung Raden Puger, yang termasuk pula adik
seperguruan Dadung Wungu."
"Ooo... pantas mereka berdua penasaran sekali, menghendaki kematian Suro Bodong."
"Pendekar Tapak Setan mati dengan cara mengerikan. Saat itu, ia bertarung dengan
Suro Bodong untuk mendapatkan putri Sultan Juru Jagad yang bernama Nyi Mas
Sendang Wangi..."
Merinding juga tengkuk kepala Tole mendengar nama istrinya disebutkan. Ia terbayang
masa pertarungan dengan Tapak Setan, pada saat ia berdiri sebagai Suro Bodong
(dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT ASMARA). Namun, Tole tetap menjaga
ketenangan dirinya.
"Lalu, apa urusan kak Dewi dengan Nyi Mas Sendang Wangi? Kok tadi katanya mau
membunuhnya juga, ya?"
"Kekasihku juga mati gara-gara bertarung memperebutkan putri Sultan itu. Dan,
perempuan itu juga harus mati, sebab dia pula yang membuat Suro Bodong tega
membunuh kekasihku... Pangeran Sedayu!"
Suro Bodong semakin terperanjat mendengar semua itu. Apa jadinya jika Dewi tahu,
bahwa Tole itulah Suro Bodong?
EMPAT
Dewi Gading mengajak Tole untuk naik ke atas.
"Aku harus menghadang di tapal batas kesultanan, kalau-kalau Suro Bodong lewat atau
istrinya yang muncul," kata Dewi Gading.
"Kenapa kak Dewi tidak menyerang saja ke sana? Kenapa harus menunggu?!" pancing
Tole.
"Orang Kesultanan Praja banyak yang kuat. Belum lagi kalau aku harus berurusan
dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Bisa-bisa aku mati menjadi debu. Dia sangat
sakti. Tapi kalau hanya mengalahkan Suro Bodong, aku yakin pasti akan sanggup."
"Berarti kakak juga akan berurusan dengan orang-orang Kesultanan jika Suro Bodong
mati."
"Yang penting aku bisa membunuh Suro Bodong. Itu sumpahku. Setelah berhasil
membunuh, aku akan diam di pondok sampai beberapa lama."
Saat itu, Dewi Gading segera menggendong Tole. Ia melompat bagai burung terbang
sambil menggendong Tole di bagian depan. Kakinya menyentuh batuan tebing dengan
ringan dan lincah. Dalam sekilas saja Dewi Gading berhasil membawa Tole ke atas
tanpa ngos-ngosan.
"Apakah aku harus ikut ke perbatasan?" tanya Tole.
''Ya. Tapi kau akan kusembunyikan di suatu tempat yang tak jauh dari tempatku
menghadang mereka."
Tole termenung sebentar, kemudian berkata lagi, ''Tapi kalau ternyata mereka, Suro
Bodong yang kau tunggu itu tidak muncul, bagaimana?"
''Mungkin aku akan bergabung dengan Raden Puger dan Dadung Wungu untuk
menyerang Kesultanan Praja."
Tole manggut-manggut. Ia mengikuti langkah Dewi Gading ke perbatasan Kesultanan
Praja. Dalam hati ia selalu bertanya-tanya, bagaimana cara mengatasi mereka?
Haruskah ia membiarkan Kesultanan Praja diserang?
"Kak..." katanya beberapa saat setelah mereka hampir tiba di perbatasan wilayah
Kesultanan Praja. "Apakah kalau kakak bergabung dengan Raden Puger, maka sudah
pasti dapat mengalahkan orang-orang Kesultanan Praja?"
"Kalau terpaksa, Raden Puger bisa berbuat lebih banyak lagi." Dewi Gading tampak
tegas dan tenang.
"Maksudnya dapat berbuat banyak bagaimana?"
"Kesultanan Praja akan berpikir jika harus menyerang Raden Puger. Sebab, jika ia
menyerang Raden Puger, berarti mertuanya akan turun tangan."
"Siapa mertua Raden Puger itu, kak?"
"Prabu Baladara, raja dari kerajaan Lesanmitra, yang dulu berhasil memukul pasukan
Jayakatwang."
"Ooo..." Tole manggut-manggut. Seakan pernah mendengar kekuatan tentara
Lesanmitra.
Mereka berhenti di perbatasan Kesultanan Praja. Di sana ada bukit kecil yang menjadi
tapal batas wilayah kesultanan Praja. Mereka berdiri di puncak bukit itu, memperhatikan
situasi di sekeliling mereka. Tole hanya bengong-bengong saja, seperti anak kemarin
sore yang belum tahu apa-apa. Padahal dalam benaknya Tole berpikir keras tentang
bagaimana cara mengatasi masalah itu. Dewi Gading, perempuan yang pernah
bercumbu dengannya, sekarang sedang menjadi ancaman bagi keselamatannya, juga
bagi keselamatan Kesultanan Praja, tempat mertuanya bertahta.
Haruskah Tole melawan Dewi Gading? Atau haruskah Tole membujuk agar Dewi Gading
membatalkan niatnya? Seandainya Tole mengaku bahwa dirinya adalah Suro Bodong
yang sedang diincar untuk dibunuh oleh Dewi Gading, apakah usaha pengakuan itu
dapat meredakan dendam Dewi Gading? Bingung juga Suro Bodong berpikir soal itu.
"Kak..." Tole hendak bicara, tapi ragu-ragu. Akhirnya ia berbicara soal lain: "Apakah
sudah pasti Suro Bodong lewat daerah ini? Jangan-jangan dia tidak ke mari?"
"Dia pasti memeriksa perbatasan ini, hanya saja kapan hal itu dilakukan, aku sendiri
kurang jelas, Le. Nah, nanti pada saat dia memeriksa, aku akan menyerangnya dari
belakang. Pokoknya membuat dia mati, lalu kabur."
"Kenapa tidak kak Dewi hadapi saja?"
"Aku tidak mau melibatkan orang kesultanan lainnya, kecuali Suro Bodong dan Nyi Mas
Sendang Wangi."
Tole masih serba bingung. Tetapi akhirnya ia tetap mengatakan cara lain yang ingin
ditempuhnya, yaitu membujuk Dewi Gading agar membatalkan rencana tersebut.
"Kenapa kak Dewi tidak mau melupakan soal dendam itu? Bukankah lebih enak kita
hidup tanpa dendam? Kita bisa tenang dan... dan aku sendiri tidak cemas begini."
Dewi Gading sengaja memamerkan senyum ketenangannya. Tole memandangnya
dengan rasa kagum, karena senyum itu sangat indah. Manis diresapi hati siapa saja.
"Aku sudah terlanjur bersumpah ketika kudengar Pangeran Sedayu terbunuh. Aku
bersumpah untuk membalas kematian dengan kematian." Dewi mengusap-usap kepala
Tole. "Kau tak perlu cemas. Habis ini, selesai aku memenuhi sumpahku, kita akan
tinggal berdua di pondok Dareng Sewu."
''Tinggal di kamar Madu Mayat itu?"
Dewi mengangguk. "Karena di sana kita akan terbang melayang-layang setiap malam."
"Seperti kemarin malam?"
Sekali lagi Dewi mengangguk dalam senyum. "Kita menjadi suami istri, Tole."
"Ah, aku kan masih kecil, mana pantas jadi suami perempuan seusia kak Dewi?"
"Kau memang kecil, tapi kau mempunyai kedewasaan yang perkasa dalam membuaiku.
Ouh... aku tak tahan ingin lekas menyelesaikan urusan itu, lalu kita segera pulang dan
mendayung lagi semalaman suntuk..." Dewi tertawa pelan, dari Tole hanya tersenyum
malu. Tapi sebenarnya pikirannya seperti benang kusut, harus bagaimana dia
sebenarnya?"
Mata Tole memandang ke arah jauh di belakang Dewi Gading. Melihat perubahan wajah
Tole yang menjadi tegang, Dewi pun berpaling. Ia melihat dua orang berjalan di kaki
bukit, juga sedang memanjat ke atas. Tole kelihatan cemas dan tegang.
''Kita harus segera pergi dari sini, kak? Mereka menuju ke mari. Mereka itu yang
mengejar-ngejarku tempo hari
''Tenang saja. Mereka tidak akan menganiaya kamu. Raden Puger bisa kujinakkan
kemarahannya, sekalipun Dadung Wungu belum mengenalku."
“Jadi kakak kenal dengan Raden Puger?"
"Dulu... aku adalah Senopati perang di kerajaan Lesanmitra, tempat mertua Raden
Puger bertahta."
Tole sempat terbengong mendengar Dewi Gading bekas Senopati Perang.
Kebengongan Tole sempat mengundang keheranan Dewi Gading, sehingga ia pun
bertanya:
"Kau kelihatannya terkejut mendengar aku bekas senopati perang, ya? Kenapa? Tidak
percaya?"
"Percaya...! Percaya sekali...!" jawab Tole sambil mengangguk-anggukkan kepala dan
menenangkan diri.
"Lalu, kenapa kau memandangiku dengan rasa heran begitu?"
"Sebab... sebab aku juga seorang Senopati!" jawab Tole, sepertinya ia bicara di luar
kesadarannya.
Dewi tersenyum geli. "Senopati di mana?"
"Kesultanan Praja," jawab Tole.
Dewi semakin mengikik geli, dan ia pun gemas mencubit pipi Tole. Kemudian keduanya
memandang kedatangan Raden Puger dengan Dadung Wungu. Terdengar seruan
Dadung Wungu dari bawah sambil menuding ke atas:
''Itu anak setan yang dulu kita kejar-kejar...! Bangsat itu harus kuhajar...!!"
Dadung Wungu hendak berlari naik, tetapi Raden Puger menahan tangannya.
"Jangan gegabah. Kau tahu anak itu bersama siapa?"
"Puih...!" Dadung Wungu meludah. "Itu perempuan yang menyerobot anak setan, dan
yang sempat melukai bibirku dengan tendangannya!"
"Ssst...! Sabar! Kau tidak akan menang melawannya." kata Raden Puger seraya berjalan
memanjat ke atas dengan santai.
"Kau kenal dengannya?" "Dia bekas Senopati perang di kerajaan mertuaku!" ujar Raden
Puger seraya memandang Dadung Wungu yang tertegun sesaat. Kemudian mereka
terus mendaki, dan bertemu dengan Dewi Gading.
"Apa kerjamu di sini?" tegur Raden Puger kepada Dewi.
"Sama seperti yang kau lakukan," jawab Dewi Gading.
Raden Puger memandang Dewi dengan kesangsian. "Kau juga memburu Suro
Bodong?"
"Suro Bodong telah membunuh kekasihku dalam pertarungan merebutkan Nyi Mas
Sendang Wangi. Aku bersumpah untuk membalasnya." Dewi bicara dengan tegas dan
sikap berdirinya tegak, masih seperti tatkala ia menjadi seorang Senopati perang.
"Lalu, apa hubunganmu dengan anak ini?!" tanya Dadung Wungu.
"Dia muridku!" jawab Dewi dengan memandang angkuh. Tangan Dewi terlipat keduanya
di dada, sehingga kesannya sangat tidak disukai Dadung Wungu. Sebenarnya Dadung
Wungu geram, namun ia ingat pesan Raden Puger sehingga ia tak berani berbuat
banyak terhadap Dewi Gading. Ia hanya berkata sambil memandang tajam pada Tole:
"Anak ini biang kerusuhan kala itu!"
"Bukan!" tukas Dewi. "Kalianlah biang kerusuhan, karena kalian salah comot. Kalian
menghukum orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian. Orang itu
bukan Suro Bodong!"
Dadung Wungu terbungkam dengan berkerut dahi, ia memandang Raden Puger, dan
kala itu Raden Puger juga memandangnya. Lalu masing-masing merenung dengan
kecamuk batinnya.
Mendadak Raden Puger mencetuskan idenya, "Aku dengar Suro Bodong orang kuat!
Bagaimana kalau kita serang ke dalam kesultanan! Aku bisa menugaskan Dadung
Wungu untuk mengerahkan bala bantuan dari Lesanmitra! Romo Prabu Baladara pasti
mau mengirimkan bantuan untuk menyerang kesultanan Praja."
''Kalau kita cari dan kita tunggu, urusan ini tidak akan beres sampai kapan pun. Lebih
baik menyerang dengan mendadak, lalu kabur setelah Suro Bodong dan istrinya berhasil
terbunuh!" timpal Dadung Wungu.
''Kalau mereka mengejar, biar pasukan dari Lesanmitra yang akan bertindak!" sambung
Raden Puger.
Setelah terbungkam beberapa saat dalam pertimbangannya, Dewi Gading berkata
kepada Raden Puger:
"Maksudmu kita menyusup berdua untuk membunuh mereka?"
"Ya. Kalau bisa, jangan menimbulkan perang secara nyata, tapi kalau gagal, terpaksa
api perang pun kita sulut!"
Dewi Gading manggut-manggut. "Baiklah..."
Tole kelihatan tenang-tenang saja sekalipun sebenarnya dalam hatinya cemas. Dewi
berkata lagi:
"Kalau hari sudah gelap, kita akan berangkat menyusup ke istana."
"Aku setuju!" jawab Raden Puger, lalu ia bicara kepada Dadung Wungu, "Kerahkan
pasukan cadangan untuk menghadang kemungkinan terjadinya perang dalam
pengejaran nanti!"
"Baik. Aku berangkat ke Lesanmitra sekarang juga," jawab Dadung Wungu dengan tegas
dan penuh semangat. Lalu, ia segera pergi, berlari dengan kecepatan tinggi. Terlihat dari
geraknya yang gesit, jelas dia punya bekal ilmu yang tidak sembarangan.
Tole benar-benar dianggap bocah ingusan. Dewi dan Raden Puger berembuk soal cara
penyusupan yang akan mereka lakukan nanti malam. Mereka bicara di depan Tole,
sehingga Tole dapat mengetahui segalanya. Itu sama saja mereka bicara tentang
rencana pembunuhan terhadap Suro Bodong di depan Suro Bodong sendiri. Tole
sempat tersenyum-senyum tanpa disadari.
"Hei, kenapa anak itu tersenyum-senyum mendengar pembicaraan kita?" tegur Raden
Puger menandakan kecurigaannya.
''Tole...?! Ada apa?" Dewi masih bersikap lembut. "Apa yang membuatmu tersenyum-
senyum begitu?"
Tole hanya menggeleng seraya semakin sengaja melebarkan senyumannya. Setelah di
desak berulang kali oleh Dewi, Tole semakin kelihatan malu, dan akhirnya menjawab:
"Aku ingat kejadian tadi malam..."
"Kejadian apa?" Raden Puger semakin curiga.
Dewi Gading sempat semburat merah mukanya, takut Tole berbicara di depan Raden
Puger tentang hubungan kemesraannya semalam. Tole tahu kecemasan itu, maka ia
berkata:
"Aku melihat dua ekor katak saling tindih-tindihan di dalam tempurung."
Raden Puger masih bercuriga, "Di dalam tempurung? Bagaimana hal itu bisa kau
ketahui? Kan di dalam tempurung?!"
"Tempurungnya bolong! Jadi, bisa saja kuketahui," jawab Tole seenaknya. Ia masih
menampakkan senyum malu-malunya. Dewi Gading mendengus sepertinya kesal, tapi
sebenarnya lega mendengar jawaban Tole itu,
Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda bagai gemuruh hujan dari kejauhan.
Wajah Dewi dan Raden Puger menjadi tegang. Tole menyimpan ketegangan itu dengan
bermain batu-batu yang disusunnya. Batu-batu kecil itu sebenarnya dipersiapkan untuk
dipakai sebagai peluru ketapelnya yang masih dikalungkan pada leher.
Karena tempat mereka terlindung di antara bebatuan besar, maka Raden Puger mendaki
bukit itu lagi dengan hati-hati. Setelah ia melakukan pengintaian di atas, ia segera
melambaikan tangan agar Dewi Gading ikut naik ke bukit. Maka Dewi pun segera
menyusul Raden Puger disertai Tole yang juga sebenarnya ingin tahu apa yang dilihat
Puger.
"Rombongan orang-orang kesultanan Praja lewat," bisik Raden Puger. "Agaknya mereka
hendak menuju ke luar wilayah."
Dewi diam, merunduk. Matanya memandang dengan jeli keadaan pada rombongan
berkuda itu. Tole pun ikut mengintai dan ia segera mengetahui, bahwa saat itu Patih
Danupaksi sedang menunggang kuda dikawal oleh lima prajurit. Satu persatu prajurit itu
dikenal semua oleh Tole. Namun ia belum dapat menduga, apa keperluan Patih
Danupaksi sampai-sampai ia pergi meninggalkan Kesultanan
"Hanya seorang patih," bisik Dewi. "Aku kenal, dia Patih Danupaksi."
"Tapi setidaknya serangan kita akan mengurangi bahaya dalam penyergapan nanti
malam, Dewi. Kita serang saja mereka dan kita bunuh patih itu. Paling tidak ia akan
menjadi tawanan kita, Dewi."
Dalam keadaan menunggu masa diam Dewi Gading, benak dan otak Tole berputar
mencari jalan keluar dari masalah itu, Dewi Gading telah berkata:
"Kita serang saja mereka. Aku setuju dengan rencanamu."
"Baik," jawab Raden Puger dengan tegas dan bersemangat. "Kau menyerang dari
belakang, biar aku yang menghadang di depan mereka!"
"Setuju. Mari kita rencanakan dan kita kerjakan gagasanmu itu. Mari kita serang! Eh,
Tole, kuharap kau tetap bersembunyi di bawah batu itu. Kau akan aman asal kau tidak
ke mana-mana!" kata Dewi, dan Tole hanya mengangguk saja.
Rombongan berkuda berhenti ketika Raden Puger merubuhkan sebuah pohon. Pohon
besar itu dihantam dengan jurus Tapak Setan yang juga dimiliki mendiang adiknya. Dari
telapak tangannya keluar loncatan bunga api yang menerjang pohon, lalu pohon itu pun
tumbang, melintang di jalan.
Dua kuda yang ditunggangi dua prajurit di bagian depan sama-sama meringkik kaget
dengan mengangkat kedua kaki depan mereka. Patih Danupaksi yang berada di
belakang kedua prajurit dengan segera menarik tali kekang kudanya. Sementara itu, dua
penunggang kuda di belakang Patih Danupaksi segera bergerak ke samping kiri dan
kanan, sejajar dengan Patih Danupaksi.
"Seorang perampok menghadang kita, Ki Patih," ujar prajurit di samping kirinya.
"Biar kuhadapi sendiri, Jang," kata Ki Patih. "Aku tak ingin ada korban di antara kita."
Raden Puger berdiri dengan bertolak pinggang. Ia berada di atas batang kayu yang
tumbang itu. Ia masih belum mau mencabut pedang perunggunya. Dan ketika Patih
Danupaksi maju ke depan, ia turun dari atas batang pohon yang tumbang itu. Keempat
prajurit pengawal membentuk barisan setengah lingkaran di belakang Ki Patih. Masing-
masing masih berada di punggung kudanya dengan tenang.
"Apa maumu menghadangku, Ki sanak?" sapa Patih Danupaksi kepada Raden Puger.
"Aku menghendaki nyawa Suro Bodong!"
"Suro Bodong tidak ada. Aku baru akan pergi mencarinya," kata Ki Patih masih bersikap
tenang.
"Kalau begitu, aku menghendaki nyawamu sebagai bahan tebusan nyawa Suro
Bodong!."
"Hiaaat...!!" belum habis Raden Puger bicara, seorang prajurit yang ada di barisan paling
kiri melemparkan senjatanya berupa pisau kecil yang ada di kakinya. Pisau itu melayang
cepat ke arah Raden Puger. Tetapi kaki Raden Puger menghentak bersamaan, ia
melompat dalam satu gerakan salto ke depan. Pisau menancap pada batang pohon
yang tumbang, sedangkan kaki Raden Puger segera menjejak kepala kuda yang
ditunggangi Ki Patih.
Kuda meringkik dan melonjak, membuat Ki Patih terlempar dari punggung kuda. Untung
ia dapat menjaga keseimbangan sehingga ia masih mampu bersalto di udara dan
mendarat dengan kedua kaki sempurna menapak di tanah.
"Rupanya kau tidak boleh diajak bersahabat, kawan..!" kata Ki Patih sambil menangkis
pukulan yang tiba-tiba dilancarkan oleh Raden Puger dari bawah. Raden Puger yang
berguling beberapa kali mendekati Ki Patih sendiri dengan kedua lututnya dan
menghantam perut Ki Patih. Tetapi saat
itu Ki Patih mengibaskan kakinya untuk menangkis pukulan tersebut. Kaki itu segera
menendang wajah Raden Puger sehingga Raden Puger terjengkang ke belakang
dengan muka memar akibat tendangan keras Ki Patih.
Pada saat itu, sebuah senjata berbentuk kampak empat mata segera melayang bagai
piring terbang. Kampak tanpa gagang itu melesat dengan keempat matanya yang tajam
berputar cepat. Ki Patih segera melompat dan bersalto beberapa kali untuk menghindari
senjata tersebut. Namun senjata itu pun meliuk dan berbalik arah mirip sebuah
bumerang. Sekali lagi Ki Patih merunduk menghindari senjata tersebut, yang kemudian
segera ditangkap oleh tangan halus mulus dari seorang perempuan yang ada di
belakang barisan prajurit itu.
Dewi Gading segera melesat maju setelah berhasil menangkap senjata kampaknya yang
mirip bunga teratai itu. Seorang prajurit menghadang dengan kudanya, tombak
diarahkan ke Dewi Gading. Tetapi gerakan Dewi Gading yang melayang tinggi itu
membuat prajurit itu sukar menghunjamkan tombaknya. Tubuh Dewi Gading melesat
melewati atas kepalanya, sambil mengeluarkan tenaga dalam dari pukulannya.
Prajurit itu terjengkang jatuh dari atas kuda ketika Dewi Gading menggerakkan
pukulannya ke bawah. Sekalipun tidak mengenai kepala pra-jurit, dan tidak
mengeluarkan sinar apa pun, namun hentakan udara yang keluar dari pukulan itu telah
membuat telinga prajurit tersebut berdarah. Ia menjerit kesakitan sewaktu jatuh dari
punggung kuda. Sedangkan Dewi Gading langsung saja menyerang Ki Patih Danupaksi
dengan sebuah tendangan salto.
Patih Danupaksi melayang menghindari tendangan itu. Namun gerakannya dihadang
oleh pedang perunggu Raden Puger. Sewaktu Ki Patih hendak mendarat ke tanah,
pedang itu menebas di udara, dan mengeluarkan semacam serbuk yang berhamburan
ke arah tubuh Ki Patih. Sebagian serbuk warna merah itu menempel di lengan Ki Patih.
"Aaaaahh...!!"
Patih Danupaksi menjerit kesakitan, ia berdiri dan memperhatikan lengannya yang
ditempeli serbuk merah itu. Ia membelalakkan mata ketika diketahui lengannya menjadi
bengkak, membiru, lalu mulai melepuh di beberapa tempat.
Raden Puger tertawa dan berseru, "Tak satu pun ada yang bisa lolos dari kehebatan
Pedang Lidah Naga-ku...!!"
Lengan itu makin lama makin hangus dan membusuk, menjadi sebuah borok yang
menyakitkan. Patih Danupaksi mengerang kesakitan sambil memegangi tangannya yang
terluka. Pada saat itu, keempat prajurit bergerak menyerang lawan mereka. Sedangkan
Dewi Gading menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kaki merendah. Dari
genggaman tangan yang menghentak ke depan itu keluarlah nyala api warna perak yang
menghantam kuda-kuda penyerangnya.
Ringkik dua ekor kuda yang terkena pukulan itu hampir sama kerasnya dengan teriakan
kedua penunggangnya. Mereka terpental tinggi karena kedua kuda itu melompat dengan
empat kakinya dan menggeliat kesakitan. Sebelum keempat kaki masing-masing kuda
itu kembali menapak di tanah, kaki-kaki kuda itu telah menjadi berdarah dan patah
semuanya. Ringkik kuda semakin histeris, dan kedua penunggangnya itu jatuh tanpa
bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Kedua kuda itu tak mampu berdiri lagi, karena
kehilangan semua kakinya dengan sadis. Kedua kuda itu menggelepar-gelepar dalam
ringkiknya. Dua prajurit penunggangnya berusaha untuk bangkit bersama pedang dan
perisai yang siap dipakai buat menyerang lawannya.
Pada saat itu, Dewi Gading tidak menyerang prajurit itu lagi, melainkan menyerang Ki
Patih yang sudah kepayahan. Ia melancarkan tendangan samping sambil melayang.
"Hiaaaat...!!" teriakan Dewi membuat kepala Ki Patih berpaling memandang, dan dengan
segera ia pun siap menghadapi serangan itu.
Ki Patih hanya memandang gerakan melayang dari tubuh Dewi Gading. Lalu dari kedua
mata Ki Patih ternyata keluar sinar kecil berwarna ungu. Sinar itu dihindari oleh Dewi
Gading dengan menggeliatkan badan secara cepat ke arah depan, sehingga ia bersalto
dalam ketinggian rendah. Jatuh ke tanah punggungnya segera dipakai menggelinding.
Sinar ungu kecil itu menghantam sebuah batu di seberang sana, jauh. Namun batu itu
hancur seketika dengan diiringi suara ledakan dahsyat bagai gunung meletus. Batu itu
pecah dan pecahannya memancar ke mana-mana dalam ketinggian yang
mengagumkan.
Kedua prajurit yang masih berada di punggung kuda itu sedang menghadapi kibasan
pedang Raden Puger. Mereka segera melompat dari punggung kuda karena serbuk
merah yang keluar dari pedang perunggu itu telah mengenai kuda-kuda mereka. Takut
mengalami nasib seperti kuda temannya, mereka melompat dengan perisai melindungi
wajah. Sebuah tombak melayang dari arah samping Raden Puger. Hampir saja
menancap di pelipis Raden Puger kalau saja ia tidak menghindari lemparan pisau dari
depannya. Karena ia mengelak dari lemparan pisau, maka lemparan tombak dari prajurit
di samping sana pun meleset. Hanya melintas di depan matanya. Sangat mengagetkan.
Raden Puger segera bersalto ke belakang, tepat berada satu langkah dari punggung
Patih Danupaksi. Segera saja ia menghantamkan sikunya ke tengkuk Ki Patih, hingga
membuat Ki Patih tersedak dan terhuyung-huyung ke depan. Ia batal melancarkan
pukulan Aji Candramawa dari matanya, yang sedianya akan ditujukan ke arah Dewi
Gading. Waktu itu, Dewi Gading sedang sibuk menghadapi amukan kedua prajurit yang
kedua kuda mereka dipatahkan kaki-kakinya oleh pukulan perak Dewi Gading.
Keadaan Ki Patih yang limbung, di samping itu busuk lengannya yang sakit itu membuat
kelemahannya sangat enak dimanfaatkan oleh Raden Puger. Dengan melompatkan
kedua kakinya, pedang perunggu itu dikibaskan ke leher Patih Danupaksi dari belakang.
"Mampus kau Patih Monyeeet... hiaaaatt...!!"
"Pletak,..! Pletak...!"
Pedang perunggu yang membahayakan itu tak jadi menebas leher Patih Danupaksi.
Tubuh Raden Puger menggelinjang dan terpental beberapa langkah akibat sebuah batu
melesat, mengenai keningnya dengan sangat keras. Lalu menyusul batu yang kedua
melesat cepat dan mengenai matanya dengan sangat keras.
"Aaauuww...!! Matakuuu...!!" Raden Puger menjerit sambil memegangi mata kirinya. Ia
kebingungan menahan rasa sakit. Darah mengucur dari keningnya dan juga matanya
yang ternyata pecah itu. Ia sempat duduk dan akhirnya terguling-guling tak tahan sakit.
Ia berteriak-teriak tak karuan untuk mengatasi rasa sakit.
Pada waktu itu, dua prajurit yang hendak menyerang Raden Puger berhenti seketika
dengan pandangan penuh keheranan. Sebab pada waktu itu, sebutir batu melesat lagi
dari satu arah, dan mengenai telinga Raden Puger. Daun telinga kiri itu robek seketika
bagai dibabat pedang yang cukup tajam. Semakin keras jeritan Raden Puger menerima
serangan batu yang ketiga itu.
Dewi Gading melemparkan senjata kampak empat mata yang menyerupai bunga teratai.
Sekali lempar, dua prajurit robek lehernya dan di tempat itu pun ada jeritan dua prajurit
yang bagai digorok batang lehernya. Kedua prajurit yang hendak menyerang Raden
Puger itu segera berbalik arah, menyerang Dewi Gading. Patih Danupaksi duduk di
tanah dalam keadaan muntah darah. Waktu Dewi Gading hendak melakukan serangan
dengan senjatanya itu, seorang prajurit nekad menyerang Dewi dengan pedangnya.
Dewi berhasil menangkis pedang itu dengan senjata kampak empat mata. Kaki Dewi
menjejaki perut prajurit itu, dan prajurit itu terpental menabrak temannya. Lalu senjata itu
pun digerakkan dan meluncur bagai kitiran berputar ke arah kedua prajurit itu. Namun...
Triing...!! Arah senjata itu menjadi meleset akibat benturan dengan sebutir batu kecil
yang melesat dari arah lain. Dewi Gading sempat terkejut, bahkan sewaktu hendak
menangkap kembali senjatanya yang menyerupai gerakan bumerang itu, hampir saja
meleset tertangkap oleh tangannya. Untung tangan yang satu segera berhasil
menangkap senjata itu, kalau tidak, pasti lehernya jadi sasaran.
Seorang bocah kecil muncul dari puncak bukit. Tangannya menggenggam ketapel
pertanda ia baru saja memakai ketapel itu. Anak kecil tersebut tak lain adalah Tole, yang
semula diperintahkan Dewi untuk bersembunyi.
Dewi Gading memandang Tole dengan heran, sebab anak itu menuruni bukit dengan
gerakan-gerakan yang lincah dan bahkan seperti anak rajawali yang melayang ke kaki
bukit. Dalam waktu singkat Tole sudah berhasil berada di samping Patih Danupaksi dan
memperhatikan keadaan Ki Patih yang terluka parah itu, seorang prajurit berseru karena
melihat Raden Puger sudah tidak ada di tempat.
"Orang yang berbaju ungu itu telah melarikan diri! Mari kita kejar...!"
''Tidak perlu!" teriak Tole dengan berani. Hal itu membuat Dewi Gading semakin heran.
Begitu beraninya Tole ikut campur dalam urusan ini?
"Tole...?! Apa maksudmu berlagak begitu, hah?!" geram Dewi Gading.
"Kak Dewi... jangan mengumbar nafsu untuk pekerjaan yang sia-sia. Kakak mencari
Suro Bodong, bukan? Nah, di sini kakak melawan orang-orang yang bukan Suro
Bodong!"
'Tapi mereka ini kawan Suro Bodong semua. Tole!"
"Justru itu, kurasa biarkan mereka pergi, pulang ke tempat mereka. Dengan melihat
keadaan seperti ini, tentu Suro Bodong akan terpancing keluar dari sarangnya. Kita
tinggal menunggu saja saatnya ia menampakkan diri dan siap untuk diserang."
Dewi Gading bersungut-sungut dalam pertimbangannya. Tapi Tole tidak perlu menunggu
persetujuan Dewi Gading. Tole berkata kepada kedua prajurit yang masih hidup itu:
"Hei, bawa patihmu itu pulang ke rumah, dan sampaikan salam kepada Suro Bodong,
bahwa Dewi Gading yang berdiri di balik serangan ini. Katakan kepada Suro Bodong,
bahwa dia ditunggu di sini, kapan saja dia bersedia untuk mati! Lekas, bawa patihmu
pulang...!"
Dewi mengakui, itu gagasan yang baik. Tapi anehnya, mengapa kedua prajurit itu tunduk
kepada perintah bocah sekecil Tole? Kedua prajurit itu, dan Dewi sendiri tidak tahu
bahwa Tole adalah Suro Bodong. Namun dengan cara tersebut, setidaknya Tole punya
kesempatan untuk berpikir selanjutnya.
LIMA
Kesultanan Praja menjadi heboh sejak kembalinya Ki patih Danupaksi dalam keadaan
terluka parah. Ketegangan meliputi seluruh punggawa negeri sejak mereka mendengar
laporan dari prajurit yang selamat tentang nama Dewi Gading.
"Dewi Gading adalah senopati andalan kerajaan Lesanmitra yang ganas!" kata salah
seorang prajurit tamtama.
Menyambung pembicaraan itu, Eyang Panembahan berkata dengan suaranya yang
sedikit serak tapi bernada tenang:
''Kalau melihat luka di lengan Patih Danupaksi, jelas luka itu disebabkan oleh serbuk
beracun yang dapat keluar dari pedang perunggu."
"Benar, Eyang. Seorang lelaki yang bersenjata pedang perunggu membantu Dewi
Gading," jawab salah seorang prajurit yang selamat. "Mereka sama-sama mencari Suro
Bodong untuk dibunuh!"
"Hem...!" Eyang Panembahan Purbadipa manggut-manggut.
Sultan Praja cemas, Nyi Mas Sendang Wangi begitu juga.
"Eyang kenal dengan lelaki berpedang perunggu?" tanya Sultan beberapa saat
kemudian.
"Dia adalah Raden Puger, menantu dari Prabu Baladara, penguasa kerajaan
Lesanmitra."
"Dia kabur, Eyang," ujar prajurit yang selamat. "Lelaki itu agaknya terluka cukup parah
karena mendapat serangan batu kecil dari seorang anak yang membawa ketapel"
"Itu Suro Bodong! Suro Bodong bisa merubah menjadi tujuh rupa, salah satunya anak
kecil yang bernama Tole!" kata Eyang Panembahan yang sudah banyak mendapat cerita
dari Suro Bodong sendiri.
Kedua prajurit yang selamat terperanjat kaget, mereka saling pandang dengan mata
terbelalak. Salah satu segera berkata:
''Tapi anak kecil itu kelihatannya berteman akrab dengan Dewi Gading, Eyang."
"Ayah...?! Suro Bodong jatuh dalam cengkeraman Dewi Gading...? Bagaimana dia,
Ayah...!"
Nyi Mas Sendang Wangi menjadi semakin cemas. Tetapi Eyang Panembahan segera
menenangkan masalah itu.
"Suro Bodong punya rencana sendiri untuk Dewi Gading! Percayalah, ia akan mati di
tangan Suro Bodong. Yang perlu kita pertimbangkan adalah Raden Puger-nya."
"Maksud Eyang...?" tanya Sultan.
"Siapkan pasukan ke perbatasan, karena pasukan dari Lesanmitra pasti akan datang
menyerbu setelah Raden Puger meminta mertuanya untuk bergerak ke mari!"
Para prajurit, baik yang masih berpangkat rendah, yang tamtama maupun yang sudah
tergolong perwira, semua bergegas mempersiapkan persenjataan. Yang utama adalah
menjaga agar pasukan Lesanmitra jangan masuk ke wilayah Ke-sultanan Praja, yang
kedua adalah menjaga kalau sewaktu-waktu Suro Bodong mendapat serbuan berpuluh-
puluh pasukan Lesanmitra.
Namun, di perbatasan itu, ternyata Suro Bodong masih tenang-tenang saja. Dia duduk di
bawah batu besar. Ada tiga batu yang saling menempel, bawahnya berongga, dan
tempat itulah yang dipakai sebagai tempat penantian oleh Dewi Gading bersama Tole.
"Kalau mendengar deru kaki kuda, itulah pasukan dari Kesultanan Praja datang bersama
Suro Bodong," kata Tole.
"Dan aku akan segera keluar menyongsong Suro Bodong," timpal Dewi Gading, yang
pada saat itu menarik kepala Tole, menyandarkan ke dadanya, dan mengusap-usapnya
dengan penuh kelembutan. Tole sendiri tak habis pikir, mengapa perempuan selembut
itu bisa mempunyai dendam yang amat jahat dan kejam? Dewi Gading, sebenarnya
perempuan yang agresif, yang merindukan belaian mesra dan pelukan kenikmatan
seorang lelaki. Apalagi ia tahu bahwa Tole mempunyai sesuatu yang selama ini
dicarinya, yaitu suatu kebesaran yang dewasa dalam merenggut kenikmatan, Dewi rasa-
rasanya semakin bergelora jika disentuh tangan Tole.
Langit siang itu menebarkan mendung di beberapa tempat. Anginnya bertiup cukup
kencang. Terkadang menyibakkan debu, ada kalanya hanya berdesir. Tetapi di bawah
tiga batu berongga itu, sungguh nyaman keadaannya. Teduh dan tersembunyi.
Sejak tadi tangan Dewi Gading merayapi tubuh Suro Bodong dalam ujud sebagai bocah
kecil itu. Sesekali ia menciumi rambut Tole, bahkan sesekali merayapi wajah Tole
dengan bibirnya. Tole mendesah, seakan tak mau diperlakukan seperti itu. Padahal Tole
semakin berpikir, langkah apa yang baik untuk mengatasi dendam Dewi Gading itu.
Posisi Dewi Gading bersandar pada dinding batu, duduknya melonjor, salah satu kakinya
sedikit di tekuk ke samping. Sedang Tole diminta tetap bersandar di dada Dewi Gading.
Kaki Tole yang membujur ke arah samping Dewi dibiarkan melonjor. Namun tangan
Dewi yang merayap ke tempat tertentu itu membuat perut Tole sesekali meliuk kegelian.
Tangan perempuan itu mengusap dan terus merayap, sampai menyelusup ke segala
medan. Lalu tangan itu sengaja meremas-remas suatu kebanggaan yang agaknya kali
ini ingin dinikmati oleh Dewi, tanpa peduli tempat dan keadaan.
Tole sedikit nakal. Ia membiarkan tangan itu bergerilya ke daerah terlarang, sementara
itu ia mulai menelungkupkan wajahnya dipermukaan dada Dewi Gading. Ia sengaja
membuat Dewi Gading mendesis seperti ular kobra yang sedang mencengkeram ular
juga.
"Kita pulang dulu ke pondok, yuk kak?" usul Tole.
"Aku ingin menunggu di sini saja sampai Suro Bodong muncul, baik dengan pasukannya
atau pun tidak. Ahh..." Dewi mendesah. "Di sini juga bisa, kan? Tidak perlu harus di
ranjang yang ada di pondok. Di sini juga bisa kok...!"
'Tempat ini tidak terlalu cukup untuk berbaring berdua, dan lagi kotor. Tak ada alas
tidur…''
"Banyak cara untuk menikmati kemesraan, Tole. Kau kan muridku, kau sudah waktunya
menerima pelajaran cinta yang terpaksa..." Dewi Gading tertawa dan semakin meremas.
Nafasnya mulai tidak teratur, debaran di dadanya keras sekali. Ia sempat berbisik, "Mari
kuajarkan sesuatu yang bersifat terpepet...! Bangunlah sebentar, kupersiapkan jamuan
untukmu, Sayang...!" Mendung semakin menggantung, namun hujan belum turun juga.
Hanya hujan lokal yang turun di dalam rongga tiga batu itu dan sempat membuat Dewi
Gading terpekik-pekik merenggang kenikmatan berlayar bersama Tole.
"Oouh... deras sekali...!" bisik Dewi Gading.
"Hujan belum turun kok, kak. Cuma mendung."
"Ya, tapi aku sudah merasa kan derasnya," seraya Dewi Gading melirik dalam godaan.
Lalu ia tertawa sambil mencubit hidung Tole, ketika anak itu tersenyum malu.
Dewi Gading menghapus keringatnya ketika Tole keluar dari rongga batu. Ia
memandang ke atas, melihat mendung. Padahal ia menyimak suara, kalau-kalau
terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Ternyata hanya desau angin yang terdengar
samar-samar. Ia sempat melirik Dewi Gading yang sedang membenahi pakaiannya, ia
tersenyum juga ketika perempuan berkulit kuning mulus itu mengerlingkan mata dengan
senyum kelegaan yang amat bahagia. Lalu, Tole melangkah dengan menyimpan hati
yang haru.
"Mau ke mana, Le...?" seru Dewi Gading.
"Aku mau mencari buah atau makanan sebentar, kak. Perutku lapar."
''Jangan jauh-jauh, nanti kau tertangkap orang-orang Kesultanan Praja...!"
Tole melangkah seiring dengan keharuan yang ada. Tapi ia buru-buru berusaha
menghapus sesuatu yang mengharukan itu. Ia harus bisa tegar, dan jangan sampai luluh
serta menjadi cengeng hanya karena seorang perempuan.
Memang ada beberapa pohon jambu monyet yang letaknya agak jauh dari bukit berbatu
rongga itu. Tole ke sana bukan untuk memetik jambu, melainkan untuk membulatkan
tekadnya, bahwa sudah saatnya ia harus mengakhiri permainannya selama ini bersama
Dewi Gading.
Ia mencari tempat yang lebih enak dan terlindung dari incaran mata orang. Kemudian
kakinya menjejak tanah. Ia melayang, dan bersalto di udara satu kali. Itulah jurus Luing
Ayan-1 yang mampu merubah ujud Tole menjadi manusia dewasa; berambut panjang,
kurang teratur, berbaju merah dengan celana biru tua, mengenakan ikat kepala merah
juga, dan bertubuh sedikit gemuk. Baju merahnya tidak dikancingkan, sehingga perutnya
yang kelihatan agak membuncit itu menampakkan betul pusarnya yang keluar. Dialah
Suro Bodong yang sebenarnya.
Apapun yang akan terjadi terhadap diri Dewi Gading, Suro Bodong sudah siap
menghadapi. Namun, tujuannya yang utama adalah membujuk Dewi Gading untuk
berdamai. Tetapi jika hal itu tidak mungkin, maka bertarung pun Suro sudah siap. Ia
harus melupakan kemesraan dan kenikmatan yang pernah dialami bersama Dewi
Gading, baik di kamar Madu Mayat atau pun di balik batu tiga berongga itu. Bagaimana
pun mesra dan nikmatnya, namun kebahagiaan yang amat melegakan itu adalah racun
yang mengancam kematiannya. Ia harus membasmi racun itu, baik dengan cara halus
atau pun dengan cara kasar.
Ketika Suro Bodong kembali ke tiga batu berongga bawahnya itu, ternyata Dewi Gading
sudah tidak ada di tempat. Kepala Suro clingak-clinguk mencari Dewi Gading. Ternyata
perempuan yang mengenakan pakaian serba kuning dan yang dadanya tampak
membusung itu sudah berada di puncak bukit. Rupanya ia sedang melihat kemungkinan
datangnya pasukan Suro Bodong yang ditunggu-tunggu. Ia tak sadar kalau seseorang
yang tadi habis dinikmati kedewasaannya itu telah berubah ujud menjadi sosok lelaki
yang dicarinya.
Suro Bodong mendaki bukit dengan gerakan yang ringan dan lincah. Waktu itu Dewi
Gading berpaling dan menjadi kaget ketika ia melihat sosok lelaki dengan kumis tebal
dan tubuh sedikit gemuk, tapi bukan gendut.
Suro Bodong sepertinya tidak menghiraukan kekagetan Dewi Gading. Ia ikut
memandang ke arah jauh, seakan ikut menanti kemunculan pasukan Kesultanan Praja.
Sambil garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong memunggungi Dewi Gading yang
memandangnya penuh selidik.
Sikap Suro amat tenang dan santai sekali berdirinya.
"Hei, siapa kau...?! Mengapa kau tahu-tahu muncul di sini, hah?!" Dewi Gading mulai
curiga dan berwaspada. Suro membalikkan tubuh dan memandang Dewi dengan
senyum santai.
"Kau mencariku, bukan?!"
Kesangsian Dewi kini terjawab; bahwa lelaki yang kini ada di depannya itu adalah Suro
Bodong. Orang yang dicari-cari, yang ditunggu-tunggu, tahu-tahu muncul bagai setan
menjelang sore. Dewi Gading segera mengambil sikap berjaga-jaga. Ia mundur
beberapa langkah, mengatur jarak. Namun saat itu jantungnya benar-benar lebih cepat.
"Dewi Gading..." kata Suro dengan kalem sambil garuk-garuk kumis lagi. "Lebih baik
mengubur dendam daripada mengubur diri sendiri. Pangeran Sedayu mati bukan
dengan tidak terhormat, tapi dengan kemegahannya yang perkasa. Ia mati dalam suatu
pertarungan resmi denganku, kurasa itu lebih baik dari pada dia mati karena penyakit
cacar!"
"Kalau kau takut menghadapi dendamku, sebaiknya kau bunuh diri saja, Suro Bodong!"
geram Dewi Gading dengan matanya yang menjadi tajam dan buas.
Suro Bodong masih menampakkan ketenangannya.
"Aku tidak takut menghadapi dendammu, tapi aku sayangkan kecantikanmu itu. Aku
yakin, atau... katakanlah, aku berjanji untuk menikmati masa-masa yang indah
bersamamu di Kamar Madu Mayat, jika kau mau melupakan dendammu."
Dewi Gading sangat terkejut ketika mendengar Suro Bodong menyebutkan Kamar Madu
Mayat. Dahi berkerut dan mata pun jadi menyipit. Dewi memandangi Suro Bodong dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
''Dari mana kau tahu kamar itu?" tanyanya pelan, sepertinya Dewi ragu untuk
melontarkan pertanyaan itu.
Senyum Suro Bodong mengembang, ia melipat kedua tangannya di dada. Santai sekali.
"Kamar Madu Mayat, sebuah kamar yang indah, penuh kenikmatan dengan ranjang
berkasur empuk. Aku ingin ke sana lagi bersamamu, Dewi. Akan kubuka pintu ruang
kematian itu lebar-lebar, biar asapnya masuk ke kamar, lalu kita hirup sebanyak-
banyaknya, agar kita mampu berlayar lebih jauh. Ah, aku senang dengan caramu
mendayung perahu kenikmatan itu, Dewi...."
Wajah Dewi Gading menjadi semburat merah, menahan malu yang membakar darah.
Dengan menggeram dan mengepalkan kedua tangannya, Dewi masih menyempatkan
diri untuk membentak Suro Bodong.
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan...!!"
"Aku... aku yang tadi kau ajak mendayung di bawah batu. Mungkin kalau kau melihat
pena yang kumiliki, kau pasti akan tahu bahwa pena itu adalah pena muridmu. Kau
pernah mengajarkannya di Kamar Madu Mayat, atau pun di bawah rongga batu itu,
bukan? Kau pernah menggelar perjamuan yang amat lezat di rongga batu itu bukan?
Dan aku menikmatinya dengan lahap. Kau bilang: dengan lahap, begitu!"
Geram Dewi semakin tajam, wajahnya pun kian memerah. Rasa malu dan marah
bergabung menjadi satu. Ia memang ingat kata-katanya kepada Tole ketika Tole makin
menggila saat mendapat pelajaran terpepet tadi. Belum lama ini. Ia ingat, ia mengatakan:
"Kau amat lahap hari ini, Tole!" Tetapi hanya Tole yang mendengar kata-kata itu. Lantas,
mengapa Suro Bodong bisa mengetahui kalimat tersebut?
"Kau... kau sebenarnya si Tole itu...?!" Dewi menarik kesimpulan.
"Benar. Waktu kudengar ada orang yang mencari Suro Bodong untuk dibunuh, aku
merubah diriku menjadi bocah kecil yang kau peluk dan kau nikmati kedewasaannya.
Tapi sekarang, rasa-rasanya aku harus segera menyelesaikan urusan ini, agar tidak
menimbulkan banyak korban antara orang-orangku dan orang-orangnya Prabu
Baladara!"
"Bangsaaat...!" geram Dewi berkepanjangan. Dewi memasang kuda-kuda dengan
merendahkan kakinya dan mengembangkan tangan kirinya ke atas kepala dan tangan
kanannya menyilang di depan dada.
"Ingat, Dewi... aku menyarankan suatu perdamaian...!"
''Tidak ada damai bagi orang sejahanam kamu!" tukas Dewi.
"Kalau aku kalah melawanmu, dan aku mati, kau tidak akan bisa menikmati ayunan
dayungku dalam mengarungi samudra kemesraan, Dewi."
"Persetan dengan kata-katamu itu. Kau telah membunuh Pangeran Sedayu, dan aku
telah berjanji membalaskannya! Sekarang, bersiaplah menuju alam kematianmu,
lupakan kisah di Kamar Madu Mayat itu, hiaaat...!!"
Suro Bodong membuka tangannya yang tadi terlipat di dada, karena saat itu tangan
Dewi Gading menghentak ke depan dan mengeluarkan sinar perak yang bagai hendak
mengurungnya. Suro ingat, Sinar perak itu berbahaya. Kaki kuda bisa patah total,
apalagi leher manusia. Dengan gesit, Suro Bodong menjatuhkan diri ke tanah dan
berguling ke arah Dewi Gading. Punggungnya berhasil dihentakkan, lalu dia melentik
untuk berdiri. Namun begitu berdiri, ia harus segera meliukkan badan ke belakang,
karena Dewi menghantamnya dalam jarak dekat. Pukulan tangan kanan Dewi meleset,
tapi kaki Suro segera mengibas dalam putaran balik. Kaki itu mengenai lengan Dewi, dan
Dewi jatuh terguling-guling menuju bawah, ke kaki bukit.
Dewi bergegas berdiri. Lalu tangannya melemparkan senjata empat mata kampak tipis
yang bolong tengahnya. Senjata itu melayang bagai kan piring yang berputar, siap
memotong apa saja yang dihantamnya. Suro Bodong bersalto satu kali. Ini tidak
merubah ujudnya, tetap saja ia berujud sosok Suro Bodong.
Senjata itu melesat di bawah kaki Suro Bodong, dan dengan cepat Suro Bodong
menapakkan kakinya ke permukaan senjata tersebut. Ia jadi berdiri mengambang di atas
sebuah piring. Senjata itu berhenti berputar, namun gerakan layangnya melengkung,
berbalik ke arah pemiliknya. Dan Suro Bodong pun jadi ikut bersama lajunya senjata itu.
Dewi Gading terbengong dalam kebingungan yang dicekam rasa kagum. Waktu ia
hendak menangkap senjatanya lagi, kaki Suro yang menapak di senjata itu segera
menghentak ke depan. Akibatnya senjata kampak bermata empat yang menyerupai
bunga teratai itu terpental, melesat ke arah kepala Dewi Gading.
"Hiaaat...!!" Dewi tak berani menangkap senjatanya. Ia bersalto di udara ke arah
samping. Kemudian bersalto sekali lagi, dan pada gerakan salto ke dua inilah kaki
kanannya berhasil menendang kepala Suro Bodong. Akibatnya Suro Bodong kehilangan
keseimbangan, lalu jatuh tersungkur. Hampir saja mulutnya membentur batu runcing
kalau saja lengannya tidak segera bergerak, menahan ke tanah.
Dewi Gading melayang, mengejar senjatanya. Senjata itu membentur sebuah batu
besar.
"Traang...!" Terjadi kilatan cahaya api akibat benturan itu. Kemudian Dewi Gading buru-
buru memungutnya. Suara derap kaki kuda terdengar di kejauhan. Suro Bodong
mengira, pasukan Kesultanan Praja telah datang. Tetapi ketika disimaknya baik-baik,
ternyata derap kaki kuda itu berasal dari arah Timur. Oh, berarti bukan pasukan
Kesultanan, melainkan pasukan Prabu Baladara yang dikerahkan menyerbu Kesultanan
Praja.
"Dewi...! Pasukanmu sudah datang! Kau seorang Senopati, dan aku pun seorang
Senopati dari Kesultanan. Sebaiknya cegah mereka agar tidak bertempur secara
kroyokan! Kalau kau kalah, mereka harus mau mengakui, dan begitu juga sebaliknya jika
aku kalah, Kesultanan akan tunduk kepada Prabu Baladara!"
Usulan itu dijawab oleh Dewi Gading dengan lemparan senjatanya.
"Aku bukan Senopati mereka lagi! Hiaaat...!!
Kali ini Suro Bodong tercengang sejenak, karena senjata kampak bermata empat itu
melayang berputar-putar di udara. Makin lama semakin besar, dan setelah menjadi
besar barulah melesat menuju ke tubuh Suro Bodong. Rasa-rasanya tak ada cara lain
untuk menghindari senjata ajaib yang bisa menjadi sebesar tampah itu kalau tidak
dengan menggunakan Pedang Urat Petir.
Maka,,Suro Bodong segera merentangkan tangan kirinya di dada, lalu mengurut tangan
kiri itu dengan tangan kanan dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah pedang yang
memancarkan sinar ungu berkilauan. Pedang itu segera mengibas ke samping kiri
sewaktu senjata kampak bermata empat itu melesat di depan wajahnya.
''Trang...! Blaaar...!!"
Suara menggema timbul dari ledakan kedua pusaka yang beradu. Senjata Dewi Gading
pecah menjadi berkeping-keping. Dewi Gading terbengong melompong. Sebab dari tadi
ia tidak melihat Suro Bodong mempunyai pedang, namun ternyata sekarang ada pedang
bersinar ungu yang mampu memecahkan senjata kampak bermata empat itu. Oh,
sungguh ajaib dan mengagumkan sekali. Rupanya Suro Bodong mempunyai pusaka
sebuah pedang yang mampu disimpan di dalam tangan kirinya, bagai berada di bawah
kulit lengan kiri itu. Benar-benar sebuah senjata yang sangat berbahaya dan sakti. Dewi
memang tidak tahu, bahwa itulah yang dinamakan Pedang Urat Petir. Suatu senjata
kebanggaan Suro Bodong selama ini. Dan ia tak tahu persis sampai seberapa
kehebatan pedang itu. Yang jelas, ia harus mencobanya sekali lagi, dengan cara apapun
agar dapat mengalahkan Suro Bodong.
Derap kaki kuda semakin jelas, dan lama-lama menjadi sangat jelas. Berpuluh-puluh
pasukan dari Lesanmitra segera mengurung tempat pertarungan Suro Bodong dengan
Dewi Gading. Pasukan berkuda yang lengkap dengan senjata perang di setiap prajurit itu
dipimpin oleh Dadung Wungu, yang bersenjata tombak berujung clurit.
"Berhenti...! Semua pasukan berhenti! Kita tunggu siapa yang unggul antara lelaki itu
dengan Dewi Gading!" seru Dadung Wungu, sementara di sampingnya duduk di
punggung kuda seorang lelaki berpakaian ungu dengan mata ditutup sebelah dan
menampakkan bekas darah. Dialah Raden Puger.
"Dewi...!" kata Suro Bodong ketika mereka bertarung dalam jarak dekat,
"Menyingkirlah...! Jangan mau terbunuh seperti yang lain. Biar aku akan menghadapi
orang-orang dari Lesanmitra ini! Lekas...!"
"Aku akan menyingkir kalau aku sudah menjadi mayat!" balas Dewi pantang menyerah.
Ia melompat dalam satu tendangan ke belakang. Pada saat itu, punggung Suro Bodong
berhasil dijadikan sasaran tendangannya itu. Suro terhuyung-huyung ke depan. Namun
ia segera bersiap kembali dengan merentangkan tangannya yang memegang pedang.
Dewi Gading bersalto menjauh. Kemudian ketika ia mendaratkan kakinya ke tanah,
kedua tangannya bergerak maju, bagai sedang melemparkan sesuatu. Kedua kakinya
merendah dengan tegar. Dan pada saat itu, Suro Bodong melihat kepingan-kepingan
bulat seperti uang logam melesat dari kedua tangan Dewi Gading. Kepingan-kepingan
itu berwarna kuning emas dan berjumlah lebih dari 20 keping. Semuanya melesat bagai
hendak menyergap Suro Bodong.
Dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata, Suro Bodong menggerakkan Pedang
Urat Petir. Menebas cepat kian kemari hingga bunyi gemerincing saling bersahut-
sahutan. Rupanya kepingan-kepingan logam itu berhasil ditebas pecah oleh pedang
Suro Bodong. Salah satu tebasannya mengakibatkan logam berbahaya itu melesat dan
mengenai seorang penunggang kuda dari Lesanmitra.
"Aaah...!!" orang itu menjerit. Ia memegangi dadanya. Dalam waktu sangat singkat
dagingnya mulai ambrol luluh, dan menjadi seperti daging cincang. Tinggal tengkorak
dan kerangka tubuhnya saja yang masih tetap duduk di punggung kuda dalam posisi
memegangi dadanya.
Bukan hanya Suro Bodong yang membelalak kaget, tetapi semua orang Lesanmitra pun
tercengang melihat kedahsyatan senjata rahasia Dewi Gading. Suro Bodong mulai
bersungguh-sungguh, ia tidak mau menerima nasib seperti penunggang kuda dari
Lesanmitra itu. Ia mengambil posisi tegak, kedua kakinya merapat. Pedangnya
digerakkan bagai sedang menusuk udara ke tujuh arah. Setelah ditusukkan ke tujuh
arah, maka ia mengibaskan pedangnya dengan kedua tangan, dari kanan ke kiri, dan
kakinya salah satu ditarik mundur, sedang kaki yang satu menekuk ke depan.
Itulah jurus Pedang Colok yang membuat Dewi Gading menjerit kesakitan sambil
memegangi kedua matanya.
"Oaauuww…, Mataku...?! Mataku perih sekali...! Oh, mataku tak dapat untuk melihat...!!"
teriak Dewi Gading dengan panik.
Dadung Wungu diperintahkan oleh Raden Puger untuk menyerang Suro Bodong. Ia
segera melompat dengan senjata tombak berujung cluritnya. Ketika tombak itu mengibas
bagai hendak membabat kaki, Suro Bodong melompat seraya mengibaskan pedangnya
ke arah wajah Dadung Wungu. Namun belum sempat ia habis mengibaskan pedang itu,
sebuah pukulan telapak setan telah dilancarkan dari tangan Raden Puger. Kilatan bunga
api meluncur cepat, dan Suro Bodong menangkisnya dengan gerakan pedang yang
seharusnya ke bawah, kini menjadi ke atas. Taaar...! Bunyi ledakan kecil pun terdengar
di ujung pedang ketika bunga api mengenai pedang tersebut.
Raden Puger penasaran. Tanpa peduli kepalanya masih berdarah akibat ditembak
dengan ketapel Tole, ia turun dari kuda. Waktu itu, Dadung Wungu mengibaskan
tombaknya dengan membabi-buta ke segala arah. Suro Bodong melompat-lompat
menghindari tebasan senjata Dadung Wungu. Hal itu digunakan oleh Raden Puger untuk
mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke arah Suro Bodong. Sekali pun tidak
mengenai tubuh Suro Bodong, namun kibasan pedang perunggu itu mampu
menyebarkan serbuk merah yang dapat membuat kulit tubuh manusia menjadi busuk
Suro Bodong berkelit ke samping. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil
menggenggam pedang Urat Petir. Pedang itu di putar-putar di udara, di depan matanya.
Serbuk merah menjadi mengumpul dalam satu pusaran arus angin yang ditimbulkan oleh
gerakan memutar pedang Suro. Ketika sudah berkumpul, serbuk itu pun bagai
dihempaskan oleh angin kencang, sebab Suro menggerakkan pedangnya ke arah
Dadung Wungu. Maka serbuk itu pun meluncur dan menebar mengenai tubuh Dadung
Wungu.
"Aaahhh...! Serbuk itu mengenaiku, ooh... tolong...!!" Dadung Wungu kebingungan. Ia
mendekati Raden
Puger, tapi Raden Puger semakin panik. Suro Bodong masih bersiaga di tempatnya.
Dadung Wungu menjerit kelojotan, karena serbuk itu menempel di sekujur badan bagian
atas.
Gemuruh derap kaki kuda datang dari Barat. Itulah rombongan pasukan Kesultanan
yang dipimpin oleh Demang Sabrangdalu. Pasukan itu jumlahnya dua kali lipat dengan
pasukan Lesanmitra. Saat itu, Suro berseru mengimbangi suara Dadung Wungu yang
menjerit-jerit kesakitan, karena kepala dan leher sampai ke dada menjadi bengkak.
Membiru sebentar lalu melepuh dan menjadi busuk. Raden Puger sendiri tampak panik
serta serba salah.
"Pulanglah kalian...!! Aku senopati Kesultanan Praja! Kalau kalian pulang, kami tidak
akan mengejar. Tapi kalau kalian tetap di sini, aku yang akan menghadapi kalian semua!
Cukup satu orang yang maju bagi Kesultanan Praja, itu sudah bisa membantai satu
kerajaan kalian...!!"
''Tutup mulutmu, jahanaaam...!!" Raden Puger melayangkan tendangannya ke arah Suro
Bodong. Suro berkelit dengan merendahkan badan. Pedang perunggu segera berkelebat
menebas ke-pala Suro Bodong dari atas. Pedang Urat Petir menangkisnya dengan satu
tebasan kuat. Dan pedang itu pun menimbulkan dentuman yang menggelegar
bersamaan menggulingnya Suro Bodong.
Raden Puger mendelik melihat pedang perunggunya patah menjadi tujuh potongan.
Kecil-kecil. Ia semakin panik, apalagi jeritan Dadung Wungu semakin mengiris hati.
Raden Puger benar-benar menjadi gila. Jiwa kerdilnya berkuasa, ia segera berlari ke
arah pasukannya.
"Kau akan dikejar pedangku Puger...!!" teriak Suro Bodong. Tetapi sebelum Suro berbuat
sesuatu, Raden Puger menyerobot pedang anak buahnya, kemudian ia menikam diri
sendiri dengan sekuat tenaga.
"Dia bunuh diri...?!!" teriak salah seorang prajurit. Lalu gaduh, heboh dan paniklah
suasana saat itu. Raden Puger malu, jiwanya amat guncang ketika ia tahu Suro Bodong
orang kuat. Pedang perunggu pusakanya dapat dihancurkan, dan racun dari pedangnya
sendiri telah melukai Dadung Wungu yang sekarang kelojotan. Agaknya jantung Dadung
Wungu pun menjadi membusuk terkena tebaran serbuk beracun dari pedang perunggu.
Sebab itu, Raden Puger merasa tak berarti lagi hidup menanggung kekalahan yang
memalukan. Jiwa kerdilnya bertindak, dan ia lebih baik mati bunuh diri daripada harus
mati di tangan pembunuh adiknya: "Suro Bodong." Ia tak sanggup menahan malu di
depan mertuanya: yaitu Prabu Baladara yang amat membanggakan kesaktiannya.
''Pulanglah kalian! Jangan mau mati dengan sia-sia! Tenaga dan hidup kalian masih
dibutuhkan oleh keluarga...!" seru Suro Bodong. Saat itu, pasukan dari Kesultanan Praja
hanya diam, membentuk satu barisan memanjang, sebagai pagar keperajuritan yang
akan membendung lawan jika lawan nekad hendak masuk ke wilayah Kesultanan Praja.
Tubuh kedua mayat itu dinaikkan ke atas punggung kuda. Pasukan Lesanmitra
meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan suasana berkabung. Mereka
melangkahkan kaki kuda dengan keheningan tanpa seucap kata pun. Mereka pulang,
karena mereka merasa sia-sia melawan Suro Bodong yang ternyata berilmu sangat
tinggi itu.
Tempat itu telah kosong. Prajurit kesultanan beium ada yang berani bicara. Suro Bodong
telah memasukkan Pedang Urat Petirnya ke tangan kiri, bagai disimpan dalam daging
lengan kirinya. Kemudian ia mendekati Demang Sabrangdalu yang masih duduk di atas
punggung kuda.
"Sudah beres, Demang...!"
Demang Sabrangdalu menggumam. "Perempuan itu... buta matanya. Dia meraba-raba
untuk pergi juga, atau sengaja mencarimu? Aku tahu, dia Senopati Lesanmitra!"
"Dia bukan lagi Senopati. Dia hanya ingin membalas dendam atas kematian kekasihnya,
yaitu Pangeran Sedayu. Tapi... biarlah kuurus dia, kalau toh terpaksa, akan kubunuh
juga. Tapi kalau bisa berdamai, aku akan berdamai dengannya. Sekarang, bawa
pasukan kembali ke istana Kesultanan...!"
Perintah Suro Bodong, adalah perintah seorang Senopati perang. Perintah itu tanpa
diulang dua kali langsung dikerjakan. Demang Sabrangdalu dan pasukannya kembali ke
istana Kesultanan. Sementara itu, Suro Bodong mendekati Dewi Gading yang sedang
merintih pelan sambil meraba-raba. Matanya buta akibat jurus pedang colok yang tadi
dilancarkan oleh Suro Bodong.
"Dewi..." sapa Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis. "Mari kuantar kau pulang ke
Pondok Lereng Sewu..."
Dewi bungkam, gerakannya diam sampai lama. Matanya mengerjap-ngerjap,
menyedihkan.
"Kau... unggul. Tapi sebaiknya bunuh saja aku, Tole!"
Suro Bodong terharu mendengar dirinya dipanggil Tole. Ia hanya berkata, "Akan
kubunuh kau dengan pena muridmu di kamar Madu Mayat, kak Dewi..." suasana jadi
hening, dan Dewi pun akhirnya menangis, lalu membiarkan Suro Bodong
menggendongnya ke Pondok Lereng Sewu.
Jadi dulu, Dewi menggendong Suro Bodong berujud bocah menuruni lereng maut dan
membawanya ke pondok, kini Suro Bodonglah yang membawa Dewi ke sana.
"Aku telah buta, aku tak punya arti apa-apa lagi...."
"Dendam itu memang membuat buta, Dewi," kata Suro sambil melompat dengan ilmu
peringan tubuh, menuruni Lereng Sewu. Ia berkata lagi, "Kalau aku mau, aku bisa
membunuhmu sekarang juga. Tapi apalah hebatnya membunuh orang buta. Apalah
hebatnya membunuh orang yang menyimpan dendam. Karena dendam itu sendiri
adalah kebutaan yang tidak disadari."
Suro Bodong menggeletakkan Dewi Gading di atas dipan, di luar kamar mendiang
gurunya, yang disebut Kamar Madu Mayat itu.
"Dewi, kau sadar apa yang menimpa dirimu?"
Dengan tangis yang lirih, Dewi menjawab, "Bawalah aku ke kamar Madu Mayat...."
Tak banyak pertimbangan lagi, Suro Bodong membawa Dewi masuk ke kamar mendiang
gurunya. Ia meletakkan Dewi di atas kasur dari ranjang yang amat indah dan berkelambu
merah muda itu.
"Aku... aku telah termakan oleh dendamku sendiri, sehingga aku tak dapat melihat
keindahan kamar ini, Tole...."
Suro Bodong menghela nafas, menahan debaran yang menyesak di dada.
"Ilmu pedangmu, ternyata belum ada tandingannya. Aku ini hanya debu diujung
pedangmu, Tole...."
"Pedang itu sebenarnya mampu untuk tidak membuatmu buta, kalau saja kau mau
berdamai kala itu. Tapi... sudahlah, kebutaan ini hanya sementara, hanya sampai
setengah hari. Ilmu Pedang Colok hanya kugunakan untuk membutakan lawan
sementara, lalu kubunuh. Tapi kali ini, kurasa lebih baik aku membawamu ke mari dari
pada membunuhmu. Percayalah, lewat setengah hari nanti, kau bisa melihat lagi. ''
"Benarkah itu? Benarkah...?" Dewi meratap haru dalam suka.
"Benar, kak Dewi...!" jawab Suro menirukan
"Oh... Tole..." Dewi mendesah. "Bukalah ruang kematian itu agar uapnya masuk ke mari
dan terhirup oleh kita. Bukalah!"
Setelah tertegun beberapa saat, maka Suro Bodong segera membuka ruangan berpintu
model almari, dan bau harum yang aneh pun masuk ke kamar Madu Mayat.
>>>> T A M A T <<<<<
0 comments:
Posting Komentar