..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE RACUN MADU MAYAT

SURO BODONG EPISODE RACUN MADU MAYAT


(BAGIAN KE-06 SERIAL SURO BODONG)

Karya : Barata


Ketika masuk ke sebuah kedai, Suro Bodong terperanjat mendengar obrolan dua orang 

yang tengah makan di samping kanannya. Yang seorang berbadan kurus, yang seorang 

lagi berbadan gemuk, pendek. Dilihat dari pakaian dan penampilannya, jelas mereka 

adalah rakyat biasa. Diduga mereka hanya seorang penarik gerobak sapi untuk 

angkutan ke suatu tempat.

Di depan kedai ada dua gerobak sapi memuat kayu-kayu gelondong. Suro Bodong 

melirik sekeliling, hanya ada satu orang lagi yang duduk di pojokkan. Pasti dia bukan 

pemilik gerobak sapi itu, sebab di sampingnya terdapat pikulan dan dua buah keranjang.

Kedua orang yang ada di samping kanan Suro Bodong itu bicara dengan seenaknya, 

bagai tidak merasa ada bahaya di sebelahnya. Yang jangkung kurus berkata sambil 

mencolek sambal dengan bahan lalapan.

"Kurasa sulit untuk menangkap orang yang bernama Suro Bodong itu. Jelas dia bukan 

orang sembarangan, buktinya sampai diadakan sayembara seperti itu."

Yang pendek gemuk menjawab, ''Tapi... kalau dipikir-pikir hadiahnya lumayan juga ya? 

Satu kantong uang emas bagi siapa saja yang bisa menangkap Suro Bodong, hidup 

ataupun mati. Wah, kalau aku bisa menangkapnya, aku bisa kaya, Jo!"

"Ah, jangan mimpi di kandang kebo, kamu Min! Jangan pikirkan hadiahnya, tapi 

pikirkanlah nyawamu! Bisa-bisa kau mati di tangan orang yang bernama Suro Bodong 

itu!"

"Yaah... aku kan cuma berandai-andai saja, Jo... Memangnya bisa apa orang seperti 

kita-kita ini. Paling-paling menjinakkan sapi!"

Sikap Suro Bodong tetap tenang, sekalipun ia sebenarnya terkejut mendengar namanya 

disebut-sebut. Ia terus saja menyimak pembicaraan kedua orang yang dipanggil Min dan 

Jo itu. Suro Bodong meneguk tuak pesanannya, sesekali menggaruk-garuk kumisnya 

yang tebal dengan ujung telunjuk.

Pemilik kedai yang berkulit keriput itu ikut menimpali pembicaraan kedua orang itu.

"Kudengar, orang yang bernama Suro Bodong itu tadi pagi sudah tertangkap?"

"O, ya?!" sahut Jo. "Kata siapa pak?"

"Kalau tidak salah, tadi pagi ada orang diseret-seret ke rumah Ki Lurah. Banyak juga 

orang yang mengaraknya."

"Ooo...!" Min dan Jo manggut-manggut seolah tertegun mendengar kabar tersebut. 

Pemilik kedai membersihkan meja di depan mereka dengan kain kering. Ia berkata lagi:


''Tapi apakah betul dia yang bernama Suro Bodong, atau ada masalah lain dengan orang 

itu, aku kurang jelas, Jo!"

"Pokoknya...," sahut Min. "Asalkan bertubuh besar, perutnya melendung ke depan sedikit 

dengan puser yang bodong, ya itulah orangnya...!"

Suro Bodong buru-buru merapatkan baju merah yang jarang dikancingkan. Ia 

memasukkan ujung bawah bajunya ke dalam celana supaya baju itu menjadi rapat. Ia 

kembali menyimak pembicaraan mereka.

Kata Min, "Orangnya punya kumis tebal, dan rambutnya panjang. Kata beberapa orang, 

dia punya banyak kesaktian. Herannya, kalau Raden Puger dan Dadung Wungu tidak 

bisa menangkap Suro Bodong, mengapa ia serahkan kepada rakyat? Padahal Raden 

Puger dan Dadung Wungu kan orang-orang sakti."

Jo menyambung, "Malah mereka konon pernah membunuh raja siluman di pesisir 

Utara."

Pemilik kedai berhenti melakukan pekerjaannya, lalu menimpali pembicaraan itu.

"Mungkin yang dimaksud Raden Puger adalah keterangan. Keterangan tentang di mana 

Suro Bodong ada. Jadi, siapa saja yang bisa memberi keterangan di mana Suro Bodong 

berada, ia akan mendapat hadiah. Syukur bisa menangkapnya sendiri. Mungkin begitu 

maksudnya."

Suro Bodong baru saja mau bertanya kepada orang bertubuh kurus itu, tetapi tiba-tiba 

ada sesuatu yang menarik perhatian. Mata mereka memandang ke luar kedai. Banyak 

orang berlari-lari ke satu arah. Ada yang berjalan dengan cepat dan ada pula yang lari 

terburu-buru.

"Ada apa, Mo...?!" seru pemilik kedai.

Orang yang tengah berlari terburu-buru itu berhenti sejenak di depan kedai.

"Nonton orang dibakar hidup-hidup, Pak Suto! Ngeri, tapi aku ingin melihatnya seperti 

apa! Yuk, ke sana...!"

"Di mana?! Di mana ada orang dibakar hidup-hidup?!''

"Di depan rumah Ki Lurah...!" jawab orang yang dipanggil, kemudian ia melanjutkan 

larinya.

Min dan Jo, kedua penarik gerobak sapi itu buru-buru membayar makanannya.

"Aku juga mau melihat ke sana, ah. Seumur-umur baru sekarang aku akan melihat orang 

hidup dibakar...!" kata Jo. Kemudian keduanya segera naik ke gerobak sapi masing-

masing. Orang yang makan di pojokkan juga buru-buru menyelesaikan makannya, dan 

setelah membayar ia segera pergi ke arah rombongan orang berlari.


"Ki Sanak juga ingin menonton orang dibakar?!" sapa pemilik kedai kepada Suro 

Bodong.

Kepala Suro Bodong hanya menggeleng. Ia tetap tenang. Ia hanya menjawab, "Saya 

takut, Pak."

"Saya juga. Tapi kalau tidak melihat jadi penasaran rasanya."

"Kalau Bapak mau melihatnya, silakan ke sana. Biar saya yang menunggu kedai ini."

Seorang perempuan berlari sambil menggendong anaknya berumur dua tahun.

''Pak."

''Kamu juga mau nonton, ya Sur...?" 

"Iya, Pak Aku ndak percaya ada orang kok mau dibakar hidup-hidup. Katanya sih... 

orang yang dicari-cari sudah ketemu, Pak. Aku jadi penasaran, ingin melihat seperti apa 

orang yang bernama Suro Bodong itu."

"Lho, jadi yang mau dibakar itu Suro Bodong?!" tegas pak Suto, pemilik kedai. 

''Iya...! Itu kata orang-orang kok!" 

Pak Suto tertegun sejenak. Suro Bodong juga menjadi gelisah. Katanya, orang yang 

mau dibakar itu Suro Bodong. Padahal saat itu Suro Bodong sedang makan di kedai, 

dan bahkan mendengar sendiri berita tersebut Ah, hati Suro jadi penasaran sendiri.

"Ki Sanak, saya titip kedai ini, ya? Saya penasaran, ingin melihat seperti apa ujud Suro 

Bodong itu?" kata pemilik kedai.

"Silakan, Pak. Tapi, ngomong-ngomong, mengapa Suro Bodong mau dibunuh?"

"Hanya soal dendam saja kok, Nak. Raden Puger punya adik, konon adiknya mati di 

tangan Suro Bodong. Lalu, Raden Puger hendak menuntut nyawa ganti nyawa."

"Kenapa dia mencarinya di sini? Apakah ini wilayah Raden Puger? Dan apakah Suro 

Bodong itu orang desa ini?" Suro Bodong memancing beberapa pertanyaan, dan pak 

Suto menjawabnya dengan polos, sebab ia tidak tahu kalau yang sedang berbicara

dengannya itu adalah Suro Bodong sendiri.

"Raden Puger dan Dadung Wungu sebenarnya bukan orang desa ini. Tapi pamannya, Ki 

Lurah Jayaraga, adalah paman dari Raden Puger. Dan menurut kabar, entah dari mana 

asalnya, bahwa orang yang bernama Suro Bodong itu terlihat memasuki desa ini 

kemarin pagi. Jadi, Raden Puger berusaha menemukan Suro Bodong sebelum Suro 

Bodong pergi meninggalkan desa ini. Ah, sudahlah... nanti akan saya ceritakan soal itu 

semuanya. Saya tahu banyak, sebab Raden Puger mampir ke mari dan bercerita pada 

saya. Sekarang, saya mau nonton ke sana. Titip kedai ini, ya Nak?"

''O, ya. Silahkan. Saya tunggu di sini, Pak...!"


Mungkin karena sikap dan penampilan Suro Bodong yang tenang itulah yang membuat 

pak Suto tidak menyangka bahwa dia sedang berbicara dengan Suro Bodong asli.

Tetapi kepergian pak Suto membuat Suro Bodong termenung terbengong-bengong 

sendirian. Nafsu makannya tidak ada. Ia minum tuak sedikit, kemudian berkecamuk 

sendiri dalam hati. Ia bertanya -tanya, mengapa Raden Puger menghendaki 

kematiannya? Kalau memang ingin balas dendam atas kematian adiknya, lantas siapa 

adik Raden Puger itu? Dan siapa sebenarnya orang yang hendak mereka bakar itu?"

Lama-lama Suro Bodong jadi penasaran. Rasa ingin tahu tentang siapa yang hendak 

dibakar jadi mendesak-desak pernafasannya. Maka, tanpa peduli keadaan warung yang 

sepi, Suro Bodong pun ikut ke sana, nonton orang dibakar. Tapi tentu saja ia tidak ingin 

ciri-ciri yang sudah diketahui orang itu menimbulkan kegaduhan lagi. Tanpa peduli siapa 

yang memberi ciri-ciri tubuh Suro Bodong kepada Raden Puger, Suro Bodong harus 

merubah dirinya agar bisa menyelidiki masalah sebenarnya.

Ia pergi ke belakang kedai. Tempatnya cukup sepi. Tak terlihat ada seorang pun di sana. 

Maka, ia pun segera menggunakan jurus Luing Ayan-3, yang disebut pula jurus 

Saptaraga. Ia bersalto di tanah, tubuhnya yang semula sedikit gemuk dan berambut 

panjang sepundak dengan kumis tebal, kini telah berubah menjadi seorang bocah 

berumur antara 10 sampai 15 tahunan.

Jurus Luing Ayan memang mampu merubah ujud Suro Bodong menjadi bentuk lain 

sampai tujuh rupa. Itulah sebabnya ia pernah disebut sebagai pendekar 7 keliling karena 

kehebatan ilmu semacam itu. Dalam keadaan menjadi seorang bocah, Suro Bodong 

biasanya merubah namanya menjadi Tole. Ia mengenakan celana hitam, tanpa baju. 

Berkalung ketapel atau slepetan, dengan potongan rambut yang kaku dan tubuh yang 

kurus. Ia mirip anak yang terlantar.

Pada waktu Suro Bodong sampai di depan rumah Ki Lurah, ternyata tempat itu sudah 

banyak dikelilingi manusia. Di tengah tanah lapang itu telah diikat seorang lelaki 

bertubuh gemuk, rambut panjang dan perutnya sedikit buncit. Lelaki itu berdiri di tengah 

tumpukan kayu bakar dalam keadaan tubuh terikat pada sebuah tiang besar dari pohon 

kelapa. Orang itu tidak mengenakan baju, celananya merah. Berbeda dengan celana 

Suro Bodong sebenarnya yang biru tua itu. Bagi Tole, jelas orang yang mau dibakar itu 

bukan Suro Bodong. Bentuk tubuhnya memang mirip dengan Suro Bodong, namun 

mereka salah comot dan memaksakan diri menganggap orang itu adalah Suro Bodong. 

Maka, tak heran jika orang itu menangis ketakutan sambil berseru:

"Aku bukan Suro Bodong...!! Oh, tolonglah... aku bukan Suro Bodong...! Kalian salah 

sangka! Aku Mugeni...! Aku bukan Suro Bodong! Namaku Mugeni...!"

Tapi agaknya tak ada orang yang mau mendengarkan teriakan Mugeni. Suro Bodong 

berjingkat-jingkat ingin melihat lebih jelas ke arah depan. Maklum, sekarang dia menjadi 

anak kecil sehingga beberapa orang dewasa menghalangi penglihatannya.

Untuk memperoleh penglihatan yang jelas, Tole naik ke atas pohon yang ada di sudut 

tanah lapang itu. Pohon jambu batu yang tidak seberapa tinggi, namun ternyata dapat 

membantu Tole untuk melihat keadaan di tengah lapang. Tole, atau Suro Bodong yang 

sebenarnya, sempat memperhatikan beberapa orang yang tengah berembuk di depan 

tumpukan kayu bakar. Mereka mungkin Ki Lurah Jayaraga, Raden Puger dan Dadung


Wungu yang didampingi beberapa pesuruhnya. Tapi yang mana Dadung Wungu, yang 

mana Raden Puger, Suro Bodong tidak bisa memastikan. Ia belum mengenal mereka, 

bahkan Lurah Jayaraga pun belum pernah dikenalnya.

Suro Bodong baru semalam menginap di desa itu, di sebuah penginapan darurat. Ada 

seorang penduduk desa yang rumahnya dekat perbatasan desa, dan menyediakan satu 

kamar untuk menginap Suro Bodong dengan harga murah. Sedangkan tujuan Suro 

Bodong sebenarnya akan ke Bandar Koja, daerah pesisir Selatan untuk mencari 

keterangan tentang kapal-kapal yang datang dari negeri seberang.

Ia telah dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja, yang punya kekhawatiran 

tentang serangan tentara Tiongkok di bawah pimpinan seorang kaisar. Sebab ada 

beberapa pemerintahan yang pernah diserang oleh tentara Tiongkok untuk dilelang 

kepada orang-orang pendatang. Untuk mengatasi hal tersebut, Suro Bodong kebetulan 

berhasil diangkat sebagai menantu Sultan Jurujagad, kemudian dinobatkan sebagai 

Senopati Kesultanan Praja itu. (dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT ASMARA). 

Karenanya, untuk melakukan pencegahan lebih awal, Suro Bodong perlu menyelidiki 

keadaan di pelabuhan Bandar Koja tentang kemungkinan datangnya kapal atau perahu 

asing. Tapi agaknya di desa Cengkir yang ia singgahi itu ada masalah lain yang harus 

dituntaskan.

"Rakyat Desa Cengkir...!" teriak seseorang yang berdiri di depan tumpukan kayu bakar 

itu. "Orang yang bernama Suro Bodong telah berhasil kami tangkap atas bantuan 

Saudara Barsowi, yang memberi keterangan di mana orang itu bersembunyi. Maka, 

sebelum Suro Bodong kami bakar, kami akan menyerahkan hadiah kepada Saudara 

Barsowi berupa uang emas sejumlah dua puluh keping!"

Sorak rakyat membahana. Orang yang siap dibakar masih berteriak-teriak, "Aku bukan 

Suro Bodong! Barsowi punya dendam kepadaku, lantas memfitnahku sebagai Suro 

Bodong! Bukan...! Aku memang bukan Suro Bodong! Aku Mugeni...! Namaku Mugeni 

dari desa Tundongan...!"

Seruan itu tidak dihiraukan. Orang berpakaian rapi dan mengenakan ikat kepala dari kain 

batik halus itu berseru lagi kepada massa.

"Mana yang bernama Barsowi...? Barsowi... harap tampil ke depan untuk mendapat 

hadiah dari Raden Puger, keponakanku sendiri...!"

Suro Bodong yang menjadi Tole segera mengerti, bahwa orang yang berseru tadi adalah 

Ki Lurah Jayaraga. Di samping kirinya, ada orang yang mengenakan pakaian rapi pula 

berwarna ungu, berlengan panjang dengan hiasan benang emas di tepian bajunya. Pasti 

dia yang bernama Raden Puger. Orang tegap dan usianya sudah cukup banyak, antara 

35 tahunan. Sedangkan yang mengenakan rompi biru muda dengan celana merah 

seperti yang dikenakan Raden Puger itu, pasti yang bernama Dadung Wungu. Ia 

kelihatan lebih kasar dan lebih berotot ketimbang Raden Puger. Kepalanya mengenakan 

ikat kain ungu, mirip baju yang dikenakan Raden Puger. Di tangannya menggenggam 

tombak berujung clurit yang berkilauan ketajamannya. Sedangkan Raden Puger hanya 

menyandang sebilah pedang bersarung perunggu di pinggang. Gagang pedang itu 

mempunyai manik-manik batu permata warna putih dan merah tua. Bagus sekali. Pasti 

Raden Puger bukan sekedar rakyat biasa. Paling tidak orang tuanya, atau bahkan dia 

sendiri adalah orang penting dalam suatu pemerintahan.


Suro Bodong masih ingat seruan Mugeni tentang dendam Barsowi, sehingga membuat 

Mugeni disangka Suro Bodong. Benar-benar keji hati Barsowi itu. Ia memaksakan 

musuhnya mati di tangan Raden Puger dengan mengatakan bahwa Mugeni adalah Suro 

Bodong.

Ketika Mugeni berteriak sekeras-kerasnya, Barsowi hanya tertawa sambil menunjukkan 

20 keping uang emas dalam kantong kecil. Kemudian Raden Puger memerintahkan 

beberapa pelayannya agar menyiram minyak pada kayu bakar yang telah menumpuk di 

sekitar kaki Mugeni.

Pada saat itu, Suro Bodong yang menjadi anak kecil itu segera memetik buah jambu 

batu yang masih keras. Ia mulai merentangkan ketapel atau slepetannya dari atas 

pohon. Ia menghirup udara banyak-banyak, lalu disimpan dalam dada, setelah 

memejamkan mata sejenak, ketapel itu pun dilepaskan.

"Wesss...!"

Jambu batu yang masih sekeras batu itu melesat cepat ke arah Barsowi. Saat itu 

Barsowi telah berada di antara penonton yang mengerumuninya. Suro Bodong melihat 

ada celah kecil yang menampakkan tangan Barsowi sedang memegang kantong uang. 

Lewat celah kecil, di antara kepala-kepala dan pundak-pundak penonton itulah jambu 

batu itu meluncur cepat dan mengenai tangan Barsowi Keadaan menjadi gaduh. Barsowi 

menjerit keras sekali. Jambu batu itu menghantam tangannya dan menimbulkan letupan 

yang mengagetkan Barsowi dan orang di sekelilingnya. Barsowi sangat kesakitan, 

karena letupan jambu batu itu mengakibatkan tangannya hancur sampai sebatas 

pergelangan tangan. Ia bagai dihantam dengan bom kecil yang membuat kantong 

uangnya jatuh entah ke mana, dan tangannya hancur dengan keadaan sangat 

mengerikan.

"Aaaoow...!! Tangankuuu...! Tangankuu...!! Aaahh...!"

Suasana jadi kacau balau. Orang-orang menyingkir dari Barsowi dalam keadaan panik. 

Raden Puger dan Ki Lurah sama-sama terkejut. Mereka memandang Barsowi. 

Sementara itu, Dadung Wungu matanya jelalatan mencari orang yang mengacaukan 

suasana itu.

"Lepaskan akuuu....'!" teriak Mugeni yang tubuhnya sudah banyak luka akibat siksaan 

sebelumnya. "Kalau ingin Barsowi selamat, lepaskan akuuu...!!"

"Diaaam...!!" teriak Dadung Wungu sambil melemparkan batu dan mengenai dagu 

Mugeni. Dagu itu berdarah dan Mugeni menjerit kesakitan. Namun, agaknya ia berusaha 

terus untuk melepaskan diri. Suasana sudah kacau, dan itu kesempatan bagi Mugeni 

untuk mencari peluang. "Barsowiii...! Kalau kau ingin selamat, katakan kepada mereka 

bahwa aku bukan Suro Bodong! Lekas katakaaan...!"

Barsowi sibuk menjerit-jerit karena ia kehilangan telapak tangan kirinya. Mungkin karena 

tertutup suara gaduh penonton yang panik, maka suara Mugeni itu tidak mendapat 

sambutan dari Barsowi.

"Gotong dia ke rumah!" teriak Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang 

menggotong Barsowi ke rumah Ki Lurah yang ada di belakang para penonton.

Raden Puger berseru, "Orang itu harus tetap dibakar! Dia Suro Bodong, yang telah 

membunuh adikku dengan keji! Bakar dia sekarang juga!"

Beberapa orang menyiramkan minyak lagi. Lalu salah seorang menyalakan api pada 

sebuah obor darurat yang akan dilemparkan ke timbunan kayu bakar. Mugeni berteriak-

teriak ketakutan.

Pada saat itu, Suro Bodong memetik buah jambu batu lagi. Dari atas pohon jambu ia 

mengincar tangan pemegang obor yang belum sempat menyala. Ketapelnya ditarik 

dengan nafas tersimpan kuat-kuat, lalu melesat cepat melalui celah-celah antara kepala 

dengan pundak penonton. "Weees...!" dan sekali lagi jambu batu itu bagai sebuah bom 

kecil yang mampu meledakkan tangan pembawa obor.

"Aaaooww...!!"

Tangan itu hancur dan bagai terpotong sebatas pergelangannya. Kepanikan semakin 

menggaduhkan suasana. Barsowi sudah digotong ke ru-mah Ki Lurah, sekarang 

menyusul lagi satu orang yang harus segera digotong. Sudah tentu hal itu sangat 

membuat Dadung Wungu yang agaknya bertugas sebagai pelindung Raden Puger 

segera menyusup keluar dari lingkaran musuhnya yang tersembunyi.

Kali ini, Tole sengaja memetik beberapa ranting kering. Ranting sebesar ibu jarinya 

dipakai sebagai peluru ketapelnya. Ketapel dislepetkan ke arah kepala Dadung Wungu 

yang membelakang-nya.

"Pletaak...!!"

Dadung Wungu menyeringai sakit sambil memegangi kepalanya. Kebetulan waktu itu di 

belakangnya berdiri seorang pemuda yang tadi sangat kegirangan dan bertepuk tangan 

ketika Barsowi menerima hadiah. Dadung Wungu segera menampar pemuda itu sambil 

berteriak:

"Bangsat...!!" Kau yang melemparku dengan ranting ini, ya?!"

Plak... plak... plak...!"

"Ampun... bukan..." Pemuda itu tidak sempat bicara lebih panjang lagi. Dadung Wungu 

segera menendangnya hingga pemuda itu terpental. Lalu, pingsan bersandar sebuah 

pohon lain yang ada di depan rumah Ki Lurah. Dadung Wungu mengusap-usap 

kepalanya yang terasa sakit dan benjol akibat slepetan tersebut. Sedangkan Suro 

Bodong dalam ujud seorang bocah hanya tertawa tertahan dari atas pohon jambu batu. 

"Cepat bakar...!" teriak Raden Puger dengan kemarahan yang membuat nafasnya 

terengah-engah. Seorang pelayan segera menyiapkan api pada obor yang akan dipakai 

untuk menyundut tumpukan kayu yang telah tersiram minyak itu.

"Wesss...!" sekali lagi Suro Bodong kecil meluncurkan sebuah jambu batu melalui 

ketapelnya. Jambu itu tepat mengenai obor yang belum sempat menyala, dan


menimbulkan ledakan kecil yang mengagetkan siapa saja. Obor itu pecah, menjadi 

serpihan-serpihan pada bagian ujung obor sampai ke tengahnya.

Raden Puger bertambah amarahnya. Ia sempat berteriak:

"Bangsaaat...!! Keluar dari persembunyianmu! Tampakkan wajahmu dan hadapi aku. 

Jangan berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi...!!"

Para penonton mulai mundur, menjauh. Mereka takut terkena sasaran

kemarahan Raden Puger. Mata Ki Lurah dan Dadung Wungu juga jelalatan mencari 

musuh mereka. Namun, anehnya tak satu pun dari mereka yang mencurigai pohon 

jambu di sudut. Memang letaknya jauh dari mereka, pantas rasanya jika mereka tidak 

menaruh curiga. Mereka mengira, ada serangan tenaga dalam yang di lancarkan di 

sekitar itu.

"Dadung...!!" teriak Raden Puger dengan muka memerah.

''Lindungi aku di sini, biar akan kubakar sendiri Suro Bodong itu! Cepaaat...!!"

Dadung Wungu buru-buru berdiri dengan posisi bertolak belakang dengan Raden Puger. 

Ia memegangi tombak berujung clurit dengan kedua tangan. Tombak seakan menyilang 

di depan Dadung Wungu, dan mata Dadung Wungu bergerak liar.

Raden Puger menyalakan kayu yang sudah dicelupkan ke dalam minyak.. Kemudian 

menyulutnya, sementara Dadung Wungu siap-siap menunggu serangan dari lawan. Arah 

serangan itu yang ia tunggu.

Tetapi Suro Bodong tidak mau berbuat sebodoh itu. Ia tidak ingin arah serangannya 

diketahui oleh Dadung Wungu. Sebab itu ia tidak melepaskan peluru ketapelnya pada 

Raden Puger. Ia diam saja, duduk di sebuah dahan yang terlindung oleh segerombolan 

daun jambu yang rindang.

Toloooong...!! Lepaskan akuuu...! Aku bukan Suro Bodong...!" teriak Mugeni.

Suro Bodong, si bocah berambut jabrik itu, diam saja memandang ke arah tumpukan 

kayu yang hendak dibakar. Beberapa saat kemudian, tumpukan kayu itu benar-benar 

menjadi terbakar. Berkobar-kobar setelah Raden Puger melemparkan api di ujung kayu. 

Raden Puger kelihatan mulai lega melihat tawanannya berteriak-teriak sangat ketakutan.

Tetapi hal itu berlangsung tidak lebih dari dua hitungan. Api di atas tumpukan kayu itu 

tiba-tiba menjadi padam tanpa ada hembusan angin ke kiri atau ke kanan. Semua orang 

menjadi heran dan saling menggumam sendiri-sendiri.

Raden Puger mencoba lagi, mencelupkan ranting kering dan menyalakannya dengan 

korek batu, kemudian melemparkan ranting itu ke tumpukan kayu.

"Buus...!" Kayu-kayu itu terbakar. Nyala apinya berkobar, sebagian ada yang sudah 

menjilat celana Mugeni. Itu membuat Mugeni menjerit keras sekali dengan otot 

mengejang. Tetapi, hanya dua hitungan, api itu padam lagi. Anehnya tak ada angin yang 

membuat nyala api bergerak ke mana-mana. Nyala api itu bagai ditelan ke dasar bumi.


Padam. Surut begitu saja. Dan mati lagi, kecuali meninggalkan asap yang mengepul 

sekejap.

Suro Bodong tersenyum. Ujudnya yang seperti bocah itu benar-benar tidak 

mencurigakan seseorang. Memang ada dua orang yang pernah menengok ke atas dan 

melihat Tole ada di pohon, namun mereka tidak menyangka sama sekali bahwa justru 

bocah telanjang dada itulah yang mengacaukan acara pembakaran orang hidup sejak 

tadi.

"Pasti pengacau itu masih berniat menggagalkan rencana kita," ujar Ki Lurah yang 

sempat didengar Tole secara samar-samar.

''Pengacauuu...!" teriak Raden Puger dengan berang. "Ayo, keluar dari 

persembunyianmu...! Hadapilah kami!!"

Sampai lama mereka bungkam dan menghentikan acara tersebut. Mugeni sempat 

berseru:

''Itulah akibatnya jika menghukum orang tak berdosa! Kalian terancam! Kalian dalam 

bahaya! Karena dari itu, lepaskanlah aku...! Aku bukan Suro Bodong...!"

Semua memandang Mugeni, sepertinya ada sorot keraguan di mata Raden Puger dan Ki 

Lurah. Tetapi Dadung Wungu yang masih berdiri bertolak belakang dengan Raden 

Puger segera berseru:

"Nyalakan api sekali lagi, aku ingin tahu dari mana sumber kekuatan itu...!!"

Raden Puger bertekad menyalakan api lagi. Dan memang benar, api sudah dinyalakan 

lalu dibuang ke tumpukan kayu. Kayu itu terbakar seketika. Namun mata Tole 

memandang tiada berkedip. Dan api itu surut, padam bagai kehabisan minyak. Gumam 

orang-orang kembali menggema.

"Bangsat! Benar-benar ada yang ingin menantangku!" teriak Raden Puger dengan muka 

merah. Kemudian ia mengeraskan kedua tangannya ke atas. Jari-jemarinya menekuk 

kaku, kemudian kedua tangannya menghentak ke depan. Ada semacam loncatan bunga 

api keluar dari kedua telapak tangannya. Api membakar tumpukan kayu, tapi Tole 

memandangnya tanpa berkedip, dan api itu padam lagi. Raden Puger menggunakan 

ilmu tenaga dalamnya sekali lagi, api itu terbakar, namun segera padam lagi. Dengan 

jengkel, akhirnya tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan itu ditujukan ke tubuh 

Mugeni. Loncatan bunga api terarah ke sana. Dan pada saat itu, Tole mengeluarkan api 

warna biru yang menghadang loncatan bunga api tadi.

Kedua sinar itu bertemu dan menjadikan ledakan dahsyat

''Sinar itu dari pohon jambu...!" teriak Dadung Wungu.


DUA



Hampir saja Tole mati hangus oleh jurus tenaga dalam yang dilancarkan oleh Raden 

Puger. Loncatan bunga api segera melesat ke pohon jambu batu ketika Dadung Wungu 

memberi tahu bahwa lawan mereka bersembunyi di pohon tersebut. Untung waktu itu


Tole melompat secepatnya tanpa memikirkan ketinggian yang ada. Begitu Tole 

melompat, pohon itu telah terbakar seketika. Dadung Wungu sempat berseru:

"Itu dia...! Bangsat cilik itu pasti yang menjadi pengacaunya!"

"Kejar...!!" seru Ki Lurah Jayaraga. Kemudian beberapa orang pesuruhnya mengejar 

Tole yang berlari tunggang-langgang ketakutan.

Para penonton meski dilewati Tole, namun tak ada yang mau menangkapnya, sebab 

mereka tidak yakin kalau anak kecil itu penyebab kekacauan tadi.

"Emaaaak...! Emaaak...!" Tole berlari sambil berseru ketakutan, selayaknya anak kecil 

yang takut tertangkap kaum penyiksa. Hal itu membuat rakyat yang berkumpul di situ 

merasa iba hati, mereka semakin yakin, bukan Tole yang mengacaunya. Ada yang 

berbisik kepada temannya:

"Kasihan anak kecil itu. Ia belum tahu dosa apa-apa sudah menjadi bahan buruan."

"Kurasa dia hanya menjadi tempat pelampiasan amarahnya Raden Puger," kata 

temannya. Sementara yang lain menggerutu pada sebelahnya:

''Ki Lurah sendiri ternyata orang yang tidak bijaksana. Masa' anak kecil seperti itu disuruh 

mengejar mereka!"

Lagak Suro Bodong yang telah menjadi anak kecil itu, benar-benar menampakkan 

kekecilannya. Suara dan gerak-geriknya sungguh persis bocah kemarin sore. Ia berlari 

kian ke mari menghindari kejaran anak buah Ki Lurah Jayaraga. Ia melompat ke sana ke 

mari seperti anak kijang yang takut dikejar pemburu. Namun tiba-tiba ia berhenti karena 

di depannya sudah berdiri Dadung Wungu yang mengepungnya. Segera ia menerobos 

ke arah kiri, melalui samping sebuah rumah penduduk. Namun ia terpaksa berhenti lagi 

dengan mata membelalak ketakutan. Di depannya telah berdiri Raden Puger dengan 

wajahnya yang memerah karena menahan amarah. Terpaksa Tole berbalik arah sekali

pun sudah ada dua orang yang menghadangnya. Ia menerobos di bawah kaki salah 

seorang penghadang dan berhasil lolos. Lalu ia kembali berlari ke tanah lapang, tempat 

tumpukan kayu itu berada. Ia terkejut sejenak karena melihat tiang yang dipakai 

mengikat Mugeni itu telah kosong. Ke mana Mugeni? Siapa yang melepaskannya?

Karena sudah keburu ada yang mengejar, Tole segera berlari ke arah lain dengan mimik 

ketakutan. Ia masuk ke sebuah rumah, tapi sebelum menginjak pekarangan rumah itu, 

tahu-tahu sebuah tangan kekar menyahutnya dan membuat Tole tak dapat bergerak 

ketika rambutnya dijambak oleh tangan kekar itu.

"Mau lari ke mana kau tikus busuk..!!" geram Dadung Wungu yang memegang lengan 

Tole dengan genggaman keras. Tole meringis dan berseru:

"Ampuuun...! Bukan saya...! Emaaak.. tolong aku, Maak...!"

Dadung Wungu menyeret Tote dengan kasar sekali. Tiba-tiba kepalanya tersentak keras 

dan ia mengaduh seketika. Sebuah tendangan melayang dan mengenai kepala Dadung 

Wungu. Tendangan itu berasal dari seorang perempuan muda berbadan sekal dengan


rambutnya yang hanya sebatas punggung. Dadung Wungu tak sempat memegang Tole 

ketika lehernya dipukul oleh perempuan berbaju serba kuning.

"Jangan hanya berani kepada bocah kecil, Pengecut!" teriak perempuan itu sambil 

meraih tubuh Tole. Kemudian ia segera menggendong Tole dan melarikan dengan gerak 

ilmu ringan tubuh yang amat cepat. Dadung Wungu dan konco-konconya tidak berhasil 

mengejar perempuan tersebut, sementara Raden Puger marah-marah karena Mugeni 

hilang.

Tole berlagak pingsan waktu ada dalam gendongan perempuan berpakaian serba 

kuning gading itu. Ia membiarkan dirinya di bawa entah ke mana, sampai ia akan tahu 

siapa perempuan yang tahu-tahu muncul dan menolongnya itu.

Rupanya Tole dibawa ke sebuah pondok di lereng tebing. Tole berlagak siuman ketika 

perempuan itu meletakkan tubuh Tole di atas bale. Suara air terjun terdengar samar-

samar. Desiran angin terasa membuat bulu kuduk merinding.

''Syukurlah kalau kau sudah siuman," kata perempuan itu.

Tole mengerjap-ngerjap mata, lalu melongo sambil memandang keadaan sekeliling. Ia 

bertanya dalam kebingungan yang dibuat-buat.

"Aku ada di mana?"

Perempuan itu menjawab dengan suara lembut, "Kau berada di pondokku. Pondok 

Lereng Sewu." Tole masih clingak-clinguk, tak sedikit pun ada kesan bahwa sebenarnya 

Tole adalah seseorang yang dewasa, yakni Suro Bodong.

"Siapa namamu?"

''Tole...!" jawab Tole dengan rasa takut yang dibuat-buat. Perempuan berpakaian serba 

kuning itu berkata:

"Jangan takut. Kau di sini aman. Jauh dari mereka yang mengejarmu. O, ya... kuharap 

kau betah tinggal di sini."

"Tinggal di sini?!" Tole berkerut dahi dengan wajah bagai dalam kecemasan. Suro 

Bodong pintar memainkan mimik seperti itu. "Kakak sendiri siapa?!"

"Panggil saja aku: Dewi Gading. Kau boleh memanggilku pakai sebutan kakak, boleh 

juga pakai sebutan Mbak, dan kalau kau mau memanggilku Dewi saja juga boleh," 

perempuan itu menyunggingkan senyumnya yang manis. Tole masih menampakkan 

wajah pilonnya, melongo dengan mata kedip-kedip mirip anak cacingan.

"Dengan siapa Kakak tinggal di sini?"

"Aku sendirian. Ini dulu bekas pondok guruku yang telah lama meninggal dunia. Dan, 

aku yang menempatinya sekarang. Di sini kau bisa belajar ilmu kanuragan denganku. 

Kau suka ilmu silat?!" Tole hanya diam, memandang pemandangan alam di mana 

banyak pohon bambu di seberang tebing yang sangat curam itu.


"Kenapa kak Dewi tinggal di sini?!" tanya Tole seakan tidak mau menanggapi pertanyaan 

Dewi tadi.

"Aku ingin mewariskan ilmu dari guruku. Sebab, hanya aku pewaris tunggal ilmu dari 

guru. Dan kubayangkan kalau sampai aku mati di suatu saat, tentu ilmu itu akan punah. 

Maka, aku perlu mencari seorang murid yang mau menerima warisan ilmu guruku yang 

ada padaku ini."

"Apakah guru kak Dewi sakti?!"

"Ya. Ia mewariskan ilmu yang cukup hebat padaku," perempuan itu berkata sambil 

mengusap-usap kepala Tole.

"Apakah guru kak Dewi punya banyak ilmu?" 

"Ya."

"Kenapa bisa mati? Kan ilmunya banyak?!"

"Setiap manusia bisa mati, Tole."

"Aku juga bisa mati?"

"Bisa," jawab Dewi dengan tersenyum geli.

''Tapi, aku tidak mau keburu-buru mati, ah..! Akan kupertahankan hidupku, sebab aku 

belum..." Karena Tole berhenti bagai ragu-ragu, Dewi Gading memburu dengan 

pertanyaannya:

''Sebab apa, maksudmu?"

"Sebab... sebab aku belum kawin...!"

Dewi Gading tertawa geli sambil memeluk kepala Tole hingga lekat betul dengan 

dadanya yang menonjol padat itu. Dewi Gading mengusap-usap rambut Tole, sepertinya 

kepala Tole dioser-oserkan di dada yang menonjol maju itu. Tawa Dewi Gading cukup 

lepas ceria. Ia tampak gembira sekali memperoleh teman seperti Tole.

''Tole, kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus punya ilmu bela diri. Sebab manusia itu 

tidak luput dari bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang, seperti yang kau alami tadi."

"Ah, itu bukan bahaya kok. Sekedar main-main saja," jawab Tole membayangkan 

masalahnya dengan Raden Puger.

"Bagus. Sejak kau berlari dikejar-kejar orang-orang itu, aku sudah menduga bahwa kau 

bocah yang punya keberanian. Karena itu aku ingin sekali mengangkat kau sebagai 

muridku."

Tole tidak memberikan komentar selayaknya, ia bahkan berjalan keluar dari serambi 

pondok dan memandang keadaan alam sekitarnya. Pondok itu sungguh merupakan 

rumah yang tepat untuk mengasingkan diri. Pondok itu terletak di sebuah tebing yang

amat curam. Ada sungai di bawah sana, tapi dari pondok hanya kelihatan seperti garis 

putih sebesar benang tenun. Iih... alangkah tingginya antara pondok dengan dasar 

jurang itu. Sedangkan sewaktu Tole mendongak ke atas, ia pun jadi merinding melihat 

tepian jurang di atas sana cukup tinggi. Entah berapa lama orang harus mendaki dari 

pondok ke atas tebing dan mencapai permukaan dataran di atas sana. Mengerikan 

sekali kalau sampai tergelincir dari atas pondok itu, apalagi ke dasar jurang. Ohh... 

mungkin tubuh yang tergelincir tak akan sempat utuh begitu sampai di dasar jurang.

Dewi Gading jelas bukan perempuan yang hanya sekedar mempunyai ilmu silat yang 

lebih dahsyat dari ilmu bela dirinya. Tanpa mempunyai keunggulan ilmu, tak mungkin 

Dewi Gading bisa mencapai pondok sambil menggendong tubuh Tole. Paling tidak ia 

sangat menguasai ilmu peringan tubuh yang benar-benar sempurna.

Tole berdecak sendiri memperhatikan betapa tingginya permukaan tanah di atas sana. Ia 

bagai berada dalam himpitan lobang dari sebidang tanah yang meretak dalam. Ada

beberapa pohon bambu dan sejenisnya di tebing seberang, tetapi di sekitar pondok itu 

tidak terlalu lebat. Tanah tebing di situ merupakan campuran antara tanah lempung 

dengan cadas yang membatu. Keadaannya hampir selalu licin, sebab sinar matahari 

yang masuk ke situ hanya sebagian saja. Dedaunan yang rimbun di bagian atas tebing 

membuat sorot matahari tidak sepenuhnya masuk ke dalam celah tebing itu. Sedangkan 

tempat datar memang ada di sekeliling pondok tersebut. Dari tanah datar tersebut 

menghasilkan tebing baru di tepiannya, lalu ada lagi tanah datar walau kecil, lalu ada lagi 

tebing yang curam, ada lagi tanah datar dan begitu seterusnya, bagai tangga raksasa. 

Menurut Tole, tanah datar yang paling lebar hanya yang ada di pondok Lereng Sewu itu.

Di luar dugaan, malam hari hawa di lereng itu sangat dingin. Bahkan melebihi kedinginan 

di puncak gunung. Tole menggigil ketika malam itu ia pergi keluar untuk buang air. Angin 

berhembus tidak begitu kencang, namun udara dingin yang dibawanya sangat 

mengilukan tulang.

''Dingin sekali, Kak... ''

"Memang. Alam di sini punya banyak kelainan dengan keadaan alam di lain tempat."

Dewi Gading menuang minuman penghangat tubuh, merupakan campuran jahe dengan 

lada dan gula aren yang kental.

"Minumlah ini, sangat enak untuk penghangat tubuh," kata Dewi Gading.

Mereka duduk di seperangkat bangku yang terbuat dari potongan batang kayu besar. 

Garis tengah batang kayu itu antara setengah meter. Dipotong papak, dan masing-

masing kayu tingginya juga sekitar setengah meter. Ada empat balok kayu yang 

mengelilingi meja bundar tak teratur, juga terbuat dari balok kayu yang tipis tapi lebar 

dan berkaki empat.

''Di mana orang tuamu, Tole? Apakah mereka tinggal di desa itu juga?! ''

"Aku... aku sendiri tidak tahu, kak. Aku tidak punya tempat yang pasti, kadang di sini, 

kadang di sana..."


''Pantas kau punya keberanian," kata Dewi 

"Kalau kepepet ya bisa punya keberanian," ujar Tole, kemudian ia menghirup minuman 

penghangat tubuhnya.

"Aku sudah tiga tahun tinggal di sini," kata Dewi, "Tetapi baru kali ini aku menemukan 

bocah seberani kamu!"

"Maksudmu apa, kak?" Tole bertanya begitu, karena ia merasa menemukan satu 

kejanggalan yang sukar dijelaskan.

"Banyak sekali kutemukan bocah seusia kamu, tapi pada umumnya mereka mempunyai 

nyali yang rendah. Kecil. Aku melihat kau loncat dari pohon jambu ketika orang yang 

bernama Raden Puger itu menyerang pohon itu. Aku mulanya mengira kau setan kecil. 

Eh, rupanya kau hanyalah bocah desa yang punya keberanian tinggi. Berani dan 

menghindar terus dari kepungan mereka. Kau tidak mudah menyerah, lalu hatiku 

berkata, bocah seperti itulah yang pantas menerima segala ilmuku. Karena itu, aku 

membawamu ke mari."

"Lalu, kenapa mereka jadi berang padaku?" Tole berlagak bodoh.

"Raden Puger dan orang-orangnya mengira kau telah mengacau rencana mereka."

''Mengacau? Apakah nonton dari atas pohon itu mengacau?"

"Ada orang yang mempunyai ilmu tinggi yang telah memadamkan api di kayu bakar itu. 

Kau lihat sendiri, bukan, bahwa setiap api yang dibakar selalu padam seketika, tanpa 

angin. Belum lagi tangan orang yang menerima hadiah itu jadi buntung mengerikan 

begitu, pasti karena serangan ilmu jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi. Aku 

sendiri mengakui bahwa memang ada orang berilmu tinggi pada waktu itu."

Tole manggut-manggut dengan mulut melongo. Tubuhnya yang kurus dan telanjang 

tanpa baju itu kali ini mengenakan kain selimut yang cukup tebal. Konon kain itu sering 

dikenakan guru Dewi semasa hidupnya.

"Itu selimut guru semasa hidupnya. Dan, aku sendiri jarang memakainya. Tapi 

berhubung tidak ada selimut lain, dan kau akan menjadi muridku, kurasa tak apalah 

kalau selimut itu kau pakai." 

"Guru kak Dewi siapa namanya?" 

"Kenapa kau tanyakan hal itu?" 

"Apakah tak boleh? Kalau tak boleh, ya sudah, aku tidak ingin menanyakannya lagi."

Dewi menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya, selayaknya ia mengajak 

bercanda.

"Guruku adalah... Ratna!"


Tak disengaja wajah Tole tersentak kaget memandang Dewi Gading. Matanya melebar 

dan wajah itu menjadi tegang. Dewi menjadi heran, lalu ia bertanya:

"Kenapa kau terkejut?! Kenapa, Le?" 

Menggeragap seketika itu mulut Tole. Ia mulai bingung, dan menyadari bahwa sebagai 

bocah kecil ia seharusnya tidak terkejut bahwa mendengar nama Ratna. Kalau saja ia 

berdiri sebagai sosok Suro Bodong, mungkin ia akan menanyakan apakah nama 

kepanjangan guru itu adalah Ratna Prawesti? Tapi, menyadari keadaannya sebagai 

bocah, Tole tidak menanyakan lebih lanjut. Ia hanya terdesak oleh pertanyaan Dewi.

''Tole, kenapa kau terkejut begitu mendengar nama Ratna? Ada apa sebenarnya?"

Akhirnya, untuk menutupi perasaan sebenarnya, Suro Bodong yang berujud bocah kecil 

itu menjawab asal jadi:

"Dulu aku punya teman juga bernama Ratna. Anaknya seusia denganku. Tapi... dia mati 

gara-gara kebanyakan makan singkong racun."

Dewi menghempas nafas lega secara samar-samar. Ia tersenyum, bahkan tertawa kecil. 

Tole sendiri merasa lega, dapat mengalihkan kecurigaan Dewi Gading.

Perempuan itu merebahkan tubuh ke bale dari bambu yang dianyam rapi. Pondok itu 

tidak mempunyai kamar khusus, kecuali kamar yang ada di bagian tengah dan ditutup 

dengan pintu dari anyaman kayu-kayu kering. Mirip seperti pintu kamar tahanan. Konon 

kamar itu adalah kamar guru Dewi yang tidak boleh dimasuki siapa pun jika tanpa seizin 

Dewi. "Kalau kau sudah merasa ngantuk, berbaringlah di sini, Tole. Jangan melek 

sampai larut malam! Nanti kamu sakit. Apalagi kau belum terbiasa dengan udara 

sedingin ini."

Tak ada tempat tidur lain kecuali bale itu. Tole agak riskan untuk tidur seranjang dengan 

Dewi Gading. Mungkin bagi Dewi tidak masalah tidur dengan bocah kecil seperti Tole, 

tapi lain masalahnya dengan Tole, sebab ia tahu bahwa dirinya sebenarnya bukan anak 

kecil. Tole menyadari bahwa ia adalah Suro Bodong yang sengaja merubah ujud seperti 

anak kecil. Kalau saja Tole berujud Suro Bodong yang sebenarnya, barangkali 

masalahnya juga akan lain. Mungkin Dewi Gading tidak mau menolong dan 

membawanya ke mari, atau mungkin Suro Bodong akan terang-terangan menolaknya.

Tetapi sebagai Tole, haruskah ia menolak tidur seranjang dengan Dewi Gading? Apa 

kata Dewi nanti? Apa kecurigaan Dewi nanti jika Tole menolaknya. Tapi jika Tole mau 

tidur bersama Dewi Gading, bagaimana perasaannya? Tidakkah itu akan menyiksa 

jiwanya sendiri? Dewi cukup cantik, berkulit kuning, berambut hitam bening dan 

bergelombang indah. Bibirnya juga sensual dan menggairahkan. Belum lagi dadanya 

yang membusung penuh tantangan birahi.

Oh... seperti sebuah siksaan yang keji jika Tole tidur di samping perempuan secantik itu.

Untung ada meja kayu yang berpenampang lebar. Tole sengaja tidur di atas meja dalam 

keadaan meringkuk seperti gagang golok. Ia pergi tidur setelah Dewi Gading kelihatan 

nyenyak tertidur. Ia sempat memandangi perempuan itu beberapa saat, lalu untuk 

menghilangkan pikiran yang menyiksa batin, ia mengambil keputusan untuk tidur di atas


meja. Namun benaknya sempat menerawang dan bertanya-tanya: mengapa ia jadi 

berada di tempat seperti itu? Bagaimana dengan Nyi Mas Sendang Wangi, anak sultan 

yang telah resmi menjadi istrinya itu? Bagaimana tugasnya menyelidiki keadaan di 

Bandar Koja, pesisir Selatan? Lalu, bagaimana pula dengan keadaan dirinya? Haruskah 

ia berujud Tole terus-menerus? Sampai kapan ia harus berada di Pondok Lereng Sewu 

itu? Ah, bingung!

Tole tak sempat menemukan jawabannya malam itu, karena ia telah diserang rasa 

kantuk, sehingga ia tidur dengan lelap sekali. Esok paginya ia dibangunkan oleh Dewi:

"Tinggallah di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu di 

atas...!"

Tole bertanya-tanya lagi di dalam hatinya; urusan apa yang dimaksud Dewi? Perempuan 

itu melompat dan bersalto beberapa kali untuk mencapai atas, ke permukaan tebing. 

Melihat gerakannya yang lincah dan penuh semangat, pasti ada sesuatu yang 

dirahasiakan oleh Dewi. Tole sendiri sengaja merenung dan mencari jawaban dari 

pertanyaan hatinya: siapa Dewi Gading sebenarnya? Apa kerjanya dan mengapa mau 

tinggal di pondok yang sangat terpencil ini? Sepertinya ia sedang menyembunyikan diri 

di pondok Lereng Sewu itu. Dan... haruskah Tole mengetahui urusan Dewi?

O, ya...! Ada satu hal yang membuat Tole harus tetap bertahan di pondok itu. Dewi 

menyebut nama gurunya adalah Ratna. Siapa tahu memang benar Ratna Prawesti yang 

dimaksud Dewi. Dulu, Suro Bodong pernah diberi tahu oleh Eyang Panembahan bahwa 

Ratna Prawesti itu tidak ada. Itu hanya bayangan dalam benak Suro Bodong. Dan Suro 

Bodong yang sudah sekian lama memburu kekasihnya yang bernama Ratna Prawesti itu 

sempat melupakannya, lalu ia kawin dengan anak sultan Praja yang bergelar sultan 

Jurujagad.

Tapi, sekarang ia mendengar nama Ratna dari mulut Dewi sebagai nama guru Dewi 

yang sudah almarhumah.

Apakah itu Ratna Prawesti? Dan pertanyaan seperti itulah yang kembali menghadirkan 

rasa penasaran di hati Suro Bodong, sekali pun ia dalam ujud Tole, bocah kecil 

berambut jabrik.

Dalam kesendiriannya itu, Tole berhasil menembak seekor burung dengan ketapelnya. Ia 

bermaksud membakar burung itu untuk sarapan pagi Tetapi ia bingung mencari dapur di 

pondok itu.

Pondok Lereng Sewu adalah sebuah rumah yang terbuat dari susunan batu kali yang 

rapat. Dinding kanan kiri dan depan semuanya terbuat dari batu bersusun-susun. Tetapi 

pondok itu tidak mempunyai bagian belakang, karena bagian belakangnya bagai masuk 

ke dalam lereng. Rapat dengan lereng cadas yang membatu. Pondok itu hanya terdiri 

dari serambi depan, dan ruang tengah yang sekaligus bisa dikatakan sebagai ruang 

tamu maupun ruang tidur: Tidak ada dapur. Di luar pun tidak ada bekas tempat 

memasak. Hanya ada sebuah kamar mandi, yang mendapat air dari pipa berupa 

pelepah-pelepah batang daun kelapa kering, sambung menyambung panjang sekali, 

yang diperkirakan ujungnya ada di tempat air terjun. Apa bila malam, pelepah daun 

kelapa yang berfungsi sebagai penyalur air itu terdengar mengucurkan air ke dalam 

tempayan besar. Tetapi jika pagi


sampai siang, tak ada air yang mengalir ke situ. Agaknya hal tersebut sudah dipelajari 

oleh guru Dewi sebelumnya, sehingga apa bila malam hari tiba, ia tahu air di pusat akan 

meluap dan mengalir ke tempat lain. Maka air yang meluap itulah yang ditampung ke 

dalam tempayan besar tersebut.

Seekor burung telah dibersihkan oleh Tole. Tapi ia masih bingung mencari tempat untuk 

memasak burung tersebut. Memang akhirnya ia membakar burung itu di samping rumah 

lalu memakannya sebagian. Sisa daging burung bakar itu disediakan untuk Dewi. Tetapi 

rasa penasaran masih menggeluti hati Suro Bodong yang menjadi bocah itu. Mengapa 

tak ada dapur? Mengapa tak ada kamar lain kecuali kamar bekas mendiang guru. 

Mengapa rumah harus menempel bagian belakangnya pada dinding tebing? Apa 

sebenarnya yang ada di dalam kamar mendiang guru, sehingga Dewi sangat wanti-wanti 

agar Tole jangan masuk ke kamar itu?

Sifat Suro Bodong yang asli keluar dalam diri Tole. Ia menjadi penasaran karena wanti-

wanti dari Dewi yang sering diucapkan itu. Sebab itu, mumpung Dewi Gading pergi, Tole 

menyempatkan masuk ke, kamar mendiang guru. Pintunya yang terbuat dari

anyaman batang kayu selain berat diangkat juga dirantai rapat. Ada semacam gembok 

yang membuat rantai itu susah dibuka. Tak ada cara lain bagi Tole untuk dapat 

membuka rantai tersebut, kecuali membekukan lobang gembok tersebut.

Ia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian di tahan kuat-kuat di dadanya. Tangan 

kanannya bergerak kaku, dari atas ke bawah, seakan sedang menarik beban yang amat 

berat. Jari telunjuknya berdiri sedang jari lainnya menggenggam. Jari telunjuk itu kaku 

sekali seperti besi. Kemudian, perlahan-lahan jari telunjuk itu ditempelkan ke lobang 

gembok. Jari itu menjadi putih dan mengeluarkan semacam busa es yang d ingin. Asap 

es dingin juga terlihat mengepul tipis. Dan sampai beberapa lama hal itu dilakukan, 

kemudian gembok itu sendiri mulai berbusa pada bagian lobangnya.

Kian lama, terdengar juga suara: 

"Klikk...!" Gembok itu terbuka sendiri saat tenaga inti pembeku disalurkan lewat jari 

telunjuk Tole.

Kamar mendiang guru kelihatan gelap. Tirai dari kain tebal terpaksa harus disingkirkan, 

dan cahaya dari luar pun masuk. Mata Tole sempat melihat beberapa barang yang 

bernilai mahal dibanding barang-barang di luar kamar. Kamar itu bukan hanya sepetak, 

tapi memanjang dan luas. Ada nyala api yang tampaknya dinyalakan sejak dulu dengan 

bahan pembakar semacam getah damar di dalam tabung, getah itu yang mengalir ke 

sumbu dan mampu membuat api menyala sampai beberapa waktu lamanya. Wouw... 

penemuan yang hebat juga, pikir Tole.

Di situ juga ada kursi berukir yang indah, jumlahnya dua buah, di kanan kiri sebuah meja 

marmer seperti milik seorang bangsawan. Ck, ck, ck... betapa jauh berbeda keadaan di 

dalam kamar itu dengan di luar kamar. Memang di lihat dari pintu masuk, kamar itu 

gelap. Tapi ada jalan yang menuju belakang dinding kamar, dan di sana ada ruangan 

yang luas dan serba mewah.

Tole tertarik sekali dengan tempat tidur yang bertiang empat, lengkap dengan kelambu 

sutranya warna merah muda. Selain terbuat dari kayu jati berukir warna coklat, tempat 

tidur itu juga berkasur empuk, berbantal dua dan berguling satu. Kasur tersebut dilapisi 

seprai warna hijau muda yang pias. Indah sekali warnanya. Demikian juga sarung bantal 

dan sarung gulingnya. Hanya saja, di kasur itu juga dibentangkan kain tebal berbulu 

sutra warna kuning gading, seperti pakaian Dewi Gading itu. Tempat tidur itu cukup 

untuk dua orang, dan mempunyai meja di kanan kirinya. Meja kecil di kanan kiri itu juga 

dipakai untuk meletakkan tempat lampu dari bahan bakar semacam getah damar, tapi 

bukan damar asli. Tempat lampu itu tidak menyala. Di samping salah satu tempat lampu 

ada tempat buah yang masih berisi beberapa buah jeruk serta buah-buah segar lainnya.

Apa pula dua almari berukir, yang satu memakai cermin, yang satu tidak. Ada pula meja 

marmer bentuk empat persegi yang berisi tempat ramuan kecantikan. Di depan meja itu 

ada cermin hias, bentuknya seperti gambar hati. Bingkainya berwarna hitam dari kayu 

berukir.

Dengan berani, Tole menyalakan semua lampu yang ada sehingga ruangan tersebut 

menjadi terang benderang. Lantainya terbuat dari ubin yang dilapisi permadani tebal dan 

halus. Permadani itu hanya ada tepat di sekeliling ranjang dan di sekitar meja rias.

Tole melangkah dengan hati-hati sekali. Takut terkena jebakan yang tak diduga. O, ya... 

ada satu lagi almari yang tidak sebegitu bagus namun cukup kekar. Terbuat dari kayu 

besi berwarna hitam mengkilap. Letaknya di pojok, jauh dari tempat tidur. Di kanan kiri 

almari itu terdapat tempat tombak, lengkap dengan masing-masing tombak berujung 

keris, yang agaknya terbuat dari logam emas murni. Tole mendekat dan memandangi 

kedua tombak di kanan kiri almari itu. Ia kagum, di samping itu juga heran, bahwa 

ternyata keadaan di dalam kamar tersebut sangat jauh berbeda dengan keadaan di luar 

kamar. Di situ udaranya sejuk, panas tidak, dingin juga tidak.

Ketika Tole hendak membuka almari yang diperkirakan berisi senjata-senjata pusaka, 

tiba-tiba dari lobang kunci almari itu melesat sebatang jarum yang panjangnya setengah 

jengkal. Jarum itu berwarna putih, mengkilap. Meluncur dengan cepat. Untung gerakan 

Tole sangat gesit. Ia memiringkan pundaknya ke samping dan jarum itu tidak jadi 

menancap di lehernya. Entah hilang ke mana. Namun Tole bisa memahami apa arti 

jarum tersebut, tak lain dari ancaman kematian bagi siapa saja yang bertindak gegabah 

di kamar tersebut. Jarum itu pasti beracun, dan sangat ganas racunnya.

"O, pintu almari ini jadi terbuka sendiri?" kata Tole pelan "Mungkin itu tadi jarum 

penguncinya..."

Tangan Tole menarik pelan-pelan pintu almari yang hanya satu bagian itu. Ia membuka 

dengan hati deg-degan. Ketika pintu semakin lebar, ternyata almari itu kosong. Tidak ada 

barang apa pun, sebab sebenarnya almari itu adalah pintu sebuah ruangan. Ruangan 

yang gelap dan berasap tipis. Tole tidak melangkah masuk ke ruangan tersebut, sebab 

ia tidak tahu bahaya apa yang menunggunya di sana. Tole sangat hati-hati. Ia hanya 

melongokkan kepalanya dan meneliti keadaan yang gelap dan berasap tipis itu. Ia tak 

bisa melihat apa-apa kecuali keremangan yang sukar diterka.

Tetapi ia mulai menyadari kalau ia telah mencium suatu bau-bauan. Ya, aroma wangi 

yang tercium olehnya saat itu. Entah wangi bunga apa, Tole atau Suro Bodong belum 

pernah mengetahuinya.


Baru kali itu ia mencium aroma wangi yang enak sekali dihirup. Agaknya ada sesuatu di 

tengah sana yang menjadi pusat aroma wangi itu. Namun, ketika Tole hendak 

melangkah masuk ke ruangan itu melalui pintu berbentuk almari, tiba-tiba ia mendengar 

suara memanggil dari belakang: 

''Tole...?! Apa yang kau lakukan, hah?!" Dewi kelihatan marah begitu mengetahui Tole 

berada di ambang pintu tersebut. Ia segera menarik tangan Tole, dan Tole tak sempat 

bertahan karena Dewi segera menyeretnya, menjauhi tempat tersebut.

"Kenapa aku tidak boleh masuk ke sana, kak?!"

Dewi menjawab dengan geram, "Itu alam kematian, tahu?!" 

"Hah...?!"


TIGA



Asap yang mengepul dari kamar gelap berpintu model almari itu mulai meresap ke 

ruangan mewah. Dewi Gading buru-buru menutup pintu tersebut. Ia masih 

menampakkan kejengkelannya kepada Tole, sementara Tole menampakkan rasa takut 

bersalah.

''Celaka...!" gumam Dewi Gading. 

"Kenapa, kak Dewi?" Tole berkerut dahi, memandang Dewi dengan mulut melongo dan 

kepala sedikit miring. Ia seperti anak yang ingin tahu segala sesuatu yang belum ia 

ketahui. Suro Bodong pandai mempermainkan gaya anak-anak pada saat ia menjadi 

ujud bocah seperti saat ini.

"Gawat! Benar-benar gawat," Dewi bergumam lagi seraya matanya memandang ke atas 

dan sekeliling atas.

"Ada apa sebenarnya?" Tole mendesak, menampakkan sikap ingin tahunya seorang 

bocah.

"Aroma asap itu telah masuk ke kamar ini!" geram Dewi.

"Baunya harum, ya?" Tole seakan tak bersalah.

''Goblok! Tapi asap dan aroma harum itu akan merusak otakmu, merusak syaraf kita, 

tahu?!"

Tole menunduk, menampakkan penyesalannya. Dewi Gading yang berkulit kuning mulus 

itu duduk dengan resah di tepian ranjang. Sesekali ia memandang Tole, sesekali 

mendesah cemas sambil memperlihatkan pintu yang berbentuk seperti pintu almari itu. 

Untuk mengalihkan keresahannya sendiri, ia berkata kepada Tole:


"Kenapa kau masuk ke mari? Bukankah aku sudah melarang kamu agar tidak ke mari?! 

Bandel!"

"Aku... maafkan aku, kak Dewi. Aku hanya mencari di mana dapur untuk memasak 

burung buruanku. Lalu... lalu aku mencoba masuk ke mari, sebab aku... aku penasaran. 

Kupikir aku yang bodoh, tak bisa mencari dapur. Dan... dan kebetulan aku melihat 

gembok pintu kamar ini tidak terkunci. Jadi... jadi kupikir kakak membohongiku dengan 

mengatakan ini kamar mendiang guru. Menurut dugaanku, ini adalah dapur. Tapi setelah 

aku masuk, ternyata...."

"Ah, sudah-sudah...!" hardik Dewi Gading dengan bersungut-sungut. Lalu, Dewi terbatuk-

batuk. Ia segera menghempaskan nafas sambil terbaring. Pada saat itu, Tole keluar, 

hendak mengambilkan air minum. Tetapi ia jadi serba kebingungan.

"Kak, pintu keluarnya tadi di mana?" 

"Mau ke mana kau?"

"Aku mau mengambilkan air untuk kakak supaya tidak batuk-batuk lagi. Tapi, aku tidak 

menemukan pintu keluar."

Dewi Gading menggumam dalam keluh. Tubuhnya bagaikan melemas. 

''Tidak perlu ambil air. Pintu utama tadi sudah tertutup."

''Tertutup bagaimana?" Tole terperanjat.

"Mata kita tidak akan bisa melihat pintu ke luar, karena asap dari dalam ruangan itu telah 

terhisap oleh kita. Terutama olehmu, yang kurasa tidak bisa sama sekali melihat pintu ke 

luar karena terlalu lama menghirup aroma wangi dalam ruangan itu."

Tole kelihatan cemas dalam ketegangan. Ia mendekat. "Jadi, kita akan terkurung di 

sini?!"

Dewi Gading mengangguk sambil menggumam. Tole duduk di kasur empuk itu dengan 

renungan kesedihannya. Dewi Gading menjangkau kepala Tole dan mengusap-usapnya.

"Barangkali inilah yang dinamakan nasib, Tole...!"

''Kakak harus mencari pintu dari ruangan ini. Aku takut..." ujar Tole dengan sedih.

''Tidak bisa. Aku sudah menghirup ruangan ini. Menghirup udara dalam ruangan ini. 

Seandainya kau tadi tidak membuka pintu yang mirip almari itu, kita bisa menemukan 

jalan keluar. Tapi karena kau membuka pintu tersebut, dan asapnya telah terhirup olehku 

karena merayap di ruangan ini, maka aku pun mengalami nasib yang sama denganmu, 

Tole."

"Jebol saja dinding-dindingnya Kak Dewi kan bisa menjebol dinding dengan ilmu silat 

dan tenaga dalam yang kakak miliki," kata Tole seraya ikut merebah lemas.


''Tidak bisa, Tole. Mendiang guruku membangun gua ini dengan rancangan khusus, 

sehingga benda atau ilmu apapun tidak bisa menembus atau menjebolkan dinding 

kamar ini."

Tole dan Dewi sama-sama menghempaskan nafas. Aroma wangi masih tercium oleh 

mereka dan semakin menimbulkan debaran-debaran aneh dalam dada. Dewi mengusap-

usap rambut Tole dengan suatu lamunan yang membuat dirinya sesekali menggigit bibir 

sendiri.

Tole bicara pelan bagai sebuah gerutu: "Lain kali aku tidak mau ditinggalkan kakak 

sendirian di sini. Lagi pula, kalau kakak pergi aku, harus ikut. Aku tidak mau terjebak 

dalam bahaya seperti ini lagi."

Setelah merenung beberapa saat, Dewi pun berkata:

"Bukan aku tak mau kau ikuti terus, tapi ada hal-hal penting yang harus kulakukan di 

mana tak seorang pun boleh mengikuti aku."

Tole memiringkan wajah, menatap Dewi Gading dalam jarak yang cukup dekat, sampai-

sampai dengus nafas perempuan itu pun terasa menghangat di wajah Tole.

"Urusan apa itu, kak. Beritahukan padaku."

"Rahasia,Tole."

"Aku sudah biasa menyimpan rahasia, kak. Percayalah, aku tidak akan bilang pada 

siapa-siapa, toh di sini hanya ada kita berdua."

Dewi Gading mendesah, menggigit bibirnya lagi, seperti menahan suatu rasa. Namun ia 

buru-buru mencoba menguasai diri, menahan suatu perasaan yang tak dimengerti Tole. 

Ia berkata lirih:

"Aku..." Dewi berhenti, ragu sejenak, namun akhirnya dilanjutkan pula, "... Aku sedang 

mengincar seseorang."

Tole berpikir sebentar, baru berkata lagi: "Maksudnya, kakak naksir seseorang? Begitu?"

Dewi menggeleng. "Aku ingin membunuh seseorang."

Tole berkerut dahi, ia kelihatan kurang menyukai rencana Dewi Gading, tetapi Dewi 

buru-buru menjelaskan:

"Aku menyimpan dendam pribadi kepada seseorang. Belum puas rasa hatiku kalau 

belum membunuh orang itu, Tole. Kuharap kau bisa mengerti, apa artinya dendam untuk 

sebuah kehidupan orang seperti aku ini. Kalau dulu, ketika aku menjadi orang penting 

dalam suatu kerajaan, mungkin aku tidak akan peduli dengan dendam. Tetapi, sekarang 

aku bukan orang penting lagi. Aku melarikan diri hanya untuk suatu tujuan. Tapi tujuanku 

itu kandas di tengah jalan Ah... panjang sekali cerita hidupku, tidak hanya menyangkut 

soal dendam dan jabatan."


"Oo... kukira kakak mengincar seorang lelaki yang dicintai," ujar Tole. Dewi Gading 

memaksakan diri untuk tersenyum. Ia masih mengusap-usap lengan dan kepala Tole.

"Kau masih kecil sudah mengenai cinta rupanya," kata Dewi sambil memperhatikan bola 

mata Tole yang hitam tajam pada bagian manik matanya. Dalam hati Dewi berpendapat, 

bahwa Tole ini sesungguhnya anak yang tampan kalau saja dia mau merawat diri, atau 

kalau saja Tole anak orang kaya yang serba kecukupan dan terawat. Sayang ia anak 

orang tak mampu sehingga penampilannya tak jauh dari anak gelandangan.

"Apa kau tahu banyak tentang cinta?" tanya Dewi setelah bungkam beberapa lama.

Tole menggeleng. "Hanya sedikit yang kutahu. Cinta adalah pelukan orang perempuan 

dengan orang lelaki."

Dewi tertawa pelan. ''Tidak sekedar pelukan."

"Pelukan sama ciuman, kan?"

''Tidak sekedar ciuman," kata Dewi seraya tersenyum.

''Pelukan, ciuman sambil tiduran kan?" 

''Tidak sekedar tiduran." 

"Maksudku... maksudku..." Tole agak ragu. 

"Maksudmu apa? Coba bilang, biar otakmu semakin cerdas."

"Maksudku, pelukan, lalu ciuman sambil tiduran, tapi... tapi tanpa pakaian. Begitu, kan?"

"Hei, kau pernah melakukan hal itu, ya? Ihh... kecil-kecil sudah berani melakukan 

begitu."

"Ah, aku cuma pernah mengintip tetanggaku saja, kok."

Dewi mengikik, mencubit hidung Tole. "Anak nakal! Apa untungnya kau mengintip begitu. 

Tidak boleh itu, Le!"

"Dengan mengintip aku bisa tahu mana yang harus dikerjakan lebih dulu jika dalam 

keadaan begitu."

Dewi semakin mengikik geli. Hidung Tole yang tidak begitu bangir itu dicubitnya sampai 

Tole megap-megap. Dewi tertawa riang, seakan lupa kalau diri mereka terkurung di 

kamar misterius itu. Tole senang melihat Dewi jika tertawa begitu, wajahnya semakin 

manis!

"Dasar kamu anak nakal. Bandel. Memangnya kamu tahu betul apa yang harus 

dilakukan jika begitu?"

"Aku menghafalkannya," jawab Tole, dan Dewi tambah mengikik geli. Tole juga ikut 

tertawa cekikikan. Ia ikut-ikutan memijat hidung Dewi Gading. Dewi mengelak, namun


gagal. Tole semakin terkikik-kikik ketika Dewi megap-megap karena hidungnya dipijit 

Tole.

Namun, tiba-tiba tawa riang Tole itu hilang. Diam. Wajah Tole menjadi murung. Dewi pun 

meredakan tawanya, memandang Tole yang tidur.

''Kenapa?"

Tole diam saja. Dewi mengulangi pertanyaannya, "Hei, kenapa kau tiba-tiba murung?"

"Kita ini sedang terkurung, kak. Kenapa kita tidak berusaha untuk mencari jalan keluar? 

Kenapa hanya bercanda saja?"

Dengan bertumpu sebelah tangan, dan meletakkan kepalanya pada tangan itu, Dewi 

berkata hati-hati:

"Hanya ada satu cara untuk membuka pintu keluar."

“Kakak sudah tahu caranya?!" Tole bersemangat.

Dewi mengangguk, kelihatannya tenang-tenang saja.

"Kenapa kakak tidak segera melakukannya?" 

"Harus kita berdua yang melakukannya." 

"Ayolah kalau memang begitu...! Mari kita lakukan!"

Tole hendak bangkit, tapi Dewi menahannya. ''Tunggu, kau belum tahu bagaimana 

melakukannya, bukan?"

Dahi Tole berkerut, "Bagaimana?"

Mulut Dewi sudah menganga, hendak mengatakan sesuatu, tapi dibatalkan. Ia ragu-

ragu. Tole mendesak agar Dewi Gading mengatakannya, akhirnya Dewi hanya berkata:

"Apa yang kau rasakan saat ini?"

Tole berpikir sejenak, lalu menjawab, "Rasa takut."

"Hanya itu?" pancing Dewi Gading seraya mengusap-usap rambut di bagian atas kening 

Tole.

"Kurasa memang hanya itu, kak. Sebab sejak tadi aku berdebar-debar terus." 

"Aku juga berdebar-debar."

"Karena takut?"

Dewi Gading menggeleng. "Karena pengaruh asap yang meresap keluar dari ruangan 

yang kau buka tadi," jawab De


Tole berkerut dahi lagi, memandang Dewi yang dengan lembut mengusap-usap 

kepalanya.

Lalu, Dewi menjelaskan:

"Sebenarnya ada pintu keluar, tapi mata kita, urat syaraf kita telah tertutup dan menjadi 

buta untuk melihat pintu keluar. Mata kita bisa melihat pintu itu lagi, apabila kita telah 

melakukan... melakukan..." Dewi ragu-ragu.

"Melakukan apa?" desak Tole. Ia kelihatan penasaran.

"Melakukan... percintaan." 

Mulut Tole terbungkam, dahinya berkerut. Ia sedang berpikir keras, sepertinya ia tidak 

mengerti maksud Dewi.

"Percintaan bagaimana?" Dewi tahu, Tole dalam kebingungan. Lalu secara gampang ia 

menjelaskan:

"Berpelukan, berciuman, tiduran dan... buka baju. Tepat seperti yang pernah kau intip 

itu." Tole terkejut, ia bangkit dan berkata:

''Tapi... tapi saya kan masih kecil, kak." 

''Tapi kau pernah mengintip dan menghafalkannya, bukan? Dan kau telah mengetahui 

apa yang harus dilakukan, bukan?"

Tole terbengong. Dalam hati ia baru mengakui, bahwa sebenarnya sejak tadi memang ia 

merasa gelisah. Debar-debar jantung itu bukan semata-mata karena takut, namun juga 

karena ada sesuatu yang melonjak-lonjak dalam jiwanya. Pada saat seperti itu, Tole

menggunakan pikiran Suro Bodong yang sebenarnya. Kini ia mulai mengerti bahwa 

akibat ia terlalu banyak menghirup asap dari dalam ruangan misterius itu, maka gairah 

kejantanannya meletup-letup. Mungkin demikian juga halnya dengan Dewi Gading. 

Sebab sejak tadi perempuan cantik itu sering mendesah dan menggigit bibirnya sendiri. 

Wah, gawat. Apakah memang tak ada jalan lain kecuali demikian?

''Tidak ada jalan lain, Tole," bisik Dewi. "Kamar ini sengaja dipakai menjebak lawan jenis 

guruku, terutama kekasih-kekasihnya. Kamar ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa 

dikalahkan dengan cara... berhubungan badan. Itulah rahasia kamar ini. Karena itu, 

kamar ini dinamakan oleh mendiang guru, sebagai Kamar Madu Mayat."

Tole bergidik ngeri. Ia mendesahkan kata, "Kamar Madu Mayat...?"

"Artinya, orang yang sudah terlanjur menghirup uap kamar ini, terutama jika asap dari 

dalam ruangan itu menjalar ke mari, maka ia harus melakukan hubungan badan, 

mengeluarkan kekuatan birahi sedapat mungkin. Hanya kekuatan birahi yang mampu 

melawan uap dari ruangan kematian itu."

"Kalau kita bertahan terus?"


"Kita akan mati. Tubuh kita akan membusuk dalam tempo satu hari. Manusia mungkin 

betah bertahan untuk tidak makan dalam satu hari, tapi kebusukan pada bagian dalam 

tubuh kita akan sukar dihindari. Jantung kita menjadi busuk, paru-paru, limpa,.hati usus... 

semua akan menjadi busuk dalam waktu satu hari." 

"Lalu kita akan mati?"

Dewi mengangguk. 

''Tanpa pandang bulu, tua atau muda, lelaki atau perempuan, yang sudah menghirup 

udara dari dalam ruangan kematian itu akan mati dengan cepat."

Sekali lagi Tole bergidik membayangkan kematiannya sendiri. Dengan ragu ia berkata, 

"Ja... jadi...? Jadi, kita harus melakukan... melakukan bercinta di sini?"

"Demi keselamatan kita, Tole. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin melakukan, tapi kita 

telah terjebak dalam perangkap maut mendiang guruku. Mau tak mau kita harus 

melakukannya... Aku tidak bohong, dan kalau kau tak percaya, bertahanlah sampai satu 

hari, maka kau akan merasakan sukar bernafas, lalu nafasmu sendiri akan berbau 

busuk, dan kau akan mati."

Tole merenung lagi. Lama sekali ia merenung, sementara itu, Dewi Gading telah 

membuka pakaian atasnya dengan sesekali mendesis seperti suara ular.

"Apa aku bisa melakukannya?" ujar Tole pelan sekali.

"Aku akan membimbingmu, Tole. Aku rela bekerja keras untukmu, yang penting kita 

selamat..." bisik Dewi.

Tole hanya diam, tertegun dan terbengong. Matanya hanya membelalak tanpa berkedip 

ketika ia melihat Dewi Gading tampak telah dikuasai nafsunya. Ia melepaskan semua 

busana yang melekat di tubuh. Matanya sesekali meredup-redup sayu. Ia tidak kenal 

malu lagi berbugil ria di depan bocah sekecil Tole.

"Lakukanlah, Tole...!" bisik Dewi sambil mendekap kepala Tole ke lehernya, kemudian 

menggeserkan wajah itu ke dada dengan satu desahan panjang.

"Lakukanlah.. lekas! Kau nanti akan melihat sendiri suatu keajaiban dalam kamar ini. 

Jika aku bohong, kau boleh membunuhku dengan cara apa pun... Ouh... lekas, yaaaah... 

begitu! Bagus, Bagus, Tole...!"

Mulut Dewi Gading menceracau dalam suara desah dan erang. Tole tak segan-segan 

melakukan gerakan-gerakan yang membuat dada Dewi semakin berdebar ingin 

meledak. Mata Dewi sendiri sudah jarang terbuka lebar, lebih sering menjadi sayu dan 

lembut meredup.

Tangan Dewi sengaja meraih tangan kanan Tole, dan menuntunnya ke suatu tempat 

yang terpeka. Ia bagai mengajarkan bagaimana seharusnya tangan itu mempermainkan 

'jurus' kenikmatan yang dibutuhkan seorang wanita. Ia juga menuntun, di mana 

seharusnya bibir dan mulut Tole bermukim beberapa saat. Tole bagai seorang murid 

yang sangat patuh kepada perintah gurunya. Tak sekalipun Tole membantah, dan tak


sekalipun Dewi merasa dikecewakan. Justru Dewi merasa ia sedang berhadapan 

dengan murid yang jauh lebih dewasa ketimbang dia. Dewi tak tahu bahwa Tole adalah 

seorang Senopati yang berubah ujud menjadi bocah. Sejauh itu, Tole sendiri tidak 

banyak bicara apa-apa.

"Ooh, yaah... kau memang muridku yang cerdas, Tole..." bisik Dewi Gading dalam 

keadaan merebah lepas. Tole dibiarkan bekerja sendiri sesuai bimbingannya tadi.

''Tole... berhentilah sejenak. Siapkan penamu dan kita akan belajar menulis dengan 

cepat..."

Tole berhenti bekerja dan berkata dengan nada polos.

"Aku tidak membawa pena. Aku tidak punya, kak."

Senyum Dewi mengembang penuh gairah, ia pun segera bangkit dari rebahannya lalu 

menyuruh Tole berdiri.

"Kau pasti mempunyai pena. Berdirilah...!"

Tole memang patuh dengan perintah gurunya. Ia berdiri di atas kasur empuk itu. Ia 

membiarkan gurunya melepas tali yang mengikat pada pinggangnya. Bahkan ia 

membiarkan Dewi melepas satu-satunya pembungkus bagi tubuhnya itu.

"Ooh...?!"pekik Dewi dengan mata terbelalak lebar dan mulut menganga. Ia sangat 

terkejut melihat kenyataan yang ada di depannya, persis di depan wajahnya itu. 

Jantungnya semakin berdebar-debar, dan tangannya jadi gemetar. Ia menelan ludah 

beberapa kali, sedangkan Tole hanya diam saja, karena tak ada perintah apa-apa dari 

gurunya yang sangat terkejut itu.

"Kau...? Kau...?" Dewi menggeragap dengan mata masih melebar. "Ini... ini pena untuk 

murid dewasa, Tole? Mengapa penamu begitu dewasa?! Dan... oh, ini gila-gilaan 

namanya. Bocah seusia kamu sudah mempunyai pena untuk ukuran kelas dewasa! 

Astaga...!"

"Aku... aku tidak tahu, kak. Memang beginilah keadaanku sebenarnya. Kalau memang ini 

kau anggap pena, yah... hanya pena sebesar inilah yang kumiliki. Aku tidak biasa 

menulis dengan huruf kecil dan pena yang kecil pula. Aku senang tulisan yang tebal-

tebal dan enak dibacanya."

Dewi masih tertegun beberapa saat. Ia meraba, mengusap dan meraba lagi sesuatu 

yang menggetarkan hati. Sesuatu itu adalah kelemahan ilmu yang ada pada Suro 

Bodong. Ia memang bisa merubah segala bentuk ujud dirinya. Bisa menjadi pendekar 

tampan, bisa menjadi seorang kakek, bisa menjadi seorang bocah. Pokoknya tujuh rupa 

ujud Suro Bodong bisa berubah. Tetapi untuk soal satu ini, ia tak bisa merubah penanya. 

Pena itu adalah pena Suro Bodong, sekalipun ia berubah apa saja. Itulah bukti bahwa 

dirinya masih tetap Suro Bodong, ujud yang sebenarnya dimiliki.

Hal itu ternyata semakin membuat Dewi Gading menjadi semakin menggila. Ia tak peduli 

lagi kebocahan Tole, ia tak peduli lagi bahwa Tole dianggap muridnya, yang ia pikirkan 

adalah ledakan-ledakan gairah yang semakin mendidihkan darah. Ia melahap dengan


rakus keadaan Tole. Ia memacunya dengan api di dada berkobar-kobar. Ia kegirangan. 

Sangat kegirangan melihat kenyataan Tole ternyata memiliki sesuatu yang amat dewasa. 

Bukan hanya dewasa, tapi 'amat' dewasa. Dan Dewi bermaksud melahapnya hingga 

tuntas.

"Ouh... kau benar-benar murid cerdik yang luar biasa kehebatannya, Tole...! Aaah..!"

Dewi menjerit-jerit bagai orang kesurupan. Ia mengarungi lautan lepas bersama Tole, 

namun ia sendiri yang mendayung perahunya. Keringat yang mengucur dibiarkan 

menyatu dengan samudra. Ayunan dayung semakin cepat, perahu melaju dengan pesat, 

ia menjerit kegirangan dalam amukan badai birahi yang kian membumbung tinggi 

dipucuk awan-awan.

Tole juga menjerit lirih ketika ia tahu perahu berlayar dengan laju. Ia terombang-ambing

bagai diayun suatu irama gerak yang melenakan. Ia bersorak kegirangan dalam bentuk 

erangan yang kuat. Dan ia pun dihantar oleh Dewi Gading menyusul ke puncak awan-

awan biru yang indah.

Ketika keduanya sama-sama menjerit dalam sorak keberhasilan meraih ujung suatu 

puncak, tiba-tiba kamar itu berpijar-pijar. Ada nyala cahaya perak yang berpijar terang, 

memercik-mercikkan sinar kemilau.

Tole ketakutan. Ia mendekap Dewi yang ada di atasnya. Dewi bicara dengan nafas 

memburu dan gerakan melemah.

"Itu... lihat itu...! Kamar ini mengalami keajaiban bukan...? Oh, lihat...! Dia telah kita 

kalahkan! Kamar ini telah kita taklukan dengan pelayaran yang indah ini, Tole...!"

Tole bicara dalam hati atas dasar pribadi Suro Bodong. Ternyata benar apa kata Dewi 

Gading! pikir Suro Bodong. Kamar itu harus ditaklukkan dengan cara yang unik. Cahaya 

di kamar itu berkilauan ketika mereka sama-sama bersorak di ujung sebuah pucuk 

pelayarannya. Ajaib sekali misteri kamar ini. Suro merasa baru kali ini merasakan dan 

menemukan tempat yang sebegitu anehnya. Semua dinding, semua benda baik dari 

kayu maupun dari kain, semuanya memantulkan cahaya yang menyala-nyala 

mengherankan

Cahaya itu kian lama kian menipis. Redup. Demikian juga nafas Dewi dan Tole bagai 

meredup, lemas. Lalu cahaya-cahaya itu padam, kembali seperti biasa, dan tubuh 

mereka pun lunglai, saling terbujur bersebelahan. Aroma wangi yang enak dihirup sudah 

hilang. Yang ada hanya aroma keringat kedua insan berbeda usia itu. Sekalipun 

demikian, Dewi masih belum mau berkemas membereskan pakaiannya. Ia masih 

telentang seraya mendekap kepala Tole yang ada tergeletak di atas dadanya. Dewi 

mengusap-usap rambut Tole.

"Luar biasa...!" puji Dewi Gading dengan senyum kelegaan. "Kau benar-benar bocah 

maha hebat, Tole. Seorang laki-laki dewasa tak pernah mempunyai kehebatan seperti 

dirimu. Tak ada lelaki dewasa yang mampu membuatku terkulai di samping bantal ini. 

Umumnya mereka yang terkulai begini, seperti aku ini. Dan itu membuatku jadi benci!"

''Cepat kita cari pintu keluar...!" Tole mengalihkan pembicaraan. Tetapi Dewi menahan 

tubuh Tole yang hendak bangkit meninggalkannya.


''Tak perlu susah payah dan terburu-buru, pintu itu pasti telah terbuka sendiri. Mata kita 

akan mampu menemukan pintu jalan keluar, karena kita telah mengalahkan kekuatan 

misterius yang ada di dalam kamar ini dengan permainan hebatmu tadi..." Dewi tertawa 

mengikik. "Kecil-kecil bukan hanya bernyali besar, tapi juga berperangkat besar kau, 

Le...!"

Tole hanya menggumam dalam senyum ketika Dewi tertawa dengan perasaan lega.

Kata Dewi, "Belum pernah kutemukan kelegaan selapang ini. Sungguh, Le! Terus 

terang, aku memang nakal. Sering hanyut dalam dekapan lelaki. Tetapi baru kali ini aku 

sangat tenggelam dalam kemilau kebahagiaan. Hanya denganmu. Sedangkan dengan 

lelaki yang kutaksir itu, aku belum pernah merasakan kelegaan apa pun dengannya. 

Sebab itu keburu mati dalam satu pertarungan."

"O, jadi kekasih kak Dewi sudah mati?"

"Ya. Dia mati dalam pertarungan. Dan untuk itulah aku merasa perlu menuntut balas 

atas kematiannya. Aku harus membuat perhitungan dengan pembunuhnya yang sedang 

kuincar selama ini. Ada dua orang yang harus kubunuh, yaitu Nyi Mas Sendang Wangi 

dan suaminya: Suro Bodong,..!"

Bagai petir menyambar di telinga Tole mendengar kata-kata itu. Namun, secepatnya 

Tole menahan kepalanya untuk tidak terangkat karena kaget. Ia menyembunyikan 

kekagetannya itu, namun toh diketahui pula oleh Dewi Gading yang berpeluh, sehingga 

perempuan itu bertanya: "Mengapa kau terkejut mendengar kedua nama itu?"

Dengan cepat otak Tole berputar, lalu berkata,

"Nama Suro Bodong sama seperti yang diburu oleh Raden Puger! Orang yang diikat dan 

hendak dibakarnya itu katanya orang yang bernama Suro Bodong."

"Bukan! aku tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Orang itu bukan Suro Bodong, karena 

itu ia kulepaskan!"

''Jadi... jadi kak Dewi yang melepaskan orang yang mengaku bernama Mugeni itu?"

"Ya. Dia tidak bersalah. Puger hanya penasaran karena selama ini ia gagal menemukan 

orang yang bernama Suro Bodong. Rasa penasarannya itu dilampiaskan kepada lelaki 

yang memiliki ciri-ciri hampir sama dengan Suro Bodong. Puih...! Puger memang 

pengecut yang tolol!"

Debar-debar di dada Tole kali ini bukan lantaran gejolak suatu gairah kelelakiannya, 

melainkan karena ia sadar, bahwa sebenarnya saat ini nyawanya ada di atas tubuh Dewi 

Gading. Ia harus bisa berpenampilan tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi 

Dewi Gading. "Sebenarnya, alasan apa Raden Puger mencari-cari Suro Bodong''" tanya 

Tole dalam pancingannya.

"Balas dendam. Sama dengan aku. Raden Puger mempunyai adik yang mati di tangan 

Suro Bodong."


"Siapa nama adiknya itu?"

"Pendekar Tapak Setan..!"

Hampir saja Tole menampakkan kekagetannya. Untung ia bisa menahan emosi 

sehingga tetap kelihatan tenang. Dewi tidak curiga, bahkan ia berkata:

"Pendekar Tapak Setan adalah adik kandung Raden Puger, yang termasuk pula adik 

seperguruan Dadung Wungu."

"Ooo... pantas mereka berdua penasaran sekali, menghendaki kematian Suro Bodong."

"Pendekar Tapak Setan mati dengan cara mengerikan. Saat itu, ia bertarung dengan 

Suro Bodong untuk mendapatkan putri Sultan Juru Jagad yang bernama Nyi Mas 

Sendang Wangi..."

Merinding juga tengkuk kepala Tole mendengar nama istrinya disebutkan. Ia terbayang 

masa pertarungan dengan Tapak Setan, pada saat ia berdiri sebagai Suro Bodong 

(dalam kisah PERTARUNGAN BUKIT ASMARA). Namun, Tole tetap menjaga 

ketenangan dirinya.

"Lalu, apa urusan kak Dewi dengan Nyi Mas Sendang Wangi? Kok tadi katanya mau 

membunuhnya juga, ya?"

"Kekasihku juga mati gara-gara bertarung memperebutkan putri Sultan itu. Dan, 

perempuan itu juga harus mati, sebab dia pula yang membuat Suro Bodong tega 

membunuh kekasihku... Pangeran Sedayu!"

Suro Bodong semakin terperanjat mendengar semua itu. Apa jadinya jika Dewi tahu, 

bahwa Tole itulah Suro Bodong? 


EMPAT



Dewi Gading mengajak Tole untuk naik ke atas.

"Aku harus menghadang di tapal batas kesultanan, kalau-kalau Suro Bodong lewat atau 

istrinya yang muncul," kata Dewi Gading.

"Kenapa kak Dewi tidak menyerang saja ke sana? Kenapa harus menunggu?!" pancing 

Tole.

"Orang Kesultanan Praja banyak yang kuat. Belum lagi kalau aku harus berurusan 

dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Bisa-bisa aku mati menjadi debu. Dia sangat 

sakti. Tapi kalau hanya mengalahkan Suro Bodong, aku yakin pasti akan sanggup."

"Berarti kakak juga akan berurusan dengan orang-orang Kesultanan jika Suro Bodong 

mati."

"Yang penting aku bisa membunuh Suro Bodong. Itu sumpahku. Setelah berhasil 

membunuh, aku akan diam di pondok sampai beberapa lama."


Saat itu, Dewi Gading segera menggendong Tole. Ia melompat bagai burung terbang 

sambil menggendong Tole di bagian depan. Kakinya menyentuh batuan tebing dengan 

ringan dan lincah. Dalam sekilas saja Dewi Gading berhasil membawa Tole ke atas 

tanpa ngos-ngosan.

"Apakah aku harus ikut ke perbatasan?" tanya Tole.

''Ya. Tapi kau akan kusembunyikan di suatu tempat yang tak jauh dari tempatku 

menghadang mereka."

Tole termenung sebentar, kemudian berkata lagi, ''Tapi kalau ternyata mereka, Suro 

Bodong yang kau tunggu itu tidak muncul, bagaimana?"

''Mungkin aku akan bergabung dengan Raden Puger dan Dadung Wungu untuk 

menyerang Kesultanan Praja."

Tole manggut-manggut. Ia mengikuti langkah Dewi Gading ke perbatasan Kesultanan 

Praja. Dalam hati ia selalu bertanya-tanya, bagaimana cara mengatasi mereka? 

Haruskah ia membiarkan Kesultanan Praja diserang?

"Kak..." katanya beberapa saat setelah mereka hampir tiba di perbatasan wilayah 

Kesultanan Praja. "Apakah kalau kakak bergabung dengan Raden Puger, maka sudah 

pasti dapat mengalahkan orang-orang Kesultanan Praja?"

"Kalau terpaksa, Raden Puger bisa berbuat lebih banyak lagi." Dewi Gading tampak 

tegas dan tenang.

"Maksudnya dapat berbuat banyak bagaimana?"

"Kesultanan Praja akan berpikir jika harus menyerang Raden Puger. Sebab, jika ia 

menyerang Raden Puger, berarti mertuanya akan turun tangan."

"Siapa mertua Raden Puger itu, kak?"

"Prabu Baladara, raja dari kerajaan Lesanmitra, yang dulu berhasil memukul pasukan 

Jayakatwang."

"Ooo..." Tole manggut-manggut. Seakan pernah mendengar kekuatan tentara 

Lesanmitra.

Mereka berhenti di perbatasan Kesultanan Praja. Di sana ada bukit kecil yang menjadi 

tapal batas wilayah kesultanan Praja. Mereka berdiri di puncak bukit itu, memperhatikan 

situasi di sekeliling mereka. Tole hanya bengong-bengong saja, seperti anak kemarin 

sore yang belum tahu apa-apa. Padahal dalam benaknya Tole berpikir keras tentang 

bagaimana cara mengatasi masalah itu. Dewi Gading, perempuan yang pernah 

bercumbu dengannya, sekarang sedang menjadi ancaman bagi keselamatannya, juga 

bagi keselamatan Kesultanan Praja, tempat mertuanya bertahta.

Haruskah Tole melawan Dewi Gading? Atau haruskah Tole membujuk agar Dewi Gading 

membatalkan niatnya? Seandainya Tole mengaku bahwa dirinya adalah Suro Bodong


yang sedang diincar untuk dibunuh oleh Dewi Gading, apakah usaha pengakuan itu 

dapat meredakan dendam Dewi Gading? Bingung juga Suro Bodong berpikir soal itu.

"Kak..." Tole hendak bicara, tapi ragu-ragu. Akhirnya ia berbicara soal lain: "Apakah 

sudah pasti Suro Bodong lewat daerah ini? Jangan-jangan dia tidak ke mari?"

"Dia pasti memeriksa perbatasan ini, hanya saja kapan hal itu dilakukan, aku sendiri 

kurang jelas, Le. Nah, nanti pada saat dia memeriksa, aku akan menyerangnya dari 

belakang. Pokoknya membuat dia mati, lalu kabur."

"Kenapa tidak kak Dewi hadapi saja?"

"Aku tidak mau melibatkan orang kesultanan lainnya, kecuali Suro Bodong dan Nyi Mas 

Sendang Wangi."

Tole masih serba bingung. Tetapi akhirnya ia tetap mengatakan cara lain yang ingin 

ditempuhnya, yaitu membujuk Dewi Gading agar membatalkan rencana tersebut. 

"Kenapa kak Dewi tidak mau melupakan soal dendam itu? Bukankah lebih enak kita 

hidup tanpa dendam? Kita bisa tenang dan... dan aku sendiri tidak cemas begini."

Dewi Gading sengaja memamerkan senyum ketenangannya. Tole memandangnya 

dengan rasa kagum, karena senyum itu sangat indah. Manis diresapi hati siapa saja.

"Aku sudah terlanjur bersumpah ketika kudengar Pangeran Sedayu terbunuh. Aku 

bersumpah untuk membalas kematian dengan kematian." Dewi mengusap-usap kepala 

Tole. "Kau tak perlu cemas. Habis ini, selesai aku memenuhi sumpahku, kita akan 

tinggal berdua di pondok Dareng Sewu."

''Tinggal di kamar Madu Mayat itu?"

Dewi mengangguk. "Karena di sana kita akan terbang melayang-layang setiap malam."

"Seperti kemarin malam?"

Sekali lagi Dewi mengangguk dalam senyum. "Kita menjadi suami istri, Tole."

"Ah, aku kan masih kecil, mana pantas jadi suami perempuan seusia kak Dewi?"

"Kau memang kecil, tapi kau mempunyai kedewasaan yang perkasa dalam membuaiku. 

Ouh... aku tak tahan ingin lekas menyelesaikan urusan itu, lalu kita segera pulang dan 

mendayung lagi semalaman suntuk..." Dewi tertawa pelan, dari Tole hanya tersenyum 

malu. Tapi sebenarnya pikirannya seperti benang kusut, harus bagaimana dia 

sebenarnya?"

Mata Tole memandang ke arah jauh di belakang Dewi Gading. Melihat perubahan wajah 

Tole yang menjadi tegang, Dewi pun berpaling. Ia melihat dua orang berjalan di kaki 

bukit, juga sedang memanjat ke atas. Tole kelihatan cemas dan tegang.

''Kita harus segera pergi dari sini, kak? Mereka menuju ke mari. Mereka itu yang 

mengejar-ngejarku tempo hari


''Tenang saja. Mereka tidak akan menganiaya kamu. Raden Puger bisa kujinakkan 

kemarahannya, sekalipun Dadung Wungu belum mengenalku."

“Jadi kakak kenal dengan Raden Puger?"

"Dulu... aku adalah Senopati perang di kerajaan Lesanmitra, tempat mertua Raden 

Puger bertahta."

Tole sempat terbengong mendengar Dewi Gading bekas Senopati Perang. 

Kebengongan Tole sempat mengundang keheranan Dewi Gading, sehingga ia pun 

bertanya:

"Kau kelihatannya terkejut mendengar aku bekas senopati perang, ya? Kenapa? Tidak 

percaya?"

"Percaya...! Percaya sekali...!" jawab Tole sambil mengangguk-anggukkan kepala dan 

menenangkan diri.

"Lalu, kenapa kau memandangiku dengan rasa heran begitu?"

"Sebab... sebab aku juga seorang Senopati!" jawab Tole, sepertinya ia bicara di luar 

kesadarannya.

Dewi tersenyum geli. "Senopati di mana?"

"Kesultanan Praja," jawab Tole.

Dewi semakin mengikik geli, dan ia pun gemas mencubit pipi Tole. Kemudian keduanya 

memandang kedatangan Raden Puger dengan Dadung Wungu. Terdengar seruan 

Dadung Wungu dari bawah sambil menuding ke atas:

''Itu anak setan yang dulu kita kejar-kejar...! Bangsat itu harus kuhajar...!!"

Dadung Wungu hendak berlari naik, tetapi Raden Puger menahan tangannya.

"Jangan gegabah. Kau tahu anak itu bersama siapa?"

"Puih...!" Dadung Wungu meludah. "Itu perempuan yang menyerobot anak setan, dan 

yang sempat melukai bibirku dengan tendangannya!"

"Ssst...! Sabar! Kau tidak akan menang melawannya." kata Raden Puger seraya berjalan 

memanjat ke atas dengan santai.

"Kau kenal dengannya?" "Dia bekas Senopati perang di kerajaan mertuaku!" ujar Raden 

Puger seraya memandang Dadung Wungu yang tertegun sesaat. Kemudian mereka 

terus mendaki, dan bertemu dengan Dewi Gading.

"Apa kerjamu di sini?" tegur Raden Puger kepada Dewi.

"Sama seperti yang kau lakukan," jawab Dewi Gading.


Raden Puger memandang Dewi dengan kesangsian. "Kau juga memburu Suro 

Bodong?"

"Suro Bodong telah membunuh kekasihku dalam pertarungan merebutkan Nyi Mas 

Sendang Wangi. Aku bersumpah untuk membalasnya." Dewi bicara dengan tegas dan 

sikap berdirinya tegak, masih seperti tatkala ia menjadi seorang Senopati perang.

"Lalu, apa hubunganmu dengan anak ini?!" tanya Dadung Wungu.

"Dia muridku!" jawab Dewi dengan memandang angkuh. Tangan Dewi terlipat keduanya 

di dada, sehingga kesannya sangat tidak disukai Dadung Wungu. Sebenarnya Dadung 

Wungu geram, namun ia ingat pesan Raden Puger sehingga ia tak berani berbuat 

banyak terhadap Dewi Gading. Ia hanya berkata sambil memandang tajam pada Tole:

"Anak ini biang kerusuhan kala itu!"

"Bukan!" tukas Dewi. "Kalianlah biang kerusuhan, karena kalian salah comot. Kalian 

menghukum orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian. Orang itu 

bukan Suro Bodong!"

Dadung Wungu terbungkam dengan berkerut dahi, ia memandang Raden Puger, dan 

kala itu Raden Puger juga memandangnya. Lalu masing-masing merenung dengan 

kecamuk batinnya.

Mendadak Raden Puger mencetuskan idenya, "Aku dengar Suro Bodong orang kuat! 

Bagaimana kalau kita serang ke dalam kesultanan! Aku bisa menugaskan Dadung 

Wungu untuk mengerahkan bala bantuan dari Lesanmitra! Romo Prabu Baladara pasti 

mau mengirimkan bantuan untuk menyerang kesultanan Praja."

''Kalau kita cari dan kita tunggu, urusan ini tidak akan beres sampai kapan pun. Lebih 

baik menyerang dengan mendadak, lalu kabur setelah Suro Bodong dan istrinya berhasil 

terbunuh!" timpal Dadung Wungu.

''Kalau mereka mengejar, biar pasukan dari Lesanmitra yang akan bertindak!" sambung 

Raden Puger.

Setelah terbungkam beberapa saat dalam pertimbangannya, Dewi Gading berkata 

kepada Raden Puger:

"Maksudmu kita menyusup berdua untuk membunuh mereka?"

"Ya. Kalau bisa, jangan menimbulkan perang secara nyata, tapi kalau gagal, terpaksa 

api perang pun kita sulut!"

Dewi Gading manggut-manggut. "Baiklah..." 

Tole kelihatan tenang-tenang saja sekalipun sebenarnya dalam hatinya cemas. Dewi 

berkata lagi:

"Kalau hari sudah gelap, kita akan berangkat menyusup ke istana."


"Aku setuju!" jawab Raden Puger, lalu ia bicara kepada Dadung Wungu, "Kerahkan 

pasukan cadangan untuk menghadang kemungkinan terjadinya perang dalam 

pengejaran nanti!"

"Baik. Aku berangkat ke Lesanmitra sekarang juga," jawab Dadung Wungu dengan tegas 

dan penuh semangat. Lalu, ia segera pergi, berlari dengan kecepatan tinggi. Terlihat dari 

geraknya yang gesit, jelas dia punya bekal ilmu yang tidak sembarangan.

Tole benar-benar dianggap bocah ingusan. Dewi dan Raden Puger berembuk soal cara 

penyusupan yang akan mereka lakukan nanti malam. Mereka bicara di depan Tole, 

sehingga Tole dapat mengetahui segalanya. Itu sama saja mereka bicara tentang 

rencana pembunuhan terhadap Suro Bodong di depan Suro Bodong sendiri. Tole 

sempat tersenyum-senyum tanpa disadari.

"Hei, kenapa anak itu tersenyum-senyum mendengar pembicaraan kita?" tegur Raden 

Puger menandakan kecurigaannya.

''Tole...?! Ada apa?" Dewi masih bersikap lembut. "Apa yang membuatmu tersenyum-

senyum begitu?"

Tole hanya menggeleng seraya semakin sengaja melebarkan senyumannya. Setelah di 

desak berulang kali oleh Dewi, Tole semakin kelihatan malu, dan akhirnya menjawab:

"Aku ingat kejadian tadi malam..."

"Kejadian apa?" Raden Puger semakin curiga. 

Dewi Gading sempat semburat merah mukanya, takut Tole berbicara di depan Raden 

Puger tentang hubungan kemesraannya semalam. Tole tahu kecemasan itu, maka ia 

berkata:

"Aku melihat dua ekor katak saling tindih-tindihan di dalam tempurung."

Raden Puger masih bercuriga, "Di dalam tempurung? Bagaimana hal itu bisa kau 

ketahui? Kan di dalam tempurung?!"

"Tempurungnya bolong! Jadi, bisa saja kuketahui," jawab Tole seenaknya. Ia masih 

menampakkan senyum malu-malunya. Dewi Gading mendengus sepertinya kesal, tapi 

sebenarnya lega mendengar jawaban Tole itu,

Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda bagai gemuruh hujan dari kejauhan. 

Wajah Dewi dan Raden Puger menjadi tegang. Tole menyimpan ketegangan itu dengan 

bermain batu-batu yang disusunnya. Batu-batu kecil itu sebenarnya dipersiapkan untuk 

dipakai sebagai peluru ketapelnya yang masih dikalungkan pada leher.

Karena tempat mereka terlindung di antara bebatuan besar, maka Raden Puger mendaki 

bukit itu lagi dengan hati-hati. Setelah ia melakukan pengintaian di atas, ia segera 

melambaikan tangan agar Dewi Gading ikut naik ke bukit. Maka Dewi pun segera 

menyusul Raden Puger disertai Tole yang juga sebenarnya ingin tahu apa yang dilihat 

Puger.


"Rombongan orang-orang kesultanan Praja lewat," bisik Raden Puger. "Agaknya mereka 

hendak menuju ke luar wilayah."

Dewi diam, merunduk. Matanya memandang dengan jeli keadaan pada rombongan 

berkuda itu. Tole pun ikut mengintai dan ia segera mengetahui, bahwa saat itu Patih 

Danupaksi sedang menunggang kuda dikawal oleh lima prajurit. Satu persatu prajurit itu 

dikenal semua oleh Tole. Namun ia belum dapat menduga, apa keperluan Patih 

Danupaksi sampai-sampai ia pergi meninggalkan Kesultanan

"Hanya seorang patih," bisik Dewi. "Aku kenal, dia Patih Danupaksi."

"Tapi setidaknya serangan kita akan mengurangi bahaya dalam penyergapan nanti 

malam, Dewi. Kita serang saja mereka dan kita bunuh patih itu. Paling tidak ia akan 

menjadi tawanan kita, Dewi."

Dalam keadaan menunggu masa diam Dewi Gading, benak dan otak Tole berputar 

mencari jalan keluar dari masalah itu, Dewi Gading telah berkata:

"Kita serang saja mereka. Aku setuju dengan rencanamu."

"Baik," jawab Raden Puger dengan tegas dan bersemangat. "Kau menyerang dari 

belakang, biar aku yang menghadang di depan mereka!"

"Setuju. Mari kita rencanakan dan kita kerjakan gagasanmu itu. Mari kita serang! Eh, 

Tole, kuharap kau tetap bersembunyi di bawah batu itu. Kau akan aman asal kau tidak 

ke mana-mana!" kata Dewi, dan Tole hanya mengangguk saja.

Rombongan berkuda berhenti ketika Raden Puger merubuhkan sebuah pohon. Pohon 

besar itu dihantam dengan jurus Tapak Setan yang juga dimiliki mendiang adiknya. Dari 

telapak tangannya keluar loncatan bunga api yang menerjang pohon, lalu pohon itu pun 

tumbang, melintang di jalan.

Dua kuda yang ditunggangi dua prajurit di bagian depan sama-sama meringkik kaget 

dengan mengangkat kedua kaki depan mereka. Patih Danupaksi yang berada di 

belakang kedua prajurit dengan segera menarik tali kekang kudanya. Sementara itu, dua 

penunggang kuda di belakang Patih Danupaksi segera bergerak ke samping kiri dan 

kanan, sejajar dengan Patih Danupaksi.

"Seorang perampok menghadang kita, Ki Patih," ujar prajurit di samping kirinya.

"Biar kuhadapi sendiri, Jang," kata Ki Patih. "Aku tak ingin ada korban di antara kita."

Raden Puger berdiri dengan bertolak pinggang. Ia berada di atas batang kayu yang 

tumbang itu. Ia masih belum mau mencabut pedang perunggunya. Dan ketika Patih 

Danupaksi maju ke depan, ia turun dari atas batang pohon yang tumbang itu. Keempat 

prajurit pengawal membentuk barisan setengah lingkaran di belakang Ki Patih. Masing-

masing masih berada di punggung kudanya dengan tenang.

"Apa maumu menghadangku, Ki sanak?" sapa Patih Danupaksi kepada Raden Puger. 

"Aku menghendaki nyawa Suro Bodong!"


"Suro Bodong tidak ada. Aku baru akan pergi mencarinya," kata Ki Patih masih bersikap 

tenang.

"Kalau begitu, aku menghendaki nyawamu sebagai bahan tebusan nyawa Suro 

Bodong!."

"Hiaaat...!!" belum habis Raden Puger bicara, seorang prajurit yang ada di barisan paling 

kiri melemparkan senjatanya berupa pisau kecil yang ada di kakinya. Pisau itu melayang 

cepat ke arah Raden Puger. Tetapi kaki Raden Puger menghentak bersamaan, ia 

melompat dalam satu gerakan salto ke depan. Pisau menancap pada batang pohon 

yang tumbang, sedangkan kaki Raden Puger segera menjejak kepala kuda yang 

ditunggangi Ki Patih.

Kuda meringkik dan melonjak, membuat Ki Patih terlempar dari punggung kuda. Untung 

ia dapat menjaga keseimbangan sehingga ia masih mampu bersalto di udara dan 

mendarat dengan kedua kaki sempurna menapak di tanah.

"Rupanya kau tidak boleh diajak bersahabat, kawan..!" kata Ki Patih sambil menangkis 

pukulan yang tiba-tiba dilancarkan oleh Raden Puger dari bawah. Raden Puger yang 

berguling beberapa kali mendekati Ki Patih sendiri dengan kedua lututnya dan 

menghantam perut Ki Patih. Tetapi saat

itu Ki Patih mengibaskan kakinya untuk menangkis pukulan tersebut. Kaki itu segera 

menendang wajah Raden Puger sehingga Raden Puger terjengkang ke belakang 

dengan muka memar akibat tendangan keras Ki Patih.

Pada saat itu, sebuah senjata berbentuk kampak empat mata segera melayang bagai 

piring terbang. Kampak tanpa gagang itu melesat dengan keempat matanya yang tajam 

berputar cepat. Ki Patih segera melompat dan bersalto beberapa kali untuk menghindari 

senjata tersebut. Namun senjata itu pun meliuk dan berbalik arah mirip sebuah 

bumerang. Sekali lagi Ki Patih merunduk menghindari senjata tersebut, yang kemudian 

segera ditangkap oleh tangan halus mulus dari seorang perempuan yang ada di 

belakang barisan prajurit itu.

Dewi Gading segera melesat maju setelah berhasil menangkap senjata kampaknya yang 

mirip bunga teratai itu. Seorang prajurit menghadang dengan kudanya, tombak 

diarahkan ke Dewi Gading. Tetapi gerakan Dewi Gading yang melayang tinggi itu 

membuat prajurit itu sukar menghunjamkan tombaknya. Tubuh Dewi Gading melesat 

melewati atas kepalanya, sambil mengeluarkan tenaga dalam dari pukulannya.

Prajurit itu terjengkang jatuh dari atas kuda ketika Dewi Gading menggerakkan 

pukulannya ke bawah. Sekalipun tidak mengenai kepala pra-jurit, dan tidak 

mengeluarkan sinar apa pun, namun hentakan udara yang keluar dari pukulan itu telah 

membuat telinga prajurit tersebut berdarah. Ia menjerit kesakitan sewaktu jatuh dari 

punggung kuda. Sedangkan Dewi Gading langsung saja menyerang Ki Patih Danupaksi 

dengan sebuah tendangan salto.

Patih Danupaksi melayang menghindari tendangan itu. Namun gerakannya dihadang 

oleh pedang perunggu Raden Puger. Sewaktu Ki Patih hendak mendarat ke tanah,


pedang itu menebas di udara, dan mengeluarkan semacam serbuk yang berhamburan 

ke arah tubuh Ki Patih. Sebagian serbuk warna merah itu menempel di lengan Ki Patih. 

"Aaaaahh...!!"

Patih Danupaksi menjerit kesakitan, ia berdiri dan memperhatikan lengannya yang 

ditempeli serbuk merah itu. Ia membelalakkan mata ketika diketahui lengannya menjadi 

bengkak, membiru, lalu mulai melepuh di beberapa tempat.

Raden Puger tertawa dan berseru, "Tak satu pun ada yang bisa lolos dari kehebatan 

Pedang Lidah Naga-ku...!!"

Lengan itu makin lama makin hangus dan membusuk, menjadi sebuah borok yang 

menyakitkan. Patih Danupaksi mengerang kesakitan sambil memegangi tangannya yang 

terluka. Pada saat itu, keempat prajurit bergerak menyerang lawan mereka. Sedangkan 

Dewi Gading menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kaki merendah. Dari 

genggaman tangan yang menghentak ke depan itu keluarlah nyala api warna perak yang 

menghantam kuda-kuda penyerangnya.

Ringkik dua ekor kuda yang terkena pukulan itu hampir sama kerasnya dengan teriakan 

kedua penunggangnya. Mereka terpental tinggi karena kedua kuda itu melompat dengan 

empat kakinya dan menggeliat kesakitan. Sebelum keempat kaki masing-masing kuda 

itu kembali menapak di tanah, kaki-kaki kuda itu telah menjadi berdarah dan patah 

semuanya. Ringkik kuda semakin histeris, dan kedua penunggangnya itu jatuh tanpa 

bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Kedua kuda itu tak mampu berdiri lagi, karena 

kehilangan semua kakinya dengan sadis. Kedua kuda itu menggelepar-gelepar dalam 

ringkiknya. Dua prajurit penunggangnya berusaha untuk bangkit bersama pedang dan 

perisai yang siap dipakai buat menyerang lawannya.

Pada saat itu, Dewi Gading tidak menyerang prajurit itu lagi, melainkan menyerang Ki 

Patih yang sudah kepayahan. Ia melancarkan tendangan samping sambil melayang.

"Hiaaaat...!!" teriakan Dewi membuat kepala Ki Patih berpaling memandang, dan dengan 

segera ia pun siap menghadapi serangan itu.

Ki Patih hanya memandang gerakan melayang dari tubuh Dewi Gading. Lalu dari kedua 

mata Ki Patih ternyata keluar sinar kecil berwarna ungu. Sinar itu dihindari oleh Dewi 

Gading dengan menggeliatkan badan secara cepat ke arah depan, sehingga ia bersalto 

dalam ketinggian rendah. Jatuh ke tanah punggungnya segera dipakai menggelinding. 

Sinar ungu kecil itu menghantam sebuah batu di seberang sana, jauh. Namun batu itu 

hancur seketika dengan diiringi suara ledakan dahsyat bagai gunung meletus. Batu itu 

pecah dan pecahannya memancar ke mana-mana dalam ketinggian yang 

mengagumkan.

Kedua prajurit yang masih berada di punggung kuda itu sedang menghadapi kibasan 

pedang Raden Puger. Mereka segera melompat dari punggung kuda karena serbuk 

merah yang keluar dari pedang perunggu itu telah mengenai kuda-kuda mereka. Takut 

mengalami nasib seperti kuda temannya, mereka melompat dengan perisai melindungi 

wajah. Sebuah tombak melayang dari arah samping Raden Puger. Hampir saja 

menancap di pelipis Raden Puger kalau saja ia tidak menghindari lemparan pisau dari


depannya. Karena ia mengelak dari lemparan pisau, maka lemparan tombak dari prajurit 

di samping sana pun meleset. Hanya melintas di depan matanya. Sangat mengagetkan. 

Raden Puger segera bersalto ke belakang, tepat berada satu langkah dari punggung 

Patih Danupaksi. Segera saja ia menghantamkan sikunya ke tengkuk Ki Patih, hingga 

membuat Ki Patih tersedak dan terhuyung-huyung ke depan. Ia batal melancarkan 

pukulan Aji Candramawa dari matanya, yang sedianya akan ditujukan ke arah Dewi 

Gading. Waktu itu, Dewi Gading sedang sibuk menghadapi amukan kedua prajurit yang 

kedua kuda mereka dipatahkan kaki-kakinya oleh pukulan perak Dewi Gading.

Keadaan Ki Patih yang limbung, di samping itu busuk lengannya yang sakit itu membuat 

kelemahannya sangat enak dimanfaatkan oleh Raden Puger. Dengan melompatkan 

kedua kakinya, pedang perunggu itu dikibaskan ke leher Patih Danupaksi dari belakang.

"Mampus kau Patih Monyeeet... hiaaaatt...!!"

"Pletak,..! Pletak...!"

Pedang perunggu yang membahayakan itu tak jadi menebas leher Patih Danupaksi. 

Tubuh Raden Puger menggelinjang dan terpental beberapa langkah akibat sebuah batu 

melesat, mengenai keningnya dengan sangat keras. Lalu menyusul batu yang kedua 

melesat cepat dan mengenai matanya dengan sangat keras.

"Aaauuww...!! Matakuuu...!!" Raden Puger menjerit sambil memegangi mata kirinya. Ia 

kebingungan menahan rasa sakit. Darah mengucur dari keningnya dan juga matanya 

yang ternyata pecah itu. Ia sempat duduk dan akhirnya terguling-guling tak tahan sakit. 

Ia berteriak-teriak tak karuan untuk mengatasi rasa sakit.

Pada waktu itu, dua prajurit yang hendak menyerang Raden Puger berhenti seketika 

dengan pandangan penuh keheranan. Sebab pada waktu itu, sebutir batu melesat lagi 

dari satu arah, dan mengenai telinga Raden Puger. Daun telinga kiri itu robek seketika 

bagai dibabat pedang yang cukup tajam. Semakin keras jeritan Raden Puger menerima 

serangan batu yang ketiga itu.

Dewi Gading melemparkan senjata kampak empat mata yang menyerupai bunga teratai. 

Sekali lempar, dua prajurit robek lehernya dan di tempat itu pun ada jeritan dua prajurit 

yang bagai digorok batang lehernya. Kedua prajurit yang hendak menyerang Raden 

Puger itu segera berbalik arah, menyerang Dewi Gading. Patih Danupaksi duduk di 

tanah dalam keadaan muntah darah. Waktu Dewi Gading hendak melakukan serangan 

dengan senjatanya itu, seorang prajurit nekad menyerang Dewi dengan pedangnya. 

Dewi berhasil menangkis pedang itu dengan senjata kampak empat mata. Kaki Dewi 

menjejaki perut prajurit itu, dan prajurit itu terpental menabrak temannya. Lalu senjata itu 

pun digerakkan dan meluncur bagai kitiran berputar ke arah kedua prajurit itu. Namun... 

Triing...!! Arah senjata itu menjadi meleset akibat benturan dengan sebutir batu kecil 

yang melesat dari arah lain. Dewi Gading sempat terkejut, bahkan sewaktu hendak 

menangkap kembali senjatanya yang menyerupai gerakan bumerang itu, hampir saja 

meleset tertangkap oleh tangannya. Untung tangan yang satu segera berhasil 

menangkap senjata itu, kalau tidak, pasti lehernya jadi sasaran.


Seorang bocah kecil muncul dari puncak bukit. Tangannya menggenggam ketapel 

pertanda ia baru saja memakai ketapel itu. Anak kecil tersebut tak lain adalah Tole, yang 

semula diperintahkan Dewi untuk bersembunyi.

Dewi Gading memandang Tole dengan heran, sebab anak itu menuruni bukit dengan 

gerakan-gerakan yang lincah dan bahkan seperti anak rajawali yang melayang ke kaki 

bukit. Dalam waktu singkat Tole sudah berhasil berada di samping Patih Danupaksi dan 

memperhatikan keadaan Ki Patih yang terluka parah itu, seorang prajurit berseru karena 

melihat Raden Puger sudah tidak ada di tempat.

"Orang yang berbaju ungu itu telah melarikan diri! Mari kita kejar...!"

''Tidak perlu!" teriak Tole dengan berani. Hal itu membuat Dewi Gading semakin heran. 

Begitu beraninya Tole ikut campur dalam urusan ini?

"Tole...?! Apa maksudmu berlagak begitu, hah?!" geram Dewi Gading.

"Kak Dewi... jangan mengumbar nafsu untuk pekerjaan yang sia-sia. Kakak mencari 

Suro Bodong, bukan? Nah, di sini kakak melawan orang-orang yang bukan Suro 

Bodong!"

'Tapi mereka ini kawan Suro Bodong semua. Tole!"

"Justru itu, kurasa biarkan mereka pergi, pulang ke tempat mereka. Dengan melihat 

keadaan seperti ini, tentu Suro Bodong akan terpancing keluar dari sarangnya. Kita 

tinggal menunggu saja saatnya ia menampakkan diri dan siap untuk diserang."

Dewi Gading bersungut-sungut dalam pertimbangannya. Tapi Tole tidak perlu menunggu 

persetujuan Dewi Gading. Tole berkata kepada kedua prajurit yang masih hidup itu:

"Hei, bawa patihmu itu pulang ke rumah, dan sampaikan salam kepada Suro Bodong, 

bahwa Dewi Gading yang berdiri di balik serangan ini. Katakan kepada Suro Bodong, 

bahwa dia ditunggu di sini, kapan saja dia bersedia untuk mati! Lekas, bawa patihmu 

pulang...!"

Dewi mengakui, itu gagasan yang baik. Tapi anehnya, mengapa kedua prajurit itu tunduk 

kepada perintah bocah sekecil Tole? Kedua prajurit itu, dan Dewi sendiri tidak tahu 

bahwa Tole adalah Suro Bodong. Namun dengan cara tersebut, setidaknya Tole punya 

kesempatan untuk berpikir selanjutnya.


LIMA



Kesultanan Praja menjadi heboh sejak kembalinya Ki patih Danupaksi dalam keadaan 

terluka parah. Ketegangan meliputi seluruh punggawa negeri sejak mereka mendengar 

laporan dari prajurit yang selamat tentang nama Dewi Gading.

"Dewi Gading adalah senopati andalan kerajaan Lesanmitra yang ganas!" kata salah 

seorang prajurit tamtama.

Menyambung pembicaraan itu, Eyang Panembahan berkata dengan suaranya yang 

sedikit serak tapi bernada tenang:


''Kalau melihat luka di lengan Patih Danupaksi, jelas luka itu disebabkan oleh serbuk 

beracun yang dapat keluar dari pedang perunggu."

"Benar, Eyang. Seorang lelaki yang bersenjata pedang perunggu membantu Dewi 

Gading," jawab salah seorang prajurit yang selamat. "Mereka sama-sama mencari Suro 

Bodong untuk dibunuh!"

"Hem...!" Eyang Panembahan Purbadipa manggut-manggut.

Sultan Praja cemas, Nyi Mas Sendang Wangi begitu juga.

"Eyang kenal dengan lelaki berpedang perunggu?" tanya Sultan beberapa saat 

kemudian.

"Dia adalah Raden Puger, menantu dari Prabu Baladara, penguasa kerajaan 

Lesanmitra."

"Dia kabur, Eyang," ujar prajurit yang selamat. "Lelaki itu agaknya terluka cukup parah 

karena mendapat serangan batu kecil dari seorang anak yang membawa ketapel"

"Itu Suro Bodong! Suro Bodong bisa merubah menjadi tujuh rupa, salah satunya anak 

kecil yang bernama Tole!" kata Eyang Panembahan yang sudah banyak mendapat cerita 

dari Suro Bodong sendiri.

Kedua prajurit yang selamat terperanjat kaget, mereka saling pandang dengan mata 

terbelalak. Salah satu segera berkata:

''Tapi anak kecil itu kelihatannya berteman akrab dengan Dewi Gading, Eyang."

"Ayah...?! Suro Bodong jatuh dalam cengkeraman Dewi Gading...? Bagaimana dia, 

Ayah...!" 

Nyi Mas Sendang Wangi menjadi semakin cemas. Tetapi Eyang Panembahan segera 

menenangkan masalah itu.

"Suro Bodong punya rencana sendiri untuk Dewi Gading! Percayalah, ia akan mati di 

tangan Suro Bodong. Yang perlu kita pertimbangkan adalah Raden Puger-nya."

"Maksud Eyang...?" tanya Sultan.

"Siapkan pasukan ke perbatasan, karena pasukan dari Lesanmitra pasti akan datang 

menyerbu setelah Raden Puger meminta mertuanya untuk bergerak ke mari!"

Para prajurit, baik yang masih berpangkat rendah, yang tamtama maupun yang sudah 

tergolong perwira, semua bergegas mempersiapkan persenjataan. Yang utama adalah 

menjaga agar pasukan Lesanmitra jangan masuk ke wilayah Ke-sultanan Praja, yang 

kedua adalah menjaga kalau sewaktu-waktu Suro Bodong mendapat serbuan berpuluh-

puluh pasukan Lesanmitra.


Namun, di perbatasan itu, ternyata Suro Bodong masih tenang-tenang saja. Dia duduk di 

bawah batu besar. Ada tiga batu yang saling menempel, bawahnya berongga, dan 

tempat itulah yang dipakai sebagai tempat penantian oleh Dewi Gading bersama Tole.

"Kalau mendengar deru kaki kuda, itulah pasukan dari Kesultanan Praja datang bersama 

Suro Bodong," kata Tole.

"Dan aku akan segera keluar menyongsong Suro Bodong," timpal Dewi Gading, yang 

pada saat itu menarik kepala Tole, menyandarkan ke dadanya, dan mengusap-usapnya 

dengan penuh kelembutan. Tole sendiri tak habis pikir, mengapa perempuan selembut 

itu bisa mempunyai dendam yang amat jahat dan kejam? Dewi Gading, sebenarnya 

perempuan yang agresif, yang merindukan belaian mesra dan pelukan kenikmatan 

seorang lelaki. Apalagi ia tahu bahwa Tole mempunyai sesuatu yang selama ini 

dicarinya, yaitu suatu kebesaran yang dewasa dalam merenggut kenikmatan, Dewi rasa-

rasanya semakin bergelora jika disentuh tangan Tole.

Langit siang itu menebarkan mendung di beberapa tempat. Anginnya bertiup cukup 

kencang. Terkadang menyibakkan debu, ada kalanya hanya berdesir. Tetapi di bawah 

tiga batu berongga itu, sungguh nyaman keadaannya. Teduh dan tersembunyi.

Sejak tadi tangan Dewi Gading merayapi tubuh Suro Bodong dalam ujud sebagai bocah 

kecil itu. Sesekali ia menciumi rambut Tole, bahkan sesekali merayapi wajah Tole 

dengan bibirnya. Tole mendesah, seakan tak mau diperlakukan seperti itu. Padahal Tole 

semakin berpikir, langkah apa yang baik untuk mengatasi dendam Dewi Gading itu.

Posisi Dewi Gading bersandar pada dinding batu, duduknya melonjor, salah satu kakinya 

sedikit di tekuk ke samping. Sedang Tole diminta tetap bersandar di dada Dewi Gading. 

Kaki Tole yang membujur ke arah samping Dewi dibiarkan melonjor. Namun tangan 

Dewi yang merayap ke tempat tertentu itu membuat perut Tole sesekali meliuk kegelian. 

Tangan perempuan itu mengusap dan terus merayap, sampai menyelusup ke segala 

medan. Lalu tangan itu sengaja meremas-remas suatu kebanggaan yang agaknya kali 

ini ingin dinikmati oleh Dewi, tanpa peduli tempat dan keadaan.

Tole sedikit nakal. Ia membiarkan tangan itu bergerilya ke daerah terlarang, sementara 

itu ia mulai menelungkupkan wajahnya dipermukaan dada Dewi Gading. Ia sengaja 

membuat Dewi Gading mendesis seperti ular kobra yang sedang mencengkeram ular 

juga.

"Kita pulang dulu ke pondok, yuk kak?" usul Tole.

"Aku ingin menunggu di sini saja sampai Suro Bodong muncul, baik dengan pasukannya 

atau pun tidak. Ahh..." Dewi mendesah. "Di sini juga bisa, kan? Tidak perlu harus di 

ranjang yang ada di pondok. Di sini juga bisa kok...!"

'Tempat ini tidak terlalu cukup untuk berbaring berdua, dan lagi kotor. Tak ada alas 

tidur…''

"Banyak cara untuk menikmati kemesraan, Tole. Kau kan muridku, kau sudah waktunya 

menerima pelajaran cinta yang terpaksa..." Dewi Gading tertawa dan semakin meremas. 

Nafasnya mulai tidak teratur, debaran di dadanya keras sekali. Ia sempat berbisik, "Mari 

kuajarkan sesuatu yang bersifat terpepet...! Bangunlah sebentar, kupersiapkan jamuan


untukmu, Sayang...!" Mendung semakin menggantung, namun hujan belum turun juga. 

Hanya hujan lokal yang turun di dalam rongga tiga batu itu dan sempat membuat Dewi 

Gading terpekik-pekik merenggang kenikmatan berlayar bersama Tole.

"Oouh... deras sekali...!" bisik Dewi Gading.

"Hujan belum turun kok, kak. Cuma mendung."

"Ya, tapi aku sudah merasa kan derasnya," seraya Dewi Gading melirik dalam godaan. 

Lalu ia tertawa sambil mencubit hidung Tole, ketika anak itu tersenyum malu.

Dewi Gading menghapus keringatnya ketika Tole keluar dari rongga batu. Ia 

memandang ke atas, melihat mendung. Padahal ia menyimak suara, kalau-kalau 

terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Ternyata hanya desau angin yang terdengar 

samar-samar. Ia sempat melirik Dewi Gading yang sedang membenahi pakaiannya, ia 

tersenyum juga ketika perempuan berkulit kuning mulus itu mengerlingkan mata dengan 

senyum kelegaan yang amat bahagia. Lalu, Tole melangkah dengan menyimpan hati 

yang haru.

"Mau ke mana, Le...?" seru Dewi Gading.

"Aku mau mencari buah atau makanan sebentar, kak. Perutku lapar."

''Jangan jauh-jauh, nanti kau tertangkap orang-orang Kesultanan Praja...!"

Tole melangkah seiring dengan keharuan yang ada. Tapi ia buru-buru berusaha 

menghapus sesuatu yang mengharukan itu. Ia harus bisa tegar, dan jangan sampai luluh 

serta menjadi cengeng hanya karena seorang perempuan.

Memang ada beberapa pohon jambu monyet yang letaknya agak jauh dari bukit berbatu 

rongga itu. Tole ke sana bukan untuk memetik jambu, melainkan untuk membulatkan 

tekadnya, bahwa sudah saatnya ia harus mengakhiri permainannya selama ini bersama 

Dewi Gading.

Ia mencari tempat yang lebih enak dan terlindung dari incaran mata orang. Kemudian

kakinya menjejak tanah. Ia melayang, dan bersalto di udara satu kali. Itulah jurus Luing 

Ayan-1 yang mampu merubah ujud Tole menjadi manusia dewasa; berambut panjang, 

kurang teratur, berbaju merah dengan celana biru tua, mengenakan ikat kepala merah 

juga, dan bertubuh sedikit gemuk. Baju merahnya tidak dikancingkan, sehingga perutnya 

yang kelihatan agak membuncit itu menampakkan betul pusarnya yang keluar. Dialah 

Suro Bodong yang sebenarnya.

Apapun yang akan terjadi terhadap diri Dewi Gading, Suro Bodong sudah siap 

menghadapi. Namun, tujuannya yang utama adalah membujuk Dewi Gading untuk 

berdamai. Tetapi jika hal itu tidak mungkin, maka bertarung pun Suro sudah siap. Ia 

harus melupakan kemesraan dan kenikmatan yang pernah dialami bersama Dewi 

Gading, baik di kamar Madu Mayat atau pun di balik batu tiga berongga itu. Bagaimana 

pun mesra dan nikmatnya, namun kebahagiaan yang amat melegakan itu adalah racun 

yang mengancam kematiannya. Ia harus membasmi racun itu, baik dengan cara halus 

atau pun dengan cara kasar.


Ketika Suro Bodong kembali ke tiga batu berongga bawahnya itu, ternyata Dewi Gading 

sudah tidak ada di tempat. Kepala Suro clingak-clinguk mencari Dewi Gading. Ternyata 

perempuan yang mengenakan pakaian serba kuning dan yang dadanya tampak 

membusung itu sudah berada di puncak bukit. Rupanya ia sedang melihat kemungkinan 

datangnya pasukan Suro Bodong yang ditunggu-tunggu. Ia tak sadar kalau seseorang 

yang tadi habis dinikmati kedewasaannya itu telah berubah ujud menjadi sosok lelaki 

yang dicarinya.

Suro Bodong mendaki bukit dengan gerakan yang ringan dan lincah. Waktu itu Dewi 

Gading berpaling dan menjadi kaget ketika ia melihat sosok lelaki dengan kumis tebal 

dan tubuh sedikit gemuk, tapi bukan gendut.

Suro Bodong sepertinya tidak menghiraukan kekagetan Dewi Gading. Ia ikut 

memandang ke arah jauh, seakan ikut menanti kemunculan pasukan Kesultanan Praja. 

Sambil garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong memunggungi Dewi Gading yang 

memandangnya penuh selidik.

Sikap Suro amat tenang dan santai sekali berdirinya.

"Hei, siapa kau...?! Mengapa kau tahu-tahu muncul di sini, hah?!" Dewi Gading mulai 

curiga dan berwaspada. Suro membalikkan tubuh dan memandang Dewi dengan 

senyum santai.

"Kau mencariku, bukan?!"

Kesangsian Dewi kini terjawab; bahwa lelaki yang kini ada di depannya itu adalah Suro 

Bodong. Orang yang dicari-cari, yang ditunggu-tunggu, tahu-tahu muncul bagai setan 

menjelang sore. Dewi Gading segera mengambil sikap berjaga-jaga. Ia mundur 

beberapa langkah, mengatur jarak. Namun saat itu jantungnya benar-benar lebih cepat.

"Dewi Gading..." kata Suro dengan kalem sambil garuk-garuk kumis lagi. "Lebih baik 

mengubur dendam daripada mengubur diri sendiri. Pangeran Sedayu mati bukan 

dengan tidak terhormat, tapi dengan kemegahannya yang perkasa. Ia mati dalam suatu 

pertarungan resmi denganku, kurasa itu lebih baik dari pada dia mati karena penyakit 

cacar!"

"Kalau kau takut menghadapi dendamku, sebaiknya kau bunuh diri saja, Suro Bodong!" 

geram Dewi Gading dengan matanya yang menjadi tajam dan buas.

Suro Bodong masih menampakkan ketenangannya.

"Aku tidak takut menghadapi dendammu, tapi aku sayangkan kecantikanmu itu. Aku 

yakin, atau... katakanlah, aku berjanji untuk menikmati masa-masa yang indah 

bersamamu di Kamar Madu Mayat, jika kau mau melupakan dendammu."

Dewi Gading sangat terkejut ketika mendengar Suro Bodong menyebutkan Kamar Madu 

Mayat. Dahi berkerut dan mata pun jadi menyipit. Dewi memandangi Suro Bodong dari 

ujung rambut sampai ujung kaki.

''Dari mana kau tahu kamar itu?" tanyanya pelan, sepertinya Dewi ragu untuk 

melontarkan pertanyaan itu.


Senyum Suro Bodong mengembang, ia melipat kedua tangannya di dada. Santai sekali.

"Kamar Madu Mayat, sebuah kamar yang indah, penuh kenikmatan dengan ranjang 

berkasur empuk. Aku ingin ke sana lagi bersamamu, Dewi. Akan kubuka pintu ruang 

kematian itu lebar-lebar, biar asapnya masuk ke kamar, lalu kita hirup sebanyak-

banyaknya, agar kita mampu berlayar lebih jauh. Ah, aku senang dengan caramu 

mendayung perahu kenikmatan itu, Dewi...."

Wajah Dewi Gading menjadi semburat merah, menahan malu yang membakar darah. 

Dengan menggeram dan mengepalkan kedua tangannya, Dewi masih menyempatkan 

diri untuk membentak Suro Bodong.

"Siapa kau sebenarnya, Bajingan...!!" 

"Aku... aku yang tadi kau ajak mendayung di bawah batu. Mungkin kalau kau melihat 

pena yang kumiliki, kau pasti akan tahu bahwa pena itu adalah pena muridmu. Kau 

pernah mengajarkannya di Kamar Madu Mayat, atau pun di bawah rongga batu itu, 

bukan? Kau pernah menggelar perjamuan yang amat lezat di rongga batu itu bukan? 

Dan aku menikmatinya dengan lahap. Kau bilang: dengan lahap, begitu!"

Geram Dewi semakin tajam, wajahnya pun kian memerah. Rasa malu dan marah 

bergabung menjadi satu. Ia memang ingat kata-katanya kepada Tole ketika Tole makin 

menggila saat mendapat pelajaran terpepet tadi. Belum lama ini. Ia ingat, ia mengatakan: 

"Kau amat lahap hari ini, Tole!" Tetapi hanya Tole yang mendengar kata-kata itu. Lantas, 

mengapa Suro Bodong bisa mengetahui kalimat tersebut?

"Kau... kau sebenarnya si Tole itu...?!" Dewi menarik kesimpulan.

"Benar. Waktu kudengar ada orang yang mencari Suro Bodong untuk dibunuh, aku 

merubah diriku menjadi bocah kecil yang kau peluk dan kau nikmati kedewasaannya. 

Tapi sekarang, rasa-rasanya aku harus segera menyelesaikan urusan ini, agar tidak 

menimbulkan banyak korban antara orang-orangku dan orang-orangnya Prabu 

Baladara!"

"Bangsaaat...!" geram Dewi berkepanjangan. Dewi memasang kuda-kuda dengan 

merendahkan kakinya dan mengembangkan tangan kirinya ke atas kepala dan tangan 

kanannya menyilang di depan dada.

"Ingat, Dewi... aku menyarankan suatu perdamaian...!"

''Tidak ada damai bagi orang sejahanam kamu!" tukas Dewi.

"Kalau aku kalah melawanmu, dan aku mati, kau tidak akan bisa menikmati ayunan 

dayungku dalam mengarungi samudra kemesraan, Dewi."

"Persetan dengan kata-katamu itu. Kau telah membunuh Pangeran Sedayu, dan aku 

telah berjanji membalaskannya! Sekarang, bersiaplah menuju alam kematianmu, 

lupakan kisah di Kamar Madu Mayat itu, hiaaat...!!"


Suro Bodong membuka tangannya yang tadi terlipat di dada, karena saat itu tangan 

Dewi Gading menghentak ke depan dan mengeluarkan sinar perak yang bagai hendak 

mengurungnya. Suro ingat, Sinar perak itu berbahaya. Kaki kuda bisa patah total, 

apalagi leher manusia. Dengan gesit, Suro Bodong menjatuhkan diri ke tanah dan 

berguling ke arah Dewi Gading. Punggungnya berhasil dihentakkan, lalu dia melentik 

untuk berdiri. Namun begitu berdiri, ia harus segera meliukkan badan ke belakang, 

karena Dewi menghantamnya dalam jarak dekat. Pukulan tangan kanan Dewi meleset, 

tapi kaki Suro segera mengibas dalam putaran balik. Kaki itu mengenai lengan Dewi, dan 

Dewi jatuh terguling-guling menuju bawah, ke kaki bukit.

Dewi bergegas berdiri. Lalu tangannya melemparkan senjata empat mata kampak tipis 

yang bolong tengahnya. Senjata itu melayang bagai kan piring yang berputar, siap 

memotong apa saja yang dihantamnya. Suro Bodong bersalto satu kali. Ini tidak 

merubah ujudnya, tetap saja ia berujud sosok Suro Bodong.

Senjata itu melesat di bawah kaki Suro Bodong, dan dengan cepat Suro Bodong 

menapakkan kakinya ke permukaan senjata tersebut. Ia jadi berdiri mengambang di atas 

sebuah piring. Senjata itu berhenti berputar, namun gerakan layangnya melengkung, 

berbalik ke arah pemiliknya. Dan Suro Bodong pun jadi ikut bersama lajunya senjata itu.

Dewi Gading terbengong dalam kebingungan yang dicekam rasa kagum. Waktu ia 

hendak menangkap senjatanya lagi, kaki Suro yang menapak di senjata itu segera 

menghentak ke depan. Akibatnya senjata kampak bermata empat yang menyerupai 

bunga teratai itu terpental, melesat ke arah kepala Dewi Gading.

"Hiaaat...!!" Dewi tak berani menangkap senjatanya. Ia bersalto di udara ke arah 

samping. Kemudian bersalto sekali lagi, dan pada gerakan salto ke dua inilah kaki 

kanannya berhasil menendang kepala Suro Bodong. Akibatnya Suro Bodong kehilangan 

keseimbangan, lalu jatuh tersungkur. Hampir saja mulutnya membentur batu runcing 

kalau saja lengannya tidak segera bergerak, menahan ke tanah.

Dewi Gading melayang, mengejar senjatanya. Senjata itu membentur sebuah batu 

besar.

"Traang...!" Terjadi kilatan cahaya api akibat benturan itu. Kemudian Dewi Gading buru-

buru memungutnya. Suara derap kaki kuda terdengar di kejauhan. Suro Bodong 

mengira, pasukan Kesultanan Praja telah datang. Tetapi ketika disimaknya baik-baik, 

ternyata derap kaki kuda itu berasal dari arah Timur. Oh, berarti bukan pasukan 

Kesultanan, melainkan pasukan Prabu Baladara yang dikerahkan menyerbu Kesultanan 

Praja.

"Dewi...! Pasukanmu sudah datang! Kau seorang Senopati, dan aku pun seorang 

Senopati dari Kesultanan. Sebaiknya cegah mereka agar tidak bertempur secara 

kroyokan! Kalau kau kalah, mereka harus mau mengakui, dan begitu juga sebaliknya jika 

aku kalah, Kesultanan akan tunduk kepada Prabu Baladara!"

Usulan itu dijawab oleh Dewi Gading dengan lemparan senjatanya.

"Aku bukan Senopati mereka lagi! Hiaaat...!!


Kali ini Suro Bodong tercengang sejenak, karena senjata kampak bermata empat itu 

melayang berputar-putar di udara. Makin lama semakin besar, dan setelah menjadi 

besar barulah melesat menuju ke tubuh Suro Bodong. Rasa-rasanya tak ada cara lain 

untuk menghindari senjata ajaib yang bisa menjadi sebesar tampah itu kalau tidak 

dengan menggunakan Pedang Urat Petir.

Maka,,Suro Bodong segera merentangkan tangan kirinya di dada, lalu mengurut tangan 

kiri itu dengan tangan kanan dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah pedang yang 

memancarkan sinar ungu berkilauan. Pedang itu segera mengibas ke samping kiri 

sewaktu senjata kampak bermata empat itu melesat di depan wajahnya.

''Trang...! Blaaar...!!"

Suara menggema timbul dari ledakan kedua pusaka yang beradu. Senjata Dewi Gading 

pecah menjadi berkeping-keping. Dewi Gading terbengong melompong. Sebab dari tadi 

ia tidak melihat Suro Bodong mempunyai pedang, namun ternyata sekarang ada pedang 

bersinar ungu yang mampu memecahkan senjata kampak bermata empat itu. Oh, 

sungguh ajaib dan mengagumkan sekali. Rupanya Suro Bodong mempunyai pusaka 

sebuah pedang yang mampu disimpan di dalam tangan kirinya, bagai berada di bawah 

kulit lengan kiri itu. Benar-benar sebuah senjata yang sangat berbahaya dan sakti. Dewi 

memang tidak tahu, bahwa itulah yang dinamakan Pedang Urat Petir. Suatu senjata 

kebanggaan Suro Bodong selama ini. Dan ia tak tahu persis sampai seberapa 

kehebatan pedang itu. Yang jelas, ia harus mencobanya sekali lagi, dengan cara apapun 

agar dapat mengalahkan Suro Bodong.

Derap kaki kuda semakin jelas, dan lama-lama menjadi sangat jelas. Berpuluh-puluh 

pasukan dari Lesanmitra segera mengurung tempat pertarungan Suro Bodong dengan 

Dewi Gading. Pasukan berkuda yang lengkap dengan senjata perang di setiap prajurit itu 

dipimpin oleh Dadung Wungu, yang bersenjata tombak berujung clurit.

"Berhenti...! Semua pasukan berhenti! Kita tunggu siapa yang unggul antara lelaki itu 

dengan Dewi Gading!" seru Dadung Wungu, sementara di sampingnya duduk di 

punggung kuda seorang lelaki berpakaian ungu dengan mata ditutup sebelah dan 

menampakkan bekas darah. Dialah Raden Puger.

"Dewi...!" kata Suro Bodong ketika mereka bertarung dalam jarak dekat, 

"Menyingkirlah...! Jangan mau terbunuh seperti yang lain. Biar aku akan menghadapi 

orang-orang dari Lesanmitra ini! Lekas...!"

"Aku akan menyingkir kalau aku sudah menjadi mayat!" balas Dewi pantang menyerah. 

Ia melompat dalam satu tendangan ke belakang. Pada saat itu, punggung Suro Bodong 

berhasil dijadikan sasaran tendangannya itu. Suro terhuyung-huyung ke depan. Namun 

ia segera bersiap kembali dengan merentangkan tangannya yang memegang pedang.

Dewi Gading bersalto menjauh. Kemudian ketika ia mendaratkan kakinya ke tanah, 

kedua tangannya bergerak maju, bagai sedang melemparkan sesuatu. Kedua kakinya 

merendah dengan tegar. Dan pada saat itu, Suro Bodong melihat kepingan-kepingan 

bulat seperti uang logam melesat dari kedua tangan Dewi Gading. Kepingan-kepingan 

itu berwarna kuning emas dan berjumlah lebih dari 20 keping. Semuanya melesat bagai 

hendak menyergap Suro Bodong.


Dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata, Suro Bodong menggerakkan Pedang 

Urat Petir. Menebas cepat kian kemari hingga bunyi gemerincing saling bersahut-

sahutan. Rupanya kepingan-kepingan logam itu berhasil ditebas pecah oleh pedang 

Suro Bodong. Salah satu tebasannya mengakibatkan logam berbahaya itu melesat dan 

mengenai seorang penunggang kuda dari Lesanmitra.

"Aaah...!!" orang itu menjerit. Ia memegangi dadanya. Dalam waktu sangat singkat 

dagingnya mulai ambrol luluh, dan menjadi seperti daging cincang. Tinggal tengkorak 

dan kerangka tubuhnya saja yang masih tetap duduk di punggung kuda dalam posisi 

memegangi dadanya.

Bukan hanya Suro Bodong yang membelalak kaget, tetapi semua orang Lesanmitra pun 

tercengang melihat kedahsyatan senjata rahasia Dewi Gading. Suro Bodong mulai 

bersungguh-sungguh, ia tidak mau menerima nasib seperti penunggang kuda dari 

Lesanmitra itu. Ia mengambil posisi tegak, kedua kakinya merapat. Pedangnya 

digerakkan bagai sedang menusuk udara ke tujuh arah. Setelah ditusukkan ke tujuh 

arah, maka ia mengibaskan pedangnya dengan kedua tangan, dari kanan ke kiri, dan 

kakinya salah satu ditarik mundur, sedang kaki yang satu menekuk ke depan.

Itulah jurus Pedang Colok yang membuat Dewi Gading menjerit kesakitan sambil 

memegangi kedua matanya.

"Oaauuww…, Mataku...?! Mataku perih sekali...! Oh, mataku tak dapat untuk melihat...!!" 

teriak Dewi Gading dengan panik.

Dadung Wungu diperintahkan oleh Raden Puger untuk menyerang Suro Bodong. Ia 

segera melompat dengan senjata tombak berujung cluritnya. Ketika tombak itu mengibas 

bagai hendak membabat kaki, Suro Bodong melompat seraya mengibaskan pedangnya 

ke arah wajah Dadung Wungu. Namun belum sempat ia habis mengibaskan pedang itu, 

sebuah pukulan telapak setan telah dilancarkan dari tangan Raden Puger. Kilatan bunga 

api meluncur cepat, dan Suro Bodong menangkisnya dengan gerakan pedang yang 

seharusnya ke bawah, kini menjadi ke atas. Taaar...! Bunyi ledakan kecil pun terdengar 

di ujung pedang ketika bunga api mengenai pedang tersebut.

Raden Puger penasaran. Tanpa peduli kepalanya masih berdarah akibat ditembak 

dengan ketapel Tole, ia turun dari kuda. Waktu itu, Dadung Wungu mengibaskan 

tombaknya dengan membabi-buta ke segala arah. Suro Bodong melompat-lompat 

menghindari tebasan senjata Dadung Wungu. Hal itu digunakan oleh Raden Puger untuk 

mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke arah Suro Bodong. Sekali pun tidak 

mengenai tubuh Suro Bodong, namun kibasan pedang perunggu itu mampu 

menyebarkan serbuk merah yang dapat membuat kulit tubuh manusia menjadi busuk 

Suro Bodong berkelit ke samping. Lalu ia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil 

menggenggam pedang Urat Petir. Pedang itu di putar-putar di udara, di depan matanya. 

Serbuk merah menjadi mengumpul dalam satu pusaran arus angin yang ditimbulkan oleh 

gerakan memutar pedang Suro. Ketika sudah berkumpul, serbuk itu pun bagai 

dihempaskan oleh angin kencang, sebab Suro menggerakkan pedangnya ke arah 

Dadung Wungu. Maka serbuk itu pun meluncur dan menebar mengenai tubuh Dadung 

Wungu.

"Aaahhh...! Serbuk itu mengenaiku, ooh... tolong...!!" Dadung Wungu kebingungan. Ia 

mendekati Raden


Puger, tapi Raden Puger semakin panik. Suro Bodong masih bersiaga di tempatnya. 

Dadung Wungu menjerit kelojotan, karena serbuk itu menempel di sekujur badan bagian 

atas.

Gemuruh derap kaki kuda datang dari Barat. Itulah rombongan pasukan Kesultanan 

yang dipimpin oleh Demang Sabrangdalu. Pasukan itu jumlahnya dua kali lipat dengan 

pasukan Lesanmitra. Saat itu, Suro berseru mengimbangi suara Dadung Wungu yang 

menjerit-jerit kesakitan, karena kepala dan leher sampai ke dada menjadi bengkak. 

Membiru sebentar lalu melepuh dan menjadi busuk. Raden Puger sendiri tampak panik 

serta serba salah.

"Pulanglah kalian...!! Aku senopati Kesultanan Praja! Kalau kalian pulang, kami tidak 

akan mengejar. Tapi kalau kalian tetap di sini, aku yang akan menghadapi kalian semua! 

Cukup satu orang yang maju bagi Kesultanan Praja, itu sudah bisa membantai satu 

kerajaan kalian...!!"

''Tutup mulutmu, jahanaaam...!!" Raden Puger melayangkan tendangannya ke arah Suro 

Bodong. Suro berkelit dengan merendahkan badan. Pedang perunggu segera berkelebat 

menebas ke-pala Suro Bodong dari atas. Pedang Urat Petir menangkisnya dengan satu 

tebasan kuat. Dan pedang itu pun menimbulkan dentuman yang menggelegar 

bersamaan menggulingnya Suro Bodong.

Raden Puger mendelik melihat pedang perunggunya patah menjadi tujuh potongan. 

Kecil-kecil. Ia semakin panik, apalagi jeritan Dadung Wungu semakin mengiris hati. 

Raden Puger benar-benar menjadi gila. Jiwa kerdilnya berkuasa, ia segera berlari ke 

arah pasukannya.

"Kau akan dikejar pedangku Puger...!!" teriak Suro Bodong. Tetapi sebelum Suro berbuat 

sesuatu, Raden Puger menyerobot pedang anak buahnya, kemudian ia menikam diri 

sendiri dengan sekuat tenaga.

"Dia bunuh diri...?!!" teriak salah seorang prajurit. Lalu gaduh, heboh dan paniklah 

suasana saat itu. Raden Puger malu, jiwanya amat guncang ketika ia tahu Suro Bodong 

orang kuat. Pedang perunggu pusakanya dapat dihancurkan, dan racun dari pedangnya 

sendiri telah melukai Dadung Wungu yang sekarang kelojotan. Agaknya jantung Dadung 

Wungu pun menjadi membusuk terkena tebaran serbuk beracun dari pedang perunggu. 

Sebab itu, Raden Puger merasa tak berarti lagi hidup menanggung kekalahan yang 

memalukan. Jiwa kerdilnya bertindak, dan ia lebih baik mati bunuh diri daripada harus 

mati di tangan pembunuh adiknya: "Suro Bodong." Ia tak sanggup menahan malu di 

depan mertuanya: yaitu Prabu Baladara yang amat membanggakan kesaktiannya.

''Pulanglah kalian! Jangan mau mati dengan sia-sia! Tenaga dan hidup kalian masih 

dibutuhkan oleh keluarga...!" seru Suro Bodong. Saat itu, pasukan dari Kesultanan Praja 

hanya diam, membentuk satu barisan memanjang, sebagai pagar keperajuritan yang 

akan membendung lawan jika lawan nekad hendak masuk ke wilayah Kesultanan Praja.

Tubuh kedua mayat itu dinaikkan ke atas punggung kuda. Pasukan Lesanmitra 

meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan suasana berkabung. Mereka 

melangkahkan kaki kuda dengan keheningan tanpa seucap kata pun. Mereka pulang,


karena mereka merasa sia-sia melawan Suro Bodong yang ternyata berilmu sangat 

tinggi itu.

Tempat itu telah kosong. Prajurit kesultanan beium ada yang berani bicara. Suro Bodong 

telah memasukkan Pedang Urat Petirnya ke tangan kiri, bagai disimpan dalam daging 

lengan kirinya. Kemudian ia mendekati Demang Sabrangdalu yang masih duduk di atas 

punggung kuda.

"Sudah beres, Demang...!"

Demang Sabrangdalu menggumam. "Perempuan itu... buta matanya. Dia meraba-raba 

untuk pergi juga, atau sengaja mencarimu? Aku tahu, dia Senopati Lesanmitra!"

"Dia bukan lagi Senopati. Dia hanya ingin membalas dendam atas kematian kekasihnya, 

yaitu Pangeran Sedayu. Tapi... biarlah kuurus dia, kalau toh terpaksa, akan kubunuh 

juga. Tapi kalau bisa berdamai, aku akan berdamai dengannya. Sekarang, bawa 

pasukan kembali ke istana Kesultanan...!"

Perintah Suro Bodong, adalah perintah seorang Senopati perang. Perintah itu tanpa 

diulang dua kali langsung dikerjakan. Demang Sabrangdalu dan pasukannya kembali ke 

istana Kesultanan. Sementara itu, Suro Bodong mendekati Dewi Gading yang sedang 

merintih pelan sambil meraba-raba. Matanya buta akibat jurus pedang colok yang tadi 

dilancarkan oleh Suro Bodong.

"Dewi..." sapa Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis. "Mari kuantar kau pulang ke 

Pondok Lereng Sewu..."

Dewi bungkam, gerakannya diam sampai lama. Matanya mengerjap-ngerjap, 

menyedihkan.

"Kau... unggul. Tapi sebaiknya bunuh saja aku, Tole!"

Suro Bodong terharu mendengar dirinya dipanggil Tole. Ia hanya berkata, "Akan 

kubunuh kau dengan pena muridmu di kamar Madu Mayat, kak Dewi..." suasana jadi 

hening, dan Dewi pun akhirnya menangis, lalu membiarkan Suro Bodong 

menggendongnya ke Pondok Lereng Sewu.

Jadi dulu, Dewi menggendong Suro Bodong berujud bocah menuruni lereng maut dan 

membawanya ke pondok, kini Suro Bodonglah yang membawa Dewi ke sana.

"Aku telah buta, aku tak punya arti apa-apa lagi...."

"Dendam itu memang membuat buta, Dewi," kata Suro sambil melompat dengan ilmu 

peringan tubuh, menuruni Lereng Sewu. Ia berkata lagi, "Kalau aku mau, aku bisa 

membunuhmu sekarang juga. Tapi apalah hebatnya membunuh orang buta. Apalah 

hebatnya membunuh orang yang menyimpan dendam. Karena dendam itu sendiri 

adalah kebutaan yang tidak disadari."

Suro Bodong menggeletakkan Dewi Gading di atas dipan, di luar kamar mendiang 

gurunya, yang disebut Kamar Madu Mayat itu.


"Dewi, kau sadar apa yang menimpa dirimu?"

Dengan tangis yang lirih, Dewi menjawab, "Bawalah aku ke kamar Madu Mayat...."

Tak banyak pertimbangan lagi, Suro Bodong membawa Dewi masuk ke kamar mendiang 

gurunya. Ia meletakkan Dewi di atas kasur dari ranjang yang amat indah dan berkelambu 

merah muda itu.

"Aku... aku telah termakan oleh dendamku sendiri, sehingga aku tak dapat melihat 

keindahan kamar ini, Tole...."

Suro Bodong menghela nafas, menahan debaran yang menyesak di dada.

"Ilmu pedangmu, ternyata belum ada tandingannya. Aku ini hanya debu diujung 

pedangmu, Tole...."

"Pedang itu sebenarnya mampu untuk tidak membuatmu buta, kalau saja kau mau 

berdamai kala itu. Tapi... sudahlah, kebutaan ini hanya sementara, hanya sampai 

setengah hari. Ilmu Pedang Colok hanya kugunakan untuk membutakan lawan 

sementara, lalu kubunuh. Tapi kali ini, kurasa lebih baik aku membawamu ke mari dari 

pada membunuhmu. Percayalah, lewat setengah hari nanti, kau bisa melihat lagi. ''

"Benarkah itu? Benarkah...?" Dewi meratap haru dalam suka.

"Benar, kak Dewi...!" jawab Suro menirukan

"Oh... Tole..." Dewi mendesah. "Bukalah ruang kematian itu agar uapnya masuk ke mari 

dan terhirup oleh kita. Bukalah!"

Setelah tertegun beberapa saat, maka Suro Bodong segera membuka ruangan berpintu 

model almari, dan bau harum yang aneh pun masuk ke kamar Madu Mayat.


                  >>>> T A M A T <<<<< 

Share:

0 comments:

Posting Komentar