RAHASIA
TOMBAK DEWA
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Rahasia Tombak Dewa
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.7
SATU
Semua orang melihat kilatan cahaya merah di
langit yang gelap. Banyak yang berkumpul di alun-
alun untuk melihat cahaya merah itu melesat dari
arah Timur ke Barat. Tetapi setiap cahaya merah pijar
itu hendak ke Barat, selalu saja disambut oleh kilatan
cahaya biru yang datangnya dari Barat. Kilatan cahaya
biru itu menghantam cahaya merah. Kemudian timbul
satu ledakan yang membuat orang-orang tercekam ra-
sa takut. Ledakan itu mengakibatkan bumi bergun-
cang bagai dilanda gempa.
"Pasti itu aji Birawagama yang dihantam aji
Panjardamo," ujar salah seorang penduduk kepada
temannya. Kepala mereka masih mendongak ke langit.
Ada lagi yang berkata:
"Kurasa itu benturan aji Sosrogeni dengan pu-
kulan Kumbawayan. Sosrogeni milik Ki Destak, dan
Kumbawayan milik Resi Buntoro."
"Memangnya mereka berada di mana?"
"Kalau menurut kabar yang kudengar, Resi
Buntoro ada di lereng gunung Manduro, sedangkan Ki
Destak... kalau tidak salah mendiami pesanggrahan
Wanara Teja, di puncak gunung Buramang. Mereka
memang bermusuhan sejak ratusan tahun yang lalu.
Itu menurut cerita para sesepuh kita...."
Banyak yang saling berkisah sendiri-sendiri.
Mereka masih sesekali memandang ke atas, karena ki-
latan cahaya merah dan biru yang, saling berbenturan
itu sudah terjadi selama dua hari. Bahkan pada saat
siang hari pun pernah terjadi hal serupa dan meng-
guncangkan tanah Kesultanan Praja.
Para penghuni istana Kesultanan pun banyak
yang melihat kejadian yang menegangkan itu. Dari da-
lam pagar istana pun dapat kelihatan jelas kilatan ke-
dua cahaya yang saling berbenturan dahsyat itu. Ada
yang melihat dari dalam komplek istana, ada yang ke-
luar, ke alun-alun, menyaksikan peristiwa aneh itu
bersama-sama rakyat lainnya.
Khususnya pada malam hari, cahaya yang sa-
ling bertabrakan di angkasa itu dapat dijadikan tonto-
nan menarik, namun juga menggetarkan hati. Malam
ini sudah terjadi tiga kali benturan dahsyat yang
membuat tanah bagai diguncang gempa. Malam kema-
rin sampai tujuh kali, dan siangnya dua kali. Bahkan
malam ini, mereka pun melihat kembali melesatnya si-
nar merah dengan ujung bagai bola api. Sinar itu kem-
bali dihantam oleh cahaya biru yang mirip tombak
panjang melesat dari Barat.
"Hei, lihat...! Lihat, sinar biru itu tidak tepat
pada sasaran...!!" teriak beberapa orang sambil menud-
ing ke langit.
Sinar biru meleset, tidak membentur cahaya
merah yang mirip bola api kecil itu. Mereka semakin
tegang. Apa yang akan terjadi jika begitu?
"Wah, wah... yang biru berbalik arah. Nah, ber-
balik arah, kan?!"
"Iya. Benar lho... yang biru sekarang jadi me-
ngejar sinar merah."
"Astaga...! Sekarang malah sinar biru itu berge-
rak dengan kecepatan luar biasa. Dan... wah, kena...
kena…!"
"Blaaar...!!"
Beberapa orang terpelanting jatuh karena ta-
nah nyata sekali mengalami guncangan dahsyat. Leda-
kan yang terjadi akibat sinar biru menghantam bola
api dari belakang membuat sebuah pohon tumbang.
Hampir saja menimpa seorang anak belasan tahun.
Ledakan itu adalah ledakan yang paling besar dari se-
tiap ledakan yang sudah-sudah. Guncangan pada ta-
nah terlihat dan terasa jelas. Penduduk pun menjadi
panik dicekam ketakutan. Bahkan sudah ada yang
mengeluarkan beberapa barang rumahnya, siap untuk
mengungsi jika terjadi gempa bumi yang mengerikan.
Peristiwa itu menjadi peristiwa yang meresah-
kan penduduk Kesultanan Praja. Bukan hanya rakyat
yang membicarakan, tetapi para pejabat Kesultanan
pun sibuk membicarakannya.
"Keadaan kita sungguh kurang baik dalam ma-
salah ini," kata Demang Sabrangdalu. "Kalau memang
ledakan itu ditimbulkan karena perang jarak jauh, adu
kesaktian antara penguasa Gunung Manduro dengan
penguasa Gunung Buramang, maka jelas keadaan kita
sangat tergencet. Kesultanan ini ada di tengah-tengah
antara kedua gunung itu. Dan mereka saling baku-
hantam di pertengahan jarak mereka, maka sudah ten-
tu Kesultanan kita akan menjadi korban. Hal ini tidak
bisa dibiarkan begitu saja, menurut saya, Kanjeng."
"Kita harus bertindak, sebelum rakyat dan ne-
geri menjadi korban adikuasa mereka," timpal Ki Patih
Danupaksi.
"Apakah baik... kalau kita bertindak di luar
urusan kita?""sahut Eyang Panembahan dengan ka-
lem. "Itu kan sama saja mencampuri urusan orang
lain?"
"Tapi urusan itu mengeluarkan getah, dan kita
yang terkena getahnya, Eyang." Demang Sabrangdalu
mendebat.
"Jangan sampai kita dijadikan korban nafsu
mereka, Kanjeng. Kita tidak punya urusan dengan me-
reka, kita tidak mengganggu mereka, jadi kita pun ti
dak ingin terlibat urusan dengan mereka."
"Benar kata Ki Patih Danupaksi," sahut Eyang
Panembahan. "Kita jangan terlibat urusan dengan me-
reka, karena itu kita jangan ambil tindakan dan mela-
kukan hal-hal yang merugikan mereka. Kan begitu,
Kanjeng Sultan?"
Sultan Jurujagad manggut-manggut dengan
penuh bijaksana. Sementara itu, putrinya yang ber-
nama Nyi Mas Sendang Wangi mulai ikut angkat bica-
ra:
"Kalau rakyat menjadi resah dan serba ketaku-
tan, itu berarti kita telah terlibat, Eyang."
"Nah, benar itu!" sahut Demang Sabrangdalu.
"Mau tidak mau, karena keadaan kita di ten-
gah-tengah mereka, maka kita juga yang menjadi kor-
ban di luar kesadaran mereka," tambah Nyi Mas Sen-
dang Wangi.
Pada saat itu, terdengar lagi ledakan yang
menggema panjang. Tanah bagaikan miring ke kiri dan
ke kanan. Ketegangan terjadi lagi, bukan pada rakyat
saja, tetapi dalam pertemuan itu pun ada ketegangan
dan kecemasan. Lalu, guncangan tanah menjadi reda.
Dan mereka menghela nafas bersama-sama. Ki Patih
Danupaksi unjuk bicara:
"Ini sama saja mengganggu ketentraman kita,
bukan? Kalau setiap saat terjadi guncangan seperti ini,
rakyat mana yang bisa hidup dengan tenang?"
Sultan Jurujagad mulai bicara walau hanya be-
berapa kata. Ia tampak hati-hati mengambil keputu-
san.
"Aku ingin mendengar pendapat menantuku,
Suro Bodong. Di mana dia saat ini? Mengapa tidak ikut
hadir dalam pertemuan khusus ini?"
Nyi Mas Sendang Wangi yang menjawab, sebab
dialah istri syah Suro Bodong.
"Dia sedang di dapur."
Demang Sabrangdalu tertawa pendek. "Bagai-
mana Suro itu? Dia kan sebagai Senopati di Kesul-
tanan ini? Masa' seorang Senopati lebih suka non-
gkrong di dapur ketimbang berbicara dalam Paseban?"
Eyang Panembahan pun tersenyum geli. "Agak-
nya ia lebih tertarik dengan jagung bakar kesukaannya
ketimbang melihat pertarungan dua kekuatan di uda-
ra."
Ki Patih hanya geleng-geleng kepala. Ia me-
nyembunyikan senyum geli juga mengingat jagung ba-
kar Suro Bodong. Ia sendiri heran, mengapa Suro Bo-
dong masih saja mencintai jagung bakar daripada is-
trinya. Padahal dia sudah punya jabatan. Sudah men-
jadi pejabat. Seorang Senopati perang! Ah, cukup aneh
kalau seorang Senopati perang lebih sibuk mengurus
jagung bakar daripada senjata atau pusaka.
"Panggil dia ke mari," perintah Sultan kepada
putrinya, yang menjadi istri Suro Bodong. Sementara
Nyi Mas Sendang Wangi pergi memanggil Suro Bodong,
Sultan bicara kepada Eyang Panembahan yang diang-
kat menjadi penasehat Kesultanan Praja.
"Menurut Eyang, apakah perlu kita mengirim
utusan ke Gunung Manduro?"
"Dalam hal ini yang diperhitungkan adalah,
siapa yang harus ditemui? Penguasa gunung Manduro,
atau penguasa gunung Buramang? Atau keduanya?"
"Apakah mungkin kita mengirimkan utusan
kedua gunung sekaligus, Eyang?"
"Kenapa tidak? Itu berarti kita melepas dua
utusan, satu ke gunung Buramang, satu lagi ke gu-
nung Manduro."
Gumam Sultan Jurujagad sangat pelan, dan
kepalanya mengangguk-angguk samar. Sejenak mere-
ka dicekam ketegangan lagi karena bunyi dentuman
dahsyat di udara. Kedua sinar itu saling bertabrakan
kembali. Langit jadi terang, menerangi seluruh wilayah
Kesultanan Praja dan sekitarnya. Lalu sinar terang itu
menjadi redup kembali, tetapi guncangan tanah masih
terasa mendebarkan setiap jantung penghuni Kesulta-
nan Praja. Hanya saja, guncangan ini tidak sehebat
guncangan tadi.
Suro Bodong muncul dari belakang, dan lang-
sung menuju ke Paseban. Sudah tentu semua mata
tertuju padanya. Kenapa begitu? Ya, seperti kebiasaan
yang sudah-sudah, Suro Bodong selalu tampil santai
dan kalem. Seenaknya sendiri dalam berpenampilan.
Baju merah lengan panjang tak pernah dikancingkan,
walau pun dia menghadap Sultan. Celananya yang bi-
ru tua tidak pernah rapi, sekalipun dari bahan kain
yang halus dan mahal. Rambutnya panjang tak pernah
disisir, padahal istrinya sudah sering mengingatkan
agar ia selalu menyisir rambut jika istrinya tak sempat.
Dan jagung bakar selalu ada di tangannya. Jempol
tangan kanan memetik-memetik jagung bakar itu, lalu
menyuapkan ke mulutnya dengan santai, kendati ia
harus berbicara dengan seorang sultan.
"Suro Bodong...!" sapa Sultan Jurujagad dengar
tenang. Suro Bodong hanya menggumam, dan tetap
berdiri, walau yang lainnya duduk bersila di hadapan
Sultan.
"Kau sudah mendengar ledakan yang terjadi be-
rulangkali pada malam ini?"
"Sudah."
"Sudah tahu apa sebabnya terjadi ledakan?"
"Sudah."
"Juga sudah tahu dari mana asal ledakan itu,
dan apa akibatnya bagi kita semua yang ada di Kesul-
tanan Praja ini?" berondong Sultan Jurujagad. Tapi
Suro Bodong hanya menjawab seenaknya dengan
singkat:
"Sudah..." ia sibuk memetik-metik biji jagung,
lalu garuk-garuk kumisnya sejenak.
"Apa pendapatmu sebagai seorang Senopati di
Kesultanan ini?" tanya Sultan Jurujagad dengan ka-
lem. Ia tidak tersinggung dengan sikap Suro, sebab ia
sudah hapal pribadi menantunya.
"Apa pendapatmu mengenai ledakan itu, Suro?"
sambung Sultan sekali lagi.
"Hebat...."
Hanya itu jawaban Suro Bodong. Semua berke-
rut dahi, tak ada yang bicara atau memprotes. Semua
bagaikan sedang menunggu kelanjutan ucapan Suro
Bodong. Tapi, ternyata Suro tidak melanjutkan kata-
katanya lagi. Ia diam, juga menunggu komentar dari
yang lain.
Akhirnya Ki Patih Danupaksi yang bicara kepa-
danya:
"Hebat bagaimana, maksudmu?"
"Ya, hebat...!" Suro melirik Ki Patih sambil me-
metik-metik jagung bakar. Ki Patih menghela nafas,
dan menghempas, seperti sedang menahan rasa kesal.
Barulah Suro Bodong berkata dengan tenang:
"Bagaimana tidak hebat, kalau dalam peristiwa
yang menegangkan rakyat kecil itu kita hanya duduk-
duduk saja di sini? Aku sendiri sedang menunggu pe-
rintah, tapi tak ada perintah sejak kemarin. Kecuali
hanya perintah agar jangan sering-sering makan ja-
gung bakar, nanti merusakkan gigi, itulah perintah da-
ri istriku yang barangkali kurang suka kalau gigiku
rusak."
"Jadi, kau setuju kalau kita harus bergerak ke
gunung Manduro atau ke gunung Buramang?" kata
Sultan.
"Untuk apa?" Suro malah menampakkan ke-
bingungannya.
"Untuk mencegah kedua orang sakti itu agar
jangan bertarung di atas wilayah kita," Sultan menje-
laskan.
"Ah, itu tidak perlu...!" setelah berkata begitu,
Suro bergerak pelan, keluar dari Paseban dan menuju
pintu gerbang.
Tentu saja hal itu membuat semua orang ter-
bengong-bengong memperhatikan sikap Suro Bodong.
Demang Sabrangdalu hampir saja mengecam sikap
Suro Bodong yang cuek itu, tapi Nyi Mas Sendang
Wangi segera berkata:
"Dia punya pikiran yang lebih cepat dari kita,
sehingga kadang-kadang kita heran melihat sikapnya."
"Hei, dia malah keluar dan berjalan-jalan santai
begitu," cetus Demang Sabrangdalu. Eyang Pa-
nembahan berkata:
"Pasti dia tidak sekedar keluar begitu saja."
"Ki Patih, coba ikuti dia...!" perintah Sultan Ju-
rujagad.
"Sendiko, Kanjeng...!" Ki Patih pun pergi mengi-
kutinya.
Suro Bodong sangat santai melangkah menuju
alun-alun sambil menikmati jagung bakarnya. Banyak
orang yang menganggukkan kepala kepada Suro,
memberi hormat dan tempat. Suro sangat akrab den-
gan rakyat jelata, sehingga beberapa orang tak segan-
segan memanggilnya,
"Kang Suro... bagaimana kita ini?"
Suro memang lebih senang dipanggil "Kang"
walaupun dia seorang Senopati. Tapi ia pernah bilang,
bahwa gelarnya sebagai Senopati tidak harus merubah
gaya hidupnya yang merakyat. Senopati adalah gelar
dalam jabatan. Tapi kang Suro adalah nama yang
akrab dengan pribadinya.
"Kenapa baru keluar sekarang, Kang? Kita su-
dah diguncang gempa lebih dari tiga kali untuk malam
ini saja. Belum malam kemarin!" kata salah seorang
penduduk yang agaknya sudah sering ngobrol dengan
Suro Bodong.
"Apa tindakan Kanjeng Sultan untuk mengatasi
masalah ini, Kang?"
"Tindakan apa?" Suro Bodong malah bertanya
dengan garuk-garuk kumisnya yang tebal itu.
"Kami resah, Kang. Kami semua takut kalau
kalau akibat kedua ilmu sakti itu kami menjadi kor-
ban. Siapa tahu tanah tempat kami berpijak lama-
lama bisa terbelah mendadak?"
'Terbelah? Ah, yang bukan-bukan saja omon-
ganmu, Jul!"
"Dentuman itu kan membahayakan keselama-
tan kita, Kang," kata yang lain.
Suro menjelaskan dengan tersenyum geli.
"Kenapa harus membahayakan?" Suro keliha-
tan sabar.
"Ledakan itu kan akibat ilmu sakti yang hebat
dan saling bertabrakan. Kalau...."
"Apanya yang hebat...?" potong Suro sebelum
orang itu selesai berbicara. "Ilmu seperti itu kok hebat?
Apa kalian pikir, kedua ilmu itu adalah terhebat di se-
luruh jagad ini?"
Orang-orang terbengong dan saling kasak ku-
suk, ada juga yang saling senggol-senggolan kecil sam-
bil bersungut-sungut saling menyalahkan temannya.
Pada waktu itu, sekilas sinar merah kembali melesat
dari arah Timur. Seseorang berteriak sambil menuding
angkasa:
"Itu dia...! Itu muncul lagi...!"
Semua orang mendongak, begitu juga Suro Bo-
dong. Sinar merah dengan ujung seperti bola api itu
melayang cepat ke arah Barat. Pada saat itu juga, dari
arah Barat melesat sinar biru berujung seperti seba-
tang tombak. Sinar biru itu melayang tertuju pada ge-
rakan sinar merah.
"Celaka, mereka hendak bertabrakan lagi...!!"
seru beberapa orang.
Tetapi Suro Bodong segera menggerakkan tan-
gannya, meraba tangan kiri dengan cepat dan tahu-
tahu ia telah memegangi pedang Urat Petir pusakanya.
Pedang itu memancarkan sinar ungu berkilauan. Lalu
dengan gerakan cepat pedang tersebut diputar ke uda-
ra, di atas kepala. Kemudian berhenti seketika, ujung-
nya lurus menghadap ke atas. Dari ujung pedang itu
keluarlah sinar ungu yang berkelok-kelok seperti arus
sinar petir. Orang-orang menggumam kagum. Lagi-lagi
mereka menggumam kagum setelah sinar ungu itu me-
lesat terus ke udara, dan menerobos ke tengah-tengah
antara pertemuan sinar merah dengan biru. Kalau bi-
asanya kedua sinar itu bertabrakan dan menimbulkan
ledakan, tapi kali ini tidak. Sinar merah dari Timur
menghantam sinar ungu, dan sinar biru lawannya juga
menghantam sinar ungu. Maka kedua sinar itu pun
padam seketika tanpa menimbulkan suara ledakan
yang mengguncangkan bumi. Lalu semua jadi sepi.
Semua orang terbengong tanpa suara.
Mereka nyaris tidak percaya dengan apa yang
dilakukan Suro Bodong. Ki Patih Danupaksi juga ter-
bengong dengan wajah bingung yang menggelikan hati.
Beberapa saat kemudian terdengar kasak kusuk di an-
tara mereka. Ki Patih Danupaksi segera menghadap
Sultan dan melaporkan dengan nada suara tegang:
"Suro Bodong mengeluarkan Pedang Urat Pe-
tir...!"
"Untuk apa?!" Nyi Mas Sendang Wangi terpe-
ranjat kaget.
"Untuk menghadang kedua sinar itu, dan… dan
apakah tadi ada yang melihat kedua sinar itu telah
bertemu tapi tidak menimbulkan ledakan?!"
"Tidak timbul ledakan?!" Demang Sabrangdalu
segera mohon izin untuk menyaksikan hal itu. Maka,
semua pun keluar dari ruangan Paseban menuju alun-
alun.
Nyi Mas Sendang Wangi mendekati Suro Bo-
dong yang sedang menggeragot jagung bakar, sementa-
ra tangan kanannya memegangi Pedang Urat Petir
yang dapat disembunyikan di dalam kulit daging len-
gan kirinya. Pedang itu masih memancarkan cahaya
ungu di sekelilingnya. Suro sendiri masih mendongak
ke atas, menunggu melesatnya kedua sinar dari dua
arah.
"Kang Mas... apa yang kau lakukan?!" Nyi Mas
Sendang Wangi memegang lengan Suro Bodong. Suro
masih memperhatikan kearah atas. Ia berkata dengan
suara tak begitu jelas, karena mulutnya mengunyah
jagung bakar,
"Dua orang sakti yang sombong, mungkin akan
terbengong melihat kenyataan kali ini," sahut Suro
berhenti memandang ke atas. "Aku akan menangkal
ilmu mereka dari sini."
"Apakah itu tidak berbahaya, Kang Mas?" Sen-
dang Wangi menampakkan kecemasannya.
"Ini hanya sekedar peristiwa pamer kekuatan.
Kedua belah pihak saling unjuk kedigdayaan dengan
cara bertarung jarak jauh. Dan, aku juga akan ikut
pameran ini, supaya mereka tahu bahwa mereka tidak
pantas unjuk kekuatan di atas bumi Kesultanan Pra-
ja."
Beberapa saat kemudian, muncul lagi kilatan
sinar merah dari Timur, disusul kemudian sinar biru
dari Barat. Suro Bodong memutar pedangnya ke udara
tujuh kali, lalu menghentakkan lurus ke langit, maka
keluarlah sinar ungu berkelok-kelok bagai nyala kila-
tan petir. Sinar ungu itu menjadi penengah dari kedua
sinar yang hendak bertabrakan di udara. Akhirnya, da-
ri Barat dan Timur saling bertabrakan, namun seketi-
ka karena ditahan sinar ungu dari Pedang Urat Petir.
Blabb... kedua sinar itu padam tanpa menim-
bulkan ledakan. Sinar ungu dari pedang Suro Bodong
bagai ditarik mundur dan masuk ke dalam pedang ter-
sebut. Rakyat mulai bersorak lega dengan tepuk tan-
gan yang saling bersahutan. Sedangkan para pejabat
Kesultanan pun menggumam terkagum-kagum melihat
keampuhan pusaka Suro Bodong yang berhasil mena-
han kedua benturan sinar tersebut. Nyi Mas Sendang
Wangi tersenyum seraya memegangi lengan suaminya
semakin erat. Dalam hati ia cukup bangga mempunyai
seorang suami yang sederhana, santai, tapi berilmu
cukup tinggi.
Suro Bodong berjalan ke rombongan Sultan di
depan pintu gerbang istana. Ia sempat melihat wajah
sultan atau mertuanya itu tersenyum lega. Sementara
itu, Demang Sabrangdalu masih menampakkan keka-
gumannya dari tadi.
"Hebat..! Hebat sekali kau, Suro...!" ujar Patih
Danupaksi sambil menepuk-nepuk pundak Suro Bo-
dong yang masih memegangi pedangnya.
"Saya rasa kita tidak perlu mengirim utusan
kedua gunung itu, Kanjeng!" usul Demang Sabrangda-
lu. Lalu ia berpaling memandang Suro Bodong, "Bu-
kankah itu sudah cukup, Suro?"
Suro menggumam sambil mengangguk. Ia ma-
sih menggerogoti jagung bakarnya sedikit demi sedikit.
Namun selagi mereka sibuk berkagum diri, tiba-tiba
sinar merah itu muncul lagi dengan kecepatan melebi-
hi semula.
"Sinar merah datang lagi...!!" teriak beberapa
orang.
Suro Bodong mendongak ke atas, saat itu tepat
muncul sinar biru dari Barat. Suro sempat mengge-
ram, "Kurang ajar! Belum jera juga mereka...!!"
Suro segera menjauh dari kerumunan mereka,
lalu memegang pucuk pedangnya, membalikkannya.
Posisi kedua kakinya merendah dengan jarak reng-
gang. Gagang pedang di arahkan ke atas, sedangkan
pucuk pedang itu ditempelkan ke ulu hatinya. Ia men-
gambil nafas, menahannya di dada, kemudian segera
menghentakkan nafasnya dengan kuat: "Heeah...!!"
Sesuatu yang sangat ajaib keluar dari gagang
pedang. Semua orang yang ada di dekat Suro kebin-
gungan antara memandang ke atas dengan meman-
dang keadaan Suro. Sebab, gagang pedang itu menge-
luarkan aneka macam sinar berwarna-warna. Ada si-
nar yang menyorot lurus, ada yang bergelombang se-
perti spiral, ada yang patah-patah dan ada juga yang
berkelok-kelok. Sedang warna sinar itu pun macam-
macam rupanya. Bisa jadi semua macam warna ada di
dalam sinar-sinar yang menyerupai rombongan lidi
melesat ke langit. Suro bertahan tidak bernafas bebe-
rapa lama.
Aneka macam sinar itu menghadang di perten
gahan kedua sinar dari Barat dan Timur. Ketika sinar
dari Barat yang menyerupai bola api itu menghantam
sinar dari gagang pedang Suro, maka sinar merah itu
tidak padam, melainkan memantul berbalik arah. De-
mikian juga halnya dengan sinar biru dari Barat, keti-
ka membentur sinar pedang Suro membalik ke arah
semula ia datang. Lalu Suro menghela nafas, dan ga-
gang pedangnya padam, tidak menyemburkan sinar
aneka warna lagi.
"Sinar-sinar itu berbalik arah...! Pulang ke tem-
patnya! Gerakannya malah semakin cepat...!!" masing-
masing mulut menyerukan ungkapan hati dan penger-
tian nya masing-masing. Ricuhnya suara tidak mem-
buat Suro Bodong ikut bicara. Ia hanya menggeragot
jagung sambil mendongak ke atas. Kemudian ia me-
langkah mendekati rombongan Sultan yang ikut tud-
ing-tuding dan mendongak ke atas. Suro menyem-
patkan memasukkan pedangnya ke dalam lengannya.
Pedang itu bagai menyelusup di antara kulit dan dag-
ing lengan tanpa menimbulkan luka dan bekasnya se-
dikit pun. Itulah kehebatan Pedang Urat Petir, yang
mampu disimpan di dalam bagian tubuhnya, sehingga
ke mana pun Suro pergi, seakan ia tidak membawa
senjata apa-apa.
Kericuhan mereka menjadi hening sejenak sete-
lah terdengar ledakan samar-samar dari arah Timur.
Mereka saling bertanya dalam hati, meledak di mana
sinar merah itu? Sedangkan tak berapa lama kemu-
dian, mereka juga mendengar ledakan yang samar-
samar, jauh sekali letaknya, tetapi yang jelas ledakan
di arah Barat sana. Lalu, gumam dan kasak kusuk
mereka kembali terdengar bagai bisikan ular sejuta.
Masing-masing saling memperkirakan ke mana kedua
sinar sakti itu meledak.
Sultan Praja menatap Suro Bodong yang tetap
tenang, tanpa perubahan ekspresi wajah sedikit pun,
kecuali kesibukannya dalam memetik biji jagung ba-
karnya.
"Di mana ledakan itu terjadi, Suro? Kira-kira
meledak di mana kedua sinar itu?"
Suro menjawab dengan santai, "Di kepala pemi-
liknya!"
"Hah...?!" semua mata melebar dan mulut pun
terperangah tanpa ragu lagi. Demang Sabrangdalu
mendekati Suro.
"Maksudmu sinar itu kau kembalikan kepada
pemiliknya?"
Suro menjelaskan, "Sinar itu tidak hanya seke-
dar kembali kepada pemiliknya, tapi ia juga menyerang
pemiliknya. Biarlah senjata makan tuan, dari pada
tuan makan senjata. Keras!" Suro Bodong tidak terse-
nyum sedikit pun. Kemudian ia merangkul Nyi Mas
Sendang Wangi. Katanya kepada Nyi Mas,
"Kau tak perlu gelisah lagi. Kedua orang sakti
itu hancur oleh ilmunya sendiri. Mereka tidak akan
saling pamer kedigdayaan lagi. Mudah-mudahan ada
yang tahu, bahwa ilmu-ilmu mereka tidak ada bandin-
ganya dengan ilmu yang ada di Kesultanan kita."
"Ternyata kau lebih unggul dari mereka, Kang
Mas."
"O, jelas! Karena ada kamu, jadi aku lebih un-
ggul."
"Maksudmu?"
"Yah... sekedar pamer kepada istriku bahwa
aku punya kekuatan yang maha hebat. Dan dan.." Su-
ro melirik ke kanan kiri sebentar, masih banyak yang
memperhatikan dia. Tapi, ah... masa bodoh...! Ia pun
berkata, "Dan aku pun masih mempunyai kekuatan
lain yang kemarin malam kau kejar-kejar...! Kau ingin
lihat? Mari ke kamar?" bisiknya.
"Iiih...! Jorok, ah!" Sendang Wangi tersenyum
malu, karena Sultan dan beberapa orang menertawa-
kan cekikikan.
DUA
Kira-kira dua minggu setelah itu, satu dari lima
prajurit yang bertugas di perbatasan wilayah Kesulta-
nan bagian Timur datang menghadap Sultan.
"Kanjeng, ada tiga orang yang mengaku dari Pe-
sanggrahan Wanara Teja di Gunung Buramang, mere-
ka mengamuk di sana dan merusak perkampungan
penduduk. Bahkan banyak rakyat yang mati karena
ulah mereka."
"Celaka...!" desah Sultan dengan tegang.
"Ketiga orang itu mengaku berjuluk pendekar-
pendekar Wanara, dan... ilmu mereka cukup tinggi,
Kanjeng. Ia dapat membakar rumah dengan hanya se-
kali semburan nafas dari mulut mereka. Keadaannya...
sungguh mengerikan, Kanjeng."
Kemudian Sultan mengadakan sidang kilat un-
tuk membahas masalah tersebut. Di depan pegawai is-
tana, di depan punggawa negeri, Sultan berkata den-
gan tegas:
"Rupanya peristiwa perang udara antara pe-
nguasa gunung Buramang dan penguasa gunung
Manduro berbuntut panjang. Tiga orang mengamuk di
perbatasan wilayah kita bagian Timur. Jelas, pasti me-
reka mempunyai maksud bermusuhan dengan alasan-
nya sendiri. Hentikan mereka! Lindungi rakyat dengan
segala kekuatan kita!"
Patih Danupaksi mengajukan usul, "Suro Bo-
dong yang harus menindaknya, Kanjeng!"
"Apakah kau takut, Ki Patih?!" tuduh Sultan
dengan gemas. Patih Danupaksi kebingungan.
"Tetapi memang ini tugas Suro, supaya tidak
banyak korban dipihak kita, Kanjeng! Saya yakin, me-
nantu Kanjeng mampu menyelesaikan urusan ini se-
cepatnya."
Eyang Panembahan angkat bicara, "Kirimkan
pasukan berkuda di bawah perintah Ki Patih Da-
nupaksi. Dan kita akan tahu, sampai di mana ke-
kuatan mereka."
Sultan mengangguk-angguk. Lalu, bicara ke-
pada Patih Danupaksi, "Berangkatlah Ki Patih. Tidak
semua urusan harus mengandalkan Suro Bodong. Dia
adalah senjata pamungkas bagi kita."
Waktu itu, seperti biasanya, Suro Bodong ja-
rang mau ikut bersidang seperti saat itu. Ia hanya di
kamar, atau di taman belakang bersama istrinya, atau
di dapur membakar jagung bakar. Maka, tak ada pili-
han lain bagi Ki Patih Danupaksi kecuali berangkat
dengan membawa sepuluh pasukan berkuda pilihan-
nya.
Perbatasan wilayah Timur menjadi lautan api.
Rumah-rumah penduduk dibakar habis. Patih Da-
nupaksi sempat naik pitam sewaktu melihat banyak
penduduk yang menjadi korban keganasan tiga pende-
kar Wanara itu. Segera ia memacu kudanya ke arah
kobaran api, sementara kesepuluh anak buahnya
mengikuti dari belakang.
"Blaar...!" sebuah ledakan berbunyi. Penduduk
lari pontang-panting. Tiga orang pendekar Wanara
mengamuk dengan membabi-buta. Tiga orang itu ada
lah, dua lelaki dan satu perempuan berpakaian serba
merah. Perempuan itu mengenakan pinjung merah se-
batas dada dan celana merah di bawah lutut. Ia me-
nyarungkan pedang di punggungnya dengan rambut
panjang yang ditekuk sebagian ke atas, sedangkan
rambut sisanya terjuntai jatuh di pundaknya. Dua le-
laki temannya, masing-masing mengenakan pakaian
hijau muda dengan celana merah dan berbadan kekar
semua. Agaknya ia adalah anak buah perempuan ber-
pakaian serba merah itu.
Salah seorang prajurit bawaan Patih Danupaksi
menyuruh temannya melepaskan panah ke lawan yang
sedang menyeret seorang penduduk. Temannya mau
saja disuruh demikian. Ia menarik busur dan mele-
paskan anak panahnya. Tetapi dua lelaki berpakaian
hijau itu menangkap anak panah yang ditujukan pada
perempuan berpakaian merah. Anak panah segera di-
lemparkan. Gerakannya cepat. Anak panah itu melesat
dan menancap di dada pemanahnya. Maka, jatuhlah
pemanah itu dengan dada berdarah dihunjam panah-
nya sendiri.
Prajurit yang lain hendak menyerang, namun Ki
Patih Danupaksi merentangkan tangan, menahan ge-
rakan mereka. Ki Patih masih bertengger di punggung
kuda dengan kesembilan prajurit lainnya. Mereka
membentuk satu barisan pengepungan terhadap ketiga
pendekar Wanara.
"Siapa kalian, ada apa kalian mengamuk di wi-
layah kami, hah?!" Ki Patih memberanikan diri meng-
hardik mereka.
Perempuan berparas mungil dan berhidung
mancung itu berjalan mendekati Ki Patih dengan bera-
ni, lalu ia berhenti di depan kuda Ki Patih dengan ber-
tolak pinggang.
"Di mana orang yang memiliki Pedang Urat Pe-
tir?"
"Kau siapa?" Ki Patih ganti bertanya.
"Aku Puspasari, murid Ki Destak yang meng-
gantikan kedudukan Ki Destak sebagai penguasa gu-
nung Buramang! Dan... itu kedua muridku, pendekar
Wanara yang juga hendak menuntut atas kematian
Eyang gurunya: Ki Destak."
'Kami tidak punya hubungan dengan Ki Des-
tak," kata Patih Danupaksi.
"Jangan membuang tanggung jawab! Ki Destak
tewas akibat kekuatan Pedang Urat Petir! Mana pemi-
liknya sekarang? Kami akan menuntut balas atas ke-
matian guru kami."
"Carilah di tempat lain. Mungkin bukan di sini."
"Bohong! Ki Destak dapat merasakan kekuatan
Pedang Urat Petir yang menjalar ketubuhnya dan
membuatnya mati. Ki Destak tahu, kekuatan yang licik
itu ada di Kesultanan ini. Dan aku datang untuk me-
nuntut balas kepada pemilik Pedang Urat Petir...! Kau
kah pemiliknya?!"
"Bukan."
"Jadi siapa?! Kalian tak ada yang memberitahu
kami, maka Kesultanan ini akan kujadikan karang ab-
ang! Kubakar habis sampai ke istana Kesultanan!"
Puspasari bicara dengan lantang dan berani. Wajah
mungilnya yang ayu itu kelihatan judes dalam keadaan
seperti ini.
"Kau tidak akan mampu berbuat begitu, pe-
rempuan konyol!" gertak Ki Patih.
"Kalau begitu, kau perlu bukti, orang tolol.
Hiaat...!"
Puspasari menjejakkan kakinya ke tanah dalam
satu hentakan, dan tubuh ramping itu melayang bagai
burung terbang. Loncatannya begitu tinggi sehingga ia
berada di atas kepala Ki Patih yang masih duduk di
punggung kuda. Tangannya yang kanan meraih ga-
gang pedang di punggung lalu menebas kedepan dalam
sekali cabut.
"Weess...!!"
Hampir saja kepala Ki Patih terbelah menjadi
dua bagian. Untung Ki Patih segera menjatuhkan diri
dari punggung kuda sehingga ia pun lolos dari sabetan
pedang lawan.
Sementara itu, dua pemuda berbadan kekar
yang konon menjadi murid Puspasari, dikepung oleh
sembilan prajurit. Mereka berdua mencabut senjata
mereka berupa kampak bermata tiga. Selain di kanan
kiri gagang panjangnya terdapat mata kampak yang ta-
jam, juga di bagian ujung gagang itu pun terdapat ma-
ta kampak yang sama tajam dengan yang lain. Mereka
mengibaskan senjata mereka dalam gerak jurus yang
sama. Bersalto dan menebas lawan, kemudian bersalto
lagi dan menebas lagi. Sementara itu para prajurit Ke-
sultanan segera menghindar dan menunggu kesempa-
tan baik untuk mengadakan serangan balasan.
"Modar kau...!!" seru Puspasari dengan berang-
nya ketika Ki Patih berhasil menendang punggungnya,
lalu Puspasari berbalik arah dan pedangnya berkelebat
menebas kaki Patih Danupaksi.
Untung patih Danupaksi segera bersalto ke be-
lakang, sehingga tebasan pedang itu tidak mengenai
sasaran. Namun agaknya Puspasari sendiri segera me-
luncurkan pukulan tenaga dalam melalui jari telunjuk
tangan kirinya. Ia menudingkan jari telunjuk ke arah
Patih Danupaksi. Maka, dari telunjuk yang berbentuk
indah itu keluarlah semacam kilatan cahaya petir ber-
warna hijau muda. Patih Danupaksi menghindar den
gan berguling ke tanah bagian kirinya. Sinar hijau itu
melesat mengenai sebuah pohon. Dan pohon itu pun
mengeluarkan dentuman seketika. Puspasari kecewa,
pukulan jari saktinya tidak mengenai sasaran, sebab
itu ia segera melancarkan tendangan kaki kanan dan
mengibaskan pedangnya ke samping. Ki Patih segera
berguling lagi.
Keris pusaka dicabut, dan Ki Patih siap berdiri
dengan tubuh merunduk, menunggu serangan Puspa-
sari. Tetapi agaknya Puspasari tidak mau bermain ter-
lalu lama, ia melancarkan jurus Jemari Saktinya. Te-
lunjuk yang indah itu menuding, dan berkas sinar hi-
jau muda melesat dari ujung jemari indah itu. Patih
Danupaksi mencoba menahannya memakai keris pu-
saka. Sinar hijau muda yang terpancar seperti lidi itu
menghantam ujung keris. Ia bagai mendesak kuat agar
keris yang membentangi jalannya menjadi hancur. Te-
tapi patih Danupaksi bertahan dengan memegangi ga-
gang keris yang berdiri memakai kedua tangan.
Tangan Ki Patih gemetar karena desakan sinar
itu begitu kuatnya. Kedua kaki Patih Danupaksi sema-
kin merendah agar tidak terdorong oleh kekuatan sinar
hijau muda. Keris yang dipeganginya sempat meleng-
kung sedikit, dan hal itu sangat menegangkan. Patih
Danupaksi menahan nafas dari tadi dengan peluh
membanjir di sekujur tubuh.
Akhirnya, karena merasa akan gagal memben-
dung kekuatan dorong dari sinar hijau muda itu, maka
Ki Patih segera melesat ke samping dan membiarkan
sinar itu melesat ke arah belakangnya. Sinar hijau
muda menghantam sebuah rumah penduduk yang te-
lah ditinggal kabur oleh penghuninya. Dan sudah da-
pat dibayangkan, bahwa rumah tersebut pun meledak,
lalu kobaran api membakar rumah tersebut dengan
kobaran api yang cukup besar.
"Uuaaahhh...!!"
Seorang prajurit berteriak dan berguling-guling.
Karena ketika ia melawan pemuda berbaju hijau, tiba-
tiba pemuda itu menghembuskan nafas dari mulutnya
ke arah prajurit tersebut. Dari mulut itu keluar asap
berwarna biru kehitam-hitaman, begitu asap menyen-
tuh tubuh, langsung berubah menjadi api yang mem-
bakarnya. Kontan saja prajurit itu berguling-guling
sambil berteriak kepanasan. Namun setiap ada yang
hendak menolongnya memadamkan api, pemuda ber-
baju hijau selalu berhasil menggagalkan dengan jurus
tendangan yang membuat lawannya terpental. Sampai
akhirnya prajurit yang terbakar itu tak tertolong lagi.
Tubuhnya menjadi hitam. Api tak bisa padam, sampai
prajurit itu menghembuskan nafas terakhir, api masih
membungkusnya dengan keji.
Ki Patih menyesal tak dapat menolong prajurit
itu. Ia telah kehilangan dua anak buahnya. Tetapi ia
sendiri memaklumi, karena serangan dari Puspasari
begitu gencar, sampai-sampai ia terdesak ke suatu
rimbunan bambu. Puspasari memainkan jurus pe-
dangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Gerakan
kakinya tak terlihat kalau sebenarnya ia melangkah
maju setapak demi setapak.
Patih Danupaksi mulai merasa kewalahan. Ia
sempat merendahkan kepala ketika pedang Puspasari
membabat lehernya. Begitu kepala merendah, Ki Patih
langsung berguling ke arah yang aman. Pedang Puspa-
sari menebas empat batang bambu sekaligus.
Kraaak....'!
Keempat batang pohon bambu itu tidak tum-
bang, sehingga patih Danupaksi sedikit lega, karena
ternyata pedang Puspasari tidak begitu tajam. Patih
segera bergegas bangkit dan menyerang punggung
Puspasari. Dengan sigap Puspasari mengibaskan pe-
dangnya ke belakang dalam satu gerakan putar. Ham-
pir saja tangan Ki Patih menjadi sasaran pedang itu.
Untung kaki Patih Danupaksi menjejak punggung
Puspasari dalam satu lompatan bersalto. Puspasari
terpental akibat tendangan itu. Ia berguling-guling di
tanah, sehingga jarak mereka menjadi cukup jauh.
Tetapi, tiba-tiba Patih Danupaksi harus melom-
pat ke tempat lain, karena keempat pohon bambu yang
tadi ditebas oleh pedang Puspasari, baru sekarang ke-
lihatan akan rubuh. Dan, memang benar. Keempat po-
hon bambu yang tampaknya tadi masih tegar berdiri,
ternyata sekarang rubuh bersamaan dengan hasil po-
tong yang sungguh rapi. Itulah hasil tebasan pedang
Puspasari.
Mata Patih Danupaksi menjadi membelalak me-
lihat hal itu. Kini ia tahu, bahwa pedang Puspasari bu-
kan pedang yang tumpul, melainkan mempunyai keta-
jaman yang sangat mengagumkan. Ini pertanda Patih
Danupaksi harus lebih hati-hati lagi dengan kibasan
pedang lawannya.
Karena itu, ketika Puspasari menyerangnya lagi
dengan cara mengayunkan pedang ke arah pundak kiri
Ki Patih, ayunan itu lebih baik dihindari dengan cara
melompat rendah ke samping kanan Puspasari. Lalu,
ada kesempatan yang kelihatannya cukup baik, dan
keris Ki Patih dicoba bergerak ke samping dalam satu
kelebatan jurus merobek lambung.
"Aauh...!!" terpekik Puspasari ketika itu, karena
keris Ki Patih berhasil mengenai lambungnya. "Uuh...!"
Puspasari meringis kesakitan sambil menekap perut-
nya yang terluka dengan tangan kiri. Sementara itu,
tangan kanannya masih memegangi pedang yang siap
diayunkan ke dada Ki Patih Danupaksi. Melihat gera-
kan pedang sedemikian cepat, Ki Patih melompat dan
bersalto ke bagian atas Puspasari. Puspasari sendiri
sempat terkecoh. Ia mendongak karena hendak meng-
gerakkan pedangnya ke atas. Namun belum sempat
Puspasari melancarkan tebasan pedang itu, tiba-tiba ia
terpekik tertahan karena keris Ki Patih berhasil me-
nembus lehernya bagian tepi, kemudian keris itu dita-
rik dalam satu hentakan, dan leher itu pun putus ka-
renanya.
Puspasari mendelik, meraba lehernya yang ro-
bek dalam keadaan mengerikan. Ia ingin berteriak,
namun tak kuasa. Akhirnya ia jatuh terlutut dengan
mata masih mendelik. Pedang dilepaskan. Tangan yang
memegangi pedang itu menuding Ki Patih. Kontan Ki
Patih mengerti apa yang akan terjadi. Ia segera melom-
pat ke arah lain dengan cepat dan sengaja membin-
gungkan, sebab ia mengira telunjuk Puspasari itu
akan melancarkan serangan sinar biru muda yang
bening. Ternyata tidak demikian keadaannya, karena
Puspasari sudah terlanjur roboh ke depan dengan na-
fas tinggal beberapa detik saja. Tubuh itu roboh seperti
karung basah, untuk kemudian tidak bergerak lagi.
Tubuh yang berkulit kuning langsat itu menjadi
pucat pasi dan kian membiru. Racun di keris Patih
mulai bekerja membekukan darah dan menyumbat
pernafasannya. Kemudian, Puspasari pun mengejang
kaku tanpa nafas. Patih sempat memeriksanya seje-
nak. Oh, dia memang sudah mati tanpa malu-malu la-
gi.
Pada waktu itu, dua prajurit terlempar dalam
ketinggian yang membahayakan karena tendangan
murid Puspasari. Kedua kaki pemuda berbaju hijau
yang mengenakan akar bahar di lengan kanannya itu
menendang dengan satu lompatan. Kedua kakinya
menghentak ke samping dengan keras, mengenai dagu
dan ketiak dua prajurit. Pada saat itulah, kedua praju-
rit itu melayang ke atas dan jatuh dalam keadaan ke-
pala membentur tonggak potongan bambu. Satu praju-
rit mati seketika tapi, yang satunya hanya terluka pa-
rah.
"Cepat tinggalkan tempat ini! Puspasari telah
mati!" teriak Ki Patih yang sempat di dengar oleh ke-
dua lelaki berbaju hijau.
"Guru...?!" teriak salah seorang murid Puspa-
sari. Ia segera menghambur ke mayat gurunya. Lalu,
lelaki berpakaian hijau yang satu juga berlari dengan
tegang menemui mayat gurunya. Semua prajurit dipe-
rintahkan berhenti menyerang. Lalu, dengan gerakan
isyarat Patih Danupaksi menyuruh anak buahnya
yang tinggal tujuh orang itu untuk kembali naik ke
punggung kuda.
Dari atas punggung kuda, Ki Patih bicara de-
ngan sikap tegas dan berani. Ia sempat menuding keti-
ka berkata:
"Ingat... kalau kalian masih sayang nyawa, ja-
ngan membikin onar di Kesultanan kami! Kuhabisi
nyawa kalian berdua, tahu?!"
"Akan kubalas kematian ini di kemudian hari,
Bangsat!" geram salah satu murid Puspasari Seorang
prajurit hendak turun dari kuda untuk menghajar
orang tersebut. Tapi tangan Ki Patih direntangkan, per-
tanda ucapan murid Puspasari tidak perlu dilayani.
Lalu, tangan Ki Patih melambai ke depan pertanda se-
mua pasukan harus maju, pergi meninggalkan lawan-
lawan mereka. Prajurit yang mati pun diangkut di atas
punggung kuda mereka.
Hati Patih Danupaksi menjadi lega. Dadanya
membusung. Duduknya tegak. Laju kaki kuda begitu
tenang, melambangkan suatu langkah kaki kuda da-
lam kemenangan di medan laga. Demikian juga ketika
menghadap Sultan, dada Ki Patih belum bisa mengem-
pis. Ia masih diliputi kebanggaan, karena mampu
membunuh orang kuat dari gunung Buramang.
"Sebenarnya, mereka itu tidak ada apa-apa-
nya," ujar Ki Patih Danupaksi kepada Kanjeng dalam
pertemuan itu. "Memang benar apa kata Kanjeng,
bahwa untuk menangani mereka, tidak perlu harus
mengajukan Suro Bodong. Dia adalah senjata pa-
mungkas kita. Terbukti, bahwa Puspasari yang, yang
menjabat sebagai wakil Ki Destak dalam Pesanggrahan
Wanara Teja, dengan sekali gebrak sudah berhasil me-
ninggalkan dunia ini tanpa pamit kepada siapa pun."
Ki Patih tertawa pelan melihat Sultan Jurujagad terse-
nyum girang.
Kebetulan di situ hadir Suro Bodong yang se-
mula bermaksud mau bicara soal lain dengan Sultan
Jurujagad. Tapi demi mendengar ucapan Patih Danu-
paksi, Suro Bodong pun segera mengulurkan tangan-
nya untuk bersalaman.
"Selamat, Ki Patih,' kata Suro Bodong dengan
senyum tipisnya. "Mudah-mudahan Ki Patih, dan kita
bersama, ada di pihak yang menang...!"
"Apa kau belum yakin kalau kita berada di pi-
hak yang menang?" ujar Ki Patih dengan dahi berke-
rut, sekalipun ia masih berjabat tangan dengan Suro
Bodong. "Puspasari sudah berhasil kubunuh. Lawan
sudah mati, dan...."
Suro segera menyahut dengan senyum tipisnya,
"Kematian seorang lawan bukan berarti kemenangan
bagi kita."
"Maksudmu?!"
Bukan hanya Ki Patih saja yang berkerut dahi,
melainkan para pejabat istana lainnya, para prajurit
pilihan, Eyang Panembahan, Demang Sabrangdalu dan
Sultan sendiri juga merasa heran mendengar ucapan
itu. Suro Bodong segera berpaling memandang mereka
satu persatu.
"Kematian Puspasari bisa merupakan bencana
yang lebih besar bagi kita! Dan mungkin itulah awal
kekalahan kita."
"Berarti Suro Bodong menghendaki kita kalah?"
tukas Demang Sabrangdalu.
"Itu pengertian dangkal, Ki Demang." Suro
mendekati Demang Sabrangdalu. "Kalau Puspasari
mati, mereka akan bersemangat membalas kematian
itu. Kita belum tahu, seberapa kekuatan lawan, tetapi
yang jelas, pasti akan ada balasan yang menggunakan
kekuatan lebih dari yang sudah. Tetapi kalau Puspasa-
ri bertekuk lutut, hidup dalam kekalahan yang di-
akuinya, maka ia akan menjadi abdi kita yang tak
akan berani berkutik lagi. Satu perintah dari dia untuk
tunduk kepada kita, maka yang lainnya pun akan ikut
tunduk kepada kita. Tetapi, kalau Puspasari mati, itu
adalah perintah untuk menyerbu kita! Paham?!"
Demang Sabrangdalu manggut-manggut, yang
lainnya termenung meresapi kata-kata Suro Bodong.
Patih Danupaksi kelihatan gelisah. Menahan sesuatu
yang meresahkan jiwanya. Suro menangkap gelagat
tersebut, lalu berkata kepada Patih Danupaksi yang
kebetulan memiliki nama mirip dengan orang Kepati-
han Benteng Cadas:
"Aku tidak mengecilkan perjuanganmu, Ki Pa-
tih. Aku hanya menggugah kewaspadaanmu, juga ke-
waspadaan kita bersama."
Kata-kata Suro Bodong sempat menjadi bahan
renungan mereka. Sultan Jurujagad mengadakan bin-
cang-bincang dengan Eyang Panembahan sehubungan
dengan kematian Puspasari. Eyang Panembahan ber-
kata lirih, "Suro tahu apa yang harus dilakukannya.
Suro bukan manusia biasa. Ia anak penguasa gunung
Krakatau. Ia tahu bagaimana sifat orang-orang gu-
nung. Ia mempunyai naluri yang sama dengan murid-
murid Ki Destak. Karena itu, sebenarnya ia menyim-
pan kekhawatiran demi mendengar terbunuhnya Pus-
pasari. Sebab ia sudah membuktikan bahwa nalurinya
benar, yaitu tentang kematian Ki Destak. Ia sudah
memperhitungkan, bahwa akan ada utusan yang da-
tang ke mari untuk menuntut balas atas kematian Ki
Destak. Ia sendiri sebenarnya sudah siap, tapi selagi
kita bisa mengatasinya sendiri, memang kita tak perlu
menggunakan dia. Anggap saja sebagai langkah irit te-
naga tempur."
"Kalau begitu ia tahu bahwa penguasa gunung
Manduro, yaitu Resi Buntoro, juga akan datang ke ma-
ri. Sebab ia tentunya juga sadar, bahwa Resi Buntoro
pun mati akibat pukulan saktinya dikembalikan oleh
kekuatan Pedang Urat Petir, dan mati karenanya."
"Benar. Tetapi, agaknya Suro tahu, bahwa Resi
Buntoro hidup sendirian di sana, sehingga tak ada pi-
hak lain yang merasa dirugikan atau merasa kehilan-
gan Resi Buntoro. Karenanya, Suro tidak begitu meng-
hiraukan hal itu."
Sultan mulai menanggapi perkataan Suro Bo-
dong dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia bicara ke-
pada Patih maupun kepala keprajuritan, tentang ba-
gaimana mengatasi pertahanan supaya tidak terjadi
kelemahan. Sementara itu, Nyi Mas Sendang Wangi
sendiri juga sering mengingatkan kepada suaminya
tentang ucapan-ucapan Suro itu yang membuat sua
sana Kesultanan menjadi mulling.
"Seharusnya kau tidak bicara begitu, Kang
Mas. Kau tahu sendiri, bukan... bahwa ayahku gam-
pang resah bila mendengar rakyatnya dalam ancaman
bahaya. Seharusnya kau bicara begitu hanya kepada
Ki Patih atau Ki Demang Sabrangdalu. Bukan di depan
pertemuan para punggawa negeri."
"Lebih baik bicara di depan umum daripada bi-
cara dengan sembunyi-sembunyi," kata Suro seraya
merebahkan badan.
Suro Bodong sudah tidak sempat banyak bicara
lagi, karena Nyi Mas Sendang Wangi telah sibuk mem-
belit-belit bagai ular piton melahap mangsanya. Dan
hal inilah salah satu keistimewaan yang ada pada Nyi
Mas Sendang Wangi. Selain cantik, mulus, juga mem-
punyai ketrampilan khusus di atas ranjang. Sebab,
adakalanya Nyi Mas sendiri yang membersihkan ran-
jang, mengganti seprei kasur atau melolosi sarung
bantal untuk ditukar dengan sarung bantal yang baru.
Itulah ketrampilan Nyi Mas Sendang Wangi, di sam-
ping ketrampilan itu juga ada lagi ketrampilan yang
sukar diceritakan oleh siapapun dan kepada siapa
pun. Hanya Suro Bodong yang bisa mengerti, ketram-
pilan macam apa yang menjadi kebanggaan Suro da-
lam menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi.
Sekali pun Nyi Mas menjabat sebagai istri, teta-
pi ia mempunyai naluri yang cukup kuat. Seringkali
Suro harus mengakui kepekaan naluri istrinya dalam
beberapa hal. Misalnya pada malam itu, Nyi Mas Sen-
dang Wangi sempat berbisik kepada suaminya:
"Perasaanku jadi tak enak. Sepertinya akan ada
masalah besar yang harus kau tangani, Kang Mas."
"Ah, kau sendiri barusan selesai menangani
masalah besar. Kau baru saja selesai menundukkan
masalah besar yang kini menjadi lemas."
"Kang Mas... aku tidak bercanda. Aku bersung-
guh-sungguh. Rasa-rasanya akan ada suatu perkara
yang melibatkan kamu sepenuhnya."
Kata-kata seperti itu pernah juga dilontarkan
Nyi Mas Sendang Wangi ketika Suro akhirnya berha-
dapan dengan Dewi Gading dan Raden Puger (dalam
kisah: RACUN MADU MAYAT). Sekarang, Nyi Mas Sen-
dang Wangi berkata seperti itu lagi, sampai-sampai ha-
ti Suro pun bertanya-tanya: "Perkara apa lagi yang ha-
rus ditangani ya? Mungkinkah buntut dari kematian
Puspasari, murid unggulan Ki Destak yang telah mati
diserang oleh kekuatannya sendiri itu?"
Benar. Masalah kematian Puspasari berbuntut
panjang. Benar-benar berbuntut panjang, sebab se-
buah desa yang masih masuk dalam wilayah Kesulta-
nan Praja, sedang diserbu oleh monyet-monyet ganas.
Jumlahnya lebih dari 25 ekor monyet, yang masing-
masing mempunyai sorot mata haus darah.
"Mereka datang pada malam hari. Siang hari
mereka meninggalkan mayat penduduk dalam keadaan
dicabik-cabik, Kanjeng." Tutur salah seorang pendu-
duk yang tengah memberikan laporan kepada Sultan
Praja.
"Hanya malam harikah mereka muncul?"
"Benar, Kanjeng Sultan junjungan hamba. Me-
reka menggigit dan mencabik-cabik mangsanya secara
bersamaan, sehingga kadang-kadang kami kebingun-
gan mengenali siapa korban tersebut."
Nyi Mas Sendang Wangi bergidik mendengar
penuturan tersebut. Sultan Jurujagad sendiri sempat
tertegun dalam membayangkan kengerian tersebut. Te-
tapi beberapa saat kemudian, Sultan bicara kepada
Demang Sabrangdalu:
"Ki Demang, atasi soal itu!"
Demang Sabrangdalu mengajukan usul, "Ini
soal monyet, Kanjeng. Masa' soal monyet diserahkan
kepada saya?"
"Bukankah itu lebih mudah daripada harus
melawan Puspasari, seperti Ki Patih Danupaksi?" ja-
wab Sultan.
"Saya merasa tidak berarti," gumam Demang
dalam gerutu. "Saya jarang bertempur, tetapi sekarang
saya harus bertempur melawan monyet. Apa itu tidak
sama saja menggolongkan saya dengan monyet?"
Sultan Jurujagad tersenyum dingin. "Jadi seka-
rang ada bawahanku yang berani mengecam tugas
yang kuberikan kepadanya. Oh, bagus sekali itu!"
Demang Sabrangdalu mulai kebingungan. Ia
buru-buru berkata sambil memberi sembah, "Maaf,
Kanjeng... saya tidak bermaksud mengecam perintah,
tetapi hanya sekedar menyatakan diri sebagai orang
rendahan yang agak sungkan jika disuruh mengusir
monyet-monyet. Saya lebih senang jika harus berpe-
rang melawan prajurit pilihan mana saja daripada ber-
perang melawan monyet-monyet...."
Suro Bodong muncul dari ruang tengah, lang-
sung angkat bicara bagai tidak mengenal tata krama.
"Itu pun Ki Demang belum tentu sanggup.
Mengusir monyet tidak sama dengan mengusir prajurit
satu pasukan. Salah-salah Ki Demang sendiri yang
akan menjadi mangsa para monyet."
TIGA
Keadaan korban serangan monyet-monyet itu
sangat menyedihkan. Wajah dan tubuh korban menja-
di tercabik-cabik tanpa bentuk. Dalam satu malam, bi-
sa terjadi 5 sampai 10 korban. Pada umumnya, mo-
nyet-monyet itu menyerang orang dewasa, khususnya
lelaki yang bertubuh sehat, kekar dan berpotongan se-
perti seorang pendekar. Kerusakan lainnya, tidak begi-
tu mengerikan; hanya perusakan rumah-rumah dan
hewan ternak para penduduk. Sedangkan korban
anak-anak, sama sekali tidak ada. Tetapi korban pe-
rempuan, memang ada, hanya saja tidak begitu ba-
nyak. Sepanjang awal serbuan monyet-monyet selama
dua hari ini, hanya ada dua korban perempuan yang
rusak berat pada anggota tubuhnya di bagian kaki
sampai ke pangkal paha.
Demang Sabrangdalu merinding ketika me-
nyaksikan keadaan para korban yang belum sempat
dimakamkan. Ia diizinkan membawa 25 prajurit dalam
usaha mengusir monyet-monyet tersebut. Tetapi De-
mang Sabrangdalu hanya membawa lima anak buah.
Baginya itu sudah terlalu banyak, karena tugasnya
hanya mengusir monyet-monyet.
"Siapkan beberapa obor. Boleh lebih dari 10 ob-
or besar, sebab biasanya monyet-monyet takut dengan
api," ujar Demang Sabrangdalu kepada kelima prajurit
pilihannya. Ia juga memberikan perintah yang sama
kepada penduduk desa yang sudah dua malam menja-
di korban serangan para monyet.
"Siapkan obor, dan segera nyalakan sewaktu
monyet-monyet itu datang. Setiap satu orang bisa me
megangi dua obor. Desak para monyet itu ke arah yang
sudah kutunjukkan, yaitu ke tepian hutan, dan mere-
ka akan lari masuk hutan kembali."
Demang Sabrangdalu bertubuh pendek. Ba-
dannya tidak begitu gemuk, tapi karena tubuhnya
yang pendek itulah membuat ia kelihatan gemuk. Di
pinggangnya selalu menyelipkan keris tanpa luk. Ujud
kerisnya tidak berkelok-kelok seperti milik Ki Patih
Danupaksi. Tetapi, keampuhannya, konon bisa mem-
buat batu kali terbelah menjadi dua bagian dalam kea-
daan rapi, seperti agar-agar terpotong silet. Keris itu
bernama Pusaka Sanca Welang, yang dibawanya apa-
bila Demang sedang mengemban tugas penting bagi
negara. Jika tidak sedang bertugas, keris itu jarang
diselipkan di pinggang kirinya.
Malam menjadi gulita, dan beberapa orang siap
menunggu kedatangan rombongan monyet. Bukan
hanya Demang dan kelima anak buahnya saja, me-
lainkan beberapa penduduk desa pun ikut serta dalam
gerakan mengusir monyet-monyet ganas.
Angin malam bertiup sedang-sedang saja. Derik
jangkrik memecah kesunyian malam Demang Sa-
brangdalu masih duduk di serambi rumah Lurah desa
tersebut bersama beberapa orang tua yang menjadi se-
sepuh desa itu. Sementara beberapa prajuritnya, dan
para penduduk sebagian, mengelilingi desa sambil
mengadakan patroli dengan teliti. Sampai tengah ma-
lam, keadaannya tenang-tenang saja. Tetapi pada saat
selesai terdengar bunyi kentongan tanda lewat tengah
malam, ketegangan mulai terjadi di sekitar desa terse-
but.
Ketegangan itu diawali oleh suara teriakan seo-
rang lelaki dari sebelah Barat. Jerit-jerit bersuara se-
rak terdengar pula di sana. Maka, Demang pun meme
rintahkan anak buahnya segera menyerbu ke bagian
Barat desa. Obor-obor menyala. Penduduk dan prajurit
Kesultanan bekerjasama mengepung sebuah rumah.
Di rumah itulah mula pertama terdengar suara jeritan
seorang lelaki. Tetapi, rumah itu kelihatannya aman-
aman saja. Tidak ada jeritan lagi dari dalam rumah.
"Jangan-jangan hanya orang mengigau kita
sangka yang bukan-bukan," bisik salah seorang pen-
duduk kepada temannya. Waktu itu, Demang sendiri
datang bersama Ki Lurah. Mereka juga siap membawa
obor di tangan. Tetapi beberapa anak buah Demang
memberitahu, bahwa asal teriakan dari rumah terse-
but. Namun kenyataannya rumah itu dalam keadaan
aman-aman saja.
"Geledah rumah itu…!" perintah Demang. Salah
seorang prajurit dengan seorang penduduk terdekat
dengan rumah itu segera mengetuk pintu. Berkali-kali
ketukan tidak juga terdengar jawaban dari dalam. Pra-
jurit itu berbisik,
"Berapa orang yang tinggal di dalam rumah ini?
Masa; satu pun tidak ada yang bangun mendengar ke-
tukan kita?"
"Hanya Rusmin dengan istrinya. Mereka pen-
gantin baru. Kurasa mereka lelap dalam pelukan ke-
mesraan, sampai-sampai kuping mereka budeg, tidak
mendengar ketukan sekeras ini."
"Ssst...! Aku mencium bau amis..." prajurit itu
mengendus-enduskan hidung. Penduduk yang menjadi
tetangga Rusmin juga ikut mendengus-dengus.
"Kalau aku kok mencium bau langu... ah, se-
perti bau keringat kuda..." bisiknya.
"Jangan-jangan ada yang tak beres di dalam
rumah ini," kata prajurit itu. "Kita dobrak saja pin-
tunya...!"
Mereka sengaja mendobrak pintu dengan ten-
dangan keras yang mengagetkan. Begitu pintu dido-
brak, terlepaslah daun pintu itu dari engselnya.
Maka, kedua mata orang itu terbelalak bersa-
maan. Obor yang dipegang di tangan terjatuh seketika.
Ia tak sempat berteriak satu kali pun.
Ternyata di balik pintu itu, sudah menunggu
puluhan monyet berbulu kelabu dengan mulut ter-
bungkam semua. Begitu pintu didobrak, mereka segera
menjerit serak dan menerjang kedua orang tersebut.
Lompatan mereka tepat mengenai dada, menggoreskan
kuku di dada itu, kemudian gigi para monyet itu mero-
bek leher mereka yang disusul dengan gigitan dari mo-
nyet-monyet lainnya di beberapa tempat, di bagian tu-
buh kedua orang itu.
"Monyet-monyet itu ada di dalam...!!" teriak
Demang Sabrangdalu kepada orang-orang yang men-
gepung di bagian samping dan belakang rumah. Na-
mun, sebelum mereka sempat bergerak, monyet-
monyet sebesar bocah usia 7 tahun itu telah melesat,
melompat ke luar dari pintu atau-pun jendela rumah
yang dirusakkan oleh kekuatan tangan mereka. Bah-
kan ada beberapa ekor monyet yang keluar lewat atap
yang telah dijebolkan. Lalu mereka pun segera melon-
cat, melayang dan menerkam beberapa orang tanpa
perduli orang itu membawa obor atau tidak.
"Selamatkan pemilik rumah itu! Selamatkan
dia...!" teriak Ki Lurah kepada para penduduk. Ki Lu-
rah belum tahu kalau Rusmin dan istrinya telah tewas
dalam keadaan tubuh mereka habis digerogoti monyet-
monyet haus darah itu. Keadaan yang jelas menjadi
panik, terutama setelah mereka tahu bahwa monyet-
monyet itu tidak takut dengan nyala api obor. Bahkan
Demang Sabrangdalu sendiri telah menggunakan ke
risnya untuk membunuh beberapa monyet. Namun ke-
tika ia mengacung-acungkan obornya ke wajah seekor
monyet, binatang itu tidak punya rasa takut terbakar
sama sekali. Bahkan obor tersebut sempat disampok
cepat oleh tangan monyet. Untung Demang Sabrangda-
lu memegangi obor dengan kuat sehingga obor itu tak
sempat jatuh.
"Bakar mereka...! Bakar dan bunuh semua...!"
teriak Demang sambil menghindari loncatan seekor
monyet yang hendak menerkamnya. Kaki kanan De-
mang Sabrangdalu berhasil dikibaskan ke belakang
dan mengenai kepala monyet itu. Kemudian, monyet
tersebut berteriak kesakitan dengan suaranya yang se-
rak dan brisik itu. Keris Demang Sabrangdalu diayun-
kan untuk menghabisi nyawa monyet itu. Sayangnya,
monyet itu dapat berkelit menghindari keris, lalu me-
lompat ke salah satu dahan pohon yang rendah, ka-
kinya segera menendang kening kepala Demang Sa-
brangdalu. Oh... kukunya sempat merobek kening
Demang sampai berdarah. Berulangkali Demang men-
gayunkan keris, sama dengan berulangkali mereka
mengayunkan senjata yang mereka pegang, tapi tak
satu pun dari monyet itu yang terkena senjata manu-
sia. Umumnya mereka pandai berkelit, lincah berge-
rak, gesit mengelak setiap serangan. Jumlahnya yang
cukup banyak itu sempat membuat Ki Lurah sendiri
kebingungan, dan di luar dugaan punggungnya men-
jadi berat dan perih, karena seekor monyet berhasil
melompat ke punggung, lalu menggigit tengkuk kepala
Ki Lurah. Rupanya monyet-monyet itu tidak memper-
dulikan kedudukan mangsanya yang sebagai Lurah,
yang jelas begitu ia berhasil nomplok di punggung, ia
segera menggigit dengan sadis, merobek bagian tubuh
Ki Lurah lainnya sekali pun Ki Lurah sudah berguling
guling sambil menjerit. Terkaman para monyet itu cu-
kup kuat, sehingga dalam beberapa waktu saja sudah
ada tujuh orang yang mati dirobek-robek oleh monyet-
monyet tersebut.
"Lari...! Ayo, lekas lariii...!!" teriak beberapa
orang penduduk yang menjadi sangat ketakutan meli-
hat Lurah mereka menjadi santapan yang amat men-
gerikan. Sementara para penduduk lari semua tanpa
memperdulikan obor mereka, Demang Sabrangdalu
masih sibuk menghadapi beberapa monyet yang hen-
dak menerkamnya berulangkali. Demang mencoba ber-
tahan dengan mengibaskan keris ke kanan, ke kiri, ke
depan dan ke mana saja asal monyet-monyet itu men-
jauh.
"Gawat...! Anak buahku tidak ada yang hidup
satu pun?!" geram Demang Sabrangdalu di dalam hati.
Ia semakin panik dan kebingungan. Tangan kirinya
masih memegangi obor dengan nyala api yang besar,
sedangkan tangan kanannya masih memegangi keris
Sanca Welang yang bagai tidak mempunyai kesaktian
apa-apa.
"Mampus kau! Mati kau...! Hiaaat...!! Demang
Sabrangdalu terpaksa melompat sana-sini dengan
menggunakan jurus tendangannya. Banyak monyet
yang tertendang dan mental di beberapa jauh.
Tetapi, kali ini betis dan kakinya sempat ber-
lumuran darah karena cakar monyet merobeknya den-
gan gerakan cepat. Ketika ada salah seekor monyet
yang melompat hendak menerkamnya, Demang segera
merendah. Ia menghunjamkan kerisnya ke atas, tetapi
perut monyet itu tak terjangkau oleh ujung keris. Mo-
nyet itu melompat dalam posisi kepala di bawah kaki
di atas, dan tangan menampar wajah Demang hingga
Demang sendiri menjerit kesakitan. Pipinya berdarah
karena luka dalam akibat goresan kuku monyet. Kaki
Demang segera melompat-lompat menghindari raihan
tangan monyet lainnya. Sesekali kaki itu menendang
dan membuat monyet yang terpental menjerit-jerit ba-
gai mengeluarkan sumpah serapah tak karuan.
Tetapi beberapa saat kemudian, monyet-monyet
itu mundur beberapa langkah dengan gerakan siap
menyerbu dalam satu lingkaran. Demang berdiri di
tengah lingkaran barisan monyet berbulu coklat kea-
bu-abuan. Monyet-monyet itu sudah memasang per-
siapan untuk melompat dalam satu kali sergapan ber-
sama. Wajah-wajah monyet itu menampakkan keben-
gisannya dengan sesekali menyeringai ganas dan
menggeram-geram. Sementara itu, Demang Sabrang-
dalu sudah berlumuran darah dan banyak luka di tu-
buhnya yang cukup perih dan mengerikan.
Keris dan obor masih di tangan. Sekali pun se-
kujur tubuh Demang malah terasa sakit jika berhenti
bergerak, tapi dia mencoba bertahan dan berpikir he-
ran: mengapa monyet-monyet itu berhenti dan mem-
bentuk lingkaran mengurungnya. Demang Sabrangda-
lu bergerak terus, tubuhnya memutar sendiri sebab
takut diterkam dari belakang. Nafasnya sudah tidak
seperti nafas manusia, melainkan seperti nafas anjing
yang habis lari jauh. Ngos-ngosan dengan tangan dan
kaki terasa jelas gemetarnya.
"Ayo, maju...!" geram Demang. "Lekas maju sa-
tu persatu kalau kalian berani. Kurobek tubuh kalian
dengan keris ini. Kupecahkan kepala kalian dengan
keris pusakaku ini! Lekas, siapa yang mau maju...?!
Ayo, majuuu...?!!" Demang Sabrangdalu jengkel sendi-
ri. Tetapi, monyet-monyet itu hanya berdiri dalam po-
sisi siap menerkam bersama. Jumlahnya lebih dari 25
ekor kera, terhitung dengan beberapa ekor kera yang
nangkring di pohon-pohon dan atas atap rumah.
"Kalau mereka semua maju, apa kau sanggup
menghadapinya?" tiba-tiba ada suara yang datang dari
arah rumpun bambu.
Demang Sabrangdalu mengangkat obornya
agak tinggi untuk mempertegas penglihatannya. Ia ter-
peranjat ketika matanya menangkap sosok wajah pe-
rempuan berpakaian pinjung merah, lengkap dengan
celana merah dan pedang di punggung. Perempuan itu
cukup langsing, namun bukan kurus. Sikapnya dalam
berdiri cukup tegas dan mantap. Ia pantas menjadi
seorang prajurit perempuan yang gagah berani.
"Siapa kau? Apakah kau pimpinan monyet-
monyet ini?" sapa Demang Sabrangdalu yang tinggal
sendirian itu.
"Ya," jawab perempuan itu. "Namaku... Puspa-
sari...!"
Semakin terbelalak mata Demang. Sementara
gemetar lututnya. Bukankah Puspasri adalah orang
yang dibunuh Ki Patih Danupaksi beberapa hari yang
lalu? Dan... dan ciri-ciri yang disebutkan patih ada
semua pada diri perempuan yang mengaku sebagai
pimpinan monyet itu.
"Kau setan...!" geram Demang dalam ketaku-
tannya, tapi ia tetap berada di tempat kendati keliha-
tan sekali gemetarnya kaki dan tangannya. Puspasari
hanya tersenyum sinis dan semakin mendekat, masuk
dalam lingkaran barisan monyet.
"Aku hanya ingin mencari pembunuh guruku;
Ki Destak. Menurut kabar dan ucapan guru sebelum
wafat, hanya orang yang punya pusaka Pedang Urat
Petir yang bisa mengembalikan aji Sosrogeni milik
guru. Dan... orang yang memiliki pedang Pusaka Urat
Petir itu ada di daerah ini. Siapa dia dan di mana dia?
Katakan, lalu serahkan dia kepadaku! Jika tidak, aku
akan membuat kacau penduduk di wilayah sini!"
"Kau pengecut...! Kau hanya berani melukai
penduduk yang tak bersalah...!" geram Demang masih
dengan gemetar dan nafas tersendat-sendat.
"Aku ingin memancing kemarahan siapa saja
untuk memuaskan hati. Aku ingin melihat keberanian
pemilik Pedang Urat Petir, yang kabarnya ia adalah
orang Kesultanan."
"Kenapa kau tidak datang ke istana Kesultanan
saja kalau memang kau tahu dia orang Kesultanan?"
"Aku tidak mau terjebak mati, sebelum aku
membunuh orang itu! Nah, kalau dia temanmu, sam-
paikan salam dari Puspasari. Tapi kalau dia bukan te-
manmu, carikan dia dan serahkan kepadaku, maka
aku akan melindungi keluargamu sampai tujuh ketu-
runan!"
Demang Sabrangdalu sebenarnya ingin berkata
lagi, tapi ia sudah terlanjur terpukau oleh gerakan
Puspasari. Perempuan itu memejamkan mata dan
mengangkat tangan kanannya, seperti meremat sesua-
tu di depan wajahnya. Hal itu terjadi hanya beberapa
detik saja, lalu monyet-monyet itu bergerak tanpa sua-
ra, pergi meninggalkan tempat yang dihuni banyak
mayat bergelimpangan dalam keadaan mengerikan.
Puspasari pun segera pergi searah dengan kepergian
monyet-monyet tersebut.
Demang sempat berteriak dalam kedongkolan-
nya, "Puspasari, kau telah mati di tangan Patih Danu-
paksi...!"
"Jangan kira aku setan sebenarnya." Puspasari
menyempatkan berpaling dengan senyum sinisnya,
kemudian berkata lagi:
"Aku tidak akan mati semudah itu, tahu?! Dan
kau harus mengerti, bahwa aku tidak mungkin mati!
Tak ada orang yang mampu membunuhku! Nah, sam-
paikan berita ini kepada Sultanmu!"
"Tapi kau nyatanya takut mati! Kau tak berani
datang!"
Puspasari jadi berhenti lagi, dan berkata: "Ada
saat yang baik untuk datang ke istana dan membantai
kalian!"
Puspasari segera melesat bagai kelelawar me-
layang, masuk dikegelapan dan tak terdengar lagi ge-
rakannya. Sementara itu, Demang Sabrangdalu meng-
geram, menggerutu sendiri dengan kegemasan yang
sangat menjengkelkan hati. Ia tak dapat berbuat ba-
nyak, karena sekarang ia baru sadar kalau lutut ki-
rinya terluka parah bekas gigitan monyet. Banyak luka
akibat cabikan kuku monyet, dan semuanya kini tera-
sa perih sekali.
Lebih perih sekali adalah saat ia pulang ke is-
tana Kesultanan seorang diri. Ia naik di punggung ku-
da yang berjalan dengan loyo. Angin pagi membuat lu-
ka di sekujur tubuhnya menjadi terasa sangat perih.
Ketika ia muncul dipintu gerbang, ia pun rubuh ter-
sandar di punggung kuda. Pingsan!
Sudah tentu keadaan Demang membuat sua-
sana di dalam Kesultanan menjadi heboh. Semua mu-
lut bicara soal Demang dan luka-luka pertarungannya
dengan monyet-monyet dari gunung Buramang. Yang
lebih mengejutkan mereka lagi adalah berita tentang
kemunculan perempuan yang bernama Puspasari.
"Tidak mungkin...!" bantah Ki Patih Danupaksi.
"Aku melihat sendiri saat Puspasari meregang nyawa.
Aku juga yang memeriksa bahwa perempuan itu mati
dengan keadaan pucat pasi. Dan selama ini, memang
tak pernah ada orang yang bisa selamat jika sudah
tergores keris Pulung Kobraku itu!"
Semua jadi terbengong diliputi kebimbangan
yang membingungkan. Puspasari jelas sudah mati ter-
kena senjata Ki Patih. Beberapa prajurit yang waktu
itu menyaksikan sendiri kematian Puspasari segera
menyatakan pendapat seperti yang diutarakan Patih
Danupaksi. Tetapi sekarang Demang Sabrangdalu ber-
sumpah, bahwa monyet-monyet itu menurut kepada
perintah Puspasari. Bahkan Demang Sabrangdalu
meyakinkan tentang pertemuannya dengan Puspasari.
Segala apa yang dibicarakan oleh Puspasari, di-
ucapkan ulang oleh Demang Sabrangdalu yang sedang
menunggu kesembuhan lukanya. Laporan yang meya-
kinkan itulah menjadi kebimbangan pikiran mereka.
Hanya Suro Bodong yang kelihatan tenang-tenang sa-
ja, mendengarkan kisah itu sambil makan jagung ba-
kar.
"Bagaimana menurutmu, Suro Bodong?!" tanya
Eyang ketika itu dengan disaksikan banyak punggawa
negeri.
"Bagus...!" jawab Suro Bodong sepertinya tidak
sambung dengan pertanyaan dan pembicaraan mere-
ka.
"Bagus bagaimana?"
"Bagus kalau memang Puspasari itu bisa hidup
lagi. Ini berarti teguran bagi kita agar kita tidak gega-
bah merasa sebagai pemenang. Kalau memang benar
Puspasari hidup lagi, tentu itu hal yang menarik untuk
diselidiki kebenarannya."
''Aku akan menyelidikinya," tukas Danupaksi
dengan semangat. "Nanti malam aku akan datang ke
desa yang diserang para monyet, dan akan kutantang
Puspasari kalau benar dia masih hidup."
Sultan diam. Eyang Panembahan diam. Nyi Mas
Sendang Wangi yang selalu mendampingi ayahnya juga
diam. Tetapi diam mereka adalah diam berfikir men-
gambil langkah baik. Sultan sempat meminta pendapat
Suro Bodong, sebagai menantunya. Tetapi, Suro Bo-
dong yang waktu itu disuruh hadir oleh istrinya hanya
manggut-manggut seraya mengunyah jagung bakar.
Ketika barang yang dikunyahnya itu ditelan, ia men-
dengar Sultan bertanya:
"Bagaimana, Suro? Patih Danupaksi ingin
membuktikan sendiri, dan ingin menantang Puspasa-
ri?"
"Bagus," jawab Suro sepertinya seenaknya saja
menjawab. "Itu berarti Ki Patih masih punya nyali. Ka-
lau menurutku, biarkan saja Ki Patih menuruti nya-
linya, kita lihat saja, apakah dia bisa pulang dengan
selamat atau dengan... mayat!"
"Jangan bicara pahit begitu, Suro," ujar Ki Pa-
tih yang kurang suka dengan perkataan Suro Bodong
tadi. "Sebenarnya kaulah yang dicari Puspasari, dan
aku sudah berusaha melindungimu dengan tidak men-
gatakan di mana kamu berada."
"Kalau begitu, katakan saja kalau aku ada di
sini!" sahut Suro Bodong dengan senyum ringan yang
menampakkan kesan sombongnya.
"Seharusnya kau yang pergi menemui Puspa-
sari, sebab kau yang ditantangnya. Tapi jangan izinkan
Puspasari membuat keonaran di dalam benteng ini.
Tantanglah dia di lain tempat. Jika sampai Puspasari
ke mari, bukan hanya kau yang diincar, melainkan ke-
selamatan Nyi Mas dan Kanjeng Sultan sendiri akan
jadi terancam."
"Kalau Ki Patih masih berani melawannya dan
ingin membuktikan kebenarannya, silahkan berangkat
lebih dulu!" kata Suro
Patih Danupaksi merasa semakin penasaran. Ia
ingin membuktikan kepada siapa saja, bahwa dia
mampu mengalahkan Puspasari dengan menggunakan
keris Pulung Kobranya. Maka, pada malam berikutnya,
berangkatlah dia dengan 25 prajurit, sesuai dengan
amanat Sultan ketika Patih Danupaksi mohon pamit
untuk menunaikan tugas:
"Semangatnya, cukup bagus, Ki Patih itu. Ha-
nya sayang ia masih bisa dikuasai oleh nafas dan naf-
sunya sendiri."
Sementara itu, Nyi Mas Send an g Wangi ke
luar dari kamar dan melihat Suro Bodong ada di ta-
man samping bangsal keprajuritan. Di sana sepi, kare-
na para prajurit sedang mengadakan pertemuan den-
gan Sultan dan Eyang Panembahan. Mereka sedang
diberi beberapa pengarahan untuk menanggulangi ka-
lau-kalau terjadi penyerbuan dari pihak lawan.
"Tidak ikut pengarahan prajurit, Kang Mas?"
tegur Sendang Wangi kepada Suro Bodong yang tengah
duduk melamun.
"Apakah aku seorang prajurit?" tanya Suro
dengan tenang.
Sendang Wangi menyunggingkan senyum ma-
nis. "Tapi kau seorang Senopati. Wajar rasanya kalau
seorang Senopati ikut memberikan pengarahan kepada
para prajurit."
"Aku tidak punya pengarahan, kecuali satu
arah!"
"Satu arah?"
"Satu rencana yang sekarang juga harus segera
kulaksanakan, Nyi Mas. Ah... seharusnya kau sudah
pantas dipanggil: Nyai. Bukan Nyi Mas lagi."
Sendang Wangi menyandarkan kepalanya di
pundak Suro Bodong. Suro mengusap-usap pipi is
trinya.
"Aku belum mempersoalkan panggilan itu. Aku
sedang memikirkan firasatku, Kang Mas Suro."
"Hem... firasat apa lagi itu?"
"Sepertinya... kau memang harus segera ber-
tindak demi ketentraman rakyat Kesultanan Praja,
Kang Mas."
Suro tertawa pendek penuh arti. Lalu katanya,
"Kalau begitu, kau setuju jika aku bergerak mulai se-
karang?"
Sendang Wangi mengangguk. "Kalau rakyat te-
nang, tentram, maka ayah juga tenang dan damai," bi-
sik Sendang Wangi.
"Kalau begitu, menjauhlah sebentar," kata Su-
ro.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"Aku harus menggunakan jurus Luing Ayan
Empat...."
"Luing Ayam Empat...?" Sendang Wangi tertawa
pelan dan pendek. "Setiap aku mendengar jurus-
jurusmu selalu saja aku ingin tertawa."
"Jurus-jurusku memang pantas ditertawakan,
selagi bisa tertawa orang itu kuizinkan tertawa, tapi
kalau ia sudah terkena jurusku dan mati... berani
sumpah: dia tidak akan kuizinkan untuk tertawa!"
Semakin mengikik tawa Sendang Wangi men-
dengar banyolan Suro Bodong yang sederhana, tapi
menyenangkan hati Sendang Wangi. Saat itu, Suro
hendak menjauh dari istrinya.
"Kau akan merubah diri lagi, Kang Mas? Mau
jadi apa?"
"Coba terka...!" jawab Suro Bodong seraya me-
langkah. Sendang Wangi menggumam. Ia berpikir:
"Kalau jurus Luing Ayan Dua, aku belum tahu.
Juga jurus Luing Ayan Empat dan Enam. Tapi kalau
jurus Luing Ayan Tujuh, Kang Mas berubah ujud men-
jadi pendekar tampan yang bernama Panji Bagus.
Luing Ayan Tiga, menjadi bocah kecil, Luing Ayan satu,
menjadi ujud Suro Bodong, sedangkan Luing Ayan Li-
ma, menjadi kakek tua bergelar Rekso Upo. Kalau...
kalau jurus Luing Ayan Empat? Jadi apa, ya?" Sen-
dang Wangi berpikir-pikir.
Jurus Luing Ayan, adalah jurus kesaktian Suro
Bodong yang paling sering digunakan. Jurus itu mem-
punyai tujuh tingkatan, yang mampu merubah ujud
Suro Bodong menjadi tujuh rupa. Sadar tidak sadar,
sengaja atau pun tidak sengaja, setiap Suro Bodong
bersalto di udara, maka ia akan mendarat ke tanah
dengan ujud berubah. Perubahan ujudnya tergantung
dari berapa kali putaran ia bersalto di udara selama
kakinya belum menyentuh tanah. Tetapi kalau dia
hanya bersalto satu kali, yang dinamakan Luing Ayan-
1, maka ia akan menjadi sosok Suro Bodong yang se-
karang: berbaju merah, bercelana biru, perut sedikit
membuncit dan pusernya kelihatan melotot.
Tetapi, malam itu, sebelum Sendang Wangi, is-
trinya, sempat menerka perubahan ujud yang akan di-
lakukan Suro Bodong, tahu-tahu Suro Bodong telah
melesat ke atas. Sebelum menyentuh tanah, ia bersalto
empat kali di udara. Itulah jurus Luing Ayan-4.
Dan ketika kakinya kembali menjejak tanah,
ternyata sendang Wangi membelalakkan mata dengan
pekik yang tertahan. Suro Bodong telah berujud beda,
ia menjadi seekor monyet berbulu ungu. Ungu kehi-
tam-hitaman. Ujud itu membuat Sendang Wangi keta-
kutan dan menjadi berdebar-debar. Suaminya berujud
monyet ungu, berekor panjang dengan ukuran tinggi
badan seperti bocah umur 7 tahunan. Gerakannya,
sudah tentu gerakan seekor monyet yang suka garuk-
garuk ketiak atau tempat lainnya. Wajah dan senyum-
nya, jelas seperti monyet biasa yang tak kenal manu-
sia. Hanya saja, monyet ungu itu mempunyai banyak
perbedaan dengan monyet-monyet lainnya. Ia mempu-
nyai otak, yang dapat berpikir dengan cerdas. Dan bu-
kan hanya mempunyai otak, melainkan akal sehat pun
ia miliki. Bahkan ketika monyet ungu itu mendekati
Sendang Wangi, lalu Sendang Wangi mundur, ternyata
monyet itu bisa berbicara dengan bahasa manusia.
"Jangan takut... aku bukan monyet nakal, Nyai
Sendang Wangi. Aku Suro Bodong yang dalam kekua-
saan jurus Luing Ayan Empat itu."
Sendang Wangi mulanya tak berani tertawa,
namun setelah ia mendengar monyet ungu itu berbica-
ra dengan suara persis Suro Bodong, maka lama-lama
Sendang Wangi pun tersenyum geli melihat kenyataan
ini. Apalagi setelah Suro Bodong berkata:
"Kalau aku sedang jadi monyet begini, jangan
coba- coba memancing semangatku untuk naik ke ran-
jang, Nyai. Nanti kamu tidak bisa tidur...."
Jelas ini kelakar khas Suro Bodong. Sendang
Wangi mulai berani memegang dan mengusap-
usapnya. Lalu ia tertawa geli sendiri. Suro Bodong
yang berubah menjadi monyet ungu itu berkata, "Aku
akan menyatu dengan monyet-monyet ganas itu. Aku
akan ikut sampai ke sarang mereka, sehingga aku ta-
hu keadaan mereka sebenarnya. Tapi, lebih dulu aku
harus mendampingi Ki Patih secara diam-diam."
"Hati-hati, Kang Mas... jangan tergoda oleh mo-
nyet betina di hutan sana! Nanti kamu segan berubah
jadi manusia!"
EMPAT
Kalau ingat pesan Sendang Wangi, Suro Bo-
dong ingin tertawa saja rasanya. Tetapi, rasa geli itu
hilang seketika setelah sampai di suatu tempat, Suro
melihat banyak mayat prajurit kesultanan yang berge-
limpangan di beberapa tempat. Keadaan mayat terca-
bik-cabik dan bekas gigitan yang terkuak itu sangat
mengerikan. Sinar bulan purnama yang menyorot ke
bumi memperjelas bentuk mayat dan keadaan korban
tersebut. Suro Bodong meski dalam keadaan ujud see-
kor monyet, tapi otaknya masih otak manusia. Rasa
ngeri dan sedihnya masih ada.
"Pasti mereka korban keganasan monyet-mo-
nyet gunung Buramang...' kata Suro Bodong dalam ha-
ti.
Tengah malam yang sunyi itu, ia meneliti de-
ngan cermat, menghitung berapa mayat prajurit yang
ada di situ, dan berapa mayat penduduk yang menjadi
korban. Lalu, ke mana Patih Danupaksi? Mayatnya tak
ada. Kalau begitu Ki Patih masih hidup.
Kemudian monyet ungu itu bergerak ke arah
Selatan, karena di sana terlihat ada nyala api yang
membara dan berkobar. Pasti amukan monyet-monyet
itu sampai ke desa di sebelah selatan sana. Monyet
ungu bergerak dengan lincah dan cepat. Ia tak mau
melangkah seperti jalannya manusia. Ia memang bi-
asanya merangkak atau berjalan dengan badan ter-
bungkuk-bungkuk. Hanya saja, kali ini ia membutuh-
kan waktu yang singkat. Ia harus meloncat, dari dahan
pohon yang satu ke pohon yang lain. Siapa tahu ia be-
lum terlambat mencegah amukan para monyet di desa
Selatan itu.
Ternyata dugaan Suro Bodong dalam ujud mo-
nyet ungu itu mendekati kebenaran. Ada desa baru
yang penduduknya panik karena serbuan monyet-
monyet berbulu abu-abu. Mereka mengejar penduduk,
khususnya setiap lelaki. Mereka seperti monyet-
monyet kesurupan, yang menerkam mangsanya ke-
mudian mengeroyoknya dengan gigitan dan cakar yang
mematikan.
Suro Bodong tak mau bergerak untuk beberapa
saat. Ia mempelajari suasana di situ. Ia juga melihat Ki
Patih Danupaksi sedang kewalahan melawan tiga ekor
monyet ganas. Kerisnya bagai tak mempan untuk
membunuh monyet-monyet yang mengeroyoknya. Se-
mentara itu, ada lima prajurit yang masih hidup dan
bertahan bertarung melawan binatang-binatang lincah
itu. Hampir-hampir setiap satu prajurit menghadapi
empat ekor monyet yang bernaluri membunuh semua.
Diperkirakan, ada 25 ekor monyet lebih yang sedang
menggila di desa tersebut.
"Satu-satunya jalan harus menguasai monyet-
monyet itu," pikir Suro Bodong dalam ujud monyet un-
gu.
Patih Danupaksi telah banyak lukanya. Pa-
kaiannya sendiri menjadi compang-camping, tak beda
dengan seorang pengemis. Ia berulangkali mengi-
baskan keris pusakanya ke arah binatang-binatang
tersebut. Namun, monyet-monyet itu bagai mempunyai
ilmu silat yang amat lincah. Mereka mampu mengelak
dan menyerang dengan cakarnya. Danupaksi menjadi
terengah-engah.
Namun tiba-tiba gerakan monyet itu terhenti
dan menjauhi Patih Danupaksi. Juga monyet-monyet
yang menyerang kelima prajurit juga berhenti dan
menjauhi kelima prajurit Kesultanan itu. Mereka tidak
menyerang, namun selalu menghindar dan menjauh
jika hendak di serang oleh manusia.
"Aneh..." gumam Danupaksi sendirian. "Menga-
pa monyet-monyet itu berhenti menyerangku? Menga-
pa mereka seakan justru menonton semua kebingun-
ganku ini? Ah, gila...!"
Rupanya bukan hanya Ki Patih dan kelima pra-
jurit yang merasa heran, namun ada satu orang lagi
yang benar-benar merasa heran dan gemas melihat
monyet-monyet itu tidak mau menyerang lawannya la-
gi. Orang itu bersembunyi di atas pohon yang gelap
dan rimbun. Melihat monyet-monyet itu tak mau me-
nyerang, maka orang itu segera meluncur turun dari
atas pohon. Ternyata dialah Puspasari yang tersenyum
penuh tantangan kepada Patih Danupaksi.
"Bagus sekali kau bisa mengendalikan monyet-
monyet itu," kata Puspasari yang mengira Danupaksi
yang berhasil menguasai monyet-monyet itu hingga
mereka tak mau menyerang.
Sedangkan, Patih Danupaksi sendiri sebenar-
nya merasa heran, pertama melihat monyet-monyet itu
bagai takut bergerak apa pun, kedua Patih heran atas
kemunculan Puspasari. Padahal beberapa hari yang la-
lu, Ki Patih yakin betul bahwa Puspasari telah berhasil
dibunuh dengan keris pusakanya. Ia sendiri yang me-
robek lambung dan leher perempuan berwajah mungil
dengan bola mata bundar indah itu. Tapi, mengapa se-
karang Puspasari sudah bisa berdiri di depannya? Ini
yang sangat mengherankan Danupaksi. Ia sempat
memperhatikan telapak kaki Puspasari, ternyata me-
nempel pada tanah. Ini menandakan bahwa Puspasari
bukan hantu. Bukan roh halus, melainkan manusia
biasa yang siap bertarung melawan Danupaksi. Kelima
prajurit yang sebenarnya bisa menyerangnya dari be-
lakang itu tidak dihiraukan. Karena bagi Puspasari,
menundukkan kelima prajurit itu lebih cepat dan lebih
mudah ketimbang menundukkan Danupaksi.
Danupaksi sendiri tidak tahu, apa sebab mo-
nyet-monyet itu berhenti menyerang, bahkan kini
mengelompok menjadi satu, sepertinya sedang mera-
patkan rencana kerja mereka. Memang, semua tidak
tahu kalau di antara monyet-monyet yang kini meng-
gerombol itu terdapat pula monyet berbulu ungu kehi-
tam-hitaman. Itulah Suro Bodong. Dalam ujud seperti
monyet itu, Suro Bodong dapat berbicara dengan ba-
hasa monyet dan menguasai alam pikiran monyet-
monyet itu. Maka, dengan mudah Suro Bodong sebagai
monyet ungu bisa memerintahkan kepada 'konco-
konconya' untuk diam, jangan menyerang siapa pun.
"Kau boleh berhasil menguasai jiwa monyet-
monyet itu, tapi ingat, aku bukan monyet," kata Pus-
pasari. "Aku manusia yang masih ingin menebus keka-
lahanku tempo hari."
"Kau memang harus dihancurkan menjadi dag-
ing cincang. Lalu direbus dan ditanam di dasar lau-
tan!" Patih Danupaksi benar-benar gemas melihat
Puspasari masih hidup. Ia merasa terkecoh karenanya.
"Lakukanlah sebelum hal itu kulakukan terha-
dap dirimu, Jahanam...!!" Puspasari melompat dalam
jurus tendangan lurus ke depan. "Hiaaat...!!"
Patih Danupaksi menangkis dengan gerakan
lengan kirinya yang mengibas ke kanan, dan ia segera
berputar kekiri dengan kaki menendang balik pung-
gung Puspasari. Tubuh perempuan itu terjengkang ke
depan, dan dua orang prajurit segera menyerangnya
dari depan Puspasari. Pedang mereka berkelebat di-
hantamkan ke arah tubuh Puspasari. Tetapi pada saat
itu, jari telunjuk Puspasari ditudingkan ke arah kedua
prajurit tersebut. Jari telunjuk itu bergetar kaku, lalu
memancarkan sinar hijau muda sebesar lidi. Sinar itu
menghantam cepat tubuh prajurit secara satu persatu.
Maka, kedua tubuh itu pun terbakar hangus, terbung-
kus api yang sukar dipadamkan. Keduanya berteriak
dan berguling-guling di tempat basah, namun tidak
menolong memadamkan api yang membungkus tubuh
mereka. Ketika itu, Puspasari segera bersalto ke udara
dengan tangan kanan bertumpukan sehelai daun dari
tanaman liar. Tubuh itu melejit dan bersalto dua kali.
Ki Patih Danupaksi segera menggunakan aji
Candramawa, yaitu sebuah sinar biru tua, mendekati
warna ungu, meluncur dari sepasang mata Patih Da-
nupaksi. Ia berdiri dengan kedua kaki merenggang dan
merendah, kemudian kedua tangannya terlipat digeng-
gamkan kuat-kuat, merapat dengan tulang rusuk, dan
keluarlah sinar aneh darimata Danupaksi. Sinar itu
menyorot ke tubuh Puspasari yang segera dihindari
dengan gerakan bergulir di udara sampai beberapa
kali. Ketika sinar aneh dari mata Danupaksi menghan-
tam pohon dan hancur se ketika pohon itu, Puspasari
sempat melancarkan pukulannya, berupa sinar hijau
yang keluar dari dua ujung jarinya, yaitu jari tengah
dan jari telunjuk.
Patih Danupaksi segera mengibaskan keris pu-
sakanya, dimiringkan ke arah depan mata, lalu kedua
sinar hijau itu tertahan oleh keris Ki Patih. Begitu kuat
daya dorong sinar hijau itu, sehingga tangan Ki Patih
sampai bergetaran. Hampir saja Ki Patih tidak tahan
menerima desakan sinar hijau itu. Untung ada dua
prajurit yang sama-sama melakukan tendangan seren-
tak ke punggung Puspasari.
Tubuh Puspasari terlempar ke depan, dengan
sigap Patih Danupaksi menyambutnya dengan kibasan
kerisnya.
Breeet...!
"Aaauhh...!!"
Puspasari menjerit, dadanya terluka panjang
dan dalam. Ia meringis kesakitan dalam keadaan jatuh
berlutut. Patih Danupaksi segera menghunjamkan ke-
risnya ke punggung Puspasari, tetapi Puspasari segera
bergulir sambil menggerakkan kaki kanannya menen-
dang perut Patih Danupaksi. Tendangannya cukup ke-
ras diiringi teriakan antara rasa sakit dengan pemusa-
tan tenaga, "Huaaah...!!"
"Uugh...!" Patih Danupaksi terpental. Dadanya
terasa mau jebol. Ia sukar bernafas beberapa saat.
Kesempatan itu digunakan oleh Puspasari un-
tuk bangkit. Menendang satu prajurit yang hendak
menyerangnya dengan sebuah pedang, lalu ia segera
lari dengan melompat ke tempat gelap. Dua orang pra-
jurit menolong Patih Danupaksi yang sukar bernafas
akibat tendangan Puspasari, sedangkan satu prajurit
lainnya sedang merangkak sambil menyeringai kesaki-
tan karena tendangan Puspasari juga pada perutnya.
Sementara itu, monyet-monyet pun berlarian
mengikuti kepergian Puspasari, tak ketinggalan mo-
nyet ungu pun ikut dalam rombongan monyet-monyet
tersebut. Puspasari agaknya mulai kewalahan mena-
han rasa sakit dan amukan racun yang ada di keris
Danupaksi. Racun itu telah meresap dalam darahnya
akibat goresan keris di bagian dada kirinya. Untung ti-
dak tepat di bagian yang menonjol, lebih ke atas sedi-
kit, dekat dengan leher.
Sambil berlari dan melompat-lompat, monyet
ungu itu memperhatikan Puspasari yang mulai sem-
poyongan. Perempuan itu cukup tangguh, menurut
Suro Bodong. Ia masih berlari terus, kendati keadaan
tubuhnya mulai keracunan. Pernafasannya begitu be-
rat dihela. Tapi ia tetap terus berlari, seakan harus se-
gera sampai ke Pesanggrahan Wanara Teja.
Ada apa di sana? Mungkinkah mereka mem-
punyai obat yang mujarab untuk mengembalikan ke-
kuatan dan kesehatan Puspasari? Dan bagaimana
dengan monyet-monyet sebanyak ini? Kenapa tidak
ada seekor pun yang berbelok ke arah lain? Padahal
mereka sudah masuk hutan, tapi mereka masih tetap
bergerak mengikuti arah pelarian Puspasari.
Monyet berbulu ungu, yang tak lain dari pen-
jelmaan Suro Bodong itu mengikuti rombongan monyet
lainnya dari belakang. Mereka mendaki gunung dalam
satu gerakan yang lincah. Mereka melompat dari po-
hon ke pohon, dari akar yang menggantung ke akar
yang satunya, sebab kelihatannya Puspasari juga
mengambil cara begitu dalam mencapai ketinggian Bu-
ramang, gunung tempat pesanggrahan Ki Destak bera-
da.
Beberapa saat kemudian, terlihat pula rumah
memanjang dalam pagar rapat yang menjadi sasaran
utama Puspasari. Letaknya mendekati puncak gunung,
namun ada bagian tanah datar yang luas dan sebagian
dipakai untuk membangun rumah panjang berpagar
rapat dan batang-batang pohon terbelah.
Puspasari masih buru-buru bergerak, seperti-
nya harus cepat sampai ke rumah tersebut yang men-
jadi Pesanggrahan Wanara Teja. Namun tiba-tiba ia
terjatuh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berteriak:
"Socaaa...?! Paksiii...!!"
Puspasari jatuh tersungkur dengan nafas ter-
sendat-sendat. Monyet-monyet mengerumuni tubuh
Puspasari yang kejang-kejang sesaat, kemudian ia
hembuskan nafas terakhir dan diam untuk selamanya.
Monyet-monyet menjerit-jerit sambil melonjak tak be-
raturan. Suro Bodong ikut menjerit dan melonjak wa-
lau pun dalam hati ia menggerutu, "Sayang aku masih
harus menjadi monyet! Coba kalau tidak, uuh... malas
aku ikut-ikutan menjerit serak begini!"
Rupanya jeritan dan lonjakan sebagai tanda
berkabung bagi monyet-monyet itu. Mereka menjadi
reda setelah dua orang lelaki berpakaian sama-sama
baju hijau dan celana merah. Lelaki itu segera berlari
ke kerumunan monyet, lalu salah seorang terpekik me-
lihat Puspasari menjadi mayat.
"Guru...?! Soca, lekas angkat guru ke dalam...!"
yang dipanggil Soca itu segera mengangkat bagian kaki
Puspasari. Lalu, Soca dan satu temannya yang ten-
tunya bernama Paksi itu segera membawa Puspasari
ke dalam rumah benteng kayu. Monyet-monyet ikut
serta, ada yang masuk melalui pintu pagar, ada yang
melompat ke atas pagar tinggi. Monyet ungu ikut di pi-
hak yang meloncat ke pagar dan masuk ke halaman
Pesanggrahan Wanara Teja.
Lelaki yang bernama Soca mempunyai rambut
lebih panjang dari yang bernama Paksi. Tampaknya
mereka berdua adalah murid dari Puspasari. Terbukti
mereka saling menyebut kata 'guru' untuk mayat Pus-
pasari dalam usaha ingin menghidupkan kembali Pus-
pasari.
Kegiatan itu sangat menarik bagi monyet ungu,
yang tak lain dari Suro Bodong sendiri. Ruang gerak
monyet ungu menyesuaikan kebiasaan monyet-monyet
lainnya. Mereka di bebaskan bergerak di pesanggrahan
tersebut. Hal ini sangat menguntungkan monyet ungu,
karena ia bisa mengintai bagaimana Puspasari dihi-
dupkan kembali oleh kedua muridnya itu. Atau mung
kin akan dimakamkan secara adat mereka?
Suro Bodong berdiri di ambang pintu dalam so-
sok monyet ungu, hal itu tidak menimbulkan kecuri-
gaan bagi kedua murid Puspasari. Suro Bodong meli-
hat bagaimana murid Puspasari membaringkan gu-
runya di atas sebuah meja panjang yang terbuat dari
kayu dan papan tebal. Lalu, mereka menelanjangi
Puspasari sampai perempuan itu tidak mengenakan
selembar benang pun pada tubuhnya.
Monyet ungu menelan air liurnya sendiri. Ma-
tanya enggan berkedip memperhatikan tubuh yang
mulus itu terbaring di atas ranjang yang menyerupai
meja panjang itu. Lekuk tubuhnya, keindahan tubuh-
nya, keranuman dadanya yang montok, sungguh
menggoda hati monyet ungu. Wajah mungil yang ber-
mata bundar itu sangat serasi dengan bentuk tubuh-
nya yang berpinggang ramping. Hidung yang mancung
dan bibir yang mungil, cocok sekali dengan bentuk da-
danya yang menonjol namun kencang. Oh... tubuh itu,
tak ubahnya seperti boneka yang terluka di atas dada-
nya. Tubuh mulus itu menjadi pucat membiru samar,
itu karena racun dari keris pusaka Ki Patih Danupak-
si.
Agaknya, Soca dan Paksi ingin cepat-cepat me-
nolong gurunya, bukan ingin menguburnya. Mereka
mengambil sebuah kotak dan menggotongnya dengan
hati-hati. Kemudian kotak itu dibuka, lalu Paksi men-
geluarkan kain tebal warna biru muda. Kain itu me-
nyerupai sebuah jubah halus yang segera diselimutkan
ke tubuh Puspasari Tubuh yang mulus itu akhirnya
tertutup rapat oleh kain biru muda.
"Orang-orang di bawah sana akan heran jika
melihat guru muncul lagi dalam keadaan segar bugar."
Paksi berkata kepada Soca seraya ia menyiapkan pa
kaian baru untuk Puspasari. Pakaian itu sama seperti
yang tadi dikenakan Puspasari, yaitu merah bludru
yang indah.
"Kurasa kali ini guru juga bertarung dengan
orang yang memiliki keris beracun, seperti beberapa
hari yang lalu," ucap Soca, orang ini sibuk membikin-
kan minuman untuk Puspasari.
"Ya, kurasa guru memang bertarung dengan
orang yang sama. Tapi... kalau orang itu melihat guru
masih hidup dalam keadaan segar, lama-lama ia jadi
jengkel sendiri, dan bisa-bisa ia akan bunuh diri kare-
na gagal membunuh guru berulangkali."
Paksi dan Soca tertawa. Soca bicara dengan je-
las, kendati agak berbisik, "Padahal kalau orang tahu,
guru mudah dilumpuhkan, ya?"
"Iya. Tapi mana ada yang akan berpikir bahwa
guru hanya bisa dilumpuhkan apabila... pada saat
bercengkerama dalam buaian birahi."
Soca semakin mengikik. "Kalau dipikir-pikir,
guru ini benar-benar perempuan sakti yang hebat.
Bayangkan saja, ia mempunyai banyak ilmu warisan
Eyang guru Destak. Dan lagi, ia hanya bisa dibunuh
selamanya jika menggunakan pedang... pedang kejan-
tanan seorang lelaki. Tetapi, eh., pedangnya siapa yang
mampu mengeluarkan panah kematian jika sedang
saling berenggut puncak kehangatannya?"
"Ssst...! Jangan keras-keras, nanti kalau tahu-
tahu guru bangun, kita bisa dihajarnya berbicara soal
itu."
"Eh, iya..." Soca buru-buru menutup mulut-
nya."Ah, tapi tak apa kalau toh kita dihukum, kan hu-
kumannya bisa membawamu terbang ke alam mimpi?"
"Iya kalau hukuman ranjang, kalau hukuman
cambuk, bagaimana?"
"Ah, itu sudah jarang lagi dilakukan guru, soal-
nya kalau kita dicambuk, kita tidak akan dapat ber-
buat latihan jurus-jurus ranjang yang disukai guru,
kan?"
Semua celoteh dan canda Paksi serta Soca
menjadi bahan pemikiran Suro Bodong yang menya-
mar sebagai monyet ungu, Kini, Suro Bodong tahu,
bahwa Puspasari mengangkat kedua pemuda kekar itu
bukan sekedar untuk dijadikan murid, namun sekali-
gus dijadikan teman berkencan di ranjang.
Wow...! Alangkah asyiknya berkencan di pucuk
gunung berudara sedingin ini? Pikir Suro Bodong
sambil memakan sejenis kacang kedelai yang tadi dipe-
rolehnya di depan pintu halaman depan.
Sambil makan makanan yang sebenarnya tidak
disukai, Suro Bodong masih terus menyimak pembica-
raan dan memperhatikan segala perubahan di sekitar-
nya. Monyet-monyet lainnya diumbar begitu saja tanpa
pengawasan sedikit pun. Mungkin karena banyaknya
monyet di sekitar situ, maka Ki Destak membuka Pe-
sanggrahan yang bernama Wanara Teja. Wanara itu
monyet, Teja itu cahaya. Entah apa maksudnya nama
itu, yang jelas Suro Bodong, atau si monyet ungu,
menjadi kaget sejenak. Ia memperhatikan suatu peru-
bahan yang terjadi di atas meja papan, tempat mayat
Puspasari dibaringkan.
Mayat itu bercahaya. Mula-mula kain penutup
tubuh mayat yang bercahaya, makin lama semakin te-
rang. Cahayanya kuning keemasan. Dan ketika cahaya
memancar dengan total, tubuh Puspasari bergerak-
gerak sedikit demi sedikit, kemudian menjadi gerakan
yang spontan.
Puspasari bangkit serentak, duduk memejam-
kan mata dengan kain penutup di bagian dada yang
tersingkap ke bawah. Tak lama kemudian cahaya itu
surut, lalu pudar. Hilang sama sekali. Dan Puspasari
tersenyum kepada dua muridnya yang membungkuk
memberi hormat kepadanya. Sementara itu, monyet
ungu masih memperhatikan dengan rasa takjub. Dada
Puspasari menjadi mulus, tanpa bekas luka sedikit
pun. Darah yang semula berceceran di sekitar dada,
hilang tanpa bekas. Benar-benar merupakan wajah
dada yang mulus, lembut, dan menggairahkan untuk
diraba pelan-pelan.
Pantaslah kalau Ki Patih membantah bahwa
Puspasari sudah dibunuhnya dan mati. Rupanya begi-
nilah cara mereka menghidupkan mayat anggota pe-
sanggrahan Wanara Teja? Tapi, kenapa kematian Ki
Destak tidak dapat dihidupkan kembali, ya? Mungkin-
kah karena termakan senjatanya sendiri, sehingga ti-
dak akan bisa hidup lagi walau diselimuti kain pusaka
itu?
Apa yang harus dilakukan Suro Bodong setelah
mengetahui rahasia-rahasia Puspasari, adalah sebuah
rencana yang sederhana. Ia harus akrab dengan Pus-
pasari. Ia harus bisa membuat daya tarik bagi perem-
puan berbibir mungil itu. Sebab, Puspasari hanya bisa
dibunuh dan tak akan hidup lagi apabila ia mati pada
waktu bercengkerama dikejar birahinya. Menurut celo-
teh Soca dan Paksi tadi, hanya 'pedang' kejantanan
seorang pria saja yang bisa membunuh dalam suatu
jurus ranjang. Dan... Suro Bodong merasa memiliki
sebuah jurus simpanan yang tak pernah digunakan.
Namun ia ingat apa dan bagaimana cara penggunaan
jurus itu. Ia ingat betul akibat jurus tersebut. Tapi dia
tidak tahu, apa namanya.
Sebuah kekuatan tenaga dalam yang diramu
dengan kekuatan inti hidup, akan dihentakkan dalam
suatu permainan asmara. Dan kekuatan maha dahsyat
itu dapat membuat lawannya diam tanpa nafas sela-
ma-lamanya. Jurus itu dinamakan jurus: TOMBAK
DEWA. Menurut pemikiran Suro, hanya itu nama yang
cocok untuk jurus tersebut, karena ia tidak tahu lagi
apa nama jurus tersebut sebenarnya, dari siapa ia pe-
roleh dan kapan, itu semua tidak ada dalam ingatan
Suro. Hanya cara penggunaannya yang masih sempat
lekat dalam ingatan Suro Bodong, yang selama ini lupa
akan jati dirinya. Tapi, barangkali Eyang Panembahan
tahu semua itu, sebab Eyang Panembahan mempunyai
indra ketujuh yang mampu melihat kesejatian hidup
dan alam dunia ini.
Sekarang masalahnya, bagaimana cara yang
paling tepat untuk menggunakan jurus Tombak Dewa
Sakti itu? Kalau cara sederhana yang sudah ada itu
gagal? Apa yang harus dilakukan lagi?
Selagi monyet ungu berpikir demikian di bawah
sebuah pohon, tiba-tiba terdengar suara Soca yang
berseru:
"Paksi... kemarilah sebentar, lihat... ada monyet
asing yang terbawa ikut ke mari."
Paksi datang dan ikut memperhatikan monyet
ungu. Ia tersenyum, karena monyet ungu itu baginya
cukup lucu dan jarang ditemui sepanjang hidupnya.
"Gawat...! Belum apa-apa sudah tertangkap
nih...!" pikir monyet ungu.
"Tangkap dia dan serahkan pada guru...!" ujar
Soca ketika Paksi mendekati monyet ungu. Tetapi Suro
Bodong tidak mau tertangkap begitu saja. Ia melompat
ke atas pohon sewaktu Paksi hendak menangkapnya.
Kala itu, udara pagi pegunungan sungguh segar dan
membuat pernapasan Suro begitu lega. Sekali pun ia
dalam ujud monyet ungu, namun ia bisa meman
faatkan udara pagi sebagai udara latihan kecepatan di-
ri dalam hal mempermainkan jurus monyet ungu.
"Paksi... pakai bambu galah ini, dan sodok dia
dari bawah...!" kata Soca sambil membawa bambu
panjang yang belum terpotong bagian ujungnya. Suro
Bodong semakin panik. Ia bisa jatuh kalau disodok
dengan bambu itu. Mungkin juga pantatnya akan
bengkak kalau sodokan itu tepat di pantat.
Sebelum Paksi mendekat dengan bambu pem-
berian Soca, monyet ungu buru-buru bergerak turun
dan melompat ke pagar yang mengelilingi rumah terse-
but. Soca segera keluar, menghadangnya dari luar pa-
gar.
"Hati-hati, jangan sampai kabur dia...!" teriak
Paksi.
Paksi melepaskan bambunya. Ia hendak me-
nangkapnya dengan selembar kain sarung usang.
"Uiik... uiik... kkkrr...!!" Monyet ungu garuk-garuk ke-
tiaknya sambil memonyong-monyongkan bibirnya yang
tebal.
Ia melompat ke luar dengan tiba-tiba, karena
Paksi melemparkan kain sarung tersebut.
"Awas dia keluar...!" teriak Paksi kepada Soca.
Soca segera menubruk monyet ungu. Tetapi
ekor monyet ungu yang panjang itu segera mengibas
ke samping.
"Plak...!!"
"Aauhh...! Dia galak, Paksi...!" teriak Soca sam-
bil mengusap pipinya yang jadi memerah karena dis-
abet ekor monyet. Monyet ungu itu berlari ke tempat
lain, di atas tumpukan kayu. Dengan hati-hati Paksi
naik ke pagar, tepat ia berada di belakang monyet un-
gu. Lalu dengan serta-merta Paksi meluncurkan tu-
buhnya, menangkap monyet ungu itu, namun yang di
tangkap melompat ke pagar lagi. Paksi tersungkur dan
dagunya terbentur kayu yang runcing. Berdarah!
"Bangsat...! Awas kau kalau kutangkap, lang-
sung kupotong dan kumakan kau, Monyet!" geram
Paksi.
"Jangan nafsu kalau mau memegangnya. Pelan-
pelan saja," tutur Soca. Ia memperagakan gerakan
lembut dan pelan-pelan. Jari jemarinya dipermainkan;
tek... tek... tek... mulutnya pun ikut menyuarakan kata
bagai bisikan, "Kis... kis... kis...!"
Suro Bodong tak tahu, apakah itu cara menji-
nakkan seekor monyet atau bukan, yang jelas Suro
Bodong berusaha untuk menghindari Soca maupun
Paksi. Ia bisa gagal kalau sampai tertangkap mereka,
apalagi sampai diserahkan kepada Puspasari. Karena
itu, sewaktu tangan Soca berada dalam jarak dekat,
monyet ungu segera menamparkan lengan Soca dan
merobek kulit lengan itu.
"Aaoow...!!" teriak Soca yang kemudian diterta-
wakan Paksi. Lalu, Soca segera mengambil kayu sebe-
sar lengannya. Kayu itu dikibaskan untuk memukul
kepala monyet ungu. Tapi monyet ungu segera meng-
hindar dengan satu lompatan. Pada saat melompat itu-
lah ekornya mengibas kuat dan mengenai kening Soca
sehingga ada bekas memar membiru dikening itu, su-
dah tentu hal itu membuat Soca menjerit kesakitan. Ia
melempar kayu tersebut ke arah monyet ungu, tapi
monyet ungu merundukkan kepala. Tepat pada saat
itu, tangan Paksi menyahutnya, lalu mencekik leher
monyet itu.
"Mampus kau sekarang, hah...?!!"
Monyet itu menjerit tertahan. Ia tak bisa meng-
gigit tangan tersebut. Sementara itu, terdengar Soca
berseru:
"Hei, jangan bunuh dia! Serahkan saja pada
guru, siapa tahu bisa dimanfaatkan!"
Kemudian, monyet ungu itu jatuh ke tangan
Puspasari. Tiba-tiba ada gagasan baru yang terlintas di
benak Suro Bodong sebagai monyet ungu. Gagasan itu
timbul setelah ia merasa hangat dalam pelukan Puspa-
sari.
"Jangan bunuh monyet ini..! Ini termasuk mo-
nyet langka," ujar Puspasari. "Kita kawinkan saja den-
gan induk monyet yang ada di belakang rumah."
Wah, gawat...! Hati monyet ungu sebenarnya
kaget. Ia menggerutu dalam hati, "Uuh... kacau ini,
kenapa harus dikawinkan dengan induk monyet? Sial!"
"O, ya... benar. Kebetulan ini masih masa puber
kera tiba. Ini kan musim puber bagi monyet-monyet
hutan, Guru!"
"Karena itu, cepat masukkan ke kandang mo-
nyet betina. Tapi segera pisahkan kalau mereka berke-
lahi, ya?" kata Puspasari sambil hendak menyerahkan
monyet itu kepada Paksi.
Lalu, secara serempak mata mereka terbelalak
kaget. Monyet ungu bisa bicara dan berkata, "Kasiha-
nilah aku... kasihanilah aku..."
"Hei, monyet ini bisa bicara?!" Puspasari terta-
wa girang.
Soca dan Paksi juga terbahak-bahak menden-
gar monyet bisa bicara bahasa manusia.
"Namamu siapa?" tanya Puspasari dengan hati
bangga.
"Namaku... namaku Panji Bagus..." jawab mo-
nyet ungu. Bagi Suro Bodong, tak ada cara lain untuk
lolos dari genggaman dan ancaman mereka kecuali
dengan menyuarakan kata. Dan untuk itu, ia punya
kisah sendiri yang segera dituturkan kepada mereka
bertiga:
"Aku bukan monyet sewajarnya. Aku bisa bi-
cara karena aku disentuh oleh seorang putri gunung.
Aku sebenarnya seorang pangeran dari negeri sebe-
rang."
"Seorang pangeran?!" Puspasari semakin gi-
rang.
"Benar. Aku dikutuk oleh seorang penyihir dari
negeri Tibet. Karena aku kalah ilmu, maka aku dijadi-
kan seekor monyet. Aku bisa menjadi manusia kembali
apabila ada di tangan seorang putri gunung yang be-
rilmu tinggi, dan harus dilemparkan ke udara setinggi-
tingginya...."
Suro pintar mengarang cerita yang sungguh
menarik bagi Puspasari untuk membuktikan. Tetapi,
sebelumnya Puspasari berkata,
"Apakah aku yang dimaksud Putri Gunung
itu?"
"Mungkin! Buktinya, di tanganmu aku sudah
bisa bicara dalam bahasa manusia. Coba kau lem-
parkan ke atas, mungkin aku bisa berubah menjadi
manusia seutuhnya."
"Coba, guru...! coba...! Nanti kalau dia bohong,
biar saya kejar dan saya bunuh seketika!" kata Soca
bernafsu.
Puspasari berkata kepada monyet ungu, "Apa
janjimu jika kau ternyata berhasil berubah menjadi
manusia lagi?"
"Aku akan mengabdi kepadamu seumur hi-
dupku, Putri."
"Sungguh?!" Puspasari tersenyum senang.
"Sungguh, Putri. Aku berjanji...!" jawab monyet
ungu.
Puspasari tertawa riang. Ia mengusap-usap
monyet ungu sambil melangkah ke pekarangan yang
luas itu. Soca dan Paksi tak sabar ingin melihat bukti
kata-kata monyet ungu.
"Bagaimana kalau kau mengingkari janjimu?"
tanya Puspasari masih dalam keraguan.
"Kalian kan bertiga. Masa' kalian tidak bisa
membunuh aku kalau ternyata aku berdusta padamu,
Putri."
"Guru... cepat lemparkan ke atas, dia benar-
benar tak akan ingkar janji. Ayolah..." bujuk Paksi tak
sabar.
"Lalu, bagaimana jika kau ternyata tidak men-
jadi seorang manusia lagi? Bagaimana jika ternyata
kau tetap menjadi seekor kera?"
Jawab Monyet Ungu, "Aku tetap akan berbakti
kepadamu. Asal kuminta, jangan samakan aku dengan
monyet-monyet lainnya. Jangan kau suruh aku men-
gawini induk monyet...!"
Puspasari dan kedua muridnya tertawa geli.
Kemudian dengan hati berdebar-debar, Puspasari ingin
membuktikan pengakuan yang pantasnya ada dalam
dongeng anak-anak saja. Ia segera melemparkan mo-
nyet ungu ke atas, tinggi sekali untuk ukuran suatu
lemparan benda sebesar anak umur 7 tahunan.
Pada saat monyet ungu melayang, segera saja
ia manfaatkan untuk bersalto tujuh kali. Jurus Luing
Ayan-7 digunakan oleh Suro Bodong. Tentu saja se-
mua mata jadi terbelalak kaget dalam kekaguman, ka-
rena pada saat putaran salto ke tujuh kali itu, tubuh
monyet ungu berubah menjadi sosok seorang pendekar
tampan yang gagah perkasa. Dialah Suro Bodong da-
lam ujud Panji Bagus.
Puspasari terbengong-bengong tak berkedip
memandang ketampanan Panji Bagus. Matanya begitu
bening, teduh dipandang. Rambutnya lurus, halus ber-
jatuhan di pundak bagai benang-benang sutra. Panji
Bagus mengenakan ikat kepala dari tali emas bagai si-
sik naga. Bibirnya tampak segar, seperti bibir seorang
putri gunung es. Pada saat itu, Panji Bagus menahan
nafas beberapa saat dan menggerakan kedua tangan-
nya ke atas. Lalu pedang Urat Petir yang kali ini biasa
tampak di punggung, kini tidak lagi bisa kelihatan di
mata umum.
"Kau... Panji Bagus?" tanya Puspasari berdebar-
debar.
"Benar, Putri Gunung...!" jawab Panji Bagus
dengan menunduk memberi hormat. Puspasari sema-
kin berdebar-debar jadinya.
LIMA
Segunung kebahagiaan menyelimuti hati Pus-
pasari. Matanya yang bulat indah itu sejak tadi bagai
tak mau lepas memandangi wajah Panji Bagus. Bah-
kan dalam acara makan pagi bersama, Puspasari sen-
gaja mengambil tempat duduk yang berseberangan
dengan Panji Bagus. Sementara itu, Soca dan Paksi
mulai menyadari adanya perhatian lain dari Puspasari.
Sewaktu mereka berdua menyiapkan makanan pagi di
dapur, Soca sempat berbisik kepada Paksi.
"Agaknya pemuda itu membawa suasana lain di
antara kita. Aku mencium gelagat yang bakal menjadi
tak beres."
Paksi masih menahan diri dengan berkata, "Ah,
belum tentu. Itu karena rasa iri dan cemburumu saja
yang mulai menghantui jiwamu."
Padahal dalam hati Paksi sendiri merasa, me-
mang akan ada suasana lain di Pesanggrahan Wanara
Teja ini. Puspasari sangat akrab, cepat sekali tergiur
oleh ketampanan Panji Bagus. Apalagi tubuh pemuda
yang mengaku sebagai pangeran kena kutuk itu begitu
tegap. Dadanya bidang dan membusungkan otot yang
kekar. Lengan-lengannya pun kelihatan penuh tenaga
tersimpan di sana. Wajahnya sendiri sering membuat
jantung Puspasari berdebar-debar ingin meledak. Wa-
jah Panji Bagus begitu tampan, berkulit halus, mirip
seberkas busa-busa salju. Puspasari bagai tak ingin
beralih pandang dalam sekejap. Sejak tadi ia banyak
bicara, banyak canda dan tak segan-segan mencubit
Panji Bagus. Bagi Suro Bodong, inilah saat yang di-
tunggu.
Suro Bodong memerankan gaya Panji Bagus
sebagai pemuda lugu yang kurang berminat terhadap
perempuan. Ketika Puspasari bertanya:
"Apakah kau sudah punya kekasih di negeri-
mu?"
Panji Bagus menjawab, "Dulu pernah, tapi se-
karang sudah tidak lagi."
"Kekasihmu pergi?"
"Menikah dengan pemuda lain sejak ia tahu
aku dikutuk jadi monyet. Aku melihat sendiri perkawi-
nan mereka, aku hadir di situ, tetapi aku segera diusir
oleh pelayan-pelayannya yang tidak tahu siapa aku se-
benarnya."
Puspasari menggumam, lalu menghela nafas
dalam-dalam. "Kasihan sekali nasibmu," ujarnya entah
dengan hati tulus atau hanya kata pemanis bibir, bagi
Panji Bagus itu tidak menjadi masalah. Yang penting ia
bisa menciptakan simpati sendiri terhadap Puspasari.
"Aku di sini mempunyai dua murid yang masih
menuntut ilmu. Mereka sebentar lagi akan rampung,
dan kuizinkan turun gunung untuk mencari pengala-
man," kata Puspasari. "Apakah kau berminat untuk
menimba ilmu dariku?"
"Aku...?" Panji Bagus tersenyum malu, dan se-
nyuman itu membuat gemetar hati Puspasari. Puspa-
sari menggigit bibirnya sendiri, menahan sesuatu yang
bergejolak.
"Aku tahu, kau pasti mempunyai ilmu silat
yang cukup lumayan," kata Puspasari. "Tetapi apabila
kau belajar denganku, kau akan menjadi lebih terpan-
dang di kancah persilatan dunia."
Panji Bagus tertawa malu dibikin-bikin. Ia ber-
kata lirih, "Apa saja perintahmu akan kulakukan, Putri
Puspa. Aku kan sudah berjanji untuk mengabdi kepa-
damu."
"Kalau aku memerintahkan kamu belajar ilmu
peninggalan Ki Destak, apa kau mau?"
"Aku harus mau, karena kau lah yang sedang
kulayani."
Puspasari tertawa senang kendati ditahan-
tahan.
"Jadi kau mau melayaniku apa saja yang kupe-
rintahkan?"
"Ya. Kau yang membebaskan aku dari penga-
ruh kutukan sihir itu, dan sudah sepatutnya aku me-
layanimu, Putri."
Gerakan mata yang bulat bening milik Puspa-
sari itu sudah merupakan gerakan yang penuh arti. Ia
berjalan ke halaman samping untuk menemui kedua
muridnya. Sementara itu, Panji Bagus bergerak mela-
lui pandangan mata, mencari tempat penyimpan peti
berisi kain halus warna biru muda itu. Selembar kain
yang mampu menghidupkan Puspasari yang telah ma
ti. Ia punya rencana untuk mencuri kain tersebut apa-
bila keadaan sudah mengizinkan.
Puspasari datang bersama kedua muridnya:
Paksi dan Soca. Agaknya ada sesuatu yang ingin dibi-
carakan siang itu.
"Panji, aku ingin menyuruhmu mengerjakan
sesuatu," kata Puspasari. Panji Bagus mengangguk da-
lam senyum tipis yang menggetarkan hati perempuan
mana pun
"Tugas apa yang harus kukerjakan?"
"Mencari orang yang memiliki pusaka Pedang
Urat Petir," jawab Puspasari. "Orang itu yang membu-
nuh guruku; Ki Destak. Ia ada di Kesultanan Praja. Te-
rus terang, aku sendiri belum bisa memastikan sebe-
rapa tinggi ilmu orang itu. Tapi aku harus hati-hati da-
lam bertindak. Sebab itu aku ingin dia keluar dari ka-
marnya, dan melakukan suatu pertarungan yang bisa
kujadikan ukuran kekuatannya."
"Aku paham. Lalu...?"
"Kau kutugaskan menangkap dia dalam ke-
adaan hidup. Aku ingin kekuatan orang itu lumpuh
sebelum dia berhadapan denganku. Dan hanya aku
yang berhak membunuhnya, ingat?"
"Aku ingat, Putri." Panji Bagus menjawab de-
ngan penuh hormat dan ketegasan. "Kapan aku harus
bergerak?"
"Nanti malam. Sekarang, aku akan menyuruh
Soca dan Paksi untuk mempelajari suasana di dalam
benteng Kesultanan. Lalu, sebelum tengah malam, me-
reka sudah harus sampai di sini membawa beberapa
keterangan dan rincian keamanan di benteng kesulta-
nan. Dan, tengah malam kau bergerak menculiknya
dengan bantuan monyet-monyet sebagai pembuat ke-
rusuhan untuk mengacaukan perhatian mereka."
"Aku paham," jawab Panji Bagus.
"Soca dan Paksi...! Sekarang juga kalian be-
rangkat, dan selidiki dengan cermat keadaan di sana.
Aku ingin hari ini sampai tengah malam nanti, orang
itu sudah ada di tanganku. Mengerti?"
"Mengerti, Guru..." jawab Paksi dan Soca. Ke-
mudian mereka berdua diizinkan berangkat turun gu-
nung. Di perjalanan, Paksi sempat berkata kepada So-
ca:
"Mengapa guru menguji kesetiaan Panji dengan
cara seperti itu? Kalau dia keluar tengah malam, dia
bisa saja lari pulang ke negerinya."
"Aku yakin, nanti malam guru akan mengiku-
tinya dari kejauhan. Begitu dia ada gelagat mau mela-
rikan diri, maka guru akan segera membunuhnya."
"Ah, tapi itu cara yang salah untuk menguji ke-
setiaan Panji. Bisa saja dia tidak lari, tapi malah ber-
komplot dengan orang-orang Kesultanan Praja," Soca
masih menampakkan kecemasannya.
Namun, lagi-lagi Paksi membesarkan hati Soca
dengan mengatakan, bahwa Puspasari gurunya bukan
orang bodoh yang mudah tertipu.
Memang, hasil pembicaraan singkat antara
Puspasari dan kedua muridnya adalah kesepakatan
menguji kesetiaan Panji Bagus. Puspasari ingin menu-
runkan ilmunya kepada Panji Bagus, tetapi kedua mu-
ridnya itu menyangsikan kesetiaan Panji Bagus. Paksi
dan Soca khawatir, kalau ilmu peninggalan Eyang
Guru Destak diberikan kepada orang lain, dan orang
itu menguasai, maka ada orang di luar mereka yang
juga menguasai ilmu langka peninggalan Ki Destak.
Paksi dan Soca tidak ingin ada orang lain yang mem-
punyai ilmu sama dengan mereka. Mereka ingin paling
unggul dari semua orang-orang berilmu. Sebab menu
rut pendapat mereka berdua, bahwa semua ilmu yang
telah dimilikinya itu jarang ada di jagad raya, jarang
ada yang memilikinya, sehingga mereka berdua akan
menjadi orang yang mempunyai keistimewaan tersen-
diri di antara sekian banyak jago-jago silat dunia.
Untuk menenangkan hati murid-muridnya,
Puspasari mempunyai rencana menguji kesungguhan
Panji Bagus dalam mengabdi. Tugas menangkap orang
yang memiliki pedang Urat Petir adalah suatu uji coba
akan kesungguhan Panji Bagus. Puspasari juga tahu,
dalam tugas itu banyak peluang untuk lari dan berk-
hianat, tapi ia sudah punya rencana sendiri jika hal itu
benar-benar dilakukan oleh Panji Bagus.
Tapi, sebenarnya kekhawatiran Puspasari tidak
sebesar kekhawatiran kedua muridnya. Puspasari le-
bih mempunyai rasa percaya yang besar, bahwa Panji
Bagus akan berhasil dipikatnya jika ia berhasil menga-
jaknya berlayar di lautan mimpi yang indah. Dia yakin,
bahwa Panji Bagus akan merasa senang berada dalam
pelukannya, dan ia pun akan merasa bahagia dalam
pelukan Panji Bagus. Oleh sebab itu, hubungan mere-
ka pun menurut Puspasari tidak cukup setahun dua
tahun, namun bisa jadi akan selamanya.
"Di sini suasananya sangat sepi, ya?" ujar Panji
Bagus ketika ia diajak jalan-jalan mengelilingi Pe-
sanggrahan Wanara Teja.
"Hanya aku dan kedua muridku yang mengua-
sai gunung ini," kata Puspasari. "Dan setiap harinya,
hanya kami bertiga yang mengisi canda di gunung ini."
'Tentu sebuah canda yang lain dari yang lain,
bukan?" pancing Panji Bagus.
Puspasari tersenyum tipis. Ketika sampai di
padang rumput yang tidak banyak semak berduri, dan
tempatnya sedikit luas karena banyak pohon yang di
tebangi, Puspasari berkata, "Di sini dulu aku diajar
oleh guruku untuk memperdalam ilmu silat. Dan di si-
ni juga aku sering menurunkan ilmu itu kepada Soca
dan Paksi."
"Apakah tidak takut dicuri orang ilmu kalian
itu?"
"O, tidak. Di sini tidak akan ada orang lain yang
bisa mengintai dan mencuri jurus-jurus kami. Untuk
mendaki ke mari, mereka membutuhkan keberanian
yang benar-benar tangguh. Banyak binatang buas di
lereng gunung. Dan kera-kera ganas paling ditakuti
oleh orang di sekitar kaki gunung Buramang ini."
Puspasari berdiri di tengah padang rumput
yang agaknya memang dirawat dari dulu sebagai tem-
pat berlatih yang alami. Panji Bagus sedang meneliti
keadaan sekeliling. Oh, benar. Tempat itu benar-benar
tempat yang sepi, layak untuk dijadikan pusat latihan
ilmu kanuragan dan tenaga dalam. Pantas kalau Pus-
pasari dan muridnya yakin betul bahwa mereka mem-
punyai ilmu yang langka di jagad raya ini.
"Panji, seranglah aku," kata Puspasari.
Panji terperanjat sekejap. Ia memandang Pu-
spasari dengan dahi berkerut. Puspasari tersenyum
manis dan mengulangi perintahnya:
"Seranglah aku, Panji... aku ingin tahu sebera-
pa tinggi ilmu yang kau miliki. Lalu, akan ku tambah-
kan beberapa ilmu yang belum kau miliki."
"Putri, aku tidak ingin mencobaimu dengan
kemiskinan ilmuku. Aku tidak mau takabur dengan
apa yang kumiliki."
Puspasari menggeleng. "Aku tidak menyuruh-
mu takabur, tetapi aku ingin memberikan sesuatu pa-
damu. Lakukanlah yang terbaik menurut pandangan-
mu. Seranglah aku..."
Karena di desak berulangkali, Panji Bagus pun
segera melakukan serangan terhadap diri Puspasari. Ia
melesat dengan jurus tendangan menyamping. Puspa-
sari menangkisnya, hanya dengan mengibaskan tan-
gan kirinya ke kiri. Lalu tangan kanannya meluncur
cepat, menghantam dada Panji Bagus. Panji menahan
dengan telapak tangan kanan yang terbuka. Pukulan
Puspasari menghantam telapak tangan Panji Bagus,
namun sikunya segera ditekuk ke depan dan meng-
hantam wajah Panji. Hanya saja Panji Bagus segera
menghindar dengan cara memiringkan kepala ke ka-
nan. Ketika kepalanya miring ke kanan, kaki kanan
Puspasari bergerak naik, menendang kepala Panji. Te-
tapi tangan kiri Panji segera bergerak ke kanan, meng-
hentakkan kaki Puspasari sehingga kaki itu terbuang
ke samping kanannya.
Semua gerakan dilakukan dengan cepat se-
hingga serangkaian jurus itu merupakan satu gebra-
kan yang tak kentara. Tahu-tahu keduanya mental ke
belakang bersamaan. Puspasari sedikit limbung, na-
mun segera tegap berdiri. Ia tersenyum sambil mema-
sang kuda-kuda kembali. Lalu, ia bergerak cepat da-
lam melayangkan tubuh dan berani bersalto dalam ja-
rak separuh badan dari tanah. Panji Bagus mengge-
rakkan pukulan berganda, lalu menebaskan tangan
kanannya bagai sedang menyongsong dagu lawan dari
bawah ke atas. Tetapi Puspasari melentikkan kaki ke
arah lain dan berguling di rerumputan, lalu siap dalam
posisi salah satu lututnya menapak ke tanah dan kaki
yang lain menekuk tegap menginjak tanah. Ia berdiri,
lalu mengikik seraya mengunjukkan genggamannya.
"Ada sesuatu yang hilang pada dirimu, Panji,"
katanya. Kemudian ia membuka genggamannya, dan
ternyata tiga buah kancing pengikat celana Panji telah
berhasil diserobotnya tanpa membuat Panji terasa.
Tentu saja Panji terbelalak kaget, karena dengan begi-
tu berarti celanannya sudah tidak mengancing lagi,
untung masih ada sabuk yang mengikatnya di bagian
perut.
Tetapi Panji buru-buru tersenyum ketika Pus-
pasari tertawa penuh kegelisahan. Ia puas bisa menge-
cohkan Panji Bagus dalam gerakan yang menyerang
bagian rawan pemuda ganteng itu. Namun, sesaat ia
terhenyak ketika Panji Bagus berkata:
"Untung aku sudah siap sedia." Panji berjalan
agak mendekat. "Lihat penutup dadamu, Putri Puspa.
Kenapa tidak kau rapatkan?"
"Hah...?!" Puspasari membelalakkan mata de-
ngan wajah memerah ketika ia menunduk dan mene-
mukan kain penutup dadanya telah sobek bagian ten-
gah. Dan kini sedang menyibak ke kiri. Ia benar-benar
tak sadar kalau gerakan tangan Panji Bagus yang naik
ke atas itu adalah gerakan kuku merobek kain penu-
tup dada. Begitu cepat dan tajamnya gerakan kuku itu
sampai-sampai Puspasari tidak terasa bahwa dadanya
terkuak begitu nyata.
Puspasari menggeram gemas. Ia mencabut pe-
dangnya yang bertengger di punggung. Panji Bagus
terkejut,
"Maafkan, Putri Puspa... kumohon ini hanya
suatu permainan saja. Jangan marah."
Puspasari tersenyum. "Aku tidak marah, tapi
aku akan membuat kejutan untukmu sebagai pemba-
lasan ini. Hiaat...!"
Puspasari berguling-guling di tanah dengan ce-
pat, lalu ketika tiba di depan Panji Bagus ia mengge-
rakkan pedangnya bagai hendak menusuk dagu Panji.
Untung Panji segera mendongak, sehingga pedang itu
melesat di udara, menusuk tempat kosong. Pada saat
itu, dengan cepat Panji Bagus menendang perut Pus-
pasari tersentak ke belakang, dan jatuh telentang. Pan-
ji segera memburu dan berguling ke sampingnya den-
gan gerakan tangan menebas dagu Puspasari. Tetapi
Puspasari segera berguling ke kanan, dan tangan Panji
Bagus berhasil memukul pinggang Puspasari sehingga
Puspasari menggeliat kesakitan. Walau tak seberapa,
namun sudah menunjukkan bahwa ia merasakan sa-
kit akibat pukulan di pinggangnya. Ia buru-buru
bangkit dengan salah satu lutut menempel di tanah
dan kaki yang lain menapak di tanah.
Ia mengatur nafasnya, lalu tersenyum bangga.
Pedang di masukkan kembali. Panji Bagus berdiri, dan
ia buru-buru memegangi celananya, karena ternyata
Puspasari sudah berhasil memotong sabuknya sehing-
ga celana itu terlepas ke bawah. Dengan sangat terke-
jut Panji Bagus buru-buru menarik celananya, se-
dangkan Puspasari tertawa terpingkal-pingkal melihat
kejadian konyol yang menggelikan itu.
"Iihh... jorok kamu, ah! Masa di depanku kau
pamerkan senjata rahasiamu," Puspasari semakin ter-
pingkal-pingkal.
Panji Bagus menenangkan diri walau wajahnya
memerah. Ia hanya berkata dengan nada setengah ter-
tawa:
"Kau sendiri mengapa melepas celanamu, Putri
Puspa?"
Puspasari terperanjat. Ia memeriksa celananya,
oh... ternyata ia hanya ditipu oleh Panji Bagus. Cela-
nanya tak ada yang robek sedikit pun. Ia segera terse-
nyum sambil melirik genit.
"Kau penipu kelas kecil ya..."
Puspasari tertawa riang, dan berdiri hendak
menghampiri Panji Bagus. Tapi tiba-tiba, dia merasa-
kan hawa dingin menerpa kulit tubuhnya. Buru-buru
ia membelalakkan mata. Astaga...! Ternyata celana
yang sepanjang lutut ke bawah itu telah robek bagian
belakangnya, dari pinggang sampai ke bawah pantat-
nya. Celana itu bagai mengelupas ke depan sehingga
sesuatu yang ditutupi selama ini terkuak jelas di mata
Panji Bagus.
"Ooh...?! Kau gila...!!" teriaknya tanpa sadar.
Lalu, ia segera menyerang Panji Bagus dengan satu
pukulan. Panji Bagus terpaksa melepaskan pegangan
tangannya pada sabuk karena ia sibuk menangkap
tangan Puspasari. Pukulan berganda itu segera di
tangkap dan dipelintirnya. Puspasari mengerang kesa-
kitan, dan kaki Panji menjegal kaki Puspasari. Jatuh-
lah Puspasari ke rerumputan, lalu dengan cepat dan
tangkas paha Panji menghimpit kepala Puspasari, per-
sis di lehernya.
"Eekhh...!" Puspasari sukar bernafas. Ia menye-
ringai menahan sakit. Kalau saja Panji mau, leher itu
bisa patah saat itu juga. Tetapi Panji sadar, ia tak bo-
leh membunuh Puspasari dalam keadaan seperti itu. Ia
merenggangkan jepitan pahanya. Namun ia lupa bah-
wa saat itu ia sudah tak sempat mengenakan penutup
bawah. Celananya telah lepas dari sabuk dan melorot
ke bawah. Sedangkan pada saat itu wajah Puspasari
tepat di sela pahanya.
Panji mengendurkan penjepit dan hendak me-
lepaskannya, tetapi tangan Puspasari bahkan mera-
patkan paha Panji agar tidak merenggang dan pergi.
Mata Puspasari terbelalak lebar penuh gairah. Ia me-
mandang sesuatu yang menjadi kegemarannya. Se-
buah 'senjata' milik Panji Bagus yang kelihatan lebih
unggul ketimbang yang dimiliki Soca dan Paksi.
Puspasari mendesis, bahkan sempat mengucap
kata,
"Woow...?!!! Jangan lepaskan aku...! Oh, ja-
ngan...!"
Panji Bagus merasa, inilah saatnya untuk ber-
buat. Dan dia membiarkan Puspasari mengagumi
'senjata rahasianya' yang membuat mata perempuan
itu tidak berkedip sekali pun. Puspasari tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ibarat kerupuk,
Puspasari tidak mau membiarkan kerupuk itu menjadi
dingin dihembus angin. Karenanya, dengan sangat be-
rapi-api, Puspasari membangkitkan sesuatu yang tidur
menjadi tegar. Semangat yang lesu menjadi bergairah
menyala-nyala seperti yang ada pada dirinya. Puspasa-
ri tidak peduli bibir yang indah miliknya itu hanya
pantas untuk dinikmati oleh bibir Panji Bagus. Puspa-
sari juga tidak mau tahu apa gunanya lidah bagi pe-
rangkat kehidupan tubuh manusia. Ia menggunakan
semua itu untuk memacu semangat Panji Bagus yang
ternyata semakin mengagumkan dalam keadaan se-
mangat yang terpacu kuat itu.
"Ooh... ini yang kudambakan selama ini! Ter-
nyata terselip pada dirimu, Panji. Ooh... aku ngantuk,
Panji...!" Dan ia pun segera merebah di rerumputan
tanpa peduli keadaan pakaiannya sudah mirip orang
gelandangan. Ia tak peduli rumput menyentuh kulit
tubuhnya yang mulus, bahkan ia memohon dalam su-
atu rengekan agar Panji menyempurnakan keadaan
tubuhnya itu.
Panji sendiri sudah terlanjur dibius oleh kehan-
gatan lidah Puspasari sehingga ia tak mau menunda
untuk berjalan ke sebuah kamar. Alam pun dianggap-
nya sebuah kamar yang nyaman dan rumput pun dija-
dikan seperti bludru yang halus lembut.
"Panji... Aauhh...!" Puspasari terpekik dan ter-
sentak-sentak. Ia seperti cacing kepanasan di sebuah
daratan. Ia pun ikut mendayung perahu agar lekas
berlayar ke puncaknya, untuk kemudian mereka akan
mengulanginya di sebuah kamar. Ayunan dayung Panji
membawa perahu ke ujung samudera, dan Puspasari
semakin menjadi gila, memekik beberapa kali dengan
suara lepas. Mengerang dalam geliat birahi yang mem-
bakar darah.
Lalu, pada detik-detik Panji mendekati ujung
suatu pelayaran. Ia memejamkan mata. Ada sesuatu
yang dibaca. Dan wajah serta badannya menjadi me-
mar memerah, seperti ayam dalam penggorengan. Ge-
rakannya semakin cepat, membuat perahu yang di-
kendalikan bertambah brutal. Sampai akhirnya, tubuh
yang memerah itu tiba-tiba seperti sinar lampu yang
kehabisan minyak. Surut dalam sekejap ketika Puspa-
sari memekik tinggi sekali.
"Aaaaahhhh...!!" Dia terlempar ke puncak suatu
kebahagiaan, namun juga terdampar di puncak itu se-
hingga tak dapat kembali lagi. Panji Bagus buru-buru
berdiri dan menyaksikan betapa menyedihkan sekali
tubuh Puspasari itu berkelojot menerima Jurus Tom-
bak Dewa Sakti. Kulitnya mulai mengelupas. Teria-
kannya semakin kuat. Ia menggelepar-gelepar seperti
ayam dipotong. Kian lama kulit itu kian mengelupas
banyak, mengeluarkan cairan amis. Merah warnanya.
Lalu sekujur tubuh itu menjadi berdarah, kulitnya
nyaris tak ada yang menempel di daging. Dan, akhir-
nya ia pun menjerit panjang sekali, kemudian surut,
surut, dan nafas terakhirnya dihembuskan lepas. Pus-
pasari diam tanpa nyawa.
Panji Bagus terhempas lega. Lalu ia memenggal
kepala Puspasari yang masih berbentuk wajah asli
hanya tanpa kulit itu. Kepala itu segera dibungkus
kain keramat yang pernah menghidupkan mayatnya,
kemarin. Tak lupa, Panji pun menuliskan sebuah surat
untuk murid Puspasari yang berbunyi: Kalau Gurumu
Saja Bisa Kubunuh, Apalagi Kalian?
Lalu, Panji Bagus bersalto satu kali, jadilah ia
sebagai Suro Bodong. Dengan tegap, ia menenteng ke-
pala dibungkus kain biru muda, dan ia serahkan
penggalan kepala itu kepada Sultan, sebagai tanda ia
telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar