..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE RAHASIA TOMBAK DEWA

Rahasia Tombak Dewa

 RAHASIA 

TOMBAK DEWA

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Suro Bodong

dalam kisah Rahasia Tombak Dewa

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.7


SATU


Semua orang melihat kilatan cahaya merah di 

langit yang gelap. Banyak yang berkumpul di alun-

alun untuk melihat cahaya merah itu melesat dari 

arah Timur ke Barat. Tetapi setiap cahaya merah pijar 

itu hendak ke Barat, selalu saja disambut oleh kilatan 

cahaya biru yang datangnya dari Barat. Kilatan cahaya 

biru itu menghantam cahaya merah. Kemudian timbul 

satu ledakan yang membuat orang-orang tercekam ra-

sa takut. Ledakan itu mengakibatkan bumi bergun-

cang bagai dilanda gempa.

"Pasti itu aji Birawagama yang dihantam aji 

Panjardamo," ujar salah seorang penduduk kepada 

temannya. Kepala mereka masih mendongak ke langit. 

Ada lagi yang berkata:

"Kurasa itu benturan aji Sosrogeni dengan pu-

kulan Kumbawayan. Sosrogeni milik Ki Destak, dan 

Kumbawayan milik Resi Buntoro."

"Memangnya mereka berada di mana?"

"Kalau menurut kabar yang kudengar, Resi 

Buntoro ada di lereng gunung Manduro, sedangkan Ki 

Destak... kalau tidak salah mendiami pesanggrahan 

Wanara Teja, di puncak gunung Buramang. Mereka 

memang bermusuhan sejak ratusan tahun yang lalu. 

Itu menurut cerita para sesepuh kita...."

Banyak yang saling berkisah sendiri-sendiri. 

Mereka masih sesekali memandang ke atas, karena ki-

latan cahaya merah dan biru yang, saling berbenturan 

itu sudah terjadi selama dua hari. Bahkan pada saat 

siang hari pun pernah terjadi hal serupa dan meng-

guncangkan tanah Kesultanan Praja.

Para penghuni istana Kesultanan pun banyak


yang melihat kejadian yang menegangkan itu. Dari da-

lam pagar istana pun dapat kelihatan jelas kilatan ke-

dua cahaya yang saling berbenturan dahsyat itu. Ada 

yang melihat dari dalam komplek istana, ada yang ke-

luar, ke alun-alun, menyaksikan peristiwa aneh itu 

bersama-sama rakyat lainnya.

Khususnya pada malam hari, cahaya yang sa-

ling bertabrakan di angkasa itu dapat dijadikan tonto-

nan menarik, namun juga menggetarkan hati. Malam 

ini sudah terjadi tiga kali benturan dahsyat yang 

membuat tanah bagai diguncang gempa. Malam kema-

rin sampai tujuh kali, dan siangnya dua kali. Bahkan 

malam ini, mereka pun melihat kembali melesatnya si-

nar merah dengan ujung bagai bola api. Sinar itu kem-

bali dihantam oleh cahaya biru yang mirip tombak 

panjang melesat dari Barat.

"Hei, lihat...! Lihat, sinar biru itu tidak tepat 

pada sasaran...!!" teriak beberapa orang sambil menud-

ing ke langit.

Sinar biru meleset, tidak membentur cahaya 

merah yang mirip bola api kecil itu. Mereka semakin 

tegang. Apa yang akan terjadi jika begitu?

"Wah, wah... yang biru berbalik arah. Nah, ber-

balik arah, kan?!"

"Iya. Benar lho... yang biru sekarang jadi me-

ngejar sinar merah."

"Astaga...! Sekarang malah sinar biru itu berge-

rak dengan kecepatan luar biasa. Dan... wah, kena... 

kena…!"

"Blaaar...!!"

Beberapa orang terpelanting jatuh karena ta-

nah nyata sekali mengalami guncangan dahsyat. Leda-

kan yang terjadi akibat sinar biru menghantam bola 

api dari belakang membuat sebuah pohon tumbang.


Hampir saja menimpa seorang anak belasan tahun. 

Ledakan itu adalah ledakan yang paling besar dari se-

tiap ledakan yang sudah-sudah. Guncangan pada ta-

nah terlihat dan terasa jelas. Penduduk pun menjadi 

panik dicekam ketakutan. Bahkan sudah ada yang 

mengeluarkan beberapa barang rumahnya, siap untuk 

mengungsi jika terjadi gempa bumi yang mengerikan.

Peristiwa itu menjadi peristiwa yang meresah-

kan penduduk Kesultanan Praja. Bukan hanya rakyat 

yang membicarakan, tetapi para pejabat Kesultanan 

pun sibuk membicarakannya.

"Keadaan kita sungguh kurang baik dalam ma-

salah ini," kata Demang Sabrangdalu. "Kalau memang 

ledakan itu ditimbulkan karena perang jarak jauh, adu 

kesaktian antara penguasa Gunung Manduro dengan 

penguasa Gunung Buramang, maka jelas keadaan kita 

sangat tergencet. Kesultanan ini ada di tengah-tengah 

antara kedua gunung itu. Dan mereka saling baku-

hantam di pertengahan jarak mereka, maka sudah ten-

tu Kesultanan kita akan menjadi korban. Hal ini tidak 

bisa dibiarkan begitu saja, menurut saya, Kanjeng."

"Kita harus bertindak, sebelum rakyat dan ne-

geri menjadi korban adikuasa mereka," timpal Ki Patih 

Danupaksi.

"Apakah baik... kalau kita bertindak di luar 

urusan kita?""sahut Eyang Panembahan dengan ka-

lem. "Itu kan sama saja mencampuri urusan orang 

lain?"

"Tapi urusan itu mengeluarkan getah, dan kita 

yang terkena getahnya, Eyang." Demang Sabrangdalu 

mendebat.

"Jangan sampai kita dijadikan korban nafsu 

mereka, Kanjeng. Kita tidak punya urusan dengan me-

reka, kita tidak mengganggu mereka, jadi kita pun ti


dak ingin terlibat urusan dengan mereka."

"Benar kata Ki Patih Danupaksi," sahut Eyang 

Panembahan. "Kita jangan terlibat urusan dengan me-

reka, karena itu kita jangan ambil tindakan dan mela-

kukan hal-hal yang merugikan mereka. Kan begitu, 

Kanjeng Sultan?"

Sultan Jurujagad manggut-manggut dengan 

penuh bijaksana. Sementara itu, putrinya yang ber-

nama Nyi Mas Sendang Wangi mulai ikut angkat bica-

ra:

"Kalau rakyat menjadi resah dan serba ketaku-

tan, itu berarti kita telah terlibat, Eyang."

"Nah, benar itu!" sahut Demang Sabrangdalu.

"Mau tidak mau, karena keadaan kita di ten-

gah-tengah mereka, maka kita juga yang menjadi kor-

ban di luar kesadaran mereka," tambah Nyi Mas Sen-

dang Wangi.

Pada saat itu, terdengar lagi ledakan yang 

menggema panjang. Tanah bagaikan miring ke kiri dan 

ke kanan. Ketegangan terjadi lagi, bukan pada rakyat 

saja, tetapi dalam pertemuan itu pun ada ketegangan 

dan kecemasan. Lalu, guncangan tanah menjadi reda. 

Dan mereka menghela nafas bersama-sama. Ki Patih 

Danupaksi unjuk bicara:

"Ini sama saja mengganggu ketentraman kita, 

bukan? Kalau setiap saat terjadi guncangan seperti ini, 

rakyat mana yang bisa hidup dengan tenang?"

Sultan Jurujagad mulai bicara walau hanya be-

berapa kata. Ia tampak hati-hati mengambil keputu-

san.

"Aku ingin mendengar pendapat menantuku, 

Suro Bodong. Di mana dia saat ini? Mengapa tidak ikut 

hadir dalam pertemuan khusus ini?"

Nyi Mas Sendang Wangi yang menjawab, sebab


dialah istri syah Suro Bodong.

"Dia sedang di dapur."

Demang Sabrangdalu tertawa pendek. "Bagai-

mana Suro itu? Dia kan sebagai Senopati di Kesul-

tanan ini? Masa' seorang Senopati lebih suka non-

gkrong di dapur ketimbang berbicara dalam Paseban?"

Eyang Panembahan pun tersenyum geli. "Agak-

nya ia lebih tertarik dengan jagung bakar kesukaannya 

ketimbang melihat pertarungan dua kekuatan di uda-

ra."

Ki Patih hanya geleng-geleng kepala. Ia me-

nyembunyikan senyum geli juga mengingat jagung ba-

kar Suro Bodong. Ia sendiri heran, mengapa Suro Bo-

dong masih saja mencintai jagung bakar daripada is-

trinya. Padahal dia sudah punya jabatan. Sudah men-

jadi pejabat. Seorang Senopati perang! Ah, cukup aneh 

kalau seorang Senopati perang lebih sibuk mengurus 

jagung bakar daripada senjata atau pusaka.

"Panggil dia ke mari," perintah Sultan kepada 

putrinya, yang menjadi istri Suro Bodong. Sementara 

Nyi Mas Sendang Wangi pergi memanggil Suro Bodong, 

Sultan bicara kepada Eyang Panembahan yang diang-

kat menjadi penasehat Kesultanan Praja.

"Menurut Eyang, apakah perlu kita mengirim 

utusan ke Gunung Manduro?"

"Dalam hal ini yang diperhitungkan adalah, 

siapa yang harus ditemui? Penguasa gunung Manduro, 

atau penguasa gunung Buramang? Atau keduanya?"

"Apakah mungkin kita mengirimkan utusan 

kedua gunung sekaligus, Eyang?"

"Kenapa tidak? Itu berarti kita melepas dua 

utusan, satu ke gunung Buramang, satu lagi ke gu-

nung Manduro."

Gumam Sultan Jurujagad sangat pelan, dan


kepalanya mengangguk-angguk samar. Sejenak mere-

ka dicekam ketegangan lagi karena bunyi dentuman 

dahsyat di udara. Kedua sinar itu saling bertabrakan 

kembali. Langit jadi terang, menerangi seluruh wilayah 

Kesultanan Praja dan sekitarnya. Lalu sinar terang itu 

menjadi redup kembali, tetapi guncangan tanah masih 

terasa mendebarkan setiap jantung penghuni Kesulta-

nan Praja. Hanya saja, guncangan ini tidak sehebat 

guncangan tadi.

Suro Bodong muncul dari belakang, dan lang-

sung menuju ke Paseban. Sudah tentu semua mata 

tertuju padanya. Kenapa begitu? Ya, seperti kebiasaan 

yang sudah-sudah, Suro Bodong selalu tampil santai 

dan kalem. Seenaknya sendiri dalam berpenampilan. 

Baju merah lengan panjang tak pernah dikancingkan, 

walau pun dia menghadap Sultan. Celananya yang bi-

ru tua tidak pernah rapi, sekalipun dari bahan kain 

yang halus dan mahal. Rambutnya panjang tak pernah 

disisir, padahal istrinya sudah sering mengingatkan 

agar ia selalu menyisir rambut jika istrinya tak sempat. 

Dan jagung bakar selalu ada di tangannya. Jempol 

tangan kanan memetik-memetik jagung bakar itu, lalu 

menyuapkan ke mulutnya dengan santai, kendati ia 

harus berbicara dengan seorang sultan.

"Suro Bodong...!" sapa Sultan Jurujagad dengar 

tenang. Suro Bodong hanya menggumam, dan tetap 

berdiri, walau yang lainnya duduk bersila di hadapan 

Sultan.

"Kau sudah mendengar ledakan yang terjadi be-

rulangkali pada malam ini?"

"Sudah."

"Sudah tahu apa sebabnya terjadi ledakan?" 

"Sudah."

"Juga sudah tahu dari mana asal ledakan itu,


dan apa akibatnya bagi kita semua yang ada di Kesul-

tanan Praja ini?" berondong Sultan Jurujagad. Tapi 

Suro Bodong hanya menjawab seenaknya dengan 

singkat:

"Sudah..." ia sibuk memetik-metik biji jagung, 

lalu garuk-garuk kumisnya sejenak.

"Apa pendapatmu sebagai seorang Senopati di 

Kesultanan ini?" tanya Sultan Jurujagad dengan ka-

lem. Ia tidak tersinggung dengan sikap Suro, sebab ia 

sudah hapal pribadi menantunya.

"Apa pendapatmu mengenai ledakan itu, Suro?" 

sambung Sultan sekali lagi.

"Hebat...." 

Hanya itu jawaban Suro Bodong. Semua berke-

rut dahi, tak ada yang bicara atau memprotes. Semua 

bagaikan sedang menunggu kelanjutan ucapan Suro 

Bodong. Tapi, ternyata Suro tidak melanjutkan kata-

katanya lagi. Ia diam, juga menunggu komentar dari 

yang lain.

Akhirnya Ki Patih Danupaksi yang bicara kepa-

danya:

"Hebat bagaimana, maksudmu?"

"Ya, hebat...!" Suro melirik Ki Patih sambil me-

metik-metik jagung bakar. Ki Patih menghela nafas, 

dan menghempas, seperti sedang menahan rasa kesal. 

Barulah Suro Bodong berkata dengan tenang:

"Bagaimana tidak hebat, kalau dalam peristiwa 

yang menegangkan rakyat kecil itu kita hanya duduk-

duduk saja di sini? Aku sendiri sedang menunggu pe-

rintah, tapi tak ada perintah sejak kemarin. Kecuali 

hanya perintah agar jangan sering-sering makan ja-

gung bakar, nanti merusakkan gigi, itulah perintah da-

ri istriku yang barangkali kurang suka kalau gigiku 

rusak."


"Jadi, kau setuju kalau kita harus bergerak ke 

gunung Manduro atau ke gunung Buramang?" kata 

Sultan.

"Untuk apa?" Suro malah menampakkan ke-

bingungannya.

"Untuk mencegah kedua orang sakti itu agar 

jangan bertarung di atas wilayah kita," Sultan menje-

laskan.

"Ah, itu tidak perlu...!" setelah berkata begitu, 

Suro bergerak pelan, keluar dari Paseban dan menuju 

pintu gerbang.

Tentu saja hal itu membuat semua orang ter-

bengong-bengong memperhatikan sikap Suro Bodong. 

Demang Sabrangdalu hampir saja mengecam sikap 

Suro Bodong yang cuek itu, tapi Nyi Mas Sendang 

Wangi segera berkata:

"Dia punya pikiran yang lebih cepat dari kita, 

sehingga kadang-kadang kita heran melihat sikapnya."

"Hei, dia malah keluar dan berjalan-jalan santai 

begitu," cetus Demang Sabrangdalu. Eyang Pa-

nembahan berkata:

"Pasti dia tidak sekedar keluar begitu saja."

"Ki Patih, coba ikuti dia...!" perintah Sultan Ju-

rujagad.

"Sendiko, Kanjeng...!" Ki Patih pun pergi mengi-

kutinya.

Suro Bodong sangat santai melangkah menuju 

alun-alun sambil menikmati jagung bakarnya. Banyak 

orang yang menganggukkan kepala kepada Suro, 

memberi hormat dan tempat. Suro sangat akrab den-

gan rakyat jelata, sehingga beberapa orang tak segan-

segan memanggilnya, 

"Kang Suro... bagaimana kita ini?"

Suro memang lebih senang dipanggil "Kang"


walaupun dia seorang Senopati. Tapi ia pernah bilang, 

bahwa gelarnya sebagai Senopati tidak harus merubah 

gaya hidupnya yang merakyat. Senopati adalah gelar 

dalam jabatan. Tapi kang Suro adalah nama yang 

akrab dengan pribadinya.

"Kenapa baru keluar sekarang, Kang? Kita su-

dah diguncang gempa lebih dari tiga kali untuk malam 

ini saja. Belum malam kemarin!" kata salah seorang 

penduduk yang agaknya sudah sering ngobrol dengan 

Suro Bodong.

"Apa tindakan Kanjeng Sultan untuk mengatasi 

masalah ini, Kang?"

"Tindakan apa?" Suro Bodong malah bertanya 

dengan garuk-garuk kumisnya yang tebal itu.

"Kami resah, Kang. Kami semua takut kalau

kalau akibat kedua ilmu sakti itu kami menjadi kor-

ban. Siapa tahu tanah tempat kami berpijak lama-

lama bisa terbelah mendadak?"

'Terbelah? Ah, yang bukan-bukan saja omon-

ganmu, Jul!"

"Dentuman itu kan membahayakan keselama-

tan kita, Kang," kata yang lain. 

Suro menjelaskan dengan tersenyum geli.

"Kenapa harus membahayakan?" Suro keliha-

tan sabar.

"Ledakan itu kan akibat ilmu sakti yang hebat 

dan saling bertabrakan. Kalau...."

"Apanya yang hebat...?" potong Suro sebelum 

orang itu selesai berbicara. "Ilmu seperti itu kok hebat? 

Apa kalian pikir, kedua ilmu itu adalah terhebat di se-

luruh jagad ini?"

Orang-orang terbengong dan saling kasak ku-

suk, ada juga yang saling senggol-senggolan kecil sam-

bil bersungut-sungut saling menyalahkan temannya.


Pada waktu itu, sekilas sinar merah kembali melesat 

dari arah Timur. Seseorang berteriak sambil menuding 

angkasa:

"Itu dia...! Itu muncul lagi...!"

Semua orang mendongak, begitu juga Suro Bo-

dong. Sinar merah dengan ujung seperti bola api itu 

melayang cepat ke arah Barat. Pada saat itu juga, dari 

arah Barat melesat sinar biru berujung seperti seba-

tang tombak. Sinar biru itu melayang tertuju pada ge-

rakan sinar merah.

"Celaka, mereka hendak bertabrakan lagi...!!" 

seru beberapa orang.

Tetapi Suro Bodong segera menggerakkan tan-

gannya, meraba tangan kiri dengan cepat dan tahu-

tahu ia telah memegangi pedang Urat Petir pusakanya. 

Pedang itu memancarkan sinar ungu berkilauan. Lalu 

dengan gerakan cepat pedang tersebut diputar ke uda-

ra, di atas kepala. Kemudian berhenti seketika, ujung-

nya lurus menghadap ke atas. Dari ujung pedang itu 

keluarlah sinar ungu yang berkelok-kelok seperti arus 

sinar petir. Orang-orang menggumam kagum. Lagi-lagi 

mereka menggumam kagum setelah sinar ungu itu me-

lesat terus ke udara, dan menerobos ke tengah-tengah 

antara pertemuan sinar merah dengan biru. Kalau bi-

asanya kedua sinar itu bertabrakan dan menimbulkan 

ledakan, tapi kali ini tidak. Sinar merah dari Timur 

menghantam sinar ungu, dan sinar biru lawannya juga 

menghantam sinar ungu. Maka kedua sinar itu pun 

padam seketika tanpa menimbulkan suara ledakan 

yang mengguncangkan bumi. Lalu semua jadi sepi. 

Semua orang terbengong tanpa suara.

Mereka nyaris tidak percaya dengan apa yang 

dilakukan Suro Bodong. Ki Patih Danupaksi juga ter-

bengong dengan wajah bingung yang menggelikan hati.


Beberapa saat kemudian terdengar kasak kusuk di an-

tara mereka. Ki Patih Danupaksi segera menghadap 

Sultan dan melaporkan dengan nada suara tegang:

"Suro Bodong mengeluarkan Pedang Urat Pe-

tir...!"

"Untuk apa?!" Nyi Mas Sendang Wangi terpe-

ranjat kaget.

"Untuk menghadang kedua sinar itu, dan… dan 

apakah tadi ada yang melihat kedua sinar itu telah 

bertemu tapi tidak menimbulkan ledakan?!"

"Tidak timbul ledakan?!" Demang Sabrangdalu 

segera mohon izin untuk menyaksikan hal itu. Maka, 

semua pun keluar dari ruangan Paseban menuju alun-

alun.

Nyi Mas Sendang Wangi mendekati Suro Bo-

dong yang sedang menggeragot jagung bakar, sementa-

ra tangan kanannya memegangi Pedang Urat Petir 

yang dapat disembunyikan di dalam kulit daging len-

gan kirinya. Pedang itu masih memancarkan cahaya 

ungu di sekelilingnya. Suro sendiri masih mendongak 

ke atas, menunggu melesatnya kedua sinar dari dua 

arah.

"Kang Mas... apa yang kau lakukan?!" Nyi Mas 

Sendang Wangi memegang lengan Suro Bodong. Suro 

masih memperhatikan kearah atas. Ia berkata dengan 

suara tak begitu jelas, karena mulutnya mengunyah 

jagung bakar,

"Dua orang sakti yang sombong, mungkin akan 

terbengong melihat kenyataan kali ini," sahut Suro 

berhenti memandang ke atas. "Aku akan menangkal 

ilmu mereka dari sini."

"Apakah itu tidak berbahaya, Kang Mas?" Sen-

dang Wangi menampakkan kecemasannya.

"Ini hanya sekedar peristiwa pamer kekuatan.


Kedua belah pihak saling unjuk kedigdayaan dengan 

cara bertarung jarak jauh. Dan, aku juga akan ikut 

pameran ini, supaya mereka tahu bahwa mereka tidak 

pantas unjuk kekuatan di atas bumi Kesultanan Pra-

ja."

Beberapa saat kemudian, muncul lagi kilatan 

sinar merah dari Timur, disusul kemudian sinar biru 

dari Barat. Suro Bodong memutar pedangnya ke udara 

tujuh kali, lalu menghentakkan lurus ke langit, maka 

keluarlah sinar ungu berkelok-kelok bagai nyala kila-

tan petir. Sinar ungu itu menjadi penengah dari kedua 

sinar yang hendak bertabrakan di udara. Akhirnya, da-

ri Barat dan Timur saling bertabrakan, namun seketi-

ka karena ditahan sinar ungu dari Pedang Urat Petir.

Blabb... kedua sinar itu padam tanpa menim-

bulkan ledakan. Sinar ungu dari pedang Suro Bodong 

bagai ditarik mundur dan masuk ke dalam pedang ter-

sebut. Rakyat mulai bersorak lega dengan tepuk tan-

gan yang saling bersahutan. Sedangkan para pejabat 

Kesultanan pun menggumam terkagum-kagum melihat 

keampuhan pusaka Suro Bodong yang berhasil mena-

han kedua benturan sinar tersebut. Nyi Mas Sendang 

Wangi tersenyum seraya memegangi lengan suaminya 

semakin erat. Dalam hati ia cukup bangga mempunyai 

seorang suami yang sederhana, santai, tapi berilmu 

cukup tinggi.

Suro Bodong berjalan ke rombongan Sultan di 

depan pintu gerbang istana. Ia sempat melihat wajah 

sultan atau mertuanya itu tersenyum lega. Sementara 

itu, Demang Sabrangdalu masih menampakkan keka-

gumannya dari tadi.

"Hebat..! Hebat sekali kau, Suro...!" ujar Patih 

Danupaksi sambil menepuk-nepuk pundak Suro Bo-

dong yang masih memegangi pedangnya.


"Saya rasa kita tidak perlu mengirim utusan 

kedua gunung itu, Kanjeng!" usul Demang Sabrangda-

lu. Lalu ia berpaling memandang Suro Bodong, "Bu-

kankah itu sudah cukup, Suro?"

Suro menggumam sambil mengangguk. Ia ma-

sih menggerogoti jagung bakarnya sedikit demi sedikit. 

Namun selagi mereka sibuk berkagum diri, tiba-tiba 

sinar merah itu muncul lagi dengan kecepatan melebi-

hi semula.

"Sinar merah datang lagi...!!" teriak beberapa 

orang.

Suro Bodong mendongak ke atas, saat itu tepat 

muncul sinar biru dari Barat. Suro sempat mengge-

ram, "Kurang ajar! Belum jera juga mereka...!!"

Suro segera menjauh dari kerumunan mereka, 

lalu memegang pucuk pedangnya, membalikkannya. 

Posisi kedua kakinya merendah dengan jarak reng-

gang. Gagang pedang di arahkan ke atas, sedangkan 

pucuk pedang itu ditempelkan ke ulu hatinya. Ia men-

gambil nafas, menahannya di dada, kemudian segera 

menghentakkan nafasnya dengan kuat: "Heeah...!!"

Sesuatu yang sangat ajaib keluar dari gagang 

pedang. Semua orang yang ada di dekat Suro kebin-

gungan antara memandang ke atas dengan meman-

dang keadaan Suro. Sebab, gagang pedang itu menge-

luarkan aneka macam sinar berwarna-warna. Ada si-

nar yang menyorot lurus, ada yang bergelombang se-

perti spiral, ada yang patah-patah dan ada juga yang 

berkelok-kelok. Sedang warna sinar itu pun macam-

macam rupanya. Bisa jadi semua macam warna ada di 

dalam sinar-sinar yang menyerupai rombongan lidi 

melesat ke langit. Suro bertahan tidak bernafas bebe-

rapa lama.

Aneka macam sinar itu menghadang di perten


gahan kedua sinar dari Barat dan Timur. Ketika sinar 

dari Barat yang menyerupai bola api itu menghantam 

sinar dari gagang pedang Suro, maka sinar merah itu 

tidak padam, melainkan memantul berbalik arah. De-

mikian juga halnya dengan sinar biru dari Barat, keti-

ka membentur sinar pedang Suro membalik ke arah 

semula ia datang. Lalu Suro menghela nafas, dan ga-

gang pedangnya padam, tidak menyemburkan sinar 

aneka warna lagi.

"Sinar-sinar itu berbalik arah...! Pulang ke tem-

patnya! Gerakannya malah semakin cepat...!!" masing-

masing mulut menyerukan ungkapan hati dan penger-

tian nya masing-masing. Ricuhnya suara tidak mem-

buat Suro Bodong ikut bicara. Ia hanya menggeragot 

jagung sambil mendongak ke atas. Kemudian ia me-

langkah mendekati rombongan Sultan yang ikut tud-

ing-tuding dan mendongak ke atas. Suro menyem-

patkan memasukkan pedangnya ke dalam lengannya. 

Pedang itu bagai menyelusup di antara kulit dan dag-

ing lengan tanpa menimbulkan luka dan bekasnya se-

dikit pun. Itulah kehebatan Pedang Urat Petir, yang 

mampu disimpan di dalam bagian tubuhnya, sehingga 

ke mana pun Suro pergi, seakan ia tidak membawa 

senjata apa-apa.

Kericuhan mereka menjadi hening sejenak sete-

lah terdengar ledakan samar-samar dari arah Timur. 

Mereka saling bertanya dalam hati, meledak di mana 

sinar merah itu? Sedangkan tak berapa lama kemu-

dian, mereka juga mendengar ledakan yang samar-

samar, jauh sekali letaknya, tetapi yang jelas ledakan 

di arah Barat sana. Lalu, gumam dan kasak kusuk 

mereka kembali terdengar bagai bisikan ular sejuta. 

Masing-masing saling memperkirakan ke mana kedua 

sinar sakti itu meledak.


Sultan Praja menatap Suro Bodong yang tetap 

tenang, tanpa perubahan ekspresi wajah sedikit pun, 

kecuali kesibukannya dalam memetik biji jagung ba-

karnya.

"Di mana ledakan itu terjadi, Suro? Kira-kira 

meledak di mana kedua sinar itu?"

Suro menjawab dengan santai, "Di kepala pemi-

liknya!"

"Hah...?!" semua mata melebar dan mulut pun 

terperangah tanpa ragu lagi. Demang Sabrangdalu 

mendekati Suro.

"Maksudmu sinar itu kau kembalikan kepada 

pemiliknya?"

Suro menjelaskan, "Sinar itu tidak hanya seke-

dar kembali kepada pemiliknya, tapi ia juga menyerang 

pemiliknya. Biarlah senjata makan tuan, dari pada 

tuan makan senjata. Keras!" Suro Bodong tidak terse-

nyum sedikit pun. Kemudian ia merangkul Nyi Mas 

Sendang Wangi. Katanya kepada Nyi Mas,

"Kau tak perlu gelisah lagi. Kedua orang sakti 

itu hancur oleh ilmunya sendiri. Mereka tidak akan 

saling pamer kedigdayaan lagi. Mudah-mudahan ada 

yang tahu, bahwa ilmu-ilmu mereka tidak ada bandin-

ganya dengan ilmu yang ada di Kesultanan kita."

"Ternyata kau lebih unggul dari mereka, Kang 

Mas."

"O, jelas! Karena ada kamu, jadi aku lebih un-

ggul."

"Maksudmu?"

"Yah... sekedar pamer kepada istriku bahwa 

aku punya kekuatan yang maha hebat. Dan dan.." Su-

ro melirik ke kanan kiri sebentar, masih banyak yang 

memperhatikan dia. Tapi, ah... masa bodoh...! Ia pun 

berkata, "Dan aku pun masih mempunyai kekuatan


lain yang kemarin malam kau kejar-kejar...! Kau ingin 

lihat? Mari ke kamar?" bisiknya.

"Iiih...! Jorok, ah!" Sendang Wangi tersenyum 

malu, karena Sultan dan beberapa orang menertawa-

kan cekikikan.



DUA



Kira-kira dua minggu setelah itu, satu dari lima 

prajurit yang bertugas di perbatasan wilayah Kesulta-

nan bagian Timur datang menghadap Sultan.

"Kanjeng, ada tiga orang yang mengaku dari Pe-

sanggrahan Wanara Teja di Gunung Buramang, mere-

ka mengamuk di sana dan merusak perkampungan 

penduduk. Bahkan banyak rakyat yang mati karena 

ulah mereka."

"Celaka...!" desah Sultan dengan tegang.

"Ketiga orang itu mengaku berjuluk pendekar-

pendekar Wanara, dan... ilmu mereka cukup tinggi, 

Kanjeng. Ia dapat membakar rumah dengan hanya se-

kali semburan nafas dari mulut mereka. Keadaannya... 

sungguh mengerikan, Kanjeng."

Kemudian Sultan mengadakan sidang kilat un-

tuk membahas masalah tersebut. Di depan pegawai is-

tana, di depan punggawa negeri, Sultan berkata den-

gan tegas:

"Rupanya peristiwa perang udara antara pe-

nguasa gunung Buramang dan penguasa gunung 

Manduro berbuntut panjang. Tiga orang mengamuk di 

perbatasan wilayah kita bagian Timur. Jelas, pasti me-

reka mempunyai maksud bermusuhan dengan alasan-

nya sendiri. Hentikan mereka! Lindungi rakyat dengan

segala kekuatan kita!"

Patih Danupaksi mengajukan usul, "Suro Bo-

dong yang harus menindaknya, Kanjeng!"

"Apakah kau takut, Ki Patih?!" tuduh Sultan 

dengan gemas. Patih Danupaksi kebingungan.

"Tetapi memang ini tugas Suro, supaya tidak 

banyak korban dipihak kita, Kanjeng! Saya yakin, me-

nantu Kanjeng mampu menyelesaikan urusan ini se-

cepatnya."

Eyang Panembahan angkat bicara, "Kirimkan 

pasukan berkuda di bawah perintah Ki Patih Da-

nupaksi. Dan kita akan tahu, sampai di mana ke-

kuatan mereka."

Sultan mengangguk-angguk. Lalu, bicara ke-

pada Patih Danupaksi, "Berangkatlah Ki Patih. Tidak 

semua urusan harus mengandalkan Suro Bodong. Dia 

adalah senjata pamungkas bagi kita."

Waktu itu, seperti biasanya, Suro Bodong ja-

rang mau ikut bersidang seperti saat itu. Ia hanya di 

kamar, atau di taman belakang bersama istrinya, atau 

di dapur membakar jagung bakar. Maka, tak ada pili-

han lain bagi Ki Patih Danupaksi kecuali berangkat 

dengan membawa sepuluh pasukan berkuda pilihan-

nya.

Perbatasan wilayah Timur menjadi lautan api. 

Rumah-rumah penduduk dibakar habis. Patih Da-

nupaksi sempat naik pitam sewaktu melihat banyak 

penduduk yang menjadi korban keganasan tiga pende-

kar Wanara itu. Segera ia memacu kudanya ke arah 

kobaran api, sementara kesepuluh anak buahnya 

mengikuti dari belakang.

"Blaar...!" sebuah ledakan berbunyi. Penduduk 

lari pontang-panting. Tiga orang pendekar Wanara 

mengamuk dengan membabi-buta. Tiga orang itu ada


lah, dua lelaki dan satu perempuan berpakaian serba 

merah. Perempuan itu mengenakan pinjung merah se-

batas dada dan celana merah di bawah lutut. Ia me-

nyarungkan pedang di punggungnya dengan rambut 

panjang yang ditekuk sebagian ke atas, sedangkan 

rambut sisanya terjuntai jatuh di pundaknya. Dua le-

laki temannya, masing-masing mengenakan pakaian 

hijau muda dengan celana merah dan berbadan kekar 

semua. Agaknya ia adalah anak buah perempuan ber-

pakaian serba merah itu.

Salah seorang prajurit bawaan Patih Danupaksi 

menyuruh temannya melepaskan panah ke lawan yang 

sedang menyeret seorang penduduk. Temannya mau 

saja disuruh demikian. Ia menarik busur dan mele-

paskan anak panahnya. Tetapi dua lelaki berpakaian 

hijau itu menangkap anak panah yang ditujukan pada 

perempuan berpakaian merah. Anak panah segera di-

lemparkan. Gerakannya cepat. Anak panah itu melesat 

dan menancap di dada pemanahnya. Maka, jatuhlah 

pemanah itu dengan dada berdarah dihunjam panah-

nya sendiri.

Prajurit yang lain hendak menyerang, namun Ki 

Patih Danupaksi merentangkan tangan, menahan ge-

rakan mereka. Ki Patih masih bertengger di punggung 

kuda dengan kesembilan prajurit lainnya. Mereka 

membentuk satu barisan pengepungan terhadap ketiga 

pendekar Wanara.

"Siapa kalian, ada apa kalian mengamuk di wi-

layah kami, hah?!" Ki Patih memberanikan diri meng-

hardik mereka.

Perempuan berparas mungil dan berhidung 

mancung itu berjalan mendekati Ki Patih dengan bera-

ni, lalu ia berhenti di depan kuda Ki Patih dengan ber-

tolak pinggang.


"Di mana orang yang memiliki Pedang Urat Pe-

tir?"

"Kau siapa?" Ki Patih ganti bertanya.

"Aku Puspasari, murid Ki Destak yang meng-

gantikan kedudukan Ki Destak sebagai penguasa gu-

nung Buramang! Dan... itu kedua muridku, pendekar 

Wanara yang juga hendak menuntut atas kematian 

Eyang gurunya: Ki Destak."

'Kami tidak punya hubungan dengan Ki Des-

tak," kata Patih Danupaksi.

"Jangan membuang tanggung jawab! Ki Destak 

tewas akibat kekuatan Pedang Urat Petir! Mana pemi-

liknya sekarang? Kami akan menuntut balas atas ke-

matian guru kami."

"Carilah di tempat lain. Mungkin bukan di sini."

"Bohong! Ki Destak dapat merasakan kekuatan 

Pedang Urat Petir yang menjalar ketubuhnya dan 

membuatnya mati. Ki Destak tahu, kekuatan yang licik 

itu ada di Kesultanan ini. Dan aku datang untuk me-

nuntut balas kepada pemilik Pedang Urat Petir...! Kau 

kah pemiliknya?!"

"Bukan."

"Jadi siapa?! Kalian tak ada yang memberitahu 

kami, maka Kesultanan ini akan kujadikan karang ab-

ang! Kubakar habis sampai ke istana Kesultanan!" 

Puspasari bicara dengan lantang dan berani. Wajah 

mungilnya yang ayu itu kelihatan judes dalam keadaan 

seperti ini.

"Kau tidak akan mampu berbuat begitu, pe-

rempuan konyol!" gertak Ki Patih.

"Kalau begitu, kau perlu bukti, orang tolol. 

Hiaat...!"

Puspasari menjejakkan kakinya ke tanah dalam 

satu hentakan, dan tubuh ramping itu melayang bagai


burung terbang. Loncatannya begitu tinggi sehingga ia 

berada di atas kepala Ki Patih yang masih duduk di 

punggung kuda. Tangannya yang kanan meraih ga-

gang pedang di punggung lalu menebas kedepan dalam 

sekali cabut. 

"Weess...!!"

Hampir saja kepala Ki Patih terbelah menjadi 

dua bagian. Untung Ki Patih segera menjatuhkan diri 

dari punggung kuda sehingga ia pun lolos dari sabetan 

pedang lawan.

Sementara itu, dua pemuda berbadan kekar 

yang konon menjadi murid Puspasari, dikepung oleh 

sembilan prajurit. Mereka berdua mencabut senjata 

mereka berupa kampak bermata tiga. Selain di kanan 

kiri gagang panjangnya terdapat mata kampak yang ta-

jam, juga di bagian ujung gagang itu pun terdapat ma-

ta kampak yang sama tajam dengan yang lain. Mereka

mengibaskan senjata mereka dalam gerak jurus yang 

sama. Bersalto dan menebas lawan, kemudian bersalto 

lagi dan menebas lagi. Sementara itu para prajurit Ke-

sultanan segera menghindar dan menunggu kesempa-

tan baik untuk mengadakan serangan balasan.

"Modar kau...!!" seru Puspasari dengan berang-

nya ketika Ki Patih berhasil menendang punggungnya, 

lalu Puspasari berbalik arah dan pedangnya berkelebat 

menebas kaki Patih Danupaksi.

Untung patih Danupaksi segera bersalto ke be-

lakang, sehingga tebasan pedang itu tidak mengenai 

sasaran. Namun agaknya Puspasari sendiri segera me-

luncurkan pukulan tenaga dalam melalui jari telunjuk 

tangan kirinya. Ia menudingkan jari telunjuk ke arah 

Patih Danupaksi. Maka, dari telunjuk yang berbentuk 

indah itu keluarlah semacam kilatan cahaya petir ber-

warna hijau muda. Patih Danupaksi menghindar den


gan berguling ke tanah bagian kirinya. Sinar hijau itu 

melesat mengenai sebuah pohon. Dan pohon itu pun 

mengeluarkan dentuman seketika. Puspasari kecewa, 

pukulan jari saktinya tidak mengenai sasaran, sebab 

itu ia segera melancarkan tendangan kaki kanan dan 

mengibaskan pedangnya ke samping. Ki Patih segera 

berguling lagi.

Keris pusaka dicabut, dan Ki Patih siap berdiri 

dengan tubuh merunduk, menunggu serangan Puspa-

sari. Tetapi agaknya Puspasari tidak mau bermain ter-

lalu lama, ia melancarkan jurus Jemari Saktinya. Te-

lunjuk yang indah itu menuding, dan berkas sinar hi-

jau muda melesat dari ujung jemari indah itu. Patih 

Danupaksi mencoba menahannya memakai keris pu-

saka. Sinar hijau muda yang terpancar seperti lidi itu 

menghantam ujung keris. Ia bagai mendesak kuat agar 

keris yang membentangi jalannya menjadi hancur. Te-

tapi patih Danupaksi bertahan dengan memegangi ga-

gang keris yang berdiri memakai kedua tangan.

Tangan Ki Patih gemetar karena desakan sinar 

itu begitu kuatnya. Kedua kaki Patih Danupaksi sema-

kin merendah agar tidak terdorong oleh kekuatan sinar 

hijau muda. Keris yang dipeganginya sempat meleng-

kung sedikit, dan hal itu sangat menegangkan. Patih 

Danupaksi menahan nafas dari tadi dengan peluh 

membanjir di sekujur tubuh.

Akhirnya, karena merasa akan gagal memben-

dung kekuatan dorong dari sinar hijau muda itu, maka 

Ki Patih segera melesat ke samping dan membiarkan 

sinar itu melesat ke arah belakangnya. Sinar hijau 

muda menghantam sebuah rumah penduduk yang te-

lah ditinggal kabur oleh penghuninya. Dan sudah da-

pat dibayangkan, bahwa rumah tersebut pun meledak, 

lalu kobaran api membakar rumah tersebut dengan


kobaran api yang cukup besar. 

"Uuaaahhh...!!"

Seorang prajurit berteriak dan berguling-guling. 

Karena ketika ia melawan pemuda berbaju hijau, tiba-

tiba pemuda itu menghembuskan nafas dari mulutnya 

ke arah prajurit tersebut. Dari mulut itu keluar asap 

berwarna biru kehitam-hitaman, begitu asap menyen-

tuh tubuh, langsung berubah menjadi api yang mem-

bakarnya. Kontan saja prajurit itu berguling-guling 

sambil berteriak kepanasan. Namun setiap ada yang

hendak menolongnya memadamkan api, pemuda ber-

baju hijau selalu berhasil menggagalkan dengan jurus 

tendangan yang membuat lawannya terpental. Sampai 

akhirnya prajurit yang terbakar itu tak tertolong lagi. 

Tubuhnya menjadi hitam. Api tak bisa padam, sampai 

prajurit itu menghembuskan nafas terakhir, api masih 

membungkusnya dengan keji.

Ki Patih menyesal tak dapat menolong prajurit 

itu. Ia telah kehilangan dua anak buahnya. Tetapi ia 

sendiri memaklumi, karena serangan dari Puspasari

begitu gencar, sampai-sampai ia terdesak ke suatu 

rimbunan bambu. Puspasari memainkan jurus pe-

dangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Gerakan 

kakinya tak terlihat kalau sebenarnya ia melangkah 

maju setapak demi setapak.

Patih Danupaksi mulai merasa kewalahan. Ia 

sempat merendahkan kepala ketika pedang Puspasari 

membabat lehernya. Begitu kepala merendah, Ki Patih 

langsung berguling ke arah yang aman. Pedang Puspa-

sari menebas empat batang bambu sekaligus. 

Kraaak....'!

Keempat batang pohon bambu itu tidak tum-

bang, sehingga patih Danupaksi sedikit lega, karena 

ternyata pedang Puspasari tidak begitu tajam. Patih


segera bergegas bangkit dan menyerang punggung 

Puspasari. Dengan sigap Puspasari mengibaskan pe-

dangnya ke belakang dalam satu gerakan putar. Ham-

pir saja tangan Ki Patih menjadi sasaran pedang itu. 

Untung kaki Patih Danupaksi menjejak punggung 

Puspasari dalam satu lompatan bersalto. Puspasari 

terpental akibat tendangan itu. Ia berguling-guling di 

tanah, sehingga jarak mereka menjadi cukup jauh.

Tetapi, tiba-tiba Patih Danupaksi harus melom-

pat ke tempat lain, karena keempat pohon bambu yang 

tadi ditebas oleh pedang Puspasari, baru sekarang ke-

lihatan akan rubuh. Dan, memang benar. Keempat po-

hon bambu yang tampaknya tadi masih tegar berdiri, 

ternyata sekarang rubuh bersamaan dengan hasil po-

tong yang sungguh rapi. Itulah hasil tebasan pedang 

Puspasari.

Mata Patih Danupaksi menjadi membelalak me-

lihat hal itu. Kini ia tahu, bahwa pedang Puspasari bu-

kan pedang yang tumpul, melainkan mempunyai keta-

jaman yang sangat mengagumkan. Ini pertanda Patih 

Danupaksi harus lebih hati-hati lagi dengan kibasan 

pedang lawannya.

Karena itu, ketika Puspasari menyerangnya lagi 

dengan cara mengayunkan pedang ke arah pundak kiri 

Ki Patih, ayunan itu lebih baik dihindari dengan cara 

melompat rendah ke samping kanan Puspasari. Lalu, 

ada kesempatan yang kelihatannya cukup baik, dan 

keris Ki Patih dicoba bergerak ke samping dalam satu

kelebatan jurus merobek lambung.

"Aauh...!!" terpekik Puspasari ketika itu, karena 

keris Ki Patih berhasil mengenai lambungnya. "Uuh...!" 

Puspasari meringis kesakitan sambil menekap perut-

nya yang terluka dengan tangan kiri. Sementara itu, 

tangan kanannya masih memegangi pedang yang siap


diayunkan ke dada Ki Patih Danupaksi. Melihat gera-

kan pedang sedemikian cepat, Ki Patih melompat dan 

bersalto ke bagian atas Puspasari. Puspasari sendiri 

sempat terkecoh. Ia mendongak karena hendak meng-

gerakkan pedangnya ke atas. Namun belum sempat 

Puspasari melancarkan tebasan pedang itu, tiba-tiba ia 

terpekik tertahan karena keris Ki Patih berhasil me-

nembus lehernya bagian tepi, kemudian keris itu dita-

rik dalam satu hentakan, dan leher itu pun putus ka-

renanya.

Puspasari mendelik, meraba lehernya yang ro-

bek dalam keadaan mengerikan. Ia ingin berteriak, 

namun tak kuasa. Akhirnya ia jatuh terlutut dengan 

mata masih mendelik. Pedang dilepaskan. Tangan yang 

memegangi pedang itu menuding Ki Patih. Kontan Ki 

Patih mengerti apa yang akan terjadi. Ia segera melom-

pat ke arah lain dengan cepat dan sengaja membin-

gungkan, sebab ia mengira telunjuk Puspasari itu 

akan melancarkan serangan sinar biru muda yang 

bening. Ternyata tidak demikian keadaannya, karena 

Puspasari sudah terlanjur roboh ke depan dengan na-

fas tinggal beberapa detik saja. Tubuh itu roboh seperti 

karung basah, untuk kemudian tidak bergerak lagi.

Tubuh yang berkulit kuning langsat itu menjadi 

pucat pasi dan kian membiru. Racun di keris Patih 

mulai bekerja membekukan darah dan menyumbat 

pernafasannya. Kemudian, Puspasari pun mengejang 

kaku tanpa nafas. Patih sempat memeriksanya seje-

nak. Oh, dia memang sudah mati tanpa malu-malu la-

gi.

Pada waktu itu, dua prajurit terlempar dalam 

ketinggian yang membahayakan karena tendangan 

murid Puspasari. Kedua kaki pemuda berbaju hijau 

yang mengenakan akar bahar di lengan kanannya itu


menendang dengan satu lompatan. Kedua kakinya 

menghentak ke samping dengan keras, mengenai dagu 

dan ketiak dua prajurit. Pada saat itulah, kedua praju-

rit itu melayang ke atas dan jatuh dalam keadaan ke-

pala membentur tonggak potongan bambu. Satu praju-

rit mati seketika tapi, yang satunya hanya terluka pa-

rah.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Puspasari telah 

mati!" teriak Ki Patih yang sempat di dengar oleh ke-

dua lelaki berbaju hijau.

"Guru...?!" teriak salah seorang murid Puspa-

sari. Ia segera menghambur ke mayat gurunya. Lalu, 

lelaki berpakaian hijau yang satu juga berlari dengan 

tegang menemui mayat gurunya. Semua prajurit dipe-

rintahkan berhenti menyerang. Lalu, dengan gerakan 

isyarat Patih Danupaksi menyuruh anak buahnya 

yang tinggal tujuh orang itu untuk kembali naik ke 

punggung kuda.

Dari atas punggung kuda, Ki Patih bicara de-

ngan sikap tegas dan berani. Ia sempat menuding keti-

ka berkata:

"Ingat... kalau kalian masih sayang nyawa, ja-

ngan membikin onar di Kesultanan kami! Kuhabisi 

nyawa kalian berdua, tahu?!"

"Akan kubalas kematian ini di kemudian hari, 

Bangsat!" geram salah satu murid Puspasari Seorang 

prajurit hendak turun dari kuda untuk menghajar 

orang tersebut. Tapi tangan Ki Patih direntangkan, per-

tanda ucapan murid Puspasari tidak perlu dilayani. 

Lalu, tangan Ki Patih melambai ke depan pertanda se-

mua pasukan harus maju, pergi meninggalkan lawan-

lawan mereka. Prajurit yang mati pun diangkut di atas 

punggung kuda mereka.

Hati Patih Danupaksi menjadi lega. Dadanya


membusung. Duduknya tegak. Laju kaki kuda begitu 

tenang, melambangkan suatu langkah kaki kuda da-

lam kemenangan di medan laga. Demikian juga ketika 

menghadap Sultan, dada Ki Patih belum bisa mengem-

pis. Ia masih diliputi kebanggaan, karena mampu 

membunuh orang kuat dari gunung Buramang.

"Sebenarnya, mereka itu tidak ada apa-apa-

nya," ujar Ki Patih Danupaksi kepada Kanjeng dalam 

pertemuan itu. "Memang benar apa kata Kanjeng, 

bahwa untuk menangani mereka, tidak perlu harus 

mengajukan Suro Bodong. Dia adalah senjata pa-

mungkas kita. Terbukti, bahwa Puspasari yang, yang 

menjabat sebagai wakil Ki Destak dalam Pesanggrahan 

Wanara Teja, dengan sekali gebrak sudah berhasil me-

ninggalkan dunia ini tanpa pamit kepada siapa pun." 

Ki Patih tertawa pelan melihat Sultan Jurujagad terse-

nyum girang.

Kebetulan di situ hadir Suro Bodong yang se-

mula bermaksud mau bicara soal lain dengan Sultan 

Jurujagad. Tapi demi mendengar ucapan Patih Danu-

paksi, Suro Bodong pun segera mengulurkan tangan-

nya untuk bersalaman.

"Selamat, Ki Patih,' kata Suro Bodong dengan 

senyum tipisnya. "Mudah-mudahan Ki Patih, dan kita 

bersama, ada di pihak yang menang...!"

"Apa kau belum yakin kalau kita berada di pi-

hak yang menang?" ujar Ki Patih dengan dahi berke-

rut, sekalipun ia masih berjabat tangan dengan Suro 

Bodong. "Puspasari sudah berhasil kubunuh. Lawan 

sudah mati, dan...."

Suro segera menyahut dengan senyum tipisnya, 

"Kematian seorang lawan bukan berarti kemenangan 

bagi kita."

"Maksudmu?!"


Bukan hanya Ki Patih saja yang berkerut dahi, 

melainkan para pejabat istana lainnya, para prajurit 

pilihan, Eyang Panembahan, Demang Sabrangdalu dan 

Sultan sendiri juga merasa heran mendengar ucapan 

itu. Suro Bodong segera berpaling memandang mereka 

satu persatu.

"Kematian Puspasari bisa merupakan bencana 

yang lebih besar bagi kita! Dan mungkin itulah awal 

kekalahan kita."

"Berarti Suro Bodong menghendaki kita kalah?" 

tukas Demang Sabrangdalu.

"Itu pengertian dangkal, Ki Demang." Suro 

mendekati Demang Sabrangdalu. "Kalau Puspasari 

mati, mereka akan bersemangat membalas kematian 

itu. Kita belum tahu, seberapa kekuatan lawan, tetapi 

yang jelas, pasti akan ada balasan yang menggunakan 

kekuatan lebih dari yang sudah. Tetapi kalau Puspasa-

ri bertekuk lutut, hidup dalam kekalahan yang di-

akuinya, maka ia akan menjadi abdi kita yang tak 

akan berani berkutik lagi. Satu perintah dari dia untuk 

tunduk kepada kita, maka yang lainnya pun akan ikut 

tunduk kepada kita. Tetapi, kalau Puspasari mati, itu 

adalah perintah untuk menyerbu kita! Paham?!"

Demang Sabrangdalu manggut-manggut, yang 

lainnya termenung meresapi kata-kata Suro Bodong. 

Patih Danupaksi kelihatan gelisah. Menahan sesuatu 

yang meresahkan jiwanya. Suro menangkap gelagat 

tersebut, lalu berkata kepada Patih Danupaksi yang 

kebetulan memiliki nama mirip dengan orang Kepati-

han Benteng Cadas:

"Aku tidak mengecilkan perjuanganmu, Ki Pa-

tih. Aku hanya menggugah kewaspadaanmu, juga ke-

waspadaan kita bersama."

Kata-kata Suro Bodong sempat menjadi bahan


renungan mereka. Sultan Jurujagad mengadakan bin-

cang-bincang dengan Eyang Panembahan sehubungan 

dengan kematian Puspasari. Eyang Panembahan ber-

kata lirih, "Suro tahu apa yang harus dilakukannya. 

Suro bukan manusia biasa. Ia anak penguasa gunung 

Krakatau. Ia tahu bagaimana sifat orang-orang gu-

nung. Ia mempunyai naluri yang sama dengan murid-

murid Ki Destak. Karena itu, sebenarnya ia menyim-

pan kekhawatiran demi mendengar terbunuhnya Pus-

pasari. Sebab ia sudah membuktikan bahwa nalurinya 

benar, yaitu tentang kematian Ki Destak. Ia sudah 

memperhitungkan, bahwa akan ada utusan yang da-

tang ke mari untuk menuntut balas atas kematian Ki 

Destak. Ia sendiri sebenarnya sudah siap, tapi selagi 

kita bisa mengatasinya sendiri, memang kita tak perlu 

menggunakan dia. Anggap saja sebagai langkah irit te-

naga tempur."

"Kalau begitu ia tahu bahwa penguasa gunung 

Manduro, yaitu Resi Buntoro, juga akan datang ke ma-

ri. Sebab ia tentunya juga sadar, bahwa Resi Buntoro 

pun mati akibat pukulan saktinya dikembalikan oleh 

kekuatan Pedang Urat Petir, dan mati karenanya."

"Benar. Tetapi, agaknya Suro tahu, bahwa Resi 

Buntoro hidup sendirian di sana, sehingga tak ada pi-

hak lain yang merasa dirugikan atau merasa kehilan-

gan Resi Buntoro. Karenanya, Suro tidak begitu meng-

hiraukan hal itu."

Sultan mulai menanggapi perkataan Suro Bo-

dong dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia bicara ke-

pada Patih maupun kepala keprajuritan, tentang ba-

gaimana mengatasi pertahanan supaya tidak terjadi 

kelemahan. Sementara itu, Nyi Mas Sendang Wangi 

sendiri juga sering mengingatkan kepada suaminya 

tentang ucapan-ucapan Suro itu yang membuat sua


sana Kesultanan menjadi mulling.

"Seharusnya kau tidak bicara begitu, Kang 

Mas. Kau tahu sendiri, bukan... bahwa ayahku gam-

pang resah bila mendengar rakyatnya dalam ancaman 

bahaya. Seharusnya kau bicara begitu hanya kepada 

Ki Patih atau Ki Demang Sabrangdalu. Bukan di depan 

pertemuan para punggawa negeri."

"Lebih baik bicara di depan umum daripada bi-

cara dengan sembunyi-sembunyi," kata Suro seraya 

merebahkan badan.

Suro Bodong sudah tidak sempat banyak bicara 

lagi, karena Nyi Mas Sendang Wangi telah sibuk mem-

belit-belit bagai ular piton melahap mangsanya. Dan 

hal inilah salah satu keistimewaan yang ada pada Nyi 

Mas Sendang Wangi. Selain cantik, mulus, juga mem-

punyai ketrampilan khusus di atas ranjang. Sebab, 

adakalanya Nyi Mas sendiri yang membersihkan ran-

jang, mengganti seprei kasur atau melolosi sarung 

bantal untuk ditukar dengan sarung bantal yang baru. 

Itulah ketrampilan Nyi Mas Sendang Wangi, di sam-

ping ketrampilan itu juga ada lagi ketrampilan yang 

sukar diceritakan oleh siapapun dan kepada siapa 

pun. Hanya Suro Bodong yang bisa mengerti, ketram-

pilan macam apa yang menjadi kebanggaan Suro da-

lam menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi.

Sekali pun Nyi Mas menjabat sebagai istri, teta-

pi ia mempunyai naluri yang cukup kuat. Seringkali 

Suro harus mengakui kepekaan naluri istrinya dalam 

beberapa hal. Misalnya pada malam itu, Nyi Mas Sen-

dang Wangi sempat berbisik kepada suaminya:

"Perasaanku jadi tak enak. Sepertinya akan ada 

masalah besar yang harus kau tangani, Kang Mas."

"Ah, kau sendiri barusan selesai menangani 

masalah besar. Kau baru saja selesai menundukkan


masalah besar yang kini menjadi lemas."

"Kang Mas... aku tidak bercanda. Aku bersung-

guh-sungguh. Rasa-rasanya akan ada suatu perkara 

yang melibatkan kamu sepenuhnya."

Kata-kata seperti itu pernah juga dilontarkan 

Nyi Mas Sendang Wangi ketika Suro akhirnya berha-

dapan dengan Dewi Gading dan Raden Puger (dalam 

kisah: RACUN MADU MAYAT). Sekarang, Nyi Mas Sen-

dang Wangi berkata seperti itu lagi, sampai-sampai ha-

ti Suro pun bertanya-tanya: "Perkara apa lagi yang ha-

rus ditangani ya? Mungkinkah buntut dari kematian 

Puspasari, murid unggulan Ki Destak yang telah mati 

diserang oleh kekuatannya sendiri itu?"

Benar. Masalah kematian Puspasari berbuntut 

panjang. Benar-benar berbuntut panjang, sebab se-

buah desa yang masih masuk dalam wilayah Kesulta-

nan Praja, sedang diserbu oleh monyet-monyet ganas. 

Jumlahnya lebih dari 25 ekor monyet, yang masing-

masing mempunyai sorot mata haus darah.

"Mereka datang pada malam hari. Siang hari 

mereka meninggalkan mayat penduduk dalam keadaan 

dicabik-cabik, Kanjeng." Tutur salah seorang pendu-

duk yang tengah memberikan laporan kepada Sultan 

Praja.

"Hanya malam harikah mereka muncul?"

"Benar, Kanjeng Sultan junjungan hamba. Me-

reka menggigit dan mencabik-cabik mangsanya secara 

bersamaan, sehingga kadang-kadang kami kebingun-

gan mengenali siapa korban tersebut."

Nyi Mas Sendang Wangi bergidik mendengar 

penuturan tersebut. Sultan Jurujagad sendiri sempat 

tertegun dalam membayangkan kengerian tersebut. Te-

tapi beberapa saat kemudian, Sultan bicara kepada 

Demang Sabrangdalu:


"Ki Demang, atasi soal itu!"

Demang Sabrangdalu mengajukan usul, "Ini 

soal monyet, Kanjeng. Masa' soal monyet diserahkan 

kepada saya?"

"Bukankah itu lebih mudah daripada harus

melawan Puspasari, seperti Ki Patih Danupaksi?" ja-

wab Sultan.

"Saya merasa tidak berarti," gumam Demang 

dalam gerutu. "Saya jarang bertempur, tetapi sekarang 

saya harus bertempur melawan monyet. Apa itu tidak 

sama saja menggolongkan saya dengan monyet?"

Sultan Jurujagad tersenyum dingin. "Jadi seka-

rang ada bawahanku yang berani mengecam tugas 

yang kuberikan kepadanya. Oh, bagus sekali itu!"

Demang Sabrangdalu mulai kebingungan. Ia 

buru-buru berkata sambil memberi sembah, "Maaf, 

Kanjeng... saya tidak bermaksud mengecam perintah, 

tetapi hanya sekedar menyatakan diri sebagai orang 

rendahan yang agak sungkan jika disuruh mengusir 

monyet-monyet. Saya lebih senang jika harus berpe-

rang melawan prajurit pilihan mana saja daripada ber-

perang melawan monyet-monyet...."

Suro Bodong muncul dari ruang tengah, lang-

sung angkat bicara bagai tidak mengenal tata krama.

"Itu pun Ki Demang belum tentu sanggup.

Mengusir monyet tidak sama dengan mengusir prajurit 

satu pasukan. Salah-salah Ki Demang sendiri yang 

akan menjadi mangsa para monyet."


TIGA


Keadaan korban serangan monyet-monyet itu 

sangat menyedihkan. Wajah dan tubuh korban menja-

di tercabik-cabik tanpa bentuk. Dalam satu malam, bi-

sa terjadi 5 sampai 10 korban. Pada umumnya, mo-

nyet-monyet itu menyerang orang dewasa, khususnya 

lelaki yang bertubuh sehat, kekar dan berpotongan se-

perti seorang pendekar. Kerusakan lainnya, tidak begi-

tu mengerikan; hanya perusakan rumah-rumah dan 

hewan ternak para penduduk. Sedangkan korban 

anak-anak, sama sekali tidak ada. Tetapi korban pe-

rempuan, memang ada, hanya saja tidak begitu ba-

nyak. Sepanjang awal serbuan monyet-monyet selama 

dua hari ini, hanya ada dua korban perempuan yang 

rusak berat pada anggota tubuhnya di bagian kaki 

sampai ke pangkal paha.

Demang Sabrangdalu merinding ketika me-

nyaksikan keadaan para korban yang belum sempat 

dimakamkan. Ia diizinkan membawa 25 prajurit dalam 

usaha mengusir monyet-monyet tersebut. Tetapi De-

mang Sabrangdalu hanya membawa lima anak buah. 

Baginya itu sudah terlalu banyak, karena tugasnya 

hanya mengusir monyet-monyet.

"Siapkan beberapa obor. Boleh lebih dari 10 ob-

or besar, sebab biasanya monyet-monyet takut dengan 

api," ujar Demang Sabrangdalu kepada kelima prajurit 

pilihannya. Ia juga memberikan perintah yang sama 

kepada penduduk desa yang sudah dua malam menja-

di korban serangan para monyet.

"Siapkan obor, dan segera nyalakan sewaktu 

monyet-monyet itu datang. Setiap satu orang bisa me


megangi dua obor. Desak para monyet itu ke arah yang 

sudah kutunjukkan, yaitu ke tepian hutan, dan mere-

ka akan lari masuk hutan kembali."

Demang Sabrangdalu bertubuh pendek. Ba-

dannya tidak begitu gemuk, tapi karena tubuhnya 

yang pendek itulah membuat ia kelihatan gemuk. Di 

pinggangnya selalu menyelipkan keris tanpa luk. Ujud 

kerisnya tidak berkelok-kelok seperti milik Ki Patih 

Danupaksi. Tetapi, keampuhannya, konon bisa mem-

buat batu kali terbelah menjadi dua bagian dalam kea-

daan rapi, seperti agar-agar terpotong silet. Keris itu 

bernama Pusaka Sanca Welang, yang dibawanya apa-

bila Demang sedang mengemban tugas penting bagi 

negara. Jika tidak sedang bertugas, keris itu jarang 

diselipkan di pinggang kirinya.

Malam menjadi gulita, dan beberapa orang siap 

menunggu kedatangan rombongan monyet. Bukan 

hanya Demang dan kelima anak buahnya saja, me-

lainkan beberapa penduduk desa pun ikut serta dalam 

gerakan mengusir monyet-monyet ganas.

Angin malam bertiup sedang-sedang saja. Derik 

jangkrik memecah kesunyian malam Demang Sa-

brangdalu masih duduk di serambi rumah Lurah desa 

tersebut bersama beberapa orang tua yang menjadi se-

sepuh desa itu. Sementara beberapa prajuritnya, dan 

para penduduk sebagian, mengelilingi desa sambil

mengadakan patroli dengan teliti. Sampai tengah ma-

lam, keadaannya tenang-tenang saja. Tetapi pada saat 

selesai terdengar bunyi kentongan tanda lewat tengah 

malam, ketegangan mulai terjadi di sekitar desa terse-

but.

Ketegangan itu diawali oleh suara teriakan seo-

rang lelaki dari sebelah Barat. Jerit-jerit bersuara se-

rak terdengar pula di sana. Maka, Demang pun meme


rintahkan anak buahnya segera menyerbu ke bagian 

Barat desa. Obor-obor menyala. Penduduk dan prajurit 

Kesultanan bekerjasama mengepung sebuah rumah.

Di rumah itulah mula pertama terdengar suara jeritan 

seorang lelaki. Tetapi, rumah itu kelihatannya aman-

aman saja. Tidak ada jeritan lagi dari dalam rumah.

"Jangan-jangan hanya orang mengigau kita 

sangka yang bukan-bukan," bisik salah seorang pen-

duduk kepada temannya. Waktu itu, Demang sendiri 

datang bersama Ki Lurah. Mereka juga siap membawa 

obor di tangan. Tetapi beberapa anak buah Demang 

memberitahu, bahwa asal teriakan dari rumah terse-

but. Namun kenyataannya rumah itu dalam keadaan 

aman-aman saja.

"Geledah rumah itu…!" perintah Demang. Salah 

seorang prajurit dengan seorang penduduk terdekat 

dengan rumah itu segera mengetuk pintu. Berkali-kali 

ketukan tidak juga terdengar jawaban dari dalam. Pra-

jurit itu berbisik,

"Berapa orang yang tinggal di dalam rumah ini? 

Masa; satu pun tidak ada yang bangun mendengar ke-

tukan kita?"

"Hanya Rusmin dengan istrinya. Mereka pen-

gantin baru. Kurasa mereka lelap dalam pelukan ke-

mesraan, sampai-sampai kuping mereka budeg, tidak 

mendengar ketukan sekeras ini."

"Ssst...! Aku mencium bau amis..." prajurit itu 

mengendus-enduskan hidung. Penduduk yang menjadi 

tetangga Rusmin juga ikut mendengus-dengus.

"Kalau aku kok mencium bau langu... ah, se-

perti bau keringat kuda..." bisiknya.

"Jangan-jangan ada yang tak beres di dalam 

rumah ini," kata prajurit itu. "Kita dobrak saja pin-

tunya...!"


Mereka sengaja mendobrak pintu dengan ten-

dangan keras yang mengagetkan. Begitu pintu dido-

brak, terlepaslah daun pintu itu dari engselnya.

Maka, kedua mata orang itu terbelalak bersa-

maan. Obor yang dipegang di tangan terjatuh seketika. 

Ia tak sempat berteriak satu kali pun.

Ternyata di balik pintu itu, sudah menunggu 

puluhan monyet berbulu kelabu dengan mulut ter-

bungkam semua. Begitu pintu didobrak, mereka segera 

menjerit serak dan menerjang kedua orang tersebut. 

Lompatan mereka tepat mengenai dada, menggoreskan 

kuku di dada itu, kemudian gigi para monyet itu mero-

bek leher mereka yang disusul dengan gigitan dari mo-

nyet-monyet lainnya di beberapa tempat, di bagian tu-

buh kedua orang itu.

"Monyet-monyet itu ada di dalam...!!" teriak 

Demang Sabrangdalu kepada orang-orang yang men-

gepung di bagian samping dan belakang rumah. Na-

mun, sebelum mereka sempat bergerak, monyet-

monyet sebesar bocah usia 7 tahun itu telah melesat, 

melompat ke luar dari pintu atau-pun jendela rumah 

yang dirusakkan oleh kekuatan tangan mereka. Bah-

kan ada beberapa ekor monyet yang keluar lewat atap 

yang telah dijebolkan. Lalu mereka pun segera melon-

cat, melayang dan menerkam beberapa orang tanpa 

perduli orang itu membawa obor atau tidak.

"Selamatkan pemilik rumah itu! Selamatkan 

dia...!" teriak Ki Lurah kepada para penduduk. Ki Lu-

rah belum tahu kalau Rusmin dan istrinya telah tewas 

dalam keadaan tubuh mereka habis digerogoti monyet-

monyet haus darah itu. Keadaan yang jelas menjadi 

panik, terutama setelah mereka tahu bahwa monyet-

monyet itu tidak takut dengan nyala api obor. Bahkan 

Demang Sabrangdalu sendiri telah menggunakan ke


risnya untuk membunuh beberapa monyet. Namun ke-

tika ia mengacung-acungkan obornya ke wajah seekor 

monyet, binatang itu tidak punya rasa takut terbakar 

sama sekali. Bahkan obor tersebut sempat disampok 

cepat oleh tangan monyet. Untung Demang Sabrangda-

lu memegangi obor dengan kuat sehingga obor itu tak 

sempat jatuh.

"Bakar mereka...! Bakar dan bunuh semua...!" 

teriak Demang sambil menghindari loncatan seekor 

monyet yang hendak menerkamnya. Kaki kanan De-

mang Sabrangdalu berhasil dikibaskan ke belakang 

dan mengenai kepala monyet itu. Kemudian, monyet 

tersebut berteriak kesakitan dengan suaranya yang se-

rak dan brisik itu. Keris Demang Sabrangdalu diayun-

kan untuk menghabisi nyawa monyet itu. Sayangnya, 

monyet itu dapat berkelit menghindari keris, lalu me-

lompat ke salah satu dahan pohon yang rendah, ka-

kinya segera menendang kening kepala Demang Sa-

brangdalu. Oh... kukunya sempat merobek kening 

Demang sampai berdarah. Berulangkali Demang men-

gayunkan keris, sama dengan berulangkali mereka 

mengayunkan senjata yang mereka pegang, tapi tak 

satu pun dari monyet itu yang terkena senjata manu-

sia. Umumnya mereka pandai berkelit, lincah berge-

rak, gesit mengelak setiap serangan. Jumlahnya yang 

cukup banyak itu sempat membuat Ki Lurah sendiri 

kebingungan, dan di luar dugaan punggungnya men-

jadi berat dan perih, karena seekor monyet berhasil 

melompat ke punggung, lalu menggigit tengkuk kepala 

Ki Lurah. Rupanya monyet-monyet itu tidak memper-

dulikan kedudukan mangsanya yang sebagai Lurah, 

yang jelas begitu ia berhasil nomplok di punggung, ia 

segera menggigit dengan sadis, merobek bagian tubuh 

Ki Lurah lainnya sekali pun Ki Lurah sudah berguling


guling sambil menjerit. Terkaman para monyet itu cu-

kup kuat, sehingga dalam beberapa waktu saja sudah 

ada tujuh orang yang mati dirobek-robek oleh monyet-

monyet tersebut.

"Lari...! Ayo, lekas lariii...!!" teriak beberapa 

orang penduduk yang menjadi sangat ketakutan meli-

hat Lurah mereka menjadi santapan yang amat men-

gerikan. Sementara para penduduk lari semua tanpa 

memperdulikan obor mereka, Demang Sabrangdalu 

masih sibuk menghadapi beberapa monyet yang hen-

dak menerkamnya berulangkali. Demang mencoba ber-

tahan dengan mengibaskan keris ke kanan, ke kiri, ke 

depan dan ke mana saja asal monyet-monyet itu men-

jauh.

"Gawat...! Anak buahku tidak ada yang hidup 

satu pun?!" geram Demang Sabrangdalu di dalam hati. 

Ia semakin panik dan kebingungan. Tangan kirinya 

masih memegangi obor dengan nyala api yang besar, 

sedangkan tangan kanannya masih memegangi keris 

Sanca Welang yang bagai tidak mempunyai kesaktian 

apa-apa.

"Mampus kau! Mati kau...! Hiaaat...!! Demang 

Sabrangdalu terpaksa melompat sana-sini dengan 

menggunakan jurus tendangannya. Banyak monyet 

yang tertendang dan mental di beberapa jauh. 

Tetapi, kali ini betis dan kakinya sempat ber-

lumuran darah karena cakar monyet merobeknya den-

gan gerakan cepat. Ketika ada salah seekor monyet 

yang melompat hendak menerkamnya, Demang segera 

merendah. Ia menghunjamkan kerisnya ke atas, tetapi 

perut monyet itu tak terjangkau oleh ujung keris. Mo-

nyet itu melompat dalam posisi kepala di bawah kaki 

di atas, dan tangan menampar wajah Demang hingga 

Demang sendiri menjerit kesakitan. Pipinya berdarah


karena luka dalam akibat goresan kuku monyet. Kaki 

Demang segera melompat-lompat menghindari raihan 

tangan monyet lainnya. Sesekali kaki itu menendang 

dan membuat monyet yang terpental menjerit-jerit ba-

gai mengeluarkan sumpah serapah tak karuan.

Tetapi beberapa saat kemudian, monyet-monyet 

itu mundur beberapa langkah dengan gerakan siap 

menyerbu dalam satu lingkaran. Demang berdiri di 

tengah lingkaran barisan monyet berbulu coklat kea-

bu-abuan. Monyet-monyet itu sudah memasang per-

siapan untuk melompat dalam satu kali sergapan ber-

sama. Wajah-wajah monyet itu menampakkan keben-

gisannya dengan sesekali menyeringai ganas dan 

menggeram-geram. Sementara itu, Demang Sabrang-

dalu sudah berlumuran darah dan banyak luka di tu-

buhnya yang cukup perih dan mengerikan.

Keris dan obor masih di tangan. Sekali pun se-

kujur tubuh Demang malah terasa sakit jika berhenti 

bergerak, tapi dia mencoba bertahan dan berpikir he-

ran: mengapa monyet-monyet itu berhenti dan mem-

bentuk lingkaran mengurungnya. Demang Sabrangda-

lu bergerak terus, tubuhnya memutar sendiri sebab 

takut diterkam dari belakang. Nafasnya sudah tidak 

seperti nafas manusia, melainkan seperti nafas anjing 

yang habis lari jauh. Ngos-ngosan dengan tangan dan 

kaki terasa jelas gemetarnya.

"Ayo, maju...!" geram Demang. "Lekas maju sa-

tu persatu kalau kalian berani. Kurobek tubuh kalian 

dengan keris ini. Kupecahkan kepala kalian dengan 

keris pusakaku ini! Lekas, siapa yang mau maju...?! 

Ayo, majuuu...?!!" Demang Sabrangdalu jengkel sendi-

ri. Tetapi, monyet-monyet itu hanya berdiri dalam po-

sisi siap menerkam bersama. Jumlahnya lebih dari 25 

ekor kera, terhitung dengan beberapa ekor kera yang


nangkring di pohon-pohon dan atas atap rumah.

"Kalau mereka semua maju, apa kau sanggup 

menghadapinya?" tiba-tiba ada suara yang datang dari 

arah rumpun bambu.

Demang Sabrangdalu mengangkat obornya 

agak tinggi untuk mempertegas penglihatannya. Ia ter-

peranjat ketika matanya menangkap sosok wajah pe-

rempuan berpakaian pinjung merah, lengkap dengan 

celana merah dan pedang di punggung. Perempuan itu 

cukup langsing, namun bukan kurus. Sikapnya dalam 

berdiri cukup tegas dan mantap. Ia pantas menjadi 

seorang prajurit perempuan yang gagah berani.

"Siapa kau? Apakah kau pimpinan monyet-

monyet ini?" sapa Demang Sabrangdalu yang tinggal 

sendirian itu.

"Ya," jawab perempuan itu. "Namaku... Puspa-

sari...!"

Semakin terbelalak mata Demang. Sementara 

gemetar lututnya. Bukankah Puspasri adalah orang 

yang dibunuh Ki Patih Danupaksi beberapa hari yang 

lalu? Dan... dan ciri-ciri yang disebutkan patih ada 

semua pada diri perempuan yang mengaku sebagai 

pimpinan monyet itu.

"Kau setan...!" geram Demang dalam ketaku-

tannya, tapi ia tetap berada di tempat kendati keliha-

tan sekali gemetarnya kaki dan tangannya. Puspasari 

hanya tersenyum sinis dan semakin mendekat, masuk 

dalam lingkaran barisan monyet.

"Aku hanya ingin mencari pembunuh guruku; 

Ki Destak. Menurut kabar dan ucapan guru sebelum 

wafat, hanya orang yang punya pusaka Pedang Urat 

Petir yang bisa mengembalikan aji Sosrogeni milik 

guru. Dan... orang yang memiliki pedang Pusaka Urat 

Petir itu ada di daerah ini. Siapa dia dan di mana dia?


Katakan, lalu serahkan dia kepadaku! Jika tidak, aku 

akan membuat kacau penduduk di wilayah sini!"

"Kau pengecut...! Kau hanya berani melukai 

penduduk yang tak bersalah...!" geram Demang masih 

dengan gemetar dan nafas tersendat-sendat.

"Aku ingin memancing kemarahan siapa saja 

untuk memuaskan hati. Aku ingin melihat keberanian 

pemilik Pedang Urat Petir, yang kabarnya ia adalah 

orang Kesultanan."

"Kenapa kau tidak datang ke istana Kesultanan 

saja kalau memang kau tahu dia orang Kesultanan?"

"Aku tidak mau terjebak mati, sebelum aku 

membunuh orang itu! Nah, kalau dia temanmu, sam-

paikan salam dari Puspasari. Tapi kalau dia bukan te-

manmu, carikan dia dan serahkan kepadaku, maka 

aku akan melindungi keluargamu sampai tujuh ketu-

runan!"

Demang Sabrangdalu sebenarnya ingin berkata 

lagi, tapi ia sudah terlanjur terpukau oleh gerakan 

Puspasari. Perempuan itu memejamkan mata dan 

mengangkat tangan kanannya, seperti meremat sesua-

tu di depan wajahnya. Hal itu terjadi hanya beberapa 

detik saja, lalu monyet-monyet itu bergerak tanpa sua-

ra, pergi meninggalkan tempat yang dihuni banyak 

mayat bergelimpangan dalam keadaan mengerikan. 

Puspasari pun segera pergi searah dengan kepergian 

monyet-monyet tersebut.

Demang sempat berteriak dalam kedongkolan-

nya, "Puspasari, kau telah mati di tangan Patih Danu-

paksi...!"

"Jangan kira aku setan sebenarnya." Puspasari 

menyempatkan berpaling dengan senyum sinisnya, 

kemudian berkata lagi:

"Aku tidak akan mati semudah itu, tahu?! Dan


kau harus mengerti, bahwa aku tidak mungkin mati! 

Tak ada orang yang mampu membunuhku! Nah, sam-

paikan berita ini kepada Sultanmu!"

"Tapi kau nyatanya takut mati! Kau tak berani 

datang!"

Puspasari jadi berhenti lagi, dan berkata: "Ada 

saat yang baik untuk datang ke istana dan membantai 

kalian!"

Puspasari segera melesat bagai kelelawar me-

layang, masuk dikegelapan dan tak terdengar lagi ge-

rakannya. Sementara itu, Demang Sabrangdalu meng-

geram, menggerutu sendiri dengan kegemasan yang 

sangat menjengkelkan hati. Ia tak dapat berbuat ba-

nyak, karena sekarang ia baru sadar kalau lutut ki-

rinya terluka parah bekas gigitan monyet. Banyak luka 

akibat cabikan kuku monyet, dan semuanya kini tera-

sa perih sekali.

Lebih perih sekali adalah saat ia pulang ke is-

tana Kesultanan seorang diri. Ia naik di punggung ku-

da yang berjalan dengan loyo. Angin pagi membuat lu-

ka di sekujur tubuhnya menjadi terasa sangat perih. 

Ketika ia muncul dipintu gerbang, ia pun rubuh ter-

sandar di punggung kuda. Pingsan!

Sudah tentu keadaan Demang membuat sua-

sana di dalam Kesultanan menjadi heboh. Semua mu-

lut bicara soal Demang dan luka-luka pertarungannya 

dengan monyet-monyet dari gunung Buramang. Yang 

lebih mengejutkan mereka lagi adalah berita tentang 

kemunculan perempuan yang bernama Puspasari.

"Tidak mungkin...!" bantah Ki Patih Danupaksi. 

"Aku melihat sendiri saat Puspasari meregang nyawa. 

Aku juga yang memeriksa bahwa perempuan itu mati 

dengan keadaan pucat pasi. Dan selama ini, memang 

tak pernah ada orang yang bisa selamat jika sudah


tergores keris Pulung Kobraku itu!"

Semua jadi terbengong diliputi kebimbangan 

yang membingungkan. Puspasari jelas sudah mati ter-

kena senjata Ki Patih. Beberapa prajurit yang waktu 

itu menyaksikan sendiri kematian Puspasari segera 

menyatakan pendapat seperti yang diutarakan Patih 

Danupaksi. Tetapi sekarang Demang Sabrangdalu ber-

sumpah, bahwa monyet-monyet itu menurut kepada 

perintah Puspasari. Bahkan Demang Sabrangdalu 

meyakinkan tentang pertemuannya dengan Puspasari. 

Segala apa yang dibicarakan oleh Puspasari, di-

ucapkan ulang oleh Demang Sabrangdalu yang sedang 

menunggu kesembuhan lukanya. Laporan yang meya-

kinkan itulah menjadi kebimbangan pikiran mereka. 

Hanya Suro Bodong yang kelihatan tenang-tenang sa-

ja, mendengarkan kisah itu sambil makan jagung ba-

kar.

"Bagaimana menurutmu, Suro Bodong?!" tanya 

Eyang ketika itu dengan disaksikan banyak punggawa 

negeri.

"Bagus...!" jawab Suro Bodong sepertinya tidak 

sambung dengan pertanyaan dan pembicaraan mere-

ka.

"Bagus bagaimana?"

"Bagus kalau memang Puspasari itu bisa hidup 

lagi. Ini berarti teguran bagi kita agar kita tidak gega-

bah merasa sebagai pemenang. Kalau memang benar 

Puspasari hidup lagi, tentu itu hal yang menarik untuk 

diselidiki kebenarannya."

''Aku akan menyelidikinya," tukas Danupaksi 

dengan semangat. "Nanti malam aku akan datang ke 

desa yang diserang para monyet, dan akan kutantang 

Puspasari kalau benar dia masih hidup."

Sultan diam. Eyang Panembahan diam. Nyi Mas


Sendang Wangi yang selalu mendampingi ayahnya juga 

diam. Tetapi diam mereka adalah diam berfikir men-

gambil langkah baik. Sultan sempat meminta pendapat 

Suro Bodong, sebagai menantunya. Tetapi, Suro Bo-

dong yang waktu itu disuruh hadir oleh istrinya hanya 

manggut-manggut seraya mengunyah jagung bakar. 

Ketika barang yang dikunyahnya itu ditelan, ia men-

dengar Sultan bertanya:

"Bagaimana, Suro? Patih Danupaksi ingin 

membuktikan sendiri, dan ingin menantang Puspasa-

ri?"

"Bagus," jawab Suro sepertinya seenaknya saja 

menjawab. "Itu berarti Ki Patih masih punya nyali. Ka-

lau menurutku, biarkan saja Ki Patih menuruti nya-

linya, kita lihat saja, apakah dia bisa pulang dengan 

selamat atau dengan... mayat!"

"Jangan bicara pahit begitu, Suro," ujar Ki Pa-

tih yang kurang suka dengan perkataan Suro Bodong 

tadi. "Sebenarnya kaulah yang dicari Puspasari, dan 

aku sudah berusaha melindungimu dengan tidak men-

gatakan di mana kamu berada."

"Kalau begitu, katakan saja kalau aku ada di

sini!" sahut Suro Bodong dengan senyum ringan yang 

menampakkan kesan sombongnya.

"Seharusnya kau yang pergi menemui Puspa-

sari, sebab kau yang ditantangnya. Tapi jangan izinkan 

Puspasari membuat keonaran di dalam benteng ini. 

Tantanglah dia di lain tempat. Jika sampai Puspasari 

ke mari, bukan hanya kau yang diincar, melainkan ke-

selamatan Nyi Mas dan Kanjeng Sultan sendiri akan 

jadi terancam."

"Kalau Ki Patih masih berani melawannya dan 

ingin membuktikan kebenarannya, silahkan berangkat 

lebih dulu!" kata Suro


Patih Danupaksi merasa semakin penasaran. Ia 

ingin membuktikan kepada siapa saja, bahwa dia 

mampu mengalahkan Puspasari dengan menggunakan 

keris Pulung Kobranya. Maka, pada malam berikutnya, 

berangkatlah dia dengan 25 prajurit, sesuai dengan 

amanat Sultan ketika Patih Danupaksi mohon pamit 

untuk menunaikan tugas:

"Semangatnya, cukup bagus, Ki Patih itu. Ha-

nya sayang ia masih bisa dikuasai oleh nafas dan naf-

sunya sendiri."

Sementara itu, Nyi Mas Send an g Wangi ke

luar dari kamar dan melihat Suro Bodong ada di ta-

man samping bangsal keprajuritan. Di sana sepi, kare-

na para prajurit sedang mengadakan pertemuan den-

gan Sultan dan Eyang Panembahan. Mereka sedang 

diberi beberapa pengarahan untuk menanggulangi ka-

lau-kalau terjadi penyerbuan dari pihak lawan.

"Tidak ikut pengarahan prajurit, Kang Mas?" 

tegur Sendang Wangi kepada Suro Bodong yang tengah 

duduk melamun.

"Apakah aku seorang prajurit?" tanya Suro 

dengan tenang.

Sendang Wangi menyunggingkan senyum ma-

nis. "Tapi kau seorang Senopati. Wajar rasanya kalau 

seorang Senopati ikut memberikan pengarahan kepada 

para prajurit."

"Aku tidak punya pengarahan, kecuali satu 

arah!"

"Satu arah?"

"Satu rencana yang sekarang juga harus segera 

kulaksanakan, Nyi Mas. Ah... seharusnya kau sudah 

pantas dipanggil: Nyai. Bukan Nyi Mas lagi."

Sendang Wangi menyandarkan kepalanya di

pundak Suro Bodong. Suro mengusap-usap pipi is


trinya.

"Aku belum mempersoalkan panggilan itu. Aku 

sedang memikirkan firasatku, Kang Mas Suro."

"Hem... firasat apa lagi itu?" 

"Sepertinya... kau memang harus segera ber-

tindak demi ketentraman rakyat Kesultanan Praja,

Kang Mas."

Suro tertawa pendek penuh arti. Lalu katanya, 

"Kalau begitu, kau setuju jika aku bergerak mulai se-

karang?"

Sendang Wangi mengangguk. "Kalau rakyat te-

nang, tentram, maka ayah juga tenang dan damai," bi-

sik Sendang Wangi.

"Kalau begitu, menjauhlah sebentar," kata Su-

ro.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" 

"Aku harus menggunakan jurus Luing Ayan 

Empat...."

"Luing Ayam Empat...?" Sendang Wangi tertawa 

pelan dan pendek. "Setiap aku mendengar jurus-

jurusmu selalu saja aku ingin tertawa."

"Jurus-jurusku memang pantas ditertawakan,

selagi bisa tertawa orang itu kuizinkan tertawa, tapi 

kalau ia sudah terkena jurusku dan mati... berani 

sumpah: dia tidak akan kuizinkan untuk tertawa!"

Semakin mengikik tawa Sendang Wangi men-

dengar banyolan Suro Bodong yang sederhana, tapi 

menyenangkan hati Sendang Wangi. Saat itu, Suro 

hendak menjauh dari istrinya.

"Kau akan merubah diri lagi, Kang Mas? Mau 

jadi apa?"

"Coba terka...!" jawab Suro Bodong seraya me-

langkah. Sendang Wangi menggumam. Ia berpikir:

"Kalau jurus Luing Ayan Dua, aku belum tahu.


Juga jurus Luing Ayan Empat dan Enam. Tapi kalau 

jurus Luing Ayan Tujuh, Kang Mas berubah ujud men-

jadi pendekar tampan yang bernama Panji Bagus. 

Luing Ayan Tiga, menjadi bocah kecil, Luing Ayan satu, 

menjadi ujud Suro Bodong, sedangkan Luing Ayan Li-

ma, menjadi kakek tua bergelar Rekso Upo. Kalau... 

kalau jurus Luing Ayan Empat? Jadi apa, ya?" Sen-

dang Wangi berpikir-pikir.

Jurus Luing Ayan, adalah jurus kesaktian Suro 

Bodong yang paling sering digunakan. Jurus itu mem-

punyai tujuh tingkatan, yang mampu merubah ujud 

Suro Bodong menjadi tujuh rupa. Sadar tidak sadar, 

sengaja atau pun tidak sengaja, setiap Suro Bodong 

bersalto di udara, maka ia akan mendarat ke tanah 

dengan ujud berubah. Perubahan ujudnya tergantung 

dari berapa kali putaran ia bersalto di udara selama 

kakinya belum menyentuh tanah. Tetapi kalau dia 

hanya bersalto satu kali, yang dinamakan Luing Ayan-

1, maka ia akan menjadi sosok Suro Bodong yang se-

karang: berbaju merah, bercelana biru, perut sedikit 

membuncit dan pusernya kelihatan melotot.

Tetapi, malam itu, sebelum Sendang Wangi, is-

trinya, sempat menerka perubahan ujud yang akan di-

lakukan Suro Bodong, tahu-tahu Suro Bodong telah 

melesat ke atas. Sebelum menyentuh tanah, ia bersalto 

empat kali di udara. Itulah jurus Luing Ayan-4.

Dan ketika kakinya kembali menjejak tanah, 

ternyata sendang Wangi membelalakkan mata dengan 

pekik yang tertahan. Suro Bodong telah berujud beda, 

ia menjadi seekor monyet berbulu ungu. Ungu kehi-

tam-hitaman. Ujud itu membuat Sendang Wangi keta-

kutan dan menjadi berdebar-debar. Suaminya berujud 

monyet ungu, berekor panjang dengan ukuran tinggi 

badan seperti bocah umur 7 tahunan. Gerakannya,


sudah tentu gerakan seekor monyet yang suka garuk-

garuk ketiak atau tempat lainnya. Wajah dan senyum-

nya, jelas seperti monyet biasa yang tak kenal manu-

sia. Hanya saja, monyet ungu itu mempunyai banyak 

perbedaan dengan monyet-monyet lainnya. Ia mempu-

nyai otak, yang dapat berpikir dengan cerdas. Dan bu-

kan hanya mempunyai otak, melainkan akal sehat pun 

ia miliki. Bahkan ketika monyet ungu itu mendekati 

Sendang Wangi, lalu Sendang Wangi mundur, ternyata 

monyet itu bisa berbicara dengan bahasa manusia.

"Jangan takut... aku bukan monyet nakal, Nyai 

Sendang Wangi. Aku Suro Bodong yang dalam kekua-

saan jurus Luing Ayan Empat itu."

Sendang Wangi mulanya tak berani tertawa, 

namun setelah ia mendengar monyet ungu itu berbica-

ra dengan suara persis Suro Bodong, maka lama-lama 

Sendang Wangi pun tersenyum geli melihat kenyataan 

ini. Apalagi setelah Suro Bodong berkata:

"Kalau aku sedang jadi monyet begini, jangan 

coba- coba memancing semangatku untuk naik ke ran-

jang, Nyai. Nanti kamu tidak bisa tidur...."

Jelas ini kelakar khas Suro Bodong. Sendang 

Wangi mulai berani memegang dan mengusap-

usapnya. Lalu ia tertawa geli sendiri. Suro Bodong 

yang berubah menjadi monyet ungu itu berkata, "Aku 

akan menyatu dengan monyet-monyet ganas itu. Aku 

akan ikut sampai ke sarang mereka, sehingga aku ta-

hu keadaan mereka sebenarnya. Tapi, lebih dulu aku 

harus mendampingi Ki Patih secara diam-diam."

"Hati-hati, Kang Mas... jangan tergoda oleh mo-

nyet betina di hutan sana! Nanti kamu segan berubah 

jadi manusia!"


EMPAT


Kalau ingat pesan Sendang Wangi, Suro Bo-

dong ingin tertawa saja rasanya. Tetapi, rasa geli itu 

hilang seketika setelah sampai di suatu tempat, Suro 

melihat banyak mayat prajurit kesultanan yang berge-

limpangan di beberapa tempat. Keadaan mayat terca-

bik-cabik dan bekas gigitan yang terkuak itu sangat 

mengerikan. Sinar bulan purnama yang menyorot ke 

bumi memperjelas bentuk mayat dan keadaan korban 

tersebut. Suro Bodong meski dalam keadaan ujud see-

kor monyet, tapi otaknya masih otak manusia. Rasa 

ngeri dan sedihnya masih ada.

"Pasti mereka korban keganasan monyet-mo-

nyet gunung Buramang...' kata Suro Bodong dalam ha-

ti.

Tengah malam yang sunyi itu, ia meneliti de-

ngan cermat, menghitung berapa mayat prajurit yang 

ada di situ, dan berapa mayat penduduk yang menjadi 

korban. Lalu, ke mana Patih Danupaksi? Mayatnya tak 

ada. Kalau begitu Ki Patih masih hidup.

Kemudian monyet ungu itu bergerak ke arah 

Selatan, karena di sana terlihat ada nyala api yang 

membara dan berkobar. Pasti amukan monyet-monyet 

itu sampai ke desa di sebelah selatan sana. Monyet 

ungu bergerak dengan lincah dan cepat. Ia tak mau 

melangkah seperti jalannya manusia. Ia memang bi-

asanya merangkak atau berjalan dengan badan ter-

bungkuk-bungkuk. Hanya saja, kali ini ia membutuh-

kan waktu yang singkat. Ia harus meloncat, dari dahan 

pohon yang satu ke pohon yang lain. Siapa tahu ia be-

lum terlambat mencegah amukan para monyet di desa


Selatan itu.

Ternyata dugaan Suro Bodong dalam ujud mo-

nyet ungu itu mendekati kebenaran. Ada desa baru 

yang penduduknya panik karena serbuan monyet-

monyet berbulu abu-abu. Mereka mengejar penduduk, 

khususnya setiap lelaki. Mereka seperti monyet-

monyet kesurupan, yang menerkam mangsanya ke-

mudian mengeroyoknya dengan gigitan dan cakar yang 

mematikan.

Suro Bodong tak mau bergerak untuk beberapa 

saat. Ia mempelajari suasana di situ. Ia juga melihat Ki 

Patih Danupaksi sedang kewalahan melawan tiga ekor 

monyet ganas. Kerisnya bagai tak mempan untuk 

membunuh monyet-monyet yang mengeroyoknya. Se-

mentara itu, ada lima prajurit yang masih hidup dan

bertahan bertarung melawan binatang-binatang lincah 

itu. Hampir-hampir setiap satu prajurit menghadapi 

empat ekor monyet yang bernaluri membunuh semua. 

Diperkirakan, ada 25 ekor monyet lebih yang sedang 

menggila di desa tersebut.

"Satu-satunya jalan harus menguasai monyet-

monyet itu," pikir Suro Bodong dalam ujud monyet un-

gu.

Patih Danupaksi telah banyak lukanya. Pa-

kaiannya sendiri menjadi compang-camping, tak beda 

dengan seorang pengemis. Ia berulangkali mengi-

baskan keris pusakanya ke arah binatang-binatang 

tersebut. Namun, monyet-monyet itu bagai mempunyai 

ilmu silat yang amat lincah. Mereka mampu mengelak 

dan menyerang dengan cakarnya. Danupaksi menjadi 

terengah-engah.

Namun tiba-tiba gerakan monyet itu terhenti 

dan menjauhi Patih Danupaksi. Juga monyet-monyet 

yang menyerang kelima prajurit juga berhenti dan


menjauhi kelima prajurit Kesultanan itu. Mereka tidak 

menyerang, namun selalu menghindar dan menjauh 

jika hendak di serang oleh manusia.

"Aneh..." gumam Danupaksi sendirian. "Menga-

pa monyet-monyet itu berhenti menyerangku? Menga-

pa mereka seakan justru menonton semua kebingun-

ganku ini? Ah, gila...!"

Rupanya bukan hanya Ki Patih dan kelima pra-

jurit yang merasa heran, namun ada satu orang lagi 

yang benar-benar merasa heran dan gemas melihat 

monyet-monyet itu tidak mau menyerang lawannya la-

gi. Orang itu bersembunyi di atas pohon yang gelap 

dan rimbun. Melihat monyet-monyet itu tak mau me-

nyerang, maka orang itu segera meluncur turun dari 

atas pohon. Ternyata dialah Puspasari yang tersenyum 

penuh tantangan kepada Patih Danupaksi.

"Bagus sekali kau bisa mengendalikan monyet-

monyet itu," kata Puspasari yang mengira Danupaksi 

yang berhasil menguasai monyet-monyet itu hingga 

mereka tak mau menyerang.

Sedangkan, Patih Danupaksi sendiri sebenar-

nya merasa heran, pertama melihat monyet-monyet itu 

bagai takut bergerak apa pun, kedua Patih heran atas 

kemunculan Puspasari. Padahal beberapa hari yang la-

lu, Ki Patih yakin betul bahwa Puspasari telah berhasil 

dibunuh dengan keris pusakanya. Ia sendiri yang me-

robek lambung dan leher perempuan berwajah mungil 

dengan bola mata bundar indah itu. Tapi, mengapa se-

karang Puspasari sudah bisa berdiri di depannya? Ini 

yang sangat mengherankan Danupaksi. Ia sempat 

memperhatikan telapak kaki Puspasari, ternyata me-

nempel pada tanah. Ini menandakan bahwa Puspasari 

bukan hantu. Bukan roh halus, melainkan manusia 

biasa yang siap bertarung melawan Danupaksi. Kelima


prajurit yang sebenarnya bisa menyerangnya dari be-

lakang itu tidak dihiraukan. Karena bagi Puspasari, 

menundukkan kelima prajurit itu lebih cepat dan lebih 

mudah ketimbang menundukkan Danupaksi.

Danupaksi sendiri tidak tahu, apa sebab mo-

nyet-monyet itu berhenti menyerang, bahkan kini 

mengelompok menjadi satu, sepertinya sedang mera-

patkan rencana kerja mereka. Memang, semua tidak 

tahu kalau di antara monyet-monyet yang kini meng-

gerombol itu terdapat pula monyet berbulu ungu kehi-

tam-hitaman. Itulah Suro Bodong. Dalam ujud seperti 

monyet itu, Suro Bodong dapat berbicara dengan ba-

hasa monyet dan menguasai alam pikiran monyet-

monyet itu. Maka, dengan mudah Suro Bodong sebagai 

monyet ungu bisa memerintahkan kepada 'konco-

konconya' untuk diam, jangan menyerang siapa pun.

"Kau boleh berhasil menguasai jiwa monyet-

monyet itu, tapi ingat, aku bukan monyet," kata Pus-

pasari. "Aku manusia yang masih ingin menebus keka-

lahanku tempo hari."

"Kau memang harus dihancurkan menjadi dag-

ing cincang. Lalu direbus dan ditanam di dasar lau-

tan!" Patih Danupaksi benar-benar gemas melihat 

Puspasari masih hidup. Ia merasa terkecoh karenanya.

"Lakukanlah sebelum hal itu kulakukan terha-

dap dirimu, Jahanam...!!" Puspasari melompat dalam 

jurus tendangan lurus ke depan. "Hiaaat...!!"

Patih Danupaksi menangkis dengan gerakan 

lengan kirinya yang mengibas ke kanan, dan ia segera 

berputar kekiri dengan kaki menendang balik pung-

gung Puspasari. Tubuh perempuan itu terjengkang ke 

depan, dan dua orang prajurit segera menyerangnya 

dari depan Puspasari. Pedang mereka berkelebat di-

hantamkan ke arah tubuh Puspasari. Tetapi pada saat


itu, jari telunjuk Puspasari ditudingkan ke arah kedua 

prajurit tersebut. Jari telunjuk itu bergetar kaku, lalu 

memancarkan sinar hijau muda sebesar lidi. Sinar itu 

menghantam cepat tubuh prajurit secara satu persatu. 

Maka, kedua tubuh itu pun terbakar hangus, terbung-

kus api yang sukar dipadamkan. Keduanya berteriak 

dan berguling-guling di tempat basah, namun tidak 

menolong memadamkan api yang membungkus tubuh 

mereka. Ketika itu, Puspasari segera bersalto ke udara 

dengan tangan kanan bertumpukan sehelai daun dari 

tanaman liar. Tubuh itu melejit dan bersalto dua kali.

Ki Patih Danupaksi segera menggunakan aji 

Candramawa, yaitu sebuah sinar biru tua, mendekati 

warna ungu, meluncur dari sepasang mata Patih Da-

nupaksi. Ia berdiri dengan kedua kaki merenggang dan 

merendah, kemudian kedua tangannya terlipat digeng-

gamkan kuat-kuat, merapat dengan tulang rusuk, dan 

keluarlah sinar aneh darimata Danupaksi. Sinar itu 

menyorot ke tubuh Puspasari yang segera dihindari 

dengan gerakan bergulir di udara sampai beberapa 

kali. Ketika sinar aneh dari mata Danupaksi menghan-

tam pohon dan hancur se ketika pohon itu, Puspasari 

sempat melancarkan pukulannya, berupa sinar hijau 

yang keluar dari dua ujung jarinya, yaitu jari tengah 

dan jari telunjuk.

Patih Danupaksi segera mengibaskan keris pu-

sakanya, dimiringkan ke arah depan mata, lalu kedua 

sinar hijau itu tertahan oleh keris Ki Patih. Begitu kuat 

daya dorong sinar hijau itu, sehingga tangan Ki Patih 

sampai bergetaran. Hampir saja Ki Patih tidak tahan 

menerima desakan sinar hijau itu. Untung ada dua 

prajurit yang sama-sama melakukan tendangan seren-

tak ke punggung Puspasari.

Tubuh Puspasari terlempar ke depan, dengan


sigap Patih Danupaksi menyambutnya dengan kibasan 

kerisnya. 

Breeet...!

"Aaauhh...!!"

Puspasari menjerit, dadanya terluka panjang 

dan dalam. Ia meringis kesakitan dalam keadaan jatuh 

berlutut. Patih Danupaksi segera menghunjamkan ke-

risnya ke punggung Puspasari, tetapi Puspasari segera 

bergulir sambil menggerakkan kaki kanannya menen-

dang perut Patih Danupaksi. Tendangannya cukup ke-

ras diiringi teriakan antara rasa sakit dengan pemusa-

tan tenaga, "Huaaah...!!"

"Uugh...!" Patih Danupaksi terpental. Dadanya 

terasa mau jebol. Ia sukar bernafas beberapa saat.

Kesempatan itu digunakan oleh Puspasari un-

tuk bangkit. Menendang satu prajurit yang hendak 

menyerangnya dengan sebuah pedang, lalu ia segera 

lari dengan melompat ke tempat gelap. Dua orang pra-

jurit menolong Patih Danupaksi yang sukar bernafas 

akibat tendangan Puspasari, sedangkan satu prajurit 

lainnya sedang merangkak sambil menyeringai kesaki-

tan karena tendangan Puspasari juga pada perutnya.

Sementara itu, monyet-monyet pun berlarian 

mengikuti kepergian Puspasari, tak ketinggalan mo-

nyet ungu pun ikut dalam rombongan monyet-monyet 

tersebut. Puspasari agaknya mulai kewalahan mena-

han rasa sakit dan amukan racun yang ada di keris 

Danupaksi. Racun itu telah meresap dalam darahnya 

akibat goresan keris di bagian dada kirinya. Untung ti-

dak tepat di bagian yang menonjol, lebih ke atas sedi-

kit, dekat dengan leher.

Sambil berlari dan melompat-lompat, monyet 

ungu itu memperhatikan Puspasari yang mulai sem-

poyongan. Perempuan itu cukup tangguh, menurut


Suro Bodong. Ia masih berlari terus, kendati keadaan 

tubuhnya mulai keracunan. Pernafasannya begitu be-

rat dihela. Tapi ia tetap terus berlari, seakan harus se-

gera sampai ke Pesanggrahan Wanara Teja.

Ada apa di sana? Mungkinkah mereka mem-

punyai obat yang mujarab untuk mengembalikan ke-

kuatan dan kesehatan Puspasari? Dan bagaimana 

dengan monyet-monyet sebanyak ini? Kenapa tidak 

ada seekor pun yang berbelok ke arah lain? Padahal 

mereka sudah masuk hutan, tapi mereka masih tetap 

bergerak mengikuti arah pelarian Puspasari.

Monyet berbulu ungu, yang tak lain dari pen-

jelmaan Suro Bodong itu mengikuti rombongan monyet 

lainnya dari belakang. Mereka mendaki gunung dalam 

satu gerakan yang lincah. Mereka melompat dari po-

hon ke pohon, dari akar yang menggantung ke akar 

yang satunya, sebab kelihatannya Puspasari juga 

mengambil cara begitu dalam mencapai ketinggian Bu-

ramang, gunung tempat pesanggrahan Ki Destak bera-

da.

Beberapa saat kemudian, terlihat pula rumah 

memanjang dalam pagar rapat yang menjadi sasaran 

utama Puspasari. Letaknya mendekati puncak gunung, 

namun ada bagian tanah datar yang luas dan sebagian 

dipakai untuk membangun rumah panjang berpagar 

rapat dan batang-batang pohon terbelah.

Puspasari masih buru-buru bergerak, seperti-

nya harus cepat sampai ke rumah tersebut yang men-

jadi Pesanggrahan Wanara Teja. Namun tiba-tiba ia 

terjatuh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berteriak:

"Socaaa...?! Paksiii...!!"

Puspasari jatuh tersungkur dengan nafas ter-

sendat-sendat. Monyet-monyet mengerumuni tubuh 

Puspasari yang kejang-kejang sesaat, kemudian ia


hembuskan nafas terakhir dan diam untuk selamanya. 

Monyet-monyet menjerit-jerit sambil melonjak tak be-

raturan. Suro Bodong ikut menjerit dan melonjak wa-

lau pun dalam hati ia menggerutu, "Sayang aku masih 

harus menjadi monyet! Coba kalau tidak, uuh... malas 

aku ikut-ikutan menjerit serak begini!"

Rupanya jeritan dan lonjakan sebagai tanda 

berkabung bagi monyet-monyet itu. Mereka menjadi 

reda setelah dua orang lelaki berpakaian sama-sama 

baju hijau dan celana merah. Lelaki itu segera berlari 

ke kerumunan monyet, lalu salah seorang terpekik me-

lihat Puspasari menjadi mayat.

"Guru...?! Soca, lekas angkat guru ke dalam...!" 

yang dipanggil Soca itu segera mengangkat bagian kaki 

Puspasari. Lalu, Soca dan satu temannya yang ten-

tunya bernama Paksi itu segera membawa Puspasari 

ke dalam rumah benteng kayu. Monyet-monyet ikut 

serta, ada yang masuk melalui pintu pagar, ada yang 

melompat ke atas pagar tinggi. Monyet ungu ikut di pi-

hak yang meloncat ke pagar dan masuk ke halaman 

Pesanggrahan Wanara Teja.

Lelaki yang bernama Soca mempunyai rambut 

lebih panjang dari yang bernama Paksi. Tampaknya 

mereka berdua adalah murid dari Puspasari. Terbukti 

mereka saling menyebut kata 'guru' untuk mayat Pus-

pasari dalam usaha ingin menghidupkan kembali Pus-

pasari.

Kegiatan itu sangat menarik bagi monyet ungu, 

yang tak lain dari Suro Bodong sendiri. Ruang gerak 

monyet ungu menyesuaikan kebiasaan monyet-monyet 

lainnya. Mereka di bebaskan bergerak di pesanggrahan 

tersebut. Hal ini sangat menguntungkan monyet ungu, 

karena ia bisa mengintai bagaimana Puspasari dihi-

dupkan kembali oleh kedua muridnya itu. Atau mung


kin akan dimakamkan secara adat mereka?

Suro Bodong berdiri di ambang pintu dalam so-

sok monyet ungu, hal itu tidak menimbulkan kecuri-

gaan bagi kedua murid Puspasari. Suro Bodong meli-

hat bagaimana murid Puspasari membaringkan gu-

runya di atas sebuah meja panjang yang terbuat dari 

kayu dan papan tebal. Lalu, mereka menelanjangi 

Puspasari sampai perempuan itu tidak mengenakan 

selembar benang pun pada tubuhnya.

Monyet ungu menelan air liurnya sendiri. Ma-

tanya enggan berkedip memperhatikan tubuh yang 

mulus itu terbaring di atas ranjang yang menyerupai 

meja panjang itu. Lekuk tubuhnya, keindahan tubuh-

nya, keranuman dadanya yang montok, sungguh 

menggoda hati monyet ungu. Wajah mungil yang ber-

mata bundar itu sangat serasi dengan bentuk tubuh-

nya yang berpinggang ramping. Hidung yang mancung 

dan bibir yang mungil, cocok sekali dengan bentuk da-

danya yang menonjol namun kencang. Oh... tubuh itu, 

tak ubahnya seperti boneka yang terluka di atas dada-

nya. Tubuh mulus itu menjadi pucat membiru samar, 

itu karena racun dari keris pusaka Ki Patih Danupak-

si.

Agaknya, Soca dan Paksi ingin cepat-cepat me-

nolong gurunya, bukan ingin menguburnya. Mereka 

mengambil sebuah kotak dan menggotongnya dengan 

hati-hati. Kemudian kotak itu dibuka, lalu Paksi men-

geluarkan kain tebal warna biru muda. Kain itu me-

nyerupai sebuah jubah halus yang segera diselimutkan 

ke tubuh Puspasari Tubuh yang mulus itu akhirnya 

tertutup rapat oleh kain biru muda.

"Orang-orang di bawah sana akan heran jika 

melihat guru muncul lagi dalam keadaan segar bugar." 

Paksi berkata kepada Soca seraya ia menyiapkan pa


kaian baru untuk Puspasari. Pakaian itu sama seperti 

yang tadi dikenakan Puspasari, yaitu merah bludru 

yang indah.

"Kurasa kali ini guru juga bertarung dengan 

orang yang memiliki keris beracun, seperti beberapa 

hari yang lalu," ucap Soca, orang ini sibuk membikin-

kan minuman untuk Puspasari.

"Ya, kurasa guru memang bertarung dengan 

orang yang sama. Tapi... kalau orang itu melihat guru 

masih hidup dalam keadaan segar, lama-lama ia jadi 

jengkel sendiri, dan bisa-bisa ia akan bunuh diri kare-

na gagal membunuh guru berulangkali."

Paksi dan Soca tertawa. Soca bicara dengan je-

las, kendati agak berbisik, "Padahal kalau orang tahu, 

guru mudah dilumpuhkan, ya?"

"Iya. Tapi mana ada yang akan berpikir bahwa 

guru hanya bisa dilumpuhkan apabila... pada saat 

bercengkerama dalam buaian birahi."

Soca semakin mengikik. "Kalau dipikir-pikir, 

guru ini benar-benar perempuan sakti yang hebat.

Bayangkan saja, ia mempunyai banyak ilmu warisan 

Eyang guru Destak. Dan lagi, ia hanya bisa dibunuh 

selamanya jika menggunakan pedang... pedang kejan-

tanan seorang lelaki. Tetapi, eh., pedangnya siapa yang

mampu mengeluarkan panah kematian jika sedang 

saling berenggut puncak kehangatannya?"

"Ssst...! Jangan keras-keras, nanti kalau tahu-

tahu guru bangun, kita bisa dihajarnya berbicara soal 

itu."

"Eh, iya..." Soca buru-buru menutup mulut-

nya."Ah, tapi tak apa kalau toh kita dihukum, kan hu-

kumannya bisa membawamu terbang ke alam mimpi?"

"Iya kalau hukuman ranjang, kalau hukuman 

cambuk, bagaimana?"


"Ah, itu sudah jarang lagi dilakukan guru, soal-

nya kalau kita dicambuk, kita tidak akan dapat ber-

buat latihan jurus-jurus ranjang yang disukai guru, 

kan?"

Semua celoteh dan canda Paksi serta Soca 

menjadi bahan pemikiran Suro Bodong yang menya-

mar sebagai monyet ungu, Kini, Suro Bodong tahu, 

bahwa Puspasari mengangkat kedua pemuda kekar itu 

bukan sekedar untuk dijadikan murid, namun sekali-

gus dijadikan teman berkencan di ranjang.

Wow...! Alangkah asyiknya berkencan di pucuk 

gunung berudara sedingin ini? Pikir Suro Bodong 

sambil memakan sejenis kacang kedelai yang tadi dipe-

rolehnya di depan pintu halaman depan.

Sambil makan makanan yang sebenarnya tidak 

disukai, Suro Bodong masih terus menyimak pembica-

raan dan memperhatikan segala perubahan di sekitar-

nya. Monyet-monyet lainnya diumbar begitu saja tanpa 

pengawasan sedikit pun. Mungkin karena banyaknya 

monyet di sekitar situ, maka Ki Destak membuka Pe-

sanggrahan yang bernama Wanara Teja. Wanara itu 

monyet, Teja itu cahaya. Entah apa maksudnya nama 

itu, yang jelas Suro Bodong, atau si monyet ungu, 

menjadi kaget sejenak. Ia memperhatikan suatu peru-

bahan yang terjadi di atas meja papan, tempat mayat 

Puspasari dibaringkan.

Mayat itu bercahaya. Mula-mula kain penutup 

tubuh mayat yang bercahaya, makin lama semakin te-

rang. Cahayanya kuning keemasan. Dan ketika cahaya 

memancar dengan total, tubuh Puspasari bergerak-

gerak sedikit demi sedikit, kemudian menjadi gerakan 

yang spontan.

Puspasari bangkit serentak, duduk memejam-

kan mata dengan kain penutup di bagian dada yang


tersingkap ke bawah. Tak lama kemudian cahaya itu 

surut, lalu pudar. Hilang sama sekali. Dan Puspasari 

tersenyum kepada dua muridnya yang membungkuk 

memberi hormat kepadanya. Sementara itu, monyet 

ungu masih memperhatikan dengan rasa takjub. Dada 

Puspasari menjadi mulus, tanpa bekas luka sedikit 

pun. Darah yang semula berceceran di sekitar dada, 

hilang tanpa bekas. Benar-benar merupakan wajah 

dada yang mulus, lembut, dan menggairahkan untuk 

diraba pelan-pelan.

Pantaslah kalau Ki Patih membantah bahwa 

Puspasari sudah dibunuhnya dan mati. Rupanya begi-

nilah cara mereka menghidupkan mayat anggota pe-

sanggrahan Wanara Teja? Tapi, kenapa kematian Ki 

Destak tidak dapat dihidupkan kembali, ya? Mungkin-

kah karena termakan senjatanya sendiri, sehingga ti-

dak akan bisa hidup lagi walau diselimuti kain pusaka 

itu?

Apa yang harus dilakukan Suro Bodong setelah 

mengetahui rahasia-rahasia Puspasari, adalah sebuah 

rencana yang sederhana. Ia harus akrab dengan Pus-

pasari. Ia harus bisa membuat daya tarik bagi perem-

puan berbibir mungil itu. Sebab, Puspasari hanya bisa 

dibunuh dan tak akan hidup lagi apabila ia mati pada 

waktu bercengkerama dikejar birahinya. Menurut celo-

teh Soca dan Paksi tadi, hanya 'pedang' kejantanan 

seorang pria saja yang bisa membunuh dalam suatu 

jurus ranjang. Dan... Suro Bodong merasa memiliki 

sebuah jurus simpanan yang tak pernah digunakan. 

Namun ia ingat apa dan bagaimana cara penggunaan 

jurus itu. Ia ingat betul akibat jurus tersebut. Tapi dia 

tidak tahu, apa namanya.

Sebuah kekuatan tenaga dalam yang diramu 

dengan kekuatan inti hidup, akan dihentakkan dalam


suatu permainan asmara. Dan kekuatan maha dahsyat 

itu dapat membuat lawannya diam tanpa nafas sela-

ma-lamanya. Jurus itu dinamakan jurus: TOMBAK 

DEWA. Menurut pemikiran Suro, hanya itu nama yang 

cocok untuk jurus tersebut, karena ia tidak tahu lagi 

apa nama jurus tersebut sebenarnya, dari siapa ia pe-

roleh dan kapan, itu semua tidak ada dalam ingatan 

Suro. Hanya cara penggunaannya yang masih sempat 

lekat dalam ingatan Suro Bodong, yang selama ini lupa 

akan jati dirinya. Tapi, barangkali Eyang Panembahan 

tahu semua itu, sebab Eyang Panembahan mempunyai 

indra ketujuh yang mampu melihat kesejatian hidup 

dan alam dunia ini.

Sekarang masalahnya, bagaimana cara yang 

paling tepat untuk menggunakan jurus Tombak Dewa 

Sakti itu? Kalau cara sederhana yang sudah ada itu 

gagal? Apa yang harus dilakukan lagi?

Selagi monyet ungu berpikir demikian di bawah 

sebuah pohon, tiba-tiba terdengar suara Soca yang

berseru:

"Paksi... kemarilah sebentar, lihat... ada monyet 

asing yang terbawa ikut ke mari."

Paksi datang dan ikut memperhatikan monyet 

ungu. Ia tersenyum, karena monyet ungu itu baginya 

cukup lucu dan jarang ditemui sepanjang hidupnya.

"Gawat...! Belum apa-apa sudah tertangkap 

nih...!" pikir monyet ungu.

"Tangkap dia dan serahkan pada guru...!" ujar 

Soca ketika Paksi mendekati monyet ungu. Tetapi Suro 

Bodong tidak mau tertangkap begitu saja. Ia melompat 

ke atas pohon sewaktu Paksi hendak menangkapnya. 

Kala itu, udara pagi pegunungan sungguh segar dan 

membuat pernapasan Suro begitu lega. Sekali pun ia 

dalam ujud monyet ungu, namun ia bisa meman


faatkan udara pagi sebagai udara latihan kecepatan di-

ri dalam hal mempermainkan jurus monyet ungu.

"Paksi... pakai bambu galah ini, dan sodok dia 

dari bawah...!" kata Soca sambil membawa bambu 

panjang yang belum terpotong bagian ujungnya. Suro 

Bodong semakin panik. Ia bisa jatuh kalau disodok 

dengan bambu itu. Mungkin juga pantatnya akan

bengkak kalau sodokan itu tepat di pantat.

Sebelum Paksi mendekat dengan bambu pem-

berian Soca, monyet ungu buru-buru bergerak turun 

dan melompat ke pagar yang mengelilingi rumah terse-

but. Soca segera keluar, menghadangnya dari luar pa-

gar.

"Hati-hati, jangan sampai kabur dia...!" teriak 

Paksi.

Paksi melepaskan bambunya. Ia hendak me-

nangkapnya dengan selembar kain sarung usang. 

"Uiik... uiik... kkkrr...!!" Monyet ungu garuk-garuk ke-

tiaknya sambil memonyong-monyongkan bibirnya yang 

tebal.

Ia melompat ke luar dengan tiba-tiba, karena 

Paksi melemparkan kain sarung tersebut.

"Awas dia keluar...!" teriak Paksi kepada Soca.

Soca segera menubruk monyet ungu. Tetapi 

ekor monyet ungu yang panjang itu segera mengibas 

ke samping.

"Plak...!!"

"Aauhh...! Dia galak, Paksi...!" teriak Soca sam-

bil mengusap pipinya yang jadi memerah karena dis-

abet ekor monyet. Monyet ungu itu berlari ke tempat 

lain, di atas tumpukan kayu. Dengan hati-hati Paksi 

naik ke pagar, tepat ia berada di belakang monyet un-

gu. Lalu dengan serta-merta Paksi meluncurkan tu-

buhnya, menangkap monyet ungu itu, namun yang di


tangkap melompat ke pagar lagi. Paksi tersungkur dan 

dagunya terbentur kayu yang runcing. Berdarah!

"Bangsat...! Awas kau kalau kutangkap, lang-

sung kupotong dan kumakan kau, Monyet!" geram 

Paksi.

"Jangan nafsu kalau mau memegangnya. Pelan-

pelan saja," tutur Soca. Ia memperagakan gerakan 

lembut dan pelan-pelan. Jari jemarinya dipermainkan; 

tek... tek... tek... mulutnya pun ikut menyuarakan kata 

bagai bisikan, "Kis... kis... kis...!"

Suro Bodong tak tahu, apakah itu cara menji-

nakkan seekor monyet atau bukan, yang jelas Suro 

Bodong berusaha untuk menghindari Soca maupun 

Paksi. Ia bisa gagal kalau sampai tertangkap mereka, 

apalagi sampai diserahkan kepada Puspasari. Karena 

itu, sewaktu tangan Soca berada dalam jarak dekat, 

monyet ungu segera menamparkan lengan Soca dan 

merobek kulit lengan itu.

"Aaoow...!!" teriak Soca yang kemudian diterta-

wakan Paksi. Lalu, Soca segera mengambil kayu sebe-

sar lengannya. Kayu itu dikibaskan untuk memukul 

kepala monyet ungu. Tapi monyet ungu segera meng-

hindar dengan satu lompatan. Pada saat melompat itu-

lah ekornya mengibas kuat dan mengenai kening Soca 

sehingga ada bekas memar membiru dikening itu, su-

dah tentu hal itu membuat Soca menjerit kesakitan. Ia 

melempar kayu tersebut ke arah monyet ungu, tapi 

monyet ungu merundukkan kepala. Tepat pada saat 

itu, tangan Paksi menyahutnya, lalu mencekik leher 

monyet itu.

"Mampus kau sekarang, hah...?!!"

Monyet itu menjerit tertahan. Ia tak bisa meng-

gigit tangan tersebut. Sementara itu, terdengar Soca 

berseru:


"Hei, jangan bunuh dia! Serahkan saja pada 

guru, siapa tahu bisa dimanfaatkan!"

Kemudian, monyet ungu itu jatuh ke tangan 

Puspasari. Tiba-tiba ada gagasan baru yang terlintas di 

benak Suro Bodong sebagai monyet ungu. Gagasan itu 

timbul setelah ia merasa hangat dalam pelukan Puspa-

sari.

"Jangan bunuh monyet ini..! Ini termasuk mo-

nyet langka," ujar Puspasari. "Kita kawinkan saja den-

gan induk monyet yang ada di belakang rumah."

Wah, gawat...! Hati monyet ungu sebenarnya 

kaget. Ia menggerutu dalam hati, "Uuh... kacau ini, 

kenapa harus dikawinkan dengan induk monyet? Sial!"

"O, ya... benar. Kebetulan ini masih masa puber 

kera tiba. Ini kan musim puber bagi monyet-monyet 

hutan, Guru!"

"Karena itu, cepat masukkan ke kandang mo-

nyet betina. Tapi segera pisahkan kalau mereka berke-

lahi, ya?" kata Puspasari sambil hendak menyerahkan 

monyet itu kepada Paksi.

Lalu, secara serempak mata mereka terbelalak 

kaget. Monyet ungu bisa bicara dan berkata, "Kasiha-

nilah aku... kasihanilah aku..."

"Hei, monyet ini bisa bicara?!" Puspasari terta-

wa girang.

Soca dan Paksi juga terbahak-bahak menden-

gar monyet bisa bicara bahasa manusia.

"Namamu siapa?" tanya Puspasari dengan hati 

bangga.

"Namaku... namaku Panji Bagus..." jawab mo-

nyet ungu. Bagi Suro Bodong, tak ada cara lain untuk 

lolos dari genggaman dan ancaman mereka kecuali 

dengan menyuarakan kata. Dan untuk itu, ia punya 

kisah sendiri yang segera dituturkan kepada mereka


bertiga:

"Aku bukan monyet sewajarnya. Aku bisa bi-

cara karena aku disentuh oleh seorang putri gunung. 

Aku sebenarnya seorang pangeran dari negeri sebe-

rang."

"Seorang pangeran?!" Puspasari semakin gi-

rang.

"Benar. Aku dikutuk oleh seorang penyihir dari 

negeri Tibet. Karena aku kalah ilmu, maka aku dijadi-

kan seekor monyet. Aku bisa menjadi manusia kembali 

apabila ada di tangan seorang putri gunung yang be-

rilmu tinggi, dan harus dilemparkan ke udara setinggi-

tingginya...."

Suro pintar mengarang cerita yang sungguh 

menarik bagi Puspasari untuk membuktikan. Tetapi, 

sebelumnya Puspasari berkata,

"Apakah aku yang dimaksud Putri Gunung 

itu?"

"Mungkin! Buktinya, di tanganmu aku sudah 

bisa bicara dalam bahasa manusia. Coba kau lem-

parkan ke atas, mungkin aku bisa berubah menjadi 

manusia seutuhnya."

"Coba, guru...! coba...! Nanti kalau dia bohong, 

biar saya kejar dan saya bunuh seketika!" kata Soca 

bernafsu.

Puspasari berkata kepada monyet ungu, "Apa 

janjimu jika kau ternyata berhasil berubah menjadi 

manusia lagi?"

"Aku akan mengabdi kepadamu seumur hi-

dupku, Putri."

"Sungguh?!" Puspasari tersenyum senang.

"Sungguh, Putri. Aku berjanji...!" jawab monyet 

ungu.

Puspasari tertawa riang. Ia mengusap-usap


monyet ungu sambil melangkah ke pekarangan yang 

luas itu. Soca dan Paksi tak sabar ingin melihat bukti 

kata-kata monyet ungu.

"Bagaimana kalau kau mengingkari janjimu?" 

tanya Puspasari masih dalam keraguan.

"Kalian kan bertiga. Masa' kalian tidak bisa 

membunuh aku kalau ternyata aku berdusta padamu, 

Putri."

"Guru... cepat lemparkan ke atas, dia benar-

benar tak akan ingkar janji. Ayolah..." bujuk Paksi tak 

sabar.

"Lalu, bagaimana jika kau ternyata tidak men-

jadi seorang manusia lagi? Bagaimana jika ternyata 

kau tetap menjadi seekor kera?"

Jawab Monyet Ungu, "Aku tetap akan berbakti 

kepadamu. Asal kuminta, jangan samakan aku dengan 

monyet-monyet lainnya. Jangan kau suruh aku men-

gawini induk monyet...!"

Puspasari dan kedua muridnya tertawa geli. 

Kemudian dengan hati berdebar-debar, Puspasari ingin 

membuktikan pengakuan yang pantasnya ada dalam 

dongeng anak-anak saja. Ia segera melemparkan mo-

nyet ungu ke atas, tinggi sekali untuk ukuran suatu

lemparan benda sebesar anak umur 7 tahunan.

Pada saat monyet ungu melayang, segera saja 

ia manfaatkan untuk bersalto tujuh kali. Jurus Luing 

Ayan-7 digunakan oleh Suro Bodong. Tentu saja se-

mua mata jadi terbelalak kaget dalam kekaguman, ka-

rena pada saat putaran salto ke tujuh kali itu, tubuh 

monyet ungu berubah menjadi sosok seorang pendekar 

tampan yang gagah perkasa. Dialah Suro Bodong da-

lam ujud Panji Bagus.

Puspasari terbengong-bengong tak berkedip 

memandang ketampanan Panji Bagus. Matanya begitu


bening, teduh dipandang. Rambutnya lurus, halus ber-

jatuhan di pundak bagai benang-benang sutra. Panji 

Bagus mengenakan ikat kepala dari tali emas bagai si-

sik naga. Bibirnya tampak segar, seperti bibir seorang 

putri gunung es. Pada saat itu, Panji Bagus menahan 

nafas beberapa saat dan menggerakan kedua tangan-

nya ke atas. Lalu pedang Urat Petir yang kali ini biasa 

tampak di punggung, kini tidak lagi bisa kelihatan di 

mata umum.

"Kau... Panji Bagus?" tanya Puspasari berdebar-

debar. 

"Benar, Putri Gunung...!" jawab Panji Bagus 

dengan menunduk memberi hormat. Puspasari sema-

kin berdebar-debar jadinya.


LIMA



Segunung kebahagiaan menyelimuti hati Pus-

pasari. Matanya yang bulat indah itu sejak tadi bagai 

tak mau lepas memandangi wajah Panji Bagus. Bah-

kan dalam acara makan pagi bersama, Puspasari sen-

gaja mengambil tempat duduk yang berseberangan 

dengan Panji Bagus. Sementara itu, Soca dan Paksi 

mulai menyadari adanya perhatian lain dari Puspasari. 

Sewaktu mereka berdua menyiapkan makanan pagi di

dapur, Soca sempat berbisik kepada Paksi.

"Agaknya pemuda itu membawa suasana lain di 

antara kita. Aku mencium gelagat yang bakal menjadi 

tak beres."

Paksi masih menahan diri dengan berkata, "Ah, 

belum tentu. Itu karena rasa iri dan cemburumu saja 

yang mulai menghantui jiwamu."


Padahal dalam hati Paksi sendiri merasa, me-

mang akan ada suasana lain di Pesanggrahan Wanara 

Teja ini. Puspasari sangat akrab, cepat sekali tergiur 

oleh ketampanan Panji Bagus. Apalagi tubuh pemuda 

yang mengaku sebagai pangeran kena kutuk itu begitu 

tegap. Dadanya bidang dan membusungkan otot yang 

kekar. Lengan-lengannya pun kelihatan penuh tenaga

tersimpan di sana. Wajahnya sendiri sering membuat 

jantung Puspasari berdebar-debar ingin meledak. Wa-

jah Panji Bagus begitu tampan, berkulit halus, mirip 

seberkas busa-busa salju. Puspasari bagai tak ingin 

beralih pandang dalam sekejap. Sejak tadi ia banyak 

bicara, banyak canda dan tak segan-segan mencubit 

Panji Bagus. Bagi Suro Bodong, inilah saat yang di-

tunggu.

Suro Bodong memerankan gaya Panji Bagus 

sebagai pemuda lugu yang kurang berminat terhadap 

perempuan. Ketika Puspasari bertanya:

"Apakah kau sudah punya kekasih di negeri-

mu?"

Panji Bagus menjawab, "Dulu pernah, tapi se-

karang sudah tidak lagi." 

"Kekasihmu pergi?"

"Menikah dengan pemuda lain sejak ia tahu 

aku dikutuk jadi monyet. Aku melihat sendiri perkawi-

nan mereka, aku hadir di situ, tetapi aku segera diusir 

oleh pelayan-pelayannya yang tidak tahu siapa aku se-

benarnya."

Puspasari menggumam, lalu menghela nafas 

dalam-dalam. "Kasihan sekali nasibmu," ujarnya entah 

dengan hati tulus atau hanya kata pemanis bibir, bagi 

Panji Bagus itu tidak menjadi masalah. Yang penting ia 

bisa menciptakan simpati sendiri terhadap Puspasari.

"Aku di sini mempunyai dua murid yang masih


menuntut ilmu. Mereka sebentar lagi akan rampung, 

dan kuizinkan turun gunung untuk mencari pengala-

man," kata Puspasari. "Apakah kau berminat untuk 

menimba ilmu dariku?"

"Aku...?" Panji Bagus tersenyum malu, dan se-

nyuman itu membuat gemetar hati Puspasari. Puspa-

sari menggigit bibirnya sendiri, menahan sesuatu yang 

bergejolak.

"Aku tahu, kau pasti mempunyai ilmu silat

yang cukup lumayan," kata Puspasari. "Tetapi apabila 

kau belajar denganku, kau akan menjadi lebih terpan-

dang di kancah persilatan dunia."

Panji Bagus tertawa malu dibikin-bikin. Ia ber-

kata lirih, "Apa saja perintahmu akan kulakukan, Putri 

Puspa. Aku kan sudah berjanji untuk mengabdi kepa-

damu."

"Kalau aku memerintahkan kamu belajar ilmu 

peninggalan Ki Destak, apa kau mau?"

"Aku harus mau, karena kau lah yang sedang 

kulayani."

Puspasari tertawa senang kendati ditahan-

tahan.

"Jadi kau mau melayaniku apa saja yang kupe-

rintahkan?"

"Ya. Kau yang membebaskan aku dari penga-

ruh kutukan sihir itu, dan sudah sepatutnya aku me-

layanimu, Putri."

Gerakan mata yang bulat bening milik Puspa-

sari itu sudah merupakan gerakan yang penuh arti. Ia 

berjalan ke halaman samping untuk menemui kedua 

muridnya. Sementara itu, Panji Bagus bergerak mela-

lui pandangan mata, mencari tempat penyimpan peti 

berisi kain halus warna biru muda itu. Selembar kain 

yang mampu menghidupkan Puspasari yang telah ma


ti. Ia punya rencana untuk mencuri kain tersebut apa-

bila keadaan sudah mengizinkan.

Puspasari datang bersama kedua muridnya: 

Paksi dan Soca. Agaknya ada sesuatu yang ingin dibi-

carakan siang itu.

"Panji, aku ingin menyuruhmu mengerjakan 

sesuatu," kata Puspasari. Panji Bagus mengangguk da-

lam senyum tipis yang menggetarkan hati perempuan 

mana pun

"Tugas apa yang harus kukerjakan?"

"Mencari orang yang memiliki pusaka Pedang 

Urat Petir," jawab Puspasari. "Orang itu yang membu-

nuh guruku; Ki Destak. Ia ada di Kesultanan Praja. Te-

rus terang, aku sendiri belum bisa memastikan sebe-

rapa tinggi ilmu orang itu. Tapi aku harus hati-hati da-

lam bertindak. Sebab itu aku ingin dia keluar dari ka-

marnya, dan melakukan suatu pertarungan yang bisa 

kujadikan ukuran kekuatannya."

"Aku paham. Lalu...?"

"Kau kutugaskan menangkap dia dalam ke-

adaan hidup. Aku ingin kekuatan orang itu lumpuh 

sebelum dia berhadapan denganku. Dan hanya aku 

yang berhak membunuhnya, ingat?"

"Aku ingat, Putri." Panji Bagus menjawab de-

ngan penuh hormat dan ketegasan. "Kapan aku harus

bergerak?"

"Nanti malam. Sekarang, aku akan menyuruh 

Soca dan Paksi untuk mempelajari suasana di dalam 

benteng Kesultanan. Lalu, sebelum tengah malam, me-

reka sudah harus sampai di sini membawa beberapa 

keterangan dan rincian keamanan di benteng kesulta-

nan. Dan, tengah malam kau bergerak menculiknya 

dengan bantuan monyet-monyet sebagai pembuat ke-

rusuhan untuk mengacaukan perhatian mereka."


"Aku paham," jawab Panji Bagus.

"Soca dan Paksi...! Sekarang juga kalian be-

rangkat, dan selidiki dengan cermat keadaan di sana. 

Aku ingin hari ini sampai tengah malam nanti, orang 

itu sudah ada di tanganku. Mengerti?"

"Mengerti, Guru..." jawab Paksi dan Soca. Ke-

mudian mereka berdua diizinkan berangkat turun gu-

nung. Di perjalanan, Paksi sempat berkata kepada So-

ca:

"Mengapa guru menguji kesetiaan Panji dengan 

cara seperti itu? Kalau dia keluar tengah malam, dia 

bisa saja lari pulang ke negerinya."

"Aku yakin, nanti malam guru akan mengiku-

tinya dari kejauhan. Begitu dia ada gelagat mau mela-

rikan diri, maka guru akan segera membunuhnya."

"Ah, tapi itu cara yang salah untuk menguji ke-

setiaan Panji. Bisa saja dia tidak lari, tapi malah ber-

komplot dengan orang-orang Kesultanan Praja," Soca 

masih menampakkan kecemasannya.

Namun, lagi-lagi Paksi membesarkan hati Soca 

dengan mengatakan, bahwa Puspasari gurunya bukan 

orang bodoh yang mudah tertipu.

Memang, hasil pembicaraan singkat antara 

Puspasari dan kedua muridnya adalah kesepakatan 

menguji kesetiaan Panji Bagus. Puspasari ingin menu-

runkan ilmunya kepada Panji Bagus, tetapi kedua mu-

ridnya itu menyangsikan kesetiaan Panji Bagus. Paksi 

dan Soca khawatir, kalau ilmu peninggalan Eyang 

Guru Destak diberikan kepada orang lain, dan orang 

itu menguasai, maka ada orang di luar mereka yang

juga menguasai ilmu langka peninggalan Ki Destak. 

Paksi dan Soca tidak ingin ada orang lain yang mem-

punyai ilmu sama dengan mereka. Mereka ingin paling 

unggul dari semua orang-orang berilmu. Sebab menu


rut pendapat mereka berdua, bahwa semua ilmu yang 

telah dimilikinya itu jarang ada di jagad raya, jarang 

ada yang memilikinya, sehingga mereka berdua akan 

menjadi orang yang mempunyai keistimewaan tersen-

diri di antara sekian banyak jago-jago silat dunia.

Untuk menenangkan hati murid-muridnya, 

Puspasari mempunyai rencana menguji kesungguhan 

Panji Bagus dalam mengabdi. Tugas menangkap orang 

yang memiliki pedang Urat Petir adalah suatu uji coba 

akan kesungguhan Panji Bagus. Puspasari juga tahu, 

dalam tugas itu banyak peluang untuk lari dan berk-

hianat, tapi ia sudah punya rencana sendiri jika hal itu 

benar-benar dilakukan oleh Panji Bagus.

Tapi, sebenarnya kekhawatiran Puspasari tidak 

sebesar kekhawatiran kedua muridnya. Puspasari le-

bih mempunyai rasa percaya yang besar, bahwa Panji 

Bagus akan berhasil dipikatnya jika ia berhasil menga-

jaknya berlayar di lautan mimpi yang indah. Dia yakin, 

bahwa Panji Bagus akan merasa senang berada dalam 

pelukannya, dan ia pun akan merasa bahagia dalam 

pelukan Panji Bagus. Oleh sebab itu, hubungan mere-

ka pun menurut Puspasari tidak cukup setahun dua 

tahun, namun bisa jadi akan selamanya.

"Di sini suasananya sangat sepi, ya?" ujar Panji 

Bagus ketika ia diajak jalan-jalan mengelilingi Pe-

sanggrahan Wanara Teja.

"Hanya aku dan kedua muridku yang mengua-

sai gunung ini," kata Puspasari. "Dan setiap harinya, 

hanya kami bertiga yang mengisi canda di gunung ini."

'Tentu sebuah canda yang lain dari yang lain, 

bukan?" pancing Panji Bagus.

Puspasari tersenyum tipis. Ketika sampai di 

padang rumput yang tidak banyak semak berduri, dan 

tempatnya sedikit luas karena banyak pohon yang di


tebangi, Puspasari berkata, "Di sini dulu aku diajar 

oleh guruku untuk memperdalam ilmu silat. Dan di si-

ni juga aku sering menurunkan ilmu itu kepada Soca 

dan Paksi."

"Apakah tidak takut dicuri orang ilmu kalian 

itu?"

"O, tidak. Di sini tidak akan ada orang lain yang 

bisa mengintai dan mencuri jurus-jurus kami. Untuk 

mendaki ke mari, mereka membutuhkan keberanian 

yang benar-benar tangguh. Banyak binatang buas di 

lereng gunung. Dan kera-kera ganas paling ditakuti 

oleh orang di sekitar kaki gunung Buramang ini."

Puspasari berdiri di tengah padang rumput 

yang agaknya memang dirawat dari dulu sebagai tem-

pat berlatih yang alami. Panji Bagus sedang meneliti 

keadaan sekeliling. Oh, benar. Tempat itu benar-benar 

tempat yang sepi, layak untuk dijadikan pusat latihan 

ilmu kanuragan dan tenaga dalam. Pantas kalau Pus-

pasari dan muridnya yakin betul bahwa mereka mem-

punyai ilmu yang langka di jagad raya ini.

"Panji, seranglah aku," kata Puspasari.

Panji terperanjat sekejap. Ia memandang Pu-

spasari dengan dahi berkerut. Puspasari tersenyum

manis dan mengulangi perintahnya:

"Seranglah aku, Panji... aku ingin tahu sebera-

pa tinggi ilmu yang kau miliki. Lalu, akan ku tambah-

kan beberapa ilmu yang belum kau miliki."

"Putri, aku tidak ingin mencobaimu dengan 

kemiskinan ilmuku. Aku tidak mau takabur dengan 

apa yang kumiliki."

Puspasari menggeleng. "Aku tidak menyuruh-

mu takabur, tetapi aku ingin memberikan sesuatu pa-

damu. Lakukanlah yang terbaik menurut pandangan-

mu. Seranglah aku..."


Karena di desak berulangkali, Panji Bagus pun 

segera melakukan serangan terhadap diri Puspasari. Ia 

melesat dengan jurus tendangan menyamping. Puspa-

sari menangkisnya, hanya dengan mengibaskan tan-

gan kirinya ke kiri. Lalu tangan kanannya meluncur 

cepat, menghantam dada Panji Bagus. Panji menahan 

dengan telapak tangan kanan yang terbuka. Pukulan 

Puspasari menghantam telapak tangan Panji Bagus, 

namun sikunya segera ditekuk ke depan dan meng-

hantam wajah Panji. Hanya saja Panji Bagus segera 

menghindar dengan cara memiringkan kepala ke ka-

nan. Ketika kepalanya miring ke kanan, kaki kanan 

Puspasari bergerak naik, menendang kepala Panji. Te-

tapi tangan kiri Panji segera bergerak ke kanan, meng-

hentakkan kaki Puspasari sehingga kaki itu terbuang 

ke samping kanannya.

Semua gerakan dilakukan dengan cepat se-

hingga serangkaian jurus itu merupakan satu gebra-

kan yang tak kentara. Tahu-tahu keduanya mental ke 

belakang bersamaan. Puspasari sedikit limbung, na-

mun segera tegap berdiri. Ia tersenyum sambil mema-

sang kuda-kuda kembali. Lalu, ia bergerak cepat da-

lam melayangkan tubuh dan berani bersalto dalam ja-

rak separuh badan dari tanah. Panji Bagus mengge-

rakkan pukulan berganda, lalu menebaskan tangan 

kanannya bagai sedang menyongsong dagu lawan dari 

bawah ke atas. Tetapi Puspasari melentikkan kaki ke 

arah lain dan berguling di rerumputan, lalu siap dalam 

posisi salah satu lututnya menapak ke tanah dan kaki 

yang lain menekuk tegap menginjak tanah. Ia berdiri, 

lalu mengikik seraya mengunjukkan genggamannya.

"Ada sesuatu yang hilang pada dirimu, Panji," 

katanya. Kemudian ia membuka genggamannya, dan 

ternyata tiga buah kancing pengikat celana Panji telah


berhasil diserobotnya tanpa membuat Panji terasa. 

Tentu saja Panji terbelalak kaget, karena dengan begi-

tu berarti celanannya sudah tidak mengancing lagi, 

untung masih ada sabuk yang mengikatnya di bagian 

perut.

Tetapi Panji buru-buru tersenyum ketika Pus-

pasari tertawa penuh kegelisahan. Ia puas bisa menge-

cohkan Panji Bagus dalam gerakan yang menyerang 

bagian rawan pemuda ganteng itu. Namun, sesaat ia 

terhenyak ketika Panji Bagus berkata:

"Untung aku sudah siap sedia." Panji berjalan 

agak mendekat. "Lihat penutup dadamu, Putri Puspa. 

Kenapa tidak kau rapatkan?"

"Hah...?!" Puspasari membelalakkan mata de-

ngan wajah memerah ketika ia menunduk dan mene-

mukan kain penutup dadanya telah sobek bagian ten-

gah. Dan kini sedang menyibak ke kiri. Ia benar-benar 

tak sadar kalau gerakan tangan Panji Bagus yang naik 

ke atas itu adalah gerakan kuku merobek kain penu-

tup dada. Begitu cepat dan tajamnya gerakan kuku itu 

sampai-sampai Puspasari tidak terasa bahwa dadanya 

terkuak begitu nyata.

Puspasari menggeram gemas. Ia mencabut pe-

dangnya yang bertengger di punggung. Panji Bagus 

terkejut,

"Maafkan, Putri Puspa... kumohon ini hanya 

suatu permainan saja. Jangan marah."

Puspasari tersenyum. "Aku tidak marah, tapi 

aku akan membuat kejutan untukmu sebagai pemba-

lasan ini. Hiaat...!"

Puspasari berguling-guling di tanah dengan ce-

pat, lalu ketika tiba di depan Panji Bagus ia mengge-

rakkan pedangnya bagai hendak menusuk dagu Panji. 

Untung Panji segera mendongak, sehingga pedang itu


melesat di udara, menusuk tempat kosong. Pada saat 

itu, dengan cepat Panji Bagus menendang perut Pus-

pasari tersentak ke belakang, dan jatuh telentang. Pan-

ji segera memburu dan berguling ke sampingnya den-

gan gerakan tangan menebas dagu Puspasari. Tetapi 

Puspasari segera berguling ke kanan, dan tangan Panji 

Bagus berhasil memukul pinggang Puspasari sehingga 

Puspasari menggeliat kesakitan. Walau tak seberapa, 

namun sudah menunjukkan bahwa ia merasakan sa-

kit akibat pukulan di pinggangnya. Ia buru-buru 

bangkit dengan salah satu lutut menempel di tanah 

dan kaki yang lain menapak di tanah.

Ia mengatur nafasnya, lalu tersenyum bangga. 

Pedang di masukkan kembali. Panji Bagus berdiri, dan 

ia buru-buru memegangi celananya, karena ternyata 

Puspasari sudah berhasil memotong sabuknya sehing-

ga celana itu terlepas ke bawah. Dengan sangat terke-

jut Panji Bagus buru-buru menarik celananya, se-

dangkan Puspasari tertawa terpingkal-pingkal melihat 

kejadian konyol yang menggelikan itu.

"Iihh... jorok kamu, ah! Masa di depanku kau 

pamerkan senjata rahasiamu," Puspasari semakin ter-

pingkal-pingkal.

Panji Bagus menenangkan diri walau wajahnya 

memerah. Ia hanya berkata dengan nada setengah ter-

tawa:

"Kau sendiri mengapa melepas celanamu, Putri 

Puspa?"

Puspasari terperanjat. Ia memeriksa celananya, 

oh... ternyata ia hanya ditipu oleh Panji Bagus. Cela-

nanya tak ada yang robek sedikit pun. Ia segera terse-

nyum sambil melirik genit.

"Kau penipu kelas kecil ya..."

Puspasari tertawa riang, dan berdiri hendak


menghampiri Panji Bagus. Tapi tiba-tiba, dia merasa-

kan hawa dingin menerpa kulit tubuhnya. Buru-buru 

ia membelalakkan mata. Astaga...! Ternyata celana 

yang sepanjang lutut ke bawah itu telah robek bagian 

belakangnya, dari pinggang sampai ke bawah pantat-

nya. Celana itu bagai mengelupas ke depan sehingga 

sesuatu yang ditutupi selama ini terkuak jelas di mata 

Panji Bagus.

"Ooh...?! Kau gila...!!" teriaknya tanpa sadar. 

Lalu, ia segera menyerang Panji Bagus dengan satu 

pukulan. Panji Bagus terpaksa melepaskan pegangan 

tangannya pada sabuk karena ia sibuk menangkap 

tangan Puspasari. Pukulan berganda itu segera di 

tangkap dan dipelintirnya. Puspasari mengerang kesa-

kitan, dan kaki Panji menjegal kaki Puspasari. Jatuh-

lah Puspasari ke rerumputan, lalu dengan cepat dan 

tangkas paha Panji menghimpit kepala Puspasari, per-

sis di lehernya.

"Eekhh...!" Puspasari sukar bernafas. Ia menye-

ringai menahan sakit. Kalau saja Panji mau, leher itu 

bisa patah saat itu juga. Tetapi Panji sadar, ia tak bo-

leh membunuh Puspasari dalam keadaan seperti itu. Ia 

merenggangkan jepitan pahanya. Namun ia lupa bah-

wa saat itu ia sudah tak sempat mengenakan penutup 

bawah. Celananya telah lepas dari sabuk dan melorot 

ke bawah. Sedangkan pada saat itu wajah Puspasari 

tepat di sela pahanya.

Panji mengendurkan penjepit dan hendak me-

lepaskannya, tetapi tangan Puspasari bahkan mera-

patkan paha Panji agar tidak merenggang dan pergi.

Mata Puspasari terbelalak lebar penuh gairah. Ia me-

mandang sesuatu yang menjadi kegemarannya. Se-

buah 'senjata' milik Panji Bagus yang kelihatan lebih 

unggul ketimbang yang dimiliki Soca dan Paksi.


Puspasari mendesis, bahkan sempat mengucap 

kata,

"Woow...?!!! Jangan lepaskan aku...! Oh, ja-

ngan...!"

Panji Bagus merasa, inilah saatnya untuk ber-

buat. Dan dia membiarkan Puspasari mengagumi 

'senjata rahasianya' yang membuat mata perempuan 

itu tidak berkedip sekali pun. Puspasari tidak mau 

menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ibarat kerupuk, 

Puspasari tidak mau membiarkan kerupuk itu menjadi 

dingin dihembus angin. Karenanya, dengan sangat be-

rapi-api, Puspasari membangkitkan sesuatu yang tidur 

menjadi tegar. Semangat yang lesu menjadi bergairah 

menyala-nyala seperti yang ada pada dirinya. Puspasa-

ri tidak peduli bibir yang indah miliknya itu hanya 

pantas untuk dinikmati oleh bibir Panji Bagus. Puspa-

sari juga tidak mau tahu apa gunanya lidah bagi pe-

rangkat kehidupan tubuh manusia. Ia menggunakan 

semua itu untuk memacu semangat Panji Bagus yang 

ternyata semakin mengagumkan dalam keadaan se-

mangat yang terpacu kuat itu.

"Ooh... ini yang kudambakan selama ini! Ter-

nyata terselip pada dirimu, Panji. Ooh... aku ngantuk, 

Panji...!" Dan ia pun segera merebah di rerumputan 

tanpa peduli keadaan pakaiannya sudah mirip orang 

gelandangan. Ia tak peduli rumput menyentuh kulit 

tubuhnya yang mulus, bahkan ia memohon dalam su-

atu rengekan agar Panji menyempurnakan keadaan 

tubuhnya itu.

Panji sendiri sudah terlanjur dibius oleh kehan-

gatan lidah Puspasari sehingga ia tak mau menunda 

untuk berjalan ke sebuah kamar. Alam pun dianggap-

nya sebuah kamar yang nyaman dan rumput pun dija-

dikan seperti bludru yang halus lembut.


"Panji... Aauhh...!" Puspasari terpekik dan ter-

sentak-sentak. Ia seperti cacing kepanasan di sebuah 

daratan. Ia pun ikut mendayung perahu agar lekas 

berlayar ke puncaknya, untuk kemudian mereka akan 

mengulanginya di sebuah kamar. Ayunan dayung Panji 

membawa perahu ke ujung samudera, dan Puspasari 

semakin menjadi gila, memekik beberapa kali dengan 

suara lepas. Mengerang dalam geliat birahi yang mem-

bakar darah.

Lalu, pada detik-detik Panji mendekati ujung 

suatu pelayaran. Ia memejamkan mata. Ada sesuatu 

yang dibaca. Dan wajah serta badannya menjadi me-

mar memerah, seperti ayam dalam penggorengan. Ge-

rakannya semakin cepat, membuat perahu yang di-

kendalikan bertambah brutal. Sampai akhirnya, tubuh 

yang memerah itu tiba-tiba seperti sinar lampu yang 

kehabisan minyak. Surut dalam sekejap ketika Puspa-

sari memekik tinggi sekali.

"Aaaaahhhh...!!" Dia terlempar ke puncak suatu 

kebahagiaan, namun juga terdampar di puncak itu se-

hingga tak dapat kembali lagi. Panji Bagus buru-buru 

berdiri dan menyaksikan betapa menyedihkan sekali 

tubuh Puspasari itu berkelojot menerima Jurus Tom-

bak Dewa Sakti. Kulitnya mulai mengelupas. Teria-

kannya semakin kuat. Ia menggelepar-gelepar seperti 

ayam dipotong. Kian lama kulit itu kian mengelupas 

banyak, mengeluarkan cairan amis. Merah warnanya. 

Lalu sekujur tubuh itu menjadi berdarah, kulitnya 

nyaris tak ada yang menempel di daging. Dan, akhir-

nya ia pun menjerit panjang sekali, kemudian surut, 

surut, dan nafas terakhirnya dihembuskan lepas. Pus-

pasari diam tanpa nyawa.

Panji Bagus terhempas lega. Lalu ia memenggal 

kepala Puspasari yang masih berbentuk wajah asli


hanya tanpa kulit itu. Kepala itu segera dibungkus 

kain keramat yang pernah menghidupkan mayatnya, 

kemarin. Tak lupa, Panji pun menuliskan sebuah surat 

untuk murid Puspasari yang berbunyi: Kalau Gurumu 

Saja Bisa Kubunuh, Apalagi Kalian?

Lalu, Panji Bagus bersalto satu kali, jadilah ia 

sebagai Suro Bodong. Dengan tegap, ia menenteng ke-

pala dibungkus kain biru muda, dan ia serahkan 

penggalan kepala itu kepada Sultan, sebagai tanda ia 

telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik.



                       TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar