PERTARUNGAN BUKTT ASMARA
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Pertarungan Bukit Asmara Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.5
SATU
Mereka berjajar di kaki Bukit Cempaka. Orang-orang itu bagai tak sabar menunggu sesuatu yang
amat mendebarkan. Tanpa tahu apa yang ditunggu, Suro Bodong berdiri di belakang orang-orang
Kesultanan Praja. Seperti biasanya, Suro selalu sibuk dengan jagung bakar, dan sesekali garuk-garuk
kumisnya yang tebal. Dalam hatinya sendiri merasa heran, apa sebenarnya yang akan terjadi di kaki
Bukit Cempaka ini? Mengapa banyak orang yang memandang ke atas, ke lereng bukit yang
sesungguhnya tidak begitu tinggi puncaknya itu.
Seorang lelaki bertudung pandan tak sengaja berdiri di dekat Suro Bodong. Ia membuka
tudungnya, lalu mengipas-ngipaskan. Matahari cukup panas, tapi di tempat Suro berdiri itu sedikit
teduh karena bayangan sebuah pohon. Suro Bodong melirik, lelaki berusia antara 35 tahunan. Lelaki itu
merasa dilirik, kemudian memandang Suro dan tersenyum seraya mengangguk penuh kesopanan.
"Akan ada apa sebenarnya di sini, Kang?" tanya Suro Bodong. Lelaki itu sedikit berkerut
"Apa belum tahu?" ia ganti bertanya. Ia kelihatan heran. Setelah Suro menggeleng, lelaki itu
berkata lagi:
"Kalau begitu kau bukan orang Kesultanan Praja, ya?"
"Bukan. Aku sekedar lewat daerah ini, lalu kulihat banyak orang berkumpul, dan aku ikut
berhenti."
"Ooo...." Lelaki itu manggut-manggut. "Sebentar lagi akan ada pertarungan hebat, antara Ronggo
Bule dengan Pendekar Tapak Setan."
Suro Bodong menggumam, sesekali mengunyah jagung bakarnya. Lelaki yang berkipas tudung
pandan menjelaskan lagi:
"Kalau Ronggo Bule menang, berarti tinggal satu kali lagi ia harus bertanding dengan penantang
lain. Kalau ia tetap menang, berarti dialah yang berhak mempersunting Nyi Mas Sendang Wangi."
"Lho, jadi pertarungan ini ada hubungannya dengan suatu perkawinan?" Suro Bodong bertanya
dengan nada heran.
"Ya. Putri Sultan Jurujagad hanya boleh menikah dengan seorang lelaki yang benar-benar
tangguh. Syaratnya, lelaki itu harus bisa mengalahkan pelamar lainnya. Jika empat kali lelaki itu bisa
mengalahkan lawannya secara berturut-turut, maka dialah yang terpilih untuk menjadi menantu Sultan
Jurujagad. Dan Ronggo Bule telah berhasil mengalahkan dua pelamar lainnya. Apabila kali ini ia menang
melawan pelamar berikutnya, maka Ronggo Bule itulah yang berhak menjadi suami Nyi Mas Sendang
Wangi."
Sekali lagi Suro Bodong manggut-manggut. Ia menggumam sambil mengunyah jagung bakar,
"Menarik juga...."
"Kalau kau tertarik, kau bisa ikut menjadi penantang berikutnya...." kata lelaki itu yang
berpakaian kain lurik berlengan panjang. Celananya sebatas lutut ke bawah, warna biru. Sama dengan
celana Suro Bodong, hanya saja warnanya lebih tua. Baju merah lengan panjang yang tak pernah
dikancingkan itu juga berwarna tua, tapi merah. Sama dengan ikat kepalanya. Merah tua. Seperti darah.
Suro sangat menyukai kedua warna itu. Karenanya ia selalu berpenampilan celana biru tua dengan baju
longgar merah tua. Rambutnya yang panjang hampir sepundak tidak begitu rapi. Tapi agak lumayan jika
dalam ikatan kain merah itu. Hanya saja kumisnya yang tebal dengan bentuk wajah sedikit kasar itu
membuat Suro Bodong bagai tidak memiliki ketampanan sama sekali. Kesan tua lebih kuat dari
perpaduan potongan tubuh yang besar namun tidak gemuk, dan perut yang agak gendut namun bukan
membuncit. Pusernya kelihatan nongol ke luar. Karena itulah ia sering dipanggil Suro Bodong, sekalipun
ia sendiri tak tahu siapa nama aslinya, tapi ia menyukai nama itu. Suro Bodong. Itu nama yang
dipakainya sampai sekarang.
"Nah, itu dia Ronggo Bule. Ia sudah mulai naik...!" kata lelaki berkipas tudung pandan.
Bukit Cempaka memang tidak tinggi. Ia mempunyai lereng yang sedikit datar, bahkan ada tanah
datar di bagian bawah pucuknya. Bukit itu gersang. Tanpa tanaman satu pun kecuali batu-batu besar dan
cadas yang keras. Puncak Bukit Cempaka kelihatan sangat menonjol, sebab di puncak itu ada segumpal
batu besar berbentuk mirip taring raksasa, menjulang ke atas. Orang dapat mendaki bukit itu sampai di
bawah batu besar yang dipuncak. Jika hal itu dilakukan,hanya memakan waktu tak lebih dari satu jam.
Bukit itu cukup luas dengan berbagai tonjolan-tonjolan batu cadasnya. Dan apabila dilihat dari puncak
gunung Palasan yang ada di seberang sana, maka bukit itu kelihatan seperti bunga Cempaka yang
tengah mekar. Sebab itu dinamakan Bukit Cempaka. Bukit itu masih termasuk daerah kekuasaan
Kesultanan Praja. Dan memang letaknya seperti di tengah pedesaan, tak jauh dari pusat keramaian
Kesultanan Praja. Bahkan dari depan alun-alun Kesultanan dapat dilihat dengan jelas.
"Yang mana yang bernama Ronggo Bule?" tanya Suro Bodong. Ia tadi melamunkan bukit
tersebut saat lelaki di sampingnya menunjukkan orang yang dimaksud.
"Itu.... Yang sudah berdiri di atas itu yang bernama Ronggo Bule. Dan, nah... yang baru naik ini
adalah penantangnya. Ia dikenal dengan nama Pendekar Tapak Setan!"
Mata Suro Bodong menyipit ketika memperhatikan seorang lelaki tegap berpakaian serba coklat
muda. Ia yang tadi disebutkan sebagai Pendekar Tapak Setan. Melihat bentuk tubuhnya yang kekar,
berbadan besar seperti Suro Bodong, maka dapat disimpulkan bahwa Pendekar Tapak Setan pasti orang
tangguh. Ia menyandang pedang pendek, berukuran satu lengan manusia dewasa. Rambutnya ikal,
diikat oleh kain dari bahan kulit ular hijau. Penampilannya cukup mantap. Tenang dan punya wajah
tampan yang berwibawa. Sedangkan Ronggo Bule, berkulit putih, bagai habis terguyur air panas. Ia
mengenakan celana merah tanpa baju, namun menyandang beberapa pisau yang melingkar di
pinggangnya. Bahkan di kedua lengannya pun terdapat dua pisau pada masing-masing lengan.
Tubuhnya sedikit pendek ketimbang Pendekar Tapak Setan.
Suro Bodong melirik ke samping, oh... ada seorang lelaki tua berjenggot putih sepanjang dada.
Alis dan kumisnya juga putih. Ia mengenakan baju model jubah warna merah kusam, celananya hitam,
dan baju dalamnya pun warna hitam. Orang ini mencurigakan juga bagi Suro Bodong. Ketika orang-
orang bertepuk tangan menyambut kehadiran Pendekar Tapak Setan, kakek tua itu pun ikut bertepuk
tangan. Mata tuanya menyipit waktu memandang ke arah lereng bukit. Ia bahkan ikut bersuit dengan
dua jari dimasukkan dalam mulutnya ketika pertarungan itu akan segera dimulai, di mana masing-
masing peserta diperkenalkan oleh seorang petugas Kesultanan.
Lelaki bertudung tadi terkejut melihat kakek berjenggot putih. Ia segera menghampiri dan
membungkuk penuh hormat. Lelaki itu berkata, "Selamat datang, Eyang Panembahan...."
Yang dipanggil Eyang Panembahan hanya manggut-manggut dan tersenyum ramah. Suro
Bodong agak menyisih. Ia bahkan naik di sebuah batu besar dan duduk santai sambil makan jagung
bakar. Posisinya berada di belakang Eyang Panembahan dengan lelaki bertudung. Ia berlagak tidak
peduli dengan percakapan kedua orang itu, matanya memandang ke lereng bukit bertanah datar, namun
sebenarnya telinga Suro menyimak pembicaraan kedua orang itu.
"Kenapa Eyang Panembahan tidak di depan saja, biar jelas?" kata lelaki yang memegangi tudung
pandannya.
"Ah, enak nonton dari sini. Di sana pasti banyak orang yang mengajakku bicara. Aku ingin
menikmati pertarungan ini dengan tenang, Kasmoro...."
Suro Bodong memastikan, Eyang Panembahan itu pasti seorang tokoh penting di Kesultanan ini.
Setidaknya dia tokoh terkenal di kalangan rakyat atas sampai bawah. Tetapi apa kerjanya dan bagaimana
posisinya di dalam Kesultanan, Suro belum dapat menebak, karena saat itu pembicaraan mereka
berhenti. Pertarungan sudah dimulai. Suro sendiri mulai asyik menyaksikan jurus-jurus yang beradu di
atas Bukit Cempaka itu. Sorak penonton sesekali terdengar apabila salah satu peserta ada yang terkena
pukulan. "Agaknya akan menjadi suatu pertarungan yang seru juga ini," pikir Suro dengan tenang,
menikmati jagung bakarnya.
Pada saat itu, kedua orang di atas Bukit Cempaka benar-benar saling mengeluarkan kehebatan
ilmunya. Mula-mula mereka mempermainkan jurus-jurus ringan untuk menjajagi kemampuan lawan.
Ronggo Bule mengutamakan pukulan dan tebasan tangannya, sedangkan Pendekar Tapak Setan hanya
menyerang dengan tendangan-tendangan yang cukup memukau bagi penonton. Gerakannya gesit dan
lincah. Pendekar Tapak Setan lebih tenang ketimbang Ronggo Bule.
Pendekar berpakaian serba coklat muda itu mempunyai jurus tendangan yang mengecohkan
lawan. Dua kali wajah Ronggo Bule terkena tendangan Pendekar Tapak Setan. Namun agaknya Ronggo
Bule cukup tangguh. Ia hanya terpelanting sebentar saat kaki kiri lawannya menendang pipi kiri. Ronggo
Bule segera menjaga keseimbangan tubuh dan sigap kembali. Pada saat lawannya menendang dengan
kaki berputar ke belakang, ternyata ia dapat menangkis menggunakan lengan kirinya. Seketika itu juga
Ronggo Bule melompat dan menjejakkan kakinya di punggung Pendekar Tapak Setan. Tendangan itu
terkena telak dan mengakibatkan lawannya jatuh tersungkur. Tetapi secepatnya Pendekar Tapak Setan
berguling ke tanah, sehingga tendangan Ronggo berikutnya meleset. Ronggo mengejar dengan hentakan-
hentakan kaki, dan lawannya berguling-guling terus menghindarinya.
Sampai pada suatu kesempatan kaki Ronggo Bule berhasil ditangkap dengan kedua tangan
Pendekar Tapak Setan. Kaki itu dipelintir dengan cepat, sehingga Ronggo Bule berteriak kesakitan sambil
ikut memutarkan badan untuk menghindari kakinya agar jangan sampai patah. Tubuh Ronggo Bule
jatuh ke tanah, lalu lawannya segera menendang ke arah dada sehingga Ronggo Bule tersentak dalam
seringai kesakitan.
Pendekar Tapak Setan segera bangkit dengan salah satu lutut masih menempel di tanah. Kedua
telapak tangannya saling melekat. Ilmu Tapak Setan akan digunakan. Namun dengan cepat Ronggo Bule
melemparkan salah satu pisaunya ke arah lengan Pendekar Tapak Setan. Pisau itu menancap tepat di
lengan kiri, "Aaaoow...!!" Pendekar Tapak Setan menjerit. Ia segera bersalto di udara dalam posisi
mundur. Lemparan pisau kedua tidak mengenai sasaran. Saat itu, Ronggo Bule segera melompat ke arah
yang berlawanan, sehingga di antara keduanya terdapat jarak beberapa langkah.
Penonton bertepuk tangan. Eyang Panembahan juga ikut bertepuk tangan. Sekali lagi ia bersuit
dengan kedua jarinya. Ia tampak senang melihat pertarungan itu.
"Ini baru seimbang...!" katanya kepada lelaki bertudung yang tadi dipanggil: Kasmoro.
"Tapi saya rasa, kali ini Ronggo Bule akan mengalami kekalahan. Pendekar Tapak Setan lebih
gesit"
"Belum tentu...."sanggah Eyang Panembahan. "Ronggo Bule belum mengerahkan semua ilmu-
nya. Lihat saja nanti kalau dia sudah mulai mempermainkan jurus pisaunya, uuh... si Pendekar Tapak
Setan bisa kewalahan, Kas...!"
Hanya satu orang yang dari tadi tidak ikut bersorak. Hanya satu orang yang kelihatan tenang.
Dia, Suro Bodong. Duduk di atas batu se-tinggi satu meter, salah satu kakinya ditekuk sehingga lengan
kanannya bisa ditumpangkan di atas lutut kaki itu, lalu sesekali ia memetik-metik biji jagung bakar dan
memakannya dengan santai. Suro Bodong menyimak pertarungan itu dengan sikap tenang dan santai.
Namun dalam hati ia pun berpendapat, Ronggo Bule bisa-bisa mati dalam keadaan hancur kepalanya
kalau tidak segera menyerah dan mengaku kalah.
Apalagi saat ini Pendekar Tapak Setan mulai menggunakan jurus-jurus andalannya wah... bisa
mati tak erbentuk Ronggo Bule itu. Tetapi orang-orang yang pernah menyaksikan pertarungan Ronggo
Bule, sudah tentu tidak merasa cemas, karena mereka tahu di mana kekuatan Ronggo Bule dan seperti
apa kehebatan ilmunya.
Yang jelas, dalam hati Suro Bodong menjagokan Pendekar Tapak Setan. Ia punya banyak tipuan.
gerakannya sering mengecohkan lawan. Seperti halnya saat ini, hampir saja Ronggo Bule tertipu lagi.
Pendekar Tapak Setan melayang dan bersalto ke arah Ronggo Bule. Sudah tentu Ronggo Bule bersiap
menangkis tendangan atau sekaligus menyerang. Tetapi pada saat kaki Pendekar Tapak Setan hampir
menyentuh kepala Ronggo Bule, tahu-tahu tubuhnya bisa berbalik dalam loncatan salto ke belalang.
Pada saat begitu, telapak tangan kanannya dihentakkan dan keluarkan kilatan api yang menghantam
tubuh Ronggo Bule. Untung Ronggo Bule segera berguling ke tanah, sehingga kilatan api itu meleset,
menghantam gundukan tanah, dan gundukan tanah itu meledak berhamburan ke mana-mana.
"Woow...!" seru penonton bersama-sama. Sebagian dari mereka beralih tempat karena
bongkahan-bongkahan batu cadas ada yangberjatuhan ke arah mereka akibat pukulan dari Tapak Setan.
Eyang Panembahan manggut-manggut sebentar. Ia nenggumam dan bicara sendiri:
"Pantas kalau dia bergelar Pendekar Tapak Setan...."
Suro melirik lelaki tua berambut panjang tanpa ikat kepala itu, kemudian kembali memandang
ke arena pertarungan. Ia menggumam dalam hati ketika Ronggo Bule melemparkan dua buah pisau ke
arah lawan sambil tubuhnya melayang dan berguling di udara. Lemparan pisau itu begitu cepat. Namun
lawannya segera menangkisnya dengan kedua telapak tangan. Setiap pisau menghantam satu telapak
tangan, namun tidak satu pun ada yang berhasil melukai telapak tangan itu.
"Hebat...! Hebat sekali dia...!" seru Kasmoro di sela gumam kekaguman penonton.
Pisau yang menancap di lengan Pendekar Tapak Setan sudah dicabut dan dibuangnya. Agaknya
ia tak merasakan sakit sedikit pun dari luka itu. Ia bergerak lebih lincah, melayangkan tendangan dalam
jarak beberapa langkah sehingga tubuhnya bagai sedang terbang. Kali ini tendangannya mengenai dada
Ronggo Bule. Tetapi dengan cepat tangan Ronggo Bule mencabut pisaunya lagi dan mengibaskannya ke
leher lawan. Pendekar Tapak Setan mendongak, dan pisau hanya menyerempet pundaknya. Lalu dalam
jarak sedekat itu, telapak tangan kirinya dihantamkan ke rusuk Ronggo Bule seraya ia berlutut
menghindari tebasan pisau ke arah kepalanya. Ronggo Bule sempat terpekik tertahan. Tapi kakinya
segera menyepak ke belakang seperti kuda, dan wajah lawannya menjadi sasaran telak, sampai-sampai
tubuh lawan telentang seketika.
Ronggo Bule menjadi limbung. Pukulan Pendekar Tapak Setan bagai meremukkan tulang
rusuknya. Ia bertahan mati-matian. Sebilah pisau dilemparkan dan tepat menancap pada tanah di
samping telinga lawan. Seketika itu Tapak Setan bangkit. Ronggo Bule merasa ngeri, maka ia segera
melompat dan bersalto beberapa kali, mengatur jarak.
Dengan persediaan pisau yang masih ada, Ronggo Bule mempermainkan jurus ‘Lempar Pisau’
yang menjadi andalannya. Sebuah pisau dilemparkan dalam posisi bagian ujungnya melesat menjurus ke
dada Tapak Setan. Ketika itu, Tapak Setan bersalto ke samping untuk menghindari arah pisau itu.
Namun dengan cepat Ronggo Bule melemparkan satu pisau lagi dengan kecepatan lebih dari yang
pertama. Lemparannya tidak ditujukan kepada Tapak Setan, melainkan diarahkan pada pisau pertama
tadi. Pisau kedua mampu menyentuh gagang pisau pertama sehingga arah pisau pertama jadi berbelok
menuju Tapak Setan. Sebelum Tapak Setan bergerak menghindar, sebuah pisau dilemparkan lagi dengan
keadaan berputar ke arah lain, yang diperkirakan akan menjadi tempat melompat bagi Tapak Setan.
Hal itu sempat membuat Tapak Setan kebingungan. Tak ada pilihan lain baginya kecuali
merentangkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dan keluarlah bara api yang memancar
ke arah pisau-pisau itu. Kemudian terjadilah letupan kecil yang membuat pisau-pisau itu berhancuran
bagai dihantam kilatan petir yang maha dahsyat.
Penonton bertepuk tangan dalam sorak kekaguman. Kasmoro melonjak dan berteriak:
"Hebat...! Itu cara yang hebat...! Bukan main saktinya Pendekar itu. Wah, wah, wah...!"
"Tapi belum tentu...!" sanggah kakek berjenggot panjang yang kedua tangannya saling bertaut di
belakang. Ia menambahkan kata, "Belum tentu itu suatu kemenangan. Lihat, Ronggo Bule masih
mempunyai lebih dari tiga pisau di pinggangnya. Juga di kedua lengannya masih tersimpan masing-
masing dua pisau kecil. Bisa saja ia akan mengalahkan Tapak Setan dengan pisau itu. Tunggu
kelengahan lawan saja...!"
"Mana mungkin bisa, Eyang.... Tapak Setan kelihatan lincah dan tangkas.... Mana bisa
dikalahkan?"
"Bisa saja...!" Eyang Panembahan menengok ke belakang dan berkata kepada Suro, "Bisa saja,
ya?!"
Suro hanya mengangguk dengan senyum tipis. Ia kelihatan tetap tenang dan santai. Eyang
Panembahan mulai mendekat, diikuti oleh Kasmoro.
"Kulihat kau dari tadi tenang-tenang saja," kata Eyang Panembahan. "Kau tidak menyukai
pertarungan seperti itu?"
Suro Bodong menggeleng. Kurang begitu tertarik untuk bicara kepada kakek berjubah merah itu.
"Kau tidak ingin coba-coba ikut memperebutkan Nyi Mas Sendang Wangi?" tanya Eyang
Panembahan dengan sorot mata yang menyipit
Suro Bodong menggeleng lagi. Ia tetap santai menikmati jagung bakar kesukaannya.
"Dia bukan orang Kesultanan sini, Eyang. Ia seorang pendatang," timpal Kasmoro.
"Nah, kebetulan. Biasanya kalau orang pendatang malah beruntung!" Kemudian Eyang
Panembahan menepuk paha Suro. "Hei, ikut saja...! Badanmu tegap, besar dan kekar. Siapa tahu kau
dapat mengalahkan lawanmu sampai empat kali berturut-turut. Kau bisa jadi menantu Sultan
Jurujagad!"
Karena kelihatannya Eyang Panembahan memaksanya bicara, maka Suro Bodong pun menjawab
dengan seenaknya saja.
"Ah, apa enaknya jadi menantu Sultan?!"
"Eh, kau bisa dihormati oleh semua kawula alit di seluruh jajaran Kesultanan!"
"Aku tidak gila hormat," Jawaban itu masih saja seenaknya sambil mata Suro memandang ke
pertarungan.
"Tapi banyak keuntungannya menjadi menantu Sultan. Kau bisa menjadi kaya! Punya istri cantik
dan punya wilayah kekuasaan...! Ikut saja ke arena sana!" bujuk Eyang Panembahan. Tapi Suro Bodong
hanya tersenyum tipis, menyatakan diri tidak tertarik dengan bujukan itu.
"Aku lebih senang jadi penonton, Eyang," kata Suro. "Untuk apa memperbanyak harta dengan
cara seperti itu. Hanya menambah permusuhan saja. Untuk apa aku punya daerah kekuasaan, kalau
sebenarnya aku tidak bisa bertindak sebagai penguasa yang baik?"
"Wah, kata-katamu enak juga didengarnya. Eh, siapa kamu sebenarnya?"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya Suro Bodong pun menjawab, "Namaku
Suro Bodong."
"Dari mana asalmu?"
Suro menggeleng santai. "Entah...!" Dan ia membiarkan Eyang Panembahan berkerut dahi.
Sementara itu pertarungan tetap berlangsung, bahkan semakin seru. Penonton sesekali bersorak
dari kaki bukit. Eyang Panembahan dan Kasmoro juga ikut bersorak apabila salah satu ada yang
menggunakan jurus tak diduga. Suro Bodong belum mau mengikuti penonton lainnya. Ia tetap tenang
tanpa suara apa pun, kecuali kecamuknya gigi mengunyah jagung bakar.
"Aku akan melihat lebih dekat...! Agaknya ini semakin seru," kata Eyang Panembahan. Ia hendak
mengajak Kasmoro, tetapi orang bertudung itu tidak mau. Ia merasa enak nonton di tempat teduh, walau
memang tidak sejelas yang ada di kaki bukit.
"Siapa dia, Kasmoro?" tanya Suro sambil mata memandang ke atas bukit.
"Kok kamu tahu namaku?"
"Kakek tua yang kau sebut Eyang Panembahan itu juga menyebutkan namamu, bukan?"
"Ooo...." Kasmoro manggut-manggut, matanya juga tetap memandang ke pertarungan. Ia
berkata tanpa menoleh:
"Dia penasehat Sultan. Ia orang tertua di Kesultanan ini. Tetapi sikapnya yang ramah dan selalu
baik kepada rakyat, sehingga rakyat lebih mencintai dia daripada Kanjeng Sultan sendiri. Ia sering
menuturkan cerita masa mudanya kepada siapa saja, bahkan kepada anak muda di sini pun ia sering
ditanggap untuk menceritakan masa kemesraannya dengan sang kekasih."
"Ooo...." Suro manggut-manggut. Kasmoro tiba-tiba terpekik tegang:
"Wah, Ronggo Bule kena lagi tuh...!"
Memang, Ronggo Bule nyaris tidak mampu berdiri karena punggung kanannya terkena pukulan
Tapak Setan. Ada asap tipis yang mengepul dari bekas tempat yang terpukul tadi. Saat ini ia sedang
menggeliat kesakitan. Pendekar Tapak Setan segera meluncurkan pukulan jarak jauh. Cahaya api bagai
memercik ke luar dari kedua telapak tangannya. Ronggo Bule berusaha berguling menghindari serangan
itu, namun ia terlambat. Kakinya terkena pukulan tenaga dalam Tapak Setan, dan ia menjerit sebentar
lalu pingsan, karena kaki itu bagai meledakkan keduanya sebatas lutut. Hancur menjadi serpihan daging
yang menjijikkan. Tapak Setan bermaksud menghantamnya lagi, tetapi segera dicegah oleh petugas
Kesultanan yang menangani masalah itu.
Petugas yang bersangkutan menyerukan pengumuman
"Pendekar Tapak Setan, dinyatakan unggul dalam pertarungan ini...!"
Banyak penonton yang bertepuk tangan dan bersorak. Kasmoro pun ikut berteriak girang. Ia
berkata kepada Suro Bodong dengan berapi-api:
"Apa kubilang tadi...?! Kubilang tadi apa?! Pasti Ronggo Bule kalah. Kelihatan sekali gelagatnya
kok. Betul, kan?"
Suro Bodong mengangguk dengan senyum ala kadarnya. Kasmoro berceloteh terus tentang
ketepatan dugaannya. Suro Bodong hanya manggut-manggut sambil sesekali memperhatikan beberapa
orang yang saling kasak kusuk mirip gaung lebah. Ada lagi yang saling membayar kepada temannya.
"Oh... rupanya ada yang memanfaatkan pertarungan itu untuk berjudi." Suro Bodong geleng-
geleng kepala.
Tetapi, tiba-tiba petugas Kesultanan yang menjadi panitia pertarungan itu berseru dengan
menggunakan corong dari bahan perak kasar.
"Saudara-saudara... dengarkan. Atas kemenangan ini, maka Pendekar Tapak Setan berhak
melawan calon penyunting Nyi Mas Sendang Wangi berikutnya. Apabila dia bisa mengalahkan tiga kali
pertarungan nanti, berarti dialah yang akan menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi."
Beberapa orangberseru, "Hidup Pendekar Tapak Setan!"
"Saudara-saudara, dengarkan lagi... hari ini juga...."
Penonton diam. Celoteh Kasmoro juga diam. Semua memperhatikan orang yang memegang
corong di atas bukit.
"Hari ini juga... ternyata ada calon pelamar baru yang siap menantang Tapak Setan...!"
Suara riuh bersahut-sahutan. Kasmoro sendiri juga ikut heboh sendiri:
" "Bagus...! Ini acara benar-benar bagus...! Wah, tidak merasa rugi kalau seharian kita nongkrong
di sini, ya?"
Suro Bodong manggut-manggut tanpa mempunyai gairah untuk menimpali pembicaraan. Tetapi
ia juga merasa senang mendengar pengumuman itu. Ia akan mendapat tontonan gratis lagi sebagai
tambahan ilmu dan pengalaman.
Orang yang membawa corong berseru kembali:
"Saudara-saudara, dengarkan lagi...! Setelah kami bicarakan dengan Pendekar Tapak Setan,
ternyata beliau setuju dan tidak akan mundur kalaupun sekarang juga ada lima penantang sekaligus...!!"
Rakyat bersorak, dan suasana menjadi tambah ramai.
"Dengarkan lagi, Saudara-saudara...! Menurut catatan yang saya terima di bawah tadi, orang
yang akan ikut menjadi pelamar Nyi Mas Sendang Wangi, adalah bukan orang dari wilayah Kesultanan
Praja. Orang yang saat ini akan bertarung melawan Pendekar Tapak Setan bernama:... Suro Bodong...!!"
Mendelik mata Suro Bodong ketika itu. Pantatnya bagai disundut dengan rokok cerutu yang
masih menyala.
"Gila...?!" teriaknya sendiri. "Siapa yang mengatakan aku ingin menjadi suami anak Sultan? Siapa
yang mencantumkan namaku sebagai penantang berikutnya?! Edan! Sangat edan...!"
"Ah, mungkin bukan Suro Bodong kamu yang dimaksud," kata Kasmoro. Dan Suro Bodong
terbengong, bersungut-sungut.
"O, ya...? Mungkin ada dua nama Suro Bodong?"
Selagi Suro Bodong bertanya-tanya dalam kebingungan, orang yang bicara dengan corong itu
berseru lagi:
"Saudara Suro Bodong...! Harap segera naik! Anda sudah dicantumkan sebagai pelamar putri
Kanjeng Sultan Jurujagad. Dan Pendekar Tapak Setan sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan
Saudara Suro Bodong...!!"
Suasana jadi gaduh. Tak ada orang yang muncul sebagai penantang. Tak ada orang yang
mengaku bernama Suro Bodong. Maka yakinlah Suro, bahwa ada seseorang yang sengaja
mencantumkan namanya sebagai penantang berikutnya.
"Monyet...!!" gerutu Suro masih termangu-mangu.
"Mari, Suro Bodong...!" teriak suara di atas bukit. "Jangan bermaksud main-main. Jika engkau
sudah berani mendaftarkan diri, harus berani naik ke mari. Jika tidak, akan dianggap penghinaan bagi
keluarga sultan!"
"Kasmoro...? Aku dari tadi di sini, kan? Dan..."
"Tapi kalau kau tidak mau naik ke sana, kau akan kena perkara. Bukan hanya dimusuhi pegawai
Kesultanan, tapi akan dimusuhi rakyat juga...!"
Suro Bodong menggeram. Ada beberapa orang berseragam datang ke arahnya membawa
tombak dan tameng. Gawat!
DUA
Suro Bodong hendak membantah. Para prajurit Kesultanan hampir saja hilang kesabarannya,
gara-gara Suro Bodong tidak mau disuruh naik ke arena pertarungan. Tetapi, melihat gelagat tak beres,
di mana para penonton yang mewakili rakyat Kesultanan Praja mulai kecewa, Suro Bodong jadi berpikir
dua kali. Rakyat sangat mencintai pemerintahannya, rakyat akan marah kalau orang dari wilayah lain
mencoba mempermainkan pemerintahnya. Bisa-bisa Suro Bodong diserang oleh rakyat dengan tuduhan
menghina Sultan mereka.
Tak ada jalan lain untuk meredakan gemuruh rakyat kecuali naik ke Bukit Cempaka. Itulah
pilihan yang harus diambil Suro Bodong. Namun di dalam hatinya ia sangat marah kepada Eyang
Panembahan. Pasti kakek berjenggot putih itu yang membuat ulah seperti ini. Pasti dia yang
mencatatkan nama Suro Bodong dan memberitahu kepada para prajurit yang bertugas, bahwa Suro
Bodong ada di bawah pohon, duduk di atas batu dengan santai. Nyatanya para prajurit itu seolah-olah
sudah mengenali wajah Suro Bodong, sehingga mereka datang memaksanya.
Geram Suro Bodong membuat matanya bergerak liar, mencari-cari sosok lelaki tua berambut dan
berjenggot panjang warna putih. Tetapi sejak ia beranjak dari tempatnya semula, kakek yang
mengenakan pakaian hitam dengan jubah merah itu tidak kelihatan batang hidungnya.
"Brengsek...!" gerutu Suro Bodong. Hatinya semakin panas ketika rakyat berseru menyambut
kehadiran Suro di arena.
"Bunuh dia...! Hancurkan dia...! Suruh dia mencium pantatmu, Pendekar Tapak Setan...!" macam-
macam lagi seruan yang membuat Suro bagai tersudut.
"Bersiaplah, Kawan...!" kata Pendekar Tapak Setan kepada Suro Bodong.
Seketika itu Suro Bodong angkat tangan dan berseru:
"Aku menyerah...!! Aku terima kalah...!!"
"Huuuuuuh...!" teriak penonton. "Patahkan dulu batang lehernya, baru dia boleh menyerah...!!"
tambah mereka.
Suro Bodong berdebar-debar menahan emosi. Matanya memandang liar ke kaki bukit. Dia
menyadari, bahwa dia sudah dianggap menghina acara Sultan Jurujagad. Ia sadar, bahwa rakyat
menuntut kesungguhannya. Rupanya meski acara ini bercorak kesombongan, namun rakyat
menyambutnya sebagai suatu kebijaksanaan yang perlu dihormati. Tapi di hati kecil Suro, ia tidak
menyukai acara ini. Ia tidak mau bertarung hanya soal ingin menjadi menantu Sultan. Apalagi
pertarungan ini adalah pertarungan tanpa arti, aah... Suro sangat membencinya.
Ia mencoba bicara pelan dengan Pendekar Tapak Setan.
"Hei, anggap saja kau sudah menang melawanku. Aku akan mundur. Kawinlah dengan anak
Sultan itu. Aku mengalah sajalah. Aku tidak bisa bertarung dalam urusan beginian...."
"Suro Bodong...." kata Pendekar Tapak Setan. "Aku bukan seorang pengecut, juga bukan seorang
pengemis. Aku tidak ingin menerima pemberian jasa semacam itu. Nyi Mas Sendang Wangi harus
kutebus dengan keringat, atau darah, atau kalau memungkinkan... nyawaku akan kupertaruhkan bagi
dia! Aku harus menunjukkan kejantananku kepada rakyat Kesultanan ini, Suro Bodong. Sekarang
bersiaplah melawan aku!"
'Tunggu! Nanti dulu...!" Suro Bodong kebingungan. Ia mencari cara lain untuk mengatasi hal ini.
Akhirnya ia berteriak kepada mereka yang berada di bawah kaki bukit:
"Aku mau bertarung, tapi jangan melawan Pendekar Tapak Setan. Aku ingin bertarung melawan
Eyang Panembahan...!!"
'Sinting...!" geram Pendekar Tapak Setan di sela gemuruh suara gaung dari penonton.
"Mana orang yang bernama Eyang Panembahan...?! Suruh dia naik ke mari! Karena dialah yang
telah mencantumkan namaku dalam daftar urutan penantang ini! Aku sendiri sebenarnya tidak mau
berkelahi! Aku tidak bisa! Tidak bisa!!"
Suasana kacau sejenak, saling berkasak kusuk dan menggumam. Mata Suro Bodong bergerak liar
mencari kakek sinting itu. Yang ditantang tak mau muncul, yang tidak ditantang semakin penasaran.
Salah seorang dari penonton ada yang berteriak keras.
"Lawan dulu musuhmu itu, baru kau bisa melawan Eyang Panembahan...!"
Suro Bodong menggeletukkan gigi. Jengkel sekali hatinya. Panas sekali darahnya.
"Kurasa kata-kata itu benar, Kawan...!" kata Pendekar Tapak Setan yang kelihatannya tidak sabar
lagi. "Mari... bersiaplah untuk mati, atau cacad seperti Ronggo Bule itu!"
"Nanti dulu...!" bentak Suro Bodong yang jadi geram sendiri kepada lawannya. "Nanti kau mati
kalau nekad melawanku, tahu?!"
"Mana mungkin aku mati di tangan bulus pengecut seperti kamu?!" Tapak setan tersenyum sinis,
lalu mengembangkan tangannya ke atas sebagai jurus pembuka. Suro Bodong masih tak mau melayani.
Matanya masih sibuk mencari-cari sosok Eyang Panembahan. Tetapi tangannya sudah gemetar karena
menahan kemarahan.
Pendekar Tapak Setan mempermainkan jurus pembuka beberapa kali, kemudian ia segera
memekik dan melompat dalam satu tendangan samping, tubuhnya miring dan kedua telapak tangannya
siap dilancarkan sewaktu-waktu. Karena Suro Bodong tidak mau terkena serangan itu, maka ia pun
berkelit ke belakang. Tapak Setan tepat berdiri di sampingnya. Ia segera menggerakkan kaki ke depan
dan menghadap ke samping, tepat di depan Tapak Setan.
Dalam keadaan marah seperti itu, Suro Bodong kehilangan kontrol diri. Ia bergerak sangat cepat.
Mulanya ia segera mundur dua langkah, lalu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ia
menekan kedua telapak tangan yang saling bertaut itu sampai gemetaran, lalu kedua tangan yang saling
merapat dihentakkan ke depan. Lurus. Setelah itu keduanya saling terbuka ke samping, seperti ia sedang
menyibakkan tirai, dan pada saat itu, keluarlah sinar biru berkelok-kelok bagai lompatan api petir. Sinar
itu keluar dari dada Suro Bodong, melesat cepat menuju dada Pendekar Tapak Setan. Pada saat itu,
mengepullah asap hitam tipis dari dada lawan. Dan dalam sekejap tubuh lawannya menjadi hitam,
hangus.
"Houuw...?!" semua orang terperanjat kaget dan kagum.
Gerakan itu dilakukan sangat cepat, membuat Tapak Setan tak sempat bergerak sedikit pun. Dan
semuanya terjadi di luar dugaan siapa saja.
Apalagi sekarang keadaan Pendekar Tapak Setan telah menjadi hangus. Hitam seluruh tubuh.
Namun demikian, ia masih bisa bicara dengan tenang, tanpa merasa sakit. Saat itu, Suro Bodong telah
mundur beberapa langkah.
"Kau hebat...! Ternyata kau hebat...!" ujar Pendekar Tapak Setan. Dan, setelah itu ketegangan
semua orang jadi memuncak. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tubuh Pendekar
Tapak Setan yang hangus dan sempat bicara tenang itu kini mulai berjatuhan. Mula-mula jemarinya
rontok. Pendekar Tapak Setan memandang jari jemarinya dengan heran. Kemudian pergelangan
tangannya rontok pula keduanya. Disusul dengan lengan, telinga, gigi, lalu... roboh semuanya. Hancur
menjadi arang yang menumpuk di tempat.
Semua orang, tanpa kecuali, memekik ngeri menyaksikan peristiwa itu. Tengkorak kepala
Pendekar Tapak Setan sudah tidak ada ujudnya. Hancur menjadi kepingan arang. Dan hal itu pula yang
membuat semua penonton maupun petugas Kesultanan melangkah mundur beberapa langkah.. Wajah-
wajah mereka, adalah wajah-wajah ketakutan yang menyiksa jiwa
Kemarahan Suro Bodong yang meledak di luar dugaan itu, telah membuat Suro kehilangan akal
sehat. Ia tanpa sadar telah menggunakan ilmu ‘Giricandra’, yang mana ilmu tersebut sebenarnya hanya
digunakan untuk melawan tokoh-tokoh tua yang berilmu tinggi dan dalam persoalan besar. Bukan
lawan seperti Tapak Setan yang mempunyai persoalan kecil seperti saat ini.
Suro Bodong duduk di sebuah batu, masih di atas Bukit Cempaka. Ia termenung dalam
penyesalan yang sangat dalam. Ia sedih sekali melihat nasib lawannya yang menjadi sasaran ilmu
andalan utamanya itu. Ia meremat-remat rambutnya sendiri dalam kejengkelan yang berujung pangkal.
Kalau saja ia seorang perempuan, ia mau menangis menyesali hal itu. Sedangkan para penonton dan
petugas Kesultanan masih belum ada yang berani mendekat di kaki bukit seperti semula. Mereka
memandang Suro dengan mata melotot dan mulut melongo. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau
pendekar yang dijagokan mereka itu hancur menjadi arang dalam satu jurus.
Sorot mata Suro Bodong menjadi sayu. Kepalanya sedikit menunduk sedih. Ia duduk di batu
dalam posisi bagai orang bersalah yang diajukan ke pengadilan.
Seorang petugas memberanikan diri naik ke tempat pertarungan. Dengan sesekali memandang
Suro Bodong penuh rasa takut, orang itu bicara melalui corong perak:
"Saudara-saudara... dengarkan...." Ia melirik Suro Bodong. Lalu bicara lagi, "Hari ini... hari ini...
kemenangan ada di tangan Suro Bodong...!"
Beberapa penonton bertepuk tangan, tidak semeriah tadi, sebab yang lain masih dicekam rasa,
ngeri yang terkagum-kagum. Orang pembawa corong berkata lagi dengan gugup:
"Jadi... jadi barang siapa yang ingin... ingin menjadi atau... yang ingin mencalonkan diri... untuk
menjadi menantu Kanjeng Sultan, maka dia harus berhadapan dengan... dengan Suro Bodong. Sebab
dialah yang akan bertarung dengan tiga penantang lagi. Jika dalam satu kali purnama, ternyata tidak ada
penantang lagi, maka... maka dia akan diresmikan menjadi suami... Nyi Mas Sendang Wangi...!"
Kasak kusuk, kasak kusuk, kasak kusuk.... Semuanya tak jelas. Semuanya bicara dalam
kelompok sendiri-sendiri. Tetapi Suro Bodong hanya memejamkan mata kuat-kuat. Penyesalannya bagai
sangat menyiksa jiwa dan membuat hatinya sangat perih. Ia sangat kasihan kepada nasib Pendekar
Tapak Setan, yang hanya karena masalah perempuan jadi korban sekejam itu. Ia merasa berdosa kepada
Tapak Setan.
Dua orang petugas berpakaian resmi menjemput Suro Bodong dengan rasa was-was. Mereka
membungkuk-bungkuk dan berkata dengan sangat sopan:
"Mari, kami antar ke istana. Anda mempunyai hak tinggal di istana selama menjadi calon me-
antu. Mari, kami antarkan, Tuan...."
Nafas Suro Bodong menghempas lepas. Ia berkata pelan, tanpa nada keras sedikit pun:
"Aku butuh bertemu Eyang Panembahan...!"
"Eyang menunggu Anda di dalem Kesultanan. Eyang juga yang memerintahkan kami untuk
segera mendampingi Anda menghadap Sultan Jurujagad...."
Mulut Suro Bodong terkatup. Ia masih duduk di tempatnya. Matanya memandang orang-orang
yang pergi sambil membawa cerita masing-masing, namun otaknya menerawang kemana-mana. Ia
termenung di situ sampai beberapa lama. Satu dari kedua petugas itu berkata lagi dengan penuh hormat:
"Kami sudah menyediakan tandu kehormatan bagi Anda...."
Dengan suara seperti orang menggumam, Suro Bodong berkata lirih, "Aku bukan orang
terhormat."
"Ini tugas dari atasan. Tuan harus kami bawa memakai tandu, supaya setiap orang tahu, bahwa
Tuanlah calon suami Nyi Mas Sendang Wangi. Mari, Tuan...."
"Aku tidak kenal Nyi Mas Sendang Wangi," katanya datar dengan wajah termenung. "Yang
kukenal, Ratwa Prawesti. Carikan dia, dan kawinkan aku dengannya."
"Kami tidak mengenal Ranta Prawesti. Kami hanya mengenal Nyi Mas Sendang Wangi, calon
istri Anda, Tuan...."
"Jangan panggil aku tuan!" hardiknya. Suro Bodong bersungut-sungut. "Namaku Suro Bodong!
Bukan Tuan...!"
Ada dua petugas lain yang baru saja naik ke lereng dan membawa alat semacam skop dan
cangkul. Suro Bodong segera menegur dua orang itu:
"Untuk apa alat-alat itu, hah?!"
Salah seorang yang membawa cangkul menjawab dengan gugup, "Bukan... bukan untuk
membunuh Tuan... ini untuk...."
"Untuk memakamkan mayat Pendekar Tapak Setan," sahut orang yang satunya lagi.
"Biar aku yang memakamkan dia di sini...!" kata Suro Bodong. Kedua orang itu saling pandang
tak mengerti. Suro Bodong segera bertindak. Ia menggali lobang di samping gundukan arang mayat si
Tapak Setan.
Keempat prajurit itu saling terheran-heran, bahkan mereka yang masih ada di bawah juga
merasa heran, sebab mereka melihat Suro Bodong menggali lobang makam tanpa menggunakan alat. Ia
mencakar-cakar dengan tangannya dan sangat bersusah payah. Saat itu, si pembawa cangkul berbisik
pada temannya, "Mungkin dia tidak tahu bagaimana cara menggunakan alat ini, ya?"
"Iya. Mungkin saja. Kasih tahu sana...!"
"Ah, aku ngeri sama dia...!"
Akhirnya salah seorang memberanikan diri menyodorkan alat penggali lobang, dan berkata
dengan hati-hati:
"Tuan... pakailah alat ini. Alat ini gunanya untuk menggali lobang."
Suro Bodong berhenti sebentar dan berkata dingin:
"Aku tahu. Aku tahu kalau alat itu untuk menggali lobang, bukan untuk makan siang! Tetapi
aku ingin menebus penyesalanku dengan caraku sendiri. Menjauhlah sana...."
"Baik, Tuan...!" Kemudian orang itu mendekati temannya dan saling berbisik sambil
menyenggol-nyenggolkan sikunya ke tubuh teman.
Suro Bodong sedikit lega. Ia telah menggali lobang untuk memakamkan mayat lawannya yang
menjadi korban kemarahannya. Dengan cara bersusah payah menggali lobang begitu, Suro merasa sudah
sedikit menebus dosanya. Mayat itu didorong ke lobang dan di urug sendiri sampai rata, lalu
menjadikan suatu gundukan khusus. Semua dilakukan dengan tangan kosong, tanpa alat apa pun.
Sementara itu, sudah pasti keringat Suro Bodong bercucuran sekujur tubuh. Tapi ia punya sedikit
kepuasan untuk kerja semacam itu.
"Pendekar Tapak Setan... sebenarnya kau bukan setan," kata Suro Bodong ketika ingin
meninggalkan tempat itu. "Tetapi kau menjadi korban kemarahan setanku.... Seharusnya bukan kau yang
mati, entah siapa.... Hanya saja, karena aku kalap, aku terpaksa membunuhmu dengan cara yang... yang
tak pernah kurencanakan sama sekali. Maafkan aku. Seharusnya aku dapat mengalahkan kamu dengan
cara sederhana, tapi amukan kemarahan di dalam dadaku tidak bisa dikendalikan saat tadi. Dan... kau
sendiri memancing-mancingnya. Padahal aku sudah bilang kan? Kau akan mati kalau kau bertarung
dengan ku. Tapi kau nekad. Akhirnya, benar juga gertakanku itu. Dan... aku jadi susah payah
menguburkan kamu. Yaah... mudah-mudahan arwahmu tidak keras kepala seperti tadi. Jadikanlah
pengalaman tadi adalah pelajaran, supaya kau bisa mengurangi sesumbarmu dan hati-hati dalam
bertindak di alam kubur nanti. Sekali lagi, maafkan aku, ya? Jangan mendendam kepadaku. Percayalah...
tak ada niat sedikit pun padaku untuk membunuh kamu seperti ini. Nah, mudah-mudahan kau tenang
di alam baka nanti. Percayalah, kau pasti akan betah di sana dan tak mau kembali lagi ke bumi. Selamat
tinggal Pendekar malang...!"
Dengan pengawalan penghormatan, Suro Bodong turun dari bukit. Ada empat orang bertubuh
kekar berdiri di samping sebuah tandu indah. Tandu dilapisi warna kain kuning emas dengan rumbai-
rumbai benang sutra warna hijau. Seorang prajurit tanpa tombak, kecuali hanya menyandang pedang di
pinggang mempersilakan Suro Bodong agar naik ke tandu. Tetapi Suro Bodong menolak.
"Aku bukan orang lumpuh...! Aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri."
"Tapi ini perintah. Pesan Eyang Panembahan. Tuan harus digotong memakai tandu...."
"Aku tidak mau!" jawab Suro Bodong tegas.
"Kami akan kena hukuman jika...."
"Siapa yang akan menghukum kalian?!"
"Kepala keprajuritan," jawab salah seorang prajurit yang bertugas menggotong tandu.
Dengan tegas Suro berkata, "Tunjukkan nanti, yang mana kepala keprajuritan kalian. Sebelum
dia menghukum kalian, aku akan menghukumnya lebih dulu!"
Tiba-tiba dari belakang Suro Bodong terdengar suara bernada ragu:
"Aku kepala keprajuritan...."
Kepala Suro Bodong menoleh, "O, kamu?! Apakah mereka akan kamu hukum jika tak mau
menggotongku?"
Kepala keprajuritan itu menjawab dengan sedikit membungkuk, "Kurasa tidak. Sebab... Tuan
Suro Bodong sendiri yang menghendaki berjalan kaki..."
Akhirnya, mereka menggotong tandu tanpa berisi orang. Suro Bodong jalan dengan santai
didampingi beberapa prajurit yang bertugas mendampingi Suro Bodong ke istana. Di perjalanan, Suro
melihat seorang lelaki bertubuh kurus yang sedang memikul dua keranjang jagung mentah. Suro segera
menghentikan.
"Pak, berapa harga jagungmu sebuah?"
Rupanya orang itu tadi juga menyaksikan pertarungan Suro Bodong dengan Pendekar Tapak
Setan. Orang itu masih merasa ketakutan dan berkata dengan menggeragap, "Kalau... kalau tuan mau,
ambillah semua. Saya... saya rela memberinya."
Mulanya Suro Bodong tidak mau. Tetapi karena orang itu mendesak, akhirnya Suro Bodong mau
menerima dua keranjang jagung mentah untuk dibakar. Orang itu diberi beberapa keping uang oleh
kepala keprajuritan. Dan atas perintah Suro jagung-jagung itu dinaikkan dalam tandu, lalu dipikul
beramai-ramai.
Tentu saja seluruh kerabat kerja Kesultanan merasa terheran-heran dan mengikik geli melihat
tandu berisi jagung. Patih Danupaksi yang menyambut di regol istana terpaksa berkata kepada kepala
prajuritan:
"Apa tidak ada cara lain yang lebih konyol?"
Mau tidak mau kepala keprajuritan menunduk sambil berkata, "Maaf, Ki Patih. Ini atas kehendak
tuan Suro Bodong sendiri. Kami telah memaksanya untuk naik ke tandu, tetapi beliau justru merasa
dihina, dianggap orang lumpuh."
Melihat agaknya ada sedikit keributan antara patih dan kepala keprajuritan, Suro Bodong segera
menengahi:
"Benar. Aku sendiri yang menolak untuk naik ke atas tandu dan dipikul."
"Kenapa Anda harus menolak?" Patih Danupaksi minta ketegasan. Dan Suro pun menjawab:
"Orang mati, pantas dipikul. Orang lumpuh pantas dipapah, tetapi aku orang sehat"
"Anda menolak penghormatan kami."
"Dikatakan menolak, tidak. Tetapi aku tahu batasan dan saat kapan penghormatan harus
dilakukan. Belum saatnya bagi orang seperti aku mendapat penghormatan seperti itu. Belum saatnya!"
Patih Danupaksi manggut-manggut. "Kuharap lain kali jangan menaikkan jagung ke dalam
tandu, ya?"
"Nah, itu baru penghormatan!" jawab Suro Bodong cepat seraya menuding dada patih. Tentu
saja Patih Danupaksi berkerut dahi dengan sedikit memiringkan kepala tanda heran. Suro Bodong
melanjutkan kata-katanya:
"Jagung dan aku lebih berjasa jagung. Sebab meski dia sudah dimakan oleh anak cucu kita,
namun dia masih mau tumbuh dan mengorbankan diri untuk dimakan, sebagai penyambung hidup kita.
Eh, jarang sekali orang mau menghormati orang yang berkorban terus-terusan, bukan? Biasanya orang
akan memberi penghormatan pada jasa pertama dan kedua, tetapi jasa selanjutnya sudah dianggap
wajar-wajar saja. O, ya... siapa namamu?" tanya Suro seenaknya.
"Aku patih Danupaksi," jawab Ki Patih agak ketus.
"O, kamu patih? Ah... aku bukan patih kok. Aku rakyat biasa. Suro Bodong namaku. Kita ini
sebenarnya sama, ya? Yang membedakan hanya soal jabatan dan pekerjaan...."
"Jadi apa maksudmu...?"
"Supaya kau tahu, kalau aku tidak membungkuk-bungkuk seperti anak buahmu ini, jangan
salahkan aku. Caraku memberi penghormatan kepada orang berbeda. Kau boleh meniru caraku, tapi
boleh juga tetap pada caramu."
Patih Danupaksi mengela nafas. Ia ingat kata-kata Eyang Panembahan ketika menjelaskan
tentang seseorang yang bernama Suro Bodong, yang sebentar lagi akan datang. Ternyata benar apa kata
Eyang Panembahan, bahwa orang yang bernama Suro Bodong punya banyak kelainan dengan manusia
biasa. Jadi, Patih Danupaksi terpaksa harus bisa memaklumi.
"Suro Bodong," katanya. "Mari kita menghadap Sultan. Kau telah ditunggu Kanjeng Sultan dari
tadi...."
Suro Bodong hanya menggumam dan manggut-manggut samar. Ia berjalan ke pendopo
didampingi oleh patih dan kepala keprajuritan. Paseban tempat Sultan dan beberapa pegawainya
berkumpul itu cukup luas, mewah dan bersih. Nyaman sekali tempat itu. Angin menghembus sepoi-
sepoi, karena Paseban itu tanpa dinding di kanan kirinya.
Seorang lelaki berwibawa, tinggi dan bersih duduk di singgasana kencana. Ia mengenakan baju
Kesultanan warna hijau pupus dan kain bercorak batik Sidakmukti dengan hiasan sabuk emas melingkar
di pinggang. Seorang berpakaian serba hitam dengan jubah merah berdiri di samping kanan Sultan
Jurujagad. Ia adalah Eyang Panembahan yang tadi ditantang Suro Bodong. Ketika melihat sosok Eyang
Panembahan, geram di hati Suro Bodong kambuh kembali. Ia memandang tajam, tetapi yang dipandang
seakan tidak merasa diperhatikan. Eyang Panembahan tetap tenang saja.
Semua abdi dalem duduk bersila setelah menyembah Sultannya, tetapi Suro Bodong tetap
berdiri tegak, menampakkan kegagahannya.
"Ki Sanak... benarkah kau yang bernama Suro Bodong?"
"Benar!" jawab Suro Bodong kepada Sultan dengan tegas.
"Benarkah kau yang memenangkan pertarungan untuk meminang putriku, Nyi Mas Sendang
Wangi?"
"Benar, dan tidak!"
Semua orang menggumam dan berkerut dahi. Hanya Eyang Panembahan yang tetap tenang.
Berdiri dengan tangan terlipat di dada. Salah seorang abdi dalem yang punya jabatan penting menegur
Suro Bodong:
"Saudara Suro Bodong, tidak bisakah Anda duduk dan memberi hormat kepada Kanjeng
Sultan?!"
Suro Bodong menjawab dengan garuk-garuk kumis:
"Kalau kau bisa berbuat begitu, lakukanlah. Kalau aku tidak bisa. Kau punya cara menghormat,
dan aku punya cara sendiri."
"Tapi di sini punya peraturan, kau harus tunduk pada peraturan di sini!"
"Aku tidak menyuruh pemerintah di sini mengatur peraturan itu! Aku tidak suka mengikuti
peraturan di sini. Karena itu, aku tidak keberatan kalau aku harus segera pergi dari sini. Justru aku akan
berterimakasih kepada pemerintah di sini kalau aku diizinkan pergi sekarang juga mengerti?"
Suasana sedikit tegang. Suro Bodong mende-kati orang yang mengajaknya bicara. Lalu bertanya
dengan tegas:
"Kamu siapa?! Apa urusanmu menegurku begitu?"
Orang itu menjawab: "Aku Demang Sabrangdalu...! Di sini pangkatku Demang!"
"O, aku rakyat biasa!" balas Suro Bodong. "Kedudukanku lebih tinggi daripada kamu. Buktinya
aku bebas pergi ke mana saja tanpa ikatan. Aku bebas kencing di mana saja, tetapi bisakah kau kencing
di pinggir alun-alun?!"
Patih Danupaksi menyahut dengan sabar, "Kukira perdebatan itu tidak perlu terjadi. Di sini kami
ingin bicara tentang kamu, Suro Bodong. Bukan ingin membahas soal kencing di alun-alun. Sekali pun
misalnya aku pernah kencing di alun-alun, itu pun tak akan kukatakan di sini."
"Aku belum pernah. Kapan-kapan akan kucoba...!" kata Suro Bodong yang kemudian berdiri
tegak menghadap Sultan Jurujagad. Sultan ini hanya tersenyum-senyum seraya memandang Eyang
Panembahan. Keadaan kembali reda.
"Suro Bodong kuizinkan menghormat dengan caranya sendiri. Aku tahu, dalam hatinya dia
tidak mempunyai niat jahat dan penghinaan sedikit pun. Tidak ada. Dia memang kasar, tetapi ia
mempunyai jiwa yang sehat...." kata Sultan.
"Jadi, mulanya aku dianggap tidak sehat?" celetuk Suro.
"Tidak," Sultan tersenyum ramah. "Kami menganggap kamu seperti pendekar pada umumnya,
yang menyukai sanjungan dan penghormatan, ternyata dugaan kami berbeda. Salah. Namun demikian,
mau tidak mau kami tetap mempunyai rasa bangga hati melihat ada pendekar gagah perkasa dan sakti
mandraguna, yang menurut ramalam para abdi dalem, bahwa dialah yang akan berhasil memenangkan
sayembara ini. Semua orang kudengarkan kasak kusuknya, mereka berpendapat, bahwa kaulah yang
akan bisa memenuhi persyaratan kami, yaitu mampu mengalahkan empat penantang. Bahkan Eyang
Panembahan Purbadipa meyakinkan padaku, bahwa kaulah nantinya yang akan berhasil melamar
putriku; Nyi Mas Sendang Wangi...."
"Aku tidak melamar putrimu, Sultan!" kata Suro dengan tegas. "Aku tidak tertarik untuk menjadi
menantu seorang Sultan!"
"Tapi kau telah mengikuti pertarungan itu dan memenangkannya, bukan?!"
"Itu bukan pekerjaanku. Itu adalah keusilan dia...!" Suro berkata keras dengan menuding Eyang
Panembahan. Ia kelihatan menahan kemarahan yang hampir meledak di situ.
"Dia menyuruh petugas untuk mencatat namaku sebagai penantang berikutnya, lalu aku dipaksa
naik ke arena. Aku dituduh menghina Sultan jika tidak mau melawan Pendekar Tapak Setan. Rakyat
mengancamku dan menghinaku, kemudian aku mengingatkan Tapak Setan agar jangan melawanku dan
aku akan mengalah untuk tidak melawannya, tetapi dia ngotot dan aku semakin panas. Sampai tak
kusadari aku telah melawannya dengan amukan darahku, yang sebenarnya kutujukan pada kakek tua
itu. Akhirnya aku sangat menyesal atas kematian Pendekar Tapak Setan yang pantas menjadi
menantumu itu. Suatu saat, aku ingin menantang dia...!" Suro menuding Eyang Panembahan Purbadipa.
Ia mendekat dan berkata, "Hei,... kapan-kapan kita bertarung! Aku masih sakit hati kau jebak begini,
tahu?! Dan kalau boleh aku sesumbar, kukatakan kepadamu, aku bisa membuat seluruh Kesultanan mati
dalam sekejap. Itu kalau boleh aku sesumbar. Kalau tidak, aku pun tidak mau sesumbar begitu!"
Hening tercipta. Masing-masing merenungkan kata-kata Suro Bodong. Tetapi Eyang
Panembahan tetap tenang.
TIGA
Jarang sekali seorang calon menantu dapat sambutan seramah itu. Sultan Jurujagad benar-benar
ingin menjamu Suro Bodong sebagai tamu kehormatan yang tak boleh dikecewakan. Ini memang
mempunyai kejanggalan, dan Suro Bodong beranggapan: Pasti ada apa-apanya di balik jamuan istimewa
itu. Tetapi, untuk sementara Suro Bodong tidak mau banyak pikiran.
Ia diberi kamar yang cukup mewah, lebih mewah dari kamar-kamar lainnya yang pernah ia
huni. Jagung bakar kesukaannya juga dihidangkan pagi, siang dan sore dalam jumlah cukup. Sultan
Jurujagad sering mengadakan pembicaraan empat mata dengan Suro Bodong, bertukar pengalaman dan
saling mengisi pengetahuan, baik filsafat hidup maupun ilmu kanuragan.
Tetapi, bagaimanapun juga Suro masih merasa kesal dengan Eyang Panembahan. Ia merasa
dijebak dengan maksud yang belum jelas diketahui. Secara gampang, memang Suro dijebak untuk
menjadi menantu Sultan, tetapi maksud yang sebenarnya belum diketahui Suro.
Sehingga pada hari kedua sejak Suro tinggal di dalam Komplek Kesultanan, ia sempat beradu
muka dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Saat itu, ia berada di taman depan kamarnya. Suro
langsung saja menegur dengan seenaknya:
"Hei, kapan kita bertarung? Kau sudah punya waktu?!"
Eyang Panembahan menampakkan sikap sabarnya dengan menyunggingkan senyum yang
ramah.
"Apa kau yakin kalau kau akan menang melawan aku?" tanya Eyang Panembahan Purbadipa.
"Menang atau kalah bagiku tidak penting. Yang penting aku bisa melampiaskan kejengkelanku!
Aku sakit hati kau jebak begini, tahu? Sakit hati sekali!"
Senyum orang tua itu berubah jadi tawa pelan yang mengekeh. Suro bersungut-sungut, masih
bertolak pinggang. Dengan tenang Eyang Panembahan menempuk pundak Suro dan berkata, "Mari
duduk di sini.... Mungkin kau bisa lampiaskan kemarahanmu...."
Bahu Suro mengibas, ia tak mau diajak beramah-ramah. Ia masih berkata ketus. "Kalau tidak
berkelahi, aku belum lega memburumu!"
Tanpa peduli ucapan Suro, Eyang Panembahan duduk di bangku batu marmer yang indah, di
tepi kolam. Banyak teratai yang bermekaran di situ. Juga air mancur yang memancar ke atas membuat
taman itu menjadi kelihatan asri dalam keindahan yang alami.
"Aku sengaja menjebakmu," kata Eyang Panembahan yang berjenggot panjang dan putih, juga
berambut panjang dan putih. Ia bicara tanpa memandang Suro, melainkan menatap bunga-bunga teratai
yang mengambang di kolam jemih itu.
"Kalau aku menjebakmu begini, itu sebabnya aku tahu kekuatanmu."
Suro jadi sedikit tertarik. Ia mendekat, tapi masih berdiri dengan lagak kedongkolannya.
"Darimana kau tahu kekuatanku?!" tanyanya.
"Aku merasakan udara hangat ketika aku berdiri di dekatmu," jawab Eyang masih tanpa
memandang Suro. Agaknya Suro Bodong bertambah heran, lalu kian mendekat.
"Maksudmu, udara dari nafasku?!"
Kali ini Eyang Panembahan memandang Suro dengan matanya yang menyipit namun kelihatan
memancarkan ketajaman.
"Udara prana!"
"Prana...?!"
"Ya. Satu kekuatan batiniah yang ada pada diri manusia. Kau telah mampu menghimpun prana,
dan mengolahnya menjadi berbagai macam kegunaan. Prana itu kalau diolah dan digunakan, cukup
dahsyat!"
"Tinggi juga ilmu orang ini," pikir Suro Bodong. Sebab dia sendiri tidak tahu apa itu prana. Ia
baru kali ini mendengar ada orang bisa merasakan udara hangat yang mengelilingi sekitar tubuhnya.
Menarik juga cerita itu, dan Suro menjadi semakin ingin tahu. Ia duduk di bangku batu marmer samping
Eyang Panembahan.
"Prana itu seperti apa?"
Eyang Panembahan tersenyum, bahkan tertawa dalam gumam.
"Prana itu... tidak bisa dilihat bentuknya. Prana itu suatu kekuatan gabungan, ada unsur inti
bumi, ada unsur inti matahari, bulan, bintang, hujan dan lain sebagainya. Suatu kesatuan alam
membentuk suatu zat. Zat itu ada dalam tubuhmu. Mengempal, namun membara jika digerakkan oleh
suatu kekuatan batin."
"Mungkin karena aku sering kehujanan? Begitu?”
"Satu di antaranya itu. Tetapi itu tidak cukup untuk mengumpulkan prana dari berbagai
keadaan alam."
"Tapi... tapi aku kan tidak pernah pergi ke bulan?"
Eyang Panembahan tertawa pelan. Wajah Suro Bodong tidak seketus tadi, namun berubah jadi
bego.
"Cahaya bulan, mempunyai suatu kekuatan tersendiri. Mungkin jarang orang merasakannya,
tetapi orang sering terlena karena cahaya rembulan itu. Apabila semua zat alam itu menembus lapisan
merah, entah botol, entah beling, entah kaca, atau... kertas merah, maka ia akan berubah menjadi satu zat
yang dapat dimanfaatkan oleh kita. Air yang terkena campuran zat itu, akan bisa dipakai untuk
menyembuhkan suatu penyakit. Ayam, yang mendapat sorot beling merah dari campuran sinar bulan
dan lain-lain, akan menghasilkan telur yang banyak, ketimbang ayam biasa yang selalu dikurung dalam
tempat terlindung."
Suro Bodong manggut-manggut. Sakit hatinya bagaikan hilang, dilupakan dalam tempo singkat.
Ia lebih tertarik pada ilmu dan pengetahuan Eyang Panembahan Purbadipa itu.
"Kau heran?" tanya Eyang Panembahan.
"Ya," jawab Suro dalam keraguan. "Tapi aku sepertinya pernah mendengar penuturan seperti
ini." Ia berkerut dahi. "Di mana, Siapa yang menuturkannya?"
"Birawa Paca...!"
Dahi Suro semakin berkerut. "Siapa Birawa Paca itu?"
Eyang Panembahan berdiri, dan berjalan mengitari kolam. Matanya memandangi ikan-ikan yang
sesekali melompat menampakkan warna kuning emasnya.
"Itulah sebabnya, aku menjebakmu ke mari. Aku tahu, kau dalam kebingungan mencari jati
dirimu."
Bagai mendengar teriakan gajah di telinga, Suro Bodong segera berdiri dan memandang Eyang
Panembahan dengan hati berdebar-debar. Ia setengah berseru karena semangatnya:
"Darimana kau tahu keadaanku?!"
Eyang Panembahan memandang lembut pada Suro, dan berkata:
"Aku mempunyai indra ketujuh."
"Indra ketujuh?! Umumnya orang mempunyai keistimewaan dengan indra keenam. Kenapa kau
bilang punya indra ketujuh?"
"Indra perasa yang mampu merasakan keadaan masa lalu, dan mencurahkannya dalam satu
gambaran."
Suro buru-buru mendekati Eyang Panembahan. Ia semakin penasaran, dan semakin heran.
"Aku kurang jelas dengan indra ketujuh itu."
Eyang berjalan, Suro ikut berjalan dalam kebegoannya. Eyang berhenti, di tepi kolam yang
airnya tidak bergolak. Ia seperti memperhatikan sesuatu di balik kebeningan air yang tenang itu.
Kemudian ia berkata kepada Suro:
"Lihatlah bayangan di dalam air itu...."
Suro Bodong memperhatikan genangan air bening. Mulanya ia bingung, apa yang harus
dilihatnya. Tidak ada apa-apa. Tetapi beberapa saat kemudian, matanya makin melebar, dan melebar
lagi. Ia melihat sebuah bayangan di dalam air. Bagai sebuah lukisan yang menggenang. Lukisan seorang
anak yang tengah belajar silat dalam sebuah goa. Batu-batu goa kelihatan jelas bertonjolan, dan sang
anak kecil itu melompat-lompat di pucuk-pucuk batu yang tajam. Tak jauh dari anak itu, ada seorang
lelaki berjenggot putih, panjangnya sebatas perut. Rambutnya juga panjang, bahkan sampai menyentuh
betisnya. Lelaki itu mempunyai telinga panjang, caplang. Hidungnya besar, dan kuku-kuku di jarinya
cukup panjang. Lelaki itu bertubuh besar, tinggi, mirip raksasa.
Benak Suro Bodong bertanya-tanya, siapa lelaki bertubuh tinggi itu? Ia sepertinya pernah
melihat, pernah bertemu, tapi entah di mana dan kapan. Ia juga ingat sinar merah di dalam goa itu. Ia
sepertinya pernah melihat goa bersinar merah membara, tapi tidak berhawa panas. Dalam bayangan air
itu juga terlihat jelas merahnya suasana di dalam goa, dan batu-batu hitam meruncing yang tengah
dipakai latihan oleh seorang bocah kira-kira berumur 7 tahun.
"Aku... aku sepertinya pernah melihat orang berjenggot panjang dan bertelinga caplang itu...."
kata Suro Bodong.
"Dialah Birawa Paca...!" jawab Eyang Panembahan.
"Birawa...? Birawa...? Bi-ra-wa...?" Suro Bodong mengeja untuk mengembalikan ingatannya.
Namun sampai sekian lama, dia tidak melihat adanya kemungkinan untuk teringat pada nama itu.
"Aku tidak tahu, siapa Birawa Paca itu," katanya.
"Dialah ayahmu...!"
"Hahh...?!"
Suro Bodong terpekik keras. Matanya membelalak lebar bagai ingin meloncat ke luar dari
kelopaknya. Ia nyaris tidak percaya dengan ucapan Eyang Panembahan tadi. Selama ini ia sendiri tidak
tahu siapa orang tuanya dan di mana asal-usulnya. Tetapi Eyang Panembahan begitu gampang
menyebutkan siapa orang tuanya. Suro masih sangsi kendati ia sendiri bertanya-tanya: mungkinkah
nama yang pernah didengar dan wajah yang pernah dilihat itu adalah milik ayah kandungnya?
Mata Suro Bodong yang membelalak itu kembali memandang lukisan dalam genangan air. Ia
menyimak betul wajah lelaki berhidung besar, berkuku panjang dan berjubah putih. Bagian tengah
kepalanya botak, tetapi rambut sekitarnya panjang sampai sebatas betis, warnanya putih keperak-
perakan. Lalu, seorang anak kecil melompat ke arah lelaki yang disebut bernama Birawa tadi. Lelaki itu
menangkap anak tersebut, dan memeluk dengan pelukan kasih sayang.
"Siapa anak kecil itu? Siapa dia, Eyang?"
"Kau sendiri...." jawab Eyang Panembahan tetap menyunggingkan senyum.
Mulut Suro Bodong sudah tidak mampu lagi memekik kaget. Ia sangat tegang. Keringat
dinginnya mengucur melalui kening dan pelipis. Ia tak lagi sempat berkedip dalam memandang
gambaran dipermukaan air kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakan menyesak di dadanya. Ada sesuatu
yang dirasakan mengiris hatinya. Perih, namun dicobanya untuk bertahan, sekalipun dengan begitu
matanya menjadi merah menahan gejolak yang meledak-ledak di dalam dada.
Benarkah itu bayangan wajahnya semasa kecil? Benarkah itu adalah ayah kandungnya?
Benarkah itu adalah tempat tinggalnya sewaktu kecil? Lalu... siapakah dia sebenarnya? Mengapa ia jadi
seperti saat ini? Mengapa ia jadi hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti?
Ketika bayangan di dalam air itu meredup lalu hilang, Suro Bodong duduk di tepian kolam,
seakan masih ingin memperjelas pandangannya. Ia masih ingin melihat seorang lelaki yang memeluk
anaknya dalam tawa ceria. Tapi, kini yang ada hanya kebisuan. Hening. Sepi di bumi dan sepi di
permukaan air itu. Hanya kebeningan air yang dapat dinikmati, sementara jiwanya begitu dicekam suatu
keharuan. Hal itu membuat Suro Bodong belum mampu bicara kecuali hanya termenung sendu beberapa
saat lamanya.
"Kau belum ingat siapa dirimu sebenarnya?" bisik Eyang Panembahan dengan lembut. Ia ikut
duduk di tepi kolam ketika Suro menggelengkan kepala dalam renungannya.
"Kau adalah anak dari Birawa Paca," tutur Eyang, pelan. "Ayahmu bukan manusia biasa. Karena
ilmunya yang tinggi, dia seolah-olah seperti roh halus, walau sebenarnya ia adalah manusia. Tetapi
alamnya sudah membaur dengan alam roh yang jarang bisa dicapai manusia biasa. Birawa Paca seorang
berilmu tinggi, jangan kan terkena pukulannya, terkena pandangan matanya saja manusia bisa hancur
lebur. Sebab itu, ia tinggal di dasar bumi, dan menjadi penunggu perut gunung raksasa di lautan lepas,
yaitu gunung Krakatau!"
Suro Bodong menyimak setiap ucapan itu tanpa memberi komentar sedikit pun. Hatinya masih
teriris pilu, sebab setua ini ia seakan baru sekarang mengetahui siapa dirinya dan darimana asal-usulnya.
Ia membiarkan Eyang bicara panjang lebar tentang dirinya. Inilah saat yang ditunggu dan dicari-cari
selama ini.
"Birawa kawin dengan seorang putri dari negeri seberang, yaitu: Tibet. Putri itu bernama
Shilanta. Ia anak seorang pendeta, yang melepaskan kependetaannya karena tak tahan terhadap tuntutan
batinnya. Ia menikah dan melahirkan seorang putri yang bernama Shilanta, yaitu ibumu sendiri!"
Tak sepatah kata pun meluncur dari mulut Suro Bodong. Matanya menjadi semakin merah dan
berkilau-kilauan. Ia nyaris tak tahan membendung kedukaannya, karena haru atas kembalinya satu
ingatan yang selama ini pudar. Ia sangat tak sabar menunggu kisah Eyang Panembahan yang sesekali
berhenti, bagai menciptakan debaran-debaran jantung semakin ingin meledak saja.
Kakek yang mempunyai indra ketujuh itu berkata lagi dengan suaranya yang pelan dan penuh
kesabaran:
"Ketika para utusan dari Tibet menyeberang ke Sriwijaya untuk urusan persaudaraan, Shilanta
mengikutinya. Ia tergabung dalam rombongan para utusan dari Tibet, karena ia mempunyai
pengetahuan keagamaan cukup dalam dan tinggi. Nah, pada saat itu... Sriwijaya sendiri sedang
mengalami kemelut dengan armada laut kerajaan Tanah Jawa. Ada pertempuran tidak resmi yang
sesekali terjadi di lautan atas. Kapal utusan dari Tibet menjadi sasaran, lalu dihancurkan oleh pihak yang
tidak bertanggungjawab, entah dari Sriwijaya atau dari Mataram. Ujung-ujungnya diketahui, penyerang
itu berasal dari India Selatan, yaitu tentara-tentara raja Colamandala yang ditugaskan menundukkan
Sriwijaya."
Sejenak cerita itu dihentikan, karena Eyang Panembahan menunggu reaksi dari Suro Bodong.
Ternyata tidak ada reaksi kecuali menyimak dan mendengarkan dengan tekun. Maka cerita itu pun
dilanjutkan kembali:
"Ibumu, Shilanta, terapung-apung di samudra lepas, karena kapalnya ditenggelamkan oleh
tentara Colamandala. Dalam keadaan seperti itu, Birawa muncul sebagai sang penyelamat. Padahal
tugasnya semula adalah memata-matai Sriwijaya. Tetapi melihat kecantikan Shilanta, ia melupakan
tugasnya, kemudian menyembunyikan Shilanta dalam goa di dasar laut. Shilanta merasa berhutang
budi, tetapi justru hal itulah yang membuat Shilanta jatuh cinta kepada seorang lelaki. Mereka
bersepakat hidup bersama. Banyak ilmu Shilanta yang diajarkan kepada Birawa, dan banyak ilmu
Birawa yang diajarkan kepada Shilanta...."
Eyang menyempatkan berpaling memandang Suro yang melompong terpukau oleh kisah itu.
Lalu lanjutnya:
"Maka jadilah keduanya sebagai orang sakti yang tak boleh melihat darah. Jika mereka melihat
darah, maka darah itu akan hancur sekaligus raga yang mempunyai darah itu. Jadi, untuk menghindari
pertumpahan darah dan pembunuhan orang tak berdosa, mereka bersepakat untuk tinggal di dasar laut.
Kesaktiannya sangat luar biasa, sampai-sampai ia dapat mengendalikan magma dan lahar gunung berapi
untuk meletus atau tidak. Maka jadilah mereka penguasa gunung Krakatau di dasar laut. Di sana, di
dalam perut gunung itu, kau dilahirkan dengan nama... Wisnu Brama."
"Wisnu Brama...?" Suro mengulang dengan lirih.
"Ya. Itulah nama aslimu sejak lahir. Dan kau mulai dilatih ilmu silat serta tenaga dalam sejak usia
5 tahun. Karena tak ada lagi pekerjaan lain bagimu di dalam perut gunung berapi itu kecuali berlatih dan
berlatih terus, sampai akhirnya kau menjadi orang yang hampir mewarisi seluruh ilmu ayah dan ibumu."
"Wisnu Brama...." Suro masih seperti menghapalkan nama itu. Sedangkan Eyang Panembahan
tersenyum-senyum. Memandang Suro Bodong dengan arif.
"Kau tahu ilmu apa yang kau pakai untuk melawan Pendekar Tapak Setan?" pancing Eyang
Panembahan Purbadipa.
Suro Bodong menggeleng. "Namanya aku tak tahu, tapi cara menggunakan ilmu itu aku masih
ingat..."
"Namanya ilmu ‘Giricandra’...."
"Ooo...." Suro manggut-manggut. "’Giricandra’...?"
"Giri itu gunung. Candra itu sinar. Jadi maksudnya ilmu yang kau pakai kemarin adalah ilmu
kilatan cahaya gunung, alias semburan api lahar yang amat dahsyat...! Kau sebenarnya masih
mempunyai banyak ilmu yang lebih unggul dari Giricandra, yaitu perpaduan dari ayahmu dan ibumu.
Tetapi, mungkin kau telah lupa."
Suro manggut-manggut lagi dengan mulut melongo. Eyang menepuk pundak Suro dan berkata,
"Kalau kau mau, aku bisa mengingatkan ilmu-ilmu itu melalui indra ketujuhku."
"Aku mau...! Aku mau...!"
Eyang menggeleng. "Aku takut kau tantang seperti tadi!"
Suro Bodong buru-buru bersujud di depan Eyang Panembahan Purbadipa. Ia sangat menyesali
sikapnya selama ini. Ia tidak tahu apa maksud Eyang Panembahan, sehingga ia jadi seperti orang liar
yang tak mengenal tata susila kepada orang seperti Eyang Panembahan.
"Kenapa kau bersujud padaku, Suro Bodong?!"
"Maafkan aku...." ucap Suro Bodong lirih, bagai tersendat oleh keharuan. "Aku selama ini tidak
mau mengerti siapa kamu, Eyang. Aku buta. Batinku tertutup oleh kebingungan jati diriku. Tetapi
sekarang, ternyata kaulah yang bisa mengembalikan hidupku, Eyang. Kaulah seharusnya orang yang
patut kuhormati dari sekian banyak orang. Tanpa kamu, aku tidak bisa mengerti, siapa Suro Bodong
sebenarnya. Aku merasa berdosa kalau aku kemarin dan tadi menantangmu. Sebenarnya kalau kau mau,
dengan sekali sentil saja aku bisa hancur berkeping-keping...."
"Wisnu Brama... bangkitlah," kata Eyang. "Kau tidak bersalah. Kau tercipta dalam adat yang
miskin. Hanya Birawa dan Shilanta yang bergaul denganmu, sehingga kau tidak cukup pengetahuan tata
kramamu. Aku memakluminya. Apalagi lewat indra ketujuh-ku ini aku bisa melihat betapa sengsaranya
kau ketika bertarung melawan musuh yangberasal dari alam lain: Ratu Iblis Sejagad. Kepalamu waktu
itu hampir hancur mempertahankan gunung Krakatau. Kau mengemban tugas dari ayahmu untuk
mengusir Ratu Iblis itu, dan akhirnya kau mengalami gangguan pada ingatanmu. Kau menjadi lupa
siapa dirimu dan menjadi lupa bagaimana seharusnya hidup itu. Kau terbuang di suatu tempat tanpa
tahu di mana arah rumahmu. Namun kau tidak tahu bahwa ayahmu cukup bangga, karena kau dapat
mengalahkan Ratu Iblis Sejagad, sehingga sampai sekarang ayah dan ibumu masih dapat tinggal di dasar
bumi dengan damai."
"O, jadi begitu riwayatku kenapa aku menjadi serba tidak tahu?" Suro Bodong tiba-tiba berdiri
dengan bersemangat. Ia tertegun sesaat. Lalu Eyang Panembahan berkata:
"Begitulah kamu. Dan... lupakan tantanganmu itu. Aku memaklumi. Kami semua memaklumi
keadaanmu. Kanjeng Sultan dan para punggawa negeri lainnya sudah kuberi penyuluhan tentang
keadaanmu. Mereka bisa memakluminya...."
Di kamarnya, Suro Bodong tak habis pikir, mengapa semua ini tidak pernah terduga sama
sekali? Ia mulai mengingat-ingat kisah yang dituturkan Eyang Panembahan. Ia mulai menghapal-kan
nama aslinya: Wisnu Brama.
Nama itu diucapkan berkali-kali sambil ia menerawang, memburu masa lalunya. Ia sama sekali
tidak menyangka kalau dirinya sebenarnya menyimpan banyak ilmu yang maha sakti. Ia juga tidak tahu
kalau dia adalah anak perut bumi, keturunan penguasa gunung Krakatau yang berada di Selat
Pasundan. Birawa Paca dan Shilanta, adalah dua nama yang samar-samar terngiang dalam telinganya.
Kini jelas sudah, siapa kedua nama itu, yang tak lain adalah ayah dan ibunya.
Ternyata di balik kejengkelan yang ditimbulkan akibat ulah Eyang Panembahan, masih
tersimpan segudang kelegaan yang membuat pikirannya bagai dicuci kembali. Mulanya Suro benci
kepada Eyang Panembahan, sekarang berbalik menjadi sangat menyayangi Eyang Panembahan. Ia
bersyukur dijebak seperti saat ini. Tanpa dijebak begini, mungkin ia tidak bisa menemukan seberkas
cahaya yang menunjukkan jati dirinya. Hanya saja, soal perkawinannya dengan Nyi Mas Sendang Wangi
itulah yang sekarang menjadi ganjalan bagi hati Suro Bodong. Ia belum pernah melihat seperti apa ujud
barang yang disayembarakan itu. Ia juga tidak tahu, mengapa Sultan Jurujagad yang kelihatannya arif itu
mempunyai syarat yang bernada sombong: mempertarungkan calon menantu. Siapa yang terkuat, dia
yang dikawinkan dengan putrinya. Padahal Suro Bodong masih tertaut hatinya pada kekasih yang
diburu selama ini. Ratna Prawesti. Ia tak mau kawin dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Ia tidak mencintai
perempuan itu. Ia lebih mencintai Ratna Prawesti.
Sayangnya, Ratna Prawesti belum juga ditemukan selama ini. Padahal ia sudah memburu ke
desa Tandang Cinde, yang diduga masyarakatnya mengenal nama itu. Ternyata bukan Ratna Prawesti
yang mereka kenal, melainkan Ratna Prawesti, putri seorang ahli nujum yang wajahnya jauh berbeda
dengan Ratna Prawesti.
Pintu kamar ada yang mengetuk. Jelas pasti kedua penjaga yang ditempatkan di depan kamar
untuk menjaga keamanan kamar itu. Suro Bodong bergegas membukakannya, ternyata dugaannya salah.
Kepala Keprajuritan yang mengetuk pintu kamarnya dan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan...!"
Suro Bodong menggerutu. Ia baru saja ingin beristirahat siang, tetapi sudah ada gangguan
seperti itu. Sekali lagi kepala keprajuritan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan untuk menghadap...!"
"Ada urusan apa?" Suro Bodong bertanya dengan nada kesal. Kepala keprajuritan itu menjawab:
"Saya tidak tahu, sebab yang memanggil Tuan bukan saya, tapi Sultan!"
Suro Bodong menggeram. Jengkel sekali. "Katakan, aku mau beristirahat!" Kemudian ia menutup
pintu kamarnya. Hampir saja wajah kepala keprajuritan terbentur daun pintu yang ditutupkan dengan
kasar. Suro Bodong merebah di atas ranjang empuk beraroma wangi.
Beberapa saat kemudian terdengar lagi ketukan. Suro membiarkan dan berlagak tidur. Tetapi
ketukan semakin sering dan bertambah keras. Suro jadi jengkel, lalu buru-buru membukakan pintu
dengan bersungut-sungut.
Oh, ternyata patih Danupaksi yang datang. Suro Bodong mengurangi kecemberutannya. "Ada
apa?!" tanyanya ketus.
"Kenapa kau dipanggil Sultan tidak mau?!" hardik patih.
"Karena aku bukan Sultan! Aku Suro Bodong, kenapa aku mau dipanggil Sultan? Yang jadi
Sultan itu Jurujagad, bukan aku. Jadi panggillah dia Sultan. Jangan aku yang dipanggil Sultan...."
Ki Patih menghela nafas. Ia mengira Suro Bodong membangkang, ternyata hanya salah
pengertian. Padahal maksud Suro Bodong memang membangkang, ia ingin beristirahat merenungkan
jati dirinya yang menjadi kegembiraan saat ini. Hanya saja, ia mampu bersilat lidah sehingga tidak
ketahuan niat pembangkangannya itu.
"Maksud kami, Suro Bodong dipanggil oleh Kanjeng Sultan!"
"Nah, itu jelas. Berarti aku disuruh menghadap. Begitu, kan?"
"Benar," jawab Ki Patih dengan sabar.
"Baik...! Akan kuhadapi Sultan di mana pun ia berada," kata Suro dengan menggeram.
"Hei, kau menantang Kanjeng Sultan, ya?"
"Patih, kurasa kau tidak baik kalau berpikiran sempit. Nanti pangkatmu sebagai patih dicopot,
dan diganti pengurus kuda. Mau...?"
"Kau tadi memang menantang Sultan, kan?"
"Siapa yang menantang Sultan?!"
"Kau bilang akan menghadapi Sultan di mana pun berada!"
"Memang! Sebab aku akan diminta untuk menghadap. Jadi aku akan menghadapi Sultan, sekali
pun ia berada di taman! Kan begitu yang wajar? Kalau aku dipanggil menghadap, tapi aku tidak mau
menghadap, itu namanya aku membangkang!"
"Jadi... bukan menghadapi dalam arti menantang bertarung...?"
"Makanya, jangan mau punya otak sekecil kacang kedelai! Nanti menjadi otak keledai...!"
Patih Danupaksi menggeram, namun tetap bertahan untuk tidak marah. Ia sudah mendapat
banyak keterangan dari Eyang Panembahan tentang Suro Bodong, jadi ia terpaksa memaklumi keadaan
tadi.
Suro Bodong pergi menghadap Sultan Jurujagad. Ia tetap berpakaian baju lengan panjang merah
tak dikancingkan, dan celana biru tua dengan posisi rambut tak teratur. Ia datang dengan sikap santai,
cuek, walaupun ternyata di situ, di Paseban itu, ada seorang tamu berpakaian rapi.
"Suro Bodong... kenalkan, ini ada tamu yang bernama Pangeran Sedayu...!" kata Sultan
Jurujagad. Orang yang bernama Pangeran Sedayu memandang Suro Bodong dengan dahi berkerut. Suro
Bodong memandang tanpa perasaan. Dingin. Orang itu duduk bersila di depan Sultan, tapi Suro tetap
saja berdiri dengan seenaknya.
"Kanjeng...." kata Pangeran Sedayu yang berwajah ganteng. "Inikah orang yang Kanjeng
makudkan tadi?"
"Ya. Ini Suro Bodong, calon menantuku jika ia mampu mengalahkan tiga penantang lagi."
Pangeran Sedayu tertawa pelan sambil memperhatikan Suro Bodong. Saat itu, Sultan berkata
kepada Suro Bodong
"Suro Bodong, dia bermaksud melamar Nyi Mas Sendang Wangi. Berarti dia harus berhadapan
denganmu dulu. Kalau dia bisa mengalahkan kamu dalam suatu pertarungan nanti, maka dia berhak
menjadi calon menantuku, menggantikan kamu."
"Aku setuju...!" jawab Suro Bodong. "Aku setuju kalau dia sebagai pemenangnya!"
"Hei, belum-belum kau kelihatan takut, Suro Bodong," kata Pangeran Sedayu. Ia tersenyum sinis.
"Aku bukan ayam jago. Aku tidak mau diadu!" kata Suro Bodong dengan tegas. "Apalagi kalau
harus diadu dengan ayam kate seperti dia," ia menuding Pangeran Sedayu. "Aku lebih baik menjadi
pihak yang kalah...!"
'Jangan lancing mulutmu, Suro Bodong!" geram Pangeran Sedayu yang langsung berdiri, tanpa
memikirkan bahwa ia berada di depan Sultan. Namun Sultan membiarkannya.
"Suro Bodong, sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu sampai tujuh robekan!"
"Jahitnya susah, tolol!" bentak Suro Bodong.
Pangeran Sedayu mendekati Suro Bodong yang saat itu sedang garuk-garuk kumis. Ia berdiri
sangat dekat dengan Suro Bodong. Tanpa takut ditampar sedikit pun. Bahkan ia berani menuding-
nuding Suro Bodong sampai telunjuknya menyentuh-nyentuh dada Suro Bodong.
"Kalau mau memperistri putri Sultan, ngaca dulu! Wajahmu tidak pantas berdampingan dengan
emban, apalagi dengan putri seorang Sultan yang sangat terhormat ini...." Pangeran Sedayu menunjuk
Sultan, mengambil hati. Lalu ia berkata lagi, "Kau ini siapa? Kau ini apa? Nyi Mas Sendang Wangi akan
menderita batuk-batuk sepanjang malam jika punya suami semacam kamu, tahu? Dia pantasnya
bersuami orang seperti aku. Kau tahu itu?!"
"Ambillah dia...! Tapi tolong... angkat kaki kananmu, jangan menginjak jempol kakiku dari
tadi...!" Suro tetap tenang, sekali pun beberapa orang ada yang tersenyum, termasuk Sultan sendiri.
"Kalau kau mau Nyi Mas Sendang Wangi, ambillah. Aku mengalah saja...!"
"Tidak bisa!" seru Sultan. "Harus dengan pertarungan!"
EMPAT
Tempatnya masih sama, di Bukit Cempaka juga, hanya saja agak ke kiri sedikit dari tempat dulu
Suro Bodong bertarung melawan Pendekar Tapak Setan. Sebetulnya Suro Bodong tidak mau. Benar-
benar tidak mau bertarung hanya untuk memperebutkan Nyi Mas Sendang Wangi. Ia takut akan terjadi
peristiwa yang menyesalkan, seperti tatkala ia bertarung melawan Tapak Setan.
"Rakyat sudah tahu tentang penantang baru: Pangeran Sedayu, dan mereka menyambut
gembira. Banyak yang menjagokan kamu, Suro," kata Ki Patih Danupaksi.
Itulah sebabnya Suro Bodong mau tak mau berangkat juga ke Bukit Cempaka pada waktu yang
telah ditentukan. Ia takut mengecewakan rakyat Kesultanan Praja. Ia ingat betapa geramnya rakyat
ketika dulu ia tidak mau bertanding melawan Pendekar Tapak Setan. Walaupun sebenarnya Suro
Bodong merasa mampu melawan rakyat apabila terjadi perang, tetapi rasa-rasanya itu tidak bijaksana.
Mereka hanya tahu, bahwa mereka mempunyai pujaan. Dan mereka tidak mau pujaan mereka jatuh
tanpa mempertahankan harga dirinya.
Seperti dulu lagi, rakyat banyak yang berjejer di kaki bukit. Mereka menunggu saat pertarungan
dimulai. Tetapi sebelum Suro Bodong naik ke bukit arena, terlebih dulu ia pergi ke makam Pendekar
Tapak Setan, walaupun pada saat itu Pangeran Sedayu sudah berdiri di tempat pertarungan, menunggu
Suro Bodong.
Suro Bodong berdiri di samping makam Pendekar Tapak Setan, di belakangnya ada dua orang
prajurit yang dulu pernah hendak memakamkan jenazah pendekar Tapak Setan, namun tidak jadi.
Dengan suara bebas, Suro Bodong berkata sambil menundukkan kepala:
"Pendekar Tapak Setan... aku ditantang sama Pangeran Sedayu. Ah, gara-gara kamu waktu itu
keras kepala, akhirnya aku jadi banyak musuh. O, ya... sebenarnya aku juga sudah menyerah dan
mengalah, tetapi agaknya Pangeran Sedayu tetap ngotot, dan kebetulan peraturan yang berlaku pun
tidak bisa berubah. Aku harus bertarung dengannya. Yah... mau tidak mau aku melayaninya, Setan. Kau
mau nonton? Ah, tapi tak usahlah. Aku tidak begitu niat melawan dia. Aku ingin pura-pura kalah...."
"Jangan, Tuan. Jangan pura-pura kalah...." sahut prajurit di belakangnya.
Suro Bodong menahan kejengkelan dan berpaling sedikit:
"Aku bicara kepada arwah, bukan kepada kamu, Tolol!" Lalu Suro Bodong menunduk lagi
seperti orang berdoa:
"Tapak Setan... kira-kira bagaimana menurutmu kalau aku pura-pura mengalah? Ketahuan apa
tidak, ya? Soalnya... terus terang, aku tidak tertarik dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Kalau aku menang,
nanti aku bisa jadi suaminya. Wah, repot. Aku tidak suka dengan perempuan lain. Apalagi anak Sultan,
biasanya kawin sama anak orang kaya, biaya hidupnya sehari-hari cukup mahal! Aku malas pusing-
pusing mencari biaya hidup buat anak orang kaya itu. Eh, tapi... jangan bilang siapa-siapa, ya? Ini aku
bicara hanya padamu, tidak pada orang lain. Kuminta kau bisa merahasiakan pandangan hidupku ini.
Nah, sampai di sini saja obrolan kita, walaupun aku tahu kau masih keras kepala untuk tidak mau bicara
padaku, tapi aku sudah lega jika sudah bicara padamu. Mudah-mudahan saja aku tidak ketahuan kalau
berpura-pura kalah. Doakan saja, ya...?"
Suro Bodong menepuk tanah kuburan itu tiga kali. Sayang yang ketiga ia terpaksa terpekik
kaget, karena waktu menepuk ternyata ada duri yang mencuat ke luar. Ia sempat menggerutu: "Brengsek
kau... lain kali jangan menaruh duri di sembarang tempat...!" kemudian ia pergi ke arena pertarungan.
Kali ini Ki Patih Danupaksi ikut hadir menyaksikan pertarungan tersebut. Ia berada di
rombongan punggawa negeri termasuk Demang Sabrangdalu, Eyang Panembahan, Kepala Keprajuritan,
beberapa menteri dan yang lainnya. Mereka semua ingin melihat sampai di mana kehebatan Suro
Bodong. Sebab waktu pertarungan dengan Tapak Setan, banyak punggawa negeri yang tidak ikut hadir
menyaksikannya, termasuk Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu.
Tapi kali ini Suro Bodong tidak ingin mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Suro Bodong ingin
berlagak kalah, supaya pencalonan dirinya sebagai menantu Sultan dibatalkan. Karena itu, sebelum
pertarungan dimulai, ia sempat berbisik kepada Pangeran Sedayu yang bertubuh tinggi, tegap, seperti
Pendekar Tapak Setan.
"Kalau kau ingin mendapatkan Nyi Mas Sendang Wangi, pukullah aku secara bertubi-tubi. Aku
akan pura-pura kelabakan. Kemudian tendang pinggang kiriku. Aku paling tidak tahan sakit kalau
pinggang kiriku kau tendang...! Dan nanti aku akan segera mengangkat tangan tanda menyerah!"
"Kau ingin mengecohku?! Mau main licik, ya?!" bentak Pangeran Sedayu dengan suara keras.
Tentu saja Suro Bodong merasa malu karena suara itu didengar oleh banyak orang, apalagi suara
tersebut memantulkan gema, sudah tentu orang yang melihat di ujung sana pun akan mendengarnya.
"Brengsek...! Jangan keras-keras kalau bicara," bisik Suro Bodong.
"Tidak," kata Pangeran Sedayu dengan suara semakin keras. "Aku tidak mau kau ajak
bersekongkol! Kau akan menipu Kanjeng Sultan, tipulah sendiri! Tapi aku tidak mau bekerjasama untuk
melakukan penipuan itu!!"
Merah muka Suro Bodong. Suara itu sangat keras dan sempat membuat Patih Danupaksi berdiri
dalam keadaan kaget. Semua orang pasti akan mengira Suro Bodong merencanakan suatu penipuan
untuk Sultan Jurujagad. Iih... malunya minta ampun, dia! Giginya menggeletuk dan dadanya panas,
seperti mau meledak. Apalagi pada waktu itu ada seorang penonton yang berteriak: "Siapa berani
menipu Kanjeng Sultan, akan kami bakar hidup-hidup...!!" Kata-kata itulah yang membuat Suro Bodong
menjadi benci kepada Pangeran Sedayu.
"Kau memang bajingan...!!" geram Suro Bodong dengan wajah memerah dan mata melotot.
"Hiaaaat..!!" Pangeran Sedayu tidak banyak bicara, langsung menyerang dengan tendangan kaki
kiri. Suro Bodong mengelak ke samping, tapi tangan Pangeran Sedayu yang memegangi keris pusakanya
mengayun ke depan menuju dada Suro Bodong.
Ujung keris hanya beberapa inci lagi menyentuh dada Suro Bodong. Dengan cepat Suro Bodong
menangkap tangan tersebut. Lalu memutarnya ke samping, kaki Suro bergerak selangkah menghadap ke
belakang, lalu dengan sekuat tenaga tubuh Pangeran Sedayu dibantingnya kuat-kuat. Sambil
membanting dia berseru:
"Kau memang tidak patut diberi hati...! Makan saja empedu... hiaaat...!!"
Sebenarnya Suro Bodong hanya ingin melampiaskan kedongkolannya atas suara Pangeran
Sedayu yang membuatnya malu. Sebenarnya Suro hanya ingin memberi pelajaran ringan kepada
Pangeran besar mulut itu. Tetapi, di luar dugaannya, ia telah membanting tepat pada sasaran. Tubuh
Pangeran sedayu melayang dan terhempas cepat ke bebatuan. Suro Bodong tidak tahu kalau di situ ada
batu runcing sebesar betisnya, dan ujungnya menyerupai ujung sebuah tembok. Di batu itulah tubuh
Pangeran Sedayu menancap kuat, hingga batu itu tembus dari punggung sampai ke dada.
"Aaakkhhh... aaakhh...!" Pangeran Sedayu berkelojotan, tak mampu berteriak lagi. Orang-orang
menjadi gaduh, masing-masing memekikkan jerit kengerian. Bahkan Ki Patih dan Demang Sebrangdalu
berdiri tegak dengan mata melotot dan mulut melongo. Pada saat itu juga, Suro Bodong terbengong-
bengong menyaksikan lawannya akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya terpanggang batu tajam yang
mengerikan. Ia sendiri sampai merinding melihat nasib Pangeran Sedayu.
Suara gaduh dari penonton menggaung seperti pawai lebah. Kasak kusuk terjadi pula di dalam
kelompok punggawa negeri. Tetapi seperti waktu lalu, Suro Bodong duduk di batu dengan lemas dan
wajahnya murung. Ia benar-benar shock melihat lawannya menemui ajal dengan singkat sekali.
"Saudara-saudara... dengarkan...!" kata orang yang membawa corong perak kusam. Ia berdiri tak
jauh dari mayat Pangeran Sedayu. Ia bicara dengan keras, seperti dulu, sewaktu Suro Bodong berhasil
membunuh si Tapak Setan.
"Seperti saudara-saudara ketahui... Pangeran Sedayu, mau tidak mau menancap dalam keadaan
seperti itu...! Jelas dia tidak mungkin mau melayani tantangan siapa pun, karena sudah mati. Maka,
dalam pertarungan ini, yang unggul adalah Suro Bodong...!!"
"Hidup Suro Bodong...!! Hidup Suro...! Hidup Bodooong...! Bodong-bodong hiduuuup...!!"
Mereka berteriak dalam sorak bersahut-sahutan. Ada yang berjingkrak-jingkrak, ada yang melonjak-
lonjak dan ada yang terinjak-injak. Semua memuji dan mengagungkan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong
masih tetap diam, termenung dengan wajah murung.
Panitia yang membawa corong itu bicara lagi, "Dan dengan ini, maka Suro Bodong masih berhak
menjadi calon utama menantu Kanjeng Sultan. Ia harus merobohkan dua penantangnya lagi. Jika dua
penantang sudah berhasil dirobohkan, maka... dialah yang berhak menjadi suami tercinta dari putri
dalem: Nyi Mas Sendang Wangi...!!"
Sorak penonton bersahut-sahutan. Para punggawa negeri kelihatan tersenyum gembira dalam
rasa kagum yang mewarnai wajah-wajah mereka. Eyang Panembahan menyongsong Suro Bodong
sewaktu Suro Bodong turun bukit dengan didampingi dua pengawal bersenjata lengkap.
"Gerakanmu begitu cepat dan hebat...!" ujar Eyang Panembahan seraya mengajak bersalaman
dengan Suro. Suro Bodong hanya tersenyum getir, ia garuk-garuk kumis sejenak. Seperti biasanya, ia
menolak untuk diangkut memakai tandu. Ia tak banyak bicara dalam perjalanan menuju dalem
Kesultanan. Ada rasa kecewa dan bingung.
Hatinya berkecamuk sendiri, "Pangeran itu mungkin orang gila...! Diajak kompromi yang
menguntungkan dirinya malah memilih mati! Konyol! Dan lagi, hanya dengan bantingan seperti itu saja
dia bisa mati. Heran aku...? Ah, dasar dia itu orang tolol. Jatuh saja memilih tempat yang runcing. Kurasa
hanya orang tolol yang mau jatuh di tempat batu seruncing itu...! Goblok...!"
Malam itu, Suro Bodong dipanggil Sultan berkaitan dengan kata-kata Pangeran Sedayu sebelum
mereka bertarung. Hadir di situ, selain para menteri, juga Ki Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu
yang menjadi saksi mendengarkan kata-kata Pangeran Sedayu. Eyang Panembahan juga ada, tetapi ia
hanya diam saja. Tenang.
"Suro Bodong...." kata Sultan. "Apa benar sebelum pertarungan kau membujuk Pangeran Sedayu
untuk melakukan penipuan terhadapku? Sebab menurut para saksi yang mendengar seruan Pangeran
Sedayu, kau gagal membujuk Pangeran Sedayu untuk bersekongkol menipuku. Benar begitu, Ki Patih?"
Ki Patih Danupaksi, "Benar, Kanjeng! Bahkan ada salah satu rakyat yang berteriak ingin
membakar hidup-hidup bagi siapa saja yang bermaksud menipu Kanjeng Sultan."
"Dan Demang Sebrangdalu juga mendengar?"
"Ya, saya mendengar, Kanjeng."
Suro Bodong menyahut, "Aku juga mendengar...!"
"Mendengar apa maksudmu?!" tanya Demang Sebrangdalu.
"Aku mendengar suaraku sendiri!" jawab Suro tegas.
"Jadi benar kau merencanakan penipuan padaku, Suro?!" tanya Sultan Jurujagad setengah heran
melihat kepolosan itu.
"Benar!" Suro Bodong tetap menjawab tegas.
Semua orang saling berbisik, dan Sultan menyuruhnya untuk tenang. Kemudian Sultan bertanya
lagi, "Apa maksudmu merencanakan penipuan itu? Dan penipuan seperti apa yang akan kau lakukan
bersama Pangeran Sedayu itu?"
"Saya usul, Kanjeng...." sahut seorang yang menjabat sebagai menteri Urusan Peradilan.
"Sebentar. Mungkin persoalan ini masih bisa kutangani sendiri, Kakang Luminto Wetan. Biarkan
Suro Bodong bicara dulu. Nah, Suro Bodong... bicaralah...!"
"Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada saya...." kata Suro Bodong
dengan bersungguh-sungguh. Berdirinya tegap, tangannya saling bertaut di bawah perut. Ia bicara bagai
seorang pranata cara yang membawakan kata sambutan di depan undangan. Tetapi yang jelas, ia
kelihatan cuek, tak peduli orang menyukai gayanya atau tidak.
"Semua tuduhan itu, kuakui! Bahkan kalau tidak ada tuduhan seperti ini, aku yang akan
menuduh betapa teledornya pejabat Kesultanan ini terhadap kerawanan semacam itu. Aku memang
merencanakan menipu Sultan. Aku berkata kepada Pangeran Sedayu, bahwa aku akan berlagak kalah.
Kusuruh dia memukulku, secara bertubi-tubi, dan nanti aku akan pura-pura kewalahan. Sebagai titik
akhir, dia kusuruh menendang bagian tubuhku yang termasuk rawan, di mana kalau aku ditendang di
bagian tubuh itu, maka aku akan merasa sangat kesakitan. Lalu aku akan menyerah, kalah..."
"Maaf," kata seorang menteri memotong kata-kata Suro.
"Maksudmu di bagian tubuh mana yang kau suruh menendang Pangeran Sedayu itu? Tolong
sebutkan secara jelas: di kaki, atau di kepala, atau di perut, atau di mana?"
"Itu rahasia pribadi. Kau tidak bisa memancingku untuk mengetahui kelemahanku, melalui
pertanyaan orang tolol seperti itu. Tidak bisa! Aku lebih pintar dari kamu. Kamu menjadi menteri juga
berdasarkan kasihan saja! Kalau kamu mau tahu kelemahanku, tanyakan kepada almarhum Pangeran
Sedayu...!"
"Sebaiknya teruskan pangakuanmu, Suro Bodong," tegur Sultan Jurujagad.
"Baik, tapi aku tidak mau kata-kataku dipotong oleh suara jangkrik seperti tadi. Nah, jadi
kuteruskan.... Aku membujuk Pangeran Sedayu begitu, supaya orang tahu kalau aku kalah dengannya.
Dengan kalahnya aku, maka dialah yang akan menjadi calon menantu Sultan, dan aku mendoakan
supaya dia bisa merobohkan ketiga penantang berikutnya. Aku senang kalau Nyi Mas Sendang Wangi
berhasil menikah dengannya. Tetapi, rupanya Pangeran Sedayu orang berotak kodok, sehingga dengan
menyerukan rencana itu, ia akan dianggap punya kesetiaan terhadap Sultan Praja. Dan hal itu membuat
aku naik pitam. Lalu, dengan geram kulemparkan tubuhnya yang nyaris membunuhku dengan keris.
Aku paling jijik melihat keris. Tetapi aku tidak sengaja membunuhnya. Berani sumpah, aku tidak pernah
menyuruhnya untuk jatuh di atas batu runcing. Itu pilihannya sendiri. Sungguh!"
Ada beberapa orang yang tersenyum geli termasuk Eyang Panembahan, namun mereka tidak
berani tertawa. Suro Bodong sendiri tetap tenang, tanpa senyum. Seakan ia mengemukakan semua itu
dengan bersungguh-sungguh. Dia tak sadar kalau ada kata-katanya yang bisa dianggap menyimpang
dan mengandung kelucuan.
"Suro, kenapa kau lakukan hal itu? Kenapa kau seakan ingin menghindar dari kami?" tanya
Sultan Jurujagad.
"Aku... aku tidak mau diadu-adu seperti ayam. Apalagi taruhannya hanya perempuan, aku
merasa rendah. Harga diriku jatuh di bawah harga sekilo beras. Dan lagi... aku tidak berminat kawin
dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Bukan soal aku menghina dia; toh aku belum melihat cantik atau
tidaknya Nyai Mas Sendang Wangi itu. Tetapi, terlepas dari hal itu, aku sendiri mempunyai perempuan
idaman. Aku punya kekasih, dan punya niat kawin dengannya. Tetapi.. tetapi... dia tidak ada...." Suro
Bodong mengangkat bahu sambil membuka telapak tangannya.
"Dia tidak ada...!"
"Tidak ada bagaimana?"
"Pergi!" jawabnya cepat. "Entah pergi ke mana. Aku tidak tahu. Dan selama ini aku berkelana
untuk mencarinya. Aku cinta sekali sama dia. Karena itu aku mencarinya. Karena itu aku tidak mau
bermesraan dengan perempuan lain. Karena itu aku cemas kalau sampai tiba saatnya aku dikawinkan
dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Karena itu... yah... karena itulah aku mengajak Pangeran Sedayu untuk
menipu."
"Siapa nama kekasihmu itu?" tanya Sultan Jurujagad.
"Ratna Prawesti...! Orangnya cantik dan menggairahkan. Ia putri seorang bupati di kabupaten
Jangga. Apa kalian di sini ada yang melihatnya? Atau mungkin mendengar namanya? Kalau mendengar
namanya dan tahu di mana ia tinggal, tolong bantu aku...! Mungkin seumur hidup aku mau membantu
kalian."
"Ratna...? Ratna Prewesti...?" Sultan Jurujagad menggumam dan berpikir keras, juga yang
lainnya, sehingga ruang pertemuan itu penuh dengan gumam menyebut nama Ratna Prawesti. Suro
Bodong diam, garuk-garuk kumis. Sengaja ia memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat-
ingat nama itu. Ia berdiri disuatu sudut dan bersandar pada tiang dengan salah satu kaki ditekuk,
menjejak tiang tersebut. Santai sekali, sementara yang lain berkerut-kerut dahi memikirkan nama itu.
Malah ada yang mengobrolkan nama tersebut.
Persoalan tuduhan terhadap Suro Bodong itu dihapuskan oleh Sultan. Masalahnya sudah
diketahui, dan tujuannya bukan semata-mata ingin merugikan Kesultanan. Justru sekarang Sultan
sendiri sangat prihatin memikirkan nasib Suro Bodong yang berkelana terus-menerus mencari
kekasihnya.
Suro Bodong sendiri tidak begitu girang ketika diketahui persoalan soal rencana penipuan itu
dihapuskan. Yang ia harapkan bukan itu, melainkan pembatalan calon menantu itu yang ditunggu-
tunggu. Tetapi menurut Eyang Panembahan, ketika mereka bicara di depan kamar Suro Bodong:
"Keputusan Kanjeng Sultan adalah wasiat bagi rakyat. Tak dapat dibatalkan lagi. Apa pun yang
terjadi nantinya, kau tetap calon menantu. Tinggal menunggu dua pelamar yang akan menjadi dua
penantang bagimu. Kalau kau berhasil menggulingkan dua penantang itu, maka kau akan menjadi
suami Nyi Mas Sendang Wangi, tetapi kalau kau gagal, kau baru bisa dicoret dari daftar calon menantu
Sultan."
"Ah, itu terlalu menyiksa jiwa, Eyang. Aku tidak bisa berpura-pura kalah. Aku takut kalau
mengajak lawan bekerjasama, nanti dikira mau menipu pemerintahan di sini! Aku mau lari saja dari sini,
ya?"
"Kau akan dikejar sampai kami menemukan kamu dan menghukum kamu. Eh, dengar, ya...
rakyat di sini sangat mencintai Sultannya. Mereka akan marah besar kalau Sultannya dikecewakan.
Karena itu, hati-hatilah terhadap mereka. Mereka itu fanatik terhadap Sultan. Sangat menjunjung tinggi
dan bahkan boleh jadi sangat mendewakan Sultannya."
Suro Bodong bersungut-sungut, "Yaah... tapi kenapa aku yang menerima nasib buruk ini?"
"Nasib buruk bagaimana? Kau akan dikawinkan dengan Nyi Mas Sendang Wangi, lalu
didudukkan sebagai Pangeran muda yang mempunyai wilayah sendiri di sebelah Selatan. Itu kan
sesuatu yang baik, yang didambakan oleh semua lelaki. Buktinya sudah banyak pelamar yang mencoba
memenuhi persyaratan itu."
Desah meluncur dari mulut Suro Bodong. Ia masih bersungut-sungut, menampakkan
ketidaksukaannya terhadap rencana itu. Ia berkata dengan menggerutu:
"Lalu bagimana dengan Ratna Prawesti.... Kasihan dia...!"
Eyang Panembahan tersenyum sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, tetapi kelihatan
bersungguh-sungguh:
"Ratna Prawesti itu tidak ada...!"
Suro Bodong cepat berpaling memperhatikan Eyang Panembahan. Saat itu. Eyang Panembahan
segera berkata:
"Kau tidak sadar selama ini."
"Tidak sadar bagaimana?"
"Otakmu terganggu sejak pertarungan dengan Ratu Iblis Sejagad. Kau hanya terbayang-bayang
raut wajah cantik yang kau beri nama Ratna Prawesti. Tetapi sebenarnya perempuan itu tidak ada!"
"Eyang jangan menyinggung perasaan saya...!" ketus Suro.
"Ini kenyataan! Aku melihat lewat indra ke tujuhku, tak ada perempuan yang bernama Ratna
Prawesti. Dan aku kenal dengan bupati Jangga yang bernama Gusti Raden Probo...."
"Itu orang tua Ratna Prawesti!" sahut Suro Bodong cepat.
Tetapi Eyang Panembahan menggeleng. "Gusti Raden Probo tidak mempunyai anak perempuan
satu pun. Semua anaknya laki-laki, dan mereka sekarang telah tewas semua dibantai oleh Gerombolan
Topeng Setan...!"
"Iya, ya... benar. Tapi...? Tapi Ratna Prawesti...!"
"Kau dibayang-bayangi oleh impianmu, Suro. Ratna Prawesti itu tidak ada. Ia hanya muncul
dalam khayalan dan impianmu. Percayalah...! Aku tidak akan menipumu. Karena kalau aku menipu satu
kali, maka aku akan punya kebiasaan berbohong kepada siapa pun, dan itu aku tak suka"
Suro Bodong tetap membantah, bahwa Ratna Prawesti itu ada. Ia sering hadir, dan sering
berkencan dengan Suro Bodong. Suro menceritakan ciri-ciri yang ada pada Ratna Prawesti:
"Bertubuh lencir, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang. Aku paling suka melihat matanya
yang bulat, bening dan sangat meneduhkan had. Bibirnya semerah delima merekah. Kelihatannya bibir
itu selalu basah dan menawan. Dan Eyang tahu... kalau dia tersenyum, ada lesung pipit di pipinya, itu
yang membuat aku terkagum-kagum dengannya. Ia mempunyai hidung yang bangir, indah. Enak
dicubit dalam kegemasan. Dadanya, Eyang... wwoow...! Dadanya padat berisi, sangat menantang
darahku! Ia selalu mengenakan binggel, gelang kaki dari perak kecil, bermata batu merah delima, serasi
sekali dengan betisnya yang merit mengagumkan...."
"Aku tahu...! Aku tahu, perempuan itu pasti sangat cantik, dan sangat memikat setiap pria..."
"Benar! Benar sekali, Eyang...! Wah, rupanya Eyang juga masih punya selera muda, ya?"
"Bukan soal aku masih berselera muda, tapi pada umumnya khayalan seorang lelaki pasti akan
seperti itu. Ia mengidamkan perempuan sesuai dengan seleranya. Repotnya bagi kamu, idaman itu telah
menyiksa jiwamu, sehingga kau beranggapan bahwa perempuan itu sungguh-sungguh ada. Aku yakin,
kau adalah seorang lelaki yang mempunyai daya khayal cukup kuat. Itu mungkin akibat ayahmu terlalu
sering menempamu dengan ilmu’ Saptaraga’...!"
"Ilmu apa itu? Aku baru mendengarnya, Eyang...!"
"Kau memang lupa dengan nama itu, tapi kau pasti bisa melakukannya. Ilmu ‘Saptaraga’ itu
adalah memecah diri menjadi tujuh rupa. Jadi kau bisa berubah sampai tujuh kali wajah dan bentuk
tubuh...."
"Ooo... iya, ya, ya... aku ingat. Aku menamakan ilmu itu dengan sebutan jurus ‘Luing Ayan’.
Kalau aku bersalto di udara satu kali, aku akan berubah menjadi Suro Bodong seperti sekarang ini. Kalau
aku bersalto dua kali, akan menjadi ujud lain, dan begitu terus, sampai yang ketujuh. Kalau aku bersalto
tujuh kali tanpa menyentuh tanah, maka aku akan menjadi sosok pendekar Panji Bagus. Ya, ya... aku
ingat itu. Cuma namanya kuganti Luing Ayan-1, Luing Ayan-2, Luing Ayan-3... dan seterusnya."
"Itu akibat dari tujuh roh yang masuk dalam ragamu, ketika kau lahir dalam keadaan hampir
mati. Dan tujuh roh itu, adalah bekas teman dekat ayahmu, yang mati dalam suatu pertempuran. Mereka
tetap ingin bersatu dengan ayahmu sehingga mereka masuk dalam ragamu, sebagai titisan dari ketujuh
roh itu."
Suro geleng-geleng kepala keheranan. "Eyang benar-benar hebat! Bisa mengetahui apa yang
tidak kuketahui."
"Itu karena indra ketujuhku bekerja dengan sempurna."
"Bagaimana untuk memperoleh indra ketujuh itu, Eyang?!"
"Itu mudah. Tapi sulit. Indra ketujuh ada pada dirimu, tapi sulit untuk melatih
menggunakannya."
Suro Bodong manggut-manggut. Matanya memandang ke arah taman di seberang kamarnya.
Pada saat itu, ia sempat melihat seorang perempuan berjalan dari taman keputren ke ruang utama
Kesultanan. Mulut Suro Bodong jadi terbengong melihat perempuan itu lewat di seberang sana, melalui
taman berkolam air mancur itu, dengan diiringi beberapa emban dan pelayan lainnya.
Saat itu, tanpa disadari Suro Bodong berdiri cepat dengan mata masih melebar. Ia seperti terkejut
melihat apa yang dipandangnya. Eyang Panembahan sedikit heran melihat perubahan sikap Suro dari
tenang menjadi tegang.
"Ada apa...?" tanya Eyang Panembahan.
Mulut Suro menggeragap, sulit bicara. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah perempuan yang
diiringi para emban itu.
"Ya," Eyang Panembahan mengangguk. "Dia adalah Nyi Mas Sendang Wangi. Kenapa?"
"Bu... bukan...!" Suro menggeragap. "Did... did... dia... dia itulah... Ratna!"
Eyang Panembahan memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Ia bingung mendengar kata-
kata Suro Bodong.
"Dia... dia betul. Ratna Prawesti...! Ya, Ratna...!"
Nafas Suro Bodong terengah-engah. Ia hendak menghambur ke arah ruang utama Kesultanan,
tetapi Eyang Panembahan segera menarik tangannya.
"Bukan Suro! Dia Nyi Mas Sendang Wangi, calon istrimu nanti jika kau berhasil...."
"Maksudku... seperti itulah Ratna. Seperti Nyi Mas Sendang Wangi. Sungguh! Sumpah...!"
Tegang sekali Suro kelihatannya sehingga Eyang Panembahan semakin tertarik dengan masalah itu.
"Maksudmu, Ratna Prawesti seperti Nyi Mas Sendang Wangi? Begitu?"
Suro mengangguk-angguk seperti orang bego. "Aku... aku ingin melihatnya lebih dekat...!
Tolong, aku ingin melihatnya, apakah dia Nyi Mas atau Ratna?!"
Eyang Panembahan menggumam dan berpikir sejenak. Kemudian menarik tangan Suro dan
melangkah ke ruang utama Kesultanan. Saat itu, Eyang sempat berkata, "Nyi Mas baru boleh keluar dari
ruang semadinya hari ini. Jadi, maklum saja kalau kau baru bisa melihatnya sekarang."
Nyi Mas Sendang Wangi menghadap ayahandanya, Sultan Jurujagad. Ketika Suro hendak
menghadap, dia diminta menunggu beberapa saat. Setelah Eyang Panembahan menghadap lebih dulu,
barulah Suro dipanggil untuk masuk ke ruang utama Kesultanan.
Suro Bodong semakin membelalakkan mata tak berkedip ketika ia memandang Nyi Mas
Sendang Wangi dalam jarak enam langkah. Jantungnya berdetak-detak, dan bibirnya gemetar. Dua
pertanyaan Sultan tak dihiraukan, sebab dia tidak menyadari kalau dia berada di depan seorang raja.
Tetapi Sultan Jurujagad yang arif itu hanya tersenyum geli melihat sikap Suro Bodong seperti anak
ingusan melihat intan sebesar kucing.
"Astaga...!" Suro Bodong menggumam dalam desah setelah Eyang Panembahan menepak
punggungnya. "Eyang, persis sekali, Eyang. Dia persis dengan Ratna Prawesti kekasihku. Sungguh dan
sumpah, Eyang...!"
Sultan Jurujagad tersenyum-senyum, sedangkan Nyi Mas Sendang Wangi hanya berwajah
merah. Senyumnya tipis dan sikapnya tenang sekali. Ia mengenakan kain pinjung sebatas dada berwarna
hijau bludru, berhias renda-renda emas. Dadanya yang padat tersumbul itu sungguh menambah
keindahan sosok tubuh sang idaman. Kulitnya kuning langsat, hidungnya bangir. Persis seperti hidung
Ratna Prawesti. Bibirnya juga kelihatan mungil, segar, semerah delima merekah dan selalu basah.
Matanya membelalak, bening dan meneduhkan hati yang memandang. Bulu matanya lentik, seperti
milik Ratna Prawesti. Rambutnya panjang sebatas pinggang, disisir ke belakang, di kanan kiri rambut
diberi penjepit emas, dan ia pun mengenakan semacam mahkota kecil di ujung keningnya yang terbuat
dari emas permata. Hanya saja, Nyi Mas mempunyai tubuh lebih sekal, memang tidak selangsing Ratna
Prawesti, namun mempunyai keistimewaan sendiri pada bagian pinggulnya yang menggiurkan itu. Nyi
Mas tidak mengenakan gelang kaki dari perak bermata merah delima. Tetapi, Nyi Mas Sendang Wangi
ini juga mempunyai lesung pipit jika tersenyum lebar. Manis. Apalagi ditambah tahi lalat sebesar biji
tomat di ujung dagu kirinya, woow... ia menjadi lebih indah dan lebih cantik lagi. Andai tanpa tahi lalat
itu, ia akan serupa betul dengan Ratna Prawesti. Hal inilah yang membuat Suro Bodong berdebar-debar
sejak tadi.
LIMA
Seorang prajurit mengantarkan pakaian baru kepada Suro Bodong. Baru kali ini Suro Bodong
merasa perlu mengganti pakaiannya. Biasanya kalau tidak robek, dia tidak ingin ganti pakaian. Dan
kebetulan permintaannya dikabulkan oleh bagian kepala rumah tangga Kesultanan. Ia dibelikan pakaian
baru, tetapi tetap saja warnanya merah dan celana biru tua. Potongannya tetap sama. Hanya saja jenis
bahannya jauh berbeda. Kali ini Suro Bodong mengenakan pakaian dari bahan satin yang lebih halus dan
menawan.
Ia mandi dengan bersih dan mengatur rambutnya dengan bantuan seorang pelayan. Seharian
tadi dia telah mencuci rambutnya dengan bersih dan telah diasapi dengan asap setanggi yang harum
baunya. Ikat kepalanya tetap merah, sekalipun dari kain yang masih baru, namun bukan terbuat dari
satin. Kumisnya dipotong rapi oleh seorang pelayan yang bertugas melayani dia. Ia kelihatan lebih rapi
dan lebih bersih ketimbang biasanya. Cuma sayang, ia masih belum mau mengancingkan bajunya
sehingga perutnya dibiarkan terbuka. Bulu-bulu dadanya kelihatan jelas seperti bulu bambu wulung
yang hitam.
Hari ini, ia sudah merencanakan pertemuan dengan Nyi Mas Sendang Wangi untuk saling
mengenal pribadi. Mereka bertemu di taman setelah melalui izin Sultan. Suro Bodong merasa bagai ingin
bertemu dengan Ratna Prawesti. Karena itu, ia harus mengatur penampilannya. Seorang pelayan
menegurnya dengan hati-hati ketika Suro meminta jagung bakar. Katanya: "Tak baik bertemu dengan
seorang putri harus membawa jagung bakar. Nanti mengecewakan dia, Tuan."
"O, begitu, ya? Baiklah tak usah saja...!" Suro Bodong melangkah ke taman, tapi sebelumnya ia
sempat berbisik kepada seorang juru taman, "Pak, apakah aku sebaiknya berjalan dengan munduk-
munduk, sedikit bungkuk, atau dengan tegap?"
"Biasanya, untuk menghadap seorang putri, Tuan harus bisa memperlihatkan ketegarannya. Jadi
harus berjalan dengan tegap. Dadanya sedikit maju, biar kelihatan gagah."
Suro Bodong mengikuti saran tersebut. Eyang Panembahan hanya memandang dari kejauhan
dengan senyum tipis. Suro Bodong tidak peduli dengan beberapa mata yang diam-diam
memperhatikannya. Ia berjalan dengan dada dibusungkan. Namun baru beberapa langkah, juru taman
segera menegurnya dengan hati-hati:
"Ssst... Tuan, jangan terlalu membusung, malah seperti orang sakit encok...!"
Kemudian Suro Bodong mengurangi gaya busungnya. Kini ia berjalan tegap dan juru taman
tersenyum. Ketika Suro Bodong melirik, juru taman mengacungkan jempol seraya tersenyum manggut-
manggut. Namun di luar dugaan, kaki Suro Bodong menendang pot bunga dan ia terpelanting. Juru
taman dan beberapa orang terpekik, termasuk Nyi Mas. Namun kemudian mereka tertawa lega, karena
Suro Bodong tak jadi tersungkur ke tanah, walaupun ia menjaga keseimbangan dengan gaya membuka
satu jurus tendangan maut. Ia kembali bersikap biasa, merapikan bajunya sebentar dan berjalan
menemui Nyi Mas Sendang Wangi.
"Aku khawatir Kakang Suro akan terpelanting jatuh tadi," kata Nyi Mas Sendang Wangi. Tetapi
mulut Suro Bodong bagai mengulum perekat, sehingga tidak bisa bicara. Ia hanya cengar cengir sambil
garuk-garuk kumis. Ia sangat gemetar, karena perempuan yang dihadapinya ini lain dari yang lain.
Perempuan itu memiliki kesamaan dengan Ratna Prawesti, sehingga ia menjadi grogi karena seakan
sudah menemukan apa yang dicari selama ini. Sebagian hatinya menganggap ia bertemu dengan Ratna
Prawesti, sebagian hatinya lagi beranggapan bahwa yang dihadapinya itu adalah orang lain yang baru
dikenalnya.
"Duduklah, Kang Mas...." kata Nyi Mas Sendang Wangi seraya ia duduk pada kursi taman yang
terbuat dari batu manner putih, juga dengan mejanya yang putih marmer halus.
Suro Bodong serba salah, kikuk. Ia kebingungan. Sendang Wangi berkata lagi, "Duduklah,
jangan sungkan-sungkan. Ayah telah mengizinkan kita bertemu, bukan?"
"He, eh...!" jawab Suro mengangguk dan masih kikuk. Ia mau duduk di samping Sendang Wangi,
tapi tak jadi. Ia lebih enak duduk di depannya saja. Tapi itu pun tak jadi, ia grogi kalau dipandanginya
nanti. Maka ia duduk di samping kiri wanita cantik itu, sekali lagi ia batalkan, sampai akhirnya ia
bertanya sendiri:
"Aku harus duduk di mana, ya?"
Sendang Wangi menertawakan dengan tawa yang mengikik geli, sementara orang-orang yang
memperhatikan adegan itu dari kejauhan juga menutup mulut mereka agar tak terlepas tawanya.
Suro Bodong akhirnya duduk di depan Sendang Wangi.
"Kang Mas Suro suka anggur? Maksudku buah anggur?"
"Buah anggur? Hemm... ya, suka!" jawab Suro Bodong sekalipun ia belum pernah melihat seperti
apa buah anggur yang ada di depannya itu.
"Ambillah buah anggur untuk menyegar rasa," kata Sendang Wangi. Suro Bodong segera berdiri
dan hendak pergi menemui juru masak untuk mengambilkan buah anggur. Tetapi Sendang Wangi
segera bertanya, "Mau ke mana, Kang, Mas?"
"Mau... mau ke sana...." ia menunjuk dapur. "Mau... mau mengambil buah anggur...."
"Ini buah anggurnya!" Sendang Wangi menuding keranjang buah termasuk ada buah anggur
yang berwarna hitam bening. Suro Bodong tersipu malu. Namun ia beralasan,
"Maksudku mau mengambil buah anggur yang masih baru. Aku lihat di dapur ada buah anggur
yang masih baru."
"Ah, ini juga buah anggur baru."
"O, ya... itu juga baru, ya?" kemudian Suro Bodong kembali duduk di depan Sendang Wangi
sekalipun ia ditertawakan oleh perempuan cantik itu.
"Celaka... kenapa aku jadi gemetaran sekali?" katanya di dalam hati. "Padahal aku ingin
ngomong banyak dengannya, tapi... sial! Mulutku seperti makan getah nangka! Sulit dibuka!"
Sendang Wangi mengambil sebutir buah anggur yang masih bertangkai. Kemudian ia
menyodorkan ke mulut Suro Bodong. Gerakannya begitu lembut dan membuat Suro Bodong
memandang penuh kebengongan.
"Terimalah anggurku yang sederhana ini...." kata Sendang Wangi berbahasa isyarat. Sebenarnya
itulah cara seorang putri menyajikan cinta kepada sang kekasih.
Tetapi, Suro Bodong tidak mengenal cara seperti itu. Ketika mulutnya disodori buah anggur, ia
segera menampelnya seraya berkata:
"Aku bukan bayi lagi yang makan perlu disuapi!"
Sendang Wangi terkejut dan menjadi kecewa. Ia berdiri memandang Suro Bodong dengan geram
kemarahan. Sedangkan Suro Bodong berdiri juga memandang geram karena merasa dirinya dianggap
seperti anak kecil yang makan anggur saja hams disuapi.
"Aku tahu kau anak Sultan, tapi aku tidak suka kalau kau menganggapku kecil! Aku mampu
menjadi dewasa, tahu?! Aku sudah biasa makan tiga bungkus nasi pecel tanpa disuapi, apalagi hanya
sebutir buah anggur seperti ini!"
"Kau bodoh! Dungu...!"
"Sekali lagi bicara, kutampar kau!"
"Tamparlah...! Ayo; tamparlah...!!"
"Kau tidak cocok jadi istriku! Istriku adalah perempuan yang lebih suka minta dicium, daripada
minta ditampar!"
"Aku juga...! Aku..." Sendang Wangi segera berlari sambil menangis, ia menuju ke dalem
keputren bersama emban. Sedangkan Suro Bodong yang berang hanya menghempaskan nafas sambil
pergi meninggalkan tempat itu. Juru taman tak berani menegurnya. Eyang Panembahan juga
membiarkan Suro berjalan melaluinya dan masuk ke kamarnya, membanting pintu. Saat itu, seorang
prajurit yang berjaga di samping pintu terlonjak kaget mendengar pintu dibanting keras.
"Setan...!!" teriak Suro Bodong di kamar. Prajurit itu segera membuka pintu dan melongokkan
kepala:
"Tuan memanggil saya...?!"
Suro Bodong semakin geram. Dia mencaci maki sendiri, disangka memanggil orang itu. "Apa
kau setan?!"
"Bukan. Seingat saya bukan, Tuan."
"Aku berseru: Setan! Bukan memanggilmu!"
"Ooo... maaf. Nama saya Sokan, saya mendengarnya tadi Tuan menyebut Sokan, jadi...."
"Pergi sana! Lekas...!!" teriak Suro jengkel sekali.
Hari-hari dilalui dengan kemurungan. Suro Bodong tidak mau diajak bicara soal Nyi Mas
Sendang Wangi. Ia berkata di depan Sultan:
"Aku tidak cocok dengannya! Dia kasar...!"
"Kalian perlu saling menyesuaikan diri. Hanya itu yang kalian butuhkan," kata Sultan baik
kepada Suro Bodong maupun kepada putrinya sendiri.
Ketika di kamar, Suro Bodong juga mendapat nasihat serupa dari Eyang Panembahan.
"Itulah perlu kalian diberi waktu untuk saling mengenali pribadi masing-masing."
"Aku sudah kenal pribadinya! Keras! Meremehkan aku! Dan aku tidak mau beristrikan dia! Aku
malas bertengkar dengan perempuan!"
"Kau salah paham terhadap sikapnya, Suro!"
'Terserah," jawab Suro. "Mau salah paham atau salah kaprah, tapi aku tidak suka. Aku mau
pergi! Pergi mencari Ratna Prawestiku!"
Sejenak Eyang Panembahan menghela nafas dan geleng-geleng kepala. Ia merasa bukan saatnya
untuk melunakkan hati Suro Bodong. Ada saatnya sendiri untuk itu.
Tetapi, agaknya hati Suro sudah tidak mau diajak kompromi. Ia harus keluar dari dalem
Kesultanan dan meninggalkan segala masalah di situ. Ia lebih baik kembali berkelana mencari Rama
Prawesti.
Sayang, sore itu ada dua tamu yang menghadap Sultan Jurujagad. Mereka adalah kakak beradik,
yang usianya tak terpaut banyak. Waktu itu, Suro Bodong sedang dipanggil Sultan untuk diberi
wejangan lain. Suro sudah jemu mendengar berbagai nasihat, maka ketika ada dua orang tamu, dia
merasa lega. Itu pertanda ia akan bebas wejangan dari Sultan maupun dari Eyang Panembahan.
Kedua orang itu maju ke depan setelah diizinkan pleh Sultan Jurujagad. Mereka berpakaian
serba rapi, yang satu berpakaian rompi kuning dan celana kain merah. Mengaku bernama Wreda, sedang
yang satu berpakaian rompi biru dan celana biru juga, mengaku bernama Bayutama.
"Apa keperluanmu ke mari, Ki Sanak..?" tanya Sultan dengan sikap ramahnya.
Bayutama menjawab, "Kami ingin melamar Nyi Mas Sendang Wangi, Kanjeng."
"Untuk siapa?"
"Untuk kami berdua..."
Mata Sultan membelalak, demikian juga yang lain. Mereka saling pandang. Eyang Panembahan
berkata kepada kedua tamu itu:
"Itu tidak mungkin. Nyi Mas Sendang Wangi hanya satu orang, sedangkan kalian dua orang.
Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak? Kami sudah sepakat untuk memakainya bersama...!" jawab Wreda dengan
lantang dan tampak sombong.
"Ini suatu penghinaan, Kanjeng," kata patih Danupaksi.
"Siapa bilang?" sanggah Wreda. "Bukankah tidak ada peraturan untuk dua orang melamar
bersama?"
"Memang tidak ada," jawab Ki Patih. "Tetapi secara umum seorang lelaki melamar untuk seorang
wanita. Bukan dua lelaki untuk satu wanita. Kau pikir siapa Nyi Mas itu? Perempuan tak bersusila? Oh,
salah! Kalau kalian menduga begitu salah besar, Ki Sanak!"
"Itu menurut Anda, Ki Patih. Tetapi menurut kami, Nyi Mas akan bangga mempunyai dua suami
yang siap di sampingnya setiap saat," kata Wreda. Dan Bayutama menyambung:
"Dan kami berdua siap menghadapi manusia dungu yang bernama Suro Bodong. Menurut
kabar, dialah yang kini menjadi calon menantu Sultan Jurujagad. Keluarkan dia, dan kami akan
menghajarnya sekarang juga...!"
Suro Bodong berkata dengan tenang, "Sebaiknya kalian berdua keluar dulu ke alun-alun, nanti
biar Suro Bodong menyusul kalian ke sana."
"Setuju!" kata Wreda. Ia bicara kepada Bayutama, "Setuju saja, ya Kang? Yang penting kita
buktikan bahwa kesatuan ilmu kita dapat melumpuhkan orang sehebat apa pun!"
Bayutama berkata kepada Sultan, "Ya. Kami mohon parnit, Kanjeng Sultan. Kami tunggu Suro
Bodong di alun-alun sekarang juga...!!"
Sultan tidak bisa bicara, tertegun mendengar Nyi Mas akan dijadikan istri oleh dua lelaki, dan
akan dicumbu bersama-sama. Malu sekali wajah Sultan jika hal itu benar-benar terjadi.
"Suro Bodong...." kata Sultan setelah beberapa saat. "Kau akan menghadapi mereka sekarang
juga?"
"Tidak. Aku hanya ingin mengenalkan diri dan memberi sedikit pelajaran agar mereka tahu
adat!"
"Bawalah pusaka Tombak Kyai Pancasona milikku. Kau kuizinkan menggunakannya untuk
kedua orang itu!"
Suro Bodong melangkah ke luar seraya berkata, "Untuk menghajar orang seperti mereka, tidak
perlu memakai tombak...!"
"Suro Bodong, tunggu...! Mereka membawa senjata yang bisa membahayakan keselamatanmu!"
seru Ki Patih, tetapi Suro Bodong tetap melangkah tanpa berpaling.
Mulanya tak banyak orang berkumpul di alun-alun. Tapi setelah seorang yang bertugas
mengumumkan acara seperti itu berseru dengan corong perak kusam, maka rakyat pun mulai
berdatangan ke pinggir alun-alun yang ada di depan dalem Kesultanan.
Sultan Jurujagad hadir di tepian alun-alun, didampingi para punggawa negeri lainnya.
Sekalipun mereka dan Suro Bodong berada di tengah alun-alun, namun penonton dapat melihat dengan
jelas, karena alun-alun itu sendiri tidak begitu lebar.
Suro Bodong berdiri di depan dua orang kakak beradik itu. Wreda yang pertama kali bertanya:
"Mana orang yang bernama Suro Bodong?!"
"Aku sendiri...!" jawab Suro tenang. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
"O, kukira yang bernama Suro Bodong itu orangnya cukup tampan. Ternyata...."
"Ternyata memang tampan, bukan?" sahut Suro Bodong. "Hanya orang yang matanya rusak
yang tidak melihat aku sebagai orang tampan."
Kedua lawannya menyeringai sinis, mentertawakan dalam nada menghina. Suro Bodong masih
tenang, kakinya terentang, tegap dan tegar.
"Baik, kalau begitu kau harus berhadapan dengan kami. Hati-hatilah kau, Suro Bodong...!"
"Sebaiknya kalian saling mengingatkan begitu. Karena hari ini, aku sedang marah. Aku jengkel.
Dan aku ingin membunuh orang! Siapa saja. Syukur kalau bisa... kalian!"
"Serang dia...!!" teriak Bayutama seraya melompat dan menendang ke depan. Suro Bodong
meliukkan badan ke belakang. Jika tidak maka dagunya akan terangkat ke atas dalam satu tendangan.
Wreda menyerang dari arah kiri. Tangannya menggenggam dan dihantamkan ke pelipis Suro
Bodong. Suro menangkis dengan kibasan tangan kiri ke belakang. Kaki kirinya cepat menyodok ke perut
Wreda dengan posisi badan merunduk ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba Bayutama menendang wajah Suro dengan keras,
"Hiaaat...!!"
Suro Bodong terpelanting dan berguling-guling. Bayutama menyusul dengan beberapa gulingan
dan berhenti tepat di kaki Suro Bodong, ia mencabut pedangnya, kemudian menghantamkan pedang itu
di kaki Suro Bodong. Dengan cepat Suro Bodong menarik kakinya, lalu menghentakkan ke depan lagi
dengan kecepatan tinggi. Tendangan yang mengagetkan tepat mengenai hidung Bayutama.
"Aaoow...! Bangsat, kau...!!" Bayutama menjerit kesakitan sambil berguling menjauh. Suro
Bodong mendapat kesempatan berdiri. Namun tiba-tiba ia disambut serangan Wreda yang telah
mencabut pedangnya juga.
Pedang ditebaskan dengan cepat dan berkali-kali ke arah kepala dan perut. Suro Bodong
menghindar dengan merunduk dan meliukkan badan. Agaknya ia mulai keteter oleh gerakan pedang
Wreda.
Sementara itu, Bayutama segera mengepungnya dari belakang. Ia membabatkan pedangnya
dengan cepat, jurus pedang itu sama dengan jurus pedang Wreda. Suro Bodong nyaris robek
punggungnya kalau saja ia tidak segera menjatuhkan diri ke tanah dan berguling sambil menendang
kaki Wreda.
Wreda terjatuh, dan Bayutama masih mengejar Suro Bodong dengan tendangannya. Suro sempat
menyengkat kaki Bayutama. Sengkatan itu begitu kuat sehingga Bayutama terpelanting jatuh ke arah
belakang. Buru-buru Suro Bodong berdiri dan mengambil posisi. Nafasnya terengah-engah dan ia
mengaturnya sejenak. Pada saat itu Wreda telah bangkit dan menolong Bayutama untuk berdiri. Suro
mundur beberapa langkah, mengatur jarak. Ia pasang kuda-kuda dengan merendahkan kedua kaki dan
satu tangan mengepal di atas kepala, sedangkan tangan satunya terlipat di depan dada.
Ada sesuatu yang dibisikkan kepada Bayutama oleh Wreda. Bayutama kelihatan mengangguk.
Kemudian mereka menggerakkan pedang mereka ke kiri dan ke kanan berkali-kali. Dan setelah itu,
pedang mereka beradu, membentuk tanda silang di atas kepala mereka. Perpaduan tersebut
mengeluarkan sinar merah kebiru-biruan yang memancar sebesar lidi.
Suro Bodong buru-buru melompat ke kanan, berguling dan melompat lagi.
Saat itu, beberapa rumput terbakar karena terkena sinar merah itu. Penonton mulai tegang dan
berdebar-debar. Ada pula yang terbengong-bengong kagum melihat kedua pedang itu mampu
mengeluarkan sinar yang indah warnanya, namun dahysat kekuatannya. Sementara itu, Bayutama dan
Wreda tertawa-tawa. Mereka hanya menggerakkan pedang mereka supaya sinarnya terarah pada Suro
Bodong. Dan hal itu membuat Suro Bodong melompat ke sana ke mari seperti monyet terkena api
ekornya
"Tak akan mampu kau bertahan menghadapi ilmu Pedang Naga Kembar ini, Bodong...! He, he,
he...!" Wreda kelihatan girang sekali mempermainkan Suro Bodong.
Suro Bodong lari menjauh. Namun daya pancar sinar itu masih mampu juga menjangkaunya.
Pada saat ia berguling di tanah, ia sempat mendengar suara yang berseru untuknya:
"Bertahanlah terus...!"
Suro mendengar suara itu begitu kecil. Ia hapal, itu suara Nyi Mas Sendang Wangi. Ketika ia
bangkit, berdiri, ia sempat melihat Nyi Mas Sendang Wangi berdiri di samping ayahnya dengan wajah
penuh kecemasan. Suro segera tergugah kemarahannya. Ingat akan rencana dua lawannya itu yang akan
memperistri Nyi Mas secara berduaan. Terbayang pula di benak Suro betapa menjijikkan pada malam
pertama mereka nanti
Maka dengan melompat ke sana ke mari, Suro Bodong meraba tangan kirinya. Ia seperti
mencabut sesuatu dari tangan kirinya itu, dan tahu-tahu ia telah menggenggam sebilah pedang
bercahaya ungu. Itulah Pedang Urat Petir pusakanya. Semua orang terbengong dan saling menggumam
kagum. Kemudian mereka bertepuk tangan, bagai menemui kelegaan. Sultan, Patih Danupaksi, Demang
dan yang lainnya sama-sama membelalakkan mata. Mereka tahu persis, Suro tidak membawa senjata
dari awal jumpa mereka dengan Suro, tapi mengapa tiba-tiba ada pedang di tangannya? Berwarna ungu!
Pertama-tama yang dilakukan Suro Bodong adalah menangkis arah sinar merah itu supaya tidak
membakar setiap rumput yang terkena sinar tersebut. Pedang Urat Petir menjadi perisai. Sinar merah
menghantam pedang Suro Bodong. Sinar itu memantul kembali ke pemiliknya.
"Awas, Bayu...!!" teriak Wreda sambil berguling ke samping. Tetapi Bayu tak sempat
menghindari sinarnya sendiri dan dadanya terkena sinar itu.
"Aaaahhh...!!" ia menjerit dengan lengkingan yang menyayat. Pakaiannya terbakar, dan dadanya
menjadi hangus. Ia jatuh telentang dengan gerakan kejang-kejang.
Suro Bodong diam, berdiri tegak, menyaksikan kesedihan Wreda atas diri Bayutama yang dalam
keadaan sekarat itu.
"Bayutama, banguuunn...!!" teriaknya seraya Wreda menghentakkan kaki ke tanah tiga kali.
Tiba-tiba penonton berseru,
"Wooww...?!" Mereka melihat sendiri Bayutama bangkit dalam keadaan segar bugar, kendati
dadanya hangus. Ia bahkan melompat sambil bersalto dan menyerang Suro Bodong dengan pedangnya.
Suro Bodong dengan mudah menangkis pedangnya dengan pedang Urat Petirnya. Percikan api terjadi
pada saat pedang itu beradu. Namun dengan cepat tangan kiri Suro Bodong berhasil memukul kepala
Bayutama, sementara itu Wreda hendak menusukkan pedangnya ke punggung Suro Bodong. Tangan
Suro Bodong berkelebat ke belakang. Pedang itu sepertinya disampirkan di punggung. "Trriing...!"
Tusukan pedang lawan mengenai bagian dari pedang Urat Petir yang bersinar ungu itu. Padahal Suro
sibuk berpaling dalam menangkis tusukan pedang Wreda. Ia sibuk mengibaskan pukulan tangan kiri
Bayutama dengan tangan kirinya sendiri.
Di luar dugaan, Suro Bodong berputar, menendang tubuh Bayutama, namun tangannya yang
memegang pedang menebas ke depan, mengenai perut Wreda.
"Aaah...! Bayu,aku kenaaa... aauhh...!" Wreda roboh dengan memegangi perut yang terluka,
tetapi Bayutama segera menghentakkan kaki ke tanah tiga kali seraya berseru memanggil Wreda. Pada
saat itu penonton bergumam lagi, "Wow...?" Karena pada saat itu, Wreda bangkit kembali dalam
keadaan segar bugar, sekalipun perutnya robek, namun tidak mengeluarkan darah.
Suro Bodong segera berlari kencang dan melompat tinggi, lalu ia bersalto di udara sebanyak
tujuh kali. Maka mata semua penonton terbelalak seketika, termasuk Sultan dan putrinya.
Suro Bodong telah berubah rupa menjadi seorang pendekar tampan yang memiliki badan kekar,
berotot dan tegap dalam ketinggiannya. Wajahnya sangat menawan, dengan matanya kebiru-biruan
mengandung kebeningan yang indah. Penonton jadi gaduh membicarakan perubahan ujud itu. Mereka
tidak tahu kalau Suro Bodong telah menggunakan Jurus Luing Ayan-7, atau yang disebut Eyang
Panembahan sebagai ilmu Saptaraga.
Dengan sosok pendekar muda yang berpakaian rompi emas serta celana emas itu, Suro Bodong
dapat bergerak lebih lincah lagi. Ia membabat berkali-kali lawannya yang lumayan tangguh itu. Tetapi
setiap mati satu, yang satu menghentakkan kaki ke tanah tiga kali, maka yang mati itu akan bangkit lagi
dalam keadaan segar bukar. Begitu seterusnya sampai pertarungan itu berlangsung cukup lama.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi Panji Bagus itu mulai bertekad untuk membunuh
kedua lawannya. Sebab, jika tidak segera dibunuh, maka mereka akan menjadi duri dalam suasana
damai di seluruh Kesultanan Praja. Maka, segera Suro Bodong dalam ujud pendekar Panji Bagus itu
melemparkan pedangnya ke udara sampai berputar tujuh kali. Pedang itu begitu turun dan sampai pada
putaran yang ketujuh segera ditendang gagangnya. Begitu ditendang, pedang itu pecah sendiri menjadi
tujuh bagian, lalu ketujuh bagian itu memencar ke arah dua lawannya. Wreda sempat menangkis salah
satu pecahan pedang, tetapi ia gagal menangkis pecahan pedang yang melesat ke pelipisnya. Pecahan
pedang itu menghantam tembus pelipis Wreda. Sementara dua pecahan pedang yang lainnya berhasil
mengenai leher dan mata Bayutama.
"Aaahhh...!! Aaauuuhh...!" Keduanya saling menjerit kesakitan. Mereka berguling-guling
beberapa saat, sedangkan pecahan pedang itu dapat berkumpul menjadi satu lagi dan melesat kembali
ke tangan pendekar tampan itu.
Semua orang bertepuk tangan melihat kejadian aneh dan sangat mengagumkan itu. Namun
agaknya Bayutama masih mampu berusaha untuk bangkit, dan Wreda pun menguatkan diri untuk
berdiri. Keduanya ingin menghentakkan kaki ke tanah supaya keduanya dapat hidup kembali dengan
segar bugar. Tetapi pendekar muda yang tampan itu segera melompat dan bersalto satu kali. Ia telah
menggunakan jurus Luing Ayan-1, dan hal itu membuat dirinya berubah lagi menjadi Suro Bodong.
Tetapi pada saat itu kedua kakinya berhasil menjejak kedua tubuh lawan dengan keras, hingga kepala
Bayu yang lehernya telah robek itu nyaris putus total.
Dengan gerakan cepat, Suro Bodong membabatkan pedang Urat Petir itu ke leher Bayutama, lalu
berkelebat ke leher Wreda. Kedua kepala itu pun nyaris bersamaan jatuh menggelinding di rerumputan.
Dengan putusnya kepala mereka, maka berhenti sudah segala gerakan Suro Bodong. Ia buru-buru
memasukkan pedangnya ke kulit lengan kiri. Pedang itu dapat masuk tanpa meninggalkan bekas dan
bentuk pada kulit lengan. Itulah kehebatan pedang Urat Petir yang mampu disimpan di dalam daging
lengan kiri Suro Bodong.
Satu-satunya orang yang maju mendekati Suro pertama adalah... Nyi Mas Sendang Wangi. Kalau
saja ia tidak malu, dan Suro Bodong tidak kikuk, pasti mereka telah saling berpelukan. Namun, karena
rasa malu ditonton banyak orang akhirnya mereka hanya berpegangan tangan dalam tatap mata yang
saling pandang di sela senyum lesung pipit Nyi Mas Sendang Wangi.
Sultan sendiri kali ini yang bkara kepada rakyat di pinggir alun-alun melalui corong perak
kusam:
"Dengan ini, Suro Bodong telah berhasil mengalahkan empat penantang yang bermaksud
melamar putriku. Dan... mulai saat ini, kuterima lamaran Suro Bodong sebagai calon suami Nyi Mas
Sendang Wangi...."
"Hidup Suro Bodong...!!" seru mereka. "Dan, mulai saat ini pula... orang yang kami cari-cari telah
kami temukan, yaitu Suro Bodong. Dialah yang akan dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja...!"
"Hidup Senopati...! Hidup Senopati Bodong...!"
"Lho, apa-apaan ini...?!" Suro Bodong kebingungan. Nyi Mas Sendang Wangi menjelaskan:
"Itulah sebabnya ayah mengadakan syarat pertarungan bagi calon suamiku, sebab dialah yang
akan dinobatkan sebagai Senopati untuk menghadapi serangan dari utusan Tiongkok, yang dapat
menyerang sewaktu-waktu. Dan... akulah yang akan mendampingimu di medan laga nanti. Akulah
wakil Senopati Kesultanan Praja ini...."
"Celaka, rupanya ini rencana Sultan yang sebenarnya! Hei, tapi kau janji akan mendampingiku,
kan?" Nyi Mas mengangguk dengan senyum lesung pipit yang menggetarkan hati Suro Bodong. Maka
Suro Bodong pun memeluknya. Cuek
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar