..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 19 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE IBLIS HUTAN TENGKORAK

SURO BODONG EPISODE IBLIS HUTAN TENGKORAK

 IBLIS HUTAN TENGKORAK

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Suro Bodong

dalam kisah Iblis Hutan Tengkorak

Wirautama, 1991


SATU


Yang terasa hanya desiran angin. Mulanya

pelan, lalu semakin kencang. Suro Bodong

menepiskan kedua tangannya, merapatkan baju

merahnya yang tak pernah dikancingkan itu.

Angin menjadi lebih kencang. Rambut Suro

Bodong yang panjang tak teratur namun diikat

kain merah darah itu menyibak sebagian.

Langkahnya terhuyung sejenak, karena dalam

keadaan menuruni bukit itu ia merasa mendapat

hempasan angin dari belakang. Suro nyaris

tersungkur ke depan. Untung ia dapat segera

menguasai keseimbangan, la tetap melangkah

dalam desiran angin.

"Angin setan...!" gerutu Suro Bodong sambil

menyipitkan matanya yang sebenarnya lebar.

"Dari tadi sepi, tenang, eh... tahu-tahu ada angin

sialan...!"

Tubuh Suro Bodong yang gemuk sedikit itu

semakin mengkerut, seakan kedua tangannya

hendak menyatu masuk ke daging pinggangnya.

Angin bertambah kencang. Baju merah model ju-

bah berlengan panjang pemberian Resi Padma

itu tak berhasil dihimpit oleh lengan. Sebagian

terhempas ke samping dan melambai. Hawa

dingin menembus kulit Suro Bodong bururburu

merapatkan bajunya supaya tidak melambai.

"Misterius sekali angin ini," katanya dalam

hati seraya tetap melangkah, menuruni lereng

bukit. Mulutnya tetap terkatup, tapi hatinya

terus berkecamuk.

"Kurasa ini bukan angin sembarangan.

Hembusannya tidak tetap. Makin lama terasa

semakin kencang. Dan udara dingin ini juga

cukup aneh. Umumnya udara akan menjadi

dingin jika semakin naik ke atas gunung, tapi

kali ini justru udara menjadi semakin dingin jika

berada di kaki gunung. Jelas ada sesuatu yang

tak beres..."

Hembusan angin bertambah kencang. Lalu,

Suro Bodong terguling-guling dalam keadaan

tak sempat menjaga keseimbangan tubuh.

Tanaman jenis rumput berduri, dan bebatuan

yang berserakan digilas dengan tubuhnya. Suro

Bodong seperti sebuah tong yang dilepas dari

ketinggian yang landai. Berguling dan berguling

terus, sampai akhirnya ia sadar; tubuhnya telah

tersangkut pada sebatang pohon jati besar.

"Kunyuk...!" umpatnya sendiri. Ia meringis.

Banyak luka lecet di beberapa bagian tubuhnya.

Juga pada perutnya yang gendut tapi bukan

buncit. Celana birunya yang longgar robek di

bagian tepi. Padahal itu celana baru, juga dari

hasil pemberian Resi Padma, sebagai kenang-

kenangan, karena Suro Bodong telah berhasil

menyelamatkan Perguruan Merak Senggol dari

keserakahan para ninja, (ada dalam kisah:

Pedang Kerak Neraka),

Angin makin menipis. Suro Bodong

mengurut punggungnya yang sebelah kiri. Ada

rasa ngilu dan sakit sekali di bagian punggung.

Ia mengelusnya dengan geram kedongkolan

yang tertahan. Matanya memandang kian ke

mari. Tapi hutan di lereng itu tetap sepi tanpa

manusia kecuali dirinya.

"Pasti telah terjadi sesuatu..:" gumamnya

dalam hati

Hembusan angin itu semakin menghilang.

Suro Bodong masih menyeringai sakit sesekali.

Sepertinya ia merasa ada yang menendangnya

dari belakang sebelum ia terguling-guling tadi.

Memang tak tampak ujud mahluknya, tetapi

rasa sakit pada punggung kirinya itu benar-benar

rasa sakit yang ia rasakan sebelum ia jatuh

terguling-guling.

"Ada yang menendangku...!" pikirnya. "Siapa

orangnya, ya?" Ia menyempatkan garuk-garuk

kumis. "Aku merasakan angin menjadi benar-

benar kencang, lalu aku merasa ada yang

menendang dari belakang, atau menabrakku

dengan suatu alat, dan ia melesat bersama deru

angin tadi."

Suro Bodong berdiri, bersandar pada pohon

itu. Memandang ke arah jatuhnya tadi.

Kemudian memandang ke arah hembusan angin

kencang tadi. Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana.

Angin pun telah berhenti. Reda.

"Kurang ajar..." ia menggerutu, lalu

melangkah lagi. Kaki kirinya sedikit pincang. Ia

menggerak-gerakkannya sebentar, dan segera

melanjutkan perjalanannya ke desa Randang

Cinde. Siapa tahu di sana ia bisa bertemu

kekasihnya.

Dalam hati ia bertanya-tanya dengan,

penasaran: Siapa kiranya yang telah

menabraknya dengan sengaja atau tidak tadi?

Tak mungkin punggungnya ngilu karena

terguling-guling, sebab sebelum ia terguling, ia

merasa dikejutkan oleh suatu benda yang bagai

menendang punggung. Kalau toh itu memang

suatu tendangan, atau pukulan, jelas dilancarkan

dari orang yang berilmu tinggi. Siapa orang itu?

Apa urusannya dengan Suro Bodong?

Mungkinkah para ninja ada yang masih

hidup dan mencari kesempatan untuk

membunuh Suro Bodong?

'Tidak mungkin, ah..." Suro membantah

sendiri di dalam hati. "Pimpinannya sudah mati.

Pimpinan para ninja yang ternyata Ajeng Wasti

itu sudah kubunuh, dan bahkan dibakar

bersama Pedang Kerak Neraka oleh Resi Padma,

guru Ajeng. Jadi, mana mungkin masih ada yang

hidup. Kalau toh ada, dia tak akan berani

bertindak tanpa perintah pimpinan. Atau...

jangan-jangan yang kuanggap pimpinannya itu

bukan Ajeng Wasti?! Jangan-jangan anak didik

Resi Padma yang cantik itu masih hidup?"

Langkah kakinya berhenti sejenak. Ia

berkerut dahi, memikirkan hal itu. Lalu hatinya

berkata’

"Ah, tidak mungkin. Ajeng Wasti kami

kurung di dalam kamar yang sudah dipantek

dari luar dan dijaga ketat. Sekali pun waktu

dibuka ternyata kamar itu kosong, tapi toh

jenazahnya ada di depan guru dan teman-teman

seperguruannya? Dia telah menjadi ninja,

sebagai pimpinan, dan berhasil kubunuh. Dan...

eh, apa iya, ya...? Jangan-jangan arwah Ajeng

Wasti yang lewat dan menendangku tadi?"

Suro Bodong bergidik sendiri, kemudian

meneruskan langkahnya. Ia berusaha membuang

pikiran tentang arwah. Ia berusaha melupakan

kejadian aneh yang baru saja dialami tadi.

Memang sulit untuk menghilangkannya, tapi ia

selalu mencoba dan mencobanya terus untuk

tidak berpikir tentang angin dan udara dingin

yang aneh. Ia mencoba untuk tidak merasakan

rasa sakit di punggungnya yang juga

dikarenakan suatu hal yang aneh.

Beberapa saat kemudian, langkahnya kembali

berhenti. Ia melihat ada tubuh telentang di sela

ilalang dan tanaman semak. Tubuh itu adalah

tubuh seorang lelaki yang bermandi darah. Suro

Bodong segera mendekatinya dengan perasaan

ngeri bercampur heran. Oh, ternyata orang itu

mengerang? Lirih sekali, tapi bisa di dengar Suro

Bodong.

"Kembang-kembang...!"

"Kembang? Apa maksudmu...?!"

"Kem... bang...!" nafas terhembus untuk yang

terakhir kalinya. Lelaki itu tergeletak dari raihan

tangan Suro Bodong. Matanya terpejam sedikit,

masih kelihatan warna putihnya.

"Apa maksudmu dengan kembang? Hei,

jangan mati dulu!" bentak Suro Bodong. "Hei,

bangun...! Kembang apa maksudmu? Di dunia

ini kan banyak kembang?! Ngomong yang betul?

Hei, hei...!" Tangan Suro Bodong yang menopang

kepala lelaki itu digerak-gerakkan, maksudnya

supaya lelaki itu sadar. Tapi, karena nyawa telah

melayang dari raga, mau tak mau lelaki itu diam

saja. Meski Suro Bodong membentak-bentak, tapi

lelakiitu tetap 'cuek' saja. Mati.

"Brengsek...!!" bentak Suro Bodong sambil

menghentakkan kepala mayat itu. Kepala itu

jatuh ke tanah, membentur batu, dan mayat itu

tetap diamsaja. Namanya saja mayat!

Suro Bodong bersungut-sungut setelah

menghempaskan nafas kejengkelannya. Ia

memandang ke sekeliling, tak ada orang, tak ada

apa pun yang bisadimintai keterangan

"Mayat tidak beres!" gerutunya. "Cuma

ngomong kembang lalu mati! Ngomong dulu

kek yang benar, yang jelas,baru mati. Jadi tidak

membuat orang penasaran begini!"

Gemas sekali hati Suro Bodong. Tapi apa

boleh buat, nyawa sudah mencelat. Ia bertolak

pinggang memandang ke sana sini. Banyak

darah berceceran di sekitar terbaringnya mayat

itu. Pasti telah terjadi pertarungan sengit yang

cukup hebat. Pasti lelaki berusia antara 30

tahunan itu mencoba bertahan ketika lukanya

menjadi parah. Kendati luka itu membuatnya

mati pada akhirnya, namun terlihat jelas adanya

perlawanan yang sungguh ulet dari si korban

itu. Beberapa pohon patah, juga terkena percikan

darah. Kulit-kulit pohon banyak yang

mengelupas dan sepertinya hangus terbakar api.

Pasti akibat sebuah pukulan tenaga dalam yang

sungguh hebat; entah pukulan korban atau

pukulan lawan si korban. Suro Bodong

termenung beberapa saat di sekitar mayat itu

seraya garuk-garuk kumisnya.

"Kembang...?!" gumamnya dalam renungan.

"Apa kira-kira maksudnya? Apakah lelaki ini

bernama Kembang? Atau musuhnya yang

bernama Kembang? Atau keduanya sama-sama

bernama Kembang? Yang satu Kembang,

musuhnya Kempis. Jadi...kembang-kempis? Ah,

bukan! Pasti bukan begitu maksudnya!"

Kaki Suro Bodong melangkah, masih meneliti

keadaan sekitar ditemukannya mayat

berlumuran darah pada bagian wajah, dan

perutnya terluka lebar. Robek, menampakkan isi

jeroannya. Sungguh suatu pertarungan yang

sadis telah terjadi. Apakah ada hubungannya

dengan angin kencang dan sebuah gerakan yang

seakan menendang punggung Suro? Apakah

pertarungan itu adalah sebab dari tergulingnya

Suro Bodong dari lereng sampai ke dasar?

"Bisa jadi begitu. Bisa jadi hal yang kebetulan

saja." gumamnya sendiri. "Kalau ditilik

pakaiannya, jelas mayat itu adalah mayat orang

berada. Mungkin bukan orang kaya, tapi

setidaknya anak buah orang kaya. Orang kaya

siapa, dan dari daerah mana? Ini yang

membingungkan. Lalu, soal kembang tadi

bagaimana, ya? Apakah dia bermaksud

menyuruhku menyelamatkan setangkai

kembang? Atau... barangkali di sini ada

tertinggal setangkai bunga yang perlu

diselamatkan? Terus, bunganya seperti apa?!

Brengsek..! Aku jadi seperti orang linglung

sendiri. Ah, persetan dengan mayat itu,

pokoknya aku tidak mau terlibat dengan

urusannya! Tujuanku ke desa Tandang Cinde,

mencari Ratna Prawesti kekasihku. Itu saja!

Selamat tinggal, Mayat...! Terserah kau,

bagaimana maumu. Jaga dirimu baik-baik, ya,

dan aku akan pergi tanpa mau berurusan

dengan masalahmu...! "

Suro Bodong melangkah, meninggalkan

tempat itu. Ia berjalan melenggang. Sepertinya

orang yang sedang menikmati udara segar tanpa

membawa senjata apa pun. Padahal di lengan

kirinya, di dalam daging lengan kiri itu

sebenarnya tersimpan pedang sakti yang

menjadi andalan Suro Bodong. Tak seorang pun

bisa merebut dan mencurinya, karena untuk

mengeluarkan pedang itu diri harus memakai

ilmu yang hanya dimiliki Suro Bodong. Di

samping keampuhan pedang pusakanya, Suro

Bodong juga memiliki ilmu yang langka didapat

di mana-mana, yaitu dapat merubah ujudnya

menjadi tujuh rupa dalam jurus salto yang

dinamakan jurus Luing Ayan. Itulah sebabnya,

Suro lebih dikenal sebagai Pendekar 7 Keliling.

"Siapa dirimu sebenarnya dan dari mana

asalmu...?"

Pertanyaan itulah yang selalu menghantui

pikiran Suro Bodong selama ini. Pertanyaan itu

sering timbul di dalam hati, sebab ia sendiri ingin

tahu siapa dirinya sebenarnya? Dari mana

asalnya? Siapa orang tuanya? Mengapa ia bisa

mempunyai beberapa kesaktian yang maha

hebat? Semua itu membuat bayang-bayang gelap

di benak Suro Bodong. Orang memperkirakan

usianya antara 40 tahunan, tetapi sebenarnya

Suro Bodong sendiri tidak tahu, berapa usianya

yang sebenarnya.

Kalau Suro Bodong sendiri sulit mengetahui

siapa dirinya, bagaimana mungkin ia bisa mudah

mengetahui siapa mayat yang ditemukan tadi?

Memang banyak pertanyaan yang tumbuh dalam

hati Suro mengenai diri mayat itu, tetapi seperti

halnya kebingungan tentang dirinya, Suro

berusaha melupakan semuanya. Pikirannya

sengaja diarahkan pada wajah seorang perempuan

cantik, berhidung bangir dan berbibir mungil

segar. Wajah Ratna Prawesti, kekasihnya.

Ratna Prawesti, putri seorang bupati Jangga.

Seingat Suro, ia pernah saling berjanji dengan

Ratna untuk saling sehidup semati. Namun

ketika Suro Bodong pergi bersama utusan dari

Sriwijaya, la terperangkap badai lautan luas.

Untung ia dapat selamat, dan kembali ke

Kabupaten Jangga. Tetapi kabupaten itu telah

rata dengan tanah. Hangus terbakar, tinggal

puing-puing arang dan beberapa mayat yang tak

sempat dikuburkan oleh masyarakat setempat.

Ratna Prawesti tidak ada. Mayatnya pun tidak

kelihatan. Orang bertopeng yang menamakan

dirinya Gerombolan Topeng Setan itulah yang

telah membantai dan membumihanguskan

kabupaten Jangga. Jadi, orang bertopeng itulah

yang harus bertanggung jawab atas hilangnya

Ratna Prawesti. Hanya saja, sekian banyak orang

bertopeng yang telah dikalahkan Suro, tak satu

pun ada yang kenal dengan perempuan bernama

Ratna Prawesti. Bahkan mendengar namanya

pun tidak.

Ini sungguh aneh. Tak seorang pun tahu

nama Ratna Prawesti. Padahal perempuan itu

kondang sebagai seorang putri bupati yang

sangat cantik, kehadiran Suro sendiri sepertinya

suatu hal yang asing bagi mereka yang

ditemuinya. Ini memang aneh, sangat

membingungkan Suro. Bingung tujuh keliling.

Hanya ada satu orang yang mendengar nama

Ratna Prawesti. Seorang anak muda bernama

Saga. Anak itu adalah anak seorang petani; Ki

Pupus, yang telah ditolong Suro Bodong dalam

peristiwa di Benteng Batu, (Kisah Pedang Urat

Petir). Dan menurut keterangan Saga, ia

mendengar nama Ratna Prawesti dari obrolan

dua pedagang yang berasal dari desa Tandang

Cinde. Itulah sebabnya Suro Bodong melacak ke

desa Tandang Cinde, dengan harapan dapat

bertemu dengan kekasihnya. Atau, paling tidak

ia akan memperoleh keterangan lebih lanjut,

tentang di mana kekasihnya berada.

Sambil melangkah, benak dan batin saling

berkecamuk. Sampai-sampai ia tak sadar kalau

ada orang yang mengikuti gerak geriknya. Suro

Bodong menjadi sadar setelah sebuah tendangan

melayang telak mengenai punggungnya. Suro

Bodong terpaksa berguling ketimbang ia harus

tersungkur mencium tonggak kayu.

Gerakan mengguling tidak cukup dilakukan

satu kali, sebab orang tak dikenalnya itu

menyerangnya lagi dengan tendangan yang

cepat.

'Tahan...!" teriak Suro Bodong yang merasa

asing dan benar-benar tidak tahu kesalahannya.

Seruan Suro Bodong tidak dihiraukan oleh

penyerangnya. Ketika ia berdiri, orang itu

melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi.

Tetapi Suro Bodong selalu berhasil

menangkisnya. Dilihat dari gerakan dan jurus

yang dimainkan lawan, dalam hati Suro Bodong

hanya menggumam gemas. Ia sebenarnya dapat

mengalahkan lawan dengan satu kali pukulan,

tetapi ia tak ingin melakukannya. Suro tak mau

orang itu menjadi korban kesalahpahaman.

Karenanya, ia mencoba bicara dan menenangkan

orang tersebut.

"Jangan bodoh! Berhentilah menyerangku!

Kau salah paham. Pasti salah paham...!

Berhentilah, kau bisa luka parah oleh

pukulanku! Kalau kau mati, aku menyesal! Ayo,

berhenti menyerang. Hei, hei...! Jangan nekad

kau...! Aku sedang malas bertarung...! Hei,

jangan keras kepala...!" Suro jengkel sekali.

"Hiat...!" Dan sebuah pukulan keras

menghantam dada lelaki tak dikenalnya. Lelaki

itu tersentak ke belakang. Kaki kanan Suro

menyusul, menendang perut lelaki itu sampai

yang ditendang melintir kesakitan.

Nafas Suro Bodong dihempaskan lepas. Ia

garuk-garuk kumisnya yang tebal. Matanya

memandang keadaan lelaki berbaju hijau tua

dengan celana hitam bersabuk putih. Lelaki yang

diperkirakan usianya di bawah umur Suro

Bodong itu masih rebah bersandar pada batang

pohon. Ia meringis menahan sakit di bagian dada

dan perutnya. Ia bagai tak sanggup berdiri pada

saat itu.

"Bagaimana? Benar kan saranku tadi?!" kata

Suro Bodong. "Kalau aku mau, kau bisa

kubunuh sekarang juga, sekalipun aku tahu kau

belum menggunakan senjata pedangmu- Tapi

bagiku, menggunakan senjata atau tidak, aku

dapat dengan mudah membunuh kamu!

Ngerti?!"

Lelaki bertubuh sedikit kurus itu menarik-na-

rik nafas. Ia ingin bicara, namun masih

mengalami kesulitan pada alur pernafasannya.

"Atau barangkali kau memang ingin

kubunuh dengan nyaman?" hardik Suro Bodong.

Lelaki itu ketakutan.

"Ja... jangan...! Jangan bunuh aku...! Maafkan

aku...!"

Suro Bodong mendekat, dan jongkok di

depan lelaki itu. Ia memperhatikan wajah dan

potongan lelaki tersebut. Menurut Suro, lelaki itu

tidak mempunyai tampang sebagai orang jahat.

Jadi, ia tak perlu mengambil kekerasan lagi.

"Siapa namamu?"

“Jenar...!"

"Ah, namamu jelek!" ucap Suro Bodong

dengan gerutu seenaknya. "Hei, kenapa kau

menyerangku, nah?"

"Aku... aku..."

"Aku Suro Bodong...!" sahut Suro. "Aku

belum pernah bertemu denganmu, apalagi

berkenalan! Tapi mengapa kau tiba-tiba

menyerangku? Kau pikir siapa aku ini?"

"Maaf... maafkan aku, Kakang Suro Bodong..."

"Kakang?! Kamu memanggil aku: kakang?"

Suro Bodong berkerut dahi, merenung sebentar,

lalu manggut-manggut. "Yah... bolehlah. Panggil

kakang ada baiknya dari pada kau panggil aku:

Nyai...!"

Jenar mengajak tersenyum dalam menahan

sakit yang kian berkurang. Tetapi Suro Bodong

sengaja tidak membalas senyuman itu. Ia bahkan

berkata: "Jangan meringis begitu! Aku ndak suka

sama senyummu!" Jenar segera menghentikan

senyumannya.

Suro Bodong berdiri seketika sewaktu

nalurinya menangkap bahaya yang datang. Ia

melompat ke arahsamping dengan kedua tangan

terbentang bagai gerak garuda melesat. Pada saat

itu, sebatang tombak segera menancap di tempat

Suro Bodong jongkok tadi. Suro Bodong tidak

begitu tampak kaget. Tetapi, Jenar terpekik

ketakutan melihat tombak bertangkai kayu

hitam menancap tepat di sisi telapak kakinya.

Tak ada sejengkal jaraknya.

Untuk menghindari serangan yang belum

diketahui siapa penyerangnya, Suro Bodong

segera berguling ke tanah, dan berada di dekat

Jenar. Suro Bodong segera menampar pipi Jenar

seraya mengancam:

"Beritahukan kepada temanmu; jangan

menyerang! Kita tidak punya urusan apa-apa,

tahu?! Ayo, lekas beritahu kepada temanmu

itu...! Suruh keluar dia dari

persembunyiannya...!"

Jenar membelalakkan mata dalam

kebingungan bercampur rasa ngeri. Suro Bodong

gemas. Ia menampar kembali pipi Jenar dengan

tamparan peringatan. Jenar mengaduh dan

semakin dicekam kebingungan yang

menakutkan.

"Ayo, katakan kepada temanmu! Suruh

keluar dia, atau kubunuh kau sekarang juga!

Lekas...!"

"Ak.. aku...!"

"Cepat...!" Suro Bodong meremas baju Jenar

dengan kasar.

Dalam keadaan takut, Jenar berseru ke arah

datangnya tombak bergagang kayu hitam itu.

"Jangan menyerang! Keluarlah dari tempat-

mu...! Jelaskan kepada orang ini kalau kita tidak

punya hubungan apa-apa...! Oh, lekas, keluarlah!

Orang ini benar-benar marah kepadaku...!"

"Bagus..." bisik Suro Bodong. Ia masih

menunggu penyerang gelap sambil tetap

berlindung di balik tubuh Jenar.

Tak berapa lama kemudian, muncullah

seorang perempuan berpakaian rimba;

mengenakan celana dan baju dari kulit macan.

Bagian dadanya tertutup sebagian, pundak

kirinya terbuka. Kulit macan itu bagai menyilang

menutupi kedua bukitnya yang sekal.

Sedangkan penutup bagian bawahnya juga

cukup mini. Hanya sebatas paha, tumit ke

bawah dibiarkan polos terbuka, menampakkan

jelas kulitnya yang berwarna kuning mulus.

Perempuan itu menyandang pisau di

pinggangnya. Pisau trisula yang tajam di setiap

sisinya.

"Siapa namanya?!" bisik Suro Bodong dalam

geram. Jenar menggeragap karena bagai

tersentak dari lamunan memandang perempuan

berambut sepanjang punggung itu.

"Siapa namanya?!" hardik Suro. "Mana aku

tahu...? Aku... aku tidak tahu siapa dia! Dia

bukan temanku!"

"Hah...?!" Suro terbengong. "Karena kau

memaksaku berteriak, maka aku pun tadi

berteriak! Tapi... tapi berani sumpah, dia juga

tidak akan mengenal aku...!"

"Busyet...!" gerutu Suro. "Apakah dia juga

bukan temanmu, Kang Suro?" Jenar ganti

bertanya dengan curiga. "Gila kau...! Sudah jelas

dia menyerangku dengan tombaknya, mana

mungkin dia mengenalku?!"

Perempuan berikat kepala merah, sama

dengan ikat kepala Suro Bodong itu, berdiri

tegap dengan kedua kaki terentang bagus.

Matanya yang lebar namun berbentuk indah itu

memandang dengan dingin. Suro Bodong masih

memperhatikan dalam posisi jongkok di

samping Jenar. Suro masih asyik mengagumi

keindahan lekuk tubuh perempuan itu, ketika

tiba-tiba Jenar berkata pelan:

“Dia pasti salah satu dari penjaga Hutan

Tengkorak...”

"Hutan Tengkorak?!" kemudian Suro meng-

gumam. "Di mana Hutan Tengkorak itu?"

"Di sini...!"

"Ooh...? Jadi ini daerah hutan Tengkorak?!"

"Ya. Dan... kukira kau tadi juga penghuni

Hutan Tengkorak. Makanya aku menyerangmu.

"Sial...! Kaupikir wajahku seperti tengkorak?!"

"Aku tidak tega mengatakan begitu, kang..."

Suro Bodong mendesis. Kemudian, karena

ditunggu-tunggu perempuan berpakaian kulit

macan itu masih diam saja, maka Suro Bodong

berdiri. Ia mencabut tombak bergagang hitam. Ia

mengamati sejenak bagian ujung tombak yang

ter-buat dari besi warna hitam kehijau-hijauan

Jelas mata tombak itu sangat mengandung racun,

yang sudah tentu cukup berbahaya bagi lawan

yang tergores oleh mata tombak itu.

Jenar sudah berkurang rasa sakitnya. Kini

perutnya hanya sedikit mual karena tendangan

telak dari Suro Bodong tadi. Namun, kini ia

belum berani berbuat banyak. Ia masih kelihatan

takut menghadapi perempuan berpakaian

macan yang sejak tadi diam, membisu, dengan

pandangan yang sedingin salju. Jenar berdiri,

lalu bersandar pada pohon, agak berlindung ke

balik pohon itu. Sedangkan Suro Bodong berjalan

mendekati perempuan tersebut dengan tenang,

seakan ia tidak merasa dalam bahaya. Ia

membawa tombak yang tadi nyaris menancap di

tubuhnya. Dan kini berhenti di depan

perempuan berpandangan dingin itu.

"Ini tombakmu, ya?"

Perempuan itu tidak menjawab. Pandangan

matartya dingin semakin menusuk tulang

belulang saja rasanya. Suro Bodong tetap tenang.

"Ini... kukembalikan tombakmu yang tadi

salah sasaran!" Suro Bodong menyerahkan

tombak . Keadaan mata tombak berada di bawah.

Matanya mencoba menembus mata perempuan

cantik beralis tebal itu. Namun hampir saja Suro

tak tahan menerima kedinginan sorot mata

perempuan tersebut.

“Terimalah... ini tombakmu, bukan

tombakku. Berani sumpah kok...! Ini tombakmu

dan sekarang kukembalikan dengan ucapan:

belajarlah yang rajin tentang jurus melempar

tombak...!"

Pandangan mata perempuan itu semakin

berani, semakin menantang. Lama-lama mulai

kelihatan rona kesinisannya. Sorot mata dingin

bercampur dendam dan amarah. Perempuan itu

hendak menggerakkan tangannya, mungkin

mau memukul Suro Bodong, tapi dengan cepat

Suro menancapkan mata tombak ke kaki

perempuan itu.

"Wesss...!"

Ternyata perempuan itu melayang ke atas

dengan cepat, seperti seekor merpati terbang.

Tombak itu menancap di tanah dengan mantap.

Sementara yang hendak ditancap tombak sudah

berada di atas pohon. Berdiri tegak pada

sebatang dahan kokoh.

"Wah... kok tahu-tahu sudah berada di atas

pohon?!" gumam Suro Bodong dengan jelas.

Suro Bodong mengambil posisi mundur

beberapa langkah, tangannya mencabut tombak

dan menggenggamnya seenaknya. Ia

mendongak, memandang perempuan yang

dianggapnya aneh. Lalu, Suro Bodong berseru

dengan sikap tenangnya:

"Hei, kamu orang sakti, ya? Kok bisa terbang

ke atas begitu? Rasa-rasanya aku juga bisa

kok...!"

Suro Bodong menghentakkan kakinya, dan

melompat dengan gerakan yang amat ringan. Ia

pun tiba-tiba sudah berada di salah satu dahan

dari pohon lain. Berbeda pohon perempuan itu.

Jenar terbengong melihat Suro Bodong bisa

melompat dalam satu kali hentakan, bahkan

posisinya sejajar dengan tempat berdiri

perempuan tersebut. Di tangan Suro Bodong

masih menggenggam tombak bergagang hitam.

“Tuh, bisa kan...?!” kata Suro Bodong seraya

mengajak perempuan itu tersenyum.

Tapi tiba-tiba perempuan itu melemparkan

senjata rahasia yang agaknya diambil dari

punggung. Senjata itu berupa sebuah mata

tombak dalam ukuran kecil. Kira-kira seukuran

jari telunjuk Suro Bodong. Senjata itu melayang

cepat dan sukar dilihat. Namun naluri gerak

Suro cukup tajam, sehingga ia pun segera

melompat dari dahan yang satu ke dahan yang

baru, ia terpeleset dan jatuh. Untung tangan

kirinya yang tidak memegangi tombak dapat

meraih sebatang dahan kecil sehingga tubuh

Suro bergelantungan seperti kelelawar raksasa.

Dalam posisi bingung mencari tempat jejakan

kakinya tahu-tahu perempuan itu

menyerangnya lagi dengan senjata rahasianya.

"Zing... Ziiiing...!"

Tombak digerakkan berputar di sela jemari

Suro Bodong. Kakinya kebingungan mencari

tempat untuk berpijak. Untung gerakan tombak

itu bagai kitiran yang amat cepat, sehingga bisa

menangkis dan membelokkan arah ke senjata

rahasia itu. Dari bawah, Jenar menjadi cemas

melihat Suro kebingungan. Ia bagai sedang

memandang seekor gorila yang berusaha turun

dari pohon dengan sulit.

“Jangan menyerang dulu! Aku sedang

kebingungan...!" seru Suro Bodong dengan

wajah tegang. Perempuan itu diam saja.

Tahu-tahu sebuah senjata rahasia

dilemparkan lagi dengan kecepatan melebihi

senjata yang tadi Gerakan senjata mata tombak

kecil itu hanya seperti cahaya putih yang

berkilat. Suro Bodong tak sempat menghindar.

Namun dengan kepandaian yang luar biasa, ia

segera melemparkan tombaknya. Tombak itu

melayang menyongsong kilatan cahaya putih.

Lalu terdengar suara: "Triing...!"

Ujung tombak dengan ujung senjata rahasia

itu bisa tepat bertemu dan beradu. Kedua senjata

itu melesat ke atas. Senjata rahasia menancap

pada dahan pohon yang lebih tinggi, sedangkan

tombak itu lolos menembus dedaunan, lalu

kembali i.ituh ke bawah.

"Aaauuw...!"

Jenar berteriak ketakutan karena ujung

tombak hampir saja menjatuhi ubun-ubunnya.

Suro Bodong buru-buru menggunakan tangan

yang satunya untuk meraih dahan lain,

kemudian ia naik ke dahan itu dengan susah

payah, la bagaikan seorang yang tanpa ilmu

sedikit pun.

Tahu-tahu perempuan itu menjerit,

"Hiaaaat...!"

Suro Bodong membelalakkan mata. Kaget.

Tubuh perempuan itu dapat melayang lurus 'dengan tangan terarah ke depan. Ia melesat seperti

tombak dilemparkan. Pada kedua tangannya

telah tergenggam sebuah trisula bertepian tajam,

yang agaknya mampu untuk memotong benda

lain

Gerakan luncur perempuan itu sangat cepat,

seakan hendak menembus perut Suro Bodong,

tan Suro Bodong melompat ke dahan di

depanya. Lalu segera berbalik, dan pada saat itu

perempuan tersebut melintas di depannya,

tempat ia berdiri tadi. Entah gerakan jurus apa

yang dilakukan Suro, ia sendiri tak tahu, yang

jelas tiba-tiba ia berhasil menampar pantat

perempuan itu yang tersingkap dari

penutupnya. Gerakan itu bagai tak disadari Suro

Bodong, sampai-sampai ia tertegun sejenak

setelah berhasil menepak pantat perempuan

yang berteriak: "Auuw...!" itu.

Hampir saja kepala perempuan itu

membentur pohon lain kalau saja ia tidak segera

bersalto beberapa kali. Gerakannya sangat cepat.

Dan akhirnya perempuan itu menghilang setelah

meninggalkan suaranya yang berkata: "Kau

pantas menjadi yang terpilih...! Tunggulah

saatnya...!" Dan Suro Bodong hanya bersungut-

sungut tak mengerti maksudnya


DUA


Ucapan perempuan tadi sempat membuat

Suro Bodong terbengong beberapa saat, sekali

pun ia sudah berada di bawah. Sementara itu,

Jenar masih menampakkan kecemasannya.

Sebentar-sebentar ia berpaling, memandang

sekeliling, lalu bicara kepada Suro Bodong.

"Mari kita tinggalkan tempat ini, Kang."

Suro Bodong garuk-garuk kumis. Melirik

Jenar sebentar.

"Kenapa kau kelihatannya sangat

ketakutan?!"

"Apa Kang Suro belum tahu bahwa Hutan

Tengkorak ini sangat berbahaya?" bisik Jenar

yang merasa takut kata-katanya ada yang

mendengar.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Atau... atau

mungkin aku tidak pernah merasa dalam bahaya

apa pun."

"Ayolah, ikut aku... nanti akan kujelaskan."

"Aku mau ke desa Tandang Cinde. Aku

mencari kekasihku yang bernama Ratna

Prawesti. Apa kau pernah melihat atau

mendengar nama itu?!"

"Ratna...? Ratna Prawesti...?!" Jenar berkerut

dahi. "Sepertinya... sepertinya aku pernah

mendengar nama itu. Hemm... siapa, ya? Ada

teman yang pernah bercerita padaku tentang

nama Ratna Prawesti, tapi... nanti dulu, kang.

Aku agak lupa; apa dan siapa perempuan itu?

Ceritanya... ah, ceritanya sendiri aku sudah lupa,

Kang. Karena sudah lama aku mendengar nama

itu. Mungkin nanti bisa kutanyakan kepada

Raden Bargawa..."

"Bargawa? Siapa itu Raden Bargawa?!"

"Makanya ikutlah aku, nanti kujelaskan.

Sebab... kalau kulihat pertarunganmu dengan

perempuan itu, aku yakin kau sangat

dibutuhkan oleh Raden Bargawa..."

Jenar melangkah sambil bicara. Tanpa sadar

Suro Bodong mengikutinya sambil mendengar

kata-kata Jenar.

"Raden Bargawa itu satu-satunya orang kaya

di desaku. Dia keturunan dari Tumenggung

Murcagati, yang kabarnya akan berusaha

mengangkat Raden Bargawa menggantikan

kedudukannya di Ketemenggungan."

Sebentar-sebentar Suro Bodong menggumam,

dan sesekali juga ia garuk-garuk kumisnya, la

melangkah dengan mata memandang waspada,

namun telinga menyimak perkataan Jenar.

"Desa kami... saat ini menjadi sasaran korban

penguasa Hutan Tengkorak..."

"Sasaran bagaimana, maksudmu?!"

"Banyak kaum lelaki yang mati, atau hilang.

Itu semua akibat keganasan Penguasa Hutan

Tengkorak yang bernama Kembang Laras...!"

"Kembang...? Kembang Laras...?!" Suro

Bodong teringat kata-kata yang diucapkan

seorang lelaki berlumur darah. Ketika lelaki itu

ditemukan, ia dalam keadaan sekarat, agaknya

menjadi korban suatu pertarungan sengit. Lelaki

itu sempat nirnyebutkan kata 'kembang', dan

sempat pula buat Suro Bodong kebingungan,

apa maksud 'kembang' itu. Namun, sekarang

rupanya masalah 'kembang' sudah jelas, bahwa

pada waktu itu, lelaki yang terluka hendak

menyebutkan nama Kembang Laras, pimpinan

atau penguasa Hutan Tengkorak. Tapi sebelum

sempat menyebutkan dengan tuntas, lelaki itu

telah mati tak tertahankan lagi. "Jadi penguasa

Hutan Tengkorak itu bernama Kembang

Laras...?"

"Benar, Kang. Dan dia satu-satunya

perempuan yang sangat kejam dari semua

perempuan yang pernah kukenal"

"Kejam bagaimana?"

"Hampir setiap malam, desa kami dicekam

kengerian. Hampir tiap malam ada

pembunuhan, dan pada umumnya orang lelaki

yang dibunuhnya. Atau... seperti kakakku

sendiri, sampai sekarang tidak pernah

kutemukan lagi. Hilang. Dan... saat ini aku

bertekad mencari kakakku, tapi tidak

kutemukan. Malahan... aku bertemu denganmu,

yang tadinya kukira orangnya Kembang Laras

juga-!"

Gumam Suro Bodong memanjang. Ia

melangkah di belakang Jenar sambil tetap

memasang kewaspadaan.

"Aku menemukan seorang lelaki dalam

keadaan luka parah. Orang itu mati sebelum

selesai menyebutkan kata Kembang."

Jenar berpaling ke belakang dan berhenti

melangkah. Wajahnya kelihatan tegang.

"Bagaimana ciri-cirinya...? Jangan-jangan dia

kakakku."

Suro Bodong menjelaskan ciri-cirinya seraya

ia tetap melangkah. Kini posisi Jenar ada di

belakang Suro Bodong. Mereka menyusuri jalan

setapak yang agaknya jarang digunakan

manusia.

Tangan Jenar mendadak memegang pundak

Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat Suro

Bodong menangkap pergelangan tangan Jenar

itu. Sementara itu, tangan satunya siap

memukul. Namun, ia buru-buru mengendurkan

segala ketegangannya setelah ia tahu maksud

Jenar bukan menyerang. Hanya ingin

menghentikan langkah Suro, dan berkata:

"Itu... itu memang kakakku..." ucap Jenar

dengan suara sedih. Suro jadi tertegun sejenak.

Ia tak mengira bahwa lelaki yang diceritakan

ciri-cirinya itu adalah kakak Jenar. Suro merasa

tak enak hati. la tahu perasaan Jenar saat itu.

Kemudian sambil menepuk pundak Jenar, Suro

berkata menghibur:

"Mati itu di mana saja, sama. Mati di hutan

dengan mati di rumah sendiri, tak ada bedanya;

sama-sama kehilangan nyawa. Jadi tak perlu

disedihkan. Soal cara kematian tiap-tiap orang

memang berbeda. Tapi kita tidak bisa memilih

sendiri cara itu. Sudah ada garis ketentuannya."

"Dia satu-satunya kakakku yang hilang akibat

keganasan Nyi Kembang Laras." Jenar

menunduk ledih. Suro Bodong manggut-

manggut pertanda mengerti maksud Jenar. Ia

berbisik, "Memang, dia korban suatu kekejian.

Tapi tugas kita yang hidup bukan untuk

menyesali korban, melainkan menumpas habis

kekejian itu. Jelas?!"

Sambil melangkah lagi, mereka melanjutkan

pembicaraan. Sementara itu, tepian hutan

semakin jelas terlihat. Bentangan sawah

menghijau di kejauhan. Pohon mulai menipis.

Dan Jenar membawa Suro Bodong ke suatu

tempat yang belum diketahui Suro Bodong.

"Jenar, apakah perempuan yang tadi

menyerangku itu juga ada hubungannya dengan

Nyi Kembang Laras?!"

"Dia anak buahnya." jawab Jenar tanpa

menoleh. "Kabarnya, Nyi Kembang Laras

mempunyai pesanggrahan di dalam hutan ini.

Letaknya sangat tersembunyi. Bahkan pernah

dicari oleh orang-orang dari dua desa, namun

tak berhasil. Mereka semakin ke dalam semakin

banyak yang mati menyedihkan, jadi pencarian

tempat Nyi Kembang Laras. "Kalau begitu, Nyi

Kembang Laras tidak sendirian di dalam hutan,

ya?!"

"Menurut dugaan beberapa orang, ada lebih

dari 25 pengawal yang selalu siap menjaga

Pesanggrahan Hutan Tengkorak ini. Mereka juga

sama ganasnya dengan Nyi Kembang."

Suro Bodong melompat ke sebuah batu,

karena jalan mereka terhalang parit lebar. Dan

dengan satu kali lompatan lagi, kakinya telah

mendarat di tepi sungai, di bagian seberang.

Sementara itu, Jenar masih tertatih-tatih

melompati batu demi batu untuk mencapai

seberang parit,

"Aku kagum dengan gerakkanmu, Kang,"

kata Jenar. Tapi Suro Bodong tidak menjawab

apa-apa. Ia memandang hutan ganas sambil

garuk-uruk kumisnya dengan telunjuk.

"Kang, mari kita segera menuju rumah Raden

Bargawa."

"Keturunan Tumenggung itu?" Suro Bodong

sempat memandang heran kepada Jenar.

"Ya. Mereka tak setangkas kamu, Kang?"

"Maksudmu?"

"Raden Bargawa membutuhkan jago-jago

bayaran untuk melindungi keselamatan

keluarganya dari keganasan Nyi Kembang

Laras. Jago-jago bayaran itu hampir setiap tiga

hari sekali ganti orang. Karena mereka pasti ada

yang hilang atau mati. Jadi, kurasa Raden

Bargawa sangat membutuhkan kamu. Kalau saja

dia sudah melihat kehebatan ilmumu, kujamin

ia mau membayarmu mahal, Kang."

"Hei, kau mau menjual aku, ya?!" Suro agak

tersinggung

"O, bukan begitu, Kang," Jenar buru-buru

menjelaskan maksudnya. "Kalau kau ada di

Sana, pasti kau akan bertemu dengan Nyi

Kembang. Kau bisa menghadapi Nyi Kembang,

sesuai dengan tujuanmu, yaitu membasmi

kejahatan. Soal di bayar atau tidak, itu

urusanmu."

Suro Bodong jadi terbungkam beberapa saat,

namun kakinya tetap melangkah mengikuti

Jenar. Kemudian, ia berkata mendadak setelah

melakukan suatu pertimbangan:

"Ah, tapi tujuanku adalah mencari Ratna

Prawesti dulu, Jenar. Aku harus menemukan

kekasihku, setelah itu..."

Jenar menyahut, "Sementara kau tinggal di

rumah Raden Bargawa, aku akan mencari

keterangan tentang kekasihmu itu, Kang..."

Suro Bodong menarik tangan Jenar.

"Kau berkata dengan sungguh-sungguh?!"

Jenar mengangguk.

"Kita saling membantu, Kang. Kang Suro

membantu masyarakat desa kami, sementara itu

aku bisa menyuruh para penduduk mencari

keterangan tentang kekasihmu itu, Kang."

Agaknya gagasan Jenar cukup menarik

perhatian Suro Bodong. Lagipula, jika ia harus

berjalan ke desa Tandang Cinde untuk mencari

keterangan di mana kekasihnya, masih

memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut

Jenar, dia akan memakan waktu tiga hari dengan

perjalanan kaki untuk sampai ke desa Tandang

Cinde. Jenar mengatakan, bahwa dengan

menyuruh bebrapa orang di desanya yang pergi

ke Tandang Cinde, menjual kain tenun sambil

mencari keterangan tentang Ratna, adalah

langkah yang lebih baik. Sementara Suro

membantu mengamankan desa tempat Jenar

tinggal, ia sendiri hanya menunggu kabar demi

kabar dari orang-orang yang datang dari desa

Tandang Cinde.

Jelasnya, Suro sangat setuju dengan gagasan

Jenar. Maka, ketika dia dihadapkan kepada

Raden Bargawa, orang terkaya di desa itu, ia

berharap sekali agar Raden Bargawa mau

menerimanya sebagai pengawal keamanan

keluarga Bargawa. Tetapi, agaknya suasana

menjadi lain. Ketika Suro dan Jenar datang

menghadap, keadaan Raden fergawa dalam

cekaman sedih.

Istri dan anak Raden Bargawa itu telah

terbun uh semalam. Bahkan dua dari tiga jago

bayarann y a itu pun tewas dengan keadaan

kepala terpisah dari leher. Lalu seorang pelayan

urusan perbelanjaan, hilang tak ditemukan

jasadnya. Suasana berkabung membuat Jenar tak

berani bicara apa pun pada Raden Bargawa

maupun kepada kedua keponakan Raden

Bargawa.

"Bagaimana kalau malam ini kau tidur di

rumahku saja, Kang. Tunggu sampai beberapa


hari, Mungkin besok atau lusa kita menghadap

Raden Bargawa..."

"Kau tinggal dengan siapa?"

"Dengan emakku. Tapi kurasa dia tidak

keberatan kalau kau menginap di rumah kami."

Suro Bodong menggumam. Menimbang-

nimbang. Lalu berkata:

"Bagaimana kalau aku antar menemui kepala

desa?"

Jenar mendesah. Bersikap menyepelekan,

"Ah, percuma. Pak Lurah seakan tidak mau tahu

tentang ketakutan rakyatnya. Ia sendiri takut

menghadapi Nyi Kembang Laras."

Sekali lagi Suro Bodong menggumam.

"Kebetulan, aku perlu membangkitkan

keberanian lurah semacam itu. Ayo, antarkan

aku ke sana, dan... mungkin aku akan minta izin

menginap di sana untuk malam ini."

Hari sudah sore. Jenar sedikit segan pergi ke

rumah Lurah Pucung. Tapi agaknya ia tak punya

pilihan lain, sebab Suro Bodong mendesaknya.

Lurah Pucung menghardik Jenar ketika ia

melihat Jenar memasuki halaman rumahnya

yang berpekarangan luas.

"Mau apa kau ke mari, Setan?!"

Jenar bingung dan ragu-ragu. Suro Bodong

sendiri ikut bingung. Hatinya bertanya-tanya:

mengapa Lurah Pucung sikapnya memusuhi

Jenar.

"Usir bocah itu...! Usir dia...!" teriak Lurah

Pucung dengan suara tuanya kepada seorang

pesuruhnya. Rupanya Lurah Pucung juga

mempunyai orang-orang bayaran. Tampak dua

orang bertubuh tegap dan gempal, berwajah

seseram wajah S u ro Bodong, berdiri di depan

tangga menuju ruang dalam. Dan seorang

pesuruh yang tak kelihatan seperti jagoan segera

mengusir Jenar.

"Lebih baik tinggalkan tempat ini, daripada

Gagak dan Tembong yang mengusirmu," kata

pesuruh itu. Gagak dan Tembong adalah dua

orang bayaran yang siap menjaga keluarga

Lurah Pucung itu.

"Ada yang ingin kubicarakan dengan Ki

Lurah, Kang Jupro."

"Ki Lurah tidak mau bicara denganmu lagi!"

Kemudian mendengar suara Lurah Pucung

dari ruang tamu yang mirip sebuah pendopo itu.

“Suruh pergi dia secepatnya! Aku muak melihat

tampang anak itu!"

“Nah, kau dengar sendiri, Jenar...? Ki Lurah

muak melihat kamu! Sekarang pergilah dengan

orang ini," seraya Jupro menuding Suro Bodong.

“Tunggu dulu," kata Suro Bodong seraya ga-

garuk kumisnya. "Kenapa Jenar agaknya

dimusuhi oleh Ki Lurah?"

“Tanyakan saja kepadanya," jawab pesuruh

yang bernama Jupro itu. "Kurasa dia masih

beruntung, karena tidak digantung oleh

keputusan kami.

"Menggantung orang itu gampang. Yang sulit

adalah mencari alasan menggantungnya," ujar

Suro Bodong tetap tenang.

"Kang..." kata Jenar. "Aku memang pernah

berbuat jelek di desa ini. Aku... aku memang

pernah mencoba memperkosa anak pak Lurah

yang janda itu... dan..."

“Dan kau keburu tertangkap, bukan?"

sambung Jupro. "Tapi seharusnya kau

beruntung, karena Ki Lurah tidak memaksakan

keputusannya untuk menggantung kamu. Kamu

cuma dihajar dengan tujuan membuatmu jera."

"Aku memang sudah jera kok, Kang. Aku

tidak mau lagi melakukan hal-hal semacam itu

Apalagi sekarang aku sudah tidak punya kakak

lagi..."

"Kakakmu...? Kakakmu ke mana?"

Suro Bodong menyahut, "Tewas di Hutan

Tengkorak..."

"Oo...?!" Jupro kelihatan kaget dan merinding

Rupanya Ki Lurah segera memerintahkan

Tembong untuk mengusir Jenar. Lelaki

berambut ikal lebat dengan diikat kain biru

muda itu mendekati Jenar, dan tanpa banyak

bicara mencengkram baju Jenar. Ia menarik Jenar

dengan kasar tanpa memperdulikan Suro

Bodong. Saat itu, Jupro segera menyisih, takut

terlibat urusan dengan Tembong.

Suro Bodong hanya tersenyum tenang

dengan tetap berdiri di tempat ketika Tembong

menyeret ke luar halaman. Ia tidak bergerak

sedikitpun dari tempatnya. Sebaliknya, justru

Suro Bodong melipat tangannya di dada dan

mempertikan kegalakan lelaki yang wajahnya

coklat sebelah, Tembong.

Pada saat Tembong kembali, ia seakan baru

menyadari kalau Suro Bodong belum bergerak

dari tempatnya. Tembong tak berani

mencengkeram baju Suro, seperti yang

dilakukan kepada Jenar. la sedikit tegang ketika

berkata:

“Kau... juga keluar!"

"Aku kan tidak ikut memperkosa anak lurah,"

jawab Suro Bodong seenaknya, seakan tidak

merasa gentar sedikit pun melihat kedua mata

Tembong melotot.

“Keluar...!!" bentak Tembong tak mau kalah

gertak.

Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar,

lalu bersilang tangan di dada kembali. Ia bahkan

tersenyum seperti menyepelekan gertakan

Tembong.

Lurah Pucung berdiri di depan serambi.

Tembong tak mau dibilang pengecut di depan

Lurah Pucung. Ia segera meraih baju Suro untuk

dicengkeram dan diseret seperti ia menyeret

Jenar. Tetapi Suro Bodong mengelak dengan cara

memiringkan badan ke samping kiri.

Tangan yang tak jadi mencengkeram itu

berubah arah menjadi sebuah pukulan

menyamping. Tepatnya sebuah tamparan.

Namun Suro Bodon menendang tangan itu

dengan keadaan tetap bersidekap tangan di

dada.

"Mumpung di depan juraganmu, tunjukkan

keberanianmu!" kata Suro Bodong dengan

sangat tenang.

Tembong penasaran. Ia memukul wajah Suro

Bodong dengan pukulan ganda, tetapi dengan

lincah kepala Suro Bodong bergerak seperti ular

menghindari pukulan itu. Tangannya tetap

dalam posisi semula. Sekali lagi Tembong

melancarkan pukulannya ke muka Suro, namun

Suro merundukkan kepala sehingga pukulan itu

lolos melewati atas tengkuknya. Pada saat itu,

lutut Tembong digerakkan ke atas dengan

maksud ingin menyodok wajah Suro Bodong.

Tapi wajah Suro yang merunduk itu bergerak ke

samping menghindari sodokan lutut Tembong.

Ia buru-buru menegakkan badan. Mundur satu

langkah.

"Bangsat kau...!" geram Tembong, lalu

menggerakkan kaki kanannya, menendang ke

arah Suro Bodong. Tubuh Suro yang sedikit

gemuk itu mampu meliuk-liuk dengan lincah

walau tetap bersilangan tangan di dada.

Tendangan dan pukulan Tembong datang silih

berganti, namun tak satu ada yang mengenai

tubuh Suro Bodong. Ketika kaki Tembong

melompat dengan satu tendangan, tubuh Suro

Bodong pun melompat dengan kaki berhasil

menendang betis Tembong. Posisi Tembong

goyah sewaktu berdiri lagi. Kesempatan itu

dipergunakan Suro Bodong untuk

menggerakkan kakinya memutar, dan

tendangan itu mengenai wajah Tembong. Lelaki

berwajah coklat sebelah itu terhuyung.

“Sekali waktu kau perlu belajar menghargai

orang lain," kata Suro Bodong yang kemudian

mengibaskan kakinya dengan tendangan putar

sangat cepat. Kedua tangannya tetap bersidekap

di dada: Ia berdiri tenang, memandang Tembong

yang terpelanting ke belakang dan kepalanya

membentur sebatang pohon melinjo.

“Oouh...!" Tembong memegangi kepalanya

mencoba berpegangan pada batang pohon

melinjo itu. Suro Bodong sudah dapat

memperkirakan bahwa orang yang dari tadi

masih berdiri di depan tangga menuju serambi

itu pasti akan bergerak membantu temannya.

Dugaan Suro tepat. Lelaki yang sering

dipanggil Gagak itu segera berlari dan melompat

dalam satu jurus tendangan layang. Suro

Bodong berkelit ke belakang dalam posisi

tubuhnya melengkung, tapi tangan masih

bersidekap di dada. Karena tubuh itu

melengkung begitu tajam, lemas, maka arah

loncatan Gagak pun mengenai sasaran kosong.

Tetapi dengan segera Suro menegakkan

badan, dan mengangkat kakinya, hingga telapak

kaki berada di depan perut, sebab saat itu Gagak

memukulnya dengan gerak pukulan ganda ke

arah perut. Pukulan itu ditangkis oleh kaki Suro,

kemudian dengan cepat kaki Suro melesat ke

depan. Lurus dan kaku. Telapak kaki itu tepat

mengenai dada Gagak.

Tubuh Gagak memang berdada bidang dan

lebih kekar dari dada Tembong. Baju rompi

hitam yang dikenakannya menampakkan betul

kebesaran lengannya, apalagi jika tangannya

mengeras untuk memukul, ia kelihatan kekar

sekali. Makanya ketika kaki Suro berhasil

menendangnya, ia bertahan untuk tidak

bergerak sedikit pun

"Wah, kamu lebih kebal dari Si Tembong itu,

ya...?"kata Suro Bodong.

“Pergi kau dari sini! Jangan cari gara-

gara...!”gertak Gagak. Namun hal itu malahan

ditertawakan Suro Bodong.

Dalam keadaan masih bersilang tangan di

dada tiba-tiba kaki Suro Bodong bergerak bagai

sebuah kibasan memutar. Rupanya dia tahu

Tembong telah berada di belakangnya dan siap

membacokkan goloknya dari arah belakang

Suro. Ketika tangan yang memegangi golok itu

terangkat, saat itulah tendangan memutar kaki

Suro mengnai bawah ketiak Tembong.

Kemudian disusul gerakan kaki kiri yang telak

mengenai ulu hati Tembong dengan cepat.

"Huugh...!!" Mata Tembong mendelik dan

menahan nafas. Tubuhnya melengkung ke

depan, tangan kirinya memegangi ulu hati

sementara tangan kanannya memegang golok

dengan lunglai.

Pada saat itu, Suro Bodong yang masih

bersidekap itu menggerakkan kakinya ke

belakang tanpa berpaling. Gerakan kaki itu tepat

mengenai tangan Gagak yang hendak

menghantam punggung Suro Bodong. Lalu,

tubuh Suro segera berbalik dan melancarkan

tendangan kaki yang satunya. Tendangan itu

dilakukan dengan sedikit melompat, namun

tepat mengenai dagu Gagak. Wajah Gagak

memang terdongak karena tendangan Namun ia

tetap tegar, kelihatan segar. Seakan tendangan

itu bukan apa-apa baginya. Ia ganti menendang

dengan satu lompatan kaki lurus ke samping.

Kepala Suro Bodong miring ke kiri bersama-

sama gerak tubuhnya yang merendah. Pada saat

itu, tubuh Gagak melayang, dan kaki kanan Suro

Bodong segera meluncur ke atas, menyamping.

Tendangan itu tepat mengenai kemaluan Gagak,

sehingga Gagak pun menjerit kesakitan.

"Aaauoow...!! Pecah barangkuu...! Aaauuh...!"

Gagak mengaduh-aduh sambil jalan dengan kaki

merapat dan kedua tangan memegangi bagian

kemaluannya.

Akhirnya Gagak jatuh terduduk, bersandar

pada batang pohon melinjo yang sebesar

betisnya itu. Wajahnya meringis menahan sakit,

sedangkan Tembong pun kelihatan masih lemas.

Ia sempat mencoba membabatkan goloknya ke

kaki Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong cepat

melompat tak begitu tinggi, kaki kanannya

mengibas ke depan.

“Plook..!"

Tendangan kaki tepat mengenai wajah

Tembong sehingga orang itu memekik kesakitan.

Ada darah yang keluar dari hidungnya, dan hal

itu membuat Lurah Pucung terbengong, semakin

tertegun ngeri. Apalagi ketika pandangan

matanya bertatapan dengan sorot mata Suro

Bodong, Lurah Pucung kelihatan gemetaran.

Namun, ia masih berusaha menjaga

kewibawaannya sebagai lurah dengan diam di

tempat, seakan takakan lari walau Suro Bodong

segera mengajak Jenar mendekat ke tangga

serambi.

Lurah Pucung masih memandang dengan

mata mendelik kepada Jenar. Ia memaksakan

suara untuk menghardik Jenar.

"Apa perlumu datang ke mari, hah?! Mau

memperkosa anakku lagi?! Iya?!"

"Aku rasa...masalah itu telah ditebusnya, Ki

lurah," kata Suro Bodong. "Jenar katanya sudah

dihajar hampir mati sebagai hukumannya? Dan

sekarang agaknya dia ingin menjadi orang baik-

baik. Apakah tak bisa diberi kesempatan? Sebab

setahuku, untuk menjadi orang baik harus

mempunyai kesempatan."

"Aku tidak bicara denganmu! Kau tidak perlu

menggurui aku !" hardik Lurah Pucung kepada

Suro."Aku ini Lurah!"

"Yah, biar lurah kalau tindakannya keliru,

perlu mendapat teguran. Kalau orang ditegur,

berarti orang itu belum terlanjur berbuat salah

yang menjadi parah."

Suro Bodong bicara dengan tangan masih

bersidekap sejak tadi. Ia kelihatan tenang.

Sesekali memandang Tembong dan Gagak yang

berusaha bangkit dalam keadaan sakit.

Lurah Pucung mendesis mendengar kata-kata

Suro. Ia kembali memandang Jenar yang masih

ketakutan dan merasa bersalah di depan Lurah

Pucung.

"Hei, Jenar...! Katakan segera, apa maumu

datang ke mari, hah? Mau apa kau?!"

"Saya... sayang mengantarkan Kang Suro, Ki

Lurah...!" jawab Jenar dengan suara pelan.

"Suro...? Suro siapa?!"

"Suro Bodong...! Orang ini, Ki..."

Sekali lagi Lurah Pucung melirik sinis kepada

Suro Bodong yang masih tenang, tangan masih

bersidekap. Lurah Pucung menampakkan sikap

tak sukanya dengan mulut cemberut ketus.

Sesekali ia mendesis jengkel.

"Aku tidak kenal orang ini...!" kata Ki Lurah.

“Justru aku ingin berkenalan denganmu,

Lurah...!" kata Suro Bodong seenaknya saja.

"Apa perlumu datang kemari dan bertemu

aku? Untuk apa?!"

"Aku ingin menumpang semalam di sini,

sambil aku ingin berbincang-bincang denganmu

tentang Nyi Kembang Laras..."

Wajah Lurah Pucung kelihatan tegang dan

pucat ketika ia mendengar nama Nyi Kembang

Laras diucapkan. Gerak matanya jadi liar. Ia

sangat ketakutan.

***


TIGA


Nama Nyi Kembang Laras bukan nama

seorang bidadari yang menjadi idaman setiap

pria. Nama itu adalah penyebab bangkitnya bulu

roma, bahkan sesekali sempat membuat seorang

lelaki gemetar jika mendengarnya. Hal itu

rupanya dialami juga oleh Lurah Pucung yang

berbadan sedang, tinggi tapi tidak jangkung.

Kerut ketuaannya terlihat pada bagian dahi dan

sudut mata. Kerutan itu semakin tajam dan jelas

setelah Suro Bodong duduk di bangku

depannya, seraya berkata dengan garuk-garuk

kumis:

"Mungkin dalam waktu dekat, penduduk

desa ini akan habis binasa di tangan Nyi Laras.

Yang utama adalah kaum lelakinya."

Merinding sekujur Ki Lurah Pucung. Sekali

pun ia menyimpan ketakutan, tetapi Suro

Bodong tahu apa yang sedang disimpan di balik

ketenangan Lurah Pucung.

Suro menambahkan kata, "Aku punya firasat

kalau suatu saat rumah ini menjadi incarannya."

Nafas Lurah Pucung dihela dalam-dalam.

Dengan suara pelan dan bernada getar, ia

mencoba menenangkan diri.

"Itulah sebabnya aku menyewa Tembong dan

Gagak untuk melindungiku."

"Apakah itu sudah menjamin?" tanya Suro

Bodong. Sebelum terjadi pembicaraan lagi, Suro

meraih tempat tembakau, melintingnya dan

merokoknya seperti keadaan Ki Lurah saat itu.

Sebenarnya Suro bukan seorang perokok, tapi ia

bisa menyesuaikan diri, bisa bergaya seperti

orang yang biasa menyedot tembakau dan

cengkih. Ki Lurah memperdengarkan, suaranya

yang sedikit serak:

"Di desa ini, setiap orang kaya, atau orang

mampu, pasti mempunyai jago-jago bayaran.

Paling sedikitnya satu orang. Itu dilakukan

untuk menanggulangi keganasan Nyi Kembang

Laras."

"Apakah cara itu cukup berhasil? Apakah

para jago bayaran itu mampu mengatasi amukan

Nyi Kembang?"

Agaknya Ki Lurah sulit menjawab

pertanyaan itu. Ia menggumam beberapa saat,

lalu berkata ngambang:

"Bagaimanapun juga, ternyata nasiblah yang

selalu menentukan hidup kita."

"Nasib...?" Suro Bodong tertawa pelan.

Mengisap tembakau kawungnya sejenak, lalu

berkata lagi:

"Mungkinkah hanya itu alasan yang bisa kau

pakai, Ki Lurah? Apa tidak ada alasan lain?"

"Entahlah. Aku selalu kebingungan jika harus

bicara soal Nyi Kembang. Sepertinya, hal itu

bukan wewenang kekuasaanku, juga bukan

tanggung jawabku sebagai lurah. Persoalan Nyi

Kembang, tidak termasuk dalam rencana kerja

seorang lurah. Kalau kutahu akan ada persoalan

seperti ini, kurasa pada saat pemilihan Lurah,

aku tidak mau dijagokan oleh sebagian

penduduk"

Suro Bodong semakin merasa geli. Lurah ini

lucu juga, pikirannya. Persoalan Nyi Kembang

jelas persoalan yang menyangkut keamanan

desa. Tapi dia seolah-olah mau cuci tangan

karena merasa ketakutan. Ah, kasihan sekali

lurah yang satu ini. Harga dirinya, martabatnya

sebagai Lurah, tidak lagi diperhitungkan.

"Apakah persoalan Nyi Kembang ini sudah

lama berkembang di desa ini?" tanya Suro

Bodong. Waktu itu, seorang perempuan yang

masih tergolong muda, segar dan menawan,

datang membayakan minuman dan poci teh

kental. Suro Bodong memandangnya sebentar,

lalu menyimpan wajah ayu itu dalam

ingatannya. Tanpa melihat orangnya, Suro

sudah dapat menikmati kecantikan dan

kesegaran perempuan itu.

Ki Lurah menjawab pertanyaan Suro yang

tadi, "Dulu, aku pernah mendengar persoalan

Nyi Kembang. Kekejiannya juga pernah

kudengar. Namun peristiwa itu terjadi di desa

lain. Di seberang Hutan Tengkorak Dan...

kupikir tidak akan merambat sampai ke desa

ini."

Perempuan berkulit sawo matang, dengan

matanya yang bulat indah itu pergi ke belakang.

Suro Bodong sempat melirik jalannya. Oh,

mengundang gairah juga pantat perempuan itu

dalam lenggok gaya jalannya. Suro Bodong

tersenyum tipis, tapi Ki Lurah mengetahui

senyuman itu, lalu berkata dengan suara sedikit

parau:

"Kau boleh saja menertawakan dengan sinis

keadaan rakyatku yang sangat ketakutan itu,

tapi kau menghadapi sendiri, mungkin kau tak

sempat berani lagi menyebut nama Nyi

Kembang..."

Sebenarnya Suro Bodong ingin mengatakan,

bahwa ia bukan tersenyum sinis dalam arti

mengecilkan masyarakat desa itu, tapi

tersenyum geli untuk lenggok gaya perempuan

tadi yang sempat membuat batin Suro gelisah.

Hanya saja, Suro tahu hal itu tidak perlu

dibicarakan. Ia bahkan berkata:

"Aku ingin ketemu Nyi Laras...Setan dari Hu-

tan Tengkorak itu!"

Kini ganti Ki Lurah yang tersenyum sinis,

tipis. Katanya, "Kau bergurau terlalu kelewat

batas, Suro Bodong..."

"Kurasa kau yang bercanda, Ki Lurah. Aku

benar-benar ingin bertemu dengan setan betina

itu!"

Ki Lurah menatap Suro, dan ia menemukan

kesungguhan dari ucapan Suro Bodong itu. Ia

mendekatkan wajah, lalu berkata dalam nada

bisik yang tajam:

"Mengerikan...!"

"Siapa yang mengerikan? Wajahku?"

"Nyi Kembang itu...!"

"Ooo..." Suro ikut berbisik

"Kau akan menyesal setelah bertemu

dengannya," bisik Ki Lurah dengan kepala tetap

terjulur mendekati Suro. Sedangkan Suro

Bodong pun menjulurkan wajah dengan suara

bisiknya yang mendesah jelek.

"Akan kubikin menjadi sebaliknya; Nyi

Kembang yang menyesal bertemu denganku."

"Aaah...kau bisa mati. Percayalah!"

"Dia yang akan lebih dulu mati. Pastikan-

lah...!"

"Bagaimana caranya melawan dia? Apa

rencanamu?"

"Beri aku kesempatan tinggal di desa ini

beberapa hari. Kalau aku tak sanggup, aku akan

lari. Kalau lari pun tak sanggup, .aku akan mati."

Setelah itu Suro meringis, tepat di depan hidung

Ki Lurah.

Malam menggeliat sepi.

Jenar tidur di dekat dapur, satu kamar

dengan Jupro. Agaknya Ki Lurah sudah bisa

menegakkan kebijaksanaan bagi Jenar.

Barangkali karena Ki Lurah Pucung memandang

kehebatan Suro Bodong yang mempunyai

permaiman menjatuhkan jago-jagonya itu,

sehingga Ki Lurah merasa ada perlunya untuk

tidak mengusir Jenar. Karena diam-diam Ki

Lurah sangat mengagumi ilmu silat yang

dimiliki Suro Bodong. Bahkan kepada Tembong

dan Gagak ia sempat berbisik kesal:

"Payah...! Dia hanya menggunakan kaki.

Belum tangannya, tapi kamu berdua tidak

mampu menandinginya. Apalagi kalau Suro

sudah menggunakan tangannya, mungkin satu

antara kalian akan mencret selama tujuh hari...!!"

Tampang kedua jagoan yang dibayar untuk

melindungi keluarga Lurah Pucung itu seperti

tak berbentuk lagi, malu dan geram menjadi satu

di wajah itu. Tembong dalam hati mempunyai

rencana untuk membalas rasa malunya kepada

Suro Bodong, tapi kemudian ia membantah

rencananya sendiri dengan kecamuk benaknya:

"Kalau Gagak saja mampu dikalahkan setan

bodong itu, tentunya aku juga mampu diremat-

remat dengan tangan kirinya. Aah... lebih baik

mempertahankan hidup daripada

mempertahankan dendam."

Patroli malam, seperti biasa dilakukan oleh

Tembong dan Gagak. Sekali pun mereka sudah

mulai ciut nyali, gara-gara merasa dapat

dirubuhkan Suro dengan mudah, namun demi

menunaikan tugas bayarannya, mereka tetap

mengadakan pemeriksaan keliling. Istilah

sekarangnya : waskat. Pengawasan melekat,

khususnya terhadap gangguan yang dapat

timbul sewaktu-waktu dari Nyi Kembang Laras.

Sementara itu, di dalam kamarnya Ki Lurah

dan istrinya sempat saling menggerutu:

"Aku jadi merasa tak aman, Pak..." ujar istri-

nya. "Kedua orang andalan kita ini, kurasa tak

akan mampu menghadapi kejahatan Nyi

Kembang Laras. Buktinya, dengan tamu kita saja

mereka dibuat nungging-nungging mirip

kambing bunting. Apalagi kalau menghadapi

Nyi Kembang...!"

"Aku juga gelisah..." desah Ki Lurah sambil

merebah.

"Cari penjaga yang lebih ampuh lagi, jangan

seperti kedua orang itu. Yang sakti, Pak. Yang

bisa terbang dan yang bisa hilang...!"

Ki Lurah hanya kedip-kedip memikirkan

keadaan gawat di sekeliling keluarganya. Ia

kembali terngiang kata-kata Suro Bodong dalam

pembicaraan sore tadi. Satu-satunya harapan

yang bisa diandalkan hanya Suro Bodong.

Tetapi, ia sendiri sangsi apakah Suro Bodong itu

bisa mengungguli kesaktian Nyi Kembang

Laras? Memang tekad dan semangat Suro untuk

menumpas Nyi Kembang cukup kuat. Hanya

saja, Lurah Pucung masih khawatir akan

keberhasilannya. Ia belum banyak mengetahui

bagaimana dan siapa sebenarnya Suro Bodong.

Ia sesore ini terlalu hanyut dalam pembicaraan

kekejaman Nyi Kembang Laras, sehingga ia

belum sempat menanyakan keberadaan diri

tamunya.

Mungkin bukan hanya Ki Lurah dan istrinya

yang dalam kegelisahan malam ini, namun

semua warga desa Manggar itu dicekam

kegelisahan yang menakutkan. Kegelisahan ini

sudah sekian malam berlangsung sehingga

membuat malam menjadi arena begadang bagi

semua warga desa. Kengerian semakin

mencekam apabila sunyi kian sepi. Masing-

masing telinga terpancang bagai radar yang siap

menerima suara jeritan memilu, seperti yang

terjadi pada malam-malam sebelumnya.

Jupro, Jenar, dan dua pelayan bagian taman

serta bagian dapur masih mengedip-ngedipkan

mata di kamarnya masing-masing. Suro Bodong

dapat kamar sendiri di samping kamar Jupro

dan Jenar. Di samping dapur ada dua kamar

lain, yaitu kamar pelayan kebun dan pelayan

dapur yang menjadi satu, serta di sampingnya

adalah kamar Juminem, juru masak yang konon

masih punya hubungan saudara dengan Nyi

Lurah Pucung. Sedangkan di kamar lain, yang

letaknya bersebelahan dengan ruang makan,

adalah kamar Sundari, anak tunggal Lurah

Pucung yang telah menjanda. Suaminya mati

dengan keadaan menyedihkan akibat ulah Nyi

Kembang beberapa waktu yang lalu. Ia seorang

janda kembang tanpa anak, yang dalam usia

matangnya itu mampu menciptakan daya tarik

tersendiri bagi kaum lelaki.

Di kamar Jupro dan Jenar, terjadi

pembicaraan pelan dalam bentuk bisik-bisik

malam.

"Makanya, Nar..." kata Jupro, "Jadi lelaki itu

jangan clamitan. Mentang-mentang Den Roro

Sundari janda, lantas seenaknya saja kau mau

memperkosanya. Uuh... semua itu ada

aturannya, nar!"

"Aku... waktu itu tidak tahan, Kang. Sangat

gak tahan melihat pahanya yang menyingkap

waktu ia naik delman. Rasa-rasanya aku sudah

kemasukan setan dengan cepat waktu itu.

Maka... ah, begitulah jadinya. Tapi... sekarang

aku sangat menyesal. Menyesal sekali, Kang.

Sudah hasratku tak sampai, namaku jelek,

tubuhku pun nyaris hancur di cincang Tembong

dan Gagak. Ah, aku tidak mau lagi begitu.

Sungguh! Aku lebih baik cari perempuan lain

yang mau kukawini dan... beres sudah."

"Baguslah kalau kamu punya pikiran begitu,

kalau memang masih punya niat memperkosa,

perkosa saja Nyi Kembang. Kan dia sendiri

sering memperkosa kaum lelaki."

"Iiih...amit-amit jabang bayi, Kang!" Jenar

bersungut-sungut. "Dari pada harus

memperkosa Nyi Kembang, lebih baik aku cari

sabun, Kang."

"Untuk apa cari sabun?"

"Cuci piring dan cuci baju! Beres!" Jupro

tertawa pelan. Mereka bungkam. Sepi nemakin

merajalela. Ada suara dengkur yang samar-

samar. Dengkur dari Suro Bodong di kamarnya.

Jupro berbisik

"Aneh. Orang lain ndak bisa tidur, kok Suro

Bodong malah mendengkur?!"

"Memang dia serba aneh kok. Aku dulu

pernah menyerangnya, tapi... sudah tentu aku

dapat ditumbangkan dengan sangat mudah,

ibarat ia menyentil lalat saja. Dan... waktu itu,

aku mengira dia adalah salah satu dari orang

Hutan Tengkorak, eeh... tidak tahunya justru ia

diserang oleh perempuan cantik, anak buah Nyi

Kembang. Dan aku melihat sendiri betapa

hebatnya dia, Kang. Tubuhnya bisa terbang ke

atas, gerakannya tangkas dan kelincahan

geraknya sungguh sempurna. Hebat pokoknya,

Kang!"

"Ya. Aku percaya. Aku melihat sendiri betapa

lincahnya kedua kaki itu melawan serangan

Tembong dan Gagak Aku tadi sempat terkagum-

kagum, Nar. Dan menurutku... dia adalah orang

tandingan Nyi Kembang. Tapi, dia belum tahu

kalau Nyi Kembang itu sangat sakti. Kau pernah

ceritakan kehebatan Nyi Kembang jika sedang

membantai lawannya?"

"Sedikit. Tapi belum sempat kuceritakan

bahwa Nyi Kembang itu sukar dibunuh. Kalau

saja..."

Obrolan kasak-kusuk itu terhenti seketika.

Ada suara berdebam di luar, tepatnya dari arah

halaman samping. Sepertinya ada sesuatu yang

jatuh, disusul dengan suara pekik seseorang

yang tertahan.

Jenar dan Jupro berjingkat bangun dari

rebahnya. Mata mereka saling memandang

tegang. Telinga mereka menyimak bunyi di

kesunyian malam. Daun-daun bergeseran

terdengar. Detak jantung mereka semakin cepat.

Dengan sangat pelan Jenar berbisik

"Ada yang ndak beres ini, Kang..."

"Ho, oh...!" Jupro mengangguk

Dengkuran Suro semakin jelas, karena pusat

pikiran mereka menerobos kesunyian malam

yang amat hening.

"Nah, dengar...!" bisik Jenar lagi. "Seperti ada

suara orang dipukul dadanya, ya?"

"Ho, oh...!" Jupro menganguk. 'Jangan-jangan

Tembong dan Gagak sedang dalambahaya."

Jupro diam, matanya mendelik, wajahnya

tegang. Ia tak berani bergerak Suara yang mereka

tangkap kemudian adalah suara pekik tertahan,

seperti orang hendak terbatuk namun tak jadi.

Suara itu semakin menegangkan mereka.

'Jangan-jangan Nyi Kembang datang..." bisik

Jenar.

"Ah, dari mana kau bisa berkata begitu.

Belum tentu Nyi Kembang. Siapa tahu Tembong

dan Gagak sedang berlatih ketangkasan mereka,"

bisik Jupro.

"Malam-malam begini berlatih ketangkasan?

Ah, ndak masuk akal, Kang. Pasti...! Pasti Nyi

Kembang mencari Suro Bodong."

"Mencari Suro Bodong?! Kenapa kau yakin

begitu?!"

Bisikan Jenar semakin pelan, "Waktu Suro

mengalahkan anak buah Nyi Kembang, ia

mendapat ancaman. Katanya, dia terpilih! Entah

terpilih apa maksudnya, tapi aku yakin itu

sebuah ancaman maut bagi Suro Bodong."

"Gawat...!" Jupro menampakkan

kecemasannya. "Padahal sekarang Suro Bodong

sedang mendengkur nyenyak. Jangan-jangan...

Eh, coba kau keluar dan ketuk pintu Suro agar

dia bangun."

"Wah, aku ngeri keluar dari kamar, Kang."


"Aaah...payah kamu, Nar. Buat apa kamu

bawa-bawa pedang itu? Buat apa kamu belajar

silat sama bapakmu almarhum?"

"Sekedar untuk jaga diri. Bukan untuk

melawan Nyi Kembang." jawab Jenar sambil

tergagap sejenak.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka perlahan-

lahan. Jupro dan Jenar nyaris tidak bernafas

sama sekali. Jantung mereka bagai berhenti

tanpa detak. Untung kenyataan tidak sempat

demikian. Jantung mereka hanya terhenti sedetik

Namun setelah itu jantung mereka berdetak

sangat cepat. Hal itu membuat mulut mereka

ternganga namun tak sempat melontarkan kata

dan suara apa pun. Tubuh mereka bagai

dipantek dengan lantai. Tegak berdiri tanpa

bergerak sedikit pun. Mata mereka bagai

diganjal oleh sebatang lidi, membelalak lebar

tanpa berkedip.

Tak ada suara. Sepi. Tapi di mata Jenar dan

Jupro terlihat jelas pintu kamar yang sudah

terkunci itu masih bisa terbuka. Lalu muncullah

seraut wajah dari balik pintu. Wajah cantik,

berbibir mungil dan kelihatan selalu basah.

Warnanya merah ranum. Segar sekali. Di atas

bibir itu, ada ujung hidung yang mancung,

ramping. Berkulit kuning langsat. Bahkan

mendekati jenis kulit warna putih susu. Di atas

hidung mancung yang indah itu, terdapat


sepasang mata yang bertepian hitam pada

kelopaknya. Mata itu tidak terlalu bulat, namun

cukup tajam dan mempunyai kebeningan yang

mengagumkan. Bulu matanya yang lentik,

adalah perpaduan keindahan mata sehingga

menjadi sebentuk keagungan yang memukau.

Alis yang seperti bulan sabit, kelihatan tebal di

bagian ujungnya dekat hidung. Dan alis itulah

yang membuat satu komposisi kecantikan maha

anggun.

Itulah kecantikan wajah Nyi Kembang Laras!

Angin malam sebenarnya sudah sejak tadi

berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun

desau angin itu tak sempat terpikirkan oleh Jenar

dan Jupro. Kedua lelaki dalam usia belum bisa

dibilang tua itu masih terpukau tanpa gerak

sedikit pun. Hati menggumam terkagum-kagum,

namun jantung berdetak tersendat-sendat.

Rambut Nyi Kembang Laras meriap sebatas

pinggang. Sekalipun bagian kepalanya

dikenakan penjepit rambut berbentuk mahkota

kecil, namun gerai rambut yang terjuntai sebatas

pinggang masih terlihat hitam bening, mirip

jurai lumut laut yang lembut. Busana yang

dikenakan, sangat melemahkan jiwa seorang

lelaki. Kainnya tipis, halus. Berwarna putih bagai

gumpalan busa. Kain itu membungkus tubuh

tanpa pelapis dalam, sehingga lekuk tubuh dan

tonjolan di bagian dada terlihat samar-samar,


menggetarkan jiwa siapa saja. Indah tubuh itu.

Sungguh indah. Bahkan betisnya pun terlihat

amat sempurna dalam komposisi kegempalan

paha yang tak bisa dikatakan bengkok,

melainkan sekal berukuran prima.

Nyi Kembang berdiri di depan pintu dengan

kain tipis berlengan panjang bagai jubah itu

meriap-riap dipermainkan desiran angin.

Matanya memandang lekat pada Jupro,

sementara bibirnya menyunggingkan senyum

tipis yang amat melelehkan liur kejantanan siapa

saja yang memandangnya. Dari kebeningan

matanya itu, tiba-tiba terpancar sorot sinar

kuning pias. Hampir tak kentara. Sorot sinar

kuning pias itu memenembus sepasang mata

Jupro. Lelaki bertubuh tegap,namun tidak begitu

berotot itu masih tak mampu bergerak sedikit

pun. Sorot sinar kuning pias bagai mempunyai

daya hipnotis yang amat kuat, membuat mata

Jupro terpejam perlahan-lahan. Makin sayu, dan

terus menjadi sayu, sampai kemudian terpejam

kuat. Tapi tiba-tiba terbuka membelalak,

kemudian berkedip-kedip.

Bahkan ia bisa menggerakkan kepalanya

pada saat Nyi Kembang Laras tersenyum makin

lebar. Jupro menoleh Jenar. Wajahnya biasa,

tanpa cekaman rasa takut maupun gentar

sedikitpun. Ia sepertinya tidak sedang

menghadapi bahaya. Sedangkan sinar kuning

pias hilang tak terpancar lagi. Jenar terheran-

heran, namun tetap terbungkam untuk bisu

seribu kata, kaku sejuta gerak. Dan ia

memaksakan diri untuk bisa bergerak.

"Kau harus melayaniku..." suara Nyi

Kembang terdengar pelan, namun cukup jelas di

telinga Jenar. Pada saat itu, Jenar mampu

menggerakkan lehernya untuk berpaling ke arah

Jupro. Dan ia kaget karena Jupro membuka

bajunya perlahan-lahan. Senyum Jupro

mengembang, sepertiiya ia tidak sedang dalam

bahaya sedikitpun. Ia bersikap biasa-biasa saja.

Nyi Kembang melangkah masuk, lalu

menutup pintu tanpa suara sedikit pun. Matanya

masih mamandang Jupro dalam senyum lebar

menyatakan kegembiraan hatinya.

"Jangan kau lepas semua pakaianmu..." Nyi

Kembang berkata dalam desah yang lembut. Ia

semakin mendekati Jupro. Gerakan tangan Jupro

berhenti. Ia juga tersenyum dalam bayangan

gairah kebirahian.

Nyi Kembang mendekatkan wajah ke depan

hidung Jupro. Ia berbisik, namun jelas didengar

oleh Jenar yang bagai patung hidup itu.

"Berikan aku duniamu, Sayang..."

"Renggutlah semuanya," balas Jupro pelan.

Nyi Kembang mengusap rambut Jupro pelan-

pelan, lalu jari jemarinya yang lentik itu meraba

kening Jupro dengan lembut. Pelan-pelan ujung

jemari indah itu merayap ke hidung, terus

bergeser ke bawah, menyentuh kumisnya yang

tipis, merayap lagi ke bawah, menyentuh bibir

Jupro yang tebal. Di situ jemari Nyi Kembang

bermain sebentar, kadang sengaja didesakkan

masuk ke mulut, dan Jupro menghisapnya

beberapa saat. Mata Nyi Kembang berbinar-

binar penuh gairah bercinta.

"Oooh..." desah Nyi Kembang sangat halus,

mirip gesekan kain sutra yang diterpa angin.

Pada saat itu, kedua tangan Jupro merayap ke

segala penjuru tubuh mulus itu. Kedua mata Nyi

Kembang meredup sayu, seakan menikmati

sentuhan demi sentuhan. Dan pada saat itu,

desah nafas Jenar semakin memburu tanpa ia

dapat berbuat apa-apa kecuali memandang dan

memandangnya terus. Keringat dingin sudah

sejak tadi membasahi di sekujur tubuh Jenar.

"Kuharap kau tidak seperti kedua Jagoan di

luar..." kata Nyi Kembang dalam desah yang

melenakan. Jupro menjawab setelah melepaskan

bibirnya dari jemari Nyi Kembang

"Ambillah apa yang kau inginkan dariku...!

Ambillah, Nyi..."

“Gawat...!” Jenar sempat berseru di dalam

hatinya. Ia tahu, Jupro tak mampu menghindar

dari jerat Nyi Kembang. Jenar tahu, bahwa Jupro

telah terbius dan lupa akan bahaya yang ada.

Sebenarnya Jenar ingin mengingatkan, tetapi

mulutnya kaku sekali. Tenggorokkannya bagai

tersumbat segumpal nafas yang sulit dihela.

Akhirnya ia hanya menjadi penonton yang

dengan terpaksa membelalakkan mata terus dan

mendengarkan segala erangan serta desahan

birahi beracun itu.

Bahkan ketika Jupro melepaskan tali pengikat

gaun yang bersimpul di kedua pundak Nyi

Kembang itu, Jenar tak dapat mencegah. Tali itu

terbuka, dan gaun tipis itu lepas terkulai di

lantai. Sosok tubuh mulus tanpa cacad sebesar

ujung jarum pun membentang di depan mata

Jenar. Air liurnya tak sempat terkendali. Lebih-

lebih ketika ia pun melihat jari-jemari Nyi

Kembang melepas semua pakaian Jupro dalam

gerakan perlahan-lahan, oooh... Jenar benar-

benar tersiksa dalam hentakan darah mudanya

yang membakar jiwa. Ia ingin berkedip, ia

memaksakan kelopak matanya berulang kali,

tapi yang bisa dilakukan hanya melotot,

membelalak tanpa kedipan sedikit pun.

Nafas Jenar semakin sesak, setelah ia melihat

betapa lincahnya tangan Nyi Kembang

menjelajah ke bagian bawah Jupro. Betapa

lincahnya lidah Nyi Kembang menjalar bagai

ular, dari ujung kepala Jupro sampai ke lutut. Di

situ Nyi Kembang menggigit-gigit kecil, dan

membuat Jupro menyeringai dalam desah

kejantanannya. Bahkan ketika Nyi Kembang

merayapkan lidahnya ke atas lagi, lalu berhenti

di sekitar dada, turun lagi, dan berhenti di

sekitar paha, Jupro kelihatan seperti orang

kesurupan dan geliatan tubuhnya. Tangannya

meremas-remas rambut Nyi Kembang yang

lembut, sementara kepalanya sendiri

mendongak-dongak ke atas dalam desis

mengetarkan lutut Jenar.

Sekali lagi, Jenar berusaha menggerakkan

bibirnya, berusaha menghentakkan suaranya

untuk melontarkan jerit, tetapi tenggorokkannya

benar-benar mampet. Bagai tak ada lobang

sekecil jarum pun yang dapat dipakai

mengeluarkan suara dari dalam tenggorokan

Jenar. Bahkan ketika Nyi Kembang semakin

menggila dalam menggerakkan kepalanya

dalam posisi berlutut, Jenar semakin kuat

hasratnya untuk meraih pedangnya dari meja.

Tetapi jangankan tangan, jari-jarinya pun sukar

dikendalikan. Jari-jari tangan itu sepertinya

beku. Kaku. Hanya bagian leher yang mampu

menggeliat untuk digerakkan.

"Aaaah...!"

Jupro mengerang dalam satu hentakan, dan

tubuhnya mengejang dengan nafas memburu tak

beraturan, la lemas, jatuh ke kiri, tepat di atas

pembaringan berkasur. Saat itu Nyi Kembang

semakin menggila. Ia membujurkan tubuh Jupro

dalam gerakan brutalnya. Kemudian ia berusaha

mengayun sendiri 'perahunya' dan suaranya pun

semakin seronok, semakin mengundang

kebirahian siapa saja yang mendengarnya. Jupro

hanya mengerang dalam geliat hebat. Tubuhnya

yang tertindih Nyi Kembang sama sekali tidak

ada usaha untuk melawan atau memberontak

keluar dari bawah Nyi Kembang. Dan hal itu

membuat Nyi Kembang semakin berjingkerak-

jingkerak seperti terbakar api. Rambutnya

meriap dalam gerakan melambai kian ke mari.

Sesuatu yang menggantung di dadanya,

terayun-ayun bagai pepaya yang hendak rontok

dari tangkainya. Wajah cantiknya meringis,

menjerit tertahan, menggigit-gigit bibirnya

sendiri, tanpa peduli keringat meleleh di

sepanjang punggungnya yang bagai bentangan

sutra susu.

"Uug... aaag... uuuh...!" Jenar berusaha

berteriak. Nyatanya ia hanya bisa ber-ah, ih,

uh...! Tanpa ada makna yang dapat memudarkan

amukan gairah kedua insan itu.

Hanya saja, pada saat Nyi Kembang

meregang, melontarkan erangan lembut yang

memanjang itu, tiba-tiba pintu kamar ditendang

seseorang dari luar.

Braaak...!!

Bukan hanya Jenar yang terlonjak kaget,

melainkan Jupro dan Nyi Kembang pun

menegangkan urat-uratnya. Mereka sama-sama

memandang ke arah pintu, dan di situ sudah

berdiri sosok tubuh yang sedikit gemuk dengan

baju terbuka tanpa kancing dan kelihatan

pusarnya yang terjulur keluar. Suro Bodong

menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat,

lalu ia berusaha menendang tubuh Nyi

Kembang. Tangan Nyi Kembang mengibas,

menangkis tendangan itu sekali pun masih

duduk di atas tubuh Jupro. Tapi, tiba-tiba Jupro

menjerit panjang:

"Aaaauuhh...!!" Tubuhnya mengejang-

ngejang. Nyi Kembang berdiri berusaha

menghadapi Suro Bodong. Pada saat itu Suro

dan Jenar sama-sama terbengong memandang ke

arah paha Jupro.

Paha itu berlumur darah. Bahkan tadi sempat

menyembur ke sekitar paha. Suro dan Jenar

bagai tidak percaya dengan penglihatannya

sendiri, bahwa keadaan Jupro sangat

menyedihkan. Segumpal otot kejantanannya

telah putus. Hilang. Bagai terpotong benda tajam

pada bagian pangkalnya. Ketika itu, tubuh Jupro

yang sudah kehilangan alat kejantanannya itu

menjadi kaku sejenak jenak, lalu menggeliat

lemas dan diam selama-lamanya.

Rupanya Nyi Kembang telah memotong alat

kejantanan itu dengan tenaga dalamnya ketika ia

masih duduk di atas tubuh Jupro dan diserang

oleh Suro Bodong. Rupanya perempuan cantik

itu mempunyai tindakan yang tak secantik

wajahnya. Ia tega menjepit alat kejantanan Jupro

dengan alat kewanitaannya hingga putus tanpa

bekas. Mungkin masih tertinggal di dalam bekas

potongan 'senjata' Jupro itu, karena sisa

potongan itu tidak terlihat tergeletak di suatu

tempat. Jika memang benar begitu,

ooh...alangkah kejamnya tindakan yang jarang

disaksikan oleh Suro Bodong itu. Bukan hanya

mulut atas yang dapat menggigit, tetapi juga

bagian yang istimewa itu mampu menggigit dan

menelan sebatang daging milik Jupro.

Suro Bodong terpental dalam lamunan,

karena saat itu ia baru menyadari bahwa Nyi

Kembang telah mengenakan pakaiannya dengan

cepat kemudian menendang dada Suro dengan

keras. Tubuh Suro terpelanting menabrak Jenar

hingga kepala Jenar membentur dinding. Nyi

Kembang berusaha melesat keluar dari kamar,

tetapi Suro Bodong segera melemparkan pedang

bersarung milik Jenar. Pedang itu melesat cepat,

dan bahkan mampu menancap. Sayang tidak

pada tubuh Nyi Kembang, melainkan menancap

pada kusen pintu yang terbuat dari kayu jati itu.

Jenar makin terbelalak melihat pedangnya

mampu menancap pada kayu walau tanpa

membuka sarungnya. Sudah tentu itu suatu

lemparan bertenaga dalam yang cukup hebat.

Suro Bodong segera melesat keluar mengejar

Nyi Kembang yang lari ke halaman belakang.

Tetapi beberapa saat ia di sana, ia tak melihat

bayangan kain putih yang dikenakan Nyi

Kembang. Perempuan itu hilang! Entah lari

lewat mana. Suro Bodong memeriksa keadaan

sekeliling, namun yang ia temukan bahkan

kedua mayat Tembong dan Gagak dalam

keadaan usus mereka terburai ke luar dari perut.

Mereka juga dalam keadaan telanjang bulat

tanpa selembar benang.

* * *


EMPAT


Ki Lurah tertegun di ruang tamu. Orang-

orang yang habis menguburkan ketiga mayat itu

berkumpul secara berkelompok di halaman

depan. Suro Bodong sengaja menyendiri di

halaman samping. Ia menikmati jagung bakar

kesukaannya sambil memperhatikan beberapa

bunga indah yang ada di pinggir pagar halaman

itu. Ia sepertinya tidak mempunyai rasa sedih

atau gelisah sedikit pun. Ia paling tenang dari

sekian banyak orang.

Bahkan ketika Jenar muncul menemuinya,

Suro Bodong masih bersikap biasa-biasa saja.

Cuek terhadap situasi yang ada. Jenar bicara

dengan wajah yang masih tegang akibat sisa

semalam.

"Kang... Temuilah Ki Lurah sekarang juga...!"

"Nanti saja. Dia sedang pusing memikirkan

bagaimana cara menanam mayat berikutnya,"

jawab Suro Bodong seenaknya. Jenar merasa

kurang suka dengan sikap Suro Bodong.

“Jangan kelewatan sikapmu, Kang. Itu sangat

menyakitkan Ki Lurah. Sekarang bukan hanya

Ki Lurah yang merasa kehilangan, tetapi ada

orang lain yang menuntut Ki Lurah."

"Orang lain? Orang lain siapa?" Suro bicara

tanpa memandang Jenar. Ia bahkan

memperhatikan sekuntum bunga anggrek yang

waktu itu dinamakan bunga bulan ungu.

"Datanglah ke sana. Temui Ki Lurah. Ia dalam

bahaya."

Baru kali ini Suro Bodong berpaling

memandang Jenar, namun tubuhnya masih tetap

membungkuk mendekati bunga, dan tangannya

masih sesekali memetik-metik biji jagung bakar,

lalu melemparkan ke mulurnya.

"Ki Lurah dalam bahaya?"

"Benar, Kang. Apakah kau tadi tidak melihat

seorang kakek yang mengenakan jubah ungu

tua?"

"Kalau pun melihat, mungkin aku akan pura-

pura tidak melihat. Hemm... ada apa dengan

kakek itu?"

"Dia minta Ki Lurah Pucung bertanggung ja-

wab atas kematian Tembong dan Gagak."

"Apa dia kakek mereka?"

"Dia guru Tembong dan Gagak, Kang.

Lihatlah sendiri ke sana, Ki Lurah sedang

terdesak oleh tuntutan itu."

"Ah, biar saja...!" jawab Suro seenaknya.

"Yang penting bukan aku yang menuntut Ki

Lurah."

Jenar menggumam dalam gerutu. Ia

bersungut-sungut. Dan suara orang bergemuruh

di halaman depan. Semua orang bagai

berkumpul menjadi satu pandangan, yaitu

tertuju pada serambi depan yang menjadi ruang

tamu rumah Ki Lurah itu. Suro Bodong sempat

tertarik sebentar, karena waktu itu Jenar pun

segera pergi ke halaman depan. Namun Suro

tidak mau bergerak Ia hanya diam, berdiri di

tempatnya sambil sesekali melemparkan biji

jagung bakar yang dipetik-petik dengan jempol

tangan kanannya.

'Tolonglah ayahku...!"

Tiba-tiba suara itu terlontar dari sudut

rumah, tepatnya dari arah belakang. Dari sana

seorang perempuan berkulit sawo matang

berlari-lari menghampiri Suro Bodong. Dia

adalah Sundari, anak Ki Lurah yang bermata

bulat indah. Usianya masih terbilang muda

untuk seorang janda, namun hal itu justru

membuat Suro Bodong suka memperhatikannya.

"Ayahku dalam ancaman, Kang. Tolonglah

dia...!" Sundari sangat cemas. Ia hanya

mengenakan pinjung, kain sebatas dada dengan

kebaya tipis tanpa kancing. Waktu itu, Suro

Bodong tetap tenang. Masih saja mengunyah

jagung bakar dengan sesekali garuk-garuk

kumis.

'Tolonglah ayahku, Kang Suro...! Tolonglah...!

Ia bisa mati kalau Si Jubah Ungu benar-benar

marah."

"Aku juga bisa mati. Dan semua orang bisa

mati...! Cuma caranya yang beda-beda. Kenapa

kamu ribut soal itu?"

Sundari hampir menangis. Ia sangat

kebingungan. Sedih dan jengkel akibat sikap

Suro Bodong yang acuh tak acuh itu. Ia bergerak

ke depan dengan berlari, namun belum sampai

di tujuan, ia telah kembali dengan kecemasan

yang semakin meningkat.

"Dengar...! Dengar Si Jubah Ungu

membentak-bentak ayahku. Apakah kau tidak

mendengarnya?!" geram Sundari kepada Suro

Bodong yang masih kalem saja.

"Aku mendengarnya, seandainya aku tidak

tuli. Tapi... untuk sementara ini, anggap saja aku

tuli dan tidak mendengarnya," jawab Suro

Bodong masihseenak perutnya.

"Aku... oh, aku takut sekali..." Sundari bagai

bicara pada diri sendiri. Ia tak berani mendekat.

Ia menggigit jarinya menahan rasa takut yang

sangat mencemaskan. Suro Bodong sengaja

membiarkan ketakutan itu, sebab wajah Sundari

enak dipandang dalam keadaan ketakutan

begitu.

"Kenapa hanya memandangiku?!" bentak

Sundari. "Apakah tak ada yang dapat kau

kerjakan untuk menolong ayahmu selain

memandangiku!!"

"Sementara ini belum ada," kata Suro.

"Memandangimu lebih mudah daripada

menolong ayahmu, Sundari."

'Tapi... oh, tapi tolonglah dia dulu. Kumohon

tolonglah dia agar tak menjadi sasaran

kemarahan Jubah Ungu, setelah itu... kau boleh

memandangiku dengan sepuas hatimu.

Tolonglah dia dulu, Kang Suro..."

Suro Bodong tersenyum. "Upah yang paling

kusukai itu.." ucapnya seraya bergegas ke

halaman depan. Langkah kakinya tidak seperti

pendekar, melainkan seperti orang yang sedang

jalan-jalan santai. Menjengkelkan sekali.

Orang-orang berkerumun di depan serambi,

dekat dengan tangga yang terdiri dari lima baris.

Mereka membentuk kelompok yang berada di

sebelah kiri dan kanan, sedangkan bagian tengah

dibiarkan terbuka. Kosong tanpa orang. Seakan

mereka memberi kesempatan kalau-kalau

sampai terjadi keributan yang membuat Ki

Lurah dilempar keluar. Jalanan tengah yang

kosong itu menuju lurus ke pintu pagar. Dan

pada saat itu, hanya Suro Bodong yang berdiri di

jalanan itu. Sendiri. Menonjol jelas. Ada

beberapa mata yang memperhatikan Suro

Bodong, namun ada juga yang belum menyadari

posisi Suro Bodong di situ.

Lelaki tua berambut putih, namun tidak

panjang itu masih membentak-bentak Ki Lurah

yang amat ketakutan. Lelaki yang mengenakan

Jubah Ungu itu juga belum menyadari tampilnya

Suro Bodong yang bagai menghadang jalan

keluar. Sedangkan Suro Bodong masih kelihatan

kalem. Ia memetik-metik biji jagung bakar, lalu

melahapnya dengan sikap tenang.

Terdengar suara Si Jubah Ungu membentak

Ki Lurah dengan suaranya yang masih lantang:

"Kematian muridku adalah

tanggungjawabmu! Karena kau yang datang

kepadaku, menyewa padaku, dan kau pula yang

harus menebus kematian kedua muridku,

Tahu?!"

'Tetapi..." Ki Lurah gemetaran, demikian juga

Nyai Lurah yang berpegangan erat lengan

suaminya. 'Soal kematian Tembong dan Gagak,

adalah kecelakaan! Ia dibunuh oleh...!"

"Aku tahu!" sahut Jubah Ungu dengan

bentakan. "Tapi kau menyewanya bukan untuk

dibunuh, kan? Kau menyewanya hanya untuk

melindungi, melindungi keluargamu ini, kan?

Aku tidak pernah mengizinkan kau

menyewanya untuk mati! Dan sekarang kalau

mereka mati, aku akan menuntutmu! Harga

nyawanya, seratus kali lipat dari harga sewa

yang kau bayarkan itu!"

'Itu terlalu mahal, Eyang guru..." jawab Ki

Lurah. "Aku tidak mempunyai uang sebanyak

itu...!"

"Kalau begitu, tebus dengan cara lain!" seru

seorang lelaki yang mengenakan rompi warna

biru di samping Jubah Ungu. Pada saat itu, Jenar

mendekati Suro Bodong dan berbisik

"Cepatlah bertindak! Tapi hati-hati,.kedua

orang yang mengenakan baju pendek biru dan

kuning itu juga murid Si Jubah Ungu. Mereka

adalah orang sewaan Raden Bargawa. Rupanya

ada ikatan kerjasama antara jago-jago sewaan di

sini dengan jago-jago sewaan di rumah Raden

Bargawa..."

"Kalau kau mau selamat, menyingkirlah,"

geram Suro Bodong yang tidak suka jika didikte

oleh orang seperti Jenar. Tanpa berpikir panjang,

Jenar pun segera pergi, dan Suro Bodong

menyimak kembali tuntutan Jubah Ungu itu.

"Eyang guru..." tutur Lurah Pucung. "Eyang

tahu sendiri, bahwa masa panen tahun ini

mengalami kemerosotan. Jadi, dari mana kami

dapat menebus tuntutan itu? Dan... cara lain apa

yang dimaksudkan tadi?!"

"Kau masih punya anak gadis bukan?!" kata

yang mengenakan rompi kuning. "Meskipun dia

sudah bukan gadis lagi, tapi mungkin dia bisa

mengurangi beban tanggungjawabmu atas

kematian saudara-saudara kami...!"

"Benar! Itulah cara lain yang bisa kau

lakukan!" kata Jubah Ungu.

Tiba-tjba Suro Bodong menyahut dengan

suara keras bernada canda:

"Wah... kalau cuma ingin mengincar

perempuan, kawin saja dengan Nyi Kembang

Laras...!!"

Suara itu bukan hanya mengagetkan Jubah

ungu dan kedua muridnya, namun semua orang

yang ada di situ jadi memandang Suro Bodong

secara serempak. Guman dan kasak kusuk

kembali terdengar. Suro Bodong masih tenang

memetik-metik jagung bakar, dan ia pun tetap

berkata lantang :

“Itu namanya pemerasan! Rupanya ada pihak

yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk

memeras orang yang sudah menderita!

Hahh...lucu sekali permainan ini, ya?" Suro

bertaya kepada orang-orang, namun mereka

menjawab dalam gumam yang ngambang,

karena takut terlibat.

Jubah Ungu menggeram. Tongkatnya

dihentakkan ke lantai, lalu kedua muridnya

yang mempunyai tinggi badan sama itu maju ke

depan, menuruni tangga satu baris. Mereka

berdiri di kanan kiri jalan, seakan mendampingi

langkah Jubah Ungu yang kemudian turun ke

anak tangga kedua dari atas.

Mata Jubah Ungu yang sudah sedikit

berkeriput namun beralis putih itu memandang

tajam ke arah Suro Bodong. Dan pada saat

itu,Suro Bodong merasa tidak sedang di

pandang. Ia tetap tenang. Berdiri santai, tidak

tegap. Baju merah potongan jubah yang tidak

dikancingkan itu dibiarkan meriap-riap diterpa

angin yang kebetulan berhembus. Rambut

panjang tak teratur yang diikat kain merah darah

itu juga dibiarkan meriap beberapa helai ke

wajahnya. Ia tetap menikmati jagung bakarnya

dengan tenang.

"Siapa dia...?!" tanya Jubah Ungu kepada

mereka yang berkerumun di samping kanan

rumah. Tapi dari mereka tak ada yang berani

memberi jawaban.

"Hei, siapa kamu? Apa urusanmu ikut

menimpali pembicaraan kami?!" gertak Jubah

Ungu dengan mata menyipit.

"Yang jelas, aku bukan seorang pemeras!"

Suro Bodong bicara agak tak jelas, karena sambil

mengunyah jagung.

"Srengono...! Sonto...! Beri dia pelajaran agar

pandai menjaga mulut!" perintah Jubah Ungu.

Lalu kedua muridnya yang berdada besar, dan

kekar Itu, berjalan seirama mendekati Suro

Bodong. Mereka bagai mengepung dari dua

arah; kiri dan kanan. Tatapi Suro Bodong tidak

merubah sikapnya yang acuh-acuh saja terhadap

bahaya seperti itu. Ia tetap memetik-metik jagung

bakar dengan tenang. Sesekali menggaruk kumis

dengan jari telunjuknya, sesekali melemparkan

biji jagung ke mulutnya. Orang-orang yang

menyaksikan hal itu sudah menyimpan

kecemasan di dalam hati. Bahkan Jenar sempat

berbisik kepada salah seorang yang dikenalnya:

"Ah, Kang Suro itu orangnya suka

menyepelekan lawan! Kenapa dia tidak mau

segera bersiap menghadapi serangan Srenggono

dan Sonto...?! Uuh... payah dia!"

"Hei, Setan Buruk..." sapa Sonto kepada Suro

Bodong. "Sebaiknya kau minta maaf kepada

guruku, supaya aku tidak jadi diperintahkan

menghajarmu! Ayo, lekas...minta maaf!"

Suro Bodong memetik-metik biji jagung

bakar. Ia tersenyum sinis dan berkata,

"Seharusnya gurumu dulu meminta maaf

kepada Ki Lurah atas pemerasannya. Tetapi

kalau memang punya bakat memeras susu sapi,

yah... kurasa memang dia tak perlu minta maaf

kepada Ki Lurah."

"Lancang sekali mulutmu. Terimalah

hukuman ini, hiat...!"

Srenggono yang berompi kuning segera

menyerang Suro Bodong dengan sebuah

pukulan tangan kiri. Suro Bodong menghindar

ke belakang. Pukulan tak sampai pada sasaran.

Srenggono hendak memukul dengan tangan

kanannya, tetapi kaki kanan Suro Bodong

mengibas ke depan dan mengenai rusuk

Srenggono. Pada saat itu, kaki tersebut segera

belok ke kanan. Tumit Suro Bodong

menghantam pinggul Sonto yang hendak

menendang Suro dengan kaki kiri. Keduanya

mengaduh karena merasakan linu pada tulang-

tulangnya.

Kesempatan itu digunakan Suro Bodong

untuk memakan biji jagung yang sudah di

tangan. Ia mengunyahnya dengan santai sekali,

sehingga banyak orang yang kagum kepada

sikap dan keberaniannya. Bahkan pada saat

Srenggono mencabut senjatanya, berupa rantai

berujung mata tombak, Suro Bodong tidak

menampakkan kesiapsiagaannya. Rantai itu

melecut ke arah kepala Suro Bodong.

"Ziiing...!"

Kepala Suro Bodong merunduk. Tangannya

masih sempat memetik-metikbiji jagung bakar.

Orang-orang sangat heran dangemas sendiri.

"Hiaaaat...!!" Sonto menerjang ke arah

punggung Suro Bodong yang merunduk dengan

sebuah tendangan melayang. Tetapi Suro

Bodong sibuk berkelit menghindari putaran

balik dari ujung rantai Srenggono itu. Hampir

saja ia terkena tendangan Sonto ketika ia

menegakkan badan dan tahu-tahu kaki Sonto

sudah berada di depan hidungnya. Dengan

cepat Suro menangkis kaki itu memakai lengan

kirinya. Ia membuang arah tendangan tersebut,

namun tangan kanannya yang telah memegangi

biji-biji jagung itu segera ditebarkan ke arah

wajah Sonto.

"Makan jagung ini, heeaah...!!" seru Suro

Bodong.

"Aaahk...!!" Sonto menjerit kesakitan.

Rupanya biji jagung itu bukan sembarang

jagung, melainkan mempunyai kekuatan tenaga

dalam yang mampu berubah menjadi biji-biji

besi yang tajam. Salah satu mata Sonto terkena

sebiji jagung dan berdarah. Sonto menjerit-jerit

seraya menutupi bagian mata yang terluka dan

berdarah itu.

Srenggono terbengong, Suro Bodong tertawa.

Katanya:

"Itu baru biji jagung, bukan bijiku sendiri.

Maksudku biji kekuatan intiku..." Ia menetralisir

anggapan orang yang menertawakan kata-

katanya.

"Keparat kau...!!" geram Srenggono,

kemudian ia melayang seraya memutar-

mutarkan rantai berujung tombak tajam, kendati

gagang tombaknya tak kurang dari sejengkal.

Hal itu sempat membuat Suro Bodong

menggeragap. Dan kaki Srenggono menjejak

lengan Suro Bodong dengan keras. Akibatnya

Suro Bodong tersungkur jatuh tepat di kaki

Sonto yang kesakitan itu. Maka ke kesempatan

itu digunakan Sonto untuk menginjak batang

leher Suro Bodong.

"Ngeeekk...!!" Batang leher Suro Bodong

ditekannya kuat.

"Tahan begitu, Sonto...!!" teriak Srenggono

yang segera hendak mencambukkan rantainya.

Diperkirakan, ujung rantai itu akan menembus

perut Suro Bodong tanpa ampun lagi. Tetapi,

Suro Bodong justru menghentakkan kakinya

pada saat rantai Srenggono melecutnya.

Hentakan itu membuat kedua kakinya melayang

dan pinggangnya menekuk ke belakang. Ujung

rantai menancap di tanah, tempat perut Suro

Bodong berada tadi. Tapi kaki Suro Bodong telah

berhasil menendang pinggang Sonto dengan

kuat dan keras. Sonto terlempar beberapa meter

karenanya. Sementara tangan kirinya masih

memegangi biji mata yang terluka parah itu.

Tubuh Suro Bodong tidak langsung menekuk ke

belakang dan berguling, melainkan justru ia

menggunakan punggungnya untuk

menghentakkan badan. Tubuhnya seperti udang

yang melecit dari sela bebatuan. Tahu-tahu ia

dapat berdiri tegap. Namun diluar kesadaran ia

telah melangkahi rantai Srenggono yang

ujungnya menancap pada tanah. Jelas kalau

Srenggono menarik rantainya dalam satu

hentakan, maka ujung rantai itu akan melesat ke

atas dalam kemiringan tertentu. Dan hal itu pasti

akan membuat pantat Suro Bodong ditembus

mata tombak itu.

Perkiraan Suro Bodong sungguh tepat. Rantai

dihentakkan dalam satu tehnik tarikan khusus.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, Tubuh Suro

Bodong melayang dan bersalto ke belakang

sebanyak lima kali.

"Heaaaat...!!" teriakan itu begitu keras dan

membuat mata yang memandangnya menjadi

kalang kabut. Sebab pada saat putaran salto

yang ketiga, rantai Srenggono menyusul

gerakannya, sehingga apabila Suro tidak

menambah gerakan salto ketika itu, maka begitu

ia menapak ke tanah, dadanya akan dihunjam

ujung tombak yang terkait di rantai Srenggono.

Walaupun Suro Bodong sendiri merasa

menyesal, mengapa ia bersalto sampai lima kali.

Sebab dengan cara itu, maka ia telah

menggunakan jurus saktinya yang bernama

Luing Ayan-5. Artinya bersalto lima kali tanpa

menyentuh tanah. Dan hal itu mengakibatkan

sosok tubuh Suro Bodong berubah bentuk.

Ketika kakinya mendarat ke tanah dengan

sempurna, maka gumam semua orang bagai

irama gaung bernada kagum dan heran. Mereka

terkejut semua, termasuk Ki Lurah.

Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang

kakek berambut putih, alis dan jenggot serta

kumisnya juga berwarna seputih serat-serat

sutera. Tubuhnya sedikit bungkuk. Matanya

sipit karena kerut ketuaannya. Ia mengenakan

jubah hijau, sedang baju dalam serta celananya

berwarna putih kusam. Di tangannya

menggenggam sebatang tongkat yang berujung

tengkorak kecil. Tengkorak seekor monyet.

Tongkat itu digunakan menopang tubuhnya

yang sedikit bungkuk. Dan anehnya, ia menjadi

murah senyum, memperlihatkan gusi-gusi tanpa

gigi.

Srenggono berhenti menyerang. Matanya

memandang takjub, demikian pula dengan

Jubah Ungu dan yang lainnya. Mata mereka

seakan tak mau berkedip menyaksikan keajaiban

yang baru kali ini pernah mereka temukan.

Tubuh yang semula sedikit gemuk dengan wajah

kasar, mantap, kini telah berubah menjadi

seorang kakek usia lebih dari 80-an, dan

memiliki mimik wajah yang lucu. Murah

senyum lagi.

"Kenapa kalian memandangku seperti itu?

Apa kalian belum pernah melihat seorang kakek

setua aku?!" katanya kepada semua orang.

Sebentar-sebentar ia tersenyum kepada siapa

saja yang dipandangnya. Bahkan ia juga

tersenyum kepada Jubah Ungu yang

terbengong-bengong menatapnya.

"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Jubah

Ungu setelah terhindar dari cekaman kagumnya.

"Namaku...: Rekso Upo...! Kau belum kenal

denganku, Jubah Ungu?! He, he, he... tentu saja

kau tidak mengenalku, karena kau sibuk

memeras orang!"

"Rekso Upo...! Jaga mulutmu kalau ingin

nyawamu masih utuh!" bentak Jubah Ungu.

"Maklumilah saja... Orang setua aku mana

bisa menjaga mulut. Jangankan menjaga mulut,

menjaga gigi saja susah. Lihat, gigiku pada

berlarian ke mana-mana sampai tak kumiliki

satu pun. Nih, hiii...!" Rekso Upo meringis

menampakkan gusinya yang sepi tanpa

penghuni. Orang banyak yang tertawa mengikik,

antara geli dan rasa takut. Rekso Upo,

perubahan ujud Suro Bodong itu, ikut pula

tertawa dan menuding orang-orang yang

menertawakannya.

Ki Lurah dan Nyai Lurah saling berpandang-

pandangan dalam kebingungan, terlebih Jenar

yang sejak tadi tak sempat menutup mulutnya.

Dan Sundari...? Sundari tidak melihat hal itu,

sebab ia bersembunyi di belakang rumah, di

suatu tempat yang menurutnya aman.

"Rekso Upo...! Silakan pergi, aku tidak punya

urusan denganmu!" gertak Jubah Ungu.

"He, he, he...pergi ke mana? Aku sendiri

bingung sekarang aku ada di mana?"

"Dari mana asalmu sebenarnya, hah?!" hardik

Srenggono.

"Asalku...?! Asalku dari... dari..." Rekso Upo

berpikir, dahinya semakin berkerut, menyipitkan

mata kian kecil. Dengan suara tuanya ia berkata

lagi, "Dari mana enaknya, ya?"

"Jangan main-main dengan kami, Tua

Bangka...!!" bentak Srenggono dengan

kegeramannya. Tapi hal itu justru ditertawakan

oleh Rekso Upo.

"Kenapa harus membentak-bentak, Anak

Muda...? Aku benar-benar tidak tahu, dari mana

aku. Bahkan aku tidak tahu kalau namaku Rekso

Upo..."

"Nah, itu kau telah menyebutkannya!

Menyebutkan namamu sendiri, kan?"

Rekso Upo heran. "O, ya...? Apakah aku

sudah menyebutkan namaku?"

"Kau bilang tadi namamu Rekso Upo...?!"

"Ooo..." Rekso Upo manggut-manggut. "Su-

dah kusebutkan, ya? Kok aku tidak merasa...?" Ia

terheran-heran sendiri. Kemudian Jubah Ungu

memerintahkan Srenggono untuk membawa

pergi kakek tua itu.

"Srenggono, seret dia...! Aku tidak butuh

orang linglung ini...!"

Srenggono maju selangkah, tetapi Rekso Upo

mundur dan mencegah. "Jangan...! Aku tidak

mau digendong siapa pun!"

"Siapa yang mau menggendong kamu,

Pikun?!" bentak Srenggono. Lalu dia melangkah

lagi, dan Rekso Upo mundur kembali 'Tidak...!

Aku tidak mau dipikul...!"

"Tidak ada yang mau memikul kamu, Se-

tan...!" .

"Naaah...kalau ketan aku doyan...!" katanya

yang semakin membuat Srenggono dan Jubah

Ungu dongkol

"Srenggono, jangan banyak omong; seret saja

dia!" perintah Jubah Ungu. Lalu, Srenggono

segera maju, mencengkeram jubah hijau Rekso

Upo dan menyeretnya keluar halaman rumah Ki

Lurah Pucung.

Tetapi, Rekso Upo bertahan, tidak mau

diseret keluar. "Jangan kasar-kasar sama orang

tua. He, he... bajuku nanti robek, Tolol...!"

Rekso Upo tetap diseret paksa. Kemudian

dengan cepat dia menyodokkan ujung

tongkatnya yang berkepala tengkorak monyet

kecil. Benda tersebut menghantam rusuk

Srenggono dan membuat Srenggono menjerit

kesakitan. Bahkan ia sempat terpental menabrak

salah satu pohon, walau sebenarnya sodokan

Rekso Upo itu bagai tak bertenaga sama sekali.

"O, oh... maafkanaku, Nak...!" katanya kepada

Srenggono. "Maklum, namanya saja orang tua,

kalau bergerak suka sembrono...!"

Tangan kanan Srenggono melayang cepat

hendak menampar Rekso Upo. Tapi tongkat itu

bergerak naik dengan cepat, sehingga tangan

Srenggono menyangkut pada tongkat tersebut.

Kemudian tongkat itu membalik, ujung yang

tadinya menapak pada tanah menjadi terarah

pada dada Srenggono, kemudian sengaja

disodokkan dengan gerakan tak bertenaga.

Tetapi justru hal itu membuat Srenggono

mendelik dengan tubuh melengkung ke

belakang dan kepala menjorok ke depan. Kedua

tangan Srenggono mengembang ke kanan kiri

dengan siku sedikit tertekuk. Mulutnya

melongo, dan repotnya lagi, tubuh itu tiba-tiba

kaku. Menjadi seperti patung yang masih berna-

fas. Rupanya Rekso Upo berhasil menotok

peredaran darahnya, mengenai salah satu urat

yang ada di samping ulu hati, lalu membuat

tubuh Srenggono kaku seperti itu.

"He, he, he... kalau begini kau malah seperti

gorila!" kata Rekso Upo. "Kau seperti tengkorak

di tongkatku ini. Eh, kau percaya apa tidak, ini

tengkorak gorila raksasa sebenarnya. Tapi

karena sering terkena udara lembab jadi

mengecil begini..."

"Bangsat...!!" teriak Jubah Ungu dengan

kemarahannya. Ia melangkah, Rekso Upo

berpaling dan bertanya:

'Siapa yang berangkat? Aku? Ah, aku belum

mau berangkat ke mana-mana kok.."

"Kau telah membuat muridku seperti itu,

Iblis!" bentak Jubah Ungu.

Rekso Upo menanggapinya dengan senyum

dan tawa. "Eeh...Jubah Ungu, kita ini sudah

sama-sama tua. Jangan suka bicara soal

perempuan mulus..."

'Tuli! Aku tidak bicara soal perempuan

mulus! Kukatakan padamu, bahwa kau Iblis!

Bukan perempuan mulus!" teriak Jubah Ungu

dengan jengkel sekail

"Ooo...kamu mengatakan aku iblis? Wah, aku

tidak keberatan, sebab yang mengatakannya

anak kuntilanak, kan? He, he, he...!"

"Rekso Upo, kalau mendengar omonganmu,

bisa panas hatiku. Sekarang sebaiknya terimalah

jurus perkenalanku ini, hiaat..."

Jubah Ungu mengibaskan tongkatnya yang

berujung mata pancing bercabang empat. Batang

tongkat yang melesat menebas kepala Rekso

Upo ditangkis dengan tongkat juga.

Trak...!"

Jubah Ungu segera menyodokkan tongkatnya

ke arah wajah Rekso Upo.

"Wesss...!"

Rekso Upo memiringkan kepala ke kiri untuk

menghindari sodokan tongkat berujung empat

mata kail yang berukuran besar, seperti clurit

kecil.

"Eh, untung tidak kena. Wah... kalau main-

main dengan tongkat jangan main sodok begini,

Jubah Ungu..." kata Rekso Upo sambil

menghindari tendangan kaki kiri Jubah Ungu

yang hendak menendang kepala Rekso Upo.

Pada saat Rekso Upo menghindari tendangan

kaki kiri lawannya, tongkatnya digerakkan ke

samping, seakan hendak menyodok perut lawan.

Tapi seketika itu tongkat segera kembali dengan

ujung bagian bawahnya miring ke arah

pinggang lawan. Kakinya maju ke depan

sehingga ia nyaris terkena pukulan telak dari

Jubah Ungu. Namun sebelum Jubah Ungu

sempat menghantam wajah Rekso Upo, ujung

tongkat itu menusuk pinggang Jubah Ungu.

Gerakannya pendek, namun mempunyai

hentakan tenaga dalam yang murni sehingga

tubuh Jubah Ungu terpelanting ke samping.

Keadaan Jubah Ungu yang limbung itu

dimanfaatkan oleh kaki kanan Rekso Upo yang

menendang ke belakang. Telapak kaki Rekso

Upo tepat mengenai pangkal leher sehingga

Jubah Ungu mendelik dan mengalami kesukaran

bernapas. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung

ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Rekso

Upo diam, berdiri bertopang tongkat dan

menertawakan keadaan Jubah Ungu.

"He, he... belum minum tuak sudah mabok

sempoyongan begitu, kau! Uuh... puayaaah...!.

He, he,he...!"

Jubah Ungu segera menggerakkan

tongkatnya ke arah samping dengan satu kaki

menekuk ke kaki lainnya. Kemudian tongkat itu

diangkat melintang di depan matanya dengan

dipegang kedua tangan. Tubuhnya merendah,

kakinya melebar, lalu dengan cepat ia hentakkan

ujung tongkat bersenjata mata kail itu ke depan.

"Hiaaat...!!"

Dan dari sela-sela keempat mata kail itu

keluarlah asap biru, seolah melesat dari tengah

ujung tongkat. Asap biru kehitam-hitaman itu

menyembur ke arah wajah Rekso Upo.

Hebatnya, asap itu tidak mengepul ke mana-

mana, melainkan membentuk satu gumpalan

seperti bunga mawar besar yang melesat tertuju

pada wajah Rekso Upo.

"Aha... racun ganas ini, ya...?!" Rekso Upo

masih bisa menganggap remeh serangan

tersebut. Dan ia segera menggerakkan

tongkatnya, berputar cepat di antara jemarinya

bagai baling-baling raksasa. Putaran itu

menimbulkan arus angin yang kian lama kian

menjadi besar, dan menyerupai topan.

Akibatnya asap biru kehitam-hitaman itu

melayang ke atas bagai tertiup angin kencang

dan menghilang di ketinggian awan. Sisa

anginnya masih sempat membuat daun-daun

bergerak tak teratur, barang-barang ringan

terbang terbawa hembusan angin aneh itu.

Bahkan beberapa orang ada yang takut terbawa

terbang angin hingga harus saling berpegangan.

Namun, hal itu segera menjadi reda setelah

Rekso Upo menghentikan gerakan tongkatnya.

Begitu tongkat berhenti, ia melemparkannya

bagai melempar sebuah tongkat ke arah Jubah

Ungu. Jubah Ungu menangkis tongkat tersebut,

namun tongkat itu tidak mau berhenti

menyerang. Akhirnya, dalam satu kelengahan

tongkat Rekso Upo menancap di dada Jubah

Ungu, tepat di jantungnya. Tembus! Jubah Ungu

menggeliat, mendelik, dan rubuh kehilangan

nafas. Hampir semua orang menggumam kagum

dalam kengerian.

* * *


LIMA


Peristiwa itu membuat gempar di seluruh

pelosok desa. Nama Suro Bodong dan Rekso

Upo selalu berkaitan dan disebut-sebutkan oleh

setiap mulut. Suro Bodong sendiri sampai

merasa tak enak karena dipandang kagum oleh

setiap orang yang berpapasan dengannya

"Aku ingin pergi dari desa ini," kata Suro Bo-

dong yang sejak peristiwa pertarungan dengan

Jubah Ungu, ia sudah berubah kembali ke ujud

asalnya dengan bersalto di udara satu kali.

Ki Lurah keberatan jika Suro Bodong harus

pergi. Terutama Sundari yang menjanda itu.

"Kenapa Kang Suro harus pergi? Apakah

pelayanan kami di sini tidak memuaskan Kang

Suro?" tanya Sundari pada suatu malam. Suro

Bodong menggeleng. Ia sibuk mengunyah

jagung bakarnya.

"Bukan soal pelayanan," katanya. "Tapi justru

sikap dan anggapan masyarakat desa Manggar

ini terlalu berlebihan kepadaku, terlalu

mengagungkan diri, aku jadi serba salah

jadinya."

Suro Bodong, sejak peristiwa pertarungan

dengan Jubah Ungu yang kondang sebagai

tokoh sakti di dunia persilatan, selalu menjadi

sanjungan setiap warga desa. Tiga malam Suro

berada di desa Manggar, dan selama itu ia

berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi

Kembang Laras. Secara tidak disuruh oleh siapa

pun, Suro Bodong selalu keliling desa bila

malam tiba. Justru ia bisa tidur jika siang hari.

Dan dua malam yang lalu, ia telah berhasil

menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang

dengan mencoba melawannya.

Sayang, Nyi Kembang Laras selalu saja

melarikan diri dengan cepat. Seakan ia tahu

bahwa lawannya kali ini bukan orang

sembarangan. Nyi Kembang selalu pergi dengan

meninggalkan ancaman:

"Ada saatnya sendiri untuk kamu,

Jahanam...!"

Hanya itu yang didengar Suro Bodong.

Selebihnya Nyi Kembang tidak pernah

melontarkan kata apapun. Jika kepergok Suro

Bodong, ia cepat menghindar sekalipun

menyerang sejenak kemudian lari.

Suro Bodong sendiri tidak tahu, mengapa Nyi

Kembang tak mau melayani pertarungan

dengannya? Padahal menurut banyak cerita,

setiap orang yang hendak menghalangi niat Nyi

Kembang selalu saja menjadi korban yang paling

keji. Ini suatu keanehan yang sempat

mengganggu pikiran Suro Bodong. Hanya saja ia

tak pernah bercerita kepada siapa pun. Bahkan

ketika Sundari menanyakannya, Suro Bodong

hanya berkata:

'Tanyakanlah kepada Nyi Kembang sendiri.

Dia yang takut kepadaku, bukan aku yang takut

kepadanya..."

Sundari merasa aman jika Suro Bodong tetap

tinggal di rumahnya, sebagai pengganti

Tembong dan Gagak yang hanya sekali gebrak

langsung tak mau bernapas lagi itu.

'Tapi kalau aku tetap tinggal di sini," kata

Suro Bodong kepada Sundari, "Aku takut

keluargamu menjadi korban keganasan Nyi

Kembang."

"Apakah... apakah hal itu akan terjadi, Kang?"

Sundari memandang sayu kepada Suro Bodong.

"Ya. Pasti. Sebab untuk melemahkan

keberanianku, untuk mengguncangkan jiwaku,

ia akan membunuh keluarga ini. Termasuk juga

kau, Sundari."

Sundari kelihatan gelisah. Ia mengusap

lengannya yang mulai merinding, la merapatkan

duduknya, semakin dekat Suro Bodong.

Perasaan takut tergambar lewat gerak mata dan

getaran tangannya.

"Apakah kau akan membiarkan Nyi

Kembang menyentuhku, Kang?" pancing

Sundari dengan satu maksud tertentu.

"Kalau hanya menyentuhmu, kenapa aku ha-

rus marah?"

Sundari mendesah. Kurang suka mendengar

jawaban itu.

Ki Lurah sendiri sempat mengajukan tawaran

khusus ketika mendengar Suro Bodong ingin

meninggalkan desa itu.

"Berapa kami harus membayarmu? Sebutkan

saja jumlahnya, kami akan setuju. Sebab Raden

Bargawa sendiri sudah menjalin kesepakatan

denganku untuk membayarmu sesuai dengan

permintaanmu, Suro. Yang penting bagi kami

adalah membuat desa Manggar ini menjadi

aman seperti sediakala."

Waktu itu, Suro hanya memperlihatkan

senyum hambar. Ia garuk-garuk kumis sebentar,

lalu sambil memetik-metik jagung bakar

kesukaannya, ia menjawab:

"Aku tidak mempunyai harga. Tetapi

kekayaan desa ini pun tak akan mampu

membeliku, Ki Lurah. Hanya ada satu yang

mampu membayarku..."

Ki Lurah dan istrinya memandang Suro

Bodong yang berhenti sejenak. Sundari merasa

tegang waktu Suro Bodong menghela nafas.

Tetapi Suro bagai tidak merasa ditunggu

kelanjutannya Ia enak-enakkan makan jagung

bakar dengan santai.

"Katakan, Suro..."

"Ya, lanjutkan kata-katamu, Kang," Sundari

menimpali.

Kemudian Suro pun menjawab, "Carikan aku

perempuan"

Ki Lurah dan istrinya tertawa. Sundari

tersenyum malu. Kemudian Suro melanjutkan

lagi:

"Hanya perempuan yang bernama Ratna

Prawesti yang mampu membuatku bertahan di

desa ini..."

Sekarang, ketiga orang itu saling bungkam,

saling pandang sejenak, kemudian saling

merenung. Ki Lurah mengulangi kata Ratna

Prawesti dengan suara lirih, kemudian juga

istrinya. Tetapi Sundari menunjuk. Wajahnya

hambar tak mempunyai sinar kecerahan sedikit

pun.

"Bagaimana kalau perempuan lain, mungkin

yang menjadi kembang di desa Manggar ini?"

tawar Ki Lurah setelah terbungkam beberapa

lama.

Sundari tak berani mengangkat wajah, karena

dia tahu, bahwa kembang desa yang dimaksud

ayahnya itu tak lain dari dirinya sendiri. Tetapi

apa jawab Suro Bodong?

"Hanya dia yang kucari dalam hidupku. Dan

hanya dia yang dapat kujadikan pelabuhan

hatiku..."

Wih, puitis sekali Tapi memang begitulah

Suro, kadang ia mampu berbahasa baik, tapi jika

disuruh mengulang, kebingungan. Ia sering

meniru kata manis yang diucapkan orang lain.

Bagi Sundari, kata-kata itu adalah getah yang

pahit di telannya. Sebab secara diam-diam,

rupanya hati Sundari menaruh simpati kepada

Suro Bodong dengan segala kehebatan ilmunya.

Sundari sadar, Suro Bodong banyak lebih tua

darinya. Sundari juga sadar bahwa wajah Suro

Bodong tidak tampan, bahkan terkadang

sifatnya pun kaku. Tetapi Sundari juga sadar

bahwa Suro Bodong mampu menyelesaikan

segala macam perkara dengan gayanya sendiri.

Wajah Suro memang kasar. Tetapi di balik

kekasarannya itu, Sundari menemukan suatu

kelembutan hati yang jarang di miliki lelaki lain.

Dari pembicaraan demi pembicaraan yang

dilakukan Sundari dan Suro di sela keheningan

malam, atau di ambang keredupan senja, ada

sesuatu yang bisa diperoleh Sundari. Sesuatu itu

adalah rasa tanggung jawab seorang lelaki, baik

kepada keluarga atau pun kepada tugas, sudah

dimiliki oleh Suro Bodong. Sundari bisa

mengambil kesimpulan tersebut melalui tanya

jawab yang ia lakukan dengan penuh

penghayatan. Rupanya Sundari bukan

perempuan bodoh. Ia mempunyai otak cerdas

sehingga Suro Bodong tidak pernah merasa

dipantau segala gerak dan sikapnya oleh

Sundari. Suro menganggap, Sundari hanya

seorang janda yang butuh kesibukan untuk

membuang rasa sepi di hatinya.

Ternyata anggapan itu keliru. Jauh keliru,

melesat dari dugaaan Suro Bodong. Maka,

wajarlah kalau Suro Bodong tercengang ketika

pada suatu malam, sebelum Suro Bodong

keliling desa mengontrol suasana, Sundari

sempat berkata:

"Bagaimana kalau aku ikut keliling, Kang?"

"Nanti kamu pusing," jawab Suro Bodong

seenaknya seraya mengenakan baju merahnya.

Sundari masih berdiri di depan pintu kamar

khusus Suro Bodong.

"Aku perlu mendampingimu," desah Sundari.

"Kenapa? Alasanmu apa?"

"Aku khawatir kalau Nyi Kembang mampu

memikatmu, dan kau akan pergi ke Hutan

Tengkorak dengannya."

Suro Bodong diam saja, seakan tidak

mendengar. Namun sebenarnya ia tahu, Sundari

mulai menaruh kecemburuan pada dirinya. Dan

ini membuat Suro gelisah.

"Dia cantik, Kang..." ujar Sundari pelan.

"Memang. Tapi... aku tak akan terpikat oleh

kecantikan manusia berhati iblis. Aku masih

waras." bisik Suro.

'Tapi dia punya cara sendiri seperti yang

dituturkan Jenar sewaktu ia menguasai Jupro,

Kang. Kalau kau terkena sinar kuning yang

keluar dari matanya, tentu kau tak akan bisa

menyadari keadaandirimu. Kau akan terbius dan

akhirnya kau akan mau diajak ke Hutan

Tenkorak Lalu... lalu kau akan menjadi raja

baginya di sana."

Suro Bodong keluar dari kamar. "Ah, jangan

berpikiran seperti itu, nanti aku jadi ngiler...!" ka-

tanya seraya pergi ke serambi depan. Tetapi pada

saat itu Sundari masih ikut juga seraya berjalan

agak cepat untuk sejajar dengan Suro Bodong.

Ketika sampai di halaman depan, dan

Sundari masih ikut, Suro Bodong berhenti

melangkah, lalu berkata:

"Aku mau perang, Sundari. Bukan mau

nonton wayang!"

"Aku mau ikut perang, Kang!"

"Uuh...! Gombal!" geram Suro Bodong yang

merasa sia-sia melarang dengan kata apa pun.

Akhirnya Suro Bodong membiarkan Sundari

ikut serta keliling desa.

Malam itu, bulan nongol di balik awan. Tidak

sepenuhnya menyoroti bumi, namun sudah

cukup membuat alam gelap menjadi remang.

Rumput di tanah terlihat, dan raut-raut wajah

yang sempat berpapasan dengan Suro juga bisa

dikenali, kendati tidak mengenali namanya.

Perjalanan malam, seperti perjalanan

sepasang muda mudi yang sedang dirundung

cinta. Malam itu tak ada ketegangan, tak ada

kengerian, dan tak ada teror yang selama ini

selalu mencekam penduduk desa. Malam itu

begitu mulus, bahkan Suro Bodong hampir saja

terbius dalam amukan birahi saat Sundari

merebah dalam dadanya, dan minta dipeluk

oleh Suro Bodong.

Kalau saja Suro tidak selalu ingat Ratna

Prawesti, mungkin ia telah hanyut dalam buaian

birahi yang menyalak-nyalak. Kalau saja Suro

tidak menjaga debaran jantungnya, mungkin ia

telah merenggut suatu kebahagiaan yang hangat

bersama Sundari di sela rimbun semak ilalang.

Hanya saja, pada malam berikutnya, Suro

Bodong tidak mau diganggu oleh gelitik birahi

seperti kemarin malam. Sebab itu ia keluar dari

rumah tanpa setahu Sundari. Dan ia dapat

merasakan betapa pentingnya pergi malam

tanpa Sundari, karena ia dapat memusatkan

pikiran dan mempertinggi kewaspadaan.


Nyatanya, pada malam ini, Suro Bodong sem-

pat melihat sekelebat bayangan putih menyusup

melalui rimbunan semak di belakang rumah

Raden Bargawa. Dulu, tepatnya setelah ia

berhasil membunuh Si Jubah Ungu, ia pernah

bertandang ke rumah Raden Bargawa. Orang

keturunan Tumenggung itu sempat membujuk

Suro untuk menjadi orang bayarannya. Tetapi,

waktu itu Suro hanya menjawab:

"Bukan maksudku menolak tawaranmu,

melainkan aku tidak ingin terikat oleh suatu

perjanjian dengan siapa pun. Tetapi,

percayalah... aku akan sering-sering memeriksa

sekitar rumah ini juga untuk menjaga

keluargamu. Kau tak perlu khawatir tentang hal

itu, Raden Bargawa..."

Dan sekarang, ketika terlihat bayangan putih

menyusup di antara rimbun semak di sekitar

belakang rumah Raden Bargawa, Suro Bodong

merasa berkewajiban memeriksanya. Ia

mengendap-endap ke arah rimbunan semak itu,

lalu diam di suatu tempat yang terlindung.

Matanya masih mampu memandang penuh

selidik keadaan di sekitar tempat itu, di mana

cahaya rembulan menyinari dengan sorot

keredupannya.

Tepat di tepi tembok belakang rumah

bangsawan itu, Suro Bodong melihat seseorang

sedang melompat dengan gerakan yang amat

ringan bagaikan kapas terbang. Orang itu

mengenakan pakaian putih tipis dan berambut

panjang sebatas pinggang. Sorot cahaya bulan

menampakkan jelas, bahwa sosok tubuh yang

kini sudah berada di atas tembok itu adalah

sosok tubuh Nyi Kembang Laras. Suro masih

ingat dengan sebentuk mahkota kecil yang

menghias di atas kepala.

Secepatnya Suro Bodong bergerak dengan

ilmu peringan tubuh yang sama sempurnanya

dengan Nyi Kembang. Ketika Nyi Kembang

menebarkan sesuatu dari tangannya,

membentuk suatu asap tipis yang mampu

menyelimuti atap rumah tersebut, saat itulah

Suro Bodong tahu-tahu sudah berada di atas

tembok juga. Jaraknya antara 25 meter kurang

dari Nyi Kembang. Dan Suro sengaja

menegurnya lebih dulu untuk menurunkan

mental Nyi Kembang:

"Apa yang kau lakukan, Nyi Kembang?!"

Dugaan Suro benar. Perhitungannya tepat.

Nyi Kembang terperanjat melihat Suro Bodong

berdiri tegak dan siap menghadapinya. Dalam

menghadapi sesuatu yang tak disangka itu, Nyi

Kembang segera melompat ke atas genting.

Tetapi Suro Bodong tidak mau tinggal diam. Ia

juga ikut melompat ke arah genting rumah

mewah itu. Suro yakin, asap yang ditebarkan

tadi adalah semacam ilmu pembius agar seluruh

penghuni rumah itu tertidur lelap tanpa

tergugah oleh suara apa pun. Sebab itu, Suro

Bodong berniat bicara agak keras kepada Nyi

Kembang yang bagai masuk dalam jebakan.

"Malam ini adalah malam penghabisan bagi

kamu, Perempuan mesum...!" Suro Bodong

melangkah, tidak menimbulkan suara kendati

menapak di genting kodok. "Malam ini kau tidak

bisa lolos lagi, tahu?!"

Nyi Kembang yang cantik berkulit bagai

seputih susu, dan selembut busa salju, tidak

membalas kata-kata itu. Ia hanya melangkah

pelan ke arah samping, seakan mencari posisi

yang tepat untuk memukul Suro Bodong.

"Kalau orang lain tak mampu menghentikan

kekejianmu, akulah orang yang akan mampu

menghentikannya, Nyi Kembang!"

Nyi Kembang memandang tajam, lalu

menggerakkan kedua tangannya bagai

mengembang di atas kepala. Kedua kakinya

bergerak turun sedikit. Lalu ia berkata dengan

suara pelan:

"Kau terlalu banyak ikut campur, Suro

Bodong...!"

Suro menggaruk kumisnya sambil

memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba ia harus

melompat tinggi karena Nyi Kembang

menggerakkan kedua tangannya ke depan, dan

seberkas sinar sebesar jarum melesat dari tiap

ujung jarinya. Sinar itu berwarna hijau, seperti

urat-urat berserakan.

"Ini yang harus kau terima, Jahanam...!"

geram Nyi Kembang sambil semakin

menggerakkan tangannya ke atas. Lalu sinar

hijau yang keluar dari tiap ujung jarinya itu

melesat berkelok-kelok hendak menghantam

Suro Bodong. Suro segera bersalto satu kali.

Apabila ia bersalto satu kali, maka tubuhnya

tidak akan mengalami perubahan, sebab bersalto

satu kali sama saja merubah ujudnya menjadi

Suro Bodong. Jurus Luing Ayan-1, memang

berguna untuk mengembalikan dirinya menjadi

Suro Bodong. Dengan begini, maka kali ini Suro

Bodong pun tetap menjadi Suro Bodong yang

tak mengenal rasa takut sedikitpun.

Melesatnya sinar hijau yang tidak mengenai

tubuh Suro Bodong itu sempat menghantam

pohon kelapa di seberang jalan. Pohon kelapa

dan beberapa pohon di sekitarnya menjadi retak,

sebagian ada yang pecah, rusak bagai terkena

dentuman bom, walaupun semua itu terjadi

tanpa suara dan dentuman apa pun.

Nyi Kembang bermaksud melarikan diri saat

Suro Bodong terperangah menyaksikan

kehancuran pohon kelapa itu. Namun dengan

cepat Suro Bodong melompat dan berlari ke arah

lain dan menghadang Nyi Kembang dengan siap

melancarkan serangan dari arah depan.

Nyi Kembang bagai terperangkap. Di

depannya sudah berdiri Suro Bodong dengan

gayanya yang berlagak kalem. Nyi Kembang

menyerang, tangannya segera menghantam

wajah Suro Bodong, tetapi dengan mudah

tangan itu dipegang oleh Suro Bodong. Lalu

secepat itu pula kaki Suro Bodong menendang

rusuk Nyi Kembang dalam keadaan tangan Suro

masih memegangi tangan Nyi Kembang.

Tendangan Suro membuat Nyi Kembang

tersenyum. Kini tangan kiri Nyi Kembang

meraih rambut Suro Bodong dengan kasar, Suro

melepaskan pegangan tangannya. Dalam

keadaan kepala menunduk yang hendak

disodok lutut oleh Nyi Kembang, Suro segera

melancarkan pukulan Babi Buta. Pukulan itu

sangat cepat dan bertubi-tubi ke segala arah,

sehingga Nyi Kembang kewalahan

menghadapinya. Akhirnya tubuh perempuan

cantik itu terpental dan hampir saja jatuh dari

atas atap rumah Raden Bargawa.

Suro Bodong merasa heran. Biasanya lawan

yang terkena pukulan Babi Buta akan

memuntahkan darah segar dari mulutnya,

kemudian ia akan tergeletak lemas tanpa daya.

Tapi kali ini agaknya Suro benar-benar

mendapat lawan yang sangat tangguh.

Nyi Kembang segera berdiri. Tangannya

menyilang di depan wajah, mengeras kaku, lalu

bergerak membuka perlahan-lahan. Pada saat

itu, ternyata dari ujung jarinya keluarlah kuku-

kuku panjang yang rucing dan tajam.

"Kau harus mati dengan ilmu Cakar Besi-ku,

Suro...!" geram Nyi Kembang sambil bergerak

maju. Tangannya mengibas ke wajah Suro dari

atas ke bawah, antara tangan kiri dan tangan

kanan mempunyai gerakan yang berbeda. Yang

kiri mengibas dari atas ke bawah, yang kanan

mengibas dari kanan ke kiri. Dan hal itu

dilakukan secara bertubi-tubi sehingga kali ini

Suro Bodonglah yang keteter menghadapi

serangan Nyi Kembang. Sampai akhirnya kaki

Nyi Kembang berhasil menendang dada Suro

Bodong dan Suro jatuh terjengkang.

Nyi Kembang ingin memberi pelajaran

kepada lawannya. Ia langsung menerjang, bagai

harimau menerkam mangsa. Tubuhnya meloncat

ke bawah dan cakar tangan kirinya mengibas

cepat sehingga Suro Bodong sedikit terlambat

menghindar. Sabetan tangan kiri Nyi Kembang

lewat di depan wajah Suro, dan hal itu membuat

salah satu kukunya ada yang berhasil menggores

pipi Suro Bodong.

"Aaauww...!" Suro Bodong terpekik seketika.

Pipinya luka, darah keluar walau tak seberapa

banyak. Tetapi pada saat ia terpekik, kaki

kanannya bergerak secara reflek. Kaki itu

menendang ke atas dengan keras dan mengenai

perut Nyi Kembang. Maka, tubuh perempuan

mulus itu pun melayang ke udara bagai kupu-

kupu terbang.

Suro Bodong bergegas bangkit. Pada saat itu

tubuh Nyi Kembang bersalto di udara untuk

menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan Suro

Bodong segera menyongsong gerakan tubuh Nyi

Kembang yang turun ke bawah dengan sebuah

tendangan kaki kanan ke atas lurus. Tendangan

itu dilancarkan dengan sangat cepat dan

beruntun tujuh kali. Itulah yang dinamakan

jurus Tendangan Ayam Kawin. Apabila kaki

kanan telah tujuh kali menendang beruntun,

maka kaki kiri akan menyusul dengan

tendangan serupa. Yang jadi sasaran adalah

dada serta perut Nyi Kembang. Tetapi Suro

Bodong kembali merasa heran, karena tubuh Nyi

Kembang hanya terhuyung-huyung ke belakang

tanpa merasakan sakit. Sebaliknya, bahkan Suro

Bodong mengalami luka pada betisnya akibat

cakar besi yang mengibas pada saat kaki kirinya

menendang beruntun tujuh kali.

Nyi Kembang hendak melarikan diri lagi.

Tetapi Suro Bodong segera melayang dan

berseru, "Kau tak mungkin lolos lagi, Bangsat

Cantik...!!"

Nyi Kembang merundukkan kepala seraya

mengibaskan cakar besinya ke atas. Hampir saja

tubuh Suro yang melesat ke atas kepala Nyi

Kembang menjadi sasaran kembali. Untung

secepatnya Suro Bodong mengibaskan kaki kiri

yang saat itu sedang menekuk ke arah paha

kanan Kibasan kaki kiri membuat kepala Nyi

Kembang tersentak ke samping dan gerakan

cakarnya meleset dari arah paha Suro Bodong.

Ketika itu Nyi Kembang berguling, lalu segera

melompat turun dari genting rumah Raden

Bargawa. Suro Bodong buru-buru menyusul

turun untuk menjaga agar lawannya tidak

melarikan diri lagi.

Saat itu, Nyi Kembang menyambut kejaran

Suro Bodong dengan melemparkan beberapa

senjata rahasianya berupa mata tombak yang

tajam dan berkilat. Suro Bodong sengaja

berguling di tanah. Arahnya semakin dekat

dengan kaki Nyi Kembang. Senjata rahasia

menancap di tanah beberapa biji. Pada saat itu,

kaki Suro Bodong kembali melancarkan jurus

Tendangan Ayam Kawin. Sasarannya adalah

paha dan perut Nyi Kembang. Cakar Nyi

Kembang mengibas lagi hendak merobek kaki

Suro Bodong, namun kali ini gerakan jurus

tendang itu sengaja tertuju pada lain arah.

Tendangan kaki Suro Sepertinya berjalan cepat

dari perut terus ke paha. Dan hal itu membuat

Nyi Kembang kewalahan, kemudian jatuh

terpelanting ke belakang. Suro melompat berdiri

dan siap menginjak leher Nyi Kembang.

Tetapi pada saat itu Suro menjadi kelabakan,

sebab dari telapak tangan Nyi Kembang keluar

sinar biru yang melesat cepat ke arah Suro

Bodong. Suro Bodong secepatnya menjatuhkan

tubuh, maka sinar biru itu melayang dan

menghantam pohon di arah belakang Suro.

Sebuah ledakan mengguncangkan bumi. Tanah

bergerak. Pohon itu hancur tak tersisa seranting

pun. Menjadi serpihan-serpihan yang terpancar

ke segala penjuru.

Pada saat Suro Bodong menjatuhkan tubuh

untuk menghindari sinar tadi, ia tak sengaja

jatuh J

i dekat kaki Nyi Kembang. Tentu saja itu

kesempatan baik bagi Nyi Kembang untuk

menjejak wajah Suro Bodong dengan keras.

"Aaauuw...!" Suro Bodong menjerit.

Hidungnya berdarah, ia segera berguling, dan

Nyi Kembang menyerangnya lagi dengan

tendangan kaki yang keras. Dagu Suro Bbdong

menjadi sasaran.

Akibatnya bibir atas pun t:erluka akibat

benturan keras dengan gigi. Suro mengaduh

seraya menutup mulut dengan kedua tangan.

Secepatnya cakar besi Nyi Kembang bergerak

merobek perut Suro Bodong. Tetapi kaki Suro

Bodong menendangnya kuat-kuat sehingga

tubuh Nyi Kembang justru terpental beberapa

langkah jauhnya. Anehnya, tak ada pekik atau

pun seman kesakitan sekali pun yang di dengar

Suro dari mulut Nyi Kembang. Perempuan itu

seakan tidak pernah mengenal rasa sakit, kendati

masih bisa terpental. Bahkan beberapa kali

tendangan dan pukulan Suro yang hebat, yang

sering membuat luka dalam pada lawannya itu,

sama sekali tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya. Nyi Kembang kelihatan tetap tegar,

tanpa luka dalam sedikit pun.

Suro Bodong mengusap darah yang

membasahi hidung, luka di pipi dan bibirnya.

Baju merahnya dipakai sebagai lap pembersih. Ia

bangkit mendekati Nyi Kembang. Tetapi pada

saat itu Nyi Kembang telah menyiapkan sesuatu.

Dari kedua matanya yang terbilang bening itu

memancarkan sinar kuning ke arah mata Suro

Bodong.

Suro Bodong teringat cerita Jenar tentang

Sinar kuning yang menerpa mata Jupro, lalu

setelah itu Jupro bagai ada dalam pengaruh

birahi, dan ia pun mau berbuat mesum dengan

Nyi Kembang. Suro pun terbayang betapa

ngerinya keadaan Jupro ketika mati dengan

keadaan kehilangan urat kejantanannya.

Suro Bodong tertegun memandang sinar

kuning yang menembus kedua matanya.

Badannya menjadi terasa panas. Jalan darahnya

mengalir cepat hingga menimbulkan desiran-

desiran lembut di sekujur tubuh. Saat itu ia

mendengar suara Nyi Kembang berkata:

“Kau seharusnya tidak menjadi korbanku.

Tapi keadaan memaksa aku harus bertindak,

tapi jadikanlah ini suatu pelajaran bagimu, Suro

Bodong:..!"

Suro Bodong menahan nafas sejak tadi. Entah

apa yang sedang dilakukannya secara diam-

diam. la sempat berkata:

"Kenapa tidak kau bunuh aku? Lakukanlah

kalau kau mampu membunuhku, Iblis Cantik.:.!"

“Tidak. Suro. Aku... aku tidak bisa

membunuh orang yang kucintai..."

Suro Bodong terperanjat, namun ia bertahan

untuk tetap tenang. Dan pada detik berikutnya,

Suro Bodong mengeraskan semua otot

tubuhnya. Tangannya bergerak lamban bagai

sedang menyingkap suatu tabir yang

menghalang di depannya. Kemudian tangan

yang keras dan kaku itu menghentak ke depan.

Kedua tangan itu bagai sedang mendorong

sesuatu yang amat berat, sampai-sampai

keringat Suro Bodong mengucur dari pelipis dan

beberapa tempat lainnya. Ia pun mengeluarkan

suara erangan yang berat sehingga semua

anggota tubuhnya bergetar mengagumkan.

Tenaganya bagai terkuras untuk mendorong

sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan sinar

kuning yang terpancar dari mata Nyi Kembang

itu kian lama kian redup. Suro Bodong pun

semakin mengerang panjang.

"Aaah...!" kali ini Nyi Kembang terpekik lirih.

Nafasnya terengah-engah. Sinar kuning itu

lenyap, sepertinya membalik pada dirinya

sendiri. Ia segera menutup wajah, lalu gemetar.

Menggigil. Matanya meredup dan mulutnya

memdesah-desah. Ia menyerukan kata dalam

bisikan:

"Oh, aku tak tahan...! Peluklah aku... peluklah

walau sebentar saja..." Nyi Kembang mulai

merintih.

Suro Bodong tersenyum lega. Ia telah berhasil

mengembalikan sinar kuning itu sehingga bukan

Suro yang menjadi diamuk birahi meledak-

ledak.

"Senjata makan tuan, itu lebih baik daripada

tuan makan senjata..." kata Suro Bodong seraya

garuk-garuk kumis dalam senyumnya yang

mengejek.

Nyi Kembang merintih, mendesah dan

meraba bagian tubuhnya sendiri. Kini ia jadi

diamuk nafsu birahi akibat membaliknya sinar

kuning yang biasa untuk membius lawan itu.

"Suro..." rengeknya. "Oooh... kau tega

kepadaku. Renggutlah aku... ayo, Suro...

renggutlah aku dan peluklah erat-erat..." Nyi

Kembang mendekat dengan tangan menggapai-

gapai. Suro sengaja menghindar pelan-pelan.

"Suro... aku... ooh,.. aku sungguh tak tahan.

Berikan sebentar saja kehartgatanmu, Suro...

Uuuhh...Ssss... Suro..."

Nyi Kembang mendesis-desis, meremas-

remas dadanya sendiri. Mulut dan lidahnya

bergerak tak beraturan. Ia berjalan terhuyung

mendekati Suro Bodong. Ia bahkan telah

merobek gaun tipisnya. Bagian dadanya telah

polos akibat kain gaun robek tak beraturan. Ia

mencoba menggapai tubuh Suro Bodong dengan

nafas berbau nafsu birahi yang menyalak-nyalak.

"Suro... peluklah aku... Ooh, peluklah aku dan

berikan aku kehangatanmu..." rintihnya dalam

desah suara mesum.

Suro Bodong tiba-tiba menghantam wajah

Nyi Kembang dengan tangan kanannya kuat-

kuat. Lalu ia terbengong-bengong. Nyi Kembang

hanya melengos, bagai terkena tamparan. Ia

tidak merasa sakit, tidak terluka sedikit pun.

Sekali lagi Suro Bodong menghantamnya

dengan pukulan bertenaga dalam. Tapi tubuh

Nyi Kembang hanya terdorong satu langkah ke

belakang. Jatuh pun tidak. Ia masih mendesah-

desah dan meremas-remas bagian penting dalam

tubuhnya. Ia bagai tidak merasa sedang dipukul

dengan kekuatan penuh. Suro Bodong semakin

terbengong dan kebingungan.

"Kamu ini setan apa manusia, hah?!" bentak

Suro Bodong karena jengkelnya.

'Suro, lupakan pertarungan kita... ooh,

turutilah sebentar keinginanku. Peluklah aku,

Suro. Peluklah dan berilah aku cumbuan yang

menghangatkan...! Suro, sekali ini saja... Aku tak

akan mengganggumu lagi. Tolong, ooh...aku

tidak tahan, Suro..."

Tendangan Suro dihentakkan tepat mengenai

dada Nyi Kembang. Keras sekali. Paling tidak

akan jebol dada itu. Tapi, Nyi Kembang bukan

seperti manusia biasanya. Ia terdorong ke

belakang beberapa langkah, lalu maju lagi

dengan tangan minta dipeluk dan matanya kian

sayu. Desah yang keluar dari mulutnya

membuat Suro Bodong semakin penasaran.

"Kamu setan, ya?! Setan atau demit?! Ngaku

saja!"

“Ooooh... aku... aduuuh... aku tak tahan

betul, Suro. Peluklah aku... lekas... lekas...!"

"Aku tidak ingin bercinta denganmu! Aku

ingin membunuhmu, tahu?! Jangan paksa aku

untuk melayani nafsumu...!"

“Sebentar saja, Suro..."

“Mana bisa sebentar kalau begituan, tolol!"

bentak Suro Bodong yang semakin jengkel pada

diri sendiri.

"Aku yakin, bisa sebentar... Ayolah, aku mau

sebentar saja..."

"Enak saja. Kau mau sebentar, tapi aku tidak

mau kalau sebentar... Tidak! Sebentar atau lama,

aku tidak mau bergumul denganmu!"

Tak terasa fajar telah menyingsing dan di

beberapa tempat banyak orang yang

memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi,

termasuk Raden Bargawa yang memperhatikan

kejadian itu dari balik pagar rumahnya.

"Hiaaaat...!!" Suro Bodong menendang tubuh

Nyi Kembang dengan tendangan lompat yang

begitu kuat. Tetapi Nyi Kembang tidak

mengalami rasa sakit sedikit pun. la memang

terpental, namun segera bangkit dan mendesah-

desah, minta dipeluk Suro Bodong.

"Kau gila...! Aku ini musuhmu, kenapa kau

minta aku bergumul denganmu...! Bodoh! Tidak

tahu tata kesopanan orang bermusuhan...!"

bentak Suro Bodong. Dan pada saat itu, tangan

Nyi Kembang berhasil meraih baju Suro. Ia

langsung mendekap Suro Bodong dengan nafsu

yang brutal. Ia menciumi Suro Bodong

sembarang tempat dengan nafas seperti anjing

habis lari jauh. Suro Bodong malah kegelian. Ia

meronta dan mencoba menghindar. Tapi Nyi

Kembang mengejarnya. Suro Bodong jijik

jadinya.

"Surooo... tunggu aku...! Suro jangan pergi,

tunggu aku..." Nyi Kembang berlari-lari

mengejar Suro Bodong. Suro kebingungan dan

menggeram gemas bercampur jengkel, entah

kepada siapa. Tetapi akhirnya, ia berhenti dan

menghadang Nyi Kembang yang minta dipeluk

Waktu itu, ada beberapa orang yang melihat

kejadian tersebut dari tempat agak jauh.

Suro Bodong mengusap lengan kirinya. Lalu

dari pergelangan tangan kiri itu, ia bagai sedang

menarik sesuatu. Dalam waktu yang singkat,

tahu-tahu tangan kanan Suro Bodong telah

memegang sebilah pedang bercahaya ungu.

Semua mata yang menyaksikan hal itu terbelalak

lebar. Mereka tak tahu kalau Suro Bodong

mempunyai senjata pusaka yang dinamakan

Pedang Urat Petir. Senjata itu bisa disimpan

masuk ke dalam daging tangan kirinya, sehingga

orang tak pernah tahu bahwa ke mana pun Suro

pergi, sebenarnya ia selalu membawa

pedangnya. Itulah kehebatan Suro bersama

pedang Urat Petirnya.

"Nyi Kembang...! Inilah saat

penghabisanmu...! Hiaat...!" Suro Bodong

menghunuskan pedangnya ke depan, tepat

mengenai dada Nyi Kembang yang sudah

pasrah minta dicumbu. Tetapi, anehnya tubuh

itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.

Pedang memang tembus ke dada Nyi Kembang,

namun Nyi Kembang tidak merasa sakit. Tidak

juga merasa ditusuk Ia bahkan berhasil memeluk

Suro Bodong dengan nafsu birahi yang kian

membara.

"Gila...! Manusia lempung kamu ini...!"

bentaknya sambil Suro menendang tubuh Nyi

Kembang dan mencabut pedangnya. Ia sendiri

jadi gemetar melihat pedang Urat Petir seperti

tusuk sate tanpa keampuhan apa pun. Nyi

Kembang terpental, namun segera menggapai-

gapai dalam desah dan erangan nafsu birahinya.

Tempat yang tertusuk pedang merapat tanpa

bekas.

"Suro... peluklah aku. Jangan membuang

tenaga untuk membunuhku. Aku tidak akan bisa

mati Aku sudah hampir sempurna mencapai

ilmu Serap Sukma. Aku tak akan bisa mati.

Tinggal tiga lelaki lagi aku harus dapatkan, lalu

sempurnalah ilmu Serap Sukmaku, dan aku

akan menjadi orang yang tak pernah bisa mati.

Tapi... kepadamu aku tidak bermaksud

menjadikan korban, Suro. Aku mencintaimu.

Aku tak ingin menyerap tuntas air

kejantananmu, dan membunuhnya sekaligus.

Tidak akan terjadi padamu, Suro„. Aku hanya

butuh pelampiasan nafsu dan cinta darimu.

Ooh...peluklah aku...!”

'Ilmu Serap Sukma...?" gumam Suro Bodong.

"Ooh...pantas ia banyak mencari korban...!"

Suro berjalan menghindari raihan tangan Nyi

Kembang yang sudah tidak peduli dengan

keadaan tubuhnya. Polos tanpa selembar benang

pun. Suro Bodong sebenarnya merasa malu

sendiri, karena banyak mata, dan bahkan

semakin banyak orang yang memperhatikan

adegan itu. Tetapi ia harus bisa bertahan dan

segera mencari titik kelemahannya.

"Suro... turutilah keinginanku... sebentar

saja," Nyi Kembang merengek dalam tangis.

'Tidak! Aku harus mengetahui letak

kelemahanmu dulu, baru nanti aku akan

memuaskan nafsumu..." kata Suro sambil

berharap, mudah-mudahan kata-katanya itu

tidak didengar Sundari. Mudah-mudahan

Sundari tidak ikut menyaksikan adegan itu. Jika

sampai Sundari tahu, maka akan timbul

kekacauan lain, sebab ia agaknya sangat

cemburu.

"Akan kucoba untuk menusukmu dengan

pedang ini, sampai kutemukan letak

kelemahanmu, baru aku berani memberi

kepuasan padamu. Aku tak mau terkecoh, tak

mau mati setelah aku bisa memberi kepuasan

kepadamu...!" kata Suro Bodong sambil

menebaskan pedangnya ke leher Nyi Kembang.

Tapi ternyata ia bagai menebas busa-busa sabun.

Leher itu segera merapat tanpa darah setetes

pun. Pedang Urat Petir tak mampu merobek

leher Nyi Kembang.

'Percuma, Suro... kau tak akan bisa

membunuhku, karena kau tidak menebaskan

pedangmu di ketiakku. Lebih baik kita

bercumbu saja, Suro..."

Nyi Kembang hendak memeluk, langkahnya

limbung, dan Suro Bodong diam saja, seakan

sengaja menunggu pelukan Nyi Kembang.

Tetapi pada saat jarak mereka cukup dekat, Suro

Bodong segera berguling, dan menebaskan

pedangnya pada ketiak kiri Nyi Kembang.

Kontan Nyi Kembang menjerit histeris dengan

mata melotot.

"Ahhh...!!"

Suro Bodong menyisih jauh, Nyi Kembang

terguling-guling dengan jerit yang melengking

panjang. Suaranya bagai jeritan dari alam kubur.

Ia menggelepar-gelepar, lama-lama mengeluar

kan asap putih. Asap semakin tebal dan Suro

Bodong membiarkan hal itu berlangsung dengan

sendirinya.

Orang-orang mulai bergerak mendekat.

Mereka berwajah tegang. Jeritan Nyi Kembang

mulai menipis, tinggal suara erangan orang

menjelang ajal. Tetapi asap putih semakin

menebal. Menutupi sekujur tubuh Nyi Kembang.

Suro Bodong masih berdiri tegak dengan pedang

yang memancarkan sinar ungu tergenggam erat

di tangan kanannya.

Pada detik-detik berikutnya, asap putih itu

mulai menipis. Orang-orang menggumam

dengan mata melotot memandang asap yang

menipis. Kian lama angin bertiup membawa

asap putih, dan akhirnya hilang sudah asap itu.

Lalu orang-orang menyerukan pekik bersamaan

dengan mata kian melebar. Bahkan Suro Bodong

sendiri juga melebarkan mata dengan mulut

terbengong melompong.

Tubuh Nyi Kembang yang berhasil

ditemukan kelemahannya itu kini menggelepar

dalam erang yang tipis. Tubuh itu sudah bukan

lagi tubuh yang berkulit seputih susu selembmt

busa salju. Tubuh itu menjadi tubuh berkulit

sawo matang dengan wajah yang sudah dikenal

oleh setiap warga desa. Itulah wajah Sundari,

putri Ki Lurah Pucung yang menjadi janda

kembang.

"Sundari...?!"

Hampir semua mulut melontarkan kata itu.

Rupanya selama ini tak seorang pun tahu bahwa

Sundari sedang memperdalam ilmu Serap

Sukma, di mana untuk menyempurnakan ilmu

tersebut, ia harus mencari seribu korban lelaki.

Korban itu harus dinikmati dulu kejantanannya,

kemudian menyerap semua benih lelaki dan

membunuh lelaki itu sebagai serap nyawa sang

korban. Dengan demikian, maka nyawa yang

ada pada korban akan menjadi bagian dari

kekebalan tubuh aan kesaktiannya. Itulah

sebabnya Nyi Kembang mengatakan, bahwa

dirinya tidak akan bisa mati.

Semua orang tertegun memandang tubuh

Sundari, yang sudah pasti tega membunuh

suaminya sendiri demi ilmu yang dituntutnya.

Ki Lurah dan istrinya pingsan seketika sewaktu

melihat kenyataan itu. Dan... sudah tentu hal itu

membuat heboh di seluruh desa. Tersiarlah

kabar tentang Sundari, yang menuntut ilmu

warisan kakek buyutnya di mana kitab pusaka

itu seharusnya dibakar. Namun ada satu yang

tersisa, yaitu kitab Serap Sukma. Dan di hutan

Tengkorak itulah Sundari menjalankan segala

ilmunya bersama satu jasad yang mampu

memecah diri menjadi sekian banyak ujud.

Suro Bodong hanya menggumam, dan mema-

sukkan kembali pedangnya.



                          SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar