IBLIS HUTAN TENGKORAK
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Iblis Hutan Tengkorak
Wirautama, 1991
SATU
Yang terasa hanya desiran angin. Mulanya
pelan, lalu semakin kencang. Suro Bodong
menepiskan kedua tangannya, merapatkan baju
merahnya yang tak pernah dikancingkan itu.
Angin menjadi lebih kencang. Rambut Suro
Bodong yang panjang tak teratur namun diikat
kain merah darah itu menyibak sebagian.
Langkahnya terhuyung sejenak, karena dalam
keadaan menuruni bukit itu ia merasa mendapat
hempasan angin dari belakang. Suro nyaris
tersungkur ke depan. Untung ia dapat segera
menguasai keseimbangan, la tetap melangkah
dalam desiran angin.
"Angin setan...!" gerutu Suro Bodong sambil
menyipitkan matanya yang sebenarnya lebar.
"Dari tadi sepi, tenang, eh... tahu-tahu ada angin
sialan...!"
Tubuh Suro Bodong yang gemuk sedikit itu
semakin mengkerut, seakan kedua tangannya
hendak menyatu masuk ke daging pinggangnya.
Angin bertambah kencang. Baju merah model ju-
bah berlengan panjang pemberian Resi Padma
itu tak berhasil dihimpit oleh lengan. Sebagian
terhempas ke samping dan melambai. Hawa
dingin menembus kulit Suro Bodong bururburu
merapatkan bajunya supaya tidak melambai.
"Misterius sekali angin ini," katanya dalam
hati seraya tetap melangkah, menuruni lereng
bukit. Mulutnya tetap terkatup, tapi hatinya
terus berkecamuk.
"Kurasa ini bukan angin sembarangan.
Hembusannya tidak tetap. Makin lama terasa
semakin kencang. Dan udara dingin ini juga
cukup aneh. Umumnya udara akan menjadi
dingin jika semakin naik ke atas gunung, tapi
kali ini justru udara menjadi semakin dingin jika
berada di kaki gunung. Jelas ada sesuatu yang
tak beres..."
Hembusan angin bertambah kencang. Lalu,
Suro Bodong terguling-guling dalam keadaan
tak sempat menjaga keseimbangan tubuh.
Tanaman jenis rumput berduri, dan bebatuan
yang berserakan digilas dengan tubuhnya. Suro
Bodong seperti sebuah tong yang dilepas dari
ketinggian yang landai. Berguling dan berguling
terus, sampai akhirnya ia sadar; tubuhnya telah
tersangkut pada sebatang pohon jati besar.
"Kunyuk...!" umpatnya sendiri. Ia meringis.
Banyak luka lecet di beberapa bagian tubuhnya.
Juga pada perutnya yang gendut tapi bukan
buncit. Celana birunya yang longgar robek di
bagian tepi. Padahal itu celana baru, juga dari
hasil pemberian Resi Padma, sebagai kenang-
kenangan, karena Suro Bodong telah berhasil
menyelamatkan Perguruan Merak Senggol dari
keserakahan para ninja, (ada dalam kisah:
Pedang Kerak Neraka),
Angin makin menipis. Suro Bodong
mengurut punggungnya yang sebelah kiri. Ada
rasa ngilu dan sakit sekali di bagian punggung.
Ia mengelusnya dengan geram kedongkolan
yang tertahan. Matanya memandang kian ke
mari. Tapi hutan di lereng itu tetap sepi tanpa
manusia kecuali dirinya.
"Pasti telah terjadi sesuatu..:" gumamnya
dalam hati
Hembusan angin itu semakin menghilang.
Suro Bodong masih menyeringai sakit sesekali.
Sepertinya ia merasa ada yang menendangnya
dari belakang sebelum ia terguling-guling tadi.
Memang tak tampak ujud mahluknya, tetapi
rasa sakit pada punggung kirinya itu benar-benar
rasa sakit yang ia rasakan sebelum ia jatuh
terguling-guling.
"Ada yang menendangku...!" pikirnya. "Siapa
orangnya, ya?" Ia menyempatkan garuk-garuk
kumis. "Aku merasakan angin menjadi benar-
benar kencang, lalu aku merasa ada yang
menendang dari belakang, atau menabrakku
dengan suatu alat, dan ia melesat bersama deru
angin tadi."
Suro Bodong berdiri, bersandar pada pohon
itu. Memandang ke arah jatuhnya tadi.
Kemudian memandang ke arah hembusan angin
kencang tadi. Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana.
Angin pun telah berhenti. Reda.
"Kurang ajar..." ia menggerutu, lalu
melangkah lagi. Kaki kirinya sedikit pincang. Ia
menggerak-gerakkannya sebentar, dan segera
melanjutkan perjalanannya ke desa Randang
Cinde. Siapa tahu di sana ia bisa bertemu
kekasihnya.
Dalam hati ia bertanya-tanya dengan,
penasaran: Siapa kiranya yang telah
menabraknya dengan sengaja atau tidak tadi?
Tak mungkin punggungnya ngilu karena
terguling-guling, sebab sebelum ia terguling, ia
merasa dikejutkan oleh suatu benda yang bagai
menendang punggung. Kalau toh itu memang
suatu tendangan, atau pukulan, jelas dilancarkan
dari orang yang berilmu tinggi. Siapa orang itu?
Apa urusannya dengan Suro Bodong?
Mungkinkah para ninja ada yang masih
hidup dan mencari kesempatan untuk
membunuh Suro Bodong?
'Tidak mungkin, ah..." Suro membantah
sendiri di dalam hati. "Pimpinannya sudah mati.
Pimpinan para ninja yang ternyata Ajeng Wasti
itu sudah kubunuh, dan bahkan dibakar
bersama Pedang Kerak Neraka oleh Resi Padma,
guru Ajeng. Jadi, mana mungkin masih ada yang
hidup. Kalau toh ada, dia tak akan berani
bertindak tanpa perintah pimpinan. Atau...
jangan-jangan yang kuanggap pimpinannya itu
bukan Ajeng Wasti?! Jangan-jangan anak didik
Resi Padma yang cantik itu masih hidup?"
Langkah kakinya berhenti sejenak. Ia
berkerut dahi, memikirkan hal itu. Lalu hatinya
berkata’
"Ah, tidak mungkin. Ajeng Wasti kami
kurung di dalam kamar yang sudah dipantek
dari luar dan dijaga ketat. Sekali pun waktu
dibuka ternyata kamar itu kosong, tapi toh
jenazahnya ada di depan guru dan teman-teman
seperguruannya? Dia telah menjadi ninja,
sebagai pimpinan, dan berhasil kubunuh. Dan...
eh, apa iya, ya...? Jangan-jangan arwah Ajeng
Wasti yang lewat dan menendangku tadi?"
Suro Bodong bergidik sendiri, kemudian
meneruskan langkahnya. Ia berusaha membuang
pikiran tentang arwah. Ia berusaha melupakan
kejadian aneh yang baru saja dialami tadi.
Memang sulit untuk menghilangkannya, tapi ia
selalu mencoba dan mencobanya terus untuk
tidak berpikir tentang angin dan udara dingin
yang aneh. Ia mencoba untuk tidak merasakan
rasa sakit di punggungnya yang juga
dikarenakan suatu hal yang aneh.
Beberapa saat kemudian, langkahnya kembali
berhenti. Ia melihat ada tubuh telentang di sela
ilalang dan tanaman semak. Tubuh itu adalah
tubuh seorang lelaki yang bermandi darah. Suro
Bodong segera mendekatinya dengan perasaan
ngeri bercampur heran. Oh, ternyata orang itu
mengerang? Lirih sekali, tapi bisa di dengar Suro
Bodong.
"Kembang-kembang...!"
"Kembang? Apa maksudmu...?!"
"Kem... bang...!" nafas terhembus untuk yang
terakhir kalinya. Lelaki itu tergeletak dari raihan
tangan Suro Bodong. Matanya terpejam sedikit,
masih kelihatan warna putihnya.
"Apa maksudmu dengan kembang? Hei,
jangan mati dulu!" bentak Suro Bodong. "Hei,
bangun...! Kembang apa maksudmu? Di dunia
ini kan banyak kembang?! Ngomong yang betul?
Hei, hei...!" Tangan Suro Bodong yang menopang
kepala lelaki itu digerak-gerakkan, maksudnya
supaya lelaki itu sadar. Tapi, karena nyawa telah
melayang dari raga, mau tak mau lelaki itu diam
saja. Meski Suro Bodong membentak-bentak, tapi
lelakiitu tetap 'cuek' saja. Mati.
"Brengsek...!!" bentak Suro Bodong sambil
menghentakkan kepala mayat itu. Kepala itu
jatuh ke tanah, membentur batu, dan mayat itu
tetap diamsaja. Namanya saja mayat!
Suro Bodong bersungut-sungut setelah
menghempaskan nafas kejengkelannya. Ia
memandang ke sekeliling, tak ada orang, tak ada
apa pun yang bisadimintai keterangan
"Mayat tidak beres!" gerutunya. "Cuma
ngomong kembang lalu mati! Ngomong dulu
kek yang benar, yang jelas,baru mati. Jadi tidak
membuat orang penasaran begini!"
Gemas sekali hati Suro Bodong. Tapi apa
boleh buat, nyawa sudah mencelat. Ia bertolak
pinggang memandang ke sana sini. Banyak
darah berceceran di sekitar terbaringnya mayat
itu. Pasti telah terjadi pertarungan sengit yang
cukup hebat. Pasti lelaki berusia antara 30
tahunan itu mencoba bertahan ketika lukanya
menjadi parah. Kendati luka itu membuatnya
mati pada akhirnya, namun terlihat jelas adanya
perlawanan yang sungguh ulet dari si korban
itu. Beberapa pohon patah, juga terkena percikan
darah. Kulit-kulit pohon banyak yang
mengelupas dan sepertinya hangus terbakar api.
Pasti akibat sebuah pukulan tenaga dalam yang
sungguh hebat; entah pukulan korban atau
pukulan lawan si korban. Suro Bodong
termenung beberapa saat di sekitar mayat itu
seraya garuk-garuk kumisnya.
"Kembang...?!" gumamnya dalam renungan.
"Apa kira-kira maksudnya? Apakah lelaki ini
bernama Kembang? Atau musuhnya yang
bernama Kembang? Atau keduanya sama-sama
bernama Kembang? Yang satu Kembang,
musuhnya Kempis. Jadi...kembang-kempis? Ah,
bukan! Pasti bukan begitu maksudnya!"
Kaki Suro Bodong melangkah, masih meneliti
keadaan sekitar ditemukannya mayat
berlumuran darah pada bagian wajah, dan
perutnya terluka lebar. Robek, menampakkan isi
jeroannya. Sungguh suatu pertarungan yang
sadis telah terjadi. Apakah ada hubungannya
dengan angin kencang dan sebuah gerakan yang
seakan menendang punggung Suro? Apakah
pertarungan itu adalah sebab dari tergulingnya
Suro Bodong dari lereng sampai ke dasar?
"Bisa jadi begitu. Bisa jadi hal yang kebetulan
saja." gumamnya sendiri. "Kalau ditilik
pakaiannya, jelas mayat itu adalah mayat orang
berada. Mungkin bukan orang kaya, tapi
setidaknya anak buah orang kaya. Orang kaya
siapa, dan dari daerah mana? Ini yang
membingungkan. Lalu, soal kembang tadi
bagaimana, ya? Apakah dia bermaksud
menyuruhku menyelamatkan setangkai
kembang? Atau... barangkali di sini ada
tertinggal setangkai bunga yang perlu
diselamatkan? Terus, bunganya seperti apa?!
Brengsek..! Aku jadi seperti orang linglung
sendiri. Ah, persetan dengan mayat itu,
pokoknya aku tidak mau terlibat dengan
urusannya! Tujuanku ke desa Tandang Cinde,
mencari Ratna Prawesti kekasihku. Itu saja!
Selamat tinggal, Mayat...! Terserah kau,
bagaimana maumu. Jaga dirimu baik-baik, ya,
dan aku akan pergi tanpa mau berurusan
dengan masalahmu...! "
Suro Bodong melangkah, meninggalkan
tempat itu. Ia berjalan melenggang. Sepertinya
orang yang sedang menikmati udara segar tanpa
membawa senjata apa pun. Padahal di lengan
kirinya, di dalam daging lengan kiri itu
sebenarnya tersimpan pedang sakti yang
menjadi andalan Suro Bodong. Tak seorang pun
bisa merebut dan mencurinya, karena untuk
mengeluarkan pedang itu diri harus memakai
ilmu yang hanya dimiliki Suro Bodong. Di
samping keampuhan pedang pusakanya, Suro
Bodong juga memiliki ilmu yang langka didapat
di mana-mana, yaitu dapat merubah ujudnya
menjadi tujuh rupa dalam jurus salto yang
dinamakan jurus Luing Ayan. Itulah sebabnya,
Suro lebih dikenal sebagai Pendekar 7 Keliling.
"Siapa dirimu sebenarnya dan dari mana
asalmu...?"
Pertanyaan itulah yang selalu menghantui
pikiran Suro Bodong selama ini. Pertanyaan itu
sering timbul di dalam hati, sebab ia sendiri ingin
tahu siapa dirinya sebenarnya? Dari mana
asalnya? Siapa orang tuanya? Mengapa ia bisa
mempunyai beberapa kesaktian yang maha
hebat? Semua itu membuat bayang-bayang gelap
di benak Suro Bodong. Orang memperkirakan
usianya antara 40 tahunan, tetapi sebenarnya
Suro Bodong sendiri tidak tahu, berapa usianya
yang sebenarnya.
Kalau Suro Bodong sendiri sulit mengetahui
siapa dirinya, bagaimana mungkin ia bisa mudah
mengetahui siapa mayat yang ditemukan tadi?
Memang banyak pertanyaan yang tumbuh dalam
hati Suro mengenai diri mayat itu, tetapi seperti
halnya kebingungan tentang dirinya, Suro
berusaha melupakan semuanya. Pikirannya
sengaja diarahkan pada wajah seorang perempuan
cantik, berhidung bangir dan berbibir mungil
segar. Wajah Ratna Prawesti, kekasihnya.
Ratna Prawesti, putri seorang bupati Jangga.
Seingat Suro, ia pernah saling berjanji dengan
Ratna untuk saling sehidup semati. Namun
ketika Suro Bodong pergi bersama utusan dari
Sriwijaya, la terperangkap badai lautan luas.
Untung ia dapat selamat, dan kembali ke
Kabupaten Jangga. Tetapi kabupaten itu telah
rata dengan tanah. Hangus terbakar, tinggal
puing-puing arang dan beberapa mayat yang tak
sempat dikuburkan oleh masyarakat setempat.
Ratna Prawesti tidak ada. Mayatnya pun tidak
kelihatan. Orang bertopeng yang menamakan
dirinya Gerombolan Topeng Setan itulah yang
telah membantai dan membumihanguskan
kabupaten Jangga. Jadi, orang bertopeng itulah
yang harus bertanggung jawab atas hilangnya
Ratna Prawesti. Hanya saja, sekian banyak orang
bertopeng yang telah dikalahkan Suro, tak satu
pun ada yang kenal dengan perempuan bernama
Ratna Prawesti. Bahkan mendengar namanya
pun tidak.
Ini sungguh aneh. Tak seorang pun tahu
nama Ratna Prawesti. Padahal perempuan itu
kondang sebagai seorang putri bupati yang
sangat cantik, kehadiran Suro sendiri sepertinya
suatu hal yang asing bagi mereka yang
ditemuinya. Ini memang aneh, sangat
membingungkan Suro. Bingung tujuh keliling.
Hanya ada satu orang yang mendengar nama
Ratna Prawesti. Seorang anak muda bernama
Saga. Anak itu adalah anak seorang petani; Ki
Pupus, yang telah ditolong Suro Bodong dalam
peristiwa di Benteng Batu, (Kisah Pedang Urat
Petir). Dan menurut keterangan Saga, ia
mendengar nama Ratna Prawesti dari obrolan
dua pedagang yang berasal dari desa Tandang
Cinde. Itulah sebabnya Suro Bodong melacak ke
desa Tandang Cinde, dengan harapan dapat
bertemu dengan kekasihnya. Atau, paling tidak
ia akan memperoleh keterangan lebih lanjut,
tentang di mana kekasihnya berada.
Sambil melangkah, benak dan batin saling
berkecamuk. Sampai-sampai ia tak sadar kalau
ada orang yang mengikuti gerak geriknya. Suro
Bodong menjadi sadar setelah sebuah tendangan
melayang telak mengenai punggungnya. Suro
Bodong terpaksa berguling ketimbang ia harus
tersungkur mencium tonggak kayu.
Gerakan mengguling tidak cukup dilakukan
satu kali, sebab orang tak dikenalnya itu
menyerangnya lagi dengan tendangan yang
cepat.
'Tahan...!" teriak Suro Bodong yang merasa
asing dan benar-benar tidak tahu kesalahannya.
Seruan Suro Bodong tidak dihiraukan oleh
penyerangnya. Ketika ia berdiri, orang itu
melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi.
Tetapi Suro Bodong selalu berhasil
menangkisnya. Dilihat dari gerakan dan jurus
yang dimainkan lawan, dalam hati Suro Bodong
hanya menggumam gemas. Ia sebenarnya dapat
mengalahkan lawan dengan satu kali pukulan,
tetapi ia tak ingin melakukannya. Suro tak mau
orang itu menjadi korban kesalahpahaman.
Karenanya, ia mencoba bicara dan menenangkan
orang tersebut.
"Jangan bodoh! Berhentilah menyerangku!
Kau salah paham. Pasti salah paham...!
Berhentilah, kau bisa luka parah oleh
pukulanku! Kalau kau mati, aku menyesal! Ayo,
berhenti menyerang. Hei, hei...! Jangan nekad
kau...! Aku sedang malas bertarung...! Hei,
jangan keras kepala...!" Suro jengkel sekali.
"Hiat...!" Dan sebuah pukulan keras
menghantam dada lelaki tak dikenalnya. Lelaki
itu tersentak ke belakang. Kaki kanan Suro
menyusul, menendang perut lelaki itu sampai
yang ditendang melintir kesakitan.
Nafas Suro Bodong dihempaskan lepas. Ia
garuk-garuk kumisnya yang tebal. Matanya
memandang keadaan lelaki berbaju hijau tua
dengan celana hitam bersabuk putih. Lelaki yang
diperkirakan usianya di bawah umur Suro
Bodong itu masih rebah bersandar pada batang
pohon. Ia meringis menahan sakit di bagian dada
dan perutnya. Ia bagai tak sanggup berdiri pada
saat itu.
"Bagaimana? Benar kan saranku tadi?!" kata
Suro Bodong. "Kalau aku mau, kau bisa
kubunuh sekarang juga, sekalipun aku tahu kau
belum menggunakan senjata pedangmu- Tapi
bagiku, menggunakan senjata atau tidak, aku
dapat dengan mudah membunuh kamu!
Ngerti?!"
Lelaki bertubuh sedikit kurus itu menarik-na-
rik nafas. Ia ingin bicara, namun masih
mengalami kesulitan pada alur pernafasannya.
"Atau barangkali kau memang ingin
kubunuh dengan nyaman?" hardik Suro Bodong.
Lelaki itu ketakutan.
"Ja... jangan...! Jangan bunuh aku...! Maafkan
aku...!"
Suro Bodong mendekat, dan jongkok di
depan lelaki itu. Ia memperhatikan wajah dan
potongan lelaki tersebut. Menurut Suro, lelaki itu
tidak mempunyai tampang sebagai orang jahat.
Jadi, ia tak perlu mengambil kekerasan lagi.
"Siapa namamu?"
“Jenar...!"
"Ah, namamu jelek!" ucap Suro Bodong
dengan gerutu seenaknya. "Hei, kenapa kau
menyerangku, nah?"
"Aku... aku..."
"Aku Suro Bodong...!" sahut Suro. "Aku
belum pernah bertemu denganmu, apalagi
berkenalan! Tapi mengapa kau tiba-tiba
menyerangku? Kau pikir siapa aku ini?"
"Maaf... maafkan aku, Kakang Suro Bodong..."
"Kakang?! Kamu memanggil aku: kakang?"
Suro Bodong berkerut dahi, merenung sebentar,
lalu manggut-manggut. "Yah... bolehlah. Panggil
kakang ada baiknya dari pada kau panggil aku:
Nyai...!"
Jenar mengajak tersenyum dalam menahan
sakit yang kian berkurang. Tetapi Suro Bodong
sengaja tidak membalas senyuman itu. Ia bahkan
berkata: "Jangan meringis begitu! Aku ndak suka
sama senyummu!" Jenar segera menghentikan
senyumannya.
Suro Bodong berdiri seketika sewaktu
nalurinya menangkap bahaya yang datang. Ia
melompat ke arahsamping dengan kedua tangan
terbentang bagai gerak garuda melesat. Pada saat
itu, sebatang tombak segera menancap di tempat
Suro Bodong jongkok tadi. Suro Bodong tidak
begitu tampak kaget. Tetapi, Jenar terpekik
ketakutan melihat tombak bertangkai kayu
hitam menancap tepat di sisi telapak kakinya.
Tak ada sejengkal jaraknya.
Untuk menghindari serangan yang belum
diketahui siapa penyerangnya, Suro Bodong
segera berguling ke tanah, dan berada di dekat
Jenar. Suro Bodong segera menampar pipi Jenar
seraya mengancam:
"Beritahukan kepada temanmu; jangan
menyerang! Kita tidak punya urusan apa-apa,
tahu?! Ayo, lekas beritahu kepada temanmu
itu...! Suruh keluar dia dari
persembunyiannya...!"
Jenar membelalakkan mata dalam
kebingungan bercampur rasa ngeri. Suro Bodong
gemas. Ia menampar kembali pipi Jenar dengan
tamparan peringatan. Jenar mengaduh dan
semakin dicekam kebingungan yang
menakutkan.
"Ayo, katakan kepada temanmu! Suruh
keluar dia, atau kubunuh kau sekarang juga!
Lekas...!"
"Ak.. aku...!"
"Cepat...!" Suro Bodong meremas baju Jenar
dengan kasar.
Dalam keadaan takut, Jenar berseru ke arah
datangnya tombak bergagang kayu hitam itu.
"Jangan menyerang! Keluarlah dari tempat-
mu...! Jelaskan kepada orang ini kalau kita tidak
punya hubungan apa-apa...! Oh, lekas, keluarlah!
Orang ini benar-benar marah kepadaku...!"
"Bagus..." bisik Suro Bodong. Ia masih
menunggu penyerang gelap sambil tetap
berlindung di balik tubuh Jenar.
Tak berapa lama kemudian, muncullah
seorang perempuan berpakaian rimba;
mengenakan celana dan baju dari kulit macan.
Bagian dadanya tertutup sebagian, pundak
kirinya terbuka. Kulit macan itu bagai menyilang
menutupi kedua bukitnya yang sekal.
Sedangkan penutup bagian bawahnya juga
cukup mini. Hanya sebatas paha, tumit ke
bawah dibiarkan polos terbuka, menampakkan
jelas kulitnya yang berwarna kuning mulus.
Perempuan itu menyandang pisau di
pinggangnya. Pisau trisula yang tajam di setiap
sisinya.
"Siapa namanya?!" bisik Suro Bodong dalam
geram. Jenar menggeragap karena bagai
tersentak dari lamunan memandang perempuan
berambut sepanjang punggung itu.
"Siapa namanya?!" hardik Suro. "Mana aku
tahu...? Aku... aku tidak tahu siapa dia! Dia
bukan temanku!"
"Hah...?!" Suro terbengong. "Karena kau
memaksaku berteriak, maka aku pun tadi
berteriak! Tapi... tapi berani sumpah, dia juga
tidak akan mengenal aku...!"
"Busyet...!" gerutu Suro. "Apakah dia juga
bukan temanmu, Kang Suro?" Jenar ganti
bertanya dengan curiga. "Gila kau...! Sudah jelas
dia menyerangku dengan tombaknya, mana
mungkin dia mengenalku?!"
Perempuan berikat kepala merah, sama
dengan ikat kepala Suro Bodong itu, berdiri
tegap dengan kedua kaki terentang bagus.
Matanya yang lebar namun berbentuk indah itu
memandang dengan dingin. Suro Bodong masih
memperhatikan dalam posisi jongkok di
samping Jenar. Suro masih asyik mengagumi
keindahan lekuk tubuh perempuan itu, ketika
tiba-tiba Jenar berkata pelan:
“Dia pasti salah satu dari penjaga Hutan
Tengkorak...”
"Hutan Tengkorak?!" kemudian Suro meng-
gumam. "Di mana Hutan Tengkorak itu?"
"Di sini...!"
"Ooh...? Jadi ini daerah hutan Tengkorak?!"
"Ya. Dan... kukira kau tadi juga penghuni
Hutan Tengkorak. Makanya aku menyerangmu.
"Sial...! Kaupikir wajahku seperti tengkorak?!"
"Aku tidak tega mengatakan begitu, kang..."
Suro Bodong mendesis. Kemudian, karena
ditunggu-tunggu perempuan berpakaian kulit
macan itu masih diam saja, maka Suro Bodong
berdiri. Ia mencabut tombak bergagang hitam. Ia
mengamati sejenak bagian ujung tombak yang
ter-buat dari besi warna hitam kehijau-hijauan
Jelas mata tombak itu sangat mengandung racun,
yang sudah tentu cukup berbahaya bagi lawan
yang tergores oleh mata tombak itu.
Jenar sudah berkurang rasa sakitnya. Kini
perutnya hanya sedikit mual karena tendangan
telak dari Suro Bodong tadi. Namun, kini ia
belum berani berbuat banyak. Ia masih kelihatan
takut menghadapi perempuan berpakaian
macan yang sejak tadi diam, membisu, dengan
pandangan yang sedingin salju. Jenar berdiri,
lalu bersandar pada pohon, agak berlindung ke
balik pohon itu. Sedangkan Suro Bodong berjalan
mendekati perempuan tersebut dengan tenang,
seakan ia tidak merasa dalam bahaya. Ia
membawa tombak yang tadi nyaris menancap di
tubuhnya. Dan kini berhenti di depan
perempuan berpandangan dingin itu.
"Ini tombakmu, ya?"
Perempuan itu tidak menjawab. Pandangan
matartya dingin semakin menusuk tulang
belulang saja rasanya. Suro Bodong tetap tenang.
"Ini... kukembalikan tombakmu yang tadi
salah sasaran!" Suro Bodong menyerahkan
tombak . Keadaan mata tombak berada di bawah.
Matanya mencoba menembus mata perempuan
cantik beralis tebal itu. Namun hampir saja Suro
tak tahan menerima kedinginan sorot mata
perempuan tersebut.
“Terimalah... ini tombakmu, bukan
tombakku. Berani sumpah kok...! Ini tombakmu
dan sekarang kukembalikan dengan ucapan:
belajarlah yang rajin tentang jurus melempar
tombak...!"
Pandangan mata perempuan itu semakin
berani, semakin menantang. Lama-lama mulai
kelihatan rona kesinisannya. Sorot mata dingin
bercampur dendam dan amarah. Perempuan itu
hendak menggerakkan tangannya, mungkin
mau memukul Suro Bodong, tapi dengan cepat
Suro menancapkan mata tombak ke kaki
perempuan itu.
"Wesss...!"
Ternyata perempuan itu melayang ke atas
dengan cepat, seperti seekor merpati terbang.
Tombak itu menancap di tanah dengan mantap.
Sementara yang hendak ditancap tombak sudah
berada di atas pohon. Berdiri tegak pada
sebatang dahan kokoh.
"Wah... kok tahu-tahu sudah berada di atas
pohon?!" gumam Suro Bodong dengan jelas.
Suro Bodong mengambil posisi mundur
beberapa langkah, tangannya mencabut tombak
dan menggenggamnya seenaknya. Ia
mendongak, memandang perempuan yang
dianggapnya aneh. Lalu, Suro Bodong berseru
dengan sikap tenangnya:
"Hei, kamu orang sakti, ya? Kok bisa terbang
ke atas begitu? Rasa-rasanya aku juga bisa
kok...!"
Suro Bodong menghentakkan kakinya, dan
melompat dengan gerakan yang amat ringan. Ia
pun tiba-tiba sudah berada di salah satu dahan
dari pohon lain. Berbeda pohon perempuan itu.
Jenar terbengong melihat Suro Bodong bisa
melompat dalam satu kali hentakan, bahkan
posisinya sejajar dengan tempat berdiri
perempuan tersebut. Di tangan Suro Bodong
masih menggenggam tombak bergagang hitam.
“Tuh, bisa kan...?!” kata Suro Bodong seraya
mengajak perempuan itu tersenyum.
Tapi tiba-tiba perempuan itu melemparkan
senjata rahasia yang agaknya diambil dari
punggung. Senjata itu berupa sebuah mata
tombak dalam ukuran kecil. Kira-kira seukuran
jari telunjuk Suro Bodong. Senjata itu melayang
cepat dan sukar dilihat. Namun naluri gerak
Suro cukup tajam, sehingga ia pun segera
melompat dari dahan yang satu ke dahan yang
baru, ia terpeleset dan jatuh. Untung tangan
kirinya yang tidak memegangi tombak dapat
meraih sebatang dahan kecil sehingga tubuh
Suro bergelantungan seperti kelelawar raksasa.
Dalam posisi bingung mencari tempat jejakan
kakinya tahu-tahu perempuan itu
menyerangnya lagi dengan senjata rahasianya.
"Zing... Ziiiing...!"
Tombak digerakkan berputar di sela jemari
Suro Bodong. Kakinya kebingungan mencari
tempat untuk berpijak. Untung gerakan tombak
itu bagai kitiran yang amat cepat, sehingga bisa
menangkis dan membelokkan arah ke senjata
rahasia itu. Dari bawah, Jenar menjadi cemas
melihat Suro kebingungan. Ia bagai sedang
memandang seekor gorila yang berusaha turun
dari pohon dengan sulit.
“Jangan menyerang dulu! Aku sedang
kebingungan...!" seru Suro Bodong dengan
wajah tegang. Perempuan itu diam saja.
Tahu-tahu sebuah senjata rahasia
dilemparkan lagi dengan kecepatan melebihi
senjata yang tadi Gerakan senjata mata tombak
kecil itu hanya seperti cahaya putih yang
berkilat. Suro Bodong tak sempat menghindar.
Namun dengan kepandaian yang luar biasa, ia
segera melemparkan tombaknya. Tombak itu
melayang menyongsong kilatan cahaya putih.
Lalu terdengar suara: "Triing...!"
Ujung tombak dengan ujung senjata rahasia
itu bisa tepat bertemu dan beradu. Kedua senjata
itu melesat ke atas. Senjata rahasia menancap
pada dahan pohon yang lebih tinggi, sedangkan
tombak itu lolos menembus dedaunan, lalu
kembali i.ituh ke bawah.
"Aaauuw...!"
Jenar berteriak ketakutan karena ujung
tombak hampir saja menjatuhi ubun-ubunnya.
Suro Bodong buru-buru menggunakan tangan
yang satunya untuk meraih dahan lain,
kemudian ia naik ke dahan itu dengan susah
payah, la bagaikan seorang yang tanpa ilmu
sedikit pun.
Tahu-tahu perempuan itu menjerit,
"Hiaaaat...!"
Suro Bodong membelalakkan mata. Kaget.
Tubuh perempuan itu dapat melayang lurus 'dengan tangan terarah ke depan. Ia melesat seperti
tombak dilemparkan. Pada kedua tangannya
telah tergenggam sebuah trisula bertepian tajam,
yang agaknya mampu untuk memotong benda
lain
Gerakan luncur perempuan itu sangat cepat,
seakan hendak menembus perut Suro Bodong,
tan Suro Bodong melompat ke dahan di
depanya. Lalu segera berbalik, dan pada saat itu
perempuan tersebut melintas di depannya,
tempat ia berdiri tadi. Entah gerakan jurus apa
yang dilakukan Suro, ia sendiri tak tahu, yang
jelas tiba-tiba ia berhasil menampar pantat
perempuan itu yang tersingkap dari
penutupnya. Gerakan itu bagai tak disadari Suro
Bodong, sampai-sampai ia tertegun sejenak
setelah berhasil menepak pantat perempuan
yang berteriak: "Auuw...!" itu.
Hampir saja kepala perempuan itu
membentur pohon lain kalau saja ia tidak segera
bersalto beberapa kali. Gerakannya sangat cepat.
Dan akhirnya perempuan itu menghilang setelah
meninggalkan suaranya yang berkata: "Kau
pantas menjadi yang terpilih...! Tunggulah
saatnya...!" Dan Suro Bodong hanya bersungut-
sungut tak mengerti maksudnya
DUA
Ucapan perempuan tadi sempat membuat
Suro Bodong terbengong beberapa saat, sekali
pun ia sudah berada di bawah. Sementara itu,
Jenar masih menampakkan kecemasannya.
Sebentar-sebentar ia berpaling, memandang
sekeliling, lalu bicara kepada Suro Bodong.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Kang."
Suro Bodong garuk-garuk kumis. Melirik
Jenar sebentar.
"Kenapa kau kelihatannya sangat
ketakutan?!"
"Apa Kang Suro belum tahu bahwa Hutan
Tengkorak ini sangat berbahaya?" bisik Jenar
yang merasa takut kata-katanya ada yang
mendengar.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Atau... atau
mungkin aku tidak pernah merasa dalam bahaya
apa pun."
"Ayolah, ikut aku... nanti akan kujelaskan."
"Aku mau ke desa Tandang Cinde. Aku
mencari kekasihku yang bernama Ratna
Prawesti. Apa kau pernah melihat atau
mendengar nama itu?!"
"Ratna...? Ratna Prawesti...?!" Jenar berkerut
dahi. "Sepertinya... sepertinya aku pernah
mendengar nama itu. Hemm... siapa, ya? Ada
teman yang pernah bercerita padaku tentang
nama Ratna Prawesti, tapi... nanti dulu, kang.
Aku agak lupa; apa dan siapa perempuan itu?
Ceritanya... ah, ceritanya sendiri aku sudah lupa,
Kang. Karena sudah lama aku mendengar nama
itu. Mungkin nanti bisa kutanyakan kepada
Raden Bargawa..."
"Bargawa? Siapa itu Raden Bargawa?!"
"Makanya ikutlah aku, nanti kujelaskan.
Sebab... kalau kulihat pertarunganmu dengan
perempuan itu, aku yakin kau sangat
dibutuhkan oleh Raden Bargawa..."
Jenar melangkah sambil bicara. Tanpa sadar
Suro Bodong mengikutinya sambil mendengar
kata-kata Jenar.
"Raden Bargawa itu satu-satunya orang kaya
di desaku. Dia keturunan dari Tumenggung
Murcagati, yang kabarnya akan berusaha
mengangkat Raden Bargawa menggantikan
kedudukannya di Ketemenggungan."
Sebentar-sebentar Suro Bodong menggumam,
dan sesekali juga ia garuk-garuk kumisnya, la
melangkah dengan mata memandang waspada,
namun telinga menyimak perkataan Jenar.
"Desa kami... saat ini menjadi sasaran korban
penguasa Hutan Tengkorak..."
"Sasaran bagaimana, maksudmu?!"
"Banyak kaum lelaki yang mati, atau hilang.
Itu semua akibat keganasan Penguasa Hutan
Tengkorak yang bernama Kembang Laras...!"
"Kembang...? Kembang Laras...?!" Suro
Bodong teringat kata-kata yang diucapkan
seorang lelaki berlumur darah. Ketika lelaki itu
ditemukan, ia dalam keadaan sekarat, agaknya
menjadi korban suatu pertarungan sengit. Lelaki
itu sempat nirnyebutkan kata 'kembang', dan
sempat pula buat Suro Bodong kebingungan,
apa maksud 'kembang' itu. Namun, sekarang
rupanya masalah 'kembang' sudah jelas, bahwa
pada waktu itu, lelaki yang terluka hendak
menyebutkan nama Kembang Laras, pimpinan
atau penguasa Hutan Tengkorak. Tapi sebelum
sempat menyebutkan dengan tuntas, lelaki itu
telah mati tak tertahankan lagi. "Jadi penguasa
Hutan Tengkorak itu bernama Kembang
Laras...?"
"Benar, Kang. Dan dia satu-satunya
perempuan yang sangat kejam dari semua
perempuan yang pernah kukenal"
"Kejam bagaimana?"
"Hampir setiap malam, desa kami dicekam
kengerian. Hampir tiap malam ada
pembunuhan, dan pada umumnya orang lelaki
yang dibunuhnya. Atau... seperti kakakku
sendiri, sampai sekarang tidak pernah
kutemukan lagi. Hilang. Dan... saat ini aku
bertekad mencari kakakku, tapi tidak
kutemukan. Malahan... aku bertemu denganmu,
yang tadinya kukira orangnya Kembang Laras
juga-!"
Gumam Suro Bodong memanjang. Ia
melangkah di belakang Jenar sambil tetap
memasang kewaspadaan.
"Aku menemukan seorang lelaki dalam
keadaan luka parah. Orang itu mati sebelum
selesai menyebutkan kata Kembang."
Jenar berpaling ke belakang dan berhenti
melangkah. Wajahnya kelihatan tegang.
"Bagaimana ciri-cirinya...? Jangan-jangan dia
kakakku."
Suro Bodong menjelaskan ciri-cirinya seraya
ia tetap melangkah. Kini posisi Jenar ada di
belakang Suro Bodong. Mereka menyusuri jalan
setapak yang agaknya jarang digunakan
manusia.
Tangan Jenar mendadak memegang pundak
Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat Suro
Bodong menangkap pergelangan tangan Jenar
itu. Sementara itu, tangan satunya siap
memukul. Namun, ia buru-buru mengendurkan
segala ketegangannya setelah ia tahu maksud
Jenar bukan menyerang. Hanya ingin
menghentikan langkah Suro, dan berkata:
"Itu... itu memang kakakku..." ucap Jenar
dengan suara sedih. Suro jadi tertegun sejenak.
Ia tak mengira bahwa lelaki yang diceritakan
ciri-cirinya itu adalah kakak Jenar. Suro merasa
tak enak hati. la tahu perasaan Jenar saat itu.
Kemudian sambil menepuk pundak Jenar, Suro
berkata menghibur:
"Mati itu di mana saja, sama. Mati di hutan
dengan mati di rumah sendiri, tak ada bedanya;
sama-sama kehilangan nyawa. Jadi tak perlu
disedihkan. Soal cara kematian tiap-tiap orang
memang berbeda. Tapi kita tidak bisa memilih
sendiri cara itu. Sudah ada garis ketentuannya."
"Dia satu-satunya kakakku yang hilang akibat
keganasan Nyi Kembang Laras." Jenar
menunduk ledih. Suro Bodong manggut-
manggut pertanda mengerti maksud Jenar. Ia
berbisik, "Memang, dia korban suatu kekejian.
Tapi tugas kita yang hidup bukan untuk
menyesali korban, melainkan menumpas habis
kekejian itu. Jelas?!"
Sambil melangkah lagi, mereka melanjutkan
pembicaraan. Sementara itu, tepian hutan
semakin jelas terlihat. Bentangan sawah
menghijau di kejauhan. Pohon mulai menipis.
Dan Jenar membawa Suro Bodong ke suatu
tempat yang belum diketahui Suro Bodong.
"Jenar, apakah perempuan yang tadi
menyerangku itu juga ada hubungannya dengan
Nyi Kembang Laras?!"
"Dia anak buahnya." jawab Jenar tanpa
menoleh. "Kabarnya, Nyi Kembang Laras
mempunyai pesanggrahan di dalam hutan ini.
Letaknya sangat tersembunyi. Bahkan pernah
dicari oleh orang-orang dari dua desa, namun
tak berhasil. Mereka semakin ke dalam semakin
banyak yang mati menyedihkan, jadi pencarian
tempat Nyi Kembang Laras. "Kalau begitu, Nyi
Kembang Laras tidak sendirian di dalam hutan,
ya?!"
"Menurut dugaan beberapa orang, ada lebih
dari 25 pengawal yang selalu siap menjaga
Pesanggrahan Hutan Tengkorak ini. Mereka juga
sama ganasnya dengan Nyi Kembang."
Suro Bodong melompat ke sebuah batu,
karena jalan mereka terhalang parit lebar. Dan
dengan satu kali lompatan lagi, kakinya telah
mendarat di tepi sungai, di bagian seberang.
Sementara itu, Jenar masih tertatih-tatih
melompati batu demi batu untuk mencapai
seberang parit,
"Aku kagum dengan gerakkanmu, Kang,"
kata Jenar. Tapi Suro Bodong tidak menjawab
apa-apa. Ia memandang hutan ganas sambil
garuk-uruk kumisnya dengan telunjuk.
"Kang, mari kita segera menuju rumah Raden
Bargawa."
"Keturunan Tumenggung itu?" Suro Bodong
sempat memandang heran kepada Jenar.
"Ya. Mereka tak setangkas kamu, Kang?"
"Maksudmu?"
"Raden Bargawa membutuhkan jago-jago
bayaran untuk melindungi keselamatan
keluarganya dari keganasan Nyi Kembang
Laras. Jago-jago bayaran itu hampir setiap tiga
hari sekali ganti orang. Karena mereka pasti ada
yang hilang atau mati. Jadi, kurasa Raden
Bargawa sangat membutuhkan kamu. Kalau saja
dia sudah melihat kehebatan ilmumu, kujamin
ia mau membayarmu mahal, Kang."
"Hei, kau mau menjual aku, ya?!" Suro agak
tersinggung
"O, bukan begitu, Kang," Jenar buru-buru
menjelaskan maksudnya. "Kalau kau ada di
Sana, pasti kau akan bertemu dengan Nyi
Kembang. Kau bisa menghadapi Nyi Kembang,
sesuai dengan tujuanmu, yaitu membasmi
kejahatan. Soal di bayar atau tidak, itu
urusanmu."
Suro Bodong jadi terbungkam beberapa saat,
namun kakinya tetap melangkah mengikuti
Jenar. Kemudian, ia berkata mendadak setelah
melakukan suatu pertimbangan:
"Ah, tapi tujuanku adalah mencari Ratna
Prawesti dulu, Jenar. Aku harus menemukan
kekasihku, setelah itu..."
Jenar menyahut, "Sementara kau tinggal di
rumah Raden Bargawa, aku akan mencari
keterangan tentang kekasihmu itu, Kang..."
Suro Bodong menarik tangan Jenar.
"Kau berkata dengan sungguh-sungguh?!"
Jenar mengangguk.
"Kita saling membantu, Kang. Kang Suro
membantu masyarakat desa kami, sementara itu
aku bisa menyuruh para penduduk mencari
keterangan tentang kekasihmu itu, Kang."
Agaknya gagasan Jenar cukup menarik
perhatian Suro Bodong. Lagipula, jika ia harus
berjalan ke desa Tandang Cinde untuk mencari
keterangan di mana kekasihnya, masih
memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut
Jenar, dia akan memakan waktu tiga hari dengan
perjalanan kaki untuk sampai ke desa Tandang
Cinde. Jenar mengatakan, bahwa dengan
menyuruh bebrapa orang di desanya yang pergi
ke Tandang Cinde, menjual kain tenun sambil
mencari keterangan tentang Ratna, adalah
langkah yang lebih baik. Sementara Suro
membantu mengamankan desa tempat Jenar
tinggal, ia sendiri hanya menunggu kabar demi
kabar dari orang-orang yang datang dari desa
Tandang Cinde.
Jelasnya, Suro sangat setuju dengan gagasan
Jenar. Maka, ketika dia dihadapkan kepada
Raden Bargawa, orang terkaya di desa itu, ia
berharap sekali agar Raden Bargawa mau
menerimanya sebagai pengawal keamanan
keluarga Bargawa. Tetapi, agaknya suasana
menjadi lain. Ketika Suro dan Jenar datang
menghadap, keadaan Raden fergawa dalam
cekaman sedih.
Istri dan anak Raden Bargawa itu telah
terbun uh semalam. Bahkan dua dari tiga jago
bayarann y a itu pun tewas dengan keadaan
kepala terpisah dari leher. Lalu seorang pelayan
urusan perbelanjaan, hilang tak ditemukan
jasadnya. Suasana berkabung membuat Jenar tak
berani bicara apa pun pada Raden Bargawa
maupun kepada kedua keponakan Raden
Bargawa.
"Bagaimana kalau malam ini kau tidur di
rumahku saja, Kang. Tunggu sampai beberapa
hari, Mungkin besok atau lusa kita menghadap
Raden Bargawa..."
"Kau tinggal dengan siapa?"
"Dengan emakku. Tapi kurasa dia tidak
keberatan kalau kau menginap di rumah kami."
Suro Bodong menggumam. Menimbang-
nimbang. Lalu berkata:
"Bagaimana kalau aku antar menemui kepala
desa?"
Jenar mendesah. Bersikap menyepelekan,
"Ah, percuma. Pak Lurah seakan tidak mau tahu
tentang ketakutan rakyatnya. Ia sendiri takut
menghadapi Nyi Kembang Laras."
Sekali lagi Suro Bodong menggumam.
"Kebetulan, aku perlu membangkitkan
keberanian lurah semacam itu. Ayo, antarkan
aku ke sana, dan... mungkin aku akan minta izin
menginap di sana untuk malam ini."
Hari sudah sore. Jenar sedikit segan pergi ke
rumah Lurah Pucung. Tapi agaknya ia tak punya
pilihan lain, sebab Suro Bodong mendesaknya.
Lurah Pucung menghardik Jenar ketika ia
melihat Jenar memasuki halaman rumahnya
yang berpekarangan luas.
"Mau apa kau ke mari, Setan?!"
Jenar bingung dan ragu-ragu. Suro Bodong
sendiri ikut bingung. Hatinya bertanya-tanya:
mengapa Lurah Pucung sikapnya memusuhi
Jenar.
"Usir bocah itu...! Usir dia...!" teriak Lurah
Pucung dengan suara tuanya kepada seorang
pesuruhnya. Rupanya Lurah Pucung juga
mempunyai orang-orang bayaran. Tampak dua
orang bertubuh tegap dan gempal, berwajah
seseram wajah S u ro Bodong, berdiri di depan
tangga menuju ruang dalam. Dan seorang
pesuruh yang tak kelihatan seperti jagoan segera
mengusir Jenar.
"Lebih baik tinggalkan tempat ini, daripada
Gagak dan Tembong yang mengusirmu," kata
pesuruh itu. Gagak dan Tembong adalah dua
orang bayaran yang siap menjaga keluarga
Lurah Pucung itu.
"Ada yang ingin kubicarakan dengan Ki
Lurah, Kang Jupro."
"Ki Lurah tidak mau bicara denganmu lagi!"
Kemudian mendengar suara Lurah Pucung
dari ruang tamu yang mirip sebuah pendopo itu.
“Suruh pergi dia secepatnya! Aku muak melihat
tampang anak itu!"
“Nah, kau dengar sendiri, Jenar...? Ki Lurah
muak melihat kamu! Sekarang pergilah dengan
orang ini," seraya Jupro menuding Suro Bodong.
“Tunggu dulu," kata Suro Bodong seraya ga-
garuk kumisnya. "Kenapa Jenar agaknya
dimusuhi oleh Ki Lurah?"
“Tanyakan saja kepadanya," jawab pesuruh
yang bernama Jupro itu. "Kurasa dia masih
beruntung, karena tidak digantung oleh
keputusan kami.
"Menggantung orang itu gampang. Yang sulit
adalah mencari alasan menggantungnya," ujar
Suro Bodong tetap tenang.
"Kang..." kata Jenar. "Aku memang pernah
berbuat jelek di desa ini. Aku... aku memang
pernah mencoba memperkosa anak pak Lurah
yang janda itu... dan..."
“Dan kau keburu tertangkap, bukan?"
sambung Jupro. "Tapi seharusnya kau
beruntung, karena Ki Lurah tidak memaksakan
keputusannya untuk menggantung kamu. Kamu
cuma dihajar dengan tujuan membuatmu jera."
"Aku memang sudah jera kok, Kang. Aku
tidak mau lagi melakukan hal-hal semacam itu
Apalagi sekarang aku sudah tidak punya kakak
lagi..."
"Kakakmu...? Kakakmu ke mana?"
Suro Bodong menyahut, "Tewas di Hutan
Tengkorak..."
"Oo...?!" Jupro kelihatan kaget dan merinding
Rupanya Ki Lurah segera memerintahkan
Tembong untuk mengusir Jenar. Lelaki
berambut ikal lebat dengan diikat kain biru
muda itu mendekati Jenar, dan tanpa banyak
bicara mencengkram baju Jenar. Ia menarik Jenar
dengan kasar tanpa memperdulikan Suro
Bodong. Saat itu, Jupro segera menyisih, takut
terlibat urusan dengan Tembong.
Suro Bodong hanya tersenyum tenang
dengan tetap berdiri di tempat ketika Tembong
menyeret ke luar halaman. Ia tidak bergerak
sedikitpun dari tempatnya. Sebaliknya, justru
Suro Bodong melipat tangannya di dada dan
mempertikan kegalakan lelaki yang wajahnya
coklat sebelah, Tembong.
Pada saat Tembong kembali, ia seakan baru
menyadari kalau Suro Bodong belum bergerak
dari tempatnya. Tembong tak berani
mencengkeram baju Suro, seperti yang
dilakukan kepada Jenar. la sedikit tegang ketika
berkata:
“Kau... juga keluar!"
"Aku kan tidak ikut memperkosa anak lurah,"
jawab Suro Bodong seenaknya, seakan tidak
merasa gentar sedikit pun melihat kedua mata
Tembong melotot.
“Keluar...!!" bentak Tembong tak mau kalah
gertak.
Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar,
lalu bersilang tangan di dada kembali. Ia bahkan
tersenyum seperti menyepelekan gertakan
Tembong.
Lurah Pucung berdiri di depan serambi.
Tembong tak mau dibilang pengecut di depan
Lurah Pucung. Ia segera meraih baju Suro untuk
dicengkeram dan diseret seperti ia menyeret
Jenar. Tetapi Suro Bodong mengelak dengan cara
memiringkan badan ke samping kiri.
Tangan yang tak jadi mencengkeram itu
berubah arah menjadi sebuah pukulan
menyamping. Tepatnya sebuah tamparan.
Namun Suro Bodon menendang tangan itu
dengan keadaan tetap bersidekap tangan di
dada.
"Mumpung di depan juraganmu, tunjukkan
keberanianmu!" kata Suro Bodong dengan
sangat tenang.
Tembong penasaran. Ia memukul wajah Suro
Bodong dengan pukulan ganda, tetapi dengan
lincah kepala Suro Bodong bergerak seperti ular
menghindari pukulan itu. Tangannya tetap
dalam posisi semula. Sekali lagi Tembong
melancarkan pukulannya ke muka Suro, namun
Suro merundukkan kepala sehingga pukulan itu
lolos melewati atas tengkuknya. Pada saat itu,
lutut Tembong digerakkan ke atas dengan
maksud ingin menyodok wajah Suro Bodong.
Tapi wajah Suro yang merunduk itu bergerak ke
samping menghindari sodokan lutut Tembong.
Ia buru-buru menegakkan badan. Mundur satu
langkah.
"Bangsat kau...!" geram Tembong, lalu
menggerakkan kaki kanannya, menendang ke
arah Suro Bodong. Tubuh Suro yang sedikit
gemuk itu mampu meliuk-liuk dengan lincah
walau tetap bersilangan tangan di dada.
Tendangan dan pukulan Tembong datang silih
berganti, namun tak satu ada yang mengenai
tubuh Suro Bodong. Ketika kaki Tembong
melompat dengan satu tendangan, tubuh Suro
Bodong pun melompat dengan kaki berhasil
menendang betis Tembong. Posisi Tembong
goyah sewaktu berdiri lagi. Kesempatan itu
dipergunakan Suro Bodong untuk
menggerakkan kakinya memutar, dan
tendangan itu mengenai wajah Tembong. Lelaki
berwajah coklat sebelah itu terhuyung.
“Sekali waktu kau perlu belajar menghargai
orang lain," kata Suro Bodong yang kemudian
mengibaskan kakinya dengan tendangan putar
sangat cepat. Kedua tangannya tetap bersidekap
di dada: Ia berdiri tenang, memandang Tembong
yang terpelanting ke belakang dan kepalanya
membentur sebatang pohon melinjo.
“Oouh...!" Tembong memegangi kepalanya
mencoba berpegangan pada batang pohon
melinjo itu. Suro Bodong sudah dapat
memperkirakan bahwa orang yang dari tadi
masih berdiri di depan tangga menuju serambi
itu pasti akan bergerak membantu temannya.
Dugaan Suro tepat. Lelaki yang sering
dipanggil Gagak itu segera berlari dan melompat
dalam satu jurus tendangan layang. Suro
Bodong berkelit ke belakang dalam posisi
tubuhnya melengkung, tapi tangan masih
bersidekap di dada. Karena tubuh itu
melengkung begitu tajam, lemas, maka arah
loncatan Gagak pun mengenai sasaran kosong.
Tetapi dengan segera Suro menegakkan
badan, dan mengangkat kakinya, hingga telapak
kaki berada di depan perut, sebab saat itu Gagak
memukulnya dengan gerak pukulan ganda ke
arah perut. Pukulan itu ditangkis oleh kaki Suro,
kemudian dengan cepat kaki Suro melesat ke
depan. Lurus dan kaku. Telapak kaki itu tepat
mengenai dada Gagak.
Tubuh Gagak memang berdada bidang dan
lebih kekar dari dada Tembong. Baju rompi
hitam yang dikenakannya menampakkan betul
kebesaran lengannya, apalagi jika tangannya
mengeras untuk memukul, ia kelihatan kekar
sekali. Makanya ketika kaki Suro berhasil
menendangnya, ia bertahan untuk tidak
bergerak sedikit pun
"Wah, kamu lebih kebal dari Si Tembong itu,
ya...?"kata Suro Bodong.
“Pergi kau dari sini! Jangan cari gara-
gara...!”gertak Gagak. Namun hal itu malahan
ditertawakan Suro Bodong.
Dalam keadaan masih bersilang tangan di
dada tiba-tiba kaki Suro Bodong bergerak bagai
sebuah kibasan memutar. Rupanya dia tahu
Tembong telah berada di belakangnya dan siap
membacokkan goloknya dari arah belakang
Suro. Ketika tangan yang memegangi golok itu
terangkat, saat itulah tendangan memutar kaki
Suro mengnai bawah ketiak Tembong.
Kemudian disusul gerakan kaki kiri yang telak
mengenai ulu hati Tembong dengan cepat.
"Huugh...!!" Mata Tembong mendelik dan
menahan nafas. Tubuhnya melengkung ke
depan, tangan kirinya memegangi ulu hati
sementara tangan kanannya memegang golok
dengan lunglai.
Pada saat itu, Suro Bodong yang masih
bersidekap itu menggerakkan kakinya ke
belakang tanpa berpaling. Gerakan kaki itu tepat
mengenai tangan Gagak yang hendak
menghantam punggung Suro Bodong. Lalu,
tubuh Suro segera berbalik dan melancarkan
tendangan kaki yang satunya. Tendangan itu
dilakukan dengan sedikit melompat, namun
tepat mengenai dagu Gagak. Wajah Gagak
memang terdongak karena tendangan Namun ia
tetap tegar, kelihatan segar. Seakan tendangan
itu bukan apa-apa baginya. Ia ganti menendang
dengan satu lompatan kaki lurus ke samping.
Kepala Suro Bodong miring ke kiri bersama-
sama gerak tubuhnya yang merendah. Pada saat
itu, tubuh Gagak melayang, dan kaki kanan Suro
Bodong segera meluncur ke atas, menyamping.
Tendangan itu tepat mengenai kemaluan Gagak,
sehingga Gagak pun menjerit kesakitan.
"Aaauoow...!! Pecah barangkuu...! Aaauuh...!"
Gagak mengaduh-aduh sambil jalan dengan kaki
merapat dan kedua tangan memegangi bagian
kemaluannya.
Akhirnya Gagak jatuh terduduk, bersandar
pada batang pohon melinjo yang sebesar
betisnya itu. Wajahnya meringis menahan sakit,
sedangkan Tembong pun kelihatan masih lemas.
Ia sempat mencoba membabatkan goloknya ke
kaki Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong cepat
melompat tak begitu tinggi, kaki kanannya
mengibas ke depan.
“Plook..!"
Tendangan kaki tepat mengenai wajah
Tembong sehingga orang itu memekik kesakitan.
Ada darah yang keluar dari hidungnya, dan hal
itu membuat Lurah Pucung terbengong, semakin
tertegun ngeri. Apalagi ketika pandangan
matanya bertatapan dengan sorot mata Suro
Bodong, Lurah Pucung kelihatan gemetaran.
Namun, ia masih berusaha menjaga
kewibawaannya sebagai lurah dengan diam di
tempat, seakan takakan lari walau Suro Bodong
segera mengajak Jenar mendekat ke tangga
serambi.
Lurah Pucung masih memandang dengan
mata mendelik kepada Jenar. Ia memaksakan
suara untuk menghardik Jenar.
"Apa perlumu datang ke mari, hah?! Mau
memperkosa anakku lagi?! Iya?!"
"Aku rasa...masalah itu telah ditebusnya, Ki
lurah," kata Suro Bodong. "Jenar katanya sudah
dihajar hampir mati sebagai hukumannya? Dan
sekarang agaknya dia ingin menjadi orang baik-
baik. Apakah tak bisa diberi kesempatan? Sebab
setahuku, untuk menjadi orang baik harus
mempunyai kesempatan."
"Aku tidak bicara denganmu! Kau tidak perlu
menggurui aku !" hardik Lurah Pucung kepada
Suro."Aku ini Lurah!"
"Yah, biar lurah kalau tindakannya keliru,
perlu mendapat teguran. Kalau orang ditegur,
berarti orang itu belum terlanjur berbuat salah
yang menjadi parah."
Suro Bodong bicara dengan tangan masih
bersidekap sejak tadi. Ia kelihatan tenang.
Sesekali memandang Tembong dan Gagak yang
berusaha bangkit dalam keadaan sakit.
Lurah Pucung mendesis mendengar kata-kata
Suro. Ia kembali memandang Jenar yang masih
ketakutan dan merasa bersalah di depan Lurah
Pucung.
"Hei, Jenar...! Katakan segera, apa maumu
datang ke mari, hah? Mau apa kau?!"
"Saya... sayang mengantarkan Kang Suro, Ki
Lurah...!" jawab Jenar dengan suara pelan.
"Suro...? Suro siapa?!"
"Suro Bodong...! Orang ini, Ki..."
Sekali lagi Lurah Pucung melirik sinis kepada
Suro Bodong yang masih tenang, tangan masih
bersidekap. Lurah Pucung menampakkan sikap
tak sukanya dengan mulut cemberut ketus.
Sesekali ia mendesis jengkel.
"Aku tidak kenal orang ini...!" kata Ki Lurah.
“Justru aku ingin berkenalan denganmu,
Lurah...!" kata Suro Bodong seenaknya saja.
"Apa perlumu datang kemari dan bertemu
aku? Untuk apa?!"
"Aku ingin menumpang semalam di sini,
sambil aku ingin berbincang-bincang denganmu
tentang Nyi Kembang Laras..."
Wajah Lurah Pucung kelihatan tegang dan
pucat ketika ia mendengar nama Nyi Kembang
Laras diucapkan. Gerak matanya jadi liar. Ia
sangat ketakutan.
***
TIGA
Nama Nyi Kembang Laras bukan nama
seorang bidadari yang menjadi idaman setiap
pria. Nama itu adalah penyebab bangkitnya bulu
roma, bahkan sesekali sempat membuat seorang
lelaki gemetar jika mendengarnya. Hal itu
rupanya dialami juga oleh Lurah Pucung yang
berbadan sedang, tinggi tapi tidak jangkung.
Kerut ketuaannya terlihat pada bagian dahi dan
sudut mata. Kerutan itu semakin tajam dan jelas
setelah Suro Bodong duduk di bangku
depannya, seraya berkata dengan garuk-garuk
kumis:
"Mungkin dalam waktu dekat, penduduk
desa ini akan habis binasa di tangan Nyi Laras.
Yang utama adalah kaum lelakinya."
Merinding sekujur Ki Lurah Pucung. Sekali
pun ia menyimpan ketakutan, tetapi Suro
Bodong tahu apa yang sedang disimpan di balik
ketenangan Lurah Pucung.
Suro menambahkan kata, "Aku punya firasat
kalau suatu saat rumah ini menjadi incarannya."
Nafas Lurah Pucung dihela dalam-dalam.
Dengan suara pelan dan bernada getar, ia
mencoba menenangkan diri.
"Itulah sebabnya aku menyewa Tembong dan
Gagak untuk melindungiku."
"Apakah itu sudah menjamin?" tanya Suro
Bodong. Sebelum terjadi pembicaraan lagi, Suro
meraih tempat tembakau, melintingnya dan
merokoknya seperti keadaan Ki Lurah saat itu.
Sebenarnya Suro bukan seorang perokok, tapi ia
bisa menyesuaikan diri, bisa bergaya seperti
orang yang biasa menyedot tembakau dan
cengkih. Ki Lurah memperdengarkan, suaranya
yang sedikit serak:
"Di desa ini, setiap orang kaya, atau orang
mampu, pasti mempunyai jago-jago bayaran.
Paling sedikitnya satu orang. Itu dilakukan
untuk menanggulangi keganasan Nyi Kembang
Laras."
"Apakah cara itu cukup berhasil? Apakah
para jago bayaran itu mampu mengatasi amukan
Nyi Kembang?"
Agaknya Ki Lurah sulit menjawab
pertanyaan itu. Ia menggumam beberapa saat,
lalu berkata ngambang:
"Bagaimanapun juga, ternyata nasiblah yang
selalu menentukan hidup kita."
"Nasib...?" Suro Bodong tertawa pelan.
Mengisap tembakau kawungnya sejenak, lalu
berkata lagi:
"Mungkinkah hanya itu alasan yang bisa kau
pakai, Ki Lurah? Apa tidak ada alasan lain?"
"Entahlah. Aku selalu kebingungan jika harus
bicara soal Nyi Kembang. Sepertinya, hal itu
bukan wewenang kekuasaanku, juga bukan
tanggung jawabku sebagai lurah. Persoalan Nyi
Kembang, tidak termasuk dalam rencana kerja
seorang lurah. Kalau kutahu akan ada persoalan
seperti ini, kurasa pada saat pemilihan Lurah,
aku tidak mau dijagokan oleh sebagian
penduduk"
Suro Bodong semakin merasa geli. Lurah ini
lucu juga, pikirannya. Persoalan Nyi Kembang
jelas persoalan yang menyangkut keamanan
desa. Tapi dia seolah-olah mau cuci tangan
karena merasa ketakutan. Ah, kasihan sekali
lurah yang satu ini. Harga dirinya, martabatnya
sebagai Lurah, tidak lagi diperhitungkan.
"Apakah persoalan Nyi Kembang ini sudah
lama berkembang di desa ini?" tanya Suro
Bodong. Waktu itu, seorang perempuan yang
masih tergolong muda, segar dan menawan,
datang membayakan minuman dan poci teh
kental. Suro Bodong memandangnya sebentar,
lalu menyimpan wajah ayu itu dalam
ingatannya. Tanpa melihat orangnya, Suro
sudah dapat menikmati kecantikan dan
kesegaran perempuan itu.
Ki Lurah menjawab pertanyaan Suro yang
tadi, "Dulu, aku pernah mendengar persoalan
Nyi Kembang. Kekejiannya juga pernah
kudengar. Namun peristiwa itu terjadi di desa
lain. Di seberang Hutan Tengkorak Dan...
kupikir tidak akan merambat sampai ke desa
ini."
Perempuan berkulit sawo matang, dengan
matanya yang bulat indah itu pergi ke belakang.
Suro Bodong sempat melirik jalannya. Oh,
mengundang gairah juga pantat perempuan itu
dalam lenggok gaya jalannya. Suro Bodong
tersenyum tipis, tapi Ki Lurah mengetahui
senyuman itu, lalu berkata dengan suara sedikit
parau:
"Kau boleh saja menertawakan dengan sinis
keadaan rakyatku yang sangat ketakutan itu,
tapi kau menghadapi sendiri, mungkin kau tak
sempat berani lagi menyebut nama Nyi
Kembang..."
Sebenarnya Suro Bodong ingin mengatakan,
bahwa ia bukan tersenyum sinis dalam arti
mengecilkan masyarakat desa itu, tapi
tersenyum geli untuk lenggok gaya perempuan
tadi yang sempat membuat batin Suro gelisah.
Hanya saja, Suro tahu hal itu tidak perlu
dibicarakan. Ia bahkan berkata:
"Aku ingin ketemu Nyi Laras...Setan dari Hu-
tan Tengkorak itu!"
Kini ganti Ki Lurah yang tersenyum sinis,
tipis. Katanya, "Kau bergurau terlalu kelewat
batas, Suro Bodong..."
"Kurasa kau yang bercanda, Ki Lurah. Aku
benar-benar ingin bertemu dengan setan betina
itu!"
Ki Lurah menatap Suro, dan ia menemukan
kesungguhan dari ucapan Suro Bodong itu. Ia
mendekatkan wajah, lalu berkata dalam nada
bisik yang tajam:
"Mengerikan...!"
"Siapa yang mengerikan? Wajahku?"
"Nyi Kembang itu...!"
"Ooo..." Suro ikut berbisik
"Kau akan menyesal setelah bertemu
dengannya," bisik Ki Lurah dengan kepala tetap
terjulur mendekati Suro. Sedangkan Suro
Bodong pun menjulurkan wajah dengan suara
bisiknya yang mendesah jelek.
"Akan kubikin menjadi sebaliknya; Nyi
Kembang yang menyesal bertemu denganku."
"Aaah...kau bisa mati. Percayalah!"
"Dia yang akan lebih dulu mati. Pastikan-
lah...!"
"Bagaimana caranya melawan dia? Apa
rencanamu?"
"Beri aku kesempatan tinggal di desa ini
beberapa hari. Kalau aku tak sanggup, aku akan
lari. Kalau lari pun tak sanggup, .aku akan mati."
Setelah itu Suro meringis, tepat di depan hidung
Ki Lurah.
Malam menggeliat sepi.
Jenar tidur di dekat dapur, satu kamar
dengan Jupro. Agaknya Ki Lurah sudah bisa
menegakkan kebijaksanaan bagi Jenar.
Barangkali karena Ki Lurah Pucung memandang
kehebatan Suro Bodong yang mempunyai
permaiman menjatuhkan jago-jagonya itu,
sehingga Ki Lurah merasa ada perlunya untuk
tidak mengusir Jenar. Karena diam-diam Ki
Lurah sangat mengagumi ilmu silat yang
dimiliki Suro Bodong. Bahkan kepada Tembong
dan Gagak ia sempat berbisik kesal:
"Payah...! Dia hanya menggunakan kaki.
Belum tangannya, tapi kamu berdua tidak
mampu menandinginya. Apalagi kalau Suro
sudah menggunakan tangannya, mungkin satu
antara kalian akan mencret selama tujuh hari...!!"
Tampang kedua jagoan yang dibayar untuk
melindungi keluarga Lurah Pucung itu seperti
tak berbentuk lagi, malu dan geram menjadi satu
di wajah itu. Tembong dalam hati mempunyai
rencana untuk membalas rasa malunya kepada
Suro Bodong, tapi kemudian ia membantah
rencananya sendiri dengan kecamuk benaknya:
"Kalau Gagak saja mampu dikalahkan setan
bodong itu, tentunya aku juga mampu diremat-
remat dengan tangan kirinya. Aah... lebih baik
mempertahankan hidup daripada
mempertahankan dendam."
Patroli malam, seperti biasa dilakukan oleh
Tembong dan Gagak. Sekali pun mereka sudah
mulai ciut nyali, gara-gara merasa dapat
dirubuhkan Suro dengan mudah, namun demi
menunaikan tugas bayarannya, mereka tetap
mengadakan pemeriksaan keliling. Istilah
sekarangnya : waskat. Pengawasan melekat,
khususnya terhadap gangguan yang dapat
timbul sewaktu-waktu dari Nyi Kembang Laras.
Sementara itu, di dalam kamarnya Ki Lurah
dan istrinya sempat saling menggerutu:
"Aku jadi merasa tak aman, Pak..." ujar istri-
nya. "Kedua orang andalan kita ini, kurasa tak
akan mampu menghadapi kejahatan Nyi
Kembang Laras. Buktinya, dengan tamu kita saja
mereka dibuat nungging-nungging mirip
kambing bunting. Apalagi kalau menghadapi
Nyi Kembang...!"
"Aku juga gelisah..." desah Ki Lurah sambil
merebah.
"Cari penjaga yang lebih ampuh lagi, jangan
seperti kedua orang itu. Yang sakti, Pak. Yang
bisa terbang dan yang bisa hilang...!"
Ki Lurah hanya kedip-kedip memikirkan
keadaan gawat di sekeliling keluarganya. Ia
kembali terngiang kata-kata Suro Bodong dalam
pembicaraan sore tadi. Satu-satunya harapan
yang bisa diandalkan hanya Suro Bodong.
Tetapi, ia sendiri sangsi apakah Suro Bodong itu
bisa mengungguli kesaktian Nyi Kembang
Laras? Memang tekad dan semangat Suro untuk
menumpas Nyi Kembang cukup kuat. Hanya
saja, Lurah Pucung masih khawatir akan
keberhasilannya. Ia belum banyak mengetahui
bagaimana dan siapa sebenarnya Suro Bodong.
Ia sesore ini terlalu hanyut dalam pembicaraan
kekejaman Nyi Kembang Laras, sehingga ia
belum sempat menanyakan keberadaan diri
tamunya.
Mungkin bukan hanya Ki Lurah dan istrinya
yang dalam kegelisahan malam ini, namun
semua warga desa Manggar itu dicekam
kegelisahan yang menakutkan. Kegelisahan ini
sudah sekian malam berlangsung sehingga
membuat malam menjadi arena begadang bagi
semua warga desa. Kengerian semakin
mencekam apabila sunyi kian sepi. Masing-
masing telinga terpancang bagai radar yang siap
menerima suara jeritan memilu, seperti yang
terjadi pada malam-malam sebelumnya.
Jupro, Jenar, dan dua pelayan bagian taman
serta bagian dapur masih mengedip-ngedipkan
mata di kamarnya masing-masing. Suro Bodong
dapat kamar sendiri di samping kamar Jupro
dan Jenar. Di samping dapur ada dua kamar
lain, yaitu kamar pelayan kebun dan pelayan
dapur yang menjadi satu, serta di sampingnya
adalah kamar Juminem, juru masak yang konon
masih punya hubungan saudara dengan Nyi
Lurah Pucung. Sedangkan di kamar lain, yang
letaknya bersebelahan dengan ruang makan,
adalah kamar Sundari, anak tunggal Lurah
Pucung yang telah menjanda. Suaminya mati
dengan keadaan menyedihkan akibat ulah Nyi
Kembang beberapa waktu yang lalu. Ia seorang
janda kembang tanpa anak, yang dalam usia
matangnya itu mampu menciptakan daya tarik
tersendiri bagi kaum lelaki.
Di kamar Jupro dan Jenar, terjadi
pembicaraan pelan dalam bentuk bisik-bisik
malam.
"Makanya, Nar..." kata Jupro, "Jadi lelaki itu
jangan clamitan. Mentang-mentang Den Roro
Sundari janda, lantas seenaknya saja kau mau
memperkosanya. Uuh... semua itu ada
aturannya, nar!"
"Aku... waktu itu tidak tahan, Kang. Sangat
gak tahan melihat pahanya yang menyingkap
waktu ia naik delman. Rasa-rasanya aku sudah
kemasukan setan dengan cepat waktu itu.
Maka... ah, begitulah jadinya. Tapi... sekarang
aku sangat menyesal. Menyesal sekali, Kang.
Sudah hasratku tak sampai, namaku jelek,
tubuhku pun nyaris hancur di cincang Tembong
dan Gagak. Ah, aku tidak mau lagi begitu.
Sungguh! Aku lebih baik cari perempuan lain
yang mau kukawini dan... beres sudah."
"Baguslah kalau kamu punya pikiran begitu,
kalau memang masih punya niat memperkosa,
perkosa saja Nyi Kembang. Kan dia sendiri
sering memperkosa kaum lelaki."
"Iiih...amit-amit jabang bayi, Kang!" Jenar
bersungut-sungut. "Dari pada harus
memperkosa Nyi Kembang, lebih baik aku cari
sabun, Kang."
"Untuk apa cari sabun?"
"Cuci piring dan cuci baju! Beres!" Jupro
tertawa pelan. Mereka bungkam. Sepi nemakin
merajalela. Ada suara dengkur yang samar-
samar. Dengkur dari Suro Bodong di kamarnya.
Jupro berbisik
"Aneh. Orang lain ndak bisa tidur, kok Suro
Bodong malah mendengkur?!"
"Memang dia serba aneh kok. Aku dulu
pernah menyerangnya, tapi... sudah tentu aku
dapat ditumbangkan dengan sangat mudah,
ibarat ia menyentil lalat saja. Dan... waktu itu,
aku mengira dia adalah salah satu dari orang
Hutan Tengkorak, eeh... tidak tahunya justru ia
diserang oleh perempuan cantik, anak buah Nyi
Kembang. Dan aku melihat sendiri betapa
hebatnya dia, Kang. Tubuhnya bisa terbang ke
atas, gerakannya tangkas dan kelincahan
geraknya sungguh sempurna. Hebat pokoknya,
Kang!"
"Ya. Aku percaya. Aku melihat sendiri betapa
lincahnya kedua kaki itu melawan serangan
Tembong dan Gagak Aku tadi sempat terkagum-
kagum, Nar. Dan menurutku... dia adalah orang
tandingan Nyi Kembang. Tapi, dia belum tahu
kalau Nyi Kembang itu sangat sakti. Kau pernah
ceritakan kehebatan Nyi Kembang jika sedang
membantai lawannya?"
"Sedikit. Tapi belum sempat kuceritakan
bahwa Nyi Kembang itu sukar dibunuh. Kalau
saja..."
Obrolan kasak-kusuk itu terhenti seketika.
Ada suara berdebam di luar, tepatnya dari arah
halaman samping. Sepertinya ada sesuatu yang
jatuh, disusul dengan suara pekik seseorang
yang tertahan.
Jenar dan Jupro berjingkat bangun dari
rebahnya. Mata mereka saling memandang
tegang. Telinga mereka menyimak bunyi di
kesunyian malam. Daun-daun bergeseran
terdengar. Detak jantung mereka semakin cepat.
Dengan sangat pelan Jenar berbisik
"Ada yang ndak beres ini, Kang..."
"Ho, oh...!" Jupro mengangguk
Dengkuran Suro semakin jelas, karena pusat
pikiran mereka menerobos kesunyian malam
yang amat hening.
"Nah, dengar...!" bisik Jenar lagi. "Seperti ada
suara orang dipukul dadanya, ya?"
"Ho, oh...!" Jupro menganguk. 'Jangan-jangan
Tembong dan Gagak sedang dalambahaya."
Jupro diam, matanya mendelik, wajahnya
tegang. Ia tak berani bergerak Suara yang mereka
tangkap kemudian adalah suara pekik tertahan,
seperti orang hendak terbatuk namun tak jadi.
Suara itu semakin menegangkan mereka.
'Jangan-jangan Nyi Kembang datang..." bisik
Jenar.
"Ah, dari mana kau bisa berkata begitu.
Belum tentu Nyi Kembang. Siapa tahu Tembong
dan Gagak sedang berlatih ketangkasan mereka,"
bisik Jupro.
"Malam-malam begini berlatih ketangkasan?
Ah, ndak masuk akal, Kang. Pasti...! Pasti Nyi
Kembang mencari Suro Bodong."
"Mencari Suro Bodong?! Kenapa kau yakin
begitu?!"
Bisikan Jenar semakin pelan, "Waktu Suro
mengalahkan anak buah Nyi Kembang, ia
mendapat ancaman. Katanya, dia terpilih! Entah
terpilih apa maksudnya, tapi aku yakin itu
sebuah ancaman maut bagi Suro Bodong."
"Gawat...!" Jupro menampakkan
kecemasannya. "Padahal sekarang Suro Bodong
sedang mendengkur nyenyak. Jangan-jangan...
Eh, coba kau keluar dan ketuk pintu Suro agar
dia bangun."
"Wah, aku ngeri keluar dari kamar, Kang."
"Aaah...payah kamu, Nar. Buat apa kamu
bawa-bawa pedang itu? Buat apa kamu belajar
silat sama bapakmu almarhum?"
"Sekedar untuk jaga diri. Bukan untuk
melawan Nyi Kembang." jawab Jenar sambil
tergagap sejenak.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka perlahan-
lahan. Jupro dan Jenar nyaris tidak bernafas
sama sekali. Jantung mereka bagai berhenti
tanpa detak. Untung kenyataan tidak sempat
demikian. Jantung mereka hanya terhenti sedetik
Namun setelah itu jantung mereka berdetak
sangat cepat. Hal itu membuat mulut mereka
ternganga namun tak sempat melontarkan kata
dan suara apa pun. Tubuh mereka bagai
dipantek dengan lantai. Tegak berdiri tanpa
bergerak sedikit pun. Mata mereka bagai
diganjal oleh sebatang lidi, membelalak lebar
tanpa berkedip.
Tak ada suara. Sepi. Tapi di mata Jenar dan
Jupro terlihat jelas pintu kamar yang sudah
terkunci itu masih bisa terbuka. Lalu muncullah
seraut wajah dari balik pintu. Wajah cantik,
berbibir mungil dan kelihatan selalu basah.
Warnanya merah ranum. Segar sekali. Di atas
bibir itu, ada ujung hidung yang mancung,
ramping. Berkulit kuning langsat. Bahkan
mendekati jenis kulit warna putih susu. Di atas
hidung mancung yang indah itu, terdapat
sepasang mata yang bertepian hitam pada
kelopaknya. Mata itu tidak terlalu bulat, namun
cukup tajam dan mempunyai kebeningan yang
mengagumkan. Bulu matanya yang lentik,
adalah perpaduan keindahan mata sehingga
menjadi sebentuk keagungan yang memukau.
Alis yang seperti bulan sabit, kelihatan tebal di
bagian ujungnya dekat hidung. Dan alis itulah
yang membuat satu komposisi kecantikan maha
anggun.
Itulah kecantikan wajah Nyi Kembang Laras!
Angin malam sebenarnya sudah sejak tadi
berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun
desau angin itu tak sempat terpikirkan oleh Jenar
dan Jupro. Kedua lelaki dalam usia belum bisa
dibilang tua itu masih terpukau tanpa gerak
sedikit pun. Hati menggumam terkagum-kagum,
namun jantung berdetak tersendat-sendat.
Rambut Nyi Kembang Laras meriap sebatas
pinggang. Sekalipun bagian kepalanya
dikenakan penjepit rambut berbentuk mahkota
kecil, namun gerai rambut yang terjuntai sebatas
pinggang masih terlihat hitam bening, mirip
jurai lumut laut yang lembut. Busana yang
dikenakan, sangat melemahkan jiwa seorang
lelaki. Kainnya tipis, halus. Berwarna putih bagai
gumpalan busa. Kain itu membungkus tubuh
tanpa pelapis dalam, sehingga lekuk tubuh dan
tonjolan di bagian dada terlihat samar-samar,
menggetarkan jiwa siapa saja. Indah tubuh itu.
Sungguh indah. Bahkan betisnya pun terlihat
amat sempurna dalam komposisi kegempalan
paha yang tak bisa dikatakan bengkok,
melainkan sekal berukuran prima.
Nyi Kembang berdiri di depan pintu dengan
kain tipis berlengan panjang bagai jubah itu
meriap-riap dipermainkan desiran angin.
Matanya memandang lekat pada Jupro,
sementara bibirnya menyunggingkan senyum
tipis yang amat melelehkan liur kejantanan siapa
saja yang memandangnya. Dari kebeningan
matanya itu, tiba-tiba terpancar sorot sinar
kuning pias. Hampir tak kentara. Sorot sinar
kuning pias itu memenembus sepasang mata
Jupro. Lelaki bertubuh tegap,namun tidak begitu
berotot itu masih tak mampu bergerak sedikit
pun. Sorot sinar kuning pias bagai mempunyai
daya hipnotis yang amat kuat, membuat mata
Jupro terpejam perlahan-lahan. Makin sayu, dan
terus menjadi sayu, sampai kemudian terpejam
kuat. Tapi tiba-tiba terbuka membelalak,
kemudian berkedip-kedip.
Bahkan ia bisa menggerakkan kepalanya
pada saat Nyi Kembang Laras tersenyum makin
lebar. Jupro menoleh Jenar. Wajahnya biasa,
tanpa cekaman rasa takut maupun gentar
sedikitpun. Ia sepertinya tidak sedang
menghadapi bahaya. Sedangkan sinar kuning
pias hilang tak terpancar lagi. Jenar terheran-
heran, namun tetap terbungkam untuk bisu
seribu kata, kaku sejuta gerak. Dan ia
memaksakan diri untuk bisa bergerak.
"Kau harus melayaniku..." suara Nyi
Kembang terdengar pelan, namun cukup jelas di
telinga Jenar. Pada saat itu, Jenar mampu
menggerakkan lehernya untuk berpaling ke arah
Jupro. Dan ia kaget karena Jupro membuka
bajunya perlahan-lahan. Senyum Jupro
mengembang, sepertiiya ia tidak sedang dalam
bahaya sedikitpun. Ia bersikap biasa-biasa saja.
Nyi Kembang melangkah masuk, lalu
menutup pintu tanpa suara sedikit pun. Matanya
masih mamandang Jupro dalam senyum lebar
menyatakan kegembiraan hatinya.
"Jangan kau lepas semua pakaianmu..." Nyi
Kembang berkata dalam desah yang lembut. Ia
semakin mendekati Jupro. Gerakan tangan Jupro
berhenti. Ia juga tersenyum dalam bayangan
gairah kebirahian.
Nyi Kembang mendekatkan wajah ke depan
hidung Jupro. Ia berbisik, namun jelas didengar
oleh Jenar yang bagai patung hidup itu.
"Berikan aku duniamu, Sayang..."
"Renggutlah semuanya," balas Jupro pelan.
Nyi Kembang mengusap rambut Jupro pelan-
pelan, lalu jari jemarinya yang lentik itu meraba
kening Jupro dengan lembut. Pelan-pelan ujung
jemari indah itu merayap ke hidung, terus
bergeser ke bawah, menyentuh kumisnya yang
tipis, merayap lagi ke bawah, menyentuh bibir
Jupro yang tebal. Di situ jemari Nyi Kembang
bermain sebentar, kadang sengaja didesakkan
masuk ke mulut, dan Jupro menghisapnya
beberapa saat. Mata Nyi Kembang berbinar-
binar penuh gairah bercinta.
"Oooh..." desah Nyi Kembang sangat halus,
mirip gesekan kain sutra yang diterpa angin.
Pada saat itu, kedua tangan Jupro merayap ke
segala penjuru tubuh mulus itu. Kedua mata Nyi
Kembang meredup sayu, seakan menikmati
sentuhan demi sentuhan. Dan pada saat itu,
desah nafas Jenar semakin memburu tanpa ia
dapat berbuat apa-apa kecuali memandang dan
memandangnya terus. Keringat dingin sudah
sejak tadi membasahi di sekujur tubuh Jenar.
"Kuharap kau tidak seperti kedua Jagoan di
luar..." kata Nyi Kembang dalam desah yang
melenakan. Jupro menjawab setelah melepaskan
bibirnya dari jemari Nyi Kembang
"Ambillah apa yang kau inginkan dariku...!
Ambillah, Nyi..."
“Gawat...!” Jenar sempat berseru di dalam
hatinya. Ia tahu, Jupro tak mampu menghindar
dari jerat Nyi Kembang. Jenar tahu, bahwa Jupro
telah terbius dan lupa akan bahaya yang ada.
Sebenarnya Jenar ingin mengingatkan, tetapi
mulutnya kaku sekali. Tenggorokkannya bagai
tersumbat segumpal nafas yang sulit dihela.
Akhirnya ia hanya menjadi penonton yang
dengan terpaksa membelalakkan mata terus dan
mendengarkan segala erangan serta desahan
birahi beracun itu.
Bahkan ketika Jupro melepaskan tali pengikat
gaun yang bersimpul di kedua pundak Nyi
Kembang itu, Jenar tak dapat mencegah. Tali itu
terbuka, dan gaun tipis itu lepas terkulai di
lantai. Sosok tubuh mulus tanpa cacad sebesar
ujung jarum pun membentang di depan mata
Jenar. Air liurnya tak sempat terkendali. Lebih-
lebih ketika ia pun melihat jari-jemari Nyi
Kembang melepas semua pakaian Jupro dalam
gerakan perlahan-lahan, oooh... Jenar benar-
benar tersiksa dalam hentakan darah mudanya
yang membakar jiwa. Ia ingin berkedip, ia
memaksakan kelopak matanya berulang kali,
tapi yang bisa dilakukan hanya melotot,
membelalak tanpa kedipan sedikit pun.
Nafas Jenar semakin sesak, setelah ia melihat
betapa lincahnya tangan Nyi Kembang
menjelajah ke bagian bawah Jupro. Betapa
lincahnya lidah Nyi Kembang menjalar bagai
ular, dari ujung kepala Jupro sampai ke lutut. Di
situ Nyi Kembang menggigit-gigit kecil, dan
membuat Jupro menyeringai dalam desah
kejantanannya. Bahkan ketika Nyi Kembang
merayapkan lidahnya ke atas lagi, lalu berhenti
di sekitar dada, turun lagi, dan berhenti di
sekitar paha, Jupro kelihatan seperti orang
kesurupan dan geliatan tubuhnya. Tangannya
meremas-remas rambut Nyi Kembang yang
lembut, sementara kepalanya sendiri
mendongak-dongak ke atas dalam desis
mengetarkan lutut Jenar.
Sekali lagi, Jenar berusaha menggerakkan
bibirnya, berusaha menghentakkan suaranya
untuk melontarkan jerit, tetapi tenggorokkannya
benar-benar mampet. Bagai tak ada lobang
sekecil jarum pun yang dapat dipakai
mengeluarkan suara dari dalam tenggorokan
Jenar. Bahkan ketika Nyi Kembang semakin
menggila dalam menggerakkan kepalanya
dalam posisi berlutut, Jenar semakin kuat
hasratnya untuk meraih pedangnya dari meja.
Tetapi jangankan tangan, jari-jarinya pun sukar
dikendalikan. Jari-jari tangan itu sepertinya
beku. Kaku. Hanya bagian leher yang mampu
menggeliat untuk digerakkan.
"Aaaah...!"
Jupro mengerang dalam satu hentakan, dan
tubuhnya mengejang dengan nafas memburu tak
beraturan, la lemas, jatuh ke kiri, tepat di atas
pembaringan berkasur. Saat itu Nyi Kembang
semakin menggila. Ia membujurkan tubuh Jupro
dalam gerakan brutalnya. Kemudian ia berusaha
mengayun sendiri 'perahunya' dan suaranya pun
semakin seronok, semakin mengundang
kebirahian siapa saja yang mendengarnya. Jupro
hanya mengerang dalam geliat hebat. Tubuhnya
yang tertindih Nyi Kembang sama sekali tidak
ada usaha untuk melawan atau memberontak
keluar dari bawah Nyi Kembang. Dan hal itu
membuat Nyi Kembang semakin berjingkerak-
jingkerak seperti terbakar api. Rambutnya
meriap dalam gerakan melambai kian ke mari.
Sesuatu yang menggantung di dadanya,
terayun-ayun bagai pepaya yang hendak rontok
dari tangkainya. Wajah cantiknya meringis,
menjerit tertahan, menggigit-gigit bibirnya
sendiri, tanpa peduli keringat meleleh di
sepanjang punggungnya yang bagai bentangan
sutra susu.
"Uug... aaag... uuuh...!" Jenar berusaha
berteriak. Nyatanya ia hanya bisa ber-ah, ih,
uh...! Tanpa ada makna yang dapat memudarkan
amukan gairah kedua insan itu.
Hanya saja, pada saat Nyi Kembang
meregang, melontarkan erangan lembut yang
memanjang itu, tiba-tiba pintu kamar ditendang
seseorang dari luar.
Braaak...!!
Bukan hanya Jenar yang terlonjak kaget,
melainkan Jupro dan Nyi Kembang pun
menegangkan urat-uratnya. Mereka sama-sama
memandang ke arah pintu, dan di situ sudah
berdiri sosok tubuh yang sedikit gemuk dengan
baju terbuka tanpa kancing dan kelihatan
pusarnya yang terjulur keluar. Suro Bodong
menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat,
lalu ia berusaha menendang tubuh Nyi
Kembang. Tangan Nyi Kembang mengibas,
menangkis tendangan itu sekali pun masih
duduk di atas tubuh Jupro. Tapi, tiba-tiba Jupro
menjerit panjang:
"Aaaauuhh...!!" Tubuhnya mengejang-
ngejang. Nyi Kembang berdiri berusaha
menghadapi Suro Bodong. Pada saat itu Suro
dan Jenar sama-sama terbengong memandang ke
arah paha Jupro.
Paha itu berlumur darah. Bahkan tadi sempat
menyembur ke sekitar paha. Suro dan Jenar
bagai tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri, bahwa keadaan Jupro sangat
menyedihkan. Segumpal otot kejantanannya
telah putus. Hilang. Bagai terpotong benda tajam
pada bagian pangkalnya. Ketika itu, tubuh Jupro
yang sudah kehilangan alat kejantanannya itu
menjadi kaku sejenak jenak, lalu menggeliat
lemas dan diam selama-lamanya.
Rupanya Nyi Kembang telah memotong alat
kejantanan itu dengan tenaga dalamnya ketika ia
masih duduk di atas tubuh Jupro dan diserang
oleh Suro Bodong. Rupanya perempuan cantik
itu mempunyai tindakan yang tak secantik
wajahnya. Ia tega menjepit alat kejantanan Jupro
dengan alat kewanitaannya hingga putus tanpa
bekas. Mungkin masih tertinggal di dalam bekas
potongan 'senjata' Jupro itu, karena sisa
potongan itu tidak terlihat tergeletak di suatu
tempat. Jika memang benar begitu,
ooh...alangkah kejamnya tindakan yang jarang
disaksikan oleh Suro Bodong itu. Bukan hanya
mulut atas yang dapat menggigit, tetapi juga
bagian yang istimewa itu mampu menggigit dan
menelan sebatang daging milik Jupro.
Suro Bodong terpental dalam lamunan,
karena saat itu ia baru menyadari bahwa Nyi
Kembang telah mengenakan pakaiannya dengan
cepat kemudian menendang dada Suro dengan
keras. Tubuh Suro terpelanting menabrak Jenar
hingga kepala Jenar membentur dinding. Nyi
Kembang berusaha melesat keluar dari kamar,
tetapi Suro Bodong segera melemparkan pedang
bersarung milik Jenar. Pedang itu melesat cepat,
dan bahkan mampu menancap. Sayang tidak
pada tubuh Nyi Kembang, melainkan menancap
pada kusen pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
Jenar makin terbelalak melihat pedangnya
mampu menancap pada kayu walau tanpa
membuka sarungnya. Sudah tentu itu suatu
lemparan bertenaga dalam yang cukup hebat.
Suro Bodong segera melesat keluar mengejar
Nyi Kembang yang lari ke halaman belakang.
Tetapi beberapa saat ia di sana, ia tak melihat
bayangan kain putih yang dikenakan Nyi
Kembang. Perempuan itu hilang! Entah lari
lewat mana. Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling, namun yang ia temukan bahkan
kedua mayat Tembong dan Gagak dalam
keadaan usus mereka terburai ke luar dari perut.
Mereka juga dalam keadaan telanjang bulat
tanpa selembar benang.
* * *
EMPAT
Ki Lurah tertegun di ruang tamu. Orang-
orang yang habis menguburkan ketiga mayat itu
berkumpul secara berkelompok di halaman
depan. Suro Bodong sengaja menyendiri di
halaman samping. Ia menikmati jagung bakar
kesukaannya sambil memperhatikan beberapa
bunga indah yang ada di pinggir pagar halaman
itu. Ia sepertinya tidak mempunyai rasa sedih
atau gelisah sedikit pun. Ia paling tenang dari
sekian banyak orang.
Bahkan ketika Jenar muncul menemuinya,
Suro Bodong masih bersikap biasa-biasa saja.
Cuek terhadap situasi yang ada. Jenar bicara
dengan wajah yang masih tegang akibat sisa
semalam.
"Kang... Temuilah Ki Lurah sekarang juga...!"
"Nanti saja. Dia sedang pusing memikirkan
bagaimana cara menanam mayat berikutnya,"
jawab Suro Bodong seenaknya. Jenar merasa
kurang suka dengan sikap Suro Bodong.
“Jangan kelewatan sikapmu, Kang. Itu sangat
menyakitkan Ki Lurah. Sekarang bukan hanya
Ki Lurah yang merasa kehilangan, tetapi ada
orang lain yang menuntut Ki Lurah."
"Orang lain? Orang lain siapa?" Suro bicara
tanpa memandang Jenar. Ia bahkan
memperhatikan sekuntum bunga anggrek yang
waktu itu dinamakan bunga bulan ungu.
"Datanglah ke sana. Temui Ki Lurah. Ia dalam
bahaya."
Baru kali ini Suro Bodong berpaling
memandang Jenar, namun tubuhnya masih tetap
membungkuk mendekati bunga, dan tangannya
masih sesekali memetik-metik biji jagung bakar,
lalu melemparkan ke mulurnya.
"Ki Lurah dalam bahaya?"
"Benar, Kang. Apakah kau tadi tidak melihat
seorang kakek yang mengenakan jubah ungu
tua?"
"Kalau pun melihat, mungkin aku akan pura-
pura tidak melihat. Hemm... ada apa dengan
kakek itu?"
"Dia minta Ki Lurah Pucung bertanggung ja-
wab atas kematian Tembong dan Gagak."
"Apa dia kakek mereka?"
"Dia guru Tembong dan Gagak, Kang.
Lihatlah sendiri ke sana, Ki Lurah sedang
terdesak oleh tuntutan itu."
"Ah, biar saja...!" jawab Suro seenaknya.
"Yang penting bukan aku yang menuntut Ki
Lurah."
Jenar menggumam dalam gerutu. Ia
bersungut-sungut. Dan suara orang bergemuruh
di halaman depan. Semua orang bagai
berkumpul menjadi satu pandangan, yaitu
tertuju pada serambi depan yang menjadi ruang
tamu rumah Ki Lurah itu. Suro Bodong sempat
tertarik sebentar, karena waktu itu Jenar pun
segera pergi ke halaman depan. Namun Suro
tidak mau bergerak Ia hanya diam, berdiri di
tempatnya sambil sesekali melemparkan biji
jagung bakar yang dipetik-petik dengan jempol
tangan kanannya.
'Tolonglah ayahku...!"
Tiba-tiba suara itu terlontar dari sudut
rumah, tepatnya dari arah belakang. Dari sana
seorang perempuan berkulit sawo matang
berlari-lari menghampiri Suro Bodong. Dia
adalah Sundari, anak Ki Lurah yang bermata
bulat indah. Usianya masih terbilang muda
untuk seorang janda, namun hal itu justru
membuat Suro Bodong suka memperhatikannya.
"Ayahku dalam ancaman, Kang. Tolonglah
dia...!" Sundari sangat cemas. Ia hanya
mengenakan pinjung, kain sebatas dada dengan
kebaya tipis tanpa kancing. Waktu itu, Suro
Bodong tetap tenang. Masih saja mengunyah
jagung bakar dengan sesekali garuk-garuk
kumis.
'Tolonglah ayahku, Kang Suro...! Tolonglah...!
Ia bisa mati kalau Si Jubah Ungu benar-benar
marah."
"Aku juga bisa mati. Dan semua orang bisa
mati...! Cuma caranya yang beda-beda. Kenapa
kamu ribut soal itu?"
Sundari hampir menangis. Ia sangat
kebingungan. Sedih dan jengkel akibat sikap
Suro Bodong yang acuh tak acuh itu. Ia bergerak
ke depan dengan berlari, namun belum sampai
di tujuan, ia telah kembali dengan kecemasan
yang semakin meningkat.
"Dengar...! Dengar Si Jubah Ungu
membentak-bentak ayahku. Apakah kau tidak
mendengarnya?!" geram Sundari kepada Suro
Bodong yang masih kalem saja.
"Aku mendengarnya, seandainya aku tidak
tuli. Tapi... untuk sementara ini, anggap saja aku
tuli dan tidak mendengarnya," jawab Suro
Bodong masihseenak perutnya.
"Aku... oh, aku takut sekali..." Sundari bagai
bicara pada diri sendiri. Ia tak berani mendekat.
Ia menggigit jarinya menahan rasa takut yang
sangat mencemaskan. Suro Bodong sengaja
membiarkan ketakutan itu, sebab wajah Sundari
enak dipandang dalam keadaan ketakutan
begitu.
"Kenapa hanya memandangiku?!" bentak
Sundari. "Apakah tak ada yang dapat kau
kerjakan untuk menolong ayahmu selain
memandangiku!!"
"Sementara ini belum ada," kata Suro.
"Memandangimu lebih mudah daripada
menolong ayahmu, Sundari."
'Tapi... oh, tapi tolonglah dia dulu. Kumohon
tolonglah dia agar tak menjadi sasaran
kemarahan Jubah Ungu, setelah itu... kau boleh
memandangiku dengan sepuas hatimu.
Tolonglah dia dulu, Kang Suro..."
Suro Bodong tersenyum. "Upah yang paling
kusukai itu.." ucapnya seraya bergegas ke
halaman depan. Langkah kakinya tidak seperti
pendekar, melainkan seperti orang yang sedang
jalan-jalan santai. Menjengkelkan sekali.
Orang-orang berkerumun di depan serambi,
dekat dengan tangga yang terdiri dari lima baris.
Mereka membentuk kelompok yang berada di
sebelah kiri dan kanan, sedangkan bagian tengah
dibiarkan terbuka. Kosong tanpa orang. Seakan
mereka memberi kesempatan kalau-kalau
sampai terjadi keributan yang membuat Ki
Lurah dilempar keluar. Jalanan tengah yang
kosong itu menuju lurus ke pintu pagar. Dan
pada saat itu, hanya Suro Bodong yang berdiri di
jalanan itu. Sendiri. Menonjol jelas. Ada
beberapa mata yang memperhatikan Suro
Bodong, namun ada juga yang belum menyadari
posisi Suro Bodong di situ.
Lelaki tua berambut putih, namun tidak
panjang itu masih membentak-bentak Ki Lurah
yang amat ketakutan. Lelaki yang mengenakan
Jubah Ungu itu juga belum menyadari tampilnya
Suro Bodong yang bagai menghadang jalan
keluar. Sedangkan Suro Bodong masih kelihatan
kalem. Ia memetik-metik biji jagung bakar, lalu
melahapnya dengan sikap tenang.
Terdengar suara Si Jubah Ungu membentak
Ki Lurah dengan suaranya yang masih lantang:
"Kematian muridku adalah
tanggungjawabmu! Karena kau yang datang
kepadaku, menyewa padaku, dan kau pula yang
harus menebus kematian kedua muridku,
Tahu?!"
'Tetapi..." Ki Lurah gemetaran, demikian juga
Nyai Lurah yang berpegangan erat lengan
suaminya. 'Soal kematian Tembong dan Gagak,
adalah kecelakaan! Ia dibunuh oleh...!"
"Aku tahu!" sahut Jubah Ungu dengan
bentakan. "Tapi kau menyewanya bukan untuk
dibunuh, kan? Kau menyewanya hanya untuk
melindungi, melindungi keluargamu ini, kan?
Aku tidak pernah mengizinkan kau
menyewanya untuk mati! Dan sekarang kalau
mereka mati, aku akan menuntutmu! Harga
nyawanya, seratus kali lipat dari harga sewa
yang kau bayarkan itu!"
'Itu terlalu mahal, Eyang guru..." jawab Ki
Lurah. "Aku tidak mempunyai uang sebanyak
itu...!"
"Kalau begitu, tebus dengan cara lain!" seru
seorang lelaki yang mengenakan rompi warna
biru di samping Jubah Ungu. Pada saat itu, Jenar
mendekati Suro Bodong dan berbisik
"Cepatlah bertindak! Tapi hati-hati,.kedua
orang yang mengenakan baju pendek biru dan
kuning itu juga murid Si Jubah Ungu. Mereka
adalah orang sewaan Raden Bargawa. Rupanya
ada ikatan kerjasama antara jago-jago sewaan di
sini dengan jago-jago sewaan di rumah Raden
Bargawa..."
"Kalau kau mau selamat, menyingkirlah,"
geram Suro Bodong yang tidak suka jika didikte
oleh orang seperti Jenar. Tanpa berpikir panjang,
Jenar pun segera pergi, dan Suro Bodong
menyimak kembali tuntutan Jubah Ungu itu.
"Eyang guru..." tutur Lurah Pucung. "Eyang
tahu sendiri, bahwa masa panen tahun ini
mengalami kemerosotan. Jadi, dari mana kami
dapat menebus tuntutan itu? Dan... cara lain apa
yang dimaksudkan tadi?!"
"Kau masih punya anak gadis bukan?!" kata
yang mengenakan rompi kuning. "Meskipun dia
sudah bukan gadis lagi, tapi mungkin dia bisa
mengurangi beban tanggungjawabmu atas
kematian saudara-saudara kami...!"
"Benar! Itulah cara lain yang bisa kau
lakukan!" kata Jubah Ungu.
Tiba-tjba Suro Bodong menyahut dengan
suara keras bernada canda:
"Wah... kalau cuma ingin mengincar
perempuan, kawin saja dengan Nyi Kembang
Laras...!!"
Suara itu bukan hanya mengagetkan Jubah
ungu dan kedua muridnya, namun semua orang
yang ada di situ jadi memandang Suro Bodong
secara serempak. Guman dan kasak kusuk
kembali terdengar. Suro Bodong masih tenang
memetik-metik jagung bakar, dan ia pun tetap
berkata lantang :
“Itu namanya pemerasan! Rupanya ada pihak
yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk
memeras orang yang sudah menderita!
Hahh...lucu sekali permainan ini, ya?" Suro
bertaya kepada orang-orang, namun mereka
menjawab dalam gumam yang ngambang,
karena takut terlibat.
Jubah Ungu menggeram. Tongkatnya
dihentakkan ke lantai, lalu kedua muridnya
yang mempunyai tinggi badan sama itu maju ke
depan, menuruni tangga satu baris. Mereka
berdiri di kanan kiri jalan, seakan mendampingi
langkah Jubah Ungu yang kemudian turun ke
anak tangga kedua dari atas.
Mata Jubah Ungu yang sudah sedikit
berkeriput namun beralis putih itu memandang
tajam ke arah Suro Bodong. Dan pada saat
itu,Suro Bodong merasa tidak sedang di
pandang. Ia tetap tenang. Berdiri santai, tidak
tegap. Baju merah potongan jubah yang tidak
dikancingkan itu dibiarkan meriap-riap diterpa
angin yang kebetulan berhembus. Rambut
panjang tak teratur yang diikat kain merah darah
itu juga dibiarkan meriap beberapa helai ke
wajahnya. Ia tetap menikmati jagung bakarnya
dengan tenang.
"Siapa dia...?!" tanya Jubah Ungu kepada
mereka yang berkerumun di samping kanan
rumah. Tapi dari mereka tak ada yang berani
memberi jawaban.
"Hei, siapa kamu? Apa urusanmu ikut
menimpali pembicaraan kami?!" gertak Jubah
Ungu dengan mata menyipit.
"Yang jelas, aku bukan seorang pemeras!"
Suro Bodong bicara agak tak jelas, karena sambil
mengunyah jagung.
"Srengono...! Sonto...! Beri dia pelajaran agar
pandai menjaga mulut!" perintah Jubah Ungu.
Lalu kedua muridnya yang berdada besar, dan
kekar Itu, berjalan seirama mendekati Suro
Bodong. Mereka bagai mengepung dari dua
arah; kiri dan kanan. Tatapi Suro Bodong tidak
merubah sikapnya yang acuh-acuh saja terhadap
bahaya seperti itu. Ia tetap memetik-metik jagung
bakar dengan tenang. Sesekali menggaruk kumis
dengan jari telunjuknya, sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Orang-orang yang
menyaksikan hal itu sudah menyimpan
kecemasan di dalam hati. Bahkan Jenar sempat
berbisik kepada salah seorang yang dikenalnya:
"Ah, Kang Suro itu orangnya suka
menyepelekan lawan! Kenapa dia tidak mau
segera bersiap menghadapi serangan Srenggono
dan Sonto...?! Uuh... payah dia!"
"Hei, Setan Buruk..." sapa Sonto kepada Suro
Bodong. "Sebaiknya kau minta maaf kepada
guruku, supaya aku tidak jadi diperintahkan
menghajarmu! Ayo, lekas...minta maaf!"
Suro Bodong memetik-metik biji jagung
bakar. Ia tersenyum sinis dan berkata,
"Seharusnya gurumu dulu meminta maaf
kepada Ki Lurah atas pemerasannya. Tetapi
kalau memang punya bakat memeras susu sapi,
yah... kurasa memang dia tak perlu minta maaf
kepada Ki Lurah."
"Lancang sekali mulutmu. Terimalah
hukuman ini, hiat...!"
Srenggono yang berompi kuning segera
menyerang Suro Bodong dengan sebuah
pukulan tangan kiri. Suro Bodong menghindar
ke belakang. Pukulan tak sampai pada sasaran.
Srenggono hendak memukul dengan tangan
kanannya, tetapi kaki kanan Suro Bodong
mengibas ke depan dan mengenai rusuk
Srenggono. Pada saat itu, kaki tersebut segera
belok ke kanan. Tumit Suro Bodong
menghantam pinggul Sonto yang hendak
menendang Suro dengan kaki kiri. Keduanya
mengaduh karena merasakan linu pada tulang-
tulangnya.
Kesempatan itu digunakan Suro Bodong
untuk memakan biji jagung yang sudah di
tangan. Ia mengunyahnya dengan santai sekali,
sehingga banyak orang yang kagum kepada
sikap dan keberaniannya. Bahkan pada saat
Srenggono mencabut senjatanya, berupa rantai
berujung mata tombak, Suro Bodong tidak
menampakkan kesiapsiagaannya. Rantai itu
melecut ke arah kepala Suro Bodong.
"Ziiing...!"
Kepala Suro Bodong merunduk. Tangannya
masih sempat memetik-metikbiji jagung bakar.
Orang-orang sangat heran dangemas sendiri.
"Hiaaaat...!!" Sonto menerjang ke arah
punggung Suro Bodong yang merunduk dengan
sebuah tendangan melayang. Tetapi Suro
Bodong sibuk berkelit menghindari putaran
balik dari ujung rantai Srenggono itu. Hampir
saja ia terkena tendangan Sonto ketika ia
menegakkan badan dan tahu-tahu kaki Sonto
sudah berada di depan hidungnya. Dengan
cepat Suro menangkis kaki itu memakai lengan
kirinya. Ia membuang arah tendangan tersebut,
namun tangan kanannya yang telah memegangi
biji-biji jagung itu segera ditebarkan ke arah
wajah Sonto.
"Makan jagung ini, heeaah...!!" seru Suro
Bodong.
"Aaahk...!!" Sonto menjerit kesakitan.
Rupanya biji jagung itu bukan sembarang
jagung, melainkan mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang mampu berubah menjadi biji-biji
besi yang tajam. Salah satu mata Sonto terkena
sebiji jagung dan berdarah. Sonto menjerit-jerit
seraya menutupi bagian mata yang terluka dan
berdarah itu.
Srenggono terbengong, Suro Bodong tertawa.
Katanya:
"Itu baru biji jagung, bukan bijiku sendiri.
Maksudku biji kekuatan intiku..." Ia menetralisir
anggapan orang yang menertawakan kata-
katanya.
"Keparat kau...!!" geram Srenggono,
kemudian ia melayang seraya memutar-
mutarkan rantai berujung tombak tajam, kendati
gagang tombaknya tak kurang dari sejengkal.
Hal itu sempat membuat Suro Bodong
menggeragap. Dan kaki Srenggono menjejak
lengan Suro Bodong dengan keras. Akibatnya
Suro Bodong tersungkur jatuh tepat di kaki
Sonto yang kesakitan itu. Maka ke kesempatan
itu digunakan Sonto untuk menginjak batang
leher Suro Bodong.
"Ngeeekk...!!" Batang leher Suro Bodong
ditekannya kuat.
"Tahan begitu, Sonto...!!" teriak Srenggono
yang segera hendak mencambukkan rantainya.
Diperkirakan, ujung rantai itu akan menembus
perut Suro Bodong tanpa ampun lagi. Tetapi,
Suro Bodong justru menghentakkan kakinya
pada saat rantai Srenggono melecutnya.
Hentakan itu membuat kedua kakinya melayang
dan pinggangnya menekuk ke belakang. Ujung
rantai menancap di tanah, tempat perut Suro
Bodong berada tadi. Tapi kaki Suro Bodong telah
berhasil menendang pinggang Sonto dengan
kuat dan keras. Sonto terlempar beberapa meter
karenanya. Sementara tangan kirinya masih
memegangi biji mata yang terluka parah itu.
Tubuh Suro Bodong tidak langsung menekuk ke
belakang dan berguling, melainkan justru ia
menggunakan punggungnya untuk
menghentakkan badan. Tubuhnya seperti udang
yang melecit dari sela bebatuan. Tahu-tahu ia
dapat berdiri tegap. Namun diluar kesadaran ia
telah melangkahi rantai Srenggono yang
ujungnya menancap pada tanah. Jelas kalau
Srenggono menarik rantainya dalam satu
hentakan, maka ujung rantai itu akan melesat ke
atas dalam kemiringan tertentu. Dan hal itu pasti
akan membuat pantat Suro Bodong ditembus
mata tombak itu.
Perkiraan Suro Bodong sungguh tepat. Rantai
dihentakkan dalam satu tehnik tarikan khusus.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Tubuh Suro
Bodong melayang dan bersalto ke belakang
sebanyak lima kali.
"Heaaaat...!!" teriakan itu begitu keras dan
membuat mata yang memandangnya menjadi
kalang kabut. Sebab pada saat putaran salto
yang ketiga, rantai Srenggono menyusul
gerakannya, sehingga apabila Suro tidak
menambah gerakan salto ketika itu, maka begitu
ia menapak ke tanah, dadanya akan dihunjam
ujung tombak yang terkait di rantai Srenggono.
Walaupun Suro Bodong sendiri merasa
menyesal, mengapa ia bersalto sampai lima kali.
Sebab dengan cara itu, maka ia telah
menggunakan jurus saktinya yang bernama
Luing Ayan-5. Artinya bersalto lima kali tanpa
menyentuh tanah. Dan hal itu mengakibatkan
sosok tubuh Suro Bodong berubah bentuk.
Ketika kakinya mendarat ke tanah dengan
sempurna, maka gumam semua orang bagai
irama gaung bernada kagum dan heran. Mereka
terkejut semua, termasuk Ki Lurah.
Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang
kakek berambut putih, alis dan jenggot serta
kumisnya juga berwarna seputih serat-serat
sutera. Tubuhnya sedikit bungkuk. Matanya
sipit karena kerut ketuaannya. Ia mengenakan
jubah hijau, sedang baju dalam serta celananya
berwarna putih kusam. Di tangannya
menggenggam sebatang tongkat yang berujung
tengkorak kecil. Tengkorak seekor monyet.
Tongkat itu digunakan menopang tubuhnya
yang sedikit bungkuk. Dan anehnya, ia menjadi
murah senyum, memperlihatkan gusi-gusi tanpa
gigi.
Srenggono berhenti menyerang. Matanya
memandang takjub, demikian pula dengan
Jubah Ungu dan yang lainnya. Mata mereka
seakan tak mau berkedip menyaksikan keajaiban
yang baru kali ini pernah mereka temukan.
Tubuh yang semula sedikit gemuk dengan wajah
kasar, mantap, kini telah berubah menjadi
seorang kakek usia lebih dari 80-an, dan
memiliki mimik wajah yang lucu. Murah
senyum lagi.
"Kenapa kalian memandangku seperti itu?
Apa kalian belum pernah melihat seorang kakek
setua aku?!" katanya kepada semua orang.
Sebentar-sebentar ia tersenyum kepada siapa
saja yang dipandangnya. Bahkan ia juga
tersenyum kepada Jubah Ungu yang
terbengong-bengong menatapnya.
"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Jubah
Ungu setelah terhindar dari cekaman kagumnya.
"Namaku...: Rekso Upo...! Kau belum kenal
denganku, Jubah Ungu?! He, he, he... tentu saja
kau tidak mengenalku, karena kau sibuk
memeras orang!"
"Rekso Upo...! Jaga mulutmu kalau ingin
nyawamu masih utuh!" bentak Jubah Ungu.
"Maklumilah saja... Orang setua aku mana
bisa menjaga mulut. Jangankan menjaga mulut,
menjaga gigi saja susah. Lihat, gigiku pada
berlarian ke mana-mana sampai tak kumiliki
satu pun. Nih, hiii...!" Rekso Upo meringis
menampakkan gusinya yang sepi tanpa
penghuni. Orang banyak yang tertawa mengikik,
antara geli dan rasa takut. Rekso Upo,
perubahan ujud Suro Bodong itu, ikut pula
tertawa dan menuding orang-orang yang
menertawakannya.
Ki Lurah dan Nyai Lurah saling berpandang-
pandangan dalam kebingungan, terlebih Jenar
yang sejak tadi tak sempat menutup mulutnya.
Dan Sundari...? Sundari tidak melihat hal itu,
sebab ia bersembunyi di belakang rumah, di
suatu tempat yang menurutnya aman.
"Rekso Upo...! Silakan pergi, aku tidak punya
urusan denganmu!" gertak Jubah Ungu.
"He, he, he...pergi ke mana? Aku sendiri
bingung sekarang aku ada di mana?"
"Dari mana asalmu sebenarnya, hah?!" hardik
Srenggono.
"Asalku...?! Asalku dari... dari..." Rekso Upo
berpikir, dahinya semakin berkerut, menyipitkan
mata kian kecil. Dengan suara tuanya ia berkata
lagi, "Dari mana enaknya, ya?"
"Jangan main-main dengan kami, Tua
Bangka...!!" bentak Srenggono dengan
kegeramannya. Tapi hal itu justru ditertawakan
oleh Rekso Upo.
"Kenapa harus membentak-bentak, Anak
Muda...? Aku benar-benar tidak tahu, dari mana
aku. Bahkan aku tidak tahu kalau namaku Rekso
Upo..."
"Nah, itu kau telah menyebutkannya!
Menyebutkan namamu sendiri, kan?"
Rekso Upo heran. "O, ya...? Apakah aku
sudah menyebutkan namaku?"
"Kau bilang tadi namamu Rekso Upo...?!"
"Ooo..." Rekso Upo manggut-manggut. "Su-
dah kusebutkan, ya? Kok aku tidak merasa...?" Ia
terheran-heran sendiri. Kemudian Jubah Ungu
memerintahkan Srenggono untuk membawa
pergi kakek tua itu.
"Srenggono, seret dia...! Aku tidak butuh
orang linglung ini...!"
Srenggono maju selangkah, tetapi Rekso Upo
mundur dan mencegah. "Jangan...! Aku tidak
mau digendong siapa pun!"
"Siapa yang mau menggendong kamu,
Pikun?!" bentak Srenggono. Lalu dia melangkah
lagi, dan Rekso Upo mundur kembali 'Tidak...!
Aku tidak mau dipikul...!"
"Tidak ada yang mau memikul kamu, Se-
tan...!" .
"Naaah...kalau ketan aku doyan...!" katanya
yang semakin membuat Srenggono dan Jubah
Ungu dongkol
"Srenggono, jangan banyak omong; seret saja
dia!" perintah Jubah Ungu. Lalu, Srenggono
segera maju, mencengkeram jubah hijau Rekso
Upo dan menyeretnya keluar halaman rumah Ki
Lurah Pucung.
Tetapi, Rekso Upo bertahan, tidak mau
diseret keluar. "Jangan kasar-kasar sama orang
tua. He, he... bajuku nanti robek, Tolol...!"
Rekso Upo tetap diseret paksa. Kemudian
dengan cepat dia menyodokkan ujung
tongkatnya yang berkepala tengkorak monyet
kecil. Benda tersebut menghantam rusuk
Srenggono dan membuat Srenggono menjerit
kesakitan. Bahkan ia sempat terpental menabrak
salah satu pohon, walau sebenarnya sodokan
Rekso Upo itu bagai tak bertenaga sama sekali.
"O, oh... maafkanaku, Nak...!" katanya kepada
Srenggono. "Maklum, namanya saja orang tua,
kalau bergerak suka sembrono...!"
Tangan kanan Srenggono melayang cepat
hendak menampar Rekso Upo. Tapi tongkat itu
bergerak naik dengan cepat, sehingga tangan
Srenggono menyangkut pada tongkat tersebut.
Kemudian tongkat itu membalik, ujung yang
tadinya menapak pada tanah menjadi terarah
pada dada Srenggono, kemudian sengaja
disodokkan dengan gerakan tak bertenaga.
Tetapi justru hal itu membuat Srenggono
mendelik dengan tubuh melengkung ke
belakang dan kepala menjorok ke depan. Kedua
tangan Srenggono mengembang ke kanan kiri
dengan siku sedikit tertekuk. Mulutnya
melongo, dan repotnya lagi, tubuh itu tiba-tiba
kaku. Menjadi seperti patung yang masih berna-
fas. Rupanya Rekso Upo berhasil menotok
peredaran darahnya, mengenai salah satu urat
yang ada di samping ulu hati, lalu membuat
tubuh Srenggono kaku seperti itu.
"He, he, he... kalau begini kau malah seperti
gorila!" kata Rekso Upo. "Kau seperti tengkorak
di tongkatku ini. Eh, kau percaya apa tidak, ini
tengkorak gorila raksasa sebenarnya. Tapi
karena sering terkena udara lembab jadi
mengecil begini..."
"Bangsat...!!" teriak Jubah Ungu dengan
kemarahannya. Ia melangkah, Rekso Upo
berpaling dan bertanya:
'Siapa yang berangkat? Aku? Ah, aku belum
mau berangkat ke mana-mana kok.."
"Kau telah membuat muridku seperti itu,
Iblis!" bentak Jubah Ungu.
Rekso Upo menanggapinya dengan senyum
dan tawa. "Eeh...Jubah Ungu, kita ini sudah
sama-sama tua. Jangan suka bicara soal
perempuan mulus..."
'Tuli! Aku tidak bicara soal perempuan
mulus! Kukatakan padamu, bahwa kau Iblis!
Bukan perempuan mulus!" teriak Jubah Ungu
dengan jengkel sekail
"Ooo...kamu mengatakan aku iblis? Wah, aku
tidak keberatan, sebab yang mengatakannya
anak kuntilanak, kan? He, he, he...!"
"Rekso Upo, kalau mendengar omonganmu,
bisa panas hatiku. Sekarang sebaiknya terimalah
jurus perkenalanku ini, hiaat..."
Jubah Ungu mengibaskan tongkatnya yang
berujung mata pancing bercabang empat. Batang
tongkat yang melesat menebas kepala Rekso
Upo ditangkis dengan tongkat juga.
Trak...!"
Jubah Ungu segera menyodokkan tongkatnya
ke arah wajah Rekso Upo.
"Wesss...!"
Rekso Upo memiringkan kepala ke kiri untuk
menghindari sodokan tongkat berujung empat
mata kail yang berukuran besar, seperti clurit
kecil.
"Eh, untung tidak kena. Wah... kalau main-
main dengan tongkat jangan main sodok begini,
Jubah Ungu..." kata Rekso Upo sambil
menghindari tendangan kaki kiri Jubah Ungu
yang hendak menendang kepala Rekso Upo.
Pada saat Rekso Upo menghindari tendangan
kaki kiri lawannya, tongkatnya digerakkan ke
samping, seakan hendak menyodok perut lawan.
Tapi seketika itu tongkat segera kembali dengan
ujung bagian bawahnya miring ke arah
pinggang lawan. Kakinya maju ke depan
sehingga ia nyaris terkena pukulan telak dari
Jubah Ungu. Namun sebelum Jubah Ungu
sempat menghantam wajah Rekso Upo, ujung
tongkat itu menusuk pinggang Jubah Ungu.
Gerakannya pendek, namun mempunyai
hentakan tenaga dalam yang murni sehingga
tubuh Jubah Ungu terpelanting ke samping.
Keadaan Jubah Ungu yang limbung itu
dimanfaatkan oleh kaki kanan Rekso Upo yang
menendang ke belakang. Telapak kaki Rekso
Upo tepat mengenai pangkal leher sehingga
Jubah Ungu mendelik dan mengalami kesukaran
bernapas. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Rekso
Upo diam, berdiri bertopang tongkat dan
menertawakan keadaan Jubah Ungu.
"He, he... belum minum tuak sudah mabok
sempoyongan begitu, kau! Uuh... puayaaah...!.
He, he,he...!"
Jubah Ungu segera menggerakkan
tongkatnya ke arah samping dengan satu kaki
menekuk ke kaki lainnya. Kemudian tongkat itu
diangkat melintang di depan matanya dengan
dipegang kedua tangan. Tubuhnya merendah,
kakinya melebar, lalu dengan cepat ia hentakkan
ujung tongkat bersenjata mata kail itu ke depan.
"Hiaaat...!!"
Dan dari sela-sela keempat mata kail itu
keluarlah asap biru, seolah melesat dari tengah
ujung tongkat. Asap biru kehitam-hitaman itu
menyembur ke arah wajah Rekso Upo.
Hebatnya, asap itu tidak mengepul ke mana-
mana, melainkan membentuk satu gumpalan
seperti bunga mawar besar yang melesat tertuju
pada wajah Rekso Upo.
"Aha... racun ganas ini, ya...?!" Rekso Upo
masih bisa menganggap remeh serangan
tersebut. Dan ia segera menggerakkan
tongkatnya, berputar cepat di antara jemarinya
bagai baling-baling raksasa. Putaran itu
menimbulkan arus angin yang kian lama kian
menjadi besar, dan menyerupai topan.
Akibatnya asap biru kehitam-hitaman itu
melayang ke atas bagai tertiup angin kencang
dan menghilang di ketinggian awan. Sisa
anginnya masih sempat membuat daun-daun
bergerak tak teratur, barang-barang ringan
terbang terbawa hembusan angin aneh itu.
Bahkan beberapa orang ada yang takut terbawa
terbang angin hingga harus saling berpegangan.
Namun, hal itu segera menjadi reda setelah
Rekso Upo menghentikan gerakan tongkatnya.
Begitu tongkat berhenti, ia melemparkannya
bagai melempar sebuah tongkat ke arah Jubah
Ungu. Jubah Ungu menangkis tongkat tersebut,
namun tongkat itu tidak mau berhenti
menyerang. Akhirnya, dalam satu kelengahan
tongkat Rekso Upo menancap di dada Jubah
Ungu, tepat di jantungnya. Tembus! Jubah Ungu
menggeliat, mendelik, dan rubuh kehilangan
nafas. Hampir semua orang menggumam kagum
dalam kengerian.
* * *
LIMA
Peristiwa itu membuat gempar di seluruh
pelosok desa. Nama Suro Bodong dan Rekso
Upo selalu berkaitan dan disebut-sebutkan oleh
setiap mulut. Suro Bodong sendiri sampai
merasa tak enak karena dipandang kagum oleh
setiap orang yang berpapasan dengannya
"Aku ingin pergi dari desa ini," kata Suro Bo-
dong yang sejak peristiwa pertarungan dengan
Jubah Ungu, ia sudah berubah kembali ke ujud
asalnya dengan bersalto di udara satu kali.
Ki Lurah keberatan jika Suro Bodong harus
pergi. Terutama Sundari yang menjanda itu.
"Kenapa Kang Suro harus pergi? Apakah
pelayanan kami di sini tidak memuaskan Kang
Suro?" tanya Sundari pada suatu malam. Suro
Bodong menggeleng. Ia sibuk mengunyah
jagung bakarnya.
"Bukan soal pelayanan," katanya. "Tapi justru
sikap dan anggapan masyarakat desa Manggar
ini terlalu berlebihan kepadaku, terlalu
mengagungkan diri, aku jadi serba salah
jadinya."
Suro Bodong, sejak peristiwa pertarungan
dengan Jubah Ungu yang kondang sebagai
tokoh sakti di dunia persilatan, selalu menjadi
sanjungan setiap warga desa. Tiga malam Suro
berada di desa Manggar, dan selama itu ia
berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi
Kembang Laras. Secara tidak disuruh oleh siapa
pun, Suro Bodong selalu keliling desa bila
malam tiba. Justru ia bisa tidur jika siang hari.
Dan dua malam yang lalu, ia telah berhasil
menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang
dengan mencoba melawannya.
Sayang, Nyi Kembang Laras selalu saja
melarikan diri dengan cepat. Seakan ia tahu
bahwa lawannya kali ini bukan orang
sembarangan. Nyi Kembang selalu pergi dengan
meninggalkan ancaman:
"Ada saatnya sendiri untuk kamu,
Jahanam...!"
Hanya itu yang didengar Suro Bodong.
Selebihnya Nyi Kembang tidak pernah
melontarkan kata apapun. Jika kepergok Suro
Bodong, ia cepat menghindar sekalipun
menyerang sejenak kemudian lari.
Suro Bodong sendiri tidak tahu, mengapa Nyi
Kembang tak mau melayani pertarungan
dengannya? Padahal menurut banyak cerita,
setiap orang yang hendak menghalangi niat Nyi
Kembang selalu saja menjadi korban yang paling
keji. Ini suatu keanehan yang sempat
mengganggu pikiran Suro Bodong. Hanya saja ia
tak pernah bercerita kepada siapa pun. Bahkan
ketika Sundari menanyakannya, Suro Bodong
hanya berkata:
'Tanyakanlah kepada Nyi Kembang sendiri.
Dia yang takut kepadaku, bukan aku yang takut
kepadanya..."
Sundari merasa aman jika Suro Bodong tetap
tinggal di rumahnya, sebagai pengganti
Tembong dan Gagak yang hanya sekali gebrak
langsung tak mau bernapas lagi itu.
'Tapi kalau aku tetap tinggal di sini," kata
Suro Bodong kepada Sundari, "Aku takut
keluargamu menjadi korban keganasan Nyi
Kembang."
"Apakah... apakah hal itu akan terjadi, Kang?"
Sundari memandang sayu kepada Suro Bodong.
"Ya. Pasti. Sebab untuk melemahkan
keberanianku, untuk mengguncangkan jiwaku,
ia akan membunuh keluarga ini. Termasuk juga
kau, Sundari."
Sundari kelihatan gelisah. Ia mengusap
lengannya yang mulai merinding, la merapatkan
duduknya, semakin dekat Suro Bodong.
Perasaan takut tergambar lewat gerak mata dan
getaran tangannya.
"Apakah kau akan membiarkan Nyi
Kembang menyentuhku, Kang?" pancing
Sundari dengan satu maksud tertentu.
"Kalau hanya menyentuhmu, kenapa aku ha-
rus marah?"
Sundari mendesah. Kurang suka mendengar
jawaban itu.
Ki Lurah sendiri sempat mengajukan tawaran
khusus ketika mendengar Suro Bodong ingin
meninggalkan desa itu.
"Berapa kami harus membayarmu? Sebutkan
saja jumlahnya, kami akan setuju. Sebab Raden
Bargawa sendiri sudah menjalin kesepakatan
denganku untuk membayarmu sesuai dengan
permintaanmu, Suro. Yang penting bagi kami
adalah membuat desa Manggar ini menjadi
aman seperti sediakala."
Waktu itu, Suro hanya memperlihatkan
senyum hambar. Ia garuk-garuk kumis sebentar,
lalu sambil memetik-metik jagung bakar
kesukaannya, ia menjawab:
"Aku tidak mempunyai harga. Tetapi
kekayaan desa ini pun tak akan mampu
membeliku, Ki Lurah. Hanya ada satu yang
mampu membayarku..."
Ki Lurah dan istrinya memandang Suro
Bodong yang berhenti sejenak. Sundari merasa
tegang waktu Suro Bodong menghela nafas.
Tetapi Suro bagai tidak merasa ditunggu
kelanjutannya Ia enak-enakkan makan jagung
bakar dengan santai.
"Katakan, Suro..."
"Ya, lanjutkan kata-katamu, Kang," Sundari
menimpali.
Kemudian Suro pun menjawab, "Carikan aku
perempuan"
Ki Lurah dan istrinya tertawa. Sundari
tersenyum malu. Kemudian Suro melanjutkan
lagi:
"Hanya perempuan yang bernama Ratna
Prawesti yang mampu membuatku bertahan di
desa ini..."
Sekarang, ketiga orang itu saling bungkam,
saling pandang sejenak, kemudian saling
merenung. Ki Lurah mengulangi kata Ratna
Prawesti dengan suara lirih, kemudian juga
istrinya. Tetapi Sundari menunjuk. Wajahnya
hambar tak mempunyai sinar kecerahan sedikit
pun.
"Bagaimana kalau perempuan lain, mungkin
yang menjadi kembang di desa Manggar ini?"
tawar Ki Lurah setelah terbungkam beberapa
lama.
Sundari tak berani mengangkat wajah, karena
dia tahu, bahwa kembang desa yang dimaksud
ayahnya itu tak lain dari dirinya sendiri. Tetapi
apa jawab Suro Bodong?
"Hanya dia yang kucari dalam hidupku. Dan
hanya dia yang dapat kujadikan pelabuhan
hatiku..."
Wih, puitis sekali Tapi memang begitulah
Suro, kadang ia mampu berbahasa baik, tapi jika
disuruh mengulang, kebingungan. Ia sering
meniru kata manis yang diucapkan orang lain.
Bagi Sundari, kata-kata itu adalah getah yang
pahit di telannya. Sebab secara diam-diam,
rupanya hati Sundari menaruh simpati kepada
Suro Bodong dengan segala kehebatan ilmunya.
Sundari sadar, Suro Bodong banyak lebih tua
darinya. Sundari juga sadar bahwa wajah Suro
Bodong tidak tampan, bahkan terkadang
sifatnya pun kaku. Tetapi Sundari juga sadar
bahwa Suro Bodong mampu menyelesaikan
segala macam perkara dengan gayanya sendiri.
Wajah Suro memang kasar. Tetapi di balik
kekasarannya itu, Sundari menemukan suatu
kelembutan hati yang jarang di miliki lelaki lain.
Dari pembicaraan demi pembicaraan yang
dilakukan Sundari dan Suro di sela keheningan
malam, atau di ambang keredupan senja, ada
sesuatu yang bisa diperoleh Sundari. Sesuatu itu
adalah rasa tanggung jawab seorang lelaki, baik
kepada keluarga atau pun kepada tugas, sudah
dimiliki oleh Suro Bodong. Sundari bisa
mengambil kesimpulan tersebut melalui tanya
jawab yang ia lakukan dengan penuh
penghayatan. Rupanya Sundari bukan
perempuan bodoh. Ia mempunyai otak cerdas
sehingga Suro Bodong tidak pernah merasa
dipantau segala gerak dan sikapnya oleh
Sundari. Suro menganggap, Sundari hanya
seorang janda yang butuh kesibukan untuk
membuang rasa sepi di hatinya.
Ternyata anggapan itu keliru. Jauh keliru,
melesat dari dugaaan Suro Bodong. Maka,
wajarlah kalau Suro Bodong tercengang ketika
pada suatu malam, sebelum Suro Bodong
keliling desa mengontrol suasana, Sundari
sempat berkata:
"Bagaimana kalau aku ikut keliling, Kang?"
"Nanti kamu pusing," jawab Suro Bodong
seenaknya seraya mengenakan baju merahnya.
Sundari masih berdiri di depan pintu kamar
khusus Suro Bodong.
"Aku perlu mendampingimu," desah Sundari.
"Kenapa? Alasanmu apa?"
"Aku khawatir kalau Nyi Kembang mampu
memikatmu, dan kau akan pergi ke Hutan
Tengkorak dengannya."
Suro Bodong diam saja, seakan tidak
mendengar. Namun sebenarnya ia tahu, Sundari
mulai menaruh kecemburuan pada dirinya. Dan
ini membuat Suro gelisah.
"Dia cantik, Kang..." ujar Sundari pelan.
"Memang. Tapi... aku tak akan terpikat oleh
kecantikan manusia berhati iblis. Aku masih
waras." bisik Suro.
'Tapi dia punya cara sendiri seperti yang
dituturkan Jenar sewaktu ia menguasai Jupro,
Kang. Kalau kau terkena sinar kuning yang
keluar dari matanya, tentu kau tak akan bisa
menyadari keadaandirimu. Kau akan terbius dan
akhirnya kau akan mau diajak ke Hutan
Tenkorak Lalu... lalu kau akan menjadi raja
baginya di sana."
Suro Bodong keluar dari kamar. "Ah, jangan
berpikiran seperti itu, nanti aku jadi ngiler...!" ka-
tanya seraya pergi ke serambi depan. Tetapi pada
saat itu Sundari masih ikut juga seraya berjalan
agak cepat untuk sejajar dengan Suro Bodong.
Ketika sampai di halaman depan, dan
Sundari masih ikut, Suro Bodong berhenti
melangkah, lalu berkata:
"Aku mau perang, Sundari. Bukan mau
nonton wayang!"
"Aku mau ikut perang, Kang!"
"Uuh...! Gombal!" geram Suro Bodong yang
merasa sia-sia melarang dengan kata apa pun.
Akhirnya Suro Bodong membiarkan Sundari
ikut serta keliling desa.
Malam itu, bulan nongol di balik awan. Tidak
sepenuhnya menyoroti bumi, namun sudah
cukup membuat alam gelap menjadi remang.
Rumput di tanah terlihat, dan raut-raut wajah
yang sempat berpapasan dengan Suro juga bisa
dikenali, kendati tidak mengenali namanya.
Perjalanan malam, seperti perjalanan
sepasang muda mudi yang sedang dirundung
cinta. Malam itu tak ada ketegangan, tak ada
kengerian, dan tak ada teror yang selama ini
selalu mencekam penduduk desa. Malam itu
begitu mulus, bahkan Suro Bodong hampir saja
terbius dalam amukan birahi saat Sundari
merebah dalam dadanya, dan minta dipeluk
oleh Suro Bodong.
Kalau saja Suro tidak selalu ingat Ratna
Prawesti, mungkin ia telah hanyut dalam buaian
birahi yang menyalak-nyalak. Kalau saja Suro
tidak menjaga debaran jantungnya, mungkin ia
telah merenggut suatu kebahagiaan yang hangat
bersama Sundari di sela rimbun semak ilalang.
Hanya saja, pada malam berikutnya, Suro
Bodong tidak mau diganggu oleh gelitik birahi
seperti kemarin malam. Sebab itu ia keluar dari
rumah tanpa setahu Sundari. Dan ia dapat
merasakan betapa pentingnya pergi malam
tanpa Sundari, karena ia dapat memusatkan
pikiran dan mempertinggi kewaspadaan.
Nyatanya, pada malam ini, Suro Bodong sem-
pat melihat sekelebat bayangan putih menyusup
melalui rimbunan semak di belakang rumah
Raden Bargawa. Dulu, tepatnya setelah ia
berhasil membunuh Si Jubah Ungu, ia pernah
bertandang ke rumah Raden Bargawa. Orang
keturunan Tumenggung itu sempat membujuk
Suro untuk menjadi orang bayarannya. Tetapi,
waktu itu Suro hanya menjawab:
"Bukan maksudku menolak tawaranmu,
melainkan aku tidak ingin terikat oleh suatu
perjanjian dengan siapa pun. Tetapi,
percayalah... aku akan sering-sering memeriksa
sekitar rumah ini juga untuk menjaga
keluargamu. Kau tak perlu khawatir tentang hal
itu, Raden Bargawa..."
Dan sekarang, ketika terlihat bayangan putih
menyusup di antara rimbun semak di sekitar
belakang rumah Raden Bargawa, Suro Bodong
merasa berkewajiban memeriksanya. Ia
mengendap-endap ke arah rimbunan semak itu,
lalu diam di suatu tempat yang terlindung.
Matanya masih mampu memandang penuh
selidik keadaan di sekitar tempat itu, di mana
cahaya rembulan menyinari dengan sorot
keredupannya.
Tepat di tepi tembok belakang rumah
bangsawan itu, Suro Bodong melihat seseorang
sedang melompat dengan gerakan yang amat
ringan bagaikan kapas terbang. Orang itu
mengenakan pakaian putih tipis dan berambut
panjang sebatas pinggang. Sorot cahaya bulan
menampakkan jelas, bahwa sosok tubuh yang
kini sudah berada di atas tembok itu adalah
sosok tubuh Nyi Kembang Laras. Suro masih
ingat dengan sebentuk mahkota kecil yang
menghias di atas kepala.
Secepatnya Suro Bodong bergerak dengan
ilmu peringan tubuh yang sama sempurnanya
dengan Nyi Kembang. Ketika Nyi Kembang
menebarkan sesuatu dari tangannya,
membentuk suatu asap tipis yang mampu
menyelimuti atap rumah tersebut, saat itulah
Suro Bodong tahu-tahu sudah berada di atas
tembok juga. Jaraknya antara 25 meter kurang
dari Nyi Kembang. Dan Suro sengaja
menegurnya lebih dulu untuk menurunkan
mental Nyi Kembang:
"Apa yang kau lakukan, Nyi Kembang?!"
Dugaan Suro benar. Perhitungannya tepat.
Nyi Kembang terperanjat melihat Suro Bodong
berdiri tegak dan siap menghadapinya. Dalam
menghadapi sesuatu yang tak disangka itu, Nyi
Kembang segera melompat ke atas genting.
Tetapi Suro Bodong tidak mau tinggal diam. Ia
juga ikut melompat ke arah genting rumah
mewah itu. Suro yakin, asap yang ditebarkan
tadi adalah semacam ilmu pembius agar seluruh
penghuni rumah itu tertidur lelap tanpa
tergugah oleh suara apa pun. Sebab itu, Suro
Bodong berniat bicara agak keras kepada Nyi
Kembang yang bagai masuk dalam jebakan.
"Malam ini adalah malam penghabisan bagi
kamu, Perempuan mesum...!" Suro Bodong
melangkah, tidak menimbulkan suara kendati
menapak di genting kodok. "Malam ini kau tidak
bisa lolos lagi, tahu?!"
Nyi Kembang yang cantik berkulit bagai
seputih susu, dan selembut busa salju, tidak
membalas kata-kata itu. Ia hanya melangkah
pelan ke arah samping, seakan mencari posisi
yang tepat untuk memukul Suro Bodong.
"Kalau orang lain tak mampu menghentikan
kekejianmu, akulah orang yang akan mampu
menghentikannya, Nyi Kembang!"
Nyi Kembang memandang tajam, lalu
menggerakkan kedua tangannya bagai
mengembang di atas kepala. Kedua kakinya
bergerak turun sedikit. Lalu ia berkata dengan
suara pelan:
"Kau terlalu banyak ikut campur, Suro
Bodong...!"
Suro menggaruk kumisnya sambil
memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba ia harus
melompat tinggi karena Nyi Kembang
menggerakkan kedua tangannya ke depan, dan
seberkas sinar sebesar jarum melesat dari tiap
ujung jarinya. Sinar itu berwarna hijau, seperti
urat-urat berserakan.
"Ini yang harus kau terima, Jahanam...!"
geram Nyi Kembang sambil semakin
menggerakkan tangannya ke atas. Lalu sinar
hijau yang keluar dari tiap ujung jarinya itu
melesat berkelok-kelok hendak menghantam
Suro Bodong. Suro segera bersalto satu kali.
Apabila ia bersalto satu kali, maka tubuhnya
tidak akan mengalami perubahan, sebab bersalto
satu kali sama saja merubah ujudnya menjadi
Suro Bodong. Jurus Luing Ayan-1, memang
berguna untuk mengembalikan dirinya menjadi
Suro Bodong. Dengan begini, maka kali ini Suro
Bodong pun tetap menjadi Suro Bodong yang
tak mengenal rasa takut sedikitpun.
Melesatnya sinar hijau yang tidak mengenai
tubuh Suro Bodong itu sempat menghantam
pohon kelapa di seberang jalan. Pohon kelapa
dan beberapa pohon di sekitarnya menjadi retak,
sebagian ada yang pecah, rusak bagai terkena
dentuman bom, walaupun semua itu terjadi
tanpa suara dan dentuman apa pun.
Nyi Kembang bermaksud melarikan diri saat
Suro Bodong terperangah menyaksikan
kehancuran pohon kelapa itu. Namun dengan
cepat Suro Bodong melompat dan berlari ke arah
lain dan menghadang Nyi Kembang dengan siap
melancarkan serangan dari arah depan.
Nyi Kembang bagai terperangkap. Di
depannya sudah berdiri Suro Bodong dengan
gayanya yang berlagak kalem. Nyi Kembang
menyerang, tangannya segera menghantam
wajah Suro Bodong, tetapi dengan mudah
tangan itu dipegang oleh Suro Bodong. Lalu
secepat itu pula kaki Suro Bodong menendang
rusuk Nyi Kembang dalam keadaan tangan Suro
masih memegangi tangan Nyi Kembang.
Tendangan Suro membuat Nyi Kembang
tersenyum. Kini tangan kiri Nyi Kembang
meraih rambut Suro Bodong dengan kasar, Suro
melepaskan pegangan tangannya. Dalam
keadaan kepala menunduk yang hendak
disodok lutut oleh Nyi Kembang, Suro segera
melancarkan pukulan Babi Buta. Pukulan itu
sangat cepat dan bertubi-tubi ke segala arah,
sehingga Nyi Kembang kewalahan
menghadapinya. Akhirnya tubuh perempuan
cantik itu terpental dan hampir saja jatuh dari
atas atap rumah Raden Bargawa.
Suro Bodong merasa heran. Biasanya lawan
yang terkena pukulan Babi Buta akan
memuntahkan darah segar dari mulutnya,
kemudian ia akan tergeletak lemas tanpa daya.
Tapi kali ini agaknya Suro benar-benar
mendapat lawan yang sangat tangguh.
Nyi Kembang segera berdiri. Tangannya
menyilang di depan wajah, mengeras kaku, lalu
bergerak membuka perlahan-lahan. Pada saat
itu, ternyata dari ujung jarinya keluarlah kuku-
kuku panjang yang rucing dan tajam.
"Kau harus mati dengan ilmu Cakar Besi-ku,
Suro...!" geram Nyi Kembang sambil bergerak
maju. Tangannya mengibas ke wajah Suro dari
atas ke bawah, antara tangan kiri dan tangan
kanan mempunyai gerakan yang berbeda. Yang
kiri mengibas dari atas ke bawah, yang kanan
mengibas dari kanan ke kiri. Dan hal itu
dilakukan secara bertubi-tubi sehingga kali ini
Suro Bodonglah yang keteter menghadapi
serangan Nyi Kembang. Sampai akhirnya kaki
Nyi Kembang berhasil menendang dada Suro
Bodong dan Suro jatuh terjengkang.
Nyi Kembang ingin memberi pelajaran
kepada lawannya. Ia langsung menerjang, bagai
harimau menerkam mangsa. Tubuhnya meloncat
ke bawah dan cakar tangan kirinya mengibas
cepat sehingga Suro Bodong sedikit terlambat
menghindar. Sabetan tangan kiri Nyi Kembang
lewat di depan wajah Suro, dan hal itu membuat
salah satu kukunya ada yang berhasil menggores
pipi Suro Bodong.
"Aaauww...!" Suro Bodong terpekik seketika.
Pipinya luka, darah keluar walau tak seberapa
banyak. Tetapi pada saat ia terpekik, kaki
kanannya bergerak secara reflek. Kaki itu
menendang ke atas dengan keras dan mengenai
perut Nyi Kembang. Maka, tubuh perempuan
mulus itu pun melayang ke udara bagai kupu-
kupu terbang.
Suro Bodong bergegas bangkit. Pada saat itu
tubuh Nyi Kembang bersalto di udara untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan Suro
Bodong segera menyongsong gerakan tubuh Nyi
Kembang yang turun ke bawah dengan sebuah
tendangan kaki kanan ke atas lurus. Tendangan
itu dilancarkan dengan sangat cepat dan
beruntun tujuh kali. Itulah yang dinamakan
jurus Tendangan Ayam Kawin. Apabila kaki
kanan telah tujuh kali menendang beruntun,
maka kaki kiri akan menyusul dengan
tendangan serupa. Yang jadi sasaran adalah
dada serta perut Nyi Kembang. Tetapi Suro
Bodong kembali merasa heran, karena tubuh Nyi
Kembang hanya terhuyung-huyung ke belakang
tanpa merasakan sakit. Sebaliknya, bahkan Suro
Bodong mengalami luka pada betisnya akibat
cakar besi yang mengibas pada saat kaki kirinya
menendang beruntun tujuh kali.
Nyi Kembang hendak melarikan diri lagi.
Tetapi Suro Bodong segera melayang dan
berseru, "Kau tak mungkin lolos lagi, Bangsat
Cantik...!!"
Nyi Kembang merundukkan kepala seraya
mengibaskan cakar besinya ke atas. Hampir saja
tubuh Suro yang melesat ke atas kepala Nyi
Kembang menjadi sasaran kembali. Untung
secepatnya Suro Bodong mengibaskan kaki kiri
yang saat itu sedang menekuk ke arah paha
kanan Kibasan kaki kiri membuat kepala Nyi
Kembang tersentak ke samping dan gerakan
cakarnya meleset dari arah paha Suro Bodong.
Ketika itu Nyi Kembang berguling, lalu segera
melompat turun dari genting rumah Raden
Bargawa. Suro Bodong buru-buru menyusul
turun untuk menjaga agar lawannya tidak
melarikan diri lagi.
Saat itu, Nyi Kembang menyambut kejaran
Suro Bodong dengan melemparkan beberapa
senjata rahasianya berupa mata tombak yang
tajam dan berkilat. Suro Bodong sengaja
berguling di tanah. Arahnya semakin dekat
dengan kaki Nyi Kembang. Senjata rahasia
menancap di tanah beberapa biji. Pada saat itu,
kaki Suro Bodong kembali melancarkan jurus
Tendangan Ayam Kawin. Sasarannya adalah
paha dan perut Nyi Kembang. Cakar Nyi
Kembang mengibas lagi hendak merobek kaki
Suro Bodong, namun kali ini gerakan jurus
tendang itu sengaja tertuju pada lain arah.
Tendangan kaki Suro Sepertinya berjalan cepat
dari perut terus ke paha. Dan hal itu membuat
Nyi Kembang kewalahan, kemudian jatuh
terpelanting ke belakang. Suro melompat berdiri
dan siap menginjak leher Nyi Kembang.
Tetapi pada saat itu Suro menjadi kelabakan,
sebab dari telapak tangan Nyi Kembang keluar
sinar biru yang melesat cepat ke arah Suro
Bodong. Suro Bodong secepatnya menjatuhkan
tubuh, maka sinar biru itu melayang dan
menghantam pohon di arah belakang Suro.
Sebuah ledakan mengguncangkan bumi. Tanah
bergerak. Pohon itu hancur tak tersisa seranting
pun. Menjadi serpihan-serpihan yang terpancar
ke segala penjuru.
Pada saat Suro Bodong menjatuhkan tubuh
untuk menghindari sinar tadi, ia tak sengaja
jatuh J
i dekat kaki Nyi Kembang. Tentu saja itu
kesempatan baik bagi Nyi Kembang untuk
menjejak wajah Suro Bodong dengan keras.
"Aaauuw...!" Suro Bodong menjerit.
Hidungnya berdarah, ia segera berguling, dan
Nyi Kembang menyerangnya lagi dengan
tendangan kaki yang keras. Dagu Suro Bbdong
menjadi sasaran.
Akibatnya bibir atas pun t:erluka akibat
benturan keras dengan gigi. Suro mengaduh
seraya menutup mulut dengan kedua tangan.
Secepatnya cakar besi Nyi Kembang bergerak
merobek perut Suro Bodong. Tetapi kaki Suro
Bodong menendangnya kuat-kuat sehingga
tubuh Nyi Kembang justru terpental beberapa
langkah jauhnya. Anehnya, tak ada pekik atau
pun seman kesakitan sekali pun yang di dengar
Suro dari mulut Nyi Kembang. Perempuan itu
seakan tidak pernah mengenal rasa sakit, kendati
masih bisa terpental. Bahkan beberapa kali
tendangan dan pukulan Suro yang hebat, yang
sering membuat luka dalam pada lawannya itu,
sama sekali tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Nyi Kembang kelihatan tetap tegar,
tanpa luka dalam sedikit pun.
Suro Bodong mengusap darah yang
membasahi hidung, luka di pipi dan bibirnya.
Baju merahnya dipakai sebagai lap pembersih. Ia
bangkit mendekati Nyi Kembang. Tetapi pada
saat itu Nyi Kembang telah menyiapkan sesuatu.
Dari kedua matanya yang terbilang bening itu
memancarkan sinar kuning ke arah mata Suro
Bodong.
Suro Bodong teringat cerita Jenar tentang
Sinar kuning yang menerpa mata Jupro, lalu
setelah itu Jupro bagai ada dalam pengaruh
birahi, dan ia pun mau berbuat mesum dengan
Nyi Kembang. Suro pun terbayang betapa
ngerinya keadaan Jupro ketika mati dengan
keadaan kehilangan urat kejantanannya.
Suro Bodong tertegun memandang sinar
kuning yang menembus kedua matanya.
Badannya menjadi terasa panas. Jalan darahnya
mengalir cepat hingga menimbulkan desiran-
desiran lembut di sekujur tubuh. Saat itu ia
mendengar suara Nyi Kembang berkata:
“Kau seharusnya tidak menjadi korbanku.
Tapi keadaan memaksa aku harus bertindak,
tapi jadikanlah ini suatu pelajaran bagimu, Suro
Bodong:..!"
Suro Bodong menahan nafas sejak tadi. Entah
apa yang sedang dilakukannya secara diam-
diam. la sempat berkata:
"Kenapa tidak kau bunuh aku? Lakukanlah
kalau kau mampu membunuhku, Iblis Cantik.:.!"
“Tidak. Suro. Aku... aku tidak bisa
membunuh orang yang kucintai..."
Suro Bodong terperanjat, namun ia bertahan
untuk tetap tenang. Dan pada detik berikutnya,
Suro Bodong mengeraskan semua otot
tubuhnya. Tangannya bergerak lamban bagai
sedang menyingkap suatu tabir yang
menghalang di depannya. Kemudian tangan
yang keras dan kaku itu menghentak ke depan.
Kedua tangan itu bagai sedang mendorong
sesuatu yang amat berat, sampai-sampai
keringat Suro Bodong mengucur dari pelipis dan
beberapa tempat lainnya. Ia pun mengeluarkan
suara erangan yang berat sehingga semua
anggota tubuhnya bergetar mengagumkan.
Tenaganya bagai terkuras untuk mendorong
sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan sinar
kuning yang terpancar dari mata Nyi Kembang
itu kian lama kian redup. Suro Bodong pun
semakin mengerang panjang.
"Aaah...!" kali ini Nyi Kembang terpekik lirih.
Nafasnya terengah-engah. Sinar kuning itu
lenyap, sepertinya membalik pada dirinya
sendiri. Ia segera menutup wajah, lalu gemetar.
Menggigil. Matanya meredup dan mulutnya
memdesah-desah. Ia menyerukan kata dalam
bisikan:
"Oh, aku tak tahan...! Peluklah aku... peluklah
walau sebentar saja..." Nyi Kembang mulai
merintih.
Suro Bodong tersenyum lega. Ia telah berhasil
mengembalikan sinar kuning itu sehingga bukan
Suro yang menjadi diamuk birahi meledak-
ledak.
"Senjata makan tuan, itu lebih baik daripada
tuan makan senjata..." kata Suro Bodong seraya
garuk-garuk kumis dalam senyumnya yang
mengejek.
Nyi Kembang merintih, mendesah dan
meraba bagian tubuhnya sendiri. Kini ia jadi
diamuk nafsu birahi akibat membaliknya sinar
kuning yang biasa untuk membius lawan itu.
"Suro..." rengeknya. "Oooh... kau tega
kepadaku. Renggutlah aku... ayo, Suro...
renggutlah aku dan peluklah erat-erat..." Nyi
Kembang mendekat dengan tangan menggapai-
gapai. Suro sengaja menghindar pelan-pelan.
"Suro... aku... ooh,.. aku sungguh tak tahan.
Berikan sebentar saja kehartgatanmu, Suro...
Uuuhh...Ssss... Suro..."
Nyi Kembang mendesis-desis, meremas-
remas dadanya sendiri. Mulut dan lidahnya
bergerak tak beraturan. Ia berjalan terhuyung
mendekati Suro Bodong. Ia bahkan telah
merobek gaun tipisnya. Bagian dadanya telah
polos akibat kain gaun robek tak beraturan. Ia
mencoba menggapai tubuh Suro Bodong dengan
nafas berbau nafsu birahi yang menyalak-nyalak.
"Suro... peluklah aku... Ooh, peluklah aku dan
berikan aku kehangatanmu..." rintihnya dalam
desah suara mesum.
Suro Bodong tiba-tiba menghantam wajah
Nyi Kembang dengan tangan kanannya kuat-
kuat. Lalu ia terbengong-bengong. Nyi Kembang
hanya melengos, bagai terkena tamparan. Ia
tidak merasa sakit, tidak terluka sedikit pun.
Sekali lagi Suro Bodong menghantamnya
dengan pukulan bertenaga dalam. Tapi tubuh
Nyi Kembang hanya terdorong satu langkah ke
belakang. Jatuh pun tidak. Ia masih mendesah-
desah dan meremas-remas bagian penting dalam
tubuhnya. Ia bagai tidak merasa sedang dipukul
dengan kekuatan penuh. Suro Bodong semakin
terbengong dan kebingungan.
"Kamu ini setan apa manusia, hah?!" bentak
Suro Bodong karena jengkelnya.
'Suro, lupakan pertarungan kita... ooh,
turutilah sebentar keinginanku. Peluklah aku,
Suro. Peluklah dan berilah aku cumbuan yang
menghangatkan...! Suro, sekali ini saja... Aku tak
akan mengganggumu lagi. Tolong, ooh...aku
tidak tahan, Suro..."
Tendangan Suro dihentakkan tepat mengenai
dada Nyi Kembang. Keras sekali. Paling tidak
akan jebol dada itu. Tapi, Nyi Kembang bukan
seperti manusia biasanya. Ia terdorong ke
belakang beberapa langkah, lalu maju lagi
dengan tangan minta dipeluk dan matanya kian
sayu. Desah yang keluar dari mulutnya
membuat Suro Bodong semakin penasaran.
"Kamu setan, ya?! Setan atau demit?! Ngaku
saja!"
“Ooooh... aku... aduuuh... aku tak tahan
betul, Suro. Peluklah aku... lekas... lekas...!"
"Aku tidak ingin bercinta denganmu! Aku
ingin membunuhmu, tahu?! Jangan paksa aku
untuk melayani nafsumu...!"
“Sebentar saja, Suro..."
“Mana bisa sebentar kalau begituan, tolol!"
bentak Suro Bodong yang semakin jengkel pada
diri sendiri.
"Aku yakin, bisa sebentar... Ayolah, aku mau
sebentar saja..."
"Enak saja. Kau mau sebentar, tapi aku tidak
mau kalau sebentar... Tidak! Sebentar atau lama,
aku tidak mau bergumul denganmu!"
Tak terasa fajar telah menyingsing dan di
beberapa tempat banyak orang yang
memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi,
termasuk Raden Bargawa yang memperhatikan
kejadian itu dari balik pagar rumahnya.
"Hiaaaat...!!" Suro Bodong menendang tubuh
Nyi Kembang dengan tendangan lompat yang
begitu kuat. Tetapi Nyi Kembang tidak
mengalami rasa sakit sedikit pun. la memang
terpental, namun segera bangkit dan mendesah-
desah, minta dipeluk Suro Bodong.
"Kau gila...! Aku ini musuhmu, kenapa kau
minta aku bergumul denganmu...! Bodoh! Tidak
tahu tata kesopanan orang bermusuhan...!"
bentak Suro Bodong. Dan pada saat itu, tangan
Nyi Kembang berhasil meraih baju Suro. Ia
langsung mendekap Suro Bodong dengan nafsu
yang brutal. Ia menciumi Suro Bodong
sembarang tempat dengan nafas seperti anjing
habis lari jauh. Suro Bodong malah kegelian. Ia
meronta dan mencoba menghindar. Tapi Nyi
Kembang mengejarnya. Suro Bodong jijik
jadinya.
"Surooo... tunggu aku...! Suro jangan pergi,
tunggu aku..." Nyi Kembang berlari-lari
mengejar Suro Bodong. Suro kebingungan dan
menggeram gemas bercampur jengkel, entah
kepada siapa. Tetapi akhirnya, ia berhenti dan
menghadang Nyi Kembang yang minta dipeluk
Waktu itu, ada beberapa orang yang melihat
kejadian tersebut dari tempat agak jauh.
Suro Bodong mengusap lengan kirinya. Lalu
dari pergelangan tangan kiri itu, ia bagai sedang
menarik sesuatu. Dalam waktu yang singkat,
tahu-tahu tangan kanan Suro Bodong telah
memegang sebilah pedang bercahaya ungu.
Semua mata yang menyaksikan hal itu terbelalak
lebar. Mereka tak tahu kalau Suro Bodong
mempunyai senjata pusaka yang dinamakan
Pedang Urat Petir. Senjata itu bisa disimpan
masuk ke dalam daging tangan kirinya, sehingga
orang tak pernah tahu bahwa ke mana pun Suro
pergi, sebenarnya ia selalu membawa
pedangnya. Itulah kehebatan Suro bersama
pedang Urat Petirnya.
"Nyi Kembang...! Inilah saat
penghabisanmu...! Hiaat...!" Suro Bodong
menghunuskan pedangnya ke depan, tepat
mengenai dada Nyi Kembang yang sudah
pasrah minta dicumbu. Tetapi, anehnya tubuh
itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.
Pedang memang tembus ke dada Nyi Kembang,
namun Nyi Kembang tidak merasa sakit. Tidak
juga merasa ditusuk Ia bahkan berhasil memeluk
Suro Bodong dengan nafsu birahi yang kian
membara.
"Gila...! Manusia lempung kamu ini...!"
bentaknya sambil Suro menendang tubuh Nyi
Kembang dan mencabut pedangnya. Ia sendiri
jadi gemetar melihat pedang Urat Petir seperti
tusuk sate tanpa keampuhan apa pun. Nyi
Kembang terpental, namun segera menggapai-
gapai dalam desah dan erangan nafsu birahinya.
Tempat yang tertusuk pedang merapat tanpa
bekas.
"Suro... peluklah aku. Jangan membuang
tenaga untuk membunuhku. Aku tidak akan bisa
mati Aku sudah hampir sempurna mencapai
ilmu Serap Sukma. Aku tak akan bisa mati.
Tinggal tiga lelaki lagi aku harus dapatkan, lalu
sempurnalah ilmu Serap Sukmaku, dan aku
akan menjadi orang yang tak pernah bisa mati.
Tapi... kepadamu aku tidak bermaksud
menjadikan korban, Suro. Aku mencintaimu.
Aku tak ingin menyerap tuntas air
kejantananmu, dan membunuhnya sekaligus.
Tidak akan terjadi padamu, Suro„. Aku hanya
butuh pelampiasan nafsu dan cinta darimu.
Ooh...peluklah aku...!”
'Ilmu Serap Sukma...?" gumam Suro Bodong.
"Ooh...pantas ia banyak mencari korban...!"
Suro berjalan menghindari raihan tangan Nyi
Kembang yang sudah tidak peduli dengan
keadaan tubuhnya. Polos tanpa selembar benang
pun. Suro Bodong sebenarnya merasa malu
sendiri, karena banyak mata, dan bahkan
semakin banyak orang yang memperhatikan
adegan itu. Tetapi ia harus bisa bertahan dan
segera mencari titik kelemahannya.
"Suro... turutilah keinginanku... sebentar
saja," Nyi Kembang merengek dalam tangis.
'Tidak! Aku harus mengetahui letak
kelemahanmu dulu, baru nanti aku akan
memuaskan nafsumu..." kata Suro sambil
berharap, mudah-mudahan kata-katanya itu
tidak didengar Sundari. Mudah-mudahan
Sundari tidak ikut menyaksikan adegan itu. Jika
sampai Sundari tahu, maka akan timbul
kekacauan lain, sebab ia agaknya sangat
cemburu.
"Akan kucoba untuk menusukmu dengan
pedang ini, sampai kutemukan letak
kelemahanmu, baru aku berani memberi
kepuasan padamu. Aku tak mau terkecoh, tak
mau mati setelah aku bisa memberi kepuasan
kepadamu...!" kata Suro Bodong sambil
menebaskan pedangnya ke leher Nyi Kembang.
Tapi ternyata ia bagai menebas busa-busa sabun.
Leher itu segera merapat tanpa darah setetes
pun. Pedang Urat Petir tak mampu merobek
leher Nyi Kembang.
'Percuma, Suro... kau tak akan bisa
membunuhku, karena kau tidak menebaskan
pedangmu di ketiakku. Lebih baik kita
bercumbu saja, Suro..."
Nyi Kembang hendak memeluk, langkahnya
limbung, dan Suro Bodong diam saja, seakan
sengaja menunggu pelukan Nyi Kembang.
Tetapi pada saat jarak mereka cukup dekat, Suro
Bodong segera berguling, dan menebaskan
pedangnya pada ketiak kiri Nyi Kembang.
Kontan Nyi Kembang menjerit histeris dengan
mata melotot.
"Ahhh...!!"
Suro Bodong menyisih jauh, Nyi Kembang
terguling-guling dengan jerit yang melengking
panjang. Suaranya bagai jeritan dari alam kubur.
Ia menggelepar-gelepar, lama-lama mengeluar
kan asap putih. Asap semakin tebal dan Suro
Bodong membiarkan hal itu berlangsung dengan
sendirinya.
Orang-orang mulai bergerak mendekat.
Mereka berwajah tegang. Jeritan Nyi Kembang
mulai menipis, tinggal suara erangan orang
menjelang ajal. Tetapi asap putih semakin
menebal. Menutupi sekujur tubuh Nyi Kembang.
Suro Bodong masih berdiri tegak dengan pedang
yang memancarkan sinar ungu tergenggam erat
di tangan kanannya.
Pada detik-detik berikutnya, asap putih itu
mulai menipis. Orang-orang menggumam
dengan mata melotot memandang asap yang
menipis. Kian lama angin bertiup membawa
asap putih, dan akhirnya hilang sudah asap itu.
Lalu orang-orang menyerukan pekik bersamaan
dengan mata kian melebar. Bahkan Suro Bodong
sendiri juga melebarkan mata dengan mulut
terbengong melompong.
Tubuh Nyi Kembang yang berhasil
ditemukan kelemahannya itu kini menggelepar
dalam erang yang tipis. Tubuh itu sudah bukan
lagi tubuh yang berkulit seputih susu selembmt
busa salju. Tubuh itu menjadi tubuh berkulit
sawo matang dengan wajah yang sudah dikenal
oleh setiap warga desa. Itulah wajah Sundari,
putri Ki Lurah Pucung yang menjadi janda
kembang.
"Sundari...?!"
Hampir semua mulut melontarkan kata itu.
Rupanya selama ini tak seorang pun tahu bahwa
Sundari sedang memperdalam ilmu Serap
Sukma, di mana untuk menyempurnakan ilmu
tersebut, ia harus mencari seribu korban lelaki.
Korban itu harus dinikmati dulu kejantanannya,
kemudian menyerap semua benih lelaki dan
membunuh lelaki itu sebagai serap nyawa sang
korban. Dengan demikian, maka nyawa yang
ada pada korban akan menjadi bagian dari
kekebalan tubuh aan kesaktiannya. Itulah
sebabnya Nyi Kembang mengatakan, bahwa
dirinya tidak akan bisa mati.
Semua orang tertegun memandang tubuh
Sundari, yang sudah pasti tega membunuh
suaminya sendiri demi ilmu yang dituntutnya.
Ki Lurah dan istrinya pingsan seketika sewaktu
melihat kenyataan itu. Dan... sudah tentu hal itu
membuat heboh di seluruh desa. Tersiarlah
kabar tentang Sundari, yang menuntut ilmu
warisan kakek buyutnya di mana kitab pusaka
itu seharusnya dibakar. Namun ada satu yang
tersisa, yaitu kitab Serap Sukma. Dan di hutan
Tengkorak itulah Sundari menjalankan segala
ilmunya bersama satu jasad yang mampu
memecah diri menjadi sekian banyak ujud.
Suro Bodong hanya menggumam, dan mema-
sukkan kembali pedangnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar