..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 18 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE PEDANG URAT PETIR

Pedang Urat Petr

PEDANG URAT PETIR

Oleh Barata

Š Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Suro Bodong

dalam kisah Pedang Urat Petir

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.019150 2


SATU


PENONTON mengitari panggung

setinggi satu meter. Di atas panggung

kayu yang cukup lebar itu telah

berdiri seorang pendekar perempuan

yangmengagumkan setiap pengunjung.

Karena ia suka mengenakan pakaian

serba hijau muda, maka ia dijuluki

Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana

ketat warna hijau muda bertepian emas.

Sedangkan bagian atasnya mengenakan

pinjung hijau juga, yang menutup

bagian dada. Dada ke atas terbuka

polos, menampakkan kulitnya yang

kuning langsat, membakar darah

kejantanan. Kenanga Hijau melapisi

celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan

hiasan manik-manik putih perak di

tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu

terdapat sarung pedang mengkilat

berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang

berbentuk kepala burung Jatayu.

Tubuhnya yang kecil, namun bukan

kurus itu serasi betul dengan bentuk

wajahnya yang mungil, namun berhidung


mancung. Matanya kecil, tetapi

kelihatan tajam dan bening. Bibirnya

juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra.

Indah sekali. Rambutnya yang panjang

digulung sedikit di bagian tengah

kepala, sedang rambut yang lainnya

dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk

konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas sebesar benang

kasur dan berliontin

bentuk bunga bermata hijau zamrud.

Hiasan kalung itu bagai sekuntum

melati hijau yang mekar di sela

belahan dadanya yang menon jol dan

menantang lawan.

Seorang lelaki setengah tua naik

ke atas panggung dan bicara kepada

penonton:

“Kalau tidak ada yang berniat

melawan Putri Kenanga Hijau, maka

pertandingan ini segera ditutup!”

“Berikan waktu beberapa saat

lagi, Paman!” kata Kenanga Hijau.

Lelaki separoh baya itu

mengangguk dan berkata kepada

pengunjung yang mengelilingi panggung:

”Putri akan memberikan waktu


beberapa saat lagi untuk menunggu

penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-saudara, pertarungan ini cukup besar

hadiahnya. Barang siapa bisa

mengalahkan Putri Kenanga dengan

Pedang Jatayunya, maka ia bebas

memiliki tubuh Putri Kenanga yang

tentu saja kita bersepakat bahwa

beliau memang… aduhai! Betul, kan?!”

“Betuuull…!!” teriak penonton.

Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau

memamerkan senyumannya yang sungguh

menggetarkan hati dan sangat

mengagumkan itu. Bahkan ada salah

seorang penonton yang jatuh lemas

begitu melihat senyuman Kenanga Hijau

itu.

“Mundurlah, Paman Rogama…! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!”

kata Kenanga Hijau.

Lelaki separoh baya yang bernama

Rogama itu mengangguk, lalu segera

turun panggung setelah berkata kepada

hadirin:

“Bagi lelaki yang merasa dirinya

pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!”

Rogama mengambilkan sebuah


bangku, dan Kenanga Hijau duduk di

atas bangku seraya memamerkan senyurn

yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi

untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah

tiga orang kekar mati di tangan

Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak,

bukan untuk melawan Kenanga Hijau,

melainkan untuk menonton kecantikan

yang sangat melemaskan lutut lelaki

itu.

Salah seorang penonton berkata

kepada temannya, “Kalau saja aku

seorang berilmu tinggi, aku tetap

segan melawan dia. Sayang kalau kulit

semulus itu harus terluka.”

Temannya menyahut, “Kalau aku

seorang pendekar, lebih baik kulawan

dia di atas ranjang. Lebih seru,

pasti!”

Orang di sebelahnya bersungut—

sungut. “Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apa-lagi di atas

ranjang.”

“Eh, biasanya, sekuat apa pun

perempuan, sesakti apa pun seorang

wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah.


Betul kok…!”

“Aaah…! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!” gerutu orang yang ada di belakangnya.

Pembicaraan kasak kusuk mereka

terhenti, karena mereka melihat

seorang lelaki naik ke atas panggung.

Hampir semua mulut melontarkan kata:

“Hoooohh….!!” Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan

tangan kepada penonton yang

menghoooh… itu.

Lelaki itu berdada bidang dan

berlengan kekar. Ia seorang pendekar

yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu

dengan kain pelapis warna merah. Ia

memakai sabuk hijau tebal dan lebar.

Sabuk itu berguna untuk menyelipkan

goloknya yang pendek namun lebar.

Lelaki itu memakai ikat kepala dari

kain tenun berwarna coklat kehitam—

hitaman. Ia mengenakan kalung dari

kain hitam di lehernya.

Kenanga Hijau masih duduk di

bangku dengan posisi dada tegap,

menonjol ke depan.

“Aku yang akan melawanmu,” kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit serak.

“Boleh saja. Siapa namamu?”


“Danang Wadi!” jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang

dalam sikap kaki terentang kokoh.

“Siapa julukanmu?”

“Pendekar Alas Mati!”

“Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?”

tanya Kenanga Hijau.

“Sudah. Dan aku sudah siap juga

seandainya aku menang melawanmu.”

“Apa rencanamu?”

“Kau akan kujual kepada orang-orang Sriwijaya yang bertandang ke

tanah Jawa ini!” Danang tersenyum berani.

Kenanga Hijau angkat bahu,

“Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang

melawan aku!”

Kenanga Hijau berdiri, Rogama

buru-buru menarik turun bangku yang

diduduki Kenanga. Ia berjalan

menyamping karena harus memperhatikan

Danang Wadi, dan berkata:

“Jangan menyesal kalau nasibmu

seperti ketiga orang tadi, Danang

Wadi.”

“Kau akan tercengang melihat

permainan dan kesaktianku, Perempuan

Cantik. He, he, he…”


Salah seorang penonton mengeluh

sendiri, “Huhh… belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang

dia!”

”Tapi agaknya lelaki itu cukup

sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang

bidang dan ototnya yang menonjol, itu

sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau

akan mampu ditekuk-tekuknya,” ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi

hanya mencibir dan berkata:

“Lihat saja…! Lagak lagunya

yang cengengesan itu tidak meyakinkan.

Paling sekali gebrak, mencret!”

Lalu, kedua orang itu saling

terpukau melihat suatu pertarungan

yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-kali melompat sambil berguling.

Goloknya dikibaskan ke sana sini.

Kakinya hanya sesekali menyentuh

lantai panggung. Ia lebih sering

bermain di udara ketimbang menyerang

dalam posisi kaki menginjak lantai.

Kenanga Hijau seperti berkelahi

melawan seekor gagak hitam. Ia harus

mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun

kibasan pedangnya mengenai tubuh

Danang Wadi. Bagi Kenanga,


pertarungannya kali ini cukup unik.

Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi

juga cukup sulit diterka.

“Hiaaaat…!!”

Teriakan itu lebih sering

terlontar dari mulut Danang Wadi,

sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga.

Sesekali kenanga memahg mengimbangi

lompatan-lompatan itu, namun sejak

tadi pukulan dan tendangannya tak ada

yang menyentuh kulit Danang Wadi.

Demikian juga Danang Wadi, tak sekali

pun pernah menyentuh rambut Kenanga

Hijau. Namun golok dan pedang mereka

memang sering beradu keras,

menimbulkan percikan api yang

mengerikan penonton bagian depan.

Suatu kesempatan, Danang Wadi

berhasil menendang pundak belakang

Kenanga Hijau setelah ia bersalto

melewati atas kepala Kenanga, dan

menjejak ke belakang seperti kuda

ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke

depan, tapi ia segera berguling

sehingga wajah cantiknya tak sempat


berbenturan dengan lantai panggung.

Danang Wadi tak menyia-nyiakan

kesempatan itu. Ia ikut berguling ke

arah Kenanga dengan pedang siap di

tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok pendek yang lebar

itu. Golok Danar

Wadi menancap pada papan lantai

panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih

panjang, maka dengan sekali tendang

kaki itu tepat mengenai pinggang

Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk

kesakitan.

“Wah, gawat…! Patah tuh tulang

iga Kenanga…!” teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan.

Mereka jadi cemas. Mereka merasa

sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya.

Kecemasan mereka meningkat, sebab

Danang Wadi segera bangkit dan

berhasil mencabut goloknya yang

menancap di papan lantai panggung.

Danang Wadi segera menyerang Kenanga

dengan tendangan kaki kiri yang

mengenai ketiak Kenanga, dan disusul

tendangan kaki kanan yang mengenai

perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik

itu terpental, hampir saja jatuh ke


panggung seperti ketiga musuhnya tadi.

“Menyerahlah, Kenanga…! Kau

sudah mulai lemah!” kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan

gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit.

Ia masih membujuk Kenanga:

“Akuilah kekalahanmu…! Jangan

sampai kau kalah lalu mati, apa

gunanya pertarungan ini kalau begitu?”

Kenanga berdiri dengan tegap,

menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi.

“Aku hanya menjajal kekuatanmu,

Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu,

Danang Wadi. Dan sekarang… mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah

mati dengan cara senyaman mungkin…!

Hiaaat…!” Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang

sedangkan kaki kiri terlipat ke

selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan

itu berada di bagian kiri tubuhnya.

“Traang…!”

Danang Wadi berhasil menangkis

kibasan pedang Jatayu, dengan

menggerakkan goloknya ke atas. Lalu

tangan kiri Danang segera menghantam

pinggang samping kanan Kenanga. Buru—

buru Kenanga merapatkan sikunya dan


menahan pukulan itu sambil tangan

kirinya mencabut sarung pedang.

“Sreet…!”

Ujung sarung pedang yang berwarna

kuning emas itu

ternyata mampu

mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil

itu merobek leher Danang Wadi tanpa

ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi

terpekik tertahan. Mulutnya ternganga

dan tangan k-nannya yang masih

memegangi golok ikut membantu tangan

kirinya, menutup luka yang ada di

leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata

Danang Wadi terbeliak-beliak.

“Grook… grrook…!”

Suara nafasnya begitu mengerikan.

Ia masih bertahan berdiri. Goloknya

jatuh, mengenai kakinya. Ia makin

membelalakkan mata. Lalu ia berlutut

sambil masih memegangi lehernya yang

bagai digorok ujung sarung pedang

Kenanga.

Seperti lawan-lawannya yang

sudah, Kenanga selalu mengakhiri


pertarungannya dengan menendang lawan

sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar

ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar

sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan

tak bergerak lagi. Penonton yang

nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi

tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain.

Penonton yang lainnya terbengong—

bengong setelah sama-sama berseru:

“Hooohh?!” Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap memandang ke

atas

arena. Kenanga menyarungkan pedangnya.

Pisau kecil yang mencuat dari ujung

sarung pedang itu telah masuk kembali

dengan sekali tekan bagian tertentu

dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan

melepaskannya pelan-pelan. Ia

memulihkan ketenangan pada dirinya.

Sikapnya berdiri tetap tegap,

merentangkan kaki berbetis indah,

seakan menantang pertarungan

selanjutnya. Rogama datang membawakan

bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi:

mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh

arti.

Rogama berseru kepada penonton,


“Barang siapa yang masih ingin

mencoba, silakan naik ke arena. Kita

bertarung secara kesatria. Putri

Kencana Hijau, siap menunggu uluran

nyawa Saudara-saudara…!”

Kasak kusuk dan perguncingan

semakin banyak. Bergemuruh seperti

lebah hutan berpesta pora. Rogama

masih bicara dengan suara kian keras

untuk mengimbangi suara gemuruh

masyarakat di sekelilingnya. Bahkan

kini kedua telapak tangannya

diletakkan di tepian mulut, sebagai

corong pengeras suara. la bicara

sambil berputar ke empat arah.

“Barang siapa yang mempunyai

kesaktian, pusaka, pedang ampuh,

mari… silakan diuji di sini. Kami

akan me rasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji

pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan

takut. Hadiahnya tidak tanggung—

tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau

ini cantik, sakti dan… masih

perawan! Asli! Saya berani sumpah,

sebab saya belum pernah


memakainya…!”

“Paman…!” bentak Kencana merasa tersinggung.

Rogama ketakutan, lalu berteriak

kepada penonton, “Maksud saya… saya belum pernah memakai pedang Jatayunya itu.”

“Huuuhh…!” beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak.

Kasak kusuk mereka saling memuji

dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang

penonton yang dari tadi hanya diam

saja dan garuk-garuk kumisnya yang

lebat.

Lelaki itu mengenakan baju model

jubah berwarna merah dan celana biru

muda dan ikat pinggang hijau tua.

Rambutnya panjang tak teratur diikat

kain merah, Badannya agak gemuk,

perutnya sedikit membuncit dan

pusernya melotot keluar bagai

membelalak. Melihat kegema-annya yang

sejak tadi makan jagung bakar, sudah

jelas dia adalah tokoh dunia

persilatan : Suro Bodong.

Sejak tadi tak sepatah kata pun

yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi

ia memperhatikan pertarungan Kenanga

sambil mengunyah jagung bakar dan


sesekali garuk-garuk kumisnya.

Pandangan matanya begitu tajam, tapi

sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau

ikut bersorak, atau bertepuk tangan.

Bahkan ketika ada seorang anak muda

menyapanya:

“Bapak tidak berminat naik

panggung, Pak?”

Suro Bodong tidak menjawab. Anak

muda itu memperhatikan dengan tegas.

Lalu bertanya lagi dengan suara lebih

keras, karena mengira Suro Bodong

tuli.

“Bapak tidak berniat naik

panggung, Pak?!!”

Suro Bodong masih tenang saja.

Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang

digeragotnya dengan seenaknya. Anak

muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia

berhadapan dengan orang gila yang

tuli.

Sebab itu ia menepak pundak Suro

Bodong.

Tetapi di luar dugaan, dan tak

sempat dilihat oleh mata anak muda


itu, tangan Suro Bodong telah

menangkap dan menekuknya hingga si

anak muda meringis kesakitan.

“Berani menyentuhku, kucabuti

semua rambutmu!” geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda

itu.

Sambil meringis dan memijit-mijit

pergelangan tangannya, anak muda itu

berkata dalam ketakutan:

“Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat

naik apa tidak. Cuma begitu.”

“Naik apa? Naik kuda?! Apa kau

membawa seekor kuda?” kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu.

“Maksud saya, naik panggung, Pak.

Naik panggung itu,“seraya anak muda menuding tempat arena.

Suro Bodong memetik-metik biji

jagung dengan jempol tangannya dan

menggerutu, memandang Kenanga:

“Naik panggungg… naik

panggung… apa kau kira aku ini

ledek, yang sering menari di atas

panggung?”

Anak muda itu berani juga,

rupanya. Ia masih berdiri di samping

Suro Bodong, memandang mata Suro


Bodong yang kemerah-merahan. Lalu berkata lagi:

”Panggung itu kan arena

pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!”

“Pertarungan apa?” Suro Bodong menoleh ke anak itu.

“Pertarungan antara pendekar

melawan… itu, Putri Kenanga Hijau.

Masa Bapak tadi tidak melihatnya.

Sepertinya dari tadi Bapak ada di

samping saya dan memandang ke sana…”

Anak itu merasa heran, lalu Suro

Bodong berbisik:

“Sejak tadi aku tidak merasa

melihat suatu pertarungan.”

Anak itu berkerut dahi. “Jadi

yang Bapak lihat apa?”

“Orang-orang menari dan bermain

dagelan!”

Anak muda itu tertegun beberapa

lama. Dalam hatinya ia masih belum

mengerti, mengapa Suro Bodong

mengatakan melihat tarian dan dagelan.

Padahal jelas ada korban empat orang

dari pertarungan sejak tadi. Bahkan,

kemarin pun acara itu juga ada. Anak

muda itu juga melihat. Bukan hanya


melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang

panggung, jauh darinya. Dan semua

orang juga mengakui, bahwa apa yang

ada di atas arena itu adalah

pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro

Bodong, mengatakan itu sebuah tarian

dan dagelan. Lawak! Badut, dan

sejenisnya.

“Aneh sekali penglihatan mata

orang ini,” pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari

Suro Bodong itu adalah anggapan saja.

Anggapan dari Suro Bodong tentang

atraksi di atas panggung. Pertarungan

antara Kenanga dengan beberapa

pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan

banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak

merasa kagum dan terpesona dengan

pertarungan itu. Dia hanya ingin

melihat, siapa yang akan mampu

mengalahkan perempuan cantik yang

sombong itu? Karenanya dari kemarin

sampai hari ini Suro Bodong selalu

hadir dan mengikuti acara tersebut.

Dalam usia 40 tahunan, kurang

lebih, Suro Bodong masih bisa menilai


kecantikan seorang perempuan. Kenanga

diakui kecantikannya, namun hati

kecilnya tetap mengakui kecantikan

Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro

Bodong, tak ada perempuan cantik di

permukaan bumi ini, selain Ratna

Prawesti, anak seorang bupati Jangga,

yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia

tidak menemukan bangkai kekasihnya.

Berulangkali ia berurusan dengan

orang-orang Gerombolan Topeng Setan,

namun tak sekali pun ia melihat ada

tanda-tanda gerombolan itu

menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya

saja, betapa pun juga jadinya, Suro

Bodong tetap menaruh kewaspadaan

kepada Gerombolan Topeng Setan yang

diketuai oleh seseorang yang bernama

Banyupati. Sekali ia melihat gelagat

adanya tanda-tanda bahwa Ratna

Prawesti disekap atau disembunyikan

oleh gerombolan itu, maka dengan

sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya.

Tiba-tiba orang yang mengelilingi

panggung itu bertepuk tangan. Bahkan


ada yang bersuit dan tertawa. Oh,

rupanya ada anak muda yang naik ke

panggung dengan barinya. Mata Suro

Bodong membelalak dengan mulut

terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan

tangannya.

“Bocah edan..!” geram Suro Bodong dengan gemas. “Berani-beraninya dia naik ke arena itu?”

Anak tersebut masih muda sekali

usianya, Kira-kira baru 15 atau 16

tahun umurnya. Pakaiannya biasa,

celana dan baju pangsi warna putih

kusam. Orang bilang, ia masih hijau.

Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu

banyak penonton yang berceloteh macam—

macam.

“Hoi, Tong… ini bukan tempat

adu jangkrik…!”

“Nyawa cuma sedikit dibuang—

buang. Payah kamu, Tong!”

“Kalau menang mau buat apaan

gadis itu, Tong? Buat diambil istri,

ya?”

“Alaaah… kencing belum lempeng

saja sudah mau kawin!”

“Hoi, kamu mau bertarung apa mau


netek, Gus…?!” teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi

teriakan orang yang lainnya. Namun

anak muda itu tetap berdiri di atas

panggung dengan cengar cengir tak

meyakinkan. Ia tidak peduli seruan

orang yang menjatuhkan keberaniannya.

Ketika Kenanga berdiri dan

menyampanya, anak muda itu masih

memperlihatkan nyali yang cukup besar.

Ia cengar cengir seperti malu-malu

kucing.

“Kau penantangku berikutnya?”

tanya Kenanga.

“Ya. Boleh tidak, Mbak?”

Penonton tertawa. Bahkan Kenanga

tersenyum geli seraya memandangi anak

muda itu. Sedangkan yang dipandang

hanya tersipu-sipu sambil menunduk.

“Mana senjatamu?” tanya Kenanga.

Anak muda itu semakin tersipu

malu, lalu berkata dengan jelas, “Masa harus dikeluarkan di sini. Malu

ditonton orang banyak, kan?!”

Penonton semakin gerr…!

Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan

ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar, bersemangat.

“Anggap saja selingan

dagelan…!” ujar seseorang.

Mereka menjadi reda setelah

Kenanga berkata, “Kau akan mati jika tanpa senjata.”

“Ah, buktinya yang pakai senjata

juga mati. Untuk apa aku punya

senjata,” jawab anak itu.

Kenanga geleng-geleng kepala.

“Nyalimu cukup besar. Kau tidak

takut mati?”

Anak muda itu menggeleng. “Kata

ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja.”

Kini, Kenanga Hijau manggut-manggut. Sejenak Rogama naik ke

panggung dan berbisik kepada Kenanga.

“Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!”

“Biarkan, Paman. Siapa tahu dia

lebih hebat dari yang sudah-sudah.

Siapa tahu juga dia yang kucari.”

Kemudian, setelah Rogama turun

sambil membawa bangku, Kenanga

bertanya kepada anak muda itu:

“Siapa namamu?”

“Saga!” jawabnya tegas.

“Saga…?! Hemm… nama

julukanmu?”


Saga kelihatan berpikir bingung.

Orang-orang mengikik, tertawa

tertahan. Lalu, Saga menjawab

seenaknya saja:

“Pendekar… Pendekar… Pendekar Untung-untungan…!”

Tawa penonton menjadi lebih

keras. Kenanga menegaskan:

“Sebenarnya kau pendekar apa

bukan?”

Saga menggeleng. “Bukan. Tapi…

tapi saya ingin melawan situ.”

“Kalau kau menang, mau apa? Mau

menjadi suamiku?”

Saga menggeleng. “Mau minta duit

yang banyak!”

“Minta uang?!” Kenanga berkerut heran dan kagum.

“Ya. Kalau Mbak tidak mau

memberiku uang, ya sudah. Saya turun

saja…!”

“Baik! Kalau kau menang, selain

uang, semua perhiasan dan harta

milikku menjadi kepunyaanmu!” kata Kenanga.

Saga tertawa girang, nyaris

melonjak. Sedangkan di bawah pohon

sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam


keheranan.

“Mari kita mulai. Bersiaplah…!”

tantang Kenanga. Ia segera mengambil

jarak dan bersiap memainkan jurus

pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-ikutan pasang gaya dengan kaki

mengangkang dan kedua tangan mengepal

di pinggang. Kaku sekali.

Kenanga memutar ke kanan, Saga

memutar ke kanan dengan kaki masih

mengangkang dan merendah. Orang-orang

menertawakan. Suro Bodong geleng-geleng kepala sambil makan jagung

bakar.

“Hiaat…!” Kenanga menghentak.

Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi

ia segera berdiri seperti tadi: kaki

mengangkang rendah dan kedua tangan

mengepal di pinggang kanan kiri. Jika

Kenanga bergerak perlahan ke arah

kiri, ia berjalan perlahan ke arah

kiri juga, demikian pula sebaliknya.

Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke

depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan

menendang dada Saga. Saga berusaha

menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras.

Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya


menjadi pucat dan mulutnya cengap-cengap mencari udara. Ia berusaha

untuk berdiri. Lalu pasang gaya

seperti tadi: kaki mengangkang dan

merendart, kedua tangan mengepal di

samping. Kenanga mengendurkan

tangannya. Kini ia berjalan mendekati

Saga dan menendang wajah Saga dengan

kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba

menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat.

Kenanga tersenyum bangga.

“Jangan… jangan cepat-cepat,

Mbak..” Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya

Tetapi Kenanga segera menghantam

dada Saga dengan pukulan tangan

kirinya.

“Buuk…!” Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: “Buuk…!”

“Huugh…!” Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak,

wajahnya merah. Mulutnya semakin

cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk

sambil memegangi perut. Nyalinya

memang besar, tapi ngawur. Ia maju,

mendekati Kenanga. Lutut Kenanga

menghentak ke atas ketika Saga mau

memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut

mengenai wajah Saga, lalu hidung anak


itu berdarah.

Kenanga tidak memberi ampun

sedikit pun, ia segera memukul pipi

Saga. Kenanga menendang lagi perut

anak itu hingga Saga terguling-guling.

Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi

Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia

melompat dan hendak menginjak dada

Saga.

“Gilaaa…!!” seru Suro Bodong dengan mata melotot.


DUA


SURO BODONG segera melompat ke

arena dan berguling dua kali di atas

lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga.

Kaki kanan Suro Bodong menahan

hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak

kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental

tinggi, kemudian ia segera bersalto

dan mendarat dengan kaki yang

sempurna.

Tepuk tangan penonton menjadi

riuh. Ada yang berseru:

“Ini baru hebat…!”

Suro Bodong mencengkeram baju

Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia

membentak:

“Kamu edan betul apa, gila

sungguhan, Bangsat!!”

Saga meringis kesakitan dan

berusaha untuk bernafas. Pada saat

itu, Kenanga menyerang Suro Bodong

dengan tendangan kaki kanan ke arah

punggung Suro Bodong. Tetapi sambil

mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan

telapak kaki Kenanga. Dan hentakan


kaki Suro Bodong begitu cepat serta

kuat, sehingga kali ini Kenanga

terpental sampai terjatuh di lantai

panggung.

Suro Bodong jengkel sekali kepada

Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan

menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat:

“Anak sinting! Bodoh…! Kalau

tidak punya ilmu silat jangan sombong

di atas panggung ini, tahu?!”

“Lepaskan anak itu! Dia harus

kubunuh!” teriak Kenanga seraya

menyerang Suro Bodong lagi.

Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak

mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap

marah-marah kepada Saga.

“Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata

orang begitu!”

Sambil tangan kanan Suro Bodong

menangkis pukulan dan tendangan

Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah

Kenanga.

”Senjata manusia bukan hanya

nekad seperti kamu!”

Seraya kakinya menjejak ke


samping dan mengenai paha Kenanga.

Kenanga semakin penasaran. Ia

menyerang dengan pukulan tangan kanan

dan tangan kiri maju bersama. Tetapi

Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap.

“Bodoh sekali kau ini, hah?!”

Sambil ia menggerakkan tangan dan

kakinya untuk menangkis serangan

Kenanga.

“Kalau kau tidak bisa silat,

jangan coba-coba menyerang tahu?” Suro Bodong berkata kepada Saga tapi

tangannya memukul siku Kenanga dengan

keras.

“Auuw…!” Kenanga menjerit

kesakitan. Ia segera mengambil posisi

dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro

Bodong tidak menyambutnya dengan

terang-terangan. Ia bahkan memutar

tubuh yang ditentengnya seraya

berkata:

“Kalau kau mati, apa untungmu?

Kalau kau menang, itu mustahil tahu?!”

Tepat pada saat itu Suro Bodong

menggerakkan kaki kanannya ke samping.

Gerakannya begitu cepat dan beruntun.


Tujuh kali tendangan beruntun itu

mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong

telah menyerang Kenanga dengan jurus

tendangan Ayam Kawin.

Tubuh Kenanga yang limbung ke

belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro Bodong. Ia bahkan

menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak

karuan. Yang diomeli hanya mendesah

dan mengerang samar-samar.

”Tunggu…! Kau telah melukaiku!

Kau harus mati…!” teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia

mencabut pedangnya dan melayangkan

tubuhnya dalam posisi kedua tangan

memegangi pedang yang teracung ke

depan, ke arah punggung Suro Bodong.

Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh

sedikit pun sekali pun banyak orang

berteriak,

“Awass…!” Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai

pinggir. Tepat pada saat itu tubuh

Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan

tangan kanannya ke atas dengan cepat

dan keras. Pukulan itu mengenai perut

Kenanga sehingga perempuan itu

melintir ke samping dan jatuh tak

mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari Saga dari


arena.

Rogama tidak mau tinggal diam, ia

segera melesat juga mengejar Suro

Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi kepala penonton

yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada

Suro Bodong:

“Hei, berhenti…! Berhenti!

Kalian harus mati dulu baru boleh

lari…! Berhentttiii…!!”

“Buk..! Plak…! Pletok..!”

“Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan…! Kucing kudis…!

Monyet peot…! Sapi…! Kuda…!

Semut…!”

Semua orang mencaci maki Rogama

yang melompat dari kepala ke kepala.

Mereka menyerang Rogama dengan cara

apa pun. Ada yang memukul, ada yang

menghantam dengan kayu, ada yang

melempar batu, bahkan ada yang rela

kehilangan sandal bandolnya untuk

melempar muka Rogama. Akibatnya,

Rogama terhambat beberapa saat. Namun

kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro

Bodong.

Suro Bodong menyembunyikan Saga

di belakang sebuah lumbung padi milik


orang. Ia membersihkan darah dengan

baju Saga yang dilepasnya. Ia masih

mengomel terus sekali pun Saga sudah

melontarkan kata maaf berulangkali.

“Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu bukan orang

sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis.

Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika

melawannya! Apalagi kau tidak

mempunyai ilmu silat sedikit pun.

Tahu?! Tahu kau?!”

“Sa… saya… saya hanya ingin

menari dengannya, seperti kata Bapak

tadi…” jawab Saga.

“Menari, menari…!” gerutu Suro Bodong. “Aku mengatakan mereka menari, karena aku menganggap

ilmu silat

mereka belum seberapa dibandingkan

dengan ilmu silatku. Tahu?! Dasar otak udang…!”

“Maaf, Pak. Saya…

saya…

uuhhg…!” Saga nyaris terbatuk lagi.

”Sudah diam…! Jangan banyak

bicara dan bergerak…!“bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan

tubuh Saga di tanah berjerami.

Suro Bodong memeriksa keadaan

sekeliling sebentar, ternyata aman.

Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak


tangan yang sudah diludahi itu segera

diusapkan ke dada Saga dengan gerakan

memutar perlahan-lahan Tujuh kali

berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang. Sambil melakukan hal

itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan

pikiran untuk menyalurkan hawa murni

ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih

mengerang menahan rasa sakit, tapi

lama-lama erangannya berganti desah

dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai tertidur dengan nafas

teratur. Tapi

tidak tidur sebenarnya.

“Bagaimana rasanya?”

”Yaah… lega dan ringan,

Pak…”

“Jangan panggil aku: Pak. Aku

belum pernah kawin dengan ibumu!

Panggil saja… ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu

yang gila-gilaan itu. Aku suka sama

keberanianmu. Mulai saat ini kita

berteman. Mau?” Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk

“Atau anggap saja aku kakakmu.

Mau?”

Saga mengangguk dan mengerlingkan

mata.

“Jangan genit! Tak perlu


mengerlingkan mata segala!” kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi

anak muda itu masih mengangguk dan

mengerlingkan mata.

“Apa-apaan kamu ini? Genit amat

seperti perempuan saja!”

Saga masih mengangguk dan

berkerling. Suro Bodong mendengus

kesal. Ia berkata:

“Namaku Suro Bodong, kau boleh

saja me…” Suro Bodong berhenti

berkata setelah ia berdiri dan

berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan

beberapa bekas memar akibat keroyokan

massa tadi. Rogama memandang Suro

Bodong dengan sorot kemarahan yang

masih ditahan kuat-kuat dan akan

segera diledakan di situ.

Suro Bodong tertawa sendiri di

dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya.

Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan

berkerling mata. Rupanya anak itu

memberi isyarat, bahwa di belakang

Suro Bodong telah berdiri musuh yang

siap melampiaskan kemarahan. Suro

Bodong geli sendiri karena mengira


Saga berlaku genit.

“Mau lari ke mana kau,

Pengecut?!” geram Rogama.

Suro Bodong garuk-garuk kumis

sebentar. “Lariku tak akan jauh.

Tenang saja,” kata Suro Bodong kepada Rogama.

“Karena kau sudah melukai, dan

anak itu sudah berani menantang Putri

Kenanga, maka kalian berdua harus

mati!”

“O, ya? Ah, aku tidak tahu kalau

ada peraturan seperti itu, Paman…”

Suro Bodong ikut-ikutan memanggil

‘Paman’ karena’ia mendengar Kenanga

memanggil Rogama: Paman.

“Supaya kau mati dengan jantan,

lekas pergi ke arena dan hadapi Putri

Kenanga.”

“Aku bukan pendekar sombong

seperti lawan-lawan Kenanga. Aku

pendekar baik-baik saja. Jadi, aku

tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh

aku menang, percuma. Aku tidak

bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!”

Suro Bodong mencibir sinis,


sengaja menonjolkan kesombongannya

untuk menghina Rogama. Dan hal itu

membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal

kencang.

“Bicaramu sudah melampaui batas

kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku

sendiri yang harus meremukkan mulutmu.

Hiaat…!”

Rogama menyerang dengan tendangan

lurus ke depan, ke arah dagu Suro

Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke

belakang. Kedua tangannya masih tetap

terjulur ke bawah dengan lemas. Pada

saat tendangan itu melesat mengenai

tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke

arah kepala Suro Bodong.

“Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat…!”

Suro Bodong memiringkan badannya

lagi ke samping lain. Ia hanya

mengelak, tidak menangkis atau pun

memberi serangan balasan. Dan waktu

kaki Rogama yang molos lagi, tidak

mengenai sasaran itu melesat, kaki

tersebut segera bergerak ke samping

kanan sebelum kembali ke tanah. Suro


Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas

kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama

melancarkan pukulan gandanya ke arah

wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong

hanya berkelit meliukkan badannya ke

kanan dan ke kiri sehingga pukulan

Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya.

“Kang…. serang dia, Kang

Suro…!” seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding

belakang lumbung tersebut.

Rogama melesat ke atas. Badannya

yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan

kakinya yang lurus ke samping cukup

membahayakan bagi Suro Bodong. Karena

itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut.

Tapi pada saat itu, ketika tubuh

Rogama melayang ke atas dan Suro

Bodong berguling di bawahnya, Rogama

mengibaskan tangan kanannya.

“Juub…!”

Sebuah senjata rahasia berbentuk

segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili dari pinggang Suro

Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata

rahasia berbentuk segi tiga sama sisi

itu. Suro Bodong terbengong sejenak

melihat tanah yang dipakai menancap


senjata tersebut mengeluarkan asap

kuning kusam. Suro Bodong terbengong

segera meloncat menjauhi asap

tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang

aneh, sebab benda tersebut kini

menjadi merah membara, seperti besi

dipanggang dalam api yang panas.

Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar

sekelilingnya. Suro Bodong segera

menginjak-injak api tersebut. Andai

tidak begitu, tentu akan terjadi

kebakaran di lumbung tersebut, dan

lumbung itu pun dapat terbakar

semuanya.

“Suro…!” sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya

dengan sebutan: Kang Suro. “Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena

secepatnya dan matilah di sana dengan

terhormat. Jangan kamu mati di sini

karena senjataku itu. Kau akan mati

tanpa kemegahan, tau?!”

”Terima kasih atas saranmu,

Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau

mati di sini dulu, baru aku akan ke

sana menemui Kenanga dan melaporkan

kebodohanmu!” Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar.


Rogama menggeram kesal.

“Benar-benar tak patut diberi

kesempatan kau, Suro…! Jangan

menyesal kalau kau mati di sini juga,

hiaaat..!”

Rogama melompat ke atas seolah—

olah hendak menyerang dengan

tendangan. Tapi sebenarnya Rogama

hanya sekedar mengguncangkan

konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang

berbentuk lempengan baja segi tiga

itu.

“Zeeet… suiing…!”

Senjata itu meluncur dengan

kecepatan yang tak terjangkau oleh

penglihatan mata manusia biasa. Tapi

karena Suro Bodong sudah terlatih

untuk melihat gerakan angin, maka ia

segera merundukkan kepala dan

membiarkan senjata segi tiga sebesar

tutup gelas itu melesat melewati

samping telinganya. Senjata itu

melayang lurus dan menancap pada

sebuah pohon yang jauh dari tempat

mereka bertarung.


Suro Bodong berguling ke tanah

beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti

tepat di bawah kaki Rogama. Segera

kaki Suro Bodong melancarkan jurus

Tendangan Ayam Kawin yang cukup

membuat lawan kewalahan, dan tadi

sempat membuat Kenanga tak mampu

mengelak.

Tendangan itu begitu cepat dan

bergerak tujuh kali secara beruntun.

Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki

kanan tujuh kali menendang beruntun

dengan cepat sekali. Rogama

menggeragap dan tak sempat berteriak

kecuali mengangakan mulutnya. Posisi

tubuh Suro Bodong masih seperti

telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut

dan selangkangan Rogama. Lalu ia

segera berdiri menghadapi Rogama yang

limbung.

âItu yang namanya Tendangan Ayam

Kawin, tahu?! Sekarang kau harus

merasakan jurus Keringat Onta ini,

haeeet…!”

Suro Bodong menggerakkan kedua


tangannya bersimpang siur di depan

mata, lalu meludahi kedua telapak

tangannya masing-masing tujuh kali.

Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan

pada ketiaknya, kemudian tangan

kirinya segera menampar mulut Rogama,

disusul dengan tangannya yang mencengkeram hidung dan mulut Rogama.

Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu

menggelepar-gelepar sejenak. Matanya

melotot, tangannya masih memegangi

bagian selangkangan. Lalu lelaki itu

melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh

terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari

Suro Bodong, di mana lawan akan

terbius pingsan jika mencium bau dari

keringat dan ludah Suro sendiri. Itu

memang jurus yang jarang dipakai oleh

Suro sebab menjijikkan. Tapi jika

terpepet, apa boleh buat, daripada ia

membunuh lawannya.

“Ayo, lekas kita tinggalkan

tempat ini!” ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang

Rogama yang pingsan itu.

“Kang, ilmumu hebat juga, ya?”

“Ah, sudah…! Jangan banyak


memuji. Lekas kita pergi, Saga…!”

Suro Bodong menarik tangan anak muda

itu.

“Ke mana kita pergi, Kang Suro?”

“Ke…?” Suro Bodong kebingungan.

“Ke mana sajalah..!”

“Bagaimana kalau ke rumahku?”

usul Saga.

“Boleh. Eh, lihat itu…” Suro Bodong menuding ke arah di depan

lumbung padi tempatnya tadi. “Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat

pergi…”

Seorang perempuan berpakaian

serba hijau berjalan pelan dan

clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga

Hijau yang tentu mencari kepergian Rogama, pengawalnya. Suro Bodong

menyelinap di antara tumpukkan batu

bata yang belum dibakar. Ia melewati

rumah orang bagian belakang, bahkan

terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah.

“Kenapa kau kelihatannya takut

dengan perempuan itu, Kang?” tanya Saga. “Padahal aku yakin kau bisa menang jika bertarung

melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat.”

“Aku curiga pada dia. Pasti ada

sesuatu yang ia inginkan. Ia punya

rencana sendiri, sehingga ia harus

menantang banyak pendekar. Mungkin


orang yang dapat mengalahkan dia

itulah yang ia cari untuk maksud

tertentu. Kau mengerti?”

Saga mengangguk Suro Bodong

bicara lagi sambil mengikuti arah

langkah kaki Saga yang menuju ke

rumahnya.

“Dan, aku tidak mau mangalahkan

dia. Nanti malah terlibat urusan

dengan dia. Aku punya urusan sendiri.”

‘Urusan apa, Kang? Mungkin aku

bisa membantumu.”

Suro Bodong melirik Saga

sebentar. Mempertimbangkan sesuatu,

namun akhirnya bicara juga yang

sebenarnya.

“Aku mencari seorang perempuan

yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya.

Tubuhnya lencir,

mirip Kenanga. Hidungnya mancung.

Matanya bulat bening. Ia memakai

gelang kaki perak bermata merah

delima. Apa kau pernah melihat

perempuan seperti itu, Saga? Dia

kekasihku yang sedang kucari!”

Saga menggeleng dalam bungkam.


Tetapi, beberapa saat kemudian ia

berkata sambil tetap melangkah:

“Kalau melihat perempuan seperti

itu, aku belum pernah, Kang. Tapi

kalau mendengar namanya… sepertinya

aku sudah pernah”

Suro Bodong bersemangat dan

segera bertanya, “Di mana kau

mendengar nama itu disebutkan? Di

mana? Atau… siapa yang

menyebutkannya? Siapa, Saga?”

Saga berkerut dahi beberapa lama,

mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia

menjawab:

“Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama

itu disebutkan.”

“Iya, tapi siapa yang

menyebutkan? Di mana kau

mendengarnya?”

“Entah. Sulit sekali kuingat!”

“Haahh…!” Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia

memandang Saga. Dalam hatinya berkata,

“Anak ini mungkin bisa berguna

bagiku…”

Saga melihat rona kekecewaan di


wajah Suro Bodong yang bermata selalu

semburat merah tipis, seperti orang

mabok. Kekecewaan itu membuat rasa

haru di hati Saga, lalu ia segera

berkata:

“Bersabarlah, Kang. Aku akan

selalu berusaha untuk mengingatnya.

Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau… kapan saja aku

ingat, pasti kukatakan kepadamu.”

Suro Bodong menghempaskan nafas.

Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-garuk kumis dengan telunjuknya. Ia

bertanya pelan, bagai tak bersemangat:

“Masih jauh rumahmu?”

âTidak Itu, di balik deretan

rumah itu…”

“Ayo ke sana..!” ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar

kata-kata Saga tadi.

Saga buru-buru menggeret tangan

Suro Bodong dan bersembunyi di

belakang WC jamban. WC itu terbuat

dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC itu, juga

di beberapa tempat

lainnya, banyak bangunan sisa

kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya.

Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam


heran.

“Hei,” bisik Suro Bodong. “Mana rumahmu?”

Saga menuding. “Itu, yang ada di

bawah pohon kelapa tinggi itu…!”

“Lalu kenapa kita bersembunyi di

sini? Baunya aku tak tahan,” sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan

tangannya di depan hidung.

“Kau lihat rumahku?”

“Iya. Aku tahu, yang di bawah

pohon kelapa tinggi itu, kan?”

“Kau lihat di sekitar rumahku

itu?”

Suro Bodong memperhatikan keadaan

rumah yang dimaksud Saga. O, ya… ada beberapa orang berseragam biru hitam

dan ada beberapa orang yang berkuda.

Mereka agaknya sedang memeriksa

keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang

menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian

pinggir, ada yang mengorek-ngorek

bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk.

‘Siapa mereka itu, Saga?” bisik

Suro Bodong.

“Mereka orang-orang Kepatihan

Benteng Cadas.”

“Ooo…” Suro Bodong manggut-manggut. “Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?”


“Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!”

“Apakah ayah-ibumu tidak

melarangnya jika begitu?”

“Ibuku sudah lama meninggal,”

jawab Saga pelan.

“Oh, maaf. Aku tidak

menyuruhnya,” kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. “Lalu, ayahmu…?”

“Ayahku… ayahku sudah seminggu

ditawan oleh orang-orang Benteng

Cadas.”

Saga tampak sedih. Suro Bodong

mengusap ngusap kepala anak itu. Ia

mendesah lirih, ikut bersedih Saga

melanjutkan kata:

“Ia ditawan di sana. Katanya,

untuk menebus ayahku, cukup mahal.

Sebab itulah aku bertekad melawan

Kenanga tadi dengan meminta imbalan

uang banyak. Maksudku uang itu akan

kugunakan menebus ayahku…”

Suro Bodong tertegun sejenak,

matanya menyaksikan orang-orang

berseragam yang sibuk menggeledah

rumah Saga.

Suro Bodong menarik kesimpulan,


bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu.

Kasihan sekali anak ini, pikir Suro

Bodong. Tak ada waktu untuk

mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat

Suro Bodong meraih bambu kecil.

“Astaga…! Mereka mengeluarkan

semua barang-barang di dalam

rumahku…” keluh Saga dalam bisikan.

Suro Bodong memandang kejadian itu

dengan tangan sibuk mematahkan bambu

kecil. Bambu tersebut dipatahkan

dengan tanpa mengakibatkan pecahnya

bambu itu.

“Kang, lihat kekasaran orang-orang itu…!” bisik Saga dengan

gemas.

“Aku tahu,” jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang

ternyata bolong melompong dan tidak

ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol

tangannya. Sulit sekali, namun

akhirnya berhasil. Ujung bambu

terbelah sedikit, itu sudah cukup.

“Kang, apa yang kau lakukan itu?”

“Tenang saja, Saga. Ini nanti

akan menjadi senjata buat kamu…”

jawab Suro seraya ia memandang ke


tanah sekeliling. Saga memperhatikan

dengan heran. Dalam hatinya bertanya—

tanya: bambu kecil, tak lebih dari

sejengkal, bagaimana mungkin bisa

dibuat senjata? Apalagi melawan orang-orang Kepatihan yang berkuda dan

gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini mereka berjumlah sekitar tujuh orang

berkuda, mana mungkin senjata bambu

kecil dan pendek itu bisa dipakai

untuk melawannya?

Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia

meraih selembar pelepah pisang yang

sudah kering. Ia membesetnya, lalu

menggigit-gigit kulit pelepah pisang

itu. Susah sekali, namun akhirnya

berhasil. Ia memperoleh secuil kulit

pelepah pisang yang sudah kering,

namun masih alot. Kulit tersebut

berusaha disisipkan di antara ujung

bambu yang telah terbelah sedikit itu.

Susah, tapi akhirnya berhasil juga.

Saga masih terheran-heran dan

tidak mau banyak tanya, karena di

dalam hatinya juga penasaran: apa

yang akan dilakukan Suro Bodong yang

berambut tak teratur itu? Waktu Suro


Bodong memasukkan bambu itu ke

mulutnya dan meniupnya pelan-pelan,

barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong

membuat sebuah peluit dari bambu

tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong

membongkar lapisan kulit yang dijepit

di antara belahan ujung bambu. Ia

membetulkan letaknya sesaat, kemudian

meniupnya lagi dengan tiupan pelan-pelan. Kemudian ia tersenyum lega

seraya memberikan bambu itu.

“Pakailah sempritan ini sebagai

senjata buatmu,” kata Suro Bodong.

Saga masih heran sekalipun ia

menerimanya.

“Senjata…? Senjata untuk apa

ini?”

“Tiuplah…!”

Saga mencoba meniupnya dengan

pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang

keluar dari peluit bambu itu.

“Mana bunyinya?” tanya Saga

heran.

“Peluit itu sebenarnya berbunyi,

tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang

keluar dari peluit itu cukup tinggi,


di atas pendengaran manusia, sehingga

manusia tidak akan bisa mendengarnya.”

Saga merasa sedang dibohongi oleh

Suro Bodong. Ia benrtaksud

membuangnya.

“Ah, kamu bercanda dalam keadaan

begini, Kang…!”

“Eh, tunggu. Jangan dibuang!

Dengar,ya… peluit ini kuatur

suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang

suaranya tidak bisa kaudengar, sebab

seperti kukatakan tadi, suara peluit

ini di atas daya tangkap pendengaran

manusia. Tetapi hewan apa pun akan

mendengarnya. Dan hewan apa pun yang

mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini

tidak akan disukai oleh hewan apa pun.

Kalau tidak percaya, coba kau tiup

dengan hempasan nafas agak keras.”

Saga melakukan perintah Suro

Bodong, ia meniup bambu kecil itu

dengan tiupan agak kencang. Suro

Bodong melirik ke arah rumah Saga.

Pada saat itu, ada beberapa kuda yang

diikatkan pada pohon, dan ada yang


masih ditunggangi oleh orang-orang

berseragam biru hitam. Kuda-kuda

tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu

kuda, tetapi semua kuda meringkik

saling bersahutan.

“Lihat, kuda-kuda itu meringkik

dan bergetar-getar kakinya. Itu

pertanda suara ini bisa didengar oleh

kuda dan menggelitik telinganya.”

Saga tersenyum bangga. Lalu ia

mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan

meniupnya lebih keras. Tak ada suara

yang keluar dari peluit itu. Namun

kuda-kuda itu semakin meringkik bagai

jeritan, dan kaki depannya terangkat—

angkat. Penunggang kuda kebingungan

dan berusaha mengendalikan hewan

tersebut. Saga tertawa, “Hebat. Kau hebat, Kang!”

Salah seorang berseragam biru

huam berseru, “Hei, ada orang di sana!

Siapa itu?!”

“Gawat! Teriakanmu didengar oleh

mereka, Saga!”


TIGA



SAGA sempat memasukkan peluit

bambu ke dalam kantong bajunya yang

berlengan panjang itu, sebelum orang-orang berseragam biru hitam menangkap

mereka berdua. Suro Bodong dan Saga

berjalan dalam todongan dua orang

bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh

manusia dewasa. Di tiap mata tombak

selain tajam dan berbentuk seperti

ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat

yang bagai ditumbuhi duri itu kira—

kira sepanjang dua jengkal dari mata

tombak. Jika kulit manusia tersentuh

batang tombak bagian tersebut, sudah

pasti akan terluka gores beberapa

baris.

“Apa yang kau lakukan mengintai

kami, hah?!” bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda.

Mungkin dialah pimpinan dari keenam

orang penggeledah rumah Saga itu.

“Kami tidak mengintai,” jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk

kumisnya tebal, bersikap tenang.

“Jangan-jangan orang ini ada

hubungannya dengan Ki Pupus,” seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek tanah di bawah

tiang rumah


belakang.

“Kalau memang benar dia ada

hubungannya dengan Ki Pupus, berarti

dia juga tahu apa yang kita cari,

Brogo!” seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki berewok di atas

punggung kuda.

“Benar, kau ada hubungan dengan

Ki Pupus?!” tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk kumis, Suro

Bodong menggeleng.

“Bohong! Kau pasti ada hubungan

dengan Ki Pupus!” bentak Brogo.

“Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!”

“Ki Pupus itu siapa? Pawang

hujan?!”

Brogo gemas melihat ketenangan

Suro Bodong yang berani bicara santai

sekali di depannya. Ia segera

memerintahkan kepada anak buahnya:

“Ikat kedua orang ini di pohon,

dan cambuk sampai ia mengaku…!”

Dua orang menyeret Saga dan Suro

Bodong ke sebuah pohon kelapa yang

menjulang tinggi. Salah seorang

mengambil cambuk dan tali dari pelana

kudanya. Sedangkan tiga orang yang masih di atas punggung kuda, demikian

juga Brogo yang bersenjata pedang di


pundaknya.

Saga memang mempunyai nyali yang

cukup besar. Dalam suatu kesempatan,

sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan

diri.

“Aku tidak mau…! Aku tidak mau

dicambuk…!”

“Saga…?!” keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan

akan mencelakakan diri Saga. Padahal

Suro Bodong mempunyai rencana sendiri

untuk masalah ini. Tapi kini Saga

telah berhasil lolos dan berlari kian

kemari dikejar-kejar tiga orang,

termasuk si pembawa cambuk dan tali

yang dipakai untuk mengikat tubuhnya.

Salah seorang mengejarnya dengan kuda.

Dan yang lainnya segera membuat

barisan penghalang jalan dengan

menjajarkan kuda mereka di depan Saga.

Sementara itu, tangan Suro Bodong

belum terikat, namun masih dalam

todongan tombak.

Tiba-tiba Saga berguling-guling

di tanah sambil meniup peluit

bambunya. Kontan kuda-kuda


jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan

keras. Para penunggang kuda kewalahan.

Dua di antaranya terjatuh tak tentu

letak. Sementara dua kuda yang salah

satu ditunggangi Brogo meronta-ronta

dengan binal. Brogo terlempar dari

punggung kuda yang meringkik-ringkik.

Kuda-kuda itu mengamuk di tempat

tersebut dengan ringkiknya yang

menjerit-jerit membingungkan mereka.

Saat itulah Suro tersenyum, kemudian

segera menendang orang yang

menodongkan tombak ke arahnya. Orang

tersebut terpana oleh kejadian aneh

itu, maka dengan mudah Suro Bodong

menendang dadanya hingga orang itu

terpelanting jauh memur pohon kelapa.

Orang yang menodongkan tombak itu

hendak melemparkan tombaknya ke arah

Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang

brutal telah menyepak tengkuk

kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah

membentur batu.

Orang-orang Kepatihan itu masih

bingung dan belum mengetahui mengapa


kuda-kuda mereka menjadi mengamuk

seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada

pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu

berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup

peluit bambu. Saga segera berlari ke

arah Suro Bodong.

“Kang, ayo kita lari…!

Lekas…!” Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong

bertahan. Sorangbersenjata tombak

segera berlari menyongsong Suro Bodong

“Cepat cari tempat persembunyian

yang aman…!” perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing bekas rumah

tetangganya yang

sudah terbakar habis.

Suro Bodong melompat pada saat

tombak itu melesat ke arah perutnya.

Sambil melompat, kaki kirinya

menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya

menyusul dengan tombak juga. Tetapi

sebelum orang itu dekat dengan Suro

Bodong, Suro telah lebih dulu

menghantam wajah orang yang mengaduh.

Pukulannya cukup kuat. Orang itu

melintir, dan kaki Suro Bodong segera

menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. “Krak…!” Terdengar bunyi patah dari tulang rusuk itu

yang membuat


orang tersebut makin menjerit dan

jatuh ke tanah kelojotan.

Orang yang baru datang menusukkan

tombaknya ke arah kepala Suro Bodong.

Suro merunduk. Tombak itu menghantam

ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada

bagian leher kirinya. Suro menjadi

telentang. Orang itu menghunjamkan

tombak ke perut Suro Bodong sambil

berteriak,

“Hiaaaat..!!”

Kaki Suro Bodong bergerak bagai

kipas dan membuat tombak yang tinggal

beberapa senti dari dadanya itu

melesat ke arah lain karena

tendangannya. Kemudian Suro Bodong

menggerakkan kedua kakinya ke atas,

memutar, dan dengan punggungnya ia

berhasil melentikkan tubuh hingga

berdiri

“Heaaat…!!”

Suro Bodong berteriak sambil

menendang dalam satu lompatan yang

manis. Baju jubahnya yang terbuka

bagian depan itu berkibar bagai sayap


garuda menghempas lawan. Orang yang

ditendangnya terbatuk-batuk dan

mengeluarkan darah kental dari

mulutnya. Suro Bodong tak memberi

waktu sedikit pun, ia segera menghantam dada orang itu dengan siku tangan

kanannya setelah ia bergerak ke

samping orang tersebut. Siku itu

menyodok keras di ulu hati sehingga

lawannya terbeliak-beliak dan tak

mampu berteriak.

Empat orang sudah berhasil

dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi

tak berdaya karena kakinya patah dan

pundaknya terasa sempal oleh amukan

kuda. Kini tinggal tiga orang

berseragam biru hitam. Mereka

kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu

berlarian tak tentu arah setelah Saga

berhenti meniup peluit. Tinggal ada

satu kuda yang masih terikat tali

kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah.

Brogo berdiri di depan Suro

Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia

terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri

dan yang satu bersenjata tombak,


berdiri di samping kanan kiri Brogo.

Orang yang memegangi tombaknya itu

sudah memar matanya akibat ia tadi

terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga

bisa biru memar.

“Kuingatkan,”

kata Brogo

menggeram. “Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan

dengan Patih Danupaksi, atasan kami

itu di Benteng Cadas!”

Suro Bodong garuk-garuk kumisnya

dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah,

sedikit mendongak dan memandang sinis

kepada Brogo. Suro Bodong berkata

juga:

“Kuingatkan, pulanglah ke

atasanmu dan jangan ganggu kami lagi,

sebelum kalian kubunuh semuanya!”

“Siapa kau sebenarnya, Bajingan!”

“Aku…? Aku bajingan! Seperti

yang kau sebutkan tadi!”

“Bah! Kau belum kenal siapa aku,

kau tak akan berani berkata seperti

itu, Bajingan!”

“Ah, aku tidak perlu punya


kenalan seperti kamu. Untuk apa? Aku

sudah punya banyak kenalan bodoh,

mengapa harus mencari yang tolol

lagi?” kata Suro Bodong seenaknya.

Brogo menggeram dengan mata

melebar m-rah. “Jahanam!”

“Kau juga…!” jawab Suro Bodong kalem.

“Bangsat…!!” teriak Brogo.

“Kau juga bangsat!”

Brogo bernapas terengah-engah

karena amukan amarahnya. Suro Bodong

masih berdiri dengan tenang. Dagunya

sedikit terangkat, matanya agak

menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghidari tatapan mata Brogo.

Ia bahkan berkata:

“Mau apa kau?!”

“Serang…!” teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya.

“Serang…!” teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena

menyadari ia tidak punya orang di

kanan kirinya. “Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah…!”

“Hiaaaat…!”

“Ciaaaat…!” Suro Bodong

berteriak tanpa bergerak. Hal ini

membuat Brogo memandang heran.

Brogo berkata dalam hatinya:


“Jangan-jangan aku berhadapan

dengan orang gila..?!”

Suro Bodong menggerakkan

kepalanya ke belakang dengan badan

melengkung ke belakang. Bola berduri

yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena,

hidung Suro Bodong bisa copot dari

wajah kasarnya.

Suro Bodong segera berguling ke

tanah mendekati pembawa rantai bola

berduri. Lalu dengan cepat kaki

kanannya menendang pinggang orang itu

dan segera ia berdiri lagi dalam satu

hentakan tangan ke tanah. Begitu

berdiri ia disambut oleh hunjaman

tombak orang yang lain. Suro Bodong

terpaksa melompat ke atas dan kakinya

berdiri tepat di atas batang tombak

tersebut. Pemegang tombak terpana

melihat ilmu peringan tubuh yang amat

sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak

yang terjulur ke depan. Orang itu

mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke

kiri, maksudnya supaya Suro Bodong

terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk


itu masih saja tetap berdiri tegak di

atas tangkai tombak. Bahkan kali ini

bergeser mendekati wajah orang

tersebut, dan ia menendangkan kaki

kirinya ke samping. Pinggiran telapak

kaki mengenai wajah orang itu.

“Aaaoow!!”

Orang itu menjerit seraya

memegangi matanya yang satu, yang

tidak memar. Saat itu, Suro Bodong

melompat ke arah lain karena bola berduri menyambarnya lagi. Bahkan kini

bola berduri itu berputar-putar bagai

kipas angin, makin lama makin

mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bodong hendak berguling, namun putaran

bola berduri itu berubah posisi, kini

seperti menyambar bagian atas dan

bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong

berguling ke tanah, ia akan terkena

sambaran bola berduri yang tajam.

Karenanya ia malahan diam di tempat.

Menonton ketrampilan putar bola

berantai panjang sambil garuk-garuk

kumisnya.

Tahu-tahu bola itu meluncur ke

arahnya. “Weess..!” Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola


berduri yang terbuat dari besi itu.

Untung ia sigap dan segera berguling

ke bawah, kendati untuk itu ia

terpaksa mengadu dagunya dengan batu.

Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro

melihat ada kesempatan bagus di

depannya. Tangan musuhnya kebingungan

menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan itu dipakai Suro

Bodong untuk

berguling sekali lagi dan melancarkan

Tendangan Ayam Kawin ke arah paha.

Tujuh kali tendangan beruntun ke

selangkangan. Orang itu menjerit

kesakitan dengan mulut ternganga

lebar. Suro Bodong segera berdiri

tepat kepalanya di bawah dagu orang

itu. Lalu ia menggerakkan pukulan tangan kirinya ke atas.

“Heaah…!!” Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut.

Perut orang itu ada di depan hidung

Suro Bodong. Segera saja perut

tersebut ditebas oleh kedua tangannya

dengan pukulan samping telapak tangan.

Kedua pinggang yang dipenggal oleh

tangan Suro Bodong itu membuat perut

tersebut seperti dijepit besi besar

dan membuat orang itu susah bernapas.


Gerakan berikutnya takberbeda

waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong

menapak di tanah, lalu dia

menggerakkan kakinya ke atas dengan

kuat. Tendangan sambil nungging itu

mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola

berduri, dan kaki Suro mengibas lagi

ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya

berusaha untuk berteriak dengan susah.

Brogo berlagak tenang. Bertepuk

tangan seenaknya dengan senyum sinis

memancarkan kebencian.

“Bagus sekali permainanmu itu,

Kawan…” kata Brogo.

“Ah, sudah lama aku bisa bermain

dengan bagus,” Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat

tertentu di mana Brogo akan

menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk

kumisnya dengan jari telunjuk

“Tapi aku, Brogo… belum tentu

bisa kau buat seperti dia…” kata Brogo seraya masuk selangkah demi

selangkah.

“Ah, itu soal gampang!” kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. “Aku bisa menjagal kebo hutan

kok!”

“Tapi aku bukan kebo, tahu?!”

bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari


punggung.

“Ratusan orang sudah pernah

merasakan kehebatan pedang ini, tahu?!

Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup

lagi.”

“O, ya? Aku belum merasakan.

Coba, kurasakan…!”

Brogo benar-benar panas hatinya,

merasa disepelekan oleh Suro Bodong.

Karenanya ia segera menyerang Suro

Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget.

Suro Bodong tidak main-main terlonjak

kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya.

Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya.

Hanya dengan merubah posisi kaki yang

tanya menghadap ke Brogo, kini kaki

kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang

Brogo molos melalui depan perutnya.

Tangan kanan menghantam

pergelangan tangan Brogo yang

memegangi pedang, dan tangan kiri

melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak

serentak itu membuat Brogo

terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai

sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping dengan mata

melirik Brogo. Jarak


mereka cukup renggang, sehingga untuk

menyerang Brogo perlu melompat dan

bersalto di udara. Ia melayang

melewati kepala Suro Bodong.

“Hiaaaaaat…!!”

Pedang mengibas bagai hendak

membelah kepala Suro Bodong. Tetapi

Suro Bodong justru berguling ke tanah

sehingga jarak itu semakin jauh saja.

“Kau cukup alot, Bajingan!” geram Brogo.

“Memang. Aku sendiri heran,

mengapa aku tidak bisa mencicipi

pedang pembelah kayu bakar itu,” ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk kumis, lalu

tersenyum. Hal itu

menambah kegemasan hati Brogo.

“Rupanya aku tak boleh main-main

lagi denganmu!” kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas.

“Ya. Kurasa jangan main-main.

Pulang saja, nanti emak dan bapakmu

mencarimu, Nak!”

Brogo menggumam dalam geram yang

mata membakar darah. “Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima

jurus Pedang Gunturku ini…!”

“Nah, begitu…! Dari tadi kek

dikeluarkan jurus pedang yang bisa

buat hiburan orang sunatan. Ayo…


jangan sungkan-sungkan…!”

Brogo tidak mempedulikan ucapan

tersebut. Ia segera merendahkan kedua

kaki yang mengangkang. Pedangnya

melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan

kirinya bagai mendorong sesuatu yang

berat dari batas pinggang sampai ke

atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan

kiri itu mengusap tepian pedang dari

pucuk sampai ke tangkainya, lalu

menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan

menebaskan pedang ke arah samping

kanan, ke samping kiri, menarik ke

belakang, dan menusukkan ke depan

dengan satu teriakan keras:

“Heaaaat…!”

“Ziiing…!”

Keluar benang api dari ujung pedang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang

api yang

berpijar merah itu seperti ular sanca

yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro

Bodong kebingungan, karena merasa

aneh. Ia segera melompat ke samping

kiri ketika benang api itu hendak

menembusnya. Tetapi benang api itu

mengejarnya dengan belokan yang tajam.


Benang api yang berpijar-pijar seakan

mempunyai nyawa untuk memburu mangsa.

Brogo tertawa terbahak-bahak

melihat kebingungan Suro Bodong

dikejar benang api yang bergerak

seperti ular sanca. Ia diam saja,

menjadi penonton yang penuh

kegembiraan.

“Mampus kau, Bajingan

tengik…!!” teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak

Suro Bodong berguling ke tanah

beberapa kali, tapi benang api

berpijar itu juga hendak menembus ke

tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu

tak jadi menembus ke tanah setelah

Suro Bodong menghentakkan kaki,

melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu

cepat jalannya, tidak seperti kilat

menyambar. Namun cukup membuat Suro

Bodong kebingungan. Dan jika sudah

kebingungan begitu, ia menjadi panik.

Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus

berbuat apa kecuali berlari pontang

panting menghindari benang api itu.

Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh—


gopoh mendekati pohon untuk

berlindung, benang api itu melesat

tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong

merunduk. Benang api itu lolos lewat

di atas kepala Suro Bodong. Tetapi

benang api itu segera membelok,

kembali lagi menyerang dan mengejar

Suro Bodong, hingga lelaki berperut

sedikit buncit itu tersungkur jatuh

tengkurap karena tersandung akar

pohon.

“Aaooww…!” pekiknya dalam

kebingungan. Ia panik dan benar-benar

gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia

segera mengambil ranting pohon yang

kering. Ketika benang api itu

menyerangnya, ia merunduk dan ranting

itu menjadi sasaran benang api

tersebut. Tetapi justru menimbulkan

ledakan kecil yang apinya merontoki

rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro

Bodong semakin jejingkrakkan sambil

menepak-nepak kepalanya, takut

terbakar. Ia masih berlari ke balik

pohon besar tanpa mempedulikan tawa


Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang

api masih mengejarnya bagai tak kenal

lelah

Saga melihat Suro Bodong

bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan:

“Kang…! Sini…! Sembunyi di

sini…!”

Suro sempat melihat ada tembok

hangus di tempat persembunyian Saga.

Pada waktu itu, benang api muncul dan

hendak menyerang leher Suro Bodong.

Secepatnya Suro Bodong beranjak dari

tempat itu dan berlari ke tempat

persembunyian Saga.

“Tenang, Kang… tenang…!” Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi

dari balik dinding hangus. ‘Tenang,

benda aneh itu tidak dapat mengejarmu.

Dia tidak tahu kalau.”

“Tidak tahu apa?! Lihat, benda

itu menuju ke mari…!” Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar

yang melesat ke arahnya.

“Apa kau tidak punya jurus

simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?” tanya Saga. Dan seketika itu Suro teringat suatu

simpanannya, yaitu sebuah pedang.

Ia segera menarik napas dalam-dalam, kemudian tangan kanannya

menggenggam pergelangan tangan


kirinya. Dan ia segera menghentakkan

tangan kanannya ke depan. Pada saat

itu, tangan tersebut sudah memegang

sebilah pedang putih yang memancarkan

sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir,

pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga

membelalakkan mata memandang pedang

itu dengan perasaan heran bercampur

kagum. Suro Bodong tak sempat memberi

penjelasan apa-apa. Benang api yang

berpijar itu membelok, masuk di balik

dinding hangus. Suro Bodong menggerakkan Pedang Urat Petir ke arah benang

api tersebut. Dan benda itu menempel

pada ujung Pedang Urat Petir. Ia

menempel kaku seperti kawat berpijar,

lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja.

Brogo tidak tahu apa yang terjadi

di balik tembok hangus itu. Tetapi ia

masih tertawa-tawa dengan bangga

sambil berdiri, bersandar pada sebuah

pohon.

“Mau bersembunyi di mana kamu,

Kunyuk?! Mau lari ke mana, hah? Tidak

mungkin kamu bisa lolos dari jurus

Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha,


haaaa….!” Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan.

Tetapi tawa itu menjadi reda.

Diam seketika dengan mata membeliak

lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari

balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu

tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia

mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang

api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini justru tersenyum sambil

menghampirinya.

“Pusakamu cukup hebat, Brogo!

Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan

pedangku ini? Kau bisa menandingi

kehebatannya?”

Suro Bodong semakin mendekat,

Brogo semakin melangkah mundur dengan

tegang. Kalau lawannya kali ini bisa

selamat dari kejaran api Pedang

Guntur, berarti lawan itu bukan orang

sembarangan. Tentu Brogo bukan

tandingannya. Itulah sebabnya Brogo

menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari Pedang Guntur.

“Paman Brogo… bahaya…!” seru seorang yang patah tulang pundaknya.

Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat

serangan dari Suro tadi juga

berteriak:


“Paman Brogo, mari kita

tinggalkan dia…!”

Suro Bodong memandang geli

melihat wajah Brogo ketakutan. Ia

tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati

kecilnya melarang. Hati kecilnya

mengatakan, bahwa ia hanya perlu

memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera

pergi dan tidak mengganggu Saga.

“Brogo… Aku punya sedikit oleh—

oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap

dimakamkan di sini ya, silakan saja.

Nah, terimalah jurus Pedang Colok

ini… Hiaat…! Hiiat… hiaat…

haiat….”

Suro Bodong menghunjamkan

pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya

dengan tenaga kuat. Lalu ia

mengibaskan pedang itu di depan mata

Brogo. Jarak mereka ada sepuluh

langkah, tapi tiba-tiba Brogo

berteriak setelah pedang Suro Bodong

dikibaskan ke samping.

“Aauww…! Aku… aku buta…!

Ooh, aku butaa!!” Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa


perih. Tangannya meraba-raba karena

pandangannya tiba-tiba menjadi gelap.

Ia berteriak-teriak: “Aku butaa…!

Ooh…”

Beberapa orang yang masih mampu

mendekat, segera membantu Brogo untuk

melangkah. Mereka menjadi tegang dan

kebingungan. Suro Bodong berdiri

dengan tenang garuk-garuk kumis

sebentar.

“Mau pulang apa mau mati di sini.

Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh

memilih pulang sambil mati,” kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya

dengan kedua tangan.

“Aku buta, aku tak bisa melihat

apa-apa lagi…!” rintih Brogo.

“Ah, itu tidak lama kok. Tidak

sampai setengah hari kau akan bisa

melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma

jurus penutup mata lawan dalam

pertarungan. Jadi, yah… cuma

sementara saja. Sebenarnya, habis ini

aku harus membunuhmu!”

“Oh, jangan…! Jangan bunuh aku.

Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang.


Ayo, pulang…! Yang sakit bantu

berdiri. Ooh… perih sekali

mataku…!”

Suro Bodong tertawa melihat

mereka sempoyongan kembali ke

Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat

itu, Saga buru-buru keluar dari

persembunyian dan mendekati Suro

Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu,

tapi lidahnya kelu saat melihat Suro

Bodong memasukkan pedang ke dalam

daging lengannya melalui pergelangan

tangan kiri. Dan pedang itu masuk

seluruhnya ke dalam lengan, tanpa

meninggalkan bekas luka setitik jarum

pun di pergelangan tangan tersebut.

Saga tak henti-hentinya berdecak dan

mendesah kagum.

“Kau benar-benar pendekar yang

hebat, Kang Suro.”

“Syukur kalau kau mengakuinya,

Saga. Ah, lupakan saja soal itu.

Sekarang aku ingin bertanya: tadi

mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?”

“Kenal. Aku kenal sekali dengan


Ki Pupus,” jawab Saga.

“Siapa orang itu?”

“Ayahku…”

“O, jadi…? Jadi, Ki Pupus itu

ayahmu? Lantas, kenapa mereka

menangkap dan menawan ayahmu? Mengapa

mereka tampaknya penasaran?”

“Mereka mengira ayahku

menyembunyikan pedang. Mereka tak

percaya kalau ayahku hanya seorang

petani biasa. Ketika ada petir

menyambar-nyambar, banyak rumah di

sini yang terbakar kesamber petir.

Hanya rumahku yang selamat, lalu

mereka mengira hal itu dikarenakan

ayah mempunyai pusaka yang mereka

cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir…”

Suro Bodong terbengong. “Mereka

mencari Pedang Urat Petir? Gila! Untuk apa?! Siapa sebenarnya mereka itu?!”

Saga diam saja, sebab ia tak tahu

bahwa yang dilihatnya tadi adalah

Pedang Urat Petir.


EMPAT


MALAM merambah. Atas pertimbangan

Suro Bodong, mereka tidak tidur di

rumah Saga. Mereka hanya mengambil

beberapa peralatan seperlunya, lalu

pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada

ruang yang menuju ke bawah tanah.

Sebuah ruang rahasia yang ditinggal

mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari

makanan kering. Gula, teh, kopi,

tembakau, ada di situ semua. Agaknya

ruangan tersebut sengaja dibuat oleh

penghuninya untuk menanggulangi

bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati

terbakar ketika rumah itu disambar

petir minggu lalu.

“Aku takut berada di sini, Kang.

Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki

rumah ini sudah mati.”

“Yang sudah mati ya biar saja

mati. Jangan pikirkan,” kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di

tempat perapian. Sebelum masuk ke

tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung

dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar.

“Kalau kau mau tidur, tidurlah.


Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu,

kalau memang ada hantu yang berani

mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu

panggil-panggil hantu, kan?” Suro asyik membolak balik jagung bakarnya.

“Belakangan ini aku jarang bisa

tidur dengan nyenyak, Kang. Aku

memikirkan ayah.” Lalu Saga mengeluh sendiri, “Kasihan ayah… dipenjara tanpa berbuat salah.

Disiksa tanpa

bisa bertindak. Aku ingin sekali

menebus ayah berapa pun mahalnya…”

“Percuma,” ujar Suro pelan.

“Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya.”

Saga yang terbaring mengangkat

kepala. “Tapi, Kang… dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit

Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah

harus ditebus dengan mahal.”

“Bukan ditebus dengan uang,

maksudnya. Melainkan dengan Pedang

Urat Petir…!”

Saga tertegun dalam lamunan

murungnya. Suro Bodong merasa kasihan

ketika melirik Saga. Ia berkata.

“Hanya Pedang Urat Petir yang

mereka butuhkan. Jika mereka sudah

menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu

akan dibebaskan.”


“Tapi ayah tidak punya pedang

itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul,

sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul

Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi

kalau pedang, tidak.”

Suro Bodong tersenyum geli. Ia

manggut-manggut. “Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu

tidak mempunyai pedang itu. Sebab…”

Mulut Suro Bodong berhenti

bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan:

haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir? Ini

yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan

bungkamnya mulut Suro membuat Saga

heran, lalu bertanya:

“Sebab apa, Kang? Kau mau bilang

apa tadi?”

“Hemm… tidak. Aku cuma mau

bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!” Suro memutuskan untuk menjawab begitu. Ia khawatir,

kalau Saga tahu

bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir,

berita itu bisa bocor ke mana-mana.

Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap

berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan

menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir.

“Kang…?”

“Hemm…?!”


“Petir itu apa ada uratnya?”

Pertanyaan polos itu cukup

menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab:

“Mana aku tahu. Aku belum pernah

disambar petir kok!”

Saga manggut-manggut, seakan

serius sekali menanggapi kata-kata

Suro Bodong. Ia bahkan berkata:

“Aku juga belum kok. Waktu rumah

orang-orang disambar petir itu, kok

rumahku tidak disambarnya sekalian,

ya? Apa ayahku itu orang sakti

sehingga petir takut menyambar?!”

“Mungkin. Tapi kalau menu rut

perkiraanku, itu hanya tergantung

nasib kok. Nasib baik ada pada

rumahmu.”

“Aneh sekali, ya?”

“Nasib itu memang serba aneh. O,

ya… di depan rumahmu itu kan ada

pohon kelapa yang tinggi?”

“Iya. Nah, kalau pohon itu malah

ikut tersambar petir, Kang. Cuma,

tidak sampai roboh. Hanya terbakar

bagian pucuknya. Aku melihat sendiri


api yang membakar daun-daun kelapa

itu, Kang.”

“Itu…! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu

petir hendak menyambar rumahmu, ia

sempat mampir dulu ke pohon kepala…

eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau

tidak ada pohon kelapa yang menjulang

tinggi, dan lebih tinggi dari atap

rumahmu, bahkan lebih tinggi dari

pohon-pohon lainnya, oooh… pasti

rumahmu juga ikut kena jatah disambar

petir, Ga. Seperti rumah orang-orang

yang terbakar itu, kan tidak punya

pohon setinggi pohon kelapamu itu.

Iya, kan?”

Saga mengangguk dan termenung

beberapa saat. Suro Bodong mencicipi

salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung,

lalu melemparkan ke mulutnya.

Sementara jagung yang lain dipasang

lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak.

“Kang…” kata Saga lagi,

memecahkan kesuny ian. “Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di

mana?”

“Memangnya mau apa kau?”


“Aku mau mencarinya, lalu

kuserahkan kepada Patih Danupaksi

untuk menebus ayahku “

Suro Bodong diam. Sedikit tak

enak kata-kata itu didengarnya, namun

ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin

membela ayahnya. Wajar saja. Namun,

betapa tenangnya Suro, akhirnya ia

gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya? Akan

digunakan untuk apa? Dan siapa yang

sangat membutuhkannya?

Haruskah ia terlibat terlalu

dalam sampai ke urusan Kepatihan

Benteng Cadas itu? Ah, bukankah ia

punya urusan sendiri? Mencari

kekasihnya yang sangat dirindukan :

Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong

segera ingat bahwa Saga pernah

mendengar nama itu. Mungkin dia suatu

saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu.

Tadi Suro Bodong telah meminta Saga

mengingat-ingatnya, namun tidak

berhasil. Jadi, dia harus sabar

menunggu ingatan Saga, supaya bisa

menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna.


“Haruskah begitu?” pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam

hati, jika aku harus menunggu ingatan

Saga, berarti aku harus membebaskan

ayah Saga dari tawanan orang Kepatihan. Sebab pikiran Saga saat ini

selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan

ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak

ingat tentang nama Ratna Prawesti.

Wah, kacau…. kenapa aku jadi

terlibat ke urusan seperti ini? Kalau

begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya? Menyerang

Kepatihan? Atau mencuri ayah Saga?

Atau… menyerahkan Pedang Urat Petir

ini? Wah… bingung aku. Bagaimana

caranya, ya…?”

Setelah pagi menyingsing, Suro

baru memperoleh keputusan. Langkah

pertama adalah menyelidiki dulu

keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu.

Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti

tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas

itu.

“Kepatihan Benteng Cadas ada di

balik bukit Jati, Kang.” Saga

menjelaskan.

“Kita ke sana, Ga.”


“Wah, berat, Kang. Nanti kita

bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-galak. Dulu, aku ke

sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan

lain, misalnya alasan mau melihat

keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama

penjaga di daerah bukit Jati lho.”

“Kita tidak beralasan begitu,

tolol! Kita bisa mencari jalan lain.

Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga.

Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan

sebagai pencari kayu. Itu saja!”

“Yaah… terserah Kang Suro

sajalah. Aku menurut!”

Jarak antara tempat persembunyian

dengan rumah Saga tidak begitu jauh.

Maka ketika mereka muncul dari ruang

bawah, mereka dapat langsung melihat

keadaan rumah Saga. Hanya terhalang

tembok hangus sedikit, tapi tidak

menyulitkan mata Suro Bodong untuk

melihat sosok tubuh perempuan berdiri

di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi

sudah meninggi. Embun tak tersisa

lagi.

“Perempuan jalang…!” gumam Suro Bodong dalam geram.

Saga mengernyitkan dahi melihat


perempuan berpakaian serba hijau.

Seorang lelaki gemuk ada di samping

perempuan itu Saga juga menggumam:

“Mau apa Kenanga menyambangi

rumahku, Kang?”

“Entahlah…” bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya

bersembunyi di balik tembok hangus.

“Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin

membunuh kamu.”

“Aduh, bagaimana, ya Kang?” Saga cemas.

“Kau diam di sini saja. Biar aku

yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya,” ujur Suro Bodong sambil memetik-metik

biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah

dengan santai. Sesekali melemparkan

biji jagung ke mulutnya. Sesekali

menggaruk kumisnya yang tebal dengan

telunjuk. Saat itu Rogama sedang

memeriksa bagian samping rumah dan

Kenanga masuk ke dalam.

Waktu Kenanga Hijau keluar dari

dalam, Suro Bodong sudah berdiri di

bawah pohon, depan rumah agak

menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon.

“Hai…” sapa Suro Bodong dengan kalem

Kenanga Hijau membelalak waktu

melihat Suro Bodong berdiri sambil


mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap

tenang dan melangkah hati-hati

mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri

juga tercengang melihat Suro Bodong

tersenyum kepadanya. Ia buru-buru

bergabung dengan Kenanga Hijau.

“Rupanya orang gila ini ada juga

di sini, Putri,” jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar.

Kenanga menggumam. “Kurasa dia

setan. Bukan orang gila!”

Suro Bodong masih tenang. Ia

sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia merasa telah

menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik jagung bakar dengan

jempolnya:

“Aku yakin, belum ada seorang

pendekar yang mampu merobohkan kamu,

Kenanga. Kau memang hebat.”

“Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus

melawanku untuk menentukan siapa yang

mati di antara kita. Kau atau aku!”

Suro Bodong memandang arah lain.

Santai sekali.

“Aneh,” katanya. “Baru kubuat tunggang langgang kau sudah merasa

terhina di depan umum. Padahal itu

belum seberapa. Aku hanya sekedar

meluruskan otot-ototku yang pegal.


Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus

dalam keadaan nungging di depan umum.”

“Jahanam, kau!” geram Kenanga.

Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong

segera berkata lagi:

“Jangan banyak lagak di depan

Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak

melihat, namun dia tahu bahwa kau

bukan tandinganku.” Suro memandang Rogama. “Kalau kau mati di tanganku, aku sangat menyesal

membunuh tikus

tanpa daya.”

“Bangsat! Aku bukan tikus!”

bentak Rogama, tersinggung.

“Justru karena kau bukan tikus,

maka aku enggan membunuhmu. Dan

sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku,

Paman. Ada banyak hal yang bisa kau

lakukan untuk membantu rencana

Kenanga.”

“Suro…” geram Rogama. “Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore

itu, dan aku harus membalas sakit

hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!”

“Bodoh,” kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara

pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara.

Ia menyambung kata-katanya:

“Bodoh sekali kau. Menurut


pendapat banyak orang, jika seseorang

ditegur dari kekeliruannya malahan

menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya

kau berterimakasih padaku, karena aku

telah menegurmu, mengingatkan kamu

tentang kekeliruan. Kau keliru kalau

kau melawanku. Maka kemarin sore aku

mengingatkan kamu dengan caraku

sendiri.”

“Sesumbarmu membuatku muak,”

geram Kenanga. “Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan

dekil!”

Dan Kenanga segera mengambil

posisi siap tempur. Ia menarik kaki

kanannya ke belakang dan merendah,

sedangkan kaki kirinya membentuk 90°

di bawah tangan kiri yang menggenggam

kuat menuju ke atas, tangan kanan

diangkat di atas kepala dengan

setengah terlipat. Kaku keras dan

bertenaga.

Rogama sendiri mulai menyisih,

bergerak m-ngepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya

dengan merapatkan tangan kanan ke

depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan


kirinya setengah terulur ke depan

dalam posisi jari yang sama. Ia

bergerak ke arah kanan dengan langkah

pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya

dari depan. Di samping kiri Suro

Bodong, pohon yang dipakainya

bersandar.

Suro Bodong menggaruk kumisnya,

seakan tidak mempedulikan gerakan—

gerakan mereka. Mulutnya masih

mengunyah jagung bakar kesukaannya.

Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan.

Cuek sekali.

“Kalau kau menang melawanku, apa

yang akan kau peroleh?” tanya Suro Bodong kalem.

“Kepuasan!” jawab Kenanga pendek dan ketus.

“Kalau aku menang melawanmu, apa

yang akan kuperoleh? Apa kau

menyediakan hadiah untukku?”

“Kalau kau menang…” Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan

ia berkata lagi, “Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai… terserah

kamu.”

“Apa kau pikir aku punya nafsu

denganmu?!” Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah

mukanya.


“Kuremukkan seluruh tulangmu,

hiaaat…!!” Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti burung rajawali

mencakar mangsanya.

Suro Bodong masih berdiri agak

miring, pundaknya bersandar pada

batang pohon. Ia menggerakkan tangan

kanannya yang tidak memegangi jagung

bakar. Tenaga dalam disalurkan dari

tangan dan menghentak ke depan.

Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong

ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali.

“Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk

menandingi orang seperti aku.

Percayalah!”

“Tidak ada istilah damai bagi

Kenanga,” Rogama menyahut dari

samping. “Juga bagi aku…

Hiaaat…!!”

Rogama menendang dengan tendangan

samping ke arah kepala Suro Bodong.

Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam

kaki Rogama dengan satu pukulan tak

bertenaga. Dan ternyata hal itu

membuat Rogama

terpental beberapa

langkah ke belakang. Memang tidak


jatuh, namun cukup terhuyung-huyung.

“Apalagi kamu, Paman…!” ujar Suro tetap santai, belum merubah

posisi berdiri yang miring ke pohon.

“Ilmumu dengan Kenanga tidak ada se-kuku hitamnya. Ibarat pengantin baru,

kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar

tenaga miskin!”

Kenanga bersiap menyerang Suro

Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi

Suro Bodong menyentilkan biji jagung

bakar dan mengenai tangan Kenanga.

Kenanga mengaduh sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena

sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong

menyalurkan tenaga dalamnya yang

sempurna ke biji jagung itu, sehingga

ketika mengenai tangan Kenanga,

rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali.

Suro Bodong melemparkan beberapa

biji jagung ke mulutnya. Sambil

mengunyah ia berkata kepada Kenanga:

“Kenapa kau menyukai permusuhan,

Kenanga? Biasanya, seorang perempuan

menyukai suasana damai dan tentram.

Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal.

Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya

tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku,


Kenanga!”

“Aku memang bukan perempuan

sembarangan. Aku berbeda dengan

perempuan yang pernah kau kenal.”

Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. “Aku

memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!”

“Untuk apa? Aku punya banyak

kenalan pendekar gagah!”

“Untuk menolongku.”

“Kau dalam kesulitan?”

Sementara waktu, Kenanga diam. Ia

melirik Rogama, dan Rogama yang

agaknya sebagai penasihat Kenanga itu

diam saja. Rogama bahkan buang muka,

lalu tangan kanannya bersandar pada

batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa yang ingin

dilakukan Kenanga. Sebab

itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:

“Aku memerlukan sebuah pedang.”

“Kau sudah punya pedang, bukan?”

“Lain…” jawab Kenanga setelah ragu sebentar. “Hanya pedang itu yang bisa lengket melekat di

pedang

Jatayuku ini,” Kenanga memegang gagang pedangnya. “Dan pedang yang kucari itu hanya ada pada

seorang pendekar gagah

perkasa.”

“Sebab itu kau menantang setiap

pendekar untuk menjebak pedang yang


kau cari itu?!”

Kenanga mengangguk Suro Bodong

berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya

turun.

“Pedang apa yang kau cari itu?

Mungkin aku bisa membantu

mencarikannya tanpa kau menantang—

nantang permusuhan dengan orang yang

belum tentu punya pedang itu?”

Kenanga kelihatan mendesah. Ia

bertolak pinggang dan memandang jauh

ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro

Bodong dan berkata ketus:

“Apa kau bisa kupercaya?”

“Dalam hal apa?”

“Rahasia pedang yang kubutuhkan?”

“Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!” jawab Suro Bodong dengan santai, tetap

memetik-metik

biji jagung lalu memakannya.

“Siapa kau sebenarnya?” Kenanga mulai lunak.

“Suro Bodong!”

“Dari mana asalmu?” Kenanga penuh selidik.

“Aku selalu terpojok dengan kata-kata itu. Aku selalu tidak bisa

menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku

dan siapa aku sebenarnya.”

Suro Bodong merasa tak enak


ketika Kenanga memandangnya dengan

berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia

buru-buru berkata:

“Jangan tanyakan dulu soal itu.

Tanyakanlah dulu apakah kau akan

berhasil bekerjasama denganku atau

tidak.”

“Menurutmu, bagaimana?” Kenanga ganti bertanya.

“Kalau kau jujur, aku akan

berusaha menjadi orang jujur. Nah,

sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?”

Setelah termenung sebentar,

Kenanga pun menjawab:

“Pedang Urat Petir…!”

Tersentak hidung Suro mendengar

jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir

sejenak. Ia mengumpat dalam hati:

“Monyet…! Lagi-lagi orang yang

menghendaki pedangku! Untuk apa sebenarnya? Dan mengapa harus pedangku

yang mereka butuhkan?”

Karena Suro Bodong diam, Kenanga

mempunyai gagasan lain:

“Aku yakin kau akan kebingungan.

Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan.

Tetapi percayalah, aku pun seperti


kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa

pemiliknya? Di mana letaknya? Itu

semua belum kuketahui. Sebab itu,

hanya satu cara untuk mengujinya,

yaitu: pedang tersebut akan lengket

bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya

aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu

yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa

melepaskannya.”

Termenung Suro, namun tetap saja

mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama

memperhatikan Suro Bodong

dengan

berkerut dahi, menyimak sikap dan

jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun

Suro Bodong tahu, tapi ia tidak

peduli. Ia tetap menampakkan

ketenangannya yang santai sekali.

Kenanga bicara dengan tegas, “Kau tak sanggup, bukan?”

“Kalau aku sanggup, bagaimana?”

“Kau bebas dari ancaman matiku.

Tapi kalau kau gagal, kau harus

kubunuh. Tak ada istilah teman atau

perdamaian jika kau gagal mendapatkan

pedang itu.”


Suro Bodong tersenyum sinis,

berjalan mendekati Kenanga sambil

memetik-metik biji jagung bakar. Ia

berhenti di depan Kenanga,

memandangnya dengan lagak angkuh dan

berkata dengan tegas pula:

“Kalau aku berhasil, kau yang

akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana?

Setuju?”

Kenanga merasa tak suka dengan

kata-kata itu:

“Jadi untuk apa kau membantuku

mencari pedang itu?”

Suro tertawa pendek. “Aku hanya

mengujimu; kau ternyata takut padaku!”

Suro melebarkan tawa. “Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!”

“Sepuluh hari! Hanya ada waktu

sepuluh hari. Lebih dari itu, kau

tidak punya kesempatan untuk hidup.”

Setelah itu ia memberi isyarat kepada

Rogama agar pergi dari situ. Suro

Bodong hanya tersenyum sinis seraya

memandang kepergian Kenanga dan

Rogama.

“Kang…!” Saga berlari


mendekatinya. “Bagaimana, Kang? Dia menyerah kalah?”

Suro Bodong masih memandang ke

arah menghilangnya Kenanga dan Rogama.

“Ternyata dia punya tujuan yang

sama dengan orang-orang Kepatihan,

Ga.”

Saga berkerut dahi. “Jadi, dia

juga mencari Pedang Urat Petir juga?”

tanya Saga meyakinkan.

“Ya. Dan aku menjanjikan untuk

membantunya.”

“Kenapa begitu? Apakah…”

Suro memotong, “Untuk keamanan

kita sementara ini, Ga. Dengan cara

itu dia mau pergi dan tidak memburu

kita. Bukankah saat ini kita masih

punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu

dari tawanan patih Danupaksi?”

Saga manggut-manggut.

“Aku

mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak

orang yang membutuhkan Pedang Urat

Petir? Seperti apa pedang itu dan

untuk apa sebenarnya, kok laris amat?

Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang


dan bilang bahwa itu Pedang Urat

Petir, Kang?”

Suro menggeleng, masih memandang

ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata,

“Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga.

Apabila melekat erat di pedang Jatayu

milik Kenanga itu, maka mereka akan

percaya bahwa pedang tersebut adalah

Pedang Urat Petir.”

“Kita bikin pedang, terus kita

beri sagu cair, sebagai lem, supaya

bisa melekat di pedang Kenanga. Kan

bisa?”

Suro Bodong tertawa pendek dan

pelan. Ia mengusap rambut anak muda

itu seraya berkata:

“Itu kan pikiran bayi. Jangan

berpikir model bayi kalau kau ingin

menjadi dewasa. Berpikirlah model

orang tua!”

Suro Bodong melangkah. Saga

berseru, “Kita jadi pergi ke

Kepatihan, Kang?”

Suro mengangguk. Lalu ia merenung

sebentar dan segera berkata, “Tunggu di sini dulu, ya…?!”


Suro Bodong pergi ke arah

belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata

mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak

pernah benar. Di belakang rumah Saga

tempatnya sepi, dan Suro melakukan

sesuatu tanpa dilihat siapa pun.

Tubuh Suro Bodong melayang di

udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai

saja Saga melihat, pasti ia akan

terheran dan tidak percaya dengan

penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro

Bodong mengalami perubahan total. Ia

menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan

Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu

Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro

Bodong jika bertarung jarang bersalto

di udara, sebab hal itu dapat merubah

ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara.

Namun apabila ia berguling dengan

posisi tubuh menyentuh tanah atau

dasar apa pun, maka ia tidak akan

mengalami perubahan ujud yang sangat

ajaib itu.

Saga kaget sewaktu melihat ada

anak kecil keluar dari balik belakang


rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu.

Bercelana hitam dan telanjang dada,

berkalung slepetan atau ketapel,

berambut cepak, pendek namun tidak

terlalu acak-acakan. Matanya

jeli,

alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan

seperti dia.

“Hei, siapa kamu?!” tegur Saga.

“Tole…” jawab anak itu. “Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng

Cadas. Ayo…!

Saga tertegun dalam keadaan

bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu

bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya

pergi ke Kepatihan?

“Ayo…! Kok malah bengong?!”

kata Tole.

“Tunggu, aku sebenarnya akan

pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!”

Tole mendekat dan berbisik, “Aku

Kang Suro…!”

“Kau…?!”

“Tenang saja. Ini caraku untuk

mengelabui para penjaga batas wilayah

Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita


berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?”

“Tunggu dulu. Aku masih belum

mengerti mengapa Kang Suro bisa

menjadi sekecil kamu?!”

“Aku bisa berubah sampai tujuh

kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah,

sudah, mari kita berangkat. Nanti

kujelaskan di perjalanan…!”


LIMA


SURO BODONG berhasil menyusup ke

Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama Saga, seperti kakak

beradik yang

sedang menikmati keramaian kota

Benteng Cadas. Istana Kepatihan

terletak di belakang alun-alun. Di

sepanjang pinggiran alun-alun ada

banyak penjual makanan, kedai dan

kios-kios tembakau. Bahkan beberapa

bangunan sedang dibangun di tengah

alun-alun. Konon, nanti malam akan

dimulai perayaan Warsa Panen dengan

diadakannya pasar malam di alun-alun

tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng

Cadas mempunyai pesta adat setiap

tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu

mengadakan syukuran berupa perayaan

Warsa Panen.

“Ini sangat kebetulan, ya Kang?”

kata Saga yang tetap memanggil Tole

dengan sebutan ‘Kang’, karena dia

masih menganggap didampingi Suro

Bodong.

“Kelihatannya


memang kebetulan.

Namun ini sebenarnya sedikit

menyusahkan kita, Saga,” jawab Tole.

“Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan

dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa

kita berdua dianggap pengacau, lalu

dituntut oleh rakyat untuk digantung.”

Anak kecil jelmaan Suro Bodong

itu diam merenung di bawah pohon, di

pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui

rencana mereka, sebab mereka tidak

ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak

adiknya bermain di tempat itu. Wajah-wajah mereka pun menampakkan wajah

polos tanda bebas dari suatu rencana

khusus.

“Apa yang akan kau lakukan,

Kang?” tanya Saga.

“Tunggu malam. Aku akan masuk ke

dalam benteng Kepatihan, dan kau

menunggu di samping warung itu,” Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu

mengajak ke sebuah warung. Di samping

warung itu ada pohon besar yang

rindang. Di samping warung itu juga

ada jalan menuju persawahan, yang

menurut pengamatan Tole dapat membawa


mereka ke luar dari wilayah Kepatihan.

“Kang,” Saga bicara pelan.

“Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para

prajurit berseragam biru hitam.”

“Sebab itu aku akan masuk lewat

jalan lain. Aku tidak ingin membuat

suasana menjadi gaduh sehingga rakyat

banyak yang mengetahui rencana kita.

Aku akan masuk setelah gelap malam

tiba, dan kau segera ke warung itu.

Kalau aku datang sambil membawa

ayahmu, kau harus cepat berlari di

belakangku. Mengerti?”

Saga mengangguk. Sementara itu,

beberapa prajurit berkuda sedang

mengadakan patroli keliling alun-alun

dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam.

Umbul-umbul dipasang di sepanjang

jalan menuju alun-alun dan di sekitar

alun-alun sendiri.

Sekali pun Suro Bodong telah

menjadi anak kecil, namun ia masih

sanggup merobohkan para penjaga di

pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan

kacau balau. Karenanya, ketika malam


telah menjelma, Saga segera

diperintahkan untuk ke samping warung.

Mereka berpisah. Dan satu hal yang

sedikit menguntungkan mereka adalah

pelaksanaan pasar malam itu, yang

ternyata bukan malam ini sangat

melegakan hati Tole, sebab andai

terjadi suatu keributan, tak banyak

masyarakat yang mengetahuinya.

Tole berjalan ke samping bangunan

batu yang tinggi. Ia berjalan sambil

menyelidiki kemungkinan untuk bisa

masuk ke dalam benteng tersebut. Di

setiap sudut, di bagian atas benteng,

terdapat rumah jaga dengan masing-masing satu prajurit yang siap dengan

panah di tangan.

Benteng itu cukup rapat. Selain

tinggi dan keras, juga tak mungkin

dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu

sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole

saat itu bersembunyi di balik tumbuh—

tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas

perut orang dewasa, sehingga dengan

jongkok di bawah tanaman tersebut,

Tole dapat melihat beberapa orang


patroli berkuda yang mondar-mandir di

sekeliling benteng.

Tole memutar otak, bagaimana

caranya masuk ke dalam benteng?

Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain

cepat diketahui penjaga, juga

kemiringan tembok benteng batu cadas

itu sangat membahayakan jika dipanjat

tanpa tali.

Setelah malam kian sunyi, Tole

mempunyai gagasan lain. Ia mencari

tempat lebih tersembunyi, yaitu di

seberang benteng, di antara tanaman

pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas

yang ada di rumah jaga atas benteng

berseru sambil menaikkan obor besar

yang selalu ada di kanan kiri rumah

jaga itu.

“Hei, anak kecil…! Mengapa

malam-malam

begini masih ngeluyur?

Ayo, pulang…!”

“Ya, Paman…! Ini saya sedang

mau pulang…!” sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan.

Waktu Tole sudah sampai di balik


pagar halaman, ia segera bersiap-siap.

Tempat di situ cukup gelap, karena

obor atau pelita yang ada di pinggir

pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan

Tole.

Tubuhnya yang kecil segera

melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah

memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka

tubuh kecil itu telah berubah. Bukan

menjadi Suro Bodong seperti semula,

melainkan berubah menjadi perempuan

cantik, lengkap dengan dandanan serta

kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah

lutut. Kain berwarna putih dengan

corak batik lereng coklat itu menutup

tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis

berwarna kuning gading. Rambutnya

panjang, diurai

lepas

sebatas

pinggang. Namun ia buru-buru

menggulungnya asal jadi. Menyisakan

sedikit rambut di bagian pelipis yang

terjulur ke bawah sampai di leher.

Dengan rambut digulung begitu,


lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya

yang tertutup kain itu juga sekal dan

menjadi daya tarik yang melemaskan lu

tut lelaki.

Suro Bodong telah berganti ujud,

menjadi perempuan cantik yang

menggairahkan. Matanya yang bulat

bening itu melirik ke atas sewaktu ia

berjalan di samping benteng.

Gemerincing gelang perak di tangannya

terdengar memecah sunyi. Ia sengaja

berjalan agak cepat dan memancing

suara gelang ketika melewati bawah

rumah jaga di atas benteng.

Pancingannya berhasil membuat

lelaki penjaga pos itu memandangnya.

Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan

diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki

penjaga pos itu semakin membelalak

ketika kain penutup menyingkap,

membuat paha perempuan itu terlihat

menggairahkan di bawah temeramnya

lampu penerang jalan. Lelaki penjaga

pos itu menelan ludahnya beberapa

kali, kemudian ia berseru:


“Ada apa, Yu…?”

“Oh, tolonglah aku, Kang…

Tolonglah aku…!” Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan

cantik itu ternyata juga berubah,

persis suara perempuan biasa.

“Ada apa, hah? Kenapa Mbakyu

sampai jatuh begitu?”

“Aku… aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh

tolonglah… Dia tahu kalau aku lari

ke sini…”

Setelah menimbang sesaat, lelaki

penjaga rumah intai itu mengulurkan

tangga tali.

“Naiklah ke mari…! Lekas,

sebelum teman-temanku melihatnya…

Ayo, naik…!” Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya

seakan serak. Dan perempuan berkebaya

tipis warna kuning gading itu buru-buru berusaha naik ke tangga tali. Ia

berlagak mengalami banyak kesulitan.

Lelaki penjaga sudut benteng segera

menariknya, sehingga ia berhasil

memegang tangan perempuan itu dan

mengangkatnya ke atas benteng.

Jarak dari sudut benteng ke sudut

yang lain cukup jauh, sehingga apa


yang dilakukan lelaki berkumis tipis

itu tidak diketahui temannya. Ia

segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana

ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata

dalam hati, “Lumayan… bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang

dingin seperti ini. Wouw… cantik

juga dia?!”

“Siapa namamu, Yu?” tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai

punggung perempuan jelmaan Suro

Bodong.

“Kok tanya nama segala?”

“Kamu kan sudah kutolong dari

kejaran orang yang ingin memperkosamu.

Masa tak boleh aku mengetahui namamu,

anggap saja sebagai hadiah”

Perempuan itu berlagak tersenyum

malu. “Namaku… Arum.”

“Arum…?”

Perempuan itu mengangguk. “Arum

Sajen…”

“Arum Sajen…? Oh, bagus sekali

namamu.” Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari

mengelak lambat. “Kau tidak ingin mengetahui namaku?”

“Ah, untuk apa, Kang…? Karena

sebentar lagi kau akan sekarat…!”


“Hah…?!” Lelaki itu mendelik.

Selain kaget juga karena tangan kanan

Arum Sajen segera memukul keras ulu

hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika

lelaki itu menunduk mules. Dan tak

berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara.

Tanpa membuang waktu, Arum Sajen

segera

menuruni tangga batu yang

menuju ke lantai dasar. Tangga batu

itu meliuk seperti tubuh ular

merambat. Begitu ia sampai di lantai

dasar, ternyata ia berhadapan dengan

rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi

prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada

orang prajurit berseragam biru hitam

yang sedang berbincang-bincang di

depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen turun dari tangga

penjagaan.

“Hei, siapa kamu?!” bentak salah seorang.

Arum Sajen mendekat dengan

senyumnya yang manis. Kedua prajurit

saling beradu pandang. Dan pada saat

itulah kedua kaki Arum Sajen melayang

cepat, menendang kedua prajurit tersebut. Yang satu terpental karena

dadanya terkena tendangan kaki kanan,


yang satunya lagi terhuyung-huyung

karena wajah terkena tendangan kaki

kiri. Namun keduanya segera mencabut

pedang dari pinggang masing-masing.

“Hiaaaaat…!!” teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang

terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia menendang ke arah

samping Arum Sajen,

namun pedangnya ditebaskan ke arah

tubuh Arum.

Karena sudah terbiasa gerakan

Suro Bodong, maka Arum Sajen pun

mengguling di lantai ke arah

berlawanan dengan datangnya pedang

lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di

bawah kaki prajurit lain, yang tadi

terpental karena tendangan kaki

kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam

keadaan telentang. Tendangan itu

begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang

kesakitan dan susah bernapas. Arum

buru-buru bangkit dan memukul dada

orang itu dengan teriakan seorang

wanita. Pukulan ganda dengan tangan

kiri-kanan yang cepat itu membuat

lawannya terpelanting lagi.

“Kurang


ajar

kau, Perempuan

busuk…!!” seru prajurit di

belakangnya seraya mengibaskan pedang.

Arum segera merundukkan badan ke arah

samping. Lalu ia membalik dengan satu

tendangan keras yang membuat tangan

lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya

jatuh, dan

Arum menjadi semakin

lincah.

Melihat banyak prajurit yang

berlarian ke tempat kejadian, Arum

Sajen tak ada pilihan lain untuk

segera merubah. Ia bersalto ke depan

satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1,

yang dapat merubah ujudnya secara

otomatis menjadi Suro Bodong lagi.

“Hah…?! Berubah menjadi

lelaki?!” pekik prajurit yang

pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan.

Ia hendak melarikan diri, namun Suro

Bodong segera melayang dengan cepat,

kaki kanannya lurus ke samping dan

mengenai punggung lelaki yang hendak


lari.

Beberapa prajurit mulai mengepung

Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh.

Suro Bodong garuk-garuk kumisnya

sebentar, lalu bersiap menyerang

mereka. Tetapi seorang prajurit

berseragam lain, mengenakan penutup

dada dari bahan tebal warna merah,

muncul sambil menenteng Saga.

“Menyerah, atau anak ini

kubunuh!”

Mendelik mata Suro Bodong melihat

Saga tertangkap. Ia meludah dengan

jengkel dan memandang garang kepada

Saga.

“Bocah goblok…”

“Maaf, Kang. Aku mengintip di

pintu gerbang dan nekad ingin masuk.

Tapi tertangkap. Kukira kau pergi

meninggalkan aku dan…”

“Diam, Monyet!” bentak Suro

Bodong dengan jengkel.

“Hei, yang berhak membentak dia

aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya

tentang rencanamu, sebab dia takut


kubunuh. Ha, ha, ha…!”

“Bocah sinting…!” bentak Suro Bodong kepada Saga.

“Diam!” bentak penjaga gerbang.

“Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!”

“Aku juga berhak! Aku yang

membawanya ke mari dan yang mempunyai

rencana seperti ini! Dia tidak ada

dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan

membentaknya!”

“Tapi kamu dan dia sekarang

menjadi tawanan kami, jadi kamilah

yang berhak membentaknya!”

“Tapi kepada dia aku juga berhak

membentaknya!”

Salah seorang prajurit berseru,

“Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya

mereka segera dibawa menghadap Gusti

Patih Danupaksi…!”

“Tunggu…” kata seorang prajurit lagi. “Sekarang ini, di Paseban sedang ada pertemuan penting. Gusti

Patih

Danupaksi tidak bisa diganggu.”

Suro Bodong menyahut, “Kalau

begitu, tangkap saja aku nanti.

Sekarang biarkan aku lepas. Nanti

kalau patihmu itu sudah selesai

mengadakan pertemuan, baru kalian


tangkap lagi aku! Bagaimana!”

Seseorang menendang kepala Suro

Bodong dengan gemas dari belakang.

Suro berontak dan marah. Ia hendak

menyerang orang itu, tetapi penjaga

gerbang berseru:

“Kau bergerak, kuhabisi nyawa

anak ini!”

Suro Bodong

berbalik, dan

mendekati penjaga gerbang.

“Hei, kalau soal menghabisi

nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa

anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi

nyawaku kalau kau memang doyan makan

nyawa?! Ayo…!” Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu

mundur. Cemas. Yang lain siap

mengacungkan tombak ke punggung Suro

Bodong. Saga masih dicengkeram kuat

oleh penjaga gerbang. Suro Bodong

menyempatkan diri menampar Saga.

“Plaak..!”

“Gara-gara kamu yang bodoh,

keadaan jadi kacau! Rencana jadi

buyar. Cuih…!” Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya


salah meluncur ke dada penjaga

gerbang.

“Kurangajar…! Berani kau

meludahi aku, ya?”

Tombak semakin merapat di leher

Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja

jarak tombak dengan leher. Sekali

serbu, pasti leher Suro akan bolong.

Dalam todongan lebih dari lima

tombak menempel di leher, Suro Bodong

dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak

ketinggalan, Saga juga diseret ke

depan patih berambut putih.

“Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?”

tanya Patih Danupaksi.

“Bagaimana aku bisa menjawab

kalau ditodong sekian banyak tombak?”

kata Suro Bodong mencnangkan sikap.

“Kurasa tombak-tombak ini tajam,

bukan?”

Dengan wibawa yang ada, Patih

Danupaksi memberi aba-aba dengan

anggukan kepala kepada para

prajuritnya. Lalu mereka menyingkir

dari samping kanan kiri Suro Bodong.


Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman

pucuk-pucuk tombak, namun beberapa

prajurit tetap disiagakan di

sekeliling ruang pertemuan itu. Saga

ada tak jauh dari Suro Bodong,

sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri

dengan tegap, kedua kaki

terenggangkan,

memandang Patih

Danupaksi yang duduk di dampar

kepatihan.

“Kuulangi lagi, siapa engkau

sebenarnya, sehingga berani-beraninya

masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?”

tanya Patih Danupaksi ingin

memperjelas laporan prajuritnya tadi.

“Namaku, Suro Bodong!” jawab Suro dengan tegas, namun masih saja

sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal.

“Aku baru sekali ini mendengar

namamu, Suro Bodong.”

“Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih Danupaksi. Benar itu

namamu,

kah?”

Patih Danupaksi mengangguk dengan

tenang, namun masih kelihatan

berwibawa. “Lalu apa tujuanmu ke


mari?”

“Pertama, mencari seorang gadis

yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau

kenal dengannya?”

“Tidak.”

Suro Bodong manggut-manggut.

“Kalau begitu, kapan-kapan jika

kekasihku itu sudah kutemukan, kau

akan kukenalkan dengannya. Supaya

kenal!” Suro Bodong

melirik ke

sekeliling. Ternyata ada Brogo segala

di situ. Lelaki brewok yang menjadi

pimpinan penggeledahan di rumah Saga

itu duduk bersila di dekat lelaki

muda, bertubuh tegap dan berwajah

bersih. Ada codet di ujung alis mata

kirinya. Ia memandang sinis kepada

Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak

menanggapi sikap tersebut. Ia berkata

lagi kepada Patih Danupaksi setelah

menggaruk kumisnya satu kali.

“Kedua, aku ke mari untuk

mengambil Ki Pupus. Kau salah duga

Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani


biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya dengan kata-kataku

itu!”

Patih menggut-manggut. “Aku

percaya,” jawabnya tegas dan

berwibawa. “Dan sekarang pun aku

memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah

anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus

pulang sekarang juga!”

Suro Bodong berkerut dahi, merasa

heran. Mengapa semudah itu Patih

Danupaksi mau mempercayai kata-katanya?

“Kenapa kau beranggapan seperti

itu, Patih Danupaksi?” tanya Suro Bodong dengan polos.

“Sebab… Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang

kita bicarakan untuk saling ditukar.

Aku mendapatkan Pedang Urat Petir

tanpa harus memiliki.”

Suro Bodong masih terheran-heran.

Matanya memandang tajam pada Patih

Danupaksi seraya sesekali menggaruk-garuk kumis. Ia membiarkan penguasa

Kepatihan itu bicara lebih banyak,

sebelum segalanya akan dipertanyakan

“Suro Bodong, percayalah… aku

tidak punya tujuan jahat kepada Ki

Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku

akan menjamin hidupnya, dan kehidupan


keluarganya sepanjang umur.

Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau

tidak menganggapku orang serakah atau

jahat… bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi

orangnya.”

Semakin tajam lagi kerutan di

kening Suro, dan hal itu membuat

Danupaksi berkata:

“Kau pasti heran, bukan? Tapi

memang begitulah kenyataannya, Suro

Bodong. Aku membutuhkan orang yang

memiliki Pedang Urat Petir untuk

kukawinkan dengan anakku…!”

“Gila!” Suro Bodong nyaris

terpekik dengan melotot. Tapi tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik

yang berseru:

“Tidak! Itu tidak gila, Suro

Bodong…!”

Semakin membelalak mata Suro

Bodong setelah mengetahui bahwa gadis

itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan

yang mengenakan pakaian serba hijau

itu mendekati Patih Danupaksi dan berkata kepada Suro Bodong:

“Ayahku bukan orang gila, Suro.

Dia punya alasan. Kami semua punya


alasan khusus mengapa aku harus

dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat

Petir…!”

“Tapi… tapi…” Suro gugup.

“Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku… aku…”

Beberapa orang, termasuk beberapa

prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang

tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa

cukup pendek-pendek saja. Ada yang

tersenyum sinis, dan ada yang

menggumam dalam tawanya. Suro Bodong

menjadi gerogi serta malu, merasa

menjadi badut yang pantas

ditertawakan. Tetapi ia tetap

berpegang pada prinsip:

“Aku tidak mau…! Bagaimana pun

juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku

sudah punya kekasih sendiri: Ratna

Prawesti. Itu kekasihku yang sedang

kucari-cari…!”

“Suro Bodong…!” sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang

tinggi. “Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro.

Jangan salah dengar. Aku hanya akan

mengawinkan anak gadisku ini, dengan

pemilik Pedang Urat Petir.” Danupaksi menegaskan lagi. “Pemilik Pedang Urat Petir! Bukan dengan

kamu!”


Ada kejanggalan yang begitu tajam

dirasakan di hati Suro Bodong. Ada

keanehan yang sangat mengusik

pikirannya. Lalu ia bersikap tenang,

manggut-manggut sebentar, garuk-garuk

kumis sebentar, setelah itu baru

bertanya:

“Siapa pimilik Pedang Urat Petir

itu?!”

“Raden Pujo! Pendekar Pedang

Petir…!” seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan

Suro dengan lelaki bertubuh kekar,

mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung

alis kirinya.

Suro Bodong sebenarnya terkejut

sekali, tapi dia bisa mengendalikan

diri untuk tenang dan bersikap biasa—

biasa saja. Ia memandang Raden Pujo

yang duduk dengan dada tegap di

samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik

emas itu memegangi pedang. Sarung dan

gagangnya terbuat dari gading gajah.

Gading itu bergaris melintang dari

atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu

menggenggamnya dengan tangan kiri.


Ikat kepalanya yang berwarna loreng

zebra membuat Raden Pujo menampakkan

kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan.

“Apakah kau yakin bahwa pedang

itu tidak palsu, Patih?” tanya Suro Bodong seperti malas-malasan.

“Tidak mungkin,” sahut Brogo yang dari tadi diam saja.

“Ya, tidak mungkin,” tambah patih Danupaksi. “Kami sudah sama-sama

menyaksikan sendiri, pedang yang ada

di tangan Raden Pujo itu, sungguh

Pedang Urat Petir.”

“Dari mana bisa tahu begitu?”

desak Suro Bodong dengan hati-hati.

Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun

menjelaskan:

“Selain dilihat begitu saja,”

patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, “Juga dilihat isinya, orang akan yakin, bahwa itulah

Pedang Urat

Petir.”

“Boleh dibuka di sini untuk

meyakinkan dia, Ki Patih?” kata Brogo dengan sopan.

“Silakan, supaya Suro Bodong

tidak penasaran.” jawab Danupaksi.

Raden Pujo mencabut pedangnya,

dan para prajurit yang berada di

pinggiran ruang pertemuan itu

menggumam kagum. Pedang itu


mengeluarkan asap dan percikan—

percikan api yang berkerlip-kerlip

seperti loncatan petir di waktu malam.

Raden Pujo berkata kepada Suro

Bodong, “Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu

sekarang juga, Suro Bodong.”

Suro Bodong hanya garuk-garuk

kumis, seperti orang bingung. Ia

berkata pelan tapi jelas:

“Kurasa tidak.” Suro Bodong

melirik Kenanga dan Patih Danupaksi.

“Siapa orang ini sebenarnya, Patih?

Darimana kau memungutnya?”

Raden Pujo menggeram dan hendak

mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro

Bodong, tetapi Brogo mencegahnya.

Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi:

“Dia temanku! Teman seperguruan

yang sudah lama bertapa di bawah

lereng Lawu!”

“Aku tidak yakin,” kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera

memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama.

“Aku tidak yakin dengan pedang

itu!”

“Jangan bicara selancang itu,


Suro,” bisik Danupaksi.

“Beri aku kesempatan untuk

mencelikkan mata hatimu, supaya kau

dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu.”

Danupaksi memandang Kenanga.

Mereka saling tatap sejenak, kemudian

Suro buru-buru berkata:

“Ini sebuah tipuan! Raden Pujo

membayar mahal kepada paman Brogo

supaya dia bisa mencicipi keperawanan

Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya

seperti ini!”

“Lancang betul mulutmu, Suro.

Hiaaaat…!” Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro

Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang,

pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya

digaruk dengan telunjuk, dan ia pun

membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah.

“Hei, mau ke mana kau, Biadab?”

bentak Raden Pujo yang merasa terhina

mentah-mentah. “Berhenti! Mau ke mana kau?!”

“Cari tempat yang lebih lega

untuk menghajarmu, Pujo!”

“Hiaaat…!” Raden Pujo penasaran dan tak

bisa menahan diri, ia


menyerang Suro Bodong dari belakang,

hendak membabat pundak Suro Bodong.

Tetapi Suro Bodong tidak kalah

tangkas.

Suro segera berbalik sambil

menjatuhkan badan. Posisi tangannya

menendang keras perut Raden Pujo.

Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong

ke depan, berguling satu kali dan

jatuh tak beraturan di luar ruangan

yang menyerupai pendopo itu.

“Suro Bodong…!” hardik Kenanga seraya mengejar.

“Tenang, Kenanga. Aku akan

membuktikan bahwa kau nyaris tertipu.

Kalau aku gagal, potong kepalaku dan

pajang di alun-alun pada pasar malam

besok!”

Suro Bodong segera melompat bagai

gagak melayang, kaki kanan membentang

sedang kaki kiri terlipat, tetapi

kedua tangannya terentang, yang satu

sedikit ditekuk dan mengepal kuat-kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke

belakang dua

kali. Kini mereka jadi berada di

halaman depan pendopo pertemuan itu.

“Rasakan jurus Petir Murka ini,


Suro… hiiaat…!!”

Raden Pujo menancapkan pedang

berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia

segera menendang pedang itu pada

bagian tangkainya. Pedang tersebut

melesat bagaikan kilat. Hampir saja

menyambar wajah Suro Bodong. Dengan

gesit Suro Bodong segera tiarap, dan

pedang tersebut melesat lewat atas

kepala Suro Bodong. Pedang itu menancap pada tiang lampu minyak

penerangan halaman.

“Duaaarr…!! Timbul suara

ledakan yang membuat tanah menjadi

guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut bagai memantul

kembali ke

pemiliknya. Semua orang merunduk dan

menutup telinga. Wajah-wajah mereka

berlapis kepucatan, kecuali Suro

Bodong.

“Barangkali itulah

yang kau

butuhkan, jurus Petir Murka yang baru

sekali ini kebetulan punya rasa

kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia

tak pernah mengenal belas kasihan

kepada mangsanya!”


Suro Bodong hanya tertawa dalam

gumam. “Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main

kelereng. Ah, terlalu ringan buat

permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi?!

Suro Bodong sengaja

menyombongkan diri untuk memancing

kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram

Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar.

Sekali lagi Raden Pujo

menancapkan pedangnya ke tanah dan

menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan memancarkan

kilatan api biru yang

menempel pada tangkai pedang tersebut.

Pedang itu melesat cepat bagai sedang

dikendalikan arahnya.

“Hiattaa…!!”

Suro Bodong berguling-guling ke

tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri,

pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan gerakan telapak

tangan Raden Pujo.

Tetapi dengan cepat Suro Bodong

meraba pergelangan tangan kirinya,

lalu menarik dalam satu kibasan.

Orang-orang tercengang melihat tangan

kanan Suro Bodong telah memegang

sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro


Bodong menyandang senjata apa pun.

Ketika Suro Bodong mengibaskan

pedangnya yang pertama dari kulit

pergelangan tangannya, tepat pedang

tersebut mengenai pedang Raden Pujo.

“Blaaar…!” Ada nyala api

yangmenyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di

sekeliling. Sementara itu, pedang

Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah

tempat ia ditancapkan. Orang-orang

menggumam kagum semakin keras.

“Raden Pujo…!” seru Suro

Bodong. “Mengapa wajahmu menjadi

pucat, hah?! Kurasa kau memang perlu

dibuat lebih pucat lagi.

Heeaaaattt…!!”

Raden Pujo menggeragap ketakutan.

Namun agaknya ia ragu dan malu kalau

harus lari tunggang langgang. Waktu

itu Suro Bodong mengejarnya, lalu

berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat.

Raden Pujo kebingungan, gugup dan

ketakutan.

Tujuh kali Suro Bodong bergerak

mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan


kecepatan melebihi gangsing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo.

Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong

dengan tangan terangkat ke samping.

Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan

pedangnya tujuh kali dengan cepat.

Kibasan itu tidak menyentuh sedikit

pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu

keanehan membuat Danupaksi terbengong—

bengong.

Tubuh Raden Pujo berkilauan

cahaya yang menyilaukan mata. Semua

tangan terangkat, melintang di depan

mata. Semakin lama semakin terang,

seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang cahaya kemilau itu.

Namun beberapa saat kemudian,

cahaya kemilau itu surut, dan kian

menjadi padam. Mata mereka mengerjap-ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk-

garuk kumisnya.

Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah

berubah menjadi patung batu dalam

posisi tangan terangkat satu, hendak

memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh.

Masing-masing berkomentar menurut

jalan otaknya. Patih Danupaksi masih

terbelalak dalam kekaguman ketika ia

berkata kepada Kenanga: “Benar-benar menjadi patung…!!”


“Mengagumkan

sekali dia…!”

bisik Kenanga.

Suro Bodong sengaja menjauhi

hiruk pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba

meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas

bahasanya. Sedangkan Brogo hanya

berdiri tegak, terkesima dan merasa

tak percaya dengan kenyataan yang

dilihatnya.

“Kau hebat…! Hebat sekali,

Kang,” kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk

kumis, sedangkan tangan yang satu

masih menggenggam erat pedang

bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli.

Danupaksi dan Kenanga mendekati

Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas.

“Apa yang telah kau lakukan

sebenarnya, Malaikat?!”

“Aku bukan malaikat,” jawab Suro Bodong.

“Aku hanya membuktikan bahwa kau

akan ditipu oleh Brogo dan Raden

Pujo!” Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh.

Danupaksi geleng-geleng kepala

dengan heran dan takjub memandang


keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:

“Bukankah kalian punya cara

tersendiri untuk menguji keaslian

Pedang Urat Petir?”

Danupaksi mengangguk, lalu

menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut

kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi

berkata:

‘Tempelkan pada pedangmu, kalau

lengket, itu Pedang Urat Petir yang

asli…!”

Kenanga mencabut pedang Jatayu,

kemudian menempelkan pada pedang yang

masih memercikkan bunga api, yaitu

pedang milik Raden Pujo. Tetapi

berulangkali pedang itu disatukan,

tetap tak mau lengket.

“Pedang itu tidak mau melekat

dengan pedangku, Ayah,” kata Kenanga.

Tapi tanpa disadari, ia berjalan di

dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang

Jatayu melesat sendiri dari pegangan

tangan Kenanga. “Sreekk…!” Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang yang dibawa Suro

Bodong. Bukan hanya

Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-sama memandangi kedua pedang yang

saling melekat bagai mempunyai daya


magnit yang sangat kuat.

Danupaksi buru-buru melepaskan

kedua pedang itu, tapi sampai

keringatnya mengucur, pedang tersebut

tak mampu dilepaskan. Semua orang

beralih perhatiannya kepada kejadian

itu, termasuk Brogo.

Gemetar tangan Suro Bodong,

gemetar pula tangan Kenanga ketika

hendak menarik pedang yang lengket

itu, dan ternyata mereka dapat melepaskan kedua pedang tersebut dengan

sangat mudah, tanpa harus menguras

tenaga.

“Ini Pedang Urat Petir yang

asli…! Iniii…!!” seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang.

Dan tiba-tiba Brogo mencabut

pedangnya. Semua orang yang ada di

sekitarnya menyingkir cepat. Suro

Bodong bersiap hendak menangkis

serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo

menikamkan pedangnya ke dadanya

sendiri, tepat di awah jantung.

“Brogo bunuh diri…!!” seru para prajurit yang membuat suasana menjadi

gempar. Danupaksi terbengong kembali

melihat perbuatan Brogo yang tak


sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah

menggunakan kesempatan mencari Pedang

Urat Petir untuk mencari keuntungan

sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden

Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah

pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya,

dan patut mengawini Kenanga.

“Aku patut berterimakasih

sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro

Bodong. Sekali pun wajahmu kasar,

penampilanmu memuakkan, namun

sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang

bersih,” kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi.

Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus,

yang mendapat kehormatan untuk

bersantap pagi bersama keluarga

Kepatihan.

Suro Bodong berkata seenaknya,

seperti sudah menjadi ciri khas

pribadinya:

“Untuk apa terima kasih segala!

Semua kejahatan bagaimanapun juga

suatu saat akan terbongkar. Sepele

saja!”

‘Tapi… sungguh aku tidak


menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan…”

“Ah, itu juga sepele!” sahut Suro Bodong. “Orang mana yang tidak ngiler dengan uang? Orang mana

yang tidak

tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat

akan rapuh juga mentalnya. Itu

tergantung bagaimana atasannya saja,

kalau atasan memperhatikan

kesejahteraan hidupnya, menjamin masa

depannya, yah… tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!”

Danupaksi seharusnya tersinggung

dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia

hanya manggut-manggut dan menghela

nafas dalam-dalam. Ada geram

terpendam, ada keganjilan yang

dirasakan tumbuh dalam hati dan

menuding diri sendiri.

Kenanga menyadari adanya

perubahan batin ayahnya, ia segera

mengalihkan suasana dengan berkata,

“Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu

ternyata kamu, Suro Bodong.”

“Ya,” jawab Danupaksi sendiri.

“Dan aku tidak menyangka kalau

akhirnya aku akan mempunyai menantu

kamu.”

Mata Suro Bodong membelalak, lalu


terbengong. Ia sepertinya baru sadar

dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya:

“Apakah itu harus?”

“‘Harus!” jawab Danupaksi. “Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau

harus menjadi suami Kenanga dalam

waktu singkat ini: Kalian harus

saling… memadu cinta di peraduan.

Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo

empat puluh hari Kenanga tidak

berhubungan badan dengan pemilik

Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan

menjadi kering. Dan ia akan mati,

tepat hari ke empat puluh.”

“Dan sekarang tinggal dua puluh

hari lagi,” kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan.

“Nanti dulu…” Suro Bodong

berhenti makan. “Kenapa sampai harus begitu?”

Kenanga sendiri yang menjawab

setelah ia memandang ayahnya beberapa

saat:

“Dua puluh hari lalu, aku

bertarung dengan seorang tokoh

persilatan, musuh dari guruku. Nini

Kuncen namanya. Aku membela guruku,

tapi ternyata aku bukan tandingannya.


Aku terkena pukulan Senggoro Jabang.

Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini

Kuncen. Guruku sendiri mati di tangannya pada saat aku dalam keadaan parah.

Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat

puluh hari aku akan mati kekeringan

darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu

telah membuat racun menggumpal dalam

rahim peranakanku. Racun itu akan membuat darahku kering hanya dalam tempo

empat puluh hari. Tetapi apabila…

aku bisa memperoleh benih jantan dari

lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan

tawar apabila bercampur dengan benih

seorang lelaki yang memiliki Pedang

Urat Petir…”

Suro Bodong tertegun lama sekali.

Pikirannya seperti benang kusut yang

semakin semrawut. Ia menggeleng pelan

dalam renungannya.

“Suro… tolonglah aku dan

anakku…” kata Danupaksi.

“Nyawaku ada di tanganmu,

Suro…” bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong.

Jantung Suro Bodong semakin

berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin

menodai percintaannya dengan Ratna


Prawesti. Tapi di lain

sisi, ia

dituntun untuk melakukan hal yang

manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya

bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu,

ia berteriak.

“Tidaaaak…!!” seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang

kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara

tanpa menyentuh lantai. Kemudian,

keluarga Kepatihan dan semua yang ada

di situ terbengong melompong. Mereka

tak berkedip memandang tubuh Suro

Bodong telah berubah ujud menjadi

seorang pendekar tampan. Mengenakan

rompi dan celana warna emas,

menyandang pedang di punggung

bercahaya ungu. Rambutnya panjang,

halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi

Panji Bagus, yang pernah mendapat

julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus

Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan

seperti itu, yang membuat Kenanga

terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan

mendekati Kenanga, meraih rambut

Kenanga yang panjang, lalu berkata


dengan suara yang enak didengar oleh

siapa saja:

“Aku tetap Suro Bodong. Mungkin

dengan ujud beginilah aku bisa

membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro

Bodong yang sebenarnya, aku adalah

milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam

ujud Panji Bagus ini….. kau boleh

memiliki aku, Kenanga…”

Kenanga tak sabar. Kenanga tak

terkendali. Jiwa yang berteriak itu

segera memeluk Suro Bodong yang telah

berubah menjadi pendekar tampan

bermata bening, teduh.

“Surooo…!” Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum

dalam keharuan. Pedang Urat Petir

memancarkan sinar ungu samar-samar,

sebab pedang itu sepertinya masuk

terselip di antara kulit dan daging

punggung pemuda tampan dan kekar itu.

Dalam keadaan sekekar itu, dalam

ujud segagah itu, Suro Bodong berani

membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi

jika dalam ujud Suro Bodong yang sedikit gemuk dan perutnya agak

membuncit, apakah ia berani berbuat


deinikian? Rasa-rasanya tidak. Dalam

ujud Suro Bodong, mau tak mau ia

melangkah sambil mengunyah jagung

bakar dan sesekali menggaruk kumisnya

yang tebal. Ia menyusuri hidup,

mencari kekasihnya: Ratna Prawesti,

yang sudah tentu mempunyai cinta tak

seagung cinta perempuan mana pun juga.



                       SELESAI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar