PEDANG URAT PETIR
Oleh Barata
ŠPenerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Pedang Urat Petir
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.019150 2
SATU
PENONTON mengitari panggung
setinggi satu meter. Di atas panggung
kayu yang cukup lebar itu telah
berdiri seorang pendekar perempuan
yangmengagumkan setiap pengunjung.
Karena ia suka mengenakan pakaian
serba hijau muda, maka ia dijuluki
Kenanga Hijau. Ia mengenakan celana
ketat warna hijau muda bertepian emas.
Sedangkan bagian atasnya mengenakan
pinjung hijau juga, yang menutup
bagian dada. Dada ke atas terbuka
polos, menampakkan kulitnya yang
kuning langsat, membakar darah
kejantanan. Kenanga Hijau melapisi
celana ketatnya yang halus dengan kain warna coklat bersabuk hitam dengan
hiasan manik-manik putih perak di
tepian sabuknya. Di sela sabuknya itu
terdapat sarung pedang mengkilat
berwarna kuning emas. Gagang pedangnya juga dari logam kuning emas yang
berbentuk kepala burung Jatayu.
Tubuhnya yang kecil, namun bukan
kurus itu serasi betul dengan bentuk
wajahnya yang mungil, namun berhidung
mancung. Matanya kecil, tetapi
kelihatan tajam dan bening. Bibirnya
juga mungil, tetapi menimbulkan gairah dan memancing ajakan berkhayal mesra.
Indah sekali. Rambutnya yang panjang
digulung sedikit di bagian tengah
kepala, sedang rambut yang lainnya
dibiarkan meriap. Ia mengenakan tusuk
konde warna perak bermata butiran batu merah. Ia juga menggunakan kalung emas sebesar benang
kasur dan berliontin
bentuk bunga bermata hijau zamrud.
Hiasan kalung itu bagai sekuntum
melati hijau yang mekar di sela
belahan dadanya yang menon jol dan
menantang lawan.
Seorang lelaki setengah tua naik
ke atas panggung dan bicara kepada
penonton:
“Kalau tidak ada yang berniat
melawan Putri Kenanga Hijau, maka
pertandingan ini segera ditutup!”
“Berikan waktu beberapa saat
lagi, Paman!” kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya itu
mengangguk dan berkata kepada
pengunjung yang mengelilingi panggung:
”Putri akan memberikan waktu
beberapa saat lagi untuk menunggu
penantang selanjutnya. Ingat, Saudara-saudara, pertarungan ini cukup besar
hadiahnya. Barang siapa bisa
mengalahkan Putri Kenanga dengan
Pedang Jatayunya, maka ia bebas
memiliki tubuh Putri Kenanga yang
tentu saja kita bersepakat bahwa
beliau memang… aduhai! Betul, kan?!”
“Betuuull…!!” teriak penonton.
Mereka bertepuk tangan. Kenanga Hijau
memamerkan senyumannya yang sungguh
menggetarkan hati dan sangat
mengagumkan itu. Bahkan ada salah
seorang penonton yang jatuh lemas
begitu melihat senyuman Kenanga Hijau
itu.
“Mundurlah, Paman Rogama…! Beri kesempatan kepada mereka untuk naik!”
kata Kenanga Hijau.
Lelaki separoh baya yang bernama
Rogama itu mengangguk, lalu segera
turun panggung setelah berkata kepada
hadirin:
“Bagi lelaki yang merasa dirinya
pendekar, kami persilakan naik ke atas panggung! Jangan sungkan-sungkan!”
Rogama mengambilkan sebuah
bangku, dan Kenanga Hijau duduk di
atas bangku seraya memamerkan senyurn
yang menawan hati. Ia menunggu giliran orang yang akan melawannya. Tetapi
untuk sementara waktu, belum ada orang yang berani naik ke panggung setelah
tiga orang kekar mati di tangan
Kenanga Hijau. Mereka semakin banyak,
bukan untuk melawan Kenanga Hijau,
melainkan untuk menonton kecantikan
yang sangat melemaskan lutut lelaki
itu.
Salah seorang penonton berkata
kepada temannya, “Kalau saja aku
seorang berilmu tinggi, aku tetap
segan melawan dia. Sayang kalau kulit
semulus itu harus terluka.”
Temannya menyahut, “Kalau aku
seorang pendekar, lebih baik kulawan
dia di atas ranjang. Lebih seru,
pasti!”
Orang di sebelahnya bersungut—
sungut. “Di atas panggung saja belum tentu kau menang, apa-lagi di atas
ranjang.”
“Eh, biasanya, sekuat apa pun
perempuan, sesakti apa pun seorang
wanita, kalau di atas ranjang pasti ia kalah. Kadang-kadang sengaja mengalah.
Betul kok…!”
“Aaah…! Pikiran tidak jauh dari lutut dan perut!” gerutu orang yang ada di belakangnya.
Pembicaraan kasak kusuk mereka
terhenti, karena mereka melihat
seorang lelaki naik ke atas panggung.
Hampir semua mulut melontarkan kata:
“Hoooohh….!!” Dan lelaki yang naik ke atas panggung itu melambaikan
tangan kepada penonton yang
menghoooh… itu.
Lelaki itu berdada bidang dan
berlengan kekar. Ia seorang pendekar
yang tinggi tegap. Ia tidak mengenakan baju, namun mengenakan celana abu-abu
dengan kain pelapis warna merah. Ia
memakai sabuk hijau tebal dan lebar.
Sabuk itu berguna untuk menyelipkan
goloknya yang pendek namun lebar.
Lelaki itu memakai ikat kepala dari
kain tenun berwarna coklat kehitam—
hitaman. Ia mengenakan kalung dari
kain hitam di lehernya.
Kenanga Hijau masih duduk di
bangku dengan posisi dada tegap,
menonjol ke depan.
“Aku yang akan melawanmu,” kata pemuda itu dengan suaranya yang berat, sedikit serak.
“Boleh saja. Siapa namamu?”
“Danang Wadi!” jawabnya tegas sambil berdiri di depan Kenanga yang
dalam sikap kaki terentang kokoh.
“Siapa julukanmu?”
“Pendekar Alas Mati!”
“Kau sudah siap untuk menanggung akibatnya jika bertarung denganku?”
tanya Kenanga Hijau.
“Sudah. Dan aku sudah siap juga
seandainya aku menang melawanmu.”
“Apa rencanamu?”
“Kau akan kujual kepada orang-orang Sriwijaya yang bertandang ke
tanah Jawa ini!” Danang tersenyum berani.
Kenanga Hijau angkat bahu,
“Terserah apa yang ingin kau lakukan terhadapku kalau memang kau menang
melawan aku!”
Kenanga Hijau berdiri, Rogama
buru-buru menarik turun bangku yang
diduduki Kenanga. Ia berjalan
menyamping karena harus memperhatikan
Danang Wadi, dan berkata:
“Jangan menyesal kalau nasibmu
seperti ketiga orang tadi, Danang
Wadi.”
“Kau akan tercengang melihat
permainan dan kesaktianku, Perempuan
Cantik. He, he, he…”
Salah seorang penonton mengeluh
sendiri, “Huhh… belum apa-apa sudah cengengesan, tidak bakalan menang
dia!”
”Tapi agaknya lelaki itu cukup
sulit dirobohkan. Lihat dadanya yang
bidang dan ototnya yang menonjol, itu
sudah menandakan bahwa Kenanga Hijau
akan mampu ditekuk-tekuknya,” ujar teman orang tadi. Tapi orang tadi
hanya mencibir dan berkata:
“Lihat saja…! Lagak lagunya
yang cengengesan itu tidak meyakinkan.
Paling sekali gebrak, mencret!”
Lalu, kedua orang itu saling
terpukau melihat suatu pertarungan
yang mengagumkan. Danang Wadi berkali-kali melompat sambil berguling.
Goloknya dikibaskan ke sana sini.
Kakinya hanya sesekali menyentuh
lantai panggung. Ia lebih sering
bermain di udara ketimbang menyerang
dalam posisi kaki menginjak lantai.
Kenanga Hijau seperti berkelahi
melawan seekor gagak hitam. Ia harus
mendongak berkali-kali dan mengibaskan pedangnya ke atas. Tapi tak satu pun
kibasan pedangnya mengenai tubuh
Danang Wadi. Bagi Kenanga,
pertarungannya kali ini cukup unik.
Jurus-jurus yang dimiliki Danang Wadi
juga cukup sulit diterka.
“Hiaaaat…!!”
Teriakan itu lebih sering
terlontar dari mulut Danang Wadi,
sebab ia lebih sering menyerang dengan lompatan dan bersalto ke atas Kenanga.
Sesekali kenanga memahg mengimbangi
lompatan-lompatan itu, namun sejak
tadi pukulan dan tendangannya tak ada
yang menyentuh kulit Danang Wadi.
Demikian juga Danang Wadi, tak sekali
pun pernah menyentuh rambut Kenanga
Hijau. Namun golok dan pedang mereka
memang sering beradu keras,
menimbulkan percikan api yang
mengerikan penonton bagian depan.
Suatu kesempatan, Danang Wadi
berhasil menendang pundak belakang
Kenanga Hijau setelah ia bersalto
melewati atas kepala Kenanga, dan
menjejak ke belakang seperti kuda
ngamuk. Kenanga nyaris tersungkur ke
depan, tapi ia segera berguling
sehingga wajah cantiknya tak sempat
berbenturan dengan lantai panggung.
Danang Wadi tak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Ia ikut berguling ke
arah Kenanga dengan pedang siap di
tangan. Namun Kenanga cepat melejit ke samping, dan menghindari bacokan golok pendek yang lebar
itu. Golok Danar
Wadi menancap pada papan lantai
panggung. Kenanga hendak menyerangnya, namun karena kaki Danang lebih
panjang, maka dengan sekali tendang
kaki itu tepat mengenai pinggang
Kenanga. Tubuh Kenanga pun meliuk
kesakitan.
“Wah, gawat…! Patah tuh tulang
iga Kenanga…!” teriak salah seorang penonton yang ada di barisan depan.
Mereka jadi cemas. Mereka merasa
sayang kalau sampai Kenanga dikalahkan lawannya.
Kecemasan mereka meningkat, sebab
Danang Wadi segera bangkit dan
berhasil mencabut goloknya yang
menancap di papan lantai panggung.
Danang Wadi segera menyerang Kenanga
dengan tendangan kaki kiri yang
mengenai ketiak Kenanga, dan disusul
tendangan kaki kanan yang mengenai
perut Kenanga. Tubuh perempuan cantik
itu terpental, hampir saja jatuh ke
panggung seperti ketiga musuhnya tadi.
“Menyerahlah, Kenanga…! Kau
sudah mulai lemah!” kata Danang Wadi yang berdiri di tengah arena dengan
gagahnya, Ia menunggu Kenanga bangkit.
Ia masih membujuk Kenanga:
“Akuilah kekalahanmu…! Jangan
sampai kau kalah lalu mati, apa
gunanya pertarungan ini kalau begitu?”
Kenanga berdiri dengan tegap,
menarik napas panjang-panjang. Lalu ia tersenyum setenang tadi.
“Aku hanya menjajal kekuatanmu,
Danang Wadi! Tak ada kamus kalah dalam diriku. Kau harus tahu akan hal itu,
Danang Wadi. Dan sekarang… mari kita lanjutkan pertarungan ini. Bersiaplah
mati dengan cara senyaman mungkin…!
Hiaaat…!” Kenanga melesat dalam posisi kaki kanan siap menendang
sedangkan kaki kiri terlipat ke
selangkangannya. Gerak tangannya bagai tarian pengibas pedang; kedua tangan
itu berada di bagian kiri tubuhnya.
“Traang…!”
Danang Wadi berhasil menangkis
kibasan pedang Jatayu, dengan
menggerakkan goloknya ke atas. Lalu
tangan kiri Danang segera menghantam
pinggang samping kanan Kenanga. Buru—
buru Kenanga merapatkan sikunya dan
menahan pukulan itu sambil tangan
kirinya mencabut sarung pedang.
“Sreet…!”
Ujung sarung pedang yang berwarna
kuning emas itu
ternyata mampu
mengeluarkan pisau kecil. Pisau kecil
itu merobek leher Danang Wadi tanpa
ampun lagi. Tentu saja Danang Wadi
terpekik tertahan. Mulutnya ternganga
dan tangan k-nannya yang masih
memegangi golok ikut membantu tangan
kirinya, menutup luka yang ada di
leher. Tetapi, agaknya leher itu robek dalam keadaan lebar dan dalam. Mata
Danang Wadi terbeliak-beliak.
“Grook… grrook…!”
Suara nafasnya begitu mengerikan.
Ia masih bertahan berdiri. Goloknya
jatuh, mengenai kakinya. Ia makin
membelalakkan mata. Lalu ia berlutut
sambil masih memegangi lehernya yang
bagai digorok ujung sarung pedang
Kenanga.
Seperti lawan-lawannya yang
sudah, Kenanga selalu mengakhiri
pertarungannya dengan menendang lawan
sekuat tenaga. Danang Wadi terlempar
ke luar arena. Ia menggelepar-gelepar
sejenak, kemudian tubuhnya kaku dan
tak bergerak lagi. Penonton yang
nyaris kejatuhan tubuh Danang Wadi
tadi menjerit ketakutan dan berlari ke tempat lain.
Penonton yang lainnya terbengong—
bengong setelah sama-sama berseru:
“Hooohh?!” Sebagian penonton mengerumuni mayat Danang Wadi, sebagian lagi tetap memandang ke
atas
arena. Kenanga menyarungkan pedangnya.
Pisau kecil yang mencuat dari ujung
sarung pedang itu telah masuk kembali
dengan sekali tekan bagian tertentu
dari sarung pedang itu. Segera Kenanga menghirup udara banyak-banyak dan
melepaskannya pelan-pelan. Ia
memulihkan ketenangan pada dirinya.
Sikapnya berdiri tetap tegap,
merentangkan kaki berbetis indah,
seakan menantang pertarungan
selanjutnya. Rogama datang membawakan
bangku dan Kenanga pun duduk di bangku itu dengan senyum seperti tadi:
mengagumkan. Senyum yang mampu membuat penonton terkesima dan mendesah penuh
arti.
Rogama berseru kepada penonton,
“Barang siapa yang masih ingin
mencoba, silakan naik ke arena. Kita
bertarung secara kesatria. Putri
Kencana Hijau, siap menunggu uluran
nyawa Saudara-saudara…!”
Kasak kusuk dan perguncingan
semakin banyak. Bergemuruh seperti
lebah hutan berpesta pora. Rogama
masih bicara dengan suara kian keras
untuk mengimbangi suara gemuruh
masyarakat di sekelilingnya. Bahkan
kini kedua telapak tangannya
diletakkan di tepian mulut, sebagai
corong pengeras suara. la bicara
sambil berputar ke empat arah.
“Barang siapa yang mempunyai
kesaktian, pusaka, pedang ampuh,
mari… silakan diuji di sini. Kami
akan me rasa mendapat kehormatan besar jika Saudara-saudara mau menguji
pusaka yang anda miliki. Ayo, jangan
takut. Hadiahnya tidak tanggung—
tanggung Putri Kencana Hijau. Beliau
ini cantik, sakti dan… masih
perawan! Asli! Saya berani sumpah,
sebab saya belum pernah
memakainya…!”
“Paman…!” bentak Kencana merasa tersinggung.
Rogama ketakutan, lalu berteriak
kepada penonton, “Maksud saya… saya belum pernah memakai pedang Jatayunya itu.”
“Huuuhh…!” beberapa penonton mencucu sambil terkekeh sejenak.
Kasak kusuk mereka saling memuji
dan mengagumi Kenanga. Namun di antara sekian banyak penonton, ada seorang
penonton yang dari tadi hanya diam
saja dan garuk-garuk kumisnya yang
lebat.
Lelaki itu mengenakan baju model
jubah berwarna merah dan celana biru
muda dan ikat pinggang hijau tua.
Rambutnya panjang tak teratur diikat
kain merah, Badannya agak gemuk,
perutnya sedikit membuncit dan
pusernya melotot keluar bagai
membelalak. Melihat kegema-annya yang
sejak tadi makan jagung bakar, sudah
jelas dia adalah tokoh dunia
persilatan : Suro Bodong.
Sejak tadi tak sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Sejak tadi
ia memperhatikan pertarungan Kenanga
sambil mengunyah jagung bakar dan
sesekali garuk-garuk kumisnya.
Pandangan matanya begitu tajam, tapi
sikapnya tetap tenang. Ia tidak mau
ikut bersorak, atau bertepuk tangan.
Bahkan ketika ada seorang anak muda
menyapanya:
“Bapak tidak berminat naik
panggung, Pak?”
Suro Bodong tidak menjawab. Anak
muda itu memperhatikan dengan tegas.
Lalu bertanya lagi dengan suara lebih
keras, karena mengira Suro Bodong
tuli.
“Bapak tidak berniat naik
panggung, Pak?!!”
Suro Bodong masih tenang saja.
Cuek. Ia mengunyah jagung bakar yang
digeragotnya dengan seenaknya. Anak
muda itu juga penasaran. Ia pikir, ia
berhadapan dengan orang gila yang
tuli.
Sebab itu ia menepak pundak Suro
Bodong.
Tetapi di luar dugaan, dan tak
sempat dilihat oleh mata anak muda
itu, tangan Suro Bodong telah
menangkap dan menekuknya hingga si
anak muda meringis kesakitan.
“Berani menyentuhku, kucabuti
semua rambutmu!” geram Suro Bodong, kemudian melepaskan tangan anak muda
itu.
Sambil meringis dan memijit-mijit
pergelangan tangannya, anak muda itu
berkata dalam ketakutan:
“Saya cuma bertanya. Mau bertanya kepada Bapak; apakah Bapak punya niat
naik apa tidak. Cuma begitu.”
“Naik apa? Naik kuda?! Apa kau
membawa seekor kuda?” kata Suro Bodong yang tak mengerti maksud anak itu.
“Maksud saya, naik panggung, Pak.
Naik panggung itu,“seraya anak muda menuding tempat arena.
Suro Bodong memetik-metik biji
jagung dengan jempol tangannya dan
menggerutu, memandang Kenanga:
“Naik panggungg… naik
panggung… apa kau kira aku ini
ledek, yang sering menari di atas
panggung?”
Anak muda itu berani juga,
rupanya. Ia masih berdiri di samping
Suro Bodong, memandang mata Suro
Bodong yang kemerah-merahan. Lalu berkata lagi:
”Panggung itu kan arena
pertarungan, Pak. Bukan panggung untuk ledek dan ketrung!”
“Pertarungan apa?” Suro Bodong menoleh ke anak itu.
“Pertarungan antara pendekar
melawan… itu, Putri Kenanga Hijau.
Masa Bapak tadi tidak melihatnya.
Sepertinya dari tadi Bapak ada di
samping saya dan memandang ke sana…”
Anak itu merasa heran, lalu Suro
Bodong berbisik:
“Sejak tadi aku tidak merasa
melihat suatu pertarungan.”
Anak itu berkerut dahi. “Jadi
yang Bapak lihat apa?”
“Orang-orang menari dan bermain
dagelan!”
Anak muda itu tertegun beberapa
lama. Dalam hatinya ia masih belum
mengerti, mengapa Suro Bodong
mengatakan melihat tarian dan dagelan.
Padahal jelas ada korban empat orang
dari pertarungan sejak tadi. Bahkan,
kemarin pun acara itu juga ada. Anak
muda itu juga melihat. Bukan hanya
melihat pertarungan, namun sempat pula melihat Suro Bodong di seberang
panggung, jauh darinya. Dan semua
orang juga mengakui, bahwa apa yang
ada di atas arena itu adalah
pertarungan maut. Tetapi mengapa orang yang diajaknya bicara itu, yakni Suro
Bodong, mengatakan itu sebuah tarian
dan dagelan. Lawak! Badut, dan
sejenisnya.
“Aneh sekali penglihatan mata
orang ini,” pikir anak muda itu. Ia tak tahu bahwa yang dia dengar dari
Suro Bodong itu adalah anggapan saja.
Anggapan dari Suro Bodong tentang
atraksi di atas panggung. Pertarungan
antara Kenanga dengan beberapa
pendekar dari kemarin sampai hari ini, dianggap hanya sekedar tarian dan
banyolan oleh Suro Bodong. Ia tidak
merasa kagum dan terpesona dengan
pertarungan itu. Dia hanya ingin
melihat, siapa yang akan mampu
mengalahkan perempuan cantik yang
sombong itu? Karenanya dari kemarin
sampai hari ini Suro Bodong selalu
hadir dan mengikuti acara tersebut.
Dalam usia 40 tahunan, kurang
lebih, Suro Bodong masih bisa menilai
kecantikan seorang perempuan. Kenanga
diakui kecantikannya, namun hati
kecilnya tetap mengakui kecantikan
Ratna Prawesti, kekasihnya yang sedang dicari ke mana perginya. Bagi Suro
Bodong, tak ada perempuan cantik di
permukaan bumi ini, selain Ratna
Prawesti, anak seorang bupati Jangga,
yang telah dibantai satu keluarga oleh Gerombolan Topeng Setan. Tetapi, ia
tidak menemukan bangkai kekasihnya.
Berulangkali ia berurusan dengan
orang-orang Gerombolan Topeng Setan,
namun tak sekali pun ia melihat ada
tanda-tanda gerombolan itu
menyembunyikan Ratna Prawesti. Hanya
saja, betapa pun juga jadinya, Suro
Bodong tetap menaruh kewaspadaan
kepada Gerombolan Topeng Setan yang
diketuai oleh seseorang yang bernama
Banyupati. Sekali ia melihat gelagat
adanya tanda-tanda bahwa Ratna
Prawesti disekap atau disembunyikan
oleh gerombolan itu, maka dengan
sekuat tenaga Suro akan menumpas habis semuanya.
Tiba-tiba orang yang mengelilingi
panggung itu bertepuk tangan. Bahkan
ada yang bersuit dan tertawa. Oh,
rupanya ada anak muda yang naik ke
panggung dengan barinya. Mata Suro
Bodong membelalak dengan mulut
terperangah. Anak itu adalah anak muda yang tadi ditekuk pergelangan
tangannya.
“Bocah edan..!” geram Suro Bodong dengan gemas. “Berani-beraninya dia naik ke arena itu?”
Anak tersebut masih muda sekali
usianya, Kira-kira baru 15 atau 16
tahun umurnya. Pakaiannya biasa,
celana dan baju pangsi warna putih
kusam. Orang bilang, ia masih hijau.
Tapi ia sudah berani naik ke arena dan menantang Kenanga Hijau. Karena itu
banyak penonton yang berceloteh macam—
macam.
“Hoi, Tong… ini bukan tempat
adu jangkrik…!”
“Nyawa cuma sedikit dibuang—
buang. Payah kamu, Tong!”
“Kalau menang mau buat apaan
gadis itu, Tong? Buat diambil istri,
ya?”
“Alaaah… kencing belum lempeng
saja sudah mau kawin!”
“Hoi, kamu mau bertarung apa mau
netek, Gus…?!” teriak seorang bapak dari sudut sana. Dan banyak lagi
teriakan orang yang lainnya. Namun
anak muda itu tetap berdiri di atas
panggung dengan cengar cengir tak
meyakinkan. Ia tidak peduli seruan
orang yang menjatuhkan keberaniannya.
Ketika Kenanga berdiri dan
menyampanya, anak muda itu masih
memperlihatkan nyali yang cukup besar.
Ia cengar cengir seperti malu-malu
kucing.
“Kau penantangku berikutnya?”
tanya Kenanga.
“Ya. Boleh tidak, Mbak?”
Penonton tertawa. Bahkan Kenanga
tersenyum geli seraya memandangi anak
muda itu. Sedangkan yang dipandang
hanya tersipu-sipu sambil menunduk.
“Mana senjatamu?” tanya Kenanga.
Anak muda itu semakin tersipu
malu, lalu berkata dengan jelas, “Masa harus dikeluarkan di sini. Malu
ditonton orang banyak, kan?!”
Penonton semakin gerr…!
Tertawa, ada yang terbahak-bahak, dan
ada yang sampai terbatuk-batuk. Mereka bertepuk tangan. Mereka menjadi segar, bersemangat.
“Anggap saja selingan
dagelan…!” ujar seseorang.
Mereka menjadi reda setelah
Kenanga berkata, “Kau akan mati jika tanpa senjata.”
“Ah, buktinya yang pakai senjata
juga mati. Untuk apa aku punya
senjata,” jawab anak itu.
Kenanga geleng-geleng kepala.
“Nyalimu cukup besar. Kau tidak
takut mati?”
Anak muda itu menggeleng. “Kata
ayahku, mati sekarang atau besok, sama saja.”
Kini, Kenanga Hijau manggut-manggut. Sejenak Rogama naik ke
panggung dan berbisik kepada Kenanga.
“Jangan ladeni anak ini, Putri. Buang-buang tenaga!”
“Biarkan, Paman. Siapa tahu dia
lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Siapa tahu juga dia yang kucari.”
Kemudian, setelah Rogama turun
sambil membawa bangku, Kenanga
bertanya kepada anak muda itu:
“Siapa namamu?”
“Saga!” jawabnya tegas.
“Saga…?! Hemm… nama
julukanmu?”
Saga kelihatan berpikir bingung.
Orang-orang mengikik, tertawa
tertahan. Lalu, Saga menjawab
seenaknya saja:
“Pendekar… Pendekar… Pendekar Untung-untungan…!”
Tawa penonton menjadi lebih
keras. Kenanga menegaskan:
“Sebenarnya kau pendekar apa
bukan?”
Saga menggeleng. “Bukan. Tapi…
tapi saya ingin melawan situ.”
“Kalau kau menang, mau apa? Mau
menjadi suamiku?”
Saga menggeleng. “Mau minta duit
yang banyak!”
“Minta uang?!” Kenanga berkerut heran dan kagum.
“Ya. Kalau Mbak tidak mau
memberiku uang, ya sudah. Saya turun
saja…!”
“Baik! Kalau kau menang, selain
uang, semua perhiasan dan harta
milikku menjadi kepunyaanmu!” kata Kenanga.
Saga tertawa girang, nyaris
melonjak. Sedangkan di bawah pohon
sana, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia masih menggumam
keheranan.
“Mari kita mulai. Bersiaplah…!”
tantang Kenanga. Ia segera mengambil
jarak dan bersiap memainkan jurus
pembuka. Saga masih menyeringai, ikut-ikutan pasang gaya dengan kaki
mengangkang dan kedua tangan mengepal
di pinggang. Kaku sekali.
Kenanga memutar ke kanan, Saga
memutar ke kanan dengan kaki masih
mengangkang dan merendah. Orang-orang
menertawakan. Suro Bodong geleng-geleng kepala sambil makan jagung
bakar.
“Hiaat…!” Kenanga menghentak.
Saga kaget dan nyaris jatuh. Tapi
ia segera berdiri seperti tadi: kaki
mengangkang rendah dan kedua tangan
mengepal di pinggang kanan kiri. Jika
Kenanga bergerak perlahan ke arah
kiri, ia berjalan perlahan ke arah
kiri juga, demikian pula sebaliknya.
Tiba-tiba kaki Kenangan maju ke
depan. Kaki kiri maju dan kaki kanan
menendang dada Saga. Saga berusaha
menangkisnya, namun terlambat. Dadanya terhentak kaki Kenanga dengan keras.
Ia terjengkang ke belakang. Wajahnya
menjadi pucat dan mulutnya cengap-cengap mencari udara. Ia berusaha
untuk berdiri. Lalu pasang gaya
seperti tadi: kaki mengangkang dan
merendart, kedua tangan mengepal di
samping. Kenanga mengendurkan
tangannya. Kini ia berjalan mendekati
Saga dan menendang wajah Saga dengan
kaki kiri. Saga gelagepan, menggeragap karena pendangan matanya tiba-tiba
menjadi gelap akibat terkena tendangan kaki kiri Kenanga yang begitu cepat.
Kenanga tersenyum bangga.
“Jangan… jangan cepat-cepat,
Mbak..” Saga sempat berkata begitu sambil mengibaskan kepalanya
Tetapi Kenanga segera menghantam
dada Saga dengan pukulan tangan
kirinya.
“Buuk…!” Lalu tangan kanannya menghantam perut Saga: “Buuk…!”
“Huugh…!” Saga mendelik dan susah bernapas. Matanya membelalak,
wajahnya merah. Mulutnya semakin
cengap-cengap. la terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi perut. Nyalinya
memang besar, tapi ngawur. Ia maju,
mendekati Kenanga. Lutut Kenanga
menghentak ke atas ketika Saga mau
memeluk perut Kenanga. Hentakan lutut
mengenai wajah Saga, lalu hidung anak
itu berdarah.
Kenanga tidak memberi ampun
sedikit pun, ia segera memukul pipi
Saga. Kenanga menendang lagi perut
anak itu hingga Saga terguling-guling.
Berteriak pun ia tak mampu. Tetapi
Kenanga tetap akan membunuhnya. Ia
melompat dan hendak menginjak dada
Saga.
“Gilaaa…!!” seru Suro Bodong dengan mata melotot.
DUA
SURO BODONG segera melompat ke
arena dan berguling dua kali di atas
lantai panggung. Tepat ketika itu kaki Kenanga menghentak ke arah dada Saga.
Kaki kanan Suro Bodong menahan
hentakan kaki Kenanga. Kedua telapak
kaki itu tepat beradu, dan Suro Bodong menghentak ke atas. Kenanga terpental
tinggi, kemudian ia segera bersalto
dan mendarat dengan kaki yang
sempurna.
Tepuk tangan penonton menjadi
riuh. Ada yang berseru:
“Ini baru hebat…!”
Suro Bodong mencengkeram baju
Saga dalam posisi masih merangkak, dan wajahnya dekat dengan Saga. Ia
membentak:
“Kamu edan betul apa, gila
sungguhan, Bangsat!!”
Saga meringis kesakitan dan
berusaha untuk bernafas. Pada saat
itu, Kenanga menyerang Suro Bodong
dengan tendangan kaki kanan ke arah
punggung Suro Bodong. Tetapi sambil
mengomeli Saga, Suro Bodong tetap bisa mengadukan telapak kakinya dengan
telapak kaki Kenanga. Dan hentakan
kaki Suro Bodong begitu cepat serta
kuat, sehingga kali ini Kenanga
terpental sampai terjatuh di lantai
panggung.
Suro Bodong jengkel sekali kepada
Saga. Ia mencengkeram baju Saga dan
menentengnya untuk berdiri. Ia berseru hingga ludahnya muncrat:
“Anak sinting! Bodoh…! Kalau
tidak punya ilmu silat jangan sombong
di atas panggung ini, tahu?!”
“Lepaskan anak itu! Dia harus
kubunuh!” teriak Kenanga seraya
menyerang Suro Bodong lagi.
Tetapi Suro Bodong bagaikan tidak
mendengar kata-kata Kenanga. Ia tetap
marah-marah kepada Saga.
“Nyawamu cuma satu, tolol! Jangan sia-siakan untuk berbuat bodoh! Kata
orang begitu!”
Sambil tangan kanan Suro Bodong
menangkis pukulan dan tendangan
Kenanga, tanpa ia menoleh ke arah
Kenanga.
”Senjata manusia bukan hanya
nekad seperti kamu!”
Seraya kakinya menjejak ke
samping dan mengenai paha Kenanga.
Kenanga semakin penasaran. Ia
menyerang dengan pukulan tangan kanan
dan tangan kiri maju bersama. Tetapi
Suro Bodong masih melotot ke arah Saga yang cengap-cengap.
“Bodoh sekali kau ini, hah?!”
Sambil ia menggerakkan tangan dan
kakinya untuk menangkis serangan
Kenanga.
“Kalau kau tidak bisa silat,
jangan coba-coba menyerang tahu?” Suro Bodong berkata kepada Saga tapi
tangannya memukul siku Kenanga dengan
keras.
“Auuw…!” Kenanga menjerit
kesakitan. Ia segera mengambil posisi
dari depan Suro Bodong. Tetapi Suro
Bodong tidak menyambutnya dengan
terang-terangan. Ia bahkan memutar
tubuh yang ditentengnya seraya
berkata:
“Kalau kau mati, apa untungmu?
Kalau kau menang, itu mustahil tahu?!”
Tepat pada saat itu Suro Bodong
menggerakkan kaki kanannya ke samping.
Gerakannya begitu cepat dan beruntun.
Tujuh kali tendangan beruntun itu
mengenai dada Kenanga. Tak seorang pun tahu bahwa sebenarnya Suro Bodong
telah menyerang Kenanga dengan jurus
tendangan Ayam Kawin.
Tubuh Kenanga yang limbung ke
belakang dengan memuntahkan darah dari mulutnya masih tidak diperhatikan Suro Bodong. Ia bahkan
menenteng Saga turun panggung sembari masih mengomel tak
karuan. Yang diomeli hanya mendesah
dan mengerang samar-samar.
”Tunggu…! Kau telah melukaiku!
Kau harus mati…!” teriak Kenanga sambil mengejar Suro Bodong. Ia
mencabut pedangnya dan melayangkan
tubuhnya dalam posisi kedua tangan
memegangi pedang yang teracung ke
depan, ke arah punggung Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak mau menoleh
sedikit pun sekali pun banyak orang
berteriak,
“Awass…!” Suro Bodong hanya meletakkan tubuh Saga ke lantai
pinggir. Tepat pada saat itu tubuh
Kenanga dan pedangnya meluncur di atas kepala Suro Bodong. Ia menggerakkan
tangan kanannya ke atas dengan cepat
dan keras. Pukulan itu mengenai perut
Kenanga sehingga perempuan itu
melintir ke samping dan jatuh tak
mampu menjaga keseimbangan tubuh. Suro Bodong pun segera melesat membawa lari Saga dari
arena.
Rogama tidak mau tinggal diam, ia
segera melesat juga mengejar Suro
Bodong. Gerakannya kurang lincah namun cukup berani. Ia melompati kepala demi kepala penonton
yang dijadikan tumpuan kakinya. Ia berteriak-teriak kepada
Suro Bodong:
“Hei, berhenti…! Berhenti!
Kalian harus mati dulu baru boleh
lari…! Berhentttiii…!!”
“Buk..! Plak…! Pletok..!”
“Bangkai busuk! Kepala orang buat injak-injakan…! Kucing kudis…!
Monyet peot…! Sapi…! Kuda…!
Semut…!”
Semua orang mencaci maki Rogama
yang melompat dari kepala ke kepala.
Mereka menyerang Rogama dengan cara
apa pun. Ada yang memukul, ada yang
menghantam dengan kayu, ada yang
melempar batu, bahkan ada yang rela
kehilangan sandal bandolnya untuk
melempar muka Rogama. Akibatnya,
Rogama terhambat beberapa saat. Namun
kemudian ia dapat lolos dari keroyokan massa dan berlari lagi mengejar Suro
Bodong.
Suro Bodong menyembunyikan Saga
di belakang sebuah lumbung padi milik
orang. Ia membersihkan darah dengan
baju Saga yang dilepasnya. Ia masih
mengomel terus sekali pun Saga sudah
melontarkan kata maaf berulangkali.
“Kalau punya otak dipakai. Jangan dibiarkan membeku di kepalamu! Kenanga itu bukan orang
sembarangan buat orang awam. Dia berdarah pembunuh. Sadis.
Kau bisa mati tanpa jasa apa pun jika
melawannya! Apalagi kau tidak
mempunyai ilmu silat sedikit pun.
Tahu?! Tahu kau?!”
“Sa… saya… saya hanya ingin
menari dengannya, seperti kata Bapak
tadi…” jawab Saga.
“Menari, menari…!” gerutu Suro Bodong. “Aku mengatakan mereka menari, karena aku menganggap
ilmu silat
mereka belum seberapa dibandingkan
dengan ilmu silatku. Tahu?! Dasar otak udang…!”
“Maaf, Pak. Saya…
saya…
uuhhg…!” Saga nyaris terbatuk lagi.
”Sudah diam…! Jangan banyak
bicara dan bergerak…!“bentak Suro Bodong. Kemudian ia menelentangkan
tubuh Saga di tanah berjerami.
Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling sebentar, ternyata aman.
Sepi. Maka segera Suro Bodong meludahi tangan kanannya tujuh kali. Telapak
tangan yang sudah diludahi itu segera
diusapkan ke dada Saga dengan gerakan
memutar perlahan-lahan Tujuh kali
berputar ke kanan, tujuh kali ke kiri, dan begitu dilakukannya berulang-ulang. Sambil melakukan hal
itu, Suro Bodong memejamkan mata. Memusatkan
pikiran untuk menyalurkan hawa murni
ke tubuh Saga. Mulanya Saga masih
mengerang menahan rasa sakit, tapi
lama-lama erangannya berganti desah
dengan nafas lega, lalu semakin hilang desahannya, dan diam. Tenang. Ia bagai tertidur dengan nafas
teratur. Tapi
tidak tidur sebenarnya.
“Bagaimana rasanya?”
”Yaah… lega dan ringan,
Pak…”
“Jangan panggil aku: Pak. Aku
belum pernah kawin dengan ibumu!
Panggil saja… ah, terserah kamu. Aku salut dan kagum dengan keberanianmu
yang gila-gilaan itu. Aku suka sama
keberanianmu. Mulai saat ini kita
berteman. Mau?” Suro Bodong sedikit tersenyum. Saga mengangguk
“Atau anggap saja aku kakakmu.
Mau?”
Saga mengangguk dan mengerlingkan
mata.
“Jangan genit! Tak perlu
mengerlingkan mata segala!” kata Suro Bodong seraya menepuk pipi Saga. Tapi
anak muda itu masih mengangguk dan
mengerlingkan mata.
“Apa-apaan kamu ini? Genit amat
seperti perempuan saja!”
Saga masih mengangguk dan
berkerling. Suro Bodong mendengus
kesal. Ia berkata:
“Namaku Suro Bodong, kau boleh
saja me…” Suro Bodong berhenti
berkata setelah ia berdiri dan
berbalik ke arah belakangnya. Ternyata di sana telah berdiri Rogama dengan
beberapa bekas memar akibat keroyokan
massa tadi. Rogama memandang Suro
Bodong dengan sorot kemarahan yang
masih ditahan kuat-kuat dan akan
segera diledakan di situ.
Suro Bodong tertawa sendiri di
dalam hati. Ia garuk-garuk kumisnya.
Pantas Saga sejak tadi mengangguk dan
berkerling mata. Rupanya anak itu
memberi isyarat, bahwa di belakang
Suro Bodong telah berdiri musuh yang
siap melampiaskan kemarahan. Suro
Bodong geli sendiri karena mengira
Saga berlaku genit.
“Mau lari ke mana kau,
Pengecut?!” geram Rogama.
Suro Bodong garuk-garuk kumis
sebentar. “Lariku tak akan jauh.
Tenang saja,” kata Suro Bodong kepada Rogama.
“Karena kau sudah melukai, dan
anak itu sudah berani menantang Putri
Kenanga, maka kalian berdua harus
mati!”
“O, ya? Ah, aku tidak tahu kalau
ada peraturan seperti itu, Paman…”
Suro Bodong ikut-ikutan memanggil
‘Paman’ karena’ia mendengar Kenanga
memanggil Rogama: Paman.
“Supaya kau mati dengan jantan,
lekas pergi ke arena dan hadapi Putri
Kenanga.”
“Aku bukan pendekar sombong
seperti lawan-lawan Kenanga. Aku
pendekar baik-baik saja. Jadi, aku
tidak mau pergi ke arena dan bertarung dengan Kenanga. Lagi pula, kalau toh
aku menang, percuma. Aku tidak
bernafsu mendapatkan perempuan seperti Kenanga itu!”
Suro Bodong mencibir sinis,
sengaja menonjolkan kesombongannya
untuk menghina Rogama. Dan hal itu
membuat Rogama semakin panas hati. Ia menggeram dengan tangan mengepal
kencang.
“Bicaramu sudah melampaui batas
kesabaran, Kadal! Mau tak mau aku
sendiri yang harus meremukkan mulutmu.
Hiaat…!”
Rogama menyerang dengan tendangan
lurus ke depan, ke arah dagu Suro
Bodong. Suro Bodong hanya menggerakkan dadanya miring ke samping sedikit ke
belakang. Kedua tangannya masih tetap
terjulur ke bawah dengan lemas. Pada
saat tendangan itu melesat mengenai
tempat kosong, kaki kiri Rogama segera menyusul dengan tendangan lompat ke
arah kepala Suro Bodong.
“Kadal buntung, rasakan tendangan yang ini, hiaat…!”
Suro Bodong memiringkan badannya
lagi ke samping lain. Ia hanya
mengelak, tidak menangkis atau pun
memberi serangan balasan. Dan waktu
kaki Rogama yang molos lagi, tidak
mengenai sasaran itu melesat, kaki
tersebut segera bergerak ke samping
kanan sebelum kembali ke tanah. Suro
Bodong merendahkan badan dengan cepat, dan kaki Rogama lewat di atas
kepalanya bagai kibasan pedang. Begitu kaki itu sampai ke tanah, Rogama
melancarkan pukulan gandanya ke arah
wajah Suro Bodong. Namun Suro Bodong
hanya berkelit meliukkan badannya ke
kanan dan ke kiri sehingga pukulan
Rogama tak satu pun ada yang menyentuh kulitnya.
“Kang…. serang dia, Kang
Suro…!” seru Saga yang masih duduk di tanah berjerami, bersandar dinding
belakang lumbung tersebut.
Rogama melesat ke atas. Badannya
yang gemuk seperti karung beras hendak jatuh dari langit. Tetapi gerakan
kakinya yang lurus ke samping cukup
membahayakan bagi Suro Bodong. Karena
itu Suro Bodong buru-buru berguling ke tanah menghindari tendangan tersebut.
Tapi pada saat itu, ketika tubuh
Rogama melayang ke atas dan Suro
Bodong berguling di bawahnya, Rogama
mengibaskan tangan kanannya.
“Juub…!”
Sebuah senjata rahasia berbentuk
segi tiga dari lempeng baja yang tajam menancap di tanah, tepat beberapa mili dari pinggang Suro
Bodong. Hampir saja pinggang Suro Bodong ditembus senjata
rahasia berbentuk segi tiga sama sisi
itu. Suro Bodong terbengong sejenak
melihat tanah yang dipakai menancap
senjata tersebut mengeluarkan asap
kuning kusam. Suro Bodong terbengong
segera meloncat menjauhi asap
tersebut. Matanya masih belum berkedip memandang senjata rahasia Rogama yang
aneh, sebab benda tersebut kini
menjadi merah membara, seperti besi
dipanggang dalam api yang panas.
Kemudian jerami di sekitar senjata itu ada yang hangus dan nyaris membakar
sekelilingnya. Suro Bodong segera
menginjak-injak api tersebut. Andai
tidak begitu, tentu akan terjadi
kebakaran di lumbung tersebut, dan
lumbung itu pun dapat terbakar
semuanya.
“Suro…!” sapa Rogama yang tadi mendengar Saga memanggil lawannya
dengan sebutan: Kang Suro. “Kuingatkan sekali lagi, Suro, pergilah ke arena
secepatnya dan matilah di sana dengan
terhormat. Jangan kamu mati di sini
karena senjataku itu. Kau akan mati
tanpa kemegahan, tau?!”
”Terima kasih atas saranmu,
Paman. Tapi aku lebih suka kalau kau
mati di sini dulu, baru aku akan ke
sana menemui Kenanga dan melaporkan
kebodohanmu!” Suro Bodong tersenyum sinis. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
Rogama menggeram kesal.
“Benar-benar tak patut diberi
kesempatan kau, Suro…! Jangan
menyesal kalau kau mati di sini juga,
hiaaat..!”
Rogama melompat ke atas seolah—
olah hendak menyerang dengan
tendangan. Tapi sebenarnya Rogama
hanya sekedar mengguncangkan
konsentrasi Suro Bodong, dan segera ia melayangkan senjata rahasianya yang
berbentuk lempengan baja segi tiga
itu.
“Zeeet… suiing…!”
Senjata itu meluncur dengan
kecepatan yang tak terjangkau oleh
penglihatan mata manusia biasa. Tapi
karena Suro Bodong sudah terlatih
untuk melihat gerakan angin, maka ia
segera merundukkan kepala dan
membiarkan senjata segi tiga sebesar
tutup gelas itu melesat melewati
samping telinganya. Senjata itu
melayang lurus dan menancap pada
sebuah pohon yang jauh dari tempat
mereka bertarung.
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali. Lalu tubuhnya berhenti
tepat di bawah kaki Rogama. Segera
kaki Suro Bodong melancarkan jurus
Tendangan Ayam Kawin yang cukup
membuat lawan kewalahan, dan tadi
sempat membuat Kenanga tak mampu
mengelak.
Tendangan itu begitu cepat dan
bergerak tujuh kali secara beruntun.
Dari tendangan kaki kiri, ganti kaki
kanan tujuh kali menendang beruntun
dengan cepat sekali. Rogama
menggeragap dan tak sempat berteriak
kecuali mengangakan mulutnya. Posisi
tubuh Suro Bodong masih seperti
telentang di tanah dengan menggerakkan kakinya ke atas, mengenai paha, perut
dan selangkangan Rogama. Lalu ia
segera berdiri menghadapi Rogama yang
limbung.
âItu yang namanya Tendangan Ayam
Kawin, tahu?! Sekarang kau harus
merasakan jurus Keringat Onta ini,
haeeet…!”
Suro Bodong menggerakkan kedua
tangannya bersimpang siur di depan
mata, lalu meludahi kedua telapak
tangannya masing-masing tujuh kali.
Kedua telapak tangannya itu dimasukkan ke dalam baju jubahnya, disekapkan
pada ketiaknya, kemudian tangan
kirinya segera menampar mulut Rogama,
disusul dengan tangannya yang mencengkeram hidung dan mulut Rogama.
Lelaki gemuk bertubuh agak pendek itu
menggelepar-gelepar sejenak. Matanya
melotot, tangannya masih memegangi
bagian selangkangan. Lalu lelaki itu
melemas. Matanya sayu, dan ia jatuh
terkulai dalam keadaan pingsan. Itulah kehebatan jurus Keringat Onta dari
Suro Bodong, di mana lawan akan
terbius pingsan jika mencium bau dari
keringat dan ludah Suro sendiri. Itu
memang jurus yang jarang dipakai oleh
Suro sebab menjijikkan. Tapi jika
terpepet, apa boleh buat, daripada ia
membunuh lawannya.
“Ayo, lekas kita tinggalkan
tempat ini!” ajak Suro kepada Saga yang masih terbengong heran memandang
Rogama yang pingsan itu.
“Kang, ilmumu hebat juga, ya?”
“Ah, sudah…! Jangan banyak
memuji. Lekas kita pergi, Saga…!”
Suro Bodong menarik tangan anak muda
itu.
“Ke mana kita pergi, Kang Suro?”
“Ke…?” Suro Bodong kebingungan.
“Ke mana sajalah..!”
“Bagaimana kalau ke rumahku?”
usul Saga.
“Boleh. Eh, lihat itu…” Suro Bodong menuding ke arah di depan
lumbung padi tempatnya tadi. “Dia mencari kita, Saga. Untung kita cepat
pergi…”
Seorang perempuan berpakaian
serba hijau berjalan pelan dan
clingak-clinguk. Dia adalah Kenanga
Hijau yang tentu mencari kepergian Rogama, pengawalnya. Suro Bodong
menyelinap di antara tumpukkan batu
bata yang belum dibakar. Ia melewati
rumah orang bagian belakang, bahkan
terbungkuk-bungkuk menyelusup di bawah jemuran pakaian basah.
“Kenapa kau kelihatannya takut
dengan perempuan itu, Kang?” tanya Saga. “Padahal aku yakin kau bisa menang jika bertarung
melawannya. Ilmu silatmu cukup hebat.”
“Aku curiga pada dia. Pasti ada
sesuatu yang ia inginkan. Ia punya
rencana sendiri, sehingga ia harus
menantang banyak pendekar. Mungkin
orang yang dapat mengalahkan dia
itulah yang ia cari untuk maksud
tertentu. Kau mengerti?”
Saga mengangguk Suro Bodong
bicara lagi sambil mengikuti arah
langkah kaki Saga yang menuju ke
rumahnya.
“Dan, aku tidak mau mangalahkan
dia. Nanti malah terlibat urusan
dengan dia. Aku punya urusan sendiri.”
‘Urusan apa, Kang? Mungkin aku
bisa membantumu.”
Suro Bodong melirik Saga
sebentar. Mempertimbangkan sesuatu,
namun akhirnya bicara juga yang
sebenarnya.
“Aku mencari seorang perempuan
yang bernama Ratna Prawesti. Perempuan itu cantik. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya.
Tubuhnya lencir,
mirip Kenanga. Hidungnya mancung.
Matanya bulat bening. Ia memakai
gelang kaki perak bermata merah
delima. Apa kau pernah melihat
perempuan seperti itu, Saga? Dia
kekasihku yang sedang kucari!”
Saga menggeleng dalam bungkam.
Tetapi, beberapa saat kemudian ia
berkata sambil tetap melangkah:
“Kalau melihat perempuan seperti
itu, aku belum pernah, Kang. Tapi
kalau mendengar namanya… sepertinya
aku sudah pernah”
Suro Bodong bersemangat dan
segera bertanya, “Di mana kau
mendengar nama itu disebutkan? Di
mana? Atau… siapa yang
menyebutkannya? Siapa, Saga?”
Saga berkerut dahi beberapa lama,
mengingat-ingat. Lalu menggeleng. Ia
menjawab:
“Entah. Aku tak ingat, Kang. Tapi aku yakin, aku pernah mendengar nama
itu disebutkan.”
“Iya, tapi siapa yang
menyebutkan? Di mana kau
mendengarnya?”
“Entah. Sulit sekali kuingat!”
“Haahh…!” Suro Bodong mendesah lagi. Ia berhenti melangkah. Ia
memandang Saga. Dalam hatinya berkata,
“Anak ini mungkin bisa berguna
bagiku…”
Saga melihat rona kekecewaan di
wajah Suro Bodong yang bermata selalu
semburat merah tipis, seperti orang
mabok. Kekecewaan itu membuat rasa
haru di hati Saga, lalu ia segera
berkata:
“Bersabarlah, Kang. Aku akan
selalu berusaha untuk mengingatnya.
Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti, atau besok, atau… kapan saja aku
ingat, pasti kukatakan kepadamu.”
Suro Bodong menghempaskan nafas.
Angkat bahu tanda pasrah, lalu garuk-garuk kumis dengan telunjuknya. Ia
bertanya pelan, bagai tak bersemangat:
“Masih jauh rumahmu?”
âTidak Itu, di balik deretan
rumah itu…”
“Ayo ke sana..!” ajak Suro Bodong dengan hati gundah sejak ia mendengar
kata-kata Saga tadi.
Saga buru-buru menggeret tangan
Suro Bodong dan bersembunyi di
belakang WC jamban. WC itu terbuat
dari bilik, bagian atapnya telah rusak akibat terbakar. Dan ternyata di depan WC itu, juga
di beberapa tempat
lainnya, banyak bangunan sisa
kebakaran yang masih berserakan. Belum dibangun lagi oleh bekas pemiliknya.
Ada sekitar empat atau enam rumah yang bekas terbakar. Suro Bodong menggumam
heran.
“Hei,” bisik Suro Bodong. “Mana rumahmu?”
Saga menuding. “Itu, yang ada di
bawah pohon kelapa tinggi itu…!”
“Lalu kenapa kita bersembunyi di
sini? Baunya aku tak tahan,” sambil sesekali Suro Bodong mengibaskan
tangannya di depan hidung.
“Kau lihat rumahku?”
“Iya. Aku tahu, yang di bawah
pohon kelapa tinggi itu, kan?”
“Kau lihat di sekitar rumahku
itu?”
Suro Bodong memperhatikan keadaan
rumah yang dimaksud Saga. O, ya… ada beberapa orang berseragam biru hitam
dan ada beberapa orang yang berkuda.
Mereka agaknya sedang memeriksa
keadaan sekitar rumah Saga. Ada yang
menggali di bagian belakang rumah, ada yang membongkar genteng bagian
pinggir, ada yang mengorek-ngorek
bawah tiang, dan mereka agaknya sangat sibuk.
‘Siapa mereka itu, Saga?” bisik
Suro Bodong.
“Mereka orang-orang Kepatihan
Benteng Cadas.”
“Ooo…” Suro Bodong manggut-manggut. “Apa yang mereka lakukan di rumahmu itu?”
“Pasti mereka menggeledah seluruh isi rumahku! Sialan!”
“Apakah ayah-ibumu tidak
melarangnya jika begitu?”
“Ibuku sudah lama meninggal,”
jawab Saga pelan.
“Oh, maaf. Aku tidak
menyuruhnya,” kata Suro Bodong tanpa menyadari arti kata-katanya. “Lalu, ayahmu…?”
“Ayahku… ayahku sudah seminggu
ditawan oleh orang-orang Benteng
Cadas.”
Saga tampak sedih. Suro Bodong
mengusap ngusap kepala anak itu. Ia
mendesah lirih, ikut bersedih Saga
melanjutkan kata:
“Ia ditawan di sana. Katanya,
untuk menebus ayahku, cukup mahal.
Sebab itulah aku bertekad melawan
Kenanga tadi dengan meminta imbalan
uang banyak. Maksudku uang itu akan
kugunakan menebus ayahku…”
Suro Bodong tertegun sejenak,
matanya menyaksikan orang-orang
berseragam yang sibuk menggeledah
rumah Saga.
Suro Bodong menarik kesimpulan,
bahwa Saga dalam ancaman bahaya. Pasti ia pun dicari oleh orang-orang itu.
Kasihan sekali anak ini, pikir Suro
Bodong. Tak ada waktu untuk
mengajarkan silat sebagai pegangan dan bekal Saga. Sebab itu, dengan cepat
Suro Bodong meraih bambu kecil.
“Astaga…! Mereka mengeluarkan
semua barang-barang di dalam
rumahku…” keluh Saga dalam bisikan.
Suro Bodong memandang kejadian itu
dengan tangan sibuk mematahkan bambu
kecil. Bambu tersebut dipatahkan
dengan tanpa mengakibatkan pecahnya
bambu itu.
“Kang, lihat kekasaran orang-orang itu…!” bisik Saga dengan
gemas.
“Aku tahu,” jawab Suro Bodong seraya mengintip bambu kecil itu yang
ternyata bolong melompong dan tidak
ada keretakan. Lalu ia segera membelah ujung bambu dengan kuku jempol
tangannya. Sulit sekali, namun
akhirnya berhasil. Ujung bambu
terbelah sedikit, itu sudah cukup.
“Kang, apa yang kau lakukan itu?”
“Tenang saja, Saga. Ini nanti
akan menjadi senjata buat kamu…”
jawab Suro seraya ia memandang ke
tanah sekeliling. Saga memperhatikan
dengan heran. Dalam hatinya bertanya—
tanya: bambu kecil, tak lebih dari
sejengkal, bagaimana mungkin bisa
dibuat senjata? Apalagi melawan orang-orang Kepatihan yang berkuda dan
gagah-gagah semua. Belum lagi saat ini mereka berjumlah sekitar tujuh orang
berkuda, mana mungkin senjata bambu
kecil dan pendek itu bisa dipakai
untuk melawannya?
Suro Bodong benar-benar sibuk. Ia
meraih selembar pelepah pisang yang
sudah kering. Ia membesetnya, lalu
menggigit-gigit kulit pelepah pisang
itu. Susah sekali, namun akhirnya
berhasil. Ia memperoleh secuil kulit
pelepah pisang yang sudah kering,
namun masih alot. Kulit tersebut
berusaha disisipkan di antara ujung
bambu yang telah terbelah sedikit itu.
Susah, tapi akhirnya berhasil juga.
Saga masih terheran-heran dan
tidak mau banyak tanya, karena di
dalam hatinya juga penasaran: apa
yang akan dilakukan Suro Bodong yang
berambut tak teratur itu? Waktu Suro
Bodong memasukkan bambu itu ke
mulutnya dan meniupnya pelan-pelan,
barulah Saga tahu bahwa Suro Bodong
membuat sebuah peluit dari bambu
tersebut. Namun kali ini, Suro Bodong
membongkar lapisan kulit yang dijepit
di antara belahan ujung bambu. Ia
membetulkan letaknya sesaat, kemudian
meniupnya lagi dengan tiupan pelan-pelan. Kemudian ia tersenyum lega
seraya memberikan bambu itu.
“Pakailah sempritan ini sebagai
senjata buatmu,” kata Suro Bodong.
Saga masih heran sekalipun ia
menerimanya.
“Senjata…? Senjata untuk apa
ini?”
“Tiuplah…!”
Saga mencoba meniupnya dengan
pelan. Tak ada bunyi apa-apa yang
keluar dari peluit bambu itu.
“Mana bunyinya?” tanya Saga
heran.
“Peluit itu sebenarnya berbunyi,
tapi telinga kita, pendengaran manusia tidak bisa mendengarnya. Suara yang
keluar dari peluit itu cukup tinggi,
di atas pendengaran manusia, sehingga
manusia tidak akan bisa mendengarnya.”
Saga merasa sedang dibohongi oleh
Suro Bodong. Ia benrtaksud
membuangnya.
“Ah, kamu bercanda dalam keadaan
begini, Kang…!”
“Eh, tunggu. Jangan dibuang!
Dengar,ya… peluit ini kuatur
suaranya melalui kulit gedebong pisang yang terjepit di ujungnya. Memang
suaranya tidak bisa kaudengar, sebab
seperti kukatakan tadi, suara peluit
ini di atas daya tangkap pendengaran
manusia. Tetapi hewan apa pun akan
mendengarnya. Dan hewan apa pun yang
mendengarnya akan merasa ditusuk-tusuk telinganya. Suara dari peluit ini
tidak akan disukai oleh hewan apa pun.
Kalau tidak percaya, coba kau tiup
dengan hempasan nafas agak keras.”
Saga melakukan perintah Suro
Bodong, ia meniup bambu kecil itu
dengan tiupan agak kencang. Suro
Bodong melirik ke arah rumah Saga.
Pada saat itu, ada beberapa kuda yang
diikatkan pada pohon, dan ada yang
masih ditunggangi oleh orang-orang
berseragam biru hitam. Kuda-kuda
tersebut tiba-tiba meringkik bagai ada yang menggelitik. Bukan hanya satu
kuda, tetapi semua kuda meringkik
saling bersahutan.
“Lihat, kuda-kuda itu meringkik
dan bergetar-getar kakinya. Itu
pertanda suara ini bisa didengar oleh
kuda dan menggelitik telinganya.”
Saga tersenyum bangga. Lalu ia
mengarahkan bambu itu ke rumahnya dan
meniupnya lebih keras. Tak ada suara
yang keluar dari peluit itu. Namun
kuda-kuda itu semakin meringkik bagai
jeritan, dan kaki depannya terangkat—
angkat. Penunggang kuda kebingungan
dan berusaha mengendalikan hewan
tersebut. Saga tertawa, “Hebat. Kau hebat, Kang!”
Salah seorang berseragam biru
huam berseru, “Hei, ada orang di sana!
Siapa itu?!”
“Gawat! Teriakanmu didengar oleh
mereka, Saga!”
TIGA
SAGA sempat memasukkan peluit
bambu ke dalam kantong bajunya yang
berlengan panjang itu, sebelum orang-orang berseragam biru hitam menangkap
mereka berdua. Suro Bodong dan Saga
berjalan dalam todongan dua orang
bersenjata tombak tajam. Masing-masing tombak panjangnya seukuran tubuh
manusia dewasa. Di tiap mata tombak
selain tajam dan berbentuk seperti
ujung panah, juga di bawah mata tombak itu terdapat duri-duri tajam. Tempat
yang bagai ditumbuhi duri itu kira—
kira sepanjang dua jengkal dari mata
tombak. Jika kulit manusia tersentuh
batang tombak bagian tersebut, sudah
pasti akan terluka gores beberapa
baris.
“Apa yang kau lakukan mengintai
kami, hah?!” bentak seorang lelaki berewok dari atas punggung kuda.
Mungkin dialah pimpinan dari keenam
orang penggeledah rumah Saga itu.
“Kami tidak mengintai,” jawab Suro Bodong dengan garuk-garuk
kumisnya tebal, bersikap tenang.
“Jangan-jangan orang ini ada
hubungannya dengan Ki Pupus,” seru seseorang yang tadi terlihat mengorek-ngorek tanah di bawah
tiang rumah
belakang.
“Kalau memang benar dia ada
hubungannya dengan Ki Pupus, berarti
dia juga tahu apa yang kita cari,
Brogo!” seru orang yang satunya lagi dengan memanggil Brogo kepada laki-laki berewok di atas
punggung kuda.
“Benar, kau ada hubungan dengan
Ki Pupus?!” tanya Brogo kepada Suro Bodong. Dengan santai, sebentar garuk-garuk kumis, Suro
Bodong menggeleng.
“Bohong! Kau pasti ada hubungan
dengan Ki Pupus!” bentak Brogo.
“Mengakulah sebelum kuseret kau ke Benteng!”
“Ki Pupus itu siapa? Pawang
hujan?!”
Brogo gemas melihat ketenangan
Suro Bodong yang berani bicara santai
sekali di depannya. Ia segera
memerintahkan kepada anak buahnya:
“Ikat kedua orang ini di pohon,
dan cambuk sampai ia mengaku…!”
Dua orang menyeret Saga dan Suro
Bodong ke sebuah pohon kelapa yang
menjulang tinggi. Salah seorang
mengambil cambuk dan tali dari pelana
kudanya. Sedangkan tiga orang yang masih di atas punggung kuda, demikian
juga Brogo yang bersenjata pedang di
pundaknya.
Saga memang mempunyai nyali yang
cukup besar. Dalam suatu kesempatan,
sebelum tali datang untuk mengikatnya, ia berhasil meronta dan meloloskan
diri.
“Aku tidak mau…! Aku tidak mau
dicambuk…!”
“Saga…?!” keluh Suro Bodong dengan kecewa, karena hal itu malahan
akan mencelakakan diri Saga. Padahal
Suro Bodong mempunyai rencana sendiri
untuk masalah ini. Tapi kini Saga
telah berhasil lolos dan berlari kian
kemari dikejar-kejar tiga orang,
termasuk si pembawa cambuk dan tali
yang dipakai untuk mengikat tubuhnya.
Salah seorang mengejarnya dengan kuda.
Dan yang lainnya segera membuat
barisan penghalang jalan dengan
menjajarkan kuda mereka di depan Saga.
Sementara itu, tangan Suro Bodong
belum terikat, namun masih dalam
todongan tombak.
Tiba-tiba Saga berguling-guling
di tanah sambil meniup peluit
bambunya. Kontan kuda-kuda
jejingkrakan, meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya dengan hentakan
keras. Para penunggang kuda kewalahan.
Dua di antaranya terjatuh tak tentu
letak. Sementara dua kuda yang salah
satu ditunggangi Brogo meronta-ronta
dengan binal. Brogo terlempar dari
punggung kuda yang meringkik-ringkik.
Kuda-kuda itu mengamuk di tempat
tersebut dengan ringkiknya yang
menjerit-jerit membingungkan mereka.
Saat itulah Suro tersenyum, kemudian
segera menendang orang yang
menodongkan tombak ke arahnya. Orang
tersebut terpana oleh kejadian aneh
itu, maka dengan mudah Suro Bodong
menendang dadanya hingga orang itu
terpelanting jauh memur pohon kelapa.
Orang yang menodongkan tombak itu
hendak melemparkan tombaknya ke arah
Suro Bodong. Tetapi seekor kuda yang
brutal telah menyepak tengkuk
kepalanya dengan keras. Ia memekik dan jatuh tersungkur dengan wajah
membentur batu.
Orang-orang Kepatihan itu masih
bingung dan belum mengetahui mengapa
kuda-kuda mereka menjadi mengamuk
seperti itu. Dua penunggang kuda dalam keadaan patah kaki dan tulang pada
pundaknya. Mereka mengaduh-aduh seraya menggelosor di tanah. Kuda-kuda itu
berhenti meringkik, berhenti mengamuk, setelah Saga juga berhenti meniup
peluit bambu. Saga segera berlari ke
arah Suro Bodong.
“Kang, ayo kita lari…!
Lekas…!” Saga menarik-narik tangan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong
bertahan. Sorangbersenjata tombak
segera berlari menyongsong Suro Bodong
“Cepat cari tempat persembunyian
yang aman…!” perintah Suro Bodong kepada Saga. Saga pun lari ke puing-puing bekas rumah
tetangganya yang
sudah terbakar habis.
Suro Bodong melompat pada saat
tombak itu melesat ke arah perutnya.
Sambil melompat, kaki kirinya
menendang dagu orang tersebut sehingga orang itu mengaduh keras. Temannya
menyusul dengan tombak juga. Tetapi
sebelum orang itu dekat dengan Suro
Bodong, Suro telah lebih dulu
menghantam wajah orang yang mengaduh.
Pukulannya cukup kuat. Orang itu
melintir, dan kaki Suro Bodong segera
menendang kuat-kuat tulang rusuk orang itu. “Krak…!” Terdengar bunyi patah dari tulang rusuk itu
yang membuat
orang tersebut makin menjerit dan
jatuh ke tanah kelojotan.
Orang yang baru datang menusukkan
tombaknya ke arah kepala Suro Bodong.
Suro merunduk. Tombak itu menghantam
ke bawah Suro berguling mendekati kaki orang itu. Ia ditendang dan kena pada
bagian leher kirinya. Suro menjadi
telentang. Orang itu menghunjamkan
tombak ke perut Suro Bodong sambil
berteriak,
“Hiaaaat..!!”
Kaki Suro Bodong bergerak bagai
kipas dan membuat tombak yang tinggal
beberapa senti dari dadanya itu
melesat ke arah lain karena
tendangannya. Kemudian Suro Bodong
menggerakkan kedua kakinya ke atas,
memutar, dan dengan punggungnya ia
berhasil melentikkan tubuh hingga
berdiri
“Heaaat…!!”
Suro Bodong berteriak sambil
menendang dalam satu lompatan yang
manis. Baju jubahnya yang terbuka
bagian depan itu berkibar bagai sayap
garuda menghempas lawan. Orang yang
ditendangnya terbatuk-batuk dan
mengeluarkan darah kental dari
mulutnya. Suro Bodong tak memberi
waktu sedikit pun, ia segera menghantam dada orang itu dengan siku tangan
kanannya setelah ia bergerak ke
samping orang tersebut. Siku itu
menyodok keras di ulu hati sehingga
lawannya terbeliak-beliak dan tak
mampu berteriak.
Empat orang sudah berhasil
dilumpuhkan, kendati yang dua menjadi
tak berdaya karena kakinya patah dan
pundaknya terasa sempal oleh amukan
kuda. Kini tinggal tiga orang
berseragam biru hitam. Mereka
kehilangan kuda, karena kuda-kuda itu
berlarian tak tentu arah setelah Saga
berhenti meniup peluit. Tinggal ada
satu kuda yang masih terikat tali
kekangnya pada sebuah pohon di samping rumah.
Brogo berdiri di depan Suro
Bodong. Pelipisnya berdarah akibat ia
terlempar dari punggung kuda tadi. Dua orang bersenjata bola rantai berduri
dan yang satu bersenjata tombak,
berdiri di samping kanan kiri Brogo.
Orang yang memegangi tombaknya itu
sudah memar matanya akibat ia tadi
terlempar dari punggung kuda juga, dan entah kena apa matanya itu sehingga
bisa biru memar.
“Kuingatkan,”
kata Brogo
menggeram. “Menyerahlah sebelum kami membunuhmu. Lebih baik kau berurusan
dengan Patih Danupaksi, atasan kami
itu di Benteng Cadas!”
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
dengan telunjuk. Ia mengangkat wajah,
sedikit mendongak dan memandang sinis
kepada Brogo. Suro Bodong berkata
juga:
“Kuingatkan, pulanglah ke
atasanmu dan jangan ganggu kami lagi,
sebelum kalian kubunuh semuanya!”
“Siapa kau sebenarnya, Bajingan!”
“Aku…? Aku bajingan! Seperti
yang kau sebutkan tadi!”
“Bah! Kau belum kenal siapa aku,
kau tak akan berani berkata seperti
itu, Bajingan!”
“Ah, aku tidak perlu punya
kenalan seperti kamu. Untuk apa? Aku
sudah punya banyak kenalan bodoh,
mengapa harus mencari yang tolol
lagi?” kata Suro Bodong seenaknya.
Brogo menggeram dengan mata
melebar m-rah. “Jahanam!”
“Kau juga…!” jawab Suro Bodong kalem.
“Bangsat…!!” teriak Brogo.
“Kau juga bangsat!”
Brogo bernapas terengah-engah
karena amukan amarahnya. Suro Bodong
masih berdiri dengan tenang. Dagunya
sedikit terangkat, matanya agak
menyipit, kakinya terenggang tegap. Ia tidak menghidari tatapan mata Brogo.
Ia bahkan berkata:
“Mau apa kau?!”
“Serang…!” teriak Brogo kepada orang di kanan kirinya.
“Serang…!” teriak Suro Bodong yang kemudian terbengong karena
menyadari ia tidak punya orang di
kanan kirinya. “Ah, brengsek..! Biar kuserang sendirilah…!”
“Hiaaaat…!”
“Ciaaaat…!” Suro Bodong
berteriak tanpa bergerak. Hal ini
membuat Brogo memandang heran.
Brogo berkata dalam hatinya:
“Jangan-jangan aku berhadapan
dengan orang gila..?!”
Suro Bodong menggerakkan
kepalanya ke belakang dengan badan
melengkung ke belakang. Bola berduri
yang sebesar kepala bayi itu menyambar di depan hidungnya. Kalau saja kena,
hidung Suro Bodong bisa copot dari
wajah kasarnya.
Suro Bodong segera berguling ke
tanah mendekati pembawa rantai bola
berduri. Lalu dengan cepat kaki
kanannya menendang pinggang orang itu
dan segera ia berdiri lagi dalam satu
hentakan tangan ke tanah. Begitu
berdiri ia disambut oleh hunjaman
tombak orang yang lain. Suro Bodong
terpaksa melompat ke atas dan kakinya
berdiri tepat di atas batang tombak
tersebut. Pemegang tombak terpana
melihat ilmu peringan tubuh yang amat
sempurna dikuasai Suro Bodong sehingga mampu berdiri tegak di batang tombak
yang terjulur ke depan. Orang itu
mengibaskan tombaknya ke kanan dan ke
kiri, maksudnya supaya Suro Bodong
terjatuh. Namun tubuh sedikit gemuk
itu masih saja tetap berdiri tegak di
atas tangkai tombak. Bahkan kali ini
bergeser mendekati wajah orang
tersebut, dan ia menendangkan kaki
kirinya ke samping. Pinggiran telapak
kaki mengenai wajah orang itu.
“Aaaoow!!”
Orang itu menjerit seraya
memegangi matanya yang satu, yang
tidak memar. Saat itu, Suro Bodong
melompat ke arah lain karena bola berduri menyambarnya lagi. Bahkan kini
bola berduri itu berputar-putar bagai
kipas angin, makin lama makin
mendekati kepala Suro Bodong. Suro Bodong hendak berguling, namun putaran
bola berduri itu berubah posisi, kini
seperti menyambar bagian atas dan
bawah. Tentu saja kalau Suro Bodong
berguling ke tanah, ia akan terkena
sambaran bola berduri yang tajam.
Karenanya ia malahan diam di tempat.
Menonton ketrampilan putar bola
berantai panjang sambil garuk-garuk
kumisnya.
Tahu-tahu bola itu meluncur ke
arahnya. “Weess..!” Hampir saja kepala Suro Bodong remuk terhantam bola
berduri yang terbuat dari besi itu.
Untung ia sigap dan segera berguling
ke bawah, kendati untuk itu ia
terpaksa mengadu dagunya dengan batu.
Lecet dagu itu tak dihiraukan. Suro
melihat ada kesempatan bagus di
depannya. Tangan musuhnya kebingungan
menarik rantai, sebab bola berduri itu menancap pada sebuah pohon. Kesempatan itu dipakai Suro
Bodong untuk
berguling sekali lagi dan melancarkan
Tendangan Ayam Kawin ke arah paha.
Tujuh kali tendangan beruntun ke
selangkangan. Orang itu menjerit
kesakitan dengan mulut ternganga
lebar. Suro Bodong segera berdiri
tepat kepalanya di bawah dagu orang
itu. Lalu ia menggerakkan pukulan tangan kirinya ke atas.
“Heaah…!!” Dan pukulan itu mengena telak di dagu orang tersebut.
Perut orang itu ada di depan hidung
Suro Bodong. Segera saja perut
tersebut ditebas oleh kedua tangannya
dengan pukulan samping telapak tangan.
Kedua pinggang yang dipenggal oleh
tangan Suro Bodong itu membuat perut
tersebut seperti dijepit besi besar
dan membuat orang itu susah bernapas.
Gerakan berikutnya takberbeda
waktu, yakni kedua tangan Suro Bodong
menapak di tanah, lalu dia
menggerakkan kakinya ke atas dengan
kuat. Tendangan sambil nungging itu
mengenai ketiak orang tersebut. Tangan itu lepas memegangi rantai bola
berduri, dan kaki Suro mengibas lagi
ke rusuk orang itu, sehingga orang itu terpental dan berguling-guling seraya
berusaha untuk berteriak dengan susah.
Brogo berlagak tenang. Bertepuk
tangan seenaknya dengan senyum sinis
memancarkan kebencian.
“Bagus sekali permainanmu itu,
Kawan…” kata Brogo.
“Ah, sudah lama aku bisa bermain
dengan bagus,” Suro Bodong berlagak tersipu. Ia berdiri menunggu saat
tertentu di mana Brogo akan
menyerangnya. Ia sempat garuk-garuk
kumisnya dengan jari telunjuk
“Tapi aku, Brogo… belum tentu
bisa kau buat seperti dia…” kata Brogo seraya masuk selangkah demi
selangkah.
“Ah, itu soal gampang!” kata Suro Bodong tak mau kalah gertak. “Aku bisa menjagal kebo hutan
kok!”
“Tapi aku bukan kebo, tahu?!”
bentak Brogo dengan mata melotot. Lalu dia segera mencabut pedangnya dari
punggung.
“Ratusan orang sudah pernah
merasakan kehebatan pedang ini, tahu?!
Dan hampir semua yang pernah merasakan pedangku ini tak ada yang mau hidup
lagi.”
“O, ya? Aku belum merasakan.
Coba, kurasakan…!”
Brogo benar-benar panas hatinya,
merasa disepelekan oleh Suro Bodong.
Karenanya ia segera menyerang Suro
Bodong dengan satu teriakan yang cukup keras dan membuat Suro Bodong kaget.
Suro Bodong tidak main-main terlonjak
kaget karena teriakan itu, sehingga ia tertawa sendiri merasakan kelucuannya.
Namun tubuh Suro Bodong dapat mengelak tikaman pedang yang terarah kepadanya.
Hanya dengan merubah posisi kaki yang
tanya menghadap ke Brogo, kini kaki
kanan ditarik ke belakang dan dia jadi menghadap ke samping, maka pedang
Brogo molos melalui depan perutnya.
Tangan kanan menghantam
pergelangan tangan Brogo yang
memegangi pedang, dan tangan kiri
melebar ke samping dengan satu kepalan kuat. Kedua tangan yang bergerak
serentak itu membuat Brogo
terpelanting beberapa langkah, karena tangan kiri Suro yang bergerak bagai
sayap garuda melebar itu mengenai pipi Brogo. Suro Bodong berjalan menyamping dengan mata
melirik Brogo. Jarak
mereka cukup renggang, sehingga untuk
menyerang Brogo perlu melompat dan
bersalto di udara. Ia melayang
melewati kepala Suro Bodong.
“Hiaaaaaat…!!”
Pedang mengibas bagai hendak
membelah kepala Suro Bodong. Tetapi
Suro Bodong justru berguling ke tanah
sehingga jarak itu semakin jauh saja.
“Kau cukup alot, Bajingan!” geram Brogo.
“Memang. Aku sendiri heran,
mengapa aku tidak bisa mencicipi
pedang pembelah kayu bakar itu,” ucap Suro Bodong dengan kalem. Ia garuk-garuk kumis, lalu
tersenyum. Hal itu
menambah kegemasan hati Brogo.
“Rupanya aku tak boleh main-main
lagi denganmu!” kata Brogo dengan kata-kata pelan dan tandas.
“Ya. Kurasa jangan main-main.
Pulang saja, nanti emak dan bapakmu
mencarimu, Nak!”
Brogo menggumam dalam geram yang
mata membakar darah. “Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu menerima
jurus Pedang Gunturku ini…!”
“Nah, begitu…! Dari tadi kek
dikeluarkan jurus pedang yang bisa
buat hiburan orang sunatan. Ayo…
jangan sungkan-sungkan…!”
Brogo tidak mempedulikan ucapan
tersebut. Ia segera merendahkan kedua
kaki yang mengangkang. Pedangnya
melintang di atas kepala. Tangan kanan memegangi tangkai pedang dan tangan
kirinya bagai mendorong sesuatu yang
berat dari batas pinggang sampai ke
atas, menyentuh pucuk pedang. Tangan
kiri itu mengusap tepian pedang dari
pucuk sampai ke tangkainya, lalu
menyatu dengan tangan kanan, memegangi tangkai pedang. Kedua tangan
menebaskan pedang ke arah samping
kanan, ke samping kiri, menarik ke
belakang, dan menusukkan ke depan
dengan satu teriakan keras:
“Heaaaat…!”
“Ziiing…!”
Keluar benang api dari ujung pedang, berkelok-kelok melesat mengejar Suro Bodong. Gerakan benang
api yang
berpijar merah itu seperti ular sanca
yang meliuk-liuk memburu mangsa. Suro
Bodong kebingungan, karena merasa
aneh. Ia segera melompat ke samping
kiri ketika benang api itu hendak
menembusnya. Tetapi benang api itu
mengejarnya dengan belokan yang tajam.
Benang api yang berpijar-pijar seakan
mempunyai nyawa untuk memburu mangsa.
Brogo tertawa terbahak-bahak
melihat kebingungan Suro Bodong
dikejar benang api yang bergerak
seperti ular sanca. Ia diam saja,
menjadi penonton yang penuh
kegembiraan.
“Mampus kau, Bajingan
tengik…!!” teriaknya di sela tawa yang terbahak-bahak
Suro Bodong berguling ke tanah
beberapa kali, tapi benang api
berpijar itu juga hendak menembus ke
tanah. Benda aneh bercahaya pijar itu
tak jadi menembus ke tanah setelah
Suro Bodong menghentakkan kaki,
melompat ke udara. Benda tersebut ikut melesat ke udara. Memang tak begitu
cepat jalannya, tidak seperti kilat
menyambar. Namun cukup membuat Suro
Bodong kebingungan. Dan jika sudah
kebingungan begitu, ia menjadi panik.
Atau jika panik ia menjadi kebingungan tujuh keliling. Ia tak tahu harus
berbuat apa kecuali berlari pontang
panting menghindari benang api itu.
Bahkan ketika Suro Bodong tergopoh—
gopoh mendekati pohon untuk
berlindung, benang api itu melesat
tertuju ke bagian kepala. Suro Bodong
merunduk. Benang api itu lolos lewat
di atas kepala Suro Bodong. Tetapi
benang api itu segera membelok,
kembali lagi menyerang dan mengejar
Suro Bodong, hingga lelaki berperut
sedikit buncit itu tersungkur jatuh
tengkurap karena tersandung akar
pohon.
“Aaooww…!” pekiknya dalam
kebingungan. Ia panik dan benar-benar
gugup. Keringat dinginnya mengucur dan wajahnya sempat menjadi pucat. Ia
segera mengambil ranting pohon yang
kering. Ketika benang api itu
menyerangnya, ia merunduk dan ranting
itu menjadi sasaran benang api
tersebut. Tetapi justru menimbulkan
ledakan kecil yang apinya merontoki
rambut Suro Bodong. Kontan saja Suro
Bodong semakin jejingkrakkan sambil
menepak-nepak kepalanya, takut
terbakar. Ia masih berlari ke balik
pohon besar tanpa mempedulikan tawa
Brogo yang terpingkal-pingkal. Benang
api masih mengejarnya bagai tak kenal
lelah
Saga melihat Suro Bodong
bersembunyi di balik pohon besar. Saga segera melambaikan tangan:
“Kang…! Sini…! Sembunyi di
sini…!”
Suro sempat melihat ada tembok
hangus di tempat persembunyian Saga.
Pada waktu itu, benang api muncul dan
hendak menyerang leher Suro Bodong.
Secepatnya Suro Bodong beranjak dari
tempat itu dan berlari ke tempat
persembunyian Saga.
“Tenang, Kang… tenang…!” Saga menarik tangan Suro untuk bersembunyi
dari balik dinding hangus. ‘Tenang,
benda aneh itu tidak dapat mengejarmu.
Dia tidak tahu kalau.”
“Tidak tahu apa?! Lihat, benda
itu menuju ke mari…!” Suro Bodong menuding ke arah benang api berpijar
yang melesat ke arahnya.
“Apa kau tidak punya jurus
simpanan untuk melawan benda aneh itu, Kang?” tanya Saga. Dan seketika itu Suro teringat suatu
simpanannya, yaitu sebuah pedang.
Ia segera menarik napas dalam-dalam, kemudian tangan kanannya
menggenggam pergelangan tangan
kirinya. Dan ia segera menghentakkan
tangan kanannya ke depan. Pada saat
itu, tangan tersebut sudah memegang
sebilah pedang putih yang memancarkan
sinar ungu. Itulah Pedang Urat Petir,
pusaka Suro Bodong yang dapat disimpan di dalam kulit lengan kirinya. Saga
membelalakkan mata memandang pedang
itu dengan perasaan heran bercampur
kagum. Suro Bodong tak sempat memberi
penjelasan apa-apa. Benang api yang
berpijar itu membelok, masuk di balik
dinding hangus. Suro Bodong menggerakkan Pedang Urat Petir ke arah benang
api tersebut. Dan benda itu menempel
pada ujung Pedang Urat Petir. Ia
menempel kaku seperti kawat berpijar,
lalu tak berapa lama padam, dan hilang begitu saja.
Brogo tidak tahu apa yang terjadi
di balik tembok hangus itu. Tetapi ia
masih tertawa-tawa dengan bangga
sambil berdiri, bersandar pada sebuah
pohon.
“Mau bersembunyi di mana kamu,
Kunyuk?! Mau lari ke mana, hah? Tidak
mungkin kamu bisa lolos dari jurus
Pedang Gunturku itu. Huaaa, ha, ha,
haaaa….!” Brogo sengaja mengumbar tawa kemenangan.
Tetapi tawa itu menjadi reda.
Diam seketika dengan mata membeliak
lebar sewaktu Suro Bodong muncul dari
balik dinding hangus. Brogo tak sempat bicara melihat pedang bersinar ungu
tergenggam di tangan Suro Bodong. Ia
mulai tegang dan berdebar-debar. Sebab biasanya, orang yang dikejar benang
api tak pernah ada yang berhasil hidup lagi. Tapi sekarang, lawannya kali ini justru tersenyum sambil
menghampirinya.
“Pusakamu cukup hebat, Brogo!
Cukup untuk dijadikan satu tontonan di pasar malam. Tapi, bagaimana dengan
pedangku ini? Kau bisa menandingi
kehebatannya?”
Suro Bodong semakin mendekat,
Brogo semakin melangkah mundur dengan
tegang. Kalau lawannya kali ini bisa
selamat dari kejaran api Pedang
Guntur, berarti lawan itu bukan orang
sembarangan. Tentu Brogo bukan
tandingannya. Itulah sebabnya Brogo
menjadi tegang dan mulai cemas. Ia tak punya jurus lain yang lebih ampuh dari Pedang Guntur.
“Paman Brogo… bahaya…!” seru seorang yang patah tulang pundaknya.
Lalu orang yang bermata memar dan kini menjadi memar lagi setelah mendapat
serangan dari Suro tadi juga
berteriak:
“Paman Brogo, mari kita
tinggalkan dia…!”
Suro Bodong memandang geli
melihat wajah Brogo ketakutan. Ia
tadinya merencanakan untuk melancarkan jurus Pedang Jitu, tetapi hati
kecilnya melarang. Hati kecilnya
mengatakan, bahwa ia hanya perlu
memberi pelajaran sedikit kepada Brogo dan orang-orangnya, supaya segera
pergi dan tidak mengganggu Saga.
“Brogo… Aku punya sedikit oleh—
oleh buat kamu pulang nanti. Itu kalau kamu mau pulang, kalau mau tetap
dimakamkan di sini ya, silakan saja.
Nah, terimalah jurus Pedang Colok
ini… Hiaat…! Hiiat… hiaat…
haiat….”
Suro Bodong menghunjamkan
pedangnya ke tujuh arah sekelilingnya
dengan tenaga kuat. Lalu ia
mengibaskan pedang itu di depan mata
Brogo. Jarak mereka ada sepuluh
langkah, tapi tiba-tiba Brogo
berteriak setelah pedang Suro Bodong
dikibaskan ke samping.
“Aauww…! Aku… aku buta…!
Ooh, aku butaa!!” Brogo kebingungan Matanya mengerjap-ngerjap dan merasa
perih. Tangannya meraba-raba karena
pandangannya tiba-tiba menjadi gelap.
Ia berteriak-teriak: “Aku butaa…!
Ooh…”
Beberapa orang yang masih mampu
mendekat, segera membantu Brogo untuk
melangkah. Mereka menjadi tegang dan
kebingungan. Suro Bodong berdiri
dengan tenang garuk-garuk kumis
sebentar.
“Mau pulang apa mau mati di sini.
Pilih saja, Brogo. Kau juga boleh
memilih pulang sambil mati,” kata Suro Bodong sambil memegangi pedangnya
dengan kedua tangan.
“Aku buta, aku tak bisa melihat
apa-apa lagi…!” rintih Brogo.
“Ah, itu tidak lama kok. Tidak
sampai setengah hari kau akan bisa
melihat lagi, Brogo. Itu kan cuma
jurus penutup mata lawan dalam
pertarungan. Jadi, yah… cuma
sementara saja. Sebenarnya, habis ini
aku harus membunuhmu!”
“Oh, jangan…! Jangan bunuh aku.
Ayo, anak-anak.. tuntun aku pulang.
Ayo, pulang…! Yang sakit bantu
berdiri. Ooh… perih sekali
mataku…!”
Suro Bodong tertawa melihat
mereka sempoyongan kembali ke
Kepatihan Benteng Cadas. Pada saat
itu, Saga buru-buru keluar dari
persembunyian dan mendekati Suro
Bodong. Ia ingin mengatakan sesuatu,
tapi lidahnya kelu saat melihat Suro
Bodong memasukkan pedang ke dalam
daging lengannya melalui pergelangan
tangan kiri. Dan pedang itu masuk
seluruhnya ke dalam lengan, tanpa
meninggalkan bekas luka setitik jarum
pun di pergelangan tangan tersebut.
Saga tak henti-hentinya berdecak dan
mendesah kagum.
“Kau benar-benar pendekar yang
hebat, Kang Suro.”
“Syukur kalau kau mengakuinya,
Saga. Ah, lupakan saja soal itu.
Sekarang aku ingin bertanya: tadi
mereka menuduhku punya hubungan dengan Ki Pupus. Kau kenal orang itu?”
“Kenal. Aku kenal sekali dengan
Ki Pupus,” jawab Saga.
“Siapa orang itu?”
“Ayahku…”
“O, jadi…? Jadi, Ki Pupus itu
ayahmu? Lantas, kenapa mereka
menangkap dan menawan ayahmu? Mengapa
mereka tampaknya penasaran?”
“Mereka mengira ayahku
menyembunyikan pedang. Mereka tak
percaya kalau ayahku hanya seorang
petani biasa. Ketika ada petir
menyambar-nyambar, banyak rumah di
sini yang terbakar kesamber petir.
Hanya rumahku yang selamat, lalu
mereka mengira hal itu dikarenakan
ayah mempunyai pusaka yang mereka
cari-cari, yaitu Pedang Urat Petir…”
Suro Bodong terbengong. “Mereka
mencari Pedang Urat Petir? Gila! Untuk apa?! Siapa sebenarnya mereka itu?!”
Saga diam saja, sebab ia tak tahu
bahwa yang dilihatnya tadi adalah
Pedang Urat Petir.
EMPAT
MALAM merambah. Atas pertimbangan
Suro Bodong, mereka tidak tidur di
rumah Saga. Mereka hanya mengambil
beberapa peralatan seperlunya, lalu
pergi ke tempat persembunyian Saga, di balik tembok hangus. Di sana, ada
ruang yang menuju ke bawah tanah.
Sebuah ruang rahasia yang ditinggal
mati oleh penghuninya. Di situ ada dua dipan, satu meja dan sebuah almari
makanan kering. Gula, teh, kopi,
tembakau, ada di situ semua. Agaknya
ruangan tersebut sengaja dibuat oleh
penghuninya untuk menanggulangi
bahaya. Tempat persembunyian itu cukup aman. Sayang penghuninya telah mati
terbakar ketika rumah itu disambar
petir minggu lalu.
“Aku takut berada di sini, Kang.
Pak Jayus, sekeluarga yang memiliki
rumah ini sudah mati.”
“Yang sudah mati ya biar saja
mati. Jangan pikirkan,” kata Suro Bodong. Ia sibuk membakar jagung di
tempat perapian. Sebelum masuk ke
tempat bawah tanah itu, sore tadi Suro Bodong sempat memetik beberapa jagung
dari ladang di belakang rumah Saga. Ia paling menyukai jagung bakar.
“Kalau kau mau tidur, tidurlah.
Aku akan berjaga-jaga mengusir hantu,
kalau memang ada hantu yang berani
mendekatiku. Kalau tidak ya tak perlu
panggil-panggil hantu, kan?” Suro asyik membolak balik jagung bakarnya.
“Belakangan ini aku jarang bisa
tidur dengan nyenyak, Kang. Aku
memikirkan ayah.” Lalu Saga mengeluh sendiri, “Kasihan ayah… dipenjara tanpa berbuat salah.
Disiksa tanpa
bisa bertindak. Aku ingin sekali
menebus ayah berapa pun mahalnya…”
“Percuma,” ujar Suro pelan.
“Ayahmu tak akan bisa ditebus dengan uang berapa pun jumlahnya.”
Saga yang terbaring mengangkat
kepala. “Tapi, Kang… dulu aku pernah bertemu dengan salah seorang prajurit
Kepatihan, dan kutanyakan tentang cara menebus ayah. Tapi dia bilang, ayah
harus ditebus dengan mahal.”
“Bukan ditebus dengan uang,
maksudnya. Melainkan dengan Pedang
Urat Petir…!”
Saga tertegun dalam lamunan
murungnya. Suro Bodong merasa kasihan
ketika melirik Saga. Ia berkata.
“Hanya Pedang Urat Petir yang
mereka butuhkan. Jika mereka sudah
menemukan Pedang Urat Petir, ayahmu
akan dibebaskan.”
“Tapi ayah tidak punya pedang
itu, Kang. Ayah cuma punya cangkul,
sebab dia petani biasa. Kalau Cangkul
Urat Petir, mungkin ayah punya. Tapi
kalau pedang, tidak.”
Suro Bodong tersenyum geli. Ia
manggut-manggut. “Aku percaya kata-katamu. Percaya betul bahwa ayahmu
tidak mempunyai pedang itu. Sebab…”
Mulut Suro Bodong berhenti
bicara. Ia ragu dan mempertimbangkan:
haruskah Saga mengetahui bahwa Surolah yang mempunyai Pedang Urat Petir? Ini
yang dipertimbangkan Suro Bodong. Dan
bungkamnya mulut Suro membuat Saga
heran, lalu bertanya:
“Sebab apa, Kang? Kau mau bilang
apa tadi?”
“Hemm… tidak. Aku cuma mau
bilang, sebab itu sulit ditemukan. Itu saja!” Suro memutuskan untuk menjawab begitu. Ia khawatir,
kalau Saga tahu
bahwa ia memiliki Pedang Urat Petir,
berita itu bisa bocor ke mana-mana.
Saga orang yang gampang kagum. Gampang memuji dan mudah bangga terhadap
berita mengherankan. Bisa-bisa di luar kesadaran Saga, anak itu akan
menceritakan siapa pemilik Pedang Urat Petir.
“Kang…?”
“Hemm…?!”
“Petir itu apa ada uratnya?”
Pertanyaan polos itu cukup
menggelikan hati Suro Bodong. Ia hanya menjawab:
“Mana aku tahu. Aku belum pernah
disambar petir kok!”
Saga manggut-manggut, seakan
serius sekali menanggapi kata-kata
Suro Bodong. Ia bahkan berkata:
“Aku juga belum kok. Waktu rumah
orang-orang disambar petir itu, kok
rumahku tidak disambarnya sekalian,
ya? Apa ayahku itu orang sakti
sehingga petir takut menyambar?!”
“Mungkin. Tapi kalau menu rut
perkiraanku, itu hanya tergantung
nasib kok. Nasib baik ada pada
rumahmu.”
“Aneh sekali, ya?”
“Nasib itu memang serba aneh. O,
ya… di depan rumahmu itu kan ada
pohon kelapa yang tinggi?”
“Iya. Nah, kalau pohon itu malah
ikut tersambar petir, Kang. Cuma,
tidak sampai roboh. Hanya terbakar
bagian pucuknya. Aku melihat sendiri
api yang membakar daun-daun kelapa
itu, Kang.”
“Itu…! Itu yang membuat rumahmu tidak disambar petir. Jadi, sewaktu
petir hendak menyambar rumahmu, ia
sempat mampir dulu ke pohon kepala…
eh, ke pohon kelapa itu. Coba kalau
tidak ada pohon kelapa yang menjulang
tinggi, dan lebih tinggi dari atap
rumahmu, bahkan lebih tinggi dari
pohon-pohon lainnya, oooh… pasti
rumahmu juga ikut kena jatah disambar
petir, Ga. Seperti rumah orang-orang
yang terbakar itu, kan tidak punya
pohon setinggi pohon kelapamu itu.
Iya, kan?”
Saga mengangguk dan termenung
beberapa saat. Suro Bodong mencicipi
salah satu jagungnya yang sudah hangus sebagian. Ia meniup-niup biji jagung,
lalu melemparkan ke mulutnya.
Sementara jagung yang lain dipasang
lagi di atas anglo tanah. Mirip tungku buat memasak.
“Kang…” kata Saga lagi,
memecahkan kesuny ian. “Kalau mau mencari Pedang Urat Petir itu di
mana?”
“Memangnya mau apa kau?”
“Aku mau mencarinya, lalu
kuserahkan kepada Patih Danupaksi
untuk menebus ayahku “
Suro Bodong diam. Sedikit tak
enak kata-kata itu didengarnya, namun
ia segera menyadari bahwa itu hanyalah ucapan seorang bocah yang ingin
membela ayahnya. Wajar saja. Namun,
betapa tenangnya Suro, akhirnya ia
gelisah juga. Resah memikirkan mengapa orang mencari-cari pedangnya? Akan
digunakan untuk apa? Dan siapa yang
sangat membutuhkannya?
Haruskah ia terlibat terlalu
dalam sampai ke urusan Kepatihan
Benteng Cadas itu? Ah, bukankah ia
punya urusan sendiri? Mencari
kekasihnya yang sangat dirindukan :
Ratna Prawesti. Dan, Suro Bodong
segera ingat bahwa Saga pernah
mendengar nama itu. Mungkin dia suatu
saat akan ingat di mana dan siapa yang menyebutkan nama Ratna Prawesti itu.
Tadi Suro Bodong telah meminta Saga
mengingat-ingatnya, namun tidak
berhasil. Jadi, dia harus sabar
menunggu ingatan Saga, supaya bisa
menjadi penunjuk arah ke mana ia harus mencari Ratna.
“Haruskah begitu?” pikir Suro Bodong berkali-kali. Ia berkata dalam
hati, jika aku harus menunggu ingatan
Saga, berarti aku harus membebaskan
ayah Saga dari tawanan orang Kepatihan. Sebab pikiran Saga saat ini
selalu tertuju kepada ayahnya, mencari cara bagaimana ia bisa membebaskan
ayahnya. Itulah sebabnya ia tidak
ingat tentang nama Ratna Prawesti.
Wah, kacau…. kenapa aku jadi
terlibat ke urusan seperti ini? Kalau
begitu, apa yang harus kulakukan untuk membebaskan ayah Saga, ya? Menyerang
Kepatihan? Atau mencuri ayah Saga?
Atau… menyerahkan Pedang Urat Petir
ini? Wah… bingung aku. Bagaimana
caranya, ya…?”
Setelah pagi menyingsing, Suro
baru memperoleh keputusan. Langkah
pertama adalah menyelidiki dulu
keadaan Kepatihan Benteng Cadas itu.
Dia tak tahu arahnya, tapi Saga pasti
tahu di mana Kepatihan Benteng Cadas
itu.
“Kepatihan Benteng Cadas ada di
balik bukit Jati, Kang.” Saga
menjelaskan.
“Kita ke sana, Ga.”
“Wah, berat, Kang. Nanti kita
bentrok dengan penjaga batas Kepatihan lho, Kang. Yang jaga orangnya galak-galak. Dulu, aku ke
sana karena alasan cari kayu, jadi boleh. Kalau alasan
lain, misalnya alasan mau melihat
keadaan Kepatihan, bisa dibacok sama
penjaga di daerah bukit Jati lho.”
“Kita tidak beralasan begitu,
tolol! Kita bisa mencari jalan lain.
Kita bisa pura-pura cari kayu, Ga.
Pokoknya kau jadi penunjuk jalan dan
sebagai pencari kayu. Itu saja!”
“Yaah… terserah Kang Suro
sajalah. Aku menurut!”
Jarak antara tempat persembunyian
dengan rumah Saga tidak begitu jauh.
Maka ketika mereka muncul dari ruang
bawah, mereka dapat langsung melihat
keadaan rumah Saga. Hanya terhalang
tembok hangus sedikit, tapi tidak
menyulitkan mata Suro Bodong untuk
melihat sosok tubuh perempuan berdiri
di depan rumah Saga. Waktu itu, pagi
sudah meninggi. Embun tak tersisa
lagi.
“Perempuan jalang…!” gumam Suro Bodong dalam geram.
Saga mengernyitkan dahi melihat
perempuan berpakaian serba hijau.
Seorang lelaki gemuk ada di samping
perempuan itu Saga juga menggumam:
“Mau apa Kenanga menyambangi
rumahku, Kang?”
“Entahlah…” bisik Suro Bodong sambil menarik pundak Saga supaya
bersembunyi di balik tembok hangus.
“Agaknya ia mencari-cari kamu. Mungkin ia masih penasaran, karena ia ingin
membunuh kamu.”
“Aduh, bagaimana, ya Kang?” Saga cemas.
“Kau diam di sini saja. Biar aku
yang menemuinya dan membuat perdamaian dengannya,” ujur Suro Bodong sambil memetik-metik
biji jagung bakar dengan ibu jarinya. Kemudian ia melangkah
dengan santai. Sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Sesekali
menggaruk kumisnya yang tebal dengan
telunjuk. Saat itu Rogama sedang
memeriksa bagian samping rumah dan
Kenanga masuk ke dalam.
Waktu Kenanga Hijau keluar dari
dalam, Suro Bodong sudah berdiri di
bawah pohon, depan rumah agak
menyamping. Ia berdiri di bawah dengan bahu kiri bersandar pada batang pohon.
“Hai…” sapa Suro Bodong dengan kalem
Kenanga Hijau membelalak waktu
melihat Suro Bodong berdiri sambil
mengunyah jagung bakar. Kenanga segera menutupi kekagetannya. Ia bersikap
tenang dan melangkah hati-hati
mendekati Suro Bodong. Rogama sendiri
juga tercengang melihat Suro Bodong
tersenyum kepadanya. Ia buru-buru
bergabung dengan Kenanga Hijau.
“Rupanya orang gila ini ada juga
di sini, Putri,” jawab Rogama dengan melirik Kenanga sebentar.
Kenanga menggumam. “Kurasa dia
setan. Bukan orang gila!”
Suro Bodong masih tenang. Ia
sempat mempelajari ketegangan yang ada pada diri Kenanga Hijau dan Rogama. Ia merasa telah
menang mental lebih dulu, karenanya ia berkata sambil memetik-metik jagung bakar dengan
jempolnya:
“Aku yakin, belum ada seorang
pendekar yang mampu merobohkan kamu,
Kenanga. Kau memang hebat.”
“Tapi kau telah membuatku terhina di depan umum. Karena itu, kau harus
melawanku untuk menentukan siapa yang
mati di antara kita. Kau atau aku!”
Suro Bodong memandang arah lain.
Santai sekali.
“Aneh,” katanya. “Baru kubuat tunggang langgang kau sudah merasa
terhina di depan umum. Padahal itu
belum seberapa. Aku hanya sekedar
meluruskan otot-ototku yang pegal.
Kalau aku mau, kau bisa kubuat mampus
dalam keadaan nungging di depan umum.”
“Jahanam, kau!” geram Kenanga.
Rogama bersiap maju, tapi Suro Bodong
segera berkata lagi:
“Jangan banyak lagak di depan
Kenanga, Paman! Sekali pun dia tidak
melihat, namun dia tahu bahwa kau
bukan tandinganku.” Suro memandang Rogama. “Kalau kau mati di tanganku, aku sangat menyesal
membunuh tikus
tanpa daya.”
“Bangsat! Aku bukan tikus!”
bentak Rogama, tersinggung.
“Justru karena kau bukan tikus,
maka aku enggan membunuhmu. Dan
sebaiknya, jangan lagi memusuhi aku,
Paman. Ada banyak hal yang bisa kau
lakukan untuk membantu rencana
Kenanga.”
“Suro…” geram Rogama. “Aku sakit hati atas kejadian kemarin sore
itu, dan aku harus membalas sakit
hatiku sekarang juga! Kau punya urusan sendiri denganku, Suro!”
“Bodoh,” kata Suro Bodong tanpa membentak, melainkan dengan suara
pelan, sepertinya ogah-ogahan bicara.
Ia menyambung kata-katanya:
“Bodoh sekali kau. Menurut
pendapat banyak orang, jika seseorang
ditegur dari kekeliruannya malahan
menjadi marah, itu bodoh! Seharusnya
kau berterimakasih padaku, karena aku
telah menegurmu, mengingatkan kamu
tentang kekeliruan. Kau keliru kalau
kau melawanku. Maka kemarin sore aku
mengingatkan kamu dengan caraku
sendiri.”
“Sesumbarmu membuatku muak,”
geram Kenanga. “Sebaiknya bersiaplah untuk bertanding denganku, Setan
dekil!”
Dan Kenanga segera mengambil
posisi siap tempur. Ia menarik kaki
kanannya ke belakang dan merendah,
sedangkan kaki kirinya membentuk 90°
di bawah tangan kiri yang menggenggam
kuat menuju ke atas, tangan kanan
diangkat di atas kepala dengan
setengah terlipat. Kaku keras dan
bertenaga.
Rogama sendiri mulai menyisih,
bergerak m-ngepung Suro Bodong ke arah kanan. Ia memperlihatkan kesigapannya
dengan merapatkan tangan kanan ke
depan dada dalam posisi ketiga jarinya menegang kaku, sementara tangan
kirinya setengah terulur ke depan
dalam posisi jari yang sama. Ia
bergerak ke arah kanan dengan langkah
pelan dan penuh kewaspadaan, sedangkan Kenanga siap membidikkan serangannya
dari depan. Di samping kiri Suro
Bodong, pohon yang dipakainya
bersandar.
Suro Bodong menggaruk kumisnya,
seakan tidak mempedulikan gerakan—
gerakan mereka. Mulutnya masih
mengunyah jagung bakar kesukaannya.
Matanya memandang lurus kepada Kenanga namun tidak memancarkan permusuhan.
Cuek sekali.
“Kalau kau menang melawanku, apa
yang akan kau peroleh?” tanya Suro Bodong kalem.
“Kepuasan!” jawab Kenanga pendek dan ketus.
“Kalau aku menang melawanmu, apa
yang akan kuperoleh? Apa kau
menyediakan hadiah untukku?”
“Kalau kau menang…” Kenanga berpikir sejenak. Dengan rasa sungkan
ia berkata lagi, “Mungkin tubuhku bisa kau manfaatkan sebagai… terserah
kamu.”
“Apa kau pikir aku punya nafsu
denganmu?!” Suro berkata dengan senyum mengejek. Kenanga semakin merah
mukanya.
“Kuremukkan seluruh tulangmu,
hiaaat…!!” Kenanga menendang Suro Bodong dengan gerakan melayang seperti burung rajawali
mencakar mangsanya.
Suro Bodong masih berdiri agak
miring, pundaknya bersandar pada
batang pohon. Ia menggerakkan tangan
kanannya yang tidak memegangi jagung
bakar. Tenaga dalam disalurkan dari
tangan dan menghentak ke depan.
Kenanga jatuh dalam keadaan terdorong
ke belakang. Suro memetik-metik jagung bakarnya lagi. Tenang sekali.
“Kenapa kita tidak berdamai saja, Kenanga. Ilmumu belum cukup untuk
menandingi orang seperti aku.
Percayalah!”
“Tidak ada istilah damai bagi
Kenanga,” Rogama menyahut dari
samping. “Juga bagi aku…
Hiaaat…!!”
Rogama menendang dengan tendangan
samping ke arah kepala Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong sengaja menghantam
kaki Rogama dengan satu pukulan tak
bertenaga. Dan ternyata hal itu
membuat Rogama
terpental beberapa
langkah ke belakang. Memang tidak
jatuh, namun cukup terhuyung-huyung.
“Apalagi kamu, Paman…!” ujar Suro tetap santai, belum merubah
posisi berdiri yang miring ke pohon.
“Ilmumu dengan Kenanga tidak ada se-kuku hitamnya. Ibarat pengantin baru,
kamu hanya menang nafsu. Nafsu besar
tenaga miskin!”
Kenanga bersiap menyerang Suro
Bodong lagi dengan pukulan. Tetapi
Suro Bodong menyentilkan biji jagung
bakar dan mengenai tangan Kenanga.
Kenanga mengaduh sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena
sentilan jagung. Agaknya Suro Bodong
menyalurkan tenaga dalamnya yang
sempurna ke biji jagung itu, sehingga
ketika mengenai tangan Kenanga,
rasanya seperti beku dan dingin. Ngilu sekali.
Suro Bodong melemparkan beberapa
biji jagung ke mulutnya. Sambil
mengunyah ia berkata kepada Kenanga:
“Kenapa kau menyukai permusuhan,
Kenanga? Biasanya, seorang perempuan
menyukai suasana damai dan tentram.
Tapi kau tidak. Kau jalang dan brutal.
Kasar dan sadis. Pokoknya kau punya
tabiat jelek! Ini cukup aneh bagiku,
Kenanga!”
“Aku memang bukan perempuan
sembarangan. Aku berbeda dengan
perempuan yang pernah kau kenal.”
Kenanga bicara dengan pelan, seakan ia bicara dari hati ke hati. “Aku
memerlukan seorang pendekar yang gagah perkasa!”
“Untuk apa? Aku punya banyak
kenalan pendekar gagah!”
“Untuk menolongku.”
“Kau dalam kesulitan?”
Sementara waktu, Kenanga diam. Ia
melirik Rogama, dan Rogama yang
agaknya sebagai penasihat Kenanga itu
diam saja. Rogama bahkan buang muka,
lalu tangan kanannya bersandar pada
batang pohon yang lain. Sikapnya sudah menyatakan masa bodoh dan terserah apa yang ingin
dilakukan Kenanga. Sebab
itu Kenanga bicara lagi dengan pelan:
“Aku memerlukan sebuah pedang.”
“Kau sudah punya pedang, bukan?”
“Lain…” jawab Kenanga setelah ragu sebentar. “Hanya pedang itu yang bisa lengket melekat di
pedang
Jatayuku ini,” Kenanga memegang gagang pedangnya. “Dan pedang yang kucari itu hanya ada pada
seorang pendekar gagah
perkasa.”
“Sebab itu kau menantang setiap
pendekar untuk menjebak pedang yang
kau cari itu?!”
Kenanga mengangguk Suro Bodong
berkata lagi sambil membiarkan Kenanga memandang ke arah lain, emosinya
turun.
“Pedang apa yang kau cari itu?
Mungkin aku bisa membantu
mencarikannya tanpa kau menantang—
nantang permusuhan dengan orang yang
belum tentu punya pedang itu?”
Kenanga kelihatan mendesah. Ia
bertolak pinggang dan memandang jauh
ke tempat lain. Lalu ia melirik Suro
Bodong dan berkata ketus:
“Apa kau bisa kupercaya?”
“Dalam hal apa?”
“Rahasia pedang yang kubutuhkan?”
“Kita coba saja, apakah aku orang jujur atau curang!” jawab Suro Bodong dengan santai, tetap
memetik-metik
biji jagung lalu memakannya.
“Siapa kau sebenarnya?” Kenanga mulai lunak.
“Suro Bodong!”
“Dari mana asalmu?” Kenanga penuh selidik.
“Aku selalu terpojok dengan kata-kata itu. Aku selalu tidak bisa
menjawab pertanyaan seperti itu. Sebab aku sendiri belum tahu, dari mana aku
dan siapa aku sebenarnya.”
Suro Bodong merasa tak enak
ketika Kenanga memandangnya dengan
berkerut dahi, penuh curiga. Lalu ia
buru-buru berkata:
“Jangan tanyakan dulu soal itu.
Tanyakanlah dulu apakah kau akan
berhasil bekerjasama denganku atau
tidak.”
“Menurutmu, bagaimana?” Kenanga ganti bertanya.
“Kalau kau jujur, aku akan
berusaha menjadi orang jujur. Nah,
sekarang katakan, pedang apa yang kau butuhkan?”
Setelah termenung sebentar,
Kenanga pun menjawab:
“Pedang Urat Petir…!”
Tersentak hidung Suro mendengar
jawaban Kenanga. Jantungnya berdesir
sejenak. Ia mengumpat dalam hati:
“Monyet…! Lagi-lagi orang yang
menghendaki pedangku! Untuk apa sebenarnya? Dan mengapa harus pedangku
yang mereka butuhkan?”
Karena Suro Bodong diam, Kenanga
mempunyai gagasan lain:
“Aku yakin kau akan kebingungan.
Kau pasti menyimpan banyak pertanyaan.
Tetapi percayalah, aku pun seperti
kamu. Aku belum pernah melihat seperti apa Pedang Urat Petir itu. Siapa
pemiliknya? Di mana letaknya? Itu
semua belum kuketahui. Sebab itu,
hanya satu cara untuk mengujinya,
yaitu: pedang tersebut akan lengket
bila menyentuh pedang Jatayuku. Hanya
aku dan pemilik Pedang Urat Petir itu
yang bisa melepaskan kedua pedang yang lengket. Orang lain tak akan bisa
melepaskannya.”
Termenung Suro, namun tetap saja
mengunyah jagung bakar sambil sesekali menggaruk kumisnya. Rogama
memperhatikan Suro Bodong
dengan
berkerut dahi, menyimak sikap dan
jalan pikiran Suro Bodong. Sekali pun
Suro Bodong tahu, tapi ia tidak
peduli. Ia tetap menampakkan
ketenangannya yang santai sekali.
Kenanga bicara dengan tegas, “Kau tak sanggup, bukan?”
“Kalau aku sanggup, bagaimana?”
“Kau bebas dari ancaman matiku.
Tapi kalau kau gagal, kau harus
kubunuh. Tak ada istilah teman atau
perdamaian jika kau gagal mendapatkan
pedang itu.”
Suro Bodong tersenyum sinis,
berjalan mendekati Kenanga sambil
memetik-metik biji jagung bakar. Ia
berhenti di depan Kenanga,
memandangnya dengan lagak angkuh dan
berkata dengan tegas pula:
“Kalau aku berhasil, kau yang
akan kubunuh saat itu juga. Bagaimana?
Setuju?”
Kenanga merasa tak suka dengan
kata-kata itu:
“Jadi untuk apa kau membantuku
mencari pedang itu?”
Suro tertawa pendek. “Aku hanya
mengujimu; kau ternyata takut padaku!”
Suro melebarkan tawa. “Pulanglah, dan temui aku di sini satu bulan lagi!”
“Sepuluh hari! Hanya ada waktu
sepuluh hari. Lebih dari itu, kau
tidak punya kesempatan untuk hidup.”
Setelah itu ia memberi isyarat kepada
Rogama agar pergi dari situ. Suro
Bodong hanya tersenyum sinis seraya
memandang kepergian Kenanga dan
Rogama.
“Kang…!” Saga berlari
mendekatinya. “Bagaimana, Kang? Dia menyerah kalah?”
Suro Bodong masih memandang ke
arah menghilangnya Kenanga dan Rogama.
“Ternyata dia punya tujuan yang
sama dengan orang-orang Kepatihan,
Ga.”
Saga berkerut dahi. “Jadi, dia
juga mencari Pedang Urat Petir juga?”
tanya Saga meyakinkan.
“Ya. Dan aku menjanjikan untuk
membantunya.”
“Kenapa begitu? Apakah…”
Suro memotong, “Untuk keamanan
kita sementara ini, Ga. Dengan cara
itu dia mau pergi dan tidak memburu
kita. Bukankah saat ini kita masih
punya tugas, yaitu membebaskan ayahmu
dari tawanan patih Danupaksi?”
Saga manggut-manggut.
“Aku
mengerti sekarang. Cuma aku belum bisa mengerti, mengapa sekarang banyak
orang yang membutuhkan Pedang Urat
Petir? Seperti apa pedang itu dan
untuk apa sebenarnya, kok laris amat?
Ah, bagaimana kalau kita bikin pedang
dan bilang bahwa itu Pedang Urat
Petir, Kang?”
Suro menggeleng, masih memandang
ke arah kepergian Kenanga. Ia berkata,
“Mustahil mereka percaya. Ada cara untuk menguji Pedang Urat Petir, Ga.
Apabila melekat erat di pedang Jatayu
milik Kenanga itu, maka mereka akan
percaya bahwa pedang tersebut adalah
Pedang Urat Petir.”
“Kita bikin pedang, terus kita
beri sagu cair, sebagai lem, supaya
bisa melekat di pedang Kenanga. Kan
bisa?”
Suro Bodong tertawa pendek dan
pelan. Ia mengusap rambut anak muda
itu seraya berkata:
“Itu kan pikiran bayi. Jangan
berpikir model bayi kalau kau ingin
menjadi dewasa. Berpikirlah model
orang tua!”
Suro Bodong melangkah. Saga
berseru, “Kita jadi pergi ke
Kepatihan, Kang?”
Suro mengangguk. Lalu ia merenung
sebentar dan segera berkata, “Tunggu di sini dulu, ya…?!”
Suro Bodong pergi ke arah
belakang rumah Saga. Dugaan Saga, Suro Bodong mencari sesuatu untuk senjata
mereka. Tapi, dugaan Saga itu tidak
pernah benar. Di belakang rumah Saga
tempatnya sepi, dan Suro melakukan
sesuatu tanpa dilihat siapa pun.
Tubuh Suro Bodong melayang di
udara, dan ia bersalto 3 kali. Andai
saja Saga melihat, pasti ia akan
terheran dan tidak percaya dengan
penglihatannya. Saat itu, setelah Suro bersalto di udara 3 kali, tubuh Suro
Bodong mengalami perubahan total. Ia
menjadi anak kecil yang usianya lebih muda dari Saga. Inilah ilmu andalan
Suro Bodong yang sebenarnya, yaitu
Jurus Luing Ayan 3. Sebab itulah Suro
Bodong jika bertarung jarang bersalto
di udara, sebab hal itu dapat merubah
ujudnya menjadi tujuh rupa, tergantung berapa kali ia bersalto di udara.
Namun apabila ia berguling dengan
posisi tubuh menyentuh tanah atau
dasar apa pun, maka ia tidak akan
mengalami perubahan ujud yang sangat
ajaib itu.
Saga kaget sewaktu melihat ada
anak kecil keluar dari balik belakang
rumahnya. Ia tidak mengenal anak itu.
Bercelana hitam dan telanjang dada,
berkalung slepetan atau ketapel,
berambut cepak, pendek namun tidak
terlalu acak-acakan. Matanya
jeli,
alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat untuk ukuran anak seusia 10 tahunan
seperti dia.
“Hei, siapa kamu?!” tegur Saga.
“Tole…” jawab anak itu. “Mari kita berangkat ke Kepatihan Benteng
Cadas. Ayo…!
Saga tertegun dalam keadaan
bengong. Ia masih tak mengerti mengapa anak yang menamakan dirinya Tole itu
bisa muncul dan tahu-tahu mengajaknya
pergi ke Kepatihan?
“Ayo…! Kok malah bengong?!”
kata Tole.
“Tunggu, aku sebenarnya akan
pergi ke sana, tapi bukan dengan kamu, melainkan dengan Kang Suro!”
Tole mendekat dan berbisik, “Aku
Kang Suro…!”
“Kau…?!”
“Tenang saja. Ini caraku untuk
mengelabui para penjaga batas wilayah
Kepatihan. Mereka tak akan curiga bila keadaanku seperti ini. Ingat, kita
berlagak jadi pencari kayu bakar, ya?”
“Tunggu dulu. Aku masih belum
mengerti mengapa Kang Suro bisa
menjadi sekecil kamu?!”
“Aku bisa berubah sampai tujuh
kali rupa, Saga. Aku punya jurus sakti yang tidak dimiliki orang lain. Ah,
sudah, mari kita berangkat. Nanti
kujelaskan di perjalanan…!”
LIMA
SURO BODONG berhasil menyusup ke
Kepatihan Benteng Cadas dengan merubah ujud menjadi Tole. Ia berjalan bersama Saga, seperti kakak
beradik yang
sedang menikmati keramaian kota
Benteng Cadas. Istana Kepatihan
terletak di belakang alun-alun. Di
sepanjang pinggiran alun-alun ada
banyak penjual makanan, kedai dan
kios-kios tembakau. Bahkan beberapa
bangunan sedang dibangun di tengah
alun-alun. Konon, nanti malam akan
dimulai perayaan Warsa Panen dengan
diadakannya pasar malam di alun-alun
tersebut. Rakyat Kepatihan Benteng
Cadas mempunyai pesta adat setiap
tahunnya, maka Patih Danupaksi selalu
mengadakan syukuran berupa perayaan
Warsa Panen.
“Ini sangat kebetulan, ya Kang?”
kata Saga yang tetap memanggil Tole
dengan sebutan ‘Kang’, karena dia
masih menganggap didampingi Suro
Bodong.
“Kelihatannya
memang kebetulan.
Namun ini sebenarnya sedikit
menyusahkan kita, Saga,” jawab Tole.
“Kalau kita gagal, kita bisa dijadikan bahan tontonan orang banyak, dan
dianggap pembuat keonaran. Bisa-bisa
kita berdua dianggap pengacau, lalu
dituntut oleh rakyat untuk digantung.”
Anak kecil jelmaan Suro Bodong
itu diam merenung di bawah pohon, di
pojok alun-alun. Tentu saja tak satu pun ada yang curiga dan mengetahui
rencana mereka, sebab mereka tidak
ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain. Saga bagai sedang mengajak
adiknya bermain di tempat itu. Wajah-wajah mereka pun menampakkan wajah
polos tanda bebas dari suatu rencana
khusus.
“Apa yang akan kau lakukan,
Kang?” tanya Saga.
“Tunggu malam. Aku akan masuk ke
dalam benteng Kepatihan, dan kau
menunggu di samping warung itu,” Suro Bodong yang berubah menjadi Tole itu
mengajak ke sebuah warung. Di samping
warung itu ada pohon besar yang
rindang. Di samping warung itu juga
ada jalan menuju persawahan, yang
menurut pengamatan Tole dapat membawa
mereka ke luar dari wilayah Kepatihan.
“Kang,” Saga bicara pelan.
“Kelihatannya pintu gerbang benteng Kepatihan dijaga ketat oleh para
prajurit berseragam biru hitam.”
“Sebab itu aku akan masuk lewat
jalan lain. Aku tidak ingin membuat
suasana menjadi gaduh sehingga rakyat
banyak yang mengetahui rencana kita.
Aku akan masuk setelah gelap malam
tiba, dan kau segera ke warung itu.
Kalau aku datang sambil membawa
ayahmu, kau harus cepat berlari di
belakangku. Mengerti?”
Saga mengangguk. Sementara itu,
beberapa prajurit berkuda sedang
mengadakan patroli keliling alun-alun
dan keluar masuk di sela-sela bangunan yang akan meramaikan pasar malam.
Umbul-umbul dipasang di sepanjang
jalan menuju alun-alun dan di sekitar
alun-alun sendiri.
Sekali pun Suro Bodong telah
menjadi anak kecil, namun ia masih
sanggup merobohkan para penjaga di
pintu gerbang tersebut. Hanya saja, ia tak ingin suasana menjadi ribut dan
kacau balau. Karenanya, ketika malam
telah menjelma, Saga segera
diperintahkan untuk ke samping warung.
Mereka berpisah. Dan satu hal yang
sedikit menguntungkan mereka adalah
pelaksanaan pasar malam itu, yang
ternyata bukan malam ini sangat
melegakan hati Tole, sebab andai
terjadi suatu keributan, tak banyak
masyarakat yang mengetahuinya.
Tole berjalan ke samping bangunan
batu yang tinggi. Ia berjalan sambil
menyelidiki kemungkinan untuk bisa
masuk ke dalam benteng tersebut. Di
setiap sudut, di bagian atas benteng,
terdapat rumah jaga dengan masing-masing satu prajurit yang siap dengan
panah di tangan.
Benteng itu cukup rapat. Selain
tinggi dan keras, juga tak mungkin
dapat dibobok atau digali pada bagian dasar pondasinya. Batu benteng itu
sangat kokoh, tinggi dan lebar. Tole
saat itu bersembunyi di balik tumbuh—
tumbuhan liar yang terdapat di tepian benteng. Tinggi tanaman itu sebatas
perut orang dewasa, sehingga dengan
jongkok di bawah tanaman tersebut,
Tole dapat melihat beberapa orang
patroli berkuda yang mondar-mandir di
sekeliling benteng.
Tole memutar otak, bagaimana
caranya masuk ke dalam benteng?
Memanjatnya jelas tak mungkin. Selain
cepat diketahui penjaga, juga
kemiringan tembok benteng batu cadas
itu sangat membahayakan jika dipanjat
tanpa tali.
Setelah malam kian sunyi, Tole
mempunyai gagasan lain. Ia mencari
tempat lebih tersembunyi, yaitu di
seberang benteng, di antara tanaman
pagar rumah penduduk. Namun ketika ia menyeberang ke sana, seorang pengawas
yang ada di rumah jaga atas benteng
berseru sambil menaikkan obor besar
yang selalu ada di kanan kiri rumah
jaga itu.
“Hei, anak kecil…! Mengapa
malam-malam
begini masih ngeluyur?
Ayo, pulang…!”
“Ya, Paman…! Ini saya sedang
mau pulang…!” sahut Tole dengan hati berdebar, takut ketahuan.
Waktu Tole sudah sampai di balik
pagar halaman, ia segera bersiap-siap.
Tempat di situ cukup gelap, karena
obor atau pelita yang ada di pinggir
pagar ternyata mati. Mungkin kehabisan minyak. Dan itu sangat menguntungkan
Tole.
Tubuhnya yang kecil segera
melesat ke atas. Ia bersalto sebanyak 2 kali putaran. Suro Bodong telah
memainkan jurus Luing Ayan 2. Maka
tubuh kecil itu telah berubah. Bukan
menjadi Suro Bodong seperti semula,
melainkan berubah menjadi perempuan
cantik, lengkap dengan dandanan serta
kain batik warna putih bergaris coklat yang melilit tubuhnya setinggi bawah
lutut. Kain berwarna putih dengan
corak batik lereng coklat itu menutup
tubuh sampai di bagian dada. Sementara itu, ia juga mengenakan kebaya tipis
berwarna kuning gading. Rambutnya
panjang, diurai
lepas
sebatas
pinggang. Namun ia buru-buru
menggulungnya asal jadi. Menyisakan
sedikit rambut di bagian pelipis yang
terjulur ke bawah sampai di leher.
Dengan rambut digulung begitu,
lehernya yang putih mulus tampak segar menggairahkan. Sedangkan buah dadanya
yang tertutup kain itu juga sekal dan
menjadi daya tarik yang melemaskan lu
tut lelaki.
Suro Bodong telah berganti ujud,
menjadi perempuan cantik yang
menggairahkan. Matanya yang bulat
bening itu melirik ke atas sewaktu ia
berjalan di samping benteng.
Gemerincing gelang perak di tangannya
terdengar memecah sunyi. Ia sengaja
berjalan agak cepat dan memancing
suara gelang ketika melewati bawah
rumah jaga di atas benteng.
Pancingannya berhasil membuat
lelaki penjaga pos itu memandangnya.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi seorang perempuan sengaja menjatuhkan
diri dengan nafas ngos-ngosan. Lelaki
penjaga pos itu semakin membelalak
ketika kain penutup menyingkap,
membuat paha perempuan itu terlihat
menggairahkan di bawah temeramnya
lampu penerang jalan. Lelaki penjaga
pos itu menelan ludahnya beberapa
kali, kemudian ia berseru:
“Ada apa, Yu…?”
“Oh, tolonglah aku, Kang…
Tolonglah aku…!” Suara Suro Bodong yang telah berganti ujud perempuan
cantik itu ternyata juga berubah,
persis suara perempuan biasa.
“Ada apa, hah? Kenapa Mbakyu
sampai jatuh begitu?”
“Aku… aku dikejar-kejar seorang lelaki yang ingin memperkosaku. Oh
tolonglah… Dia tahu kalau aku lari
ke sini…”
Setelah menimbang sesaat, lelaki
penjaga rumah intai itu mengulurkan
tangga tali.
“Naiklah ke mari…! Lekas,
sebelum teman-temanku melihatnya…
Ayo, naik…!” Lelaki itu berseru dalam bisik yang membuat suaranya
seakan serak. Dan perempuan berkebaya
tipis warna kuning gading itu buru-buru berusaha naik ke tangga tali. Ia
berlagak mengalami banyak kesulitan.
Lelaki penjaga sudut benteng segera
menariknya, sehingga ia berhasil
memegang tangan perempuan itu dan
mengangkatnya ke atas benteng.
Jarak dari sudut benteng ke sudut
yang lain cukup jauh, sehingga apa
yang dilakukan lelaki berkumis tipis
itu tidak diketahui temannya. Ia
segera menyuruh perempuan itu masuk ke rumah jaga beratap genting. Di sana
ada bangku, dan perempuan itu duduk di bangku. Lelaki itu sempat berkata
dalam hati, “Lumayan… bisa untuk penghangat tubuh pada malam yang
dingin seperti ini. Wouw… cantik
juga dia?!”
“Siapa namamu, Yu?” tanya lelaki itu dengan tangan membelai-belai
punggung perempuan jelmaan Suro
Bodong.
“Kok tanya nama segala?”
“Kamu kan sudah kutolong dari
kejaran orang yang ingin memperkosamu.
Masa tak boleh aku mengetahui namamu,
anggap saja sebagai hadiah”
Perempuan itu berlagak tersenyum
malu. “Namaku… Arum.”
“Arum…?”
Perempuan itu mengangguk. “Arum
Sajen…”
“Arum Sajen…? Oh, bagus sekali
namamu.” Lelaki itu mencubit dagu Arum Sajen. Arum hanya tersipu sembari
mengelak lambat. “Kau tidak ingin mengetahui namaku?”
“Ah, untuk apa, Kang…? Karena
sebentar lagi kau akan sekarat…!”
“Hah…?!” Lelaki itu mendelik.
Selain kaget juga karena tangan kanan
Arum Sajen segera memukul keras ulu
hati lelaki itu, kemudian memukul lagi tengkuk kepala lelaki itu ketika
lelaki itu menunduk mules. Dan tak
berapa lama lelaki itu pun roboh tanpa suara.
Tanpa membuang waktu, Arum Sajen
segera
menuruni tangga batu yang
menuju ke lantai dasar. Tangga batu
itu meliuk seperti tubuh ular
merambat. Begitu ia sampai di lantai
dasar, ternyata ia berhadapan dengan
rumah atau kamar jaga bawah. Kamar itu digunakan untuk tempat menunggu bagi
prajurit yang ingin bergantian jaga di atas benteng. Kebetulan waktu itu ada
orang prajurit berseragam biru hitam
yang sedang berbincang-bincang di
depan kamar. Tentu saja kedua prajurit itu sangat terkejut melihat Arum Sajen turun dari tangga
penjagaan.
“Hei, siapa kamu?!” bentak salah seorang.
Arum Sajen mendekat dengan
senyumnya yang manis. Kedua prajurit
saling beradu pandang. Dan pada saat
itulah kedua kaki Arum Sajen melayang
cepat, menendang kedua prajurit tersebut. Yang satu terpental karena
dadanya terkena tendangan kaki kanan,
yang satunya lagi terhuyung-huyung
karena wajah terkena tendangan kaki
kiri. Namun keduanya segera mencabut
pedang dari pinggang masing-masing.
“Hiaaaaat…!!” teriakan itu keluar dari mulut prajurit yang
terhuyung-huyung tadi. Suaranya keras, dan pasti mengundang perhatian. Ia menendang ke arah
samping Arum Sajen,
namun pedangnya ditebaskan ke arah
tubuh Arum.
Karena sudah terbiasa gerakan
Suro Bodong, maka Arum Sajen pun
mengguling di lantai ke arah
berlawanan dengan datangnya pedang
lawan. Tetapi ternyata ia jatuh di
bawah kaki prajurit lain, yang tadi
terpental karena tendangan kaki
kanannya. Sebelum Arum terkena kibasan pedang, kakinya telah menendang dalam
keadaan telentang. Tendangan itu
begitu keras dan mengenai perut lawan, sehingga lawan menjadi menggerang
kesakitan dan susah bernapas. Arum
buru-buru bangkit dan memukul dada
orang itu dengan teriakan seorang
wanita. Pukulan ganda dengan tangan
kiri-kanan yang cepat itu membuat
lawannya terpelanting lagi.
“Kurang
ajar
kau, Perempuan
busuk…!!” seru prajurit di
belakangnya seraya mengibaskan pedang.
Arum segera merundukkan badan ke arah
samping. Lalu ia membalik dengan satu
tendangan keras yang membuat tangan
lelaki itu menjadi ngilu. Pedangnya
jatuh, dan
Arum menjadi semakin
lincah.
Melihat banyak prajurit yang
berlarian ke tempat kejadian, Arum
Sajen tak ada pilihan lain untuk
segera merubah. Ia bersalto ke depan
satu kali. Itulah Jurus Luing Ayan 1,
yang dapat merubah ujudnya secara
otomatis menjadi Suro Bodong lagi.
“Hah…?! Berubah menjadi
lelaki?!” pekik prajurit yang
pedangnya jatuh. Ia menjadi ketakutan.
Ia hendak melarikan diri, namun Suro
Bodong segera melayang dengan cepat,
kaki kanannya lurus ke samping dan
mengenai punggung lelaki yang hendak
lari.
Beberapa prajurit mulai mengepung
Suro Bodong. Suasana menjadi ricuh.
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya
sebentar, lalu bersiap menyerang
mereka. Tetapi seorang prajurit
berseragam lain, mengenakan penutup
dada dari bahan tebal warna merah,
muncul sambil menenteng Saga.
“Menyerah, atau anak ini
kubunuh!”
Mendelik mata Suro Bodong melihat
Saga tertangkap. Ia meludah dengan
jengkel dan memandang garang kepada
Saga.
“Bocah goblok…”
“Maaf, Kang. Aku mengintip di
pintu gerbang dan nekad ingin masuk.
Tapi tertangkap. Kukira kau pergi
meninggalkan aku dan…”
“Diam, Monyet!” bentak Suro
Bodong dengan jengkel.
“Hei, yang berhak membentak dia
aku! Sebab aku yang menangkap dia! Dan aku yang mendengar keterangan darinya
tentang rencanamu, sebab dia takut
kubunuh. Ha, ha, ha…!”
“Bocah sinting…!” bentak Suro Bodong kepada Saga.
“Diam!” bentak penjaga gerbang.
“Aku yang berhak membentak dan marah-marah kepadanya!”
“Aku juga berhak! Aku yang
membawanya ke mari dan yang mempunyai
rencana seperti ini! Dia tidak ada
dosa padamu! Dia berdosa padaku. Sebab itu, aku berhak marah dan
membentaknya!”
“Tapi kamu dan dia sekarang
menjadi tawanan kami, jadi kamilah
yang berhak membentaknya!”
“Tapi kepada dia aku juga berhak
membentaknya!”
Salah seorang prajurit berseru,
“Hei, soal urusan bentak-membentak jangan dikupas di sini. Sebaiknya
mereka segera dibawa menghadap Gusti
Patih Danupaksi…!”
“Tunggu…” kata seorang prajurit lagi. “Sekarang ini, di Paseban sedang ada pertemuan penting. Gusti
Patih
Danupaksi tidak bisa diganggu.”
Suro Bodong menyahut, “Kalau
begitu, tangkap saja aku nanti.
Sekarang biarkan aku lepas. Nanti
kalau patihmu itu sudah selesai
mengadakan pertemuan, baru kalian
tangkap lagi aku! Bagaimana!”
Seseorang menendang kepala Suro
Bodong dengan gemas dari belakang.
Suro berontak dan marah. Ia hendak
menyerang orang itu, tetapi penjaga
gerbang berseru:
“Kau bergerak, kuhabisi nyawa
anak ini!”
Suro Bodong
berbalik, dan
mendekati penjaga gerbang.
“Hei, kalau soal menghabisi
nyawa, aku sering. Tapi bukan nyawa
anak ingusan seperti dia! Ayo, habisi
nyawaku kalau kau memang doyan makan
nyawa?! Ayo…!” Suro Bodong maju, mendesak, dan penjaga gerbang itu
mundur. Cemas. Yang lain siap
mengacungkan tombak ke punggung Suro
Bodong. Saga masih dicengkeram kuat
oleh penjaga gerbang. Suro Bodong
menyempatkan diri menampar Saga.
“Plaak..!”
“Gara-gara kamu yang bodoh,
keadaan jadi kacau! Rencana jadi
buyar. Cuih…!” Suro Bodong bermaksud meludahi Saga, tetapi arah ludahnya
salah meluncur ke dada penjaga
gerbang.
“Kurangajar…! Berani kau
meludahi aku, ya?”
Tombak semakin merapat di leher
Suro Bodong. Hanya beberapa jari saja
jarak tombak dengan leher. Sekali
serbu, pasti leher Suro akan bolong.
Dalam todongan lebih dari lima
tombak menempel di leher, Suro Bodong
dibawa menghadap Patih Danupaksi. Tak
ketinggalan, Saga juga diseret ke
depan patih berambut putih.
“Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?”
tanya Patih Danupaksi.
“Bagaimana aku bisa menjawab
kalau ditodong sekian banyak tombak?”
kata Suro Bodong mencnangkan sikap.
“Kurasa tombak-tombak ini tajam,
bukan?”
Dengan wibawa yang ada, Patih
Danupaksi memberi aba-aba dengan
anggukan kepala kepada para
prajuritnya. Lalu mereka menyingkir
dari samping kanan kiri Suro Bodong.
Kini, Suro Bodong bebas dari ancaman
pucuk-pucuk tombak, namun beberapa
prajurit tetap disiagakan di
sekeliling ruang pertemuan itu. Saga
ada tak jauh dari Suro Bodong,
sedangkan Suro Bodong sendiri berdiri
dengan tegap, kedua kaki
terenggangkan,
memandang Patih
Danupaksi yang duduk di dampar
kepatihan.
“Kuulangi lagi, siapa engkau
sebenarnya, sehingga berani-beraninya
masuk Kepatihan Benteng Cadas ini?”
tanya Patih Danupaksi ingin
memperjelas laporan prajuritnya tadi.
“Namaku, Suro Bodong!” jawab Suro dengan tegas, namun masih saja
sesekali menggaruk garuk kumisnya yang tebal.
“Aku baru sekali ini mendengar
namamu, Suro Bodong.”
“Aku tidak heran. Karena aku juga baru sekali ini berhadapan dengan kau, Patih Danupaksi. Benar itu
namamu,
kah?”
Patih Danupaksi mengangguk dengan
tenang, namun masih kelihatan
berwibawa. “Lalu apa tujuanmu ke
mari?”
“Pertama, mencari seorang gadis
yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau
kenal dengannya?”
“Tidak.”
Suro Bodong manggut-manggut.
“Kalau begitu, kapan-kapan jika
kekasihku itu sudah kutemukan, kau
akan kukenalkan dengannya. Supaya
kenal!” Suro Bodong
melirik ke
sekeliling. Ternyata ada Brogo segala
di situ. Lelaki brewok yang menjadi
pimpinan penggeledahan di rumah Saga
itu duduk bersila di dekat lelaki
muda, bertubuh tegap dan berwajah
bersih. Ada codet di ujung alis mata
kirinya. Ia memandang sinis kepada
Suro Bodong. Tapi Suro Bodong tak
menanggapi sikap tersebut. Ia berkata
lagi kepada Patih Danupaksi setelah
menggaruk kumisnya satu kali.
“Kedua, aku ke mari untuk
mengambil Ki Pupus. Kau salah duga
Patih Danupaksi. Ki Pupus itu petani
biasa. Dia tidak mempunyai Pedang Urat Petir yang kau cari. Kau harus percaya dengan kata-kataku
itu!”
Patih menggut-manggut. “Aku
percaya,” jawabnya tegas dan
berwibawa. “Dan sekarang pun aku
memang ingin membebaskan Ki Pupus. Aku dan orang-orangku memang salah
anggapan. Kau boleh membawa Ki Pupus
pulang sekarang juga!”
Suro Bodong berkerut dahi, merasa
heran. Mengapa semudah itu Patih
Danupaksi mau mempercayai kata-katanya?
“Kenapa kau beranggapan seperti
itu, Patih Danupaksi?” tanya Suro Bodong dengan polos.
“Sebab… Pedang Urat Petir sudah di tangan orangnya. Pedang itu sedang
kita bicarakan untuk saling ditukar.
Aku mendapatkan Pedang Urat Petir
tanpa harus memiliki.”
Suro Bodong masih terheran-heran.
Matanya memandang tajam pada Patih
Danupaksi seraya sesekali menggaruk-garuk kumis. Ia membiarkan penguasa
Kepatihan itu bicara lebih banyak,
sebelum segalanya akan dipertanyakan
“Suro Bodong, percayalah… aku
tidak punya tujuan jahat kepada Ki
Pupus. Sebagai rasa penyesalan, aku
akan menjamin hidupnya, dan kehidupan
keluarganya sepanjang umur.
Ketahuilah, Suro Bodong, supaya kau
tidak menganggapku orang serakah atau
jahat… bahwa sebenarnya bukan Pedang Urat Petir yang kubutuhkan, tetapi
orangnya.”
Semakin tajam lagi kerutan di
kening Suro, dan hal itu membuat
Danupaksi berkata:
“Kau pasti heran, bukan? Tapi
memang begitulah kenyataannya, Suro
Bodong. Aku membutuhkan orang yang
memiliki Pedang Urat Petir untuk
kukawinkan dengan anakku…!”
“Gila!” Suro Bodong nyaris
terpekik dengan melotot. Tapi tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik
yang berseru:
“Tidak! Itu tidak gila, Suro
Bodong…!”
Semakin membelalak mata Suro
Bodong setelah mengetahui bahwa gadis
itu adalah Kenanga Hijau. Perempuan
yang mengenakan pakaian serba hijau
itu mendekati Patih Danupaksi dan berkata kepada Suro Bodong:
“Ayahku bukan orang gila, Suro.
Dia punya alasan. Kami semua punya
alasan khusus mengapa aku harus
dikawinkan dengan pemilik Pedang Urat
Petir…!”
“Tapi… tapi…” Suro gugup.
“Tapi aku tidak mau kawin denganmu, Kenanga. Aku… aku…”
Beberapa orang, termasuk beberapa
prajurit, tertawa cekikikan. Ada yang
tertawa tanpa bunyi, ada yang tertawa
cukup pendek-pendek saja. Ada yang
tersenyum sinis, dan ada yang
menggumam dalam tawanya. Suro Bodong
menjadi gerogi serta malu, merasa
menjadi badut yang pantas
ditertawakan. Tetapi ia tetap
berpegang pada prinsip:
“Aku tidak mau…! Bagaimana pun
juga kalian menertawakannya, aku tetap tidak mau kawin dengan Kenanga. Aku
sudah punya kekasih sendiri: Ratna
Prawesti. Itu kekasihku yang sedang
kucari-cari…!”
“Suro Bodong…!” sapa Danupaksi dengan wibawa dan kharisma yang
tinggi. “Tidak ada orang yang ingin mengawinkan kau dengan putriku, Suro.
Jangan salah dengar. Aku hanya akan
mengawinkan anak gadisku ini, dengan
pemilik Pedang Urat Petir.” Danupaksi menegaskan lagi. “Pemilik Pedang Urat Petir! Bukan dengan
kamu!”
Ada kejanggalan yang begitu tajam
dirasakan di hati Suro Bodong. Ada
keanehan yang sangat mengusik
pikirannya. Lalu ia bersikap tenang,
manggut-manggut sebentar, garuk-garuk
kumis sebentar, setelah itu baru
bertanya:
“Siapa pimilik Pedang Urat Petir
itu?!”
“Raden Pujo! Pendekar Pedang
Petir…!” seraya Patih Danupaksi mengulurkan tangannya, memperkenalkan
Suro dengan lelaki bertubuh kekar,
mengenakan ikat kepala kulit zebra dan terdapat codet bekas luka di ujung
alis kirinya.
Suro Bodong sebenarnya terkejut
sekali, tapi dia bisa mengendalikan
diri untuk tenang dan bersikap biasa—
biasa saja. Ia memandang Raden Pujo
yang duduk dengan dada tegap di
samping Brogo. Lelaki berbaju biru tua dan celana biru muda bertepian manik
emas itu memegangi pedang. Sarung dan
gagangnya terbuat dari gading gajah.
Gading itu bergaris melintang dari
atas ke bawah dengan logam emas. Indah sekali pedang tersebut, dan ia selalu
menggenggamnya dengan tangan kiri.
Ikat kepalanya yang berwarna loreng
zebra membuat Raden Pujo menampakkan
kesan perkasa seorang pendekar, sekali pun ia berdarah bangsawan.
“Apakah kau yakin bahwa pedang
itu tidak palsu, Patih?” tanya Suro Bodong seperti malas-malasan.
“Tidak mungkin,” sahut Brogo yang dari tadi diam saja.
“Ya, tidak mungkin,” tambah patih Danupaksi. “Kami sudah sama-sama
menyaksikan sendiri, pedang yang ada
di tangan Raden Pujo itu, sungguh
Pedang Urat Petir.”
“Dari mana bisa tahu begitu?”
desak Suro Bodong dengan hati-hati.
Sikapnya kini seperti orang dungu yang ingin tahu. Patih Danupaksi pun
menjelaskan:
“Selain dilihat begitu saja,”
patih memandang pedang di tangan Raden Pujo, “Juga dilihat isinya, orang akan yakin, bahwa itulah
Pedang Urat
Petir.”
“Boleh dibuka di sini untuk
meyakinkan dia, Ki Patih?” kata Brogo dengan sopan.
“Silakan, supaya Suro Bodong
tidak penasaran.” jawab Danupaksi.
Raden Pujo mencabut pedangnya,
dan para prajurit yang berada di
pinggiran ruang pertemuan itu
menggumam kagum. Pedang itu
mengeluarkan asap dan percikan—
percikan api yang berkerlip-kerlip
seperti loncatan petir di waktu malam.
Raden Pujo berkata kepada Suro
Bodong, “Kurasa pedang Urat Petir ini sangat bersedia untuk membunuhmu
sekarang juga, Suro Bodong.”
Suro Bodong hanya garuk-garuk
kumis, seperti orang bingung. Ia
berkata pelan tapi jelas:
“Kurasa tidak.” Suro Bodong
melirik Kenanga dan Patih Danupaksi.
“Siapa orang ini sebenarnya, Patih?
Darimana kau memungutnya?”
Raden Pujo menggeram dan hendak
mengibaskan pedangnya ke tubuh Suro
Bodong, tetapi Brogo mencegahnya.
Brogo sendiri yang menjawab pertanyaan Suro tadi:
“Dia temanku! Teman seperguruan
yang sudah lama bertapa di bawah
lereng Lawu!”
“Aku tidak yakin,” kata Suro entah kepada siapa. Tapi ia segera
memandang Danupaksi, berjalan mendekat bagai tak kenal tata krama.
“Aku tidak yakin dengan pedang
itu!”
“Jangan bicara selancang itu,
Suro,” bisik Danupaksi.
“Beri aku kesempatan untuk
mencelikkan mata hatimu, supaya kau
dan anak gadismu yang cantik itu tidak tertipu.”
Danupaksi memandang Kenanga.
Mereka saling tatap sejenak, kemudian
Suro buru-buru berkata:
“Ini sebuah tipuan! Raden Pujo
membayar mahal kepada paman Brogo
supaya dia bisa mencicipi keperawanan
Kenanga! Hasilnya, adalah tipu daya
seperti ini!”
“Lancang betul mulutmu, Suro.
Hiaaaat…!” Raden Pujo menyerang Suro Bodong dengan kibasan pedangnya. Suro
Bodong mengelak sambil melompat mundur beberapa langkah. Ia masih tenang,
pergi ngeloyor begitu saja. Kumisnya
digaruk dengan telunjuk, dan ia pun
membiarkan Saga mengikutinya dari lain arah.
“Hei, mau ke mana kau, Biadab?”
bentak Raden Pujo yang merasa terhina
mentah-mentah. “Berhenti! Mau ke mana kau?!”
“Cari tempat yang lebih lega
untuk menghajarmu, Pujo!”
“Hiaaat…!” Raden Pujo penasaran dan tak
bisa menahan diri, ia
menyerang Suro Bodong dari belakang,
hendak membabat pundak Suro Bodong.
Tetapi Suro Bodong tidak kalah
tangkas.
Suro segera berbalik sambil
menjatuhkan badan. Posisi tangannya
menendang keras perut Raden Pujo.
Karena kerasnya, Raden Pujo terdorong
ke depan, berguling satu kali dan
jatuh tak beraturan di luar ruangan
yang menyerupai pendopo itu.
“Suro Bodong…!” hardik Kenanga seraya mengejar.
“Tenang, Kenanga. Aku akan
membuktikan bahwa kau nyaris tertipu.
Kalau aku gagal, potong kepalaku dan
pajang di alun-alun pada pasar malam
besok!”
Suro Bodong segera melompat bagai
gagak melayang, kaki kanan membentang
sedang kaki kiri terlipat, tetapi
kedua tangannya terentang, yang satu
sedikit ditekuk dan mengepal kuat-kuat. Raden Pujo menghindari tendangan itu dengan bersalto ke
belakang dua
kali. Kini mereka jadi berada di
halaman depan pendopo pertemuan itu.
“Rasakan jurus Petir Murka ini,
Suro… hiiaat…!!”
Raden Pujo menancapkan pedang
berpijar-pijar ke tanah. Kemudian ia
segera menendang pedang itu pada
bagian tangkainya. Pedang tersebut
melesat bagaikan kilat. Hampir saja
menyambar wajah Suro Bodong. Dengan
gesit Suro Bodong segera tiarap, dan
pedang tersebut melesat lewat atas
kepala Suro Bodong. Pedang itu menancap pada tiang lampu minyak
penerangan halaman.
“Duaaarr…!! Timbul suara
ledakan yang membuat tanah menjadi
guncang sesaat. Tiang lampu itu hancur menjadi arang, sedangkan pedang tersebut bagai memantul
kembali ke
pemiliknya. Semua orang merunduk dan
menutup telinga. Wajah-wajah mereka
berlapis kepucatan, kecuali Suro
Bodong.
“Barangkali itulah
yang kau
butuhkan, jurus Petir Murka yang baru
sekali ini kebetulan punya rasa
kasihan kepadamu, Suro. Biasanya ia
tak pernah mengenal belas kasihan
kepada mangsanya!”
Suro Bodong hanya tertawa dalam
gumam. “Itu bukan jurus sakti. Itu sihir buat mengelabui anak-anak main
kelereng. Ah, terlalu ringan buat
permainanku. Hei, ada yang lebih hebat lagi?!
Suro Bodong sengaja
menyombongkan diri untuk memancing
kepanasan hati Raden Pujo. Maka geram
Raden Pujo terdengar mengerang seperti macan lapar.
Sekali lagi Raden Pujo
menancapkan pedangnya ke tanah dan
menendangnya kuat-kuat. Kali ini kedua telapak tangannya ikut mengembang, dan memancarkan
kilatan api biru yang
menempel pada tangkai pedang tersebut.
Pedang itu melesat cepat bagai sedang
dikendalikan arahnya.
“Hiattaa…!!”
Suro Bodong berguling-guling ke
tanah dan melejit dengan menghentakkan punggung. Pada waktu, ia berdiri,
pedang yang memercikan bunga-bunga api itu tertuju ke arahnya, seirama dengan gerakan telapak
tangan Raden Pujo.
Tetapi dengan cepat Suro Bodong
meraba pergelangan tangan kirinya,
lalu menarik dalam satu kibasan.
Orang-orang tercengang melihat tangan
kanan Suro Bodong telah memegang
sebilah pedang bercahaya ungu. Padahal mereka sejak tadi tidak melihat Suro
Bodong menyandang senjata apa pun.
Ketika Suro Bodong mengibaskan
pedangnya yang pertama dari kulit
pergelangan tangannya, tepat pedang
tersebut mengenai pedang Raden Pujo.
“Blaaar…!” Ada nyala api
yangmenyala terang sekali, dan ledakan yang mengguncang pepohonan di
sekeliling. Sementara itu, pedang
Raden Pujo kembali ke tempat semula ia meluncur, bahkan menancap pada tanah
tempat ia ditancapkan. Orang-orang
menggumam kagum semakin keras.
“Raden Pujo…!” seru Suro
Bodong. “Mengapa wajahmu menjadi
pucat, hah?! Kurasa kau memang perlu
dibuat lebih pucat lagi.
Heeaaaattt…!!”
Raden Pujo menggeragap ketakutan.
Namun agaknya ia ragu dan malu kalau
harus lari tunggang langgang. Waktu
itu Suro Bodong mengejarnya, lalu
berlari cepat mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan gerakan sangat cepat.
Raden Pujo kebingungan, gugup dan
ketakutan.
Tujuh kali Suro Bodong bergerak
mengelilingi tubuh Raden Pujo dengan
kecepatan melebihi gangsing. Tiba-tiba ia berhenti tepat di depan Raden Pujo.
Lelaki itu hendak memukul Suro Bodong
dengan tangan terangkat ke samping.
Tetapi Suro Bodong mengibas-ngibaskan
pedangnya tujuh kali dengan cepat.
Kibasan itu tidak menyentuh sedikit
pun pakaian Raden Pujo. Dan suatu
keanehan membuat Danupaksi terbengong—
bengong.
Tubuh Raden Pujo berkilauan
cahaya yang menyilaukan mata. Semua
tangan terangkat, melintang di depan
mata. Semakin lama semakin terang,
seperti cahaya inti matahari. Tak satu pun mata yang sanggup menembus pandang cahaya kemilau itu.
Namun beberapa saat kemudian,
cahaya kemilau itu surut, dan kian
menjadi padam. Mata mereka mengerjap-ngerjap. Suro Bodong berdiri agak jauh seraya menggaruk-
garuk kumisnya.
Mereka terpekik dengan mata membelalak begitu melihat tubuh Raden Pujo telah
berubah menjadi patung batu dalam
posisi tangan terangkat satu, hendak
memukul. Suara menjadi gaduh, ricuh.
Masing-masing berkomentar menurut
jalan otaknya. Patih Danupaksi masih
terbelalak dalam kekaguman ketika ia
berkata kepada Kenanga: “Benar-benar menjadi patung…!!”
“Mengagumkan
sekali dia…!”
bisik Kenanga.
Suro Bodong sengaja menjauhi
hiruk pikuknya mereka yang menghampiri patung tersebut. Ada yang mencoba
meraba, ada yang mencoba mendorong dan ada yang hanya berceloteh tak jelas
bahasanya. Sedangkan Brogo hanya
berdiri tegak, terkesima dan merasa
tak percaya dengan kenyataan yang
dilihatnya.
“Kau hebat…! Hebat sekali,
Kang,” kata Saga seraya memegangi tangan Suro Bodong yang garuk-garuk
kumis, sedangkan tangan yang satu
masih menggenggam erat pedang
bercahaya ungu: Pedang Urat Petir yang asli.
Danupaksi dan Kenanga mendekati
Suro Bodong dalam keheranan yang belum tuntas.
“Apa yang telah kau lakukan
sebenarnya, Malaikat?!”
“Aku bukan malaikat,” jawab Suro Bodong.
“Aku hanya membuktikan bahwa kau
akan ditipu oleh Brogo dan Raden
Pujo!” Suro Bodong masih garuk-garuk kumis. Ia tenang, acuh tak acuh.
Danupaksi geleng-geleng kepala
dengan heran dan takjub memandang
keadaan Suro Bodong. Lalu, Suro Bodong berkata:
“Bukankah kalian punya cara
tersendiri untuk menguji keaslian
Pedang Urat Petir?”
Danupaksi mengangguk, lalu
menyuruh Kenanga mencabut pedang Raden Pujo. Kenanga membawa pedang tersebut
kepada ayahnya. Kemudian Danupaksi
berkata:
‘Tempelkan pada pedangmu, kalau
lengket, itu Pedang Urat Petir yang
asli…!”
Kenanga mencabut pedang Jatayu,
kemudian menempelkan pada pedang yang
masih memercikkan bunga api, yaitu
pedang milik Raden Pujo. Tetapi
berulangkali pedang itu disatukan,
tetap tak mau lengket.
“Pedang itu tidak mau melekat
dengan pedangku, Ayah,” kata Kenanga.
Tapi tanpa disadari, ia berjalan di
dekat Suro Bodong. Tiba-tiba pedang
Jatayu melesat sendiri dari pegangan
tangan Kenanga. “Sreekk…!” Tahu-tahu pedang Jatayu melekat erat pada pedang yang dibawa Suro
Bodong. Bukan hanya
Suro Bodong yang kaget. Mereka sama-sama memandangi kedua pedang yang
saling melekat bagai mempunyai daya
magnit yang sangat kuat.
Danupaksi buru-buru melepaskan
kedua pedang itu, tapi sampai
keringatnya mengucur, pedang tersebut
tak mampu dilepaskan. Semua orang
beralih perhatiannya kepada kejadian
itu, termasuk Brogo.
Gemetar tangan Suro Bodong,
gemetar pula tangan Kenanga ketika
hendak menarik pedang yang lengket
itu, dan ternyata mereka dapat melepaskan kedua pedang tersebut dengan
sangat mudah, tanpa harus menguras
tenaga.
“Ini Pedang Urat Petir yang
asli…! Iniii…!!” seru Danupaksi dengan girang. Semua pun ikut girang.
Dan tiba-tiba Brogo mencabut
pedangnya. Semua orang yang ada di
sekitarnya menyingkir cepat. Suro
Bodong bersiap hendak menangkis
serangan Brogo. Tapi ternyata, Brogo
menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri, tepat di awah jantung.
“Brogo bunuh diri…!!” seru para prajurit yang membuat suasana menjadi
gempar. Danupaksi terbengong kembali
melihat perbuatan Brogo yang tak
sanggup menahan malu, karena benar apa kata Suro Bodong: bahwa dia telah
menggunakan kesempatan mencari Pedang
Urat Petir untuk mencari keuntungan
sendiri. Ia dibayar mahal oleh Raden
Pujo dengan mengaku Raden Pujo itulah
pemilik Pedang Urat Petir sebenarnya,
dan patut mengawini Kenanga.
“Aku patut berterimakasih
sebanyak-banyaknya kepadamu, Suro
Bodong. Sekali pun wajahmu kasar,
penampilanmu memuakkan, namun
sesungguhnya kau mempunyai jiwa yang
bersih,” kata Patih Danupaksi setelah beberapa saat menikmati sarapan pagi.
Di situ ikut pula Saga dan Ki Pupus,
yang mendapat kehormatan untuk
bersantap pagi bersama keluarga
Kepatihan.
Suro Bodong berkata seenaknya,
seperti sudah menjadi ciri khas
pribadinya:
“Untuk apa terima kasih segala!
Semua kejahatan bagaimanapun juga
suatu saat akan terbongkar. Sepele
saja!”
‘Tapi… sungguh aku tidak
menyangka kalau Brogo mau bersekongkol dengan Raden Pujo demi uang dan…”
“Ah, itu juga sepele!” sahut Suro Bodong. “Orang mana yang tidak ngiler dengan uang? Orang mana
yang tidak
tergiur oleh kekayaan. Sebesar apa pun kesetiaan seorang bawahan, suatu saat
akan rapuh juga mentalnya. Itu
tergantung bagaimana atasannya saja,
kalau atasan memperhatikan
kesejahteraan hidupnya, menjamin masa
depannya, yah… tak mungkin jiwa-jiwa tempe itu dimiliki seorang bawahan!”
Danupaksi seharusnya tersinggung
dengan ucapan itu. Tapi nyatanya ia
hanya manggut-manggut dan menghela
nafas dalam-dalam. Ada geram
terpendam, ada keganjilan yang
dirasakan tumbuh dalam hati dan
menuding diri sendiri.
Kenanga menyadari adanya
perubahan batin ayahnya, ia segera
mengalihkan suasana dengan berkata,
“Aku tidak menyangka sama sekali kalau pemilik Pedang Urat, Petir itu
ternyata kamu, Suro Bodong.”
“Ya,” jawab Danupaksi sendiri.
“Dan aku tidak menyangka kalau
akhirnya aku akan mempunyai menantu
kamu.”
Mata Suro Bodong membelalak, lalu
terbengong. Ia sepertinya baru sadar
dari ancaman yang mendebarkan. Ia jadi berdebar-debar, lalu bertanya:
“Apakah itu harus?”
“‘Harus!” jawab Danupaksi. “Kau harus jadi menantuku. Singkatnya, kau
harus menjadi suami Kenanga dalam
waktu singkat ini: Kalian harus
saling… memadu cinta di peraduan.
Ini penting, Suro. Sebab dalam tempo
empat puluh hari Kenanga tidak
berhubungan badan dengan pemilik
Pedang Urat Petir, maka tubuhnya akan
menjadi kering. Dan ia akan mati,
tepat hari ke empat puluh.”
“Dan sekarang tinggal dua puluh
hari lagi,” kata Kenanga dengan pelan, bernada menyedihkan.
“Nanti dulu…” Suro Bodong
berhenti makan. “Kenapa sampai harus begitu?”
Kenanga sendiri yang menjawab
setelah ia memandang ayahnya beberapa
saat:
“Dua puluh hari lalu, aku
bertarung dengan seorang tokoh
persilatan, musuh dari guruku. Nini
Kuncen namanya. Aku membela guruku,
tapi ternyata aku bukan tandingannya.
Aku terkena pukulan Senggoro Jabang.
Ilmu itu hanya dimiliki oleh Nini
Kuncen. Guruku sendiri mati di tangannya pada saat aku dalam keadaan parah.
Tapi sebelum guru meninggal ia sempat memberiku petunjuk, bahwa dalam empat
puluh hari aku akan mati kekeringan
darah, sebab pukulan Nini Kuncen itu
telah membuat racun menggumpal dalam
rahim peranakanku. Racun itu akan membuat darahku kering hanya dalam tempo
empat puluh hari. Tetapi apabila…
aku bisa memperoleh benih jantan dari
lelaki pemilik Pedang Urat Petir, maka aku akan tertolong. Racun itu akan
tawar apabila bercampur dengan benih
seorang lelaki yang memiliki Pedang
Urat Petir…”
Suro Bodong tertegun lama sekali.
Pikirannya seperti benang kusut yang
semakin semrawut. Ia menggeleng pelan
dalam renungannya.
“Suro… tolonglah aku dan
anakku…” kata Danupaksi.
“Nyawaku ada di tanganmu,
Suro…” bisik Kenanga yang duduk di kursi samping kiri Suro Bodong.
Jantung Suro Bodong semakin
berdebar. Ia bingung. Ia tak ingin
menodai percintaannya dengan Ratna
Prawesti. Tapi di lain
sisi, ia
dituntun untuk melakukan hal yang
manusiawi. Jiwanya guncang, batinnya
bergemuruh. Ia jengkel sendiri. Lalu,
ia berteriak.
“Tidaaaak…!!” seraya berdiri, menendang kursi dan mengamuk membuang
kejengkelannya. Sampai tanpa disadari, dia telah bersalto 7 kali di udara
tanpa menyentuh lantai. Kemudian,
keluarga Kepatihan dan semua yang ada
di situ terbengong melompong. Mereka
tak berkedip memandang tubuh Suro
Bodong telah berubah ujud menjadi
seorang pendekar tampan. Mengenakan
rompi dan celana warna emas,
menyandang pedang di punggung
bercahaya ungu. Rambutnya panjang,
halus, diikat dengan tali emas bermata batu merah. Ia telah menjelma menjadi
Panji Bagus, yang pernah mendapat
julukan Pendekar 7 Keliling. Jurus
Luing Ayan 7 telah mengubah keadaan
seperti itu, yang membuat Kenanga
terkesima tiada henti, dan Suro Bodong tersenyum kepada Kenanga. Ia berjalan
mendekati Kenanga, meraih rambut
Kenanga yang panjang, lalu berkata
dengan suara yang enak didengar oleh
siapa saja:
“Aku tetap Suro Bodong. Mungkin
dengan ujud beginilah aku bisa
membantumu, Kenanga. Dalam ujud Suro
Bodong yang sebenarnya, aku adalah
milik Ratna Prawesti. Tetapi dalam
ujud Panji Bagus ini….. kau boleh
memiliki aku, Kenanga…”
Kenanga tak sabar. Kenanga tak
terkendali. Jiwa yang berteriak itu
segera memeluk Suro Bodong yang telah
berubah menjadi pendekar tampan
bermata bening, teduh.
“Surooo…!” Kenanga memeluk erat dan membiarkan ayah ibunya tersenyum
dalam keharuan. Pedang Urat Petir
memancarkan sinar ungu samar-samar,
sebab pedang itu sepertinya masuk
terselip di antara kulit dan daging
punggung pemuda tampan dan kekar itu.
Dalam keadaan sekekar itu, dalam
ujud segagah itu, Suro Bodong berani
membalas pelukan Kenanga sekali pun di depan mata orang-orang itu. Tetapi
jika dalam ujud Suro Bodong yang sedikit gemuk dan perutnya agak
membuncit, apakah ia berani berbuat
deinikian? Rasa-rasanya tidak. Dalam
ujud Suro Bodong, mau tak mau ia
melangkah sambil mengunyah jagung
bakar dan sesekali menggaruk kumisnya
yang tebal. Ia menyusuri hidup,
mencari kekasihnya: Ratna Prawesti,
yang sudah tentu mempunyai cinta tak
seagung cinta perempuan mana pun juga.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar