..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 18 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE PEDANG JITU SAKTI

 

Pedang Jitu Sakti


SATU



WAJAH-WAJAH bengis itu masih sabar menunggu dari

balik semak belukar. Pandangan kedua wajah bengis itu tertuju pada

jalanan yang lengang, berumput dan bertanah merah. Kedua wajah

bengis itu masing-masing bersenjata aneh.

Yang satu berpakaian serba hitam dengan senjata pedang

lengkung bercabang dua, namun pada gagang pedang terdapat

rantai yang diikatkan pada pergelangan tangannya. Pedang itu

sewaktu-waktu dapat dilemparkan menuju sasaran, lalu dengan

sekali hentak pedang itu akan kembali ke tangan pemiliknya.

Sedangkan wajah bengis yang satu berpakaian serba abu-abu.

Tingginya sama dengan orang berpakaian serba hitam itu. Namun

yang berpakaian abu-abu mengenakan ikat kepala hitam lusuh

berambut lebat mengempal, pertanda jarang kramas. Ia bersenjata

tombak berujung bola berduri sebesar buah jeruk nipis. Bukan hanya

satu bola berduri, melainkan ada empat bola berduri yang seakan

saling melekat mirip sedompol anggur.

"Ssst..! Aku mendengar suara langkah orang, Rombal!" bisik

yang bersenjata tombak berujung bola berduri.

"Ya. Aku juga tidak tuli, Degom. Kupikir mereka sudah

dekat dan sedang menuju ke mari," jawab temannya yang bersenjata

pedang lengkung berantai itu. Rupanya dialah yang bernama

Rombal, sedangkan temannya yang berbusana serba abu-abu itu

bernama Degom.

Dari arah tikungan bukit cadas muncul empat orang

pembawa tandu. Mereka memikul tandu berukir indah,

melambangkan tandu seorang bangsawan. Dua orang pengawal ada


di depan mereka. Kedua pengawal itu sama-sama memegang

tombak berujung trisula yang tajam. Keduanya sama-sama

berpakaian celana hijau tua dan baju lengan panjang warna hijau

muda. Agaknya pakaian itu merupakan seragam suatu kekuasaan

dalam tingkat tertentu. Sebab, keempat pemikul tandu itu

mempunyai seragam lain dengan kedua pengawal tersebut.

Keempat pemikul tandu itu berseragam celana hitam tanpa baju

semua. Namun masing-masing tetap menyelipkan pedang yang

sama bentuknya di pinggang mereka.

"Tak salah lagi, itulah mereka, Rombal..." bisik Degom.

Rombal hanya mengangguk dan tetap diam di tempat.

Mereka sama-sama menunggu sampai saat baik tiba di depan

mereka, sesuai dengan perhitungan. Sejenak, Rombal sempat

berbisik kepada temannya:

"Kau serang orang-orangnya, aku akan menuju ke tandu itu

dan membunuh sasaran kita."

"Beres...!" kata Degom seraya mengepalkan tangannya,

mengeraskan urat-uratnya, besiap melompat ke luar dari

persembunyiannya.

Tepat ketika para pembawa tandu telah melewati depan

hidung mereka, maka kedua wajah bengis itu pun melompat dari

tempat persembunyian.

"Ciaaat...!!" keduanya sama-sama langsung menyerang dua

orang membawa tandu bagian belakang.

"Aaaahh...!" pekik mengerikan terdengar lepas. Kedua tubuh

pembawa tandu belakang itu berdarah karena kibasan pedang

Rombal dan sabetan tombak berujung bola berduri dari Degom.

Dengan cekatan kedua pembawa tandu bagian depan segera

menurunkan tangkai tandu, sehingga tandu tidak sempat terguling

jatuh. Pada saat itu, Rombal segera menyerang ke arah tandu

dengan gerakan melompat.

Namun salah seorang pengawal bersenjatakan tombak

trisula itu telah lebih dulu menghalanginya dengan tombak tersebut.

Ia mengibaskan tombak yang telah menghadang di depan pintu

tandu, nyaris membelah dada Rombal.

"Hiaaat...! Kunyuk sapi...!" Rombal mencaci maki seraya

menghindar sabetan ujung tombak yang bertubi-tubi itu.


Dua orang pemikul tandu depan menyerang Degom dengan

pedang mereka. Degom menggeram dengan mata melotot sambil

menangkiskan tombaknya untuk menghadang pedang lawannya.

Sesekali ia berguling di udara sambil menendang, dan sesekali pula

tendangannya membuat lawan terjengkang ke belakang.

Salah seorang pengawal berseragam hijau masih diam di

dekat tandu berukir. Ia tidak ikut menyerang, melainkan berjaga-

jaga di depan tandu. Ia membiarkan temannya yang sama-sama

bersenjata tombak trisula itu menerjang lawan yang bersenjata

pedang berujung dua yang melengkung ke arah berlawanan.

"Sanggu...! Bantu aku!" teriak pengawal yang sedang

melawan Rombal. Pengawal yang tadinya diam di depan tandu

segera menyerang Rombal dari belakang dengan menghujamkan

tombaknya ke punggung Rombal. Tapi agaknya Rombal sulit

dibokong. Secepatnya ia berkelit dari serangan pengawal yang

pertama menyerangnya, sambil ia mengibaskan pedang menangkis

tombak orang yang dipanggil Sanggu tadi. Kemudian Rombal

melompat beberapa kali menjauhi kedua pengawal.

Pada saat itu, tepat kedua kaki Degom menendang keras

dada kedua pemikul tandu yang menyerangnya. Kedua pemikul

tandu itu terpental beberapa langkah ke belakang, dan jatuh

terguling-guling bersamaan. Degom segera berdiri bersampingan

dengan Rombal. Masing-masing siap menghadapi serangan lawan.

"Sia-sia kalian menaruhkan nyawa...!" kata Degom. "Lebih

baik kalian segera pergi meninggalkan tandu itu!"

Sanggu, pengawal berkumis tipis itu menjawab dengan

suara lantang:

"Kalian yang sia-sia bertindak! Kalian salah sasaran. Pasti

kalian pikir kami membawa harta berharga yang dapat kalian

rampok. Begitu, kau...? Hem...!" Sanggu mencibir.

Temannya menambahkan kata: "Rupanya kalian memang

perampok-perampok bodoh! Tidak bisa mencari mangsa yang

menguntungkan. Kalian dungu! Pikun...!"

"Diam...!" bentak Degom seraya mengacungkan tombaknya.

Rombal membentangkan tangan kirinya ke depan Degom,

pertanda memberi isyarat agar Degom jangan menyerang dulu.

Lalu, Rombal berkata kepada lawan-lawannya:


"Kami tahu kalian ini orang-orang Kedipaten Puspagiwang,

bukan? Hem...! Kalian tak perlu bohong. Kami tahu ciri-ciri pakaian

seragam kalian!"

"Memang, kami orang-orang Kadipaten Puspagiwang.

Tetapi kami merasa tidak pernah bermusuhan dengan kalian.

Mengapa kalian menyerang kami dan menewaskan dua orang kami

itu? Apa sebabnya?" kata Sanggu.

"Sebabnya... sebabnya kami ingin membunuh kalian semua!"

sahut Degom.

Lalu, pengawal yang satu menyahut, "O, kalau begitu,

datanglah ke Kadipaten kami. Di sana banyak orang-orang

Kadipaten Puspagiwang. Kalian bisa memilih yang mana yang

kalian akan bunuh lebih dahulu. Itu kalau kalian mampu tiba di

sana dengan selamat…"

Kata-kata itu membuat panas hati Rombal dan Degom.

Dengan menggeram Rombal berkata: "Suatu penghinaan halus yang

menyakitkan! Serang...?!"

Sambil berteriak begitu, Rombal melayangkan tubuhnya

dengan posisi kaki kanan lurus ke depan dan kaki kiri bersiap

menahan tubuh apabila jatuh ke tanah. Tetapi sebelum kaki itu

mengenai wajah pengawal, lebih dulu kaki itu ditendang ke atas

kuat-kuat oleh pengawal itu, sehingga tubuh Rombal ikut terbawa

melayang ke atas dan bersalto ke belakang. Sedangkan Degom

sendiri segera melayani kedua pemikul tandu yang melancarkan

serangan dengan pedang mereka. Degom mengibaskan tombaknya

sehingga kedua pedang yang menghantam ke arah tubuhnya nyaris

terpental dari tangan pemegangnya.

"Gempur dia dari dua arah!" teriak salah seorang lawan

Degom, "Ciaaat...?!"

Mereka bersalto ke samping kanankiri Degom, kemudian

dari sana mereka melancarkan pukulan seraya melayangkan tubuh

ke arah Degom. Kedua kaki Degom melompat ke atas, dan

membentang secara bersamaan.

"Aauuhh...! Huuggh...!"

Kedua kaki yang membentang ke samping secara bersamaan

itu tepat mengenai dagu dan leher kedua lawannya. Kedua pemikul

tandu itu saling bergulingan kembali. Degom melompat mundur,

bagai sedang mengatur jarak. Kedua pemikul tandu itu sama-sama


bangkit dan melesat menyerang Degom. Namun dengan gerakan tak

disangka-sangka, Degom menyodokkan tombak berujung bola

berduri empat butir itu. Kedua pemikul tandu itu segera berhenti

menyerang, dan berkelit mundur sampai beberapa langkah.

"Mampus kalian sekarang, Babi...!" teriak Degom, lalu

jempol tangannya menekan ujung tombak yang dipegangnya.

Dengan tekanan jempol tangan itu, tiba-tiba keempat bola berduri

itu melesat dari tangkai tombak. Melayang ke depan dengan

membentuk empat jurusan.

Gemerincing rantai yang keluar dari ujung tombak itu

sangat mengagetkan kedua pemikul tandu tersebut. Karena

kagetnya, mereka sampai tidak menyadari kalau ada empat bola

berduri yang menyerang ke arahnya. Mereka segera memisahkan

diri ke kanan kiri. Namun justru keempat bola berduri itu

memisahkan diri juga ke empat arah.

"Crook...!"

Salah satu bola berduri itu mengenai tengkuk kepala salah

satu pemikul tandu.

"Aaaahh...!!" ia berteriak histeris dan matanya mendelik

dengan tubuh kaku. Bola berduri itu seakan terbenam di tengkuk

kepalanya. Sementara itu, bola berduri yang satunya lagi juga

membenam di leher salah satu pemikul tandu itu. Ia juga menjerit

dan berkelojotan seraya berusaha mencabut bola besi berduri.

Namun bola besi berduri itu bagai sukar dicabut dan seakan

semakin terbenam di lehernya. Sedangkan kedua bola berduri

lainnya menembus tempat kosong.

Degom menghentakkan tangannya ke belakang. Seketika itu

rantai-rantai yang terjulur dari ujung tombak itu tertarik masuk ke

dalam tongkat tombak. Seiring dengan itu, kedua pemikul tandu

semakin menjerit karena bagian tubuhnya jebol. Bola berduri yang

membenam di leher dan tengkuk terasa bagai merobek bagian

tepian luka. Mereka roboh ke tanah dan berkelejotan tanpa suara

lagi. Lalu, tubuh mereka pun lama-lama diam melemas dan tak

bergerak lagi.

Melihat keadaan anak buahnya seperti ayam disembelih,

Sanggu menjadi semakin marah. Ia meninggalkan Rombal yang

tengah sibuk menghadapi temannya, kini Sanggu menyerang ke

arah Degom dengan teriakan:


"Manusia binataaang...! Hiaaaat...!"

Sanggu bersalto beberapa kali, kemudian kakinya tepat

mengenai pundak Degom. Tubuh Degom terpelanting ke samping.

Bertepatan dengan itu, tombak trisula Sanggu dikibaskan ke arah

perut Degom. Namun tangan Degom cepat bergerak ke samping,

memegang tombaknya kuat-kuat dan menahan tombak Sanggu.

"Mampus kau, Bajingaaan...!" teriak Sanggu yang segera

menyerang dengan tendangan kaki kanannya ke samping.

Tendangan itu memang mengenai leher Degom, sehingga Degom

geloyoran membentur tubuh Rombal. Hampir saja pedang Rombal

menebas kepalanya, karena dikira yang menyentuh tubuhnya

adalah kepala Sanggu.

"Jangan ke mari, tolol!" bentak Rombal kepada Degom.

"Tidak sengaja...! Leherku hampir patah...!" Degom bergegas

untuk berdiri dengan benar. Ia siap dengan tombak menyilang di

dadanya. Sanggu juga siap dengan tombak trisula teracung ke arah

tubuh Degom.

Saat itu, Rombal berhasil melayangkan tendangannya ke

dada lawannya dengan keras. Lawannya bagai melayang ke

belakang dalam posisi tubuh melengkung ke depan. Secepat itu pula

Rombal melemparkan pedangnya yang berujung bengkok ke dua

arah. Rantai yang mengikat gagang pedang gemerincing

mengantarkan pedang itu ke arah tubuh lawannya, sedangkan

ujung rantai yang lain terikat di pergelangan tangan Rombal.

"Traaang...!"

Nyala api memercik akibat benturan pedang pengawal

dengan pedang Rombal. Hampir saja dada pengawal terkena

lemparan pedang berujung dua itu. Untung ia gesit menangkis.

Pedang berujung dua itu ditarik kembali dan melayang mundur ke

arah pemiliknya. Pedang itu kembali dalam genggaman Rombal.

Pengawal teman Sanggu kembali berdiri dengan tegap, ia

menggerakkan pedangnya ke belakang dengan tubuh mulai

merendah, siap menyerang. Tapi di luar dugaan, Degom

melancarkan serangan mautnya. Keempat bola besi berduri itu hagai

melesat dari ujung tombaknya. Keempatnya menuju ke empat arah.

Saat itu sasarannya adalah tubuh Sanggu. Namun Sanggu mampu

menangkis bola besi yang mengarah padany.a Hanya saja, salah satu

bola besi berduri itu ada yang meluncur nyasar ke arah pengawal


teman Sanggu. Bola itu tepat mengenai lengan pengawal itu.

"Crook...!"

"Aahh...!" Pengawal itu menjerit dalam keadaan kaget.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Rombal untuk

melayangkan pedangnya sekali lagi. Rantai pedang bergerincing,

dan desau angin pedang menuju ke arah leher pengawal itu.

Sambil menyeringai kesakitan, pengawal itu

melengkungkan badan ke belakang, sehingga lehernya terhindar

dari goresan pedang. Tetapi dadanya yang menjadi sasaran

berikutnya.

"Aaoow...! Aku kena lagi, Sanggu...!!" teriaknya ketika

pedang berujung bengkok dua arah itu

mengenai dadanya. Lalu ia menjerit keras lagi. "Aaaauuhhh...!!"

Degom menarik tongkatnya, dengan demikian rantai

penghantar bola-bola besi berduri itu pun melesat kembali ke

arahnya semula. Hal itu mengakibatkan kulit tubuh yang tertancap

bola tersebut menjadi semakin robek bagai dipaksa ditarik dalam

hentakan yang kasar.

Darah mengucur dari dada dan lengan pengawal itu.

Sanggu mulai gentar melihat temannya terluka. Ia bersalto ke arah

Degom. Tombak trisulanya dipakai untuk mencungkil kepala

Degom dari leher. Tapi gagal. Karena pada saat itu, pedang Rombal

melayang dengan cepat dan mengenai paha Sanggu. Paha itu robek

di luar dugaan. Sanggu memekik kesakitan, sehingga gerakan

tombak trisulanya menjadi salah sasaran, melesat dari leher Degom.

Kaki Dogemlah yang bekerja berikutnya.

"Hiaaat...! Huhh...! Modar kau...!" seru Degom seraya

menghentakkan kaki ke pelipis Sanggu. Hal itu membuat Sanggu

terpental dan menyeringai kesakitan segera memegangi pahanya

yang terluka.

Degom dan Rombal sama-sama menertawakan kedua

pengawal yang sudah kepayahan itu.

"Saat-saat kematianmu sudah dekat, Kunyuk!" kata Degom

kepada Sanggu.

Sanggu hanya menyeringai karena pahanya semakin

membiru. Jelas pedang Rombal yang mengenainya itu beracun,

demikian juga dengan luka pengawal yang satu. Dada pengawal itu


mulai menampakkan luka goresan yang membiru. Mereka sama-

sama menyeringai dan mengerang-erang tertahan.

"Rombal...! Hancurkan tandu itu seisinya!" perintah Degom

seraya tertawa dan bertolak pinggang.

Rombal ikut tertawa lebar seraya mendekati tandu tersebut.

Lalu segera melompat dengan jurus tendangan yang diarahkan ke

tandu itu.

"Ciaaaatt...!!"

Rombal yang bertubuh kekar mempunyai kaki yang besar.

Tentu saja tandu kayu berukir itu akan hancur sekali ditendangnya.

Tetapi kenyataannya tidak demikian.

Tepat pada saat kaki Rombal hampir menyentuh tandu,

tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat cepat dan berhenti di

depan tandu. Ia menangkis kaki Rombal dan bahkan membuat

tubuh Rombal berjumpalitan ke belakang.

"Bangsaaat..!!" Rombal jatuh dengan punggung duluan.

Sebongkah batu membentur punggung itu sehingga Rombal

mengerang dalam caciannya.

Mata Degom membelalak di sela kobaran amarah. Mata itu

memandang lebar ke arah tandu. Di sana telah berdiri seorang lelaki

berambut panjang tak teratur. Wajahnya cukup kasar. Alisnya tebal

dan berkumis tebal juga. Matanya bulat dan tajam, warna matanya

kemerah-merahan. Ia berdiri tegak. Kedua kakinya merenggang

kekar. Lelaki berumur antara 40 tahunan itu mengenakan baju jubah

merah dan celana biru tua. Badannya sedikit gemuk, perutnya agak

membuncit dan pusarnya menonjol ke depan. Sekali pun ia menge-

nakan ikat pinggang dari kain warna hijau, namun pusarnya tidak

sempat tertutupi oleh ikat pinggang itu. Melihat sosok

penampilannya yang angker, ditambah dengan ikat kepala yang

berwarna merah darah, jelas sekali ia bukan orang sembarangan di

dunia persilatan.

Rombal mulai resah dan merasa sedikit gentar melihat

ketenangan lelaki itu, yang berdiri sambil menikmati jagung bakar.

Mata Rombal mengawasi penuh selidik. Dalam hati ia berkata:

"Orang gila dari mana dia? Datang-datang menyerangku

sampai tulang kakiku linu semua...! Hemm... agaknya ia tidak

bersenjata apa pun. Pasti dia mengandalkan pertarungan tangan


kosong. Pasti dia tidak sanggup bertarung dengan menggunakan

senjata…"

Lelaki berjubah merah dan bercelana biru tua itu mengamati

tandu tersebut dari luar. Ia sendiri agaknya merasa heran, mengapa

tandu itu dijadikan masalah oleh kedua lelaki berwajah bengis itu.

Apa isinya? Menurut dugaannya, tandu tersebut memang bukan

berisi barang berharga atau emas permata. Sebab tadi ia melihat

Rombal hendak menghancurkan tandu tersebut. Jelas isinya pasti

seorang putri cantik, gadis anak bangsawan yang hendak

melakukan perjalanan ke suatu tempat. Buktinya ada dua pengawal

yang ditugaskan menjaganya.

Degom tak sabar, ia segera mendekati lelaki berambut acak-

acakan namun berikat kepala merah darah.

"Hei, Kunyuk...!" bentak Degom menampakkan

keberaniannya. "Apa urusanmu mengganggu pekerjaan kami, hah?!"

Lelaki yang kelihatan pusernya itu seperti tidak mendengar

kata-kata Degom. Ia tetap asyik makan jagung bakar sambil meneliti

tandu dan keadaan sekitarnya. Ia juga memandang kedua pengawal

yang kesakitan sambil menatapnya pula itu. Degom merasa

disepelekan, amarahnya semakin naik.

"Kunyuk...! Jawab pertanyaanku! Apa urusanmu sehingga

kamu mengganggu kami berdua, hah? Ada hubungan apa kau

dengan orang-orang Kadipaten Puspagiwang itu?!"

Lelaki berambut panjang tak teratur itu masih tenang

menggigit-gigit jagung bakar, ia bahkan menyampar kedua

pengawal yang kelojotan menahan sakit karena luka-lukanya. Kedua

pengawal itu pun memandang heran kepada lelaki tersebut,

sehingga Rombal berbisik kepada Degom:

"Dia bukan orang Kadipaten Puspagiwang! Aku yakin, dia

dan pengawal itu tidak saling kenal...."

Degom manggut-manggut dan berbisik, "Tapi kita harus

hati-hati terhadap dia. Kulihat gerakannya tadi seperti angin setan

dan membuat kau terpental...."

Rombal menggumam dalam geram kedongkolan. Matanya

memandang lelaki berambut acak dan bertingkah laku seenaknya

itu. Ketika lelaki itu hendak mendekati tandu kembali, Rombal

memberikan isyarat kepada Degom dengan kerlingan mata Degom

mengangguk samar. Kemudian tombak Degom bergerak cepat,


disodokkan ke arah punggung lelaki itu. Namun lelaki berjubah

merah itu hanya merundukkan badan dan jongkok sambil

menikmati jagung bakarnya. Sodokan tombak berujung bola besi

berduri itu molos melewati atas kepalanya. Degom menarik tombak-

nya, dan menggeram jengkel. Ia berdiri dengan tangan kanan

bertolak pinggang dan tangan kiri memegangi tombak yang berdiri

tegak di sampingnya.

"Kunyuk edan,..! Apa maumu sebenarnya, hah? Jawab!

Jangan menunggu kesabaranku habis!" seru Degom.

"Apa kamu bicara denganku?!" tanya lelaki itu seraya

mengunyah jagung bakarnya.

"Iya! Tapi dari tadi kurasa kau memang tuli!"

"Ah, tidak," jawab lelaklitu tenang. "Aku tidak tuli. Cuma,

kukira kau dari tadi bicara dengan kunyuk, bukan denganku.

Makanya aku diam saja. Sebab aku bukan kunyuk. Aku belum jadi

kunyuk."

"Bangsat...!" Degom mau menghantam memakai tombaknya,

tetapi Rombal menahan tangan Degom. Kini Rombal sendiri yang

menghadapi lelaki pemakan jagung bakar.

"Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kau tiba-tiba

menyerangku, hah?!"

"Nah... ini baru pertanyaan yang baik. Sopan," katanya

sambil memandang Degom dan menuding Rombal.

"Namaku... Suro Bodong!"

Rombal menatap Degom, sama-sama merasa asing dengan

nama itu. Kemudian Rombal memandang Suro Bodong.

"Suro Bodong... kami baru kali ini mendengar namamu. Jadi,

kita memang baru kali ini berjumpa, bukan. Tetapi apa alasanmu

tiba-tiba menyerangku?'

"Melindungi yang lemah," jawab Suro Bodong seraya

memetik-metik jagung bakar, dan melemparkan ke mulutnya.

"Hah...! Mau berlagak jadi pendekar kamu, ya?!" seru

Degom. "Kamu belum tahu siapa kami ini, hah?! Belum tahu?!"

"Ah, buat apa mengetahui kalian siapa. Kalian bukan jagoan

yang kondang! Kalian cuma pengganggu rakyat kecil. Jadi, kalian itu

tidak lebih dari wereng hama padi!"

Degom semakin terpancing kemarahannya, demikian juga

dengan Rombal.


"Suro Bodong, kuingatkan...!" kata Rombal. "Kau tidak akan

mampu mengalahkan kami berdua, tau?! Kau akan mati konyol

tanpa penghargaan dari Adipati Kusumadharma, sebab tak ada

orang yang selamat dari hadapan kami berdua! Tapi kalau kau ingin

mati tidak penasaran, yah... silahkan saja melawan kami!"

Suro Bodong bangkit. Berdiri seraya menggi-git-gigit jagung

bakarnya. Iapun berkata tak kalah sombong:

"Aku sanggup melawan kalian berdua, dengan satu syarat!"

"Bah...! Pakai syarat-syaratan segala...!" kata Degom.

Rombal menyahut, "Syarat apa maksudmu?!"

"Jika kalian bertarung melawanku, kalian tidak boleh mati

terbunuh oleh tanganku! Kalian harus bertahan untuk tetap hidup.

Itu syaratnya. Tapi kalau kalian tidak mau bertahan tetap hidup dan

menyukai kematian, sebaliknya kalian pergi saja dan batalkan

pertarungan kita. Jelas?"

Rombal mencibir seraya memandang Degom yang berdiri di

samping kanannya. "Dia pikir kita ini mudah mati di tangannya..."

kata Rombal kepada Degom.

"Soalnya begini...." sahut Suro Bodong. "Aku sudah bosan

membunuh lawanku. Setiap kali aku mendapat lawan yang katanya

tangguh, tapi nyatanya ia selalu berhasil kubunuh dengan mudah.

Aaah... tidak seru kalau begitu, kan? Aku mau lawan yang tangguh

dan mampu bertahan supaya tidak mati di tanganku. Aku bosan

kalau mendapat musuh kelas nyamuk!" Suro Bodong menggigit-

gigit jagung bakarnya lagi.

"Kau menghina kami?! Kau menyepelekan kesaktian kami,

ya?"

"Yaaah... bagaimana aku tidak menyepelekan kalian," kata

Suro Bodong seenaknya seraya menikmati jagung bakar.

"Dari tadi kulihat kalian sulit membunuh kedua pengawal

itu. Padahal, aku hanya sekali gebrak membunuh mereka. Nah,

kalau membunuh kedua pengawal itu saja lama, apalagi kalian

membunuhku... Huhh, mustahil saja itu!"

"Kunyuk Bodong...!! Bersiaplah melawan kami...!!" geram

Degom. Tapi Suro Bodong masih tenang dan berkata.

"Ah, malas...!" ia bersikap seenaknya saja, memperhatikan

tandu tersebut. Ia mendengar suara nafas yang gementar dari dalam

tandu.


Saat itu Degom menyerang dengan tendangan kaki

kanannya. Kaki itu terarah ke pipi Suro Bodong. Tetapi dengan

gerakan tangan yang sukar dilihat, tahu-tahu Degom terpelanting

hampir satu putaran tubuhnya. Rombal sendiri tak dapat melihat

gerakan tangan Suro Bodong yang menangkis tendangan Degom

dengan satu pukulan yang sangat cepat dan kuat.

"Kalian mau melawanku sungguh? Tidak cuma dolanan...?"

kata Suro Bodong seraya melirik seram kepada Rombal. "Baiklah.

Aku akan melayani kalian, asal kalian punya niat yang baik, yaitu

niat bertarung, jangan niat coba-coba saja!"

"Tutup bacotmu, Bangsaat...!!" seraya berseru, begitu

Rombal mengibaskan pedangnya ke arah leher Suro Bodong.

Suro Bodong langsung tiarap. Lalu bangkit lagi. Ia baru saja

menggerakkan tangannya untuk mengambil sikap jurus pukulan,

tahu-tahu tombak Degom menghantam kepalanya. Sebelum

mengenai kepala, Suro Bodong langsung tiarap lagi. Tubuhnya rapat

dengan tanah.

"Tidak kena, he, he, he... lumayan bisa selamat...." katanya

seraya hendak berdiri. Ia baru membersihkan tanah yang menempel

pada pakaiannya, tahu-tahu tendangan Rombal melesat ke arah

dadanya. Suro Bodong menangkis kaki kiri Rombal. Ia hendak

memukul dada Rombal, namun pedang Rombal segera menebas

lehernya, dan Suro Bodong buru-buru tiarap lagi dengan gerakan

cepat. Tapi kaki Rombal menginjaknya dengan keras sehingga

punggung Suro Bodong menjadi sasaran yang empuk.

"Huuugghh...!" Suro Bodong mengejang. Rombal

mengangkat kakinya dan hendak menginjaknya lagi. Tetapi Suro

Bodong segera telentang dengan satu gerakan kaki menendang ke

arah kemaluan Rombal.

"Hiaaat...! Kena kamu...!"

"Aaakkh...! Uuuhh...!!" Rombal berlari terlonjak-lonjak

seraya memegangi 'barangnya' yang terasa pecah itu. Suro Bodong

bergegas bangun. Degom melancarkan serangan dengan bola besi

berduri yang melesat dari ujung tombaknya ke empat penjuru. Suro

Bodong berguling ke tanah beberapa kali dan berhenti tepat di

bawah kaki Degom. Lalu ia menggerakkan kakinya lurus ke atas dan

mengenai kemaluan Degom.


"Nah... kena lagi, kan? He, he, he...!" Suro Bodong bangkit

sambil tertawa.

"Aaauuh...! Uuuh...! Aaaoooww...!!" Degom kelojolan dan

berjingkrak-jingkrak kesakitan seraya memegangi bagian vitalnya.

Suro Bodong terkekeh-kekeh.

"Ditendang kok malah jejingkrakan begitu? Gembira, ya?"

"Kau bangsat tak patut diberi ampun...!!" geram Rombal.

"Lho, memang jangan diberi ampun...!!" sahut Suro Bodong

seraya merundukkan kepalanya, karena Rombal melemparkan

pedang berujung bengkok dua arah. Dan pada kesempatan itu, Suro

Bodong bergerak menjauhi kedua lawannya.

"Hei, jangan lariii, Kunyuk...!!" teriak Degom.

"Tidak!" sahut Suro Bodong. "Aku cuma ambil jarak buat

menyerang kalian. Tenang sajalah...!"

Benar, Suro Bodong behenti di suatu tempat yang agak jauh

dari kedua lawannya. Lalu ia berseru, "Hei, para musuhku...." Ia

bersikap seperti orang hendak berkhotbah atau berpidato.

"Dengarlah baik-baik, aku akan melancarkan jurus saktiku.

Namanya, ilmu Pedang Jitu. Tahu artinya jitu? "

Degom dan Rombal masih menyeringai sukar berjalan

karena alat vitalnya terasa sakit sekali. Kedua pengawal yang masih

hidup dalam keadaan parah itu masih sempat merasa heran melihat

cara berkelahi Suro Bodong.

"Jitu artinya: Siji dadi pitu. Satu jadi tujuh...! Kalau kalian

mampu menerima serangan ilmu Pedang jitu, kalian lulus menjadi

musuh teladan dan akan mendapatkan penghargaan dariku berupa

jurus-jurus yang lain. Nah, sekarang terimalah, ya...? Jangan

berebut...!!"

Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu

menarik pergelangan tangan kiri itu. Dan mata mereka yang

memandangnya sama-sama terbelalak kaget, ternyata tangan kanan

Suro Bodong telah memegang sebilah pedang warna ungu. Pedang

itu putih, tapi memancarkan sinar warna ungu. Padahal dari tadi

mereka tidak melihat ada pedang di tubuh Suro Bodong. Dan kali

ini, Suro Bodong menyeringai sinis.

Pedang itu dilemparkan, lalu ditendang ke udara sampai

berputar tujuh kali. Setelah berputar tujuh kali, pedang itu pecah

atau terpotong menjadi tujuh bagian. Ketujuh potongan itu melesat


cepat bagai meteor ke arah Rombal dan Degom. Empat potong

pedang menembus tempat kosong, dua potong menembus leher

Rombal dan satu potong lagi menembus dada Degom. Keduanya

menjerit bersamaan dengan nyaring. "Aaaaahh...!!"

Mereka kelojotan. Ketujuh potong pedang yang sudah tidak

bersinar ungu itu melayang kembali membentuk satu bagian.

Setelah kembali ke ujud semula, sebuah pedang bersinar ungu,

pedang tersebut melesat kembali ke pemiliknya.

Tangkas dan tegap Suro Bodong menangkap kembali

pedangnya. Ia membiarkan kedua lawannya mengeram, tersedak-

sedak dan berguling-guling di tanah seperti kambing disembelih.

Beberapa saat kemudian, Rombal dan Degom tak mampu bernafas

sedikit pun. Mereka mati. Dan Suro Bodong menghampiri dengan

cemberut.

"Tuh, apa kubilang tadi...? Jangan mati! Berlarianlah untuk

hidup. Tapi rupanya kalian menyepelekan kata-kataku. Uhhh...!

Percuma kalau cuma mau mati saja harus bertarung melawanku.

Mendingan gantung diri aja di pohon...!"

Suro Bodong geleng-geleng kepala melihat kedua musuhnya

meregang dan kaku menjadi mayat.

Sanggu dan seorang pengawal lainnya masih memandangi

Suro Bodong seraya menahan sakit. Mereka sama-sama menjadi

terheran-heran lagi ketika menyaksikan suatu keanehan Suro

Bodong memasukkan pedang berwarna sinar ungu itu ke

pergelangan tangannya. Pedang itu menusuk kulit lengan kirinya

dan kemudian hilang tak terlihat lagi. Tetapi pergelangan tangan

kirinya itu tidak berdarah sedikit pun, bahkan tak ada bekas goresan

atau tusukan pedang sekali pun sebesar titik jarum. Ajaib! Aneh

sekali ilmunya, pikir Sanggu. Suro Bodong tersenyum jelek kepada

Sanggu yang menyaksikan hal itu.

"Heran? Ah, pasti kalian heran melihat kesaktianku...!"

Sanggu mencoba tersenyum, tapi kaku karena menahan

sakit.

Suro Bodong berkata: "Tidak usah memaksakan diri untuk

tersenyum. Aku tahu kalian kesakitan karena luka beracun itu.

Tetapi, tenang... ada aku!" seraya Suro Bodong menepuk dada

dengan gayanya yang tengil.

"Nanti akan kusembuhkan...! Kalau aku bisa. Tapi...

ngomong-ngomong putri siapa yang ada dalam tandu itu? Mengapa

kedua orang bengis itu hendak membunuhnya?"

"Putri...?" Sanggu heran. "Dia.... dia bukan seorang putri."

"Lho, jadi siapa?" Suro Bodong tak sabar, lalu segera pergi

mendekati tandu dan membuka pintu tandu yang tertutup rapat

Astaga...! Dia ternyata seorang nenek peot!


DUA


SURO BODONG gondok sekali setelah mengetahui yang

berada dalam tandu berukir itu adalah seorang nenek peot. Sebagian

gigi nenek itu sudah ompong, mungkin hanya tinggal satu atau dua

gigi yang masih melekat pada gusinya. Berkali-kali Suro Bodong

mendengus, dan akhirnya tertawa sendiri. Ia menertawakan

bayangan dalam benaknya, yang semula mengira tandu itu berisi

seorang putri cantik dengan senyum dan bibir yang indah. Eh,

ternyata cuma seorang nenek peot yang untuk tersenyum saja

kelihatan susah.

"Kami utusan dari Kadipaten Puspagiwang," tutur Sanggu.

Suro Bodong sibuk merobek pakaian teman Sanggu yang

hendak diobatinya.

"Utusan untuk apa?"

"Untuk menjemput nenek Limbak. Dia seorang dukun bayi

yang terdekat tempat tinggalnya dari Kadipaten Puspagiwang. Dia

juga yang dulu menolong ibu Adipati Kusumadharma melahirkan

adik Kanjeng Adipati sendiri. Jadi, karena istri Kanjeng Adipati

hendak melahirkan, kami diutus menjemput nenek Limbak dalam

suatu penghormatan dan pengawalan yang bertujuan

menyenangkan hati nenek Limbak."

"O, jadi sekarang ini istri Adipati akan melahirkan?"

"Benar, Paman...."

"Jangan panggil aku Paman. Aku belum pernah kawin

dengan bibimu. Panggil saja namaku: Suro Bodong."

"O, baiklah kalau itu pennintaanmu... Suro Bodong."

Suro Bodong meludah ke dada pengawal teman Sanggu.

Pengawal itu menghindari kendati tak berhasil.

"Hei, mengapa kau meludahi aku?"

Suro Bodong memandang gemas. "Kau mau mati apa mau

sembuh? Kalau mau mati ya sudah, kutinggal saja."

"Tentu aku mau sembuh. Mau selamat, sebab bulan depan

aku akan menikah. Tapi, jangan diludahi begitu dong...!"

"Memang itu caraku untuk menyembuhkan kamu dari

racun pedang itu, tolol!" bentak Suro Bodong. "Boro-boro aku mau

meludai kamu. Bukannya terima kasih malah sewot...!"


Sanggu menengahi "Maafkan temanku ini, Suro Bodong. Dia

masih heran dan tidak tahu caramu menyembuhkan luka."

Suro Bodong menggerutu tak jelas. Kemudian ia

membentak, "Mau disembuhkan apa tidak?"

"Mau...." jawab pengawal dengan lemah.

Suro Bodong meludahi luka di dada sebanyak tujuh kali.

Luka itu mengepulkan asap. Lalu Suro Bodong berdiri dan

menyuruh pengawal itu telentang. Setelah telentang, Suro Bodong

menginjak-injaknya selama 7 kali juga.

"Huuggh...! Huhhg...! Aauuhg...!" Orang itu kejot-kejot

selama diinjak-injak Suro Bodong. Tetapi ia tak jadi marah, karena

melihat dadanya yang terinjak-injak itu menjadi rapat. Luka yang

menganga dan berwarna biru itu hilang sama sekali bagai tak

pernah ada luka.

"Gila...! Dadaku menjadi rata!" katanya.

Sanggu tertawa dalam senyum kelegaan. Kemudian Suro

Bodong menyembuhkan luka yang ada di lengan orang itu akibat

bola besi berduri. Cara penyembuhannya sama, dan hasilnya juga

sama. Demikian pula dilakukan oleh Suro Bodong kepada luka di

paha Sanggu. Juga diludahi tujuh kali dan diinjak-injak. Suatu

pengobatan yang aneh dan mengherankan bagi kedua pengawal itu.

Sehingga ketika Sanggu berkata kepada temannya: "Hebat sekali dia

itu, ya?"

Temannya menjawab sedikit bersungut-sungut, "Iya. Tapi

cara pengobatannya itu yang aku kurang setuju. Dadaku diinjak-

injak dan diludahi seenaknya...! Pengobatan tidak berdasarkan so-

pan santun itu namanya...."

Suro Bodong mendengar bisik-bisik itu, tapi dia tidak mau

menimpali dengan kata apa pun. Sebaliknya, Sanggu bahkan

berkata:

"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Suro Bodong. Aku

yakin, kalau kau mau ikut mengawal nenek Limbak ke Kadipaten,

pasti Kanjeng Adipati mau memberimu hadiah sebagai tanda ucap-

an terima kasih atas pertolonganmu ini...."

"Ah, itu tidak perlu. Aku ada urusan sendiri yang lebih

penting,'' kata Suro Bodong seraya mencari-cari jagung bakarnya

yang tadi terlempar entah ke mana.


"Kalau begitu, aku bisa mengusulkan kepada Kanjeng

Adipati agar beliau mau membantumu menyelesaikan urusan itu,"

bujuk Sanggu.

Suro Bodong berhenti mencari, berpaling kepada Sanggu.

Lalu ia mendekat dan berkata:

"Apakah Adipati bisa menolongku menemukan kembali

seorang gadis yang bernama Ratna Prawesti."

"Ratna Prawesti...?" Sanggu dan temannya menggumam.

"Kalian pernah mendengar nama itu?"

"Belum. Siapa dia, Suro?"

"Dia adalah kekasihku. Gadis itu bertubuh lencir. Kulitnya

kuning langsat. Lehernya jenjang. Matanya indah bulat bening

dengan bulu mata yang lentik dan lebat, ia mempunyai bibir

semerah delima merekah. Selalu kelihatan basah dan menawan.

Hidungnya bangir. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya

yang halus mulus itu. Ia juga mempunyai buah dada yang sekal.

Tidak besar, tapi tidak termasuk kecil. Padat berisi. Ia suka

mengenakan kaian sutra berlengan panjang warna kuning gading.

Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sering diriap dengan jepit

rambut di kanan kiri kepalanya. Ia juga mengenakan gelang kaki

dari perak putih bermata batu merah delima... Apakah, kalian

pernah melihatnya?"

Kedua pengawal itu menggeleng. Tetapi Sanggu menjawab,

"Barangkali Kanjeng Adipati bisa membantu mencarikan gadismu

itu, Suro. Kita coba saja...."

Suro Bodong menggumam, menerawang bagai

membayangkan sosok Ratna Prawesti yang dirindukan selama ini.

Setelah ditimbang-timbangnya, Suro Bodong bermaksud

mencoba mencarinya di daerah Kadipaten Puspagiwang. Siapa tahu

di sana ia memperoleh petunjuk di mana Ratna Prawesti berada.

Syukur kalau memang bisa bertemu dengan gadis itu. Untuk itu,

mau tak mau ia ikut mengantar dan mengawal nenek Limbak ke

Kadipaten Puspagiwang.

Adipati Kusumadharma sangat berterima kasih kepada Suro

Bodong setelah Sanggu menceritakan pertempuran melawan dua

orang bertampang bengis itu. Suro Bodong berdiri saja dibelakang

beberapa pegawai kadipaten yang duduk bersila menghadap

Kanjeng Adipati Kusumadharma yang arif dan bijaksana itu.


"Suro Bodong, sebaiknya kau duduk bersila seperti yang

lainnya. Kita ini menghadap Kanjeng Adipati di Paseban harus

menghormat...."

Suro Bodong berkata kepada Sanggu dengan suara lantang

dan membuat pegawai lainnya menengok ke belakang:

"Beginilah caraku menghormat. Kalau aku kau paksa untuk

duduk bersila, lebih baik aku keluar dari Paseban. Aku tak mau

diperintah seperti itu! Aku mau berdiri, ya berdiri. Kalau aku capek

kan akan duduk sendiri. Kenapa kamu dari tadi ribut melulu soal

duduk bersila, Sanggu?"

"Maksudku supaya...."

''Kalau memang aku dianggap menghina, aku pulang saja!

Aku mohon pamit, Adipati!" kata Suro Bodong bagai tak mengenal

tata krama sedikit pun. Tetapi Adipati Kusumadharma tersenyum

sabar dan berkata:

"Tinggallah beberapa hari di Kadipaten ini, Kakang Suro

Bodong. Ada hal-hal yang perlu kubicarakan denganmu."

"Tapi aku dipaksa duduk oleh Sanggu! Aku tidak mau kalau

diperintah untuk mengikuti peraturan di sini. Kurasa aku sudah

cukup sopan dengan diam begini tanpa mengganggu pertemuan ini.

Aku toh tidak membikin keributan di sini!"

"Benar! Kau yang benar,Kakang Suro Bodong. Dan kuharap

kau mau memaklumi bahwa Sanggu itu belum bisa berpikir dengan

benar. Mungkin ia sangat mencintaiku, sehingga semua orang mau-

nya disuruh duduk menghormat seperti caranya. Ah, sudahlah,

lupakan saja hal itu, Kakang Suro Bodong."

Dilihat dari kerapian dan kebersihan wajahnya, Adipati

Kusumadharma memang kelihatan lebih muda dibandingkan usia

Suro Bodong. Namun sebenarnya usia Adipati itu sejajar dengan

usia Suro Bodong. Namun dalam memberi penghormatan yang

biasanya ia lakukan, Sang Adipati selalu memanggil 'kakang' kepada

seseorang yang perlu dihormatinya seperti Suro Bodong. Dengan

panggilan itu, setidaknya hubungan keduanya akan semakin lebih

akrab dan tali persaudaraan terjalin secara tak langsung.

Adipati Kusumadharma memang orang yang cepat tanggap

terhadap sikap orang lain. Ia tahu bahwa Suro Bodong bukan

bermaksud berkurangajar kepadanya, tetapi kekakuan dan

kepolosan bertindak dari Suro Bodong sudah merupakan sikap


pembawaan hidupnya. Suro Bodong tidak mau bermuluk-muluk

dalam menghargai seseorang, namun ia juga tidak mau diperintah

seperti kacung atau pelayan yang hina. Dengan warna persaudaraan

yang diciptakan Adipati Kusumadharma, Suro Bodong lebih

menaruh rasa hormat dengan caranya sendiri. Dan keintiman itu

pun terjalin dengan lugas.

Suro Bodong bahkan berani mengeluh di depan Adipati,

yaitu ketika mereka berdua di taman Kadipaten yang ditanami

banyak bunga indah warna-warni.

"Kalau kau bertanya dari mana asalku, itu suatu pertanyaan

yang sedang kupikirkan, Adipati," kata Suro Bodong.

"Aneh," gumam Adipati Kusumadharma. Lalu berkata. "Jadi

Kakang Suro Bodong sendiri tidak tahu Kakang dari mana? Masa'

sampai begitu? Apakah Kakang juga tidak tahu siapa orang tua

Kakang?"

Suro Bodong menggeleng. "Yang kutahu dan yang

kupikirkan; di mana Ratna Prawesti dan sedang apa dia? Bagaimana

nasibnya? Itu saja."

Kusumadharma tertawa geli. Ia masih memegangi gelas

minuman yang terbuat dari perak putih.

"Hanya karena cinta Kakang Suro kepada perempuan yang

bernama Ratna Prawesti itu, maka kakang sampai lupa dari mana

asalnya? Begitu? Oh, sangat aneh, tapi juga mesra...."

Sekalipun Adipati Kusumadharma tertawa, namun Suro

Bodong hanya tersenyum tawar dan manggut-manggut sendiri, ia

bagai merenungkan sesuatu seraya memandang keindahan taman

berair mancur lebar itu.

"Sebelum aku mengenal Ratna Prawesti," kata Suro Bodong,

"Aku memang sudah tidak mengenali siapa diriku. Kadang-kadang

aku bertanya kepada Ratna, siapa diriku sebenarnya, tapi Ratna

hanya tersenyum dan menganggap pertanyaan itu aneh. Lalu

sepanjang hari aku bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa aku? Tapi

aku tak pernah menemukan jati diriku. Aku serba bingung. Dan

kalau sudah bingung, aku tidak peduli lagi pada diriku sebenarnya.

Terserah; mau jadi raja, apa gelandangan, terserah Sang Nasib saja.

Namun aku percaya, suatu saat pasti aku tidak akan bingung lagi.

Suatu saat pasti aku tahu, siapa aku sebenarnya."


"Kalau begitu, bagaimana kalau Kakang kutawarkan untuk

menetap di sini saja. Kuangkat kau menjadi pengawal pribadiku,

Kakang."

"Ah, males...!" jawab Suro Bodong seperti bicara dengan

rakyat jelata. "Kalau aku tinggal di sini, mana mungkin aku bisa

menemukan Ratna Prawestiku. Paling-paling ketemu kamu terus-

terusan, Adipati."

Adipati Kusumadharma tidak marah melihat sikap dan

penampilan Suro Bodong seenak udelnya sendiri itu. Memang

Adipati menyadari bahwa itulah sikap Suro Bodong yang asli.

Adipati bahkan berkata:

"Selama belum ada titik terang, Kakang bisa tinggal di sini.

Tetapi jika sudah ada titik terang di mana Ratna Prawesti itu,

Kakang bisa pergi mencarinya, lalu membawanya ke mari."

Suro Bodong menggeleng. "Ogah! Aku mempunyai sesuatu

yang hilang. Sesuatu yang hilang apabila tidak dicari tidak akan

ketemu. Dan lagi... kudengar kau sudah mempunyai dua orang

pengawal pribadi yang ampuh."

Mengangguklah Kusumadharma dalam senyumnya yang

berwibawa dan punya kharisma sendiri.

"Memang. Mereka adalah Mahesa Tameng dan Kebo Jagal."

"Nah, jadi untuk apa lagi kau mempunyai pengawal pribadi

seperti aku ini? Kan sudah ada Mahesa tameng dan Kebo Jagal? Apa

masih kurang kuat orang kepercayaanmu itu?"

"Kalau menurut cerita Sanggu, aku bisa menyimpulkan

bahwa kesaktian kedua pengawalku itu tidak sebanding dengan

kesaktianmu, Kakang Suro Bodong. Mereka tidak mempunyai

keistimewaan seperti yang kau miliki."

"Itu sudah pasti. Tapi apa perlunya kau memelihara

pengawal seperti aku? Apakah kau dalam keadaan ancaman

bahaya? Ada yang mengancammu?"

Kusumadharma masih memperlihatkan senyum yang

ramah. "Sejak peristiwa terbunuhnya keempat pemikul tandu itu,

aku jadi khawatir akan ada orang yang menyerangku secara diam-

diam, Kakang,"

Suro Bodong berkerut dahi dan memandang Adipati

Kusumadharma. Ia baru berpikir kembali, mengapa nenek Limbak

hendak dibunuh oleh kedua orang berwajah bengis itu? Bukankah


nenek Limbak tidak mempunyai kesaktian apa-apa selain keahlian

sebagai dukun bayi?

Hal itu dilontarkan kepada Adipati Kusumadharma, dan

Sang Adipati sendiri menghela nafas dan menggeleng samar.

"Itulah yang membuatku heran. Ada apa dan kenapa

mereka menghendaki kematian nenek Limbak? Dia bukan orang

kaya, bukan orang sakti dan bukan orang penting yang bisa

mempengaruhi rakyat. Bicaranya saja sudah tak selancar kita. Tapi

mereka sangat bernafsu untuk membunuh nenek Limbak? Apakah

ada persaingan dalam hal panggilan dukun bayi, atau ada

persaingan rebutan rezeki dari bayi yang akan ditolong kelahir-

annya? Itu sendiri masih membingungkan aku, Kakang Suro.

Sekarang ini aku masih mencari-cari alasan mereka hendak

membunuh nenek Limbak."

Suro Bodong ikut termenung. Sebenarnya dia tidak ingin

turut pusing memikirkan nenek Limbak. Namun karena kejadian

kemarin sore itu merupakan kejadian yang ganjil, aneh, maka tak sa-

dar ia jadi memikirkannya. Pikirannya kian lama tidak saja tertuju

pada nenek Limbak, melainkan kepada Adipati Kusumadharma

sendiri, yang menurutnya sangat aneh dalam usia sebanyak itu baru

akan mempunyai anak pertama dari istrinya yang cantik dan masih

muda itu.

"Ah, itu urusan dia...." gumam Suro Bodong seraya

memandangi isi kamarnya. Ia diberi kamar yang cukup bagus. Ada

tempat tidur berlapis kain halus. Ada satu set tempat minum dari

perak putih. Ada satu guci arak mahal yang rasanya segar. Suro

Bodong hanya tersenyum sinis. "Pasti ini bujukan agar aku mau

tinggal di sini," pikirannya. Menurut Suro Bodong, membujuk orang

dengan cara seperti ini sudah terlalu umum. Ini pula yang membuat

ia kurang menyukai cara berpikir Adipati Kusumadharma.

"Kalau boleh, aku mau pergi sekarang juga," kata Suro

Bodong ketika malam itu ia ditemui Adipati Kusumadharma.

"Apa kamar dan pelayanan untuk Kakang Suro di sini

kurang memuaskan?"

"Memang memuaskan. Tapi aku jenuh hidup dalam kepura-

puraan seperti ini," seraya Suro Bodong garuk-garuk kepala.

"Penuh kepura-puraan bagaimana, maksudnya?"


Suro Bodong kebingungan. Akhirnya menjawab, "Tidak

tahulah. Aku cuma menirukan kata-kata orang yang pernah

kudengar: hidup penuh kepura-puraan. Begitu saja. Katanya, hidup

seperti itu tidak enak."

"Dan Kakang merasa tidak enak hidup di sini?"

Suro Bodong semakin bingung. Ia mengangguk walau

bersikap tenang.

"Enak. Memang enak. Tapi...."

"Sudahlah, tinggallah di sini semalam saja. Malam ini saja,

Kakang. Ada dua hal yang masih ingin kubicarakan." Adipati

Kusumadharma tersenyum ramah. Suro Bodong berkerut dahi

dalam memandangnya.

"Pertama, aku ingin memberikan kabar gembira buat

Kakang Suro Bodong."

"Kabar apa?"

"Anakku telah lahir."

"O, ya?!" Suro terkejut. Lalu memandangnya gembira.

Adipati Kusumadharma lebih kelihatan gembira.

"Lelaki, Kakang. Kata nenek Limbak, wajahnya persis aku,

dan... kuharap ia akan menjadi serupa denganku."

"Aku ikut senang mendengar kabar itu. Istrimu selamat?"

"Ya. Dan... dia minta supaya kau tinggal di sini sampai

besok. Dia ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, yang

telah ikut mengawal nenek Limbak tiba dengan selamat di sini."

Suro Bodong menggumam, menyerupai gerutu tak jelas.

Kemudian ia berkata terang-terangan tanpa memandang Adipati

Kusumadharma.

"Lama-lama kau akan berhasil membujukku untuk menjadi

pengawalmu."

Adipati tertawa penuh kesabaran.

"Aku tak pernah mau membujuk jika sekali bujukanku

gagal. Soal tawaranku itu, terserah Kakang. Kalau kurang cocok,

jangan segan-segan menolaknya. Sebab apalah artinya bekerja

dengan separuh hati? Bukankah begitu, Kakang?"

Ternyata dugaan Suro Bodong salah. Adipati melayaninya,

memberi kamar bagus, bukan lantaran membujuk, melalaikan

semata-mata rasa ucapan terima kasih terhadap Suro Bodong yang

telah ikut menyelamatkan dukun bayi yang kini telah berhasil


membantu melahirkan anak pertamanya. Suro Bodong jadi kikuk

sendiri berbaring di atas tempat tidur mewah itu. Tidak seperti bia-

sanya, malam ini ia cukup gelisah. Pikirannya semakin bercampur

aduk jika ia teringat khayalannya: betapa indah tidur berdua di

ranjang empuk seperti ini jika bersama Ratna Prawesti.

Sampai larut malam, Suro Bodong masih gelisah. Rupanya

itu adalah naluri yang ada pada dirinya. Naluri yang tak dapat

ditipu oleh hiburan batin apa pun. Sebab, antara menjelang fajar, dia

dikejutkan oleh suara gaduh di luar kamar. Ia bergegas bangun dan

lari ke luar kamar.

"Ada apa...?!" tanyanya kepada petugas Kadipaten yang

berlari ke pintu regol depan. Orang itu menjawab sambil lari:

"Bayi Kanjeng Adipati diculik orang...!"

"Apa...?!" pekik Suro Bodong. Tapi tidak dijawab lagi oleh

orang tersebut. Suro Bodong jadi kebingungan dan garuk-garuk

kepalanya yang berambut tak teratur. Kemudian ia bergegas ke

dalam Kadipaten, dekat dengan ruang Paseban. Ia melihat beberapa

orang sibuk kebingungan. Ia tertegun beberapa saat di pojok, di

bawah pilar menuju Paseban.

"Ada apa, Bi?" tanyanya kepada emban yang menangis.

"Putra Dalem...! Bayi itu ada yang mencurinya...!"

"Siapa? Siapa pencurinya? Namanya siapa alamatnya di

mana? Katakan, biar aku yang ke sana!"

"Mana ada pencuri menyebutkan nama dan tempat

tinggalnya. Uuh... dasar Bodong...!" geram bibi Emban yang segera

berlari ke arah kamar-kamar punggawa Dalem.

Suro Bodong clingak-clinguk semakin tak jelas apa yang

harus dilakukan. Semua orang sibuk sendiri-sendiri dalam

kepanikannya. Semua mencari dengan gugup. Dan Suro Bodong tak

tahu harus ikut mencari atau diam.

"Hei, sudah tahu kalau bayi Kanjeng Adipati dicuri orang?"

kata Mahesa Tameng bernada sinis.

"Ya. Tahu...." jawab Suro Bodong seenaknya.

"Kenapa tidak ikut mencari? Hem...! Kurasa Kanjeng Adipati

telah salah menilai kamu jika benar ia mencalonkan kamu untuk

menjadi pengawal pribadinya! Tidur saja sana!"

Hati Suro Bodong bagai direbus mendengar ucapan Mahesa

Tameng yang berbadan lebih besar dari Suro Bodong. Namun untuk


mendinginkan hati yang seperti direbus itu, Suro Bodong berkata

dengan tenang, seakan tidak terjadi rasa apa pun saat itu.

"Mahesa Tameng... bagaimana kalau kita keluar dari gedung

ini? Ada tempat yang sedikit lega apa tidak, ya?"

"Mau apa kau?!" Mahesa Tameng tak tahu maksudnya.

"Tempat yang... yah, kira-kira lebar lima langkah dan

panjang lima langkah. Asal sepi. Ada apa tidak di sini?"

"Kalau ada mau apa? Mau ngumpet?"

"Sttt... jangan keras-keras...!" Kemudian Suro Bodong

berbisik pelan, "Aku ingin menghajarmu di tempat itu. Yuk?"

Sekarang Mahesa Tameng yang merasa hatinya bagai

tersundut kayu bakar. Ia menggeram, menggeletakkan gigi.

Tangannya mengepal. Namun buru-buru pergi, tidak melayani kata-

kata Suro Bodong mengingat saat itu ia ditugaskan menggeledah

seluruh tempat yang ada di luar dan dalam halaman Dalen

Kadipaten itu. Mahesa Tameng hanya menggeram dan menggumam

pelan, "Suatu saat, ku rontokkan gigimu dengan ujung kakiku,

Bodong...!"

"Aku juga akan merontokkan jari kakimu dengan ujung

gigiku... Ayam!"

Suto Bodong mencibir saat Mahesa Tameng pergi

meninggalkannya. Suro memang sudah merasa ada gelagat tak baik

dari Mahesa Tameng maupun Kebo Jagal. Kedua pengawal pribadi

Sang Adipati itu agaknya kurang suka jika Suro Bodong diangkat

oleh Sang Adipati untuk menjadi pengawal pribadi juga. Paling

tidak, mereka menganggap telah mendapat saingan atas rencana

pengangkatan itu. Karenanya, sikap Mahesa Tameng dan Kebo Jagal

menunjukkan adanya permusuhan batin. Tetapi, Suro Bodong tidak

peduli dengan sikap mereka itu, asal jangan membuat darahnya

mendidih tanpa meminta maaf.

Ketika hari menjelang pagi. Adipati Kusumadharma

menemui Suro Bodong dengan raut muka penuh kesedihan. Saat itu,

Suro Bodong sedang hendak masuk ke kamarnya dan berkemas

untuk pergi.

"Kakang Suro, sudah mendengar bencana yang menimpaku,

bukan?" ujar Adipati Kusumadharma dengan sedih.

Suro Bodong hanya mengangguk.


"Tolonglah aku sekali ini, Kakang. Jangan pergi dulu:

Tolonglah aku. Anakku, anak pertamaku yang kurindukan

kehadirannya, kini dicuri oleh seseorang."

"Kau punya dugaan siapa yang mencurinya?" tanya Suro

Bodong setelah berdiam diri beberapa saat. Saat itu, Adipati hanya

menggeleng. Lalu Suro Bodong bertanya lagi:

"Siapa orang yang membencimu?"

Adipati diam saja. Suro berkata lagi setelah diam lama:

"Pasti ada orang yang memusuhimu, yang pernah cekcok

denganmu, atau yang pernah kau kecewakan. Siapa-siapa saja

mereka itu? Sebutkan!"

"Selama ini aku tidak pernah memusuhi dan dimusuhi

orang. Mereka berteman baik denganku. Kecuali...."

"Kecuali siapa? Sebutkan!" desak Suro Bodong ketika

Adipati Kusumadharma diam beberapa saat.

"Kecuali... bekas istriku yang pertama. Rukmini! Dia

kuceraikan setelah tiga kali aku memergoki dia berbuat serong

dengan pegawaiku. Dan... untung kami tak dikarunia seorang anak

dari perkawinan itu."

"Hemm... kalau begitu, dialah sumber malapetaka ini.

Dasarnya, rasa iri, sebab istrimu yang sekarang bisa memberimu

keturunan. Jelas dialah penyebabnya!"


TIGA


UKMINI, bekas istri pertama Sang Adipati, diperkirakan

dialah penculik bayi tersebut. Adipati Kusumadharma sempat

membantah dugaan Suro Bodong:

"Rukmini perempuan lemah. Ia tidak bisa melakukan

kekerasan. Untuk menculik bayiku itu, jelas ia membutuhkan suatu

keberanian dan kepandaian tersendiri, misalnya kepandaian menye-

linap dan melompati pagar tembok Dalem Kadipaten. Hal itu,

menurutku, tidak mungkin bisa dilakukan oleh Rukmini."

Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya dengan jari

telunjuk. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pelan:

"Tapi Rukmini masih punya otak, bukan?"

"Maksudmu?"

"Ketika kau menceraikan dia, dia masih membawa otaknya

di dalam kepalanya, bukan?"

Kusumadharma manggut-manggut dalam renungannya.

Suro Bodong melanjutkan kata-katanya:

"Dia bisa saja mengupah seseorang, atau lebih dari seorang

untuk mencuri bayimu, Adipati. Dia juga bisa membayar seseorang,

atau lebih, untuk membunuh nenek Limbak."

Adipati Kusumadharma kaget dan memandang Suro

Bodong.

"Apa hubungannya dengan nenek Limbak?"

Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya lagi yang tebal.

Lalu berkata dengan pelan, bagai berbisik:

"Dia tahu saat istrimu membutuhkan dukun bayi. Dia tahu,

bahwa istrimu membutuhkan nenek Limbak. Kemudian dia

menyuruh orang bayaran, yaitu kedua orang yang membunuh

keempat pemikul tandu. Dengan uang, ia bisa mengupah kedua

orang itu untuk membunuh, nenek Limbak. Kalau nenek Limbak

mati, maka pertolongan untuk melahirkan anakmu itu akan terlam-

bat. Kalau istrimu melahirkan tanpa pertolongan dukun bayi, ia

akan mengalami masa bahaya. Besar kemungkinan ia akan mati

bersama bayinya. Tetapi, karena nenek Limbak ternyata bisa selamat

dan sempat menolong kelahiran anakmu itu, maka satu-satunya

jalan untuk memuaskan rasa irinya adalah dengan mencuri bayimu.

Dengan mencuri bayimu itu, maka kau akan merasakan betapa


menderitanya hidup tanpa keturunan, sama halnya kau hidup

dengan Rukmini dulu...."

Adipati Kusumadharma tertegun dengan dada bagai

terbakar. Giginya menggeletuk dan wajahnya mulai memerah. Suro

Bodong memberi keterangan lagi dengan tenang:

"Rukmini memang terbuang. Lebih-lebih sejak ia mendengar

istrimu hamil, ia merasa benar-benar terhina dan tersisih. Ia tak

ingin istrimu yang sekarang ini bisa memberimu keturunan. Ia tak

rela kalau istrimu yang sekarang ini bisa memberimu keturunan.

Sebab itu, dia harus menghilangkan bayimu, supaya kedudukan

Rukmini sama dengan kedudukan istrimu, yaitu sama-sama tidak

bisa memberimu keturunan. Jelas...? Perlu penjelasan lagi?"

Hening menyiram mulut Adipati. Suro Bodong

memperhatikan kesedihan di wajah Adipati yang bercampur baur

dengan kemarahan yang membara. Lalu, dengan suara pelan

Adipati Kusumadharma berkata seakan untuk dirinya sendiri:

"Dari mana dia tahu kalau istriku hamil, dan mau

melahirkan? Dari mana Rukmini tahu kalau nenek Limbak yang

akan menolong kelahiran anakku?"

"Jelas itu soal mata-mata. Pasti ada mata-mata di dalam sini.

Orang yang berpihak kepadanya itu pasti dibayar mahal untuk

keterangan-keterangan seperti itu. Tak perlu heran lagi. Itu soal

kelicikan dan kejelian."

Adipati menghempaskan napas panjang-panjang.

"Kalau begitu, ada pengkhianat di dalam sini, Kakang."

'Tentu! Pengkhianat itu selalu ada di mana-mana. Kadang-

kadang kita berpacu dengan pengkhianat untuk memperoleh hidup

yang sejati."

"Maksud, Kakang Suro, bagaimana itu?"

"Jangan tanyakan maksudnya...." Suro Bodong bersungut-

sungut malu. "Aku cuma menirukan omongan orang yang pernah

kudengar. Kalau soal masudnya, ya tanyakan saja sama orang yang

pernah bicara begitu padaku...."

Sekali lagi. Adipati menghempaskan napas dengan

kedongkolan yang masih menyesak di dada.

"Apa menurut saran Kakang?"

"Cari bayi itu dan bawa dia kembali."


"Itu sudah jelas, Kakang. Aku sudah memerintahkan

Mahesa Tameng dan Kebo Jagal untuk memimpin pencarian bayi

itu. Tetapi, apakah mereka tahu kalau hal ini ada hubungannya

dengan bekas istriku?"

"Kalau tidak tahu, ya diberi tahu! Gampang, kan?! Suruh

kedua jagomu itu menemui Rukmini dan menanyakan apakah benar

dia yang mencuri bayimu. Kalau benar, diminta. Kalau tidak, diseli-

diki sampai benar. Begitu!"

Sanggu, salah satu pengawal yang pernah diselamatkan oleh

Suro Bodong, datang menghadap Adipati Kusumadhanna yang

tengah berbincang-bincang dengan Suro Bodong. Sanggu tampak

tergesa-gesa, sepertinya mempunyai suatu berita yang cukup

penting.

"Kanjeng...." ucapnya setelah duduk bersila dan

menghaturkan sembah.

"Ada apa, Sanggu?"

"Nenek Limbak hilang dari kamarnya."

Adipati terkejut dan memandang Suro Bodong yang

disangkanya terkejut juga, ternyata tidak. Suro Bodong

memperhatikan Sanggu dengan tenang, seakan berita itu berita yang

biasa-biasa saja.

"Hilang bagaimana?!" kata Adipati. "Bukankah dia sedang

pingsan ketika mengetahui bayiku hilang, lalu kau dan beberapa

orang menggotong ke kamarnya?"

"Tapi ketika Emban masuk untuk membawakan minum

penghangat, dia sudah tidak ada di kamarnya. Kanjeng." Sanggu

menegaskan. Adipati Kusumadharma semakin tegang.

"Kakang Suro... nenek Limbak hilang dari kamarnya..!"

"Aku tidak menghilangkan lho...." jawab Suro spontan.

Adipati Kusumadharma bergegas ke kamar nenek Limbak,

yang ada di sebelah kamar bersalin. Suro Bodong mengikuti

langkahnya setelah Sanggu pergi mendampingi Sang Adipati. Suro

Bodong kelihatan tenang. Langkahnya pun tak secepat Adipati

maupun Sanggu. Sambil melangkah ia meneliti setiap jengkal

ruangan yang dilaluinya.

Di kamar nenek Limbak, ada beberapa orang yang saling

bertutur kata dengan tegang. Ribut. Para pelayan berwajah tegang,


ketakutan. Para pengawal hilir mudik, sibuk mencari, ada pula yang

sibuk karena bingung apa yang harus dilakukan.

Suro Bodong bertanya kepada salah seorang pelayan

perempuan yang paling tampak ketakutan.

"Bagaimana dia bisa hilang dari kamarnya?"

"Tidak tahu. Saya tidak tahu."

"Siapa yang mengetahui kehilangannya yang pertama?"

"Emban Surti...!" orang itu menunjuk seorang perempuan

berkain sebatas dada. Perempuan itu bertubuh sedikit gemuk dan

berwajah bulat. Ia berdiri di pojokan dengan jari digigit-gigit, penuh

ketakutan.

"Kamu yang bernama emban Surti?" tanya Suro Bodong

seraya garuk-garuk kumis dengan telunjuk.

"Ya. Sa... saya emban Surti. Ada yang bisa kubantu?"

Suro Bodong tersenyum geli. Lagak bicara emban ini seperti

seorang pembesar saja. Pikir Suro Bodong. Tapi Suro menanggap,

itu hanya cara untuk menutupi ketakutannya.

"Kau yang pertama kali melihat nenek Limbak hilang?"

"Benar, Tuan..." jawab emban Surti polos.

"Bagaimana cara menghilangnya?"

Emban Surti sedikit bingung. "Ya... ya, hilang begitu saja.

Maksudku... waktu saya masuk, membawakan minuman... tahu-

tahu saya melihat kamar itu kosong. Lalu saya meletakkan minuman

di meja dan mencari nenek Limbak di kolong tempat tidur. Ternyata

tidak ada. Saya membuka almari..."

"Untuk apa?"

"Untuk melihat kalau-kalau nenek Limbak bersembunyi di

dalam almari, ternyata juga tidak ada."

"Lalu...?!" desak Suro Bodong "Lalu saya berteriak..."

"Keras atau pelan...? "

"Pelan, Tuan. Sebab saya takut mengagetkan Gusti Ayu

yang sedang tertidur lemas itu...."

"Itu namanya bukan teriak. Kalau teriak itu keras."

"Soalnya..."

"Sudah, sudah... Kita lupakan soal pelajaran teriak. Terus

bagaimana setelah kau berteriak itu? "


"Banyak yang datang. Dan saya bilang kalau nenek Limbak

tidak ada di kamarnya. Lalu beberapa orang terpekik dan saya

memanggil pengawal, dan... dan beginilah keadaannya...."

Suro Bodong menggumam, masih sesekali garuk-garuk

kumis yang tebal itu. Matanya yang tajam dan sedikit lebar itu

memandang lurus ke wajah emban Surti. Emban Surti menunduk

dan sedikit malu. Karena ia ditatap sampai beberapa lama, dan

setiap ia memandang ke atas selalu bertatapan mata, maka ia pun

berkata dengan tersipu-sipu:

"Saya sudah punya calon suami sendiri, Tuan...."

"Brengsek...! Kau kira aku naksir kamu. Bah...!" Suro Bodong

membentak dongkol, lalu segera masuk ke kamar nenek Limbak dan

menemui Adipati Kusumadharma.

"Aneh, ajaib sekali. Kamar tanpa jendela, tapi nenek Limbak

bisa hilang. Jelas dia bukan diculik tapi hilang secara ajaib," kata

Adipati kepada Suro Bodong.

"Hilang lewat pintu kok dibilang ajaib. Itu wajar."

Adipati memandang Suro Bodong setelah mendengar

sanggahan Suro Bodong.

"Lewat pintu?" Adipati berkerut dahi.

"Kalau kamar ini tanpa jendela, tanpa jalan rahasia, jelas

nenek itu keluar dari pintu, Adipati. Bukankan pintu kamar tidak

terkunci?"

Adipati manggut-manggut. "Dari pintu, ya? Hemm... atas

perintah siapa dia keluar dari kamar lewat pintu? Untuk keperluan

apa? Dan mengapa sampai sekarang tidak kembali lagi?"

Kepanikan menjadi bertambah setelah mereka mendengar

suara jeritan seorang perempuan. Jeritan itu begitu melengking dan

bernada penuh ketakutan yang mengagetkan. Mereka bergegas ke

luar, karena jeritan itu berasal dari belakang, tepatnya di taman

keputren.

"Apa lagi itu...?!" Suro Bodong menggerutu seraya

mengikuti Adipati yang melangkah dengan tergesa-gesa. Sanggu

berlari lebih dulu dan dua pengawal lainnya masih mendampingi

Adipati Kusumadharma. Orang-orang, para pelayan dan beberapa

emban ikut berhamburan ke arah jeritan itu terdengar.

Belum sempat mereka sampai ke taman keputren, seorang

perempuan ceking bertubuh pendek berlari-lari dalam hamburan


tangis air matanya. Ia langsung bersujud di hadapan Adipati dan

menyembah.

"Ada apa, Nini Taman?" tanya Adipati, sementara beberapa

orang mengerumuninya.

Nini Taman berkata dengan tangis yang terbata-bata:

"Kanjeng... ada... ada orang menyeret... menyeret nenek

Limbak. Ia... ia berusaha membawa mayat nenek Limbak ke luar

dari tembok pertamanan..."

"Mayat nenek Limbak...?!" kata-kata Adipati sama persis

dengan ucapan kaget yang terlontar dari mulut orang-orang yang

mengerumuni Nini Taman.

"Apakah nenek Limbak sudah mati?"

"Iya, benar...!" jawab Nini Taman terbata-bata. "Saya

melihat... saya melihat leher nenek Limbak hampir putus dan...

dan..."

"Dan sekarang di mana orang itu?!" desak Suro Bodong.

"Ada di sudut taman...! Sedang berusaha... berusaha...

membunuh suami saya...."

Semua menghambur ke sudut taman keputren yang penuh

dengan pohon kemuning dan beberapa pohon besar yang rindang.

Seorang berpakaian serba hitam dan menyandang pedang di

pinggangnya sedang bertarung melawan Juru Taman, suami

perempuan yang menjerit tadi. Orang berpakaian serba hitam itu tak

jelas wajahnya, karena ia mengenakan topeng wajah yang

menyeramkan. Tapi gerakannya begitu gesit.

"Tangkal orang itu...!" perintah Sang Adipati kepada para

pengawalnya.

Sanggu dan beberapa pengawal segera mengepung lelaki

bertopeng menyeramkan. Tetapi agaknya lelaki itu tidak peduli. Ia

sedang berusaha merubuhkan Juru Taman yang bertarung

menggunakan gagang sapu lidi yang panjang. Juru Taman kelihatan

terteter oleh serangan orang tersebut, dan akhirnya ia terpental jatuh

karena satu tendangan yang amat keras. Tubuh Juru Taman

melayang dan nyaris menabrak Adipati. Untung Suro Bodong

segera menangkapnya dan berseru:

"Kalau berkelahi yang niat! Jangan nubruk sana nubruk sini.

Sudah, diam saja kau di sini...!"


Nafas Juru Taman terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan

darah, ia menyeringai menahan sakit seraya memandang Sang

Adipati. Ia bagai anak yang ingin mengadu kepada ayahnya:

"Mereka... mereka telah membunuh nenek Limbak,

Kanjeng...."

"Mereka...?!" Suro Bodong berpaling dan menatap Juru

Taman. Merasa heran.

"Orang-orang dari Gerombolan Topeng Setan itu...." kata

Juru Taman seraya menunjuk orang bertopeng seram.

"Tadi...." katanya lagi. "Saya melihat temannya telah berhasil

lolos... melompati pagar. Sedangkan orang itu... berusaha menyeret

mayat nenek Limbak... dan saya mencoba menahannya..."

"Kurangajar...!" geram Adipati yang kemudian terharu

melihat mayat nenek Limbak terhampar di rerumputan dengan

darah membasah di sekujur dadanya.

Beberapa orang, termasuk emban dan para pelayan,

menjauhi tempat tersebut. Mereka merasa ngeri melihat ketangkasan

orang bertopeng yang dengan ganas memukul para pengawal

hingga mereka berdarah.

"Gerombolan Topeng Setan...!" gumam Sang Adipati. "Ada

urusan apa mereka memusuhiku?"

"Jelas istrimu yang dulu telah berhasil bersekutu dengan

Gerombolan yang dipimpin Bayupati itu," jawab Suro Bodong

seraya memandang perkelahian keempat pengawal dengan lelaki

bertopeng. Tak lupa, Suro tetap bergaruk-garuk kumis dengan

telunjuk kanannya.

"Rupanya kau sudah mengenal siapa Gerombolan Topeng

Setan, Kakang. Kau tahu nama pimpinan mereka"

"Aku selalu menghapalkan nama-nama mereka, sebab aku

punya tujuan untuk membenamkan mereka ke dasar neraka!"

Suro Bodong kelihatan menggeram dan memancarkan

kebencian. Namun buru-buru ia menghilangkan sikapnya itu. Ia

kembali kelihatan tenang dan berkata:

"Mereka berhutang beberapa nyawa padaku. Dan yang lebih

parah lagi, mereka harus bertanggung jawab atas hilangnya Ratna

Prawesti. Merekalah yang membantai keluarga Ratna Prawesti dan

membumi hanguskan rumah Ratna sehingga rata dengan tanah.

Mayat bergelimpangan di Kabupaten Jangga. Namun, tak satu pun


mayat yang mencerminkan wajah Ratna Prawesti. Pasti mereka yang

membawanya kabur. Jahanam-jahanam itu harus menyerahkan

Ratna sebelum kubenamkan ke dasar neraka...!"

Adipati Kusumadharma paham dengan maksud Suro

Bodong. Dan ia mulai sedikit lega, sebab dengan begitu Suro Bodong

pasti akan segera membereskan orang berpakaian serba hitam itu.

Namun sementara ini. Suro Bodong ternyata masih senang menjadi

penonton suatu perkelahian maut, antara para pengawal Kadipaten

dengan orang bertopeng itu.

Suro Bodong bertolak pinggang di tempat, setelah berbisik

agar Adipati menjauh, ia memperhatikan jurus-jurus yang

digunakan oleh orang bertopeng. Memang sedikit aneh jurus-

jurusnya. Penuh tipuan. Buktinya, Sanggu sendiri terkena tendangan

telak di dagunya ketika ia merunduk pada saat lelaki bertopeng itu

menendangnya ke atas. Ternyata bukan kaki atas yang dijadikan sa-

saran, melainkan kaki yang masih berpijak di tanah itulah yang

berbahaya. Sebab kaki itu menghentak tanah sehingga membuat

suatu lompatan sederhana, namun justru ujung kaki itu menendang

dagu Sanggu yang merunduk. Tentu saja tendangan itu cukup telak

dan menyakitkan, karena tepat kepala Sanggu bergerak turun, tepat

saat itu pula kaki tersebut bergerak naik dengan cepat. Tak ayal lagi

tubuh Sanggu terjengkang dalam posisi tengadah ke atas. Dan saat

itulah kaki yang di atas turun dengan cepat, tumitnya menghentak

keras di dada Sanggu. "Ciaaaat...!!"

Ketiga pengawal lainnya menyerang orang bertopeng dari

kanan, kiri dan belakang. Tetapi lompatan orang bertopeng itu

cukup gesit. Tubuhnya bagai melayang beberapa saat di udara dan

membiarkan ketiga pengawal itu saling berbenturan. Bahkan ada

yang terkena goresan pedang temannya sendiri. Pada saat itulah

pengawal bertiga dikejutkan oleh kibasan pedang dari atas yang

menukik bagai burung hendak mendarat dengan landai.

"Heaaatt...!!"

"Trang... trang... trang...!!"

Untung ketiga pengawal segera menangkis kibasan pedang

itu sehingga tubuh mereka masing-masing luput dari bahaya maut.

Tetapi tubuh lelaki bertopeng segera melentik lagi ke udara begitu

kaki kirinya menjajak ke dasar tanah. Tubuh itu melayang dalam

posisi menghadap ke langit dan sedikit melengkung, sehingga


kepalanya dapat melihat musuh yang hendak dituju. Pedangnya

siap di depan kepala yang meluncur, dan ternyata gerakan itu pun

merupakan gerak tipuan. Tubuh yang melengkung menghadap ke

langit itu tiba-tiba bangkit dan segera bersalto ke depan. Sambil

bersalto, ia mengibaskan pedangnya ke arah samping. Salah seorang

pengawal terkena sabetan pedang itu sehingga berteriak nyaring

sambil memegangi telinganya. Rupanya orang itu terpotong daun

telinganya dan membuatnya gulung-gulung di tanah. Kedua

temannya menyerang lelaki bertopeng yang sudah berdiri tegak

dengan kedua kaki direnggangkan kokoh.

Lelaki itu menyilangkan pedang ke depan dada. Keadaan

tubuhnya tegap, tangan kanan memegangi tangkai pedang, dan

tangan kiri memegangi ujung pedang. Bagian pedang yang tajam

menghadap ke depan, Sewaktu kedua pengawal menyerang maju, ia

tidak menggerakkan pedangnya, melainkan menggerakkan kakinya.

Sebuah tendangan berputar dilancarkan. Kedua pengawal

merunduk seraya berusaha menebas kaki itu. Tetapi tanpa diduga-

duga, justru pedangnya itulah yang kini membabat punggung salah

satu pengawal sehingga pengawal yang satu tercengang kaget. Pada

saat itu lelaki bertopeng menusukkan pedang ke arah pengawal

yang kaget. Pengawal itu melompat, tapi pedang sudah terlanjur

menembus pahanya dan ia pun rubuh dalam keadaan kesakitan.

Lelaki bertopeng mengkibaskan pedangnya sambil bersalto

ke atas pengawal yang mencoba berdiri dengan luka di paha.

Hampir saja pedang itu tepat membelah kepalanya kalau saja Suro

Bodong tidak segera melompat, menyongsong gerakan bersalto

lelaki bertopeng.

Punggung lelaki itu terkena tendangan Suro Bodong yang

bergerak miring itu. Karena kuatnya tendangan Suro Bodong, maka

tubuh lelaki bertopeng itu terpental sampai membentur tombak pa-

gar taman keputren.

"Mengatasi orang satu saja sampai mau-maunya dibacok

pedang. Huhh... dasar pengawal-pengawal malas menghindar!"

gerutu Suro Bodong seraya melangkah mendekati lelaki bertopeng

yang sudah berdiri mepet dengan tembok pagar.

"Buka topengmu! Aku jijik...!" bentak Suro Bodong seraya

menuding wajah lelaki bertopeng.


"Bukalah sendiri kalau kau mampu," jawab lelaki itu dengan

berani. Suro Bodong berseru:

"Justru karena aku tak mampu maka kusuruh kau

membukanya, goblok!"

"Persetan dengan perintahmu! Hihh...!" Lelaki itu memasang

kuda-kuda, merendahkan badan dengan menarik tangannya ke

belakang, sehingga pedangnya ada di atas kepala, sedangkan

tangannya yang satu mengepal, dan terlipat di depan dadanya. Ia

siap menyerang atau diserang. Tetapi Suro Bodong justru duduk di

batu besar sebagai penghias taman. Ia berkata dengan garuk-garuk

kumis sebentar.

"Ah, kau curang. Kau pakai topeng sedangkan aku tidak

punya topeng. Buka dulu topengmu, baru kita berkelahi! Ayolah,

buka.... Jangan malu-malu...." Suro Bodong duduk dengan santai,

kaki kanannya ditekuk dan ditaruh di atas lutut kaki kirinya.

Namun agaknya orang bertopeng itu semakin panas hatinya

karena dianggap mainan oleh Suro Bodong. Ia segera menebaskan

pedangnya dengan gerakan kaki kiri melangkah maju. Suro Bodong

merundukkan kepala dan tetap duduk saja. Ia justru tertawa

pendek:

"Hahh...! Gerakanmu kurang gesit, Kawan. Kalau aku

merunduk, hantam bagian bawahnya, jangan bagian atasnya. Tolol!

Badanmu pun harus sedikit meliuk sehingga lebih luwes untuk

membelokkan pedang ke bawah...!"

Lelaki bertopeng itu mengikuti saran Suro Bodong, karena

ingin membuktikan saran tersebut, ia menebaskan pedangnya sekali

lagi ke atas kepala. Tujuannya membabat kepala Suro Bodong, ia

juga meliukkan badan ke samping, dan tiba-tiba gerakan pedangnya

itu tak jadi meleset ke atas, namun berbalik ke arah bawah. Bagai

menyapu kaki Suro Bodong. Pada saat itu Suro Bodong justru

bergerak cepat, bagai hendak menelentangkan di atas batu.

Kemudian begitu pedang sudah melesat ke bawah dan tidak

mengenai apa-apa, ia buru-buru menarik kepalanya yang

melengkung ke belakang, ia kembali duduk dengan garuk-garuk

kumis sebentar.

"Dasar tolol...! Tentu saja aku bisa menghindar sebab aku

sudah tahu kau akan membabat ke bawah. Jangan lakukan dengan

sungguh saranku itu, goblok! Sudah tentu aku tidak akan


menghindari dengan cara seperti tadi. Huhh...! Pulang saja sana.

Belajar lagi yang tekun dan jangan malas bernafas. Sungguh. Jangan

malas bernafas...!"

"Tutup bacotmu. Orang gila...! Hiaaat...!" Lelaki itu

melayangkan tendangan ke arah Suro Bodong yang masih duduk

dengan bertumpang kaki. Pedang lelaki itu siap menebas kepala

Suro Bodong jika tendangannya melesat. Tetapi, dengan tangkas

Suro Bodong menendang betis yang hendak menghantam wajahnya.

Tendangan kaki yang tadinya di atas lutut kiri itu begitu keras,

sehingga lelaki bertopeng itu terpental ke atas dalam keadaan

hendak bersalto balik.

Pedangnya melambai di depan hidung Suro Bodong.

Secepatnya Suro Bodong memiringkan badan dan kepalanya ke kiri.

Lalu tangan kanannya memukul pergelangan tangan lelaki berto-

peng dengan keras.

"Aauuw...!!" Lelaki itu menjerit kesakitan. Genggaman

pedangnya terlepas, dan jatuh hampir menancap di pundak Suro

Bodong. Suro Bodong segera melemparkan pedang itu ke depannya.

Pada saat itu, tubuh lelaki bertopeng yang melayang jatuh ke bawah

karena kehilangan keseimbangan. Ketika jatuh, punggungnya mem-

bentur ujung pedang yang dilemparkan Suro Bodong. Punggung itu

menancap, dan pedang itu menebus tubuh lelaki bertopeng.

Berkelojotan lelaki itu, meregang dalam keadaan sekarat.

Suro Bodong bergegas menolong, "Hei, jangan mati dulu!"

Tapi terlambat. Nyawa lelaki bertopeng tak sabar, dan pergi juga

dari raganya. "Bangsat...! Mati lagi...!" caci Suro.


EMPAT


SEMAKIN jelas sekarang. Gerombolan Topeng Setan yang

dipimpin oleh Bayupati itu ikut campur dalam urusan penculikan

bayi Adipati. Suro Bodong menegaskan, bahwa Rukmini, bekas istri

pertama Adipati Kusumadharma itu, punya hubungan dengan

Gerombolan Topeng Setan. Entah hubungan jual beli jasa dan sewa

menyewa pembunuh bayaran, atau memang Bayupati punya

pamrih lain sehingga ia mau menolong usaha Rukmini. Yang jelas,

Suro Bodong mendesak Adipati agar segera mengirim orang-

orangnya untuk menemui Rukmini.

Mulanya Adipati hendak menyuruh Suro Bodong sendiri

untuk bertemu dengan Rukmini dan menyelesaikan urusan itu

bersama beberapa orang Kadipaten. Tetapi Mahesa Tameng mence-

gah dengan berkata:

"Apakah pantas seorang tamu disuruh begitu. Kanjeng?

Apakah tamu Kanjeng itu tidak punya harga diri? Bukankah

sepatutnya seorang tamu diam saja di tempat menikmati sajian dan

pelayanan tuan rumah?"

"Apa maksudmu sebenarnya, Mahesa?" tanya Adipati

setelah ia melihat rona wajah Suro Bodong kelihatan kecewa dan

ingin memprotes kata-kata itu.

"Kanjeng," kata Mahesa. "Di sini, saya dan Kebo Jagal

bertugas sebagai pengawal pribadi. Dengan lain perkataan, saya dan

Kebo Jagal bertanggung jawab atas keamanan Kanjeng khususnya,

dan keamanan Dalem Kadipaten pada umumnya. Jadi, sudah

sepantasnya jika masalah ini kami tangani berdua, sebagai rasa bakti

dan setia kami kepada Kanjeng dan Kadipaten Puspagiwang ini."

Adipati Kusumadharma manggut-manggut. Ruang Paseban

dilanda sepi sejenak. Dari kursi kebesaran yang diduduki itu.

Adipati memandang beberapa wajah yang tampak siap mati demi

membela Kadipaten Puspagiwang. Kemudian, ia juga memandang

wajah Suro Bodong yang berdiri di luar lantai Paseban, menikmati

jagung bakar, bersadar pada salah satu tiang teras Paseban.

"Kakang Suro Bodong...!" panggil Adipati.

Suro Bodong berpaling. Adipati melambaikan tangan.

Dengan perasaan malas dan lagak jalan seenaknya saja, Suro Bodong

mendekati Adipati Kusumadharma.


"Apa...?" kata Suro Bodong setelah berdiri di samping

Adipati. Secara singkat, Adipati menjelaskan kata-kata Mahesa

Tameng yang sebenarnya sudah didengar oleh Suro Bodong sendiri.

"Lalu, bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Suro?"

Sambil mengunyah jagung dan menjadi bahan perhatian

para punggawa Kadipaten lainnya, Suro Bodong menjawab:

"Kalau menurutku, kata-kata jagoanmu itu benar. Memang

mereka berdua yang bertanggung jawab terhadap keamanan di sini.

Jadi kalau sekarang keadaan di sini tidak aman, berarti merekalah

yang membuat keadaan jadi tak aman."

"Hei, bicara jangan seenaknya, ya?!" hardik Kebo Jagal yang

bertubuh besar dan bermata belo.

"Aku bicara sesuai kata-kata jagoan itu...." Ia menunjuk

Mahesa Tameng yang memandang Suro dengan sinis. "Kalian

adalah petugas keamanan di sini. Tugas kalian adalah

mengamankan Kadipaten dan seisinya. Jadi kalau ternyata

Kadipaten ini tidak aman, berarti kalian tidak bertugas. Kan benar

apa kataku, ya tidak? Seorang petugas keamanan kerjanya

mengamankan. Kalau sampai tidak aman, berarti tidak bekerja."

"Hati-hati kau, Suro Bodong...." geram Mahesa Tameng

"Aku kan sudah hati-hati!" tegas Suro Bodong. "Apa aku

bicara salah? Aku kan mengatakan, petugas keamanan gunanya

untuk mengamankan satu daerah. Kalau daerah ini tidak aman,

berarti petugas itu tidak berguna. Kan benar, ya kan?" Suro berkata

kepada Sanggu, Sanggu mengangguk tanpa sadar. Mahesa Tameng

semakin menggeram, dan Sanggu buru-buru menunduk.

Melihat gelagat adanya permusuhan batin. Adipati segera

menengahi dengan berkata:

"Aku bangga dengan kesetiaanmu, Mahesa Tameng dan

kau, Kebo Jagal. Aku sangat gembira mempunyai petugas keamanan

seperti kalian. Tanpa kalian mungkin aku dan Kadipaten ini tidak

aman karena itu...."

Mahesa dan Kebo Jagal gelisah mendengar ucapan itu.

Hatinya semakin gondok, karena gara-gara ucapan Suro Bodong

maka ia jadi menerima sindiran yang amat pedas.

"Karena itu... kutugaskan kalian berdua untuk menemui

bekas istriku, dan merebut kembali bayi itu."


"Maaf, Kanjeng...." kata Mahesa. "Apakah Kanjeng yakin

betul, bahwa Gusti Ayu Rukmini adalah pencuri putra Kanjeng?

Sebab menurut pengamatan kami. Gusti Ayu Rukmini itu perem-

puan biasa. Artinya tidak mempunyai ilmu silat ataupun keberanian

menyelusup dan mencuri bayi dari dalam Kadipatan ini. Rasa-

rasanya beliau tidak mungkin menjadi pelakunya, Kanjeng. Menurut

pengamatan saya...."

"Apakah selama ini kau merasa pengamatanmu selalu

benar?" sahut Adipati dengan cepat. Dan hal itu membuat Mahesa

terbungkam seketika, lalu menunduk. Adipati Kusumadharma ber-

kata lagi:

"Kerjakan perintahku, Mahesa. Kau pasti sanggup

menemukan putraku kembali! Aku percaya kepada kalian berdua.

Jelas Kebo Jagal?!"

"Jelas, Kanjeng."

"Berangkatlah bersama orang-orang pilihanmu sekarang

juga!" tegas Adipati Kusumadharma.

Suro Bodong tetap menikmati jagung bakar yang

diperolehnya dari juru masak Kadipaten tadi. Sesekali ia menggaruk

kumisnya yang lebat. Sesekali ia melirik gerakan Mahesa dan Kebo

Jagal yang merasa dongkol kepadanya. Suro Bodong tahu, ia tidak

disukai oleh kedua jagoan yang diandalkan Adipati

Kusumadharma, tetapi ia tak mau mengimbangi kedongkolan itu. Ia

tetap berlagak tidak tahu menahu perasaan mereka berdua.

Menjelang sore, Suro Bodong terlihat melintasi regol depan.

Adipati Kusumadhanna segera memanggilnya lewat perantara

prajurit yang bertugas di sekitar halaman depan. Sebab sejak

peristiwa hilangnya bayi yang baru lahir itu, semua prajurit

dikerahkan untuk berjaga-jaga setiap saat di sekeliling Dalem

Kadipaten.

"Kakang Suro mau pergi?" tegur Adipati setelah Suro

Bodong menemuinya.

"Ya. Aku mau jalan-jalan menghirup udara sore di sekeliling

Kadipaten." jawab Suro Bodong seraya membetulkan letak jubahnya

yang berwarna merah menyala.

"Kuharap Kakang Suro Bodong jangan pergi jauh-jauh

dariku. Ketahuilah, Kakang Suro... aku sudah menganggap Kakang

Suro Bodong sebagai saudara kandungku sendiri, terutama sejak Ka


kang menyelamatkan nenek Limbak di perjalanan, dan terlebih lagi

setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana

kehebatan Kakang Suro dalam melawan orang bertopeng itu."

Suro Bodong tidak memandang Adipati, melainkan

memperhatikan cahaya sore yang menerpa dedaunan di sekeliling

Dalem Kadipaten itu.

"Aku akan kembali lagi...!" kata Suro Bodong setelah

terbungkam beberapa saat, dan tanpa menunggu perintah maupun

izin dari Adipati, ia nyelonong saja ke luar lewat pintu regol depan.

Adipati Kusumadharma hanya memperhatikan dengan kepala

menggeleng-geleng pelan. Ia mengagumi kehebatan Suro Bodong. Ia

menyukai kepolosan dan keluguan sikap bicara maupun tindak-

tanduk Suro Bodong. Sebab itu ia akan merasa rugi jika kehilangan

Suro Bodong. Tetapi, betapa pun sukanya ia, namun ia tahu bahwa

Suro Bodong tidak senang dikekang dan diperintah seenaknya.

Maka, ia pun membiarkan Suro Bodong keluar dari Dalem

Kadipaten dan melakukan apa saja sekehendak hatinya.

Adipati Kusumadharma tidak tahu ke mana Suro Bodong

pergi. Yang jelas, ketika malam hari, Mahesa dan Kebo Jagal pulang,

Suro Bodong tidak terlihat ada di situ ia belum pulang. Dan ia tidak

tahu apa yang dikatakan Mahesa tentang Rukmini, bekas istri

pertama Adipati itu.

"Kanjeng... saya temukan Gusti Ayu Rukmini telah tewas di

belakang rumahnya...."

"Apa...?! Rukmini mati...?!" Adipati terkejut sekali, sampai-

sampai ia berdiri dari duduknya dengan mata membelalak lebar.

Pada saat itu, Kebo Jagal menjawab:

"Benar,.Kanjeng. Gusti Ayu kami temukan dalam keadaan

terluka parah pada bagian tubuhnya, termasuk bagian leher.

Menurut keterangan seorang pencari rumput, beberapa saat sebelum

kami datang, ada tiga orang bertopeng yang masuk ke rumah Gusti

Ayu Rukmini...."

"Agaknya, Gerombolan Topeng Setan itulah yang telah

membunuh Gusti Ayu Rukmini, Kanjeng," sambung Mahesa.

Sampai beberapa saat lamanya Adipati Kusumadharma

tertegun dalam kesedihan. Ia sempat merasa kasihan kepada bekas

istrinya itu. Sekalipun ia pernah sakit hati atas tindakan Rukmini

yang berbuat serong dengan pegawainya, tetapi demi mendengar


kematian Rukmini, ia jadi sedih dan terharu. "Begitu tragisnya

kematian itu." pikir Adipati.

Mahesa menghibur hati Adipati dengan mengatakan,

"Tetapi, Kanjeng... malam ini juga kami tetap ingin mencari putra

Kanjeng ke mana pun berada. Jangan khawatir, kami akan

membawa pulang bayi itu, sekalipun kami harus melawan

Gerombolan Topeng Setan."

"Gerombolan Topeng Setan?!" Adipati berkerut. "Kau yakin

anakku dibawa mereka?"

"Yakin sekali tidak, Kanjeng. Tetapi ada kemungkinan

begitu," ujar Kebo Jagal. "Sebab, kematian Gusti Ayu Rukmini itu

jelas disebabkan oleh keganasan Gerombolan Topeng Setan.

Sedangkan mereka pasti tahu, bahwa Gusti Ayu adalah bekas istri

Kanjeng. Lalu, ada kemungkinan kematian Gusti Ayu itu akibat

beliau mengetahui rencana penculikan putra Kanjeng. Mungkin

karena Gusti Ayu tidak mau membantu penculikan tersebut,

sedangkan niat mereka sudah terlanjur diutarakan kepada Gusti

Ayu, maka untuk menutupi jejak mereka membunuh Gusti Ayu

Rukmini."

Sambil berkerut dahi, Adipati Kusumadharma manggut-

manggut. Kemudian berkata, "Terserah kalian! Pergilah dan

dapatkan kembali mahkotaku yang amat kurindukan kelahirannya

itu...!"

Kegelisahan Adipati sangat menyiksa batinnya, ia mondar-

mandir di kamarnya. Istrinya selalu menangis dan tak henti-

hentinya menanyakan apakah bayinya sudah ketemu atau belum.

Sesekali Adipati membujuk istrinya untuk tenang, sesekali ia

kebingungan sendiri, terkadang ia menjadi jengkel dan membanting

pintu kamar lain. Emban ada tiga yang merawat dan melayani istri

Adipati. Sementara istrinya dalam pelayanan dan perawatan emban,

Adipati mencoba melongok kamar Suro Bodong. Tetapi lelaki

bertubuh agak gemuk dengan perut sedikit buncit itu belum juga

muncul.

Kira-kira tengah malam lewat, ketika Adipati tidak bisa

tidur, Suro Bodong datang dengan mengunyah jagung bakarnya. Ia

kelihatan santai sekali. Ia sempat membagikan dua potong jagung

bakar kepada penjaga regol depan. Dan ketika ia bertemu dengan


Adipati di ruang tengah yang menuju kamarnya, ia masih

mengunyah-ngunyah jagung bakar kesukaannya.

"Aku sudah sejak tadi menunggu-nunggu kedatanganmu,

Kakang," kata Adipati Kusumadharma sedikit lega.

"Kenapa ditunggu? Aku kan tidak menyuruhmu

menunggu." jawab Suro Bodong sembari memetik-memetik biji

jagung dengan jempol kanannya. Sesekali ia melemparkan biji

jagung itu ke mulutnya, dan mengunyah dengan santai.

"Ada berita yang perlu kau dengar, Kakang," Dan kali ini

Adipati mengajak Suro Bodong duduk di kursi samping pintu

kamar Suro Bodong.

"Kabar apa?"

"Tentang Rukmini!"

"O, jadi kedua jagoanmu itu sudah ke sana?" Suro Bodong

garuk-garuk kumis sebentar, lalu memetik jagung lagi.

"Memang, mereka sudah sampai sana. Tetapi... mereka

menemukan Rukmini dalam keadaan... mati."

Ada beberapa jagung yang jatuh. Suro Bodong

memungutinya dengan acuh tak acuh, tanpa malu. Lalu

melemparkan ke mulutnya, dan mengunyah. Ia kelihatan tenang,

tidak terkejut sedikitpun.

"Rukmini mati, Kakang...!"

"Hemmm...!" Suro Bodong menggumam, tenang.

Melihat reaksi Suro Bodong tenang saja. Adipati jadi

bingung. Lalu ia menjelaskan lagi karena mengira Suro Bodong

tidak jelas.

"Rukmini tewas...!"

"Iya. Aku tidak tuli. Aku mendengarnya!"

"Kakang tenang saja."

"Sebab aku tidak menyuruhnya mati...." jawab Suro Bodong

seenaknya. Adipati sempat dongkol sedikit, tapi buru-buru

memaklumi sikap cuek yang ada pada Suro Bodong.

"Menurut laporan Mahesa, ada seorang pencari rumput

yang melihat tiga orang bertopeng masuk ke rumah itu. Dan ketika

Mahesa serta orang-orang kita datang ke sana, Rukmini ditemukan

mati di belakang rumahnya. Berarti... bukan dia mencuri bayiku,

Kakang."

"Lalu siapa?"


"Orang-orang Topeng Setan itu!"

Sambil mengunyah jagung, Suro Bodong sempat tersenyum

sinis. Ia memperhatikan biji jagung yang dipetik-petiknya. Lalu,

setelah beberapa saat bungkam, ia berkata seenaknya: "Yang bilang

dia mati, siapa?"

"Mahesa...!" jawab Adipati bersemangat. "Mahesa dan Kebo

Jagal. Mereka melihat dengan jelas keadaan mayat Rukmini yang

menderita banyak luka, terutama di bagian leher."

"Lalu, mayatnya di mana?"

"Kata mereka, mereka ke situ malah seperti petugas kubur

saja. Mereka menggali kubur dan memakamkan jenazah Rukmini di

belakang rumah."

"Apakah Rukmini tinggal sendiri di rumah itu?"

Adipati Kusumadharma terhenti sejenak. "Setahuku...."

katanya setelah berpikir, "Ia tinggal bersama kakaknya yang

bernama Turonggo...!"

"Apakah kakaknya itu juga mati?"

"Hemm... tidak tahu. Mahesa tidak menjelaskan di mana

dan bagaimana Turonggo. Mungkin juga mereka tidak menemukan

Turonggo. Sebab, Turonggo adalah seorang pemburu kulit macan

yang lebih suka tinggal di hutan daripada di rumahnya sendiri."

Sebentar, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya, lalu

menggumam. Adipati Kusumadharma menunggu kata-kata dari

Suro Bodong. Tapi Suro Bodong sibuk mengunyah jagung bakarnya.

Hanya saja, beberapa saat kemudian, Suro Bodong bicara pelan,

sepertinya bicara pada diri sendiri:

"Terlalu...!"

"Apanya yang terlalu, Kakang?" desak Adipati penasaran.

"Capeknya ini...! Terlalu capek aku habis keliling alun-alun

dan melihat keramaian malam Kadipaten Puspagiwang. Aku ingin

tidur."

'Kakang tidak punya saran untukku?"

"Tidur. Itu saranku."

Suro Bodong beranjak dari kursi dan bergegas masuk ke

kamarnya. Sedangkan Adipati Kusumadharma hanya tertegun

memandanginya. Lalu ia pun bergegas menemui istrinya. Ia juga

mengkhawatirkan kesehatan istrinya yang baru melahirkan itu.

Terutama kesehatan jiwanya. Sebab, beberapa kali ia menemukan


istrinya bicara bagai sedang menimang bayi. Hal ini sangat

membuat Adipati prihatin sekali. Ia bagai tak sabar, ingin lekas me-

nemukan bayinya kembali.

Tapi kapankah ia akan menemukan bayinya? Orang yang

paling dicurigai telah mati. Sekarang kecurigaan ada pada

Gerombolan Topeng Setan.

Tapi mengapa sampai saat ini belum ada utusan atau surat

yang mengatakan bahwa gerombolan itu menghendaki uang

tebusan bagi bayi Adipati. Seandainya gerombolan itu menuntut

uang tebusan, berapa pun permintaannya, berapa pun mahalnya.

Adipati akan menebusnya dengan suka rela. Ia lebih baik kehilangan

harta benda daripada kehilangan satu putra keturunannya. Kalau

memang hal itu dikehendaki oleh pencuri bayi, Adipati tak akan

menunggu pertimbangan lain. Ia akan melaksanakan. Dan, ah...

mengapa ia tidak bicarakan kepada Mahesa, supaya Mahesa bisa

menyampaikan kepada Gerombolan Topeng Setan. Bukankah

Mahesa dan Kebo Jagal saat ini menyerang ke sana? Ke sarang

Gerombolan Topeng Setan..?!

Pagi menyingsing di ujung fajar. Semalaman Adipati tak

dapat tidur. Ia segera membangunkan Suro Bodong, sebab saat itu,

hanya Suro Bodong yang enak diajak bertimbang rasa.

Tapi ketika ia membuka pintu kamar Suro Bodong yang tak

pernah terkunci itu, ternyata kamar itu telah kosong. Adipati

Kusumadharma berpikir sejenak, mungkinkah Suro Bodong kencing

atau bahkan mandi sepagi ini? Atau mungkinkah ia sedang duduk

di taman menghirup embun pagi?

Tidak. Di kamar mandi maupun di taman tidak ada Suro Bodong. Di

mana pun ia mencari dan bertanya, tak seorang pun tahu di mana

Suro Bodong. Bahkan penjaga regol depan dan regol samping tidak

ada yang melihat Suro Bodong keluar dari pagar Dalem Kadipaten.

"Kok aneh?" pikirnya.

Mulanya Adipati Kusumadharma mencoba untuk

melupakan keanehan itu. Suro Bodong memang manusia yang

menyimpan banyak keanehan, pikirnya. Adipati mencoba

menenangkan diri dengan menganggap hal itu adalah salah satu ke-

biasaan Suro Bodong yang mungkin amat digemari, selain makan

jagung bakar dan garuk-garuk kumis. Menghilang, membuat orang

heran, itulah salah satu kesukaan Suro Bodong menurut Adipati.


Tetapi setelah siang mulai merayap dan Suro Bodong belum

kelihatan juga, Adipati mulai curiga, bahwa lelaki berambut tak

pernah disisir dan dirapikan itu ternyata telah meninggalkan Kadi-

paten secara diam-diam. Ia sengaja tak mau pamit, sebab kalau pun

pamit pasti tak akan diizinkan. Jadi, Adipati merasa ditinggalkan

begitu saja, sehingga sempat pula hatinya menjadi dongkol.

Hanya saja, ketika siang itu ia bersama istrinya di dalam

kamar, membujuk istrinya, menghiburnya supaya sedikit

menghilangkan kesedihan, tiba-tiba ia mendengar suara Suro

Bodong berseru kepada salah seorang pelayan. Hati Adipati tergu-

gah dan segera beranjak ke luar dari kamar. Ia bertanya kepada

salah seorang pengawal yang berdiri di depan pintu kamarnya:

"Aku mendengar suara Suro Bodong. Di mana dia?!"

"Ada di ruang depan. Kanjeng," jawab pengawalnya.

Langkah Adipati begitu cepat, malah hampir-hampir ia

tersandung selopnya sendiri. Langkah itu menjadi berhenti seketika

setelah dia berhadapan dengan Suro Bodong. Mata Adipati melebar,

mulutnya ternganga. Ia sempat gemetar, sebab kali ini Suro Bodong

muncul tidak sendirian, melainkan bersama seseorang yang terikat

tangan dan kakinya.

"Adipati...." kata Suro Bodong seraya membuka ikatan pada

mulut orang itu. "Aku punya oleh-oleh untukmu. Kau pasti kenal

dengannya. Dan Mahesa serta Kebo Jagal itu pasti juga mengenalnya

dengan baik, mungkin lebih baik mereka daripada kau. Adipati."

Beberapa saat Adipati tak mampu bicara. Tertegun, melotot

memandang perempuan bertubuh sedikit kurus dengan kulit warna

sawo matang.

"Rukmini...!" Adipati mengucapkan nama itu dengan sangat

pelan. Perempuan yang dipanggil Rukinini buang muka dengan

kebencian yang terlintas di wajahnya.

Adipati tak habis pikir, mengapa Mahesa mengabarkan

bahwa Rukmini bekas istrinya itu telah mati dibunuh Gerombolan

Topeng Setan. Padahal kenyataannya Suro Bodong malah berhasil

menawannya dan membawanya ke Kadipaten ini benar-benar

membingungkan bagi Adipati.

"Kakang Suro Bodong... bagaimana hal ini bisa terjadi,

Kakang?"


"Mudah saja...!" seraya Suro Bodong membiarkan Rukmini

jatuh terduduk di lantai, sedangkan ia sendiri sibuk garuk-garuk

kumis sejenak. Ia menjelaskan kepada Adipati:

"Waktu kau katakan bahwa Rukmini mati, aku tidak

terkejut. Kenapa? Karena aku mengikuti ke mana perginya Mahesa

dan Kebo Jagal. Eh... bukan, bukan begitu!" Suro Bodong bingung

sendiri. "Begini...." katanya lagi.

Raut wajah Rukmini disembunyikan di balik rambutnya

yang lepas tergerai. Ia bagai muak, tak mau menatap Adipati, juga

muak tak mau mendengar ocehan Suro Bodong. Namun Suro

Bodong jelas tidak peduli dengan kemuakkan itu. Ia tetap saja

bercerita kepada Adipati Kusumadharma.

"Aku sengaja mengintai dari kejauhan, apa yang terjadi di

rumah Rukmini. Ingat, kau pernah memberiku keterangan tentang

letak rumahnya, bukan? Dan aku mengintip dari kejauhan, ingin

mengetahui apa saja yang dilakukan kedua jagoanmu itu di rumah

Rukmini. Eh, ternyata mereka malah bermesra-mesraan. Satu lawan

dua.... Gila, kan! Untung aku tidak ikut nimbrung sekalian...!"

Memerah wajah Adipati mendengar hal itu. Namun Suro

Bodong belum meberinya kesempatan untuk bicara. Suro Bodong

meneruskan kisahnya:

"Lalu aku mendengar mereka membuat suatu rencana.

Rencana licik. Dan... ternyata rencana itu kau sampaikan pula

padaku. Sebab itu, aku tidak kaget. Aku malas untuk kaget! Lalu

tadi malam, aku tak bisa tidur. Sebenarnya aku ingin mencari

keterangan secara diam-diam dimana perempuan ini

menyembunyikan bayimu, tetapi... aku tidak sabar. Lalu, diam-diam

kucolong dia dan kubawa ke mari. Sumpah, itu kulakukan diam-

diam. Waktu dia hendak mandi, aku menyelusup masuk. Dan

kebetulan kakaknya tidak ada, maka kugendong dia ke mari. Yaah...

lumayan juga capeknya. Tapi, mudah-mudahan dengan kubawa dia

ke mari, kita bisa mengetahui di mana bayi itu disembunyikan

olehnya!"

"Aku tidak tahu soal bayimu!" cletuk Rukmini tiba-tiba

kepada Adipati. Suaranya ketus, dan bernada memusuhi.

"Lalu siapa yang mencuri bayiku, Rukmini?"

"Aku tidak tahu, titik! Kalian salah duga!" jawabnya sambil

membentak. "Aku tidak mencuri bayimu, tahu?!"


Suro Bodong menyela kata. "Adipati, kurasa memang bukan

dia yang mencuri bayimu, tapi perintah itu adalah perintahnya.

Orang lain yang melakukannya. Dan di mana bayi itu

disembunyikan, tentu dia tahu, sebab perintah menyembunyikan

bayi juga darinya. Dia berkomplot dengan orang-orang Gerombolan

Topeng Setan!"

"Benarkah begitu, Rukmini?!" sahut Adipati dengan geram.

"Kau berkomplot dengan orangorang Topeng Setan?!"

Rukmini tidak menjawab, tetapi Suro Bodong yang

menyahut dengan lantang:

"Kurasa bukan hanya berkomplot, tapi dia juga sebagai

anggota Topeng Setan. Lihat wajahnya... sudah tidak perlu pakai

topeng memang mirip setan jika begini..!"

"Benar-benar iblis...!" geram Adipati Kusurnadharma.

"Memang benar!" jawab Suro Bodong. "Dan menurut apa

yang kulihat sejak kemarin, ternyata Turonggo kakaknya itu. Adalah

orang penting di dalam Gerombolan Topeng Setan. Dan adiknya ini,

sebagai anggota di belakang layar...."

"Luar biasa...!" geram Adipati sambil dadanya kembang

kempis karena menahan emosi marah. "Ternyata pengkhianatanmu

dari dulu sampai sekarang masih berkelanjutan, Rukmini!"

"Dia bohong! Dia tahu apa tentang aku!" bantah Rukmini.

Suro Bodong meraih dagu Rukmini dengan kasar.

Perempuan yang umurnya sudah cukup namun masih kelihatan

cantik dan menggairahkan itu meringis kesakitan. Suro Bodong

tidak peduli. Ia berkata dengan wajah hampir berjarak sejengkal dari

mulut Rukmini.

"Hei, aku mendengar keluhanmu ketika bergumul dengan

Mahesa dan Kebo Jagal. Dan dari hasil keluhanmu itu aku bisa

menarik kesimpulan, bahwa Topeng Setan akan membuang kamu,

kalau kamu sudah tidak bisa menjadi pemasok modal bagi

mereka...!"

"Pemasok modal?!" Adipati mendekat dan terperanjat.

Suro Bodong memandang Adipati sambil berdiri. Ia

menggaruk-garuk kumisnya sebentar, lalu berkata:

"Sejak ia menjadi istrimu, dialah yang selalu memberi dana

kepada Gerombolan Topeng Setan itu. Dia salah satu orang

penyumbang dana terkuat dari beberapa penyumbang dana lainnya.


Karena itu, kalau saja Tunggoro bukan kakaknya, tentu ia sudah

dibuang dari Gerombolan Topeng Setan itu. Sebab dia sudah tidak

bisa menjamin kehidupan keuangan gerombolan tersebut"

Adipati memejamkan mata, menahan amarahnya kuat-kuat.

Rukmini tersenyum iblis memandang kejengkelan Adipati.

"Pengawal...." teriak Adipati. Dua orang pengawal datang

dengan tergesa-gesa. "Bawa dia ke belakang dan jebloskan dalam

penjara tanpa hawa...!!" perintah Adipati, sebagai luapan amarah-

nya.

Beberapa saat setelah itu, Suro Bodong ke dapur. Kepada

juru masak, ia meminta dibikinkan jagung bakar. Kebetulan masih

ada sisa lima buah jagung mentah yang dimiliki juru masak. Maka

dalam waktu beberapa saat, Suro Bodong telah memegang sebuah

jagung bakar sebagai makanan kesukaannya. Ia menemui Adipati

dengan memetik-metik dan meniup jagung itu.

"Adipati, keluarkan Rukmini dari penjara tanpa hawa!"

katanya dengan tenang.

"Kenapa?" tanya Adipati dengan malas.

"Dia bisa mati di dalam penjara itu."

"Biar. Aku memang ingin dia mati dengan pelan-pelan."

"Dan kita akan kehilangan keterangan untuk mengetahui di

mana bayimu berada, begitu?"

Adipati memandang Suro Bodong, ia menghela nafas. Baru

sekarang ia ingat kalau tujuan Rukmini dibawa ke mari adalah

untuk menunjukkan di mana bayi itu disembunyikan. Kemudian

Adipati segera menyuruh pengawal untuk memindahkan Rukmini

ke tempat penjara yang mempunyai udara.

"Hati-hati terhadap pegawaimu," ujar Suro Bodong. "Bisa-

bisa kau hidup di sini dalam lingkaran pengkhianat! Mungkin hanya

satu dua dari orangmu saja yang memang setia kepadamu. Se-

lebihnya... musuh!"

Pucat wajah Adipati mendengar kata-kara Suro Bodong.

Berdebar jantungnya, dan kecemasan semakin menekan batin.

Pada saat itu, seorang penjaga pintu regol berlari-lari

menemui Adipati. Karena wajah orang tersebut berlumuran darah,

maka Adipati menjadi terperanjat. Jantungnya hampir saja istirahat

selamanya.


"Ada apa ini...?!" seru Adipati dengan tegang. "Seorang

lelaki mengamuk di luar pagar. Beberapa pengawal telah tewas

dan...."

"Kakang Suro Bodong...?!" sekali lagi Adipati terpekik,

karena orang tersebut jatuh dan tak mau berkutik lagi selamanya.

Mati.

Suro Bodong masih kelihatan tenang. Ia melangkah pergi

dan diikuti Adipati yang semakin panik.

"Pasti orang-orang Topeng Setan, Kakang...."

"Entah, ya. Aku tidak pernah menyuruh mereka datang ke

mari kok. Kita lihat saja!"

Pintu regol depan sengaja ditutup dari dalam oleh beberapa

prajurit Kadipaten. Sementara bunyi pedang dan teriakan terdengar

di luar Dalem Kadipaten. Suro Bodong memberi perintah kepada

prajurit:

"Buka pintu...!"

"Jangan, Pak. Bahaya. Orang itu mengamuk seperti kebo

kesurupan macan. Mengerikan!" kata seorang prajurit.

Suro Bodong tidak sabar dan tidak mau banyak kata. Pintu

regol yang besar dan kekar, terbuat dari balok-balok kayu jati itu

ditendangnya dengan tendangan putar. "Bruaaak...!!"

Pintu itu pecah menjadi beberapa potong. Salah satu

pecahannya ada yang melayang nyaris mengenai orang lelaki

berpakaian hitam dengan ikat kepala kuning. Pertarungan antara

prajurit-prajurit Kadipaten dengan orang itu terhenti seketika.

Prajurit-prajurit menyisih setelah tahu Suro Bodong muncul bersama

Adipati Kusumadharma.

"Kusumadharma...! Mana adikku!" bentak orang itu.

"Turonggo...?!" Adipati terbelalak.

"O, kamu yang namanya Turonggo…?!" kata Suro Bodong,

ia masih mengunyah-ngunyah jagung bakar dan sesekali

menggaruk-garuk kumisnya yang lebat, hampir sama lebatnya

dengan kumis Turonggo.

"Siapa kamu, Babi picak...?!" kata Turonggo.

"Kamu yang picak!" sahut Suro Bodong. "Kamu yang tidak

bisa membedakan manusia dengan babi! Sialan!"


Turonggo tersenyum sinis. Otot tangannya yang kekar dan

lengannya yang gempal bergerak-gerak bagai tak sabar menunggu

pertarungan.

"Aku Suro Bodong!" kata Suro Bodong. "Kamu kakaknya

Rukmini, ya?"

"Aku kakaknya Rukmini!"

"Aku yang menculik Rukmini!" balas Suro Bodong.

"Bangsat..!!" geram Turonggo.

"Nanti dulu, jangan berkelahi dulu." cegah Suro Bodong

"Biarkan aku makan jagung dulu sampai habis, baru kita berkelahi.

Bagaimana? Setuju?!"

"Aku tak punya waktu untuk melayani tikus sawah, hiaat..!"

Turonggo menyerang dengan sebuah tendangan kaki kanan

yang mampu menendang sampai tegak di atas kepala. Suro Bodong

hanya melengkungkan badan ke belakang, menghindari tendangan

yang membentuk garis lurus ke atas. Turonggo memutar kaki yang

sudah ke atas, kini kaki itu menginjak tanah sedang kaki kirinya me-

nendang pelipis Suro Bodong. Tangan Suro Bodong menangkis, dan

jagungnya mental.

"Tunggu dulu!" bentak Suro. "Bagaimana kalau kita tukar

tawanan. Kuserahkan adikmu, tapi kau harus menyerahkan bayi

putra Adipati. Bagaimana? Setuju apa sepuluh?!"


LIMA


TURONGGO bukan musuh yang bisa diajak kompromi. Bila

sudah berhadapan dengan lawan tidak ada lagi kata damai pada diri

Turonggo. Nalurinya adalah naluri membunuh. Karenanya ia segera

mengibaskan pedangnya ke pundak Suro Bodong seraya berseru:

"Lebih baik kita tukar nyawa daripada tukar tawanan!

Nyawamu atau nyawaku yang harus hengkang ke akherat...!"

Pedang Turonggo menebas pundak Suro Bodong. Dengan

gesit Suro Bodong memiringi badan ke kiri, dan secepatnya kaki

kanannya menendang ke perut Turonggo.

"Heaaatt...!"

Tendangan itu mengenai perut, dan Turonggo tersentak ke

depan dengan badan membungkuk. Tangan kanan Suro Bodong

segera menghantam pelipis kiri Turonggo. Keras. Gerakan tangan

kanan Suro Bodong dalam memukul pelipis itu seperti pedang yang

dikibaskan menyamping.

"Kalau begitu nyawamu saja yang ke akherat. Aku

mengalah saja, tidak ikut ke sana, hiaaat...!!"

Turonggo terpelanting. Pedangnya masih berusaha

dikibaskan. Suro Bodong melompat ke depan dan membiarkan

Turonggo sempoyongan.

"Jangan keras kepala, Turonggo," kata Suro Bodong sembari

berdiri sigap, garuk-garuk kumis sebentar. "Lebih baik kita tukar

adikmu itu dengan putra Adipati!"

"Akan kurebut adikku; Rukmini. Tapi jangan harap kau

dapat merebut putra Adipati sinting itu. Hiaaatt...!!"

Turonggo mengibaskan pedangnya kian ke mari dan segera

diam dalam posisi badan merendah dan kaki kanan ditarik ke

belakang. Pedangnya berada di depan dada, diarahkan lurus ke

depan, sedangkan tangan kirinya ada di atas kepala dalam posisi jari

seperti cakar elang. Siap melancarkan serangan mautnya.

"Jurusmu cukup gagah, Turonggo," kata Suro Bodong. "Tapi

kuda-kudamu cukup lemah, Lihat kaki kananmu, terlalu sejajar

dengan kaki kirimu. Kalau kusengkat pasti kau jatuh!"

Turonggo segera memperbaiki posisi kakinya agak

merenggang. Nafasnya memburu dan kepalanya masih terasa

keliyengan akibat pukulan yang mengenai pelipisnya tadi.


"Posisi pedangmu juga kurang mantap. Turonggo.

Genggaman tanganmu masih lemah. Kau harus memegang lebih

maju sedikit, supaya, ada keseimbangan antara gagang pedang

dengan mata pedang itu...."

"Jangan banyak bacot. Bodong kurap! Hiaaaat...!!"

Turonggo maju menyerang dengan satu loncatan.

Pedangnya terarah ke dada Suro Bodong. Tetapi tiba-tiba pedang itu

dilemparkan ke tangan kiri, sedangkan tangan kanannya segera

memukul wajah Suro Bodong. Pada saat itu Suro Bodong sudah

bersiap menghindari tusukan pedang. Ia tidak menyangka kalau

tiba-tiba pedang berpindah ke tangan kiri. Karena itu, ketika tangan

kiri Turonggo mengibaskan pedang ke leher Suro Bodong, hampir

saja leher itu terbabat habis. Suro Bodong cepat berkelit ke samping.

Namun, agaknya gerak tipu Turonggo mengenai sasaran. Kaki

kanannya menendang keras dan mengenai dada Suro Bodong.

Seketika itu Suro Bodong terpental ke belakang dan jatuh

terduduk di tanah berbatu. Ia meringis kesakitan, bukan memegangi

dadanya yang ditendang, melainkan memegangi pantatnya yang

terbentur batu sebesar genggamannya. Tulang kodoknya yang ada

di ujung pantat terasa lecet.

"Monyet kudis...! Uuh... pantatku seperti disengat kepiting

rebus...!" gerutu Suro Bodong dalam cacian. Dan tiba-tiba ia segera

berguling ke kiri, lalu berguling lagi. Tendangan kaki Turonggo

datang dengan bertubi-tubi diselingi tebasan pedang ke kanan

bawah dan ke kiri bawah. Sasarannya adalah punggung Suro

Bodong. Tetapi gerakan Suro Bodong masih cukup lincah. Ia bergu-

ling lagi ke samping, kemudian menendang pinggang Turonggo

seperti kuda menyepak lalat. "Hhuuggh...!!"

Turonggo tersedak, nafasnya bagai terputus sedetik.

Pedangnya menancap dalam ke tanah. Sambil menahan rasa sakit,

Turonggo berusaha mencabut pedangnya dari tanah. Tetapi gerakan

Suro Bodong lebih cepat. Ia melompat dan menendangkan kakinya

ke punggung Turonggo dengan hentakan kaki kanan yang sangat

keras. Turonggo mendelik, tubuhnya melengkung seperti papan

kepanasan.

Ada salah seorang prajurit Kadipaten yang menggunakan

kesempatan itu untuk melampiaskan kebenciannya. Ia memukulkan

gagang pedangnya kuat-kuat ke ubun-ubun Turonggo.


"Pletaak...! Pletook...!"

"Bangsat kau...!" teriak Turonggo, dan prajurit itu buru-buru

lari ke tempat teman-temannya berkumpul. Saat itu, Suro Bodong

garuk-garuk kumis dalam kebingungan. Ia tak tahu, akan diapakan

lawannya itu? Dipaksa untuk menukar tawanan atau dibunuh

begitu saja?

"Kakang Suro...! Habisi nyawanya sekalian...!" seru Adipati

Kusumadharma dengan geram.

"Aku tidak habis kalau untuk menghabisi nyawanya...."

jawab Suro Bodong dengan tenang dan seenaknya bicara, ia

menggaruk kumisnya lagi. Sebentar saja. Lalu mundur beberapa

langkah, karena melihat Turonggo telah berdiri dengan pedang

berhasil dicabut dari tanah. Walau posisi berdiri Turonggo sedikit

limbung, namun Suro Bodong yakin, bahwa musuhnya itu pasti

akan menyerang lagi. Sebab itu ia harus siap sedia menerima dan

menghindar, atau kalau perlu menyerang lebih dulu. Ini masih

dipertimbangkan oleh otaknya yang gampang bingung itu.

"Suro Bodong...! Tidak mudah kau membunuh anggota

Gerombolan Topeng Setan...!"

"Ah, siapa bilang?! Buktinya kemarin kubunuh satu. Sayang

orang itu bukan kamu...." kata Suro Bodong, garuk-garuk kumis.

"Bangsat! Terimalah ilmu Batu Geni-ku ini...!" Turonggo

mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala mendongak

bagai hendak berdoa. Suro Bodongheran melihat tangan Turonggo

keduanya ditarik ke bawah seketika dan kedua telapak tangannya

segera menghentak ke depan. Lurus. Lalu, dari telapak tangan itu

keluar butiran-butiran batu sebesar kelereng berwarna merah

membara, seperti butiran besi panas. Butiran batu itu melesat cepat

menuju Suro Bodong. Tentu saja hal itu membuat Suro Bodong

tegang dan kebingungan. Ia melompat seperti katak. Lompatannya

cukup jauh. Dan butiran batu itu menghantam sebuah batu di

belakang Suro Bodong. Batu itu meledak dengan menimbulkan

suara berdesis dan asap mengepul di beberapa tempat. Suro Bodong

semakin panik. Ia diserang terus dengan butiran batu panas yang

mempunyai kekuatan dahsyat.

"Wah, kacau ini...!!" gerutu Suro Bodong seraya melompat-

lompat seperti katak. Ia menjadi panik. Tembok Kadipaten jebol di

bagian sudutnya karena terkena benturan batu pijar itu. Dan


biasanya kalau Suro Bodong panik, ia akan menjadi orang serba

bingung tujuh keliling. Sekarang pun ia berlari ke sana sini

menghindari serangan Batu Geni dari Turonggo. Ia sangat

ketakutan, seperti pendekar tanpa ilmu. Turonggo sendiri

menertawakan gerakan pilon Suro Bodong. Ia semakin

mempermainkan Suro Bodong, menyerang bagian depan,

menghadang langkah Suro Bodong dengan batu-batu yang

jumlahnya puluhan itu.

Sudah tentu hal itu membuat banyak kerusakan di beberapa

tempat yang terkena batu tersebut. Malahan ada seorang prajurit

yang berdiri memojok, tepat di belakang Suro Bodong. Ketika Suro

Bodong menghindari batu-batu api itu, prajurit tersebut menjadi

korban. Batu-batu tersebut mengenai tubuh prajurit itu, dan ia

menjerit dalam keadaan sekarat. Tubuhnya sempat terbakar sbentar,

lalu hancur karena lebih dari sepuluh batu yang menghunjam di

tubuhnya.

"Ngeri sekali akibatnya...?!" Suro Bodong bicara sendiri

sambil melompat, berlari dan melompat lagi dalam keadaan serba

bingung. Adipati sendiri menjadi cemas melihat Suro Bodong ke-

bingungan dan lari ke sana sini seperti ayam babon dikejar kawan

ayam jantan.

"Adipati...!" teriak Suro Bodong. "Apa yang harus kulakukan

nih...!!" seraya Suro Bodong melompat, berguling dan berlari bagai

dikejar setan. Jika ia lari ke Utara, Turonggo melancarkan batu

pijarnya keUtara akibatnya Suro Bodong kembali ke Selatan, namun

Turonggo segera melancarkan Batu Geni itu ke Selatan, Suro Bodong

terpaksa melompat ke arah lain. Dan begitu seterusnya ia

dipermainkan oleh Turonggo seraya berteriak-teriak:

"Hoii... penonton...! Tolong aku...! Tolong, jangan menonton

saja...! Memangnya aku pemain sulap? Akrobat dari India, ya?

Busyeeeettt...! Bagaimana ini?! Huuuuhh... payah semua orang-

orang sini...!"

"Prass... prass... prasss...!!"

Begitu suara yang timbul apa bila Batu Geni mengenai

benda apa pun. Suro Bodong berkeringat dan benar-benar bingung

tujuh keliling.

"Berhenti...! Berhenti dulu, Turonggo...! Aku capek...!"


Teriak Suro Bodong semakin ditertawakan Turonggo, dan ia

tambah dijadikan barang mainan oleh Turonggo. Bahkan beberapa

prajurit ada yang tertawa terkikik-kikik melihat Suro Bodong

melompat-lompat dengan kaki terkangkang tak teratur. Tangannya

tak mampu bergerak lain kecuali berusaha menahan Batu Geni,

namun sesekali ditarik dan disembunyikan di belakang jika Batu

Geni menju ke arahnya.

"Kakang Suro...! Tenanglah...!" teriak Adipati. "Hadapi dia

dengan tenang...!" Mungkin memang hanya itu yang bisa

diteriakkan oleh Adipati Kusumadharma yang bersembunyi di balik

pecahan pintu regol.

"Tenang?! Bagaimana bisa tenang?!" gerutu Suro Bodong.

"Tapi... ah, ya... ada baiknya kalau aku berusaha untuk tenang. Ya,

aku harus tenang. Tenang... tenang... tenang..."

Sekali pun masih melompat-lompat, namun pikiran Suro

Bodong berusaha untuk menenangkan diri. Ia menganggap itu suatu

latihan melompat, ia menganggap sedang berlatih menghindari

lemparan-lemparan batu. Siapa tahu kelak ada gunung meletus dan

batunya menyembur ke arah Suro, maka Suro dapat

menghindarinya dengan tangkas. Oh, ya... betul juga, pikir Suro

Bodong. Ini latihan loncat kok, bukan pertarungan.

"Bersaltolah ke atas dan serang dia dari arah lain!" teriak

Sanggu yang sempat ikut tegang menyaksikan hal itu.

"Nenekmu yang bersalto...?!" teriak Suro Bodong.

Maksudnya, ia tidak mempunyai kesempatan untuk bersalto, sebab

serangan Turonggo membabi buta. Tetapi Sanggu dan beberapa

prajurit mengira bahwa Suro Bodong pendekar yang tidak bisa

bersalto. Maka ada yang berteriak.

"Huhh... payah! Pendekar kok tidak bisa bersalto!"

Tetapi Suro Bodong tidak mau menghiraukan seruan itu. Ia

sibuk menenangkan diri dan menghindarkan serangan Batu Geni

yang terasa tak ada habis-habisnya itu.

"Astaga... aku kan punya pedang..." pikir Suro setelah

ketenganan berhasil diperolehnya. Kemudian ia segera meraba

tangan kirinya. Dan dari pergelangan tangan kiri, keluarlah sebilah

pedang yang dicabut dengan gerakan secepat kilat. Tahu-tahu

banyak orang terperangah melihat tangan kanan Suro Bodong telah


memegang pedang yang memancarkan sinar ungu. Indah sekali

warnanya.

"Ha, ha, haaa.... Aku lupa kalau aku punya pedang...!

Ciaaaat...!!"

Suro Bodong menangkis semua Batu Geni itu dengan

pedangnya.

"Trang... trang... trang...!!" Bunyi pedang membelah bulatan

besi pijar itu. Semua semakin tercengang melihat gerakan jurus

pedang Suro Bodong yang begitu cepat dan mampu membuat tiap

batu terbelah menjadi beberapa bagian. Turonggo sendiri segera

menghentikan serangannya dan memandang Suro Bodong dengan

terbengong-bengong.

Nafas Suro Bodong terengah-engah, namun ia tersenyum

gembira dan berseru:

"Nah... sekarang kau seperti sapi ompong, Turonggo...!"

Lelaki bertubuh kekar itu menggeram, matanya memerah

menahan amarah. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya,

membentuk tanda silang di depan wajah. Lalu dari mata yang

memerah itu meluncurlah nyala sinar merah ke arah Suro Bodong.

Sinar itu tidak ditangkis oleh Suro Bodong, melainkan dihindari

dengan melompat ke kanan.

"Blaaar...!!" Dentuman keras terdengar. Ledakan terjadi

ketika sinar merah itu menghantam tanah. Tempat di mana sinar itu

menghantam menjadi berongga. Tanahnya berhamburan. Dan

semua orang mengguman kagum. Sedangkan Suro Bodong hanya

tersenyum kecut. Tetap tenang.

Turonggo tetap menyilangkan kedua tangannya di depan

wajah. Sekali lagi sinar merah melesat dari kedua mata Turonggo,

dan sekali lagi Suro Bodong menghindar.

"Blaaar...!!" Tanah berhamburan ke udara. Tempat itu jadi

berongga sedalam setengah meter lebih. Andaikata sinar merah itu

mengenai tembok Kadipaten, maka sudah pasti tembok itu akan

hancur. Suara gumam kagum terdengar serempak.

"Aku juga punya ilmu semacam itu," kata Suro Bodong

seraya tersenyum sinis.

"Keluarkan...!"

"Ogah! Nanti kamu contek...! Weee...!" Suro Bodong meledek

dengan mencibirkan bibir.


Turonggo menjadi panas hati, lalu melancarkan serangan

sinar merahnya kembali. Tetapi kali ini Suro Bodong tidak

menghindar, melain menangkis sinar itu dengan pedangnya yang

berkilauan warna ungu.

"Taar...! Ter, ter, ter, ter...!"

Sinar merah itu memantul beberapa kali ke arah Turonggo,

namun padam sebelum sampai menyentuh tubuh Turonggo. Suro

Bodong tersenyum.

"Masih kalah hebat dengan ilmuku yang mirip itu!"

"Jangan membual kau, Kucing Kurap...! Keluarkan semua

ilmumu!" tantang Turonggo dengan kobaran amarahnya.

"Hemm...!" Suro Bodong mencibir. "Nanti kamu tiru, repot

aku. Lagi pula, belum tentu kau bisa bertahan jika terkena pukulan

Tapak Geni-ku. Sekarang, kau terima jurus Pedang Jitu saja. Kalau

kau bisa bertahan, nanti akan kuberi pukulan Tapak Geni. Benar

kok. Aku tidak bohong."

Suro Bodong melemparkan pedangnya ke atas hingga

pedang itu berjumpalitan tujuh kali. Saat itu Turonggo bergegas

menyerang Suro Bodong. Namun Suro Bodong segera menendang

tepat di gagang pedangnya yang telah berputar tujuh kali.

"Ciaaaat...!" Suro Bodong menendang pedang ke arah

Turonggo. Pedang pecah menjadi tujuh bagian. Semua bagian

melesat, melebar ke arah Turonggo. Sejenak Turonggo terkejut, lalu

segera berkelit, melompat dan bersalto ke sana ke mari menghindari

pecahan pedang itu. Dan beberapa saat kemudian, pedang tersebut

bergabung lagi dan melesat kembali ke tangan Suro Bodong utuh

menjadi satu pedang.

Suara gumam dan decak dari para prajurit Kadipaten

membahana. Suara itu nyaris menutup pekikan pelan yang terlontar

dari mulut Turonggo. Rupanya ada salah satu pecahan pedang yang

menggores pundaknya hingga menimbulkan luka lebar dan dalam.

Namun Turonggo tampak masih bisa bertahan. Pantas rasanya jika

Turonggo menjadi orang penting di dalam Gerombolan Topeng

Setan, karena ia seorang yang tangguh dan sukar dirobohkan.

Suro Bodong segera berlari dan melayangkan tendangan

kaki kanannya. Turonggo masih belum siap karena menahan luka,

sehingga dadanya terkena telak tendangan Suro Bodong.


"Huuugh...!!" Turonggo terpental ke belakang dengan tubuh

melengkung ke depan, ia bertahan untuk tidak jatuh sekali pun

harus berdiri sempoyongan.

"Sebentar lagi tamatlah riwayatmu, Turonggo...!" seru Suro

Bodong seraya segera bergerak mengayun-ayunkan kakinya ke

kanan dan ke kiri beberapa saat, seperti orang menari. Para prajurit

Kadipaten terheran-heran melihat jurus ayun-ayunan kaki itu.

"Sekarang terimalah Tendangan Ayam Kawin ini, hiaaat...!"

Semua mata terbengong melihat kaki Suro Bodong bergerak

seperti baling-baling, menendang dada, dan wajah Turonggo

dengan kecepatan yang luar biasa dan beruntun sebanyak tujuh kali.

Setiap tujuh kali tendangan beruntun, selalu ganti kaki, dari yang

kanan ganti yang kiri. Dan hal itu membuat Turonggo tak mampu

menghindar. Ia hanya kelabakan dan terguncang-guncang akibat

tendangan Ayam Kawin itu. Berteriak pun tak mampu. Lalu ia

rubuh ke tanah dengan darah mengalir dari segala lubang di

tubuhnya.

"Bagaimana? Mau mati sekarang, atau nanti saja?!" kata Suro

Bodong yang membuat para penonton tertawa cekikikan.

Tubuh yang sudah berlumuran darah itu masih sanggup

berdiri. Turonggo bersiap menyerang Suro Bodong. Apalagi waktu

itu terdengar suara yang berseru:

"Lawan terus, Turonggo...! Rukmini sudah di tangan kami!"

Selain semangat Turonggo menjadi bertambah, semua mata

menjadi terbelalak melihat Mahesa dan orang bertopeng telah

menggandeng Rukmini. Kebo Jagal menggendong bayi dan siap

mencekik bayi itu, di sampingnya berdiri emban Surti, orang yang

katanya mengetahui hilangnya nenek Limbak dari kamar.

"Anakku...!" teriak Adipati dalam keadaan tegang.

"Jangan mendekat, Adipati!" seru Suro Bodong. Sanggu

segera menahan gerakan Adipati. Saat itu, Turonggo menggunakan

kesempatan kelengahan Suro Bodong, ia menendang pinggang

belakang Suro Bodong hingga lelaki agak gemuk itu jatuh seperti

nangka busuk.

Segera Suro Bodong berdiri dan berlari menjauhi Turonggo

yang sempoyongan itu. Mahesa Tameng dan Kebo Jagal tertawa,

lalu berseru:


"Suro Bodong...! Kalau kau tak mau menyerah, bayi ini akan

kucekik sampai mati."

"Jangan...! Jangan cekik bayiku," teriak Adipati.

"Sabar, Adipati. Tenang saja. Suro Bodong pasti bisa

mengatasinya," bisik Sanggu.

Suro Bodong kebingungan. Biasanya ia menjadi panik, lalu

bingung tujuh keliling. Sanggu yang mengetahui kebingungan Suro

Bodong segera berseru:

"Suro... tenanglah! Tenang seperti tadi...!"

Segera Suro Bodong menyadari kelemahannya, lalu ia

berusaha untuk tenang. Mahesa Tameng berseru:

"Menyerahlah, Suro Bodong! Jika kau menyerah dan

bersedia menjadi tawanan kami, maka bayi ini kami kembalikan

kepada orang tuanya. Tapi jika tidak, bayi ini akan mati di depan

orang tuanya! Percuma saja kau bertahan, lihat... Rukmini sudah di

tangan kami. Ha, ha, ha...!"

Suro Bodong segera memasukkan pedangnya ke lengan kiri

dengan cepat, sehingga tak seorang pun melihat gerakan itu, kecuali

Sanggu. Sebab Sanggu pernah melihat Suro Bodong menyimpan

pedang ajaibnya dengan pelan-pelan.

"Baiklah...." kata Suro Bodong. "Lihat, aku sudah tidak

bersenjata lagi. Sudah kubuang pedangku: Sekarang, kembalikan

bayi itu kepada Adipati!"

"Tidak semudah itu! Kau harus kami ikat dulu...!"

"Silahkan! Ikatlah aku asal bayi itu kau kembalikan dengan

selamat. Tapi jangan coba-coba menipuku, Mahesa!"

Mahesa menyuruh lelaki bertopeng dan berpakaian serba

hitam untuk mengikat Suro Bodong. Pekerjaan itu cepat selesai,

karena Suro Bodong tidak melawan waktu diikat kuat-kuat di kedua

tangannya. Sementara itu. Adipati dan para prajurit menyesalkan

keputusan Suro Bodong.

"Pengkhianat...!" teriak Adipati. "Serahkan anakku!"

Mahesa Tameng tertawa keras. "Terlalu bodoh kalau aku

menyerahkan padamu sebelum Rukmini memerintahkan hal itu!"

"Curang! Suro Bodong telah kau ikat, telah menyerah,

sekarang kau mengingkari janji!" teriak Sanggu.


"Diam kau, Sanggu! Lebih baik tutup mulut daripada mati

tanpa bintang jasa, tau?!" teriak Kebo Jagal yang tangannya siap

mencekik bayi itu.

"Rukmini," kata Mahesa. "Bagaimana dengan bayi itu?!"

Rukmini memandang penuh dendam kepada Adipati, lalu

berseru: "Bunuh bayi itu di depan orang tuanya! Biar dia tahu

bagaimana rasanya kalau hidup tanpa anak! Biar dia belajar untuk

tidak membuang perempuan seperti aku! Bunuh sekarang juga,

Kebo Jagal!"

"Tunggu...!" teriak Suro Bodong. Dengan loyo Turonggo

masih sempat menendang Suro Bodong hingga Suro Bodong

mengaduh kesakitan.

"Sebelum kau bunuh bayi itu, aku punya satu permintaan

yang ringan. Tidak memberatkan kalian!"

Setelah menimbangnya sesaat, Rukmini berkata: "Kau pun

akan kubunuh, Suro Bodong Karatan! Tapi, baiklah... kuizinkan kau

mengajukan permintaan yang tidak memberatkan kami.

Katakanlah!"

Suro Bodong diam. Seperti ragu untuk bicara. Tetapi dalam

hatinya ia menyebut nama-nama mereka yang dipandanginya satu

persatu: "Rukmini, Mahesa Tameng Kebo jagal, Emban Surti, Orang

bertopeng di sampingku, dan... Turonggo...."

"Ayo lekas...!" bentak Mahesa Tameng. Tetapi Suro Bodong

masih seperti ragu-ragu. Kini ia bahkan bersiul mendendangkan

lagu. Karena semasa itu belum ada irama jazz, maka Suro Bodong

mendendangkan tembang Jawa yang beraliran Maskumambang.

Suara siulannya cukup tinggi melengking dan enak di dengar.

Tetapi beberapa detik kemudian, orang bertopeng di samping Suro

Bodong menutup telinganya. Lalu Turonggo dan Rukmini juga

menutup telinganya. Siulan itu meninggi, masih mendendangkan

tembang Maskumambang. Mereka semakin kesakitan, menutup

telinga rapat-rapat. Mahesa dan emban Surti pun tak tahan

mendengar siulan itu. Mereka tak tahu bahwa saat itu Suro Bodong

menggunakan jurus Siulan Celeng yang bertenaga dalam tinggi.

Hanya orang-orang yang disebutkan dalam hatinya tadi yang

merasa kesakitan mendengar siulan tersebut, sedangkan orang lain

merasa terayun-ayun lelap bagai dalam buaian mimpi.

"Aaaahhhkk...!!" teriak mereka dari pelan menjadi tinggi.


Suro Bodong segera mengerahkan tenaganya untuk melepas

ikatan pada tangan. Ikatan itu terlepas dengan kekuatan tenaga

dalamnya juga. Dia tetap bersiul. Kebo Jagal menutup satu

telinganya. Namun ia tak tahan, hendak menutup kedua telinga

dengan kedua tangannya. Bayi tersebut pasti akan jatuh jika Kebo

Jagal menutup kedua telinganya. Maka dengan segera Suro Bodong

melompat, dan bersalto di udara sebanyak 3 kali. Bayi disahut oleh

tangan yang bersalto dan kini bayi itu dalam gendongan tangan lain.

Tetapi semua mata memandang heran dan terbengong-

bengong melihat ujud Suro Bodong sudah berubah menjadi anak

kecil umur antara 10 tahunan. Anak itu tetap bersiul sambil berjalan

mendekati Adipati, ia menggendong bayi dengan hati-hati sekali.

Bayi itu sempat merengek sebentar, dan anak kecil itu menggoyang-

goyangkan gendongannya pelan-pelan.

Sementara itu, terjadi sesuatu keanehan yang mengerikan.

Orang-orang Rukmini dan Rukmininya sendiri menjerit kesakitan.

Mereka sampai terguling-guling di tanah dan saling memekik histe-

ris. Suasana menjadi ramai. Anak kecil masih bersiul. Mereka

semakin melengking berteriak. Darah mengucur dari lobang telinga

mereka. Kemudian mereka sama-sama menjerit tinggi dan panjang:

"Aaaaaahh...!!"

Ada asap mengepul dari kepala mereka, yang kemudian

membuat mereka tak bergerak lagi. Kepala mereka masing-masing

menjadi retak. Rengat, bagai hendak meledak. Tapi anak kecil itu

berhenti bersiul. Suasana jadi sepi. Hening. Darah berhamburan di

mana-mana. Mahesa, Kebo Jagal dan teman-temannya termasuk

Turonggo sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan kepala rengat

mengerikan, berlumur darah hitam.

"Adipati...." kata anak berumur 10 tahun itu. "Ini bayimu.

Dia selamat...!"

Adipati segera menerima uluran tangan anak itu, dan

mendekap bayinya kuat-kuat. Ia menciumi bayi itu dengan senyum

keharuan yang amat bahagia.

"Terima kasih.... Terima kasih kau telah selamatkan

putraku...." kataAdipati.

Orang-orang mengerumuni bocah bercelana hitam, dan

telajang dada. Ia berkalung katapel dari kayu dan alas batunya dari

kulit binatang yang berbulu putih. Anak itu berambut cepak, pendek


namun tak terlalu acak-acakan. Matanya jeli, alisnya tipis, tapi bulu

matanya lebat. Lentik. Ia tersenyum-senyum malu ketika

dikerumuni para prajurit yang masih terheran-heran.

"Siapa kau sebenarnya, Nak?" tanya Adipati.

"Namaku Tole!" jawab anak itu tanpa basa basi.

"Bukan Suro Bodong...?" tanya salah seorang prajurit.

"Sama saja!" jawab anak itu.

"Sama saja bagaimana?" Adipati meminta penjelasan. "Tadi

kulihat Suro Bodong melompat dan bersalto tiga kali, tahu-tahu ia

hilang dan muncul kamu."

Tole menjawab, "Itulah aku. Adipati. Kalau aku bersalto di

udara, tanpa menyentuh tanah, sebanyak tiga kali, maka aku akan

menjadi seperti ini. Namaku Tole. Bagus, ya?"

Beberapa orang ada yang tertawa. Ada yang bertanya, "Tiga

kali menjadi seperti ini, kalau lima kali menjadi apa, kamu? Bayi?"

"Menjadi seorang kakek," jawab Tole. "Aku bisa berubah

ujud sampai tujuh kali, Paman. Tergantung berapa kali aku bersalto,

melingkar-lingkar di udara. Kalau aku bersalto ke udara satu kali,

maka aku akan berubah menjadi Suro Bodong lagi. Tapi jangan

tanya, kenapa aku bisa begitu. Sebab aku sendiri tidak tahu, kenapa

aku punya ilmu begitu."

"Cobalah bersalto satu kali...!" perintah Adipati.

Tole menjawab, "Kau selalu ragu, Adipati. Itu tidak baik,

sebab kata orang: manusia yang suka ragu-ragu, ia tidak akan

menemui keberhasilan. Walaupun sebenarnya aku juga suka ragu-

ragu," Lalu Tole meringis. Orang-orang tertawa pendek. Tole

melangkah, menjauhi mereka, dan ia segera menghentakkan

kakinya ke tanah, melesat ke atas serta bersalto satu kali putaran.

"Hah...?! Dia jadi Suro Bodong lagi?!" teriak Sanggu.

Suro Bodong tersenyum. Ia garuk-garuk kumisnya yang

lebat. Lalu berkata:

"Adipati... tugasku telah selesai. Semoga kau berbahagia

dengan putramu itu. Sekarang tugasku adalah melanjutkan

perjalanan, mencari Rara Prawesti. Selamat pergi, Adipati!"

'Terima kasih. Pendekar... Pendekar Tujuh Keliling..?" kata

Adipati yang membuat orang-orang tertawa dan melambaikan

tangan.



                        SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar