..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

PENDEKAR BLOON EPISODE BAYANG BAYANG KEMATIAN

PENDEKAR BLOON EPISODE BAYANG BAYANG KEMATIAN

 Cerita ini adalah fiktif

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan 

belaka.

BAYANG-BAYANG 

KEMATIAN

Oleh : D. AFFANDY

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

Cetakan Pertama : 1993

Setting Oleh : M. Yohandi

Hak penerbitan ada pada penerbit 

Mutiara

Dilarang mengutip, mereproduksi 

dalam bentuk apapun

Tanpa ijin tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Blo'on

Dalam episode Bayang-Bayang 

Kematian



SATU


Berdirinya sebuah singgasana 

kecil di gunung Bromo dengan sepak 

terjangnya yang ganas tanpa pandang 

bulu, telah menarik perhatian seorang 

tokoh sesat dari daerah Ponorogo. Ia 

seorang laki-laki memakai baju hitam 

ikat kepala warna hitam. Tubuhnya 

tinggi semampai berotot.

Rambut, kumis jambang dan jenggot 

berwarna hitam. Walaupun umurnya sudah 

mencapai hampir enam puluh tahun. Tapi 

ia kelihatan masih gagah, langkahnya 

tegap. Wajahnya yang angker hampir 

tanpa senyum, karena memang sepanjang 

hidupnya ia tidak pernah tersenyum.

Adapun tujuan laki-laki ini 

adalah ingin bergabung dengan penguasa 

gunung Bromo. Yang kabarnya merupakan 

tokoh-tokoh aliran hitam yang sangat 

kuat di samping memiliki jago-jago 

bayangan sekaligus pengawal-pengawal 

dalam jumlah tidak terbatas. 

Sudah empat hari Warok Batiroso 

melakukan perjalanan bersama gemblak-

nya (Gemblak istri yang terdiri dari 

kaum sejenis). Bila sang gemblak ini 

letih, tidak segan-segan Warok 

menggendongnya. Ia sangat sayang pada 

Gemblak ini karena wajahnya yang 

sangat tampan disamping memiliki 

ilmu silat tinggi.

"Hari sudah siang. Kurasa gunung


Bromo tidak jauh lagi dari sini, 

istriku. Aku jadi ingin cepat-cepat 

sampai ke sana!"

"Jangan terlalu berambisi, Kakang 

Warok. Lihatlah ke langit, Undan milik 

kita masih jauh tertinggal di 

belakang. Kakang lari laksana terbang, 

tidak tahu siang tidak perduli malam!"

"Undan (Sejenis burung bangau 

berbulu hitam, tapi besar bukan main) 

kita itu semakin tua semakin lamban. 

Terkadang aku malas membawanya serta. 

Tapi binatang itu selalu ngotot dan 

mau ikut juga ke mana aku pergi!" 

Warok Batiroso mengomel. Dalam 

hidupnya sang Undan merupakan makhluk 

kedua yang sangat dia sayangi setelah 

Gemblaknya sendiri. Sekaligus binatang 

ini merupakan pengawal setianya.

"Jangan terlalu tergesa-gesa. 

Tidak akan lari gunung dikejar. Ada 

baiknya jika kita istirahat dulu!"

Kening Warok Batiroso mengerut 

dalam ia melirik pada sang Gemblak

bernama Panaran itu. Kemudian seraya

anggukkan kepala tanda setuju, Warok 

Batiroso mengambil buli-buli tuaknya. 

Kemudian menikmatinya seteguk demi 

seteguk. Sang Warok kemudian menyo-

dorkan daging panggang yang mereka

bekal sejak dari Ponorogo beberapa 

hari yang lalu.

Sedang mereka istirahat melepas

lelah, di atas mereka tiba-tiba


terdengar suara menggemuruh seperti 

angin puting beliung.

Tanpa melihat sekalipun tentu 

sang Warok sudah tahu bahwa suara itu 

timbul akibat kepakan sayap sang 

Undan. Hanya anehnya kali ini binatang 

yang sangat besar itu menguik keras. 

Suaranya berisik memekakkan gendang-

gendang telinga.

Ini adalah sebuah kebiasaan 

sebagai isyarat bahwa di tempat itu 

ada orang lain selain mereka berdua. 

Warok Batiroso tiba-tiba mendongak ke 

langit.

"Turunlah kekasihku. Jika penda-

tang bermaksud baik tentu ia tunjukkan

diri. Kalau cari penyakit, tuanmu ini

tidak segan-segan mengirimnya ke 

neraka!" 

"Ngiiiiikkh...!"

Sang Undan memperdengarkan suara 

menguik keras. Sayapnya dikepak-

kepakkan hingga menimbulkan deru angin 

yang sangat keras.

Dalam pada itu di balik kerim-

bunan pohon terlihat seorang gadis 

cantik dengan tahi lalat di dagu dan 

berbaju kuning gading melompat keluar. 

Dan hanya beberapa kali lompatan saja 

gadis itu telah berada di depan Warok 

Batiroso.

Laki-laki berbadan tegap ini 

memandang kehadiran si gadis dengan 

tatapan tidak suka. Ketika ia bicara,


suaranya serak sember.

"Katakan apa maumu? Mengapa 

mengintip orang yang sedang melepas 

lelah?"

Gadis berbaju kuning gading yang 

tidak lain adalah Dewi Bulan ini 

tersenyum. Seraya memandang Panaran 

sekejap, setelah itu menoleh ke arah 

Undan yang terus berputar-putar liar 

di udara.

"Aku bukan mau mengintipmu, 

Kisanak! Aku sedang pergi menuju ke 

suatu tempat tidak jauh lagi dari 

sini. Jadi teruskanlah istirahatmu, 

aku akan meneruskan perjalananku!"

Dewi Bulan baru saja hendak 

melanjutkan perjalanannya ketika di 

belakangnya terdengar suara membentak.

"Berhenti...!"

Mau tidak mau gadis ini hentikan 

langkahnya tapi tidak menoleh ke 

belakang.

"Kalau ingin bicara, bicaralah, 

aku tidak punya banyak waktu!"

"Gadis sombong! Kau hendak ke 

mama, katakan tujuanmu! Bukankah 

tempat terdekat dari sini adalah 

gunung Bromo? Apakah kau mau ke sana?"

"Pertanyaanmu banyak sekali. Mana 

yang harus kujawab?"

"Jangan banyak mulut! Katakanlah 

ke mana tujuanmu!"

"Aku mau ke gunung Bromo. Apakah 

itu sudah cukup?"


"Lagakmu tengil seperti bayi 

kebesaran upil! Aku tahu kau pasti 

minta ingin bergabung dengan penguasa 

gunung Bromo. Hak hak hak! Tujuan kita 

sama. Jika kita punya nasib baik, 

tentu kelak kita bisa bersahabat!"

Maka tertawalah Dewi Bulan 

mendengar ucapan si baju hitam.

"Siapakah namamu, Kisanak?"

"Mengapa kau tanya nama? Aku 

Warok Batiroso dari Ponorogo."

"Warok sama dengan jagoan jika 

menyimpang dari kodratnya. Terus 

terang, Kisanak. Aku pergi ke gunung 

Bromo justru untuk menagih hutang 

nyawa pada para iblis yang bercokol di 

sana. Jadi tujuan kita jelas jauh

berbeda"

Warok Batiroso terkesiap men-

dengar ucapan Dewi Bulan. Sebaliknya 

Undan yang terus terbang berputar-

putar di atas Dewi Bulan mencuik 

keras. Kepakan sayapnya pang keras 

saja membuat pakaian Dewi Bulan 

berkibar-kibar. Dan muka gadis itu 

terasa perih bukan main.

"Hmm, kita punya tujuan berbeda. 

Jauh dari tanah kelahiran aku telah 

berjanji untuk menghambakan diri pada 

mereka. Walaupun mereka belum menerima 

kehadiranku. Adalah pahala besar jika 

aku membunuhmu untuk mereka!" geram 

sang Warok.

Dalam pada itu sang gemblak pun


menimpali pula. "Bagus, bunuh saja, 

Kakang. Jika tidak dibunuh sekarang 

nanti pun jadi penyakit bagi kita!"

"Heee... kau. Manusia salah 

kaprah yang menyalahi kodratnya. Cap 

lonceng lawan cap lonceng. Jangan ikut 

campur jika tidak ingin mampus!" 

damprat Dewi Bulan sengit,

Disindir begitu Panaran rupanya 

tidak terima. Ia bangkit berdiri lalu 

cabut keris pendek berwarna hitam dari 

balik bajunya. Sebelum laki-laki ini 

bertindak, Warok Batiroso mencegah.

"Jangan buang-buang keringat 

istriku! Untuk membunuh bocah tengil 

ini, paman Undan sudah cukup mewakili 

kita."

Warok Batiroso tiba-tiba menjen-

tikkan tangannya. Undan yang berputar-

putar di atasnya menguik keras. 

Tubuhnya berputar-putar melayang ren-

dah. Isyarat yang diberikan oleh sang 

majikan itu rupanya sangat dimengerti 

oleh sang Undan sebagai isyarat 

membunuh.

Bukan main cepatnya gerakan 

burung besar ini. Dalam waktu yang 

singkat sekali ia sudah menyambar 

dengan paruh terbuka ke arah Dewi 

Bulan.

Gadis ini terkesiap. Sambaran 

angin yang sedemikian keras itu saja 

sudah membuatnya tergontai-gontai.

Ia terpaksa melompat sambil


berguling-guling. Dewi Bulan selamat 

dari patukan paruh sang Undan yang 

panjang dan runcing. Tapi kepakan 

sayapnya membuat dada sang dara 

seperti terhimpit batu gunung.

Dewi Bulan tiba-tiba saja mem-

bentak keras. Ia hantamkan dua 

tinjunya ke depan. Seleret sinar biru 

melesat dari telapak tangannya. Sinar 

yang disertai deru angin ini panas 

bukan main. Tapi seperti sudali 

mengerti bahaya yang mengancamnya 

saja, Undan ini kepakkan sayapnya yang 

lebar. Hingga pukulan yang dilepaskan 

oleh Dewi Bulan buyar, mental dan

sebagian lagi berbalik nyaris 

menghantam diri sendiri. 

Gadis itu berguling-guling. 

“Bumm! Bumm!"

"Kurang ajar!" gerutunya dalam 

hati.

Dewi bangkit berdiri. Kali ini ia 

mencabut pedang pendek dari ping-

gangnya. Pedang danda ini diputarnya 

sedemikian rupa hingga menimhulkan 

suara menderu-deru dingin sekali.

Di tangannya pedang kembar itu 

seakan berubah menjadi banyak. Warok 

Batiroso tergelak-gelak. Namun kagum 

juga melihat permainan pedang si gadis 

yang begitu cepat dan berbahaya itu. 

Jika saja hanya orang yang mempunyai 

kepandaian biasa yang melihat 

permainan pedang Dewi tentu mereka


tidak dapat membedakan yang mana 

bayangan dan yang mana aslinya. Tapi 

karena Warok Batiroso tertokol berke-

pandaian tinggi dan sangat terkenal di 

daerahnya. Jadi permainan serta jurus-

jurus pedang Dewi hanya berupa 

gerakan-gerakan yang sangat menga-

gumkan.

"Bunuh!" Teriak Warok Batiroso 

pada Undan yang terus berputar mencari 

kelemahan jurus pedang 'Kupu-Kupu 

Menari Di Atas Bunga Matahari' 

tersebut.

"Keeek! Kreeekkh!"

Undan itu memekik keras mengge-

tarkan dada Dewi. Sayapnya kembali 

mengepak membelah udara memedihkan 

mata.

Dewi mengerahkan tenaga dalanmya 

untuk melindungi sekujur tubuhnya dari 

hantaman sayap sang burung. Tidak lama 

kemudian ia menggenjot tubuhnya, 

hingga sekejap saja tubuhnya telah 

melayang di udara. Karena burung itu 

terbang rendah, begitu pedang pendek 

di tangan Dewi berkiblat, maka angin 

menderu disertai sinar putih berkiblat 

menebas.

Namun Undan itu telah mengangkat 

sayapnya sehingga tebasan pedang Dewi 

luput. Gadis itu tidak mau ambil 

resiko. Ia alihkan pedang ke tangan 

kiri. Lain tangannya menghentak ke 

atas. Pada saat burung itu melayang,


pukulan Gempa Merbabu menghantam.

"Brass!"

"Kreaaakkh!"

Tubuh sang Undan terguncang. Dewi 

melesat turun dan menjejakkan kedua 

kakinya di tanah dengan mulus sekali.

Undan tersebut agaknya menjadi marah 

sebagaimana pemiliknya. Ia terbang 

tinggi, hingga bentuknya berubah 

mengecil. Hanya dalam sekedipan mata, 

binatang yang sudah sangat terlatih 

itu menukik turun. Bukan main gerakan 

burung besar ini. Sampai-sampai ham-

pir tidak terlihat kasat mata karena 

cepatnya.

Dewi begitu merasakan sambaran 

angin langsung melompat ke samping.

Tapi kepakan sayap burung yang seakan 

menendang tidak sempat dihindarinya. 

Braak!

"Glebuk!"

Dewi jatuh terguling-guling. Ia 

merasa dada dan punggungnya seperti 

remuk. Warok Batiroso melihat ini 

terlonjak girang dan semakin 

bersemangat.

"Bunuh dengan perahumu!" perin-

tahnya.

"Kreaakk...!"

Sang Undan menyahuti dengan 

pekikan keras. Ia tidak lagi berputar. 

Melainkan terbang serendah-rendahnya 

sambil mematuk dahsyat ke arah batok 

kepala Dewi.


Gadis ini pasti akan kehilangan 

kepalanya jika pada saat yang sangat 

kritis itu tidak melesat sebuah benda 

berwarna hitam panjang menderu kencang 

ke arah paruh sang burung.

Begitu kencangnya hingga Undan 

itu sendiri tidak sempat melihat 

bahaya ini.

"Taak!"

"Kreaakkkk...!"

Sang Undan menjerit keras ketika 

benda hitam menghantam ujung paruhnya. 

Patukannya gagal, selain itu ia 

golang-golengkan kepalanya karena 

didera rasa sakit bukan kepalang. 

Terbangnya menjadi oleng, lalu 

membumbung tinggi semakin bertambah 

tinggi hingga lenyap dari pandangan 

mata.



DUA



Kejut hati Warok Batiroso bukan 

kepalang. Seseorang yang bisa me-

nyerang burung perkasanya itu tentu 

merupakan mereka yang mempunyai 

kepandaian tinggi. Tapi ketika ia 

melihat ke samping kiri, orang yang 

berdiri di situ sambil cengar-eongir 

bertolak pinggang hanya seorang pemuda 

berambut hitam kemerahan bertampang 

tolol. Sungguh pun ia harus mengakui 

bahwa pemuda itu lebih tampan dari 

Gemblaknya sendiri.


"Tidak ada hujan tidak ada angin. 

Hanya orang gila yang cari penyakit 

kalau berani mencampuri urusan orang 

lain!" bentak Warok Batiroso.

"Karena gadis baju kuning itu 

kawanku. Masak aku harus melotot saja 

melihat dia kehilangan kepala?"

"Hmm, rupanya kau kawannya?"

Suro Blondo garuk-garuk kepala, 

lain memandang pada Dewi Bulan yang 

melotol, kepadanya.

"Bagus, kurasa tujuanmu tidak 

jauh beda dengan tujuan gadis ini. 

Sebutkan namamu dan apa gelarmu?"

"Gelar tidak perlu, namaku Suro 

Blondo!" kata Pendekar Blo'on.

"Heh...! Rupanya kau yang dika-

barkan sebagai anak ajaib yang 

terlahir pada malam satu Asyuro 

delapan belas tahun yang lalu? 

Kebetulan sekali aku ingin tahu apa 

kehebatan yang tersimpan di balik nama 

dan kelahiran yang menggemparkan 

dulu!" geram Warok Batiroso hampir 

tidak dapat menahan tawanya.

"Ha ha ha! Yang membuat gempar 

adalah tikus-tikus sesat sepertimu. 

Mereka kemaruk ingin punya murid 

sepertiku. Heh... apakah kau tidak 

kasihan membawa-bawa istrimu yang 

bunting itu?"

Merasa disindir begitu rupa, baik 

Warok Batiroso dan Panaran jadi sangat 

tersinggung sekali.


"Keparat!"

Warok Batiroso hendak mengemplang

kepala Suro. Tapi pemuda ini mena-

hannya

"Tunggu?" 

"Apa lagi?"

"Bertarung dengan manusia ajaib 

seperti ku ada waktu dan batasnya. 

Kalau waktu yang sudah sama-sama kita 

sepakati telah berakhir. Artinya kau

kalah jika tidak mampu merobohkan 

aku. Sebaliknya jika kau memang aku 

bersedia menjadi kacungmu"

"Kalau aku kalah?"

"Kalau kalah kau harus menyem-

bahku tujuh kali setelah itu segera 

merat dari hadapanku!"

"Ha ha ha!" Warok Batiroso 

tergelak. Ia yakin dengan kemam-

puannya. Pemuda di depannya walau tadi 

sempat ia lihat kehebatannya pasti 

tidak sampai lima jurus ia akan 

menjadi pecundang. Apalagi mengingat 

wajah pemuda itu tampan. Paling tidak 

jika ia dapat mengalahkannya, selain 

Warok punya kacung pemuda itu dapat 

pula dijadikan selirnya.

"Bagaimana, apakah kau setuju?" 

tanya Pendekar Blo'on.

"Setuju. Berapa jurus kau 

tawarkan?"

"Sepuluh," jawab Suro Blondo.

"Aku menawar lima."

Pendekar Blo'on menyeringai,


kemudian tertawa sambil pencongkan 

mulutnya. "Kau menawar paling sedikit, 

jangan menyesal nanti kalau juraganmu 

ini harus mengemplang kepalamu pulang 

pergi, Warok...!" 

"Banyak mulut!" 

"Tuuing...!"

Warok mengemplang mulut si 

pemuda. Tapi Suro sudah tarik mulutnya 

ke belakang. Lalu ia geser langkahnya 

ke samping kiri. Tinjunya menghantam 

dada sang warok. Laki-laki ini menepis 

dengan gerakan ringan tapi tangan 

dialiri tenaga dalam tinggi. Suro tak 

mau mengambil resiko. Lalu putar

tangan ke samping. Tendangan kaki 

kanan menghantam perut.

Warok Batiroso terkejut sekali. 

Ia melompat ke belakang. Justru pada 

saat si pemuda hantamkan lagi 

tangannya ke dada lawan.

Tendangan dapat dihindari, tapi 

tinju lawannya menghantam telak dada 

sang Warok.

Karena hantaman itu cukup keras, 

Warok biar pun badannya besar tetap 

saja terhuyung ke belakang. Merah 

wajahnya menerima kenyataan ini. Ia 

kertakkan rahangnya, lalu tangan kanan 

diputar cepat. Inilah jurus 'Kalinding 

Bencana'. Sebuah jurus andalan yang 

sangat diyakini kehebatannya.

Serasa tangan lawan semakin lama 

semakin bertambah cepat. Hingga tangan


,yang berputar dan menimbulkan 

gelombang angin menderu-deru ini 

semakin lama seakan berubah menjadi 

banyak.

Pendekar Blo’on telah kerahkan 

jurus 'Kera Putih Memilah Kutu' Salah 

satu jurus konyol warisan gurunya 

Penghulu Siluman Kera Putih.

Seketika tubuh si pemuda 

terhuyung-huyung. Tangan kirinya tidak 

henti menggaruk sana-sini. Sedangkan 

tangan kanan moncecar mata sang Warok. 

Kaki si pemuda terus bergerak lincah. 

Terkadang posisinya setengah berjong-

kok sambil melompat-lompat. Tapi 

begitu serangan lawan semakin meng-

hebat, ia berguling-guling sambil 

menunjuk-nunjuk ke langit.

Bibir si pemuda berkomat-kamit. 

Terkadang keluar suara mendesis atau 

ngak ngik nguk seperti suara seekor 

monyet yang ribut. Lalu dalam keadaan 

tetap berguling-guling itu ia mele-

paskan tendangan beruntun menyapu kaki 

sang Warok.

Serangan-serangan gencar yang 

dilakukan oleh Warok Batiroso selalu 

luput. Sebaliknya serangan baiik yang

dilakukan oleh lawannya nyaris meng-

hantam tempat-tempat yang berbahaya. 

Tidak ayal lagi, Warok Batiroso jadi 

uring-uringan.

Sementara itu Dewi Bulan juga 

rupanya tidak tinggal diam. Ia


melabrak Panaran gemblak sang Warok

dengan serangan-serangan yang sangat 

ganas. Panaran yang sempat melihat 

Dewi Bulan sempat kucar kacir mendapat 

serangan sang Undan sama sekali tidak 

menyangka. Kini gadis itu berubah 

menjadi hebat tanpa mempergunakan sen-

jata. Kini secara pelan ia menyadari 

bahwa gadis ini mempunyai jurus-jurus 

yang sangat berbahaya bila tidak 

mendapat serangan dari udara.

Dalam waktu singkat pertempuran 

sudah berubah menjadi seru. Sebaliknya 

Panaran sudah mencabut keris kecil 

lekuk tiga begitu mendapat tekanan 

dari lawannya. Keris berwarna hitam 

mengandung racun keji ini menderu-deru 

menimbulkan sinar hitam dan menebar 

bau amis. Pertanda bahwa senjata 

lawannya mengandung racun yang sangat 

keji.

"Aku tidak mungkin bertangan 

kosong terus menghadapi senjatanya 

yang mengandung racun itu," pikir Dewi 

Bulan.

"Sriing! Sring!"

"Heaaa...!"

Dewi Bulan membentak keras, 

tubuhnya melesat ke depan. Sedangkan 

pedang kembar pendek yang baru 

dicabutnya menusuk ke arah leher lawan 

sedangkan satunya lagi menebar ke 

perut Panaran.

Mendapat serangan dahsyat dalam




waktu bersamaan ini sempat terkesiap

juga. Namun laksana kilat ia 

membanting tubuhnya ke samping kiri 

lalu lepaskan tendangan ke pergelangan 

tangan lawannya.

"Duuk!"

"Eeeh...!"

Walau pedang di tangan kanan 

sempat tergetar dan pergelangan yang 

kena tendangan terasa remuk. Tapi 

pedang di tangan kirinya terus melaju 

mengancam dada Panaran. Laki-laki ini 

mengegoskan tubuhnya. Tidak urung....

"Reeek...!"

"Uuh...!"

Panaran mengeluh pendek. Bahunya 

yang kena sambar ujung pedang Dewi 

robek. Selir sang Warok menggerung 

marah. Lalu bangkit berdiri, tanpa 

menghiraukan luka yang dideritanya ia 

menyerang kembali dengan serangan-

serangan yang lebih gencar.

Dewi Bulan tidak mau kalah. Ia 

kerahkan jurus pedang 'Walet Menyambar 

Buih'. Salah satu jurus terhebat 

dengan fungsi menggempur dan bertahan.

"Wukk! Wukk!"

Kilatan sinar pedang itu 

memedihkan mata Panaran. Sinar hitam 

yang memancar dari keris Panaran 

seakan terdorong dan meredup. Hanya 

dalam kejapan mata saja Panaran telah 

terkurung. Di lain saat kerisnya 

membentur pedang di tangan Dewi Keris


mustika itu terpental. Di saat itulah

Pedang di tangan Dewi menempel di 

dadanya. Kalau Dewi Bulan mau, tentu 

jiwa Panaran sudah tidak dapat 

diselamatkan lagi.

"Aku mengaku kalah!" desisnya 

dengan muka pucat ketakutan.

"Lain kali jika bertemu dengan 

kau. Kepalamu akan kupenggal!" dengus 

Dewi Bulan sambil memasukkan pedang ke 

rangkanya.

Sementara itu pertarungan antara 

Warok Batiroso dan Pendekar Blo'on 

sudah mencapai puncaknya. Sang Warok 

yang menjanjikan waktu selama lima 

jurus kini telah melewatinya sampai 

empat puluh jurus. Rupanya ia tetap 

penasaran juga. Karena sejak tadi ia 

hanya mampu membuat lawan jatuh 

tunggang langgang dan muntah darah. 

Sebaliknya Suro Blondo dengan 

mengandalkan jurus-jurus yang kocak 

dan konyol berulang kali menghantam 

sang Warok hingga membuat laki-laki 

ini menderita luka dalam cukup serius.

Tokoh dari Ponorogo ini rupanya 

tidak mau menyerah begitu saja. Kini 

sambil menyeringai kesakitan ia 

keluarkan golok panjang besar, tipis 

tajam mirip golok milik tukang jagal.

"Bocah! Kuakui jurus-jurus

silatmu yang aneh dan dahsyat itu. 

Tapi aku tidak mungkin membatalkan 

niatku untuk bergabung dengan penguasa


gunung Bromo sebelum menjajal 

kehebatan golokku ini!"

"Ha ha ha! Aku bosan tawar 

menawar denganmu, kurasa kau tidak 

akan tepat janji lagi. Mau pergunakan 

Undanmu yang sudah terluka untuk 

mengerokku silakan. Mau pergunakan 

seribu senjata masa bodoh!"

"Kau terlalu memandang enteng 

padaku! Hiyaa...!"

"Aku selalu memandangmu berat dan 

tinggi Warok! Weiit... hampir saja 

ambrol bakul nasiku...!" jerit si 

pemuda sambil melompat ke belakang 

selamatkan perutnya dari hantaman 

golok besar lawannya.

"Wik! Wik! Wik!"

"Ngung! Ngung! Ngung!"

"Eiit! Hampir saja...!"

Suro Blondo bersalto ke udara 

ketika golok di tangan Warok Batiroso 

membabatkan goloknya terarah ke bagian 

kakinya. Masih dalam keadaan berjum-

palitan di udara tanpa diduga-duga 

sang Warok mengejarnya. Tentu sangat 

sulit bagi Suro untuk menghindarkan 

diri dari bahaya. Sehingga ia 

mencabut senjata andalannya berupa 

Mandau Jantan berwarna hitam dari 

balik pakaiannya. Senjata dengan empat 

sisi lubang miring pada bagian 

tengahnya dan mempunyai ujung ganda 

ini menderu membelah udara. Seketika 

terdengar suara rintih tangis yang


menyayat hati. Suara rintihan itu 

berubah menjadi jeritan yang menya-

kitkan gendang-gendang telinga ketika 

si pemuda menyalurkan tenaga dalamnya 

ke gagang Mandau Jantan tersebut.

Warok Batiroso terkesiap, dadanya 

bergetar dan langsung terasa sesak. Ia 

berusaha mengerahkan tenaga dalamnya 

untuk menghilangkan pengaruh aneh yang 

memancar dari senjata lawan. Tapi 

hingga sejauh itu ia tidak mampu juga 

melakukannya.

Warok kiblatkan senjatanya, 

terjadi benturan hingga menimbulkan 

bunga api.

"Raap!"

"Traak! Traak!"

Benturan keras itu membuat 

maaing-masing lawan terpental jauh. 

Warok Batirono jatuh terduduk.

Sedangkan Suro Blondo masih mampu 

menjejakkan kakinya dengan baik di 

atas tanah.

Ketika Warok Batiroso melihat ke 

arah goloknya maka terkejutlah tokoh 

dari Ponorogo ini. Golok mustika di 

tangannya telah terbabat putus menjadi 

dua. Wajahnya berubah pucat, sadarlah 

ia kalau pemuda itu mau sejak tadi 

bukan saja goloknya yang buntung 

menjadi dua, tapi juga kepalanya bisa 

copot dari badannya. 

Ketika ia memandang ke arah si 

pemuda, maka terlihatlah dengan jelas


bahwa pemuda itu baru saja memasukkan

senjatanya yang berbrentuk dan 

mengeluarkan suara aneh tersebut ke 

dalam sarungnya.

Pendekar Blo'on seka keningnya. 

"Apakah kau masih tetap penasaran 

juga, Warok?"

"Hmm, kalau tidak melihatnya 

sendiri mana aku bisa percaya. Kau 

masih muda tapi sudah mempunyai 

kepandaian beragam. Ternyata kau me-

mang bukan pemuda lemah. Kepandaianmu 

mustahil dapat kuimbangi walau aku 

belajar lima belas tahun lagi. Aku 

mengaku kalah padamu, sesuai janjiku 

aku membatalkan niatku untuk bergabung 

dengan penguasa gunung Bromo. Di 

mataku, kau pantas menyandang gelar 

Pendekar Blo'on...."

"Ha ha ha...! Untuk menerima 

julukan yang sama, berarti aku harus 

memotong kambing lagi. Apa pun yang 

kau katakan, kuharap kau tidak 

melupakan janjimu...!"

"Oh tentu saja tidak!" Warok 

Batiroso tiba-tiba menjatuhkan diri 

dan berlutut sebanyak tujuh kali.

Ketika sang Warok bangkit kembali, 

seraya berkata: "Jika kau menjambangi 

Ponorogo dan dapat kesulitan. Kau 

cukup menyebut namaku dan orang tidak 

ada yang berani mengganggumu!"

"Hmm, aku berterima kasih sekali. 

Semoga kau panjang umur, Ki. Banyak


rejeki, enteng jodoh, panjang rambut, 

panjang kumis dan panjang pula kau 

punya...!" ujar Suro Blondo sambil 

garuk-garuk kepalanya.

Sesungguhnya Warok Batiroso 

mendongkol juga mendengar ueapan si 

pemuda yang dianggapnya setengah 

miring ini. Tapi mau apa, dia sudah 

kalah dan harus tahu diri dengan 

angkat kaki.

Tanpa menunggu jadi bahan olokan 

selanjutnya, Warok Batiroso langsung 

pergi dengan menggendong Panaran di 

pundaknya.

Pendekar Blo'on memandangi keper-

gian Warok Batiroso sambil tersenyum-

senyum.

"Dunia ini benar-benar sudah tua 

apa manusianya yang semakin edan. 

Perempuan tidak kalah banyaknya. Kok 

kawin batangan lawan batangan? Seperti 

orang main Toya saja. Ha ha ha... 

gila... gila bukan main-main...!" 

Pemuda itu tertawa-tawa seperti orang 

miring. Namun bila ia teringat 

sesuatu, maka Suro Blondo celingukan.

"Aku kecolongan. Gadis baju 

kuning itu. Ahh...." Si pemuda tepuk 

keningnya berulang-ulang "Siapa 

namanya? Dewi... Dewi Bulan bintang. 

Dewi Dewa atau Dewi Saritem. Ah… Dewi 

Bundar, Dewi Bulan...! Ke mana dia 

pergi?"

Pendekar Blo'on memperhatikan


suasana sekelilingnya. Tapi di tempat 

itu sepi seperti kuburan 

"Aku yakin Dewi telah pergi ke 

gunung Bromo. Kupanya ia tidak mau 

kuikuti. Padahal aku punya urusan 

hampir sama. Dia pergi ke sarang macan 

sendirian. Bagaimana jika terjadi 

sesuatu yang tidak diinginkan. Hmm, 

hatiku mengapa berdebar-debar begini. 

Adik bukan, ibu bukan... mengapa aku 

mengkhawatirkan keselamatannya?"

Suro Blondo mondar-mandir di 

tempat itu, setelah berpikir agak lama 

ia kemudian mengambil kesimpulan.

"Sebaiknya aku susul dia. Siapa 

tahu dia benar-benar dalam kesulitan," 

pikir Suro Blondo.

Pemuda ini kemudian berlari-lari 

m-ninggalkan daerah berbukit itu 

dengan mempergunakan ilmu lari cepat 

Kilat Bayangan. Sehingga dalam waktu 

singkat ia telah hilang dari pandangan 

mata.



TIGA



Pada sebuah lereng sebelah timur 

gunung Bromo terdapat sebuah bangunan 

megah berwarna biru. Bangunan itu 

selain menjulang tinggi dengan 

beberapa menara pengawas di atasnya 

juga cukup luas. Sehingga dilihat 

sepintas lalu mirip dengan sebuah 

istana kerajaan. Pada setiap menara


yang berjumlah delapan buah ini 

terdapat pengawal paling sedikit tiga 

orang bersenjata panah, yang sewaktu-

waktu siap dibidikkan. Karena bangunan 

itu dikelilingi sebuah benteng tinggi, 

mustahil orang dapat memasukinya 

terkecuali dari pintu gerbang depan 

yang menghadap ke lereng gunung.

Waktu itu hari telah menjelang 

malam ketika sosok bayangan berpakaian 

serba kuning mengendap-endap di luar 

benteng. Melihat gerakannya yang 

sangat hati-hati, jelas bayangan ini 

sengaja menghindari bentrok dengan

regu pemanah yang bertugas di menara 

pengawas.

Setelah memastikan dalam keadaan 

aman. Tidak lama setelah itu ia 

menggenjot tubuhnya malompati tembok 

benteng setinggi hampir dua setengah 

tombak itu. Gerakannya enteng seringan 

kapas. Menandakan bahwa orang ini 

mempunyai ilmu meringankan tubuh yang 

sudah cukup sempurna. Setelah dua 

kakinya menjejak tembok, ia mengawasi 

suasana di dalam benteng. Ternyata 

keadaan di sana dalam keadaan lengang. 

Kalau pun ada pengawal, mereka sedang 

duduk-duduk minum tuak keras. Bahkan 

ada pula diantara mereka yang sedang 

main kartu. Merasa keadaan dalam 

suasana aman-aman saja, maka bayangan 

kuning yang ternyata merupakan seorang 

gadis cantik ini melayang turun. Sama


seperti pertama tadi, kini gerakannya 

pun ringan tidak menimbulkan suara.

Tapi tanpa diduga-duga, begitu 

kedua kakinya menjejak ke tanah, dua 

orang laki-laki berbadan tambun dan 

bertelanjang dada langsung menghan-

tamnya dengan jotosan.

"Pengacau goblok ingin cari 

penyakit!" dengus salah seorang 

diantara mereka. Suaranya serak 

seperti dicekik setan.

Dengan gesit sekali gadis baju 

kuning yang ternyata Dewi Bulan ini 

menggeser wajahnya ke samping hingga 

pukulan itu luput. Tapi lawan yang 

satunya lagi sudah mencabut senjatanya 

berupa kaitan berbentuk bengkok namun 

dua sisinya memiliki ketajaman luar 

biasa.

Hingga sejauh ini Dewi Bulan 

melayani mereka dengan jurus-jurus 

tangan kosong. Sementara itu terdengar 

suara teriakan-teriakan orang yang 

terlibat pertarungan. Maka para 

pengawal lainnya berhamburan menda-

tangi. Mereka segera mengurung Dewi 

Bulan dengan sikap waspada. Menghadapi 

dua orang berbadan tambun ini, semakin 

lama Dewi Bulan kehilangan kesabaran. 

Apalagi mengingat senjata mereka yang 

berbentuk aneh itu berulang kali 

nyaris membuat robek badannya.

"Triing!"

"Wiing!"


"Hiyaa...!"

Sekali bergebrak ia langsung 

mengerahkan jurus 'Mentari Redup Di 

Kaki Bukit'. Ini adalah salah satu 

jurus yang sangat diandalkannya. 

Rupanya Dewi tidak ingin membuang-

buang waktu, mengingat musuh yang 

dihadapi terlalu banyak jumlahnya.

Sebaliknya dua lawan yang 

berbadan tambun ini begitu bernafsu 

untuk meringkus Dewi. Karena sudah 

menjadi peraturan di situ siapa yang 

dapat meringkus lawan dalam keadaan 

hidup akan mendapat hadiah yang cukup 

besar. Kedua laki-laki itu secara 

berbareng langsung menggempur sambil 

babatkan senjata unik di tangannya.

Dengan pedang kembar di tangan, 

Dewi menangkis. Terdengar suara 

berdentang dua kali berturut-turut. 

Bunga api sampai memijar. Ini 

merupakan tanda masing-masing lawan 

mereka sama-sama mengerahkan tenaga 

dalamnya. Dewi sendiri tangannya 

terasa linu, pedang hampir terlepas. 

Ia maju dan langsung menyeruak dengan 

mengerahkan serangan yang sangat 

mematikan.

Salah satu dari lawan berusaha 

menghalau serangannya. Tapi ia tidak 

sempat lagi babatkan senjatanya karena 

senjata Dewi meluncur deras membeset 

lehernya.

"Jres!"


"Wuaakkh...!"

Jeritannya terputus bersama 

putusnya pangkal tenggorokan. Darah 

menyembur, si tambun memegangi leher-

nya yang hampir putus. Melihat ini 

kawannya menjadi kalap. Ia menyerang 

secara membabi buta. Kenyataan ini 

tentu saja menguntungkan Dewi. Semen-

tara yang satunya meregang ajal, 

sedangkan yang ini bagaikan banteng 

terluka terus mendesak lawannya.

Bukan main gesit gerakan Dewi 

Bulan. Dengan lincah ia menghindari 

setiap serangan yang datang.

Karena serangan-serangannya sela-

lu mengenai sasaran kosong, laki-laki 

tinggi besar ini menggembor marah.

Dengan kedua tangannya ia ayunkan 

senjata berbentuk kaitan itu.

"Wuuk! Wuuk!"

Dewi berkelit sambil merundukkan 

kepala. Tangan kiri menghantam ke 

depan. Pedangnya hanya menyambar 

angin. Karena lawan sudah menarik 

tubuhnya ke belakang. Tidak kalah 

cepat pedang di tangan kanan Dewi 

menyusul dan begitulah seterusnya.

"Traaang!"

Pedang itu membentur senjata si 

tambun, hingga untuk yang kesekian 

kalinya tubuh mereka sama-sama 

tergetar. Jika si tambun mundur 

sebaliknya Dewi merangsak maju.

Laki-laki berbadan besar ini


terkesiap. Ia sudah tidak dapat lagi 

selamatkan diri ketika pedang pendek 

di tangan Dewi Bulan menembus dadanya. 

"Bleess!"

"Raaaakh!"

Karena pedang tersebut diputarnya 

sedemikian rupa. Maka ketika dicabut, 

perabotan dalam perut si tambun ikut 

terbetot keluar. Laki-laki itu melo-

tot, lidahnya menjulur-julur keluar. 

Tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk 

ke tanah dengan jiwa melayang.

Kematian si tambun membuat 

pengawal-pengawal lainnya semakin 

rapat mengurung Dewi bahkan mulai 

mencabut senjatanya masing-masing. 

Pada saat itu pula menyambar angin 

yang begitu lembutnya. Dewi baru 

menyadarinya ketika sebuah tangan 

menyapu dadanya.

"Eeh...!" Dewi terkesiap dan 

lontarkan makian. Karena secara kurang 

ajar bayangan yang bergerak laksana 

kilat tadi meremas buah dadanya. Tapi 

ia jadi terkejut karena ternyata 

selain tidak mampu bersuara, Dewi juga 

tidak dapat menggerakkan tubuhnya. 

Nyatalah sudah bahwa ia ditotok oleh 

lawannya dengan cara yang sangat aneh 

sekaligus kurang ajar.

"Ha ha ha...! Tamu yang tidak 

diundang ternyata seorang perempuan 

cantik dan menawan sekali. Hari ini 

aku Ki Rambe Edan dan kawan-kawan


benar-benar ketiban rejeki yang sangat 

istimewa!"

Dewi memandang laki-laki tua 

bertampang angker yang berdiri tidak 

jauh di depannya dengan mata tidak 

berkesip sedikit pun. Melihat betapa 

hormatnya para pengawal yang berada di 

sekitar situ, jelas sudah bahwa laki-

laki berhidung besar ini merupakan 

salah seorang pemimpin di situ. Inilah 

pembunuh orang tuanya. Betapa marahnya 

dia, tapi dalam keadaan tertotok 

begitu rupa, mustahil ia dapat berbuat 

banyak. Bisa-bisa keselamatannya 

sendiri pun dalam keadaan terancam. 

Tanpa sadar wajah si gadis berubah 

merah padam. Ia terlalu gegabah 

memasuki benteng istana yang dibangun 

atas cucuran darah dan keringat rakyat 

ini. Seharusnya ia bicara dulu dengan 

pemuda konyol yang telah menolongnya 

dari amukan Undan Warok Batiroso. Jadi 

bukan meninggalkannya begitu saja. 

Kini ia benar-benar berada dalam 

kesulitan yang sangat besar. Apalagi 

mengingat kawan-kawan Ki Rambe Edan 

telah berkumpul di situ. Dan semuanya 

merupakan orang yang telah menyebabkan 

kematian orang tuanya.

"Gadis secantik bidadari ini 

rasanya jarang kita temui di sini. Ia 

datang menyerahkan diri, Kakang. 

Alangkah baiknya jika kita mulai 

segala-galanya untuk menemani pesta


tuak wangi!" kata yang berperut bundar 

sambil usap-usap perutnya.

"Kurasa dia masih benar-benar 

tulen. Kakang Rambe... kami mendapat 

jatah sisanya setelah Kakang pun 

rasanya sangat terima kasih sekali!" 

ujar yang bermuka bengis sambil lalu 

membelai-belai wajah Dewi Bulan

"Manusia sesat haram jadah. 

Kalian semua akan merasakan pemba-

lasanku yang sangat pedih jika sampai 

berbuat macam-macam padaku!" maki Dewi 

Bulan. Tapi suaranya sama sekali tidak 

terdengar.

Sementara itu Ki Rambe Edan sudah 

memberi perintah.

"Bawa dia ke kamarku! Aku ingin 

melihat kebagusan tubuhnya yang halus 

mulus ini!"

Dengan senang hati, Baja Geni 

memanggul Dewi Bulan memasuki istana 

mereka. Sepanjang jalan menuju istana 

itu tidak henti-hentinya tangan Baja 

Geni menggerayang kian kemari. Dewi 

Bulan yang keras hati ini hanya mampu 

menyumpah-nyumpah dalam hati mengingat 

ia tidak menggerakkan tubuhnya sama 

sekali.

Di luar suasana berubah sunyi 

kembali. Para pengawal pergi ke tempat 

penjagaan masing-masing sambil membi-

carakan ketua dan pemimpin mereka yang

telah mendapatkan gadis cantik yang 

tentu saja segera menjadi korban nafsu bejad mereka.



EMPAT



Di balik rimbunan pohon yang 

memayungi atap genteng bangunan besar 

tersebut. Sepasang mata yang terus 

mengawasi sejak tadi bukan tidak tahu 

apa yang terjadi. Malah matanya sempat 

melotot ketika Ki Rambe Edan secara 

curang menotok Dewi Bulan dengan cara 

meremas payudaranya. Tindakan kurang 

ajar ini membuat pemilik sepasang mata 

sempat garuk-garuk kepala. Dalam 

suasana seperti itu mustahil ia turun 

tangan, sungguh pun baginya keberadaan 

para pengawal tersebut tidak masuk 

dalam hitungan. Hanya kelihatannya ia 

lebih bersikap hati-hati. Dan tidak 

mau gegabah sebagaimana gadis itu.

Kini ia sedang mencari cara untuk 

membebaskan Dewi Bulan. Memang patut 

diakui sebagaimana yang pernah 

dikatakan oleh gurunya, ciri-ciri Ki 

Rambe Edan dan kawan-kawannya. Tidak 

satu pun yang mirip dengan musuh-musuh 

besar yang telah membuatnya yatim 

piatu. Mereka buman opembunuh orang 

tus si pemuda.

Tapi dulu, delapan belas tahun 

yang lalu, tindakan Ki Rambe Edan dan 

kawan-kawannya tidak kalah sadis 

dengan yang dilakukan oleh pembunuh 

kedua orang tuanya. Mereka mengum


pulkan ibu-ibu yang hamil tua di 

gunung Bromo ini juga. Kemudian mereka 

membunuhinya secara semena-mena. 

Termasuk kedua orang tua Dewi itu 

sendiri.

"Belum sepantasnya Dewi Bulan 

turun gunung. Kurasa gurunya orang 

gendeng. Muridnya lebih sinting lagi. 

Wataknya keras, keberaniannya segu-

nung. Cuma ia terlalu ceroboh." Si 

pemuda seka keningnya yang berke-

ringat, padahal udara malam di gunung 

Bromo dinginnya bukan main-main. Lalu 

kejap kemudian ia garuk-garuk 

kepalanya. "Aku harus dapat membebas-

kannya sebelum malapetaka besar 

menimpa diri gadis itu. Eeh... mengapa 

jantungku berdebar-debar. Aku seakan 

tidak rela jika sampai terjadi apa-apa 

dengannya. Padahal... tolol sekali. 

Mengapa aku terlalu merisaukannya?"

Pemuda ini kemudian melompat ke 

atap genteng bangunan. Suasana malam

hari yang gelap benar-benar telah 

menolongnya dari penglihatan para 

pengawal yang berjaga-jaga di menara 

pengawas. Lalu dengan gerakan seringan 

kapas ia terus mengendap-endap sambil 

memasang telinganya.

Di tengah-tengah atap genteng ia 

berhenti. Ia mendengar suara orang 

bercakap-cakap sambil tertawa. Lalu...

"Gluk! Gluk! Gluk!"

"Yang kudengar pasti bukan suara


kuda lagi minum atau orang lagi 

kencing berdiri. Pasti para iblis 

sedang menunggu giliran. Kurasa iblis 

yang satunya tidak jauh dari ruangan 

ini."

Si pemuda menggaruk lagi belakang 

kepalanya. Ia melangkah lagi, bergeser 

dari genteng yang satu ke genteng 

lainnya. Lalu terdiam sekitar jarak 

satu batang tombak dari tempat semula. 

Dia berjongkok, lalu merapatkan 

sebelah telinganya ke genteng. Mula-

mula Suro Blondo tidak mendengar apa-

apa. Tapi setelah memusatkan segala 

perhatiannya ke satu arah yang dituju, 

yaitu bagian dalam kamar, maka 

mendengar suara desah nafas memburu 

seorang laki-laki.

"Kebo gelo gajah budek, sapi 

lanang kebo kampret! Aku harus sampai 

ke dalam sebelum iblis rambut lurus 

bertindak lebih gila lagi!" desis 

pemuda itu sambil menggeser genteng 

satu demi satu.

Sementara itu di dalam ruangan 

kamar pribadinya, Ki Rambe Edan sudah 

melucuti pakaian yang melekat di tubuh 

Dewi Bulan. Kini gadis itu benar-benar 

dalam keadaan telanjang. Dadanya yang 

putih membusung tegak menantang segera 

dipermainkan oleh laki-laki bertampang 

angker ini. Diremasnya kedua bukit 

yang tegak menantang ini, sementara 

air liur sang iblis tidak hentinya


meleleh membasahi tenggorokannya. Mata 

Ki Rambe Edan yang agak sipit membulat 

lebar. Kini tangannya bertindak lebih 

agresif lagi. Tangan itu meluncur 

melalui perut Dewi yang mulus. Lalu 

terus ke bawah dan mencopot penutup 

terakhir badan Dewi sehingga gadis itu 

benar-benar dalam keadaan polos tanpa 

selembar benang pun.

Menyaksikan pemandangan ini nafsu 

iblisnya terbangkitkan. Darahnya 

memanas hingga ke ubun-ubun. Dengan 

leluasa ia menggerayangi seluruh 

keindahan tubuh yang dimiliki Dewi.

Ki Rambe Edan kemudian mencopot 

pakaiannya sendiri, hingga membuatnya 

seperti bayi. Dewi Bulan ketakutan 

setengah mati, wajahnya pucat, ia 

ingin berteriak tapi suaranya tidak 

keluar. Ia meronta, tapi tubuhnya yang 

dalam keadaan tertotok tidak dapat 

digerakkan sama sekali. Sedemikian 

besar ancaman ini sehingga ia sendiri 

merasa lebih rela dipenggal kepalanya 

daripada menanggung aib yang 

memalukan.

Ki Rambe Edan mulai mencumbui si 

gadis. Ia menjatuhkan ciuman bertubi-

tubi ke bagian mana saja yang 

disukainya. Sementara itu Suro Blondo 

sudah membuka langit-langit kamar. Ia 

terkesiap melihat gadis yang selalu 

dipikirkannya dalam keadaan begitu 

rupa.


Dengan penuh kegeraman ia 

mencabut senjata andalannya yaitu 

sebuah mandau jantan berwarna hitam 

dengan empat lubang miring di tengah-

tengahnya. Setelah itu Pendekar Blo'on 

melayang turun dengan kecepatan dua 

kali kecepatan biasa.

Senjata di tangannya diayunkan 

sekeras-kerasnya ke arah leher Ki 

Rambe Edan. Mandau menderu menimbulkan 

suara seperti orang sedang menangis. 

Mungkin suara inilah yang membuat Ki

Rambe Edan terkejut, hingga ia cepat 

berpaling. Matanya terbelalak lebar 

begitu melihat senjata lawannya hanya 

seperempat jengkal saja dari batang 

tenggorokannya. Ia tidak sempat lagi 

berteriak memanggil kawannya, apalagi 

menghindar dari senjata berbentuk aneh 

itu.

"Jraak!"

"Cuur! Klokokk...!"

Darah menyembur dari penggalan 

kepala Ki Rambe Edan. Kepala yang 

terputus dari badan itu jatuh 

menggelundung dan di atas perut Dewi 

Bulan. Sekujur tubuh si gadis bermandi

darah musuh bebuyutannya. Sementara

kepala tanpa badan ini terhuyung-

huyung, kemudian ambruk begitu saja 

setelah kehabisan darah.

Dewi terbelalak melihat kejadian 

mengerikan yang berlangsung sangat 

singkat ini. Suro Blondo mendekati


pembaringan Dewi, ia ingin membebaskan 

totokan si gadis, tapi ragu-ragu. 

Karena totokan pengunci berada di 

bagian bukit kembar Dewi Bulan.

Pemuda ini melihat Dewi melotot 

kepadanya, ia tidak punya pilihan 

lain, Maka tak lama setelah itu 

memejamkan matanya. Karena tidak 

melihat ketika meraba, rabaannya tidak 

tepat pada bagian yang tertotok, malah 

yang terpegang bagian bukit yang 

paling tinggi.

Suro menahan nafas, lalu...

"Bet! Bet!"

Satu sapuan agak keras 

dilakukannya. Gadis ini menjerit dan 

langsung bangkit berdiri. Setelah

membersihkan darah Ki Rambe Edan yang 

membasahi tubuhnya, ia cepat menge-

nakan pakaiannya kembali. Rupanya si 

pemuda berhasil membebaskannya. Pada 

saat yang sama, Balung Raja dan Baja 

Geni bukan tidak mendengar suara gaduh 

di dalam kamar sahabat tertua mereka. 

Tapi mereka menyangka Ki Rambe sedang 

bergumul dengan gadis bertahi lalat di 

dagu itu. Mereka baru tersentak kaget 

ketika melihat pintu terbuka. 

Sementara seorang pemuda berambut 

hitam kemerahan telah berdiri di sana 

sambil menenteng kepala Ki Rambe Edan. 

Sedangkan di belakang pemuda itu 

berdiri seorang gadis dengan muka 

bercelemongan darah.


Belum hilang rasa terkejut 

mereka, tiba-tiba Suro Blondo melem-

parkan potongan kepala Ki Rambe Edan 

ke arah mereka. Potongan kepala d«ngan 

mata membelalak dan lidah terjulur ini 

jatuh persis di atas meja. Balung Raja 

dan Baja Geni saling pandang, wajah 

mereka pucat kehilangan darah. Hanya 

sekejap mereka terkesima, di lain 

waktu mereka mencabut senjata mereka 

berupa kapak berujung tombak. 

Sedangkan Baja Geni mencabut rantai 

baja berujung pedang.

"Manusia rendah berhati iblis! 

Siapakah kau bocah bertampang tolol!" 

hardik Balung Raja. Rahangnya 

menggelembung pertanda amarahnya 

benar-benar memuncak sampai ke ubun-

ubun.

"Manusia iblis berhati setan!" 

Suro membentak dengan tatapan mata 

tidak kalah dinginnya. "Kau siapa 

pula? Ha ha ha...! Aku tahu kalian 

telah membunuh kedua orang tua gadis 

ini. Sekarang kalian bermaksud 

menodainya secara keji! Tahukah kalian 

hutang kalian cukup banyak pada gadis 

ini. Dan semua itu belum berikut 

bunganya!"

Kini Balung Raja dan Baja Geni 

beralih pada Dewi Bulan yang juga 

sedang dilanda kemarahan.

"Siapakah kau?" tanya Balung 

Raja.


"Aku! Orang tuaku kalian bina-

sakan delapan belas tahun lalu di 

lereng gunung ini. Sedangkan kawanku 

ini adalah yang kelahirannya ditunggu-

tunggu oleh tokoh-tokoh sesat semacam 

kalian."

"Jadi kau putrinya perempuan bun-

ting yang telah kami bunuh dulu? 

Berarti kau muridnya Gajah Gemuk dan 

Gajah Krempeng?" desis Baja Geni 

sambil tersenyum sinis.

"Dan kau, siapakah?" Balung Raja 

ikut bertanya.

"Hmm, kawanku sudah mengata-

kannya. Aku Suro Blondo!" dengus si 

pemuda dengan mimik serius.

"Jadi kaulah orangnya yang kini 

sudah tumbuh besar. Bayi ajaib yang 

digembar-gemborkan pertapa pantai 

selatan itu ternyata setelah dewasa 

tidak lebih hanya berupa seorang 

pemuda bertampang tolol tidak ada 

gunanya. Terlanjur kepalang basah, 

hari ini peristiwa delapan belas tahun 

yang lalu segera terbukti apakah benar 

kau mempunyai kehebatan. Selain itu 

karena dosa-dosamu telah membunuh 

sahabat kami. Maka kini rasakanlah 

pembalasanku!"

"Plok! Plok!"

Dari luar para pengawal 

menghambur ke dalam. Dewi Bulan lang-

sung menghadangnya. Untuk menghadapi 

pengawal-pengawal yang jumlahnya men


capai puluhan ini, Dewi Bulan langsung 

mencabut senjatanya. Pedang itu 

diputar sedemikian rupa. Maka ter-

dengarlah suara jeritan-jeritan kesa-

kitan. Satu demi satu pengawal itu 

roboh bermandikan darah.

Suro Blondo tidak membuang-buang 

waktu lagi. Ia kerahkan jurus 'Kera 

Putih Memilah Kutu' dan jurus 

"Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan 

Ekor' secara silih berganti.

Balung Raja dan Baja Geni putar

senjatanya yang berbentuk aneh ini. 

rantai baja berujung pedang diputarnya 

sedemikian rupa. Sebaliknya Balung 

Raja dengan kapak berujung tombak 

mencecar Suro dari arah samping kanan. 

Dengan lincah sekali si pemuda

menghindari serangan senjata lawan 

yang sangat cepat dan berbahaya ini. 

Angin menderu-deru. Rambut si pemuda 

berkibar-kibar terkena sambaran 

senjata lawannya.

Tapi dengan gerakan yang aneh dan 

kacau, Suro Blondo terus menghalau 

atau menghindari setiap serangan yang 

datang.

Tubuhnya berjingkrak-jingkrak,

terkadang terhuyung ke kiri, di lain 

saat condong ke kanan. Hebatnya setiap 

serangan lawan selalu luput atau hanya 

menyambar tempat-tempat kosong.

Sementara itu Dewi Bulan sudah 

sampai di halaman depan. Sepanjang


lorong ruangan telah penuh dengan 

mayat-mayat yang bergelimpangan. 

Pemuda ini demi melihat gelagat yang 

sangat baik segera lepaskan pukulan 

'Kera Sakti Menolak Petir'.

Seleret sinar putih bergulung-

gulung menerjang Baja Geni dan Balung 

Raja yang sedang menerjangnya. Sinar 

yang memanca-kan hawa panas ini 

menderu kencang lalu melabrak 

lawannya. 

"Bumm! Buum!"

"Uhk... keparat!" maki Balung 

Raja begitu pukulan lawan menyambar ke 

arah mereka. Tapi karena melindungi 

diri dengan senjata di tangan, akibat 

yang timbul karena pukulan itu tidak 

seberapa. Hanya bangunan itu saja yang 

runtuh pada bagian atapnya.

Sebaliknya Pendekar Blo'on telah 

melesat ke halaman.

"Kunyuk tolol gila! Hendak lari 

ke mana kau?" bentak Balung Raja 

ketika melihat lawannya berkelebat 

pergi. Tentu saja mereka tidak 

membiarkan lawannya meloloskan diri 

begitu saja. Mereka segera mengejar ke 

depan. Ternyata setelah sampai di 

halaman anak buah mereka sudah 

bergelimpangan, tewas di tangan Dewi 

Bulan.

Splak!

"Gubrak! Gubraak!"

Rupanya ketika Suro sampai di


luar ia tidak langsung menuju halaman 

melainkan berdiri di samping pintu. 

Begitu melihat lawan-lawannya keluar 

sambil berlari ia sodorkan kakinya. 

Hingga membuat Baja Geni dan Balung 

Raja jatuh terguling-guling. Mereka 

bangkit berdiri, sambil meludah mulut 

menggembor memuntahkan kemarahannya.

"Anak setan! Aku tidak akan puaa 

sebelum memakan daging dan menghirup

darahmu!" Teriak Balung Raja.

"Bapak iblis. Mulutmu berkoar 

seperti kaleng rombeng. Ajal sudah di 

depan mata tapi belum tobat juga!" 

"Wut!"

"Wuuk! Wuuk!"

"Wiit... hampir saja putus si 

ntong!" kata Pendekar Blo'on memanasi. 

Ia melompat. Ketika serangan lawannya 

semakin menggila, maka ia berjingkrak-

jingkrak seperti anak kecil bermain 

tali.

"Bangsat!" Baja Geni menggerutu. 

Kedua tangannya bertepuk satu sama 

lain. Kemudian kedua tangan itu 

digosok-gosokkannya.

Wajah Baja Geni menegang, 

mulutnya komat-kamit. Dari telapak 

tangannya mengepul kabut pipih 

berwarna hitam. Kabut itu kemudian 

menyebar ketika Baja Geni hentakkan 

tangannya ke depan. Serangkum 

gelombang berhawa dingin dengan bau 

menyengat menderu dan menghantam Pen


dekar Blo'on. Pemuda ini leletkan 

lidah. Ia tidak menangkis atau 

memapakinya, melainkan mengerahkan 

jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh 

Harimau'. Pada detik itu juga tubuhnya 

terangkat ke udara dengan kecepatan 

laksana kilat. Pukulan yang dilepaskan 

Baja Geni menyambar sejengkal di bawah 

kakinya, lalu menghantam tembok

bangunan hingga hancur berkeping-

keping

Pukulan mengandung racun keji 

yang dilepaskan oleh Baja Geni luput. 

Ia penasaran dan melepaskan pukulan 

susulan secara beruntun. Gerakan 

menghindar yang dilakukan oleh si 

pemuda semakin menggila. Tubuhnya 

berkelebat lenyap hingga berubah 

menjadi bayang-bayang yang sangat 

banyak membingungkan. Dalam pada itu 

Balung Raja yang menyerang dengan 

rantai Baja berujung pedang tampak 

kewalahan. Suro yang dalam keadaan 

mengambang di udara ini melepaskan 

tendangan beruntun ke arah wajah 

lawannya.

"Dekk!"

"Buk...! Buuk! Buk!" 

"Kraak!"

Terdengar tulang leher patah 

berderak. Balung Raja tidak sempat 

lagi melolong. Tubuhnya langsung 

terbanting dengan senjata masih di 

tangan ia menggelepar sesaat, lalu


gerakannya semakin lemah dan hilang 

sama sekali bersamaan dengan 

melayangnya selembar nyawa Balung 

Raja.

"Kau benar-benar telah berubah 

menjadi balung seratus hari di depan," 

desis si pemuda. Kini ia hanya tinggal 

menghadapi seorang kawan lagi. Tiba-

tiba terdengar suara bentakan nyaring 

penuh permintaan.

"Bangsat yang satu itu bagianku, 

Suro!" Berkata begitu sebuah bayangan 

berkelebat sedemikian cepatnya. 

Bayangan menuju ke arah Baja Geni yang 

sedang terpana menyaksikan kematian 

sahabatnya. Lalu ketika Baja Geni 

merasakan ada sambaran angin di 

belakang, begitu menoleh sebuah pedang 

pendek menghunjam punggungnya.

"Wuaakkh...!"

Baja Geni terhuyung. Ia mendekap 

ujung pedang yang tembus dari punggung 

hingga mencuat ke depan dada. Tidak 

sampai di situ saja, Dewi Bulan pun 

kembali mengayunkan pedangnya. Pedang 

itu dihantamkannya ke tubuh lawannya 

secara berulang-ulang hingga membuat 

kondisi lawannya yang telah kehilangan 

nyawa dalam waktu singkat ini tidak 

ubahnya seperti dicincang.

Melihat kekejaman ini Suro Blondo 

langsung mendatangi. Sebuah tangan 

yang kokoh menahan gerakan Dewi hingga 

membuat gadis itu menoleh.


"Kau... mengapa kau lakukan...?"

"Bulan... eeh, Dewi...! Baja Geni 

telah meninggalkan dunia fana ini. 

Apakah kau hendak memasak dagingnya?"

"Selain membunuh orang tuaku, 

mereka juga hampir membuat aib yang 

sangat besar atas diriku."

Suro golang-golengkan kepala. 

"Memang betul...!"

Dewi memotong: "Tahukah kau 

betapa sakitnya hatiku?"

"Betul. Paling tidak aku turut 

merasakannya. Tapi tidak baik 

menganiaya mayat. Dia sudah menjadi 

bagian dari tanah...."

"Huh... jangan menggurui aku. 

Pemuda sepertimu mana layak memberi 

nasehat. Ah... gila...." Dewi 

membanting-banting kakinya. "Kini 

hanya tinggal kau yang belum mati."

"Mengapa kau menudingku begitu?"

"Karena... karena... karena kau 

telah melihat tub...!" Dewi Bulan 

katupkan bibirnya. Wajahnya berubah 

memerah. Ia teringat bagaimana pemuda 

tampan bertampang tolol ini meraba-

raba dadanya untuk membebaskan 

pengaruh totokan Ki Rambe Edan. 

Sebaliknya Pendekar Blo'on hanya 

garuk-garuk kepala sambil tersenyum 

tertahan.

"Dibandingkan Ki Rambe Edan, 

dosaku tidak kelewat besar, Dewi. Dia 

sudah lihat semua. Sedangkan aku


tidak. Lagipula aku telah membantumu 

dan membebaskanmu dari aib maha besar. 

Kalau kau bunuh aku hari ini sama 

artinya aku tidak sempat mencari para 

pembunuh orang tuaku. Bagaimana kalau

arwah mereka gentayangan dan mengejar-

ngejar gadis secantikmu?"

"Pemuda ceriwis. Aku tahu telah 

barhutang nyawa padamu, kelak aku akan 

membayarnya."

"Tidak usah dibayar, cukup kau 

mengingatnya saja. Kurasa urusanmu di

sini telah selesai. Sedangkan

persoalan yang harus kuselesaikan

sangat banyak sekali. Aku harus pergi 

sekarang...!"

Suro Blondo putar tubuhnya, 

ketika baru beberapa tombak ia 

melangkah Dewi Bulan yang mulai 

menyukai pemuda konyol ini 

memanggilnya.

"Hei... tunggu...!" cegah Dewi 

Bulan.

"Ada apa lagi?" tanya si pemuda.

"Kau hendak ke mana?"

Suro garuk-garuk kepalanya.

"Aku mau cari musuh yang telah 

membunuh orang tuaku. Mungkin ke 

Pasuruan, Bukit Arjuna, Gunung 

Sumbing, Gunung Grumpung bisa jadi ke 

bukit kembar! Ha ha ha...!" kata Suro 

Blondo tanpa menoleh-noleh lagi sambil 

berlalu.

"Dasar edan!" gerutu Dewi Bulan


seraya pandangi kepergian si pemuda 

yang telah menarik perhatiannya itu. 

Dan ketika pemuda itu lenyap dari 

pandangan matanya, ia merasakan adja 

sesuatu yang hilang dalam dirinya.

"Tuhan ya... Tuhan... mungkinkah 

aku dapat bertemu dengan dia di suatu 

saat nanti?" kata si gadis resah.



LIMA



Di pantai Karang Bolong ada 

sebuah bukit-bukit kapur menjulang 

tinggi ke ungkasa. Tidak jauh dari 

bukit kapur lersebut terdapat pula 

sebuah bukit karang yang cukup tinggi. 

Untuk mencapai tempat ini orang harus 

menyeberangi laut karena letaknya 

memang agak ke tengah laut. Bukit 

karang ini selain sangat berbahaya 

juga licin sekali karena pada 

permukaannya ditumbuhi lumut-lumut 

laut yang telah berusia ratusan tahun. 

Siang itu setelah membatalkan niatnya 

pergi ke Pasuruan, pemuda berbaju biru 

berambut hitam kemerahan memakai ikat 

kepala warna biru belang-belang kuning 

ini pergi ke Karang Bolong. Ini semua 

dilakukannya karena menurut keterangan 

yang didapatnya di jalanan bahwa 

manusia Katai bersaudara tinggal di 

pantai Karang Bolong. Keterangan ini 

memang sulit dipegang kebenarannya,

karena mungkin saja katai yang 

dimaksud bukan katai yang telah 

membunuh kedua orang tuanya. Karena di 

kolong langit ini banyak manusia 

berbadan cebol, jangkung, kurus, gemuk 

dan kurus kering macam orang cacingan 

juga cukup banyak.

Setengah hari setelah menyelusuri 

pantai laut Jawa. Kira-kira sekitar 

jam tiga sore, pemuda baju biru yang 

tidak lain adalah Pendekar Blo'on ini 

sampai juga di tempat tujuan. Ia 

mencari-cari, kemudian terlihat 

olehnya sebuah bukit karang menjulang 

seperti kerucut. Suro Blondo garuk-

garuk belakang kepalanya.

"Sarang setan tempatnya memang 

selalu sulit dijangkau," gerutu si 

pemuda. "Di sini tidak ada perahu yang 

lewat, tempat ini juga lebih sepi dari 

kuburan. Bukit karang itu agak jauh 

dari pantai ini. Bukan aku tidak 

sanggup berenang ke sana. Tapi 

dinginnya ini alamak. Lagipula konon 

banyak hiu-hiu ganas berkeliaran di 

sekitar sini. Apa caraku...?" Suro 

Blondo seka keringat yang mengalir di 

keningnya. Matanya mencari-cari hingga 

kemudian ia tersurut mundur. Matanya 

memandang tajam pada sebuah papan kayu 

peringatan dengan pesan-pesan meng-

gidikkan tertulis di atasnya.

Pantai Karang Bolong siapa datang


nyawa tidak tertolong,

Bukit Karang Hantu, siapa 

mendekat tinggal tulang belulang

Terkecuali para sekutu dan para 

sahabat ikan hiu

Jangan oba mendekar terkecuali 

punya jiwa seikat...

"Hmm, sebuah peringatan yang 

cukup Mengenaskan? Hanya dedemit 

neraka yang punya kerja. Dari jauh aku 

datang untuk mempertaruhkan nyawa, 

untuk apa aku harus pulang sia-sia!" 

dengus Pendekar Blo'on.

Pemuda ini kemudian mencari 

potongan kayu untuk menyeberangi selat 

kecil itu. Tapi sebelum usahanya

tercapai, tiba-tiba terdengar suara 

seseorang bersenandung. Menilik sua-

ranya yang kecil dan merdu sudah jelas 

pemiliknya paling tidak adalah seorang 

perempuan. Suro cepat menoleh ke arah 

datangnya suara. Tiba-tiba ia melihat 

sebuah perahu kecil meluncur cepat ke 

arahnya. Di atas perahu tampak seorang 

gadis cantik memakai kerudung serba 

putih. Ketika angin bertiup ke arah si 

pemuda, maka tercium bau badannya yang 

harum seperti bunga cempaka.

Pendekar Blo'on melongo ketika 

melihat perahu kecil itu mendadak 

berhenti. Seperti ada kekuatan yang 

menahannya dari bawah perahu.

"Anak muda nan tampan. Aku tahu


kau mau menuju ke bukit karang itu. 

Aku jadi kasihan padamu, kulihat belum 

pernah ada yang selamat kembali bila 

sudah sampai ke sana. Daripada kau 

mengantar nyawa percuma, alangkah 

baiknya jika kau ikut denganku...!"

"Siapa Nisanak ini? Aku punya 

tujuan dan tidak seorang pun yang 

dapat menghentikannya terkecuali 

maut," kata si pemuda pelan.

"Hi hi hi! Dendam di hatimu 

dendam berkarat, sampai kiamat dunia 

akhirat.... Sebaik-baiknya manusia 

adalah dia yang suka mengukur kemam-

puan diri sendiri!" Gadis berkerudung 

di dalam perahu tertawa membahak. Suro 

Blondo kerutkan kening. Ia berpikir 

bagaimana mungkin perempuan dalam 

perahu tahu apa yang diinginkannya.

"Nisanak belum menjawab per-

tanyaanku. Katakan terus terang atau 

aku harus meninggalkanmu!"

"Mengapa harus tergesa-gesa jika 

hanya ingin mengantar nyawa? Aku gadis 

tanpa nama, hidup, makan dan tidurku 

di atas air. Kalau hanya untuk urusan 

orang yang mau buang nyawa, aku 

bersedia mengantarmu sampai ke bukit 

itu. Tapi dengan satu syarat!"

"Hi hi hi. Sudah kuduga, pemuda 

tampan bertampang tolol sepertimu mana 

punya banyak uang. Bagaimana kalau kau 

membayar dengan kepalamu?"

Suro Blondo garuk-garuk kepa


lanya. "Kau sangat keterlaluan sekali. 

Tidak tahukah kau bahwa aku cuma punya 

satu kepala?"

"Hi hi hi! Kalau tidak mau aku 

akan aegera pergi!" 

Tanpa menunggu lagi gadis 

berkerudung putih dan berpakaian serba 

putih memutar perahunya. Di lain kejap 

ia telah bergerak menjauh, kemudian 

hilang di tikungan teluk.

"Heh... kalau hanya menggoda, 

untuk apa tunjukkan diri? Menolong 

orang dengan meminta imbalan jiwa 

adalah perbuatan tercela." Suro Blondo 

bersungut-sungut. Ia memutar badannya, 

lalu mengambil sepotong kayu kering 

yang tergeletak tidak jauh dari 

kakinya.

Kayu itu kemudian dilemparkannya 

ke dalam air. Setelah itu tubuhnya 

melayang, kaki menjejak ke atas 

potongan kayu tersebut. Hanya dalam 

waktu sangat singkat ia telah meluncur 

ke tengah selat dengan sangat cepat 

sekali. Namun pemuda ini kemudian 

menjadi tergagap ketika melihat 

puluhan sirip ikan menjembul ke atas 

permukaan air. Ikan-ikan haus darah 

ini mengitari si pemuda.

"Mati aku. Binatang-binatang ini 

bukan main banyaknya. Aku harus cepat 

sampai ke sana kalau tidak ingin mati 

konyol!" pikir si pemuda.

Dengan tetap menjaga keseimbangan


tubuhnya, Suro menggenjot kakinya 

hingga potongan kayu yang diper-

gunakannya untuk menyeberang melesat 

laksana anak panah. Tapi tiba-tiba di 

depan pemuda itu menyembul badan ikan 

tersebut. Suro tidak sempat lagi 

mengurangi kecepatannya. Tidak ayal 

lagi tubuhnya terbanting. Suro Blondo 

tenggelam, air laut yang sangat jernih 

lagi dalam membuat ia dapat melihat 

puluhan ekor ikan mengejarnya. Sambil 

berenang menghindar Suro cabut 

senjatanya. Dengan mempergunakan 

senjata andalan ini ia menyongsong 

kedatangan ikan-ikan buas yang 

menyerangnya.

Sementara gadis berpakaian serba 

putih yang tadi sempat menghilang di 

balik cekungan teluk telah muncul di 

tempat itu dengan maksud menolong. 

Ketika ia sampai, pemuda lugu yang 

hendak ditolongnya telah lenyap dari 

permukaan air. Ia terkesiap ketika 

melihat air laut tiba-tiba berwarna

merah. Kemudian terlihat pula gejolak 

air di sana sini.

"Celaka, bocah itu telah dimangsa 

ikan-ikan hiu di sini!" desisnya 

dengan mata membelalak lebar.

Air laut semakin bergolak, warna 

merah semakin menyebar dan berwarna 

pekat. Di dalam air Suro Blondo telah 

membunuh lebih dari dua puluh ekor 

ikan hiu besar dan ikan-ikan yang


telah terbunuh itu dimangsa oleh 

kawanannya sendiri. Rupanya bau darah 

itulah yang membuat hiu-hiu lain yang 

kelaparan tidak dapat membedakan kawan 

sendiri. Melihat hiu-hiu lain berebut 

mangsa, maka kesempatan ini diper-

gunakan oleh Suro Blondo untuk 

berenang di bawah air mendekati pulau 

karang yang hendak ditujunya.

Sebentar saja ia sudah sampai ke 

pinggir bukit karang. "Puah... hampir 

meledak paru-paruku karena menahan 

nafas," keluh Suro Blondo. Ia melirik 

ke tengah-tengah teluk. Dilihat gadis 

baju putih kerudung putih duduk 

terbengong-bengong di atas perahunya.

Suro Blondo lambaikan tangannya. 

"Maaf, ikan-ikanmu rupanya semakin 

tidak sabar, sehingga kawaaannya 

sendiri dimangsanya...!"

Si gadis bermaksud mengejar, tapi 

ia mengurungkan niatnya. Seakan ia 

ragu mendekati bukit karang tersebut.

Suro Blondo sambil cengar-cengir 

tidak perduli lagi pada gadis di atas 

perahu tersebut. Ia mulai mendaki 

bukit karang yang terjal dan cukup 

licin tersebut.

"Edan... sudah sampai di tengah 

melorot lagi. Apakah mungkin tidak ada 

jalan lain untuk sampai ke tempat yang 

mirip dengan cekungan gua di atas 

itu?"

Si pemuda mendongakkan kepalanya


ke atas. Bersamaan dengan itu ia 

melihat ada sosok tubuh melayang dan 

kemudian jatuh terhempas di 

sampingnya. Apa yang dilihatnya adalah 

sosok telanjang perempuan. Sekujur 

tubuhnya berlumuran darah, leher 

patah, mata melotot dan lidahnya 

terjulur.

"Perempuan malang ini mustahil 

jatuh dari langit. Mengapa tidak 

sempat kudengar jeritannya," desis 

Suro sambil goleng-golengkan 

kepalanya.

"Pastilah ini perbuatan iblis-

iblis berhati sapi. Aku harus bisa 

sampai ke atas sana tanpa 

sepengetahuan mereka. Dengan begitu 

aku bisa terhindar dari bahaya...!"

Si pemuda kemudian merayap lagi, 

kali ini ia menemukan jalan yang agak 

lebih baik dari pada lereng terjal 

yang coba didakinya tadi. 

Sedikit demi sedikit ia mendaki. 

Tapi gerakannya terhenti lagi ketika 

melihat tiga ekor ular berbisa 

menghadangnya. Ular-ular itu angkat 

kepala tinggi-tinggi. Mulutnya terbu-

ka, lidahnya yang bercabang terjulur. 

Ketika makhluk-makhluk melata itu 

mendesis, maka tercium bau amis bisa 

yang membuat mual pernafasan.

Suro Blondo yang pernah digodok 

dalam sumur kawah bisa dihuni ular-

ular merah oleh gurunya, hanya


tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

"Malang benar nasibmu, Nak. 

Rupanya kau diperintahkan oleh tuanmu 

untuk menghadang aku! Nih gigit-

lah...!" Suro Blondo dengan sengaja 

angsurkan tangannya. Tiga ekor ular 

berwarna belang, kuning hitam ini 

serentak menyerbu dan mematuki tangan 

Suro Blondo.

Tangan si pemuda berdarah, air 

mukanya seketika berubah menghitam. 

Rupanya kekebalan di dalam tubuhnya 

mulai bekerja bertarung melawan bisa 

dari ular-ular yang menggigitnya.

Kulit tubuhnya yang hitam secara 

berangsur-angsur kembali ke warna 

semula.

Si pemuda lagi-lagi menyeringai.

"Kurasa sudah puas kalian 

menggigitku!" dengus Suro Blondo, 

sekejap kemudian ditangkapnya ketiga 

ekor ular sebesar jempol kaki ini 

setelah itu badan ular digigitnya satu 

demi satu.

Ular-ular ini meronta, tapi 

rontaannya semakin melemah ketika 

tulang belakangnya putus menjadi dua.

"Puih...!" Suro menyemburkan 

ludah bercampur darah ular. Selan-

jutnya ia merayap dan merayap lagi. 

Tidak sampai sepemakan sirih, 

sampailah pemuda ini di depan sebuah 

cekungan mirip gua. Pada dataran yang 

rata ia melihat sebuah pedang, pakaian


dan juga tulang belulang lainnya.

"Mayat tadi perempuan. Pakaian 

ini juga pakaian perempuan. Gua besar 

itu seperti tertutup batu. Alangkah 

baiknya jika aku mencoba membukanya." 

Suro Blondo kemudian mendekati pintu 

gua yang tertutup batu. Sekejap 

kemudian ia mendorong pintu batu 

karang ini. Tapi jangankan bergerak, 

bergeming pun tidak.

Si pemuda mengerahkan tenaga 

dalamnya ke bagian telapak tangan. 

Setelah itu ia mendorong lagi.

"Uuph...!"

Kali ini secara perlahan pintu 

batu terkuak sedikit. Suro mendo-

rongnya lagi. Semakin lama pintu pun 

terbuka semakin lebar. Pendekar Blo’on 

tercengang begitu melihat ke dalamnya.

Ruangan gua itu memancarkan 

cahaya biru kehijauan yang entah 

datang dari mana. Lantai gua juga 

dalam keadaan bersih. Ketika melihat 

ke arah kiri, di sana ada sebuah 

altar. Di atas altar mirip dipan ini 

tergeletak sosok tubuh perempuan pula 

dalam keadaan setengah telanjang. 

Perempuan ini sangat sulit dikenali 

karena seluruh wajahnya yang menghadap 

ke langit-langit gua tertutup kain 

berwarna merah.

Suro Blondo menyelinap masuk dan 

bersembunyi di salah satu sudut yang 

gelap. Ketika terdengar suara langkah


langkah kaki, maka ia menundukkan 

badannya serendah mungkin sehingga ia 

terhindar dari penglihatan orang lain,



ENAM



Mula-mula yang dilihatnya adalah 

kemunculan seorang laki-laki berbadan

pendek, cebol, wajahnya pucat keku-

ning-kuningan. Kumisnya cuma beberapa 

gelintir saja sedangkan alis matanya 

berwarna putih. Ia memakai celana 

pendek sebatas dengkul, bajunya hanya 

berupa selempang berwarna hitam. Di 

pinggang katai Muka pucat ini 

menggelantung sebuah ruyung berwarna 

perak.

Katai itu berjalan mendekati 

perempuan setengah telanjang di atas 

altar. Rupanya ia tidak menyadari 

kehadiran Suro di situ, sedangkan

pemuda itu sendiri langsung tergetar 

tubuhnya saat melihat katai muka 

pucat. Inilah salah satu orang yang 

telah membunuh kedua orang tuaku, mana 

yang muka merah? pikir Suro Blondo.

Manusia katai ini setelah sampai 

di atas altar langsung menyingkap 

pakaian bawah gadis yang kepala serta 

wajahnya terbungkus kain merah. 

Setelah membuka pakaiannya sendiri, ia 

melakukan perbuatan yang sangat ter-

kutuk atas diri si malang. Badannya

yang kecil menghempas-hempas di atas 

tubuh si gadis. Tahulah Suro Blondo 

apa yang telah dilakukan oleh Katai 

Muka Mayat ini tarhadap gadis di atas 

altar.

Wajah Pendekar Blo'on berubah 

kelam mambesi. Ia meninggalkan 

kegelapan sudut gua. Tangannya melam-

bai pelan. Angin nenderu dari telapak 

tangannya, melesat dengan cepat 

menghantam Katai Muka Mayat. Laki-laki 

berbadan kerdil ini langsung jatuh 

terpelanting. Rasa kejut di hatinya 

bukan alang kepalang. Kalaulah Suro 

mau membokong, tentu Katai Muka Mayat 

telah tergelimpang menjadi bangkai 

atau paling tidak menderita luka dalam 

cukup parah. Tapi pemuda berambut 

hitam kemerahan bertampang tolol ini 

walau mempunyai dendam sedalam lautan 

terhadap orang-orang yang telah 

membunuh ayah ibunya, ia tidak mau 

bertindak gegabah dan kesalahan 

tangan.

Katai Muka Mayat bangkit berdiri. 

Wajahnya jelas tidak dapat menyembu-

nyikan rasa terkejutnya tatkala 

melihat kehadiran seorang pemuda asing 

di ruangan itu. Ia jadi teringat pada 

pintu gua yang ditutupnya. Tidak 

setiap orang mampu membukanya terke-

cuali mereka yang memiliki tenaga 

dalam tinggi.

"Hhm, kau begitu berani menye


berangi selat dan menyusup ke tempat 

tinggal iblis. Siapa namamu?" Katai 

Muka Mayat menggeram.

Suro Blondo garuk-garuk kepala. 

"Ha ha ha...! Bicara ya bicara... tapi 

urusi dulu senjata kramat berikut buah 

jambu milikmu. Gondal-gandil seperti 

itu apakah kau mau pamer kelebatan 

hutan rimbanya?"

"Aih...!" Katai Muka Mayat 

langsung mendekap bawah pusarnya. Ia 

mengenakan pakaian seadanya. Tidak 

lupa ia juga mengambil ruyung yang 

tergeletak di bawah kaki telanjang si 

gadis.

Wajah laki-laki itu semakin

bertambah pucat. Tiba-tiba saja ia 

membentak berang: "Cepat katakan siapa 

kau yang sebenarnya, kunyuk bertampang 

tolol!"

"Dengar anjing gladak!" dengus 

Suro Blondo tidak kalah sengitnya. 

"Aku Suro Blondo, putra Sepasang 

Pendekar Golok Terbang dari gunung 

Bromo. Apakah kau ingat peristiwa 

delapan belas tahun yang lalu? Hah... 

mana kembaranmu yang bermuka merah?"

Katai Muka Mayat terkesiap, 

matanya yang kecil molotot. Tanpa 

sadar ia bahkan sampai bersurut 

mundur. Bibirnya mendesis…..

"Kau bocah ajaib itu? Rambutmu 

kemerahan, tapi tampangmu tidak 

meyakinkan. Apakah kau punya tompel di


punggung?" tanya Katai Muka Mayat 

seakan menyelidik.

"Sekarang tidak ada waktu lagi 

untuk bertanya jawab, manusia cebol! 

Apakah aku punya tompel di punggung, 

di kening, hidung atau di kumis. Itu 

bukan persoalan. Jika kau merasa 

berhutang, maka hari ini aku datang 

untuk menagih hutang-hutangmu!"

"Hu hu hu...!" Katai Muka Mayat 

tertawa. Suaranya jelek seperti burung 

hantu yang menderita mejan. "Secara 

jujur aku memang ikut membunuh Satria 

Purba dan Dewi Rini orang tuamu. Aku 

dan kakangku dan yang satunya lagi 

tidak perlu kusebutkan karena aku 

sangat menghormatinya. Tapi mengingat 

tampangmu yang begitu, aku yakin 

ramalan pertapa itu hanya bualan saja. 

Hu hu hu... aku dan saudaraku memang 

ingin mencarimu. Membunuh pohon harus

sampai ke akar-akarnya. Tidak disangka

kau datang sendiri mengantarkan 

nyawa... Hu hu hu...!"

Katai Muka Mayat tiba-tiba 

melompat ke depan sambil lambaikan 

tangannya, tiga leret sinar berwarna 

keperakan datang menggebu-gebu. Suro 

sadar betul bahwa lawannya telah 

menyambitkan senjata rahasia ke 

arahnya sehingga dengan gerakan kacau 

ia menghindarinya. Serangan senjata 

rahasia itu lewat setengah jengkal di 

atas kepalanya.


"Crap! Crap! Crap!"

"Bukan main...!" desis si pemuda. 

Ia berpaling ke belakangnya. Ternyata 

senjata rahasia berbentuk empat per-

segi itu menancap dalam pada dinding 

karang yang cukup atos tersebut. Katai 

Muka Mayat gelengkan kepala melihat 

pemuda berbaju biru ini dapat 

menghindari serangannya.

"Kau punya kebolehan juga ru-

panya. Sayang kau berada di dalam 

wilayah kekuasaanku. Hanya orang yang 

punya nyawa rangkap saja dapat keluar 

dari tempat ini hidup-hidup!"

"Jangan kelewat percaya diri, 

Iblis tergencet bumi. Lihat sera-

ngan...!" Suro membentak keras. 

Suaranya menimbulkan gema hingga 

membuat dinding gua karang tergetar.

"Hu hu hu! Shaaa...!"

Katai Muka Mayat melompat ke 

udara. Serangan Suro luput dan 

menghantam altar di depannya. Altar 

hancur, tubuh perempuan telanjang 

tergontai di udara dan jatuh lagi di 

atas hancuran batu-batu altar.

Dari atas menderu selaksa angin 

memerihkan kulit Suro Blondo. Pemuda 

ini melompat mundur sejauh dua batang 

tombak.

"Blaar!"

Lagi-lagi gua karang tergetar. 

Pukulan yang dilepaskan oleh Katai 

Muka Mayat luput. Di tengah ruangan


gua terlihat sebuah lubang besar 

akibat pukulan si Katai yang luput 

sasaran tadi.

"Zeb! Zeb! Dep!"

Kaki si katai direntang, tangan-

nya diputar cepat. Terdengar suara 

angin menderu-deru ketika manusia 

katai ini menggerakkan tangannya.

"Badai Topan Menggempur 

Karang...!" teriak si Katai menyebut 

nama jurus yang dimainkannya.

"Serigala Melolong Kera Sakti 

Kibaskan Ekor...!" jerit Suro Blondo 

tidak mau kalah.

Jika Katai Muka Mayat gerakan-

gerakan silatnya sangat teratur 

sekali, maka sebaliknya dengan Suro 

Blondo. Gerakan yang dilakukannya 

tidak pernah beraturan dan terkesan 

konyol. Namun hingga sejauh itu ia 

dapat menghindari serangan lawan 

dengan sangat baik sekali.

Pemuda ini kemudian bergerak 

cepat, pada saat lawan semakin 

meningkatkan serangannya. Di lain saat 

ia melakukan serangan balik yang tidak 

kalah hebatnya.

"Hiyaa...!"

"Deb!"

"Wuus!"

Dengan mengerahkan setengah dari 

tenaga dalam yang dimilikinya, Katai 

Muka Mayat lepaskan tendangan mengge-

ledek ke perut Suro Blondo. Pemuda ini


geser langkahnya ke samping. Tangannya 

menangkis sambil lepaskan tinjunya ke 

wajah lawan.

"Dhaak!"

"Buuk...!"

"Wiih...!" Suro Blondo mengeluh. 

Tangannya yang dipergunakan menangkis 

terasa kesemutan. Katai Muka Mayat 

terhuyung ke belakang sambil 

terpincang-pincang.

Ia menggeram marah, dilihatnya 

bayangan lawan semakin lama semakin 

bertambah banyak. Ia menyerang lagi 

sambil kerutkan kening. Sejauh itu 

serangan-serangan yang dilakukannya 

selalu mengenai sasaran kosong.

Dengan gusar ia melompat mundur, 

tangannya yang pendek diangkat ke 

atas kepala. Tangan itu digosok-

gosokkan antara satu dengan yang 

lainnya. Kemudian.

"Plak! Plak!"

Saatkedua tangannya saling ber-

sambut, maka terdengar suara ledakan-

ledakan menggelegar. Suro terkesiap 

ketika sepuluh larik sinar mengejar ke 

arahnya. Pemuda berambut kemerahan ini 

mencoba memapakinya dengan pukulan 

'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'.

Mendadak suasana di sekelilingnya 

menjadi sirap. Tangan si pemuda yang 

melintang di depan dada bergetar 

hebat. Pukulan 'Monyongsong Kabut 

Tenggelam Dalam Kegelapan' yang


terdiri dari sepuluh laret sinar 

berwarna biru ini seakan tersendat-

sendat. Bukan langsung menghantam 

tubuh si pemuda melainkan berputar-

putar mengelilinginya.

Ketika Suro Blondo menggerakkan 

kedua tangannya dengan gerak membu-

barkan, maka terdengar sepuluh kali 

suara ledakan beruntun. Katai Muka 

Mayat jatuh terguling-guling dan 

menghantam dinding gua. Sebaliknya, 

Suro Blondo jatuh terjengkang. Dari 

sudut-sudut bibirnya menetes darah 

kental berwarna hitam. Ia cepat 

mengerahkan hawa murninya untuk 

menyembuhkan luka dalam yang ia 

derita. Katai Muka Mayat walau juga 

sempat merasa dadanya seperti hendak 

remuk, namun secepatnya ia bangkit 

berdiri.

"Pemuda ini tidak bisa dianggap 

main-main. Kakang Muka Merah tidak ada 

di tempat saat ini. Kalau dia ada 

tentu untuk membunuhnya bukanlah 

sesuatu yang sulit. Kini aku harus 

mengerahkan seluruh kemampuanku untuk 

menghabisi riwayat anak ajaib ini...!" 

bathin Katai Muka Mayat.

Selagi lawan dalam keadaan 

lengah, Katai Muka Mayat kembali 

menyerangnya. Kali ini ia mempe-

rgunakan ruyung peraknya yang 

berjumlah dua buah itu.

Suro Blondo menyeringai, ketika


dua ruyung maut yang dapat mengembang 

dan menguncup itu menyerangnya. Suro 

Blondo menghindarinya sambil berjing-

krak-jingkrak. Terkadang badannya 

condong ke depan, lalu miring ke kiri 

dan ke kanan. Di lain saat ia 

berjongkok, lalu mencecar kaki 

lawannya, hingga membuat si Katai 

melompat mundur tarik balik serangan.

Tokoh sesat dari sclatan ini 

kembangkan ruyung di tangan kiri, 

sedangkan yang di tangan kanan 

dibiarkannya tetap menguncup. Ruyung 

yang terkembang ini dibiarkan 

sedemikian rupa, kemudian diputar 

hingga menimbulkan deru suara angin

yang sangat menyakitkan gendang-

gendang telinga.

"Ziing!"

"Wuut! Wuut!"

Ruyung yang terkembang menerabas 

dada Suro sedangkan yang tetap

menguncup menusuk ke bagian dada.

Salah satu serangan ganas ini memang 

dapat dihindari Pendekar Blo'on. Tapi 

serangan lainnya tidak sempat

dielakkannya walaupun ia telah

melakukan gerak serta langkah yang 

aneh-aneh. 

"Bret!"

"Eph...!" Pemuda ini mendekap 

bahunya yang sempat robek dari bagian 

baju sampai ke dagingnya. Darah 

mengucur. Ia cepat totok urat darahnya


hingga darah yang mengalir cepat 

terhenti.

Mata si pemuda berkedap-kedip. 

Mulutnya pletat pletot, kemudian kaki 

depan ditekuk. Tangan ditepuknya ke 

bagian lutut, sedangkan yang kiri 

diangkat sejajar dengan bahu. Pemuda 

berambut kemerahan ini rupanya tidak 

ingin menghadapi serangan senjata 

lawan dengan mempergunakan Mandau 

Jantan yang selalu memperdengarkan 

suara rintihan tangis itu, melainkan 

dengan mempergunakan pukulan pamungkas 

kedua warisan dari kakek merangkap 

gurunya Malaikat Berambut Api.

Rambutnya yang hitam kemerah-

merahan itu secara perlahan berubah 

merah membara sepenuhnya sehingga 

dilihat sepintas seperti lidah api 

yang berumbai-umbai. Jelas si pemuda 

telah mengerahkan tenaga dalam 

sepenuhnya. Inilah pukulan 'Neraka 

Hari Terakhir'. Sebuah pukulan maha 

dahsyat yang tidak ada duanya di 

kolong langit ini.

Ketika Pendekar Blo'on dorongkan 

kedua tangannya ke depan, maka 

terdengar suara angin menderu-deru. 

Lalu terdengar pula suara jeritan di 

mana-mana. Jerit ketakutan yang seakan 

datang dari alam roh dan alam kubur. 

Jeritan ini sungguh membuat merinding 

bulu kuduk yang mendengarnya, termasuk 

juga Katai Muka Mayat. Selain itu ia


terkesiap melihat rambut lawannya 

seperti dikobari api.

Melihat bahaya yang mengancamnya, 

Katai Muka Mayat mengembangkan ruyung 

lainnya. Sinar merah hitam menggebu-

gebu. Lalu pukulan maut ini menghantam 

ruyung di tangan Katai Muka Mayat.

"Bum! Bum!"

"Praak!"

Benturan itu membuat ruyung di 

tangan Katai Muka Mayat hancur 

berkeping-keping. Katai Muka Mayat

terhempas melabrak dinding goa karang.

Ia bangkit berdiri. Terlihat dengan 

jelas darah mengucur dari hidung dan 

mulutnya. Namun ternyata ia memiliki 

daya tahan yang sangat hebat. 

Secepatnya ia bangkit berdiri. Suara 

jeritan mengerikan lenyap, tapi 

sebentar kemudian terdengar suara 

jeritan lagi.

Kali ini Katai Muka Mayat tidak 

tinggal diam. Kehebatan yang dimiliki 

pemuda bertampang tolol ini benar-

benar telah membuka matanya. Tidak 

pelak lagi bersamaan waktunya dengan 

saat pemuda itu lepaskan pukulannya 

yang sangat mengerikan itu. Ia juga 

lepaskan pukulan 'Menyongsong Kabut 

Tenggelam Dalam Kegelapan' tingkat 

paling tinggi.

Keadaan di dalam ruangan gua 

seperti hendak kiamat saja layaknya. 

Berleret-leret sinar saling menghantam


dengan suara yang memekakkan gendang-

gendang telinga. 

"Glar! Duaamm...!" 

"Broll...!" 

"Wuaaakkkhh...!"

Suro Blondo tergontai-gontai lalu 

terjatuh terjajar menimpa tubuh 

perempuan telanjang yang sudah mere-

gang ajal terkena sambaran pukulannya 

tadi. Dinding gua jebol, sosok tubuh 

terlempar keluar disertai suara 

jeritan menggidikkan. Sosok tubuh si 

Kate melayang-layang dan terjatuh ke 

dalam laut.

Tidak ada seorang pun yang tahu 

apakah Katai Muka Mayat ini masih 

hidup apa sudah mati. Sambil mengatur 

nafasnya yang memburu, Suro Blondo 

mengedarkan matanya ke segenap ruangan 

gua yang nyaris runtuh dan retak di 

sana-sini.

"Eeh... aku telah duduk di atas 

mayat perempuan ini," desis pemuda itu 

sambil bangkit berdiri. Ia melongok ke 

arah dinding gua yang berlubang besar, 

ia sadar dari sinilah tubuh si katai 

terlempar. Ia melirik ke bawah. Masih 

terlihat riak-riak air laut di mana 

lawannya jatuh tadi. Demikian 

tingginya puncak bukit ini sehingga 

membuat tengkuk Suro meremang.

"Aku harus memeriksa ruangan 

lainnya. Siapa tahu Katai Muka Merah 

bersembunyi di dalam sana."


Melihat kondisi gua yang sangat 

membahayakan, Suro Blondo cepat 

memeriksa sisa-sisa ruangan yang 

berada dalam gua itu. Tapi ia tidak 

melihat orang yang dicarinya selain 

perempuan-perempuan telanjang yang 

sudah tidak bernyawa lagi.

Pendekar Blo'on palingkan muka ke 

arah lain dengan muka merah jengah.

"Manusia cebol itu rupanya punya 

kegemaran mengumpulkan perempuan. Huh 

sayang sekali aku tidak tahu di mana 

Katai Merah. Dan si kampret itu siapa 

bisa jamin itu siapa bisa jamin kalau 

dia mampus terkena pukulanku atau 

dimangsa hiu," gerutunya sambil garuk-

garuk kepala.

Suro Blondo kemudian cepat 

berlari kaluar dari gua karang itu 

ketika ia mendengar suara bergemuruh. 

Dinding-dinding gua berjatuhan, baru 

saja Suro sampai di mulut pintu gua. 

Gua tersebut benar-benar runtuh 

menimbulkan suara menggemuruh seperti 

diguncang gempa.

"Hampir... hampir saja mampus. 

Kalau mati di atas perempuan mungkin 

enak. Tapi kalau tertimbun batu apa 

enaknya...?"

Suro Blondo nyengir kuda. Ia 

memandang ke jalan semula. Melalui 

jalan itu pula ia harus turun. Diam-

diam hatinya heran juga ketika melihat 

sosok serba putih berdiri di sana

dengan jarak sekitar seratus tombak.



TUJUH



Pendekar Blo'on turun lagi. 

Setelah jarak mereka semakin bertambah 

dekat, maka terlihatlah dengan jelas 

bahwa gadis berbaju putih itu tidak 

lain adalah dia yang berada di dalam 

perahu tadi. Suro Blondo tidak begitu 

menghiraukannya. Tapi langkahnya jadi 

terhenti ketika melihat si gadis 

menghadang langkahnya.

"Aku tidak punya banyak waktu! 

Kuharap kau mau menyingkir Nisanak!" 

kata Suro Blondo ketus. Rupanya ia 

ingat gadis berkerudung ini begitu 

jual mahal ketika ia minta tolong 

untuk menyeberangkannya ke bukit 

karang ini.

"Hi hi hi! Begitu tergesakah kau? 

Dan kau telah membunuh orang itu?" 

bertanya si gadis sambil tersenyum 

malu.

Suro menatap tajam pada lawan 

bicara-nya. "Kau siapa? Mengapa selalu 

berusaha mencari tahu apa urusanku?"

"Aku… hi hi hi! Kebetulan adalah 

orang yang tidak suka melihat laki-

laki memaksakan kehendaknya pada 

perempuan," kata si gadis. "Sedangkan 

siapa aku kau tidak usah tahu. Cukup 

kau panggil Kerudung Putih!"


"Kerudung Putih, boleh jadi 

Malaikat, hantu pocong, kuntilanak, 

dan sejenis peri panunggu laut. Aku 

ingin bertanya padamu, kerudung... eh 

putih...! Apakah kau melihat Katai 

Muka Mayat terjun tadi?"

"Hmm, kebetulan aku tidak meli-

hatnya. Yang kulihat adalah runtuhnya 

gua karang di atas sana. Aku takut kau 

tertimbun. Kalau sampai mati, alangkah 

baiknya jika mayatmu kuumpankan pada 

hiu-hiu yang kelaparan itu!"

"Aku ingin pergi sekarang. Tolong 

minggir, tuanmu mau lewat!"

"Cih sombong sekali kau. Kau 

pasti ingin mencari Katai Muka Merah?"

Suro Blondo melengak terkejut.

"Kau... bagaimana kau tahu?" tanya 

Suro Blondo terheran-heran.

"Hi hi hi! Itu adalah persoalan 

yang sangat mudah. Jika kau bermusuhan 

dengan Katai Muka Mayat, berarti kau 

bermusuhan pula dengan abangnya," 

jelas si Kerudung Putih.

Cuping hidung si pemuda langsung

kembang-kempis ketika mengendus bau 

harum tubuh si gadis.

"Apakah kau tahu di mana kira-

kira Katai Muka Merah ini berada...?"

"Hmm... aku bukan mata-mata. 

Katai Muka Merah adalah manusia angin-

anginan. Terkadang ia berada di timur, 

barat, utara, atau selatan. Atau boleh 

jadi dia berada di dasar lautan. Ia


tidak pernah menetap seperti Katai 

Muka Mayat yang doyan perempuan itu. 

Boleh jadi sekarang ini ia tinggal di 

Muara Kali Condong di daerah Pasuruan 

bersama muridnya nan cantik jelita. 

Apakah kau mau ke sana?"

"Ha ha ha! Kebetulan sekali, 

sekali jalan dua ekor biang penyakit 

dapat kubekuk!" desis Suro Blondo.

"Siapakah yang kau maksudkan?" 

tanya si Kerudung Putih terheran-

heran.

Tatapan mata si gadis yang bening 

memandang tajam pada Pendekar Blo'on. 

Tatapan mata yang mengandung makna 

begitu dalam. Sehingga membuat Suro 

Blondo tidak kuat memandangnya 

berlama-lama.

"Menurut guruku, orang yang telah 

membunuh kedua orang tuaku adalah 

kedua manusia katai itu. Selain itu 

masih ada satu lagi. Yaitu Kala Demit. 

Dan menurut kabar yang kudengar pula. 

Kala Demit tinggal di daerah Pasuruan 

juga," jelas Pendekar Blo'on.

Suro Blondo tiba-tiba menghen-

tikan ucapannya ketika melihat gadis 

berkerudung putih memandang ke arah 

lain.

"Sakitkah kau?" tanya Pendekar 

Blo'on.

Si Kerudung Putih menggelengkan 

kepalanya.

"Banyak yang kupikirkan akhir


akhir Ini," kata gadis cantik itu 

kemudian.

Ia tidak berani memandang pada 

Pendekar Blo'on. Seperti ada sesuatu 

yang meresahkan hatinya.

"Kalau boleh tahu, kurasa aku 

bersedia menjadi pendengar yang baik 

sebelum melanjutkan perjalanan."

"Aku tidak bisa mengatakannya."

"Kalau begitu tidak apa. Aku juga 

tidak mau memaksa. Aku sendiri kalau 

dipaksa juga tidak mau," tegas Suro 

Blondo sambil menggaruk kepalanya.

"Se... sebenarnya entah mengapa 

sejak pertama aku melihatmu tadi, aku 

tidak sampai hati jika sampai terjadi 

apa-apa denganmu. Kala Demit menurut 

kabar yang kudengar punya kepandaian 

segudang. Pukulan yang dimilikinya 

juga dahsyat! Selama ini belum pernah 

kulihat seorang pun yang dapat 

mengalahkannya," jelas si Kerudung

Putih.

"Ha ha ha...!" Suro Blondo 

tertawa membahak. Kemudian seka 

keningnya yang berkeringat. "Roh ayah 

dan ibuku tidak dapat tenang di alam 

kubur sana jika aku tidak dapat 

membalaskan kematian mereka. Aku tidak 

perduli apakah Kala Demit atau Katai 

Muka Merah punya kepandaian sebanyak 

buih di lautan ataupun tujuh lapis 

langit tembus. Sejak aku turun dari 

Semeru, aku telah bertekad untuk


mencari mereka," tegas Pendekar 

Blo'on.

"Aku... sudah terlanjur simpati 

dan ingin bersahabat denganmu."

"Aku suka bersahabat dengan siapa 

saja, tapi jangan coba-coba mencampuri 

urusanku!"

Si Kerudung Putih menganggukkan 

kepala.

"Aku sama sekali tidak bermaksud 

mencampuri urusanmu," tegas gadis itu.

"Kalau begitu, maaf. Sekarang aku 

harus pergi!"

Kerudung Putih tidak dapat

berkata apa-apa, ketika Suro berlalu. 

Namun... 

"Tunggu...!"

Suro Blondo tidak memperdulikan 

teriakan gadis itu. Ia terus berlari. 

Namun gadis Kerudung Putih terus 

mengejarnya sehingga Pendekar Blo’on 

terpaksa hentikan larinya dan memutar 

badannya menghadap gadis itu kembali.

"Ada apa? Apakah kau ingin men-

jadi penunjuk jalan bagiku?"

"Eeh... kalau kau mau. Kau dapat 

mempergunakan salah satu perahu yang

terdapat di bawah sana," kata si

gadis dengan muka bersemu merah.

"Wah... sekarang kau baik sekali. 

Terima kasih sekali," jawab Pendekar 

Blo'on, "Apakah aku harus membayar-

nya?"

Gadis Berkerudung Putih mengge


lengkan kepalanya pelan.

Benar saja, ketika pemuda 

berambut hitam kemerahan ini sampai di 

pinggir pantai bukit karang, 

dilihatnya ada dua perahu berukuran 

sama tertambat di situ.

"Dia begitu baik. Tapi aku tidak 

tahu maksud baiknya. Siapa dia? Mudah-

mudahan saja ia bukan anak kuntilanak 

atau penunggu teluk ini," bathin si 

pemuda.

Suro melepaskan salah satu 

perahu. Dengan mempergunakan perahu 

tersebut, Pendekar Blo'on menyeberangi 

selat yang cukup lebar. Sementara 

gadis Berkerudung Putih berdiri 

mematung di tempatnya. Wajahnya yang 

cantik berubah sendu. Sekarang ia 

menjadi ragu apakah ia harus mengikuti 

pemuda polos yang telah menyita 

perhatiannya dalam satu hari ini atau 

membiarkannya tewas di tangan Kala 

Demit?

Rasanya ia tidak sampai hati 

melihat Suro Blondo tewas di tangan 

tokoh sesat yang kabarnya punya 

kepandaian tinggi tersebut. Padahal 

menurut kabar, Kala Demit adalah tokoh 

yang tidak ada duanya di kolong langit 

ini.

"Aku harus mencegahnya untuk 

menghindari hal-hal yang tidak 

diingini terjadi padanya," bathin si 

Kerudung Putih.


Dewi Kerudung Putih kemudian 

menuruni bukit karang. Tidak lama ia 

telah mendayung perahunya menyusul 

Pendekar Blo'on.

Sepanjang perjalanannya menuju 

Pasuruan ia menjadi ragu-ragu. Entah 

mengapa ia merasa suka pada pemuda 

berambut kemerah-merahan ini. Padahal 

selama ini ia merasa belum pernah 

jatuh hati pada pemuda tampan mana 

pun. Tetapi yang satu ini terasa lain 

dari yang ada. Ia ingat betul ketika 

mencuri pandang pada si pemuda. 

Jantungnya berdetak lebih cepat, 

hatinya gelisah tidak menentu. Tatapan 

Pendekar Blo'on begitu polos dan 

menggetarkan.

Tidak biasanya si Kerudung Putih 

yang biasanya dapat bersikap tegas itu 

kini menjadi gadis yang seperti 

kehilangan keberanian. Keragua-raguan 

it uterus mengiringi perjalanannya 

menuju ke Pasuruan.

***

Muara Kali Condong ternyata 

sangat jauh lagi dari Pasuruan. Pemuda 

baju biru muda ini merasa perlu 

menangsal perutnya sebelum sampai ke 

tempat tujuan. Tapi di sepanjang jalan 

yang dilaluinya sangat jarang sekali 

warung penjual makanan. Kalupun ada 

itu pun sudah penuh sesak oleh


pengunjung.

"Kalau begitu aku harus mencari 

warung lain. Tapi... eh, sebaiknya aku 

bertanya pada orang di depan itu. 

Siapa tahu mereka dapat memberiku 

petunjuk di mana kira-kira Kala Demit 

berada." Setelah memikir sampai ke 

situ akhirnya ia menemui seorang laki-

laki yang kebetulan lewat di depannya.

"Ki... apakah Aki kenal dengan 

Kala Demit?"

Si laki-laki miringkan wajahnya. 

Telinga digerak-gerakkan. "Apa... di 

sini memang daerah yang ramai. Kalau 

mau jual atau beli ayam di ujung pasar 

sana." Laki-laki itu berlalu. Pendekar 

Blo'on geleng-gelengkan kepala.

"Orang itu mungkin tuli. Orang 

bertanya Kala Demit, dia malah bicara 

soal ayam! Dasar edan...!" Si pemuda 

menggerutu, lalu berjalan lagi. Tidak 

lama ia bertemu lagi dengan seorang 

pemuda. Pemuda itu bibirnya agak 

sumbing. Suro Blondo lambaikan tangan 

dan bertanya lagi: "Saudara... apakah 

saudara tahu di mana tempat tinggal 

Kala Demit?"

Pemuda itu memandang ke arah Suro 

Blondo, menelitinya sebentar sambil 

berkata: "Hohala hertanya henhang Hala 

Hemit? Holang haik hihu hinggal hihak 

hauh haii hini."

Mendengar jawaban si pemuda 

sumbing Suro Blondo jadi garuk-garuk


kepala karena tidak mengerti.

"Apa sih maksudnya?"

Si pemuda sumbing jadi jengkel 

melihat pemuda konyol di depannya. 

Lalu ia rapatkan bibirnya yang 

sumbing. Ia bicara dekat sekali dengan 

telinga Suro Blondo. Dengan merapatkan 

bibir suaranya semakin jelas.

"Saudara bertanya tentang Kala 

Demit? Orang baik itu tinggal tidak 

jauh dari sini, tolol!"

Pemuda sumbing segera berlalu. 

Suro Blondo hampir-hampir tidak dapat 

menahan tawanya. Karena perjelasan itu 

dianggapnya kurang cukup, maka ia 

menghampiri seseorang anak kecil yang 

sedang bermain di halaman.

"Dik! Di mana ya Kala Demit 

tinggal?" 

Bocah berusia sekitar sebelas 

tahun itu memandang pada si pemuda, 

lalu senyumnya mengembang.

"Dari sini abang terus saja, 

setelah itu belok ke kiri, setelah ke 

kiri terus belok ke kanan, lalu ke 

kiri lagi, kemudian ke kanan. Sampai 

di ujung jembatan bambu abang terus 

saja, lalu belok ke kiri, lalu ke 

kanan. Jika abang melihat patok-patok 

kuburan, nah dari situ sudah terlihat 

rumahnya."

Suro Blondo garuk-garuk rambutnya 

yang tidak gatal. Kepalanya menjadi 

pusing setelah mendengar keterangan si


bocah.

"Sial betul! Di dunia ini namanya 

belokan memang cuma ada dua. Kalau 

tidak ke kiri ya ke kanan. Akh... 

bodohnya aku. Mengapa kena dikerjai 

oleh bocah ingusan?"

Suro menggerutu sendiri, tanpa 

mau bertanya-tanya lagi. Akhirnya ia 

memutuskan untuk menelusuri jalan 

sebagaimana yang dikatakan oleh si 

bocah. Langkahnya cepat, mulutnya 

berkomat-kamit menghitung banyaknya 

tikungan yang telah dilaluinya "Kiri-

kanan. Hem, kiri lagi. Kiri-kanan. 

Weleh-weleh banyak sekali tikungan di 

sini. Berarti bocah itu tidak bohong, 

ia jujur. Untungnya aku bertemu dengan 

anak lugu. Hmm, sekarang kanan... ha 

ha ha... kiri lagi... dan... kalau 

tidak salah itulah jembatan bambu yang 

dimaksudkannya. Tapi mengapa tidak 

kulihat patok-patok kuburan? Jangan-

jangan anak itu membohongiku. Ah... 

bohong apa bukan ya... bukan apa 

bohong ya... bukan bohong!" kata si 

pemuda sambil berjingkrak ketika 

melihat sebuah tempat pemakaman yang 

luas terbentang di seberang jembatan 

sungai.

Suro Blondo bergegas menyeberang. 

Tapi di depan mulut jembatan, 

langkahnya tertahan ketika melihat 

sebuah papan peringatan. Bertulis....


Sudi jembatan gila

Jika datang mengusung mayat, 

berarti selamat

Jika tiba membawa niat baik, 

berarti manusia cerdik

Andai datang membawa dendam dan 

amarah berarti celaka...!

"Omong kosong!" Suro Blondo 

tersenyum mencibir. "Pasti semua ini 

perbuatan Kala Demit. Betapa sok 

tahunya manusia busuk yang satu itu. 

Aku, Suro Blondo datang ingin menuntut 

balas. Hei….. jembatan gila, sinting, 

miring. Coba tunjukkan kebolehan 

gilamu!"

Baru selesai ia berucap, maka 

pemuda ini mulai menyeberangi jembatan 

bambu yang lebarnya tidak lebih dari 

satu meter ini. Di bawahnya lebih 

kurang sepuluh tombak sebuah jeram 

berbatu dan deras airnya menanti 

tubuhnya. Pendek kata tarpeleset 

sedikit saja nyawa tidak akan ter-

tolong. Dengan gerakan ringan Pendekar 

Blo'on mulai menyeberang. Tapi entah 

mengapa tiba-tiba saja jembatan ter-

sebut bergetar. Getaran itu disertai 

guncangan keras, hingga membuat si 

pemuda nyaris terlempar dari atas 

jembatan.

"Benar! Sudi Jembatan edan... Ee, 

bagaimana ini? Bambu-bambu ini terus 

bergerak seperti ada yang mengayunnya,


Kalau begitu aku harus merangkak di 

atasnya...."

Suro Blondo akhirnya terpaksa 

merangkak dengan kedua kaki dan 

tangannya. Sesekali ia harus ber-

pelukan erat pada batang bambu untuk 

menjaga keseimbangan tubuhnya.

Jika semula gerakannya lambat, 

semakin lama dan semakin ke tengah

semakin dipercepatnya. Sampai akhirnya 

ia benar benar sampai ke seberang 

dengan selamat.

"Puuuuh...!" Si pemuda menghem-

buskan nafasnya dalam-dalam. "Jembatan 

gila si Sudi tidak bisa dianggap main-

main!"

Pemuda berambut kemerahan ber-

tampang tolol berwajah tampan ini 

memandang ke sekelilingnya,

Di ujung tanah pemakaman itu ia 

melihat sebuah rumah sederhana berdiri 

tegak dengan tenangnya. Selain rumah 

yang satu itu, memang tidak ada rumah-

rumah penduduk lainnya.

"Kala Demit memang manusia 

cerdik. Ia memilih tempat tinggal 

dekat kuburan agar aku tidak susah-

susah menguburkannya!"

***

DELAPAN


Merasa tujuannya hampir sampai, 

Suro Blondo mengayunkan langkahnya 

lagi. Setelah melewati jalan setapak, 

ia terpaksa mengambil jalan pintas 

dengan melewati tengah-tengah kuburan.

Pada saat ia berjalan itulah, 

Suro merasa ada sesuatu yang tidak 

beres. Tanah yang dipijaknya bergerak-

gerak seperti hidup. Permukaan tanah 

bergelombang. Ketika Pendekar Blo'on 

menghentikan langkahnya, maka permu-

kaan tanah yang ikut bergerak-gerak 

tadi ikut berhenti pula.

"Acara edan apa lagi ini yang 

dipersembahkan oleh Kala Demit? Aku 

tidak yakin ada dedemit yang mengikuti 

aku melalui bawah tanah. Atau memang 

ada siluman yang dapat melakukannya?" 

bathin Suro Blondo.

Ia memandang ke sekelilingnya 

yang sepi, lalu memandang ke langit 

yang sunyi Suro tiba-tiba merasa 

berada dalam keterasingan waktu. 

Dan hidup di dunia ini seperti 

seorang diri.

"Suro! Hati dan pikiranmu 

sesungguhnya adalah satu. Jika kau 

merasa hidup ini sepi. Sesungguhnya 

itu hanya permainan dan suasana hati. 

Lingkunganmu adalah duniamu. Kau hadir 

di dunia ini bersama empat saudaramu. 

Suatu saat kau kembali lagi pada Sang


Pencipta, juga sendiri. Jika kau 

berada di kuburan, maka ingat-ingatlah 

mati. Karena kematian itu pasti akan 

datang pada setiap orang. Tidak 

perduli apakah dia orang berpangkat, 

hartawan, atau gembel sekali pun. 

Tidak seorang pun yang dapat menunda-

nunda kematiannya, walau barang 

sedetik pun. Musuh yang paling hebat 

datang dari diri sendiri, yaitu dari 

hawa nafsumu. Kebanyakan manusia jadi 

celaka dan tidak berguna karena 

terlalu menuruti hawa nafsu!"

Wejangan-wejangan yang pernah 

diberikan oleh gurunya kini seakan 

mengiang kembali di dalam gendang-

gendang telinganya.

"Di sana kubur di sini kubur, di 

tengah-tengah aku berdiri. Aku hanya 

orang yang ingin berbakti pada orang 

tua. Hawa amarahku tidak kelihatan, 

namun Kala Demit harus kucari!" pikir 

Pendekar Blo'on.

Setelah menimbang baik buruknya, 

Suro Blondo bermaksud meneruskan 

langkahnya lagi. Namun langkah kakinya 

terhenti seketika saat melihat ada 

papan peringatan tidak jauh dari 

tempat ia berdiri.

Saudara sampai di kuburan Mayat 

Hidup

Teruskan langkah berarti celaka!

Lupahanlah masa lalu, karena


setiap manusia, 

Tidak pernah luput dari khilaf 

dan dosa 

Lebih baik kita berdamai saja....

Suro tersenyum mencibir, lalu 

pencongkan mulutnya. "Mana bisa! Kalau 

orang tuaku dapat hidup kembali dengan 

hanya sejuta kata penyesalan dan maaf. 

Tentu setiap orang sudi memberi maaf. 

Hutang darah bayar darah, hutang pati 

bayar pati. Hutang ubi harus dibayar 

dengan talas. Hutang mati harus 

dibalas. Kala Demit! Begini pengecut-

nyakah kau.... Tunjukanlah dirimu agar 

kau dapat melihat bocah yang kau cari-

cari dulu kini telah menyerahkan diri 

datang sendiri!" teriak Pendekar 

Blo'on.

Sejenak adalah hening. Sepi 

begitu menyentak, hingga setiap 

tarikan nafas Suro Blondo terdengar 

dengan jelas.

Hingga sejauh itu tidak terdengar 

suara apa-apa. Suro Blondo mulai 

mencari-cari. Namun apa yang 

diharapkannya tidak muncul-muncul juga 

hingga membuatnya jadi kesal.

"Baiklah... kalau kau tidak mau 

menemuiku. Aku akan menyeretmu keluar 

dari pondok bututmu itu, Kala Demit!'' 

teriak si pemuda dengan suara lebih 

lantang lagi.

"Gleerrr...!"


Bukan jawaban yang didapatnya, 

tapi suara menggemuruh yang disertai 

retaknya permukaan tanah. Pada retakan 

tanah itu terlihat gerakan aneh seakan 

ada sebuah kekuatan yang meronta-ronta 

dari dalamnya.

Suro Blondo terkesiap. Memandang 

berkeliling, pemandangan yang sama 

terlihat dengan jelas. Lalu....

Diawali dengan suara ringkikan 

panjang, maka menyembullah sosok 

kepala dalam jumlah yang sangat 

banyak. Lalu sosok tubuh menggeliat 

keluar.

Wajah mereka sangat menyeramkan, 

karena wajah itu rusak dan berlendir. 

Hidung sumplung, kedua mata membentuk 

rongga besar. Tercium pula bau busuk 

menusuk penciuman. Hingga membuat si 

pemuda berjalan mundur sambil menahan

napas agar tidak muntah.

"Mayat hidup? Mungkinkah semua 

ini perbuatan Kala Demit? Begitu 

pengecutnya dia...!" desis Suro 

Blondo.

Tidak sampai sepemakan sirih, 

pemuda berambut hitam kemerahan ini 

telah dikepung dari segala penjuru 

arah.

"Edan...!"

"Groaaaakh...!"

"Crep! Craap!"

"Hiyaaa...!" Suro lentingkan 

tubuhnya. Hingga kedua kakinya yang


terpegang oleh mayat-mayat hidup dapat 

terlepas.

"Groaakh...!"

Baru saja Suro menjejakkan 

kakinya di atas tanah, mayat-mayat 

gentayangan ini telah menyergapnya 

kembali.

Begitu kompaknya serangan mereka, 

sehingga membuat Suro jadi kerepotan. 

Ia melompat lagi ke udara. Ia segera 

mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah 

Kutu' Tangan pemuda itu bergerak 

dengan lincahnya, sementara kaki 

terkadang menendang atau meliuk-liuk 

menghindari sergapan lawan-lawannya 

yang terdiri dari mayat-mayat yang 

serba menjijikkan ini.

"Groakkk...!"

"Upts...!"

Begitu ganasnya serangan-serangan 

mayat hidup ini hingga membuat Suro 

Blondo semakin bertambah repot saja. 

"Heyaa...!" 

"Duk! Duk!" 

"Gubrak!"

Suro Blondo jatuh terguling-

guling. Belum sempat ia berdiri, kaki 

mayat hidup yang berselumut lendir 

menendangnya berulang-ulang. Hingga 

membuatnya terhempas kian kemari.

"Sesuatu yang mengacaukan ter-

kadang banyak menolong dirimu!"

Dalam keadaan muntah darah 

seperti itu, Suro seperti mendengar


petuah kakek merangkap gurunya, yaitu 

Malaikat Berambut Api.

"Hraa...!"

Pendekar Blo'on melompat menjauh. 

Setelah berdiri sepenuhnya, tanpa 

menghiraukan darah yang meleleh di 

bibirnya, ia putar langkah, mulut 

dimonyong-monyongkan, lalu gerakan 

yang dilakukannya kemudian adalah 

sesuatu yang sangat kacau. Inilah 

jurus 'Kacau Balau'. Sebuah jurus 

pamungkas kedua yang dilandasi dengan 

gerakan aneh dan sangat kacau dan 

jelas sangat bertentangan dengan 

jurus-jurus silat.

Betapa tidak, terkadang tubuh si 

pemuda terhuyung ke depan seperti 

orang yang hendak terjengkang. Di lain 

saat miring ke kiri, oleng ke kanan. 

Kaki setengah diangkat seperti orang 

yang terpeleset kulit pisang.

Namun betapa pun hebatnya sera-

ngan mayat-mayat hidup ini, tidak satu 

pun serangan mereka mengenai sasaran.

Sebaliknya, begitu Suro melakukan 

serangan balik dengan cara yang aneh 

dan sulit diikuti kasat mata, maka 

lawan-lawannya nampak berpelantingan 

terkena jotosan maupun tendangan 

kakinya.

Melihat kawannya bergelimpangan, 

maka yang lainnya menyerang dengan 

kecepatan dan kekuatan berlipat ganda. 

Sebaliknya mayat-mayat hidup yang


sempat terhempas ini bangkit pula 

kembali. Sehingga tekanan serangan 

lawan semakin bertambah berat saja.

"Gila...! Mayat-mayat ini 

digerakkan oleh satu kekuatan. Aku 

harus melepaskan pukulan 'Ratapan 

Pembangkit Sukma'," desis Suro Blondo.

"Huup!"

Pemuda ini menarik tangannya yang 

membentang lurus ke depan. Setelah itu 

ia kerahkan tenaga dalam yang 

dimilikinya. Sekejap kedua tangannya 

bergetar, sedangkan sekujur tubuhnya 

hanya dalam waktu singkat telah 

dibasahi keringat.

"Hyaaa...!"

"Wuuk! Wuuk! Wuuk!"

Angin kencang disertai hawa 

dingin menderu ke delapan penjuru 

arah. Gelombang angin bercampur salju 

putih ini kemudian menghantam mayat-

mayat gentayangan itu dengan telak.

"Bumm! Buum! Buum!"

"Groaaaakh...!"

Jerit menggidikkan terdengar. 

Jasad rusak busuk mengerikan berpelan-

tingan roboh. Mereka berubah beku, 

tapi yang terhindar dari pukulan 

dahsyat si pemuda, lepaskan pukulan 

yang tidak kalah dahsyatnya dari 

pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'.

Kenyataan ini membuat Pendekar 

Blo'on terkesiap. Dengan cepat ia 

lepaskan pukulan yang sama lagi.


"Glar! Glaar!"

Ledakan-ledakan yang keras dan 

memekakkan gendang telinga terdengar. 

Pemakaman umum jadi porak poranda. 

Suro Blondo jatuh terguling-guling. 

Nyata kalau ia menderita luka dalam 

yang cukup serius. Terbukti darah 

mengalir tidak ada henti dari sudut 

bibirnya.

Ia langsung menelan dua butir pel 

berwarna hitam. Tidak lama darah 

terhenti.

Terhuyung-huyung pemuda ini 

bangkit berdiri. Mulutnya peletat-

peletot, suatu pertanda amarahnya

sudah sampai ke ubun-ubun.

“Jika aku tidak pergunakan sen-

jata! Kurasa sebentar lagi jiwaku 

melayang," bathinnya. Kemudian ia 

mencabut mandau di balik pakaiannya. 

Lalu terdengar suara tawanya memba-

hana. "Mandau Jantan! Jika benar kau 

penjelmaan dari seorang pertapa sakti 

patah hati. Tunjukkanlah kehebatanmu! 

Aku membunuh mayat hidup yang 

menyalahi aturan. Tempat mereka adalah 

di liang kubur! Hiyaaa...!"

"Hiiiii...!"

Begitu mandau jantan di tangan 

Suro Blondo berkiblat. Maka empat 

lubang miring yang terdapat di tengah-

tengah mandau tersebut mengeluarkan 

suara jeritan tangis.

Sinar hitam menderu-deru disertai


bersiurnya udara dingin luar biasa. 

Laksana kilat senjata maut ini 

menerabas.

"Crass! Tas! Ctas! Ctaas!"

"Grooook...!"

Mayat-mayat hidup itu pun 

berpelantingan terkena tebasan senjata 

milik Pendekar Blo'on.

Di luar sepengetahuan si pemuda. 

Kiranya ada sepasang mata indah dan 

bening memperhatikan sepak terjangnya. 

Ia sempat mengkirik ketika melihat 

senjata di tangan pemuda itu membuat 

mayat-mayat hidup yang tentunya telah 

dibangkitkan oleh Kala Demit menjadi 

tidak berarti sama sekali.

Tapi lama kelamaan ia tidak tega 

juga melihat pemuda ini mengamuk 

membabi buta. Sebab ia tahu persis 

bahwa mayat-mayat itu tidak mungkin 

dihentikan meskipun mereka telah 

kehilangan kepala, tangan maupun 

kakinya.

Tidak lama kemudian ia pun keluar 

dari tempat persembunyiannya.

"Rebah...!"

Terdengar suara teriakan gadis 

berkerudung putih ini. Maka tanpa 

disangka-sangka oleh Suro Blondo, 

mayat-mayat yang menyerang Pendekar 

Blo'on pun berjatuhan dan kembali ke 

asalnya.

Jasad mereka dalam waktu singkat 

telah berubah membusuk. Suro ter


kesiap. Ia memandang ke arah datangnya 

suara.

"Kau...! Rupanya kau mengikuti 

aku, Kerudung Putih!" dengus Suro 

Blondo. "Pasti semua ini adalah 

permainanmu!"

"Justru kau salah! Aku hanya tahu 

bagaimana caranya menjatuhkan mereka, 

bukan membangkitkannya," bantah si 

gadis tegas.

"Lalu apa tujuanmu mengikuti aku

kemari?"

"Aku hanya mengkhawatirkan kese-

lamatanmu" jawab Dewi Kerudung Putih 

dengan malu-malu.

Suro merasa serba salah.

“Kau tidak punya sangkut paut 

apa-apa denganku. Jika aku mati engkau 

pun tidak akan rugi."

“Tetapi aku tidak mau melihat kau

mati,"

"Kalau begitu coba kau katakan di 

mana Kala Demit dan Katai Muka Merah! 

Aku tidak melihat dia ada di rumah 

itu," ujar si pemuda.

"Aku tidak mampu memastikannya. 

Mungkin beliau sedang melakukan 

perjalanan ke Madura. Biasanya sangat 

lama dan entah kapan dia pulang ke 

sini lagi!"

Kening Suro berkerut tajam. "Kau 

ada hubungan apa dengan Kala Demit?" 

Dewi Kerudung Putih menggelengkan 

kepala.


"Mengapa waktu itu kau 

menghalangi aku?" tanya Pendekar 

Blo'on tanpa berani memandang ke mata 

si gadis yang menyimpan seribu macam 

teka-teki itu.

Dewi Kerudung Putih tampaknya 

ingin mengatakan sesuatu. Tetapi 

bibirnya seperti terkunci. Hanya 

tatapan matanya yang terasa begitu 

aneh, bahkan kemudian wajah gadis 

berkulit bersih dengan bulu-bulu halus 

di pipinya tampak kemerah-merahan.

"Engkau tidak mengerti bagaimana 

perasaanku saat pertama kali melihatmu 

di teluk," jerit Dewi Kerudung Putih.

Selanjutnya tanpa bicara apa-apa 

lagi ia segera berkelebat pergi. 

Begitu cepat gerakannya, sehingga 

dalam waktu singkat Dewi Kerudung 

Putih telah lenyap dari pandangan mata 

si pemuda.

"Dia begitu aneh, tatapan matanya 

juga aneh. Matanya terasa lembut 

bening dan sejuk. Dan caranya 

memandang yang malu-malu. Sepertinya 

ia kagum padaku. Ah... ada-ada saja," 

dengus Pendekar Blo'on seraya kemudian 

geleng-geleng kepala. Ia merasa 

pikirannya menjadi kalut. Kala Demit 

adalah musuh besarnya, demikian juga 

dengan Katai Muka Merah. Tetapi gadis 

yang berjuluk Dewi Kerudung Putih itu 

mengapa selalu membayangi dan 

mengkhawatirkan keselamatannya?


"Jika seorang gadis menaruh 

perhatian besar padamu. Bisa jadi ia 

sedang jatuh cinta."

Kata-kata yang pernah diucapkan 

oleh Penghulu Siluman Kera Putih 

seakan mengiang kembali di telinganya.

Suro tersenyum masam. Dua gadis 

cantik paling tidak telah menyita 

perhatian dan waktunya. Walau itu

hanya sedikit.

Yang satu agak terbuka. Sedangkan 

yang satunya lagi sangat misterius. 

Pemuda bertampang ketolol-tololan seka 

keringat di wajahnya, sambil 

menggeleng-gelengkan kepala ia me-

langkah pergi.

Suro Blondo sama sekali tidak 

menyadari bahwa sejak meninggalkan 

teluk di pantai laut Selatan, ada 

bayangan-bayangan lain yang terus 

mengikutinya dari tempat yang cukup 

aman.

Gerakan bayangan-bayangan terse-

but sangat cepat seperti setan. 

Terkadang mereka mengikuti dari jarak 

yang sangat dekat. Tetapi tidak jarang 

bayangan-bayangan itu menghilang, 

kemudian muncul bayangan baru meng-

gantikan posisi yang pertama.

"Bagaimana pun aku harus pergi ke 

Madura. Kurasa gadis kerudung putih 

tidak berdusta. Ha ha ha...! Kuda 

budek sapi nungging. Ke mana pun 

kalian bersembunyi aku tetap akan

mengejar kalian!" seru Pendekar Blo'on 

seperti orang sinting.



SEMBILAN



Laki-laki itu berbadan tegap 

tinggi, perutnya bundar, kulit hitam 

seperti arang. Wajahnya angker dan 

tampak ditumbuhi cambang serta jenggot 

lebar berwarna putih. Rambutnya yang 

jarang juga tampak telah memutih. Bila 

tersenyum giginya yang cuma tinggal 

beberapa buah terlihat jelas. Gigi-

gigi itu berwarna hitam.

Di dalam ruangan sempit bangunan 

batu, ia tampak mondar-mandir seperti 

ada sesuatu yang sangat mengusik 

pikirannya. Mulutnya tidak henti-henti 

mengunyah. Ketika ia meludah, maka 

ludahnya tampak berwarna merah.

Di Rimba persilatan kakek tua 

yang suka makan sirih ini dikenal 

dengan julukan 'Datuk Hitam Gadang 

Dibumi'. Beberapa tahun yang lalu ia 

baru saja meninggalkan tanah Andalas. 

Kejahatannya yang menggunung membuat 

ia dimusuhi oleh tokoh-tokoh 

persilatan tanah Andalas. Ia bukan

saja tokoh hitam sesat yang selalu 

membuat onar dan beberapa kali 

melakukan pemberontakan tarhadap Rajo 

Mangku Alam. Tetapi perbuatannya yang 

selalu menculik gadis-gadis demi


kesempurnaan ilmunya telah membuat 

penduduk di tanah barat menjadi 

khawatir sekaligus murka.

Rajo Mangku Alam bahkan 

menyediakan dua kantung emas bagi yang 

dapat manangkap Datuk Hitam Gadang 

Dibumi hidup atau mati. Tidak heran 

jika akhirnya ia meninggalkan tanah 

Andalas dan kini gantayangan di tanah 

Jawa.

Satu hal yang menguntungkannya. 

Di tanah Jawa ini ia mempunyai dua 

orang sahabat baik. Katai Muka Mayat 

dan Katai Muka Merah adalah kawan-

kawan yang bersedia memberi tumpangan 

hidup dengan segala fasilitasnya. 

Walaupun begitu, kebiasaan Datuk Hitam 

Gadang Dibumi dalam menculik anak-anak 

perawan terus berlanjut. Apalagi 

mengingat sekarang di tanah Jawa ini 

ia mempunyai anak buah yang selalu 

patuh menjalankan perintahnya.

Kini ia menjadi sangat resah, 

karena sudah dua hari anak buahnya 

yang bernama Lohgender atau yang lebih 

dikenal dengan julukan Setan Merah 

Mata Jereng belum juga kembali dari 

perjalanannya. Padahal keinginannya 

untuk mencicipi kehangatan tubuh 

wanita sudah semakin menggebu-gebu.

"Setan alas. Menunggu... menunggu 

dan terus begitu sepanjang hari. Lama 

kelamaan membuat aku bosan. Setan 

Merah Mata Jereng, kalau sampai tidak


mendapatkan gadis malam ini, hukumanmu 

akan semakin bertambah berat...!" 

geram si Datuk sambil membanting-

bantingkan kakinya. Bangunan batu kali 

bergetar hebat ketika kaki Datuk Hitam 

Gadang Dibumi menghantam lantai batu.

Tanpa menghiraukan getaran yang 

terjadi, laki-laki bertelanjang dada 

itu berjalan mondar-mandir mengitari 

ruangan. Tetapi langkahnya terhenti 

dengan tiba-tiba. Rupanya ia mendengar 

sesuatu yang mencurigakan di luar 

sana. Setelah menunggu beberapa saat 

lamanya, kemudian terdengar suara 

ketukan pada daun pintu yang sudah 

tua.

"Trotok! Tok! Tok!"

"Siapa?" bentak Datuk Hitam 

Gadang Dibumi.

"Aku yang datang Datuk. Harap 

membuka pintu, santapan yang kubawa 

ini kurasa sangat sesuai dengan 

seleramu!" terdengar sebuah jawaban. 

Suara orang di luar serak, seakan 

ada kodok di dalam tenggorokannya.

Kakek berambut putih bertampang 

bengis segera menghampiri pintu.

Setelah pintu dibuka maka di depan 

pintu tersebut berdiri seorang laki-

laki bermuka merah, sedangkan matanya 

yang menjorok ke dalam rongga tampak

jereng. Di bahu laki-laki berumur 

sekitar lima puluh tahun tersebut 

tersampir tubuh seorang wanita.


Melihat keadaannya yang lemah lunglai,

tampaknya gadis memakai kain kebaya 

itu dalam keadaan tertotok baik urat 

gerak maupun suaranya.

"Bawa ke kamarku!" perintah Datuk 

Hitam Gadang Dibumi sambil leletkan 

lidah basahi bibir.

Laki-laki muka merah segera 

melakukan perintah atasannya. Setelah 

meletakkan tubuh gadis malang tersebut 

di atas tempat tidur yang terbuat dari 

batu pula, maka Setan Merah Mata 

Jereng keluar kembali. Ia duduk di 

ruangan depan sambil mengeluarkan 

sebuah bumbung kecil berwarna hitam 

dari balik pakaiannya. Isi bambu 

diintipnya, sehingga terlihat sepasang 

Yuyu (sejenis kepiting kecil air 

tawar). Yuyu-yuyu itu dikeluarkannya.

"Apa itu?" tanya Datuk Hitam 

Gadang Dibumi.

"Sepasang Yuyu, Datuk!" sahut 

Setan Merah Mata Jereng ketakutan dan 

tampak berusaha melindungi binatang 

mainannya.

"Aku bosan melihat yuyumu. 

Rupanya kutugaskan selama dua hari kau 

mencari yuyu dulu baru kemudian 

mencari gadis yang aku inginkan?!"

"Tidak Datuk! Kutemukan mainan 

kesayanganku ini di tengah jalan."

"Bagaimana kalau yuyumu kubunuh?" 

Setan Merah Mata Jereng ter-

kesiap. Dua hari yang lalu Datuk itu


juga membunuh yuyu-yuyu miliknya.

Padahal mainan itu sangat ia senangi 

dunia akhirat.

"Jangan... kumohon Datuk jangan 

membunuhnya. Yuyu ini adalah belahan 

hatiku. Jika Datuk membunuhnya, oh... 

aku bisa sangat sedih sekali!" ucap 

Setan Merah Mata Jereng.

"Baiklah, aku tidak akan mem-

buatmu kecewa. Tetapi kuharap selama 

aku bersenang-senang, kau main di luar 

sana!"

"Bbb... baik, Datuk. Terima kasih 

karena kau tidak menyakiti binatang 

kesayanganku!" ucap si laki-laki muka 

merah. Setelah itu Setan Merah Muka 

Jereng segera meninggalkan ruangan 

tersebut. Datuk Hitam Gadang Dibumi 

tersenyum sinis, lalu ia melangkah 

menuju kamarnya.

Sebentar saja Datuk Hitam Gadang 

Dibumi telah berada di dalam kamarnya 

sendiri. Matanya yang bengis memandang

tajam pada calon korbannya.

"Tubuh ramping, dada padat dan 

pinggulmu! Ha ha ha...!" Si Datuk 

tertawa membahak. Sejenak ia terdiam, 

tangannya dangan liar meraba-raba dada 

si gadis yang terasa padat dan 

kenyal. Gadis malang tersebut tentu 

saja tidak dapat mencegah kekurang

ajaran si Datuk apalagi berteriak, 

karena sekujur tubuhnya dalam keadaan 

tertotok.


"Tidak perlu merasa takut Sayang. 

Kita akan bersenang-senang. Aku akan

memberimu sebuah pengalaman yang belum 

pernah kau dapatkan selama ini!" kata 

laki-laki tua itu.

Kemudian Datuk Hitam Gadang 

Dibumi duduk di samping gadis itu. Ia 

mendaratkan ciuman bertubi-tubi di 

bibir si gadis. Gadis malang berkulit 

kuning langsat tersebut tampak 

menitikkan air mata. Wajahnya berubah 

pucat ketakutan.

Datuk Hitam Gadang Dibumi sama 

sekali tidak menghiraukan semua ini.

Malah sekarang ciumannya turun ke 

bagian leher si gadis yang jenjang. 

Lalu secara kasar.... 

"Bret! Bret!"

Jemari tangannya yang kokoh 

mencabik habis pakaian yang membalut 

tubuh gadis itu. Sehingga gadis malang 

tadi sekarang sudah tidak berpenutup 

sama sekali.

Mata sang Datuk berubah jalang 

macam singa kelaparan. Tangannya 

Bemakin kurang ajar Baja. Menggerayang 

dan meremas-remas dada si gadis dengan 

kasar. Tidak berselang beberapa lama

bahkan tangannya meluncur ke bawah 

perut dan bermain-main di sana.

Air mata gadis itu semakin deras 

menetes. Sementara Datuk Gadang Dibumi 

mulai melepaskan pakaiannya sendiri. 

Sebentar saja ia telah berada di atas


tubuh si gadis. Kemudian ia melakukan 

gerakan-gerakan yang teratur. Gadis 

tersebut menyeringai kesakitan ketika 

kejantanan Datuk Hitam Gadang Dibumi 

memasuki dirinya dengan paksa.

Gerakan laki-laki tua itu semakin 

lama semakin menggila, menghempas-

hempas dengan hebatnya. Hingga akhir-

nya tubuh tuanya melengkung disertai 

teriakan lirih penuh kenikmatan. 

Kemudian ia terkapar dengan senyum 

puas mengambang di bibirnya.

Tidak terbayangkan betapa hebat-

nya penderitaan si gadis. Hatinya 

jelas-jelas terguncang. Andaikan saja 

dia tidak dalam keadaan tertotok dapat 

dipastikan gadis itu telah membunuh 

diri.

"Ha ha ha…! Hebat... kau gadis 

yang masih suci! Karena itu aku 

mengampuni jiwamu. Jika saja kau sudah 

tidak asli lagi. Tentu kau sudah 

kubunuh...!" ucap Datuk Hitam Gadang 

Dibumi sambil mengenakan pakaiannya 

kembali. 

"Tok! Tok! Tok!"

Baru saja sang Datuk selesai 

berpakaian, pintu sudah ada yang 

mengetuknya.

"Bangsat apa lagi yang berani 

mengganggu ketenanganku!" dengusnya 

geram.

Kemudian ia menghampiri pintu dan 

membukanya. Ia menjadi jengkel, karena


yang mengetuk pintu tidak lain adalah 

Setan Merah Mata Jereng.

"Ada apa lagi? Apakah kau tidak 

tahu bagaimana kebiasaanku?" bentak si 

tua bengis marah.

"Maaf, Datuk. Di luar ada orang 

terluka parah ingin bertemu denganmu!" 

lapor Setan Merah Mata Jereng 

ketakutan.

"Kalau sudah terluka parah 

biarkan saja mampus. Bukankah kau juga 

bisa mempercepat kematiannya?"

"Tet... tetapi ia mengaku sebagai 

kawan Datuk sendiri," ujar Si Jereng. 

Kemudian ia menjelaskan ciri-ciri 

orang yang dilihatnya. Wajah sang 

Datuk seketika berubah.

Tanpa bicara apa-apa ia segera 

bergegas keluar dari dalam bangunan 

tersebut. Ternyata di depan pintu 

tampak seorang laki-laki bermuka pucat 

seperti kain kafan dalam keadaan 

lemah. Di tubuh laki-laki bertubuh 

pendek ini terdapat beberapa luka yang 

sudah mulai membusuk.

"Katai Muka Mayat, sahabatku...?" 

seru Datuk Hitam Gadang Dibumi dengan 

terkejut.

Ia segera memapah sahabatnya itu 

untuk dibawa masuk ke dalam. Setelah 

berada di dalam ruangan, maka Setan 

Merah Mata Jereng merebahkannya di 

atas tempat tidur sederhana terbuat 

dari marmar.


"Apa yang terjadi denganmu?" 

tanya kakek berbadan tinggi jangkung 

berkulit gelap ingin tahu.

"Akkh... seseorang. Bocah ajaib 

itu memukulku dengan pukulan yang 

sungguh dahsyat. Ia datang untuk 

menuntut balas atas kematian orang 

tuanya dua puluh tahun yang lalu," 

jelas Katai Muka Mayat.

"Siapa?" desak sang Datuk.

Sementara itu Setan Merah Mata 

Jereng telah kembali lagi menemui 

ketuanya dengan membawa obat-obatan 

yang dibutuhkan.

"Waktu peristiwa menggemparkan 

terjadi, kau mungkin belum berada di 

sini..." ujar laki-laki berbadan 

kerdil itu. Kemudian sacara singkat ia 

menceritakan segala sesuatunya di masa 

silam dengan jelas.

"Hmm, geger bayi ajaib yang 

terlahir pada malam satu Asyuro itu 

ketika berada di Andalas aku memang 

pernah mendengar. Tapi kala itu aku 

hanya menganggapnya hanya sebagai 

kabar burung. Ternyata pemuda itu 

benar-benar ada?!" dengus Datuk Hitam

Gadang Dibumi. "Rupanya tempat 

tinggalmu di pantai Selatan telah 

diketahuiuya? Kalau begitu alangkah 

lebih baik jika kau tinggal di sini 

bersama aku. Kita mempunyai kesenangan 

yang sama. Kurasa kita mempunyai 

kecocokan satu sama lain."


"Aku hanya akan membuat kau

repot. Kurasa jika luka dalam ini 

telah sembuh, mungkin aku akan segera 

kembali ke teluk lagi. Saat ini kurasa 

pemuda itu mengira aku sudah mati. 

Karena waktu itu aku terlempar ke 

laut...!"

"Sobatku, Katai. Aku bisa sampai 

ke tanah Jawa ini karena jasa baikmu 

dan juga saudara seperguruanmu. Apa 

salahnya jika sebagai sahabat kita 

saling tolong menolong?" ujar Datuk 

Hitam Gadang Dibumi serius.

"Kutekankan padamu, aku tidak 

ingin menyusahkan engkau. Lagipula 

jika bocah ajaib itu sampai tahu aku 

berada di sini, maka aku tidak dapat 

menyangkal dia juga akan memusuhimu!" 

kata Katai Muka Mayat khawatir.

"Ha ha ha...! Apakah bocah itu 

begitu hebat di matamu, sehingga 

engkau menjadi takut? Aku juga jelas 

tidak berpangku tangan, jika dia 

datang tentu dia menjadi bagianku!"

Datuk Hitam Gadang Dibumi 

selanjutnya memerintahkan Setan Merah 

Mata Jereng untuk tetap berjaga-jaga 

di depan.

Katai Muka Mayat sendiri 

menyadari kali ini luka-luka yang 

dideritanya cukup parah. Bahkan ia 

telah berusaha menyembuhkan luka 

dalamnya. Namun sampai sejauh itu 

tidak juga berhasil.


"Baiklah kuterima tawaranmu itu." 

Katai Muka Mayat akhirnya memberi 

keputusan.

Datuk Hitam Gadang Dibumi tentu 

saja merasa senang mendengarnya.



SEPULUH



Hampir sepekan pemuda berambut 

hitam kemerah-merahan ini melakukan 

perjalanan. Tetapi perjalanannya ke 

Madura tidak membuahkan hasil apa-apa. 

Katai Muka Merah seakan hilang raib 

ditelan bumi. Semua ini membuat 

hatinya menjadi penasaran. Mungkinkah 

Katai Muka Merah pergi ke tempat lain, 

atau Dewi Kerudung Putih sengaja 

berbohong padanya. Namun kalau 

dipikirkan lagi apa untungnya?

Dengan kecewa akhirnya Suro 

kembali ke tanah Jawa. Di sepanjang 

perjalanan ia tidak henti-hentinya 

menggerutu.

"Dia berani membohongi aku. Kalau 

ketemu lagi akan kupotong lidahnya. 

Oh, bukan hanya lidahnya saja, tapi 

tangan dan kaki juga harus 

kupotong...!" pikir Pendekar Blo'on 

sambil garuk-garuk kepala.

Kini ia memasuki sebuah daerah 

yang sangat tandus di mana tidak 

terdapat rumah-rumah penduduk di situ. 

Dalam suasana panas terik seperti itu 

ia terus mengayunkan langkahnya. Tidak

sampai sepemakan sirih si pemuda 

berjalan, tiba-tiba saja langkahnya 

terhenti.

"Bau busuk ini, seperti bau

bangkai manusia," kata Suro.

Ia kemudian mengendus-endus, 

sehingga hidungnya kembang kempis 

seperti binatang buas yang sedang 

mengintai mangsanya.

"Bau ini datangnya dari arah 

selatan. Hmm, betul dari arah sini!" 

Suro mengikuti sumber bau tersebut. 

Hingga kemudian terlihatlah olehnya 

sebuah pemandangan yang sungguh 

menyedihkan. Banyak mayat-mayat ber-

geletakan di situ, mereka semuanya 

terdiri dari para wanita dan tidak 

mengenakan pakaian sama sekali. Mayat-

mayat tersebut di antaranya telah 

menjadi tulang belulang. Tapi ada juga 

yang masih kelihatan baru.

"Mereka kelihatannya bukan mati 

secara wajar. Pasti seseorang telah 

memperkosanya. Kemudian setelah tidak 

dibutuhkan dibunuh dengan cara 

mencekiknya. Dunia ini benar-benar 

sudah edan... keterlaluan...!" geram 

si pemuda

Kemudian ia memperhatikan keadaan 

di sekelilingnya. Ia menjadi hean. 

Para wanita itu didatangkan dari mana? 

Pendekar Blo'on kembali mengedarkan

matanya. Dan tiba-tiba saja ia 

tersenyum sinis ketika melihat sebuah


bangunan batu tampak bertengger di 

lereng bukit.

"Kurasa iblis bercokol di dalam 

bangunan itu, aku harus melihatnya. 

Barangkali Katai Muka Merah ber-

sembunyi di sana."

Memikir sampai ke situ, Suro 

akhirnya bergegas menghampiri bangunan 

batu yang jaraknya hanya sekitar tujuh 

puluh lima batang tombak dari tempat 

dia berada.

Setelah dekat dengan bangunan 

tersebut, Pendekar Blo'on menghentikan 

langkahnya dengan tiba-tiba. Dadanya 

menjadi sesak, di depan bangunan Suro 

Blondo melihat ada seorang laki-laki 

bermuka merah. Semula ia menyangka 

laki-laki itu adalah musuh besar yang 

tengah dicari-carinya. Namun setelah 

melihat bahwa orang itu berbadan 

tinggi semampai, maka ia menjadi ragu, 

walau begitu ia tetap mengayunkan 

langkahnya mendekati.

"Hei... kau berhenti di situ...!" 

teriak laki-laki bermuka merah pada 

Pendekar Blo'on.

Orang yang membentak tadi sejenak 

tampak sibuk memasukkan sesuatu ke 

dalam bumbung bambu kecil. Selanjutnya 

dengan tergesa-gesa segera mendatangi.

"Kau siapa?" tanya si muka merah 

curiga.

"Kau sendiri siapa? Apakah kau 

yang berjuluk Katai Muka Merah?"


bentak Suro Blondo.

"Bukan. Aku Setan Merah Mata 

Jereng. Cobalah kau lihat mataku, 

benar-benar juling, bukan?"

Suro sebenarnya merasa geli juga 

melihat cara laki-laki di depannya 

bicara seperti orang melawak. Namun 

karena urusannya sangat mendesak, maka 

ia langsung bicara pada titik 

persoalan.

"Siapa yang bersembunyi di dalam 

rumah itu?"

"Perlu apa kau tanya?" dengus 

Setan Merah Mata Jereng ketus.

"Aku mencari seseorang berbadan 

pendek. Namanya Katai Muka Merah. Aku 

rasa dia bersembunyi di dalam bangunan 

itu, makanya aku harus masuk ke sana!" 

tegas Suro Blondo.

"Kau boleh masuk, tetapi setelah 

meninggalkan kepalamu di sini!" sahut 

Setan Merah Mata Jereng.

Tanpa basa-basi lagi laki-laki 

berkulit kemerah-merahan ini langsung 

bersiap siaga membangun serangan. 

Namun sebelum tubuhnya melesat kea rah 

Suro, terdengar suara bentakan dari 

aah bangunan…

"Tunggu dulu...!!"

Gerakan Setan Merah Mata Jereng 

berhenti seketika. Dari depan pintu 

tampak sebuah bayangan berkelebat. 

Hanya dalam waktu sekejap saja di 

depan Pendekar Blo'on telah berdiri


seorang laki-laki bertelanjang baju 

Laki-laki tua tersebut berwajah 

angker. Tatapan matanya seolah-olah 

ingin menembus batok kepala Suro 

Blondo.

"Siapa kau?" dengus laki-laki 

berkulit gelap tidak ramah.

"Aku Suro Blondo!"

"Hmm, kau si bocah ajaib dari 

gunung lliomo? Ha ha ha...! Tampangmu 

yang ketolol-tololan membuat kau tidak 

pantas menyandang gelar si bocah 

ajaib. Dan kau rupanya yang telah 

membuat sahabatku Katai Muka Mayat 

terluka parah?!"

Pendekar Blo'on terkejut sekali 

mendengar ucapan orang berkulit hitam 

tersebut.

Semula ia menyangka Katai Muka 

Mayat yang tercebur ke dalam laut itu

telah binasa.

"Huh, rupanya bangsat pendek itu 

masih hidup. Dan tentunya sekarang 

berada dalam lindunganmu. 

Kuperintahkan padamu agar segera 

menyerahkan setan yang telah membunuh 

orang tuaku. Kalau tidak kau akan 

menyesal!" tegas Suro Blondo sengit.

"Ha ha ha...! Kepada orang lain 

kau mungkin bisa main gertak. Tapi 

sekarang kau berhadapan dengan Datuk 

Hitam Gadang Dibumi! Dan perlu kau 

tahu, Katai Muka Mayat dan Katai Muka 

Merah adalah sahabatku. Jika kau


mengusiknya walau seujung rambut pun 

maka nyawamu tidak ada yang menjamin 

keselamatannya," tegas si kakek.

"Lagak bicaramu seperti Malaikat 

pencabut nyawa. Kau melindungi musuh 

besarku. Maka kau rasakanlah

akibatnya!" teriak Suro Blondo.

Tanpa basa-basi lagi Suro 

langsung menerjang Datuk Hitam Gadang 

Dibumi. Tetapi gerakannya itu segera 

dihalang-halangi oleh Setan Merah Mata 

Juling. Akibatnya laki-laki bermata 

jereng inilah yang menjadi sasaran 

serangan Pendekar Blo'on.

Anak buah Datuk Hitam Gadang 

Dibumi ternyata mempunyai kepandaian 

yang sangat mengagumkan. Ia langsung 

berkelit ke samping kiri ketika 

melihat serangan lawan menghantam 

mukanya. Setelah itu tanpa terduga-

duga pula ia melancarkan serangan

balik dengan melepaskan tendangan ke 

selangkangan lawan.

Pendekar Blo'on langsung melompat 

mundur sambil menepiskan tangannya ke 

bagian kaki kanan. Benturan tenaga 

dalam tidak dapat dihindari.

"Duuk!" 

"Heh...!" 

Pendekar Blo'on dan Setan Mata 

Jereng sama-sama terkejut. Pemuda 

memakai ikat kepala berwarna biru 

belang-belang kuning ini kemudian 

mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah


Kutu'. Setelah itu ia kembali 

menerjang lawannya.

Gerakan Suro yang tampak kacau 

seperti seekor monyet yang sedang 

menggaruk-garuk kepalanya ini benar-

benar membuat repot lawannya. Apalagi 

terkadang dalam keadaan berjongkok ia 

masih dapat melepaskan serangan-

serangan yang cukup berbahaya. 

"Huup...!" 

Setan Merah Mata Jereng tiba-tiba 

saja melompat ke udara. Ia segera 

mengerahkan jurus 'Menari Di Dalam

Bayang-Bayang'. Jurus ini adalah salah 

satu jurus andalan yang dimiliki oleh 

Setan Merah MataJereng. 

Hanya beberapa saat saja 

setelah ia mempergunakan jurus 

andalannya ini, maka tiba-tiba tubuh-

nya lenyap hanya tinggal bayang-bayang 

saja. Suro terkesiap. Serangan-

serangan lawannya membuat setiap 

gerakan pemuda itu seperti menemui 

jalan buntu. Apalagi mengingat sera-

ngan Si Jereng cepatnya bukan main.

Suro Blondo serta merta melompat 

ke samping. Namun pada waktu bersamaan 

lawannya melepaskan tendangan beruntun 

ke bagian perut. Tampaknya walau telah 

berusaha menghindar serangan lawan 

datang begitu cepat. Sehingga....

"Buuk!"

Tanpa ampun lagi, Pendekar Blo'on 

jatuh terjengkang. Tampak jelas darah


menetes dari sudut-sudut bibirnya. 

Pemuda itu kemudian bangkit kembali. 

Melihat Setan Merah Mata Jereng terus 

menyerangnya, maka si pemuda segera 

mengerahkan jurus 'Serigala Melolong 

Kera Sakti Kipaskan Ekor'.

Detik-detik selanjutnya gerakan 

si pemuda tampak lebih cepat. Langkah 

kakinya tidak beraturan, terkadang 

tubuhnya meliuk-liuk, atau melompat ke 

samping kanan dan ke kiri. Di lain 

waktu sambil mengeluarkan suara 

lolongan panjang, kaki kirinya 

menghantam lawannya.

Setan Merah Mata Jereng tampaknya 

menjadi gugup. Tendangan kaki Suro 

yang keras dan mengandung tenaga dalam 

tinggi membuat orang ini jatuh 

terpelanting. Ada benjolan besar 

akibat tendangan itu. Namun ia segera

bangkit berdiri dan secara tidak 

terduga-duga ia mengibaskan kedua 

tangannya ke arah Suro. 

"Wuut!"

Sakejap saja tampak seleret sinar 

meluncur deras ke arah si pemuda. Dan 

sebelum serangan yang menebar hawa 

panas itu menghantam tubuhnya, maka 

Suro melepaskan pukulan 'Kera Putih 

Menolak Petir'. Segulung sinar putih 

menderu ke arah lesatan sinar yang 

keluar dari telapak tangan lawannya. 

Udara di sekitar tempat itu tiba-tiba 

saja berubah menjadi panas luar biasa.


Setelah itu benturan keras tidak dapat 

dihindari lagi....

"Glaar!"

"Aaakh...!"

Setan Merah Mata Jereng memekik 

keras. Tubuhnya terlempar cukup jauh. 

Sedangkan Suro Blondo tampak tergetar 

saja, meskipun luka dalam yang 

dideritanya cukup berbahaya juga.

Hebatnya lawan sudah bangkit 

kembali. Kali ini ia segera melepaskan 

pukulan 'Bayang Bayang Setan'.

Begitu tangannya berkiblat, maka 

angin kencang bergulung-gulung menye-

rang Suro. Pemuda yang telah 

mempersiapkan tenaga dalam ke bagian 

telapak tangan ini tidak mau menunggu 

lebih lama.

'"Matahari Rembulan Tidak Ber-

sinar'! Heaaa...!" teriak Suro.

Laksana kilat tangannya dido-

rongkan ke depan. Maka untuk yang 

kedua kalinya terjadi benturan yang 

sangat dahsyat.

"Buuum!"

Tanah terguncang keras. Setan 

Merah Mata Jereng terkapar di atas 

batu. Sedangkan kaki Suro melesat 

sedalam tumit. Ketika pemuda itu 

mencoba menarik kakinya yang sempat 

terbenam di dalam tanah, maka pada 

saat itulah Datuk Hitam Gadang Dibumi 

membokongnya dari belakang. Suro 

berusaha menghindari bokongan ter


sebut. Tetapi kaki kanannya susah 

dicabut dari himpitan tanah. Sehingga 

tidak dapat dihindari lagi...

"Duuk!"

"Aaakh...!"

Jeritan keras disertai 

menyemburnya darah dari mulut Suro 

Blondo yang terbuka. Tubuhnya 

tersungkur, jelas sekali kalau pemuda 

ini menderita luka dalam yang

cukup serius.

"Ha ha ha...! Cuma segitukah 

kehebatanmu, bocah gila?'' desis Datuk 

Hitam Gadang Dibumi sambil bertolak 

pinggang 

Suro masih sempat mendengar semua 

itu. Kecurangan yang dilakukan oleh

lawannya benar-benar membuatnya marah. 

Secara diam-diam ia mempersiapkan 

pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Akibat 

pengerahan tenaga dalam ini tentu

membuat Suro menjadi semakin tersiksa. 

Tetapi dia sudah tidak perduli lagi.

Ketika Datuk Hitam Gadang Dibumi

menghampirinya. Di saat itu laksana

kilat ia berbalik sambil menghantamkan 

pukulan ke arah lawannya. Semula Datuk 

Hitam Gadang Dibumi yang menyangka

bahwa lawan masih dapat bertahan. 

Lebih tidak menduga lagi pemuda itu 

mampu melepaskan pukulan dahsyat ke 

arahnya. Karena jarak di antara mereka 

teramat dekat, maka Datuk Hitam Gadang 

Dibumi tidak sempat menghindar lagi.


Pukulan yang mengandung hawa 

panas menghanguskan itu pun menghantam 

tubuhnya.

"Buummm!"

Datuk Hitam Gadang Dibumi 

menjerit keras. Sontak tubuhnya 

terpelanting. Sebagian wajah laki-laki 

itu hangus. Suro sendiri akibat 

pengerahan tenaga tadi membuat luka 

yang dideritanya menjadi bertambah

parah. Akhirnya ia tidak sadarkan 

diri. Ketika pemuda ini terjaga, maka 

hari sudah menjadi malam. Ia merasa 

heran karena saat itu ia tidak berada 

di tempat terbuka. Melainkan di dalam 

sebuah pondok.

"Di mana manusia laknat yang 

telah membokongku!" desisnya.

Suro segera bangun, dan ia merasa 

tubuhnya menjadi ringan. Ia yakin 

pasti ada orang yang telah 

menolongnya. Ternyata dugaannya benar.

"Kau sudah sadar?" kata sebuah 

suara merdu.

Pendekar Blo'on memandang ke arah 

datangnya suara. Ternyata di samping-

nya telah duduk seorang gadis cantik 

memakai kerudung putih.

"Kau...!"

"Aku menemukan tubuhmu tergeletak 

di padang tandus."

"Ke mana Datuk keparat itu?"

"Ketika aku datang, aku tidak 

melihatnya, terkecuali mayat seorang



laki-laki yang menyerangsang di atas 

batu."

"Kau gadis aneh, kau menipuku."

"Apa yang kutipu?" tanya Dewi 

Kerudung Putih heran.

"Aku pergi ke Madura, Katai Muka 

Merah tidak berada di sana!"

“Mungkin aku salah kasih 

keterangan, maafkanlah,'' ujar si 

gadis sambil menundukkan kepala

“Siapakah yang sebenarnya kau 

ini?" tanya si pemuda heran.

"Luka-lukamu belum sembuh benar. 

Nanti pada suatu saat kau akan 

mengetahuinya juga."

“Katakan siapa kau?!" kata 

Pendekar Blo'on bersikeras.

"Aku adalah orang yang ingin 

selalu dekat dengan dirimu!" sahut 

Dewi Kerudung Putih. Ia langsung 

menempelkan jari tangannya ke bibir si 

pemuda ketika melihat pemuda itu ingin 

bicara lagi.

"Istirahat... hanya itu yang 

kuminta darimu...!" ujar si gadis 

sambil merebahkan Suro Blondo di alas 

balai-balai.

Karena sadar dirinya masih belum 

pulih benar, maka pemuda berambut 

hitam kemerahan ini terpaksa menurut 

juga, walaupun hatinya menggerutu. 

Gadis di depannya begitu baik, 

misterius dan ia tidak tahu apa yang 

terkandung dalam hatinya. Suro pada


akhirnya hanya mampu menggaruk-garuk 

kepalanya saja.



                         TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar