Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan
belaka.
BAYANG-BAYANG
KEMATIAN
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit
Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Bayang-Bayang
Kematian
SATU
Berdirinya sebuah singgasana
kecil di gunung Bromo dengan sepak
terjangnya yang ganas tanpa pandang
bulu, telah menarik perhatian seorang
tokoh sesat dari daerah Ponorogo. Ia
seorang laki-laki memakai baju hitam
ikat kepala warna hitam. Tubuhnya
tinggi semampai berotot.
Rambut, kumis jambang dan jenggot
berwarna hitam. Walaupun umurnya sudah
mencapai hampir enam puluh tahun. Tapi
ia kelihatan masih gagah, langkahnya
tegap. Wajahnya yang angker hampir
tanpa senyum, karena memang sepanjang
hidupnya ia tidak pernah tersenyum.
Adapun tujuan laki-laki ini
adalah ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Yang kabarnya merupakan
tokoh-tokoh aliran hitam yang sangat
kuat di samping memiliki jago-jago
bayangan sekaligus pengawal-pengawal
dalam jumlah tidak terbatas.
Sudah empat hari Warok Batiroso
melakukan perjalanan bersama gemblak-
nya (Gemblak istri yang terdiri dari
kaum sejenis). Bila sang gemblak ini
letih, tidak segan-segan Warok
menggendongnya. Ia sangat sayang pada
Gemblak ini karena wajahnya yang
sangat tampan disamping memiliki
ilmu silat tinggi.
"Hari sudah siang. Kurasa gunung
Bromo tidak jauh lagi dari sini,
istriku. Aku jadi ingin cepat-cepat
sampai ke sana!"
"Jangan terlalu berambisi, Kakang
Warok. Lihatlah ke langit, Undan milik
kita masih jauh tertinggal di
belakang. Kakang lari laksana terbang,
tidak tahu siang tidak perduli malam!"
"Undan (Sejenis burung bangau
berbulu hitam, tapi besar bukan main)
kita itu semakin tua semakin lamban.
Terkadang aku malas membawanya serta.
Tapi binatang itu selalu ngotot dan
mau ikut juga ke mana aku pergi!"
Warok Batiroso mengomel. Dalam
hidupnya sang Undan merupakan makhluk
kedua yang sangat dia sayangi setelah
Gemblaknya sendiri. Sekaligus binatang
ini merupakan pengawal setianya.
"Jangan terlalu tergesa-gesa.
Tidak akan lari gunung dikejar. Ada
baiknya jika kita istirahat dulu!"
Kening Warok Batiroso mengerut
dalam ia melirik pada sang Gemblak
bernama Panaran itu. Kemudian seraya
anggukkan kepala tanda setuju, Warok
Batiroso mengambil buli-buli tuaknya.
Kemudian menikmatinya seteguk demi
seteguk. Sang Warok kemudian menyo-
dorkan daging panggang yang mereka
bekal sejak dari Ponorogo beberapa
hari yang lalu.
Sedang mereka istirahat melepas
lelah, di atas mereka tiba-tiba
terdengar suara menggemuruh seperti
angin puting beliung.
Tanpa melihat sekalipun tentu
sang Warok sudah tahu bahwa suara itu
timbul akibat kepakan sayap sang
Undan. Hanya anehnya kali ini binatang
yang sangat besar itu menguik keras.
Suaranya berisik memekakkan gendang-
gendang telinga.
Ini adalah sebuah kebiasaan
sebagai isyarat bahwa di tempat itu
ada orang lain selain mereka berdua.
Warok Batiroso tiba-tiba mendongak ke
langit.
"Turunlah kekasihku. Jika penda-
tang bermaksud baik tentu ia tunjukkan
diri. Kalau cari penyakit, tuanmu ini
tidak segan-segan mengirimnya ke
neraka!"
"Ngiiiiikkh...!"
Sang Undan memperdengarkan suara
menguik keras. Sayapnya dikepak-
kepakkan hingga menimbulkan deru angin
yang sangat keras.
Dalam pada itu di balik kerim-
bunan pohon terlihat seorang gadis
cantik dengan tahi lalat di dagu dan
berbaju kuning gading melompat keluar.
Dan hanya beberapa kali lompatan saja
gadis itu telah berada di depan Warok
Batiroso.
Laki-laki berbadan tegap ini
memandang kehadiran si gadis dengan
tatapan tidak suka. Ketika ia bicara,
suaranya serak sember.
"Katakan apa maumu? Mengapa
mengintip orang yang sedang melepas
lelah?"
Gadis berbaju kuning gading yang
tidak lain adalah Dewi Bulan ini
tersenyum. Seraya memandang Panaran
sekejap, setelah itu menoleh ke arah
Undan yang terus berputar-putar liar
di udara.
"Aku bukan mau mengintipmu,
Kisanak! Aku sedang pergi menuju ke
suatu tempat tidak jauh lagi dari
sini. Jadi teruskanlah istirahatmu,
aku akan meneruskan perjalananku!"
Dewi Bulan baru saja hendak
melanjutkan perjalanannya ketika di
belakangnya terdengar suara membentak.
"Berhenti...!"
Mau tidak mau gadis ini hentikan
langkahnya tapi tidak menoleh ke
belakang.
"Kalau ingin bicara, bicaralah,
aku tidak punya banyak waktu!"
"Gadis sombong! Kau hendak ke
mama, katakan tujuanmu! Bukankah
tempat terdekat dari sini adalah
gunung Bromo? Apakah kau mau ke sana?"
"Pertanyaanmu banyak sekali. Mana
yang harus kujawab?"
"Jangan banyak mulut! Katakanlah
ke mana tujuanmu!"
"Aku mau ke gunung Bromo. Apakah
itu sudah cukup?"
"Lagakmu tengil seperti bayi
kebesaran upil! Aku tahu kau pasti
minta ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Hak hak hak! Tujuan kita
sama. Jika kita punya nasib baik,
tentu kelak kita bisa bersahabat!"
Maka tertawalah Dewi Bulan
mendengar ucapan si baju hitam.
"Siapakah namamu, Kisanak?"
"Mengapa kau tanya nama? Aku
Warok Batiroso dari Ponorogo."
"Warok sama dengan jagoan jika
menyimpang dari kodratnya. Terus
terang, Kisanak. Aku pergi ke gunung
Bromo justru untuk menagih hutang
nyawa pada para iblis yang bercokol di
sana. Jadi tujuan kita jelas jauh
berbeda"
Warok Batiroso terkesiap men-
dengar ucapan Dewi Bulan. Sebaliknya
Undan yang terus terbang berputar-
putar di atas Dewi Bulan mencuik
keras. Kepakan sayapnya pang keras
saja membuat pakaian Dewi Bulan
berkibar-kibar. Dan muka gadis itu
terasa perih bukan main.
"Hmm, kita punya tujuan berbeda.
Jauh dari tanah kelahiran aku telah
berjanji untuk menghambakan diri pada
mereka. Walaupun mereka belum menerima
kehadiranku. Adalah pahala besar jika
aku membunuhmu untuk mereka!" geram
sang Warok.
Dalam pada itu sang gemblak pun
menimpali pula. "Bagus, bunuh saja,
Kakang. Jika tidak dibunuh sekarang
nanti pun jadi penyakit bagi kita!"
"Heee... kau. Manusia salah
kaprah yang menyalahi kodratnya. Cap
lonceng lawan cap lonceng. Jangan ikut
campur jika tidak ingin mampus!"
damprat Dewi Bulan sengit,
Disindir begitu Panaran rupanya
tidak terima. Ia bangkit berdiri lalu
cabut keris pendek berwarna hitam dari
balik bajunya. Sebelum laki-laki ini
bertindak, Warok Batiroso mencegah.
"Jangan buang-buang keringat
istriku! Untuk membunuh bocah tengil
ini, paman Undan sudah cukup mewakili
kita."
Warok Batiroso tiba-tiba menjen-
tikkan tangannya. Undan yang berputar-
putar di atasnya menguik keras.
Tubuhnya berputar-putar melayang ren-
dah. Isyarat yang diberikan oleh sang
majikan itu rupanya sangat dimengerti
oleh sang Undan sebagai isyarat
membunuh.
Bukan main cepatnya gerakan
burung besar ini. Dalam waktu yang
singkat sekali ia sudah menyambar
dengan paruh terbuka ke arah Dewi
Bulan.
Gadis ini terkesiap. Sambaran
angin yang sedemikian keras itu saja
sudah membuatnya tergontai-gontai.
Ia terpaksa melompat sambil
berguling-guling. Dewi Bulan selamat
dari patukan paruh sang Undan yang
panjang dan runcing. Tapi kepakan
sayapnya membuat dada sang dara
seperti terhimpit batu gunung.
Dewi Bulan tiba-tiba saja mem-
bentak keras. Ia hantamkan dua
tinjunya ke depan. Seleret sinar biru
melesat dari telapak tangannya. Sinar
yang disertai deru angin ini panas
bukan main. Tapi seperti sudali
mengerti bahaya yang mengancamnya
saja, Undan ini kepakkan sayapnya yang
lebar. Hingga pukulan yang dilepaskan
oleh Dewi Bulan buyar, mental dan
sebagian lagi berbalik nyaris
menghantam diri sendiri.
Gadis itu berguling-guling.
“Bumm! Bumm!"
"Kurang ajar!" gerutunya dalam
hati.
Dewi bangkit berdiri. Kali ini ia
mencabut pedang pendek dari ping-
gangnya. Pedang danda ini diputarnya
sedemikian rupa hingga menimhulkan
suara menderu-deru dingin sekali.
Di tangannya pedang kembar itu
seakan berubah menjadi banyak. Warok
Batiroso tergelak-gelak. Namun kagum
juga melihat permainan pedang si gadis
yang begitu cepat dan berbahaya itu.
Jika saja hanya orang yang mempunyai
kepandaian biasa yang melihat
permainan pedang Dewi tentu mereka
tidak dapat membedakan yang mana
bayangan dan yang mana aslinya. Tapi
karena Warok Batiroso tertokol berke-
pandaian tinggi dan sangat terkenal di
daerahnya. Jadi permainan serta jurus-
jurus pedang Dewi hanya berupa
gerakan-gerakan yang sangat menga-
gumkan.
"Bunuh!" Teriak Warok Batiroso
pada Undan yang terus berputar mencari
kelemahan jurus pedang 'Kupu-Kupu
Menari Di Atas Bunga Matahari'
tersebut.
"Keeek! Kreeekkh!"
Undan itu memekik keras mengge-
tarkan dada Dewi. Sayapnya kembali
mengepak membelah udara memedihkan
mata.
Dewi mengerahkan tenaga dalanmya
untuk melindungi sekujur tubuhnya dari
hantaman sayap sang burung. Tidak lama
kemudian ia menggenjot tubuhnya,
hingga sekejap saja tubuhnya telah
melayang di udara. Karena burung itu
terbang rendah, begitu pedang pendek
di tangan Dewi berkiblat, maka angin
menderu disertai sinar putih berkiblat
menebas.
Namun Undan itu telah mengangkat
sayapnya sehingga tebasan pedang Dewi
luput. Gadis itu tidak mau ambil
resiko. Ia alihkan pedang ke tangan
kiri. Lain tangannya menghentak ke
atas. Pada saat burung itu melayang,
pukulan Gempa Merbabu menghantam.
"Brass!"
"Kreaaakkh!"
Tubuh sang Undan terguncang. Dewi
melesat turun dan menjejakkan kedua
kakinya di tanah dengan mulus sekali.
Undan tersebut agaknya menjadi marah
sebagaimana pemiliknya. Ia terbang
tinggi, hingga bentuknya berubah
mengecil. Hanya dalam sekedipan mata,
binatang yang sudah sangat terlatih
itu menukik turun. Bukan main gerakan
burung besar ini. Sampai-sampai ham-
pir tidak terlihat kasat mata karena
cepatnya.
Dewi begitu merasakan sambaran
angin langsung melompat ke samping.
Tapi kepakan sayap burung yang seakan
menendang tidak sempat dihindarinya.
Braak!
"Glebuk!"
Dewi jatuh terguling-guling. Ia
merasa dada dan punggungnya seperti
remuk. Warok Batiroso melihat ini
terlonjak girang dan semakin
bersemangat.
"Bunuh dengan perahumu!" perin-
tahnya.
"Kreaakk...!"
Sang Undan menyahuti dengan
pekikan keras. Ia tidak lagi berputar.
Melainkan terbang serendah-rendahnya
sambil mematuk dahsyat ke arah batok
kepala Dewi.
Gadis ini pasti akan kehilangan
kepalanya jika pada saat yang sangat
kritis itu tidak melesat sebuah benda
berwarna hitam panjang menderu kencang
ke arah paruh sang burung.
Begitu kencangnya hingga Undan
itu sendiri tidak sempat melihat
bahaya ini.
"Taak!"
"Kreaakkkk...!"
Sang Undan menjerit keras ketika
benda hitam menghantam ujung paruhnya.
Patukannya gagal, selain itu ia
golang-golengkan kepalanya karena
didera rasa sakit bukan kepalang.
Terbangnya menjadi oleng, lalu
membumbung tinggi semakin bertambah
tinggi hingga lenyap dari pandangan
mata.
DUA
Kejut hati Warok Batiroso bukan
kepalang. Seseorang yang bisa me-
nyerang burung perkasanya itu tentu
merupakan mereka yang mempunyai
kepandaian tinggi. Tapi ketika ia
melihat ke samping kiri, orang yang
berdiri di situ sambil cengar-eongir
bertolak pinggang hanya seorang pemuda
berambut hitam kemerahan bertampang
tolol. Sungguh pun ia harus mengakui
bahwa pemuda itu lebih tampan dari
Gemblaknya sendiri.
"Tidak ada hujan tidak ada angin.
Hanya orang gila yang cari penyakit
kalau berani mencampuri urusan orang
lain!" bentak Warok Batiroso.
"Karena gadis baju kuning itu
kawanku. Masak aku harus melotot saja
melihat dia kehilangan kepala?"
"Hmm, rupanya kau kawannya?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala,
lain memandang pada Dewi Bulan yang
melotol, kepadanya.
"Bagus, kurasa tujuanmu tidak
jauh beda dengan tujuan gadis ini.
Sebutkan namamu dan apa gelarmu?"
"Gelar tidak perlu, namaku Suro
Blondo!" kata Pendekar Blo'on.
"Heh...! Rupanya kau yang dika-
barkan sebagai anak ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro
delapan belas tahun yang lalu?
Kebetulan sekali aku ingin tahu apa
kehebatan yang tersimpan di balik nama
dan kelahiran yang menggemparkan
dulu!" geram Warok Batiroso hampir
tidak dapat menahan tawanya.
"Ha ha ha! Yang membuat gempar
adalah tikus-tikus sesat sepertimu.
Mereka kemaruk ingin punya murid
sepertiku. Heh... apakah kau tidak
kasihan membawa-bawa istrimu yang
bunting itu?"
Merasa disindir begitu rupa, baik
Warok Batiroso dan Panaran jadi sangat
tersinggung sekali.
"Keparat!"
Warok Batiroso hendak mengemplang
kepala Suro. Tapi pemuda ini mena-
hannya
"Tunggu?"
"Apa lagi?"
"Bertarung dengan manusia ajaib
seperti ku ada waktu dan batasnya.
Kalau waktu yang sudah sama-sama kita
sepakati telah berakhir. Artinya kau
kalah jika tidak mampu merobohkan
aku. Sebaliknya jika kau memang aku
bersedia menjadi kacungmu"
"Kalau aku kalah?"
"Kalau kalah kau harus menyem-
bahku tujuh kali setelah itu segera
merat dari hadapanku!"
"Ha ha ha!" Warok Batiroso
tergelak. Ia yakin dengan kemam-
puannya. Pemuda di depannya walau tadi
sempat ia lihat kehebatannya pasti
tidak sampai lima jurus ia akan
menjadi pecundang. Apalagi mengingat
wajah pemuda itu tampan. Paling tidak
jika ia dapat mengalahkannya, selain
Warok punya kacung pemuda itu dapat
pula dijadikan selirnya.
"Bagaimana, apakah kau setuju?"
tanya Pendekar Blo'on.
"Setuju. Berapa jurus kau
tawarkan?"
"Sepuluh," jawab Suro Blondo.
"Aku menawar lima."
Pendekar Blo'on menyeringai,
kemudian tertawa sambil pencongkan
mulutnya. "Kau menawar paling sedikit,
jangan menyesal nanti kalau juraganmu
ini harus mengemplang kepalamu pulang
pergi, Warok...!"
"Banyak mulut!"
"Tuuing...!"
Warok mengemplang mulut si
pemuda. Tapi Suro sudah tarik mulutnya
ke belakang. Lalu ia geser langkahnya
ke samping kiri. Tinjunya menghantam
dada sang warok. Laki-laki ini menepis
dengan gerakan ringan tapi tangan
dialiri tenaga dalam tinggi. Suro tak
mau mengambil resiko. Lalu putar
tangan ke samping. Tendangan kaki
kanan menghantam perut.
Warok Batiroso terkejut sekali.
Ia melompat ke belakang. Justru pada
saat si pemuda hantamkan lagi
tangannya ke dada lawan.
Tendangan dapat dihindari, tapi
tinju lawannya menghantam telak dada
sang Warok.
Karena hantaman itu cukup keras,
Warok biar pun badannya besar tetap
saja terhuyung ke belakang. Merah
wajahnya menerima kenyataan ini. Ia
kertakkan rahangnya, lalu tangan kanan
diputar cepat. Inilah jurus 'Kalinding
Bencana'. Sebuah jurus andalan yang
sangat diyakini kehebatannya.
Serasa tangan lawan semakin lama
semakin bertambah cepat. Hingga tangan
,yang berputar dan menimbulkan
gelombang angin menderu-deru ini
semakin lama seakan berubah menjadi
banyak.
Pendekar Blo’on telah kerahkan
jurus 'Kera Putih Memilah Kutu' Salah
satu jurus konyol warisan gurunya
Penghulu Siluman Kera Putih.
Seketika tubuh si pemuda
terhuyung-huyung. Tangan kirinya tidak
henti menggaruk sana-sini. Sedangkan
tangan kanan moncecar mata sang Warok.
Kaki si pemuda terus bergerak lincah.
Terkadang posisinya setengah berjong-
kok sambil melompat-lompat. Tapi
begitu serangan lawan semakin meng-
hebat, ia berguling-guling sambil
menunjuk-nunjuk ke langit.
Bibir si pemuda berkomat-kamit.
Terkadang keluar suara mendesis atau
ngak ngik nguk seperti suara seekor
monyet yang ribut. Lalu dalam keadaan
tetap berguling-guling itu ia mele-
paskan tendangan beruntun menyapu kaki
sang Warok.
Serangan-serangan gencar yang
dilakukan oleh Warok Batiroso selalu
luput. Sebaliknya serangan baiik yang
dilakukan oleh lawannya nyaris meng-
hantam tempat-tempat yang berbahaya.
Tidak ayal lagi, Warok Batiroso jadi
uring-uringan.
Sementara itu Dewi Bulan juga
rupanya tidak tinggal diam. Ia
melabrak Panaran gemblak sang Warok
dengan serangan-serangan yang sangat
ganas. Panaran yang sempat melihat
Dewi Bulan sempat kucar kacir mendapat
serangan sang Undan sama sekali tidak
menyangka. Kini gadis itu berubah
menjadi hebat tanpa mempergunakan sen-
jata. Kini secara pelan ia menyadari
bahwa gadis ini mempunyai jurus-jurus
yang sangat berbahaya bila tidak
mendapat serangan dari udara.
Dalam waktu singkat pertempuran
sudah berubah menjadi seru. Sebaliknya
Panaran sudah mencabut keris kecil
lekuk tiga begitu mendapat tekanan
dari lawannya. Keris berwarna hitam
mengandung racun keji ini menderu-deru
menimbulkan sinar hitam dan menebar
bau amis. Pertanda bahwa senjata
lawannya mengandung racun yang sangat
keji.
"Aku tidak mungkin bertangan
kosong terus menghadapi senjatanya
yang mengandung racun itu," pikir Dewi
Bulan.
"Sriing! Sring!"
"Heaaa...!"
Dewi Bulan membentak keras,
tubuhnya melesat ke depan. Sedangkan
pedang kembar pendek yang baru
dicabutnya menusuk ke arah leher lawan
sedangkan satunya lagi menebar ke
perut Panaran.
Mendapat serangan dahsyat dalam
waktu bersamaan ini sempat terkesiap
juga. Namun laksana kilat ia
membanting tubuhnya ke samping kiri
lalu lepaskan tendangan ke pergelangan
tangan lawannya.
"Duuk!"
"Eeeh...!"
Walau pedang di tangan kanan
sempat tergetar dan pergelangan yang
kena tendangan terasa remuk. Tapi
pedang di tangan kirinya terus melaju
mengancam dada Panaran. Laki-laki ini
mengegoskan tubuhnya. Tidak urung....
"Reeek...!"
"Uuh...!"
Panaran mengeluh pendek. Bahunya
yang kena sambar ujung pedang Dewi
robek. Selir sang Warok menggerung
marah. Lalu bangkit berdiri, tanpa
menghiraukan luka yang dideritanya ia
menyerang kembali dengan serangan-
serangan yang lebih gencar.
Dewi Bulan tidak mau kalah. Ia
kerahkan jurus pedang 'Walet Menyambar
Buih'. Salah satu jurus terhebat
dengan fungsi menggempur dan bertahan.
"Wukk! Wukk!"
Kilatan sinar pedang itu
memedihkan mata Panaran. Sinar hitam
yang memancar dari keris Panaran
seakan terdorong dan meredup. Hanya
dalam kejapan mata saja Panaran telah
terkurung. Di lain saat kerisnya
membentur pedang di tangan Dewi Keris
mustika itu terpental. Di saat itulah
Pedang di tangan Dewi menempel di
dadanya. Kalau Dewi Bulan mau, tentu
jiwa Panaran sudah tidak dapat
diselamatkan lagi.
"Aku mengaku kalah!" desisnya
dengan muka pucat ketakutan.
"Lain kali jika bertemu dengan
kau. Kepalamu akan kupenggal!" dengus
Dewi Bulan sambil memasukkan pedang ke
rangkanya.
Sementara itu pertarungan antara
Warok Batiroso dan Pendekar Blo'on
sudah mencapai puncaknya. Sang Warok
yang menjanjikan waktu selama lima
jurus kini telah melewatinya sampai
empat puluh jurus. Rupanya ia tetap
penasaran juga. Karena sejak tadi ia
hanya mampu membuat lawan jatuh
tunggang langgang dan muntah darah.
Sebaliknya Suro Blondo dengan
mengandalkan jurus-jurus yang kocak
dan konyol berulang kali menghantam
sang Warok hingga membuat laki-laki
ini menderita luka dalam cukup serius.
Tokoh dari Ponorogo ini rupanya
tidak mau menyerah begitu saja. Kini
sambil menyeringai kesakitan ia
keluarkan golok panjang besar, tipis
tajam mirip golok milik tukang jagal.
"Bocah! Kuakui jurus-jurus
silatmu yang aneh dan dahsyat itu.
Tapi aku tidak mungkin membatalkan
niatku untuk bergabung dengan penguasa
gunung Bromo sebelum menjajal
kehebatan golokku ini!"
"Ha ha ha! Aku bosan tawar
menawar denganmu, kurasa kau tidak
akan tepat janji lagi. Mau pergunakan
Undanmu yang sudah terluka untuk
mengerokku silakan. Mau pergunakan
seribu senjata masa bodoh!"
"Kau terlalu memandang enteng
padaku! Hiyaa...!"
"Aku selalu memandangmu berat dan
tinggi Warok! Weiit... hampir saja
ambrol bakul nasiku...!" jerit si
pemuda sambil melompat ke belakang
selamatkan perutnya dari hantaman
golok besar lawannya.
"Wik! Wik! Wik!"
"Ngung! Ngung! Ngung!"
"Eiit! Hampir saja...!"
Suro Blondo bersalto ke udara
ketika golok di tangan Warok Batiroso
membabatkan goloknya terarah ke bagian
kakinya. Masih dalam keadaan berjum-
palitan di udara tanpa diduga-duga
sang Warok mengejarnya. Tentu sangat
sulit bagi Suro untuk menghindarkan
diri dari bahaya. Sehingga ia
mencabut senjata andalannya berupa
Mandau Jantan berwarna hitam dari
balik pakaiannya. Senjata dengan empat
sisi lubang miring pada bagian
tengahnya dan mempunyai ujung ganda
ini menderu membelah udara. Seketika
terdengar suara rintih tangis yang
menyayat hati. Suara rintihan itu
berubah menjadi jeritan yang menya-
kitkan gendang-gendang telinga ketika
si pemuda menyalurkan tenaga dalamnya
ke gagang Mandau Jantan tersebut.
Warok Batiroso terkesiap, dadanya
bergetar dan langsung terasa sesak. Ia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menghilangkan pengaruh aneh yang
memancar dari senjata lawan. Tapi
hingga sejauh itu ia tidak mampu juga
melakukannya.
Warok kiblatkan senjatanya,
terjadi benturan hingga menimbulkan
bunga api.
"Raap!"
"Traak! Traak!"
Benturan keras itu membuat
maaing-masing lawan terpental jauh.
Warok Batirono jatuh terduduk.
Sedangkan Suro Blondo masih mampu
menjejakkan kakinya dengan baik di
atas tanah.
Ketika Warok Batiroso melihat ke
arah goloknya maka terkejutlah tokoh
dari Ponorogo ini. Golok mustika di
tangannya telah terbabat putus menjadi
dua. Wajahnya berubah pucat, sadarlah
ia kalau pemuda itu mau sejak tadi
bukan saja goloknya yang buntung
menjadi dua, tapi juga kepalanya bisa
copot dari badannya.
Ketika ia memandang ke arah si
pemuda, maka terlihatlah dengan jelas
bahwa pemuda itu baru saja memasukkan
senjatanya yang berbrentuk dan
mengeluarkan suara aneh tersebut ke
dalam sarungnya.
Pendekar Blo'on seka keningnya.
"Apakah kau masih tetap penasaran
juga, Warok?"
"Hmm, kalau tidak melihatnya
sendiri mana aku bisa percaya. Kau
masih muda tapi sudah mempunyai
kepandaian beragam. Ternyata kau me-
mang bukan pemuda lemah. Kepandaianmu
mustahil dapat kuimbangi walau aku
belajar lima belas tahun lagi. Aku
mengaku kalah padamu, sesuai janjiku
aku membatalkan niatku untuk bergabung
dengan penguasa gunung Bromo. Di
mataku, kau pantas menyandang gelar
Pendekar Blo'on...."
"Ha ha ha...! Untuk menerima
julukan yang sama, berarti aku harus
memotong kambing lagi. Apa pun yang
kau katakan, kuharap kau tidak
melupakan janjimu...!"
"Oh tentu saja tidak!" Warok
Batiroso tiba-tiba menjatuhkan diri
dan berlutut sebanyak tujuh kali.
Ketika sang Warok bangkit kembali,
seraya berkata: "Jika kau menjambangi
Ponorogo dan dapat kesulitan. Kau
cukup menyebut namaku dan orang tidak
ada yang berani mengganggumu!"
"Hmm, aku berterima kasih sekali.
Semoga kau panjang umur, Ki. Banyak
rejeki, enteng jodoh, panjang rambut,
panjang kumis dan panjang pula kau
punya...!" ujar Suro Blondo sambil
garuk-garuk kepalanya.
Sesungguhnya Warok Batiroso
mendongkol juga mendengar ueapan si
pemuda yang dianggapnya setengah
miring ini. Tapi mau apa, dia sudah
kalah dan harus tahu diri dengan
angkat kaki.
Tanpa menunggu jadi bahan olokan
selanjutnya, Warok Batiroso langsung
pergi dengan menggendong Panaran di
pundaknya.
Pendekar Blo'on memandangi keper-
gian Warok Batiroso sambil tersenyum-
senyum.
"Dunia ini benar-benar sudah tua
apa manusianya yang semakin edan.
Perempuan tidak kalah banyaknya. Kok
kawin batangan lawan batangan? Seperti
orang main Toya saja. Ha ha ha...
gila... gila bukan main-main...!"
Pemuda itu tertawa-tawa seperti orang
miring. Namun bila ia teringat
sesuatu, maka Suro Blondo celingukan.
"Aku kecolongan. Gadis baju
kuning itu. Ahh...." Si pemuda tepuk
keningnya berulang-ulang "Siapa
namanya? Dewi... Dewi Bulan bintang.
Dewi Dewa atau Dewi Saritem. Ah… Dewi
Bundar, Dewi Bulan...! Ke mana dia
pergi?"
Pendekar Blo'on memperhatikan
suasana sekelilingnya. Tapi di tempat
itu sepi seperti kuburan
"Aku yakin Dewi telah pergi ke
gunung Bromo. Kupanya ia tidak mau
kuikuti. Padahal aku punya urusan
hampir sama. Dia pergi ke sarang macan
sendirian. Bagaimana jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Hmm,
hatiku mengapa berdebar-debar begini.
Adik bukan, ibu bukan... mengapa aku
mengkhawatirkan keselamatannya?"
Suro Blondo mondar-mandir di
tempat itu, setelah berpikir agak lama
ia kemudian mengambil kesimpulan.
"Sebaiknya aku susul dia. Siapa
tahu dia benar-benar dalam kesulitan,"
pikir Suro Blondo.
Pemuda ini kemudian berlari-lari
m-ninggalkan daerah berbukit itu
dengan mempergunakan ilmu lari cepat
Kilat Bayangan. Sehingga dalam waktu
singkat ia telah hilang dari pandangan
mata.
TIGA
Pada sebuah lereng sebelah timur
gunung Bromo terdapat sebuah bangunan
megah berwarna biru. Bangunan itu
selain menjulang tinggi dengan
beberapa menara pengawas di atasnya
juga cukup luas. Sehingga dilihat
sepintas lalu mirip dengan sebuah
istana kerajaan. Pada setiap menara
yang berjumlah delapan buah ini
terdapat pengawal paling sedikit tiga
orang bersenjata panah, yang sewaktu-
waktu siap dibidikkan. Karena bangunan
itu dikelilingi sebuah benteng tinggi,
mustahil orang dapat memasukinya
terkecuali dari pintu gerbang depan
yang menghadap ke lereng gunung.
Waktu itu hari telah menjelang
malam ketika sosok bayangan berpakaian
serba kuning mengendap-endap di luar
benteng. Melihat gerakannya yang
sangat hati-hati, jelas bayangan ini
sengaja menghindari bentrok dengan
regu pemanah yang bertugas di menara
pengawas.
Setelah memastikan dalam keadaan
aman. Tidak lama setelah itu ia
menggenjot tubuhnya malompati tembok
benteng setinggi hampir dua setengah
tombak itu. Gerakannya enteng seringan
kapas. Menandakan bahwa orang ini
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah cukup sempurna. Setelah dua
kakinya menjejak tembok, ia mengawasi
suasana di dalam benteng. Ternyata
keadaan di sana dalam keadaan lengang.
Kalau pun ada pengawal, mereka sedang
duduk-duduk minum tuak keras. Bahkan
ada pula diantara mereka yang sedang
main kartu. Merasa keadaan dalam
suasana aman-aman saja, maka bayangan
kuning yang ternyata merupakan seorang
gadis cantik ini melayang turun. Sama
seperti pertama tadi, kini gerakannya
pun ringan tidak menimbulkan suara.
Tapi tanpa diduga-duga, begitu
kedua kakinya menjejak ke tanah, dua
orang laki-laki berbadan tambun dan
bertelanjang dada langsung menghan-
tamnya dengan jotosan.
"Pengacau goblok ingin cari
penyakit!" dengus salah seorang
diantara mereka. Suaranya serak
seperti dicekik setan.
Dengan gesit sekali gadis baju
kuning yang ternyata Dewi Bulan ini
menggeser wajahnya ke samping hingga
pukulan itu luput. Tapi lawan yang
satunya lagi sudah mencabut senjatanya
berupa kaitan berbentuk bengkok namun
dua sisinya memiliki ketajaman luar
biasa.
Hingga sejauh ini Dewi Bulan
melayani mereka dengan jurus-jurus
tangan kosong. Sementara itu terdengar
suara teriakan-teriakan orang yang
terlibat pertarungan. Maka para
pengawal lainnya berhamburan menda-
tangi. Mereka segera mengurung Dewi
Bulan dengan sikap waspada. Menghadapi
dua orang berbadan tambun ini, semakin
lama Dewi Bulan kehilangan kesabaran.
Apalagi mengingat senjata mereka yang
berbentuk aneh itu berulang kali
nyaris membuat robek badannya.
"Triing!"
"Wiing!"
"Hiyaa...!"
Sekali bergebrak ia langsung
mengerahkan jurus 'Mentari Redup Di
Kaki Bukit'. Ini adalah salah satu
jurus yang sangat diandalkannya.
Rupanya Dewi tidak ingin membuang-
buang waktu, mengingat musuh yang
dihadapi terlalu banyak jumlahnya.
Sebaliknya dua lawan yang
berbadan tambun ini begitu bernafsu
untuk meringkus Dewi. Karena sudah
menjadi peraturan di situ siapa yang
dapat meringkus lawan dalam keadaan
hidup akan mendapat hadiah yang cukup
besar. Kedua laki-laki itu secara
berbareng langsung menggempur sambil
babatkan senjata unik di tangannya.
Dengan pedang kembar di tangan,
Dewi menangkis. Terdengar suara
berdentang dua kali berturut-turut.
Bunga api sampai memijar. Ini
merupakan tanda masing-masing lawan
mereka sama-sama mengerahkan tenaga
dalamnya. Dewi sendiri tangannya
terasa linu, pedang hampir terlepas.
Ia maju dan langsung menyeruak dengan
mengerahkan serangan yang sangat
mematikan.
Salah satu dari lawan berusaha
menghalau serangannya. Tapi ia tidak
sempat lagi babatkan senjatanya karena
senjata Dewi meluncur deras membeset
lehernya.
"Jres!"
"Wuaakkh...!"
Jeritannya terputus bersama
putusnya pangkal tenggorokan. Darah
menyembur, si tambun memegangi leher-
nya yang hampir putus. Melihat ini
kawannya menjadi kalap. Ia menyerang
secara membabi buta. Kenyataan ini
tentu saja menguntungkan Dewi. Semen-
tara yang satunya meregang ajal,
sedangkan yang ini bagaikan banteng
terluka terus mendesak lawannya.
Bukan main gesit gerakan Dewi
Bulan. Dengan lincah ia menghindari
setiap serangan yang datang.
Karena serangan-serangannya sela-
lu mengenai sasaran kosong, laki-laki
tinggi besar ini menggembor marah.
Dengan kedua tangannya ia ayunkan
senjata berbentuk kaitan itu.
"Wuuk! Wuuk!"
Dewi berkelit sambil merundukkan
kepala. Tangan kiri menghantam ke
depan. Pedangnya hanya menyambar
angin. Karena lawan sudah menarik
tubuhnya ke belakang. Tidak kalah
cepat pedang di tangan kanan Dewi
menyusul dan begitulah seterusnya.
"Traaang!"
Pedang itu membentur senjata si
tambun, hingga untuk yang kesekian
kalinya tubuh mereka sama-sama
tergetar. Jika si tambun mundur
sebaliknya Dewi merangsak maju.
Laki-laki berbadan besar ini
terkesiap. Ia sudah tidak dapat lagi
selamatkan diri ketika pedang pendek
di tangan Dewi Bulan menembus dadanya.
"Bleess!"
"Raaaakh!"
Karena pedang tersebut diputarnya
sedemikian rupa. Maka ketika dicabut,
perabotan dalam perut si tambun ikut
terbetot keluar. Laki-laki itu melo-
tot, lidahnya menjulur-julur keluar.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk
ke tanah dengan jiwa melayang.
Kematian si tambun membuat
pengawal-pengawal lainnya semakin
rapat mengurung Dewi bahkan mulai
mencabut senjatanya masing-masing.
Pada saat itu pula menyambar angin
yang begitu lembutnya. Dewi baru
menyadarinya ketika sebuah tangan
menyapu dadanya.
"Eeh...!" Dewi terkesiap dan
lontarkan makian. Karena secara kurang
ajar bayangan yang bergerak laksana
kilat tadi meremas buah dadanya. Tapi
ia jadi terkejut karena ternyata
selain tidak mampu bersuara, Dewi juga
tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Nyatalah sudah bahwa ia ditotok oleh
lawannya dengan cara yang sangat aneh
sekaligus kurang ajar.
"Ha ha ha...! Tamu yang tidak
diundang ternyata seorang perempuan
cantik dan menawan sekali. Hari ini
aku Ki Rambe Edan dan kawan-kawan
benar-benar ketiban rejeki yang sangat
istimewa!"
Dewi memandang laki-laki tua
bertampang angker yang berdiri tidak
jauh di depannya dengan mata tidak
berkesip sedikit pun. Melihat betapa
hormatnya para pengawal yang berada di
sekitar situ, jelas sudah bahwa laki-
laki berhidung besar ini merupakan
salah seorang pemimpin di situ. Inilah
pembunuh orang tuanya. Betapa marahnya
dia, tapi dalam keadaan tertotok
begitu rupa, mustahil ia dapat berbuat
banyak. Bisa-bisa keselamatannya
sendiri pun dalam keadaan terancam.
Tanpa sadar wajah si gadis berubah
merah padam. Ia terlalu gegabah
memasuki benteng istana yang dibangun
atas cucuran darah dan keringat rakyat
ini. Seharusnya ia bicara dulu dengan
pemuda konyol yang telah menolongnya
dari amukan Undan Warok Batiroso. Jadi
bukan meninggalkannya begitu saja.
Kini ia benar-benar berada dalam
kesulitan yang sangat besar. Apalagi
mengingat kawan-kawan Ki Rambe Edan
telah berkumpul di situ. Dan semuanya
merupakan orang yang telah menyebabkan
kematian orang tuanya.
"Gadis secantik bidadari ini
rasanya jarang kita temui di sini. Ia
datang menyerahkan diri, Kakang.
Alangkah baiknya jika kita mulai
segala-galanya untuk menemani pesta
tuak wangi!" kata yang berperut bundar
sambil usap-usap perutnya.
"Kurasa dia masih benar-benar
tulen. Kakang Rambe... kami mendapat
jatah sisanya setelah Kakang pun
rasanya sangat terima kasih sekali!"
ujar yang bermuka bengis sambil lalu
membelai-belai wajah Dewi Bulan
"Manusia sesat haram jadah.
Kalian semua akan merasakan pemba-
lasanku yang sangat pedih jika sampai
berbuat macam-macam padaku!" maki Dewi
Bulan. Tapi suaranya sama sekali tidak
terdengar.
Sementara itu Ki Rambe Edan sudah
memberi perintah.
"Bawa dia ke kamarku! Aku ingin
melihat kebagusan tubuhnya yang halus
mulus ini!"
Dengan senang hati, Baja Geni
memanggul Dewi Bulan memasuki istana
mereka. Sepanjang jalan menuju istana
itu tidak henti-hentinya tangan Baja
Geni menggerayang kian kemari. Dewi
Bulan yang keras hati ini hanya mampu
menyumpah-nyumpah dalam hati mengingat
ia tidak menggerakkan tubuhnya sama
sekali.
Di luar suasana berubah sunyi
kembali. Para pengawal pergi ke tempat
penjagaan masing-masing sambil membi-
carakan ketua dan pemimpin mereka yang
telah mendapatkan gadis cantik yang
tentu saja segera menjadi korban nafsu bejad mereka.
EMPAT
Di balik rimbunan pohon yang
memayungi atap genteng bangunan besar
tersebut. Sepasang mata yang terus
mengawasi sejak tadi bukan tidak tahu
apa yang terjadi. Malah matanya sempat
melotot ketika Ki Rambe Edan secara
curang menotok Dewi Bulan dengan cara
meremas payudaranya. Tindakan kurang
ajar ini membuat pemilik sepasang mata
sempat garuk-garuk kepala. Dalam
suasana seperti itu mustahil ia turun
tangan, sungguh pun baginya keberadaan
para pengawal tersebut tidak masuk
dalam hitungan. Hanya kelihatannya ia
lebih bersikap hati-hati. Dan tidak
mau gegabah sebagaimana gadis itu.
Kini ia sedang mencari cara untuk
membebaskan Dewi Bulan. Memang patut
diakui sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh gurunya, ciri-ciri Ki
Rambe Edan dan kawan-kawannya. Tidak
satu pun yang mirip dengan musuh-musuh
besar yang telah membuatnya yatim
piatu. Mereka buman opembunuh orang
tus si pemuda.
Tapi dulu, delapan belas tahun
yang lalu, tindakan Ki Rambe Edan dan
kawan-kawannya tidak kalah sadis
dengan yang dilakukan oleh pembunuh
kedua orang tuanya. Mereka mengum
pulkan ibu-ibu yang hamil tua di
gunung Bromo ini juga. Kemudian mereka
membunuhinya secara semena-mena.
Termasuk kedua orang tua Dewi itu
sendiri.
"Belum sepantasnya Dewi Bulan
turun gunung. Kurasa gurunya orang
gendeng. Muridnya lebih sinting lagi.
Wataknya keras, keberaniannya segu-
nung. Cuma ia terlalu ceroboh." Si
pemuda seka keningnya yang berke-
ringat, padahal udara malam di gunung
Bromo dinginnya bukan main-main. Lalu
kejap kemudian ia garuk-garuk
kepalanya. "Aku harus dapat membebas-
kannya sebelum malapetaka besar
menimpa diri gadis itu. Eeh... mengapa
jantungku berdebar-debar. Aku seakan
tidak rela jika sampai terjadi apa-apa
dengannya. Padahal... tolol sekali.
Mengapa aku terlalu merisaukannya?"
Pemuda ini kemudian melompat ke
atap genteng bangunan. Suasana malam
hari yang gelap benar-benar telah
menolongnya dari penglihatan para
pengawal yang berjaga-jaga di menara
pengawas. Lalu dengan gerakan seringan
kapas ia terus mengendap-endap sambil
memasang telinganya.
Di tengah-tengah atap genteng ia
berhenti. Ia mendengar suara orang
bercakap-cakap sambil tertawa. Lalu...
"Gluk! Gluk! Gluk!"
"Yang kudengar pasti bukan suara
kuda lagi minum atau orang lagi
kencing berdiri. Pasti para iblis
sedang menunggu giliran. Kurasa iblis
yang satunya tidak jauh dari ruangan
ini."
Si pemuda menggaruk lagi belakang
kepalanya. Ia melangkah lagi, bergeser
dari genteng yang satu ke genteng
lainnya. Lalu terdiam sekitar jarak
satu batang tombak dari tempat semula.
Dia berjongkok, lalu merapatkan
sebelah telinganya ke genteng. Mula-
mula Suro Blondo tidak mendengar apa-
apa. Tapi setelah memusatkan segala
perhatiannya ke satu arah yang dituju,
yaitu bagian dalam kamar, maka
mendengar suara desah nafas memburu
seorang laki-laki.
"Kebo gelo gajah budek, sapi
lanang kebo kampret! Aku harus sampai
ke dalam sebelum iblis rambut lurus
bertindak lebih gila lagi!" desis
pemuda itu sambil menggeser genteng
satu demi satu.
Sementara itu di dalam ruangan
kamar pribadinya, Ki Rambe Edan sudah
melucuti pakaian yang melekat di tubuh
Dewi Bulan. Kini gadis itu benar-benar
dalam keadaan telanjang. Dadanya yang
putih membusung tegak menantang segera
dipermainkan oleh laki-laki bertampang
angker ini. Diremasnya kedua bukit
yang tegak menantang ini, sementara
air liur sang iblis tidak hentinya
meleleh membasahi tenggorokannya. Mata
Ki Rambe Edan yang agak sipit membulat
lebar. Kini tangannya bertindak lebih
agresif lagi. Tangan itu meluncur
melalui perut Dewi yang mulus. Lalu
terus ke bawah dan mencopot penutup
terakhir badan Dewi sehingga gadis itu
benar-benar dalam keadaan polos tanpa
selembar benang pun.
Menyaksikan pemandangan ini nafsu
iblisnya terbangkitkan. Darahnya
memanas hingga ke ubun-ubun. Dengan
leluasa ia menggerayangi seluruh
keindahan tubuh yang dimiliki Dewi.
Ki Rambe Edan kemudian mencopot
pakaiannya sendiri, hingga membuatnya
seperti bayi. Dewi Bulan ketakutan
setengah mati, wajahnya pucat, ia
ingin berteriak tapi suaranya tidak
keluar. Ia meronta, tapi tubuhnya yang
dalam keadaan tertotok tidak dapat
digerakkan sama sekali. Sedemikian
besar ancaman ini sehingga ia sendiri
merasa lebih rela dipenggal kepalanya
daripada menanggung aib yang
memalukan.
Ki Rambe Edan mulai mencumbui si
gadis. Ia menjatuhkan ciuman bertubi-
tubi ke bagian mana saja yang
disukainya. Sementara itu Suro Blondo
sudah membuka langit-langit kamar. Ia
terkesiap melihat gadis yang selalu
dipikirkannya dalam keadaan begitu
rupa.
Dengan penuh kegeraman ia
mencabut senjata andalannya yaitu
sebuah mandau jantan berwarna hitam
dengan empat lubang miring di tengah-
tengahnya. Setelah itu Pendekar Blo'on
melayang turun dengan kecepatan dua
kali kecepatan biasa.
Senjata di tangannya diayunkan
sekeras-kerasnya ke arah leher Ki
Rambe Edan. Mandau menderu menimbulkan
suara seperti orang sedang menangis.
Mungkin suara inilah yang membuat Ki
Rambe Edan terkejut, hingga ia cepat
berpaling. Matanya terbelalak lebar
begitu melihat senjata lawannya hanya
seperempat jengkal saja dari batang
tenggorokannya. Ia tidak sempat lagi
berteriak memanggil kawannya, apalagi
menghindar dari senjata berbentuk aneh
itu.
"Jraak!"
"Cuur! Klokokk...!"
Darah menyembur dari penggalan
kepala Ki Rambe Edan. Kepala yang
terputus dari badan itu jatuh
menggelundung dan di atas perut Dewi
Bulan. Sekujur tubuh si gadis bermandi
darah musuh bebuyutannya. Sementara
kepala tanpa badan ini terhuyung-
huyung, kemudian ambruk begitu saja
setelah kehabisan darah.
Dewi terbelalak melihat kejadian
mengerikan yang berlangsung sangat
singkat ini. Suro Blondo mendekati
pembaringan Dewi, ia ingin membebaskan
totokan si gadis, tapi ragu-ragu.
Karena totokan pengunci berada di
bagian bukit kembar Dewi Bulan.
Pemuda ini melihat Dewi melotot
kepadanya, ia tidak punya pilihan
lain, Maka tak lama setelah itu
memejamkan matanya. Karena tidak
melihat ketika meraba, rabaannya tidak
tepat pada bagian yang tertotok, malah
yang terpegang bagian bukit yang
paling tinggi.
Suro menahan nafas, lalu...
"Bet! Bet!"
Satu sapuan agak keras
dilakukannya. Gadis ini menjerit dan
langsung bangkit berdiri. Setelah
membersihkan darah Ki Rambe Edan yang
membasahi tubuhnya, ia cepat menge-
nakan pakaiannya kembali. Rupanya si
pemuda berhasil membebaskannya. Pada
saat yang sama, Balung Raja dan Baja
Geni bukan tidak mendengar suara gaduh
di dalam kamar sahabat tertua mereka.
Tapi mereka menyangka Ki Rambe sedang
bergumul dengan gadis bertahi lalat di
dagu itu. Mereka baru tersentak kaget
ketika melihat pintu terbuka.
Sementara seorang pemuda berambut
hitam kemerahan telah berdiri di sana
sambil menenteng kepala Ki Rambe Edan.
Sedangkan di belakang pemuda itu
berdiri seorang gadis dengan muka
bercelemongan darah.
Belum hilang rasa terkejut
mereka, tiba-tiba Suro Blondo melem-
parkan potongan kepala Ki Rambe Edan
ke arah mereka. Potongan kepala d«ngan
mata membelalak dan lidah terjulur ini
jatuh persis di atas meja. Balung Raja
dan Baja Geni saling pandang, wajah
mereka pucat kehilangan darah. Hanya
sekejap mereka terkesima, di lain
waktu mereka mencabut senjata mereka
berupa kapak berujung tombak.
Sedangkan Baja Geni mencabut rantai
baja berujung pedang.
"Manusia rendah berhati iblis!
Siapakah kau bocah bertampang tolol!"
hardik Balung Raja. Rahangnya
menggelembung pertanda amarahnya
benar-benar memuncak sampai ke ubun-
ubun.
"Manusia iblis berhati setan!"
Suro membentak dengan tatapan mata
tidak kalah dinginnya. "Kau siapa
pula? Ha ha ha...! Aku tahu kalian
telah membunuh kedua orang tua gadis
ini. Sekarang kalian bermaksud
menodainya secara keji! Tahukah kalian
hutang kalian cukup banyak pada gadis
ini. Dan semua itu belum berikut
bunganya!"
Kini Balung Raja dan Baja Geni
beralih pada Dewi Bulan yang juga
sedang dilanda kemarahan.
"Siapakah kau?" tanya Balung
Raja.
"Aku! Orang tuaku kalian bina-
sakan delapan belas tahun lalu di
lereng gunung ini. Sedangkan kawanku
ini adalah yang kelahirannya ditunggu-
tunggu oleh tokoh-tokoh sesat semacam
kalian."
"Jadi kau putrinya perempuan bun-
ting yang telah kami bunuh dulu?
Berarti kau muridnya Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng?" desis Baja Geni
sambil tersenyum sinis.
"Dan kau, siapakah?" Balung Raja
ikut bertanya.
"Hmm, kawanku sudah mengata-
kannya. Aku Suro Blondo!" dengus si
pemuda dengan mimik serius.
"Jadi kaulah orangnya yang kini
sudah tumbuh besar. Bayi ajaib yang
digembar-gemborkan pertapa pantai
selatan itu ternyata setelah dewasa
tidak lebih hanya berupa seorang
pemuda bertampang tolol tidak ada
gunanya. Terlanjur kepalang basah,
hari ini peristiwa delapan belas tahun
yang lalu segera terbukti apakah benar
kau mempunyai kehebatan. Selain itu
karena dosa-dosamu telah membunuh
sahabat kami. Maka kini rasakanlah
pembalasanku!"
"Plok! Plok!"
Dari luar para pengawal
menghambur ke dalam. Dewi Bulan lang-
sung menghadangnya. Untuk menghadapi
pengawal-pengawal yang jumlahnya men
capai puluhan ini, Dewi Bulan langsung
mencabut senjatanya. Pedang itu
diputar sedemikian rupa. Maka ter-
dengarlah suara jeritan-jeritan kesa-
kitan. Satu demi satu pengawal itu
roboh bermandikan darah.
Suro Blondo tidak membuang-buang
waktu lagi. Ia kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' dan jurus
"Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan
Ekor' secara silih berganti.
Balung Raja dan Baja Geni putar
senjatanya yang berbentuk aneh ini.
rantai baja berujung pedang diputarnya
sedemikian rupa. Sebaliknya Balung
Raja dengan kapak berujung tombak
mencecar Suro dari arah samping kanan.
Dengan lincah sekali si pemuda
menghindari serangan senjata lawan
yang sangat cepat dan berbahaya ini.
Angin menderu-deru. Rambut si pemuda
berkibar-kibar terkena sambaran
senjata lawannya.
Tapi dengan gerakan yang aneh dan
kacau, Suro Blondo terus menghalau
atau menghindari setiap serangan yang
datang.
Tubuhnya berjingkrak-jingkrak,
terkadang terhuyung ke kiri, di lain
saat condong ke kanan. Hebatnya setiap
serangan lawan selalu luput atau hanya
menyambar tempat-tempat kosong.
Sementara itu Dewi Bulan sudah
sampai di halaman depan. Sepanjang
lorong ruangan telah penuh dengan
mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pemuda ini demi melihat gelagat yang
sangat baik segera lepaskan pukulan
'Kera Sakti Menolak Petir'.
Seleret sinar putih bergulung-
gulung menerjang Baja Geni dan Balung
Raja yang sedang menerjangnya. Sinar
yang memanca-kan hawa panas ini
menderu kencang lalu melabrak
lawannya.
"Bumm! Buum!"
"Uhk... keparat!" maki Balung
Raja begitu pukulan lawan menyambar ke
arah mereka. Tapi karena melindungi
diri dengan senjata di tangan, akibat
yang timbul karena pukulan itu tidak
seberapa. Hanya bangunan itu saja yang
runtuh pada bagian atapnya.
Sebaliknya Pendekar Blo'on telah
melesat ke halaman.
"Kunyuk tolol gila! Hendak lari
ke mana kau?" bentak Balung Raja
ketika melihat lawannya berkelebat
pergi. Tentu saja mereka tidak
membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Mereka segera mengejar ke
depan. Ternyata setelah sampai di
halaman anak buah mereka sudah
bergelimpangan, tewas di tangan Dewi
Bulan.
Splak!
"Gubrak! Gubraak!"
Rupanya ketika Suro sampai di
luar ia tidak langsung menuju halaman
melainkan berdiri di samping pintu.
Begitu melihat lawan-lawannya keluar
sambil berlari ia sodorkan kakinya.
Hingga membuat Baja Geni dan Balung
Raja jatuh terguling-guling. Mereka
bangkit berdiri, sambil meludah mulut
menggembor memuntahkan kemarahannya.
"Anak setan! Aku tidak akan puaa
sebelum memakan daging dan menghirup
darahmu!" Teriak Balung Raja.
"Bapak iblis. Mulutmu berkoar
seperti kaleng rombeng. Ajal sudah di
depan mata tapi belum tobat juga!"
"Wut!"
"Wuuk! Wuuk!"
"Wiit... hampir saja putus si
ntong!" kata Pendekar Blo'on memanasi.
Ia melompat. Ketika serangan lawannya
semakin menggila, maka ia berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil bermain
tali.
"Bangsat!" Baja Geni menggerutu.
Kedua tangannya bertepuk satu sama
lain. Kemudian kedua tangan itu
digosok-gosokkannya.
Wajah Baja Geni menegang,
mulutnya komat-kamit. Dari telapak
tangannya mengepul kabut pipih
berwarna hitam. Kabut itu kemudian
menyebar ketika Baja Geni hentakkan
tangannya ke depan. Serangkum
gelombang berhawa dingin dengan bau
menyengat menderu dan menghantam Pen
dekar Blo'on. Pemuda ini leletkan
lidah. Ia tidak menangkis atau
memapakinya, melainkan mengerahkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh
Harimau'. Pada detik itu juga tubuhnya
terangkat ke udara dengan kecepatan
laksana kilat. Pukulan yang dilepaskan
Baja Geni menyambar sejengkal di bawah
kakinya, lalu menghantam tembok
bangunan hingga hancur berkeping-
keping
Pukulan mengandung racun keji
yang dilepaskan oleh Baja Geni luput.
Ia penasaran dan melepaskan pukulan
susulan secara beruntun. Gerakan
menghindar yang dilakukan oleh si
pemuda semakin menggila. Tubuhnya
berkelebat lenyap hingga berubah
menjadi bayang-bayang yang sangat
banyak membingungkan. Dalam pada itu
Balung Raja yang menyerang dengan
rantai Baja berujung pedang tampak
kewalahan. Suro yang dalam keadaan
mengambang di udara ini melepaskan
tendangan beruntun ke arah wajah
lawannya.
"Dekk!"
"Buk...! Buuk! Buk!"
"Kraak!"
Terdengar tulang leher patah
berderak. Balung Raja tidak sempat
lagi melolong. Tubuhnya langsung
terbanting dengan senjata masih di
tangan ia menggelepar sesaat, lalu
gerakannya semakin lemah dan hilang
sama sekali bersamaan dengan
melayangnya selembar nyawa Balung
Raja.
"Kau benar-benar telah berubah
menjadi balung seratus hari di depan,"
desis si pemuda. Kini ia hanya tinggal
menghadapi seorang kawan lagi. Tiba-
tiba terdengar suara bentakan nyaring
penuh permintaan.
"Bangsat yang satu itu bagianku,
Suro!" Berkata begitu sebuah bayangan
berkelebat sedemikian cepatnya.
Bayangan menuju ke arah Baja Geni yang
sedang terpana menyaksikan kematian
sahabatnya. Lalu ketika Baja Geni
merasakan ada sambaran angin di
belakang, begitu menoleh sebuah pedang
pendek menghunjam punggungnya.
"Wuaakkh...!"
Baja Geni terhuyung. Ia mendekap
ujung pedang yang tembus dari punggung
hingga mencuat ke depan dada. Tidak
sampai di situ saja, Dewi Bulan pun
kembali mengayunkan pedangnya. Pedang
itu dihantamkannya ke tubuh lawannya
secara berulang-ulang hingga membuat
kondisi lawannya yang telah kehilangan
nyawa dalam waktu singkat ini tidak
ubahnya seperti dicincang.
Melihat kekejaman ini Suro Blondo
langsung mendatangi. Sebuah tangan
yang kokoh menahan gerakan Dewi hingga
membuat gadis itu menoleh.
"Kau... mengapa kau lakukan...?"
"Bulan... eeh, Dewi...! Baja Geni
telah meninggalkan dunia fana ini.
Apakah kau hendak memasak dagingnya?"
"Selain membunuh orang tuaku,
mereka juga hampir membuat aib yang
sangat besar atas diriku."
Suro golang-golengkan kepala.
"Memang betul...!"
Dewi memotong: "Tahukah kau
betapa sakitnya hatiku?"
"Betul. Paling tidak aku turut
merasakannya. Tapi tidak baik
menganiaya mayat. Dia sudah menjadi
bagian dari tanah...."
"Huh... jangan menggurui aku.
Pemuda sepertimu mana layak memberi
nasehat. Ah... gila...." Dewi
membanting-banting kakinya. "Kini
hanya tinggal kau yang belum mati."
"Mengapa kau menudingku begitu?"
"Karena... karena... karena kau
telah melihat tub...!" Dewi Bulan
katupkan bibirnya. Wajahnya berubah
memerah. Ia teringat bagaimana pemuda
tampan bertampang tolol ini meraba-
raba dadanya untuk membebaskan
pengaruh totokan Ki Rambe Edan.
Sebaliknya Pendekar Blo'on hanya
garuk-garuk kepala sambil tersenyum
tertahan.
"Dibandingkan Ki Rambe Edan,
dosaku tidak kelewat besar, Dewi. Dia
sudah lihat semua. Sedangkan aku
tidak. Lagipula aku telah membantumu
dan membebaskanmu dari aib maha besar.
Kalau kau bunuh aku hari ini sama
artinya aku tidak sempat mencari para
pembunuh orang tuaku. Bagaimana kalau
arwah mereka gentayangan dan mengejar-
ngejar gadis secantikmu?"
"Pemuda ceriwis. Aku tahu telah
barhutang nyawa padamu, kelak aku akan
membayarnya."
"Tidak usah dibayar, cukup kau
mengingatnya saja. Kurasa urusanmu di
sini telah selesai. Sedangkan
persoalan yang harus kuselesaikan
sangat banyak sekali. Aku harus pergi
sekarang...!"
Suro Blondo putar tubuhnya,
ketika baru beberapa tombak ia
melangkah Dewi Bulan yang mulai
menyukai pemuda konyol ini
memanggilnya.
"Hei... tunggu...!" cegah Dewi
Bulan.
"Ada apa lagi?" tanya si pemuda.
"Kau hendak ke mana?"
Suro garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau cari musuh yang telah
membunuh orang tuaku. Mungkin ke
Pasuruan, Bukit Arjuna, Gunung
Sumbing, Gunung Grumpung bisa jadi ke
bukit kembar! Ha ha ha...!" kata Suro
Blondo tanpa menoleh-noleh lagi sambil
berlalu.
"Dasar edan!" gerutu Dewi Bulan
seraya pandangi kepergian si pemuda
yang telah menarik perhatiannya itu.
Dan ketika pemuda itu lenyap dari
pandangan matanya, ia merasakan adja
sesuatu yang hilang dalam dirinya.
"Tuhan ya... Tuhan... mungkinkah
aku dapat bertemu dengan dia di suatu
saat nanti?" kata si gadis resah.
LIMA
Di pantai Karang Bolong ada
sebuah bukit-bukit kapur menjulang
tinggi ke ungkasa. Tidak jauh dari
bukit kapur lersebut terdapat pula
sebuah bukit karang yang cukup tinggi.
Untuk mencapai tempat ini orang harus
menyeberangi laut karena letaknya
memang agak ke tengah laut. Bukit
karang ini selain sangat berbahaya
juga licin sekali karena pada
permukaannya ditumbuhi lumut-lumut
laut yang telah berusia ratusan tahun.
Siang itu setelah membatalkan niatnya
pergi ke Pasuruan, pemuda berbaju biru
berambut hitam kemerahan memakai ikat
kepala warna biru belang-belang kuning
ini pergi ke Karang Bolong. Ini semua
dilakukannya karena menurut keterangan
yang didapatnya di jalanan bahwa
manusia Katai bersaudara tinggal di
pantai Karang Bolong. Keterangan ini
memang sulit dipegang kebenarannya,
karena mungkin saja katai yang
dimaksud bukan katai yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Karena di
kolong langit ini banyak manusia
berbadan cebol, jangkung, kurus, gemuk
dan kurus kering macam orang cacingan
juga cukup banyak.
Setengah hari setelah menyelusuri
pantai laut Jawa. Kira-kira sekitar
jam tiga sore, pemuda baju biru yang
tidak lain adalah Pendekar Blo'on ini
sampai juga di tempat tujuan. Ia
mencari-cari, kemudian terlihat
olehnya sebuah bukit karang menjulang
seperti kerucut. Suro Blondo garuk-
garuk belakang kepalanya.
"Sarang setan tempatnya memang
selalu sulit dijangkau," gerutu si
pemuda. "Di sini tidak ada perahu yang
lewat, tempat ini juga lebih sepi dari
kuburan. Bukit karang itu agak jauh
dari pantai ini. Bukan aku tidak
sanggup berenang ke sana. Tapi
dinginnya ini alamak. Lagipula konon
banyak hiu-hiu ganas berkeliaran di
sekitar sini. Apa caraku...?" Suro
Blondo seka keringat yang mengalir di
keningnya. Matanya mencari-cari hingga
kemudian ia tersurut mundur. Matanya
memandang tajam pada sebuah papan kayu
peringatan dengan pesan-pesan meng-
gidikkan tertulis di atasnya.
Pantai Karang Bolong siapa datang
nyawa tidak tertolong,
Bukit Karang Hantu, siapa
mendekat tinggal tulang belulang
Terkecuali para sekutu dan para
sahabat ikan hiu
Jangan oba mendekar terkecuali
punya jiwa seikat...
"Hmm, sebuah peringatan yang
cukup Mengenaskan? Hanya dedemit
neraka yang punya kerja. Dari jauh aku
datang untuk mempertaruhkan nyawa,
untuk apa aku harus pulang sia-sia!"
dengus Pendekar Blo'on.
Pemuda ini kemudian mencari
potongan kayu untuk menyeberangi selat
kecil itu. Tapi sebelum usahanya
tercapai, tiba-tiba terdengar suara
seseorang bersenandung. Menilik sua-
ranya yang kecil dan merdu sudah jelas
pemiliknya paling tidak adalah seorang
perempuan. Suro cepat menoleh ke arah
datangnya suara. Tiba-tiba ia melihat
sebuah perahu kecil meluncur cepat ke
arahnya. Di atas perahu tampak seorang
gadis cantik memakai kerudung serba
putih. Ketika angin bertiup ke arah si
pemuda, maka tercium bau badannya yang
harum seperti bunga cempaka.
Pendekar Blo'on melongo ketika
melihat perahu kecil itu mendadak
berhenti. Seperti ada kekuatan yang
menahannya dari bawah perahu.
"Anak muda nan tampan. Aku tahu
kau mau menuju ke bukit karang itu.
Aku jadi kasihan padamu, kulihat belum
pernah ada yang selamat kembali bila
sudah sampai ke sana. Daripada kau
mengantar nyawa percuma, alangkah
baiknya jika kau ikut denganku...!"
"Siapa Nisanak ini? Aku punya
tujuan dan tidak seorang pun yang
dapat menghentikannya terkecuali
maut," kata si pemuda pelan.
"Hi hi hi! Dendam di hatimu
dendam berkarat, sampai kiamat dunia
akhirat.... Sebaik-baiknya manusia
adalah dia yang suka mengukur kemam-
puan diri sendiri!" Gadis berkerudung
di dalam perahu tertawa membahak. Suro
Blondo kerutkan kening. Ia berpikir
bagaimana mungkin perempuan dalam
perahu tahu apa yang diinginkannya.
"Nisanak belum menjawab per-
tanyaanku. Katakan terus terang atau
aku harus meninggalkanmu!"
"Mengapa harus tergesa-gesa jika
hanya ingin mengantar nyawa? Aku gadis
tanpa nama, hidup, makan dan tidurku
di atas air. Kalau hanya untuk urusan
orang yang mau buang nyawa, aku
bersedia mengantarmu sampai ke bukit
itu. Tapi dengan satu syarat!"
"Hi hi hi. Sudah kuduga, pemuda
tampan bertampang tolol sepertimu mana
punya banyak uang. Bagaimana kalau kau
membayar dengan kepalamu?"
Suro Blondo garuk-garuk kepa
lanya. "Kau sangat keterlaluan sekali.
Tidak tahukah kau bahwa aku cuma punya
satu kepala?"
"Hi hi hi! Kalau tidak mau aku
akan aegera pergi!"
Tanpa menunggu lagi gadis
berkerudung putih dan berpakaian serba
putih memutar perahunya. Di lain kejap
ia telah bergerak menjauh, kemudian
hilang di tikungan teluk.
"Heh... kalau hanya menggoda,
untuk apa tunjukkan diri? Menolong
orang dengan meminta imbalan jiwa
adalah perbuatan tercela." Suro Blondo
bersungut-sungut. Ia memutar badannya,
lalu mengambil sepotong kayu kering
yang tergeletak tidak jauh dari
kakinya.
Kayu itu kemudian dilemparkannya
ke dalam air. Setelah itu tubuhnya
melayang, kaki menjejak ke atas
potongan kayu tersebut. Hanya dalam
waktu sangat singkat ia telah meluncur
ke tengah selat dengan sangat cepat
sekali. Namun pemuda ini kemudian
menjadi tergagap ketika melihat
puluhan sirip ikan menjembul ke atas
permukaan air. Ikan-ikan haus darah
ini mengitari si pemuda.
"Mati aku. Binatang-binatang ini
bukan main banyaknya. Aku harus cepat
sampai ke sana kalau tidak ingin mati
konyol!" pikir si pemuda.
Dengan tetap menjaga keseimbangan
tubuhnya, Suro menggenjot kakinya
hingga potongan kayu yang diper-
gunakannya untuk menyeberang melesat
laksana anak panah. Tapi tiba-tiba di
depan pemuda itu menyembul badan ikan
tersebut. Suro tidak sempat lagi
mengurangi kecepatannya. Tidak ayal
lagi tubuhnya terbanting. Suro Blondo
tenggelam, air laut yang sangat jernih
lagi dalam membuat ia dapat melihat
puluhan ekor ikan mengejarnya. Sambil
berenang menghindar Suro cabut
senjatanya. Dengan mempergunakan
senjata andalan ini ia menyongsong
kedatangan ikan-ikan buas yang
menyerangnya.
Sementara gadis berpakaian serba
putih yang tadi sempat menghilang di
balik cekungan teluk telah muncul di
tempat itu dengan maksud menolong.
Ketika ia sampai, pemuda lugu yang
hendak ditolongnya telah lenyap dari
permukaan air. Ia terkesiap ketika
melihat air laut tiba-tiba berwarna
merah. Kemudian terlihat pula gejolak
air di sana sini.
"Celaka, bocah itu telah dimangsa
ikan-ikan hiu di sini!" desisnya
dengan mata membelalak lebar.
Air laut semakin bergolak, warna
merah semakin menyebar dan berwarna
pekat. Di dalam air Suro Blondo telah
membunuh lebih dari dua puluh ekor
ikan hiu besar dan ikan-ikan yang
telah terbunuh itu dimangsa oleh
kawanannya sendiri. Rupanya bau darah
itulah yang membuat hiu-hiu lain yang
kelaparan tidak dapat membedakan kawan
sendiri. Melihat hiu-hiu lain berebut
mangsa, maka kesempatan ini diper-
gunakan oleh Suro Blondo untuk
berenang di bawah air mendekati pulau
karang yang hendak ditujunya.
Sebentar saja ia sudah sampai ke
pinggir bukit karang. "Puah... hampir
meledak paru-paruku karena menahan
nafas," keluh Suro Blondo. Ia melirik
ke tengah-tengah teluk. Dilihat gadis
baju putih kerudung putih duduk
terbengong-bengong di atas perahunya.
Suro Blondo lambaikan tangannya.
"Maaf, ikan-ikanmu rupanya semakin
tidak sabar, sehingga kawaaannya
sendiri dimangsanya...!"
Si gadis bermaksud mengejar, tapi
ia mengurungkan niatnya. Seakan ia
ragu mendekati bukit karang tersebut.
Suro Blondo sambil cengar-cengir
tidak perduli lagi pada gadis di atas
perahu tersebut. Ia mulai mendaki
bukit karang yang terjal dan cukup
licin tersebut.
"Edan... sudah sampai di tengah
melorot lagi. Apakah mungkin tidak ada
jalan lain untuk sampai ke tempat yang
mirip dengan cekungan gua di atas
itu?"
Si pemuda mendongakkan kepalanya
ke atas. Bersamaan dengan itu ia
melihat ada sosok tubuh melayang dan
kemudian jatuh terhempas di
sampingnya. Apa yang dilihatnya adalah
sosok telanjang perempuan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah, leher
patah, mata melotot dan lidahnya
terjulur.
"Perempuan malang ini mustahil
jatuh dari langit. Mengapa tidak
sempat kudengar jeritannya," desis
Suro sambil goleng-golengkan
kepalanya.
"Pastilah ini perbuatan iblis-
iblis berhati sapi. Aku harus bisa
sampai ke atas sana tanpa
sepengetahuan mereka. Dengan begitu
aku bisa terhindar dari bahaya...!"
Si pemuda kemudian merayap lagi,
kali ini ia menemukan jalan yang agak
lebih baik dari pada lereng terjal
yang coba didakinya tadi.
Sedikit demi sedikit ia mendaki.
Tapi gerakannya terhenti lagi ketika
melihat tiga ekor ular berbisa
menghadangnya. Ular-ular itu angkat
kepala tinggi-tinggi. Mulutnya terbu-
ka, lidahnya yang bercabang terjulur.
Ketika makhluk-makhluk melata itu
mendesis, maka tercium bau amis bisa
yang membuat mual pernafasan.
Suro Blondo yang pernah digodok
dalam sumur kawah bisa dihuni ular-
ular merah oleh gurunya, hanya
tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
"Malang benar nasibmu, Nak.
Rupanya kau diperintahkan oleh tuanmu
untuk menghadang aku! Nih gigit-
lah...!" Suro Blondo dengan sengaja
angsurkan tangannya. Tiga ekor ular
berwarna belang, kuning hitam ini
serentak menyerbu dan mematuki tangan
Suro Blondo.
Tangan si pemuda berdarah, air
mukanya seketika berubah menghitam.
Rupanya kekebalan di dalam tubuhnya
mulai bekerja bertarung melawan bisa
dari ular-ular yang menggigitnya.
Kulit tubuhnya yang hitam secara
berangsur-angsur kembali ke warna
semula.
Si pemuda lagi-lagi menyeringai.
"Kurasa sudah puas kalian
menggigitku!" dengus Suro Blondo,
sekejap kemudian ditangkapnya ketiga
ekor ular sebesar jempol kaki ini
setelah itu badan ular digigitnya satu
demi satu.
Ular-ular ini meronta, tapi
rontaannya semakin melemah ketika
tulang belakangnya putus menjadi dua.
"Puih...!" Suro menyemburkan
ludah bercampur darah ular. Selan-
jutnya ia merayap dan merayap lagi.
Tidak sampai sepemakan sirih,
sampailah pemuda ini di depan sebuah
cekungan mirip gua. Pada dataran yang
rata ia melihat sebuah pedang, pakaian
dan juga tulang belulang lainnya.
"Mayat tadi perempuan. Pakaian
ini juga pakaian perempuan. Gua besar
itu seperti tertutup batu. Alangkah
baiknya jika aku mencoba membukanya."
Suro Blondo kemudian mendekati pintu
gua yang tertutup batu. Sekejap
kemudian ia mendorong pintu batu
karang ini. Tapi jangankan bergerak,
bergeming pun tidak.
Si pemuda mengerahkan tenaga
dalamnya ke bagian telapak tangan.
Setelah itu ia mendorong lagi.
"Uuph...!"
Kali ini secara perlahan pintu
batu terkuak sedikit. Suro mendo-
rongnya lagi. Semakin lama pintu pun
terbuka semakin lebar. Pendekar Blo’on
tercengang begitu melihat ke dalamnya.
Ruangan gua itu memancarkan
cahaya biru kehijauan yang entah
datang dari mana. Lantai gua juga
dalam keadaan bersih. Ketika melihat
ke arah kiri, di sana ada sebuah
altar. Di atas altar mirip dipan ini
tergeletak sosok tubuh perempuan pula
dalam keadaan setengah telanjang.
Perempuan ini sangat sulit dikenali
karena seluruh wajahnya yang menghadap
ke langit-langit gua tertutup kain
berwarna merah.
Suro Blondo menyelinap masuk dan
bersembunyi di salah satu sudut yang
gelap. Ketika terdengar suara langkah
langkah kaki, maka ia menundukkan
badannya serendah mungkin sehingga ia
terhindar dari penglihatan orang lain,
ENAM
Mula-mula yang dilihatnya adalah
kemunculan seorang laki-laki berbadan
pendek, cebol, wajahnya pucat keku-
ning-kuningan. Kumisnya cuma beberapa
gelintir saja sedangkan alis matanya
berwarna putih. Ia memakai celana
pendek sebatas dengkul, bajunya hanya
berupa selempang berwarna hitam. Di
pinggang katai Muka pucat ini
menggelantung sebuah ruyung berwarna
perak.
Katai itu berjalan mendekati
perempuan setengah telanjang di atas
altar. Rupanya ia tidak menyadari
kehadiran Suro di situ, sedangkan
pemuda itu sendiri langsung tergetar
tubuhnya saat melihat katai muka
pucat. Inilah salah satu orang yang
telah membunuh kedua orang tuaku, mana
yang muka merah? pikir Suro Blondo.
Manusia katai ini setelah sampai
di atas altar langsung menyingkap
pakaian bawah gadis yang kepala serta
wajahnya terbungkus kain merah.
Setelah membuka pakaiannya sendiri, ia
melakukan perbuatan yang sangat ter-
kutuk atas diri si malang. Badannya
yang kecil menghempas-hempas di atas
tubuh si gadis. Tahulah Suro Blondo
apa yang telah dilakukan oleh Katai
Muka Mayat ini tarhadap gadis di atas
altar.
Wajah Pendekar Blo'on berubah
kelam mambesi. Ia meninggalkan
kegelapan sudut gua. Tangannya melam-
bai pelan. Angin nenderu dari telapak
tangannya, melesat dengan cepat
menghantam Katai Muka Mayat. Laki-laki
berbadan kerdil ini langsung jatuh
terpelanting. Rasa kejut di hatinya
bukan alang kepalang. Kalaulah Suro
mau membokong, tentu Katai Muka Mayat
telah tergelimpang menjadi bangkai
atau paling tidak menderita luka dalam
cukup parah. Tapi pemuda berambut
hitam kemerahan bertampang tolol ini
walau mempunyai dendam sedalam lautan
terhadap orang-orang yang telah
membunuh ayah ibunya, ia tidak mau
bertindak gegabah dan kesalahan
tangan.
Katai Muka Mayat bangkit berdiri.
Wajahnya jelas tidak dapat menyembu-
nyikan rasa terkejutnya tatkala
melihat kehadiran seorang pemuda asing
di ruangan itu. Ia jadi teringat pada
pintu gua yang ditutupnya. Tidak
setiap orang mampu membukanya terke-
cuali mereka yang memiliki tenaga
dalam tinggi.
"Hhm, kau begitu berani menye
berangi selat dan menyusup ke tempat
tinggal iblis. Siapa namamu?" Katai
Muka Mayat menggeram.
Suro Blondo garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Bicara ya bicara... tapi
urusi dulu senjata kramat berikut buah
jambu milikmu. Gondal-gandil seperti
itu apakah kau mau pamer kelebatan
hutan rimbanya?"
"Aih...!" Katai Muka Mayat
langsung mendekap bawah pusarnya. Ia
mengenakan pakaian seadanya. Tidak
lupa ia juga mengambil ruyung yang
tergeletak di bawah kaki telanjang si
gadis.
Wajah laki-laki itu semakin
bertambah pucat. Tiba-tiba saja ia
membentak berang: "Cepat katakan siapa
kau yang sebenarnya, kunyuk bertampang
tolol!"
"Dengar anjing gladak!" dengus
Suro Blondo tidak kalah sengitnya.
"Aku Suro Blondo, putra Sepasang
Pendekar Golok Terbang dari gunung
Bromo. Apakah kau ingat peristiwa
delapan belas tahun yang lalu? Hah...
mana kembaranmu yang bermuka merah?"
Katai Muka Mayat terkesiap,
matanya yang kecil molotot. Tanpa
sadar ia bahkan sampai bersurut
mundur. Bibirnya mendesis…..
"Kau bocah ajaib itu? Rambutmu
kemerahan, tapi tampangmu tidak
meyakinkan. Apakah kau punya tompel di
punggung?" tanya Katai Muka Mayat
seakan menyelidik.
"Sekarang tidak ada waktu lagi
untuk bertanya jawab, manusia cebol!
Apakah aku punya tompel di punggung,
di kening, hidung atau di kumis. Itu
bukan persoalan. Jika kau merasa
berhutang, maka hari ini aku datang
untuk menagih hutang-hutangmu!"
"Hu hu hu...!" Katai Muka Mayat
tertawa. Suaranya jelek seperti burung
hantu yang menderita mejan. "Secara
jujur aku memang ikut membunuh Satria
Purba dan Dewi Rini orang tuamu. Aku
dan kakangku dan yang satunya lagi
tidak perlu kusebutkan karena aku
sangat menghormatinya. Tapi mengingat
tampangmu yang begitu, aku yakin
ramalan pertapa itu hanya bualan saja.
Hu hu hu... aku dan saudaraku memang
ingin mencarimu. Membunuh pohon harus
sampai ke akar-akarnya. Tidak disangka
kau datang sendiri mengantarkan
nyawa... Hu hu hu...!"
Katai Muka Mayat tiba-tiba
melompat ke depan sambil lambaikan
tangannya, tiga leret sinar berwarna
keperakan datang menggebu-gebu. Suro
sadar betul bahwa lawannya telah
menyambitkan senjata rahasia ke
arahnya sehingga dengan gerakan kacau
ia menghindarinya. Serangan senjata
rahasia itu lewat setengah jengkal di
atas kepalanya.
"Crap! Crap! Crap!"
"Bukan main...!" desis si pemuda.
Ia berpaling ke belakangnya. Ternyata
senjata rahasia berbentuk empat per-
segi itu menancap dalam pada dinding
karang yang cukup atos tersebut. Katai
Muka Mayat gelengkan kepala melihat
pemuda berbaju biru ini dapat
menghindari serangannya.
"Kau punya kebolehan juga ru-
panya. Sayang kau berada di dalam
wilayah kekuasaanku. Hanya orang yang
punya nyawa rangkap saja dapat keluar
dari tempat ini hidup-hidup!"
"Jangan kelewat percaya diri,
Iblis tergencet bumi. Lihat sera-
ngan...!" Suro membentak keras.
Suaranya menimbulkan gema hingga
membuat dinding gua karang tergetar.
"Hu hu hu! Shaaa...!"
Katai Muka Mayat melompat ke
udara. Serangan Suro luput dan
menghantam altar di depannya. Altar
hancur, tubuh perempuan telanjang
tergontai di udara dan jatuh lagi di
atas hancuran batu-batu altar.
Dari atas menderu selaksa angin
memerihkan kulit Suro Blondo. Pemuda
ini melompat mundur sejauh dua batang
tombak.
"Blaar!"
Lagi-lagi gua karang tergetar.
Pukulan yang dilepaskan oleh Katai
Muka Mayat luput. Di tengah ruangan
gua terlihat sebuah lubang besar
akibat pukulan si Katai yang luput
sasaran tadi.
"Zeb! Zeb! Dep!"
Kaki si katai direntang, tangan-
nya diputar cepat. Terdengar suara
angin menderu-deru ketika manusia
katai ini menggerakkan tangannya.
"Badai Topan Menggempur
Karang...!" teriak si Katai menyebut
nama jurus yang dimainkannya.
"Serigala Melolong Kera Sakti
Kibaskan Ekor...!" jerit Suro Blondo
tidak mau kalah.
Jika Katai Muka Mayat gerakan-
gerakan silatnya sangat teratur
sekali, maka sebaliknya dengan Suro
Blondo. Gerakan yang dilakukannya
tidak pernah beraturan dan terkesan
konyol. Namun hingga sejauh itu ia
dapat menghindari serangan lawan
dengan sangat baik sekali.
Pemuda ini kemudian bergerak
cepat, pada saat lawan semakin
meningkatkan serangannya. Di lain saat
ia melakukan serangan balik yang tidak
kalah hebatnya.
"Hiyaa...!"
"Deb!"
"Wuus!"
Dengan mengerahkan setengah dari
tenaga dalam yang dimilikinya, Katai
Muka Mayat lepaskan tendangan mengge-
ledek ke perut Suro Blondo. Pemuda ini
geser langkahnya ke samping. Tangannya
menangkis sambil lepaskan tinjunya ke
wajah lawan.
"Dhaak!"
"Buuk...!"
"Wiih...!" Suro Blondo mengeluh.
Tangannya yang dipergunakan menangkis
terasa kesemutan. Katai Muka Mayat
terhuyung ke belakang sambil
terpincang-pincang.
Ia menggeram marah, dilihatnya
bayangan lawan semakin lama semakin
bertambah banyak. Ia menyerang lagi
sambil kerutkan kening. Sejauh itu
serangan-serangan yang dilakukannya
selalu mengenai sasaran kosong.
Dengan gusar ia melompat mundur,
tangannya yang pendek diangkat ke
atas kepala. Tangan itu digosok-
gosokkan antara satu dengan yang
lainnya. Kemudian.
"Plak! Plak!"
Saatkedua tangannya saling ber-
sambut, maka terdengar suara ledakan-
ledakan menggelegar. Suro terkesiap
ketika sepuluh larik sinar mengejar ke
arahnya. Pemuda berambut kemerahan ini
mencoba memapakinya dengan pukulan
'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'.
Mendadak suasana di sekelilingnya
menjadi sirap. Tangan si pemuda yang
melintang di depan dada bergetar
hebat. Pukulan 'Monyongsong Kabut
Tenggelam Dalam Kegelapan' yang
terdiri dari sepuluh laret sinar
berwarna biru ini seakan tersendat-
sendat. Bukan langsung menghantam
tubuh si pemuda melainkan berputar-
putar mengelilinginya.
Ketika Suro Blondo menggerakkan
kedua tangannya dengan gerak membu-
barkan, maka terdengar sepuluh kali
suara ledakan beruntun. Katai Muka
Mayat jatuh terguling-guling dan
menghantam dinding gua. Sebaliknya,
Suro Blondo jatuh terjengkang. Dari
sudut-sudut bibirnya menetes darah
kental berwarna hitam. Ia cepat
mengerahkan hawa murninya untuk
menyembuhkan luka dalam yang ia
derita. Katai Muka Mayat walau juga
sempat merasa dadanya seperti hendak
remuk, namun secepatnya ia bangkit
berdiri.
"Pemuda ini tidak bisa dianggap
main-main. Kakang Muka Merah tidak ada
di tempat saat ini. Kalau dia ada
tentu untuk membunuhnya bukanlah
sesuatu yang sulit. Kini aku harus
mengerahkan seluruh kemampuanku untuk
menghabisi riwayat anak ajaib ini...!"
bathin Katai Muka Mayat.
Selagi lawan dalam keadaan
lengah, Katai Muka Mayat kembali
menyerangnya. Kali ini ia mempe-
rgunakan ruyung peraknya yang
berjumlah dua buah itu.
Suro Blondo menyeringai, ketika
dua ruyung maut yang dapat mengembang
dan menguncup itu menyerangnya. Suro
Blondo menghindarinya sambil berjing-
krak-jingkrak. Terkadang badannya
condong ke depan, lalu miring ke kiri
dan ke kanan. Di lain saat ia
berjongkok, lalu mencecar kaki
lawannya, hingga membuat si Katai
melompat mundur tarik balik serangan.
Tokoh sesat dari sclatan ini
kembangkan ruyung di tangan kiri,
sedangkan yang di tangan kanan
dibiarkannya tetap menguncup. Ruyung
yang terkembang ini dibiarkan
sedemikian rupa, kemudian diputar
hingga menimbulkan deru suara angin
yang sangat menyakitkan gendang-
gendang telinga.
"Ziing!"
"Wuut! Wuut!"
Ruyung yang terkembang menerabas
dada Suro sedangkan yang tetap
menguncup menusuk ke bagian dada.
Salah satu serangan ganas ini memang
dapat dihindari Pendekar Blo'on. Tapi
serangan lainnya tidak sempat
dielakkannya walaupun ia telah
melakukan gerak serta langkah yang
aneh-aneh.
"Bret!"
"Eph...!" Pemuda ini mendekap
bahunya yang sempat robek dari bagian
baju sampai ke dagingnya. Darah
mengucur. Ia cepat totok urat darahnya
hingga darah yang mengalir cepat
terhenti.
Mata si pemuda berkedap-kedip.
Mulutnya pletat pletot, kemudian kaki
depan ditekuk. Tangan ditepuknya ke
bagian lutut, sedangkan yang kiri
diangkat sejajar dengan bahu. Pemuda
berambut kemerahan ini rupanya tidak
ingin menghadapi serangan senjata
lawan dengan mempergunakan Mandau
Jantan yang selalu memperdengarkan
suara rintihan tangis itu, melainkan
dengan mempergunakan pukulan pamungkas
kedua warisan dari kakek merangkap
gurunya Malaikat Berambut Api.
Rambutnya yang hitam kemerah-
merahan itu secara perlahan berubah
merah membara sepenuhnya sehingga
dilihat sepintas seperti lidah api
yang berumbai-umbai. Jelas si pemuda
telah mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Inilah pukulan 'Neraka
Hari Terakhir'. Sebuah pukulan maha
dahsyat yang tidak ada duanya di
kolong langit ini.
Ketika Pendekar Blo'on dorongkan
kedua tangannya ke depan, maka
terdengar suara angin menderu-deru.
Lalu terdengar pula suara jeritan di
mana-mana. Jerit ketakutan yang seakan
datang dari alam roh dan alam kubur.
Jeritan ini sungguh membuat merinding
bulu kuduk yang mendengarnya, termasuk
juga Katai Muka Mayat. Selain itu ia
terkesiap melihat rambut lawannya
seperti dikobari api.
Melihat bahaya yang mengancamnya,
Katai Muka Mayat mengembangkan ruyung
lainnya. Sinar merah hitam menggebu-
gebu. Lalu pukulan maut ini menghantam
ruyung di tangan Katai Muka Mayat.
"Bum! Bum!"
"Praak!"
Benturan itu membuat ruyung di
tangan Katai Muka Mayat hancur
berkeping-keping. Katai Muka Mayat
terhempas melabrak dinding goa karang.
Ia bangkit berdiri. Terlihat dengan
jelas darah mengucur dari hidung dan
mulutnya. Namun ternyata ia memiliki
daya tahan yang sangat hebat.
Secepatnya ia bangkit berdiri. Suara
jeritan mengerikan lenyap, tapi
sebentar kemudian terdengar suara
jeritan lagi.
Kali ini Katai Muka Mayat tidak
tinggal diam. Kehebatan yang dimiliki
pemuda bertampang tolol ini benar-
benar telah membuka matanya. Tidak
pelak lagi bersamaan waktunya dengan
saat pemuda itu lepaskan pukulannya
yang sangat mengerikan itu. Ia juga
lepaskan pukulan 'Menyongsong Kabut
Tenggelam Dalam Kegelapan' tingkat
paling tinggi.
Keadaan di dalam ruangan gua
seperti hendak kiamat saja layaknya.
Berleret-leret sinar saling menghantam
dengan suara yang memekakkan gendang-
gendang telinga.
"Glar! Duaamm...!"
"Broll...!"
"Wuaaakkkhh...!"
Suro Blondo tergontai-gontai lalu
terjatuh terjajar menimpa tubuh
perempuan telanjang yang sudah mere-
gang ajal terkena sambaran pukulannya
tadi. Dinding gua jebol, sosok tubuh
terlempar keluar disertai suara
jeritan menggidikkan. Sosok tubuh si
Kate melayang-layang dan terjatuh ke
dalam laut.
Tidak ada seorang pun yang tahu
apakah Katai Muka Mayat ini masih
hidup apa sudah mati. Sambil mengatur
nafasnya yang memburu, Suro Blondo
mengedarkan matanya ke segenap ruangan
gua yang nyaris runtuh dan retak di
sana-sini.
"Eeh... aku telah duduk di atas
mayat perempuan ini," desis pemuda itu
sambil bangkit berdiri. Ia melongok ke
arah dinding gua yang berlubang besar,
ia sadar dari sinilah tubuh si katai
terlempar. Ia melirik ke bawah. Masih
terlihat riak-riak air laut di mana
lawannya jatuh tadi. Demikian
tingginya puncak bukit ini sehingga
membuat tengkuk Suro meremang.
"Aku harus memeriksa ruangan
lainnya. Siapa tahu Katai Muka Merah
bersembunyi di dalam sana."
Melihat kondisi gua yang sangat
membahayakan, Suro Blondo cepat
memeriksa sisa-sisa ruangan yang
berada dalam gua itu. Tapi ia tidak
melihat orang yang dicarinya selain
perempuan-perempuan telanjang yang
sudah tidak bernyawa lagi.
Pendekar Blo'on palingkan muka ke
arah lain dengan muka merah jengah.
"Manusia cebol itu rupanya punya
kegemaran mengumpulkan perempuan. Huh
sayang sekali aku tidak tahu di mana
Katai Merah. Dan si kampret itu siapa
bisa jamin itu siapa bisa jamin kalau
dia mampus terkena pukulanku atau
dimangsa hiu," gerutunya sambil garuk-
garuk kepala.
Suro Blondo kemudian cepat
berlari kaluar dari gua karang itu
ketika ia mendengar suara bergemuruh.
Dinding-dinding gua berjatuhan, baru
saja Suro sampai di mulut pintu gua.
Gua tersebut benar-benar runtuh
menimbulkan suara menggemuruh seperti
diguncang gempa.
"Hampir... hampir saja mampus.
Kalau mati di atas perempuan mungkin
enak. Tapi kalau tertimbun batu apa
enaknya...?"
Suro Blondo nyengir kuda. Ia
memandang ke jalan semula. Melalui
jalan itu pula ia harus turun. Diam-
diam hatinya heran juga ketika melihat
sosok serba putih berdiri di sana
dengan jarak sekitar seratus tombak.
TUJUH
Pendekar Blo'on turun lagi.
Setelah jarak mereka semakin bertambah
dekat, maka terlihatlah dengan jelas
bahwa gadis berbaju putih itu tidak
lain adalah dia yang berada di dalam
perahu tadi. Suro Blondo tidak begitu
menghiraukannya. Tapi langkahnya jadi
terhenti ketika melihat si gadis
menghadang langkahnya.
"Aku tidak punya banyak waktu!
Kuharap kau mau menyingkir Nisanak!"
kata Suro Blondo ketus. Rupanya ia
ingat gadis berkerudung ini begitu
jual mahal ketika ia minta tolong
untuk menyeberangkannya ke bukit
karang ini.
"Hi hi hi! Begitu tergesakah kau?
Dan kau telah membunuh orang itu?"
bertanya si gadis sambil tersenyum
malu.
Suro menatap tajam pada lawan
bicara-nya. "Kau siapa? Mengapa selalu
berusaha mencari tahu apa urusanku?"
"Aku… hi hi hi! Kebetulan adalah
orang yang tidak suka melihat laki-
laki memaksakan kehendaknya pada
perempuan," kata si gadis. "Sedangkan
siapa aku kau tidak usah tahu. Cukup
kau panggil Kerudung Putih!"
"Kerudung Putih, boleh jadi
Malaikat, hantu pocong, kuntilanak,
dan sejenis peri panunggu laut. Aku
ingin bertanya padamu, kerudung... eh
putih...! Apakah kau melihat Katai
Muka Mayat terjun tadi?"
"Hmm, kebetulan aku tidak meli-
hatnya. Yang kulihat adalah runtuhnya
gua karang di atas sana. Aku takut kau
tertimbun. Kalau sampai mati, alangkah
baiknya jika mayatmu kuumpankan pada
hiu-hiu yang kelaparan itu!"
"Aku ingin pergi sekarang. Tolong
minggir, tuanmu mau lewat!"
"Cih sombong sekali kau. Kau
pasti ingin mencari Katai Muka Merah?"
Suro Blondo melengak terkejut.
"Kau... bagaimana kau tahu?" tanya
Suro Blondo terheran-heran.
"Hi hi hi! Itu adalah persoalan
yang sangat mudah. Jika kau bermusuhan
dengan Katai Muka Mayat, berarti kau
bermusuhan pula dengan abangnya,"
jelas si Kerudung Putih.
Cuping hidung si pemuda langsung
kembang-kempis ketika mengendus bau
harum tubuh si gadis.
"Apakah kau tahu di mana kira-
kira Katai Muka Merah ini berada...?"
"Hmm... aku bukan mata-mata.
Katai Muka Merah adalah manusia angin-
anginan. Terkadang ia berada di timur,
barat, utara, atau selatan. Atau boleh
jadi dia berada di dasar lautan. Ia
tidak pernah menetap seperti Katai
Muka Mayat yang doyan perempuan itu.
Boleh jadi sekarang ini ia tinggal di
Muara Kali Condong di daerah Pasuruan
bersama muridnya nan cantik jelita.
Apakah kau mau ke sana?"
"Ha ha ha! Kebetulan sekali,
sekali jalan dua ekor biang penyakit
dapat kubekuk!" desis Suro Blondo.
"Siapakah yang kau maksudkan?"
tanya si Kerudung Putih terheran-
heran.
Tatapan mata si gadis yang bening
memandang tajam pada Pendekar Blo'on.
Tatapan mata yang mengandung makna
begitu dalam. Sehingga membuat Suro
Blondo tidak kuat memandangnya
berlama-lama.
"Menurut guruku, orang yang telah
membunuh kedua orang tuaku adalah
kedua manusia katai itu. Selain itu
masih ada satu lagi. Yaitu Kala Demit.
Dan menurut kabar yang kudengar pula.
Kala Demit tinggal di daerah Pasuruan
juga," jelas Pendekar Blo'on.
Suro Blondo tiba-tiba menghen-
tikan ucapannya ketika melihat gadis
berkerudung putih memandang ke arah
lain.
"Sakitkah kau?" tanya Pendekar
Blo'on.
Si Kerudung Putih menggelengkan
kepalanya.
"Banyak yang kupikirkan akhir
akhir Ini," kata gadis cantik itu
kemudian.
Ia tidak berani memandang pada
Pendekar Blo'on. Seperti ada sesuatu
yang meresahkan hatinya.
"Kalau boleh tahu, kurasa aku
bersedia menjadi pendengar yang baik
sebelum melanjutkan perjalanan."
"Aku tidak bisa mengatakannya."
"Kalau begitu tidak apa. Aku juga
tidak mau memaksa. Aku sendiri kalau
dipaksa juga tidak mau," tegas Suro
Blondo sambil menggaruk kepalanya.
"Se... sebenarnya entah mengapa
sejak pertama aku melihatmu tadi, aku
tidak sampai hati jika sampai terjadi
apa-apa denganmu. Kala Demit menurut
kabar yang kudengar punya kepandaian
segudang. Pukulan yang dimilikinya
juga dahsyat! Selama ini belum pernah
kulihat seorang pun yang dapat
mengalahkannya," jelas si Kerudung
Putih.
"Ha ha ha...!" Suro Blondo
tertawa membahak. Kemudian seka
keningnya yang berkeringat. "Roh ayah
dan ibuku tidak dapat tenang di alam
kubur sana jika aku tidak dapat
membalaskan kematian mereka. Aku tidak
perduli apakah Kala Demit atau Katai
Muka Merah punya kepandaian sebanyak
buih di lautan ataupun tujuh lapis
langit tembus. Sejak aku turun dari
Semeru, aku telah bertekad untuk
mencari mereka," tegas Pendekar
Blo'on.
"Aku... sudah terlanjur simpati
dan ingin bersahabat denganmu."
"Aku suka bersahabat dengan siapa
saja, tapi jangan coba-coba mencampuri
urusanku!"
Si Kerudung Putih menganggukkan
kepala.
"Aku sama sekali tidak bermaksud
mencampuri urusanmu," tegas gadis itu.
"Kalau begitu, maaf. Sekarang aku
harus pergi!"
Kerudung Putih tidak dapat
berkata apa-apa, ketika Suro berlalu.
Namun...
"Tunggu...!"
Suro Blondo tidak memperdulikan
teriakan gadis itu. Ia terus berlari.
Namun gadis Kerudung Putih terus
mengejarnya sehingga Pendekar Blo’on
terpaksa hentikan larinya dan memutar
badannya menghadap gadis itu kembali.
"Ada apa? Apakah kau ingin men-
jadi penunjuk jalan bagiku?"
"Eeh... kalau kau mau. Kau dapat
mempergunakan salah satu perahu yang
terdapat di bawah sana," kata si
gadis dengan muka bersemu merah.
"Wah... sekarang kau baik sekali.
Terima kasih sekali," jawab Pendekar
Blo'on, "Apakah aku harus membayar-
nya?"
Gadis Berkerudung Putih mengge
lengkan kepalanya pelan.
Benar saja, ketika pemuda
berambut hitam kemerahan ini sampai di
pinggir pantai bukit karang,
dilihatnya ada dua perahu berukuran
sama tertambat di situ.
"Dia begitu baik. Tapi aku tidak
tahu maksud baiknya. Siapa dia? Mudah-
mudahan saja ia bukan anak kuntilanak
atau penunggu teluk ini," bathin si
pemuda.
Suro melepaskan salah satu
perahu. Dengan mempergunakan perahu
tersebut, Pendekar Blo'on menyeberangi
selat yang cukup lebar. Sementara
gadis Berkerudung Putih berdiri
mematung di tempatnya. Wajahnya yang
cantik berubah sendu. Sekarang ia
menjadi ragu apakah ia harus mengikuti
pemuda polos yang telah menyita
perhatiannya dalam satu hari ini atau
membiarkannya tewas di tangan Kala
Demit?
Rasanya ia tidak sampai hati
melihat Suro Blondo tewas di tangan
tokoh sesat yang kabarnya punya
kepandaian tinggi tersebut. Padahal
menurut kabar, Kala Demit adalah tokoh
yang tidak ada duanya di kolong langit
ini.
"Aku harus mencegahnya untuk
menghindari hal-hal yang tidak
diingini terjadi padanya," bathin si
Kerudung Putih.
Dewi Kerudung Putih kemudian
menuruni bukit karang. Tidak lama ia
telah mendayung perahunya menyusul
Pendekar Blo'on.
Sepanjang perjalanannya menuju
Pasuruan ia menjadi ragu-ragu. Entah
mengapa ia merasa suka pada pemuda
berambut kemerah-merahan ini. Padahal
selama ini ia merasa belum pernah
jatuh hati pada pemuda tampan mana
pun. Tetapi yang satu ini terasa lain
dari yang ada. Ia ingat betul ketika
mencuri pandang pada si pemuda.
Jantungnya berdetak lebih cepat,
hatinya gelisah tidak menentu. Tatapan
Pendekar Blo'on begitu polos dan
menggetarkan.
Tidak biasanya si Kerudung Putih
yang biasanya dapat bersikap tegas itu
kini menjadi gadis yang seperti
kehilangan keberanian. Keragua-raguan
it uterus mengiringi perjalanannya
menuju ke Pasuruan.
***
Muara Kali Condong ternyata
sangat jauh lagi dari Pasuruan. Pemuda
baju biru muda ini merasa perlu
menangsal perutnya sebelum sampai ke
tempat tujuan. Tapi di sepanjang jalan
yang dilaluinya sangat jarang sekali
warung penjual makanan. Kalupun ada
itu pun sudah penuh sesak oleh
pengunjung.
"Kalau begitu aku harus mencari
warung lain. Tapi... eh, sebaiknya aku
bertanya pada orang di depan itu.
Siapa tahu mereka dapat memberiku
petunjuk di mana kira-kira Kala Demit
berada." Setelah memikir sampai ke
situ akhirnya ia menemui seorang laki-
laki yang kebetulan lewat di depannya.
"Ki... apakah Aki kenal dengan
Kala Demit?"
Si laki-laki miringkan wajahnya.
Telinga digerak-gerakkan. "Apa... di
sini memang daerah yang ramai. Kalau
mau jual atau beli ayam di ujung pasar
sana." Laki-laki itu berlalu. Pendekar
Blo'on geleng-gelengkan kepala.
"Orang itu mungkin tuli. Orang
bertanya Kala Demit, dia malah bicara
soal ayam! Dasar edan...!" Si pemuda
menggerutu, lalu berjalan lagi. Tidak
lama ia bertemu lagi dengan seorang
pemuda. Pemuda itu bibirnya agak
sumbing. Suro Blondo lambaikan tangan
dan bertanya lagi: "Saudara... apakah
saudara tahu di mana tempat tinggal
Kala Demit?"
Pemuda itu memandang ke arah Suro
Blondo, menelitinya sebentar sambil
berkata: "Hohala hertanya henhang Hala
Hemit? Holang haik hihu hinggal hihak
hauh haii hini."
Mendengar jawaban si pemuda
sumbing Suro Blondo jadi garuk-garuk
kepala karena tidak mengerti.
"Apa sih maksudnya?"
Si pemuda sumbing jadi jengkel
melihat pemuda konyol di depannya.
Lalu ia rapatkan bibirnya yang
sumbing. Ia bicara dekat sekali dengan
telinga Suro Blondo. Dengan merapatkan
bibir suaranya semakin jelas.
"Saudara bertanya tentang Kala
Demit? Orang baik itu tinggal tidak
jauh dari sini, tolol!"
Pemuda sumbing segera berlalu.
Suro Blondo hampir-hampir tidak dapat
menahan tawanya. Karena perjelasan itu
dianggapnya kurang cukup, maka ia
menghampiri seseorang anak kecil yang
sedang bermain di halaman.
"Dik! Di mana ya Kala Demit
tinggal?"
Bocah berusia sekitar sebelas
tahun itu memandang pada si pemuda,
lalu senyumnya mengembang.
"Dari sini abang terus saja,
setelah itu belok ke kiri, setelah ke
kiri terus belok ke kanan, lalu ke
kiri lagi, kemudian ke kanan. Sampai
di ujung jembatan bambu abang terus
saja, lalu belok ke kiri, lalu ke
kanan. Jika abang melihat patok-patok
kuburan, nah dari situ sudah terlihat
rumahnya."
Suro Blondo garuk-garuk rambutnya
yang tidak gatal. Kepalanya menjadi
pusing setelah mendengar keterangan si
bocah.
"Sial betul! Di dunia ini namanya
belokan memang cuma ada dua. Kalau
tidak ke kiri ya ke kanan. Akh...
bodohnya aku. Mengapa kena dikerjai
oleh bocah ingusan?"
Suro menggerutu sendiri, tanpa
mau bertanya-tanya lagi. Akhirnya ia
memutuskan untuk menelusuri jalan
sebagaimana yang dikatakan oleh si
bocah. Langkahnya cepat, mulutnya
berkomat-kamit menghitung banyaknya
tikungan yang telah dilaluinya "Kiri-
kanan. Hem, kiri lagi. Kiri-kanan.
Weleh-weleh banyak sekali tikungan di
sini. Berarti bocah itu tidak bohong,
ia jujur. Untungnya aku bertemu dengan
anak lugu. Hmm, sekarang kanan... ha
ha ha... kiri lagi... dan... kalau
tidak salah itulah jembatan bambu yang
dimaksudkannya. Tapi mengapa tidak
kulihat patok-patok kuburan? Jangan-
jangan anak itu membohongiku. Ah...
bohong apa bukan ya... bukan apa
bohong ya... bukan bohong!" kata si
pemuda sambil berjingkrak ketika
melihat sebuah tempat pemakaman yang
luas terbentang di seberang jembatan
sungai.
Suro Blondo bergegas menyeberang.
Tapi di depan mulut jembatan,
langkahnya tertahan ketika melihat
sebuah papan peringatan. Bertulis....
Sudi jembatan gila
Jika datang mengusung mayat,
berarti selamat
Jika tiba membawa niat baik,
berarti manusia cerdik
Andai datang membawa dendam dan
amarah berarti celaka...!
"Omong kosong!" Suro Blondo
tersenyum mencibir. "Pasti semua ini
perbuatan Kala Demit. Betapa sok
tahunya manusia busuk yang satu itu.
Aku, Suro Blondo datang ingin menuntut
balas. Hei….. jembatan gila, sinting,
miring. Coba tunjukkan kebolehan
gilamu!"
Baru selesai ia berucap, maka
pemuda ini mulai menyeberangi jembatan
bambu yang lebarnya tidak lebih dari
satu meter ini. Di bawahnya lebih
kurang sepuluh tombak sebuah jeram
berbatu dan deras airnya menanti
tubuhnya. Pendek kata tarpeleset
sedikit saja nyawa tidak akan ter-
tolong. Dengan gerakan ringan Pendekar
Blo'on mulai menyeberang. Tapi entah
mengapa tiba-tiba saja jembatan ter-
sebut bergetar. Getaran itu disertai
guncangan keras, hingga membuat si
pemuda nyaris terlempar dari atas
jembatan.
"Benar! Sudi Jembatan edan... Ee,
bagaimana ini? Bambu-bambu ini terus
bergerak seperti ada yang mengayunnya,
Kalau begitu aku harus merangkak di
atasnya...."
Suro Blondo akhirnya terpaksa
merangkak dengan kedua kaki dan
tangannya. Sesekali ia harus ber-
pelukan erat pada batang bambu untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya.
Jika semula gerakannya lambat,
semakin lama dan semakin ke tengah
semakin dipercepatnya. Sampai akhirnya
ia benar benar sampai ke seberang
dengan selamat.
"Puuuuh...!" Si pemuda menghem-
buskan nafasnya dalam-dalam. "Jembatan
gila si Sudi tidak bisa dianggap main-
main!"
Pemuda berambut kemerahan ber-
tampang tolol berwajah tampan ini
memandang ke sekelilingnya,
Di ujung tanah pemakaman itu ia
melihat sebuah rumah sederhana berdiri
tegak dengan tenangnya. Selain rumah
yang satu itu, memang tidak ada rumah-
rumah penduduk lainnya.
"Kala Demit memang manusia
cerdik. Ia memilih tempat tinggal
dekat kuburan agar aku tidak susah-
susah menguburkannya!"
***
DELAPAN
Merasa tujuannya hampir sampai,
Suro Blondo mengayunkan langkahnya
lagi. Setelah melewati jalan setapak,
ia terpaksa mengambil jalan pintas
dengan melewati tengah-tengah kuburan.
Pada saat ia berjalan itulah,
Suro merasa ada sesuatu yang tidak
beres. Tanah yang dipijaknya bergerak-
gerak seperti hidup. Permukaan tanah
bergelombang. Ketika Pendekar Blo'on
menghentikan langkahnya, maka permu-
kaan tanah yang ikut bergerak-gerak
tadi ikut berhenti pula.
"Acara edan apa lagi ini yang
dipersembahkan oleh Kala Demit? Aku
tidak yakin ada dedemit yang mengikuti
aku melalui bawah tanah. Atau memang
ada siluman yang dapat melakukannya?"
bathin Suro Blondo.
Ia memandang ke sekelilingnya
yang sepi, lalu memandang ke langit
yang sunyi Suro tiba-tiba merasa
berada dalam keterasingan waktu.
Dan hidup di dunia ini seperti
seorang diri.
"Suro! Hati dan pikiranmu
sesungguhnya adalah satu. Jika kau
merasa hidup ini sepi. Sesungguhnya
itu hanya permainan dan suasana hati.
Lingkunganmu adalah duniamu. Kau hadir
di dunia ini bersama empat saudaramu.
Suatu saat kau kembali lagi pada Sang
Pencipta, juga sendiri. Jika kau
berada di kuburan, maka ingat-ingatlah
mati. Karena kematian itu pasti akan
datang pada setiap orang. Tidak
perduli apakah dia orang berpangkat,
hartawan, atau gembel sekali pun.
Tidak seorang pun yang dapat menunda-
nunda kematiannya, walau barang
sedetik pun. Musuh yang paling hebat
datang dari diri sendiri, yaitu dari
hawa nafsumu. Kebanyakan manusia jadi
celaka dan tidak berguna karena
terlalu menuruti hawa nafsu!"
Wejangan-wejangan yang pernah
diberikan oleh gurunya kini seakan
mengiang kembali di dalam gendang-
gendang telinganya.
"Di sana kubur di sini kubur, di
tengah-tengah aku berdiri. Aku hanya
orang yang ingin berbakti pada orang
tua. Hawa amarahku tidak kelihatan,
namun Kala Demit harus kucari!" pikir
Pendekar Blo'on.
Setelah menimbang baik buruknya,
Suro Blondo bermaksud meneruskan
langkahnya lagi. Namun langkah kakinya
terhenti seketika saat melihat ada
papan peringatan tidak jauh dari
tempat ia berdiri.
Saudara sampai di kuburan Mayat
Hidup
Teruskan langkah berarti celaka!
Lupahanlah masa lalu, karena
setiap manusia,
Tidak pernah luput dari khilaf
dan dosa
Lebih baik kita berdamai saja....
Suro tersenyum mencibir, lalu
pencongkan mulutnya. "Mana bisa! Kalau
orang tuaku dapat hidup kembali dengan
hanya sejuta kata penyesalan dan maaf.
Tentu setiap orang sudi memberi maaf.
Hutang darah bayar darah, hutang pati
bayar pati. Hutang ubi harus dibayar
dengan talas. Hutang mati harus
dibalas. Kala Demit! Begini pengecut-
nyakah kau.... Tunjukanlah dirimu agar
kau dapat melihat bocah yang kau cari-
cari dulu kini telah menyerahkan diri
datang sendiri!" teriak Pendekar
Blo'on.
Sejenak adalah hening. Sepi
begitu menyentak, hingga setiap
tarikan nafas Suro Blondo terdengar
dengan jelas.
Hingga sejauh itu tidak terdengar
suara apa-apa. Suro Blondo mulai
mencari-cari. Namun apa yang
diharapkannya tidak muncul-muncul juga
hingga membuatnya jadi kesal.
"Baiklah... kalau kau tidak mau
menemuiku. Aku akan menyeretmu keluar
dari pondok bututmu itu, Kala Demit!''
teriak si pemuda dengan suara lebih
lantang lagi.
"Gleerrr...!"
Bukan jawaban yang didapatnya,
tapi suara menggemuruh yang disertai
retaknya permukaan tanah. Pada retakan
tanah itu terlihat gerakan aneh seakan
ada sebuah kekuatan yang meronta-ronta
dari dalamnya.
Suro Blondo terkesiap. Memandang
berkeliling, pemandangan yang sama
terlihat dengan jelas. Lalu....
Diawali dengan suara ringkikan
panjang, maka menyembullah sosok
kepala dalam jumlah yang sangat
banyak. Lalu sosok tubuh menggeliat
keluar.
Wajah mereka sangat menyeramkan,
karena wajah itu rusak dan berlendir.
Hidung sumplung, kedua mata membentuk
rongga besar. Tercium pula bau busuk
menusuk penciuman. Hingga membuat si
pemuda berjalan mundur sambil menahan
napas agar tidak muntah.
"Mayat hidup? Mungkinkah semua
ini perbuatan Kala Demit? Begitu
pengecutnya dia...!" desis Suro
Blondo.
Tidak sampai sepemakan sirih,
pemuda berambut hitam kemerahan ini
telah dikepung dari segala penjuru
arah.
"Edan...!"
"Groaaaakh...!"
"Crep! Craap!"
"Hiyaaa...!" Suro lentingkan
tubuhnya. Hingga kedua kakinya yang
terpegang oleh mayat-mayat hidup dapat
terlepas.
"Groaakh...!"
Baru saja Suro menjejakkan
kakinya di atas tanah, mayat-mayat
gentayangan ini telah menyergapnya
kembali.
Begitu kompaknya serangan mereka,
sehingga membuat Suro jadi kerepotan.
Ia melompat lagi ke udara. Ia segera
mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah
Kutu' Tangan pemuda itu bergerak
dengan lincahnya, sementara kaki
terkadang menendang atau meliuk-liuk
menghindari sergapan lawan-lawannya
yang terdiri dari mayat-mayat yang
serba menjijikkan ini.
"Groakkk...!"
"Upts...!"
Begitu ganasnya serangan-serangan
mayat hidup ini hingga membuat Suro
Blondo semakin bertambah repot saja.
"Heyaa...!"
"Duk! Duk!"
"Gubrak!"
Suro Blondo jatuh terguling-
guling. Belum sempat ia berdiri, kaki
mayat hidup yang berselumut lendir
menendangnya berulang-ulang. Hingga
membuatnya terhempas kian kemari.
"Sesuatu yang mengacaukan ter-
kadang banyak menolong dirimu!"
Dalam keadaan muntah darah
seperti itu, Suro seperti mendengar
petuah kakek merangkap gurunya, yaitu
Malaikat Berambut Api.
"Hraa...!"
Pendekar Blo'on melompat menjauh.
Setelah berdiri sepenuhnya, tanpa
menghiraukan darah yang meleleh di
bibirnya, ia putar langkah, mulut
dimonyong-monyongkan, lalu gerakan
yang dilakukannya kemudian adalah
sesuatu yang sangat kacau. Inilah
jurus 'Kacau Balau'. Sebuah jurus
pamungkas kedua yang dilandasi dengan
gerakan aneh dan sangat kacau dan
jelas sangat bertentangan dengan
jurus-jurus silat.
Betapa tidak, terkadang tubuh si
pemuda terhuyung ke depan seperti
orang yang hendak terjengkang. Di lain
saat miring ke kiri, oleng ke kanan.
Kaki setengah diangkat seperti orang
yang terpeleset kulit pisang.
Namun betapa pun hebatnya sera-
ngan mayat-mayat hidup ini, tidak satu
pun serangan mereka mengenai sasaran.
Sebaliknya, begitu Suro melakukan
serangan balik dengan cara yang aneh
dan sulit diikuti kasat mata, maka
lawan-lawannya nampak berpelantingan
terkena jotosan maupun tendangan
kakinya.
Melihat kawannya bergelimpangan,
maka yang lainnya menyerang dengan
kecepatan dan kekuatan berlipat ganda.
Sebaliknya mayat-mayat hidup yang
sempat terhempas ini bangkit pula
kembali. Sehingga tekanan serangan
lawan semakin bertambah berat saja.
"Gila...! Mayat-mayat ini
digerakkan oleh satu kekuatan. Aku
harus melepaskan pukulan 'Ratapan
Pembangkit Sukma'," desis Suro Blondo.
"Huup!"
Pemuda ini menarik tangannya yang
membentang lurus ke depan. Setelah itu
ia kerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Sekejap kedua tangannya
bergetar, sedangkan sekujur tubuhnya
hanya dalam waktu singkat telah
dibasahi keringat.
"Hyaaa...!"
"Wuuk! Wuuk! Wuuk!"
Angin kencang disertai hawa
dingin menderu ke delapan penjuru
arah. Gelombang angin bercampur salju
putih ini kemudian menghantam mayat-
mayat gentayangan itu dengan telak.
"Bumm! Buum! Buum!"
"Groaaaakh...!"
Jerit menggidikkan terdengar.
Jasad rusak busuk mengerikan berpelan-
tingan roboh. Mereka berubah beku,
tapi yang terhindar dari pukulan
dahsyat si pemuda, lepaskan pukulan
yang tidak kalah dahsyatnya dari
pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'.
Kenyataan ini membuat Pendekar
Blo'on terkesiap. Dengan cepat ia
lepaskan pukulan yang sama lagi.
"Glar! Glaar!"
Ledakan-ledakan yang keras dan
memekakkan gendang telinga terdengar.
Pemakaman umum jadi porak poranda.
Suro Blondo jatuh terguling-guling.
Nyata kalau ia menderita luka dalam
yang cukup serius. Terbukti darah
mengalir tidak ada henti dari sudut
bibirnya.
Ia langsung menelan dua butir pel
berwarna hitam. Tidak lama darah
terhenti.
Terhuyung-huyung pemuda ini
bangkit berdiri. Mulutnya peletat-
peletot, suatu pertanda amarahnya
sudah sampai ke ubun-ubun.
“Jika aku tidak pergunakan sen-
jata! Kurasa sebentar lagi jiwaku
melayang," bathinnya. Kemudian ia
mencabut mandau di balik pakaiannya.
Lalu terdengar suara tawanya memba-
hana. "Mandau Jantan! Jika benar kau
penjelmaan dari seorang pertapa sakti
patah hati. Tunjukkanlah kehebatanmu!
Aku membunuh mayat hidup yang
menyalahi aturan. Tempat mereka adalah
di liang kubur! Hiyaaa...!"
"Hiiiii...!"
Begitu mandau jantan di tangan
Suro Blondo berkiblat. Maka empat
lubang miring yang terdapat di tengah-
tengah mandau tersebut mengeluarkan
suara jeritan tangis.
Sinar hitam menderu-deru disertai
bersiurnya udara dingin luar biasa.
Laksana kilat senjata maut ini
menerabas.
"Crass! Tas! Ctas! Ctaas!"
"Grooook...!"
Mayat-mayat hidup itu pun
berpelantingan terkena tebasan senjata
milik Pendekar Blo'on.
Di luar sepengetahuan si pemuda.
Kiranya ada sepasang mata indah dan
bening memperhatikan sepak terjangnya.
Ia sempat mengkirik ketika melihat
senjata di tangan pemuda itu membuat
mayat-mayat hidup yang tentunya telah
dibangkitkan oleh Kala Demit menjadi
tidak berarti sama sekali.
Tapi lama kelamaan ia tidak tega
juga melihat pemuda ini mengamuk
membabi buta. Sebab ia tahu persis
bahwa mayat-mayat itu tidak mungkin
dihentikan meskipun mereka telah
kehilangan kepala, tangan maupun
kakinya.
Tidak lama kemudian ia pun keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Rebah...!"
Terdengar suara teriakan gadis
berkerudung putih ini. Maka tanpa
disangka-sangka oleh Suro Blondo,
mayat-mayat yang menyerang Pendekar
Blo'on pun berjatuhan dan kembali ke
asalnya.
Jasad mereka dalam waktu singkat
telah berubah membusuk. Suro ter
kesiap. Ia memandang ke arah datangnya
suara.
"Kau...! Rupanya kau mengikuti
aku, Kerudung Putih!" dengus Suro
Blondo. "Pasti semua ini adalah
permainanmu!"
"Justru kau salah! Aku hanya tahu
bagaimana caranya menjatuhkan mereka,
bukan membangkitkannya," bantah si
gadis tegas.
"Lalu apa tujuanmu mengikuti aku
kemari?"
"Aku hanya mengkhawatirkan kese-
lamatanmu" jawab Dewi Kerudung Putih
dengan malu-malu.
Suro merasa serba salah.
“Kau tidak punya sangkut paut
apa-apa denganku. Jika aku mati engkau
pun tidak akan rugi."
“Tetapi aku tidak mau melihat kau
mati,"
"Kalau begitu coba kau katakan di
mana Kala Demit dan Katai Muka Merah!
Aku tidak melihat dia ada di rumah
itu," ujar si pemuda.
"Aku tidak mampu memastikannya.
Mungkin beliau sedang melakukan
perjalanan ke Madura. Biasanya sangat
lama dan entah kapan dia pulang ke
sini lagi!"
Kening Suro berkerut tajam. "Kau
ada hubungan apa dengan Kala Demit?"
Dewi Kerudung Putih menggelengkan
kepala.
"Mengapa waktu itu kau
menghalangi aku?" tanya Pendekar
Blo'on tanpa berani memandang ke mata
si gadis yang menyimpan seribu macam
teka-teki itu.
Dewi Kerudung Putih tampaknya
ingin mengatakan sesuatu. Tetapi
bibirnya seperti terkunci. Hanya
tatapan matanya yang terasa begitu
aneh, bahkan kemudian wajah gadis
berkulit bersih dengan bulu-bulu halus
di pipinya tampak kemerah-merahan.
"Engkau tidak mengerti bagaimana
perasaanku saat pertama kali melihatmu
di teluk," jerit Dewi Kerudung Putih.
Selanjutnya tanpa bicara apa-apa
lagi ia segera berkelebat pergi.
Begitu cepat gerakannya, sehingga
dalam waktu singkat Dewi Kerudung
Putih telah lenyap dari pandangan mata
si pemuda.
"Dia begitu aneh, tatapan matanya
juga aneh. Matanya terasa lembut
bening dan sejuk. Dan caranya
memandang yang malu-malu. Sepertinya
ia kagum padaku. Ah... ada-ada saja,"
dengus Pendekar Blo'on seraya kemudian
geleng-geleng kepala. Ia merasa
pikirannya menjadi kalut. Kala Demit
adalah musuh besarnya, demikian juga
dengan Katai Muka Merah. Tetapi gadis
yang berjuluk Dewi Kerudung Putih itu
mengapa selalu membayangi dan
mengkhawatirkan keselamatannya?
"Jika seorang gadis menaruh
perhatian besar padamu. Bisa jadi ia
sedang jatuh cinta."
Kata-kata yang pernah diucapkan
oleh Penghulu Siluman Kera Putih
seakan mengiang kembali di telinganya.
Suro tersenyum masam. Dua gadis
cantik paling tidak telah menyita
perhatian dan waktunya. Walau itu
hanya sedikit.
Yang satu agak terbuka. Sedangkan
yang satunya lagi sangat misterius.
Pemuda bertampang ketolol-tololan seka
keringat di wajahnya, sambil
menggeleng-gelengkan kepala ia me-
langkah pergi.
Suro Blondo sama sekali tidak
menyadari bahwa sejak meninggalkan
teluk di pantai laut Selatan, ada
bayangan-bayangan lain yang terus
mengikutinya dari tempat yang cukup
aman.
Gerakan bayangan-bayangan terse-
but sangat cepat seperti setan.
Terkadang mereka mengikuti dari jarak
yang sangat dekat. Tetapi tidak jarang
bayangan-bayangan itu menghilang,
kemudian muncul bayangan baru meng-
gantikan posisi yang pertama.
"Bagaimana pun aku harus pergi ke
Madura. Kurasa gadis kerudung putih
tidak berdusta. Ha ha ha...! Kuda
budek sapi nungging. Ke mana pun
kalian bersembunyi aku tetap akan
mengejar kalian!" seru Pendekar Blo'on
seperti orang sinting.
SEMBILAN
Laki-laki itu berbadan tegap
tinggi, perutnya bundar, kulit hitam
seperti arang. Wajahnya angker dan
tampak ditumbuhi cambang serta jenggot
lebar berwarna putih. Rambutnya yang
jarang juga tampak telah memutih. Bila
tersenyum giginya yang cuma tinggal
beberapa buah terlihat jelas. Gigi-
gigi itu berwarna hitam.
Di dalam ruangan sempit bangunan
batu, ia tampak mondar-mandir seperti
ada sesuatu yang sangat mengusik
pikirannya. Mulutnya tidak henti-henti
mengunyah. Ketika ia meludah, maka
ludahnya tampak berwarna merah.
Di Rimba persilatan kakek tua
yang suka makan sirih ini dikenal
dengan julukan 'Datuk Hitam Gadang
Dibumi'. Beberapa tahun yang lalu ia
baru saja meninggalkan tanah Andalas.
Kejahatannya yang menggunung membuat
ia dimusuhi oleh tokoh-tokoh
persilatan tanah Andalas. Ia bukan
saja tokoh hitam sesat yang selalu
membuat onar dan beberapa kali
melakukan pemberontakan tarhadap Rajo
Mangku Alam. Tetapi perbuatannya yang
selalu menculik gadis-gadis demi
kesempurnaan ilmunya telah membuat
penduduk di tanah barat menjadi
khawatir sekaligus murka.
Rajo Mangku Alam bahkan
menyediakan dua kantung emas bagi yang
dapat manangkap Datuk Hitam Gadang
Dibumi hidup atau mati. Tidak heran
jika akhirnya ia meninggalkan tanah
Andalas dan kini gantayangan di tanah
Jawa.
Satu hal yang menguntungkannya.
Di tanah Jawa ini ia mempunyai dua
orang sahabat baik. Katai Muka Mayat
dan Katai Muka Merah adalah kawan-
kawan yang bersedia memberi tumpangan
hidup dengan segala fasilitasnya.
Walaupun begitu, kebiasaan Datuk Hitam
Gadang Dibumi dalam menculik anak-anak
perawan terus berlanjut. Apalagi
mengingat sekarang di tanah Jawa ini
ia mempunyai anak buah yang selalu
patuh menjalankan perintahnya.
Kini ia menjadi sangat resah,
karena sudah dua hari anak buahnya
yang bernama Lohgender atau yang lebih
dikenal dengan julukan Setan Merah
Mata Jereng belum juga kembali dari
perjalanannya. Padahal keinginannya
untuk mencicipi kehangatan tubuh
wanita sudah semakin menggebu-gebu.
"Setan alas. Menunggu... menunggu
dan terus begitu sepanjang hari. Lama
kelamaan membuat aku bosan. Setan
Merah Mata Jereng, kalau sampai tidak
mendapatkan gadis malam ini, hukumanmu
akan semakin bertambah berat...!"
geram si Datuk sambil membanting-
bantingkan kakinya. Bangunan batu kali
bergetar hebat ketika kaki Datuk Hitam
Gadang Dibumi menghantam lantai batu.
Tanpa menghiraukan getaran yang
terjadi, laki-laki bertelanjang dada
itu berjalan mondar-mandir mengitari
ruangan. Tetapi langkahnya terhenti
dengan tiba-tiba. Rupanya ia mendengar
sesuatu yang mencurigakan di luar
sana. Setelah menunggu beberapa saat
lamanya, kemudian terdengar suara
ketukan pada daun pintu yang sudah
tua.
"Trotok! Tok! Tok!"
"Siapa?" bentak Datuk Hitam
Gadang Dibumi.
"Aku yang datang Datuk. Harap
membuka pintu, santapan yang kubawa
ini kurasa sangat sesuai dengan
seleramu!" terdengar sebuah jawaban.
Suara orang di luar serak, seakan
ada kodok di dalam tenggorokannya.
Kakek berambut putih bertampang
bengis segera menghampiri pintu.
Setelah pintu dibuka maka di depan
pintu tersebut berdiri seorang laki-
laki bermuka merah, sedangkan matanya
yang menjorok ke dalam rongga tampak
jereng. Di bahu laki-laki berumur
sekitar lima puluh tahun tersebut
tersampir tubuh seorang wanita.
Melihat keadaannya yang lemah lunglai,
tampaknya gadis memakai kain kebaya
itu dalam keadaan tertotok baik urat
gerak maupun suaranya.
"Bawa ke kamarku!" perintah Datuk
Hitam Gadang Dibumi sambil leletkan
lidah basahi bibir.
Laki-laki muka merah segera
melakukan perintah atasannya. Setelah
meletakkan tubuh gadis malang tersebut
di atas tempat tidur yang terbuat dari
batu pula, maka Setan Merah Mata
Jereng keluar kembali. Ia duduk di
ruangan depan sambil mengeluarkan
sebuah bumbung kecil berwarna hitam
dari balik pakaiannya. Isi bambu
diintipnya, sehingga terlihat sepasang
Yuyu (sejenis kepiting kecil air
tawar). Yuyu-yuyu itu dikeluarkannya.
"Apa itu?" tanya Datuk Hitam
Gadang Dibumi.
"Sepasang Yuyu, Datuk!" sahut
Setan Merah Mata Jereng ketakutan dan
tampak berusaha melindungi binatang
mainannya.
"Aku bosan melihat yuyumu.
Rupanya kutugaskan selama dua hari kau
mencari yuyu dulu baru kemudian
mencari gadis yang aku inginkan?!"
"Tidak Datuk! Kutemukan mainan
kesayanganku ini di tengah jalan."
"Bagaimana kalau yuyumu kubunuh?"
Setan Merah Mata Jereng ter-
kesiap. Dua hari yang lalu Datuk itu
juga membunuh yuyu-yuyu miliknya.
Padahal mainan itu sangat ia senangi
dunia akhirat.
"Jangan... kumohon Datuk jangan
membunuhnya. Yuyu ini adalah belahan
hatiku. Jika Datuk membunuhnya, oh...
aku bisa sangat sedih sekali!" ucap
Setan Merah Mata Jereng.
"Baiklah, aku tidak akan mem-
buatmu kecewa. Tetapi kuharap selama
aku bersenang-senang, kau main di luar
sana!"
"Bbb... baik, Datuk. Terima kasih
karena kau tidak menyakiti binatang
kesayanganku!" ucap si laki-laki muka
merah. Setelah itu Setan Merah Muka
Jereng segera meninggalkan ruangan
tersebut. Datuk Hitam Gadang Dibumi
tersenyum sinis, lalu ia melangkah
menuju kamarnya.
Sebentar saja Datuk Hitam Gadang
Dibumi telah berada di dalam kamarnya
sendiri. Matanya yang bengis memandang
tajam pada calon korbannya.
"Tubuh ramping, dada padat dan
pinggulmu! Ha ha ha...!" Si Datuk
tertawa membahak. Sejenak ia terdiam,
tangannya dangan liar meraba-raba dada
si gadis yang terasa padat dan
kenyal. Gadis malang tersebut tentu
saja tidak dapat mencegah kekurang
ajaran si Datuk apalagi berteriak,
karena sekujur tubuhnya dalam keadaan
tertotok.
"Tidak perlu merasa takut Sayang.
Kita akan bersenang-senang. Aku akan
memberimu sebuah pengalaman yang belum
pernah kau dapatkan selama ini!" kata
laki-laki tua itu.
Kemudian Datuk Hitam Gadang
Dibumi duduk di samping gadis itu. Ia
mendaratkan ciuman bertubi-tubi di
bibir si gadis. Gadis malang berkulit
kuning langsat tersebut tampak
menitikkan air mata. Wajahnya berubah
pucat ketakutan.
Datuk Hitam Gadang Dibumi sama
sekali tidak menghiraukan semua ini.
Malah sekarang ciumannya turun ke
bagian leher si gadis yang jenjang.
Lalu secara kasar....
"Bret! Bret!"
Jemari tangannya yang kokoh
mencabik habis pakaian yang membalut
tubuh gadis itu. Sehingga gadis malang
tadi sekarang sudah tidak berpenutup
sama sekali.
Mata sang Datuk berubah jalang
macam singa kelaparan. Tangannya
Bemakin kurang ajar Baja. Menggerayang
dan meremas-remas dada si gadis dengan
kasar. Tidak berselang beberapa lama
bahkan tangannya meluncur ke bawah
perut dan bermain-main di sana.
Air mata gadis itu semakin deras
menetes. Sementara Datuk Gadang Dibumi
mulai melepaskan pakaiannya sendiri.
Sebentar saja ia telah berada di atas
tubuh si gadis. Kemudian ia melakukan
gerakan-gerakan yang teratur. Gadis
tersebut menyeringai kesakitan ketika
kejantanan Datuk Hitam Gadang Dibumi
memasuki dirinya dengan paksa.
Gerakan laki-laki tua itu semakin
lama semakin menggila, menghempas-
hempas dengan hebatnya. Hingga akhir-
nya tubuh tuanya melengkung disertai
teriakan lirih penuh kenikmatan.
Kemudian ia terkapar dengan senyum
puas mengambang di bibirnya.
Tidak terbayangkan betapa hebat-
nya penderitaan si gadis. Hatinya
jelas-jelas terguncang. Andaikan saja
dia tidak dalam keadaan tertotok dapat
dipastikan gadis itu telah membunuh
diri.
"Ha ha ha…! Hebat... kau gadis
yang masih suci! Karena itu aku
mengampuni jiwamu. Jika saja kau sudah
tidak asli lagi. Tentu kau sudah
kubunuh...!" ucap Datuk Hitam Gadang
Dibumi sambil mengenakan pakaiannya
kembali.
"Tok! Tok! Tok!"
Baru saja sang Datuk selesai
berpakaian, pintu sudah ada yang
mengetuknya.
"Bangsat apa lagi yang berani
mengganggu ketenanganku!" dengusnya
geram.
Kemudian ia menghampiri pintu dan
membukanya. Ia menjadi jengkel, karena
yang mengetuk pintu tidak lain adalah
Setan Merah Mata Jereng.
"Ada apa lagi? Apakah kau tidak
tahu bagaimana kebiasaanku?" bentak si
tua bengis marah.
"Maaf, Datuk. Di luar ada orang
terluka parah ingin bertemu denganmu!"
lapor Setan Merah Mata Jereng
ketakutan.
"Kalau sudah terluka parah
biarkan saja mampus. Bukankah kau juga
bisa mempercepat kematiannya?"
"Tet... tetapi ia mengaku sebagai
kawan Datuk sendiri," ujar Si Jereng.
Kemudian ia menjelaskan ciri-ciri
orang yang dilihatnya. Wajah sang
Datuk seketika berubah.
Tanpa bicara apa-apa ia segera
bergegas keluar dari dalam bangunan
tersebut. Ternyata di depan pintu
tampak seorang laki-laki bermuka pucat
seperti kain kafan dalam keadaan
lemah. Di tubuh laki-laki bertubuh
pendek ini terdapat beberapa luka yang
sudah mulai membusuk.
"Katai Muka Mayat, sahabatku...?"
seru Datuk Hitam Gadang Dibumi dengan
terkejut.
Ia segera memapah sahabatnya itu
untuk dibawa masuk ke dalam. Setelah
berada di dalam ruangan, maka Setan
Merah Mata Jereng merebahkannya di
atas tempat tidur sederhana terbuat
dari marmar.
"Apa yang terjadi denganmu?"
tanya kakek berbadan tinggi jangkung
berkulit gelap ingin tahu.
"Akkh... seseorang. Bocah ajaib
itu memukulku dengan pukulan yang
sungguh dahsyat. Ia datang untuk
menuntut balas atas kematian orang
tuanya dua puluh tahun yang lalu,"
jelas Katai Muka Mayat.
"Siapa?" desak sang Datuk.
Sementara itu Setan Merah Mata
Jereng telah kembali lagi menemui
ketuanya dengan membawa obat-obatan
yang dibutuhkan.
"Waktu peristiwa menggemparkan
terjadi, kau mungkin belum berada di
sini..." ujar laki-laki berbadan
kerdil itu. Kemudian sacara singkat ia
menceritakan segala sesuatunya di masa
silam dengan jelas.
"Hmm, geger bayi ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro itu
ketika berada di Andalas aku memang
pernah mendengar. Tapi kala itu aku
hanya menganggapnya hanya sebagai
kabar burung. Ternyata pemuda itu
benar-benar ada?!" dengus Datuk Hitam
Gadang Dibumi. "Rupanya tempat
tinggalmu di pantai Selatan telah
diketahuiuya? Kalau begitu alangkah
lebih baik jika kau tinggal di sini
bersama aku. Kita mempunyai kesenangan
yang sama. Kurasa kita mempunyai
kecocokan satu sama lain."
"Aku hanya akan membuat kau
repot. Kurasa jika luka dalam ini
telah sembuh, mungkin aku akan segera
kembali ke teluk lagi. Saat ini kurasa
pemuda itu mengira aku sudah mati.
Karena waktu itu aku terlempar ke
laut...!"
"Sobatku, Katai. Aku bisa sampai
ke tanah Jawa ini karena jasa baikmu
dan juga saudara seperguruanmu. Apa
salahnya jika sebagai sahabat kita
saling tolong menolong?" ujar Datuk
Hitam Gadang Dibumi serius.
"Kutekankan padamu, aku tidak
ingin menyusahkan engkau. Lagipula
jika bocah ajaib itu sampai tahu aku
berada di sini, maka aku tidak dapat
menyangkal dia juga akan memusuhimu!"
kata Katai Muka Mayat khawatir.
"Ha ha ha...! Apakah bocah itu
begitu hebat di matamu, sehingga
engkau menjadi takut? Aku juga jelas
tidak berpangku tangan, jika dia
datang tentu dia menjadi bagianku!"
Datuk Hitam Gadang Dibumi
selanjutnya memerintahkan Setan Merah
Mata Jereng untuk tetap berjaga-jaga
di depan.
Katai Muka Mayat sendiri
menyadari kali ini luka-luka yang
dideritanya cukup parah. Bahkan ia
telah berusaha menyembuhkan luka
dalamnya. Namun sampai sejauh itu
tidak juga berhasil.
"Baiklah kuterima tawaranmu itu."
Katai Muka Mayat akhirnya memberi
keputusan.
Datuk Hitam Gadang Dibumi tentu
saja merasa senang mendengarnya.
SEPULUH
Hampir sepekan pemuda berambut
hitam kemerah-merahan ini melakukan
perjalanan. Tetapi perjalanannya ke
Madura tidak membuahkan hasil apa-apa.
Katai Muka Merah seakan hilang raib
ditelan bumi. Semua ini membuat
hatinya menjadi penasaran. Mungkinkah
Katai Muka Merah pergi ke tempat lain,
atau Dewi Kerudung Putih sengaja
berbohong padanya. Namun kalau
dipikirkan lagi apa untungnya?
Dengan kecewa akhirnya Suro
kembali ke tanah Jawa. Di sepanjang
perjalanan ia tidak henti-hentinya
menggerutu.
"Dia berani membohongi aku. Kalau
ketemu lagi akan kupotong lidahnya.
Oh, bukan hanya lidahnya saja, tapi
tangan dan kaki juga harus
kupotong...!" pikir Pendekar Blo'on
sambil garuk-garuk kepala.
Kini ia memasuki sebuah daerah
yang sangat tandus di mana tidak
terdapat rumah-rumah penduduk di situ.
Dalam suasana panas terik seperti itu
ia terus mengayunkan langkahnya. Tidak
sampai sepemakan sirih si pemuda
berjalan, tiba-tiba saja langkahnya
terhenti.
"Bau busuk ini, seperti bau
bangkai manusia," kata Suro.
Ia kemudian mengendus-endus,
sehingga hidungnya kembang kempis
seperti binatang buas yang sedang
mengintai mangsanya.
"Bau ini datangnya dari arah
selatan. Hmm, betul dari arah sini!"
Suro mengikuti sumber bau tersebut.
Hingga kemudian terlihatlah olehnya
sebuah pemandangan yang sungguh
menyedihkan. Banyak mayat-mayat ber-
geletakan di situ, mereka semuanya
terdiri dari para wanita dan tidak
mengenakan pakaian sama sekali. Mayat-
mayat tersebut di antaranya telah
menjadi tulang belulang. Tapi ada juga
yang masih kelihatan baru.
"Mereka kelihatannya bukan mati
secara wajar. Pasti seseorang telah
memperkosanya. Kemudian setelah tidak
dibutuhkan dibunuh dengan cara
mencekiknya. Dunia ini benar-benar
sudah edan... keterlaluan...!" geram
si pemuda
Kemudian ia memperhatikan keadaan
di sekelilingnya. Ia menjadi hean.
Para wanita itu didatangkan dari mana?
Pendekar Blo'on kembali mengedarkan
matanya. Dan tiba-tiba saja ia
tersenyum sinis ketika melihat sebuah
bangunan batu tampak bertengger di
lereng bukit.
"Kurasa iblis bercokol di dalam
bangunan itu, aku harus melihatnya.
Barangkali Katai Muka Merah ber-
sembunyi di sana."
Memikir sampai ke situ, Suro
akhirnya bergegas menghampiri bangunan
batu yang jaraknya hanya sekitar tujuh
puluh lima batang tombak dari tempat
dia berada.
Setelah dekat dengan bangunan
tersebut, Pendekar Blo'on menghentikan
langkahnya dengan tiba-tiba. Dadanya
menjadi sesak, di depan bangunan Suro
Blondo melihat ada seorang laki-laki
bermuka merah. Semula ia menyangka
laki-laki itu adalah musuh besar yang
tengah dicari-carinya. Namun setelah
melihat bahwa orang itu berbadan
tinggi semampai, maka ia menjadi ragu,
walau begitu ia tetap mengayunkan
langkahnya mendekati.
"Hei... kau berhenti di situ...!"
teriak laki-laki bermuka merah pada
Pendekar Blo'on.
Orang yang membentak tadi sejenak
tampak sibuk memasukkan sesuatu ke
dalam bumbung bambu kecil. Selanjutnya
dengan tergesa-gesa segera mendatangi.
"Kau siapa?" tanya si muka merah
curiga.
"Kau sendiri siapa? Apakah kau
yang berjuluk Katai Muka Merah?"
bentak Suro Blondo.
"Bukan. Aku Setan Merah Mata
Jereng. Cobalah kau lihat mataku,
benar-benar juling, bukan?"
Suro sebenarnya merasa geli juga
melihat cara laki-laki di depannya
bicara seperti orang melawak. Namun
karena urusannya sangat mendesak, maka
ia langsung bicara pada titik
persoalan.
"Siapa yang bersembunyi di dalam
rumah itu?"
"Perlu apa kau tanya?" dengus
Setan Merah Mata Jereng ketus.
"Aku mencari seseorang berbadan
pendek. Namanya Katai Muka Merah. Aku
rasa dia bersembunyi di dalam bangunan
itu, makanya aku harus masuk ke sana!"
tegas Suro Blondo.
"Kau boleh masuk, tetapi setelah
meninggalkan kepalamu di sini!" sahut
Setan Merah Mata Jereng.
Tanpa basa-basi lagi laki-laki
berkulit kemerah-merahan ini langsung
bersiap siaga membangun serangan.
Namun sebelum tubuhnya melesat kea rah
Suro, terdengar suara bentakan dari
aah bangunan…
"Tunggu dulu...!!"
Gerakan Setan Merah Mata Jereng
berhenti seketika. Dari depan pintu
tampak sebuah bayangan berkelebat.
Hanya dalam waktu sekejap saja di
depan Pendekar Blo'on telah berdiri
seorang laki-laki bertelanjang baju
Laki-laki tua tersebut berwajah
angker. Tatapan matanya seolah-olah
ingin menembus batok kepala Suro
Blondo.
"Siapa kau?" dengus laki-laki
berkulit gelap tidak ramah.
"Aku Suro Blondo!"
"Hmm, kau si bocah ajaib dari
gunung lliomo? Ha ha ha...! Tampangmu
yang ketolol-tololan membuat kau tidak
pantas menyandang gelar si bocah
ajaib. Dan kau rupanya yang telah
membuat sahabatku Katai Muka Mayat
terluka parah?!"
Pendekar Blo'on terkejut sekali
mendengar ucapan orang berkulit hitam
tersebut.
Semula ia menyangka Katai Muka
Mayat yang tercebur ke dalam laut itu
telah binasa.
"Huh, rupanya bangsat pendek itu
masih hidup. Dan tentunya sekarang
berada dalam lindunganmu.
Kuperintahkan padamu agar segera
menyerahkan setan yang telah membunuh
orang tuaku. Kalau tidak kau akan
menyesal!" tegas Suro Blondo sengit.
"Ha ha ha...! Kepada orang lain
kau mungkin bisa main gertak. Tapi
sekarang kau berhadapan dengan Datuk
Hitam Gadang Dibumi! Dan perlu kau
tahu, Katai Muka Mayat dan Katai Muka
Merah adalah sahabatku. Jika kau
mengusiknya walau seujung rambut pun
maka nyawamu tidak ada yang menjamin
keselamatannya," tegas si kakek.
"Lagak bicaramu seperti Malaikat
pencabut nyawa. Kau melindungi musuh
besarku. Maka kau rasakanlah
akibatnya!" teriak Suro Blondo.
Tanpa basa-basi lagi Suro
langsung menerjang Datuk Hitam Gadang
Dibumi. Tetapi gerakannya itu segera
dihalang-halangi oleh Setan Merah Mata
Juling. Akibatnya laki-laki bermata
jereng inilah yang menjadi sasaran
serangan Pendekar Blo'on.
Anak buah Datuk Hitam Gadang
Dibumi ternyata mempunyai kepandaian
yang sangat mengagumkan. Ia langsung
berkelit ke samping kiri ketika
melihat serangan lawan menghantam
mukanya. Setelah itu tanpa terduga-
duga pula ia melancarkan serangan
balik dengan melepaskan tendangan ke
selangkangan lawan.
Pendekar Blo'on langsung melompat
mundur sambil menepiskan tangannya ke
bagian kaki kanan. Benturan tenaga
dalam tidak dapat dihindari.
"Duuk!"
"Heh...!"
Pendekar Blo'on dan Setan Mata
Jereng sama-sama terkejut. Pemuda
memakai ikat kepala berwarna biru
belang-belang kuning ini kemudian
mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah
Kutu'. Setelah itu ia kembali
menerjang lawannya.
Gerakan Suro yang tampak kacau
seperti seekor monyet yang sedang
menggaruk-garuk kepalanya ini benar-
benar membuat repot lawannya. Apalagi
terkadang dalam keadaan berjongkok ia
masih dapat melepaskan serangan-
serangan yang cukup berbahaya.
"Huup...!"
Setan Merah Mata Jereng tiba-tiba
saja melompat ke udara. Ia segera
mengerahkan jurus 'Menari Di Dalam
Bayang-Bayang'. Jurus ini adalah salah
satu jurus andalan yang dimiliki oleh
Setan Merah MataJereng.
Hanya beberapa saat saja
setelah ia mempergunakan jurus
andalannya ini, maka tiba-tiba tubuh-
nya lenyap hanya tinggal bayang-bayang
saja. Suro terkesiap. Serangan-
serangan lawannya membuat setiap
gerakan pemuda itu seperti menemui
jalan buntu. Apalagi mengingat sera-
ngan Si Jereng cepatnya bukan main.
Suro Blondo serta merta melompat
ke samping. Namun pada waktu bersamaan
lawannya melepaskan tendangan beruntun
ke bagian perut. Tampaknya walau telah
berusaha menghindar serangan lawan
datang begitu cepat. Sehingga....
"Buuk!"
Tanpa ampun lagi, Pendekar Blo'on
jatuh terjengkang. Tampak jelas darah
menetes dari sudut-sudut bibirnya.
Pemuda itu kemudian bangkit kembali.
Melihat Setan Merah Mata Jereng terus
menyerangnya, maka si pemuda segera
mengerahkan jurus 'Serigala Melolong
Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Detik-detik selanjutnya gerakan
si pemuda tampak lebih cepat. Langkah
kakinya tidak beraturan, terkadang
tubuhnya meliuk-liuk, atau melompat ke
samping kanan dan ke kiri. Di lain
waktu sambil mengeluarkan suara
lolongan panjang, kaki kirinya
menghantam lawannya.
Setan Merah Mata Jereng tampaknya
menjadi gugup. Tendangan kaki Suro
yang keras dan mengandung tenaga dalam
tinggi membuat orang ini jatuh
terpelanting. Ada benjolan besar
akibat tendangan itu. Namun ia segera
bangkit berdiri dan secara tidak
terduga-duga ia mengibaskan kedua
tangannya ke arah Suro.
"Wuut!"
Sakejap saja tampak seleret sinar
meluncur deras ke arah si pemuda. Dan
sebelum serangan yang menebar hawa
panas itu menghantam tubuhnya, maka
Suro melepaskan pukulan 'Kera Putih
Menolak Petir'. Segulung sinar putih
menderu ke arah lesatan sinar yang
keluar dari telapak tangan lawannya.
Udara di sekitar tempat itu tiba-tiba
saja berubah menjadi panas luar biasa.
Setelah itu benturan keras tidak dapat
dihindari lagi....
"Glaar!"
"Aaakh...!"
Setan Merah Mata Jereng memekik
keras. Tubuhnya terlempar cukup jauh.
Sedangkan Suro Blondo tampak tergetar
saja, meskipun luka dalam yang
dideritanya cukup berbahaya juga.
Hebatnya lawan sudah bangkit
kembali. Kali ini ia segera melepaskan
pukulan 'Bayang Bayang Setan'.
Begitu tangannya berkiblat, maka
angin kencang bergulung-gulung menye-
rang Suro. Pemuda yang telah
mempersiapkan tenaga dalam ke bagian
telapak tangan ini tidak mau menunggu
lebih lama.
'"Matahari Rembulan Tidak Ber-
sinar'! Heaaa...!" teriak Suro.
Laksana kilat tangannya dido-
rongkan ke depan. Maka untuk yang
kedua kalinya terjadi benturan yang
sangat dahsyat.
"Buuum!"
Tanah terguncang keras. Setan
Merah Mata Jereng terkapar di atas
batu. Sedangkan kaki Suro melesat
sedalam tumit. Ketika pemuda itu
mencoba menarik kakinya yang sempat
terbenam di dalam tanah, maka pada
saat itulah Datuk Hitam Gadang Dibumi
membokongnya dari belakang. Suro
berusaha menghindari bokongan ter
sebut. Tetapi kaki kanannya susah
dicabut dari himpitan tanah. Sehingga
tidak dapat dihindari lagi...
"Duuk!"
"Aaakh...!"
Jeritan keras disertai
menyemburnya darah dari mulut Suro
Blondo yang terbuka. Tubuhnya
tersungkur, jelas sekali kalau pemuda
ini menderita luka dalam yang
cukup serius.
"Ha ha ha...! Cuma segitukah
kehebatanmu, bocah gila?'' desis Datuk
Hitam Gadang Dibumi sambil bertolak
pinggang
Suro masih sempat mendengar semua
itu. Kecurangan yang dilakukan oleh
lawannya benar-benar membuatnya marah.
Secara diam-diam ia mempersiapkan
pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Akibat
pengerahan tenaga dalam ini tentu
membuat Suro menjadi semakin tersiksa.
Tetapi dia sudah tidak perduli lagi.
Ketika Datuk Hitam Gadang Dibumi
menghampirinya. Di saat itu laksana
kilat ia berbalik sambil menghantamkan
pukulan ke arah lawannya. Semula Datuk
Hitam Gadang Dibumi yang menyangka
bahwa lawan masih dapat bertahan.
Lebih tidak menduga lagi pemuda itu
mampu melepaskan pukulan dahsyat ke
arahnya. Karena jarak di antara mereka
teramat dekat, maka Datuk Hitam Gadang
Dibumi tidak sempat menghindar lagi.
Pukulan yang mengandung hawa
panas menghanguskan itu pun menghantam
tubuhnya.
"Buummm!"
Datuk Hitam Gadang Dibumi
menjerit keras. Sontak tubuhnya
terpelanting. Sebagian wajah laki-laki
itu hangus. Suro sendiri akibat
pengerahan tenaga tadi membuat luka
yang dideritanya menjadi bertambah
parah. Akhirnya ia tidak sadarkan
diri. Ketika pemuda ini terjaga, maka
hari sudah menjadi malam. Ia merasa
heran karena saat itu ia tidak berada
di tempat terbuka. Melainkan di dalam
sebuah pondok.
"Di mana manusia laknat yang
telah membokongku!" desisnya.
Suro segera bangun, dan ia merasa
tubuhnya menjadi ringan. Ia yakin
pasti ada orang yang telah
menolongnya. Ternyata dugaannya benar.
"Kau sudah sadar?" kata sebuah
suara merdu.
Pendekar Blo'on memandang ke arah
datangnya suara. Ternyata di samping-
nya telah duduk seorang gadis cantik
memakai kerudung putih.
"Kau...!"
"Aku menemukan tubuhmu tergeletak
di padang tandus."
"Ke mana Datuk keparat itu?"
"Ketika aku datang, aku tidak
melihatnya, terkecuali mayat seorang
laki-laki yang menyerangsang di atas
batu."
"Kau gadis aneh, kau menipuku."
"Apa yang kutipu?" tanya Dewi
Kerudung Putih heran.
"Aku pergi ke Madura, Katai Muka
Merah tidak berada di sana!"
“Mungkin aku salah kasih
keterangan, maafkanlah,'' ujar si
gadis sambil menundukkan kepala
“Siapakah yang sebenarnya kau
ini?" tanya si pemuda heran.
"Luka-lukamu belum sembuh benar.
Nanti pada suatu saat kau akan
mengetahuinya juga."
“Katakan siapa kau?!" kata
Pendekar Blo'on bersikeras.
"Aku adalah orang yang ingin
selalu dekat dengan dirimu!" sahut
Dewi Kerudung Putih. Ia langsung
menempelkan jari tangannya ke bibir si
pemuda ketika melihat pemuda itu ingin
bicara lagi.
"Istirahat... hanya itu yang
kuminta darimu...!" ujar si gadis
sambil merebahkan Suro Blondo di alas
balai-balai.
Karena sadar dirinya masih belum
pulih benar, maka pemuda berambut
hitam kemerahan ini terpaksa menurut
juga, walaupun hatinya menggerutu.
Gadis di depannya begitu baik,
misterius dan ia tidak tahu apa yang
terkandung dalam hatinya. Suro pada
akhirnya hanya mampu menggaruk-garuk
kepalanya saja.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar