..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

PENDEKAR BLOON EPISODE PEMIKAT IBLIS

PENDEKAR BLOON EPISODE PEMIKAT IBLIS

 Cerita ini adalah fiktif

Persamaan nama, tempat dan ide hanya 

kebetulan belaka.

PEMIKAT IBLIS

Oleh : D. AFFANDY

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

Cetakan Pertama : 1993

Setting Oleh : M. Yohandi

Hak penerbitan ada pada penerbit 

Mutiara

Dilarang mengutip, mereproduksi dalam 

bentuk apapun

Tanpa ijin tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Blo'on

Dalam episode Pemikat Iblis


SATU



Gunung Galunggung hampir sepan-

jang masa menyemburkan lidah api 

abadi. Hampir setiap saat penduduk di 

sekitarnya boleh dikata terancam mara-

bahaya. Letusan gunung hampir semua 

orang tahu selalu mendatangkan malape-

taka. Walaupun kesuburan tanahnya 

memberi manfaat bagi kehidupan umat 

manusia.

Tidak jauh dari gunung Galung-

gung ini ada sebuah tempat yang 

bernama Cilawu. Daerah ini merupakan 

sebuah daerah dataran rendah dan 

berbukit-bukit. Meskipun daerah terse-

but selalu tampak sunyi seakan tidak 

berpenghuni. Bila dilihat dari dekat, 

maka setiap pagi selalu terdengar 

suara bentakan-bentakan atau terkadang 

suara lengking tangis berkepanjangan. 

Tidak jarang terdengar pula suara 

beradunya dua senjata, terasa menya-

kitkan gendang-gendang telinga.

Melihat ke arah lembah gersang 

dan berbatu cadas itu. Maka sege-

ra terlihat seorang gadis berbaju 

ungu dan berwajah angker sedang 

bertarung mati-matian melawan seorang 

laki-laki tua muka tengkorak. 

Rambutnya yang riap-riapan dibiarkan-

nya tergerai memanjang. Sementara 

kakek berambut putih acak-acakan muka 

tengkorak, tampaknya juga tidak jauh


lebih baik dari gadis yang di-

hadapinya.

"Kerahkan seluruh kepandaian 

yang kau miliki!" suara kakek wajah 

tengkorak menggema ke seluruh bibir 

lembah, menggetarkan dinding-dinding 

batu, juga menulikan telinga.

"Jangan hanya gembar-gembor 

macam harimau ompong tua bangka! Mari 

kita buktikan siapa yang paling kuat 

di antara kita!" bentak gadis baju 

ungu tidak kalah sengitnya.

Tidak dapat dihindari pertem-

puran seru pun terjadi. Masing-masing 

tampaknya sama-sama mengandalkan ta-

ngan kosong. Setiap serangan yang 

mereka lancarkan selalu menimbulkan 

angin bersiuran. Debu-debu mengepul di 

udara. Batu-batu berhamburan dan siap 

menghantam tubuh lawannya. Lengah 

sedikit, maka putuslah nyawa.

Pertempuran sengit itu semakin 

lama semakin menghebat. Terlebih-lebih 

ketika kakek tua bertampang mengerikan 

berbadan kurus kering itu lepaskan 

salah satu pukulan yang paling 

diandalkannya.

"Heaaa...!" Tangan si kakek yang 

telah berubah menjadi biru tiba-tiba 

saja dihantamkannya ke depan.

"Hmm. Hanya pukulan Racun Segala 

Bisa, siapa yang takut!" Gadis baju 

ungu menggeram hebat. Ia kerahkan 

tenaga dalam yang dimilikinya ke


bagian tangan kiri kanan. Hanya dalam 

waktu sekedipan mata saja kedua 

telapak tangannya juga telah berubah 

menjadi biru. Tanpa menunggu ia 

lontarkan kedua tangannya memapaki 

pukulan beracun yang dilepaskan oleh 

kakek muka tengkorak mata buta 

sebelah.

"Huup!"

"Shaa...!"

Angin dingin mencucuk membekukan 

darah saling menyambar dengan ganas. 

Kemudian terjadi benturan yang sangat 

keras bukan alang kepalang.

"Duum! Duum!"

Dinding tebing yang selama 

bertahun-tahun tidak pernah goyah 

diterpa musim. Kini tampak longsor di 

sana-sini. Suara bergemuruh disertai 

menyebarnya bau menusuk berbaur 

menjadi satu. Debu mengepul tinggi 

membumbung ke angkasa. Bila beberapa 

saat kemudian debu-debu yang 

berterbangan itu mulai menipis. Maka 

daerah di sekitarnya menjadi porak 

poranda. Pada dua buah sisi yang 

berlawanan terlihat dua sosok tubuh 

tergeletak tidak bergerak sama sekali. 

Dari bibir mereka mengalirkan darah. 

Tampak jelas baik gadis berbaju ungu 

maupun si kakek muka tengkorak 

menderita luka dalam yang sangat 

parah. Namun anehnya tidak berselang 

lama. Terdengar suara tawa si muka


tengkorak bergelak. Tawa itu semakin 

lama semakin meninggi, hingga membuat 

daun-daun hijau di atas pohon 

berguguran. Gadis berbaju ungu agaknya 

juga menyadari apa yang tengah 

dilakukan oleh laki-laki renta di 

depannya. Itulah salah satu cara 

menyembuhkan luka dalam lewat 

pengerahan suara tawa. Dan inilah 

merupakan sebuah cara yang teramat 

langka dan sangat jarang dimiliki oleh 

orang-orang rimba persilatan.

Sadar lawannya mengerahkan hawa 

murni untuk menyembuhkan luka dalam 

yang dideritanya. Maka gadis baju ungu 

juga ikut tertawa. Suara tawanya 

melengking tinggi. Tubuhnya yang 

ramping bahkan sampai terguncang-

guncang. Suara tawa saling tindih 

menindih hingga menimbulkan guncangan 

hebat pada tanah tempat mereka berada.

Dari arah barat laut, tiba-tiba 

saja angin kencang berhembus. Pohon-

pohon di sekeliling lembah dan bukit 

bertumbangan. Dan langit pun seketika 

berubah mendung. Gadis baju ungu

terkesima, sebaliknya kakek renta muka 

tengkorak semakin memperhebat suara 

tawanya.

"Ha ha ha...! Hujan angin... 

inilah waktu yang kutunggu-tunggu 

sejak tujuh belas tahun yang lalu...! 

Hak kak kak...."

Gadis baju ungu terkesima.


Seraya jatuhkan diri dan berlutut di 

depan kakek renta muka tengkorak.

"Guruku Tuan Muka Tengkorak Mata 

Api, apakah maksud ucapanmu?" tanya si 

gadis. Ia seka darah yang membasahi 

sudut-sudut bibirnya. Sementara luka 

dalam yang dideritanya sudah tidak 

terasa sakit lagi. 

"Ha ha ha...! Muridku Mustika 

Jajar. Sejak masih bayi merah aku 

sengaja mengambilmu untuk kujadikan 

seorang murid tanpa tanding. Sekarang 

dan untuk masa yang akan datang kau 

akan menjadi seorang ratu yang tidak 

ada tanding. Kau bukan saja menjadi 

tokoh yang tidak ada duanya, tapi juga 

karena kecantikanmu yang sungguh 

menggiurkan, membuatmu mudah 

menundukkan laki-laki manapun yang kau 

sukai."

Seandainya ia seorang gadis yang 

dididik oleh seorang tokoh aliran 

lurus. Tentu saja wajahnya berubah 

merah karena mendapat sanjungan. Tapi 

karena pada dasarnya ia merupakan 

hasil gemblengan tokoh Maha Sesat. 

Mustika Jajar malah tertawa bergelak 

dan leletkan lidah basahi bibir.

"Sekarang hapuslah coreng moreng 

di wajahmu, Mustika!" perintah tegas 

kakek renta muka tengkorak yang hanya 

mempunyai satu mata ini tegas.

"Hi hi hi...! Jika kuhapus bedak 

batu penutup wajahku. Aku takut guru


tergiur olehku. Jika guru yang 

kepincut padaku, kujamin aku pasti 

tidak bersedia melayani keinginan 

guru!" Mustika Jajar tertawa genit.

Seraya lalu menghapus coreng moreng di 

wajahnya.

"Tidak perlu khawatir muridku. 

Tidak nantinya pagar memakan tanaman. 

Sejak kecil aku merawat dirimu. 

Walaupun sekarang kau berpakaian rapi. 

Sebagai gurumu tentu aku sudah tahu 

lekuk liku tubuhmu!" kata kakek muka 

tengkorak sambil tertawa-tawa,

Mata Mustika Jajar mengerling 

nakal. Wajahnya yang sekarang tidak 

tertutup pelapis apa-apa tampak cantik 

berseri-seri.

Matanya berbinar penuh keman-

jaan. Tapi di balik penampilannya yang 

nyata, tersimpan kekejaman melebihi 

manusia biadab.

"Ha ha ha. Sekarang kau benar-

benar telah menjadi gadis yang sudah 

sangat dewasa sekali, Tika. Wajahmu 

cantik melebihi bidadari. Jika saja 

aku masih muda, tentu saja aku tidak 

akan melepaskanmu setelah berhasil 

mendapatkan cintamu. Ha ha ha...!"

"Ternyata guru dulunya mata 

keranjang." Cibir si gadis.

"Lain dulu lain sekarang. 

Sekarang adalah masa pembalasan di 

mana kau harus mencari dan membunuh 

seorang laki-laki yang berjuluk


'Malaikat Berambut Api'. Orang inilah 

yang dulu pernah mencungkil sebelah 

mataku. Sudah menjadi tugasmu menja-

lankan perintahku. Selain itu kau juga 

berhak membunuh semua tokoh persilatan 

aliran lurus. Pergunakanlah kecerdikan 

dan kecantikan yang kau miliki untuk 

memperdaya setiap lawan. Jika lawan-

lawanmu merupakan tokoh yang sangat 

sakti, kau pikatlah dengan kecantikan-

mu! Jika mereka benar-benar telah 

bertekuk lutut di bawah kakimu. 

Peralatlah dia untuk mencapai cita-

citamu."

"Tapi guru. Di mana aku harus 

mencari musuh besar guru yang 

mempunyai gelar 'Malaikat Berambut 

Api' itu?"

Tua Tengkorak Mata Api terdiam 

beberapa saat lamanya. Matanya yang 

cuma sebelah itu memandang lurus ke 

arah si gadis. Dan beberapa saat sete-

lahnya suara tawa muka tengkorak 

menggema kembali. Di tengah-tengah 

suara tawanya yang tidak ubahnya bagai 

gaung suara harimau itu terdengar 

ucapannya yang tajam menusuk.

"Di manapun adanya Malaikat 

Berambut Api, kau harus mencarinya 

Mustika Jajar! Terakhir kudengar ia 

mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu 

Malam yang terletak di daerah selatan 

laut Jawa...."

"Apakah orang itu tidak


mempunyai murid, guru?"

"Mengenai murid aku sampai saat 

ini tidak mengetahuinya. Tapi kelak 

bila kau telah turun ke dunia ramai. 

Tentu kau dapat mencari tahu!"

"Baiklah guru. Kalau semua ini 

memang sudah merupakan keinginan guru. 

Maka sebagai murid yang ingin berbakti 

padamu, aku siap menjalankan segala 

perintahmu..." ujar gadis cantik ber-

baju ungu.

"Bagus! Sekarang kau duduklah di 

sini," ujar Tua Tengkorak Mata Api.

Mustika Jajar duduk di depan 

kakek Muka Tengkorak. Seraya kemudian 

mengangkat kedua tangannya tinggi-

tinggi. Setelah memberi isyarat pada 

muridnya, lalu Mustika Jajar pun meng-

angkat kedua tangannya. Tangan mereka 

saling menempel. Sebelum Mustika Jajar 

mengetahui apa yang akan diperbuat 

oleh gurunya.

Tiba-tiba gadis ini merasakan 

adanya satu sengatan yang sangat keras 

dan menimbulkan rasa dingin yang tidak 

tertahankan mengalir melalui telapak 

tangan gurunya. Mustika Jajar sempat 

terkesima. Hanya saja sebagai gadis 

yang sangat cerdik ia segera menge-

tahui bahwa gurunya sengaja memper-

besar hawa murni yang dimilikinya.

Tubuh murid dan guru tampak 

sama-sama tergetar hebat. Asap tipis 

mencuat dari bagian atas ubun-ubun si


kakek muka tengkorak; Sebaliknya tubuh 

Mustika Jajar sudah tampak bersimbah 

keringat. Tidak sampai sepemakan 

sirih. Tua Tengkorak Mata Api sudah 

menarik tangannya yang melekat di 

tangan muridnya.

Mustika Jajar, gadis berbaju 

ungu dan memiliki kecantikan luar 

biasa ini menarik nafas panjang. Kini 

ia merasa tubuhnya semakin menjadi 

ringan. Bahkan ketika ia menggerak-

gerakkan tubuhnya. Semuanya terasa 

lebih hebat dari waktu-waktu sebelum-

nya.

"Apa yang kau rasakan, muridku?" 

tanya Muka Tengkorak. Sungguh pun saat 

itu ia sedang tersenyum. Tapi di mata 

yang melihatnya senyumannya tidak 

ubahnya bagai seringai yang mengeri-

kan.

"Aku merasa badanku berubah 

seringan kapas!" jelas gadis cantik 

berhati telenggas ini sejujurnya.

"Bagus... ha ha ha... bagus...!" 

kata Tua Tengkorak Mata Api. Seraya 

meraba pinggangnya. Kemudian terlihat-

lah sebuah buntalan kecil warna hitam 

tergenggam di tangannya.

Buntalan itu selanjutnya dibuka-

nya. Setelah buntalan terbuka sepe-

nuhnya. Maka terlihatlah sebuah 

senjata yang sangat aneh bentuknya. 

Senjata itu berbentuk bulat seperti 

bulan sabit. Berwarna putih mengkilat


karena ketajamannya.

"Kau tahu cara mempergunakannya, 

muridku?" ,

Mustika Jajar menganggukkan 

kepala.

"Coba bagaimana?"

"Sabit Bulan adalah senjata yang 

sangat aneh. Aku tentu saja dapat 

mempergunakannya. Walaupun hanya 

dengan menggenggamnya."

"Bagus! Senjata ini sekarang 

menjadi milikmu sepenuhnya," ujar 

kakek renta muka tengkorak. Seraya 

menyerahkan senjata itu pada Mustika 

Jajar.

"Pantaskah aku menerimanya, 

guru?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.

"Tentu saja pantas, karena 

sebentar lagi kau sudah harus mening-

galkan lembah Cilawu ini."

Mustika Jajar memang tidak perlu 

membantah lagi. Sungguhpun hatinya 

merasa berat untuk meninggalkan orang 

yang telah merawat dan mendidiknya 

selama ini. Namun akhirnya ia harus 

berangkat memulai kehidupan lain yang 

sangat baru.



DUA




Cambuk di tangannya sesekali 

melecut di udara disusul dengan suara 

jerit kesakitan salah seorang dari 

sekian banyak orang-orang dari mereka

yang terbelenggu mata rantai. Tubuh 

yang semula muda perkasa ini lambat 

laun hanya tinggal kulit pembalut 

tulang. Mereka kurang makan, kurang 

tidur, kurang istirahat dan kurang 

segala-galanya. Sepanjang hari mereka 

harus terus menerus bekerja menggali 

sebuah terowongan, mengayak serpihan 

tanah untuk mendapatkan biji-biji emas 

murni.

Tidak jauh dari pekerja-pekerja 

paksa itu lebih dari sembilan laki-

laki bertubuh tegap berkepala botak 

dan bertampang beringas terus 

mengawasi pekerjaan mereka tanpa 

mengenal belas kasihan sama sekali.

Jika para pekerja itu tampak 

malas, maka cambuk berduri di tangan 

para algojo itu ikut bicara. Tidak 

heran jika tiap hari para pekerja itu 

ada saja yang mendapat celaka atau 

mati. Mayat-mayat mereka biasanya 

dibuang begitu saja tanpa ada seorang 

pun yang di antara para pekerja itu 

yang berani mengurusnya.

Sebuah dataran rendah tidak jauh 

dari tempat penggalian emas telah 

ditentukan sebagai tempat pembuangan 

jenazah. Tidak heran jika dalam 

beberapa tahun saja Bumi Ayu telah 

dipenuhi dengan tulang belulang yang 

bertimbun bahkan mulai menggunung.

Bau di tempat itu tidak dapat 

dilukiskan. Kenyataan ini tentu saja


sangat mengganggu pernafasan para 

pekerja paksa yang banyak didatangkan 

dari daerah Bumi Ayu dan Cijulang. 

Tapi siapa yang akan perduli? Tidak 

ada seorang pun yang memperdulikan 

nasib mereka. Kalau pun ada di antara 

para pekerja paksa yang berusaha 

melarikan diri. Tidak seorang pun di 

antara mereka yang dapat menyelamatkan 

diri. Mereka yang ketahuan oleh algojo 

segera dihabisi nyawanya. Kalaupun ada 

yang selamat sampai ke kampung 

halaman. Maka dalam waktu yang sangat 

singkat para algojo itu menyeret 

mereka untuk menerima hukuman mati 

atas pelarian nekad itu.

Siang panas terasa membuat 

rengat batok kepala. Para pekerja 

paksa itu seakan tidak mengenal rasa 

letih, terus melaksanakan tugasnya. 

Jika di antara para pekerja itu ada 

yang malas. Maka para algojo dengan 

kejamnya langsung mengayunkan 

cambuknya.

Pada suasana seperti itu, di 

kejauhan sana terdengar derap langkah 

suara kuda. Penunggangnya adalah dua 

orang laki-laki berbaju serba hitam 

bertampang tirus. Sedangkan kuda yang 

berada paling depan ditunggangi oleh 

seorang laki-laki berpakaian 

bangsawan. Semakin lama tiga ekor kuda 

tunggangan ini semakin dekat dengan 

tempat tujuan.


Para algojo begitu mengetahui 

siapa yang datang langsung menyongsong 

kehadiran mereka dengan sikap penuh 

rasa hormat. Tidak sampai sepemakan 

sirih. Sampailah rombongan penunggang 

kuda ini di lokasi penggalian emas 

Bumi Ayu. Tiga ekor kuda tunggangan 

berhenti dengan tiba-tiba. Dua orang 

penunggangnya melompat turun, sedang-

kan laki-laki berpakaian bangsawan 

tetap duduk di atas pelana kudanya. 

Seraya memperhatikan para algojo itu 

dengan tatapan sulit dimengerti.

"Bagaimana hasil kerja selama 

satu purnama ini, Dasa Reksa?" tanya 

saudagar Bergola kepada kepala algojo

"Maafkan kami, Tuan. Pendapatan 

biji-biji emas agak merosot. Semua ini 

dikarenakan semakin menipisnya jumlah 

pekerja. Menurut hemat hamba, kita 

merasa perlu menambah jumlah peker-

ja..." ujar laki-laki berbadan tegap 

itu berpendapat.

"Hmm.... Seharusnya tidak kau 

bicarakan itu padaku. Kalian boleh 

mencari tambahan tenaga kerja di mana 

saja. Kau bisa pergi ke Argopuro, 

Ciamis atau Tungku Jajar." kata 

saudagar Bergola ketus.

"Ba... baik... Tuan. Kami segera 

melaksanakannya dengan baik!" kata 

kepala algojo itu menyanggupi.

"Bagus! Kalian memang harus 

selalu mengabdi kepadaku!" dengus


saudagar Bergola Mungkur. Seraya 

kemudian beralih ke arah Giwang Rana 

dan Bajar Saketi. Yaitu kedua tangan 

kanannya yang sedang mengambil emas 

hasil para pekerja paksa itu.

Ada senyum sinis menghias di 

bibir si laki-laki. Tidak lama ia 

segera memeriksa emas di dalam 

bungkusan yang diserahkan oleh kedua 

tangan kanannya.

"Hasil bulan ini tampaknya 

memang agak berkurang banyak, Dasa 

Reksa. Kuingatkan padamu agar tidak 

mempermainkan aku. Jika ternyata kau 

menyembunyikan sebagian hasil 

pencarian ini. Seumur hidup kau 

dan kawan-kawanmu benar-benar akan 

kubuat menyesal!"

Rupanya ancaman saudagar Bergola 

Mungkur bukan sekedar ancaman kosong 

belaka. Karena ternyata Dasa Reksa 

sang kepala algojo tampak sangat 

ketakutan sekali.

"Saya mana mungkin berani 

mempermainkan Tuan. Selama ini saya 

sudah berusaha jujur kepada Tuan. Cuma 

karena belakangan para pekerja di sini 

banyak yang kojor menemui ajal. Itu 

sebabnya tenaga di lapangan menjadi 

sangat berkurang sekali."

"Aku percaya kata-katamu, Dasa 

Reksa. Untuk itu kuperintahkan pada 

kalian segera mencari tenaga tambahan. 

Purnama mendatang hasil yang kalian


peroleh harus semakin bertambah 

meningkat!"

"Perintah segera kami laksa-

nakan, Tuan..." kata Dasa Reksa. 

Saudagar Bergola Mungkur sama 

sekali tidak menyahut. Malah setelah 

memberi isyarat pada Giwang Rana dan 

Banjar Saketi mereka memacu kuda-kuda 

tunggangan itu menuju daerah Cileles.

****

"Uhukk...! Uhuuuuukk..! Wuaakh.. 

kupikir benda hitam panjang yang 

bergelantungan itu sarang lebah. Tidak 

tahunya…!" Pemuda tampan berbaju biru 

muda memakai ikat kepala warna biru 

belang-belang kuning ini hentikan 

ucapannya. Perutnya mual seperti 

hendak muntah. Lalu tanpa tertahankan 

lagi.

"Hoeek... hoeek...! Tuh kan, 

muntah betul...!” desisnya. Seraya 

lalu menyeringai dan garuk-garuk 

belakang kepalanya. Sekali lagi ia 

memperhatikan mayat-mayat yang ter-

gantung di pinggir jalan menuju kota 

kecil Malaya. Mayat-mayat itu rata-

rata kepala menghadap ke bawah, kaki 

terikat pada cabang pohon. Ribuan 

lalat tampak mengerumuni. Sebagian di 

antara mereka telah membusuk. Tapi 

tidak jarang ada pula yang masih utuh.

Pemuda tampan yang tidak lain


adalah Pendekar Blo'on ini memper-

hatikan mayat-mayat itu dengan kening 

berkerut.

"Kulihat ada kematian di mana-

mana. Siapa mereka? Melihat luka-luka 

di tubuhnya rasanya mereka disayat-

sayat dengan senjata yang teramat 

tajam. Apakah mungkin mereka ini meru-

pakan orang-orang dari rimba 

persilatan? Rasanya...!" Suro Blondo 

usap-usap keningnya yang berke-

ringat. Ia melihat sebuah pedang pen-

dek tergeletak di bawah salah satu 

mayat yang tergantung.. Namun sama 

sekali ia tidak punya, kebera-

nian apa-apa untuk memungutnya.

"Ini merupakan pekerjaan yang 

sangat keji.... Siapa pun pelakunya. 

Siapa pun orangnya. Pastilah merupakan 

seorang pembunuh berdarah dingin."

Suro Blondo lagi-lagi terdiam. Sayup-

sayup ia mendengar suara jlenting 

sesuatu di kejauhan sana. Pendekar 

Blo'on berusaha mempertajam pendenga-

rannya. Suara denting seperti senjata 

sedang beradu terdengar semakin ber-

tambah jelas. Suro Blondo penasaran. 

Hingga kemudian ia memutuskan untuk 

mendekati sumber suara.

"Hhh...!" Dengan mengandalkan 

ilmu lari cepat Kilat Bayangan yang 

sudah mencapai sempurna. Bergeraklah 

Suro Blondo dengan kecepatan yang 

sangat sulit diikuti kasat mata.


Tidak sampai sepemakan sirih, 

sampailah pemuda itu di atas sebuah 

dataran berbukit-bukit. Pemuda tampan 

bertampang tolol ini tidak langsung 

menghampiri seorang laki-laki tua 

bertelanjang dada dan berambut riap-

riapan. Melainkan bersembunyi di 

sebuah tempat yang agak terlindung.

Sambil menahan nafas ia terus 

memperhatikan laki-laki bertelanjang 

dada yang ternyata sedang membuat 

patung ukiran terbuat dari batu cadas. 

Anehnya, laki-laki ini hanya mempergu-

nakan kuku-kuku tangannya untuk 

membentuk bagian-bagian tertentu badan 

patung. Suro Blondo leletkan lidah dan 

usap-usap keningnya. Beberapa kali 

terdengar decak kagum dari mulut si 

pemuda.

"Cek. Ceek! jika saja dia tidak 

memiliki ilmu dan tenaga dalam yang 

sudah mencapai tingkat sempurna. Tidak 

nantinya ia mampu menggores batu cadas 

itu dengan ujung jemarinya." gumam 

Suro Blondo. Mata terbeliak lebar 

terlebih-lebih setelah melihat betapa 

bagusnya patung yang dibuatnya.

"Melihat badannya yang reot 

seperti rumah hendak roboh. Mustahil 

rasanya ia mampu melakukan pekerjaan 

yang memerlukan ketekunan dan tenaga 

dalam yang tinggi. Dan hasil pahatan 

itu juga sangat bagus sekali. Ia pasti 

seorang pengukir patung yang sangat


terkenal. Tapi untuk apa patung 

sebagus itu dibuatnya? Lagipula 

bagaimana membawanya? Patung itu ingin 

dijualnyakah?" kata Pendekar Blo'on 

lagi. Kemudian ia garuk-garuk belakang 

kepalanya yang tidak gatal.

Pendekar Blo'on dengan perasaan 

takjub yang tidak ada habis-habisnya 

terus memperhatikan si pembuat patung 

yang tampak sibuk menyelesaikan wajah 

patung yang hanya tinggal menghalu-

skannya saja. Dalam keadaan seperti 

itu, tiba-tiba saja Suro, Blondo 

mendengar kakek pembuat patung bicara. 

Tapi suaranya seperti orang yang 

sedang menyanyi. Pemuda itu pasang 

kuping dan gelang-gelengkan kepalanya.

Hidup delapan puluh tahun! Badan 

renta dimakan hari dan waktu. Menunggu 

si anak tunggal datang, tuntut ilmu 

ambil kepandaian. Yang ditunggu pendek 

umur pendek nafas. Tinggallah si tua 

renta putus karapan patah asa. Hidup 

terlunta-lunta menunggu pengganti. 

Tetap menunggu tidak seorang pun yang 

datang, dasar sial tua renta tidak 

berjodoh!

Suro Blondo tercenung. Kakek tua 

itu barusan mengucapkan kata-kata yang 

tidak dimengertinya sama sekali. Anak 

tunggal? Siapakah yang dimaksudkannya? 

Apakah kakek pematung itu mempunyai


anak? Ataukah ia hanya seorang 

pematung yang mempunyai otak tidak 

waras?

Keheranan di hati pemuda berbaju 

biru muda ini belum juga lenyap ketika 

dari arah utara terdengar suara derap 

langkah kuda yang dipacu sedemikian 

cepat menuju ke arah pematung 

tersebut.

Si kakek tua bersikap acuh tak 

acuh, ia tetap meneruskan pekerjaan-

nya. Dan kini ia mulai memoles badan 

patung batu dengan sejenis pewarna 

berwarna coklat tua.

Penunggang kereta kuda semakin 

lama semakin mendekat ke arahnya. 

Karena jalanan itu sempit. Maka ketika 

ketiga rombongan berkuda itu sampai di 

depan si kakek. Maka ketiga penumpang 

kuda langsung memperlambat kuda 

mereka. Salah seorang laki-laki di 

depannya berpakaian bangsawan hampir 

saja membentak, tapi begitu melihat 

patung yang sedang diwarnai oleh si 

kakek langsung katupkan mulut dan 

telan ludah.

Raut wajahnya yang selalu 

menyimpan ketamakan itu tampak berubah 

memerah. Wajah patung tampak tampan. 

Otot-otot tubuhnya bertonjolan, dada-

nya bidang. Bagian perutnya yang 

menonjol tampak tegang dan berukuran 

cukup besar. Dalam hati penunggang 

kuda berpakaian bangsawan ini ber


tanya-tanya, patung siapakah yang 

dibuat oleh si kakek tua ini?

"Jalan di sini begitu lebar. 

Kalau kalian mau lewat, silakan 

saja!" kata si kakek tanpa berpaling 

sedikitpun.

Pengawal laki-laki berpakaian 

bangsawan hampir saja membentak gusar 

jika saja laki-laki di depannya tidak 

cepat memberi isyarat agar pengawal 

merangkap tangan kanan itu diam.

"Orang tua, siapakah kau ini?" 

tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa 

pernah mengalihkan perhatiannya pada 

patung yang sedang diwarnai oleh si 

kakek. Sama sekali si pematung tidak 

menjawab, bahkan menoleh pun tidak. 

Tapi saudagar Bergola Mungkur tetap 

berusaha bersabar, walaupun di dalam 

hatinya mencaci maki. Bagaimana tidak? 

Ia adalah orang yang sangat disegani

di kota Malaya karena kekayaan dan 

pengaruhnya yang besar terhadap 

pembesar-pembesar Pariangan. Jika 

hanya seorang pematung tidak mau 

menjawab pertanyaannya, berlagak tuli 

seperti babu. Tentu ia merupakan orang 

yang sangat istimewa atau paling tidak 

memiliki keterampilan yang sangat 

tinggi.


TIGA



"Kakek tua! Karyamu sungguh 

bagus sekali. Aku menyukai patung yang 

sedang kau buat...!" kata saudagar 

Bergola Mungkur mengulangi ucapannya.

Tanpa menoleh pematung tua itu 

menyahut "Sesuatu yang bagus belum 

tentu menyenangkan. Sesuatu yang 

disukai, belum tentu membawa kepuasan 

dan kebahagiaan."

"Jika aku ingin memilikinya, 

apakah kau mau memberikannya padaku?" 

tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa 

mengerti apa arti ucapan si kakek.

Pematung tua gelengkan kepala-

nya.

"Bagaimana jika aku membelinya?" 

tanya saudagar kaya itu penasaran.

"Patung ini kubuat bukan untuk 

dijual atau kuberikan kepada siapa 

pun. Jadi maafkan saja jika aku tidak 

dapat memenuhi permintaanmu, Saudara!" 

ujar pematung tua tanpa pernah ber-

paling dari pekerjaannya.

"Bagaimana jika dua kan-

tung emas murni ini kita tukar 

dengan patung buatanmu, orang tua?" 

kata saudagar Bergola Mungkur. Seraya 

menggerakkan dua kantung emasnya 

sehingga menimbulkan suara bergemerin-

cingan. Giwang Rana dan Banjar Saketi 

pelototkan matanya.

Mereka sama sekali tidak


menyangka majikannya menjadi keran-

jingan setelah melihat patung buatan 

si kakek tua. Gilanya lagi dua kantung 

emas yang tidak ternilai harganya 

hendak ditukar dengan sebuah patung 

batu. Walaupun memang patut diakui 

patung itu memiliki kharisma yang 

sangat hebat. Bukankah jika pematung 

tua tidak menjualnya. Hanya dengan 

memberi perintah pada mereka, ia dapat 

membereskan si pematung untuk kemudian 

memiliki patung batu itu tanpa ada 

yang berani menganggu?

"Apakah kau seorang saudagar?" 

tanya si kakek dengan sikap acuh tak 

acuh.

"Benar, Aku adalah saudagar yang 

paling kaya di kota Malaya. Jika kau 

merasa dua kantung emas ini tidak 

sepadan dengan patung buatanmu itu. 

Aku dapat menyuruh orangku untuk 

mengambil dua kantung emas lagi 

sebagai tambahan."

Pematung tua kerutkan kening 

geleng-gelengkan kepala berulang-

ulang.

"Sudah kukatakan dengan jumlah 

emas berapapun harganya aku tidak akan 

menjualnya. Patung ini adalah bagian 

dari hidupku!"

"Orang tua, kami harap kau tidak 

usah bertingkah di depan kami. Dua 

kantung emas adalah jumlah yang tidak 

sedikit. Apakah kami harus memaksamu


untuk menyerahkan patung itu pada 

majikanku?" bentak Giwang Rana. Dan 

rupanya laki-laki bergiwang dan ber-

tampang angker ini sudah tidak dapat 

lagi mengendalikan akalnya.

Saudagar Bergola Mungkur sendiri 

yang merasa telah kehabisan kata-kata 

untuk membujuk pematung tua hanya 

berdiam diri menunggu reaksi.

Untuk pertama kalinya pematung 

tua palingkan wajahnya dan memandang 

lekat-lekat ke arah Giwang Rana dan 

Banjar Saketi. Ekspresi wajahnya tetap 

datar tidak menunjukkan kemarahan 

sedikitpun.

"Kalian menjadi kaya adalah 

karena tenaga dan keringat darah 

orang-orang yang tidak berdosa. Jika 

kuterima tawaranmu, sama artinya aku 

melumuri hasil karyaku dengan darah 

orang-orang yang terbunuh di goa 

penambangan Bumi Ayu! Aku pematung 

kelana setiap saat selalu mendengar 

suara jeritan arwah-arwah orang yang 

mati sebelum waktunya. Berlalulah 

kalian dari hadapanku! Kehadiran 

kalian hanya akan membuat udara di 

sini menjadi pengap dan berbau dosa."

Bukan saja ketiga penunggang 

kuda ini yang dibuat terkejut. Tapi 

juga Pendekar Blo'on yang bersembunyi 

di atas bukit di balik batu cadas 

terkesima. Entah siapa laki-laki aneh 

itu? Namun sungguh mengherankan ia


mengenali sepak terjang penunggang 

kuda yang ternyata merupakan seorang 

saudagar kaya ini.

"Orang tua! Kau benar-benar men-

cari penyakit telah berani mencampuri 

urusan kami!" bentak saudagar Bergola 

Mungkur tiba-tiba.

Tanpa berpaling dari patung yang 

sedang dipolesnya. Pematung Kelana 

tersenyum dingin.

"Manusia yang memiliki jiwa 

besar adalah orang yang berani 

mengakui setiap kesalahannya. Tidak 

perduli apakah kesalahan itu dibuat 

oleh tua bangka sepertiku ini. Tapi 

kebanyakan orang lupa, dan berusaha 

mencari dalih dengan menyebar fitnah 

untuk menutupi kesalahan sendiri. 

Alangkah ruginya manusia semacam itu 

kelak di kemudian hari!"

"Keparat! Aku tidak membutuhkan 

khotbahmu!" maki saudagar dari kota 

Malaya itu geram bukan main.

"Aku adalah orang yang paling 

tidak suka mendengar kata-kata yang 

kotor! Sebaiknya kalian menyingkirlah 

dari hadapanku!" perintah pematung 

tua, suaranya pelan namun tegas.

"Bangsat hina! Bunuh dia!" pe-

rintah saudagar Bergola Mungkur, lalu 

memberi aba-aba pada Banjar Saketi dan 

Giwang Rana.

Serentak kedua laki-laki bertam-

pang beringas ini menggebrak kuda


tunggangannya. Kuda itu melabrak ke 

arah Pematung Kelana yang tetap duduk 

ngejeplok di depan patung. Lalu kaki 

Giwang Rana dan Banjar Saketi meng-

hantam dada dan kepala Pematung 

Kelana. Namun sebelum kedua kaki 

lawannya mencapai sasaran. Dengan 

gerakan yang sangat sulit diikuti 

kasat mata. Pematung tua gerakkan 

tangannya ke arah bagian selangkangan 

kaki kuda.

Dengan tidak terduga-duga, kuda-

kuda itu melonjak ke atas sambil 

meringkik-ringkik kesakitan. Giwang 

Rana dan Banjar Saketi yang tidak 

menyangka akan mengalami nasib sial 

langsung terpelanting dari punggung 

kuda. Untung mereka rata-rata memiliki 

kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga 

dalam keadaan yang sangat terdesak itu 

mereka masih sempat bersalto dan 

menjejakkan kedua kakinya tidak jauh 

dari pematung tua. Dua ekor kuda 

tunggangan berlari kencang meninggal-

kan majikannya. Sementara Giwang Rana 

dan Banjar Saketi menjadi marah bukan 

main.

"Tua keparat! Tidak ada jalan 

bagimu terkecuali mati! Sekarang kau 

katakan pada kami kematian yang 

bagaimana yang kau inginkan?" teriak 

Banjar Saketi.

"Kematian adalah urusan Tuhan! 

Pergilah sebelum darah kalian tercecer


membasahi tanah gersang yang sangat 

suci ini!"

"Juih...!" Giwang Rana meludah.

"Sriing!"

Dilain kesempatan laki-laki ber-

tampang pemberang ini telah menghunus 

senjatanya berupa sebilah kapak ber-

warna kuning mengkilat. Sekali lirik 

Pematung Kelana sudah dapat melihat 

bahwa senjata di tangan lawan-lawannya 

mengandung racun yang sangat keji. 

Tapi dasar laki-laki aneh, sungguhpun 

lawan telah menghunus senjata yang 

sangat berbahaya. Namun ia tetap 

bersikap tenang-tenang saja bahkan 

tetap terpaku di tempatnya.

Merasa diremehkan, sambil meng-

geram aneh Giwang Rana dan Banjar 

Saketi melompat ke depan, lalu 

bacokkan senjata di tangannya membelah 

kepala Pematung Kelana, sedangkan 

kampak lainnya menebas bagian ping-

gangnya. Angin dingin menderu menyer-

tai berkelebatnya kapak di tangan 

lawannya. Serangan itu cepat bukan 

main. Sehingga Pendekar Blo'on yang 

melihat keadaan ini terpaksa menahan 

nafas dan pentang mata lebar-lebar

"Heaaa...!"

"Wuus!"

"Aaaaakkkh...!"

Tiba-tiba terdengar suara pekik 

kesakitan. Dua sosok tubuh terpelan-

ting dengan arah berlawanan. Di dekat


patung, si kakek tua bangkit berdiri 

sambil sunggingkan seringai aneh. 

Entah bagaimana caranya dua kapak di 

tangan masing-masing lawannya kini 

telah berpindah tangan. Matanya yang 

agak cekung memandang ke arah lawan-

lawannya yang sedang berusaha bangkit 

berdiri.

Wajah Giwang Rana dan Banjar 

Saketi sebentar memerah sebentar 

berubah pucat. Selama malang melintang 

di rimba persilatan belum pernah 

mereka mengalami nasib sial seperti 

sekarang ini. Apalagi hanya dalam 

gebrakan pertama saja mereka sudah 

dibuat tidak berdaya!

Namun untuk mundur, merupakan 

satu pantangan bagi mereka. Apalagi 

mengingat di tempat itu ada majikan 

mereka. Sambil menelan ludah, tiba-

tiba saja tangan kanan saudagar 

Bergola Mungkur mencabut keris ber-

lekuk tiga di bagian pinggang kiri. 

Keris itu diputarnya sedemikian rupa, 

sehingga membentuk sebuah bayang-

bayang berwarna putih berkilauan.

"Hap...!"

"Mampuslah kau!" teriak Banjar 

Saketi dan Giwang Rana hampir 

bersamaan. Tubuh mereka melesat ke 

depan laksana kilat. Keris di tangan 

membabat dan menusuk ke arah sepuluh 

jalan darah yang mematikan.

Tapi ternyata Pematung Kelana


adalah manusia serba bisa yang bukan 

saja memiliki ilmu kepandaian mematung 

yang handal. Tapi juga mempunyai 

simpanan jurus-jurus silat yang sangat 

mengagumkan.

Belum sempat senjata lawannya 

menyentuh tubuhnya. Ia sudah melesat 

ke udara. Senjata rampasan dilempar-

kannya dengan kecepatan sangat sulit 

diikuti kasat mata. 

"Jiiing!"

"Traang!"

"Waarkhgh...!" Giwang Rana dan 

Banjar Saketi menjerit setinggi 

langit. Tubuh mereka mengejang kaku. 

Kapak beracun yang dilemparkan oleh 

pematung tua menghunjam di dada mereka 

dan langsung menembus di punggung. 

Mata kanan saudagar Bergola Mungkur 

terpentang lebar bagai melihat setan 

perempuan telanjang.

Hanya sekejap saja tubuh mereka 

berkelojotan, kemudian terdiam untuk 

selama-lamanya. Kejut di hati saudagar 

kota Malaya itu bukan alang kepalang.

Di atas bukit Suro Blondo lelet-

kan lidah dan garuk-garuk kepalanya.

Sementara itu Pematung Kelana 

kembali duduk ngejeblok dan meneruskan 

pekerjaannya yang tertunda. Sikapnya 

begitu tenang seakan tidak pernah 

terjadi apa-apa di situ. Dari rasa 

kecut, Saudagar Bergola Mungkur beru-

bah menjadi sangat marah sekali.

"Manusia hina dina keparat! Kau 

benar-benar tidak memandang muka sama 

sekali padaku! Kalau kau tidak punya 

nyawa rangkap, sebaiknya kau berlutut 

di depanku dan serahkan patung marmer 

itu secepatnya!"

Bukan menjawab, pematung tua 

malah terkentut-kentut. Lalu terdengar 

suara batuk-batuk dari mulutnya yang 

tertutup kumis memutih.

"Ah... lega rasanya. Punya perut 

harus bisa kentut, supaya jangan sakit 

pemburut! Eeh... kau barusan bilang 

apa?" tanya Pematung Kelana tanpa 

memalingkan muka sedikit pun.

"Bangsat hina! Makan nih 

pedangku...!" teriak sang saudagar.

Tiba-tiba saja tubuhnya melesat 

ke udara. Pedang di tangannya 

mengeluarkan suara mendengung. Tapi 

tiba-tiba saja dengan sikap acuh tak 

acuh Pematung Kelana melibaskan 

tangannya ke samping kanan. Angin 

kencang laksana bara menderu-deru.

Angin kencang berhawa panas 

menghanguskan itu melabrak Bergola 

Mungkur hingga membuatnya jatuh 

terjengkang. 

"Akkh..." 

"Bruuk...!"

"Hhrrrk...!" 

Bergola Mungkur bangkit berdiri. 

Sekujur tubuhnya bergetar hebat, tanda 

amarahnya sudah memuncak sampai ke


ubun-ubun. Pendekar Blo'on yang 

melihat kejadian itu bertepuk tangan. 

Hanya saja tidak menimbulkan suara 

sama sekali.

Sementara itu Bergola Mungkur 

sudah menerjang kembali dengan 

pengerahan tenaga dalam yang sangat 

tinggi. Sejengkal lagi pedang berwarna 

putih mengkilat itu hampir memutus 

urat leher Pematung Kelana. Tiba-tiba 

si kakek menggerakkan tangannya ke 

bagian dada lawan. Gerakan yang 

dilakukannya tampak begitu lambat. 

Tapi akibatnya sungguh sangat luar 

biasa sekali.

"Breet!"

"Iiih...!" Bergola Mungkur 

terpekik kaget.

Baju saudagar kaya ini robek 

besar bahkan seperti hangus terbakar. 

Jika saja Pematung Kelana menghendaki, 

tentu sejak tadi nyawanya melayang.

Sekarang sambil melangkah ter-

huyung-huyung ia memperhatikan pema-

tung tua seakan tidak percaya dengan 

kemampuan yang dimiliki oleh lawannya. 

Tapi ia segera tahu gelagat. Kekayaan-

nya menumpuk, siapa sudi kehilangan 

nyawa?

"Pergilah sebelum kesabaranku 

benar-benar habis!" Pematung Kelana 

menggeram.

"Bbb... baiklah, aku akan pergi. 

Tapi kau tunggulah nanti pembalasan


ku!" kata Bergola Mungkur. Seraya 

cepat-cepat mendapatkan kudanya, 

kemudian meninggalkan Pematung Kelana 

sambil memacu kudanya sekencang 

mungkin. Dan ternyata kuda tunggangan-

nya entah mengapa sudah tidak dapat 

berlari kencang lagi. Sepanjang 

perjalanan terus terkencing-kencing 

dan meringkik-ringkik tidak teratur.



EMPAT



Pematung Kelana menarik nafas 

pendek. Ia kemudian duduk kembali di 

depan patung batu marmer yang 

berkilat-kilat terkena sinar matahari.

Suro Blondo usap-usap keningnya 

yang berkeringat. Ia sekarang menjadi 

ragu apakah ia harus menemui pematung 

tua itu atau berlalu? Tapi bila 

mengingat bahwa dirinya tidak punya 

urusan dan kepentingan apa-apa dengan 

laki-laki aneh ini. Maka tidak lama 

setelah itu ia pun memutuskan segera 

berlalu. Namun baru beberapa langkah 

ia meninggalkan tempat persembunyian-

nya, tiba-tiba sebuah suara 

memanggilnya.

"Hei... pemuda bertampang geb-

lek! Sejak tadi kau mengintip di situ, 

datang tidak permisi kini pergi tidak 

memberi salam. Kau benar-benar manusia 

tolol yang tidak tahu peradatan!"


"Eeh... mati aku...!" Suro 

Blondo garuk-garuk punggung kepalanya. 

Kemudian senyumnya yang jenaka pun 

mengembang. "Bagaimana ini, kakek itu 

rupanya mengetahui kehadiranku. 

Sungguh! Walaupun sudah tua matanya 

belum lamur. Sebaiknya aku hampiri 

saja, ah...!" 

Sambil tersenyum-senyum, Suro 

Blondo datang menghampiri. Sampai di 

depan Pematung Kelana seraya menjura 

hormat. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk 

hingga nyaris menyentuh tanah.

"Maafkan aku, kakek tua. Karena 

datang tidak memberi salam dan ingin 

pergi tapi ketahuan...."

"Bocah goblok! Kapan aku kawin 

dengan nenekmu? Seenaknya saja kau 

memanggilku kakek?!" Pematung Kelana 

bersungut-sungut. Sebagaimana 

kebiasaannya kali ini pun ia tidak 

berpaling dari pekerjaannya.

"Lalu apakah aku harus memang-

gilmu, Mbah, Engkong, Buyut, orang tua 

keriputan, tua jelek atau manusia aneh 

tukang ukir batu?" kata Suro Blondo 

sambil menahan tawa.

Sedikitpun ekspresi wajah Pema-

tung Kelana tidak menunjukkan 

perubahan sama sekali. Hanya wajahnya 

saja agak dimiringkan. Sehingga panda-

ngan mereka saling bertemu.

Suro Blondo alias Pendekar 

Blo'on melangkah mundur, bibirnya


yang nyaris tersenyum kini terkatup 

rapat. Betapa sorot mata laki-laki tua 

di depannya tampak begitu berwibawa. 

Si pemuda merasa tidak kuat berlama-

lama menatapnya. Ia kemudian beralih 

ke arah patung. Pemuda ini lebih 

terkesima lagi setelah melihat betapa 

bagusnya ukiran patung batu itu. 

Dadanya bidang, otot-otot di tubuh 

patung bersembulan melambangkan 

seorang pemuda perkasa. Hanya pemuda 

ini menjadi malu sendiri ketika 

melihat ke bagian bawah perut patung.

Di sana ada daging yang 

berlebih. Dan daging itu tampak tegang 

seukuran lengan bayi, tegak terpancang 

menghadap ke langit.

"Walah! Patung ini memang indah. 

Tapi mengapa harus dibuat porno?" Suro 

Blondo nyengir, lalu garuk-garuk 

kepala.

"Bocah! Kuminta hentikan oceha-

nmu, tutup mulutmu dan jangan 

tersenyum macam orang gila di 

depanku!" bentak Pematung Kelana.

Tiba-tiba saja suara tawa Suro 

Blondo meledak. Perutnya terguncang 

karena berusaha menahan tawa.

"Diam...!" bentakan menggelegar 

itu menghentikan tawa Pendekar Blo'on 

seketika itu juga. 

"Kau siapakah?"

"Namaku Suro Blondo, Kek!" 

sahut Pendekar Blo'on.


"Apakah kau mempunyai gelar?"

"Gelarku... ah bagaimana, 

ya...!" Suro Blondo menggaruk belakang 

kepalanya berulang-ulang.

"Katakan saja kalau kau punya 

gelar atau julukan!" desak Pematung 

Kelana Bambil memperhatikan pemuda di 

depannya dengan kening berkerut.

"Aku Pendekar Blo'on...!" 

jawabnya polos.

"Pantas! Tampangmu saja sudah 

membuktikan bahwa kau seorang pemuda 

tolol. Hmm... akhir-akhir ini aku 

memang sering mendengar namamu! Oh 

ya... apakah kau mau jika patung ini 

kuberikan padamu?"

Suro Blondo terperanjat.

Saudagar Bergola Mungkur saja 

yang berniat membeli patung itu dengan 

dua kantung emas ditampik oleh 

Pematung Kelana. Mustahil sekarang 

Suro Blondo dapat menerimanya. Lagi-

pula ia tidak berminat dengan segala 

macam patung, sungguhpun karya 

Pematung Kelana ini sungguh hebat dan 

mendekati sempurna tanpa cacat dan 

kekurangan.

"Bagaimana?"

"Wah... saya tidak berminat 

dengan patungmu, Kek." jawab si 

pemuda, tegas.

"Mengapa? Apakah patung ini 

tidak bagus, menurutmu?"

"Patung itu memang bagus. Tapi


aku mana berani terima pemberian yang 

sangat berharga ini." jawab si pemuda 

polos.

"Hmm, ternyata walaupun tampang-

mu tolol, tapi kau merupakan seorang 

pemuda yang cukup cerdik. Rupanya kau 

tahu bahwa setiap keindahan yang kita 

lihat ternyata tidak selalu menjanji-

kan kebaikan. Rupa cantik belum tentu 

hati dan pribadinya cantik. Tampang 

tidak selalu mencerminkan hati. Jadi 

kau benar-benar tidak mau menerima 

pemberianku ini?"

Suro Blondo golang-golengkan 

kepalanya. 

"Apakah kau tidak menyesal, jika 

nanti aku memberikannya kepada orang 

lain?"

"Jika itu memang sudah kehendak-

mu, buat apa kusesalkan?"

"Kalau aku punya satu permintaan 

untukmu, apakah kau mau melaksanakan-

nya?" tanya Pematung Kelana.

"Tergantung baik buruknya 

permintaan itu. Jika kau suruh aku 

mencuri, siapa sudi. Jika kau suruh 

merampok tentu aku kapok. Jika permin-

taanmu baik dan aku mampu 

melakukannya, tentu dengan senang hati 

aku menjalankannya." 

Pematung Kelana tersenyum, namun 

hanya sesaat saja. Dilain waktu 

sikapnya telah berubah serius. "Pergi-

lah kau ke Bumi Ayu...!"


"Heh.... Bumi Ayu?" 

"Betul!"

"Ada apa di sana?" tanya Suro 

Blondo tidak mengerti.

"Kau tidak layak bertanya!"

"Sialan. Tua bangka ini sangat 

angkuh sekali. Dia yang suruh pergi, 

tapi tidak mau kasih tahu apa yang 

harus kuperbuat di sana?" gerutu 

Pendekar Blo'on.

"Aku tidak akan pergi jika aku 

tidak tahu apa yang harus kulakukan di 

sana...!" kata Pendekar Blo’on 

akhirnya dengan perasaan jengkel.

"Ha ha ha...! Kau rupanya curiga 

juga padaku. Perlu kau ketahui, bahwa 

saudagar yang menawar patungku tadi 

merupakan orang kaya yang telah 

memperalat orang lain untuk mengambil 

biji-biji emas di Bumi Ayu! Hampir 

setiap hari banyak di antara mereka 

yang menemui ajal secara menyedihkan. 

Mayat mereka dicampakkan begitu saja, 

hingga tempat itu bertimbun bangkai. 

Sudah menjadi tugasmu Suro, untuk 

menghentikan mereka. Jika usahamu itu 

berhasil. Maka kau juga harus 

melenyapkan saudagar Bergola Mungkur. 

Karena dia merupakan dalang dari semua 

penderitaan mereka."

"Mengapa tadi Kakek tidak 

membunuhnya?"

"Hmm, aku memang sengaja memberi 

kesempatan untuk memperbaiki sepak


terjangnya. Lagipula aku berpantang 

membunuh."

"Tapi terhadap dua ekor anjing 

jelek itu mengapa Kakek dapat 

melakukannya...?"

"Itu karena kepepet, dan mereka 

memang sengaja mencari mati!"

Suro Blondo seka keningnya yang 

berkeringat.

"Satu hal yang harus kau ingat! 

Jika kau telah berhasil menghentikan 

mereka. Maka kau harus mencariku!"

"Untuk apa?" tanya Pendekar 

Blo'on terheran-heran.

"Sekarang belum waktunya bagiku 

untuk menjelaskannya padamu. Nanti 

jika tugasmu telah kau selesaikan."

"Baiklah, sekarang aku mohon 

diri." kata si pemuda. Pematung Kelana 

menganggukkan kepala sambil memandangi 

kepergian Pendekar Blo'on.

****

Dua pemuda penunggang kuda 

berbulu hitam pekat itu tampak saling 

berlomba-lomba menuju ke daerah Bumi 

Ayu. Melihat gelagat mereka yang dalam 

keadaan tergesa-gesa. Tampak jelas 

bahwa mereka ini mengemban tugas yang 

cukup penting.

Siang malam mereka memacu kuda 

tunggangan, seakan tidak mengenal 

lelah sama sekali. Mereka baru


berhenti jika benar-benar merasa 

lelah. Memang kalau dipikir-pikir 

jarak yang mereka tempuh antara 

Kuningan dan Bumi Ayu cukup jauh. 

Sehingga dalam seminggu perjalanan 

beberapa kali mereka terpaksa bermalam 

di hutan.

Matahari sudah mulai condong di 

ufuk barat pada saat mereka memasuki 

daerah Bumi Ayu. Yaitu sebuah tempat 

terakhir yang menjadi sasaran 

pengejaran mereka.

"Sebaiknya kita bermalam di sini 

saja, Kakang!" kata salah seorang di 

antara pemuda itu. Pakaiannya yang 

berwarna putih telah kotor berselimut 

debu. Wajah pemuda itu juga sudah 

tampak kelelahan sekali.

"Jarak kita dengan gua-gua 

penggalian sudah sangat dekat sekali. 

Aku yakin pemuda-pemuda dari Kuningan 

yang diculik para algojo itu sampai 

saat ini belum menjalani kerja paksa! 

Bagaimana kalau kita lanjutkan saja?"

"Kakang Sapala! Kakang harus 

ingat bahwa algojo yang menjaga 

para pekerja paksa itu jumlahnya 

tidak sedikit. Aku yakin mereka rata-

rata memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Kita membutuhkan waktu untuk 

menghimpun tenaga yang terkuras selama 

dalam perjalanan. Kalau tidak ada aral 

melintang besok pagi kita dapat 

melanjutkan perjalanan ini."


"Baiklah, Panji. Jika memang itu 

sudah maumu, kali ini aku dapat 

menurutinya...!"

Sapala dan Panji yang selama ini 

dikenal sebagai Pendekar Kembar di 

daerah Kuningan segera turun dari 

punggung kudanya. Sebentar kemudian 

mereka mulai mencari tempat yang cocok 

untuk melewatkan malam.

"Hhuimm... adalah tolol, jika 

laki-laki tidur dengan laki-laki. Jika 

tidak mempunyai kelainan jiwa, 

pastilah orangnya sudah sinting!"

Panji dan Sapala melengak kaget 

ketika mendengar suara seorang 

perempuan yang seakan datang dari 

seluruh penjuru arah. 

"Eeh... apakah kau mendengarnya, 

Panji?" tanya Sapala.

"Suara perempuan itu?" 

"Ya....!" 

Sapala kemudian memandang ke 

sekelilingnya. Aneh selain pohon-pohon

besar ia tidak melihat apa-apa di 

situ.

"Lihat!" Panji tiba-tiba menun-

juk ke salah satu cabang pohon. 

Ketika Sapala melihat ke arah itu. 

Maka ia tersentak kaget.

Pada salah satu cabang pohon ia 

melihat seorang gadis berbaju ungu. 

Wajahnya cantik menggiurkan. Tubuhnya 

padat montok di balik pakaian yang 

sangat tipis mencolok. Gadis itu


langsung tersenyum genit ke arah 

mereka. Bibirnya sengaja dibasah-

basahkan dengan lidahnya.

"Mengapa kalian memandangku 

seperti itu?" tanya si gadis yang 

tidak lain adalah Mustika Jajar atau 

terkenal dengan julukan 'Iblis Betina 

Dari Neraka'

Sapala dan Panji saling berpan-

dangan. Lalu dua-duanya memutar 

langkah dan hendak berlalu meninggal-

kan Mustika Jajar yang masih tetap 

duduk tenang di atas cabang pohon itu.

Namun baru saja tiga langkah, 

tiba-tiba terasa adanya sambaran angin 

menerpa wajah mereka. Panji dan Sapala 

bersurut dua langkah ke belakang. 

Sebagai pendekar muda, mereka langsung 

bersikap waspada menjaga segala 

kemungkinan. Tapi gadis berbaju ungu 

yang sekarang berdiri menghadang di 

depan mereka malah tersenyum memikat.

"Kalian salah sangka. Aku ber-

maksud menanyakan sesuatu pada 

kalian!" ujar si gadis. Seraya 

membungkukkan kepala, sehingga memper-

lihatkan kedua payudaranya yang putih 

mulus menyembul ke luar. 

"Siapa, Nisanak?" tanya Panji 

curiga. Mustika Jajar tersenyum. 

Betapa senyumannya menimbulkan gelora 

yang menyentak-nyentak. Tapi hanya 

dengan mengerahkan tenaga dalam, baik 

Panji maupun Sapala dapat menghi


langkan semua pengaruh itu.


LIMA



"Aku adalah orang yang tersesat 

dan ingin mencari jalan menuju daerah 

Malaya. Eeh... apakah kalian 

mengetahui arah yang hendak kutuju?" 

tanya Mustika Jajar.

"Sebaiknya Nisanak menuju ke 

arah timur!" sahut Panji bersungguh-

sungguh.

"Hmm, begitu. Kalau pulau Seribu 

Satu Malam apakah kalian tahu di mana 

letaknya?"

Sapala dan Panji menggelengkan 

kepalanya.

"Maaf kami tidak tahu. Mendengar 

namanya saja baru kali ini!" ujar 

Sapala.

"Sayang sekali kalian tidak 

tahu. Oh ya kalian sendiri hendak 

kemana, dua pemuda gagah?"

Panji dan Sapala saling 

berpandangan. Salah seorang di antara 

mereka lalu menyahuti.

"Kami ingin pergi ke suatu 

tempat!"

"Aku tahu kalian pasti mengejar 

para algojo yang menculik beberapa 

puluh pemuda untuk dikerahkan menjadi 

tenaga pekerja paksa, bukan?" Gadis 

berbaju ungu tiba-tiba saja tertawa


mengekeh. Lalu pinggulnya digoyang-

goyangkan membentuk sebuah gerakan 

yang sangat merangsang.

Sapala dan Panji terkejut bukan 

main. Bagaimana mungkin gadis ber-

pakaian merangsang ini dapat 

mengetahui rencana perjalanan mereka? 

Apakah tadi dia sempat mencuri dengar 

apa yang mereka bicarakan? 

"Kuharap Nisanak tidak 

mencampuri segala urusan kami!" Sapala 

memperingatkan.

"Hi hi hi...! Untuk apa mengejar 

para algojo itu? Apakah kalian tidak 

tertarik melewatkan malam yang indah 

bersamaku malam ini? Hik hik hik!"

Dengan sengaja Mustika Jajar 

melepas salah satu kancing bajunya, 

sehingga sebagian payudaranya yang 

kencang itu menyembul keluar. Sebagai 

pendekar golongan lurus dan berhati 

bersih, Sapala dan Panji cepat-cepat 

palingkan muka ke arah lain dengan 

wajah bersemu merah.

"Hah... kalian rupanya benar-

benar manusia banci. Baiklah, karena 

kalian bermaksud pergi ke Bumi Ayu. 

Tidak ada salahnya jika aku menjajal 

sampai di mana kepandaian yang kalian 

miliki!" Gadis berbaju ungu menutup 

ucapannya dengan satu serangan dahsyat 

yang tidak terduga sama sekali.

"Hiyaaa...!" 

"Wuus!"


Sapala dan Panji yang tidak 

menyangka akan mendapat serangan yang 

sedemikian cepat ini langsung melompat 

mundur. Serangan pertama luput, namun 

mereka sempat merasakan sekujur tubuh 

mereka seperti ditusuk-tusuk ribuan 

batang jarum. Sadar lawannya menghen-

daki nyawa mereka. Maka tanpa sungkan-

sungkan lagi mereka mencabut pedang 

yang miliki ketajaman pada kedua 

sisinya.

"'Jurus Hati Suci'!" teriak 

Panji memberi aba-aba. Pedang di 

tangan kemudian diputar sedemikian 

cepat. Angin menderu-deru. Hanya dalam 

waktu yang teramat singkat senjata di 

tangan mereka telah berubah menjadi 

gulungan sinar putih yang sangat 

menyilaukan mata. Kehebatan jurus yang 

dimiliki oleh mereka adalah kecepatan 

dan kekompakannya dalam melancarkan 

setiap serangan. Demikian juga yang 

terlihat pada saat itu. Namun lawannya 

malah tertawa mengikik. Mustika Jajar 

yang dalam keadaan terkurung sinar 

senjata lawannya ini tampak melesat ke 

udara.

"Haap...!"

"Shaaa...!"

"Wuuss!"

Segulung sinar hitam melesat 

dari sekujur tubuh gadis berbaju ungu. 

Sinar berhawa dingin menggidikkan itu 

menyapu lawan-lawannya dengan hanya


dalam tempo sekedipan mata saja.

Panji dan Sapala terdorong ke 

belakang. Mereka merasa sulit mengge-

rakkan pedangnya. Bahkan tubuh mereka 

sendiri cepat terdorong, sungguhpun 

mereka berusaha bertahan. Bahkan telah 

mengerahkan tenaga dalam untuk mengha-

lau pengaruh serangan aneh itu, tetap 

saja terlempar.

"Aaakh...!"

"Braak!"

Sapala dan Panji jatuh terban-

ting. Celakanya mereka sama sekali 

tidak mampu menggerakkan tubuhnya. 

Adalah sungguh mengejutkan jika 

pendekar seperti mereka berdua ini 

dapat terkalahkan dengan mempergunakan 

ilmu menotok jarak jauh.

Jika saja lawannya memang bukan 

orang yang memiliki kepandaian yang 

benar-benar sangat tinggi. Mustahil 

mereka dapat dijatuhkan hanya dalam 

waktu beberapa gebrakan saja.

"Bangsat pengecut! Lepaskan 

kami...!" teriak Panji. Ia menjadi 

berang karena ternyata lawannya telah 

memperdayai mereka.

"Tidak ada gunanya kalian 

memaki! Kalian telah menjadi tawanan-

ku!" dengus Mustika Jajar.

Gadis ini kemudian mengambil dua 

utas dari kulit kayu waru. Sebuah 

kecerdikan sekarang terlintas dalam 

hatinya.


"Jika saudagar Bergola Mungkur 

benar-benar merupakan orang yang kaya 

raya. Mengapa aku tidak memanfaatkan 

kesempatan ini untuk menguasai harta-

nya? Mengenai musuh besar guruku aku 

dapat mencarinya kemudian. Tapi aku 

juga harus ingat harta juga tidak 

kalah menariknya dengan musuh besar. 

Kedua pemuda ini dapat kujadikan 

jembatan untuk mendekati saudagar 

itu!"

Mustika Jajar tersenyum genit. 

Seraya kemudian mendekati Sapala dan 

Panji yang berhasil ditotoknya melalui 

pertarungan yang sangat singkat itu.

"Kkk... kau mau apa?" tanya 

Panji gugup.

"Hik hik hik! Kau tidak usah 

takut. Aku tidak akan menggantung dan 

membunuh kalian seperti orang yang 

tidak mau kasih keterangan di jalan! 

Paling tidak sampai di rumah saudagar 

Bergola Mungkur!" dengus gadis itu. 

Kemudian dengan cepat ia mengikat 

tangan Panji dan Sapala.

"Perempuan iblis! Mau kau bawa 

kemana kami?" teriak Sapala.

"Tenang saja. Karena kalian 

bermaksud membebaskan para pekerja di 

Bumi Ayu. Maka sekarang aku mau 

menyeret kalian kepada saudagar itu 

untuk terima hukuman yang setimpal!"

"Bangsat!" 

"Memakilah sepuasmu! Aku memang


iblis dari neraka. Kalian tidak perlu 

gusar!" ujar gadis baju ungu. Seraya 

lalu melompat ke atas punggung kuda 

milik Sapala. Tali yang mengikat kaki 

kedua tawanannya disentakkannya. Tidak 

lama kemudian melesatlah kuda tung-

gangan itu menyeret Sapala dan Panji. 

Beberapa saat kemudian terdengar suara 

tawa si gadis. Sementara di belakang-

nya terdengar jerit dan lolong 

kesakitan dari mulut kedua pemuda yang 

dalam keadaan tertotok itu.

****

"Jtar!" 

"Jtarr!"

"Akkkh... ampun Pak... ampun 

Tuan...!" suara pekik tangis itu 

menggema meningkahi suara lecutan 

cambuk di tangan algojo. Beberapa 

pemuda bertubuh tegap yang baru saja 

didatangkan dari Kuningan tersungkur 

dengan tubuh bersimbah darah.

"Di sini tidak ada kesempatan 

hidup lebih lama lagi bagi seorang 

pemalas! Tugas kalian adalah 

mengumpulkan biji-biji emas. Tidak 

layak membantah apalagi membangkang! 

Cepat kerja!" bentak kepala algojo 

itu, lalu cambuk di tangannya 

diayunkannya tinggi-tinggi.

"Jtar! jtaar…!"

"Walah... walah! Sakitt...!"


teriak salah seorang yang tangannya 

dirantai ini kesakitan. Kepala algojo 

dan kawan-kawannya tergelak-gelak. 

Tampaknya semakin banyak darah yang 

mengalir dari tubuh para pekerja paksa 

ini semakin membuat puas hati mereka.

Apa yang terjadi di tempat itu 

tampaknya tidak lepas dari perhatian 

seorang pemuda berbaju biru muda. 

Pemuda berambut panjang sebahu dan 

memakai ikat kepala warna biru belang-

belang kuning ini menggeram marah. 

Mulutnya pletat-pletot, kepala golang-

goleng ke kiri dan kanan.

"Algojo kepala botak itu tampak-

nya bukan manusia, tapi setan berkedok 

yang selalu haus darah. Jika terus 

kubiarkan, tingkah mereka jadi 

kapiran!" desisnya.

Dilain kesempatan pemuda ini 

melangkah tenang menghampiri para 

algojo yang selalu siap dalam keadaan 

waspada. Dasa Reksa Sebagai orang yang 

mengepalai delapan orang anak buahnya 

tentu saja menjadi heran sekaligus 

terkejut melihat kemunculan Suro 

Blondo. Dalam waktu yang sangat 

singkat, mereka langsung mengurung 

Pendekar Blo'on.

Pemuda berbaju biru muda ini 

garuk-garuk kepalanya. Mulutnya nye-

ngir begitu melihat ulah laki-laki 

bertubuh tegap ini.

"Heh... hari ini kita dapat


tenaga tambahan lagi. Walaupun tampang 

kunyuk ini tolol. Tapi rasanya kita 

dapat memanfaatkan tenaganya untuk 

menggali emas dalam jumlah besar! He 

he he... mimpi apa aku semalam?"

"Aha... aku yakin semalam kau 

telah bermimpi buruk! Melihat badanmu 

yang lebih besar dari kawan-kawanmu, 

rasanya tidak salah penglihatanku, 

kaulah orangnya yang bernama Dasa 

Reksa? Apakah betul...?" tanya Suro 

Blondo. Walaupun hatinya kesal bukan 

main, tapi ia tetap tertawa-tawa.

Dasa Reksa sempat tersentak 

kaget. Bagaimana mungkin pemuda ini 

dapat mengetahui siapa namanya? Namun 

setelah mengingat sepak terjangnya, 

maka ia merasa tidak tertutup 

kemungkinan nama besarnya telah 

dikenal di seluruh penjuru persilatan.

"Kalau kau sudah tahu siapa aku. 

Bicaralah yang sopan dan sekarang 

berlutut di depan majikanmu ini. 

Setelah itu menyalak tiga kali!" 

perintah Dasa Reksa diikuti tawa anak 

buahnya.

"Oh... maafkan aku majikan. Sama 

sekali aku tidak melihat tingginya 

gunung di depanku. Tapi bolehkah aku 

bertanya pada majikan yang terhormat?" 

ucap Suro Blondo sambil membungkuk-

bungkukkan badannya.

"Bagus! Rupanya kau tahu 

bagaimana caranya menghargai orang


lain. Sekarang coba katakan apa yang 

ingin kau tanyakan?" perintah Dasa 

Reksa, lalu tersenyum. Sementara itu 

satu dua orang algojo begitu melihat 

keramahtamahan atasannya terhadap 

pemuda bertampang tolol yang tidak 

dikenal itu langsung membubarkan diri.

"Yang ingin kutanyakan adalah 

berapa harga setiap kepala gundul di 

sini?"

Dasa Reksa pentang mata lebar-

lebar dengan kening berkerut. Sedang-

kan pemuda di depannya kini. tampak 

berubah serius.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah jelas, Tuan!" 

Suro Blondo mengusap keningnya. 

"Kulihat di dataran rendah sebelah 

sana tulang dan bangkai manusia

bertimbun. Kalau dihitung mungkin 

jumlahnya lebih dari dua ratus biji, 

eeh... orang maksudku! Berarti sudah 

dua ratus nyawa melayang menjadi 

tumbal secara sia-sia. Dan semua itu 

adalah hasil kejahatanmu dan orang-

orangmu. Kini aku datang menagih 

hutang nyawa orang-orang yang tidak 

berdosa. Apakah keterangan ini sudah 

cukup jelas bagimu?"

"Huh..., puih, pemuda edan dari 

mana kau! Berani-beraninya kau 

mengungkit-ungkit segala persoalan 

yang terjadi di sini? Apakah kau pikir 

kau mampu melakukannya?" bentak Dasa


Reksa. Wajah sampai kepala botaknya 

berubah merah padam.

"Pruuuh... ha ha ha ha...! Dasa 

Reksa. Sudah kukatakan aku datang 

kemari ingin membebaskan orang-orang 

di dalam gua penggalian emas. Tentu 

saja sekalian mencopot kepala kalian 

dari badan!"

"Keparat! Kau benar-benar tidak 

tahu penyakit! Hiaaa...!" Disertai 

satu teriakan melengking tinggi. Dasa 

Reksa melompat ke depan. Tangannya 

yang kokoh dan besar itu mencengkeram 

ke bagian leher. Ia berpikir hanya 

dengan sekali gebrak saja, tentu 

kepala pemuda tampan bertampang tolol 

terpotes dari kepalanya.

Tapi ternyata dugaan Dasa Reksa 

benar-benar meleset. Laksana kilat 

Suro Blondo yang telah memperhitungkan 

segala sesuatunya ini berkelit ke 

samping. Serangan itu hanya menyambar 

tempat kosong. Karena saat menyerang 

tadi Dasa Reksa mengerahkan tenaga 

dalam yang cukup tinggi. Maka kini 

setelah tidak mencapai sasarannya 

membuat ia kehilangan keseimbangan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh 

Suro Blondo untuk membetot tubuh 

lawannya. Dengan satu sentakan yang 

sangat keras tubuh besar itu melayang 

dan tersungkur mencium tanah keras.

Dasa Reksa menggerung. Hidungnya 

yang membentur tanah patah dua dan


berubah lembam membiru. Sambil 

meringis kesakitan ia bangkit berdiri. 

Matanya merah beringas. Memandang 

penuh kekejaman pada Suro Blondo. Yang 

dipandang malah tersenyum sambil 

garuk-garuk belakang kepalanya.



ENAM



"Anak-anak! Bunuh monyet ber-

tampang tolol itu!" teriak Dasa Reksa 

pada anak buahnya yang ternyata telah 

berkumpul kembali mengurung Suro 

Blondo. Perintah sang ketua disambut 

oleh bunyi lecutan cambuk yang 

meledak-ledak di udara.

Dalam waktu singkat delapan 

mata cambuk berderu menyerang Pendekar 

Blo'on dari delapan penjuru arah. 

Pemuda ini terpaksa melompat ke udara. 

Lalu kerahkan jurus 'Serigala Melolong 

Kera Sakti Kipaskan Ekor'. 

Sekejap tubuh pemuda ini 

sudah melompat-lompat atau terkadang 

menari-nari membentuk gerakan-

gerakanya yang sangat aneh. Dilihat 

sepintas lalu gerakan yang dilakukan 

Suro Blondo ini memang sangat mirip 

dengan gerakan monyet yang melompat-

lompat di atas pohon. Namun sungguhpun 

demikian hingga sejauh itu tidak 

satupun lidah cambuk yang dapat 

menyentuh tubuhnya apalagi sampai


melukainya.

"Gila betul! Rupanya pemuda 

bertampang tolol ini memiliki kepan-

daian yang dapat diandalkannya." 

Membatin Dasa Reksa.

"Kerahkan jurus 'Seribu Bisa'!" 

sang pimpinan berteriak-teriak memberi 

aba-aba.

"Shaa...!"

"Buut!"

"Tar... tar...!"

Jurus-jurus yang dimainkan oleh 

para algojo itu secara serentak 

berubah. Suara cambuk meledak-ledak 

memekakkan gendang-gendang telinga. 

Semakin lama cambuk di tangan lawannya 

tampak berubah menjadi banyak. Suro 

Blondo leletkan lidah saat menyadari 

posisinya dalam keadaan terdesak.

"Gila. Betul-betul gila! Aku 

harus mengerahkan jurus 'Seribu 

Siluman Kera Putih Mengecoh Harimau!" 

batin Pendekar Blo'on dalam hati.

Namun sebelum ia sempat melak-

sanakan niatnya. Salah satu cambuk 

lawan menghantam punggungnya. Baju 

terkoyak lebar. Ada darah yang 

mengalir di sepanjang luka guratan. 

Suro Blondo tersungkur mencium tanah. 

Saat itulah cambuk berduri bertubi-

tubi mendera tubuhnya. Dalam keadaan 

tubuh remuk redam seperti itu. Ia 

terus berguling-guling menghindari 

mata cambuk berduri yang datang


mendera seakan tidak ada habis-

habisnya. Lalu.... 

"Haap...!"

Suro Blondo bangkit berdiri lalu 

melompat mundur sejauh tiga tombak. 

Mulutnya menyeringai menahan sakit. 

Darah bercucuran membasahi bajunya 

yang hancur di beberapa bagian.

"Bunuh! Jangan beri kesempatan 

pada pemuda sinting itu meloloskan 

diri!" teriak Dasa Reksa sambil terus 

memperhatikan jalannya pertempuran.

"Urusan jadi kapiran jika aku 

sampai mati di tangan mereka!" gerutu 

Suro Blondo.

Tiba-tiba saja ia merangkapkan 

kedua tangannya ke depan dada. 

Setengah dari seluruh tenaga yang 

dimilikinya dikerahkannya ke bagian 

tubuhnya. Lalu... diawali dengan satu 

langkah yang sangat ganjil. Tubuhnya 

tiba-tiba bergerak cepat laksana 

kilat. Di tengah-tengah gerakan yang 

sangat sulit diikuti kasat mata dan 

membuat bingung lawannya itulah 

terdengar suara aneh. Mula-mula 

terdengar suara tawa meledak-ledak 

bagaikan hendak mengguncang bumi. Tapi 

di saat lain terdengar pula suara 

seperti orang yang sedang menangis. 

Suara itu mendayu-dayu mendirikan 

bulu roma. Dan di dalam kesempatan 

lainnya suara tangis lenyap berganti 

dengan suara gajah. Rupanya dalam


keadaan sedemikian rupa, Pendekar 

Blo'on disamping mengerahkan jurus 

"Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. 

Ia juga mengerahkan jurus 'Tawa Kera 

Siluman'.

Kenyataan ini sempat membuat 

terkesima lawan-lawannya. Namun mereka 

tidak mau berdiam diri lebih lama 

lagi. Laksana kilat cambuk berduri di 

tangan mereka melecut mengejar kemana 

saja bayangan Suro Blondo menghindar. 

Namun berulang kali mereka dibuat 

kecewa ketika serangan mereka mencapai 

tempat kosong. Bahkan dengan gerakan-

gerakan yang sulit diduga-duga Suro 

Blondo mulai mempecundangi lawan-

lawannya. Satu demi satu lawan-

lawannya itu dibuat jatuh bangun. Hal 

ini semakin memancing kemarahan Dasa 

Reksa.

Ia pun mulai menerjunkan diri ke 

medan pertempuran. Tidak pelak lagi, 

Suro Blondo langsung mendapat 

keroyokan sembilan jago-jago pembunuh 

yang memiliki kemampuan tidak rendah.

Sungguh pun pemuda tampan 

bertampang tolol ini mempunyai watak 

yang konyol. Namun ia terdidik oleh 

dua guru yang memiliki pengalaman dan 

kepandaian sangat tinggi. Sehingga ia 

segera menyadari bahwa saat itu 

nyawanya benar-benar dalam kea-

daan terancam. 

"Hiyaa...!"


"Shaaa...!" 

Gerakan silat Pendekar Blo'on 

dari cepat kini menjadi lambat. 

Sebagian tenaga dalam yang dimilikinya 

kini dikerahkannya ke bagian telapak 

tangannya. Sehingga dalam waktu yang 

singkat telapak tangan itu menjadi 

putih berkilauan. Pada kesempatan yang 

sama cambuk di tangan lawan-lawannya 

mendera sekujur tubuhnya hingga 

membuatnya jatuh tergulung-gulung dan 

babak belur.

"Bunuh!" teriak Dasa Reksa 

semakin bertambah beringas.

Serangan cambuk semakin menjadi-

jadi. Pakaian yang melekat di tubuh 

Suro Blondo praktis tercabik-cabik. 

Namun pemuda itu cepat bangkit ber-

diri. Cambuk di tangan lawan-lawannya 

menyambut dan melibat tubuhnya. Tarik 

menarik pun terjadi. Andai saja 

Pendekar Blo'on bukan pemuda yang 

telah kenyang makan gemblengan 

gurunya. Mungkin saat itu tubuhnya 

telah terpisah-pisah.

Suro Blondo menggeram penuh 

amarah. Sama sekali ia sudah tidak 

menghiraukan darah yang mengalir dari 

setiap luka yang terdapat di tubuhnya. 

Dan dalam keadaan dilanda kemarahan 

sedemikian rupa. Satu hal yang tidak 

pernah disadari oleh lawan-lawannya 

adalah bahwa, rambut Pendekar Blo'on 

yang hitam kemerah-merahan itu


sekarang telah berubah merah 

sepenuhnya,

"Heaaa...!" Suro Blondo 

berteriak melengking tinggi. Empat 

larik sinar putih menyilaukan ber-

kiblat melesat dari telapak tangannya. 

Itulah salah satu pukulan yang bernama 

'Kera Sakti Menolak Petir' yang 

dilepaskan oleh Pendekar Blo'on.

Udara berubah menjadi panas 

menyesakkan. Empat orang lawannya 

terkesiap melihat datangnya gelombang 

sinar putih yang meluruk deras ke arah 

mereka. Namun untuk menyelamatkan diri 

tidak ada kesempatan lagi bagi algojo-

algojo ini karena pukulan itu langsung 

menghantam tubuh mereka.

"Blaam! Buum! Buum!"

"Wuaaakh...!"

Empat sosok tubuh berpentalan 

meregang ajal. Tubuh mereka berubah 

hangus. Belum hilang rasa kejut di 

hati kawan-kawannya, Suro Blondo telah 

melompat ke belakang sehingga membuat 

cambuk yang membelit tubuhnya 

terlepas. Tidak tanggung-tanggung. Ia 

kali ini melepas pukulan 'Matahari Dan

Rembulan Tidak Bersinar'.

Sinar redup bersemu merah 

bercampur dengan warna biru datang 

menggebu-gebu. Dun algojo lainnya kini 

menjadi korban. Tidak sempat menjerit 

apalagi melolong. Tubuh mereka tiba-

tiba terhempas ke depan. Wajah mereka


berubah pucat kebiru-biruan. Darah 

kental menyembur tiada henti dari 

mulut kedua algojo itu. Laksana mau 

terbang semangat Dasa Reksa melihat 

kejadian tragis yang sangat singkat 

ini. Namun kematian tetap kematian. 

Kenyataan yang dilihatnya tidak 

membuat nyalinya lumer, apalagi lari 

terbirit-birit meninggalkan pertem-

puran. Dengan dibantu dua orang 

kawannya ia kembali merangsak ke 

depan. Suro Blondo menyeringai seakan 

mengejek.

Menghadapi lawan yang sudah 

banyak berkurang, malah ia semakin 

berhati-hati. Selanjutnya ia 

mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih 

Mengecoh Harimau'. Gerakan laksana 

kilat ini disusul dengan tendangan 

maupun jotosan beruntun ke bagian-

bagian tubuh lawannya. Namun aneh... 

kali ini setiap pukulannya dapat 

dihindari oleh lawan. Ketika mereka 

balas menyerang dengan mempergunakan 

jurus 'Gaung Halimun' Maka serangan 

balik itu juga lebih berbahaya dari 

serangan dahsyat yang dilakukan oleh 

Suro Blondo. 

"Buuuk! Buuuk!"

"Setan atas!" maki pemuda itu 

jatuh bangun mempertahankan diri.

"Ayo kerahkan semua kepandaian 

yang kau miliki pemuda tolol!" teriak 

Dasa Reksa dan kawan-kawannya semakin


bersemangat.

"Kalian meminta aku memberi!" 

sahut Suro Blondo, Ia langsung meraba 

gagang mandau jantan di balik 

pakaiannya.

"Wuuus!"

Sinar hitam tiba-tiba saja 

berkiblat. Salah seorang algojo yang 

berada begitu dekat dengannya menjerit 

roboh sambil memegangi perutnya yang 

membusai. Di tengah-tengah berkiblat-

nya sinar hitam tersebut tiba-tiba 

terdengar pula suara raungan aneh. 

Suara raungan kemudian berubah menjadi 

siulan tidak teratur. Bahkan terus 

berubah seperti suara ringkik kuda 

jantan.

Suara yang tidak teratur dan 

sesungguhnya keluar dari empat lubang 

miring yang terdapat di tengah 

cekungan pipih di tengah-tengah mandau 

ini benar-benar mengacaukan gerakan 

silat Dasa Reksa dan salah seorang 

anak buahnya.

Serangan-serangan yang mereka 

lancarkan pun mulai membabi buta. 

Namun sampai sejauh itu tetap saja 

sangat berbahaya bagi Suro Blondo. 

Bahkan satu tendangan menggeledek 

berisi tenaga dalam penuh menghantam 

punggung Suro Blondo. Untuk yang 

kesekian kalinya pemuda itu tersungkur 

roboh. Namun senjata sakti mandau 

jantan masih tergenggam erat di


tangannya. Sekilas Dasa Reksa sempat 

melihat Senjata berbentuk aneh ini. 

Sungguhpun hatinya berubah kecut. 

Namun ia tetap mengayunkan cambuknya 

untuk merampas mandau sakti di tangan 

lawan.

Ayunan cambuk mengarah pada 

bagian tangan Suro Blondo sempat 

dirasakan oleh si pemuda. Sehingga ia 

menggerakkan senjata ke arah datangnya 

cambuk yang menderu ke arahnya.

"Prass!"

"Tees!" 

Cambuk baja di tangan lawan 

terbabat putus menjadi beberapa 

bagian. Kesempatan itu tidak disia-

siakan oleh Suro Blondo. Seraya 

melompat ke depan sambil menusukkan 

senjata di tangannya ke bagian perut 

Dasa Reksa.

Kepala algojo ini berkelit ke 

samping kiri dengan jalan menggeser 

langkahnya sebanyak dua tindak. Sera-

ngan Suro Blondo luput. Tapi senjata 

itu kemudian ia belokkan dan 

menghantam tulang iga Dasa Reksa.

Bukan main cepatnya serangan 

Pendekar Blo'on, sehingga lawan tidak 

sempat melihat berkiblatnya senjata si 

pemuda. Tahu-tahu saja dadanya kena 

dihantam.

"Craak! Craaaak...!"

"Wuaaakkk!"

Suara teriakan Dasa Reksa


laksana merobek langit. Tubuhnya 

terguling, setelah empat tulang rusuk-

nya terbabat putus senjata milik Suro 

Blondo. Laki-laki itu berkelojotan 

sebentar untuk kemudian terdiam 

selama-lamanya. Mati!

Suro Blondo bersiul nyaring. Ia 

memperhatikan algojo yang cuma tinggal 

satu-satunya ini. Ia menggerakkan 

tangannya, seraya memberi isyarat pada 

algojo yang sudah lumer nyalinya ini 

untuk maju menyerangnya. Namun algojo 

itu malah melangkah mundur bersiap-

siap langkah seribu.

"Kau mau kabur kemana?" desis 

Suro Blondo. Pemuda ini tampaknya 

sengaja membiarkan algojo tersebut 

melarikan diri. Namun begitu sang 

algojo membalikkan badan dan ambil 

langkah dua ribu. Suro Blondo memungut 

sebuah batu sebesar kepalan tangan. 

Batu itu kemudian disambitkannya ke 

bagian punggung laki-laki berkepala 

botak tepat mengenai sasaran.

"Pluuuk!" 

"Wadooow...!"

Sang algojo menjerit tertahan. 

Tubuhnya terguling roboh tanpa mampu 

bangkit kembali. Sungguhpun ia 

berusaha mengerahkan segenap tenaga 

dalam yang dimilikinya. Namun tetap 

saja ia tidak mampu membebaskan diri 

dari totokan.

"Ternyata kau hanya seorang


pengecut yang takut mati! Tapi hukuman 

segera kau terima dari para pekerja 

itu begitu aku membebaskan rantai baja 

yang membelenggu tubuh mereka!" kata 

pemuda itu, lalu usap-usap keningnya.

"Tunggu, tolong lepaskan aku! 

Aku berjanji mengabdi padamu jika kau 

mau menyelamatkan aku dari amarah 

mereka!" kata algojo itu penuh per-

mohonan. Suro Blondo malah melangkah 

pergi sambil berkata:

"Manusia memang selalu begitu. 

Jika nyawa sudah di tenggorokan baru 

merengek-rengek minta ampun dan tobat. 

Huh... dasar kecoa kudisan!" desis 

Suro Blondo.

Tidak lama kemudian Pendekar 

Blo'on melepaskan rantai yang 

membelenggu tangan para pekerja itu. 

Setelah dirinya merasa terbebas, maka 

para pekerja itu beramai-ramai mening-

galkan gua penggalian.

Saat mereka melihat salah satu 

algojo masih dalam keadaan tertotok. 

Dengan penuh amarah mereka mencincang 

tubuh algojo malang yang selama ini 

menyiksa mereka di lingkungan kerja 

paksa.

Di kejauhan lamat-lamat Suro 

Blondo yang telah meninggalkan Bumi 

Ayu mendengar suara jerit kesakitan 

dari mulut sang algojo yang sedang 

menerima hukuman rimba. Pendekar 

Blo'on bergidik seram, lalu golang

golengkan kepalanya berulang-ulang.



TUJUH



Sekujur tubuh kedua pemuda itu 

telah babak belur. Kulitnya terbeset-

beset. Bagian wajahnya terkelupas, 

darah menetes-netes bercampur debu 

jalanan. Keadaan mereka benar-benar 

berada antara sadar dan tiada. Kuda 

terus berlari kencang. Penunggangnya 

gadis berbaju ungu terus menggebraknya 

bagai kesetanan. Setelah memasuki kota 

Malaya, gadis ini memperlambat 

kecepatan kudanya. Bagi Mustika Jajar 

tidak sulit menemukan tempat kediaman 

saudagar Bergola Mungkur yang kaya 

raya itu. Ia memiliki rumah yang 

paling besar dan yang paling mewah di 

tengah-tengah kota tersebut.

Mustika Jajar memasuki alun-

alun, lalu berbelok ke arah halaman 

yang cukup luas. Para begundal 

saudagar Bergola Mungkur langsung 

mengurungnya begitu melihat kehadiran 

gadis berbaju ungu ini. Sebaliknya 

Mustika Jajar dengan angkuh membentak.

"Menyingkir kalian! Aku datang 

kemari untuk menyerahkan dua perusuh 

pada majikanmu!"

Serentak mereka memandang pada 

dua tawanan yang pada bagian tangan 

dan kakinya terikat kuat. Sementara

wajah mereka sudah tidak dapat 

dikenali karena luka-lukanya yang 

cukup parah.

"Siapakah mereka?" tanya kepala 

pengawal merasa curiga.

"Jangan banyak tanya! Panggil 

majikanmu, hanya padanya aku dapat 

menjelaskan siapa tawanan ini." dengus 

Mustika Jajar sengit.

"Tidak bisa!" kata pengawal itu 

kurang senang.

"Kalau begitu kau memang pantas 

mati!" Mustika Jajar menggeram. Ia 

angkat tangannya tinggi-tinggi. Pada 

saat itulah ia mendengar suara serak 

seseorang.

"Tahan...!"

Gadis baju ungu menurunkan 

tangannya, ia menoleh ke arah suara 

itu. Kini ia melihat seorang laki-laki 

berpakaian mewah datang menghampiri. 

Laki-laki itu berumur kurang lebih 

lima puluh tahun. Kumisnya tebal 

terpelihara rapi. Sekali lihat saja si 

gadis sudah dapat melihat inilah 

orangnya saudagar yang ingin 

ditemuinya itu. Serta merta Mustika 

Jajar mengangguk penuh rasa hormat. 

Kemudian, senyum genitnya pun 

mengembang.

"Kalau tidak salah aku sedang 

berhadapan dengan saudagar Bergola 

Mungkur yang kaya raya."

Laki-laki berbaju hijau bersulam

benang emas ini menganggukkan kepala. 

Tenggorokannya turun naik setelah 

melihat kecantikan gadis yang duduk di 

atas punggung kuda tersebut.

"Dugaanmu memang benar!" sahut 

saudagar. "Ada gerangan apakah kau 

menemuiku?" tanya tuan rumah. Matanya 

yang jalang merayapi sekujur tubuh si 

gadis yang terbalut pakaian serba ungu 

yang ketat dan tembus pandang.

Sebaliknya Mustika Jajar malah 

menggerak-gerakkan tubuhnya, hingga 

membuat gelora birahi si saudagar 

terbangkitkan.

"Aku sengaja mencarimu untuk 

menyerahkan dua ekor kunyuk yang 

hendak menghancurkan ladang emasmu di 

Bumi Ayu. Kuharap kau suka memberi 

upah lelah atas jerih payah ini!" kata 

gadis itu sambil mengedipkan matanya.

Sementara belasan pengawal yang 

sempat mengurung gadis berbaju ungu, 

kini telah membubarkan diri dan 

kembali berjaga-jaga di tempatnya 

masing-masing.

Bergola Mungkur telan ludah 

basahi bibir. Sungguhpun ia telah 

mempunyai tiga orang istri dan anak 

yang sudah dewasa. Namun sebagai laki-

laki mata keranjang. Tentu saja ia 

tidak menyia-nyiakan kesempatan 

melihat gadis secantik Mustika Jajar. 

Apalagi tampaknya gadis berpakaian 

tipis itu memang memberi angin


kepadanya.

"Mengenai hadiah kau tidak usah 

khawatir! Kau meminta pasti aku akan 

memberikannya padamu dalam jumlah yang 

tidak kau duga. Tapi aku mau tahu 

siapa dua pemuda yang kau seret itu?"

"Hik hik hik...! Mereka 

menamakan dirinya sebagai Pendekar 

dari Kuningan. Beberapa hari yang lalu 

algojomu menculik pemuda-pemuda daerah 

itu. Itu sebabnya mereka sengaja 

datang ke Bumi Ayu untuk mengambil 

kembali pemuda-pemuda yang diculik 

oleh anak buahmu."

"Puah... kepandaian hanya seu-

jung kuku. Mereka benar-benar mencari 

penyakit bila bermaksud merusak 

pencarian orang lain. Jika kau memang 

berada di pihakku. Kuharap sekarang 

juga kau mau membunuhnya!"

Sebagai Iblis Betina Dari 

Neraka, tentu saja Mustika Jajar 

dengan senang melakukan tugas yang 

diberikan oleh saudagar Bergola 

Mungkur.

"Jika aku telah membawanya 

kemari. Membunuh manusia-manusia 

seperti kecoa ini bukan merupakan 

pekerjaan yang sulit!" Mustika Jajar 

kemudian melompat dari atas punggung 

kudanya. Setelah itu ia mendekati 

Sapala dan Panji. Dengan mengandalkan 

tiga perempat dari seluruh tenaga 

dalam yang dimilikinya tangan


Mustika Jajar tiba-tiba menghantam dua 

kali.

"Praak!"

"Praak!"

Darah bercampur otak muncrat 

dari bagian kepala Panji dan Sapala 

yang terkena hantaman tangan si gadis. 

Tewaslah keduanya seketika tanpa 

sempat menyadari apa yang terjadi pada 

dirinya.

Mustika Jajar bangkit berdiri. 

Seraya membalikkan tubuhnya dan 

menghadap langsung pada Bergola 

Mungkur. "Bagaimana apakah kau puas?"

"Ha ha ha...! Tentu saja aku 

merasa senang. Kau memang pantas 

menjadi salah seorang tangan kananku 

menggantikan dua orang lainnya yang 

telah mati!"

"Bukan saja hanya menjadi tangan 

kanan, aku dapat memberimu keba-

hagiaan yang tidak pernah diberikan 

oleh orang lain!" 

Bergola Mungkur telan ludah. 

Matanya belingsatan memandangi Mustika 

Jajar seakan tidak pernah mengenal 

rasa bosan.

"Mari... kita rayakan kemenangan 

dan pertemuan yang tidak disangka-

sangka ini...!" kata laki-laki 

berkumis tebal tersebut sambil ter-

senyum-senyum.

Iblis Betina Dari Neraka 

memasuki sebuah ruangan yang cukup


luas. Di dalam ruangan itu telah 

terhidang berbagai jenis makanan yang 

lezat-lezat. Di samping itu tersedia 

pula beberapa guci arak yang harum 

baunya.

"Hmm, rumah ini sangat mewah 

sekali!" kata gadis itu sambil 

menuangkan kendi arak pada sebuah 

cawan yang cukup cantik.

"Kalau kau suka, eeh... siapa 

namamu...?"

"Panggil saja Mustika." kata 

gadis itu, lalu meneguk araknya.

"Ah... namamu secantik dan 

seindah orangnya," Bergola Mungkur 

memuji.

"Kalau kau merasa namaku cocok. 

Mudah-mudahan saja kita selalu cocok 

dalam banyak hal," Mustika Jajar 

mengedipkan matanya. Sehingga membuat 

jantung si saudagar berdetak keras dan 

klepek-klepek. Seraya kemudian 

berpindah tempat duduk. Begitu dekat 

dengan si gadis, ia langsung dapat 

merasakan bau harum tubuh Mustika 

Jajar. 

Mustika Jajar meneguk araknya 

kembali. Wajahnya yang cantik mulai 

berubah kemerah-merahan. Tatapan 

matanya juga berubah sayu. Tidak lama 

kemudian tanpa mengenal malu, gadis 

berbaju ungu ini menyandarkan 

kepalanya di bahu sang saudagar. Laki-

laki itu tentu saja tidak menampik, ia


seperti mendapat durian runtuh. 

Tangannya dengan berani bahkan mulai 

menggerayangi dada si gadis.

"Untuk sentuhan-sentuhan yang 

kau berikan, kau harus membayarnya 

dengan sekantung emas" desah gadis 

tersebut seperti orang mengigau.

"Eeee... jangan khawatir. Aku 

bahkan akan memberimu lima kantung 

emas bila kau mau memenuhi permintaan-

ku...!" ucap Bergola Mungkur dengan 

suara bergetar.

Mata Mustika Jajar yang sete-

ngah terpejam itu terbuka lebar. Namun 

ia masih belum juga menarik kepalanya 

dari bahu sang saudagar.

"Apakah syaratmu? Apakah kau 

bermaksud mengajakku bersenang-se-

nang?" tanya Iblis Betina Dari Neraka 

tersenyum sinis. Baginya lima kantung 

emas bukan jumlah yang sedikit. 

Namun untuk memberikan kesuciannya 

pada laki-laki tua semacam saudagar 

Bergola Mungkur, tentu saja ia harus 

berpikir seribu kali. Kalau sekedar 

pegang-pegang saja tidak apalah. 

Batinnya.

"Bagiku bersenang-senang jika 

kau mau, jika tidak mau tak akan 

kumemaksa." ujar laki-laki di 

sampingnya. Rupanya saudagar Bergola 

sadar, bahwa gadis ini tidak dapat 

dibuat main-main. Terlebih-lebih 

setelah melihat kehebatannya di


halaman tadi. Namun jika ia dapat 

memanfaatkan tenaganya. Tentu kedudu-

kannya sebagai orang kaya tidak akan 

terusik oleh orang lain.

"Lalu apa permintanmu yang 

lain?" tanya si gadis.

Ia tetap membiarkan dadanya 

digerayangi oleh lawan bicaranya. 

Hanya sesekali saja rintihannya 

terdengar. Terlebih-lebih bila remasan 

tangan Bergola Mungkur terasa lebih 

keras. Karena saudagar itu tidak 

kunjung menjawab. Akhirnya ia 

menyentakkan tangan si laki-laki dari 

dadanya yang setengah terbuka.

"Katakan apa permintaanmu, agar 

aku bisa mendapatkan lima kantung emas 

darimu?" desah Iblis Betina Dari 

Neraka serius.

Sebelum menjawab, Bergola Mung-

kur meneguk araknya.

"Jika kau dapat mengambil patung 

marmar yang indah dari tangan Pematung

Kelana dan menyerahkannya padaku. Lima 

kantung emas siap menunggu sebagai 

imbalan...!" kata sang saudagar.

Kemudian dengan singkat ia 

menceritakan apa yang pernah terjadi 

pada dirinya dan nasib tragis yang 

menimpa anak buahnya. Dengan seksama, 

Iblis Betina Dari Neraka ini 

mendengarkannya.

"Dua kantung emas bukan sedikit! 

Adalah sangat sombong jika Pematung


Kelana menolak tawaranmu, bahkan malah 

meminta nyawa dua tangan kananmu!" 

timpal si gadis setelah selesai 

mendengar penjelasan sang saudagar.

"Memang Pematung Kelana manusia 

congkak! Bukan itu saja, ia malah 

menghinaku. Jika kau berhasil merampas 

patung marmar berikut nyawa pematung 

tua itu. Maka aku akan menambah satu 

kantung emas lagi!"

"Hik hik hik...! Kuterima 

tawaranmu. Aku ingin berangkat 

secepatnya!" Mustika Jajar bangkit 

berdiri. Tapi Bergola Mungkur cepat 

mencegah. 

"Tunggu! Sebaiknya kau menginap 

dulu di sini barang semalam, kau habis 

menempuh perjalanan yang sangat jauh. 

Tentu kau sangat lelah."

"Tidak usah khawatir. Aku tahu 

keinginanmu, mungkin di suatu saat aku 

dapat memperlihatkan keindahan tubuhku 

di depanmu. Tapi kau tidak mungkin 

dapat memilikinya di luar batas 

memegang dan menyentuh. Terkecuali aku 

dengan suka rela mau melakukannya!" 

kata si gadis sambil tersenyum genit.

Wajah Bergola berubah memerah. 

Tapi hanya sebentar saja, dilain saat 

ia telah berubah seperti biasa 

kembali.

"Baiklah kalau itu maumu! Hadiah 

emas untukmu telah menunggu di sini, 

jika telah berhasil memboyong patung


mar-mar itu ke sini!" Bergola Mungkur 

mengingatkan.

Iblis Betina tersenyum. Seraya 

melambaikan tangan lalu menghilang 

dari pandangan sang saudagar. 

Di halaman depan Bergola Mungkur 

masih sempat mendengar suara langkah 

kuda bergerak menjauhi rumahnya yang 

megah.

"Andai saja aku dapat memiliki 

tubuhnya!" Sang saudagar berangan-

angan. "Tentu bukan perlindungan saja 

yang kudapat dari gadis itu. Tapi juga 

kehangatan dari gadis yang masih muda-

muda!" Bergola Mungkur menelan ludah. 

Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa 

pahit.



DELAPAN



Laki-laki tua bertelanjang dada 

dan berambut putih ini berjalan 

mondar-mandir mengelilingi patung yang 

baru selesai diwarnainya. Memang patut 

diakui, setelah patung itu diwarnai, 

hasilnya semakin bertambah sempurna. 

Inilah satu-satunya patung yang paling 

bagus di antara sekian banyak patung 

yang pernah dibuatnya. Memandangi 

wajah patung lebih lama, tiba-tiba 

saja wajah Pematung Kelana berubah 

muram.

"Tidak kusangka kau pergi 

secepat itu, anakku! Kini aku hanya


sendiri. Hidup bersama bayang-bayang 

mimpi yang tidak bertepi. Mimpi buruk 

selalu datang dan pergi. Hal ini 

sangat menyiksaku, menyiksa sangat 

dalam." Tanpa disadarinya air mata 

Pematung Kelana menetes. Suaranya 

kemudian berubah serak. "Jika aku 

pergi, satu rahasia yang sangat besar 

terkandung dalam dirimu. Aku selalu 

berdoa sepanjang siang dan malam. Jika 

aku tidak dapat menemanimu lebih lama, 

semoga ada orang baik berhati jujur 

dapat menyingkap tabir misteri yang 

sengaja kupendam dalam dirimu...!" 

desis si kakek tua sambil 

menengadahkan wajahnya ke langit.

Sedang Pematung Kelana bicara 

seorang diri seperti itu, sayup-sayup 

di kejauhan terdengar suara langkah 

kuda. Semakin lama suara derap kaki 

kuda semakin bertambah cepat dan 

bertambah jelas.

"Inilah pertanda yang paling 

tidak baik dalam hidupku!" membatin si 

kakek tua dalam hati.

Benar saja, tidak lama kemudian 

seekor kuda tunggangan berhenti tepat 

di depan Pematung Kelana. Duduk di 

atasnya seorang gadis berbaju ungu 

tembus pandang. Gadis ini terbelalak 

kaget begitu melihat betapa indahnya 

patung dan keperkasaan pada bagian 

bawah perutnya. Mustika Jajar sempat 

bergetar tubuhnya. Darahnya berdesir,


jantungnya berdetak lebih kencang. 

Terus terang ia mengakui bahwa patung 

itu bentuknya sangat sempurna dari 

pribadi seorang laki-laki jantan yang 

perkasa. Apalagi setelah melihat 

tampangnya yang gagah dan ganteng. 

Jika semula ia berniat menukar patung 

itu dengan enam kantung emas murni. 

Maka kini setelah melihat patung itu 

ia malah berubah ingin memiliki patung 

itu untuk selama-lamanya.

"Pak Tua. Benarkah anda yang 

berjuluk Pematung Kelana?" tanya 

Mustika Jajar berusaha ramah meskipun 

suaranya sempat bergetar menahan 

keinginan yang meledak-ledak setelah 

melihat keperkasaan patung tersebut.

"Bertanya membawa satu maksud 

jahat atau baik?" tanya Pematung 

Kelana acuh tak acuh.

"Hhh... orang ini benar-benar 

sombong sebagaimana yang dikatakan 

oleh saudagar mata keranjang itu!" 

batin Iblis Betina Dari Neraka.

"Maksudku tergantung bagaimana 

penyambutanmu, Pematung Kelana? Hik 

hik hik...!" Mustika Jajar terkikik. 

Ia mengerling genit pada si kakek. 

"Hmmm, setiap orang memang punya 

maksud-maksud tertentu datang kemari. 

Melihat penampilanmu hatiku mengatakan 

kau membawa maksud yang bukan saja 

buruk tapi juga keji! Pergilah! Aku 

tidak punya waktu untuk melayanimu."


"Bagaimana kalau kau tukar 

patung itu denganku?"

"Maksudmu?"

"Patung bagus itu kau berikan 

padaku. Sebagai balas jasa aku 

menyerahkan diriku padamu untuk bebe-

rapa waktu!" Mustika Jajar tersenyum 

genit. Ia bahkan sengaja menggaruk 

dadanya, sehingga salah satu kancing 

bajunya terbuka dan memperlihatkan 

buah dadanya yang membusung padat, 

putih berkilat-kilat.

Pematung Kelana cepat-cepat 

memalingkan wajahnya ke arah lain. 

Gelora amarahnya terbangkitkan.

"Perempuan rendah! Aku adalah 

manusia renta yang tidak dapat kau 

perdaya. Sungguhpun kau telanjang di 

depanku, harga patung ini lebih mahal 

dari kemolekan tubuhmu!"

"Ah... terlanjur aku datang. 

Terus terang aku mau meminta patung 

itu!" Mustika Jajar tanpa malu-malu 

berterus terang.

"Hhh... patung ini kubuat bukan 

untuk kujual atau kuberikan pada orang 

lain. Dia adalah tiruan sosok anakku. 

Karena dia anakku, maka aku akan 

mempertahankannya walaupun nyawa 

sebagai taruhannya!"

Mata Iblis Betina Dari Neraka 

terbelalak lebar. Jika patungnya saja 

sedemikian perkasa dan jantan apalagi 

orang yang sesungguhnya.


"Di mana anakmu itu, orang tua?" 

tanya gadis berbaju ungu. 

"Dia sudah tiada!"

"Ah... sayang betul! Kalau 

begitu sekarang kau harus menyerahkan 

patung ukiranmu itu padaku!" tegas si 

gadis sambil berkacak pinggang.

"Sudah kubilang aku tidak akan 

memberikannya pada siapapun. Apakah 

kau tidak mendengar kata-kataku!" 

dengus Pematung Kelana dengan perasaan 

muak.

"Rupanya aku harus merampas 

nyawamu baru kau mau menyerahkan 

patung itu kepadaku!"

"Demi keselamatan patung ini 

dari manusia sepertimu, aku rela 

berkorban apa saja!" dengus Pematung 

Kelana merasa tersinggung.

"Banyak mulut! Hiyaaa...!" 

Secara licik Mustika Jajar menghantam 

punggung si kakek dengan pengerahan 

tenaga dalam penuh. Namun Pematung 

Kelana begitu merasakan sambaran angin 

pukulan langsung melompat ke samping 

kiri. Lalu kibaskan tangan kirinya.

"Duuuk!"

"Uuuuh…!" Mustika Jajar tersen-

tak. Tangannya terasa seperti menghan-

tam dinding karang. Tangan itu 

berwarna merah dan nyeri pada bagian 

jemarinya. Ia terhuyung-huyung sejauh 

tiga tindak. Sebaliknya Pematung 

Kelana juga terkejut. Tangan kirinya


seperti ditusuk-tusuk ribuan batang 

jarum. Lebih celaka lagi tangan itu 

berubah dingin. Sebagai orang yang 

telah berpengalaman dan malang 

melintang di sepanjang pesisir pulau 

Jawa. Ia sadar betul bahwa lawannya 

memiliki tenaga dalam yang mengandung 

racun keji. Cuma yang membuatnya 

terheran-heran adalah mengenai tenaga 

dalam yang dimiliki oleh gadis itu. 

Meski masih berusia muda, tapi tenaga 

dalamnya sudah mencapai tingkat 

sempurna.

"Sebentar lagi kakek tua! Seben-

tar lagi Iblis Betina Dari Neraka akan 

mengirimmu ke Neraka!" dengus Mustika 

Jajar.

Seraya kemudian mementang kedua 

tangannya lebar-lebar. Selanjutnya 

kedua tangan itu dilintangkannya ke 

depan dada. Tangan itu kemudian 

berubah menghitam. Dengan satu gerakan 

yang sangat menantang, ia membuka 

jurus 'Prahara Bumi', yaitu salah satu 

jurus iblis langka yang pernah 

dipelajarinya dari 'Tua Tengkorak Mata 

Api'

Dengan mempergunakan jurus yang 

sangat berbahaya dan penuh tipu-tipu 

ini, Mustika Jajar menyerang lawannya. 

Setiap serangan yang dilakukannya 

menimbulkan angin bersiuran. Pematung 

Kelana merasakan pernafasannya menjadi 

sesak. Namun sebagai tokoh angkatan


tua yang sangat berpengalaman. Ia 

langsung mengetahui siapa pemilik 

jurus sesat yang sangat berbahaya itu.

"Ada hubungan apa kau dengan Tua 

Tengkorak Mata Api!" hardik Pematung 

Kelana sambil menghindari tendangan 

kilat yang dilancarkan oleh lawannya.

"Kau tidak layak bertanya!" 

dengus Mustika Jajar. Diam-diam 

hatinya terkejut juga setelah menge-

tahui ternyata lawannya kenal siapa

gurunya.

"Huup! Heaaa...! Jika kau 

muridnya Tua Tengkorak Mata Api. 

Berarti aku sudah dapat memperkirakan 

siapa kau yang sebenarnya. Rasanya 

tidak salah jika aku turun tangan 

kejam kepadamu!" Pematung Kelana 

menggeram. 

"Bagus! Aku sendiri memang 

menghendaki nyawamu!" sinis suara 

Mustika Jajar.

"Shaa...!" Tubuh Pematung Kelana 

melesat ke depan. Ia mengerahkan jurus 

'Bayang-bayang Sukma'. Inilah salah 

satu jurus andalan yang dimiliki oleh 

si kakek tua. Sadar bahwa lawannya 

merupakan murid seorang iblis. Tidak 

tanggung-tanggung ia mengerahkan 

segenap kemampuan yang ada

Sebaliknya walaupun masih muda, 

Iblis Betina Dari Neraka ini memang 

mewarisi kepandaian tinggi dari 

gurunya. Jadi sungguhpun lawan mempu


nyai pengalaman jauh lebih matang. 

Namun ia masih tetap dapat mengimbangi 

setiap serangan yang datang.

"'Tujuh Angkara Murka'!" jerit 

Mustika Jajar. Ia kemudian hantamkan 

tangannya yang telah berubah hitam itu 

menyongsong serangan lawannya. Melihat 

sinar hitam datang menggebu-gebu ke 

arahnya, maka Pematung Kelana 

membanting tubuhnya ke samping kiri 

Lalu lepaskan pukulan 'Geger Bumi'.

Sinar hitam dan merah datang 

bergulung-gulung bagaikan badai topan 

prahara. Udara di sekitarnya berubah 

menjadi dingin dan panas. Lalu dua 

pukulan yang dilepaskan oleh masing-

masing lawannya ini saling bertemu di 

udara.

"Buummm...!"

"Braak! Braaak!"

Dua-duanya jatuh terpelanting, 

Hampir bersamaan mereka bangkit 

kembali. Ledakan dahsyat itu membawa 

akibat runtuhnya dinding tebing. 

Bahkan longsorannya menimbun badan 

patung. Pematung Kelana menyeringai. 

Wajahnya berubah pucat. Sebaliknya 

Mustika Jajar malah tersenyum. 

Sekarang ia menyerang lagi dengan 

gerakan-gerakan yang lebih cepat dan 

gencar. Namun Pematung Kelana yang 

telah bergerak lebih awal dapat 

menghantam perut gadis itu hingga 

membuatnya jatuh terjengkang dan


muntahkan darah segar.

Anehnya gadis itu malah tertawa-

tawa. Rupanya itulah satu-satunya cara 

untuk menyembuhkan luka dalam yang 

dideritanya. Tidak lama kemudian ia 

bangkit berdiri.

"Kau telah melukaiku, berarti 

semua yang kau lakukan hanya memper-

cepat kematianmu sendiri!" Mustika 

Jajar menggeram marah sambil seka 

darah yang menetes di sudut-sudut 

bibirnya.

"Deb!"

"Beet!"

"Heyaaa...!" Jemari tangan si 

gadis tiba-tiba saja terentang lebar. 

Begitu jemari tangan terkembang. Maka 

terjadilah perubahan warna. Jika 

semula jemari tangan itu berwarna 

keputihan, maka sekarang telah berubah 

menjadi merah laksana darah.

Pematung Kelana terkesiap sete-

lah melihat perubahan yang terjadi 

pada bagian tangan lawannya. Mulutnya 

mendesis 'Pukulan Jari Getih'.

Tidak ada kesempatan baginya 

untuk berpikir lebih jauh. Pukulan 

Jari Getih sebagaimana yang diketahui-

nya merupakan satu pukulan ampuh 

beracun yang sangat mematikan. 

Siapapun yang terkena pukulan itu 

tidak ada yang dapat menjamin 

keselamatan nyawanya!

Merasa tidak ada pilihan lain


lagi. Maka ia mengerahkan tenaga 

dalamnya ke bagian telapak tangan. 

Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar 

hebat. Kedua telapak tangannya berubah 

kuning berpedar-pedar. Inilah salah 

satu pukulan simpanan yang bernama

'Geger Bumi'. Sungguhpun laki-laki ini 

tidak dapat memastikan apakah dia 

sanggup mengatasinya, Namun sebelum 

segala sesuatunya terjadi. Pematung 

Kelana telah menghentakkan tangannya 

ke depan. Hanya beberapa saat 

setelahnya, lawannya pun melakukan hal 

yang sama.

"Blaam! Blaaam…!"

Dua letusan dahsyat memporak 

porandakan suasana di situ. Satu 

bayangan terlempar ke arah jurang, 

sedang yang satunya lagi tergontai-

gontai dan jatuh terhempas tidak jauh 

dari longsoran tanah yang menimbun 

patung ciptaan Pematung Kelana. Dari 

arah jurang, sayup-sayup terdengar 

suara jerit seseorang. Itulah suara si 

kakek pematung.

Sementara itu Mustika Jajar 

sendiri telah bangkit berdiri. Dari 

mulutnya darah semakin banyak yang 

keluar. Barulah setelah menelan 

beberapa butir pel berwarna hitam dan 

merah. Darah langsung berhenti.

"Gila betul orang itu. Selain 

seorang pematung, ternyata ia 

mempunyai kepandaian yang tidak


rendah. Syukur ia terpelanting ke 

jurang. Aku tidak tahu apakah ia dalam 

keadaan hidup atau mati!" desis Iblis 

Betina Dari Neraka sambil menyeringai.

Tidak lama kemudian ia sudah 

memindahkan longsoran tanah yang 

menimbun patung pemuda gagah. Entah 

mengapa semakin dekat tubuhnya dengan 

patung tersebut, jantungnya berdetak 

semakin kencang.

"Hhhm, ini dia! Oh sungguh 

merupakan patung yang sangat perkasa. 

Seandainya saja ia hidup. Ingin 

rasanya aku menidurinya sepanjang 

malam. Hik hik hik...!"

Dielus-elusnya patung tersebut. 

Tidak lama kemudian setelah longsoran 

tanah yang menimbunnya habis. Mustika 

Jajar seperti orang kesurupan langsung 

memeluk badan patung yang kekar tidak 

ubahnya seperti sedang memperlakukan 

orang yang sangat disayanginya.

"Aku menyukaimu. Tidak mungkin 

rasanya aku menukarmu dengan enam 

kantung emas. Aku akan selalu meminta 

pada para iblis, agar suatu saat kau 

dapat hidup sebagai manusia. Manusia 

perkasa yang dapat memenuhi setiap 

keinginanku...!" Lagi-lagi Mustika 

Jajar seperti orang kesurupan langsung 

memeluk patung itu. Kemudian ia 

mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada 

bibir patung.

"Aku mau membawamu ke suatu


tempat! Di sana aku akan minta 

petunjuk dari para iblis untuk 

membangkitkanmu!"

Gadis berbaju ungu ini kemudian 

berusaha mengangkat patung tersebut. 

Tapi ternyata patung itu beratnya 

bukan main. Sehingga Mustika Jajar 

terpaksa mengerahkan tenaga dalam 

untuk meletakkan patung itu di 

punggung kuda.

"Kraaakkk!"

Kuda yang diharapkannya dapat 

membawa patung, ternyata tidak kuat 

menahan berat patung. Bahkan terdengar 

suara berderak patah pada bagian 

tulang punggungnya.

"Upp... tidak kusangka patung 

ini berat sekali. Sebaiknya biar aku 

sendiri yang memanggulnya!" Mustika 

Jajar memutuskan.

Dengan sekuat tenaga patung batu 

mar-mar seberat kati itu dipanggulnya. 

Bahkan beberapa saat kemudian ia sudah 

berlari-lari, seakan beban berat yang 

dipikulnya tidak dirasakan sama sekali 

oleh si gadis.



SEMBILAN



Laki-laki itu terus melangkahkan 

kakinya yang pincang. Sesekali ia 

mendongak ke langit. Lalu berjalan 

lagi seperti orang yang sedang dalam


keadaan tergesa-gesa. Lalu ketika 

berada di atas dataran bukit tiba-tiba 

ia hentikan langkahnya. Sekali lagi ia 

memandang ke langit.

"Aduh biuuung... panasnya dunia 

hanya asap api neraka. Di sana panas 

di sini panas. Mati... kematian ada 

dimana-mana. Aduh biung... mengapa aku 

terlahir ke dunia yang sengsara...!" 

kata kakek berkumis, berjenggot serta 

berambut putih itu seperti menyesali 

sesuatu.

Lalu ia melangkah lagi, tongkat 

butut di tangannya ia acungkan ke 

depan. Lalu tampak selarik sinar biru 

melesat dari ujungnya. Sinar biru 

tersebut menghantam sulur akar pohon 

rambat. 

"Tes! Tes!"

Sulur-sulur pun putus, dari 

putusan sulur menetes air yang sangat 

bening. Si kakek berkaki kecil sebelah 

itu menampung air tersebut dan, 

"Gluk! Gluuk!"

"Ah... lega rasanya, kelegaan 

yang membuat aku menyesal, menangis 

dan... hu hu hu... penyesalanku tidak 

kunjung berkesudahan. Kulihat kematian 

membuat aku menyesal. Kulihat 

kemarahan, aku menyesal, kulihat 

penderitaan orang kecil aku menyesal. 

Kulihat penghuni dunia celaka ini aku 

menyesal! Hidupku dalam penyesalan 

nafasku dalam penyesalan. Lahirnya


Iblis Betina Dari Neraka membuat aku 

teramat menyesalkannya!" dengus si 

kakek. Lalu ketok-ketokkan tongkat di 

tangannya di atas batu.

Sehingga terdengarlah suara 

berdenting menyakitkan telinga. Si 

kakek memakai ikat kepala warna darah 

ini langkahkan kakinya lagi. Tetapi 

secara tiba-tiba ia melihat sosok 

bayangan biru berkelebat di depannya. 

Tampak bayangan biru tersebut tengah 

mengerahkan ilmu lari cepatnya yang 

bukan main-main. Tetapi hebatnya lagi 

begitu si kakek membentak....

"Kembali...!!"

Secara aneh dan benar-benar 

sulit dipercaya, bayangan biru tadi 

bergerak mundur seperti ditarik. Dan 

kekuatan itu terus membetotnya ke 

belakang. Dan.... 

"Buuk!"

Tubuh pemuda itu menabrak si 

kakek yang berdiri di belakangnya. Si 

pemuda bertampang ketolol-tololan 

menjadi kaget sendiri. Ia menyadari 

ada seseorang yang telah mengerjainya 

dengan hanya membentak secara aneh. 

Tetapi mengapa ia yang sedang berlari 

bisa tertarik ke belakang?

"Bocah gendeng! Punya mata tapi 

tidak melihat, ah...!" Si kakek 

hentikan ucapannya begitu melihat

pemuda berambut hitam kemerah-merahan 

itu berpaling ke arahnya. "Kulihat


wajahmu aku jadi menyesal. Di dunia 

ini ada orang seperti engkau... 

sungguh aku menyesal. Tapi aku sungguh 

menyesalkan mengapa ibumu 

melahirkanmu...?"

Pemuda berbaju biru memakai ikat 

kepala biru belang-belang kuning ini 

garuk-garuk kepala. Satu lagi orang 

gila ia temui, bukan gila tapi aneh 

dan sangat hebat.

"Orang tua siapa kau! Berani 

benar kau mengganggu perjalanan orang 

lain. Bisa-bisa kukemplang kepalamu!" 

dengus Suro Blondo.

"Ha ha ha...! Ada bocah yang 

tidak hormat pada orang tuanya. Ada 

kakek yang tega berbuat mesum pada 

bocah kecil, ada mayat dipotong-potong 

seperti hewan. Tahukah kau bahwa semua 

itu membuat aku menyesal? Oh dunia ini 

sudah teramat tuanya. Hah... manusia 

ini sudah parah bejatnya. Lalu siapa 

yang masih waras, apakah kau bocah 

gila?" tanya si kakek bersikap acuh 

tak acuh.

Pendekar Blo'on pencongkan 

mulutnya. Ia golang-golengkan kepala 

seperti orang bingung.

"Orang tua ini sebenarnya 

menderita penyakit apa? Gilanya sudah 

teramat parah. Dia bukan saja sinting, 

tapi miring. Namun melihat caranya 

menarikku tadi, kurasa dia mempunyai 

kepandaian yang sangat tinggi


sekali...!" pikir Suro Blondo.

"Kau bicara apa bocah tolol? Aku 

bisa melihat pikiranmu, aku dapat 

mendengar suara hatimu, sungguh semua 

ini sangat kusesalkan!" dengus si 

kakek sambil ketok-ketokkan tongkatnya 

di atas batu.

"Kakek penyesal, siapakah engkau 

yang sesungguhnya. Urusanku dengan 

saudagar Bergola Mungkur sudah tidak 

dapat ditunda-tunda lagi" tegas si

pemuda.

"Ha ha ha...! Aku Datuk Sage 

Manyasal Hiduik. Si renta yang selalu 

menyesali segala sesuatu di dunia ini, 

orang yang menyesalkan terjadinya 

angkara murka di bumi, sepanjang abad, 

sepanjang hidup sampai dunia ini 

menjelang kiamat pun aku menyesal!"

"Datuk Sage Manyasal Hiduik. Apa 

yang kau sesalkan, setiap manusia 

punya urusan sendiri-sendiri. Biarkan 

saja...!" kata Suro seenaknya. Datuk 

Sage Manyasal Hiduik kedip-kedipkan 

matanya yang mulai lamur. Bicara 

pemuda tampan bertampang ketolol-

tololan itu memang ceplas-ceplos. Dan 

ia tahu siapa pemuda itu.

"Kau pemuda tolol, pantas 

menyandang gelar Pendekar Blo'on. 

Gurumu Penghulu Siluman Kera Putih, 

duh menyesalnya aku. Kakekmu Malaikat 

Berambut Api, manusia sakti 

mandraguna, tinggal di Pulau Seribu


Satu Malam, banyak musuh, punya banyak 

kekasih, tapi tidak pernah kawin-

kawin. Oh... menyesalnya aku...!" kata 

si kakek.

Kata-kata yang diucapkannya itu 

jelas membuat Pendekar Blo'on jadi 

terkejut. Ia sama sekali tidak 

menyangka bahwa kakek aneh ini 

mengenali siapa dirinya dan juga 

gurunya. Bahkan sampai masa lalu 

gurunya sendiri. Padahal Malaikat 

Berambut Api tidak pernah cerita apa-

apa tentang peribadinya pada Suro 

Blondo.

"Bagaimana Datuk bisa mengenal 

mereka?"

"Aku menyesal mengenal kedua 

gurumu, aku menyesal mengenal dirimu 

dan aku menyesal bakal melihat darah!" 

kata Datuk Sage Manyasal Hiduik.

Wajah kakek tua berkaki kecil 

ini berubah muram. Lalu ia ketuk-

ketukkan tongkat bututnya ke tanah. 

Tanah sekeras cadas itu berlubang dan 

dari lubang akibat tusukan tongkat 

menebarkan bau busuk menusuk hidung.

"Darahnya siapa yang kau 

sesalkan Datuk? Apakah darahmu sendiri 

darahku atau darah monyet?" tanya Suro 

sambil cengengesan.

"Hidupmu berkubang darah, bukan 

kunyuk sepertimu yang akan menjadi 

bangkai. Aku menyesal karena bukan 

darahku pula yang tercecer. Darah


orang-orang serakah. Aku sedih karena 

berpantang membunuh, aku menyesal 

datang ke tanah Jawa ini."

"Memang engkau dari mana Datuk? 

Apakah dari dalam kuburan, dasar bumi 

atau dikirim dari neraka?"

Wajah sang Datuk berubah kelam 

membesi. Matanya berkedip-kedip, lalu 

ia memandang ke langit. 

"Bicaramu sudah keterlaluan, 

bocah gendeng. Sayang aku tidak punya 

urusan denganmu. Seorang anak ingusan 

tidak layang tanpa asal-usul. Satu hal 

yang harus kusesalkan, aku harus tahu 

seberapa hebat kekuatan yang kau 

punya, seberapa banyak ilmu yang kau 

miliki!" kata sang Datuk.

Tiba-tiba saja Datuk Sage 

Manyasal Hiduik hentakkan kaki 

kanannya yang kecil di atas tanah. 

Segulung angin kencang menderu, Suro 

Blondo tiba-tiba saja terpelanting 

tunggang-langgang. Pendekar Blo'on 

terkejut bukan main-main. Seorang Tua 

renta seperti Datuk Sage Manyasal 

Hiduik dapat menjatuhkannya hanya 

dengan menjejakkan kaki di atas tanah. 

Satu hal yang sangat sulit dipercaya.

Ia bangkit berdiri, dengan 

sangat berhati-hati ia segera 

mengerahkan tenaga dalam ke bagian 

kakinya.

"Mengapa kau menyerangku Datuk? 

Apakah kau sudah edan?" dengus Suro


sambil garuk-garuk kepala.

"Kusesalkan karena aku tidak 

bisa memberikan jawaban kedua. Tetapi 

untuk lebih jelas sebaik-baiknyalah 

kau menjaga diri" Baru selesai bicara 

Datuk Sage Manyasal Hiduik tampak 

gembungkan pipinya. Lalu tiba-tiba 

saja ia menghembuskan nafasnya. 

"Puuuih...!"

"Wuus!"

Segulung angin topan menderu 

menerjang Suro Blondo. Pemuda berambut 

hitam kemerah-merahan ini tidak 

tinggal diam. Ia segera mengerahkan 

jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti 

Kibaskan Ekor'. Pemuda ini kemudian 

melompat ke samping sejauh satu batang 

tombak. Tubuhnya meliuk-liuk sambil 

sesekali menggaruk kepala. Lalu 

berjongkok dan melompat-lompat, 

sedangkan tangannya menghantam ke 

depan dan mulut mengeluarkan suara 

seperti lolongan serigala kelaparan 

yang seakan datang dari seluruh 

penjuru arah.

"Buumm!"

Hembusan Datuk Sage Manyasal 

Hiduik menghantam sebatang pohon yang 

terdapat di belakang Suro. Pohon 

mengeluarkan suara berderak dan roboh. 

Jika Pendekar Blo'on tidak cepat-cepat 

menghindar tentu ia tertimpa pohon-

pohon.

"Ha ha ha...! Jurus gila, sudah


kuduga gurumu mempunyai jurus itu. 

Menyesal aku harus menyerangmu hingga 

aku tahu seberapa hebat murid dari dua 

orang guru!"! kata Datuk Sage.

"Aku juga menyesal melihat ulah 

gilamu Datuk. Tapi aku tidak akan 

menyesal kau terus memaksaku bertindak 

kasar!" dengus Pendekar Blo'on 

jengkel. 

"Heaa...!"

Datuk Sage Manyasal Hiduik sama 

sekali tidak menghiraukan ucapan Suro. 

Ia menulikan telinga dan kini 

menyerang Pendekar Blo'on dengan 

tongkat butut di tangannya. Sekali 

sang Datuk mengibaskan tongkatnya. 

Maka terlihat tongkat tersebut berubah 

menjadi banyak, tongkat butut meliuk-

liuk bagaikan seekor ular cobra yang 

sedang memburu mangsanya. Suro dibuat 

pontang-panting, beberapa kali tongkat 

lawan menyodok ketiak, dada, ulu hati 

dan juga mata si pemuda. Pemuda ini 

mencoba menangkis serangan itu dengan 

telapak tangannya. Maka benturan tidak 

dapat dihindari lagi. 

"Taaak!"

"Wadow... edan...!" maki si 

pemuda.

Tangannya tadi seperti lumpuh 

dan sakitnya bukan main. Padahal 

Pendekar Blo'on telah mengerahkan 

tenaga dalam ke bagian telapak tangan.

Kini ia melompat mundur. Lawan


terus mengejarnya, Pendekar bertampang 

ketolol-tololan ini segera memperguna-

kan jurus 'Kacau Balau' untuk 

menghalau setiap serangan yang 

melabraknya.

Gerakan pemuda itu sekarang 

benar-benar sudah tidak teratur lagi. 

Terkadang tubuhnya terhuyung ke kanan 

dan ke samping kiri, atau bergerak 

seperti menubruk ke depan. Ketika 

tongkat lawannya menyambar menusuk 

dada ia cepat menarik tubuhnya ke 

belakang seperti orang yang terpeleset 

kulit pisang. Lalu kaki depannya 

menendang ke bagian perut sang Datuk.

Lawan menepisnya dengan tangan 

kiri Suro menarik kakinya sedangkan 

tangan melayang mengemplang kepala 

sang Datuk.

"Plok!"

"Heh…!" 

Sang Datuk memang sempat 

terhuyung-huyung terkena pukulan si 

pemuda. Namun Pendekar Blo'on sendiri 

dibuat kaget. Bagaimana tidak, ia 

seperti menghantam batu saja. 

Tangannya sendiri sakit bukan main.

"Ha ha ha...! Aku sedih karena 

tubuhku keras seperti batu. Aku 

menyesal lantaran kau kesakitan!"

Suro pencongkan mulutnya, 

"Datuk Penyesal, apakah kau tidak 

menyesal melihat orang lain yang tidak 

bersalah kesakitan?" tanya si pemuda.

"Penyesalanku sudah mendarah 

daging, berurat berakar seperti pohon 

kehampaan. Kau kesakitan aku menyesal, 

tetapi aku akan lebih menyesal lagi 

setelah nanti melihat darah. Darah 

orang tamak, orang serakah, para 

pejabat kerajaan yang korup, dan juga 

pembesar yang menyeleweng. Semua itu 

kusesalkan!" kata Datuk Sage Manyasal 

Hiduik.

"Bicaramu semakin ngaco tidak 

karuan. Bicara soal penyesalan tapi 

kau malah menyerangku seperti orang 

mabuk. Kau menyerang maka aku pun 

harus balas menyerang supaya adil!" 

dengus Pendekar Blo'on.

Tiba-tiba saja pemuda tampan 

bertampang ketolol-tololan itu 

menerjang Datuk Sage. Namun sang Datuk 

menyambutnya dengan tusukan tingkat ke 

tubuh Pendekar Blo'on. Masih dalam 

keadaan mengambang di udara Suro 

berjumplitan ke belakang. Begitu ia 

menjejakkan kedua kakinya di atas 

tanah. Maka pemuda ini lepaskan 

pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir' 

"Huuuh...!"

Pemuda itu secepat kilat 

mendorongkan kedua tangannya ke depan. 

Seleret sinar putih melesat bagaikan 

anak panah melayang dari busurnya.

"Aku menyesal karena engkau 

keluarkan pukulan. Aku menyesal karena 

terpaksa gunakan tongkat bututku!"


kata Datuk Sage Manyasal Hiduik. Tiba-

tiba saja....

"Wuut! Wuut!"

"Byar!" 

Pukulan yang dilepaskan Pendekar 

Blo'on buyar seketika terkena sabetan 

tongkat lawan yang menimbulkan angin 

kencang bagaikan badai. Suro Blondo 

terhuyung-huyung, namun secepatnya ia 

memperbaiki posisinya. Dalam kesem-

patan itu Datuk Sage telah membalas 

serangan si pemuda dengan mengayunkan 

tongkat di tangan. Pemuda itu 

mengelak, namun gerakannya kalah cepat 

dengan tongkat lawannya. Maka....

"Buuk!"

"Aduh emaak....! Kakek kaki 

kurus ini benar-benar edan." pikir 

Suro sambil usap-usap dadanya yang 

mendengut sakit. Setelah diusap-usap, 

malah dari bibir si pemuda tampak 

meleleh darah segar.

"Kau terluka? Aku sedih 

melihatmu terluka, ha ha ha...!" Datuk 

Sage tertawa sumbang.

"Sekarang aku terluka, sebentar 

lagi aku sedih melihatmu mati makan 

ulah sendiri!" dengus Suro.

Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on 

melompat ke udara. Kedua tangannya 

dihentakkan ke arah Datuk Sage 

Manyasal Hiduik.

"'Ratapan Pembangkit Sukma'! 

Hiaaa...!" teriak Pendekar Blo'on.


Angin kencang bagaikan topan 

bergulung-gulung. Tampak adanya kabut 

putih bagaikan salju menderu ke arah 

Datuk Sage Manyasal Hiduik. Gelombang 

angin kencang itu menebarkan hawa 

dingin mencucuk ke sumsum tulang. 

Datuk Sage Manyasal Hiduik tersentak 

kaget. Sama sekali ia tidak mengira 

pemuda tampan berwajah ketolol-tololan 

ini telah mewarisi pukulan dashyat 

'Ratapan Pembangkit Sukma' warisan 

manusia sakti Malaikat Berambut Api.

Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi ia kibaskan tongkatnya yang telah 

teraliri tenaga dalam ke arah lawan.

"Wut! Wut!"

Dari ujung tongkat melesat dua 

larik sinar biru menebar hawa panas 

menyambut gelombang angin topan yang 

melesat dari telapak tangan lawannya. 

Benturan keras tidak dapat dihindarkan 

lagi....

"Bum! Buum!"

Ledakan-ledakan keras disertai 

dengan memijarnya bunga api.

"Aaaakh... celakanya neraka 

dunia jika kau mempergunakan pukulan 

itu...!" desis Datuk Sage Manyasal 

Hiduik.

Tubuh kakek tua ini terhuyung-

huyung. Ujung tongkatnya patah, celana 

sebatas betis terkoyak. Suro Blondo 

jatuh terduduk, dadanya sesak bukan 

main. Sedangkan kedua kakinya sampai


amblas ke tanah sedalam lutut.

"Bukan main-main. Tidak menyesal 

aku bertemu denganmu, anak muda. Yang 

aku sesalkan celanaku robek. Ah... 

rasanya kau pantas menghadapi orang 

yang telah membunuh orang penting. 

Carilah dia, aku tidak akan menyesal 

dia mati di tanganmu!" kata Datuk 

Sage.

Suro Blondo menarik kakinya yang 

sempat terbenam, dalam hati ia dongkol 

juga melihat kakek aneh ini.

"Setelah membuatku hampir babak 

belur, kini kau menyuruhku pergi. 

Tidak mengapa. Tapi kuharap kau mau 

menyebutkan siapa dirimu yang 

sebenarnya. Dan Datuk hendak pergi 

kemana?" tanya Suro sambil garuk-garuk 

kepalanya. Datuk Sage Manyasal Hiduik 

mendongak ke langit. Wajahnya yang 

selalu muram tampak berubah semakin 

bertambah rawan dan menyimpan banyak 

kesedihan.

"Aku Rana Gingging, punya nama. 

Bertanya pada gurumu, mereka akan beri

penjelasan. Urusanku sangat besar, di 

sebuah kerajaan besar, menghadapi 

hutang lama yang sangat besar. Semua 

orang mempertaruhkan nyawa di sana. 

Hik hik hik! Tapi aku tidak menyesal 

anak muda. Nanti bila panjang umur, 

panjang nafas, panjang langkah. Kita 

bertemu di sebuah tempat besar bernama 

Bukit Keadilan. Di sana, aku, kau,


mereka dan sebagian tokoh di rimba 

persilatan akan bertemu dengan 

Malaikat Keadilan. Malaikat Bayangan 

yang menjadi penentu besar kecilnya 

dosa seseorang. Pada waktu itu setiap 

wajah tertunduk. Merasa malu pada 

dirinya sendiri, iblis pun akan malu, 

setan malu, hantu malu, perempuan 

cantik malu, laki-laki malu, 

terkecuali mereka yang tidak punya 

kemaluan tidak punya rasa malu." jelas 

Datuk Sage Manyasal Hiduik.

Pendekar Blo'on tampak kaget 

mendengar penjelasan Sang Datuk yang 

tidak beda dengan seorang peramal itu.

"Kapankan waktu yang kau katakan 

itu tiba, Datuk?" tanya Suro ingin 

tahu. Datuk Sage Manyasal Hiduik tiba-

tiba saja gelengkan kepala sambil 

menepuk keningnya.

"Aku menyesal telah membocorkan 

rahasia besar ini padamu. Ah... 

bagaimana ini?"

"Aku bukan orang jahat, Datuk. 

Mengapa kau harus khawatir?" kata 

Pendekar Blo'on.

"Setiap orang punya bakat jadi 

orang jahat. Setiap orang punya dosa 

kecil. Terlanjur aku bicara, urusan 

besar itu akan datang menjelang 

kehancuran dunia, masalah besar akan 

menimpa manusia, dimana kemanusiaan 

sudah tidak dihargai oleh manusia itu 

sendiri. Dimana rasa malu hilang,


keadilan tinggal tertulis di daun 

lontar. Dan manusia memakan sesamanya 

sendiri. Itulah neraka dunia di ujung 

rimba persilatan. Ah... aku menyesal 

telah banyak bicara. Anak muda, padamu 

kutitipkan pesan tegakkanlah kebena-

ran. Semakin berpegang kau pada akar 

kebenaran, maka semua orang akan 

memusuhimu!" 

"Mengapa begitu, Datuk?". 

"Aku menyesal tidak dapat 

mengatakannya. Tapi carilah jawaban 

sendiri. Kau pasti akan menemukannya. 

Sudahlah, aku harus pergi...!" kata 

Datuk Sage Manyasal Hiduik. Sekejap

saja Datuk ini berkelebat, maka 

tubuhnya langsung menghilang dari 

penglihatan Pendekar Blo'on. Pemuda 

itu melongo sambil gelengkan kepala 

berulang-ulang.

"Banyak sekali orang aneh di 

rimba persilatan ini. Dunia ini 

rupanya benar-benar mempunyai banyak 

keanehan. Akh... bisa gendeng aku 

memikirkannya...!" pikir Pendekar 

Blo’on sambil melanjutkan perjalanan-

nya kembali. 



SEPULUH



Mustika Jajar terus memanggul 

patung mar-mar di bahunya. Sesekali ia 

berhenti, beberapa saat lamanya ia 

memperhatikan suasana di sekeliling


nya. Merasa perjalanan dalam keadaan 

aman-aman saja, maka Iblis Betina Dari 

Neraka ini melanjutkan perjalanannya 

kembali. Ketika ia menuruni lereng 

bukit tiba-tiba terdengar derap 

langkah kuda dari arah depannya.

Gadis cantik berpakaian tembus 

pandang ini memandang ke depan sekilas 

saja. Kemudian meludah dan lanjutkan 

perjalanannya kembali.

"Berhenti!" bentak sebuah suara.

Yang membentak barusan adalah 

salah seorang dari dua penunggang kuda 

memakai baju warna kuning. Tampang 

mereka tidak ramah, wajahnya ditumbuhi 

dengan cambang bawuk lebat tidak 

terurus. Di bagian pinggang kedua

laki-laki tergantung sebuah pedang 

pendek berwarna kuning.

Muatika Jajar turunkan patung 

besar dari bahunya. Ketika melihat 

kedua laki-laki berbaju kuning itu ia 

kembali meludah. Sementara kedua laki-

laki penunggang kuda berbulu coklat 

tampak leletkan lidah basahi bibir.

Seorang gadis cantik berwajah 

jelita ada di pinggir hutan seorang 

diri. Pakaiannya yang tembus pandang 

menimbulkan gairah yang begitu 

menggebu.

"Sudah hampir setahun ini kita 

tidak pernah bertemu dengan perempuan. 

Rupanya hari ini kita mendapat rezeki 

yang sangat besar. Lihatlah dari


bayangannya saja tampak bukit-bukit 

yang indah. Seandainya bisa kuraih, 

hemm...!"

"Benar Kakang... selama ini yang 

kita lihat monyet betina, gajah 

betina, beruang betina. Dan yang 

betul-betul perempuan baru yang ini 

saja Kakang.'" kata yang berbadan 

pendek menyahuti.

"Kalau kau kebagian sisaku apa 

mau, Adikku?"

"Ha ha ha....! Sisanya juga enak 

Kakang. Aku mau saja walau sisamu yang 

ke sepuluh kalinya!" 

Wajah Mustika Jajar seketika 

tampak berubah memerah. Ia tahu benar 

arah pembicaraan kedua laki-laki 

berbaju kuning tersebut. Tetapi di 

lain waktu wajah gadis itu tersenyum 

memikat. Malah ia usap-usap dadanya 

yang tampak membusung. Sehingga 

membuat kedua laki-laki ini jadi 

belingsatan.

"Kalian siapa?" tanya Iblis

Betina Dari Neraka.

"Ha ha ha...! Ternyata kau 

adalah seorang gadis yang sangat 

ramah. Kami berdua adalah Iblis Kuning 

yang menguasai daerah ini. Tentu kau 

tidak keberatan bila kami mengajakmu 

bergabung. Jangan khawatir, hidupmu 

pasti terjamin, karena kami mempunyai 

harta yang sangat besar jumlahnya." 

kata yang berbadan pendek, lalu


memelintir kumisnya yang tebal.

Mustika Jajar tersenyum, setiap 

senyumnya membuat jantung kedua laki-

laki itu berdetak kencang.

"Hi hi hi...! Begitu? Apakah aku 

harus menjadi isteri kalian atau hanya 

sekedar sebagai pemuas nafsu?" tantang 

si gadis,

"Tentu saja menjadi isteri 

kami?" sahut yang jangkung

Ia melangkah mendekati si gadis.

"Kalau aku harus memilih, maka 

aku hanya bisa menjadi isteri salah 

seorang dari kalian. Selain itu kalian 

juga harus bertarung, siapa yang 

keluar sebagai pemenangnya. Maka orang 

itulah yang berhak mendapatkan 

tubuhku!"

Kedua Iblis Kuning saling 

pandang. Rasanya mustahil mereka 

saling serang sesama mereka sendiri. 

Sebab mereka masih punya hubungan 

darah.

"Kami tidak bisa memenuhi 

permintaanmu!" sergah yang berbadan 

pendek.

"Mengapa? Sarat untuk mendapat-

kan diriku hanyalah dengan bertarung 

antara kau dan kawanmu itu. Kalau 

tidak siapa sudi? Sebab aku tidak tahu 

siapa yang paling hebat di antara 

kalian jika telah berada di atas 

ranjang...!"

"Kami tidak mau."


"Kalau kalian tidak mau ber-

tarung aku pun tidak sudi menjadi 

isteri kalian!" dengus Mustika Jajar.

"Kau boleh tidak mau, tapi 

patung bagus itu harus kau serahkan 

pada kami...!" tegas si jangkung.

"Hik hik hik...! Patung ini 

tidak akan kuberikan pada siapa pun. 

Saudagar Bergola Mungkur hendak 

menukar patung ini dengan tiga kantung 

emas. Itu pun tidak kuberikan!. 

Apalagi cuma kalian yang memintanya. 

Tentu kalian hanya akan membuang nyawa 

secara sia-sia!"

Kedua Iblis Kuning tampak marah 

sekali melihat gadis di depan mereka 

terlalu memandang rendah. Yang 

berbadan pendek tiba-tiba saja 

melompat ke depan. Tangannya ter-

pentang meluncur ke arah dada. 

Tujuannya adalah meremas bukit kembar 

milik si gadis yang tegak menantang 

itu. Akan tetapi tiba-tiba saja

"Tes!"

"Aaaa...!"

Iblis Pendek menjerit keras. 

Tubuhnya terpelanting, ketika ia 

melihat ke bagian tangannya. Maka 

tangan tersebut telah bengkak membiru.

Mustika Jajar tergelak-gelak.

"Kepandaian baru seujung kuku, 

berani lancang main remas milik orang 

lain. Majulah kalian berdua, aku tidak 

punya banyak waktu untuk mengirim


kalian ke neraka."

Yang berbadan jangkung melompat 

ke depan, iblis berbadan pendek 

bangkit berdiri. Lalu keduanya secara 

bersamaan melakukan penyerangan ke 

arah lawannya. Serangan yang mereka 

lakukan tidak main-main lagi, bahkan 

di saat itu kedua Iblis Kuning telah 

mengerahkan jurus 'Mengusir Kabut 

Dalam Badai'. Ini merupakan jurus 

andalan yang mereka miliki. Begitu 

tubuh dan tangan mereka berkiblat, 

maka terasa adanya sambaran angin yang 

sangat keras menampar wajah sang 

gadis. Mustika Jajar cepat menundukkan 

kepala. Laksana kilat masih dalam 

keadaan tertunduk itu ia melepaskan 

tendangan berputar.

"Duk! Duk!" 

"Hegkh...!"

Kedua Iblis Kuning terhuyung ke 

belakang. Dada mereka yang kena 

tendangan itu langsung berubah 

membiru.

"Hek... keparat kau iblis 

betina...!" desis salah seorang di 

antara mereka. Lalu....

"Sring! Sring!"

Mereka langsung mencabut pedang 

pendek yang tergantung di pinggang. 

Setelah itu laksana kesetanan mereka 

memutar pedang di tangan dengan 

kekuatan berlipat ganda.

"Wut!"


Begitu tubuh mereka menerjang ke 

arah si gadis. Maka pedang di tangan 

mereka menusuk enam jalan kematian 

lawannya. Mustika Jajar tidak menjadi 

keder dibuatnya. Ia menggeser langkah-

nya ke belakang sebanyak dua langkah. 

Setelah itu tangannya menghantam ke 

arah lawan-lawannya dengan kecepatan 

sulit diikuti mata.

"Wusss!" 

Dua larik sinar membeset udara.

Merasakan adanya hawa dingin 

menderu ke arah mereka. Maka dua Iblis 

Kuning terpaksa menarik serangan dan 

memutar senjata untuk melindungi diri.

Namun pukulan yang dilepaskan 

oleh Mustika Jajar tadi seakan tidak 

dapat mereka patahkan. Malah tubuh 

mereka seperti didorong oleh sebuah 

kekuatan yang sangat dashyat. Dua 

Iblis Kuning kertakkan rahang, lalu 

melipat gandakan tenaga dalam ke arah 

pedang. Akhirnya....

"Buuummm!" 

"Auugkh…!"

Kedua laki-laki tersebut men-

jerit tertahan. Tubuh mereka ter-

guling-guling. Wajah mereka berubah 

pucat seperti mayat. Dengan bersusah 

payah kedua iblis ini mencoba bangkit 

berdiri. Sementara lawan mereka ter-

tawa mengikik sambil bertolak 

pinggang.

"Hegkh...!"


Begitu mereka dapat berdiri. 

Maka darah langsung menyembur dari 

hidung dan mulut mereka. Jelas sudah 

mereka menderita keracunan yang sangat 

parah.

"Racun Naga Biru belum seberapa. 

Tapi kalian segera berangkat ke 

akherat bila aku melepaskan pukulan 

yang ini...!" dengus si gadis.

Begitu tubuhnya berkelebat, maka 

Mustika Jajar kerahkan tenaga dalamnya 

ke bagian tangan. Kedua telapak tangan 

sampai ke siku yang berwarna putih 

tadi sekarang telah berubah menjadi 

merah semerah darah. Kedua Iblis 

Kuning segera menyadari apa yang bakal 

terjadi pada mereka. Mereka bersiap-

siap hendak kabur, namun lawan rupanya 

melihat gelagat ini. Sehingga dengan 

cepat ia mengibaskan kedua tangannya 

ke depan.

"Wuut..,!"

Sepuluh leret sinar merah 

menebar bau bangkai melesat bagaikan 

kilat. Dua Iblis Kuning mencoba 

menangkis dengan memutar senjata di 

tangan. Tetapi tampaknya pertahanan 

yang mereka lakukan tidak memiliki 

arti sama sekali. Terbukti serangan 

Mustika Jajar mampu menerobos 

pertahanan lawannya.

"Glaar! Glaar!"

"Aaaaakgh...!"

Ledakan dashyat disertai dengan


terdengarnya suara jeritan yang saling 

susul menyusul. Dua sosok tubuh 

terlempar, ketika Iblis Kuning terban-

ting ke tanah. Maka tubuh mereka telah 

mengeriput hancur dalam waktu yang 

sangat cepat sekali.

"Hik hik hik...! Kalian belumlah 

pantas menyandang gelar iblis. 

Kepandaian hanya seupil sudah berani 

bertindak usil!" dengus si gadis.

Sambil tersenyum sinis ia 

meninggalkan dua korbannya. Lalu ia 

mendekati patung perkasa, setelah itu 

ia memanggulnya kembali dan berjalan 

pelan tanpa menoleh-noleh lagi. 



SEBELAS



Halaman luas yang dimasuki Suro 

Blondo tampak tenang dan sepi-sepi 

saja. Pemuda berbaju biru muda itu 

terus melangkahkan kakinya mendekati 

pintu utama, hingga kemudian terdengar 

suara bentakan disertai berkelebatnya 

beberapa sosok tubuh mengurung pemuda 

itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, para 

pengawal yang jumlahnya tidak kurang 

dari delapan orang langsung menyerang 

dengan pedang terhunus di tangan.

"Walah! Mau bertemu dengan 

saudagar kaya, anjing-anjing penjaga-

nya malah mengeroyokku! Baiklah kalian 

akan kubuat loyo...!" dengus Pendekar


Blo'on. Seraya garuk-garuk punggung 

kepala. Lalu menyambut serangan gencar 

lawan-lawannya dengan mempergunakan 

jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. 

Inilah salah satu jurus menghindar dan 

menyerang yang teramat konyol dan 

lucu. Mula-mula pemuda ini ber-

jingkrak, kemudian melompat-lompat di 

lain saat menyerang sambil mengibaskan 

tangannya berulang-ulang. Sungguh pun 

gerakan kilat itu seperti orang 

menggaruk. Namun lawan terdepan yang 

terkena hantaman tangannya langsung 

terpental, berguling-guling disertai 

suara jerit kesakitan.

Melihat kawannya dengan dikerjai 

oleh pemuda bertampang tolol ini. Maka 

yang lain-lainnya menjadi sangat marah 

sekali. Serangan-serangan yang dilan-

carkan oleh mereka semakin lama 

semakin bertambah hebat. Pedang 

menderu-deru menghantam sepuluh jalan 

kematian. Suro Blondo terpaksa memi-

ringkan tubuhnya atau terkadang 

melesat ke udara. Ketika tubuhnya 

meluruk deras ke bawah. Maka kaki 

kanannya menghantam kepala lawannya 

dengan keras.

"Praaak...!"

"Akkkhgggk...!" dua pengawal 

menjerit keras. Tubuh mereka 

tersungkur dengan kepala remuk menyem-

bur darah. Kepala pengawal tersentak 

kaget, sama sekali ia tidak menyangka


kalau pemuda bertampang tolol itu 

memiliki kepandaian yang tidak rendah. 

Lebih mengherankan lagi ketika 

menyadari bahwa sampai sejauh itu 

pedang di tangannya tidak dapat 

menyentuh tubuh si pemuda. Merasa 

tidak ada pilihan lain, kepala 

pengawal segera mengerahkan jurus 

'Menyibak Bukit Menghantam Demit'.

"Hiyaaa...!" Kepala pengawal 

sambil berteriak melengking tinggi 

segera memutar pedang di tangannya. Di 

lain waktu ia menerjang ke depan, lalu 

menusukkan ujung pedang ke lambung 

Suro Blondo. Pemuda itu menarik 

tubuhnya ke belakang. Namun dari arah 

belakangnya mata pedang lawannya 

membabat pula.

"Tep! Weleh... edaaan...!" Si 

pemuda menggerutu. Selanjutnya meng-

hantamkan tangannya kedua arah 

sekaligus. Sinar putih berkilauan 

melesat dan menghantam kepala pengawal 

dan kawannya. Itulah pukulan 'Kera 

Sakti Menolak Petir' yang dimilikinya.

Terdengar satu ledakan dahsyat. 

Bersamaan dengan itu terdengar pula 

suara jerit lawannya. Kepala pengawal 

dan satu lainnya terkapar di tanah 

dengan mulut menyemburkan darah dan 

jiwa melayang.

"Hhmm... sekarang tinggal 

kalian! Cepat pilih, antara mati atau 

memanggil juraganmu untuk menghadapi


aku!" Empat orang pengawal saling 

pandang sesamanya. Mereka sama-sama 

berpikir jika kepala pengawal saja 

tewas di tangan pemuda itu, apalagi 

sekarang mereka hanya tinggal berempat 

saja. Namun sebelum mereka sempat 

memutuskan apa-apa. Pintu utama tiba-

tiba saja terbuka. Seorang laki-laki 

berpakaian mewah muncul dan melangkah 

menghampiri pemuda berambut hitam 

kemerahan ini. Wajahnya jelas-jelas 

tidak dapat menyembunyikan rasa 

kejutnya ketika melihat empat orang 

pengawalnya tergeletak tanpa nyawa.

Saudagar Bergola Mungkur 

memperhatikan pemuda yang sama sekali 

tidak dikenalnya ini sejurus lawannya.

"Kau siapa?" tanya sang 

saudagar, suaranya bergetar berusaha 

menahan amarah.

Suro Blondo tersenyum, lalu 

usap-usap keningnya.

"Aku Pendekar Blo'on! Sengaja 

datang menemuimu untuk menagih hutang-

hutangmu yang bertumpuk!"

"Ha ha ha...! Bicaramu ngaco 

belo. Manusia tolol sepertimu telah 

menghutangkan apa kepadaku yang kaya 

raya, heh...!" hardik Bergola Mungkur, 

berang.

"Kau memang kaya, tapi hasil 

kekayaanmu adalah hasil cucuran 

keringat darah orang-orang yang mati 

sengsara di Bumi Ayu." dengus


Pendekar Blo'on serius.

Saudagar itu terdiam. Wajahnya 

berubah memerah. Ia merasa yakin dapat 

mengatasi pemuda yang mengaku berjuluk 

Pendekar Blo'on ini. Untuk itu ia pun 

berkata dengan angkuhnya.

"Kau pendekar Gila! Lebih baik 

kau angkat kaki dari hadapanku sebelum 

aku benar-benar memenggal kepalamu!"

"Justru aku jauh-jauh datang 

kemari ingin meminta nyawamu. Kalau 

kau tidak percaya tanyakan saja pada 

semua algojomu yang sudah menunggu di 

pintu nereka!" kata pemuda itu lalu 

tertawa gelak-gelak. Saudagar Bergola 

Mungkur terkesiap. Sama sekali ia 

tidak menyangka kalau pemuda tampan 

bertampang tolol itu telah 

membinasakan orang-orang 

kepercayaannya.

"Keparat! Kau benar-benar 

membuatku marah!"

"Sret!"

Laki-laki berkumis tebal ini 

kemudian mencabut pedangnya.

"Jika kau sudah marah, mengapa 

tidak menyerang?" Suro Blondo 

tersenyum mengejek. Tingkah dan ucapan 

Pendekar Blo'on tentu saja membuat 

lawannya semakin mendongkol. Sambil 

membentak garang, Bergola Mungkur 

tiba-tiba saja mengibaskan pedangnya 

membelah dada si pemuda. Dengan gesit 

pemuda ini langsung menghindar.


Selanjutnya ia memapak serangan 

itu dengan gerakan yang serba aneh dan 

lucu-lucu. Namun dibalik kekonyolan 

jurus-jurus yang dimainkannya. Terkan-

dung sebuah kedashyatan yang tidak 

dapat diduga-duga. Saudagar Bergola 

Mungkur sendiri sempat terkesima. 

Berulang kali ia membangun serangan. 

Namun hingga sampai sejauh itu, setiap 

serangannya selalu menemui tempat 

kosong. Padahal ia telah mengerahkan 

jurus 'Sayap Kupu-Kupu Membelah Kuntum 

Bunga'.

"Shaa...!"

"Des! Des!"

Satu gerakan tipuan dilakukan 

oleh laki-laki setengah baya ini. Suro 

Blondo berusaha berkelit. Namun dua 

pukulan yang tidak diduga-duga 

menghantam dada dan punggungnya. 

Pemuda berambut hitam kemerahan ini 

terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak 

hingga membuatnya sulit bernafas.

Belum sempat ia memperbaiki 

posisinya. Mata pedang lawannya 

menderu dan jika tidak cepat ia 

menarik badannya ke belakang. Pasti 

pedang lawannya telah menjebol 

perutnya.

"Heh... dia sangat cepat sekali 

dalam memainkan jurus-jurus pedangnya. 

Sebaiknya aku mengerahkan jurus 

'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'" 

batinnya dalam hati.


"Huuup...!" 

"Deep!"

"Beet!" 

Benar saja dugaan si pemuda 

begitu tubuhnya berkelebat cepat. 

Pedang di tangan lawan terus memburu. 

Suro Blondo tiba-tiba berbalik, lalu 

hantamkan tangannya ke bagian perge-

langan tangan Bergola Mungkur. Sungguh 

pun gerakan yang dilakukan oleh pemuda 

itu terasa cepat sekali. Namun lawan 

rupanya berlaku sangat cerdik. Jika 

semula ia melakukan tusukan, maka kini 

berbalik membabat kaki Suro Blondo. 

Ia balas menyerang dan.... 

"Des!"

"Aaakkkh...!"

Pendekar Blo'on menyeringai. 

Tubuhnya jatuh terguling-guling. 

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh 

Bergola Mungkur yang telah dikuasai 

oleh nafsu membunuh. Ia memburu sambil 

menghujamkan pedangnya berturut-turut.

Suro Blondo terus berguling-

guling kalang kabut. Satu kesempatan 

ia yang telah mengerahkan tenaga 

dalamnya segera menghantam ke depan.

"Wuuus!"

Sinar merah hitam menderu dari 

telapak tangannya. Itulah pukulan 

'Neraka Hari Terakhir'. Salah satu 

pukulan pamungkas yang sangat sulit 

dicari tandingannya. Bergola Mungkur 

sama sekali tidak menyangka akan


mendapat serangan sedemikian rupa. 

Dalam jarak yang begitu dekat mustahil 

ia dapat menghindarinya. Tidak pelak

ia pun memutar pedangnya untuk 

melindungi diri. Namun gerakannya 

kalah cepat dengan pukulan yang 

dilepaskan Suro Blondo. Sehingga tidak 

pelak lagi pukulan 'Neraka Hari 

Terakhir' dengan telak memanggang 

tubuhnya. Suara ledakan dahsyat 

disertai dengan suara jeritan Bergola 

Mungkur. Tubuhnya terbanting ke tanah 

dalam keadaan hangus seperti arang. 

Sedang pedang yang dipergunakan oleh 

Bergola Mungkur meleleh dan tergeletak 

tidak jauh dari mayat pemiliknya.

"Hemm... saudagar ini kaya raya, 

tapi ia mati tidak membawa hartanya. 

Lagipula orang mati mana doyan harta, 

tidak jajan dan tidak pula membutuhkan 

kemewahan dunia. Biarkah rakyat yang 

memiliki harta itu." batin Pendekar 

Blo'on lalu garuk-garuk kepalanya

Hari telah menjelang senja saat 

Pendekar Blo'on si bocah ajaib 

beranjak pergi meninggalkan mayat-

mayat yang bergeletakan. 



                        TAMAT


Segera menyusul!!!

Serial :

PENDEKAR BLO'ON

dalam episode selanjutnya :


IBLIS BETINA DARI 

NERAKA

Share:

0 comments:

Posting Komentar