Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya
kebetulan belaka.
PEMIKAT IBLIS
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit
Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam
bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Pemikat Iblis
SATU
Gunung Galunggung hampir sepan-
jang masa menyemburkan lidah api
abadi. Hampir setiap saat penduduk di
sekitarnya boleh dikata terancam mara-
bahaya. Letusan gunung hampir semua
orang tahu selalu mendatangkan malape-
taka. Walaupun kesuburan tanahnya
memberi manfaat bagi kehidupan umat
manusia.
Tidak jauh dari gunung Galung-
gung ini ada sebuah tempat yang
bernama Cilawu. Daerah ini merupakan
sebuah daerah dataran rendah dan
berbukit-bukit. Meskipun daerah terse-
but selalu tampak sunyi seakan tidak
berpenghuni. Bila dilihat dari dekat,
maka setiap pagi selalu terdengar
suara bentakan-bentakan atau terkadang
suara lengking tangis berkepanjangan.
Tidak jarang terdengar pula suara
beradunya dua senjata, terasa menya-
kitkan gendang-gendang telinga.
Melihat ke arah lembah gersang
dan berbatu cadas itu. Maka sege-
ra terlihat seorang gadis berbaju
ungu dan berwajah angker sedang
bertarung mati-matian melawan seorang
laki-laki tua muka tengkorak.
Rambutnya yang riap-riapan dibiarkan-
nya tergerai memanjang. Sementara
kakek berambut putih acak-acakan muka
tengkorak, tampaknya juga tidak jauh
lebih baik dari gadis yang di-
hadapinya.
"Kerahkan seluruh kepandaian
yang kau miliki!" suara kakek wajah
tengkorak menggema ke seluruh bibir
lembah, menggetarkan dinding-dinding
batu, juga menulikan telinga.
"Jangan hanya gembar-gembor
macam harimau ompong tua bangka! Mari
kita buktikan siapa yang paling kuat
di antara kita!" bentak gadis baju
ungu tidak kalah sengitnya.
Tidak dapat dihindari pertem-
puran seru pun terjadi. Masing-masing
tampaknya sama-sama mengandalkan ta-
ngan kosong. Setiap serangan yang
mereka lancarkan selalu menimbulkan
angin bersiuran. Debu-debu mengepul di
udara. Batu-batu berhamburan dan siap
menghantam tubuh lawannya. Lengah
sedikit, maka putuslah nyawa.
Pertempuran sengit itu semakin
lama semakin menghebat. Terlebih-lebih
ketika kakek tua bertampang mengerikan
berbadan kurus kering itu lepaskan
salah satu pukulan yang paling
diandalkannya.
"Heaaa...!" Tangan si kakek yang
telah berubah menjadi biru tiba-tiba
saja dihantamkannya ke depan.
"Hmm. Hanya pukulan Racun Segala
Bisa, siapa yang takut!" Gadis baju
ungu menggeram hebat. Ia kerahkan
tenaga dalam yang dimilikinya ke
bagian tangan kiri kanan. Hanya dalam
waktu sekedipan mata saja kedua
telapak tangannya juga telah berubah
menjadi biru. Tanpa menunggu ia
lontarkan kedua tangannya memapaki
pukulan beracun yang dilepaskan oleh
kakek muka tengkorak mata buta
sebelah.
"Huup!"
"Shaa...!"
Angin dingin mencucuk membekukan
darah saling menyambar dengan ganas.
Kemudian terjadi benturan yang sangat
keras bukan alang kepalang.
"Duum! Duum!"
Dinding tebing yang selama
bertahun-tahun tidak pernah goyah
diterpa musim. Kini tampak longsor di
sana-sini. Suara bergemuruh disertai
menyebarnya bau menusuk berbaur
menjadi satu. Debu mengepul tinggi
membumbung ke angkasa. Bila beberapa
saat kemudian debu-debu yang
berterbangan itu mulai menipis. Maka
daerah di sekitarnya menjadi porak
poranda. Pada dua buah sisi yang
berlawanan terlihat dua sosok tubuh
tergeletak tidak bergerak sama sekali.
Dari bibir mereka mengalirkan darah.
Tampak jelas baik gadis berbaju ungu
maupun si kakek muka tengkorak
menderita luka dalam yang sangat
parah. Namun anehnya tidak berselang
lama. Terdengar suara tawa si muka
tengkorak bergelak. Tawa itu semakin
lama semakin meninggi, hingga membuat
daun-daun hijau di atas pohon
berguguran. Gadis berbaju ungu agaknya
juga menyadari apa yang tengah
dilakukan oleh laki-laki renta di
depannya. Itulah salah satu cara
menyembuhkan luka dalam lewat
pengerahan suara tawa. Dan inilah
merupakan sebuah cara yang teramat
langka dan sangat jarang dimiliki oleh
orang-orang rimba persilatan.
Sadar lawannya mengerahkan hawa
murni untuk menyembuhkan luka dalam
yang dideritanya. Maka gadis baju ungu
juga ikut tertawa. Suara tawanya
melengking tinggi. Tubuhnya yang
ramping bahkan sampai terguncang-
guncang. Suara tawa saling tindih
menindih hingga menimbulkan guncangan
hebat pada tanah tempat mereka berada.
Dari arah barat laut, tiba-tiba
saja angin kencang berhembus. Pohon-
pohon di sekeliling lembah dan bukit
bertumbangan. Dan langit pun seketika
berubah mendung. Gadis baju ungu
terkesima, sebaliknya kakek renta muka
tengkorak semakin memperhebat suara
tawanya.
"Ha ha ha...! Hujan angin...
inilah waktu yang kutunggu-tunggu
sejak tujuh belas tahun yang lalu...!
Hak kak kak...."
Gadis baju ungu terkesima.
Seraya jatuhkan diri dan berlutut di
depan kakek renta muka tengkorak.
"Guruku Tuan Muka Tengkorak Mata
Api, apakah maksud ucapanmu?" tanya si
gadis. Ia seka darah yang membasahi
sudut-sudut bibirnya. Sementara luka
dalam yang dideritanya sudah tidak
terasa sakit lagi.
"Ha ha ha...! Muridku Mustika
Jajar. Sejak masih bayi merah aku
sengaja mengambilmu untuk kujadikan
seorang murid tanpa tanding. Sekarang
dan untuk masa yang akan datang kau
akan menjadi seorang ratu yang tidak
ada tanding. Kau bukan saja menjadi
tokoh yang tidak ada duanya, tapi juga
karena kecantikanmu yang sungguh
menggiurkan, membuatmu mudah
menundukkan laki-laki manapun yang kau
sukai."
Seandainya ia seorang gadis yang
dididik oleh seorang tokoh aliran
lurus. Tentu saja wajahnya berubah
merah karena mendapat sanjungan. Tapi
karena pada dasarnya ia merupakan
hasil gemblengan tokoh Maha Sesat.
Mustika Jajar malah tertawa bergelak
dan leletkan lidah basahi bibir.
"Sekarang hapuslah coreng moreng
di wajahmu, Mustika!" perintah tegas
kakek renta muka tengkorak yang hanya
mempunyai satu mata ini tegas.
"Hi hi hi...! Jika kuhapus bedak
batu penutup wajahku. Aku takut guru
tergiur olehku. Jika guru yang
kepincut padaku, kujamin aku pasti
tidak bersedia melayani keinginan
guru!" Mustika Jajar tertawa genit.
Seraya lalu menghapus coreng moreng di
wajahnya.
"Tidak perlu khawatir muridku.
Tidak nantinya pagar memakan tanaman.
Sejak kecil aku merawat dirimu.
Walaupun sekarang kau berpakaian rapi.
Sebagai gurumu tentu aku sudah tahu
lekuk liku tubuhmu!" kata kakek muka
tengkorak sambil tertawa-tawa,
Mata Mustika Jajar mengerling
nakal. Wajahnya yang sekarang tidak
tertutup pelapis apa-apa tampak cantik
berseri-seri.
Matanya berbinar penuh keman-
jaan. Tapi di balik penampilannya yang
nyata, tersimpan kekejaman melebihi
manusia biadab.
"Ha ha ha. Sekarang kau benar-
benar telah menjadi gadis yang sudah
sangat dewasa sekali, Tika. Wajahmu
cantik melebihi bidadari. Jika saja
aku masih muda, tentu saja aku tidak
akan melepaskanmu setelah berhasil
mendapatkan cintamu. Ha ha ha...!"
"Ternyata guru dulunya mata
keranjang." Cibir si gadis.
"Lain dulu lain sekarang.
Sekarang adalah masa pembalasan di
mana kau harus mencari dan membunuh
seorang laki-laki yang berjuluk
'Malaikat Berambut Api'. Orang inilah
yang dulu pernah mencungkil sebelah
mataku. Sudah menjadi tugasmu menja-
lankan perintahku. Selain itu kau juga
berhak membunuh semua tokoh persilatan
aliran lurus. Pergunakanlah kecerdikan
dan kecantikan yang kau miliki untuk
memperdaya setiap lawan. Jika lawan-
lawanmu merupakan tokoh yang sangat
sakti, kau pikatlah dengan kecantikan-
mu! Jika mereka benar-benar telah
bertekuk lutut di bawah kakimu.
Peralatlah dia untuk mencapai cita-
citamu."
"Tapi guru. Di mana aku harus
mencari musuh besar guru yang
mempunyai gelar 'Malaikat Berambut
Api' itu?"
Tua Tengkorak Mata Api terdiam
beberapa saat lamanya. Matanya yang
cuma sebelah itu memandang lurus ke
arah si gadis. Dan beberapa saat sete-
lahnya suara tawa muka tengkorak
menggema kembali. Di tengah-tengah
suara tawanya yang tidak ubahnya bagai
gaung suara harimau itu terdengar
ucapannya yang tajam menusuk.
"Di manapun adanya Malaikat
Berambut Api, kau harus mencarinya
Mustika Jajar! Terakhir kudengar ia
mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu
Malam yang terletak di daerah selatan
laut Jawa...."
"Apakah orang itu tidak
mempunyai murid, guru?"
"Mengenai murid aku sampai saat
ini tidak mengetahuinya. Tapi kelak
bila kau telah turun ke dunia ramai.
Tentu kau dapat mencari tahu!"
"Baiklah guru. Kalau semua ini
memang sudah merupakan keinginan guru.
Maka sebagai murid yang ingin berbakti
padamu, aku siap menjalankan segala
perintahmu..." ujar gadis cantik ber-
baju ungu.
"Bagus! Sekarang kau duduklah di
sini," ujar Tua Tengkorak Mata Api.
Mustika Jajar duduk di depan
kakek Muka Tengkorak. Seraya kemudian
mengangkat kedua tangannya tinggi-
tinggi. Setelah memberi isyarat pada
muridnya, lalu Mustika Jajar pun meng-
angkat kedua tangannya. Tangan mereka
saling menempel. Sebelum Mustika Jajar
mengetahui apa yang akan diperbuat
oleh gurunya.
Tiba-tiba gadis ini merasakan
adanya satu sengatan yang sangat keras
dan menimbulkan rasa dingin yang tidak
tertahankan mengalir melalui telapak
tangan gurunya. Mustika Jajar sempat
terkesima. Hanya saja sebagai gadis
yang sangat cerdik ia segera menge-
tahui bahwa gurunya sengaja memper-
besar hawa murni yang dimilikinya.
Tubuh murid dan guru tampak
sama-sama tergetar hebat. Asap tipis
mencuat dari bagian atas ubun-ubun si
kakek muka tengkorak; Sebaliknya tubuh
Mustika Jajar sudah tampak bersimbah
keringat. Tidak sampai sepemakan
sirih. Tua Tengkorak Mata Api sudah
menarik tangannya yang melekat di
tangan muridnya.
Mustika Jajar, gadis berbaju
ungu dan memiliki kecantikan luar
biasa ini menarik nafas panjang. Kini
ia merasa tubuhnya semakin menjadi
ringan. Bahkan ketika ia menggerak-
gerakkan tubuhnya. Semuanya terasa
lebih hebat dari waktu-waktu sebelum-
nya.
"Apa yang kau rasakan, muridku?"
tanya Muka Tengkorak. Sungguh pun saat
itu ia sedang tersenyum. Tapi di mata
yang melihatnya senyumannya tidak
ubahnya bagai seringai yang mengeri-
kan.
"Aku merasa badanku berubah
seringan kapas!" jelas gadis cantik
berhati telenggas ini sejujurnya.
"Bagus... ha ha ha... bagus...!"
kata Tua Tengkorak Mata Api. Seraya
meraba pinggangnya. Kemudian terlihat-
lah sebuah buntalan kecil warna hitam
tergenggam di tangannya.
Buntalan itu selanjutnya dibuka-
nya. Setelah buntalan terbuka sepe-
nuhnya. Maka terlihatlah sebuah
senjata yang sangat aneh bentuknya.
Senjata itu berbentuk bulat seperti
bulan sabit. Berwarna putih mengkilat
karena ketajamannya.
"Kau tahu cara mempergunakannya,
muridku?" ,
Mustika Jajar menganggukkan
kepala.
"Coba bagaimana?"
"Sabit Bulan adalah senjata yang
sangat aneh. Aku tentu saja dapat
mempergunakannya. Walaupun hanya
dengan menggenggamnya."
"Bagus! Senjata ini sekarang
menjadi milikmu sepenuhnya," ujar
kakek renta muka tengkorak. Seraya
menyerahkan senjata itu pada Mustika
Jajar.
"Pantaskah aku menerimanya,
guru?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.
"Tentu saja pantas, karena
sebentar lagi kau sudah harus mening-
galkan lembah Cilawu ini."
Mustika Jajar memang tidak perlu
membantah lagi. Sungguhpun hatinya
merasa berat untuk meninggalkan orang
yang telah merawat dan mendidiknya
selama ini. Namun akhirnya ia harus
berangkat memulai kehidupan lain yang
sangat baru.
DUA
Cambuk di tangannya sesekali
melecut di udara disusul dengan suara
jerit kesakitan salah seorang dari
sekian banyak orang-orang dari mereka
yang terbelenggu mata rantai. Tubuh
yang semula muda perkasa ini lambat
laun hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Mereka kurang makan, kurang
tidur, kurang istirahat dan kurang
segala-galanya. Sepanjang hari mereka
harus terus menerus bekerja menggali
sebuah terowongan, mengayak serpihan
tanah untuk mendapatkan biji-biji emas
murni.
Tidak jauh dari pekerja-pekerja
paksa itu lebih dari sembilan laki-
laki bertubuh tegap berkepala botak
dan bertampang beringas terus
mengawasi pekerjaan mereka tanpa
mengenal belas kasihan sama sekali.
Jika para pekerja itu tampak
malas, maka cambuk berduri di tangan
para algojo itu ikut bicara. Tidak
heran jika tiap hari para pekerja itu
ada saja yang mendapat celaka atau
mati. Mayat-mayat mereka biasanya
dibuang begitu saja tanpa ada seorang
pun yang di antara para pekerja itu
yang berani mengurusnya.
Sebuah dataran rendah tidak jauh
dari tempat penggalian emas telah
ditentukan sebagai tempat pembuangan
jenazah. Tidak heran jika dalam
beberapa tahun saja Bumi Ayu telah
dipenuhi dengan tulang belulang yang
bertimbun bahkan mulai menggunung.
Bau di tempat itu tidak dapat
dilukiskan. Kenyataan ini tentu saja
sangat mengganggu pernafasan para
pekerja paksa yang banyak didatangkan
dari daerah Bumi Ayu dan Cijulang.
Tapi siapa yang akan perduli? Tidak
ada seorang pun yang memperdulikan
nasib mereka. Kalau pun ada di antara
para pekerja paksa yang berusaha
melarikan diri. Tidak seorang pun di
antara mereka yang dapat menyelamatkan
diri. Mereka yang ketahuan oleh algojo
segera dihabisi nyawanya. Kalaupun ada
yang selamat sampai ke kampung
halaman. Maka dalam waktu yang sangat
singkat para algojo itu menyeret
mereka untuk menerima hukuman mati
atas pelarian nekad itu.
Siang panas terasa membuat
rengat batok kepala. Para pekerja
paksa itu seakan tidak mengenal rasa
letih, terus melaksanakan tugasnya.
Jika di antara para pekerja itu ada
yang malas. Maka para algojo dengan
kejamnya langsung mengayunkan
cambuknya.
Pada suasana seperti itu, di
kejauhan sana terdengar derap langkah
suara kuda. Penunggangnya adalah dua
orang laki-laki berbaju serba hitam
bertampang tirus. Sedangkan kuda yang
berada paling depan ditunggangi oleh
seorang laki-laki berpakaian
bangsawan. Semakin lama tiga ekor kuda
tunggangan ini semakin dekat dengan
tempat tujuan.
Para algojo begitu mengetahui
siapa yang datang langsung menyongsong
kehadiran mereka dengan sikap penuh
rasa hormat. Tidak sampai sepemakan
sirih. Sampailah rombongan penunggang
kuda ini di lokasi penggalian emas
Bumi Ayu. Tiga ekor kuda tunggangan
berhenti dengan tiba-tiba. Dua orang
penunggangnya melompat turun, sedang-
kan laki-laki berpakaian bangsawan
tetap duduk di atas pelana kudanya.
Seraya memperhatikan para algojo itu
dengan tatapan sulit dimengerti.
"Bagaimana hasil kerja selama
satu purnama ini, Dasa Reksa?" tanya
saudagar Bergola kepada kepala algojo
"Maafkan kami, Tuan. Pendapatan
biji-biji emas agak merosot. Semua ini
dikarenakan semakin menipisnya jumlah
pekerja. Menurut hemat hamba, kita
merasa perlu menambah jumlah peker-
ja..." ujar laki-laki berbadan tegap
itu berpendapat.
"Hmm.... Seharusnya tidak kau
bicarakan itu padaku. Kalian boleh
mencari tambahan tenaga kerja di mana
saja. Kau bisa pergi ke Argopuro,
Ciamis atau Tungku Jajar." kata
saudagar Bergola ketus.
"Ba... baik... Tuan. Kami segera
melaksanakannya dengan baik!" kata
kepala algojo itu menyanggupi.
"Bagus! Kalian memang harus
selalu mengabdi kepadaku!" dengus
saudagar Bergola Mungkur. Seraya
kemudian beralih ke arah Giwang Rana
dan Bajar Saketi. Yaitu kedua tangan
kanannya yang sedang mengambil emas
hasil para pekerja paksa itu.
Ada senyum sinis menghias di
bibir si laki-laki. Tidak lama ia
segera memeriksa emas di dalam
bungkusan yang diserahkan oleh kedua
tangan kanannya.
"Hasil bulan ini tampaknya
memang agak berkurang banyak, Dasa
Reksa. Kuingatkan padamu agar tidak
mempermainkan aku. Jika ternyata kau
menyembunyikan sebagian hasil
pencarian ini. Seumur hidup kau
dan kawan-kawanmu benar-benar akan
kubuat menyesal!"
Rupanya ancaman saudagar Bergola
Mungkur bukan sekedar ancaman kosong
belaka. Karena ternyata Dasa Reksa
sang kepala algojo tampak sangat
ketakutan sekali.
"Saya mana mungkin berani
mempermainkan Tuan. Selama ini saya
sudah berusaha jujur kepada Tuan. Cuma
karena belakangan para pekerja di sini
banyak yang kojor menemui ajal. Itu
sebabnya tenaga di lapangan menjadi
sangat berkurang sekali."
"Aku percaya kata-katamu, Dasa
Reksa. Untuk itu kuperintahkan pada
kalian segera mencari tenaga tambahan.
Purnama mendatang hasil yang kalian
peroleh harus semakin bertambah
meningkat!"
"Perintah segera kami laksa-
nakan, Tuan..." kata Dasa Reksa.
Saudagar Bergola Mungkur sama
sekali tidak menyahut. Malah setelah
memberi isyarat pada Giwang Rana dan
Banjar Saketi mereka memacu kuda-kuda
tunggangan itu menuju daerah Cileles.
****
"Uhukk...! Uhuuuuukk..! Wuaakh..
kupikir benda hitam panjang yang
bergelantungan itu sarang lebah. Tidak
tahunya…!" Pemuda tampan berbaju biru
muda memakai ikat kepala warna biru
belang-belang kuning ini hentikan
ucapannya. Perutnya mual seperti
hendak muntah. Lalu tanpa tertahankan
lagi.
"Hoeek... hoeek...! Tuh kan,
muntah betul...!” desisnya. Seraya
lalu menyeringai dan garuk-garuk
belakang kepalanya. Sekali lagi ia
memperhatikan mayat-mayat yang ter-
gantung di pinggir jalan menuju kota
kecil Malaya. Mayat-mayat itu rata-
rata kepala menghadap ke bawah, kaki
terikat pada cabang pohon. Ribuan
lalat tampak mengerumuni. Sebagian di
antara mereka telah membusuk. Tapi
tidak jarang ada pula yang masih utuh.
Pemuda tampan yang tidak lain
adalah Pendekar Blo'on ini memper-
hatikan mayat-mayat itu dengan kening
berkerut.
"Kulihat ada kematian di mana-
mana. Siapa mereka? Melihat luka-luka
di tubuhnya rasanya mereka disayat-
sayat dengan senjata yang teramat
tajam. Apakah mungkin mereka ini meru-
pakan orang-orang dari rimba
persilatan? Rasanya...!" Suro Blondo
usap-usap keningnya yang berke-
ringat. Ia melihat sebuah pedang pen-
dek tergeletak di bawah salah satu
mayat yang tergantung.. Namun sama
sekali ia tidak punya, kebera-
nian apa-apa untuk memungutnya.
"Ini merupakan pekerjaan yang
sangat keji.... Siapa pun pelakunya.
Siapa pun orangnya. Pastilah merupakan
seorang pembunuh berdarah dingin."
Suro Blondo lagi-lagi terdiam. Sayup-
sayup ia mendengar suara jlenting
sesuatu di kejauhan sana. Pendekar
Blo'on berusaha mempertajam pendenga-
rannya. Suara denting seperti senjata
sedang beradu terdengar semakin ber-
tambah jelas. Suro Blondo penasaran.
Hingga kemudian ia memutuskan untuk
mendekati sumber suara.
"Hhh...!" Dengan mengandalkan
ilmu lari cepat Kilat Bayangan yang
sudah mencapai sempurna. Bergeraklah
Suro Blondo dengan kecepatan yang
sangat sulit diikuti kasat mata.
Tidak sampai sepemakan sirih,
sampailah pemuda itu di atas sebuah
dataran berbukit-bukit. Pemuda tampan
bertampang tolol ini tidak langsung
menghampiri seorang laki-laki tua
bertelanjang dada dan berambut riap-
riapan. Melainkan bersembunyi di
sebuah tempat yang agak terlindung.
Sambil menahan nafas ia terus
memperhatikan laki-laki bertelanjang
dada yang ternyata sedang membuat
patung ukiran terbuat dari batu cadas.
Anehnya, laki-laki ini hanya mempergu-
nakan kuku-kuku tangannya untuk
membentuk bagian-bagian tertentu badan
patung. Suro Blondo leletkan lidah dan
usap-usap keningnya. Beberapa kali
terdengar decak kagum dari mulut si
pemuda.
"Cek. Ceek! jika saja dia tidak
memiliki ilmu dan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat sempurna. Tidak
nantinya ia mampu menggores batu cadas
itu dengan ujung jemarinya." gumam
Suro Blondo. Mata terbeliak lebar
terlebih-lebih setelah melihat betapa
bagusnya patung yang dibuatnya.
"Melihat badannya yang reot
seperti rumah hendak roboh. Mustahil
rasanya ia mampu melakukan pekerjaan
yang memerlukan ketekunan dan tenaga
dalam yang tinggi. Dan hasil pahatan
itu juga sangat bagus sekali. Ia pasti
seorang pengukir patung yang sangat
terkenal. Tapi untuk apa patung
sebagus itu dibuatnya? Lagipula
bagaimana membawanya? Patung itu ingin
dijualnyakah?" kata Pendekar Blo'on
lagi. Kemudian ia garuk-garuk belakang
kepalanya yang tidak gatal.
Pendekar Blo'on dengan perasaan
takjub yang tidak ada habis-habisnya
terus memperhatikan si pembuat patung
yang tampak sibuk menyelesaikan wajah
patung yang hanya tinggal menghalu-
skannya saja. Dalam keadaan seperti
itu, tiba-tiba saja Suro, Blondo
mendengar kakek pembuat patung bicara.
Tapi suaranya seperti orang yang
sedang menyanyi. Pemuda itu pasang
kuping dan gelang-gelengkan kepalanya.
Hidup delapan puluh tahun! Badan
renta dimakan hari dan waktu. Menunggu
si anak tunggal datang, tuntut ilmu
ambil kepandaian. Yang ditunggu pendek
umur pendek nafas. Tinggallah si tua
renta putus karapan patah asa. Hidup
terlunta-lunta menunggu pengganti.
Tetap menunggu tidak seorang pun yang
datang, dasar sial tua renta tidak
berjodoh!
Suro Blondo tercenung. Kakek tua
itu barusan mengucapkan kata-kata yang
tidak dimengertinya sama sekali. Anak
tunggal? Siapakah yang dimaksudkannya?
Apakah kakek pematung itu mempunyai
anak? Ataukah ia hanya seorang
pematung yang mempunyai otak tidak
waras?
Keheranan di hati pemuda berbaju
biru muda ini belum juga lenyap ketika
dari arah utara terdengar suara derap
langkah kuda yang dipacu sedemikian
cepat menuju ke arah pematung
tersebut.
Si kakek tua bersikap acuh tak
acuh, ia tetap meneruskan pekerjaan-
nya. Dan kini ia mulai memoles badan
patung batu dengan sejenis pewarna
berwarna coklat tua.
Penunggang kereta kuda semakin
lama semakin mendekat ke arahnya.
Karena jalanan itu sempit. Maka ketika
ketiga rombongan berkuda itu sampai di
depan si kakek. Maka ketiga penumpang
kuda langsung memperlambat kuda
mereka. Salah seorang laki-laki di
depannya berpakaian bangsawan hampir
saja membentak, tapi begitu melihat
patung yang sedang diwarnai oleh si
kakek langsung katupkan mulut dan
telan ludah.
Raut wajahnya yang selalu
menyimpan ketamakan itu tampak berubah
memerah. Wajah patung tampak tampan.
Otot-otot tubuhnya bertonjolan, dada-
nya bidang. Bagian perutnya yang
menonjol tampak tegang dan berukuran
cukup besar. Dalam hati penunggang
kuda berpakaian bangsawan ini ber
tanya-tanya, patung siapakah yang
dibuat oleh si kakek tua ini?
"Jalan di sini begitu lebar.
Kalau kalian mau lewat, silakan
saja!" kata si kakek tanpa berpaling
sedikitpun.
Pengawal laki-laki berpakaian
bangsawan hampir saja membentak gusar
jika saja laki-laki di depannya tidak
cepat memberi isyarat agar pengawal
merangkap tangan kanan itu diam.
"Orang tua, siapakah kau ini?"
tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa
pernah mengalihkan perhatiannya pada
patung yang sedang diwarnai oleh si
kakek. Sama sekali si pematung tidak
menjawab, bahkan menoleh pun tidak.
Tapi saudagar Bergola Mungkur tetap
berusaha bersabar, walaupun di dalam
hatinya mencaci maki. Bagaimana tidak?
Ia adalah orang yang sangat disegani
di kota Malaya karena kekayaan dan
pengaruhnya yang besar terhadap
pembesar-pembesar Pariangan. Jika
hanya seorang pematung tidak mau
menjawab pertanyaannya, berlagak tuli
seperti babu. Tentu ia merupakan orang
yang sangat istimewa atau paling tidak
memiliki keterampilan yang sangat
tinggi.
TIGA
"Kakek tua! Karyamu sungguh
bagus sekali. Aku menyukai patung yang
sedang kau buat...!" kata saudagar
Bergola Mungkur mengulangi ucapannya.
Tanpa menoleh pematung tua itu
menyahut "Sesuatu yang bagus belum
tentu menyenangkan. Sesuatu yang
disukai, belum tentu membawa kepuasan
dan kebahagiaan."
"Jika aku ingin memilikinya,
apakah kau mau memberikannya padaku?"
tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa
mengerti apa arti ucapan si kakek.
Pematung tua gelengkan kepala-
nya.
"Bagaimana jika aku membelinya?"
tanya saudagar kaya itu penasaran.
"Patung ini kubuat bukan untuk
dijual atau kuberikan kepada siapa
pun. Jadi maafkan saja jika aku tidak
dapat memenuhi permintaanmu, Saudara!"
ujar pematung tua tanpa pernah ber-
paling dari pekerjaannya.
"Bagaimana jika dua kan-
tung emas murni ini kita tukar
dengan patung buatanmu, orang tua?"
kata saudagar Bergola Mungkur. Seraya
menggerakkan dua kantung emasnya
sehingga menimbulkan suara bergemerin-
cingan. Giwang Rana dan Banjar Saketi
pelototkan matanya.
Mereka sama sekali tidak
menyangka majikannya menjadi keran-
jingan setelah melihat patung buatan
si kakek tua. Gilanya lagi dua kantung
emas yang tidak ternilai harganya
hendak ditukar dengan sebuah patung
batu. Walaupun memang patut diakui
patung itu memiliki kharisma yang
sangat hebat. Bukankah jika pematung
tua tidak menjualnya. Hanya dengan
memberi perintah pada mereka, ia dapat
membereskan si pematung untuk kemudian
memiliki patung batu itu tanpa ada
yang berani menganggu?
"Apakah kau seorang saudagar?"
tanya si kakek dengan sikap acuh tak
acuh.
"Benar, Aku adalah saudagar yang
paling kaya di kota Malaya. Jika kau
merasa dua kantung emas ini tidak
sepadan dengan patung buatanmu itu.
Aku dapat menyuruh orangku untuk
mengambil dua kantung emas lagi
sebagai tambahan."
Pematung tua kerutkan kening
geleng-gelengkan kepala berulang-
ulang.
"Sudah kukatakan dengan jumlah
emas berapapun harganya aku tidak akan
menjualnya. Patung ini adalah bagian
dari hidupku!"
"Orang tua, kami harap kau tidak
usah bertingkah di depan kami. Dua
kantung emas adalah jumlah yang tidak
sedikit. Apakah kami harus memaksamu
untuk menyerahkan patung itu pada
majikanku?" bentak Giwang Rana. Dan
rupanya laki-laki bergiwang dan ber-
tampang angker ini sudah tidak dapat
lagi mengendalikan akalnya.
Saudagar Bergola Mungkur sendiri
yang merasa telah kehabisan kata-kata
untuk membujuk pematung tua hanya
berdiam diri menunggu reaksi.
Untuk pertama kalinya pematung
tua palingkan wajahnya dan memandang
lekat-lekat ke arah Giwang Rana dan
Banjar Saketi. Ekspresi wajahnya tetap
datar tidak menunjukkan kemarahan
sedikitpun.
"Kalian menjadi kaya adalah
karena tenaga dan keringat darah
orang-orang yang tidak berdosa. Jika
kuterima tawaranmu, sama artinya aku
melumuri hasil karyaku dengan darah
orang-orang yang terbunuh di goa
penambangan Bumi Ayu! Aku pematung
kelana setiap saat selalu mendengar
suara jeritan arwah-arwah orang yang
mati sebelum waktunya. Berlalulah
kalian dari hadapanku! Kehadiran
kalian hanya akan membuat udara di
sini menjadi pengap dan berbau dosa."
Bukan saja ketiga penunggang
kuda ini yang dibuat terkejut. Tapi
juga Pendekar Blo'on yang bersembunyi
di atas bukit di balik batu cadas
terkesima. Entah siapa laki-laki aneh
itu? Namun sungguh mengherankan ia
mengenali sepak terjang penunggang
kuda yang ternyata merupakan seorang
saudagar kaya ini.
"Orang tua! Kau benar-benar men-
cari penyakit telah berani mencampuri
urusan kami!" bentak saudagar Bergola
Mungkur tiba-tiba.
Tanpa berpaling dari patung yang
sedang dipolesnya. Pematung Kelana
tersenyum dingin.
"Manusia yang memiliki jiwa
besar adalah orang yang berani
mengakui setiap kesalahannya. Tidak
perduli apakah kesalahan itu dibuat
oleh tua bangka sepertiku ini. Tapi
kebanyakan orang lupa, dan berusaha
mencari dalih dengan menyebar fitnah
untuk menutupi kesalahan sendiri.
Alangkah ruginya manusia semacam itu
kelak di kemudian hari!"
"Keparat! Aku tidak membutuhkan
khotbahmu!" maki saudagar dari kota
Malaya itu geram bukan main.
"Aku adalah orang yang paling
tidak suka mendengar kata-kata yang
kotor! Sebaiknya kalian menyingkirlah
dari hadapanku!" perintah pematung
tua, suaranya pelan namun tegas.
"Bangsat hina! Bunuh dia!" pe-
rintah saudagar Bergola Mungkur, lalu
memberi aba-aba pada Banjar Saketi dan
Giwang Rana.
Serentak kedua laki-laki bertam-
pang beringas ini menggebrak kuda
tunggangannya. Kuda itu melabrak ke
arah Pematung Kelana yang tetap duduk
ngejeplok di depan patung. Lalu kaki
Giwang Rana dan Banjar Saketi meng-
hantam dada dan kepala Pematung
Kelana. Namun sebelum kedua kaki
lawannya mencapai sasaran. Dengan
gerakan yang sangat sulit diikuti
kasat mata. Pematung tua gerakkan
tangannya ke arah bagian selangkangan
kaki kuda.
Dengan tidak terduga-duga, kuda-
kuda itu melonjak ke atas sambil
meringkik-ringkik kesakitan. Giwang
Rana dan Banjar Saketi yang tidak
menyangka akan mengalami nasib sial
langsung terpelanting dari punggung
kuda. Untung mereka rata-rata memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga
dalam keadaan yang sangat terdesak itu
mereka masih sempat bersalto dan
menjejakkan kedua kakinya tidak jauh
dari pematung tua. Dua ekor kuda
tunggangan berlari kencang meninggal-
kan majikannya. Sementara Giwang Rana
dan Banjar Saketi menjadi marah bukan
main.
"Tua keparat! Tidak ada jalan
bagimu terkecuali mati! Sekarang kau
katakan pada kami kematian yang
bagaimana yang kau inginkan?" teriak
Banjar Saketi.
"Kematian adalah urusan Tuhan!
Pergilah sebelum darah kalian tercecer
membasahi tanah gersang yang sangat
suci ini!"
"Juih...!" Giwang Rana meludah.
"Sriing!"
Dilain kesempatan laki-laki ber-
tampang pemberang ini telah menghunus
senjatanya berupa sebilah kapak ber-
warna kuning mengkilat. Sekali lirik
Pematung Kelana sudah dapat melihat
bahwa senjata di tangan lawan-lawannya
mengandung racun yang sangat keji.
Tapi dasar laki-laki aneh, sungguhpun
lawan telah menghunus senjata yang
sangat berbahaya. Namun ia tetap
bersikap tenang-tenang saja bahkan
tetap terpaku di tempatnya.
Merasa diremehkan, sambil meng-
geram aneh Giwang Rana dan Banjar
Saketi melompat ke depan, lalu
bacokkan senjata di tangannya membelah
kepala Pematung Kelana, sedangkan
kampak lainnya menebas bagian ping-
gangnya. Angin dingin menderu menyer-
tai berkelebatnya kapak di tangan
lawannya. Serangan itu cepat bukan
main. Sehingga Pendekar Blo'on yang
melihat keadaan ini terpaksa menahan
nafas dan pentang mata lebar-lebar
"Heaaa...!"
"Wuus!"
"Aaaaakkkh...!"
Tiba-tiba terdengar suara pekik
kesakitan. Dua sosok tubuh terpelan-
ting dengan arah berlawanan. Di dekat
patung, si kakek tua bangkit berdiri
sambil sunggingkan seringai aneh.
Entah bagaimana caranya dua kapak di
tangan masing-masing lawannya kini
telah berpindah tangan. Matanya yang
agak cekung memandang ke arah lawan-
lawannya yang sedang berusaha bangkit
berdiri.
Wajah Giwang Rana dan Banjar
Saketi sebentar memerah sebentar
berubah pucat. Selama malang melintang
di rimba persilatan belum pernah
mereka mengalami nasib sial seperti
sekarang ini. Apalagi hanya dalam
gebrakan pertama saja mereka sudah
dibuat tidak berdaya!
Namun untuk mundur, merupakan
satu pantangan bagi mereka. Apalagi
mengingat di tempat itu ada majikan
mereka. Sambil menelan ludah, tiba-
tiba saja tangan kanan saudagar
Bergola Mungkur mencabut keris ber-
lekuk tiga di bagian pinggang kiri.
Keris itu diputarnya sedemikian rupa,
sehingga membentuk sebuah bayang-
bayang berwarna putih berkilauan.
"Hap...!"
"Mampuslah kau!" teriak Banjar
Saketi dan Giwang Rana hampir
bersamaan. Tubuh mereka melesat ke
depan laksana kilat. Keris di tangan
membabat dan menusuk ke arah sepuluh
jalan darah yang mematikan.
Tapi ternyata Pematung Kelana
adalah manusia serba bisa yang bukan
saja memiliki ilmu kepandaian mematung
yang handal. Tapi juga mempunyai
simpanan jurus-jurus silat yang sangat
mengagumkan.
Belum sempat senjata lawannya
menyentuh tubuhnya. Ia sudah melesat
ke udara. Senjata rampasan dilempar-
kannya dengan kecepatan sangat sulit
diikuti kasat mata.
"Jiiing!"
"Traang!"
"Waarkhgh...!" Giwang Rana dan
Banjar Saketi menjerit setinggi
langit. Tubuh mereka mengejang kaku.
Kapak beracun yang dilemparkan oleh
pematung tua menghunjam di dada mereka
dan langsung menembus di punggung.
Mata kanan saudagar Bergola Mungkur
terpentang lebar bagai melihat setan
perempuan telanjang.
Hanya sekejap saja tubuh mereka
berkelojotan, kemudian terdiam untuk
selama-lamanya. Kejut di hati saudagar
kota Malaya itu bukan alang kepalang.
Di atas bukit Suro Blondo lelet-
kan lidah dan garuk-garuk kepalanya.
Sementara itu Pematung Kelana
kembali duduk ngejeblok dan meneruskan
pekerjaannya yang tertunda. Sikapnya
begitu tenang seakan tidak pernah
terjadi apa-apa di situ. Dari rasa
kecut, Saudagar Bergola Mungkur beru-
bah menjadi sangat marah sekali.
"Manusia hina dina keparat! Kau
benar-benar tidak memandang muka sama
sekali padaku! Kalau kau tidak punya
nyawa rangkap, sebaiknya kau berlutut
di depanku dan serahkan patung marmer
itu secepatnya!"
Bukan menjawab, pematung tua
malah terkentut-kentut. Lalu terdengar
suara batuk-batuk dari mulutnya yang
tertutup kumis memutih.
"Ah... lega rasanya. Punya perut
harus bisa kentut, supaya jangan sakit
pemburut! Eeh... kau barusan bilang
apa?" tanya Pematung Kelana tanpa
memalingkan muka sedikit pun.
"Bangsat hina! Makan nih
pedangku...!" teriak sang saudagar.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat
ke udara. Pedang di tangannya
mengeluarkan suara mendengung. Tapi
tiba-tiba saja dengan sikap acuh tak
acuh Pematung Kelana melibaskan
tangannya ke samping kanan. Angin
kencang laksana bara menderu-deru.
Angin kencang berhawa panas
menghanguskan itu melabrak Bergola
Mungkur hingga membuatnya jatuh
terjengkang.
"Akkh..."
"Bruuk...!"
"Hhrrrk...!"
Bergola Mungkur bangkit berdiri.
Sekujur tubuhnya bergetar hebat, tanda
amarahnya sudah memuncak sampai ke
ubun-ubun. Pendekar Blo'on yang
melihat kejadian itu bertepuk tangan.
Hanya saja tidak menimbulkan suara
sama sekali.
Sementara itu Bergola Mungkur
sudah menerjang kembali dengan
pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sejengkal lagi pedang berwarna
putih mengkilat itu hampir memutus
urat leher Pematung Kelana. Tiba-tiba
si kakek menggerakkan tangannya ke
bagian dada lawan. Gerakan yang
dilakukannya tampak begitu lambat.
Tapi akibatnya sungguh sangat luar
biasa sekali.
"Breet!"
"Iiih...!" Bergola Mungkur
terpekik kaget.
Baju saudagar kaya ini robek
besar bahkan seperti hangus terbakar.
Jika saja Pematung Kelana menghendaki,
tentu sejak tadi nyawanya melayang.
Sekarang sambil melangkah ter-
huyung-huyung ia memperhatikan pema-
tung tua seakan tidak percaya dengan
kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.
Tapi ia segera tahu gelagat. Kekayaan-
nya menumpuk, siapa sudi kehilangan
nyawa?
"Pergilah sebelum kesabaranku
benar-benar habis!" Pematung Kelana
menggeram.
"Bbb... baiklah, aku akan pergi.
Tapi kau tunggulah nanti pembalasan
ku!" kata Bergola Mungkur. Seraya
cepat-cepat mendapatkan kudanya,
kemudian meninggalkan Pematung Kelana
sambil memacu kudanya sekencang
mungkin. Dan ternyata kuda tunggangan-
nya entah mengapa sudah tidak dapat
berlari kencang lagi. Sepanjang
perjalanan terus terkencing-kencing
dan meringkik-ringkik tidak teratur.
EMPAT
Pematung Kelana menarik nafas
pendek. Ia kemudian duduk kembali di
depan patung batu marmer yang
berkilat-kilat terkena sinar matahari.
Suro Blondo usap-usap keningnya
yang berkeringat. Ia sekarang menjadi
ragu apakah ia harus menemui pematung
tua itu atau berlalu? Tapi bila
mengingat bahwa dirinya tidak punya
urusan dan kepentingan apa-apa dengan
laki-laki aneh ini. Maka tidak lama
setelah itu ia pun memutuskan segera
berlalu. Namun baru beberapa langkah
ia meninggalkan tempat persembunyian-
nya, tiba-tiba sebuah suara
memanggilnya.
"Hei... pemuda bertampang geb-
lek! Sejak tadi kau mengintip di situ,
datang tidak permisi kini pergi tidak
memberi salam. Kau benar-benar manusia
tolol yang tidak tahu peradatan!"
"Eeh... mati aku...!" Suro
Blondo garuk-garuk punggung kepalanya.
Kemudian senyumnya yang jenaka pun
mengembang. "Bagaimana ini, kakek itu
rupanya mengetahui kehadiranku.
Sungguh! Walaupun sudah tua matanya
belum lamur. Sebaiknya aku hampiri
saja, ah...!"
Sambil tersenyum-senyum, Suro
Blondo datang menghampiri. Sampai di
depan Pematung Kelana seraya menjura
hormat. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk
hingga nyaris menyentuh tanah.
"Maafkan aku, kakek tua. Karena
datang tidak memberi salam dan ingin
pergi tapi ketahuan...."
"Bocah goblok! Kapan aku kawin
dengan nenekmu? Seenaknya saja kau
memanggilku kakek?!" Pematung Kelana
bersungut-sungut. Sebagaimana
kebiasaannya kali ini pun ia tidak
berpaling dari pekerjaannya.
"Lalu apakah aku harus memang-
gilmu, Mbah, Engkong, Buyut, orang tua
keriputan, tua jelek atau manusia aneh
tukang ukir batu?" kata Suro Blondo
sambil menahan tawa.
Sedikitpun ekspresi wajah Pema-
tung Kelana tidak menunjukkan
perubahan sama sekali. Hanya wajahnya
saja agak dimiringkan. Sehingga panda-
ngan mereka saling bertemu.
Suro Blondo alias Pendekar
Blo'on melangkah mundur, bibirnya
yang nyaris tersenyum kini terkatup
rapat. Betapa sorot mata laki-laki tua
di depannya tampak begitu berwibawa.
Si pemuda merasa tidak kuat berlama-
lama menatapnya. Ia kemudian beralih
ke arah patung. Pemuda ini lebih
terkesima lagi setelah melihat betapa
bagusnya ukiran patung batu itu.
Dadanya bidang, otot-otot di tubuh
patung bersembulan melambangkan
seorang pemuda perkasa. Hanya pemuda
ini menjadi malu sendiri ketika
melihat ke bagian bawah perut patung.
Di sana ada daging yang
berlebih. Dan daging itu tampak tegang
seukuran lengan bayi, tegak terpancang
menghadap ke langit.
"Walah! Patung ini memang indah.
Tapi mengapa harus dibuat porno?" Suro
Blondo nyengir, lalu garuk-garuk
kepala.
"Bocah! Kuminta hentikan oceha-
nmu, tutup mulutmu dan jangan
tersenyum macam orang gila di
depanku!" bentak Pematung Kelana.
Tiba-tiba saja suara tawa Suro
Blondo meledak. Perutnya terguncang
karena berusaha menahan tawa.
"Diam...!" bentakan menggelegar
itu menghentikan tawa Pendekar Blo'on
seketika itu juga.
"Kau siapakah?"
"Namaku Suro Blondo, Kek!"
sahut Pendekar Blo'on.
"Apakah kau mempunyai gelar?"
"Gelarku... ah bagaimana,
ya...!" Suro Blondo menggaruk belakang
kepalanya berulang-ulang.
"Katakan saja kalau kau punya
gelar atau julukan!" desak Pematung
Kelana Bambil memperhatikan pemuda di
depannya dengan kening berkerut.
"Aku Pendekar Blo'on...!"
jawabnya polos.
"Pantas! Tampangmu saja sudah
membuktikan bahwa kau seorang pemuda
tolol. Hmm... akhir-akhir ini aku
memang sering mendengar namamu! Oh
ya... apakah kau mau jika patung ini
kuberikan padamu?"
Suro Blondo terperanjat.
Saudagar Bergola Mungkur saja
yang berniat membeli patung itu dengan
dua kantung emas ditampik oleh
Pematung Kelana. Mustahil sekarang
Suro Blondo dapat menerimanya. Lagi-
pula ia tidak berminat dengan segala
macam patung, sungguhpun karya
Pematung Kelana ini sungguh hebat dan
mendekati sempurna tanpa cacat dan
kekurangan.
"Bagaimana?"
"Wah... saya tidak berminat
dengan patungmu, Kek." jawab si
pemuda, tegas.
"Mengapa? Apakah patung ini
tidak bagus, menurutmu?"
"Patung itu memang bagus. Tapi
aku mana berani terima pemberian yang
sangat berharga ini." jawab si pemuda
polos.
"Hmm, ternyata walaupun tampang-
mu tolol, tapi kau merupakan seorang
pemuda yang cukup cerdik. Rupanya kau
tahu bahwa setiap keindahan yang kita
lihat ternyata tidak selalu menjanji-
kan kebaikan. Rupa cantik belum tentu
hati dan pribadinya cantik. Tampang
tidak selalu mencerminkan hati. Jadi
kau benar-benar tidak mau menerima
pemberianku ini?"
Suro Blondo golang-golengkan
kepalanya.
"Apakah kau tidak menyesal, jika
nanti aku memberikannya kepada orang
lain?"
"Jika itu memang sudah kehendak-
mu, buat apa kusesalkan?"
"Kalau aku punya satu permintaan
untukmu, apakah kau mau melaksanakan-
nya?" tanya Pematung Kelana.
"Tergantung baik buruknya
permintaan itu. Jika kau suruh aku
mencuri, siapa sudi. Jika kau suruh
merampok tentu aku kapok. Jika permin-
taanmu baik dan aku mampu
melakukannya, tentu dengan senang hati
aku menjalankannya."
Pematung Kelana tersenyum, namun
hanya sesaat saja. Dilain waktu
sikapnya telah berubah serius. "Pergi-
lah kau ke Bumi Ayu...!"
"Heh.... Bumi Ayu?"
"Betul!"
"Ada apa di sana?" tanya Suro
Blondo tidak mengerti.
"Kau tidak layak bertanya!"
"Sialan. Tua bangka ini sangat
angkuh sekali. Dia yang suruh pergi,
tapi tidak mau kasih tahu apa yang
harus kuperbuat di sana?" gerutu
Pendekar Blo'on.
"Aku tidak akan pergi jika aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan di
sana...!" kata Pendekar Blo’on
akhirnya dengan perasaan jengkel.
"Ha ha ha...! Kau rupanya curiga
juga padaku. Perlu kau ketahui, bahwa
saudagar yang menawar patungku tadi
merupakan orang kaya yang telah
memperalat orang lain untuk mengambil
biji-biji emas di Bumi Ayu! Hampir
setiap hari banyak di antara mereka
yang menemui ajal secara menyedihkan.
Mayat mereka dicampakkan begitu saja,
hingga tempat itu bertimbun bangkai.
Sudah menjadi tugasmu Suro, untuk
menghentikan mereka. Jika usahamu itu
berhasil. Maka kau juga harus
melenyapkan saudagar Bergola Mungkur.
Karena dia merupakan dalang dari semua
penderitaan mereka."
"Mengapa tadi Kakek tidak
membunuhnya?"
"Hmm, aku memang sengaja memberi
kesempatan untuk memperbaiki sepak
terjangnya. Lagipula aku berpantang
membunuh."
"Tapi terhadap dua ekor anjing
jelek itu mengapa Kakek dapat
melakukannya...?"
"Itu karena kepepet, dan mereka
memang sengaja mencari mati!"
Suro Blondo seka keningnya yang
berkeringat.
"Satu hal yang harus kau ingat!
Jika kau telah berhasil menghentikan
mereka. Maka kau harus mencariku!"
"Untuk apa?" tanya Pendekar
Blo'on terheran-heran.
"Sekarang belum waktunya bagiku
untuk menjelaskannya padamu. Nanti
jika tugasmu telah kau selesaikan."
"Baiklah, sekarang aku mohon
diri." kata si pemuda. Pematung Kelana
menganggukkan kepala sambil memandangi
kepergian Pendekar Blo'on.
****
Dua pemuda penunggang kuda
berbulu hitam pekat itu tampak saling
berlomba-lomba menuju ke daerah Bumi
Ayu. Melihat gelagat mereka yang dalam
keadaan tergesa-gesa. Tampak jelas
bahwa mereka ini mengemban tugas yang
cukup penting.
Siang malam mereka memacu kuda
tunggangan, seakan tidak mengenal
lelah sama sekali. Mereka baru
berhenti jika benar-benar merasa
lelah. Memang kalau dipikir-pikir
jarak yang mereka tempuh antara
Kuningan dan Bumi Ayu cukup jauh.
Sehingga dalam seminggu perjalanan
beberapa kali mereka terpaksa bermalam
di hutan.
Matahari sudah mulai condong di
ufuk barat pada saat mereka memasuki
daerah Bumi Ayu. Yaitu sebuah tempat
terakhir yang menjadi sasaran
pengejaran mereka.
"Sebaiknya kita bermalam di sini
saja, Kakang!" kata salah seorang di
antara pemuda itu. Pakaiannya yang
berwarna putih telah kotor berselimut
debu. Wajah pemuda itu juga sudah
tampak kelelahan sekali.
"Jarak kita dengan gua-gua
penggalian sudah sangat dekat sekali.
Aku yakin pemuda-pemuda dari Kuningan
yang diculik para algojo itu sampai
saat ini belum menjalani kerja paksa!
Bagaimana kalau kita lanjutkan saja?"
"Kakang Sapala! Kakang harus
ingat bahwa algojo yang menjaga
para pekerja paksa itu jumlahnya
tidak sedikit. Aku yakin mereka rata-
rata memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Kita membutuhkan waktu untuk
menghimpun tenaga yang terkuras selama
dalam perjalanan. Kalau tidak ada aral
melintang besok pagi kita dapat
melanjutkan perjalanan ini."
"Baiklah, Panji. Jika memang itu
sudah maumu, kali ini aku dapat
menurutinya...!"
Sapala dan Panji yang selama ini
dikenal sebagai Pendekar Kembar di
daerah Kuningan segera turun dari
punggung kudanya. Sebentar kemudian
mereka mulai mencari tempat yang cocok
untuk melewatkan malam.
"Hhuimm... adalah tolol, jika
laki-laki tidur dengan laki-laki. Jika
tidak mempunyai kelainan jiwa,
pastilah orangnya sudah sinting!"
Panji dan Sapala melengak kaget
ketika mendengar suara seorang
perempuan yang seakan datang dari
seluruh penjuru arah.
"Eeh... apakah kau mendengarnya,
Panji?" tanya Sapala.
"Suara perempuan itu?"
"Ya....!"
Sapala kemudian memandang ke
sekelilingnya. Aneh selain pohon-pohon
besar ia tidak melihat apa-apa di
situ.
"Lihat!" Panji tiba-tiba menun-
juk ke salah satu cabang pohon.
Ketika Sapala melihat ke arah itu.
Maka ia tersentak kaget.
Pada salah satu cabang pohon ia
melihat seorang gadis berbaju ungu.
Wajahnya cantik menggiurkan. Tubuhnya
padat montok di balik pakaian yang
sangat tipis mencolok. Gadis itu
langsung tersenyum genit ke arah
mereka. Bibirnya sengaja dibasah-
basahkan dengan lidahnya.
"Mengapa kalian memandangku
seperti itu?" tanya si gadis yang
tidak lain adalah Mustika Jajar atau
terkenal dengan julukan 'Iblis Betina
Dari Neraka'
Sapala dan Panji saling berpan-
dangan. Lalu dua-duanya memutar
langkah dan hendak berlalu meninggal-
kan Mustika Jajar yang masih tetap
duduk tenang di atas cabang pohon itu.
Namun baru saja tiga langkah,
tiba-tiba terasa adanya sambaran angin
menerpa wajah mereka. Panji dan Sapala
bersurut dua langkah ke belakang.
Sebagai pendekar muda, mereka langsung
bersikap waspada menjaga segala
kemungkinan. Tapi gadis berbaju ungu
yang sekarang berdiri menghadang di
depan mereka malah tersenyum memikat.
"Kalian salah sangka. Aku ber-
maksud menanyakan sesuatu pada
kalian!" ujar si gadis. Seraya
membungkukkan kepala, sehingga memper-
lihatkan kedua payudaranya yang putih
mulus menyembul ke luar.
"Siapa, Nisanak?" tanya Panji
curiga. Mustika Jajar tersenyum.
Betapa senyumannya menimbulkan gelora
yang menyentak-nyentak. Tapi hanya
dengan mengerahkan tenaga dalam, baik
Panji maupun Sapala dapat menghi
langkan semua pengaruh itu.
LIMA
"Aku adalah orang yang tersesat
dan ingin mencari jalan menuju daerah
Malaya. Eeh... apakah kalian
mengetahui arah yang hendak kutuju?"
tanya Mustika Jajar.
"Sebaiknya Nisanak menuju ke
arah timur!" sahut Panji bersungguh-
sungguh.
"Hmm, begitu. Kalau pulau Seribu
Satu Malam apakah kalian tahu di mana
letaknya?"
Sapala dan Panji menggelengkan
kepalanya.
"Maaf kami tidak tahu. Mendengar
namanya saja baru kali ini!" ujar
Sapala.
"Sayang sekali kalian tidak
tahu. Oh ya kalian sendiri hendak
kemana, dua pemuda gagah?"
Panji dan Sapala saling
berpandangan. Salah seorang di antara
mereka lalu menyahuti.
"Kami ingin pergi ke suatu
tempat!"
"Aku tahu kalian pasti mengejar
para algojo yang menculik beberapa
puluh pemuda untuk dikerahkan menjadi
tenaga pekerja paksa, bukan?" Gadis
berbaju ungu tiba-tiba saja tertawa
mengekeh. Lalu pinggulnya digoyang-
goyangkan membentuk sebuah gerakan
yang sangat merangsang.
Sapala dan Panji terkejut bukan
main. Bagaimana mungkin gadis ber-
pakaian merangsang ini dapat
mengetahui rencana perjalanan mereka?
Apakah tadi dia sempat mencuri dengar
apa yang mereka bicarakan?
"Kuharap Nisanak tidak
mencampuri segala urusan kami!" Sapala
memperingatkan.
"Hi hi hi...! Untuk apa mengejar
para algojo itu? Apakah kalian tidak
tertarik melewatkan malam yang indah
bersamaku malam ini? Hik hik hik!"
Dengan sengaja Mustika Jajar
melepas salah satu kancing bajunya,
sehingga sebagian payudaranya yang
kencang itu menyembul keluar. Sebagai
pendekar golongan lurus dan berhati
bersih, Sapala dan Panji cepat-cepat
palingkan muka ke arah lain dengan
wajah bersemu merah.
"Hah... kalian rupanya benar-
benar manusia banci. Baiklah, karena
kalian bermaksud pergi ke Bumi Ayu.
Tidak ada salahnya jika aku menjajal
sampai di mana kepandaian yang kalian
miliki!" Gadis berbaju ungu menutup
ucapannya dengan satu serangan dahsyat
yang tidak terduga sama sekali.
"Hiyaaa...!"
"Wuus!"
Sapala dan Panji yang tidak
menyangka akan mendapat serangan yang
sedemikian cepat ini langsung melompat
mundur. Serangan pertama luput, namun
mereka sempat merasakan sekujur tubuh
mereka seperti ditusuk-tusuk ribuan
batang jarum. Sadar lawannya menghen-
daki nyawa mereka. Maka tanpa sungkan-
sungkan lagi mereka mencabut pedang
yang miliki ketajaman pada kedua
sisinya.
"'Jurus Hati Suci'!" teriak
Panji memberi aba-aba. Pedang di
tangan kemudian diputar sedemikian
cepat. Angin menderu-deru. Hanya dalam
waktu yang teramat singkat senjata di
tangan mereka telah berubah menjadi
gulungan sinar putih yang sangat
menyilaukan mata. Kehebatan jurus yang
dimiliki oleh mereka adalah kecepatan
dan kekompakannya dalam melancarkan
setiap serangan. Demikian juga yang
terlihat pada saat itu. Namun lawannya
malah tertawa mengikik. Mustika Jajar
yang dalam keadaan terkurung sinar
senjata lawannya ini tampak melesat ke
udara.
"Haap...!"
"Shaaa...!"
"Wuuss!"
Segulung sinar hitam melesat
dari sekujur tubuh gadis berbaju ungu.
Sinar berhawa dingin menggidikkan itu
menyapu lawan-lawannya dengan hanya
dalam tempo sekedipan mata saja.
Panji dan Sapala terdorong ke
belakang. Mereka merasa sulit mengge-
rakkan pedangnya. Bahkan tubuh mereka
sendiri cepat terdorong, sungguhpun
mereka berusaha bertahan. Bahkan telah
mengerahkan tenaga dalam untuk mengha-
lau pengaruh serangan aneh itu, tetap
saja terlempar.
"Aaakh...!"
"Braak!"
Sapala dan Panji jatuh terban-
ting. Celakanya mereka sama sekali
tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
Adalah sungguh mengejutkan jika
pendekar seperti mereka berdua ini
dapat terkalahkan dengan mempergunakan
ilmu menotok jarak jauh.
Jika saja lawannya memang bukan
orang yang memiliki kepandaian yang
benar-benar sangat tinggi. Mustahil
mereka dapat dijatuhkan hanya dalam
waktu beberapa gebrakan saja.
"Bangsat pengecut! Lepaskan
kami...!" teriak Panji. Ia menjadi
berang karena ternyata lawannya telah
memperdayai mereka.
"Tidak ada gunanya kalian
memaki! Kalian telah menjadi tawanan-
ku!" dengus Mustika Jajar.
Gadis ini kemudian mengambil dua
utas dari kulit kayu waru. Sebuah
kecerdikan sekarang terlintas dalam
hatinya.
"Jika saudagar Bergola Mungkur
benar-benar merupakan orang yang kaya
raya. Mengapa aku tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk menguasai harta-
nya? Mengenai musuh besar guruku aku
dapat mencarinya kemudian. Tapi aku
juga harus ingat harta juga tidak
kalah menariknya dengan musuh besar.
Kedua pemuda ini dapat kujadikan
jembatan untuk mendekati saudagar
itu!"
Mustika Jajar tersenyum genit.
Seraya kemudian mendekati Sapala dan
Panji yang berhasil ditotoknya melalui
pertarungan yang sangat singkat itu.
"Kkk... kau mau apa?" tanya
Panji gugup.
"Hik hik hik! Kau tidak usah
takut. Aku tidak akan menggantung dan
membunuh kalian seperti orang yang
tidak mau kasih keterangan di jalan!
Paling tidak sampai di rumah saudagar
Bergola Mungkur!" dengus gadis itu.
Kemudian dengan cepat ia mengikat
tangan Panji dan Sapala.
"Perempuan iblis! Mau kau bawa
kemana kami?" teriak Sapala.
"Tenang saja. Karena kalian
bermaksud membebaskan para pekerja di
Bumi Ayu. Maka sekarang aku mau
menyeret kalian kepada saudagar itu
untuk terima hukuman yang setimpal!"
"Bangsat!"
"Memakilah sepuasmu! Aku memang
iblis dari neraka. Kalian tidak perlu
gusar!" ujar gadis baju ungu. Seraya
lalu melompat ke atas punggung kuda
milik Sapala. Tali yang mengikat kaki
kedua tawanannya disentakkannya. Tidak
lama kemudian melesatlah kuda tung-
gangan itu menyeret Sapala dan Panji.
Beberapa saat kemudian terdengar suara
tawa si gadis. Sementara di belakang-
nya terdengar jerit dan lolong
kesakitan dari mulut kedua pemuda yang
dalam keadaan tertotok itu.
****
"Jtar!"
"Jtarr!"
"Akkkh... ampun Pak... ampun
Tuan...!" suara pekik tangis itu
menggema meningkahi suara lecutan
cambuk di tangan algojo. Beberapa
pemuda bertubuh tegap yang baru saja
didatangkan dari Kuningan tersungkur
dengan tubuh bersimbah darah.
"Di sini tidak ada kesempatan
hidup lebih lama lagi bagi seorang
pemalas! Tugas kalian adalah
mengumpulkan biji-biji emas. Tidak
layak membantah apalagi membangkang!
Cepat kerja!" bentak kepala algojo
itu, lalu cambuk di tangannya
diayunkannya tinggi-tinggi.
"Jtar! jtaar…!"
"Walah... walah! Sakitt...!"
teriak salah seorang yang tangannya
dirantai ini kesakitan. Kepala algojo
dan kawan-kawannya tergelak-gelak.
Tampaknya semakin banyak darah yang
mengalir dari tubuh para pekerja paksa
ini semakin membuat puas hati mereka.
Apa yang terjadi di tempat itu
tampaknya tidak lepas dari perhatian
seorang pemuda berbaju biru muda.
Pemuda berambut panjang sebahu dan
memakai ikat kepala warna biru belang-
belang kuning ini menggeram marah.
Mulutnya pletat-pletot, kepala golang-
goleng ke kiri dan kanan.
"Algojo kepala botak itu tampak-
nya bukan manusia, tapi setan berkedok
yang selalu haus darah. Jika terus
kubiarkan, tingkah mereka jadi
kapiran!" desisnya.
Dilain kesempatan pemuda ini
melangkah tenang menghampiri para
algojo yang selalu siap dalam keadaan
waspada. Dasa Reksa Sebagai orang yang
mengepalai delapan orang anak buahnya
tentu saja menjadi heran sekaligus
terkejut melihat kemunculan Suro
Blondo. Dalam waktu yang sangat
singkat, mereka langsung mengurung
Pendekar Blo'on.
Pemuda berbaju biru muda ini
garuk-garuk kepalanya. Mulutnya nye-
ngir begitu melihat ulah laki-laki
bertubuh tegap ini.
"Heh... hari ini kita dapat
tenaga tambahan lagi. Walaupun tampang
kunyuk ini tolol. Tapi rasanya kita
dapat memanfaatkan tenaganya untuk
menggali emas dalam jumlah besar! He
he he... mimpi apa aku semalam?"
"Aha... aku yakin semalam kau
telah bermimpi buruk! Melihat badanmu
yang lebih besar dari kawan-kawanmu,
rasanya tidak salah penglihatanku,
kaulah orangnya yang bernama Dasa
Reksa? Apakah betul...?" tanya Suro
Blondo. Walaupun hatinya kesal bukan
main, tapi ia tetap tertawa-tawa.
Dasa Reksa sempat tersentak
kaget. Bagaimana mungkin pemuda ini
dapat mengetahui siapa namanya? Namun
setelah mengingat sepak terjangnya,
maka ia merasa tidak tertutup
kemungkinan nama besarnya telah
dikenal di seluruh penjuru persilatan.
"Kalau kau sudah tahu siapa aku.
Bicaralah yang sopan dan sekarang
berlutut di depan majikanmu ini.
Setelah itu menyalak tiga kali!"
perintah Dasa Reksa diikuti tawa anak
buahnya.
"Oh... maafkan aku majikan. Sama
sekali aku tidak melihat tingginya
gunung di depanku. Tapi bolehkah aku
bertanya pada majikan yang terhormat?"
ucap Suro Blondo sambil membungkuk-
bungkukkan badannya.
"Bagus! Rupanya kau tahu
bagaimana caranya menghargai orang
lain. Sekarang coba katakan apa yang
ingin kau tanyakan?" perintah Dasa
Reksa, lalu tersenyum. Sementara itu
satu dua orang algojo begitu melihat
keramahtamahan atasannya terhadap
pemuda bertampang tolol yang tidak
dikenal itu langsung membubarkan diri.
"Yang ingin kutanyakan adalah
berapa harga setiap kepala gundul di
sini?"
Dasa Reksa pentang mata lebar-
lebar dengan kening berkerut. Sedang-
kan pemuda di depannya kini. tampak
berubah serius.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas, Tuan!"
Suro Blondo mengusap keningnya.
"Kulihat di dataran rendah sebelah
sana tulang dan bangkai manusia
bertimbun. Kalau dihitung mungkin
jumlahnya lebih dari dua ratus biji,
eeh... orang maksudku! Berarti sudah
dua ratus nyawa melayang menjadi
tumbal secara sia-sia. Dan semua itu
adalah hasil kejahatanmu dan orang-
orangmu. Kini aku datang menagih
hutang nyawa orang-orang yang tidak
berdosa. Apakah keterangan ini sudah
cukup jelas bagimu?"
"Huh..., puih, pemuda edan dari
mana kau! Berani-beraninya kau
mengungkit-ungkit segala persoalan
yang terjadi di sini? Apakah kau pikir
kau mampu melakukannya?" bentak Dasa
Reksa. Wajah sampai kepala botaknya
berubah merah padam.
"Pruuuh... ha ha ha ha...! Dasa
Reksa. Sudah kukatakan aku datang
kemari ingin membebaskan orang-orang
di dalam gua penggalian emas. Tentu
saja sekalian mencopot kepala kalian
dari badan!"
"Keparat! Kau benar-benar tidak
tahu penyakit! Hiaaa...!" Disertai
satu teriakan melengking tinggi. Dasa
Reksa melompat ke depan. Tangannya
yang kokoh dan besar itu mencengkeram
ke bagian leher. Ia berpikir hanya
dengan sekali gebrak saja, tentu
kepala pemuda tampan bertampang tolol
terpotes dari kepalanya.
Tapi ternyata dugaan Dasa Reksa
benar-benar meleset. Laksana kilat
Suro Blondo yang telah memperhitungkan
segala sesuatunya ini berkelit ke
samping. Serangan itu hanya menyambar
tempat kosong. Karena saat menyerang
tadi Dasa Reksa mengerahkan tenaga
dalam yang cukup tinggi. Maka kini
setelah tidak mencapai sasarannya
membuat ia kehilangan keseimbangan.
Kesempatan itu dipergunakan oleh
Suro Blondo untuk membetot tubuh
lawannya. Dengan satu sentakan yang
sangat keras tubuh besar itu melayang
dan tersungkur mencium tanah keras.
Dasa Reksa menggerung. Hidungnya
yang membentur tanah patah dua dan
berubah lembam membiru. Sambil
meringis kesakitan ia bangkit berdiri.
Matanya merah beringas. Memandang
penuh kekejaman pada Suro Blondo. Yang
dipandang malah tersenyum sambil
garuk-garuk belakang kepalanya.
ENAM
"Anak-anak! Bunuh monyet ber-
tampang tolol itu!" teriak Dasa Reksa
pada anak buahnya yang ternyata telah
berkumpul kembali mengurung Suro
Blondo. Perintah sang ketua disambut
oleh bunyi lecutan cambuk yang
meledak-ledak di udara.
Dalam waktu singkat delapan
mata cambuk berderu menyerang Pendekar
Blo'on dari delapan penjuru arah.
Pemuda ini terpaksa melompat ke udara.
Lalu kerahkan jurus 'Serigala Melolong
Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Sekejap tubuh pemuda ini
sudah melompat-lompat atau terkadang
menari-nari membentuk gerakan-
gerakanya yang sangat aneh. Dilihat
sepintas lalu gerakan yang dilakukan
Suro Blondo ini memang sangat mirip
dengan gerakan monyet yang melompat-
lompat di atas pohon. Namun sungguhpun
demikian hingga sejauh itu tidak
satupun lidah cambuk yang dapat
menyentuh tubuhnya apalagi sampai
melukainya.
"Gila betul! Rupanya pemuda
bertampang tolol ini memiliki kepan-
daian yang dapat diandalkannya."
Membatin Dasa Reksa.
"Kerahkan jurus 'Seribu Bisa'!"
sang pimpinan berteriak-teriak memberi
aba-aba.
"Shaa...!"
"Buut!"
"Tar... tar...!"
Jurus-jurus yang dimainkan oleh
para algojo itu secara serentak
berubah. Suara cambuk meledak-ledak
memekakkan gendang-gendang telinga.
Semakin lama cambuk di tangan lawannya
tampak berubah menjadi banyak. Suro
Blondo leletkan lidah saat menyadari
posisinya dalam keadaan terdesak.
"Gila. Betul-betul gila! Aku
harus mengerahkan jurus 'Seribu
Siluman Kera Putih Mengecoh Harimau!"
batin Pendekar Blo'on dalam hati.
Namun sebelum ia sempat melak-
sanakan niatnya. Salah satu cambuk
lawan menghantam punggungnya. Baju
terkoyak lebar. Ada darah yang
mengalir di sepanjang luka guratan.
Suro Blondo tersungkur mencium tanah.
Saat itulah cambuk berduri bertubi-
tubi mendera tubuhnya. Dalam keadaan
tubuh remuk redam seperti itu. Ia
terus berguling-guling menghindari
mata cambuk berduri yang datang
mendera seakan tidak ada habis-
habisnya. Lalu....
"Haap...!"
Suro Blondo bangkit berdiri lalu
melompat mundur sejauh tiga tombak.
Mulutnya menyeringai menahan sakit.
Darah bercucuran membasahi bajunya
yang hancur di beberapa bagian.
"Bunuh! Jangan beri kesempatan
pada pemuda sinting itu meloloskan
diri!" teriak Dasa Reksa sambil terus
memperhatikan jalannya pertempuran.
"Urusan jadi kapiran jika aku
sampai mati di tangan mereka!" gerutu
Suro Blondo.
Tiba-tiba saja ia merangkapkan
kedua tangannya ke depan dada.
Setengah dari seluruh tenaga yang
dimilikinya dikerahkannya ke bagian
tubuhnya. Lalu... diawali dengan satu
langkah yang sangat ganjil. Tubuhnya
tiba-tiba bergerak cepat laksana
kilat. Di tengah-tengah gerakan yang
sangat sulit diikuti kasat mata dan
membuat bingung lawannya itulah
terdengar suara aneh. Mula-mula
terdengar suara tawa meledak-ledak
bagaikan hendak mengguncang bumi. Tapi
di saat lain terdengar pula suara
seperti orang yang sedang menangis.
Suara itu mendayu-dayu mendirikan
bulu roma. Dan di dalam kesempatan
lainnya suara tangis lenyap berganti
dengan suara gajah. Rupanya dalam
keadaan sedemikian rupa, Pendekar
Blo'on disamping mengerahkan jurus
"Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Ia juga mengerahkan jurus 'Tawa Kera
Siluman'.
Kenyataan ini sempat membuat
terkesima lawan-lawannya. Namun mereka
tidak mau berdiam diri lebih lama
lagi. Laksana kilat cambuk berduri di
tangan mereka melecut mengejar kemana
saja bayangan Suro Blondo menghindar.
Namun berulang kali mereka dibuat
kecewa ketika serangan mereka mencapai
tempat kosong. Bahkan dengan gerakan-
gerakan yang sulit diduga-duga Suro
Blondo mulai mempecundangi lawan-
lawannya. Satu demi satu lawan-
lawannya itu dibuat jatuh bangun. Hal
ini semakin memancing kemarahan Dasa
Reksa.
Ia pun mulai menerjunkan diri ke
medan pertempuran. Tidak pelak lagi,
Suro Blondo langsung mendapat
keroyokan sembilan jago-jago pembunuh
yang memiliki kemampuan tidak rendah.
Sungguh pun pemuda tampan
bertampang tolol ini mempunyai watak
yang konyol. Namun ia terdidik oleh
dua guru yang memiliki pengalaman dan
kepandaian sangat tinggi. Sehingga ia
segera menyadari bahwa saat itu
nyawanya benar-benar dalam kea-
daan terancam.
"Hiyaa...!"
"Shaaa...!"
Gerakan silat Pendekar Blo'on
dari cepat kini menjadi lambat.
Sebagian tenaga dalam yang dimilikinya
kini dikerahkannya ke bagian telapak
tangannya. Sehingga dalam waktu yang
singkat telapak tangan itu menjadi
putih berkilauan. Pada kesempatan yang
sama cambuk di tangan lawan-lawannya
mendera sekujur tubuhnya hingga
membuatnya jatuh tergulung-gulung dan
babak belur.
"Bunuh!" teriak Dasa Reksa
semakin bertambah beringas.
Serangan cambuk semakin menjadi-
jadi. Pakaian yang melekat di tubuh
Suro Blondo praktis tercabik-cabik.
Namun pemuda itu cepat bangkit ber-
diri. Cambuk di tangan lawan-lawannya
menyambut dan melibat tubuhnya. Tarik
menarik pun terjadi. Andai saja
Pendekar Blo'on bukan pemuda yang
telah kenyang makan gemblengan
gurunya. Mungkin saat itu tubuhnya
telah terpisah-pisah.
Suro Blondo menggeram penuh
amarah. Sama sekali ia sudah tidak
menghiraukan darah yang mengalir dari
setiap luka yang terdapat di tubuhnya.
Dan dalam keadaan dilanda kemarahan
sedemikian rupa. Satu hal yang tidak
pernah disadari oleh lawan-lawannya
adalah bahwa, rambut Pendekar Blo'on
yang hitam kemerah-merahan itu
sekarang telah berubah merah
sepenuhnya,
"Heaaa...!" Suro Blondo
berteriak melengking tinggi. Empat
larik sinar putih menyilaukan ber-
kiblat melesat dari telapak tangannya.
Itulah salah satu pukulan yang bernama
'Kera Sakti Menolak Petir' yang
dilepaskan oleh Pendekar Blo'on.
Udara berubah menjadi panas
menyesakkan. Empat orang lawannya
terkesiap melihat datangnya gelombang
sinar putih yang meluruk deras ke arah
mereka. Namun untuk menyelamatkan diri
tidak ada kesempatan lagi bagi algojo-
algojo ini karena pukulan itu langsung
menghantam tubuh mereka.
"Blaam! Buum! Buum!"
"Wuaaakh...!"
Empat sosok tubuh berpentalan
meregang ajal. Tubuh mereka berubah
hangus. Belum hilang rasa kejut di
hati kawan-kawannya, Suro Blondo telah
melompat ke belakang sehingga membuat
cambuk yang membelit tubuhnya
terlepas. Tidak tanggung-tanggung. Ia
kali ini melepas pukulan 'Matahari Dan
Rembulan Tidak Bersinar'.
Sinar redup bersemu merah
bercampur dengan warna biru datang
menggebu-gebu. Dun algojo lainnya kini
menjadi korban. Tidak sempat menjerit
apalagi melolong. Tubuh mereka tiba-
tiba terhempas ke depan. Wajah mereka
berubah pucat kebiru-biruan. Darah
kental menyembur tiada henti dari
mulut kedua algojo itu. Laksana mau
terbang semangat Dasa Reksa melihat
kejadian tragis yang sangat singkat
ini. Namun kematian tetap kematian.
Kenyataan yang dilihatnya tidak
membuat nyalinya lumer, apalagi lari
terbirit-birit meninggalkan pertem-
puran. Dengan dibantu dua orang
kawannya ia kembali merangsak ke
depan. Suro Blondo menyeringai seakan
mengejek.
Menghadapi lawan yang sudah
banyak berkurang, malah ia semakin
berhati-hati. Selanjutnya ia
mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau'. Gerakan laksana
kilat ini disusul dengan tendangan
maupun jotosan beruntun ke bagian-
bagian tubuh lawannya. Namun aneh...
kali ini setiap pukulannya dapat
dihindari oleh lawan. Ketika mereka
balas menyerang dengan mempergunakan
jurus 'Gaung Halimun' Maka serangan
balik itu juga lebih berbahaya dari
serangan dahsyat yang dilakukan oleh
Suro Blondo.
"Buuuk! Buuuk!"
"Setan atas!" maki pemuda itu
jatuh bangun mempertahankan diri.
"Ayo kerahkan semua kepandaian
yang kau miliki pemuda tolol!" teriak
Dasa Reksa dan kawan-kawannya semakin
bersemangat.
"Kalian meminta aku memberi!"
sahut Suro Blondo, Ia langsung meraba
gagang mandau jantan di balik
pakaiannya.
"Wuuus!"
Sinar hitam tiba-tiba saja
berkiblat. Salah seorang algojo yang
berada begitu dekat dengannya menjerit
roboh sambil memegangi perutnya yang
membusai. Di tengah-tengah berkiblat-
nya sinar hitam tersebut tiba-tiba
terdengar pula suara raungan aneh.
Suara raungan kemudian berubah menjadi
siulan tidak teratur. Bahkan terus
berubah seperti suara ringkik kuda
jantan.
Suara yang tidak teratur dan
sesungguhnya keluar dari empat lubang
miring yang terdapat di tengah
cekungan pipih di tengah-tengah mandau
ini benar-benar mengacaukan gerakan
silat Dasa Reksa dan salah seorang
anak buahnya.
Serangan-serangan yang mereka
lancarkan pun mulai membabi buta.
Namun sampai sejauh itu tetap saja
sangat berbahaya bagi Suro Blondo.
Bahkan satu tendangan menggeledek
berisi tenaga dalam penuh menghantam
punggung Suro Blondo. Untuk yang
kesekian kalinya pemuda itu tersungkur
roboh. Namun senjata sakti mandau
jantan masih tergenggam erat di
tangannya. Sekilas Dasa Reksa sempat
melihat Senjata berbentuk aneh ini.
Sungguhpun hatinya berubah kecut.
Namun ia tetap mengayunkan cambuknya
untuk merampas mandau sakti di tangan
lawan.
Ayunan cambuk mengarah pada
bagian tangan Suro Blondo sempat
dirasakan oleh si pemuda. Sehingga ia
menggerakkan senjata ke arah datangnya
cambuk yang menderu ke arahnya.
"Prass!"
"Tees!"
Cambuk baja di tangan lawan
terbabat putus menjadi beberapa
bagian. Kesempatan itu tidak disia-
siakan oleh Suro Blondo. Seraya
melompat ke depan sambil menusukkan
senjata di tangannya ke bagian perut
Dasa Reksa.
Kepala algojo ini berkelit ke
samping kiri dengan jalan menggeser
langkahnya sebanyak dua tindak. Sera-
ngan Suro Blondo luput. Tapi senjata
itu kemudian ia belokkan dan
menghantam tulang iga Dasa Reksa.
Bukan main cepatnya serangan
Pendekar Blo'on, sehingga lawan tidak
sempat melihat berkiblatnya senjata si
pemuda. Tahu-tahu saja dadanya kena
dihantam.
"Craak! Craaaak...!"
"Wuaaakkk!"
Suara teriakan Dasa Reksa
laksana merobek langit. Tubuhnya
terguling, setelah empat tulang rusuk-
nya terbabat putus senjata milik Suro
Blondo. Laki-laki itu berkelojotan
sebentar untuk kemudian terdiam
selama-lamanya. Mati!
Suro Blondo bersiul nyaring. Ia
memperhatikan algojo yang cuma tinggal
satu-satunya ini. Ia menggerakkan
tangannya, seraya memberi isyarat pada
algojo yang sudah lumer nyalinya ini
untuk maju menyerangnya. Namun algojo
itu malah melangkah mundur bersiap-
siap langkah seribu.
"Kau mau kabur kemana?" desis
Suro Blondo. Pemuda ini tampaknya
sengaja membiarkan algojo tersebut
melarikan diri. Namun begitu sang
algojo membalikkan badan dan ambil
langkah dua ribu. Suro Blondo memungut
sebuah batu sebesar kepalan tangan.
Batu itu kemudian disambitkannya ke
bagian punggung laki-laki berkepala
botak tepat mengenai sasaran.
"Pluuuk!"
"Wadooow...!"
Sang algojo menjerit tertahan.
Tubuhnya terguling roboh tanpa mampu
bangkit kembali. Sungguhpun ia
berusaha mengerahkan segenap tenaga
dalam yang dimilikinya. Namun tetap
saja ia tidak mampu membebaskan diri
dari totokan.
"Ternyata kau hanya seorang
pengecut yang takut mati! Tapi hukuman
segera kau terima dari para pekerja
itu begitu aku membebaskan rantai baja
yang membelenggu tubuh mereka!" kata
pemuda itu, lalu usap-usap keningnya.
"Tunggu, tolong lepaskan aku!
Aku berjanji mengabdi padamu jika kau
mau menyelamatkan aku dari amarah
mereka!" kata algojo itu penuh per-
mohonan. Suro Blondo malah melangkah
pergi sambil berkata:
"Manusia memang selalu begitu.
Jika nyawa sudah di tenggorokan baru
merengek-rengek minta ampun dan tobat.
Huh... dasar kecoa kudisan!" desis
Suro Blondo.
Tidak lama kemudian Pendekar
Blo'on melepaskan rantai yang
membelenggu tangan para pekerja itu.
Setelah dirinya merasa terbebas, maka
para pekerja itu beramai-ramai mening-
galkan gua penggalian.
Saat mereka melihat salah satu
algojo masih dalam keadaan tertotok.
Dengan penuh amarah mereka mencincang
tubuh algojo malang yang selama ini
menyiksa mereka di lingkungan kerja
paksa.
Di kejauhan lamat-lamat Suro
Blondo yang telah meninggalkan Bumi
Ayu mendengar suara jerit kesakitan
dari mulut sang algojo yang sedang
menerima hukuman rimba. Pendekar
Blo'on bergidik seram, lalu golang
golengkan kepalanya berulang-ulang.
TUJUH
Sekujur tubuh kedua pemuda itu
telah babak belur. Kulitnya terbeset-
beset. Bagian wajahnya terkelupas,
darah menetes-netes bercampur debu
jalanan. Keadaan mereka benar-benar
berada antara sadar dan tiada. Kuda
terus berlari kencang. Penunggangnya
gadis berbaju ungu terus menggebraknya
bagai kesetanan. Setelah memasuki kota
Malaya, gadis ini memperlambat
kecepatan kudanya. Bagi Mustika Jajar
tidak sulit menemukan tempat kediaman
saudagar Bergola Mungkur yang kaya
raya itu. Ia memiliki rumah yang
paling besar dan yang paling mewah di
tengah-tengah kota tersebut.
Mustika Jajar memasuki alun-
alun, lalu berbelok ke arah halaman
yang cukup luas. Para begundal
saudagar Bergola Mungkur langsung
mengurungnya begitu melihat kehadiran
gadis berbaju ungu ini. Sebaliknya
Mustika Jajar dengan angkuh membentak.
"Menyingkir kalian! Aku datang
kemari untuk menyerahkan dua perusuh
pada majikanmu!"
Serentak mereka memandang pada
dua tawanan yang pada bagian tangan
dan kakinya terikat kuat. Sementara
wajah mereka sudah tidak dapat
dikenali karena luka-lukanya yang
cukup parah.
"Siapakah mereka?" tanya kepala
pengawal merasa curiga.
"Jangan banyak tanya! Panggil
majikanmu, hanya padanya aku dapat
menjelaskan siapa tawanan ini." dengus
Mustika Jajar sengit.
"Tidak bisa!" kata pengawal itu
kurang senang.
"Kalau begitu kau memang pantas
mati!" Mustika Jajar menggeram. Ia
angkat tangannya tinggi-tinggi. Pada
saat itulah ia mendengar suara serak
seseorang.
"Tahan...!"
Gadis baju ungu menurunkan
tangannya, ia menoleh ke arah suara
itu. Kini ia melihat seorang laki-laki
berpakaian mewah datang menghampiri.
Laki-laki itu berumur kurang lebih
lima puluh tahun. Kumisnya tebal
terpelihara rapi. Sekali lihat saja si
gadis sudah dapat melihat inilah
orangnya saudagar yang ingin
ditemuinya itu. Serta merta Mustika
Jajar mengangguk penuh rasa hormat.
Kemudian, senyum genitnya pun
mengembang.
"Kalau tidak salah aku sedang
berhadapan dengan saudagar Bergola
Mungkur yang kaya raya."
Laki-laki berbaju hijau bersulam
benang emas ini menganggukkan kepala.
Tenggorokannya turun naik setelah
melihat kecantikan gadis yang duduk di
atas punggung kuda tersebut.
"Dugaanmu memang benar!" sahut
saudagar. "Ada gerangan apakah kau
menemuiku?" tanya tuan rumah. Matanya
yang jalang merayapi sekujur tubuh si
gadis yang terbalut pakaian serba ungu
yang ketat dan tembus pandang.
Sebaliknya Mustika Jajar malah
menggerak-gerakkan tubuhnya, hingga
membuat gelora birahi si saudagar
terbangkitkan.
"Aku sengaja mencarimu untuk
menyerahkan dua ekor kunyuk yang
hendak menghancurkan ladang emasmu di
Bumi Ayu. Kuharap kau suka memberi
upah lelah atas jerih payah ini!" kata
gadis itu sambil mengedipkan matanya.
Sementara belasan pengawal yang
sempat mengurung gadis berbaju ungu,
kini telah membubarkan diri dan
kembali berjaga-jaga di tempatnya
masing-masing.
Bergola Mungkur telan ludah
basahi bibir. Sungguhpun ia telah
mempunyai tiga orang istri dan anak
yang sudah dewasa. Namun sebagai laki-
laki mata keranjang. Tentu saja ia
tidak menyia-nyiakan kesempatan
melihat gadis secantik Mustika Jajar.
Apalagi tampaknya gadis berpakaian
tipis itu memang memberi angin
kepadanya.
"Mengenai hadiah kau tidak usah
khawatir! Kau meminta pasti aku akan
memberikannya padamu dalam jumlah yang
tidak kau duga. Tapi aku mau tahu
siapa dua pemuda yang kau seret itu?"
"Hik hik hik...! Mereka
menamakan dirinya sebagai Pendekar
dari Kuningan. Beberapa hari yang lalu
algojomu menculik pemuda-pemuda daerah
itu. Itu sebabnya mereka sengaja
datang ke Bumi Ayu untuk mengambil
kembali pemuda-pemuda yang diculik
oleh anak buahmu."
"Puah... kepandaian hanya seu-
jung kuku. Mereka benar-benar mencari
penyakit bila bermaksud merusak
pencarian orang lain. Jika kau memang
berada di pihakku. Kuharap sekarang
juga kau mau membunuhnya!"
Sebagai Iblis Betina Dari
Neraka, tentu saja Mustika Jajar
dengan senang melakukan tugas yang
diberikan oleh saudagar Bergola
Mungkur.
"Jika aku telah membawanya
kemari. Membunuh manusia-manusia
seperti kecoa ini bukan merupakan
pekerjaan yang sulit!" Mustika Jajar
kemudian melompat dari atas punggung
kudanya. Setelah itu ia mendekati
Sapala dan Panji. Dengan mengandalkan
tiga perempat dari seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya tangan
Mustika Jajar tiba-tiba menghantam dua
kali.
"Praak!"
"Praak!"
Darah bercampur otak muncrat
dari bagian kepala Panji dan Sapala
yang terkena hantaman tangan si gadis.
Tewaslah keduanya seketika tanpa
sempat menyadari apa yang terjadi pada
dirinya.
Mustika Jajar bangkit berdiri.
Seraya membalikkan tubuhnya dan
menghadap langsung pada Bergola
Mungkur. "Bagaimana apakah kau puas?"
"Ha ha ha...! Tentu saja aku
merasa senang. Kau memang pantas
menjadi salah seorang tangan kananku
menggantikan dua orang lainnya yang
telah mati!"
"Bukan saja hanya menjadi tangan
kanan, aku dapat memberimu keba-
hagiaan yang tidak pernah diberikan
oleh orang lain!"
Bergola Mungkur telan ludah.
Matanya belingsatan memandangi Mustika
Jajar seakan tidak pernah mengenal
rasa bosan.
"Mari... kita rayakan kemenangan
dan pertemuan yang tidak disangka-
sangka ini...!" kata laki-laki
berkumis tebal tersebut sambil ter-
senyum-senyum.
Iblis Betina Dari Neraka
memasuki sebuah ruangan yang cukup
luas. Di dalam ruangan itu telah
terhidang berbagai jenis makanan yang
lezat-lezat. Di samping itu tersedia
pula beberapa guci arak yang harum
baunya.
"Hmm, rumah ini sangat mewah
sekali!" kata gadis itu sambil
menuangkan kendi arak pada sebuah
cawan yang cukup cantik.
"Kalau kau suka, eeh... siapa
namamu...?"
"Panggil saja Mustika." kata
gadis itu, lalu meneguk araknya.
"Ah... namamu secantik dan
seindah orangnya," Bergola Mungkur
memuji.
"Kalau kau merasa namaku cocok.
Mudah-mudahan saja kita selalu cocok
dalam banyak hal," Mustika Jajar
mengedipkan matanya. Sehingga membuat
jantung si saudagar berdetak keras dan
klepek-klepek. Seraya kemudian
berpindah tempat duduk. Begitu dekat
dengan si gadis, ia langsung dapat
merasakan bau harum tubuh Mustika
Jajar.
Mustika Jajar meneguk araknya
kembali. Wajahnya yang cantik mulai
berubah kemerah-merahan. Tatapan
matanya juga berubah sayu. Tidak lama
kemudian tanpa mengenal malu, gadis
berbaju ungu ini menyandarkan
kepalanya di bahu sang saudagar. Laki-
laki itu tentu saja tidak menampik, ia
seperti mendapat durian runtuh.
Tangannya dengan berani bahkan mulai
menggerayangi dada si gadis.
"Untuk sentuhan-sentuhan yang
kau berikan, kau harus membayarnya
dengan sekantung emas" desah gadis
tersebut seperti orang mengigau.
"Eeee... jangan khawatir. Aku
bahkan akan memberimu lima kantung
emas bila kau mau memenuhi permintaan-
ku...!" ucap Bergola Mungkur dengan
suara bergetar.
Mata Mustika Jajar yang sete-
ngah terpejam itu terbuka lebar. Namun
ia masih belum juga menarik kepalanya
dari bahu sang saudagar.
"Apakah syaratmu? Apakah kau
bermaksud mengajakku bersenang-se-
nang?" tanya Iblis Betina Dari Neraka
tersenyum sinis. Baginya lima kantung
emas bukan jumlah yang sedikit.
Namun untuk memberikan kesuciannya
pada laki-laki tua semacam saudagar
Bergola Mungkur, tentu saja ia harus
berpikir seribu kali. Kalau sekedar
pegang-pegang saja tidak apalah.
Batinnya.
"Bagiku bersenang-senang jika
kau mau, jika tidak mau tak akan
kumemaksa." ujar laki-laki di
sampingnya. Rupanya saudagar Bergola
sadar, bahwa gadis ini tidak dapat
dibuat main-main. Terlebih-lebih
setelah melihat kehebatannya di
halaman tadi. Namun jika ia dapat
memanfaatkan tenaganya. Tentu kedudu-
kannya sebagai orang kaya tidak akan
terusik oleh orang lain.
"Lalu apa permintanmu yang
lain?" tanya si gadis.
Ia tetap membiarkan dadanya
digerayangi oleh lawan bicaranya.
Hanya sesekali saja rintihannya
terdengar. Terlebih-lebih bila remasan
tangan Bergola Mungkur terasa lebih
keras. Karena saudagar itu tidak
kunjung menjawab. Akhirnya ia
menyentakkan tangan si laki-laki dari
dadanya yang setengah terbuka.
"Katakan apa permintaanmu, agar
aku bisa mendapatkan lima kantung emas
darimu?" desah Iblis Betina Dari
Neraka serius.
Sebelum menjawab, Bergola Mung-
kur meneguk araknya.
"Jika kau dapat mengambil patung
marmar yang indah dari tangan Pematung
Kelana dan menyerahkannya padaku. Lima
kantung emas siap menunggu sebagai
imbalan...!" kata sang saudagar.
Kemudian dengan singkat ia
menceritakan apa yang pernah terjadi
pada dirinya dan nasib tragis yang
menimpa anak buahnya. Dengan seksama,
Iblis Betina Dari Neraka ini
mendengarkannya.
"Dua kantung emas bukan sedikit!
Adalah sangat sombong jika Pematung
Kelana menolak tawaranmu, bahkan malah
meminta nyawa dua tangan kananmu!"
timpal si gadis setelah selesai
mendengar penjelasan sang saudagar.
"Memang Pematung Kelana manusia
congkak! Bukan itu saja, ia malah
menghinaku. Jika kau berhasil merampas
patung marmar berikut nyawa pematung
tua itu. Maka aku akan menambah satu
kantung emas lagi!"
"Hik hik hik...! Kuterima
tawaranmu. Aku ingin berangkat
secepatnya!" Mustika Jajar bangkit
berdiri. Tapi Bergola Mungkur cepat
mencegah.
"Tunggu! Sebaiknya kau menginap
dulu di sini barang semalam, kau habis
menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Tentu kau sangat lelah."
"Tidak usah khawatir. Aku tahu
keinginanmu, mungkin di suatu saat aku
dapat memperlihatkan keindahan tubuhku
di depanmu. Tapi kau tidak mungkin
dapat memilikinya di luar batas
memegang dan menyentuh. Terkecuali aku
dengan suka rela mau melakukannya!"
kata si gadis sambil tersenyum genit.
Wajah Bergola berubah memerah.
Tapi hanya sebentar saja, dilain saat
ia telah berubah seperti biasa
kembali.
"Baiklah kalau itu maumu! Hadiah
emas untukmu telah menunggu di sini,
jika telah berhasil memboyong patung
mar-mar itu ke sini!" Bergola Mungkur
mengingatkan.
Iblis Betina tersenyum. Seraya
melambaikan tangan lalu menghilang
dari pandangan sang saudagar.
Di halaman depan Bergola Mungkur
masih sempat mendengar suara langkah
kuda bergerak menjauhi rumahnya yang
megah.
"Andai saja aku dapat memiliki
tubuhnya!" Sang saudagar berangan-
angan. "Tentu bukan perlindungan saja
yang kudapat dari gadis itu. Tapi juga
kehangatan dari gadis yang masih muda-
muda!" Bergola Mungkur menelan ludah.
Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa
pahit.
DELAPAN
Laki-laki tua bertelanjang dada
dan berambut putih ini berjalan
mondar-mandir mengelilingi patung yang
baru selesai diwarnainya. Memang patut
diakui, setelah patung itu diwarnai,
hasilnya semakin bertambah sempurna.
Inilah satu-satunya patung yang paling
bagus di antara sekian banyak patung
yang pernah dibuatnya. Memandangi
wajah patung lebih lama, tiba-tiba
saja wajah Pematung Kelana berubah
muram.
"Tidak kusangka kau pergi
secepat itu, anakku! Kini aku hanya
sendiri. Hidup bersama bayang-bayang
mimpi yang tidak bertepi. Mimpi buruk
selalu datang dan pergi. Hal ini
sangat menyiksaku, menyiksa sangat
dalam." Tanpa disadarinya air mata
Pematung Kelana menetes. Suaranya
kemudian berubah serak. "Jika aku
pergi, satu rahasia yang sangat besar
terkandung dalam dirimu. Aku selalu
berdoa sepanjang siang dan malam. Jika
aku tidak dapat menemanimu lebih lama,
semoga ada orang baik berhati jujur
dapat menyingkap tabir misteri yang
sengaja kupendam dalam dirimu...!"
desis si kakek tua sambil
menengadahkan wajahnya ke langit.
Sedang Pematung Kelana bicara
seorang diri seperti itu, sayup-sayup
di kejauhan terdengar suara langkah
kuda. Semakin lama suara derap kaki
kuda semakin bertambah cepat dan
bertambah jelas.
"Inilah pertanda yang paling
tidak baik dalam hidupku!" membatin si
kakek tua dalam hati.
Benar saja, tidak lama kemudian
seekor kuda tunggangan berhenti tepat
di depan Pematung Kelana. Duduk di
atasnya seorang gadis berbaju ungu
tembus pandang. Gadis ini terbelalak
kaget begitu melihat betapa indahnya
patung dan keperkasaan pada bagian
bawah perutnya. Mustika Jajar sempat
bergetar tubuhnya. Darahnya berdesir,
jantungnya berdetak lebih kencang.
Terus terang ia mengakui bahwa patung
itu bentuknya sangat sempurna dari
pribadi seorang laki-laki jantan yang
perkasa. Apalagi setelah melihat
tampangnya yang gagah dan ganteng.
Jika semula ia berniat menukar patung
itu dengan enam kantung emas murni.
Maka kini setelah melihat patung itu
ia malah berubah ingin memiliki patung
itu untuk selama-lamanya.
"Pak Tua. Benarkah anda yang
berjuluk Pematung Kelana?" tanya
Mustika Jajar berusaha ramah meskipun
suaranya sempat bergetar menahan
keinginan yang meledak-ledak setelah
melihat keperkasaan patung tersebut.
"Bertanya membawa satu maksud
jahat atau baik?" tanya Pematung
Kelana acuh tak acuh.
"Hhh... orang ini benar-benar
sombong sebagaimana yang dikatakan
oleh saudagar mata keranjang itu!"
batin Iblis Betina Dari Neraka.
"Maksudku tergantung bagaimana
penyambutanmu, Pematung Kelana? Hik
hik hik...!" Mustika Jajar terkikik.
Ia mengerling genit pada si kakek.
"Hmmm, setiap orang memang punya
maksud-maksud tertentu datang kemari.
Melihat penampilanmu hatiku mengatakan
kau membawa maksud yang bukan saja
buruk tapi juga keji! Pergilah! Aku
tidak punya waktu untuk melayanimu."
"Bagaimana kalau kau tukar
patung itu denganku?"
"Maksudmu?"
"Patung bagus itu kau berikan
padaku. Sebagai balas jasa aku
menyerahkan diriku padamu untuk bebe-
rapa waktu!" Mustika Jajar tersenyum
genit. Ia bahkan sengaja menggaruk
dadanya, sehingga salah satu kancing
bajunya terbuka dan memperlihatkan
buah dadanya yang membusung padat,
putih berkilat-kilat.
Pematung Kelana cepat-cepat
memalingkan wajahnya ke arah lain.
Gelora amarahnya terbangkitkan.
"Perempuan rendah! Aku adalah
manusia renta yang tidak dapat kau
perdaya. Sungguhpun kau telanjang di
depanku, harga patung ini lebih mahal
dari kemolekan tubuhmu!"
"Ah... terlanjur aku datang.
Terus terang aku mau meminta patung
itu!" Mustika Jajar tanpa malu-malu
berterus terang.
"Hhh... patung ini kubuat bukan
untuk kujual atau kuberikan pada orang
lain. Dia adalah tiruan sosok anakku.
Karena dia anakku, maka aku akan
mempertahankannya walaupun nyawa
sebagai taruhannya!"
Mata Iblis Betina Dari Neraka
terbelalak lebar. Jika patungnya saja
sedemikian perkasa dan jantan apalagi
orang yang sesungguhnya.
"Di mana anakmu itu, orang tua?"
tanya gadis berbaju ungu.
"Dia sudah tiada!"
"Ah... sayang betul! Kalau
begitu sekarang kau harus menyerahkan
patung ukiranmu itu padaku!" tegas si
gadis sambil berkacak pinggang.
"Sudah kubilang aku tidak akan
memberikannya pada siapapun. Apakah
kau tidak mendengar kata-kataku!"
dengus Pematung Kelana dengan perasaan
muak.
"Rupanya aku harus merampas
nyawamu baru kau mau menyerahkan
patung itu kepadaku!"
"Demi keselamatan patung ini
dari manusia sepertimu, aku rela
berkorban apa saja!" dengus Pematung
Kelana merasa tersinggung.
"Banyak mulut! Hiyaaa...!"
Secara licik Mustika Jajar menghantam
punggung si kakek dengan pengerahan
tenaga dalam penuh. Namun Pematung
Kelana begitu merasakan sambaran angin
pukulan langsung melompat ke samping
kiri. Lalu kibaskan tangan kirinya.
"Duuuk!"
"Uuuuh…!" Mustika Jajar tersen-
tak. Tangannya terasa seperti menghan-
tam dinding karang. Tangan itu
berwarna merah dan nyeri pada bagian
jemarinya. Ia terhuyung-huyung sejauh
tiga tindak. Sebaliknya Pematung
Kelana juga terkejut. Tangan kirinya
seperti ditusuk-tusuk ribuan batang
jarum. Lebih celaka lagi tangan itu
berubah dingin. Sebagai orang yang
telah berpengalaman dan malang
melintang di sepanjang pesisir pulau
Jawa. Ia sadar betul bahwa lawannya
memiliki tenaga dalam yang mengandung
racun keji. Cuma yang membuatnya
terheran-heran adalah mengenai tenaga
dalam yang dimiliki oleh gadis itu.
Meski masih berusia muda, tapi tenaga
dalamnya sudah mencapai tingkat
sempurna.
"Sebentar lagi kakek tua! Seben-
tar lagi Iblis Betina Dari Neraka akan
mengirimmu ke Neraka!" dengus Mustika
Jajar.
Seraya kemudian mementang kedua
tangannya lebar-lebar. Selanjutnya
kedua tangan itu dilintangkannya ke
depan dada. Tangan itu kemudian
berubah menghitam. Dengan satu gerakan
yang sangat menantang, ia membuka
jurus 'Prahara Bumi', yaitu salah satu
jurus iblis langka yang pernah
dipelajarinya dari 'Tua Tengkorak Mata
Api'
Dengan mempergunakan jurus yang
sangat berbahaya dan penuh tipu-tipu
ini, Mustika Jajar menyerang lawannya.
Setiap serangan yang dilakukannya
menimbulkan angin bersiuran. Pematung
Kelana merasakan pernafasannya menjadi
sesak. Namun sebagai tokoh angkatan
tua yang sangat berpengalaman. Ia
langsung mengetahui siapa pemilik
jurus sesat yang sangat berbahaya itu.
"Ada hubungan apa kau dengan Tua
Tengkorak Mata Api!" hardik Pematung
Kelana sambil menghindari tendangan
kilat yang dilancarkan oleh lawannya.
"Kau tidak layak bertanya!"
dengus Mustika Jajar. Diam-diam
hatinya terkejut juga setelah menge-
tahui ternyata lawannya kenal siapa
gurunya.
"Huup! Heaaa...! Jika kau
muridnya Tua Tengkorak Mata Api.
Berarti aku sudah dapat memperkirakan
siapa kau yang sebenarnya. Rasanya
tidak salah jika aku turun tangan
kejam kepadamu!" Pematung Kelana
menggeram.
"Bagus! Aku sendiri memang
menghendaki nyawamu!" sinis suara
Mustika Jajar.
"Shaa...!" Tubuh Pematung Kelana
melesat ke depan. Ia mengerahkan jurus
'Bayang-bayang Sukma'. Inilah salah
satu jurus andalan yang dimiliki oleh
si kakek tua. Sadar bahwa lawannya
merupakan murid seorang iblis. Tidak
tanggung-tanggung ia mengerahkan
segenap kemampuan yang ada
Sebaliknya walaupun masih muda,
Iblis Betina Dari Neraka ini memang
mewarisi kepandaian tinggi dari
gurunya. Jadi sungguhpun lawan mempu
nyai pengalaman jauh lebih matang.
Namun ia masih tetap dapat mengimbangi
setiap serangan yang datang.
"'Tujuh Angkara Murka'!" jerit
Mustika Jajar. Ia kemudian hantamkan
tangannya yang telah berubah hitam itu
menyongsong serangan lawannya. Melihat
sinar hitam datang menggebu-gebu ke
arahnya, maka Pematung Kelana
membanting tubuhnya ke samping kiri
Lalu lepaskan pukulan 'Geger Bumi'.
Sinar hitam dan merah datang
bergulung-gulung bagaikan badai topan
prahara. Udara di sekitarnya berubah
menjadi dingin dan panas. Lalu dua
pukulan yang dilepaskan oleh masing-
masing lawannya ini saling bertemu di
udara.
"Buummm...!"
"Braak! Braaak!"
Dua-duanya jatuh terpelanting,
Hampir bersamaan mereka bangkit
kembali. Ledakan dahsyat itu membawa
akibat runtuhnya dinding tebing.
Bahkan longsorannya menimbun badan
patung. Pematung Kelana menyeringai.
Wajahnya berubah pucat. Sebaliknya
Mustika Jajar malah tersenyum.
Sekarang ia menyerang lagi dengan
gerakan-gerakan yang lebih cepat dan
gencar. Namun Pematung Kelana yang
telah bergerak lebih awal dapat
menghantam perut gadis itu hingga
membuatnya jatuh terjengkang dan
muntahkan darah segar.
Anehnya gadis itu malah tertawa-
tawa. Rupanya itulah satu-satunya cara
untuk menyembuhkan luka dalam yang
dideritanya. Tidak lama kemudian ia
bangkit berdiri.
"Kau telah melukaiku, berarti
semua yang kau lakukan hanya memper-
cepat kematianmu sendiri!" Mustika
Jajar menggeram marah sambil seka
darah yang menetes di sudut-sudut
bibirnya.
"Deb!"
"Beet!"
"Heyaaa...!" Jemari tangan si
gadis tiba-tiba saja terentang lebar.
Begitu jemari tangan terkembang. Maka
terjadilah perubahan warna. Jika
semula jemari tangan itu berwarna
keputihan, maka sekarang telah berubah
menjadi merah laksana darah.
Pematung Kelana terkesiap sete-
lah melihat perubahan yang terjadi
pada bagian tangan lawannya. Mulutnya
mendesis 'Pukulan Jari Getih'.
Tidak ada kesempatan baginya
untuk berpikir lebih jauh. Pukulan
Jari Getih sebagaimana yang diketahui-
nya merupakan satu pukulan ampuh
beracun yang sangat mematikan.
Siapapun yang terkena pukulan itu
tidak ada yang dapat menjamin
keselamatan nyawanya!
Merasa tidak ada pilihan lain
lagi. Maka ia mengerahkan tenaga
dalamnya ke bagian telapak tangan.
Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar
hebat. Kedua telapak tangannya berubah
kuning berpedar-pedar. Inilah salah
satu pukulan simpanan yang bernama
'Geger Bumi'. Sungguhpun laki-laki ini
tidak dapat memastikan apakah dia
sanggup mengatasinya, Namun sebelum
segala sesuatunya terjadi. Pematung
Kelana telah menghentakkan tangannya
ke depan. Hanya beberapa saat
setelahnya, lawannya pun melakukan hal
yang sama.
"Blaam! Blaaam…!"
Dua letusan dahsyat memporak
porandakan suasana di situ. Satu
bayangan terlempar ke arah jurang,
sedang yang satunya lagi tergontai-
gontai dan jatuh terhempas tidak jauh
dari longsoran tanah yang menimbun
patung ciptaan Pematung Kelana. Dari
arah jurang, sayup-sayup terdengar
suara jerit seseorang. Itulah suara si
kakek pematung.
Sementara itu Mustika Jajar
sendiri telah bangkit berdiri. Dari
mulutnya darah semakin banyak yang
keluar. Barulah setelah menelan
beberapa butir pel berwarna hitam dan
merah. Darah langsung berhenti.
"Gila betul orang itu. Selain
seorang pematung, ternyata ia
mempunyai kepandaian yang tidak
rendah. Syukur ia terpelanting ke
jurang. Aku tidak tahu apakah ia dalam
keadaan hidup atau mati!" desis Iblis
Betina Dari Neraka sambil menyeringai.
Tidak lama kemudian ia sudah
memindahkan longsoran tanah yang
menimbun patung pemuda gagah. Entah
mengapa semakin dekat tubuhnya dengan
patung tersebut, jantungnya berdetak
semakin kencang.
"Hhhm, ini dia! Oh sungguh
merupakan patung yang sangat perkasa.
Seandainya saja ia hidup. Ingin
rasanya aku menidurinya sepanjang
malam. Hik hik hik...!"
Dielus-elusnya patung tersebut.
Tidak lama kemudian setelah longsoran
tanah yang menimbunnya habis. Mustika
Jajar seperti orang kesurupan langsung
memeluk badan patung yang kekar tidak
ubahnya seperti sedang memperlakukan
orang yang sangat disayanginya.
"Aku menyukaimu. Tidak mungkin
rasanya aku menukarmu dengan enam
kantung emas. Aku akan selalu meminta
pada para iblis, agar suatu saat kau
dapat hidup sebagai manusia. Manusia
perkasa yang dapat memenuhi setiap
keinginanku...!" Lagi-lagi Mustika
Jajar seperti orang kesurupan langsung
memeluk patung itu. Kemudian ia
mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada
bibir patung.
"Aku mau membawamu ke suatu
tempat! Di sana aku akan minta
petunjuk dari para iblis untuk
membangkitkanmu!"
Gadis berbaju ungu ini kemudian
berusaha mengangkat patung tersebut.
Tapi ternyata patung itu beratnya
bukan main. Sehingga Mustika Jajar
terpaksa mengerahkan tenaga dalam
untuk meletakkan patung itu di
punggung kuda.
"Kraaakkk!"
Kuda yang diharapkannya dapat
membawa patung, ternyata tidak kuat
menahan berat patung. Bahkan terdengar
suara berderak patah pada bagian
tulang punggungnya.
"Upp... tidak kusangka patung
ini berat sekali. Sebaiknya biar aku
sendiri yang memanggulnya!" Mustika
Jajar memutuskan.
Dengan sekuat tenaga patung batu
mar-mar seberat kati itu dipanggulnya.
Bahkan beberapa saat kemudian ia sudah
berlari-lari, seakan beban berat yang
dipikulnya tidak dirasakan sama sekali
oleh si gadis.
SEMBILAN
Laki-laki itu terus melangkahkan
kakinya yang pincang. Sesekali ia
mendongak ke langit. Lalu berjalan
lagi seperti orang yang sedang dalam
keadaan tergesa-gesa. Lalu ketika
berada di atas dataran bukit tiba-tiba
ia hentikan langkahnya. Sekali lagi ia
memandang ke langit.
"Aduh biuuung... panasnya dunia
hanya asap api neraka. Di sana panas
di sini panas. Mati... kematian ada
dimana-mana. Aduh biung... mengapa aku
terlahir ke dunia yang sengsara...!"
kata kakek berkumis, berjenggot serta
berambut putih itu seperti menyesali
sesuatu.
Lalu ia melangkah lagi, tongkat
butut di tangannya ia acungkan ke
depan. Lalu tampak selarik sinar biru
melesat dari ujungnya. Sinar biru
tersebut menghantam sulur akar pohon
rambat.
"Tes! Tes!"
Sulur-sulur pun putus, dari
putusan sulur menetes air yang sangat
bening. Si kakek berkaki kecil sebelah
itu menampung air tersebut dan,
"Gluk! Gluuk!"
"Ah... lega rasanya, kelegaan
yang membuat aku menyesal, menangis
dan... hu hu hu... penyesalanku tidak
kunjung berkesudahan. Kulihat kematian
membuat aku menyesal. Kulihat
kemarahan, aku menyesal, kulihat
penderitaan orang kecil aku menyesal.
Kulihat penghuni dunia celaka ini aku
menyesal! Hidupku dalam penyesalan
nafasku dalam penyesalan. Lahirnya
Iblis Betina Dari Neraka membuat aku
teramat menyesalkannya!" dengus si
kakek. Lalu ketok-ketokkan tongkat di
tangannya di atas batu.
Sehingga terdengarlah suara
berdenting menyakitkan telinga. Si
kakek memakai ikat kepala warna darah
ini langkahkan kakinya lagi. Tetapi
secara tiba-tiba ia melihat sosok
bayangan biru berkelebat di depannya.
Tampak bayangan biru tersebut tengah
mengerahkan ilmu lari cepatnya yang
bukan main-main. Tetapi hebatnya lagi
begitu si kakek membentak....
"Kembali...!!"
Secara aneh dan benar-benar
sulit dipercaya, bayangan biru tadi
bergerak mundur seperti ditarik. Dan
kekuatan itu terus membetotnya ke
belakang. Dan....
"Buuk!"
Tubuh pemuda itu menabrak si
kakek yang berdiri di belakangnya. Si
pemuda bertampang ketolol-tololan
menjadi kaget sendiri. Ia menyadari
ada seseorang yang telah mengerjainya
dengan hanya membentak secara aneh.
Tetapi mengapa ia yang sedang berlari
bisa tertarik ke belakang?
"Bocah gendeng! Punya mata tapi
tidak melihat, ah...!" Si kakek
hentikan ucapannya begitu melihat
pemuda berambut hitam kemerah-merahan
itu berpaling ke arahnya. "Kulihat
wajahmu aku jadi menyesal. Di dunia
ini ada orang seperti engkau...
sungguh aku menyesal. Tapi aku sungguh
menyesalkan mengapa ibumu
melahirkanmu...?"
Pemuda berbaju biru memakai ikat
kepala biru belang-belang kuning ini
garuk-garuk kepala. Satu lagi orang
gila ia temui, bukan gila tapi aneh
dan sangat hebat.
"Orang tua siapa kau! Berani
benar kau mengganggu perjalanan orang
lain. Bisa-bisa kukemplang kepalamu!"
dengus Suro Blondo.
"Ha ha ha...! Ada bocah yang
tidak hormat pada orang tuanya. Ada
kakek yang tega berbuat mesum pada
bocah kecil, ada mayat dipotong-potong
seperti hewan. Tahukah kau bahwa semua
itu membuat aku menyesal? Oh dunia ini
sudah teramat tuanya. Hah... manusia
ini sudah parah bejatnya. Lalu siapa
yang masih waras, apakah kau bocah
gila?" tanya si kakek bersikap acuh
tak acuh.
Pendekar Blo'on pencongkan
mulutnya. Ia golang-golengkan kepala
seperti orang bingung.
"Orang tua ini sebenarnya
menderita penyakit apa? Gilanya sudah
teramat parah. Dia bukan saja sinting,
tapi miring. Namun melihat caranya
menarikku tadi, kurasa dia mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi
sekali...!" pikir Suro Blondo.
"Kau bicara apa bocah tolol? Aku
bisa melihat pikiranmu, aku dapat
mendengar suara hatimu, sungguh semua
ini sangat kusesalkan!" dengus si
kakek sambil ketok-ketokkan tongkatnya
di atas batu.
"Kakek penyesal, siapakah engkau
yang sesungguhnya. Urusanku dengan
saudagar Bergola Mungkur sudah tidak
dapat ditunda-tunda lagi" tegas si
pemuda.
"Ha ha ha...! Aku Datuk Sage
Manyasal Hiduik. Si renta yang selalu
menyesali segala sesuatu di dunia ini,
orang yang menyesalkan terjadinya
angkara murka di bumi, sepanjang abad,
sepanjang hidup sampai dunia ini
menjelang kiamat pun aku menyesal!"
"Datuk Sage Manyasal Hiduik. Apa
yang kau sesalkan, setiap manusia
punya urusan sendiri-sendiri. Biarkan
saja...!" kata Suro seenaknya. Datuk
Sage Manyasal Hiduik kedip-kedipkan
matanya yang mulai lamur. Bicara
pemuda tampan bertampang ketolol-
tololan itu memang ceplas-ceplos. Dan
ia tahu siapa pemuda itu.
"Kau pemuda tolol, pantas
menyandang gelar Pendekar Blo'on.
Gurumu Penghulu Siluman Kera Putih,
duh menyesalnya aku. Kakekmu Malaikat
Berambut Api, manusia sakti
mandraguna, tinggal di Pulau Seribu
Satu Malam, banyak musuh, punya banyak
kekasih, tapi tidak pernah kawin-
kawin. Oh... menyesalnya aku...!" kata
si kakek.
Kata-kata yang diucapkannya itu
jelas membuat Pendekar Blo'on jadi
terkejut. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa kakek aneh ini
mengenali siapa dirinya dan juga
gurunya. Bahkan sampai masa lalu
gurunya sendiri. Padahal Malaikat
Berambut Api tidak pernah cerita apa-
apa tentang peribadinya pada Suro
Blondo.
"Bagaimana Datuk bisa mengenal
mereka?"
"Aku menyesal mengenal kedua
gurumu, aku menyesal mengenal dirimu
dan aku menyesal bakal melihat darah!"
kata Datuk Sage Manyasal Hiduik.
Wajah kakek tua berkaki kecil
ini berubah muram. Lalu ia ketuk-
ketukkan tongkat bututnya ke tanah.
Tanah sekeras cadas itu berlubang dan
dari lubang akibat tusukan tongkat
menebarkan bau busuk menusuk hidung.
"Darahnya siapa yang kau
sesalkan Datuk? Apakah darahmu sendiri
darahku atau darah monyet?" tanya Suro
sambil cengengesan.
"Hidupmu berkubang darah, bukan
kunyuk sepertimu yang akan menjadi
bangkai. Aku menyesal karena bukan
darahku pula yang tercecer. Darah
orang-orang serakah. Aku sedih karena
berpantang membunuh, aku menyesal
datang ke tanah Jawa ini."
"Memang engkau dari mana Datuk?
Apakah dari dalam kuburan, dasar bumi
atau dikirim dari neraka?"
Wajah sang Datuk berubah kelam
membesi. Matanya berkedip-kedip, lalu
ia memandang ke langit.
"Bicaramu sudah keterlaluan,
bocah gendeng. Sayang aku tidak punya
urusan denganmu. Seorang anak ingusan
tidak layang tanpa asal-usul. Satu hal
yang harus kusesalkan, aku harus tahu
seberapa hebat kekuatan yang kau
punya, seberapa banyak ilmu yang kau
miliki!" kata sang Datuk.
Tiba-tiba saja Datuk Sage
Manyasal Hiduik hentakkan kaki
kanannya yang kecil di atas tanah.
Segulung angin kencang menderu, Suro
Blondo tiba-tiba saja terpelanting
tunggang-langgang. Pendekar Blo'on
terkejut bukan main-main. Seorang Tua
renta seperti Datuk Sage Manyasal
Hiduik dapat menjatuhkannya hanya
dengan menjejakkan kaki di atas tanah.
Satu hal yang sangat sulit dipercaya.
Ia bangkit berdiri, dengan
sangat berhati-hati ia segera
mengerahkan tenaga dalam ke bagian
kakinya.
"Mengapa kau menyerangku Datuk?
Apakah kau sudah edan?" dengus Suro
sambil garuk-garuk kepala.
"Kusesalkan karena aku tidak
bisa memberikan jawaban kedua. Tetapi
untuk lebih jelas sebaik-baiknyalah
kau menjaga diri" Baru selesai bicara
Datuk Sage Manyasal Hiduik tampak
gembungkan pipinya. Lalu tiba-tiba
saja ia menghembuskan nafasnya.
"Puuuih...!"
"Wuus!"
Segulung angin topan menderu
menerjang Suro Blondo. Pemuda berambut
hitam kemerah-merahan ini tidak
tinggal diam. Ia segera mengerahkan
jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti
Kibaskan Ekor'. Pemuda ini kemudian
melompat ke samping sejauh satu batang
tombak. Tubuhnya meliuk-liuk sambil
sesekali menggaruk kepala. Lalu
berjongkok dan melompat-lompat,
sedangkan tangannya menghantam ke
depan dan mulut mengeluarkan suara
seperti lolongan serigala kelaparan
yang seakan datang dari seluruh
penjuru arah.
"Buumm!"
Hembusan Datuk Sage Manyasal
Hiduik menghantam sebatang pohon yang
terdapat di belakang Suro. Pohon
mengeluarkan suara berderak dan roboh.
Jika Pendekar Blo'on tidak cepat-cepat
menghindar tentu ia tertimpa pohon-
pohon.
"Ha ha ha...! Jurus gila, sudah
kuduga gurumu mempunyai jurus itu.
Menyesal aku harus menyerangmu hingga
aku tahu seberapa hebat murid dari dua
orang guru!"! kata Datuk Sage.
"Aku juga menyesal melihat ulah
gilamu Datuk. Tapi aku tidak akan
menyesal kau terus memaksaku bertindak
kasar!" dengus Pendekar Blo'on
jengkel.
"Heaa...!"
Datuk Sage Manyasal Hiduik sama
sekali tidak menghiraukan ucapan Suro.
Ia menulikan telinga dan kini
menyerang Pendekar Blo'on dengan
tongkat butut di tangannya. Sekali
sang Datuk mengibaskan tongkatnya.
Maka terlihat tongkat tersebut berubah
menjadi banyak, tongkat butut meliuk-
liuk bagaikan seekor ular cobra yang
sedang memburu mangsanya. Suro dibuat
pontang-panting, beberapa kali tongkat
lawan menyodok ketiak, dada, ulu hati
dan juga mata si pemuda. Pemuda ini
mencoba menangkis serangan itu dengan
telapak tangannya. Maka benturan tidak
dapat dihindari lagi.
"Taaak!"
"Wadow... edan...!" maki si
pemuda.
Tangannya tadi seperti lumpuh
dan sakitnya bukan main. Padahal
Pendekar Blo'on telah mengerahkan
tenaga dalam ke bagian telapak tangan.
Kini ia melompat mundur. Lawan
terus mengejarnya, Pendekar bertampang
ketolol-tololan ini segera memperguna-
kan jurus 'Kacau Balau' untuk
menghalau setiap serangan yang
melabraknya.
Gerakan pemuda itu sekarang
benar-benar sudah tidak teratur lagi.
Terkadang tubuhnya terhuyung ke kanan
dan ke samping kiri, atau bergerak
seperti menubruk ke depan. Ketika
tongkat lawannya menyambar menusuk
dada ia cepat menarik tubuhnya ke
belakang seperti orang yang terpeleset
kulit pisang. Lalu kaki depannya
menendang ke bagian perut sang Datuk.
Lawan menepisnya dengan tangan
kiri Suro menarik kakinya sedangkan
tangan melayang mengemplang kepala
sang Datuk.
"Plok!"
"Heh…!"
Sang Datuk memang sempat
terhuyung-huyung terkena pukulan si
pemuda. Namun Pendekar Blo'on sendiri
dibuat kaget. Bagaimana tidak, ia
seperti menghantam batu saja.
Tangannya sendiri sakit bukan main.
"Ha ha ha...! Aku sedih karena
tubuhku keras seperti batu. Aku
menyesal lantaran kau kesakitan!"
Suro pencongkan mulutnya,
"Datuk Penyesal, apakah kau tidak
menyesal melihat orang lain yang tidak
bersalah kesakitan?" tanya si pemuda.
"Penyesalanku sudah mendarah
daging, berurat berakar seperti pohon
kehampaan. Kau kesakitan aku menyesal,
tetapi aku akan lebih menyesal lagi
setelah nanti melihat darah. Darah
orang tamak, orang serakah, para
pejabat kerajaan yang korup, dan juga
pembesar yang menyeleweng. Semua itu
kusesalkan!" kata Datuk Sage Manyasal
Hiduik.
"Bicaramu semakin ngaco tidak
karuan. Bicara soal penyesalan tapi
kau malah menyerangku seperti orang
mabuk. Kau menyerang maka aku pun
harus balas menyerang supaya adil!"
dengus Pendekar Blo'on.
Tiba-tiba saja pemuda tampan
bertampang ketolol-tololan itu
menerjang Datuk Sage. Namun sang Datuk
menyambutnya dengan tusukan tingkat ke
tubuh Pendekar Blo'on. Masih dalam
keadaan mengambang di udara Suro
berjumplitan ke belakang. Begitu ia
menjejakkan kedua kakinya di atas
tanah. Maka pemuda ini lepaskan
pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'
"Huuuh...!"
Pemuda itu secepat kilat
mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Seleret sinar putih melesat bagaikan
anak panah melayang dari busurnya.
"Aku menyesal karena engkau
keluarkan pukulan. Aku menyesal karena
terpaksa gunakan tongkat bututku!"
kata Datuk Sage Manyasal Hiduik. Tiba-
tiba saja....
"Wuut! Wuut!"
"Byar!"
Pukulan yang dilepaskan Pendekar
Blo'on buyar seketika terkena sabetan
tongkat lawan yang menimbulkan angin
kencang bagaikan badai. Suro Blondo
terhuyung-huyung, namun secepatnya ia
memperbaiki posisinya. Dalam kesem-
patan itu Datuk Sage telah membalas
serangan si pemuda dengan mengayunkan
tongkat di tangan. Pemuda itu
mengelak, namun gerakannya kalah cepat
dengan tongkat lawannya. Maka....
"Buuk!"
"Aduh emaak....! Kakek kaki
kurus ini benar-benar edan." pikir
Suro sambil usap-usap dadanya yang
mendengut sakit. Setelah diusap-usap,
malah dari bibir si pemuda tampak
meleleh darah segar.
"Kau terluka? Aku sedih
melihatmu terluka, ha ha ha...!" Datuk
Sage tertawa sumbang.
"Sekarang aku terluka, sebentar
lagi aku sedih melihatmu mati makan
ulah sendiri!" dengus Suro.
Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on
melompat ke udara. Kedua tangannya
dihentakkan ke arah Datuk Sage
Manyasal Hiduik.
"'Ratapan Pembangkit Sukma'!
Hiaaa...!" teriak Pendekar Blo'on.
Angin kencang bagaikan topan
bergulung-gulung. Tampak adanya kabut
putih bagaikan salju menderu ke arah
Datuk Sage Manyasal Hiduik. Gelombang
angin kencang itu menebarkan hawa
dingin mencucuk ke sumsum tulang.
Datuk Sage Manyasal Hiduik tersentak
kaget. Sama sekali ia tidak mengira
pemuda tampan berwajah ketolol-tololan
ini telah mewarisi pukulan dashyat
'Ratapan Pembangkit Sukma' warisan
manusia sakti Malaikat Berambut Api.
Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi ia kibaskan tongkatnya yang telah
teraliri tenaga dalam ke arah lawan.
"Wut! Wut!"
Dari ujung tongkat melesat dua
larik sinar biru menebar hawa panas
menyambut gelombang angin topan yang
melesat dari telapak tangan lawannya.
Benturan keras tidak dapat dihindarkan
lagi....
"Bum! Buum!"
Ledakan-ledakan keras disertai
dengan memijarnya bunga api.
"Aaaakh... celakanya neraka
dunia jika kau mempergunakan pukulan
itu...!" desis Datuk Sage Manyasal
Hiduik.
Tubuh kakek tua ini terhuyung-
huyung. Ujung tongkatnya patah, celana
sebatas betis terkoyak. Suro Blondo
jatuh terduduk, dadanya sesak bukan
main. Sedangkan kedua kakinya sampai
amblas ke tanah sedalam lutut.
"Bukan main-main. Tidak menyesal
aku bertemu denganmu, anak muda. Yang
aku sesalkan celanaku robek. Ah...
rasanya kau pantas menghadapi orang
yang telah membunuh orang penting.
Carilah dia, aku tidak akan menyesal
dia mati di tanganmu!" kata Datuk
Sage.
Suro Blondo menarik kakinya yang
sempat terbenam, dalam hati ia dongkol
juga melihat kakek aneh ini.
"Setelah membuatku hampir babak
belur, kini kau menyuruhku pergi.
Tidak mengapa. Tapi kuharap kau mau
menyebutkan siapa dirimu yang
sebenarnya. Dan Datuk hendak pergi
kemana?" tanya Suro sambil garuk-garuk
kepalanya. Datuk Sage Manyasal Hiduik
mendongak ke langit. Wajahnya yang
selalu muram tampak berubah semakin
bertambah rawan dan menyimpan banyak
kesedihan.
"Aku Rana Gingging, punya nama.
Bertanya pada gurumu, mereka akan beri
penjelasan. Urusanku sangat besar, di
sebuah kerajaan besar, menghadapi
hutang lama yang sangat besar. Semua
orang mempertaruhkan nyawa di sana.
Hik hik hik! Tapi aku tidak menyesal
anak muda. Nanti bila panjang umur,
panjang nafas, panjang langkah. Kita
bertemu di sebuah tempat besar bernama
Bukit Keadilan. Di sana, aku, kau,
mereka dan sebagian tokoh di rimba
persilatan akan bertemu dengan
Malaikat Keadilan. Malaikat Bayangan
yang menjadi penentu besar kecilnya
dosa seseorang. Pada waktu itu setiap
wajah tertunduk. Merasa malu pada
dirinya sendiri, iblis pun akan malu,
setan malu, hantu malu, perempuan
cantik malu, laki-laki malu,
terkecuali mereka yang tidak punya
kemaluan tidak punya rasa malu." jelas
Datuk Sage Manyasal Hiduik.
Pendekar Blo'on tampak kaget
mendengar penjelasan Sang Datuk yang
tidak beda dengan seorang peramal itu.
"Kapankan waktu yang kau katakan
itu tiba, Datuk?" tanya Suro ingin
tahu. Datuk Sage Manyasal Hiduik tiba-
tiba saja gelengkan kepala sambil
menepuk keningnya.
"Aku menyesal telah membocorkan
rahasia besar ini padamu. Ah...
bagaimana ini?"
"Aku bukan orang jahat, Datuk.
Mengapa kau harus khawatir?" kata
Pendekar Blo'on.
"Setiap orang punya bakat jadi
orang jahat. Setiap orang punya dosa
kecil. Terlanjur aku bicara, urusan
besar itu akan datang menjelang
kehancuran dunia, masalah besar akan
menimpa manusia, dimana kemanusiaan
sudah tidak dihargai oleh manusia itu
sendiri. Dimana rasa malu hilang,
keadilan tinggal tertulis di daun
lontar. Dan manusia memakan sesamanya
sendiri. Itulah neraka dunia di ujung
rimba persilatan. Ah... aku menyesal
telah banyak bicara. Anak muda, padamu
kutitipkan pesan tegakkanlah kebena-
ran. Semakin berpegang kau pada akar
kebenaran, maka semua orang akan
memusuhimu!"
"Mengapa begitu, Datuk?".
"Aku menyesal tidak dapat
mengatakannya. Tapi carilah jawaban
sendiri. Kau pasti akan menemukannya.
Sudahlah, aku harus pergi...!" kata
Datuk Sage Manyasal Hiduik. Sekejap
saja Datuk ini berkelebat, maka
tubuhnya langsung menghilang dari
penglihatan Pendekar Blo'on. Pemuda
itu melongo sambil gelengkan kepala
berulang-ulang.
"Banyak sekali orang aneh di
rimba persilatan ini. Dunia ini
rupanya benar-benar mempunyai banyak
keanehan. Akh... bisa gendeng aku
memikirkannya...!" pikir Pendekar
Blo’on sambil melanjutkan perjalanan-
nya kembali.
SEPULUH
Mustika Jajar terus memanggul
patung mar-mar di bahunya. Sesekali ia
berhenti, beberapa saat lamanya ia
memperhatikan suasana di sekeliling
nya. Merasa perjalanan dalam keadaan
aman-aman saja, maka Iblis Betina Dari
Neraka ini melanjutkan perjalanannya
kembali. Ketika ia menuruni lereng
bukit tiba-tiba terdengar derap
langkah kuda dari arah depannya.
Gadis cantik berpakaian tembus
pandang ini memandang ke depan sekilas
saja. Kemudian meludah dan lanjutkan
perjalanannya kembali.
"Berhenti!" bentak sebuah suara.
Yang membentak barusan adalah
salah seorang dari dua penunggang kuda
memakai baju warna kuning. Tampang
mereka tidak ramah, wajahnya ditumbuhi
dengan cambang bawuk lebat tidak
terurus. Di bagian pinggang kedua
laki-laki tergantung sebuah pedang
pendek berwarna kuning.
Muatika Jajar turunkan patung
besar dari bahunya. Ketika melihat
kedua laki-laki berbaju kuning itu ia
kembali meludah. Sementara kedua laki-
laki penunggang kuda berbulu coklat
tampak leletkan lidah basahi bibir.
Seorang gadis cantik berwajah
jelita ada di pinggir hutan seorang
diri. Pakaiannya yang tembus pandang
menimbulkan gairah yang begitu
menggebu.
"Sudah hampir setahun ini kita
tidak pernah bertemu dengan perempuan.
Rupanya hari ini kita mendapat rezeki
yang sangat besar. Lihatlah dari
bayangannya saja tampak bukit-bukit
yang indah. Seandainya bisa kuraih,
hemm...!"
"Benar Kakang... selama ini yang
kita lihat monyet betina, gajah
betina, beruang betina. Dan yang
betul-betul perempuan baru yang ini
saja Kakang.'" kata yang berbadan
pendek menyahuti.
"Kalau kau kebagian sisaku apa
mau, Adikku?"
"Ha ha ha....! Sisanya juga enak
Kakang. Aku mau saja walau sisamu yang
ke sepuluh kalinya!"
Wajah Mustika Jajar seketika
tampak berubah memerah. Ia tahu benar
arah pembicaraan kedua laki-laki
berbaju kuning tersebut. Tetapi di
lain waktu wajah gadis itu tersenyum
memikat. Malah ia usap-usap dadanya
yang tampak membusung. Sehingga
membuat kedua laki-laki ini jadi
belingsatan.
"Kalian siapa?" tanya Iblis
Betina Dari Neraka.
"Ha ha ha...! Ternyata kau
adalah seorang gadis yang sangat
ramah. Kami berdua adalah Iblis Kuning
yang menguasai daerah ini. Tentu kau
tidak keberatan bila kami mengajakmu
bergabung. Jangan khawatir, hidupmu
pasti terjamin, karena kami mempunyai
harta yang sangat besar jumlahnya."
kata yang berbadan pendek, lalu
memelintir kumisnya yang tebal.
Mustika Jajar tersenyum, setiap
senyumnya membuat jantung kedua laki-
laki itu berdetak kencang.
"Hi hi hi...! Begitu? Apakah aku
harus menjadi isteri kalian atau hanya
sekedar sebagai pemuas nafsu?" tantang
si gadis,
"Tentu saja menjadi isteri
kami?" sahut yang jangkung
Ia melangkah mendekati si gadis.
"Kalau aku harus memilih, maka
aku hanya bisa menjadi isteri salah
seorang dari kalian. Selain itu kalian
juga harus bertarung, siapa yang
keluar sebagai pemenangnya. Maka orang
itulah yang berhak mendapatkan
tubuhku!"
Kedua Iblis Kuning saling
pandang. Rasanya mustahil mereka
saling serang sesama mereka sendiri.
Sebab mereka masih punya hubungan
darah.
"Kami tidak bisa memenuhi
permintaanmu!" sergah yang berbadan
pendek.
"Mengapa? Sarat untuk mendapat-
kan diriku hanyalah dengan bertarung
antara kau dan kawanmu itu. Kalau
tidak siapa sudi? Sebab aku tidak tahu
siapa yang paling hebat di antara
kalian jika telah berada di atas
ranjang...!"
"Kami tidak mau."
"Kalau kalian tidak mau ber-
tarung aku pun tidak sudi menjadi
isteri kalian!" dengus Mustika Jajar.
"Kau boleh tidak mau, tapi
patung bagus itu harus kau serahkan
pada kami...!" tegas si jangkung.
"Hik hik hik...! Patung ini
tidak akan kuberikan pada siapa pun.
Saudagar Bergola Mungkur hendak
menukar patung ini dengan tiga kantung
emas. Itu pun tidak kuberikan!.
Apalagi cuma kalian yang memintanya.
Tentu kalian hanya akan membuang nyawa
secara sia-sia!"
Kedua Iblis Kuning tampak marah
sekali melihat gadis di depan mereka
terlalu memandang rendah. Yang
berbadan pendek tiba-tiba saja
melompat ke depan. Tangannya ter-
pentang meluncur ke arah dada.
Tujuannya adalah meremas bukit kembar
milik si gadis yang tegak menantang
itu. Akan tetapi tiba-tiba saja
"Tes!"
"Aaaa...!"
Iblis Pendek menjerit keras.
Tubuhnya terpelanting, ketika ia
melihat ke bagian tangannya. Maka
tangan tersebut telah bengkak membiru.
Mustika Jajar tergelak-gelak.
"Kepandaian baru seujung kuku,
berani lancang main remas milik orang
lain. Majulah kalian berdua, aku tidak
punya banyak waktu untuk mengirim
kalian ke neraka."
Yang berbadan jangkung melompat
ke depan, iblis berbadan pendek
bangkit berdiri. Lalu keduanya secara
bersamaan melakukan penyerangan ke
arah lawannya. Serangan yang mereka
lakukan tidak main-main lagi, bahkan
di saat itu kedua Iblis Kuning telah
mengerahkan jurus 'Mengusir Kabut
Dalam Badai'. Ini merupakan jurus
andalan yang mereka miliki. Begitu
tubuh dan tangan mereka berkiblat,
maka terasa adanya sambaran angin yang
sangat keras menampar wajah sang
gadis. Mustika Jajar cepat menundukkan
kepala. Laksana kilat masih dalam
keadaan tertunduk itu ia melepaskan
tendangan berputar.
"Duk! Duk!"
"Hegkh...!"
Kedua Iblis Kuning terhuyung ke
belakang. Dada mereka yang kena
tendangan itu langsung berubah
membiru.
"Hek... keparat kau iblis
betina...!" desis salah seorang di
antara mereka. Lalu....
"Sring! Sring!"
Mereka langsung mencabut pedang
pendek yang tergantung di pinggang.
Setelah itu laksana kesetanan mereka
memutar pedang di tangan dengan
kekuatan berlipat ganda.
"Wut!"
Begitu tubuh mereka menerjang ke
arah si gadis. Maka pedang di tangan
mereka menusuk enam jalan kematian
lawannya. Mustika Jajar tidak menjadi
keder dibuatnya. Ia menggeser langkah-
nya ke belakang sebanyak dua langkah.
Setelah itu tangannya menghantam ke
arah lawan-lawannya dengan kecepatan
sulit diikuti mata.
"Wusss!"
Dua larik sinar membeset udara.
Merasakan adanya hawa dingin
menderu ke arah mereka. Maka dua Iblis
Kuning terpaksa menarik serangan dan
memutar senjata untuk melindungi diri.
Namun pukulan yang dilepaskan
oleh Mustika Jajar tadi seakan tidak
dapat mereka patahkan. Malah tubuh
mereka seperti didorong oleh sebuah
kekuatan yang sangat dashyat. Dua
Iblis Kuning kertakkan rahang, lalu
melipat gandakan tenaga dalam ke arah
pedang. Akhirnya....
"Buuummm!"
"Auugkh…!"
Kedua laki-laki tersebut men-
jerit tertahan. Tubuh mereka ter-
guling-guling. Wajah mereka berubah
pucat seperti mayat. Dengan bersusah
payah kedua iblis ini mencoba bangkit
berdiri. Sementara lawan mereka ter-
tawa mengikik sambil bertolak
pinggang.
"Hegkh...!"
Begitu mereka dapat berdiri.
Maka darah langsung menyembur dari
hidung dan mulut mereka. Jelas sudah
mereka menderita keracunan yang sangat
parah.
"Racun Naga Biru belum seberapa.
Tapi kalian segera berangkat ke
akherat bila aku melepaskan pukulan
yang ini...!" dengus si gadis.
Begitu tubuhnya berkelebat, maka
Mustika Jajar kerahkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan. Kedua telapak tangan
sampai ke siku yang berwarna putih
tadi sekarang telah berubah menjadi
merah semerah darah. Kedua Iblis
Kuning segera menyadari apa yang bakal
terjadi pada mereka. Mereka bersiap-
siap hendak kabur, namun lawan rupanya
melihat gelagat ini. Sehingga dengan
cepat ia mengibaskan kedua tangannya
ke depan.
"Wuut..,!"
Sepuluh leret sinar merah
menebar bau bangkai melesat bagaikan
kilat. Dua Iblis Kuning mencoba
menangkis dengan memutar senjata di
tangan. Tetapi tampaknya pertahanan
yang mereka lakukan tidak memiliki
arti sama sekali. Terbukti serangan
Mustika Jajar mampu menerobos
pertahanan lawannya.
"Glaar! Glaar!"
"Aaaaakgh...!"
Ledakan dashyat disertai dengan
terdengarnya suara jeritan yang saling
susul menyusul. Dua sosok tubuh
terlempar, ketika Iblis Kuning terban-
ting ke tanah. Maka tubuh mereka telah
mengeriput hancur dalam waktu yang
sangat cepat sekali.
"Hik hik hik...! Kalian belumlah
pantas menyandang gelar iblis.
Kepandaian hanya seupil sudah berani
bertindak usil!" dengus si gadis.
Sambil tersenyum sinis ia
meninggalkan dua korbannya. Lalu ia
mendekati patung perkasa, setelah itu
ia memanggulnya kembali dan berjalan
pelan tanpa menoleh-noleh lagi.
SEBELAS
Halaman luas yang dimasuki Suro
Blondo tampak tenang dan sepi-sepi
saja. Pemuda berbaju biru muda itu
terus melangkahkan kakinya mendekati
pintu utama, hingga kemudian terdengar
suara bentakan disertai berkelebatnya
beberapa sosok tubuh mengurung pemuda
itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, para
pengawal yang jumlahnya tidak kurang
dari delapan orang langsung menyerang
dengan pedang terhunus di tangan.
"Walah! Mau bertemu dengan
saudagar kaya, anjing-anjing penjaga-
nya malah mengeroyokku! Baiklah kalian
akan kubuat loyo...!" dengus Pendekar
Blo'on. Seraya garuk-garuk punggung
kepala. Lalu menyambut serangan gencar
lawan-lawannya dengan mempergunakan
jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'.
Inilah salah satu jurus menghindar dan
menyerang yang teramat konyol dan
lucu. Mula-mula pemuda ini ber-
jingkrak, kemudian melompat-lompat di
lain saat menyerang sambil mengibaskan
tangannya berulang-ulang. Sungguh pun
gerakan kilat itu seperti orang
menggaruk. Namun lawan terdepan yang
terkena hantaman tangannya langsung
terpental, berguling-guling disertai
suara jerit kesakitan.
Melihat kawannya dengan dikerjai
oleh pemuda bertampang tolol ini. Maka
yang lain-lainnya menjadi sangat marah
sekali. Serangan-serangan yang dilan-
carkan oleh mereka semakin lama
semakin bertambah hebat. Pedang
menderu-deru menghantam sepuluh jalan
kematian. Suro Blondo terpaksa memi-
ringkan tubuhnya atau terkadang
melesat ke udara. Ketika tubuhnya
meluruk deras ke bawah. Maka kaki
kanannya menghantam kepala lawannya
dengan keras.
"Praaak...!"
"Akkkhgggk...!" dua pengawal
menjerit keras. Tubuh mereka
tersungkur dengan kepala remuk menyem-
bur darah. Kepala pengawal tersentak
kaget, sama sekali ia tidak menyangka
kalau pemuda bertampang tolol itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Lebih mengherankan lagi ketika
menyadari bahwa sampai sejauh itu
pedang di tangannya tidak dapat
menyentuh tubuh si pemuda. Merasa
tidak ada pilihan lain, kepala
pengawal segera mengerahkan jurus
'Menyibak Bukit Menghantam Demit'.
"Hiyaaa...!" Kepala pengawal
sambil berteriak melengking tinggi
segera memutar pedang di tangannya. Di
lain waktu ia menerjang ke depan, lalu
menusukkan ujung pedang ke lambung
Suro Blondo. Pemuda itu menarik
tubuhnya ke belakang. Namun dari arah
belakangnya mata pedang lawannya
membabat pula.
"Tep! Weleh... edaaan...!" Si
pemuda menggerutu. Selanjutnya meng-
hantamkan tangannya kedua arah
sekaligus. Sinar putih berkilauan
melesat dan menghantam kepala pengawal
dan kawannya. Itulah pukulan 'Kera
Sakti Menolak Petir' yang dimilikinya.
Terdengar satu ledakan dahsyat.
Bersamaan dengan itu terdengar pula
suara jerit lawannya. Kepala pengawal
dan satu lainnya terkapar di tanah
dengan mulut menyemburkan darah dan
jiwa melayang.
"Hhmm... sekarang tinggal
kalian! Cepat pilih, antara mati atau
memanggil juraganmu untuk menghadapi
aku!" Empat orang pengawal saling
pandang sesamanya. Mereka sama-sama
berpikir jika kepala pengawal saja
tewas di tangan pemuda itu, apalagi
sekarang mereka hanya tinggal berempat
saja. Namun sebelum mereka sempat
memutuskan apa-apa. Pintu utama tiba-
tiba saja terbuka. Seorang laki-laki
berpakaian mewah muncul dan melangkah
menghampiri pemuda berambut hitam
kemerahan ini. Wajahnya jelas-jelas
tidak dapat menyembunyikan rasa
kejutnya ketika melihat empat orang
pengawalnya tergeletak tanpa nyawa.
Saudagar Bergola Mungkur
memperhatikan pemuda yang sama sekali
tidak dikenalnya ini sejurus lawannya.
"Kau siapa?" tanya sang
saudagar, suaranya bergetar berusaha
menahan amarah.
Suro Blondo tersenyum, lalu
usap-usap keningnya.
"Aku Pendekar Blo'on! Sengaja
datang menemuimu untuk menagih hutang-
hutangmu yang bertumpuk!"
"Ha ha ha...! Bicaramu ngaco
belo. Manusia tolol sepertimu telah
menghutangkan apa kepadaku yang kaya
raya, heh...!" hardik Bergola Mungkur,
berang.
"Kau memang kaya, tapi hasil
kekayaanmu adalah hasil cucuran
keringat darah orang-orang yang mati
sengsara di Bumi Ayu." dengus
Pendekar Blo'on serius.
Saudagar itu terdiam. Wajahnya
berubah memerah. Ia merasa yakin dapat
mengatasi pemuda yang mengaku berjuluk
Pendekar Blo'on ini. Untuk itu ia pun
berkata dengan angkuhnya.
"Kau pendekar Gila! Lebih baik
kau angkat kaki dari hadapanku sebelum
aku benar-benar memenggal kepalamu!"
"Justru aku jauh-jauh datang
kemari ingin meminta nyawamu. Kalau
kau tidak percaya tanyakan saja pada
semua algojomu yang sudah menunggu di
pintu nereka!" kata pemuda itu lalu
tertawa gelak-gelak. Saudagar Bergola
Mungkur terkesiap. Sama sekali ia
tidak menyangka kalau pemuda tampan
bertampang tolol itu telah
membinasakan orang-orang
kepercayaannya.
"Keparat! Kau benar-benar
membuatku marah!"
"Sret!"
Laki-laki berkumis tebal ini
kemudian mencabut pedangnya.
"Jika kau sudah marah, mengapa
tidak menyerang?" Suro Blondo
tersenyum mengejek. Tingkah dan ucapan
Pendekar Blo'on tentu saja membuat
lawannya semakin mendongkol. Sambil
membentak garang, Bergola Mungkur
tiba-tiba saja mengibaskan pedangnya
membelah dada si pemuda. Dengan gesit
pemuda ini langsung menghindar.
Selanjutnya ia memapak serangan
itu dengan gerakan yang serba aneh dan
lucu-lucu. Namun dibalik kekonyolan
jurus-jurus yang dimainkannya. Terkan-
dung sebuah kedashyatan yang tidak
dapat diduga-duga. Saudagar Bergola
Mungkur sendiri sempat terkesima.
Berulang kali ia membangun serangan.
Namun hingga sampai sejauh itu, setiap
serangannya selalu menemui tempat
kosong. Padahal ia telah mengerahkan
jurus 'Sayap Kupu-Kupu Membelah Kuntum
Bunga'.
"Shaa...!"
"Des! Des!"
Satu gerakan tipuan dilakukan
oleh laki-laki setengah baya ini. Suro
Blondo berusaha berkelit. Namun dua
pukulan yang tidak diduga-duga
menghantam dada dan punggungnya.
Pemuda berambut hitam kemerahan ini
terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak
hingga membuatnya sulit bernafas.
Belum sempat ia memperbaiki
posisinya. Mata pedang lawannya
menderu dan jika tidak cepat ia
menarik badannya ke belakang. Pasti
pedang lawannya telah menjebol
perutnya.
"Heh... dia sangat cepat sekali
dalam memainkan jurus-jurus pedangnya.
Sebaiknya aku mengerahkan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'"
batinnya dalam hati.
"Huuup...!"
"Deep!"
"Beet!"
Benar saja dugaan si pemuda
begitu tubuhnya berkelebat cepat.
Pedang di tangan lawan terus memburu.
Suro Blondo tiba-tiba berbalik, lalu
hantamkan tangannya ke bagian perge-
langan tangan Bergola Mungkur. Sungguh
pun gerakan yang dilakukan oleh pemuda
itu terasa cepat sekali. Namun lawan
rupanya berlaku sangat cerdik. Jika
semula ia melakukan tusukan, maka kini
berbalik membabat kaki Suro Blondo.
Ia balas menyerang dan....
"Des!"
"Aaakkkh...!"
Pendekar Blo'on menyeringai.
Tubuhnya jatuh terguling-guling.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Bergola Mungkur yang telah dikuasai
oleh nafsu membunuh. Ia memburu sambil
menghujamkan pedangnya berturut-turut.
Suro Blondo terus berguling-
guling kalang kabut. Satu kesempatan
ia yang telah mengerahkan tenaga
dalamnya segera menghantam ke depan.
"Wuuus!"
Sinar merah hitam menderu dari
telapak tangannya. Itulah pukulan
'Neraka Hari Terakhir'. Salah satu
pukulan pamungkas yang sangat sulit
dicari tandingannya. Bergola Mungkur
sama sekali tidak menyangka akan
mendapat serangan sedemikian rupa.
Dalam jarak yang begitu dekat mustahil
ia dapat menghindarinya. Tidak pelak
ia pun memutar pedangnya untuk
melindungi diri. Namun gerakannya
kalah cepat dengan pukulan yang
dilepaskan Suro Blondo. Sehingga tidak
pelak lagi pukulan 'Neraka Hari
Terakhir' dengan telak memanggang
tubuhnya. Suara ledakan dahsyat
disertai dengan suara jeritan Bergola
Mungkur. Tubuhnya terbanting ke tanah
dalam keadaan hangus seperti arang.
Sedang pedang yang dipergunakan oleh
Bergola Mungkur meleleh dan tergeletak
tidak jauh dari mayat pemiliknya.
"Hemm... saudagar ini kaya raya,
tapi ia mati tidak membawa hartanya.
Lagipula orang mati mana doyan harta,
tidak jajan dan tidak pula membutuhkan
kemewahan dunia. Biarkah rakyat yang
memiliki harta itu." batin Pendekar
Blo'on lalu garuk-garuk kepalanya
Hari telah menjelang senja saat
Pendekar Blo'on si bocah ajaib
beranjak pergi meninggalkan mayat-
mayat yang bergeletakan.
TAMAT
Segera menyusul!!!
Serial :
PENDEKAR BLO'ON
dalam episode selanjutnya :
IBLIS BETINA DARI
NERAKA
0 comments:
Posting Komentar