• Jumat, 13 Desember 2024

    PENDEKAR BLOON EPISODE PEMIKAT IBLIS

     Cerita ini adalah fiktif

    Persamaan nama, tempat dan ide hanya 

    kebetulan belaka.

    PEMIKAT IBLIS

    Oleh : D. AFFANDY

    Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

    Cetakan Pertama : 1993

    Setting Oleh : M. Yohandi

    Hak penerbitan ada pada penerbit 

    Mutiara

    Dilarang mengutip, mereproduksi dalam 

    bentuk apapun

    Tanpa ijin tertulis dari penerbit.

    D. Affandy

    Serial Pendekar Blo'on

    Dalam episode Pemikat Iblis


    SATU



    Gunung Galunggung hampir sepan-

    jang masa menyemburkan lidah api 

    abadi. Hampir setiap saat penduduk di 

    sekitarnya boleh dikata terancam mara-

    bahaya. Letusan gunung hampir semua 

    orang tahu selalu mendatangkan malape-

    taka. Walaupun kesuburan tanahnya 

    memberi manfaat bagi kehidupan umat 

    manusia.

    Tidak jauh dari gunung Galung-

    gung ini ada sebuah tempat yang 

    bernama Cilawu. Daerah ini merupakan 

    sebuah daerah dataran rendah dan 

    berbukit-bukit. Meskipun daerah terse-

    but selalu tampak sunyi seakan tidak 

    berpenghuni. Bila dilihat dari dekat, 

    maka setiap pagi selalu terdengar 

    suara bentakan-bentakan atau terkadang 

    suara lengking tangis berkepanjangan. 

    Tidak jarang terdengar pula suara 

    beradunya dua senjata, terasa menya-

    kitkan gendang-gendang telinga.

    Melihat ke arah lembah gersang 

    dan berbatu cadas itu. Maka sege-

    ra terlihat seorang gadis berbaju 

    ungu dan berwajah angker sedang 

    bertarung mati-matian melawan seorang 

    laki-laki tua muka tengkorak. 

    Rambutnya yang riap-riapan dibiarkan-

    nya tergerai memanjang. Sementara 

    kakek berambut putih acak-acakan muka 

    tengkorak, tampaknya juga tidak jauh


    lebih baik dari gadis yang di-

    hadapinya.

    "Kerahkan seluruh kepandaian 

    yang kau miliki!" suara kakek wajah 

    tengkorak menggema ke seluruh bibir 

    lembah, menggetarkan dinding-dinding 

    batu, juga menulikan telinga.

    "Jangan hanya gembar-gembor 

    macam harimau ompong tua bangka! Mari 

    kita buktikan siapa yang paling kuat 

    di antara kita!" bentak gadis baju 

    ungu tidak kalah sengitnya.

    Tidak dapat dihindari pertem-

    puran seru pun terjadi. Masing-masing 

    tampaknya sama-sama mengandalkan ta-

    ngan kosong. Setiap serangan yang 

    mereka lancarkan selalu menimbulkan 

    angin bersiuran. Debu-debu mengepul di 

    udara. Batu-batu berhamburan dan siap 

    menghantam tubuh lawannya. Lengah 

    sedikit, maka putuslah nyawa.

    Pertempuran sengit itu semakin 

    lama semakin menghebat. Terlebih-lebih 

    ketika kakek tua bertampang mengerikan 

    berbadan kurus kering itu lepaskan 

    salah satu pukulan yang paling 

    diandalkannya.

    "Heaaa...!" Tangan si kakek yang 

    telah berubah menjadi biru tiba-tiba 

    saja dihantamkannya ke depan.

    "Hmm. Hanya pukulan Racun Segala 

    Bisa, siapa yang takut!" Gadis baju 

    ungu menggeram hebat. Ia kerahkan 

    tenaga dalam yang dimilikinya ke


    bagian tangan kiri kanan. Hanya dalam 

    waktu sekedipan mata saja kedua 

    telapak tangannya juga telah berubah 

    menjadi biru. Tanpa menunggu ia 

    lontarkan kedua tangannya memapaki 

    pukulan beracun yang dilepaskan oleh 

    kakek muka tengkorak mata buta 

    sebelah.

    "Huup!"

    "Shaa...!"

    Angin dingin mencucuk membekukan 

    darah saling menyambar dengan ganas. 

    Kemudian terjadi benturan yang sangat 

    keras bukan alang kepalang.

    "Duum! Duum!"

    Dinding tebing yang selama 

    bertahun-tahun tidak pernah goyah 

    diterpa musim. Kini tampak longsor di 

    sana-sini. Suara bergemuruh disertai 

    menyebarnya bau menusuk berbaur 

    menjadi satu. Debu mengepul tinggi 

    membumbung ke angkasa. Bila beberapa 

    saat kemudian debu-debu yang 

    berterbangan itu mulai menipis. Maka 

    daerah di sekitarnya menjadi porak 

    poranda. Pada dua buah sisi yang 

    berlawanan terlihat dua sosok tubuh 

    tergeletak tidak bergerak sama sekali. 

    Dari bibir mereka mengalirkan darah. 

    Tampak jelas baik gadis berbaju ungu 

    maupun si kakek muka tengkorak 

    menderita luka dalam yang sangat 

    parah. Namun anehnya tidak berselang 

    lama. Terdengar suara tawa si muka


    tengkorak bergelak. Tawa itu semakin 

    lama semakin meninggi, hingga membuat 

    daun-daun hijau di atas pohon 

    berguguran. Gadis berbaju ungu agaknya 

    juga menyadari apa yang tengah 

    dilakukan oleh laki-laki renta di 

    depannya. Itulah salah satu cara 

    menyembuhkan luka dalam lewat 

    pengerahan suara tawa. Dan inilah 

    merupakan sebuah cara yang teramat 

    langka dan sangat jarang dimiliki oleh 

    orang-orang rimba persilatan.

    Sadar lawannya mengerahkan hawa 

    murni untuk menyembuhkan luka dalam 

    yang dideritanya. Maka gadis baju ungu 

    juga ikut tertawa. Suara tawanya 

    melengking tinggi. Tubuhnya yang 

    ramping bahkan sampai terguncang-

    guncang. Suara tawa saling tindih 

    menindih hingga menimbulkan guncangan 

    hebat pada tanah tempat mereka berada.

    Dari arah barat laut, tiba-tiba 

    saja angin kencang berhembus. Pohon-

    pohon di sekeliling lembah dan bukit 

    bertumbangan. Dan langit pun seketika 

    berubah mendung. Gadis baju ungu

    terkesima, sebaliknya kakek renta muka 

    tengkorak semakin memperhebat suara 

    tawanya.

    "Ha ha ha...! Hujan angin... 

    inilah waktu yang kutunggu-tunggu 

    sejak tujuh belas tahun yang lalu...! 

    Hak kak kak...."

    Gadis baju ungu terkesima.


    Seraya jatuhkan diri dan berlutut di 

    depan kakek renta muka tengkorak.

    "Guruku Tuan Muka Tengkorak Mata 

    Api, apakah maksud ucapanmu?" tanya si 

    gadis. Ia seka darah yang membasahi 

    sudut-sudut bibirnya. Sementara luka 

    dalam yang dideritanya sudah tidak 

    terasa sakit lagi. 

    "Ha ha ha...! Muridku Mustika 

    Jajar. Sejak masih bayi merah aku 

    sengaja mengambilmu untuk kujadikan 

    seorang murid tanpa tanding. Sekarang 

    dan untuk masa yang akan datang kau 

    akan menjadi seorang ratu yang tidak 

    ada tanding. Kau bukan saja menjadi 

    tokoh yang tidak ada duanya, tapi juga 

    karena kecantikanmu yang sungguh 

    menggiurkan, membuatmu mudah 

    menundukkan laki-laki manapun yang kau 

    sukai."

    Seandainya ia seorang gadis yang 

    dididik oleh seorang tokoh aliran 

    lurus. Tentu saja wajahnya berubah 

    merah karena mendapat sanjungan. Tapi 

    karena pada dasarnya ia merupakan 

    hasil gemblengan tokoh Maha Sesat. 

    Mustika Jajar malah tertawa bergelak 

    dan leletkan lidah basahi bibir.

    "Sekarang hapuslah coreng moreng 

    di wajahmu, Mustika!" perintah tegas 

    kakek renta muka tengkorak yang hanya 

    mempunyai satu mata ini tegas.

    "Hi hi hi...! Jika kuhapus bedak 

    batu penutup wajahku. Aku takut guru


    tergiur olehku. Jika guru yang 

    kepincut padaku, kujamin aku pasti 

    tidak bersedia melayani keinginan 

    guru!" Mustika Jajar tertawa genit.

    Seraya lalu menghapus coreng moreng di 

    wajahnya.

    "Tidak perlu khawatir muridku. 

    Tidak nantinya pagar memakan tanaman. 

    Sejak kecil aku merawat dirimu. 

    Walaupun sekarang kau berpakaian rapi. 

    Sebagai gurumu tentu aku sudah tahu 

    lekuk liku tubuhmu!" kata kakek muka 

    tengkorak sambil tertawa-tawa,

    Mata Mustika Jajar mengerling 

    nakal. Wajahnya yang sekarang tidak 

    tertutup pelapis apa-apa tampak cantik 

    berseri-seri.

    Matanya berbinar penuh keman-

    jaan. Tapi di balik penampilannya yang 

    nyata, tersimpan kekejaman melebihi 

    manusia biadab.

    "Ha ha ha. Sekarang kau benar-

    benar telah menjadi gadis yang sudah 

    sangat dewasa sekali, Tika. Wajahmu 

    cantik melebihi bidadari. Jika saja 

    aku masih muda, tentu saja aku tidak 

    akan melepaskanmu setelah berhasil 

    mendapatkan cintamu. Ha ha ha...!"

    "Ternyata guru dulunya mata 

    keranjang." Cibir si gadis.

    "Lain dulu lain sekarang. 

    Sekarang adalah masa pembalasan di 

    mana kau harus mencari dan membunuh 

    seorang laki-laki yang berjuluk


    'Malaikat Berambut Api'. Orang inilah 

    yang dulu pernah mencungkil sebelah 

    mataku. Sudah menjadi tugasmu menja-

    lankan perintahku. Selain itu kau juga 

    berhak membunuh semua tokoh persilatan 

    aliran lurus. Pergunakanlah kecerdikan 

    dan kecantikan yang kau miliki untuk 

    memperdaya setiap lawan. Jika lawan-

    lawanmu merupakan tokoh yang sangat 

    sakti, kau pikatlah dengan kecantikan-

    mu! Jika mereka benar-benar telah 

    bertekuk lutut di bawah kakimu. 

    Peralatlah dia untuk mencapai cita-

    citamu."

    "Tapi guru. Di mana aku harus 

    mencari musuh besar guru yang 

    mempunyai gelar 'Malaikat Berambut 

    Api' itu?"

    Tua Tengkorak Mata Api terdiam 

    beberapa saat lamanya. Matanya yang 

    cuma sebelah itu memandang lurus ke 

    arah si gadis. Dan beberapa saat sete-

    lahnya suara tawa muka tengkorak 

    menggema kembali. Di tengah-tengah 

    suara tawanya yang tidak ubahnya bagai 

    gaung suara harimau itu terdengar 

    ucapannya yang tajam menusuk.

    "Di manapun adanya Malaikat 

    Berambut Api, kau harus mencarinya 

    Mustika Jajar! Terakhir kudengar ia 

    mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu 

    Malam yang terletak di daerah selatan 

    laut Jawa...."

    "Apakah orang itu tidak


    mempunyai murid, guru?"

    "Mengenai murid aku sampai saat 

    ini tidak mengetahuinya. Tapi kelak 

    bila kau telah turun ke dunia ramai. 

    Tentu kau dapat mencari tahu!"

    "Baiklah guru. Kalau semua ini 

    memang sudah merupakan keinginan guru. 

    Maka sebagai murid yang ingin berbakti 

    padamu, aku siap menjalankan segala 

    perintahmu..." ujar gadis cantik ber-

    baju ungu.

    "Bagus! Sekarang kau duduklah di 

    sini," ujar Tua Tengkorak Mata Api.

    Mustika Jajar duduk di depan 

    kakek Muka Tengkorak. Seraya kemudian 

    mengangkat kedua tangannya tinggi-

    tinggi. Setelah memberi isyarat pada 

    muridnya, lalu Mustika Jajar pun meng-

    angkat kedua tangannya. Tangan mereka 

    saling menempel. Sebelum Mustika Jajar 

    mengetahui apa yang akan diperbuat 

    oleh gurunya.

    Tiba-tiba gadis ini merasakan 

    adanya satu sengatan yang sangat keras 

    dan menimbulkan rasa dingin yang tidak 

    tertahankan mengalir melalui telapak 

    tangan gurunya. Mustika Jajar sempat 

    terkesima. Hanya saja sebagai gadis 

    yang sangat cerdik ia segera menge-

    tahui bahwa gurunya sengaja memper-

    besar hawa murni yang dimilikinya.

    Tubuh murid dan guru tampak 

    sama-sama tergetar hebat. Asap tipis 

    mencuat dari bagian atas ubun-ubun si


    kakek muka tengkorak; Sebaliknya tubuh 

    Mustika Jajar sudah tampak bersimbah 

    keringat. Tidak sampai sepemakan 

    sirih. Tua Tengkorak Mata Api sudah 

    menarik tangannya yang melekat di 

    tangan muridnya.

    Mustika Jajar, gadis berbaju 

    ungu dan memiliki kecantikan luar 

    biasa ini menarik nafas panjang. Kini 

    ia merasa tubuhnya semakin menjadi 

    ringan. Bahkan ketika ia menggerak-

    gerakkan tubuhnya. Semuanya terasa 

    lebih hebat dari waktu-waktu sebelum-

    nya.

    "Apa yang kau rasakan, muridku?" 

    tanya Muka Tengkorak. Sungguh pun saat 

    itu ia sedang tersenyum. Tapi di mata 

    yang melihatnya senyumannya tidak 

    ubahnya bagai seringai yang mengeri-

    kan.

    "Aku merasa badanku berubah 

    seringan kapas!" jelas gadis cantik 

    berhati telenggas ini sejujurnya.

    "Bagus... ha ha ha... bagus...!" 

    kata Tua Tengkorak Mata Api. Seraya 

    meraba pinggangnya. Kemudian terlihat-

    lah sebuah buntalan kecil warna hitam 

    tergenggam di tangannya.

    Buntalan itu selanjutnya dibuka-

    nya. Setelah buntalan terbuka sepe-

    nuhnya. Maka terlihatlah sebuah 

    senjata yang sangat aneh bentuknya. 

    Senjata itu berbentuk bulat seperti 

    bulan sabit. Berwarna putih mengkilat


    karena ketajamannya.

    "Kau tahu cara mempergunakannya, 

    muridku?" ,

    Mustika Jajar menganggukkan 

    kepala.

    "Coba bagaimana?"

    "Sabit Bulan adalah senjata yang 

    sangat aneh. Aku tentu saja dapat 

    mempergunakannya. Walaupun hanya 

    dengan menggenggamnya."

    "Bagus! Senjata ini sekarang 

    menjadi milikmu sepenuhnya," ujar 

    kakek renta muka tengkorak. Seraya 

    menyerahkan senjata itu pada Mustika 

    Jajar.

    "Pantaskah aku menerimanya, 

    guru?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.

    "Tentu saja pantas, karena 

    sebentar lagi kau sudah harus mening-

    galkan lembah Cilawu ini."

    Mustika Jajar memang tidak perlu 

    membantah lagi. Sungguhpun hatinya 

    merasa berat untuk meninggalkan orang 

    yang telah merawat dan mendidiknya 

    selama ini. Namun akhirnya ia harus 

    berangkat memulai kehidupan lain yang 

    sangat baru.



    DUA




    Cambuk di tangannya sesekali 

    melecut di udara disusul dengan suara 

    jerit kesakitan salah seorang dari 

    sekian banyak orang-orang dari mereka

    yang terbelenggu mata rantai. Tubuh 

    yang semula muda perkasa ini lambat 

    laun hanya tinggal kulit pembalut 

    tulang. Mereka kurang makan, kurang 

    tidur, kurang istirahat dan kurang 

    segala-galanya. Sepanjang hari mereka 

    harus terus menerus bekerja menggali 

    sebuah terowongan, mengayak serpihan 

    tanah untuk mendapatkan biji-biji emas 

    murni.

    Tidak jauh dari pekerja-pekerja 

    paksa itu lebih dari sembilan laki-

    laki bertubuh tegap berkepala botak 

    dan bertampang beringas terus 

    mengawasi pekerjaan mereka tanpa 

    mengenal belas kasihan sama sekali.

    Jika para pekerja itu tampak 

    malas, maka cambuk berduri di tangan 

    para algojo itu ikut bicara. Tidak 

    heran jika tiap hari para pekerja itu 

    ada saja yang mendapat celaka atau 

    mati. Mayat-mayat mereka biasanya 

    dibuang begitu saja tanpa ada seorang 

    pun yang di antara para pekerja itu 

    yang berani mengurusnya.

    Sebuah dataran rendah tidak jauh 

    dari tempat penggalian emas telah 

    ditentukan sebagai tempat pembuangan 

    jenazah. Tidak heran jika dalam 

    beberapa tahun saja Bumi Ayu telah 

    dipenuhi dengan tulang belulang yang 

    bertimbun bahkan mulai menggunung.

    Bau di tempat itu tidak dapat 

    dilukiskan. Kenyataan ini tentu saja


    sangat mengganggu pernafasan para 

    pekerja paksa yang banyak didatangkan 

    dari daerah Bumi Ayu dan Cijulang. 

    Tapi siapa yang akan perduli? Tidak 

    ada seorang pun yang memperdulikan 

    nasib mereka. Kalau pun ada di antara 

    para pekerja paksa yang berusaha 

    melarikan diri. Tidak seorang pun di 

    antara mereka yang dapat menyelamatkan 

    diri. Mereka yang ketahuan oleh algojo 

    segera dihabisi nyawanya. Kalaupun ada 

    yang selamat sampai ke kampung 

    halaman. Maka dalam waktu yang sangat 

    singkat para algojo itu menyeret 

    mereka untuk menerima hukuman mati 

    atas pelarian nekad itu.

    Siang panas terasa membuat 

    rengat batok kepala. Para pekerja 

    paksa itu seakan tidak mengenal rasa 

    letih, terus melaksanakan tugasnya. 

    Jika di antara para pekerja itu ada 

    yang malas. Maka para algojo dengan 

    kejamnya langsung mengayunkan 

    cambuknya.

    Pada suasana seperti itu, di 

    kejauhan sana terdengar derap langkah 

    suara kuda. Penunggangnya adalah dua 

    orang laki-laki berbaju serba hitam 

    bertampang tirus. Sedangkan kuda yang 

    berada paling depan ditunggangi oleh 

    seorang laki-laki berpakaian 

    bangsawan. Semakin lama tiga ekor kuda 

    tunggangan ini semakin dekat dengan 

    tempat tujuan.


    Para algojo begitu mengetahui 

    siapa yang datang langsung menyongsong 

    kehadiran mereka dengan sikap penuh 

    rasa hormat. Tidak sampai sepemakan 

    sirih. Sampailah rombongan penunggang 

    kuda ini di lokasi penggalian emas 

    Bumi Ayu. Tiga ekor kuda tunggangan 

    berhenti dengan tiba-tiba. Dua orang 

    penunggangnya melompat turun, sedang-

    kan laki-laki berpakaian bangsawan 

    tetap duduk di atas pelana kudanya. 

    Seraya memperhatikan para algojo itu 

    dengan tatapan sulit dimengerti.

    "Bagaimana hasil kerja selama 

    satu purnama ini, Dasa Reksa?" tanya 

    saudagar Bergola kepada kepala algojo

    "Maafkan kami, Tuan. Pendapatan 

    biji-biji emas agak merosot. Semua ini 

    dikarenakan semakin menipisnya jumlah 

    pekerja. Menurut hemat hamba, kita 

    merasa perlu menambah jumlah peker-

    ja..." ujar laki-laki berbadan tegap 

    itu berpendapat.

    "Hmm.... Seharusnya tidak kau 

    bicarakan itu padaku. Kalian boleh 

    mencari tambahan tenaga kerja di mana 

    saja. Kau bisa pergi ke Argopuro, 

    Ciamis atau Tungku Jajar." kata 

    saudagar Bergola ketus.

    "Ba... baik... Tuan. Kami segera 

    melaksanakannya dengan baik!" kata 

    kepala algojo itu menyanggupi.

    "Bagus! Kalian memang harus 

    selalu mengabdi kepadaku!" dengus


    saudagar Bergola Mungkur. Seraya 

    kemudian beralih ke arah Giwang Rana 

    dan Bajar Saketi. Yaitu kedua tangan 

    kanannya yang sedang mengambil emas 

    hasil para pekerja paksa itu.

    Ada senyum sinis menghias di 

    bibir si laki-laki. Tidak lama ia 

    segera memeriksa emas di dalam 

    bungkusan yang diserahkan oleh kedua 

    tangan kanannya.

    "Hasil bulan ini tampaknya 

    memang agak berkurang banyak, Dasa 

    Reksa. Kuingatkan padamu agar tidak 

    mempermainkan aku. Jika ternyata kau 

    menyembunyikan sebagian hasil 

    pencarian ini. Seumur hidup kau 

    dan kawan-kawanmu benar-benar akan 

    kubuat menyesal!"

    Rupanya ancaman saudagar Bergola 

    Mungkur bukan sekedar ancaman kosong 

    belaka. Karena ternyata Dasa Reksa 

    sang kepala algojo tampak sangat 

    ketakutan sekali.

    "Saya mana mungkin berani 

    mempermainkan Tuan. Selama ini saya 

    sudah berusaha jujur kepada Tuan. Cuma 

    karena belakangan para pekerja di sini 

    banyak yang kojor menemui ajal. Itu 

    sebabnya tenaga di lapangan menjadi 

    sangat berkurang sekali."

    "Aku percaya kata-katamu, Dasa 

    Reksa. Untuk itu kuperintahkan pada 

    kalian segera mencari tenaga tambahan. 

    Purnama mendatang hasil yang kalian


    peroleh harus semakin bertambah 

    meningkat!"

    "Perintah segera kami laksa-

    nakan, Tuan..." kata Dasa Reksa. 

    Saudagar Bergola Mungkur sama 

    sekali tidak menyahut. Malah setelah 

    memberi isyarat pada Giwang Rana dan 

    Banjar Saketi mereka memacu kuda-kuda 

    tunggangan itu menuju daerah Cileles.

    ****

    "Uhukk...! Uhuuuuukk..! Wuaakh.. 

    kupikir benda hitam panjang yang 

    bergelantungan itu sarang lebah. Tidak 

    tahunya…!" Pemuda tampan berbaju biru 

    muda memakai ikat kepala warna biru 

    belang-belang kuning ini hentikan 

    ucapannya. Perutnya mual seperti 

    hendak muntah. Lalu tanpa tertahankan 

    lagi.

    "Hoeek... hoeek...! Tuh kan, 

    muntah betul...!” desisnya. Seraya 

    lalu menyeringai dan garuk-garuk 

    belakang kepalanya. Sekali lagi ia 

    memperhatikan mayat-mayat yang ter-

    gantung di pinggir jalan menuju kota 

    kecil Malaya. Mayat-mayat itu rata-

    rata kepala menghadap ke bawah, kaki 

    terikat pada cabang pohon. Ribuan 

    lalat tampak mengerumuni. Sebagian di 

    antara mereka telah membusuk. Tapi 

    tidak jarang ada pula yang masih utuh.

    Pemuda tampan yang tidak lain


    adalah Pendekar Blo'on ini memper-

    hatikan mayat-mayat itu dengan kening 

    berkerut.

    "Kulihat ada kematian di mana-

    mana. Siapa mereka? Melihat luka-luka 

    di tubuhnya rasanya mereka disayat-

    sayat dengan senjata yang teramat 

    tajam. Apakah mungkin mereka ini meru-

    pakan orang-orang dari rimba 

    persilatan? Rasanya...!" Suro Blondo 

    usap-usap keningnya yang berke-

    ringat. Ia melihat sebuah pedang pen-

    dek tergeletak di bawah salah satu 

    mayat yang tergantung.. Namun sama 

    sekali ia tidak punya, kebera-

    nian apa-apa untuk memungutnya.

    "Ini merupakan pekerjaan yang 

    sangat keji.... Siapa pun pelakunya. 

    Siapa pun orangnya. Pastilah merupakan 

    seorang pembunuh berdarah dingin."

    Suro Blondo lagi-lagi terdiam. Sayup-

    sayup ia mendengar suara jlenting 

    sesuatu di kejauhan sana. Pendekar 

    Blo'on berusaha mempertajam pendenga-

    rannya. Suara denting seperti senjata 

    sedang beradu terdengar semakin ber-

    tambah jelas. Suro Blondo penasaran. 

    Hingga kemudian ia memutuskan untuk 

    mendekati sumber suara.

    "Hhh...!" Dengan mengandalkan 

    ilmu lari cepat Kilat Bayangan yang 

    sudah mencapai sempurna. Bergeraklah 

    Suro Blondo dengan kecepatan yang 

    sangat sulit diikuti kasat mata.


    Tidak sampai sepemakan sirih, 

    sampailah pemuda itu di atas sebuah 

    dataran berbukit-bukit. Pemuda tampan 

    bertampang tolol ini tidak langsung 

    menghampiri seorang laki-laki tua 

    bertelanjang dada dan berambut riap-

    riapan. Melainkan bersembunyi di 

    sebuah tempat yang agak terlindung.

    Sambil menahan nafas ia terus 

    memperhatikan laki-laki bertelanjang 

    dada yang ternyata sedang membuat 

    patung ukiran terbuat dari batu cadas. 

    Anehnya, laki-laki ini hanya mempergu-

    nakan kuku-kuku tangannya untuk 

    membentuk bagian-bagian tertentu badan 

    patung. Suro Blondo leletkan lidah dan 

    usap-usap keningnya. Beberapa kali 

    terdengar decak kagum dari mulut si 

    pemuda.

    "Cek. Ceek! jika saja dia tidak 

    memiliki ilmu dan tenaga dalam yang 

    sudah mencapai tingkat sempurna. Tidak 

    nantinya ia mampu menggores batu cadas 

    itu dengan ujung jemarinya." gumam 

    Suro Blondo. Mata terbeliak lebar 

    terlebih-lebih setelah melihat betapa 

    bagusnya patung yang dibuatnya.

    "Melihat badannya yang reot 

    seperti rumah hendak roboh. Mustahil 

    rasanya ia mampu melakukan pekerjaan 

    yang memerlukan ketekunan dan tenaga 

    dalam yang tinggi. Dan hasil pahatan 

    itu juga sangat bagus sekali. Ia pasti 

    seorang pengukir patung yang sangat


    terkenal. Tapi untuk apa patung 

    sebagus itu dibuatnya? Lagipula 

    bagaimana membawanya? Patung itu ingin 

    dijualnyakah?" kata Pendekar Blo'on 

    lagi. Kemudian ia garuk-garuk belakang 

    kepalanya yang tidak gatal.

    Pendekar Blo'on dengan perasaan 

    takjub yang tidak ada habis-habisnya 

    terus memperhatikan si pembuat patung 

    yang tampak sibuk menyelesaikan wajah 

    patung yang hanya tinggal menghalu-

    skannya saja. Dalam keadaan seperti 

    itu, tiba-tiba saja Suro, Blondo 

    mendengar kakek pembuat patung bicara. 

    Tapi suaranya seperti orang yang 

    sedang menyanyi. Pemuda itu pasang 

    kuping dan gelang-gelengkan kepalanya.

    Hidup delapan puluh tahun! Badan 

    renta dimakan hari dan waktu. Menunggu 

    si anak tunggal datang, tuntut ilmu 

    ambil kepandaian. Yang ditunggu pendek 

    umur pendek nafas. Tinggallah si tua 

    renta putus karapan patah asa. Hidup 

    terlunta-lunta menunggu pengganti. 

    Tetap menunggu tidak seorang pun yang 

    datang, dasar sial tua renta tidak 

    berjodoh!

    Suro Blondo tercenung. Kakek tua 

    itu barusan mengucapkan kata-kata yang 

    tidak dimengertinya sama sekali. Anak 

    tunggal? Siapakah yang dimaksudkannya? 

    Apakah kakek pematung itu mempunyai


    anak? Ataukah ia hanya seorang 

    pematung yang mempunyai otak tidak 

    waras?

    Keheranan di hati pemuda berbaju 

    biru muda ini belum juga lenyap ketika 

    dari arah utara terdengar suara derap 

    langkah kuda yang dipacu sedemikian 

    cepat menuju ke arah pematung 

    tersebut.

    Si kakek tua bersikap acuh tak 

    acuh, ia tetap meneruskan pekerjaan-

    nya. Dan kini ia mulai memoles badan 

    patung batu dengan sejenis pewarna 

    berwarna coklat tua.

    Penunggang kereta kuda semakin 

    lama semakin mendekat ke arahnya. 

    Karena jalanan itu sempit. Maka ketika 

    ketiga rombongan berkuda itu sampai di 

    depan si kakek. Maka ketiga penumpang 

    kuda langsung memperlambat kuda 

    mereka. Salah seorang laki-laki di 

    depannya berpakaian bangsawan hampir 

    saja membentak, tapi begitu melihat 

    patung yang sedang diwarnai oleh si 

    kakek langsung katupkan mulut dan 

    telan ludah.

    Raut wajahnya yang selalu 

    menyimpan ketamakan itu tampak berubah 

    memerah. Wajah patung tampak tampan. 

    Otot-otot tubuhnya bertonjolan, dada-

    nya bidang. Bagian perutnya yang 

    menonjol tampak tegang dan berukuran 

    cukup besar. Dalam hati penunggang 

    kuda berpakaian bangsawan ini ber


    tanya-tanya, patung siapakah yang 

    dibuat oleh si kakek tua ini?

    "Jalan di sini begitu lebar. 

    Kalau kalian mau lewat, silakan 

    saja!" kata si kakek tanpa berpaling 

    sedikitpun.

    Pengawal laki-laki berpakaian 

    bangsawan hampir saja membentak gusar 

    jika saja laki-laki di depannya tidak 

    cepat memberi isyarat agar pengawal 

    merangkap tangan kanan itu diam.

    "Orang tua, siapakah kau ini?" 

    tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa 

    pernah mengalihkan perhatiannya pada 

    patung yang sedang diwarnai oleh si 

    kakek. Sama sekali si pematung tidak 

    menjawab, bahkan menoleh pun tidak. 

    Tapi saudagar Bergola Mungkur tetap 

    berusaha bersabar, walaupun di dalam 

    hatinya mencaci maki. Bagaimana tidak? 

    Ia adalah orang yang sangat disegani

    di kota Malaya karena kekayaan dan 

    pengaruhnya yang besar terhadap 

    pembesar-pembesar Pariangan. Jika 

    hanya seorang pematung tidak mau 

    menjawab pertanyaannya, berlagak tuli 

    seperti babu. Tentu ia merupakan orang 

    yang sangat istimewa atau paling tidak 

    memiliki keterampilan yang sangat 

    tinggi.


    TIGA



    "Kakek tua! Karyamu sungguh 

    bagus sekali. Aku menyukai patung yang 

    sedang kau buat...!" kata saudagar 

    Bergola Mungkur mengulangi ucapannya.

    Tanpa menoleh pematung tua itu 

    menyahut "Sesuatu yang bagus belum 

    tentu menyenangkan. Sesuatu yang 

    disukai, belum tentu membawa kepuasan 

    dan kebahagiaan."

    "Jika aku ingin memilikinya, 

    apakah kau mau memberikannya padaku?" 

    tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa 

    mengerti apa arti ucapan si kakek.

    Pematung tua gelengkan kepala-

    nya.

    "Bagaimana jika aku membelinya?" 

    tanya saudagar kaya itu penasaran.

    "Patung ini kubuat bukan untuk 

    dijual atau kuberikan kepada siapa 

    pun. Jadi maafkan saja jika aku tidak 

    dapat memenuhi permintaanmu, Saudara!" 

    ujar pematung tua tanpa pernah ber-

    paling dari pekerjaannya.

    "Bagaimana jika dua kan-

    tung emas murni ini kita tukar 

    dengan patung buatanmu, orang tua?" 

    kata saudagar Bergola Mungkur. Seraya 

    menggerakkan dua kantung emasnya 

    sehingga menimbulkan suara bergemerin-

    cingan. Giwang Rana dan Banjar Saketi 

    pelototkan matanya.

    Mereka sama sekali tidak


    menyangka majikannya menjadi keran-

    jingan setelah melihat patung buatan 

    si kakek tua. Gilanya lagi dua kantung 

    emas yang tidak ternilai harganya 

    hendak ditukar dengan sebuah patung 

    batu. Walaupun memang patut diakui 

    patung itu memiliki kharisma yang 

    sangat hebat. Bukankah jika pematung 

    tua tidak menjualnya. Hanya dengan 

    memberi perintah pada mereka, ia dapat 

    membereskan si pematung untuk kemudian 

    memiliki patung batu itu tanpa ada 

    yang berani menganggu?

    "Apakah kau seorang saudagar?" 

    tanya si kakek dengan sikap acuh tak 

    acuh.

    "Benar, Aku adalah saudagar yang 

    paling kaya di kota Malaya. Jika kau 

    merasa dua kantung emas ini tidak 

    sepadan dengan patung buatanmu itu. 

    Aku dapat menyuruh orangku untuk 

    mengambil dua kantung emas lagi 

    sebagai tambahan."

    Pematung tua kerutkan kening 

    geleng-gelengkan kepala berulang-

    ulang.

    "Sudah kukatakan dengan jumlah 

    emas berapapun harganya aku tidak akan 

    menjualnya. Patung ini adalah bagian 

    dari hidupku!"

    "Orang tua, kami harap kau tidak 

    usah bertingkah di depan kami. Dua 

    kantung emas adalah jumlah yang tidak 

    sedikit. Apakah kami harus memaksamu


    untuk menyerahkan patung itu pada 

    majikanku?" bentak Giwang Rana. Dan 

    rupanya laki-laki bergiwang dan ber-

    tampang angker ini sudah tidak dapat 

    lagi mengendalikan akalnya.

    Saudagar Bergola Mungkur sendiri 

    yang merasa telah kehabisan kata-kata 

    untuk membujuk pematung tua hanya 

    berdiam diri menunggu reaksi.

    Untuk pertama kalinya pematung 

    tua palingkan wajahnya dan memandang 

    lekat-lekat ke arah Giwang Rana dan 

    Banjar Saketi. Ekspresi wajahnya tetap 

    datar tidak menunjukkan kemarahan 

    sedikitpun.

    "Kalian menjadi kaya adalah 

    karena tenaga dan keringat darah 

    orang-orang yang tidak berdosa. Jika 

    kuterima tawaranmu, sama artinya aku 

    melumuri hasil karyaku dengan darah 

    orang-orang yang terbunuh di goa 

    penambangan Bumi Ayu! Aku pematung 

    kelana setiap saat selalu mendengar 

    suara jeritan arwah-arwah orang yang 

    mati sebelum waktunya. Berlalulah 

    kalian dari hadapanku! Kehadiran 

    kalian hanya akan membuat udara di 

    sini menjadi pengap dan berbau dosa."

    Bukan saja ketiga penunggang 

    kuda ini yang dibuat terkejut. Tapi 

    juga Pendekar Blo'on yang bersembunyi 

    di atas bukit di balik batu cadas 

    terkesima. Entah siapa laki-laki aneh 

    itu? Namun sungguh mengherankan ia


    mengenali sepak terjang penunggang 

    kuda yang ternyata merupakan seorang 

    saudagar kaya ini.

    "Orang tua! Kau benar-benar men-

    cari penyakit telah berani mencampuri 

    urusan kami!" bentak saudagar Bergola 

    Mungkur tiba-tiba.

    Tanpa berpaling dari patung yang 

    sedang dipolesnya. Pematung Kelana 

    tersenyum dingin.

    "Manusia yang memiliki jiwa 

    besar adalah orang yang berani 

    mengakui setiap kesalahannya. Tidak 

    perduli apakah kesalahan itu dibuat 

    oleh tua bangka sepertiku ini. Tapi 

    kebanyakan orang lupa, dan berusaha 

    mencari dalih dengan menyebar fitnah 

    untuk menutupi kesalahan sendiri. 

    Alangkah ruginya manusia semacam itu 

    kelak di kemudian hari!"

    "Keparat! Aku tidak membutuhkan 

    khotbahmu!" maki saudagar dari kota 

    Malaya itu geram bukan main.

    "Aku adalah orang yang paling 

    tidak suka mendengar kata-kata yang 

    kotor! Sebaiknya kalian menyingkirlah 

    dari hadapanku!" perintah pematung 

    tua, suaranya pelan namun tegas.

    "Bangsat hina! Bunuh dia!" pe-

    rintah saudagar Bergola Mungkur, lalu 

    memberi aba-aba pada Banjar Saketi dan 

    Giwang Rana.

    Serentak kedua laki-laki bertam-

    pang beringas ini menggebrak kuda


    tunggangannya. Kuda itu melabrak ke 

    arah Pematung Kelana yang tetap duduk 

    ngejeplok di depan patung. Lalu kaki 

    Giwang Rana dan Banjar Saketi meng-

    hantam dada dan kepala Pematung 

    Kelana. Namun sebelum kedua kaki 

    lawannya mencapai sasaran. Dengan 

    gerakan yang sangat sulit diikuti 

    kasat mata. Pematung tua gerakkan 

    tangannya ke arah bagian selangkangan 

    kaki kuda.

    Dengan tidak terduga-duga, kuda-

    kuda itu melonjak ke atas sambil 

    meringkik-ringkik kesakitan. Giwang 

    Rana dan Banjar Saketi yang tidak 

    menyangka akan mengalami nasib sial 

    langsung terpelanting dari punggung 

    kuda. Untung mereka rata-rata memiliki 

    kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga 

    dalam keadaan yang sangat terdesak itu 

    mereka masih sempat bersalto dan 

    menjejakkan kedua kakinya tidak jauh 

    dari pematung tua. Dua ekor kuda 

    tunggangan berlari kencang meninggal-

    kan majikannya. Sementara Giwang Rana 

    dan Banjar Saketi menjadi marah bukan 

    main.

    "Tua keparat! Tidak ada jalan 

    bagimu terkecuali mati! Sekarang kau 

    katakan pada kami kematian yang 

    bagaimana yang kau inginkan?" teriak 

    Banjar Saketi.

    "Kematian adalah urusan Tuhan! 

    Pergilah sebelum darah kalian tercecer


    membasahi tanah gersang yang sangat 

    suci ini!"

    "Juih...!" Giwang Rana meludah.

    "Sriing!"

    Dilain kesempatan laki-laki ber-

    tampang pemberang ini telah menghunus 

    senjatanya berupa sebilah kapak ber-

    warna kuning mengkilat. Sekali lirik 

    Pematung Kelana sudah dapat melihat 

    bahwa senjata di tangan lawan-lawannya 

    mengandung racun yang sangat keji. 

    Tapi dasar laki-laki aneh, sungguhpun 

    lawan telah menghunus senjata yang 

    sangat berbahaya. Namun ia tetap 

    bersikap tenang-tenang saja bahkan 

    tetap terpaku di tempatnya.

    Merasa diremehkan, sambil meng-

    geram aneh Giwang Rana dan Banjar 

    Saketi melompat ke depan, lalu 

    bacokkan senjata di tangannya membelah 

    kepala Pematung Kelana, sedangkan 

    kampak lainnya menebas bagian ping-

    gangnya. Angin dingin menderu menyer-

    tai berkelebatnya kapak di tangan 

    lawannya. Serangan itu cepat bukan 

    main. Sehingga Pendekar Blo'on yang 

    melihat keadaan ini terpaksa menahan 

    nafas dan pentang mata lebar-lebar

    "Heaaa...!"

    "Wuus!"

    "Aaaaakkkh...!"

    Tiba-tiba terdengar suara pekik 

    kesakitan. Dua sosok tubuh terpelan-

    ting dengan arah berlawanan. Di dekat


    patung, si kakek tua bangkit berdiri 

    sambil sunggingkan seringai aneh. 

    Entah bagaimana caranya dua kapak di 

    tangan masing-masing lawannya kini 

    telah berpindah tangan. Matanya yang 

    agak cekung memandang ke arah lawan-

    lawannya yang sedang berusaha bangkit 

    berdiri.

    Wajah Giwang Rana dan Banjar 

    Saketi sebentar memerah sebentar 

    berubah pucat. Selama malang melintang 

    di rimba persilatan belum pernah 

    mereka mengalami nasib sial seperti 

    sekarang ini. Apalagi hanya dalam 

    gebrakan pertama saja mereka sudah 

    dibuat tidak berdaya!

    Namun untuk mundur, merupakan 

    satu pantangan bagi mereka. Apalagi 

    mengingat di tempat itu ada majikan 

    mereka. Sambil menelan ludah, tiba-

    tiba saja tangan kanan saudagar 

    Bergola Mungkur mencabut keris ber-

    lekuk tiga di bagian pinggang kiri. 

    Keris itu diputarnya sedemikian rupa, 

    sehingga membentuk sebuah bayang-

    bayang berwarna putih berkilauan.

    "Hap...!"

    "Mampuslah kau!" teriak Banjar 

    Saketi dan Giwang Rana hampir 

    bersamaan. Tubuh mereka melesat ke 

    depan laksana kilat. Keris di tangan 

    membabat dan menusuk ke arah sepuluh 

    jalan darah yang mematikan.

    Tapi ternyata Pematung Kelana


    adalah manusia serba bisa yang bukan 

    saja memiliki ilmu kepandaian mematung 

    yang handal. Tapi juga mempunyai 

    simpanan jurus-jurus silat yang sangat 

    mengagumkan.

    Belum sempat senjata lawannya 

    menyentuh tubuhnya. Ia sudah melesat 

    ke udara. Senjata rampasan dilempar-

    kannya dengan kecepatan sangat sulit 

    diikuti kasat mata. 

    "Jiiing!"

    "Traang!"

    "Waarkhgh...!" Giwang Rana dan 

    Banjar Saketi menjerit setinggi 

    langit. Tubuh mereka mengejang kaku. 

    Kapak beracun yang dilemparkan oleh 

    pematung tua menghunjam di dada mereka 

    dan langsung menembus di punggung. 

    Mata kanan saudagar Bergola Mungkur 

    terpentang lebar bagai melihat setan 

    perempuan telanjang.

    Hanya sekejap saja tubuh mereka 

    berkelojotan, kemudian terdiam untuk 

    selama-lamanya. Kejut di hati saudagar 

    kota Malaya itu bukan alang kepalang.

    Di atas bukit Suro Blondo lelet-

    kan lidah dan garuk-garuk kepalanya.

    Sementara itu Pematung Kelana 

    kembali duduk ngejeblok dan meneruskan 

    pekerjaannya yang tertunda. Sikapnya 

    begitu tenang seakan tidak pernah 

    terjadi apa-apa di situ. Dari rasa 

    kecut, Saudagar Bergola Mungkur beru-

    bah menjadi sangat marah sekali.

    "Manusia hina dina keparat! Kau 

    benar-benar tidak memandang muka sama 

    sekali padaku! Kalau kau tidak punya 

    nyawa rangkap, sebaiknya kau berlutut 

    di depanku dan serahkan patung marmer 

    itu secepatnya!"

    Bukan menjawab, pematung tua 

    malah terkentut-kentut. Lalu terdengar 

    suara batuk-batuk dari mulutnya yang 

    tertutup kumis memutih.

    "Ah... lega rasanya. Punya perut 

    harus bisa kentut, supaya jangan sakit 

    pemburut! Eeh... kau barusan bilang 

    apa?" tanya Pematung Kelana tanpa 

    memalingkan muka sedikit pun.

    "Bangsat hina! Makan nih 

    pedangku...!" teriak sang saudagar.

    Tiba-tiba saja tubuhnya melesat 

    ke udara. Pedang di tangannya 

    mengeluarkan suara mendengung. Tapi 

    tiba-tiba saja dengan sikap acuh tak 

    acuh Pematung Kelana melibaskan 

    tangannya ke samping kanan. Angin 

    kencang laksana bara menderu-deru.

    Angin kencang berhawa panas 

    menghanguskan itu melabrak Bergola 

    Mungkur hingga membuatnya jatuh 

    terjengkang. 

    "Akkh..." 

    "Bruuk...!"

    "Hhrrrk...!" 

    Bergola Mungkur bangkit berdiri. 

    Sekujur tubuhnya bergetar hebat, tanda 

    amarahnya sudah memuncak sampai ke


    ubun-ubun. Pendekar Blo'on yang 

    melihat kejadian itu bertepuk tangan. 

    Hanya saja tidak menimbulkan suara 

    sama sekali.

    Sementara itu Bergola Mungkur 

    sudah menerjang kembali dengan 

    pengerahan tenaga dalam yang sangat 

    tinggi. Sejengkal lagi pedang berwarna 

    putih mengkilat itu hampir memutus 

    urat leher Pematung Kelana. Tiba-tiba 

    si kakek menggerakkan tangannya ke 

    bagian dada lawan. Gerakan yang 

    dilakukannya tampak begitu lambat. 

    Tapi akibatnya sungguh sangat luar 

    biasa sekali.

    "Breet!"

    "Iiih...!" Bergola Mungkur 

    terpekik kaget.

    Baju saudagar kaya ini robek 

    besar bahkan seperti hangus terbakar. 

    Jika saja Pematung Kelana menghendaki, 

    tentu sejak tadi nyawanya melayang.

    Sekarang sambil melangkah ter-

    huyung-huyung ia memperhatikan pema-

    tung tua seakan tidak percaya dengan 

    kemampuan yang dimiliki oleh lawannya. 

    Tapi ia segera tahu gelagat. Kekayaan-

    nya menumpuk, siapa sudi kehilangan 

    nyawa?

    "Pergilah sebelum kesabaranku 

    benar-benar habis!" Pematung Kelana 

    menggeram.

    "Bbb... baiklah, aku akan pergi. 

    Tapi kau tunggulah nanti pembalasan


    ku!" kata Bergola Mungkur. Seraya 

    cepat-cepat mendapatkan kudanya, 

    kemudian meninggalkan Pematung Kelana 

    sambil memacu kudanya sekencang 

    mungkin. Dan ternyata kuda tunggangan-

    nya entah mengapa sudah tidak dapat 

    berlari kencang lagi. Sepanjang 

    perjalanan terus terkencing-kencing 

    dan meringkik-ringkik tidak teratur.



    EMPAT



    Pematung Kelana menarik nafas 

    pendek. Ia kemudian duduk kembali di 

    depan patung batu marmer yang 

    berkilat-kilat terkena sinar matahari.

    Suro Blondo usap-usap keningnya 

    yang berkeringat. Ia sekarang menjadi 

    ragu apakah ia harus menemui pematung 

    tua itu atau berlalu? Tapi bila 

    mengingat bahwa dirinya tidak punya 

    urusan dan kepentingan apa-apa dengan 

    laki-laki aneh ini. Maka tidak lama 

    setelah itu ia pun memutuskan segera 

    berlalu. Namun baru beberapa langkah 

    ia meninggalkan tempat persembunyian-

    nya, tiba-tiba sebuah suara 

    memanggilnya.

    "Hei... pemuda bertampang geb-

    lek! Sejak tadi kau mengintip di situ, 

    datang tidak permisi kini pergi tidak 

    memberi salam. Kau benar-benar manusia 

    tolol yang tidak tahu peradatan!"


    "Eeh... mati aku...!" Suro 

    Blondo garuk-garuk punggung kepalanya. 

    Kemudian senyumnya yang jenaka pun 

    mengembang. "Bagaimana ini, kakek itu 

    rupanya mengetahui kehadiranku. 

    Sungguh! Walaupun sudah tua matanya 

    belum lamur. Sebaiknya aku hampiri 

    saja, ah...!" 

    Sambil tersenyum-senyum, Suro 

    Blondo datang menghampiri. Sampai di 

    depan Pematung Kelana seraya menjura 

    hormat. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk 

    hingga nyaris menyentuh tanah.

    "Maafkan aku, kakek tua. Karena 

    datang tidak memberi salam dan ingin 

    pergi tapi ketahuan...."

    "Bocah goblok! Kapan aku kawin 

    dengan nenekmu? Seenaknya saja kau 

    memanggilku kakek?!" Pematung Kelana 

    bersungut-sungut. Sebagaimana 

    kebiasaannya kali ini pun ia tidak 

    berpaling dari pekerjaannya.

    "Lalu apakah aku harus memang-

    gilmu, Mbah, Engkong, Buyut, orang tua 

    keriputan, tua jelek atau manusia aneh 

    tukang ukir batu?" kata Suro Blondo 

    sambil menahan tawa.

    Sedikitpun ekspresi wajah Pema-

    tung Kelana tidak menunjukkan 

    perubahan sama sekali. Hanya wajahnya 

    saja agak dimiringkan. Sehingga panda-

    ngan mereka saling bertemu.

    Suro Blondo alias Pendekar 

    Blo'on melangkah mundur, bibirnya


    yang nyaris tersenyum kini terkatup 

    rapat. Betapa sorot mata laki-laki tua 

    di depannya tampak begitu berwibawa. 

    Si pemuda merasa tidak kuat berlama-

    lama menatapnya. Ia kemudian beralih 

    ke arah patung. Pemuda ini lebih 

    terkesima lagi setelah melihat betapa 

    bagusnya ukiran patung batu itu. 

    Dadanya bidang, otot-otot di tubuh 

    patung bersembulan melambangkan 

    seorang pemuda perkasa. Hanya pemuda 

    ini menjadi malu sendiri ketika 

    melihat ke bagian bawah perut patung.

    Di sana ada daging yang 

    berlebih. Dan daging itu tampak tegang 

    seukuran lengan bayi, tegak terpancang 

    menghadap ke langit.

    "Walah! Patung ini memang indah. 

    Tapi mengapa harus dibuat porno?" Suro 

    Blondo nyengir, lalu garuk-garuk 

    kepala.

    "Bocah! Kuminta hentikan oceha-

    nmu, tutup mulutmu dan jangan 

    tersenyum macam orang gila di 

    depanku!" bentak Pematung Kelana.

    Tiba-tiba saja suara tawa Suro 

    Blondo meledak. Perutnya terguncang 

    karena berusaha menahan tawa.

    "Diam...!" bentakan menggelegar 

    itu menghentikan tawa Pendekar Blo'on 

    seketika itu juga. 

    "Kau siapakah?"

    "Namaku Suro Blondo, Kek!" 

    sahut Pendekar Blo'on.


    "Apakah kau mempunyai gelar?"

    "Gelarku... ah bagaimana, 

    ya...!" Suro Blondo menggaruk belakang 

    kepalanya berulang-ulang.

    "Katakan saja kalau kau punya 

    gelar atau julukan!" desak Pematung 

    Kelana Bambil memperhatikan pemuda di 

    depannya dengan kening berkerut.

    "Aku Pendekar Blo'on...!" 

    jawabnya polos.

    "Pantas! Tampangmu saja sudah 

    membuktikan bahwa kau seorang pemuda 

    tolol. Hmm... akhir-akhir ini aku 

    memang sering mendengar namamu! Oh 

    ya... apakah kau mau jika patung ini 

    kuberikan padamu?"

    Suro Blondo terperanjat.

    Saudagar Bergola Mungkur saja 

    yang berniat membeli patung itu dengan 

    dua kantung emas ditampik oleh 

    Pematung Kelana. Mustahil sekarang 

    Suro Blondo dapat menerimanya. Lagi-

    pula ia tidak berminat dengan segala 

    macam patung, sungguhpun karya 

    Pematung Kelana ini sungguh hebat dan 

    mendekati sempurna tanpa cacat dan 

    kekurangan.

    "Bagaimana?"

    "Wah... saya tidak berminat 

    dengan patungmu, Kek." jawab si 

    pemuda, tegas.

    "Mengapa? Apakah patung ini 

    tidak bagus, menurutmu?"

    "Patung itu memang bagus. Tapi


    aku mana berani terima pemberian yang 

    sangat berharga ini." jawab si pemuda 

    polos.

    "Hmm, ternyata walaupun tampang-

    mu tolol, tapi kau merupakan seorang 

    pemuda yang cukup cerdik. Rupanya kau 

    tahu bahwa setiap keindahan yang kita 

    lihat ternyata tidak selalu menjanji-

    kan kebaikan. Rupa cantik belum tentu 

    hati dan pribadinya cantik. Tampang 

    tidak selalu mencerminkan hati. Jadi 

    kau benar-benar tidak mau menerima 

    pemberianku ini?"

    Suro Blondo golang-golengkan 

    kepalanya. 

    "Apakah kau tidak menyesal, jika 

    nanti aku memberikannya kepada orang 

    lain?"

    "Jika itu memang sudah kehendak-

    mu, buat apa kusesalkan?"

    "Kalau aku punya satu permintaan 

    untukmu, apakah kau mau melaksanakan-

    nya?" tanya Pematung Kelana.

    "Tergantung baik buruknya 

    permintaan itu. Jika kau suruh aku 

    mencuri, siapa sudi. Jika kau suruh 

    merampok tentu aku kapok. Jika permin-

    taanmu baik dan aku mampu 

    melakukannya, tentu dengan senang hati 

    aku menjalankannya." 

    Pematung Kelana tersenyum, namun 

    hanya sesaat saja. Dilain waktu 

    sikapnya telah berubah serius. "Pergi-

    lah kau ke Bumi Ayu...!"


    "Heh.... Bumi Ayu?" 

    "Betul!"

    "Ada apa di sana?" tanya Suro 

    Blondo tidak mengerti.

    "Kau tidak layak bertanya!"

    "Sialan. Tua bangka ini sangat 

    angkuh sekali. Dia yang suruh pergi, 

    tapi tidak mau kasih tahu apa yang 

    harus kuperbuat di sana?" gerutu 

    Pendekar Blo'on.

    "Aku tidak akan pergi jika aku 

    tidak tahu apa yang harus kulakukan di 

    sana...!" kata Pendekar Blo’on 

    akhirnya dengan perasaan jengkel.

    "Ha ha ha...! Kau rupanya curiga 

    juga padaku. Perlu kau ketahui, bahwa 

    saudagar yang menawar patungku tadi 

    merupakan orang kaya yang telah 

    memperalat orang lain untuk mengambil 

    biji-biji emas di Bumi Ayu! Hampir 

    setiap hari banyak di antara mereka 

    yang menemui ajal secara menyedihkan. 

    Mayat mereka dicampakkan begitu saja, 

    hingga tempat itu bertimbun bangkai. 

    Sudah menjadi tugasmu Suro, untuk 

    menghentikan mereka. Jika usahamu itu 

    berhasil. Maka kau juga harus 

    melenyapkan saudagar Bergola Mungkur. 

    Karena dia merupakan dalang dari semua 

    penderitaan mereka."

    "Mengapa tadi Kakek tidak 

    membunuhnya?"

    "Hmm, aku memang sengaja memberi 

    kesempatan untuk memperbaiki sepak


    terjangnya. Lagipula aku berpantang 

    membunuh."

    "Tapi terhadap dua ekor anjing 

    jelek itu mengapa Kakek dapat 

    melakukannya...?"

    "Itu karena kepepet, dan mereka 

    memang sengaja mencari mati!"

    Suro Blondo seka keningnya yang 

    berkeringat.

    "Satu hal yang harus kau ingat! 

    Jika kau telah berhasil menghentikan 

    mereka. Maka kau harus mencariku!"

    "Untuk apa?" tanya Pendekar 

    Blo'on terheran-heran.

    "Sekarang belum waktunya bagiku 

    untuk menjelaskannya padamu. Nanti 

    jika tugasmu telah kau selesaikan."

    "Baiklah, sekarang aku mohon 

    diri." kata si pemuda. Pematung Kelana 

    menganggukkan kepala sambil memandangi 

    kepergian Pendekar Blo'on.

    ****

    Dua pemuda penunggang kuda 

    berbulu hitam pekat itu tampak saling 

    berlomba-lomba menuju ke daerah Bumi 

    Ayu. Melihat gelagat mereka yang dalam 

    keadaan tergesa-gesa. Tampak jelas 

    bahwa mereka ini mengemban tugas yang 

    cukup penting.

    Siang malam mereka memacu kuda 

    tunggangan, seakan tidak mengenal 

    lelah sama sekali. Mereka baru


    berhenti jika benar-benar merasa 

    lelah. Memang kalau dipikir-pikir 

    jarak yang mereka tempuh antara 

    Kuningan dan Bumi Ayu cukup jauh. 

    Sehingga dalam seminggu perjalanan 

    beberapa kali mereka terpaksa bermalam 

    di hutan.

    Matahari sudah mulai condong di 

    ufuk barat pada saat mereka memasuki 

    daerah Bumi Ayu. Yaitu sebuah tempat 

    terakhir yang menjadi sasaran 

    pengejaran mereka.

    "Sebaiknya kita bermalam di sini 

    saja, Kakang!" kata salah seorang di 

    antara pemuda itu. Pakaiannya yang 

    berwarna putih telah kotor berselimut 

    debu. Wajah pemuda itu juga sudah 

    tampak kelelahan sekali.

    "Jarak kita dengan gua-gua 

    penggalian sudah sangat dekat sekali. 

    Aku yakin pemuda-pemuda dari Kuningan 

    yang diculik para algojo itu sampai 

    saat ini belum menjalani kerja paksa! 

    Bagaimana kalau kita lanjutkan saja?"

    "Kakang Sapala! Kakang harus 

    ingat bahwa algojo yang menjaga 

    para pekerja paksa itu jumlahnya 

    tidak sedikit. Aku yakin mereka rata-

    rata memiliki kepandaian yang sangat 

    tinggi. Kita membutuhkan waktu untuk 

    menghimpun tenaga yang terkuras selama 

    dalam perjalanan. Kalau tidak ada aral 

    melintang besok pagi kita dapat 

    melanjutkan perjalanan ini."


    "Baiklah, Panji. Jika memang itu 

    sudah maumu, kali ini aku dapat 

    menurutinya...!"

    Sapala dan Panji yang selama ini 

    dikenal sebagai Pendekar Kembar di 

    daerah Kuningan segera turun dari 

    punggung kudanya. Sebentar kemudian 

    mereka mulai mencari tempat yang cocok 

    untuk melewatkan malam.

    "Hhuimm... adalah tolol, jika 

    laki-laki tidur dengan laki-laki. Jika 

    tidak mempunyai kelainan jiwa, 

    pastilah orangnya sudah sinting!"

    Panji dan Sapala melengak kaget 

    ketika mendengar suara seorang 

    perempuan yang seakan datang dari 

    seluruh penjuru arah. 

    "Eeh... apakah kau mendengarnya, 

    Panji?" tanya Sapala.

    "Suara perempuan itu?" 

    "Ya....!" 

    Sapala kemudian memandang ke 

    sekelilingnya. Aneh selain pohon-pohon

    besar ia tidak melihat apa-apa di 

    situ.

    "Lihat!" Panji tiba-tiba menun-

    juk ke salah satu cabang pohon. 

    Ketika Sapala melihat ke arah itu. 

    Maka ia tersentak kaget.

    Pada salah satu cabang pohon ia 

    melihat seorang gadis berbaju ungu. 

    Wajahnya cantik menggiurkan. Tubuhnya 

    padat montok di balik pakaian yang 

    sangat tipis mencolok. Gadis itu


    langsung tersenyum genit ke arah 

    mereka. Bibirnya sengaja dibasah-

    basahkan dengan lidahnya.

    "Mengapa kalian memandangku 

    seperti itu?" tanya si gadis yang 

    tidak lain adalah Mustika Jajar atau 

    terkenal dengan julukan 'Iblis Betina 

    Dari Neraka'

    Sapala dan Panji saling berpan-

    dangan. Lalu dua-duanya memutar 

    langkah dan hendak berlalu meninggal-

    kan Mustika Jajar yang masih tetap 

    duduk tenang di atas cabang pohon itu.

    Namun baru saja tiga langkah, 

    tiba-tiba terasa adanya sambaran angin 

    menerpa wajah mereka. Panji dan Sapala 

    bersurut dua langkah ke belakang. 

    Sebagai pendekar muda, mereka langsung 

    bersikap waspada menjaga segala 

    kemungkinan. Tapi gadis berbaju ungu 

    yang sekarang berdiri menghadang di 

    depan mereka malah tersenyum memikat.

    "Kalian salah sangka. Aku ber-

    maksud menanyakan sesuatu pada 

    kalian!" ujar si gadis. Seraya 

    membungkukkan kepala, sehingga memper-

    lihatkan kedua payudaranya yang putih 

    mulus menyembul ke luar. 

    "Siapa, Nisanak?" tanya Panji 

    curiga. Mustika Jajar tersenyum. 

    Betapa senyumannya menimbulkan gelora 

    yang menyentak-nyentak. Tapi hanya 

    dengan mengerahkan tenaga dalam, baik 

    Panji maupun Sapala dapat menghi


    langkan semua pengaruh itu.


    LIMA



    "Aku adalah orang yang tersesat 

    dan ingin mencari jalan menuju daerah 

    Malaya. Eeh... apakah kalian 

    mengetahui arah yang hendak kutuju?" 

    tanya Mustika Jajar.

    "Sebaiknya Nisanak menuju ke 

    arah timur!" sahut Panji bersungguh-

    sungguh.

    "Hmm, begitu. Kalau pulau Seribu 

    Satu Malam apakah kalian tahu di mana 

    letaknya?"

    Sapala dan Panji menggelengkan 

    kepalanya.

    "Maaf kami tidak tahu. Mendengar 

    namanya saja baru kali ini!" ujar 

    Sapala.

    "Sayang sekali kalian tidak 

    tahu. Oh ya kalian sendiri hendak 

    kemana, dua pemuda gagah?"

    Panji dan Sapala saling 

    berpandangan. Salah seorang di antara 

    mereka lalu menyahuti.

    "Kami ingin pergi ke suatu 

    tempat!"

    "Aku tahu kalian pasti mengejar 

    para algojo yang menculik beberapa 

    puluh pemuda untuk dikerahkan menjadi 

    tenaga pekerja paksa, bukan?" Gadis 

    berbaju ungu tiba-tiba saja tertawa


    mengekeh. Lalu pinggulnya digoyang-

    goyangkan membentuk sebuah gerakan 

    yang sangat merangsang.

    Sapala dan Panji terkejut bukan 

    main. Bagaimana mungkin gadis ber-

    pakaian merangsang ini dapat 

    mengetahui rencana perjalanan mereka? 

    Apakah tadi dia sempat mencuri dengar 

    apa yang mereka bicarakan? 

    "Kuharap Nisanak tidak 

    mencampuri segala urusan kami!" Sapala 

    memperingatkan.

    "Hi hi hi...! Untuk apa mengejar 

    para algojo itu? Apakah kalian tidak 

    tertarik melewatkan malam yang indah 

    bersamaku malam ini? Hik hik hik!"

    Dengan sengaja Mustika Jajar 

    melepas salah satu kancing bajunya, 

    sehingga sebagian payudaranya yang 

    kencang itu menyembul keluar. Sebagai 

    pendekar golongan lurus dan berhati 

    bersih, Sapala dan Panji cepat-cepat 

    palingkan muka ke arah lain dengan 

    wajah bersemu merah.

    "Hah... kalian rupanya benar-

    benar manusia banci. Baiklah, karena 

    kalian bermaksud pergi ke Bumi Ayu. 

    Tidak ada salahnya jika aku menjajal 

    sampai di mana kepandaian yang kalian 

    miliki!" Gadis berbaju ungu menutup 

    ucapannya dengan satu serangan dahsyat 

    yang tidak terduga sama sekali.

    "Hiyaaa...!" 

    "Wuus!"


    Sapala dan Panji yang tidak 

    menyangka akan mendapat serangan yang 

    sedemikian cepat ini langsung melompat 

    mundur. Serangan pertama luput, namun 

    mereka sempat merasakan sekujur tubuh 

    mereka seperti ditusuk-tusuk ribuan 

    batang jarum. Sadar lawannya menghen-

    daki nyawa mereka. Maka tanpa sungkan-

    sungkan lagi mereka mencabut pedang 

    yang miliki ketajaman pada kedua 

    sisinya.

    "'Jurus Hati Suci'!" teriak 

    Panji memberi aba-aba. Pedang di 

    tangan kemudian diputar sedemikian 

    cepat. Angin menderu-deru. Hanya dalam 

    waktu yang teramat singkat senjata di 

    tangan mereka telah berubah menjadi 

    gulungan sinar putih yang sangat 

    menyilaukan mata. Kehebatan jurus yang 

    dimiliki oleh mereka adalah kecepatan 

    dan kekompakannya dalam melancarkan 

    setiap serangan. Demikian juga yang 

    terlihat pada saat itu. Namun lawannya 

    malah tertawa mengikik. Mustika Jajar 

    yang dalam keadaan terkurung sinar 

    senjata lawannya ini tampak melesat ke 

    udara.

    "Haap...!"

    "Shaaa...!"

    "Wuuss!"

    Segulung sinar hitam melesat 

    dari sekujur tubuh gadis berbaju ungu. 

    Sinar berhawa dingin menggidikkan itu 

    menyapu lawan-lawannya dengan hanya


    dalam tempo sekedipan mata saja.

    Panji dan Sapala terdorong ke 

    belakang. Mereka merasa sulit mengge-

    rakkan pedangnya. Bahkan tubuh mereka 

    sendiri cepat terdorong, sungguhpun 

    mereka berusaha bertahan. Bahkan telah 

    mengerahkan tenaga dalam untuk mengha-

    lau pengaruh serangan aneh itu, tetap 

    saja terlempar.

    "Aaakh...!"

    "Braak!"

    Sapala dan Panji jatuh terban-

    ting. Celakanya mereka sama sekali 

    tidak mampu menggerakkan tubuhnya. 

    Adalah sungguh mengejutkan jika 

    pendekar seperti mereka berdua ini 

    dapat terkalahkan dengan mempergunakan 

    ilmu menotok jarak jauh.

    Jika saja lawannya memang bukan 

    orang yang memiliki kepandaian yang 

    benar-benar sangat tinggi. Mustahil 

    mereka dapat dijatuhkan hanya dalam 

    waktu beberapa gebrakan saja.

    "Bangsat pengecut! Lepaskan 

    kami...!" teriak Panji. Ia menjadi 

    berang karena ternyata lawannya telah 

    memperdayai mereka.

    "Tidak ada gunanya kalian 

    memaki! Kalian telah menjadi tawanan-

    ku!" dengus Mustika Jajar.

    Gadis ini kemudian mengambil dua 

    utas dari kulit kayu waru. Sebuah 

    kecerdikan sekarang terlintas dalam 

    hatinya.


    "Jika saudagar Bergola Mungkur 

    benar-benar merupakan orang yang kaya 

    raya. Mengapa aku tidak memanfaatkan 

    kesempatan ini untuk menguasai harta-

    nya? Mengenai musuh besar guruku aku 

    dapat mencarinya kemudian. Tapi aku 

    juga harus ingat harta juga tidak 

    kalah menariknya dengan musuh besar. 

    Kedua pemuda ini dapat kujadikan 

    jembatan untuk mendekati saudagar 

    itu!"

    Mustika Jajar tersenyum genit. 

    Seraya kemudian mendekati Sapala dan 

    Panji yang berhasil ditotoknya melalui 

    pertarungan yang sangat singkat itu.

    "Kkk... kau mau apa?" tanya 

    Panji gugup.

    "Hik hik hik! Kau tidak usah 

    takut. Aku tidak akan menggantung dan 

    membunuh kalian seperti orang yang 

    tidak mau kasih keterangan di jalan! 

    Paling tidak sampai di rumah saudagar 

    Bergola Mungkur!" dengus gadis itu. 

    Kemudian dengan cepat ia mengikat 

    tangan Panji dan Sapala.

    "Perempuan iblis! Mau kau bawa 

    kemana kami?" teriak Sapala.

    "Tenang saja. Karena kalian 

    bermaksud membebaskan para pekerja di 

    Bumi Ayu. Maka sekarang aku mau 

    menyeret kalian kepada saudagar itu 

    untuk terima hukuman yang setimpal!"

    "Bangsat!" 

    "Memakilah sepuasmu! Aku memang


    iblis dari neraka. Kalian tidak perlu 

    gusar!" ujar gadis baju ungu. Seraya 

    lalu melompat ke atas punggung kuda 

    milik Sapala. Tali yang mengikat kaki 

    kedua tawanannya disentakkannya. Tidak 

    lama kemudian melesatlah kuda tung-

    gangan itu menyeret Sapala dan Panji. 

    Beberapa saat kemudian terdengar suara 

    tawa si gadis. Sementara di belakang-

    nya terdengar jerit dan lolong 

    kesakitan dari mulut kedua pemuda yang 

    dalam keadaan tertotok itu.

    ****

    "Jtar!" 

    "Jtarr!"

    "Akkkh... ampun Pak... ampun 

    Tuan...!" suara pekik tangis itu 

    menggema meningkahi suara lecutan 

    cambuk di tangan algojo. Beberapa 

    pemuda bertubuh tegap yang baru saja 

    didatangkan dari Kuningan tersungkur 

    dengan tubuh bersimbah darah.

    "Di sini tidak ada kesempatan 

    hidup lebih lama lagi bagi seorang 

    pemalas! Tugas kalian adalah 

    mengumpulkan biji-biji emas. Tidak 

    layak membantah apalagi membangkang! 

    Cepat kerja!" bentak kepala algojo 

    itu, lalu cambuk di tangannya 

    diayunkannya tinggi-tinggi.

    "Jtar! jtaar…!"

    "Walah... walah! Sakitt...!"


    teriak salah seorang yang tangannya 

    dirantai ini kesakitan. Kepala algojo 

    dan kawan-kawannya tergelak-gelak. 

    Tampaknya semakin banyak darah yang 

    mengalir dari tubuh para pekerja paksa 

    ini semakin membuat puas hati mereka.

    Apa yang terjadi di tempat itu 

    tampaknya tidak lepas dari perhatian 

    seorang pemuda berbaju biru muda. 

    Pemuda berambut panjang sebahu dan 

    memakai ikat kepala warna biru belang-

    belang kuning ini menggeram marah. 

    Mulutnya pletat-pletot, kepala golang-

    goleng ke kiri dan kanan.

    "Algojo kepala botak itu tampak-

    nya bukan manusia, tapi setan berkedok 

    yang selalu haus darah. Jika terus 

    kubiarkan, tingkah mereka jadi 

    kapiran!" desisnya.

    Dilain kesempatan pemuda ini 

    melangkah tenang menghampiri para 

    algojo yang selalu siap dalam keadaan 

    waspada. Dasa Reksa Sebagai orang yang 

    mengepalai delapan orang anak buahnya 

    tentu saja menjadi heran sekaligus 

    terkejut melihat kemunculan Suro 

    Blondo. Dalam waktu yang sangat 

    singkat, mereka langsung mengurung 

    Pendekar Blo'on.

    Pemuda berbaju biru muda ini 

    garuk-garuk kepalanya. Mulutnya nye-

    ngir begitu melihat ulah laki-laki 

    bertubuh tegap ini.

    "Heh... hari ini kita dapat


    tenaga tambahan lagi. Walaupun tampang 

    kunyuk ini tolol. Tapi rasanya kita 

    dapat memanfaatkan tenaganya untuk 

    menggali emas dalam jumlah besar! He 

    he he... mimpi apa aku semalam?"

    "Aha... aku yakin semalam kau 

    telah bermimpi buruk! Melihat badanmu 

    yang lebih besar dari kawan-kawanmu, 

    rasanya tidak salah penglihatanku, 

    kaulah orangnya yang bernama Dasa 

    Reksa? Apakah betul...?" tanya Suro 

    Blondo. Walaupun hatinya kesal bukan 

    main, tapi ia tetap tertawa-tawa.

    Dasa Reksa sempat tersentak 

    kaget. Bagaimana mungkin pemuda ini 

    dapat mengetahui siapa namanya? Namun 

    setelah mengingat sepak terjangnya, 

    maka ia merasa tidak tertutup 

    kemungkinan nama besarnya telah 

    dikenal di seluruh penjuru persilatan.

    "Kalau kau sudah tahu siapa aku. 

    Bicaralah yang sopan dan sekarang 

    berlutut di depan majikanmu ini. 

    Setelah itu menyalak tiga kali!" 

    perintah Dasa Reksa diikuti tawa anak 

    buahnya.

    "Oh... maafkan aku majikan. Sama 

    sekali aku tidak melihat tingginya 

    gunung di depanku. Tapi bolehkah aku 

    bertanya pada majikan yang terhormat?" 

    ucap Suro Blondo sambil membungkuk-

    bungkukkan badannya.

    "Bagus! Rupanya kau tahu 

    bagaimana caranya menghargai orang


    lain. Sekarang coba katakan apa yang 

    ingin kau tanyakan?" perintah Dasa 

    Reksa, lalu tersenyum. Sementara itu 

    satu dua orang algojo begitu melihat 

    keramahtamahan atasannya terhadap 

    pemuda bertampang tolol yang tidak 

    dikenal itu langsung membubarkan diri.

    "Yang ingin kutanyakan adalah 

    berapa harga setiap kepala gundul di 

    sini?"

    Dasa Reksa pentang mata lebar-

    lebar dengan kening berkerut. Sedang-

    kan pemuda di depannya kini. tampak 

    berubah serius.

    "Apa maksudmu?"

    "Maksudku sudah jelas, Tuan!" 

    Suro Blondo mengusap keningnya. 

    "Kulihat di dataran rendah sebelah 

    sana tulang dan bangkai manusia

    bertimbun. Kalau dihitung mungkin 

    jumlahnya lebih dari dua ratus biji, 

    eeh... orang maksudku! Berarti sudah 

    dua ratus nyawa melayang menjadi 

    tumbal secara sia-sia. Dan semua itu 

    adalah hasil kejahatanmu dan orang-

    orangmu. Kini aku datang menagih 

    hutang nyawa orang-orang yang tidak 

    berdosa. Apakah keterangan ini sudah 

    cukup jelas bagimu?"

    "Huh..., puih, pemuda edan dari 

    mana kau! Berani-beraninya kau 

    mengungkit-ungkit segala persoalan 

    yang terjadi di sini? Apakah kau pikir 

    kau mampu melakukannya?" bentak Dasa


    Reksa. Wajah sampai kepala botaknya 

    berubah merah padam.

    "Pruuuh... ha ha ha ha...! Dasa 

    Reksa. Sudah kukatakan aku datang 

    kemari ingin membebaskan orang-orang 

    di dalam gua penggalian emas. Tentu 

    saja sekalian mencopot kepala kalian 

    dari badan!"

    "Keparat! Kau benar-benar tidak 

    tahu penyakit! Hiaaa...!" Disertai 

    satu teriakan melengking tinggi. Dasa 

    Reksa melompat ke depan. Tangannya 

    yang kokoh dan besar itu mencengkeram 

    ke bagian leher. Ia berpikir hanya 

    dengan sekali gebrak saja, tentu 

    kepala pemuda tampan bertampang tolol 

    terpotes dari kepalanya.

    Tapi ternyata dugaan Dasa Reksa 

    benar-benar meleset. Laksana kilat 

    Suro Blondo yang telah memperhitungkan 

    segala sesuatunya ini berkelit ke 

    samping. Serangan itu hanya menyambar 

    tempat kosong. Karena saat menyerang 

    tadi Dasa Reksa mengerahkan tenaga 

    dalam yang cukup tinggi. Maka kini 

    setelah tidak mencapai sasarannya 

    membuat ia kehilangan keseimbangan.

    Kesempatan itu dipergunakan oleh 

    Suro Blondo untuk membetot tubuh 

    lawannya. Dengan satu sentakan yang 

    sangat keras tubuh besar itu melayang 

    dan tersungkur mencium tanah keras.

    Dasa Reksa menggerung. Hidungnya 

    yang membentur tanah patah dua dan


    berubah lembam membiru. Sambil 

    meringis kesakitan ia bangkit berdiri. 

    Matanya merah beringas. Memandang 

    penuh kekejaman pada Suro Blondo. Yang 

    dipandang malah tersenyum sambil 

    garuk-garuk belakang kepalanya.



    ENAM



    "Anak-anak! Bunuh monyet ber-

    tampang tolol itu!" teriak Dasa Reksa 

    pada anak buahnya yang ternyata telah 

    berkumpul kembali mengurung Suro 

    Blondo. Perintah sang ketua disambut 

    oleh bunyi lecutan cambuk yang 

    meledak-ledak di udara.

    Dalam waktu singkat delapan 

    mata cambuk berderu menyerang Pendekar 

    Blo'on dari delapan penjuru arah. 

    Pemuda ini terpaksa melompat ke udara. 

    Lalu kerahkan jurus 'Serigala Melolong 

    Kera Sakti Kipaskan Ekor'. 

    Sekejap tubuh pemuda ini 

    sudah melompat-lompat atau terkadang 

    menari-nari membentuk gerakan-

    gerakanya yang sangat aneh. Dilihat 

    sepintas lalu gerakan yang dilakukan 

    Suro Blondo ini memang sangat mirip 

    dengan gerakan monyet yang melompat-

    lompat di atas pohon. Namun sungguhpun 

    demikian hingga sejauh itu tidak 

    satupun lidah cambuk yang dapat 

    menyentuh tubuhnya apalagi sampai


    melukainya.

    "Gila betul! Rupanya pemuda 

    bertampang tolol ini memiliki kepan-

    daian yang dapat diandalkannya." 

    Membatin Dasa Reksa.

    "Kerahkan jurus 'Seribu Bisa'!" 

    sang pimpinan berteriak-teriak memberi 

    aba-aba.

    "Shaa...!"

    "Buut!"

    "Tar... tar...!"

    Jurus-jurus yang dimainkan oleh 

    para algojo itu secara serentak 

    berubah. Suara cambuk meledak-ledak 

    memekakkan gendang-gendang telinga. 

    Semakin lama cambuk di tangan lawannya 

    tampak berubah menjadi banyak. Suro 

    Blondo leletkan lidah saat menyadari 

    posisinya dalam keadaan terdesak.

    "Gila. Betul-betul gila! Aku 

    harus mengerahkan jurus 'Seribu 

    Siluman Kera Putih Mengecoh Harimau!" 

    batin Pendekar Blo'on dalam hati.

    Namun sebelum ia sempat melak-

    sanakan niatnya. Salah satu cambuk 

    lawan menghantam punggungnya. Baju 

    terkoyak lebar. Ada darah yang 

    mengalir di sepanjang luka guratan. 

    Suro Blondo tersungkur mencium tanah. 

    Saat itulah cambuk berduri bertubi-

    tubi mendera tubuhnya. Dalam keadaan 

    tubuh remuk redam seperti itu. Ia 

    terus berguling-guling menghindari 

    mata cambuk berduri yang datang


    mendera seakan tidak ada habis-

    habisnya. Lalu.... 

    "Haap...!"

    Suro Blondo bangkit berdiri lalu 

    melompat mundur sejauh tiga tombak. 

    Mulutnya menyeringai menahan sakit. 

    Darah bercucuran membasahi bajunya 

    yang hancur di beberapa bagian.

    "Bunuh! Jangan beri kesempatan 

    pada pemuda sinting itu meloloskan 

    diri!" teriak Dasa Reksa sambil terus 

    memperhatikan jalannya pertempuran.

    "Urusan jadi kapiran jika aku 

    sampai mati di tangan mereka!" gerutu 

    Suro Blondo.

    Tiba-tiba saja ia merangkapkan 

    kedua tangannya ke depan dada. 

    Setengah dari seluruh tenaga yang 

    dimilikinya dikerahkannya ke bagian 

    tubuhnya. Lalu... diawali dengan satu 

    langkah yang sangat ganjil. Tubuhnya 

    tiba-tiba bergerak cepat laksana 

    kilat. Di tengah-tengah gerakan yang 

    sangat sulit diikuti kasat mata dan 

    membuat bingung lawannya itulah 

    terdengar suara aneh. Mula-mula 

    terdengar suara tawa meledak-ledak 

    bagaikan hendak mengguncang bumi. Tapi 

    di saat lain terdengar pula suara 

    seperti orang yang sedang menangis. 

    Suara itu mendayu-dayu mendirikan 

    bulu roma. Dan di dalam kesempatan 

    lainnya suara tangis lenyap berganti 

    dengan suara gajah. Rupanya dalam


    keadaan sedemikian rupa, Pendekar 

    Blo'on disamping mengerahkan jurus 

    "Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. 

    Ia juga mengerahkan jurus 'Tawa Kera 

    Siluman'.

    Kenyataan ini sempat membuat 

    terkesima lawan-lawannya. Namun mereka 

    tidak mau berdiam diri lebih lama 

    lagi. Laksana kilat cambuk berduri di 

    tangan mereka melecut mengejar kemana 

    saja bayangan Suro Blondo menghindar. 

    Namun berulang kali mereka dibuat 

    kecewa ketika serangan mereka mencapai 

    tempat kosong. Bahkan dengan gerakan-

    gerakan yang sulit diduga-duga Suro 

    Blondo mulai mempecundangi lawan-

    lawannya. Satu demi satu lawan-

    lawannya itu dibuat jatuh bangun. Hal 

    ini semakin memancing kemarahan Dasa 

    Reksa.

    Ia pun mulai menerjunkan diri ke 

    medan pertempuran. Tidak pelak lagi, 

    Suro Blondo langsung mendapat 

    keroyokan sembilan jago-jago pembunuh 

    yang memiliki kemampuan tidak rendah.

    Sungguh pun pemuda tampan 

    bertampang tolol ini mempunyai watak 

    yang konyol. Namun ia terdidik oleh 

    dua guru yang memiliki pengalaman dan 

    kepandaian sangat tinggi. Sehingga ia 

    segera menyadari bahwa saat itu 

    nyawanya benar-benar dalam kea-

    daan terancam. 

    "Hiyaa...!"


    "Shaaa...!" 

    Gerakan silat Pendekar Blo'on 

    dari cepat kini menjadi lambat. 

    Sebagian tenaga dalam yang dimilikinya 

    kini dikerahkannya ke bagian telapak 

    tangannya. Sehingga dalam waktu yang 

    singkat telapak tangan itu menjadi 

    putih berkilauan. Pada kesempatan yang 

    sama cambuk di tangan lawan-lawannya 

    mendera sekujur tubuhnya hingga 

    membuatnya jatuh tergulung-gulung dan 

    babak belur.

    "Bunuh!" teriak Dasa Reksa 

    semakin bertambah beringas.

    Serangan cambuk semakin menjadi-

    jadi. Pakaian yang melekat di tubuh 

    Suro Blondo praktis tercabik-cabik. 

    Namun pemuda itu cepat bangkit ber-

    diri. Cambuk di tangan lawan-lawannya 

    menyambut dan melibat tubuhnya. Tarik 

    menarik pun terjadi. Andai saja 

    Pendekar Blo'on bukan pemuda yang 

    telah kenyang makan gemblengan 

    gurunya. Mungkin saat itu tubuhnya 

    telah terpisah-pisah.

    Suro Blondo menggeram penuh 

    amarah. Sama sekali ia sudah tidak 

    menghiraukan darah yang mengalir dari 

    setiap luka yang terdapat di tubuhnya. 

    Dan dalam keadaan dilanda kemarahan 

    sedemikian rupa. Satu hal yang tidak 

    pernah disadari oleh lawan-lawannya 

    adalah bahwa, rambut Pendekar Blo'on 

    yang hitam kemerah-merahan itu


    sekarang telah berubah merah 

    sepenuhnya,

    "Heaaa...!" Suro Blondo 

    berteriak melengking tinggi. Empat 

    larik sinar putih menyilaukan ber-

    kiblat melesat dari telapak tangannya. 

    Itulah salah satu pukulan yang bernama 

    'Kera Sakti Menolak Petir' yang 

    dilepaskan oleh Pendekar Blo'on.

    Udara berubah menjadi panas 

    menyesakkan. Empat orang lawannya 

    terkesiap melihat datangnya gelombang 

    sinar putih yang meluruk deras ke arah 

    mereka. Namun untuk menyelamatkan diri 

    tidak ada kesempatan lagi bagi algojo-

    algojo ini karena pukulan itu langsung 

    menghantam tubuh mereka.

    "Blaam! Buum! Buum!"

    "Wuaaakh...!"

    Empat sosok tubuh berpentalan 

    meregang ajal. Tubuh mereka berubah 

    hangus. Belum hilang rasa kejut di 

    hati kawan-kawannya, Suro Blondo telah 

    melompat ke belakang sehingga membuat 

    cambuk yang membelit tubuhnya 

    terlepas. Tidak tanggung-tanggung. Ia 

    kali ini melepas pukulan 'Matahari Dan

    Rembulan Tidak Bersinar'.

    Sinar redup bersemu merah 

    bercampur dengan warna biru datang 

    menggebu-gebu. Dun algojo lainnya kini 

    menjadi korban. Tidak sempat menjerit 

    apalagi melolong. Tubuh mereka tiba-

    tiba terhempas ke depan. Wajah mereka


    berubah pucat kebiru-biruan. Darah 

    kental menyembur tiada henti dari 

    mulut kedua algojo itu. Laksana mau 

    terbang semangat Dasa Reksa melihat 

    kejadian tragis yang sangat singkat 

    ini. Namun kematian tetap kematian. 

    Kenyataan yang dilihatnya tidak 

    membuat nyalinya lumer, apalagi lari 

    terbirit-birit meninggalkan pertem-

    puran. Dengan dibantu dua orang 

    kawannya ia kembali merangsak ke 

    depan. Suro Blondo menyeringai seakan 

    mengejek.

    Menghadapi lawan yang sudah 

    banyak berkurang, malah ia semakin 

    berhati-hati. Selanjutnya ia 

    mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih 

    Mengecoh Harimau'. Gerakan laksana 

    kilat ini disusul dengan tendangan 

    maupun jotosan beruntun ke bagian-

    bagian tubuh lawannya. Namun aneh... 

    kali ini setiap pukulannya dapat 

    dihindari oleh lawan. Ketika mereka 

    balas menyerang dengan mempergunakan 

    jurus 'Gaung Halimun' Maka serangan 

    balik itu juga lebih berbahaya dari 

    serangan dahsyat yang dilakukan oleh 

    Suro Blondo. 

    "Buuuk! Buuuk!"

    "Setan atas!" maki pemuda itu 

    jatuh bangun mempertahankan diri.

    "Ayo kerahkan semua kepandaian 

    yang kau miliki pemuda tolol!" teriak 

    Dasa Reksa dan kawan-kawannya semakin


    bersemangat.

    "Kalian meminta aku memberi!" 

    sahut Suro Blondo, Ia langsung meraba 

    gagang mandau jantan di balik 

    pakaiannya.

    "Wuuus!"

    Sinar hitam tiba-tiba saja 

    berkiblat. Salah seorang algojo yang 

    berada begitu dekat dengannya menjerit 

    roboh sambil memegangi perutnya yang 

    membusai. Di tengah-tengah berkiblat-

    nya sinar hitam tersebut tiba-tiba 

    terdengar pula suara raungan aneh. 

    Suara raungan kemudian berubah menjadi 

    siulan tidak teratur. Bahkan terus 

    berubah seperti suara ringkik kuda 

    jantan.

    Suara yang tidak teratur dan 

    sesungguhnya keluar dari empat lubang 

    miring yang terdapat di tengah 

    cekungan pipih di tengah-tengah mandau 

    ini benar-benar mengacaukan gerakan 

    silat Dasa Reksa dan salah seorang 

    anak buahnya.

    Serangan-serangan yang mereka 

    lancarkan pun mulai membabi buta. 

    Namun sampai sejauh itu tetap saja 

    sangat berbahaya bagi Suro Blondo. 

    Bahkan satu tendangan menggeledek 

    berisi tenaga dalam penuh menghantam 

    punggung Suro Blondo. Untuk yang 

    kesekian kalinya pemuda itu tersungkur 

    roboh. Namun senjata sakti mandau 

    jantan masih tergenggam erat di


    tangannya. Sekilas Dasa Reksa sempat 

    melihat Senjata berbentuk aneh ini. 

    Sungguhpun hatinya berubah kecut. 

    Namun ia tetap mengayunkan cambuknya 

    untuk merampas mandau sakti di tangan 

    lawan.

    Ayunan cambuk mengarah pada 

    bagian tangan Suro Blondo sempat 

    dirasakan oleh si pemuda. Sehingga ia 

    menggerakkan senjata ke arah datangnya 

    cambuk yang menderu ke arahnya.

    "Prass!"

    "Tees!" 

    Cambuk baja di tangan lawan 

    terbabat putus menjadi beberapa 

    bagian. Kesempatan itu tidak disia-

    siakan oleh Suro Blondo. Seraya 

    melompat ke depan sambil menusukkan 

    senjata di tangannya ke bagian perut 

    Dasa Reksa.

    Kepala algojo ini berkelit ke 

    samping kiri dengan jalan menggeser 

    langkahnya sebanyak dua tindak. Sera-

    ngan Suro Blondo luput. Tapi senjata 

    itu kemudian ia belokkan dan 

    menghantam tulang iga Dasa Reksa.

    Bukan main cepatnya serangan 

    Pendekar Blo'on, sehingga lawan tidak 

    sempat melihat berkiblatnya senjata si 

    pemuda. Tahu-tahu saja dadanya kena 

    dihantam.

    "Craak! Craaaak...!"

    "Wuaaakkk!"

    Suara teriakan Dasa Reksa


    laksana merobek langit. Tubuhnya 

    terguling, setelah empat tulang rusuk-

    nya terbabat putus senjata milik Suro 

    Blondo. Laki-laki itu berkelojotan 

    sebentar untuk kemudian terdiam 

    selama-lamanya. Mati!

    Suro Blondo bersiul nyaring. Ia 

    memperhatikan algojo yang cuma tinggal 

    satu-satunya ini. Ia menggerakkan 

    tangannya, seraya memberi isyarat pada 

    algojo yang sudah lumer nyalinya ini 

    untuk maju menyerangnya. Namun algojo 

    itu malah melangkah mundur bersiap-

    siap langkah seribu.

    "Kau mau kabur kemana?" desis 

    Suro Blondo. Pemuda ini tampaknya 

    sengaja membiarkan algojo tersebut 

    melarikan diri. Namun begitu sang 

    algojo membalikkan badan dan ambil 

    langkah dua ribu. Suro Blondo memungut 

    sebuah batu sebesar kepalan tangan. 

    Batu itu kemudian disambitkannya ke 

    bagian punggung laki-laki berkepala 

    botak tepat mengenai sasaran.

    "Pluuuk!" 

    "Wadooow...!"

    Sang algojo menjerit tertahan. 

    Tubuhnya terguling roboh tanpa mampu 

    bangkit kembali. Sungguhpun ia 

    berusaha mengerahkan segenap tenaga 

    dalam yang dimilikinya. Namun tetap 

    saja ia tidak mampu membebaskan diri 

    dari totokan.

    "Ternyata kau hanya seorang


    pengecut yang takut mati! Tapi hukuman 

    segera kau terima dari para pekerja 

    itu begitu aku membebaskan rantai baja 

    yang membelenggu tubuh mereka!" kata 

    pemuda itu, lalu usap-usap keningnya.

    "Tunggu, tolong lepaskan aku! 

    Aku berjanji mengabdi padamu jika kau 

    mau menyelamatkan aku dari amarah 

    mereka!" kata algojo itu penuh per-

    mohonan. Suro Blondo malah melangkah 

    pergi sambil berkata:

    "Manusia memang selalu begitu. 

    Jika nyawa sudah di tenggorokan baru 

    merengek-rengek minta ampun dan tobat. 

    Huh... dasar kecoa kudisan!" desis 

    Suro Blondo.

    Tidak lama kemudian Pendekar 

    Blo'on melepaskan rantai yang 

    membelenggu tangan para pekerja itu. 

    Setelah dirinya merasa terbebas, maka 

    para pekerja itu beramai-ramai mening-

    galkan gua penggalian.

    Saat mereka melihat salah satu 

    algojo masih dalam keadaan tertotok. 

    Dengan penuh amarah mereka mencincang 

    tubuh algojo malang yang selama ini 

    menyiksa mereka di lingkungan kerja 

    paksa.

    Di kejauhan lamat-lamat Suro 

    Blondo yang telah meninggalkan Bumi 

    Ayu mendengar suara jerit kesakitan 

    dari mulut sang algojo yang sedang 

    menerima hukuman rimba. Pendekar 

    Blo'on bergidik seram, lalu golang

    golengkan kepalanya berulang-ulang.



    TUJUH



    Sekujur tubuh kedua pemuda itu 

    telah babak belur. Kulitnya terbeset-

    beset. Bagian wajahnya terkelupas, 

    darah menetes-netes bercampur debu 

    jalanan. Keadaan mereka benar-benar 

    berada antara sadar dan tiada. Kuda 

    terus berlari kencang. Penunggangnya 

    gadis berbaju ungu terus menggebraknya 

    bagai kesetanan. Setelah memasuki kota 

    Malaya, gadis ini memperlambat 

    kecepatan kudanya. Bagi Mustika Jajar 

    tidak sulit menemukan tempat kediaman 

    saudagar Bergola Mungkur yang kaya 

    raya itu. Ia memiliki rumah yang 

    paling besar dan yang paling mewah di 

    tengah-tengah kota tersebut.

    Mustika Jajar memasuki alun-

    alun, lalu berbelok ke arah halaman 

    yang cukup luas. Para begundal 

    saudagar Bergola Mungkur langsung 

    mengurungnya begitu melihat kehadiran 

    gadis berbaju ungu ini. Sebaliknya 

    Mustika Jajar dengan angkuh membentak.

    "Menyingkir kalian! Aku datang 

    kemari untuk menyerahkan dua perusuh 

    pada majikanmu!"

    Serentak mereka memandang pada 

    dua tawanan yang pada bagian tangan 

    dan kakinya terikat kuat. Sementara

    wajah mereka sudah tidak dapat 

    dikenali karena luka-lukanya yang 

    cukup parah.

    "Siapakah mereka?" tanya kepala 

    pengawal merasa curiga.

    "Jangan banyak tanya! Panggil 

    majikanmu, hanya padanya aku dapat 

    menjelaskan siapa tawanan ini." dengus 

    Mustika Jajar sengit.

    "Tidak bisa!" kata pengawal itu 

    kurang senang.

    "Kalau begitu kau memang pantas 

    mati!" Mustika Jajar menggeram. Ia 

    angkat tangannya tinggi-tinggi. Pada 

    saat itulah ia mendengar suara serak 

    seseorang.

    "Tahan...!"

    Gadis baju ungu menurunkan 

    tangannya, ia menoleh ke arah suara 

    itu. Kini ia melihat seorang laki-laki 

    berpakaian mewah datang menghampiri. 

    Laki-laki itu berumur kurang lebih 

    lima puluh tahun. Kumisnya tebal 

    terpelihara rapi. Sekali lihat saja si 

    gadis sudah dapat melihat inilah 

    orangnya saudagar yang ingin 

    ditemuinya itu. Serta merta Mustika 

    Jajar mengangguk penuh rasa hormat. 

    Kemudian, senyum genitnya pun 

    mengembang.

    "Kalau tidak salah aku sedang 

    berhadapan dengan saudagar Bergola 

    Mungkur yang kaya raya."

    Laki-laki berbaju hijau bersulam

    benang emas ini menganggukkan kepala. 

    Tenggorokannya turun naik setelah 

    melihat kecantikan gadis yang duduk di 

    atas punggung kuda tersebut.

    "Dugaanmu memang benar!" sahut 

    saudagar. "Ada gerangan apakah kau 

    menemuiku?" tanya tuan rumah. Matanya 

    yang jalang merayapi sekujur tubuh si 

    gadis yang terbalut pakaian serba ungu 

    yang ketat dan tembus pandang.

    Sebaliknya Mustika Jajar malah 

    menggerak-gerakkan tubuhnya, hingga 

    membuat gelora birahi si saudagar 

    terbangkitkan.

    "Aku sengaja mencarimu untuk 

    menyerahkan dua ekor kunyuk yang 

    hendak menghancurkan ladang emasmu di 

    Bumi Ayu. Kuharap kau suka memberi 

    upah lelah atas jerih payah ini!" kata 

    gadis itu sambil mengedipkan matanya.

    Sementara belasan pengawal yang 

    sempat mengurung gadis berbaju ungu, 

    kini telah membubarkan diri dan 

    kembali berjaga-jaga di tempatnya 

    masing-masing.

    Bergola Mungkur telan ludah 

    basahi bibir. Sungguhpun ia telah 

    mempunyai tiga orang istri dan anak 

    yang sudah dewasa. Namun sebagai laki-

    laki mata keranjang. Tentu saja ia 

    tidak menyia-nyiakan kesempatan 

    melihat gadis secantik Mustika Jajar. 

    Apalagi tampaknya gadis berpakaian 

    tipis itu memang memberi angin


    kepadanya.

    "Mengenai hadiah kau tidak usah 

    khawatir! Kau meminta pasti aku akan 

    memberikannya padamu dalam jumlah yang 

    tidak kau duga. Tapi aku mau tahu 

    siapa dua pemuda yang kau seret itu?"

    "Hik hik hik...! Mereka 

    menamakan dirinya sebagai Pendekar 

    dari Kuningan. Beberapa hari yang lalu 

    algojomu menculik pemuda-pemuda daerah 

    itu. Itu sebabnya mereka sengaja 

    datang ke Bumi Ayu untuk mengambil 

    kembali pemuda-pemuda yang diculik 

    oleh anak buahmu."

    "Puah... kepandaian hanya seu-

    jung kuku. Mereka benar-benar mencari 

    penyakit bila bermaksud merusak 

    pencarian orang lain. Jika kau memang 

    berada di pihakku. Kuharap sekarang 

    juga kau mau membunuhnya!"

    Sebagai Iblis Betina Dari 

    Neraka, tentu saja Mustika Jajar 

    dengan senang melakukan tugas yang 

    diberikan oleh saudagar Bergola 

    Mungkur.

    "Jika aku telah membawanya 

    kemari. Membunuh manusia-manusia 

    seperti kecoa ini bukan merupakan 

    pekerjaan yang sulit!" Mustika Jajar 

    kemudian melompat dari atas punggung 

    kudanya. Setelah itu ia mendekati 

    Sapala dan Panji. Dengan mengandalkan 

    tiga perempat dari seluruh tenaga 

    dalam yang dimilikinya tangan


    Mustika Jajar tiba-tiba menghantam dua 

    kali.

    "Praak!"

    "Praak!"

    Darah bercampur otak muncrat 

    dari bagian kepala Panji dan Sapala 

    yang terkena hantaman tangan si gadis. 

    Tewaslah keduanya seketika tanpa 

    sempat menyadari apa yang terjadi pada 

    dirinya.

    Mustika Jajar bangkit berdiri. 

    Seraya membalikkan tubuhnya dan 

    menghadap langsung pada Bergola 

    Mungkur. "Bagaimana apakah kau puas?"

    "Ha ha ha...! Tentu saja aku 

    merasa senang. Kau memang pantas 

    menjadi salah seorang tangan kananku 

    menggantikan dua orang lainnya yang 

    telah mati!"

    "Bukan saja hanya menjadi tangan 

    kanan, aku dapat memberimu keba-

    hagiaan yang tidak pernah diberikan 

    oleh orang lain!" 

    Bergola Mungkur telan ludah. 

    Matanya belingsatan memandangi Mustika 

    Jajar seakan tidak pernah mengenal 

    rasa bosan.

    "Mari... kita rayakan kemenangan 

    dan pertemuan yang tidak disangka-

    sangka ini...!" kata laki-laki 

    berkumis tebal tersebut sambil ter-

    senyum-senyum.

    Iblis Betina Dari Neraka 

    memasuki sebuah ruangan yang cukup


    luas. Di dalam ruangan itu telah 

    terhidang berbagai jenis makanan yang 

    lezat-lezat. Di samping itu tersedia 

    pula beberapa guci arak yang harum 

    baunya.

    "Hmm, rumah ini sangat mewah 

    sekali!" kata gadis itu sambil 

    menuangkan kendi arak pada sebuah 

    cawan yang cukup cantik.

    "Kalau kau suka, eeh... siapa 

    namamu...?"

    "Panggil saja Mustika." kata 

    gadis itu, lalu meneguk araknya.

    "Ah... namamu secantik dan 

    seindah orangnya," Bergola Mungkur 

    memuji.

    "Kalau kau merasa namaku cocok. 

    Mudah-mudahan saja kita selalu cocok 

    dalam banyak hal," Mustika Jajar 

    mengedipkan matanya. Sehingga membuat 

    jantung si saudagar berdetak keras dan 

    klepek-klepek. Seraya kemudian 

    berpindah tempat duduk. Begitu dekat 

    dengan si gadis, ia langsung dapat 

    merasakan bau harum tubuh Mustika 

    Jajar. 

    Mustika Jajar meneguk araknya 

    kembali. Wajahnya yang cantik mulai 

    berubah kemerah-merahan. Tatapan 

    matanya juga berubah sayu. Tidak lama 

    kemudian tanpa mengenal malu, gadis 

    berbaju ungu ini menyandarkan 

    kepalanya di bahu sang saudagar. Laki-

    laki itu tentu saja tidak menampik, ia


    seperti mendapat durian runtuh. 

    Tangannya dengan berani bahkan mulai 

    menggerayangi dada si gadis.

    "Untuk sentuhan-sentuhan yang 

    kau berikan, kau harus membayarnya 

    dengan sekantung emas" desah gadis 

    tersebut seperti orang mengigau.

    "Eeee... jangan khawatir. Aku 

    bahkan akan memberimu lima kantung 

    emas bila kau mau memenuhi permintaan-

    ku...!" ucap Bergola Mungkur dengan 

    suara bergetar.

    Mata Mustika Jajar yang sete-

    ngah terpejam itu terbuka lebar. Namun 

    ia masih belum juga menarik kepalanya 

    dari bahu sang saudagar.

    "Apakah syaratmu? Apakah kau 

    bermaksud mengajakku bersenang-se-

    nang?" tanya Iblis Betina Dari Neraka 

    tersenyum sinis. Baginya lima kantung 

    emas bukan jumlah yang sedikit. 

    Namun untuk memberikan kesuciannya 

    pada laki-laki tua semacam saudagar 

    Bergola Mungkur, tentu saja ia harus 

    berpikir seribu kali. Kalau sekedar 

    pegang-pegang saja tidak apalah. 

    Batinnya.

    "Bagiku bersenang-senang jika 

    kau mau, jika tidak mau tak akan 

    kumemaksa." ujar laki-laki di 

    sampingnya. Rupanya saudagar Bergola 

    sadar, bahwa gadis ini tidak dapat 

    dibuat main-main. Terlebih-lebih 

    setelah melihat kehebatannya di


    halaman tadi. Namun jika ia dapat 

    memanfaatkan tenaganya. Tentu kedudu-

    kannya sebagai orang kaya tidak akan 

    terusik oleh orang lain.

    "Lalu apa permintanmu yang 

    lain?" tanya si gadis.

    Ia tetap membiarkan dadanya 

    digerayangi oleh lawan bicaranya. 

    Hanya sesekali saja rintihannya 

    terdengar. Terlebih-lebih bila remasan 

    tangan Bergola Mungkur terasa lebih 

    keras. Karena saudagar itu tidak 

    kunjung menjawab. Akhirnya ia 

    menyentakkan tangan si laki-laki dari 

    dadanya yang setengah terbuka.

    "Katakan apa permintaanmu, agar 

    aku bisa mendapatkan lima kantung emas 

    darimu?" desah Iblis Betina Dari 

    Neraka serius.

    Sebelum menjawab, Bergola Mung-

    kur meneguk araknya.

    "Jika kau dapat mengambil patung 

    marmar yang indah dari tangan Pematung

    Kelana dan menyerahkannya padaku. Lima 

    kantung emas siap menunggu sebagai 

    imbalan...!" kata sang saudagar.

    Kemudian dengan singkat ia 

    menceritakan apa yang pernah terjadi 

    pada dirinya dan nasib tragis yang 

    menimpa anak buahnya. Dengan seksama, 

    Iblis Betina Dari Neraka ini 

    mendengarkannya.

    "Dua kantung emas bukan sedikit! 

    Adalah sangat sombong jika Pematung


    Kelana menolak tawaranmu, bahkan malah 

    meminta nyawa dua tangan kananmu!" 

    timpal si gadis setelah selesai 

    mendengar penjelasan sang saudagar.

    "Memang Pematung Kelana manusia 

    congkak! Bukan itu saja, ia malah 

    menghinaku. Jika kau berhasil merampas 

    patung marmar berikut nyawa pematung 

    tua itu. Maka aku akan menambah satu 

    kantung emas lagi!"

    "Hik hik hik...! Kuterima 

    tawaranmu. Aku ingin berangkat 

    secepatnya!" Mustika Jajar bangkit 

    berdiri. Tapi Bergola Mungkur cepat 

    mencegah. 

    "Tunggu! Sebaiknya kau menginap 

    dulu di sini barang semalam, kau habis 

    menempuh perjalanan yang sangat jauh. 

    Tentu kau sangat lelah."

    "Tidak usah khawatir. Aku tahu 

    keinginanmu, mungkin di suatu saat aku 

    dapat memperlihatkan keindahan tubuhku 

    di depanmu. Tapi kau tidak mungkin 

    dapat memilikinya di luar batas 

    memegang dan menyentuh. Terkecuali aku 

    dengan suka rela mau melakukannya!" 

    kata si gadis sambil tersenyum genit.

    Wajah Bergola berubah memerah. 

    Tapi hanya sebentar saja, dilain saat 

    ia telah berubah seperti biasa 

    kembali.

    "Baiklah kalau itu maumu! Hadiah 

    emas untukmu telah menunggu di sini, 

    jika telah berhasil memboyong patung


    mar-mar itu ke sini!" Bergola Mungkur 

    mengingatkan.

    Iblis Betina tersenyum. Seraya 

    melambaikan tangan lalu menghilang 

    dari pandangan sang saudagar. 

    Di halaman depan Bergola Mungkur 

    masih sempat mendengar suara langkah 

    kuda bergerak menjauhi rumahnya yang 

    megah.

    "Andai saja aku dapat memiliki 

    tubuhnya!" Sang saudagar berangan-

    angan. "Tentu bukan perlindungan saja 

    yang kudapat dari gadis itu. Tapi juga 

    kehangatan dari gadis yang masih muda-

    muda!" Bergola Mungkur menelan ludah. 

    Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa 

    pahit.



    DELAPAN



    Laki-laki tua bertelanjang dada 

    dan berambut putih ini berjalan 

    mondar-mandir mengelilingi patung yang 

    baru selesai diwarnainya. Memang patut 

    diakui, setelah patung itu diwarnai, 

    hasilnya semakin bertambah sempurna. 

    Inilah satu-satunya patung yang paling 

    bagus di antara sekian banyak patung 

    yang pernah dibuatnya. Memandangi 

    wajah patung lebih lama, tiba-tiba 

    saja wajah Pematung Kelana berubah 

    muram.

    "Tidak kusangka kau pergi 

    secepat itu, anakku! Kini aku hanya


    sendiri. Hidup bersama bayang-bayang 

    mimpi yang tidak bertepi. Mimpi buruk 

    selalu datang dan pergi. Hal ini 

    sangat menyiksaku, menyiksa sangat 

    dalam." Tanpa disadarinya air mata 

    Pematung Kelana menetes. Suaranya 

    kemudian berubah serak. "Jika aku 

    pergi, satu rahasia yang sangat besar 

    terkandung dalam dirimu. Aku selalu 

    berdoa sepanjang siang dan malam. Jika 

    aku tidak dapat menemanimu lebih lama, 

    semoga ada orang baik berhati jujur 

    dapat menyingkap tabir misteri yang 

    sengaja kupendam dalam dirimu...!" 

    desis si kakek tua sambil 

    menengadahkan wajahnya ke langit.

    Sedang Pematung Kelana bicara 

    seorang diri seperti itu, sayup-sayup 

    di kejauhan terdengar suara langkah 

    kuda. Semakin lama suara derap kaki 

    kuda semakin bertambah cepat dan 

    bertambah jelas.

    "Inilah pertanda yang paling 

    tidak baik dalam hidupku!" membatin si 

    kakek tua dalam hati.

    Benar saja, tidak lama kemudian 

    seekor kuda tunggangan berhenti tepat 

    di depan Pematung Kelana. Duduk di 

    atasnya seorang gadis berbaju ungu 

    tembus pandang. Gadis ini terbelalak 

    kaget begitu melihat betapa indahnya 

    patung dan keperkasaan pada bagian 

    bawah perutnya. Mustika Jajar sempat 

    bergetar tubuhnya. Darahnya berdesir,


    jantungnya berdetak lebih kencang. 

    Terus terang ia mengakui bahwa patung 

    itu bentuknya sangat sempurna dari 

    pribadi seorang laki-laki jantan yang 

    perkasa. Apalagi setelah melihat 

    tampangnya yang gagah dan ganteng. 

    Jika semula ia berniat menukar patung 

    itu dengan enam kantung emas murni. 

    Maka kini setelah melihat patung itu 

    ia malah berubah ingin memiliki patung 

    itu untuk selama-lamanya.

    "Pak Tua. Benarkah anda yang 

    berjuluk Pematung Kelana?" tanya 

    Mustika Jajar berusaha ramah meskipun 

    suaranya sempat bergetar menahan 

    keinginan yang meledak-ledak setelah 

    melihat keperkasaan patung tersebut.

    "Bertanya membawa satu maksud 

    jahat atau baik?" tanya Pematung 

    Kelana acuh tak acuh.

    "Hhh... orang ini benar-benar 

    sombong sebagaimana yang dikatakan 

    oleh saudagar mata keranjang itu!" 

    batin Iblis Betina Dari Neraka.

    "Maksudku tergantung bagaimana 

    penyambutanmu, Pematung Kelana? Hik 

    hik hik...!" Mustika Jajar terkikik. 

    Ia mengerling genit pada si kakek. 

    "Hmmm, setiap orang memang punya 

    maksud-maksud tertentu datang kemari. 

    Melihat penampilanmu hatiku mengatakan 

    kau membawa maksud yang bukan saja 

    buruk tapi juga keji! Pergilah! Aku 

    tidak punya waktu untuk melayanimu."


    "Bagaimana kalau kau tukar 

    patung itu denganku?"

    "Maksudmu?"

    "Patung bagus itu kau berikan 

    padaku. Sebagai balas jasa aku 

    menyerahkan diriku padamu untuk bebe-

    rapa waktu!" Mustika Jajar tersenyum 

    genit. Ia bahkan sengaja menggaruk 

    dadanya, sehingga salah satu kancing 

    bajunya terbuka dan memperlihatkan 

    buah dadanya yang membusung padat, 

    putih berkilat-kilat.

    Pematung Kelana cepat-cepat 

    memalingkan wajahnya ke arah lain. 

    Gelora amarahnya terbangkitkan.

    "Perempuan rendah! Aku adalah 

    manusia renta yang tidak dapat kau 

    perdaya. Sungguhpun kau telanjang di 

    depanku, harga patung ini lebih mahal 

    dari kemolekan tubuhmu!"

    "Ah... terlanjur aku datang. 

    Terus terang aku mau meminta patung 

    itu!" Mustika Jajar tanpa malu-malu 

    berterus terang.

    "Hhh... patung ini kubuat bukan 

    untuk kujual atau kuberikan pada orang 

    lain. Dia adalah tiruan sosok anakku. 

    Karena dia anakku, maka aku akan 

    mempertahankannya walaupun nyawa 

    sebagai taruhannya!"

    Mata Iblis Betina Dari Neraka 

    terbelalak lebar. Jika patungnya saja 

    sedemikian perkasa dan jantan apalagi 

    orang yang sesungguhnya.


    "Di mana anakmu itu, orang tua?" 

    tanya gadis berbaju ungu. 

    "Dia sudah tiada!"

    "Ah... sayang betul! Kalau 

    begitu sekarang kau harus menyerahkan 

    patung ukiranmu itu padaku!" tegas si 

    gadis sambil berkacak pinggang.

    "Sudah kubilang aku tidak akan 

    memberikannya pada siapapun. Apakah 

    kau tidak mendengar kata-kataku!" 

    dengus Pematung Kelana dengan perasaan 

    muak.

    "Rupanya aku harus merampas 

    nyawamu baru kau mau menyerahkan 

    patung itu kepadaku!"

    "Demi keselamatan patung ini 

    dari manusia sepertimu, aku rela 

    berkorban apa saja!" dengus Pematung 

    Kelana merasa tersinggung.

    "Banyak mulut! Hiyaaa...!" 

    Secara licik Mustika Jajar menghantam 

    punggung si kakek dengan pengerahan 

    tenaga dalam penuh. Namun Pematung 

    Kelana begitu merasakan sambaran angin 

    pukulan langsung melompat ke samping 

    kiri. Lalu kibaskan tangan kirinya.

    "Duuuk!"

    "Uuuuh…!" Mustika Jajar tersen-

    tak. Tangannya terasa seperti menghan-

    tam dinding karang. Tangan itu 

    berwarna merah dan nyeri pada bagian 

    jemarinya. Ia terhuyung-huyung sejauh 

    tiga tindak. Sebaliknya Pematung 

    Kelana juga terkejut. Tangan kirinya


    seperti ditusuk-tusuk ribuan batang 

    jarum. Lebih celaka lagi tangan itu 

    berubah dingin. Sebagai orang yang 

    telah berpengalaman dan malang 

    melintang di sepanjang pesisir pulau 

    Jawa. Ia sadar betul bahwa lawannya 

    memiliki tenaga dalam yang mengandung 

    racun keji. Cuma yang membuatnya 

    terheran-heran adalah mengenai tenaga 

    dalam yang dimiliki oleh gadis itu. 

    Meski masih berusia muda, tapi tenaga 

    dalamnya sudah mencapai tingkat 

    sempurna.

    "Sebentar lagi kakek tua! Seben-

    tar lagi Iblis Betina Dari Neraka akan 

    mengirimmu ke Neraka!" dengus Mustika 

    Jajar.

    Seraya kemudian mementang kedua 

    tangannya lebar-lebar. Selanjutnya 

    kedua tangan itu dilintangkannya ke 

    depan dada. Tangan itu kemudian 

    berubah menghitam. Dengan satu gerakan 

    yang sangat menantang, ia membuka 

    jurus 'Prahara Bumi', yaitu salah satu 

    jurus iblis langka yang pernah 

    dipelajarinya dari 'Tua Tengkorak Mata 

    Api'

    Dengan mempergunakan jurus yang 

    sangat berbahaya dan penuh tipu-tipu 

    ini, Mustika Jajar menyerang lawannya. 

    Setiap serangan yang dilakukannya 

    menimbulkan angin bersiuran. Pematung 

    Kelana merasakan pernafasannya menjadi 

    sesak. Namun sebagai tokoh angkatan


    tua yang sangat berpengalaman. Ia 

    langsung mengetahui siapa pemilik 

    jurus sesat yang sangat berbahaya itu.

    "Ada hubungan apa kau dengan Tua 

    Tengkorak Mata Api!" hardik Pematung 

    Kelana sambil menghindari tendangan 

    kilat yang dilancarkan oleh lawannya.

    "Kau tidak layak bertanya!" 

    dengus Mustika Jajar. Diam-diam 

    hatinya terkejut juga setelah menge-

    tahui ternyata lawannya kenal siapa

    gurunya.

    "Huup! Heaaa...! Jika kau 

    muridnya Tua Tengkorak Mata Api. 

    Berarti aku sudah dapat memperkirakan 

    siapa kau yang sebenarnya. Rasanya 

    tidak salah jika aku turun tangan 

    kejam kepadamu!" Pematung Kelana 

    menggeram. 

    "Bagus! Aku sendiri memang 

    menghendaki nyawamu!" sinis suara 

    Mustika Jajar.

    "Shaa...!" Tubuh Pematung Kelana 

    melesat ke depan. Ia mengerahkan jurus 

    'Bayang-bayang Sukma'. Inilah salah 

    satu jurus andalan yang dimiliki oleh 

    si kakek tua. Sadar bahwa lawannya 

    merupakan murid seorang iblis. Tidak 

    tanggung-tanggung ia mengerahkan 

    segenap kemampuan yang ada

    Sebaliknya walaupun masih muda, 

    Iblis Betina Dari Neraka ini memang 

    mewarisi kepandaian tinggi dari 

    gurunya. Jadi sungguhpun lawan mempu


    nyai pengalaman jauh lebih matang. 

    Namun ia masih tetap dapat mengimbangi 

    setiap serangan yang datang.

    "'Tujuh Angkara Murka'!" jerit 

    Mustika Jajar. Ia kemudian hantamkan 

    tangannya yang telah berubah hitam itu 

    menyongsong serangan lawannya. Melihat 

    sinar hitam datang menggebu-gebu ke 

    arahnya, maka Pematung Kelana 

    membanting tubuhnya ke samping kiri 

    Lalu lepaskan pukulan 'Geger Bumi'.

    Sinar hitam dan merah datang 

    bergulung-gulung bagaikan badai topan 

    prahara. Udara di sekitarnya berubah 

    menjadi dingin dan panas. Lalu dua 

    pukulan yang dilepaskan oleh masing-

    masing lawannya ini saling bertemu di 

    udara.

    "Buummm...!"

    "Braak! Braaak!"

    Dua-duanya jatuh terpelanting, 

    Hampir bersamaan mereka bangkit 

    kembali. Ledakan dahsyat itu membawa 

    akibat runtuhnya dinding tebing. 

    Bahkan longsorannya menimbun badan 

    patung. Pematung Kelana menyeringai. 

    Wajahnya berubah pucat. Sebaliknya 

    Mustika Jajar malah tersenyum. 

    Sekarang ia menyerang lagi dengan 

    gerakan-gerakan yang lebih cepat dan 

    gencar. Namun Pematung Kelana yang 

    telah bergerak lebih awal dapat 

    menghantam perut gadis itu hingga 

    membuatnya jatuh terjengkang dan


    muntahkan darah segar.

    Anehnya gadis itu malah tertawa-

    tawa. Rupanya itulah satu-satunya cara 

    untuk menyembuhkan luka dalam yang 

    dideritanya. Tidak lama kemudian ia 

    bangkit berdiri.

    "Kau telah melukaiku, berarti 

    semua yang kau lakukan hanya memper-

    cepat kematianmu sendiri!" Mustika 

    Jajar menggeram marah sambil seka 

    darah yang menetes di sudut-sudut 

    bibirnya.

    "Deb!"

    "Beet!"

    "Heyaaa...!" Jemari tangan si 

    gadis tiba-tiba saja terentang lebar. 

    Begitu jemari tangan terkembang. Maka 

    terjadilah perubahan warna. Jika 

    semula jemari tangan itu berwarna 

    keputihan, maka sekarang telah berubah 

    menjadi merah laksana darah.

    Pematung Kelana terkesiap sete-

    lah melihat perubahan yang terjadi 

    pada bagian tangan lawannya. Mulutnya 

    mendesis 'Pukulan Jari Getih'.

    Tidak ada kesempatan baginya 

    untuk berpikir lebih jauh. Pukulan 

    Jari Getih sebagaimana yang diketahui-

    nya merupakan satu pukulan ampuh 

    beracun yang sangat mematikan. 

    Siapapun yang terkena pukulan itu 

    tidak ada yang dapat menjamin 

    keselamatan nyawanya!

    Merasa tidak ada pilihan lain


    lagi. Maka ia mengerahkan tenaga 

    dalamnya ke bagian telapak tangan. 

    Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar 

    hebat. Kedua telapak tangannya berubah 

    kuning berpedar-pedar. Inilah salah 

    satu pukulan simpanan yang bernama

    'Geger Bumi'. Sungguhpun laki-laki ini 

    tidak dapat memastikan apakah dia 

    sanggup mengatasinya, Namun sebelum 

    segala sesuatunya terjadi. Pematung 

    Kelana telah menghentakkan tangannya 

    ke depan. Hanya beberapa saat 

    setelahnya, lawannya pun melakukan hal 

    yang sama.

    "Blaam! Blaaam…!"

    Dua letusan dahsyat memporak 

    porandakan suasana di situ. Satu 

    bayangan terlempar ke arah jurang, 

    sedang yang satunya lagi tergontai-

    gontai dan jatuh terhempas tidak jauh 

    dari longsoran tanah yang menimbun 

    patung ciptaan Pematung Kelana. Dari 

    arah jurang, sayup-sayup terdengar 

    suara jerit seseorang. Itulah suara si 

    kakek pematung.

    Sementara itu Mustika Jajar 

    sendiri telah bangkit berdiri. Dari 

    mulutnya darah semakin banyak yang 

    keluar. Barulah setelah menelan 

    beberapa butir pel berwarna hitam dan 

    merah. Darah langsung berhenti.

    "Gila betul orang itu. Selain 

    seorang pematung, ternyata ia 

    mempunyai kepandaian yang tidak


    rendah. Syukur ia terpelanting ke 

    jurang. Aku tidak tahu apakah ia dalam 

    keadaan hidup atau mati!" desis Iblis 

    Betina Dari Neraka sambil menyeringai.

    Tidak lama kemudian ia sudah 

    memindahkan longsoran tanah yang 

    menimbun patung pemuda gagah. Entah 

    mengapa semakin dekat tubuhnya dengan 

    patung tersebut, jantungnya berdetak 

    semakin kencang.

    "Hhhm, ini dia! Oh sungguh 

    merupakan patung yang sangat perkasa. 

    Seandainya saja ia hidup. Ingin 

    rasanya aku menidurinya sepanjang 

    malam. Hik hik hik...!"

    Dielus-elusnya patung tersebut. 

    Tidak lama kemudian setelah longsoran 

    tanah yang menimbunnya habis. Mustika 

    Jajar seperti orang kesurupan langsung 

    memeluk badan patung yang kekar tidak 

    ubahnya seperti sedang memperlakukan 

    orang yang sangat disayanginya.

    "Aku menyukaimu. Tidak mungkin 

    rasanya aku menukarmu dengan enam 

    kantung emas. Aku akan selalu meminta 

    pada para iblis, agar suatu saat kau 

    dapat hidup sebagai manusia. Manusia 

    perkasa yang dapat memenuhi setiap 

    keinginanku...!" Lagi-lagi Mustika 

    Jajar seperti orang kesurupan langsung 

    memeluk patung itu. Kemudian ia 

    mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada 

    bibir patung.

    "Aku mau membawamu ke suatu


    tempat! Di sana aku akan minta 

    petunjuk dari para iblis untuk 

    membangkitkanmu!"

    Gadis berbaju ungu ini kemudian 

    berusaha mengangkat patung tersebut. 

    Tapi ternyata patung itu beratnya 

    bukan main. Sehingga Mustika Jajar 

    terpaksa mengerahkan tenaga dalam 

    untuk meletakkan patung itu di 

    punggung kuda.

    "Kraaakkk!"

    Kuda yang diharapkannya dapat 

    membawa patung, ternyata tidak kuat 

    menahan berat patung. Bahkan terdengar 

    suara berderak patah pada bagian 

    tulang punggungnya.

    "Upp... tidak kusangka patung 

    ini berat sekali. Sebaiknya biar aku 

    sendiri yang memanggulnya!" Mustika 

    Jajar memutuskan.

    Dengan sekuat tenaga patung batu 

    mar-mar seberat kati itu dipanggulnya. 

    Bahkan beberapa saat kemudian ia sudah 

    berlari-lari, seakan beban berat yang 

    dipikulnya tidak dirasakan sama sekali 

    oleh si gadis.



    SEMBILAN



    Laki-laki itu terus melangkahkan 

    kakinya yang pincang. Sesekali ia 

    mendongak ke langit. Lalu berjalan 

    lagi seperti orang yang sedang dalam


    keadaan tergesa-gesa. Lalu ketika 

    berada di atas dataran bukit tiba-tiba 

    ia hentikan langkahnya. Sekali lagi ia 

    memandang ke langit.

    "Aduh biuuung... panasnya dunia 

    hanya asap api neraka. Di sana panas 

    di sini panas. Mati... kematian ada 

    dimana-mana. Aduh biung... mengapa aku 

    terlahir ke dunia yang sengsara...!" 

    kata kakek berkumis, berjenggot serta 

    berambut putih itu seperti menyesali 

    sesuatu.

    Lalu ia melangkah lagi, tongkat 

    butut di tangannya ia acungkan ke 

    depan. Lalu tampak selarik sinar biru 

    melesat dari ujungnya. Sinar biru 

    tersebut menghantam sulur akar pohon 

    rambat. 

    "Tes! Tes!"

    Sulur-sulur pun putus, dari 

    putusan sulur menetes air yang sangat 

    bening. Si kakek berkaki kecil sebelah 

    itu menampung air tersebut dan, 

    "Gluk! Gluuk!"

    "Ah... lega rasanya, kelegaan 

    yang membuat aku menyesal, menangis 

    dan... hu hu hu... penyesalanku tidak 

    kunjung berkesudahan. Kulihat kematian 

    membuat aku menyesal. Kulihat 

    kemarahan, aku menyesal, kulihat 

    penderitaan orang kecil aku menyesal. 

    Kulihat penghuni dunia celaka ini aku 

    menyesal! Hidupku dalam penyesalan 

    nafasku dalam penyesalan. Lahirnya


    Iblis Betina Dari Neraka membuat aku 

    teramat menyesalkannya!" dengus si 

    kakek. Lalu ketok-ketokkan tongkat di 

    tangannya di atas batu.

    Sehingga terdengarlah suara 

    berdenting menyakitkan telinga. Si 

    kakek memakai ikat kepala warna darah 

    ini langkahkan kakinya lagi. Tetapi 

    secara tiba-tiba ia melihat sosok 

    bayangan biru berkelebat di depannya. 

    Tampak bayangan biru tersebut tengah 

    mengerahkan ilmu lari cepatnya yang 

    bukan main-main. Tetapi hebatnya lagi 

    begitu si kakek membentak....

    "Kembali...!!"

    Secara aneh dan benar-benar 

    sulit dipercaya, bayangan biru tadi 

    bergerak mundur seperti ditarik. Dan 

    kekuatan itu terus membetotnya ke 

    belakang. Dan.... 

    "Buuk!"

    Tubuh pemuda itu menabrak si 

    kakek yang berdiri di belakangnya. Si 

    pemuda bertampang ketolol-tololan 

    menjadi kaget sendiri. Ia menyadari 

    ada seseorang yang telah mengerjainya 

    dengan hanya membentak secara aneh. 

    Tetapi mengapa ia yang sedang berlari 

    bisa tertarik ke belakang?

    "Bocah gendeng! Punya mata tapi 

    tidak melihat, ah...!" Si kakek 

    hentikan ucapannya begitu melihat

    pemuda berambut hitam kemerah-merahan 

    itu berpaling ke arahnya. "Kulihat


    wajahmu aku jadi menyesal. Di dunia 

    ini ada orang seperti engkau... 

    sungguh aku menyesal. Tapi aku sungguh 

    menyesalkan mengapa ibumu 

    melahirkanmu...?"

    Pemuda berbaju biru memakai ikat 

    kepala biru belang-belang kuning ini 

    garuk-garuk kepala. Satu lagi orang 

    gila ia temui, bukan gila tapi aneh 

    dan sangat hebat.

    "Orang tua siapa kau! Berani 

    benar kau mengganggu perjalanan orang 

    lain. Bisa-bisa kukemplang kepalamu!" 

    dengus Suro Blondo.

    "Ha ha ha...! Ada bocah yang 

    tidak hormat pada orang tuanya. Ada 

    kakek yang tega berbuat mesum pada 

    bocah kecil, ada mayat dipotong-potong 

    seperti hewan. Tahukah kau bahwa semua 

    itu membuat aku menyesal? Oh dunia ini 

    sudah teramat tuanya. Hah... manusia 

    ini sudah parah bejatnya. Lalu siapa 

    yang masih waras, apakah kau bocah 

    gila?" tanya si kakek bersikap acuh 

    tak acuh.

    Pendekar Blo'on pencongkan 

    mulutnya. Ia golang-golengkan kepala 

    seperti orang bingung.

    "Orang tua ini sebenarnya 

    menderita penyakit apa? Gilanya sudah 

    teramat parah. Dia bukan saja sinting, 

    tapi miring. Namun melihat caranya 

    menarikku tadi, kurasa dia mempunyai 

    kepandaian yang sangat tinggi


    sekali...!" pikir Suro Blondo.

    "Kau bicara apa bocah tolol? Aku 

    bisa melihat pikiranmu, aku dapat 

    mendengar suara hatimu, sungguh semua 

    ini sangat kusesalkan!" dengus si 

    kakek sambil ketok-ketokkan tongkatnya 

    di atas batu.

    "Kakek penyesal, siapakah engkau 

    yang sesungguhnya. Urusanku dengan 

    saudagar Bergola Mungkur sudah tidak 

    dapat ditunda-tunda lagi" tegas si

    pemuda.

    "Ha ha ha...! Aku Datuk Sage 

    Manyasal Hiduik. Si renta yang selalu 

    menyesali segala sesuatu di dunia ini, 

    orang yang menyesalkan terjadinya 

    angkara murka di bumi, sepanjang abad, 

    sepanjang hidup sampai dunia ini 

    menjelang kiamat pun aku menyesal!"

    "Datuk Sage Manyasal Hiduik. Apa 

    yang kau sesalkan, setiap manusia 

    punya urusan sendiri-sendiri. Biarkan 

    saja...!" kata Suro seenaknya. Datuk 

    Sage Manyasal Hiduik kedip-kedipkan 

    matanya yang mulai lamur. Bicara 

    pemuda tampan bertampang ketolol-

    tololan itu memang ceplas-ceplos. Dan 

    ia tahu siapa pemuda itu.

    "Kau pemuda tolol, pantas 

    menyandang gelar Pendekar Blo'on. 

    Gurumu Penghulu Siluman Kera Putih, 

    duh menyesalnya aku. Kakekmu Malaikat 

    Berambut Api, manusia sakti 

    mandraguna, tinggal di Pulau Seribu


    Satu Malam, banyak musuh, punya banyak 

    kekasih, tapi tidak pernah kawin-

    kawin. Oh... menyesalnya aku...!" kata 

    si kakek.

    Kata-kata yang diucapkannya itu 

    jelas membuat Pendekar Blo'on jadi 

    terkejut. Ia sama sekali tidak 

    menyangka bahwa kakek aneh ini 

    mengenali siapa dirinya dan juga 

    gurunya. Bahkan sampai masa lalu 

    gurunya sendiri. Padahal Malaikat 

    Berambut Api tidak pernah cerita apa-

    apa tentang peribadinya pada Suro 

    Blondo.

    "Bagaimana Datuk bisa mengenal 

    mereka?"

    "Aku menyesal mengenal kedua 

    gurumu, aku menyesal mengenal dirimu 

    dan aku menyesal bakal melihat darah!" 

    kata Datuk Sage Manyasal Hiduik.

    Wajah kakek tua berkaki kecil 

    ini berubah muram. Lalu ia ketuk-

    ketukkan tongkat bututnya ke tanah. 

    Tanah sekeras cadas itu berlubang dan 

    dari lubang akibat tusukan tongkat 

    menebarkan bau busuk menusuk hidung.

    "Darahnya siapa yang kau 

    sesalkan Datuk? Apakah darahmu sendiri 

    darahku atau darah monyet?" tanya Suro 

    sambil cengengesan.

    "Hidupmu berkubang darah, bukan 

    kunyuk sepertimu yang akan menjadi 

    bangkai. Aku menyesal karena bukan 

    darahku pula yang tercecer. Darah


    orang-orang serakah. Aku sedih karena 

    berpantang membunuh, aku menyesal 

    datang ke tanah Jawa ini."

    "Memang engkau dari mana Datuk? 

    Apakah dari dalam kuburan, dasar bumi 

    atau dikirim dari neraka?"

    Wajah sang Datuk berubah kelam 

    membesi. Matanya berkedip-kedip, lalu 

    ia memandang ke langit. 

    "Bicaramu sudah keterlaluan, 

    bocah gendeng. Sayang aku tidak punya 

    urusan denganmu. Seorang anak ingusan 

    tidak layang tanpa asal-usul. Satu hal 

    yang harus kusesalkan, aku harus tahu 

    seberapa hebat kekuatan yang kau 

    punya, seberapa banyak ilmu yang kau 

    miliki!" kata sang Datuk.

    Tiba-tiba saja Datuk Sage 

    Manyasal Hiduik hentakkan kaki 

    kanannya yang kecil di atas tanah. 

    Segulung angin kencang menderu, Suro 

    Blondo tiba-tiba saja terpelanting 

    tunggang-langgang. Pendekar Blo'on 

    terkejut bukan main-main. Seorang Tua 

    renta seperti Datuk Sage Manyasal 

    Hiduik dapat menjatuhkannya hanya 

    dengan menjejakkan kaki di atas tanah. 

    Satu hal yang sangat sulit dipercaya.

    Ia bangkit berdiri, dengan 

    sangat berhati-hati ia segera 

    mengerahkan tenaga dalam ke bagian 

    kakinya.

    "Mengapa kau menyerangku Datuk? 

    Apakah kau sudah edan?" dengus Suro


    sambil garuk-garuk kepala.

    "Kusesalkan karena aku tidak 

    bisa memberikan jawaban kedua. Tetapi 

    untuk lebih jelas sebaik-baiknyalah 

    kau menjaga diri" Baru selesai bicara 

    Datuk Sage Manyasal Hiduik tampak 

    gembungkan pipinya. Lalu tiba-tiba 

    saja ia menghembuskan nafasnya. 

    "Puuuih...!"

    "Wuus!"

    Segulung angin topan menderu 

    menerjang Suro Blondo. Pemuda berambut 

    hitam kemerah-merahan ini tidak 

    tinggal diam. Ia segera mengerahkan 

    jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti 

    Kibaskan Ekor'. Pemuda ini kemudian 

    melompat ke samping sejauh satu batang 

    tombak. Tubuhnya meliuk-liuk sambil 

    sesekali menggaruk kepala. Lalu 

    berjongkok dan melompat-lompat, 

    sedangkan tangannya menghantam ke 

    depan dan mulut mengeluarkan suara 

    seperti lolongan serigala kelaparan 

    yang seakan datang dari seluruh 

    penjuru arah.

    "Buumm!"

    Hembusan Datuk Sage Manyasal 

    Hiduik menghantam sebatang pohon yang 

    terdapat di belakang Suro. Pohon 

    mengeluarkan suara berderak dan roboh. 

    Jika Pendekar Blo'on tidak cepat-cepat 

    menghindar tentu ia tertimpa pohon-

    pohon.

    "Ha ha ha...! Jurus gila, sudah


    kuduga gurumu mempunyai jurus itu. 

    Menyesal aku harus menyerangmu hingga 

    aku tahu seberapa hebat murid dari dua 

    orang guru!"! kata Datuk Sage.

    "Aku juga menyesal melihat ulah 

    gilamu Datuk. Tapi aku tidak akan 

    menyesal kau terus memaksaku bertindak 

    kasar!" dengus Pendekar Blo'on 

    jengkel. 

    "Heaa...!"

    Datuk Sage Manyasal Hiduik sama 

    sekali tidak menghiraukan ucapan Suro. 

    Ia menulikan telinga dan kini 

    menyerang Pendekar Blo'on dengan 

    tongkat butut di tangannya. Sekali 

    sang Datuk mengibaskan tongkatnya. 

    Maka terlihat tongkat tersebut berubah 

    menjadi banyak, tongkat butut meliuk-

    liuk bagaikan seekor ular cobra yang 

    sedang memburu mangsanya. Suro dibuat 

    pontang-panting, beberapa kali tongkat 

    lawan menyodok ketiak, dada, ulu hati 

    dan juga mata si pemuda. Pemuda ini 

    mencoba menangkis serangan itu dengan 

    telapak tangannya. Maka benturan tidak 

    dapat dihindari lagi. 

    "Taaak!"

    "Wadow... edan...!" maki si 

    pemuda.

    Tangannya tadi seperti lumpuh 

    dan sakitnya bukan main. Padahal 

    Pendekar Blo'on telah mengerahkan 

    tenaga dalam ke bagian telapak tangan.

    Kini ia melompat mundur. Lawan


    terus mengejarnya, Pendekar bertampang 

    ketolol-tololan ini segera memperguna-

    kan jurus 'Kacau Balau' untuk 

    menghalau setiap serangan yang 

    melabraknya.

    Gerakan pemuda itu sekarang 

    benar-benar sudah tidak teratur lagi. 

    Terkadang tubuhnya terhuyung ke kanan 

    dan ke samping kiri, atau bergerak 

    seperti menubruk ke depan. Ketika 

    tongkat lawannya menyambar menusuk 

    dada ia cepat menarik tubuhnya ke 

    belakang seperti orang yang terpeleset 

    kulit pisang. Lalu kaki depannya 

    menendang ke bagian perut sang Datuk.

    Lawan menepisnya dengan tangan 

    kiri Suro menarik kakinya sedangkan 

    tangan melayang mengemplang kepala 

    sang Datuk.

    "Plok!"

    "Heh…!" 

    Sang Datuk memang sempat 

    terhuyung-huyung terkena pukulan si 

    pemuda. Namun Pendekar Blo'on sendiri 

    dibuat kaget. Bagaimana tidak, ia 

    seperti menghantam batu saja. 

    Tangannya sendiri sakit bukan main.

    "Ha ha ha...! Aku sedih karena 

    tubuhku keras seperti batu. Aku 

    menyesal lantaran kau kesakitan!"

    Suro pencongkan mulutnya, 

    "Datuk Penyesal, apakah kau tidak 

    menyesal melihat orang lain yang tidak 

    bersalah kesakitan?" tanya si pemuda.

    "Penyesalanku sudah mendarah 

    daging, berurat berakar seperti pohon 

    kehampaan. Kau kesakitan aku menyesal, 

    tetapi aku akan lebih menyesal lagi 

    setelah nanti melihat darah. Darah 

    orang tamak, orang serakah, para 

    pejabat kerajaan yang korup, dan juga 

    pembesar yang menyeleweng. Semua itu 

    kusesalkan!" kata Datuk Sage Manyasal 

    Hiduik.

    "Bicaramu semakin ngaco tidak 

    karuan. Bicara soal penyesalan tapi 

    kau malah menyerangku seperti orang 

    mabuk. Kau menyerang maka aku pun 

    harus balas menyerang supaya adil!" 

    dengus Pendekar Blo'on.

    Tiba-tiba saja pemuda tampan 

    bertampang ketolol-tololan itu 

    menerjang Datuk Sage. Namun sang Datuk 

    menyambutnya dengan tusukan tingkat ke 

    tubuh Pendekar Blo'on. Masih dalam 

    keadaan mengambang di udara Suro 

    berjumplitan ke belakang. Begitu ia 

    menjejakkan kedua kakinya di atas 

    tanah. Maka pemuda ini lepaskan 

    pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir' 

    "Huuuh...!"

    Pemuda itu secepat kilat 

    mendorongkan kedua tangannya ke depan. 

    Seleret sinar putih melesat bagaikan 

    anak panah melayang dari busurnya.

    "Aku menyesal karena engkau 

    keluarkan pukulan. Aku menyesal karena 

    terpaksa gunakan tongkat bututku!"


    kata Datuk Sage Manyasal Hiduik. Tiba-

    tiba saja....

    "Wuut! Wuut!"

    "Byar!" 

    Pukulan yang dilepaskan Pendekar 

    Blo'on buyar seketika terkena sabetan 

    tongkat lawan yang menimbulkan angin 

    kencang bagaikan badai. Suro Blondo 

    terhuyung-huyung, namun secepatnya ia 

    memperbaiki posisinya. Dalam kesem-

    patan itu Datuk Sage telah membalas 

    serangan si pemuda dengan mengayunkan 

    tongkat di tangan. Pemuda itu 

    mengelak, namun gerakannya kalah cepat 

    dengan tongkat lawannya. Maka....

    "Buuk!"

    "Aduh emaak....! Kakek kaki 

    kurus ini benar-benar edan." pikir 

    Suro sambil usap-usap dadanya yang 

    mendengut sakit. Setelah diusap-usap, 

    malah dari bibir si pemuda tampak 

    meleleh darah segar.

    "Kau terluka? Aku sedih 

    melihatmu terluka, ha ha ha...!" Datuk 

    Sage tertawa sumbang.

    "Sekarang aku terluka, sebentar 

    lagi aku sedih melihatmu mati makan 

    ulah sendiri!" dengus Suro.

    Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on 

    melompat ke udara. Kedua tangannya 

    dihentakkan ke arah Datuk Sage 

    Manyasal Hiduik.

    "'Ratapan Pembangkit Sukma'! 

    Hiaaa...!" teriak Pendekar Blo'on.


    Angin kencang bagaikan topan 

    bergulung-gulung. Tampak adanya kabut 

    putih bagaikan salju menderu ke arah 

    Datuk Sage Manyasal Hiduik. Gelombang 

    angin kencang itu menebarkan hawa 

    dingin mencucuk ke sumsum tulang. 

    Datuk Sage Manyasal Hiduik tersentak 

    kaget. Sama sekali ia tidak mengira 

    pemuda tampan berwajah ketolol-tololan 

    ini telah mewarisi pukulan dashyat 

    'Ratapan Pembangkit Sukma' warisan 

    manusia sakti Malaikat Berambut Api.

    Maka tanpa membuang-buang waktu 

    lagi ia kibaskan tongkatnya yang telah 

    teraliri tenaga dalam ke arah lawan.

    "Wut! Wut!"

    Dari ujung tongkat melesat dua 

    larik sinar biru menebar hawa panas 

    menyambut gelombang angin topan yang 

    melesat dari telapak tangan lawannya. 

    Benturan keras tidak dapat dihindarkan 

    lagi....

    "Bum! Buum!"

    Ledakan-ledakan keras disertai 

    dengan memijarnya bunga api.

    "Aaaakh... celakanya neraka 

    dunia jika kau mempergunakan pukulan 

    itu...!" desis Datuk Sage Manyasal 

    Hiduik.

    Tubuh kakek tua ini terhuyung-

    huyung. Ujung tongkatnya patah, celana 

    sebatas betis terkoyak. Suro Blondo 

    jatuh terduduk, dadanya sesak bukan 

    main. Sedangkan kedua kakinya sampai


    amblas ke tanah sedalam lutut.

    "Bukan main-main. Tidak menyesal 

    aku bertemu denganmu, anak muda. Yang 

    aku sesalkan celanaku robek. Ah... 

    rasanya kau pantas menghadapi orang 

    yang telah membunuh orang penting. 

    Carilah dia, aku tidak akan menyesal 

    dia mati di tanganmu!" kata Datuk 

    Sage.

    Suro Blondo menarik kakinya yang 

    sempat terbenam, dalam hati ia dongkol 

    juga melihat kakek aneh ini.

    "Setelah membuatku hampir babak 

    belur, kini kau menyuruhku pergi. 

    Tidak mengapa. Tapi kuharap kau mau 

    menyebutkan siapa dirimu yang 

    sebenarnya. Dan Datuk hendak pergi 

    kemana?" tanya Suro sambil garuk-garuk 

    kepalanya. Datuk Sage Manyasal Hiduik 

    mendongak ke langit. Wajahnya yang 

    selalu muram tampak berubah semakin 

    bertambah rawan dan menyimpan banyak 

    kesedihan.

    "Aku Rana Gingging, punya nama. 

    Bertanya pada gurumu, mereka akan beri

    penjelasan. Urusanku sangat besar, di 

    sebuah kerajaan besar, menghadapi 

    hutang lama yang sangat besar. Semua 

    orang mempertaruhkan nyawa di sana. 

    Hik hik hik! Tapi aku tidak menyesal 

    anak muda. Nanti bila panjang umur, 

    panjang nafas, panjang langkah. Kita 

    bertemu di sebuah tempat besar bernama 

    Bukit Keadilan. Di sana, aku, kau,


    mereka dan sebagian tokoh di rimba 

    persilatan akan bertemu dengan 

    Malaikat Keadilan. Malaikat Bayangan 

    yang menjadi penentu besar kecilnya 

    dosa seseorang. Pada waktu itu setiap 

    wajah tertunduk. Merasa malu pada 

    dirinya sendiri, iblis pun akan malu, 

    setan malu, hantu malu, perempuan 

    cantik malu, laki-laki malu, 

    terkecuali mereka yang tidak punya 

    kemaluan tidak punya rasa malu." jelas 

    Datuk Sage Manyasal Hiduik.

    Pendekar Blo'on tampak kaget 

    mendengar penjelasan Sang Datuk yang 

    tidak beda dengan seorang peramal itu.

    "Kapankan waktu yang kau katakan 

    itu tiba, Datuk?" tanya Suro ingin 

    tahu. Datuk Sage Manyasal Hiduik tiba-

    tiba saja gelengkan kepala sambil 

    menepuk keningnya.

    "Aku menyesal telah membocorkan 

    rahasia besar ini padamu. Ah... 

    bagaimana ini?"

    "Aku bukan orang jahat, Datuk. 

    Mengapa kau harus khawatir?" kata 

    Pendekar Blo'on.

    "Setiap orang punya bakat jadi 

    orang jahat. Setiap orang punya dosa 

    kecil. Terlanjur aku bicara, urusan 

    besar itu akan datang menjelang 

    kehancuran dunia, masalah besar akan 

    menimpa manusia, dimana kemanusiaan 

    sudah tidak dihargai oleh manusia itu 

    sendiri. Dimana rasa malu hilang,


    keadilan tinggal tertulis di daun 

    lontar. Dan manusia memakan sesamanya 

    sendiri. Itulah neraka dunia di ujung 

    rimba persilatan. Ah... aku menyesal 

    telah banyak bicara. Anak muda, padamu 

    kutitipkan pesan tegakkanlah kebena-

    ran. Semakin berpegang kau pada akar 

    kebenaran, maka semua orang akan 

    memusuhimu!" 

    "Mengapa begitu, Datuk?". 

    "Aku menyesal tidak dapat 

    mengatakannya. Tapi carilah jawaban 

    sendiri. Kau pasti akan menemukannya. 

    Sudahlah, aku harus pergi...!" kata 

    Datuk Sage Manyasal Hiduik. Sekejap

    saja Datuk ini berkelebat, maka 

    tubuhnya langsung menghilang dari 

    penglihatan Pendekar Blo'on. Pemuda 

    itu melongo sambil gelengkan kepala 

    berulang-ulang.

    "Banyak sekali orang aneh di 

    rimba persilatan ini. Dunia ini 

    rupanya benar-benar mempunyai banyak 

    keanehan. Akh... bisa gendeng aku 

    memikirkannya...!" pikir Pendekar 

    Blo’on sambil melanjutkan perjalanan-

    nya kembali. 



    SEPULUH



    Mustika Jajar terus memanggul 

    patung mar-mar di bahunya. Sesekali ia 

    berhenti, beberapa saat lamanya ia 

    memperhatikan suasana di sekeliling


    nya. Merasa perjalanan dalam keadaan 

    aman-aman saja, maka Iblis Betina Dari 

    Neraka ini melanjutkan perjalanannya 

    kembali. Ketika ia menuruni lereng 

    bukit tiba-tiba terdengar derap 

    langkah kuda dari arah depannya.

    Gadis cantik berpakaian tembus 

    pandang ini memandang ke depan sekilas 

    saja. Kemudian meludah dan lanjutkan 

    perjalanannya kembali.

    "Berhenti!" bentak sebuah suara.

    Yang membentak barusan adalah 

    salah seorang dari dua penunggang kuda 

    memakai baju warna kuning. Tampang 

    mereka tidak ramah, wajahnya ditumbuhi 

    dengan cambang bawuk lebat tidak 

    terurus. Di bagian pinggang kedua

    laki-laki tergantung sebuah pedang 

    pendek berwarna kuning.

    Muatika Jajar turunkan patung 

    besar dari bahunya. Ketika melihat 

    kedua laki-laki berbaju kuning itu ia 

    kembali meludah. Sementara kedua laki-

    laki penunggang kuda berbulu coklat 

    tampak leletkan lidah basahi bibir.

    Seorang gadis cantik berwajah 

    jelita ada di pinggir hutan seorang 

    diri. Pakaiannya yang tembus pandang 

    menimbulkan gairah yang begitu 

    menggebu.

    "Sudah hampir setahun ini kita 

    tidak pernah bertemu dengan perempuan. 

    Rupanya hari ini kita mendapat rezeki 

    yang sangat besar. Lihatlah dari


    bayangannya saja tampak bukit-bukit 

    yang indah. Seandainya bisa kuraih, 

    hemm...!"

    "Benar Kakang... selama ini yang 

    kita lihat monyet betina, gajah 

    betina, beruang betina. Dan yang 

    betul-betul perempuan baru yang ini 

    saja Kakang.'" kata yang berbadan 

    pendek menyahuti.

    "Kalau kau kebagian sisaku apa 

    mau, Adikku?"

    "Ha ha ha....! Sisanya juga enak 

    Kakang. Aku mau saja walau sisamu yang 

    ke sepuluh kalinya!" 

    Wajah Mustika Jajar seketika 

    tampak berubah memerah. Ia tahu benar 

    arah pembicaraan kedua laki-laki 

    berbaju kuning tersebut. Tetapi di 

    lain waktu wajah gadis itu tersenyum 

    memikat. Malah ia usap-usap dadanya 

    yang tampak membusung. Sehingga 

    membuat kedua laki-laki ini jadi 

    belingsatan.

    "Kalian siapa?" tanya Iblis

    Betina Dari Neraka.

    "Ha ha ha...! Ternyata kau 

    adalah seorang gadis yang sangat 

    ramah. Kami berdua adalah Iblis Kuning 

    yang menguasai daerah ini. Tentu kau 

    tidak keberatan bila kami mengajakmu 

    bergabung. Jangan khawatir, hidupmu 

    pasti terjamin, karena kami mempunyai 

    harta yang sangat besar jumlahnya." 

    kata yang berbadan pendek, lalu


    memelintir kumisnya yang tebal.

    Mustika Jajar tersenyum, setiap 

    senyumnya membuat jantung kedua laki-

    laki itu berdetak kencang.

    "Hi hi hi...! Begitu? Apakah aku 

    harus menjadi isteri kalian atau hanya 

    sekedar sebagai pemuas nafsu?" tantang 

    si gadis,

    "Tentu saja menjadi isteri 

    kami?" sahut yang jangkung

    Ia melangkah mendekati si gadis.

    "Kalau aku harus memilih, maka 

    aku hanya bisa menjadi isteri salah 

    seorang dari kalian. Selain itu kalian 

    juga harus bertarung, siapa yang 

    keluar sebagai pemenangnya. Maka orang 

    itulah yang berhak mendapatkan 

    tubuhku!"

    Kedua Iblis Kuning saling 

    pandang. Rasanya mustahil mereka 

    saling serang sesama mereka sendiri. 

    Sebab mereka masih punya hubungan 

    darah.

    "Kami tidak bisa memenuhi 

    permintaanmu!" sergah yang berbadan 

    pendek.

    "Mengapa? Sarat untuk mendapat-

    kan diriku hanyalah dengan bertarung 

    antara kau dan kawanmu itu. Kalau 

    tidak siapa sudi? Sebab aku tidak tahu 

    siapa yang paling hebat di antara 

    kalian jika telah berada di atas 

    ranjang...!"

    "Kami tidak mau."


    "Kalau kalian tidak mau ber-

    tarung aku pun tidak sudi menjadi 

    isteri kalian!" dengus Mustika Jajar.

    "Kau boleh tidak mau, tapi 

    patung bagus itu harus kau serahkan 

    pada kami...!" tegas si jangkung.

    "Hik hik hik...! Patung ini 

    tidak akan kuberikan pada siapa pun. 

    Saudagar Bergola Mungkur hendak 

    menukar patung ini dengan tiga kantung 

    emas. Itu pun tidak kuberikan!. 

    Apalagi cuma kalian yang memintanya. 

    Tentu kalian hanya akan membuang nyawa 

    secara sia-sia!"

    Kedua Iblis Kuning tampak marah 

    sekali melihat gadis di depan mereka 

    terlalu memandang rendah. Yang 

    berbadan pendek tiba-tiba saja 

    melompat ke depan. Tangannya ter-

    pentang meluncur ke arah dada. 

    Tujuannya adalah meremas bukit kembar 

    milik si gadis yang tegak menantang 

    itu. Akan tetapi tiba-tiba saja

    "Tes!"

    "Aaaa...!"

    Iblis Pendek menjerit keras. 

    Tubuhnya terpelanting, ketika ia 

    melihat ke bagian tangannya. Maka 

    tangan tersebut telah bengkak membiru.

    Mustika Jajar tergelak-gelak.

    "Kepandaian baru seujung kuku, 

    berani lancang main remas milik orang 

    lain. Majulah kalian berdua, aku tidak 

    punya banyak waktu untuk mengirim


    kalian ke neraka."

    Yang berbadan jangkung melompat 

    ke depan, iblis berbadan pendek 

    bangkit berdiri. Lalu keduanya secara 

    bersamaan melakukan penyerangan ke 

    arah lawannya. Serangan yang mereka 

    lakukan tidak main-main lagi, bahkan 

    di saat itu kedua Iblis Kuning telah 

    mengerahkan jurus 'Mengusir Kabut 

    Dalam Badai'. Ini merupakan jurus 

    andalan yang mereka miliki. Begitu 

    tubuh dan tangan mereka berkiblat, 

    maka terasa adanya sambaran angin yang 

    sangat keras menampar wajah sang 

    gadis. Mustika Jajar cepat menundukkan 

    kepala. Laksana kilat masih dalam 

    keadaan tertunduk itu ia melepaskan 

    tendangan berputar.

    "Duk! Duk!" 

    "Hegkh...!"

    Kedua Iblis Kuning terhuyung ke 

    belakang. Dada mereka yang kena 

    tendangan itu langsung berubah 

    membiru.

    "Hek... keparat kau iblis 

    betina...!" desis salah seorang di 

    antara mereka. Lalu....

    "Sring! Sring!"

    Mereka langsung mencabut pedang 

    pendek yang tergantung di pinggang. 

    Setelah itu laksana kesetanan mereka 

    memutar pedang di tangan dengan 

    kekuatan berlipat ganda.

    "Wut!"


    Begitu tubuh mereka menerjang ke 

    arah si gadis. Maka pedang di tangan 

    mereka menusuk enam jalan kematian 

    lawannya. Mustika Jajar tidak menjadi 

    keder dibuatnya. Ia menggeser langkah-

    nya ke belakang sebanyak dua langkah. 

    Setelah itu tangannya menghantam ke 

    arah lawan-lawannya dengan kecepatan 

    sulit diikuti mata.

    "Wusss!" 

    Dua larik sinar membeset udara.

    Merasakan adanya hawa dingin 

    menderu ke arah mereka. Maka dua Iblis 

    Kuning terpaksa menarik serangan dan 

    memutar senjata untuk melindungi diri.

    Namun pukulan yang dilepaskan 

    oleh Mustika Jajar tadi seakan tidak 

    dapat mereka patahkan. Malah tubuh 

    mereka seperti didorong oleh sebuah 

    kekuatan yang sangat dashyat. Dua 

    Iblis Kuning kertakkan rahang, lalu 

    melipat gandakan tenaga dalam ke arah 

    pedang. Akhirnya....

    "Buuummm!" 

    "Auugkh…!"

    Kedua laki-laki tersebut men-

    jerit tertahan. Tubuh mereka ter-

    guling-guling. Wajah mereka berubah 

    pucat seperti mayat. Dengan bersusah 

    payah kedua iblis ini mencoba bangkit 

    berdiri. Sementara lawan mereka ter-

    tawa mengikik sambil bertolak 

    pinggang.

    "Hegkh...!"


    Begitu mereka dapat berdiri. 

    Maka darah langsung menyembur dari 

    hidung dan mulut mereka. Jelas sudah 

    mereka menderita keracunan yang sangat 

    parah.

    "Racun Naga Biru belum seberapa. 

    Tapi kalian segera berangkat ke 

    akherat bila aku melepaskan pukulan 

    yang ini...!" dengus si gadis.

    Begitu tubuhnya berkelebat, maka 

    Mustika Jajar kerahkan tenaga dalamnya 

    ke bagian tangan. Kedua telapak tangan 

    sampai ke siku yang berwarna putih 

    tadi sekarang telah berubah menjadi 

    merah semerah darah. Kedua Iblis 

    Kuning segera menyadari apa yang bakal 

    terjadi pada mereka. Mereka bersiap-

    siap hendak kabur, namun lawan rupanya 

    melihat gelagat ini. Sehingga dengan 

    cepat ia mengibaskan kedua tangannya 

    ke depan.

    "Wuut..,!"

    Sepuluh leret sinar merah 

    menebar bau bangkai melesat bagaikan 

    kilat. Dua Iblis Kuning mencoba 

    menangkis dengan memutar senjata di 

    tangan. Tetapi tampaknya pertahanan 

    yang mereka lakukan tidak memiliki 

    arti sama sekali. Terbukti serangan 

    Mustika Jajar mampu menerobos 

    pertahanan lawannya.

    "Glaar! Glaar!"

    "Aaaaakgh...!"

    Ledakan dashyat disertai dengan


    terdengarnya suara jeritan yang saling 

    susul menyusul. Dua sosok tubuh 

    terlempar, ketika Iblis Kuning terban-

    ting ke tanah. Maka tubuh mereka telah 

    mengeriput hancur dalam waktu yang 

    sangat cepat sekali.

    "Hik hik hik...! Kalian belumlah 

    pantas menyandang gelar iblis. 

    Kepandaian hanya seupil sudah berani 

    bertindak usil!" dengus si gadis.

    Sambil tersenyum sinis ia 

    meninggalkan dua korbannya. Lalu ia 

    mendekati patung perkasa, setelah itu 

    ia memanggulnya kembali dan berjalan 

    pelan tanpa menoleh-noleh lagi. 



    SEBELAS



    Halaman luas yang dimasuki Suro 

    Blondo tampak tenang dan sepi-sepi 

    saja. Pemuda berbaju biru muda itu 

    terus melangkahkan kakinya mendekati 

    pintu utama, hingga kemudian terdengar 

    suara bentakan disertai berkelebatnya 

    beberapa sosok tubuh mengurung pemuda 

    itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, para 

    pengawal yang jumlahnya tidak kurang 

    dari delapan orang langsung menyerang 

    dengan pedang terhunus di tangan.

    "Walah! Mau bertemu dengan 

    saudagar kaya, anjing-anjing penjaga-

    nya malah mengeroyokku! Baiklah kalian 

    akan kubuat loyo...!" dengus Pendekar


    Blo'on. Seraya garuk-garuk punggung 

    kepala. Lalu menyambut serangan gencar 

    lawan-lawannya dengan mempergunakan 

    jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. 

    Inilah salah satu jurus menghindar dan 

    menyerang yang teramat konyol dan 

    lucu. Mula-mula pemuda ini ber-

    jingkrak, kemudian melompat-lompat di 

    lain saat menyerang sambil mengibaskan 

    tangannya berulang-ulang. Sungguh pun 

    gerakan kilat itu seperti orang 

    menggaruk. Namun lawan terdepan yang 

    terkena hantaman tangannya langsung 

    terpental, berguling-guling disertai 

    suara jerit kesakitan.

    Melihat kawannya dengan dikerjai 

    oleh pemuda bertampang tolol ini. Maka 

    yang lain-lainnya menjadi sangat marah 

    sekali. Serangan-serangan yang dilan-

    carkan oleh mereka semakin lama 

    semakin bertambah hebat. Pedang 

    menderu-deru menghantam sepuluh jalan 

    kematian. Suro Blondo terpaksa memi-

    ringkan tubuhnya atau terkadang 

    melesat ke udara. Ketika tubuhnya 

    meluruk deras ke bawah. Maka kaki 

    kanannya menghantam kepala lawannya 

    dengan keras.

    "Praaak...!"

    "Akkkhgggk...!" dua pengawal 

    menjerit keras. Tubuh mereka 

    tersungkur dengan kepala remuk menyem-

    bur darah. Kepala pengawal tersentak 

    kaget, sama sekali ia tidak menyangka


    kalau pemuda bertampang tolol itu 

    memiliki kepandaian yang tidak rendah. 

    Lebih mengherankan lagi ketika 

    menyadari bahwa sampai sejauh itu 

    pedang di tangannya tidak dapat 

    menyentuh tubuh si pemuda. Merasa 

    tidak ada pilihan lain, kepala 

    pengawal segera mengerahkan jurus 

    'Menyibak Bukit Menghantam Demit'.

    "Hiyaaa...!" Kepala pengawal 

    sambil berteriak melengking tinggi 

    segera memutar pedang di tangannya. Di 

    lain waktu ia menerjang ke depan, lalu 

    menusukkan ujung pedang ke lambung 

    Suro Blondo. Pemuda itu menarik 

    tubuhnya ke belakang. Namun dari arah 

    belakangnya mata pedang lawannya 

    membabat pula.

    "Tep! Weleh... edaaan...!" Si 

    pemuda menggerutu. Selanjutnya meng-

    hantamkan tangannya kedua arah 

    sekaligus. Sinar putih berkilauan 

    melesat dan menghantam kepala pengawal 

    dan kawannya. Itulah pukulan 'Kera 

    Sakti Menolak Petir' yang dimilikinya.

    Terdengar satu ledakan dahsyat. 

    Bersamaan dengan itu terdengar pula 

    suara jerit lawannya. Kepala pengawal 

    dan satu lainnya terkapar di tanah 

    dengan mulut menyemburkan darah dan 

    jiwa melayang.

    "Hhmm... sekarang tinggal 

    kalian! Cepat pilih, antara mati atau 

    memanggil juraganmu untuk menghadapi


    aku!" Empat orang pengawal saling 

    pandang sesamanya. Mereka sama-sama 

    berpikir jika kepala pengawal saja 

    tewas di tangan pemuda itu, apalagi 

    sekarang mereka hanya tinggal berempat 

    saja. Namun sebelum mereka sempat 

    memutuskan apa-apa. Pintu utama tiba-

    tiba saja terbuka. Seorang laki-laki 

    berpakaian mewah muncul dan melangkah 

    menghampiri pemuda berambut hitam 

    kemerahan ini. Wajahnya jelas-jelas 

    tidak dapat menyembunyikan rasa 

    kejutnya ketika melihat empat orang 

    pengawalnya tergeletak tanpa nyawa.

    Saudagar Bergola Mungkur 

    memperhatikan pemuda yang sama sekali 

    tidak dikenalnya ini sejurus lawannya.

    "Kau siapa?" tanya sang 

    saudagar, suaranya bergetar berusaha 

    menahan amarah.

    Suro Blondo tersenyum, lalu 

    usap-usap keningnya.

    "Aku Pendekar Blo'on! Sengaja 

    datang menemuimu untuk menagih hutang-

    hutangmu yang bertumpuk!"

    "Ha ha ha...! Bicaramu ngaco 

    belo. Manusia tolol sepertimu telah 

    menghutangkan apa kepadaku yang kaya 

    raya, heh...!" hardik Bergola Mungkur, 

    berang.

    "Kau memang kaya, tapi hasil 

    kekayaanmu adalah hasil cucuran 

    keringat darah orang-orang yang mati 

    sengsara di Bumi Ayu." dengus


    Pendekar Blo'on serius.

    Saudagar itu terdiam. Wajahnya 

    berubah memerah. Ia merasa yakin dapat 

    mengatasi pemuda yang mengaku berjuluk 

    Pendekar Blo'on ini. Untuk itu ia pun 

    berkata dengan angkuhnya.

    "Kau pendekar Gila! Lebih baik 

    kau angkat kaki dari hadapanku sebelum 

    aku benar-benar memenggal kepalamu!"

    "Justru aku jauh-jauh datang 

    kemari ingin meminta nyawamu. Kalau 

    kau tidak percaya tanyakan saja pada 

    semua algojomu yang sudah menunggu di 

    pintu nereka!" kata pemuda itu lalu 

    tertawa gelak-gelak. Saudagar Bergola 

    Mungkur terkesiap. Sama sekali ia 

    tidak menyangka kalau pemuda tampan 

    bertampang tolol itu telah 

    membinasakan orang-orang 

    kepercayaannya.

    "Keparat! Kau benar-benar 

    membuatku marah!"

    "Sret!"

    Laki-laki berkumis tebal ini 

    kemudian mencabut pedangnya.

    "Jika kau sudah marah, mengapa 

    tidak menyerang?" Suro Blondo 

    tersenyum mengejek. Tingkah dan ucapan 

    Pendekar Blo'on tentu saja membuat 

    lawannya semakin mendongkol. Sambil 

    membentak garang, Bergola Mungkur 

    tiba-tiba saja mengibaskan pedangnya 

    membelah dada si pemuda. Dengan gesit 

    pemuda ini langsung menghindar.


    Selanjutnya ia memapak serangan 

    itu dengan gerakan yang serba aneh dan 

    lucu-lucu. Namun dibalik kekonyolan 

    jurus-jurus yang dimainkannya. Terkan-

    dung sebuah kedashyatan yang tidak 

    dapat diduga-duga. Saudagar Bergola 

    Mungkur sendiri sempat terkesima. 

    Berulang kali ia membangun serangan. 

    Namun hingga sampai sejauh itu, setiap 

    serangannya selalu menemui tempat 

    kosong. Padahal ia telah mengerahkan 

    jurus 'Sayap Kupu-Kupu Membelah Kuntum 

    Bunga'.

    "Shaa...!"

    "Des! Des!"

    Satu gerakan tipuan dilakukan 

    oleh laki-laki setengah baya ini. Suro 

    Blondo berusaha berkelit. Namun dua 

    pukulan yang tidak diduga-duga 

    menghantam dada dan punggungnya. 

    Pemuda berambut hitam kemerahan ini 

    terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak 

    hingga membuatnya sulit bernafas.

    Belum sempat ia memperbaiki 

    posisinya. Mata pedang lawannya 

    menderu dan jika tidak cepat ia 

    menarik badannya ke belakang. Pasti 

    pedang lawannya telah menjebol 

    perutnya.

    "Heh... dia sangat cepat sekali 

    dalam memainkan jurus-jurus pedangnya. 

    Sebaiknya aku mengerahkan jurus 

    'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'" 

    batinnya dalam hati.


    "Huuup...!" 

    "Deep!"

    "Beet!" 

    Benar saja dugaan si pemuda 

    begitu tubuhnya berkelebat cepat. 

    Pedang di tangan lawan terus memburu. 

    Suro Blondo tiba-tiba berbalik, lalu 

    hantamkan tangannya ke bagian perge-

    langan tangan Bergola Mungkur. Sungguh 

    pun gerakan yang dilakukan oleh pemuda 

    itu terasa cepat sekali. Namun lawan 

    rupanya berlaku sangat cerdik. Jika 

    semula ia melakukan tusukan, maka kini 

    berbalik membabat kaki Suro Blondo. 

    Ia balas menyerang dan.... 

    "Des!"

    "Aaakkkh...!"

    Pendekar Blo'on menyeringai. 

    Tubuhnya jatuh terguling-guling. 

    Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh 

    Bergola Mungkur yang telah dikuasai 

    oleh nafsu membunuh. Ia memburu sambil 

    menghujamkan pedangnya berturut-turut.

    Suro Blondo terus berguling-

    guling kalang kabut. Satu kesempatan 

    ia yang telah mengerahkan tenaga 

    dalamnya segera menghantam ke depan.

    "Wuuus!"

    Sinar merah hitam menderu dari 

    telapak tangannya. Itulah pukulan 

    'Neraka Hari Terakhir'. Salah satu 

    pukulan pamungkas yang sangat sulit 

    dicari tandingannya. Bergola Mungkur 

    sama sekali tidak menyangka akan


    mendapat serangan sedemikian rupa. 

    Dalam jarak yang begitu dekat mustahil 

    ia dapat menghindarinya. Tidak pelak

    ia pun memutar pedangnya untuk 

    melindungi diri. Namun gerakannya 

    kalah cepat dengan pukulan yang 

    dilepaskan Suro Blondo. Sehingga tidak 

    pelak lagi pukulan 'Neraka Hari 

    Terakhir' dengan telak memanggang 

    tubuhnya. Suara ledakan dahsyat 

    disertai dengan suara jeritan Bergola 

    Mungkur. Tubuhnya terbanting ke tanah 

    dalam keadaan hangus seperti arang. 

    Sedang pedang yang dipergunakan oleh 

    Bergola Mungkur meleleh dan tergeletak 

    tidak jauh dari mayat pemiliknya.

    "Hemm... saudagar ini kaya raya, 

    tapi ia mati tidak membawa hartanya. 

    Lagipula orang mati mana doyan harta, 

    tidak jajan dan tidak pula membutuhkan 

    kemewahan dunia. Biarkah rakyat yang 

    memiliki harta itu." batin Pendekar 

    Blo'on lalu garuk-garuk kepalanya

    Hari telah menjelang senja saat 

    Pendekar Blo'on si bocah ajaib 

    beranjak pergi meninggalkan mayat-

    mayat yang bergeletakan. 



                            TAMAT


    Segera menyusul!!!

    Serial :

    PENDEKAR BLO'ON

    dalam episode selanjutnya :


    IBLIS BETINA DARI 

    NERAKA

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -