..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

PENDEKAR BLOON EPISODE NERAKA GUNUNG BROMO

PENDEKAR BLOON EPISODE NERAKA GUNUNG BROMO


 

Cerita ini adalah fiktif

Persamaan nama, tempat dan ide 

hanya kebetulan belaka.

NERAKA GUNUNG BROMO

Oleh : D. AFFANDY

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

Cetakan Pertama : 1993

Setting Oleh : Paul.S

Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara

Dilarang mengutip, mereproduksi dalam 

bentuk apapun

Tanpa ijin tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Blo'on

Dalam episode Neraka Gunung Bromo


SATU


Malam satu Asyuro adalah malam 

paling kramat dalam tradisi masyarakat 

Jawa. Malam seperti itu merupakan 

ajang bagi orang-orang tertentu dalam 

mencari keberuntungan. Ada pula tokoh-

tokoh terhormat di kalangan masyarakat 

yang mencuci barang-barang pusaka 

simpanannya. Malam satu Asyuro malam 

kramat yang mengandung banyak berkah. 

Tidak heran jika kehadiran malam 

Asyuro ditunggu oleh banyak orang. 

Lain lagi halnya yang terjadi di 

sebuah tempat yang bernama Lereng 

Gunung Bromo. Seminggu sebelum malam 

satu Asyuro tiba. Banyak tokoh-tokoh 

persilatan yang datang dari seluruh 

tanah Jawa telah berkumpul disitu.

Bahkan di antara sekian banyak 

tokoh yang terdiri dari golongan hitam 

dan putih ada yang datang dari daerah 

lain di seberang lautan. Semula kabar 

menggemparkan tentang akan lahirnya 

seorang bayi di lereng Gunungg Bromo 

berasal dari seorang pertapa bernama

Ki Begawan Sudra yang sudah sejak 

puluhan tahun mengasingkan diri di 

pantai laut selatan. Kabar tentang 

akan hadirnya bayi aneh ini dengan 

cepat menyebar ke seluruh penjuru 

tanah Jawa. Kabar itu disampaikan dari 

mulut ke mulut, bahkan mereka yang


tinggal di luar tanah Jawa juga 

mendengar kabar ini.

Tidak heran jika dua hari 

menjelang datangnya malam satu Asyuro. 

Lereng Gunung Bromo telah dipenuhi 

oleh orang-orang berkepandaian tinggi 

yang menginginkan bayi ajaib tersebut. 

Tidak jauh dari Gunung Bromo, bahkan 

terlihat satu pemandangan yang tampak 

aneh. Beberapa tokoh persilatan yang 

tergabung dalam sebuah partai telah 

mengumpulkan para perempuan hamil tua 

yang berdiam di sekitar lereng gunung 

tersebut. Tujuan mereka sudah jelas. 

Jika memang bayi ajaib itu kelak lahir 

disitu. Para tokoh persilatan berharap 

salah satu dari perempuan yang sedang 

hamil tua ini melahirkan anak yang 

dianggap memiliki keajaiban itu. Kalau 

hal ini sampai terjadi, maka tidak 

susah-susah mereka bersaing dengan 

tokoh-tokoh lain yang juga ada di 

tempat itu.

Tapi mungkinkah partai 

Persilatan Dunia Akhirat yang dipimpin 

empat tokoh ini dapat memenuhi 

ambisinya dengan cara mengumpulkan 

para perempuan yang sedang dalam 

keadaan hamil tua ini? Menurut pertapa 

Ki Begawan Sudra tersebut. Bayi ajaib 

yang akan lahir pada malam satu Asyuro 

itu memiliki ciri-ciri tertentu pada 

keadaan pisiknya. Antara lain ada 

sebuah tahi lalat besar pada


punggungnya, kulitnya putih bersih. 

Rambutnya berwarna hitam kemerah-

merahan.

Menjelang malam satu Asyuro 

tiba. Suasana di sekitar Gunung Bromo 

tampak gelap berselimut kabut tebal. 

Padahal saat itu baru sekitar jam tiga 

sore. Kabut yang menyelimuti lereng 

Gunung Bromo disertai dengan 

berhembusnya angin kencang seperti 

badai topan. Tiba-tiba suara 

halilintar menggelegar menyambar 

puncak Gunung Bromo. Sehingga orang-

orang yang berada di sekelilingnya 

menengadahkan wajahnya ke langit.

"Waktunya sudah hampir tiba!" 

teriak salah seorang di antara empat 

tokoh yang tergabung dalam partai 

persilatan Dunia Akhirat.

"Apanya yang sudah tiba, Baja 

Geni!" mendengus kawannya yang terus 

mengawasi para perempuan yang dalam 

keadaan hamil tua tersebut. "Kalian 

lihat sendiri. Sejak tadi orang-orang 

bunting ini hanya pipis dan berak-

berak melulu. Kurasa sampai besok pagi 

pun bayi aneh itu tidak lahir!" 

tegasnya sambil bersungut-sungut pada 

tiga kawannya. Walaupun dalam suasana 

serba menegangkan seperti itu. Namun 

mendengar ucapan Balung Raja. Laki-

laki gemuk yang memiliki tingkah kocak 

ini. Mau tidak mau tiga tokoh partai


persilatan Dunia Akhirat tidak dapat 

menahan senyum.

Hanya laki-laki berbaju merah 

dan paling tua saja yang cuma 

tersenyum sebentar. Kemudian sikapnya 

berubah serius tidak ketulungan.

"Sudahlah. Hentikan tawa kalian 

yang jelek! Rasa-rasanya tanda-tanda 

kelahiran bocah aneh itu sudah semakin 

dekat. Orang-orang hamil ini harus 

kita awasi dengan ketat. Jika salah 

seorang di antara mereka mengerang 

kesakitan. Itu tandanya mau 

melahirkan!"

"Pesanmu akan kami perhatikan Ki 

Rambe Edan!" sahut Baja Geni. Laki-

laki bertubuh jangkung dan berwajah 

tirus, angker seperti muka setan 

playangan.

"Hmm.... Lihat!" Balung Rtya 

tiba-tiba saja berseru keras. Jari 

telunjuknya mengarah ke salah seorang 

perempuan setengah baya yang tampak 

mulai mengerang-erang, tiga tombak di 

depan mereka. Dengan sigap tiga orang 

tokoh yang tergabung dalam partai 

persilatan Dunia Akhirat segera 

menyerbu ke arah perempuan itu.

Perempuan dalam keadaan hamil 

tua ini terus mengerang-ngerang. Ki 

Rambe Edan dengan hati berdebar-debar 

segera mendekatinya. Sementara itu, 

Braja Musti, Balung Raja dan Raja Geni


tampak berjaga-jaga dari segala 

kemungkinan yang tidak diingini.

"Apakah kau hendak melahirkan, 

perempuan istri orang?" tanya Ki Rambe 

Edan sambil berjongkok di sebelah 

perempuan berkebaya warna kuning.

"Tidak! Perutku mulas. Sejak 

tadi aku kentut-kentut melulu. Suami! 

Mana suamiku?" rintih perempuan 

berkebaya kuning ini.

"Suamimu? Ha ha ha...! Suamimu 

telah berangkat ke neraka duluan!" 

dengus Ki Rambe Edan. "Aku tidak 

membutuhkan suamimu, kau dengar? Yang 

kami butuhkan adalah anakmu. Itu pun 

jika kau melahirkan seorang anak laki-

laki sesuai dengan ciri-ciri anak 

ajaib yang telah kami ketahui. Jika 

tidak, kau dan anakmu tentu segera 

menyusul suamimu ke neraka!"

Pucat wajah perempuan berkebaya 

kuning ini. Kemarahan telah melanda 

jiwanya. Ingin rasanya ia mencakar 

wajah laki-laki bermuka jelek di 

depannya. Tapi niatnya segera 

diurungkan ketika menyadari bahwa 

laki-laki bengis di depannya memiliki 

kesaktian yang sangat hebat dan tak 

mungkin lagi terlawan olehnya. Belum

lagi tiga orang kawannya yang memiliki 

senjata sangat aneh bentuknya.

"Bangsat kalian semua! Anakku 

tidak akan kuberikan pada manusia-

manusia iblis macam kalian!" maki


perempuan itu sambil meludahi muka Ki 

Rambe Edan.

Plak! Plak!

"Aarkh...!" Perempuan malang ini 

menjerit kesakitan ketika tamparan Ki 

Rambe Edan menghantam wajahnya. Darah 

langsung mengucur dari hidungnya. Ia 

terkulai pingsan. Apa yang dialami 

oleh perempuan berkebaya warna kuning 

ini sempat dilihat oleh sepuluh 

perempuan hamil lainnya. Mereka jadi 

lumer nyalinya. Tidak sepatah kata pun 

keluar dari bibir mereka. Ki Rambe 

Edan bangkit berdiri. Tatapan matanya 

berkilat-kilat tajam menyapu pandang 

pada para perempuan yang dalam keadaan 

tidak berdaya itu.

"Dengar kalian semua!" Lantang 

suara Ki Rambe Edan. "Siapa saja yang 

berani bertindak bodoh atau 

menyulitkan kami. Kalian akan 

mengalami siksaan yang sangat pedih 

dari kami!"

"Betul. Kami akan mengorek perut 

kalian dan mengambil jabang bayi yang 

belum waktunya melek di dunia ini!" 

tidak kalah seramnya. Balung Raja 

menimpali.

***

Kita tinggalkan dulu kawanan 

tokoh-tokoh yang sangat berambisi 

untuk memiliki bayi ajaib yang berada


di lereng sebelah timur Gunung Bromo 

ini. Sementara itu di lereng sebelah 

barat Gunung Bromo juga sedang terjadi 

ketegangan. Di tempat ini berkumpul 

tokoh-tokoh sakti kelas satu. Walau 

jumlah mereka tidak sebanyak yang 

berada di sebelah timur. Tapi tokoh-

tokoh yang datang dari berbagai daerah 

ini patut diperhitungkan. Mereka terus 

bersikap waspada dan menunggu segala 

kemungkinan. Di antara mereka ada yang 

mengendap-endap mendekati sebuah rumah 

berdinding kayu. Tapi ada juga yang 

duduk ongkang-ongkang ngejelepok ke 

tanah. Satu dua di antara mereka pula 

yang terus menerus memandang ke atas 

Gunung Bromo yang menjulang tinggi.

Di sebuah rumah yang telah 

terkepung oleh beberapa orang tokoh 

ini. Seorang laki-laki muda tampak 

gelisah. Sesekali ia melirik ke arah 

kamar di mana seorang perempuan 

berusia muda dalam keadaan terbaring 

dan perut membuncit. Laki-laki itu 

berwajah tampan. Ia memakai baju warna 

putih dengan ikat kepala warna putih 

pula. Di bagian pinggangnya tersembul 

sebilah gagang golok berbentuk aneh. 

Gagang golok inilah yang sejak tadi 

dipegangnya.

"Kakang!" rintih sebuah suara 

dari dalam kamar. Laki-laki berwajah 

tampan ini memasuki kamar istrinya. 

Sebuah pelita dengan nyalanya yang


redup menerangi wajah seorang 

perempuan berwajah cantik.

"Ada apa, Dewi?" tanya sang 

suami sambil membelai-belai kening 

Dewi Rini istrinya.

"Kurasa sudah hampir tiba 

waktunya bagiku untuk melahirkan anak 

kita, Kakang Satria!" ujar perempuan 

itu melalui ilmu menyusupkan suara. 

Bagaimana pun sebagai seorang 

pendekar. Nalurinya mengatakan bahwa 

saat itu ada bahaya besar yang 

mengancam keselamatan mereka berdua.

"Tenanglah, jangan kau berpikir 

yang bukan-bukan." Satria Purba 

membujuk.

"Aku mendengar dan membaui 

kehadiran mereka. Apakah Kakang tidak 

tahu mereka sekarang telah mengepung 

tempat tinggal kita ini?" 

Sang suami menggeleng-gelengkan 

kepala. "Menurut penyelidikanku. 

Sekarang ini tokoh-tokoh persilatan 

sedang berkumpul di sebelah timur 

lereng Gunung Bromo ini. Bahkan 

kulihat perempuan-perempuan hamil tua 

yang tinggal di desa Anabrang telah 

mereka kumpulkan di suatu tempat. 

Kalau pun ada yang menunggu di sebelah 

barat ini. Aku telah berjaga-jaga dari 

segala kemungkinan! Aku takut paman 

Dewana tidak mendengar kabar 

menggemparkan yang terjadi akhir-akhir 

ini."


"Jangan berpikir macam-macam. 

Berdoalah selalu pada Tuhan agar kita 

selamat dari segala macam marabahaya!"

"Kakang! Aduh perutku, Kakang... 

sakit sekali...!" rintih Dewi Rini 

pelan suaranya.

"Tenanglah tenang. Aku telah 

mempersiapkan segala sesuatunya." 

Satria Purba mengingatkan. Suami istri 

yang sangat dikenal dengan 'Sepasang 

Pendekar Golok Terbang' ini memang 

sudah mendengar tentang ramalan Ki 

Begawan Sudra satu purnama sebelum 

kelahiran anaknya. Tapi mereka tidak 

yakin ramalan pertapa di pantai laut 

Selatan itu. Kalau pun kelak memang 

terbukti, jelas mereka berharap bukan 

anak mereka yang terlahir sebagai anak 

ajaib.

"Konsentrasikan pikiranmu pada 

kelahiran anak kita!" kata Satria 

Purba sambil mengelus-elus perut 

istrinya yang membuncit.

* * *


DUA



Menjelang pukul duabelas malam 

tepat satu Asyuro. Di lereng Gunung 

Bromo di sebelah timur terdengar suara 

tangisan bayi. Bayi yang baru lahir ke 

dunia berasal dari rahim seorang 

perempuan yang dikumpulkan oleh partai 

persilatan Dunia Akhirat. Tanpa 

melihat keadaan bayi tersebut. Ki 

Rambe Edan segera menyambarnya. Mereka 

memang sudah berencana untuk melarikan 

bayi yang baru lahir itu ke markas 

besar mereka yang terletak di gunung 

Sumbing.

"Kita dapat rejeki besar! Bayi 

ajaib telah berada di tangan kita. 

Mari kita tinggalkan tempat celaka 

ini!" Ki Rambe Edan berteriak memberi 

aba-aba pada kawannya. Tapi pada saat 

itu dari arah lain terlihat 

berserabutan orang-orang persilatan 

yang memang sudah menunggu kelahiran 

bayi ajaib itu.

"Serahkan anak itu padaku!" 

bentak sebuah suara. Ketika Ki Rambe

Edan menoleh ke arah tersebut. 

Terlihat oleh mereka seorang laki-laki 

tua bertampang angker. Laki-laki itu 

menyeringai dan langsung menyerang Ki 

Rambe Edan yang sedang menggendong 

bayi


Untuk menjaga keselamatan bayi. 

Tentu saja tiga orang tokoh yang 

tergabung dalam partai persilatan 

Dunia Akhirat segera menghadang laki-

laki bersenjata pedang dan berbaju 

merah ini dengan serangan-serangan 

yang sangat ganas dan mematikan. Tapi 

pada saat itu muncul lagi seorang 

perempuan tua berambut panjang.

"Aku juga menginginkan bayi itu, 

Setan Merah!" teriak perempuan renta 

berambut panjang sambil mengibaskan 

rambutnya yang menjadi senjata andalan 

itu ke berbagai penjuru arah.

"Tidak kusangka, Rambut Besi 

ambil bagian juga dalam perburuan ini. 

Ha ha ha...!" Setan Merah tertawa 

mengekeh. "Mari kita robohkan orang-

orang partai Dunia Akhirat. Jika 

mereka sudah pada mampus semuanya. 

Kita hanya tinggal menentukan siapa di 

antara kita yang paling berhak 

mendapatkan anak ajaib itu!"

"Setan sepertimu tidak mungkin 

becus memelihara bayi. Akulah yang 

paling pantas mendapatkan anak itu!" 

Nenek Rambut Besi tertawa bekakakan 

seperti kuntilanak.

"Tua peot banyak mulut! Robohkan 

dulu lawan, baru kau bicara...!" 

teriak Setan Merah. Ketika itu ia 

sudah menyerang Ki Rambe Edan yang 

dibantu dengan Balung Raja. Sedangkan


Rambut Baja berhadapan langsung dengan 

Braja Musti dan Baja Geni.

"Bukan kalian saja yang berhak 

atas bayi ajaib itu. Tapi, aku Gajah 

Munding, juga ingin punya seorang 

murid yang dapat diunggulkan kelak di 

kemudian hari." Dari satu arah tiba-

tiba saja menderu angin kencang yang 

disertai suara gdebak-gdebuk. Entah 

pihak mana yang memulai. Tahu-tahu 

pertempuran yang sangat seru tiba-tiba 

saja terhenti. Mereka serentak 

memandang ke arah datangnya suara aneh 

yang disertai dengan hembusan angin 

kencang itu. Dalam kegelapan lereng 

gunung, tampak menggelinding sebuah 

benda besar dengan kaki dan tangan 

terlipat. Dilihat sepintas lalu benda 

raksasa yang menerjang ke arah mereka 

itu seperti trenggiling. Ketika benda 

bulat itu sampai di tengah-tengah 

kalangan pertempuran. Maka menderulah 

angin laksana topan prahara ke arah 

empat penjuru angin. Angin kencang 

disertai hawa dingin membekukan itu 

menerjang orang-orang yang sempat 

terlibat pertempuran sebentar tadi.

Untung mereka adalah tokoh-tokoh 

persilatan yang sudah sangat 

berpengalaman. Sehingga masing-masing 

menyelamatkan diri. Bahkan tidak 

jarang di antara mereka ada yang 

melepaskan pukulan saktinya untuk 

menahan gelombang serangan yang


dilakukan oleh sosok raksasa yang 

berjalan dengan kedua tangan dan kaki 

terlipat ini.

Buum! Buum!

Ledakan-ledakan dahsyat 

terdengar dua kali berturut-turut. 

Lereng Gunung Bromo seperti diguncang 

lindu. Batu-batu kecil berpelantingan 

ke udara. Dalam suasana gelap yang 

hanya diterangi cahaya bulan purnama. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa 

menggeledek. Di tengah-tengah kalangan 

pertempuran tampak berdiri seorang 

laki-laki bercawat putih, berambut 

panjang menjela. Laki-laki bertampang 

kocak ini memiliki tubuh bukan main 

besarnya. Perutnya berlipat-lipat, 

lehernya yang panjang tampak membulat 

karena kelewat besar. Laki-laki ini 

diperkirakan memiliki berat tiga ratus 

kati. Semua orang yang hadir di situ 

sebentar dapat melihat ketika tokoh 

raksasa tertawa, perut serta dadanya 

yang besar tampak bergoyang-goyang.

"Sialan! Dia benar-benar Gajah 

Munding! Kawannya si Gajah Krempeng 

sebentar lagi pasti datang kemari. 

Bangsat! Urusan benar-benar jadi 

kapiran kalau kedua manusia gajah ini 

turut campur!" maki Ki Rambe Edan 

dalam hati. Rupanya tokoh angkatan tua 

ini sedikit banyaknya sudah tahu 

kehebatan manusia kembar dari lereng 

Merbabu tersebut.


Dugaan Ki Rambe Edan ternyata 

tidak meleset. Tidak lama setelah tawa 

Gajah Munding sirep. Di tempat itu 

dari arah utara terdengar suara tawa 

lain mirip suara perempuan. Kemudian 

tampak pula sesosok tubuh berkelebat 

mendekat. Hanya dalam waktu sekedipan 

mata. Tahu-tahu di samping Gajah 

Munding telah berdiri seorang laki-

laki berbadan kurus kering tidak 

ketulungan. 

Sama seperti Gajah Munding, 

ternyata laki-laki ini pun hanya 

memakai cawat putih tanpa baju.

"Ah... saudara kembarku. Di sini 

sedang ada pesta gila rupanya? Kenapa 

kau tidak bilang-bilang padaku?" desis 

Gajah Krempeng. Matanya yang cekung 

berputar-putar liar menjilati orang-

orang di sekelilingnya. "Ah... aduh... 

mengapa orang bunting jelek pada 

dikumpulkan di sini...?"

"Tenanglah, kurus-kurus begitu 

kau pasti dapat bagian! Sekarang kita 

ambil bayi ajaib itu dari tangan 

mereka. Aku yang menggebuk orang-orang 

jelek ini, Sedangkan kau yang ambil 

bayi!"

Nenek Rambut Besi, empat tokoh 

yang tergabung dalam partai persilatan 

Dunia Akhirat dan Setan Merah tampak 

saling pandang. Rupanya si Rambut Besi 

dan Setan Merah menarik diri dari 

kalangan pertempuran yang siap


berkobar. Mereka memilih menunggu 

kesempatan sampai salah seorang dari 

tokoh-tokoh itu mengalami kekalahan. 

Baru mereka menyerang pihak-pihak yang 

menang untuk merampas bayi.

"Manusia-manusia keparat! Kami 

partai Dunia Akhirat tidak akan 

membiarkan kalian memiliki bayi ini!" 

teriak Balung Raja. Kemudian terdengar 

suitan panjang. Maka dua orang 

kawannya langsung mengeroyok Gajah 

kembar ini dari berbagai penjuru arah. 

Sementara itu Ki Rambe Edan bertindak 

sebagai penyelamat bayi dan bersiap 

siaga membantu kawan-kawannya jika 

mereka dalam keadaan terdesak. Hanya 

dalam waktu yang sangat singkat 

pertempuran seru pun segera terjadi.

Sementara itu lereng Gunung 

Bromo sebelah barat malam itu segera 

terkoyak dengan terdengarnya suara 

tangisan bayi. Suara tangisan bayi 

terdengar semakin lama bertambah 

semakin jelas. Satria Purba yang baru 

pertama kalinya menimang anak tampak 

tergopoh-gopoh mengurusi anaknya yang 

baru terlahir ke dunia ini. Tapi Golok 

Terbang ini tampak kaget sekali ketika 

melihat rambut anaknya tampak berwarna 

merah kehitam-hitaman. Selain itu pada 

bagian punggungnya terlihat sebuah 

topel (Tahi lalat) sebesar ibu jari.

"Ya Gusti Allah! Ramalan Pertapa 

itu ternyata benar!" desis Satria


Purba dengan wajah berubah pucat. Dewi 

Rini yang dalam keadaan terbaring 

lemah di tempat tidur tampak heran 

melihat suaminya diam mematung di 

pinggir pemandian bayi yang telah 

disediakan.

"Kakang! Ada apa? Bagaimana 

anak kita? Laki-laki atau perempuan?" 

pelan sekali suara Dewi Rini.

"Aa... anak kita laki-laki. 

Dewi... ramalan Ki Begawan Sudra... 

ternyata...!"

"Ternyata apa...?"

"Benar!" desis Satria Purba. Si 

Golok Terbang langsung terdiam. 

Sementara tangis sang bayi belum juga 

terhenti. Satria Purba tiba-tiba saja 

mendengar gemerisik semak-semak 

terinjak oleh seseorang.

Sing! Sing!

"Jadah!" terdengar suara makian 

seseorang. Rupanya jebakan yang 

dipersiapkan oleh Satria Purba sejak 

sore hari untuk menjaga segala sesuatu 

yang tidak diingini telah melesat ke 

arah sasaran. Kemudian dari arah lain 

terdengar suara jerit kematian dan 

suara sosok-sosok tubuh berjatuhan.

"Jadah! Sepasang Golok Terbang 

telah menjebakku dengan permainan 

usangnya!" maki seseorang. Setelah itu 

terdengar suara mendesing yang 

disertai suara menderu-deru. Pertanda 

bahwa orang-orang yang berada di luar


pondok sedang berusaha menyelamatkan 

diri dari serangan perangkap yang 

telah dipersiapkan oleh Satria Purba.

"Ha ha ha...! Segala macam 

perangkap tikus kau pasang di sini! 

Aku Kala Demit mana kena dikadali!" 

Suara tawa yang dilanjutkan dengan 

ucapan menggeledek itu jelas-jelas 

mengandung tenaga dalam tinggi. Pondok 

milik Sepasang Golok Terbang bergetar 

hebat. Satria Purba jadi tercekat. Ia 

segera menyerahkan anak yang baru 

terlahir itu ke dalam pelukan 

istrinya.

"Lindungi anak kita dari tangan 

manusia-manusia busuk yang berada di 

luar sana!" pesan laki-laki berbaju 

hijau ini. Seraya dengan cepat 

melompat ke samping pintu. Dewi Rini 

yang dalam keadaan lemah karena baru 

saja selesai melahirkan ini tidak 

mungkin dapat melakukan banyak 

gerakan. Ia sendiri kemudian sambil 

mendekap anaknya segera mencabut golok 

yang terletak di bawah bantal.

Pada saat itu tiba-tiba saja 

terdengar suara berderak pada daun 

pintu. Sosok laki-laki berbadan kurus 

berambut awut-awutan dan berbaju 

tambal-tambalan sudah berdiri di depan 

pintu.

"Ha ha ha...! Kau bersembunyi di 

mana Satria Purba! Kulihat istrimu 

sudah melahirkan! Cepat serahkan anak


itu padaku!" Laki-laki kurus bernama 

Kala Demit ini bermaksud menyerbu ke 

dalam kamar istri Satria Purba. Tapi 

tiba-tiba dari samping kiri tampak 

berkelebat sinar putih menyilaukan

menghantam perut dan bahu Kala Demit.

"Hanya manusia laknat saja yang 

berani bertindak macam-macam di 

rumahku!"

"Uts...! Gila...!" Kala Demit 

berseru kaget. Ia menarik tubuhnya ke 

samping. Serangan golok yang membobol 

ke bagian perut laki-laki bertampang 

angker ini luput. Tapi belum sempat ia 

melakukan serangan balasan. Golok di 

tangan Satria Purba telah menderu 

mengancam kesepuluh jalan darah 

lawannya. Kala Demit menggeram marah. 

Ia mengibaskan tangannya ke bagian 

wajah Satria Purba. Laki-laki muda ini 

terpaksa tarik balik serangan untuk 

menyelamatkan muka. Tapi kemudian 

golok di tangannya membelok dan 

menyambar bahu Kala Demit. 

Bret!

"Akh! Keparat! Manusia dungu, 

tolol bego! Kau benar-benar minta 

mati!" bentak Kala Demit. Laksana 

kilat ia melompat ke belakang. Tapi 

gerakannya langsung terhalang dinding 

penyekat ruangan. Sambil menotok jalan 

darah pada bagian yang terluka. Kala 

Demit menggembor marah. Tiba-tiba ia 

mencabut senjata andalannya berupa


kebutan yang dapat berubah menjadi 

kaku laksana baja. Senjata maut yang 

jadi lambang kebesarannya selama 

malang melintang di rimba persilatan 

ini segera dikibaskan menyongsong 

tusukan golok yang terarah pada bagian 

lambungnya.

Angin sedingin es mengandung 

racun ganas menderu laksana badai 

topan prahara. Satria Purba tercekat 

dan terhuyung-huyung. Ia terpaksa 

menarik pulang tusukan goloknya. Untuk 

melindungi diri salah satu dari 

pasangan pendekar Golok Terbang ini 

lepaskan satu pukulan dahsyat 'Halimun 

Senja'. Seleret sinar biru disertai 

hawa panas membakar langsung melabrak 

kebutan milik Kala Demit.

Bum! Bumm!

"Ugkh...!" Pukulan dahsyat yang 

dilepaskan Satria Purba ternyata 

sebagian membalik dan menghantam diri 

sendiri ketika Kala Demit secara terus 

menerus hantamkan kebutannya ke depan. 

Laki-laki gagah berani ini 

terpelanting roboh. Tubuhnya mencelat 

keluar setelah sebelumnya menghantam 

dinding papan di belakangnya. Kala 

Demit tertawa panjang. Walaupun Satria 

Purba menderita luka dalam yang cukup 

parah. Namun dengan cepat ia bangkit 

berdiri dan langsung masuk ke dalam 

rumahnya melalui dinding yang bobol.



TIGA



Braak! Braak!

Pintu bagian belakang pondok 

pada waktu bersamaan juga hancur 

berkeping-keping. Dua orang laki-laki 

berbadan katai berambut di kuncir ke 

atas tampak menyunggingkan senyum ke 

arah Kala Demit yang sedang tampak 

terkesima karena melihat Satria Purba 

ternyata masih hidup bahkan sekarang 

menyerangnya kembali dengan jurus-

jurus golok Terbangnya yang sangat 

berbahaya.

"Hu huhu...! Ternyata nasib kami 

lebih bagus dari nasibmu, Kala Demit! 

Silakan kau main-main dengan Golok 

Terbang! Sementara kami dengan bebas 

membawa bayi ajaib itu!" dengus salah 

seorang dari manusia katai itu. Tubuh 

mereka tiba-tiba berkelebat ke dalam 

kamar di mana Dewi Rini berada. Kala 

Demit marah bukan main. Ia bermaksud 

mengejar dua manusia cebol itu. Tapi 

tekanan serangan gencar yang dilakukan 

Satria Purba, juga perlu 

diperhitungkannya. Akhirnya ia hanya 

mampu memaki panjang pendek.

"Dua katai bangsat! Jika kau 

bawa anak ajaib itu. Kau dan 

kembaranmu akan kubuntungi kepala dan 

kaki!" Untuk yang kesekian kalinya 

Kala Demit mengebutkan senjatanya.


Sementara itu, sebelum kedua 

manusia katai sampai di kamar Dewi. 

Dari arah barat tampak melesat cahaya 

putih seperti meteor. Cahaya putih 

menyilaukan mata itu kemudian tampak 

berputar-putar di atas atap rumah 

Sepasang Pendekar Golok Terbang. 

Kemudian ketika sinar seperti bintang 

berhenti di tengah-tengah bubungan 

rumah. Maka satu larik sinar kecil 

berwarna sama menembus ke dalam pondok 

dan langsung menyinari sosok bayi yang 

tidak lagi menangis di samping Dewi. 

Keanehan terjadi. Sinar yang hampir 

tidak dapat dilihat kasat mata itu 

tiba-tiba menggerakkan bayi. Kejadian 

itu tidak sempat dilihat Dewi. Karena 

perempuan muda yang baru melahirkan 

ini langsung menerjang sepasang 

manusia Katai yang tiba-tiba saja 

muncul di dalam kamarnya.

"Manusia-manusia iblis! Apa saja 

kerjamu di sini!" dengus Dewi Rini 

yang sama sekali tidak kenal dengan 

dua laki-laki asing ini.

"Serahkan anakmu! Jika kau ingin 

selamat!" perintah salah seorang di 

antaranya.

"Makan senjataku!" teriak Dewi 

Rini. Secepat kilat tubuhnya telah 

melesat ke depan. Golok di tangannya 

dua kali lebih cepat bergerak menebas 

ke bagian dada kedua laki-laki katai 

ini.


Sekejap mereka sempat terkesiap. 

Tapi dengan sangat mengagumkan mereka 

merundukkan kepala sambil hantamkan 

satu jotosan ke dada Dewi.

Cras!

Sebagian kuncir salah satu 

manusia katai ini rontok tersambar 

ketajaman golok di tangan Dewi. Katai 

muka kuning mengeluarkan seruan 

tertahan. Untung hanya rambutnya yang 

terpotong, jika lehernya. Tentu katai 

muka kuning sudah tergusur ke neraka. 

Setelah Dewi Rini merasa gagal 

hantamkan goloknya ia cepat bersurut 

langkah. Serangan katai muka merah 

luput. Hal ini membuatnya marah bukan 

main. Denganberingas ia menerjang 

lawannya dengan serangan menggeledek. 

Dewi yang dalam keadaan lemah ini 

mati-matian mempertahankan diri.

Sementara tanpa sepengetahuan 

mereka yang terlibat pertempuran. Bayi 

yang baru berumur beberapa jam ini 

secara aneh tampak merangkak menuruni 

ranjang. Setelah itu seperti menyadari 

adanya bahaya yang menghadangnya. Ia 

terus menelusup ke tempat-tempat gelap 

di dalam ruangan. Sesekali matanya 

berkedip-kedip. Seberkas sinar putih 

terus menerus membimbingnya. Dengan 

cara merangkak seperti anak yang telah 

berumur delapan bulan. Ia menyelinap 

di balik pintu. Kemudian merangkak 

terus sampai di pintu belakang yang


hancur berantakan. Sampai di depan 

pintu belakang. Ia celingak celinguk. 

Selanjutnya merangkak lagi menuju 

kegelapan malam lereng Gunung Bromo.

Disaat itulah cahaya putih 

seperti meteor tampak berpedar-pedar. 

Cahaya itu bergerak mengikuti ke mana 

bergeraknya bayi. Kilat tiba-tiba 

menyambar. Cahaya putih memijar dan 

membentuk sosok tubuh seorang laki-

laki. Laki-laki berbaju serba putih 

yang seakan datang dari langit ini 

melesat ke permukaan lereng dan 

langsung menyambar si bayi. Bayi itu 

kemudian di dukungnya. Seraya tertawa-

tawa seperti orang linglung. Matanya 

meneliti bayi yang ada dalam 

gendongannya. Dan setelah mengetahui 

keadaan si bayi. Gema suara tawanya 

semakin memanjang.

"Ha ha ha. Ilmu Penuntun Sukma 

telah membuatmu selamat calon 

muridku!" kata laki-laki berambut, 

berjambang dan berjenggot serba putih 

ini sambil berlari menuju ke jurusan 

utara.

Sementara itu di dalam pondok 

pertarungan seru masih terus 

berlanjut. Satria Purba ternyata telah 

mengalami luka-luka di sekujur 

tubuhnya. Bahkan kemudian satu 

tendangan telak menghantam remuk 

dadanya. Sehingga membuat laki-laki 

ini jatuh tergelimpang dengan mulut


menyemburkan darah. Kala Demit yang 

dilanda kemarahan setan rupanya tidak 

mau bertindak tanggung-tanggung. Ia 

mengebutkan senjatanya ke wajah Satria 

Purba. 

Craas!

"Akggh!" terdengar suara jeritan 

Satria Purba yang sedemikian 

menggidikkan. Dewi yang sedang 

bertarung menghadapi dua manusia katai 

sakti ini rupanya sempat mendengar 

suara jeritan suaminya. Walaupun 

tubuhnya yang dalam keadaan lemah dan 

terluka parah ini sudah tidak 

memungkin untuk bergerak. Namun tanpa 

menghiraukan lawan-lawannya ia meluruk 

ke depan.

"Kakang!" jeritnya ketika 

melihat keadaan suaminya tewas secara 

menggenaskan. Kesempatan ini tidak 

disia-siakan oleh kedua manusia katai 

yang dikenal dengan julukan 'Sepasang 

Iblis Pegat Nyawa'. Laksana kilat 

mereka menyambitkan senjata rahasianya 

berupa gigi-gigi ulat berbisa ke arah 

Dewi.

Wuss!

Dewi yang kurang kontrol dan 

berada dalam belenggu kesedihan ini 

sudah tidak dapat menghindari serangan 

gelap itu. Ia pun hanya mampu 

menjerit. Tubuhnya ambruk jatuh di 

atas mayat suaminya.


"Kau satu aku satu! Sekarang aku 

inginkan bayi itu!" kata Kala Demit. 

Ia kemudian memasuki kamar Dewi.

"Celaka! Bayi itu sudah tidak 

ada di sini!" teriak salah seorang 

manusia katai tersebut tanpa 

menghiraukan ucapan dan kehadiran Kala 

Demit yang juga telah berada di dalam 

ruangan yang sama.

"Bagaimana mungkin hal ini 

dapat terjadi, Adi?" desis katai muka 

merah pada katai muka kuning yang juga 

tampak tercengang.

"Mana mungkin bayi dapat hilang 

begitu saja! Kalian pasti telah 

bersekutu dengan orang lain untuk 

menguasai bayi itu!" bentak Kala 

Demit. Rupanya ia merasa curiga.

"Demit jelek. Jangan kau berani 

membentak kami! Aku datang kemari 

bersama adikku! Ketika kami bertarung 

dengan istri pendekar Golok Terbang 

bayi itu masih berada di tempat 

tidur," bantah katai muka kuning 

berang.

"Tolol semua!" rutuk Kala Demit. 

Ia sendiri mulai memeriksa ke dalam 

ruangan-ruangan lain bahkan sampai ke 

bawah kolong. Tapi bayi yang 

diinginkannya tetap tidak dijumpai.

"Mungkin seseorang telah 

melarikannya! Kita harus melakukan 

pengejaran, Kakang!" Katai muka kuning 

sudah tidak sabar lagi.


"Kita periksa dulu sekitar 

sini!" teriak muka merah.

Pada saat mereka saling 

bersitegang seperti itulah tiba-tiba 

terdengar seruan kaget seseorang.

"Oh.... Gusti Allah...! 

Rupanya aku benar-benar datang 

terlambat...! Kedua ke-ponakanku! 

Hmm... siapa orangnya yang telah 

berani bertindak lancang dan gegabah 

ini...!" Suara seruan itu pertama 

datang dari jarak yang cukup jauh. 

Namun ketika kedua manusia katai dan 

Kala Demit mengintip ke pintu depan 

melalui sebuah lubang. Maka di depan 

pintu telah berdiri seorang laki-laki 

bertubuh tinggi tegap dan berambut 

serba merah.

"Malaikat Berambut Api...!" 

desis mereka hampir serentak. Tampak 

jelas ketiga wajah manusia iblis ini 

berubah pucat.

"Bayi tidak kudapat. Daripada 

mati di tangannya, lebih baik aku 

mencari selamat." membantin Kala Demit 

dalam hati. Tiba-tiba saja ia melesat 

meninggalkan kamar Dewi diikuti oleh 

sepasang Iblis Pegat Nyawa. Gerakan 

melarikan diri yang sangat luar biasa 

cepatnya ini sempat terlihat oleh 

kakek berambut dan berpakaian serba 

merah ini. Namun ketika ia hendak me-

lakukan pengejaran. Gerakannya segera 

tertahan saat mendengar suara rintihan


Dewi. Dengan hati terharu biru, si 

kakek datang menghampiri dan langsung 

berjongkok di samping keponakannya dan 

dalam keadaan tumpang tindih. 

Malaikat Berambut Api di pulau Seribu 

Satu Malam yang terletak di tengah-

tengah laut pantai selatan ini segera 

menelentangkan Dewi.

Ia memeriksa keadaan 

keponakannya ilu. Gelengan kepala 

disertai desisan lemah keluar dari 

bibirnya yang tertutup kumis serba 

merah.

"Racun yang terdapat dalam 

senjata rahasia gigi ular berbisa 

telah memenuhi jantungnya. Celaka... 

aku tidak mungkin dapat menyelamatkan 

jiwanya lagi." desis si kakek bersedih 

hati.

"Katakan Dewi! Aku telah 

mengetahui orang-orang yang telah 

mencelakai dirimu dan juga suamimu. 

Penciumanku tidak dapat ditipu. Tapi 

ke mana anakmu?" 

Mata Dewi yang terpejam dan 

kehilangan cahayanya tampak meredup. 

Wajahnya berwarna biru. Diambang ajal 

ia tetap berusaha tabah.

"Pp.... Paman.... Ramalan Ki 

Begawan Sudra itu... ternyata memang 

terbukti. Hekh... ciri-ciri anakku 

sama persis dengan apa yang 

dikatakannya. Si... sinar put... 

tih... hanya dia yang dapat bergerak


seperti cahaya.... Carilah Siluman 

Kera Putih. Dia yang telah membawa 

anakku.... paman...!" Kepala Dewi Rini 

terkulai. Malaikat Berambut Merah yang 

jarang bicara dalam hidupnya tundukkan 

kepada dalam-dalam.

"Orang-orang berjiwa serakah 

telah membunuh keponakanku. Ternyata 

sebagai seorang paman aku tidak dapat 

menjadi pelindungnya. Gusti Allah...! 

Pada arwah leluhurku dan leluhur 

kakangku... maafkan adikmu ini. Satu 

kepercayaan telah kulalaikan. Aku 

teledor, hingga membuat jiwa-jiwa yang 

tidak berdosa ini terenggut. 

Anaknya... cucuku...! Tidak akan 

kubiarkan lagi siapa pun yang 

menyentuhnya. Lecet Baja kulit cucuku. 

Siluman Kera Putih benar-benar akan 

kubuat mampus!" desis Malaikat 

Berambut Api yang mempunyai nama asli 

Dewana ini dengan hati masgul. Mayat 

Sepasang pendekar Golok Terbang ini 

didukung di bahu kiri dan kanan. Tidak 

lama kemudian tubuhnya bergerak menuju 

pulau Seribu Satu Malam untuk 

menguburkan mayat keponakannya.

Di tengah-tengah perjalanan, 

tidak henti-hentinya Dewana menggerutu 

dan menyesali diri. Dalam keadaan 

berlari cepat itu, ia tidak henti-

hentinya memaki dirinya sendiri.

"Manusia-manusia edan! Kalian 

semua akan celaka. Berani menyentuh


keponakanku berarti kematian. Jika 

telah membunuh seperti ini berarti 

tidak ada ampunan dunia akhirat!"

Malaikat Berambut Api terus 

berlari laksana terbang. Sama sekali 

ia tidak menghiraukan suasana di 

sekelilingnya yang gelap gulita. 

Sekarang sudah tersusun rapi dalam 

benaknya, setelah selesai mengubur 

kedua keponakannya itu ia akan 

mengejar Siluman Kera Putih yang 

berdiam di Gunung Mahameru.


EMPAT



Di lereng Gunung Bromo sebelah

timur pertempuran sengit terus 

terjadi. Empat tokoh yang tergabung 

dalam partai Dunia Akhirat terus 

berusaha merobohkan dua lawan tangguh. 

Namun tampaknya Gajah Munding dan 

adiknya Gajah Krempeng bukan lawan 

sembarangan. Terbukti setelah dua 

puluh jurus berlalu. Empat tokoh 

partai Dunia Akhirat mulai terdesak 

hebat. Padahal waktu itu Balung Raja, 

Ki Rambe Edan, Braja Musti dan Baja 

Geni telah mengerahkan senjata andalah 

masing-masing. Hebatnya kedua manusia 

Gajah yang satu berbadan seperti 

raksasa dan satunya lagi berbadan


kurus macam tengkorak hanya 

mempergunakan tangan kosong dalam 

menghadapi serangan gencar mereka ini.

"Rampas bayi itu, Saudara kurus! 

Kita tidak punya banyak waktu untuk 

melayani manusia-manusia tolol ini!" 

teriak Gajah Munding keras bukan main.

"Tenang saja! Aku segera 

melakukannya," sahut Gajah Krempeng. 

Tubuh kurusnya tiba-tiba melesat ke 

arah Ki Rambe Edan yang membawa bayi 

dengan kecepatan laksana terbang.

"Bangsat! Jangan mimpi! Makan 

nih...!" Ki Rambe Edan hantamkan 

pedang di tangannya ke arah kepala 

Gajah Krempeng. Laki-laki ini tanpa 

diduga-duga bersalto ke udara. Dalam 

gelapnya malam Gajah Krempeng yang 

langsung menjejakkan kakinya di bahu 

Ki Rambe Edan lakukan dua totokan 

berturut-turut.

Totokan yang dilakukan Gajah 

Krempeng langsung pada bagian pusat 

gerak dan suara. Hingga membuat tubuh 

laki-laki itu tidak dapat bergerak 

lagi. Kesempatan itu dipergunakan oleh 

Gajah Kurus untuk merebut bayi dari 

tangan Ki Rambe Edan. Setelah 

mendapatkan bayi, Gajah Krempeng 

langsung berkelebat pergi. Dikejauhan 

sayup-sayup terdengar suara Gajah 

Krempeng memanggil saudaranya si Gajah 

Munding.


"Tinggalkan pertempuran gila! 

Aku sudah dapatkan bayi ajaib!"

Gajah Munding tertawa mengekeh. 

Ia melepaskan dua tendangan dahsyat 

berturut-turut. Lawan menyadari betapa 

berbahayanya serangan manusia raksasa 

yang bernama Gajah Munding itu. 

Sehingga hampir bersamaan mereka 

melompat mundur sejauh tiga langkah. 

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh 

Gajah Munding. Tubuhnya yang sangat 

besar itu langsung terlipat dan 

menggelinding cepat bagaikan meteor.

"Kejar pencuri bayi!" teriak 

Balung Raja pada kawan-kawannya. Tapi 

dari arah kiri mereka tiba-tiba 

terdengar suara gelak tawa disertai 

caci maki seseorang.

"Hik Hik Hik! Orang-orang tolol! 

Mengapa mencari susah dengan mengejar 

dua gajah setan! Pekerjaan itu hanya 

sia-sia. Mereka bukan melarikan bayi 

ajaib... paling-paling juga bayi 

kudisan! Lihat kawan kalian yang telah 

jadi patung...!"

"Eeh...!" Braja Musti melengak 

kaget. Cepat ia palingkan muka ke arah 

lain. Di sebelah kiri mereka terlihat 

Ki Rambe Edan berdiri tegak dengan 

posisi tangan seperti menggendong 

bayi. Sungguh menggelikan keadaan 

tokoh tua ini. Tapi bila mereka ingat 

kehebatan dan kepandaian yang dimiliki 

kakek tua ini. Maka mereka jadi


terkejut. Gajah Krempeng diluar 

sepengetahuan mereka rupanya dapat 

menjatuhkan Ki Rambe Edan. Jika Gajah 

Krempeng dapat menjatuhkan Ki Rambe 

Edan dengan cara sedemikian mudahnya. 

Tentu Gajah Krempeng pastilah bukan 

manusia sembarangan.

"Bebaskan totokannya!" teriak 

Baja Geni memberi perintah pada 

kawannya. Balung Raja segera 

menghampiri Ki Rambe Edan. Sementara 

itu Baja Geni melompat ke depan Setan 

Merah dan Rambut Besi yang masih tetap 

berdiri di situ sambil tersenyum-

senyum mencemooh.

"Setan Merah! Rambut Besi! Apa 

yang kalian berkata tadi? Apakah bayi 

yang dilarikan oleh Gajah Munding dan 

saudaranya bukan bayi ajaib seperti 

yang dikatakan oleh pertapa laut 

selatan?"

"Hik hik hik!" Rambut Besi 

menyambuti dengan tawa.

"Hek! Ha ha ha...! Orang-orang 

goblok tolol! Kalau kau mau tahu, bayi 

yang dibawa kabur oleh Gajah Munding 

hanya bayi biasa. Rambutnya tetap 

hitam, bukan merah. Punggungnya dalam 

keadaan mulus tanpa tahi lalat...!"

"Kalian dusta!" bentak Baja 

Geni. Ia memang merasa penasaran 

bahkan mulai ragu-ragu ketika dua 

manusia di depannya memberi 

peringatan.


"Goblok tolol! Dusta dan tidak 

bohong sama-sama tidak ada untungnya 

bagi kami. Saudara bukan, anak bukan! 

Mau kalian kejar bayi kudisan itu aku 

tidak perduli! Bukankah begitu, Rambut 

Besi?" dengus Setan Merah. Ia 

berpaling pada perempuan tua yang 

sedang memonyongkan mulutnya.

"Bodoh amat! Daripada tarik urat 

dengan tokoh-tokoh dari partai celaka, 

lebih baik kucari bayi aneh itu di 

tempat lain di sekitar Gunung Bromo 

ini!" Sekali menjejakkan kakinya. 

Perempuan renta berambut panjang 

menjela ini sudah lenyap dari hadapan 

mereka.

"Hmm. Monyet kurus rambut besi 

boleh juga dipercaya! Aku pun tidak 

berlama-lama di sini. Orang-orang 

bunting itu hanya mengingatkan aku 

pada nenekku yang sedang hamil tua!" 

Setan Merah. Laki-laki berbaju merah 

dan memiliki kepandaian tinggi ini 

pencongkan mulutnya. Dari sela-sela 

bibirnya meluncur air ludah menderu ke 

arah Baja Geni.

"Terima oleh-olehku!"

"Kurang ajar!" Baja Geni 

hantamkan tangannya ke arah air ludah 

yang meluncur ke bagian wajahnya. 

Ludah yang melesat dari mulut Setan 

Merah tertahan dan memercik ke seluruh 

penjuru arah. Tapi ada juga di 

antaranya yang mengenai baju Baja


Geni. Hingga membuat laki-laki itu 

menyumpah serapah. Dikejauhan 

terdengar suara Setan Merah sayup-

sayup di telinga Baja Geni.

"Seumur-umur kalian menunggu 

para perempuan itu melahirkan. Kalian 

tidak mungkin mendapatkan apa-apa. 

Tampaknya bayi ajaib telah terlahir di 

sebelah barat sana. Orang partai Dunia 

Akhirat? Apakah kalian tetap mengharap 

bayi dari perempuan hamil yang kalian 

kumpulkan? Tunggulah sampai dua 

purnama mendatang. Mudah-mudahan 

perempuan-perempuan itu melahirkan 

taik yang lebih besar...!"

"Bangsat rendah!" maki Ki Rambe 

Edan yang baru saja terbebas dari 

totokan menggembor marah. "Gajah 

Krempeng! Suatu saat nanti aku cincang 

tubuhmu yang cuma rongsokan itu!"

"Sudahlah! Para kurcaci itu 

tidak ada di sini! Mereka membawa bayi 

biasa. Sekarang apa yang harus kita 

lakukan terhadap perempuan itu?" tanya 

Brcna Musti seakan tidak sabar lagi.

"Ya... apa yang harus kita 

lakukan? Sebentar lagi fajar segera 

terlihat. Kurasa malam satu Asyuro 

sudah hampir berakhir. Dan kita tidak 

mendapatkan apa-apa."

"Hmm. Aku pun yakin tentang hal 

itu. Kalau perempuan-perempuan hamil 

ini tidak ada gunanya. Untuk apa susah 

payah. Lebih baik kita bunuh mereka


semua!" Ki Rambe Edan dengan kejam 

memutuskan.

"Ya.... Aku setuju mayat-mayat 

mereka kita buang di jurang sebelah

sana. Mungkin dalam waktu yang singkat 

kita dapat menjadikan tempat ini 

sebagai markas."

"Bagus! Aku setuju, Braja Musti. 

Tapi kudengar-dengar di sebelah barat 

lereng gunung ini berdiam sepasang 

Pendekar Golok Terbang. Kita harus 

menyelidik apakah mereka masih tinggal 

di daerah ini atau tidak. Jika memang 

tidak, kita dapat memulai segala 

sesuatunya dari sini." Ki Rambe Edan 

menimpali.

Ketika itu Baja Geni segera 

memberi isyarat pada dua orang 

kawannya untuk membantai para 

perempuan malang yang dalam keadaan 

hamil tua tersebut.

"Kalian dikumpulkan di sini 

ternyata merupakan orang-orang yang 

tidak mempunyai guna sama sekali. 

Malam ini adalah malam terakhir kalian 

dapat melihat dunia!" desis laki-laki 

tertampang sadis ini.

Sreek!

Baja Geni dan kawannya mencabut 

senjata di pinggang masing-masing. 

Para perempuan yang tidak berdaya ini 

ketakutan setengah mati.

"Ja... jangan bunuh kami...! 

Kasihanilah selembar nyawa kami,


Tuan?" rintih para perempuan itu 

ketakutan. Tubuh mereka menggigil, 

terlebih-lebih setelah melihat kilatan 

senjata di tangan orang-orang di 

depannya.

"Nyawa kalian memang cuma 

selembar. Kalau kalian punya 

berlembar-lembar pun kami tetap akan 

mencabutnya?!" Balung Raja mendengus 

sinis.

"Hiya...!" pedang di tangan 

laki-laki itu tiba-tiba saja menderu 

dahsyat. Jerit serta lolong kematian 

pun menggema menyambut datangnya sang 

fajar. Darah membasahi rumput-rumput 

berembun. Tubuh-tubuh malang ini 

tersungkur mandi darah dengan luka-

luka sungguh sangat mengerikan. Braja 

Musti, Balung Raja dan Baja Geni 

tergelak-gelak melihat orang-orang 

yang tidak berdosa itu meregang ajal. 

Dari tempat yang agak jauh Ki Rambe 

Edan menyeringai puas melihat 

pembunuhan yang dilakukan oleh kawan-

kawannya. Semburat merah mulai 

terlihat di langit sebelah timur. 

Lereng Gunung Bromo berubah sunyi, 

seakan tidak pernah terjadi apa-apa di 

situ. Mayat-mayat bergelimpangan 

tampak mulai membeku.

***


Waktu terus bergulir tanpa 

menunggu. Malam satu Asyuro beberapa 

minggu telah terlewatkan. Namun tidak 

seorang pun yang dapat melupakan 

peristiwa tragis yang terjadi di 

Gunung Bromo. Bahkan tokoh-tokoh 

persilatan yang merasa gagal men-

dapatkan bayi ajaib itu. Tetap 

menunggu kabar dan mencari kesempatan 

ingin memiliki bayi itu. Hanya kabar 

yang mereka tunggu tidak kunjung 

datang. Tidak seorang pun di antara 

mereka yang tahu, di mana dan di 

tangan siapa bayi ajaib itu berada.

Gunung Mahameru dalam ketinggian 

dua ribu lima ratus kaki lebih. Hampir 

setiap saat selalu berselimut kabut 

tebal. Hampir seluruh lerengnya 

ditumbuhi dengan berbagai jenis pohon 

pinus membaur dengan pohon-pohon 

lainnya. Tidak seorang dari kalangan 

manapun yang berani datang atau 

menjarah tempat itu. Konon gunung Ma-

hameru selain sangat angker, juga 

didiami oleh dedemit dan makhluk 

halus. Anehnya walaupun tidak 

kelihatan ujudnya. Hampir setiap saat 

dari pagi sampai menjelang sore. 

Sepanjang lereng melingkar selalu 

terdengar suara jeritan-jeritan kera.

Masih di daerah sekitar lereng. 

Di sebuah tempat yang membentuk 

cekungan. Terlihat sebuah pondok jati 

yang agak terlindung dari pepohonan.


Di depan pondok terdapat sebongkah 

batu besar dan datar pada 

permukaannya. Di atas batu itulah 

seorang laki-laki berbaju putih, 

bercambang, jenggot dan berambut serba 

putih duduk bersila sambil menimang-

nimang bayi di tangannya. Laki-laki 

ini tampak terus tertawa-tawa seperti 

orang sinting. Karena agaknya ia 

memang merupakan orang sinting. 

Anehnya bila ia tertawa, bayi dalam 

pangkuannya yang sedang menangis itu 

hentikan tangisnya seketika.

"Ah... ha ha ha...! Bayi bagus! 

Tulang-tulangnya juga bagus untuk 

kujadikan manusia sakti. Aku 

beruntung. Tapi... bayi ini mengapa 

rambutnya kemerah-merahan? Ada tahi 

lalat besar di punggungnya. Mukanya 

memang ganteng, tapi... 

kelihatannya... seperti orang tolol! 

Kayak orang bego, Blo'on...! Eh... 

bayi baru dua minggu bisa tertawa. 

Senang, ya... apakah senang kau jadi 

orang blo'on? Eeh... dia tertawa lagi. 

Waduh apa ini hangat-hangat...!" Laki-

laki bertampang seperti monyet ini 

meraba bagian depan celananya. Basah.

"Hah...!" Si Orang tua mendelik. 

"Kau... kau kencingi aku! Kurang ajar, 

kau kencingi aku!" Seakan mengerti 

bayi berambut kemerah-merahan itu 

tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya. 

Semakin lama tangisnya semakin keras,


hingga membuat si kakek jadi 

kebingungan.

"Cup... diam, ya... akh, rupanya 

kau tahu aku ngomel. Uuh... bukan kau 

yang kencing. Ya.. ya... bukan kau 

yang kencing. Aku yang kencing. Tua 

bangka ini yang kencing di celana. Ha 

ha ha Kakek bertampang seperti kera 

putih tergelak-gelak. Aneh, bayi laki-

laki itu tiba-tiba hentikan tangisnya 

dan ikut pula tertawa.



LIMA



Kakek berbaju serba putih yang 

tidak lain penguasa seluruh Siluman 

Kera Putih ini terus tertawa-tawa. 

Perutnya terguncang-guncang. Air mata 

terus mengalir dari sudut-sudut 

matanya akibat tawa yang tiada henti.

"Kau... ha ha ha...! Kau ini 

lucu, bocah mungil yang lucu. Aku suka 

bayi lucu sepertimu. Tampangmu blo'on 

tapi aku yakin tersimpan kecerdikan di 

dalam benakmu, nah... nah matamu 

bilang begitu.,.!" Siluman Kera Putih 

hentikan tawa dan ucapannya. Ia 

mendengar siluman siluman kera yang 

merupakan rakyatnya memberi isyarat-

isyarat khusus padanya. Ini merupakan 

satu pertanda ada orang lain di


sekitarnya. Tapi sungguh aneh, 

makhluk-makhluk lelembut itu mengapa 

tidak menyerang pendatang yang belum 

terlihat olehnya. Bahkan Penghulu 

Siluman Kera-Kera Putih melihat 

makhluk-makhluk dalam kegelapan itu 

seperti ketakutan.

Angin kencang laksana topan 

tiba-tiba saja menderu hebat. Dari 

satu arah terdengar suara orang 

menggumam. Jelas suara yang 

didengarnya mengandung tenaga dalam 

yang sangat tinggi. Sehingga Siluman 

Kera Putih terpaksa tertawa-tawa untuk 

menghilangkan pengaruh getaran suara 

gumaman tersebut.

"Penghulu Siluman Kera Putih! 

Barata Surya penguasa alam kegelapan 

di gunung Mahameru. Kuharap kau mau 

menyerahkan anak itu padaku sebagai 

orang yang berhak merawat dan 

membesarkannya! Kalau tidak jangan 

salahkan aku jika seluruh siluman di 

sini habis kubinasakan!"

"Eeh... siapakah orang itu? 

Semestinya ia tidak dapat melihat 

keberadaanku di sini, karena perisai 

gaib yang kumiliki!" desis Barata 

Surya terheran-heran. Dengan cepat ia 

bangkit berdiri. Bayi dalam 

gendongannya di dekapnya erat-erat. 

Seakan ia tidak ingin berpisah dengan 

bayi lucu dalam gendongannya.


"Seluruh tokoh rimba persilatan 

di permukaan bumi ini mungkin tidak 

dapat menembus alam gaib, Barata 

Surya. Jauh-jauh aku datang dari pulau 

Seribu Satu Malam. Semata-mata demi 

menyelamatkan keturunanku dari tangan-

tangan orang yang tidak bertanggung 

jawab!" 

Kalau saja tokoh lain yang 

bicara seperti itu. Walaupun jumlah

mereka mencapai belasan. Mungkin 

Penghulu Siluman Kera Putih tidak akan 

gentar menghadapinya. Tapi jika memang 

benarlah laki-laki yang bicara tadi 

tanpa mau menunjukkan diri. Berarti 

Sekarang ia sedang berhadapan dengan 

Malaikat Berambut Api. Yaitu satu-

satunya tokoh sakti yang sangat 

diseganinya di kolong jagad ini.

"Kisanak! Tunjukkanlah diri! 

Segala sesuatunya masih dapat kita 

bicarakan...!"

Byaar! Byaar! 

Lereng gunung Mahameru seakan 

diterangi oleh ribuan pelita yang 

datang dari seluruh penjuru arah.

Suasana kemudian berubah menjadi 

terang benderang. Di tengah-tengah 

cahaya terang berkilau itu, tampak 

sosok tubuh berambut merah dan juga 

memakai pakaian warna merah belang 

kuning. Wajahnya yang ditumbuhi 

cambang berwarna merah tampak dingin 

berwibawa.


"Malaikat Berambut Api!" desis 

Barata Surya setelah melihat siapa 

laki-laki di-depannya.

"Berikan anak itu padaku, Barata 

Surya!" perintah Malaikat Berambut Api 

alias Dewana. Suaranya terasa tajam 

menusuk.

"Eeh... mana bisa begitu! Aku 

ingin mengangkat bocah berambut merah 

ini menjadi muridku! Seluruh apa yang 

kumiliki ingin kuturunkan kepadanya! 

Apakah itu tidak hebat?"

"Apa?" Malaikat Berambut Api 

belalakkan mata. "Satu kegilaan besar 

jika semua apa yang kau miliki kau 

turunkan pada cucuku. Kau manusia 

segala sinting, segala gila, segala 

konyol dan keblinger! Dalam didikanmu 

cucuku bisa jagi tolol!"

"Ah... he he he...! Betul! Ini 

anak hebat, apa yang dikatakan oleh 

pertapa Ki Begawan Sudra memang ada 

padanya. Rambutnya merah seperti 

rambutmu, Kisanak. Ada tompelnya dan 

tulang-tulangnya baik sekali. Tapi 

lihatlah, tampangnya tolol tidak 

ketulungan!"

Wuss!

Sekali berkelebat Dewana telah 

sampai di depan Barata Surya. 

Tangannya berkelebat laksana kilat. 

Tahu-tahu bayi berambut merah itu 

telah berada di tangan Malaikat 

Berambut Api.


Namun keanehan terjadi. Bayi di 

tangan Dewana ini langsung menangis. 

Tubuhnya meronta-ronta seperti tidak 

suka berada dalam gendongan kakeknya.

"Cup... diam cucuku! Aku ini 

kakekmu! Eeh... betul, tampangmu 

seperti tampang orang tolol...!" 

semakin bertambah keras saja tangis si 

bayi. Hingga membuat Penghulu Siluman 

Kera Putih tertawa-tawa. 

Malaikat Berambut Api jadi salah 

tingkah. "Aku rasanya tidak dapat 

membuatnya diam. Ia sudah terlanjur 

akrab dengan siluman jelek itu. Kalau 

dia menangis terus. Mana mungkin aku 

dapat membawanya ke Pulau Seribu Satu 

Malam. Walah... dia kencing lagi...!" 

Wajah Dewana berubah memerah.

"Apa kataku. Dia tidak mau ikut 

kakeknya." Tiba-tiba Barata Surya 

merebut bayi itu. Ehh... begitu berada 

dalam gendongan Penghulu Siluman Kera 

Putih. Bayi itu diam seketika. Bahkan 

ia mulai tersenyum-senyum kembali.

"Apa dosaku? Dia benar-benar 

serasi dengan siluman muka kunyuk itu. 

Kalau pun aku bersikeras dengannya, 

paling tidak segala kesaktian yang 

kumiliki dapat mengalahkannya. Tapi 

bagaimana kalau anak itu menangis 

terus! Bocah itu benar-benar memaksaku 

untuk menentukan pilihan...!" gerutu 

Dewana sambil katupkan rahangnya 

rapat-rapat.


"Lihatlah sobat! Dia diam. Dia 

suka padaku. Eeh... bagaimana 

pendapatmu jika kita sama-sama 

membesarkannya di tempat ini?"

"Membesarkannya di tempat 

kediaman siluman. Jangan-jangan kalau 

besar nanti dia menjadi setan 

gentayangan. Kurasa lebih baik jika 

aku membesarkannya di kandang kuda!"

Wajah Penghulu Siluman Kera Putih 

berubah memerah. Namun hanya sebentar 

saja. Untung yang bicara itu adalah 

tokoh sangat sakti yang diseganinya, 

kalau tidak Barata Surya pasti sudah 

menampar kakek tua di depannya itu 

pulang pergi.

"Ah, jangan begitu sobat. Seumur 

hidup aku belum punya murid. Kau pun 

begitu juga. Jika kekuatan kita sama-

sama kita gabungkan kelak ia akan 

menjadi seorang pendekar tangguh tanpa 

tanding!"

"Kau membujukku?" dengus 

Malaikat Berambut Api.

"Mana berani aku mengatakan 

begitu. Aku cuma mengajakmu untuk 

memberikan yang terbaik padanya."

"Bagaimana kalau kita sama-sama 

membesarkannya di Pulau Seribu Satu 

Malam?"

"Walah! Jauh amat. Mana bisa aku 

mengawasi kera-kera siluman yang 

berdiam di sini kalau aku harus pergi 

ke tempatmu!"


"Jika begitu urusi saja monyet-

monyetmu itu. Biar aku yang urus 

cucuku...!" ketus suara Malaikat 

Berambut Api.

"Jangan begitu sobat! Aku 

sungguh-sungguh mengasihi anak ini, 

karena Anda merupakan orang yang 

paling berhak. Maka aku bersedia 

bekerja sama membesarkan anak ini." 

Dalam suasana seperti itu. Malaikat 

Berambut Api merasa harus mengambil 

kesimpulan terbaik.

"Kalau begitu aku bersedia 

mengikuti kehendakmu. Sekarang aku 

ingin bertanya padamu, apakah anak itu 

sudah punya nama?"

"Wah belum. Dua minggu 

bersamanya aku merasa senang sekali. 

Sehingga belum terpikirkan olehku 

tentang namanya." Barata Surya 

menyahuti.

"Kedua orang tuanya telah 

menjadi korban...!"

"Aku ikut merasa prihatin atas 

kejadian itu." Memotong Barata Surya.

"Dia terlahir pada malam satu 

Asyuro. Karena rambutnya yang kemerah-

merah itu. Maka aku memberinya nama 

Suro Blondo.... Bagaimana apakah kau 

setuju...?!" 

Penghulu Siluman Kera Putih 

tidak langsung menjawab. Melainkan 

memandang pada bayi dalam 

gendongannya. Seraya bicara pada bayi


itu seperti sedang bicara dengan orang 

yang sudah dewasa.

"Kau setuju jika kakekmu 

memberi nama Suro Blondo?"

Bayi dalam gendongan Barata 

Surya menggeliatkan tubuhnya sejenak 

kemudian tawa kecilnya terdengar.

"Ha ha ha! Dia setuju, sobat! 

Dia setuju dengan pemberian nama itu." 

kata Barata Surya. "Kalau dia setuju 

aku pun setuju."

"Baik! Tapi aku punya beberapa 

syarat yang harus kau penuhi." tegas 

Malaikat Barambut Api.

"Apakah syarat-syaratnya?" tanya 

Penghulu Siluman Kera Putih sambil 

cengar-cengir.

"Pertama aku tidak suka kau 

menurunkan sifat-sifat jelekmu 

kepadanya. Kedua aku yang memberi 

dasar-dasar ilmu tenaga dalam 

kepadanya. Aku tidak mau melihatmu 

mengajarkan ilmu sesat padanya?!"

"Oho... jangan takut. Semua 

ilmuku tidak ada yang menyesatkan. Aku 

menjamin Suro Blondo tidak tersesat!"

"Ingat! Janjimu kupegang sampai 

kapan pun. Sekali kau ingkar! Bukan 

kau saja yang akan menanggung 

akibatnya. Seluruh monyet-monyet 

siluman yang ada di sini akan 

menanggung akibat perbuatanmu!" 

Ancaman Malaikat Berambut Api bukan 

main-main. Siluman Kera Putih sadar


benar siapa tokoh yang jarang muncul 

di rimba persilatan ini. Setiap 

kemarahannya dapat menimbulkan kobaran 

api di kepalanya. Dan ia sangat 

disegani karena tinggi ilmu 

kesaktiannya yang tidak dapat diukur.

"Aku terima perjanjian ini 

sobat!" sahut Barata Surya serius." 

Jika Anda suka. Anda boleh tinggal di 

dalam gubukku ini...!"

"Hmm, sekali-sekali tidak. Hanya 

sewaktu-waktu saja aku akan datang 

kemari. Siang hari cucuku berada dalam 

pengawasan dan didikanku. Sedangkan 

pada malam hari ia berada dalam 

bimbinganmu sepenuhnya!"

"Aku setuju! Ya... aku setuju 

sekali...!" Penghulu Siluman Kera 

Putih tertawa cengengesan.

***

Hampir setiap malam bocah lucu 

bertampang tolol itu selalu bermain-

main dengan kera-kera berbulu putih 

yang jumlahnya mencapai ratusan ekor. 

Dalam usianya yang baru tujuh tahun. 

Tubuhnya sudah tampak kekar berotot. 

Walaupun tampangnya blo'on, namun 

sesungguhnya ia mempunyai otak yang 

cerdas. Hanya dalam waktu-waktu 

tertentu saja ia memang tampak 

lamban dalam berpikir. Tapi tingkahnya 

yang konyol, kocak dan ketolol-tololan


membuat kera-kera yang selalu 

menemaninya menjadi sangat suka 

bermain-main dengannya. Malam itu 

udara di lereng Gunung Mahameru terasa 

dingin mencucuk. Tapi sungguh aneh, 

bocah bertelanjang dada ini malah 

merasakan kegerahan yang bukan alang 

kepalang. Ia mengipas-ngipas daun jati 

di tangannya. Daun jati itu bolong-

bolong bekas dimakan ulat. Sehingga 

kipasan-kipasan yang dilakukannya 

tidak membawa arti sama sekali. Tiba-

tiba ia nyengir sendiri.

"Kakek Dewana tidak sama dengan 

kakek Barata Surya. Orang rambut merah 

itu terlalu keras dalam membimbingku. 

Ia datang seperti setan dan pergi 

seperti angin. Tapi ia mengatakan 

dirinya sebagai kakekku. Apa sih 

artinya kakek? Dan guruku yang kayak 

monyet itu. Hampir tiap malam selalu 

memasukkan aku ke dalam telaga yang 

ada asapnya. Kata kera-kera itu telaga 

di bawah sana rasanya panasnya seperti 

lahar gunung. Tapi ketika aku 

dimasukkan ke dalam telaga itu. Uuh... 

air telaga itu dinginnya tidak 

ketulungan...!"

Swiiiet!

"Eeh... guru gila itu 

memanggilku. Malam malam begini aku 

disuruh mandi lagi. Bagaimana ini? 

Apakah aku harus menolak?" batin si


bocah kekar lalu mengusap-usap dadanya 

yang bidang.

"Suro Blondo manusia tolol! 

Cepat kau kemari. Saatnya bagimu untuk 

menikmati sarapan kesepuluh...!" 

terdengar teriakan orang yang sangat 

dikenalnya.

"Sialan guru kampret! Malam ini 

aku tidak mau mandi di situ. Aku mau 

tidur!"

"Kurang ajar. Jangan buat 

kakekmu jadi kecewa. Telaga mendidih 

itu adalah untuk memantapkan tenaga 

dalammu...!"

"Guru sinting. Setiap malam aku 

harus mandi di dalam air mendidih yang 

sangat berbisa itu. Di dalamnya ular-

ular merah menggelitikku. Sedangkan 

kau sendiri enak-enakan ngorok di atas 

pohon telaga!" 

Sebenarnya ular-ular merah 

berbisa yang hidup di dalam telaga 

panas tersebut bukan menggelitik Suro 

Blondo, melainkan menggigitnya. 

Sehingga tanpa disadari oleh Suro 

Blondo. Lama kelamaan tubuhnya menjadi 

kebal terhadap segala macam bisa yang 

maha ganas sekali pun.


ENAM


"Suro Blondo! Kau beraninya 

membangkang pada aku saja. Pada 

kakekmu Malaikat Berambut Api kau 

tidak berkutik! Ayo kemari! Atau aku 

menyuruh anak-anak menyeretmu kemari?" 

dengus Barata Surya, lalu usap-usap 

jenggotnya yang putih bagaikan kapas.

"Monyet-monyet yang punya ekor 

selalu dipanggilnya anak-anak. Gila 

barangkali aku punya guru." Suro 

Blondo membatin di hati.

"Cepat Suro! Air telaga sudah 

menggelegak menunggumu. Jangan kau 

tunggu kesabaranku sampai habis!" 

Sambil uncang-uncang kaki di atas 

pohon, si kakek mengulangi 

perintahnya.

Suro Blondo usap-usap perutnya 

yang putih berkilat-kilat. Pemuda 

tanggung bertampang tolol ini semakin 

jengkel saja mendengar perintah 

gurunya.

"Kesabaran jangan selalu 

dihabiskan, Guru! Kalau Guru sudah 

tidak punya kesabaran. Ke mana Guru 

akan mencari gantinya...!" kata Suro 

Blondo tenang.

"Sialan anak tolol! Kau 

membantah terus kalau diperintah!"

"Guru bego. Kerjanya kasih 

perintah melulu." rutuk Suro Blondo.


Tiba-tiba saja Penghulu Siluman Kera 

Putih tergelak-gelak. Kalau bukan 

muridnya yang bicara begitu. Mungkin 

sudah sejak tadi digebuknya Suro 

Blondo. Sejenak Barata Surya hentikan 

tawanya. 

"Anak ini wataknya sama persis 

dengan sifatku diwaktu kecil. Kalau 

tidak mengingat kakeknya manusia sakti 

Mandraguna. Sudah kucopot mata dan 

hidungnya." gerutu Barata Surya.

Saat itu Suro Blondo membatin 

pula: "Kunyuk berjanggut itu selalu 

memanjakan aku. Sialnya dia tidak mau 

sama-sama mandi di telaga panas."

"Hei... tunggu apalagi...! Cepat 

kerjakan...!" teriak Barata Surya jadi 

berang. Pada saat itu tanpa diketahui 

oleh Penghulu Siluman Kera Putih ini. 

Suro Blondo telah masuk ke dalam 

telaga panas berbisa tersebut.

"Anak-anak seret manusia yang di 

atas pohon!" kata Barata Surya tanpa 

melihat lebih dulu. Kalau pohon yang 

selalu dijadikan tempat beristrahat 

Suro Blondo sudah kosong.

Puluhan ekot kera siluman saling 

pandang. Satu-satunya orang yang 

berada di atas pohon hanya Barata 

Surya sendiri. Dengan bingung puluhan 

ekor kera berpaling pada Suro Blondo 

yang tampak meringis dan menunjuk-

nunjuk ke arah pohon yang diduduki 

Barata Surya. Secara beramai-ramai


kera siluman itu tanpa menimbulkan 

suara langsung mendekati penghulu 

mereka. Lalu....

Sreet!

"Eeh... apa-apaan monyet-monyet 

tolol! Eeh... heii...!"

Byur...! Melihat gurunya basah 

kuyup tercebur ke dalam telaga. Suro 

Blondo tergelak-gelak. Monyet-monyet 

siluman ikut berjingkrak-jingkrak 

kegirangan.

"Kurang ajar! Murid tolol, kera-

kera blo'on...! Menyingkir kalian 

semua sebelum kena gebukanku!" bentak 

Barata Surya marah bukan kepalang.

"Nguk! Nguk!"

Monyet-monyet siluman pun 

menjauhi tempat di sekitar telaga.

"Guru salah sebut. Ha ha ha...! 

Mestinya kera-kera itu yang tolol. 

Guru yang geblek dan aku... ha ha 

ha... blo'on... ha ha ha...!"

"Diam...!" bentak Barata Surya. 

Seraya melompat dari dalam telaga. 

Sementara itu air di dalam telaga 

terus bergolak. Hawa panas mulai 

menyengat. Sedangkan ular-ular berbisa 

yang berada di dalamnya mulai 

menyerang Suro Blondo pula.

"Ih... aku nggak bisa diam. 

Ular-ular sialan ini terus 

menggelitikku... ihh... hiii... 

geli...!" Suro Blondo terus meringis-

ringis. Entah kegelian entah


kesakitan. Yang jelas disekujur 

tubuhnya yang terendam air berwarna 

merah itu mulai tampak dipenuhi luka 

di sana-sini. Luka-luka itu 

menimbulkan rasa dingin yang teramat 

sangat. Sehingga membuat sekujur tubuh 

Suro Blondo bergetar hebat.

"Sudah Guru! Dingin... dingin 

sekali. Aku mau naik ke daratan, Guru. 

Sudah tidak tahan...!"

"Diam di situ, kalau perlu 

sampai besok pagi!" bentak Barata 

Surya.

"Uhu... tega nian dikau...!" 

Suro Blondo menggerutu.

Barata Surya terkekeh-kekeh. 

"Kalau mau jadi manusia berguna, murid 

harus patuh perintah guru. Kau harus 

ingat pula, jika tenaga dalammu sudah

benar-benar sangat sempurna dan 

tubuhmu telah kebal sepenuhnya karena 

berendam di Telaga Bisa. Dua tahun 

mendatang aku dan kakekmu akan 

menurunkan jurus-jurus ilmu silat 

tingkat paling tinggi kepadamu. Jika 

kau tidak punya tenaga dalam yang 

tinggi, mana bisa aku dan kakekmu 

menurunkan pukulan-pukulan dahsyat 

yang kami miliki!" jelas Penghulu 

Siluman Kera Putih lebih lanjut.

Setelah memberi penjelasan pada 

muridnya. Barata Surya segera melompat 

lagi ke atas pohon di mana tempat ia 

tadi berada. Kemudian beliau rebahkan


badan. Hanya dalam waktu beberapa 

menit saja, suara dengkurannya pun 

terdengar dengan jelas di telinga sang 

murid.

"Sekujur tubuhku sudah berdarah. 

Hawa dingin semakin menyerang. Telaga 

ini panas bukan main, tapi mengapa 

setelah tubuhku digigiti ular-ular 

merah ini badanku jadi dingin sekali." 

Suro Blondo menggerutu. Satu dua ekor 

ular merah ditangkapnya. Dengan geram 

digigitnya kepala ular-ular yang 

sangat berbisa itu.

"Huh... rasain pembalasanku!" 

Suro Blondo cengengesan ketika melihat 

ular tanpa kepala tersebut 

menggelepar-gelepar lalu mati.

"Guruku sudah tidur. Aku sudah 

mengantuk baiknya aku naik ah...!" 

Dengan hati-hati Suro blondo merangkak 

naik ke daratan meninggalkan telaga 

bisa. Namun di atas pohon kemudian 

terdengar satu bentakan keras 

menggeledek.

"He... mau ke mana kau...? 

Jangan coba-coba ya...!"

"Dalam keadaan mendengkur 

seperti itu. Tidak sangka guru 

mengetahui apa yang akan kulakukan! 

Dasar guru sinting...!" Suro Blondo 

menggerutu. Dengan terpaksa ia kembali 

masuk ke dalam telaga bisa. Sedangkan 

sang guru yang sama-sama miringnya 

terus ngorok berkerokokan.


***

Sejak empat tokoh sesat yang 

tergabung dalam partai Dunia Akhirat 

mendirikan markas di Gunung Bromo. 

Maka sejak saat itu sepak terjang 

mereka sudah sampai di daerah 

Nongkjajar, Wendit bahkan Singosari. 

Segala macam kejahatan mereka lakukan. 

Membunuh dan melakukan perampokan 

besar-besar sudah biasa mereka 

lakukan.

Mereka juga melakukan penculikan 

di mana-mana. Tidak jarang orang 

persilatan yang berusaha menghentikan 

sepak terjang mereka ini tewas secara 

sia-sia. Semakin lama partai yang 

dipimpin oleh Balung Raja, Ki Rambe 

Edan, Braja Musti dan Baja Geni 

semakin bertambah besar. Pengikut-

pengikutnya juga semakin bertambah 

banyak. Dalam waktu 17 tahun, mereka 

bahkan telah berhasil membentuk sebuah 

kerajaan kecil yang memiliki mata-mata 

tersebar di setiap daerah. Bahkan 

sejak saat itu semua penduduk 

dibebankan membayar upeti. Siapa yang 

membangkang pasti mereka bunuh. 

Pendeknya tidak seorang pun yang 

berani menentang kekuasaan mereka.

Siang itu udara terasa panas 

membakar bumi. Daerah Nongkojajar yang 

padat penduduk memang senantiasa sarat


dengan berbagai kegiatan. Tampaknya 

mereka sudah terbiasa dengan keadaan 

seperti itu. Tidak perduli pada musim 

panas atau pun musim hujan. Mereka 

senantiasa bekerja keras demi untuk 

membayar upeti pada majikan di Gunung 

Bromo. Di sebuah waning yang selalu 

sarat dengan pengunjung. Seorang gadis 

mengenakan pakaian ringkas berwarna 

kuning gading tengah menikmati 

hidangan yang dipesannya pada pemilik 

warung. Ia memakai ikat kepala warna 

biru. Rambutnya yang panjang dan 

menebarkan bau harum semerbak membuat 

orang-orang yang berada di dalam 

warung itu selalu melirik dan mencuri 

pandang kepadanya. Gadis berwajah 

cantik dengan tahi lalat di dagu ini 

bersikap acuh tak acuh. Sungguh pun ia 

sadar sejak tadi berpasang-pasang mata 

terus mengawasinya sambil menelan 

ludah.

"Pak Tua! Saya minta tambah 

makanannya!" Sama sekali ia tidak 

menoleh pada pemilik warung ketika ia 

menyampaikan keinginannya itu. Ketika 

pemilik warung bermaksud menyediakan 

pesanan si gadis. Saat itulah tiga 

orang laki-laki berpakaian hitam. 

Berambut panjang awut-awutan, 

bercambang bawuk lebat memasuki warung 

tersebut. Orang-orang di dalamnya yang 

memang telah mengenal siapa adanya 

laki-laki bertampang angker ini


langsung meninggalkan warung. Hanya 

gadis berpakaian kuning gading yang 

tetap berada disitu. Sama sekali ia 

tidak menghiraukan ketiga laki-laki 

yang membekal golok besar ini.

"Bapak! Mana pesanan saya...?" 

tanya si gadis. Suaranya terasa enak 

didengar. Pemilik warung tampak 

ketakutan. Bukan pada si gadis 

melainkan pada ketiga laki-laki yang 

sedang menghampiri gadis itu.

"Bocah manis. Rupanya kau sangat 

lapar sekali, ya...? Bagaimana jika 

kami menemanimu makan di sini? Kami 

juga sama-sama lapar!" kata yang 

berbadan tinggi tegap.

"Aku tidak butuh siapa pun di 

sini!" ketus suaranya, Perlahan ia 

memandang pada laki-laki di depannya. 

Sebaliknya laki-laki di depannya 

tampak tercekat. Tenggorokannya turun 

naik, mata mereka terbelalak lebar. 

Sama sekali mereka tidak menyangka 

kalau gadis yang sejak tadi 

memunggungi mereka ini memiliki wajah 

yang sangat cantik luar biasa. Melihat 

kecantikan si gadis. Semakin berani 

dan kurang ajar sajalah tindakan 

mereka ini. Salah seorang dari laki-

laki berpakaian hitam ini mencolek 

dagu si gadis. Melihat gadis itu hanya 

diam sama. Maka dua lainnya tertawa 

mengekeh.


"Merpati cantik ini ternyata 

sangat jinak sekali, kawan-kawan!"

"Dia sangat pantas untuk kau 

jadikan istrimu, Kakang Wongso!" Yang 

berbadan lebih pendek menyahuti.

"Betul! Jika gadis ini mau 

kujadikan istriku. Maka istriku yang 

sepuluh itu akan kuceraikan semua...! 

Bagaimana Nduk, apakah kau mau menjadi 

istri orang kepercayaan penguasa 

Gunung Bromo?"

"Kakang! Biasanya seorang gadis 

memang suka malu-malu! padahal hatinya 

sih mau...!" berkata Karsa Jaliteng. 

Yaitu laki-laki yang paling muda di 

antara mereka. Memerah wajah gadis 

cantik ini. Tubuhnya gemetar, pertanda 

ia sedang berusaha meredakan 

amarahnya.

"Pak Tua! Siapkan hidangan yang 

paling istimewa buat kami dan gadis 

ini!" perintahnya tegas. Hingga 

membuat pemilik warung yang sudah 

mengetahui keganasan ketiga laki-laki 

kepercayaan penguasa Gunung Bromo ini 

dengan tergopoh-gopoh segera 

menyediakan pesanan mereka.

Ketika orang-orang berbaju hitam 

ini bermaksud duduk mengelilingi gadis 

berbaju kuning gading. Sebuah bentakan 

terdengar.

"Jangan berani lagi bertindak 

macam-macam di depanku! Sekali kau 

duduk di situ! Jangan salahkan aku


jika aku terpaksa harus melempar 

kalian keluar dari warung ini!"

"Eeh...!" Tiga Iblis Pemburu 

Nyawa sama-sama melengak. Di mata 

mereka semakin marah gadis ini semakin 

bertambah cantik wajahnya. Tiba-tiba 

ketiga laki-laki bertampang angker ini 

tertawa tergelak-gelak.

Bahkan laki-laki berbadan pendek 

bernama Karsa Jalinteng yang sudah 

gatal, tangannya dengan cepat menjulur 

ke dada si gadis yang padat membusung. 

Tapi gadis itu dengan gerakan yang 

sangat sulit diikuti mata biasa sudah 

mencengkeram tangan yang kurang ajar 

itu. Lalu....

Wuss!

Sosok tubuh laksana kilat 

melayang keluar melalui pintu depan. 

Bruuk...!

"Akkh...!" terdengar suara 

teriakan kesakitan di luar sana. Karsa 

Jaliteng dengan terhuyung-huyung 

bangkit berdiri. Sementara dua 

kawannya yang masih berada di dalam 

warung tersentak kaget dengan mata 

terpentang lebar.

"Perempuan bangsat!" maki Karsa 

Jaliteng yang sekarang telah berdiri 

di ambang pintu. Wajah laki-laki itu 

berselot debu. Hidungnya mengucurkan 

darah. Bibirnya jontor dan tangan 

kirinya tampak bengkok. Patah.



TUJUH


Semakin bertambah kaget saja dua 

orang kawannya melihat Karsa Jaliteng 

dalam keadaan begitu rupa. Jika semula 

mereka hanya bersikap ingin 

mempermainkan gadis cantik yang duduk 

tenang di tempatnya. Maka kini 

kemarahan telah menguasai jiwa mereka. 

Wongso Mendit bahkan mencengkeram bahu 

si gadis. Laki-laki ini dapat 

meremukan tulang belulang lawannya. 

Untuk itu ia dikenal sebagai Tangan 

Baja. Setengah jengkal lagi tangan 

Wongso Mendit menyentuh bahu si gadis.

Plaak!

"Akhh...!" Wongso Mendit memekik 

keras. Tidak sampai sekedipan tangan 

si gadis menghantam dadanya tanpa 

menoleh sedikit pun. Laki-laki 

berbadan jangkung ini terjajar dan 

memegangi dadanya yang terasa seperti 

remuk. Bila ia melihat ke dadanya 

sendiri. Maka terkejutlah ia. Bagian 

dada yang terkena tinju si gadis 

tampak memerah memar.

"Betina liar. Kau benar-benar 

tidak melihat tingginya gunung di 

depanmu ini!" bentak Lingga. Tiga 

Iblis Pemburu Nyawa tiba-tiba sambil 

menggembor marah bermaksud meringkus 

gadis itu. Tangan mereka yang terkepal 

menderu dahsyat menimbulkan angin


panas memerihkan kulit. Namun sebelum 

ketika serangan beruntun yang 

dilakukan oleh kaki tangan penguasa 

Gunung Bromo sampai. Dengan gerakan 

yang cepat dan indah gadis berpakaian 

ringkas telah melompat ke udara.

Ia menjenjakkan kakinya persis 

di tengah-tengah ruangan warung. 

Menyadari serangan mereka yang dapat 

dihindari oleh lawannya. Tiga Iblis 

Pencabut Nyawa kertakkan rahang.

"Gadis liar! Tertawalah kau 

sepuasmu! Jika kau telah berada dalam 

genggaman kami, kau pasti minta 

ampun!" desis Karsa Jaliteng.

"Cepat kita ringkus! Betapa aku 

ingin menelanjangi tubuhnya yang mulus 

itu!" kata Wongsi Mendit.

"Iblis-iblis Hina! Kalian adalah 

manusia rendah bermulut besar! Kalau 

belum kurobek mulutmu yang kotor itu, 

tidak puas hatiku!" geram gadis 

berbaju kuning. Tubuhnya tiba-tiba 

berkelebat lenyap bagaikan bayang-

bayang. Wongso Mendit, Lingga dan 

Karsa Jaliteng yang melakukan serangan 

ganas lebih awal jadi kelabakan. 

Bahkan lebih celaka lagi. Setiap 

serangan yang mereka lakukan hanya 

mengenai sasaran kosong.

Des!

Dess!

Dua kali tendangan telak membuat 

Lingga dan Karsa Jaliteng jatuh


terpelanting tubuh mereka menabrak 

kursi dan meja yang terdapat di dalam 

ruangan warung. Lalu tidak sampai 

disitu saja, gadis cantik ini terus 

berkelebat. Dilain kejab.

"Huup!"

Tap!

Kedua kakinya mendarat di 

punggung Wongso Mendit. Jemari tangan 

yang lentik namun kokoh mencengkeram 

bibir atas dan bibir bawah lawannya.

Week!

Terbelahlah bibir Wongso Mendit. 

Laki-laki berbadan tinggi semampai ini 

menjerit keras. Darahnya langsung 

mengucur dari luka lebar di mulutnya 

yang terbelah.

"Untuk kenang-kenangan! 

Berikan ini pada majikan kalian!" 

Plaak!

Satu hantaman keras mendarat di 

kening Wongso. Bukan main kerasnya 

pukulan itu sehingga membuat pembantu 

majikan Gunung Bromo jatuh terduduk 

tidak sadarkan diri.

Ruangan warung berubah sunyi. 

Gadis berbaju kuning gading itu sudah 

lenyap. Sementara Lingga dan Karsa 

Jaliteng yang kena tendangan dahsyat 

si gadis tampak berusaha bangkit 

berdiri. Bergetar tubuh mereka berdua 

ketika melihat bibir Wongso Mendit 

terkoyak lebar hampir mencapai 

telinga. Lebih terkejut lagi saat


melihat secarik kain yang melekat di 

jidat kawannya. Dengan langkah 

terhuyung-huyung Karsa Jaliteng 

menghampiri kawannya yang tidak 

sadarkan diri. Sementara itu Lingga 

hanya memandang dari tempatnya berdiri 

dengan mata liar mencari-cari.

"Celaka! Gadis liar itu telah 

melarikan diri!" desisnya geram.

"Lihat ini lebih celaka lagi!" 

teriak Karsa Jaliteng ketika 

mendapatkan sobekan kain berwarna 

kuning yang menempel ketat di jidat 

kawannya. Lingga datang mendekat.

"Sial dangkal! Bagaimana paku 

itu bisa menancap di kening kawan 

kita? Coba cabut...!" 

Dengan sangat hati-hati Karsa 

Jaliteng mencabut paku berikut sobekan 

kain kuning berlumur darah.

"Ada tulisannya!" teriak Karsa 

Kaliteng dalam kejutnya.

Mereka pentang sobekan kain 

bercampur darah. Maka terbaca beberapa 

baris kalimat yang membuat darah 

mereka serasa mendidih.

Empat tokoh yang tergabung dalam 

partai Dunia Akhirat! Saat kematian 

bagi kalian sudah hampir tiba! 

Secepatnya persiapkan kubur kalian 

masing-masing. Tujuh belas tahun yang 

lalu kalian berhutang nyawa kepadaku! 

Dewi Bulan


Wajah Lingga dan Karsa berubah 

kelam membesi. Jelas ancaman itu 

ditujukan pada majikan mereka. Tapi 

yang membuat mereka geram adalah 

karena gadis yang bernama Dewi Bulan 

itu telah merat dari hadapan mereka.

"Apa yang kita lakukan?" Lingga 

berpaling pada Karsa Jaliteng

"Tidak ada pilihan lain. Kita 

bawa Wongso Mendit dan laporkan 

peristiwa memalukan ini pada ketua 

kita!" Tanpa banyak cakap, Lingga 

langsung memanggul tubuh Wongso 

Mendit. Ketika sampai di halaman depan 

warung. Mereka lebih terkesima lagi 

ketika melihat kuda tunggangan mereka 

terkapar mati dengan leher berlubang 

besar.

"Keparat! Sungguh keparat! 

Betina itu benar-benar menginginkan 

kematian dari kita!" Lingga menggeram 

marah. Kumisnya yang melintang tampak 

bergerak-gerak pertanda kemarahannya 

sudah sampai di ubun-ubun.

"Kita pakai kuda pemilik 

warung!"

Orang-orang ini segera 

melepaskan kuda yang terdapat di 

kandang belakang. Sekejap saja kuda-

kuda itu telah melesat meninggalkan 

debu-debu di udara.

"Kudaku! Ah... maling-maling 

pemeras rakyat itu...!" desis bapak


pemilik warung tanpa mampu berbuat 

apa-apa.

***

Puncak gunung Mahameru yang 

biasanya sepi, pagi-pagi itu 

dipecahkan oleh suara bentakan-

bentakan disertai teriakan 

menggelegar. Bumi laksana terbelah, 

langit bagai terkoyak. Terlebih-lebih 

ketika terjadi ledakan-ledakan dahsyat 

di satu tempat. Daun-daun jati tampak 

berguguran. Segala jenis binatang lari 

terkencing-kencing meninggalkan 

sarangnya. Monyet-monyet siluman 

menyelamatkan diri mencari tempat 

sembunyi. Dan bila memandang ke puncak 

Mahameru. Maka di sana terlihat dua 

sosok tubuh sedang bertarung. 

Pertarungan yang bukan saja Maha 

dahsyat, namun juga sangat mengerikan. 

Betapa tidak dua orang yang terlibat 

pertempuran sengit itu berkelebat 

laksana bayang-bayang saja. Angin 

pukulan yang mereka lepaskan terasa 

memanggang tubuh. Debu dan batu-batu 

kecil beterbangan. Pohon-pohon di 

sekitarnya meranggas tanpa daun akibat 

pertempuran itu. Sesekali terdengar 

bentakan dahsyat, lalu ada makian dan 

sumpah serapah. Tapi anehnya suara 

tawa pun terkadang menggema di sana.


"Kerahkan jurus 'Kera Putih 

Memilah Kutu', Suro...!" terdengar 

teriakan laki-laki berbaju serba putih 

dan berambut, jambang serta jenggot 

berwarn a putih.

"Guru, kau...!" Pemuda gagah 

yang berdiri bertolak pinggang memakai 

baju warna biru muda tidak dapat

teruskan ucapannya. Kakek serba putih 

di depannya sambil keluarkan bentakan 

melengking langsung menerjang ke 

depan. Tangan kanan menotok ke sepuluh 

bagian jalan darah. Tangan kiri 

menyiku ke perut sedangkan kaki yang 

setengah berjongkok berjingkat-jingkat 

memburu.

Walaupun jurus yang dilancarkan 

si kakek terkesan lucu dan terkadang 

tangan menggaruk-garuk seperti orang 

kena penyakit gatal. Tapi serangan itu 

benar-benar sangat berbahaya. Suro 

Blondo pemuda berambut gondrong 

memakai ikat kepala warna biru belang-

belang kuning sadar benar bahaya besar 

sedang mengancamnya. Untuk itu ia 

menggenjot kedua kakinya. Tubuhnya 

melesat ke udara kemudian melakukan 

salto beberapa kali. Begitu tubuhnya 

menderu ke bawah. Maka ia sudah 

hantamkan kedua tangannya dengan 

mempergunakan jurus 'Serigala Melolong 

Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Inilah 

salah satu jurus yang tidak kalah


dahsyatnya dengan jurus yang 

dilancarkan oleh si kakek.

Wuuk!

Buuk!

Buuk!

"Gila! Gila betul!" desis Suro 

Blondo sambil menyeringai kesakitan. 

Ia memang berhasil memukul punggung 

kakek yang menyerangnya dengan ganas. 

Tapi kakek itu dengan gerakan yang 

sangat aneh sekali sempat menghantam 

jidat pemuda baju biru muda. Kepalanya 

mendenyut sakit, seribu kunang-kunang 

bertabur di matanya.

"Sebentar lagi Suro! Sebentar 

lagi kau mampus!" Si kakek miringkan 

badannya. Tangan diputar-putar sambil 

menggaruk-garuk sekujur tubuhnya tidak 

ubahnya seperti tingkah seekor monyet. 

Tangan si kakek bergetar hebat. 

Tangannya bergerak cepat, hingga 

dilihat sepintas lalu tangan itu

berubah menjadi ribuan jumlahnya.

"Eeh.. dia mengerahkan jurus 

'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. 

Benar-benar edan! Ia ingin membunuhku 

rupanya!" desis si pemuda.

"Jangan memaki bocah blo'on. 

Mampus...!" teriak si kakek. Tangan 

yang telah berubah banyak itu menderu 

ke seribu arah. Angin kencang 

berhembus, udara berubah panas seperti 

di neraka.


"Hiyaat...!" Suro Blondo tidak 

menunggu lebih lama lagi. Tubuhnya 

berkelebat terhuyung-huyung, terkadang 

ia berjongkok dan melompat-lompat. 

Sungguh aneh dan lucu gerakannya. Tapi 

tidak lama setelah itu terdengar suara 

tawanya yang tidak beraturan. Tawa itu 

terdengar melengking tinggi, 

menyakitkan gendang-gendang telinga. 

Kadang berubah pelan mendayu-dayu. 

Namun dilain saat telah berubah 

seperti suara rintihan tangis, 

memilukan. Tangan dan kaki mendorong 

ke segala penjuru arah. Selanjutnya 

melompat dan menendang. Inilah jurus 

'Tawa Kera Siluman'.

Si kakek menggeram marah, 

mulutnya mengomel panjang pendek. Lalu 

terdengar suara bentakan dahsyat 

merobek langit. Tangan-tangannya yang 

seakan berubah menjadi banyak itu 

menghantam dengan kecepatan dua kali 

kecepatan suara.

"Edan! Kau benar-benar mau mem-

bunuhku!" Suro Blondo meradang. Ia 

berkelit secepat yang ia mampu.

Wuus!

"Hups...!" Walaupun pemuda 

berbaju biru muda memakai ikat kepala 

warna biru belang kuning dapat 

menghindari tinju yang menggeledek 

itu. Tidak urung ia menjerit ketika 

sambaran angin panas menyengat 

melabrak dada. Suro Blondo usa-usap


dadanya. Tampak dada itu memerah. Ia 

langsung melompat menjauh. Hatinya 

menggerutu, mulutnya pletat-pletot, 

lalu tersenyum.

"Ha ha ha...! Bagus! Gila, tolol 

blo'on, sedeng! Tidak sia-sia! Tidak 

sia-sia. Kau dengar...!" Melihat 

gurunya tertawa dan tampak hentikan 

serangan. Maka Suro Blondo pemuda 

tampan bertampang, konyol, kocak dan 

blo'on ini ikut tertawa-tawa.

"Bagus! Ha ha ha...! Guru hampir 

membunuhku! Ha ha ha... gila benar!" 

Ucapan dan tawa Suro Blondo melenyap. 

Terlebih-lebih setelah melihat kedua 

telapak tangan kakek baju putih 

menapak tanah. Suro Blondo segera 

menyadari kalau gurunya bermaksud 

melepaskan pukulan yang sangat 

dahsyat!

"Hah... dia ingin melepaskan 

pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'. 

Aku harus mempergunakan pukulan apa?" 

memaki Suro Blondo dalam hati. Tiba-

tiba saja ia berteriak: "Guru! Kau 

jangan main-main dengan pukulan itu. 

Aku bisa mati...!"

"Kalau semua akal yang kau 

miliki sudah hilang! Maka kau memang 

pantas mati di tanganku!" menggeram 

Penghulu Siluman Kera Putih.


DELAPAN


"Walah, mati aku!" Suro Blondo 

menggerendeng. Ia melihat gurunya yang 

dalam posisi berjongkok dan tangan 

mentetak tanah semakin bergetar hebat. 

Kedua tangannya memancarkan sinar 

merah kehijau-hijauan. Udara di 

sekitarnya telah berubah pula menjadi 

panas menggila.

"Nguk! Nguk! Hiyaa...!" sambil 

berteriak tinggi melengking hingga 

membuat runtuh daun-daun jati pada 

pohon-pohon sekitarnya. Tubuh Barata 

Surya melesat ke atas, dua tangannya 

menghantam ke depan.

"Kiamat...!" teriak Suro Blondo. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi ia pun 

segera mengerahkan tenaga dalam yang 

telah mencapai tarap kesempurnaan. 

Dilain kejap dengan kaki kiri ditekuk 

ke depan. Ia dorong tangannya yang 

telah berubah menjadi biru terang. 

Seleret sinar biru redup datang 

bergulung-gulung menyongsong pukulan 

dahsyat yang dilepaskan oleh si kakek. 

Udara di sekitarnya berubah dingin dan 

panas tidak ketulungan. Puncak 

Mahameru seakan dilanda gempa hebat.

Bummm!

Buummmm!

"Edan! Curang! Kau curang...!" 

memaki Penghulu Siluman Kera Putih


ketika melihat kenyataan bahwa Suro 

Blondo mempergunakan pukulan dahsyat 

'Matahari dan Rembulan Tidak 

Bersinar'. Pukulan itu adalah pukulan 

dahsyat yang diwariskan oleh kakek 

Suro Blondo sendiri.

"Ha ha ha! Mampus...!" Suro 

Blondo terkekeh-kekeh saat melihat 

gurunya jatuh terguling-guling. 

Bibirnya mengalirkan darah. Tapi tidak 

lama kakek baju putih telah bangkit 

berdiri. Malah ia tertawa pula, seakan 

tidak merasakan sakit yang 

dideritanya. Pada dasarnya guru dan 

murid ini memang sama-sama konyol, 

sama-sama sinting dan blo'on pula. 

Sehingga walaupun Suro Blondo sendiri 

sempat merasakan dadanya seperti 

dihimpit batu ribuan kati. Ia juga 

tetap tertawa-tawa.

"Kau curang! Matahari dan 

Rembulan Tidak Bersinar bukan 

milikku." kakek baju putih bermonyong-

monyong.

"Memang! Kakek Malaikat 

Berambut Api yang mengajarkannya 

padaku! Tapi kan sama saja! Orang tua 

itu adalah guruku juga!" Suro Blondo 

pemuda bertampang tolol berambut merah 

ini usap-usap dadanya.

"Ujian dariku telah selesai, 

Suro! Pohon-pohon telah roboh, daun-

daun telah berguguran. Dan puncak 

Gunung Mahameru ini hampir runtuh!


Tapi masih ada satu ujian lainnya yang 

tidak kalah dahsyat! Kakekmu sebentar 

lagi pasti muncul di sini. Ingat di 

hadapannya kau tidak bisa cengengesan 

kayak kunyuk sebagaimana berhadapan 

denganku. Gurumu yang satu ini harus 

kau hadapi dengan serius. Kalau kau 

memang tidak ingin dikemplang kepala 

dan ditendang pantatmu."

"Saya mengerti, Guru!"

"Mengerti apa?"

"Mengerti kalau guru yang di 

hadapanku ini, gila, miring 

otaknya...!"

"Edan! Jangan sekali lagi kau 

menghinaku! Aku tidak main-main bocah 

Blo'on...!" Suro Blondo katupkan 

mulutnya ketika melihat Penghulu 

Siluman Kera Putih pelototkan mata.

"Mohon maafmu!"

"Jangan kau tunjukkan sikap 

konyolmu di depan kakekmu! Beliau 

merupakan orang yang tidak suka main-

main. Karena beliau ingin mengujimu. 

Kuharap kau lebih ber-hati-hati dalam 

menghadapinya. Salah sedikit kau punya 

badan bergerak atau menghindar. Bisa-

bisa tubuhmu terbelah dan dicincang 

jadi perkedel!"

"Jangan sampai."

"Jangan sampai apa?"

"Jadi perkedel! Aku mau jadi 

menusia saja, guru!"


"Kalau kau ingin menjadi manusia 

sejati maka kau harus membela orang 

tuamu. Kau tahu siapa kedua orang 

tuamu, Suro?" tanya Barata Surya 

sambil memandang tajam pada muridnya.

Suro Blondo mengangguk.

"Siapa orang tuamu?"

"Guru dan kakek Malaikat 

Berambut Api!"

"Buset! Goblok benar kau ini," 

maki Barata Surya. Diam-diam hatinya 

geli juga melihat ketololan muridnya.

"Kau punya kemaluan jenis apa, 

Suro?"

"Sialan! Dia bertanya yang 

bukan-bukan!" maki Suro Blondo dalam 

hati.

"Tolol! Memaki pula kau! Coba 

sebutkan?"

"Batangan, Guru!"

"Aku punya juga batangan! Kalau 

kakekmu?"

"Eee...!" Suro Blondo mengusap-

usap dadanya. "Sama batangan juga 

guru."

"Batangan lawan batangan apa 

mungkin menghasilkan kau yang bego!"

"Wah tidak tahu! Soalnya guru 

dan kakekku tidak pernah kasih tahu!" 

sahut Suro Blondo.

Sikap Barata Surya kemudian 

berubah serius. "Ketahuilah, kedua 

orang tuamu berjuluk Sepasang Golok 

Terbang! Mereka tewas di tempat


kediamannya di Gunung Bromo sesaat 

setelah melahirkan kau!" 

Suro Blondo kertakkan rahang. 

Sekujur tubuhnya menggigil dijalari 

luapan amarah. "Apakah ayah dan ibu 

tewas karena melahirkan aku?"

"Goblok! Yang melahirkan itu 

ibumu! Sedangkan ayahmu hanya 

berpartisipasi saja atas kehadiranmu! 

Ingat.... Suro. Yang membunuh orang 

tuamu adalah Kala Demit dan juga 

Sepasang Iblis Pegat Nyawa. Mereka itu 

adalah manusia-manusia berhati kejam 

yang menginginkan dirimu pada masa 

itu. Kau carilah mereka dan buat 

perhitungan yang setimpal! Jangan kau 

buat kecewa arwah orang tuamu, Suro. 

Dan selalu berhati-hatilah, karena 

mereka merupakan orang-orang sakti 

berkepandaian sangat tinggi!" Pesan 

Penghulu Siluman Kera Putih. 

Wajah Barata Surya tertunduk. 

Dilain saat matanya memandang jauh ke 

depan. Ada kesedihan membayang di 

wajahnya. Terlebih-lebih bila 

mengingat waktu berpisah di antara 

mereka semakin bertambah dekat. 

Bagaimana pun Suro Blondo adalah 

seorang murid yang sangat dikasihinya. 

Meskipun wajahnya yang tampan itu 

terkesan tolol, tapi semua pelajaran 

silat tingkat tinggi yang diberikan 

padanya dapat dipelajarinya dengan 

baik. Watak konyol, sifat sintingnya


sama benar dengan watak Barata Surya. 

Walaupun ia juga dapat bersikap serius 

berkat disiplin yang diterapkan oleh 

Malaikat Berambut Api. Namun semua itu 

tidak mampu menghapus kesan blo'on di 

wajahnya. 

"Guru sedih?"

Ucapan Suro Blondo membuat 

Barata Surya terkekeh. "Siapa yang 

sedih Suro. Siapa menangis bila 

berpisah dengan murid tolol 

semacammu!" desis kakek baju putih 

terus tertawa-tawa. Suro Blondo pun 

ikut tertawa walau tawanya terdengar 

sumbang.

Tawa mereka serta merta lenyap. 

Angin kencang menderu-deru. Lalu 

terdengar suara menggeram menyertai 

berhembusnya angin kencang itu. Barata 

Surya memandang ke arah datangnya 

badai topan dan ke arah muridnya silih 

berganti.

"Sudah waktunya Suro. Sudah tiba 

waktunya bagimu menghadapi kakekmu 

sendiri!" Tubuh Barata Surya bergetar 

hebat. Sinar putih laksana kilat 

menggebu dan mengurung sang guru. 

Dilain kejap sosok Barata Surya yang 

berujud siluman melenyap.

"Guru...!" Suro Blondo berseru 

kaget.

Dilain kejap di hadapan Suro 

Blondo berdiri seorang kakek jangkung 

berambut merah dan berbaju serba


merah. Berbeda dengan Penghulu Siluman 

Kera Putih yang kocak, konyol dan 

sinting. Sedangkan kakek berjenggot 

merah ini tampangnya dingin berwibawa. 

Dalam segala hal ia tidak pernah 

tertawa.

Suro Blondo menjura hormat. 

Sikapnya jelas-jelas tampak lucu 

sekali. Bukan satu kebiasaan yang 

dibuat-buat tapi memang begitulah 

kebiasaan pemuda itu.

"Suro! Akhir penggemblenganmu 

sudah sampai pada batasnya! Sekarang 

pergunakanlah segala yang pernah kau 

dapatkan selama ini! Huups...!" Tanpa 

banyak cakap lagi, Malaikat Berambut 

Api berteriak keras. Tubuhnya 

berkelebat lenyap laksana bayang-

bayang. Tangannya melakukan totokan ke 

batang leher Suro, kaki menendang 

keselangkangan. Serangan beruntun yang 

datang secara bersamaan ini sungguh 

dahsyat alang kepalang. Jika bukan 

Suro Blondo yang menghadapinya, 

mungkin sejak tadi tubuh orang itu 

terjengkang roboh. Jemari tangan si 

kakek yang terkembang tampak menyapu, 

membabat dan menusuk. Sambaran angin 

bersiuran dan dingin bukan main. 

Setiap pohon-pohon yang terkena 

sambaran ujung jari si kakek terbabat 

roboh seperti dipotong benda tajam. 

Dapat dibayangkan berapa dahsyatnya 

serangan kakek serba merah ini.


Menghadapi serangan ganas ini 

Suro Blondo tidak bersikap sungkan 

lagi. Ia mengerahkan jurus 'Kacau 

Balau'. Yaitu salah satu jurus yang 

pernah dipelajarinya dari kakek tua 

yang menyerangnya. Gerakan hebat yang 

dilakukan oleh Suro Blondo benar-benar 

tidak teratur. Tubuhnya huyung ke 

kanan huyung ke kiri. Tangan kanan

menderu dahsyat menghantam dada 

lawannya, sedang tangan kiri mencakar 

wajah si kakek.

"Hmm...!" Malaikat Berambut Api 

menggeram tidak jelas. Ia menarik 

kembali serangannya. Tubuh laki-laki 

ini terus berkelebat. Kaki deras 

menyambar. Dengan gerakan-gerakan yang 

semakin kacau, namun cepat luar biasa 

Suro Blondo bersalto ke belakang. 

Sehingga serangan ganas yang dapat 

meremukkan dadanya luput. Ia tidak 

sempat lagi menarik napas. Dengan 

ganas dan sambil cengar-cengir ia 

melakukan serangan balasan.

"Bagus! Hebat!" Malaikat 

Berambut Api berseru memuji. Lalu 

tangannya diputar sedemikian rupa di 

atas kepala. Sinar merah bergulung-

gulung menerjang Suro Blondo sekaligus 

menyerang dan mengepungnya.

"Huup!"

Suro Blondo menghindar ke 

samping. Tinju Malaikat Berambut Api


tiba-tiba menggebrak dadanya. Ia tidak 

menunggu, sikut kanannya menghadang.

Duuk!

Malaikat Berambut Api tertawa 

rawan. Tangannya yang membentur sikut 

muridnya tampak memerah, tubuhnya 

sempat tergetar pula. Sebaliknya Suro 

Blondo meringis kesakitan. Ia usap-

usap sikunya sebentar, lalu sambil 

cengar-cengir ia mendahului menyerang 

gurunya.

Gerakan yang dilakukan Suro 

Blondo cepat bukan main. Dalam waktu 

hanya sekejap mata pekikan-pekikan 

menggelegar laksana menghancurkan 

gendang-gendang telinga, menggetarkan 

puncak Gunung Mahameru sekaligus 

memporak-porandakan hutan di 

sekelilingnya. Inilah jurus 'Neraka 

Pembasmi Iblis' yang ganas itu. Hanya 

dalam waktu tujuh jurus setelah Suro 

Blondo mengerahkan jurus 'Neraka Pem-

basmi Iblis'. Malaikat Berambut Api 

tampak mulai terdesak. Angin kencang 

bergulung-gulung membuntal tubuh si 

kakek. Laki-laki berbaju merah ini 

ganda tertawa menyadari tubuhnya mulai 

terdorong hebat akibat gempuran 

dahsyat muridnya. Kemudian ia 

membentak. Serangan ganas dan deru 

angin kencang seakan tertahan dan 

membalik menyerang Suro Blondo.

"Gila betul!" pemuda berambut 

merah ini menggerendeng. Kakinya


setengah tertekuk ke depan. Mulutnya 

berkomat-kamit disertai menyemburnya 

suara tawa yang membuat budek gendang-

gendang telinga dan menyempitnya 

pembuluh darah.

'"Ratapan Pembangkit Sukma'...!" 

teriak Suro Blondo. Tangannya yang 

melintang ke depan dada dan diputar ke 

atas dan ke depan tiba-tiba melambai 

ke arah Malaikat Berambut Api.

"Mari kita sama-sama mengadu 

jiwa!" desis kakek berambut merah. 

Tubuhnya bergetar keras. Tangannya 

diputar sedemikian hebat laksana 

titiran. Di lain saat di tangan kakek 

tua ini terdapat sebilah senjata 

berbentuk aneh. Senjata aneh itu 

mengeluarkan bunyi seperti orang 

meratap dan menghiba-hiba. Dilain 

kejab berubah menjadi suara siulan 

atau ringkikan kuda. Sinar hitam 

dingin menggidikkan bergulung-gulung 

membentuk sebuah perisai yang sangat 

hebat.

"Hiyaa...!" Sinar putih laksana 

salju melesat dari telapak tangan Suro 

Blondo. Akibat lesatan sinar itu 

membuat suasana di sekitarnya berubah 

dingin menggidikkan. Ditambah lagi 

udara dingin yang terpancar dari 

senjata aneh warna hitam di tangan 

gurunya. Maka udara di sekelilingnya 

menghampar hawa dingin mematikan.

Bumm!


Buuummmm!

"Wuakh... celaka...!" Suro 

Blondo memekik setinggi langit. 

Pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma' 

yang dilepaskannya kandas terhantam 

senjata aneh di tangan gurunya. 

Dentuman keras akibat benturan dahsyat 

tadi membuat tanah di depan mereka 

berlubang besar. Suro Blondo 

terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya 

seperti remuk, ia masih mampu 

cengengesan.



SEMBILAN



Malaikat Berambut Api lintangkan 

senjata berbentuk aneh itu ke depan 

dada. Mulutnya menyeringai, wajahnya 

yang kemerah-merahan berubah kelam 

membesi.

"Suro Blondo! Kau memiliki 

pukulan Maha Dasyat yang kuberi nama 

pukulan 'Neraka Hari Terakhir'! Kurasa 

hanya pukulan itulah yang mampu 

menandingi Mandau Jantan di tanganku 

ini. Ini adalah senjata sakti yang 

tidak dapat dibuat main-main, Suro! 

Perhatikanlah...!" 

Suro Blondo tidak sempat lagi 

perhatikan senjata di tangan si kakek. 

Laki-laki di depannya sambil 

mengerahkan tenaga dalam ke bagian


tangannya memutar senjata berwarna 

hitam itu hingga menimbulkan angin 

dahsyat menderu-deru. Bahkan sekarang 

seluruh rambut kakek tua itu telah 

berubah merah menyala. Sadarlah pemuda 

bertampang Blo'on di depan si kakek. 

Bahwa kakek merangkap guru ini telah 

mengerahkan tenaga dalam pada puncak 

tertinggi.

"Weleh, kakek sinting itu 

rupanya benar-benar ingin membuat aku 

mampus...!" Suro Blondo leletkan 

lidah. Ia menarik kaki kirinya ke 

belakang. Tangan disilangkan ke depan 

dada dalam keadaan terkepal. Tubuhnya 

bergetar hebat ketika Suro Blondo 

mengerahkan seluruh tenaga dalam yang 

dimilikinya. Akibat pengerahan tenaga 

dalam sampai pada puncaknya disertai 

hawa amarah yang menggelagak. Maka 

secara aneh rambut Suro Blondo yang 

kemerah-merahan itu berubah merah 

bagaikan api. Itulah pukulan 'Neraka 

Hari Terakhir' yang telah siap 

dilepaskan oleh si pemuda tampan 

bertampang blo'on.

Sontak sekujur tubuhnya 

mengepulkan uap panas. Udara di 

sekitar puncak gunung hingga ke lereng 

Mahameru berubah panas seperti di 

neraka. Daun-daun berubah layu, 

berguguran akibat sengatan hawa panas 

mamatikan itu. Dalam keadaan 

berkelebat lenyap itu. Malaikat


Berambut Api menggeram. Ia babatkan 

senjata sakti Mandau Jantan di 

tangannya. Suro Blondo memekik kaget. 

Tapi cepat hantamkan kedua tangannya 

memapaki senjata maut di tangan 

gurunya. Sinar merah panas membutakan 

mata bergulung-gulung menerjang ke 

arah si kakek. Laki-laki itu segera 

merasakan bagaimana panasnya api yang 

menyengat. Ia kiblatkan Mandau Jantan 

di tangannya. Hawa dingin menghadang 

dan menghalau sinar merah 

menghanguskan yang nyaris menghantam 

tubuhnya. 

Blaar! Blaar!

Dentuman-dentuman keras 

menggelegar laksana membelah langit. 

Membuat tanah puncak Mahameru menjadi 

longsor. Pohon-pohon besar 

bertumbangan. Baik Malaikat Berambut 

Api yang rambutnya berubah merah 

memancarkan cahaya maupun pemuda 

tampan bertampang blo'on sama-sama 

terlempar jauh dari kalangan 

pertempuran. Bahkan sebagian longsoran 

tanah sempat menimbun tubuh mereka. 

Sehingga tampak hanya tinggal rambut 

mereka saja yang berwarna merah 

menyala.

"Uhuk! Uhuk...! Tobat-tobat...!" 

kata Suro Blondo yang baru saja keluar 

dari reruntuhan tanah. Sementara itu 

Malaikat Berambut Api yang juga 

mengalami nasib sama telah duduk di


atas gundukan tanah yang menguruknya 

dengan mata terpejam. Suro Blondo seka 

jidatnya yang mengucurkan keringat. 

Sebentar ia memandangi kakeknya yang 

diam tidak bergeming.

"Ufss... napasku sesak. Sekujur 

tulangku seperti mau remuk. Mata pedih 

kulit hangus. Ah... guruku apakah ia 

menderita luka dalam juga. Aku harus 

menolongnya!" Suro Blondo melompat ke 

depan. "Guru... kau...!" kata-kata 

pemuda tampan bertampang blo'on 

tertahan. Ia melihat mata gurunya 

terbuka kembali. Tatapan matanya 

memandang tajam ke arah Suro Blondo. 

Sedangkan dipangkuannya terlihat 

senjata aneh yang tadi telah 

dipergunakannya untuk menyerang Suro 

Blondo.

"Duduklah mendekat, cucuku!" 

terasa berat suara Malaikat Berambut 

Api. Pemuda berbaju biru tampak ragu-

ragu. Namun matanya tidak lepas 

memandang senjata hampir sepanjang 

pedang, namun memiliki ujung runcing 

pada punggungnya, sedangkan di tengah-

tengahnya yang berbentuk pipih 

memiliki empat lubang miring. Gagang 

Mandau Jantan seperti yang dikatakan 

gurunya tadi. Tampaknya terbuat dari 

mata akar bahar berbentuk seorang 

pertapa berkepala gundul dan mempunyai 

kuncir di atas kepala botaknya. Suro 

hanya dapat menduga, mungkin empat


lubang miring di tengah-tengah senjata 

itulah yang tadi saat dipergunakan 

mengeluarkan suara yang aneh-aneh.

"Mendekatlah kemari, mengapa 

takut?!"

Sambil menyeka keningnya yang 

terus berkeringat, Suro Blondo 

menyeringai. Ia segera duduk di depan 

kakeknya.

"Di depanku kuharap kau jangan 

cengengesan seperti gurumu yang 

sinting itu...!" kata Malaikat 

Berambut Api. Suaranya tajam, namun 

tegas. Suro katupkan bibirnya rapat-

rapat. Ia teringat pesan Barata Surya 

tentang bagaimana ia harus bersikap 

bila berhadapan dengan kakek 

kandungnya ini.

"Suro Blondo! Kau tahu mengapa 

hari ini kakekmu ini menguji segala 

kemam-puanmu yang telah kau pelajari 

dariku juga dari gurumu Barata Surya?"

"Tahu guru, eeh... Kakek...!"

"Apa?"

"Kakek mungkin mau hadiahkan 

padaku sebuah senjata aneh yang dapat 

merintih, dapat bersiul dan dapat pula 

meringkik seperti kuda!"

"Gundulmu! Bukan itu tujuan 

utama!" Malaikat Berambut Api 

mendengus gusar.

"Maaf, kalau begitu aku tidak 

tahu!" kata Suro sambil menjura lucu. 

Dewana alias Malaikat Berambut Api


geleng-geleng kepala. Sekeras-kerasnya 

Malaikat Berambut Api mendidik Suro 

Blondo dalam berdisiplin. Namun karena 

dasarnya ia memang memiliki watak yang 

kocak, konyol dan lucu. Tetap saja 

Suro Blondo menjadi dirinya sendiri. 

Belum lagi bila mengingat begitu 

dekatnya Suro Blondo dengan Penghulu 

Siluman Kera Putih yang memang miring.

"Suro! Tahukah kau sudah berapa 

tahun kau tinggal dan berguru di 

puncak Mahameru ini?"

"Ee... kalau tidak salah baru 

lima tahun!"

"Blo'on. Jangan bergurau." 

rungut kakek berbaju merah.

"Kalau tidak salah sudah hampir 

delapan belas tahun!"

"Bagus!" Malaikat Berambut Api 

tersenyum puas. "Selama itu kau sudah 

mempelajari seluruh ilmu sakti yang 

kami punya. Kau harus ingat. Bila kau 

meninggalkan puncak Mahameru ini. Maka 

orang-orang yang perlu kau cari adalah 

musuh besarmu yang telah membunuh 

kedua orang tuamu! Selain itu 

pergunakanlah segala kesaktian yang 

kau miliki untuk menolong sesama 

manusia yang membutuhkan pertolongan. 

Jangan congkak dan takabur terhadap 

apa yang kau punya. Karena di atas 

langit masih ada langit!"

Suro Blondo mendongak ke langit 

tiba-tiba. "Ah, kakekku pikun


barangkali. Sejak dulu langit cuma 

satu." membatin Suro Blondo.

"Sinting! Maksudku semuanya 

adalah perumpamaan." desis kakek 

Dewana yang seakan mengerti apa yang 

dipikirkan oleh cucunya. Suro tepuk-

tepuk jidatnya.

"Disamping itu, Suro Blondo. 

Akhir-akhir ini kudengar di puncak 

Gunung Bromo ada sekawanan manusia 

iblis yang telah begitu berani membuat 

cemar dan mengobrak-abrik tanah milik 

leluhurmu! Juga merupakan tugasmu 

untuk membasmi manusia-manusia durjana 

pemeras rakyat itu. Lakukanlah apa 

yang dapat kau lakukan. Pergunakan apa 

yang dapat dari kami untuk kebenaran. 

Apakah kau mengerti Suro?"

"Mengerti, Kek?"

"Mengerti apa?"

"Semua ilmu yang Kakek dan guru 

Barata Surya berikan kepadaku, hebat 

semua!" sahut Suro Blondo, mimiknya 

terkesan serius.

"Geblek! Sinting! Bukan itu 

maksudku!"

Pemuda bertampang blo'on usap-

usap keningnya. "Sekarang aku sudah 

mengerti apa yang Kakek maksudkan. Dan 

aku berjanji tidak akan membuat Kakek 

kecewa." kata Suro Blondo serius.

Malaikat Berambut Api, tokoh 

sakti dari pulau Seribu Satu Malam 

dari laut selatan ini terdiam. Ia


menimang-nimang senjata Mandau Jantan 

yang berwarna putih itu dari 

pinggangnya. Suro memperhatikan semua 

itu tanpa pernah berkedip sekali pun.

Sreek!

Senjata berbentuk aneh dengan 

lubang miring di tengahnya itu 

dimasukkan ke dalam rangkanya.

"Kau sudah melihat senjata maut 

tadi, Suro?" kakek Dewana memandang 

tajam pada muridnya. Suro Blondo 

mengangguk.

"Hampir tujuh puluh tahun aku 

membuat senjata sakti itu, Suro. 

Segenap kemampuan dan kesaktianku 

kucurahkan pada senjata ini. Dalam 

umur delapan puluh lima tahun. Sudah 

saatnya bagiku untuk menyerahkan 

senjata sakti ini pada orang yang 

pantas!" 

Suro Blondo tersentak kaget. 

Semula ia menyangka umur kakeknya 

paling baru lima puluh tahun. Tidak 

tahunya sudah delapan puluh lima.

"Kupesankan padamu. Rangka 

Mandau Jantan ini dapat melenyapkan 

segala macam bisa! Kau dapat 

mempergunakannya jika sewaktu-waktu 

kau benar-benar membutuhkannya. Nah 

sekarang terimalah...!" Malaikat 

Berambut Api mengangsurkan tangannya 

pada Suro Blondo.

"Guru, Kakekku! Mana berani 

aku...!"


"Goblok! Terima kataku!" bentak 

kakek Dewana, marah bukan main.

"Tapi...!" Suro masih ragu-ragu.

"Kenapa?"

"Apa aku pantas menerima 

kepercayaan ini?"

"Tentu saja. Karena senjata ini 

khusus kuciptakan untuk orang 

sepertimu. Perlu kau tahu, mulai saat 

ini karena tampangmu yang tolol itu. 

Maka kau pantas kuberi gelar Pendekar 

Blo'on...!"

Suro Blondo kerutkan kening. 

Wajahnya tampak berubah memerah. Tapi 

kemudian terdengar suara tawanya 

membahak. Tawa itu semakin lama 

semakin meninggi membelah langit. Jika 

bukan Malaikat Berambut Api yang 

berada di depan Suro Blondo. Niscaya 

orang itu terjengkang roboh akibat 

pengaruh suara tawa si pemuda.

"Diam! Kenapa kau tertawa?" 

Malaikat Berambut Api meradang. 

(Meradang = marah).

"Pendekar Blo'on... guru Barata 

Surya juga pernah berkata begitu. Aku 

setuju... ha ha ha.... Blo'on...! Tapi 

pintar...!" Suro Blondo tertawa dan 

tertawa lagi. Perutnya terguncang-

guncang. Matanya sampai terpicing 

karena geli.

Namun pemuda ini tampak terkejut 

ketika membuka mata, Malaikat Berambut 

Api sudah lenyap dari hadapannya. Suro


Blondo mencari-cari. Dikejauhan sayup-

sayup terdengar suara Dewana. 

"Aku akan pulang ke pulau Seribu 

Satu Malam. Sekarang sudah waktunya 

bagimu untuk turun gunung...!"

"Wah aku harus turun gunung. 

Bagaimana ini... ke mana perginya 

guruku, si sinting yang satunya lagi 

ke mana dia. Beliau sekarang berada di 

mana?" Suro Blondo usap-usap jidatnya 

yang keringatan. Tiba-tiba terdengar 

sebuah suara yang seakan datang dari 

sebuah tempat yang sangat jauh seperti 

dari perut gunung Mahameru.

"Anak bodoh! Jangan cuma 

celingak-celinguk seperti kunyuk! 

Lekas kau merat tinggalkan tempat 

ini! Aku sudah muak lihat tampangmu!" 

Jelas yang bicara melalui ilmu 

mengirimkan suara itu adalah Barata 

Surya, gurunya yang konyol.

"Walah! Siluman jelek! Aku sudah 

bosan mendekam terus di puncak 

Mahameru ini!" Ucapan itu disambung 

dengan suara tawa membahak yang tidak 

putus-putusnya. Hingga membuat suasana 

di sekelilingnya seperti diguncang 

petir.


SEPULUH



Adalah satu kecelakaan besar 

bagi siapa saja yang berani 

menentang kekuasaan partai Dunia 

Akhirat. Balung Raja, Braja Musti, 

Baja Geni dan Ki Rambe Edan jadi 

uring-uringan setelah membaca 

sobekan kain kuning yang dibawa oleh 

Tiga Iblis Pemburu Nyawa. Hampir enam 

belas tahun selama mereka mendirikan 

markas besar di puncak gunung Bromo. 

Belum pernah ada seorang pun orang-

orang rimba persilatan berani mengusik 

atau mencampuri sepak terjang mereka 

yang ganas. Tapi hari ini tiga 

pembantu utama telah jadi pecundang 

seorang gadis cantik yang tidak pernah 

mereka kenal sama sekali.

Sungguh pun suasana di dalam 

markas yang mirip istana kecil ini 

semakin memanas. Namun karena begitu 

banyaknya urusan yang harus 

diselesaikan oleh pentolan-pentolan 

yang tergabung dalam partai Dunia 

Akhirat. Maka mereka hanya mengirimkan 

seorang tokoh sakti bernama Braja 

Musti. Pagi-pagi sekali laki-laki ber-

tampang kejam bersenjata bola berduri 

ini dengan diiringi oleh Tiga Iblis 

Pemburu Nyawa tampak menggebrak kuda 

tunggangannya menuju daerah 

Nongkojajar. Seperti dikejar-kejar


setan mereka memacu kuda-kuda 

tunggangan itu. Setiap orang yang 

dijumpai di tengah jalan, cepat-cepat 

menyingkir saat melihat siapa para 

penunggang kuda tersebut. 

"Heya...!"

"Heya...!" suara teriakan-

teriakan menyelingi derap langkah kaki 

kuda. Debu mengepul ke udara. Semakin 

lama para penunggang kuda itu semakin 

jauh meninggalkan lereng Gunung Bromo.

Sebelum sampai di daerah 

Nongkojajar di sebuah tempat yang agak 

tersembunyi terdapat sebuah telaga 

yang cukup luas. Airnya terasa sejuk 

karena memang di atas telaga itu 

tertutup pohon-pohon liar yang cukup 

tinggi. Masih dari atas telaga, 

terdengar suara seseorang 

bersenandung. Menilik besarnya suara 

pastilah pemiliknya merupakan seorang 

gadis. Atau mungkin juga seorang 

banci, atau boleh jadi kuntilanak. 

Terlebih-lebih mengingat di daerah itu 

tidak satu pun terlihat ada rumah 

penduduk. Seorang pemuda yang baru 

saja muncul dari arah utara. Mendadak 

saja menghentikan langkahnya. Ia 

menarik napas dalam-dalam saat mencium 

bau harum yang sangat menyengat. 

Sesaat pemuda berbaju biru muda 

memakai ikat kepala warna biru belang-

belang kuning ini celingak-celinguk 

menyapu pandang tempat di


sekelilingnya. Wajah pemuda ini 

sebenarnya cukup tampan, rambutnya 

hitam kemerah-merahan. Cuma tampangnya 

seperti orang Blo'on. Lagaknya yang 

cengar-cengir menimbulkan kesan lucu 

yang polos.

"Bau wangi ini apakah bau setan? 

Tapi ada orang menyanyi-nyanyi. Ah... 

sepertinya dari sana...!" Tanpa 

prasangka apa-apa, pemuda berbaju biru 

muda ini bergerak mendatangi. Semakin 

dekat ia ke arah telaga, maka suara 

nyanyian semakin bertambah jelas, bau 

harum yang sempat terendus hidungnya 

juga semakin menyesakkan dada. Si 

pemuda yang tiada lain Suro Blondo 

alias Pendekar Blo'on segera 

bersembunyi di balik sebuah batu besar 

ketika melihat air telaga bergolak 

besar. Semula ia menyangka orang yang 

bernyanyi-nyanyi dalam telaga itu 

adalah bidadari yang baru turun dari 

kayangan. Dengan takut-takut ia 

tongolkan kepalanya. 

"Busyet! Orang itu tidak 

berpakaian. Mengapa tidak seperti aku? 

Dia punya bisul kembar di dadanya! Ini 

pasti porno. Baiknya aku cepat 

pergi...!" Dengan wajah memerah karena 

dengan tidak sengaja ia telah 

mengintip gadis cantik yang sedang 

mandi. Suro Blondo bermaksud 

meninggalkan tempat secepatnya.


Tapi celakanya kakinya 

tergelincir karena memang batu yang 

dipijaknya licin bukan kepalang.

Grosak!

"Aduh...!" Suara berisik semak-

semak dan keluhan pendekar Blo'on 

terdengar oleh gadis yang baru saja 

mengenakan pakaiannya kembali.

"Pengintip kurang ajar! Jangan 

lari...!"

"Ala emak, mati aku!" Si pemuda 

mengeluh. Setelah celingak-celinguk 

dan tidak melihat orang di situ. 

Dengan mempergunakan ilmu mengentengi 

tubuh yang sudah sangat sempurna ia 

menjejak kakinya. Tubuhnya melesat ke 

udara. Dilain saat ia telah 

bersembunyi di atas cabang pohon 

paling tinggi.

"Mudah-mudahan gadis itu tidak 

melihatku! Malu aku kalau ketahuan!" 

batin Suro Blondo.

Dugaan pemuda tampan berambut 

merah pirang ini memang tidak meleset. 

Beberapa saat tampak seorang gadis 

berpakaian serba kuning berambut 

panjang telah berdiri disitu. Matanya 

memandang berkeliling tapi ia tidak 

melihat siapa pun disitu.

"Tadi aku mendengar suara orang 

di sini! Betul... ini bekasnya...! 

Jelas-jelas ia mengintipku! Kurang 

ajar betul!" maki si gadis dengan 

wajah berubah merah jengah.


"Pengintip kudisan! Aku tahu kau 

masih bersembunyi di sekitar sini. 

Cepat tunjukkan diri kalau tidak ingin 

kupecahkan kepalamu!" 

Suro Blondo memperhatikan kulit 

tangannya. "Ah... aku tidak kudisan 

seperti yang dikata gadis itu. Kalau 

begitu pasti ada orang lain lagi di 

sini selain aku!" Suro Blondo usap-

usap keningnya yang keringatan.

Namun tiba-tiba saja pemuda ini 

jadi kelabakan ketika tangannya mulai 

diserang semut-semut merah. Semakin ia 

berusaha menahan serangan semut-semut 

itu. Maka semakin bertambah banyaklah 

makhluk-makhluk kecil ini yang 

menggigitnya.

"Celaka...!" Walau suara Suro 

Blondo tidak keras, namun cukup di 

dengar oleh gadis di bawahnya. Sontak 

ia mendongakkan kepalanya ke atas 

pohon.

"Monyet pengintip baju biru, 

harap turun tunjukkan tampang!" teriak 

gadis baju kuning sambil bertolak 

pinggang.

"Sudah ketahuan begini, terpaksa 

aku turun...!" Dengan gerakan yang 

sangat indah sekali, pendekar Blo'on 

bersalto beberapa kali. Dengan kedua 

kakinya ia menjejak persis di depan 

gadis itu. Ia usap-usap keningnya yang 

berkeringat. Lagaknya cengar-cengir.


Gadis di depannya yang semula tampak 

marah, kini malah terkejut.

"Aneh...! Pemuda ini tampan, 

tapi mimiknya tampak tolol! Lagi pula 

mengapa rambutnya bisa berwarna merah 

pirang begitu?" membatin gadis berbaju 

kuning. 

Sebaliknya Suro Blondo memandang 

ke arah si gadis tidak berkesip." 

Cantik... cantik bukan main. Kulitnya 

putih bersih, ada tahi lalat pula di 

dagunya. Siapakah dia? Apakah benar 

dia seorang bidadari?"

"Pemuda mata keranjang! Berani 

kau memandangku? Sudah mengintip 

sekarang kau melihatku begitu rupa!" 

Membentak gadis baju kuning, hingga 

membuat Suro Blondo terjingkat kaget.

"Ma... maaf Nisanak! Sebenarnya 

aku bukan mengintipmu. Aku tidak 

sengaja... sungguh...!" sahut si 

pemuda dengan mimik lucu. Sungguh pun 

ia telah berusaha bersikap serius. 

"Dusta...!"

"Aku tidak berdusta!" 

bantah Suro Blondo.

"Tampangmu saja seperti orang 

bego. Padahal kau pengintip licik! 

Rasakan nih! Hiyaa...!" Tidak banyak 

cakap, dara berbaju kuning berwajah 

cantik ini langsung kirim satu 

tendangan dahsyat ke arah dada Suro 

Blondo. Melihat angin kencang menderu 

ke dadanya. Suro Blondo yakin


tendangan yang dilakukan si gadis 

mengandung tenaga dalam tinggi. Suro 

Blondo terkesiap. Ia melompat mundur 

sejauh dua tombak.

"Nisanak! Jangan...! Kau salah 

sangka...!" Pemuda itu berusaha 

membela diri. Namun manalah gadis baju 

kuning mau mengerti. Ia terus 

menyerang bahkan sekarang mulai 

melepaskan pukulan-pukulan tangan 

kosongnya. Suro Blondo terus mengelak.

"Mengelak terus bisa kojor aku!" 

membatin si pemuda. Untuk menghindari 

serangan yang semakin bertambah ganas 

itu. Suro Blondo kerahkan jurus 'Kera 

Putih Memilah Kutu'. Spontan tubuhnya 

meliuk-liuk, gerakan-gerakan yang 

dilakukannya tidak ubahnya seperti 

tingkah seekor monyet. Terkadang 

tangannya menggaruk, kaki berjingkat-

jingkat. Atau menangkis dengan sikap 

seperti main-main.

"Bagus! Rupanya kau hanya 

sejenis kunyuk yang hanya pandai main 

sulap. Kerahkan semua yang kau punya! 

Aku ingin melihat tiga jurus di muka 

kau masih mampu melompat lompat 

seperti monyet!" bentak dara baju 

kuning marah bukan main.

"Ah... ah... jangan marah terus. 

Nisanak salah paham!"

"Persetan dengan salah paham! 

Mampus...!" Gerakan silat dara baju 

kuning berubah seketika. Jika tadi ia


menyerang dengan gerakan yang sangat 

teratur mengundang maut. Kini diawali 

dengan satu bentakan menggeledek. 

Tubuhnya berkelebat lenyap, hingga 

tinggal berupa bayang-bayang kuning 

saja. Satu hantaman keras menderu ke 

bagian wajah Suro Blondo. Ia tersentak 

kaget sekaligus menarik wajahnya ke 

depan.

"Mati aku...!" Suro Blondo 

menggerutu. Tangannya menyodok ke 

depan dengan maksud menangkis tangan 

kiri lawan yang mencengkeram bagian 

lambungnya. Namun rupanya serangan itu 

hanya tipuan belaka. Sebaliknya kaki 

dara baju kuning sudah menghantam 

perutnya. Suro Blondo tidak dapat 

selamatkan perutnya. 

Buuk!

Pemuda berbaju biru muda berikat 

kepala warna biru belang-belang kuning 

ini jatuh terguling-guling. Isi 

perutnya seperti diaduk-aduk. Anehnya 

ia masih mampu cengengesan seakan 

tidak merasakan akibat apa-apa. Selain 

kaget, gadis ini tentu saja marah 

sekali. Tendangan yang dilakukannya 

jelas mengandung tenaga dalam tinggi. 

Paling tidak pemuda tampan bertampang 

tolol di depannya menderita luka dalam 

yang tidak ringan. Tapi ternyata 

pemuda itu malah cengengesan.

Semakin panas semakin bertambah 

penasaran, dara baju kuning. Hingga


amarahnya yang meluap-luap itu 

dilampiaskannya dengan menyerang Suro 

Blondo lebih dahsyat lagi.

"Ups... tidak puaskah kau 

setelah hampir membuat remuk ususku, 

Nisanak...!" pekik Suro Blondo.

"Mana aku bisa puas kalau belum 

membuat remuk mukamu yang konyol itu!" 

bentak dara baju kuning.

"Gadis liar ini kalau belum 

kubikin kapok semakin besar kepala 

saja...!" rutuk pendekar Blo'on. Saat 

ia melihat serangah dara baju kuning 

menderu lagi menyerang sepuluh jalan 

darah. Sadarlah Suro Blondo lawannya 

tidak main-main dengan ancamannya.

"Hiiiiiit...!" disertai suara 

menggeredeng panjang. Jemari tangan si 

pemuda terpentang ke depan. Pinggulnya 

bergoyang seperti orang yang sedang 

menari. Mulutnya pletat-pletot seakan 

mengejek. Hampir sama dengan gerakan 

monyet melompat. Suro Blondo menerkam 

ke depan dengan badan setengah 

membungkuk.

Dara baju kuning terkesiap. Ia 

menyambuti cengkeraman jemari tangan 

si pemuda dengan tendangan kaki yang 

terarah pada bagian kepala lawannya. 

Gerakan yang menganggap enteng lawan 

ini segera disambut Suro Blondo 

Jab!

Tangan kanan si pemuda 

mencengkeram kaki lawannya. Kemudian


dengan tenaga kasar didorongnya kaki 

sang dara. 

"Ups...! Keparat betul...!" Sang 

dara terpaksa jungkir balik untuk 

menyelamatkan kepalanya yang terus 

meluncur ke arah sebongkah batu di

belakangnya. 

Jlik!

Kini gantian dara baju kuning 

yang terbengong-bengong. Sama sekali 

ia tidak menyangka pemuda tampan 

bertampang tolol itu dapat 

menyerangnya sedemikian rupa. Lebih 

tidak menyangka lagi, pemuda berambut 

pirang itu ternyata memiliki 

kepandaian tinggi. Jika ia memang mau 

mencelakai. Pasti sejak tadi pemuda 

itu telah mempergunakan tenaga 

dalamnya untuk mencelakai dirinya. 

Sungguh pun begitu ia masih merasa 

penasaran. Ia ingin menjajal sekaligus 

menjajaki kemampuan yang dimiliki oleh 

pemuda di depannya. Namun sebelum 

niatnya kesampaian. Ia mendengar derap 

suara langkah kaki kuda mendekat ke 

arah mereka.

"Jangan ke mana-mana, pemuda 

Blo'on. Urusan kita belum selesai. Aku 

merasa perlu mengurus kunyuk-kunyuk 

jelek berkuda yang baru datang 

itu...!" desis dara baju kuning. Ia 

memandang ke arah datangnya suara 

kuda. Sungguh pun masih agak jauh, 

namun ia sudah dapat melihat siapa


siapa saja penunggang kuda itu, 

terkecuali satu orang di antaranya ia 

memang tidak mengenalnya sama sekali.



SEBELAS



Benar saja tidak lama para 

penunggang kuda berpakaian serba hitam 

telah berhenti di depannya. Begitu 

sampai salah seorang di antara mereka 

langsung menuding dara berbaju kuning 

gading.

"Itu dia gadis liar yang telah 

berbuat kurang ajar pada kami, 

tetua...!" Yang bicara adalah Wongso 

Mendit yang bibirnya pernah disobek 

oleh sang dara saat bentrokan di 

warung beberapa hari yang lalu. Braja 

Musti, laki-laki tegap berperut buncit 

berkumis melintang macam tambang dada 

menggeram. Tenggorakannya turun naik 

setelah melihat kecantikan sang dara.

"Kulihat di tempat ini seperti 

bekas terjadi pertempuran!" Braja 

Musti yang biasanya bersikap kasar ini 

bicara pelan. Suaranya juga lunak. 

Dara baju kuning meludah ke tanah. Ia 

melihat ke arah pemuda berambut 

pirang. Tapi dara baju kuning 

terkesiap, karena melihat pemuda itu


tampan berambut merah bertampang tolol 

sudah tidak ada lagi di situ.

"Tampaknya kau kehilangan lawan, 

anak manis! Tapi kau tidak perlu 

berkecil hati! Kami pantas menjadi 

lawanmu setelah kau merobek mulut 

salah seorang anak buahku! Sebelum itu 

coba kau jelaskan mengapa kau begitu 

berani mencari penyakit mengusik 

ketentraman kami!" sambil berkata mata 

Braja Musti menjelajah lekuk liku 

tubuh si gadis dengan jalang.

"Manusia anjing kurap!" 

mendamprat dara baju kuning." Delapan 

belas tahun yang lalu, kau dan tiga 

kawanmu telah membunuh orang-orang 

hamil tidak berdosa di lereng Gunung 

Bromo. Sekarang saatnya bagimu untuk 

mempertanggung jawabkan dosa-dosa 

kalian!" Kening Braja Musti laki-laki 

berusia hampir tujuh puluh tahun ini 

berkerut dalam.

"Kau tidak perlu kerutkan kening 

segala! Berpura-pura lupa telah 

menghutang nyawa ayah ibuku!" semakin 

lantang suara sang dara. Jelas ketika 

itu ia benar-benar dikuasai amarah 

menggelegak. Seumur-umur belum pernah 

Braja Musti dibentak oleh orang lain, 

apalagi oleh seorang gadis yang tidak 

dikenalnya sama sekali. Wajahnya pun 

berubah memerah. 

"Eeh... siapakah kau...!"


"Aku Dewi Bulan! Sengaja datang 

kemari ingin mencabut nyawa empat 

tokoh sesat yang sekarang bercokol di 

puncak Gunung Bromo!"

Saat itu Suro Blondo yang 

sengaja menghindar dan bersembunyi di 

kerimbunan pohon tampak melongo. Ia 

seka keringat di dahi, matanya terus 

memandang ke bawah.

"Tidak kusangka aku mempunyai 

tujuan yang sama dengan gadis itu. 

Tapi kurasa kunyuk jelek itu bukan 

orang yang membunuh orang tuaku!" Suro 

Blondo menduga-duga. Namun kemudian ia 

teringat pesan Malaikat Berambut Api.

"Walaupun bukan pembunuh orang 

tuaku! Guru berpesan agar aku juga 

mengusir orang-orang partai Dunia 

Akhirat! Lebih baik kutunggu dulu apa 

yang terjadi."

Sementara Dewi Bulan yang 

terlihat tegang tarik urat sudah tidak 

ingin menunggu lebih lama lagi. Begitu 

membentak ia sudah lepaskan satu 

serangan dahsyat ke arah Braja Musti. 

Orang yang diserang terkekeh. Ia 

papaki serangan tangan kosong lawan 

dengan mempergunakan kaki kanan-nya. 

Serangan menyamping itu luput. Dewi

Bulan merasa gusar, tangannya tidak 

ditarik pulang tapi terus meluncur ke 

kepala kuda Braja Musti. 

Praak!


Kuda tunggangan meringkik keras.

Braja Musti hampir terpelanting jika 

saja ia tidak cepat lakukan jungkir 

balik, lalu jejakkan kaki ke tanah 

sambil memaki.

"Bocah liar! Kau akan merasakan 

betapa pedihnya siksaanku. Tapi 

sebelum kematianmu. Aku akan 

memanfaatkan kebagusan tubuhmu untuk 

bersenang-senang!" Braja Musti 

mengekeh panjang.

"Puih! Manusia hina! Mampuslah 

kau...!" jerit Dewi Bulan. Sekaligus 

menerjang, sekarang ia mengerahkan 

jurus 'Dibalik Mega Gajah Semburkan 

Air'. Segelombang angin kencang dingin 

membekukan datang bergulung-gulung 

melabrak tubuh Braja Musti. Laki-laki 

tua ini sempat terkesiap, namun tanpa 

membuang waktu lagi segera melompat ke 

samping. Lalu ia memutar tangannya ke 

arah datangnya angin serangan itu. 

Buss!

Serangan gencar yang dilakukan 

sang dara seakan tertahan. Braja Musti 

membentak. Dan tubuhnya berkelebat ke 

depan sambil hantamkan dua 

tinjunya secara beruntun. Tanpa 

ayal lagi Dewi Bulan menyambuti 

serangan itu. Saat tinju datang, ia 

menepis dengan tangan kanannya. 

Plaak!

"Iiih...!" Dewi Bulan berseru 

tertahan. Tubuhnya sempat tergetar.


Sedangkan tangan yang dipergunakan 

untuk menepis terasa panas mendenyut. 

Sebaliknya Braja Musti juga sempat 

terperangah. Ia tidak menyangka gadis 

semuda itu telah memiliki tenaga dalam 

yang sangat tinggi. Lima jurus telah 

berlalu. Braja Musti menggembor. 

Tubuhnya berkelebat lenyap laksana 

bayang-bayang. Angin kencang 

bersiuran. Sehingga dara baju kuning 

itu sekarang tampak terkurung 

bayangan hitam yang terus melancarkan 

serangan-serangan mautnya.

Tawa Dewi Bulan menggema, 

tubuhnya bersalto ke udara. Ketika ia 

berbalik ke bawah satu pukulan jarak 

jauh dilepaskannya.

Wuiss!

"Hmm...!" Braja Musti 

menggerendeng. Ia angkat tangannya 

tinggi-tinggi. Serangkum sinar panas 

datang menggebu menyongsong pukulan

yang dilepaskan oleh lawannya.

Blaar! Blaar!

Dua kali ledakan dahsyat 

terdengar berturut-turut. Dewi Bulan 

terpental sejauh tiga tombak. Wajahnya 

berubah pucat. Sebaliknya Braja Musti 

jatuh terduduk. Mulutnya menyeringai, 

dada terasa sesak seperti ditindih 

batu gunung.

Dewi Bulan bangkit berdiri, 

dengan langkah agak terhuyung-huyung 

ia mencabut pedang pendek berwarna


putih berkilauan. Saat itu Wongso 

Mendit, Lingga dan Karsa Jaliteng yang 

mempunyai dendam tersendiri terhadap 

gadis itu sudah menyerbu Dewi Bulan 

dengan pedang terhunus di tangan 

masing-masing.

"Walah ini yang namanya tidak 

adil!" gerutu Suro Blondo. Ia memutus 

empat buah ranting lalu 

menyambitkannya ke arah Tiga Iblis 

Pemburu Nyawa bersamaan waktunya 

dengan berkelebatnya pedang di tangan 

lawan-lawan Dewi Bulan. 

Traang!

Terdengar tiga kali suara 

berdentang. Tiga Iblis Pemburu Nyawa 

memekik kaget. Tangan mereka bergetar 

hebat. Hawa panas terasa menyengat 

bagian telapak tangan sehingga membuat 

pedang di tangan masing-masing hampir 

terlepas dari tangan. 

Braja Musti sendiri sempat 

tertegun melihat anak buahnya sempat 

tersentak ke belakang dan menjerit-

jerit seperti kesetanan.

Di saat itulah terlihat sosok 

tubuh berbaju biru muda melayang turun 

dari kerimbunan pohon. Ia menjejakkan 

kedua kakinya persis di samping Dewi 

Bulan. Gadis itu sempat pelototkan 

mata ketika mengenali pemuda di 

sampingnya. Suro Blondo tersenyum.

"Dalam keadaan seperti ini 

jangan kau marah padaku, Nisanak.


Musuh-musuh yang kau hadapi adalah 

musuhku juga...!" Dewi Bulan akhirnya 

hanya diam saja. Sementara Braja Musti 

sambil menggembor marah melompat 

mendekati lawannya.

"Pemuda bertampang tolol! Jangan 

campuri urusan orang lain! 

Menyingkirlah sebelum orang-orangku 

menggorok lehermu!" bentaknya dengan 

kemarahan menggelegak. 

Suro Blondo cengengesan. 

Mulutnya yang pletat-pletot menggeram: 

"Masa aku hanya diam saja melihat 

seorang gadis dikeroyok oleh empat 

monyet brewok bertampang iblis!"

"Bangsat! Siapakah kau?" 

"Mengenai siapa aku tidak 

penting!" kata Suro Blondo mengejek.

"Cuma sedekar kalian ketahui. Aku juga 

mempunyai tujuan yang sama dengan 

nisanak ini...!"

"Ha ha ha! Bocah bau ingus! Kau 

akan menyesal seumur-umur karena telah 

begitu berani mengusik kewibawaan 

kami!"

"Tetua! Mengapa harus bertele-

tele! Serahkan pada kami biar kami 

bereskan dua ekor tikus yang tidak 

tahu peradatan ini!" menyela Karsa 

Jaliteng tidak sabar.

"Bunuh mereka!" teriak Braja 

Musti.

Ini adalah perintah yang sangat 

di-tunggu-tunggu oleh Tiga Iblis


Pemburu Nyawa. Tanpa berpikir lagi, 

mereka sudah menerjang saling dahulu 

mendahului. Pedang di tangan mereka 

menderu, berkelebat-kelebat menyambar 

dengan ganasnya. Suro Blondo ganda 

tertawa. Tubuhnya melompat ke atas. 

Lalu pergunakan jurus 'Serigala 

Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'. 

Sungguh lucu dan konyol gerakan silat 

yang dimainkan oleh pemuda ini. Tapi 

setiap serangan balasan yang 

dilakukannya cukup berbahaya disamping 

mengeluarkan angin menderu-deru.

"Hiya! Nguk! Nguk...!" Suro 

Blondo melompat-lompat. Pinggulnya 

bergoyang-goyang. Tubuhnya seruduk 

sana seruduk sini. Karsa Jaliteng 

penasaran bukan main melihat 

serangannya selalu menghantam tempat 

kosong. Saat pemuda lawannya melakukan 

sergapan ke arahnya. Pedang di 

tangannya kembali menderu membacok dan 

membabat.

"Ups...!" Dengan gerakan yang 

sungguh lucu dan konyol. Suro Blondo 

berhasil mengelakkan serangan lawan. 

Tangan kanannya menjulur ke bagian 

pertahanan lawan yang lowong.

Praak!

"Akkhgh...!" Karsa Jaliteng 

melolong setinggi langit. Tubuhnya 

terbanting mukanya hancur terhantam 

pukulan lawannya. Wajah tokoh Tiga 

Iblis Pemburu Nyawa mandi darah.


Tubuhnya diam, nyawanya putus 

seketika.

Sementara itu Dewi Bulan juga 

telah berhasil mendesak dua lawannya. 

Pedang pendek di tangannya terus 

menderu-deru. Mati-matian Wongso 

Mendit dan Lingga berusaha bertahan. 

Tapi setiap ia melakukan serangan 

balasan selalu dapat dihalau oleh Dewi 

Bulan.

"Terus... terus...! Bunuh saja 

monyet jelek itu, Nisanak!" Suro 

Blondo memberi semangat. Ia bahkan 

bertepuk tangan. Melihat ini Braja 

Musti berang bukan main.

"Monyet tolol! Jangan hanya 

bertepuk tangan disitu! Makanlah 

senjataku!" Teriak laki-laki berusia 

enam puluhan ini. Bola berduri di 

tangannya menderu dan menimbulkan 

udara dingin menusuk sumsum.

"Hups! Kurang ajar. Monyet 

jelek, curang!" Suro Blondo meliukkan 

tubuhnya dengan gerakan yang sangat 

indah sekali.

Bumm!

Satu ledakan terdengar ketika 

senjata berbentuk aneh itu menghantam 

batu di belakang pendekar Blo'on. Suro 

Blondo geleng-geleng kepala melihat 

lubang besar akibat hantaman senjata 

maut lawannya.

'"Seribu Kera Sakti Mengecoh 

Harimau'...!" jerit pemuda tampan


bertampang blo'on ini. Seketika 

gerakannya berubah cepat bukan main. 

Tubuhnya bergerak laksana kilat. 

Tangan, kaki yang menendang tampak 

berubah menjadi banyak sedemikian 

rupa. Seakan tubuh Suro Blondo berubah 

menjadi ratusan mengelilingi Braja 

Musti dari segala penjuru arah.

Seumur hidup belum pernah Braja 

Musti mendapat lawan yang memiliki 

jurus seaneh ini. Sambil kertakkan 

rahang, Braja Musti semakin 

memperhebat serangannya. Tapi hanya 

dalam beberapa jurus kemudian laki-

laki ini terpelanting roboh ketika 

tersapu tendangan kaki lawannya. Dalam 

waktu bersamaan, tubuh Dewi Bulan tam-

pak berputar sebat laksana sebuah 

gading. Pedang di tangannya laksana 

kilat membacuk, menebas menusuk dan 

menghantam pertahanan lawannya yang 

sudah morat-marit.

"Hiyaa...!"

Crass! Craas!

Wongso Mendit dan Lingga tampak 

melintir tubuhnya. Tenggorokannya 

robek besar. Darah mengucur deras dari 

luka itu. Mata mereka tampak melotot 

seakan tidak percaya dengan apa yang 

mereka alami. Tubuh kedua orang ini 

langsung terguling roboh menyusul 

kawannya.

Trek!


Dewi Bulan memasukkan pedang 

pendek ke dalam sarungnya. Ia 

memandang pada Suro Blondo yang terus 

menyerang Braja Musti dengan bola 

berduri milik lawannya yang berhasil 

dirampasnya.

Entah mengapa sekarang timbul 

rasa sukanya setelah melihat kehebatan 

dan kekonyolan pemuda itu.

"Lekas bunuh monyet brewok itu. 

Ayo...!" Dewi Bulan berteriak-teriak 

ditujukan pada si pemuda. Dengan mimik 

serius, Suro Blondo terus menerjang. 

Braja Musti yang tampak selalu gagal 

melepaskan pukulan jarak jauhnya jadi 

terdesak. Geram campur marah menyatu 

dalam jiwanya. Suro Blondo yang ketika 

itu telah mengerahkan jurus tingkat 

tinggi. Yaitu jurus 'Tawa Kera 

Siluman', benar-benar sudah tidak 

dapat tertahan lagi gelombang 

serangannya. Satu ketika Braja Musti 

bermaksud merebut senjata andalannya 

kembali. Namun bersamaan dengan itu 

Bola Berduri rampasan tepat menderu ke 

dadanya. Gerakan itu cepat bukan main. 

Sehingga Braja Musti tidak mampu 

menghindarinya lagi. 

Braak!

Bola Berduri langsung amblas ke 

dalam dada Braja Musti. Laki-laki ini 

terhuyung, bibirnya mengeluarkan suara 

seperti tercekik. Tubuhnya melejang


lejang. Kemudian mati dalam keadaan 

jatuh terduduk.

"Ha ha ha! Mati...! Satu dari 

empat iblis telah mati...!"

"Kisanak! Karena kau telah 

menyelamatkan aku. Aku menganggap 

urusan di antara kita telah selesai. 

Oh ya... siapakah namamu?" tanya Dewi 

Bulan. Ditanya dengan ramah oleh gadis 

cantik yang tadi sempat hampir 

mencelakainya. Jantung Suro Blondo 

terasa dek-dekkan juga.

"Nisanak tidak marah lagi 

padaku?"

"Kalau masih marah, sudah 

kugebuk kau sejak tadi!"

Suro Blondo sebelum menjawab 

usap keningnya yang keringatan. 

"Namaku Suro Blondo!"

"Pantasan...!" Dewi Bulan 

tidak meneruskan ucapannya. 

"Pantasan apa?"

"Wajahmu ganteng tapi tampangmu 

bego...!" Dewi Bulan tersenyum. 

Sungguh mendebarkan senyumnya. Karena 

dua pipinya membentuk lesung pipit.

"Kau juga cantik! Sayang ceriwis 

dan pemarah!" sahut Suro Blondo, 

cengengesan. Anehnya Dewi Bulan tidak 

marah. Malah ia balas tersenyum. 

Sesaat ia memandangi pemuda tampan 

bertampang blo'on di depannya. 

Bersamaan waktunya Suro Blondo 

memandang pula ke wajah si gadis.


Tatapan mata mereka bertemu. Hati Dewi 

Bulan berdebar keras. Wajahnya bersemu 

merah. Ia cepat palingkan wajah ke 

arah lain.

"Suro! Maaf perjumpaan kita 

sampai di sini saja. Aku ada urusan 

mendesak di Gunung Bromo...!" Hanya 

dalam sekedipan mata saja, Dewi Bulan 

telah lenyap dari hadapannya.

"Hei... tunggu...! Aku juga mau 

ke Gunung Bromo...!" teriak Pendekar 

Blo'on memanggil. Ia pun mengejar ke 

arah lenyapnya si gadis sambil 

mengerahkan ilmu lari cepat Kilat 

Bayangan. Bagaimanakah nasib Dewi 

Bulan dan Pendekar Blo'on? Mampukah 

mereka menghadapi orang-orang yang 

telah membunuh kedua orang tua mereka?

Petualangan Suro Blondo, 

Pendekar Blo'on Mandau Jantan 

selanjutnya, dalam episode 'Bayang 

Bayang Kematian'.




                           TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar