Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka.
NERAKA GUNUNG BROMO
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : Paul.S
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam
bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Neraka Gunung Bromo
SATU
Malam satu Asyuro adalah malam
paling kramat dalam tradisi masyarakat
Jawa. Malam seperti itu merupakan
ajang bagi orang-orang tertentu dalam
mencari keberuntungan. Ada pula tokoh-
tokoh terhormat di kalangan masyarakat
yang mencuci barang-barang pusaka
simpanannya. Malam satu Asyuro malam
kramat yang mengandung banyak berkah.
Tidak heran jika kehadiran malam
Asyuro ditunggu oleh banyak orang.
Lain lagi halnya yang terjadi di
sebuah tempat yang bernama Lereng
Gunung Bromo. Seminggu sebelum malam
satu Asyuro tiba. Banyak tokoh-tokoh
persilatan yang datang dari seluruh
tanah Jawa telah berkumpul disitu.
Bahkan di antara sekian banyak
tokoh yang terdiri dari golongan hitam
dan putih ada yang datang dari daerah
lain di seberang lautan. Semula kabar
menggemparkan tentang akan lahirnya
seorang bayi di lereng Gunungg Bromo
berasal dari seorang pertapa bernama
Ki Begawan Sudra yang sudah sejak
puluhan tahun mengasingkan diri di
pantai laut selatan. Kabar tentang
akan hadirnya bayi aneh ini dengan
cepat menyebar ke seluruh penjuru
tanah Jawa. Kabar itu disampaikan dari
mulut ke mulut, bahkan mereka yang
tinggal di luar tanah Jawa juga
mendengar kabar ini.
Tidak heran jika dua hari
menjelang datangnya malam satu Asyuro.
Lereng Gunung Bromo telah dipenuhi
oleh orang-orang berkepandaian tinggi
yang menginginkan bayi ajaib tersebut.
Tidak jauh dari Gunung Bromo, bahkan
terlihat satu pemandangan yang tampak
aneh. Beberapa tokoh persilatan yang
tergabung dalam sebuah partai telah
mengumpulkan para perempuan hamil tua
yang berdiam di sekitar lereng gunung
tersebut. Tujuan mereka sudah jelas.
Jika memang bayi ajaib itu kelak lahir
disitu. Para tokoh persilatan berharap
salah satu dari perempuan yang sedang
hamil tua ini melahirkan anak yang
dianggap memiliki keajaiban itu. Kalau
hal ini sampai terjadi, maka tidak
susah-susah mereka bersaing dengan
tokoh-tokoh lain yang juga ada di
tempat itu.
Tapi mungkinkah partai
Persilatan Dunia Akhirat yang dipimpin
empat tokoh ini dapat memenuhi
ambisinya dengan cara mengumpulkan
para perempuan yang sedang dalam
keadaan hamil tua ini? Menurut pertapa
Ki Begawan Sudra tersebut. Bayi ajaib
yang akan lahir pada malam satu Asyuro
itu memiliki ciri-ciri tertentu pada
keadaan pisiknya. Antara lain ada
sebuah tahi lalat besar pada
punggungnya, kulitnya putih bersih.
Rambutnya berwarna hitam kemerah-
merahan.
Menjelang malam satu Asyuro
tiba. Suasana di sekitar Gunung Bromo
tampak gelap berselimut kabut tebal.
Padahal saat itu baru sekitar jam tiga
sore. Kabut yang menyelimuti lereng
Gunung Bromo disertai dengan
berhembusnya angin kencang seperti
badai topan. Tiba-tiba suara
halilintar menggelegar menyambar
puncak Gunung Bromo. Sehingga orang-
orang yang berada di sekelilingnya
menengadahkan wajahnya ke langit.
"Waktunya sudah hampir tiba!"
teriak salah seorang di antara empat
tokoh yang tergabung dalam partai
persilatan Dunia Akhirat.
"Apanya yang sudah tiba, Baja
Geni!" mendengus kawannya yang terus
mengawasi para perempuan yang dalam
keadaan hamil tua tersebut. "Kalian
lihat sendiri. Sejak tadi orang-orang
bunting ini hanya pipis dan berak-
berak melulu. Kurasa sampai besok pagi
pun bayi aneh itu tidak lahir!"
tegasnya sambil bersungut-sungut pada
tiga kawannya. Walaupun dalam suasana
serba menegangkan seperti itu. Namun
mendengar ucapan Balung Raja. Laki-
laki gemuk yang memiliki tingkah kocak
ini. Mau tidak mau tiga tokoh partai
persilatan Dunia Akhirat tidak dapat
menahan senyum.
Hanya laki-laki berbaju merah
dan paling tua saja yang cuma
tersenyum sebentar. Kemudian sikapnya
berubah serius tidak ketulungan.
"Sudahlah. Hentikan tawa kalian
yang jelek! Rasa-rasanya tanda-tanda
kelahiran bocah aneh itu sudah semakin
dekat. Orang-orang hamil ini harus
kita awasi dengan ketat. Jika salah
seorang di antara mereka mengerang
kesakitan. Itu tandanya mau
melahirkan!"
"Pesanmu akan kami perhatikan Ki
Rambe Edan!" sahut Baja Geni. Laki-
laki bertubuh jangkung dan berwajah
tirus, angker seperti muka setan
playangan.
"Hmm.... Lihat!" Balung Rtya
tiba-tiba saja berseru keras. Jari
telunjuknya mengarah ke salah seorang
perempuan setengah baya yang tampak
mulai mengerang-erang, tiga tombak di
depan mereka. Dengan sigap tiga orang
tokoh yang tergabung dalam partai
persilatan Dunia Akhirat segera
menyerbu ke arah perempuan itu.
Perempuan dalam keadaan hamil
tua ini terus mengerang-ngerang. Ki
Rambe Edan dengan hati berdebar-debar
segera mendekatinya. Sementara itu,
Braja Musti, Balung Raja dan Raja Geni
tampak berjaga-jaga dari segala
kemungkinan yang tidak diingini.
"Apakah kau hendak melahirkan,
perempuan istri orang?" tanya Ki Rambe
Edan sambil berjongkok di sebelah
perempuan berkebaya warna kuning.
"Tidak! Perutku mulas. Sejak
tadi aku kentut-kentut melulu. Suami!
Mana suamiku?" rintih perempuan
berkebaya kuning ini.
"Suamimu? Ha ha ha...! Suamimu
telah berangkat ke neraka duluan!"
dengus Ki Rambe Edan. "Aku tidak
membutuhkan suamimu, kau dengar? Yang
kami butuhkan adalah anakmu. Itu pun
jika kau melahirkan seorang anak laki-
laki sesuai dengan ciri-ciri anak
ajaib yang telah kami ketahui. Jika
tidak, kau dan anakmu tentu segera
menyusul suamimu ke neraka!"
Pucat wajah perempuan berkebaya
kuning ini. Kemarahan telah melanda
jiwanya. Ingin rasanya ia mencakar
wajah laki-laki bermuka jelek di
depannya. Tapi niatnya segera
diurungkan ketika menyadari bahwa
laki-laki bengis di depannya memiliki
kesaktian yang sangat hebat dan tak
mungkin lagi terlawan olehnya. Belum
lagi tiga orang kawannya yang memiliki
senjata sangat aneh bentuknya.
"Bangsat kalian semua! Anakku
tidak akan kuberikan pada manusia-
manusia iblis macam kalian!" maki
perempuan itu sambil meludahi muka Ki
Rambe Edan.
Plak! Plak!
"Aarkh...!" Perempuan malang ini
menjerit kesakitan ketika tamparan Ki
Rambe Edan menghantam wajahnya. Darah
langsung mengucur dari hidungnya. Ia
terkulai pingsan. Apa yang dialami
oleh perempuan berkebaya warna kuning
ini sempat dilihat oleh sepuluh
perempuan hamil lainnya. Mereka jadi
lumer nyalinya. Tidak sepatah kata pun
keluar dari bibir mereka. Ki Rambe
Edan bangkit berdiri. Tatapan matanya
berkilat-kilat tajam menyapu pandang
pada para perempuan yang dalam keadaan
tidak berdaya itu.
"Dengar kalian semua!" Lantang
suara Ki Rambe Edan. "Siapa saja yang
berani bertindak bodoh atau
menyulitkan kami. Kalian akan
mengalami siksaan yang sangat pedih
dari kami!"
"Betul. Kami akan mengorek perut
kalian dan mengambil jabang bayi yang
belum waktunya melek di dunia ini!"
tidak kalah seramnya. Balung Raja
menimpali.
***
Kita tinggalkan dulu kawanan
tokoh-tokoh yang sangat berambisi
untuk memiliki bayi ajaib yang berada
di lereng sebelah timur Gunung Bromo
ini. Sementara itu di lereng sebelah
barat Gunung Bromo juga sedang terjadi
ketegangan. Di tempat ini berkumpul
tokoh-tokoh sakti kelas satu. Walau
jumlah mereka tidak sebanyak yang
berada di sebelah timur. Tapi tokoh-
tokoh yang datang dari berbagai daerah
ini patut diperhitungkan. Mereka terus
bersikap waspada dan menunggu segala
kemungkinan. Di antara mereka ada yang
mengendap-endap mendekati sebuah rumah
berdinding kayu. Tapi ada juga yang
duduk ongkang-ongkang ngejelepok ke
tanah. Satu dua di antara mereka pula
yang terus menerus memandang ke atas
Gunung Bromo yang menjulang tinggi.
Di sebuah rumah yang telah
terkepung oleh beberapa orang tokoh
ini. Seorang laki-laki muda tampak
gelisah. Sesekali ia melirik ke arah
kamar di mana seorang perempuan
berusia muda dalam keadaan terbaring
dan perut membuncit. Laki-laki itu
berwajah tampan. Ia memakai baju warna
putih dengan ikat kepala warna putih
pula. Di bagian pinggangnya tersembul
sebilah gagang golok berbentuk aneh.
Gagang golok inilah yang sejak tadi
dipegangnya.
"Kakang!" rintih sebuah suara
dari dalam kamar. Laki-laki berwajah
tampan ini memasuki kamar istrinya.
Sebuah pelita dengan nyalanya yang
redup menerangi wajah seorang
perempuan berwajah cantik.
"Ada apa, Dewi?" tanya sang
suami sambil membelai-belai kening
Dewi Rini istrinya.
"Kurasa sudah hampir tiba
waktunya bagiku untuk melahirkan anak
kita, Kakang Satria!" ujar perempuan
itu melalui ilmu menyusupkan suara.
Bagaimana pun sebagai seorang
pendekar. Nalurinya mengatakan bahwa
saat itu ada bahaya besar yang
mengancam keselamatan mereka berdua.
"Tenanglah, jangan kau berpikir
yang bukan-bukan." Satria Purba
membujuk.
"Aku mendengar dan membaui
kehadiran mereka. Apakah Kakang tidak
tahu mereka sekarang telah mengepung
tempat tinggal kita ini?"
Sang suami menggeleng-gelengkan
kepala. "Menurut penyelidikanku.
Sekarang ini tokoh-tokoh persilatan
sedang berkumpul di sebelah timur
lereng Gunung Bromo ini. Bahkan
kulihat perempuan-perempuan hamil tua
yang tinggal di desa Anabrang telah
mereka kumpulkan di suatu tempat.
Kalau pun ada yang menunggu di sebelah
barat ini. Aku telah berjaga-jaga dari
segala kemungkinan! Aku takut paman
Dewana tidak mendengar kabar
menggemparkan yang terjadi akhir-akhir
ini."
"Jangan berpikir macam-macam.
Berdoalah selalu pada Tuhan agar kita
selamat dari segala macam marabahaya!"
"Kakang! Aduh perutku, Kakang...
sakit sekali...!" rintih Dewi Rini
pelan suaranya.
"Tenanglah tenang. Aku telah
mempersiapkan segala sesuatunya."
Satria Purba mengingatkan. Suami istri
yang sangat dikenal dengan 'Sepasang
Pendekar Golok Terbang' ini memang
sudah mendengar tentang ramalan Ki
Begawan Sudra satu purnama sebelum
kelahiran anaknya. Tapi mereka tidak
yakin ramalan pertapa di pantai laut
Selatan itu. Kalau pun kelak memang
terbukti, jelas mereka berharap bukan
anak mereka yang terlahir sebagai anak
ajaib.
"Konsentrasikan pikiranmu pada
kelahiran anak kita!" kata Satria
Purba sambil mengelus-elus perut
istrinya yang membuncit.
* * *
DUA
Menjelang pukul duabelas malam
tepat satu Asyuro. Di lereng Gunung
Bromo di sebelah timur terdengar suara
tangisan bayi. Bayi yang baru lahir ke
dunia berasal dari rahim seorang
perempuan yang dikumpulkan oleh partai
persilatan Dunia Akhirat. Tanpa
melihat keadaan bayi tersebut. Ki
Rambe Edan segera menyambarnya. Mereka
memang sudah berencana untuk melarikan
bayi yang baru lahir itu ke markas
besar mereka yang terletak di gunung
Sumbing.
"Kita dapat rejeki besar! Bayi
ajaib telah berada di tangan kita.
Mari kita tinggalkan tempat celaka
ini!" Ki Rambe Edan berteriak memberi
aba-aba pada kawannya. Tapi pada saat
itu dari arah lain terlihat
berserabutan orang-orang persilatan
yang memang sudah menunggu kelahiran
bayi ajaib itu.
"Serahkan anak itu padaku!"
bentak sebuah suara. Ketika Ki Rambe
Edan menoleh ke arah tersebut.
Terlihat oleh mereka seorang laki-laki
tua bertampang angker. Laki-laki itu
menyeringai dan langsung menyerang Ki
Rambe Edan yang sedang menggendong
bayi
Untuk menjaga keselamatan bayi.
Tentu saja tiga orang tokoh yang
tergabung dalam partai persilatan
Dunia Akhirat segera menghadang laki-
laki bersenjata pedang dan berbaju
merah ini dengan serangan-serangan
yang sangat ganas dan mematikan. Tapi
pada saat itu muncul lagi seorang
perempuan tua berambut panjang.
"Aku juga menginginkan bayi itu,
Setan Merah!" teriak perempuan renta
berambut panjang sambil mengibaskan
rambutnya yang menjadi senjata andalan
itu ke berbagai penjuru arah.
"Tidak kusangka, Rambut Besi
ambil bagian juga dalam perburuan ini.
Ha ha ha...!" Setan Merah tertawa
mengekeh. "Mari kita robohkan orang-
orang partai Dunia Akhirat. Jika
mereka sudah pada mampus semuanya.
Kita hanya tinggal menentukan siapa di
antara kita yang paling berhak
mendapatkan anak ajaib itu!"
"Setan sepertimu tidak mungkin
becus memelihara bayi. Akulah yang
paling pantas mendapatkan anak itu!"
Nenek Rambut Besi tertawa bekakakan
seperti kuntilanak.
"Tua peot banyak mulut! Robohkan
dulu lawan, baru kau bicara...!"
teriak Setan Merah. Ketika itu ia
sudah menyerang Ki Rambe Edan yang
dibantu dengan Balung Raja. Sedangkan
Rambut Baja berhadapan langsung dengan
Braja Musti dan Baja Geni.
"Bukan kalian saja yang berhak
atas bayi ajaib itu. Tapi, aku Gajah
Munding, juga ingin punya seorang
murid yang dapat diunggulkan kelak di
kemudian hari." Dari satu arah tiba-
tiba saja menderu angin kencang yang
disertai suara gdebak-gdebuk. Entah
pihak mana yang memulai. Tahu-tahu
pertempuran yang sangat seru tiba-tiba
saja terhenti. Mereka serentak
memandang ke arah datangnya suara aneh
yang disertai dengan hembusan angin
kencang itu. Dalam kegelapan lereng
gunung, tampak menggelinding sebuah
benda besar dengan kaki dan tangan
terlipat. Dilihat sepintas lalu benda
raksasa yang menerjang ke arah mereka
itu seperti trenggiling. Ketika benda
bulat itu sampai di tengah-tengah
kalangan pertempuran. Maka menderulah
angin laksana topan prahara ke arah
empat penjuru angin. Angin kencang
disertai hawa dingin membekukan itu
menerjang orang-orang yang sempat
terlibat pertempuran sebentar tadi.
Untung mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan yang sudah sangat
berpengalaman. Sehingga masing-masing
menyelamatkan diri. Bahkan tidak
jarang di antara mereka ada yang
melepaskan pukulan saktinya untuk
menahan gelombang serangan yang
dilakukan oleh sosok raksasa yang
berjalan dengan kedua tangan dan kaki
terlipat ini.
Buum! Buum!
Ledakan-ledakan dahsyat
terdengar dua kali berturut-turut.
Lereng Gunung Bromo seperti diguncang
lindu. Batu-batu kecil berpelantingan
ke udara. Dalam suasana gelap yang
hanya diterangi cahaya bulan purnama.
Tiba-tiba terdengar suara tawa
menggeledek. Di tengah-tengah kalangan
pertempuran tampak berdiri seorang
laki-laki bercawat putih, berambut
panjang menjela. Laki-laki bertampang
kocak ini memiliki tubuh bukan main
besarnya. Perutnya berlipat-lipat,
lehernya yang panjang tampak membulat
karena kelewat besar. Laki-laki ini
diperkirakan memiliki berat tiga ratus
kati. Semua orang yang hadir di situ
sebentar dapat melihat ketika tokoh
raksasa tertawa, perut serta dadanya
yang besar tampak bergoyang-goyang.
"Sialan! Dia benar-benar Gajah
Munding! Kawannya si Gajah Krempeng
sebentar lagi pasti datang kemari.
Bangsat! Urusan benar-benar jadi
kapiran kalau kedua manusia gajah ini
turut campur!" maki Ki Rambe Edan
dalam hati. Rupanya tokoh angkatan tua
ini sedikit banyaknya sudah tahu
kehebatan manusia kembar dari lereng
Merbabu tersebut.
Dugaan Ki Rambe Edan ternyata
tidak meleset. Tidak lama setelah tawa
Gajah Munding sirep. Di tempat itu
dari arah utara terdengar suara tawa
lain mirip suara perempuan. Kemudian
tampak pula sesosok tubuh berkelebat
mendekat. Hanya dalam waktu sekedipan
mata. Tahu-tahu di samping Gajah
Munding telah berdiri seorang laki-
laki berbadan kurus kering tidak
ketulungan.
Sama seperti Gajah Munding,
ternyata laki-laki ini pun hanya
memakai cawat putih tanpa baju.
"Ah... saudara kembarku. Di sini
sedang ada pesta gila rupanya? Kenapa
kau tidak bilang-bilang padaku?" desis
Gajah Krempeng. Matanya yang cekung
berputar-putar liar menjilati orang-
orang di sekelilingnya. "Ah... aduh...
mengapa orang bunting jelek pada
dikumpulkan di sini...?"
"Tenanglah, kurus-kurus begitu
kau pasti dapat bagian! Sekarang kita
ambil bayi ajaib itu dari tangan
mereka. Aku yang menggebuk orang-orang
jelek ini, Sedangkan kau yang ambil
bayi!"
Nenek Rambut Besi, empat tokoh
yang tergabung dalam partai persilatan
Dunia Akhirat dan Setan Merah tampak
saling pandang. Rupanya si Rambut Besi
dan Setan Merah menarik diri dari
kalangan pertempuran yang siap
berkobar. Mereka memilih menunggu
kesempatan sampai salah seorang dari
tokoh-tokoh itu mengalami kekalahan.
Baru mereka menyerang pihak-pihak yang
menang untuk merampas bayi.
"Manusia-manusia keparat! Kami
partai Dunia Akhirat tidak akan
membiarkan kalian memiliki bayi ini!"
teriak Balung Raja. Kemudian terdengar
suitan panjang. Maka dua orang
kawannya langsung mengeroyok Gajah
kembar ini dari berbagai penjuru arah.
Sementara itu Ki Rambe Edan bertindak
sebagai penyelamat bayi dan bersiap
siaga membantu kawan-kawannya jika
mereka dalam keadaan terdesak. Hanya
dalam waktu yang sangat singkat
pertempuran seru pun segera terjadi.
Sementara itu lereng Gunung
Bromo sebelah barat malam itu segera
terkoyak dengan terdengarnya suara
tangisan bayi. Suara tangisan bayi
terdengar semakin lama bertambah
semakin jelas. Satria Purba yang baru
pertama kalinya menimang anak tampak
tergopoh-gopoh mengurusi anaknya yang
baru terlahir ke dunia ini. Tapi Golok
Terbang ini tampak kaget sekali ketika
melihat rambut anaknya tampak berwarna
merah kehitam-hitaman. Selain itu pada
bagian punggungnya terlihat sebuah
topel (Tahi lalat) sebesar ibu jari.
"Ya Gusti Allah! Ramalan Pertapa
itu ternyata benar!" desis Satria
Purba dengan wajah berubah pucat. Dewi
Rini yang dalam keadaan terbaring
lemah di tempat tidur tampak heran
melihat suaminya diam mematung di
pinggir pemandian bayi yang telah
disediakan.
"Kakang! Ada apa? Bagaimana
anak kita? Laki-laki atau perempuan?"
pelan sekali suara Dewi Rini.
"Aa... anak kita laki-laki.
Dewi... ramalan Ki Begawan Sudra...
ternyata...!"
"Ternyata apa...?"
"Benar!" desis Satria Purba. Si
Golok Terbang langsung terdiam.
Sementara tangis sang bayi belum juga
terhenti. Satria Purba tiba-tiba saja
mendengar gemerisik semak-semak
terinjak oleh seseorang.
Sing! Sing!
"Jadah!" terdengar suara makian
seseorang. Rupanya jebakan yang
dipersiapkan oleh Satria Purba sejak
sore hari untuk menjaga segala sesuatu
yang tidak diingini telah melesat ke
arah sasaran. Kemudian dari arah lain
terdengar suara jerit kematian dan
suara sosok-sosok tubuh berjatuhan.
"Jadah! Sepasang Golok Terbang
telah menjebakku dengan permainan
usangnya!" maki seseorang. Setelah itu
terdengar suara mendesing yang
disertai suara menderu-deru. Pertanda
bahwa orang-orang yang berada di luar
pondok sedang berusaha menyelamatkan
diri dari serangan perangkap yang
telah dipersiapkan oleh Satria Purba.
"Ha ha ha...! Segala macam
perangkap tikus kau pasang di sini!
Aku Kala Demit mana kena dikadali!"
Suara tawa yang dilanjutkan dengan
ucapan menggeledek itu jelas-jelas
mengandung tenaga dalam tinggi. Pondok
milik Sepasang Golok Terbang bergetar
hebat. Satria Purba jadi tercekat. Ia
segera menyerahkan anak yang baru
terlahir itu ke dalam pelukan
istrinya.
"Lindungi anak kita dari tangan
manusia-manusia busuk yang berada di
luar sana!" pesan laki-laki berbaju
hijau ini. Seraya dengan cepat
melompat ke samping pintu. Dewi Rini
yang dalam keadaan lemah karena baru
saja selesai melahirkan ini tidak
mungkin dapat melakukan banyak
gerakan. Ia sendiri kemudian sambil
mendekap anaknya segera mencabut golok
yang terletak di bawah bantal.
Pada saat itu tiba-tiba saja
terdengar suara berderak pada daun
pintu. Sosok laki-laki berbadan kurus
berambut awut-awutan dan berbaju
tambal-tambalan sudah berdiri di depan
pintu.
"Ha ha ha...! Kau bersembunyi di
mana Satria Purba! Kulihat istrimu
sudah melahirkan! Cepat serahkan anak
itu padaku!" Laki-laki kurus bernama
Kala Demit ini bermaksud menyerbu ke
dalam kamar istri Satria Purba. Tapi
tiba-tiba dari samping kiri tampak
berkelebat sinar putih menyilaukan
menghantam perut dan bahu Kala Demit.
"Hanya manusia laknat saja yang
berani bertindak macam-macam di
rumahku!"
"Uts...! Gila...!" Kala Demit
berseru kaget. Ia menarik tubuhnya ke
samping. Serangan golok yang membobol
ke bagian perut laki-laki bertampang
angker ini luput. Tapi belum sempat ia
melakukan serangan balasan. Golok di
tangan Satria Purba telah menderu
mengancam kesepuluh jalan darah
lawannya. Kala Demit menggeram marah.
Ia mengibaskan tangannya ke bagian
wajah Satria Purba. Laki-laki muda ini
terpaksa tarik balik serangan untuk
menyelamatkan muka. Tapi kemudian
golok di tangannya membelok dan
menyambar bahu Kala Demit.
Bret!
"Akh! Keparat! Manusia dungu,
tolol bego! Kau benar-benar minta
mati!" bentak Kala Demit. Laksana
kilat ia melompat ke belakang. Tapi
gerakannya langsung terhalang dinding
penyekat ruangan. Sambil menotok jalan
darah pada bagian yang terluka. Kala
Demit menggembor marah. Tiba-tiba ia
mencabut senjata andalannya berupa
kebutan yang dapat berubah menjadi
kaku laksana baja. Senjata maut yang
jadi lambang kebesarannya selama
malang melintang di rimba persilatan
ini segera dikibaskan menyongsong
tusukan golok yang terarah pada bagian
lambungnya.
Angin sedingin es mengandung
racun ganas menderu laksana badai
topan prahara. Satria Purba tercekat
dan terhuyung-huyung. Ia terpaksa
menarik pulang tusukan goloknya. Untuk
melindungi diri salah satu dari
pasangan pendekar Golok Terbang ini
lepaskan satu pukulan dahsyat 'Halimun
Senja'. Seleret sinar biru disertai
hawa panas membakar langsung melabrak
kebutan milik Kala Demit.
Bum! Bumm!
"Ugkh...!" Pukulan dahsyat yang
dilepaskan Satria Purba ternyata
sebagian membalik dan menghantam diri
sendiri ketika Kala Demit secara terus
menerus hantamkan kebutannya ke depan.
Laki-laki gagah berani ini
terpelanting roboh. Tubuhnya mencelat
keluar setelah sebelumnya menghantam
dinding papan di belakangnya. Kala
Demit tertawa panjang. Walaupun Satria
Purba menderita luka dalam yang cukup
parah. Namun dengan cepat ia bangkit
berdiri dan langsung masuk ke dalam
rumahnya melalui dinding yang bobol.
TIGA
Braak! Braak!
Pintu bagian belakang pondok
pada waktu bersamaan juga hancur
berkeping-keping. Dua orang laki-laki
berbadan katai berambut di kuncir ke
atas tampak menyunggingkan senyum ke
arah Kala Demit yang sedang tampak
terkesima karena melihat Satria Purba
ternyata masih hidup bahkan sekarang
menyerangnya kembali dengan jurus-
jurus golok Terbangnya yang sangat
berbahaya.
"Hu huhu...! Ternyata nasib kami
lebih bagus dari nasibmu, Kala Demit!
Silakan kau main-main dengan Golok
Terbang! Sementara kami dengan bebas
membawa bayi ajaib itu!" dengus salah
seorang dari manusia katai itu. Tubuh
mereka tiba-tiba berkelebat ke dalam
kamar di mana Dewi Rini berada. Kala
Demit marah bukan main. Ia bermaksud
mengejar dua manusia cebol itu. Tapi
tekanan serangan gencar yang dilakukan
Satria Purba, juga perlu
diperhitungkannya. Akhirnya ia hanya
mampu memaki panjang pendek.
"Dua katai bangsat! Jika kau
bawa anak ajaib itu. Kau dan
kembaranmu akan kubuntungi kepala dan
kaki!" Untuk yang kesekian kalinya
Kala Demit mengebutkan senjatanya.
Sementara itu, sebelum kedua
manusia katai sampai di kamar Dewi.
Dari arah barat tampak melesat cahaya
putih seperti meteor. Cahaya putih
menyilaukan mata itu kemudian tampak
berputar-putar di atas atap rumah
Sepasang Pendekar Golok Terbang.
Kemudian ketika sinar seperti bintang
berhenti di tengah-tengah bubungan
rumah. Maka satu larik sinar kecil
berwarna sama menembus ke dalam pondok
dan langsung menyinari sosok bayi yang
tidak lagi menangis di samping Dewi.
Keanehan terjadi. Sinar yang hampir
tidak dapat dilihat kasat mata itu
tiba-tiba menggerakkan bayi. Kejadian
itu tidak sempat dilihat Dewi. Karena
perempuan muda yang baru melahirkan
ini langsung menerjang sepasang
manusia Katai yang tiba-tiba saja
muncul di dalam kamarnya.
"Manusia-manusia iblis! Apa saja
kerjamu di sini!" dengus Dewi Rini
yang sama sekali tidak kenal dengan
dua laki-laki asing ini.
"Serahkan anakmu! Jika kau ingin
selamat!" perintah salah seorang di
antaranya.
"Makan senjataku!" teriak Dewi
Rini. Secepat kilat tubuhnya telah
melesat ke depan. Golok di tangannya
dua kali lebih cepat bergerak menebas
ke bagian dada kedua laki-laki katai
ini.
Sekejap mereka sempat terkesiap.
Tapi dengan sangat mengagumkan mereka
merundukkan kepala sambil hantamkan
satu jotosan ke dada Dewi.
Cras!
Sebagian kuncir salah satu
manusia katai ini rontok tersambar
ketajaman golok di tangan Dewi. Katai
muka kuning mengeluarkan seruan
tertahan. Untung hanya rambutnya yang
terpotong, jika lehernya. Tentu katai
muka kuning sudah tergusur ke neraka.
Setelah Dewi Rini merasa gagal
hantamkan goloknya ia cepat bersurut
langkah. Serangan katai muka merah
luput. Hal ini membuatnya marah bukan
main. Denganberingas ia menerjang
lawannya dengan serangan menggeledek.
Dewi yang dalam keadaan lemah ini
mati-matian mempertahankan diri.
Sementara tanpa sepengetahuan
mereka yang terlibat pertempuran. Bayi
yang baru berumur beberapa jam ini
secara aneh tampak merangkak menuruni
ranjang. Setelah itu seperti menyadari
adanya bahaya yang menghadangnya. Ia
terus menelusup ke tempat-tempat gelap
di dalam ruangan. Sesekali matanya
berkedip-kedip. Seberkas sinar putih
terus menerus membimbingnya. Dengan
cara merangkak seperti anak yang telah
berumur delapan bulan. Ia menyelinap
di balik pintu. Kemudian merangkak
terus sampai di pintu belakang yang
hancur berantakan. Sampai di depan
pintu belakang. Ia celingak celinguk.
Selanjutnya merangkak lagi menuju
kegelapan malam lereng Gunung Bromo.
Disaat itulah cahaya putih
seperti meteor tampak berpedar-pedar.
Cahaya itu bergerak mengikuti ke mana
bergeraknya bayi. Kilat tiba-tiba
menyambar. Cahaya putih memijar dan
membentuk sosok tubuh seorang laki-
laki. Laki-laki berbaju serba putih
yang seakan datang dari langit ini
melesat ke permukaan lereng dan
langsung menyambar si bayi. Bayi itu
kemudian di dukungnya. Seraya tertawa-
tawa seperti orang linglung. Matanya
meneliti bayi yang ada dalam
gendongannya. Dan setelah mengetahui
keadaan si bayi. Gema suara tawanya
semakin memanjang.
"Ha ha ha. Ilmu Penuntun Sukma
telah membuatmu selamat calon
muridku!" kata laki-laki berambut,
berjambang dan berjenggot serba putih
ini sambil berlari menuju ke jurusan
utara.
Sementara itu di dalam pondok
pertarungan seru masih terus
berlanjut. Satria Purba ternyata telah
mengalami luka-luka di sekujur
tubuhnya. Bahkan kemudian satu
tendangan telak menghantam remuk
dadanya. Sehingga membuat laki-laki
ini jatuh tergelimpang dengan mulut
menyemburkan darah. Kala Demit yang
dilanda kemarahan setan rupanya tidak
mau bertindak tanggung-tanggung. Ia
mengebutkan senjatanya ke wajah Satria
Purba.
Craas!
"Akggh!" terdengar suara jeritan
Satria Purba yang sedemikian
menggidikkan. Dewi yang sedang
bertarung menghadapi dua manusia katai
sakti ini rupanya sempat mendengar
suara jeritan suaminya. Walaupun
tubuhnya yang dalam keadaan lemah dan
terluka parah ini sudah tidak
memungkin untuk bergerak. Namun tanpa
menghiraukan lawan-lawannya ia meluruk
ke depan.
"Kakang!" jeritnya ketika
melihat keadaan suaminya tewas secara
menggenaskan. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh kedua manusia katai
yang dikenal dengan julukan 'Sepasang
Iblis Pegat Nyawa'. Laksana kilat
mereka menyambitkan senjata rahasianya
berupa gigi-gigi ulat berbisa ke arah
Dewi.
Wuss!
Dewi yang kurang kontrol dan
berada dalam belenggu kesedihan ini
sudah tidak dapat menghindari serangan
gelap itu. Ia pun hanya mampu
menjerit. Tubuhnya ambruk jatuh di
atas mayat suaminya.
"Kau satu aku satu! Sekarang aku
inginkan bayi itu!" kata Kala Demit.
Ia kemudian memasuki kamar Dewi.
"Celaka! Bayi itu sudah tidak
ada di sini!" teriak salah seorang
manusia katai tersebut tanpa
menghiraukan ucapan dan kehadiran Kala
Demit yang juga telah berada di dalam
ruangan yang sama.
"Bagaimana mungkin hal ini
dapat terjadi, Adi?" desis katai muka
merah pada katai muka kuning yang juga
tampak tercengang.
"Mana mungkin bayi dapat hilang
begitu saja! Kalian pasti telah
bersekutu dengan orang lain untuk
menguasai bayi itu!" bentak Kala
Demit. Rupanya ia merasa curiga.
"Demit jelek. Jangan kau berani
membentak kami! Aku datang kemari
bersama adikku! Ketika kami bertarung
dengan istri pendekar Golok Terbang
bayi itu masih berada di tempat
tidur," bantah katai muka kuning
berang.
"Tolol semua!" rutuk Kala Demit.
Ia sendiri mulai memeriksa ke dalam
ruangan-ruangan lain bahkan sampai ke
bawah kolong. Tapi bayi yang
diinginkannya tetap tidak dijumpai.
"Mungkin seseorang telah
melarikannya! Kita harus melakukan
pengejaran, Kakang!" Katai muka kuning
sudah tidak sabar lagi.
"Kita periksa dulu sekitar
sini!" teriak muka merah.
Pada saat mereka saling
bersitegang seperti itulah tiba-tiba
terdengar seruan kaget seseorang.
"Oh.... Gusti Allah...!
Rupanya aku benar-benar datang
terlambat...! Kedua ke-ponakanku!
Hmm... siapa orangnya yang telah
berani bertindak lancang dan gegabah
ini...!" Suara seruan itu pertama
datang dari jarak yang cukup jauh.
Namun ketika kedua manusia katai dan
Kala Demit mengintip ke pintu depan
melalui sebuah lubang. Maka di depan
pintu telah berdiri seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berambut
serba merah.
"Malaikat Berambut Api...!"
desis mereka hampir serentak. Tampak
jelas ketiga wajah manusia iblis ini
berubah pucat.
"Bayi tidak kudapat. Daripada
mati di tangannya, lebih baik aku
mencari selamat." membantin Kala Demit
dalam hati. Tiba-tiba saja ia melesat
meninggalkan kamar Dewi diikuti oleh
sepasang Iblis Pegat Nyawa. Gerakan
melarikan diri yang sangat luar biasa
cepatnya ini sempat terlihat oleh
kakek berambut dan berpakaian serba
merah ini. Namun ketika ia hendak me-
lakukan pengejaran. Gerakannya segera
tertahan saat mendengar suara rintihan
Dewi. Dengan hati terharu biru, si
kakek datang menghampiri dan langsung
berjongkok di samping keponakannya dan
dalam keadaan tumpang tindih.
Malaikat Berambut Api di pulau Seribu
Satu Malam yang terletak di tengah-
tengah laut pantai selatan ini segera
menelentangkan Dewi.
Ia memeriksa keadaan
keponakannya ilu. Gelengan kepala
disertai desisan lemah keluar dari
bibirnya yang tertutup kumis serba
merah.
"Racun yang terdapat dalam
senjata rahasia gigi ular berbisa
telah memenuhi jantungnya. Celaka...
aku tidak mungkin dapat menyelamatkan
jiwanya lagi." desis si kakek bersedih
hati.
"Katakan Dewi! Aku telah
mengetahui orang-orang yang telah
mencelakai dirimu dan juga suamimu.
Penciumanku tidak dapat ditipu. Tapi
ke mana anakmu?"
Mata Dewi yang terpejam dan
kehilangan cahayanya tampak meredup.
Wajahnya berwarna biru. Diambang ajal
ia tetap berusaha tabah.
"Pp.... Paman.... Ramalan Ki
Begawan Sudra itu... ternyata memang
terbukti. Hekh... ciri-ciri anakku
sama persis dengan apa yang
dikatakannya. Si... sinar put...
tih... hanya dia yang dapat bergerak
seperti cahaya.... Carilah Siluman
Kera Putih. Dia yang telah membawa
anakku.... paman...!" Kepala Dewi Rini
terkulai. Malaikat Berambut Merah yang
jarang bicara dalam hidupnya tundukkan
kepada dalam-dalam.
"Orang-orang berjiwa serakah
telah membunuh keponakanku. Ternyata
sebagai seorang paman aku tidak dapat
menjadi pelindungnya. Gusti Allah...!
Pada arwah leluhurku dan leluhur
kakangku... maafkan adikmu ini. Satu
kepercayaan telah kulalaikan. Aku
teledor, hingga membuat jiwa-jiwa yang
tidak berdosa ini terenggut.
Anaknya... cucuku...! Tidak akan
kubiarkan lagi siapa pun yang
menyentuhnya. Lecet Baja kulit cucuku.
Siluman Kera Putih benar-benar akan
kubuat mampus!" desis Malaikat
Berambut Api yang mempunyai nama asli
Dewana ini dengan hati masgul. Mayat
Sepasang pendekar Golok Terbang ini
didukung di bahu kiri dan kanan. Tidak
lama kemudian tubuhnya bergerak menuju
pulau Seribu Satu Malam untuk
menguburkan mayat keponakannya.
Di tengah-tengah perjalanan,
tidak henti-hentinya Dewana menggerutu
dan menyesali diri. Dalam keadaan
berlari cepat itu, ia tidak henti-
hentinya memaki dirinya sendiri.
"Manusia-manusia edan! Kalian
semua akan celaka. Berani menyentuh
keponakanku berarti kematian. Jika
telah membunuh seperti ini berarti
tidak ada ampunan dunia akhirat!"
Malaikat Berambut Api terus
berlari laksana terbang. Sama sekali
ia tidak menghiraukan suasana di
sekelilingnya yang gelap gulita.
Sekarang sudah tersusun rapi dalam
benaknya, setelah selesai mengubur
kedua keponakannya itu ia akan
mengejar Siluman Kera Putih yang
berdiam di Gunung Mahameru.
EMPAT
Di lereng Gunung Bromo sebelah
timur pertempuran sengit terus
terjadi. Empat tokoh yang tergabung
dalam partai Dunia Akhirat terus
berusaha merobohkan dua lawan tangguh.
Namun tampaknya Gajah Munding dan
adiknya Gajah Krempeng bukan lawan
sembarangan. Terbukti setelah dua
puluh jurus berlalu. Empat tokoh
partai Dunia Akhirat mulai terdesak
hebat. Padahal waktu itu Balung Raja,
Ki Rambe Edan, Braja Musti dan Baja
Geni telah mengerahkan senjata andalah
masing-masing. Hebatnya kedua manusia
Gajah yang satu berbadan seperti
raksasa dan satunya lagi berbadan
kurus macam tengkorak hanya
mempergunakan tangan kosong dalam
menghadapi serangan gencar mereka ini.
"Rampas bayi itu, Saudara kurus!
Kita tidak punya banyak waktu untuk
melayani manusia-manusia tolol ini!"
teriak Gajah Munding keras bukan main.
"Tenang saja! Aku segera
melakukannya," sahut Gajah Krempeng.
Tubuh kurusnya tiba-tiba melesat ke
arah Ki Rambe Edan yang membawa bayi
dengan kecepatan laksana terbang.
"Bangsat! Jangan mimpi! Makan
nih...!" Ki Rambe Edan hantamkan
pedang di tangannya ke arah kepala
Gajah Krempeng. Laki-laki ini tanpa
diduga-duga bersalto ke udara. Dalam
gelapnya malam Gajah Krempeng yang
langsung menjejakkan kakinya di bahu
Ki Rambe Edan lakukan dua totokan
berturut-turut.
Totokan yang dilakukan Gajah
Krempeng langsung pada bagian pusat
gerak dan suara. Hingga membuat tubuh
laki-laki itu tidak dapat bergerak
lagi. Kesempatan itu dipergunakan oleh
Gajah Kurus untuk merebut bayi dari
tangan Ki Rambe Edan. Setelah
mendapatkan bayi, Gajah Krempeng
langsung berkelebat pergi. Dikejauhan
sayup-sayup terdengar suara Gajah
Krempeng memanggil saudaranya si Gajah
Munding.
"Tinggalkan pertempuran gila!
Aku sudah dapatkan bayi ajaib!"
Gajah Munding tertawa mengekeh.
Ia melepaskan dua tendangan dahsyat
berturut-turut. Lawan menyadari betapa
berbahayanya serangan manusia raksasa
yang bernama Gajah Munding itu.
Sehingga hampir bersamaan mereka
melompat mundur sejauh tiga langkah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Gajah Munding. Tubuhnya yang sangat
besar itu langsung terlipat dan
menggelinding cepat bagaikan meteor.
"Kejar pencuri bayi!" teriak
Balung Raja pada kawan-kawannya. Tapi
dari arah kiri mereka tiba-tiba
terdengar suara gelak tawa disertai
caci maki seseorang.
"Hik Hik Hik! Orang-orang tolol!
Mengapa mencari susah dengan mengejar
dua gajah setan! Pekerjaan itu hanya
sia-sia. Mereka bukan melarikan bayi
ajaib... paling-paling juga bayi
kudisan! Lihat kawan kalian yang telah
jadi patung...!"
"Eeh...!" Braja Musti melengak
kaget. Cepat ia palingkan muka ke arah
lain. Di sebelah kiri mereka terlihat
Ki Rambe Edan berdiri tegak dengan
posisi tangan seperti menggendong
bayi. Sungguh menggelikan keadaan
tokoh tua ini. Tapi bila mereka ingat
kehebatan dan kepandaian yang dimiliki
kakek tua ini. Maka mereka jadi
terkejut. Gajah Krempeng diluar
sepengetahuan mereka rupanya dapat
menjatuhkan Ki Rambe Edan. Jika Gajah
Krempeng dapat menjatuhkan Ki Rambe
Edan dengan cara sedemikian mudahnya.
Tentu Gajah Krempeng pastilah bukan
manusia sembarangan.
"Bebaskan totokannya!" teriak
Baja Geni memberi perintah pada
kawannya. Balung Raja segera
menghampiri Ki Rambe Edan. Sementara
itu Baja Geni melompat ke depan Setan
Merah dan Rambut Besi yang masih tetap
berdiri di situ sambil tersenyum-
senyum mencemooh.
"Setan Merah! Rambut Besi! Apa
yang kalian berkata tadi? Apakah bayi
yang dilarikan oleh Gajah Munding dan
saudaranya bukan bayi ajaib seperti
yang dikatakan oleh pertapa laut
selatan?"
"Hik hik hik!" Rambut Besi
menyambuti dengan tawa.
"Hek! Ha ha ha...! Orang-orang
goblok tolol! Kalau kau mau tahu, bayi
yang dibawa kabur oleh Gajah Munding
hanya bayi biasa. Rambutnya tetap
hitam, bukan merah. Punggungnya dalam
keadaan mulus tanpa tahi lalat...!"
"Kalian dusta!" bentak Baja
Geni. Ia memang merasa penasaran
bahkan mulai ragu-ragu ketika dua
manusia di depannya memberi
peringatan.
"Goblok tolol! Dusta dan tidak
bohong sama-sama tidak ada untungnya
bagi kami. Saudara bukan, anak bukan!
Mau kalian kejar bayi kudisan itu aku
tidak perduli! Bukankah begitu, Rambut
Besi?" dengus Setan Merah. Ia
berpaling pada perempuan tua yang
sedang memonyongkan mulutnya.
"Bodoh amat! Daripada tarik urat
dengan tokoh-tokoh dari partai celaka,
lebih baik kucari bayi aneh itu di
tempat lain di sekitar Gunung Bromo
ini!" Sekali menjejakkan kakinya.
Perempuan renta berambut panjang
menjela ini sudah lenyap dari hadapan
mereka.
"Hmm. Monyet kurus rambut besi
boleh juga dipercaya! Aku pun tidak
berlama-lama di sini. Orang-orang
bunting itu hanya mengingatkan aku
pada nenekku yang sedang hamil tua!"
Setan Merah. Laki-laki berbaju merah
dan memiliki kepandaian tinggi ini
pencongkan mulutnya. Dari sela-sela
bibirnya meluncur air ludah menderu ke
arah Baja Geni.
"Terima oleh-olehku!"
"Kurang ajar!" Baja Geni
hantamkan tangannya ke arah air ludah
yang meluncur ke bagian wajahnya.
Ludah yang melesat dari mulut Setan
Merah tertahan dan memercik ke seluruh
penjuru arah. Tapi ada juga di
antaranya yang mengenai baju Baja
Geni. Hingga membuat laki-laki itu
menyumpah serapah. Dikejauhan
terdengar suara Setan Merah sayup-
sayup di telinga Baja Geni.
"Seumur-umur kalian menunggu
para perempuan itu melahirkan. Kalian
tidak mungkin mendapatkan apa-apa.
Tampaknya bayi ajaib telah terlahir di
sebelah barat sana. Orang partai Dunia
Akhirat? Apakah kalian tetap mengharap
bayi dari perempuan hamil yang kalian
kumpulkan? Tunggulah sampai dua
purnama mendatang. Mudah-mudahan
perempuan-perempuan itu melahirkan
taik yang lebih besar...!"
"Bangsat rendah!" maki Ki Rambe
Edan yang baru saja terbebas dari
totokan menggembor marah. "Gajah
Krempeng! Suatu saat nanti aku cincang
tubuhmu yang cuma rongsokan itu!"
"Sudahlah! Para kurcaci itu
tidak ada di sini! Mereka membawa bayi
biasa. Sekarang apa yang harus kita
lakukan terhadap perempuan itu?" tanya
Brcna Musti seakan tidak sabar lagi.
"Ya... apa yang harus kita
lakukan? Sebentar lagi fajar segera
terlihat. Kurasa malam satu Asyuro
sudah hampir berakhir. Dan kita tidak
mendapatkan apa-apa."
"Hmm. Aku pun yakin tentang hal
itu. Kalau perempuan-perempuan hamil
ini tidak ada gunanya. Untuk apa susah
payah. Lebih baik kita bunuh mereka
semua!" Ki Rambe Edan dengan kejam
memutuskan.
"Ya.... Aku setuju mayat-mayat
mereka kita buang di jurang sebelah
sana. Mungkin dalam waktu yang singkat
kita dapat menjadikan tempat ini
sebagai markas."
"Bagus! Aku setuju, Braja Musti.
Tapi kudengar-dengar di sebelah barat
lereng gunung ini berdiam sepasang
Pendekar Golok Terbang. Kita harus
menyelidik apakah mereka masih tinggal
di daerah ini atau tidak. Jika memang
tidak, kita dapat memulai segala
sesuatunya dari sini." Ki Rambe Edan
menimpali.
Ketika itu Baja Geni segera
memberi isyarat pada dua orang
kawannya untuk membantai para
perempuan malang yang dalam keadaan
hamil tua tersebut.
"Kalian dikumpulkan di sini
ternyata merupakan orang-orang yang
tidak mempunyai guna sama sekali.
Malam ini adalah malam terakhir kalian
dapat melihat dunia!" desis laki-laki
tertampang sadis ini.
Sreek!
Baja Geni dan kawannya mencabut
senjata di pinggang masing-masing.
Para perempuan yang tidak berdaya ini
ketakutan setengah mati.
"Ja... jangan bunuh kami...!
Kasihanilah selembar nyawa kami,
Tuan?" rintih para perempuan itu
ketakutan. Tubuh mereka menggigil,
terlebih-lebih setelah melihat kilatan
senjata di tangan orang-orang di
depannya.
"Nyawa kalian memang cuma
selembar. Kalau kalian punya
berlembar-lembar pun kami tetap akan
mencabutnya?!" Balung Raja mendengus
sinis.
"Hiya...!" pedang di tangan
laki-laki itu tiba-tiba saja menderu
dahsyat. Jerit serta lolong kematian
pun menggema menyambut datangnya sang
fajar. Darah membasahi rumput-rumput
berembun. Tubuh-tubuh malang ini
tersungkur mandi darah dengan luka-
luka sungguh sangat mengerikan. Braja
Musti, Balung Raja dan Baja Geni
tergelak-gelak melihat orang-orang
yang tidak berdosa itu meregang ajal.
Dari tempat yang agak jauh Ki Rambe
Edan menyeringai puas melihat
pembunuhan yang dilakukan oleh kawan-
kawannya. Semburat merah mulai
terlihat di langit sebelah timur.
Lereng Gunung Bromo berubah sunyi,
seakan tidak pernah terjadi apa-apa di
situ. Mayat-mayat bergelimpangan
tampak mulai membeku.
***
Waktu terus bergulir tanpa
menunggu. Malam satu Asyuro beberapa
minggu telah terlewatkan. Namun tidak
seorang pun yang dapat melupakan
peristiwa tragis yang terjadi di
Gunung Bromo. Bahkan tokoh-tokoh
persilatan yang merasa gagal men-
dapatkan bayi ajaib itu. Tetap
menunggu kabar dan mencari kesempatan
ingin memiliki bayi itu. Hanya kabar
yang mereka tunggu tidak kunjung
datang. Tidak seorang pun di antara
mereka yang tahu, di mana dan di
tangan siapa bayi ajaib itu berada.
Gunung Mahameru dalam ketinggian
dua ribu lima ratus kaki lebih. Hampir
setiap saat selalu berselimut kabut
tebal. Hampir seluruh lerengnya
ditumbuhi dengan berbagai jenis pohon
pinus membaur dengan pohon-pohon
lainnya. Tidak seorang dari kalangan
manapun yang berani datang atau
menjarah tempat itu. Konon gunung Ma-
hameru selain sangat angker, juga
didiami oleh dedemit dan makhluk
halus. Anehnya walaupun tidak
kelihatan ujudnya. Hampir setiap saat
dari pagi sampai menjelang sore.
Sepanjang lereng melingkar selalu
terdengar suara jeritan-jeritan kera.
Masih di daerah sekitar lereng.
Di sebuah tempat yang membentuk
cekungan. Terlihat sebuah pondok jati
yang agak terlindung dari pepohonan.
Di depan pondok terdapat sebongkah
batu besar dan datar pada
permukaannya. Di atas batu itulah
seorang laki-laki berbaju putih,
bercambang, jenggot dan berambut serba
putih duduk bersila sambil menimang-
nimang bayi di tangannya. Laki-laki
ini tampak terus tertawa-tawa seperti
orang sinting. Karena agaknya ia
memang merupakan orang sinting.
Anehnya bila ia tertawa, bayi dalam
pangkuannya yang sedang menangis itu
hentikan tangisnya seketika.
"Ah... ha ha ha...! Bayi bagus!
Tulang-tulangnya juga bagus untuk
kujadikan manusia sakti. Aku
beruntung. Tapi... bayi ini mengapa
rambutnya kemerah-merahan? Ada tahi
lalat besar di punggungnya. Mukanya
memang ganteng, tapi...
kelihatannya... seperti orang tolol!
Kayak orang bego, Blo'on...! Eh...
bayi baru dua minggu bisa tertawa.
Senang, ya... apakah senang kau jadi
orang blo'on? Eeh... dia tertawa lagi.
Waduh apa ini hangat-hangat...!" Laki-
laki bertampang seperti monyet ini
meraba bagian depan celananya. Basah.
"Hah...!" Si Orang tua mendelik.
"Kau... kau kencingi aku! Kurang ajar,
kau kencingi aku!" Seakan mengerti
bayi berambut kemerah-merahan itu
tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.
Semakin lama tangisnya semakin keras,
hingga membuat si kakek jadi
kebingungan.
"Cup... diam, ya... akh, rupanya
kau tahu aku ngomel. Uuh... bukan kau
yang kencing. Ya.. ya... bukan kau
yang kencing. Aku yang kencing. Tua
bangka ini yang kencing di celana. Ha
ha ha Kakek bertampang seperti kera
putih tergelak-gelak. Aneh, bayi laki-
laki itu tiba-tiba hentikan tangisnya
dan ikut pula tertawa.
LIMA
Kakek berbaju serba putih yang
tidak lain penguasa seluruh Siluman
Kera Putih ini terus tertawa-tawa.
Perutnya terguncang-guncang. Air mata
terus mengalir dari sudut-sudut
matanya akibat tawa yang tiada henti.
"Kau... ha ha ha...! Kau ini
lucu, bocah mungil yang lucu. Aku suka
bayi lucu sepertimu. Tampangmu blo'on
tapi aku yakin tersimpan kecerdikan di
dalam benakmu, nah... nah matamu
bilang begitu.,.!" Siluman Kera Putih
hentikan tawa dan ucapannya. Ia
mendengar siluman siluman kera yang
merupakan rakyatnya memberi isyarat-
isyarat khusus padanya. Ini merupakan
satu pertanda ada orang lain di
sekitarnya. Tapi sungguh aneh,
makhluk-makhluk lelembut itu mengapa
tidak menyerang pendatang yang belum
terlihat olehnya. Bahkan Penghulu
Siluman Kera-Kera Putih melihat
makhluk-makhluk dalam kegelapan itu
seperti ketakutan.
Angin kencang laksana topan
tiba-tiba saja menderu hebat. Dari
satu arah terdengar suara orang
menggumam. Jelas suara yang
didengarnya mengandung tenaga dalam
yang sangat tinggi. Sehingga Siluman
Kera Putih terpaksa tertawa-tawa untuk
menghilangkan pengaruh getaran suara
gumaman tersebut.
"Penghulu Siluman Kera Putih!
Barata Surya penguasa alam kegelapan
di gunung Mahameru. Kuharap kau mau
menyerahkan anak itu padaku sebagai
orang yang berhak merawat dan
membesarkannya! Kalau tidak jangan
salahkan aku jika seluruh siluman di
sini habis kubinasakan!"
"Eeh... siapakah orang itu?
Semestinya ia tidak dapat melihat
keberadaanku di sini, karena perisai
gaib yang kumiliki!" desis Barata
Surya terheran-heran. Dengan cepat ia
bangkit berdiri. Bayi dalam
gendongannya di dekapnya erat-erat.
Seakan ia tidak ingin berpisah dengan
bayi lucu dalam gendongannya.
"Seluruh tokoh rimba persilatan
di permukaan bumi ini mungkin tidak
dapat menembus alam gaib, Barata
Surya. Jauh-jauh aku datang dari pulau
Seribu Satu Malam. Semata-mata demi
menyelamatkan keturunanku dari tangan-
tangan orang yang tidak bertanggung
jawab!"
Kalau saja tokoh lain yang
bicara seperti itu. Walaupun jumlah
mereka mencapai belasan. Mungkin
Penghulu Siluman Kera Putih tidak akan
gentar menghadapinya. Tapi jika memang
benarlah laki-laki yang bicara tadi
tanpa mau menunjukkan diri. Berarti
Sekarang ia sedang berhadapan dengan
Malaikat Berambut Api. Yaitu satu-
satunya tokoh sakti yang sangat
diseganinya di kolong jagad ini.
"Kisanak! Tunjukkanlah diri!
Segala sesuatunya masih dapat kita
bicarakan...!"
Byaar! Byaar!
Lereng gunung Mahameru seakan
diterangi oleh ribuan pelita yang
datang dari seluruh penjuru arah.
Suasana kemudian berubah menjadi
terang benderang. Di tengah-tengah
cahaya terang berkilau itu, tampak
sosok tubuh berambut merah dan juga
memakai pakaian warna merah belang
kuning. Wajahnya yang ditumbuhi
cambang berwarna merah tampak dingin
berwibawa.
"Malaikat Berambut Api!" desis
Barata Surya setelah melihat siapa
laki-laki di-depannya.
"Berikan anak itu padaku, Barata
Surya!" perintah Malaikat Berambut Api
alias Dewana. Suaranya terasa tajam
menusuk.
"Eeh... mana bisa begitu! Aku
ingin mengangkat bocah berambut merah
ini menjadi muridku! Seluruh apa yang
kumiliki ingin kuturunkan kepadanya!
Apakah itu tidak hebat?"
"Apa?" Malaikat Berambut Api
belalakkan mata. "Satu kegilaan besar
jika semua apa yang kau miliki kau
turunkan pada cucuku. Kau manusia
segala sinting, segala gila, segala
konyol dan keblinger! Dalam didikanmu
cucuku bisa jagi tolol!"
"Ah... he he he...! Betul! Ini
anak hebat, apa yang dikatakan oleh
pertapa Ki Begawan Sudra memang ada
padanya. Rambutnya merah seperti
rambutmu, Kisanak. Ada tompelnya dan
tulang-tulangnya baik sekali. Tapi
lihatlah, tampangnya tolol tidak
ketulungan!"
Wuss!
Sekali berkelebat Dewana telah
sampai di depan Barata Surya.
Tangannya berkelebat laksana kilat.
Tahu-tahu bayi berambut merah itu
telah berada di tangan Malaikat
Berambut Api.
Namun keanehan terjadi. Bayi di
tangan Dewana ini langsung menangis.
Tubuhnya meronta-ronta seperti tidak
suka berada dalam gendongan kakeknya.
"Cup... diam cucuku! Aku ini
kakekmu! Eeh... betul, tampangmu
seperti tampang orang tolol...!"
semakin bertambah keras saja tangis si
bayi. Hingga membuat Penghulu Siluman
Kera Putih tertawa-tawa.
Malaikat Berambut Api jadi salah
tingkah. "Aku rasanya tidak dapat
membuatnya diam. Ia sudah terlanjur
akrab dengan siluman jelek itu. Kalau
dia menangis terus. Mana mungkin aku
dapat membawanya ke Pulau Seribu Satu
Malam. Walah... dia kencing lagi...!"
Wajah Dewana berubah memerah.
"Apa kataku. Dia tidak mau ikut
kakeknya." Tiba-tiba Barata Surya
merebut bayi itu. Ehh... begitu berada
dalam gendongan Penghulu Siluman Kera
Putih. Bayi itu diam seketika. Bahkan
ia mulai tersenyum-senyum kembali.
"Apa dosaku? Dia benar-benar
serasi dengan siluman muka kunyuk itu.
Kalau pun aku bersikeras dengannya,
paling tidak segala kesaktian yang
kumiliki dapat mengalahkannya. Tapi
bagaimana kalau anak itu menangis
terus! Bocah itu benar-benar memaksaku
untuk menentukan pilihan...!" gerutu
Dewana sambil katupkan rahangnya
rapat-rapat.
"Lihatlah sobat! Dia diam. Dia
suka padaku. Eeh... bagaimana
pendapatmu jika kita sama-sama
membesarkannya di tempat ini?"
"Membesarkannya di tempat
kediaman siluman. Jangan-jangan kalau
besar nanti dia menjadi setan
gentayangan. Kurasa lebih baik jika
aku membesarkannya di kandang kuda!"
Wajah Penghulu Siluman Kera Putih
berubah memerah. Namun hanya sebentar
saja. Untung yang bicara itu adalah
tokoh sangat sakti yang diseganinya,
kalau tidak Barata Surya pasti sudah
menampar kakek tua di depannya itu
pulang pergi.
"Ah, jangan begitu sobat. Seumur
hidup aku belum punya murid. Kau pun
begitu juga. Jika kekuatan kita sama-
sama kita gabungkan kelak ia akan
menjadi seorang pendekar tangguh tanpa
tanding!"
"Kau membujukku?" dengus
Malaikat Berambut Api.
"Mana berani aku mengatakan
begitu. Aku cuma mengajakmu untuk
memberikan yang terbaik padanya."
"Bagaimana kalau kita sama-sama
membesarkannya di Pulau Seribu Satu
Malam?"
"Walah! Jauh amat. Mana bisa aku
mengawasi kera-kera siluman yang
berdiam di sini kalau aku harus pergi
ke tempatmu!"
"Jika begitu urusi saja monyet-
monyetmu itu. Biar aku yang urus
cucuku...!" ketus suara Malaikat
Berambut Api.
"Jangan begitu sobat! Aku
sungguh-sungguh mengasihi anak ini,
karena Anda merupakan orang yang
paling berhak. Maka aku bersedia
bekerja sama membesarkan anak ini."
Dalam suasana seperti itu. Malaikat
Berambut Api merasa harus mengambil
kesimpulan terbaik.
"Kalau begitu aku bersedia
mengikuti kehendakmu. Sekarang aku
ingin bertanya padamu, apakah anak itu
sudah punya nama?"
"Wah belum. Dua minggu
bersamanya aku merasa senang sekali.
Sehingga belum terpikirkan olehku
tentang namanya." Barata Surya
menyahuti.
"Kedua orang tuanya telah
menjadi korban...!"
"Aku ikut merasa prihatin atas
kejadian itu." Memotong Barata Surya.
"Dia terlahir pada malam satu
Asyuro. Karena rambutnya yang kemerah-
merah itu. Maka aku memberinya nama
Suro Blondo.... Bagaimana apakah kau
setuju...?!"
Penghulu Siluman Kera Putih
tidak langsung menjawab. Melainkan
memandang pada bayi dalam
gendongannya. Seraya bicara pada bayi
itu seperti sedang bicara dengan orang
yang sudah dewasa.
"Kau setuju jika kakekmu
memberi nama Suro Blondo?"
Bayi dalam gendongan Barata
Surya menggeliatkan tubuhnya sejenak
kemudian tawa kecilnya terdengar.
"Ha ha ha! Dia setuju, sobat!
Dia setuju dengan pemberian nama itu."
kata Barata Surya. "Kalau dia setuju
aku pun setuju."
"Baik! Tapi aku punya beberapa
syarat yang harus kau penuhi." tegas
Malaikat Barambut Api.
"Apakah syarat-syaratnya?" tanya
Penghulu Siluman Kera Putih sambil
cengar-cengir.
"Pertama aku tidak suka kau
menurunkan sifat-sifat jelekmu
kepadanya. Kedua aku yang memberi
dasar-dasar ilmu tenaga dalam
kepadanya. Aku tidak mau melihatmu
mengajarkan ilmu sesat padanya?!"
"Oho... jangan takut. Semua
ilmuku tidak ada yang menyesatkan. Aku
menjamin Suro Blondo tidak tersesat!"
"Ingat! Janjimu kupegang sampai
kapan pun. Sekali kau ingkar! Bukan
kau saja yang akan menanggung
akibatnya. Seluruh monyet-monyet
siluman yang ada di sini akan
menanggung akibat perbuatanmu!"
Ancaman Malaikat Berambut Api bukan
main-main. Siluman Kera Putih sadar
benar siapa tokoh yang jarang muncul
di rimba persilatan ini. Setiap
kemarahannya dapat menimbulkan kobaran
api di kepalanya. Dan ia sangat
disegani karena tinggi ilmu
kesaktiannya yang tidak dapat diukur.
"Aku terima perjanjian ini
sobat!" sahut Barata Surya serius."
Jika Anda suka. Anda boleh tinggal di
dalam gubukku ini...!"
"Hmm, sekali-sekali tidak. Hanya
sewaktu-waktu saja aku akan datang
kemari. Siang hari cucuku berada dalam
pengawasan dan didikanku. Sedangkan
pada malam hari ia berada dalam
bimbinganmu sepenuhnya!"
"Aku setuju! Ya... aku setuju
sekali...!" Penghulu Siluman Kera
Putih tertawa cengengesan.
***
Hampir setiap malam bocah lucu
bertampang tolol itu selalu bermain-
main dengan kera-kera berbulu putih
yang jumlahnya mencapai ratusan ekor.
Dalam usianya yang baru tujuh tahun.
Tubuhnya sudah tampak kekar berotot.
Walaupun tampangnya blo'on, namun
sesungguhnya ia mempunyai otak yang
cerdas. Hanya dalam waktu-waktu
tertentu saja ia memang tampak
lamban dalam berpikir. Tapi tingkahnya
yang konyol, kocak dan ketolol-tololan
membuat kera-kera yang selalu
menemaninya menjadi sangat suka
bermain-main dengannya. Malam itu
udara di lereng Gunung Mahameru terasa
dingin mencucuk. Tapi sungguh aneh,
bocah bertelanjang dada ini malah
merasakan kegerahan yang bukan alang
kepalang. Ia mengipas-ngipas daun jati
di tangannya. Daun jati itu bolong-
bolong bekas dimakan ulat. Sehingga
kipasan-kipasan yang dilakukannya
tidak membawa arti sama sekali. Tiba-
tiba ia nyengir sendiri.
"Kakek Dewana tidak sama dengan
kakek Barata Surya. Orang rambut merah
itu terlalu keras dalam membimbingku.
Ia datang seperti setan dan pergi
seperti angin. Tapi ia mengatakan
dirinya sebagai kakekku. Apa sih
artinya kakek? Dan guruku yang kayak
monyet itu. Hampir tiap malam selalu
memasukkan aku ke dalam telaga yang
ada asapnya. Kata kera-kera itu telaga
di bawah sana rasanya panasnya seperti
lahar gunung. Tapi ketika aku
dimasukkan ke dalam telaga itu. Uuh...
air telaga itu dinginnya tidak
ketulungan...!"
Swiiiet!
"Eeh... guru gila itu
memanggilku. Malam malam begini aku
disuruh mandi lagi. Bagaimana ini?
Apakah aku harus menolak?" batin si
bocah kekar lalu mengusap-usap dadanya
yang bidang.
"Suro Blondo manusia tolol!
Cepat kau kemari. Saatnya bagimu untuk
menikmati sarapan kesepuluh...!"
terdengar teriakan orang yang sangat
dikenalnya.
"Sialan guru kampret! Malam ini
aku tidak mau mandi di situ. Aku mau
tidur!"
"Kurang ajar. Jangan buat
kakekmu jadi kecewa. Telaga mendidih
itu adalah untuk memantapkan tenaga
dalammu...!"
"Guru sinting. Setiap malam aku
harus mandi di dalam air mendidih yang
sangat berbisa itu. Di dalamnya ular-
ular merah menggelitikku. Sedangkan
kau sendiri enak-enakan ngorok di atas
pohon telaga!"
Sebenarnya ular-ular merah
berbisa yang hidup di dalam telaga
panas tersebut bukan menggelitik Suro
Blondo, melainkan menggigitnya.
Sehingga tanpa disadari oleh Suro
Blondo. Lama kelamaan tubuhnya menjadi
kebal terhadap segala macam bisa yang
maha ganas sekali pun.
ENAM
"Suro Blondo! Kau beraninya
membangkang pada aku saja. Pada
kakekmu Malaikat Berambut Api kau
tidak berkutik! Ayo kemari! Atau aku
menyuruh anak-anak menyeretmu kemari?"
dengus Barata Surya, lalu usap-usap
jenggotnya yang putih bagaikan kapas.
"Monyet-monyet yang punya ekor
selalu dipanggilnya anak-anak. Gila
barangkali aku punya guru." Suro
Blondo membatin di hati.
"Cepat Suro! Air telaga sudah
menggelegak menunggumu. Jangan kau
tunggu kesabaranku sampai habis!"
Sambil uncang-uncang kaki di atas
pohon, si kakek mengulangi
perintahnya.
Suro Blondo usap-usap perutnya
yang putih berkilat-kilat. Pemuda
tanggung bertampang tolol ini semakin
jengkel saja mendengar perintah
gurunya.
"Kesabaran jangan selalu
dihabiskan, Guru! Kalau Guru sudah
tidak punya kesabaran. Ke mana Guru
akan mencari gantinya...!" kata Suro
Blondo tenang.
"Sialan anak tolol! Kau
membantah terus kalau diperintah!"
"Guru bego. Kerjanya kasih
perintah melulu." rutuk Suro Blondo.
Tiba-tiba saja Penghulu Siluman Kera
Putih tergelak-gelak. Kalau bukan
muridnya yang bicara begitu. Mungkin
sudah sejak tadi digebuknya Suro
Blondo. Sejenak Barata Surya hentikan
tawanya.
"Anak ini wataknya sama persis
dengan sifatku diwaktu kecil. Kalau
tidak mengingat kakeknya manusia sakti
Mandraguna. Sudah kucopot mata dan
hidungnya." gerutu Barata Surya.
Saat itu Suro Blondo membatin
pula: "Kunyuk berjanggut itu selalu
memanjakan aku. Sialnya dia tidak mau
sama-sama mandi di telaga panas."
"Hei... tunggu apalagi...! Cepat
kerjakan...!" teriak Barata Surya jadi
berang. Pada saat itu tanpa diketahui
oleh Penghulu Siluman Kera Putih ini.
Suro Blondo telah masuk ke dalam
telaga panas berbisa tersebut.
"Anak-anak seret manusia yang di
atas pohon!" kata Barata Surya tanpa
melihat lebih dulu. Kalau pohon yang
selalu dijadikan tempat beristrahat
Suro Blondo sudah kosong.
Puluhan ekot kera siluman saling
pandang. Satu-satunya orang yang
berada di atas pohon hanya Barata
Surya sendiri. Dengan bingung puluhan
ekor kera berpaling pada Suro Blondo
yang tampak meringis dan menunjuk-
nunjuk ke arah pohon yang diduduki
Barata Surya. Secara beramai-ramai
kera siluman itu tanpa menimbulkan
suara langsung mendekati penghulu
mereka. Lalu....
Sreet!
"Eeh... apa-apaan monyet-monyet
tolol! Eeh... heii...!"
Byur...! Melihat gurunya basah
kuyup tercebur ke dalam telaga. Suro
Blondo tergelak-gelak. Monyet-monyet
siluman ikut berjingkrak-jingkrak
kegirangan.
"Kurang ajar! Murid tolol, kera-
kera blo'on...! Menyingkir kalian
semua sebelum kena gebukanku!" bentak
Barata Surya marah bukan kepalang.
"Nguk! Nguk!"
Monyet-monyet siluman pun
menjauhi tempat di sekitar telaga.
"Guru salah sebut. Ha ha ha...!
Mestinya kera-kera itu yang tolol.
Guru yang geblek dan aku... ha ha
ha... blo'on... ha ha ha...!"
"Diam...!" bentak Barata Surya.
Seraya melompat dari dalam telaga.
Sementara itu air di dalam telaga
terus bergolak. Hawa panas mulai
menyengat. Sedangkan ular-ular berbisa
yang berada di dalamnya mulai
menyerang Suro Blondo pula.
"Ih... aku nggak bisa diam.
Ular-ular sialan ini terus
menggelitikku... ihh... hiii...
geli...!" Suro Blondo terus meringis-
ringis. Entah kegelian entah
kesakitan. Yang jelas disekujur
tubuhnya yang terendam air berwarna
merah itu mulai tampak dipenuhi luka
di sana-sini. Luka-luka itu
menimbulkan rasa dingin yang teramat
sangat. Sehingga membuat sekujur tubuh
Suro Blondo bergetar hebat.
"Sudah Guru! Dingin... dingin
sekali. Aku mau naik ke daratan, Guru.
Sudah tidak tahan...!"
"Diam di situ, kalau perlu
sampai besok pagi!" bentak Barata
Surya.
"Uhu... tega nian dikau...!"
Suro Blondo menggerutu.
Barata Surya terkekeh-kekeh.
"Kalau mau jadi manusia berguna, murid
harus patuh perintah guru. Kau harus
ingat pula, jika tenaga dalammu sudah
benar-benar sangat sempurna dan
tubuhmu telah kebal sepenuhnya karena
berendam di Telaga Bisa. Dua tahun
mendatang aku dan kakekmu akan
menurunkan jurus-jurus ilmu silat
tingkat paling tinggi kepadamu. Jika
kau tidak punya tenaga dalam yang
tinggi, mana bisa aku dan kakekmu
menurunkan pukulan-pukulan dahsyat
yang kami miliki!" jelas Penghulu
Siluman Kera Putih lebih lanjut.
Setelah memberi penjelasan pada
muridnya. Barata Surya segera melompat
lagi ke atas pohon di mana tempat ia
tadi berada. Kemudian beliau rebahkan
badan. Hanya dalam waktu beberapa
menit saja, suara dengkurannya pun
terdengar dengan jelas di telinga sang
murid.
"Sekujur tubuhku sudah berdarah.
Hawa dingin semakin menyerang. Telaga
ini panas bukan main, tapi mengapa
setelah tubuhku digigiti ular-ular
merah ini badanku jadi dingin sekali."
Suro Blondo menggerutu. Satu dua ekor
ular merah ditangkapnya. Dengan geram
digigitnya kepala ular-ular yang
sangat berbisa itu.
"Huh... rasain pembalasanku!"
Suro Blondo cengengesan ketika melihat
ular tanpa kepala tersebut
menggelepar-gelepar lalu mati.
"Guruku sudah tidur. Aku sudah
mengantuk baiknya aku naik ah...!"
Dengan hati-hati Suro blondo merangkak
naik ke daratan meninggalkan telaga
bisa. Namun di atas pohon kemudian
terdengar satu bentakan keras
menggeledek.
"He... mau ke mana kau...?
Jangan coba-coba ya...!"
"Dalam keadaan mendengkur
seperti itu. Tidak sangka guru
mengetahui apa yang akan kulakukan!
Dasar guru sinting...!" Suro Blondo
menggerutu. Dengan terpaksa ia kembali
masuk ke dalam telaga bisa. Sedangkan
sang guru yang sama-sama miringnya
terus ngorok berkerokokan.
***
Sejak empat tokoh sesat yang
tergabung dalam partai Dunia Akhirat
mendirikan markas di Gunung Bromo.
Maka sejak saat itu sepak terjang
mereka sudah sampai di daerah
Nongkjajar, Wendit bahkan Singosari.
Segala macam kejahatan mereka lakukan.
Membunuh dan melakukan perampokan
besar-besar sudah biasa mereka
lakukan.
Mereka juga melakukan penculikan
di mana-mana. Tidak jarang orang
persilatan yang berusaha menghentikan
sepak terjang mereka ini tewas secara
sia-sia. Semakin lama partai yang
dipimpin oleh Balung Raja, Ki Rambe
Edan, Braja Musti dan Baja Geni
semakin bertambah besar. Pengikut-
pengikutnya juga semakin bertambah
banyak. Dalam waktu 17 tahun, mereka
bahkan telah berhasil membentuk sebuah
kerajaan kecil yang memiliki mata-mata
tersebar di setiap daerah. Bahkan
sejak saat itu semua penduduk
dibebankan membayar upeti. Siapa yang
membangkang pasti mereka bunuh.
Pendeknya tidak seorang pun yang
berani menentang kekuasaan mereka.
Siang itu udara terasa panas
membakar bumi. Daerah Nongkojajar yang
padat penduduk memang senantiasa sarat
dengan berbagai kegiatan. Tampaknya
mereka sudah terbiasa dengan keadaan
seperti itu. Tidak perduli pada musim
panas atau pun musim hujan. Mereka
senantiasa bekerja keras demi untuk
membayar upeti pada majikan di Gunung
Bromo. Di sebuah waning yang selalu
sarat dengan pengunjung. Seorang gadis
mengenakan pakaian ringkas berwarna
kuning gading tengah menikmati
hidangan yang dipesannya pada pemilik
warung. Ia memakai ikat kepala warna
biru. Rambutnya yang panjang dan
menebarkan bau harum semerbak membuat
orang-orang yang berada di dalam
warung itu selalu melirik dan mencuri
pandang kepadanya. Gadis berwajah
cantik dengan tahi lalat di dagu ini
bersikap acuh tak acuh. Sungguh pun ia
sadar sejak tadi berpasang-pasang mata
terus mengawasinya sambil menelan
ludah.
"Pak Tua! Saya minta tambah
makanannya!" Sama sekali ia tidak
menoleh pada pemilik warung ketika ia
menyampaikan keinginannya itu. Ketika
pemilik warung bermaksud menyediakan
pesanan si gadis. Saat itulah tiga
orang laki-laki berpakaian hitam.
Berambut panjang awut-awutan,
bercambang bawuk lebat memasuki warung
tersebut. Orang-orang di dalamnya yang
memang telah mengenal siapa adanya
laki-laki bertampang angker ini
langsung meninggalkan warung. Hanya
gadis berpakaian kuning gading yang
tetap berada disitu. Sama sekali ia
tidak menghiraukan ketiga laki-laki
yang membekal golok besar ini.
"Bapak! Mana pesanan saya...?"
tanya si gadis. Suaranya terasa enak
didengar. Pemilik warung tampak
ketakutan. Bukan pada si gadis
melainkan pada ketiga laki-laki yang
sedang menghampiri gadis itu.
"Bocah manis. Rupanya kau sangat
lapar sekali, ya...? Bagaimana jika
kami menemanimu makan di sini? Kami
juga sama-sama lapar!" kata yang
berbadan tinggi tegap.
"Aku tidak butuh siapa pun di
sini!" ketus suaranya, Perlahan ia
memandang pada laki-laki di depannya.
Sebaliknya laki-laki di depannya
tampak tercekat. Tenggorokannya turun
naik, mata mereka terbelalak lebar.
Sama sekali mereka tidak menyangka
kalau gadis yang sejak tadi
memunggungi mereka ini memiliki wajah
yang sangat cantik luar biasa. Melihat
kecantikan si gadis. Semakin berani
dan kurang ajar sajalah tindakan
mereka ini. Salah seorang dari laki-
laki berpakaian hitam ini mencolek
dagu si gadis. Melihat gadis itu hanya
diam sama. Maka dua lainnya tertawa
mengekeh.
"Merpati cantik ini ternyata
sangat jinak sekali, kawan-kawan!"
"Dia sangat pantas untuk kau
jadikan istrimu, Kakang Wongso!" Yang
berbadan lebih pendek menyahuti.
"Betul! Jika gadis ini mau
kujadikan istriku. Maka istriku yang
sepuluh itu akan kuceraikan semua...!
Bagaimana Nduk, apakah kau mau menjadi
istri orang kepercayaan penguasa
Gunung Bromo?"
"Kakang! Biasanya seorang gadis
memang suka malu-malu! padahal hatinya
sih mau...!" berkata Karsa Jaliteng.
Yaitu laki-laki yang paling muda di
antara mereka. Memerah wajah gadis
cantik ini. Tubuhnya gemetar, pertanda
ia sedang berusaha meredakan
amarahnya.
"Pak Tua! Siapkan hidangan yang
paling istimewa buat kami dan gadis
ini!" perintahnya tegas. Hingga
membuat pemilik warung yang sudah
mengetahui keganasan ketiga laki-laki
kepercayaan penguasa Gunung Bromo ini
dengan tergopoh-gopoh segera
menyediakan pesanan mereka.
Ketika orang-orang berbaju hitam
ini bermaksud duduk mengelilingi gadis
berbaju kuning gading. Sebuah bentakan
terdengar.
"Jangan berani lagi bertindak
macam-macam di depanku! Sekali kau
duduk di situ! Jangan salahkan aku
jika aku terpaksa harus melempar
kalian keluar dari warung ini!"
"Eeh...!" Tiga Iblis Pemburu
Nyawa sama-sama melengak. Di mata
mereka semakin marah gadis ini semakin
bertambah cantik wajahnya. Tiba-tiba
ketiga laki-laki bertampang angker ini
tertawa tergelak-gelak.
Bahkan laki-laki berbadan pendek
bernama Karsa Jalinteng yang sudah
gatal, tangannya dengan cepat menjulur
ke dada si gadis yang padat membusung.
Tapi gadis itu dengan gerakan yang
sangat sulit diikuti mata biasa sudah
mencengkeram tangan yang kurang ajar
itu. Lalu....
Wuss!
Sosok tubuh laksana kilat
melayang keluar melalui pintu depan.
Bruuk...!
"Akkh...!" terdengar suara
teriakan kesakitan di luar sana. Karsa
Jaliteng dengan terhuyung-huyung
bangkit berdiri. Sementara dua
kawannya yang masih berada di dalam
warung tersentak kaget dengan mata
terpentang lebar.
"Perempuan bangsat!" maki Karsa
Jaliteng yang sekarang telah berdiri
di ambang pintu. Wajah laki-laki itu
berselot debu. Hidungnya mengucurkan
darah. Bibirnya jontor dan tangan
kirinya tampak bengkok. Patah.
TUJUH
Semakin bertambah kaget saja dua
orang kawannya melihat Karsa Jaliteng
dalam keadaan begitu rupa. Jika semula
mereka hanya bersikap ingin
mempermainkan gadis cantik yang duduk
tenang di tempatnya. Maka kini
kemarahan telah menguasai jiwa mereka.
Wongso Mendit bahkan mencengkeram bahu
si gadis. Laki-laki ini dapat
meremukan tulang belulang lawannya.
Untuk itu ia dikenal sebagai Tangan
Baja. Setengah jengkal lagi tangan
Wongso Mendit menyentuh bahu si gadis.
Plaak!
"Akhh...!" Wongso Mendit memekik
keras. Tidak sampai sekedipan tangan
si gadis menghantam dadanya tanpa
menoleh sedikit pun. Laki-laki
berbadan jangkung ini terjajar dan
memegangi dadanya yang terasa seperti
remuk. Bila ia melihat ke dadanya
sendiri. Maka terkejutlah ia. Bagian
dada yang terkena tinju si gadis
tampak memerah memar.
"Betina liar. Kau benar-benar
tidak melihat tingginya gunung di
depanmu ini!" bentak Lingga. Tiga
Iblis Pemburu Nyawa tiba-tiba sambil
menggembor marah bermaksud meringkus
gadis itu. Tangan mereka yang terkepal
menderu dahsyat menimbulkan angin
panas memerihkan kulit. Namun sebelum
ketika serangan beruntun yang
dilakukan oleh kaki tangan penguasa
Gunung Bromo sampai. Dengan gerakan
yang cepat dan indah gadis berpakaian
ringkas telah melompat ke udara.
Ia menjenjakkan kakinya persis
di tengah-tengah ruangan warung.
Menyadari serangan mereka yang dapat
dihindari oleh lawannya. Tiga Iblis
Pencabut Nyawa kertakkan rahang.
"Gadis liar! Tertawalah kau
sepuasmu! Jika kau telah berada dalam
genggaman kami, kau pasti minta
ampun!" desis Karsa Jaliteng.
"Cepat kita ringkus! Betapa aku
ingin menelanjangi tubuhnya yang mulus
itu!" kata Wongsi Mendit.
"Iblis-iblis Hina! Kalian adalah
manusia rendah bermulut besar! Kalau
belum kurobek mulutmu yang kotor itu,
tidak puas hatiku!" geram gadis
berbaju kuning. Tubuhnya tiba-tiba
berkelebat lenyap bagaikan bayang-
bayang. Wongso Mendit, Lingga dan
Karsa Jaliteng yang melakukan serangan
ganas lebih awal jadi kelabakan.
Bahkan lebih celaka lagi. Setiap
serangan yang mereka lakukan hanya
mengenai sasaran kosong.
Des!
Dess!
Dua kali tendangan telak membuat
Lingga dan Karsa Jaliteng jatuh
terpelanting tubuh mereka menabrak
kursi dan meja yang terdapat di dalam
ruangan warung. Lalu tidak sampai
disitu saja, gadis cantik ini terus
berkelebat. Dilain kejab.
"Huup!"
Tap!
Kedua kakinya mendarat di
punggung Wongso Mendit. Jemari tangan
yang lentik namun kokoh mencengkeram
bibir atas dan bibir bawah lawannya.
Week!
Terbelahlah bibir Wongso Mendit.
Laki-laki berbadan tinggi semampai ini
menjerit keras. Darahnya langsung
mengucur dari luka lebar di mulutnya
yang terbelah.
"Untuk kenang-kenangan!
Berikan ini pada majikan kalian!"
Plaak!
Satu hantaman keras mendarat di
kening Wongso. Bukan main kerasnya
pukulan itu sehingga membuat pembantu
majikan Gunung Bromo jatuh terduduk
tidak sadarkan diri.
Ruangan warung berubah sunyi.
Gadis berbaju kuning gading itu sudah
lenyap. Sementara Lingga dan Karsa
Jaliteng yang kena tendangan dahsyat
si gadis tampak berusaha bangkit
berdiri. Bergetar tubuh mereka berdua
ketika melihat bibir Wongso Mendit
terkoyak lebar hampir mencapai
telinga. Lebih terkejut lagi saat
melihat secarik kain yang melekat di
jidat kawannya. Dengan langkah
terhuyung-huyung Karsa Jaliteng
menghampiri kawannya yang tidak
sadarkan diri. Sementara itu Lingga
hanya memandang dari tempatnya berdiri
dengan mata liar mencari-cari.
"Celaka! Gadis liar itu telah
melarikan diri!" desisnya geram.
"Lihat ini lebih celaka lagi!"
teriak Karsa Jaliteng ketika
mendapatkan sobekan kain berwarna
kuning yang menempel ketat di jidat
kawannya. Lingga datang mendekat.
"Sial dangkal! Bagaimana paku
itu bisa menancap di kening kawan
kita? Coba cabut...!"
Dengan sangat hati-hati Karsa
Jaliteng mencabut paku berikut sobekan
kain kuning berlumur darah.
"Ada tulisannya!" teriak Karsa
Kaliteng dalam kejutnya.
Mereka pentang sobekan kain
bercampur darah. Maka terbaca beberapa
baris kalimat yang membuat darah
mereka serasa mendidih.
Empat tokoh yang tergabung dalam
partai Dunia Akhirat! Saat kematian
bagi kalian sudah hampir tiba!
Secepatnya persiapkan kubur kalian
masing-masing. Tujuh belas tahun yang
lalu kalian berhutang nyawa kepadaku!
Dewi Bulan
Wajah Lingga dan Karsa berubah
kelam membesi. Jelas ancaman itu
ditujukan pada majikan mereka. Tapi
yang membuat mereka geram adalah
karena gadis yang bernama Dewi Bulan
itu telah merat dari hadapan mereka.
"Apa yang kita lakukan?" Lingga
berpaling pada Karsa Jaliteng
"Tidak ada pilihan lain. Kita
bawa Wongso Mendit dan laporkan
peristiwa memalukan ini pada ketua
kita!" Tanpa banyak cakap, Lingga
langsung memanggul tubuh Wongso
Mendit. Ketika sampai di halaman depan
warung. Mereka lebih terkesima lagi
ketika melihat kuda tunggangan mereka
terkapar mati dengan leher berlubang
besar.
"Keparat! Sungguh keparat!
Betina itu benar-benar menginginkan
kematian dari kita!" Lingga menggeram
marah. Kumisnya yang melintang tampak
bergerak-gerak pertanda kemarahannya
sudah sampai di ubun-ubun.
"Kita pakai kuda pemilik
warung!"
Orang-orang ini segera
melepaskan kuda yang terdapat di
kandang belakang. Sekejap saja kuda-
kuda itu telah melesat meninggalkan
debu-debu di udara.
"Kudaku! Ah... maling-maling
pemeras rakyat itu...!" desis bapak
pemilik warung tanpa mampu berbuat
apa-apa.
***
Puncak gunung Mahameru yang
biasanya sepi, pagi-pagi itu
dipecahkan oleh suara bentakan-
bentakan disertai teriakan
menggelegar. Bumi laksana terbelah,
langit bagai terkoyak. Terlebih-lebih
ketika terjadi ledakan-ledakan dahsyat
di satu tempat. Daun-daun jati tampak
berguguran. Segala jenis binatang lari
terkencing-kencing meninggalkan
sarangnya. Monyet-monyet siluman
menyelamatkan diri mencari tempat
sembunyi. Dan bila memandang ke puncak
Mahameru. Maka di sana terlihat dua
sosok tubuh sedang bertarung.
Pertarungan yang bukan saja Maha
dahsyat, namun juga sangat mengerikan.
Betapa tidak dua orang yang terlibat
pertempuran sengit itu berkelebat
laksana bayang-bayang saja. Angin
pukulan yang mereka lepaskan terasa
memanggang tubuh. Debu dan batu-batu
kecil beterbangan. Pohon-pohon di
sekitarnya meranggas tanpa daun akibat
pertempuran itu. Sesekali terdengar
bentakan dahsyat, lalu ada makian dan
sumpah serapah. Tapi anehnya suara
tawa pun terkadang menggema di sana.
"Kerahkan jurus 'Kera Putih
Memilah Kutu', Suro...!" terdengar
teriakan laki-laki berbaju serba putih
dan berambut, jambang serta jenggot
berwarn a putih.
"Guru, kau...!" Pemuda gagah
yang berdiri bertolak pinggang memakai
baju warna biru muda tidak dapat
teruskan ucapannya. Kakek serba putih
di depannya sambil keluarkan bentakan
melengking langsung menerjang ke
depan. Tangan kanan menotok ke sepuluh
bagian jalan darah. Tangan kiri
menyiku ke perut sedangkan kaki yang
setengah berjongkok berjingkat-jingkat
memburu.
Walaupun jurus yang dilancarkan
si kakek terkesan lucu dan terkadang
tangan menggaruk-garuk seperti orang
kena penyakit gatal. Tapi serangan itu
benar-benar sangat berbahaya. Suro
Blondo pemuda berambut gondrong
memakai ikat kepala warna biru belang-
belang kuning sadar benar bahaya besar
sedang mengancamnya. Untuk itu ia
menggenjot kedua kakinya. Tubuhnya
melesat ke udara kemudian melakukan
salto beberapa kali. Begitu tubuhnya
menderu ke bawah. Maka ia sudah
hantamkan kedua tangannya dengan
mempergunakan jurus 'Serigala Melolong
Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Inilah
salah satu jurus yang tidak kalah
dahsyatnya dengan jurus yang
dilancarkan oleh si kakek.
Wuuk!
Buuk!
Buuk!
"Gila! Gila betul!" desis Suro
Blondo sambil menyeringai kesakitan.
Ia memang berhasil memukul punggung
kakek yang menyerangnya dengan ganas.
Tapi kakek itu dengan gerakan yang
sangat aneh sekali sempat menghantam
jidat pemuda baju biru muda. Kepalanya
mendenyut sakit, seribu kunang-kunang
bertabur di matanya.
"Sebentar lagi Suro! Sebentar
lagi kau mampus!" Si kakek miringkan
badannya. Tangan diputar-putar sambil
menggaruk-garuk sekujur tubuhnya tidak
ubahnya seperti tingkah seekor monyet.
Tangan si kakek bergetar hebat.
Tangannya bergerak cepat, hingga
dilihat sepintas lalu tangan itu
berubah menjadi ribuan jumlahnya.
"Eeh.. dia mengerahkan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Benar-benar edan! Ia ingin membunuhku
rupanya!" desis si pemuda.
"Jangan memaki bocah blo'on.
Mampus...!" teriak si kakek. Tangan
yang telah berubah banyak itu menderu
ke seribu arah. Angin kencang
berhembus, udara berubah panas seperti
di neraka.
"Hiyaat...!" Suro Blondo tidak
menunggu lebih lama lagi. Tubuhnya
berkelebat terhuyung-huyung, terkadang
ia berjongkok dan melompat-lompat.
Sungguh aneh dan lucu gerakannya. Tapi
tidak lama setelah itu terdengar suara
tawanya yang tidak beraturan. Tawa itu
terdengar melengking tinggi,
menyakitkan gendang-gendang telinga.
Kadang berubah pelan mendayu-dayu.
Namun dilain saat telah berubah
seperti suara rintihan tangis,
memilukan. Tangan dan kaki mendorong
ke segala penjuru arah. Selanjutnya
melompat dan menendang. Inilah jurus
'Tawa Kera Siluman'.
Si kakek menggeram marah,
mulutnya mengomel panjang pendek. Lalu
terdengar suara bentakan dahsyat
merobek langit. Tangan-tangannya yang
seakan berubah menjadi banyak itu
menghantam dengan kecepatan dua kali
kecepatan suara.
"Edan! Kau benar-benar mau mem-
bunuhku!" Suro Blondo meradang. Ia
berkelit secepat yang ia mampu.
Wuus!
"Hups...!" Walaupun pemuda
berbaju biru muda memakai ikat kepala
warna biru belang kuning dapat
menghindari tinju yang menggeledek
itu. Tidak urung ia menjerit ketika
sambaran angin panas menyengat
melabrak dada. Suro Blondo usa-usap
dadanya. Tampak dada itu memerah. Ia
langsung melompat menjauh. Hatinya
menggerutu, mulutnya pletat-pletot,
lalu tersenyum.
"Ha ha ha...! Bagus! Gila, tolol
blo'on, sedeng! Tidak sia-sia! Tidak
sia-sia. Kau dengar...!" Melihat
gurunya tertawa dan tampak hentikan
serangan. Maka Suro Blondo pemuda
tampan bertampang, konyol, kocak dan
blo'on ini ikut tertawa-tawa.
"Bagus! Ha ha ha...! Guru hampir
membunuhku! Ha ha ha... gila benar!"
Ucapan dan tawa Suro Blondo melenyap.
Terlebih-lebih setelah melihat kedua
telapak tangan kakek baju putih
menapak tanah. Suro Blondo segera
menyadari kalau gurunya bermaksud
melepaskan pukulan yang sangat
dahsyat!
"Hah... dia ingin melepaskan
pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
Aku harus mempergunakan pukulan apa?"
memaki Suro Blondo dalam hati. Tiba-
tiba saja ia berteriak: "Guru! Kau
jangan main-main dengan pukulan itu.
Aku bisa mati...!"
"Kalau semua akal yang kau
miliki sudah hilang! Maka kau memang
pantas mati di tanganku!" menggeram
Penghulu Siluman Kera Putih.
DELAPAN
"Walah, mati aku!" Suro Blondo
menggerendeng. Ia melihat gurunya yang
dalam posisi berjongkok dan tangan
mentetak tanah semakin bergetar hebat.
Kedua tangannya memancarkan sinar
merah kehijau-hijauan. Udara di
sekitarnya telah berubah pula menjadi
panas menggila.
"Nguk! Nguk! Hiyaa...!" sambil
berteriak tinggi melengking hingga
membuat runtuh daun-daun jati pada
pohon-pohon sekitarnya. Tubuh Barata
Surya melesat ke atas, dua tangannya
menghantam ke depan.
"Kiamat...!" teriak Suro Blondo.
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia pun
segera mengerahkan tenaga dalam yang
telah mencapai tarap kesempurnaan.
Dilain kejap dengan kaki kiri ditekuk
ke depan. Ia dorong tangannya yang
telah berubah menjadi biru terang.
Seleret sinar biru redup datang
bergulung-gulung menyongsong pukulan
dahsyat yang dilepaskan oleh si kakek.
Udara di sekitarnya berubah dingin dan
panas tidak ketulungan. Puncak
Mahameru seakan dilanda gempa hebat.
Bummm!
Buummmm!
"Edan! Curang! Kau curang...!"
memaki Penghulu Siluman Kera Putih
ketika melihat kenyataan bahwa Suro
Blondo mempergunakan pukulan dahsyat
'Matahari dan Rembulan Tidak
Bersinar'. Pukulan itu adalah pukulan
dahsyat yang diwariskan oleh kakek
Suro Blondo sendiri.
"Ha ha ha! Mampus...!" Suro
Blondo terkekeh-kekeh saat melihat
gurunya jatuh terguling-guling.
Bibirnya mengalirkan darah. Tapi tidak
lama kakek baju putih telah bangkit
berdiri. Malah ia tertawa pula, seakan
tidak merasakan sakit yang
dideritanya. Pada dasarnya guru dan
murid ini memang sama-sama konyol,
sama-sama sinting dan blo'on pula.
Sehingga walaupun Suro Blondo sendiri
sempat merasakan dadanya seperti
dihimpit batu ribuan kati. Ia juga
tetap tertawa-tawa.
"Kau curang! Matahari dan
Rembulan Tidak Bersinar bukan
milikku." kakek baju putih bermonyong-
monyong.
"Memang! Kakek Malaikat
Berambut Api yang mengajarkannya
padaku! Tapi kan sama saja! Orang tua
itu adalah guruku juga!" Suro Blondo
pemuda bertampang tolol berambut merah
ini usap-usap dadanya.
"Ujian dariku telah selesai,
Suro! Pohon-pohon telah roboh, daun-
daun telah berguguran. Dan puncak
Gunung Mahameru ini hampir runtuh!
Tapi masih ada satu ujian lainnya yang
tidak kalah dahsyat! Kakekmu sebentar
lagi pasti muncul di sini. Ingat di
hadapannya kau tidak bisa cengengesan
kayak kunyuk sebagaimana berhadapan
denganku. Gurumu yang satu ini harus
kau hadapi dengan serius. Kalau kau
memang tidak ingin dikemplang kepala
dan ditendang pantatmu."
"Saya mengerti, Guru!"
"Mengerti apa?"
"Mengerti kalau guru yang di
hadapanku ini, gila, miring
otaknya...!"
"Edan! Jangan sekali lagi kau
menghinaku! Aku tidak main-main bocah
Blo'on...!" Suro Blondo katupkan
mulutnya ketika melihat Penghulu
Siluman Kera Putih pelototkan mata.
"Mohon maafmu!"
"Jangan kau tunjukkan sikap
konyolmu di depan kakekmu! Beliau
merupakan orang yang tidak suka main-
main. Karena beliau ingin mengujimu.
Kuharap kau lebih ber-hati-hati dalam
menghadapinya. Salah sedikit kau punya
badan bergerak atau menghindar. Bisa-
bisa tubuhmu terbelah dan dicincang
jadi perkedel!"
"Jangan sampai."
"Jangan sampai apa?"
"Jadi perkedel! Aku mau jadi
menusia saja, guru!"
"Kalau kau ingin menjadi manusia
sejati maka kau harus membela orang
tuamu. Kau tahu siapa kedua orang
tuamu, Suro?" tanya Barata Surya
sambil memandang tajam pada muridnya.
Suro Blondo mengangguk.
"Siapa orang tuamu?"
"Guru dan kakek Malaikat
Berambut Api!"
"Buset! Goblok benar kau ini,"
maki Barata Surya. Diam-diam hatinya
geli juga melihat ketololan muridnya.
"Kau punya kemaluan jenis apa,
Suro?"
"Sialan! Dia bertanya yang
bukan-bukan!" maki Suro Blondo dalam
hati.
"Tolol! Memaki pula kau! Coba
sebutkan?"
"Batangan, Guru!"
"Aku punya juga batangan! Kalau
kakekmu?"
"Eee...!" Suro Blondo mengusap-
usap dadanya. "Sama batangan juga
guru."
"Batangan lawan batangan apa
mungkin menghasilkan kau yang bego!"
"Wah tidak tahu! Soalnya guru
dan kakekku tidak pernah kasih tahu!"
sahut Suro Blondo.
Sikap Barata Surya kemudian
berubah serius. "Ketahuilah, kedua
orang tuamu berjuluk Sepasang Golok
Terbang! Mereka tewas di tempat
kediamannya di Gunung Bromo sesaat
setelah melahirkan kau!"
Suro Blondo kertakkan rahang.
Sekujur tubuhnya menggigil dijalari
luapan amarah. "Apakah ayah dan ibu
tewas karena melahirkan aku?"
"Goblok! Yang melahirkan itu
ibumu! Sedangkan ayahmu hanya
berpartisipasi saja atas kehadiranmu!
Ingat.... Suro. Yang membunuh orang
tuamu adalah Kala Demit dan juga
Sepasang Iblis Pegat Nyawa. Mereka itu
adalah manusia-manusia berhati kejam
yang menginginkan dirimu pada masa
itu. Kau carilah mereka dan buat
perhitungan yang setimpal! Jangan kau
buat kecewa arwah orang tuamu, Suro.
Dan selalu berhati-hatilah, karena
mereka merupakan orang-orang sakti
berkepandaian sangat tinggi!" Pesan
Penghulu Siluman Kera Putih.
Wajah Barata Surya tertunduk.
Dilain saat matanya memandang jauh ke
depan. Ada kesedihan membayang di
wajahnya. Terlebih-lebih bila
mengingat waktu berpisah di antara
mereka semakin bertambah dekat.
Bagaimana pun Suro Blondo adalah
seorang murid yang sangat dikasihinya.
Meskipun wajahnya yang tampan itu
terkesan tolol, tapi semua pelajaran
silat tingkat tinggi yang diberikan
padanya dapat dipelajarinya dengan
baik. Watak konyol, sifat sintingnya
sama benar dengan watak Barata Surya.
Walaupun ia juga dapat bersikap serius
berkat disiplin yang diterapkan oleh
Malaikat Berambut Api. Namun semua itu
tidak mampu menghapus kesan blo'on di
wajahnya.
"Guru sedih?"
Ucapan Suro Blondo membuat
Barata Surya terkekeh. "Siapa yang
sedih Suro. Siapa menangis bila
berpisah dengan murid tolol
semacammu!" desis kakek baju putih
terus tertawa-tawa. Suro Blondo pun
ikut tertawa walau tawanya terdengar
sumbang.
Tawa mereka serta merta lenyap.
Angin kencang menderu-deru. Lalu
terdengar suara menggeram menyertai
berhembusnya angin kencang itu. Barata
Surya memandang ke arah datangnya
badai topan dan ke arah muridnya silih
berganti.
"Sudah waktunya Suro. Sudah tiba
waktunya bagimu menghadapi kakekmu
sendiri!" Tubuh Barata Surya bergetar
hebat. Sinar putih laksana kilat
menggebu dan mengurung sang guru.
Dilain kejap sosok Barata Surya yang
berujud siluman melenyap.
"Guru...!" Suro Blondo berseru
kaget.
Dilain kejap di hadapan Suro
Blondo berdiri seorang kakek jangkung
berambut merah dan berbaju serba
merah. Berbeda dengan Penghulu Siluman
Kera Putih yang kocak, konyol dan
sinting. Sedangkan kakek berjenggot
merah ini tampangnya dingin berwibawa.
Dalam segala hal ia tidak pernah
tertawa.
Suro Blondo menjura hormat.
Sikapnya jelas-jelas tampak lucu
sekali. Bukan satu kebiasaan yang
dibuat-buat tapi memang begitulah
kebiasaan pemuda itu.
"Suro! Akhir penggemblenganmu
sudah sampai pada batasnya! Sekarang
pergunakanlah segala yang pernah kau
dapatkan selama ini! Huups...!" Tanpa
banyak cakap lagi, Malaikat Berambut
Api berteriak keras. Tubuhnya
berkelebat lenyap laksana bayang-
bayang. Tangannya melakukan totokan ke
batang leher Suro, kaki menendang
keselangkangan. Serangan beruntun yang
datang secara bersamaan ini sungguh
dahsyat alang kepalang. Jika bukan
Suro Blondo yang menghadapinya,
mungkin sejak tadi tubuh orang itu
terjengkang roboh. Jemari tangan si
kakek yang terkembang tampak menyapu,
membabat dan menusuk. Sambaran angin
bersiuran dan dingin bukan main.
Setiap pohon-pohon yang terkena
sambaran ujung jari si kakek terbabat
roboh seperti dipotong benda tajam.
Dapat dibayangkan berapa dahsyatnya
serangan kakek serba merah ini.
Menghadapi serangan ganas ini
Suro Blondo tidak bersikap sungkan
lagi. Ia mengerahkan jurus 'Kacau
Balau'. Yaitu salah satu jurus yang
pernah dipelajarinya dari kakek tua
yang menyerangnya. Gerakan hebat yang
dilakukan oleh Suro Blondo benar-benar
tidak teratur. Tubuhnya huyung ke
kanan huyung ke kiri. Tangan kanan
menderu dahsyat menghantam dada
lawannya, sedang tangan kiri mencakar
wajah si kakek.
"Hmm...!" Malaikat Berambut Api
menggeram tidak jelas. Ia menarik
kembali serangannya. Tubuh laki-laki
ini terus berkelebat. Kaki deras
menyambar. Dengan gerakan-gerakan yang
semakin kacau, namun cepat luar biasa
Suro Blondo bersalto ke belakang.
Sehingga serangan ganas yang dapat
meremukkan dadanya luput. Ia tidak
sempat lagi menarik napas. Dengan
ganas dan sambil cengar-cengir ia
melakukan serangan balasan.
"Bagus! Hebat!" Malaikat
Berambut Api berseru memuji. Lalu
tangannya diputar sedemikian rupa di
atas kepala. Sinar merah bergulung-
gulung menerjang Suro Blondo sekaligus
menyerang dan mengepungnya.
"Huup!"
Suro Blondo menghindar ke
samping. Tinju Malaikat Berambut Api
tiba-tiba menggebrak dadanya. Ia tidak
menunggu, sikut kanannya menghadang.
Duuk!
Malaikat Berambut Api tertawa
rawan. Tangannya yang membentur sikut
muridnya tampak memerah, tubuhnya
sempat tergetar pula. Sebaliknya Suro
Blondo meringis kesakitan. Ia usap-
usap sikunya sebentar, lalu sambil
cengar-cengir ia mendahului menyerang
gurunya.
Gerakan yang dilakukan Suro
Blondo cepat bukan main. Dalam waktu
hanya sekejap mata pekikan-pekikan
menggelegar laksana menghancurkan
gendang-gendang telinga, menggetarkan
puncak Gunung Mahameru sekaligus
memporak-porandakan hutan di
sekelilingnya. Inilah jurus 'Neraka
Pembasmi Iblis' yang ganas itu. Hanya
dalam waktu tujuh jurus setelah Suro
Blondo mengerahkan jurus 'Neraka Pem-
basmi Iblis'. Malaikat Berambut Api
tampak mulai terdesak. Angin kencang
bergulung-gulung membuntal tubuh si
kakek. Laki-laki berbaju merah ini
ganda tertawa menyadari tubuhnya mulai
terdorong hebat akibat gempuran
dahsyat muridnya. Kemudian ia
membentak. Serangan ganas dan deru
angin kencang seakan tertahan dan
membalik menyerang Suro Blondo.
"Gila betul!" pemuda berambut
merah ini menggerendeng. Kakinya
setengah tertekuk ke depan. Mulutnya
berkomat-kamit disertai menyemburnya
suara tawa yang membuat budek gendang-
gendang telinga dan menyempitnya
pembuluh darah.
'"Ratapan Pembangkit Sukma'...!"
teriak Suro Blondo. Tangannya yang
melintang ke depan dada dan diputar ke
atas dan ke depan tiba-tiba melambai
ke arah Malaikat Berambut Api.
"Mari kita sama-sama mengadu
jiwa!" desis kakek berambut merah.
Tubuhnya bergetar keras. Tangannya
diputar sedemikian hebat laksana
titiran. Di lain saat di tangan kakek
tua ini terdapat sebilah senjata
berbentuk aneh. Senjata aneh itu
mengeluarkan bunyi seperti orang
meratap dan menghiba-hiba. Dilain
kejab berubah menjadi suara siulan
atau ringkikan kuda. Sinar hitam
dingin menggidikkan bergulung-gulung
membentuk sebuah perisai yang sangat
hebat.
"Hiyaa...!" Sinar putih laksana
salju melesat dari telapak tangan Suro
Blondo. Akibat lesatan sinar itu
membuat suasana di sekitarnya berubah
dingin menggidikkan. Ditambah lagi
udara dingin yang terpancar dari
senjata aneh warna hitam di tangan
gurunya. Maka udara di sekelilingnya
menghampar hawa dingin mematikan.
Bumm!
Buuummmm!
"Wuakh... celaka...!" Suro
Blondo memekik setinggi langit.
Pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'
yang dilepaskannya kandas terhantam
senjata aneh di tangan gurunya.
Dentuman keras akibat benturan dahsyat
tadi membuat tanah di depan mereka
berlubang besar. Suro Blondo
terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya
seperti remuk, ia masih mampu
cengengesan.
SEMBILAN
Malaikat Berambut Api lintangkan
senjata berbentuk aneh itu ke depan
dada. Mulutnya menyeringai, wajahnya
yang kemerah-merahan berubah kelam
membesi.
"Suro Blondo! Kau memiliki
pukulan Maha Dasyat yang kuberi nama
pukulan 'Neraka Hari Terakhir'! Kurasa
hanya pukulan itulah yang mampu
menandingi Mandau Jantan di tanganku
ini. Ini adalah senjata sakti yang
tidak dapat dibuat main-main, Suro!
Perhatikanlah...!"
Suro Blondo tidak sempat lagi
perhatikan senjata di tangan si kakek.
Laki-laki di depannya sambil
mengerahkan tenaga dalam ke bagian
tangannya memutar senjata berwarna
hitam itu hingga menimbulkan angin
dahsyat menderu-deru. Bahkan sekarang
seluruh rambut kakek tua itu telah
berubah merah menyala. Sadarlah pemuda
bertampang Blo'on di depan si kakek.
Bahwa kakek merangkap guru ini telah
mengerahkan tenaga dalam pada puncak
tertinggi.
"Weleh, kakek sinting itu
rupanya benar-benar ingin membuat aku
mampus...!" Suro Blondo leletkan
lidah. Ia menarik kaki kirinya ke
belakang. Tangan disilangkan ke depan
dada dalam keadaan terkepal. Tubuhnya
bergetar hebat ketika Suro Blondo
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya. Akibat pengerahan tenaga
dalam sampai pada puncaknya disertai
hawa amarah yang menggelagak. Maka
secara aneh rambut Suro Blondo yang
kemerah-merahan itu berubah merah
bagaikan api. Itulah pukulan 'Neraka
Hari Terakhir' yang telah siap
dilepaskan oleh si pemuda tampan
bertampang blo'on.
Sontak sekujur tubuhnya
mengepulkan uap panas. Udara di
sekitar puncak gunung hingga ke lereng
Mahameru berubah panas seperti di
neraka. Daun-daun berubah layu,
berguguran akibat sengatan hawa panas
mamatikan itu. Dalam keadaan
berkelebat lenyap itu. Malaikat
Berambut Api menggeram. Ia babatkan
senjata sakti Mandau Jantan di
tangannya. Suro Blondo memekik kaget.
Tapi cepat hantamkan kedua tangannya
memapaki senjata maut di tangan
gurunya. Sinar merah panas membutakan
mata bergulung-gulung menerjang ke
arah si kakek. Laki-laki itu segera
merasakan bagaimana panasnya api yang
menyengat. Ia kiblatkan Mandau Jantan
di tangannya. Hawa dingin menghadang
dan menghalau sinar merah
menghanguskan yang nyaris menghantam
tubuhnya.
Blaar! Blaar!
Dentuman-dentuman keras
menggelegar laksana membelah langit.
Membuat tanah puncak Mahameru menjadi
longsor. Pohon-pohon besar
bertumbangan. Baik Malaikat Berambut
Api yang rambutnya berubah merah
memancarkan cahaya maupun pemuda
tampan bertampang blo'on sama-sama
terlempar jauh dari kalangan
pertempuran. Bahkan sebagian longsoran
tanah sempat menimbun tubuh mereka.
Sehingga tampak hanya tinggal rambut
mereka saja yang berwarna merah
menyala.
"Uhuk! Uhuk...! Tobat-tobat...!"
kata Suro Blondo yang baru saja keluar
dari reruntuhan tanah. Sementara itu
Malaikat Berambut Api yang juga
mengalami nasib sama telah duduk di
atas gundukan tanah yang menguruknya
dengan mata terpejam. Suro Blondo seka
jidatnya yang mengucurkan keringat.
Sebentar ia memandangi kakeknya yang
diam tidak bergeming.
"Ufss... napasku sesak. Sekujur
tulangku seperti mau remuk. Mata pedih
kulit hangus. Ah... guruku apakah ia
menderita luka dalam juga. Aku harus
menolongnya!" Suro Blondo melompat ke
depan. "Guru... kau...!" kata-kata
pemuda tampan bertampang blo'on
tertahan. Ia melihat mata gurunya
terbuka kembali. Tatapan matanya
memandang tajam ke arah Suro Blondo.
Sedangkan dipangkuannya terlihat
senjata aneh yang tadi telah
dipergunakannya untuk menyerang Suro
Blondo.
"Duduklah mendekat, cucuku!"
terasa berat suara Malaikat Berambut
Api. Pemuda berbaju biru tampak ragu-
ragu. Namun matanya tidak lepas
memandang senjata hampir sepanjang
pedang, namun memiliki ujung runcing
pada punggungnya, sedangkan di tengah-
tengahnya yang berbentuk pipih
memiliki empat lubang miring. Gagang
Mandau Jantan seperti yang dikatakan
gurunya tadi. Tampaknya terbuat dari
mata akar bahar berbentuk seorang
pertapa berkepala gundul dan mempunyai
kuncir di atas kepala botaknya. Suro
hanya dapat menduga, mungkin empat
lubang miring di tengah-tengah senjata
itulah yang tadi saat dipergunakan
mengeluarkan suara yang aneh-aneh.
"Mendekatlah kemari, mengapa
takut?!"
Sambil menyeka keningnya yang
terus berkeringat, Suro Blondo
menyeringai. Ia segera duduk di depan
kakeknya.
"Di depanku kuharap kau jangan
cengengesan seperti gurumu yang
sinting itu...!" kata Malaikat
Berambut Api. Suaranya tajam, namun
tegas. Suro katupkan bibirnya rapat-
rapat. Ia teringat pesan Barata Surya
tentang bagaimana ia harus bersikap
bila berhadapan dengan kakek
kandungnya ini.
"Suro Blondo! Kau tahu mengapa
hari ini kakekmu ini menguji segala
kemam-puanmu yang telah kau pelajari
dariku juga dari gurumu Barata Surya?"
"Tahu guru, eeh... Kakek...!"
"Apa?"
"Kakek mungkin mau hadiahkan
padaku sebuah senjata aneh yang dapat
merintih, dapat bersiul dan dapat pula
meringkik seperti kuda!"
"Gundulmu! Bukan itu tujuan
utama!" Malaikat Berambut Api
mendengus gusar.
"Maaf, kalau begitu aku tidak
tahu!" kata Suro sambil menjura lucu.
Dewana alias Malaikat Berambut Api
geleng-geleng kepala. Sekeras-kerasnya
Malaikat Berambut Api mendidik Suro
Blondo dalam berdisiplin. Namun karena
dasarnya ia memang memiliki watak yang
kocak, konyol dan lucu. Tetap saja
Suro Blondo menjadi dirinya sendiri.
Belum lagi bila mengingat begitu
dekatnya Suro Blondo dengan Penghulu
Siluman Kera Putih yang memang miring.
"Suro! Tahukah kau sudah berapa
tahun kau tinggal dan berguru di
puncak Mahameru ini?"
"Ee... kalau tidak salah baru
lima tahun!"
"Blo'on. Jangan bergurau."
rungut kakek berbaju merah.
"Kalau tidak salah sudah hampir
delapan belas tahun!"
"Bagus!" Malaikat Berambut Api
tersenyum puas. "Selama itu kau sudah
mempelajari seluruh ilmu sakti yang
kami punya. Kau harus ingat. Bila kau
meninggalkan puncak Mahameru ini. Maka
orang-orang yang perlu kau cari adalah
musuh besarmu yang telah membunuh
kedua orang tuamu! Selain itu
pergunakanlah segala kesaktian yang
kau miliki untuk menolong sesama
manusia yang membutuhkan pertolongan.
Jangan congkak dan takabur terhadap
apa yang kau punya. Karena di atas
langit masih ada langit!"
Suro Blondo mendongak ke langit
tiba-tiba. "Ah, kakekku pikun
barangkali. Sejak dulu langit cuma
satu." membatin Suro Blondo.
"Sinting! Maksudku semuanya
adalah perumpamaan." desis kakek
Dewana yang seakan mengerti apa yang
dipikirkan oleh cucunya. Suro tepuk-
tepuk jidatnya.
"Disamping itu, Suro Blondo.
Akhir-akhir ini kudengar di puncak
Gunung Bromo ada sekawanan manusia
iblis yang telah begitu berani membuat
cemar dan mengobrak-abrik tanah milik
leluhurmu! Juga merupakan tugasmu
untuk membasmi manusia-manusia durjana
pemeras rakyat itu. Lakukanlah apa
yang dapat kau lakukan. Pergunakan apa
yang dapat dari kami untuk kebenaran.
Apakah kau mengerti Suro?"
"Mengerti, Kek?"
"Mengerti apa?"
"Semua ilmu yang Kakek dan guru
Barata Surya berikan kepadaku, hebat
semua!" sahut Suro Blondo, mimiknya
terkesan serius.
"Geblek! Sinting! Bukan itu
maksudku!"
Pemuda bertampang blo'on usap-
usap keningnya. "Sekarang aku sudah
mengerti apa yang Kakek maksudkan. Dan
aku berjanji tidak akan membuat Kakek
kecewa." kata Suro Blondo serius.
Malaikat Berambut Api, tokoh
sakti dari pulau Seribu Satu Malam
dari laut selatan ini terdiam. Ia
menimang-nimang senjata Mandau Jantan
yang berwarna putih itu dari
pinggangnya. Suro memperhatikan semua
itu tanpa pernah berkedip sekali pun.
Sreek!
Senjata berbentuk aneh dengan
lubang miring di tengahnya itu
dimasukkan ke dalam rangkanya.
"Kau sudah melihat senjata maut
tadi, Suro?" kakek Dewana memandang
tajam pada muridnya. Suro Blondo
mengangguk.
"Hampir tujuh puluh tahun aku
membuat senjata sakti itu, Suro.
Segenap kemampuan dan kesaktianku
kucurahkan pada senjata ini. Dalam
umur delapan puluh lima tahun. Sudah
saatnya bagiku untuk menyerahkan
senjata sakti ini pada orang yang
pantas!"
Suro Blondo tersentak kaget.
Semula ia menyangka umur kakeknya
paling baru lima puluh tahun. Tidak
tahunya sudah delapan puluh lima.
"Kupesankan padamu. Rangka
Mandau Jantan ini dapat melenyapkan
segala macam bisa! Kau dapat
mempergunakannya jika sewaktu-waktu
kau benar-benar membutuhkannya. Nah
sekarang terimalah...!" Malaikat
Berambut Api mengangsurkan tangannya
pada Suro Blondo.
"Guru, Kakekku! Mana berani
aku...!"
"Goblok! Terima kataku!" bentak
kakek Dewana, marah bukan main.
"Tapi...!" Suro masih ragu-ragu.
"Kenapa?"
"Apa aku pantas menerima
kepercayaan ini?"
"Tentu saja. Karena senjata ini
khusus kuciptakan untuk orang
sepertimu. Perlu kau tahu, mulai saat
ini karena tampangmu yang tolol itu.
Maka kau pantas kuberi gelar Pendekar
Blo'on...!"
Suro Blondo kerutkan kening.
Wajahnya tampak berubah memerah. Tapi
kemudian terdengar suara tawanya
membahak. Tawa itu semakin lama
semakin meninggi membelah langit. Jika
bukan Malaikat Berambut Api yang
berada di depan Suro Blondo. Niscaya
orang itu terjengkang roboh akibat
pengaruh suara tawa si pemuda.
"Diam! Kenapa kau tertawa?"
Malaikat Berambut Api meradang.
(Meradang = marah).
"Pendekar Blo'on... guru Barata
Surya juga pernah berkata begitu. Aku
setuju... ha ha ha.... Blo'on...! Tapi
pintar...!" Suro Blondo tertawa dan
tertawa lagi. Perutnya terguncang-
guncang. Matanya sampai terpicing
karena geli.
Namun pemuda ini tampak terkejut
ketika membuka mata, Malaikat Berambut
Api sudah lenyap dari hadapannya. Suro
Blondo mencari-cari. Dikejauhan sayup-
sayup terdengar suara Dewana.
"Aku akan pulang ke pulau Seribu
Satu Malam. Sekarang sudah waktunya
bagimu untuk turun gunung...!"
"Wah aku harus turun gunung.
Bagaimana ini... ke mana perginya
guruku, si sinting yang satunya lagi
ke mana dia. Beliau sekarang berada di
mana?" Suro Blondo usap-usap jidatnya
yang keringatan. Tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang seakan datang dari
sebuah tempat yang sangat jauh seperti
dari perut gunung Mahameru.
"Anak bodoh! Jangan cuma
celingak-celinguk seperti kunyuk!
Lekas kau merat tinggalkan tempat
ini! Aku sudah muak lihat tampangmu!"
Jelas yang bicara melalui ilmu
mengirimkan suara itu adalah Barata
Surya, gurunya yang konyol.
"Walah! Siluman jelek! Aku sudah
bosan mendekam terus di puncak
Mahameru ini!" Ucapan itu disambung
dengan suara tawa membahak yang tidak
putus-putusnya. Hingga membuat suasana
di sekelilingnya seperti diguncang
petir.
SEPULUH
Adalah satu kecelakaan besar
bagi siapa saja yang berani
menentang kekuasaan partai Dunia
Akhirat. Balung Raja, Braja Musti,
Baja Geni dan Ki Rambe Edan jadi
uring-uringan setelah membaca
sobekan kain kuning yang dibawa oleh
Tiga Iblis Pemburu Nyawa. Hampir enam
belas tahun selama mereka mendirikan
markas besar di puncak gunung Bromo.
Belum pernah ada seorang pun orang-
orang rimba persilatan berani mengusik
atau mencampuri sepak terjang mereka
yang ganas. Tapi hari ini tiga
pembantu utama telah jadi pecundang
seorang gadis cantik yang tidak pernah
mereka kenal sama sekali.
Sungguh pun suasana di dalam
markas yang mirip istana kecil ini
semakin memanas. Namun karena begitu
banyaknya urusan yang harus
diselesaikan oleh pentolan-pentolan
yang tergabung dalam partai Dunia
Akhirat. Maka mereka hanya mengirimkan
seorang tokoh sakti bernama Braja
Musti. Pagi-pagi sekali laki-laki ber-
tampang kejam bersenjata bola berduri
ini dengan diiringi oleh Tiga Iblis
Pemburu Nyawa tampak menggebrak kuda
tunggangannya menuju daerah
Nongkojajar. Seperti dikejar-kejar
setan mereka memacu kuda-kuda
tunggangan itu. Setiap orang yang
dijumpai di tengah jalan, cepat-cepat
menyingkir saat melihat siapa para
penunggang kuda tersebut.
"Heya...!"
"Heya...!" suara teriakan-
teriakan menyelingi derap langkah kaki
kuda. Debu mengepul ke udara. Semakin
lama para penunggang kuda itu semakin
jauh meninggalkan lereng Gunung Bromo.
Sebelum sampai di daerah
Nongkojajar di sebuah tempat yang agak
tersembunyi terdapat sebuah telaga
yang cukup luas. Airnya terasa sejuk
karena memang di atas telaga itu
tertutup pohon-pohon liar yang cukup
tinggi. Masih dari atas telaga,
terdengar suara seseorang
bersenandung. Menilik besarnya suara
pastilah pemiliknya merupakan seorang
gadis. Atau mungkin juga seorang
banci, atau boleh jadi kuntilanak.
Terlebih-lebih mengingat di daerah itu
tidak satu pun terlihat ada rumah
penduduk. Seorang pemuda yang baru
saja muncul dari arah utara. Mendadak
saja menghentikan langkahnya. Ia
menarik napas dalam-dalam saat mencium
bau harum yang sangat menyengat.
Sesaat pemuda berbaju biru muda
memakai ikat kepala warna biru belang-
belang kuning ini celingak-celinguk
menyapu pandang tempat di
sekelilingnya. Wajah pemuda ini
sebenarnya cukup tampan, rambutnya
hitam kemerah-merahan. Cuma tampangnya
seperti orang Blo'on. Lagaknya yang
cengar-cengir menimbulkan kesan lucu
yang polos.
"Bau wangi ini apakah bau setan?
Tapi ada orang menyanyi-nyanyi. Ah...
sepertinya dari sana...!" Tanpa
prasangka apa-apa, pemuda berbaju biru
muda ini bergerak mendatangi. Semakin
dekat ia ke arah telaga, maka suara
nyanyian semakin bertambah jelas, bau
harum yang sempat terendus hidungnya
juga semakin menyesakkan dada. Si
pemuda yang tiada lain Suro Blondo
alias Pendekar Blo'on segera
bersembunyi di balik sebuah batu besar
ketika melihat air telaga bergolak
besar. Semula ia menyangka orang yang
bernyanyi-nyanyi dalam telaga itu
adalah bidadari yang baru turun dari
kayangan. Dengan takut-takut ia
tongolkan kepalanya.
"Busyet! Orang itu tidak
berpakaian. Mengapa tidak seperti aku?
Dia punya bisul kembar di dadanya! Ini
pasti porno. Baiknya aku cepat
pergi...!" Dengan wajah memerah karena
dengan tidak sengaja ia telah
mengintip gadis cantik yang sedang
mandi. Suro Blondo bermaksud
meninggalkan tempat secepatnya.
Tapi celakanya kakinya
tergelincir karena memang batu yang
dipijaknya licin bukan kepalang.
Grosak!
"Aduh...!" Suara berisik semak-
semak dan keluhan pendekar Blo'on
terdengar oleh gadis yang baru saja
mengenakan pakaiannya kembali.
"Pengintip kurang ajar! Jangan
lari...!"
"Ala emak, mati aku!" Si pemuda
mengeluh. Setelah celingak-celinguk
dan tidak melihat orang di situ.
Dengan mempergunakan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah sangat sempurna ia
menjejak kakinya. Tubuhnya melesat ke
udara. Dilain saat ia telah
bersembunyi di atas cabang pohon
paling tinggi.
"Mudah-mudahan gadis itu tidak
melihatku! Malu aku kalau ketahuan!"
batin Suro Blondo.
Dugaan pemuda tampan berambut
merah pirang ini memang tidak meleset.
Beberapa saat tampak seorang gadis
berpakaian serba kuning berambut
panjang telah berdiri disitu. Matanya
memandang berkeliling tapi ia tidak
melihat siapa pun disitu.
"Tadi aku mendengar suara orang
di sini! Betul... ini bekasnya...!
Jelas-jelas ia mengintipku! Kurang
ajar betul!" maki si gadis dengan
wajah berubah merah jengah.
"Pengintip kudisan! Aku tahu kau
masih bersembunyi di sekitar sini.
Cepat tunjukkan diri kalau tidak ingin
kupecahkan kepalamu!"
Suro Blondo memperhatikan kulit
tangannya. "Ah... aku tidak kudisan
seperti yang dikata gadis itu. Kalau
begitu pasti ada orang lain lagi di
sini selain aku!" Suro Blondo usap-
usap keningnya yang keringatan.
Namun tiba-tiba saja pemuda ini
jadi kelabakan ketika tangannya mulai
diserang semut-semut merah. Semakin ia
berusaha menahan serangan semut-semut
itu. Maka semakin bertambah banyaklah
makhluk-makhluk kecil ini yang
menggigitnya.
"Celaka...!" Walau suara Suro
Blondo tidak keras, namun cukup di
dengar oleh gadis di bawahnya. Sontak
ia mendongakkan kepalanya ke atas
pohon.
"Monyet pengintip baju biru,
harap turun tunjukkan tampang!" teriak
gadis baju kuning sambil bertolak
pinggang.
"Sudah ketahuan begini, terpaksa
aku turun...!" Dengan gerakan yang
sangat indah sekali, pendekar Blo'on
bersalto beberapa kali. Dengan kedua
kakinya ia menjejak persis di depan
gadis itu. Ia usap-usap keningnya yang
berkeringat. Lagaknya cengar-cengir.
Gadis di depannya yang semula tampak
marah, kini malah terkejut.
"Aneh...! Pemuda ini tampan,
tapi mimiknya tampak tolol! Lagi pula
mengapa rambutnya bisa berwarna merah
pirang begitu?" membatin gadis berbaju
kuning.
Sebaliknya Suro Blondo memandang
ke arah si gadis tidak berkesip."
Cantik... cantik bukan main. Kulitnya
putih bersih, ada tahi lalat pula di
dagunya. Siapakah dia? Apakah benar
dia seorang bidadari?"
"Pemuda mata keranjang! Berani
kau memandangku? Sudah mengintip
sekarang kau melihatku begitu rupa!"
Membentak gadis baju kuning, hingga
membuat Suro Blondo terjingkat kaget.
"Ma... maaf Nisanak! Sebenarnya
aku bukan mengintipmu. Aku tidak
sengaja... sungguh...!" sahut si
pemuda dengan mimik lucu. Sungguh pun
ia telah berusaha bersikap serius.
"Dusta...!"
"Aku tidak berdusta!"
bantah Suro Blondo.
"Tampangmu saja seperti orang
bego. Padahal kau pengintip licik!
Rasakan nih! Hiyaa...!" Tidak banyak
cakap, dara berbaju kuning berwajah
cantik ini langsung kirim satu
tendangan dahsyat ke arah dada Suro
Blondo. Melihat angin kencang menderu
ke dadanya. Suro Blondo yakin
tendangan yang dilakukan si gadis
mengandung tenaga dalam tinggi. Suro
Blondo terkesiap. Ia melompat mundur
sejauh dua tombak.
"Nisanak! Jangan...! Kau salah
sangka...!" Pemuda itu berusaha
membela diri. Namun manalah gadis baju
kuning mau mengerti. Ia terus
menyerang bahkan sekarang mulai
melepaskan pukulan-pukulan tangan
kosongnya. Suro Blondo terus mengelak.
"Mengelak terus bisa kojor aku!"
membatin si pemuda. Untuk menghindari
serangan yang semakin bertambah ganas
itu. Suro Blondo kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu'. Spontan tubuhnya
meliuk-liuk, gerakan-gerakan yang
dilakukannya tidak ubahnya seperti
tingkah seekor monyet. Terkadang
tangannya menggaruk, kaki berjingkat-
jingkat. Atau menangkis dengan sikap
seperti main-main.
"Bagus! Rupanya kau hanya
sejenis kunyuk yang hanya pandai main
sulap. Kerahkan semua yang kau punya!
Aku ingin melihat tiga jurus di muka
kau masih mampu melompat lompat
seperti monyet!" bentak dara baju
kuning marah bukan main.
"Ah... ah... jangan marah terus.
Nisanak salah paham!"
"Persetan dengan salah paham!
Mampus...!" Gerakan silat dara baju
kuning berubah seketika. Jika tadi ia
menyerang dengan gerakan yang sangat
teratur mengundang maut. Kini diawali
dengan satu bentakan menggeledek.
Tubuhnya berkelebat lenyap, hingga
tinggal berupa bayang-bayang kuning
saja. Satu hantaman keras menderu ke
bagian wajah Suro Blondo. Ia tersentak
kaget sekaligus menarik wajahnya ke
depan.
"Mati aku...!" Suro Blondo
menggerutu. Tangannya menyodok ke
depan dengan maksud menangkis tangan
kiri lawan yang mencengkeram bagian
lambungnya. Namun rupanya serangan itu
hanya tipuan belaka. Sebaliknya kaki
dara baju kuning sudah menghantam
perutnya. Suro Blondo tidak dapat
selamatkan perutnya.
Buuk!
Pemuda berbaju biru muda berikat
kepala warna biru belang-belang kuning
ini jatuh terguling-guling. Isi
perutnya seperti diaduk-aduk. Anehnya
ia masih mampu cengengesan seakan
tidak merasakan akibat apa-apa. Selain
kaget, gadis ini tentu saja marah
sekali. Tendangan yang dilakukannya
jelas mengandung tenaga dalam tinggi.
Paling tidak pemuda tampan bertampang
tolol di depannya menderita luka dalam
yang tidak ringan. Tapi ternyata
pemuda itu malah cengengesan.
Semakin panas semakin bertambah
penasaran, dara baju kuning. Hingga
amarahnya yang meluap-luap itu
dilampiaskannya dengan menyerang Suro
Blondo lebih dahsyat lagi.
"Ups... tidak puaskah kau
setelah hampir membuat remuk ususku,
Nisanak...!" pekik Suro Blondo.
"Mana aku bisa puas kalau belum
membuat remuk mukamu yang konyol itu!"
bentak dara baju kuning.
"Gadis liar ini kalau belum
kubikin kapok semakin besar kepala
saja...!" rutuk pendekar Blo'on. Saat
ia melihat serangah dara baju kuning
menderu lagi menyerang sepuluh jalan
darah. Sadarlah Suro Blondo lawannya
tidak main-main dengan ancamannya.
"Hiiiiiit...!" disertai suara
menggeredeng panjang. Jemari tangan si
pemuda terpentang ke depan. Pinggulnya
bergoyang seperti orang yang sedang
menari. Mulutnya pletat-pletot seakan
mengejek. Hampir sama dengan gerakan
monyet melompat. Suro Blondo menerkam
ke depan dengan badan setengah
membungkuk.
Dara baju kuning terkesiap. Ia
menyambuti cengkeraman jemari tangan
si pemuda dengan tendangan kaki yang
terarah pada bagian kepala lawannya.
Gerakan yang menganggap enteng lawan
ini segera disambut Suro Blondo
Jab!
Tangan kanan si pemuda
mencengkeram kaki lawannya. Kemudian
dengan tenaga kasar didorongnya kaki
sang dara.
"Ups...! Keparat betul...!" Sang
dara terpaksa jungkir balik untuk
menyelamatkan kepalanya yang terus
meluncur ke arah sebongkah batu di
belakangnya.
Jlik!
Kini gantian dara baju kuning
yang terbengong-bengong. Sama sekali
ia tidak menyangka pemuda tampan
bertampang tolol itu dapat
menyerangnya sedemikian rupa. Lebih
tidak menyangka lagi, pemuda berambut
pirang itu ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Jika ia memang mau
mencelakai. Pasti sejak tadi pemuda
itu telah mempergunakan tenaga
dalamnya untuk mencelakai dirinya.
Sungguh pun begitu ia masih merasa
penasaran. Ia ingin menjajal sekaligus
menjajaki kemampuan yang dimiliki oleh
pemuda di depannya. Namun sebelum
niatnya kesampaian. Ia mendengar derap
suara langkah kaki kuda mendekat ke
arah mereka.
"Jangan ke mana-mana, pemuda
Blo'on. Urusan kita belum selesai. Aku
merasa perlu mengurus kunyuk-kunyuk
jelek berkuda yang baru datang
itu...!" desis dara baju kuning. Ia
memandang ke arah datangnya suara
kuda. Sungguh pun masih agak jauh,
namun ia sudah dapat melihat siapa
siapa saja penunggang kuda itu,
terkecuali satu orang di antaranya ia
memang tidak mengenalnya sama sekali.
SEBELAS
Benar saja tidak lama para
penunggang kuda berpakaian serba hitam
telah berhenti di depannya. Begitu
sampai salah seorang di antara mereka
langsung menuding dara berbaju kuning
gading.
"Itu dia gadis liar yang telah
berbuat kurang ajar pada kami,
tetua...!" Yang bicara adalah Wongso
Mendit yang bibirnya pernah disobek
oleh sang dara saat bentrokan di
warung beberapa hari yang lalu. Braja
Musti, laki-laki tegap berperut buncit
berkumis melintang macam tambang dada
menggeram. Tenggorakannya turun naik
setelah melihat kecantikan sang dara.
"Kulihat di tempat ini seperti
bekas terjadi pertempuran!" Braja
Musti yang biasanya bersikap kasar ini
bicara pelan. Suaranya juga lunak.
Dara baju kuning meludah ke tanah. Ia
melihat ke arah pemuda berambut
pirang. Tapi dara baju kuning
terkesiap, karena melihat pemuda itu
tampan berambut merah bertampang tolol
sudah tidak ada lagi di situ.
"Tampaknya kau kehilangan lawan,
anak manis! Tapi kau tidak perlu
berkecil hati! Kami pantas menjadi
lawanmu setelah kau merobek mulut
salah seorang anak buahku! Sebelum itu
coba kau jelaskan mengapa kau begitu
berani mencari penyakit mengusik
ketentraman kami!" sambil berkata mata
Braja Musti menjelajah lekuk liku
tubuh si gadis dengan jalang.
"Manusia anjing kurap!"
mendamprat dara baju kuning." Delapan
belas tahun yang lalu, kau dan tiga
kawanmu telah membunuh orang-orang
hamil tidak berdosa di lereng Gunung
Bromo. Sekarang saatnya bagimu untuk
mempertanggung jawabkan dosa-dosa
kalian!" Kening Braja Musti laki-laki
berusia hampir tujuh puluh tahun ini
berkerut dalam.
"Kau tidak perlu kerutkan kening
segala! Berpura-pura lupa telah
menghutang nyawa ayah ibuku!" semakin
lantang suara sang dara. Jelas ketika
itu ia benar-benar dikuasai amarah
menggelegak. Seumur-umur belum pernah
Braja Musti dibentak oleh orang lain,
apalagi oleh seorang gadis yang tidak
dikenalnya sama sekali. Wajahnya pun
berubah memerah.
"Eeh... siapakah kau...!"
"Aku Dewi Bulan! Sengaja datang
kemari ingin mencabut nyawa empat
tokoh sesat yang sekarang bercokol di
puncak Gunung Bromo!"
Saat itu Suro Blondo yang
sengaja menghindar dan bersembunyi di
kerimbunan pohon tampak melongo. Ia
seka keringat di dahi, matanya terus
memandang ke bawah.
"Tidak kusangka aku mempunyai
tujuan yang sama dengan gadis itu.
Tapi kurasa kunyuk jelek itu bukan
orang yang membunuh orang tuaku!" Suro
Blondo menduga-duga. Namun kemudian ia
teringat pesan Malaikat Berambut Api.
"Walaupun bukan pembunuh orang
tuaku! Guru berpesan agar aku juga
mengusir orang-orang partai Dunia
Akhirat! Lebih baik kutunggu dulu apa
yang terjadi."
Sementara Dewi Bulan yang
terlihat tegang tarik urat sudah tidak
ingin menunggu lebih lama lagi. Begitu
membentak ia sudah lepaskan satu
serangan dahsyat ke arah Braja Musti.
Orang yang diserang terkekeh. Ia
papaki serangan tangan kosong lawan
dengan mempergunakan kaki kanan-nya.
Serangan menyamping itu luput. Dewi
Bulan merasa gusar, tangannya tidak
ditarik pulang tapi terus meluncur ke
kepala kuda Braja Musti.
Praak!
Kuda tunggangan meringkik keras.
Braja Musti hampir terpelanting jika
saja ia tidak cepat lakukan jungkir
balik, lalu jejakkan kaki ke tanah
sambil memaki.
"Bocah liar! Kau akan merasakan
betapa pedihnya siksaanku. Tapi
sebelum kematianmu. Aku akan
memanfaatkan kebagusan tubuhmu untuk
bersenang-senang!" Braja Musti
mengekeh panjang.
"Puih! Manusia hina! Mampuslah
kau...!" jerit Dewi Bulan. Sekaligus
menerjang, sekarang ia mengerahkan
jurus 'Dibalik Mega Gajah Semburkan
Air'. Segelombang angin kencang dingin
membekukan datang bergulung-gulung
melabrak tubuh Braja Musti. Laki-laki
tua ini sempat terkesiap, namun tanpa
membuang waktu lagi segera melompat ke
samping. Lalu ia memutar tangannya ke
arah datangnya angin serangan itu.
Buss!
Serangan gencar yang dilakukan
sang dara seakan tertahan. Braja Musti
membentak. Dan tubuhnya berkelebat ke
depan sambil hantamkan dua
tinjunya secara beruntun. Tanpa
ayal lagi Dewi Bulan menyambuti
serangan itu. Saat tinju datang, ia
menepis dengan tangan kanannya.
Plaak!
"Iiih...!" Dewi Bulan berseru
tertahan. Tubuhnya sempat tergetar.
Sedangkan tangan yang dipergunakan
untuk menepis terasa panas mendenyut.
Sebaliknya Braja Musti juga sempat
terperangah. Ia tidak menyangka gadis
semuda itu telah memiliki tenaga dalam
yang sangat tinggi. Lima jurus telah
berlalu. Braja Musti menggembor.
Tubuhnya berkelebat lenyap laksana
bayang-bayang. Angin kencang
bersiuran. Sehingga dara baju kuning
itu sekarang tampak terkurung
bayangan hitam yang terus melancarkan
serangan-serangan mautnya.
Tawa Dewi Bulan menggema,
tubuhnya bersalto ke udara. Ketika ia
berbalik ke bawah satu pukulan jarak
jauh dilepaskannya.
Wuiss!
"Hmm...!" Braja Musti
menggerendeng. Ia angkat tangannya
tinggi-tinggi. Serangkum sinar panas
datang menggebu menyongsong pukulan
yang dilepaskan oleh lawannya.
Blaar! Blaar!
Dua kali ledakan dahsyat
terdengar berturut-turut. Dewi Bulan
terpental sejauh tiga tombak. Wajahnya
berubah pucat. Sebaliknya Braja Musti
jatuh terduduk. Mulutnya menyeringai,
dada terasa sesak seperti ditindih
batu gunung.
Dewi Bulan bangkit berdiri,
dengan langkah agak terhuyung-huyung
ia mencabut pedang pendek berwarna
putih berkilauan. Saat itu Wongso
Mendit, Lingga dan Karsa Jaliteng yang
mempunyai dendam tersendiri terhadap
gadis itu sudah menyerbu Dewi Bulan
dengan pedang terhunus di tangan
masing-masing.
"Walah ini yang namanya tidak
adil!" gerutu Suro Blondo. Ia memutus
empat buah ranting lalu
menyambitkannya ke arah Tiga Iblis
Pemburu Nyawa bersamaan waktunya
dengan berkelebatnya pedang di tangan
lawan-lawan Dewi Bulan.
Traang!
Terdengar tiga kali suara
berdentang. Tiga Iblis Pemburu Nyawa
memekik kaget. Tangan mereka bergetar
hebat. Hawa panas terasa menyengat
bagian telapak tangan sehingga membuat
pedang di tangan masing-masing hampir
terlepas dari tangan.
Braja Musti sendiri sempat
tertegun melihat anak buahnya sempat
tersentak ke belakang dan menjerit-
jerit seperti kesetanan.
Di saat itulah terlihat sosok
tubuh berbaju biru muda melayang turun
dari kerimbunan pohon. Ia menjejakkan
kedua kakinya persis di samping Dewi
Bulan. Gadis itu sempat pelototkan
mata ketika mengenali pemuda di
sampingnya. Suro Blondo tersenyum.
"Dalam keadaan seperti ini
jangan kau marah padaku, Nisanak.
Musuh-musuh yang kau hadapi adalah
musuhku juga...!" Dewi Bulan akhirnya
hanya diam saja. Sementara Braja Musti
sambil menggembor marah melompat
mendekati lawannya.
"Pemuda bertampang tolol! Jangan
campuri urusan orang lain!
Menyingkirlah sebelum orang-orangku
menggorok lehermu!" bentaknya dengan
kemarahan menggelegak.
Suro Blondo cengengesan.
Mulutnya yang pletat-pletot menggeram:
"Masa aku hanya diam saja melihat
seorang gadis dikeroyok oleh empat
monyet brewok bertampang iblis!"
"Bangsat! Siapakah kau?"
"Mengenai siapa aku tidak
penting!" kata Suro Blondo mengejek.
"Cuma sedekar kalian ketahui. Aku juga
mempunyai tujuan yang sama dengan
nisanak ini...!"
"Ha ha ha! Bocah bau ingus! Kau
akan menyesal seumur-umur karena telah
begitu berani mengusik kewibawaan
kami!"
"Tetua! Mengapa harus bertele-
tele! Serahkan pada kami biar kami
bereskan dua ekor tikus yang tidak
tahu peradatan ini!" menyela Karsa
Jaliteng tidak sabar.
"Bunuh mereka!" teriak Braja
Musti.
Ini adalah perintah yang sangat
di-tunggu-tunggu oleh Tiga Iblis
Pemburu Nyawa. Tanpa berpikir lagi,
mereka sudah menerjang saling dahulu
mendahului. Pedang di tangan mereka
menderu, berkelebat-kelebat menyambar
dengan ganasnya. Suro Blondo ganda
tertawa. Tubuhnya melompat ke atas.
Lalu pergunakan jurus 'Serigala
Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Sungguh lucu dan konyol gerakan silat
yang dimainkan oleh pemuda ini. Tapi
setiap serangan balasan yang
dilakukannya cukup berbahaya disamping
mengeluarkan angin menderu-deru.
"Hiya! Nguk! Nguk...!" Suro
Blondo melompat-lompat. Pinggulnya
bergoyang-goyang. Tubuhnya seruduk
sana seruduk sini. Karsa Jaliteng
penasaran bukan main melihat
serangannya selalu menghantam tempat
kosong. Saat pemuda lawannya melakukan
sergapan ke arahnya. Pedang di
tangannya kembali menderu membacok dan
membabat.
"Ups...!" Dengan gerakan yang
sungguh lucu dan konyol. Suro Blondo
berhasil mengelakkan serangan lawan.
Tangan kanannya menjulur ke bagian
pertahanan lawan yang lowong.
Praak!
"Akkhgh...!" Karsa Jaliteng
melolong setinggi langit. Tubuhnya
terbanting mukanya hancur terhantam
pukulan lawannya. Wajah tokoh Tiga
Iblis Pemburu Nyawa mandi darah.
Tubuhnya diam, nyawanya putus
seketika.
Sementara itu Dewi Bulan juga
telah berhasil mendesak dua lawannya.
Pedang pendek di tangannya terus
menderu-deru. Mati-matian Wongso
Mendit dan Lingga berusaha bertahan.
Tapi setiap ia melakukan serangan
balasan selalu dapat dihalau oleh Dewi
Bulan.
"Terus... terus...! Bunuh saja
monyet jelek itu, Nisanak!" Suro
Blondo memberi semangat. Ia bahkan
bertepuk tangan. Melihat ini Braja
Musti berang bukan main.
"Monyet tolol! Jangan hanya
bertepuk tangan disitu! Makanlah
senjataku!" Teriak laki-laki berusia
enam puluhan ini. Bola berduri di
tangannya menderu dan menimbulkan
udara dingin menusuk sumsum.
"Hups! Kurang ajar. Monyet
jelek, curang!" Suro Blondo meliukkan
tubuhnya dengan gerakan yang sangat
indah sekali.
Bumm!
Satu ledakan terdengar ketika
senjata berbentuk aneh itu menghantam
batu di belakang pendekar Blo'on. Suro
Blondo geleng-geleng kepala melihat
lubang besar akibat hantaman senjata
maut lawannya.
'"Seribu Kera Sakti Mengecoh
Harimau'...!" jerit pemuda tampan
bertampang blo'on ini. Seketika
gerakannya berubah cepat bukan main.
Tubuhnya bergerak laksana kilat.
Tangan, kaki yang menendang tampak
berubah menjadi banyak sedemikian
rupa. Seakan tubuh Suro Blondo berubah
menjadi ratusan mengelilingi Braja
Musti dari segala penjuru arah.
Seumur hidup belum pernah Braja
Musti mendapat lawan yang memiliki
jurus seaneh ini. Sambil kertakkan
rahang, Braja Musti semakin
memperhebat serangannya. Tapi hanya
dalam beberapa jurus kemudian laki-
laki ini terpelanting roboh ketika
tersapu tendangan kaki lawannya. Dalam
waktu bersamaan, tubuh Dewi Bulan tam-
pak berputar sebat laksana sebuah
gading. Pedang di tangannya laksana
kilat membacuk, menebas menusuk dan
menghantam pertahanan lawannya yang
sudah morat-marit.
"Hiyaa...!"
Crass! Craas!
Wongso Mendit dan Lingga tampak
melintir tubuhnya. Tenggorokannya
robek besar. Darah mengucur deras dari
luka itu. Mata mereka tampak melotot
seakan tidak percaya dengan apa yang
mereka alami. Tubuh kedua orang ini
langsung terguling roboh menyusul
kawannya.
Trek!
Dewi Bulan memasukkan pedang
pendek ke dalam sarungnya. Ia
memandang pada Suro Blondo yang terus
menyerang Braja Musti dengan bola
berduri milik lawannya yang berhasil
dirampasnya.
Entah mengapa sekarang timbul
rasa sukanya setelah melihat kehebatan
dan kekonyolan pemuda itu.
"Lekas bunuh monyet brewok itu.
Ayo...!" Dewi Bulan berteriak-teriak
ditujukan pada si pemuda. Dengan mimik
serius, Suro Blondo terus menerjang.
Braja Musti yang tampak selalu gagal
melepaskan pukulan jarak jauhnya jadi
terdesak. Geram campur marah menyatu
dalam jiwanya. Suro Blondo yang ketika
itu telah mengerahkan jurus tingkat
tinggi. Yaitu jurus 'Tawa Kera
Siluman', benar-benar sudah tidak
dapat tertahan lagi gelombang
serangannya. Satu ketika Braja Musti
bermaksud merebut senjata andalannya
kembali. Namun bersamaan dengan itu
Bola Berduri rampasan tepat menderu ke
dadanya. Gerakan itu cepat bukan main.
Sehingga Braja Musti tidak mampu
menghindarinya lagi.
Braak!
Bola Berduri langsung amblas ke
dalam dada Braja Musti. Laki-laki ini
terhuyung, bibirnya mengeluarkan suara
seperti tercekik. Tubuhnya melejang
lejang. Kemudian mati dalam keadaan
jatuh terduduk.
"Ha ha ha! Mati...! Satu dari
empat iblis telah mati...!"
"Kisanak! Karena kau telah
menyelamatkan aku. Aku menganggap
urusan di antara kita telah selesai.
Oh ya... siapakah namamu?" tanya Dewi
Bulan. Ditanya dengan ramah oleh gadis
cantik yang tadi sempat hampir
mencelakainya. Jantung Suro Blondo
terasa dek-dekkan juga.
"Nisanak tidak marah lagi
padaku?"
"Kalau masih marah, sudah
kugebuk kau sejak tadi!"
Suro Blondo sebelum menjawab
usap keningnya yang keringatan.
"Namaku Suro Blondo!"
"Pantasan...!" Dewi Bulan
tidak meneruskan ucapannya.
"Pantasan apa?"
"Wajahmu ganteng tapi tampangmu
bego...!" Dewi Bulan tersenyum.
Sungguh mendebarkan senyumnya. Karena
dua pipinya membentuk lesung pipit.
"Kau juga cantik! Sayang ceriwis
dan pemarah!" sahut Suro Blondo,
cengengesan. Anehnya Dewi Bulan tidak
marah. Malah ia balas tersenyum.
Sesaat ia memandangi pemuda tampan
bertampang blo'on di depannya.
Bersamaan waktunya Suro Blondo
memandang pula ke wajah si gadis.
Tatapan mata mereka bertemu. Hati Dewi
Bulan berdebar keras. Wajahnya bersemu
merah. Ia cepat palingkan wajah ke
arah lain.
"Suro! Maaf perjumpaan kita
sampai di sini saja. Aku ada urusan
mendesak di Gunung Bromo...!" Hanya
dalam sekedipan mata saja, Dewi Bulan
telah lenyap dari hadapannya.
"Hei... tunggu...! Aku juga mau
ke Gunung Bromo...!" teriak Pendekar
Blo'on memanggil. Ia pun mengejar ke
arah lenyapnya si gadis sambil
mengerahkan ilmu lari cepat Kilat
Bayangan. Bagaimanakah nasib Dewi
Bulan dan Pendekar Blo'on? Mampukah
mereka menghadapi orang-orang yang
telah membunuh kedua orang tua mereka?
Petualangan Suro Blondo,
Pendekar Blo'on Mandau Jantan
selanjutnya, dalam episode 'Bayang
Bayang Kematian'.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar