"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PENDEKAR KEDOK PUTIH

 



PENDEKAR KEDOK PUTIH

SATU


"Saya tak mengerti, Kakek."

"Seruling ini bisa menggetarkan jiwa dan mem-

bunuh," kata Ki Ageng Jayasih menjelaskan. "Kau ha-

rus menggunakannya dengan hati-hati. Jangan sem-

barangan, karena ini bukanlah seruling biasa. Kau ba-

ru boleh menggunakan seruling ini jika kau terdesak 

oleh suatu masalah yang amat gawat dan mengancam 

jiwamu...."

"Kakek...." potong Pranata.

"Ya?"

"Kalau begitu, untuk apa seruling itu aku bawa, 

kalau hanya menyengsarakan orang?"

"Pranata... pertanyaanmu sungguh bagus. Tak 

ada salahnya kalau seruling itu kau bawa tetapi harus 

kau ingat, jangan bunyikan seruling itu jika tak ada 

masalah yang mengharuskan kau membunyikannya. 

Itu saja pesanku. Ingat, kau

meniup tanpa sebab, orang yang mendengarnya 

bisa mati terkena tiupan seruling itu."

Pranata mengangguk dan sejak saat itu dia 

menyimpan seruling naga dalam kamarnya. Dan mem-

buat sebuah seruling biasa. Sampai dia pergi mening-

galkan gunung Muria, sekali pun tak pernah ditiupnya 

seruling itu.

Keesokan harinya, Pranata sudah kembali ber-

jalan. Tidurnya nyenyak semalam, dia menemukan se-

buah goa Kecil yang nyaman untuk tidur.

Hari ini, dia ingin langsung menuju rumah 

ayah bundanya, menuju perguruan Topeng Hiram. 

Dengan mempergunakan ilmu larinya, Pranata berke-

lebat cepat.


Ketika siang hari, dia berhenti di sebuah dusun 

kecil dan mampir di sebuah warung makan. Warung 

itu sepi, hanya ada dua orang yang sedang makan. 

Seorang laki-laki tua dan seorang wanita muda berpa-

kaian ringkas dan berwarna kuning. Wanita menggu-

nakan sebuah caping yang kini tercantel di lehernya. 

Wajah wanita itu kecil dan lonjong. Manis dengan hi-

dung bangir dan mulut yang mungil. Kulitnya kuning 

langsat, mulus tanpa cacat. Wanita itu makan dengan 

santai. Pranata mengira-ngira, pasti umur gadis itu ba-

ru enam belas tahun.

Dan yang membuat dia selalu melirik adalah 

karena bibir gadis itu yang mungil indah selalu terbu-

ka menutup ketika mengunyah. Juga tertarik karena 

gadis itu membawa sebuah pedang tipis dengan sa-

rung yang indah. Pasti gadis itu bukan gadis semba-

rangan. Tak mungkin seorang gadis membawa pedang 

ke mana-mana. Dan nampak gadis itu seorang penge-

lana.

"Kenapa kau melihati aku, hah?" Gadis itu 

membentak keras dan tiba-tiba, membuat Pranata 

menjadi salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan 

pandangannya dan segera memesan makanan. Dia 

sendiri heran, sejak tadi dia belum memesan apa-apa, 

masih asyik menatap kecantikan gadis itu.

Gadis itu membentak lagi, "Laki-laki memang 

ceriwis! Tidak boleh melihat gadis sedikit pun!"

Matanya melotot tetapi Pranata tak mempeduli-

kannya. Wajahnya menjadi memerah, ia ketahuan se-

dang menatap gadis itu. Huh, memalukan! Begitu hi-

dangan tiba, dia buru-buru makan.

Gadis itu mendengus dan meneruskan makan-

nya lagi namun sekali-sekali dia masih memperhatikan 

Pranata. Agaknya dia jengkel karena diperhatikan te


rus.

Selesai makan, dia menghampiri Pranata. Si-

kapnya angkuh dan sombong. Pranata hanya tenang 

saja. Ia pun baru menyelesaikan makannya.

"Hhh! Pemuda macam kau masih berani berla-

gak di depanku!" Gadis itu mendengus dan sengaja 

meletakkan pedangnya di samping Pranata dengan 

maksud agar Pranata jerih.

Pranata tersenyum dan berbalik, tatapannya 

beradu dengan tatapan gadis itu. Duh, sayang sekali 

tatapan itu sedang marah, kalau tidak betapa cantik-

nya dia.

"Maafkan saya, Nona. Saya menyesal, perbua-

tan saya itu telah membuat Nona marah...." katanya 

sopan.

"Hhh, enak saja! Kau tahu, aku tidak suka dita-

tap demikian, apalagi oleh hidung belang macam kau!"

Pranata menahan kemarahannya. "Saya hanya 

tertarik karena kecantikan Nona... tidak ada maksud 

lain selain itu. Juga dengan pedang, Nona. Saya he-

ran... kenapa gadis secantik Nona membawa pedang?"

Wajah gadis itu memerah. Dalam hati dia se-

nang dirinya dikatakan cantik, apalagi oleh pemuda 

tampan macam ini. Tapi gengsi dong kalau tahu-tahu 

berubah menjadi baik dan lembut.

Dia membentak lagi, "Apa urusannya dengan-

mu?!"

"Nona tidak takut membawa pedang itu? Kalau 

saya... melihatnya saja sudah takut, apalagi memba-

wanya....."

Gadis itu mendengus meremehkan.

"Hhh! Ternyata kau hanya seorang yang pena-

kut! Tapi kau punya keberanian juga menjawab semua 

pertanyaanku!"



"Karena aku bisa menjawabnya, Nona."

"Hhh...! Kau tidak takut kubunuh, hah?"

Pranata masih menyahut dengan tenang. Dia 

merasa bersalah dan menyesal telah memperhatikan 

gadis itu. Kalau tadi dia bisa menahan pandangannya, 

bukankah dia tidak akan mendapat kesulitan?

"Kalau aku bersalah, aku takut sekali dibunuh. 

Tetapi aku tak bersalah... aku tidak takut dibunuh!"

"Kau sudah bersalah!" seru gadis itu gusar. 

"Rupanya kau punya keberanian sedikit, aku ingin li-

hat sampai di mana keberanianmu itu!" Gadis itu me-

nyambar pedangnya dan menarik keluar. "Sreeet!"

Pedang yang mengkilat dan tajam itu, diacung-

kan tepat di hidung Pranata.

"Lawanlah aku, aku ingin lihat kau, orang yang 

pengecut tapi berani!" Gadis itu melompat keluar. Pra-

nata menggaruk-garuk kepalanya serba salah.

Pemilik warung itu sudah ketakutan sekali. La-

ki-laki tua yang makan di sana pun sudah tidak keli-

hatan. Rupanya diam-diam dia sudah beranjak pergi.

Tak ada jalan lain selain melayani kemauan ga-

dis itu. Gadis yang keras kepala. Pranata membayar 

apa yang dia telah makan lalu beranjak keluar. Sikap-

nya masih tenang.

Gadis itu sudah menunggu dengan kedua kaki 

mengangkang. Sikapnya benar-benar siap tempur. 

Pranata masih berusaha untuk menyabarkan gadis 

itu.

"Nona... untuk apa kita berkelahi. Tak ada gu-

nanya. Aku pun sudah minta maaf, Nona...."

"Sebelum kau layani aku, aku tak mau me-

maafkan. Atau... kau ingin mencium kakiku?"

Geram juga Pranata dibentak demikian. Gadis 

ini harus diberi pelajaran.


"Hei, ayo kau bersiap!" gadis itu membentak. 

"Atau... kau rela kepalamu pisah dari lehermu...."

"Nona... aku tak punya kepandaian apa-apa... 

aku takut melihat pedangmu."

"Bah, kau takut denganku atau pedangku?"

"Dua-duanya, Nona."

"Bagus, sekarang cium ujung kakiku!"

Merah wajah Pranata. Dia benar-benar telah 

dihina. Gadis itu memang harus diberi pelajaran.

"Kalau harus mencium kaki, aku yang bodoh 

ini, akan melayanimu semampu ku."

"Bagus! Bersiaplah!" seru gadis itu seraya me-

nerjang dengan cepat. Pedangnya menyabet ke kaki 

Pranata. Pranata melompat berkelit. Serangan itu lu-

put dan membuat gadis itu penasaran. Dia mengge-

rakkan lagi pedangnya, kali ini membuat gerakan me-

nusuk. Lagi-lagi Pranata menghindarinya. Dua kali se-

rangan itu gagal dan semakin membuat gadis itu pe-

nasaran.

Dia bergerak lebih cepat lagi. Sabetan, tusukan 

dan bacokan pedangnya bergerak dengan cepat. Na-

mun sampai sejauh itu, tak satu pun yang mengenai 

sasarannya. Pranata masih menghindar saja. Tidak 

membalas.

"Hei, ayo balas! Atau bisa mu hanya menghin-

dar saja!" seru gadis itu jengkel, padahal dia tengah 

menutupi kekesalannya karena pemuda itu ternyata 

mampu menghindari serangannya.

"Aku tak ingin membuat permusuhan dengan-

mu, Nona!" kata Pranata sambil melompat dan bersalto 

ke depan. Gadis itu memekik takjub, ternyata pemuda 

itu memiliki kepandaian juga. Dia menjadi malu dan 

kesal, untuk menutupi semua itu, dia menyerang asal 

saja. Jurusnya menjadi kacau. Pranata mengetahui hal


itu pasti gadis itu malu karena serangannya selalu 

gagal. Tiba-tiba Pranata menerjang maju, masuk ke 

gulungan pedangnya.

"Sreet...!" sebuah sabetan mampir di lengan ka-

nan Pranata. Pranata mundur ke belakang. Lengan 

kanannya mengeluarkan darah.

"Aku menyerah, Nona. Kau sungguh lihai...."

Tetapi gadis itu malah menyerang dengan buas. 

Ia tahu, Pranata hanya ingin membuatnya senang. Tak 

mungkin serangan yang lamban itu berhasil mengenai 

bahunya. Pasti pemuda itu sengaja dan membuat ga-

dis itu merasa terhina. Dia terus menyerang dengan 

cepat. Pranata menjadi kesal, sudah diberi keringanan 

dan kesenangan malah menyerang terus.

Dia membentak keras dan bersalto ke belakang, 

lalu berkelebat pergi dengan cepat.

"Nona... aku tak mungkin melayanimu lagi! Kau 

sungguh lihai, Nona...! Tetapi sayang, kau kurang ber-

latih! Maafkan aku, karena pertempuran itu hanya 

membuang tenaga saja dan menambah permusuhan!"

Dan bayangan Pranata menghilang. Gadis itu 

memburu tetapi bayangan pemuda itu sudah tak 

nampak.

Dia berhenti dengan hati kesal. Ternyata ke-

pandaiannya tak berguna di hadapan pemuda itu. Dia 

malu, marah, kesal, jengkel, terhadap pemuda itu. Ka-

pan-kapan dia akan membunuhnya!

Sambil menahan kesal dan tangis dia berlari 

kembali ke rumahnya. Nanti dia akan menyuruh 

ayahnya mencari pemuda itu.

***


SATU


Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah pergu-

ruan yang besar dan megah, dipimpin oleh seorang 

pendekar sakti yang bernama Madewa Gumilang dan 

istrinya yang tak kalah hebatnya, Ratih Ningrum.

Usia keduanya sudah bertambah sembilan ta-

hun, sungguh suatu perubahan yang tak terasa sekali. 

Kedua semakin tua, namun tak mengurangi kegaga-

han mereka sebagai pendekar-pendekar yang selalu 

membela kebenaran dan keadilan. Yang menjadikan 

nama mereka semakin disenangi lawan dan kawan. 

Perguruan Topeng Hitam warisan Paksi Uludara, se-

makin menajak namanya. Murid-muridnya pun dinilai 

sebagai orang-orang yang baik dan selalu menolong.

Sebagai ketua, Madewa sangat dihormati oleh 

murid-muridnya. Mereka menganggap Madewa sebagai 

orang tua mereka yang gagah dan perkasa.

Hari ini Madewa Gumilang berada di kamarnya. 

Ia memperhatikan istrinya yang sejak tadi dilihatnya 

murung. Nampak memikirkan sesuatu. Entah apa. 

Madewa bertanya karena ingin tahu.

"Rayi Ratih Ningrum... ada apa gerangan yang 

mengganggu pikiran Rayi? Sejak tadi kulihat Rayi sela-

lu murung..., Ada apa, Rayi.... Katakanlah, aku ingin 

tahu dan barangkali aku bisa membantu memecahkan 

persoalanmu itu, Rayi. Katakanlah...."

Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya. Mena-

tap wajah suaminya yang nampak masih tampan, dan 

sisa-sisa ketampanannya belum menghilang.

"Kakang Madewa... apakah Kakang tidak tahu 

apa yang selama ini mengganggu pikiranku?" Suara 

Ratih Ningrum lembut dan manja.


"Kau belum mengatakannya Rayi... bagaimana 

aku bisa tahu?"

"Kakang... hampir sembilan tahu kita berpisah 

dengan putra kita satu-satunya, Pranata Kumala. Ten-

tang dialah yang menjadi pikiranku. Sampai selama ini 

Kakang... kita tidak tahu bagaimana kabarnya..,. Apa-

kah dia sehat-sehat saja atau tidak.... Aku rindu seka-

li, Kakang. Aku ingin melihat dia sekarang. Pasti dia 

telah tumbuh dengan gagah perkasa. Pasti anak kita 

tampan dan gantengnya, Kakang? Seperti dirimu...."

Madewa tersenyum, jadi itu masalah yang

mengganggu istrinya Yah... dia sendiri pun rindu pada 

putranya. Sembilan tahun mereka tak bertemu dengan 

Pranata Kumala, kerinduan itu selalu datang dengan 

sendirinya. Madewa merasa dan yakin, anaknya telah 

tumbuh menjadi pemuda gagah dan kuat. Juga mem-

punyai ilmu kesaktian yang amat tangguh.

Murid Ki Ageng Jayasih tidak boleh mengece-

wakan.

"Aku pun rindu padanya, Rayi...." kata Madewa 

sambil membelai rambut istrinya.

"Yah... aku ingin sekali melihatnya, membe-

lainya, menciumnya dan mendekapnya, Kakang. Oh... 

Pranata... kapan kau akan kembali ke pangkuan ku...."

"Jangan kau pikirkan selalu, Rayi. Nanti putra 

mu tak bisa tenang menuntut ilmu."

"Tetapi sudah sembilan tahun, Kakang! Aku 

sangat rindu padanya."

"Aku juga begitu, Rayi. Tetapi aku bersabar, 

aku menahan semua rindu itu... karena aku tahu, 

Pranata akan kembali lagi kepada kita. Kembali seba-

gai putra yang baik dan patuh kepada ayah bun-

danya."

Mata Ratih Ningrum membasah. Kerinduannya


sangat menjadi-jadi. Malam semakin larut. Madewa 

meninggalkan istrinya, biar wanita itu puas menum-

pahkan kerinduannya lewat air mata.

Madewa melangkah ke ruang tengah dari ba-

gian perguruan Topeng Hitam itu, yang bersatu dengan 

ruangan yang di tinggalinya bersama istrinya. Ia du-

duk di kursi, menatap keremangan malam yang gelap.

Madewa juga heran, kenapa sampai sembilan 

tahun ini putranya belum kembali. Padahal kalau dia 

pikir, pasti semua ilmu yang diajarkan Ki Ageng Jaya-

sih sudah tamat. Tetapi putranya belum kembali juga.

Rasa rindu di dada Madewa Gumilang pun te-

rasa menyesakkan, sulit untuk dilampiaskan kepada 

siapa pun. Dia pun sangat ingin melihat dan mende-

kap putranya.

"Kapan kau akan kembali putra ku...." desah 

Madewa Gumilang sambil tetap menatap ke luar. "Ayah 

bundamu sudah tua... ingin sekali melihatmu berada 

di antara kami, putra ku...."

Malam hening. Di luar penjagaan dilakukan 

oleh empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Ber-

gantian setiap malam. Mereka menjaga di setiap sudut. 

Tetapi sejak sembilan tahun yang lalu, tak ada sekali 

pun gangguan yang amat mengganggu dan mendesak, 

walaupun ada hanya gangguan kecil yang bisa disele-

saikan secara musyawarah dan damai. Misalnya seper-

ti, pertengkaran antar murid. Madewa selalu menga-

dakan musyawarah dan mendamaikan mereka secara 

kekeluargaan dan menasehati mereka panjang lebar. 

Kalau pertengkaran itu bisa menimbulkan perpecahan, 

dan perpecahan bisa menyebabkan pertumpahan da-

rah, dan kematian. Itu semua harus dihindarkan agar 

selalu terjadi persaudaraan yang erat. Karena nasehat 

itulah tak pernah ada lagi terdengar pertengkaran an


tar murid. Mereka sangat menjunjung tinggi nasehat 

dan nama baik ketua mereka, Madewa Gumilang.

Pada keesokan harinya, Ratih Ningrum bangun 

dengan mata sembab, rupanya semalam dia menangis 

memikirkan Pranata Kumala. Madewa Gumilang 

menghibur dan Ratih Ningrum hanya mengangguk dan 

berjanji akan berusaha bersabar dan selalu berdoa 

agar nasib putranya baik.

Ketika matahari sepenggalah, masuk dua orang 

murid dan menghormat.

"Maafkan kami, Ketua...." kata salah seorang.

"Hmm, ada apa?"

"Di luar ada beberapa orang tamu yang hendak 

bertemu dengan ketua...." "Siapa mereka?"

"Salah seorang dari mereka mengaku bernama 

Sandirwo. Seorang kaya raya juragan emas."

"Hmm, baik. "Madewa manggut-manggut." Su-

ruh mereka masuk dan tunggu aku di ruang tamu...."

Kedua murid itu menjura dan mundur ke bela-

kang. Madewa menatap istrinya.

"Ada tamu untukku, Rayi. Aku menemui mere-

ka dulu."

Ratih Ningrum mengangguk. Madewa segera 

beranjak ke ruang tamu. Di sana sudah menunggu tiga 

orang laki-laki dan salah satunya seorang laki-laki ber-

tubuh gemuk namun tinggi. Dia memegang sebuah pi-

pa dan menghisapnya dengan nikmat. Begitu melihat 

Madewa muncul, dia berdiri dan tertawa.

"Ha... ha... maafkan kami, Ketua perguruan To-

peng Hitam. Kedatangan kami mengganggu ketenan-

gan Saudara ketua."

Madewa tersenyum lalu duduk.

"Aku tidak merasa terganggu. Silahkan Sauda-

ra, ada keperluan apa datang kemari."



Laki-laki itu tak lain adalah Sandirwo, harta-

wan yang kaya raya. Dua laki-laki yang di sampingnya 

adalah Kadir, putranya dan Semangkun, salah seorang 

pengawal utamanya. Kedatangannya kemari adalah 

meminta bantuan orang-orang perguruan Topeng Hi-

tam untuk mengawal emasnya kembali bahkan kalau 

bisa, mencari emasnya yang hilang dirampok beberapa 

hari yang lalu.

Madewa hanya manggut-manggut. Orang-orang 

Topeng Hitam bukan orang yang mau berpangku tan-

gan saja. Mendengar kalau jalan menuju desa Pacitan 

dikuasai oleh para perampok, tentu saja Madewa ber-

sedia membantu.

"Lalu Saudara hendak mengirimkan kembali 

emas itu?"

Sandirwo mengangguk. "Yah... kami membu-

tuhkan pengawal yang tangguh untuk menjaga emas 

kiriman kami."

"Baik, kapan itu akan dilaksanakan?"

"Dua hari lagi."

"Baiklah, perguruan Topeng Hitam akan berse-

dia membantu. Untuk memberantas orang-orang jahat 

itu...."

Wajah Sandirwo nampak cerah, nafasnya kem-

bang-kempis gembira. Setelah membicarakan semua-

nya yang perlu, mereka berpamitan. Di luar menunggu 

sebuah kereta kuda dengan en am orang pengawalnya. 

Sandirwo masuk ke kereta kuda itu dan melambai. 

Rombongan itu bergerak meninggalkan perguruan To-

peng Hitam. Madewa manggut-manggut. Baru diden-

garnya lagi kalau orang-orang jahat yang menamakan 

diri gerombolan Golok Iblis beraksi dengan penuh ke-

kejaman.

Madewa mendesah. Untuk kebaikan, ia tak se


gan mengirimkan anak buahnya. Bahkan kalau perlu, 

dia sendiri yang turun tangan.

***

Setelah dikalahkan oleh Pranata Kumala, gadis 

manis itu berlari sambil terisak. Dia tidak menyangka 

kalau pemuda yang kelihatan lemah itu lebih lihai da-

rinya. Bahkan gadis itu yakin, kalau pemuda itu 

menghendakinya, pasti dia roboh di tangannya.

Mengingat itu, gadis manis itu semakin ken-

cang berlari dengan rasa malu yang amat sangat dan 

dadanya terasa mau pecah karena tak kuasa menahan 

isak. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri di sebuah pohon. 

Kakinya sudah letih untuk melangkah lagi, tenaganya 

pun sudah terkuras. Ia menangis tersedu-sedu di ba-

wah pohon itu. Menangisi rasa malunya yang amat be-

sar. Kalau dia ingat wajah pemuda itu, ingin dibunuh-

nya saja. Pemuda itu sengaja mempermainkannya, 

sengaja ingin membuatnya malu. Sebel. Sebel. Awas 

kalau bertemu nanti, dia akan menebus semua rasa 

malu ini dengan pedangnya!

Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. Ia 

mendengar suara langkah mendekatinya dan seperti 

baru sadar dia memperhatikan sekelilingnya. Ternyata 

dia sendiri, berada di tempat yang sepi ini dan tempat 

ini merupakan sebuah hutan kecil. Mendengar langkah 

itu, wajah gadis itu menjadi pias, agak takut. Siapa 

yang tidak takut di tempat sesunyi ini mendengar

langkah menggeser?

Gadis itu buru-buru berdiri, tenaganya seolah

pulih kembali. Dia mencabut pedangnya, untuk men-

jaga segala kemungkinan yang tak diingini. Matanya 

memperhatikan sekitarnya dengan waspada.


Diam-diam dia menyesali dalam hati, karena 

saking marah dan malunya, dia tidak memperhatikan 

jalan hingga secara tidak disengaja tersesat ke hutan 

kecil ini.

Gadis manis itu bersiaga dengan pedang di tan-

gannya. Tiba-tiba terdengar suara kekeh yang mena-

kutkan dari sampingnya. Gadis manis itu memekik ka-

get dan berbalik dengan pedang siap menusuk.

"He... he... he...."

Tawa itu terdengar dari mulut seorang pemuda 

jembel. Pakaian pemuda itu compang-camping. Ram-

butnya awut-awutan tak keruan. Dia memegang se-

buah tongkat dan kakinya tak beralas. Sekujur tubuh-

nya kotor, bahkan cenderung tercium bau yang me-

muakkan.

Gadis manis itu menahan nafasnya agar tidak 

mencium bau busuk itu. Untunglah angin bertiup ke 

arah barat, hingga bau itu tidak begitu menerpa hi-

dungnya.

Dia membentak, "Kau siapa, pemuda jembel?!"

Pemuda yang berpakaian seperti pengemis itu, 

terkekeh seraya mendekat.

Gadis itu mengangkat pedangnya.

"Jangan dekati aku, Pemuda jembel!"

Tetapi pemuda pengemis itu hanya tertawa sa-

ja. Ia terus mendekat. Gadis itu semakin panik. Mun-

dur perlahan-lahan.

"Jangan mendekat...! Jangan...!"

"He... he... aku tidak akan berbuat apa-apa, 

Gadis manis.... Kau terlalu galak rupanya...."

"Tapi... tapi kau mau apa?"

"He... he... aku hanya heran, gadis manis seper-

ti kau berada di hutan yang sunyi ini...."

"Aku... aku...."


"Aku tahu kau pasti tersesat. Tetapi tak men-

gapa, karena kalau tidak ada kau... udara yang sangat 

dingin ini pasti akan menusuk kulitku... he... he...."

Gadis manis itu menggeleng-geleng antara tak 

mengerti dan ketakutan.

"Kau... kau mau apa?"

He... he... kelinci manis tak boleh disia-

siakan.... Makanan yang lezat pada udara yang sangat 

dingin ini. Mari manis... kemarilah...." Pengemis itu 

menyeringai.

"Kau? Ih!" Gadis itu menepak tangan pengemis 

jembel yang akan memegang tangannya dengan jijik. 

Dan menyabetkan pedangnya, tetapi pengemis itu den-

gan lincah menghindar.

"Marilah, Manis. Kita bersenang-senang di uda-

ra dingin ini...."

"Tidak, tidak!" Gadis itu melompat ke kiri,

menghindari pelukan pengemis jembel yang terkekeh-

kekeh dan berbalik, kini berhadapan lagi.

"Kau tak akan lepas dari tanganku, Manis...." 

Pengemis jembel itu bergerak menubruk lagi. Tetapi 

gadis itu cepat menggerakkan pedangnya membuat 

pengemis jembel menghentikan gerakannya. Namun 

sungguh hebat, dia bersalto dan berada di belakang 

gadis itu. Langsung menubruknya. Tetapi lagi-lagi gag-

al, karena gadis itu sudah berkelit karena merasakan 

dorongan angin yang kuat.

Pengemis jembel itu terkekeh dengan hati pe-

nasaran. Ia bergerak lagi, kali ini menggerakkan tong-

katnya dengan gerakan menotok. Gadis itu berkelit 

dan menangkis dengan pedangnya.

"Trak....!"

Lalu buru-buru dia menghindar ketika penge-

mis jembel menubruknya. Gadis itu menusukkan pe


dangnya, ketika pengemis itu terdorong ke depan oleh 

tenaganya sendiri. Tetapi tusukan itu gagal, karena ta-

hu-tahu pengemis jembel bergulingan dan kakinya 

menggaet kaki gadis itu hingga kehilangan keseimban-

gan. Dia menjerit kaget dan jatuh bergulingan. Kesem-

patan itu digunakan oleh Pengemis jembel untuk 

bangkit dan menerkam.

Tetapi lagi gagal, karena gadis itu berguling. Te-

tapi mendadak pengemis jembel menggerakkan tong-

katnya dan "Tuk!" sebuah totokan mampir di tubuh 

sang gadis dan membuatnya tak dapat bergerak. Ma-

tanya melotot marah.

"Lepaskan aku...! Lepaskan!"

Pengemis jembel itu bangkit dan terkekeh. 

Mangsa sudah di tangan, mana mungkin untuk dile-

paskan. Dia menghampiri seraya menyeringai lebar.

"He... he... pasti tubuhmu hangat, gadis manis. 

Tak sia-sia aku bekerja keras untuk menaklukkan

mu!" Dan dengan cabulnya pengemis itu menjalankan 

tongkatnya dari leher gadis itu turun ke bawah. Di da-

da dia menggerak-gerakkan tongkatnya lebih lama dan 

semakin lama semakin turun.

Gadis itu menjerit-jerit marah.

"Lepaskan aku, pengemis cabul! Lepaskan.....!"

"He... he... he... benar-benar luar biasa tubuh-

mu, Gadis."

Pengemis itu nanar matanya melihat kemonto-

kan dan keindahan tubuh gadis itu. Dua membuang 

tongkatnya dan mulai membuka bajunya.

Gadis itu semakin ketakutan. Dia berseru-seru 

marah dan gusar, namun seruannya hanya di-anggap 

angin saja. Pengemis itu membungkuk dan "Breet...!" 

sobek pakaian di bagian dada gadis itu, menampakkan 

payudaranya yang masih muda namun mengkel ke


luar. Melihat itu nafsu birahi si pengemis semakin 

menjadi-jadi. Dia mulai menciumi tubuh gadis itu yang 

menjerit-jerit minta dilepaskan.

"Bangsat cabul!" tiba-tiba terdengar bentakan 

dan erangan pengemis itu yang jatuh bergulingan ka-

rena terkena tendangan.

Pengemis itu bangkit dengan gusar dan melihat 

siapa yang telah mengganggu kesenangannya. Ternya-

ta seorang laki-laki yang wajahnya ditutupi kedok pu-

tih. Pengemis itu geram dan membentak, "Siapa kau?!"

"Aku adalah aku... yang tak suka melihat kela-

kuanmu," kata si Kedok Putih sambil membungkuk. Ia 

memejamkan matanya dan membebaskan totokan pa-

da tubuh gadis itu.

Melihat itu si pengemis menjadi jengkel, dia 

memungut tongkatnya dan membentak dengan gusar, 

"Hhhm orang muda! Kau telah berani mengganggu ke-

senanganku! Kau belum tahu rupanya siapa aku?!"

Orang berkedok putih itu tertawa.

"Katakanlah, biar aku bisa mengenang mu se-

belum mati nanti...."

Pengemis itu mendengus marah.

"Hhh! Akulah salah seorang anggota dari Partai 

Pengemis Sakti!"

"Hmm... jadi kau merasa sakti?" ejek si Kedok 

Putih.

Diejek demikian, si pengemis yang bernama 

Ayasumo menggeram marah. Ia jengkel sekali

karena kesenangannya diganggu. Biarlah si Ke-

dok Putih merasakan kesaktiannya bermain tongkat.

Dengan ganas dia menerjang maju. Ayunan 

tongkatnya sangat cepat, namun si Kedok Putih lebih 

cepat lagi. Dia berkelit dengan lincah, melihat seran-

gannya luput, Ayasumo menjadi geram dan penasaran,


dia menyerang lagi. Kali ini lebih ganas dan dahsyat. 

Gerakannya cepat dan tenaga ayunan tongkatnya me-

nimbulkan desiran angin yang amat kuat. Tetapi lagi-

lagi dengan ringan si Kedok Putih menghindar dan 

membalas.

"Des...!"

Pukulannya bersarang di dada Ayasumo yang 

terhuyung ke belakang. Pukulan itu betapa kerasnya 

dan membuatnya semakin bernafsu. Dia menyerang 

lagi dengan ayunan tongkatnya yang sangat cepat, 

berguling-gulung siap menerjang si Kedok Putih.

Kembali si Kedok Putih memperhatikan kelin-

cahannya dalam mengelak, tak satu pun serangan 

Ayasumo yang mengenai sasarannya. Bahkan si Kedok 

Putih sudah tiga kali membalas memukulnya.

Ayasumo terhuyung lagi dengan dada yang di-

rasakannya amat sakit. Dia merasa tidak mampu 

menghendaki orang yang berkedok putih itu. Maka 

sambil menahan rasa sakitnya, dia melompat dan 

menghilang di keremangan malam.

Si Kedok Putih tergelak-gelak. Rupanya penge-

mis jembel itu penakut, tetapi dia segera menghenti-

kan tawanya. Partai pengemis Sakti, adalah kumpulan 

pengemis yang kejam. Pasti orang itu akan memanggil 

temannya.

Buru-buru dia menoleh kepada gadis manis itu 

yang sudah merapikan pakaiannya, namun masih be-

lum sempurna, karena sobek di bagian dadanya agak 

besar.

Si Kedok Putih, berkata, "Cepat kau pergi dari 

sini, orang tadi pasti akan datang lagi."

Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan, sepa-

ruh terisak. Dia tadi baru saja menerima kekalahan 

dan malu dari Pranata Kumala dan sekarang hampir


saja kehormatannya direbut orang! Betapa malu dan 

mengerikannya. Dia hanya menatap si Kedok Putih 

yang menghela napas panjang.

"Siapa namamu?"

"Ambarwati...." suara gadis itu lemah.

"Cepat kau tinggalkan tempat ini, Ambar. Pu-

langlah... sebelum orang-orang itu datang lagi.... Ce-

pat, Ambar...."

Mendengar suara yang halus tapi penuh buju-

kan itu, Ambarwati mengangguk, dia cepat berlari pa-

dahal dia tidak ingin pergi karena belum mengucapkan 

terima kasih, tetapi kata-kata si Kedok Putih benar 

adanya, karena baru beberapa menit dia pergi, datang 

lima orang dari partai pengemis sakti itu dan salah sa-

tunya pengemis yang tadi si Ayasumo.

Si Kedok Putih terbahak.

"Ha... ha... rupanya partai Pengemis Sakti ada-

lah orang-orang pengecut, yang beraninya hanya 

mengganggu wanita dan mengeroyok orang!"

Salah seorang dari mereka yang berberewok 

tebal dan bertubuh besar, bertanya kepada Ayasumo, 

"Dia orang yang telah menghinamu, Ayasumo?"

"Iya, Kakang."

"Ha... ha... ternyata, kau memang seorang yang 

pengecut! Kalau kau digjaya, majulah, bertanding den-

ganku satu persatu!" Si Kedok Putih terbahak-bahak.

Kakangnya Ayasumo yang bernama Rinjahgede 

mendengus marah, merasa adiknya telah diejek.

"Hei, orang berkedok! Kalau kau jantan, buka 

kedokmu! Kita bertempur satu lawan satu!" seru Rin-

jahgede keras.

"Ha... ha... kalau kau mampu, bukalah kedok

ku! Tak usah malu, kalian semua boleh mengeroyok-

ku!"


"Bangsat!" Rinjahgede menggeram marah dan 

maju menyerang dengan sabetan tongkatnya. Angin 

sabetan itu betapa kuatnya. Namun si Kedok Putih 

cuma berkelit sedikit ke samping dan menghantam ka-

ki Rinjahgede dengan kakinya.

"Des...! "Rinjahgede tersuruk ke depan, apalagi 

tenaga dorongannya tadi sudah begitu kuat dan seka-

rang dihantam kakinya, semakin keras dia ambruk ke 

tanah.

Si Kedok Putih terbahak.

"Ha... ha... ada gajah jatuh! Seram sekali bu-

nyinya!"

Melihat Rinjahgede ambruk, yang lain segera 

maju menyerang. Rinjahgede sendiri pun sudah bang-

kit dengan marah dan membantu mengeroyok. Lima 

buah tongkat bergerak dengan cepatnya, siap mencari 

sasaran yang empuk. Begitu deras dan memusingkan, 

karena mereka menyerang dari arah yang berlainan. 

Namun si Kedok Putih tetap tenang dan berhasil melo-

loskan diri. Tak satu pun tongkat-tongkat itu yang 

mengenai sasarannya, bahkan membuat mereka pena-

saran.

Suatu ketika si Kedok Putih membentak dan 

tubuhnya melenting ke atas. Orang-orang itu segera 

memburu ketika dia hinggap di tanah, namun tiba-tiba 

si Kedok Putih mengibaskan tangannya. Dan sebuah 

dorongan angin yang amat besar menghantam orang-

orang itu hingga jatuh bergulingan.

Rinjahgede segera bangkit dan menyerang.

Seluruh kekuatannya dia kerahkan, namun si 

Kedok Putih tidak mau kalah. Kali ini dia pun maju ke 

dean, menyambut serangan Rinjahgede. "Plaak...!"

Dua buah tenaga keras berbenturan dan tubuh 

Rinjahgede terhuyung ke belakang sedangkan si Kedok


Putih tetap di tempat dengan tubuh tak kurang suatu 

apa.

Dari situ sudah terlihat, kalau tenaga dalam si 

Kedok Putih lebih Besar daripada Rinjahgede. Rinjah-

gede mendengus dan memerintahkan anak buahnya 

untuk menyerang si Kedok Putih.

Tetapi sebelum serangan itu mengenai sasa-

rannya, si Kedok Putih sudah mengibaskan tangan. 

Dan tubuh-tubuh itu jatuh bergulingan. Rinjahgede 

bangkit dengan gusar. Ia menyerang dengan kedua ke-

palan tangannya.

Namun si Kedok Putih sudah enggan untuk 

bermain-main lagi. Ketika Rinjahgede menyerang, dia 

bersalto ke depan dan berbalik, tendangannya mampir 

ke punggung Rinjahgede yang langsung tersuruk ke 

depan dan ambruk dengan muntah darah. Dia mera-

sakan sakit yang amat sekali. Anak buahnya segera 

menyerang dan dengan kecepatan yang hebat, si Kedok 

Putih berkelebat menghantam mereka satu persatu 

hingga berjatuhan kembali. Gerakannya sukar diikuti 

oleh mata, sangat cepat.

Rinjahgede yang bersusah payah bangkit di-

hantam kembali oleh si Kedok Putih. Rupanya dia me-

rasa, orang-orang itu harus dibasmi.

"Des..!" Rinjahgede ambruk untuk tak bangun

lagi.

Si Kedok Putih membentak yang lain, "Jangan 

coba-coba menyerangku lagi, kalau tidak ingin kubuat 

seperti ini! Katakan kepada ketua partai Pengemis Sak-

ti, kalau kulihat lagi anak buahnya bertindak begini, 

aku, si Kedok Putih, menyatakan bermusuhan dengan 

kalian!"

Sesudah berkata begitu si Kedok Putih berkele-

bat menghilang di kegelapan malam. Ayasumo membu


ru kakangnya dan menangis tersedu-sedu ketika men-

getahui kakangnya telah tewas. Dia dan kawan-

kawannya segera membawa mayat Rinjahgede untuk 

dihadapkan kepada ketua.

***

TIGA



Perkumpulan Partai Pengemis Sakti dipimpin 

oleh seorang laki-laki setengah baya keturunan Cina. 

Dia pernah belajar ilmu kesaktian dari dataran Tiong-

kok sana. Jurus-jurusnya mantap. Semacam jurus 

kungfu yang amat tangguh. Dia bernama Cin Bun. Da-

tang ke tanah persada ini dengan sebatang kara. Teta-

pi dengan ilmu yang di punyainya, dia membentuk se-

buah partai besar yang hebat, yaitu partai Pengemis 

Sakti, karena asalnya Cin Bun seorang pengemis.

Partai itu berjumlah puluhan orang, yang ke-

semuanya terdiri dari pengemis. Partai itu juga ada be-

berapa orang wanitanya, selain sebagai anggota, para 

wanita itu juga dipakai untuk pemuas nafsu anggota 

pria lainnya atau ketua mereka sendiri. Wanita di sana 

hanya berjumlah dua puluh orang, sedangkan prianya 

hampir seratus. Sudah tentu para prianya bergilir dan 

menunggu untuk melampiaskan nafsunya. Karena itu-

lah banyak beberapa anggota yang mencari wanita di 

luar. Sudah tentu memasuki kompleks pelacuran pen-

gemis-pengemis itu tidak diizinkan, selain tidak punya 

duit juga bau badan mereka yang busuk. Maka tak ada 

jalan lain, selain memperkosa wanita secara paksa.

Dan partai Pengemis Sakti sudah terkenal den-

gan tabiat mereka yang buruk itu.


Malam ini pun, Cin Bun atau nama partainya 

Sengkawung, tengah melambung ke sorga dengan di-

layani seorang pengemis wanita muda cantik. Partai 

Pengemis Sakti betapa bejat orang-orangnya. Kemak-

siatan sudah merajai di tempat itu. Orang-orangnya 

sudah tak mau mengerti akan kebusukan mengadakan 

hubungan secara bebas.

Selesai melakukan hubungan itu, Sengkawung 

keluar dengan desah napas lega. Betapa nikmatnya 

bermain dengan pengemis muda yang cantik itu. Wani-

ta itu pun keluar, lalu masuk ke sebuah kamar itu. Di 

sana sudah menunggu dua orang pria dengan tidak 

sabar. Begitu wanita itu muncul, kedua pria itu lang-

sung bangkit. Dan perbuatan hina itu kembali teru-

lang. Benar-benar menjijikkan!

Sengkawung duduk sambil membayangkan ke-

lembutan tubuh wanita muda tadi. Bukan main, dia 

hampir saja kewalahan menghadapinya. Tetapi ra-

muan dari Tiongkok yang dia bawa, menjadikan dia 

bertenaga gajah dan buas.

Tiba-tiba muncul Ayasumo dan ketiga teman-

nya yang membawa mayat Rinjahgede. Sengkawung 

bangkit dengan melotot dan memeriksa tubuh Rinjah-

gede yang sudah agak kaku. Dia melotot pada Ayasu-

mo.

"Apa yang telah terjadi?!" bentaknya keras.

Ayasumo sejenak menggigil. Tetapi dengan ta-

bah dia menyahut. "Seorang yang berkedok putih, te-

lah membunuhnya, Ketua...."

"Bodoh! Siapa si Kedok Putih itu!"

"Kami tidak tahu, Ketua!"

"Kenapa tidak kalian bunuh si Kedok Putih 

itu?! Kalian kan lebih banyak dari dia!!"

"Tetapi dia sungguh lihai ketua. Kepandaian


dan kesaktiannya berada jauh di atas kami, Ketua...."

"Dasar bodoh kalian! Bodoh! Dengan mengor-

bankan nyawa Rinjahgede, kalian sudah mencoreng 

arang di mukaku!"

Ayasumo menunduk, tiga orang temannya pun 

berbuat yang sama. Sengkawung menggerutu panjang 

pendek. Baru kali ini ada orang yang berani menen-

tangnya, bahkan membunuh anak buahnya yang pal-

ing dia sayangi. Dengan itu, si Kedok Putih sudah me-

nanamkan bibit permusuhan. Nanti dia akan menda-

patkan buahnya, geram Sengkawung dalam hati.

"Apa sebenarnya yang terjadi, hingga dia mem-

bunuh Rinjahgede?"

Takut-takut Ayasumo menjelaskan semuanya. 

Disangkanya ketuanya marah. Tetapi Sengkawung ma-

lah tertawa. Dia senang anak buahnya mau berbuat 

yang kotor itu, memperkosa seorang gadis! Tetapi dia 

juga agak menyesali kematian Rinjahgede.

Sengkawung menatap Ayasumo. "Kau harus 

mencari gadis itu sebagai tebusan atas kematian Rin-

jahgede. Serahkan kepadaku bulat-bulat, dia merupa-

kan sajian yang paling nikmat!"

Ayasumo mengangguk.

"Akan saya laksanakan, Ketua."

"Bagus! Besok pagi kau sudah harus pergi 

mencarinya. Kau boleh membawa teman sebanyak-

banyaknya. Tetapi ingat, kau harus menemukannya 

dalam jangka waktu sebulan!" 

"Iya, Ketua. Kami akan menguburkan mayat 

Rinjahgede sekarang."

"Lakukanlah!"

Sementara itu, di ujung Laut Pantai Selatan, 

pemimpin gerombolan Golok Iblis, Jedangmoro, sedang 

uring-uringan. Putrinya sejak dua hari yang lalu belum


kembali. Padahal dia sudah melarangnya untuk pergi. 

Tetapi putrinya memang keras kepala. Keinginannya 

tak bisa dibantah lagi. Terpaksa Jedangmoro mengi-

zinkan. Dia selalu mengizinkan keinginan putrinya. 

Hanya putrinya itu yang dimilikinya sekarang, istrinya 

sudah lama meninggal dunia. Jedangmoro sangat 

mengasihi putrinya.

Biarpun begitu, Jedangmoro tidak mau mence-

ritakan apa yang telah dilakukannya selama ini untuk 

memanjakan putrinya, dengan kekayaan dan kesenan-

gan. Barang-barang yang diberikan kepada putrinya 

adalah hasil rampokan. Jedangmoro tidak ingin pu-

trinya mengetahui dari mana semua itu dia peroleh, 

juga tidak ingin putrinya tahu dia adalah anak seorang 

pemimpin gerombolan yang amat ditakuti.

Tiba-tiba terdengar suara, "Bapa... hu... hu...! 

Bapa!"

Jedangmoro segera melompat dari kursinya dan 

menyambut. Ternyata putrinya yang kembali dan me-

nangis. Jedangmoro segera merangkulnya dan mene-

nangkan.

"Ada apa, Ambar? Siapa yang telah menggang-

gumu?" tanyanya sambil membelai rambut putrinya 

yang ternyata Ambarwati, gadis yang diselamatkan si 

Kedok Putih dari cengkraman Ayasumo.

Ambarwati menangis tersedu-sedu. "Katakan 

Ambar... katakan siapa yang telah mengganggumu, 

Sayang?"

"Huh... hu... Ambar... Ambar malu, Bapa." "Ma-

lu kenapa, Nak?"

Ambarwati melepaskan rangkulannya, mele-

takkan pedangnya di meja. Ia duduk sambil mengusap 

matanya. Jedangmoro memperhatikan saja. Semakin 

didesak, anaknya akan tidak mau berbicara.


"Ambar... dibuat malu oleh seorang pemuda, 

Bapa."

"Kenapa, Nak?" tanya Jedangmoro was-was. 

Dibuat malu? Apanya? Mata Jedangmoro memperhati-

kan sekujur tubuhnya.

Ambarwati menceritakan kejadian di rumah 

makan kecil itu, di mana dia dikalahkan oleh Pranata 

Kumala. Jedangmoro malah terbahak-bahak. Ambar-

wati cemberut.

"Kenapa Bapa tertawa?" tanyanya agak marah.

"Ha... ha... hanya masalah itu toh, Sayang? Itu 

biasa, tapi kau tidak terluka, kan? Di atas langit, ma-

sih ada langit...."

"Aku tak mengerti maksudmu, Bapa?"

Jedangmoro menghentikan tawanya. Menatap 

putrinya yang sungguh-sungguh menanti penjelasan-

nya.

Jedangmoro menghela napas. Putrinya ternyata 

masih pendek pikirannya, tetapi dia terlalu berani un-

tuk bertindak tanpa dipikirkan baik buruknya.

"Maksud Bapa... orang yang tinggi ilmunya. 

masih ada yang menandingi. Masih ada yang lebih 

tinggi darinya. Biarpun sudah amat tinggi, masih ada 

yang menandingi."

"Siapa Bapa?"

"Yang Kuasa," sahut Jedangmoro yang merasa 

kaget sendiri. Masih ada Yang Kuasa? Dia menghela 

napas pelan. Dia sendiri sudah merasa hebat dan ting-

gi, tetapi masih ada yang lebih tinggi. Masih ada.

Melihat ayahnya mendadak terdiam, Ambarwati 

bertanya. "Bapa kenapa? Apa penjelasan Bapa hanya 

sampai di sana saja?"

Jedangmoro mengangguk terburu-buru. Biar-

pun dia orang jahat, tetapi dia tidak ingin anaknya


menjadi jahat.

"Masih ada, Ambar. Karena itu... kita tidak bo-

leh sombong tidak boleh menyatakan diri kita hebat. 

Ingat, orang yang sombong pasti akan jatuh...."

Ambarwati terdiam. Ingatannya kembali ke pe-

ristiwa di warung kecil di desa sana. Dia sudah berlaku 

sombong terhadap pemuda itu, yang ternyata lebih dig-

jaya daripadanya. Bahkan kalau dipikir-pikir, kepan-

daiannya tak ada satu banding sepuluh dari pemuda 

tampan itu.

Tampan? Ih, wajah Ambarwati mendadak me-

merah. Kenapa dia mengatakan pemuda itu tampan, 

padahal dia sangat membencinya sekarang.

Dan ingatan itu kembali lagi kepada si Kedok 

Putih. Entah siapa dia adanya. Bagaimana dengan wa-

jahnya, buruk atau tidak. Tua atau muda. Dia pun su-

dah memberikan penerangan tidak langsung kepada 

Ambarwati. Karena si Kedok Putih pun masih lebih 

sakti dari padanya.

Ambarwati buru-buru bangkit masuk ke ka-

marnya. Di kamar itu dia merenung kembali. Mere-

nungi tentang dirinya sendiri. Ternyata benar kata Ba-

pa, masih ada langit di atas langit. Masih ada yang le-

bih jago dari padanya.

Pemuda tampan itu pun jago dan begitu me-

rendah mau mengalah, dengan membiarkan pedang-

nya menggores bahunya. Ih, lagi-lagi wajah Ambarwati 

memerah. Pemuda tampan... idih, kok tampan sih? 

Mendadak Ambarwati jadi tersipu sendiri dan memba-

likkan tubuhnya menghadap dinding.

Di luar kamar, Jedangmoro masih memikirkan 

akan perkataannya sendiri. Yang Kuasa masih ada di 

atasnya, bahkan di atasnya sekali. Tetapi dirinya su-

dah terlanjur basah, sudah tidak bisa diampuni segala


kesalahannya. Jedangmoro jadi enggan untuk insyaf. 

Biarlah hanya dia yang berbuat demikian, jangan pu-

trinya.

Mendadak muncul seorang laki-laki muda den-

gan tergopoh-gopoh. Dia berlutut di depan Jedangmo-

ro.

"Ada apa, Kasta?"

"Menurut laporan regu pengintai, ada pengiri-

man barang yang sedang berjalan menuju ke daerah 

Pacitan, Ketua."

"Hmm, bagaimana dengan pengawalnya?"

"Luar biasa, Ketua. Delapan orang regu pen-

gawal dan seorang penarik kuda, berpakaian hitam-

hitam semua, dengan sepasang pedang di pundak 

masing-masing."

Jedangmoro manggut-manggut mendengar se-

mua penuturan itu. Dia adalah contoh orang yang tak 

mau bertobat. Mendengar itu semua, dia langsung 

bangkit.

"Kita begal pengiriman barang itu. Persetan 

dengan para pengawalnya, mungkin hanya untuk me-

nakut-nakuti saja," kata Jedangmoro sambil tertawa 

meremehkan.

Kasta pun berlari ke luar. Secara sembunyi-

sembunyi dia memberitahukan kawan-kawannya, yang 

kalau berada di rumah Jendangmoro, agar putrinya ti-

dak tahu apa yang dia kerjakan.

Dan Ambarwati tidak mengetahui apa yang te-

lah diperbuat atau pekerjaan ayahnya selama ini. Dia 

hanya tahu, ayahnya seorang pria yang patut dibang-

gakan dan menjadi kebanggaannya.

Ayah begitu baik, mau memanjakannya, mem-

perhatikan segala sesuatu atas dirinya. Tetapi ayah se-

lalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang di


rumah.

Itulah sebabnya, Ambarwati lebih senang bera-

da di luar rumah dari pada di rumahnya sendiri. di 

luar rumah, dia bisa menghilangkan rasa bosan dalam 

kesendiriannya. Dia bisa melihat apa yang tengah ter-

jadi di luar sana. Dia juga baru mengetahui, kalau ke-

pandaiannya selama ini tidak ada apa-apanya di luar 

sana.

Dia akan meminta ayahnya untuk mengajarkan 

kepandaian lebih mendalam. Juga akan ilmu golok 

yang sangat ayahnya banggakan.

Atau... mendatangkan guru yang mampu men-

gajarkan kepandaian dan kesaktian yang lebih hebat.

Ambarwati masih asyik memikirkan semua itu, 

dan perlahan matanya terpejam. Letih dan ngantuk 

bercampur menjadi satu, apalagi malam telah semakin 

larut.

Dia tidak tahu, ayahnya dan anak buahnya, 

sudah pergi untuk menjegal pengiriman barang besok 

pagi. Malam ini, mereka mengatur strategis yang ba-

gus.

***



EMPAT



Setelah mendengar permintaan Sandirwo untuk 

mengawal pengiriman emasnya, Madewa Gumilang se-

gera memilih delapan orang murid perguruan Topeng 

Hitam untuk melaksanakan tugas itu.

Salah seorang yang di tunjuknya adalah Jaya-

laksa, murid utama yang gagah perkasa. Mereka ber-

delapan, bergerak menuju rumah Sandirwo. Sandirwo


sendiri sebenarnya sudah menyewa lima tenaga orang-

orang jago. Tetapi dia nampaknya lebih mempercayai 

murid-murid perguruan Topeng Hitam daripada kelima 

jago itu.

Pukul delapan pagi pengiriman barang itu su-

dah dilakukan. Jayalaksa telah menempatkan orang-

orangnya di sekeliling kereta kuda itu. Mereka semua 

menunggang kuda.

Perjalanan kali ini sepertinya aman, tidak ada 

tanda-tanda yang mencurigakan, tetapi begitu mema-

suki daerah menuju desa Pacitan, mereka semua su-

dah waspada. Mereka tidak memakai topeng yang 

menjadikan ciri khas perguruan Topeng Hitam. Itu di-

lakukan. agar perguruan Topeng Hitam tidak dikenali 

dan tidak dinyatakan tenaga-tenaga bayaran. Padahal 

Madewa Gumilang telah menolak uang yang diberikan 

Sandirwo.

Tiba-tiba rombongan itu berhenti, karena tak 

jauh dari mereka bergerak, duduk seorang pemuda di 

atas batu sambil memainkan serulingnya. Agaknya 

pemuda itu baru muncul, karena suara serulingnya 

sejak tadi tidak kedengaran.

Jayalaksa menghentikan rombongannya. Ia 

menduga, pasti akan terjadi apa-apa. Tetapi dia tidak 

takut, dengan tenang dia menjalankan kudanya men-

dekati pemuda itu.

Pemuda itu acuh saja, masih memainkan seru-

lingnya. Alunan nadanya merdu sekali dan enak untuk 

didengar oleh telinga.

"Saudara... apa maksud Saudara duduk di sini, 

sepertinya sedang menunggu kami?"

Pemuda itu tak acuh saja, dia masih asyik den-

gan serulingnya. Jayalaksa menjadi agak marah kare-

na merasa didiamkan.


"Saudara...."

Pemuda itu tiba-tiba memotong perkataannya, 

"Aku memang menunggu kalian datang...."

Jayalaksa segera menjadi curiga. Tetapi dia te-

tap tenang, walau dalam pikirannya melintas,

gerombolan Golok Iblis memasang jebakan den-

gan pemuda ini. Ia menoleh ke rombongannya. Masih 

belum ada kejadian apa-apa.

"Apa maksud Saudara menunggu kami?" Kem-

bali Jayalaksa menatap pemuda itu dan suaranya te-

tap tenang.

Pemuda itu menatapnya tajam. Agaknya marah 

karena dicurigai.

"Aku melihat, akan terjadi sesuatu yang tidak 

beres kalau kalian melanjutkan perjalanan...."

"Hmm, siapa sebenarnya Saudara?" Kecurigaan 

Jayalaksa semakin menjadi-jadi.

"Aku hanya orang yang ingin menyelamatkan 

kalian, kalian harus menuruti perintahku."

"Perintah?" Jayalaksa mendengus meremehkan. 

"Kami tidak ingin diperintah siapa-siapa. Termasuk 

kau! Kami akan tetap melanjutkan perjalanan!"

"Hhh! Kau orang sombong, diperingatkan untuk 

kembali tidak mau! Baik, boleh kau buktikan ucapan-

ku!" sahut pemuda itu agak tersinggung dan bangkit 

meninggalkan Jayalaksa sambil mendengarkan sebuah 

nada enak.

Pemuda itu tak lain adalah Pranata Kumala. 

Keinginannya untuk segera bertemu dengan ayah 

bundanya, dia tahan. Pranata masih penasaran den-

gan orang-orang jahat yang telah membakar kereta 

kuda dan membunuh para pengawalnya. Dia bermak-

sud hendak menyelidiki siapa adanya

para perampok itu! Di samping juga ingin


menghapus tuduhan Kadir atas dirinya.

Dia memang menunggu iringan-iringan pengi-

riman barang yang lewat. Pranata menduga, tak jauh 

dari sini akan muncul belasan orang untuk merampas 

pengiriman barang itu. Dia pun buru-buru muncul 

dan memberitahu kepada Jayalaksa, tetapi pria itu 

malah menuduhnya yang bukan-bukan.

Tetapi Jayalaksa sebenarnya percaya dengan 

ucapan pemuda tadi. Namun dia ragu, kuatir ini suatu 

jebakan. Jika dia tidak maju dan mundur, dikuatirkan 

serangan akan datang dari belakang. Berarti mereka 

digiring untuk masuk perangkap.

Jayalaksa segera kembali kepada rombongan-

nya, memerintahkan kembali untuk segera bergerak. 

Rombongan itu bergerak dengan sikap hati-hati dan 

waspada. Selalu memperhatikan setiap sekelilingnya.

Sementara Pranata Kumala sudah menjauh 

dan suara serulingnya sudah tidak terdengar lagi. Dia 

masih agak jengkel kepada Jayalaksa. Diberitahu kok 

malah menuduh!

Rombongan itu bergerak dengan perlahan-

lahan dengan sikap waspada yang semakin meninggi.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas dan ber-

munculan puluhan ekor kuda dengan penunggangnya 

sambil mengacungkan golok. Bergerak dengan cepat 

dan bersuara ramai. Meneriakkan kata-kata kematian.

Jayalaksa segera mencabut sepasang pedang-

nya dan menghentikan rombongan. Yang lain pun ber-

buat yang sama. Mereka menunggu apa yang akan di-

perbuat orang-orang itu, yang segera mengurung me-

reka dengan rapat.

Salah seorang yang agaknya pemimpinnya, ma-

ju dengan senyum sinis. Mengitari kereta kuda itu. 

Jayalaksa bersiap.


Tetapi dia membentak ketika orang itu yang tak 

lain Jedangmoro membuka tirai kereta kuda. Dan para 

pengawal kereta kuda itu segera bersiap.

"Hei, apa yang akan kamu perbuat?!"

Jedangmoro menoleh dan terbahak. Dia sudah 

melihat apa isi tirai itu. Sebuah peri yang pasti berisi-

kan barang-barang berharga.

"Ha... ha... rupanya ada juga orang yang berani 

membentak Jedangmoro."

"Kalau kau berbuat jahat, aku akan menen-

tang!" sahut Jayalaksa gagah.

Jedangmoro menggeram. "Bangsat! Hei, serah-

kan barang itu kepada kami cepat, kalau kau tidak in-

gin mati konyol di golok-golok kami!"

Dibentak demikian, Jayalaksa bukannya takut, 

malah membalas membentak, "Kalau kami sudah ber-

geletak tanpa nyawa, kau boleh memilikinya!"

"Settaaaan...! Serbu...!" Jedangmoro memberi 

aba-aba keras.

Dan puluhan orang yang mengurung rombon-

gan itu segera menggerakkan kudanya ke depan dan 

menyambarkan golok-goloknya ke arah para rombon-

gan itu, yang segera disambut dengan tangkas.

Tak berapa lama kemudian, di tempat itu su-

dah terjadi suatu keramaian yang dahsyat. Ringkik 

kuda, suara senjata beradu, debu yang mengepul, me-

nambah suasana semakin ramai. Suasana penuh da-

rah.

Jedangmoro terbahak melihat ketangkasan 

anak buahnya. Dua orang dari pengawal rombongan 

itu sudah tumbang bersimbah darah, terhantam sabe-

tan golok anak buahnya, tetapi anak buahnya pun ada 

yang terluka. Jedangmoro geram terhadap salah seo-

rang pengawal rombongan itu, dia begitu tangkas me


mainkan pedangnya. Orang itu adalah Jayalaksa yang 

sudah mengamuk sejadi-jadinya. Dia harus memper-

tahankan barang bawaannya dan harus bisa membu-

nuh para perampok itu.

Pedangnya sudah menebas lima orang yang 

mengeroyoknya. Belum lagi yang terluka. Melihat itu, 

Jedangmoro mengemprak kudanya dan maju ke depan 

dengan golok di tangan.

Jayalaksa segera menyambut sabetan golok Je-

dangmoro.

"Trang...! Trang...!"

Benturan dua senjata mereka menimbulkan pi-

jar yang agak terang dan keduanya sudah membalik-

kan kuda mereka dan menyerang lagi. Kembali bentu-

ran kedua senjata mereka bertemu. Tetapi kali ini 

Jayalaksa hampir terjatuh, karena tenaga Jedangmoro 

lebih besar darinya. Jelas saja, sebab Jayalaksa sudah 

bertempur sejak tadi melawan anak buah Jedangmoro, 

sedangkan Jedangmoro masih nampak belum apa-apa.

Dia terbahak melihat Jayalaksa terhuyung dan 

sekali lagi dia maju menyerang. Kali ini dua sabetan 

digerakkan sekaligus.

"Trang...!" Jayalaksa berhasil menahan seran-

gan itu, tetapi serangan yang satu lagi membuatnya 

lebih baik bersalto turun dari kuda. Soalnya gerakan 

itu sangat cepat dan penuh tenaga.

Lagi-lagi Jedangmoro terbahak. Jayalaksa ber-

siap dengan kedua pedangnya. Kali ini lebih baik, ka-

rena dia tidak perlu memegang tali kendali. Jedangmo-

ro memutarinya sambil mencari kelemahan lawan.

Sementara itu, anak buahnya sudah hampir 

berhasil merobohkan para pengawal itu. Tentu saja 

mereka senang, jumlah mereka lebih banyak daripada 

pengawal itu.


Jedangmoro masih terbahak sambil memutari 

kudanya. Dan Jayalaksa bersiap dengan mata

waspada. Tiba-tiba Jedangmoro berseru dan 

menggeprak kudanya hingga lari dengan kencang, ke 

arah Jayalaksa!

Jayalaksa cepat berkelit dengan jalan bergulin-

gan. Jedangmoro berbalik lagi dan kembali menum-

bruk Jayalaksa, kali ini dengan disertai sabetan golok-

nya. Jayalaksa kembali bergulingan. Kali ini lebih su-

sah, karena harus pula menangkis sabetan golok Je-

dangmoro.

"Trang...!"

Tubuh Jayalaksa terguling dengan kecepatan 

deras. Sebab benturan pedang dengan goloknya me-

nyebabkan dirinya semakin terdorong. Dalam keadaan 

susah begitu, tenaganya separuh terkuras untuk ber-

guling, bukan menangkis. Jadi tenaga tangkisannya 

agak lemah karenanya dia terhenyak ke tanah dengan 

keras.

Jedangmoro terbahak-bahak.

"Ha... ha... itulah akibatnya kalau berani me-

nentang permintaan Jedangmoro!"

Jayalaksa menggeram. Bibirnya berdarah kare-

na terbentur batu di tanah. Dia buru-buru berdiri se-

belum Jedangmoro menyerang lagi. Dilihatnya para pe-

rampok itu sudah menguasai kereta kuda dan menu-

runkan barang bawaannya.

Wajah Jayalaksa menjadi pias, bukan karena 

takut mati. Tetapi sedih karena kawan-kawannya su-

dah menemui ajal mereka lebih dulu. Dalam hati dia 

menyesal, karena tidak mau menuruti nasehat pemu-

da tadi. Malah secara keji dia mencurigainya.

Tiba-tiba terdengar derap kuda dengan cepat, 

Jedangmoro sudah menggeprak kudanya ke arah


Jayalaksa. Dia akan menghabisi nyawa orang itu detik 

ini juga. Jayalaksa berusaha berkelit. Tetapi Jedang-

moro sudah mengibaskan tangannya dan beberapa 

buah jarum berbisa menyambar tubuh Jayalaksa. Pria 

itu mengaduh dan terjatuh lagi. Tidak sanggup untuk 

menghindar lagi. Ia memejamkan mata, ajalnya sudah 

tiba hari ini. Jedangmoro semakin buas dan bernafsu 

melihat lawannya sudah tak berdaya, ia mempercepat 

laju kudanya. Dan siap menginjak-injak tubuh Jaya-

laksa!

Tetapi mendadak tubuh Jayalaksa lenyap. Se-

buah bayangan telah menyambar tubuhnya. Jedang-

moro terhenyak, karena tidak merasakan kudanya 

menginjak sesuatu. Dengan cepat dia menghentikan 

kudanya dan berbalik.

Agak jauh dari sana, seorang laki-laki berkedok 

putih tengah menolong Jayalaksa dari maut. Dia me-

nekan tangan kanan Jayalaksa yang terkena jarum

berbisa itu dan menekan pahanya, agar bisa jarum itu 

tidak menjalar sampai ke jantung.

Sedetik dia terlambat, maut sudah menjemput 

Jayalaksa. Itu pun sudah agak terlambat, karena ada 

sedikit bisa jarum itu yang sudah menjalar. Dengan 

cepat di Kedok Putih merobek baju Jayalaksa dan me-

nempelkan kedua tangannya di punggung Jayalaksa. 

Memberikan sedikit hawa panas agar bisa jarum itu 

terhalang jalannya menuju ke jantung. Dan berhasil, 

karena dengan mendadak Jayalaksa muntah darah, 

sebagian bisa itu keluar bersama darah.

Melihat itu, Jedangmoro menjadi geram dengan 

sekali mengangkat tangannya, anak buahnya sudah 

mengepung si Kedok Putih dengan sikap beringas.

Jedangmoro melangkahkan kudanya mendekat, 

perlahan dan berseru, "Siapa kau orang berkedok? Kau


berani-beraninya mengganggu kerja Jedangmoro, ke-

tua gerombolan Golok Iblis, hah?!"

Si Kedok Putih berdiri perlahan, memperhati-

kan orang-orang yang mengepungnya dengan mata 

waspada. Sementara Jayalaksa sedang memulihkan 

tenaganya dengan jalan mengatur pernafasannya.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jedangmoro!" 

seru si Kedok Putih, suaranya angker. "Kau boleh ta-

hu, kalau aku orang yang paling tidak suka dengan 

perbuatanmu, uang selalu membuat onar dan keru-

gian orang lain!"

Jedangmoro hanya tertawa.

"Ha... ha... kau punya kepandaian apa berani 

menantangku, Kedok Putih?"

"Hhh! Kau boleh coba, Jedangmoro!"

Jedangmoro geram sekali. Ia berseru, "Bunuh 

orang itu!"

Serentak anak buahnya menyerang dengan 

buas. Orang berkedok putih itu tenang saja, tetapi ti-

ba-tiba dia menyambar tubuh Jayalaksa dan melenting 

ke atas. Gerakannya sangat ringan. Orang-orang itu ti-

dak menemui sasarannya, malah ada beberapa orang 

yang terbacok oleh golok temannya sendiri.

Si Kedok Putih membawa tubuh Jayalaksa ke 

seekor kuda. Ia menaikkan Jayalaksa dengan cepat 

dan memukul pantat kuda itu hingga lari dengan ken-

cang.

"Selamatkan dirinya, Sobat!" seru si Kedok Pu-

tih sambil berkelit karena orang-orang itu sudah men-

dekat dan menyabetkan goloknya. Puluhan golok itu 

berkelebat ke sana kemari dengan sangat cepatnya. Te-

tapi tak satu pun yang mengenai tubuh si Kedok Putih, 

karena tubuh itu sudah menghindar, berkelit, bersalto 

dengan ringannya.


Bahkan tubuh itu sudah balas menyerang den-

gan hanya mengandalkan kaki dan tangan. Begitu ce-

patnya dan si Kedok Putih berkelebat dengan hebat 

menyebarkan pukulan dan tendangannya.

Lima orang dari pengurungnya roboh dan 

membuat yang lain menjadi penasaran. Dengan ber-

nafsu mereka menyerang kembali.

Tetapi kembali si Kedok Putih memperlihatkan 

kelincahannya berkelit. Bahkan membuat gerakan 

yang tak terduga, tiba-tiba saja dia melenting dan ber-

gerak ke arah Jedangmoro dengan kaki lurus ke muka.

Jedangmoro tersentak kaget, tidak menyangka 

dia akan diserang, padahal si Kedok Putih tengah di-

kurung rapat!

Dengan cepat Jedangmoro merunduk, tendan-

gan si Kedok Putih melesat, tetapi lagi-lagi si Kedok 

Putih membuat gerakan yang tak terduga. Begitu tu-

buhnya hinggap di tanah dia kembali bergerak dengan 

membalikkan tubuhnya dan menendang.

"Des...!" tendangannya mengenai pantat kuda 

yang ditunggangi Jedangmoro. Kuda itu terkejut dan 

meringkik hebat. Mendadak dia berlari kencang-

kencang, tak terkendali.

Jedangmoro cepat melompat bersalto agar tidak 

jatuh dari kuda yang ngamuk itu. Dia berbalik dan 

menatap si Kedok Putih dengan geram.

"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?"

Si Kedok Putih terbahak.

"Rupanya kau mengakui juga kehebatanku, Je-

dangmoro. Sudah kubilang, kau tak akan mampu me-

nandingi ku! Biar kau membawa anak buah banyak, 

tak seorang pun yang bisa mengalahkanku ha... ha...!"

Jedangmoro semakin geram. Tiba-tiba dia men-

gibaskan tangannya dan beberapa buah jarum berbisa


melesat. Kedok Putih berkelit dan mengibaskan tan-

gannya pula. Sebuah dorongan angin yang kuat berge-

rak menuju Jedangmoro. Jedangmoro pun cepat men-

gelak dengan jalan melompat. Dan membentak, "Bang-

sat sialan!!"

Kembali si Kedok Putih terbahak. Jedangmoro 

kembali memerintahkan anak buahnya untuk menye-

rang dan dia sendiri melompat ke kuda yang ada di 

dekatnya, lalu memerintahkan sebagian anak buahnya 

untuk membawa hasil rampasan itu. Dan dia sendiri 

pun menggeprak kudanya untuk lari.

Si Kedok Putih yang tengah menghadapi ke-

royokan itu, bermaksud akan mengejar. Tetapi golok-

golok itu terus mencecarnya. Membuat dia sulit untuk 

menghindar. Dengan jengkel dia menyambar sebuah 

golok yang tergeletak di tanah dan dengan golok itu dia 

berkelebat menghajar setiap pengurungnya hingga se-

muanya roboh dan tak mampu untuk menyerang lagi.

Si Kedok Putih berkelebat mengejar, namun 

bayangan orang itu sudah tidak nampak. Ia kembali ke 

tempat semula. Menatap mayat-mayat yang bergeleta-

kan. Semua ini gara-gara nafsu angkara murka yang 

tidak dapat dikekang. Ser makin dituruti akan sema-

kin menggebu-gebu.

Anak buah Jedangmoro yang hanya terluka ka-

ki dan tangannya hanya memperhatikan saja tanpa

berani berbuat sesuatu. Bertanya-tanya dalam hati, 

siapa kiranya orang yang berada di balik kedok putih 

itu. Dia begitu lihai dan pandainya.

Si Kedok Putih geleng-geleng kepala. Hatinya 

sedih melihat pengawal pengiriman barang yang mati 

itu, walau orang-orang itu membela kebenaran. Mati 

karena dicabut nyawanya oleh orang-orang jahat!

Si Kedok Putih menjadi geram terhadap Je


dangmoro, apalagi dia tidak bisa menangkapnya. 

Orang itu licik dan licin, selalu menggunakan tenaga 

anak buahnya. Tetapi si Kedok Putih yakin, akan ke-

pandaian dan kesaktian Jedangmoro yang tidak ba-

nyak jauh berbeda. Tadi dia kalah karena lebih memi-

kirkan barang hasil rampasan yang tidak akan dinik-

matinya kalau dia mati duluan.

Entah di mana orang itu bermarkas, kalau ber-

temu lagi, si Kedok Putih tidak akan mengampuninya.

Mendadak dia mendongak, menatap matahari 

yang sudah tinggi. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat, begi-

tu cepat sekali, karena sudah menghilang dari pan-

dangan.

Anak buah Jedangmoro yang mampu bangkit, 

berusaha untuk mencapai kuda mereka. Dan

memacu kuda mereka cepat-cepat. Hari ini me-

reka sial, bertemu dengan orang sakti macam si Kedok 

Putih.

Benar-benar sial, apalagi ketua mereka tidak 

mau membela. Malah melarikan diri! Sebenarnya Je-

dangmoro bukan melarikan diri, tetapi dia harus sege-

ra sampai ke rumah cepat-cepat. Kuatir putrinya akan 

bertanya banyak ke mana saja dia semalam.

Si Kedok Putih pun berkelebat dengan cepat.

***

LIMA



Kuda yang membawa tubuh Jayalaksa sampai 

ke perguruan Topeng Hitam. Hari sudah sore. Bebera-

pa orang murid yang menjaga di depan terkejut, kare-

na tubuh Jayalaksa penuh luka. Dan begitu kudanya


berhenti, tubuh Jayalaksa ambruk. Buru-buru mereka 

mengangkat dan membawanya ke dalam. Membaring-

kan dan segera mengobati.

Ketua mereka Madewa Gumilang, sedang pergi. 

Dan ketika datang langsung menjenguk dan kaget 

mendengar semua penuturan Jayalaksa yang sudah 

selesai diobati dan sekarang sedang istirahat.

"Jadi gerombolan Golok Iblis yang melakukan 

semua, Jaya?" tanya Madewa meyakinkan.

"I... iya, ketua. Padahal kalau saja kami mau 

menuruti nasehat orang muda itu, tentu tak akan ter-

jadi hal seperti ini."

"Kau kenal siapa dia, Jaya?"

"Tidak, Ketua. Pemuda itu kelihatannya seperti 

orang baru. Dia mendendangkan sebuah lagu dari se-

rulingnya."

Madewa manggut-manggut. Siapa gerangan 

pemuda itu? Tetapi bagaimana caranya Jayalaksa bisa 

selamat dari gerombolan Golok Iblis?

Seperti mengetahui jalan pikiran orang tuanya, 

Jayalaksa berkata, "Seorang laki-laki berkedok putih 

telah menyelamatkan saya, Ketua."

Lagi kening Madewa berkerut.

"Laki-laki berkedok putih? Siapa dia?"

"Entah, ketua. Orang itu sangat misterius. Dia 

tidak ingin ada orang yang mengenalnya. Datangnya 

pun secara tiba-tiba entah dari mana."

"Tidak ada ciri-ciri yang bisa menandakan siapa 

dia adanya?" Madewa masih penasaran.

"Tidak. Ketua. Dia tidak memegang senjata apa-

apa. Juga tidak memperlihatkan wajahnya. Satu-

satunya yang menjadi ciri-ciri orang itu, adalah kedok-

nya yang berwarna putih."

Madewa terdiam. Mengira-ngira siapa kiranya


orang itu. Baru kali ini dia mendengar adanya orang 

pembela kebenaran dan keadilan dengan identitas ti-

dak jelas, hanya menutupi wajahnya dengan kedok pu-

tih itu. Mungkinkah wajah orang itu sangat buruk, 

hingga dia tidak mau memperlihatkan wajahnya? 

Atau... dia memang tidak ingin diketahui orang siapa 

dia sebenarnya.

Tiba-tiba Madewa menoleh, ke arah jendela. 

Suatu bayangan bergerak dengan sangat cepat. Entah 

siapa, Madewa hanya melihat kelebatannya saja. Keli-

hatan kalau murid-muridnya tidak melihat hal itu, is-

trinya pun demikian. Itu jelas, bertanda bayangan 

yang berkelebat tadi mempunyai ilmu yang tinggi.

Madewa tidak mau membuat ribut-ribut, apala-

gi Jayalaksa dalam keadaan sakit. Dia berlalu dari 

tempat itu seolah masih memikirkan siapa si Kedok 

Putih itu. Tetapi begitu keluar ruangan, dia cepat ber-

salto ke jendela dan hinggap di tanah dengan ringan. 

Tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.

Dia menyelinap di balik pohon bunga. Memper-

hatikan bayangan tadi. Madewa melihat suatu bayan-

gan menyelinap ke kandang kuda. Hmm, pasti pencuri 

kuda yang mempunyai ilmu tinggi. Gerakannya tidak 

menimbulkan suara, ringan dan cepat.

Madewa bergerak pula dengan ringan. Ia meli-

hat sesosok tubuh dari belakang. Seorang pemuda 

yang tegap. Pemuda itu kelihatan hendak masuk ke 

kandang kuda. Tetapi belum dia bergerak, Madewa su-

dah mengibaskan tangannya.

"Wuuut...!" serangkum dorongan angin berge-

rak menuju pemuda itu yang langsung bergulingan 

dan bersiaga. Madewa berkelebat keluar dari persem-

bunyiannya. Pemuda itu tidak jadi lari, karena merasa 

sudah kepergok.


Madewa melihat seraut wajah tampan dan gan-

teng berdiri di hadapannya. Juga rambut yang gon-

drong. Ringan ia melangkah ke depan.

"Kau mau apa menyelinap ke mari, Anak muda 

dan siapa kau sebenarnya?"

Pemuda itu masih terdiam. Memperhatikan se-

kujur tubuh laki-laki setengah baya di hadapannya. 

Inikah ayahnya? Ayah yang hampir sembilan tahun di

tinggalinya? Ayah masih tetap gagah dan tampan. Pe-

muda itu adalah Pranata Kumala. Dia sengaja datang 

bersembunyi-sembunyi, karena kuatir ketua pergu-

ruan Topeng Hitam sudah diganti. Dia ingin menyelidi-

ki dulu.

Tetapi sekarang dia yakin, ketua perguruan To-

peng Hitam masih tetap dipegang ayahnya, ayah yang 

sangat dirinduinya siang dan malam.

Karena pemuda itu diam saja, Madewa ber-

tanya lagi, agak tajam, "Hei, Orang muda. Aku yang 

tua ini segan untuk bertanding denganmu. Kulihat da-

ri sikapmu, kau hendak mencuri kuda. Benarkah?"

Hei, ayah tidak mengenalinya. Apakah wajah-

nya selama sembilan tahun ini dilupakan ayah? Atau 

ayahnya mulai pikun? Pranata ingin berteriak, ayah ini 

aku, Pranata putra mu!"

Tetapi dia diam saja, biar ayahnya menuduh 

demikian. Dia ingin ayahnya menangkapnya. Dan dia 

akan melawan sekedar menguji ilmunya dengan ilmu 

ayahnya.

"Kau telah menuduhku sembarangan, Paman," 

sahut Pranata memulai sandiwaranya.

"Lalu apa maksudmu menyelinap begitu kalau 

tidak ada maksud jelek."

"Yah... tidak dapat ku sangkal, kalau aku me-

mang bermaksud jelek," kata Pranata.


"Dan kau hendak mencuri kuda-kuda itu?!" 

bentak Madewa marah.

"Hhh!" Pemuda itu mendengus. "Hanya kuda, 

berapalah harganya. Kau tahu Paman, aku hendak 

membunuh ketua perguruan Topeng Hitam ini! Cepat 

suruh dia keluar Paman, kalau tidak, kau yang kubu-

nuh!"

Madewa terdiam, mengira-ngira. Siapa pemuda 

ini. Kalau tidak salah, dia sepertinya pernah melihat 

wajah pemuda ini. Tetapi kapan, kapan?

"Orang muda, akulah ketua perguruan Topeng 

Hitam ini. Kenapakah engkau hendak membunuhku?"

"Aku ingin menantangmu berkelahi. Kalau bisa, 

aku akan membunuhmu! Nah bersiaplah. Ketua!"

"Tahan!"

"Kau takut rupanya, hah?" Pemuda itu men-

dengus dan mengejek meremehkan

"Sedikit pun aku tidak takut denganmu. Tetapi 

ingat, kalau di antara kita ada yang kalah, kau harus 

meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu per-

guruan Topeng Hitam lagi. Topeng Hitam bukanlah 

perguruan untuk mengadu ilmu. Kalau kau datang se-

cara damai ke mari, aku akan menerimamu dengan 

senang hati. Nah, mulailah!"

Pemuda itu membuka jurusnya. Pranata tahu, 

kesaktian ayahnya sangat hebat. Dia pun tidak tang-

gung lagi, dia langsung membuka jurus Tangan 

Bayangan warisan gurunya Ki Ageng Jayasih.

Madewa masih tenang saja. Dia yakin, kesak-

tian pemuda itu tinggi. Tetapi dia terlalu sombong. Ter-

lalu membanggakan diri. Perbuatan menantang berke-

lahi itu tidak benar, karena bagi yang kalah, akan se-

makin penasaran untuk menang dan bagi yang me-

nang bisa menjadi keras kepala karena tidak terkalah


kan dan bisa membuatnya menjadi sombong dengan 

menaklukkan orang-orang yang lemah hanya untuk 

memperlihatkan kehebatannya.

Pemuda itu sudah menukik dan melesat ke de-

pan dengan gerakan yang sangat cepat dan penuh te-

naga. Madewa bergerak ke samping dengan ringan, 

pukulan itu luput, tetapi kembali menyambar dengan 

cepat. Tangan itu seolah menjadi banyak dan seperti 

bayangan yang bergerak ke sana-kemari.

Dengan jurus Ulas Meloloskan Diri, Madewa 

menghindari setiap serangan tangan kosong pemuda 

itu, namun serangan itu sedemikian gencar dan cepat. 

Tiba-tiba Madewa bersalto ke belakang dan membuka 

jurusnya, Ular Cobra Bercabang Tiga, yang membuat 

tangannya bergerak demikian cepat pula. Dan dengan 

jurus itu dia bisa mengimbangi jurus Tangan Bayan-

gan pemuda itu. Malah pemuda itu agak terdesak, 

soalnya tenaga dalam Madewa lebih tinggi darinya.

Dia bergulingan menjauh. Madewa tidak mem-

buru.

"Bagaimana, Anak muda? Kau sudah mengakui 

kekalahanmu?"

"Belum!" Pemuda itu bangkit. "Kau belum me-

mukul ku, Ketua!"

"Hmm, kau minta dipukul. Baik, majulah."

Pemuda itu kembali membuka jurusnya dan 

menyerang dengan sangat cepat. Madewa merubah ju-

rusnya. Jurus Ular Mematuk Katak digunakan. Prana-

ta sudah tentu mengenal jurus itu, jurus yang sangat 

cepat dan tangguh. Dia la]u menjaga jaraknya, tidak 

mau terlalu dekat karena tangan ayahnya bisa sede-

mikian cepat menyambar. Dia mempergunakan ten-

dangan kakinya yang sangat cepat. Jurus tendangan 

berantai, yang bergerak beruntun dan mencecar kepala


dan perut.

Saking cepatnya, Madewa sulit untuk menang-

kap kaki itu. Tetapi dia tetap tenang menghindar dan 

berkelit, bahkan tangan kirinya sempat mematuk mata 

kaki pemuda itu, yang langsung mengaduh dan mena-

rik diri ke belakang. Matanya melotot gusar. "Kau?!"

"Kau sudah mengakui kekalahanmu, orang 

muda?" tanya Madewa tenang.

Pemuda itu mendengus. Mengeluarkan sesuatu 

dari balik bajunya. Sebuah seruling dan seruling itu 

diputar-putar hingga menimbulkan desingan yang 

agak keras.

"Kau belum merasakan kehebatan seruling ku, 

Ketua! Bersiaplah, nyawamu akan ku cabut hari ini ju-

ga!!"

"Mulailah, Orang muda. Aku sudah siap!"

Pemuda itu bergerak dengan cepat dan men-

gayunkan serulingnya dalam bentuk totokan dan sabe-

tan. Madewa menghindari semua itu dengan ringan. 

Kecepatan pemuda ini memang luar biasa, tetapi nam-

pak pengalaman bertandingnya kurang. Madewa 

memperlihatkan kelincahannya berkelit. Dalam hati 

Pranata kagum, ayahnya masih tetap digjaya. Usia 

yang merambat tidak mengurangi kelincahannya.

Dan mendadak totokan serulingnya ditangkis.

"Trak...!" begitu keras. Pranata sampai ter-

huyung beberapa tindak. Madewa sudah mengguna-

kan pukulan Tembok Menghalau Badai, tetapi tidak 

mematikan, hanya mengejutkan pemuda itu saja.

Pranata tersenyum dalam hati, ilmunya masih 

berada jauh di bawah ayahnya.

Tetapi mendadak Madewa tersenyum, ia men-

gulurkan kedua tangannya.

"Putra ku... Pranata, selamat kembali Nak ke


perguruan Topeng Hitam...." desisnya yang membuat 

Pranata terkejut. Ia bangkit sambil tertawa. Dan men-

jura.

"Ayah... maafkan, Pranata," katanya sambil ber-

jalan dan memeluk ayahnya. Madewa memeluk pu-

tranya yang sembilan tahun tidak dijumpainya. Pemu-

da itu tumbuh gagah dan pandai. Sebenarnya dia su-

dah mengetahui siapa pemuda ini sejak tadi. Wajahnya 

mengingatkan dia kepada putranya. Dan jurus Tangan 

Bayangan itu adalah jurus kepunyaan Ki Ageng Jaya-

sih. Sembilan tahun membuatnya pangling pada 

anaknya sendiri.

"Kau hebat, Nak...." suara Madewa tergetar.

"Ah... hanya ilmu kosong yang tidak pantas di-

pamerkan di depan Ayah...."

"Kau hebat, Ayah bangga dengan mu!"

Pranata tersipu, melepaskan rangkulannya. 

"Maafkan aku Ayah... aku lancang menantang Ayah 

tadi."

"Ha... ha... Ayah malah bangga. Ayah senang 

melihat kepandaianmu, Pranata. Ayah yakin, kau pun 

menguasai pukulan sakti sinar merah."

"Iya, Ayah. Ki Ageng Jayasih, menurunkan ilmu 

saktinya itu kepadaku. Tahukah Ayah... untuk bisa 

pandai dalam pukulan sinar merah itu, memerlukan 

waktu hampir empat tahun. Ki Ageng Jayasih tidak 

memperbolehkan aku pulang sebelum ilmu itu ku ku-

asai."

"Tak kusangka, kau pun menguasainya."

"Ayah, aku kangen Ibu. Di mana dia sekarang?"

"Di dalam, ayo masuk, Nak."

Ratih Ningrum tentu saja terkejut melihat pe-

muda itu yang ternyata anaknya. Dia pun agak heran 

tadi, siapa gerangan pemuda yang dirangkul suaminya


itu. Ketika dia tahu itu Pranata Kumala, dia cepat me-

rangkulnya dan menciumnya dengan penuh kasih 

sayang. Sembilan tahun tidak merangkul putranya, 

sudah tentu menjadikan Ratih Ningrum rindu yang 

amat mendalam.

Hari itu mereka berpesta menyambut kedatan-

gan Pranata Kumala yang tumbuh menjadi pemuda 

hebat. Ratih Ningrum selalu menatap putranya. Seperti 

suaminya dulu ketika seusia Pranata. Gagah dan tam-

pan.

Ketika mendengar berita ada murid perguruan 

Topeng Hitam terluka, Pranata segera bangkit untuk 

melihat. Pranata tahu siapa Jayalaksa, ketika dia be-

rusia sembilan tahun, Jayalaksa menjadi pembim-

bingnya dalam berlatih ilmu pedang perguruan Topeng 

Hitam. Jayalaksa terkejut ketika Pranata menjenguk-

nya.

"Kau... kau...."

Pranata pun terkejut. Tetapi kemudian terse-

nyum.

"Iya, kakang. Aku Pranata Kumala."

"Bukan, bukan itu. Kau... kau yang memberi-

tahu aku agar tidak meneruskan perjalanan...." kata 

Jayalaksa terbata, ternyata pemuda tadi itu adalah pu-

tra ketuanya sendiri.

Yang lain pun terkejut. Tak terkecuali Madewa.

Ternyata putranya yang memberitahukan itu. Tetapi 

kenapa putranya tidak membantu, di mana hatinya? 

Atau dia tidak senang Jayalaksa tidak mengantahkan 

nasehatnya?

"Jadi kau orangnya, Pranata. Hh, kenapa kau 

tidak membantu mereka?"

"Aku ingin membantu Ayah, tetapi kulihat ada 

seorang laki-laki berkedok putih yang membantu me


reka. Aku terus saja pergi. Kurasa, orang yang berke-

dok putih itu mampu mengusir mereka. Lagipula, aku 

sangat rindu pada kalian berdua, ayah dari ibu...."

Madewa Gumilang terdiam. Agak tidak senang 

karena putranya tidak membantu membela kebenaran. 

Tetapi Ratih Ningrum malah menyanjungnya, "Tidak 

apa, Pranata. Ibu juga sudah rindu pada kalian."

Pranata mengangguk, ia tahu ayahnya tidak 

suka dia berbuat begitu. Meninggalkan begitu saja 

orang-orang yang berada dalam kesulitan.

Untuk mengenakkan ayahnya, dia bertanya, 

"Ayah, kapan pengiriman barang itu akan dilakukan 

lagi?"

"Entah, ayah tidak tahu."

"Kalau ada lagi, aku akan turun serta, Ayah. 

Aku akan membela mereka-mereka yang lemah."

Madewa memperhatikan sekujur tubuh anak-

nya, lalu mengangguk.

"Hmm, baik. Tetapi kau harus diuji dulu ke-

pandaianmu. Biarpun murid tunggal Ki Ageng Jayasih, 

aku kuatir kau tidak bisa menggunakan ilmu kepan-

daianmu itu. Mari kita ke ruang latihan!"

Madewa sudah beranjak mendahului. Ratih 

Ningrum ingin protes, anaknya baru saja tiba, sudah 

disuruh bertanding. Madewa memanggil sepuluh mu-

ridnya yang agak pandai. Mereka disuruh untuk me-

nandingi Pranata Kumala yang sudah berdiri di hada-

pan mereka.

Madewa memandang putranya.

"Ingat Pranata, kalau kau terluka, itu resiko mu 

sendiri. Dan ingat, kau tidak boleh melukai mereka!"

"Kakang!" seru Ratih Ningrum terkejut. Jelas 

saja itu kerugian bagi putranya. Dia tidak boleh melu-

kai lawan, tetapi lawan boleh melukainya. "Kalau tidak


adil dalam memberi peraturan."

"Aku ingin melihat kepandaiannya, Rayi. Kalau 

hanya tenaga kasar yang diperlihatkan, aku yakin, 

Pranata mampu mengalahkan mereka. Tetapi aku in-

gin lihat serangan halusnya tanpa melukai kesepuluh 

lawannya. Pranata, kau bersiap!"

Ratih Ningrum akan protes lagi, tetapi didahu-

lui oleh Pranata, "Biarkan saja, Bu. Aku sanggup 

menghadapi mereka. Ayah nampaknya marah karena 

aku meninggalkan pertempuran antara perampok dan 

pengawal barang itu. Biar ini kulakukan untuk mene-

bus kesalahanku. Pranata berbalik kepada ayahnya. 

"Aku sudah siap, Ayah!"

"Bagus! Kau hadapi mereka dengan sungguh-

sungguh. Perlihatkan kepandaianmu kepada Ayah. 

Dan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk melukai 

Pranata Kumala. Anggap hari ini dia bukan putra ku, 

tetapi musuh yang, harus kalian basmi! Ingat, kulihat 

gerakan kalian lamban dan kaku karena sungkan, aku 

yang akan menghajar kalian!"

Rupanya Madewa Gumilang bersungguh-

sungguh. Selain jengkel karena putranya tidak meno-

long orang-orang yang dalam kesulitan, dia juga ingin 

melihat kepandaian putranya. Tadi dia memang sudah 

merasakan, namun itu antara tenaga kasar. Dia ingin 

Pranata bergerak secara halus namun mampu melum-

puhkan lawan-lawannya.

Pranata maju ke depan. Langkahnya tenang ke-

sepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam menca-

but sepasang pedang mereka dan mengenakan topeng. 

Dengan serentak mereka mengurung rapat. Pranata 

berdiri tenang dengan mata waspada.

Maafkan kami, Raden," kata salah seorang. Dan 

dia sudah menerjang maju dengan sabetan atas bawah


pedangnya. Pranata melompat ke belakang tetapi lang-

sung bersalto karena sepasang pedang di belakangnya 

sudah menyambar.

Dan seterusnya, dua puluh pedang itu me-

nyambar dengan cepat dan ganas. Pranata Kumala 

pertama agak kerepotan, Karena tidak sedikit pun dia 

dikasih menyerang. Malah orang-orang itu seakan be-

nar-benar ingin membunuhnya. Pranata mengerahkan 

segenap kepandaian dan kelincahannya untuk berkelit 

dan menghindar. Dan dia bergerak demikian cepatnya, 

hingga hanya merupakan bayang-bayang.

Tiba-tiba dia melenting ke atas dan bersalto ke 

belakang, menghindari dua buah pedang yang akan 

menusuknya. Bergerak dengan sangat mengagumkan, 

karena masih bersalto dia menotok dua orang lawan-

nya hingga kaku. Madewa berseru kagum dalam hati. 

Perhitungan untuk menghindar dan menotok itu be-

nar-benar ditampilkan putranya dengan hebat.

Begitu Pranata hinggap di tanah, yang lain 

kembali menyerang. Mendadak Madewa berguling, se-

rentak lawan-lawannya menusukkan pedangnya ke 

bawah, tetapi lagi-lagi Pranata membuat gerakan yang 

mengagumkan. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke atas 

dan kembali menotok dua orang dengan cepatnya bah-

kan menendang punggung salah seorang hingga jatuh 

bergulingan.

"Bagus!" seruan Madewa terdengar. "Tetapi in-

gat Pranata, masih ada lima orang lagi! Gunakan, ju-

rus Penutup Barisan, cepat!"

Serentak lima orang itu berjalan ke belakang 

merapat. Tetapi pedang-pedang mereka tidak sama 

mereka pegang. Ada yang dua-duanya ke depan. Ada 

yang ke samping dengan mengembangkan tangan. Ada 

yang ke bawah. Ada yang satu ke bawah dan yang satu


ke atas. Dan penutup barisan, yang terakhir, mengepit 

kedua pedangnya di ketiak.

Pranata bingung bagaimana cara menyerang-

nya. Tetapi lawan-lawannya sudah maju menyerang. 

Serentak dan gerakan mereka teratur. Yang berdiri di 

depan, mengibaskan pedangnya. Pranata berkelit ke 

samping tetapi yang pedangnya mengarah ke samping 

cepat melompat menusuk, Pranata bergulingan. Kem-

bali yang pedangnya berada di bawah, menusuk den-

gan cepat. Dan serangan-serangan itu menjadi mem-

bingungkannya. Dia terus berkelit ke sana-kemari tan-

pa tahu bagaimana harus merobohkan lawan-

lawannya. Jurus Penutup Barisan sangat tangguh. Sa-

tu yang menyerang, yang empat diam. Bergantian den-

gan rapat dan cepat.

Tiba-tiba Pranata berbalik, menyerang yang 

paling belakang, tetapi yang belakang pun segera ber-

balik dan memasang jurus seperti yang di depan tadi. 

Dan yang lain merubah jurusnya. Bukan main, suatu 

jurus yang amat hebat diperlihatkan!

Pranata menarik diri ke belakang. Dia berpikir 

bagaimana caranya menembus pertahanan mereka. 

Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan melesat 

selarik sinar merah ke arah barisan itu, yang menda-

dak menjadi bubar untuk menyelamatkan diri. Dan se-

cepat kilat. Pranata bergerak. Menotok mereka satu 

per satu hingga tak ada yang sanggup untuk bergerak 

lagi.

Terdengar Madewa bertepuk tangan.

"Bukan main! Kecepatan mu boleh juga, Prana-

ta. Baik, jika ada pengiriman barang itu, kau akan tu-

rut serta mengawal!"

Pranata menjura gembira.

"Terima kasih, Ayah."


"Pranata... kau mengenal orang yang mengena-

kan kedok putih?"

"Kedok putih?" Kening Pranata berkerut. "Tidak 

ayah, aku belum pernah melihatnya. Si Kedok Putih 

itukah yang telah menolong Kakang Jayalaksa?"

"Iya, pendekar budiman itu menyembunyikan 

wajahnya di balik kedok putihnya. Suatu saat, aku 

bermaksud akan mencarinya."

"Untuk apa, Ayah?"

"Aku ingin mengenalnya, Pranata. Orang itu ti-

dak segan-segan membela kebenaran. Aku ingin kau 

seperti dia, Pranata."

Pranata hanya mengangguk. Yah, dia akan ber-

buat seperti si Kedok Putih. Dia ingin seperti ayahnya, 

pendekar pembela kebenaran.

***

ENAM



Sebenarnya, masih ada yang belum diceritakan 

Ambarwati kepada ayahnya, peristiwa yang hampir sa-

ja dirinya diperkosa oleh salah seorang anggota per-

kumpulan Pengemis Sakti, sebuah perkumpulan yang 

sudah terdengar namanya sebagai orang-orang yang 

kerjanya hanya membuat onar dan malapetaka saja.

Kalau dia ceritakan kepada ayahnya. Ambarwa-

ti kuatir ayahnya akan marah dan segera menyerbu ke 

pantai pengemis itu. Dia tidak ingin antara ayahnya 

dengan partai pengemis itu menjadi bermusuhan. Itu 

sebabnya Ambarwati tidak menceritakan peristiwa 

yang hampir saja merenggut kehormatannya.

Ambarwati ingat kepada laki-laki berkedok pu


tih. Siapa dia sebenarnya. Diam-diam Ambarwati ingin 

berkenalan dia juga belum mengucapkan terima kasih 

kepadanya. Ah, siapa sebenarnya wajah di balik kedok 

putih itu. Mungkinkah wajah itu tampan seperti wajah 

pemuda yang bertempur dengannya di kedai waktu 

itu? Ataukah wajahnya sangat buruk sekali sehingga 

dia menyembunyikannya dengan kedok putih itu? Te-

tapi biar baik dan buruk wajahnya, Ambarwati berte-

kad untuk menjumpainya dan mengucapkan terima 

kasih.

Dia sudah selesai mandi dan berdandan. Dia 

akan pamit kepada ayah untuk pergi lagi selama dua 

hari. Mencari si Kedok Putih dan pemuda tampan yang 

bertempur dengannya. Ih. kenapa selalu terbayang wa-

jah pemuda tampan itu. Apa-apaan sih! Wajah Am-

barwati menjadi memerah sendiri. Semakin membuat-

nya cantik dan manis.

Jedangmoro sudah kembali dengan hasil ram-

pokannya yang berisikan emas permata yang banyak 

sekali. Dia segera menyelinap masuk dan berganti pa-

kaian, sedangkan anak buahnya kembali menjadi pe-

layan-pelayan yang sopan dan baik-baik.

Begitu Ambarwati keluar dari kamarnya, Je-

dangmoro sudah duduk sambil menghisap cerutunya.

"He... he... sudah bangun, Ambar?"

Ambarwati tersipu. "Maafkan Ambar Bapa, Am-

bar bangun kesiangan."

"Tidak apa-apa, Nak. Kau semalam tidur larut 

sekali," kata Jedangmoro sambil menghembuskan asap 

rokoknya, padahal dalam hatinya dia gembira. Bagus, 

putrinya baru bangun, jadi tidak mengetahui ke mana 

dia pergi semalam.

Tahu-tahu, Ambar terdiam. Dia menunduk dan 

kakinya menggores-gores lantai. Jedangmoro heran


melihatnya. Kenapa dengan putrinya itu? Jangan-

jangan, dia melihat mereka baru datang tadi.

"Kau kenapa, Ambar? Sikapmu seperti gelisah 

sekali?" tanya Jedangmoro.

Ambarwati mengangkat wajahnya, menatap 

ayahnya. "

"Bapa...."

"Ya, Sayang?"

"Ambar... Ambar ingin pergi lagi. Bapak mengi-

zinkan, bukan?"

Jedangmoro menghela nafas panjang.

"Ke mana lagi, Ambar akan pergi. Padahal Am-

bar baru semalam pulang. Ayah masih kangen den-

ganmu, Nak."

"Ambar pergi hanya dua hari, Bapa."

"Tapi kau baru kembali semalam, Nak. Bapak 

belum habis melepas rindu."

"Ih, Bapa. Ambar kayak mau pergi ke mana sa-

ja. Ambar ingin mencari.si Kedok Putih, Ambar ingin 

mengucapkan terima kasih kepadanya."

"Ah, itu bisa dilakukan nanti Ambar. Kali ini 

Bapa tidak mengizinkan. Lusa mungkin Bapa izinkan."

Ambarwati cemberut, sambil bersungut-sungut 

dia masuk kembali ke kamarnya. Jedangmoro mengge-

leng-gelengkan kepala. Putrinya yang satu itu memang 

manja. Ah, sebentar lagi dia juga sudah tidak ngam-

bek.

Memang Ambarwati tidak ngambek, dia men-

gunci pintu kamarnya. Dan pelan-pelan dia membuka 

jendela kamarnya dan melompat keluar. Dengan hati-

hati dia melangkah ke kandang kuda. Mengambil see-

kor yang putih. Seorang pelayannya memergokinya.

Ambar cepat meletakkan telunjuknya di bibir,

"Sttt...! Sini, sini, jangan banyak tanya, ya? Aku


sedang mengadakan permainan dengan Bapa. Kalau 

aku bisa. membawa kuda ini tanpa menimbulkan sua-

ra, Bapa akan memberi ku hadiah. Kamu mau mem-

bantu, kan?"

Yang minta bantuan putri majikannya, sudah 

tentu pelayan tadi mengangguk. Bahkan dia mema-

sangkan pelana dan menyuruh Ambar menjalan ku-

danya sangat pelan. Ambar pun akan berbuat demi-

kian. Dan ia menjalankannya dengan hati-hati. Setelah 

agak jauh, baru dia menggeprak kudanya. Pelayan tadi 

menggeleng-geleng kepala, kagum dengan ketangkasan 

putri majikannya dalam hal menunggang kuda.

Ambarwati melarikan kudanya kencang-

kencang, menuju ke desa di mana dia bertempur den-

gan Pranata Kumala beberapa waktu yang lalu. Entah 

kenapa dia menjadi sangat merindukan pemuda itu. 

Pemuda yang tidak sombong, tidak membuatnya malu, 

bahkan dia mau mengalah. Ah, kalau Ambar ingat ba-

gaimana luka di lengan pemuda itu, dia menjadi kasi-

han. Juga agak menyesal karena pemuda itu sengaja 

menyongsong pedangnya tanpa mengelak, semata agar 

dia menghentikan serangannya dan pemuda itu men-

gaku kalah.

Kalau ingat ini, dia menjadi malu, karena ter-

nyata pemuda tampan itu lebih lihai darinya. Tiba-tiba 

di hadapannya muncul tiga orang pengemis dengan 

tongkat di tangan, yang berdiri menghadangnya. Am-

barwati memperhatikan sambil memperlambat laju 

kudanya. Yang berdiri di tengah, Ambarwati seperti 

pernah mengenalnya. Dia adalah Ayasumo yang sete-

lah di perintah Sengkawung untuk mencari dan me-

nangkap Ambarwati segera pergi menjalankan perin-

tah. Dia sendiri masih penasaran karena gadis itu ti-

dak berhasil di gagahinya.


Ambarwati menghentikan kudanya dari jarak 

jauh. Dia tidak ingin mendapat kesulitan, dengan ce-

pat dia berbalik dan memacu kudanya. Ketiga orang 

pengemis itu serentak mengejar dengan menggunakan 

ilmu larinya, tetapi Ambarwati sudah melesat jauh. Ke-

tiga pengemis itu tertinggal jauh.

Ayasumo mendengus kesal. Dia menyuruh ber-

balik, mencegat dari arah yang berlawanan. Ambarwati 

terus melarikan kudanya, dia me lewati padang rum-

put yang luas dan mendadak telinganya mendengar 

alunan seruling yang merdu. Ambarwati menghentikan 

kudanya dan celingukan mencari siapa yang meniup 

seruling itu.

Betapa merdu nada yang keluar dari tiupan se-

ruling itu. Dia menjalankan kudanya perlahan-lahan 

dan tiba-tiba terdengar suara itu jelas di atas kepa-

lanya. Dilihatnya seorang pemuda sedang asyik duduk 

santai di salah satu dahan dan meniup seruling itu.

Tahu-tahu dia menunduk, pemuda itu adalah 

pemuda tampan yang dipikirkannya semalam. Pemuda 

yang bertempur dengannya di waning waktu itu. Ah, 

dia tadi sempat melihat lengan kanan pemuda itu di-

balut. Tentu akibat goresan pedangnya kemarin.

Dia harus minta maaf. Perlahan dia mendongak 

dan memanggil, "Hei!"

Pemuda itu menghentikan tiupan serulingnya 

dan menoleh ke bawah. Dia melihat seraut wajah can-

tik yang memanggilnya. Pemuda itu ingat, dia adalah 

gadis yang mengajaknya bertempur waktu itu.

"Oh... engkau rupanya, Nona. Maafkan aku, 

aku tidak ingin bertempur. Kamu hebat, Nona. Ilmu 

pedangmu amat tangguh. Lagipula, aku sudah menga-

ku salah, bukan? Aku tidak mau bertempur lagi den-

gan kau, Nona. Aku kuatir lengan kiriku akan tergores


pula."

Wajah Ambarwati memerah.

"Bukan... bukan itu maksudku.... Aku.. aku...." 

Dia agak susah bicara.

"Aku tahu, Nona. Kau masih penasaran karena 

aku belum kau bunuh. Sudahlah Nona, aku segan ber-

tempur denganmu!"

Tiba-tiba pemuda itu meloncat turun, sekilas 

menatap Ambarwati dan melesat cepat. 

"Hei, tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" seru 

Ambarwati sambil melarikan kudanya, menyusul pe-

muda itu.

Pemuda itu adalah Pranata, dia masih terus 

berlari.

"Maafkan aku, Nona. Sungguh mati, aku tidak 

ingin bertempur denganmu!"

"Bukan... bukan itu! Aku ingin minta maaf!" se-

ru Ambarwati pada akhirnya.

Mendengar perkataan itu, Pranata memperlam-

bat larinya dan berhenti. Ambarwati mendekatinya 

perlahan. Pranata menatap wajahnya.

"Kau sungguh-sungguh, Nona? Tidak akan me-

nyerangku?" tanyanya sangsi. Pranata masih ingat, 

waktu itu saja Nona ini marah-marah hanya karena 

dia memandanginya. Tentu sekarang dia akan memba-

las kekalahannya itu, karena tak berhasil membunuh-

nya.

Pemudi remaja itu turun dari kudanya dan 

mengangguk sungguh-sungguh.

"Yah... maafkan aku waktu itu...." "Namaku 

Pranata Kumala."

"Aku bersalah kepadamu, Pranata. Maaf... 

maafkan aku...."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona...."


"Namaku Ambarwati."

"Nona Ambarwati. Aku memang salah, aku te-

lah berlaku ceriwis dengan menatap mu lama-lama...."

Pemudi itu menunduk dengan wajah bersemu 

merah.

"Kau... kau...." Lagi-lagi dia kagok untuk bicara. 

Pemuda di hadapannya betapa tampannya.

"Ya, aku ceriwis. Habis kau sangat cantik, No-

na. Aku kagum melihat kecantikanmu. Ketahuilah, se-

lama sembilan tahun aku tidak pernah melihat kera-

maian. Jadi melihat gadis secantik kau tentu saja aku 

tidak melewatkan kesempatan itu."

Wajah Ambarwati semakin memerah. Pemuda 

ini memujinya, betapa senangnya dia dipuji oleh pe-

muda yang telah menjerat hatinya. Perlahan diangkat 

wajahnya dan ditatapnya pemuda itu. Dadanya berge-

muruh.

"Aku... aku minta maaf. Aku tidak menyangka 

kau lebih lihai dariku...."

"Hei, kata siapa! Buktinya kau berhasil melukai 

lengan kananku! Lihat!"

Pemuda itu memperlihatkan lengan kanannya 

yang dibalut sapu tangan. Melihat itu hati Ambarwati 

semakin teriris. Ini kesalahannya, yang menganggap 

pemuda itu mata keranjang. Dia jadi kesal, apalagi 

pemuda itu tidak mau lepas dari wajahnya. Dia kan 

menjadi risih dan kesal. Enak saja memandang orang 

hingga membuat orang itu menjadi malu!

Dan sekarang dia menyesali karena tidak ber-

pikir panjang lagi. Langsung menantang dan menye-

rang pemuda itu hingga lengan pemuda itu tergores 

oleh pedangnya.

"Maafkan aku...." katanya lirih.

"Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Ti


dak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"

Ambarwati mengangguk.

"Kalau begitu, aku permisi, Nona...."

"Namaku Ambar."

"Oh iya, Ambar. Maaf... aku permisi dulu."

Ambarwati hanya mengangguk, tidak berkata 

lagi sepatah kata pun. Entah kenapa dia menjadi ka-

gok di hadapan pemuda itu. Ih, benar-benar hatinya 

sudah kepincut. Sayang pertemuan tadi hanya seben-

tar. Bayangan pemuda itu sudah tidak nampak lagi. 

Demikian cepat pemuda itu berlari.

Pranata sendiri pun sebenarnya enggan untuk 

meninggalkan gadis cantik itu. Hatinya bergetar meli-

hat kecantikan wajah itu. Dia menjadi takut, kalau la-

ma-lama berhadapan dengan gadis itu, dia menjadi 

gemetar pula.

Dia makanya buru-buru berpamitan. Selain itu, 

dia juga hendak segera ke perguruan Topeng Hitam. 

Hatinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah 

bundanya.

Ambarwati membalikkan kudanya dan menda-

dak dia tertegun. Tiga orang pengemis sudah mengu-

rungnya dan salah satunya Ayasumo.

"Ha.,, ha.., kita ketemu lagi, Nona. Hari ini kau 

tidak bisa melawan. Lebih baik menyerah saja dan ikut 

dengan kami. Daripada kau kubunuh!"

Ambarwati mendengus. Dia tidak takut men-

dengar ancaman itu. Tadi pun ketika berjumpa dia ti-

dak takut, dia hanya tidak ingin berkelahi dan terlibat 

kesulitan, tetapi mau tidak mau dia harus berkelahi 

sekarang dan mungkin mendapat kesulitan.

"Ikut denganmu, ciih! Lebih baik aku mati dari-

pada ikut dengan engkau!" seru Ambarwati galak dan 

diam-diam menyesali, karena Pranata Kumala sudah


pergi. Kalau tidak, dia pasti akan membantunya 

menghadapi tiga orang dari partai pengemis ini. Aya-

sumo tertawa. Melihat bibir itu bergerak dan lidah 

yang mungil serta memerah, dia semakin bernafsu un-

tuk mendapatkan gadis ini.

"Ha... ha..., kali ini kau tidak akan bisa lolos

dariku, Nona! Cepat kau menyerah atau kau ku 

paksa untuk melayaniku dan dua orang temanku!"

Kedua teman Ayasumo terbahak. Melihat ke-

cantikan gadis itu mereka juga naik nafsu birahinya. 

Wajah Ambarwati menjadi pias. Lagi-lagi dia menyada-

ri, kalau dirinya ini bukan apa-apa jika dibandingkan 

mereka. Mendadak dia mengeprak kudanya dan maju 

menerjang dengan kencang.

Ketiga orang itu menghindar ke samping dan 

tongkat Ayasumo sudah bergerak, menotok kuda itu 

hingga berhenti mendadak. Tubuh Ambarwati terjeng-

kang ke depan, untung dia segera bersalto jadi tidak 

jatuh terdorong. Melainkan hinggap dengan ringan.

Ketiga orang pengemis itu segera mengurung-

nya sambil terkekeh-kekeh. Ambarwati akan bertahan 

mati-matian, daripada dirinya ternoda. Dia tidak bisa 

membayangkan hal itu. Ngeri hatinya jika dia sampai 

ternoda oleh ketiga pengemis itu.

Dengan segera dia mencabut pedangnya dan 

siapa menyambut serangan ketiga pengemis jembel.

Ayasumo terbahak, meremehkan.

"Kau masih mau melawan juga rupanya, Nona. 

Kuperingatkan, tak ada gunanya kau melawan kami 

bertiga! Kau akan terluka, Nona."

"Itu lebih baik bagiku!" seru Ambarwati gusar. 

"Daripada jatuh ke tangan kalian, aku lebih suka mati 

hari ini!"

Ayasumo terbahak, disahuti oleh kedua orang


temannya.

"Baik, Nona! Tetapi jangan menyesal, kalau kau 

mati, kami juga kan memperkosa mu!"

"Lakukanlah!" seru Ambarwati antar nekat dan 

takut. Orang-orang itu memang iblis biadab!

Ayasumo tertawa dan segera memutar-mutar 

tongkatnya. Begitu pula dengan kedua temannya. Pu-

taran tongkat itu menimbulkan desingan angin yang 

agak keras. Dan bunyi yang agak lumayan.

Ambarwati menjadi agak ciut juga. Tetapi dia 

sudah membuka jurusnya. Pedangnya diletakkan di 

dada. Tangan kirinya memancang ke depan. Kaki kiri 

di tekuk ke depan dan kaki kanan lurus berdiri.

Siap menghadapi mereka.

Ayasumo tertawa dan tiba-tiba mengayunkan 

tongkatnya dengan sangat cepat. Arahnya ke dada 

Ambarwati. Ayasumo memang seorang pengemis cabul. 

Ambarwati menjerit kaget. Sambil membentak dia me-

nangkis, "Bangsat cabul!"

"Trak...!"

Ayasumo tertawa-tawa dan mencecar dada Am-

barwati, yang menjadi kesulitan untuk menangkis. Dia 

juga mencecar pangkal paha Ambarwati yang semakin 

kerepotan. Selain malu dan jijik dia juga kebingungan, 

karena dua tongkat yang lain sudah menyambar pula. 

Dalam waktu yang singkat saja, Ambarwati sudah ter-

desak hebat. Tongkat-tongkat itu sudah beberapa kali 

mampir di tubuhnya.

Dan tiba-tiba Ayasumo memekik dan men-

gayunkan tongkat ke kepala Ambarwati. Ambarwati 

mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis. 

Tongkat berhasil ditangkis. Namun dengan sangat ce-

pat, Ayasumo masuk dan tangan kirinya menotok Am-

barwati hingga kaku.


Ambarwati membentak, "Lepaskan, lepaskan 

totokan kalian! Kalian semua pengecut, ayo kita ber-

tanding sampai mati!"

"Ha... ha... mana mungkin aku akan membu-

nuh gadis secantik kau! Tubuh mu padat dan empuk. 

Aku menyukaimu, Nona."

Tangan Ayasumo secara cabul menggerayangi 

dada Ambarwati. Ambarwati menjerit-jerit marah.

"Lepaskan aku, kita bertanding lagi!"

"Ha... ha..." Tangan Ayasumo sudah memegang 

dan meremas dada Ambarwati. Terasa empuk dan 

lembut. Benar-benar masih mengkal namun kenyal.

Ambarwati menjerit dan memejamkan matanya 

menahan malu, kesal, marah dan jijik terhadap Aya-

sumo yang semakin keenakan meremas. Tiba-tiba Aya-

sumo melepaskan totokannya dan mendorong tubuh 

Ambarwati hingga jatuh. Dan sebelum Ambarwati ber-

gerak, dia sudah menotok kembali.

"Ha... ha... sebelum ku persembahkan kepada 

ketua, lebih baik ku nikmati saja dulu tubuhmu, Nona. 

Kalian berdua tunggu giliran. Sekarang tontonlah aku 

untuk menaklukkan gadis ini."

"Breeet...!" Ayasumo sudah merobek dada Am-

barwati. Dada yang kenyal dan empuk, dengan buas 

dia menciumi dada itu.

Tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan am-

bruk tanpa nyawa lagi.

Kedua temannya tersentak kaget. Mereka sege-

ra memeriksa tubuh Ayasumo. Sebuah jarum berbisa 

menancap cepat di jantungnya.

Kedua pengemis itu segera bersiap, mencari 

siapa yang .telah melakukan perbuatan tadi. Tetapi ti-

dak nampak seorang pun di sana.

Ambarwati sendiri pun heran, namun gembira


dan lega. Karena dirinya terlepas dari ancaman yang 

amat mengerikan bagi setiap wanita. Dan mendadak 

dia merasakan dirinya telah terbebas dari totokan. Se-

buah kerikil kecil telah melepaskan totokan itu. Den-

gan hati-hati dia menutupi dadanya dan mengambil 

tongkat Ayasumo. Lalu diayunkannya tongkat itu ke 

leher kedua pengemis yang sedang celingukan itu.

"Des..! Des...!"

"Aaaah...!"

Kedua tubuh itu ambruk dan terkulai pingsan.

Ambarwati membenahi pakaiannya yang masih 

agak terbuka. Sudah agak, sobek. Masih menampak-

kan keputihan tubuh di bagian dadanya.

Ia mengambil tali di kudanya dan mengikat pa-

kaian yang terbuka itu hingga merapat kembali. Dia 

segera naik ke kudanya. Tetapi mendadak dia berhenti. 

Dia belum tahu siapa yang telah menolongnya.

Tiba-tiba pohon di sampingnya bergerak. Am-

barwati menoleh ke atas. Si Kedok Putih sedang me-

lambaikan tangannya dan bersalto lalu menghilang.

Ambarwati menghela nafas panjang. Lagi-lagi 

dia yang telah menolongnya. Siapa dia sebenarnya dan 

mengapa selalu muncul memberinya pertolongan?

Mendadak sebuah pikiran yang mengejutkan-

nya sendiri melintas.

Si Kedok Putih mencintainya.

Entah siapa dia sebenarnya, Ambarwati baha-

gia jika benar-benar si Kedok Putih mencintainya. Te-

tapi dia harus menolak, karena dia sudah mencintai 

Pranata Kumala.

Ah, mengapa sekarang dia menjadi memikirkan 

itu. Dia senang dan kagum dengan si Kedok Putih, te-

tapi tidak mencintainya. Ambarwati yakin, kalau si Ke-

dok Putih mencintainya, buktinya dia selalu muncul


menolongnya jika dia mendapat kesulitan.

Tetapi jelas-jelas dia harus menolak cintanya si 

Kedok Putih. Hatinya sudah terjerat oleh Pranata Ku-

mala. Sayang, pemuda itu pergi dengan cepat. Padahal 

dia ingin sekali lama bercakap-cakap dengan pemuda 

itu! Pemuda yang baru beberapa hari saja sudah men-

jerat hatinya.

Tetapi, apakah Pranata Kumala juga mencin-

tainya? Ah, betapa sedihnya dia jika ternyata Pranata 

Kumala tidak mencintainya.

Ambarwati segera memacu kudanya. Hari ini ia 

menjumpai dua orang pemuda yang sama-sama mem-

buatnya kagum. Tetapi pada si Kedok Putih dia hanya 

kagum, sedangkan kepada Pranata Kumala dia men-

cintainya.

Dan Ambarwati akan mencari di mana adanya

Pranata Kumala dia ingin selalu dekat dengan pemuda 

itu.

***

TUJUH



Ketua Partai Pengemis yang bernama Sengka-

wung itu, marah besar mengetahui Ayasumo mening-

gal di tangan si Kedok Putih. Dia menggeram marah 

sambil menggebrak meja di hadapannya. Begitu keras,

hingga patah berantakan.

Dua orang anak buahnya yang datang melapor 

tadi, menggigil ketakutan.

Sengkawung membentak marah, "Baik, Kedok 

Putih! Hari ini, partai Pengemis Sakti akan bermusu-

han denganmu! Baik, hari ini juga kita akan berangkat


mencari si Kedok Putih!"

Sengkawung bangkit dan mengambil tongkat 

kebanggaannya. Bersama lima orang anak buah, me-

reka segera berangkat mencari si Kedok Putih. Seng-

kawung geram sekali, dia akan menghancurkan si Ke-

dok Putih itu!

Sore hati mereka tiba di sebuah desa yang tidak 

ramai. Tidak ada seorang pun yang mengenal si Kedok 

Putih ketika mereka bertanya. Dengan geram Sengka-

wung memukul orang yang ditanya. Dia menarik baju 

orang itu yang menggigil ketakutan.

"Kalau kau bertemu dengan orang yang mema-

kai kedok putih, cepat laporkan kepadaku!"

"Baik... baik, Raden.... Saya... saya akan me-

laksanakan perintah Raden...."

"Huh!" Sengkawung mendorong tubuh orang itu 

hingga jatuh tersungkur. Setelah itu orang itu buru-

buru lari dengan wajah pias. Dia menyesal mau men-

jawab pertanyaan pengemis jembel itu!

Sengkawung nampaknya benar-benar marah 

besar. Wajahnya semakin geram ketika sampai malam 

dia tidak mendengar kabar tentang si Kedok Putih.

Akhirnya dia membuat suatu rencana, untuk 

membuat onar, mungkin dengan itu si Kedok Putih 

akan muncul.

Keesokan harinya, dia segera merampok se-

buah rumah. Dan membunuh semua penghuninya ke-

cuali anak gadis keluarga itu. Dengan buas, Sengka-

wung memperkosanya. Lalu membunuh gadis itu den-

gan keji.

Tetapi si Kedok Putih tidak muncul juga. Kem-

bali akhirnya dia memutuskan untuk merampok se-

buah kereta kuda yang membawa pengiriman parang.

Kereta kuda itu dikawal oleh Pranata Kumala


dan beberapa murid perguruan Topeng Hitam.

Kali ini Pranata hanya membuat sebuah jeba-

kan. Dalam kereta kuda itu tidak ada barang berharga. 

dia hanya ingin memancing gerombolan Golok Iblis un-

tuk muncul.

Tetapi di tengah jalan, malah enam orang ber-

pakaian pengemis yang menghalangi jalannya. Sikap 

mereka sungguh-sungguh menantang.

Pranata menghentikan rombongannya dan 

menghampiri mereka.

"Maafkan kami, Saudara. Kami hendak melalui 

jalan ini, jangan menghalang di tengah jalan."

Sengkawung membentak marah.

"Serahkan barang yang engkau bawa itu, baru 

kami akan minggir memberimu jalan."

"Itu barang pesanan, Kisanak. Kami tidak bisa 

memberikan kepada kalian."

"Berarti hanya ada satu jawaban, tak ada jalan 

dan kalian akan menerima kematian hari ini."

"Saudara, kami tidak mencari permusuhan 

dengan siapa pun. Tak terkecuali kalian. Minggirlah, 

biarkan kami melanjutkan perjalanan."

"Hhh! Kau sudah ingin mampus rupanya!" ben-

tak Sengkawung jengkel dan mengayunkan tongkat-

nya. Tetapi dengan cepat Pranata melompat menghin-

dar, namun kudanya tidak bisa menghindar. Kepala 

kuda itu hancur terkena ayunan tongkat Sengkawung

dan roboh bermandikan darah.

Sungguh luar biasa tenaga pimpinan partai 

pengemis itu. Besar dan kuat. Pranata menjadi siaga. 

Dia mengibaskan tangannya memberi tanda agar yang 

mengawal kereta kuda itu segera turun semua dan 

membiarkan kereta kuda tidak ada yang menjaga.

Sengkawung pun segera berseru untuk bersiap.


Lima orang muridnya bergerak ke depan, berhadapan 

dengan lima orang murid perguruan Topeng Hitam 

yang sudah mencabut sepasang pedang mereka.

Dengan siaga yang tinggi mereka memper-

siapkan jurus masing-masing.

Sedangkan Pranata Kumala sudah berhadapan 

dengan Sengkawung. Pranata sudah mencabut senja-

tanya, sebuah seruling.

"Kalau kalian mampu melangkahi mayat kami, 

kupersilahkan ambil barang yang kami bawa itu!"

Sengkawung terbahak.

"Baik, baik. Kami akan buktikan semua itu! Li-

hat serangan!" setelah membentuk dengan lengkingan 

yang tinggi, Sengkawung menerjang dengan ayunan 

tongkat yang kuat. Serentak pula kelima muridnya 

menyerang.

Pranata mengelakkan ayunan tongkat itu den-

gan menghindar dan masuk ke depan dengan seruling 

siap menotok Sengkawung. Sengkawung memiringkan 

tubuhnya dan tongkatnya menggetok kepala Pranata 

yang dengan sangat cepat Pranata sudah bergulingan 

menghindar.

Sebenarnya Sengkawung tidak bermaksud ber-

tempur. Dia hanya ingin memancing keluarnya si Ke-

dok Putih, tetapi karena pemuda itu menantangnya, 

timbul rasa marahnya terhadap pemuda itu. Dia me-

nyerang dengan sangat sungguh-sungguh. Sengka-

wung adalah orang yang tidak mau mengalah dan pa-

nasan.

Sebentar saja sudah ramai suasana di tempat 

itu. Suara benturan senjata mereka amat cepat dan 

ramai. Nyaring dan keras.

Tiba-tiba Sengkawung memutar tongkatnya 

yang berubah menjadi seperti baling-baling. Desingan


angin yang ditimbulkan oleh putaran tongkat itu amat 

keras dan agak dingin. Dengan masih memutar tong-

katnya dia maju menyerang. Pranata sejenak kebin-

gungan, karena dia tidak tahu bagaimana cara mem-

balas serangan itu. Mendadak dia menghindar ke bela-

kang, karena putaran tongkat itu sudah menyerang-

nya. Tetapi tongkat itu pun mendadak menjadi menyo-

dok. Suatu ilmu tongkat yang mengagumkan. Pranata 

menangkis dengan serulingnya.

"Traak...!"

Dan tubuhnya sudah melenting bersalto, tetapi 

kembali tongkat itu mengejarnya. Dengan hebat tong-

kat itu menegak dan menotok tubuh Pranata yang ma-

sih bersalto. Lagi Pranata memperlihatkan kecepatan 

ilmu serulingnya dia menangkis.

"Traak...!"

Tetapi karena posisi tubuhnya masih di udara, 

itu tidak menguntungkan baginya. Dia terhuyung begi-

tu hinggap di tanah. Tenaga ayunan tongkat itu sangat 

besar dan kuat.

Keadaan lima murid perguruan Topeng Hitam 

berada di atas angin. Mereka sudah memperlihatkan 

kehebatan ilmu pedang perguruan Topeng Hitam yang 

amat cepat dan tangguh.

Tetapi para pengemis itu pun memperlihatkan 

kelihaian mereka memainkan tongkat. Dengan tongkat 

itu mereka mengimbangi permainan pedang murid 

perguruan Topeng Hitam.

Namun tidak bertahan lama, karena mereka 

agaknya terdesak. Salah seorang pengemis itu menga-

duh dan tubuhnya ambruk dengan lengan yang putus.

"Aaah...!"

Melihat kawan mereka terluka, yang lain sudah 

menyerang membabi buta. Tidak tentu arah serangan



nya. Terus memukul dan menotok. Dan kali ini murid 

perguruan Topeng Hitam yang agak terdesak, soalnya 

gerakan tongkat itu mengayun dengan cepat dan asal 

saja, namun satu tujuan. Tubuh sang lawan!

"Des...!" sebuah pukulan tongkat mampir di sa-

lah seorang dari murid perguruan Topeng Hitam. 

Orang itu terhuyung dan pengemis yang memukulnya 

terus mencecar, sebisanya murid itu menangkis, na-

mun kembali sebuah hantaman keras mampir di pa-

hanya.

"Aaah...." Dia mengaduh keras dan roboh den-

gan tulang paha yang patah.

Kesempatan itu digunakan oleh pengemis itu 

untuk menghabisinya. Tetapi mendadak dia menga-

duh, keras pula.

"Aaah...."

Sebuah sinar merah menghantam pergelangan 

tangannya hingga hangus. Rupanya Pranata sudah 

mengeluarkan pukulan sinar merahnya yang sangat 

hebat. Tetapi dia pun harus membayar semua itu den-

gan hantaman tongkat Sengkawung di dadanya.

"Des...!"

Karena menolong temannya itu, dia menjadi 

lengah. Tidak waspada kepada Sengkawung yang ma-

sih siap dengan tongkatnya.

Tubuh Pranata terhuyung beberapa langkah. 

Sengkawung mengejar dengan lengkikan keras. Tetapi 

Pranata sudah mengibaskan tangannya.

Kembali selarik sinar merah mengurungkan 

niat Sengkawung. Dia berkelit dengan jalan berguling 

dan tangannya sudah mengibas pula.

Beberapa paku beracun berterbangan ke arah 

Pranata yang kembali melancarkan sinar merahnya! 

Paku-paku itu hangus terhantam sinar merah.



Melihat serangannya gagal, Sengkawung me-

lempar tongkatnya dengan tenaga yang keras. Kali ini 

Pranata berguling untuk menghindari tongkat itu. 

Tongkat itu menancap sampai setengahnya ke tanah. 

Bisa dibayangkan kalau sampai mengenai sasarannya.

Pranata buru-buru berdiri. Dia sudah membu-

ka jurusnya, Tangan Bayangan warisan gurunya. 

Sengkawung pun membuka jurusnya. Sebuah jurus 

kungfu yang dipelajari di tanah leluhurnya, Tiongkok 

sana.

Jurus yang cepat dan tangguh.

Kedua-duanya memutar dengan perlahan, sal-

ing tatap dengan waspada dan mencari kelemahan la-

wan. Tiba-tiba Sengkawung bergerak melancarkan pu-

kulannya. Pukulan itu betapa cepatnya dan penuh te-

naga.

Pranata pun segera menyambut dengan sebuah 

tangkisan yang penuh tenaga pula.

"Des...!"

Disusul dengan sebuah sodokan pada ulu hati 

Sengkawung. Sengkawung cepat menarik tangannya 

dan memukul tangan Pranata dengan sikunya. Dan 

sangat tiba-tiba dia memutar dan kakinya menendang 

lurus ke wajah Pranata.

Pranata menunduk dan berguling karena kaki 

Sengkawung sudah bergerak lagi. Benar-benar jurus 

kungfu yang bagus. Kali ini Pranata mengambil inisia-

tif menyerang. Begitu bangkit dia langsung menyerbu 

dengan jurus tangan Bayangannya. Tangan itu berge-

rak demikian cepatnya dan sangat hebat, hingga mem-

buat Sengkawung agak kewalahan. Namun dia bisa 

mengimbanginya.

Keduanya kembali memperlihatkan kehebatan 

dan kelincahan dalam menggunakan jurus tangan ko


song. Jurus-jurus yang ampuh dan mematikan.

Sementara itu, di tempat yang sama. Murid-

murid perguruan Topeng Hitam sudah berhasil mero-

bohkan dua orang pengemis itu. Kini mereka tinggal 

dua dan berhadapan dengan empat orang yang meme-

gang pedang dengan hebat.

Mereka sudah menggunakan jurus pedang 

Memanah Matahari. Sebuah jurus yang amat hebat. 

Dimainkan secara bersamaan dengan gerakan yang 

sama. Mereka berjajaran ke samping dan menyerang 

dengan tusukan kepala kedua lawannya.

Tentu saja mereka kaget, karena gerakan pe-

dang lawan-lawannya dimainkan secara seren-tak dan 

kuat.

Keduanya menangkis dengan susah payah. 

Namun salah sebuah pedang itu berhasil menggores 

pengemis yang berada di sebelah kiri, pahanya terluka 

dan darah mengalir keluar.

Sengkawung melihat hal itu. Dia bermaksud

hendak menghentikan pertempuran, karena sebenar-

nya dia tidak ingin bertempur dengan mereka,. Keingi-

nannya hanya satu, menunggu si Kedok Putih muncul. 

Tetapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Lagi-

pula, menghadapi orang-orang itu dia agak kewalahan 

juga. Pemuda itu sangat tangguh, belum lagi kalau dia 

melancarkan pukulan sinar merahnya. Membuatnya 

terkejut dan menjadi kalang kabut.

Mendadak dia bersuit dan berkelebat menghi-

lang. Seorang muridnya itu segera berbuat yang sama 

berkelebat menyusul ketuanya.

Murid-murid perguruan Topeng Hitam bermak-

sud mengejar, tetapi Pranata melarang.

"Biarkan orang-orang itu. Lagipula, kita tidak 

kehilangan apa-apa. Cepat kalian obati kakang Kusni


dan masukkan ke kereta kuda."

Mereka segera menjalankan perintah itu. Biar 

bagaimana pun mudanya Pranata, dia menjadi pe-

mimpin mereka saat ini. Dengan segera Kusni diobati 

dan dinaikkan ke kereta kuda. Setelah itu mereka 

kembali lagi, seolah menanti apa perintah selanjutnya.

Pranata mengangguk.

"Kita lanjutkan perjalanan ini. Daerah menuju 

ke desa Pacitan belum kita lalui. Kali ini kalian harus 

bersiap. Mungkin gerombolan orang merampok itu ber-

jumlah sangat banyak."

Setelah tidak bertemu dengan orang yang dica-

rinya, Ambarwati bermaksud pulang. Dia agak kesal 

karena si Kedok Putih maupun Pranata tidak muncul 

kembali. Sudah dicarinya ke sana kemari, tetapi tidak 

kelihatan.

Di barat sana, matahari sudah hendak kembali 

ke peraduan. Cahaya merahnya membiasi langit den-

gan indah. Sejenak Ambarwati memperhatikan kein-

dahan alam itu. Betapa besarnya Tuhan menciptakan 

semua itu. Sangat indah dan sedap dipandang.

Tanpa terasa makin lama matahari itu makin 

menghilang dan malam mulai datang. Ambarwati sege-

ra menjalankan kudanya untuk kembali ke rumah.

Entah kenapa dia sangat kesal karena tidak 

bertemu dengan salah seorang dari kedua pemuda 

yang di kaguminya. Kedok Putih dan Pranata Kumala.

Ah, ingatannya kembali kepada Pranata Kuma-

la. dia yakin, dirinya jatuh cinta pada pemuda tampan 

itu. Kalau ingat akan luka di lengan kanan pemuda itu 

akibat goresan pedangnya, dia menjadi menyesal sen-

diri. Tidak seharusnya tangan pemuda itu terluka. Dua 

hari yang lalu pun, ketika bertemu dengannya, Am-

barwati melihat luka itu masuk menggores di tangan


Pranata, walau ditutupi saputangan putih.

"Maafkan aku, Pranata...." desisnya kepada an-

gin, karena hanya angin saja yang berada di sekitar 

sana. Tidak ada siapa-siapa.

Tetapi kalau ingatannya kembali kepada si Ke-

dok Putih, dia menjadi agak iba. Ambarwati yakin, si 

Kedok Putih mencintainya. Buktinya dia selalu muncul 

kalau dirinya dalam kesulitan.

Pemuda yang selalu membantu seorang gadis, 

pasti ada apa-apanya. Kalau tidak suka, ya, cinta! Cin-

ta, sebenarnya apa sih cinta? Ambarwati sendiri men-

jadi bingung. Lalu apa nama perasaan sukanya kepada 

Pranata Kumala? Apa itu cinta.

Dan mendadak Ambarwati menjadi berdebar 

sendiri. Apa dia sudah pantas untuk mengenal cinta? 

Ih, cinta! Apa sih maksudnya? Pokoknya bagi Ambar-

wati, dia selalu ingin bertemu dengan Pranata Kumala, 

pemuda tampan yang tidak sombong itu.

Ambarwati pasti yakin, itu yang namanya cinta. 

Cinta juga perlu pengorbanan. Buktinya? Si Kedok Pu-

tih itu. Dia selalu menolongnya dalam kesulitan, berar-

ti dia berkorban tenaga bahkan nyawa kalau suatu 

saat dia terbunuh ketika menolongnya.

Tetapi si Kedok Putih kelihatan tangkas dan 

hebat. Ilmunya tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Prana-

ta Kumala? Ah, pemuda itu pun hebat Ambarwati tidak 

mau kalau-kalau pemuda pujaannya di kalahan orang. 

Pasti Pranata Kumala mampu mengimbangi kesaktian 

Si Kedok Putih.

Karena berjalan sambil melamun, tanpa terasa, 

kudanya sudah tiba di daerah yang tak jauh dari ru-

mahnya. Barulah Ambarwati sadar, kalau dia sejak ta-

di melamun. Dengan bergegas dia memacu kudanya, 

karena hari sudah malam.


Tetapi baru beberapa ratus meter dia melarikan 

kudanya, dia melihat serombongan orang berkuda ke-

luar dari balik bukit. Orang itu sangat banyak. Ber-

jumlah lebih dari dua puluh orang. Dan yang membuat 

Ambarwati terkejut, dia mengenali semua orang itu. 

Pelayan-pelayannya di rumah.

Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seorang 

penunggang kuda yang memakai jubah di belakang-

nya. Ayahnya! Penunggang kuda itu pasti ayahnya. 

Ambarwati yakin, itu Bapa!

Mau apa Bapa malam-malam begini keluar 

dengan sebanyak itu para pengawalnya. Hei, baru kali 

ini dia melihat ayahnya keluar malam. Apa yang hen-

dak dilakukan ayahnya malam-malam begini?

Dengan perasaan penuh tanda tanya dan ingin 

tahu, Ambarwati mengikuti rombongan itu dari bela-

kang, agak mengatur jarak karena kuatir ketahuan 

oleh mereka.

Memang, saat ini Jedangmoro hendak beraksi 

lagi, karena menurut mata-matanya, ada sebuah kere-

ta barang yang dikawal oleh enam orang hendak be-

rangkat menuju desa Pacitan.

Sebenarnya Jedangmoro tidak ingin pergi men-

jegal sekarang. Biarlah rombongan itu lewat dengan se-

lamat. Dia kuatir, putrinya akan datang malam ini. Te-

tapi ketika ingat, kalau putrinya suka ngelayap lewat 

dari izin perginya, Jedangmoro segera memerintahkan 

anak buahnya untuk bersiap. Malam ini mereka harus 

membuat persiapan jebakan dan paginya mereka akan 

garap orang-orang itu.

Jedangmoro tidak tahu, kalau kali ini putrinya 

patuh, kembali sesuai dengan izinnya sebanyak tiga 

hari. Dan putrinya kini berada di belakang rombongan 

mereka, yang terheran-heran hendak berbuat apa


ayahnya dengan pasukan sebanyak itu.

Ambarwati juga melihat, kalau pelayan-pelayan 

yang biasa di rumah sopan dan baik, kini kelihatan 

mereka sangat beringas dan di pinggang mereka mas-

ing-masing, tercantel sebuah golok besar.

Hendak ke manakah mereka itu?

Ambarwati terus membuntuti dengan hati-hati, 

masih tetap mengatur jarak. Tak berapa lama kemu-

dian, dia melihat pasukan itu berhenti dan ayahnya 

memberi perintah untuk membuat rintangan yang be-

rupa susunan bambu di tengah jalan.

Dan anak buahnya serentak melaksanakan tu-

gas itu. Lagi-lagi dalam hati Ambarwati bertanya-tanya 

kebingungan. Bapa sedang melakukan apa? Apakah 

Bapa akan menyerang musuhnya dengan mencegat 

perjalanan mereka. Atau... ah, Ambarwati tidak mene-

mukan jawabannya lagi.

Dia bersembunyi di atas pohon, sedangkan ku-

danya diikat jauh dari tempatnya mengintai.

Malam semakin larut. Ambarwati melihat 

orang-orang yang ditugaskan ayahnya sudah selesai 

menjalankan tugas. Kini lima buah batang pohon dija-

jarkan di jalanan. Memang bisa menghambat perjala-

nan, karena batang pohon itu besar dan harus dising-

kirkan lebih dulu.

Setelah itu mereka semua bersembunyi di balik 

batu-batu besar. Lho, kenapa mereka bersembunyi. 

Ada apa sebenarnya. Mungkin dugaannya benar, 

ayahnya mempunyai musuh dan kali ini akan melaku-

kan penyerangan. Wah, tentu asyik sekali melihat per-

tempuran itu. Dia akan melihat kegagahan ayahnya 

dalam bertempur nanti.

Ayah pasti jago dan hebat memainkan golok. 

Siapa sih yang menjadi musuh ayahnya? Selama ini


ayah tidak mau menceritakan tentang musuhnya. 

Bahkan Ambarwati sendiri tidak pernah mendengar 

kalau ayahnya punya musuh. Jadi siapa musuhnya 

itu?

Malam terus merambat dan pagi pun datang.

Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduan-

nya. Dia tidak pernah telat sedetik pun. Selalu siap 

siaga menjalankan tugasnya. Tugas yang rutin dan dia 

tidak pernah mengeluh dengan tugasnya.

Diam-diam Ambarwati ingin seperti matahari, 

yang selalu tepat pada apa yang dikerjakannya.

Semalaman dia tidak tidur. Ambarwati melihat 

ada beberapa anak buah ayahnya yang tidur dan ada 

yang tidak. Seolah mereka menjaga jangan sampai je-

jak musuh sudah terlewat.

Kira-kira matahari sepenggal, dari kejauhan 

terlihat debu mengepul. Dan sebuah kereta kuda den-

gan lima orang pengawalnya melaju ke arah rintangan 

kayu itu. Memang hanya itu jalan satu-satunya menu-

ju desa Pacitan. Pasti mereka akan menuju desa Paci-

tan.

Tetapi, apakah orang-orang itu yang ditunggu 

ayahnya? Kalau hanya lima orang, mengapa ayahnya 

membawa pasukan sebanyak itu.

Ah, pasti bukan mereka.

Tetapi dugaan Ambarwati salah. Salah besar.

***

DELAPAN



Secara tiba-tiba saja dia mendengar suara 

ayahnya berseru, "Serbuuuu!"

Serentak orang-orang yang bersembunyi itu ke-

luar berhamburan dengan suara kuda yang meringkik 

dan derap langkahnya yang cepat.

Kereta kuda itu berhenti secara mendadak. 

Seorang pemuda yang tampan dan agaknya pemimpin 

rombongan kecil itu menghentikan kudanya, bersiap 

dengan mencabut serulingnya. Yang lain pun segera 

mencabut sepasang pedang mereka masing-masing.

Rupanya mereka adalah Pranata Kumala dan 

sisa empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Me-

reka baru melanjutkan perjalanan setelah menginap 

semalam di sebuah penginapan.

Orang-orang itu segera mengurung dan Je-

dangmoro seperti biasa membentak, " Cepat serahkan 

barang yang kalian bawa itu kepada kami! Kalau ti-

dak...."

"Kalian yang akan kami bunuh!" Pranata Ku-

mala sudah memotong, membuat wajah Jedangmoro 

agak memerah.

Ia menjadi gusar. Pemuda ini terlalu berani. 

Dan yang sangat terkejut adalah Ambarwati, pemuda 

yang dibentak ayahnya itu adalah pemuda tampan 

yang dicintainya.

Hei, ayah rupanya ingin mengambil barang 

yang dibawa oleh pemuda dan rombongannya itu. 

Mengambil? Hah, lalu apa kerja ayah sebenarnya?

Ambarwati menunggu kejadian selanjutnya, te-

tapi dia sudah memekik, karena ayahnya tengah men-

gayunkan goloknya ke arah Pranata yang cepat me-

nangkis dengan serulingnya dan membelokkan ku-

danya ke samping kiri.

"Traakkk...!"

Serentak yang lain segera menyerang dengan 

pekikan keras. Empat orang murid perguruan Topeng

Hitam bertahan mati-matian menghadapi serangan 

yang beruntun dari jumlah penyerang yang sangat ba-

nyak.

Suara bunyi senjata beradu sangat ramai dan 

nyaring. Ditimpali oleh jeritan yang terluka sangat ke-

ras, bahkan mengalahkan kerasnya bunyi benturan 

senjata.

Criing..! Aaah...!"

Suara-suara itu bersatu dengan galau. Karena 

didesak oleh puluhan orang, keempat murid perguruan 

Topeng Hitam itu tidak mampu bertahan, hanya se-

bentar saja mereka semua roboh bermandikan darah. 

Dan orang-orang itu menyerbu ke arah kereta kuda. 

Tetapi betapa marah dan terkejutnya mereka, karena 

di kereta kuda itu tidak terdapat apa yang mereka cari.

Mereka hanya menemukan seorang murid per-

guruan Topeng Hitam yang mengerang karena terluka. 

Dengan marah mereka menyeret orang itu keluar dan 

mengganyangnya ramai-ramai.

Sementara itu Pranata Kumala sudah mende-

sak Jedangmoro, namun dia segera bersalto karena ti-

ga orang dari anak buahnya Jedangmoro sudah berge-

rak membantu.

Tidak hanya tiga, hampir seluruhnya, karena 

mereka kesal dan marah tidak mendapatkan apa-apa. 

Jelas-jelas Pranata mengerahkan seluruh kehebatan-

nya. Jurus tangan Bayangan dan pukulan sinar me-

rahnya berkelebat ke sana-kemari, membuat para pen-

geroyoknya menjadi kocar kacir.

Tetapi karena betapa banyaknya pengeroyok 

itu, akhirnya dia terluka juga di tangan sebelah kiri.

"Aaah...." Pranata terhuyung dan sebisanya 

menangkis golok-golok itu dengan serulingnya.

Di tempat persembunyiannya, Ambarwati terke


jut. Benar, ayahnya ingin merampok. Kalau begitu se-

lama ini yang dikerjakan ayahnya hanya merampok 

dan membunuh.

Pantas kalau pulang ayah selalu membawa har-

ta yang banyak. Ambarwati sendiri sebenarnya ingin 

bertanya dari mana harta sebanyak itu, tetapi dia diam 

saja karena ayahnya pasti ingin menyenangkannya 

dengan harta itu.

Tetapi kali ini, dia melihat dengan mata kepala 

sendiri, kalau ayahnya merampok kereta kuda itu!

Dengan menahan marah dan tangis, Ambarwati 

melompat turun dan berlari ke kudanya. Dengan dige-

prak keras, kudanya meloncat ke depan dan berlari 

dengan kencang. Membawa Ambarwati yang menangis 

pilu, ke arah pertempuran.

Saat ini, nyawa Pranata benar-benar terancam. 

Dia masih berusaha bertahan dengan pukulan sinar 

merahnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewala-

han. Kembali golok-golok itu menyambar tubuhnya.

Pranata bersalto ke belakang dan mengelua-

rkan seruling pemberian ayahnya. Seruling Naga, 

hanya ini satu-satunya yang bisa menghancurkan pa-

sukan perampok itu,

Tetapi sebelum dia meniup seruling itu terden-

gar jeritan, "Bapaaa!!"

Semua menoleh ke arah itu. Seorang gadis re-

maja tengah memacu kudanya dengan cepat dan ber-

henti di dekat Jedangmoro. Ia turun dengan bergegas 

dan berkata-kata dengan sangat cepat, "Bapa, apa ar-

tinya semua ini Bapa? Kenapa Bapa melakukan per-

buatan hina itu. Ambar sedih, Bapa. Ambar juga jijik! 

Jadi selama ini Bapa memberi makan Ambar dengan 

harta yang tidak halal. Bapa, katakan, kenapa Bapa 

melakukan semua itu?"


Jedangmoro tergagap. Tidak bisa berkata apa-

apa. Dia terdiam lesu, tidak menyangka putrinya akan 

muncul dan memergokinya.

"Bapa, katakan, Bapa. Kenapa, kenapa? Ambar 

sedih, Bapa. Bapa yang selama ini Ambar banggakan 

ternyata hanya seorang perampok. Bapa... Ambar anak 

perampok! Ambar anak perampok...!"

Gadis itu berlari dan menangis tersedu-sedu. 

Jedangmoro tertegun hendak mengejar. Tetapi terden-

gar bentakan Pranata Kumala.

"Tak kusangka, orang macam kau mempunyai 

gadis se suci itu! Hatinya masih murni dan mulia, te-

tapi kau telah meracuninya dengan perbuatanmu yang 

busuk itu, yang sangat membuatnya terpukul!"

Jedangmoro menggeram marah. Dia harus me-

lampiaskan kemarahannya itu kepada pemuda ini. 

Dengan marah dia berseru, "Bunuh pemuda itu...!"

Tetapi Pranata Kumala sudah bersiap. Gadis

manis itu sudah menjauh, tidak mungkin terkena alu-

nan seruling naga. Begitu mereka menyerang, Pranata 

cepat bersila dan mulai meniup Seruling Naga itu.

Terdengar suara yang lembut dan sahdu, tetapi 

terdengar amat menyentak di telinga para penyerang-

nya, dan terasa sangat menyakitkan. Penyerang itu se-

rentak terguling sambil menutupi telinga mereka, be-

rusaha menahan rasa sakit yang dialirkan oleh nada 

suara seruling itu.

Kuda-kuda mereka pun bergeletakan dengan 

ringkikan hebat. Sementara Jedangmoro sendiri duduk 

bersila dengan kedua telapak tangan bersatu di dada.

Mengerahkan tenaga dalam dan hawa mur-

ninya. Tetapi serangan suara seruling itu membuat tu-

buhnya gemetar dan mengeluarkan darah. anak buah-

nya yang lain sudah sekarat semua dan akhirnya te


was bergeletakan dengan mengeluarkan darah dari bi-

bir dan telinganya.

Tubuh Jedangmoro bergetar hebat dan akhir-

nya ambruk dengan bibir dan telinga mengeluarkan 

darah. Sampai di situ Pranata Kumala menghentikan 

tiupan serulingnya dan beranjak menghampiri Je-

dangmoro yang nafasnya tengah putus-putus.

Mata Jedangmoro terbuka, perlahan-lahan, 

agak meredup dan seperti menahan rasa yang amat 

sakit.

"Kau... kau... sungguh hebat, Anak muda.... Ah, 

tolong... tolong cari putri ku... katakan... a... aku... 

minta maaf dan... aaguhhh!"

Tubuh itu terkulai dan nyawanya terbang me-

layang. Pranata menghela nafas panjang. Keangkara-

murkaan akan berakhir juga. Dia sedih melihat mayat-

mayat yang bergeletakan itu, tetapi tak ada jalan lain, 

mereka semua harus dibasmi kalau tidak ingin mem-

buat keonaran lagi. Betapa banyak perbuatan dosa 

yang telah mereka lakukan dan semua itu harus di-

hentikan.

Tiba-tiba dia teringat kepada Ambarwati, den-

gan cepat dia berkelebat berlari mencari gadis itu. Pra-

nata menemukan gadis itu berada sedang duduk ter-

menung dan sekali-sekali terisak di tepi sungai yang 

alirannya bersih dan bening, suara gemerciknya enak 

didengar.

Gadis itu tidak menyangka akan perbuatan 

ayahnya selama ini dan bagaimana perasaannya ketika 

tahu siapa yang diserang ayahnya.

Pranata Kumala, pemuda yang dicintainya. Oh, 

pasti pemuda itu tidak akan menyambut rasa cin-

tanya. Pasti dia malu mempunyai kekasih seorang 

anak perampok. Ambarwati menangis tersedu-sedu.


Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Terdengar 

suara lembut di belakangnya, "Ambar...."

Ambarwati cepat menoleh dan mengusap air 

matanya. Sejenak dia melengak. Yang memanggilnya 

pemuda yang dicintainya.

Ah, pasti dia akan memandang rendah kepa-

danya. Ambarwati menunduk, tak kuasa menatap wa-

jah tampan itu. Tetapi tadi ketika dia menatap mata 

itu, tidak ada kesan mengejek dan memandang rendah 

kepadanya. Ah, itu hanya ilusinya saja agar hatinya 

tenang.

Pemuda itu beranjak mendekat. Berlutut dan 

tiba-tiba memegang dagunya, menaikkan agar dia me-

natap matanya.

Tubuh Ambarwati menggigil. Tak kuasa dia ba-

las menatap.

"Kau menangis, Ambar...." suara pemuda itu 

lembut.

Ambarwati menunduk lagi tetapi Pranata men-

gangkat kembali wajah itu.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ambar. 

Kenapa?"

"Aku... aku... ah, aku takut dan malu pada-

mu...." suara Ambarwati tersendat.

"Malu kenapa, Ambar?"

"Kau... kau pasti malu dan mengejek ku... ter-

nyata, aku hanya anak seorang perampok, yang tidak 

patut berteman denganmu...."

"Siapa bilang?" Pranata tersenyum dan meme-

gang dagu Ambar lalu membelai pipinya. "Aku sedih 

kau menuduhku demikian, Ambar. Sampai kapan pun 

aku akan tetap berteman denganmu. ayahmu tetap 

ayahmu, dan kau tetap kau. Kau bukan ayahmu dan 

ayahmu bukan engkau. Ambar...."


Ambar menatap mata yang redup itu. Dari sana 

nampak pancaran sinar mesra. Benarkah, benarkah? 

Pancaran mesra itu ditujukan kepadanya?

"Ya...." suara Ambar pelan dan tersendat.

"Aku... aku...." Pranata ragu-ragu.

"Aku rela ayah mati di tanganmu, Pranata," ka-

ta Ambar memotong. Ayah sudah sepatutnya untuk 

meninggalkan dunia ini, sebelum dosanya semakin 

menumpuk...."

"Bu... bukan itu, Ambar...."

"Bukan itu?" Kening Ambarwati berkerut.

"Ya, bukan itu. Aku... ah, Ambar... aku ingin 

bicara sesuatu, kau tidak marah mendengarnya?"

"Aku belum mendengarnya... jadi tidak tahu 

apa aku harus marah atau tidak...." Suara Ambarwati 

sudah agak tenang.

"Aku... ah, aku pembunuh ayahmu Ambar," ka-

ta Pranata setelah menghela nafas panjang. "Pa... pa-

tutkah kalau aku... aku mencintaimu... ah...." Wajah 

Pranata bersemu merah sendiri.

Tetapi wajah Ambar pun bersemu merah pula. 

Dia menunduk dan mendadak dia terisak. Pranata 

menjadi kebingungan sendiri, selama hidupnya, baru 

kali ini dia mencintai seseorang dan mengatakan cin-

tanya.

Melihat gadis itu menangis, tentu saja dia gu-

gup. Dia menjadi serba salah sendiri.

"Ma... maafkan aku, Ambar. Aku... memang ti-

dak pantas untuk mencintaimu... apa... apalagi aku 

yang... membunuh ayahmu sendiri.... Maafkan aku, 

Ambar."

Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya me-

merah.

"Pranata...."


"Ya," suara Pranata lesu. "Ka... kalau kau me-

nolak, tidak usah kau katakan Ambar. Kau diam saja-

lah, agar aku tahu kalau kau menolak. Aku... aku ta-

kut sakit hati kau... tolak... lebih baik, jangan kau 

ucapkan, Ambar... dan maafkan aku...."

"Pranata...." sekali lagi Ambar memanggil dan di 

bibirnya yang mungil tersungging sebuah senyuman

yang amat manis.

Pranata menunggu apa yang hendak diucapkan 

oleh gadis itu, tetapi mendadak gadis itu menunduk 

tersipu, wajahnya kembali semburat merah.

Pranata menghela nafas panjang. Dia yang bo-

doh, gadis ini mencintainya. Dia memang belum pen-

galaman dalam hal ini. Untuk menyakitkan itu, perla-

han-lahan dia memberanikan diri untuk memegang 

lengan gadis itu. Gadis itu diam saja, masih menunduk 

dan dadanya berdetak lebih keras.

Pranata perlahan memberanikan diri untuk 

berbuat lebih jauh. Dengan hati-hati dia merangkul 

gadis itu. Betapa enaknya merangkul seorang gadis. 

Tubuh yang padat dan dada yang kenyal menekan di 

dadanya. Ambarwati merebahkan diri di dadanya.

Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan. 

Pemuda itu pun mencintainya, tetapi dia tidak tahu 

bagaimana cara mengucapkannya.

Pranata merasakan sesuatu yang hangat keluar 

dari tubuh gadis itu dan tubuhnya, bersatu dan me-

nimbulkan rangsangan yang mulai naik.

Perlahan dia mengangkat dagu Ambarwati. Ma-

ta Ambarwati terpejam. Oh, betapa merekahnya bibir 

itu. Rupanya itu yang membuat rangsangan.

Dengan hati-hati Pranata mencium bibir yang 

kenyal itu. Dan mengulumnya perlahan. Ambarwati 

mengeluh dalam kecupannya dan perlahan-lahan


membalas pula. Dia merasakan suatu aliran aneh 

mengalir dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.

Betapa menggetarkan. Betapa sahdunya.

Ah, sayang Pranata sudah melepaskan bibir-

nya. Dia masih ingin lama-lama dikecup dan dikulum 

begitu. Pranata tersenyum. Mengecup pucuk hidung 

Ambarwati.

Ambarwati membuka kelopak matanya dan ter-

sipu. Buru-buru dia meletakkan kepalanya di dada 

pemuda itu.

Pranata membelai rambut hitam Ambarwati 

dan mencium bau yang harum sekali.

"Sekarang kau hendak tinggal di mana, Am-

bar?" tanya Pranata perlahan.

Ambarwati menggeleng perlahan. Seolah tidak 

tahu, padahal di Laut Selatan di masih mempunyai se-

buah rumah peninggalan ayahnya yang lengkap den-

gan segala isinya.

"Kau tidak tahu, Ambar?"

"Ya."

"Bagai... bagaimana kalau kau tinggal di tem-

patku?"

Mendadak Ambarwati melepaskan rangkulan-

nya. Ia menatap Pranata tajam.

"Aku tidak mau. Hidup serumah tanpa nikah, 

aku tidak mau. Kau harus menikahi ku dulu, baru aku 

mau tinggal di sana."

Pranata merangkul kembali kekasihnya. Mene-

nangkan.

"Untuk sementara kau tinggal di sana. Ada 

ayah dan bundaku. Sebulan kemudian, kau akan ku

nikahi. Kau mau menikah denganku, Ambar?"

Kembali Ambar tersipu. Disangkanya Prananta 

mengajaknya untuk tinggal serumah tanpa menikah.


Dinikahi oleh pemuda yang dicintainya, sudah tentu

dia amat setuju. Hatinya bahagia dan berbunga.

Ternyata Yang Kuasa masih memberinya keba-

hagiaan setelah kecewa melihat dan mengetahui per-

buatan ayahnya. Bahkan Ambarwati tidak menyesali 

kematian ayahnya. Ayah lebih baik mati daripada hi-

dup hanya akan menambah dosa.

Pranata mengajak gadis itu ke perguruan To-

peng Hitam. Dia memperkenalkan gadis itu kepada 

ayah bundanya dan menceritakan asal usulnya. Ratih 

Ningrum hanya mengangguk setuju dengan pilihan pu-

tranya. Dia merangkul Ambarwati yang merasa aman 

dan bahagia dalam rangkulannya.

***

SEMBILAN



Selama tiga minggu tidak ada kejadian apa-apa 

yang menggemparkan. Kini daerah kekuasaan Gerom-

bolan Golok Iblis sudah tidak ada gangguan lagi. Ge-

rombolan itu sudah tumbang ke akar-akarnya. Dan ge-

rombolan yang berada di bawah mereka segera pergi 

dari daerah ini, karena tidak ingin mengalami nasib 

seperti Golok Iblis.

Rombongan-rombongan pengiriman barang ti-

dak takut untuk melalui daerah itu menuju ke daerah 

Pacitan.

Seminggu kemudian, secara resmi Pranata me-

nikahi Ambarwati. Seisi perguruan Topeng Hitam ber-

bahagia, karena mereka senang Pranata mendapat istri 

seorang gadis yang cantik dan lembut.

Mereka lalu minta izin berbulan madu. Tempat


yang dipilih oleh Ambarwati adalah rumah nya yang 

hampir sebulan dia tinggali.

Rumah itu tak banyak berubah. Seperti dulu. 

Hanya sekarang agak kotor dan sepi sekali. Dengan 

semangat dan gembira Ambarwati membersihkan ru-

mah itu dibantu dengan suaminya yang selalu setia, 

walau sekali-sekali teringat akan ayahnya.

Mereka menghabiskan waktu bulan madu itu 

selama seminggu di sana. Saat-saat yang paling ber-

bahagia buat mereka. Seakan tak habis-habisnya me-

reka bergelut dan tak bosan-bosannya mereka tertawa 

dan bercanda.

Tetapi suatu hari, mereka dikejutkan oleh se-

buah tongkat yang dilempar dari luar dan menabrak 

kaca hingga kaca itu berantakan.

"Praang...!"

Pranata dan Ambarwati yang sedang bercanda 

menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Keduanya 

cepat mengambil senjata mereka masing-masing.

Pranata menyelinap ke depan. Mengintai apa 

yang sebenarnya terjadi.

Di sana, dia melihat puluhan orang pengemis 

telah mengepung rumah itu. Dan di tengah mereka 

berdiri pengemis yang bermata sipit, Sengkawung, 

pengemis yang dikalahkannya beberapa bulan yang la-

lu.

Dan mau apa sekarang mereka kemari?

"Hei, kalian berdua! Cepat keluar, kalau tidak 

ku bakar rumah ini!" terdengar bentakan keras Seng-

kawung.

Pranata kembali ke tempat istrinya yang juga 

mendengar seruan itu.

"Siapa mereka, Kakang?"

"Para pengemis yang akan balas dendam kepa


da kita, Rayi...."

"Para pengemis?" Kening Ambarwati berkerut, 

tetapi kemudian ingat, pasti teman-temannya Ayasumo 

yang berhasil dibunuh oleh si Kedok Putih.

"Iya, Rayi. Orang yang berseru tadi, pernah 

bentrok denganku beberapa bulan yang lalu. Agaknya 

mereka ingin balas dendam kepadaku. Kita bersiap, 

Rayi."

"Iya, Kakang."

Terdengar bentakan lagi, "Cepat kalian keluar! 

Aku sudah tahu siapa kalian adanya! Kalian adalah 

orang-orang yang harus kami bunuh!"

"Kita keluar, Rayi?" tanya Pranata.

"Baik, Kakang," sahut Ambarwati mantap.

Dengan sikap gagah keduanya keluar dan ber-

hadapan dengan puluhan pengemis itu. Sengkawung 

terbahak melihat keduanya.

"Ha... ha... kalian rupanya sudah menjadi sua-

mi istri sekarang.... Bagus, bagus, karena hari ini aku 

akan mencabut nyawa kalian!"

Pranata mendengus mengejek.

"Kau? Hhh, kau tidak sadar rupanya, berapa 

banyak anggotamu yang kau bawa! Jangan mimpi 

hanya kau yang bermaksud menaklukkan kami!"

Wajah Sengkawung memerah. Tetapi kemudian 

dia tertawa.

"Baik, baik, bukan aku, tapi kami yang akan 

membunuhmu! Bersiaplah kalian berdua, kami sudah 

muak dengan orang-orang macam kau!"

"Sengkawung... kau tidak sadar rupanya, bebe-

rapa bulan yang lalu pernah kubuat tunggang lang-

gang. Dan sekarang kau ingin merasakan kembali ru-

panya. Baik, kami pun sudah siap menyambut kalian!"

Wajah Sengkawung kembali memerah. Dia


menggeram marah dan berseru memberi aba-aba, "Se-

raaang mereka! Bunuh!"

Dan serentak puluhan orang pengemis maju 

dengan tongkat mereka. Pranata dan Ambarwati pun 

bersiap. Pranata mengkhawatirkan keselamatan is-

trinya. Kepandaian pedang istrinya masih rendah se-

kali, menghadapi satu lawan satu dia juga belum tentu 

menang, apalagi dikeroyok demikian.

Pranata bergerak mendekati istrinya, sekaligus 

melindunginya. Punggung keduanya saling menempel 

dan menghalau setiap serangan.

Tetapi serangan-serangan itu betapa ganas dan 

banyaknya. Membuat keduanya agak kewalahan juga. 

Apalagi keadaan Ambarwati sudah agar terdesak. Tu-

buhnya sudah banyak luka.

Pranata pun demikian. Jalan satu-satunya dia 

harus menggunakan kembali seruling naga. Tetapi ba-

gaimana dengan istrinya, istrinya bisa mati juga jika 

mendengar suara seruling itu.

Sambil melepaskan pukulan sinar merahnya 

secara beruntun, Pranata menyambar tubuh istrinya 

dan membawanya lari. Orang-orang itu mengejar, na-

mun terhalang oleh pukulan sinar merah Pranata.

Ini kesempatan yang bagus, dia menurunkan 

istrinya dan dengan sekuat tenaga dia melancarkan 

pukulan sinar merahnya kepada orang-orang yang 

mengejar itu.

Tetapi Sengkawung tidak kehilangan akal, tidak 

bisa mendekati Pranata Kumala, dia memerintahkan 

anak buahnya untuk melempar tongkat-tongkat itu. 

Dan secara beruntun tongkat itu melesat menuju me-

reka.

Dengan susah payah mereka menghindari se-

rangan tongkat itu dan kesempatan yang baik diguna


kan oleh para penyerangnya untuk maju bergerak.

Kembali keduanya sudah dikurung rapat. Kali 

ini para pengemis itu tidak memegang senjata, agak 

menguntungkan bagi Pranata dan Ambarwati.

Keduanya sudah menggerakkan senjata mereka 

dengan hebat. Pedang Ambarwati berkelebat ke sana-

kemari dan telah merobohkan lima orang pengeroyok-

nya. Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dengan se-

rulingnya dia pun telah menotok empat orang penge-

royoknya.

Tetapi orang-orang itu demikian banyaknya, 

akhirnya keduanya kewalahan dan secara terpaksa 

mereka memisahkan diri, tidak saling merapatkan 

punggung.

Pranata mengamuk hebat dengan serulingnya, 

tetapi keadaan istrinya terdesak hebat. Dengan tiba-

tiba saja, Sengkawung bergerak dan menendang perge-

langan tangan Ambarwati hingga terlepas pedangnya 

dan menotoknya hingga kaku.

Ambarwati tidak bisa bergerak. Dia memaki-

maki marah. Tetapi Sengkawung hanya terbahak saja. 

Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok 

Pranata Kumala. Sedangkan dia sendiri membopong 

tubuh Ambarwati yang kaku sambil terbahak-bahak.

Pranata hendak membebaskan istrinya, tetapi 

pengeroyok itu telah mengepungnya dengan rapat. Ti-

dak memberinya kelonggaran sedikit pun.

Terdengar suara Ambarwati menjerit-jerit di-

iringi tawa Sengkawung. Dia membawa tubuh Ambar-

wati ke balik semak dan merebahkannya hendak 

memperkosa. Pranata Kumala marah mendengar jeri-

tan istrinya. Dia menerobos kepungan itu, tetapi ke-

pungan itu sangat rapat sekali..

Dia ingin menggunakan seruling Naga, tetapi


kuatir istrinya akan terkena pula serangan seruling 

itu.

Tubuhnya sudah menjadi bulan-bulanan para 

pengeroyoknya. Dia sudah mengerahkan seluruh ke-

pandaiannya. Walaupun tangannya sudah dialiri pu-

kulan sinar merah, tetap dia tidak bisa menghindar 

dan menangkis serangan dari belakang atau samping.

Jeritan istrinya terdengar panjang. Dan terden-

gar baju sobek. Sengkawung tertawa terbahak-bahak.

Tetapi tiba-tiba dia terguling, karena sebuah 

pukulan menerjang wajahnya.

"Des...." Sengkawung buru-buru bangkit dan 

melihat siapa yang telah memukulnya. Si Kedok Putih, 

orang yang selama ini dia cari. Tengah berdiri dengan 

gagah.

Sungguh kebetulan sekali. Dia tidak perlu la-

ma-lama mencari si Kedok Putih. Si Kedok Putih mem-

bebaskan totokan di tubuh Ambarwati dan menghada-

pi Sengkawung.

"Rupanya kau pemimpin Partai Pengemis Sakti 

itu." Suara si Kedok Putih angker.

Sengkawung tidak takut dengan suara itu. Dia 

membentak, "Kau rupanya si Kedok Putih! Bagus, kau 

datang sendiri kepadaku! Hari ini. aku menagih nya-

wamu sebagai pembayaran atas nyawa anak buahmu 

yang kaubunuh!"

"Sengkawung, kau adalah orang Tiongkok yang 

datang ke tanah persada ini dan kau berani-beraninya 

membuat kekacauan di negeri kami!"

"Persetan dengan semua itu, sekarang kau ber-

siaplah hutang nyawa dibayar nyawa!"

"Sejak tadi aku sudah bersiap, Sengkawung!"

Setelah mendengar ucapan itu, Sengkawung

segera bergerak. Sungguh cepat dan bertenaga penuh.


Namun si Kedok Putih sudah sejak tadi siap, maka 

dengan ringannya dia menghindar ke samping. Seran-

gan itu luput. Dan kaki si Kedok Putih sudah me-

nyambar kaki Sengkawung hingga tubuh itu jatuh.

Sengkawung bangkit dengan mata berbinar me-

rah. Tetapi belum dia menyerang, sudah terdengar 

alunan seruling yang amat merdu. Tetapi dirasakan 

oleh Sengkawung dan Si Kedok Putih amat menya-

kitkan telinga.

Rupanya Pranata sudah kewalahan sekali. Dia 

akhirnya meniup juga seruling naga itu. Pikirannya 

hanya satu, biarlah istrinya mati terkena seruling itu 

daripada ternoda oleh Sengkawung, nanti setelah itu 

dia sendiri akan membunuh diri.

Suara seruling itu membuyarkan para penge-

pungnya hingga jatuh berantakan.

Tubuh Sengkawung pun bergetar dan dia du-

duk bersila menghimpun tenaga dalam untuk mena-

han serangan seruling itu.

Si Kedok Putih pun berbuat yang sama, tetapi 

sedetik kemudian dia teringat akan gadis manis itu. 

Ambarwati. Dengan gerakan yang sangat cepat, Si Ke-

dok Putih memukul leher Ambarwati hingga pingsan.

Dan dia sendiri ambruk ke tanah karena suara 

seruling itu. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-

ninya untuk menahan. Betapa hebat alunan suara se-

ruling itu. Suara yang begitu kuat dan dahsyat.

Para pengeroyok Pranata Kumala sudah mam-

pus kelojotan, begitu pula dengan Sengkawung yang 

akhirnya ambruk dengan tubuh kejang-kejang.

Hanya si Kedok Putih agaknya yang masih 

mampu bertahan. Sekuat tenaga dia kerahkan untuk 

menahan serangan suara seruling.

Tiba-tiba seruling itu berhenti. Si Kedok Putih


menahan nafas lega dan menghembuskannya perla-

han. Sesosok tubuh berkelebat.

Pranata Kumala yang memanggil-manggil is-

trinya, "Ambar, Ambar!"

Dia menemukan tubuh Sengkawung yang telah 

menjadi mayat dan tubuh istrinya yang pingsan. Ia 

merangkul dan menangisi istrinya. Disangkanya is-

trinya mati akibat suara seruling itu.

"Ambar... maafkan aku, maafkan aku. Aku ter-

paksa melakukan semua ini, Sayang.... Oh, Tuhan... 

betapa besar dosaku karena membunuh istriku sendi-

ri...." Pranata menangis tersedu-sedu.

Tiba-tiba dia merasakan bahunya dipegang se-

seorang. Dia menoleh, orang itu si Kedok Putih.

"Dia hanya pingsan, Nak. Sebentar lagi juga si-

uman."

"Kau... kau yang telah membuatnya pingsan?" 

tanya Pranata terbata.

"Ya... suara seruling mu begitu keras sekali."

"Te... terima kasih, Kakang. Kau telah menye-

lamatkan istriku...."

Si Kedok Putih hanya mengangguk. Lima menit 

kemudian, Ambarwati siuman. Dia mula-mula bingung 

berada di mana, tetapi begitu melihat suaminya, dia 

langsung merangkulnya. Pranata membalas rangkulan 

itu dengan terharu. Istrinya masih hidup. Istrinya ma-

sih hidup.

Ambarwati menoleh kepada laki-laki yang ber-

diri di samping mereka. Si Kedok Putih, lagi-lagi orang 

itu yang telah menolongnya. Ah, pasti si Kedok Putih 

kecewa karena dia telah bersuami. Sudah seharusnya 

dia mengucapkan terima kasih sekarang.

"Kedok Putih....lagi-lagi kau yang telah meno-

longku.... Kuucapkan terima kasih kepada mu...."


"Tak perlu mengucapkan terima kasih, Nimas. 

Sudah kewajiban kita untuk tolong menolong...."

Pranata membimbing istrinya bangkit dan me-

rangkulnya dengan mesra.

"Kedok Putih... kalau boleh, kami ingin sekali 

melihat wajahmu... biar kami tidak melewatkan ke-

sempatan jika bertemu denganmu...."

"Wajahku sangat buruk sekali, aku takut, ka-

lian tidak mengenalku lagi," kata si Kedok Putih sedih 

sambil berbalik membelakangi mereka.

"Oh, maafkan kami, Kedok Putih," kata Prana-

ta. "Seburuk-buruknya rupa mu, tapi hatimu baik. Bi-

arpun bagaimana buruknya rupa mu, kami akan tetap 

menjadi sahabatmu. Kami tak akan pernah melupakan 

pertolonganmu...."

"Kalian akan menyesal."

"Tidak," kali ini Ambarwati yang bicara. "Kami 

tak akan pernah menyesal bersahabat denganmu."

"Kalau kalian ingin melihat wajahku, baiklah. 

Tetapi jangan terkejut jika mengetahui siapa aku sebe-

narnya."

"Kami tak akan pernah menyesal," sahut kedu-

anya berbarengan.

Si Kedok Putih perlahan mengangkat tangan-

nya, siap membuka kedoknya. Ambarwati memegang 

kuat-kuat tangan suaminya. Sedikitnya dia ngeri jika 

melihat wajah buruk si Kedok Putih.

Dan kedok putih telah membuka wajahnya. 

Berbalik menghadap mereka. Keduanya terkejut den-

gan mata terbelalak.

"Ayah!" seru Pranata Kumala.

"Ayah!" seru Ambarwati.

Si Kedok Putih tertawa, suaranya tidak lagi 

angker. Kini biasa suara yang sering didengar mereka.


Suara Madewa Gumilang. Rupanya si Kedok Putih itu 

adalah Madewa Gumilang yang menyamar.

Dia tertawa.

"Kalian telah berjanji, tak akan terkejut melihat 

wajahku!" katanya masih tertawa.

"Bagaimana kami tidak terkejut, kalau ternyata 

wajahmu, Ayah. Oh, terima kasih Ayah... kau selalu 

membantu kami!" kata Pranata sambil menjura yang 

diikuti istrinya.

Madewa merangkul keduanya dan mengajak 

mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.

Perguruan yang berdiri dengan tegar sampai 

menembus ke langit ketenarannya. 

Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan istrinya, perguruan itu semakin memuncak.

***



                             SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive