IBLIS BERBAJU HIJAU
Oleh Fahri A.
Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Di Lindungi Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode :
Iblis Berbaju Hijau
SATU
Angin bertiup dingin. Udara agak
mendung. Awan-awan hitam berarak ke
timur dihembus angin. Suasana tempat itu
hening. Rumput-rumput tinggi tak pernah
dipotong, Menandakan tempat itu tak
pernah didatangi crang.
Suasananya pun mencekam dan
menakutkankan.
Tiba-tiba dari kejauhan samar
terlihat sosok tubuh berlari dengan
ringannya menuju tempat itu. Sosok itu
mengenakan baju berwarna hijau yang
berkibar-kibar dimainkan angin.
Bila dipandang dari dekat, betapa
tipisnya pakaian itu. Sehingga
menampakkan lekuk tubuhnya bagian dalam.
Sosok tubuh itu ramping. Dengan
bentuk tubuh yang bagus. Wajahnya
jelita.
Dengan sepasang mata yang bersinar
cemerlang. Alis hitam bagai semut
beriring. Dan hidung kecil yang bangir.
Juga dihiasi oleh sepasang bibir kecil
yang memerah bak buah delima.
Sosok itu berhenti berlari.
Diedarkannya pandangannya ke
seluruh tempat itu. Keningnya berkerut
melihat daerah yang begitu sunyi dan
menyeramkan.
"Hmm... tempat apakah ini?"
gumamnya dan membiarkan rambutnya yang
terurai panjang dimainkan oleh angin
nakal. Dan dari rambut itu menguar bau
merang yang harum.
Sebenarnya siapakah sosok tubuh
berbaju hijau itu? Dia bernama Puji
Wening, seorang gadis dari desa Glagah
Arum. Dia sampai di sini secara tidak
sengaja. Karena menjelang senja, Puji
Wening sering bermain-main mengisi
waktu. Dia adalah seorang gadis manis
yang manja dan lincah.
Tetapi di desanya dia dikenal
sebagai gadis yang genit karena sering
memamerkan bentuk lekuk tubuhnya dengan
sengaja, selalu memakai pakaian tipis
yang menerawang. Yang membuat setiap
laki-laki yang memandangnya harus
menelan ludahnya. Sedangkan bila yang
melihat kaum wanita akan terlontar
desisan karena iri melihat bentuk tubuh
yang begitu sempurna.
Tiba-tiba pandangan Puji Wening
terbentur pada sebuah batu nisan yang
menyembul keluar. Hanya batu nisannya
saja. Tanpt ada bentuk makamnya.
"Hei, kuburan siapakah ini?"
desisnya dalam hati. Lalu perlahan-lahan
dia mendekati batu nisan itu. "Hmm...
siapakah yang dikuburkan di sini? Kalau
begitu, dulu tempat ini berpenghuni dan
penghuninya sudah meninggal."
Lalu dengan hati-hati
dibersihkannya batu nisan itu dari debu
yang melekat dan cukup tebal.
Samar-samar ada beberapa baris tulisan
yang masih terbaca.
Puji Wening pun membaca tulisan itu.
“Barang siapa yang berjodoh dengan
batu nisan ini, maka galilah!. Dan
teruskanlah perjuanganku!
Malaikat Pedang Sakti”
"Hm... Malaikat Pedang Sakti?
Siapakah dia?" gumam Puji Wening
kembali. "Ataukah dia hidup pads ribuan
tahun yang lampau? Dan merupakan salah
seorang tokoh silat yang sangat sakti?"
Dasar Fuji Wening gadis yang
pemberani Dia menjadi penasaran. Maka
digalilah batu nisan itu perlahan-lahan.
Cukup melelahkan pekerjaan Itu. Namun
rasa penasarannya malah semakin besar
dan cukup membuatnya bersemangat untuk
menemukan jawaban yang ada dibaliknya.
Setelah hampir dua meter dia
menggali nampaklah sosok tubuh yang
tergeletak di dasarnya seperti tertidur.
Puji Wening sedikit menjadi takut. Dia
tak menghiraukan keringatnya yang
bercucuran keluar.
Dari rasa takutnya ini berubah
menjadi kekaguman. Karena mayat itu
masih utuh! Sangat luar biasa. Jasadnya
hanya dikotori oleh tanah yang
menutupinya. Rambutnya pun terurai
panjang, kuku-kukunya pun memanjang.
Bertanda sudah puluhan bahkan ratusan
tahun dia terkubur di sini dengan jasad
yang masih utuh.
"Tentunya dia orang yang sakti,"
gumam Puji Wening. "Lalu apa maksudnya
dia menyuruh menggali makam ini?"
Puji Wening menjadi makin
penasaran. Hati-hati disentuhnya mayat
itu. Dan hei... dagingnya pun tidak
hancur. Malah masih kencang. dan
hati-hati pula dia membalikkan jasad
itu. Dan nampaklah sebuah pedang yang
bersarung emas tertindih jasad itu.
"Hei, ada sebuah pedang!". Lalu
hati-hati diambilnya pedang itu. Dan
ditariknya keluar dari sarungnya.
Seketika nampaklah cahaya keemasan
memancar dari pedang itu.
"Luar biasa! Bagus sekali pedang
ini!" gumamnya.
Puji Wening lalu mencari-cari lagi,
barangkali saja masih ada benda atau
apalah yang tidak terlihat olehnya. Maka
dia pun mulai mencari-cari lagi.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada
sebuah benda yang mirip sebuah buku yang
terletak agak terkubur oleh tanah. Lalu
digalinya dan diambilnya. Setelah
dibersihkan dari debu yan menempel, dia
mulai membukanya. Ternyata buku itu
berisi pelajaran-pelajaran ilmu silat
dan ilmu pedang. Rupanya itu kitab Pusaka
Malaikat Pedang Sakti.
"Apakah ini sebuah kitab pusaka?"
gumam Puji Wening tidak mengerti.
Dan tiba-tiba dia menggeram.
Tatapannya menjadi liar. Perasaannya
mendadak dihausi oleh sebuah kejahatan.
Wajahnya menjadi sungguh menyeramkan.
Puji Wening sendiri heran, mengapa
dia mendadak ingin membunuh. Dia tidak
tahu kalau semua itu disebabkan oleh
pengaruh pedang yang dipegangnya.
Konon ratusan tahun yang lalu,
Malaikat Pedang Sakti adalah seorang
tokoh hitam yan maha sakti. Dia telah
malang melintang di dunia persilatan
dengan membuat onar dan kejahatan.
Dengan ilmu pedangnya yang tangguh, dia
menjadi disegani oleh golongan hitam
maupun putih. Oleh kawan maupun lawan.
Tak seorangpun yang mampu
mengalahkannya. Dan tak seorang pun yang
dapat menahan serangannya. Hingga
merajalelalah dia membuat kejahatan.
Hingga suatu ketika datanglah
seorang kakek yang berjuluk Dewa Pembawa
Maut. Dialah yang menghentikan sepak
terjang Malaikat Pedang Sakti hingga
terluka parah dalam pertempuran sengit
selama tujuh hari tujuh malam.
Akhirnya Malaikat Pedang Sakti
tidak bisa bertahan lama, karena
gempuran-gempuran Dewa Pembawa Maut
sedemikian hebatnya. Lalu dia pun
melarikan diri dalam keadaan terluka
parah.
Di tempat persembunyiannya Malaikat
Pedang Sakti merasa ajalnya sudah
semakin dekat, karena lukanya demikian
parahnya. Sebelum mampus, dia sempat
menuliskan sebuah pesan dan menggali
kuburan untuknya sendiri.
Pesan yang disampaikannya tertulis
pada kitab sakti ciptaannya sendiri,
agar yang berjodoh dengan kitab dan
pedang sakti miliknya, harus meneruskan
perjuangan kejahatannya sebagai tokoh
hitam yang ditakuti oleh orang-orang
rimba persilatan.
Dan tanpa disengaja, senja ini,
jodoh itu pun jatuh ke tangan Puji
Wening. Seorang gadis yang manja,
periang dan genit. Gadis yang tidak tahu
akan buas, bahayanya ilmu silat jika
dipakai untuk jalan kejahatan.
Tiba-tiba saja gadis itu mendadak
terbahak-hahak. Tawanya keras, Membedah
seantero tempat. Dia benar-benar berada
di luar sadarnya karena pengaruh aneh
yang terpancar dari pedang sakti yang
dipegangnya.
Dan perasaannya pun mendadak ingin
membunuh orang!!
Masih terpengaruh oleh pedang itu,
Puji Wening kembali menguburkan mayat
yang masih utuh itu. Lalu mengambil
Pedang Pusaka Malaikat Pedang Sakti
berikut kitabnya, Puji Wening pun segera
keluar dari tempat itu.
Dia mendadak ingin segera
mempelajari dan menatapkan ilmu silat
yang ada pada kitab itu.
Tanpa disadarinya kakinya terus
melangkah memasuki tempat yang mirip
lembah. Lembah itu hanya ditumbuhi oleh
bunga-bunga berwarna merah. Dan seluruh
lembah itu terdiri dari lautan pasir
putih. Konon orang-orang menyebutnya itu
dengan nama Lembah Pasir Putih.
"Inilah tempat yang cocok untukku
mempelajari kitab sakti ini dan
meneruskan cita-cita Malaikat Pedang
Sakti! Hei, Malaikat Pedang Sakti,
saksikanlah, aku, Puji Wening akan
segera meneruskan cita-citamu sebagai
tokoh kejahatan dari golongan hitam!!"
Dan tersiarlah kabar hilangnya Puji
Wening gadis desa Glagah Arum.
Siang dan malam pencarian terus
dilakukan oleh para penduduk. Namun
bayangan gadis itu pun tidak nampak.
Sampai satu tahun hal itu
berlangsung, namun Puji Wening tidak
ditemukan pula.
Akhirnya kedua orang tuanya
menyatakan gadis itu telah hilang entah
ke mana. Bagai lenyap ditelan bumi.
Ayahnya Puji Wening, Baguspuro,
berulangkali menenangkan istrinya yang
semakin hari nampak semakin kurus, tua
dan layu. Karena siang dan malam dia
terus menangis hingga matanya membengkak
memerah.
"Tenanglah, Bu... mungkin ini sudah
nasib anak kita. Hilang entah ke mana..."
"Puji...oh, Puji... sampai hati kau
pergi meninggalkan ibu, Nak..." rintih
istrinya yang terus menangis.
"Bu….Dewata tentunya tidak
sembarangan memanggil umat-Nya untuk
kembali pada-Nya..."
"Tapi Puji Wening anakku, Pak...
anakku..Huhuhu..Puji Wening.." dan
menangislah wanita yang sangat sedih
karena kehilangan putrinya tercinta.
***
DUA
Malam mulai menjelang.
Di hutan menuju ke desa Glagah Arum
nampak dua ekor kuda berjalan perlahan.
Penunggangnya seorang pemuda berwajah
tampan. Dan seekor lagi ditunggangi oleh
seorang wanita yang berwajah cantik.
Mereka adalah Pranata Kumala dan
Ambarwati yang sedang meneruskan
petualangan mereka. Keduanya adalah
sepasang suami istri yang mempunyai
kepandaian bersilat cukup tinggi.
Pranata Kumala adalah Putera Madewa
Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma
dan istrinya Ratih Ningrum. Sedangkan
Ambarwati adalah menantu keduanya, putri
dari Jedangmoro, tokoh perampok di desa
Pacitan yang tewas di tangan Pranata
Kumala atau suaminya sendiri
(Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Kakang..." terdengar suara
Ambarwati. "Aku sudah cukup lelah,
Kakang..."
"Rayi Ambar.... bertahanlah
sejenak. Kita sedang menuju desa Glagah
Arum. Barangkali saja di sana ada
penginapan yang cukup layak..." kata
Pranata Kumala sambil menghentikan jalan
kudanya.
Ditatapnya istrinya yang nampak
letih dan mengantuk.
"Aku sudah tidak kuat lagi,
Kakang... Biarlah kita tidur dan
menginap di sini.. Menurut perkiraanku,
desa Glagah Arum masih jauh dari sini.."
Pranata Kumala pun mengiyakan saja
usul istrinya. Karena dia pun sebenarnya
sudah cukup letih dan mengantuk.
"Baiklah Rayi Ambar... kita
bermalam di sini...'
Namun baru saja keduanya turun dari
kuda mereka, mendadak sebatang tombak
melesat ke arah keduanya. Serentak
keduanya bersalto.
"Heiit!!"
Lalu keduanya bersiaga dengan mata
waspada.
Mendadak di hadapan mereka muncul
seorang wanita yang berparas cukup
cantik. Dia mengenakan baju berwarna
kuning yang tembus pandang.
"Hihihi... rupanya sepasang
muda-mudi sedang asyik berpacaran di
tempat yang gelap ini..." sosok itu
terkikik dengan senyum yang cukup
mengundang.
Ambarwati yang tadinya mengantuk
membentak jengkel karena diserang secara
gelap, "Hei, siapakah kau? Mengapa
membokong kami secara pengecut?!"
Sosok berbaju kuning itu terkikik
kembali.
"Hihihi... rupanya kau galak juga,
ya? Kalian di malam ini tengah berkenalan
dengan Roro Dewi. Bagus bukan namaku?
Kalian tentu senang mendengarnya."
"Roro Dewi, dengan maksud apa kau
menyerang kami, hah?!" seru Ambarwati
lagi.
"Tentunya sengaja itu kulakukan.
Aku ingin tahu, siapakah kalian? Bila
kulihat pedang yang tersampir di
punggungmu, agaknya kalian bukan orang
sembarangan. Nah, katakan siapa kalian
sebelum kucabut nyawa kalian!!"
"Sombong!" seru Ambarwati makin
jengkel. "Namaku Ambarwati. Dan ini
suamiku, Pranata Kumala!"
"Hihihi... suamimu rupanya. Kau
beruntung sekali mendapatkan suami yang
tampan, Ambar..." kata Roro Dewi sambil
mengerling pada Pranata Kumala.
Pranata mendesah.
Sementara mendadak saja Ambarwati
diserang rasa cemburu. Dia membentak
lagi.
"Perempuan cabul! Cepat kau pergi
dari sini, sebelum aku marah!"
"Marah? Hihihi... aku memang
sengaja ingin melihat kau marah! Kau bisa
apa hingga berani membentakku seperti
itu... hihihi..."
"Perempuan celaka! Awas serangan!!"
mendesis Ambarwati dengan marah dan
meloncat menyerang dengan hebat.
Sebuah pukulan terarah ke wajah Roro
Dewi. Tetapi wanita berbaju kuning itu
cuma terkikik dan menarik kepalanya
seraya menggeser kakinya ke kiri.
Lalu tangan kanannya bergerak
memukul perut Ambarwati. Ambarwati cepat
menarik sikunya, untuk menangkis pukulan
itu. Lalu menyusul sebuah tendangan kaki
kanannya.
Jarak yang begitu dekat tidak
memungkinkan bagi Roro Dewi untuk
menangkis, lalu dengan satu sentakan
manis dia bersalto ke belakang.
"Hebat. Tangkas. Dan cepat!"
pujinya.
"Nah, bila kau sudah tahu itu,
mengapa kau mengapa menyembah dan
meminta maaf padaku, hah?!"
"Tidak semudah itu, Ambar. Kita pun
baru bergebrak sekali. Mari kita
lanjutkan!"
"Perempuan sombong! Jangan salahkan
aku bila kau celaka nanti!"
"Kita lihat saja, kau atau aku yang
akan celaka! Bahkan akan mampus
berkalang tanah!!"
Lalu Roro Dewi pun segera memapaki
serangan-serangan Ambarwati. Kedua
wanita itu pun segera mengeluarkan
segenap kemampuan mereka. Bahkan pada
jurus kesebelas, Ambarwati sudah
meloloskan pedangnya.
"Tahan pedangku ini!!"
"Hihihi... rupanya kau jeri untuk
meng-hadapiku dengan tangan kosong,
sehingga harus mengeluarkan pedang
segala!" seru Roro Dewi masih tetap
terkikik. "Tapi tidak apa, aku pun sudah
ingin menuntaskan pertempuran ini! Ayo,
bersiaplah! Keluarkanlah semua
kemampuanmu, Ambar!"
Ambarwati pun menyerang dengan
tebasan-tebasan pedangnya yang hebat.
Keras. Tangguh dan cepat. Begitu pula
dengan Roro Dewi yang berkelit bagaikan
seekor walet menghindari sergapan burung
elang.
"Hihihi... cuma begitu saja
kemampuanmu, Ambar... Sudah hampir
sepuluh jurus kau menggerakkan pedangmu,
namun tak satu pun yang mengenaiku..."
Tiba-tiba Pranata Kumala menggebrak
maju. Menerobos pertempuran antara kedua
wanita itu.
"Plak!"
"Plak!"
Tangan kanan dan kirinya bergerak
cepat, memisahkan keduanya.
"Tahan!!" serunya.
Kedua wanita itu bergulingan.
Ambarwati menjadi jengkel karena
suaminya memisahkannya.
Sedangkan Roro Dewi terkikik.
Pranata menatapnya, "Roro Dewi...
sebenarnya mengapa kau menyerang kami.
Kita tidak saling kenal, pun tidak punya
silang sengketa."
"Apakah perlu kujelaskan lagi, bila
yang kuinginkan adalah nyawa kalian?"
"Tentunya tidak sembarangan kau
hendak mencabut nyawa kami."
"Tentu."
"Lalu kenapa?"
"Karena kalian hendak memasuki desa
Glagah Arum. Di mana desa itu sudah kami
kuasai."
"Apa maksudmu dengan kami kuasai?"
"Sudahlah! Yang pasti keinginanku
cuma satu, kalian harus mampus di
tanganku!"
Lalu Roro Dewi bersiap. Kali ini
sasarannya adalah Pranata Kumala.
Pranata Kumala sendiri menjadi siaga,
demi dilihatnya tangan Roro Dewi yang
terangkum menjadi satu di tangannya
mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Nah, kalian lihat! Ini adalah
pukulan Kembang Beracun milikku yang
sangat hebat! Kalian bisa menemui ajal
bila terkena pukulan ini dan racun yang
terdapat di pukulan ini akan
menggerogoti tubuh kalian, hingga kalian
menderita kesakitan yang teramat sangat
sebelum maut menjelang. Nah, bersiaplah
untuk menyambut seranganku!"
Pranata Kumala pun segera
menyiapkan jurus Tangan Bayangannya.
Begitu Roro Dewi maju menyerang, dia pun
mencoba memapakinya. Namun sampai sejauh
itu dia tidak berani untuk bersentuhan
dengan tangan Roro Dewi yang tentunya
mengandung racun yang teramat laknat.
Dengan memadukan jurusnya dengan
jurus menghindarnya, jurus Kijang
Kumala, Pranata berusaha mendesak Roro
Dewi. Namun karena dia kuatir untuk
bersentuhan sulit baginya untuk terus
mendesak.
Hal itu membuat Roro Dewi tertawa.
"Mengapa kau takut untuk bersentuhan
denganku, Pranata? Bukankah
kulitku sungguh halus?"
Pranata masih berusaha untuk
mencari tempat yang kosong untuk masuk
menyerang. Namun pertahanan Roro Dewi
begitu rapat, sulit untuk ditembus.
"Hihihi... mengapa kau hanya bisa
menghindar saja, Pranata? Mana
seranganmu? Ah, lebih baik kau menjadi
teman tidurku saja, Pranata... bukankah
tubuhku masih seksi dan montok. Kau tak
akan pernah melupakan aku bila sudah
tidur denganku dalam suatu kehangatan
yang panjang, Pranata..."
Mendengar kata-kata yang cabul yang
dikeluarkan oleh Roro Dewi, membuat
wajah Ambarwati memerah mendengarnya.
Cemburunya mendadak muncul.
Dan dia menjadi marah.
Kembali dia bergerak menyerang.
"Heit! Kau rupanya! Hihihi...
betapa setianya kau pada suamimu,
Ambar..." kikik Roro Dewi sambil
menghindari sabetan pedang Ambarwati.
Lalu masuk menyerang dengan pukulan
Kembang Beracunnya.
Ambarwati buru-buru bersalto
menghindar.
Namun Roro Dewi terus mencecarnya.
Sebisanya Ambarwati menghindari
serangan itu, hingga nampak baginya tak
mungkin lagi untuk bisa mengelak.
"Mampuslah kau!!" bentak Roro Dewi
sambil mengirimkan satu pukulannya.
Tiba-tiba dia urung dan menarik
kembali tangannya, ketika selarik sinar
merah melesat ke arahnya.
Cepat dia bersalto.
"Heit! Rupanya kau hanya pandai
membokong saja, Pranata!" makinya.
"Tak ada pilihan lain untuk
menyelamatkan istriku, Roro Dewi!"
"Kau telah berbuat kesalahan!
Berani membokong Roro Dewi! Itu berarti
maut untukmu!" wajah yang cantik dap
suara yang tadi terdengar merdu, berubah
menjadi tajam dan bengis. Tatapan
matanya sekarang memancarkan sinar
pembunuhan. Dan itu akan dilakukan oleh
Roro Dewi.
Sebenarnya siapakah Roro Dewi itu?
Dia tak lain anak buah dari Puji Wening.
Setelah mempelajari dan menamatkan kitab
sakti ilmu pedang itu, Puji Wening kini
menjadi sosok yang tangguh dan hebat.
Kini dia benar-benar sudah berada di
bawah pengaruh aneh yang terpancar dari
pedang Malaikat Sakti itu. Dan tanpa
disadarinya, naluri membunuhnya pun
berjalan.
Dan dia pun mulai memasuki
desa-desa.
Membuat onar di sana. Dan membunuhi
siapa saja tanpa sebab.
Sepak terjangnya sangat sadis dan
tak berperikemanusiaan. Lalu dia
berjumpa dengan Roro Dewi, perempuan
cabul dari golongan hitam pula.
Keduanya pun terlibat dalam suatu
perkelahian yang seru. Namun Roro Dewi
terdesak dan berhasil dikalahkan oleh
Puji Wening.
Puji Wening yang merasa sudah
sepatutnya memiliki anak buah, menyuruh
Roro Dewi menjadi anak buahnya. Bila
tidak mau, maka dia akan dibunuh.
Tentu saja Roro Dewi mau, karena
diapun merupakan tokoh dari golongan
hitam.
Setelah itu, Puji Wening pun terus
membuat teror dan menaklukkan
tokoh-tokoh golongan hitam lainnya.
Sampai saat ini, dia memiliki tujuh orang
anak buah termasuk Roro Dewi.
Sepak terjangnya yang ganas dan
mematikan, membuat namanya cepat
terkenal. lalu diapun dijuluki orang
dengan nama Iblis Berbaju hijau! Karena
sepak terjangnya yang tak mengenal
ampun, mirip iblis. Sedangkan dia tetap
mengenakan baju berwarna hijau!
Sementara Roro Dewi tengah bersiap
kembali untuk menyerang Pranata Kumala.
Pranata pun bersiap, begitu pula dengan
istrinya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan
Roro Dewi, "Tahan serangan!!"
Serangan itu ditujukan kepada
Pranata Kumala yang dengan sigap bersiap
untuk menyambut. Namun mendadak saja
tubuh Roro Dewi berbalik, bersalto dan
menyerang Ambarwati.
Ambarwati menjadi kaget. Sebisanya
dia menangkis.
Namun kalah cepat, karena serangan
Roro Dewi sudah masuk mengenai
sasarannya.
"Des!"
Pukulan Kembang Beracun itu
mengenai dada Ambarwati hingga dia
terhuyung ke belakang dan muntah darah.
"Rayi Ambar!!" pekik Pranata Kumala
sambil memburu.
Dilihatnya tubuh istrinya menggigil
dan membiru.
"Hihihi... dalam waktu sepuluh
hari... tubuh istrimu akan mati dengan
cara yang mengerikan..."
Tiba-tiba Pranata Kumala berbalik.
Menatap Roro Dewi dengan tatapan
membara.
"Bangsat! Kau harus menerima
balasan dari semua yang kau lakukan ini!"
bentaknya seraya menyerang.
Namun Pranata pun tidak mau untuk
bersentuhan dengan tangan Roro Dewi.
Makanya dia bergerak dengan hati-hati.
Lalu dengan satu gerakan menipu,
dengan cara berpura-pura menyerang,
sambil bersalto Pranata melepaskan
pukulan sinar merahnya.
Yang tanpa ampun lagi menghantam
rubuh Roro Dewi.
Terdengarlah jeritannya yang keras.
Lalu tubuh itu pun ambruk dengan tubuh
yang separuh hangus dan nyawanya lepas
dari jasadnya.
Pranata Kumala menghampiri istrinya
yang dalam keadaan kesakitan.
"Tenang Rayi... tenang..." Lalu dia
menotok jalan darah menuju ke jantung,
agar racun yang memasuki tubuh istrinya
tidak cepat mengalir. "Besok... aku akan
segera mencari tabib di desa Glagah
Arum... Tenang, Rayi... tenang...."
Ketika keesokan paginya Pranata
hendak meninggalkan istrinya, istrinya
menahan. Memintanya agar pergi saat
senjakala.
Wajah Ambarwati sangat pucat. Dan
membiru. Bibirnya nampak mengigil.
Racun yang berasal dari pukulan Roro
Dewi itu perlahan-lahan mulai menjalar.
Kerja racun itu demikian cepatnya
sehingga Ambarwati nampak sangat
kesakitan.
Pranata menjadi pilu.
"Kakang..." terdengar desisan
istrinya sambil memegang lenganpya.
Pranata balas memegang lengan yang
halus kini nampak lemah.
"Iya, Rayi..."
"Sakit sekali, Kakang..."
"Tenanglah, Rayi... sebentar lagi
senja datang. Biar aku pergi ke desa
Glagah Arum untuk mencari seorang
tabib."
"Aku takut sendiri di sini,
Kakang...'
"Aku hanya sebentar, Rayi. Nanti
juga kembali dengan seorang tabib..."
kata Pranata membujuk istrinya yang
nampak berusaha tersenyum.
"Aku takut, Kakang..." desis Ambar-
wati. Biasanya dalam keadaan tidak sakit
begini, Ambarwati adalah seorang wanita
yang gagah berani. Namun dalam keadaan
tubuh terkena racun, nampaklah kodrat
aslinya sebagai seorang wanita, yang
lemah dan gemulai.
"Tenanglah, Rayi... tenanglah...
Kau adalah seorang wanita yang tegar,
Rayi... Tampakkanlah ketegaranmu
meskipun kau sedang dalam keadaan sakit
sekali pun..." kata Pranata Kumala
sambil menghibur istrinya.
Saat ini dia membawa ke sebuah
tempat yang cukup terlindung dan aman
dari penglihatan mata manusia. Begitu
pula dengan hewan-hewan yang berada di
sekitar hutan ini.
Ambarwati mencoba tersenyum.
"Iya, Kakang..."
"Nah, ayo, tunjukkanlah Ambarwati
yang tegar, berani dan gagah..."
Lagi Ambarwati tersenyum.
"Kau sungguh baik, Kakang..."
Pranata balas tersenyum.
"Karena aku mencintaimu, Rayi
Ambar..."
"Begitu pula dengan aku, Kakang..”
"Nah, sekarang tenanglah kau di
sini. Senja sudah datang. Aku harus
segera pergi ke desa Glagah Arum untuk
mencari seorang tabib,.. Kau berani
sendiri di sini, bukan?" tersenyum
Pranata Kumala.
Dan perlahan-lahan kepala
istrinya mengangguk.
Lalu Pranata mengecup kening
istrinya. Dan keluar untuk segera menuju
ke desa Glagah Arum.
Ketika dia memasuki desa itu,
keheranannya mulai nampak. Matanya
memandang berkeliling. Memandangi
rumah-rumah penduduk yang nampak
terkunci rapat. Dan tak seorang pun yang
kelihatan masih berkeliaran.
Juga anak-anak yang biasanya
bermain dengan riang di bawah matahari
senja.
Aneh, padahal hari baru memasuki
senja. Belum lagi malam. Penuh keheranan
Pranata berkata dalam hati.
"Aneh, mengapa tak nampak seorang
penduduk pun yang berkeliaran di luar
rumah. Hmm... menurut kabar, desa Glagah
Arum adalah desa yang subur dan makmur
yang terletak di sebelah Utara
pegunungan Dieng. Namun rupanya hanya
kabar bohong belaka. Desa ini begitu
sunyi dan mati..."
Pranata melangkah lagi. Untuk
sejenak dia melupakan istrinya yang
dalam keadaan sakit. Keheranannya
semakin bertambah besar ketika dia
bertemu dengan seorang kakek, ketika dia
hendak menyapa, kakek itu malah berbalik
melarikan diri. Di wajahnya tersirat
ketakutan.
"Aneh! Apa gerangan yang telah
terjadi di sini?" gumam Pranata semakin
bertambah heran.
Tetapi begitu ingat keadaan
istrinya yang sedang sakit, Pranata
mengetuk pintu sebuah rumah. Dia harus
mencari tabib, untuk mengobati istrinya.
"Tok! Tok! Tok!"
Tak ada sahutan. Pranata mengetuk
lagi. Setelah cukup lama menunggu,
baru-lah terdengar suara bernada ragu
dan ge-ram dari dalam,
"Siapa?"
"Saya, Paman."
"Saya siapa?"
"Nama saya Pranata Kumala, Paman.
saya butuh pertolongan."
"Pertolongan apa?"
"Istri saya sakit keras. Saya
membutuhkan obat dan tabib."
Tiba-tiba suara tadi berubah
menggeram. "Hhhh! Manusia laknat!
Janganlah kau mencoba menipu aku, hah?!"
"Saya tidak mengerti maksud,
Paman."
"Manusia dajal! Apalagi yang hendak
kau peras dan kau ambil dari kami,
penduduk desa Glagah Arum?"
"Paman salah paham rupanya. Bukalah
pintu terlebih dahulu, baru kita
bicara."
"Dan kau akan segera membunuhku dan
menculik anak gadisku, bukan?!"
"Jangan salah sangka, Paman, saya
datang membutuhkan pertolongan. Bila
terlambat sedikit saja, nyawa istri saya
tak akan bisa diselamatkan, Paman..."
Lama tak terdengar sahutan. Baru
kemudian, "Hmm... baiklah. Hanya pada
Gusti Allah kami minta pertolongan,
meskipun hari ini nyawa kami sekeluarga
harus mampus di tanganmu!!"
Perlahan-lahan pintu rumah itu
terbuka. Dan muncul sosok tubuh sambil
membawa parang besar. Pranata mencoba
tersenyum pada laki-laki yang bernama
Danusewu itu.
"Maafkan saya, Paman... kalau saya
sudah mengganggu Paman dan mengejutkan
Paman..."
"Hmmm... Anak muda, katakan cepat
apa maksud kedatanganmu?"
"Saya butuh pertolongan Paman.
Istri saya sedang sakit. Dimanakah
kiranya saya bisa mencari soerang
tabib?"
"Sakit apa temanmu?"
"Dia terkena pukulan beracun,
Paman."
"Di mana dia berada sekarang?"
"Cukup jauh dari desa ini. Paman
bisa memberitahu di mana saya bisa
mencari seorang tabib?"
Danusewu terdiam. Matanya nyalang
memperhatikan Pranata Kumala. Parang
besarnya siap untuk mengayun bila dia
melihat sedikit saja gerakan
mencurigakan.
Tapi lambat laun dia nampak yakin
dengan pemuda ini. Walaupun baru pertama
bertemu, perlahan-lahan kecurigaannya
mencair. Dia pun tak punya alasan lagi
untuk mencurigai pemuda itu.
"Hmm... Anak muda, aku adalah
seorang tabib," ujarnya kemudian.
Wajah Pranata Kumala menjadi
gembira. "Benarkah, Paman? Maukah Paman
menolong istriku dari maut?"
Danusewu terdiam lagi sesaat. Lalu
katanya, "Baiklah... mari kita segera
berangkat."
Dari dalam muncul seorang gadis yang
berparas cantik. Dia segera memeluk
lengan Danusewu. Rupanya dia sudah
mendengar percakapan antara ayahnya
dengan tamu ayahnya.
"Bapa... mau ke mana?" tanya gadis
itu.
"Oh, kau Wiranti, anakku," desis
Danusewu. “Ada sebuah urusan yang harus
Bapa selesaikan..."
Wajah Wirantai seketika kelihatan
ketakutan. "Ranti ikut Bapa... Ranti
takut di rumah sendiri... Bolehkan
Bapa?"
Danusewu berpaling lagi pada
Pranata Kumala. "Bagaimana, anak muda?"
"O, tidak apa-apa, Paman," kata
Pranata Kumala sambil melirik Wiranti.
Yang dilirik tersipu. Ah, sayang....
pemuda itu sudah beristri. Kalau belum,
betapa senangnya mendapat lirikan yang
penuh pandangan kagum padanya.
"Baiklah, Ranti. Mari kita
bersiap."
Lima belas menit kemudian, dua ekor
kuda meninggalkan rumah Danusewu. Yang
seekor ditunggangi oleh Danusewu dan
putrinya. Yang seekor lagi ditunggangi
oleh Pranata Kumala.
Jalan desa sepi.
Suasana masih nampak henign dan
mencekam.
Pranata masih bertanya-tanya, ada
ke jadian apa yang telah menimpa desa
Glagah Arum bingga jadi bagaikan mati
belaka.
Tiba-tiba Pranata teringat akan
ucapan Roro Dewi, yang mengatakan desa
itu telah menjadi kekuasaannnya. Tapi
kekuasaan siapa kini karena Roro Dewi
sudah mati di tangannya?
Karena menunggang kudanya tidak
seperti saat Pranata menuju desa Glagah
Arum, mereka baru tiba di tempat
persembunyian Ambarwati setelah memakan
waktu hampir dua jam lamanya.
Mereka langsung menemui Ambarwati
yang terbaring dengan wajah pucat.
Begitu meelihat suaminya muncul
bersama dua orang itu, wajah Ambarwati
yang tadinya tersirat ketakutan dan
kesunyian berubah menjadi sedikit
berseri. Namun kepucatannya tak
berkurang sedikit pun.
"Kakang..."
"Rayi Ambar... aku datang dengan
seorang tabib," kata Pranata Kumala
sambil membelai lembut rambut istrinya
yang merasa aman sekali.
"Kakang... sakit sekali, Kakang...'
"Tahan sebentar, Rayi," kata
Pranata Kumala. Lalu berpaling pada
Danusewu yang tengah memperhatikan
Ambarwati. "Paman Danusewu... silahkan
Paman mengobati istri saya... Tolonglah
Paman, tolonglah ringankan rasa
sakitnya..."
Danusewu pun segera memeriksa
keadaan Ambarwati. Berkali-kali
Keningnya kadang berkerut. Kadang dia
terdiam. Lalu dirabanya pergelangan
tangan kanan Ambarwati. Terasa denyut
nadinya yang lemah. Setelah cukup lama
memeriksa, terdengar desahan nafasnya
panjang.
"Hm... apakah kalian pernah
terlibat dalam suatu perkelahian?"
"Benar, Paman."
"Istrimu terkena pukulan Kembang
Beracun, Pranata."
"Entahlah, Paman... jenis pukulan
apa yang mengenainya. Tetapi dalam
perkelahian itu, dia memang kena pukul
oleh tangan Roro Dewi..."
"Roro Dewi?"
"Benar, Paman. Dan sekarang wanita
itu telah tewas di tangan saya."
Mata Danusewu sedikit bersinar.
"Dari hasil pemeriksaanku, dia terkena
pukulan Kembang Beracun. Konon pukulan
itu sangat mematikan sekali, Untung
belum terlalu parah dan mengenai
jantungnya. Untung pula kau telah
menotok beberapa jalan darahnya untuk
menghambat aliran racun ke jantungnya."
"Apakah dia bisa diobati, Paman?"
"Pranata... luka semacam ini hanya bisa
diobati oleh Kembang Pasir Putih..."
"Oh! Di manakah kembang itu bisa
kudapatkan, Paman?"
"Tempatnya cukup jauh dari sini.
Mama tempat itu Lembah Pasir Putih. Hanya
di tempat itulah kembang Pasir Putih
didapatkan."
"Di mana tempat itu, Paman?"
"Lembah Pasir Putih sangat jauh dari
sini. Tempatnya pun amat menyeramkan."
"Katakan Paman, biar bagaimana pun
seram dan susahnya lembah itu, aku akan
tetap ke sana demi nyawa istriku..."
Pranata melihat Danusewu memberi
isyarat padanya agar dia mengikutinya
keluar. Pranata pun bangkit mengikuti
Danusewu yang sudah berjalan terlebih
dahulu.
Sementara Wiranti bersimpuh menjaga
dan mengelapi keringat yang mengalir di
sekujur dan wajah Ambarwati. Wiranti
menjadi tersentuh hatinya melihat rasa
sakit yang diderita Ambarwati.
Dia sedikitnya dapat merasakan rasa
sakit itu. Hatinya menjadi iba.
Sedangkan Ambarwati merasakan ada
teman yang mau dibagi rasa sakitnya
selain suaminya. Suaminya begitu baik
merawat dan menjaganya.
"Siapa namamu, Dik?" tanyanya.
"Saya Wiranti, Mbakyu," sahut
Wiranti sambil tersenyum. Lalu
melanjutkan, "Saya putri tunggal dari
Danusewu..."
Sementara di luar, Danusewu sedang
berkata pada Pranata Kumala, "Anak
muda... nyalimu sungguh besar dan kau
begitu tabah hingga rela berbuat apa saja
untukistrimu, Istrimu sangat beruntung
mempunyai seorang suami seperti kau..."
"Apa maksudmu, Paman? Aku tidak
mengerti.."
"Ketahuilah anak muda... Lembah Pa-
sir Putih kini diduduki oleh orang-orang
jahat dari golongan hitam. Kau takkan
mudah mendapatkan kembang itu begitu
saja..."
"Saya akan tetap ke sana, Paman”.
Danusewu mendesah. Menatap Pranata.
Lalu katanya, "Anak muda...
tentunya kau heran, mengapa desa kami,
desa Glagah Arum yang subur dan permai,
kini bagai desa mati belaka?"
"Benar, Paman..."
"Juga mengapa sambutanku seperti
tadi dan tidak bersahabat, bukan?"
"Benar, Paman... sebenarnya apakah
yang telah terjadi?" tanya Pranata.
"Ini semua akibat teror dari
orang-orang golongan hitam yang mendiami
Lembah Pasir Putih. Semula selama
beberapa bulan terakhir ini desa kami
akur, aman dan tentram. Tak ada serangan
dari mana pun juga. Hanya ada satu
kejadian yang menimpa keluarga
Baguspuro..."
"Kenapa, Paman?"
"Putri tunggalnya yang bernama Puji
Wening hampir dua tahun ini hilang entah
kemana. Tidak diketahui rimbanya.
Andaikata dia sudah mati mayatnya pasti
ditemukan. Namun mayatnya pun tidak
ditemukan..."
"Lalu, Paman?"
"Hingga kami pun melupakan tentang
gadis itu dan menganggapnya telah mati.
Dan mengenai desa kami, mendadak saja
datang serombongan orang-orang ganas
menyerbu desa kami. Mereka sangat kejam.
Mereka membunuhi siapa saja yang
membangkang dan mencoba melawan mereka.
Mereka pun menculik anak-anak gadis
kami. Itulah sebabnya desa kami bagaikan
mati karena tak ada satu orang penduduk
pun yang berani keluar bila senja mulai
datang... Itu disebabkan oleh teror
orang-orang Lembah Pasir Putih.
Mengenai wanita yang tewas di
tanganmu, yang bernama Roro Dewi...
adalah salah satu darii gerombolan orang
jahat itu. Saya bersyukur karena kau
berhasil menumpas salah seorang dari
mereka..."
"Berapakah jumlah mereka, Paman?"
"Enam orang. Terdiri dari laki-laki
berwajah kasar dan menyeramkan..."
"Tahukah Paman siapa pemimpin
mereka?"
"Sejauh itu aku belum pernah melihat
dan mengenalnya. Hanya saja mereka
mengatakan... pimpinan mereka bergelar
Iblis Berbaju Hijau..."
"Ya, dialah yang menyuruh dan
menaklukkan orang-orang jahat itu
sehingga menurut padanya.'
Pranata terdiam.
"Ada apa, Anak muda?"
"Paman... saya pernah mendengar
teror yang dilancarkan oleh Iblis
Berbaju Hijau. Dia seorang wanita yang
teramat sadis. Tetapi sampai sejauh itu
saya pun belum pernah mengenalnya.
Agaknya dia adalah golongan
orang-orang jahat yang sangat sadis dan
kejam".
"Nah, merekalah yang mendiami
Lembah Pasir Putih, anak muda..."
Kali Pranata tercenung. Kembang
Pasir Putih adalah satu-satunya obat
yang bisa menyembuhkan istrinya dari
racun pukulan Kembang Beracun. Dan
orang-orang jahat itu berdiam di sana.
Sudah tentu mereka tak akan membiarkan
saja ada orang lain memasuki daerah
kekuasaan mereka. Apa-lagi untuk
mengambil Kembang Pasir Putih.
Danusewu dapat menduga kekuatiran
yang dialami Pranata. Lalu hati-hati dia
berkata," Kau menghadapi satu persoalan
yang teramat besar. Pesanku,
berhati-hatilah menghadapi orang-orang
Lembah Pasar Putih. Aku menjadi kuatir
dalam hal ini..."
"Tenanglah, Paman... terima kasih
atas kekuatiranmu padaku. Tapi biar
bagaimana pun susahnya, kau akan segera
ke sana untuk mengambil Kembang Pasir
Putih. Demi istriku tercinta. Dan
sebaiknya, kau tinggalnya bersama
istriku di sini. Ajak pula putrimu serta.
Sepertinya tempat ini cukup aman dari
gangguan orang-orang ganas itu..."
Danusewu cuma mengangguk.
Angin berhembus dingin.
Malam telah menjelang.
"Kapan kau akan berangkat, Anak mu-
da?"
"Besok, pagi-pagi sekali, Paman..."
***
EMPAT
Desa Glagah Arum malam hari. Suasana
sunyi senyap. Desa itu benar-benar
seakan mati. Seakan tak ada tanda-tanda
kehidupan. Teror yang dilancarkan orang
Lembah Pasir Putih begitu mencekam.
Rasanya siap mengantar mereka ke
akhirat.
Malam kini pula kepala desa itu,
Kenconowari, tengah berdiam diri di
rumahnya. Dia tak bisa berbuat banyak
untuk menghadapi orang-orang Lembah
Pasir Putih. Rasa-rasanya, Kenconowari
pernah mendengar nama seorang pendekar
agung yang baik budi, yang bernama Madewa
Gumilang. Ingin rasanya Kenconowari
mencari manusia sakti itu menolong
desanya dari gangguan orang-orang Lembah
Pasir Putih.
Namun di mana dia harus mencari ma-
nusia sakti itu, sedang kan tempatnya
saja dia tidak tahu. Kenconowari hanya
bisa berdoa memohon pertolongan Gusti
Allah.
Belum lagi dia menuntaskan
keinginannya, tiba-tiba di luar rumah
terdengar derap langkah kuda memasuki
desa Glagah Arum.
"Orang-orang itu datang lagi, Gusti
Allah. Oh tolonglah kami dari cengkraman
yang menakutkan ini..."
Dari luar terdengar bentakan, "Hei,
orang-orang Glagah Arum! Cepat ke luar!
Atau... kami bakar desar ini?!"
Tak ada yang keluar. Tak ada yang
berani keluar.
Di rumah masing-masing, para
penduduk dicekam ketakutan yang sangat
luar biasa.
"Bangsat!Cepat kalian keluar!!"
Tetap tak ada yang beranjak.
Kenconowari yang hendak keluar ditahan
oleh istrinya.
"Jangan, Kakang... jangan.."
"Tidak apa-apa istriku. Sebagai
kepala desa... aku harus berani
menghadapi semuanya... kau mengerti
istriku?"
"Tidak, jangan , Kakang..
Jangan..."
Kepala desa Kenconowari menjadi
serba salah. Terdengar lagi bentakan di
luas dengan keras. Dan ancaman yang
mengerikan.
"Cepat keluar! Kalian lihat ke sini,
api telah berkobar di obor yang kami
pegang! Cepat!!"
Kenconowari menatap kembali
istrinya. "Rayi Sidah... izinkanlah aku
keluar... aku harus bicara dengan
mereka. Bila tidak, habislah riwayat
desa kita ini..."
"Kakang..." suara istrinya cemas,
matanya memohon. Membuat Kenconowari
menjadi tidak tega. Tetapi dia mau tak
mau harus keluar. Harus menemui
orang-orang itu, sebelum teror yang
dilancarkan mereka terjadi lagi seperti
beberapa hari yang lalu.
Itu sungguh mengerikan.
Orang-orang itu tak segan-segan
membunuh. Bahkan mencincang orang yang
berani membangkangnya. Atau juga
memperkosa beberapa anak gadis sekaligus
di hadapan orang-orang desa yang hanya
bisa menyaksikan dengan hati pilu tanpa
bisa berbuat apa-apa sementara anak
gadis yang diperkosa merintih-rintih
kesakitan.
Dan Kenconowari tak mau hal ini
berulang kembali.
Lalu dia berkata lagi pada istrinya,
"Kumohon, Rayi... kumohon sekali..."
Akhirnya dengan perasaan yang berat
istrinya pun mengizinkan suaminya ke
luar menemui orang-orang berkuda itu.
Setelah berdoa sekali lagi,
Kenconowari pun bersiap.. Setelah
melihat wajah istrinya yang makin cemas,
Kenconowari tersenyum.
"Tenanglah, Rayi Sidah. Tak akan
terjadi apa-apa atas diriku.." kata
Kenconowari sambil tetap tersenyum.
Terlihat istrinya pun tersenyum walau
sangat dipaksakan.
"Hati-hati, Kakang..."
"Baik, Rayi..."
Dari luar dengar bentakan
lagi,"Cepat kalian keluar! Hei Kepala
Desa! Cepat keluar! Bila tidak, kubakar
desa ini!"
"Aku pergi dulu, Rayi..."
Bagai menghadapi malaikat maut,
Kenconowari hati-hati membuka pintu. Dan
melihat enam sosok menunggang kuda tegap
berdiri di tengah-tengah desa Glagah
Arum.
Rayi Sidah memperhatikan dari balik
Jendela dengan hati yang luar biasa
cemas-nya.
"Hahaha... akhirnya kau keluar
juga, Kepala Desa!" seru salah seorang
dari penunggang kuda itu sambil terbahak
begitu melihat sosok Kenconowari. Dia
adalah Martungga, datuk yang berjuluk
Manusia Bengis dari Timur. Sedangkan
kelima temannya masing-masing, Baruna si
Tombak Maut, Kumpala si Iblis Tangan
Delapan. Sirat Alis si Macan Hitam,
Sulawaya si Cambuk Api. Dan Wiro Manik si
Tongkat Seribu.
Keenam manusia itu berasal dari
tempat yang berlainan. Namun nasib
mereka sama. Masing-masing telah
dikalahkan oleh Puji Wening alias Iblis
Berbaju Hijau yang memang sengaja
mencari anak buah dan menebarkan teror
kematian sesuai dengan janjinya pada
Malaikat Pedang Sakti.
Keenam orang itu tak bisa
menanggulangi kehebatan Puji Wening yang
datang dengan sejuta kemurkaan dan
mengalahkan mereka.
Di bawah kekuasaan Iblis Berbaju
Hijau, keenamnya disuruh membuat teror
dengan menebar kematian di setiap desa.
Bagi mereka orang-orang golongan hitam,
tanpa disuruh untuk kedua kalinya mereka
langsung mengiyakan saja.
"Kisanak..." terdengar suara
Kenconowari dengan sikap yang luar biasa
tenangnya. "Sudah beberapa kali Kisanak
sekalian membuat teror di desa ini.
Apakah Kisanak tak punya belas kasihan
dan tenggang rasa yang tinggi terhadap
kami, penduduk Glagah Arum yang lemah?"
"Hahaha... pintar nian kau bicara,
Kenconowari! Tapi ketahuilah, kami
datang kembali karena ingin meminta
beberapa orang perawan cantik untuk
menemani kami berpesta! bukan begitu,
teman-teman?!"
Yang lain tertawa. Suara tawa mereka
seakan menebar jarum tajam berbisa yang
bisa membunuh siapa saja yang tertusuk.
"Benar, saudara Martungga!" kata
Kumpala. "Kita memang membutuhkan
kehangatan malam ini!"
"Dan perlu diingat Martungga, kata
Baruna. "Kita pun akan meminta setoran
dari hasil bumi desa ini, bukan?"
"Ya, ya! Nah, kau dengar itu,
Kenconowari? Gepat sediakan enam orang
perawan malam ini juga! Kalau tidak, akan
kami obrak-abrik desa ini!!"
Kenconowari mencoba bersabar dan
menahan diri. "Kisanak, bukankah
perbuatan kalian itu sungguh kejam dan
tak berbudi?"
"Persetan dengan semua ucapanmu
itu! cepat carikan untuk kami! Kami tak
bisa menunggu terlalu lama!"
"Bila itu keinginan kalian, kalian
harus langkahi dulu mayatku selaku
kepala desa di sini!"
"Apa? Melangkahi mayatmu?" seru
Martungga geli. "Kami bahkan akan
meludahi dan mencincang mayatmu,
Kenconowari!"
"Lakukanlah daripada kebiadaban ka-
lian terus menerus meraja di muka bumi
ini"
Sulawaya atau si Cambuk Api yang
terkenal berangasan dan tidak sabaran
mengayunkan cambuknya ke arah
Kenconowari. Sungguh di luar dugaannya,
dikiranya dengan sekali mengayunkan
cambuknya tubuh Kenconowari akan hancur.
Namun tubuh itu tiba-tiba melenting ke
atas dan bersalto ke belakang lalu
hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hei, pantas kau berani berlagak?
Rupanya kau punya mainan juga!" seru
Martungga yang tadi pun yakin tubuh itu
akan hancur terkena sabetan cambuk api
milik Sulawaya.
"Kalau begitu baik, kami tidak akan
sungkan-sungkan lagi dan punya belas
kasihan padamu! Tahan serangan!!"
Habis berkata begitu, Martungga
mengempos tubuhnya bersalto menyerang
kearah Kenconowari yang berguling
menghindar. Kesal karena serangannya
gagal, Martungga semakin membabi buta.
Dan kecepatan gerakannya kini sukar
ditandingi oleh Kenconowari . Lepas dari
sepuluh jurus, sasaran pukulan dan
tendangan Martungga pun mengenai
sasarannya.
"Des! Des!!"
Tubuh tua Kenconowari itu pun
terhuyung ke belakang. Dadanya bagai
dihantam godam yang sangat keras.
"Huak!!" Dia pun muntah darah.
"Hahaha... tak bisa lagi kau
berlagak sekarang, Orang tua! Bah!"
Martungga meludah.
Kenconowari mendengus. Tatapan
matanya marah dan garang. Dan ada
tersirat kepedihan karena tak mampu
membalas. Apalagi kini yang
dicemaskannya mulai terjadi.
Orang-orang bengis itu melempar
obor yang mereka bawa ke atas rum ah
penduduk. Hingga para penduduk pun
berlarian keluar dengan ketakutan.
Mereka pontang-panting dan
menjerit-jerit. Sementara orang-orang
itu tertawa terbahak-bahak melihat
penderitaan penduduk.
"Kau lihat atas ulahmu,
Kenconowari!" geram Martungga sambil
tertawa. "Nah, camkanlah ucapanku
sebelum desa ini kubuat menjadi
neraka!!"
"Hhh!" Orang tua itu mendengus
melihat penderitaan warganya. Berasa
sekali irisan pisau di hatinya.
Memilukan. "Tak akan pernah aku penuhi
permintaan kau, Setan!!"
"Anjing buduk! Di kasih ampun, minta
mati! Baik! Rasakan ini!! Mampuslah
kau!!" geram Martungga sambil
menurun-kan tangannya ke batok kepala
Kenconowari.
"Brakk!! Kepala itu hancur hingga
mengeluarkan cairan putih bening.
Di dalam rumahnya, Nyai Sidah hanya
bisa menangis pilu tanpa berani berbuat
apa-apa.
Sementara api terus berkobar dan
rakyat menjerit-jerit ketakutan.
Melihat beberapa gadis cantik keluar
dari rumah mereka untuk menyelamatkan
diri dari sambaran api yang menyengat,
tertawalah orang-orang bengis dan kejam
itu.
"Lihat, lihat!" seru Sulawaya.
"Mereka berlarian mirip anjing dan ini
memudahkan kita untuk memangsanya!"
"Ayo kita segera menjemput
Nona-nona kita!" seru Baruna sambil
menghentakkan kudanya yang menggebrak
langsung. Dan hanya sekali gaet,
tersambarlah seorang perawan manis yang
menjerit-jerit ketakutan dan
meronta-ronta hendak turun.
Namun semua itu hanya disambut tawa
oleh orang-orang liar tadi. Yang
langsung menggebrak kuda-kuda mereka
menuju lembah Pasir Putih.
Meninggalkan kobaran api yang terus
mengganas membakar desa Glagah Arum.
Meninggalkan hasil kejahatan
mereka.
***
LIMA
Seperti diceritakan sebelumnya,
lembah Pasir Putih merupakan lembah yang
terdiri dari lautan pasir berwarna putih
yang banyak memenuhi seluruh permukaan
lembah. Tak ubahnya bagai sebuah lautan.
Di tengah-tengah lembah itu,
terdapat sebuah bangunan yang cukup
besar dan mirip istana. Di sanalah Puji
Wening atau yang sekarang bergelar Iblis
Berbaju Hijau berdiam. Bangunan itu
dibuat oleh tangan-tangan penduduk yang
mereka culik secara paksa dan mereka
paksa untuk bekerja. Sistem kerja paksa
itu hanya berlangsung dalam waktu enam
bulan, lalu berdirilah sebuah bangunan
yang megah di tengah-tengah Lembah Pasir
Putih.
Penduduk yang mereka culik untuk
tenaga secara paksa tidak bisa berbuat
apa-apa. Karena bila mereka berani
membangkang, maka hukuman dan siksaan
yang pedih mereka terima. Atau pun
dibunuh. Dan mayat mereka digantung di
tengah-tengah keramaian agar yang
melihat tidak berani membuat
membangkang, atau pun melarikan diri.
Saat mereka dipaksa untuk mengabdi
pada Iblis Berbaju Hijau pun mereka hanya
mandah saja.
Sedangkan yang kaum perempuan,
di-jadikan pemuas nafsu anak buah Iblis
Berbaju Hijau. Puji Wening hanya tertawa
melihat kenyataan ini. Gadis yang manja,
periang dan sedikit genit itu, kini
menjadi buas, liar, jahat dan sadis.
Tanpa disadari-nya pengaruh aneh yang
terpancar dari pedangnya yang selalu
tersamping di pung-gungnya, semakin
mengikatnya.
Semakin membuatnya haUs kejahatan
dan membunuh.
Dia tak perdulikan lagi mana yang
benar dan mana yang salah. Bahkan anak
buahnya diperintahkannya untuk menyerbu
desa Glagah Arum. Desa yang permai di
mana dia dilahirkan di sana dari rahim
seorang ibu dua puluh tahun yang lalu.
Dia kini bak ratu belaka yang
memimpin sebuah negara. Dan ini semakin
membuatnya merajalela.
Telinganya yang peka menangkap
derap kuda memasuki Lembah Pasir Putih.
Dengan sekali lompat Puji Wening sudah
berada di luar dan melihat kedatangan
enam anak buahnya.
"Hahaha... ada apa gerangan, Sang
Ratu keluar dari istana?" sapa Martungga
begitu melihat sosok berbaju hijau yang
tipis merangsang berdiri di hadapannya.
Puji Wening tersenyum tipis. Namun
di balik senyum itu, dia bisa berubah
menjadi iblis yang jahat.
"Martungga... bagaimana dengan
kerjamu?"
"Beres, Ratu. Semua sudah kami
laksanakan sesuai dengan perintah
Ratu...”
"Bagus! Dan untuk teror pertama,
kalian buatlah desa-desa yang ada di
sekitar sini menjadi lautan api.
Sebarkan hawa maut yang mengundang
kematian. Aku yakin, akan banyak
tokoh-tokoh dari golongan putih dan
golongan hitam yang berdatangan.Untuk
golongan putih, bunuh mereka semua!
Sedangkan untuk golongan hitam, ajak
mereka untuk bergabung dengan kita!
paham?!"
"Kami paham sekali, Ratu. Usul dan
perintah Ratu, akan kami laksanakan
dengan senang hati."
"Hmm... sejak semalam aku belum me-
lihat Roro Dewi melapor ke sini. Apakah
kalian melihatnya?"
"Belum, Ratu."
"Atau dia lupa untuk melapor?"
"Tidak mungkin, Ratu."
"Atau dia lupa dengan sanksi yang
kuturunkan bila berani mencoba membantah
dan membangkang perintahku?"
"Tidak mungkin, Ratu. Roro Dewi
tentu ingat akan sanksi yang ratu
berikan?"
"Kau masih ingat sanksinya,
Martungga ?" kali ini sepasang mata Iblis
Berbaju Hijau bersinar berbahaya.
"Kami akan selalu ingat terus, Sang
Ratu."
"Apa sangsinya, Martungga?"
"Yang berani membantah dan
membangkang perintah ratu, dia akan mati
secara mengerikan. Dan dikubur
hidup-hidup di pasir putih sesudah
disiksa."
Puji Wening terbahak. Tawanya
mengandung tenaga dalam yang tinggi,
membuat keenam anak buahnya mengalirkan
tenaga dalamnya ke telinga mereka.
"Bagus! Nah, kalian nikmatilah
ayam-ayam tangkapan kalian!" seru Puji
Wening. Dan "wuuuuut!!" Tubuhnya pun
lenyap dari pandangan anak buahnya.
Keenam orang itu maklum akan
kehebatan dan kesaktian Iblis Berbaju
Hijau yang akan membantu mereka!
Tak lama kemudian dari beberapa
tempat atau kamar yang ada di dalam
istana, terdegar tawa kenikmatan
orang-orang itu diiringi dengan rintih
dan jerit kesakitan para perawan yang
mereka culik.
***
ENAM
Pagi sudah menjelang dan matahari
sudah memayungi seluruh isi dunia dengan
sinarnya yang berpijar keemasan. Suara
kicau dan nyanyian burung-burung yang
terdapat di hutan itu, menambah
keindahan panorama pagi.
Pagi yang cerah dan indah, begitulah
menurut Pranata Kumala yang tengah
bersiap-siap untuk berangkat menuju
Lembah Pasir Putih. Sepanjang malam
isterinya selalu mengigau. Dan
keringatnya mengucur dengan deras.
Hal ini semakin membingungkan
Pranata. Yang dia sesali, mengapa dia
harus bentrok dengan Roro Dewi.
Lagipula, mengapa dia tidak bisa
menolong istrinya dari pukulan maut Roro
Dewi.
Dan sepanjang malam pula dia menye-
sali diri. Sedetik pun dia tidak
tertidur. Padahal Danusewu sudah
menyuruhnya untuk tidur dan menyuruhnya
jangan terlalu menyesali diri, karena
mungkin sudah suratan Ambarwati.
"Hati-hati, Kakang..." pesan
istrinya ketika Pranata Kumala
berpamitan.
"Iya, Rayi..."
"Kakang... aku sudah mendengar
cerita dari Wiranti, kalau Lembah Pasir
Putih didiami oleh gerombolan orang
jahat yang dipimpin oleh seorang wanita
muda yang bergelar Iblis Berbaju Hijau.
Aku cemas memikirkanmu, Kakang..."
"Tenanglah, Rayi... yang penting,
aku harus bisa mendapatkan Kembang Pasir
Putih..." tersenyum Pranata.
"Sebentar lagi kau akan pulih
kembali..."
"Jaga baik-baik dirimu, Kakang...
bila kau tidak sanggup mendapatkan
kembang itu, janganlah kau memaksakan
diri. Ingat kakang, gerombolan iblis itu
tengah melancarkan terornya..." kata
Ambarwati yang dalam keadaan sakit masih
memikirkan akan keselamatan suaminya.
"Doakan saja, Rayi... semoga aku
berhasil..."
Setelah menyiapkan segala
sesuatunya, Pranata pun segera
meninggalkan tempat itu. Danusewu pun
berpesan agar berhati-hati. sementara
Wiranti nampak cemas melihat
kepergiannya. Dan lebih cemas lagi
memikirkan nasib Mbakyunya, Ambarwati.
Lalu berangkatlah Pranata Kumala
menembus pagi menuju ke Lembah Pasir
Putih. Dia harus melalui desa Glagah Arum
untuk tiba di sana. Karena kudanya dipacu
dengan cepat, hanya dalam tempo satu
setengah jam dia tiba di desa Glagah
Arum.
Betapa terkejutnya Pranata Kumala
melihat desa yang porak poranda. Yang
sangat berlainan sekali dengan apa yan
telah dilihatnya semalam. Terlalu
mengerikan. Sisa-sisa api yang membakar
rumah masih mengepulkan asap,
meninggalkan bara yang botasal dari
rumah-rumah yang terbakar.
"Oh, teror apakah yang telah melanda
desa ini," gumamnya sambil melangkah
kudanya perlahan-lahan.
Dia menekap hidungnya ketika
tercium bau anyir dari mayat yang
terbakar.
"Ya, Tuhan... setan mana yang tega
berbuat kejam dan maut seperti ini?"
Pranata melihat seorang ibu yang
tengah meratapi mayat suaminya yang mati
terbakar. Dan sekali sekali dia menyebut
nama seorang gadis yang sudah tentu
anaknya.
"Mengapa kau harus mati dengan
mengenaskan begini, Pakne... mengapa?
Oh, Tuhan... mengapa ini harus
terjadi... huhuhu... betapa kejamnya...
huhuhu... dan kau, Wulan... mengapa
nasibmu demikian buruk, Nak... mengapa
kau harus dijadikan sebagai pemuas nafsu
manusia-manusia liar itu... huhuhu
mengapa?"
Pranata menjadi trenyuh mendengar
ratapan dari ibu itu, hati-hati dia turun
dari kudanya. Lalu berjalan
mendekatinya.
"Bu..." panggilnya pelan. Kepala
wanita setengah baya itu berputar,
menatap Pranata. Yang ditatap dapat
melihat penderitaan dari pancaran kedua
mata wanita itu. Begitu menyedihkan dan
memprihatinkan. Betapa beratnya! Sarat
dengan duka yang sangat dalam. Bahkan tak
ada sinar gembira sedikit pun di mata
itu. Baik dalam arti sesungguhnya mau pun
berpura-pura.
Pranata Kumala mendesah.
"Apa yang telah terjadi di desa ini,
Bu? Mengapa desa ini jadi hancur terbakar
bagai lautan api?" tanyanya dengan suara
hati-hati.
"Huhuhu... orang-orang bengis itu
yang berbuat begini, Nak... Mereka
datang bagai iblis yang tengah
menebarkan hawa maut... lihat, kau
lihatlah keadaan desa kami ini... yang
terbakar dengan mayat-mayat yang
bergelimpangan... kejam, kejam
sekali... huhuhu..."
"Siapa yang telah melakukan semua
ini, Bu?"
"Iblis-iblis kejam!"
"Siapa, Bu?"
"Manusia-manusia tak punya belas
kasihan! Mereka membuat kekejaman di
sini! Mereka membunuh, menculik, bahkan
membakar desa kami! Oh... sungguh kejam
mereka, sangat kejam!!"
Pranata Kumala maklum mengapa
omongan ibu ini terdengar sangat kacau.
Tentunya karena dia tengah
mengalami tekanan mental yang sangat
dalam akibat kematian suaminya yang
mengenaskan. Dan sedih memikirkan nasib
putrinya yang dilarikan orang-orang liar
itu ke Lembah Pasir Putih.
Yang sudah dapat diduga, tentunya
putrinya dijadikan pemuas nafsu
orang-orang dajal itu!
Pranata menunggu sampai ibu ini bisa
kembali pada pola berpikir semula.
Setelah nampak ibu itu puas
melampiaskan emosinya, barulah dengan
hati-hati Pranata kembali bertanya,
"Siapa yang telah melakukan semua ini,
Bu?"
"Mereka adalah orang-orang Lembah
Pasir Putih, Nak Mereka kejam! Mereka
sadis! Mereka bagaikan iblis belaka!"
suara wanita itu terdengar keras. Dan
sepasang matanya bersinar menyeramkan.
Penuh dendam dan amarah yang sangat
tinggi. "Mereka kejam, Nak! Mereka
sangat kejam!" serunya lagi. Dan
tiba-tiba dia kembali menatap mayat
suaminya yang hangus terbakar. Tanpa
sungkan dan canggung lagi, dia kembali
memeluk mayat suaminya dan menangis
tersedu-sedu.
"Pakne... hu... hu... hu...
Pakne... kejam, kejam sekali orang-orang
itu... mengapa mereka membakarmu,
Pakne... huhuhu... mereka tega berbuat
seperti ini padamu, Pakne....."
Pranata Kumala sekali lagi
mendesah. Dia jadi makin teringat akan
kata-kata Roro Dewi. Mungkinkah
perbuatan ini dilakukan oleh
gerombolannya?
Lalu dengan hati-hati dibimbingnya
wanita itu untuk masuk ke rumahnya. Lalu
dia pun mengumpulkan beberapa orang
penduduk untuk menguburkan mayat-mayat
yang bergeletakan itu.
Pranata pun menambah niatnya menuju
Lembah Pasir Putih. Pertama untuk
mencari Kembang Pasir Putih guna
mengobati penyakit istrinya.
Kedua untuk menumpas gerombolan
orang-orang jahat itu yang dia yakin
dipimpin oleh Iblis Berbaju Hijau
seperti cerita Danusewu.
Sementara orang-orang yang melepas
kepergiannya bertanya-tanya dalam hati.
Siapakah pemuda yang baik hati itu?
Apakah dia sang penolong yang
dikirim oleh Dewata?
***
TUJUH
Kala itu di rimba persilatan,
berdiri sebuah perguruan silat yang
sangat terkenal, perguruan itu bernama
Perguruan Topeng Hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam
dipimpin oleh seorang jago pedang nomor
satu yang bernama Paksi Uludara atau
bergelar Pedang Mestika Naga emas.
Namun setelah Paksi Uludara tewas di
tangan Nindia atau Dewi Cantik Penyebar
Maut, tampuk kekuasaan atau pimpinan itu
diserahkannya kepada Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma (baca :
Dewi Cantik Penyebar Maut).
Selama dipimpin oleh Madewa
Gumilang, banyak perguruan silat lain
yang secara keji membuat onar karena
didorong oleh rasa iri. Salah satunya
adalah Perguruan Cakar Naga yang
dipimpin oleh Resi Sendaring, yang
mengumpulkan jago-jago dari golongan
hitam untuk bersatu menghancurkan
Perguruan Topeng Hitam (baca : Keris Naga
Merah).
Namun semua itu berhasil
digagalkan. Juga dengan bantuan Ki Ageng
Jayasih, majikan Gunung Muria yang juga
guru dari Pranata Kumala (baca: Kakek
Sakti dari Gunung Muria).
Madewa memimpin perguruan itu de-
ngan arif dan bijaksana. Di samping itu
sikap dan contoh perbuatannya menjadi
teladan para murid-mudridnya.
"Dalam hidup, kita jangan selalu
memandang ke atas, juga jangan terlalu
memandang ke bawah. Pandanglah kehidupan
dengan cara yang wajar-wajar saja.
Jangan terlalu ke atas dan jangan terlalu
ke bawah," begitu setiap kali dia memberi
wejangan di hadapan murid-muridnya. "Dan
kita janganlah dibangunkan matahari,
tapi kita yang harus membangunkan
matahari. Camkanlah kata-kataku ini,
niscaya kalian akan mengetahui
jawabannya."
Nasehat dan pandangan yang
diberikan Madewa Gumilang, semakin
membuat para muridnya menghormati dan
menyeganinya.
Namun sampai sejauh itu memimpin
Perguruan Topeng Hitam, Madewa tak
sekali pun mengajarkan ilmu-ilmu
kebisaannya. Dia hanya mengajarkan
jurus-jurus bermain pedang seperti ciri
khas Perguruan Topeng Hitam. Karena
Madewa tak mau merubah ajar an yang telah
dibawa oleh Paksi Uludara.
Dipegang oleh Madewa Gumilang atau
sering disebut juga menusia dewa,
Perguruan Topeng Hitam dapat menyebarkan
sayapnya ke pelosok rimba persilatan.
"Kemegahan dan ketenaran Perguruan
Topeng Hitam itu pun didengar oleh Puji
Wening alias Iblis Berbaju Hijau. Lalu
dia pun memerintahkan empat orang anak
buahnya untuk mengacau dan menghancurkan
perguruan itu. Bahkan membunuh Madewa
Gumilang!
Pagi ini, di Perguruan Topeng Hitam
seperti biasa tengah sibuk. Sebagian
besar muridnya tengah berlatih ilmu
silat dan ilmu pedang.
Ciri khas dari Perguruan Topeng
Hitam adalah, murid-muridnya selalu
mengenakan pakaian berwarna hitam dan
topeng yang menutupi kepala. Juga
sepasang pedang kembar mereka yang
selalu ada di punggung. Juga dengan
senjata rahasia yang berbentuk topeng
hitam.
Di hadapan para murid yang tengah
berlatih, berdiri sosok tubuh gagah
berpakaian jubah putih yang selalu
tersenyum arif Memperhatikan jalannya
latihan.
Dialah Madewa Gumilang alias Pende-
kar Bayangan Sukma yang terkenal.
Namanya sudah melesat ke langit ketujuh
dan ke dasar samudra.
Selain itu, Madewa Gumilang pun
ditakuti oleh seluru jago-jago rimba
persilatan, karena dia memiliki ilmu
Pukulan Bayangan Sukma yang belum ada
tandingannya.
Di samping itu, dia memiliki seorang
istri yang bernama Ratih Ningrum. Yang
kesaktiannya pun tak kalah hebatnya
dengan suaminya.
Namun tiba-tiba pendengaran Madewa
Gumilang yang tajam, menangkap ada
gerakan-gerakan yang mencurigakan di
luar tembok perguruan. Diam-diam dia
tetap memantau telinganya. Dan dia dapat
menduga, ada empat sosok yang tengah
mendekati tempat itu.
"Hmm... siapakah gerangan empat
keroco ini yang sepertinya tidak
bersahabat," gumamnya dalam hati.
Lalu dia pun menepuk tangannya
sekali. Dan menyuruh pada murid-muridnya
untuk menyudahi latihan mereka.
"Aku rasa, cukup untuk saat ini!
Nah, kalian masuklah ke dalam!" katanya
dengan suara yang berwibawa.
Murid-muridnya segera mematuhi
perintahnya. Mereka lalu membentuk
barisan merapat. Dan menjura dengan
hormat.
"Salam buat ketua!!" kata mereka
serempak. Dan dengan teratur rapi satu
persatu pun berlari-lari kecil memasuki
Perguruan Topeng Hitam.
Sementara Madewa Gumilang sendiri
masih berada di halaman Perguruan Topeng
Hitam.
Lalu secara diam-diam, dia
mengerahkan ilmu saktinya, ilmu
Pandangan Menembus Sukma. Dan
terlihatlah empat sosok bertubuh besar
dan berwajah seram makin mendekati batas
Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa mereka sebenarnya?. Baiknya
kutungggu saja," desis Madewa yang
melihat ada berbagai senjata di tangan
keempat orang itu.
Empat orang yang dilihat Madewa de-
ngan ilmu Pandangan Menembus Sukmanya,
adalah orang-orang suruhan dari Iblis
Berbaju Hijau untuk mengacau di Pergu-
ruan Topeng Hitam. Mereka tidak tahu
kalau kedatangan mereka sudah diketahui
oleh Madewa Gumilang.
Mereka terdiri dari, Baruna si
Tombak Maut. Suwalaya si Cambuk A pi.
Wiro Manik si Tongkat Seribu. Dan Sirat
Alis si Macan Hitam. Sedangkan Martungga
dan Kumpala menyerbu ke desa seberang.
Dan tiba-tiba keempatnya dikejutkan
oleh suara yang menyelinap ke telinga
mereka secara serempak, "Orang-orang
yang berada di luar dan mengendap-endap,
silahkan masuk ke dalam dengan cara
bersahabat!"
Keempatnya kaget. Suatu pameran
tenaga dalam yang cukup hebat tengah di
tunjukkan. Dan hal itu menyadari mereka,
kalau kedatangan mereka sudah diketahui
oleh orang Perguruan Topeng Hitam.
Dugaan mereka, Madewa Gumilanglah yang
berbuat seperti itu.
Dengan rasa jengkel, malu dan marah,
keempatnya serentak melompat. Melewati
tembok Perguruan Topeng Hitam yang cukup
tinggi dan hinggap dengan ringannya di
halaman perguruan itu.
Di hadapan mereka, telah berdiri
sosok tubuh berjubah putih. Wajahnya
arif dan bijaksana.
Madewa berkata dalam hati, "Hmm...
rupanya manusia-manusia ini yang datang
bertamu," desisnya setelah mengetahui
siapa keempat orang itu. Mereka adalah
orang-orang yang sering membuat onar dan
dikenal dari golongan hitam.
"Selamat datang di tempat
kediamanku yang buruk ini," kata Madewa
tetap dengan nada suara yang bersahabat.
"Huhh! Ternyata Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma pandai
berhangat-hangat dengan para tamunya".
berkata Baruna yang berdiri gagah dengan
tombaknya. Dia seorang laki-laki
berwajah tirus. Dengan bibir yang tipis,
Rambutnya tergerai panjang dan diikat.
Tubuhnya cukup tinggi.
"Sudah selayaknya sebagai seorang
tuan rumah menyambut kedatangan tamunya
dengan senang hati," kata Madewa Gumi-
lang lagi.
Dia berdiri gagah dengan kedua
tangan bersedekap di dada. Jubah
putihnya berkibar dipermainkan angin
pagi.
"Madewa... ketahuilah, pagi ini
kami datang ke sini, untuk mengambil alih
Perguruan Topeng Hitam dari tanganmu!
Mengerti?!" seru Baruna pula.
"Tentu saja saya mengerti. Siapa pun
boleh mengambil Perguruan Topeg Hitam
ini dari tanganku. Tapi bukankah lebih
baik dijelaskan dulu titik
permasalahannya?"
"Kami ke sini atas nama Iblis
Berbaju Hijau!" yang berkata Sulawaya.
Dia seorang laki-laki berambut agak
botak. Pakaiannya mirip para biksu dari
Budha. Di kalungnya ada sebuah tasbih
yang cukup besar. Dan di pinggangnya
melilit Cambuk Apinya yang berwarna
kemerahan.
"Sampaikan salam kenalku untuk
beliau!" kata Madewa sambil menjura.
Tiba-tiba terdengar seruan dari
Sirat Alis. Dia adalah seorang laki-laki
pemarah dan tak sabaran.
"Madewa! Cepat kau berlutut di
hadapan kami! Dan nyawamu akan kami
ampuni!"
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya tidak patut bagiku untuk
berlutut di kaki orang-orang yang sering
berbuat onar seperti kalian!"
"Bangsat! Telah lama sebenarnya aku
ingin mencoba kesaktian Madewa
Gumilang!" setelah berkata begitu, Si
rat Alis alias si Macan Hitam melompat
menerjang dengan gaya seekor macan.
Kedua tangannya menyerang membentuk
cakar macan. Suaranya mendesis yang
keluar dari mulut-nya.
Melihat serangan yang sangat cepat
dan berbahaya itu, Madewa melompat ke
kiri. Dan serangan itu pun luput. Namun
membuat Sirat Alis menjadi murka.
Usai kakinya hinggap di tanah, dia
melenting bersalto ke arah Madewa dengan
kedua tangan tetap terbuka membentuk
cakar.
Madewa pun kali ini menghindar
dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Membuat tubuhnya selicin dan selincah
ular. Membuat Sirat Alis makin
penasaran.
Dia pun menerjang lagi. Kali ini
jurus-jurus macan hitamnya
memperlihatkan kelincahannya sebagai
seorang jago. Cakaran-cakarannya
menerkam membabi buta. Siap mencabut
nyawa Madewa.
Dan kali ini Madewa pun membuat
jurus menyerangnya, Ular Mematuk Katak.
Yang membuat tangannya secepat ular
dalam menyergap mangsanya.
Berkali-kali terjadi benturan,
Sirat Alis tertawa dalam hati. "Ternyata
hanya begitu saja tenaga dalam milik
Pendekar Bayangan Sukma."
Namun Sirat Alis tidak tahu, kalau
Madewa hanya menggunakan seperempat dari
tenaga dalam yang dimilikinya.
Suara ribut-ribut di luar memancing
perhatian murid-murid Perguruan Topeng
Hitam. Dan melihat ketua mereka sedang
bertarung, serentak mereka pun hendak
bergerak membantu.
Namun begitu mendengar suara Madewa
berteriak, mereka pun hanya berdiri di
tempat masing-masing.
"Mundur kalian! Jangan ikut campur
dalam urusan ini! Mundur!!"
Ratih Ningrum pun keluar dari dalam.
Dan begitu melihat suaminya tengah
bertempur, dia pun hendak maju.
Namun lagi-lagi urung karena
mendengar seruan suaminya menyuruhnya
untuk diam di tempat.
Kedatangan Ratih seakan membuka
mata Baruna. Walau pun wanita itu sudah
hampir berusia 35 tahun, tetapi wajah dan
bentuk tubuhnya masih cantik dan montok.
Seakan-akan wanita itu berusia bak gadis
24 tahunan.
"Hahaha... rupanya ini wanita yang
mendampingi Madewa Gumilang! Betapa
cantiknya!!" seru Baruna yang diikuti
tawa Wiro Manik dan Sulawaya.
Ratih Ningrum hanya bisa menahan
geramnya di hati. Karena dia tak berani
membantah atau pun membangkang perintah
suaminya.
Dia tetap berdiri di tempatnya.
Dengan menahan kemarahannya.
"Ayo. Ratih Ningrum... majulah
hadapi aku!" seru Baruna sambil melompat
ke kalangan.
Madewa yang tengah melayani
serangan-serangan dari Sirat Alis yang
makin penasaran karena dari sekian jurus
tak satu pun pukulan, cakaran atau pun
tendangannya yang mengenai sasaran,
berseru lagi, "Tahan emosimu, Dinda
Ratih! Biarkan aku yang menghadapi
manusia-manusia ini!" "
Baruna tertawa.
"Hahaha... menghadapi Sirat Alis
saja kau sudah tak banyak bergerak,
Madewa! Masih berlagak pula untuk
menghadapi kami!"
"Baruna... bila itu maumu, aku akan
melaksanakannya! Lihatlah!"
Madewa yang sejak tadi berusaha
untuk tidak menjatuhkan tangannya pada
Sirat Alis, kini menjadi jengkel.
Lalu dia melompat dan menyerang de-
ngan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.
Tangannya seakan berubah menjadi
banyak. Dan satu patukan menggedor dada
Sirat Alis. Disusul dengan pukulan
Tembok Menghalau Badai.
"Des!"
"Akkhhh!!"
Tubuh Sirat Alis terhuyung ke
belakang dan muntah darah. Lalu ambruk
dan pingsan.
Madewa bersalto dan berdiri dengan
gagah.
"Itu maumu bukan, Baruna?" serunya
dengan suara yang tetap arif.
Baruna menjadi murka. Lalu dia
memutar-mutar tombaknya hingga
menimbulkan suara bergemuruh. Begitu
pula dengan Wiro, Manik yang sudah
menggerakkan tongkatnya hingga bagaikan
seribu. Tak ketinggalan Sulawaya yang
sudah meloloskan Cambuk Apinya dari
pinggangnya.
Saat dia memecut-mecut, dari ujung
cambuknya bagaikan menyala mengeluarkan
api.
"Hmm... majulah kalian bertiga!
Biar cepat selesai persoalan ini! Dan
yang perlu kalian ketahui, selama ini aku
tak punya masalah dengan kalian! Juga
dengan Iblis Berbaju Hijau! Nah
majulah!"
Madewa pun bersiap dengan segala
kebisaanya. Tiba-tiba saja Baruna
menerjang sambil memutar-mutar
tombaknya yang menimbulkar suara
berdesir-desir dan kadang mendengung..
"Awas serangan!" serunya seraya me-
nerjang.
Yang disusul dengan Wiro Manik dan
tongkatnya.
Begitu pula dengan Sulawaya yang
menceletar-celetarkan cambuknya.
Madewa pun menyambut tiga serangan
yang berbahaya itu yang datang dari tiga
penjuru. Dia pun menggunakan jurus
menghindarnya, Ular Meloloskan Diri yang
dipadukan dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
maha sempurna.
Suasana di alam Perguruan Topeng
Hitam menjadi ramai. Debu-debu
beterbangan setiap kali ada tubuh yang
bergerak. Bahkan daun-daun jati dari
pohon jati yang tumbuh di sudut Perguruan
itu berguguran karena tak kuat menahan
getaran yang ditimbulkan dari keempat
orang yang sedang bertarung itu.
Namun setelah sekian jurus
berlangsung, tak satu pun senjata dari
lawannya yang berhasil melukai Madewa.
Bahkan menyentuh saja pun tidak pernah.
Madewa pun kini mulai menyerang de-
ngan memadukan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga dengan jurus pukulan
Tembok Menghalau Badai.
Desiran angin yang timbul dari
setiap kali tangannya bergerak cukup
membuat ketiga lawannya menjadi pucat.
Karena mereka dapat menduga, bahwa
Madewa sudah meningkatkan tenaga
dalamnya.
Hal ini semakin membuat ketiganya
berhati-hati.
Dan tiba-tiba Madewa bersalto lalu
bergerak mencecer Wiro Manik yang
menjadi kaget dan berusaha untuk menahan
dengan putaran tongkatnya.
Namun karena desakan yang hebat,
satu pukulan pun masuk menggedor
dadanya.
"Des!"
Disusul dengan satu kibasan pada
tangan kanannya, hingga tongkat yang
merupakan senjata andalannya jatuh.
"Aaakkhhhh"
Dia pun terhuyung ke belakang.
Dan "Huak!!" Wiro Manik muntah
darah. Dia merasakan dadanya sangat
sakit. Kepalanya pun menjadi pusing
karena aliran darahnya tidak beraturan.
Juga dadanya yang terasa mau pecah.
Lalu ambruk setelah sekali lagi
muntah darah.
Dan mereganglah nyawanya
meninggalkan tubuhnya yang masih
merasakan kesakitan.
"Wiro Manik!" seru Baruna kaget.
Dan makin murkalah dia melihat
kenyataan itu. Tombaknya pun
diputar-putar dengan hebat. Dan
bergeraklah dia dengan ayunan tombaknya
yang berputar, memukul, mengibas,
menangkis dan menusuk.
Begitu pula dengan Sulawaya dengan
cambuk apinya. Yang kadang mencoba
menjerat, mengikat atau kadang berubah
menjadi tombak. Sugguh suatu pemandangan
yang hebat dari tenaga dalam yang
dipamerkan oleh Sulawaya.
Tetapi yang dihadapinya adalah
manusia dewa Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma, yang tetap
dengan sikapnya yang arif dan bijaksana
melayani serangan-serangan itu.
Serangan-serangan yang hebat dan
beruntun itu tak mampu membuatnya keder
atau mundur. Malah dia yang berada di
atas angin terus mendesak keduanya de-
ngan hebat.
Madewa berniat untuk tidak membunuh
keduanya, cukup hanya melukai mereka
saja. Karena dia berpikir untuk
mengetahui siapakah sebenarnya Iblis
Berbaju Hijau itu yang sepak terjangnya
akhir-akhir ini menimbulkan suasana
mengerikan di rimba persilatan, dengan
jalan mencari tahu dari kedua orang ini.
Tetapi dia tetap tidak mengubah
serangan-serangannya. Begitu pula
dengan Baruna dan Sulawaya. Cambuk api
Sulawaya membakar apa saja begitu benda
yang terkena oleh ujung cambuk apinya,
segera berubah menjadi api dan terbakar.
Dan melihat serangan-serangan
mereka selalu gagal, diiringi dengan
dendam melihat Wiro Manik tewas dan Sirat
Alis pingsan, keduanya mempergencar
serangan-serangan mereka.
Namun sampai sejauh itu, Madewa te-
tap dapat menghindar dan meloloskan
diri.
Setelah lewat tiga puluh jurus,
barulah Madewa kini berniat hendak
menjatuhkan tangan.
"Awas serangan!" serunya tiba-tiba.
Dan tiba-tiba pula tubuhnya menggeliat
bagaikan ular. Dan bergerak cepat.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulannya masuk pada
sasaran.
Dengan diiringi tubuh Baruna dan
Sulawaya yang terhuyung ke belakang.
Sadarlah kini keduanya kalau manusia
dewa itu bukan tandingan mereka.
Keduanyapun berniat hendak
melarikan diri.
Namun Madewa telah mengunci semua
langkah mereka dari delapan penjuru,
hingga sulit rasanya bagi mereka untuk
melarikan diri.
"Kalian telah masuk ke Perguruan To-
peng Hitam dan kalian tak akan begitu
mudah untuk meninggalkannya!!" seru
Madewa seraya mencecar lagi.
Hal ini membuat Baruna dan Sulawaya
menjadi nekat. Sebisanya mereka mencoba
menyerang kembali.
Namun satu gedoran masuk menghantam
dada Sulawaya yang terhuyung ke belakang
dengan kepala pusing dan dada seakan mau
pecah.
"Aaaaakkkhhh!!"
Karena terlalu menguras tenaganya,
dia pun semakin lemah. Pertahanannya
lemah pula. Tenaga dalamnya pun
terkuras.
Maka tanpa ampun lagi di pun ambruk
dengan nyawa yang telah lepas.
Melihat kenyataan itu, lemaslah Ba-
runa. Dia merasa tak mungkin dapat
melolosan diri. Menghadapi Madewa
bertiga saja seakan tak banyak membawa
arti. Apalagi dia sendiri. Ini
membuatnya kecut.
Namun tiba-tiba dia mendapat sebuah
rencana yang keji. Dia akan menyandera
Ratih Ningrum yang sejak tadi tersenyum
melihat suaminya berhasil
memporak-porandakan pertahanan
lawan-lawannya.
Baruna pun menjerit menyerang Ma-
dewa kembali. Namun mendadak saja dia
bersalto ke arah Ratih Nigrum.
Dan "Tep!" tangannya dengan sigap
membekap leher wanita itu dengan tubuh
yang berada di belakangnya.
Ratih Ningrum yang tidak menyangka
dirinya akan dijadikan sandera, hanya
bisa terpaku saja. Dan ujung tombak
Baruna sudah menekan di ulu hatinya.
Baruna terbahak karena merasa
berhasil untuk menyandera dan
mengalahkan Madewa Gumilang.
"Hahaha... majulah, Madewa...
majulah... bila ingin istrimu mampus di
tanganku..."
Madewa hanya terdiam.
"Hhh! Nyawa istrimu sekarang berada
di tanganku!" seru Baruna sambil mehrik
sekelilingnya. Sepuluh murid-murid
Perguruan Topeng hitam sudah
mengurungnya. Tetapi dia hanya tertawa.
"Madewa... perintahkan para muridmu
untuk menjauhiku... bila tidak ingin
nyawa istrimu lepas hari ini juga..."
Madewa pun memerintahkan para
muridnya untuk mundur, sementara otaknya
berputar memikirkan cara untuk
menyelamatkan istrinya.
"Kalian mundur semua!"
"Bagus, Madewa... kau seorang
ksatria yang gagah berani. Nah, sekarang
tunjukkanlah padaku Pukulan Bayangan
Sukmamu yang sangat hebat dan kesohor
itu!"
Madewa terdiam. Mengira-ngira
maksud dari Baruna si Tombak Maut. "Cepat
kataku!" Madewa masih terdiam. Baruna
menekan sedikit ujung tombaknya, membuat
Ratih Ningrum menjerit.
Dia terbahak, "Madewa... kau tak
ingin istrimu mati di ujung tombakku,
bukan?"
"Baruna... lepaskan istriku. Dan
mari bertarung bagai seorang
laki-laki..."
"Hahaha... kau memang pandai
bersilat lidah, Madewa! Bangsat! Cepat
kau keluarkan Pukulan Bayangan Sukmamu!
Cepat!"
"Kau hendak berbuat apa, Baruna?"
kata Madewa sambil mengulur waktu dan
memikirkan bagaimana cara membebaskan
istrinya.
"Cepat kataku! Cepat!!"
Madewa melihat gerakan yang
dilakukan Baruna dengan menekankan ujung
tombaknya pada ulu hati istrinya.
Dia juga melihat betapa
kesakitannya Ratih Ningrum. Namun wanita
itu adalah wanita yang tabah, dia tidak
mcnampakkan rasa sakitnya meskipun dia
sangat menderita dan kesakitan.
Madewa pun mendesah.Terdiam. Dan
merapal pukulan Bayangan Sukmanya.
Lalu dirangkumnya kedua tangannya
di dada. Dan terlihatlah asap berwarna
putih mengepul dari kedua tangannya.
"Sekarang kau mau apa, Baruna?"
"Hahaha... Pendekar Bayangan Sukma
yang gagah perkasa hari ini harus takluk
di tanganku. Dan harus mampus termakan
pukulan saktinya sendiri.. Nah,
Madewa... pukulkan Pukulan Bayangan
Sukma itu ke kepalamu sendiri...
Cepat!!" Suasana menjadi tegang.
Madewa terdiam.
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam
menelan ludahnya melihat bahaya yang
mengancam ketua mereka. Yang lebih
mengenaskan, bila harus mati, ketuanya
mati oleh pukulan saktinya sendiri.
Ratih Ningrum berseru, "Kanda....
jangan... jangan kau pukulkan Pukulan
Bayangan Sukma ke kepalamu... Biarkan...
biarkan aku mati, Kanda..." Baruna
terbahak.
"Cepat, Madewa! Kau tidak mau
melihat istrimu mati secara mengenaskan
di depan matamu, bukan? Cepat! Waktumu
hanya satu menit untuk melakukannya!!"
Madewa terdiam. Pukulan saktinya
siap untuk membunuhnya sendiri. Melihat
Madewa ragu-ragu, Baruna menjadi
jengkel.
Tangannya menekan lagi tombak yang
ujungnya mengenai tepat ulu hati Ratih
Ningrum.
Kali ini Ratih Ningrum tidak bisa
menahan rasa sakitnya meskipun dia
berusaha untuk menahan.
"Aaaakhh?"
Baruna terbahak. "Hahaha...
coba-cobalah kau membangkang dan
mengulur waktu, Madewa... lakukanlah
dengan sesuka hatimu dan istrimu ini akan
mati secara perlahan-lahan...
hahaha..."
Melihat keadaan istrinya yang
nampak kesakitan, tak ada pilihan lain
buat Madewa.
"Baruna... lepaskan istriku dulu...
Semua perintahmu akan kulakukan..."
"Hahaha... kau mau bermain siasat
apa ini, Madewa? Setelah aku melepaskan
istrimu... kau akan segera
menyerangku... Hahaha... kau layaknya
bermain dengan anak-anak kecil,
Madewa..."
"Kau tidak mempercayaiku, Baruna?"
"Hmm... biar orang-orang memujamu
setinggi langit, sedikit pun aku tak
pernah mempercayaimu. Nah... lakukanlah
perintahku cepat, Madewa! Wktu satu
menit yang kuberikan sudah habis untuk
bercakap-cakap yang tak penting ini!
Cepat!!"
Madewa merasa tidak ada pilihan Iain
baginya. Yang penting istrinya selamat.
Sementara istrinya berseru-seru agar dia
jangan melakukan hal yang membahayakan
itu.
Namun sungguh diluar dugaan
semuanya. Disaksikan oleh istrinya
sendiri dan para murid-murid Perguruan
Topeng Hitam, Madewa Gumilang menghantam
tubuhnya sendiri dengan pukulan
saktinya, Pukulan Bayangan Sukma!!
"Ketuaaaa!!" seru beberapa
muridnya.
"Kandaaaaaa!!" jerit Ratih Ningrum
yang sangat terkejut. Ketika dia hendak
mendapatkan suaminya, tombak di tangan
Baruna semakin menekan ulu hatinya
membuat nya tak banyak bergerak.
Dan di hadapan berpuluh pasang mata,
tubuh gagah berjubah putih itu pun
perlahan-lahan ambruk ke tanah.
Baruna terbahak. Manusia dewa yang
sangat disegani oleh kawan maupun lawan,
hari ini harus mampus oleh pukulan
saktinya sendiri.
Dan dialah yang telah menyuruh
manusia dewa itu melakukannya.
Baruna terbahak sendiri mengingat
keberhasilannya. Beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam yang hendak
mendapati ketua mereka, di bentak
mundur.
"Hei, kalian mundur semua! Tak
seorang pun yang boleh mendekati dan
menjamah mayat itu! Mundur!! Bila kalian
membangkang perintahku ini, Ratih
Ningrum akan mampus di ujung tombakku!!"
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam
yang hendak mendekati mayat Madewa pun
mundur perlahan-lahan. Mereka tidak
ingin kehilangan seorang pimpinan lagi.
Bagi mereka, Ratih Ningrum tak ada
bedanya dengan Madewa Gumilang.
Sama-sama mereka sanjung.
Sama-sama mereka hormati.
Dan melihat kenyataan ini, mereka
pun tak berani bertindak. Karena Baruna
bukanlah manusia yang mempunyai balas
kasihan.
Dia adalah binatang yang sangat
kejam!
Sementara Baruna terbahak lagi
melihat kenyataan kemenangan yang sudah
berada ditangannya.
Lalu dia berkata sambil mencolek
dagu Ratih Ningrum. Yang meronta-ronta
dengan kasar, namun tak bisa berbuat
banyak. Di samping lehernya yang
tercekik hingga membuatnya sukar
bernafas, juga ujung tombak yang tajam
yang siap untuk menghunjam ulu hatinya.
"Maafkan aku, Nyonya ketua...
Maafkan aku... hahaha... tetapi suamimu
memang pantas mati dengan cara demikian.
Bukankah hanya itu yang bisa membuatnya
mati? Hahaha... Madewa Gumilang yang
gagah perkasa harus mampus di tangannya
sendiri..."
Namun tiba-tiba, di saat Baruna
sedang terbahak mengingat
kemenangannya, tiba-tiba dirasakannya
sebuah pukulan menghantam lehernya.
"Heik!!"
Dia menjerit bagai tercekik.
Cengkeraman tangannya di leher
Ratih Ningrum terlepas, dia pun terkulai
ke tanah.
Namun buru-buru bangkit setelah
dirasakannya sakitnya tidak begitu
terasa lagi. Dia mencari-cari siapa yang
telah memukulinya.
Matanya melihat sosok berwajah arif
dan bljaksana. Sosok yang mengenakan
jubah berwarna putih. Sosok Madewa
Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma!!
"Kau?!" Mata Baruna seakan mau
meloncat tak percaya melihat siapa yang
memukulnya.
Begitu pula Ratih Ningrum.
Begitu pula dengan para murid-murid
Perguruan Topeng Hitam.
Bukankah ketua sudah mati akibat
pukulannya sendiri? Lalu... siapakah
yang berdiri itu. Ketika mereka mencari
mayat Madewa, mayat itu tidak ada di
tempatnya semula.
Kini sadarlah mereka, bahwa yang
mengenakan jubah putih itu tak lain dari
ketua mereka sendiri, Madewa Gumilang!
Lalu bukankah dia sudah mati akibat
Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri?
***
DELAPAN
Meskipun istrinya dalam bahaya,
Madewa tentu saja tidak ingin mati
konyol, apalagi oleh pukulan andalannya
sendiri. Makanya tadi dia sengaja
mengulur waktu berbicara dengan Baruna
sambil berpikir dan mencari kesempatan
untuk menyelamatkan istrinya.
Dan dia pun mendapat sebuah ide yang
bagus. Perlahan-lahan dia mengeluarkan
pukulan Angin Saljunya. Dan bukan
Pukulan Bayangan Sukma.
Asap yang mengepul putih yang keluar
dari kedua tangannya tadi, merupakan
angin dingin yang keluar dari pukulan
Angin Saljunya. Sepintas memang mirip
asap. Dan yang melihatnya pun yakin kalau
itu adalah Pukulan Bayangan Sukma.
Ketika dia menghantamkan pukulan
itu ke perutnya, diturunkannya tenaganya
yang terangkum di kedua tangannya.
Sementara tubuhnya sudah dialiri tenaga
dalam dan hawa murni.
Madewa berharap, Baruna dapat
dikelabui. Dan ternyata manusia itu
memang dapat dikelabuinya.
Dia pun berlagak terkulai dan mati
akibat pukulannya itu.
Sementara saat Baruna terbahak dan
merasa menang, Baruna menjadi lengah.
Saat itulah secepat gerakan kilat,
Madewa bergerak mendekati Baruna dan
menghantamkan pukulannya ke leher Baruna
yang melihat kaget.
Mereka tidak melihat Madewa sudah
bergerak cepat dan tahu-tahu sudah
berada di belakang Baruna.
Baruna sendiri saat itu kaget luar
biasa. Dia hendak kembali menyandera
Ratih Ningrum. Tetapi wanita itu telah
melompat bersalto ke depan begitu
dirasakannya cengkeraman Baruna
mengendor.
"Kau?" sekali lagi dia hanya bisa
melontarkan kata itu pada Madewa.
Madewa tersenyum. Arif dan
bijaksana.
"Ya... inilah aku..."
"Bu... bukankah kau sudah mati
akibat pukulanmu sendiri?" tanya Baruna
terbata, hingga hilang semua keangkuhan
dan kesombongannya.
"Kau gelap mata rupanya, Baruna! Kau
hanya memandang sebelah mata padaku! Kau
tak menyadari betapa tingginya langit
dan dalamnya lautan?" Madewa tersenyum.
"Hmm... katakanlah, siapakah sebenarnya
Iblis Berbaju Hijau itu, Baruna?"
Baruna yang masih tidak percaya
kalau Madewa Gumilang masih hidup,
tergagap. Dan tanpa disadarinya mulutnya
terbuka, "Dia ... dia adalah seorang
wanita muda yang sangat cantik... Dan
memiliki ilmu kesaktian yang sangat
tinggi... Dia ... dia juga memiliki
sebuah pedang mestika yang hebat dan
ampuh...."
"Pedang mestika apa itu?"
"Pedang Malaikat Pedang Sakti."
"Malaikat Pedang Sakti?"
Baruna mengangguk. Kedua sorot
matanya kosong, seakan masih tidak yakin
kalau yang berdiri di hadapannya Madewa
Gumilang.
Ratih Ningrum sendiri sebenarnya
pun terkejut. Namun dia tidak
mempersoalkan lagi, yang penting
suaminya masih hidup
Tiba-tiba sepasang mata Baruna
bersinar, berkilat menyeramkan. Dan
laki-laki berwajah seram itu lambat laun
sadar kalau dia dibobongi oleh Madewa
Gumilang.
Tentu saja Madewa tidak sebodoh itu
membunuh dirinya sendiri dengan pukulan
saktinya. Tentunya dia melepaskan sebuah
pukulan yang ringan dan pukulan itu
bukanlah pukulan andalannya.
"Bukan Pukulan Bayangan Sukma!”.
Mulut Baruna membentak, "Bangsat!
Kau menipu aku, Madewa!"
"Baruna... untuk orang seperti kau,
agaknya segala kelicikan yang telah kau
lakukan, hanya patut dibalas dengan
kelicikan pula!
Kau tak ubahnya bagaikan seekor
srigala berbulu domba, Baruna..."
Baruna menggeram. Kesadarannya
makin pulih dan menyadari kalau dia
jelas-jelas telah dibohongi.
"Setttaaaan!! Kau harus membayar
semua perlakuan bohongmu itu, Madewa!"
geramnya sambil menyiapkan tombaknya.
Dia pun memutar—mutar hingga menimbulkan
suara yang cukup memekakkan telinga.
"Baruna... sadarlah kau. Insyaflah,
Baruna... karena kau berada di jalan yang
salah..."
"Jangan berkhotbah, Madewa!" geram
Baruna yang merasa sangat jengkel
sekali.
Sementara matahari sudah tepat
berada di kepala. Sinarnya cukup
menyengat.
Sedangkan Ratih Ningrum yang cukup
jengkel karena tadi dijadikan sandera,
menggeram marah. Dia pun menggebrak maju
sambil meloloskan sepasang pedang
kembarnya.
Pedang kembar warisan gurunya yang
bernama Mukti (baca : Dendam Orang-Orang
Gagah).
"Baruna! Kau hadapi aku!!" serunya
sambil menyerang.
Baruna pun dengan cepat menangkis
serangan sepasang pedang Ratih Ningrum
dengan tombak mautnya. Gerakannya pun
tak kalah cepat dan hebatnya. Penuh
tenaga.
"Trok! Trok!"
Berkali-kali kedua senjata itu
beradu. Baruna pun meningkatkan
permainan tombak mautnya, yang kadang
menangkis, memukul, menusuk dan
menotok dengan pangkalnya.
Ratih Ningrum pun mempergencar
serangannya pula, Kali ini dia memadukan
jurus pedangnya dengan jurus Pukulan
Tangan Seribunya, yang membuat sepasang
pedang itu bergerak bagaikan menjadi
seribu.
Baruna sendiri kaget melihat hal
itu.
"Tak sia-sia kau menjadi istri
Madewa Gumilang!" seru Baruna. dan
menangkis tusukan pedang yang mengarah
pada lehernya.
"Trok!!"
Kembali senjata itu berbenturan.
Tetapi sampai sejauh itu belum ada
yang kelihatan terdesak. Keduanya masih
sama-sama tangguh dan hebat.
Serangan-serangan yang mereka lancarkan
cepat dan penuh tenaga.
Namun memasuki jurus ke delapan
belas, sebuah pedang yang berada di
tangan kiri Ratih Ningrum menggores bahu
kanan Baruna hingga mengeluarkan darah.
Baruna meaggeram. Dengan beringas
dia kembali menyerang Ratih Ningrum.
Sambaran-sambaran tombaknya begitu sa-
dis dan berbahaya.
Tetapi Ratih Ningrum adalah wanita
tegar yang sudah makan asam garam. Dia
sudah puluhan bahkan ratusan kali
bertarung dengan cara mati-matian.
Serangan-serangan dan desakan
Baruna tetap dilayaninya dengan
balasan-balasan yang sama-sama hebat dan
tangguh.
""Bangsat!" geram Baruna yang
sekian lama belum maupun mendesak Ratih
Ningrum.
Bahkan dengan satu gebrakan dan
seruan yang kcras, Ratih Ningrum
berhasil menyambarkan kembali pedangnya
kepangkal lengan Baruna.
"Crass!!"
Lengan kanan itu pun buntung menge-
luarkan darah. Dan pemiliknya
menjerit-jerit kesakitan.
Ketika Ratih Ningrum hendak
menusukkan pedangnya untuk menghabisi
Baruna, melesat sosok tubuh yang dengan
cepatnya menotok Baruna hingga kaku.
Lalu menotok pangkal lengan Baruna yang
mengeluarkan darah hingga darahnya
berhenti.
"Tenanglah, Dinda..." seru sosok
itu yang ternyata Madewa Gumilang. "Kita
tidak boleh telengas pada lawan yang
telah kalah..."
Ratih Ningrum terdiam.Mendesah.
Merasa malu karena dia nampak begitu buas
dan kejam.
“Maafkan Dinda, Kanda..."
Baruna yang merasa kekalahan sudah
di ambang pintu tak berani berbuat
banyak. Sedikitnya dia merasa ditolong
oleh Madewa dengan jalan menghentikan
pendarahannya.
Namun begitu teringat tugas yang
diberikan oteh Iblis Berbaju Hijau gagal
dilaksanakan, juga ingat akan sanksi
yang diberikan, membuatnya menjadi
bingung.
Maka ketika Madewa bertanya di mana
gerangan Iblis Berbaju Hijau berada,
Baruna langsung menjawab.
"Dia mendiami Lembah Pasir
Putih..."
"Siapakah dia sebenarnya, Baruna?"
"Aku tidak tahu siapa dia
sebenarnya. Tahu-tahu dia datang
menaklukkanku saat aku tengah memperkosa
seorang gadis. Dan dia mengalahkan aku."
"Hmm.... berapa lagi pengawal yang
menemaninya?"
"Tinggal dua. Martungga dan
Kumpala. Sedangkan Roro Dewi entah di
mana."
Madewa mendesah. Memperhatikan
Baruna yang sedang menahan sakit.
"Madewa..." desis Baruna kemudian.
"Secara jujur kuakui... bahwa aku kagum
dari salut padamu... Sebagai seorang
pendekar yang budiman, sikap, tutur kata
dan tingkah lakumu... memang pantas
membuatmu menyandang gelar pendekar
budiman. Sedangkan kesaktian dan
kehebatan ilmu yang kau miliki, memang
patut kau menyandang sebutan sebagai
manusia dewa...Dan di hari ini, aku
Baruna atau si Tombak Maut... menyatakan
kekaguman yang sekagum-kagumnya padamu,
Madewa Gumilang..."
"Baruna... aku tetaplah manusia
seperti kau. Juga seperti manusia
lainnya. Kita tidak beda. Mungkin...
yang membedakan kita hanyalah nafsu yang
ada dalam diri kita. Nafsu yang kadang
membelenggu dan sukar dikendalikan.
Sebagai manusia... kita janganlah
terlalu dikekang oleh nafsu, jangan
terlalu membesarkan nafsu...jangan
diperbudak nafsu... Malah”.
"Madewa... aku sangat beruntung
dapat berjumpa dengan manusia sakti
seperti kau... Pendekar Budiman yang
gagah perkasa..." kata Baruna sambil
menahan rasa sakit di tangannya. Dan
tiba-tiba Baruna berdiri dengan susah
payah. Lalu mengambil tombaknya...
"Madewa... aku salut padamu..."
Sehabis berkata begitu, dia
bergerak dengan cepat. Tombak di
tangannya berputar. Ujungnya yang
runcing pun bergerak dengan cepat.
Menusuk jantungnya sendiri.
Madewa tersentak.
Ratih Ningrum memekik.
Para murid Perguruan Topeng Hitam
berseru-seru kaget.
Tetapi darah sudah menyembur dari
jantung Baruna. Lalu perlahan-lahan
tubuh itu ambruk.
Matanya masih membuka,
membayang-kan satu kepedihan yang amat
sangat.
"Selamat tinggal... Orang gagah..."
desisnya, lalu kepalanya pun terkulai.
Dan ambruk dengan darah yang membasahi
sekujur tubuhnya.
Orang-orang tak ada yang menyangka
Baruna akan berbuat seperti itu.
Madewa mendesah panjang.
Menatap langit yang tiba-tiba
berubah menjadi mendung.
"Kejahatan ternyata masih terus
berlangsung... Oh, Tuhan... sampai
kapankah kejahatan itu akan berhenti?"
Lalu dia memerintahkan beberapa mu-
rid-muridnya untuk menguburkan
mayat-mayat yang bergeletakan.
Madewa sendiri mempunyai rencana
untuk segera pergi ke Lembah Pasir Putih.
***
SEMBILAN
Lembah Pasir Putih malam hati.
Nampak sosok berbaju hijau keluar
dari bangunan megah yang terdapat di
tengah-tengah Lembah Pasir Putih. Sosok
itu tak lain adalah Puji Wening yang
tengah heran mengapa empat orang anak
buahnya belum kembali pula malam hari
begini.
"Hmm... rupanya mereka sudah berani
membangkang perintahku..." desisnya
dengan sepasang rahang terkatup rapat,
menandakan dia sedang geram. "Rupanya
mereka ingin bertingkah seperti Roro
Dewi... Anjing-anjing buduk, kalian akan
mampus di tanganku secara mengerikan!!"
Angin malam berdesir.
Dingin menusuk.
Puji Wening tegar berdiri dengan
baju hijaunya yang berkibar ditiup
angin.
Tiba-tiba beberapa pengawalnya yang
terdiri dari orang-orang yang diculiknya
berbisik-bisik begitu melihat wajah
Iblis Berbaju Hijau.
"Coba kau perhatikan sekali lagi,
bukankah wajahnya sangat mirip dengan
Puji Wening? Anaknya Baguspuro?"
"Hei, kau benar. Memang mirip
sekali. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Rasanya tidak mungkin."
"Aku juga tidak menduga dia. Wanita
itu bagai iblis belaka. Sedangkan Puji
Wening sangat ramah meskipun dia agak
genit..."
"Tapi wajahnya memang mirip dia!"
"Baiknya kita tanya Baguspuro saja.
Bukankah dia menjadi pengawal bagian
Timur?"
"Ayo, kita ke sana!"
Dua orang desa Glagah Arum yang
diculik Puji Wening itu pun
mengendap-endap ke bagian penjagaan
sebelah timur.
Mereka menemui Baguspuro yang sudah
tentu sangat heran mendengarkan
penuturan keduanya.
"Mana mungkin di dunia ini ada wajah
yang sama. Kalau mirip masih mungkin."
"Bagus... ini bukan saja mirip, tapi
memang serupa!"
"Bila kau masih menyangsikan, lebih
baik kau melihat saja. Ayo ikut kami!
Mumpung wanita iblis itu masih berdiri di
luar istananya!"
Lalu kedua orang itu bersama
Baguspuro pun berjalan kembali ke tempat
semula.
Dan memperhatikan sosok berbaju hi-
jau yang masih berdiri dengan sikap gagah
menantang angin malam.
Baguspuro sedikit terperanjat.
Dia menelan ludahnya berkali-kali.
Tidak salah lagi, itu memang
anaknya! Puji Wening yang hilang lima
tahun yang lalu! Oh, Tuhan... akhirnya
dipertemukan juga dia dengan anaknya.
Tetapi mengapa anaknya menjadi
sedemikian kejam? Dan bagaimana
tiba-tiba dia memiliki ilmu kesaktian
yang amat tinggi?
Sejenak Baguspuro menyangsikan
pandangannya. Tetapi akhirnya dia
menjadi nekat, perlahan-lahan dia
beranjak mendekati Puji Wening.
"Ratu..."desisnya sambil menunduk.
Puji Wening melirik. "Apa?"
Oh, kasar sekali.suara itu! Berarti
bukan anaknya! Dan nampaknya dia tidak
mengenali sedikit pun.
Tetapi sosok di hadapannya memang
sama dengan putrinya. Hati-hati
Baguspuro mengangkat kepalanya. Dadanya
berdetak lebih cepat dari tadi.
Benar, dia anaknya! Benar... wanita
ini anaknya! Oh mengapa dia menjadi
sedemikian kejam? ,
"Puji Wening..." panggilnya
hati-hati.
Puji Wening atau yang lebih dikenal
dengan Iblis Berbaju Hijau menatap
laki-laki setengah baya yang sedang
menatapnya.
“Hmm, berani sekali dia menatap wa-
jah ku? Apakah laki-laki itu sudah bosan
hidup”.
"Kau... kau tidak mengenaliku,
Nak?" desis Baguspuro pilu.
Tetapi wajah di hadapannya tetap
dingin. Sepasang matanya memancarkan si-
nar kesal dan marah.
"Mau apa kau orang tua?!"
Baguspuro makin merasakan pilu di
dadanya. "Puji...kau tidak mengenali
aku, Nak?"
"Puji Wening? Hei, Bapak tua! Kau
bicara apa?!" bentak Puji Wening yang
tengah dipengaruhi oleh sinar aneh dari
pedang mestika Malaikat Sakti. Dia
sedikit pun tak menyadari lagi siapakah
dia sebenarnya. Dia benar-benar telah
melupakan segalanya.
Lagi Baguspuro menelan ludahnya.
Anakku kenapa? Kenapa dia? Mengapa dia
tidak mengenalku? Siapa yang telah
mempengaruhinya?
Tiba-tiba muncul Martungga dan
Kumpala.
Keduanya sedikit heran melihat
laki-laki setengah baya yang
membungkuk-bungkuk itu mengaku-aku
sebagai ayahnya Iblis Berbaju Hijau.
Tetapi mereka kemudian tidak
perduli. Mereka punya berita yang sangat
penting.
"Salam hormat buat Ratu..." kata
keduanya sambil menjura.
"Hmm... Martungga dan Kumpala...
ada apa?"
"Kami menemukan Roro Dewi sudah
menjadi mayat di tepi hutan menuju desa
Glagah Arum, Ratu..." kata Martungga
masih tetap menjura.
"Apa?!"
"Sungguh, Ratu... yang kami lihat
benar adanya..." sambung Kumpala.
"Bangsat!!" Iblis Berbaju Hijau
meng-geram. "Siapa yang
berani-beraninya membunuh Roro Dewi,
hah?!"
Martungga dan Kumpala hanya ter-
diam.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki
setengah baya yang masih berdiri di dekat
mereka.
"Puji... sadarlah, Nak.. Tingkah
dan perbuatanmu sudah melampaui
batas..."
"Hei, Orang tua! Omong apa kau di
sini, hah?!" bentak Martungga.
"Orang gagah.. .sadarkanlah anakku
itu.. bahwa dia telah jauh berada dalam
kesesatan.." kata Baguspuro masih
menghormat.
"Anakmu? Siapa anakmu?! Kau jangan
mengigau orang tua!"
Baguspuro menelan ludahnya. Dia te-
tap meratap-ratap dan mengaku-aku kalau
Iblis Berbaju Hijau adalah anaknya.
Sementara Puji Wening menggeram
marah.
Dia hendak mengibaskan tangannya,
untuk membunuh laki-laki ini. tetapi
mendadak dari sebelah barat terdengar
ribut-ribut.
"Awas! Jangan sampai lolos!"
"Kepuuung!!"
"Sikat!"
"Hajaaaaar!"
Dari bagian istana sebelah barat,
muncul sosok tubuh yang berkelebat
cepat. Lalu menyusul beberapa pengawal
istana Iblis Berbaju Hijau yang bergerak
mengejar.
Iblis Berbju Hijau menjadi siaga.
Dia tidak menghiraukan lagi laki-laki
yang mengaku-aku sebagai ayahnya. Sudah
tentu semua keinginan Baguspuro sia-sia
belaka. Karena Puji benar-benar telah di
kuasai oleh pengaruh pedang mestika itu.
Martungga dan Kumpala sendiri
segera bersalto menghadang larinya
laki-laki tadi.
Laki-laki yang ternyata Pranata
Kumala . pun menghentikan larinya. Dia
pun menjadi siaga. Dalam hati dia
menggeram. Belum dia mendapatkan Kembang
Pasir Putih , sudah terpergok oleh para
penjaga istana Iblis Berbaju Hijau.
Pranata tahu mereka adalah para
penduduk desa yang diculik dan secara
paksa dijadikan pengawal. Itulah
sebabnya dia memilih menghindar daripada
menjatuhkan tangan telengas pada mereka.
Namun sekarang, tak ada jalan lain
karena barisan itu sudah mengepungnya.
Lalu dilihatnya dua sosok tubuh
besar dan wajah menyeramkan
menghadangnya.
Juga sosok tubuh tinggi langsing
dengan mengenakan baju berwarna hijau.
Inikah Iblis Berbaju Hijau? Sungguh
cantik sekali.
"Hei, orang muda!" bentak
Martungga. "Kau mencari mati berani
datang ke sini!"
"Maaf.. namaku Pranata Kumala. Aku
datang ingin meminta Kembang Pasir Putih
pada kalian..."
Martungga tahu, khasiat apa yang
terdapat pada Kembang Pasir Putih.
Kembang satu-satunya yang bisa dijadikan
sebagai obat penangkal racun dari
Pukulan Kembang beracun. Dan
satu-satunya yang memiliki pukulan itu
hanyalah Roro Dewi! Ada apa pemuda ini
sampai mencari Kembang Pasir Putih?
Martungga mencetuskan dugaannya.
"Hmm... kaukah yang telah membunuh Roro
Dewi?"
Pranata Kumala pun segera tanggap.
Mungkir pun tak ada gunanya, karena dia
yakin orang ini tahu sebab apa dia
mencari Kembang Pasir Putih.
"Maafkan eku, Kisanak... Memang...
akulah yang telah membunuh manusia jahat
itu.."
"Bunuhlah dia, Martungga,
Kumpala!!" terdengar seruan dingin yang
dilontarkan oleh Iblis Berbaju Hijau.
Serentak Martungga dan Kumpala
menyerang. Pranata Kumala pun tak mau
dirinya dijadikan sasaran pukulan,
sodokan dan tendangan mereka.
Maka dia pun membalas dengan cepat
dan tangguh.
Martungga terus menyerang dengan
tak kalah hebatnya.
Kumpala yang bergelar Iblis Tangan
Delapan pun Segera mengeluarkan ilmunya
jurus Tangan Delapan, yang bergerak
dengan cepat.
Pranata Kumala sendiri sudah
mengimbanginya dengan jurus Tangan
Bayangan-nya. Dan sekali-sekali
melontarkan pukulan sinar merahnya.
"Siiiing!"
"Siiiing!"
Pukulan itu mampu membuat Martungga
dan Kumpala kalang kabut untuk
menghindar.
Pada jurus ke sepuluh, terdengar
jeritan Kumpala. Tubuhnya kena terhantam
pukulan sinar merah Pranata Kumala.
Tubuh itu pun ambruk ke tanah dan hangus
masih mengeluarkan asap. Lalu dia pun
meregang nyawa.
Melihat hal itu, Martungga menjadi
sangat geram. Dia meningkatkan lagi
serangan-serangannya. Yang dilakukan
dengan secara cepat dan hebat.
Sejenak kehilangan keseimbangan ka-
rena serangan-serangan itu datang dari
delapan penjuru. Yang membuatnya kalang
kabut menghindar dia pun sudah
menggunakan jurus menghindarnya, jurus
Kijang Kumala. Yang mampu membuatnya
bergerak selincah dan secepat seekor
kijang.
Tiba-tiba Pranata bersalto ke depan
sambil memekik. Dia melompati tubuh
Martungga Dan begitu kakinya hinggap di
bumi, tubuhnya indenting kembali dan
kedua telapak tangannya menghantam
bagian punggung Martungga yang tersuruk
kedepan.
"Aaaaaakkkh!!"
Pranata pun tak mau menyia-nyaiakan
kesempatan yang ada padanya. Dia
taerputar bersalto sambil melepaskan
pukulan, sinar merahnya.
"Siiing!"
"Aaaaakhhhhh!!"
Terdengar pekikan Martungga untuk
kedua kalinya. Kali ini dia yang termakan
pukulan sinar merah Pranata Kumala. Dan
ambruk untuk selama-lamanya.
Pranata yang masih berada di udara,
tiba-tiba merasakan sebuah angin besar
berdesir ke arahnya.
Sosok berbaju hijau sudah
menyerangnya dengan hebat.
"Hei!!" jerit Pranata terkejut.
Iblis Berbaju Hijau sudah bergerak
secara hebat dan tangguh. Kedua
tangannya seperti mempunyai mata,
mencecar ke mana perginya Pranata Kumala
Sebisanya Pranata Kumala
menghindar, namun sebuah gedoran
berhasil menghantam dadanya hingga dia
terhuyung.
Lalu sosok berbaju hijau itu
melenting ke belakang.
"Hhhh! Hanya begitu saja
kemampuanmu!" desisnya dengan senyum
dingin dan sepasang mata bersinar
membunuh.
"Iblis betina! Meskipun kau dapat
membunuhku, sejengkal pun aku tak akan
lari untuk melawanmu!" balas Pranata
yang merasakan dadanya bagai dihantam
godam besar.
"Baik! Aku memang sudah ingin
membunuhmu!!" seru Iblis Berbaju Hijau
dan melenting menyerang.
Serangan-serangannya ganas dan
berbahaya. Cepat dan mematikan. Meskipun
Pranata sudah menggunakan jurus Kijang
Kumala, namun kelebatan Iblis Berbaju
Hijau sangat luar biasa sekali. Sulit
diikuti oleh mata.
Sekali lagi satu gedoran menghantam
Pranata.
Disusul dengan satu tebasan pada
kaki kirinya. Membuat Pranata ambruk.
Kakinya bagai mau patah dia rasakan.
"Terimalah ajalmu, Orang sombong!!"
sambil menggeram Iblis Berbaju Hijau
menderu maju.
Pranata hanya bisa memejamkan
matanya menanti ajal. Namun satu
keanehan terjadi. Bukan Pranata yang
terdengar memekik tetapi malah Iblis
Berbaju Hijau. Dan tubuhnya melayang
deras ke belakang.
Dan berdirilah sosok berjubah putih
yang tersenyum arif dan bijaksana.
"Ayaaaah!!" seru Pranata Kumala be-
gitu membuka matanya.
Sosok itu memang Madewa Gumilang
yang telah tiba untuk mencari Iblis
Berbaju Hijau. Sementara wanita iblis
itu membelalakkan matanya, karena
terkejut tak menyangka dia akan
menghantam suatu tembok.
"Hhh! Siapa kau adanya, hah?!"
"Namaku Madewa Gumilang..." *
"Rupanya kau yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma! Bagus, kau akan menerima
kematianmu di Lembah Pasir Putih ini!"
bentak Iblis Berbju Hijau sambil
menyerang.
Madewa pun segera menyambut dengan
jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu
menggebrak maju dengan Pukulan Tembok
Menghalau Badai. Karena dia berpikir,
kesaktian wanita ini begitu tinggi. Jadi
dia tidak sungkan-sungkan untuk
membalas.
"Des!"
Pukulannya masuk mengenai
sasarannya membuat wanita itu makin
murka. Dia kembali menyerang dengan
ganas, cepat, berbahaya dan mematikan.
Jurus-jurusnya penuh tenaga dalam yang
kuat.
Madewa pun mengimbanginya dengan
tak kalah hebatnya. Kini dia
mengeluarkan pukulan Angin Salju, karena
dirasakannya hawa aneh yang panas
terpancar dari tubuh wanita iblis itu.
"Des!" *
"Des!"
Namun keanehan terjadi. Tubuh Ma-
dewa yang terpental. Madewa jelas
merasakan kalau wanita itu dipengaruhi
oleh sesuatu.
Lalu dia terdiam. Berkonsentrasi
membuka ilmu Pandangan Menembus Sukmanya
sementara Iblis Berbaju Hijau terbahak.
"Hahaha... hanya begitu kemampuan
Madewa Gumilang!"
Sementara Madewa menemukan kalau
pengaruh aneh itu terpancar dari pedang
yang tersampir di punggung wanita itu.
Dan dia pun lebih yakin setelah mendengar
suara Baguspuro,
"Saudara Pendekar... jangan bunuh
anakku. Dia gadis baik-baik... entah
mengapa dia menjadi begitu sadis dan
ke-,jam...".
Yakin wanita itu dipengaruhi oleh
sinar yang keluar dari pedang yang
tersampir dipunggungnya, Madewa
bermaksud untuk memusnahkan pedang itu,
Lalu nampak dia terdiam. Dan kedua
tangannya perlahan terangkum di dada.
Nampaklah asap berwarna putih keluar.
Itulah Pukulan Bayangan Sukma.
Dia pun menderu maju tanpa bermaksud
untuk melukai wanita itu.
Iblis Berbaju Hijau yang
dipengaruhi sinar aneh dari pedang itu
pun meloloskan pedangnya. Pedang itu
memancarkan sinar keemasan. Madewa
melihat wanita itu jadi makin bernafsu
untuk membunuh.
Serangan-serangannya makin ganas.
Setiap kali pedang itu berkelebat
menimbulkan hawa dingin yang menusuk.
Madewa pun bekali-kali memapaki.
Dan... "Des!" ujung pedang yang siap
menyambar jantungnya dihantamnya dengan
Pukulan Bayangan Sukma.
Iblis Berbaju Hijau terpekik dan
terpental.
Sementara pedang itu hangus dan
hancur menjadi debu. Madewa bersalto
sambil menunggu apakah pengaruh aneh itu
masih membelenggu.
Baguspuro pun memekik saat anaknya
terpental dan pingsan. Tapi beberapa
menit kemudian, gadis itu pun siuman.
Wajahnya pias, tidak ada sinar dari
pancaran matanya nafsu membunuh.
Malah dia terkesan bingung.
"Oh! Bapa? Apa yang telah terjadi?"
Menyadari anaknya telah pulih
kembali, Baguspuro mendekap anaknya
erat-erat.
"Puji... anakku..."
"Bapa... apa yang telah terjadi,
Pak?" tanya Puji Wening yang bagaikan
baru, bangun dari tidurnya.
"Tidak apa-apa Nak... Semua sudah
berakhir.."
Madewa tersenyum. "Cepat kau cari
Kembang Pasir Putih... Dan sembuhkan
istrimu..." Lalu bayangan berjubah putih
itu berkelebat dan menghilang.
Pranata mendesah. Ayahnya sudah
tahu soal itu. Lalu dia pun segera
mencari Kembang Pasir Putih, untuk
mengobati. istrinya tercinta.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar