"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE IBLIS BERBAJU HIJAU

IBLIS BERBAJU HIJAU

 IBLIS BERBAJU HIJAU

Oleh Fahri A.

Cetakan Pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak Cipta Di Lindungi Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode :

Iblis Berbaju Hijau



SATU


Angin bertiup dingin. Udara agak 

mendung. Awan-awan hitam berarak ke 

timur dihembus angin. Suasana tempat itu 

hening. Rumput-rumput tinggi tak pernah 

dipotong, Menandakan tempat itu tak 

pernah didatangi crang.

Suasananya pun mencekam dan 

menakutkankan.

Tiba-tiba dari kejauhan samar 

terlihat sosok tubuh berlari dengan 

ringannya menuju tempat itu. Sosok itu 

mengenakan baju berwarna hijau yang 

berkibar-kibar dimainkan angin.

Bila dipandang dari dekat, betapa 

tipisnya pakaian itu. Sehingga 

menampakkan lekuk tubuhnya bagian dalam.

Sosok tubuh itu ramping. Dengan 

bentuk tubuh yang bagus. Wajahnya 

jelita.

Dengan sepasang mata yang bersinar 

cemerlang. Alis hitam bagai semut 

beriring. Dan hidung kecil yang bangir. 

Juga dihiasi oleh sepasang bibir kecil 

yang memerah bak buah delima.

Sosok itu berhenti berlari.

Diedarkannya pandangannya ke 

seluruh tempat itu. Keningnya berkerut


melihat daerah yang begitu sunyi dan 

menyeramkan.

"Hmm... tempat apakah ini?" 

gumamnya dan membiarkan rambutnya yang

terurai panjang dimainkan oleh angin 

nakal. Dan dari rambut itu menguar bau 

merang yang harum. 

Sebenarnya siapakah sosok tubuh 

berbaju hijau itu? Dia bernama Puji 

Wening, seorang gadis dari desa Glagah 

Arum. Dia sampai di sini secara tidak 

sengaja. Karena menjelang senja, Puji 

Wening sering bermain-main mengisi 

waktu. Dia adalah seorang gadis manis 

yang manja dan lincah.

Tetapi di desanya dia dikenal 

sebagai gadis yang genit karena sering 

memamerkan bentuk lekuk tubuhnya dengan 

sengaja, selalu memakai pakaian tipis 

yang menerawang. Yang membuat setiap 

laki-laki yang memandangnya harus 

menelan ludahnya. Sedangkan bila yang 

melihat kaum wanita akan terlontar 

desisan karena iri melihat bentuk tubuh 

yang begitu sempurna.

Tiba-tiba pandangan Puji Wening 

terbentur pada sebuah batu nisan yang 

menyembul keluar. Hanya batu nisannya 

saja. Tanpt ada bentuk makamnya.


"Hei, kuburan siapakah ini?" 

desisnya dalam hati. Lalu perlahan-lahan 

dia mendekati batu nisan itu. "Hmm... 

siapakah yang dikuburkan di sini? Kalau 

begitu, dulu tempat ini berpenghuni dan 

penghuninya sudah meninggal."

Lalu dengan hati-hati 

dibersihkannya batu nisan itu dari debu 

yang melekat dan cukup tebal. 

Samar-samar ada beberapa baris tulisan 

yang masih terbaca.

Puji Wening pun membaca tulisan itu.

“Barang siapa yang berjodoh dengan 

batu nisan ini, maka galilah!. Dan 

teruskanlah perjuanganku!

Malaikat Pedang Sakti”

"Hm... Malaikat Pedang Sakti? 

Siapakah dia?" gumam Puji Wening 

kembali. "Ataukah dia hidup pads ribuan 

tahun yang lampau? Dan merupakan salah 

seorang tokoh silat yang sangat sakti?"

Dasar Fuji Wening gadis yang 

pemberani Dia menjadi penasaran. Maka 

digalilah batu nisan itu perlahan-lahan. 

Cukup melelahkan pekerjaan Itu. Namun 

rasa penasarannya malah semakin besar 

dan cukup membuatnya bersemangat untuk 

menemukan jawaban yang ada dibaliknya.


Setelah hampir dua meter dia 

menggali nampaklah sosok tubuh yang 

tergeletak di dasarnya seperti tertidur. 

Puji Wening sedikit menjadi takut. Dia 

tak menghiraukan keringatnya yang 

bercucuran keluar.

Dari rasa takutnya ini berubah 

menjadi kekaguman. Karena mayat itu 

masih utuh! Sangat luar biasa. Jasadnya 

hanya dikotori oleh tanah yang 

menutupinya. Rambutnya pun terurai 

panjang, kuku-kukunya pun memanjang. 

Bertanda sudah puluhan bahkan ratusan 

tahun dia terkubur di sini dengan jasad 

yang masih utuh.

"Tentunya dia orang yang sakti," 

gumam Puji Wening. "Lalu apa maksudnya 

dia menyuruh menggali makam ini?"

Puji Wening menjadi makin 

penasaran. Hati-hati disentuhnya mayat 

itu. Dan hei... dagingnya pun tidak 

hancur. Malah masih kencang. dan 

hati-hati pula dia membalikkan jasad 

itu. Dan nampaklah sebuah pedang yang 

bersarung emas tertindih jasad itu.

"Hei, ada sebuah pedang!". Lalu 

hati-hati diambilnya pedang itu. Dan 

ditariknya keluar dari sarungnya. 

Seketika nampaklah cahaya keemasan 

memancar dari pedang itu.


"Luar biasa! Bagus sekali pedang 

ini!" gumamnya.

Puji Wening lalu mencari-cari lagi, 

barangkali saja masih ada benda atau 

apalah yang tidak terlihat olehnya. Maka 

dia pun mulai mencari-cari lagi.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada 

sebuah benda yang mirip sebuah buku yang 

terletak agak terkubur oleh tanah. Lalu 

digalinya dan diambilnya. Setelah 

dibersihkan dari debu yan menempel, dia 

mulai membukanya. Ternyata buku itu 

berisi pelajaran-pelajaran ilmu silat 

dan ilmu pedang. Rupanya itu kitab Pusaka 

Malaikat Pedang Sakti.

"Apakah ini sebuah kitab pusaka?" 

gumam Puji Wening tidak mengerti.

Dan tiba-tiba dia menggeram. 

Tatapannya menjadi liar. Perasaannya 

mendadak dihausi oleh sebuah kejahatan. 

Wajahnya menjadi sungguh menyeramkan.

Puji Wening sendiri heran, mengapa 

dia mendadak ingin membunuh. Dia tidak 

tahu kalau semua itu disebabkan oleh 

pengaruh pedang yang dipegangnya.

Konon ratusan tahun yang lalu, 

Malaikat Pedang Sakti adalah seorang 

tokoh hitam yan maha sakti. Dia telah 

malang melintang di dunia persilatan 

dengan membuat onar dan kejahatan.


Dengan ilmu pedangnya yang tangguh, dia 

menjadi disegani oleh golongan hitam 

maupun putih. Oleh kawan maupun lawan.

Tak seorangpun yang mampu 

mengalahkannya. Dan tak seorang pun yang 

dapat menahan serangannya. Hingga 

merajalelalah dia membuat kejahatan.

Hingga suatu ketika datanglah 

seorang kakek yang berjuluk Dewa Pembawa 

Maut. Dialah yang menghentikan sepak 

terjang Malaikat Pedang Sakti hingga 

terluka parah dalam pertempuran sengit 

selama tujuh hari tujuh malam.

Akhirnya Malaikat Pedang Sakti 

tidak bisa bertahan lama, karena 

gempuran-gempuran Dewa Pembawa Maut 

sedemikian hebatnya. Lalu dia pun 

melarikan diri dalam keadaan terluka 

parah.

Di tempat persembunyiannya Malaikat 

Pedang Sakti merasa ajalnya sudah 

semakin dekat, karena lukanya demikian 

parahnya. Sebelum mampus, dia sempat 

menuliskan sebuah pesan dan menggali 

kuburan untuknya sendiri.

Pesan yang disampaikannya tertulis 

pada kitab sakti ciptaannya sendiri, 

agar yang berjodoh dengan kitab dan 

pedang sakti miliknya, harus meneruskan 

perjuangan kejahatannya sebagai tokoh


hitam yang ditakuti oleh orang-orang 

rimba persilatan.

Dan tanpa disengaja, senja ini, 

jodoh itu pun jatuh ke tangan Puji 

Wening. Seorang gadis yang manja, 

periang dan genit. Gadis yang tidak tahu 

akan buas, bahayanya ilmu silat jika 

dipakai untuk jalan kejahatan.

Tiba-tiba saja gadis itu mendadak 

terbahak-hahak. Tawanya keras, Membedah 

seantero tempat. Dia benar-benar berada 

di luar sadarnya karena pengaruh aneh 

yang terpancar dari pedang sakti yang 

dipegangnya.

Dan perasaannya pun mendadak ingin 

membunuh orang!!

Masih terpengaruh oleh pedang itu, 

Puji Wening kembali menguburkan mayat 

yang masih utuh itu. Lalu mengambil 

Pedang Pusaka Malaikat Pedang Sakti 

berikut kitabnya, Puji Wening pun segera 

keluar dari tempat itu.

Dia mendadak ingin segera 

mempelajari dan menatapkan ilmu silat 

yang ada pada kitab itu.

Tanpa disadarinya kakinya terus 

melangkah memasuki tempat yang mirip 

lembah. Lembah itu hanya ditumbuhi oleh


bunga-bunga berwarna merah. Dan seluruh 

lembah itu terdiri dari lautan pasir 

putih. Konon orang-orang menyebutnya itu 

dengan nama Lembah Pasir Putih.

"Inilah tempat yang cocok untukku 

mempelajari kitab sakti ini dan 

meneruskan cita-cita Malaikat Pedang 

Sakti! Hei, Malaikat Pedang Sakti, 

saksikanlah, aku, Puji Wening akan 

segera meneruskan cita-citamu sebagai 

tokoh kejahatan dari golongan hitam!!"

Dan tersiarlah kabar hilangnya Puji 

Wening gadis desa Glagah Arum.

Siang dan malam pencarian terus 

dilakukan oleh para penduduk. Namun 

bayangan gadis itu pun tidak nampak.

Sampai satu tahun hal itu 

berlangsung, namun Puji Wening tidak 

ditemukan pula.

Akhirnya kedua orang tuanya 

menyatakan gadis itu telah hilang entah 

ke mana. Bagai lenyap ditelan bumi.

Ayahnya Puji Wening, Baguspuro, 

berulangkali menenangkan istrinya yang 

semakin hari nampak semakin kurus, tua 

dan layu. Karena siang dan malam dia 

terus menangis hingga matanya membengkak 

memerah.

"Tenanglah, Bu... mungkin ini sudah 

nasib anak kita. Hilang entah ke mana..."


"Puji...oh, Puji... sampai hati kau 

pergi meninggalkan ibu, Nak..." rintih 

istrinya yang terus menangis.

"Bu….Dewata tentunya tidak 

sembarangan memanggil umat-Nya untuk 

kembali pada-Nya..."

"Tapi Puji Wening anakku, Pak... 

anakku..Huhuhu..Puji Wening.." dan 

menangislah wanita yang sangat sedih 

karena kehilangan putrinya tercinta.

***

DUA



Malam mulai menjelang.

Di hutan menuju ke desa Glagah Arum 

nampak dua ekor kuda berjalan perlahan. 

Penunggangnya seorang pemuda berwajah 

tampan. Dan seekor lagi ditunggangi oleh 

seorang wanita yang berwajah cantik. 

Mereka adalah Pranata Kumala dan 

Ambarwati yang sedang meneruskan 

petualangan mereka. Keduanya adalah 

sepasang suami istri yang mempunyai 

kepandaian bersilat cukup tinggi.

Pranata Kumala adalah Putera Madewa 

Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma 

dan istrinya Ratih Ningrum. Sedangkan


Ambarwati adalah menantu keduanya, putri 

dari Jedangmoro, tokoh perampok di desa 

Pacitan yang tewas di tangan Pranata 

Kumala atau suaminya sendiri 

(Baca: Pendekar Kedok Putih).

"Kakang..." terdengar suara 

Ambarwati. "Aku sudah cukup lelah, 

Kakang..."

"Rayi Ambar.... bertahanlah 

sejenak. Kita sedang menuju desa Glagah 

Arum. Barangkali saja di sana ada 

penginapan yang cukup layak..." kata 

Pranata Kumala sambil menghentikan jalan 

kudanya.

Ditatapnya istrinya yang nampak 

letih dan mengantuk.

"Aku sudah tidak kuat lagi, 

Kakang... Biarlah kita tidur dan 

menginap di sini.. Menurut perkiraanku,

desa Glagah Arum masih jauh dari sini.."

Pranata Kumala pun mengiyakan saja 

usul istrinya. Karena dia pun sebenarnya 

sudah cukup letih dan mengantuk.

"Baiklah Rayi Ambar... kita 

bermalam di sini...'

Namun baru saja keduanya turun dari 

kuda mereka, mendadak sebatang tombak 

melesat ke arah keduanya. Serentak 

keduanya bersalto.

"Heiit!!"



Lalu keduanya bersiaga dengan mata 

waspada.

Mendadak di hadapan mereka muncul 

seorang wanita yang berparas cukup 

cantik. Dia mengenakan baju berwarna 

kuning yang tembus pandang.

"Hihihi... rupanya sepasang 

muda-mudi sedang asyik berpacaran di 

tempat yang gelap ini..." sosok itu 

terkikik dengan senyum yang cukup 

mengundang.

Ambarwati yang tadinya mengantuk 

membentak jengkel karena diserang secara 

gelap, "Hei, siapakah kau? Mengapa 

membokong kami secara pengecut?!"

Sosok berbaju kuning itu terkikik 

kembali.

"Hihihi... rupanya kau galak juga, 

ya? Kalian di malam ini tengah berkenalan 

dengan Roro Dewi. Bagus bukan namaku? 

Kalian tentu senang mendengarnya."

"Roro Dewi, dengan maksud apa kau 

menyerang kami, hah?!" seru Ambarwati 

lagi.

"Tentunya sengaja itu kulakukan. 

Aku ingin tahu, siapakah kalian? Bila 

kulihat pedang yang tersampir di 

punggungmu, agaknya kalian bukan orang 

sembarangan. Nah, katakan siapa kalian 

sebelum kucabut nyawa kalian!!"


"Sombong!" seru Ambarwati makin 

jengkel. "Namaku Ambarwati. Dan ini 

suamiku, Pranata Kumala!"

"Hihihi... suamimu rupanya. Kau 

beruntung sekali mendapatkan suami yang 

tampan, Ambar..." kata Roro Dewi sambil 

mengerling pada Pranata Kumala.

Pranata mendesah.

Sementara mendadak saja Ambarwati 

diserang rasa cemburu. Dia membentak 

lagi.

"Perempuan cabul! Cepat kau pergi 

dari sini, sebelum aku marah!"

"Marah? Hihihi... aku memang 

sengaja ingin melihat kau marah! Kau bisa 

apa hingga berani membentakku seperti 

itu... hihihi..."

"Perempuan celaka! Awas serangan!!" 

mendesis Ambarwati dengan marah dan 

meloncat menyerang dengan hebat.

Sebuah pukulan terarah ke wajah Roro 

Dewi. Tetapi wanita berbaju kuning itu 

cuma terkikik dan menarik kepalanya 

seraya menggeser kakinya ke kiri.

Lalu tangan kanannya bergerak 

memukul perut Ambarwati. Ambarwati cepat 

menarik sikunya, untuk menangkis pukulan 

itu. Lalu menyusul sebuah tendangan kaki 

kanannya.


Jarak yang begitu dekat tidak 

memungkinkan bagi Roro Dewi untuk 

menangkis, lalu dengan satu sentakan 

manis dia bersalto ke belakang.

"Hebat. Tangkas. Dan cepat!" 

pujinya.

"Nah, bila kau sudah tahu itu, 

mengapa kau mengapa menyembah dan 

meminta maaf padaku, hah?!"

"Tidak semudah itu, Ambar. Kita pun 

baru bergebrak sekali. Mari kita 

lanjutkan!"

"Perempuan sombong! Jangan salahkan 

aku bila kau celaka nanti!"

"Kita lihat saja, kau atau aku yang 

akan celaka! Bahkan akan mampus 

berkalang tanah!!" 

Lalu Roro Dewi pun segera memapaki 

serangan-serangan Ambarwati. Kedua 

wanita itu pun segera mengeluarkan 

segenap kemampuan mereka. Bahkan pada 

jurus kesebelas, Ambarwati sudah 

meloloskan pedangnya.

"Tahan pedangku ini!!" 

"Hihihi... rupanya kau jeri untuk 

meng-hadapiku dengan tangan kosong, 

sehingga harus mengeluarkan pedang 

segala!" seru Roro Dewi masih tetap 

terkikik. "Tapi tidak apa, aku pun sudah 

ingin menuntaskan pertempuran ini! Ayo,


bersiaplah! Keluarkanlah semua 

kemampuanmu, Ambar!"

Ambarwati pun menyerang dengan 

tebasan-tebasan pedangnya yang hebat. 

Keras. Tangguh dan cepat. Begitu pula 

dengan Roro Dewi yang berkelit bagaikan 

seekor walet menghindari sergapan burung 

elang.

"Hihihi... cuma begitu saja 

kemampuanmu, Ambar... Sudah hampir 

sepuluh jurus kau menggerakkan pedangmu, 

namun tak satu pun yang mengenaiku..."

Tiba-tiba Pranata Kumala menggebrak 

maju. Menerobos pertempuran antara kedua 

wanita itu. 

"Plak!" 

"Plak!"

Tangan kanan dan kirinya bergerak 

cepat, memisahkan keduanya.

"Tahan!!" serunya.

Kedua wanita itu bergulingan.

Ambarwati menjadi jengkel karena 

suaminya memisahkannya.

Sedangkan Roro Dewi terkikik.

Pranata menatapnya, "Roro Dewi... 

sebenarnya mengapa kau menyerang kami. 

Kita tidak saling kenal, pun tidak punya 

silang sengketa."

"Apakah perlu kujelaskan lagi, bila 

yang kuinginkan adalah nyawa kalian?"


"Tentunya tidak sembarangan kau 

hendak mencabut nyawa kami."

"Tentu."

"Lalu kenapa?"

"Karena kalian hendak memasuki desa 

Glagah Arum. Di mana desa itu sudah kami 

kuasai."

"Apa maksudmu dengan kami kuasai?"

"Sudahlah! Yang pasti keinginanku 

cuma satu, kalian harus mampus di 

tanganku!"

Lalu Roro Dewi bersiap. Kali ini 

sasarannya adalah Pranata Kumala. 

Pranata Kumala sendiri menjadi siaga, 

demi dilihatnya tangan Roro Dewi yang 

terangkum menjadi satu di tangannya 

mengeluarkan asap berwarna hitam.

"Nah, kalian lihat! Ini adalah 

pukulan Kembang Beracun milikku yang 

sangat hebat! Kalian bisa menemui ajal 

bila terkena pukulan ini dan racun yang 

terdapat di pukulan ini akan 

menggerogoti tubuh kalian, hingga kalian 

menderita kesakitan yang teramat sangat 

sebelum maut menjelang. Nah, bersiaplah 

untuk menyambut seranganku!"

Pranata Kumala pun segera 

menyiapkan jurus Tangan Bayangannya. 

Begitu Roro Dewi maju menyerang, dia pun 

mencoba memapakinya. Namun sampai sejauh


itu dia tidak berani untuk bersentuhan 

dengan tangan Roro Dewi yang tentunya 

mengandung racun yang teramat laknat.

Dengan memadukan jurusnya dengan 

jurus menghindarnya, jurus Kijang 

Kumala, Pranata berusaha mendesak Roro 

Dewi. Namun karena dia kuatir untuk 

bersentuhan sulit baginya untuk terus 

mendesak.

Hal itu membuat Roro Dewi tertawa. 

"Mengapa kau takut untuk bersentuhan 

denganku, Pranata? Bukankah 

kulitku sungguh halus?"

Pranata masih berusaha untuk 

mencari tempat yang kosong untuk masuk 

menyerang. Namun pertahanan Roro Dewi 

begitu rapat, sulit untuk ditembus.

"Hihihi... mengapa kau hanya bisa 

menghindar saja, Pranata? Mana 

seranganmu? Ah, lebih baik kau menjadi 

teman tidurku saja, Pranata... bukankah 

tubuhku masih seksi dan montok. Kau tak 

akan pernah melupakan aku bila sudah 

tidur denganku dalam suatu kehangatan 

yang panjang, Pranata..."

Mendengar kata-kata yang cabul yang 

dikeluarkan oleh Roro Dewi, membuat 

wajah Ambarwati memerah mendengarnya. 

Cemburunya mendadak muncul.

Dan dia menjadi marah.


Kembali dia bergerak menyerang.

"Heit! Kau rupanya! Hihihi... 

betapa setianya kau pada suamimu, 

Ambar..." kikik Roro Dewi sambil 

menghindari sabetan pedang Ambarwati. 

Lalu masuk menyerang dengan pukulan 

Kembang Beracunnya.

Ambarwati buru-buru bersalto 

menghindar.

Namun Roro Dewi terus mencecarnya. 

Sebisanya Ambarwati menghindari

serangan itu, hingga nampak baginya tak 

mungkin lagi untuk bisa mengelak.

"Mampuslah kau!!" bentak Roro Dewi 

sambil mengirimkan satu pukulannya.

Tiba-tiba dia urung dan menarik 

kembali tangannya, ketika selarik sinar 

merah melesat ke arahnya.

Cepat dia bersalto.

"Heit! Rupanya kau hanya pandai 

membokong saja, Pranata!" makinya.

"Tak ada pilihan lain untuk 

menyelamatkan istriku, Roro Dewi!"

"Kau telah berbuat kesalahan! 

Berani membokong Roro Dewi! Itu berarti 

maut untukmu!" wajah yang cantik dap 

suara yang tadi terdengar merdu, berubah 

menjadi tajam dan bengis. Tatapan 

matanya sekarang memancarkan sinar


pembunuhan. Dan itu akan dilakukan oleh 

Roro Dewi.

Sebenarnya siapakah Roro Dewi itu? 

Dia tak lain anak buah dari Puji Wening. 

Setelah mempelajari dan menamatkan kitab 

sakti ilmu pedang itu, Puji Wening kini 

menjadi sosok yang tangguh dan hebat.

Kini dia benar-benar sudah berada di 

bawah pengaruh aneh yang terpancar dari 

pedang Malaikat Sakti itu. Dan tanpa 

disadarinya, naluri membunuhnya pun 

berjalan.

Dan dia pun mulai memasuki 

desa-desa.

Membuat onar di sana. Dan membunuhi 

siapa saja tanpa sebab.

Sepak terjangnya sangat sadis dan 

tak berperikemanusiaan. Lalu dia 

berjumpa dengan Roro Dewi, perempuan 

cabul dari golongan hitam pula.

Keduanya pun terlibat dalam suatu 

perkelahian yang seru. Namun Roro Dewi 

terdesak dan berhasil dikalahkan oleh 

Puji Wening.

Puji Wening yang merasa sudah 

sepatutnya memiliki anak buah, menyuruh 

Roro Dewi menjadi anak buahnya. Bila 

tidak mau, maka dia akan dibunuh.



Tentu saja Roro Dewi mau, karena 

diapun merupakan tokoh dari golongan 

hitam.

Setelah itu, Puji Wening pun terus 

membuat teror dan menaklukkan 

tokoh-tokoh golongan hitam lainnya. 

Sampai saat ini, dia memiliki tujuh orang 

anak buah termasuk Roro Dewi.

Sepak terjangnya yang ganas dan 

mematikan, membuat namanya cepat 

terkenal. lalu diapun dijuluki orang 

dengan nama Iblis Berbaju hijau! Karena 

sepak terjangnya yang tak mengenal 

ampun, mirip iblis. Sedangkan dia tetap 

mengenakan baju berwarna hijau!

Sementara Roro Dewi tengah bersiap 

kembali untuk menyerang Pranata Kumala. 

Pranata pun bersiap, begitu pula dengan 

istrinya.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan 

Roro Dewi, "Tahan serangan!!"

Serangan itu ditujukan kepada 

Pranata Kumala yang dengan sigap bersiap 

untuk menyambut. Namun mendadak saja 

tubuh Roro Dewi berbalik, bersalto dan 

menyerang Ambarwati.

Ambarwati menjadi kaget. Sebisanya 

dia menangkis.


Namun kalah cepat, karena serangan 

Roro Dewi sudah masuk mengenai 

sasarannya.

"Des!"

Pukulan Kembang Beracun itu 

mengenai dada Ambarwati hingga dia 

terhuyung ke belakang dan muntah darah.

"Rayi Ambar!!" pekik Pranata Kumala 

sambil memburu.

Dilihatnya tubuh istrinya menggigil 

dan membiru.

"Hihihi... dalam waktu sepuluh 

hari... tubuh istrimu akan mati dengan 

cara yang mengerikan..."

Tiba-tiba Pranata Kumala berbalik. 

Menatap Roro Dewi dengan tatapan 

membara.

"Bangsat! Kau harus menerima 

balasan dari semua yang kau lakukan ini!" 

bentaknya seraya menyerang.

Namun Pranata pun tidak mau untuk 

bersentuhan dengan tangan Roro Dewi. 

Makanya dia bergerak dengan hati-hati.

Lalu dengan satu gerakan menipu, 

dengan cara berpura-pura menyerang, 

sambil bersalto Pranata melepaskan 

pukulan sinar merahnya.

Yang tanpa ampun lagi menghantam 

rubuh Roro Dewi.


Terdengarlah jeritannya yang keras. 

Lalu tubuh itu pun ambruk dengan tubuh 

yang separuh hangus dan nyawanya lepas 

dari jasadnya.

Pranata Kumala menghampiri istrinya 

yang dalam keadaan kesakitan.

"Tenang Rayi... tenang..." Lalu dia 

menotok jalan darah menuju ke jantung, 

agar racun yang memasuki tubuh istrinya 

tidak cepat mengalir. "Besok... aku akan 

segera mencari tabib di desa Glagah 

Arum... Tenang, Rayi... tenang...."

Ketika keesokan paginya Pranata 

hendak meninggalkan istrinya, istrinya 

menahan. Memintanya agar pergi saat 

senjakala.

Wajah Ambarwati sangat pucat. Dan 

membiru. Bibirnya nampak mengigil.

Racun yang berasal dari pukulan Roro 

Dewi itu perlahan-lahan mulai menjalar. 

Kerja racun itu demikian cepatnya 

sehingga Ambarwati nampak sangat 

kesakitan.

Pranata menjadi pilu.

"Kakang..." terdengar desisan 

istrinya sambil memegang lenganpya.

Pranata balas memegang lengan yang 

halus kini nampak lemah.

"Iya, Rayi..."

"Sakit sekali, Kakang..."


"Tenanglah, Rayi... sebentar lagi 

senja datang. Biar aku pergi ke desa 

Glagah Arum untuk mencari seorang 

tabib."

"Aku takut sendiri di sini, 

Kakang...'

"Aku hanya sebentar, Rayi. Nanti 

juga kembali dengan seorang tabib..." 

kata Pranata membujuk istrinya yang 

nampak berusaha tersenyum.

"Aku takut, Kakang..." desis Ambar-

wati. Biasanya dalam keadaan tidak sakit 

begini, Ambarwati adalah seorang wanita 

yang gagah berani. Namun dalam keadaan 

tubuh terkena racun, nampaklah kodrat 

aslinya sebagai seorang wanita, yang 

lemah dan gemulai.

"Tenanglah, Rayi... tenanglah... 

Kau adalah seorang wanita yang tegar, 

Rayi... Tampakkanlah ketegaranmu 

meskipun kau sedang dalam keadaan sakit 

sekali pun..." kata Pranata Kumala 

sambil menghibur istrinya.

Saat ini dia membawa ke sebuah 

tempat yang cukup terlindung dan aman 

dari penglihatan mata manusia. Begitu 

pula dengan hewan-hewan yang berada di 

sekitar hutan ini.

Ambarwati mencoba tersenyum.

"Iya, Kakang..."


"Nah, ayo, tunjukkanlah Ambarwati 

yang tegar, berani dan gagah..."

Lagi Ambarwati tersenyum.

"Kau sungguh baik, Kakang..."

Pranata balas tersenyum.

"Karena aku mencintaimu, Rayi 

Ambar..."

"Begitu pula dengan aku, Kakang..”

"Nah, sekarang tenanglah kau di 

sini. Senja sudah datang. Aku harus 

segera pergi ke desa Glagah Arum untuk 

mencari seorang tabib,.. Kau berani 

sendiri di sini, bukan?" tersenyum 

Pranata Kumala.

Dan perlahan-lahan kepala 

istrinya mengangguk.

Lalu Pranata mengecup kening 

istrinya. Dan keluar untuk segera menuju 

ke desa Glagah Arum.

Ketika dia memasuki desa itu, 

keheranannya mulai nampak. Matanya 

memandang berkeliling. Memandangi 

rumah-rumah penduduk yang nampak 

terkunci rapat. Dan tak seorang pun yang 

kelihatan masih berkeliaran.

Juga anak-anak yang biasanya 

bermain dengan riang di bawah matahari 

senja.


Aneh, padahal hari baru memasuki 

senja. Belum lagi malam. Penuh keheranan 

Pranata berkata dalam hati.

"Aneh, mengapa tak nampak seorang 

penduduk pun yang berkeliaran di luar 

rumah. Hmm... menurut kabar, desa Glagah 

Arum adalah desa yang subur dan makmur 

yang terletak di sebelah Utara 

pegunungan Dieng. Namun rupanya hanya 

kabar bohong belaka. Desa ini begitu 

sunyi dan mati..."

Pranata melangkah lagi. Untuk 

sejenak dia melupakan istrinya yang 

dalam keadaan sakit. Keheranannya 

semakin bertambah besar ketika dia 

bertemu dengan seorang kakek, ketika dia 

hendak menyapa, kakek itu malah berbalik 

melarikan diri. Di wajahnya tersirat 

ketakutan.

"Aneh! Apa gerangan yang telah 

terjadi di sini?" gumam Pranata semakin 

bertambah heran.

Tetapi begitu ingat keadaan 

istrinya yang sedang sakit, Pranata 

mengetuk pintu sebuah rumah. Dia harus 

mencari tabib, untuk mengobati istrinya.

"Tok! Tok! Tok!"

Tak ada sahutan. Pranata mengetuk 

lagi. Setelah cukup lama menunggu,


baru-lah terdengar suara bernada ragu 

dan ge-ram dari dalam, 

"Siapa?"

"Saya, Paman."

"Saya siapa?"

"Nama saya Pranata Kumala, Paman. 

saya butuh pertolongan." 

"Pertolongan apa?"

"Istri saya sakit keras. Saya 

membutuhkan obat dan tabib."

Tiba-tiba suara tadi berubah 

menggeram. "Hhhh! Manusia laknat! 

Janganlah kau mencoba menipu aku, hah?!"

"Saya tidak mengerti maksud, 

Paman."

"Manusia dajal! Apalagi yang hendak 

kau peras dan kau ambil dari kami, 

penduduk desa Glagah Arum?"

"Paman salah paham rupanya. Bukalah 

pintu terlebih dahulu, baru kita 

bicara."

"Dan kau akan segera membunuhku dan 

menculik anak gadisku, bukan?!"

"Jangan salah sangka, Paman, saya 

datang membutuhkan pertolongan. Bila 

terlambat sedikit saja, nyawa istri saya 

tak akan bisa diselamatkan, Paman..."

Lama tak terdengar sahutan. Baru 

kemudian, "Hmm... baiklah. Hanya pada 

Gusti Allah kami minta pertolongan,


meskipun hari ini nyawa kami sekeluarga 

harus mampus di tanganmu!!"

Perlahan-lahan pintu rumah itu 

terbuka. Dan muncul sosok tubuh sambil 

membawa parang besar. Pranata mencoba 

tersenyum pada laki-laki yang bernama 

Danusewu itu.

"Maafkan saya, Paman... kalau saya 

sudah mengganggu Paman dan mengejutkan 

Paman..."

"Hmmm... Anak muda, katakan cepat

apa maksud kedatanganmu?"

"Saya butuh pertolongan Paman. 

Istri saya sedang sakit. Dimanakah 

kiranya saya bisa mencari soerang 

tabib?"

"Sakit apa temanmu?"

"Dia terkena pukulan beracun, 

Paman."

"Di mana dia berada sekarang?"

"Cukup jauh dari desa ini. Paman 

bisa memberitahu di mana saya bisa 

mencari seorang tabib?"

Danusewu terdiam. Matanya nyalang 

memperhatikan Pranata Kumala. Parang 

besarnya siap untuk mengayun bila dia 

melihat sedikit saja gerakan 

mencurigakan.

Tapi lambat laun dia nampak yakin 

dengan pemuda ini. Walaupun baru pertama


bertemu, perlahan-lahan kecurigaannya 

mencair. Dia pun tak punya alasan lagi 

untuk mencurigai pemuda itu.

"Hmm... Anak muda, aku adalah 

seorang tabib," ujarnya kemudian.

Wajah Pranata Kumala menjadi 

gembira. "Benarkah, Paman? Maukah Paman 

menolong istriku dari maut?"

Danusewu terdiam lagi sesaat. Lalu 

katanya, "Baiklah... mari kita segera 

berangkat."

Dari dalam muncul seorang gadis yang 

berparas cantik. Dia segera memeluk 

lengan Danusewu. Rupanya dia sudah 

mendengar percakapan antara ayahnya 

dengan tamu ayahnya.

"Bapa... mau ke mana?" tanya gadis 

itu.

"Oh, kau Wiranti, anakku," desis 

Danusewu. “Ada sebuah urusan yang harus 

Bapa selesaikan..."

Wajah Wirantai seketika kelihatan 

ketakutan. "Ranti ikut Bapa... Ranti 

takut di rumah sendiri... Bolehkan 

Bapa?"

Danusewu berpaling lagi pada 

Pranata Kumala. "Bagaimana, anak muda?"

"O, tidak apa-apa, Paman," kata 

Pranata Kumala sambil melirik Wiranti. 

Yang dilirik tersipu. Ah, sayang....



pemuda itu sudah beristri. Kalau belum, 

betapa senangnya mendapat lirikan yang 

penuh pandangan kagum padanya.

"Baiklah, Ranti. Mari kita 

bersiap."

Lima belas menit kemudian, dua ekor 

kuda meninggalkan rumah Danusewu. Yang 

seekor ditunggangi oleh Danusewu dan 

putrinya. Yang seekor lagi ditunggangi 

oleh Pranata Kumala.

Jalan desa sepi.

Suasana masih nampak henign dan

mencekam.

Pranata masih bertanya-tanya, ada 

ke jadian apa yang telah menimpa desa 

Glagah Arum bingga jadi bagaikan mati 

belaka.

Tiba-tiba Pranata teringat akan 

ucapan Roro Dewi, yang mengatakan desa 

itu telah menjadi kekuasaannnya. Tapi 

kekuasaan siapa kini karena Roro Dewi 

sudah mati di tangannya?

Karena menunggang kudanya tidak 

seperti saat Pranata menuju desa Glagah 

Arum, mereka baru tiba di tempat 

persembunyian Ambarwati setelah memakan 

waktu hampir dua jam lamanya.

Mereka langsung menemui Ambarwati 

yang terbaring dengan wajah pucat.


Begitu meelihat suaminya muncul 

bersama dua orang itu, wajah Ambarwati 

yang tadinya tersirat ketakutan dan 

kesunyian berubah menjadi sedikit 

berseri. Namun kepucatannya tak 

berkurang sedikit pun.

"Kakang..."

"Rayi Ambar... aku datang dengan 

seorang tabib," kata Pranata Kumala 

sambil membelai lembut rambut istrinya 

yang merasa aman sekali.

"Kakang... sakit sekali, Kakang...'

"Tahan sebentar, Rayi," kata 

Pranata Kumala. Lalu berpaling pada 

Danusewu yang tengah memperhatikan 

Ambarwati. "Paman Danusewu... silahkan 

Paman mengobati istri saya... Tolonglah 

Paman, tolonglah ringankan rasa 

sakitnya..."

Danusewu pun segera memeriksa 

keadaan Ambarwati. Berkali-kali 

Keningnya kadang berkerut. Kadang dia 

terdiam. Lalu dirabanya pergelangan 

tangan kanan Ambarwati. Terasa denyut 

nadinya yang lemah. Setelah cukup lama 

memeriksa, terdengar desahan nafasnya 

panjang.

"Hm... apakah kalian pernah 

terlibat dalam suatu perkelahian?"

"Benar, Paman."


"Istrimu terkena pukulan Kembang 

Beracun, Pranata."

"Entahlah, Paman... jenis pukulan 

apa yang mengenainya. Tetapi dalam 

perkelahian itu, dia memang kena pukul 

oleh tangan Roro Dewi..."

"Roro Dewi?"

"Benar, Paman. Dan sekarang wanita 

itu telah tewas di tangan saya."

Mata Danusewu sedikit bersinar. 

"Dari hasil pemeriksaanku, dia terkena 

pukulan Kembang Beracun. Konon pukulan 

itu sangat mematikan sekali, Untung 

belum terlalu parah dan mengenai 

jantungnya. Untung pula kau telah 

menotok beberapa jalan darahnya untuk 

menghambat aliran racun ke jantungnya."

"Apakah dia bisa diobati, Paman?" 

"Pranata... luka semacam ini hanya bisa 

diobati oleh Kembang Pasir Putih..."

"Oh! Di manakah kembang itu bisa 

kudapatkan, Paman?"

"Tempatnya cukup jauh dari sini. 

Mama tempat itu Lembah Pasir Putih. Hanya 

di tempat itulah kembang Pasir Putih 

didapatkan."

"Di mana tempat itu, Paman?"

"Lembah Pasir Putih sangat jauh dari 

sini. Tempatnya pun amat menyeramkan."


"Katakan Paman, biar bagaimana pun 

seram dan susahnya lembah itu, aku akan 

tetap ke sana demi nyawa istriku..."

Pranata melihat Danusewu memberi

isyarat padanya agar dia mengikutinya 

keluar. Pranata pun bangkit mengikuti 

Danusewu yang sudah berjalan terlebih 

dahulu.

Sementara Wiranti bersimpuh menjaga 

dan mengelapi keringat yang mengalir di 

sekujur dan wajah Ambarwati. Wiranti 

menjadi tersentuh hatinya melihat rasa 

sakit yang diderita Ambarwati.

Dia sedikitnya dapat merasakan rasa 

sakit itu. Hatinya menjadi iba.

Sedangkan Ambarwati merasakan ada 

teman yang mau dibagi rasa sakitnya 

selain suaminya. Suaminya begitu baik 

merawat dan menjaganya.

"Siapa namamu, Dik?" tanyanya.

"Saya Wiranti, Mbakyu," sahut 

Wiranti sambil tersenyum. Lalu 

melanjutkan, "Saya putri tunggal dari 

Danusewu..."

Sementara di luar, Danusewu sedang 

berkata pada Pranata Kumala, "Anak 

muda... nyalimu sungguh besar dan kau 

begitu tabah hingga rela berbuat apa saja 

untukistrimu, Istrimu sangat beruntung 

mempunyai seorang suami seperti kau..."


"Apa maksudmu, Paman? Aku tidak 

mengerti.."

"Ketahuilah anak muda... Lembah Pa-

sir Putih kini diduduki oleh orang-orang 

jahat dari golongan hitam. Kau takkan 

mudah mendapatkan kembang itu begitu 

saja..."

"Saya akan tetap ke sana, Paman”. 

Danusewu mendesah. Menatap Pranata.

Lalu katanya, "Anak muda... 

tentunya kau heran, mengapa desa kami, 

desa Glagah Arum yang subur dan permai, 

kini bagai desa mati belaka?"

"Benar, Paman..."

"Juga mengapa sambutanku seperti 

tadi dan tidak bersahabat, bukan?"

"Benar, Paman... sebenarnya apakah 

yang telah terjadi?" tanya Pranata.

"Ini semua akibat teror dari 

orang-orang golongan hitam yang mendiami 

Lembah Pasir Putih. Semula selama 

beberapa bulan terakhir ini desa kami 

akur, aman dan tentram. Tak ada serangan 

dari mana pun juga. Hanya ada satu 

kejadian yang menimpa keluarga 

Baguspuro..."

"Kenapa, Paman?"

"Putri tunggalnya yang bernama Puji 

Wening hampir dua tahun ini hilang entah 

kemana. Tidak diketahui rimbanya.


Andaikata dia sudah mati mayatnya pasti 

ditemukan. Namun mayatnya pun tidak 

ditemukan..."

"Lalu, Paman?"

"Hingga kami pun melupakan tentang 

gadis itu dan menganggapnya telah mati. 

Dan mengenai desa kami, mendadak saja 

datang serombongan orang-orang ganas 

menyerbu desa kami. Mereka sangat kejam. 

Mereka membunuhi siapa saja yang 

membangkang dan mencoba melawan mereka. 

Mereka pun menculik anak-anak gadis 

kami. Itulah sebabnya desa kami bagaikan 

mati karena tak ada satu orang penduduk 

pun yang berani keluar bila senja mulai 

datang... Itu disebabkan oleh teror 

orang-orang Lembah Pasir Putih.

Mengenai wanita yang tewas di 

tanganmu, yang bernama Roro Dewi... 

adalah salah satu darii gerombolan orang 

jahat itu. Saya bersyukur karena kau 

berhasil menumpas salah seorang dari 

mereka..."

"Berapakah jumlah mereka, Paman?"

"Enam orang. Terdiri dari laki-laki 

berwajah kasar dan menyeramkan..."

"Tahukah Paman siapa pemimpin 

mereka?"

"Sejauh itu aku belum pernah melihat 

dan mengenalnya. Hanya saja mereka


mengatakan... pimpinan mereka bergelar 

Iblis Berbaju Hijau..."

"Ya, dialah yang menyuruh dan 

menaklukkan orang-orang jahat itu 

sehingga menurut padanya.'

Pranata terdiam.

"Ada apa, Anak muda?"

"Paman... saya pernah mendengar 

teror yang dilancarkan oleh Iblis 

Berbaju Hijau. Dia seorang wanita yang 

teramat sadis. Tetapi sampai sejauh itu 

saya pun belum pernah mengenalnya.

Agaknya dia adalah golongan 

orang-orang jahat yang sangat sadis dan 

kejam".

"Nah, merekalah yang mendiami 

Lembah Pasir Putih, anak muda..."

Kali Pranata tercenung. Kembang 

Pasir Putih adalah satu-satunya obat 

yang bisa menyembuhkan istrinya dari 

racun pukulan Kembang Beracun. Dan 

orang-orang jahat itu berdiam di sana. 

Sudah tentu mereka tak akan membiarkan 

saja ada orang lain memasuki daerah 

kekuasaan mereka. Apa-lagi untuk 

mengambil Kembang Pasir Putih.

Danusewu dapat menduga kekuatiran 

yang dialami Pranata. Lalu hati-hati dia 

berkata," Kau menghadapi satu persoalan 

yang teramat besar. Pesanku,


berhati-hatilah menghadapi orang-orang 

Lembah Pasar Putih. Aku menjadi kuatir 

dalam hal ini..."

"Tenanglah, Paman... terima kasih 

atas kekuatiranmu padaku. Tapi biar 

bagaimana pun susahnya, kau akan segera 

ke sana untuk mengambil Kembang Pasir 

Putih. Demi istriku tercinta. Dan 

sebaiknya, kau tinggalnya bersama 

istriku di sini. Ajak pula putrimu serta. 

Sepertinya tempat ini cukup aman dari 

gangguan orang-orang ganas itu..."

Danusewu cuma mengangguk.

Angin berhembus dingin.

Malam telah menjelang.

"Kapan kau akan berangkat, Anak mu-

da?"

"Besok, pagi-pagi sekali, Paman..."

***

EMPAT



Desa Glagah Arum malam hari. Suasana 

sunyi senyap. Desa itu benar-benar 

seakan mati. Seakan tak ada tanda-tanda 

kehidupan. Teror yang dilancarkan orang 

Lembah Pasir Putih begitu mencekam.


Rasanya siap mengantar mereka ke 

akhirat.

Malam kini pula kepala desa itu, 

Kenconowari, tengah berdiam diri di 

rumahnya. Dia tak bisa berbuat banyak 

untuk menghadapi orang-orang Lembah 

Pasir Putih. Rasa-rasanya, Kenconowari 

pernah mendengar nama seorang pendekar 

agung yang baik budi, yang bernama Madewa 

Gumilang. Ingin rasanya Kenconowari 

mencari manusia sakti itu menolong 

desanya dari gangguan orang-orang Lembah 

Pasir Putih.

Namun di mana dia harus mencari ma-

nusia sakti itu, sedang kan tempatnya 

saja dia tidak tahu. Kenconowari hanya 

bisa berdoa memohon pertolongan Gusti 

Allah.

Belum lagi dia menuntaskan 

keinginannya, tiba-tiba di luar rumah 

terdengar derap langkah kuda memasuki 

desa Glagah Arum.

"Orang-orang itu datang lagi, Gusti 

Allah. Oh tolonglah kami dari cengkraman 

yang menakutkan ini..."

Dari luar terdengar bentakan, "Hei, 

orang-orang Glagah Arum! Cepat ke luar! 

Atau... kami bakar desar ini?!"

Tak ada yang keluar. Tak ada yang 

berani keluar.


Di rumah masing-masing, para 

penduduk dicekam ketakutan yang sangat 

luar biasa.

"Bangsat!Cepat kalian keluar!!"

Tetap tak ada yang beranjak. 

Kenconowari yang hendak keluar ditahan 

oleh istrinya.

"Jangan, Kakang... jangan.." 

"Tidak apa-apa istriku. Sebagai 

kepala desa... aku harus berani 

menghadapi semuanya... kau mengerti 

istriku?"

"Tidak, jangan , Kakang.. 

Jangan..."

Kepala desa Kenconowari menjadi 

serba salah. Terdengar lagi bentakan di 

luas dengan keras. Dan ancaman yang 

mengerikan.

"Cepat keluar! Kalian lihat ke sini, 

api telah berkobar di obor yang kami 

pegang! Cepat!!"

Kenconowari menatap kembali 

istrinya. "Rayi Sidah... izinkanlah aku 

keluar... aku harus bicara dengan 

mereka. Bila tidak, habislah riwayat 

desa kita ini..."

"Kakang..." suara istrinya cemas, 

matanya memohon. Membuat Kenconowari 

menjadi tidak tega. Tetapi dia mau tak 

mau harus keluar. Harus menemui


orang-orang itu, sebelum teror yang 

dilancarkan mereka terjadi lagi seperti

beberapa hari yang lalu.

Itu sungguh mengerikan.

Orang-orang itu tak segan-segan 

membunuh. Bahkan mencincang orang yang 

berani membangkangnya. Atau juga 

memperkosa beberapa anak gadis sekaligus 

di hadapan orang-orang desa yang hanya 

bisa menyaksikan dengan hati pilu tanpa 

bisa berbuat apa-apa sementara anak 

gadis yang diperkosa merintih-rintih 

kesakitan.

Dan Kenconowari tak mau hal ini 

berulang kembali.

Lalu dia berkata lagi pada istrinya, 

"Kumohon, Rayi... kumohon sekali..."

Akhirnya dengan perasaan yang berat 

istrinya pun mengizinkan suaminya ke 

luar menemui orang-orang berkuda itu.

Setelah berdoa sekali lagi, 

Kenconowari pun bersiap.. Setelah 

melihat wajah istrinya yang makin cemas, 

Kenconowari tersenyum.

"Tenanglah, Rayi Sidah. Tak akan 

terjadi apa-apa atas diriku.." kata 

Kenconowari sambil tetap tersenyum. 

Terlihat istrinya pun tersenyum walau 

sangat dipaksakan.

"Hati-hati, Kakang..."


"Baik, Rayi..."

Dari luar dengar bentakan 

lagi,"Cepat kalian keluar! Hei Kepala 

Desa! Cepat keluar! Bila tidak, kubakar 

desa ini!"

"Aku pergi dulu, Rayi..."

Bagai menghadapi malaikat maut, 

Kenconowari hati-hati membuka pintu. Dan 

melihat enam sosok menunggang kuda tegap 

berdiri di tengah-tengah desa Glagah 

Arum.

Rayi Sidah memperhatikan dari balik 

Jendela dengan hati yang luar biasa 

cemas-nya.

"Hahaha... akhirnya kau keluar 

juga, Kepala Desa!" seru salah seorang 

dari penunggang kuda itu sambil terbahak 

begitu melihat sosok Kenconowari. Dia 

adalah Martungga, datuk yang berjuluk 

Manusia Bengis dari Timur. Sedangkan 

kelima temannya masing-masing, Baruna si 

Tombak Maut, Kumpala si Iblis Tangan 

Delapan. Sirat Alis si Macan Hitam, 

Sulawaya si Cambuk Api. Dan Wiro Manik si 

Tongkat Seribu.

Keenam manusia itu berasal dari 

tempat yang berlainan. Namun nasib 

mereka sama. Masing-masing telah 

dikalahkan oleh Puji Wening alias Iblis 

Berbaju Hijau yang memang sengaja


mencari anak buah dan menebarkan teror 

kematian sesuai dengan janjinya pada 

Malaikat Pedang Sakti.

Keenam orang itu tak bisa 

menanggulangi kehebatan Puji Wening yang 

datang dengan sejuta kemurkaan dan 

mengalahkan mereka.

Di bawah kekuasaan Iblis Berbaju 

Hijau, keenamnya disuruh membuat teror 

dengan menebar kematian di setiap desa. 

Bagi mereka orang-orang golongan hitam, 

tanpa disuruh untuk kedua kalinya mereka 

langsung mengiyakan saja.

"Kisanak..." terdengar suara 

Kenconowari dengan sikap yang luar biasa 

tenangnya. "Sudah beberapa kali Kisanak 

sekalian membuat teror di desa ini. 

Apakah Kisanak tak punya belas kasihan 

dan tenggang rasa yang tinggi terhadap 

kami, penduduk Glagah Arum yang lemah?"

"Hahaha... pintar nian kau bicara, 

Kenconowari! Tapi ketahuilah, kami 

datang kembali karena ingin meminta 

beberapa orang perawan cantik untuk 

menemani kami berpesta! bukan begitu, 

teman-teman?!"

Yang lain tertawa. Suara tawa mereka 

seakan menebar jarum tajam berbisa yang 

bisa membunuh siapa saja yang tertusuk.


"Benar, saudara Martungga!" kata 

Kumpala. "Kita memang membutuhkan 

kehangatan malam ini!"

"Dan perlu diingat Martungga, kata 

Baruna. "Kita pun akan meminta setoran 

dari hasil bumi desa ini, bukan?"

"Ya, ya! Nah, kau dengar itu, 

Kenconowari? Gepat sediakan enam orang 

perawan malam ini juga! Kalau tidak, akan 

kami obrak-abrik desa ini!!"

Kenconowari mencoba bersabar dan 

menahan diri. "Kisanak, bukankah 

perbuatan kalian itu sungguh kejam dan 

tak berbudi?"

"Persetan dengan semua ucapanmu 

itu! cepat carikan untuk kami! Kami tak 

bisa menunggu terlalu lama!"

"Bila itu keinginan kalian, kalian 

harus langkahi dulu mayatku selaku 

kepala desa di sini!"

"Apa? Melangkahi mayatmu?" seru 

Martungga geli. "Kami bahkan akan 

meludahi dan mencincang mayatmu, 

Kenconowari!"

"Lakukanlah daripada kebiadaban ka-

lian terus menerus meraja di muka bumi 

ini"

Sulawaya atau si Cambuk Api yang 

terkenal berangasan dan tidak sabaran 

mengayunkan cambuknya ke arah


Kenconowari. Sungguh di luar dugaannya, 

dikiranya dengan sekali mengayunkan 

cambuknya tubuh Kenconowari akan hancur. 

Namun tubuh itu tiba-tiba melenting ke 

atas dan bersalto ke belakang lalu 

hinggap di bumi dengan ringannya.

"Hei, pantas kau berani berlagak? 

Rupanya kau punya mainan juga!" seru 

Martungga yang tadi pun yakin tubuh itu 

akan hancur terkena sabetan cambuk api 

milik Sulawaya. 

"Kalau begitu baik, kami tidak akan 

sungkan-sungkan lagi dan punya belas 

kasihan padamu! Tahan serangan!!"

Habis berkata begitu, Martungga 

mengempos tubuhnya bersalto menyerang 

kearah Kenconowari yang berguling 

menghindar. Kesal karena serangannya 

gagal, Martungga semakin membabi buta. 

Dan kecepatan gerakannya kini sukar 

ditandingi oleh Kenconowari . Lepas dari 

sepuluh jurus, sasaran pukulan dan 

tendangan Martungga pun mengenai 

sasarannya.

"Des! Des!!"

Tubuh tua Kenconowari itu pun 

terhuyung ke belakang. Dadanya bagai 

dihantam godam yang sangat keras.

"Huak!!" Dia pun muntah darah.


"Hahaha... tak bisa lagi kau 

berlagak sekarang, Orang tua! Bah!" 

Martungga meludah.

Kenconowari mendengus. Tatapan 

matanya marah dan garang. Dan ada 

tersirat kepedihan karena tak mampu 

membalas. Apalagi kini yang 

dicemaskannya mulai terjadi.

Orang-orang bengis itu melempar 

obor yang mereka bawa ke atas rum ah 

penduduk. Hingga para penduduk pun 

berlarian keluar dengan ketakutan. 

Mereka pontang-panting dan 

menjerit-jerit. Sementara orang-orang 

itu tertawa terbahak-bahak melihat 

penderitaan penduduk.

"Kau lihat atas ulahmu, 

Kenconowari!" geram Martungga sambil 

tertawa. "Nah, camkanlah ucapanku 

sebelum desa ini kubuat menjadi 

neraka!!"

"Hhh!" Orang tua itu mendengus 

melihat penderitaan warganya. Berasa 

sekali irisan pisau di hatinya. 

Memilukan. "Tak akan pernah aku penuhi 

permintaan kau, Setan!!"

"Anjing buduk! Di kasih ampun, minta 

mati! Baik! Rasakan ini!! Mampuslah 

kau!!" geram Martungga sambil


menurun-kan tangannya ke batok kepala 

Kenconowari.

"Brakk!! Kepala itu hancur hingga 

mengeluarkan cairan putih bening.

Di dalam rumahnya, Nyai Sidah hanya 

bisa menangis pilu tanpa berani berbuat 

apa-apa.

Sementara api terus berkobar dan 

rakyat menjerit-jerit ketakutan. 

Melihat beberapa gadis cantik keluar 

dari rumah mereka untuk menyelamatkan 

diri dari sambaran api yang menyengat, 

tertawalah orang-orang bengis dan kejam 

itu.

"Lihat, lihat!" seru Sulawaya. 

"Mereka berlarian mirip anjing dan ini 

memudahkan kita untuk memangsanya!"

"Ayo kita segera menjemput 

Nona-nona kita!" seru Baruna sambil 

menghentakkan kudanya yang menggebrak 

langsung. Dan hanya sekali gaet,

tersambarlah seorang perawan manis yang 

menjerit-jerit ketakutan dan 

meronta-ronta hendak turun.

Namun semua itu hanya disambut tawa 

oleh orang-orang liar tadi. Yang 

langsung menggebrak kuda-kuda mereka 

menuju lembah Pasir Putih. 

Meninggalkan kobaran api yang terus 

mengganas membakar desa Glagah Arum.


Meninggalkan hasil kejahatan 

mereka.

***

LIMA



Seperti diceritakan sebelumnya, 

lembah Pasir Putih merupakan lembah yang 

terdiri dari lautan pasir berwarna putih 

yang banyak memenuhi seluruh permukaan 

lembah. Tak ubahnya bagai sebuah lautan.

Di tengah-tengah lembah itu, 

terdapat sebuah bangunan yang cukup 

besar dan mirip istana. Di sanalah Puji 

Wening atau yang sekarang bergelar Iblis 

Berbaju Hijau berdiam. Bangunan itu 

dibuat oleh tangan-tangan penduduk yang 

mereka culik secara paksa dan mereka 

paksa untuk bekerja. Sistem kerja paksa 

itu hanya berlangsung dalam waktu enam 

bulan, lalu berdirilah sebuah bangunan 

yang megah di tengah-tengah Lembah Pasir 

Putih.

Penduduk yang mereka culik untuk 

tenaga secara paksa tidak bisa berbuat 

apa-apa. Karena bila mereka berani 

membangkang, maka hukuman dan siksaan 

yang pedih mereka terima. Atau pun


dibunuh. Dan mayat mereka digantung di 

tengah-tengah keramaian agar yang 

melihat tidak berani membuat 

membangkang, atau pun melarikan diri.

Saat mereka dipaksa untuk mengabdi 

pada Iblis Berbaju Hijau pun mereka hanya 

mandah saja.

Sedangkan yang kaum perempuan, 

di-jadikan pemuas nafsu anak buah Iblis 

Berbaju Hijau. Puji Wening hanya tertawa 

melihat kenyataan ini. Gadis yang manja, 

periang dan sedikit genit itu, kini 

menjadi buas, liar, jahat dan sadis. 

Tanpa disadari-nya pengaruh aneh yang 

terpancar dari pedangnya yang selalu 

tersamping di pung-gungnya, semakin 

mengikatnya.

Semakin membuatnya haUs kejahatan 

dan membunuh.

Dia tak perdulikan lagi mana yang 

benar dan mana yang salah. Bahkan anak 

buahnya diperintahkannya untuk menyerbu 

desa Glagah Arum. Desa yang permai di 

mana dia dilahirkan di sana dari rahim 

seorang ibu dua puluh tahun yang lalu.

Dia kini bak ratu belaka yang 

memimpin sebuah negara. Dan ini semakin 

membuatnya merajalela.

Telinganya yang peka menangkap 

derap kuda memasuki Lembah Pasir Putih.


Dengan sekali lompat Puji Wening sudah 

berada di luar dan melihat kedatangan 

enam anak buahnya.

"Hahaha... ada apa gerangan, Sang 

Ratu keluar dari istana?" sapa Martungga 

begitu melihat sosok berbaju hijau yang 

tipis merangsang berdiri di hadapannya.

Puji Wening tersenyum tipis. Namun 

di balik senyum itu, dia bisa berubah 

menjadi iblis yang jahat.

"Martungga... bagaimana dengan 

kerjamu?"

"Beres, Ratu. Semua sudah kami 

laksanakan sesuai dengan perintah 

Ratu...”

"Bagus! Dan untuk teror pertama, 

kalian buatlah desa-desa yang ada di 

sekitar sini menjadi lautan api. 

Sebarkan hawa maut yang mengundang 

kematian. Aku yakin, akan banyak 

tokoh-tokoh dari golongan putih dan 

golongan hitam yang berdatangan.Untuk 

golongan putih, bunuh mereka semua!

Sedangkan untuk golongan hitam, ajak 

mereka untuk bergabung dengan kita! 

paham?!"

"Kami paham sekali, Ratu. Usul dan 

perintah Ratu, akan kami laksanakan 

dengan senang hati."


"Hmm... sejak semalam aku belum me-

lihat Roro Dewi melapor ke sini. Apakah 

kalian melihatnya?"

"Belum, Ratu."

"Atau dia lupa untuk melapor?"

"Tidak mungkin, Ratu."

"Atau dia lupa dengan sanksi yang 

kuturunkan bila berani mencoba membantah 

dan membangkang perintahku?"

"Tidak mungkin, Ratu. Roro Dewi 

tentu ingat akan sanksi yang ratu 

berikan?"

"Kau masih ingat sanksinya, 

Martungga ?" kali ini sepasang mata Iblis 

Berbaju Hijau bersinar berbahaya.

"Kami akan selalu ingat terus, Sang 

Ratu."

"Apa sangsinya, Martungga?"

"Yang berani membantah dan 

membangkang perintah ratu, dia akan mati 

secara mengerikan. Dan dikubur 

hidup-hidup di pasir putih sesudah 

disiksa."

Puji Wening terbahak. Tawanya 

mengandung tenaga dalam yang tinggi, 

membuat keenam anak buahnya mengalirkan 

tenaga dalamnya ke telinga mereka.

"Bagus! Nah, kalian nikmatilah 

ayam-ayam tangkapan kalian!" seru Puji


Wening. Dan "wuuuuut!!" Tubuhnya pun 

lenyap dari pandangan anak buahnya.

Keenam orang itu maklum akan 

kehebatan dan kesaktian Iblis Berbaju 

Hijau yang akan membantu mereka!

Tak lama kemudian dari beberapa 

tempat atau kamar yang ada di dalam 

istana, terdegar tawa kenikmatan 

orang-orang itu diiringi dengan rintih 

dan jerit kesakitan para perawan yang 

mereka culik.

***

ENAM



Pagi sudah menjelang dan matahari 

sudah memayungi seluruh isi dunia dengan 

sinarnya yang berpijar keemasan. Suara 

kicau dan nyanyian burung-burung yang 

terdapat di hutan itu, menambah 

keindahan panorama pagi.

Pagi yang cerah dan indah, begitulah 

menurut Pranata Kumala yang tengah 

bersiap-siap untuk berangkat menuju 

Lembah Pasir Putih. Sepanjang malam 

isterinya selalu mengigau. Dan 

keringatnya mengucur dengan deras.


Hal ini semakin membingungkan 

Pranata. Yang dia sesali, mengapa dia 

harus bentrok dengan Roro Dewi. 

Lagipula, mengapa dia tidak bisa 

menolong istrinya dari pukulan maut Roro 

Dewi.

Dan sepanjang malam pula dia menye-

sali diri. Sedetik pun dia tidak 

tertidur. Padahal Danusewu sudah 

menyuruhnya untuk tidur dan menyuruhnya 

jangan terlalu menyesali diri, karena 

mungkin sudah suratan Ambarwati.

"Hati-hati, Kakang..." pesan 

istrinya ketika Pranata Kumala 

berpamitan.

"Iya, Rayi..."

"Kakang... aku sudah mendengar 

cerita dari Wiranti, kalau Lembah Pasir 

Putih didiami oleh gerombolan orang 

jahat yang dipimpin oleh seorang wanita 

muda yang bergelar Iblis Berbaju Hijau. 

Aku cemas memikirkanmu, Kakang..."

"Tenanglah, Rayi... yang penting, 

aku harus bisa mendapatkan Kembang Pasir 

Putih..." tersenyum Pranata. 

"Sebentar lagi kau akan pulih 

kembali..."

"Jaga baik-baik dirimu, Kakang... 

bila kau tidak sanggup mendapatkan 

kembang itu, janganlah kau memaksakan

diri. Ingat kakang, gerombolan iblis itu 

tengah melancarkan terornya..." kata 

Ambarwati yang dalam keadaan sakit masih 

memikirkan akan keselamatan suaminya.

"Doakan saja, Rayi... semoga aku 

berhasil..."

Setelah menyiapkan segala 

sesuatunya, Pranata pun segera 

meninggalkan tempat itu. Danusewu pun 

berpesan agar berhati-hati. sementara 

Wiranti nampak cemas melihat 

kepergiannya. Dan lebih cemas lagi 

memikirkan nasib Mbakyunya, Ambarwati.

Lalu berangkatlah Pranata Kumala 

menembus pagi menuju ke Lembah Pasir 

Putih. Dia harus melalui desa Glagah Arum 

untuk tiba di sana. Karena kudanya dipacu 

dengan cepat, hanya dalam tempo satu 

setengah jam dia tiba di desa Glagah 

Arum.

Betapa terkejutnya Pranata Kumala 

melihat desa yang porak poranda. Yang 

sangat berlainan sekali dengan apa yan 

telah dilihatnya semalam. Terlalu 

mengerikan. Sisa-sisa api yang membakar 

rumah masih mengepulkan asap, 

meninggalkan bara yang botasal dari 

rumah-rumah yang terbakar.


"Oh, teror apakah yang telah melanda 

desa ini," gumamnya sambil melangkah 

kudanya perlahan-lahan.

Dia menekap hidungnya ketika 

tercium bau anyir dari mayat yang 

terbakar.

"Ya, Tuhan... setan mana yang tega 

berbuat kejam dan maut seperti ini?"

Pranata melihat seorang ibu yang 

tengah meratapi mayat suaminya yang mati 

terbakar. Dan sekali sekali dia menyebut 

nama seorang gadis yang sudah tentu 

anaknya.

"Mengapa kau harus mati dengan 

mengenaskan begini, Pakne... mengapa? 

Oh, Tuhan... mengapa ini harus 

terjadi... huhuhu... betapa kejamnya... 

huhuhu... dan kau, Wulan... mengapa 

nasibmu demikian buruk, Nak... mengapa 

kau harus dijadikan sebagai pemuas nafsu 

manusia-manusia liar itu... huhuhu 

mengapa?"

Pranata menjadi trenyuh mendengar 

ratapan dari ibu itu, hati-hati dia turun 

dari kudanya. Lalu berjalan 

mendekatinya. 

"Bu..." panggilnya pelan. Kepala

wanita setengah baya itu berputar, 

menatap Pranata. Yang ditatap dapat 

melihat penderitaan dari pancaran kedua


mata wanita itu. Begitu menyedihkan dan 

memprihatinkan. Betapa beratnya! Sarat 

dengan duka yang sangat dalam. Bahkan tak 

ada sinar gembira sedikit pun di mata 

itu. Baik dalam arti sesungguhnya mau pun

berpura-pura.

Pranata Kumala mendesah.

"Apa yang telah terjadi di desa ini, 

Bu? Mengapa desa ini jadi hancur terbakar 

bagai lautan api?" tanyanya dengan suara 

hati-hati.

"Huhuhu... orang-orang bengis itu 

yang berbuat begini, Nak... Mereka 

datang bagai iblis yang tengah 

menebarkan hawa maut... lihat, kau 

lihatlah keadaan desa kami ini... yang 

terbakar dengan mayat-mayat yang 

bergelimpangan... kejam, kejam 

sekali... huhuhu..."

"Siapa yang telah melakukan semua 

ini, Bu?"

"Iblis-iblis kejam!"

"Siapa, Bu?"

"Manusia-manusia tak punya belas 

kasihan! Mereka membuat kekejaman di 

sini! Mereka membunuh, menculik, bahkan 

membakar desa kami! Oh... sungguh kejam 

mereka, sangat kejam!!"

Pranata Kumala maklum mengapa 

omongan ibu ini terdengar sangat kacau.


Tentunya karena dia tengah 

mengalami tekanan mental yang sangat 

dalam akibat kematian suaminya yang 

mengenaskan. Dan sedih memikirkan nasib 

putrinya yang dilarikan orang-orang liar 

itu ke Lembah Pasir Putih.

Yang sudah dapat diduga, tentunya 

putrinya dijadikan pemuas nafsu 

orang-orang dajal itu!

Pranata menunggu sampai ibu ini bisa 

kembali pada pola berpikir semula.

Setelah nampak ibu itu puas 

melampiaskan emosinya, barulah dengan 

hati-hati Pranata kembali bertanya, 

"Siapa yang telah melakukan semua ini, 

Bu?"

"Mereka adalah orang-orang Lembah 

Pasir Putih, Nak Mereka kejam! Mereka 

sadis! Mereka bagaikan iblis belaka!" 

suara wanita itu terdengar keras. Dan 

sepasang matanya bersinar menyeramkan. 

Penuh dendam dan amarah yang sangat 

tinggi. "Mereka kejam, Nak! Mereka 

sangat kejam!" serunya lagi. Dan 

tiba-tiba dia kembali menatap mayat 

suaminya yang hangus terbakar. Tanpa 

sungkan dan canggung lagi, dia kembali 

memeluk mayat suaminya dan menangis 

tersedu-sedu.


"Pakne... hu... hu... hu... 

Pakne... kejam, kejam sekali orang-orang 

itu... mengapa mereka membakarmu, 

Pakne... huhuhu... mereka tega berbuat 

seperti ini padamu, Pakne....."

Pranata Kumala sekali lagi 

mendesah. Dia jadi makin teringat akan 

kata-kata Roro Dewi. Mungkinkah 

perbuatan ini dilakukan oleh 

gerombolannya?

Lalu dengan hati-hati dibimbingnya 

wanita itu untuk masuk ke rumahnya. Lalu 

dia pun mengumpulkan beberapa orang 

penduduk untuk menguburkan mayat-mayat 

yang bergeletakan itu.

Pranata pun menambah niatnya menuju 

Lembah Pasir Putih. Pertama untuk 

mencari Kembang Pasir Putih guna 

mengobati penyakit istrinya.

Kedua untuk menumpas gerombolan 

orang-orang jahat itu yang dia yakin 

dipimpin oleh Iblis Berbaju Hijau 

seperti cerita Danusewu.

Sementara orang-orang yang melepas 

kepergiannya bertanya-tanya dalam hati. 

Siapakah pemuda yang baik hati itu?

Apakah dia sang penolong yang 

dikirim oleh Dewata?

***


TUJUH


Kala itu di rimba persilatan, 

berdiri sebuah perguruan silat yang 

sangat terkenal, perguruan itu bernama 

Perguruan Topeng Hitam.

Dulu Perguruan Topeng Hitam 

dipimpin oleh seorang jago pedang nomor 

satu yang bernama Paksi Uludara atau 

bergelar Pedang Mestika Naga emas.

Namun setelah Paksi Uludara tewas di 

tangan Nindia atau Dewi Cantik Penyebar 

Maut, tampuk kekuasaan atau pimpinan itu 

diserahkannya kepada Madewa Gumilang 

alias Pendekar Bayangan Sukma (baca : 

Dewi Cantik Penyebar Maut).

Selama dipimpin oleh Madewa 

Gumilang, banyak perguruan silat lain 

yang secara keji membuat onar karena 

didorong oleh rasa iri. Salah satunya 

adalah Perguruan Cakar Naga yang 

dipimpin oleh Resi Sendaring, yang 

mengumpulkan jago-jago dari golongan 

hitam untuk bersatu menghancurkan 

Perguruan Topeng Hitam (baca : Keris Naga 

Merah).

Namun semua itu berhasil 

digagalkan. Juga dengan bantuan Ki Ageng


Jayasih, majikan Gunung Muria yang juga 

guru dari Pranata Kumala (baca: Kakek 

Sakti dari Gunung Muria).

Madewa memimpin perguruan itu de-

ngan arif dan bijaksana. Di samping itu 

sikap dan contoh perbuatannya menjadi 

teladan para murid-mudridnya.

"Dalam hidup, kita jangan selalu 

memandang ke atas, juga jangan terlalu 

memandang ke bawah. Pandanglah kehidupan 

dengan cara yang wajar-wajar saja. 

Jangan terlalu ke atas dan jangan terlalu 

ke bawah," begitu setiap kali dia memberi 

wejangan di hadapan murid-muridnya. "Dan 

kita janganlah dibangunkan matahari, 

tapi kita yang harus membangunkan 

matahari. Camkanlah kata-kataku ini, 

niscaya kalian akan mengetahui 

jawabannya."

Nasehat dan pandangan yang 

diberikan Madewa Gumilang, semakin 

membuat para muridnya menghormati dan 

menyeganinya.

Namun sampai sejauh itu memimpin 

Perguruan Topeng Hitam, Madewa tak 

sekali pun mengajarkan ilmu-ilmu 

kebisaannya. Dia hanya mengajarkan 

jurus-jurus bermain pedang seperti ciri 

khas Perguruan Topeng Hitam. Karena


Madewa tak mau merubah ajar an yang telah 

dibawa oleh Paksi Uludara.

Dipegang oleh Madewa Gumilang atau 

sering disebut juga menusia dewa, 

Perguruan Topeng Hitam dapat menyebarkan 

sayapnya ke pelosok rimba persilatan.

"Kemegahan dan ketenaran Perguruan 

Topeng Hitam itu pun didengar oleh Puji 

Wening alias Iblis Berbaju Hijau. Lalu 

dia pun memerintahkan empat orang anak 

buahnya untuk mengacau dan menghancurkan 

perguruan itu. Bahkan membunuh Madewa 

Gumilang!

Pagi ini, di Perguruan Topeng Hitam 

seperti biasa tengah sibuk. Sebagian 

besar muridnya tengah berlatih ilmu 

silat dan ilmu pedang.

Ciri khas dari Perguruan Topeng 

Hitam adalah, murid-muridnya selalu 

mengenakan pakaian berwarna hitam dan 

topeng yang menutupi kepala. Juga 

sepasang pedang kembar mereka yang 

selalu ada di punggung. Juga dengan 

senjata rahasia yang berbentuk topeng 

hitam.

Di hadapan para murid yang tengah 

berlatih, berdiri sosok tubuh gagah 

berpakaian jubah putih yang selalu 

tersenyum arif Memperhatikan jalannya 

latihan.


Dialah Madewa Gumilang alias Pende-

kar Bayangan Sukma yang terkenal. 

Namanya sudah melesat ke langit ketujuh 

dan ke dasar samudra.

Selain itu, Madewa Gumilang pun 

ditakuti oleh seluru jago-jago rimba 

persilatan, karena dia memiliki ilmu 

Pukulan Bayangan Sukma yang belum ada 

tandingannya.

Di samping itu, dia memiliki seorang 

istri yang bernama Ratih Ningrum. Yang 

kesaktiannya pun tak kalah hebatnya 

dengan suaminya.

Namun tiba-tiba pendengaran Madewa 

Gumilang yang tajam, menangkap ada 

gerakan-gerakan yang mencurigakan di 

luar tembok perguruan. Diam-diam dia 

tetap memantau telinganya. Dan dia dapat 

menduga, ada empat sosok yang tengah 

mendekati tempat itu.

"Hmm... siapakah gerangan empat 

keroco ini yang sepertinya tidak 

bersahabat," gumamnya dalam hati.

Lalu dia pun menepuk tangannya 

sekali. Dan menyuruh pada murid-muridnya 

untuk menyudahi latihan mereka.

"Aku rasa, cukup untuk saat ini! 

Nah, kalian masuklah ke dalam!" katanya 

dengan suara yang berwibawa.


Murid-muridnya segera mematuhi 

perintahnya. Mereka lalu membentuk 

barisan merapat. Dan menjura dengan 

hormat.

"Salam buat ketua!!" kata mereka 

serempak. Dan dengan teratur rapi satu 

persatu pun berlari-lari kecil memasuki 

Perguruan Topeng Hitam.

Sementara Madewa Gumilang sendiri 

masih berada di halaman Perguruan Topeng 

Hitam.

Lalu secara diam-diam, dia 

mengerahkan ilmu saktinya, ilmu 

Pandangan Menembus Sukma. Dan 

terlihatlah empat sosok bertubuh besar 

dan berwajah seram makin mendekati batas 

Perguruan Topeng Hitam.

"Siapa mereka sebenarnya?. Baiknya 

kutungggu saja," desis Madewa yang 

melihat ada berbagai senjata di tangan 

keempat orang itu.

Empat orang yang dilihat Madewa de-

ngan ilmu Pandangan Menembus Sukmanya, 

adalah orang-orang suruhan dari Iblis 

Berbaju Hijau untuk mengacau di Pergu-

ruan Topeng Hitam. Mereka tidak tahu 

kalau kedatangan mereka sudah diketahui 

oleh Madewa Gumilang.

Mereka terdiri dari, Baruna si 

Tombak Maut. Suwalaya si Cambuk A pi.


Wiro Manik si Tongkat Seribu. Dan Sirat 

Alis si Macan Hitam. Sedangkan Martungga 

dan Kumpala menyerbu ke desa seberang.

Dan tiba-tiba keempatnya dikejutkan 

oleh suara yang menyelinap ke telinga 

mereka secara serempak, "Orang-orang 

yang berada di luar dan mengendap-endap, 

silahkan masuk ke dalam dengan cara 

bersahabat!"

Keempatnya kaget. Suatu pameran 

tenaga dalam yang cukup hebat tengah di 

tunjukkan. Dan hal itu menyadari mereka, 

kalau kedatangan mereka sudah diketahui 

oleh orang Perguruan Topeng Hitam. 

Dugaan mereka, Madewa Gumilanglah yang 

berbuat seperti itu.

Dengan rasa jengkel, malu dan marah, 

keempatnya serentak melompat. Melewati 

tembok Perguruan Topeng Hitam yang cukup 

tinggi dan hinggap dengan ringannya di 

halaman perguruan itu.

Di hadapan mereka, telah berdiri 

sosok tubuh berjubah putih. Wajahnya 

arif dan bijaksana.

Madewa berkata dalam hati, "Hmm... 

rupanya manusia-manusia ini yang datang 

bertamu," desisnya setelah mengetahui 

siapa keempat orang itu. Mereka adalah 

orang-orang yang sering membuat onar dan 

dikenal dari golongan hitam.


"Selamat datang di tempat 

kediamanku yang buruk ini," kata Madewa 

tetap dengan nada suara yang bersahabat.

"Huhh! Ternyata Madewa Gumilang 

alias Pendekar Bayangan Sukma pandai 

berhangat-hangat dengan para tamunya". 

berkata Baruna yang berdiri gagah dengan 

tombaknya. Dia seorang laki-laki 

berwajah tirus. Dengan bibir yang tipis, 

Rambutnya tergerai panjang dan diikat. 

Tubuhnya cukup tinggi.

"Sudah selayaknya sebagai seorang 

tuan rumah menyambut kedatangan tamunya 

dengan senang hati," kata Madewa Gumi-

lang lagi.

Dia berdiri gagah dengan kedua 

tangan bersedekap di dada. Jubah 

putihnya berkibar dipermainkan angin 

pagi.

"Madewa... ketahuilah, pagi ini 

kami datang ke sini, untuk mengambil alih 

Perguruan Topeng Hitam dari tanganmu! 

Mengerti?!" seru Baruna pula.

"Tentu saja saya mengerti. Siapa pun 

boleh mengambil Perguruan Topeg Hitam 

ini dari tanganku. Tapi bukankah lebih 

baik dijelaskan dulu titik 

permasalahannya?"

"Kami ke sini atas nama Iblis 

Berbaju Hijau!" yang berkata Sulawaya.


Dia seorang laki-laki berambut agak 

botak. Pakaiannya mirip para biksu dari 

Budha. Di kalungnya ada sebuah tasbih 

yang cukup besar. Dan di pinggangnya 

melilit Cambuk Apinya yang berwarna 

kemerahan.

"Sampaikan salam kenalku untuk 

beliau!" kata Madewa sambil menjura.

Tiba-tiba terdengar seruan dari 

Sirat Alis. Dia adalah seorang laki-laki 

pemarah dan tak sabaran.

"Madewa! Cepat kau berlutut di 

hadapan kami! Dan nyawamu akan kami 

ampuni!"

Madewa cuma tersenyum.

"Agaknya tidak patut bagiku untuk 

berlutut di kaki orang-orang yang sering 

berbuat onar seperti kalian!"

"Bangsat! Telah lama sebenarnya aku 

ingin mencoba kesaktian Madewa 

Gumilang!" setelah berkata begitu, Si 

rat Alis alias si Macan Hitam melompat 

menerjang dengan gaya seekor macan. 

Kedua tangannya menyerang membentuk 

cakar macan. Suaranya mendesis yang 

keluar dari mulut-nya.

Melihat serangan yang sangat cepat 

dan berbahaya itu, Madewa melompat ke 

kiri. Dan serangan itu pun luput. Namun 

membuat Sirat Alis menjadi murka.


Usai kakinya hinggap di tanah, dia 

melenting bersalto ke arah Madewa dengan 

kedua tangan tetap terbuka membentuk 

cakar.

Madewa pun kali ini menghindar 

dengan jurus Ular Meloloskan Diri. 

Membuat tubuhnya selicin dan selincah 

ular. Membuat Sirat Alis makin 

penasaran.

Dia pun menerjang lagi. Kali ini 

jurus-jurus macan hitamnya 

memperlihatkan kelincahannya sebagai 

seorang jago. Cakaran-cakarannya 

menerkam membabi buta. Siap mencabut 

nyawa Madewa.

Dan kali ini Madewa pun membuat 

jurus menyerangnya, Ular Mematuk Katak. 

Yang membuat tangannya secepat ular 

dalam menyergap mangsanya.

Berkali-kali terjadi benturan, 

Sirat Alis tertawa dalam hati. "Ternyata 

hanya begitu saja tenaga dalam milik 

Pendekar Bayangan Sukma."

Namun Sirat Alis tidak tahu, kalau 

Madewa hanya menggunakan seperempat dari 

tenaga dalam yang dimilikinya.

Suara ribut-ribut di luar memancing 

perhatian murid-murid Perguruan Topeng 

Hitam. Dan melihat ketua mereka sedang


bertarung, serentak mereka pun hendak 

bergerak membantu.

Namun begitu mendengar suara Madewa 

berteriak, mereka pun hanya berdiri di

tempat masing-masing.

"Mundur kalian! Jangan ikut campur 

dalam urusan ini! Mundur!!"

Ratih Ningrum pun keluar dari dalam. 

Dan begitu melihat suaminya tengah 

bertempur, dia pun hendak maju.

Namun lagi-lagi urung karena 

mendengar seruan suaminya menyuruhnya

untuk diam di tempat.

Kedatangan Ratih seakan membuka 

mata Baruna. Walau pun wanita itu sudah 

hampir berusia 35 tahun, tetapi wajah dan 

bentuk tubuhnya masih cantik dan montok. 

Seakan-akan wanita itu berusia bak gadis 

24 tahunan.

"Hahaha... rupanya ini wanita yang 

mendampingi Madewa Gumilang! Betapa 

cantiknya!!" seru Baruna yang diikuti 

tawa Wiro Manik dan Sulawaya.

Ratih Ningrum hanya bisa menahan 

geramnya di hati. Karena dia tak berani 

membantah atau pun membangkang perintah 

suaminya.

Dia tetap berdiri di tempatnya.

Dengan menahan kemarahannya.


"Ayo. Ratih Ningrum... majulah 

hadapi aku!" seru Baruna sambil melompat 

ke kalangan.

Madewa yang tengah melayani 

serangan-serangan dari Sirat Alis yang 

makin penasaran karena dari sekian jurus 

tak satu pun pukulan, cakaran atau pun 

tendangannya yang mengenai sasaran, 

berseru lagi, "Tahan emosimu, Dinda 

Ratih! Biarkan aku yang menghadapi 

manusia-manusia ini!" "

Baruna tertawa.

"Hahaha... menghadapi Sirat Alis 

saja kau sudah tak banyak bergerak, 

Madewa! Masih berlagak pula untuk 

menghadapi kami!"

"Baruna... bila itu maumu, aku akan 

melaksanakannya! Lihatlah!"

Madewa yang sejak tadi berusaha 

untuk tidak menjatuhkan tangannya pada 

Sirat Alis, kini menjadi jengkel.

Lalu dia melompat dan menyerang de-

ngan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.

Tangannya seakan berubah menjadi 

banyak. Dan satu patukan menggedor dada 

Sirat Alis. Disusul dengan pukulan 

Tembok Menghalau Badai.

"Des!"

"Akkhhh!!"


Tubuh Sirat Alis terhuyung ke 

belakang dan muntah darah. Lalu ambruk 

dan pingsan.

Madewa bersalto dan berdiri dengan 

gagah.

"Itu maumu bukan, Baruna?" serunya 

dengan suara yang tetap arif.

Baruna menjadi murka. Lalu dia 

memutar-mutar tombaknya hingga 

menimbulkan suara bergemuruh. Begitu 

pula dengan Wiro, Manik yang sudah 

menggerakkan tongkatnya hingga bagaikan 

seribu. Tak ketinggalan Sulawaya yang 

sudah meloloskan Cambuk Apinya dari 

pinggangnya.

Saat dia memecut-mecut, dari ujung 

cambuknya bagaikan menyala mengeluarkan 

api.

"Hmm... majulah kalian bertiga! 

Biar cepat selesai persoalan ini! Dan 

yang perlu kalian ketahui, selama ini aku 

tak punya masalah dengan kalian! Juga 

dengan Iblis Berbaju Hijau! Nah 

majulah!"

Madewa pun bersiap dengan segala 

kebisaanya. Tiba-tiba saja Baruna 

menerjang sambil memutar-mutar 

tombaknya yang menimbulkar suara 

berdesir-desir dan kadang mendengung..


"Awas serangan!" serunya seraya me-

nerjang.

Yang disusul dengan Wiro Manik dan 

tongkatnya.

Begitu pula dengan Sulawaya yang 

menceletar-celetarkan cambuknya.

Madewa pun menyambut tiga serangan 

yang berbahaya itu yang datang dari tiga 

penjuru. Dia pun menggunakan jurus 

menghindarnya, Ular Meloloskan Diri yang 

dipadukan dengan ilmu meringankan 

tubuhnya yang sudah mencapai tingkat 

maha sempurna.

Suasana di alam Perguruan Topeng 

Hitam menjadi ramai. Debu-debu 

beterbangan setiap kali ada tubuh yang 

bergerak. Bahkan daun-daun jati dari 

pohon jati yang tumbuh di sudut Perguruan 

itu berguguran karena tak kuat menahan 

getaran yang ditimbulkan dari keempat 

orang yang sedang bertarung itu.

Namun setelah sekian jurus 

berlangsung, tak satu pun senjata dari 

lawannya yang berhasil melukai Madewa. 

Bahkan menyentuh saja pun tidak pernah.

Madewa pun kini mulai menyerang de-

ngan memadukan jurus Ular Cobra 

Bercabang Tiga dengan jurus pukulan 

Tembok Menghalau Badai.


Desiran angin yang timbul dari 

setiap kali tangannya bergerak cukup 

membuat ketiga lawannya menjadi pucat. 

Karena mereka dapat menduga, bahwa 

Madewa sudah meningkatkan tenaga 

dalamnya.

Hal ini semakin membuat ketiganya 

berhati-hati.

Dan tiba-tiba Madewa bersalto lalu 

bergerak mencecer Wiro Manik yang 

menjadi kaget dan berusaha untuk menahan 

dengan putaran tongkatnya.

Namun karena desakan yang hebat, 

satu pukulan pun masuk menggedor 

dadanya.

"Des!"

Disusul dengan satu kibasan pada 

tangan kanannya, hingga tongkat yang 

merupakan senjata andalannya jatuh. 

"Aaakkhhhh"

Dia pun terhuyung ke belakang.

Dan "Huak!!" Wiro Manik muntah 

darah. Dia merasakan dadanya sangat 

sakit. Kepalanya pun menjadi pusing 

karena aliran darahnya tidak beraturan. 

Juga dadanya yang terasa mau pecah.

Lalu ambruk setelah sekali lagi 

muntah darah.


Dan mereganglah nyawanya 

meninggalkan tubuhnya yang masih 

merasakan kesakitan.

"Wiro Manik!" seru Baruna kaget.

Dan makin murkalah dia melihat 

kenyataan itu. Tombaknya pun 

diputar-putar dengan hebat. Dan 

bergeraklah dia dengan ayunan tombaknya 

yang berputar, memukul, mengibas, 

menangkis dan menusuk.

Begitu pula dengan Sulawaya dengan 

cambuk apinya. Yang kadang mencoba 

menjerat, mengikat atau kadang berubah 

menjadi tombak. Sugguh suatu pemandangan 

yang hebat dari tenaga dalam yang 

dipamerkan oleh Sulawaya.

Tetapi yang dihadapinya adalah 

manusia dewa Madewa Gumilang alias 

Pendekar Bayangan Sukma, yang tetap 

dengan sikapnya yang arif dan bijaksana 

melayani serangan-serangan itu.

Serangan-serangan yang hebat dan 

beruntun itu tak mampu membuatnya keder

atau mundur. Malah dia yang berada di 

atas angin terus mendesak keduanya de-

ngan hebat.

Madewa berniat untuk tidak membunuh 

keduanya, cukup hanya melukai mereka 

saja. Karena dia berpikir untuk 

mengetahui siapakah sebenarnya Iblis


Berbaju Hijau itu yang sepak terjangnya 

akhir-akhir ini menimbulkan suasana 

mengerikan di rimba persilatan, dengan 

jalan mencari tahu dari kedua orang ini.

Tetapi dia tetap tidak mengubah 

serangan-serangannya. Begitu pula 

dengan Baruna dan Sulawaya. Cambuk api 

Sulawaya membakar apa saja begitu benda 

yang terkena oleh ujung cambuk apinya, 

segera berubah menjadi api dan terbakar.

Dan melihat serangan-serangan 

mereka selalu gagal, diiringi dengan 

dendam melihat Wiro Manik tewas dan Sirat 

Alis pingsan, keduanya mempergencar 

serangan-serangan mereka.

Namun sampai sejauh itu, Madewa te-

tap dapat menghindar dan meloloskan 

diri.

Setelah lewat tiga puluh jurus, 

barulah Madewa kini berniat hendak 

menjatuhkan tangan.

"Awas serangan!" serunya tiba-tiba. 

Dan tiba-tiba pula tubuhnya menggeliat 

bagaikan ular. Dan bergerak cepat. 

"Des!" 

"Des!"

Dua buah pukulannya masuk pada 

sasaran.

Dengan diiringi tubuh Baruna dan 

Sulawaya yang terhuyung ke belakang.


Sadarlah kini keduanya kalau manusia 

dewa itu bukan tandingan mereka.

Keduanyapun berniat hendak 

melarikan diri.

Namun Madewa telah mengunci semua 

langkah mereka dari delapan penjuru, 

hingga sulit rasanya bagi mereka untuk 

melarikan diri.

"Kalian telah masuk ke Perguruan To-

peng Hitam dan kalian tak akan begitu 

mudah untuk meninggalkannya!!" seru 

Madewa seraya mencecar lagi.

Hal ini membuat Baruna dan Sulawaya 

menjadi nekat. Sebisanya mereka mencoba 

menyerang kembali.

Namun satu gedoran masuk menghantam 

dada Sulawaya yang terhuyung ke belakang 

dengan kepala pusing dan dada seakan mau 

pecah.

"Aaaaakkkhhh!!"

Karena terlalu menguras tenaganya, 

dia pun semakin lemah. Pertahanannya 

lemah pula. Tenaga dalamnya pun 

terkuras.

Maka tanpa ampun lagi di pun ambruk 

dengan nyawa yang telah lepas.

Melihat kenyataan itu, lemaslah Ba-

runa. Dia merasa tak mungkin dapat 

melolosan diri. Menghadapi Madewa 

bertiga saja seakan tak banyak membawa


arti. Apalagi dia sendiri. Ini 

membuatnya kecut.

Namun tiba-tiba dia mendapat sebuah 

rencana yang keji. Dia akan menyandera 

Ratih Ningrum yang sejak tadi tersenyum 

melihat suaminya berhasil 

memporak-porandakan pertahanan 

lawan-lawannya.

Baruna pun menjerit menyerang Ma-

dewa kembali. Namun mendadak saja dia 

bersalto ke arah Ratih Nigrum.

Dan "Tep!" tangannya dengan sigap 

membekap leher wanita itu dengan tubuh 

yang berada di belakangnya.

Ratih Ningrum yang tidak menyangka 

dirinya akan dijadikan sandera, hanya 

bisa terpaku saja. Dan ujung tombak 

Baruna sudah menekan di ulu hatinya.

Baruna terbahak karena merasa 

berhasil untuk menyandera dan 

mengalahkan Madewa Gumilang.

"Hahaha... majulah, Madewa... 

majulah... bila ingin istrimu mampus di 

tanganku..."

Madewa hanya terdiam.

"Hhh! Nyawa istrimu sekarang berada 

di tanganku!" seru Baruna sambil mehrik 

sekelilingnya. Sepuluh murid-murid 

Perguruan Topeng hitam sudah 

mengurungnya. Tetapi dia hanya tertawa.


"Madewa... perintahkan para muridmu 

untuk menjauhiku... bila tidak ingin 

nyawa istrimu lepas hari ini juga..."

Madewa pun memerintahkan para 

muridnya untuk mundur, sementara otaknya 

berputar memikirkan cara untuk 

menyelamatkan istrinya.

"Kalian mundur semua!" 

"Bagus, Madewa... kau seorang 

ksatria yang gagah berani. Nah, sekarang 

tunjukkanlah padaku Pukulan Bayangan 

Sukmamu yang sangat hebat dan kesohor 

itu!"

Madewa terdiam. Mengira-ngira 

maksud dari Baruna si Tombak Maut. "Cepat 

kataku!" Madewa masih terdiam. Baruna 

menekan sedikit ujung tombaknya, membuat 

Ratih Ningrum menjerit.

Dia terbahak, "Madewa... kau tak 

ingin istrimu mati di ujung tombakku, 

bukan?"

"Baruna... lepaskan istriku. Dan 

mari bertarung bagai seorang 

laki-laki..."

"Hahaha... kau memang pandai 

bersilat lidah, Madewa! Bangsat! Cepat 

kau keluarkan Pukulan Bayangan Sukmamu! 

Cepat!"

"Kau hendak berbuat apa, Baruna?" 

kata Madewa sambil mengulur waktu dan


memikirkan bagaimana cara membebaskan 

istrinya.

"Cepat kataku! Cepat!!"

Madewa melihat gerakan yang 

dilakukan Baruna dengan menekankan ujung 

tombaknya pada ulu hati istrinya.

Dia juga melihat betapa 

kesakitannya Ratih Ningrum. Namun wanita 

itu adalah wanita yang tabah, dia tidak 

mcnampakkan rasa sakitnya meskipun dia 

sangat menderita dan kesakitan.

Madewa pun mendesah.Terdiam. Dan 

merapal pukulan Bayangan Sukmanya.

Lalu dirangkumnya kedua tangannya 

di dada. Dan terlihatlah asap berwarna 

putih mengepul dari kedua tangannya.

"Sekarang kau mau apa, Baruna?"

"Hahaha... Pendekar Bayangan Sukma 

yang gagah perkasa hari ini harus takluk 

di tanganku. Dan harus mampus termakan 

pukulan saktinya sendiri.. Nah, 

Madewa... pukulkan Pukulan Bayangan 

Sukma itu ke kepalamu sendiri... 

Cepat!!" Suasana menjadi tegang.

Madewa terdiam.

Murid-murid Perguruan Topeng Hitam 

menelan ludahnya melihat bahaya yang 

mengancam ketua mereka. Yang lebih 

mengenaskan, bila harus mati, ketuanya 

mati oleh pukulan saktinya sendiri.


Ratih Ningrum berseru, "Kanda.... 

jangan... jangan kau pukulkan Pukulan 

Bayangan Sukma ke kepalamu... Biarkan... 

biarkan aku mati, Kanda..." Baruna 

terbahak.

"Cepat, Madewa! Kau tidak mau 

melihat istrimu mati secara mengenaskan 

di depan matamu, bukan? Cepat! Waktumu 

hanya satu menit untuk melakukannya!!"

Madewa terdiam. Pukulan saktinya 

siap untuk membunuhnya sendiri. Melihat 

Madewa ragu-ragu, Baruna menjadi 

jengkel.

Tangannya menekan lagi tombak yang 

ujungnya mengenai tepat ulu hati Ratih 

Ningrum.

Kali ini Ratih Ningrum tidak bisa 

menahan rasa sakitnya meskipun dia 

berusaha untuk menahan.

"Aaaakhh?"

Baruna terbahak. "Hahaha... 

coba-cobalah kau membangkang dan 

mengulur waktu, Madewa... lakukanlah 

dengan sesuka hatimu dan istrimu ini akan 

mati secara perlahan-lahan... 

hahaha..."

Melihat keadaan istrinya yang 

nampak kesakitan, tak ada pilihan lain 

buat Madewa.


"Baruna... lepaskan istriku dulu... 

Semua perintahmu akan kulakukan..."

"Hahaha... kau mau bermain siasat 

apa ini, Madewa? Setelah aku melepaskan 

istrimu... kau akan segera 

menyerangku... Hahaha... kau layaknya 

bermain dengan anak-anak kecil, 

Madewa..."

"Kau tidak mempercayaiku, Baruna?"

"Hmm... biar orang-orang memujamu 

setinggi langit, sedikit pun aku tak 

pernah mempercayaimu. Nah... lakukanlah 

perintahku cepat, Madewa! Wktu satu 

menit yang kuberikan sudah habis untuk 

bercakap-cakap yang tak penting ini! 

Cepat!!"

Madewa merasa tidak ada pilihan Iain 

baginya. Yang penting istrinya selamat. 

Sementara istrinya berseru-seru agar dia 

jangan melakukan hal yang membahayakan 

itu.

Namun sungguh diluar dugaan 

semuanya. Disaksikan oleh istrinya 

sendiri dan para murid-murid Perguruan 

Topeng Hitam, Madewa Gumilang menghantam 

tubuhnya sendiri dengan pukulan 

saktinya, Pukulan Bayangan Sukma!!

"Ketuaaaa!!" seru beberapa 

muridnya.


"Kandaaaaaa!!" jerit Ratih Ningrum 

yang sangat terkejut. Ketika dia hendak 

mendapatkan suaminya, tombak di tangan 

Baruna semakin menekan ulu hatinya 

membuat nya tak banyak bergerak.

Dan di hadapan berpuluh pasang mata, 

tubuh gagah berjubah putih itu pun 

perlahan-lahan ambruk ke tanah.

Baruna terbahak. Manusia dewa yang 

sangat disegani oleh kawan maupun lawan, 

hari ini harus mampus oleh pukulan 

saktinya sendiri.

Dan dialah yang telah menyuruh 

manusia dewa itu melakukannya.

Baruna terbahak sendiri mengingat 

keberhasilannya. Beberapa murid 

Perguruan Topeng Hitam yang hendak 

mendapati ketua mereka, di bentak 

mundur.

"Hei, kalian mundur semua! Tak 

seorang pun yang boleh mendekati dan 

menjamah mayat itu! Mundur!! Bila kalian 

membangkang perintahku ini, Ratih 

Ningrum akan mampus di ujung tombakku!!"

Murid-murid Perguruan Topeng Hitam 

yang hendak mendekati mayat Madewa pun 

mundur perlahan-lahan. Mereka tidak 

ingin kehilangan seorang pimpinan lagi. 

Bagi mereka, Ratih Ningrum tak ada 

bedanya dengan Madewa Gumilang.



Sama-sama mereka sanjung.

Sama-sama mereka hormati.

Dan melihat kenyataan ini, mereka 

pun tak berani bertindak. Karena Baruna 

bukanlah manusia yang mempunyai balas 

kasihan.

Dia adalah binatang yang sangat 

kejam!

Sementara Baruna terbahak lagi 

melihat kenyataan kemenangan yang sudah 

berada ditangannya.

Lalu dia berkata sambil mencolek 

dagu Ratih Ningrum. Yang meronta-ronta 

dengan kasar, namun tak bisa berbuat 

banyak. Di samping lehernya yang 

tercekik hingga membuatnya sukar 

bernafas, juga ujung tombak yang tajam 

yang siap untuk menghunjam ulu hatinya.

"Maafkan aku, Nyonya ketua... 

Maafkan aku... hahaha... tetapi suamimu 

memang pantas mati dengan cara demikian. 

Bukankah hanya itu yang bisa membuatnya 

mati? Hahaha... Madewa Gumilang yang 

gagah perkasa harus mampus di tangannya 

sendiri..."

Namun tiba-tiba, di saat Baruna 

sedang terbahak mengingat 

kemenangannya, tiba-tiba dirasakannya 

sebuah pukulan menghantam lehernya.

"Heik!!"


Dia menjerit bagai tercekik.

Cengkeraman tangannya di leher 

Ratih Ningrum terlepas, dia pun terkulai 

ke tanah.

Namun buru-buru bangkit setelah 

dirasakannya sakitnya tidak begitu 

terasa lagi. Dia mencari-cari siapa yang 

telah memukulinya.

Matanya melihat sosok berwajah arif 

dan bljaksana. Sosok yang mengenakan 

jubah berwarna putih. Sosok Madewa 

Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma!!

"Kau?!" Mata Baruna seakan mau 

meloncat tak percaya melihat siapa yang 

memukulnya.

Begitu pula Ratih Ningrum.

Begitu pula dengan para murid-murid 

Perguruan Topeng Hitam.

Bukankah ketua sudah mati akibat 

pukulannya sendiri? Lalu... siapakah 

yang berdiri itu. Ketika mereka mencari 

mayat Madewa, mayat itu tidak ada di 

tempatnya semula.

Kini sadarlah mereka, bahwa yang 

mengenakan jubah putih itu tak lain dari 

ketua mereka sendiri, Madewa Gumilang!

Lalu bukankah dia sudah mati akibat 

Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri?

***


DELAPAN


Meskipun istrinya dalam bahaya, 

Madewa tentu saja tidak ingin mati 

konyol, apalagi oleh pukulan andalannya 

sendiri. Makanya tadi dia sengaja 

mengulur waktu berbicara dengan Baruna 

sambil berpikir dan mencari kesempatan 

untuk menyelamatkan istrinya.

Dan dia pun mendapat sebuah ide yang 

bagus. Perlahan-lahan dia mengeluarkan 

pukulan Angin Saljunya. Dan bukan 

Pukulan Bayangan Sukma.

Asap yang mengepul putih yang keluar 

dari kedua tangannya tadi, merupakan 

angin dingin yang keluar dari pukulan 

Angin Saljunya. Sepintas memang mirip 

asap. Dan yang melihatnya pun yakin kalau 

itu adalah Pukulan Bayangan Sukma.

Ketika dia menghantamkan pukulan 

itu ke perutnya, diturunkannya tenaganya 

yang terangkum di kedua tangannya. 

Sementara tubuhnya sudah dialiri tenaga 

dalam dan hawa murni.

Madewa berharap, Baruna dapat 

dikelabui. Dan ternyata manusia itu 

memang dapat dikelabuinya.

Dia pun berlagak terkulai dan mati 

akibat pukulannya itu.


Sementara saat Baruna terbahak dan 

merasa menang, Baruna menjadi lengah. 

Saat itulah secepat gerakan kilat, 

Madewa bergerak mendekati Baruna dan 

menghantamkan pukulannya ke leher Baruna 

yang melihat kaget.

Mereka tidak melihat Madewa sudah 

bergerak cepat dan tahu-tahu sudah 

berada di belakang Baruna.

Baruna sendiri saat itu kaget luar 

biasa. Dia hendak kembali menyandera 

Ratih Ningrum. Tetapi wanita itu telah 

melompat bersalto ke depan begitu 

dirasakannya cengkeraman Baruna 

mengendor.

"Kau?" sekali lagi dia hanya bisa 

melontarkan kata itu pada Madewa.

Madewa tersenyum. Arif dan 

bijaksana.

"Ya... inilah aku..."

"Bu... bukankah kau sudah mati 

akibat pukulanmu sendiri?" tanya Baruna 

terbata, hingga hilang semua keangkuhan 

dan kesombongannya.

"Kau gelap mata rupanya, Baruna! Kau 

hanya memandang sebelah mata padaku! Kau 

tak menyadari betapa tingginya langit 

dan dalamnya lautan?" Madewa tersenyum. 

"Hmm... katakanlah, siapakah sebenarnya 

Iblis Berbaju Hijau itu, Baruna?"


Baruna yang masih tidak percaya 

kalau Madewa Gumilang masih hidup, 

tergagap. Dan tanpa disadarinya mulutnya 

terbuka, "Dia ... dia adalah seorang 

wanita muda yang sangat cantik... Dan 

memiliki ilmu kesaktian yang sangat 

tinggi... Dia ... dia juga memiliki 

sebuah pedang mestika yang hebat dan 

ampuh...."

"Pedang mestika apa itu?"

"Pedang Malaikat Pedang Sakti."

"Malaikat Pedang Sakti?"

Baruna mengangguk. Kedua sorot 

matanya kosong, seakan masih tidak yakin 

kalau yang berdiri di hadapannya Madewa 

Gumilang.

Ratih Ningrum sendiri sebenarnya 

pun terkejut. Namun dia tidak 

mempersoalkan lagi, yang penting 

suaminya masih hidup

Tiba-tiba sepasang mata Baruna 

bersinar, berkilat menyeramkan. Dan 

laki-laki berwajah seram itu lambat laun 

sadar kalau dia dibobongi oleh Madewa 

Gumilang.

Tentu saja Madewa tidak sebodoh itu 

membunuh dirinya sendiri dengan pukulan 

saktinya. Tentunya dia melepaskan sebuah 

pukulan yang ringan dan pukulan itu 

bukanlah pukulan andalannya.


"Bukan Pukulan Bayangan Sukma!”.

Mulut Baruna membentak, "Bangsat! 

Kau menipu aku, Madewa!"

"Baruna... untuk orang seperti kau, 

agaknya segala kelicikan yang telah kau 

lakukan, hanya patut dibalas dengan 

kelicikan pula!

Kau tak ubahnya bagaikan seekor 

srigala berbulu domba, Baruna..."

Baruna menggeram. Kesadarannya 

makin pulih dan menyadari kalau dia 

jelas-jelas telah dibohongi.

"Setttaaaan!! Kau harus membayar 

semua perlakuan bohongmu itu, Madewa!" 

geramnya sambil menyiapkan tombaknya. 

Dia pun memutar—mutar hingga menimbulkan 

suara yang cukup memekakkan telinga.

"Baruna... sadarlah kau. Insyaflah, 

Baruna... karena kau berada di jalan yang 

salah..."

"Jangan berkhotbah, Madewa!" geram 

Baruna yang merasa sangat jengkel 

sekali.

Sementara matahari sudah tepat 

berada di kepala. Sinarnya cukup 

menyengat.

Sedangkan Ratih Ningrum yang cukup 

jengkel karena tadi dijadikan sandera, 

menggeram marah. Dia pun menggebrak maju


sambil meloloskan sepasang pedang 

kembarnya.

Pedang kembar warisan gurunya yang 

bernama Mukti (baca : Dendam Orang-Orang 

Gagah).

"Baruna! Kau hadapi aku!!" serunya 

sambil menyerang.

Baruna pun dengan cepat menangkis 

serangan sepasang pedang Ratih Ningrum 

dengan tombak mautnya. Gerakannya pun 

tak kalah cepat dan hebatnya. Penuh 

tenaga.

"Trok! Trok!"

Berkali-kali kedua senjata itu 

beradu. Baruna pun meningkatkan 

permainan tombak mautnya, yang kadang 

menangkis, memukul, menusuk dan 

menotok dengan pangkalnya.

Ratih Ningrum pun mempergencar 

serangannya pula, Kali ini dia memadukan 

jurus pedangnya dengan jurus Pukulan 

Tangan Seribunya, yang membuat sepasang 

pedang itu bergerak bagaikan menjadi 

seribu.

Baruna sendiri kaget melihat hal 

itu.

"Tak sia-sia kau menjadi istri 

Madewa Gumilang!" seru Baruna. dan 

menangkis tusukan pedang yang mengarah 

pada lehernya.


"Trok!!"

Kembali senjata itu berbenturan.

Tetapi sampai sejauh itu belum ada 

yang kelihatan terdesak. Keduanya masih 

sama-sama tangguh dan hebat. 

Serangan-serangan yang mereka lancarkan 

cepat dan penuh tenaga.

Namun memasuki jurus ke delapan 

belas, sebuah pedang yang berada di 

tangan kiri Ratih Ningrum menggores bahu 

kanan Baruna hingga mengeluarkan darah.

Baruna meaggeram. Dengan beringas 

dia kembali menyerang Ratih Ningrum. 

Sambaran-sambaran tombaknya begitu sa-

dis dan berbahaya.

Tetapi Ratih Ningrum adalah wanita 

tegar yang sudah makan asam garam. Dia 

sudah puluhan bahkan ratusan kali 

bertarung dengan cara mati-matian.

Serangan-serangan dan desakan 

Baruna tetap dilayaninya dengan 

balasan-balasan yang sama-sama hebat dan 

tangguh.

""Bangsat!" geram Baruna yang 

sekian lama belum maupun mendesak Ratih 

Ningrum.

Bahkan dengan satu gebrakan dan 

seruan yang kcras, Ratih Ningrum 

berhasil menyambarkan kembali pedangnya 

kepangkal lengan Baruna.


"Crass!!"

Lengan kanan itu pun buntung menge-

luarkan darah. Dan pemiliknya 

menjerit-jerit kesakitan.

Ketika Ratih Ningrum hendak 

menusukkan pedangnya untuk menghabisi 

Baruna, melesat sosok tubuh yang dengan 

cepatnya menotok Baruna hingga kaku. 

Lalu menotok pangkal lengan Baruna yang 

mengeluarkan darah hingga darahnya 

berhenti.

"Tenanglah, Dinda..." seru sosok 

itu yang ternyata Madewa Gumilang. "Kita 

tidak boleh telengas pada lawan yang 

telah kalah..."

Ratih Ningrum terdiam.Mendesah. 

Merasa malu karena dia nampak begitu buas 

dan kejam.

“Maafkan Dinda, Kanda..."

Baruna yang merasa kekalahan sudah 

di ambang pintu tak berani berbuat 

banyak. Sedikitnya dia merasa ditolong 

oleh Madewa dengan jalan menghentikan 

pendarahannya.

Namun begitu teringat tugas yang 

diberikan oteh Iblis Berbaju Hijau gagal 

dilaksanakan, juga ingat akan sanksi 

yang diberikan, membuatnya menjadi 

bingung.


Maka ketika Madewa bertanya di mana 

gerangan Iblis Berbaju Hijau berada, 

Baruna langsung menjawab.

"Dia mendiami Lembah Pasir 

Putih..."

"Siapakah dia sebenarnya, Baruna?"

"Aku tidak tahu siapa dia 

sebenarnya. Tahu-tahu dia datang 

menaklukkanku saat aku tengah memperkosa 

seorang gadis. Dan dia mengalahkan aku."

"Hmm.... berapa lagi pengawal yang 

menemaninya?"

"Tinggal dua. Martungga dan 

Kumpala. Sedangkan Roro Dewi entah di 

mana."

Madewa mendesah. Memperhatikan 

Baruna yang sedang menahan sakit.

"Madewa..." desis Baruna kemudian. 

"Secara jujur kuakui... bahwa aku kagum 

dari salut padamu... Sebagai seorang 

pendekar yang budiman, sikap, tutur kata 

dan tingkah lakumu... memang pantas 

membuatmu menyandang gelar pendekar 

budiman. Sedangkan kesaktian dan 

kehebatan ilmu yang kau miliki, memang 

patut kau menyandang sebutan sebagai 

manusia dewa...Dan di hari ini, aku 

Baruna atau si Tombak Maut... menyatakan 

kekaguman yang sekagum-kagumnya padamu, 

Madewa Gumilang..."



"Baruna... aku tetaplah manusia 

seperti kau. Juga seperti manusia 

lainnya. Kita tidak beda. Mungkin... 

yang membedakan kita hanyalah nafsu yang 

ada dalam diri kita. Nafsu yang kadang 

membelenggu dan sukar dikendalikan. 

Sebagai manusia... kita janganlah 

terlalu dikekang oleh nafsu, jangan 

terlalu membesarkan nafsu...jangan 

diperbudak nafsu... Malah”.

"Madewa... aku sangat beruntung 

dapat berjumpa dengan manusia sakti 

seperti kau... Pendekar Budiman yang 

gagah perkasa..." kata Baruna sambil 

menahan rasa sakit di tangannya. Dan 

tiba-tiba Baruna berdiri dengan susah 

payah. Lalu mengambil tombaknya... 

"Madewa... aku salut padamu..."

Sehabis berkata begitu, dia 

bergerak dengan cepat. Tombak di 

tangannya berputar. Ujungnya yang 

runcing pun bergerak dengan cepat. 

Menusuk jantungnya sendiri.

Madewa tersentak.

Ratih Ningrum memekik.

Para murid Perguruan Topeng Hitam 

berseru-seru kaget. 

Tetapi darah sudah menyembur dari 

jantung Baruna. Lalu perlahan-lahan 

tubuh itu ambruk.


Matanya masih membuka, 

membayang-kan satu kepedihan yang amat 

sangat.

"Selamat tinggal... Orang gagah..." 

desisnya, lalu kepalanya pun terkulai. 

Dan ambruk dengan darah yang membasahi 

sekujur tubuhnya.

Orang-orang tak ada yang menyangka

Baruna akan berbuat seperti itu.

Madewa mendesah panjang.

Menatap langit yang tiba-tiba 

berubah menjadi mendung.

"Kejahatan ternyata masih terus 

berlangsung... Oh, Tuhan... sampai 

kapankah kejahatan itu akan berhenti?"

Lalu dia memerintahkan beberapa mu-

rid-muridnya untuk menguburkan 

mayat-mayat yang bergeletakan.

Madewa sendiri mempunyai rencana 

untuk segera pergi ke Lembah Pasir Putih.

***

SEMBILAN



Lembah Pasir Putih malam hati. 

Nampak sosok berbaju hijau keluar 

dari bangunan megah yang terdapat di 

tengah-tengah Lembah Pasir Putih. Sosok


itu tak lain adalah Puji Wening yang 

tengah heran mengapa empat orang anak 

buahnya belum kembali pula malam hari 

begini.

"Hmm... rupanya mereka sudah berani 

membangkang perintahku..." desisnya 

dengan sepasang rahang terkatup rapat, 

menandakan dia sedang geram. "Rupanya 

mereka ingin bertingkah seperti Roro 

Dewi... Anjing-anjing buduk, kalian akan 

mampus di tanganku secara mengerikan!!"

Angin malam berdesir.

Dingin menusuk.

Puji Wening tegar berdiri dengan 

baju hijaunya yang berkibar ditiup 

angin.

Tiba-tiba beberapa pengawalnya yang 

terdiri dari orang-orang yang diculiknya 

berbisik-bisik begitu melihat wajah 

Iblis Berbaju Hijau.

"Coba kau perhatikan sekali lagi, 

bukankah wajahnya sangat mirip dengan 

Puji Wening? Anaknya Baguspuro?"

"Hei, kau benar. Memang mirip 

sekali. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Rasanya tidak mungkin."

"Aku juga tidak menduga dia. Wanita 

itu bagai iblis belaka. Sedangkan Puji


Wening sangat ramah meskipun dia agak 

genit..."

"Tapi wajahnya memang mirip dia!"

"Baiknya kita tanya Baguspuro saja. 

Bukankah dia menjadi pengawal bagian 

Timur?"

"Ayo, kita ke sana!"

Dua orang desa Glagah Arum yang 

diculik Puji Wening itu pun 

mengendap-endap ke bagian penjagaan 

sebelah timur.

Mereka menemui Baguspuro yang sudah 

tentu sangat heran mendengarkan 

penuturan keduanya.

"Mana mungkin di dunia ini ada wajah 

yang sama. Kalau mirip masih mungkin."

"Bagus... ini bukan saja mirip, tapi 

memang serupa!"

"Bila kau masih menyangsikan, lebih 

baik kau melihat saja. Ayo ikut kami! 

Mumpung wanita iblis itu masih berdiri di 

luar istananya!"

Lalu kedua orang itu bersama 

Baguspuro pun berjalan kembali ke tempat 

semula.

Dan memperhatikan sosok berbaju hi-

jau yang masih berdiri dengan sikap gagah 

menantang angin malam.

Baguspuro sedikit terperanjat.

Dia menelan ludahnya berkali-kali.


Tidak salah lagi, itu memang 

anaknya! Puji Wening yang hilang lima 

tahun yang lalu! Oh, Tuhan... akhirnya 

dipertemukan juga dia dengan anaknya.

Tetapi mengapa anaknya menjadi

sedemikian kejam? Dan bagaimana 

tiba-tiba dia memiliki ilmu kesaktian 

yang amat tinggi?

Sejenak Baguspuro menyangsikan 

pandangannya. Tetapi akhirnya dia 

menjadi nekat, perlahan-lahan dia 

beranjak mendekati Puji Wening.

"Ratu..."desisnya sambil menunduk.

Puji Wening melirik. "Apa?"

Oh, kasar sekali.suara itu! Berarti 

bukan anaknya! Dan nampaknya dia tidak 

mengenali sedikit pun.

Tetapi sosok di hadapannya memang 

sama dengan putrinya. Hati-hati 

Baguspuro mengangkat kepalanya. Dadanya 

berdetak lebih cepat dari tadi.

Benar, dia anaknya! Benar... wanita 

ini anaknya! Oh mengapa dia menjadi 

sedemikian kejam? ,

"Puji Wening..." panggilnya 

hati-hati.

Puji Wening atau yang lebih dikenal 

dengan Iblis Berbaju Hijau menatap 

laki-laki setengah baya yang sedang 

menatapnya.


“Hmm, berani sekali dia menatap wa-

jah ku? Apakah laki-laki itu sudah bosan 

hidup”.

"Kau... kau tidak mengenaliku, 

Nak?" desis Baguspuro pilu.

Tetapi wajah di hadapannya tetap 

dingin. Sepasang matanya memancarkan si-

nar kesal dan marah.

"Mau apa kau orang tua?!"

Baguspuro makin merasakan pilu di 

dadanya. "Puji...kau tidak mengenali 

aku, Nak?"

"Puji Wening? Hei, Bapak tua! Kau 

bicara apa?!" bentak Puji Wening yang 

tengah dipengaruhi oleh sinar aneh dari 

pedang mestika Malaikat Sakti. Dia 

sedikit pun tak menyadari lagi siapakah 

dia sebenarnya. Dia benar-benar telah 

melupakan segalanya.

Lagi Baguspuro menelan ludahnya. 

Anakku kenapa? Kenapa dia? Mengapa dia 

tidak mengenalku? Siapa yang telah 

mempengaruhinya?

Tiba-tiba muncul Martungga dan 

Kumpala.

Keduanya sedikit heran melihat 

laki-laki setengah baya yang 

membungkuk-bungkuk itu mengaku-aku 

sebagai ayahnya Iblis Berbaju Hijau.


Tetapi mereka kemudian tidak 

perduli. Mereka punya berita yang sangat 

penting.

"Salam hormat buat Ratu..." kata 

keduanya sambil menjura.

"Hmm... Martungga dan Kumpala... 

ada apa?"

"Kami menemukan Roro Dewi sudah 

menjadi mayat di tepi hutan menuju desa 

Glagah Arum, Ratu..." kata Martungga 

masih tetap menjura.

"Apa?!"

"Sungguh, Ratu... yang kami lihat 

benar adanya..." sambung Kumpala.

"Bangsat!!" Iblis Berbaju Hijau 

meng-geram. "Siapa yang 

berani-beraninya membunuh Roro Dewi, 

hah?!"

Martungga dan Kumpala hanya ter-

diam.

Tiba-tiba terdengar suara laki-laki 

setengah baya yang masih berdiri di dekat 

mereka.

"Puji... sadarlah, Nak.. Tingkah 

dan perbuatanmu sudah melampaui 

batas..."

"Hei, Orang tua! Omong apa kau di 

sini, hah?!" bentak Martungga.

"Orang gagah.. .sadarkanlah anakku 

itu.. bahwa dia telah jauh berada dalam


kesesatan.." kata Baguspuro masih 

menghormat.

"Anakmu? Siapa anakmu?! Kau jangan 

mengigau orang tua!"

Baguspuro menelan ludahnya. Dia te-

tap meratap-ratap dan mengaku-aku kalau 

Iblis Berbaju Hijau adalah anaknya.

Sementara Puji Wening menggeram 

marah.

Dia hendak mengibaskan tangannya, 

untuk membunuh laki-laki ini. tetapi 

mendadak dari sebelah barat terdengar 

ribut-ribut.

"Awas! Jangan sampai lolos!" 

"Kepuuung!!"

"Sikat!"

"Hajaaaaar!"

Dari bagian istana sebelah barat, 

muncul sosok tubuh yang berkelebat 

cepat. Lalu menyusul beberapa pengawal 

istana Iblis Berbaju Hijau yang bergerak 

mengejar.

Iblis Berbju Hijau menjadi siaga. 

Dia tidak menghiraukan lagi laki-laki 

yang mengaku-aku sebagai ayahnya. Sudah 

tentu semua keinginan Baguspuro sia-sia 

belaka. Karena Puji benar-benar telah di 

kuasai oleh pengaruh pedang mestika itu.


Martungga dan Kumpala sendiri 

segera bersalto menghadang larinya 

laki-laki tadi.

Laki-laki yang ternyata Pranata 

Kumala . pun menghentikan larinya. Dia 

pun menjadi siaga. Dalam hati dia 

menggeram. Belum dia mendapatkan Kembang 

Pasir Putih , sudah terpergok oleh para 

penjaga istana Iblis Berbaju Hijau.

Pranata tahu mereka adalah para 

penduduk desa yang diculik dan secara 

paksa dijadikan pengawal. Itulah 

sebabnya dia memilih menghindar daripada 

menjatuhkan tangan telengas pada mereka.

Namun sekarang, tak ada jalan lain 

karena barisan itu sudah mengepungnya.

Lalu dilihatnya dua sosok tubuh 

besar dan wajah menyeramkan 

menghadangnya.

Juga sosok tubuh tinggi langsing 

dengan mengenakan baju berwarna hijau. 

Inikah Iblis Berbaju Hijau? Sungguh 

cantik sekali.

"Hei, orang muda!" bentak 

Martungga. "Kau mencari mati berani 

datang ke sini!"

"Maaf.. namaku Pranata Kumala. Aku 

datang ingin meminta Kembang Pasir Putih 

pada kalian..."


Martungga tahu, khasiat apa yang 

terdapat pada Kembang Pasir Putih. 

Kembang satu-satunya yang bisa dijadikan 

sebagai obat penangkal racun dari 

Pukulan Kembang beracun. Dan 

satu-satunya yang memiliki pukulan itu 

hanyalah Roro Dewi! Ada apa pemuda ini 

sampai mencari Kembang Pasir Putih?

Martungga mencetuskan dugaannya. 

"Hmm... kaukah yang telah membunuh Roro 

Dewi?"

Pranata Kumala pun segera tanggap. 

Mungkir pun tak ada gunanya, karena dia 

yakin orang ini tahu sebab apa dia 

mencari Kembang Pasir Putih.

"Maafkan eku, Kisanak... Memang... 

akulah yang telah membunuh manusia jahat 

itu.."

"Bunuhlah dia, Martungga, 

Kumpala!!" terdengar seruan dingin yang 

dilontarkan oleh Iblis Berbaju Hijau.

Serentak Martungga dan Kumpala 

menyerang. Pranata Kumala pun tak mau 

dirinya dijadikan sasaran pukulan, 

sodokan dan tendangan mereka.

Maka dia pun membalas dengan cepat 

dan tangguh.

Martungga terus menyerang dengan 

tak kalah hebatnya.


Kumpala yang bergelar Iblis Tangan 

Delapan pun Segera mengeluarkan ilmunya 

jurus Tangan Delapan, yang bergerak 

dengan cepat.

Pranata Kumala sendiri sudah 

mengimbanginya dengan jurus Tangan 

Bayangan-nya. Dan sekali-sekali 

melontarkan pukulan sinar merahnya.

"Siiiing!"

"Siiiing!"

Pukulan itu mampu membuat Martungga 

dan Kumpala kalang kabut untuk 

menghindar.

Pada jurus ke sepuluh, terdengar 

jeritan Kumpala. Tubuhnya kena terhantam 

pukulan sinar merah Pranata Kumala. 

Tubuh itu pun ambruk ke tanah dan hangus 

masih mengeluarkan asap. Lalu dia pun 

meregang nyawa.

Melihat hal itu, Martungga menjadi 

sangat geram. Dia meningkatkan lagi 

serangan-serangannya. Yang dilakukan 

dengan secara cepat dan hebat.

Sejenak kehilangan keseimbangan ka-

rena serangan-serangan itu datang dari 

delapan penjuru. Yang membuatnya kalang 

kabut menghindar dia pun sudah 

menggunakan jurus menghindarnya, jurus 

Kijang Kumala. Yang mampu membuatnya


bergerak selincah dan secepat seekor 

kijang.

Tiba-tiba Pranata bersalto ke depan 

sambil memekik. Dia melompati tubuh 

Martungga Dan begitu kakinya hinggap di 

bumi, tubuhnya indenting kembali dan 

kedua telapak tangannya menghantam 

bagian punggung Martungga yang tersuruk 

kedepan.

"Aaaaaakkkh!!"

Pranata pun tak mau menyia-nyaiakan 

kesempatan yang ada padanya. Dia 

taerputar bersalto sambil melepaskan 

pukulan, sinar merahnya.

"Siiing!"

"Aaaaakhhhhh!!"

Terdengar pekikan Martungga untuk 

kedua kalinya. Kali ini dia yang termakan 

pukulan sinar merah Pranata Kumala. Dan 

ambruk untuk selama-lamanya.

Pranata yang masih berada di udara, 

tiba-tiba merasakan sebuah angin besar 

berdesir ke arahnya.

Sosok berbaju hijau sudah 

menyerangnya dengan hebat.

"Hei!!" jerit Pranata terkejut.

Iblis Berbaju Hijau sudah bergerak 

secara hebat dan tangguh. Kedua 

tangannya seperti mempunyai mata, 

mencecar ke mana perginya Pranata Kumala


Sebisanya Pranata Kumala 

menghindar, namun sebuah gedoran 

berhasil menghantam dadanya hingga dia 

terhuyung.

Lalu sosok berbaju hijau itu 

melenting ke belakang.

"Hhhh! Hanya begitu saja 

kemampuanmu!" desisnya dengan senyum 

dingin dan sepasang mata bersinar 

membunuh.

"Iblis betina! Meskipun kau dapat 

membunuhku, sejengkal pun aku tak akan 

lari untuk melawanmu!" balas Pranata 

yang merasakan dadanya bagai dihantam 

godam besar.

"Baik! Aku memang sudah ingin 

membunuhmu!!" seru Iblis Berbaju Hijau 

dan melenting menyerang. 

Serangan-serangannya ganas dan 

berbahaya. Cepat dan mematikan. Meskipun 

Pranata sudah menggunakan jurus Kijang 

Kumala, namun kelebatan Iblis Berbaju 

Hijau sangat luar biasa sekali. Sulit 

diikuti oleh mata.

Sekali lagi satu gedoran menghantam 

Pranata.

Disusul dengan satu tebasan pada 

kaki kirinya. Membuat Pranata ambruk. 

Kakinya bagai mau patah dia rasakan.


"Terimalah ajalmu, Orang sombong!!" 

sambil menggeram Iblis Berbaju Hijau 

menderu maju.

Pranata hanya bisa memejamkan 

matanya menanti ajal. Namun satu 

keanehan terjadi. Bukan Pranata yang 

terdengar memekik tetapi malah Iblis 

Berbaju Hijau. Dan tubuhnya melayang 

deras ke belakang.

Dan berdirilah sosok berjubah putih 

yang tersenyum arif dan bijaksana.

"Ayaaaah!!" seru Pranata Kumala be-

gitu membuka matanya.

Sosok itu memang Madewa Gumilang 

yang telah tiba untuk mencari Iblis 

Berbaju Hijau. Sementara wanita iblis 

itu membelalakkan matanya, karena 

terkejut tak menyangka dia akan 

menghantam suatu tembok.

"Hhh! Siapa kau adanya, hah?!"

"Namaku Madewa Gumilang..." *

"Rupanya kau yang bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma! Bagus, kau akan menerima 

kematianmu di Lembah Pasir Putih ini!" 

bentak Iblis Berbju Hijau sambil 

menyerang.

Madewa pun segera menyambut dengan 

jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu 

menggebrak maju dengan Pukulan Tembok 

Menghalau Badai. Karena dia berpikir,


kesaktian wanita ini begitu tinggi. Jadi 

dia tidak sungkan-sungkan untuk 

membalas. 

"Des!"

Pukulannya masuk mengenai 

sasarannya membuat wanita itu makin 

murka. Dia kembali menyerang dengan 

ganas, cepat, berbahaya dan mematikan. 

Jurus-jurusnya penuh tenaga dalam yang 

kuat.

Madewa pun mengimbanginya dengan 

tak kalah hebatnya. Kini dia 

mengeluarkan pukulan Angin Salju, karena 

dirasakannya hawa aneh yang panas 

terpancar dari tubuh wanita iblis itu.

"Des!" *

"Des!"

Namun keanehan terjadi. Tubuh Ma-

dewa yang terpental. Madewa jelas 

merasakan kalau wanita itu dipengaruhi 

oleh sesuatu.

Lalu dia terdiam. Berkonsentrasi 

membuka ilmu Pandangan Menembus Sukmanya 

sementara Iblis Berbaju Hijau terbahak.

"Hahaha... hanya begitu kemampuan 

Madewa Gumilang!"

Sementara Madewa menemukan kalau 

pengaruh aneh itu terpancar dari pedang 

yang tersampir di punggung wanita itu.


Dan dia pun lebih yakin setelah mendengar 

suara Baguspuro,

"Saudara Pendekar... jangan bunuh 

anakku. Dia gadis baik-baik... entah 

mengapa dia menjadi begitu sadis dan 

ke-,jam...".

Yakin wanita itu dipengaruhi oleh 

sinar yang keluar dari pedang yang 

tersampir dipunggungnya, Madewa 

bermaksud untuk memusnahkan pedang itu, 

Lalu nampak dia terdiam. Dan kedua 

tangannya perlahan terangkum di dada. 

Nampaklah asap berwarna putih keluar. 

Itulah Pukulan Bayangan Sukma. 

Dia pun menderu maju tanpa bermaksud 

untuk melukai wanita itu.

Iblis Berbaju Hijau yang 

dipengaruhi sinar aneh dari pedang itu 

pun meloloskan pedangnya. Pedang itu 

memancarkan sinar keemasan. Madewa 

melihat wanita itu jadi makin bernafsu 

untuk membunuh.

Serangan-serangannya makin ganas. 

Setiap kali pedang itu berkelebat 

menimbulkan hawa dingin yang menusuk. 

Madewa pun bekali-kali memapaki.

Dan... "Des!" ujung pedang yang siap 

menyambar jantungnya dihantamnya dengan 

Pukulan Bayangan Sukma.


Iblis Berbaju Hijau terpekik dan 

terpental.

Sementara pedang itu hangus dan 

hancur menjadi debu. Madewa bersalto 

sambil menunggu apakah pengaruh aneh itu 

masih membelenggu.

Baguspuro pun memekik saat anaknya 

terpental dan pingsan. Tapi beberapa 

menit kemudian, gadis itu pun siuman. 

Wajahnya pias, tidak ada sinar dari 

pancaran matanya nafsu membunuh.

Malah dia terkesan bingung.

"Oh! Bapa? Apa yang telah terjadi?"

Menyadari anaknya telah pulih 

kembali, Baguspuro mendekap anaknya

erat-erat.

"Puji... anakku..."

"Bapa... apa yang telah terjadi, 

Pak?" tanya Puji Wening yang bagaikan 

baru, bangun dari tidurnya.

"Tidak apa-apa Nak... Semua sudah 

berakhir.."

Madewa tersenyum. "Cepat kau cari 

Kembang Pasir Putih... Dan sembuhkan 

istrimu..." Lalu bayangan berjubah putih 

itu berkelebat dan menghilang.

Pranata mendesah. Ayahnya sudah 

tahu soal itu. Lalu dia pun segera 

mencari Kembang Pasir Putih, untuk 

mengobati. istrinya tercinta.


                         SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive