SATU
Sesudah berkata begitu, dia melesat den-
gan pedangnya. Menyambar ke arah Ratih Nin-
grum, tetapi serangan itu kandas karena bebera-
pa orang murid telah memapaki serangan itu.
"Boleh, boleh! Kalian semua boleh mengha-
dapiku! Bersiaplah kalian!"
Ratih Ningrum mencabut sepasang pedang
kembarnya. Ia menyuruh Pranata Kumala masuk.
Ratih Ningrum menyadari, betapa tingginya ilmu
orang itu. Dulu dia pernah mendengar nama De-
wa Pedang dan baru kali ini dia bertemu langsung
dengan orangnya.
Tidasewu melancarkan serangannya lagi.
Pedangnya itu bergerak dengan cepat dan tepat.
Bergulung-gulung tanpa kelihatan ke mana arah-
nya dan menyambar dengan cepat. Beberapa
orang murid memapaki dengan gerakan cepat pu-
la. Sebisa mereka menghalau serangan yang da-
tang. Tetapi mereka bukanlah tandingan orang
yang berjuluk Dewa Pedang itu, sebentar saja li-
ma orang tergeletak tanpa nyawa.
Tetapi semakin banyak murid-murid yang
datang dan mengurung. Seorang murid utama
yang bernama Jayalaksa, nekat menyerang sendi-
ri. Tidasewu menyambut, benturan dan suara
nyaring pedang-pedang itu amat memekakan te-
linga. Mula-mula kelihatan mereka seimbang,
namun lama kelamaan jelas Jayalaksa tidak
mampu mengimbangi kecepatan, kelihaian, dan
ketangkasan permainan pedang Tidasewu.
Tahu-tahu dia menjerit. Ujung pedang Ti-
dasewu sudah mampir di bahunya. Bahu itu ter-
gores dan darah merembas. Jayalaksa buru-buru
mundur.
Begitu dia mundur, yang lain segera me-
nyerang maju. Lagi-lagi terdengar jeritan dan sua-
ra nyaring benturan pedang. Kembali Pedang Ti-
dasewu dengan kecepatan yang luar biasa berke-
lebat dan tahu-tahu tinggal dia sendiri, lawan-
lawannya ambruk bersimbah darah.
Ratih Ningrum menggeram marah. Melihat
kenyataan itu, dia cepat maju. Lama kelamaan
bisa habis seluruh murid perguruan Topeng Hi-
tam. Sambil memekik keras, dia maju menyerang.
Kedua pedangnya menyambar dengan cepat pula.
Jurus sepasang pedang kembarnya dia perli-
hatkan dengan trampil dan cekatan.
Kalau bukan Dewa Pedang yang mengha-
dapi, pasti dengan mudah Ratih Ningrum menga-
lahkannya. Tetapi Tidasewu adalah jago pedang
nomor satu saat ini. Dengan mudah dia menge-
lakkan setiap serangan Ratih Ningrum. Bahkan
membalas dengan dahsyatnya.
Ratih Ningrum menjadi kewalahan. Tida-
sewu mendesaknya dengan hebat. Tusukan dan
sabetan pedangnya mengancam jiwa Ratih Nin-
grum. Melihat itu, Jayalaksa, nekat maju menye-
rang lagi, kali ini dibantu oleh Nurtita, yang lu-
mayan pula permainan ilmu pedangnya.
Dikeroyok bertiga, Tidasewu masih tidak
kewalahan. Dia malah semakin memperlihatkan
kepandaiannya dalam ilmu pedang.
Tiba-tiba dia memekik keras. Tubuhnya
melenting ke atas, bersalto tiga kali dan pedang-
nya dengan cepat menyambar Nurtita. Dengan
gesit Nurtita bergulingan, Tidasewu mengejar, te-
tapi mendadak dia terjatuh.
Pada saat yang genting itu, Jayalaksa telah
melemparkan beberapa senjata rahasianya dan
tepat mengenai kedua tangan Tidasewu. Satu
senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam itu,
nancap di pahanya.
Tidasewu ambruk bergulingan. Nurtita se-
lamat dari ancaman pedangnya. Dia marah kare-
na dirinya menjadi bulan-bulan tadi, dengan ge-
ram dia menerjang.
Mendadak dia bersalto ke belakang, se-
buah pisau hampir menyambarnya. Wajah Nurti-
ta agak pias, hampir saja pisau itu mencabut
nyawanya.
Tiba-tiba terdengar tawa yang menyeram-
kan dan terkikik di atas tembok, semua menoleh
ke sana. Seorang laki-laki muda berwajah tampan
dan seperti bocah berdiri dengan mengayun-
ngayunkan sebuah pisau. Di sampingnya berdiri
seorang wanita yang sangat buruk rupanya. Be-
tapa jeleknya wajah wanita itu, Ratih Ningrum
sampai ngeri melihatnya. Tetapi ditahannya. Dia
sudah bisa menduga siapa orang-orang ini, pasti
teman dari orang kurus tinggi itu.
Keduanya melompat ke bawah dengan rin-
gan. Laki-laki bertampang bocah itu tertawa men-
gejek pada Tidasewu,
"Ha... ha... kau tidak mampu menghadapi
mereka rupanya.... Sudah kubilang, kita gempur
mereka sama-sama. Tetapi yah... itulah akibat-
nya...."
"Jangan banyak bacot kau, Angkasena!"
bentak Tidasewu gusar. "Mereka terlalu banyak,
tenagaku habis diperas mereka!"
"Salahmu sendiri. Untung pisauku cekatan
menghalangi kematianmu."
Tidasewu gusar. Sementara Ratih Ningrum
sudah menyuruh murid-muridnya berkumpul,
menghalangi jalan masuk ke ruangan dalam. Ra-
tih Ningrum sendiri segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Jayalaksa menahan sedikit
rasa sakitnya. Nurtita sudah agak tenang. Dia ge-
ram dengan laki-laki bertampang bocah itu.
"Rupanya kalian teman-teman orang kurus
itu!" bentak Nurtita geram. "Kalian mau apa se-
muanya ke mari?"
"He... he..." Angkasena tertawa. Lagi terta-
wa itu, wajahnya mirip dengan Pranata Kumala.
"Sudah tentu ingin menghangus bumikan pergu-
ruan Topeng Hitam...."
"Kenapa kalian ingin berbuat demikian?!"
"Tentu saja agar semua takluk di tangan
kami!" Angkasena memain-mainkan pisaunya. Ti-
ba-tiba ia mengibaskan tangannya dan pisau ter-
bang menyambar ke arah Nurtita. Nurtita berkelit
dan menangkis pisau itu.
"Trang!"
Nurtita membentak, "Kau! Cepat layani
aku!" Lalu ia menyerang dengan cepat. Kemara-
hannya sudah sampai di kepala. Angkasena ter-
tawa. Ia menghindar dengan cepat pula. Nurtita
menjadi penasaran. Tetapi pedangnya tidak me-
nemui sasaran yang tepat.
Mendadak Angkasena berguling dan sambil
berguling itu dia mengambil sesuatu dari balik
bajunya dan melempar dengan cepat.
"Wuttt!"
Nurtita tergagap, menghentikan serangan-
nya untuk menghindari pisau itu. Angkasena ter-
bahak, dia melempar tiga buah pisau secara be-
runtun. Nurtita hanya mampu mengelakkan se-
buah pisau dan menangkis sebuah. Yang sebuah
lagi melayang dengan enaknya dan menemukan
sasaran yang empuk. Jantung Nurtita.
Nurtita menjerit. Darah bersimbah keluar,
ia ambruk setelah terhuyung lebih dulu. Jayalak-
sa kaget melihatnya. Kawan seperguruannya se-
jak kecil, kini menemui ajalnya. Demi membela
nama baik perguruan Topeng Hitam. Dia menjadi
beringas. Ketika hendak menyerang, Ratih Nin-
grum melarang.
"Sabar, Jaya. Kita dengarkan dulu apa se-
benarnya kemauan mereka!"
Rupanya wanita yang berwajah buruk itu,
mendengar bisikan Ratih Ningrum. Ia Sumpila
dan tertawa ngikik.
"Sudah jelas, untuk menduduki perguruan
Topeng Hitam dan menurut kepada perintah ka-
mi!"
Akhirnya Ratih Ningrum sendiri yang tidak
bisa menahan dirinya. Ia menyarungkan kedua
pedangnya karena lawannya yang bermuka buruk
itu tidak memegang senjata. Dia maju menyerang
dengan pukulan tangan seribunya. Tangannya
bergerak menjadi banyak. Sumpila tidak mau ka-
lah, jurus-jurus bangaunya bergerak dengan he-
bat pula. Kadang mematuk, menyodok, memukul
bahkan menotok. Membuat Ratih Ningrum agak
kewalahan juga. Tetapi dia bisa mengimbangi
dengan kecepatan tangannya yang seakan beru-
bah menjadi banyak.
Sumpila menggerakkan tangannya ke atas
dan mematuk ke arah kepala, Ratih Ningrum ber-
kelit, tangan Sumpila sudah mengancam ke leher!
Ratih Ningrum menggerakkan tangannya me-
nangkis.
"Plak!" Kedua tangan itu bertemu dan ke-
duanya terdorong ke belakang lalu cepat menye-
rang kembali. "Des!" Kembali kedua tangan itu
bertemu, kali ini keduanya agak jauh terdorong.
Ratih Ningrum terhuyung lima langkah,
sedangkan Sumpila hanya dua langkah. Itu me-
nandakan tenaga dalam Sumpila lebih tinggi dari
Ratih Ningrum. Tetapi Ratih Ningrum tidak gen-
tar, dia malah maju kembali dengan erangan ke-
ras. Sumpila menyambut. Kembali pukulan demi
pukulan beradu dan ditangkis. Ketrampilan dan
kecepatan keduanya perlihatkan.
Sumpila kelihatan lebih gesit. Dia bersalto
ke belakang dan mendadak tubuhnya berguling
ke bawah. Dia sudah menggunakan jurus Bangau
Mencari Cacing. Tubuh itu bergulingan dan me-
matuk kaki Ratih Ningrum. Cepat Ratih Ningrum
melompat tetapi tiba-tiba Sumpila bangkit dan
bagaikan terbang menotok ke arah iga Ratih Nin-
grum. Sebisanya Ratih Ningrum mengelak.
"Des!" Kaki Sumpila menyambar tubuh Ra-
tih Ningrum hingga jatuh bergulingan.
Melihat Ratih Ningrum dalam keadaan ba-
haya, beberapa orang murid perguruan Topeng
Hitam bergerak mengurung. Tetapi semua lang-
sung berdiri kaku karena Sumpila sudah berkele-
bat dan menotok mereka dan meneruskan seran-
gannya kepada Ratih Ningrum yang sedang beru-
saha untuk bangkit. Dia merasa payah, tidak
sanggup untuk menghadapi Sumpila, wanita ber-
wajah buruk yang sakti itu.
Dan melihat Sumpila sudah menyerang be-
gitu, sulit baginya untuk menghindar. Tetapi
mendadak Sumpila bersalto. Jayalaksa sudah
melempar beberapa senjata rahasia topeng hitam
untuk menyelamatkan istri ketuanya. Padahal dia
hanya untung-untungan. Kalah cepat sedikit, ta-
matlah riwayat istri ketuanya.
Jayalaksa lalu memburu Sumpila yang da-
lam posisi bersalto, kedua pedangnya siap me-
nyambar nyawa Sumpila. Tapi kini dia berbalik
bersalto. Dua buah pisau sudah menyambar ke
arahnya
"Trang! Trang!"
Susah payah Jayalaksa menangkisnya.
Terdengar tawa Angkasena.
"Seorang kesatria tidak boleh main bokong!
Mari kau kulayani! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatan ilmu pedang murid-murid pergu-
ruan Topeng Hitam!" seru Angkasena dan maju
menyerang. Tangannya lurus memukul, Jayalak-
sa menyambarkan pedangnya. Angkasena cepat
melompat dan kembali menyambarkan tangan-
nya. Gerakannya benar-benar cepat. Jayalaksa
kembali menyambarkan pedangnya dan menusuk
dengan gerakan menotok.
"Hebat!" seru Angkasena kagum. Ia balas
menyerang. Kali ini kelincahan dan kecepatannya
bergerak ia perlihatkan sampai Jayalaksa kewa-
lahan sendiri. Benar-benar luar biasa. Apalagi ke-
tika Angkasena melontarkan pisaunya sekali-
sekali, membuatnya semakin repot untuk berge-
rak dan menghindar.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah kem-
bali berhadapan dengan Sumpila. Ratih Ningrum
akan bertahan mati-matian demi membela pergu-
ruan itu juga nama baik suaminya. Sayang saat
ini suaminya belum kembali, kalau sudah, dia
tentu tak akan serepot ini menghadapi penye-
rang-penyerang itu.
Jurus bangau Sumpila benar-benar tang-
guh dan sulit untuk diimbangi. Hanya sekali-
sekali saja Ratih Ningrum bisa mengimbangi den
gan pukulan tangan seribunya dan kini dia men-
gimbangi dengan kedua pedangnya. Tetapi biar-
pun demikian, Sumpila masih bisa menghindar
dan tetap berada di atas angin, padahal dia ber-
tangan kosong!
Tetapi suatu ketika Sumpila lengah, karena
terdengar erangan Tidasewu yang terluka. Ke-
sempatan itu digunakan Ratih Ningrum untuk
menyabet leher Sumpila. Sumpila masih sempat
mengelak, namun tak urung rambut yang dibang-
gakannya terbabat pendek.
Sumpila menggeram marah. Dengan berin-
gas dia menerjang Ratih Ningrum yang menjadi
sangat kewalahan dan terdesak. Apalagi kaki ka-
nan Sumpila menjatuhkan sepasang pedang yang
dipegangnya. Dan patuk bangaunya menotok urat
di bawah tulang iga Ratih Ningrum.
Wanita itu merasakan sakit sekali dan tu-
buhnya terjengkang ke belakang. Sumpila mence-
car dengan buas. Rambut itu mahkotanya. Dia
akan membunuh siapa saja yang merusaknya.
Dan Ratih Ningrum telah merusaknya!
Keadaan Ratih Ningrum benar-benar terde-
sak. Ratih Ningrum sendiri sudah tidak mampu
untuk bertahan, bahkan mengelak.
Sumpila memekik keras. Tangannya mem-
bentuk patuk bangau dan melayang, Ratih Nin-
grum merasa ajalnya sekarang tiba. Dia belum
sempat bertemu dengan suaminya, juga belum
mencium putranya.
Ia memejamkan mata menanti ajalnya da
tang! Tetapi mendadak terdengar jeritan Sumpila,
dan tubuh itu ambruk sementara di dekatnya se-
buah tongkat bambu kuning menancap dengan
tegar!
DUA
Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang
menghalangi perbuatan Sumpila itu? Semua mata
mencari dan menemukan seorang laki-laki kira-
kira berusia enam puluh lima tahun duduk di su-
dut halaman.
Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan
bagaimana dia sudah duduk di situ. Pasti dia
yang melemparkan tongkat bambu kuning itu.
Gerakannya cepat. Itu menandakan laki-laki tua
itu bukan orang sembarangan.
Sumpila yang sudah bangkit berbalik den-
gan geram. Ia membentak, "Kakek! Kau mau cari
gara-gara rupanya! Kau belum tahu siapa aku?!"
Sumpila mencabut tongkat bambu kuning dan
melemparkannya sepenuh tenaga kepada laki-laki
tua itu. Tetapi sungguh diluar dugaan. Laki-laki
tua itu hanya mengangkat tangan kirinya dan
tongkat jatuh secara mendadak
"Punya kehebatan juga kau, Kakek!" ben-
tak Sumpila berang, padahal ia tengah menutupi
kekagetannya. Siapa kakek berjenggot putih yang
hebat ini?
Angkasena pun kagum dan bergetar meli
hat kehebatan tenaga dalam yang diperlihatkan
kakek itu. Agaknya dia tahu kakek ini orang yang
sakti, dia mengambil sikap menghormat. Dengan
sopan menjura.
"Luar biasa siapa gerangan kakek ini
adanya?" tanyanya dengan suara yang sopan pu-
la.
Kakek itu tahu-tahu sudah berdiri, entah
bagaimana dia bergerak tadi dan memungut
tongkat bambu kuningnya. Ia terkekeh.
"He... he... aku adalah orang desa yang tak
senang dengan orang-orang jahat," katanya pa-
rau.
"Kalau boleh kami tahu, siapa kakek sebe-
narnya?" tanya Angkasena tetap dengan sopan.
"Ah, aku yang sudah renta ini tak punya
nama yang bagus. Kalau kalian mau tahu, akulah
majikan gunung Muria yang baru saja turun gu-
nung...."
Sampai di situ kakek itu bicara, orang-
orang itu terkejut. Angkasena dan Sumpila sudah
mendengar kehebatan majikan gunung Muria.
Mereka pun mengenalnya, Ki Ageng Jayasih!
Orang itu memang Ki Ageng Jayasih. Sete-
lah menderita luka dalam yang tidak begitu parah
dari Madurka, Ki Ageng Jayasih menemukan se-
buah goa. Di sana dia mengobati dan beristirahat
untuk menyembuhkan lukanya. Setelah dirasa-
kannya lukanya sudah agak sembuh, dia berang-
kat lagi hendak mencari muridnya yang murtad.
Ketika itu, sampailah dia ke daerah sekitar pergu
ruan Topeng Hitam berada dan secara tak sengaja
telinganya menangkap suara benturan dan peki-
kan, yang menandakan sedang terjadi perkela-
hian di dalam.
Dengan hati-hati Ki Ageng Jayasih melom-
pat dan saat itu keadaan Ratih Ningrum dalam
bahaya, dia akan menolong tetapi Jayalaksa su-
dah menolongnya. Ki Ageng Jayasih melompat
duduk, tak seorang pun ada yang memperhati-
kannya. Ketika Ratih Ningrum terancam untuk
kedua kalinya, setelah dia berhasil membuat
rambut Sumpila, barulah Ki Ageng Jayasih me-
lemparkan tongkat bambu kuningnya.
Sekarang dia tersenyum.
"Maaf, aku yang tua ini lancang menggang-
gu urusan kalian yang muda-muda. Kalau boleh
aku tahu, ada apa gerangan?"
Belum lagi Sumpila menyahut, Jayalaksa
lebih dulu berkata, "Maaf, kakek yang sakti! Se-
mua kejadian ini bermula dari orang tinggi kurus
yang terluka itu. Maksud kedatangannya ingin
mengacau perguruan ini. Setelah kami berhasil
melukainya, datang dua orang itu yang ternyata
temannya dan bermaksud membantunya serta
menghancurkan perguruan Topeng Hitam ini, jika
kami tidak mau menyerahkannya kepada mereka.
Tentu saja kami mempertahankan dengan sekuat
tenaga...."
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut. Ter-
nyata masih banyak orang-orang jahat yang ingin
mempergunakan kesaktiannya untuk kepentin
gan pribadi.
Ki Ageng Jayasih bertanya, "Ketenaran per-
guruan Topeng Hitam sudah sampai pula ke gu-
nung Muria. Kalau tidak salah, ketua kalian ber-
nama Paksi Uludara, bukan?"
Jayalaksa menjura.
"Maafkan kami, Kakek sakti. Ketua kami
yang dahulu telah wafat...."
Ki Ageng Jayasih terkejut. Ketenaran nama
Paksi Uludara sampai pula ke telinga, tetapi sam-
pai saat ini dia belum pernah berjumpa dan selagi
datang, orang itu sudah pergi selama-lamanya.
"Lalu siapa ketua kalian sekarang?" ta-
nyanya pelan.
"Ketua kami bernama... Madewa Gumi-
lang."
"Madewa Gumilang?" Ki Ageng Jayasih me-
lotot. Ia pun pernah mendengar nama itu. Nama
yang mendadak menjulang, menembus langit ke-
tenarannya. Dan tak disangkanya kalau Madewa
Gumilang yang menggantikan kedudukan Paksi
Uludara. Tapi walaupun begitu, Ki Ageng Jayasih
meyakinkan, "Benarkah dia yang bergelar Pende-
kar Pukulan Bayangan Sukma? Pendekar budi-
man yang gagah perkasa?"
"Kiranya begitulah adanya ketua kami,"
sahut Jayalaksa merendah.
"Tak kusangka... di akhir sisa hidupku ini,
aku akan bertemu dengan orang itu. Lalu yang
manakah orangnya?"
"Sekali lagi maaf, Kakek sakti. Ketua kami
saat ini tidak berada di sini. Beliau sedang men-
gurus sesuatu. Kalau kakek ingin berkenalan
dengan istrinya, beliau ada di sini.
Kakek itu mengangguk sambil terkekeh.
Ratih Ningrum langsung menjura, sekalian
mengucapkan terima kasih atas pertolongan ka-
kek tadi menyelamatkan nyawanya.
"Sayalah yang bernama Ratih Ningrum."
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut.
"Pantas, orang-orang itu berani menggang-
gu perguruan kalian. Kiranya ketua kalian yang
sakti itu sedang tidak ada di sini." Ki Ageng Jaya-
sih berpaling pada Angkasena dan Sumpila yang
bersiap waspada, karena kakek tua itu agaknya
Ki Ageng Jayasih, majikan gunung Muria yang
beberapa tahun yang lalu mengasingkan diri di
gunung Muria. Ki Ageng Jayasih menyambung,
"Aku kenal kalian, juga teman kalian yang terluka
itu. Kalau tidak salah, kau adalah Iblis Berwajah
Bocah dan kau Dewi Buruk Rupa. Serta teman
kalian yang luka adalah si Dewa Pedang. Orang-
orang golongan hitam yang memulai aksinya un-
tuk mengacau!"
"Ki Ageng Jayasih, kami memandang nama
besarmu!" bentak Sumpila. "Tapi agaknya kau te-
lah mengganggu perbuatan kami. Kami tidak
akan memaafkan!!"
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku tidak
mengganggu kesenangan kalian. Cuma kali ini,
kalian salah mencari sasaran. Biarpun aku tidak
mengenal mangsa kalian, tapi jika aku melihat,
aku akan menentang!"
"Sombong kau kakek tua!" bentak Sumpila
gusar. Dia tidak takut dengan majikan gunung
Muria itu. Bahkan Sumpila ingin menjajaki sam-
pai di mana tingkat kesaktian Ki Ageng Jayasih
yang kesohor.
"Aku ini sudah tua, Suminten...." kata Ki
Ageng Jayasih. Sumpila terkejut, karena kakek
itu tahu nama sebenarnya. Nama jelek yang san-
gat dibencinya, buat apa aku harus sombong. Se-
lama aku masih sanggup membela kebenaran,
aku akan membela."
Sumpila atau Suminten mendengus gusar.
Ia membentak, "Ki Ageng Jayasih, telah lama aku
mendengar namamu yang hebat itu, tetapi sampai
sekarang aku belum merasakan kehebatanmu.
Nah, sambutlah seranganku. Aku ingin tahu
sampai di mana kesaktian Ki Ageng Jayasih yang
digembar-gemborkan orang...."
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa.
"Aku tidak pandai apa-apa, Suminten!
Orang hanya membesar-besarkan saja namaku.
Kita semua sama, tak punya daya dan upaya!"
"Aku tidak suka mendengar khotbahmu!
Terimalah serangan jurus bangauku, Ki Ageng
Jayasih!" bentak Sumpila sambil menyerang den-
gan ganas. Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Ia tak
beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri,
hanya mengayunkan tongkatnya. Sumpila meme-
kik, ia merubah jurusnya. Kali ini menyerang dari
atas dengan cepat. Ki Ageng Jayasih masih te
nang. Dia pun merubah gerakan tongkatnya ke
depan melenceng ke samping dan menyambar
kaki Sumpila.
Sumpila bersalto ke belakang. Kagum akan
jurus tongkat yang cepat itu.
"Bukan main! Nama Ki Ageng Jayasih bu-
kan hanya omong kosong belaka! Tapi bersiaplah
lagi!" Sumpila membuka jurusnya lagi. Kali ini dia
menggunakan Bangau Terbang ke Atas. Yang ge-
rakannya selalu menyambar ke muka.
Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Tetapi ti-
ba-tiba dia bersalto. Dua buah pisau melayang ke
arahnya. Dan dua buah lagi mengejar, dengan
manisnya Ki Ageng Jayasih mengibaskan tong-
katnya.
"Trok! Trok!" kedua pisau itu jatuh ke ta-
nah. Angkasena penasaran, serangan pisaunya
gagal. Sumpila sudah menjerit menyerang. Benar-
benar hebat jurusnya yang satu ini. Menyambar
bagaikan burung bangau mencari mangsa. Den-
gan kelincahannya Ki Ageng Jayasih menghindar.
Bahkan sekali-sekali menangkis, juga memukul
dengan tongkatnya.
Dengan jurus itu, Sumpila bisa mengim-
bangi kecepatan Ki Ageng Jayasih, tetapi karena
dia bertangan kosong sedangkan Ki Ageng Jaya-
sih memegang tongkat, dia menjadi agak kewala-
han menghindari pukulan dan totokan tongkat
itu. Melihat kawannya terdesak, Angkasena maju
membantu. Dikeroyok berdua begitu, Ki Ageng
Jayasih tidak nampak terdesak, malah dia sema
kin mantap memainkan tongkatnya. Sampai sua-
tu ketika Angkasena melenting ke atas dan me-
lempar dua buah pisaunya ke arah punggung Ki
Ageng Jayasih.
Ratih Ningrum terkejut, Dia berseru mem-
peringatkan, "Awas, Kakek!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tidak berkelit, ti-
dak bersalto. Dia hanya berbalik sambil mengi-
baskan tangannya. Dua larik sinar merah berke-
lebat menahan lajunya serangan pisau itu. Kedua
pisau itu jatuh dan hangus!
Angkasena terkejut, pisau yang terbuat da-
ri baja itu hangus. Tetapi dia tak sempat berpikir
lama lagi, karena sinar merah itu sudah mener-
jang ke arahnya. Dengan cepat dia berkelit. Ber-
guling menghindari sinar merah itu.
Ki Ageng Jayasih masih tenang menghada-
pi Sumpila. Jurus-jurus bangau Sumpila seka-
rang tak banyak gunanya. Sudah dua kali dia di-
gedor tongkat bambu kuning itu dan Angkasena
tidak berani membantu dari jarak dekat karena
kuatir sinar merah itu dilemparkan lagi oleh Ki
Ageng Jayasih. Dia hanya berani membokong se-
kali-sekali, tapi itu pun tak banyak gunanya.
Tiba-tiba terdengar jeritan Sumpila. Kem-
bali dadanya digedor tongkat bambu kuning itu.
Dia terhuyung ke belakang, kehilangan keseim-
bangan dan jatuh terduduk. Beberapa orang mu-
rid perguruan topeng hitam bertepuk tangan. Ra-
tih Ningrum pun bersyukur akan kedatangan Ki
Ageng Jayasih itu, kalau tidak perguruan Topeng
Hitam berhasil direbut oleh tiga orang sakti itu.
Melihat tak ada gunanya menghadapi ka-
kek sakti itu, Sumpila melompat ke tembok dan
berseru, "Kakek, lain waktu kita bertemu lagi!"
Lalu menghilang di balik tembok berkelebat
dengan cepatnya. Sementara itu, Angkasena pun
bergegas dengan memapah Tidasewu meloncati
pagar, mereka pun menghilang dengan ketaku-
tan.
Beberapa orang murid perguruan Topeng
Hitam mentertawai kepergian mereka yang seperti
tikus diuber kucing. Terbirit-birit.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah berja-
lan mendekati Ki Ageng Jayasih yang sedang
menggeleng-geleng. Heran, kenapa orang-orang
itu tidak mau insyafnya, padahal sebentar lagi
maut pasti mengajak mereka pergi.
"Ki Ageng Jayasih," panggil Ratih Ningrum
sambil menjura hormat.
Ki Ageng Jayasih menoleh dan tersenyum.
"Bukan kau yang seharusnya menghormat,
Nyonya Madewa. Tetapi aku, sebagai orang desa
yang harus menghormat istri ketua perguruan
yang besar ini."
Ratih Ningrum tersipu, wajahnya memerah.
"Jangan bersikap demikian, Kakek Sakti. Mari si-
lahkan mampir di tempat kami yang jelek ini."
Ki Ageng Jayasih tertawa.
"Jangan terlalu menyanjung dan meng-
hormatiku, Nyonya ketua. Maafkan aku, aku tadi
hanya kebetulan saja lewat tempat ini dan mem
bantumu. Aku masih ada urusan yang harus ku-
selesaikan, jadi maaf, aku tidak bisa menerima
undanganmu,"
"Kalau boleh saya tahu... hendak ke mana-
kah, Kakek yang kuhormati?"
Wajah kakek itu mendadak menjadi suram.
Lesu. Ia mengusap-ngusap janggut putihnya,
"Aku hendak mencari muridku yang lari
dari gunung Muria. Dia membawa senjata musti-
ka yang ampuh sekali."
"Senjata apakah itu?"
"Aku tidak bisa menerangkannya, Nyonya!"
tubuh renta itu mendadak berkelebat dan meng-
hilang. Mereka terkejut, hanya terdengar suara
kakek sakti itu, "Selamat tinggal semua! Kalau
ada waktu, aku akan mampir lagi! Sampaikan sa-
lamku kepada suamimu!"
Ratih Ningrum hanya manggut-manggut.
Betapa besar terima kasihnya kepada kakek itu.
Kalau tidak ada kakek sakti, apa jadinya pergu-
ruan Topeng Hitam ini? Bahkan nyawanya pun
bisa melayang.
Mengingat itu, dia berbalik dan melihat be-
berapa murid perguruan itu tergeletak tanpa
nyawa. Juga Nurtita yang setia. Ratih Ningrum
memerintahkan untuk mengangkut mayat-mayat
itu dan menguburkannya.
Malam sudah datang, Ratih Ningrum ma-
suk ke kamarnya. Merebahkan tubuh. Dia mere-
nung, berapa banyak kejadian yang mendebarkan
dan mengancam jiwanya. Tetapi semua itu dite
rimanya dengan tabah. Selintas ingatannya kem-
bali kepada rumahnya yang dulu. Di mana dia di-
besarkan dalam keluarga berada yang kaya raya.
Masa kecil yang indah dan kenangan di mana dia
jatuh cinta kepada seorang pemuda yang kemu-
dian menjadi pengawal pribadinya. Pemuda itu
adalah suaminya sekarang, Madewa Gumilang
(baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Berbagai peristiwa terjadi antara suka dan
duka semua itu diterimanya dengan tabah, tanpa
mengingat akan kekayaannya dulu, yang dia se-
rahkan kepada tiga orang gurunya. Ratih Nin-
grum sadar, mengikuti suaminya adalah cobaan
dan petualangan hidup. Suaminya adalah orang
budiman, pembela kebenaran, sudah barang ten-
tu banyak orang yang iri dan mendendam kepa-
danya.
Sampai mereka mempunyai seorang anak
pun, masih banyak peristiwa-peristiwa yang men-
debarkan.
Mengingat anak, Ratih Ningrum tersentak.
Dari tadi, dia belum mendengar suara Pranata
Kumala. Ke mana anak itu? Sudah hampir jam
sembilan malam sekarang, tetapi bocah itu belum
dilihatnya.
Ratih Ningrum segera mencari dan ber-
tanya di mana anaknya. Tetapi tak seorang pun
yang melihatnya. Kata Bayuseta, dia tadi melihat
anak itu masuk ke kamarnya, lalu tidak diketahui
di mana lagi dia sekarang.
Ratih Ningrum menjadi panik. Ke mana
anak tersayangnya itu.
"Pranata! Pranata!" panggilnya terisak. Be-
berapa orang murid membantu mencari. Tetapi
hampir semua ruang perguruan itu diperiksa ti-
dak ditemukan Pranata, juga di luar perguruan
Topeng Hitam.
Tetapi bocah itu tetap tidak nampak. Ratih
Ningrum menangis. Ke mana anaknya itu. Ia ter-
sedu-sedu masuk ke kamarnya. Jayalaksa segera
bertindak, mengambil pimpinan untuk segera
mencari Pranata Kumala.
"Apa tidak mungkin Pranata dibawa oleh
orang-orang tadi, Jaya?" tanya Bayuseta dengan
muka pucat. Dia pun kuatir ke mana perginya
Pranata Kumala.
"Aku tidak tahu, Bayu. Tapi ada baiknya
kita segera mencari."
"Malam ini juga, Kakang?" tanya salah seo-
rang.
"Malam ini juga! Kalau belum ketemu, jan-
gan kembali! Kita terapkan kembali peraturan ke-
tua kita yang dulu, Paksi Uludara. Kalian menger-
ti semua? Kita tidak ingin melihat Nyonya ketua
dalam kesedihan, bukan? Ayo mencari! Yang ti-
dak kuperintahkan jangan ikut! Jaga perguruan
dan Nyonya ketua!"
Jayalaksa menyuruh delapan orang segera
berangkat untuk mencari Pranata, termasuk
Bayuseta. Malam itu juga mereka berangkat, ka-
rena tak ingin Nyonya ketua bersedih, apalagi
saat ini ketua sedang tidak berada di sisinya.
EMPAT
Sebelum kita melihat ke mana perginya
Pranata Kumala, kita lihat kembali perjalanan
Madewa Gumilang yang akan mengunjungi ma-
kam Paksi Uludara yang masih membuatnya ber-
tanya-tanya, ada apa gerangan dengan makam
orang yang dihormatinya itu.
Ketika matahari sudah sepenggalah, dia
meninggalkan penginapannya. Dari tempatnya
menginap, jarak ke makam Paksi Uludara tidak
begitu jauh lagi. Di ujung hutan sana di dalam
goa, makam itu berada. Makam yang dibuatnya
bersama istrinya. Di dalam goa itu, juga ada ma-
kam Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut, Me-
lati Merah dan lima orang murid perguruan To-
peng Hitam (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Mengingat itu, Madewa mengenang kembali
kejadian beberapa tahun yang lalu. Peristiwa yang
mengerikan dan penuh darah.
Tiba-tiba pendengarannya menangkap
bunyi sesuatu yang mencurigakan di belakang,
tetapi Madewa tetap menjalankan kudanya den-
gan santai. Dia sudah tahu siapa gerangan orang
yang mengikuti di belakang. Bahkan sejak dia se-
habis keluar dari rumah makan kemarin, sudah
mengetahui kalau dia dibuntuti seseorang.
Orang itu adalah wanita yang memakai ke-
rudung. Entah mau apa dia mengikutinya sejak
kemarin dan hal itu membuat Madewa curiga. Dia
agak waspada sekarang, kemarin wanita itu tidak
kelihatan dan kali ini muncul lagi.
Mendadak Madewa menghentikan jalan
kudanya. Ia turun dan berlagak membuka perbe-
kalannya, tetapi mendadak dia mengibaskan tan-
gannya ke salah satu pohon besar yang ada di
sana.
"Sreeet!" Pukulan jarak jauhnya berkelebat
dan menghantam pohon besar itu hingga tum-
bang dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan,
"Keji!"
Dan melayang sesosok tubuh dari tumban-
gan pohon itu. Sosok tubuh itu seorang wanita
dan memakai kerudung putih! Orang itu tak lain
adalah Nimas Sertani atau Dewi Mulia Berhati
Busuk yang mengikuti Madewa sejak dari rumah
makan itu.
Disangkanya laki-laki itu tidak mengetahui
kalau dia diikuti, Nimas Sertani lupa, kalau yang
dibuntutinya bukan orang sembarangan. Malam
kemarin, setelah mengetahui di mana Madewa
Gumilang menginap, Nimas Sertani melapor ke-
pada Resi Sendaring lalu kembali ke penginapan
itu. Beberapa detik Nimas Sertani pergi, Bayuseta
datang!
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-
mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Sertani
untuk menampakkan diri.
Madewa tertawa melihat Nimas Sertani
muncul.
"Ha... ha... rupanya Dewi Mulia Berhati
Busuk yang mengikutiku...."
Wajah Nimas Sertani memerah, benar-
benar dia yang bodoh, penguntitannya rupanya
sejak semula diketahui Madewa Gumilang. Tetapi
dia hanya mendengus, menganggap remeh Made-
wa.
Madewa berkata lagi, "Dewi yang gagah
perkasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-
sembunyian. Ada apa Dewi sampai mengikutiku?
Ketahuilah Dewi... aku bukan orang kaya yang
banyak membawa uang!"
Semakin memerah wajah Nimas Sertani.
Matanya melotot gusar, tetapi Madewa hanya ter-
tawa. Dia harus tahu kenapa Dewi Mulia Berhati
Busuk mengikutinya. Namun sebelum dia berka-
ta, Nimas Setani sudah membentak keras, "Aku
memang sengaja membuntutimu... Madewa. Kau
tahu kenapa?"
Madewa tersenyum. "Katakanlah," sua-
ranya tenang.
"Aku ingin membunuhmu!" suara Nimas
Sertani kejam dan menusuk. Matanya meman-
carkan nafsu membunuh. Apalagi sejak tadi kata-
kata Madewa begitu menghinanya, begitu mem-
bakar kupingnya.
Madewa melengak sebentar tapi kemudian
tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak
berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak
pernah berselisih!"
"Pernah atau tidak, aku tak perduli! Seka-
rang bersiaplah kau, Madewa! Sudah lama aku
ingin menjajal kesaktian pendekar Pukulan
Bayangan Sukma! Tahan serangan!" membentak
Nimas Sertani dan melesat dengan pukulan lurus
ke wajah Madewa. Tak ada jalan lain buat Made-
wa kecuali melawan. Dia pun merunduk dan me-
nangkis lalu balas menyerang lebih cepat. Nimas
Sertani berkelit dengan cekatan dan kakinya me-
nyambar. Madewa memperlihatkan ilmu merin-
gankan tubuhnya dengan melompat ke sana ke-
mari menghindari serangan Nimas Sertani. Nimas
Sertani pun meningkatkan serangan-
serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-
ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah
memperlihatkan kelincahannya dan kesaktian-
nya.
Dan keduanya sama-sama masih bertahan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang.
Nimas Sertani maju menyerbu dengan dorongan
kedua tangannya. Madewa tidak mengelak, dia
malah menyambut dengan dorongan yang sama.
"Dess...!" kedua tenaga besar itu saling ber-
temu dengan hebatnya. Tubuh Nimas Sertani
mental ke belakang dengan deras, sedangkan Ma-
dewa hanya terhuyung lima langkah. Itu saja su-
dah menandakan, kalau tingkat tenaga dalam
Nimas Sertani masih jauh berada di bawah Ma-
dewa Gumilang.
Nimas Sertani mengusap darah yang ke-
luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan
menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-
barangan dan tidak boleh dianggap ringan. Nama
besar Madewa Gumilang memang suatu kenya-
taan yang tidak bisa dipungkiri.
Namun biar begitu Nimas Sertani tidak
gentar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia mem-
buka kerudung putihnya. Kerudung itu diuraikan
dan menjadi sebuah selendang. Dia mengebut-
ngebutkan selendangnya, rupanya akan dijadikan
senjata.
Madewa hanya tersenyum saja.
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang
menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya
sebelum Nimas Sertani menyerang. Namun Nimas
Sertani tidak mau menjawab. Dia malah terkikik.
Dan mengibaskan kerudungnya dengan cepat
Selendang itu bagaikan digerakkan oleh te-
naga magnit, bisa bergerak dan menangkis den-
gan cepat. Rupanya itu memang senjata andalan
Nimas Sertani.
Madewa pun bergerak dengan cepat meng-
hindarkan serangan selendang itu yang kadang
melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang
seperti tombak. Namun dengan jurus Ular Melo-
loskan Diri kembali Madewa bisa menghindarkan
serangan-serangan itu dan membuat Nimas Ser-
tani semakin penasaran.
Suatu ketika Madewa membentak keras
dan tubuhnya melenting ke atas, bersamaan den-
gan itu Nimas Sertani mengibaskan kerudungnya
yang mendadak menjadi tombak dan siap me-
nembus leher Madewa.
Masih di udara Madewa bersalto dan ber
balik menyambar ujung kerudung itu. Terjadilah
adu tenaga yang kuat, masing-masing hendak
mempertahankan ujung kerudung yang dipe-
gangnya.
Nimas Sertani yakin dia akan kalah dalam
hal adu tenaga dalam. Makanya dia membiarkan
kerudungnya dibetot oleh Madewa dan bersamaan
dengan itu dia mengenjot tubuhnya ke depan
dengan tangan dan kaki menyerang.
Madewa sedikit terkejut dengan serangan
demikian. Dia melempar tubuhnya ke samping,
tetapi Nimas Sertani mengejar dengan pukulan
saktinya:
Tak ada jalan lain selain memapaki, Made-
wa menyambut dengan jurus Tembok Menghalau
Badai.
"Desss!!"
Kembali dua tangan bertemu, tetapi kali ini
lebih besar dan mengakibatkan keduanya ter-
huyung ke belakang, Nimas Sertani muntah da-
rah begitu jatuh. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak
menyangka laki-laki itu berani memapaki seran-
gannya dan tenaga laki-laki itu betapa kuatnya.
Nimas Sertani tidak tahu, kalau saja Madewa me-
lepaskan pukulan bayangan sukmanya, nyawa
Nimas Sertani bisa melayang saat itu juga!
Merasa tidak sanggup melawan Madewa
Gumilang, dengan susah payah Nimas Sertani
bangkit sambil menahan rasa sakitnya.
"Kau... hari ini... aku mengakui kekalahan-
ku. Namun ingat Madewa... suatu saat nanti aku
akan membalas kekalahan ini....." Lalu dia me-
nyambar kerudung putihnya dan melesat dengan
cepat.
Madewa menggeleng-geleng bingung. Tak
mengerti akan kemauan Nimas Sertani. Sebenar-
nya dia mau apa menghadang perjalanannya dan
disuruh siapa dia melakukan itu?
Tetapi mendadak Madewa teringat akan
makam Paksi Uludara yang akan dikunjunginya.
Apa tidak mungkin, Nimas Sertani membuntu-
tinya sehubungan dengan makam itu. Tetapi mau
apa? Lagi-lagi dia mengkhawatirkan pedang mes-
tika Naga Emas. Apakah bukan soal itu yang
menjadi masalah sekarang? Orang-orang rimba
persilatan memang masih gila akan pusaka-
pusaka macam demikian.
Mengingat itu, Madewa melompat ke ku-
danya dan melarikannya kencang-kencang. Setiap
kali memasuki hutan itu, hatinya selalu bergidik.
Bayangan empat tahun yang silam selalu ter-
bayang. Di mana seorang gadis baik-baik, beru-
bah menjadi kejam dan jahat hanya gara-gara
cinta. Gadis itu bernama Nindia. Kini menjadi
pendamping Paksi Uludara di dalam goa itu.
Nindia, gadis murni yang lembut dan pe-
nakut menjadi seorang dewi penyebar maut den-
gan gelar yang menyeramkan pula.
Di ujung dari hutan itu, terdapat sebuah
goa. Di dalam goa itulah makam Paksi Uludara
berada. Madewa melompat turun dan menjura ke
arah goa itu. Memberi hormat sebelum masuk ke
dalam.
Mulut goa merupakan lorong yang agak
sempit namun begitu ke dalam agak membesar
dan Madewa tiba di sebuah ruangan yang besar.
Ruangan itu terang, karena dia setiap tahun sela-
lu mengganti obor yang bisa mencapai lebih dari
dua tahun terangnya.
Di tengah rongga itu, terdapat sebuah
singgasana dari batu. Di singgasana itu terdapat
emas, intan dan permata. Berkilauan dengan in-
dah. Dulu singgasana itu milik Dewi Cantik Pe-
nyebar Maut!
Madewa berdebar setiap kali melihat sing-
gasana itu. Seolah dia masih melihat bayangan
Nindia duduk sambil tersenyum antara benci dan
cinta kepadanya.
Madewa tidak mau memikirkan soal itu la-
gi. Dia langsung beranjak ke makam Paksi Uluda-
ra, dan bukan main terkejutnya ketika melihat
makam itu telah dibongkar! Tanah-tanah berse-
rakan dengan berantakan.
"Tuhan!" desis Madewa terkejut. Siapa yang
telah melakukan semua ini? Ia melongokkan ke-
pala. Kerangka Paksi Uludara tidak ada, begitu
pula dengan pedang sakti naga emas!
Madewa terhenyak lesu. Marah. Benci dan
gusar. Buat apa makam Paksi Uludara diganggu-
ganggu. Betapa berdosanya orang yang melaku-
kan semua ini. Dia menggigit bibirnya sedih. Ba-
gaimana tidak sedih, orang yang telah tenang di
alamnya sana, diganggu dan dibangkitkan dari
kuburnya!
Ia berlutut di hadapan makam yang telah
acak-acakan itu. Menyatukan kedua tangannya di
dada dan merunduk.
"Paksi... maafkan semua kelalaianku. Kau
telah tenang, tapi masih ada orang yang mau
mengganggumu.... Aku akan mencari orang itu,
Paksi. Dan meletakkan kembali kerangkamu ke
dalam makam ini...."
Setelah menganggukkan kepala tiga kali,
tanda minta maaf, Madewa berbalik dari berlari
keluar goa. Dia melompat ke kudanya. Wajahnya
menampakkan kemarahan, kesedihan dan kegu-
saran yang luar biasa. Dia akan mencari dan
membunuh orang yang telah merusak makam itu.
Salah satunya adalah Aryo Gembala!
Namun tiba-tiba kudanya meringkik keras
sampai membuat Madewa terlepas dari tali ken-
dali. Dengan sigap dia melompat dan bersamaan
dengan itu, kudanya ambruk meregang nyawa
dan nyawanya lepas dari tubuhnya.
Madewa segera waspada. Ia menggeram,
"Bangsat!"
Tiba-tiba dari balik pohon dan semak, ber-
keluaran sepuluh orang berpakaian pendekar
dengan memakai angkin berwarna kuning. Made-
wa sulit mengenali dari perguruan mana orang-
orang itu. Rupanya mereka hendak menyembu-
nyikan identitas asli mereka.
Mereka langsung mengambil sikap mengu-
rung. Salah satu dari mereka memegang sebuah
golok besar. Orang-orang itu adalah utusan dari
Resi Sendaring atau anggota perguruan Cakar
Naga dan yang memegang golok besar itu sudah
tentu Joko Mandra yang bertugas memimpin
sembilan anak buahnya untuk membunuh Ma-
dewa.
Begitu diberi perintah, mereka langsung
menjalankannya, yaitu menuju makam Paksi
Uludara dan menghancurkan makam itu. Ke-
rangka dan pedang mestika yang didapat oleh
mereka secara tidak sengaja harus dibawa pu-
lang. Dan kalau berjumpa dengan Madewa Gumi-
lang, mereka ditugaskan untuk membunuh!
Sekarang orang-orang itu sudah mengu-
rung Madewa. Madewa yang merasa perjalanan-
nya untuk mencari Aryo Gembala terhambat, dia
menggeram marah.
"Ada apa kalian mengurungku dan meng-
halangi perjalananku?" bentaknya gusar. Matanya
melihat dengan waspada.
Pemuda yang memegang golok besar mem-
bentak, "Kami ingin membunuhmu!"
"Apa sebab kalian ingin membunuhku?"
"Terus terang, kami membenci orang-orang
Topeng Hitam! Apalagi ketuanya! Hari ini... kami
berniat ingin membunuh ketua perguruan Topeng
Hitam itu!"
"Baik, kalian dari perkumpulan mana?"
"Persetan dengan perkumpulan!" bentak
orang itu yang tak lain Joko Mandra. Lalu berseru
menyerang, "Habisi orang itu dan ganyang
mayatnya!!"
Serentak lima orang bergerak secara ber-
samaan dengan cepat. Madewa menghindar ke
belakang belum mengerti mengapa orang-orang
itu menyerangnya. Makanya dia belum mau
membalas menyerang, masih menghindari seran-
gan-serangan mereka. Agaknya murid-murid per-
guruan Cakar Naga itu tidak mau mengeluarkan
ilmu cakar naga mereka. Mungkin kuatir keta-
huan oleh Madewa dan bisa menebak dari partai
mana mereka datang.
Namun lama kelamaan Madewa merubah
gerakannya. Dia tidak hanya menghindar, bahkan
mulai balas menyerang. Menghadapi orang-orang
itu dia tidak perlu lembut-lembut. Apalagi orang
yang memegang golok besar itu sudah maju me-
nyerang.
Sambaran-sambaran goloknya begitu dah-
syat. Sabetannya saja menimbulkan desiran an-
gin yang amat kuat. Kini sepuluh orang itu sudah
turun tangan semua mengeroyok Madewa. Made-
wa kembali memperlihatkan jurus Ular Melo-
loskan Diri, yang dipakai untuk menghindari se-
rangan-serangan itu.
Dia juga menangkis, menghindar dan balas
menyerang. Dua orang dari mereka termakan pu-
kulan dan tendangannya. Kedua orang itu ter-
huyung menahan rasa sakit.
Melihat teman mereka kena, orang-orang
itu semakin beringas. Serangan mereka semakin
beruntun. Belum lagi yang memegang golok besar
itu. Joko Mandra menyambarkan goloknya den-
gan hebat. Dia jengkel dua orang temannya ter-
kena pukulan.
Gerakannya bagaikan kilat. Golok besarnya
bergulung-gulung dan menyambar dengan dah-
syat. Madewa merasa, lama-kelamaan dia bisa
kehabisan tenaga. Tiba-tiba dia bersalto ke udara
dan mengibaskan tangan kanannya.
Sebuah dorongan angin yang besar meng-
hantam orang-orang itu hingga jatuh berantakan.
Kesempatan itu dipakai oleh Madewa untuk ber-
tanya, "Katakan, kalian dari partai mana?!"
Joko Mandra sudah berdiri dan menye-
rang, "Kau tak perlu tahu kami dari partai mana!
Makan golokku!!"
Kembali golok itu menyambar, Madewa
berkelit ke kiri dan menyodokan tangannya. Ju-
rus Ular Mematuk Katak. Gerakan tangannya ba-
gai bergelombang, tahu-tahu Joko Mandra mera-
sakan tulang iganya digedor oleh tangan yang ke-
ras. Joko Mandra terhuyung. Tulang iganya sera-
sa patah.
Tetapi belum lagi Madewa berkata-kata,
sembilan orang yang lain sudah menyerang. Men-
gingat lawan yang mereka hadapi demikian tang-
guh, mereka lupa untuk menyembunyikan identi-
tas mereka. Dengan gerakan serempak mereka
menyerang dengan cakar naga! Kelima jari mere-
ka membentuk sebuah cakar dan menyerang
dengan ganas.
Mula-mula Madewa tidak menyadari hal
itu, tetapi ketika dia menyerang dan ditangkis
dengan gerakan menekuk dan mencakar, dia bu-
ru-buru menarik tangannya pulang dan berseru,
"Cakar Naga!"
Seruannya itu mengejutkan orang-orang
itu. Dengan serentak mereka merubah jurus me-
reka, tetapi Madewa sudah mengetahui dari partai
mana mereka datang. Jurus cakar naga hanya
dipunyai oleh orang-orang Perguruan Cakar Naga.
Tetapi mereka mau apa ingin membunuhnya?
Joko Mandra menyesali anak buahnya
yang sudah mengeluarkan jurus perguruan mere-
ka. Namun tak bisa disembunyikan lagi. Madewa
sudah mengetahui hal itu.
Joko Mandra membentak, "Kami memang
orang-orang dari perguruan Cakar Naga! Kau ta-
hu... kami semua membenci orang-orang pergu-
ruan Topeng Hitam!"
"Kenapa?" Madewa bertanya, berusaha
mengorek keterangan lebih lanjut.
"Karena perguruan Topeng Hitam, menga-
lahkan ketenaran nama perguruan Cakar Naga!"
Madewa geleng-geleng kepala. "Hanya ka-
rena itu kalian ingin membunuhku? Kalian se-
mua salah, sebaiknya kita bersaing secara sehat.
Bukan saling membunuh demikian!"
"Tidak, kami tetap menginginkan nyawa-
mu! Bersiaplah!" Joko Mandra membuang golok
besarnya. Ia membuka jurus cakar naganya, me-
lihat itu, kesembilan anak buahnya berbuat yang
sama. Inilah jurus-jurus cakar naga yang hebat
dan kejam!
Madewa pun bersiap. Jurus-jurus ular sak-
tinya akan dia perlihatkan. Joko Mandra sudah
berseru menyerang dan serentak sepuluh orang
itu menerjang. Sambaran-sambaran tangan me-
reka kali ini lebih dahsyat. Jurus cakar naga
sungguh keji. Selalu mengarah kepada tiga titik
kematian. Urat leher, jantung dan kemaluan. Me-
nerima serangan yang serentak dan beruntun itu,
membuat Madewa agak kewalahan. Namun ke-
mudian dia berhasil menembus formasi itu dan
mulai balas menyerang.
Madewa sudah mengeluarkan jurus Ular
Mematuk Katak dan pukulan Tembok Menghalau
Badai. Dengan kedua jurus yang diperpadukan
itu, dia berhasil menotok kaku tiga orang dari me-
reka. Dan menggedor dada dua orang dari mereka
dengan Tembok Menghalau Badai. Kedua orang
itu muntah darah dan roboh.
Joko Mandra Semakin menggeram dengan
marah. Bersama empat orang temannya, mereka
menyerang lagi. Namun biarpun berlima, mereka
bukanlah tandingan Madewa Gumilang, pendekar
yang namanya menggegerkan dunia persilatan se-
jak menumpas perkumpulan Telapak Naga!
Dengan mudah saja kelima orang itu diro-
bohkan dan dibuat tunggang langgang.
Joko Mandra mengeluh karena dadanya di-
rasakan amat sakit. Dia merasa tidak mampu un-
tuk menghadapi Madewa. Sekarang baru dia ya-
kin, akan kehebatan dan kesaktian Madewa Gu
milang!
Melihat lawan-lawannya ambruk, Madewa
tidak menyerang lagi. Dia mengambil sebuah ke-
rikil kecil dan menyambitkan ke arah Joko Man-
dra yang sedang mengeluh.
"Tuk!"
Joko Mandra tersentak dan mendadak tu-
buhnya kaku. Rupanya Madewa menotoknya dari
jauh dengan batu kerikil itu. Lalu dia mengham-
piri Joko Mandra.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian
berbuat begini padaku?" serunya dengan geram.
Joko Mandra malah mendengus. Tatapan-
nya penuh kemarahan, tak ada rasa ketakutan
sedikit pun.
"Sampai kapan pun aku tak mau bicara!"
dengusnya seraya meludah ke tanah.
Madewa merasa diejek dengan ludah itu.
Dia menggeram jengkel. Dan mendadak dia me-
langkah ke sebuah pohon jati yang ada di sana.
Di pohon itu terdapat banyak semut-semut yang
bisa menggigit. Diambilnya lima ekor dan diletak-
kannya di leher Joko Mandra
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian?
Kalau tidak, semut-semut itu akan mengerayangi
seluruh tubuhmu!"
Joko Mandra terdiam, tetapi begitu semut-
semut itu melangkah menelusuri tubuhnya, dia
agak menggigil. Geli dirasakannya dan salah see-
kor dari semut itu sudah menggigit pipinya.
"Auuu!" Joko Mandra menjerit, panas seka
li dirasakannya gigitan itu. Tetapi semut-semut
itu seakan tak mau perduli, mereka terus berjalan
dan menggigit dengan seenaknya, sampai Joko
Mandra menjerit-jerit kesakitan. "Baik, baik! Aku
katakan!" serunya terengah-engah.
Madewa tersenyum.
"Katakan...."
"Ambil, ambil semut-semut itu!" suara Joko
Mandra memohon dan agak kesakitan.
Madewa mengambil ke lima ekor semut itu
yang masih bergerak di sekitar kepala Joko Man-
dra.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian?
Aku yakin, kalian adalah orang-orang perguruan
Cakar Naga yang membenci Perguruan Topeng Hi-
tam. Aku tidak tahu... semua itu kemauan kalian
atau ketua kalian yang menyuruh...."
"Baik, baik.... Kami memang membenci ka-
lian dan kami... aughhh!" Joko Mandra menjerit
kesakitan dan kepalanya terkulai lemah. Lalu ro-
boh ke tanah.
Madewa terkejut ia segera memeriksa tu-
buh Joko Mandra. Tubuh itu telah menjadi mayat
dan di lehernya terdapat sebuah pisau kecil ta-
jam. Rupanya disambitkan oleh seorang yang
sangat ahli. Madewa melesat ke depan, mencari
jejak orang itu, tetapi tak nampak sedikit pun je-
jaknya. Ia kembali lagi hendak bertanya pada
yang lain. Namun dia kembali terkejut. Orang-
orang itu sudah menjadi mayat semua dengan
sembilan buah pisau di leher mereka masing
masing.
Madewa menggeram marah. Ia cepat me-
lompat ke kudanya dan memacu dengan cepat. Ia
mencurigai ketua perguruan Cakar Naga di balik
semua ini.
Teringat akan makam Paksi Uludara, kege-
raman Madewa semakin menjadi-jadi!
EMPAT
Matahari muncul di ufuk timur. Cahayanya
mulai menyelimuti seluruh dunia. Matahari tak
pernah mengeluh akan tugas rutinnya itu. Dia se-
lalu menyinari dengan penuh kelembutannya se-
tiap hari.
Di perguruan Topeng Hitam sedang terse-
limut duka. Maka Ratih Ningrum memerah. Ia
menangis sejak semalam. Apalagi orang-orang
yang diutus Jayalaksa kembali dengan tangan
hampa. Mereka tidak menemui jejak Pranata Ku-
mala. Ratih Ningrum semakin sedih dan kuatir.
Karena repotnya menghadapi orang-orang jahat
kemarin, dia sampai lupa akan anaknya.
Akhirnya Ratih Ningrum memutuskan un-
tuk berangkat mencari Pranata Kumala. Dia
berpesan kepada Jayalaksa untuk memimpin
perguruan sampai dia atau suaminya kembali.
Mendengar rencana itu, Bayuseta segera
manggut-manggut dalam hati. Dia harus mela
porkan semua ini kepada Resi Sendaring. Sebe-
narnya, kehilangan Pranata Kumala adalah oleh-
nya. Ketika Pranata masuk ke dalam kemarin, dia
langsung menyergapnya dan membawa bocah itu
ke perguruan Cakar Naga. Setelah itu buru-buru
kembali dan berlagak kehilangan dan mencari ke-
tika Pranata dinyatakan hilang.
Sekarang Ratih Ningrum akan pergi men-
cari Pranata Kumala, itu kesempatan yang baik
untuk Bayuseta membuntuti Ratih Ningrum.
Sebelum matahari sepenggalah, Ratih Nin-
grum sudah pergi dengan menaiki seekor kuda.
Tak berapa lama, Bayuseta pun menyusul dengan
kuda yang disembunyikannya tak jauh dari per-
guruan.
Ia berusaha menjaga jarak agar tidak dike-
tahui oleh Ratih Ningrum. Melihat wanita itu pergi
sendiri, di benak Bayuseta melintas sebuah piki-
ran jelek. Kesempatan yang paling bagus adalah
saat ini, kapan lagi dia bisa memiliki wanita itu
secara utuh.
Berpikiran demikian, dia menunggu sam-
pai Ratih Ningrum tiba di tempat yang sepi. Begi-
tu keduanya memasuki sebuah hutan kecil,
Bayuseta mempercepat laju kudanya dan me-
manggil-manggil, "Nyonya ketua! Nyonya ketua!"
Merasa dirinya dipanggil, Ratih Ningrum
menghentikan laju kudanya. Ia menoleh, Bayuse-
ta yang memanggilnya dan menjajari kudanya.
Hmm, pemuda ini sudah melanggar aturan yang
telah ditetapkan. Keluar tanpa seizinnya atau su
aminya.
"Ada apa, Bayuseta?" tanya Ratih Ningrum
agak tidak senang.
Bayuseta menunduk, menghindari tatapan
ketuanya yang memancarkan sinar agak marah.
Tetapi dalam hati, dia tertawa. Sebentar lagi wani-
ta yang sangat dicintainya itu berada dalam. ke-
kuasaannya.
"Maafkan aku, Nyonya ketua. Aku keluar
tanpa seizin siapa pun," suara Bayuseta sopan.
"Kau mau apa menyusulku?" Melihat pe-
muda itu agak menyesali kesalahannya, suara
Ratih Ningrum sudah agak mereda. Lembut se-
perti biasa.
"Aku ingin menemanimu, Nyonya ketua.
Aku kuatir, saat ini banyak sekali orang-orang ja-
hat yang ingin merebut perguruan Topeng Hitam
dan tidak mustahil perjalanan Nyonya ketua di-
jegal oleh mereka."
Ratih Ningrum tersenyum. Agak senang
karena dikuatirkan.
"Kau tak perlu mengkuatirkan aku, Bayu-
seta. Aku sanggup menjaga diri."
"Bukan maksudku untuk merendahkan-
mu, Nyonya ketua. Tapi aku kuatir, orang-orang
jahat itu beramai-ramai mengeroyokmu dan kau
ditawan oleh mereka. Nyonya ketua... izinkan aku
untuk menemanimu...."
Ratih Ningrum tersenyum, Bayuseta sema-
kin naik nafsu birahinya melihat senyum yang
menggetarkan jiwanya itu. Ratih Ningrum men
gangguk, tak ada salahnya kalau Bayuseta me-
nemaninya. Lagipula, lebih baik ada teman dari-
pada sendiri. Ia pun menjalankan kudanya dan
Bayuseta menjajarinya. Tak sedikit pun pikiran
jelek mampir di benaknya.
Hutan kecil itu sunyi. Angin bertiup meng-
gesek dedaunan. Suasana agak dingin, matahari
hanya bisa menembuskan sinarnya sedikit. Hawa
yang agak dingin itu, membuat Bayuseta tak
mampu menahan diri lama-lama. Dengan cepat ia
menubruk Ratih Ningrum hingga jatuh bergulin-
gan dan disergapnya dengan cepat.
Ratih Ningrum terkejut karena tak me-
nyangka Bayuseta akan berbuat demikian, dia
meronta. Tetapi Bayuseta yang sudah berada di
atas tubuhnya tidak mau melepaskan kesempa-
tan yang susah payah dicari dan ditunggunya.
Dengan beringas dia menciumi seluruh tubuh Ra-
tih Ningrum.
Ratih Ningrum meronta dengan memukul
wajah Bayuseta. Bayuseta meringis sakit. Dia me-
lotot dengan marah. Ditotoknya Ratih Ningrum
hingga tak dapat bergerak.
Bayuseta terbahak melihat Ratih Ningrum
mendelik gusar.
"Ha...ha... akhirnya aku memiliki juga wa-
nita yang kucintai selama ini. Aku mencintaimu,
Nyonya ketua atau... lebih mesra kupanggil... Ra-
tih Ningrum.... Oh, nama yang indah sekali...."
Ratih Ningrum menggigil melihat wajah
Bayuseta yang berubah. Wajah itu bukan milik
Bayuseta, tetapi milik iblis yang telah merasu-
kinya.
Ia meratap. "Bayu... kau... hendak berbuat
apa padaku?"
Bayuseta terbahak.
"Sudah jelas ingin memiliki dirimu, Ratih
ku sayang.... Lama aku mencari kesempatan ini.
Dan hari ini aku memiliki dirimu...".
"Lepaskan aku, Bayu! Lepaskan!" bentak
Ratih Ningrum ketakutan. "Kubunuh kau, Bayu!
Kubunuh kau!"
Tetapi mana mau Bayuseta melepaskan
mangsa yang sudah tersedia di hadapannya. Dia
menciumi tubuh Ratih Ningrum dengan buas dan
tentu saja Ratih Ningrum memaki-maki, kalau sa-
ja tubuhnya bisa digerakkan dia akan hajar
Bayuseta ini sampai minta ampun-ampun.
Bayuseta hanya tertawa-tawa saja men-
dengar makian Ratih Ningrum.
"Ha... ha... makilah, Ratih! Sebenarnya aku
enggan memperkosamu... tetapi kini aku minta
dengan baik-baik. Ingat Ratih Ningrum... kau
berhutang budi kepadaku dan bermaksud mem-
balasnya. Hari ini aku minta balasan ini...."
"Tidak, tidak dengan cara begini, Bayu! Le-
paskan aku, Bayu!"
"Ha... ha... ternyata kau orang yang melu-
pakan budi, Ratih. Kalau tidak ada diriku, kau
sudah mampus waktu itu. Iya atau tidak, aku
meminta balasan budiku itu sekarang.... Dan
kuminta kau menyerahkannya secara suka re
la...!"
Ratih Ningrum memaki, "Tidak, bangsat
kau, Bayuseta! Kau setan! Kau iblis! Kubunuh
kau... kubunuh!!"
Tiba-tiba suara Bayuseta. terdengar bengis,
"Diam, Ratih! Sudah kuminta baik-baik, kau ma-
sih berontak! Baik, jika kau tak mau diam, aku
akan membunuh anakmu, Pranata Kumala!"
Ratih Ningrum terbelalak. Kaget. Rontaan-
nya berhenti. Anaknya, mana, mana? Tetapi ke-
mudian Ratih Ningrum sadar, kalau anaknya be-
rada dalam kekuasaan Bayuseta.
"Kau... kau benar-benar iblis, Bayu!" ben-
tak Ratih Ningrum dengan kebencian yang luar
biasa. "Kau benar-benar... aahh... jangan, jan-
gan!"
Bayuseta sudah menciumi lagi dengan be-
ringas. Tak diperdulikannya makian Ratih Nin-
grum, dengan buas dia menyobek baju di bagian
dada Ratih Ningrum. Terdengar suara robek dan
nampak payudaranya yang telanjang. Bayuseta
semakin menjadi ganas. Nafsu birahi sudah
membuatnya buta dan lupa segalanya. Lupa sia-
pa orang yang hendak diperkosanya itu. Lupa
akan kebaikan orang yang hendak diperkosa itu.
Ratih Ningrum sendiri sudah memejamkan
matanya. Sudah letih dia memaki. Dia pun tak
berhasil membebaskan dirinya dari totokan Bayu-
seta.
Dia pasrah. Kini dia tahu, kalau Bayuseta
adalah musuh dalam selimut. Dia yang menculik
anaknya. Dia yang hendak merusak kehormatan-
nya.
Pada saat yang gawat akan kehormatan
Ratih Ningrum, terdengar suara kekehan dari
samping. Bayuseta yang sudah diamuk birahi ti-
dak memperdulikan tawa itu. Tiba-tiba dia mera-
sakan tubuhnya dihantam benda keras dan ter-
guling dengan rasa sakit di pinggangnya.
Orang yang menendang itu memetik se-
buah daun dan melemparkan ke arah Ratih Nin-
grum. Tiba-tiba Ratih Ningrum merasakan tu-
buhnya sudah terlepas dari totokan. Buru-buru
dia merapikan pakaiannya yang acak-acakan.
Dan melihat siapa yang telah menolongnya.
Majikan gunung Muria, Ki Ageng Jayasih!
Buru-buru dia menjura hormat.
"Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih yang menyela-
matkan aku," kata Ratih Ningrum penuh terima
kasih.
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Hanya kebetu-
lan saja, Nyonya ketua."
Sementara itu, Bayuseta melihat siapa
yang telah menendangnya. Dia terkejut ketika
mengenali orang itu. Majikan gunung Muria. Bu-
ru-buru dia melompat ke kudanya, tetapi menda-
dak kuda itu tak mau melangkah. Digembraknya
berkali-kali tetap diam saja.
Ki Ageng Jayasih terbahak. Barulah Bayu-
seta sadar, kalau kakek sakti itu telah menotok
kudanya. Melihat kenyataan itu, dia turun dan
berlari, namun sebuah bambu kuning menancap
tepat di depannya dan menghalanginya lari.
Pucat wajah Bayuseta, tubuhnya menggigil.
Apalagi ketika Ki Ageng Jayasih menghampirinya.
Tubuhnya terasa lemah, tak kuat untuk berlari
lagi. Ia jatuh bersimpuh dengan tubuh penuh ke-
ringat.
Ki Ageng Jayasih terbahak.
"Ha... ha... hanya begini nyali orang yang
hendak berbuat jahat," suaranya pelan tetapi ter-
dengar amat menyeramkan.
Bayuseta benar-benar kehilangan tena-
ganya. Mendengar nama Ki Ageng Jayasih dis-
ebutkan saja, dia sudah bergetar. Kelihaian Ki
Ageng Jayasih sudah tidak disangsikannya lagi.
Ia hanya tersimpuh dengan wajah tertun-
duk. Ki Ageng Jayasih mencabut tongkat bambu
kuningnya dan tertawa penuh ejekan.
"Berbuat zina saja sudah dihukum berat,
apalagi hendak memperkosa," katanya pelan na-
mun jelas didengar oleh telinga Bayuseta semen-
tara Ratih Ningrum hanya diam saja. Dia setuju
Bayuseta dihukum berat. Tetapi bagaimana den-
gan putranya yang diculik Bayuseta. Didengarnya
lagi suara Ki Ageng Jayasih,
"Aku sebenarnya bukan orang kejam. Teta-
pi aku paling tak suka melihat perbuatan hina
dan amat menjijikkan itu! Kau tahu apa huku-
mannya?"
Bayuseta mengangkat wajahnya, menatap
Ki Ageng Jayasih. Dia buru-buru menunduk, ta-
tapan itu memancarkan sorot mata yang mena
kutkan.
"Hukuman yang pantas buatmu, diseret
oleh kuda yang lari dengan kencang!" kata Ki
Ageng Jayasih tegas.
Bayuseta terbelalak, tubuhnya semakin
lemah saja rasanya. Namun dia tidak mau mati
secara demikian. Lebih baik dilawannya saja ka-
kek sakti itu. Mendadak dia memekik dan me-
nyambar kaki Ki Ageng Jayasih. Kakek sakti itu
hanya melompat sambil tertawa.
"Ternyata masih ada keberanian pula. Aku
pun tak segan untuk membunuh orang macam
kau!"
Ki Ageng mengibaskan tongkat. "Wuutt!"
Hampir saja kepala Bayuseta tersambar kalau sa-
ja Bayuseta tidak cepat menunduk.
Ratih Ningrum maju ke depan. "Ki Ageng
Jayasih, jangan kau bunuh dia! Dia masih punya
rahasia di mana putraku berada!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tak perduli. Dia
mengibaskan lagi tongkatnya, gerakannya cepat. :
"Plak!"
Tongkat itu menampar pinggang Bayuseta
yang menjerit kesakitan dan ambruk dengan
pinggang serasa mau patah. Ki Ageng bukanlah
orang yang kejam tetapi dia sangat marah melihat
perbuatan jijik Bayuseta. Menurut Ki Ageng,
hanya hukuman mati yang pantas untuk orang
macam itu. Dia berkelebat dan mengayunkan
tongkatnya.
Mendadak terdengar bunyi, "Trak!" Ayunan
tongkat itu melenceng. Rupanya Ratih Ningrum
menahan ayunan tongkat Ki Ageng Jayasih den-
gan pedangnya.
Ki Ageng agak heran. Ia menatap Ratih
Ningrum penuh tanda tanya, buru-buru Ratih
Ningrum menjura.
"Maafkan aku, Ki Ageng. Bukan maksudku
untuk menahan serangan tadi. Tetapi pemuda itu
masih mempunyai rahasia di mana putraku bera-
da."
Mendengar itu, Bayuseta tertawa penuh
kemenangan. Dia sudah sangat tidak mampu un-
tuk bangkit dan hanya itu satu-satunya yang
mungkin bisa menyelamatkan dirinya.
"Ha... ha... kau bunuhlah aku.... Putramu
tak akan tertemukan selama hidupmu dan dia
akan mati kelaparan."
Tetapi lain halnya dengan Ki Ageng Jaya-
sih. Dia adalah orang yang adil, yang salah harus
dihukum. Tanpa ampun lagi, mendadak dia men-
gayunkan tongkatnya.
"Craasss...!"
Tongkatnya itu tepat mengenai batok kepa-
la Bayuseta yang langsung terkulai mati. Ratih
Ningrum menjerit kaget.
"Kakek!"
"Orang macam dia harus dibunuh, itu hu-
kuman yang paling tepat untuknya..."
"Tapi putraku?"
"Aku tahu di mana dia berada?"
"Kau... kau tahu, Kakek? Di mana, di mana
putraku?" tanya Ratih Ningrum gembira.
Ki Ageng Jayasih tersenyum. Ia memang
mengetahui di mana Pranata Kumala berada. Se-
belum membela Ratih Ningrum dari ancaman
Angkasena dan Sumpila, Ki Ageng Jayasih meli-
hat sosok tubuh berkelebat dengan seorang anak
yang terkulai di bahunya. Tetapi saat itu, keingin-
tahuan Ki Ageng Jayasih dengan apa yang tengah
terjadi di perguruan Topeng Hitam mengurungkan
niatnya untuk mencari tahu siapa bayangan yang
berkelebat tadi.
Setelah keadaan mereka, baru Ki Ageng
Jayasih mencari bayangan yang berkelebat itu.
Itulah sebabnya dia menolak diajak mampir oleh
Ratih Ningrum. Ketika Ki Ageng Jayasih tiba di
suatu tempat, dia melihat sosok bayangan keluar
dari sebuah bangunan besar dan Ki Ageng Jaya-
sih yakin kalau bayangan itu adalah sosok tubuh
yang keluar dari perguruan Topeng Hitam.
Mengingat itu dia segera memeriksa ban-
gunan tempat orang itu keluar tadi, bangunan itu
adalah perguruan Cakar Naga! Di sebuah kamar,
Ki Ageng Jayasih melihat seorang bocah yang se-
dang menangis. Mungkin bocah ini yang dipang-
gul orang itu tadi. Tahu-tahu Ki Ageng Jayasih
melihat beberapa orang masuk ke kamar itu. Sa-
lah satu orang itu adalah adik seperguruannya,
Madurka!
Setelah itu, Ki Ageng Jayasih berkelebat
dan menghilang. Keesokan harinya, dia bermak-
sud datang ke perguruan Topeng Hitam dan hen
dak bertanya tentang bocah yang dilihatnya tadi.
Tetapi ketika dia tiba di sana, dia melihat nyonya
ketua perguruan Topeng Hitam hendak bepergian
dengan seekor kuda. Mulanya Ki Ageng Jayasih
hendak pergi saja tetapi tiba-tiba dia melihat so-
sok tubuh dengan seekor kuda menyusul.
Entah kenapa Ki Ageng Jayasih hendak
melihatnya. Dia yakin sekali, bentuk badan orang
itu sama dengan yang dilihatnya semalam. Ki
Ageng Jayasih pun menyusul.
Dan dugaannya benar, orang itu hendak
berbuat jahat. Orang itu Bayuseta. Ki Ageng
Jayasih gusar melihat perbuatan yang sangat hi-
na itu. Karena dia sudah tahu di mana Pranata
Kumala berada, maka dia tak ambil perduli den-
gan membunuh Bayuseta.
Menurut Ki Ageng Jayasih, orang macam
ini tak ada gunanya hidup. Selain mengkhianati
perguruan, menculik anak ketuanya, juga hendak
berbuat tidak senonoh dengan istri ketuanya sen-
diri. Sungguh keterlaluan!
Ki Ageng Jayasih menatap wajah Ratih
Ningrum yang kelihatan agak gembira.
"Putramu dalam tawanan orang-orang per-
guruan Cakar Naga."
"Perguruan Cakar Naga?" Ratih Ningrum
terbelalak. "Kenapa, kenapa bisa sampai ke sa-
na?"
"Orang yang bernama Bayuseta itu, seo-
rang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang
Cakar Naga untuk menghancurkan perguruan
Topeng Hitam. Orang-orang sakti yang menyerang
ke perguruan Topeng Hitam kemarin itu, adalah
sekutu Cakar Naga. Termasuk adik sepergurua-
nku yang bernama Madurka, atau Orang Cacat
Sakti. Rupanya ketua perguruan Cakar Naga iri
pada kejayaan perguruan Topeng Hitam. Mereka
bermaksud menghancurkan perguruan Topeng
Hitam dengan bantuan orang-orang golongan hi-
tam!"
"Jadi ketua Cakar Naga yang telah menga-
tur semua rencana itu?"
"Begitulah kira-kira, Nyonya ketua."
Mendadak wajah Ratih Ningrum kemera-
han. Ia tersipu. "Kakek sakti... jangan panggil aku
nyonya ketua. Panggil namaku kenapa?"
"Karena kau memang nyonya ketua. Tak
ada panggilan yang pantas selain itu."
"Lalu Ki Ageng Jayasih, hendak ke mana
sekarang?"
"Sebenarnya, aku tengah mencari muridku.
Tetapi, karena ada tugas yang kulihat di depan
mataku, aku harus melaksanakan tugas itu."
"Tugas apa gerangan?"
"Menumpas orang-orang sesat itu yang
hendak membuat onar."
Ratih Ningrum tersenyum. Kalau begitu, Ki
Ageng Jayasih mau membantunya. Ia mengang-
guk.
"Kebaikan dan bantuan kakek sakti, sangat
saya harapkan."
Ki Ageng Jayasih terbahak.
"Baik, baik! Mari kita pergi ke perguruan
Cakar Naga untuk menyelamatkan putramu!"
Ratih Ningrum menaiki kudanya. Ki Ageng
Jayasih membebaskan totokannya pada kuda
Bayuseta. Tetapi ia tidak menaiki, malah dige-
buknya kuda itu hingga lari terbirit-birit. Sedang-
kan dia hanya berlari mengikuti kuda Ratih Nin-
grum.
Padahal Ratih Ningrum sudah sedemikian
cepat melarikan kudanya, tetapi Ki Ageng Jayasih
masih tetap berada di depan!
LIMA
Di perguruan Cakar Naga sedang terjadi
rapat. Resi Sendaring dengan kelima bawahan-
nya, tengah merundingkan dan merencanakan
penyerangan langsung ke perguruan Topeng Hi-
tam.
Saat ini ketua yang bernama Madewa Gu-
milang, sedang tidak ada di tempat. Suatu ke-
sempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk
bertindak. Jadi tidak perlu susah-susah menak-
lukkan perguruan Topeng Hitam. Apalagi Pranata
Kumala ada dalam tawanan mereka, bisa dijadi-
kan sebagai sandera agar perguruan Topeng Hi-
tam menyerah.
Setelah diobrak-abrik oleh Ki Ageng Jaya-
sih, mereka melaporkan kegagalan itu pada Resi
Sendaring. Madurka yang mendengarnya menggeram marah, rupanya kakak seperguruannya ikut
campur dalam urusan ini. Dia berkata, nanti biar
dia yang menghadapi kakek sakti itu.
Resi Sendaring lalu memerintahkan kepada
Angkasena untuk melihat sepuluh orang murid
Cakar Naga yang ditugaskan untuk membongkar
makam Paksi Uludara.
Sesampai di sana, Angkasena melihat me-
reka baru melakukan hal itu dan sungguh di luar
dugaannya, di dalam makam itu terdapat sebuah
pedang mestika yang berkilat. Itulah pedang Sakti
Naga Emas.
Setelah itu Angkasena memerintahkan un-
tuk segera meninggalkan tempat itu dan bersa-
maan dengan munculnya Madewa Gumilang. Dia
pun memerintahkan untuk sembunyi dan menye-
rang Madewa jika laki-laki itu keluar. Dan terjadi-
lah pertempuran. Di saat sepuluh murid pergu-
ruan Cakar Naga kalah dan dipaksa mengaku
siapa yang menyuruh mereka, Angkasena me-
nyambitkan pisaunya membunuh semuanya.
Lalu pergi dengan membawa kerangka dan
pedang Sakti Naga Emas. Semua itu dilaporkan-
nya kepada Resi Sendaring. Tetapi Resi Sendaring
malah merencanakan untuk menyerbu bukan un-
tuk menyambut kedatangan Madewa Gumilang.
Tak ada yang membantah, karena alasan Resi
Sendaring tepat.
Dia akan menempatkan dua orang di sini
dan yang lain membantunya menyerbu perguruan
Topeng Hitam. Diputuskan, yang tinggal Aryo
Gembala, Sumpila dan Madurka. Sisanya menye-
rang dengan beberapa anak buah.
Yang menyerang pun segera berangkat
dengan lima puluh anak buah perguruan Cakar
Naga. Sisanya membentuk barisan untuk me-
nyambut kedatangan Madewa Gumilang.
Hanya selang lima menit dari yang berang-
kat, Madewa datang dan langsung menerobos
masuk pintu gerbang. Dia tidak mau bertindak
setengah-setengah lagi. Kerangka Paksi Uludara
semakin membuatnya marah.
Begitu dia masuk, puluhan murid pergu-
ruan Cakar Naga mengurungnya. Madewa memu-
tar-mutar kudanya yang sekali-sekali meringkik.
"Di mana Resi Sendaring! Panggil!" bentak-
nya garang. "Aku ada perlu dengannya!"
"Kalau ingin bertemu dia, langkahi dulu
mayat kami!" membentak salah seorang.
Ini membuat Madewa semakin geram. Dia
mengibaskan tangannya ke arah orang itu yang
langsung jumpalitan terhantam dorongan angin
yang sangat kuat. Orang itu roboh dengan ber-
muntah darah.
Yang lain terkejut dan bergerak menyerang.
Dengan sigap Madewa bersalto dan hing-
gap di wuwungan atap. Kudanya menjadi sasaran
tangan-tangan yang membentuk cakar. Kuda itu
ambruk bermandikan darah.
"Kejam!" desis Madewa.
Tiba-tiba dia merasakan dorongan angin
panas menyambarnya. Dengan cepat Madewa
bersalto ke samping dan "Duar!" dorongan angin
itu menghantam genting hingga berantakan.
Madewa melihat ke bawah. Tiga orang ber-
diri dengan gagah di hadapan murid-murid Cakar
Naga.
"Ha... ha... selamat datang di tempat kami,
Madewa Gumilang!" seru Madurka terbahak. Tu-
buhnya yang pendek gemuk terguncang. Tangan
kirinya yang terbuat dari besi mengkilat ditimpa
matahari.
"Ini bukan tempatmu, orang cacat!" balas
Madewa. "Aku kemari bukan ingin bertemu den-
ganmu, tetapi dengan Resi Sendaring! Ke mana
Resi sesat itu? Dia telah berani-beraninya mem-
bongkar makam Paksi Uludara dan mengambil
kerangkanya serta pedang saktinya!"
"Ha... ha... kau terlambat, Orang gagah!
Resi Sendaring baru saja pergi. Tapi jika ada uru-
san, kami sanggup menangani! Turunlah!"
Madewa menggeram. Jumlah mereka san-
gat banyak dan ada tiga orang yang kepandaian-
nya tak boleh disangsikan. Tetapi dia melompat
juga ke bawah dan berdiri berhadapan dengan ti-
ga orang gagah itu. Sumpila terkikik.
"Rupanya Pendekar Pukulan Bayangan
Sukma bukan orang yang pengecut!"
"Baik, kini kita yang punya urusan!" seru
Madewa gusar namun tenang. "Katakan, di mana
kerangka Paksi Uludara dan pedang Sakti Naga
Emas disembunyikan! Cepat, kalau tidak, kuhan-
curkan kalian semua!"
Tetapi ancamannya hanya disambut tawa
oleh ketiga orang itu.
"Kami ingin bukti dari ucapanmu, Made-
wa," ejek Aryo Gembala.
Madewa tidak dapat menahan marahnya.
Ia pun bersiap. Ketiga orang itu masih tertawa.
Mendadak Madewa mendorong kedua tangannya
ke depan.
Ketiga orang itu tersentak kaget. Mereka
langsung mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nahan dorongan angin itu. Tetapi tak urung me-
reka terdorong beberapa langkah. Dorongan tena-
ga yang hebat.
Lalu ketiganya pun bersiap dan secara se-
rentak menyerang dengan dahsyat, membuat Ma-
dewa sejenak kebingungan. Serangan itu sedemi-
kian cepatnya. Madurka menyambarkan besi bu-
latnya yang runcing. Sumpila sudah menggerak-
kan jurus-jurus patuk bangaunya yang hebat.
Aryo Gembala sudah memperlihatkan kelinca-
hannya sambil melepaskan pukulan-pukulan
saktinya.
Namun Madewa bukanlah jago sembaran-
gan, dia adalah murid tunggal Ki Rengsersari,
Pendekar Ular Sakti yang tangguh. Dengan lincah
dia menghindari serangan-serangan itu dan mulai
balas memukul dan menendang. Agak membuat
mereka bertahan, tidak meneruskan serangan.
Madewa sudah mengeluarkan pukulan Tembok
Menghalau Badai yang sangat ampuh.
Sambaran tangan kiri Madurka juga mem
buatnya agak repot. Tapi tidak sampai terdesak.
Mendadak dia melenting ke atas dan bergulingan
ke bawah, menyusup sambil melancarkan jurus
ularnya dengan cepat, mengancam kedua kaki
Madurka. Madurka terkejut tidak menyangka
Madewa akan berbuat demikian, dia buru-buru
menghindar dengan jalan bersalto.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Made-
wa mengganti arah sasarannya. Ia berbalik ke
arah Aryo Gembala dan menggerakkan patukan
ularnya dengan cepat. Aryo Gembala berkelit dan
balas memukul, tetapi Madewa lebih cepat, tan-
gannya sudah menghantam bahu Aryo Gembala
hingga terhuyung. Betapa besarnya sambaran te-
naga Madewa.
Melihat kedua kawannya dibuat kalang ka-
but, Sumpila menerjang. Wanita berwajah buruk
itu menyambar dengan jurus-patuk bangaunya.
Dan bisa ditebak, dua jurus yang hampir punya
gaya bersamaan, saling serang dan memukul. Ke-
duanya benar-benar bagaikan bangau dan ular
yang sedang bertarung sungguh hebat dan se-
runya. Saling bergerak dengan cepat dan tangkas.
Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya ketika
Sumpila maju menyerang, Madewa tidak menge-
lak dia malah menyambut.
Dua tangan penuh tenaga saling bertemu
dan membuat keduanya reflek menarik tangan
namun kemudian saling menyerang lagi. Tetapi
kali ini Madewa sudah memakai pukulan Tembok
Menghalau Badainya.
Begitu Sumpila memukul dia memapaki
dengan pukulan itu. Akibatnya sungguh berbeda
dengan tadi. Sumpila terhuyung ke belakang lima
tombak, sedangkan Madewa hanya tiga langkah.
Tetapi biarpun begitu, dia harus segera
menghindari serangan Aryo Gembala yang sudah
mengerahkan jurus andalannya Naga Hitam Me-
nembus Bumi. Sungguh luar biasa jurus itu,
menggempur dengan kecepatan hebat dan selalu
mengincar kedua mata kaki. Madewa berkali-kali
menghindar dengan jalan bergulingan dan sekali-
sekali kakinya menendang. Tiba-tiba pula dia
bangkit dengan tubuh memutar bagaikan ular
dan tangannya bergerak dengan cepat. Kembali
tubuh Aryo Gembala tergedor telapak tangannya.
Aryo Gembala terhuyung. Lawannya itu
begitu sakti. Madurka sendiri sudah membuka ju-
rus andalannya warisan gurunya yang amat tang-
guh. Jurus Rajawali Sakti. Jurus yang hanya bisa
disaingi oleh jurus tangan Bayangan milik Ki
Ageng Jayasih. Dia menyerang dengan ganasnya.
Madewa bertahan dengan sekuat tenaga. Peluh
sudah bermain di wajahnya. Tenaganya pun ter-
peras. Ketiga lawannya amat tangguh.
Tetapi jurus Rajawali Sakti bergerak den-
gan dahsyat. Dua kali dia berhasil menggedor da-
da Madewa dengan keras. Madewa tak mau ber-
tindak ayal lagi. Ketika ada kesempatan dia ber-
salto ke belakang dan terdiam sejenak.
Mendadak kedua tangannya mengepal dan
dari kepalan itu mengeluarkan asap putih. Ru
panya Madewa sudah mengeluarkan pukulan an-
dalannya, pukulan bayangan sukma yang amat
ditakuti.
Madurka tahu ilmu itu dan tahu bagaima-
na akibatnya jika mengenai tubuh. Bisa hancur
tanpa bentuk. Angkasena dan Sumpila pun ber-
siap. Lawan sudah mengeluarkan pukulan maut-
nya. Mereka pun segera mengeluarkan jurus-
jurus andalannya untuk memapaki.
Dengan memperpadukan dengan jurus
Ular Meloloskan Diri, Madewa maju menerjang
dan kali ini tak ada yang berani memapaki atau
menangkis, mereka kebanyakan menghindar
sambil sekali-sekali membalas. Rupanya pukulan
maut itu telah mereka dengar kesaktiannya.
Aryo Gembala berpikir, kalau mereka tidak
membalas, akhirnya mereka akan kewalahan
sendiri karena tidak rutin membalas.
Akhirnya dia nekat menyerang dengan pu-
kulan Naga Hitam Menembus Bumi dan Madewa
menyambut dengan pukulan bayangan suk-
manya.
Dua pukulan sakti itu beradu dengan he-
batnya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Dari
kedua tangan itu keluar kepulan asap dan dari
asap itu sesosok tubuh terpental ke belakang dan
roboh dengan tubuh tanpa nyawa.
"Aryo Gembala!" jeritan kaget terdengar da-
ri mulut Sumpila dan dia memburu tubuh yang
hancur itu dan mendadak dia bangkit dengan be-
ringas, menatap Madewa penuh nafsu membu
nuh. "Kau harus membayar nyawa sahabatku ini,
Madewa!" Lalu berkelebat menyerang dengan pu-
kulan patuk bangaunya yang hebat.
Tetapi Madewa tidak mengelak. Tidak pula
menangkis. Pukulan Sumpila siap bersarang di
tubuhnya, tetapi mendadak tubuh Sumpila ber-
balik bergulingan ke belakang. Dia merasakan tu-
buhnya dihantam sesuatu yang kuat. Sumpila ro-
boh termakan pukulannya sendiri. Tetapi masih
bisa bernafas, tidak langsung mampus.
Itulah keajaiban yang keluar dari tubuh
Madewa, sejak dia menghisap sari rumput ke-
langkamksa. Keajaiban yang hanya bisa diguna-
kan dengan kesabaran dan yang memilikinya ti-
dak dikuasai oleh marahnya.
Madurka menjadi jeri melihat kedua te-
mannya roboh. Tetapi dia bukanlah orang yang
pengecut. Sebenarnya pukulan Rajawali Saktinya
mampu menahan pukulan bayangan sukma Ma-
dewa tetapi dia kuatir tenaganya kalah kuat oleh
Madewa. Karena Madewa bisa menghantam mela-
lui dua tangannya, sedangkan dia hanya satu
tangan. Tangan kirinya tak berfungsi dalam jurus
Rajawali Sakti itu.
Madewa membentak, "Cepat tunjukkan ke-
padaku, di mana kerangka Paksi Uludara disim-
pan! Dan di mana pedang Sakti Naga Emas! Ce-
pat, sebelum aku berniat untuk mencabut nya-
wamu pula, Madurka!"
Madurka mendengus. Dia tidak takut den-
gan ancaman itu. Kalau perlu dia akan mengadu
nyawa dengan Madewa.
"Sampai kapan pun kau tak akan tahu di
mana orang dan benda yang kau cari itu berada!"
Tiba-tiba Madurka bersalto ke belakang dan men-
gibaskan tangannya ke depan. Tanda menyerang.
Beberapa murid perguruan Cakar Naga menye-
rang dengan serentak. Dengan cakar-cakar yang
bersambaran. Madewa berkelit ke sana-kemari,
menghindari serangan itu. Dia hendak mengejar
Madurka, tetapi sulit, karena serangan itu begitu
banyak.
Tiba-tiba dia memekik panjang dan bersal-
to ke atas wuwungan rumah. Murid-murid pergu-
ruan Cakar Naga berseru penasaran, malah ada
beberapa orang yang sudah naik ke atas. Madewa
menyepak turun mereka satu per satu. Tidak
sampai melukai, hanya menjatuhkan mereka sa-
ja. Mereka adalah orang-orang tak bersalah,
hanya menuruti perintah.
Memang, sebenarnya mereka jerih untuk
menghadapi Madewa, tetapi karena kuatir Resi
Sendaring marah, mau tak mau mereka menahan
kejerihannya itu.
Madewa berseru, "Madurka, keluar kau!!"
Madurka belum keluar juga. Madewa kem-
bali dibuat sibuk oleh serangan-serangan ringan
itu. Tetapi mendadak terdengar tawa Madurka.
"Ha... ha... lihat kau kemari, Madewa!" se-
runya seraya mengangkat sesuatu tinggi-tinggi.
Madewa melengak. Ia melihat seorang bocah yang
siap dibanting dan Madewa lebih terkejut lagi ke
tika melihat siapa bocah itu, Pranata Kumala.
"Pranata!" jeritnya hampir saja cakar salah
seorang mampir ke tubuhnya. Ditendangnya
orang itu hingga jatuh dengan deras dan ambruk.
Ia membentak Madurka lagi, "Madurka!
Lepaskan anakku! Ingat, kalau dia terluka, kau
akan kubunuh!"
"Ha... ha... ancaman kosong kau berikan
kepadaku! Turunlah, Madewa! Buktikan ucapan-
mu itu. Kalau tidak, anakmu ini kubanting hingga
lumat."
Madewa bersalto turun dan beranjak men-
dekati Madurka sambil waspada. Madurka terta-
wa. Dia mengayun-ngayunkan tubuh Pranata
Kumala yang menjerit-jerit ketakutan. Ia menan-
gis dan memanggil ayahnya begitu dia melihat
Madewa berdiri tak jauh darinya.
"Ayah!"
Hati Madewa teriris mendengar jeritan ke-
takutan itu. Kasihan bocah itu, tangisnya sema-
kin mengeras. Madewa menggeram. Kedua tan-
gannya mengepal.
"Akan kulumat dirimu kalau tidak mele-
paskan anakku!" bentaknya keras.
Madurka tertawa.
"Ha... ha... silahkan, silahkan, Orang ga-
gah. Aku ingin lihat sampai di mana keberanian-
mu membuktikan ucapanmu tadi! Majulah, kalau
tidak... ha... ha... anak ini akan mampus kulem-
par!!"
Madewa menjadi serba salah. Di satu sisi
dia ingin membunuh Madurka, tetapi di sisi lain
dia ingin menyelamatkan Pranata. Sebelum dia
berhasil mengambil keputusan, Madurka sudah
membentak keras, "Berlutut kau, Madewa kalau
tidak mau anak ini kulempar! Cepat!"
Mata Madewa geram melotot, tetapi tak da-
pat berbuat apa-apa. Dengan terpaksa dia berlu-
tut. Madurka terbahak keras, kemenangan sudah
di tangannya. Ia memerintahkan beberapa orang
murid untuk mengikat erat-erat tubuh Madewa.
Madewa hanya mandah saja, tidak berontak sedi-
kit pun. Nasib Pranata Kumala lebih penting dari-
pada nyawanya!
Madurka terbahak lagi.
"Nyawamu kini ada di tanganku, Madewa!
Masukkan dia ke ruangan khusus!"
Madewa kembali mandah saja ketika digir-
ing ke ruang khusus itu. Beberapa orang murid
perguruan Cakar Naga bersorak gembira. Madur-
ka menurunkan Pranata dan menotok tubuhnya
hingga kaku. Lalu ia sendiri menghampiri Sumpi-
la yang masih dalam keadaan terluka dalam. Ia
memberinya dua butir pil warna merah. Dan
membantu Sumpila berdiri untuk beristirahat ke
dalam.
Sementara mayat Aryo Gembala di ma-
kamkan di halaman depan perguruan itu. Pranata
dimasukkan kembali ke kamar dan totokannya
dilepas.
Ruangan khusus yang dipakai untuk me-
menjara Madewa berada di ruang bawah yang
amat pengap dan sempit. Matahari tak masuk ke
sana. Madewa didorong masuk dengan kasar. Me-
reka bangga karena pendekar kenamaan berhasil
mereka tangkap.
Padahal kalau tidak ingat nyawa Pranata
Kumala, Madewa akan mengamuk hebat dan
mengobrak-abrik semua. Tetapi untuk sementara
dia mengalah. Membiarkan dirinya ditangkap.
Nanti kalau ada kesempatan untuk meloloskan
diri akan dia hancurkan semuanya!
"Selamat mendekam, Pendekar gagah!" ejek
orang itu sambil mengonci kuat-kuat penjara itu.
ENAM
Sementara itu begitu keluar dari perguruan
Cakar Naga, Resi Sendaring, Nimas Sertani dan
Tidasewu langsung bergerak menuju sasaran. Lu-
ka di kedua bahu dan paha Tidasewu sudah agak
sembuh. Sudah bisa dipakai untuk memainkan
pedangnya. Resi Sendaring ternyata juga ahli da-
lam hal mengobati.
Di tangan Tidasewu terpegang sebuah pe-
dang berkilau. Pedang itu adalah mestika pergu-
ruan Topeng Hitam. Pedang Sakti Naga Emas. Ka-
rena yang pandai memainkan pedang adalah Ti-
dasewu, maka Resi Sendaring memberikan pe-
dang itu kepadanya.
Mereka bergegas dengan menggunakan il
mu lari mereka agar cepat sampai di perguruan
Topeng Hitam.
Tetapi mendadak mereka menghentikan la-
rinya. Di hadapan mereka berdiri dua sosok tu-
buh dengan gagah. Seorang wanita muda yang ki-
ra-kira berusia dua puluh limaan. Gagah dengan
sepasang pedang di punggungnya. Dan di sam-
pingnya berdiri seorang laki-laki tua dengan tong-
kat bambu kuning. Keduanya adalah Ratih Nin-
grum dan Ki Ageng Jayasih.
Merasa mereka menghadang perjalanan-
nya, Resi Sendaring membentak, "Kenapa kalian
menghadang kami?"
Terdengar tawa Ki Ageng Jayasih. Agak
menakutkan dan memekakkan telinga.
"Ha... ha... kalian adalah orang-orang yang
berpikiran sesat!"
Resi Sendaring maju selangkah dan terbe-
lalak begitu kelihatan jelas wajah wanita yang
berdiri di samping laki-laki tua itu. Ratih Nin-
grum!
Ia terbahak. "Ha... ha... rupanya andika
Ratih Ningrum yang datang menjemput. Bukan
main, andika rupanya sudah rindu kepadaku,
bukan?"
Mendengar suara yang jelek itu, Ratih Nin-
grum meludah. "Ciiih! Tak kau pandang wajahmu
sendiri dalam cermin, Resi tua! Tak kusangka, se-
lama ini kau mendendam kepada perguruan To-
peng Hitam, dan secara licik memanfaatkan salah
seorang murid Topeng Hitam!"
"Ha... ha... Bayuseta? Dia datang sendiri
kepadaku, Ratih Ningrum.... Dia pun membenci
kepada suamimu. Dia ingin membunuhnya den-
gan bantuanku! Dan kau pun, sebentar lagi akan
datang ke pelukanku, bukan? Ayolah, Ratih...
Andika pasti berbahagia dalam rangkulanku"
Wajah Ratih Ningrum memerah karena ma-
rah. Perkataan itu sangat menjijikkannya dan
membuatnya ingin muntah!
"Resi Sendaring...! Di mana anakku kau
sembunyikan? Cepat kau tunjukkan kepadaku!"
"Tak jauh dari sini, Ratihku sayang.... Dia
dalam keadaan baik-baik...."
"Cepat tunjukkan, sebelum aku marah!!"
Padahal Ratih Ningrum sudah marah. Kalau dia
langsung menyerang, belum tentu dia berhasil
mengorek keterangan di mana putranya berada.
"Kau pemarah, Manis. Tak jauh dari sini.
Kalau kau mau menjadi kekasihku, akan kutun-
jukkan di mana dia berada!" seru Resi Sendaring
sambil menyeringai lebar.
Kali ini Ratih Ningrum tidak dapat mena-
han marahnya. Dengan cepat dia menyambar se-
pasang pedangnya dan bergerak dengan pedang
terhunus ke arah leher dan jantung Resi Sendar-
ing.
Sigap Resi Sendaring melompat ke kiri, rin-
gan sekali gerakannya. Tetapi masih menerjang
Ratih Ningrum mengibaskan tangan kirinya ke
belakang.
"Wuttt...!"
Resi Sendaring bersalto dengan ringannya.
Serangan itu pun luput. Mendadak Ratih Nin-
grum memekik keras dengan pedang yang beru-
bah menjadi gulungan-gulungan putih. Menyam-
bar dengan cepatnya. Resi Sendaring menghindar
ke sana-kemari dengan sigap dan mendadak me-
nyongsong serangan kedua pedang itu.
Ketika salah satu pedang menyambar le-
hernya, dia merunduk dan menangkap tangan
kanan Ratih Ningrum tetapi langsung dilepaskan
karena Ratih Ningrum menotok dengan hulu pe-
dang di tangan kirinya.
Resi Sendaring menghindar ke belakang
dan tertawa-tawa.
"Bukan main, calon istriku. Sungguh hebat
permainan ilmu pedangmu, Manis!" serunya ceri-
wis.
Ratih Ningrum semakin marah, tetapi keti-
ka dia akan menyerang lagi, terdengar suara di te-
linganya, "Tahan emosimu. Dalam keadaan ma-
rah, seranganmu akan kacau!"
Ratih Ningrum tak jadi bergerak, langsung
menoleh pada Ki Ageng Jayasih yang masih me-
natap ke depan. Kakek sakti itu seolah tak bicara,
tetapi Ratih Ningrum yakin, kalau kakek itu yang
mengirimkan suara tadi.
Ia pun hanya mengikuti sarannya. Ratih
Ningrum berusaha meredakan kemarahannya.
Resi Sendaring tertawa.
"Tidak jadi menyerang kami, Ratihku ma-
nis?"
Mendengar kata-kata itu, telinga Ratih
Ningrum panas sekali. Ia menoleh gusar.
"Kurobek mulutmu, Resi!"
"Lakukanlah, aku pun tak puas hanya
memegang tanganmu!"
Ratih Ningrum menahan emosinya. Tetapi
dia langsung menyerang, kali ini rasa marahnya
agak berkurang namun belum sampai pedangnya
menyentuh tubuh Resi Sendaring, tangannya su-
dah ditangkis dengan kuat.
Kalau pegangan pada pedangnya tak kuat,
tentu akan terlepas. Ratih Ningrum bersalto ke
belakang. Nimas Sertani sudah berdiri di hada-
pannya. Mendongakkan kepala penuh tantangan.
"Kau hadapi aku, Nyonya ketua! Waktu itu,
aku dikalahkan oleh suamimu! Dan hari ini, akan
kutebus dengan membunuhmu!"
Ratih Ningrum bersiap. Dia sudah men-
dengar kesaktian Dewi Mulia Berhati Busuk. Be-
gitu Nimas Sertani menyerang, dia mengayunkan
sepasang pedangnya secara berlawanan.
"Wuuutt...! Wuuutt,..!"
Nimas Sertani berkelit dengan lincah. Ratih
Ningrum terus mengejar dengan gencar. Suatu
ketika pedangnya mendadak dilemparkan ke atas
membuat Nimas Sertani agak bingung. Tak men-
gerti maksudnya. Tetapi dia harus menghindari
serangan pedang Ratih Ningrum yang satu lagi.
Bertepatan dia menghindar, pedang yang dilem-
par tadi menukik tepat di atas ubun-ubunnya.
Sebuah gerakan ilmu pedang yang luar biasa. Ta
di Ratih Ningrum sengaja menggiring Nimas Ser-
tani untuk berdiri tepat di atas jatuhnya pedang
yang dia lemparkan.
"Awasss, Nimas!" terdengar seruan itu dan
berkelebat bayangan itu dengan cepat, menjamb-
ret pedang yang siap memakan kepala Nimas Ser-
tani.
"Luar biasa!" seru orang itu yang ternyata
Tidasewu. "Baru kali ini kulihat permainan pe-
dang yang sangat luar biasa. Aku pun ingin men-
jajal kehebatan ilmu pedangmu. Waktu itu aku
kalah karena dibokong. Nah, terimalah kembali
pedangmu ini!" Tidasewu melemparkan pedang
itu dengan tenaga dalam yang kuat. Andaikata
Ratih Ningrum tidak cepat berkelit, pasti akan
ambruk termakan pedang itu. Pedang itu menan-
cap ke pohon sampai pangkalnya! Bisa dibayang-
kan jika menusuk tubuh Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih menghampiri
pedang itu. Dan dengan sekali tepuk pada pohon
itu, pedang tercabut begitu saja.
Semua terbelalak kaget. Pertunjukan tena-
ga dalam yang luar biasa!
"Kau hadapi dia, Ratih," kata Ki Ageng
Jayasih sambil memberikan pedang itu kepada
Ratih Ningrum. "Hati-hati, kulihat dia memegang
pedang pusaka. Ingat, dia adalah Dewa Pedang
saat ini!"
Ratih Ningrum mengangguk. Biarpun Tida-
sewu orang sakti macam apa, dia akan bertempur
dengannya. Dia pun mulai menyerang dengan he
bat. Tidasewu berkelit sambil meloloskan pedang
Sakti Naga Emas. Pedang itu indah dan berki-
lauan.
Sementara itu, Ki Ageng Jayasih sudah me-
langkah maju, berhadapan dengan Resi Sendaring
dan Nimas Sertani yang sudah menguraikan ke-
rudung putihnya menjadi sebuah senjata.
"Maafkan aku yang tua ini turut campur
dalam urusan kalian.... Tetapi, aku paling tak su-
ka dengan kejahatan! Apalagi kulihat, adik seper-
guruanku bersekutu dengan kalian. Ingat, aku
tak segan membunuh kalian!"
Resi Sendaring tertawa dibentak begitu.
Disangkanya dia takut menghadapi orang macam
ini? Bah, sedikit pun dia tak akan lari.
"Aku mengenalmu, Kakek. Kau adalah Ki
Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria...."
"Nah, kenapa tidak lekas sujud kepadaku,"
sahut Ki Ageng Jayasih tenang.
"Bangsat!" geram Resi Sendaring. "Kau
sangka aku takut denganmu. Baik, Kakek... kita
buktikan sekarang! Aku pun tak suka dengan
orang yang menghalangi perbuatanku!"
Sesudah berkata begitu, Resi Sendaring
menerjang dengan cakar naganya yang amat he-
bat. Dimainkan oleh muridnya saja sudah sede-
mikian hebat, apalagi dengan sang ketua. Kecepa-
tan gerak tangannya sungguh mengagumkan.
Ki Ageng Jayasih melompat ke belakang
dan menotok dengan tongkatnya.
"Hiiaa...!" Resi Sendaring menggempos tu
buhnya ke atas dan menyambar kepala Ki Ageng.
Lagi Ki Ageng hanya merunduk sambil menyo-
dokkan tongkatnya. Tangan Resi Sendaring me-
nangkis tongkat itu.
"Des!"
Walaupun tidak berbenturan langsung
dengan tangan Ki Ageng Jayasih, tangan Resi
Sendaring agak ngilu juga. Rupanya tongkat
bambu kuning itu sudah dialiri tenaga dalam
yang lumayan.
Resi Sendaring mendengus. Nimas Sertani
pun bersiap. Ia mengebut-ngebutkan kerudung
putihnya. Dan di setiap kebutan itu terdengar
bunyi "pletar!" yang keras.
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa. Dia me-
nyambut kedua serangan itu dengan sikap te-
nang, tidak menggeser dari tempatnya berdiri.
Kedua ujung tongkatnya dengan lincah menang-
kis serangan mereka dan membuat keduanya se-
makin penasaran. Serangan mereka tingkatkan
lagi. Resi Sendaring rupanya hanya menjajagi tadi
dengan cakar naganya, karena sekarang dia men-
geluarkan inti-inti jurusnya.
Dan barulah Ki Ageng Jayasih menggeser
dari tempatnya karena desakan-desakan Resi
Sendaring. Selain kecepatan tangannya luar bi-
asa, tenaganya pun besar. Selain itu, juga kebu-
tan-kebutan kerudung putih Nimas Sertani, yang
mengincar setiap kali dia bergerak.
Kali ini Ki Ageng mulai membalas. Sodokan
tongkat dan pukulan kakinya bergerak dengan
cepat pula. Bahkan dia mulai mengeluarkan pu-
kulan jarak jauhnya berupa sinar merah.
"Sreeet...!"
Sinar itu berkelebat ke arah Nimas Sertani
yang menghindar dengan jalan berguling dan
mengebutkan kerudung putihnya hingga mem-
buat Ki Ageng Jayasih berkelit. Namun kembali
sebuah sambaran cakar membuatnya melompat
bersalto. Serangan-serangan kedua orang itu
sungguh hebat dan cepat, agak membuat kewala-
han majikan gunung Muria itu. Bisa dibayang-
kan, menghadapi adik seperguruannya saja dia
harus bersusah payah, apalagi mengalahkan Resi
Sendaring yang dengan mudah mengalahkan adik
seperguruannya. Belum lagi dengan dibantu oleh
Nimas Sertani yang tak kalah hebatnya.
Resi Sendaring tertawa, mengejek.
"Ternyata majikan Gunung Muria hanya
segitu saja kehebatannya! Nama kosong yang di-
besar-besarkan orang! Dasar bodoh!"
Ki Ageng Jayasih hanya balas dengan ta-
wanya. Ia berkata dengan sikap merendah, "Ketua
perguruan Cakar Naga, sudah menjulang na-
manya. Apalah dayaku untuk menghadapinya
yang amat sakti!"
Tetapi perkataan itu dirasakan sebagai eje-
kan oleh Resi Sendaring. Orang itu memang ber-
temperamen panasan. Dia menyerang lagi dengan
kedua tangan yang siap menyambar dengan dah-
syat. Ki Ageng Jayasih menekan tongkatnya sam-
pai setengah ke dalam tanah. Lalu dia sendiri
bersalto ke depan menyambut serangan itu.
"Des...! Plak!"
Dua tangan itu saling memukul dan me-
nangkis lalu sama-sama bersalto. Nimas Sertani
menyerang dengan kerudung putihnya. Ki Ageng
Jayasih menangkis ujung kerudung itu dan ber-
kelit ke kiri menyerang Resi Sendaring dengan ju-
rus andalannya. Tangan Bayangan.
Keduanya saling serang dan tangkis den-
gan kecepatan yang sama-sama mengagumkan.
Benar-benar sebuah pertempuran yang menga-
gumkan sekaligus mengerikan. Keduanya sudah
memperlihatkan ketangkasan, kelihaian dan ke-
saktian yang luar biasa. Bahkan kalau dilihat ke-
duanya berimbang. Namun di satu sisi, usia Ki
Ageng Jayasih sudah agak lanjut. Tenaganya su-
dah agak berkurang dan kesempatan ini tak dis-
ia-siakan oleh Resi Sendaring yang tahu akan hal
itu.
Dia terus mendesak dengan hebat sampai
suatu ketika Resi Sendaring menjerit dan mener-
jang dengan cakar naganya ke arah leher!
Tetapi belum lagi dia menyerangkan cakar-
nya, tiba-tiba dia sudah bersalto ke belakang dan
bergulingan dengan cepat. Ki Ageng Jayasih su-
dah melepaskan pukulan sinar merahnya hingga
mengurungkan niat Resi Sendaring.
Resi Sendaring bangkit dengan gusar.
"Sungguh hebat kau, Ki Ageng! Tetapi jan-
gan berbangga dulu, tahan serangan!" bentak Re-
si Sendaring dan menyerang dengan lebih dah
syat. Tetapi lagi-lagi Ki Ageng Jayasih melepaskan
pukulan sinar merahnya, yang membuat Resi
Sendaring kerepotan menghindar.
Tiba-tiba kerudung putih Nimas Sertani
melibat kedua tangan Ki Ageng hingga sukar dige-
rakkan.
Nimas Sertani berseru, "Resi, hantam ka-
kek gila ini!"
Resi Sendaring berbalik dan memekik den-
gan keras. Ki Ageng Jayasih tidak mau mati ko-
nyol. Mendadak dia menghentakkan kakinya dan
mengerahkan tenaganya untuk menarik tubuh
Nimas Sertani. Nimas Sertani terkejut karena sen-
takan itu. Tubuhnya melayang ke atas dan Ki
Ageng membetotnya ke arah Resi Sendaring yang
siap dengan cakarnya.
Resi Sendaring pun terkejut ketika tubuh
Nimas Sertani melayang ke arahnya. Dia berusa-
ha untuk menghindar dan menghentikan puku-
lannya. Namun sukar sekali, karena dia telah
mengerahkan seluruh tenaganya dan dorongan
tenaga itu sukar untuk dihentikan. Tanpa ampun
lagi kedua cakarnya menyambar ke arah dada
Nimas Sertani.
"Auggh...!" Nimas Sertani menjerit keras.
Dia merasakan dadanya dimasuki sebuah pisau.
Setelah itu roboh tanpa ingat apa-apa lagi, karena
nyawanya sudah melayang.
Resi Sendaring terkejut, memandang tak
percaya kepada dua tangannya yang berlumuran
darah. Ia memandang tubuh Nimas Sertani yang
mengeluarkan darah di bagian dada. Dia telah
membunuh sekutunya sendiri.
Tidak, ini gara-gara kakek tua itu. Ki Ageng
Jayasih hanya tertawa, merasa bersyukur karena
terhindar dari serangan.
"Kau lupa, Resi.... Akulah musuhmu, bu-
kan wanita cantik itu...!"
Resi Sendaring menggeram marah. Karena
dalam keadaan marah, gerakannya menjadi ka-
cau. Dia menyerang tanpa arah yang pasti dan
kesempatan itu tidak mau disia-siakan Ki Ageng
Jayasih. Dia mencabut tongkatnya kembali dan
mengayunkan tongkatnya dengan keras ke arah
perut Resi Sendaring.
"Heeekgh...!"
Resi Sendaring mendengus kesakitan tu-
buhnya ambruk ke tanah. Sebelum dia bangkit,
Ki Ageng Jayasih sudah mengirimkan dua buah
pukulan sinar merahnya yang menghantam bun-
tung kedua tangan Resi Sendaring!
Resi itu menjerit kesakitan.
Sementara itu, pertempuran antara Ratih
Ningrum dengan Tidasewu juga sudah mencapai
titik akhirnya. Rupanya Ratih Ningrum tidak
sanggup menahan serangan-serangan pedang Ti-
dasewu. Apalagi yang dipegangnya pedang mesti-
ka yang ampuh. Kini Ratih Ningrum hanya me-
megang sebuah pedang, pedangnya yang satu su-
dah jatuh.
Dia terdesak hebat. Ilmu pedangnya masih
berada jauh di bawah Tidasewu. Mendadak Tida
sewu menjerit dengan keras dan menyodokkan
pedangnya ke ulu hati Ratih Ningrum. Sebisanya
Ratih Ningrum menangkis dan berhasil, lalu dia
bersalto ke belakang, tetapi Tidasewu tidak mau
melepaskan mangsanya begitu saja, dia mengejar
dengan tusukkan pedangnya kembali. Kali ini su-
lit bagi Ratih Ningrum untuk menghindar. Dia
benar-benar terdesak. Tidasewu siap mencabut
nyawa Ratih Ningrum, tetapi muncul sinar merah
menghalangi gerakan tangannya dan membuat-
nya bersalto.
Ki Ageng Jayasih tertawa melihat wajah
pias Tidasewu. Apalagi setelah melihat kedua te-
mannya sudah dalam keadaan tak mampu ber-
tempur. Tetapi dia bukanlah orang yang penakut,
dia tidak gentar oleh Ki Ageng Jayasih. Kakek itu
sungguh luar biasa, ketua perguruan Cakar Naga
mampu dibuatnya tak berdaya, tetapi hal itu ma-
lah membangkitkan kemarahan di hati Tidasewu.
Dengan teriakan keras Tidasewu menye-
rang tapi kali ini arahnya kepada Ki Ageng Jaya-
sih. Sambaran pedangnya sangat cepat. Ki Ageng
memapakinya dengan tongkat bambu kuningnya
itu. Tetapi tongkat itu buntung terkena sabetan
pedang mestika di tangan Tidasewu.
Betapa hebat tekanan tenaga yang dipa-
merkan Tidasewu dan betapa tajamnya pedang
pusaka itu. Ki Ageng Jayasih surut ke belakang
menghindari serangan beruntun Tidasewu.
"Ha... ha... kau jerih melihat kelihaianku,
Kakek?" tawa Tidasewu penuh ejekan.
Ki Ageng Jayasih hanya tersenyum. Pedang
mestika itu hanya bisa dilayani dengan senjata
pusaka juga. Tetapi saat ini dia tidak membawa
senjata pusaka selain tongkat bambu kuningnya
itu. Kalau saja dia bertemu dengan muridnya
yang membawa lari keris Naga Merah, pasti orang
ini akan bisa diimbanginya.
Entah pikiran apa yang melintas di benak
Ratih Ningrum, karena tahu-tahu dia ingat, kalau
dia membawa keris pusaka yang diberikan sua-
minya. Kata suaminya itu keris Naga Merah.
Mungkin dengan keris ini, pedang mestika itu bi-
sa dihadapi.
Tiba-tiba Ratih Ningrum menyerang, kali
ini dengan keris itu. Sejak dulu, yang tidak per-
nah digunakan adalah jurus-jurus yang diajarkan
oleh gurunya yang bernama Patidina atau si keris
tunggal. Jurus keris yang tangguh dan cakap.
Dan dengan keris itu sekarang Ratih Ningrum
menggunakan ajaran Patidina.
Tidasewu mengibaskan pedangnya, mena-
han.
"Trang!"
Dari pertemuan dua senjata pusaka itu
menimbulkan pijaran api yang agak terang. Ratih
Ningrum surut ke belakang sambil memperhati-
kan keris yang dipegangnya. Sedikit pun keris itu
tak tergores apalagi gompal. Pedang pusaka yang
di tangan Tidasewu pun demikian. Tidasewu ak-
hirnya sadar, kalau senjata yang dipegang Ratih
Ningrum sebuah senjata pusaka pula.
Tetapi yang terkejut adalah Ki Ageng Jaya-
sih. Dia mengenali keris yang dipegang Ratih Nin-
grum itu, keris yang selalu memancarkan sinar
merah. Keris pusakanya yang dibawa kabur oleh
murid murtadnya.
"Nyonya ketua!" panggilnya seraya bersalto
mendekati Ratih Ningrum. Dia langsung me-
nyambar keris yang dipegang Ratih Ningrum. "Te-
pat dugaanku," desahnya kemudian. "Keris Naga
Merah. Nyonya ketua, dari mana kau dapatkan
keris ini?"
Ratih Ningrum agak kebingungan karena
tahu-tahu Ki Ageng Jayasih bertanya demikian,
tetapi belum dia menjelaskan, terasa ada doron-
gan angin dari depan yang menyambar ke arah
mereka. Tidasewu sudah menyerang dengan ga-
nasnya. Tetapi kali ini Ki Ageng Jayasih lebih ce-
pat, sambil bersalto ke depan dia melempar keris
pusaka itu.
"Creeep...! Auugh...!"
Kulit setebal apa pun dan sekebal bagai-
manapun, akan tembus dimasuki keris itu. Tu-
buh Tidasewu kelojotan dan roboh dengan mere-
gang nyawa. Ki Ageng Jayasih buru-buru menca-
but keris itu dan bersamaan dengan itu, hilanglah
nyawa Tidasewu. Dewa pedang dari golongan se-
sat!
Ki Ageng Jayasih memperhatikan keris Na-
ga Merah itu lagi. Keris pusakanya yang selalu di-
carinya. Entah bagaimana bisa sampai ke tangan
Ratih Ningrum.
"Akhirnya aku menjumpai juga keris ini,"
desis Ki Ageng Jayasih gembira.
Ratih Ningrum yang keheranan bertanya,
"Memangnya itu milik kau, Kakek Sakti?" Suara
Ratih Ningrum walau bernada keheranan juga
mengandung kelegaan, karena lawan-lawannya
sudah ambruk semua.
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut cepat.
"Ya, ini milikku. Milikku, yang dicuri oleh
muridku yang murtad."
"Murid?"
"Yah...." Tatapan Ki Ageng Jayasih berubah
menjadi sendu. "Seorang murid wanita yang ku
didik ilmu kepandaian dan kesaktian selama lima
tahun di gunung Muria. Tetapi dia mengkhianati-
ku dan melarikan keris pusakaku ini. Entah di
mana dia sekarang... padahal kalau dia kembali,
aku akan mengampuninya...."
Ratih Ningrum akan bertanya lagi, tetapi Ki
Ageng Jayasih sudah memotong, "Kita harus se-
gera ke perguruan Cakar Naga, sebelum anakmu
dibuat sandera!"
Ratih Ningrum tidak membantah lagi. Tadi
dadanya bergetar mendengar murid wanita Ki
Ageng Jayasih. Tetapi Ratih Ningrum tidak bisa
meneruskan pikirannya, karena Ki Ageng Jayasih
sudah menyambar tangannya dan membawanya
lari dengan cepat sekali.
TUJUH
Setelah berhasil menaklukan Madewa Gu-
milang, Madurka terbahak-bahak kemenangan.
Ternyata siasatnya dengan menjadikan Pranata
Kumala sebagai sandera berhasil bahkan bisa
menangkap pendekar sakti itu. Nanti kalau Resi
Sendaring tiba, akan dilaporkannya semua itu
dengan bangga. Pasti Resi Sendaring akan memu-
ji hasil kerjanya.
Pranata Kumala saat ini benar-benar men-
jadi barang yang sangat berharga. Namun Ma-
durka tidak tahu, kalau anak itu sedang berusa-
ha membongkar jendela. Rupanya akal cerdik bo-
cah itu berjalan setelah melihat ayahnya datang
dan ditangkap. Ia mencari bambu kecil dan itu
didapatinya dari gagang sapu yang ada di sana.
Dengan bantuan gagang itu, dia berhasil membu-
ka jendela.
Pranata cerdik, tidak mau langsung me-
lompat melarikan diri, tetapi melihat-lihat dulu.
Setelah dirasakannya aman, barulah dia melom-
pat dan berguling menyelinap di balik rimbunnya
semak. Dia mengintip, ada dua orang yang men-
jaga di bagian samping rumah itu. Sulit untuk te-
rus menerobos mereka. Namun di samping cerdik,
Pranata juga punya keberanian yang luar biasa.
Nalurinya mengatakan dia harus segera melari-
kan diri. Dan dengan nekat dia bersalto melompa-
ti kedua penjaga itu yang langsung kaget dan ber
lari hendak menangkap.
"Hei... kau...!"
Pranata cepat menghindar dengan cepat.
Kedua orang itu memburu dan suatu ketika ber-
hasil mengurungnya. Salah seorang dari mereka
menggeram.
"Bocah sialan! Rupanya kau berhasil ke-
luar juga!" bentaknya sambil menubruk. Pranata
berkelit ke samping, anak itu sudah mempergu-
nakan kepandaiannya bersalto. Orang itu nyu-
sruk mencium tanah. Tetapi yang seorang lagi se-
gera mengejar, Pranata gesit bersalto ke depan
dan ketika orang itu berbalik, dia melancarkan
tendangannya.
"Buk...!"
Memang tidak sakit tendangan itu, tetapi
membuat penjaga itu terkejut, karena tak me-
nyangka bocah itu mampu menendangnya.
"Bocah sialan!" geramnya seraya menu-
bruk, lagi-lagi Pranata menggunakan kepan-
daiannya bersalto untuk menghindari tangkapan
itu. Penjaga itu kembali tersuruk dan kesempatan
itu digunakan Pranata untuk bersalto ke arah
penjaga itu dan jatuh terduduk di atasnya.
"Heeikk...!"
Pranata tertawa kegirangan. Dasar bocah,
disangkanya orang-orang itu bisa diajaknya ber-
main, dia sudah tidak memikirkan lagi akan ba-
haya yang mengancamnya. Salah seorang yang
tadi terjatuh, bangkit dengan perlahan. Mengen-
dap-ngendap dari belakang. Pranata masih me
lompat-lompat kegirangan. Orang itu dengan ce-
pat menyergap Pranata, namun sungguh di luar
dugaan, bocah itu masih mampu bersalto karena
dirasakannya dorongan angin yang kuat datang
kepadanya. Hingga orang itu menubruk temannya
sendiri.
"Aduuhh...!"
Pranata tertawa-tawa, lalu berlari mening-
galkan mereka. Kali ini dia semakin berhati-hati,
begitu ada yang lewat dia menyelinap di samping
tembok.
Mendadak dia melihat orang pendek gemuk
itu keluar dari dalam. Dada Pranata berdebar,
orang itu sangat kejam dan galak. Dia harus ber-
hati-hati. Tetapi mendadak orang itu sudah berdi-
ri di hadapannya dan terkekeh dengan tatapan
ingin membunuh.
Pranata menjadi amat ketakutan. Dia tahu
orang itu lihai, dia sempat melihat ayahnya ber-
tempur tadi. Dan ayahnya kalah.
"Bocah, bocah! Rupanya kau pandai juga
meloloskan diri!"
Pranata mundur sedikit demi sedikit dan
mendadak dia berlari. Melihat itu, Madurka men-
jadi geram dia berputar bagai baling-baling dan
menghalangi jalan Pranata. Lalu tertawa.
"He... he... mau lari ke mana, kau?"
Pranata sigap melompat ke kiri dan bersal-
to dua kali lalu berlari lagi. Madurka menjadi ge-
ram, bocah itu sengaja mempermainkannya.
Tiba-tiba dia berguling dan melompat me
nerkam. Ketika dia bergulingan, Pranata meng-
hindar dengan berkelit ke samping, tetapi Madur-
ka sudah menerkamnya. Tipis bagi Pranata untuk
mengelak. Dia hanya mundur sambil menutup
matanya.
"Blarr...!"
Terdengar letusan keras. Pranata heran,
dia belum ditangkap dan terdengar letusan itu.
Perlahan dia membuka matanya. Madurka sedang
berbalik menghadapi seorang kakek yang meme-
gang tongkat dan seorang wanita cantik. Ibunya!
Pranata memekik gembira, "Ibu...!"
Ratih Ningrum pun gembira, dia berlari
dengan mengembangkan kedua tangannya. Tetapi
Madurka bergerak dengan cepat menghalangi Ra-
tih Ningrum dengan mengibaskan tangan kirinya.
"Wuutt...!"
Ratih Ningrum cepat bersalto ke samping,
kalau tidak mau tubuhnya yang mulus termakan
besi bulat yang tajam itu. Melihat serangannya
gagal, Madurka mencecar namun segera mundur
ketika selarik sinar merah hampir menerjangnya.
Kesempatan itu dipakai Ratih Ningrum untuk
menyambar putranya dan memeluknya dengan
penuh kerinduan.
"He... he...!" Ki Ageng Jayasih tertawa meli-
hat adik seperguruannya melotot marah. "Adi
Madurka... sudah selayaknya kau insyafi semua
perbuatanmu. Marilah tinggal bersamaku di pun-
cak gunung Muria.... Kita yang sudah tua-tua,
sudah sepatutnya untuk meninggalkan segala
urusan dunia...!"
"Kembalilah kau ke sana, Kakang Jayasih!
Jangan ganggu urusanku!"
"Adi, Adi.... Kalau saja kau mau menuruti
kata-kataku, tak akan terjadi perang saudara ma-
cam begini...!"
"Kau saja yang usil mengganggu urusan-
ku!"
"Karena aku tak suka kau bertindak jahat
dan semberono! Aku ingin kita berdua ada pada
pihak yang benar, orang-orang golongan putih
yang menentang kejahatan!"
"Tutup bacotmu, Kakang Jayasih...! Aku
tak suka kau mencampuri urusanku! Tinggalkan
tempat ini... atau segera terjadi pertumpahan da-
rah di antara kita!"
"Sampai kapan pun aku tetap tak beranjak
dari sini...." Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku
ingin... kita sama-sama kembali ke gunung Mu-
ria...."
"Kau membuatku bosan, Kakang Jayasih!
Sebelum mereka kukirim ke akhirat, sebaiknya
kau dulu!" sambil membentak Madurka melayang
maju dengan ganas. Tangan kanannya memukul
dengan cepat dan tangan kirinya menyambar
dengan buas. Tetapi Ki Ageng Jayasih hanya
mundur lima tombak dengan sekali lompatan dan
membalas dengan tongkat bambu kuningnya.
Gerakan tongkat itu ditangkis oleh tangan
kin Madurka yang terbuat dari besi bulat yang ta-
jam dan menyodok perut Ki Ageng Jayasih den
gan cepat. Ki Ageng berkelit dan menyepak kaki
Madurka. Madurka hengkang ke atas dan bersal-
to ke depan ketika hinggap di tanah, dia berbalik
dan menggerakkan tangan kirinya.
"Wuuutt...!" gerakannya cepat dan ganas.
Ki Ageng Jayasih menangkis dengan tong-
kat bambu kuningnya. Kedua saudara sepergu-
ruan itu sama-sama luar biasa dan tangguh. Me-
reka sudah memperlihatkan kesaktian dan ke-
pandaiannya.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah
menghadapi beberapa orang pengawal yang da-
tang. Mereka semua memasang jurus cakar naga.
Ratih Ningrum mengkuatirkan putranya. Tetapi
dia tersenyum melihat putranya sudah membuka
jurus. Mendadak Ratih Ningrum mencabut sepa-
sang pedangnya dan sebuah diberikan kepada
Pranata Kumala.
"Gunakan ini, sabet jika yang mendekati-
mu!" setelah berkata begitu dia menghindar ke
samping karena tiga orang sudah menyerangnya
dengan cepat. Rupanya Ratih Ningrum tidak mau
membuang tenaga percuma, dia langsung menge-
luarkan jurus andalannya dan tiga orang itu am-
bruk dengan berlumur darah.
Pranata Kumala benar-benar bocah tang-
guh, apalagi kini dekat dengan ibunya. Dia men-
gibaskan pedangnya. ke sana-kemari dengan
menggunakan kepandaiannya bersalto. Dan seo-
rang termakan bahunya oleh pedang itu. Melihat
serangannya berhasil, Pranata semakin mantap
menggerakan pedangnya.
Ratih Ningrum pun bergerak cepat. Tiba-
tiba dia mendengar suara putranya berseru,
"Ibu... ayah ada di dalam! Tadi aku lihat diikat!"
Mendengar itu, Ratih Ningrum segera
menghabisi lawan-lawannya dan menarik Pranata
yang masih sempat menghadiahkan luka di paha
kiri lawannya. Ratih Ningrum tidak mau mening-
galkan Pranata di luar. Begitu dia masuk, tiga
orang menyambutnya. Sigap Ratih Ningrum men-
gibaskan pedangnya dan ketiganya roboh ber-
mandikan darah.
Tetapi tiba-tiba muncul puluhan orang
yang mengepungnya. Melihat itu, Ratih Ningrum
agak gugup juga. Tenaganya bisa dikuras habis
dan lama kelamaan dia akan melemah. Dengan
cepat dia mendorong Pranata ke samping, "Ming-
gir kau dari sini! Cepat ke luar!"
Tetapi bocah itu malah menyusup ke da-
lam sambil berseru, "Aku akan mencari Ayah!"
Ratih Ningrum menjadi gugup, dia hendak
mengejar tetapi sambaran, tamparan cakaran,
dan tendangan orang-orang itu harus dihinda-
rinya. Sulit untuknya meloloskan diri dan menyu-
sul Pranata. Hatinya semakin galau melihat bebe-
rapa orang mengejar putranya. Dia tidak bisa
berbuat apa-apa, selain melayani serangan orang-
orang itu. Ratih Ningrum menjerit keras dan me-
nyeruak ke depan. Empat orang ambruk terma-
kan pedangnya tetapi yang lain segera mengu-
rung, tak memberinya sedikit jalan pun padanya.
Sementara itu, Pranata semakin masuk ke
dalam. Dia belum tahu lorong-lorong perguruan
Cakar Naga itu dengan asal saja dia berlari. Tiba-
tiba di telinganya terdengar suara, "Belok kiri,
Anakku.... Lalu berjalan dan lihat pintu yang ke-
dua dari sana... kau masuklah...."
Pranata kebingungan, siapa yang berkata
itu. Namun dia segera mematuhinya, bukan ka-
rena yakin tetapi karena beberapa orang penge-
jarnya sudah nongol. Rupanya itu suara Madewa
Gumilang yang telah melihat apa yang telah terja-
di dengan ilmu pandangan menembus sukmanya.
Dan dia melihat putranya sedang dikejar! Lang-
sung dia mengirimkan suara agar putranya bisa
meloloskan diri. Sebenarnya dia bisa mendobrak
pintu penjara itu. Tetapi dia sedang berkonsen-
trasi dengan ilmu pandangan menembus sukma
itu, hanya dengan ilmu itu dia bisa melihat pu-
tranya. Madewa kuatir, kalau dia menghentikan
konsentrasinya tidak dapat memberi petunjuk
kepada putranya dan orang itu bisa menangkap
putranya.
"Ya... terus, Pranata...." suara itu terus di-
dengar Pranata. "Sekarang kamu berjalan lurus
dan turuni tangga itu, lalu belok ke kanan dan te-
rus ke depan... di pintu pertama kamu harus bisa
masuk...?"
Pranata mematuhi semua itu tetapi dia se-
sampai di pintu yang disebutkan suara tadi, dia
kebingungan karena pintu itu tidak bisa dibuka.
Madewa sendiri terkejut, apalagi beberapa orang
pengejar anaknya sudah dekat. Dengan menda-
dak dia menghentikan konsentrasinya dan men-
dobrak pintu itu dengan pukulan bayangan suk-
manya.
Dengan suara keras. Pintu itu roboh den-
gan dinding rumah berjatuhan. Madewa berkele-
bat dengan cepat dan sampai di pintu di mana
anaknya sedang kebingungan mencari jalan
menghindar. Dia mendobrak pintu itu pula dan
langsung menyambar putranya yang akan dis-
erang. Dia bersalto ke depan, melompati orang-
orang itu. Pranata Kumala kegirangan mengeta-
hui siapa yang menyelamatkannya. Ayahnya sen-
diri dan ayahnya amat hebat bisa mendobrak pin-
tu itu.
Madewa segera bergerak. Masih menggen-
dong Pranata dia menangkis dan mengelakkan
cakar-cakar yang dilancarkan secara beruntun.
Tetapi dia pun enggan untuk berbuat lama. Masih
menggendong Pranata Kumala, dia mengibaskan
tangannya dan menimbulkan dorongan angin
yang amat kuat hingga orang-orang itu bergulin-
gan menabrak tembok.
Tetapi orang-orang itu memang tak men-
genal takut, mereka lebih takut kepada Resi Sen-
daring. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kali
ini, dengan pukulan Tembok Menghalau Badai,
Madewa memukul roboh mereka hingga tak kuat
bangkit kembali.
Sesudah itu dia melesat cepat dan mene-
mui istrinya yang sedang terdesak hebat. Istrinya
sudah tidak memegang pedangnya dan sebisanya
menangkis tamparan, pukulan, sepakan, tendan-
gan orang-orang itu.
Madewa menjadi geram. Dia menurunkan
Pranata dan melesat ke depan, mengobrak-abrik
kurungan orang-orang itu dan menarik tangan is-
trinya ke samping lalu mengibaskan tangan hing-
ga orang-orang itu terpelanting.
"Kau istirahat saja, Rayi. Biar ini menjadi
urusanku," kata Madewa sambil menggiring
orang-orang itu menjauhi istri dan anaknya. Ma-
dewa tidak bermaksud membunuh mereka, hanya
membuat mereka kapok saja. Berkali-kali dia
mengibaskan tangannya hingga orang-orang itu
jatuh tunggang langgang. Tetapi orang-orang itu
tidak kapok. Madewa berkelebat dengan sangat
cepatnya dan tahu-tahu lima orang sudah berdiri
kaku, terkena totokannya. Dia pun berkelebat la-
gi. Begitu seterusnya sampai orang-orang itu ber-
diri semua dengan kaku. Sungguh ilmu totokan
yang sangat hebat.
Ratih Ningrum sendiri kagum melihat ke-
hebatan yang dipamerkan suaminya. Pranata
Kumala bertepuk tangan.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari depan. Me-
reka segera ke halaman depan. Di sana, Madurka
terhuyung karena terhantam tongkat Ki Ageng
Jayasih. Dia mengerang marah. Jurus andalan-
nya Rajawali Sakti dia keluarkan. Ki Ageng Jaya-
sih pun tak mau kalah, jurus Tangan Bayangan
diperlihatkan.
Keduanya sama-sama menjajaki dan seren-
tak menyerang dengan tenaga dorongan yang
amat kuat.
"Plak... duaar...!" benturan kedua tenaga
sakti itu menimbulkan suara dan masing-masing
terdorong beberapa langkah. Menandakan tenaga
keduanya sama-sama hebat. Tetapi kemudian ter-
lihat, kalau lengan Ki Ageng Jayasih berdarah.
Rupanya ketika benturan itu terjadi, Madurka
sempat menggores lengan Ki Ageng Jayasih den-
gan besi bulatnya yang lancip.
Melihat itu, Madurka terbahak kegirangan.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tak sengaja...!
Tetapi syukurlah, karena kalau tidak, lengan ki-
rimu akan sama dengan lengan kiriku! Sekarang
kau terimalah semua ini!"
Madurka melesat kembali dengan jurus Ra-
jawali Saktinya. Cepat dan hebat. Ki Ageng Jaya-
sih mengibaskan tangan kanannya dengan kelima
jari mengembang dan melesat lima buah sinar
merah ke arah Madurka. Madurka memekik kaget
namun dia segera bergulingan dan menyodokkan
tangan kirinya ke arah kemaluan Ki Ageng Jaya-
sih.
Ki Ageng dengan ringan berkelit sambil
menahan nyeri di bahu kirinya tetapi Madurka
kembali mencecar dengan ganas. Sebisanya Ki
Ageng Jayasih berkelit. Melihat posisi Ki Ageng
Jayasih agak terdesak, Madewa segera bersalto ke
depan dan menghantam punggung Madurka.
Madurka menjerit dan terhuyung ke depan.
Tetapi dia segera berbalik dengan marah. Dilihat-
nya seorang laki-laki muda berdiri dengan sikap
gagah dan menantang. Mendidih darah Madurka.
"Hmm... rupanya ketua perguruan Topeng
Hitam turun tangan juga! Baik, rasakan pukulan
Rajawali Saktiku!" geram Madurka seraya mele-
sat. Madewa merangkum pukulan saktinya di
tangan hingga mengeluarkan asap putih. Ketika
Madurka mendekat, dia menyambut pukulan itu
dengan hebat.
"Des...!"
Tubuh keduanya terhuyung ke belakang,
benturan tadi amat sangat hebatnya. Tetapi Ma-
durka roboh dengan muntah darah. Sejenak dia
meregang nyawa tetapi nyawanya pun segera per-
gi.
Madewa mendesah. Pukulan Bayangan
Sukmanya, masih nomor satu. Dia menghampiri
dan memapah Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng terse-
nyum. Nama Madewa Gumilang bukan omong ko-
song. Pukulan sakti adiknya mampu ditahan,
bahkan membunuh adiknya!
"Aku beruntung... yang sudah tua ini...
masih sempat berkenalan dengan kau, Pendekar
gagah...." desisnya.
Madewa tersenyum. "Jangan kau panggil
demikian, Kakek Sakti. Apalah artinya kepan-
daian, kalau hati kita jahat, penuh nafsu untuk
merusak...."
"Kau bukan saja sakti sebagai orang gagah,
kau juga sakti dalam ucapan...."
Madewa tersenyum, melangkah membe-
baskan totokannya kepada murid-murid Cakar
Naga lalu berkata, "Kalian semua kubebaskan....
Hilangkanlah perasaan silang sengketa dengan
perguruan Topeng Hitam. Semua ini terjadi kare-
na ambisi Resi Sendaring untuk menguasai se-
mua perguruan silat! Rencana yang kotor hingga
terjadilah pertumpahan darah. Kalian semua, di-
rikanlah kembali nama perguruan Cakar Naga.
Lanjutkan semua cita-cita dan perjuangannya....
Kalian jangan mendendam, karena dendam hanya
membawa kita kepada kejahatan...!"
Semua menunduk mendengar kata-kata
itu. Memang, sebenarnya mereka ingin hidup
dengan tentram, tetapi karena tekanan dari ketua
mereka, semua menurut daripada dijatuhi huku-
man yang berat. Tetapi di mana Resi Sendaring
sekarang? Salah seorang mencetuskan hal itu.
Madewa yang sudah mengetahui dari is-
trinya menjawab, "Resi Sendaring... telah mene-
mui ajalnya.... Dia tetap sebagai orang gagah yang
sakti.... Tetapi telah dikuasai oleh hawa naf-
sunya.... Untuk itu, kalian semua harus bersabar,
harus bisa menahan hawa nafsu...."
Setelah itu, Madewa kembali kepada Ki
Ageng Jayasih dan Ratih Ningrum serta Pranata
Kumala. Saat itu, Ki Ageng Jayasih hendak kem-
bali ke gunung Muria.
"Aku sudah tua... biarlah aku mendiam di
sana sampai akhir hayatku.... Yah... aku tak ber-
hasil menjumpai murid kesayanganku, yang juga
mengecewakan hatiku...."
Mendengar itu, Ratih Ningrum yang selama
ini memendam keheranan segera berkata, "Ki
Ageng Jayasih... muridmu... yang bernama Nin-
diakah?"
Mata Ki Ageng Jayasih membelalak kaget.
"Ya, ya... dia muridku! Kau tahu dia berada di
mana, Nyonya ketua?"
Ratih Ningrum menunduk. Sedih dia meli-
hat wajah tua itu yang begitu kegirangan. Perla-
han dia mengangkat wajahnya. Ki Ageng Jayasih
mendesak. Dengan hati-hati Ratih Ningrum men-
jawab, "Muridmu... telah mati sebagai orang se-
sat...."
Ki Ageng Jayasih terkejut, tetapi kemudian
menunduk sedih. Ratih Ningrum menceritakan
semuanya, kalau yang membunuh muridnya ada-
lah suaminya sendiri. Juga tentang keris Naga
Merah (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Ki Ageng Jayasih mendesah. Ia sedih kare-
na muridnya pun mati sebagai orang sesat. Baru
beberapa detik tadi adik seperguruannya menyu-
sul. Menyusul dalam kesesatan. Kini tak ada lagi
yang diharapkannya, yang diharapkan dapat me-
neruskan cita-citanya dan mewarisi ilmunya.
Tetapi mendadak matanya bersinar ketika
melihat Pranata Kumala. Semua itu bisa dilaku-
kan kepadanya? Dengan segera Ki Ageng Jayasih
menyampaikan maksudnya, "Maafkan aku Ketua
dan Nyonya... kini tak ada lagi orang yang bisa
meneruskan cita-citaku untuk menegakkan kea
dilan dan kebenaran.... Untuk itu... kepada kalian
berdua kuminta... bolehkah bocah cilik ini untuk
ikut denganku dan ku didik sebagai orang ga-
gah?"
Mendengar itu semua, istri itu saling ber-
pandangan. Perasaan berat melepaskan Pranata
Kumala terpancar dari sinar mata Ratih Ningrum.
Dia baru saja bertemu dengan anaknya, kini anak
itu hendak pergi. Entah untuk berapa lama. Teta-
pi dia kasihan melihat Ki Ageng Jayasih yang be-
gitu mengharap.
"Dia pun mengangguk. Melihat istrinya
mengangguk, Madewa pun mengangguk.
"Kalau itu permintaan, Kakek Sakti... kami
perkenankan putra kami dibawa serta...."
Ki Ageng Jayasih mengangguk gembira. Dia
bertanya langsung kepada Pranata dan sungguh
di luar dugaan, bocah itu menjawab, "Aku ingin
seperti Ayah. Kalau kakek bisa menjadikan aku
demikian, aku akan ikut."
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku akan buat
kau melebihi ayahmu. Kami mohon diri."
"Sebentar!" Madewa mengeluarkan sesuatu
dari angkinnya. Seruling Naga dan diberikannya
kepada putranya. "Ini untukmu, Anakku. Jaga
baik-baik."
Pranata hanya mengangguk dan mendadak
tubuhnya sudah berkelebat dengan Ki Ageng
Jayasih. Ratih Ningrum melambai sambil mena-
han air matanya. Dia rela putranya dididik oleh
kakek sakti itu. Madewa menghibur istrinya. Lalu
segera mencari kerangka Paksi Uludara dengan
bantuan salah seorang murid Cakar Naga.
Kerangka itu masih utuh. Madewa mengu-
burkan kembali bersama pedang Sakti Naga
Emas ke makamnya Paksi Uludara semula.
Bersama istrinya, mereka kembali ke per-
guruan Topeng Hitam.
DELAPAN
Rombongan itu bergerak beriring-iringan,
mengawal sebuah kereta kuda yang terdapat tiga
orang pengawal di atasnya dan delapan ekor kuda
yang mengiringi, lengkap dengan penunggang dan
senjatanya.
Mereka adalah para pengawal yang bertu-
gas menjaga barang yang ada di dalam kereta ku-
da itu yang hendak diantarkan kepada pemesan.
Mereka pengawal-pengawal pilihan Sandirwo,
tuan tanah yang kaya-raya. Juga bergerak di bi-
dang penjualan emas. Hari ini dia menugaskan
pengawal-pengawalnya itu untuk mengantarkan
emas pesanan seseorang di desa Pacitan, daerah
Laut Pantai Selatan. Emas yang dipesan berjum-
lah beribu kilogram, dengan bayaran ribuan hek-
tar tanah. Sudah tentu Sandirwo mengerahkan
sepuluh orang pengawal dan seorang kusir kuda
untuk menjaga pesanan itu.
Akhir-akhir ini daerah menuju ke desa Pa-
citan, banyak orang-orang jahat. Mereka bermun
culan bagaikan jamur, pesat dan berkembang. Pe-
rampok-perampok itu sangat kejam, mereka tak
segan-segan untuk melukai para mangsanya,
bahkan membunuh dan memperkosa jika di sana
terdapat wanita!
Daerah itu sudah merupakan daerah nera-
ka bagi mereka yang hendak ke desa Pacitan. Se-
kali ini apa yang akan terjadi dengan rombongan
yang mengawal emas itu? Pemimpin rombongan
bernama Sangadi, seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun yang amat kuat dan hebat. Dengan
kepastian yang kuat, dia menyerukan agar semua
tenang dan bersiaga, karena sebentar lagi mereka
akan memasuki daerah neraka itu.
Semua pun bersiap. Rombongan berjalan
perlahan-lahan. Mata Sangadi melihat ke sana-
kemari dengan waspada. Tak ada tanda-tanda
orang-orang jahat yang kelihatan. Namun demi-
kian, Sangadi tetap memerintahkan rombongan-
nya agar waspada, jangan termakan suasana
yang tenang ini.
Benar saja, mendadak lima tombak dari
mereka berjatuhan batu-batu dari atas. Berge-
linding dengan cepat. Suasana jadi agak kacau,
karena kuda-kuda mereka meringkik dengan he-
bat. Sangadi segera menguasai rombongan.
Dia berseru, "Jangan panik! Kalian semua
bersiap...!"
Rombongan itu menenangkan kuda mereka
masing-masing. Tiga orang sudah melompat tu-
run dan berdiri di sekeliling kereta kuda.
Sangadi berseru lagi, "Perampok-perampok
itu sudah pasang kasi! Jaga kereta kuda dan
berwaspada!"
Belum habis Sangadi bicara, tiba-tiba dari
atas dan belakang mereka bermunculan kuda-
kuda dengan penunggangnya yang bengis. Mereka
berjumlah dua puluh orang dengan senjata di
tangan. Dan langsung mengurung mereka.
Sangadi segera berbalik dan membentak
"Hhh, kalian rupanya orang-orang jahat
yang ditakuti di daerah ini! Benar-benar mena-
kutkan... tetapi hanya berani dengan cara mem-
bokong dan bergerak dengan jumlah banyak...!"
Perampok-perampok itu hanya tertawa saja
menyambuti perkataan Sangadi. Salah seorang
yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah seram
penuh berewok menyahut dengan keras, "Ha...
,ha... kalianlah yang terlalu berani melalui daerah
ini...! Tetapi tak apa... kami akan membebaskan
kalian untuk meneruskan perjalanan... hanya, se-
rahkan bawaan kalian di dalam kereta kuda itu
kepada kami...!"
Digertak begitu, Sangadi malah menyahut
galak, "Kau sudah mimpi barangkali! Tak semu-
dah itu mengambil barang yang kami bawa!"
Orang itu terbahak lagi. "Hoa... ha... ha...!
Aku, Jedangmoro, ketua perampok Golok Iblis tak
akan mengganggu kalau kalian menyerah secara
damai.... Tetapi, kalau kalian nekat dan menen-
tang, Jedangmoro, tak akan tanggung-tanggung
lagi menurunkan tangan!"
"Kau kira kami takut, Jedangmoro! Kawan-
kawan, separuh jaga kereta kuda dan separuh
bantu aku menghadapi orang-orang busuk ini!"
Jedangmoro terbahak. Ia marah karena
orang itu berani membentaknya. Dengan cepat
tangannya terangkat dan sepuluh orang berkuda
dengan senjata golok besar maju menerjang den-
gan serentak.
Sangadi pun menyambut mereka dengan
gebrakan kudanya dan sebentar saja di tempat itu
sudah terjadi hiruk-pikuk yang sangat ramai. De-
bu berkepulan karena pijakan kuda-kuda mereka.
Terdengar suara ramai dan gemercing senjata
yang beradu.
Sangadi mengamuk dengan dahsyat. Pe-
dangnya berkelebat ke sana-kemari dengan buas.
Dua orang anggota perampok itu terjatuh ber-
mandikan darah, tetapi anak buah Sangadi pun
mulai berjatuhan. Jedangmoro sudah menyuruh
anak buahnya yang separuh lagi terjun memban-
tu.
Keadaan semakin kacau dan rombongan
Sangadi terdesak hebat. Beberapa orang Jedang-
moro sudah menyelusup ke kereta kuda. Tiga
orang yang menjaga berusaha bertahan mati-
matian. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak, me-
reka tak mampu bertahan lagi, menangkis atau
menghindari sambaran, bacokan golok-golok itu.
Dengan jeritan yang mengerikan mereka
tumbang dan jatuh dari atas kereta kuda. Dengan
leluasa orang-orang itu masuk dan mengambil pe
ti berisikan emas.
Melihat itu, Sangadi menjadi sangat marah.
Dia mengibaskan pedangnya dengan ganas. Tiga
orang yang mengurungnya ambruk bermandikan
darah. Dia cepat melesat ke arah orang-orang
yang sedang menggotong peti dan mengibaskan
pedangnya dengan cepat dan ganas.
Orang-orang itu berkelit sambil membuang
peti dan membalas serangan itu dengan serentak.
Sangadi agak kewalahan, karena mereka terlalu
banyak. Peluh sudah bermandi di wajah dan selu-
ruh tubuhnya. Luka juga sudah mampir di selu-
ruh tubuhnya. Anak buahnya sudah tak ada yang
mampu bertahan, mereka sudah menemui ajal di
golok orang-orang itu.
Dengan sisa tenaganya Sangadi berusaha
bertahan, namun itu tak bisa berlangsung lama
karena dia pun terkulai dengan bermandikan da-
rah dan nyawanya melayang menyusul teman-
temannya.
Melihat itu, perampok-perampok itu berso-
rak, Jedangmoro tersenyum sambil mengusap be-
rewoknya.
"Cepat bawa peti itu, rampas kuda-
kudanya! Dan bakar kereta kuda itu!" serunya
memerintah, lalu dia sendiri berbalik dan mema-
cu kudanya.
Anak buahnya segera menjalankan perin-
tahnya. Bagi mereka, merampok, membunuh dan
membakar kereta kuda itu, membuat suatu kese-
nangan sendiri, dengan tertawa-tawa mereka me
lakukan semua itu.
Api segera berkobar, memakan kereta kuda
dan mayat-mayat yang bergeletakan di situ. Lalu
mereka segera naik ke kuda masing-masing dan
membawa kuda-kuda rampasan itu dengan tawa
kemenangan.
Kembali gerombolan Golok Iblis itu mem-
buat onar yang mengerikan dan seenaknya mem-
bunuh dan membakar mayat-mayat itu. Suatu
perbuatan yang mengerikan. Mereka segera me-
nyusul pemimpin mereka si Jedangmoro ke mar-
kas mereka yang berdiam di ujung Laut Selatan.
Tawa mereka begitu gembira, tetapi men-
gundang maut bagi setiap mangsa mereka.
Mengerikan!
Orang-orang yang tak berdosa mereka bu-
nuh dan rampok. Mereka benar-benar orang yang
tak berperikemanusiaan. Mencari kesenangan,
kekayaan, kenikmatan dengan jalan yang salah.
***
Matahari telah melenceng dari tempatnya
yang tepat di atas kepala. Bergeser ke barat. Uda-
ra mulai sejuk, tidak serasa sepanas tadi. Senja
mulai merambat perlahan-lahan.
Pemuda itu melangkah dengan ringan,
riang sambil meniup serulingnya. Langkahnya
mencerminkan kegembiraannya dengan nada se-
rulingnya. Kadang-kadang kakinya bergerak men-
gikuti nada serulingnya.
Dia adalah seorang pemuda tampan. Tu-
buhnya tegap dan ganteng. Rambutnya gondrong
tetapi tak mengurangi ketampanan pemuda itu.
Di keningnya terdapat sebuah ikat kepala biru.
Pemuda itu kira-kira baru berusia delapan belas
tahun. Masih riang memainkan serulingnya.
Tiba-tiba saja dia menghentikan meniup
serulingnya. Langkahnya terhenti dan tertegun,
menatap ke depan. Sesuatu yang hangus dan ma-
sih mengeluarkan asap. Juga tercium bau busuk
yang sengit.
Pemuda itu melangkah mendekati sambil
menutup hidungnya. Bau sangit itu seperti bau
kulit dibakar. Ia meneliti benda yang hangus ter-
bakar itu. Hmm, sebuah kereta kuda. Tetapi begi-
tu dia menyentuhnya, benda itu luruh menjadi
debu. Pemuda itu berjungkat ke belakang, meng-
hindari debu itu.
Tetapi mendadak dia terpekik, kakinya
menginjak sesuatu yang lunak, ketika dia meno-
leh kembali dia terkejut. Sebuah tangan yang be-
lum terbakar. Entah tangan kanan atau kiri. Pe-
muda itu kini tahu, apa yang menyebabkan bau
sangit. Rupanya bau tubuh manusia yang diba-
kar.
"Hmm, apa yang telah terjadi di tempat ini
tadi?" gumam pemuda itu. "Begitu mengerikan
sekali...."
Pemuda itu terdiam sambil berpikir-pikir
memikirkan apa yang menyebabkan semua ini.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari
belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat se-
puluh ekor kuda datang mendekati dengan tung-
gangannya masing-masing.
Pemuda itu tidak mengenali mereka, tetapi
dia tidak berusaha menghindari mereka. Orang-
orang itu sudah mendekat dan turun. Memperha-
tikan benda yang hangus itu.
"Tak salah lagi," gumam orang itu yakin
"Dugaanku tepat, mereka sudah mampus
semua dan peti berisi emas itu hilang entah ke
mana..."
Pemuda tampan itu hanya mendengarkan,
tidak mengerti maksud gumaman orang itu. Teta-
pi orang itu mendadak menoleh. Dia adalah putra
tunggal Sandirwo yang diutus untuk melihat apa-
kah kiriman emas itu sampai kepada pemesan-
nya.
Pemuda itu bernama Kadir, saat pengiri-
man emas itu dilakukan dia sedang pergi, jadi ti-
dak bisa ikut mengawal. Namun Sandirwo menja-
di bingung, karena utusan pengiriman emas itu
sampai sore begini belum kembali, dia kuatir ka-
lau terjadi apa-apa pada mereka. Itulah sebabnya,
dia menyuruh putranya untuk menyelidiki.
Kadir menatap pemuda yang memegang se-
ruling itu dengan tajam. Matanya memancarkan
sorot curiga yang amat dalam. Pemuda itu te-
nang-tenang saja, tak merasa dicurigai. Kadir
mencurigainya, karena hanya pemuda itu yang
berada di sekitar sini.
"Apa yang telah kau lakukan kepada mere
ka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu
yang melakukannya, Kadir langsung bertanya.
Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya
berkerut.
"Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung.
"Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya
meniup serulingku ini."
"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini
pasti kau yang melakukan..."
Pemuda itu baru mengerti kalau dia ditu-
duh. Tentu saja dia marah dan membantah.
"Aku yang melakukan? Mimpi apa kau se-
malam menuduhku begini? Saudara... aku baru
saja tiba di tempat ini... dan melihat semua keja-
dian ini.... Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan
siapa yang melakukannya...."
"Kau jangan mempermainkan aku, Kisa-
nak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua
orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti in-
gin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku
sekarang, karena kau yang memilikinya sedang-
kan engkau hanya merampas secara kotor!"
Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia
dituduh sembarangan! Emas itu dia yang meram-
pasnya? Tuduhan keji untuknya. Dia tidak teri-
ma.
"Saudara... kau menuduhku sembarangan.
Aku membantah semua tuduhanmu...."
"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali
emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tan-
gannya dan serentak sembilan orang yang bertu
ka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu
yang melakukannya, Kadir langsung bertanya.
Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya
berkerut.
"Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung.
"Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya
meniup serulingku ini."
"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini
pasti kau yang melakukan..."
Pemuda itu baru mengerti kalau dia ditu-
duh. Tentu saja dia marah dan membantah.
"Aku yang melakukan? Mimpi apa kau se-
malam menuduhku begini? Saudara... aku baru
saja tiba di tempat ini... dan melihat semua keja-
dian ini.... Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan
siapa yang melakukannya...."
"Kau jangan mempermainkan aku, Kisa-
nak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua
orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti in-
gin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku
sekarang, karena kau yang memilikinya sedang-
kan engkau hanya merampas secara kotor!"
Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia
dituduh sembarangan! Emas itu dia yang meram-
pasnya? Tuduhan keji untuknya. Dia tidak teri-
ma.
"Saudara... kau menuduhku sembarangan.
Aku membantah semua tuduhanmu...."
"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali
emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tan-
gannya dan serentak sembilan orang yang bertu
gas mengawalnya mengurung pemuda itu.
Namun pemuda itu nampak tenang-tenang
saja. Dia hanya memperhatikan mereka dengan
tatapan waspada.
"Kau tak percaya bukan aku yang melaku-
kan semua ini, Saudara...."
"Siapa lagi kalau bukan kau! Hanya kau
yang ada di sini! Pasti emas itu sudah kau sem-
bunyikan! Serang pemuda itu dan tangkap"
Serentak sembilan orang itu menyerang
dengan pedang mereka. Pemuda itu menghindari
semuanya dengan mudah. Bahkan dia memutar
serulingnya dan berkelebatan dengan cepat yang
merupakan gulungan-gulungan hitam. Tiga orang
roboh terkena sambaran seruling itu. Mendadak
pemuda itu bersalto menghindari kurungan itu.
Lalu katanya kepada Kadir, "Saudara! Aku
tidak suka dituduh begini! Aku bukanlah peram-
pok dan pembunuh yang kejam. Tetapi karena
tuduhanmu ini.... Aku bisa berbuat demikian!"
Kadir mendengus. Dia pun menghunus pe-
dangnya.
"Orang jahat seperti kau, harus dile-
nyapkan dari muka bumi ini! Tak ada gunanya
kau hidup, karena hanya menyengsarakan orang
lain dan membuat keonaran. Lihat seranganku,
Kisanak!" bentak Kadir seraya berkelebat ke de-
pan dan pedangnya sudah menyambar dengan
dahsyat. Sabetan dan tusukannya begitu cepat
dan kuat.
Tetapi pemuda itu hanya menghindari se
raya berdiri di belakang Kadir, serulingnya siap
mencoblos leher Kadir. "Kalian semua mundur,
kalau tidak ingin melihat pemuda ini mampus!
Cepat!"
Orang-orang itu mundur, mereka pun su-
dah jerih melihat kelihaian pemuda itu. Mereka
pasti tak mampu untuk menangkapnya. Tapi se-
puluh orang saja mereka gagal, apalagi kini ting-
gal bertiga.
Pemuda itu berseru lagi, "Kalian semua sa-
lah paham, kalian salah menuduhku demikian!
Aku tidak melakukan apa-apa terhadap kereta
kuda itu. Aku membantah semua tuduhan kalian.
Sungguhan, aku tidak melakukan apa-apa. Aku
baru saja melihat semua itu ketika kalian datang
dan menuduhku sebagai pelakunya!"
"Tetapi hanya kau yang ada di sana!" ben-
tak Kadir seraya berusaha bergerak, tetapi toto-
kan pemuda itu sungguh hebat. Sukar untuk di-
lepaskan dan Kadir hanya bisa memaki dalam ha-
ti.
"Kebetulan aku belum pergi dari tempat itu
ketika kalian datang. Aku masih heran, ada apa
dan siapa yang telah melakukan pembakaran
dengan keji itu!"
"Aku tak percaya!"
"Kau memang keras kepala... Sudara. Ka-
lau saja orang-orang itu masih hidup dan bisa bi-
cara, pasti mereka akan mengaku, siapa yang
menyerang mereka!"
Mendengar suara yang mantap itu, hati
Kadir agak meluluh tetapi masih waspada.
Mendadak pemuda itu melepaskan toto-
kannya dan berkelebat. Suaranya terdengar, "Aku
bosan berhadapan dengan orang macam kau!
Orang yang sembarangan menuduh! Biar semua
itu terjadi, akan kucari orang-orang yang telah
melakukan perampokan dan pembakaran itu!"
Suaranya menghilang dan tubuhnya pun
tak nampak. Kadir menghela napas. Pemuda tadi
sangat lihai sekali dan dia yakin kalau bukan pe-
muda itu yang melakukan semuanya. Dia meme-
rintahkan anak buahnya untuk kembali dan
mengangkut tubuh kawan mereka yang terluka.
SEMBILAN
Sebenarnya, siapakah pemuda yang lihai
dan perkasa itu? Yang suka meniup serulingnya
dan melagukan tembang-tembang yang menga-
syikkan?
Pemuda itu adalah Pranata Kumala, bocah
yang sembilan tahun lalu dibawa oleh Ki Ageng
Jayasin ke puncak gunung Muria untuk digem-
bleng dan dilatih ilmu kejayaan dan kesaktian.
Kini bocah itu sudah tumbuh menjadi pe-
muda yang gagah perkasa dan tampan. Setelah
dirasakan cukup berguru selama sembilan tahun,
Pranata Kumala memohon izin kepada gurunya,
Ki Ageng Jayasin untuk menjenguk orang tuanya.
Selama sembilan tahun itu dia tidak pernah-
bertemu dengan orang tuanya, orang tua yang di-
tinggalkan sejak dia berumur sembilan tahun.
Dan membuatnya rindu.
Ki Ageng Jayasin sebenarnya enggan untuk
melepas kepergian pemuda itu. Selama sembilan
tahun bocah itu menunjukkan bakti dan kecin-
taannya kepada Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng Jaya-
sih sendiri sangat menyayangi pemuda itu. Pe-
muda yang welas asih dan sopan. Tetapi dia tidak
bisa menahan karena pemuda itu bukanlah mi-
liknya, dia milik kedua orang tuanya dan sudah
bebas menentukan pilihan.
Setelah memberi wanti-wanti panjang lebar
dan agar Pranata bisa menggunakan kepandaian-
nya untuk membela yang lemah dan kebenaran,
Ki Ageng Jayasih, melepaskan pemuda itu. Prana-
ta menjura hormat sebelum dia melangkah pergi.
Lalu mulai beranjak, meninggalkan puncak gu-
nung yang dia diami sejak sembilan tahun.
Kini semua itu ditinggalkannya. Pegunun-
gan yang indah. Hawa yang dingin. Pemandangan
yang elok dan indah. Bunga-bunga yang bagus.
Semua ditinggalkannya demi rasa rindu kepada
orang tuanya.
Mulailah perjalanan Pranata Kumala dalam
kembali ke pelukan ayah bundanya, Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum. Sudah lama dia ti-
dak melihat dunia ramai dan betapa senangnya
dia melihat semua itu. Sebelum menuju ke tem-
pat ayah bundanya berada yaitu di perguruan To
peng Hitam, Pranata menggunakan kesempatan
itu untuk singgah dari dusun ke dusun.
Sejak kecil dia telah mendengar akan nama
Laut Pantai Selatan. Laut yang indah dan sunyi.
Itulah sebabnya, dia segera menuju ke sana. Ingin
membukti cerita ayah bundanya tentang keinda-
han laut pantai selatan.
Belum lagi dia tiba di sana, kesulitan su-
dah datang kepadanya. Dia dituduh sebagai pe-
rampok dan pembunuh oleh pemuda gagah tadi
dan anak buahnya. Tentu saja Pranata menjadi
marah dan kesal, namun dia ingat akan nasehat
Ki Ageng Jayasih, agar mempergunakan akal se-
hat untuk menghadapi sesuatu, jangan main ma-
rah saja, apalagi memukul!
Tetapi dia pun harus mempertahankan diri
dan berlari kalau tidak ingin urusan itu semakin
panjang.
Sekarang pemuda itu duduk di sebuah ba-
tu, matanya menatap deburan ombak yang me-
nabrak tebing. Burung camar berterbangan di
atas laut yang tak mau berhenti bergelombang.
Juga tak melepas lelah sedikit pun. Dia terus ber-
gulung dan berdeburan.
Pranata merenung, hampir sebulan dia
meninggalkan gunung Muria dan baru kali ini dia
mendapat kesulitan. Kalau tahu begini lebih baik
dia langsung ke perguruan Topeng Hitam. Entah
bagaimana sekarang rupa perguruan itu, juga
murid-muridnya, apakah mereka masih seperti
dulu ataukah sudah banyak yang menikah lalu
keluar.
Mengingat itu, Pranata bangkit, hendak
mencari tempat bermalam. Matahari sudah ham-
pir tenggelam di barat sana. Cahaya merahnya
membias menerangi langit, membuat warna langit
agak memerah dan nampak bagus sekali. Pranata
memperhatikan itu sebentar. Betapa besar dan
agungnya kekuasaan Tuhan, yang membuat sega-
la sesuatunya begitu bagus dan sempurna.
Pranata mulai melangkah. Dia mengambil
serulingnya dan meniup menembangkan sebuah
lagu merdu. Mengalunkan suara seruling itu.
Betapa merdu dan enaknya alunan serul-
ing itu didengar, tak membosankan. Seruling itu
buatannya sendiri ketika dia masih di gunung
Muria sana, untuk melepaskan kesendiriannya
kalau sudah selesai berlatih.
Pranata pun ingat, kalau ayahnya dulu
memberinya sebuah seruling. Kata ayahnya, itu
seruling naga. Di tubuh seruling itu terdapat dua
ekor naga yang sedang bertempur. Selama sembi-
lan tahun, Pranata baru sekali meniupnya, itu
pun sudah dilarang oleh Ki Ageng Jayasih yang
mendengar alunan nadanya.
"Boleh kulihat seruling yang kau tiup itu,
Pranata?" tanya Ki Ageng Jayasih waktu itu.
Pranata memberikannya. Ki Ageng Jayasih
mengamati. Dia juga tahu, seruling itu pemberian
ayahnya Pranata Kumala. Tadi ketika nada serul-
ing itu terdengar, Ki Ageng Jayasih merasakan te-
linganya sakit sekali, suara seruling itu seakan
menusuk telinganya dan itu yang membuatnya
heran. Makanya dia ingin melihat seruling itu.
"Pranata... waktu tadi kau meniup seruling
ini, apakah kau merasakan sakit di telingamu?"
tanya Ki Ageng Jayasih.
Pranata menggeleng keheranan, tak men-
gerti maksud gurunya.
"Tidak Kakek."
"Hmm." Ki Ageng Jayasih mengamati serul-
ing itu dan mendadak dia meniup seruling itu.
Pranata tersentak, dia bergulingan, karena telin-
ganya terasa disengat oleh suara yang keluar dari
seruling itu. Keras dan menusuk. Sakit sekali.
Cepat Pranata duduk bersila. Dia sudah digem-
bleng dalam hal tenaga dalam dan hawa murni,
dia pun menggunakan kepandaiannya untuk
membendung suara seruling itu.
Ki Ageng Jayasih melihat muridnya berge-
tar. Hmm, pasti ini semua gara-gara seruling itu.
Ia menghentikan tiupannya.
"Pranata...."
Pranata membuka matanya perlahan. Dia
menghentikan aliran tenaga dalam dan hawa
murninya ke telinga.
"Ya, Kakek...."
"Kau merasakan sakit di telingamu?"
"Ya, Kakek. Sangat pedih sekali. Suara se-
ruling itu sangat menusuk telingaku..."
Ki Ageng Jayasih tersenyum. "Itulah yang
ku maksud tadi, suara seruling itu tadi pun me-
nusuk telingaku. Pranata, rupanya ayahmu
memberikan sebuah seruling, bukan sebuah se-
ruling biasa. Ini seruling sakti dan dinamakan se-
ruling naga. Baru aku tahu apa kesaktian serul-
ing ini... dia bisa menusuk dengan suaranya dan
mengalahkan lawan-lawannya tanpa membuang
tenaga.... Sungguh beruntung kau memiliki serul-
ing ini..., Namun Pranata, jangan kau gunakan
seruling ini sembarangan.... Ini seruling sakti...."
Sampai disini berakhir sudah kisah ini se-
lanjutnya nantikan episode berikutnya
dalam kisah Pendekar Kedok Putih.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar