"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE KAKEK SAKTI DARI GUNUNG MURIA

Kakek Sakti Dari Gunung Muria

SATU


Sesudah berkata begitu, dia melesat den-

gan pedangnya. Menyambar ke arah Ratih Nin-

grum, tetapi serangan itu kandas karena bebera-

pa orang murid telah memapaki serangan itu.

"Boleh, boleh! Kalian semua boleh mengha-

dapiku! Bersiaplah kalian!"

Ratih Ningrum mencabut sepasang pedang 

kembarnya. Ia menyuruh Pranata Kumala masuk. 

Ratih Ningrum menyadari, betapa tingginya ilmu 

orang itu. Dulu dia pernah mendengar nama De-

wa Pedang dan baru kali ini dia bertemu langsung 

dengan orangnya.

Tidasewu melancarkan serangannya lagi. 

Pedangnya itu bergerak dengan cepat dan tepat. 

Bergulung-gulung tanpa kelihatan ke mana arah-

nya dan menyambar dengan cepat. Beberapa 

orang murid memapaki dengan gerakan cepat pu-

la. Sebisa mereka menghalau serangan yang da-

tang. Tetapi mereka bukanlah tandingan orang 

yang berjuluk Dewa Pedang itu, sebentar saja li-

ma orang tergeletak tanpa nyawa.

Tetapi semakin banyak murid-murid yang 

datang dan mengurung. Seorang murid utama 

yang bernama Jayalaksa, nekat menyerang sendi-

ri. Tidasewu menyambut, benturan dan suara 

nyaring pedang-pedang itu amat memekakan te-

linga. Mula-mula kelihatan mereka seimbang, 

namun lama kelamaan jelas Jayalaksa tidak


mampu mengimbangi kecepatan, kelihaian, dan 

ketangkasan permainan pedang Tidasewu.

Tahu-tahu dia menjerit. Ujung pedang Ti-

dasewu sudah mampir di bahunya. Bahu itu ter-

gores dan darah merembas. Jayalaksa buru-buru 

mundur.

Begitu dia mundur, yang lain segera me-

nyerang maju. Lagi-lagi terdengar jeritan dan sua-

ra nyaring benturan pedang. Kembali Pedang Ti-

dasewu dengan kecepatan yang luar biasa berke-

lebat dan tahu-tahu tinggal dia sendiri, lawan-

lawannya ambruk bersimbah darah.

Ratih Ningrum menggeram marah. Melihat 

kenyataan itu, dia cepat maju. Lama kelamaan 

bisa habis seluruh murid perguruan Topeng Hi-

tam. Sambil memekik keras, dia maju menyerang. 

Kedua pedangnya menyambar dengan cepat pula. 

Jurus sepasang pedang kembarnya dia perli-

hatkan dengan trampil dan cekatan.

Kalau bukan Dewa Pedang yang mengha-

dapi, pasti dengan mudah Ratih Ningrum menga-

lahkannya. Tetapi Tidasewu adalah jago pedang 

nomor satu saat ini. Dengan mudah dia menge-

lakkan setiap serangan Ratih Ningrum. Bahkan 

membalas dengan dahsyatnya.

Ratih Ningrum menjadi kewalahan. Tida-

sewu mendesaknya dengan hebat. Tusukan dan 

sabetan pedangnya mengancam jiwa Ratih Nin-

grum. Melihat itu, Jayalaksa, nekat maju menye-

rang lagi, kali ini dibantu oleh Nurtita, yang lu-

mayan pula permainan ilmu pedangnya.


Dikeroyok bertiga, Tidasewu masih tidak 

kewalahan. Dia malah semakin memperlihatkan 

kepandaiannya dalam ilmu pedang.

Tiba-tiba dia memekik keras. Tubuhnya 

melenting ke atas, bersalto tiga kali dan pedang-

nya dengan cepat menyambar Nurtita. Dengan 

gesit Nurtita bergulingan, Tidasewu mengejar, te-

tapi mendadak dia terjatuh.

Pada saat yang genting itu, Jayalaksa telah 

melemparkan beberapa senjata rahasianya dan 

tepat mengenai kedua tangan Tidasewu. Satu 

senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam itu, 

nancap di pahanya.

Tidasewu ambruk bergulingan. Nurtita se-

lamat dari ancaman pedangnya. Dia marah kare-

na dirinya menjadi bulan-bulan tadi, dengan ge-

ram dia menerjang.

Mendadak dia bersalto ke belakang, se-

buah pisau hampir menyambarnya. Wajah Nurti-

ta agak pias, hampir saja pisau itu mencabut 

nyawanya.

Tiba-tiba terdengar tawa yang menyeram-

kan dan terkikik di atas tembok, semua menoleh 

ke sana. Seorang laki-laki muda berwajah tampan 

dan seperti bocah berdiri dengan mengayun-

ngayunkan sebuah pisau. Di sampingnya berdiri 

seorang wanita yang sangat buruk rupanya. Be-

tapa jeleknya wajah wanita itu, Ratih Ningrum 

sampai ngeri melihatnya. Tetapi ditahannya. Dia 

sudah bisa menduga siapa orang-orang ini, pasti 

teman dari orang kurus tinggi itu.


Keduanya melompat ke bawah dengan rin-

gan. Laki-laki bertampang bocah itu tertawa men-

gejek pada Tidasewu, 

"Ha... ha... kau tidak mampu menghadapi 

mereka rupanya.... Sudah kubilang, kita gempur 

mereka sama-sama. Tetapi yah... itulah akibat-

nya...."

"Jangan banyak bacot kau, Angkasena!" 

bentak Tidasewu gusar. "Mereka terlalu banyak, 

tenagaku habis diperas mereka!"

"Salahmu sendiri. Untung pisauku cekatan 

menghalangi kematianmu."

Tidasewu gusar. Sementara Ratih Ningrum 

sudah menyuruh murid-muridnya berkumpul, 

menghalangi jalan masuk ke ruangan dalam. Ra-

tih Ningrum sendiri segera bersiap menghadapi 

segala kemungkinan. Jayalaksa menahan sedikit 

rasa sakitnya. Nurtita sudah agak tenang. Dia ge-

ram dengan laki-laki bertampang bocah itu.

"Rupanya kalian teman-teman orang kurus 

itu!" bentak Nurtita geram. "Kalian mau apa se-

muanya ke mari?"

"He... he..." Angkasena tertawa. Lagi terta-

wa itu, wajahnya mirip dengan Pranata Kumala. 

"Sudah tentu ingin menghangus bumikan pergu-

ruan Topeng Hitam...."

"Kenapa kalian ingin berbuat demikian?!"

"Tentu saja agar semua takluk di tangan 

kami!" Angkasena memain-mainkan pisaunya. Ti-

ba-tiba ia mengibaskan tangannya dan pisau ter-

bang menyambar ke arah Nurtita. Nurtita berkelit


dan menangkis pisau itu. 

"Trang!"

Nurtita membentak, "Kau! Cepat layani 

aku!" Lalu ia menyerang dengan cepat. Kemara-

hannya sudah sampai di kepala. Angkasena ter-

tawa. Ia menghindar dengan cepat pula. Nurtita 

menjadi penasaran. Tetapi pedangnya tidak me-

nemui sasaran yang tepat.

Mendadak Angkasena berguling dan sambil 

berguling itu dia mengambil sesuatu dari balik 

bajunya dan melempar dengan cepat.

"Wuttt!"

Nurtita tergagap, menghentikan serangan-

nya untuk menghindari pisau itu. Angkasena ter-

bahak, dia melempar tiga buah pisau secara be-

runtun. Nurtita hanya mampu mengelakkan se-

buah pisau dan menangkis sebuah. Yang sebuah 

lagi melayang dengan enaknya dan menemukan 

sasaran yang empuk. Jantung Nurtita.

Nurtita menjerit. Darah bersimbah keluar, 

ia ambruk setelah terhuyung lebih dulu. Jayalak-

sa kaget melihatnya. Kawan seperguruannya se-

jak kecil, kini menemui ajalnya. Demi membela 

nama baik perguruan Topeng Hitam. Dia menjadi 

beringas. Ketika hendak menyerang, Ratih Nin-

grum melarang.

"Sabar, Jaya. Kita dengarkan dulu apa se-

benarnya kemauan mereka!"

Rupanya wanita yang berwajah buruk itu, 

mendengar bisikan Ratih Ningrum. Ia Sumpila 

dan tertawa ngikik.


"Sudah jelas, untuk menduduki perguruan 

Topeng Hitam dan menurut kepada perintah ka-

mi!"

Akhirnya Ratih Ningrum sendiri yang tidak 

bisa menahan dirinya. Ia menyarungkan kedua 

pedangnya karena lawannya yang bermuka buruk 

itu tidak memegang senjata. Dia maju menyerang 

dengan pukulan tangan seribunya. Tangannya 

bergerak menjadi banyak. Sumpila tidak mau ka-

lah, jurus-jurus bangaunya bergerak dengan he-

bat pula. Kadang mematuk, menyodok, memukul 

bahkan menotok. Membuat Ratih Ningrum agak 

kewalahan juga. Tetapi dia bisa mengimbangi 

dengan kecepatan tangannya yang seakan beru-

bah menjadi banyak.

Sumpila menggerakkan tangannya ke atas 

dan mematuk ke arah kepala, Ratih Ningrum ber-

kelit, tangan Sumpila sudah mengancam ke leher! 

Ratih Ningrum menggerakkan tangannya me-

nangkis.

"Plak!" Kedua tangan itu bertemu dan ke-

duanya terdorong ke belakang lalu cepat menye-

rang kembali. "Des!" Kembali kedua tangan itu 

bertemu, kali ini keduanya agak jauh terdorong. 

Ratih Ningrum terhuyung lima langkah, 

sedangkan Sumpila hanya dua langkah. Itu me-

nandakan tenaga dalam Sumpila lebih tinggi dari 

Ratih Ningrum. Tetapi Ratih Ningrum tidak gen-

tar, dia malah maju kembali dengan erangan ke-

ras. Sumpila menyambut. Kembali pukulan demi 

pukulan beradu dan ditangkis. Ketrampilan dan


kecepatan keduanya perlihatkan.

Sumpila kelihatan lebih gesit. Dia bersalto 

ke belakang dan mendadak tubuhnya berguling 

ke bawah. Dia sudah menggunakan jurus Bangau 

Mencari Cacing. Tubuh itu bergulingan dan me-

matuk kaki Ratih Ningrum. Cepat Ratih Ningrum 

melompat tetapi tiba-tiba Sumpila bangkit dan 

bagaikan terbang menotok ke arah iga Ratih Nin-

grum. Sebisanya Ratih Ningrum mengelak.

"Des!" Kaki Sumpila menyambar tubuh Ra-

tih Ningrum hingga jatuh bergulingan.

Melihat Ratih Ningrum dalam keadaan ba-

haya, beberapa orang murid perguruan Topeng 

Hitam bergerak mengurung. Tetapi semua lang-

sung berdiri kaku karena Sumpila sudah berkele-

bat dan menotok mereka dan meneruskan seran-

gannya kepada Ratih Ningrum yang sedang beru-

saha untuk bangkit. Dia merasa payah, tidak 

sanggup untuk menghadapi Sumpila, wanita ber-

wajah buruk yang sakti itu.

Dan melihat Sumpila sudah menyerang be-

gitu, sulit baginya untuk menghindar. Tetapi 

mendadak Sumpila bersalto. Jayalaksa sudah 

melempar beberapa senjata rahasia topeng hitam 

untuk menyelamatkan istri ketuanya. Padahal dia 

hanya untung-untungan. Kalah cepat sedikit, ta-

matlah riwayat istri ketuanya.

Jayalaksa lalu memburu Sumpila yang da-

lam posisi bersalto, kedua pedangnya siap me-

nyambar nyawa Sumpila. Tapi kini dia berbalik 

bersalto. Dua buah pisau sudah menyambar ke


arahnya

"Trang! Trang!"

Susah payah Jayalaksa menangkisnya. 

Terdengar tawa Angkasena.

"Seorang kesatria tidak boleh main bokong! 

Mari kau kulayani! Aku ingin lihat, sampai di ma-

na kehebatan ilmu pedang murid-murid pergu-

ruan Topeng Hitam!" seru Angkasena dan maju 

menyerang. Tangannya lurus memukul, Jayalak-

sa menyambarkan pedangnya. Angkasena cepat 

melompat dan kembali menyambarkan tangan-

nya. Gerakannya benar-benar cepat. Jayalaksa 

kembali menyambarkan pedangnya dan menusuk 

dengan gerakan menotok.

"Hebat!" seru Angkasena kagum. Ia balas 

menyerang. Kali ini kelincahan dan kecepatannya

bergerak ia perlihatkan sampai Jayalaksa kewa-

lahan sendiri. Benar-benar luar biasa. Apalagi ke-

tika Angkasena melontarkan pisaunya sekali-

sekali, membuatnya semakin repot untuk berge-

rak dan menghindar.

Sementara itu, Ratih Ningrum sudah kem-

bali berhadapan dengan Sumpila. Ratih Ningrum 

akan bertahan mati-matian demi membela pergu-

ruan itu juga nama baik suaminya. Sayang saat 

ini suaminya belum kembali, kalau sudah, dia 

tentu tak akan serepot ini menghadapi penye-

rang-penyerang itu.

Jurus bangau Sumpila benar-benar tang-

guh dan sulit untuk diimbangi. Hanya sekali-

sekali saja Ratih Ningrum bisa mengimbangi den


gan pukulan tangan seribunya dan kini dia men-

gimbangi dengan kedua pedangnya. Tetapi biar-

pun demikian, Sumpila masih bisa menghindar 

dan tetap berada di atas angin, padahal dia ber-

tangan kosong!

Tetapi suatu ketika Sumpila lengah, karena 

terdengar erangan Tidasewu yang terluka. Ke-

sempatan itu digunakan Ratih Ningrum untuk 

menyabet leher Sumpila. Sumpila masih sempat 

mengelak, namun tak urung rambut yang dibang-

gakannya terbabat pendek.

Sumpila menggeram marah. Dengan berin-

gas dia menerjang Ratih Ningrum yang menjadi 

sangat kewalahan dan terdesak. Apalagi kaki ka-

nan Sumpila menjatuhkan sepasang pedang yang 

dipegangnya. Dan patuk bangaunya menotok urat 

di bawah tulang iga Ratih Ningrum.

Wanita itu merasakan sakit sekali dan tu-

buhnya terjengkang ke belakang. Sumpila mence-

car dengan buas. Rambut itu mahkotanya. Dia 

akan membunuh siapa saja yang merusaknya. 

Dan Ratih Ningrum telah merusaknya!

Keadaan Ratih Ningrum benar-benar terde-

sak. Ratih Ningrum sendiri sudah tidak mampu 

untuk bertahan, bahkan mengelak.

Sumpila memekik keras. Tangannya mem-

bentuk patuk bangau dan melayang, Ratih Nin-

grum merasa ajalnya sekarang tiba. Dia belum 

sempat bertemu dengan suaminya, juga belum 

mencium putranya.

Ia memejamkan mata menanti ajalnya da


tang! Tetapi mendadak terdengar jeritan Sumpila, 

dan tubuh itu ambruk sementara di dekatnya se-

buah tongkat bambu kuning menancap dengan 

tegar!



DUA



Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang 

menghalangi perbuatan Sumpila itu? Semua mata 

mencari dan menemukan seorang laki-laki kira-

kira berusia enam puluh lima tahun duduk di su-

dut halaman.

Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan 

bagaimana dia sudah duduk di situ. Pasti dia 

yang melemparkan tongkat bambu kuning itu. 

Gerakannya cepat. Itu menandakan laki-laki tua 

itu bukan orang sembarangan.

Sumpila yang sudah bangkit berbalik den-

gan geram. Ia membentak, "Kakek! Kau mau cari 

gara-gara rupanya! Kau belum tahu siapa aku?!" 

Sumpila mencabut tongkat bambu kuning dan 

melemparkannya sepenuh tenaga kepada laki-laki 

tua itu. Tetapi sungguh diluar dugaan. Laki-laki 

tua itu hanya mengangkat tangan kirinya dan 

tongkat jatuh secara mendadak

"Punya kehebatan juga kau, Kakek!" ben-

tak Sumpila berang, padahal ia tengah menutupi 

kekagetannya. Siapa kakek berjenggot putih yang 

hebat ini?

Angkasena pun kagum dan bergetar meli


hat kehebatan tenaga dalam yang diperlihatkan 

kakek itu. Agaknya dia tahu kakek ini orang yang 

sakti, dia mengambil sikap menghormat. Dengan 

sopan menjura.

"Luar biasa siapa gerangan kakek ini 

adanya?" tanyanya dengan suara yang sopan pu-

la.

Kakek itu tahu-tahu sudah berdiri, entah 

bagaimana dia bergerak tadi dan memungut 

tongkat bambu kuningnya. Ia terkekeh.

"He... he... aku adalah orang desa yang tak 

senang dengan orang-orang jahat," katanya pa-

rau. 

"Kalau boleh kami tahu, siapa kakek sebe-

narnya?" tanya Angkasena tetap dengan sopan.

"Ah, aku yang sudah renta ini tak punya 

nama yang bagus. Kalau kalian mau tahu, akulah 

majikan gunung Muria yang baru saja turun gu-

nung...."

Sampai di situ kakek itu bicara, orang-

orang itu terkejut. Angkasena dan Sumpila sudah 

mendengar kehebatan majikan gunung Muria. 

Mereka pun mengenalnya, Ki Ageng Jayasih!

Orang itu memang Ki Ageng Jayasih. Sete-

lah menderita luka dalam yang tidak begitu parah 

dari Madurka, Ki Ageng Jayasih menemukan se-

buah goa. Di sana dia mengobati dan beristirahat 

untuk menyembuhkan lukanya. Setelah dirasa-

kannya lukanya sudah agak sembuh, dia berang-

kat lagi hendak mencari muridnya yang murtad. 

Ketika itu, sampailah dia ke daerah sekitar pergu


ruan Topeng Hitam berada dan secara tak sengaja 

telinganya menangkap suara benturan dan peki-

kan, yang menandakan sedang terjadi perkela-

hian di dalam.

Dengan hati-hati Ki Ageng Jayasih melom-

pat dan saat itu keadaan Ratih Ningrum dalam 

bahaya, dia akan menolong tetapi Jayalaksa su-

dah menolongnya. Ki Ageng Jayasih melompat 

duduk, tak seorang pun ada yang memperhati-

kannya. Ketika Ratih Ningrum terancam untuk 

kedua kalinya, setelah dia berhasil membuat 

rambut Sumpila, barulah Ki Ageng Jayasih me-

lemparkan tongkat bambu kuningnya.

Sekarang dia tersenyum. 

"Maaf, aku yang tua ini lancang menggang-

gu urusan kalian yang muda-muda. Kalau boleh 

aku tahu, ada apa gerangan?"

Belum lagi Sumpila menyahut, Jayalaksa 

lebih dulu berkata, "Maaf, kakek yang sakti! Se-

mua kejadian ini bermula dari orang tinggi kurus 

yang terluka itu. Maksud kedatangannya ingin 

mengacau perguruan ini. Setelah kami berhasil 

melukainya, datang dua orang itu yang ternyata 

temannya dan bermaksud membantunya serta 

menghancurkan perguruan Topeng Hitam ini, jika 

kami tidak mau menyerahkannya kepada mereka. 

Tentu saja kami mempertahankan dengan sekuat 

tenaga...."

Ki Ageng Jayasih manggut-manggut. Ter-

nyata masih banyak orang-orang jahat yang ingin 

mempergunakan kesaktiannya untuk kepentin


gan pribadi.

Ki Ageng Jayasih bertanya, "Ketenaran per-

guruan Topeng Hitam sudah sampai pula ke gu-

nung Muria. Kalau tidak salah, ketua kalian ber-

nama Paksi Uludara, bukan?"

Jayalaksa menjura.

"Maafkan kami, Kakek sakti. Ketua kami 

yang dahulu telah wafat...."

Ki Ageng Jayasih terkejut. Ketenaran nama 

Paksi Uludara sampai pula ke telinga, tetapi sam-

pai saat ini dia belum pernah berjumpa dan selagi 

datang, orang itu sudah pergi selama-lamanya.

"Lalu siapa ketua kalian sekarang?" ta-

nyanya pelan.

"Ketua kami bernama... Madewa Gumi-

lang."

"Madewa Gumilang?" Ki Ageng Jayasih me-

lotot. Ia pun pernah mendengar nama itu. Nama 

yang mendadak menjulang, menembus langit ke-

tenarannya. Dan tak disangkanya kalau Madewa 

Gumilang yang menggantikan kedudukan Paksi 

Uludara. Tapi walaupun begitu, Ki Ageng Jayasih 

meyakinkan, "Benarkah dia yang bergelar Pende-

kar Pukulan Bayangan Sukma? Pendekar budi-

man yang gagah perkasa?"

"Kiranya begitulah adanya ketua kami," 

sahut Jayalaksa merendah.

"Tak kusangka... di akhir sisa hidupku ini, 

aku akan bertemu dengan orang itu. Lalu yang 

manakah orangnya?"

"Sekali lagi maaf, Kakek sakti. Ketua kami


saat ini tidak berada di sini. Beliau sedang men-

gurus sesuatu. Kalau kakek ingin berkenalan 

dengan istrinya, beliau ada di sini. 

Kakek itu mengangguk sambil terkekeh.

Ratih Ningrum langsung menjura, sekalian 

mengucapkan terima kasih atas pertolongan ka-

kek tadi menyelamatkan nyawanya.

"Sayalah yang bernama Ratih Ningrum."

Ki Ageng Jayasih manggut-manggut.

"Pantas, orang-orang itu berani menggang-

gu perguruan kalian. Kiranya ketua kalian yang 

sakti itu sedang tidak ada di sini." Ki Ageng Jaya-

sih berpaling pada Angkasena dan Sumpila yang 

bersiap waspada, karena kakek tua itu agaknya 

Ki Ageng Jayasih, majikan gunung Muria yang 

beberapa tahun yang lalu mengasingkan diri di 

gunung Muria. Ki Ageng Jayasih menyambung, 

"Aku kenal kalian, juga teman kalian yang terluka 

itu. Kalau tidak salah, kau adalah Iblis Berwajah 

Bocah dan kau Dewi Buruk Rupa. Serta teman 

kalian yang luka adalah si Dewa Pedang. Orang-

orang golongan hitam yang memulai aksinya un-

tuk mengacau!" 

"Ki Ageng Jayasih, kami memandang nama 

besarmu!" bentak Sumpila. "Tapi agaknya kau te-

lah mengganggu perbuatan kami. Kami tidak 

akan memaafkan!!"

Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku tidak 

mengganggu kesenangan kalian. Cuma kali ini, 

kalian salah mencari sasaran. Biarpun aku tidak 

mengenal mangsa kalian, tapi jika aku melihat,


aku akan menentang!"

"Sombong kau kakek tua!" bentak Sumpila 

gusar. Dia tidak takut dengan majikan gunung 

Muria itu. Bahkan Sumpila ingin menjajaki sam-

pai di mana tingkat kesaktian Ki Ageng Jayasih 

yang kesohor.

"Aku ini sudah tua, Suminten...." kata Ki 

Ageng Jayasih. Sumpila terkejut, karena kakek 

itu tahu nama sebenarnya. Nama jelek yang san-

gat dibencinya, buat apa aku harus sombong. Se-

lama aku masih sanggup membela kebenaran, 

aku akan membela."

Sumpila atau Suminten mendengus gusar. 

Ia membentak, "Ki Ageng Jayasih, telah lama aku 

mendengar namamu yang hebat itu, tetapi sampai 

sekarang aku belum merasakan kehebatanmu. 

Nah, sambutlah seranganku. Aku ingin tahu 

sampai di mana kesaktian Ki Ageng Jayasih yang 

digembar-gemborkan orang...."

Ki Ageng Jayasih hanya tertawa.

"Aku tidak pandai apa-apa, Suminten! 

Orang hanya membesar-besarkan saja namaku. 

Kita semua sama, tak punya daya dan upaya!"

"Aku tidak suka mendengar khotbahmu! 

Terimalah serangan jurus bangauku, Ki Ageng 

Jayasih!" bentak Sumpila sambil menyerang den-

gan ganas. Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Ia tak 

beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri, 

hanya mengayunkan tongkatnya. Sumpila meme-

kik, ia merubah jurusnya. Kali ini menyerang dari 

atas dengan cepat. Ki Ageng Jayasih masih te


nang. Dia pun merubah gerakan tongkatnya ke 

depan melenceng ke samping dan menyambar 

kaki Sumpila.

Sumpila bersalto ke belakang. Kagum akan 

jurus tongkat yang cepat itu.

"Bukan main! Nama Ki Ageng Jayasih bu-

kan hanya omong kosong belaka! Tapi bersiaplah 

lagi!" Sumpila membuka jurusnya lagi. Kali ini dia 

menggunakan Bangau Terbang ke Atas. Yang ge-

rakannya selalu menyambar ke muka.

Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Tetapi ti-

ba-tiba dia bersalto. Dua buah pisau melayang ke 

arahnya. Dan dua buah lagi mengejar, dengan 

manisnya Ki Ageng Jayasih mengibaskan tong-

katnya.

"Trok! Trok!" kedua pisau itu jatuh ke ta-

nah. Angkasena penasaran, serangan pisaunya 

gagal. Sumpila sudah menjerit menyerang. Benar-

benar hebat jurusnya yang satu ini. Menyambar 

bagaikan burung bangau mencari mangsa. Den-

gan kelincahannya Ki Ageng Jayasih menghindar. 

Bahkan sekali-sekali menangkis, juga memukul 

dengan tongkatnya.

Dengan jurus itu, Sumpila bisa mengim-

bangi kecepatan Ki Ageng Jayasih, tetapi karena 

dia bertangan kosong sedangkan Ki Ageng Jaya-

sih memegang tongkat, dia menjadi agak kewala-

han menghindari pukulan dan totokan tongkat 

itu. Melihat kawannya terdesak, Angkasena maju 

membantu. Dikeroyok berdua begitu, Ki Ageng 

Jayasih tidak nampak terdesak, malah dia sema


kin mantap memainkan tongkatnya. Sampai sua-

tu ketika Angkasena melenting ke atas dan me-

lempar dua buah pisaunya ke arah punggung Ki 

Ageng Jayasih.

Ratih Ningrum terkejut, Dia berseru mem-

peringatkan, "Awas, Kakek!"

Tetapi Ki Ageng Jayasih tidak berkelit, ti-

dak bersalto. Dia hanya berbalik sambil mengi-

baskan tangannya. Dua larik sinar merah berke-

lebat menahan lajunya serangan pisau itu. Kedua 

pisau itu jatuh dan hangus!

Angkasena terkejut, pisau yang terbuat da-

ri baja itu hangus. Tetapi dia tak sempat berpikir 

lama lagi, karena sinar merah itu sudah mener-

jang ke arahnya. Dengan cepat dia berkelit. Ber-

guling menghindari sinar merah itu.

Ki Ageng Jayasih masih tenang menghada-

pi Sumpila. Jurus-jurus bangau Sumpila seka-

rang tak banyak gunanya. Sudah dua kali dia di-

gedor tongkat bambu kuning itu dan Angkasena 

tidak berani membantu dari jarak dekat karena 

kuatir sinar merah itu dilemparkan lagi oleh Ki 

Ageng Jayasih. Dia hanya berani membokong se-

kali-sekali, tapi itu pun tak banyak gunanya.

Tiba-tiba terdengar jeritan Sumpila. Kem-

bali dadanya digedor tongkat bambu kuning itu. 

Dia terhuyung ke belakang, kehilangan keseim-

bangan dan jatuh terduduk. Beberapa orang mu-

rid perguruan topeng hitam bertepuk tangan. Ra-

tih Ningrum pun bersyukur akan kedatangan Ki 

Ageng Jayasih itu, kalau tidak perguruan Topeng


Hitam berhasil direbut oleh tiga orang sakti itu.

Melihat tak ada gunanya menghadapi ka-

kek sakti itu, Sumpila melompat ke tembok dan 

berseru, "Kakek, lain waktu kita bertemu lagi!"

Lalu menghilang di balik tembok berkelebat 

dengan cepatnya. Sementara itu, Angkasena pun 

bergegas dengan memapah Tidasewu meloncati 

pagar, mereka pun menghilang dengan ketaku-

tan.

Beberapa orang murid perguruan Topeng 

Hitam mentertawai kepergian mereka yang seperti 

tikus diuber kucing. Terbirit-birit.

Sementara itu, Ratih Ningrum sudah berja-

lan mendekati Ki Ageng Jayasih yang sedang 

menggeleng-geleng. Heran, kenapa orang-orang 

itu tidak mau insyafnya, padahal sebentar lagi 

maut pasti mengajak mereka pergi. 

"Ki Ageng Jayasih," panggil Ratih Ningrum 

sambil menjura hormat.

Ki Ageng Jayasih menoleh dan tersenyum.

"Bukan kau yang seharusnya menghormat, 

Nyonya Madewa. Tetapi aku, sebagai orang desa 

yang harus menghormat istri ketua perguruan 

yang besar ini."

Ratih Ningrum tersipu, wajahnya memerah. 

"Jangan bersikap demikian, Kakek Sakti. Mari si-

lahkan mampir di tempat kami yang jelek ini."

Ki Ageng Jayasih tertawa.

"Jangan terlalu menyanjung dan meng-

hormatiku, Nyonya ketua. Maafkan aku, aku tadi 

hanya kebetulan saja lewat tempat ini dan mem


bantumu. Aku masih ada urusan yang harus ku-

selesaikan, jadi maaf, aku tidak bisa menerima 

undanganmu,"

"Kalau boleh saya tahu... hendak ke mana-

kah, Kakek yang kuhormati?"

Wajah kakek itu mendadak menjadi suram. 

Lesu. Ia mengusap-ngusap janggut putihnya,

"Aku hendak mencari muridku yang lari 

dari gunung Muria. Dia membawa senjata musti-

ka yang ampuh sekali." 

"Senjata apakah itu?"

"Aku tidak bisa menerangkannya, Nyonya!" 

tubuh renta itu mendadak berkelebat dan meng-

hilang. Mereka terkejut, hanya terdengar suara 

kakek sakti itu, "Selamat tinggal semua! Kalau 

ada waktu, aku akan mampir lagi! Sampaikan sa-

lamku kepada suamimu!"

Ratih Ningrum hanya manggut-manggut. 

Betapa besar terima kasihnya kepada kakek itu. 

Kalau tidak ada kakek sakti, apa jadinya pergu-

ruan Topeng Hitam ini? Bahkan nyawanya pun 

bisa melayang.

Mengingat itu, dia berbalik dan melihat be-

berapa murid perguruan itu tergeletak tanpa 

nyawa. Juga Nurtita yang setia. Ratih Ningrum 

memerintahkan untuk mengangkut mayat-mayat 

itu dan menguburkannya.

Malam sudah datang, Ratih Ningrum ma-

suk ke kamarnya. Merebahkan tubuh. Dia mere-

nung, berapa banyak kejadian yang mendebarkan 

dan mengancam jiwanya. Tetapi semua itu dite


rimanya dengan tabah. Selintas ingatannya kem-

bali kepada rumahnya yang dulu. Di mana dia di-

besarkan dalam keluarga berada yang kaya raya. 

Masa kecil yang indah dan kenangan di mana dia 

jatuh cinta kepada seorang pemuda yang kemu-

dian menjadi pengawal pribadinya. Pemuda itu 

adalah suaminya sekarang, Madewa Gumilang 

(baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Berbagai peristiwa terjadi antara suka dan 

duka semua itu diterimanya dengan tabah, tanpa 

mengingat akan kekayaannya dulu, yang dia se-

rahkan kepada tiga orang gurunya. Ratih Nin-

grum sadar, mengikuti suaminya adalah cobaan 

dan petualangan hidup. Suaminya adalah orang 

budiman, pembela kebenaran, sudah barang ten-

tu banyak orang yang iri dan mendendam kepa-

danya.

Sampai mereka mempunyai seorang anak 

pun, masih banyak peristiwa-peristiwa yang men-

debarkan.

Mengingat anak, Ratih Ningrum tersentak. 

Dari tadi, dia belum mendengar suara Pranata 

Kumala. Ke mana anak itu? Sudah hampir jam 

sembilan malam sekarang, tetapi bocah itu belum 

dilihatnya.

Ratih Ningrum segera mencari dan ber-

tanya di mana anaknya. Tetapi tak seorang pun 

yang melihatnya. Kata Bayuseta, dia tadi melihat 

anak itu masuk ke kamarnya, lalu tidak diketahui 

di mana lagi dia sekarang.

Ratih Ningrum menjadi panik. Ke mana


anak tersayangnya itu.

"Pranata! Pranata!" panggilnya terisak. Be-

berapa orang murid membantu mencari. Tetapi 

hampir semua ruang perguruan itu diperiksa ti-

dak ditemukan Pranata, juga di luar perguruan 

Topeng Hitam.

Tetapi bocah itu tetap tidak nampak. Ratih 

Ningrum menangis. Ke mana anaknya itu. Ia ter-

sedu-sedu masuk ke kamarnya. Jayalaksa segera 

bertindak, mengambil pimpinan untuk segera 

mencari Pranata Kumala.

"Apa tidak mungkin Pranata dibawa oleh 

orang-orang tadi, Jaya?" tanya Bayuseta dengan 

muka pucat. Dia pun kuatir ke mana perginya 

Pranata Kumala.

"Aku tidak tahu, Bayu. Tapi ada baiknya 

kita segera mencari."

"Malam ini juga, Kakang?" tanya salah seo-

rang. 

"Malam ini juga! Kalau belum ketemu, jan-

gan kembali! Kita terapkan kembali peraturan ke-

tua kita yang dulu, Paksi Uludara. Kalian menger-

ti semua? Kita tidak ingin melihat Nyonya ketua 

dalam kesedihan, bukan? Ayo mencari! Yang ti-

dak kuperintahkan jangan ikut! Jaga perguruan 

dan Nyonya ketua!"

Jayalaksa menyuruh delapan orang segera 

berangkat untuk mencari Pranata, termasuk 

Bayuseta. Malam itu juga mereka berangkat, ka-

rena tak ingin Nyonya ketua bersedih, apalagi 

saat ini ketua sedang tidak berada di sisinya.


EMPAT


Sebelum kita melihat ke mana perginya 

Pranata Kumala, kita lihat kembali perjalanan 

Madewa Gumilang yang akan mengunjungi ma-

kam Paksi Uludara yang masih membuatnya ber-

tanya-tanya, ada apa gerangan dengan makam 

orang yang dihormatinya itu.

Ketika matahari sudah sepenggalah, dia 

meninggalkan penginapannya. Dari tempatnya 

menginap, jarak ke makam Paksi Uludara tidak 

begitu jauh lagi. Di ujung hutan sana di dalam 

goa, makam itu berada. Makam yang dibuatnya 

bersama istrinya. Di dalam goa itu, juga ada ma-

kam Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut, Me-

lati Merah dan lima orang murid perguruan To-

peng Hitam (baca : Petaka Cinta Berdarah).

Mengingat itu, Madewa mengenang kembali 

kejadian beberapa tahun yang lalu. Peristiwa yang 

mengerikan dan penuh darah.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap 

bunyi sesuatu yang mencurigakan di belakang, 

tetapi Madewa tetap menjalankan kudanya den-

gan santai. Dia sudah tahu siapa gerangan orang 

yang mengikuti di belakang. Bahkan sejak dia se-

habis keluar dari rumah makan kemarin, sudah 

mengetahui kalau dia dibuntuti seseorang.

Orang itu adalah wanita yang memakai ke-

rudung. Entah mau apa dia mengikutinya sejak 

kemarin dan hal itu membuat Madewa curiga. Dia


agak waspada sekarang, kemarin wanita itu tidak 

kelihatan dan kali ini muncul lagi.

Mendadak Madewa menghentikan jalan 

kudanya. Ia turun dan berlagak membuka perbe-

kalannya, tetapi mendadak dia mengibaskan tan-

gannya ke salah satu pohon besar yang ada di 

sana.

"Sreeet!" Pukulan jarak jauhnya berkelebat 

dan menghantam pohon besar itu hingga tum-

bang dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan,

"Keji!"

Dan melayang sesosok tubuh dari tumban-

gan pohon itu. Sosok tubuh itu seorang wanita 

dan memakai kerudung putih! Orang itu tak lain 

adalah Nimas Sertani atau Dewi Mulia Berhati 

Busuk yang mengikuti Madewa sejak dari rumah 

makan itu.

Disangkanya laki-laki itu tidak mengetahui 

kalau dia diikuti, Nimas Sertani lupa, kalau yang 

dibuntutinya bukan orang sembarangan. Malam 

kemarin, setelah mengetahui di mana Madewa 

Gumilang menginap, Nimas Sertani melapor ke-

pada Resi Sendaring lalu kembali ke penginapan 

itu. Beberapa detik Nimas Sertani pergi, Bayuseta 

datang!

Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-

mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Sertani 

untuk menampakkan diri.

Madewa tertawa melihat Nimas Sertani 

muncul.

"Ha... ha... rupanya Dewi Mulia Berhati


Busuk yang mengikutiku...."

Wajah Nimas Sertani memerah, benar-

benar dia yang bodoh, penguntitannya rupanya 

sejak semula diketahui Madewa Gumilang. Tetapi 

dia hanya mendengus, menganggap remeh Made-

wa.

Madewa berkata lagi, "Dewi yang gagah 

perkasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-

sembunyian. Ada apa Dewi sampai mengikutiku? 

Ketahuilah Dewi... aku bukan orang kaya yang 

banyak membawa uang!"

Semakin memerah wajah Nimas Sertani. 

Matanya melotot gusar, tetapi Madewa hanya ter-

tawa. Dia harus tahu kenapa Dewi Mulia Berhati 

Busuk mengikutinya. Namun sebelum dia berka-

ta, Nimas Setani sudah membentak keras, "Aku 

memang sengaja membuntutimu... Madewa. Kau 

tahu kenapa?"

Madewa tersenyum. "Katakanlah," sua-

ranya tenang.

"Aku ingin membunuhmu!" suara Nimas 

Sertani kejam dan menusuk. Matanya meman-

carkan nafsu membunuh. Apalagi sejak tadi kata-

kata Madewa begitu menghinanya, begitu mem-

bakar kupingnya.

Madewa melengak sebentar tapi kemudian 

tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak 

berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak 

pernah berselisih!"

"Pernah atau tidak, aku tak perduli! Seka-

rang bersiaplah kau, Madewa! Sudah lama aku


ingin menjajal kesaktian pendekar Pukulan 

Bayangan Sukma! Tahan serangan!" membentak 

Nimas Sertani dan melesat dengan pukulan lurus 

ke wajah Madewa. Tak ada jalan lain buat Made-

wa kecuali melawan. Dia pun merunduk dan me-

nangkis lalu balas menyerang lebih cepat. Nimas 

Sertani berkelit dengan cekatan dan kakinya me-

nyambar. Madewa memperlihatkan ilmu merin-

gankan tubuhnya dengan melompat ke sana ke-

mari menghindari serangan Nimas Sertani. Nimas 

Sertani pun meningkatkan serangan-

serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-

ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah 

memperlihatkan kelincahannya dan kesaktian-

nya.

Dan keduanya sama-sama masih bertahan. 

Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang. 

Nimas Sertani maju menyerbu dengan dorongan 

kedua tangannya. Madewa tidak mengelak, dia 

malah menyambut dengan dorongan yang sama.

"Dess...!" kedua tenaga besar itu saling ber-

temu dengan hebatnya. Tubuh Nimas Sertani 

mental ke belakang dengan deras, sedangkan Ma-

dewa hanya terhuyung lima langkah. Itu saja su-

dah menandakan, kalau tingkat tenaga dalam 

Nimas Sertani masih jauh berada di bawah Ma-

dewa Gumilang.

Nimas Sertani mengusap darah yang ke-

luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan 

menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-

barangan dan tidak boleh dianggap ringan. Nama


besar Madewa Gumilang memang suatu kenya-

taan yang tidak bisa dipungkiri.

Namun biar begitu Nimas Sertani tidak

gentar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia mem-

buka kerudung putihnya. Kerudung itu diuraikan 

dan menjadi sebuah selendang. Dia mengebut-

ngebutkan selendangnya, rupanya akan dijadikan 

senjata.

Madewa hanya tersenyum saja.

"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang 

menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya 

sebelum Nimas Sertani menyerang. Namun Nimas 

Sertani tidak mau menjawab. Dia malah terkikik. 

Dan mengibaskan kerudungnya dengan cepat

Selendang itu bagaikan digerakkan oleh te-

naga magnit, bisa bergerak dan menangkis den-

gan cepat. Rupanya itu memang senjata andalan 

Nimas Sertani.

Madewa pun bergerak dengan cepat meng-

hindarkan serangan selendang itu yang kadang 

melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang 

seperti tombak. Namun dengan jurus Ular Melo-

loskan Diri kembali Madewa bisa menghindarkan 

serangan-serangan itu dan membuat Nimas Ser-

tani semakin penasaran.

Suatu ketika Madewa membentak keras 

dan tubuhnya melenting ke atas, bersamaan den-

gan itu Nimas Sertani mengibaskan kerudungnya 

yang mendadak menjadi tombak dan siap me-

nembus leher Madewa.

Masih di udara Madewa bersalto dan ber


balik menyambar ujung kerudung itu. Terjadilah 

adu tenaga yang kuat, masing-masing hendak 

mempertahankan ujung kerudung yang dipe-

gangnya.

Nimas Sertani yakin dia akan kalah dalam 

hal adu tenaga dalam. Makanya dia membiarkan 

kerudungnya dibetot oleh Madewa dan bersamaan 

dengan itu dia mengenjot tubuhnya ke depan 

dengan tangan dan kaki menyerang.

Madewa sedikit terkejut dengan serangan 

demikian. Dia melempar tubuhnya ke samping, 

tetapi Nimas Sertani mengejar dengan pukulan 

saktinya:

Tak ada jalan lain selain memapaki, Made-

wa menyambut dengan jurus Tembok Menghalau 

Badai.

"Desss!!"

Kembali dua tangan bertemu, tetapi kali ini 

lebih besar dan mengakibatkan keduanya ter-

huyung ke belakang, Nimas Sertani muntah da-

rah begitu jatuh. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak 

menyangka laki-laki itu berani memapaki seran-

gannya dan tenaga laki-laki itu betapa kuatnya. 

Nimas Sertani tidak tahu, kalau saja Madewa me-

lepaskan pukulan bayangan sukmanya, nyawa 

Nimas Sertani bisa melayang saat itu juga!

Merasa tidak sanggup melawan Madewa 

Gumilang, dengan susah payah Nimas Sertani 

bangkit sambil menahan rasa sakitnya.

"Kau... hari ini... aku mengakui kekalahan-

ku. Namun ingat Madewa... suatu saat nanti aku


akan membalas kekalahan ini....." Lalu dia me-

nyambar kerudung putihnya dan melesat dengan 

cepat.

Madewa menggeleng-geleng bingung. Tak 

mengerti akan kemauan Nimas Sertani. Sebenar-

nya dia mau apa menghadang perjalanannya dan 

disuruh siapa dia melakukan itu?

Tetapi mendadak Madewa teringat akan 

makam Paksi Uludara yang akan dikunjunginya. 

Apa tidak mungkin, Nimas Sertani membuntu-

tinya sehubungan dengan makam itu. Tetapi mau 

apa? Lagi-lagi dia mengkhawatirkan pedang mes-

tika Naga Emas. Apakah bukan soal itu yang 

menjadi masalah sekarang? Orang-orang rimba 

persilatan memang masih gila akan pusaka-

pusaka macam demikian.

Mengingat itu, Madewa melompat ke ku-

danya dan melarikannya kencang-kencang. Setiap 

kali memasuki hutan itu, hatinya selalu bergidik. 

Bayangan empat tahun yang silam selalu ter-

bayang. Di mana seorang gadis baik-baik, beru-

bah menjadi kejam dan jahat hanya gara-gara 

cinta. Gadis itu bernama Nindia. Kini menjadi 

pendamping Paksi Uludara di dalam goa itu.

Nindia, gadis murni yang lembut dan pe-

nakut menjadi seorang dewi penyebar maut den-

gan gelar yang menyeramkan pula.

Di ujung dari hutan itu, terdapat sebuah 

goa. Di dalam goa itulah makam Paksi Uludara 

berada. Madewa melompat turun dan menjura ke 

arah goa itu. Memberi hormat sebelum masuk ke


dalam.

Mulut goa merupakan lorong yang agak 

sempit namun begitu ke dalam agak membesar 

dan Madewa tiba di sebuah ruangan yang besar. 

Ruangan itu terang, karena dia setiap tahun sela-

lu mengganti obor yang bisa mencapai lebih dari 

dua tahun terangnya.

Di tengah rongga itu, terdapat sebuah 

singgasana dari batu. Di singgasana itu terdapat 

emas, intan dan permata. Berkilauan dengan in-

dah. Dulu singgasana itu milik Dewi Cantik Pe-

nyebar Maut!

Madewa berdebar setiap kali melihat sing-

gasana itu. Seolah dia masih melihat bayangan 

Nindia duduk sambil tersenyum antara benci dan 

cinta kepadanya.

Madewa tidak mau memikirkan soal itu la-

gi. Dia langsung beranjak ke makam Paksi Uluda-

ra, dan bukan main terkejutnya ketika melihat 

makam itu telah dibongkar! Tanah-tanah berse-

rakan dengan berantakan.

"Tuhan!" desis Madewa terkejut. Siapa yang 

telah melakukan semua ini? Ia melongokkan ke-

pala. Kerangka Paksi Uludara tidak ada, begitu 

pula dengan pedang sakti naga emas!

Madewa terhenyak lesu. Marah. Benci dan 

gusar. Buat apa makam Paksi Uludara diganggu-

ganggu. Betapa berdosanya orang yang melaku-

kan semua ini. Dia menggigit bibirnya sedih. Ba-

gaimana tidak sedih, orang yang telah tenang di 

alamnya sana, diganggu dan dibangkitkan dari


kuburnya!

Ia berlutut di hadapan makam yang telah 

acak-acakan itu. Menyatukan kedua tangannya di 

dada dan merunduk.

"Paksi... maafkan semua kelalaianku. Kau 

telah tenang, tapi masih ada orang yang mau 

mengganggumu.... Aku akan mencari orang itu, 

Paksi. Dan meletakkan kembali kerangkamu ke 

dalam makam ini...."

Setelah menganggukkan kepala tiga kali, 

tanda minta maaf, Madewa berbalik dari berlari 

keluar goa. Dia melompat ke kudanya. Wajahnya 

menampakkan kemarahan, kesedihan dan kegu-

saran yang luar biasa. Dia akan mencari dan 

membunuh orang yang telah merusak makam itu. 

Salah satunya adalah Aryo Gembala!

Namun tiba-tiba kudanya meringkik keras 

sampai membuat Madewa terlepas dari tali ken-

dali. Dengan sigap dia melompat dan bersamaan 

dengan itu, kudanya ambruk meregang nyawa 

dan nyawanya lepas dari tubuhnya.

Madewa segera waspada. Ia menggeram, 

"Bangsat!"

Tiba-tiba dari balik pohon dan semak, ber-

keluaran sepuluh orang berpakaian pendekar 

dengan memakai angkin berwarna kuning. Made-

wa sulit mengenali dari perguruan mana orang-

orang itu. Rupanya mereka hendak menyembu-

nyikan identitas asli mereka.

Mereka langsung mengambil sikap mengu-

rung. Salah satu dari mereka memegang sebuah


golok besar. Orang-orang itu adalah utusan dari 

Resi Sendaring atau anggota perguruan Cakar 

Naga dan yang memegang golok besar itu sudah 

tentu Joko Mandra yang bertugas memimpin 

sembilan anak buahnya untuk membunuh Ma-

dewa.

Begitu diberi perintah, mereka langsung 

menjalankannya, yaitu menuju makam Paksi 

Uludara dan menghancurkan makam itu. Ke-

rangka dan pedang mestika yang didapat oleh 

mereka secara tidak sengaja harus dibawa pu-

lang. Dan kalau berjumpa dengan Madewa Gumi-

lang, mereka ditugaskan untuk membunuh!

Sekarang orang-orang itu sudah mengu-

rung Madewa. Madewa yang merasa perjalanan-

nya untuk mencari Aryo Gembala terhambat, dia 

menggeram marah.

"Ada apa kalian mengurungku dan meng-

halangi perjalananku?" bentaknya gusar. Matanya 

melihat dengan waspada.

Pemuda yang memegang golok besar mem-

bentak, "Kami ingin membunuhmu!"

"Apa sebab kalian ingin membunuhku?"

"Terus terang, kami membenci orang-orang 

Topeng Hitam! Apalagi ketuanya! Hari ini... kami 

berniat ingin membunuh ketua perguruan Topeng 

Hitam itu!"

"Baik, kalian dari perkumpulan mana?"

"Persetan dengan perkumpulan!" bentak 

orang itu yang tak lain Joko Mandra. Lalu berseru 

menyerang, "Habisi orang itu dan ganyang


mayatnya!!" 

Serentak lima orang bergerak secara ber-

samaan dengan cepat. Madewa menghindar ke 

belakang belum mengerti mengapa orang-orang 

itu menyerangnya. Makanya dia belum mau 

membalas menyerang, masih menghindari seran-

gan-serangan mereka. Agaknya murid-murid per-

guruan Cakar Naga itu tidak mau mengeluarkan 

ilmu cakar naga mereka. Mungkin kuatir keta-

huan oleh Madewa dan bisa menebak dari partai 

mana mereka datang.

Namun lama kelamaan Madewa merubah 

gerakannya. Dia tidak hanya menghindar, bahkan 

mulai balas menyerang. Menghadapi orang-orang 

itu dia tidak perlu lembut-lembut. Apalagi orang 

yang memegang golok besar itu sudah maju me-

nyerang.

Sambaran-sambaran goloknya begitu dah-

syat. Sabetannya saja menimbulkan desiran an-

gin yang amat kuat. Kini sepuluh orang itu sudah 

turun tangan semua mengeroyok Madewa. Made-

wa kembali memperlihatkan jurus Ular Melo-

loskan Diri, yang dipakai untuk menghindari se-

rangan-serangan itu.

Dia juga menangkis, menghindar dan balas 

menyerang. Dua orang dari mereka termakan pu-

kulan dan tendangannya. Kedua orang itu ter-

huyung menahan rasa sakit.

Melihat teman mereka kena, orang-orang 

itu semakin beringas. Serangan mereka semakin 

beruntun. Belum lagi yang memegang golok besar


itu. Joko Mandra menyambarkan goloknya den-

gan hebat. Dia jengkel dua orang temannya ter-

kena pukulan.

Gerakannya bagaikan kilat. Golok besarnya 

bergulung-gulung dan menyambar dengan dah-

syat. Madewa merasa, lama-kelamaan dia bisa 

kehabisan tenaga. Tiba-tiba dia bersalto ke udara 

dan mengibaskan tangan kanannya.

Sebuah dorongan angin yang besar meng-

hantam orang-orang itu hingga jatuh berantakan. 

Kesempatan itu dipakai oleh Madewa untuk ber-

tanya, "Katakan, kalian dari partai mana?!"

Joko Mandra sudah berdiri dan menye-

rang, "Kau tak perlu tahu kami dari partai mana! 

Makan golokku!!"

Kembali golok itu menyambar, Madewa 

berkelit ke kiri dan menyodokan tangannya. Ju-

rus Ular Mematuk Katak. Gerakan tangannya ba-

gai bergelombang, tahu-tahu Joko Mandra mera-

sakan tulang iganya digedor oleh tangan yang ke-

ras. Joko Mandra terhuyung. Tulang iganya sera-

sa patah.

Tetapi belum lagi Madewa berkata-kata, 

sembilan orang yang lain sudah menyerang. Men-

gingat lawan yang mereka hadapi demikian tang-

guh, mereka lupa untuk menyembunyikan identi-

tas mereka. Dengan gerakan serempak mereka 

menyerang dengan cakar naga! Kelima jari mere-

ka membentuk sebuah cakar dan menyerang 

dengan ganas.

Mula-mula Madewa tidak menyadari hal


itu, tetapi ketika dia menyerang dan ditangkis 

dengan gerakan menekuk dan mencakar, dia bu-

ru-buru menarik tangannya pulang dan berseru, 

"Cakar Naga!"

Seruannya itu mengejutkan orang-orang 

itu. Dengan serentak mereka merubah jurus me-

reka, tetapi Madewa sudah mengetahui dari partai 

mana mereka datang. Jurus cakar naga hanya 

dipunyai oleh orang-orang Perguruan Cakar Naga. 

Tetapi mereka mau apa ingin membunuhnya?

Joko Mandra menyesali anak buahnya 

yang sudah mengeluarkan jurus perguruan mere-

ka. Namun tak bisa disembunyikan lagi. Madewa 

sudah mengetahui hal itu.

Joko Mandra membentak, "Kami memang 

orang-orang dari perguruan Cakar Naga! Kau ta-

hu... kami semua membenci orang-orang pergu-

ruan Topeng Hitam!"

"Kenapa?" Madewa bertanya, berusaha 

mengorek keterangan lebih lanjut.

"Karena perguruan Topeng Hitam, menga-

lahkan ketenaran nama perguruan Cakar Naga!"

Madewa geleng-geleng kepala. "Hanya ka-

rena itu kalian ingin membunuhku? Kalian se-

mua salah, sebaiknya kita bersaing secara sehat. 

Bukan saling membunuh demikian!"

"Tidak, kami tetap menginginkan nyawa-

mu! Bersiaplah!" Joko Mandra membuang golok 

besarnya. Ia membuka jurus cakar naganya, me-

lihat itu, kesembilan anak buahnya berbuat yang 

sama. Inilah jurus-jurus cakar naga yang hebat


dan kejam!

Madewa pun bersiap. Jurus-jurus ular sak-

tinya akan dia perlihatkan. Joko Mandra sudah 

berseru menyerang dan serentak sepuluh orang 

itu menerjang. Sambaran-sambaran tangan me-

reka kali ini lebih dahsyat. Jurus cakar naga 

sungguh keji. Selalu mengarah kepada tiga titik 

kematian. Urat leher, jantung dan kemaluan. Me-

nerima serangan yang serentak dan beruntun itu, 

membuat Madewa agak kewalahan. Namun ke-

mudian dia berhasil menembus formasi itu dan 

mulai balas menyerang.

Madewa sudah mengeluarkan jurus Ular 

Mematuk Katak dan pukulan Tembok Menghalau 

Badai. Dengan kedua jurus yang diperpadukan 

itu, dia berhasil menotok kaku tiga orang dari me-

reka. Dan menggedor dada dua orang dari mereka 

dengan Tembok Menghalau Badai. Kedua orang 

itu muntah darah dan roboh.

Joko Mandra Semakin menggeram dengan 

marah. Bersama empat orang temannya, mereka 

menyerang lagi. Namun biarpun berlima, mereka 

bukanlah tandingan Madewa Gumilang, pendekar 

yang namanya menggegerkan dunia persilatan se-

jak menumpas perkumpulan Telapak Naga!

Dengan mudah saja kelima orang itu diro-

bohkan dan dibuat tunggang langgang.

Joko Mandra mengeluh karena dadanya di-

rasakan amat sakit. Dia merasa tidak mampu un-

tuk menghadapi Madewa. Sekarang baru dia ya-

kin, akan kehebatan dan kesaktian Madewa Gu


milang!

Melihat lawan-lawannya ambruk, Madewa 

tidak menyerang lagi. Dia mengambil sebuah ke-

rikil kecil dan menyambitkan ke arah Joko Man-

dra yang sedang mengeluh.

"Tuk!"

Joko Mandra tersentak dan mendadak tu-

buhnya kaku. Rupanya Madewa menotoknya dari 

jauh dengan batu kerikil itu. Lalu dia mengham-

piri Joko Mandra.

"Katakan, siapa yang menyuruh kalian 

berbuat begini padaku?" serunya dengan geram.

Joko Mandra malah mendengus. Tatapan-

nya penuh kemarahan, tak ada rasa ketakutan 

sedikit pun.

"Sampai kapan pun aku tak mau bicara!" 

dengusnya seraya meludah ke tanah.

Madewa merasa diejek dengan ludah itu. 

Dia menggeram jengkel. Dan mendadak dia me-

langkah ke sebuah pohon jati yang ada di sana. 

Di pohon itu terdapat banyak semut-semut yang 

bisa menggigit. Diambilnya lima ekor dan diletak-

kannya di leher Joko Mandra

"Katakan, siapa yang menyuruh kalian? 

Kalau tidak, semut-semut itu akan mengerayangi 

seluruh tubuhmu!"

Joko Mandra terdiam, tetapi begitu semut-

semut itu melangkah menelusuri tubuhnya, dia 

agak menggigil. Geli dirasakannya dan salah see-

kor dari semut itu sudah menggigit pipinya.

"Auuu!" Joko Mandra menjerit, panas seka


li dirasakannya gigitan itu. Tetapi semut-semut 

itu seakan tak mau perduli, mereka terus berjalan 

dan menggigit dengan seenaknya, sampai Joko 

Mandra menjerit-jerit kesakitan. "Baik, baik! Aku 

katakan!" serunya terengah-engah.

Madewa tersenyum.

"Katakan...."

"Ambil, ambil semut-semut itu!" suara Joko 

Mandra memohon dan agak kesakitan.

Madewa mengambil ke lima ekor semut itu 

yang masih bergerak di sekitar kepala Joko Man-

dra.

"Katakan, siapa yang menyuruh kalian? 

Aku yakin, kalian adalah orang-orang perguruan 

Cakar Naga yang membenci Perguruan Topeng Hi-

tam. Aku tidak tahu... semua itu kemauan kalian 

atau ketua kalian yang menyuruh...."

"Baik, baik.... Kami memang membenci ka-

lian dan kami... aughhh!" Joko Mandra menjerit 

kesakitan dan kepalanya terkulai lemah. Lalu ro-

boh ke tanah.

Madewa terkejut ia segera memeriksa tu-

buh Joko Mandra. Tubuh itu telah menjadi mayat 

dan di lehernya terdapat sebuah pisau kecil ta-

jam. Rupanya disambitkan oleh seorang yang 

sangat ahli. Madewa melesat ke depan, mencari 

jejak orang itu, tetapi tak nampak sedikit pun je-

jaknya. Ia kembali lagi hendak bertanya pada 

yang lain. Namun dia kembali terkejut. Orang-

orang itu sudah menjadi mayat semua dengan 

sembilan buah pisau di leher mereka masing


masing.

Madewa menggeram marah. Ia cepat me-

lompat ke kudanya dan memacu dengan cepat. Ia 

mencurigai ketua perguruan Cakar Naga di balik 

semua ini.

Teringat akan makam Paksi Uludara, kege-

raman Madewa semakin menjadi-jadi!


EMPAT



Matahari muncul di ufuk timur. Cahayanya 

mulai menyelimuti seluruh dunia. Matahari tak 

pernah mengeluh akan tugas rutinnya itu. Dia se-

lalu menyinari dengan penuh kelembutannya se-

tiap hari.

Di perguruan Topeng Hitam sedang terse-

limut duka. Maka Ratih Ningrum memerah. Ia 

menangis sejak semalam. Apalagi orang-orang 

yang diutus Jayalaksa kembali dengan tangan 

hampa. Mereka tidak menemui jejak Pranata Ku-

mala. Ratih Ningrum semakin sedih dan kuatir. 

Karena repotnya menghadapi orang-orang jahat 

kemarin, dia sampai lupa akan anaknya.

Akhirnya Ratih Ningrum memutuskan un-

tuk berangkat mencari Pranata Kumala. Dia 

berpesan kepada Jayalaksa untuk memimpin 

perguruan sampai dia atau suaminya kembali.

Mendengar rencana itu, Bayuseta segera 

manggut-manggut dalam hati. Dia harus mela


porkan semua ini kepada Resi Sendaring. Sebe-

narnya, kehilangan Pranata Kumala adalah oleh-

nya. Ketika Pranata masuk ke dalam kemarin, dia 

langsung menyergapnya dan membawa bocah itu 

ke perguruan Cakar Naga. Setelah itu buru-buru 

kembali dan berlagak kehilangan dan mencari ke-

tika Pranata dinyatakan hilang.

Sekarang Ratih Ningrum akan pergi men-

cari Pranata Kumala, itu kesempatan yang baik 

untuk Bayuseta membuntuti Ratih Ningrum.

Sebelum matahari sepenggalah, Ratih Nin-

grum sudah pergi dengan menaiki seekor kuda. 

Tak berapa lama, Bayuseta pun menyusul dengan 

kuda yang disembunyikannya tak jauh dari per-

guruan.

Ia berusaha menjaga jarak agar tidak dike-

tahui oleh Ratih Ningrum. Melihat wanita itu pergi 

sendiri, di benak Bayuseta melintas sebuah piki-

ran jelek. Kesempatan yang paling bagus adalah 

saat ini, kapan lagi dia bisa memiliki wanita itu 

secara utuh.

Berpikiran demikian, dia menunggu sam-

pai Ratih Ningrum tiba di tempat yang sepi. Begi-

tu keduanya memasuki sebuah hutan kecil, 

Bayuseta mempercepat laju kudanya dan me-

manggil-manggil, "Nyonya ketua! Nyonya ketua!"

Merasa dirinya dipanggil, Ratih Ningrum 

menghentikan laju kudanya. Ia menoleh, Bayuse-

ta yang memanggilnya dan menjajari kudanya. 

Hmm, pemuda ini sudah melanggar aturan yang 

telah ditetapkan. Keluar tanpa seizinnya atau su


aminya.

"Ada apa, Bayuseta?" tanya Ratih Ningrum

agak tidak senang.

Bayuseta menunduk, menghindari tatapan 

ketuanya yang memancarkan sinar agak marah. 

Tetapi dalam hati, dia tertawa. Sebentar lagi wani-

ta yang sangat dicintainya itu berada dalam. ke-

kuasaannya.

"Maafkan aku, Nyonya ketua. Aku keluar 

tanpa seizin siapa pun," suara Bayuseta sopan.

"Kau mau apa menyusulku?" Melihat pe-

muda itu agak menyesali kesalahannya, suara 

Ratih Ningrum sudah agak mereda. Lembut se-

perti biasa.

"Aku ingin menemanimu, Nyonya ketua. 

Aku kuatir, saat ini banyak sekali orang-orang ja-

hat yang ingin merebut perguruan Topeng Hitam 

dan tidak mustahil perjalanan Nyonya ketua di-

jegal oleh mereka."

Ratih Ningrum tersenyum. Agak senang 

karena dikuatirkan.

"Kau tak perlu mengkuatirkan aku, Bayu-

seta. Aku sanggup menjaga diri."

"Bukan maksudku untuk merendahkan-

mu, Nyonya ketua. Tapi aku kuatir, orang-orang 

jahat itu beramai-ramai mengeroyokmu dan kau 

ditawan oleh mereka. Nyonya ketua... izinkan aku 

untuk menemanimu...."

Ratih Ningrum tersenyum, Bayuseta sema-

kin naik nafsu birahinya melihat senyum yang 

menggetarkan jiwanya itu. Ratih Ningrum men


gangguk, tak ada salahnya kalau Bayuseta me-

nemaninya. Lagipula, lebih baik ada teman dari-

pada sendiri. Ia pun menjalankan kudanya dan 

Bayuseta menjajarinya. Tak sedikit pun pikiran 

jelek mampir di benaknya.

Hutan kecil itu sunyi. Angin bertiup meng-

gesek dedaunan. Suasana agak dingin, matahari 

hanya bisa menembuskan sinarnya sedikit. Hawa 

yang agak dingin itu, membuat Bayuseta tak 

mampu menahan diri lama-lama. Dengan cepat ia 

menubruk Ratih Ningrum hingga jatuh bergulin-

gan dan disergapnya dengan cepat.

Ratih Ningrum terkejut karena tak me-

nyangka Bayuseta akan berbuat demikian, dia 

meronta. Tetapi Bayuseta yang sudah berada di 

atas tubuhnya tidak mau melepaskan kesempa-

tan yang susah payah dicari dan ditunggunya. 

Dengan beringas dia menciumi seluruh tubuh Ra-

tih Ningrum.

Ratih Ningrum meronta dengan memukul 

wajah Bayuseta. Bayuseta meringis sakit. Dia me-

lotot dengan marah. Ditotoknya Ratih Ningrum 

hingga tak dapat bergerak.

Bayuseta terbahak melihat Ratih Ningrum 

mendelik gusar.

"Ha...ha... akhirnya aku memiliki juga wa-

nita yang kucintai selama ini. Aku mencintaimu, 

Nyonya ketua atau... lebih mesra kupanggil... Ra-

tih Ningrum.... Oh, nama yang indah sekali...."

Ratih Ningrum menggigil melihat wajah 

Bayuseta yang berubah. Wajah itu bukan milik


Bayuseta, tetapi milik iblis yang telah merasu-

kinya.

Ia meratap. "Bayu... kau... hendak berbuat 

apa padaku?"

Bayuseta terbahak.

"Sudah jelas ingin memiliki dirimu, Ratih 

ku sayang.... Lama aku mencari kesempatan ini. 

Dan hari ini aku memiliki dirimu...".

"Lepaskan aku, Bayu! Lepaskan!" bentak 

Ratih Ningrum ketakutan. "Kubunuh kau, Bayu! 

Kubunuh kau!"

Tetapi mana mau Bayuseta melepaskan 

mangsa yang sudah tersedia di hadapannya. Dia 

menciumi tubuh Ratih Ningrum dengan buas dan 

tentu saja Ratih Ningrum memaki-maki, kalau sa-

ja tubuhnya bisa digerakkan dia akan hajar 

Bayuseta ini sampai minta ampun-ampun.

Bayuseta hanya tertawa-tawa saja men-

dengar makian Ratih Ningrum. 

"Ha... ha... makilah, Ratih! Sebenarnya aku 

enggan memperkosamu... tetapi kini aku minta 

dengan baik-baik. Ingat Ratih Ningrum... kau 

berhutang budi kepadaku dan bermaksud mem-

balasnya. Hari ini aku minta balasan ini...."

"Tidak, tidak dengan cara begini, Bayu! Le-

paskan aku, Bayu!"

"Ha... ha... ternyata kau orang yang melu-

pakan budi, Ratih. Kalau tidak ada diriku, kau 

sudah mampus waktu itu. Iya atau tidak, aku 

meminta balasan budiku itu sekarang.... Dan 

kuminta kau menyerahkannya secara suka re


la...!"

Ratih Ningrum memaki, "Tidak, bangsat 

kau, Bayuseta! Kau setan! Kau iblis! Kubunuh 

kau... kubunuh!!"

Tiba-tiba suara Bayuseta. terdengar bengis, 

"Diam, Ratih! Sudah kuminta baik-baik, kau ma-

sih berontak! Baik, jika kau tak mau diam, aku 

akan membunuh anakmu, Pranata Kumala!"

Ratih Ningrum terbelalak. Kaget. Rontaan-

nya berhenti. Anaknya, mana, mana? Tetapi ke-

mudian Ratih Ningrum sadar, kalau anaknya be-

rada dalam kekuasaan Bayuseta.

"Kau... kau benar-benar iblis, Bayu!" ben-

tak Ratih Ningrum dengan kebencian yang luar 

biasa. "Kau benar-benar... aahh... jangan, jan-

gan!"

Bayuseta sudah menciumi lagi dengan be-

ringas. Tak diperdulikannya makian Ratih Nin-

grum, dengan buas dia menyobek baju di bagian 

dada Ratih Ningrum. Terdengar suara robek dan 

nampak payudaranya yang telanjang. Bayuseta 

semakin menjadi ganas. Nafsu birahi sudah 

membuatnya buta dan lupa segalanya. Lupa sia-

pa orang yang hendak diperkosanya itu. Lupa 

akan kebaikan orang yang hendak diperkosa itu.

Ratih Ningrum sendiri sudah memejamkan 

matanya. Sudah letih dia memaki. Dia pun tak 

berhasil membebaskan dirinya dari totokan Bayu-

seta.

Dia pasrah. Kini dia tahu, kalau Bayuseta 

adalah musuh dalam selimut. Dia yang menculik


anaknya. Dia yang hendak merusak kehormatan-

nya.

Pada saat yang gawat akan kehormatan 

Ratih Ningrum, terdengar suara kekehan dari 

samping. Bayuseta yang sudah diamuk birahi ti-

dak memperdulikan tawa itu. Tiba-tiba dia mera-

sakan tubuhnya dihantam benda keras dan ter-

guling dengan rasa sakit di pinggangnya.

Orang yang menendang itu memetik se-

buah daun dan melemparkan ke arah Ratih Nin-

grum. Tiba-tiba Ratih Ningrum merasakan tu-

buhnya sudah terlepas dari totokan. Buru-buru 

dia merapikan pakaiannya yang acak-acakan. 

Dan melihat siapa yang telah menolongnya.

Majikan gunung Muria, Ki Ageng Jayasih!

Buru-buru dia menjura hormat.

"Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih yang menyela-

matkan aku," kata Ratih Ningrum penuh terima 

kasih.

Ki Ageng Jayasih tertawa. "Hanya kebetu-

lan saja, Nyonya ketua."

Sementara itu, Bayuseta melihat siapa 

yang telah menendangnya. Dia terkejut ketika 

mengenali orang itu. Majikan gunung Muria. Bu-

ru-buru dia melompat ke kudanya, tetapi menda-

dak kuda itu tak mau melangkah. Digembraknya 

berkali-kali tetap diam saja.

Ki Ageng Jayasih terbahak. Barulah Bayu-

seta sadar, kalau kakek sakti itu telah menotok 

kudanya. Melihat kenyataan itu, dia turun dan 

berlari, namun sebuah bambu kuning menancap


tepat di depannya dan menghalanginya lari.

Pucat wajah Bayuseta, tubuhnya menggigil. 

Apalagi ketika Ki Ageng Jayasih menghampirinya. 

Tubuhnya terasa lemah, tak kuat untuk berlari 

lagi. Ia jatuh bersimpuh dengan tubuh penuh ke-

ringat.

Ki Ageng Jayasih terbahak.

"Ha... ha... hanya begini nyali orang yang 

hendak berbuat jahat," suaranya pelan tetapi ter-

dengar amat menyeramkan.

Bayuseta benar-benar kehilangan tena-

ganya. Mendengar nama Ki Ageng Jayasih dis-

ebutkan saja, dia sudah bergetar. Kelihaian Ki 

Ageng Jayasih sudah tidak disangsikannya lagi.

Ia hanya tersimpuh dengan wajah tertun-

duk. Ki Ageng Jayasih mencabut tongkat bambu 

kuningnya dan tertawa penuh ejekan.

"Berbuat zina saja sudah dihukum berat, 

apalagi hendak memperkosa," katanya pelan na-

mun jelas didengar oleh telinga Bayuseta semen-

tara Ratih Ningrum hanya diam saja. Dia setuju 

Bayuseta dihukum berat. Tetapi bagaimana den-

gan putranya yang diculik Bayuseta. Didengarnya 

lagi suara Ki Ageng Jayasih,

"Aku sebenarnya bukan orang kejam. Teta-

pi aku paling tak suka melihat perbuatan hina 

dan amat menjijikkan itu! Kau tahu apa huku-

mannya?"

Bayuseta mengangkat wajahnya, menatap 

Ki Ageng Jayasih. Dia buru-buru menunduk, ta-

tapan itu memancarkan sorot mata yang mena


kutkan.

"Hukuman yang pantas buatmu, diseret 

oleh kuda yang lari dengan kencang!" kata Ki 

Ageng Jayasih tegas.

Bayuseta terbelalak, tubuhnya semakin 

lemah saja rasanya. Namun dia tidak mau mati 

secara demikian. Lebih baik dilawannya saja ka-

kek sakti itu. Mendadak dia memekik dan me-

nyambar kaki Ki Ageng Jayasih. Kakek sakti itu 

hanya melompat sambil tertawa.

"Ternyata masih ada keberanian pula. Aku 

pun tak segan untuk membunuh orang macam 

kau!"

Ki Ageng mengibaskan tongkat. "Wuutt!" 

Hampir saja kepala Bayuseta tersambar kalau sa-

ja Bayuseta tidak cepat menunduk.

Ratih Ningrum maju ke depan. "Ki Ageng 

Jayasih, jangan kau bunuh dia! Dia masih punya 

rahasia di mana putraku berada!"

Tetapi Ki Ageng Jayasih tak perduli. Dia 

mengibaskan lagi tongkatnya, gerakannya cepat. : 

"Plak!"

Tongkat itu menampar pinggang Bayuseta 

yang menjerit kesakitan dan ambruk dengan 

pinggang serasa mau patah. Ki Ageng bukanlah 

orang yang kejam tetapi dia sangat marah melihat 

perbuatan jijik Bayuseta. Menurut Ki Ageng, 

hanya hukuman mati yang pantas untuk orang 

macam itu. Dia berkelebat dan mengayunkan 

tongkatnya.

Mendadak terdengar bunyi, "Trak!" Ayunan


tongkat itu melenceng. Rupanya Ratih Ningrum 

menahan ayunan tongkat Ki Ageng Jayasih den-

gan pedangnya.

Ki Ageng agak heran. Ia menatap Ratih 

Ningrum penuh tanda tanya, buru-buru Ratih 

Ningrum menjura. 

"Maafkan aku, Ki Ageng. Bukan maksudku 

untuk menahan serangan tadi. Tetapi pemuda itu 

masih mempunyai rahasia di mana putraku bera-

da."

Mendengar itu, Bayuseta tertawa penuh

kemenangan. Dia sudah sangat tidak mampu un-

tuk bangkit dan hanya itu satu-satunya yang 

mungkin bisa menyelamatkan dirinya.

"Ha... ha... kau bunuhlah aku.... Putramu 

tak akan tertemukan selama hidupmu dan dia 

akan mati kelaparan."

Tetapi lain halnya dengan Ki Ageng Jaya-

sih. Dia adalah orang yang adil, yang salah harus 

dihukum. Tanpa ampun lagi, mendadak dia men-

gayunkan tongkatnya.

"Craasss...!"

Tongkatnya itu tepat mengenai batok kepa-

la Bayuseta yang langsung terkulai mati. Ratih 

Ningrum menjerit kaget.

"Kakek!"

"Orang macam dia harus dibunuh, itu hu-

kuman yang paling tepat untuknya..."

"Tapi putraku?"

"Aku tahu di mana dia berada?"

"Kau... kau tahu, Kakek? Di mana, di mana


putraku?" tanya Ratih Ningrum gembira.

Ki Ageng Jayasih tersenyum. Ia memang 

mengetahui di mana Pranata Kumala berada. Se-

belum membela Ratih Ningrum dari ancaman 

Angkasena dan Sumpila, Ki Ageng Jayasih meli-

hat sosok tubuh berkelebat dengan seorang anak 

yang terkulai di bahunya. Tetapi saat itu, keingin-

tahuan Ki Ageng Jayasih dengan apa yang tengah 

terjadi di perguruan Topeng Hitam mengurungkan 

niatnya untuk mencari tahu siapa bayangan yang 

berkelebat tadi.

Setelah keadaan mereka, baru Ki Ageng 

Jayasih mencari bayangan yang berkelebat itu. 

Itulah sebabnya dia menolak diajak mampir oleh 

Ratih Ningrum. Ketika Ki Ageng Jayasih tiba di 

suatu tempat, dia melihat sosok bayangan keluar 

dari sebuah bangunan besar dan Ki Ageng Jaya-

sih yakin kalau bayangan itu adalah sosok tubuh 

yang keluar dari perguruan Topeng Hitam.

Mengingat itu dia segera memeriksa ban-

gunan tempat orang itu keluar tadi, bangunan itu 

adalah perguruan Cakar Naga! Di sebuah kamar, 

Ki Ageng Jayasih melihat seorang bocah yang se-

dang menangis. Mungkin bocah ini yang dipang-

gul orang itu tadi. Tahu-tahu Ki Ageng Jayasih

melihat beberapa orang masuk ke kamar itu. Sa-

lah satu orang itu adalah adik seperguruannya, 

Madurka!

Setelah itu, Ki Ageng Jayasih berkelebat 

dan menghilang. Keesokan harinya, dia bermak-

sud datang ke perguruan Topeng Hitam dan hen


dak bertanya tentang bocah yang dilihatnya tadi. 

Tetapi ketika dia tiba di sana, dia melihat nyonya 

ketua perguruan Topeng Hitam hendak bepergian 

dengan seekor kuda. Mulanya Ki Ageng Jayasih 

hendak pergi saja tetapi tiba-tiba dia melihat so-

sok tubuh dengan seekor kuda menyusul.

Entah kenapa Ki Ageng Jayasih hendak 

melihatnya. Dia yakin sekali, bentuk badan orang 

itu sama dengan yang dilihatnya semalam. Ki 

Ageng Jayasih pun menyusul.

Dan dugaannya benar, orang itu hendak 

berbuat jahat. Orang itu Bayuseta. Ki Ageng 

Jayasih gusar melihat perbuatan yang sangat hi-

na itu. Karena dia sudah tahu di mana Pranata 

Kumala berada, maka dia tak ambil perduli den-

gan membunuh Bayuseta.

Menurut Ki Ageng Jayasih, orang macam 

ini tak ada gunanya hidup. Selain mengkhianati 

perguruan, menculik anak ketuanya, juga hendak 

berbuat tidak senonoh dengan istri ketuanya sen-

diri. Sungguh keterlaluan!

Ki Ageng Jayasih menatap wajah Ratih 

Ningrum yang kelihatan agak gembira.

"Putramu dalam tawanan orang-orang per-

guruan Cakar Naga."

"Perguruan Cakar Naga?" Ratih Ningrum 

terbelalak. "Kenapa, kenapa bisa sampai ke sa-

na?"

"Orang yang bernama Bayuseta itu, seo-

rang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang 

Cakar Naga untuk menghancurkan perguruan


Topeng Hitam. Orang-orang sakti yang menyerang 

ke perguruan Topeng Hitam kemarin itu, adalah 

sekutu Cakar Naga. Termasuk adik sepergurua-

nku yang bernama Madurka, atau Orang Cacat 

Sakti. Rupanya ketua perguruan Cakar Naga iri 

pada kejayaan perguruan Topeng Hitam. Mereka 

bermaksud menghancurkan perguruan Topeng 

Hitam dengan bantuan orang-orang golongan hi-

tam!"

"Jadi ketua Cakar Naga yang telah menga-

tur semua rencana itu?" 

"Begitulah kira-kira, Nyonya ketua."

Mendadak wajah Ratih Ningrum kemera-

han. Ia tersipu. "Kakek sakti... jangan panggil aku 

nyonya ketua. Panggil namaku kenapa?"

"Karena kau memang nyonya ketua. Tak 

ada panggilan yang pantas selain itu." 

"Lalu Ki Ageng Jayasih, hendak ke mana 

sekarang?"

"Sebenarnya, aku tengah mencari muridku. 

Tetapi, karena ada tugas yang kulihat di depan 

mataku, aku harus melaksanakan tugas itu."

"Tugas apa gerangan?"

"Menumpas orang-orang sesat itu yang 

hendak membuat onar."

Ratih Ningrum tersenyum. Kalau begitu, Ki 

Ageng Jayasih mau membantunya. Ia mengang-

guk.

"Kebaikan dan bantuan kakek sakti, sangat 

saya harapkan."

Ki Ageng Jayasih terbahak.


"Baik, baik! Mari kita pergi ke perguruan 

Cakar Naga untuk menyelamatkan putramu!"

Ratih Ningrum menaiki kudanya. Ki Ageng 

Jayasih membebaskan totokannya pada kuda 

Bayuseta. Tetapi ia tidak menaiki, malah dige-

buknya kuda itu hingga lari terbirit-birit. Sedang-

kan dia hanya berlari mengikuti kuda Ratih Nin-

grum.

Padahal Ratih Ningrum sudah sedemikian 

cepat melarikan kudanya, tetapi Ki Ageng Jayasih 

masih tetap berada di depan!



LIMA



Di perguruan Cakar Naga sedang terjadi 

rapat. Resi Sendaring dengan kelima bawahan-

nya, tengah merundingkan dan merencanakan 

penyerangan langsung ke perguruan Topeng Hi-

tam.

Saat ini ketua yang bernama Madewa Gu-

milang, sedang tidak ada di tempat. Suatu ke-

sempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk 

bertindak. Jadi tidak perlu susah-susah menak-

lukkan perguruan Topeng Hitam. Apalagi Pranata 

Kumala ada dalam tawanan mereka, bisa dijadi-

kan sebagai sandera agar perguruan Topeng Hi-

tam menyerah.

Setelah diobrak-abrik oleh Ki Ageng Jaya-

sih, mereka melaporkan kegagalan itu pada Resi 

Sendaring. Madurka yang mendengarnya menggeram marah, rupanya kakak seperguruannya ikut 

campur dalam urusan ini. Dia berkata, nanti biar 

dia yang menghadapi kakek sakti itu.

Resi Sendaring lalu memerintahkan kepada 

Angkasena untuk melihat sepuluh orang murid 

Cakar Naga yang ditugaskan untuk membongkar 

makam Paksi Uludara.

Sesampai di sana, Angkasena melihat me-

reka baru melakukan hal itu dan sungguh di luar 

dugaannya, di dalam makam itu terdapat sebuah 

pedang mestika yang berkilat. Itulah pedang Sakti 

Naga Emas.

Setelah itu Angkasena memerintahkan un-

tuk segera meninggalkan tempat itu dan bersa-

maan dengan munculnya Madewa Gumilang. Dia 

pun memerintahkan untuk sembunyi dan menye-

rang Madewa jika laki-laki itu keluar. Dan terjadi-

lah pertempuran. Di saat sepuluh murid pergu-

ruan Cakar Naga kalah dan dipaksa mengaku 

siapa yang menyuruh mereka, Angkasena me-

nyambitkan pisaunya membunuh semuanya.

Lalu pergi dengan membawa kerangka dan 

pedang Sakti Naga Emas. Semua itu dilaporkan-

nya kepada Resi Sendaring. Tetapi Resi Sendaring 

malah merencanakan untuk menyerbu bukan un-

tuk menyambut kedatangan Madewa Gumilang. 

Tak ada yang membantah, karena alasan Resi 

Sendaring tepat. 

Dia akan menempatkan dua orang di sini 

dan yang lain membantunya menyerbu perguruan 

Topeng Hitam. Diputuskan, yang tinggal Aryo


Gembala, Sumpila dan Madurka. Sisanya menye-

rang dengan beberapa anak buah.

Yang menyerang pun segera berangkat 

dengan lima puluh anak buah perguruan Cakar 

Naga. Sisanya membentuk barisan untuk me-

nyambut kedatangan Madewa Gumilang.

Hanya selang lima menit dari yang berang-

kat, Madewa datang dan langsung menerobos 

masuk pintu gerbang. Dia tidak mau bertindak 

setengah-setengah lagi. Kerangka Paksi Uludara 

semakin membuatnya marah.

Begitu dia masuk, puluhan murid pergu-

ruan Cakar Naga mengurungnya. Madewa memu-

tar-mutar kudanya yang sekali-sekali meringkik.

"Di mana Resi Sendaring! Panggil!" bentak-

nya garang. "Aku ada perlu dengannya!"

"Kalau ingin bertemu dia, langkahi dulu 

mayat kami!" membentak salah seorang.

Ini membuat Madewa semakin geram. Dia 

mengibaskan tangannya ke arah orang itu yang 

langsung jumpalitan terhantam dorongan angin 

yang sangat kuat. Orang itu roboh dengan ber-

muntah darah.

Yang lain terkejut dan bergerak menyerang.

Dengan sigap Madewa bersalto dan hing-

gap di wuwungan atap. Kudanya menjadi sasaran 

tangan-tangan yang membentuk cakar. Kuda itu 

ambruk bermandikan darah.

"Kejam!" desis Madewa.

Tiba-tiba dia merasakan dorongan angin 

panas menyambarnya. Dengan cepat Madewa


bersalto ke samping dan "Duar!" dorongan angin 

itu menghantam genting hingga berantakan.

Madewa melihat ke bawah. Tiga orang ber-

diri dengan gagah di hadapan murid-murid Cakar 

Naga.

"Ha... ha... selamat datang di tempat kami, 

Madewa Gumilang!" seru Madurka terbahak. Tu-

buhnya yang pendek gemuk terguncang. Tangan 

kirinya yang terbuat dari besi mengkilat ditimpa 

matahari.

"Ini bukan tempatmu, orang cacat!" balas 

Madewa. "Aku kemari bukan ingin bertemu den-

ganmu, tetapi dengan Resi Sendaring! Ke mana 

Resi sesat itu? Dia telah berani-beraninya mem-

bongkar makam Paksi Uludara dan mengambil 

kerangkanya serta pedang saktinya!"

"Ha... ha... kau terlambat, Orang gagah! 

Resi Sendaring baru saja pergi. Tapi jika ada uru-

san, kami sanggup menangani! Turunlah!"

Madewa menggeram. Jumlah mereka san-

gat banyak dan ada tiga orang yang kepandaian-

nya tak boleh disangsikan. Tetapi dia melompat 

juga ke bawah dan berdiri berhadapan dengan ti-

ga orang gagah itu. Sumpila terkikik.

"Rupanya Pendekar Pukulan Bayangan 

Sukma bukan orang yang pengecut!"

"Baik, kini kita yang punya urusan!" seru 

Madewa gusar namun tenang. "Katakan, di mana 

kerangka Paksi Uludara dan pedang Sakti Naga 

Emas disembunyikan! Cepat, kalau tidak, kuhan-

curkan kalian semua!"


Tetapi ancamannya hanya disambut tawa 

oleh ketiga orang itu.

"Kami ingin bukti dari ucapanmu, Made-

wa," ejek Aryo Gembala.

Madewa tidak dapat menahan marahnya. 

Ia pun bersiap. Ketiga orang itu masih tertawa. 

Mendadak Madewa mendorong kedua tangannya 

ke depan.

Ketiga orang itu tersentak kaget. Mereka 

langsung mengerahkan tenaga dalam untuk me-

nahan dorongan angin itu. Tetapi tak urung me-

reka terdorong beberapa langkah. Dorongan tena-

ga yang hebat.

Lalu ketiganya pun bersiap dan secara se-

rentak menyerang dengan dahsyat, membuat Ma-

dewa sejenak kebingungan. Serangan itu sedemi-

kian cepatnya. Madurka menyambarkan besi bu-

latnya yang runcing. Sumpila sudah menggerak-

kan jurus-jurus patuk bangaunya yang hebat. 

Aryo Gembala sudah memperlihatkan kelinca-

hannya sambil melepaskan pukulan-pukulan 

saktinya.

Namun Madewa bukanlah jago sembaran-

gan, dia adalah murid tunggal Ki Rengsersari, 

Pendekar Ular Sakti yang tangguh. Dengan lincah 

dia menghindari serangan-serangan itu dan mulai 

balas memukul dan menendang. Agak membuat 

mereka bertahan, tidak meneruskan serangan. 

Madewa sudah mengeluarkan pukulan Tembok 

Menghalau Badai yang sangat ampuh.

Sambaran tangan kiri Madurka juga mem


buatnya agak repot. Tapi tidak sampai terdesak. 

Mendadak dia melenting ke atas dan bergulingan 

ke bawah, menyusup sambil melancarkan jurus 

ularnya dengan cepat, mengancam kedua kaki 

Madurka. Madurka terkejut tidak menyangka 

Madewa akan berbuat demikian, dia buru-buru 

menghindar dengan jalan bersalto.

Dengan gerakan yang sangat cepat, Made-

wa mengganti arah sasarannya. Ia berbalik ke 

arah Aryo Gembala dan menggerakkan patukan 

ularnya dengan cepat. Aryo Gembala berkelit dan 

balas memukul, tetapi Madewa lebih cepat, tan-

gannya sudah menghantam bahu Aryo Gembala 

hingga terhuyung. Betapa besarnya sambaran te-

naga Madewa.

Melihat kedua kawannya dibuat kalang ka-

but, Sumpila menerjang. Wanita berwajah buruk 

itu menyambar dengan jurus-patuk bangaunya. 

Dan bisa ditebak, dua jurus yang hampir punya 

gaya bersamaan, saling serang dan memukul. Ke-

duanya benar-benar bagaikan bangau dan ular 

yang sedang bertarung sungguh hebat dan se-

runya. Saling bergerak dengan cepat dan tangkas. 

Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya ketika 

Sumpila maju menyerang, Madewa tidak menge-

lak dia malah menyambut.

Dua tangan penuh tenaga saling bertemu 

dan membuat keduanya reflek menarik tangan 

namun kemudian saling menyerang lagi. Tetapi 

kali ini Madewa sudah memakai pukulan Tembok

Menghalau Badainya.


Begitu Sumpila memukul dia memapaki 

dengan pukulan itu. Akibatnya sungguh berbeda 

dengan tadi. Sumpila terhuyung ke belakang lima 

tombak, sedangkan Madewa hanya tiga langkah.

Tetapi biarpun begitu, dia harus segera 

menghindari serangan Aryo Gembala yang sudah 

mengerahkan jurus andalannya Naga Hitam Me-

nembus Bumi. Sungguh luar biasa jurus itu, 

menggempur dengan kecepatan hebat dan selalu 

mengincar kedua mata kaki. Madewa berkali-kali 

menghindar dengan jalan bergulingan dan sekali-

sekali kakinya menendang. Tiba-tiba pula dia 

bangkit dengan tubuh memutar bagaikan ular 

dan tangannya bergerak dengan cepat. Kembali 

tubuh Aryo Gembala tergedor telapak tangannya.

Aryo Gembala terhuyung. Lawannya itu 

begitu sakti. Madurka sendiri sudah membuka ju-

rus andalannya warisan gurunya yang amat tang-

guh. Jurus Rajawali Sakti. Jurus yang hanya bisa 

disaingi oleh jurus tangan Bayangan milik Ki 

Ageng Jayasih. Dia menyerang dengan ganasnya. 

Madewa bertahan dengan sekuat tenaga. Peluh 

sudah bermain di wajahnya. Tenaganya pun ter-

peras. Ketiga lawannya amat tangguh.

Tetapi jurus Rajawali Sakti bergerak den-

gan dahsyat. Dua kali dia berhasil menggedor da-

da Madewa dengan keras. Madewa tak mau ber-

tindak ayal lagi. Ketika ada kesempatan dia ber-

salto ke belakang dan terdiam sejenak.

Mendadak kedua tangannya mengepal dan 

dari kepalan itu mengeluarkan asap putih. Ru


panya Madewa sudah mengeluarkan pukulan an-

dalannya, pukulan bayangan sukma yang amat 

ditakuti.

Madurka tahu ilmu itu dan tahu bagaima-

na akibatnya jika mengenai tubuh. Bisa hancur 

tanpa bentuk. Angkasena dan Sumpila pun ber-

siap. Lawan sudah mengeluarkan pukulan maut-

nya. Mereka pun segera mengeluarkan jurus-

jurus andalannya untuk memapaki.

Dengan memperpadukan dengan jurus 

Ular Meloloskan Diri, Madewa maju menerjang

dan kali ini tak ada yang berani memapaki atau 

menangkis, mereka kebanyakan menghindar 

sambil sekali-sekali membalas. Rupanya pukulan 

maut itu telah mereka dengar kesaktiannya.

Aryo Gembala berpikir, kalau mereka tidak 

membalas, akhirnya mereka akan kewalahan 

sendiri karena tidak rutin membalas.

Akhirnya dia nekat menyerang dengan pu-

kulan Naga Hitam Menembus Bumi dan Madewa 

menyambut dengan pukulan bayangan suk-

manya.

Dua pukulan sakti itu beradu dengan he-

batnya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Dari 

kedua tangan itu keluar kepulan asap dan dari 

asap itu sesosok tubuh terpental ke belakang dan 

roboh dengan tubuh tanpa nyawa.

"Aryo Gembala!" jeritan kaget terdengar da-

ri mulut Sumpila dan dia memburu tubuh yang 

hancur itu dan mendadak dia bangkit dengan be-

ringas, menatap Madewa penuh nafsu membu


nuh. "Kau harus membayar nyawa sahabatku ini, 

Madewa!" Lalu berkelebat menyerang dengan pu-

kulan patuk bangaunya yang hebat.

Tetapi Madewa tidak mengelak. Tidak pula 

menangkis. Pukulan Sumpila siap bersarang di 

tubuhnya, tetapi mendadak tubuh Sumpila ber-

balik bergulingan ke belakang. Dia merasakan tu-

buhnya dihantam sesuatu yang kuat. Sumpila ro-

boh termakan pukulannya sendiri. Tetapi masih 

bisa bernafas, tidak langsung mampus.

Itulah keajaiban yang keluar dari tubuh 

Madewa, sejak dia menghisap sari rumput ke-

langkamksa. Keajaiban yang hanya bisa diguna-

kan dengan kesabaran dan yang memilikinya ti-

dak dikuasai oleh marahnya.

Madurka menjadi jeri melihat kedua te-

mannya roboh. Tetapi dia bukanlah orang yang 

pengecut. Sebenarnya pukulan Rajawali Saktinya 

mampu menahan pukulan bayangan sukma Ma-

dewa tetapi dia kuatir tenaganya kalah kuat oleh 

Madewa. Karena Madewa bisa menghantam mela-

lui dua tangannya, sedangkan dia hanya satu 

tangan. Tangan kirinya tak berfungsi dalam jurus 

Rajawali Sakti itu.

Madewa membentak, "Cepat tunjukkan ke-

padaku, di mana kerangka Paksi Uludara disim-

pan! Dan di mana pedang Sakti Naga Emas! Ce-

pat, sebelum aku berniat untuk mencabut nya-

wamu pula, Madurka!"

Madurka mendengus. Dia tidak takut den-

gan ancaman itu. Kalau perlu dia akan mengadu


nyawa dengan Madewa.

"Sampai kapan pun kau tak akan tahu di 

mana orang dan benda yang kau cari itu berada!" 

Tiba-tiba Madurka bersalto ke belakang dan men-

gibaskan tangannya ke depan. Tanda menyerang. 

Beberapa murid perguruan Cakar Naga menye-

rang dengan serentak. Dengan cakar-cakar yang 

bersambaran. Madewa berkelit ke sana-kemari, 

menghindari serangan itu. Dia hendak mengejar 

Madurka, tetapi sulit, karena serangan itu begitu 

banyak.

Tiba-tiba dia memekik panjang dan bersal-

to ke atas wuwungan rumah. Murid-murid pergu-

ruan Cakar Naga berseru penasaran, malah ada 

beberapa orang yang sudah naik ke atas. Madewa 

menyepak turun mereka satu per satu. Tidak 

sampai melukai, hanya menjatuhkan mereka sa-

ja. Mereka adalah orang-orang tak bersalah, 

hanya menuruti perintah.

Memang, sebenarnya mereka jerih untuk 

menghadapi Madewa, tetapi karena kuatir Resi 

Sendaring marah, mau tak mau mereka menahan 

kejerihannya itu.

Madewa berseru, "Madurka, keluar kau!!"

Madurka belum keluar juga. Madewa kem-

bali dibuat sibuk oleh serangan-serangan ringan 

itu. Tetapi mendadak terdengar tawa Madurka.

"Ha... ha... lihat kau kemari, Madewa!" se-

runya seraya mengangkat sesuatu tinggi-tinggi. 

Madewa melengak. Ia melihat seorang bocah yang 

siap dibanting dan Madewa lebih terkejut lagi ke


tika melihat siapa bocah itu, Pranata Kumala.

"Pranata!" jeritnya hampir saja cakar salah 

seorang mampir ke tubuhnya. Ditendangnya 

orang itu hingga jatuh dengan deras dan ambruk.

Ia membentak Madurka lagi, "Madurka! 

Lepaskan anakku! Ingat, kalau dia terluka, kau 

akan kubunuh!"

"Ha... ha... ancaman kosong kau berikan 

kepadaku! Turunlah, Madewa! Buktikan ucapan-

mu itu. Kalau tidak, anakmu ini kubanting hingga 

lumat."

Madewa bersalto turun dan beranjak men-

dekati Madurka sambil waspada. Madurka terta-

wa. Dia mengayun-ngayunkan tubuh Pranata 

Kumala yang menjerit-jerit ketakutan. Ia menan-

gis dan memanggil ayahnya begitu dia melihat 

Madewa berdiri tak jauh darinya.

"Ayah!"

Hati Madewa teriris mendengar jeritan ke-

takutan itu. Kasihan bocah itu, tangisnya sema-

kin mengeras. Madewa menggeram. Kedua tan-

gannya mengepal.

"Akan kulumat dirimu kalau tidak mele-

paskan anakku!" bentaknya keras.

Madurka tertawa.

"Ha... ha... silahkan, silahkan, Orang ga-

gah. Aku ingin lihat sampai di mana keberanian-

mu membuktikan ucapanmu tadi! Majulah, kalau 

tidak... ha... ha... anak ini akan mampus kulem-

par!!"

Madewa menjadi serba salah. Di satu sisi


dia ingin membunuh Madurka, tetapi di sisi lain 

dia ingin menyelamatkan Pranata. Sebelum dia 

berhasil mengambil keputusan, Madurka sudah 

membentak keras, "Berlutut kau, Madewa kalau 

tidak mau anak ini kulempar! Cepat!"

Mata Madewa geram melotot, tetapi tak da-

pat berbuat apa-apa. Dengan terpaksa dia berlu-

tut. Madurka terbahak keras, kemenangan sudah 

di tangannya. Ia memerintahkan beberapa orang 

murid untuk mengikat erat-erat tubuh Madewa. 

Madewa hanya mandah saja, tidak berontak sedi-

kit pun. Nasib Pranata Kumala lebih penting dari-

pada nyawanya!

Madurka terbahak lagi.

"Nyawamu kini ada di tanganku, Madewa! 

Masukkan dia ke ruangan khusus!"

Madewa kembali mandah saja ketika digir-

ing ke ruang khusus itu. Beberapa orang murid 

perguruan Cakar Naga bersorak gembira. Madur-

ka menurunkan Pranata dan menotok tubuhnya 

hingga kaku. Lalu ia sendiri menghampiri Sumpi-

la yang masih dalam keadaan terluka dalam. Ia 

memberinya dua butir pil warna merah. Dan 

membantu Sumpila berdiri untuk beristirahat ke 

dalam.

Sementara mayat Aryo Gembala di ma-

kamkan di halaman depan perguruan itu. Pranata 

dimasukkan kembali ke kamar dan totokannya 

dilepas.

Ruangan khusus yang dipakai untuk me-

menjara Madewa berada di ruang bawah yang


amat pengap dan sempit. Matahari tak masuk ke 

sana. Madewa didorong masuk dengan kasar. Me-

reka bangga karena pendekar kenamaan berhasil 

mereka tangkap.

Padahal kalau tidak ingat nyawa Pranata 

Kumala, Madewa akan mengamuk hebat dan 

mengobrak-abrik semua. Tetapi untuk sementara 

dia mengalah. Membiarkan dirinya ditangkap. 

Nanti kalau ada kesempatan untuk meloloskan 

diri akan dia hancurkan semuanya!

"Selamat mendekam, Pendekar gagah!" ejek 

orang itu sambil mengonci kuat-kuat penjara itu.



ENAM



Sementara itu begitu keluar dari perguruan 

Cakar Naga, Resi Sendaring, Nimas Sertani dan 

Tidasewu langsung bergerak menuju sasaran. Lu-

ka di kedua bahu dan paha Tidasewu sudah agak 

sembuh. Sudah bisa dipakai untuk memainkan 

pedangnya. Resi Sendaring ternyata juga ahli da-

lam hal mengobati.

Di tangan Tidasewu terpegang sebuah pe-

dang berkilau. Pedang itu adalah mestika pergu-

ruan Topeng Hitam. Pedang Sakti Naga Emas. Ka-

rena yang pandai memainkan pedang adalah Ti-

dasewu, maka Resi Sendaring memberikan pe-

dang itu kepadanya.

Mereka bergegas dengan menggunakan il

mu lari mereka agar cepat sampai di perguruan 

Topeng Hitam.

Tetapi mendadak mereka menghentikan la-

rinya. Di hadapan mereka berdiri dua sosok tu-

buh dengan gagah. Seorang wanita muda yang ki-

ra-kira berusia dua puluh limaan. Gagah dengan 

sepasang pedang di punggungnya. Dan di sam-

pingnya berdiri seorang laki-laki tua dengan tong-

kat bambu kuning. Keduanya adalah Ratih Nin-

grum dan Ki Ageng Jayasih.

Merasa mereka menghadang perjalanan-

nya, Resi Sendaring membentak, "Kenapa kalian 

menghadang kami?"

Terdengar tawa Ki Ageng Jayasih. Agak 

menakutkan dan memekakkan telinga.

"Ha... ha... kalian adalah orang-orang yang 

berpikiran sesat!"

Resi Sendaring maju selangkah dan terbe-

lalak begitu kelihatan jelas wajah wanita yang 

berdiri di samping laki-laki tua itu. Ratih Nin-

grum!

Ia terbahak. "Ha... ha... rupanya andika 

Ratih Ningrum yang datang menjemput. Bukan 

main, andika rupanya sudah rindu kepadaku, 

bukan?"

Mendengar suara yang jelek itu, Ratih Nin-

grum meludah. "Ciiih! Tak kau pandang wajahmu 

sendiri dalam cermin, Resi tua! Tak kusangka, se-

lama ini kau mendendam kepada perguruan To-

peng Hitam, dan secara licik memanfaatkan salah 

seorang murid Topeng Hitam!"


"Ha... ha... Bayuseta? Dia datang sendiri 

kepadaku, Ratih Ningrum.... Dia pun membenci 

kepada suamimu. Dia ingin membunuhnya den-

gan bantuanku! Dan kau pun, sebentar lagi akan 

datang ke pelukanku, bukan? Ayolah, Ratih... 

Andika pasti berbahagia dalam rangkulanku"

Wajah Ratih Ningrum memerah karena ma-

rah. Perkataan itu sangat menjijikkannya dan 

membuatnya ingin muntah!

"Resi Sendaring...! Di mana anakku kau 

sembunyikan? Cepat kau tunjukkan kepadaku!"

"Tak jauh dari sini, Ratihku sayang.... Dia 

dalam keadaan baik-baik...."

"Cepat tunjukkan, sebelum aku marah!!" 

Padahal Ratih Ningrum sudah marah. Kalau dia 

langsung menyerang, belum tentu dia berhasil 

mengorek keterangan di mana putranya berada.

"Kau pemarah, Manis. Tak jauh dari sini. 

Kalau kau mau menjadi kekasihku, akan kutun-

jukkan di mana dia berada!" seru Resi Sendaring 

sambil menyeringai lebar.

Kali ini Ratih Ningrum tidak dapat mena-

han marahnya. Dengan cepat dia menyambar se-

pasang pedangnya dan bergerak dengan pedang 

terhunus ke arah leher dan jantung Resi Sendar-

ing.

Sigap Resi Sendaring melompat ke kiri, rin-

gan sekali gerakannya. Tetapi masih menerjang 

Ratih Ningrum mengibaskan tangan kirinya ke 

belakang.

"Wuttt...!"


Resi Sendaring bersalto dengan ringannya. 

Serangan itu pun luput. Mendadak Ratih Nin-

grum memekik keras dengan pedang yang beru-

bah menjadi gulungan-gulungan putih. Menyam-

bar dengan cepatnya. Resi Sendaring menghindar 

ke sana-kemari dengan sigap dan mendadak me-

nyongsong serangan kedua pedang itu.

Ketika salah satu pedang menyambar le-

hernya, dia merunduk dan menangkap tangan 

kanan Ratih Ningrum tetapi langsung dilepaskan 

karena Ratih Ningrum menotok dengan hulu pe-

dang di tangan kirinya.

Resi Sendaring menghindar ke belakang 

dan tertawa-tawa.

"Bukan main, calon istriku. Sungguh hebat 

permainan ilmu pedangmu, Manis!" serunya ceri-

wis.

Ratih Ningrum semakin marah, tetapi keti-

ka dia akan menyerang lagi, terdengar suara di te-

linganya, "Tahan emosimu. Dalam keadaan ma-

rah, seranganmu akan kacau!"

Ratih Ningrum tak jadi bergerak, langsung 

menoleh pada Ki Ageng Jayasih yang masih me-

natap ke depan. Kakek sakti itu seolah tak bicara, 

tetapi Ratih Ningrum yakin, kalau kakek itu yang 

mengirimkan suara tadi.

Ia pun hanya mengikuti sarannya. Ratih 

Ningrum berusaha meredakan kemarahannya.

Resi Sendaring tertawa.

"Tidak jadi menyerang kami, Ratihku ma-

nis?"


Mendengar kata-kata itu, telinga Ratih 

Ningrum panas sekali. Ia menoleh gusar.

"Kurobek mulutmu, Resi!"

"Lakukanlah, aku pun tak puas hanya 

memegang tanganmu!"

Ratih Ningrum menahan emosinya. Tetapi 

dia langsung menyerang, kali ini rasa marahnya 

agak berkurang namun belum sampai pedangnya 

menyentuh tubuh Resi Sendaring, tangannya su-

dah ditangkis dengan kuat.

Kalau pegangan pada pedangnya tak kuat, 

tentu akan terlepas. Ratih Ningrum bersalto ke 

belakang. Nimas Sertani sudah berdiri di hada-

pannya. Mendongakkan kepala penuh tantangan.

"Kau hadapi aku, Nyonya ketua! Waktu itu, 

aku dikalahkan oleh suamimu! Dan hari ini, akan 

kutebus dengan membunuhmu!"

Ratih Ningrum bersiap. Dia sudah men-

dengar kesaktian Dewi Mulia Berhati Busuk. Be-

gitu Nimas Sertani menyerang, dia mengayunkan 

sepasang pedangnya secara berlawanan.

"Wuuutt...! Wuuutt,..!"

Nimas Sertani berkelit dengan lincah. Ratih 

Ningrum terus mengejar dengan gencar. Suatu 

ketika pedangnya mendadak dilemparkan ke atas 

membuat Nimas Sertani agak bingung. Tak men-

gerti maksudnya. Tetapi dia harus menghindari 

serangan pedang Ratih Ningrum yang satu lagi. 

Bertepatan dia menghindar, pedang yang dilem-

par tadi menukik tepat di atas ubun-ubunnya. 

Sebuah gerakan ilmu pedang yang luar biasa. Ta


di Ratih Ningrum sengaja menggiring Nimas Ser-

tani untuk berdiri tepat di atas jatuhnya pedang 

yang dia lemparkan.

"Awasss, Nimas!" terdengar seruan itu dan 

berkelebat bayangan itu dengan cepat, menjamb-

ret pedang yang siap memakan kepala Nimas Ser-

tani.

"Luar biasa!" seru orang itu yang ternyata 

Tidasewu. "Baru kali ini kulihat permainan pe-

dang yang sangat luar biasa. Aku pun ingin men-

jajal kehebatan ilmu pedangmu. Waktu itu aku 

kalah karena dibokong. Nah, terimalah kembali 

pedangmu ini!" Tidasewu melemparkan pedang 

itu dengan tenaga dalam yang kuat. Andaikata 

Ratih Ningrum tidak cepat berkelit, pasti akan 

ambruk termakan pedang itu. Pedang itu menan-

cap ke pohon sampai pangkalnya! Bisa dibayang-

kan jika menusuk tubuh Ratih Ningrum.

Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih menghampiri

pedang itu. Dan dengan sekali tepuk pada pohon 

itu, pedang tercabut begitu saja.

Semua terbelalak kaget. Pertunjukan tena-

ga dalam yang luar biasa!

"Kau hadapi dia, Ratih," kata Ki Ageng 

Jayasih sambil memberikan pedang itu kepada 

Ratih Ningrum. "Hati-hati, kulihat dia memegang 

pedang pusaka. Ingat, dia adalah Dewa Pedang 

saat ini!"

Ratih Ningrum mengangguk. Biarpun Tida-

sewu orang sakti macam apa, dia akan bertempur 

dengannya. Dia pun mulai menyerang dengan he


bat. Tidasewu berkelit sambil meloloskan pedang 

Sakti Naga Emas. Pedang itu indah dan berki-

lauan.

Sementara itu, Ki Ageng Jayasih sudah me-

langkah maju, berhadapan dengan Resi Sendaring 

dan Nimas Sertani yang sudah menguraikan ke-

rudung putihnya menjadi sebuah senjata.

"Maafkan aku yang tua ini turut campur 

dalam urusan kalian.... Tetapi, aku paling tak su-

ka dengan kejahatan! Apalagi kulihat, adik seper-

guruanku bersekutu dengan kalian. Ingat, aku 

tak segan membunuh kalian!"

Resi Sendaring tertawa dibentak begitu. 

Disangkanya dia takut menghadapi orang macam 

ini? Bah, sedikit pun dia tak akan lari.

"Aku mengenalmu, Kakek. Kau adalah Ki 

Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria...."

"Nah, kenapa tidak lekas sujud kepadaku," 

sahut Ki Ageng Jayasih tenang.

"Bangsat!" geram Resi Sendaring. "Kau 

sangka aku takut denganmu. Baik, Kakek... kita 

buktikan sekarang! Aku pun tak suka dengan 

orang yang menghalangi perbuatanku!"

Sesudah berkata begitu, Resi Sendaring 

menerjang dengan cakar naganya yang amat he-

bat. Dimainkan oleh muridnya saja sudah sede-

mikian hebat, apalagi dengan sang ketua. Kecepa-

tan gerak tangannya sungguh mengagumkan.

Ki Ageng Jayasih melompat ke belakang 

dan menotok dengan tongkatnya.

"Hiiaa...!" Resi Sendaring menggempos tu


buhnya ke atas dan menyambar kepala Ki Ageng. 

Lagi Ki Ageng hanya merunduk sambil menyo-

dokkan tongkatnya. Tangan Resi Sendaring me-

nangkis tongkat itu.

"Des!"

Walaupun tidak berbenturan langsung 

dengan tangan Ki Ageng Jayasih, tangan Resi 

Sendaring agak ngilu juga. Rupanya tongkat 

bambu kuning itu sudah dialiri tenaga dalam 

yang lumayan.

Resi Sendaring mendengus. Nimas Sertani 

pun bersiap. Ia mengebut-ngebutkan kerudung 

putihnya. Dan di setiap kebutan itu terdengar 

bunyi "pletar!" yang keras.

Ki Ageng Jayasih hanya tertawa. Dia me-

nyambut kedua serangan itu dengan sikap te-

nang, tidak menggeser dari tempatnya berdiri. 

Kedua ujung tongkatnya dengan lincah menang-

kis serangan mereka dan membuat keduanya se-

makin penasaran. Serangan mereka tingkatkan 

lagi. Resi Sendaring rupanya hanya menjajagi tadi 

dengan cakar naganya, karena sekarang dia men-

geluarkan inti-inti jurusnya.

Dan barulah Ki Ageng Jayasih menggeser 

dari tempatnya karena desakan-desakan Resi 

Sendaring. Selain kecepatan tangannya luar bi-

asa, tenaganya pun besar. Selain itu, juga kebu-

tan-kebutan kerudung putih Nimas Sertani, yang 

mengincar setiap kali dia bergerak.

Kali ini Ki Ageng mulai membalas. Sodokan 

tongkat dan pukulan kakinya bergerak dengan


cepat pula. Bahkan dia mulai mengeluarkan pu-

kulan jarak jauhnya berupa sinar merah.

"Sreeet...!"

Sinar itu berkelebat ke arah Nimas Sertani 

yang menghindar dengan jalan berguling dan 

mengebutkan kerudung putihnya hingga mem-

buat Ki Ageng Jayasih berkelit. Namun kembali 

sebuah sambaran cakar membuatnya melompat 

bersalto. Serangan-serangan kedua orang itu 

sungguh hebat dan cepat, agak membuat kewala-

han majikan gunung Muria itu. Bisa dibayang-

kan, menghadapi adik seperguruannya saja dia 

harus bersusah payah, apalagi mengalahkan Resi 

Sendaring yang dengan mudah mengalahkan adik 

seperguruannya. Belum lagi dengan dibantu oleh 

Nimas Sertani yang tak kalah hebatnya.

Resi Sendaring tertawa, mengejek.

"Ternyata majikan Gunung Muria hanya 

segitu saja kehebatannya! Nama kosong yang di-

besar-besarkan orang! Dasar bodoh!"

Ki Ageng Jayasih hanya balas dengan ta-

wanya. Ia berkata dengan sikap merendah, "Ketua 

perguruan Cakar Naga, sudah menjulang na-

manya. Apalah dayaku untuk menghadapinya 

yang amat sakti!"

Tetapi perkataan itu dirasakan sebagai eje-

kan oleh Resi Sendaring. Orang itu memang ber-

temperamen panasan. Dia menyerang lagi dengan 

kedua tangan yang siap menyambar dengan dah-

syat. Ki Ageng Jayasih menekan tongkatnya sam-

pai setengah ke dalam tanah. Lalu dia sendiri


bersalto ke depan menyambut serangan itu.

"Des...! Plak!"

Dua tangan itu saling memukul dan me-

nangkis lalu sama-sama bersalto. Nimas Sertani 

menyerang dengan kerudung putihnya. Ki Ageng 

Jayasih menangkis ujung kerudung itu dan ber-

kelit ke kiri menyerang Resi Sendaring dengan ju-

rus andalannya. Tangan Bayangan.

Keduanya saling serang dan tangkis den-

gan kecepatan yang sama-sama mengagumkan. 

Benar-benar sebuah pertempuran yang menga-

gumkan sekaligus mengerikan. Keduanya sudah 

memperlihatkan ketangkasan, kelihaian dan ke-

saktian yang luar biasa. Bahkan kalau dilihat ke-

duanya berimbang. Namun di satu sisi, usia Ki 

Ageng Jayasih sudah agak lanjut. Tenaganya su-

dah agak berkurang dan kesempatan ini tak dis-

ia-siakan oleh Resi Sendaring yang tahu akan hal 

itu.

Dia terus mendesak dengan hebat sampai 

suatu ketika Resi Sendaring menjerit dan mener-

jang dengan cakar naganya ke arah leher!

Tetapi belum lagi dia menyerangkan cakar-

nya, tiba-tiba dia sudah bersalto ke belakang dan 

bergulingan dengan cepat. Ki Ageng Jayasih su-

dah melepaskan pukulan sinar merahnya hingga 

mengurungkan niat Resi Sendaring.

Resi Sendaring bangkit dengan gusar.

"Sungguh hebat kau, Ki Ageng! Tetapi jan-

gan berbangga dulu, tahan serangan!" bentak Re-

si Sendaring dan menyerang dengan lebih dah


syat. Tetapi lagi-lagi Ki Ageng Jayasih melepaskan 

pukulan sinar merahnya, yang membuat Resi 

Sendaring kerepotan menghindar.

Tiba-tiba kerudung putih Nimas Sertani 

melibat kedua tangan Ki Ageng hingga sukar dige-

rakkan.

Nimas Sertani berseru, "Resi, hantam ka-

kek gila ini!"

Resi Sendaring berbalik dan memekik den-

gan keras. Ki Ageng Jayasih tidak mau mati ko-

nyol. Mendadak dia menghentakkan kakinya dan 

mengerahkan tenaganya untuk menarik tubuh 

Nimas Sertani. Nimas Sertani terkejut karena sen-

takan itu. Tubuhnya melayang ke atas dan Ki 

Ageng membetotnya ke arah Resi Sendaring yang 

siap dengan cakarnya.

Resi Sendaring pun terkejut ketika tubuh 

Nimas Sertani melayang ke arahnya. Dia berusa-

ha untuk menghindar dan menghentikan puku-

lannya. Namun sukar sekali, karena dia telah 

mengerahkan seluruh tenaganya dan dorongan 

tenaga itu sukar untuk dihentikan. Tanpa ampun 

lagi kedua cakarnya menyambar ke arah dada 

Nimas Sertani.

"Auggh...!" Nimas Sertani menjerit keras. 

Dia merasakan dadanya dimasuki sebuah pisau. 

Setelah itu roboh tanpa ingat apa-apa lagi, karena 

nyawanya sudah melayang.

Resi Sendaring terkejut, memandang tak 

percaya kepada dua tangannya yang berlumuran 

darah. Ia memandang tubuh Nimas Sertani yang


mengeluarkan darah di bagian dada. Dia telah 

membunuh sekutunya sendiri.

Tidak, ini gara-gara kakek tua itu. Ki Ageng 

Jayasih hanya tertawa, merasa bersyukur karena 

terhindar dari serangan.

"Kau lupa, Resi.... Akulah musuhmu, bu-

kan wanita cantik itu...!"

Resi Sendaring menggeram marah. Karena 

dalam keadaan marah, gerakannya menjadi ka-

cau. Dia menyerang tanpa arah yang pasti dan 

kesempatan itu tidak mau disia-siakan Ki Ageng 

Jayasih. Dia mencabut tongkatnya kembali dan 

mengayunkan tongkatnya dengan keras ke arah 

perut Resi Sendaring.

"Heeekgh...!"

Resi Sendaring mendengus kesakitan tu-

buhnya ambruk ke tanah. Sebelum dia bangkit, 

Ki Ageng Jayasih sudah mengirimkan dua buah 

pukulan sinar merahnya yang menghantam bun-

tung kedua tangan Resi Sendaring!

Resi itu menjerit kesakitan.

Sementara itu, pertempuran antara Ratih 

Ningrum dengan Tidasewu juga sudah mencapai 

titik akhirnya. Rupanya Ratih Ningrum tidak 

sanggup menahan serangan-serangan pedang Ti-

dasewu. Apalagi yang dipegangnya pedang mesti-

ka yang ampuh. Kini Ratih Ningrum hanya me-

megang sebuah pedang, pedangnya yang satu su-

dah jatuh.

Dia terdesak hebat. Ilmu pedangnya masih 

berada jauh di bawah Tidasewu. Mendadak Tida


sewu menjerit dengan keras dan menyodokkan 

pedangnya ke ulu hati Ratih Ningrum. Sebisanya 

Ratih Ningrum menangkis dan berhasil, lalu dia 

bersalto ke belakang, tetapi Tidasewu tidak mau 

melepaskan mangsanya begitu saja, dia mengejar 

dengan tusukkan pedangnya kembali. Kali ini su-

lit bagi Ratih Ningrum untuk menghindar. Dia 

benar-benar terdesak. Tidasewu siap mencabut 

nyawa Ratih Ningrum, tetapi muncul sinar merah 

menghalangi gerakan tangannya dan membuat-

nya bersalto.

Ki Ageng Jayasih tertawa melihat wajah 

pias Tidasewu. Apalagi setelah melihat kedua te-

mannya sudah dalam keadaan tak mampu ber-

tempur. Tetapi dia bukanlah orang yang penakut, 

dia tidak gentar oleh Ki Ageng Jayasih. Kakek itu 

sungguh luar biasa, ketua perguruan Cakar Naga 

mampu dibuatnya tak berdaya, tetapi hal itu ma-

lah membangkitkan kemarahan di hati Tidasewu.

Dengan teriakan keras Tidasewu menye-

rang tapi kali ini arahnya kepada Ki Ageng Jaya-

sih. Sambaran pedangnya sangat cepat. Ki Ageng 

memapakinya dengan tongkat bambu kuningnya 

itu. Tetapi tongkat itu buntung terkena sabetan 

pedang mestika di tangan Tidasewu.

Betapa hebat tekanan tenaga yang dipa-

merkan Tidasewu dan betapa tajamnya pedang 

pusaka itu. Ki Ageng Jayasih surut ke belakang 

menghindari serangan beruntun Tidasewu.

"Ha... ha... kau jerih melihat kelihaianku, 

Kakek?" tawa Tidasewu penuh ejekan.

Ki Ageng Jayasih hanya tersenyum. Pedang 

mestika itu hanya bisa dilayani dengan senjata 

pusaka juga. Tetapi saat ini dia tidak membawa 

senjata pusaka selain tongkat bambu kuningnya 

itu. Kalau saja dia bertemu dengan muridnya 

yang membawa lari keris Naga Merah, pasti orang 

ini akan bisa diimbanginya.

Entah pikiran apa yang melintas di benak 

Ratih Ningrum, karena tahu-tahu dia ingat, kalau 

dia membawa keris pusaka yang diberikan sua-

minya. Kata suaminya itu keris Naga Merah. 

Mungkin dengan keris ini, pedang mestika itu bi-

sa dihadapi.

Tiba-tiba Ratih Ningrum menyerang, kali 

ini dengan keris itu. Sejak dulu, yang tidak per-

nah digunakan adalah jurus-jurus yang diajarkan 

oleh gurunya yang bernama Patidina atau si keris 

tunggal. Jurus keris yang tangguh dan cakap. 

Dan dengan keris itu sekarang Ratih Ningrum 

menggunakan ajaran Patidina.

Tidasewu mengibaskan pedangnya, mena-

han.

"Trang!"

Dari pertemuan dua senjata pusaka itu 

menimbulkan pijaran api yang agak terang. Ratih 

Ningrum surut ke belakang sambil memperhati-

kan keris yang dipegangnya. Sedikit pun keris itu 

tak tergores apalagi gompal. Pedang pusaka yang 

di tangan Tidasewu pun demikian. Tidasewu ak-

hirnya sadar, kalau senjata yang dipegang Ratih 

Ningrum sebuah senjata pusaka pula.


Tetapi yang terkejut adalah Ki Ageng Jaya-

sih. Dia mengenali keris yang dipegang Ratih Nin-

grum itu, keris yang selalu memancarkan sinar 

merah. Keris pusakanya yang dibawa kabur oleh 

murid murtadnya.

"Nyonya ketua!" panggilnya seraya bersalto 

mendekati Ratih Ningrum. Dia langsung me-

nyambar keris yang dipegang Ratih Ningrum. "Te-

pat dugaanku," desahnya kemudian. "Keris Naga 

Merah. Nyonya ketua, dari mana kau dapatkan 

keris ini?"

Ratih Ningrum agak kebingungan karena 

tahu-tahu Ki Ageng Jayasih bertanya demikian, 

tetapi belum dia menjelaskan, terasa ada doron-

gan angin dari depan yang menyambar ke arah 

mereka. Tidasewu sudah menyerang dengan ga-

nasnya. Tetapi kali ini Ki Ageng Jayasih lebih ce-

pat, sambil bersalto ke depan dia melempar keris 

pusaka itu.

"Creeep...! Auugh...!"

Kulit setebal apa pun dan sekebal bagai-

manapun, akan tembus dimasuki keris itu. Tu-

buh Tidasewu kelojotan dan roboh dengan mere-

gang nyawa. Ki Ageng Jayasih buru-buru menca-

but keris itu dan bersamaan dengan itu, hilanglah 

nyawa Tidasewu. Dewa pedang dari golongan se-

sat!

Ki Ageng Jayasih memperhatikan keris Na-

ga Merah itu lagi. Keris pusakanya yang selalu di-

carinya. Entah bagaimana bisa sampai ke tangan 

Ratih Ningrum.


"Akhirnya aku menjumpai juga keris ini," 

desis Ki Ageng Jayasih gembira.

Ratih Ningrum yang keheranan bertanya, 

"Memangnya itu milik kau, Kakek Sakti?" Suara 

Ratih Ningrum walau bernada keheranan juga 

mengandung kelegaan, karena lawan-lawannya 

sudah ambruk semua.

Ki Ageng Jayasih manggut-manggut cepat.

"Ya, ini milikku. Milikku, yang dicuri oleh 

muridku yang murtad."

"Murid?"

"Yah...." Tatapan Ki Ageng Jayasih berubah 

menjadi sendu. "Seorang murid wanita yang ku

didik ilmu kepandaian dan kesaktian selama lima 

tahun di gunung Muria. Tetapi dia mengkhianati-

ku dan melarikan keris pusakaku ini. Entah di 

mana dia sekarang... padahal kalau dia kembali, 

aku akan mengampuninya...."

Ratih Ningrum akan bertanya lagi, tetapi Ki 

Ageng Jayasih sudah memotong, "Kita harus se-

gera ke perguruan Cakar Naga, sebelum anakmu 

dibuat sandera!"

Ratih Ningrum tidak membantah lagi. Tadi 

dadanya bergetar mendengar murid wanita Ki 

Ageng Jayasih. Tetapi Ratih Ningrum tidak bisa 

meneruskan pikirannya, karena Ki Ageng Jayasih 

sudah menyambar tangannya dan membawanya 

lari dengan cepat sekali.


TUJUH


Setelah berhasil menaklukan Madewa Gu-

milang, Madurka terbahak-bahak kemenangan. 

Ternyata siasatnya dengan menjadikan Pranata 

Kumala sebagai sandera berhasil bahkan bisa 

menangkap pendekar sakti itu. Nanti kalau Resi 

Sendaring tiba, akan dilaporkannya semua itu 

dengan bangga. Pasti Resi Sendaring akan memu-

ji hasil kerjanya.

Pranata Kumala saat ini benar-benar men-

jadi barang yang sangat berharga. Namun Ma-

durka tidak tahu, kalau anak itu sedang berusa-

ha membongkar jendela. Rupanya akal cerdik bo-

cah itu berjalan setelah melihat ayahnya datang 

dan ditangkap. Ia mencari bambu kecil dan itu 

didapatinya dari gagang sapu yang ada di sana. 

Dengan bantuan gagang itu, dia berhasil membu-

ka jendela.

Pranata cerdik, tidak mau langsung me-

lompat melarikan diri, tetapi melihat-lihat dulu. 

Setelah dirasakannya aman, barulah dia melom-

pat dan berguling menyelinap di balik rimbunnya 

semak. Dia mengintip, ada dua orang yang men-

jaga di bagian samping rumah itu. Sulit untuk te-

rus menerobos mereka. Namun di samping cerdik, 

Pranata juga punya keberanian yang luar biasa. 

Nalurinya mengatakan dia harus segera melari-

kan diri. Dan dengan nekat dia bersalto melompa-

ti kedua penjaga itu yang langsung kaget dan ber


lari hendak menangkap.

"Hei... kau...!"

Pranata cepat menghindar dengan cepat. 

Kedua orang itu memburu dan suatu ketika ber-

hasil mengurungnya. Salah seorang dari mereka 

menggeram.

"Bocah sialan! Rupanya kau berhasil ke-

luar juga!" bentaknya sambil menubruk. Pranata 

berkelit ke samping, anak itu sudah mempergu-

nakan kepandaiannya bersalto. Orang itu nyu-

sruk mencium tanah. Tetapi yang seorang lagi se-

gera mengejar, Pranata gesit bersalto ke depan 

dan ketika orang itu berbalik, dia melancarkan 

tendangannya. 

"Buk...!"

Memang tidak sakit tendangan itu, tetapi 

membuat penjaga itu terkejut, karena tak me-

nyangka bocah itu mampu menendangnya.

"Bocah sialan!" geramnya seraya menu-

bruk, lagi-lagi Pranata menggunakan kepan-

daiannya bersalto untuk menghindari tangkapan 

itu. Penjaga itu kembali tersuruk dan kesempatan 

itu digunakan Pranata untuk bersalto ke arah 

penjaga itu dan jatuh terduduk di atasnya.

"Heeikk...!"

Pranata tertawa kegirangan. Dasar bocah, 

disangkanya orang-orang itu bisa diajaknya ber-

main, dia sudah tidak memikirkan lagi akan ba-

haya yang mengancamnya. Salah seorang yang 

tadi terjatuh, bangkit dengan perlahan. Mengen-

dap-ngendap dari belakang. Pranata masih me


lompat-lompat kegirangan. Orang itu dengan ce-

pat menyergap Pranata, namun sungguh di luar 

dugaan, bocah itu masih mampu bersalto karena 

dirasakannya dorongan angin yang kuat datang 

kepadanya. Hingga orang itu menubruk temannya 

sendiri.

"Aduuhh...!"

Pranata tertawa-tawa, lalu berlari mening-

galkan mereka. Kali ini dia semakin berhati-hati, 

begitu ada yang lewat dia menyelinap di samping 

tembok.

Mendadak dia melihat orang pendek gemuk 

itu keluar dari dalam. Dada Pranata berdebar, 

orang itu sangat kejam dan galak. Dia harus ber-

hati-hati. Tetapi mendadak orang itu sudah berdi-

ri di hadapannya dan terkekeh dengan tatapan 

ingin membunuh.

Pranata menjadi amat ketakutan. Dia tahu 

orang itu lihai, dia sempat melihat ayahnya ber-

tempur tadi. Dan ayahnya kalah.

"Bocah, bocah! Rupanya kau pandai juga 

meloloskan diri!"

Pranata mundur sedikit demi sedikit dan 

mendadak dia berlari. Melihat itu, Madurka men-

jadi geram dia berputar bagai baling-baling dan 

menghalangi jalan Pranata. Lalu tertawa.

"He... he... mau lari ke mana, kau?" 

Pranata sigap melompat ke kiri dan bersal-

to dua kali lalu berlari lagi. Madurka menjadi ge-

ram, bocah itu sengaja mempermainkannya.

Tiba-tiba dia berguling dan melompat me


nerkam. Ketika dia bergulingan, Pranata meng-

hindar dengan berkelit ke samping, tetapi Madur-

ka sudah menerkamnya. Tipis bagi Pranata untuk 

mengelak. Dia hanya mundur sambil menutup 

matanya.

"Blarr...!"

Terdengar letusan keras. Pranata heran, 

dia belum ditangkap dan terdengar letusan itu. 

Perlahan dia membuka matanya. Madurka sedang

berbalik menghadapi seorang kakek yang meme-

gang tongkat dan seorang wanita cantik. Ibunya!

Pranata memekik gembira, "Ibu...!"

Ratih Ningrum pun gembira, dia berlari 

dengan mengembangkan kedua tangannya. Tetapi 

Madurka bergerak dengan cepat menghalangi Ra-

tih Ningrum dengan mengibaskan tangan kirinya.

"Wuutt...!"

Ratih Ningrum cepat bersalto ke samping, 

kalau tidak mau tubuhnya yang mulus termakan 

besi bulat yang tajam itu. Melihat serangannya 

gagal, Madurka mencecar namun segera mundur 

ketika selarik sinar merah hampir menerjangnya. 

Kesempatan itu dipakai Ratih Ningrum untuk 

menyambar putranya dan memeluknya dengan 

penuh kerinduan.

"He... he...!" Ki Ageng Jayasih tertawa meli-

hat adik seperguruannya melotot marah. "Adi 

Madurka... sudah selayaknya kau insyafi semua 

perbuatanmu. Marilah tinggal bersamaku di pun-

cak gunung Muria.... Kita yang sudah tua-tua, 

sudah sepatutnya untuk meninggalkan segala


urusan dunia...!"

"Kembalilah kau ke sana, Kakang Jayasih! 

Jangan ganggu urusanku!"

"Adi, Adi.... Kalau saja kau mau menuruti 

kata-kataku, tak akan terjadi perang saudara ma-

cam begini...!"

"Kau saja yang usil mengganggu urusan-

ku!"

"Karena aku tak suka kau bertindak jahat 

dan semberono! Aku ingin kita berdua ada pada 

pihak yang benar, orang-orang golongan putih 

yang menentang kejahatan!"

"Tutup bacotmu, Kakang Jayasih...! Aku 

tak suka kau mencampuri urusanku! Tinggalkan 

tempat ini... atau segera terjadi pertumpahan da-

rah di antara kita!"

"Sampai kapan pun aku tetap tak beranjak 

dari sini...." Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku 

ingin... kita sama-sama kembali ke gunung Mu-

ria...."

"Kau membuatku bosan, Kakang Jayasih! 

Sebelum mereka kukirim ke akhirat, sebaiknya 

kau dulu!" sambil membentak Madurka melayang 

maju dengan ganas. Tangan kanannya memukul 

dengan cepat dan tangan kirinya menyambar 

dengan buas. Tetapi Ki Ageng Jayasih hanya 

mundur lima tombak dengan sekali lompatan dan 

membalas dengan tongkat bambu kuningnya.

Gerakan tongkat itu ditangkis oleh tangan 

kin Madurka yang terbuat dari besi bulat yang ta-

jam dan menyodok perut Ki Ageng Jayasih den


gan cepat. Ki Ageng berkelit dan menyepak kaki 

Madurka. Madurka hengkang ke atas dan bersal-

to ke depan ketika hinggap di tanah, dia berbalik 

dan menggerakkan tangan kirinya.

"Wuuutt...!" gerakannya cepat dan ganas.

Ki Ageng Jayasih menangkis dengan tong-

kat bambu kuningnya. Kedua saudara sepergu-

ruan itu sama-sama luar biasa dan tangguh. Me-

reka sudah memperlihatkan kesaktian dan ke-

pandaiannya. 

Sementara itu, Ratih Ningrum sudah 

menghadapi beberapa orang pengawal yang da-

tang. Mereka semua memasang jurus cakar naga. 

Ratih Ningrum mengkuatirkan putranya. Tetapi 

dia tersenyum melihat putranya sudah membuka 

jurus. Mendadak Ratih Ningrum mencabut sepa-

sang pedangnya dan sebuah diberikan kepada 

Pranata Kumala.

"Gunakan ini, sabet jika yang mendekati-

mu!" setelah berkata begitu dia menghindar ke 

samping karena tiga orang sudah menyerangnya 

dengan cepat. Rupanya Ratih Ningrum tidak mau 

membuang tenaga percuma, dia langsung menge-

luarkan jurus andalannya dan tiga orang itu am-

bruk dengan berlumur darah.

Pranata Kumala benar-benar bocah tang-

guh, apalagi kini dekat dengan ibunya. Dia men-

gibaskan pedangnya. ke sana-kemari dengan 

menggunakan kepandaiannya bersalto. Dan seo-

rang termakan bahunya oleh pedang itu. Melihat 

serangannya berhasil, Pranata semakin mantap


menggerakan pedangnya.

Ratih Ningrum pun bergerak cepat. Tiba-

tiba dia mendengar suara putranya berseru, 

"Ibu... ayah ada di dalam! Tadi aku lihat diikat!"

Mendengar itu, Ratih Ningrum segera 

menghabisi lawan-lawannya dan menarik Pranata 

yang masih sempat menghadiahkan luka di paha 

kiri lawannya. Ratih Ningrum tidak mau mening-

galkan Pranata di luar. Begitu dia masuk, tiga 

orang menyambutnya. Sigap Ratih Ningrum men-

gibaskan pedangnya dan ketiganya roboh ber-

mandikan darah.

Tetapi tiba-tiba muncul puluhan orang 

yang mengepungnya. Melihat itu, Ratih Ningrum 

agak gugup juga. Tenaganya bisa dikuras habis 

dan lama kelamaan dia akan melemah. Dengan 

cepat dia mendorong Pranata ke samping, "Ming-

gir kau dari sini! Cepat ke luar!"

Tetapi bocah itu malah menyusup ke da-

lam sambil berseru, "Aku akan mencari Ayah!" 

Ratih Ningrum menjadi gugup, dia hendak 

mengejar tetapi sambaran, tamparan cakaran, 

dan tendangan orang-orang itu harus dihinda-

rinya. Sulit untuknya meloloskan diri dan menyu-

sul Pranata. Hatinya semakin galau melihat bebe-

rapa orang mengejar putranya. Dia tidak bisa 

berbuat apa-apa, selain melayani serangan orang-

orang itu. Ratih Ningrum menjerit keras dan me-

nyeruak ke depan. Empat orang ambruk terma-

kan pedangnya tetapi yang lain segera mengu-

rung, tak memberinya sedikit jalan pun padanya.


Sementara itu, Pranata semakin masuk ke 

dalam. Dia belum tahu lorong-lorong perguruan 

Cakar Naga itu dengan asal saja dia berlari. Tiba-

tiba di telinganya terdengar suara, "Belok kiri, 

Anakku.... Lalu berjalan dan lihat pintu yang ke-

dua dari sana... kau masuklah...."

Pranata kebingungan, siapa yang berkata 

itu. Namun dia segera mematuhinya, bukan ka-

rena yakin tetapi karena beberapa orang penge-

jarnya sudah nongol. Rupanya itu suara Madewa 

Gumilang yang telah melihat apa yang telah terja-

di dengan ilmu pandangan menembus sukmanya. 

Dan dia melihat putranya sedang dikejar! Lang-

sung dia mengirimkan suara agar putranya bisa 

meloloskan diri. Sebenarnya dia bisa mendobrak 

pintu penjara itu. Tetapi dia sedang berkonsen-

trasi dengan ilmu pandangan menembus sukma 

itu, hanya dengan ilmu itu dia bisa melihat pu-

tranya. Madewa kuatir, kalau dia menghentikan 

konsentrasinya tidak dapat memberi petunjuk 

kepada putranya dan orang itu bisa menangkap 

putranya.

"Ya... terus, Pranata...." suara itu terus di-

dengar Pranata. "Sekarang kamu berjalan lurus 

dan turuni tangga itu, lalu belok ke kanan dan te-

rus ke depan... di pintu pertama kamu harus bisa 

masuk...?"

Pranata mematuhi semua itu tetapi dia se-

sampai di pintu yang disebutkan suara tadi, dia 

kebingungan karena pintu itu tidak bisa dibuka. 

Madewa sendiri terkejut, apalagi beberapa orang


pengejar anaknya sudah dekat. Dengan menda-

dak dia menghentikan konsentrasinya dan men-

dobrak pintu itu dengan pukulan bayangan suk-

manya.

Dengan suara keras. Pintu itu roboh den-

gan dinding rumah berjatuhan. Madewa berkele-

bat dengan cepat dan sampai di pintu di mana 

anaknya sedang kebingungan mencari jalan 

menghindar. Dia mendobrak pintu itu pula dan 

langsung menyambar putranya yang akan dis-

erang. Dia bersalto ke depan, melompati orang-

orang itu. Pranata Kumala kegirangan mengeta-

hui siapa yang menyelamatkannya. Ayahnya sen-

diri dan ayahnya amat hebat bisa mendobrak pin-

tu itu.

Madewa segera bergerak. Masih menggen-

dong Pranata dia menangkis dan mengelakkan 

cakar-cakar yang dilancarkan secara beruntun. 

Tetapi dia pun enggan untuk berbuat lama. Masih 

menggendong Pranata Kumala, dia mengibaskan 

tangannya dan menimbulkan dorongan angin 

yang amat kuat hingga orang-orang itu bergulin-

gan menabrak tembok.

Tetapi orang-orang itu memang tak men-

genal takut, mereka lebih takut kepada Resi Sen-

daring. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kali 

ini, dengan pukulan Tembok Menghalau Badai, 

Madewa memukul roboh mereka hingga tak kuat 

bangkit kembali.

Sesudah itu dia melesat cepat dan mene-

mui istrinya yang sedang terdesak hebat. Istrinya


sudah tidak memegang pedangnya dan sebisanya 

menangkis tamparan, pukulan, sepakan, tendan-

gan orang-orang itu.

Madewa menjadi geram. Dia menurunkan 

Pranata dan melesat ke depan, mengobrak-abrik 

kurungan orang-orang itu dan menarik tangan is-

trinya ke samping lalu mengibaskan tangan hing-

ga orang-orang itu terpelanting.

"Kau istirahat saja, Rayi. Biar ini menjadi 

urusanku," kata Madewa sambil menggiring 

orang-orang itu menjauhi istri dan anaknya. Ma-

dewa tidak bermaksud membunuh mereka, hanya 

membuat mereka kapok saja. Berkali-kali dia 

mengibaskan tangannya hingga orang-orang itu 

jatuh tunggang langgang. Tetapi orang-orang itu 

tidak kapok. Madewa berkelebat dengan sangat 

cepatnya dan tahu-tahu lima orang sudah berdiri 

kaku, terkena totokannya. Dia pun berkelebat la-

gi. Begitu seterusnya sampai orang-orang itu ber-

diri semua dengan kaku. Sungguh ilmu totokan 

yang sangat hebat.

Ratih Ningrum sendiri kagum melihat ke-

hebatan yang dipamerkan suaminya. Pranata 

Kumala bertepuk tangan.

Tiba-tiba terdengar jeritan dari depan. Me-

reka segera ke halaman depan. Di sana, Madurka 

terhuyung karena terhantam tongkat Ki Ageng 

Jayasih. Dia mengerang marah. Jurus andalan-

nya Rajawali Sakti dia keluarkan. Ki Ageng Jaya-

sih pun tak mau kalah, jurus Tangan Bayangan 

diperlihatkan.


Keduanya sama-sama menjajaki dan seren-

tak menyerang dengan tenaga dorongan yang 

amat kuat. 

"Plak... duaar...!" benturan kedua tenaga 

sakti itu menimbulkan suara dan masing-masing 

terdorong beberapa langkah. Menandakan tenaga 

keduanya sama-sama hebat. Tetapi kemudian ter-

lihat, kalau lengan Ki Ageng Jayasih berdarah. 

Rupanya ketika benturan itu terjadi, Madurka 

sempat menggores lengan Ki Ageng Jayasih den-

gan besi bulatnya yang lancip.

Melihat itu, Madurka terbahak kegirangan.

"Maafkan aku, Kakang. Aku tak sengaja...! 

Tetapi syukurlah, karena kalau tidak, lengan ki-

rimu akan sama dengan lengan kiriku! Sekarang 

kau terimalah semua ini!"

Madurka melesat kembali dengan jurus Ra-

jawali Saktinya. Cepat dan hebat. Ki Ageng Jaya-

sih mengibaskan tangan kanannya dengan kelima 

jari mengembang dan melesat lima buah sinar 

merah ke arah Madurka. Madurka memekik kaget 

namun dia segera bergulingan dan menyodokkan 

tangan kirinya ke arah kemaluan Ki Ageng Jaya-

sih.

Ki Ageng dengan ringan berkelit sambil 

menahan nyeri di bahu kirinya tetapi Madurka 

kembali mencecar dengan ganas. Sebisanya Ki 

Ageng Jayasih berkelit. Melihat posisi Ki Ageng 

Jayasih agak terdesak, Madewa segera bersalto ke 

depan dan menghantam punggung Madurka.

Madurka menjerit dan terhuyung ke depan.


Tetapi dia segera berbalik dengan marah. Dilihat-

nya seorang laki-laki muda berdiri dengan sikap 

gagah dan menantang. Mendidih darah Madurka.

"Hmm... rupanya ketua perguruan Topeng 

Hitam turun tangan juga! Baik, rasakan pukulan 

Rajawali Saktiku!" geram Madurka seraya mele-

sat. Madewa merangkum pukulan saktinya di 

tangan hingga mengeluarkan asap putih. Ketika 

Madurka mendekat, dia menyambut pukulan itu 

dengan hebat.

"Des...!"

Tubuh keduanya terhuyung ke belakang, 

benturan tadi amat sangat hebatnya. Tetapi Ma-

durka roboh dengan muntah darah. Sejenak dia 

meregang nyawa tetapi nyawanya pun segera per-

gi.

Madewa mendesah. Pukulan Bayangan 

Sukmanya, masih nomor satu. Dia menghampiri 

dan memapah Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng terse-

nyum. Nama Madewa Gumilang bukan omong ko-

song. Pukulan sakti adiknya mampu ditahan, 

bahkan membunuh adiknya!

"Aku beruntung... yang sudah tua ini... 

masih sempat berkenalan dengan kau, Pendekar 

gagah...." desisnya.

Madewa tersenyum. "Jangan kau panggil 

demikian, Kakek Sakti. Apalah artinya kepan-

daian, kalau hati kita jahat, penuh nafsu untuk 

merusak...."

"Kau bukan saja sakti sebagai orang gagah, 

kau juga sakti dalam ucapan...."


Madewa tersenyum, melangkah membe-

baskan totokannya kepada murid-murid Cakar 

Naga lalu berkata, "Kalian semua kubebaskan.... 

Hilangkanlah perasaan silang sengketa dengan 

perguruan Topeng Hitam. Semua ini terjadi kare-

na ambisi Resi Sendaring untuk menguasai se-

mua perguruan silat! Rencana yang kotor hingga 

terjadilah pertumpahan darah. Kalian semua, di-

rikanlah kembali nama perguruan Cakar Naga. 

Lanjutkan semua cita-cita dan perjuangannya.... 

Kalian jangan mendendam, karena dendam hanya 

membawa kita kepada kejahatan...!"

Semua menunduk mendengar kata-kata 

itu. Memang, sebenarnya mereka ingin hidup 

dengan tentram, tetapi karena tekanan dari ketua 

mereka, semua menurut daripada dijatuhi huku-

man yang berat. Tetapi di mana Resi Sendaring 

sekarang? Salah seorang mencetuskan hal itu.

Madewa yang sudah mengetahui dari is-

trinya menjawab, "Resi Sendaring... telah mene-

mui ajalnya.... Dia tetap sebagai orang gagah yang 

sakti.... Tetapi telah dikuasai oleh hawa naf-

sunya.... Untuk itu, kalian semua harus bersabar, 

harus bisa menahan hawa nafsu...."

Setelah itu, Madewa kembali kepada Ki 

Ageng Jayasih dan Ratih Ningrum serta Pranata 

Kumala. Saat itu, Ki Ageng Jayasih hendak kem-

bali ke gunung Muria.

"Aku sudah tua... biarlah aku mendiam di 

sana sampai akhir hayatku.... Yah... aku tak ber-

hasil menjumpai murid kesayanganku, yang juga


mengecewakan hatiku...."

Mendengar itu, Ratih Ningrum yang selama 

ini memendam keheranan segera berkata, "Ki 

Ageng Jayasih... muridmu... yang bernama Nin-

diakah?"

Mata Ki Ageng Jayasih membelalak kaget. 

"Ya, ya... dia muridku! Kau tahu dia berada di 

mana, Nyonya ketua?"

Ratih Ningrum menunduk. Sedih dia meli-

hat wajah tua itu yang begitu kegirangan. Perla-

han dia mengangkat wajahnya. Ki Ageng Jayasih 

mendesak. Dengan hati-hati Ratih Ningrum men-

jawab, "Muridmu... telah mati sebagai orang se-

sat...."

Ki Ageng Jayasih terkejut, tetapi kemudian 

menunduk sedih. Ratih Ningrum menceritakan 

semuanya, kalau yang membunuh muridnya ada-

lah suaminya sendiri. Juga tentang keris Naga 

Merah (baca : Petaka Cinta Berdarah).

Ki Ageng Jayasih mendesah. Ia sedih kare-

na muridnya pun mati sebagai orang sesat. Baru 

beberapa detik tadi adik seperguruannya menyu-

sul. Menyusul dalam kesesatan. Kini tak ada lagi 

yang diharapkannya, yang diharapkan dapat me-

neruskan cita-citanya dan mewarisi ilmunya. 

Tetapi mendadak matanya bersinar ketika 

melihat Pranata Kumala. Semua itu bisa dilaku-

kan kepadanya? Dengan segera Ki Ageng Jayasih 

menyampaikan maksudnya, "Maafkan aku Ketua 

dan Nyonya... kini tak ada lagi orang yang bisa 

meneruskan cita-citaku untuk menegakkan kea


dilan dan kebenaran.... Untuk itu... kepada kalian 

berdua kuminta... bolehkah bocah cilik ini untuk 

ikut denganku dan ku didik sebagai orang ga-

gah?"

Mendengar itu semua, istri itu saling ber-

pandangan. Perasaan berat melepaskan Pranata 

Kumala terpancar dari sinar mata Ratih Ningrum. 

Dia baru saja bertemu dengan anaknya, kini anak 

itu hendak pergi. Entah untuk berapa lama. Teta-

pi dia kasihan melihat Ki Ageng Jayasih yang be-

gitu mengharap.

"Dia pun mengangguk. Melihat istrinya 

mengangguk, Madewa pun mengangguk.

"Kalau itu permintaan, Kakek Sakti... kami 

perkenankan putra kami dibawa serta...."

Ki Ageng Jayasih mengangguk gembira. Dia 

bertanya langsung kepada Pranata dan sungguh 

di luar dugaan, bocah itu menjawab, "Aku ingin 

seperti Ayah. Kalau kakek bisa menjadikan aku 

demikian, aku akan ikut."

Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku akan buat 

kau melebihi ayahmu. Kami mohon diri." 

"Sebentar!" Madewa mengeluarkan sesuatu 

dari angkinnya. Seruling Naga dan diberikannya 

kepada putranya. "Ini untukmu, Anakku. Jaga 

baik-baik."

Pranata hanya mengangguk dan mendadak 

tubuhnya sudah berkelebat dengan Ki Ageng 

Jayasih. Ratih Ningrum melambai sambil mena-

han air matanya. Dia rela putranya dididik oleh 

kakek sakti itu. Madewa menghibur istrinya. Lalu


segera mencari kerangka Paksi Uludara dengan 

bantuan salah seorang murid Cakar Naga.

Kerangka itu masih utuh. Madewa mengu-

burkan kembali bersama pedang Sakti Naga 

Emas ke makamnya Paksi Uludara semula.

Bersama istrinya, mereka kembali ke per-

guruan Topeng Hitam.



DELAPAN



Rombongan itu bergerak beriring-iringan, 

mengawal sebuah kereta kuda yang terdapat tiga 

orang pengawal di atasnya dan delapan ekor kuda 

yang mengiringi, lengkap dengan penunggang dan 

senjatanya.

Mereka adalah para pengawal yang bertu-

gas menjaga barang yang ada di dalam kereta ku-

da itu yang hendak diantarkan kepada pemesan. 

Mereka pengawal-pengawal pilihan Sandirwo, 

tuan tanah yang kaya-raya. Juga bergerak di bi-

dang penjualan emas. Hari ini dia menugaskan 

pengawal-pengawalnya itu untuk mengantarkan 

emas pesanan seseorang di desa Pacitan, daerah 

Laut Pantai Selatan. Emas yang dipesan berjum-

lah beribu kilogram, dengan bayaran ribuan hek-

tar tanah. Sudah tentu Sandirwo mengerahkan 

sepuluh orang pengawal dan seorang kusir kuda 

untuk menjaga pesanan itu.

Akhir-akhir ini daerah menuju ke desa Pa-

citan, banyak orang-orang jahat. Mereka bermun


culan bagaikan jamur, pesat dan berkembang. Pe-

rampok-perampok itu sangat kejam, mereka tak 

segan-segan untuk melukai para mangsanya, 

bahkan membunuh dan memperkosa jika di sana 

terdapat wanita!

Daerah itu sudah merupakan daerah nera-

ka bagi mereka yang hendak ke desa Pacitan. Se-

kali ini apa yang akan terjadi dengan rombongan 

yang mengawal emas itu? Pemimpin rombongan 

bernama Sangadi, seorang laki-laki berusia tiga 

puluh tahun yang amat kuat dan hebat. Dengan 

kepastian yang kuat, dia menyerukan agar semua 

tenang dan bersiaga, karena sebentar lagi mereka 

akan memasuki daerah neraka itu.

Semua pun bersiap. Rombongan berjalan 

perlahan-lahan. Mata Sangadi melihat ke sana-

kemari dengan waspada. Tak ada tanda-tanda 

orang-orang jahat yang kelihatan. Namun demi-

kian, Sangadi tetap memerintahkan rombongan-

nya agar waspada, jangan termakan suasana 

yang tenang ini.

Benar saja, mendadak lima tombak dari 

mereka berjatuhan batu-batu dari atas. Berge-

linding dengan cepat. Suasana jadi agak kacau, 

karena kuda-kuda mereka meringkik dengan he-

bat. Sangadi segera menguasai rombongan. 

Dia berseru, "Jangan panik! Kalian semua 

bersiap...!"

Rombongan itu menenangkan kuda mereka 

masing-masing. Tiga orang sudah melompat tu-

run dan berdiri di sekeliling kereta kuda.



Sangadi berseru lagi, "Perampok-perampok 

itu sudah pasang kasi! Jaga kereta kuda dan 

berwaspada!"

Belum habis Sangadi bicara, tiba-tiba dari 

atas dan belakang mereka bermunculan kuda-

kuda dengan penunggangnya yang bengis. Mereka 

berjumlah dua puluh orang dengan senjata di 

tangan. Dan langsung mengurung mereka.

Sangadi segera berbalik dan membentak

"Hhh, kalian rupanya orang-orang jahat 

yang ditakuti di daerah ini! Benar-benar mena-

kutkan... tetapi hanya berani dengan cara mem-

bokong dan bergerak dengan jumlah banyak...!"

Perampok-perampok itu hanya tertawa saja 

menyambuti perkataan Sangadi. Salah seorang 

yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah seram 

penuh berewok menyahut dengan keras, "Ha... 

,ha... kalianlah yang terlalu berani melalui daerah 

ini...! Tetapi tak apa... kami akan membebaskan 

kalian untuk meneruskan perjalanan... hanya, se-

rahkan bawaan kalian di dalam kereta kuda itu 

kepada kami...!"

Digertak begitu, Sangadi malah menyahut 

galak, "Kau sudah mimpi barangkali! Tak semu-

dah itu mengambil barang yang kami bawa!"

Orang itu terbahak lagi. "Hoa... ha... ha...! 

Aku, Jedangmoro, ketua perampok Golok Iblis tak 

akan mengganggu kalau kalian menyerah secara 

damai.... Tetapi, kalau kalian nekat dan menen-

tang, Jedangmoro, tak akan tanggung-tanggung 

lagi menurunkan tangan!"


"Kau kira kami takut, Jedangmoro! Kawan-

kawan, separuh jaga kereta kuda dan separuh 

bantu aku menghadapi orang-orang busuk ini!"

Jedangmoro terbahak. Ia marah karena 

orang itu berani membentaknya. Dengan cepat 

tangannya terangkat dan sepuluh orang berkuda 

dengan senjata golok besar maju menerjang den-

gan serentak.

Sangadi pun menyambut mereka dengan 

gebrakan kudanya dan sebentar saja di tempat itu 

sudah terjadi hiruk-pikuk yang sangat ramai. De-

bu berkepulan karena pijakan kuda-kuda mereka. 

Terdengar suara ramai dan gemercing senjata 

yang beradu.

Sangadi mengamuk dengan dahsyat. Pe-

dangnya berkelebat ke sana-kemari dengan buas. 

Dua orang anggota perampok itu terjatuh ber-

mandikan darah, tetapi anak buah Sangadi pun 

mulai berjatuhan. Jedangmoro sudah menyuruh 

anak buahnya yang separuh lagi terjun memban-

tu.

Keadaan semakin kacau dan rombongan 

Sangadi terdesak hebat. Beberapa orang Jedang-

moro sudah menyelusup ke kereta kuda. Tiga 

orang yang menjaga berusaha bertahan mati-

matian. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak, me-

reka tak mampu bertahan lagi, menangkis atau 

menghindari sambaran, bacokan golok-golok itu.

Dengan jeritan yang mengerikan mereka 

tumbang dan jatuh dari atas kereta kuda. Dengan 

leluasa orang-orang itu masuk dan mengambil pe


ti berisikan emas.

Melihat itu, Sangadi menjadi sangat marah. 

Dia mengibaskan pedangnya dengan ganas. Tiga 

orang yang mengurungnya ambruk bermandikan 

darah. Dia cepat melesat ke arah orang-orang 

yang sedang menggotong peti dan mengibaskan 

pedangnya dengan cepat dan ganas.

Orang-orang itu berkelit sambil membuang 

peti dan membalas serangan itu dengan serentak. 

Sangadi agak kewalahan, karena mereka terlalu 

banyak. Peluh sudah bermandi di wajah dan selu-

ruh tubuhnya. Luka juga sudah mampir di selu-

ruh tubuhnya. Anak buahnya sudah tak ada yang 

mampu bertahan, mereka sudah menemui ajal di 

golok orang-orang itu.

Dengan sisa tenaganya Sangadi berusaha 

bertahan, namun itu tak bisa berlangsung lama 

karena dia pun terkulai dengan bermandikan da-

rah dan nyawanya melayang menyusul teman-

temannya.

Melihat itu, perampok-perampok itu berso-

rak, Jedangmoro tersenyum sambil mengusap be-

rewoknya.

"Cepat bawa peti itu, rampas kuda-

kudanya! Dan bakar kereta kuda itu!" serunya 

memerintah, lalu dia sendiri berbalik dan mema-

cu kudanya.

Anak buahnya segera menjalankan perin-

tahnya. Bagi mereka, merampok, membunuh dan 

membakar kereta kuda itu, membuat suatu kese-

nangan sendiri, dengan tertawa-tawa mereka me


lakukan semua itu.

Api segera berkobar, memakan kereta kuda 

dan mayat-mayat yang bergeletakan di situ. Lalu 

mereka segera naik ke kuda masing-masing dan 

membawa kuda-kuda rampasan itu dengan tawa 

kemenangan.

Kembali gerombolan Golok Iblis itu mem-

buat onar yang mengerikan dan seenaknya mem-

bunuh dan membakar mayat-mayat itu. Suatu 

perbuatan yang mengerikan. Mereka segera me-

nyusul pemimpin mereka si Jedangmoro ke mar-

kas mereka yang berdiam di ujung Laut Selatan.

Tawa mereka begitu gembira, tetapi men-

gundang maut bagi setiap mangsa mereka.

Mengerikan!

Orang-orang yang tak berdosa mereka bu-

nuh dan rampok. Mereka benar-benar orang yang 

tak berperikemanusiaan. Mencari kesenangan, 

kekayaan, kenikmatan dengan jalan yang salah.

***

Matahari telah melenceng dari tempatnya 

yang tepat di atas kepala. Bergeser ke barat. Uda-

ra mulai sejuk, tidak serasa sepanas tadi. Senja 

mulai merambat perlahan-lahan.

Pemuda itu melangkah dengan ringan, 

riang sambil meniup serulingnya. Langkahnya 

mencerminkan kegembiraannya dengan nada se-

rulingnya. Kadang-kadang kakinya bergerak men-

gikuti nada serulingnya.


Dia adalah seorang pemuda tampan. Tu-

buhnya tegap dan ganteng. Rambutnya gondrong 

tetapi tak mengurangi ketampanan pemuda itu. 

Di keningnya terdapat sebuah ikat kepala biru. 

Pemuda itu kira-kira baru berusia delapan belas 

tahun. Masih riang memainkan serulingnya.

Tiba-tiba saja dia menghentikan meniup 

serulingnya. Langkahnya terhenti dan tertegun, 

menatap ke depan. Sesuatu yang hangus dan ma-

sih mengeluarkan asap. Juga tercium bau busuk 

yang sengit.

Pemuda itu melangkah mendekati sambil 

menutup hidungnya. Bau sangit itu seperti bau 

kulit dibakar. Ia meneliti benda yang hangus ter-

bakar itu. Hmm, sebuah kereta kuda. Tetapi begi-

tu dia menyentuhnya, benda itu luruh menjadi 

debu. Pemuda itu berjungkat ke belakang, meng-

hindari debu itu.

Tetapi mendadak dia terpekik, kakinya 

menginjak sesuatu yang lunak, ketika dia meno-

leh kembali dia terkejut. Sebuah tangan yang be-

lum terbakar. Entah tangan kanan atau kiri. Pe-

muda itu kini tahu, apa yang menyebabkan bau 

sangit. Rupanya bau tubuh manusia yang diba-

kar.

"Hmm, apa yang telah terjadi di tempat ini 

tadi?" gumam pemuda itu. "Begitu mengerikan 

sekali...."

Pemuda itu terdiam sambil berpikir-pikir 

memikirkan apa yang menyebabkan semua ini. 

Tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari


belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat se-

puluh ekor kuda datang mendekati dengan tung-

gangannya masing-masing.

Pemuda itu tidak mengenali mereka, tetapi 

dia tidak berusaha menghindari mereka. Orang-

orang itu sudah mendekat dan turun. Memperha-

tikan benda yang hangus itu.

"Tak salah lagi," gumam orang itu yakin

"Dugaanku tepat, mereka sudah mampus 

semua dan peti berisi emas itu hilang entah ke 

mana..."

Pemuda tampan itu hanya mendengarkan, 

tidak mengerti maksud gumaman orang itu. Teta-

pi orang itu mendadak menoleh. Dia adalah putra 

tunggal Sandirwo yang diutus untuk melihat apa-

kah kiriman emas itu sampai kepada pemesan-

nya.

Pemuda itu bernama Kadir, saat pengiri-

man emas itu dilakukan dia sedang pergi, jadi ti-

dak bisa ikut mengawal. Namun Sandirwo menja-

di bingung, karena utusan pengiriman emas itu 

sampai sore begini belum kembali, dia kuatir ka-

lau terjadi apa-apa pada mereka. Itulah sebabnya, 

dia menyuruh putranya untuk menyelidiki.

Kadir menatap pemuda yang memegang se-

ruling itu dengan tajam. Matanya memancarkan 

sorot curiga yang amat dalam. Pemuda itu te-

nang-tenang saja, tak merasa dicurigai. Kadir 

mencurigainya, karena hanya pemuda itu yang 

berada di sekitar sini.

"Apa yang telah kau lakukan kepada mere


ka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu 

yang melakukannya, Kadir langsung bertanya.

Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya 

berkerut.

"Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung. 

"Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya 

meniup serulingku ini."

"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini 

pasti kau yang melakukan..."

Pemuda itu baru mengerti kalau dia ditu-

duh. Tentu saja dia marah dan membantah.

"Aku yang melakukan? Mimpi apa kau se-

malam menuduhku begini? Saudara... aku baru 

saja tiba di tempat ini... dan melihat semua keja-

dian ini.... Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan 

siapa yang melakukannya...."

"Kau jangan mempermainkan aku, Kisa-

nak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua 

orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti in-

gin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku 

sekarang, karena kau yang memilikinya sedang-

kan engkau hanya merampas secara kotor!"

Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia 

dituduh sembarangan! Emas itu dia yang meram-

pasnya? Tuduhan keji untuknya. Dia tidak teri-

ma.

"Saudara... kau menuduhku sembarangan. 

Aku membantah semua tuduhanmu...."

"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali 

emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tan-

gannya dan serentak sembilan orang yang bertu


ka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu 

yang melakukannya, Kadir langsung bertanya.

Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya 

berkerut.

"Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung. 

"Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya 

meniup serulingku ini."

"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini 

pasti kau yang melakukan..."

Pemuda itu baru mengerti kalau dia ditu-

duh. Tentu saja dia marah dan membantah.

"Aku yang melakukan? Mimpi apa kau se-

malam menuduhku begini? Saudara... aku baru 

saja tiba di tempat ini... dan melihat semua keja-

dian ini.... Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan 

siapa yang melakukannya...."

"Kau jangan mempermainkan aku, Kisa-

nak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua 

orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti in-

gin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku 

sekarang, karena kau yang memilikinya sedang-

kan engkau hanya merampas secara kotor!"

Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia 

dituduh sembarangan! Emas itu dia yang meram-

pasnya? Tuduhan keji untuknya. Dia tidak teri-

ma.

"Saudara... kau menuduhku sembarangan. 

Aku membantah semua tuduhanmu...."

"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali 

emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tan-

gannya dan serentak sembilan orang yang bertu


gas mengawalnya mengurung pemuda itu.

Namun pemuda itu nampak tenang-tenang 

saja. Dia hanya memperhatikan mereka dengan 

tatapan waspada.

"Kau tak percaya bukan aku yang melaku-

kan semua ini, Saudara...."

"Siapa lagi kalau bukan kau! Hanya kau 

yang ada di sini! Pasti emas itu sudah kau sem-

bunyikan! Serang pemuda itu dan tangkap"

Serentak sembilan orang itu menyerang 

dengan pedang mereka. Pemuda itu menghindari 

semuanya dengan mudah. Bahkan dia memutar 

serulingnya dan berkelebatan dengan cepat yang 

merupakan gulungan-gulungan hitam. Tiga orang 

roboh terkena sambaran seruling itu. Mendadak 

pemuda itu bersalto menghindari kurungan itu.

Lalu katanya kepada Kadir, "Saudara! Aku 

tidak suka dituduh begini! Aku bukanlah peram-

pok dan pembunuh yang kejam. Tetapi karena 

tuduhanmu ini.... Aku bisa berbuat demikian!"

Kadir mendengus. Dia pun menghunus pe-

dangnya.

"Orang jahat seperti kau, harus dile-

nyapkan dari muka bumi ini! Tak ada gunanya 

kau hidup, karena hanya menyengsarakan orang 

lain dan membuat keonaran. Lihat seranganku, 

Kisanak!" bentak Kadir seraya berkelebat ke de-

pan dan pedangnya sudah menyambar dengan 

dahsyat. Sabetan dan tusukannya begitu cepat 

dan kuat.

Tetapi pemuda itu hanya menghindari se


raya berdiri di belakang Kadir, serulingnya siap 

mencoblos leher Kadir. "Kalian semua mundur, 

kalau tidak ingin melihat pemuda ini mampus! 

Cepat!"

Orang-orang itu mundur, mereka pun su-

dah jerih melihat kelihaian pemuda itu. Mereka 

pasti tak mampu untuk menangkapnya. Tapi se-

puluh orang saja mereka gagal, apalagi kini ting-

gal bertiga.

Pemuda itu berseru lagi, "Kalian semua sa-

lah paham, kalian salah menuduhku demikian! 

Aku tidak melakukan apa-apa terhadap kereta 

kuda itu. Aku membantah semua tuduhan kalian. 

Sungguhan, aku tidak melakukan apa-apa. Aku 

baru saja melihat semua itu ketika kalian datang 

dan menuduhku sebagai pelakunya!"

"Tetapi hanya kau yang ada di sana!" ben-

tak Kadir seraya berusaha bergerak, tetapi toto-

kan pemuda itu sungguh hebat. Sukar untuk di-

lepaskan dan Kadir hanya bisa memaki dalam ha-

ti.

"Kebetulan aku belum pergi dari tempat itu 

ketika kalian datang. Aku masih heran, ada apa 

dan siapa yang telah melakukan pembakaran 

dengan keji itu!"

"Aku tak percaya!"

"Kau memang keras kepala... Sudara. Ka-

lau saja orang-orang itu masih hidup dan bisa bi-

cara, pasti mereka akan mengaku, siapa yang 

menyerang mereka!"

Mendengar suara yang mantap itu, hati


Kadir agak meluluh tetapi masih waspada.

Mendadak pemuda itu melepaskan toto-

kannya dan berkelebat. Suaranya terdengar, "Aku 

bosan berhadapan dengan orang macam kau! 

Orang yang sembarangan menuduh! Biar semua 

itu terjadi, akan kucari orang-orang yang telah 

melakukan perampokan dan pembakaran itu!"

Suaranya menghilang dan tubuhnya pun 

tak nampak. Kadir menghela napas. Pemuda tadi 

sangat lihai sekali dan dia yakin kalau bukan pe-

muda itu yang melakukan semuanya. Dia meme-

rintahkan anak buahnya untuk kembali dan 

mengangkut tubuh kawan mereka yang terluka.



SEMBILAN



Sebenarnya, siapakah pemuda yang lihai 

dan perkasa itu? Yang suka meniup serulingnya 

dan melagukan tembang-tembang yang menga-

syikkan?

Pemuda itu adalah Pranata Kumala, bocah 

yang sembilan tahun lalu dibawa oleh Ki Ageng 

Jayasin ke puncak gunung Muria untuk digem-

bleng dan dilatih ilmu kejayaan dan kesaktian.

Kini bocah itu sudah tumbuh menjadi pe-

muda yang gagah perkasa dan tampan. Setelah 

dirasakan cukup berguru selama sembilan tahun, 

Pranata Kumala memohon izin kepada gurunya, 

Ki Ageng Jayasin untuk menjenguk orang tuanya.


Selama sembilan tahun itu dia tidak pernah-

bertemu dengan orang tuanya, orang tua yang di-

tinggalkan sejak dia berumur sembilan tahun. 

Dan membuatnya rindu.

Ki Ageng Jayasin sebenarnya enggan untuk 

melepas kepergian pemuda itu. Selama sembilan 

tahun bocah itu menunjukkan bakti dan kecin-

taannya kepada Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng Jaya-

sih sendiri sangat menyayangi pemuda itu. Pe-

muda yang welas asih dan sopan. Tetapi dia tidak 

bisa menahan karena pemuda itu bukanlah mi-

liknya, dia milik kedua orang tuanya dan sudah 

bebas menentukan pilihan.

Setelah memberi wanti-wanti panjang lebar 

dan agar Pranata bisa menggunakan kepandaian-

nya untuk membela yang lemah dan kebenaran, 

Ki Ageng Jayasih, melepaskan pemuda itu. Prana-

ta menjura hormat sebelum dia melangkah pergi. 

Lalu mulai beranjak, meninggalkan puncak gu-

nung yang dia diami sejak sembilan tahun.

Kini semua itu ditinggalkannya. Pegunun-

gan yang indah. Hawa yang dingin. Pemandangan 

yang elok dan indah. Bunga-bunga yang bagus. 

Semua ditinggalkannya demi rasa rindu kepada 

orang tuanya.

Mulailah perjalanan Pranata Kumala dalam 

kembali ke pelukan ayah bundanya, Madewa 

Gumilang dan Ratih Ningrum. Sudah lama dia ti-

dak melihat dunia ramai dan betapa senangnya 

dia melihat semua itu. Sebelum menuju ke tem-

pat ayah bundanya berada yaitu di perguruan To


peng Hitam, Pranata menggunakan kesempatan 

itu untuk singgah dari dusun ke dusun.

Sejak kecil dia telah mendengar akan nama 

Laut Pantai Selatan. Laut yang indah dan sunyi. 

Itulah sebabnya, dia segera menuju ke sana. Ingin 

membukti cerita ayah bundanya tentang keinda-

han laut pantai selatan.

Belum lagi dia tiba di sana, kesulitan su-

dah datang kepadanya. Dia dituduh sebagai pe-

rampok dan pembunuh oleh pemuda gagah tadi 

dan anak buahnya. Tentu saja Pranata menjadi 

marah dan kesal, namun dia ingat akan nasehat 

Ki Ageng Jayasih, agar mempergunakan akal se-

hat untuk menghadapi sesuatu, jangan main ma-

rah saja, apalagi memukul!

Tetapi dia pun harus mempertahankan diri 

dan berlari kalau tidak ingin urusan itu semakin 

panjang.

Sekarang pemuda itu duduk di sebuah ba-

tu, matanya menatap deburan ombak yang me-

nabrak tebing. Burung camar berterbangan di 

atas laut yang tak mau berhenti bergelombang. 

Juga tak melepas lelah sedikit pun. Dia terus ber-

gulung dan berdeburan.

Pranata merenung, hampir sebulan dia 

meninggalkan gunung Muria dan baru kali ini dia 

mendapat kesulitan. Kalau tahu begini lebih baik 

dia langsung ke perguruan Topeng Hitam. Entah 

bagaimana sekarang rupa perguruan itu, juga 

murid-muridnya, apakah mereka masih seperti 

dulu ataukah sudah banyak yang menikah lalu

keluar.

Mengingat itu, Pranata bangkit, hendak 

mencari tempat bermalam. Matahari sudah ham-

pir tenggelam di barat sana. Cahaya merahnya 

membias menerangi langit, membuat warna langit 

agak memerah dan nampak bagus sekali. Pranata 

memperhatikan itu sebentar. Betapa besar dan 

agungnya kekuasaan Tuhan, yang membuat sega-

la sesuatunya begitu bagus dan sempurna.

Pranata mulai melangkah. Dia mengambil 

serulingnya dan meniup menembangkan sebuah 

lagu merdu. Mengalunkan suara seruling itu.

Betapa merdu dan enaknya alunan serul-

ing itu didengar, tak membosankan. Seruling itu 

buatannya sendiri ketika dia masih di gunung 

Muria sana, untuk melepaskan kesendiriannya 

kalau sudah selesai berlatih.

Pranata pun ingat, kalau ayahnya dulu 

memberinya sebuah seruling. Kata ayahnya, itu 

seruling naga. Di tubuh seruling itu terdapat dua 

ekor naga yang sedang bertempur. Selama sembi-

lan tahun, Pranata baru sekali meniupnya, itu 

pun sudah dilarang oleh Ki Ageng Jayasih yang 

mendengar alunan nadanya.

"Boleh kulihat seruling yang kau tiup itu, 

Pranata?" tanya Ki Ageng Jayasih waktu itu.

Pranata memberikannya. Ki Ageng Jayasih 

mengamati. Dia juga tahu, seruling itu pemberian 

ayahnya Pranata Kumala. Tadi ketika nada serul-

ing itu terdengar, Ki Ageng Jayasih merasakan te-

linganya sakit sekali, suara seruling itu seakan


menusuk telinganya dan itu yang membuatnya 

heran. Makanya dia ingin melihat seruling itu.

"Pranata... waktu tadi kau meniup seruling 

ini, apakah kau merasakan sakit di telingamu?" 

tanya Ki Ageng Jayasih.

Pranata menggeleng keheranan, tak men-

gerti maksud gurunya.

"Tidak Kakek."

"Hmm." Ki Ageng Jayasih mengamati serul-

ing itu dan mendadak dia meniup seruling itu. 

Pranata tersentak, dia bergulingan, karena telin-

ganya terasa disengat oleh suara yang keluar dari 

seruling itu. Keras dan menusuk. Sakit sekali. 

Cepat Pranata duduk bersila. Dia sudah digem-

bleng dalam hal tenaga dalam dan hawa murni, 

dia pun menggunakan kepandaiannya untuk 

membendung suara seruling itu.

Ki Ageng Jayasih melihat muridnya berge-

tar. Hmm, pasti ini semua gara-gara seruling itu. 

Ia menghentikan tiupannya.

"Pranata...."

Pranata membuka matanya perlahan. Dia 

menghentikan aliran tenaga dalam dan hawa 

murninya ke telinga.

"Ya, Kakek...."

"Kau merasakan sakit di telingamu?"

"Ya, Kakek. Sangat pedih sekali. Suara se-

ruling itu sangat menusuk telingaku..."

Ki Ageng Jayasih tersenyum. "Itulah yang 

ku maksud tadi, suara seruling itu tadi pun me-

nusuk telingaku. Pranata, rupanya ayahmu


memberikan sebuah seruling, bukan sebuah se-

ruling biasa. Ini seruling sakti dan dinamakan se-

ruling naga. Baru aku tahu apa kesaktian serul-

ing ini... dia bisa menusuk dengan suaranya dan 

mengalahkan lawan-lawannya tanpa membuang 

tenaga.... Sungguh beruntung kau memiliki serul-

ing ini..., Namun Pranata, jangan kau gunakan 

seruling ini sembarangan.... Ini seruling sakti...."

Sampai disini berakhir sudah kisah ini se-

lanjutnya nantikan episode berikutnya



 dalam kisah Pendekar Kedok Putih.


                          SELESAI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive