RACUN KELABANG PUTIH
oleh Fahri A.
Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode:
Racun Kelabang Putih
SATU
Di sepanjang pesisir Laut Selatan, tepatnya
di sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat pegunun-
gan yang disebut Gunung Kidul. Pegunungan itu
memanjang dari Barat ke Timur, sangat banyak
sekali. Boleh dikatakan tak terhitung.
Di salah satu pegunungan itu, hiduplah seo-
rang wanita setengah baya dengan seorang anak
gadisnya yang cantik jelita. Seperti kebanyakan
gadis-gadis gunung, gadis yang bernama Sekar
Juwita, tak pernah mengenal kehidupan lain se-
lain kehidupan yang telah dijalaninya selama tu-
juh belas tahun di Gunung Kidul.
Alam telah menempanya sedemikian rupa.
Kesejukan hawa gunung membuat kulitnya kun-
ing langsat. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
bangir dan mulutnya yang indah dan sepasang bi-
bir yang bagus.
Nyai Diah amat menyayangi putri semata
wayangnya itu. Dia adalah seorang janda yang
masih cantik dengan tubuh yang masih padat dan
montok. Suaminya meninggal saat Sekar Juwita
berusia dua tahun. Dalam kehidupannya sendiri,
Nyai Diah membesarkan anaknya penuh kasih
sayang yang tulus.
Pada masa itu, kerajaan Majapahit sedang
berada dalam ketenaran. Dipimpin oleh Hayam
Wuruk yang bergelar Prabu Rajasanegara dan pa-
tih Gajah Mada, Majapahit menjadi kerajaan yang
amat berjaya (1350-1386).
Nyai Diah amat mengagumi raja Majapahit
yang gagah perkasa itu. Lalu dia mengasuhi anak-
nya sedemikian rupa, dengan aturan mirip seo-
rang putri raja. Diam-diam Nyai Diah bermaksud
untuk menjodohkan anaknya dengan Adipati di
Tritis.
Baginya, anaknya tidak perlu menjadi seo-
rang permaisuri tetapi menjadi istri adipati itu su-
dah cukup.
Sementara Adipati Wisnuwisesa sendiri se-
benarnya telah mempunyai seorang istri dan bebe-
rapa orang selir. Tetapi Nyai Diah tidak perduli Dia
tetap berkeinginan anaknya menjadi istri Adipati
Wisnuwisesa.
Nanti bila saatnya tiba, dia akan mengajak
putrinya ke Tritis. Dan diam-diam dia akan me-
makai cara apa pun agar rencananya berhasil.
Pagi itu matahari bersinar dengan cerah.
Semalam baru saja turun hujan. Kini sisa-sisanya
bersatu dengan embun pagi.
Sekar Juwita baru saja selesai mandi. Dan
seperti biasanya ketika dia hendak bersalin, sudah
terdapat baju salinannya di ranjangnya yang di-
hiasi oleh ibunya bak peraduan putri.
Sekar Juwita kadang tidak mengerti, menga-
pa ibunya begitu memanjakannya dan mengang-
gapnya sebagai seorang putri raja. Tetapi dia tak
pernah bertanya.
Dan dari didikan ibunya, sikap, tutur kata
dan tingkah laku Sekar Juwita memang bagai seo-
rang putri raja belaka.
Selesai bersalin, seperti biasa ibunya datang
dengan membawa sepiring buah-buahan.
Dan dia menjura di depan putrinya yang te-
lah menyisir.
"Selamat pagi, Putri...."
"Oh, Ibu... Silahkan, Bu...."
Nyai Diah menghidangkan buah-buahan itu
di sebuah meja yang dihias sangat indah.
"Kalau Putri berkenan... silahkan Putri men-
cicipi buah-buahan ini".
"Baik, Bu... nanti saya akan melakukan-
nya..." kata Sekar Juwita dan merapikan sisiran-
nya.
Para penduduk yang tinggal di sekitar sana,
tidak ada yang tahu kalau di pondok yang jelek itu
ada sebuah kamar yang mirip dengan kamar putri
raja. Nyai Diah telah mengaturnya sedemikian ru-
pa. Baginya, keinginannya itu harus tercapai.
Dan bagi Sekar Juwita, sebenarnya dia ingin
sekali bisa berlama-lama keluar rumah. Tetapi
belum lagi dia satu jam berada di luar rumah,
ibunya sudah memanggilnya dan menyuruhnya
masuk ke rumah.
Kadang kehidupan seperti itu membuatnya
jenuh dan ingin memberontak dari ibunya. Tetapi
Sekar Juwita yang sudah dididik bagaikan seorang
putri, tak berani berucap keras atau banyak mem-
bantah.
Hingga dia menjadi mengikuti apa saja ke-
mauan ibunya.
Namun pada suatu malam, ada satu keja-
dian yang membuatnya bingung dan heran.
Ketika malam telah larut, namun sepasang
matanya yang jernih belum juga mau terpejam,
samar-samar dia mendengar suara derap kaki ku-
da mendekati kediaman mereka.
Hatinya bertanya-tanya.
Siapakah penunggang kuda itu? Tak pernah
ada penunggang kuda yang datang pada malam
hari. Kalau ada itu pun pada siang hari.
Keheranan Sekar Juwita semakin menjadi-
jadi ketika dia mendengar ibunya membuka pintu
depan dan bercakap-cakap dengan penunggang
kuda itu.
Ada hubungan apa ibu dengan orang itu?
Tetapi kemudian Sekar Juwita tidak lagi
mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ter-
dengar perlahan pintu depan ditutup kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya dalam hati sam-
bil merebahkan tubuhnya kembali.
Lalu dia merenung di tempat tidurnya.
Pikirnya, pintu ditutup itu Ibunya sudah
masuk ke dalam rumah. Namun dugaannya salah,
justru ibunya keluar dari rumah dan naik ke kuda
di belakang penunggang kuda itu.
Lalu kuda itu bergerak cepat meninggalkan
pondok. Mengarah ke Timur.
Setengah jam kemudian, kuda itu berhenti
di sebuah hutan yang banyak terdapat di sana.
Lalu kuda itu ditambatkan.
Dan penunggang kuda yang bernama Broto
langsung memeluk Nyai Diah dan menciuminya
dengan buas.
Nyai Diah mencoba meronta, "Broto... nanti
dulu... kau belum memberikan laporanmu tentang
adipati Wisnuwisesa...."
"Nanti saja, Nyai... Nanti saja... aku sudah
tidak tahan...." terdengar desisan Broto sambil te-
tap menciumi sekujur wajah Nyai Diah.
"Broto...."
"Nanti, Nyai... Nanti... penuhi dulu permin-
taanku.... Sudah seminggu aku tidak menda-
patkan jatah, Nyai...." gumam Broto meracau.
Dia sebenarnya mata-mata dari Nyai Diah
untuk memata-matai keadaan Adipati Wisnuwise-
sa. Dan agaknya malam ini dia telah menunaikan
satu tugas yang diberikan Nyai Diah padanya.
Bagi Broto yang cabul dan mata keranjang
itu, sudah tentu dia mau melakukannya dengan
imbalan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Bahkan dia tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu, karena selain dapat menikmati ke-
hangatan tubuh Nyai Diah, dia pun dijanjikan
hendak diberikan jabatan sebagai Kepala pengawal
adipati.
Nyai Diah tidak bisa bertahan lama untuk
menahan nafsu Broto yang sudah amat sangat.
Dia pun mandah saja ketika Broto merebahkannya
di atas rerumputan.
Lalu terdengarlah desahan mesum yang ce-
pat dan turun naik.
Setelah itu terdengar desahan yang menyatu
dari keduanya yang mencapai puncak kenikma-
tan. Lalu rebah di tanah dengan nafas kembang
kempis.
Sementara bagi Broto dia seakan terlepas
dari satu kekangan dan sekarang habis melaku-
kan perjalan yang sangat jauh sekali.
"Broto... mana laporanmu?" Broto membuka
matanya yang terpejam. "Beres, Nyai.,.."
"Semua sudah kau lakukan?" "Beres,
Nyai...." "Bagaimana hasilnya?"
"Berhasil. Saat ini istri adipati dan beberapa
selirnya sedang menderita sakit yang mengerikan.
Sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan menge-
luarkan nanah. Kalau pun bisa disembuhkan me-
reka akan cacat seumur hidup"
Nyai Diah tersenyum.
"Kau memang patut diandalkan, Broto...."
"Semua untukmu, Nyai. Aku sangat puas
dengan imbalan yang kudapatkan.... Juga dengan
jabatan yang kau janjikan, bila anakmu menjadi
istri adipati...."
"Aku tak pernah memungkiri janji sendiri,
Broto...."
"Itulah aku setuju saja diajak bekerja sama
denganmu, Nyai...."
"Lalu bagaimana keadaan di sana sekarang
ini, Broto?"
"Adipati telah memanggil beberapa orang ta-
bib, namun semuanya angkat tangan. Tak ada
seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakit
aneh yang diderita istri dan para selirnya...."
"Memang tak ada seorang pun yang bisa. Ke-
cuali aku... hahahah."
"Racun Kelabang Putihmu memang ampuh
sekali, Nyai Diah...."
"Jelas, karena hanya akulah yang bisa mem-
buatnya dan menyembuhkannya" Nyai Diah terse-
nyum puas. Lalu dia bangkit merapikan pakaian
dan rambutnya. Dan berkata pada Broto yang ma-
sih merebahkan diri. "Sebaiknya kita kembali saja
sekarang. Aku kuatir anakku akan terbangun dan
mencari-cari aku...."
"Hahaha... baik, Nyai...."
Broto pun bangkit merapikan pakaiannya.
Baginya ini adalah jalan yang termudah untuk
mendapatkan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Dulu saat Nyai Diah masih perawan, sebe-
narnya Broto sudah jatuh hati padanya. Namun
sayang dia kalah cepat dengan Ajiseta, yang ke-
mudian menjadi suami Nyai Diah.
Siang dan malam Broto selalu memikir-kan
Nyai Diah. Dan dia selalu membayangkan men-
cumbu Nyai Diah meskipun dalam angan.
Dan ketika terdengar kabar Ajiseta mati saat
berburu di hutan, Broto menjadi girang bukan
main. Masih Nyai Diah dalam keadaan berkabung,
dia pun mendatangi Nyai Diah dan merayu-
rayunya.
Namun Nyai Diah tidak bergeming. Sampai
saat Sekar Juwita berusia sebelas tahun, barulah
terpikir olehnya untuk menjadikan anaknya istri
dari seorang Adipati. Dan pilihannya jatuh pada
adipati di Tritis.
Dan dia pun mulai bekerja sama dengan
Broto untuk menyelidiki keadaan adipati. Broto
pulalah yang menyediakan segala sesuatunya un
tuk keperluan Sekar Juwita. Dari mulai perhiasan
sampai buah-buahan.
Lalu kedua orang yang mempunyai niat ja-
hat itu pun kembali ke rumah Nyai Diah. Saat
hendak pergi meninggalkan rumah itu, Broto
memberikan buah-buahan yang dia bawa.
Lalu dia pun menggebrak kudanya. Dan per-
lahan-lahan Nyai Diah membuka pintu depan dan
masuk ke kamarnya.
***
DUA
Tritis adalah sebuah wilayah yang subur dan
makmur, yang berada dalam kekuasaan Majapa-
hit. Wilayah itu dibangun dengan segala sesua-
tunya yang adil. Adipati Wisnuwisesa yang berku-
asa di sana, adalah seorang pemimpin yang bijak-
sana. Yang selalu memikirkan nasib para pendu-
duknya.
Rakyat pun sangat menyukai dan me-
nyayanginya.
Dan begitu terdengar kabar kalau istrinya
dan beberapa orang selirnya terkena penyakit
aneh, rakyat pun berbondong-bondong datang un-
tuk menengok.
Kemudian keesokan harinya, tersiar kabar
kalau tiga orang selirnya mati karena membunuh
diri. Mereka pun sudah tahu kalau penyakit yang
mereka derita itu tidak akan bisa disembuhkan.
Dan bila hidup, mereka akan menjadi cacat.
Akan menanggung malu seumur hidup. Akhirnya
mereka pun mengambil jalan singkat dengan
membunuh diri.
Sudah tentu sang adipati menjadi sangat
bersedih dan bermuram durja. Kerjanya hanya
melamun saja sepanjang hari. Dia pun tak kuasa
untuk menengok istrinya. Sedikitnya dia merasa
jijik dan ngeri melihat sekujur tubuh istrinya
bengkak-bengkak dan mengeluarkan darah.
Tabib yang terhebat yang ada di wilayahnya,
tak satu pun yang bisa menyembuhkannya. Bah-
kan dia pun mengundang dan memohon tabib dari
kerajaan Majapahit untuk menolong istrinya. Te-
tapi tabib itu pun angkat tangan, menyerah tak
bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
Dua hari kemudian, istrinya pun meninggal
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selama
dua hari dua malam, seluruh rakyat berkabung.
Semua memberikan salam belasungkawa kepada
adipati yang adil dan bijaksana itu.
"Adipati... sabarlah, tawakallah kepada Yang
Maha Kuasa," kata penasehatnya yang bernama Ki
Ageng Tapa. Dia adalah seorang laki-laki yang be-
rusia 60 tahun. Amat bijaksana dan selalu mem-
berikan nasehat-nasehat yang baik buat sang adi-
pati.
Konon Ki Ageng Tapa juga seorang yang sak-
ti mandraguna. Dan dia bergelar si Tasbih Perak.
Karena dia selalu menghitung biji tasbih yang se-
lalu dipegangnya. Tasbih itu pun berwarna keperakan.
Adipati Wisnuwisesa mendesah panjang.
Masih nampak di wajah kesedihan dan kepedihan.
"Ki Ageng... bagaimana aku tidak sedih, se-
mua wanita yang teramat dekat dengan hatiku ha-
rus meninggalkan ku dengan cara yang mengeri-
kan" suara sang
Adipati terdengar penuh kepiluan yang ma-
kin mendalam.
Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan.
Di sana juga hadir, Kertapati, kepala pengawal.
Roro Kenanga, kepala emban yang juga pandai il-
mu silat. Dan Broto... yang menjabat sebagai ke-
pala rumah tangga.
Saat itu Broto hanya terdiam. Padahal dalam
hatinya dia tertawa-tawa penuh kemenangan.
Lalu mereka mendengar lagi Adipati Wisnu-
wisesa berkata lagi, "Aku sungguh tidak menger-
ti... bagaimana mulanya para selir dan istriku
menderita penyakit yang mengenaskan itu.... Yang
membuatku heran, andaikata itu merupakan sua-
tu wabah penyakit, mengapa hanya mereka saja
yang terkena... mengapa yang lain tidak? Oh, Gus-
ti Batara Agung... kesalahan apa yang telah ku-
perbuat dan kiranya kau menjatuhkan tanganmu
padaku...."
Ki Ageng Tapa berkata pelan. "Adipa-
ti...Sebaiknya beristirahatlah...Jangan sampai kau
berlarut-larut dalam kesedihan ini"
Adipati hanya terdiam. Dia teringat kalau
minggu depan ada acara di kerajaan Majapahit.
Dan yang hadir diharuskan membawa pasangan-
nya atau istrinya. Namun baginya kini, tak ada la
gi istri dan para selirnya. Siapa yang akan mene-
maninya serta?
Hal itu jelas diketahui Broto. Ini merupakan
kesempatan baginya untuk mengemukakan hal
yang telah lama ditunggu-tunggu.
"Maafkan hamba, Sang Adipati yang mulia.
Bukankah ada undangan yang datang dari kera-
jaan Majapahit?" katanya. "Adipati... setelah istri
dan para selir Yang Mulia meninggal... bukankah
sebaiknya Adipati memikirkan lagi untuk men-
gambil seorang istri?"
Adipati mendesah.
"Benar, Broto.... itu pun memang menjadi
pikiranku sekarang...."
Terdengar suara Ki Ageng Tapa lagi, "Adipa-
ti... kupikir, sebaiknya tenangkanlah dulu diri dan
pikiran adipati, sebelum melanjutkan ke suatu
pemikiran yang lain... Kau harus punya ketenan-
gan dulu sebelum memikirkan masalah undangan
raja dan mencari seorang istri...."
"Tetapi aku memang sudah harus memikir-
kannya, Ki Ageng."
"Aku mengerti. Tapi aku rasa... Raja juga
mau mengerti bila Adipati tidak datang membawa
pasangan. Bukankah Raja Hayam Wuruk pun su-
dah mengetahui kalau Adipati sedang mengalami
musibah?"
Adipati Wisnuwisesa terdiam. Kelihatan se-
kali di samping sedang sedih juga dibebani oleh
suatu pemikiran yang amat berat.
Broto yang tidak mau usahanya gagal, sege-
ra berkata, "Tetapi sebaiknya... segeralah di
umumkan dulu, kalau Adipati ingin mencari seo-
rang istri.... Ingat, mencari istri yang baik tidak
mudah. Apalagi dalam waktu yang hanya bebera-
pa hari saja."
Kertapati yang sejak tadi terdiam terdengar
menghela nafas lega. Dia adalah seorang laki-laki
gagah perkasa. Ilmu kesaktian yang dimilikinya
setingkat dengan yang dimiliki Ki Ageng Tapa.
Kertapati berpakaian sangat sederhana,
meskipun dia seorang panglima. Dia hanya men-
genakan baju hitam dengan lengan baju panjang,
tak berleher. Juga mengenakan celana panjang
yang berwarna sama. Di pinggangnya terselip sen-
jatanya yang berupa sebilah keris.
Terdengar dia berkata, "Agaknya... benar ka-
ta-kata yang dituturkan oleh Ki Ageng Tapa. Se-
baiknya Adipati beristirahat saja. Jangan dulu di-
bebani oleh pikiran yang mungkin malah mem-
buat Adipati bingung...."
Broto mendengus dalam hati. Dia sudah la-
ma membenci dan menaruh dendam pada Kerta-
pati. Karena saat diadu kesaktian untuk menen-
tukan siapa yang patut dan berhak menjadi kepala
pengawal, Broto kalah oleh Kertapati. Maka Kerta-
patilah yang diangkat menjadi kepala pengawal.
Hal itu sudah tentu membuat Broto menjadi
sangat mendendam. Tetapi dia sangat pandai
membawa diri, hingga tak seorang pun tahu kalau
dia membenci Kertapati.
Dan bencinya itu makin memuncak men-
dengar kata-kata Kertapati tadi.
Lalu dia pun berkata, "Memang benar
adanya. Tetapi menurut perasaanku, Raja tetap
akan murka bila Adipati tidak datang memenuhi
undangannya dengan membawa seorang istri....
Jadi, sebaiknya tetaplah Adipati mencari istri du-
lu. Masalah lain, bisa dipikirkan kembali saat su-
dah mendapatkan seorang istri...."
Broto melirik Kertapati yang tampak santai
saja mendengar kata-katanya. Broto memaki da-
lam hati, sebentar lagi kau, Kertapati! Nanti aku-
lah yang menjadi kepala pengawal di wilayah Tritis
ini!
Terdengar suara yang keluar dari mulut Roro
Kenanga. Dia adalah seorang wanita setengah
baya. Wajahnya masih cantik dan dua buah tusuk
konde di kepalanya. Tusuk konde itu terbuat dari
emas murni. Dan merupakan senjata andalannya.
Bila tusuk konde dilempar olehnya ke suatu tem-
pat, maka tusuk konde itu bisa berbalik lagi ke-
tangannya. Mirip bumerang.
Roro Kenanga pun berkata, "Saya pikir...
usul dari Adi Broto benar adanya. Karena ini me-
rupakan suatu kehormatan bagi Adipati sendiri.
Bila tidak datang bersama istri, sudah tentu akan
banyak yang meliriknya dengan tatapan mengejek.
Dan mencari seorang istri yang baik itu memang
tidak mudah. Tentunya kita tidak mau bukan, bila
melihat sang Adipati dipandang rendah oleh Adi-
pati-adipati lain karena datang tidak membawa is-
tri?
Bukankah seorang Adipati membutuhkan
seorang pendamping merupakan suatu kebang-
gaan dan kekhususan sendiri?"
Orang-orang yang berada di sana mengang-
guk-angguk. Kata-kata Roro Kenanga memang be-
nar adanya. Bagi seorang adipati, bila tidak mem-
punyai seorang istri dan beberapa selir merupakan
suatu kejelekan. Karena berarti, adipati tadi tidak
memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk me-
naklukkan cinta seorang wanita.
Adipati Wisnuwisesa pun tak mau hal itu
menimpa dirinya. Ini memang merupakan suatu
dilema baginya. Dia ditentukan oleh pemilihan
yang sangat membingungkan.
Belum lagi hilang dalam ingatan istri dan pa-
ra selirnya meninggal akibat penyakit yang sangat
mengerikan, diharuskan untuk segera mencari
seorang istri karena undangan Raja.
Tetapi akhirnya dengan suara berat dan eng-
gan, dia berkata sambil meninggalkan ruangan,
"Besok... umumkan kepada rakyat... aku akan
mencari seorang istri. Dengan syarat... dia memili-
ki lima buah tahi lalat di paha kirinya!"
Sehabis berkata begitu, Adipati Wisnuwisesa
pun melangkah ke peraduannya.
Ki Ageng Tapa mendesah.
Kertapati terdiam
Roro Kenanga tersenyum.
Dan Broto pun berbinar-binar matanya. Ber-
seri-seri. Dia pun tidak takut dengan syarat yang
diajukan oleh sang adipati. Bukankah Sekar Juwi
ta pun memiliki lima buah tahi lalat di kaki ki-
rinya?
Setelah pertemuan itu selesai, Broto kembali
ke tempatnya di belakang tumenggungan. Tetapi
begitu tak ada yang melihatnya, dia keluar melalui
pintu belakang. Lalu melompati sebuah pagar
tinggi.
Dan berlari ke arah Barat.
Dipacunya kudanya menuju ke Gunung Ki-
dul. Ini adalah suatu laporan yang sangat berhar-
ga untuk Nyai Diah. Tidak boleh membuang-
buang waktu lagi. Hanya lima hari waktu yang di-
tentukan sebelum sang Adipati memenuhi undan-
gan raja Hayam Wuruk.
Sudah tentu Nyai Diah girang bukan main.
Dia pun melayani permintaan Broto saat Broto
menagih. Lalu keduanya pun pulang ke pondok
Nyai Diah.
"Nyai... semuanya seperti yang telah Nyai
atur. Dan ingat, jangan sampai meleset....."
"Itu beres, Broto!"
"Setelah Sekar Juwita menjadi istri adipati,
kaulah yang harus menyetir segala sepak terjang
Adipati Wisnuwisesa. Ingat, kau harus berhati-hati
dengan Ki Ageng Tapa...."
"Beres soal itu."
"Dan singkirkan Kertapati..."
Nyai Diah tersenyum.
Broto pun me rasa senang. Lalu naikinya
kudanya dan digebraknya hingga melaju kencang.
***
TIGA
Keesokan paginya, penduduk Tritis dike-
jutkan oleh suara gong yang dipukulkan oleh pen-
gawal adipati di alun-alun. Berbondong-bondong
mereka datang ke sana. Ada apa gerangan.
Di tengah alun-alun, nampaklah dua pen-
gawal adipati Wisnuwisesa yang berdiri gagah
dengan menunggang kuda hitam.
Yang seorang memegang gong dan memukul-
mukulkannya. Yang seorang lagi menunggu den-
gan gagah sampai rakyat semua berkumpul. Sete-
lah itu, dia membuka gulungan selembar kain dan
membentangkannya.
"Pengumuman!" serunya lantang.
"Adipati Tritis, Wisnuwisesa. hendak mencari
seorang istri! Dengan syarat, perempuan yang akan
menjadi istrinya, mempunyai tahi lalat lima buah di
pahanya!
Pengumuman selesai!"
Namun sampai tiga hari kemudian, tak seo-
rang perempuan pun yang datang ke Kadipaten.
Agaknya syarat yang diajukan adipati Wisnuwise-
sa terlalu susah. Walaupun saat itu banyak yang
bisa membuat tahi lalat palsu dengan tato, tetapi
rakyat amat mencintai adipati yang adil di samp-
ing menjunjung tinggi Prabu Hayam Wuruk. Hing-
ga mereka tak punya sedikit niat pun untuk mem-
bohongi sang adipati.
Tetapi hal ini malah membingungkan adipati
Wisnuwisesa, mengingat undangan Prabu Hayam
Wuruk tinggal sebentar lagi,
Namun keesokan paginya, datang ke kadipa-
ten, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan
paras yang masih cantik, dengan seorang gadis
yang cantik jelita. Melihat caranya berdandan dan
sikapnya yang anggun, menandakan gadis itu se-
orang yang terpelajar. Namun tingkah lakunya bak
seorang putri belaka.
Orang itu adalah Nyai Diah dan putrinya,
Sekar Juwita. Sesuai dengan rencana yang diatur
Broto, mereka pun datang kadipaten.
Tentu saja kedatangan mereka disambut
dengan gembira oleh sang adipati. Keduanya lang-
sung disambut dengan senang hati dan suka cita.
Adipati Wisnuwisesa lebih gembira lagi sete-
lah mendengar pemberitahuan dari Roro Kenanga
yang memeriksa tahi lalat di paha Sekar Juwita.
Sesuai dengan syarat yang diajukan sang adipati.
Malam hari itu pula di adakan pesta yang
cukup meriah menyambut kedatangan istri baru
Wisnuwisesa.
Saat undangan Prabu Hayam Wuruk pun,
Wisnuwisesa hadir dengan sikap gagah. Banyak
adipati lain atau para tumenggung yang terse-
nyum dan memberi salam kebahagiaan padanya.
Seakan mereka melupakan kematian istri dan pa-
ra selir adipati.
Namun ada seorang yang masih merasakan
aneh dengan kematian istri dan para selir adipati.
Dia adalah Kertapati kepala para pengawal adipa-
ti.
Apalagi ketika diumumkan, kalau kedudu-
kannya akan tergeser bila dia tidak bisa menga-
lahkan Broto dalam tanding ulang mempere-
butkan kedudukan sebagai kepala pengawal.
Kertapati tidak banyak membantah, karena
perintah itu datangnya dari adipati sendiri. Dia ti-
dak tahu, kalau adipati didesak oleh istrinya un-
tuk mengadakan tanding ulang itu.
Sedangkan istrinya diperintah oleh ibunya
sendiri, Nyai Diah yang merasa sudah waktunya
untuk segera menyingkirkan Kertapati. Sudah sa-
tu bulan mereka hidup di kadipaten yang serba
kecukupan.
Semula Wisnuwisesa sendiri pun menolak,
karena menurutnya Kertapatilah yang patut men-
jadi kepala para pengawalnya. Namun setelah di-
desak, dibujuk, direngek oleh istrinya, akhirnya
dia pun meluluskan permintaan itu.
Kejadian itu pun mengundang rasa heran
dari Ki Ageng Tapa. Dia bertanya tanya dalam hati,
mengapa adipati bertindak dan memerintahkan
seperti itu?
Dia pun memanggil Kertapati yang agak ur-
ing-uringan untuk menerima perintah adipati.
"Aku pun heran, Ki Ageng," kata Kertapati.
"Mengapa adipati seperti mencabut kata-katanya
kembali?"
"Apakah Broto yang mendesaknya?"
"Tidak mungkin," kata Kertapati. "Biar ba-
gaimana pun dia adanya, Broto adalah seorang la
ki-laki yang kesatria. Kau lihat saja tingkah la-
kunya setelah dulu kalah dariku dalam perang
tanding. Dia tetap menerimanya dan menerima
pula kedudukan sebagai kepala rumah tangga."
Ki Ageng Tapa tahu akan si fat Kertapati
yang polos dan jujur. Dia pun berkata,
"Kertapati... tingginya langit dan dalamnya
samudra mudah ditebak. Jumlah bintang yang
ada di langit pun diketahui jumlahnya. Namun ha-
ti orang siapa yang tahu. Meskipun jaraknya de-
kat, tapi terasa jauh sekali".
"Aku menjunjung tinggi sifat kesatria Broto,
Ki Ageng."
"Lalu bagaimana? Kau akan menerima perin-
tah ini?" tanya Ki Ageng Tapa.
"Ya."
"Kertapati... apakah kau tidak tahu, bila kau
dalam keadaan terdesak Broto akan membunuh-
mu?"
"Ah, bukankah dulu aku tidak membunuh-
nya? Karena ini hanya saling uji kesaktian. Itu
pun tak luput dari perhatian adipati, bukan?"
Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati memang
orang yang jujur dan polos. Dia sangat menghargai
sekali sebuah kejujuran.
Namun Ki Ageng Tapa seakan mencium ada
sesuatu yang tidak beres dalam perintah adipati
ini. Dia bertekad akan melihat sampai sejauh ma-
na pertandingan uji kesaktian itu.
Dua hari kemudian, terlihatlah di depan ka-
dipaten sebuah panggung besar dan cukup tinggi.
Di setiap sudutnya ada umbul-umbul yang indah.
Dan di tengah-tengahnya ada lukisan pedang dan
golok saling bertempelan yang menandakan akan
diadakannya pertandingan uji kesaktian itu.
Ketika hari yang ditentukan tiba, rakyat pun
berbondong-bondong memenuhi kadipaten. Bagi
mereka, ini adalah tontonan yang sangat menarik
sekali.
Adipati Wisnuwisesa sendiri hadir di tengah-
tengah mereka didampingi oleh istrinya yang se-
perti putri raja. Rakyat pun mengagumi kecanti-
kannya. Dan di samping istrinya duduk ibu mer-
tuanya, Nyai Diah.
Sementara di belakang mereka, Ki Ageng Ta-
pa dan Roro Kenanga duduk dengan sikap yang
gagah.
Adipati Wisnuwisesa pun berdiri.
Rakyat yang tadi ribut bergemuruh, terdiam.
Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh sang
Adipati.
"Di pagi yang cerah dan suasana yang gem-
bira ini? kita semua berkumpul di kadipaten. Bu-
kan lain untuk menyaksikan tanding ulang antara
Kertapati dengan Broto! Ini kulakukan, untuk me-
lihat siapakah sesungguhnya yang digjaya!
Juga... untuk menghibur hati kita semua!!"
Hadirin bertepuk tangan dengan sorak-sorai
yang gegap gempita.
Adipati Wisnuwisesa menenangkan para ha-
dirin.
"Semua tenang! Nah, sebagai penantang,
Broto dipersilahkan maju ke panggung!"
Dari tempat duduknya, Broto bersalto. Me-
mamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuh-
nya. Tiga kali dia bersalto dan hinggap di alas
panggung dengan ringannya.
Begitu dia hinggap, kembali terdengar tepu-
kan dan sorak-sorai yang ramai. Broto menun-
dukkan tubuhnya ke arah Adipati Wisnuwisesa.
Lalu membunguk ke pada para hadirin yang kem-
bali disambut dengan bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian ringkas berwarna
hitam-hitam. Di keningnya ada ikat kepala ber-
warna putih. Dan di punggungnya tersampir sebi-
lah pedang.
Terdengar kembali suara Adipati Wisnuwise-
sa.
"Kepada Kertapati, dipersilahkan naik ke
panggung!!"
Kalau Broto tadi memamerkan tenaga dalam
dan ilmu peringan tubuhnya dengan bersalto dari
tempat duduknya, Kertapati hanya melangkah
dengan ringan. Tidak menunjukkan seorang yang
digjaya.
Dia pun sampai di panggung.
Ketika dia membungkukkan tubuhnya pada
adipati Wisnuwisesa, kembali terdengar tepukan
dan sorakan yang bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian yang ringkas pula.
Hanya berwarna putih. Kerisnya terselip di ping-
gangnya.
"Nah, ini dia jago yang hendak bertanding
sudah berada di atas panggung! Pertandingan di
mulai!" seru Adipati yang kembali disahuti dengan
tepukan bergemuruh.
Terdengar bunyi gong tiga kali, tanda per-
tandingan itu dimulai.
Lalu kedua jago itu pun bersiap.
Dari sorot matanya dan sikapnya, jelas seka-
li kalau Broto begitu meremehkan Kertapati. Dia
segera membuka jurusnya dan mulai menggebrak
dengan satu pukulan lurus ke depan yang hendak
dilanjutkan dengan sapuan kaki kanannya.
Kertapati pun segera menyambutnya dengan
menarik ke belakang kepalanya dan melompat.
Saat dia melompat, dia mengirimkan satu jotosan
ke arah muka.
Cepat Broto memiringkan kepalanya. Dan
membalas. Terjadilah serang menyerang yang ce-
pat dan hebat. Tangguh dan berisi.
Pada jurus-jurus dan gebrakan pertama,
nampak keduanya masih saling memapaki. Na-
mun beralih pada jurus kesepuluh, serangan-
serangan mereka pun tambah cepat.
Broto begitu beringas sekali.
"Hari ini kau harus kalah di tanganku, Ker-
tapati!" pekiknya sambil menendang.
"Berbuatlah semampu mu, Broto!" sahut
Kertapati sambil menghindar melompat.
"Kau tak pantas menjadi kepala pengawal!"
"Mungkin. Tetapi bukankah kau sendiri su-
dah melihat caraku memimpin? Dan aku pun da-
pat mengalahkan kau, Broto!"
Kata-kata Kertapati itu semakin membuat
Broto menjadi panas. Dia semakin buas. Dan ju-
rus-jurusnya sangat kejam.
Namun sampai sejauh itu, belum satu pun
serangannya yang mengenai sasaran. Hal ini
membuat Broto semakin ganas.
Apalagi ketika pukulan Kertapati menggedor
dadanya, disusul dengan satu tendangan yang
mengenai leher Broto. Hingga laki-laki itu ter-
huyung ke belakang.
"Bangsat geram Broto sambil menyeka darah
yang keluar di mulutnya.
Kertapati hanya tersenyum dengan sikap
bersahabat.
Sementara sorakan ramai terdengar kembali.
"Kau harus mampus, Kertapati!" geram Broto
sambil bangkit menyerang kembali.
"Hati-hati, Broto! Kadang pukulan dan ten-
dangan bisa mematikan?" sahut Kertapati tetap
dengan suara bersahabat.
"Anjing buduk! Aku memang berniat hendak
membunuhmu!" bentak Broto sengit. Serangan-
serangannya semakin berbahaya.
Terdengar sorakan yang ramai.
Ada sorak kegembiraan.
Ada sorak ketakutan.
Di antara penonton itu nampak seorang laki-
laki berusia setengah baya dengan serius mem-
perhatikan pertandingan itu. Wajah laki-laki itu
begitu arif dan bijaksana. Dia mengenakan jubah
berwarna putih.
"Kejam!" desisnya ketika Broton men-
gamuk dengan cakaran-cakaran yang mematikan.
Sasarannya wajah, jantung dan kemaluan.
Sementara Kertapati harus dengan susah
payah menghindar dan membalas.
"Sebenarnya laki-laki yang berpakaian putih-
putih itu bisa menang," desis orang yang menge-
nakan jubah putih itu lagi. "Hanya sayang... dia
terlalu welas asih dan menganggap ini memang
sebuah pertandingan biasa. Tapi... ah, yang men-
genakan pakaian hitam-hitam itu begitu kejam.
Bahkan wajahnya berkesan ingin membunuh!
Hmmm... ini tidak adil!"
Laki-laki berjubah putih itu menggeleng-
gelengkan kepala.
Di atas panggung, Kertapati memang men-
ganggap ini sebuah pertandingan biasa. Bukan
untuk saling membunuh. Gerakannya pun tak se-
buas gerakan Broto. Malah dia seakan selalu
memberi angin untuk Broto menyerang.
Tetapi sampai sejauh itu, serangan-serangan
kejam Broto tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Kau memang hebat, Kertapati!" desisnya
sambil bersalto ke belakang. Dan ketika hinggap,
tangan kanannya sudah memegang sebilah pe-
dang.
"Haruskah kita bermain dengan senjata,
Broto?" tanya Kertapati dengan sikap sebagai sa-
habat.
"Hhh! Kau takut rupanya!"
"Ini hanya pertandingan biasa, Broto. Kau
ingat?"
"Perduli setan!"
"Broto...."
"Bila kau takut, menggelindinglah dari arena
ini, Kertapati!"
Wajah Kertapati memerah. Tetapi nampak
dia masih berusaha bersabar.
"Kita tak perlu bermain-main dengan senja-
ta! Antara kau dan aku bukan lawan! Kita saha-
bat, Broto.... Kau ingat?"
"Pengecut busuk! Turunlah dari arena ini bi-
la kau takut! Dan larilah seperti anak perempuan!"
"Broto...."
"Cabut kerismu, Kertapati...."
"Ingatlah, Broto... sangat berbahaya sekali
bila bermain-main dengan senjata!"
"Baik, kalau begitu. Aku terima. Tapi dengan
syarat, kau harus menyerah...."
Di samping memiliki sifat yang polos dan ju-
jur, Kertapati juga memiliki sifat seorang kesatria
sejati. Dia pantang mengalah bila diejek seperti
itu. Sebenarnya Kertapati ingin mundur saja dan
menyerahkan jabatan sebagai kepala pengawal
kepada Broto.
Tetapi dia tidak suka melihat sikap Broto
yang pongah dan congkak. Lalu dengan berat hati,
dia pun mencabut kerisnya.
"Kalau itu maumu... baiklah...." kata Kerta-
pati tetap berusaha menahan marahnya.
Sementara para penonton menjadi tegang
ketika keduanya mencabut senjata. Begitu pula
dengan Ki Ageng Tapa.
"Oh, mengapa harus mencabut senjata?"
gumamnya. "Bukankah senjata yang mereka bawa
itu hanya untuk menambah kegagahan mereka
saja di atas arena?"
Laki-laki yang berjubah putih pun me-
nyayangkan hal itu. Dia memuji Kertapati dan
memaki kesombongan Broto.
"Hmm... yang berpakaian putih begitu bijak-
sana. Dia masih menganggap lawannya itu sebagai
seorang sahabat. Tetapi yang berbaju hitam, dia
begitu congkak. Tapi mudah ditebak mengapa dia
mencabut senjatanya. Karena dia kalah bila ber-
hadapan dengan tangan kosong. Itu adalah jiwa
yang pengecut!"
Sementara di atas arena, keduanya sudah
mencari posisi. Dan bergerak bagaikan ayam
aduan
Tiba-tiba Broto memekik. Dan menerjang
dengan pedang mengarah pada tenggorokan. Ker-
tapati pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pe-
dang itu dengan mudah. Dia menggerakkan tan-
gannya dan menangkis pedang itu dengan keris-
nya.
"Traaangg"
Benturan kedua senjata itu menimbulkan
cahaya yang cukup terang. Para penonton mena-
han nafas dengan tegang.
Serangan-serangan yang di lancarkan Broto
demikian ganas. Pedangnya berkelebat ke sana ke
mari dengan cepat. Penuh tenaga dan nafsu ingin
membunuh.
Namun Kertapati memang tangguh dalam
memainkan kerisnya. Dia dapat menghindar dan
menangkis setiap serangan Broto. Membuat Broto
semakin panas.
"Jangan hanya seperti tikus dikejar kucing,
Kertapati! Bisa mu hanya menghindar saja!" se-
runya sambil terus menggebrak.
Lama kelamaan karena diejek dan didesak
terus menerus, Kertapati pun menjadi panas. Lalu
dia pun mulai membalas.
Kertapati bersalto dua kali ke belakang. Dan
begitu kakinya hinggap, dia langsung melenting ke
atas. Kerisnya siap menyambar kepala Broto.
"Anjing kurap!!" bentak Broto seraya meng-
gelinding. Namun begitu dia berdiri tegak, keris
Kertapati sudah menyerang nya lagi.
Sebisanya Broto menangkis.
"Traaannggg!!"
Karena posisi berdirinya belum begitu kuat
dan tenaga sambaran Kertapati yang cukup kuat,
membuat pedang di tangan Broto terlepas.
Para penonton bertepuk tangan.
Broto menggeram dengan marah.
Kertapati menghentikan serangannya.
Dia tersenyum.
"Bangunlah, Kawan...."
"Bangsat! Aku belum kalah!" geram Broto
marah dan panas. Wajahnya memerah karena ma-
lu.
"Lalu bagaimana maumu, Broto...."
"Aku akan membunuhmu, Kertapati!" geram
Broto murka.
Ki Ageng Tapa yang melihat Broto sudah ja-
tuh, yakin sekali kalau Adipati Wisnuwisesa akan
menghentikan pertandingan itu dan menyatakan
Kertapati sebagai pemenang.
Namun dia melihat Adipati Wisnuwisesa
hanya terdiam saja. Wajahnya tidak menampak-
kan ingin menghentikan pertandingan itu. Malah
dia seperti robot belaka.
Para penonton yang menyaksikan hal itu
pun menjadi heran. Mengapa Adipati Wisnuwisesa
tidak menghentikan pertandingan itu. Jelas-jelas
kalau Broto sudah kalah.
Merasa adipati tidak menghentikan pertan-
dingan itu, Broto berguling kembali sembari me-
nyambar pedangnya dan langsung menyerang.
Masih dengan keheranan mengapa sikap
adipati hanya diam saja, Kertapati menyambut se-
rangan Broto.
Sementara laki-laki berjubah putih meng-
gumamkan sesuatu,
"Hmm... ada yang tidak beres di sini"
Di atas panggung, Broto lebih gencar menye-
rang. Kejam. Dan mematikan. Kertapati sendiri
kali ini dengan susah payah menghindar, melom-
pat dan membalas.
Broto seakan mendapat tenaga baru. Seran-
gan-serangannya makin cepat dan hebat Penuh
tenaga dalam dan teknik-teknik yang mematikan.
"Tahan seranganku, Kertapati!!"
"Kau sudah kalah, Broto...."
"Aku belum kalah!"
"Kau sudah terjatuh! Dan pedangmu sudah
terlepas dari tanganmu!"
"Bodoh! Mengapa kau tidak segera membu-
nuhku!!"
"Karena ini hanya pertandingan biasa, Broto!
Bukan pertarungan!"
"Goblok! Ini pertarungan, Kertapati! Perta-
rungan antara hidup dan mati! Tahan seranganku!
Aku siap untuk mencabut nyawamu!"
Sadarlah Kertapati kalau Broto kini telah
menjadi lawannya. Dia pun membalas dengan gi-
gih. Serangan Broto hebat dan cepat.
Sampai suatu ketika, terdengar jeritan Broto.
Laki-laki itu bersalto. Dan kakinya menyambar
dada Kertapati hingga jatuh.
Lalu menyusul pedang Broto siap menikam
jantungnya!
Orang-orang menahan nafas tegang.
***
EMPAT
Kertapati sendiri merasa tak ada lagi jalan
baginya untuk meloloskan diri. Dia hanya pasrah
saja ketika melihat jalannya pedang yang siap
mencabut nyawanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras.
"Traaangg"
Pedang Broto melenceng dari sasarannya.
Kertapati membuka matanya.
Nampak di hadapannya Ki Ageng Tapa berdi-
ri dengan memegang tasbih peraknya. Dia yang
melihat nasib Kertapati sangat mengerikan dan
aja! siap menjemputnya, langsung bersalto dan
menyambarkan tasbih peraknya ke pedang Broto.
"Kau?!" geram Broto begitu melihat siapa
yang menghalanginya.
Ki Ageng Tapa tersenyum dingin.
"Kau kenapa Broto...."
"Jangan ikat campur urusan ini, Ki Ageng!"
seru Broto keras. Tidak sedikit pun dia menghor-
mati Ki Ageng Tapa. Di luar kebiasaannya yang se-
lalu menghormati Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri terkejut melihat peru-
bahan sikap Broto yang tidak menghormat pa-
danya.
"Kau bukan seorang kesatria, Broto...." ka-
tanya dengan suara dingin.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir kau, Ki
Ageng! Aku harus membunuh Kertapati!"
"Broto!" seru Ki Ageng Tapa keras. Kemara-
hannya mulai naik.
"Jangan ikut campur urusanku! Kau tak
berhak melarangku, Ki Ageng! Yang berhak hanya-
lah Adipati Wisnuwisesa! Kau lihat sendiri bukan,
Adipati saja tidak menghentikan pertarungan
ini...."
"Pertandingan, Broto...." potong Ki Ageng Ta-
pa.
"Apalah katamu, Ki Ageng! Tapi aku mena-
makan ini pertarungan antara hidup dan mati!
Dan kau tak berhak menghentikan semua ini tan-
pa perintah dari Adipati Wisnuwisesa"
"Tapi kau kulihat ingin membunuh Kertapa-
ti!"
"Niatku memang begitu."
"Kau keji, Broto!"
"Persetan dengan kau, Ki Ageng! Minggirlah
kau dari sini!"
"Broto... tadi kau sudah terjatuh dan kalah.
Tetapi sebagai seorang yang kesatria, Kertapati ti-
dak menyudahi mu. Padahal dia bisa membuatmu
mampus saat itu juga!"
"Itu salahnya sendiri! Minggir kau, Ki Ageng!"
"Kau sudah kalah, Broto!"
"Persetan! Minggir kataku, kalau tidak, ter-
paksa aku harus menyingkirkan mu dari sini, Ki
Ageng Tapa!" seru Broto.
Ki Ageng Tapa tetap tersenyum dingin. Sebe-
narnya dia semakin keheranan pada sikap Adipati
Wisnuwisesa. Mengapa Adipati tidak menghenti-
kan pertandingan ini? Ah, dia bagaikan robot be-
laka di tempat duduknya.
Ki Ageng makin merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada diri Adipati Wisnuwisesa.
"Apa boleh buat... aku terpaksa melayani,
Broto.... Bila tidak, kekejamanmu akan terus ber-
lanjut. Bila pun kau menang, kau tak patut men-
jadi kepala pengawal kadipaten...."
"Bangsat tua! Baik, bersiaplah!" geram Broto
seraya menghunuskan pedangnya. Diiringi dengan
pekikan yang cukup keras, dia menerjang ke arah
Ki Ageng Tapa.
Para penonton terpekik terkejut melihat Bro-
to menyerang Ki Ageng Tapa.
Laki-laki yang mengenakan jubah putih itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak tahu berterima kasih kalau nyawanya
sudah diselamatkan tadi. Tapi biarlah, aku ingin
melihat sampai di mana kehebatan laki-laki ber-
pedang itu...."
Di panggung, kini Ki Ageng Tapa harus
menghadapi serangan-serangan kejam dan ganas
dari Broto. Berkali-kali dia hanya menghindar
atau menangkis dengan tasbih peraknya.
Namun lama kelamaan dia bermaksud hen-
dak memberi pelajaran pada Broto. Maka dia pun
mulai melancarkan serangan balasannya.
Tasbih peraknya berkelebat dengan hebat.
Setiap kali dihentakkan atau digerakkan, menim-
bulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Broto kelihatan cukup terdesak.
"Menyerahlah, Broto! Sebelum kuturunkan
tangan telengas!" geram Ki Ageng Tapa.
"Jangan bermimpi kau, Ki Ageng!" sambut
Broto dengan garang.
Keduanya saling menyerang dengan cepat
dan hebat. Ganas dan kejam.
Para penonton menahan nafas.
Di bibir Nyai Diah tersinggung sebuah se-
nyuman.
Sekar Juwita berkali-kali bertepuk tangan.
Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam mem-
perhatikan bagai sebuah robot.
Laki-laki yang berdiri di antara penonton
yang mengenakan jubah putih bergumam,
"Hmm... agaknya yang menggunakan tasbih ber-
warna perak itu sudah di atas angin.... Tapi... hei,
apa yang dilakukan laki-laki berpedang itu? Dia
berdiam diri dengan kedua tangan bersatu. Pe-
dangnya pun dilepaskan! Dan... ah, kedua telapak
tangannya berwarna putih...."
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki
berjubah putih itu. Broto sambil bersalto mem-
buang pedangnya dan menyatukan telapak tan-
gannya. Lalu dibukanya kembali. Dan saat terbu-
ka telapak tangannya berwarna putih.
"Mampuslah kau saat ini juga, Ki Ageng Ta-
pa!" geram Broto seraya menyerang. Kedua telapak
tangannya seakan berusaha ingin menyentuh ba-
gian tubuh dari Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri merasakan hawa pa-
nas yang keluar dari kedua telapak tangan itu. Dia
yakin kedua telapak tangan itu mengandung ra-
cun. Namun dia tidak tahu jenis racun apa. Lagi-
pula yang membuatnya heran, mengapa Broto
mendadak mempunyai ilmu pukulan beracun?
"Hahaha... jangan lari seperti anak perem-
puan, Ki Ageng!" bentak Broto sambil terus mene-
kan dan mendesak Ki Ageng Tapa.
"Pukulan beracun apa yang kau gunakan
itu, Broto?!" seru Ki Ageng Tapa sambil menghin-
dar.
"Kau akan tahu setelah kau merasakannya!"
"Ilmu hitam yang keji!"
"Dan kau akan merasakan kekejian ini, Ki
Ageng Tapa!"
"Broto... di mana rasa hormatmu padaku,
hah?!"
"Sekarang aku tak perlu menghormatimu, Ki
Ageng Tapa! Meskipun kau seorang penasehat
Adipati! Tapi kau tak patut dihormati!"
"Budak setan!"
"Memakilah sepuasmu, Ki Ageng! Karena tak
lama lagi kau tak akan bisa memaki!"
"Hhh! Kau begitu yakin dengan ucapanmu,
Broto!"
"Karena kau lari seperti anak perempuan!
Kau tak berani menyerangku, hah? Kau tak ubah-
nya seperti kucing yang dikejar anjing!"
"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!
Sambutlah seranganku!"
"Sejak tadi aku yang menyerangmu! Baik,
aku akan sambut!"
Ki Ageng pun mulai membalas. Namun sam-
pai sejauh itu tak satu pun serangannya yang
mengenai sasaran. Dia pun berusaha agar tubuh-
nya tidak bersentuhan dengan kedua telapak tan-
gan Broto.
"Ayo, Ki Ageng! Ayo cepat'" ejek Broto sambil
terus menyerang. Dia tidak menghindar. Namun
setiap kali Ki Ageng menyerang, dia pun mengge-
rakkan tangannya untuk menyentuh tangan atau
bagian lain dari Ki Ageng Tapa.
Ini malah membuat Ki Ageng bingung, bah-
kan setiap kali dia menyambarkan tasbih perak-
nya, dengan licin dan lincahnya Broto segera me
nyerang bagian yang kosong. Ini membuat Ki
Ageng Tapa menjadi sulit untuk menyerang secara
pasti.
Sampai suatu ketika, kaki kanan Broto me-
nyambar dadanya.
"Dess"
Laki-laki setengah umur itu pun terhuyung
ke belakang dengan dada yang sakit. Sedangkan
Broto tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang
ada. Dia langsung memekik menerjang. Kedua te-
lapak tangannya yang kini berwarna putih menga-
rah ke bagian dada Ki Ageng Tapa.
Sulit bagi Ki Ageng Tapa untuk menghindar.
Para penonton menahan nafas tegang. Tiba-
tiba Kertapati yang dalam keadaan terluka, bang-
kit memekik dan memapaki serangan ganas dari
Broto.
"Des!"
"Des!"
Kedua pukulan itu beradu. Tubuh Kertapati
terpental ke belakang beberapa tindak lalu am-
bruk dengan tubuh yang amat kesakitan.
Di dadanya tertanda dua buah telapak tan-
gan Broto.
Sedangkan Broto hanya terhuyung dua tin-
dak lalu berdiri dengan tegap.
"Kertapatiiiiii!!" seru Ki Ageng Tapa yang ti-
dak menyangka Kertapati akan berbuat nekad un-
tuk menyelamatkannya.
Dia pun bangkit memburu untuk melihat
keadaan Kertapati. Dua buah telapak tangan Broto
yang bercap didada Kertapati mendadak berubah
menjadi hitam. Lalu menjalar warna hitam itu ke
seluruh tubuh Kertapati.
Satu keanehan terjadi. Tiba-tiba dari mulut
Kertapati mengeluarkan darah berwarna kehita-
man pula. Dan sekujur tubuh nya mendadak
membengkak besar. Lalu bengkakan itu pun mele-
tus. Mengeluarkan nanah berwarna putih. Menge-
rikan.
Menandakan pukulan yang dilepaskan Broto
mengandung racun yang sangat kejam.
Terdengar jeritan Kertapati menahan rasa
sakit.
"Aaaakkkhhh!!"
Lalu kepalanya terkulai. Ambruk. Matilah
Kertapati dengan keadaan tubuh yang memilukan,
sekaligus sangat mengerikan.
Para penonton memekik ngeri.
Ki Ageng Tapa menoleh pada Broto yang se-
dang tersenyum sinis. Tatapan Ki Ageng Tapa
membara membahayakan. Menandakan dia sangat
marah sekali.
"Kau harus membalas nyawa Kertapati, Bro-
to!" ujarnya sambil berdiri dengan tegap. Siap me-
nyerang Broto yang kini tertawa-tawa.
Namun belum lagi Ki Ageng Tapa bergerak
menyerang, terdengar bentakan keras.
"Hentikan semuanya! Broto dinyatakan ke-
luar sebagai pemenang!!"
***
LIMA
Semua kepala yang ada menoleh ke arah su-
ara itu. Mereka melihat Adipati Wisnuwisesa ber-
diri gagah dengan mengangkat tangan kanannya.
"Pertandingan ini ku nyatakan selesai!" ter-
dengar suaranya lagi.
"Dan mulai sekarang Broto kuangkat sebagai
kepala pengawal di Kadipaten!"
Ki Ageng Tapa menjadi keheranan melihat
sikap dan kata-kata Adipati. Adipati Wisnuwisesa
yang selama ini disanjung dan dipujanya, ternyata
hanya luarnya saja yang bijaksana.
Kalau dia adil dan bijaksana, dia pun sudah
dapat melihat kalau Kertapati keluar sebagai pe-
menang. Tetapi tadi pun sang Adipati tidak me-
nyatakan pertandingan selesai.
Malah dia membiarkan saja Broto bangkit
kembali menyerang. Bahkan ketika Ki Ageng Tapa
melesat ke panggung untuk menyelamatkan Ker-
tapati, Adipati Wisnuwisesa tetap diam saja tak
banyak mulut.
Tetapi kala Kertapati sudah terbunuh oleh
tangan telengas Broto, dan Ki Ageng Tapa siap
membalas kematian Kertapati yang telah menye-
lamatkannya, barulah terdengar suara Adipati
Wisnuwisesa menghentikan pertandingan.
Diam-diam dari rasa keheranan melihat si-
kap aneh Adipati Wisuwisesa dalam diri Ki Ageng
Tapa telah berubah menjadi kebencian. Dia muak
melihat sikap Adipati sekarang.
Bahkan boleh dikatakan, rasa hormatnya te-
lah lenyap sama sekali.
Namun Ki Ageng Tapa seorang laki-laki yang
kesatria dan amat menghormati tuannya. Meski-
pun dia kini benci dan muak, namun dia masih te-
tap menghargai perintah Adipati, yang menyeru-
kan pertandingan telah selesai.
Ki Ageng Tapa melirik pada Broto yang ter-
senyum kemenangan. Lalu dia kembali memperli-
hatkan mayat Kertapati yang sangat mengerikan.
Benar-benar kejam pukulan dari Broto itu.
Sementara laki-laki yang mengenakan jubah
putih sangat terkejut melihat pukulan yang dile-
paskan Broto tadi.
Bersamaan kedua pukulan antara Broto dan
Kertapati beradu, laki-laki berjubah putih itu me-
nahan nafas cukup tegang. Dan dia melihat Kerta-
pati terpental jauh beberapa tombak. di dadanya
tercap kedua telapak tangan dari Broto.
Saat itulah dia berseru, "Racun Kelabang Pu-
tih!"
Suaranya bergetar. Menandakan keterkeju-
tan yang cukup beralasan. Laki-laki berjubah pu-
tih itu tahu betapa keji dan ganasnya racun itu.
Di atas panggung, Ki Ageng Tapa tak kuasa
menahan air matanya. Jago tua itu pun menangis
terharu melihat mayat Kertapati yang mengerikan.
Juga mengingat Kertapati menjadi begini karena
telah menyelamatkannya.
Terdengar lagi seruan dari Adipati Wis-
nuwisesa "Perhatian! Mulai saat ini, Broto ku nya-
takan sebagai kepala pengawal di Kadipaten!
Menggantikan Kertapati yang ternyata dapat dika-
lahkannya! Bahkan dibunuhnya!"
Suara tepukan yang bergemuruh menyam-
but kata-kata Adipati Wisnuwisesa.
Lalu sang Adipati bersama istrinya, Sekar
Juwita dan ibu mertuanya, Nyai Diah yang terse-
nyum melihat Kertapati mati di tangan Broto
bangkit meninggalkan tempat itu.
Broto sendiri tersenyum penuh kemenangan.
Sore harinya, mayat Kertapati pun dikubur-
kan. Ki Ageng Tapa begitu nampak amat sedih se-
kali. Dalam hatinya diam-diam dia berniat hendak
menyelidiki keadaan Adipati Wisnuwisesa. Meski-
pun rasa hormatnya berubah menjadi benci dan
muak, tetapi dia masih merasakan adanya keane-
han dari diri Adipati.
Sementara laki-laki berjubah putih itu men-
desah panjang. Yang dibingungkannya bukanlah
sikap dari Adipati Wisnuwisesa. Tetapi racun kela-
bang putih yang ternyata muncul lagi.
Puluhan tahun yang lalu, laki-laki berjubah
putih itu pernah mendengar akan sebuah pukulan
beracun yang teramat ganas. Sekali bersentuhan,
maka yang disentuh akan mati secara mengerikan.
Pukulan itu milik dari seorang nenek dari
golongan hitam yang bernama Eyang Arumtari. Te-
tapi nenek itu telah mati setelah bertempur den-
gan beberapa tokoh dari golongan putih. Tokoh-
tokoh dari golongan putih itu pun kemudian mati
dengan keadaan tubuh yang mengerikan.
Rupanya secara diam-diam Eyang Arumtari
memiliki seorang murid yang mungkin telah me
warisi ilmu-ilmunya. Sekarang yang menjadi per-
tanyaan laki-laki berjubah putih itu adalah siapa-
kah murid dari Eyang Arumtari? Apakah Broto
yang melepaskan pukulan yang mengandung ra-
cun Kelabang Putih itu?
Laki-laki berjubah putih itu mendesah.
Lalu meninggalkan tempat itu.
Sebenarnya siapakah laki-laki yang me-
ngenakan jubah putih dan berwajah arif dan bi-
jaksana itu? Dia tak lain adalah Madewa Gumilang
alis Pendekar Bayangan Sukma.
Sudah seminggu lamanya Madewa Gumilang
meninggalkan Perguruan Topeng Hitam. Sebuah
perguruan silat yang dipimpinnya, warisan dari si
Dewa Pedang Paksi Uludara (baca: Dewi Cantik
Penyebar Maut).
Madewa Gumilang meninggalkan perguruan
Topeng Hitam untuk mencari putranya Pranata
Kumala dan anak menantunya Ambarwati yang te-
lah lama pergi mengembara. Dia merasa rindu se-
kali dengan kedua anak manusia itu.
Lalu dia memutuskan untuk pergi mencari
keduanya. Tampuk pimpinan Perguruan Topeng
Hitam untuk sementara diserahkannya pada is-
trinya yang bernama Ratih Ningrum. Seorang wa-
nita berparas cantik yang digjaya akan ilmu ke-
saktian.
Dalam pencariannya, Madewa tiba di daerah
Tritis. Dia heran ketika melihat rakyat berbon-
dong-bondong pergi menuju suatu tempat. Lalu
Madewa pun mengikutinya karena ingin tahu ada
kejadian apa di tempat yang dituju para pendu-
duk.
Dia melihat ada sebuah panggung besar di
halaman depan kadipaten. Dan meloncatlah dua
orang laki-laki gagah ke atas panggung. Rupanya
di tempat itu sedang diadakan uji kesaktian untuk
memperebutkan siapa yang berhak bertindak se-
bagai kepala pengawal kadipaten.
Dari kedua orang yang berlaga itu, Madewa
dapat melihat sepak terjang laki-laki yang menge-
nakan pakaian berwarna hitam dan berpedang be-
gitu kejam dan telengas. Sedangkan yang menge-
nakan pakaian berwarna putih dan berkeris, begi-
tu arif dan bersahabat.
Nampak pertandingan tidak seimbang kare-
na yang mengenakan pakaian berwarna putih ber-
tindak dengan sikap sebagai sahabat.
Tetapi laki-laki yang mengenakan pakaian
berwarna putih berada di atas angin. Namun ka-
rena sikapnya yang nampak bersahabat, menjadi-
kannya terdesak.
Dan dia pun tersambar satu tendangan yang
cukup kuat. Lalu orang berpakaian hitam-hitam
itu siap menghabisi nyawa yang berpakaian putih.
Tetapi naik ke panggung seorang laki-laki seten-
gah baya yang membawa tasbih berwarna kepera-
kan.
Dan di luar dugaannya, laki-laki yang berpa-
kaian hitam-hitam mengeluarkan suatu pukulan
yang amat hebat tangguh dan cepat. Dan mengan-
dung racun.
Semula Madewa Gumilang tidak yakin dan
belum pasti kalau pukulan itu mengandung racun
Kelabang Putih. Namun ketika pukulan itu men-
darat pada sasarannya, barulah dia yakin bahwa
pukulan itu memang mengandung racun kelabang
putih. Yang sangat kejam dan ganas.
Bagi yang terkena tanpa ampun saat itu pula
bisa mampus seketika dengan tubuh yang menge-
rikan.
Namun bila tenaga yang dikerahkan oleh
pemilik racun kelabang putih tidak begitu tinggi,
dia bisa mati beberapa hari dengan rasa yang
amat tersiksa.
Bahkan racun itu bisa dikerjakan melalui
makanan atau minuman. Dengan menyentuhkan
tangannya ke air atau minuman, maka secara
otomatis benda yang disentuhnya akan mengan-
dung racun.
Sebuah pukulan yang berbahaya karena
mengandung racun yang teramat keji.
Dan Madewa jadi bertanya-tanya, siapakah
yang telah mewarisi racun Kelabang Putih dari
Eyang Arumtari? Kalau orang itu tidak diketemu-
kan, maka akan gawat lah keadaan. Bila orang itu
marah, maka, dengan mudahnya dia akan mem-
bunuh orang yang telah membuatnya marah.
Madewa mendesah panjang. Dia menatap
langit yang mendadak berubah menjadi kelam. Dia
bertekad untuk menemukan siapakah murid dari
Eyang Arumsari sesungguhnya.
***
ENAM
Setelah Kertapati dikalahkan oleh Broto se-
kaligus tewas di tangannya, diadakanlah pengang-
katan besar-besaran dengan upacara meriah men-
gangkat Broto menjadi kepala pengawal kadipaten.
Sebenarnya penduduk banyak pula yang he-
ran. Karena baru kali ini Adipati Wisnuwisesa
mengadakan pesta yang besar-besaran untuk
mengangkat seorang kepala pengawal.
Tetapi mereka tak mau banyak bicara. Kare-
na bagi mereka yang penting bisa ikut menikmati
pesta yang amat gembira itu.
Ki Ageng Tapa pun hadir dalam pesta besar
itu. Dia pun merasa keanehan akan sikap dari
Adipati. Sama halnya dengan sebagian penduduk
yang keheranan, dia pun diam saja.
Namun yang membuatnya merasa aneh se-
kaligus sedih, ketika melihat Adipati Wisnuwisesa
sendiri ikut minum-minum arak hingga mabuk.
Broto terbahak dalam hati melihat Adipati
Wisnuwisesa sudah meracau dalam keadaan ma-
buk. Diam-diam dia meninggalkan pesta itu.
Dia berjalan masuk ke ruang utama Kadipa-
ten. Lalu membelok ke kiri. Dan setelah memper-
hatikan sekelilingnya sepi, Broto mengetuk sebuah
pintu kamar yang terletak di ujung.
"Tok! Tok! Tok!"
Setelah agak lama menunggu barulah ter-
dengar suara, "Siapa?"
"Aku, Nyai."
Pintu kamar itu terbuka. Nampaklah Nyai
Diah muncul dengan tersenyum genit. Dia menge-
nakan pakaian yang menerawang. Yang mampu
membuat setiap laki-laki menahan nafas.
Tubuh itu begitu masih mempesona.
Menampilkan lekuk tubuh yang teramat
sempurna.
Broto sendiri menahan nafasnya. Lalu buru-
buru dia masuk dan mengunci pintu.
"Aku rindu padamu, Nyai...." desisnya den-
gan suara di tenggorokan.
Lalu dia memburu memeluk Nyai Diah yang
terkikik genit.
Dia menggelinjang kegelian kala bibir Broto
yang cukup tebal menciumi bagian tengkuknya.
"Hihihi... geli, Broto... geli...." ringkiknya
manja.
Broto makin menjadi buas.
"Aku sudah tidak tahan, Nyai.... Sudah
hampir seminggu aku tidak menggeluti tubuhmu,
Nyai.... Aku sudah tidak tahan...."
"Hihihi...."
"Kau makin menggairahkan saja, Nyai...."
suara Broto makin berat terdengar. Lalu dia men-
dorong tubuh Nyai Diah ke peraduan.
Suasana di kamar itu berubah, bagaikan
terdapat sebuah irama yang membangkitkan bira-
hi.
Beberapa menit kemudian, terdengarlah de-
sahan panjang dari keduanya. Hampir bersamaan.
Lalu kedua tubuh itu terlentang di ranjang dengan
nafas hampir terdengar putus-putus.
Broto membuka matanya.
"Nyai...."
"Hmm...."
"Sesuai dengan rencana kita... apakah se-
muanya sudah kau laksanakan?"
"Hihihi, Broto.... Broto.... Omongan mu seka-
rang berbalik. Bukankah dalam hal ini aku yang
memegang peranan?"
Broto tertawa.
"Hahaha... tentu saja, Nyai.... Aku hanya
bercanda saja. Apakah ucapanku tadi sudah pan-
tas sebagai seorang kepala pengawal?"
"Pantas. Tapi jangan kau ulangi lagi kata-
katamu tadi. Bagaimana, Broto? Semua sudah
kau jalankan?" tanya Nyai Diah sambil merapikan
pakaiannya yang agak acak-acakan.
"Beres, Nyai.... Sasaran kita pertama adalah
menyingkirkan Ki Ageng Tapa. Dia bisa menjadi
duri bagi kita untuk merebut Kadipaten dan me-
nyusun gerakan pemberontakan. Nyai... setelah
berhasil menyingkirkan Ki Ageng Tapa... kita akan
membuat Adipati Wisnuwisesa menjadi boneka ki-
ta untuk berhubungan dengan Prabu Hayam Wu-
ruk. Kita pun harus menyusupkan mata-mata ke
Majapahit untuk mengadakan pemberontakan dan
penyerbuan.
Dengan cara begitu, kita bisa menyerang da-
ri dalam. Dan ini sangat memudahkan kita untuk
menguasai kerajaan...."
"Broto... sebagai kepala pengawal yang baru,
kau harus bertindak dengan tegas. Usahakan agar
semua anak buahmu mengikuti. Kasih mereka pe-
lajaran bila ada yang membantah.
Dan kalau perlu, bunuh yang berani mem-
bantah mu!"
"Beres, Nyai...." kata Broto tersenyum. Lalu
melirik Nyai Diah.
"Nyai...kau harus mengajarkan aku lagi ilmu
Racun Kelabang Putih dalam tahap yang sempur-
na...."
"Tenang, Broto... aku tak akan pernah melu-
pakanmu, yang banyak membantuku mewujudkan
cita-cita dan keinginanku, Aku akan mengajarimu
lagi...."
"Ya...."
"Cara kerjamu rapi sekali, Broto. Kau pun
bisa menyelinap untuk memegang makanan yang
hendak dihidangkan kepada istri Adipati Wisnuwi-
sesa dan para selirnya. Bagus, aku suka sekali
bekerjasama denganmu"
"Aku tak pernah mengecewakan mu bukan,
Nyai?" sahut Broto sambil mengecup kening Nyai
Diah yang terkikik.
Tetapi kemudian dia terdiam, seperti teringat
akan sesuatu.
Broto menatapnya.
"Ada apa, Nyai?"
"Aku merasa ada yang mencium kerja kita
ini, Broto...."
"Maksudmu?"
"Ada yang ingin menyelidiki kerja kita ini.
Kau tidak merasakan itu?"
"Aku makin tidak mengerti dengan omongan
mu, Nyai. Tak mungkin bila kau dan aku terlepas
omong. Putri mu sendiri Sekar Juwita pun tidak
tahu semua rencana kita.
Lalu bagaimana kau menduganya ada yang
mengetahui semua rencana kita ini, Nyai?"
Nyai Diah mendesah.
"Masalahnya cuma satu, ada yang mengenali
pukulan Racun Kelabang Putih."
"Siapa, Nyai? Bukankah kau sendiri yakin,
bila pukulan itu dikeluarkan, orang tidak mendu-
ga mengandung racun yang mengerikan?"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa, aku semakin tidak mengerti den-
gan kata-katamu, Nyai."
"Baiklah... ketika kau sedang bertanding
dengan Kertapati dan Ki Ageng Tapa, aku melihat
seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih
yang berada di antara penonton...."
"Apa anehnya itu, Nyai? Kita kan tidak bisa
melarang penonton yang hadir dengan mengena-
kan pakaian macam apapun?"
"Bukan itu maksudku. Menurut perasaanku,
hanya dialah yang merasakan dan tahu tentang
pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih
itu...."
"Siapa dia, Nyai?"
"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku akan
menyelidikinya. Menurut perasaanku, dia adalah
seorang yang sakti mandraguna. Tapi... hihihi...
tak satu orang pun yang dapat mengalahkan aku,
Nyai Diah pemilik pukulan yang mengandung Ra
cun Kelabang Putih. Warisan dari guruku, si Kela-
bang Putih Nyai Arumtari...."
Broto terdiam. Bila begitu dugaan Nyai Diah,
ini berarti amat berbahaya sekali.
"Nyai... ajarkan aku lagi ilmu pukulan itu.
Biar semakin sempurna. Bukankah lebih baik kita
bersama dan sama-sama memiliki ilmu pukulan
Racun Kelabang Putih? Ini akan menambah keku-
atan kita untuk melawan manusia berjubah putih
itu.... Bukankah begitu, Nyai? Kita tetap satu."
Nyai Diah terdiam. Memikirkan kata-kata
Broto. Saat Broto mengeluarkan pukulan Racun
Kelabang Putihnya untuk menghadapi si Tasbih
Perak atau Ki Ageng Tapa, Nyai Diah dapat melihat
wajah seorang laki-laki yang mengenakan jubah
putih cukup terkejut.
Nyai Diah juga merasakan kalau laki-laki itu
mengenali pukulan yang hendak dilepaskan oleh
Broto pada Ki Ageng Tapa. Nyai Diah berusaha un-
tuk menduga-duga siapa laki-laki itu adanya. Te-
tapi dia tidak bisa menebak.
Hanya dia pernah mendengar tentang seo-
rang laki-laki yang disebut manusia dewa, atau
juga sering disebut sebagai Pendekar Budiman.
Kalau tidak salah ingat, laki-laki itu bernama Ma-
dewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Dia adalah seorang laki-laki
yang aril dan bijaksana.
Seingat Nyai Diah atau menurut para pende-
kar, Madewa Gumilang selalu mengenakan jubah
berwarna putih. Hal itulah yang membuat hati
Nyai Diah cukup menjadi kecut. Karena dia tahu
siapa Madewa Gumilang sesungguhnya.
Namun dalam hal ini dia tak pernah mau
mundur. Baginya dia memiliki pukulan yang cu-
kup ampuh. Pukulan yang mengandung Racun
Kelabang Putih.
Pukulan sakti warisan dari gurunya.
Mengingat hal itu, Nyai Diah pun tidak kebe-
ratan untuk mengajari kembali ilmu pukulan itu
kepada Broto. Yang sebelumnya juga sudah di-
ajarkan.
Kata-kata Broto tadi benar. Bila mereka ber-
dua sama-sama telah sempurna memiliki pukulan
Racun Kelabang Putih, bukankah pertahanan me-
reka akan semakin kuat bila ada orang sakti yang
ingin menentang atau menghalangi keinginan me-
reka?
Nyai Diah pun bertekad untuk mencari laki-
laki berjubah putih itu untuk meyakinkan du-
gaannya.
Dia melirik Broto yang masih menunggu ka-
ta-katanya.
"Bagaimana, Nyai?" tanya Broto.
"Baiklah," kata Nyai Diah sambil mengang-
guk. "Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi ke
Gunung Kidul. Ambillah sebanyak-banyaknya ke-
labang putih dan bawa ke sini. Cepat, Broto! Bila
tidak, aku kuatir ada yang tahu akan rencana kita
ini!"
Broto terbahak. "Hahaha... tenang, Nyai...
tenanglah.... Semuanya akan berhasil.... Aku su-
dah tidak sabar ingin melihat kematian Ki Ageng
Tapa setelah minum tuak yang telah aku pegang
dan secara otomatis tuak itu pun mengandung ra-
cun kelabang putih.... Hahahaha...."
***
TUJUH
Seminggu setelah pesta besar-besaran itu
diadakan, Ki Ageng Tapa merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada tubuhnya. Dia merasakan tu-
buhnya gatal-gatal sekali. Dan bila digaruk malah
akan semakin gatal.
"Ada apa dengan tubuhku ini?" tanyanya he-
ran. Dia membuka bajunya dan terkejut ketika
melihat ada tonjolan di beberapa bagian tubuhnya.
"Hei, tonjolan apa ini?"
Ki Ageng Tapa memegangnya.
Dan seketika terdengar jeritannya sendiri.
"Aduh! Sakit sekali!"
Dia makin terkejut ketika dari tonjolan yang
dipegangnya tadi nampak bergerak dan pecah
mengeluarkan nanah.
"Oh.... Tuhan, ada apa denganku ini?" desis-
nya makin bingung. Lalu hati-hati dia mengalirkan
tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir
rasa gatal dan sakitnya. Dan sebagian untuk me-
nahan aliran nanah yang keluar dan menimbulkan
bau yang agak busuk.
Tetapi aliran nanah itu terus saja keluar.
Membuat Ki Ageng Tapa makin ngeri.
"Penyakit apa yang sedang aku derita ini?"
desisnya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Roro Kenanga dari
luar kamarnya.
"Ki Ageng Tapa... ada yang perlu kubicara-
kan denganmu...."
Namun dalam keadaan kesakitan dan malu
akan dirinya yang terkena penyakit aneh secara
tiba-tiba ini membuat Ki Ageng Tapa lebih baik se-
gera menyingkir.
Dia pun membuka jendela kamarnya. Lalu
melompat ke luar.
Dari luar kamarnya suara Roro Kenanga ma-
sih terdengar. Sampai akhirnya dia memutuskan
untuk meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa karena
merasa Ki Ageng Tapa tidak ada di kamarnya.
Sebenarnya kedatangan Roro Kenanga hen-
dak membicarakan satu masalah yang telah mem-
buatnya heran.
Diam-diam Roro Kenanga juga terkejut keti-
ka melihat Broto melepaskan pukulan aneh pada
Ki Ageng Tapa. Yang membuatnya heran, kedua
telapak tangan Broto berubah menjadi putih.
Di lain itu, dari mana Broto memiliki puku-
lan yang ampuh itu? Sampai Roro Kenanga terin-
gat tentang pukulan beracun yang dimiliki oleh
Broto.
Pukulan Racun Kelabang Putih! Ya, ya... dia
yakin soal itu. Itu sejenis pukulan yang ganas, ke-
jam dan keji. Maksud Roro Kenanga mencari Ki
Ageng Tapa untuk membicarakan masalah dan
kemungkinan itu.
"Hmm... ke mana kiranya Ki Ageng Tapa
ini?" desisnya sambil berbalik.
Dan dia terkejut ketika melihat Nyai Diah
sudah berdiri di depannya. Wanita itu memang
pesolek sekali. Dia memanfaatkan semua fasilitas
yang dimiliki putrinya dan anak menantunya.
Bagi Nyai Diah kesempatan seperti ini jelas
tak mau dia sia-siakan. Sejak lama dia memimpi-
kan semua ini. Dan di saat cita-citanya terwujud,
tak mungkin akan dilepaskan.
Malah dalam benak Nyai Diah, dia berpikir
akan menyerang Kadipaten lalu untuk bersatu
dengannya sebelum memberontak pada Majapahit.
"Selamat sore, Nyonya...." sapa Roro Kenan-
ga hormat.
"Hmm... sedang apa kau di depan kamar Ki
Ageng Tapa, Roro?"
"Saya hendak mencari Ki Ageng Tapa,
Nyonya."
"Ada apa?"
"Ada yang perlu saya bicarakan dengannya. "
"Soal apa?"
Roro Kenanga terdiam. Dia merasa tidak per-
lu untuk membicarakan keheranannya dengan
Nyai Diah. Maka dia hanya tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Nyonya. Sebagai saha-
bat, saya memang selalu berbicara banyak dengan
Ki Ageng Tapa. Tak ada maksud lain"
"Kalau memang demikian adanya, baiklah.
Roro Kenanga... kembalilah kau ke tempatmu. Tak
pantas kau berada di sini.”
"Baik, Nyonya...."
Roro Kenanga pun meninggalkan tempat itu.
Nyai Diah memperhatikannya dengan tatapan ta-
jam.
Lalu dia pun kembali ke kamarnya.
Setelah meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa
dan bertemu dengan Nyai Diah, Roro Kenanga ma-
sih tetap penasaran untuk bertemu dengan Ki
Ageng Tapa. Menurutnya, dia harus segera mem-
beritahukan pukulan apa yang mengenai Kertapa-
ti. Pukulan yang sangat berbahaya sekaligus me-
matikan.
Roro Kenanga pun keluar melalui pintu be-
lakang. Lalu melesat dengan ilmu meringankan
tubuhnya menuju ke hutan kecil yang berada tak
jauh dari Kadipaten.
Di hutan kecil itu ada sebuah gubuk yang je-
lek. Dan di sanalah biasanya dia, Ki Ageng Tapa
dan Kertapati saling bercengkrama atau pun ber-
senda gurau. Broto tak pernah melakukan ini, ka-
rena dulu tugasnya sebagai kepala rumah tangga.
Dugaan Roro Kenanga tepat, karena begitu
dia mendekati gubuk itu, terdengar suara erangan
kesakitan dari dalamnya.
Roro Kenanga heran. Siapakah yang telah
mengerang itu? Apakah gubuk ini sudah di tempa-
ti orang lain? Namun dia terkejut ketika menengok
siapa yang mengerang di dalam gubuk itu.
"Ki Ageng Tapa!" pekiknya seraya memburu
mendekat. Dia melihat Ki Ageng Tapa sudah
membuka pakaiannya dan sekujur tubuhnya pe-
nuh benjolan. Sudah ada yang mengeluarkan na-
nah.
"Apa yang terjadi, Ki Ageng?"
Ki Ageng Tapa yang merasa tidak bisa meng-
hindar lagi berkata perlahan, "Entahlah, Roro...
penyakit apa yang sedang menimpa ku ini"
"Bukankah kau selama ini sehat-sehat saja?"
"Benar. Baru tadi rasa sakit ini ku rasakan,"
rintih Ki Ageng Tapa.
Melihat sakit yang diderita Ki Ageng Tapa,
Roro Kenanga jadi teringat maksudnya mencari Ki
Ageng Tapa. Untuk membicarakan masalah puku-
lan beracun milik Broto.
Dan melihat penyakit yang menimpa Ki
Ageng Tapa, Roro Kenanga seperti diingatkan ke-
mungkinan kalau dia juga terkena pukulan racun
kelabang putih.
"Ki Ageng... aku yakin, kau terkena Racun
Kelabang Putih...." kata Roro Kenanga,
"Racun Kelabang Putih?"
"Ya."
"Racun apa itu...." tanya Ki Ageng Tapa sam-
bil menahan rasa sakitnya.
"Racun yang keluar dari sebuah pukulan.
Atau tepatnya sebuah pukulan yang mengandung
Racun Kelabang Putih," jelas Roro Kenanga.
"Aku belum mengerti maksudnya"
"Dulu aku pernah mendengar Racun Kela-
bang Putih itu dari guruku. Pukulan Racun Kela-
bang Putih itu dimiliki oleh seorang nenek jahat
dari golongan hitam yang bernama Eyang Arumta-
ri. Guruku adalah salah seorang dari orang-orang
golongan putih yang hendak membasmi dan
menghentikan kekejaman dan sepak terjang dari
Eyang Arumtari. Dari beliaulah aku pernah men-
dengar tentang pukulan Racun Kelabang Putih
itu...."
"Lalu kenapa kau menduga aku terkena Ra-
cun Kelabang Putih. Bukankah selama ini aku tak
pernah bertarung andaikata racun itu keluar dari
sebuah pukulan?"
"Kau tidak mengerti betapa hebatnya Racun
Kelabang Putih itu."
"Jelaskan, Roro...."
"Racun Kelabang Putih itu hanya keluar dari
sebuah pukulan yang muncul dari kedua telapak
tangan si pemilik. Bila sekali bersentuhan, racun
itu sudah menjalar ke bagian dan seluruh tubuh
yang disentuh. Racun itu pun bisa berpindah pada
barang atau pun makanan dan minuman bila dis-
entuh oleh pemiliknya. Dan sekaligus memba-
hayakan bagi yang memegang, atau pun memakan
dan meminumnya. Kekuatan dan kehebatan Ra-
cun Kelabang Putih ini sukar untuk ditandingi."
"Katamu tadi, Roro... si pemiliknya bila men-
geluarkan pukulan yang mengandung Racun Ke-
labang Putih itu kedua telapak tangannya berwar-
na putih?" tanya Ki Ageng Tapa setelah teringat
sesuatu.
"Benar, Ki Ageng."
"Broto!" Pekiknya tiba-tiba.
"Ya, ya... aku ingat, aku ingat... jelas, jelas
kedua telapak tangan Broto mengeluarkan warna
putih."
"Aku pun melihat hal itu Ki Ageng. Dan du-
gaanku, Broto juga memiliki pukulan Racun Kela-
bang Putih" desis Roro Kenanga.
"Tapi bukankah kau tadi berkata, yang me-
miliki pukulan Racun Kelabang Putih hanya Eyang
Arumtari. Lalu mengapa bisa berada pada Broto?"
Roro Kenanga terdiam.
Lalu dia berkata, "Mungkinkah bila Broto
ternyata murid dari Eyang Arumtari?"
Ki Ageng Tapa hanya mengangguk.
Tak berani menduga-duganya.
Lalu dia berkata, "Roro... bila ternyata du-
gaanmu itu benar aku terkena Racun Kelabang
Putih, apakah makanan atau pun minuman yang
aku santap sudah dipegang oleh Broto?"
"Ya, Tuhan... aku baru ingat. Pesta itu!" pe-
kik Roro Kenanga. "Tak salah lagi, pasti kau ter-
kena racun itu pada pesta itu, Ki ageng...."
"Broto keparat! Kubunuh kau nanti!" geram
Ki Ageng Tapa sambil menahan rasa sakit,
"Hihihi... rupanya ada dua makhluk yang
sedang asyik bercumbu di dalam gubuk!" terden-
gar suara genit dari luar.
Kedua orang yang berada di dalam gubuk itu
terkejut. Roro Kenanga serentak keluar dari gubuk
itu,
"Siapa kau?!" bentaknya keras.
Di hadapannya berdiri satu sosok dengan
mengenakan pakaian ringkas berwarna merah
muda. Tetapi wajah orang yang baru datang itu
tertutup rapat oleh kedok yang berwarna merah
muda pula. Mirip dengan yang dikenakan pembu-
nuh-pembunuh bayaran di Jepang, Ninja.
***
DELAPAN
Sosok berpakaian merah muda itu terkikik.
"Hihihi... rupanya aku mengganggu keasyi-
kan kalian berdua. Maaf, maaf... hihihi... tapi bu-
kankah kalian telah selesai?"
Wajah Roro Kenanga merah padam.
"Busuk sekali omongan mu, Perempuan"
makinya jengkel.
"Hihihi... aku berbicara tentang fakta yang
ada, bukan? Aku tidak mengada-ada."
"Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang
buruk yang seperti kau duga!"
"Kalian memang tak pernah melakukannya
di depan orang."
"Busuk sekali mulutmu!"
"Hihihi... bilang saja kau marah karena kea-
syikan mu terganggu, bukan?"
"Busuk!"
"Kau yang busuk malah memakiku busuk!
Mana ada pencuri yang mengaku pencuri untuk
menutupi belangnya?" balas wanita yang menge-
nakan pakaian merah muda itu.
"Perempuan busuk! Siapa kau sebenarnya?!"
geram Roro Kenanga marah.
"Hihihi... kau boleh menyebutku si Bayangan
Merah," balas orang itu masih terkikik.
"Dan kau siapa adanya hah?!"
"Namaku Roro Kenanga! Si Tusuk Konde
Emas! Nah, cepat kau berlutut di hadapanku sebe-
lum aku marah karena ucapanmu yang busuk
itu!"
"Hihihi... berlutut? Kau sedang bermimpi ru-
panya, Roro... Hihihi... kau masih marah karena
keasyikan mu terganggu, bukan?"
"Perempuan busuk!"
"Hihihi... apa yang dilakukan perempuan
dan laki-laki berpengalaman berduaan di gubuk
kecil yang sunyi ini, hah?!"
Roro Kenanga tidak bisa lagi membendung
marahnya. Dia berseru jengkel, "Tutup mulutmu,
Bayangan Merah! Atau... biar aku yang melaku-
kannya, hah?!"
"Hihihi... silahkan, silahkan... aku pun ingin
merasakan kehebatan si Tusuk Konde Emas" si
Bayangan Merah terkikik.
Kemarahan Roro Kenanga semakin menjadi-
jadi. Tanpa banyak ucap lagi, dia menggebrak ma-
ju. Gerakannya cepat dan gesit.
"Awas serangan!"
"Hihihi... rupanya kau pemarah juga, Roro
Kenanga!" sahut si Bayangan Merah sambil meng-
hindar dan membalas dengan tendangan kaki ke
arah muka.
Roro Kenanga cepat menunduk dan mengi-
rimkan satu jotosan ke arah ulu hati Bayangan
Merah. Tetapi sambil tertawa si Bayangan Merah
menangkisnya.
"Des!"
Kedua tangan itu beradu.
Roro Kenanga merasakan tenaga dalam yang
dimiliki lawannya cukup besar. Tetapi dia pun tak
mau kalah. Dia meningkatkan lagi tenaga dalam-
nya. Lalu mencecar lagi dengan jurus Memetik
Sang Surya.
Tiba-tiba saja gerakannya menimbulkan ha-
wa panas yang lumayan. Itu pun dirasakan oleh si
Bayangan Merah.
"Hihihi... hebat, hebat! Ilmu Memetik Sang
Surya!"
Roro Kenanga kaget karena lawannya men-
getahui jurusnya.
Sementara Ki Ageng Tapa yang sudah berpa-
kaian lengkap dan keluar dari gubuk itu hanya
menonton saja. Dia tidak bermaksud membantu
Roro Kenanga. Di samping dilihatnya Roro Kenan-
ga mampu melayani serangan-serangan si Bayan-
gan Merah, juga karena keduanya adalah wanita.
Yang membuatnya jadi enggan untuk membantu.
Tetapi di jurus selanjutnya, terlihat kalau si
Bayangan Merah mulai menekan dan mendesak
Roro Kenanga. Dengan jurus-jurusnya yang tang-
guh.
"Hihihi... di mana nama besar si Tusuk
Konde Emas!" ejek si Bayangan Merah yang mem-
buat Roro Kenanga semakin geram.
"Perempuan busuk! Kau lihat serangan!"
makinya sambil menerjang lagi.
"Keluarkan yang kau punyai, Roro!"
"Jangan banyak among! Aku akan mengadu
jiwa denganmu!"
"Dengan senang hati kulayani semua ke-
mauanmu! Yang perlu kau ketahui, aku datang
memang ingin membunuhmu! Juga laki-laki yang
nampak sedang sakit itu!"
"Banyak mulut!"
"Mana seranganmu lagi, hah?!" sahut si
Bayangan Merah sambil menerjang dengan ganas.
Dia mengimbangi dan membalas serangan-
serangan dari Roro Kenanga.
Karena keinginan untuk menyudahi lawan-
nya begitu menggebu-gebu di samping jengkel
mendengarkan ejekan-ejekan si Bayangan Merah,
serangan-serangan Roro Kenanga menjadi mem-
babi buta dan sukar dikendalikan. Dia bagaikan
banteng terluka. Tetapi biarpun begitu serangan-
nya tetap ganas dan membahayakan.
Lagi-lagi si Bayangan Merah hanya tertawa.
Dan tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan begitu
kakinya hinggap di tanah langsung melenting lagi
ke depan diiringi dengan pekikan keras.
"Awas serangan!" serunya,
Kali ini dia yang menekan dan mendesak Ro-
ro Kenanga. Sampai suatu ketika sebuah puku-
lannya dan disusul dengan tendangannya menge-
nai bagian dada Roro Kenanga.
Hingga wanita itu terhuyung.
"Des!"
"Des!"
Si Bayangan Merah terbahak. "Ternyata
hanya begitu saja nama besar si Tusuk Konde
Emas!"
Roro Kenanga mendelik marah seraya men-
gusap darah yang mengalir melalui mulutnya.
"Bangsat!"
"Hahahaha... ayo seranglah aku lagi! Biar
cepat ku sudahi permainan ini!"
Roro Kenanga makin geram. Si Bayan-
gan Merah menganggap ini sebuah permainan.
Bangsat! Dia benar-benar akan mengadu jiwa
dengan si Bayangan Merah.
Sambil menggeram marah dan menahan ra-
sa sakitnya, dia kembali menerjang. Tetapi lagi-
lagi serangan-serangannya berhasil dipatahkan.
Bahkan kembali pukulan dan tendangan si
Bayangan Merah menggedor dadanya.
Hingga terhuyung ke belakang.
Si Bayangan Merah tak mau membuang ke-
sempatan seperti tadi. Dengan ganasnya dia maju
menyerang untuk menghabisi nyawa Roro Kenan-
ga.
"Mampuslah kau, Roro Kenanga!!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan
memapaki serangan si Bayangan Merah yang ditu-
jukan kepada Roro Kenanga.
"Des!!"
Dua tubuh itu terpental ke belakang. Si
Bayangan Merah berdiri lagi dengan sigap.
Ki Ageng Tapa terhuyung sambil memegang
dadanya dan muntah darah.
Dia tadi yang memapaki serangan si Bayan-
gan Merah pada Roro Kenanga. Namun karena
kondisinya yang sedang lemah dan dalam keadaan
sakit, membuat tenaganya tidak seberapa besar.
Bahkan dia makin merasakan sakitnya keti-
ka berbenturan karena memapaki serangan si
Bayangan Merah.
"Huak!!"
Ki Ageng Tapa kembali muntah darah.
"Ki Ageng!" seru Roro Kenanga dan berkele-
bat mendekat.
Terdengar si Bayangan Merah tertawa meli-
hat adegan itu.
"Hihihi... nampaknya adegan kemesraan ini
terus berlangsung... Lucu, lucu sekali. Kalian pikir
kalian masih muda dan remaja, ya? Sehingga ha-
rus bermesraan dengan gaya anak muda berpaca-
ran?"
Roro Kenanga menggeram. "Bangsat! Kau
harus mampus di tanganku, Bayangan Merah!.
"Hihihi... majulah, Roro!"
Tiba-tiba kedua tangan Roro Kenanga berge-
rak cepat ke kepalanya dan menggerakkannya ke
arah Bayangan Merah.
"Siiing!"
"Siiing!"
Dua buah Tusuk Konde Emasnya berdesing
dan bergerak ke arah si Bayangan merah.
Sejenak si Bayangan Merah terkejut. Tetapi
dia cepat bersalto ke samping. Namun kembali dia
terkejut, karena dua buah tusuk konde itu bagai
kan punya sepasang mata yang dapat melihat dan
mengancam sasarannya.
"Hei!" pekik si Bayangan Merah dan kembali
menghindar.
Kali ini Roro Kenanga yang terbahak melihat
lawannya menjadi panik.
"Hahaha... kau hendak lari ke mana, Bayan-
gan Merah? Sambutlah kedua tusuk konde ku
itu!"
"Setan alas! Kubunuh kau!" geram Si Bayan-
gan Merah sambil meluncur ke arah Roro Kenan-
ga.
Namun kembali urung karena tanpa didu-
ganya Tusuk Konde Emas milik Roro Kenanga te-
rus mengejarnya. Kembali dia menghindar sambil
memaki jengkel.
"Setan!
"Hahaha... mau ke mana kau lari, Bayangan
Merah! Pastikanlah ajalmu sebentar lagi akan ti-
ba!" tertawa Roro Kenanga.
Sementara si Bayangan Merah dengan susah
payah menghindari kejaran kedua Tusuk Konde
Emas itu.
Namun tiba-tiba saat kedua tusuk konde itu
mengejarnya, dia bergulingan berlawanan arah.
Dan tangannya dengan cepat menyambar seba-
tang ranting yang tergeletak di dekatnya.
Ketika Tusuk Konde Emas itu berbalik lagi
ke arahnya, dengan cepat pula si Bayangan Merah
menggerakkan tangannya mengayunkan sebatang
ranting yang diambilnya tadi.
"Cep!"
"Ceep!
Kedua Tusuk Konde Emas itu menancap te-
pat di ranting itu. Dan tak bisa terlepas lagi.
Si Bayangan Merah terbahak.
"Hahaha... kini kalian terimalah ajal kalian!"
serunya.
Lalu membuang batang ranting yang telah
menancap kedua tusuk konde itu. Kemudian dia
menyerang maju. Ganas dan mematikan.
Roro Kenanga dan Ki Ageng Tapa sebisanya
menghindari serangan-serangan ganas itu.
Namun karena kondisi keduanya yang terlu-
ka, membuat gerakan mereka tidak selincah se-
mula. Malah dengan mudahnya si Bayangan Me-
rah memukul jatuh keduanya.
"hihihi... kini mampuslah kalian!"
Sambil terkikik Bayangan Merah menderu
maju untuk menghabisi nyawa keduanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan berwibawa,
"Tahan!!"
***
SEMBILAN
Seketika si Bayangan Merah menghentikan
serangannya. Dia melihat satu sosok berjubah pu-
tih dan tersenyum arif berdiri di dekatnya.
Hati si Bayangan Merah tercekat.
Dia tak melihat dan tidak tahu kapan mun-
culnya laki-laki berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana itu.
"Hhh! Siapa kau sebenarnya, Jubah Putih?!"
bentaknya sambil menutupi kekagetannya.
"Ah, aku hanyalah orang biasa. Kedatangan-
ku sedang mencari putra dan anak menantuku,
Pranata Kumala dan Ambarwati."
"Aku tidak tanya kau sedang apa. Yang ku-
tanya, kau siapa?!"
"Kalau itu maumu... namaku tidak bagus.
Namaku Madewa Gumilang...."
"Pendekar Bayangan Sukma!" terdengar sua-
ra Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga berbarengan.
Mereka sudah lama mendengar akan pendekar
budiman yang sepak terjangnya begitu bijaksana.
Dan mereka tak menyangka kalau di hari ini, di
saat ajal mendekati mereka, bisa bertemu dan ber-
jumpa wajah dengan pendekar yang sakti itu.
"Yah... itulah namaku. Dan julukan seperti
yang disebutkan kedua lawanmu itu...."
"Hhh! Madewa... kudengar kau seorang pen-
dekar budiman, yang tak pernah. mau ikut cam-
pur urusan orang! Tapi di hari ini, ternyata semua
omongan itu bohong belaka!" seru si Bayangan
Merah. "Kau telah mencampuri urusanku, Ma-
dewa!"
"Kata-katamu itu benar. Cuma sayang... kau
salah tanggap. Aku tak pernah mencampuri uru-
san orang yang tidak bermusuhan. Tetapi dalam
hal ini, kau bukan hanya bermusuhan dengan ke-
duanya, tetapi kau malah ingin membunuhnya...."
"Itu urusanku!"
"Aku hanya bertanya ada apa, setelah itu
aku akan melanjutkan perjalananku...."
"Manusia sombong! Kau pikir kau dengan
mudah menggertak ku dengan nama besarmu itu,
hah?!"
"Aku hanya menginginkan satu kebenaran"
sahut Madewa tetap dengan suara yang terdengar
arif dan bijaksana.
"Sombong! Kebenaran itu akan kau da-
patkan bila kau sudah mampus di tanganku! Awas
serangan!" sehabis berkata begitu, si Bayangan
Merah berkelebat menyerang, dengan pukulan lu-
rus ke wajah.
Tetapi dengan mudahnya Madewa menghin-
dari serangan itu. Hal ini membuat si Bayangan
Merah semakin jengkel. Dia meningkatkan dan
mempercepat lagi serangan-serangannya. Ganas
dan berbahaya.
Tetapi lagi-lagi Madewa dapat menghinda-
rinya dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Karena merasa serangannya berkali-kali
gagal, si Bayangan Merah bersalto ke belakang.
Dengan membesarkan hati dia berkata mengejek.
"Hhh! Ternyata bisa mu hanya menghindar
saja. Cepat perlihatkan seranganmu!"
Madewa tersenyum. "Bila itu maumu, baik-
lah!" katanya sambil membuka jurusnya Ular Me-
matuk Katak.
Dia pun bergerak dengan cepat.
Si Bayangan Merah terkejut melihat seran-
gan yang cukup cepat itu. Dia pun menghindar
dengan sigap dan bergerak mencoba membalas.
Namun balasannya seolah tak menemui
tempat yang baik. Karena tertutup oleh serangan-
serangan Madewa Gumilang.
Tiba-tiba Bayangan Merah bersalto kebela-
kang. Menurut dugaannya, dia dapat menghindar
dari serangan-serangan Madewa. Tetapi dia terpe-
kik kaget ketika Madewa terus memburunya. Kali
ini Madewa mengejar dengan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga. Tangannya bergerak secepat ge-
rakan ular.
Bayangan Merah yang telah membuat Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga menjadi bulan-
bulanannya, kini harus pontang panting menghin-
dari serangan-serangan Madewa.
"Mengapa kau menjadi kocar-kacir begitu?
Bukankah tadi kau meminta aku untuk memba-
las?!" kata Madewa tetap dengan suara yang arif
dan bijaksana. Tidak terdengar sedikit pun kalau
dia mengejek.
"Bangsat, Jubah Putih!" geram Bayangan
Merah
"Tunggu pembalasanku!"
Tiba-tiba si Bayangan Merah bersalto dua
kali ke belakang dan kemudian berkelebat cepat
meninggalkan Madewa. Madewa tidak bermaksud
mengejar.
Dia hanya terdiam di tempatnya. Tetapi pe-
lan-pelan dia membuka ilmu pandangan Menem-
bus Sukma. Dari jarak yang cukup jauh, Madewa
dapat melihat si Bayangan Merah berlalu menuju
kadipaten.
Lalu melompati tembok bagian belakang dan
masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana si Bayan-
gan Merah membuka kedok wajahnya. Dan terli-
hatlah wajah Nyai Diah!
Madewa mendesah panjang. Wanita itu per-
nah dilihatnya saat pertandingan di depan Kadipa-
ten. Wanita itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Berarti, dia wanita yang hebat. Apakah
mungkin dia kaki tangan dari Broto?
Madewa menghentikan ilmu Pandangan Me-
nembus Sukmanya yang dapat menembus gunung
tinggi.
Dia berpaling pada Ki Ageng Tapa dan Roro
Kenanga yang tengah menjura.
"Salam hormat dari kami, Pendekar Budi-
man" kata keduanya berbarengan,
Madewa tersenyum.
"Sudahlah, tak perlu menghormat seperti
itu. Ki Ageng Tapa... kulihat kau sedang dalam
keadaan sakit. Dan aku mencium bau amis dari
kelabang" kata Madewa sambil berjalan mendekati
Ki Ageng Tapa.
Dan seperti tersadar, Ki Ageng Tapa menge-
luh kesakitan. Dia merasakan ada yang keluar da-
ri tonjolan-tonjolan yang terdapat di sekujur tu-
buhnya. Mengeluarkan nanah yang bau amis.
"Benar, Saudara Pendekar" desis Ki Ageng
Tapa kesakitan.
"Masuklah ke dalam gubuk! Kau nampaknya
terkena Racun Kelabang Putih...."
Ki Ageng Tapa menurut. Lalu Madewa pun
mengobatinya.
***
SEPULUH
Sebenarnya Sekar Juwita sudah cukup lama
curiga melihat gerak-gerik ibunya yang kadang be-
gitu akrab dengan Broto. Semula Sekar Juwita
memang menikmati menjadi istri dari Adipati. Te-
tapi lama kelamaan dia merasakan bahwa dia
hanya menjadi boneka dari ibunya untuk mende-
sak adipati jika dia menginginkan sesuatu.
Semula pula Sekar Juwita tidak merasakan
apa-apa dari desakan ibunya. Tetapi lama kela-
maan dia menjadi kasihan pada suaminya. Secara
diam-diam dia telah jatuh cinta pada Adipati Wis-
nuwisesa.
Dia sangat menyesal karena mau menuruti
perintah ibunya memasukkan obat penurut ke da-
lam gelas minuman Adipati.
Diliriknya suaminya yang sedang pulas.
Malam telah larut.
"Oh, suamiku tercinta, maafkan aku...."
desisnya pilu.
Dan tiba-tiba telinganya menangkap satu ge-
rakan yang bergerak di luar kamarnya. Sekar Ju-
wita menajamkan telinganya. Dan terdengar suara
pintu belakang dibuka, lalu orang melangkah berJingkat.
Sekar Juwita menjadi penasaran. Siapa
orang itu? Hati-hati dia mengintip dari lubang
kunci kamarnya.
Dia melihat Broto tengah mengetuk pintu
kamar ibunya. Dan tak lama kemudian terlihat
pintu terbuka dan muncul ibunya yang celingukan
setelah Broto masuk. Lalu menutup pintu.
"Kecurigaan ku terbukti...." desah Sekar Ju-
wita. "Aku tidak mau menjadi boneka ibu lagi, aku
harus berontak dari semua ini... Harus!"
Dengan tekad yang bulat, Sekar Juwita ke-
luar dari kamarnya. Dan mencuri dengar dari ka-
mar ibunya. Keningnya pertama berkerut menden-
gar suara desah nafas seolah berlomba yang ter-
dengar, tetapi lama kelamaan dia menggeram. Se-
dih. Karena ibunya ternyata hanya seorang pela-
cur belaka!
Menjadi pemuas nafsu Broto. Atau juga
mencari kepuasan melalui Broto.
Sekar Juwita masuk lagi ke kamarnya. Sete-
lah beberapa menit dia pun kembali mencuri den-
gar di kamar ibunya.
Dia menangkap suara ibunya, "Jalan satu-
satunya kita bunuh dulu Adipati Wisnuwisesa."
"Aku memang ingin mengusulkan begitu,
Nyai. Kupikir, rencana kita sudah gagal. Karena Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga sudah mencium
semuanya. Belum lagi dia dibantu oleh Pendekar
Bayangan Sukma"
"Bagus, tapi aku tidak bisa membunuh Adi-
pati sekarang, karena ada putri ku di sana. Tapi...
ah, bukankah itu sesuatu yang mudah. Biar nanti
ku peralat putri ku untuk membunuhnya...."
Nyai Diah terpekik.
Broto terkejut.
Karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.
Lalu muncul Sekar Juwita dengan tatapan
sedih, marah dan kecewa.
"Putri...." seru Nyai Diah berlagak ter-
senyum. Buru-buru dia merapikan pakaiannya.
Ah, mengapa tadi dia lupa mengunci? Karena Bro-
to sudah terlalu bernafsu tadi!
"Aku sudah mendengar semua kata-kata
Ibu... Aku tidak mau ibu peralat lagi. Aku tidak
mau, Bu... aku tidak mau mengkhianati suamiku
lagi...."
"Semula Sekar memang tidak mengerti apa
maksud ibu semua ini. Tetapi lama kelamaan Se-
kar mengerti. Sekar dijadikan alat untuk meme-
nuhi ambisi ibu...."
"Sekar!" wajah Nyai Diah merah padam.
"Sekar tidak mau melakukannya lagi, Bu...."
kata Sekar Juwita menangis.
"Apa maksudmu Sekar?"
"Ibu jangan berpura-pura lagi. Sekar sudah
tahu semuanya. Ibu mau membunuh suami Sekar
untuk merebut semua yang ada. Bukankah bila
ibu sudah mendapatkan tampuk kekuasaan seba-
gai adipati di sini, adipati-adipati lain akan tun-
duk?"
"Kau sudah berani kurang ajar pada ibumu,
Sekar!"
"Ya, Sekar akan menentang semua perintah
ibu sekarang!"
"Kurang ajaaaaar!" geram Nyai Diah sambil
menggerakkan tangannya menampar wajah Sekar
Juwita. "Kau kurang ajar sekali pada ibumu, Se-
kar!"
"Karena Sekar tidak suka dengan perbuatan
Ibu. Maafkan Sekar, Bu...."
"Anak tidak tahu diri!" Kembali tangan Nyai
Diah melayang. Kali ini Sekar Juwita langsung
pingsan.
Tiba-tiba terdengar suara dari are bang pin-
tu, "Haha... mengapa anakmu sendiri yang kau
siksa, Nyai Diah...."
Nyai Diah menoleh ke suara itu. Nampaklah
Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga sedang berdiri di
ambang pintu. Dan saling lemparkan senyum
mengejek.
"Kau?!"
"Hahaha... rupanya si Bayangan Merah tiga
hari yang lalu telah berganti wujud!" ejek Roro Ke-
nanga. Namun langsung menghindar karena tu-
buh Nyai Diah sudah berkelebat.
Begitu pula dengan Broto yang sudah me-
nerjang Ki Ageng Tapa.
Karena bagi mereka, untuk menutupi diri
sudah sia-sia belaka. Karena kedok mereka sudah
diketahui. Maka keduanya langsung mengelua-
rkan pukulan Racun Kelabang Putih.
Seketika telapak tangan keduanya berubah putih.
"Hahaha... mampuslah kalian berdua!!" desis
Broto terbahak.
Seketika di ruangan itu terjadi pertempuran
yang cukup sengit. Ki Ageng Tapa dan Roro Ke-
nanga tidak berani bersentuhan atau pun berben-
turan. Karena mereka tahu akibat apa bila sempat
bersentuhan.
Dan itu memudahkan Nyai Diah dan Broto
menyerang dengan hebat. Sehingga dalam tiga ju-
rus saja keduanya sudah mampu mendesak Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga.
Beberapa orang pengawal yang mendengar
suara ribut-ribut masuk dan melihat pertarungan
itu.
"Para pengawal!" seru Broto. "Tangkap Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga! Karena mereka
hendak memberontak pada Adipati Wisnuwisesa!
Cepat!"
Karena yang memberi perintah atasan mere-
ka, mereka pun langsung mengurung. Namun
mendadak saja mereka merasakan ada angin be-
sar yang mendorong mereka hingga semuanya
bergulingan.
Dan berdirilah sosok berjubah putih dengan
tersenyum arif dan bijaksana.
"Madewa Gumilang!" seru Nyai Diah seraya
bersiap.
Begitu pula Broto.
Dan tanpa banyak lagi keduanya segera me-
nyerang Madewa dengan cepat, tangkas dan ber-
bahaya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Ma-
dewa berhasil menghindari semua itu.
Namun baginya sulit untuk membalas. Ka-
rena bila tangannya bersentuhan dengan bagian
tubuh dari keduanya, secara otomatis Racun Ke-
labang Putih itu akan mengalir ke tubuhnya.
Madewa pun bergerak dengan cepat sambil
berpikir. Namun sulit baginya untuk melepaskan
pukulan atau pun balasan ke arah keduanya.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk
melepaskan Pukulan Bayangan Sukma. Pukulan
sakti yang hebat itu adalah pukulan andalannya.
Tak seorang pun di dunia ini yang mampu mena-
han pukulan itu.
Pertimbangannya untuk melepaskan puku-
lan itu, karena kedua pukulan itu dilancarkan
Nyai Diah dan Broto sangat mematikan. Dan bisa
membahayakannya. Tak ada jalan lain.
Madewa pun bersiap.
Keduanya tangannya terangkum menjadi sa-
tu di dada. Lalu nampaklah asap putih mengepul
dari sana.
Nyai Diah terkikik. "Hihihi... rupanya kau
ingin mengadu tanganmu dengan tangan ku, Ma-
dewa! Bagus! Broto, kita sambut pukulan Madewa
yang kayak asap tabunan itu!"
Madewa hanya tersenyum.
"Siapakah di antara kalian murid dari Eyang
Arumtari?" tanyanya.
"Aku, Madewa! Kaulah yang telah merusak
semua rencanaku! Kaulah yang mengetahui ten-
tang pukulan Racun Kelabang Putih! Maka, kau
harus mampus di tanganku!"
"Tak ada jalan lain! Aku pun tak menyukai
kejahatan yang telah kalian lakukan! Bila kalian
hentikan dan berjanji tidak akan mengulanginya
lagi, maka akan aku lepaskan!"
"Bangsat! Kau pikir aku takut! Broto, kita
hajar dia! Madewa... sambutlah pukulan Racun
Kelabang Putih!" seru Nyai Diah.
Dan secara bersamaan dengan Broto kedua-
nya melesat menerjang Madewa. Yang juga berge-
rak menyambut dengan Pukulan Bayangan Sukma
di tangan.
Ketika kedua pukulan itu bertemu, terdengar
suara letusan yang cukup keras, Langit-langit
ruangan hancur. Berguguran.
Tembok-tembok pun bergerak. Betapa dah-
syatnya. Betapa hebatnya.
Dan dari kepulan asap itu terlihat dua sosok
tubuh terpental. Tubuh Nyai Diah dan Broto yang
langsung ambruk dengan tubuh hancur.
Sementara Madewa hanya terhuyung bebe-
rapa tindak.
Melihat ibunya mati, Sekar Juwita menjerit,
"Ibu...! Ibu!!" serunya seraya memburu. Tapi
kemudian dia jatuh pingsan.
Madewa Gumilang mendesah panjang.
Lalu berkata pada Ki Ageng Tapa dan Roro
Kenanga.
"Kalian urus semuanya, selamat tinggal!"
"Saudara Pendekar!"
"Tunggu"
Tetapi bayangan itu sudah tidak nampak. Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga mendesah panjang.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar