"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE RACUN KELABANG PUTIH

 

Racun Kelabang Putih

RACUN KELABANG PUTIH

oleh Fahri A.

Cetakan Pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode:

Racun Kelabang Putih


SATU


Di sepanjang pesisir Laut Selatan, tepatnya 

di sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat pegunun-

gan yang disebut Gunung Kidul. Pegunungan itu 

memanjang dari Barat ke Timur, sangat banyak 

sekali. Boleh dikatakan tak terhitung.

Di salah satu pegunungan itu, hiduplah seo-

rang wanita setengah baya dengan seorang anak 

gadisnya yang cantik jelita. Seperti kebanyakan 

gadis-gadis gunung, gadis yang bernama Sekar 

Juwita, tak pernah mengenal kehidupan lain se-

lain kehidupan yang telah dijalaninya selama tu-

juh belas tahun di Gunung Kidul.

Alam telah menempanya sedemikian rupa. 

Kesejukan hawa gunung membuat kulitnya kun-

ing langsat. Sepasang matanya jernih. Hidungnya 

bangir dan mulutnya yang indah dan sepasang bi-

bir yang bagus.

Nyai Diah amat menyayangi putri semata 

wayangnya itu. Dia adalah seorang janda yang 

masih cantik dengan tubuh yang masih padat dan 

montok. Suaminya meninggal saat Sekar Juwita 

berusia dua tahun. Dalam kehidupannya sendiri, 

Nyai Diah membesarkan anaknya penuh kasih 

sayang yang tulus.

Pada masa itu, kerajaan Majapahit sedang 

berada dalam ketenaran. Dipimpin oleh Hayam 

Wuruk yang bergelar Prabu Rajasanegara dan pa-

tih Gajah Mada, Majapahit menjadi kerajaan yang 

amat berjaya (1350-1386).


Nyai Diah amat mengagumi raja Majapahit 

yang gagah perkasa itu. Lalu dia mengasuhi anak-

nya sedemikian rupa, dengan aturan mirip seo-

rang putri raja. Diam-diam Nyai Diah bermaksud 

untuk menjodohkan anaknya dengan Adipati di 

Tritis.

Baginya, anaknya tidak perlu menjadi seo-

rang permaisuri tetapi menjadi istri adipati itu su-

dah cukup.

Sementara Adipati Wisnuwisesa sendiri se-

benarnya telah mempunyai seorang istri dan bebe-

rapa orang selir. Tetapi Nyai Diah tidak perduli Dia 

tetap berkeinginan anaknya menjadi istri Adipati 

Wisnuwisesa.

Nanti bila saatnya tiba, dia akan mengajak 

putrinya ke Tritis. Dan diam-diam dia akan me-

makai cara apa pun agar rencananya berhasil.

Pagi itu matahari bersinar dengan cerah. 

Semalam baru saja turun hujan. Kini sisa-sisanya

bersatu dengan embun pagi.

Sekar Juwita baru saja selesai mandi. Dan 

seperti biasanya ketika dia hendak bersalin, sudah 

terdapat baju salinannya di ranjangnya yang di-

hiasi oleh ibunya bak peraduan putri.

Sekar Juwita kadang tidak mengerti, menga-

pa ibunya begitu memanjakannya dan mengang-

gapnya sebagai seorang putri raja. Tetapi dia tak 

pernah bertanya.

Dan dari didikan ibunya, sikap, tutur kata 

dan tingkah laku Sekar Juwita memang bagai seo-

rang putri raja belaka.


Selesai bersalin, seperti biasa ibunya datang 

dengan membawa sepiring buah-buahan.

Dan dia menjura di depan putrinya yang te-

lah menyisir.

"Selamat pagi, Putri...."

"Oh, Ibu... Silahkan, Bu...."

Nyai Diah menghidangkan buah-buahan itu 

di sebuah meja yang dihias sangat indah.

"Kalau Putri berkenan... silahkan Putri men-

cicipi buah-buahan ini".

"Baik, Bu... nanti saya akan melakukan-

nya..." kata Sekar Juwita dan merapikan sisiran-

nya.

Para penduduk yang tinggal di sekitar sana, 

tidak ada yang tahu kalau di pondok yang jelek itu 

ada sebuah kamar yang mirip dengan kamar putri 

raja. Nyai Diah telah mengaturnya sedemikian ru-

pa. Baginya, keinginannya itu harus tercapai.

Dan bagi Sekar Juwita, sebenarnya dia ingin 

sekali bisa berlama-lama keluar rumah. Tetapi 

belum lagi dia satu jam berada di luar rumah, 

ibunya sudah memanggilnya dan menyuruhnya 

masuk ke rumah.

Kadang kehidupan seperti itu membuatnya 

jenuh dan ingin memberontak dari ibunya. Tetapi 

Sekar Juwita yang sudah dididik bagaikan seorang 

putri, tak berani berucap keras atau banyak mem-

bantah.

Hingga dia menjadi mengikuti apa saja ke-

mauan ibunya.

Namun pada suatu malam, ada satu keja-

dian yang membuatnya bingung dan heran.


Ketika malam telah larut, namun sepasang 

matanya yang jernih belum juga mau terpejam, 

samar-samar dia mendengar suara derap kaki ku-

da mendekati kediaman mereka.

Hatinya bertanya-tanya.

Siapakah penunggang kuda itu? Tak pernah 

ada penunggang kuda yang datang pada malam 

hari. Kalau ada itu pun pada siang hari.

Keheranan Sekar Juwita semakin menjadi-

jadi ketika dia mendengar ibunya membuka pintu 

depan dan bercakap-cakap dengan penunggang 

kuda itu.

Ada hubungan apa ibu dengan orang itu?

Tetapi kemudian Sekar Juwita tidak lagi 

mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ter-

dengar perlahan pintu depan ditutup kembali.

"Siapakah orang itu?" tanya dalam hati sam-

bil merebahkan tubuhnya kembali.

Lalu dia merenung di tempat tidurnya.

Pikirnya, pintu ditutup itu Ibunya sudah 

masuk ke dalam rumah. Namun dugaannya salah, 

justru ibunya keluar dari rumah dan naik ke kuda 

di belakang penunggang kuda itu.

Lalu kuda itu bergerak cepat meninggalkan 

pondok. Mengarah ke Timur.

Setengah jam kemudian, kuda itu berhenti 

di sebuah hutan yang banyak terdapat di sana. 

Lalu kuda itu ditambatkan.

Dan penunggang kuda yang bernama Broto 

langsung memeluk Nyai Diah dan menciuminya 

dengan buas.


Nyai Diah mencoba meronta, "Broto... nanti 

dulu... kau belum memberikan laporanmu tentang 

adipati Wisnuwisesa...."

"Nanti saja, Nyai... Nanti saja... aku sudah 

tidak tahan...." terdengar desisan Broto sambil te-

tap menciumi sekujur wajah Nyai Diah.

"Broto...."

"Nanti, Nyai... Nanti... penuhi dulu permin-

taanku.... Sudah seminggu aku tidak menda-

patkan jatah, Nyai...." gumam Broto meracau.

Dia sebenarnya mata-mata dari Nyai Diah 

untuk memata-matai keadaan Adipati Wisnuwise-

sa. Dan agaknya malam ini dia telah menunaikan 

satu tugas yang diberikan Nyai Diah padanya.

Bagi Broto yang cabul dan mata keranjang 

itu, sudah tentu dia mau melakukannya dengan 

imbalan kehangatan tubuh Nyai Diah.

Bahkan dia tidak menyia-nyiakan ke-

sempatan itu, karena selain dapat menikmati ke-

hangatan tubuh Nyai Diah, dia pun dijanjikan 

hendak diberikan jabatan sebagai Kepala pengawal 

adipati.

Nyai Diah tidak bisa bertahan lama untuk 

menahan nafsu Broto yang sudah amat sangat. 

Dia pun mandah saja ketika Broto merebahkannya 

di atas rerumputan.

Lalu terdengarlah desahan mesum yang ce-

pat dan turun naik.

Setelah itu terdengar desahan yang menyatu 

dari keduanya yang mencapai puncak kenikma-

tan. Lalu rebah di tanah dengan nafas kembang 

kempis.


Sementara bagi Broto dia seakan terlepas 

dari satu kekangan dan sekarang habis melaku-

kan perjalan yang sangat jauh sekali.

"Broto... mana laporanmu?" Broto membuka 

matanya yang terpejam. "Beres, Nyai.,.."

"Semua sudah kau lakukan?" "Beres, 

Nyai...." "Bagaimana hasilnya?"

"Berhasil. Saat ini istri adipati dan beberapa 

selirnya sedang menderita sakit yang mengerikan. 

Sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan menge-

luarkan nanah. Kalau pun bisa disembuhkan me-

reka akan cacat seumur hidup"

Nyai Diah tersenyum.

"Kau memang patut diandalkan, Broto...."

"Semua untukmu, Nyai. Aku sangat puas 

dengan imbalan yang kudapatkan.... Juga dengan 

jabatan yang kau janjikan, bila anakmu menjadi 

istri adipati...."

"Aku tak pernah memungkiri janji sendiri, 

Broto...."

"Itulah aku setuju saja diajak bekerja sama 

denganmu, Nyai...."

"Lalu bagaimana keadaan di sana sekarang 

ini, Broto?"

"Adipati telah memanggil beberapa orang ta-

bib, namun semuanya angkat tangan. Tak ada 

seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakit 

aneh yang diderita istri dan para selirnya...."

"Memang tak ada seorang pun yang bisa. Ke-

cuali aku... hahahah."

"Racun Kelabang Putihmu memang ampuh 

sekali, Nyai Diah...."


"Jelas, karena hanya akulah yang bisa mem-

buatnya dan menyembuhkannya" Nyai Diah terse-

nyum puas. Lalu dia bangkit merapikan pakaian 

dan rambutnya. Dan berkata pada Broto yang ma-

sih merebahkan diri. "Sebaiknya kita kembali saja 

sekarang. Aku kuatir anakku akan terbangun dan 

mencari-cari aku...."

"Hahaha... baik, Nyai...."

Broto pun bangkit merapikan pakaiannya. 

Baginya ini adalah jalan yang termudah untuk 

mendapatkan kehangatan tubuh Nyai Diah.

Dulu saat Nyai Diah masih perawan, sebe-

narnya Broto sudah jatuh hati padanya. Namun 

sayang dia kalah cepat dengan Ajiseta, yang ke-

mudian menjadi suami Nyai Diah.

Siang dan malam Broto selalu memikir-kan 

Nyai Diah. Dan dia selalu membayangkan men-

cumbu Nyai Diah meskipun dalam angan.

Dan ketika terdengar kabar Ajiseta mati saat 

berburu di hutan, Broto menjadi girang bukan 

main. Masih Nyai Diah dalam keadaan berkabung, 

dia pun mendatangi Nyai Diah dan merayu-

rayunya.

Namun Nyai Diah tidak bergeming. Sampai 

saat Sekar Juwita berusia sebelas tahun, barulah 

terpikir olehnya untuk menjadikan anaknya istri 

dari seorang Adipati. Dan pilihannya jatuh pada 

adipati di Tritis.

Dan dia pun mulai bekerja sama dengan 

Broto untuk menyelidiki keadaan adipati. Broto 

pulalah yang menyediakan segala sesuatunya un


tuk keperluan Sekar Juwita. Dari mulai perhiasan 

sampai buah-buahan.

Lalu kedua orang yang mempunyai niat ja-

hat itu pun kembali ke rumah Nyai Diah. Saat 

hendak pergi meninggalkan rumah itu, Broto 

memberikan buah-buahan yang dia bawa.

Lalu dia pun menggebrak kudanya. Dan per-

lahan-lahan Nyai Diah membuka pintu depan dan 

masuk ke kamarnya.

***

DUA



Tritis adalah sebuah wilayah yang subur dan 

makmur, yang berada dalam kekuasaan Majapa-

hit. Wilayah itu dibangun dengan segala sesua-

tunya yang adil. Adipati Wisnuwisesa yang berku-

asa di sana, adalah seorang pemimpin yang bijak-

sana. Yang selalu memikirkan nasib para pendu-

duknya.

Rakyat pun sangat menyukai dan me-

nyayanginya.

Dan begitu terdengar kabar kalau istrinya 

dan beberapa orang selirnya terkena penyakit 

aneh, rakyat pun berbondong-bondong datang un-

tuk menengok.

Kemudian keesokan harinya, tersiar kabar 

kalau tiga orang selirnya mati karena membunuh 

diri. Mereka pun sudah tahu kalau penyakit yang 

mereka derita itu tidak akan bisa disembuhkan.


Dan bila hidup, mereka akan menjadi cacat. 

Akan menanggung malu seumur hidup. Akhirnya 

mereka pun mengambil jalan singkat dengan 

membunuh diri.

Sudah tentu sang adipati menjadi sangat 

bersedih dan bermuram durja. Kerjanya hanya 

melamun saja sepanjang hari. Dia pun tak kuasa 

untuk menengok istrinya. Sedikitnya dia merasa 

jijik dan ngeri melihat sekujur tubuh istrinya 

bengkak-bengkak dan mengeluarkan darah.

Tabib yang terhebat yang ada di wilayahnya, 

tak satu pun yang bisa menyembuhkannya. Bah-

kan dia pun mengundang dan memohon tabib dari 

kerajaan Majapahit untuk menolong istrinya. Te-

tapi tabib itu pun angkat tangan, menyerah tak 

bisa menyembuhkan penyakit istrinya.

Dua hari kemudian, istrinya pun meninggal 

dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selama 

dua hari dua malam, seluruh rakyat berkabung. 

Semua memberikan salam belasungkawa kepada 

adipati yang adil dan bijaksana itu.

"Adipati... sabarlah, tawakallah kepada Yang 

Maha Kuasa," kata penasehatnya yang bernama Ki 

Ageng Tapa. Dia adalah seorang laki-laki yang be-

rusia 60 tahun. Amat bijaksana dan selalu mem-

berikan nasehat-nasehat yang baik buat sang adi-

pati.

Konon Ki Ageng Tapa juga seorang yang sak-

ti mandraguna. Dan dia bergelar si Tasbih Perak. 

Karena dia selalu menghitung biji tasbih yang se-

lalu dipegangnya. Tasbih itu pun berwarna keperakan.


Adipati Wisnuwisesa mendesah panjang. 

Masih nampak di wajah kesedihan dan kepedihan.

"Ki Ageng... bagaimana aku tidak sedih, se-

mua wanita yang teramat dekat dengan hatiku ha-

rus meninggalkan ku dengan cara yang mengeri-

kan" suara sang

Adipati terdengar penuh kepiluan yang ma-

kin mendalam.

Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan. 

Di sana juga hadir, Kertapati, kepala pengawal. 

Roro Kenanga, kepala emban yang juga pandai il-

mu silat. Dan Broto... yang menjabat sebagai ke-

pala rumah tangga.

Saat itu Broto hanya terdiam. Padahal dalam 

hatinya dia tertawa-tawa penuh kemenangan.

Lalu mereka mendengar lagi Adipati Wisnu-

wisesa berkata lagi, "Aku sungguh tidak menger-

ti... bagaimana mulanya para selir dan istriku 

menderita penyakit yang mengenaskan itu.... Yang 

membuatku heran, andaikata itu merupakan sua-

tu wabah penyakit, mengapa hanya mereka saja 

yang terkena... mengapa yang lain tidak? Oh, Gus-

ti Batara Agung... kesalahan apa yang telah ku-

perbuat dan kiranya kau menjatuhkan tanganmu 

padaku...."

Ki Ageng Tapa berkata pelan. "Adipa-

ti...Sebaiknya beristirahatlah...Jangan sampai kau 

berlarut-larut dalam kesedihan ini"

Adipati hanya terdiam. Dia teringat kalau 

minggu depan ada acara di kerajaan Majapahit. 

Dan yang hadir diharuskan membawa pasangan-

nya atau istrinya. Namun baginya kini, tak ada la


gi istri dan para selirnya. Siapa yang akan mene-

maninya serta?

Hal itu jelas diketahui Broto. Ini merupakan 

kesempatan baginya untuk mengemukakan hal 

yang telah lama ditunggu-tunggu.

"Maafkan hamba, Sang Adipati yang mulia. 

Bukankah ada undangan yang datang dari kera-

jaan Majapahit?" katanya. "Adipati... setelah istri 

dan para selir Yang Mulia meninggal... bukankah 

sebaiknya Adipati memikirkan lagi untuk men-

gambil seorang istri?"

Adipati mendesah.

"Benar, Broto.... itu pun memang menjadi 

pikiranku sekarang...."

Terdengar suara Ki Ageng Tapa lagi, "Adipa-

ti... kupikir, sebaiknya tenangkanlah dulu diri dan 

pikiran adipati, sebelum melanjutkan ke suatu 

pemikiran yang lain... Kau harus punya ketenan-

gan dulu sebelum memikirkan masalah undangan 

raja dan mencari seorang istri...."

"Tetapi aku memang sudah harus memikir-

kannya, Ki Ageng."

"Aku mengerti. Tapi aku rasa... Raja juga 

mau mengerti bila Adipati tidak datang membawa 

pasangan. Bukankah Raja Hayam Wuruk pun su-

dah mengetahui kalau Adipati sedang mengalami 

musibah?"

Adipati Wisnuwisesa terdiam. Kelihatan se-

kali di samping sedang sedih juga dibebani oleh 

suatu pemikiran yang amat berat.

Broto yang tidak mau usahanya gagal, sege-

ra berkata, "Tetapi sebaiknya... segeralah di


umumkan dulu, kalau Adipati ingin mencari seo-

rang istri.... Ingat, mencari istri yang baik tidak 

mudah. Apalagi dalam waktu yang hanya bebera-

pa hari saja."

Kertapati yang sejak tadi terdiam terdengar 

menghela nafas lega. Dia adalah seorang laki-laki 

gagah perkasa. Ilmu kesaktian yang dimilikinya 

setingkat dengan yang dimiliki Ki Ageng Tapa.

Kertapati berpakaian sangat sederhana, 

meskipun dia seorang panglima. Dia hanya men-

genakan baju hitam dengan lengan baju panjang, 

tak berleher. Juga mengenakan celana panjang 

yang berwarna sama. Di pinggangnya terselip sen-

jatanya yang berupa sebilah keris.

Terdengar dia berkata, "Agaknya... benar ka-

ta-kata yang dituturkan oleh Ki Ageng Tapa. Se-

baiknya Adipati beristirahat saja. Jangan dulu di-

bebani oleh pikiran yang mungkin malah mem-

buat Adipati bingung...."

Broto mendengus dalam hati. Dia sudah la-

ma membenci dan menaruh dendam pada Kerta-

pati. Karena saat diadu kesaktian untuk menen-

tukan siapa yang patut dan berhak menjadi kepala 

pengawal, Broto kalah oleh Kertapati. Maka Kerta-

patilah yang diangkat menjadi kepala pengawal.

Hal itu sudah tentu membuat Broto menjadi 

sangat mendendam. Tetapi dia sangat pandai 

membawa diri, hingga tak seorang pun tahu kalau 

dia membenci Kertapati.

Dan bencinya itu makin memuncak men-

dengar kata-kata Kertapati tadi.


Lalu dia pun berkata, "Memang benar 

adanya. Tetapi menurut perasaanku, Raja tetap 

akan murka bila Adipati tidak datang memenuhi 

undangannya dengan membawa seorang istri.... 

Jadi, sebaiknya tetaplah Adipati mencari istri du-

lu. Masalah lain, bisa dipikirkan kembali saat su-

dah mendapatkan seorang istri...."

Broto melirik Kertapati yang tampak santai 

saja mendengar kata-katanya. Broto memaki da-

lam hati, sebentar lagi kau, Kertapati! Nanti aku-

lah yang menjadi kepala pengawal di wilayah Tritis 

ini!

Terdengar suara yang keluar dari mulut Roro 

Kenanga. Dia adalah seorang wanita setengah 

baya. Wajahnya masih cantik dan dua buah tusuk 

konde di kepalanya. Tusuk konde itu terbuat dari 

emas murni. Dan merupakan senjata andalannya. 

Bila tusuk konde dilempar olehnya ke suatu tem-

pat, maka tusuk konde itu bisa berbalik lagi ke-

tangannya. Mirip bumerang.

Roro Kenanga pun berkata, "Saya pikir... 

usul dari Adi Broto benar adanya. Karena ini me-

rupakan suatu kehormatan bagi Adipati sendiri. 

Bila tidak datang bersama istri, sudah tentu akan 

banyak yang meliriknya dengan tatapan mengejek. 

Dan mencari seorang istri yang baik itu memang 

tidak mudah. Tentunya kita tidak mau bukan, bila 

melihat sang Adipati dipandang rendah oleh Adi-

pati-adipati lain karena datang tidak membawa is-

tri?


Bukankah seorang Adipati membutuhkan 

seorang pendamping merupakan suatu kebang-

gaan dan kekhususan sendiri?"

Orang-orang yang berada di sana mengang-

guk-angguk. Kata-kata Roro Kenanga memang be-

nar adanya. Bagi seorang adipati, bila tidak mem-

punyai seorang istri dan beberapa selir merupakan 

suatu kejelekan. Karena berarti, adipati tadi tidak 

memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk me-

naklukkan cinta seorang wanita.

Adipati Wisnuwisesa pun tak mau hal itu 

menimpa dirinya. Ini memang merupakan suatu 

dilema baginya. Dia ditentukan oleh pemilihan 

yang sangat membingungkan.

Belum lagi hilang dalam ingatan istri dan pa-

ra selirnya meninggal akibat penyakit yang sangat 

mengerikan, diharuskan untuk segera mencari 

seorang istri karena undangan Raja.

Tetapi akhirnya dengan suara berat dan eng-

gan, dia berkata sambil meninggalkan ruangan, 

"Besok... umumkan kepada rakyat... aku akan 

mencari seorang istri. Dengan syarat... dia memili-

ki lima buah tahi lalat di paha kirinya!"

Sehabis berkata begitu, Adipati Wisnuwisesa 

pun melangkah ke peraduannya.

Ki Ageng Tapa mendesah.

Kertapati terdiam

Roro Kenanga tersenyum.

Dan Broto pun berbinar-binar matanya. Ber-

seri-seri. Dia pun tidak takut dengan syarat yang 

diajukan oleh sang adipati. Bukankah Sekar Juwi


ta pun memiliki lima buah tahi lalat di kaki ki-

rinya?

Setelah pertemuan itu selesai, Broto kembali 

ke tempatnya di belakang tumenggungan. Tetapi 

begitu tak ada yang melihatnya, dia keluar melalui 

pintu belakang. Lalu melompati sebuah pagar 

tinggi.

Dan berlari ke arah Barat.

Dipacunya kudanya menuju ke Gunung Ki-

dul. Ini adalah suatu laporan yang sangat berhar-

ga untuk Nyai Diah. Tidak boleh membuang-

buang waktu lagi. Hanya lima hari waktu yang di-

tentukan sebelum sang Adipati memenuhi undan-

gan raja Hayam Wuruk.

Sudah tentu Nyai Diah girang bukan main. 

Dia pun melayani permintaan Broto saat Broto 

menagih. Lalu keduanya pun pulang ke pondok 

Nyai Diah.

"Nyai... semuanya seperti yang telah Nyai 

atur. Dan ingat, jangan sampai meleset....."

"Itu beres, Broto!"

"Setelah Sekar Juwita menjadi istri adipati, 

kaulah yang harus menyetir segala sepak terjang 

Adipati Wisnuwisesa. Ingat, kau harus berhati-hati 

dengan Ki Ageng Tapa...."

"Beres soal itu."

"Dan singkirkan Kertapati..."

Nyai Diah tersenyum.

Broto pun me rasa senang. Lalu naikinya 

kudanya dan digebraknya hingga melaju kencang.

***

TIGA


Keesokan paginya, penduduk Tritis dike-

jutkan oleh suara gong yang dipukulkan oleh pen-

gawal adipati di alun-alun. Berbondong-bondong 

mereka datang ke sana. Ada apa gerangan.

Di tengah alun-alun, nampaklah dua pen-

gawal adipati Wisnuwisesa yang berdiri gagah 

dengan menunggang kuda hitam.

Yang seorang memegang gong dan memukul-

mukulkannya. Yang seorang lagi menunggu den-

gan gagah sampai rakyat semua berkumpul. Sete-

lah itu, dia membuka gulungan selembar kain dan 

membentangkannya.

"Pengumuman!" serunya lantang. 

"Adipati Tritis, Wisnuwisesa. hendak mencari 

seorang istri! Dengan syarat, perempuan yang akan 

menjadi istrinya, mempunyai tahi lalat lima buah di 

pahanya!

Pengumuman selesai!"

Namun sampai tiga hari kemudian, tak seo-

rang perempuan pun yang datang ke Kadipaten. 

Agaknya syarat yang diajukan adipati Wisnuwise-

sa terlalu susah. Walaupun saat itu banyak yang 

bisa membuat tahi lalat palsu dengan tato, tetapi 

rakyat amat mencintai adipati yang adil di samp-

ing menjunjung tinggi Prabu Hayam Wuruk. Hing-

ga mereka tak punya sedikit niat pun untuk mem-

bohongi sang adipati.


Tetapi hal ini malah membingungkan adipati 

Wisnuwisesa, mengingat undangan Prabu Hayam 

Wuruk tinggal sebentar lagi,

Namun keesokan paginya, datang ke kadipa-

ten, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan 

paras yang masih cantik, dengan seorang gadis 

yang cantik jelita. Melihat caranya berdandan dan 

sikapnya yang anggun, menandakan gadis itu se-

orang yang terpelajar. Namun tingkah lakunya bak 

seorang putri belaka.

Orang itu adalah Nyai Diah dan putrinya, 

Sekar Juwita. Sesuai dengan rencana yang diatur

Broto, mereka pun datang kadipaten.

Tentu saja kedatangan mereka disambut 

dengan gembira oleh sang adipati. Keduanya lang-

sung disambut dengan senang hati dan suka cita.

Adipati Wisnuwisesa lebih gembira lagi sete-

lah mendengar pemberitahuan dari Roro Kenanga 

yang memeriksa tahi lalat di paha Sekar Juwita. 

Sesuai dengan syarat yang diajukan sang adipati.

Malam hari itu pula di adakan pesta yang 

cukup meriah menyambut kedatangan istri baru 

Wisnuwisesa.

Saat undangan Prabu Hayam Wuruk pun, 

Wisnuwisesa hadir dengan sikap gagah. Banyak

adipati lain atau para tumenggung yang terse-

nyum dan memberi salam kebahagiaan padanya. 

Seakan mereka melupakan kematian istri dan pa-

ra selir adipati.

Namun ada seorang yang masih merasakan 

aneh dengan kematian istri dan para selir adipati.


Dia adalah Kertapati kepala para pengawal adipa-

ti.

Apalagi ketika diumumkan, kalau kedudu-

kannya akan tergeser bila dia tidak bisa menga-

lahkan Broto dalam tanding ulang mempere-

butkan kedudukan sebagai kepala pengawal.

Kertapati tidak banyak membantah, karena 

perintah itu datangnya dari adipati sendiri. Dia ti-

dak tahu, kalau adipati didesak oleh istrinya un-

tuk mengadakan tanding ulang itu.

Sedangkan istrinya diperintah oleh ibunya 

sendiri, Nyai Diah yang merasa sudah waktunya 

untuk segera menyingkirkan Kertapati. Sudah sa-

tu bulan mereka hidup di kadipaten yang serba 

kecukupan.

Semula Wisnuwisesa sendiri pun menolak, 

karena menurutnya Kertapatilah yang patut men-

jadi kepala para pengawalnya. Namun setelah di-

desak, dibujuk, direngek oleh istrinya, akhirnya 

dia pun meluluskan permintaan itu.

Kejadian itu pun mengundang rasa heran 

dari Ki Ageng Tapa. Dia bertanya tanya dalam hati, 

mengapa adipati bertindak dan memerintahkan 

seperti itu?

Dia pun memanggil Kertapati yang agak ur-

ing-uringan untuk menerima perintah adipati.

"Aku pun heran, Ki Ageng," kata Kertapati. 

"Mengapa adipati seperti mencabut kata-katanya 

kembali?"

"Apakah Broto yang mendesaknya?"

"Tidak mungkin," kata Kertapati. "Biar ba-

gaimana pun dia adanya, Broto adalah seorang la


ki-laki yang kesatria. Kau lihat saja tingkah la-

kunya setelah dulu kalah dariku dalam perang 

tanding. Dia tetap menerimanya dan menerima 

pula kedudukan sebagai kepala rumah tangga."

Ki Ageng Tapa tahu akan si fat Kertapati 

yang polos dan jujur. Dia pun berkata,

"Kertapati... tingginya langit dan dalamnya 

samudra mudah ditebak. Jumlah bintang yang 

ada di langit pun diketahui jumlahnya. Namun ha-

ti orang siapa yang tahu. Meskipun jaraknya de-

kat, tapi terasa jauh sekali".

"Aku menjunjung tinggi sifat kesatria Broto, 

Ki Ageng."

"Lalu bagaimana? Kau akan menerima perin-

tah ini?" tanya Ki Ageng Tapa.

"Ya."

"Kertapati... apakah kau tidak tahu, bila kau 

dalam keadaan terdesak Broto akan membunuh-

mu?"

"Ah, bukankah dulu aku tidak membunuh-

nya? Karena ini hanya saling uji kesaktian. Itu 

pun tak luput dari perhatian adipati, bukan?"

Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati memang 

orang yang jujur dan polos. Dia sangat menghargai 

sekali sebuah kejujuran.

Namun Ki Ageng Tapa seakan mencium ada 

sesuatu yang tidak beres dalam perintah adipati 

ini. Dia bertekad akan melihat sampai sejauh ma-

na pertandingan uji kesaktian itu.

Dua hari kemudian, terlihatlah di depan ka-

dipaten sebuah panggung besar dan cukup tinggi. 

Di setiap sudutnya ada umbul-umbul yang indah.


Dan di tengah-tengahnya ada lukisan pedang dan 

golok saling bertempelan yang menandakan akan 

diadakannya pertandingan uji kesaktian itu.

Ketika hari yang ditentukan tiba, rakyat pun 

berbondong-bondong memenuhi kadipaten. Bagi 

mereka, ini adalah tontonan yang sangat menarik 

sekali.

Adipati Wisnuwisesa sendiri hadir di tengah-

tengah mereka didampingi oleh istrinya yang se-

perti putri raja. Rakyat pun mengagumi kecanti-

kannya. Dan di samping istrinya duduk ibu mer-

tuanya, Nyai Diah.

Sementara di belakang mereka, Ki Ageng Ta-

pa dan Roro Kenanga duduk dengan sikap yang 

gagah.

Adipati Wisnuwisesa pun berdiri.

Rakyat yang tadi ribut bergemuruh, terdiam. 

Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh sang 

Adipati.

"Di pagi yang cerah dan suasana yang gem-

bira ini? kita semua berkumpul di kadipaten. Bu-

kan lain untuk menyaksikan tanding ulang antara 

Kertapati dengan Broto! Ini kulakukan, untuk me-

lihat siapakah sesungguhnya yang digjaya!

Juga... untuk menghibur hati kita semua!!"

Hadirin bertepuk tangan dengan sorak-sorai 

yang gegap gempita.

Adipati Wisnuwisesa menenangkan para ha-

dirin.

"Semua tenang! Nah, sebagai penantang, 

Broto dipersilahkan maju ke panggung!"


Dari tempat duduknya, Broto bersalto. Me-

mamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuh-

nya. Tiga kali dia bersalto dan hinggap di alas 

panggung dengan ringannya.

Begitu dia hinggap, kembali terdengar tepu-

kan dan sorak-sorai yang ramai. Broto menun-

dukkan tubuhnya ke arah Adipati Wisnuwisesa. 

Lalu membunguk ke pada para hadirin yang kem-

bali disambut dengan bergemuruh.

Dia mengenakan pakaian ringkas berwarna 

hitam-hitam. Di keningnya ada ikat kepala ber-

warna putih. Dan di punggungnya tersampir sebi-

lah pedang.

Terdengar kembali suara Adipati Wisnuwise-

sa.

"Kepada Kertapati, dipersilahkan naik ke 

panggung!!"

Kalau Broto tadi memamerkan tenaga dalam 

dan ilmu peringan tubuhnya dengan bersalto dari 

tempat duduknya, Kertapati hanya melangkah 

dengan ringan. Tidak menunjukkan seorang yang 

digjaya.

Dia pun sampai di panggung.

Ketika dia membungkukkan tubuhnya pada 

adipati Wisnuwisesa, kembali terdengar tepukan 

dan sorakan yang bergemuruh.

Dia mengenakan pakaian yang ringkas pula. 

Hanya berwarna putih. Kerisnya terselip di ping-

gangnya.

"Nah, ini dia jago yang hendak bertanding 

sudah berada di atas panggung! Pertandingan di


mulai!" seru Adipati yang kembali disahuti dengan 

tepukan bergemuruh.

Terdengar bunyi gong tiga kali, tanda per-

tandingan itu dimulai.

Lalu kedua jago itu pun bersiap.

Dari sorot matanya dan sikapnya, jelas seka-

li kalau Broto begitu meremehkan Kertapati. Dia 

segera membuka jurusnya dan mulai menggebrak 

dengan satu pukulan lurus ke depan yang hendak 

dilanjutkan dengan sapuan kaki kanannya.

Kertapati pun segera menyambutnya dengan 

menarik ke belakang kepalanya dan melompat. 

Saat dia melompat, dia mengirimkan satu jotosan 

ke arah muka.

Cepat Broto memiringkan kepalanya. Dan 

membalas. Terjadilah serang menyerang yang ce-

pat dan hebat. Tangguh dan berisi.

Pada jurus-jurus dan gebrakan pertama, 

nampak keduanya masih saling memapaki. Na-

mun beralih pada jurus kesepuluh, serangan-

serangan mereka pun tambah cepat.

Broto begitu beringas sekali.

"Hari ini kau harus kalah di tanganku, Ker-

tapati!" pekiknya sambil menendang.

"Berbuatlah semampu mu, Broto!" sahut 

Kertapati sambil menghindar melompat.

"Kau tak pantas menjadi kepala pengawal!"

"Mungkin. Tetapi bukankah kau sendiri su-

dah melihat caraku memimpin? Dan aku pun da-

pat mengalahkan kau, Broto!"


Kata-kata Kertapati itu semakin membuat 

Broto menjadi panas. Dia semakin buas. Dan ju-

rus-jurusnya sangat kejam.

Namun sampai sejauh itu, belum satu pun 

serangannya yang mengenai sasaran. Hal ini 

membuat Broto semakin ganas.

Apalagi ketika pukulan Kertapati menggedor 

dadanya, disusul dengan satu tendangan yang 

mengenai leher Broto. Hingga laki-laki itu ter-

huyung ke belakang.

"Bangsat geram Broto sambil menyeka darah 

yang keluar di mulutnya.

Kertapati hanya tersenyum dengan sikap 

bersahabat.

Sementara sorakan ramai terdengar kembali.

"Kau harus mampus, Kertapati!" geram Broto 

sambil bangkit menyerang kembali.

"Hati-hati, Broto! Kadang pukulan dan ten-

dangan bisa mematikan?" sahut Kertapati tetap 

dengan suara bersahabat.

"Anjing buduk! Aku memang berniat hendak 

membunuhmu!" bentak Broto sengit. Serangan-

serangannya semakin berbahaya. 

Terdengar sorakan yang ramai.

Ada sorak kegembiraan.

Ada sorak ketakutan.

Di antara penonton itu nampak seorang laki-

laki berusia setengah baya dengan serius mem-

perhatikan pertandingan itu. Wajah laki-laki itu 

begitu arif dan bijaksana. Dia mengenakan jubah 

berwarna putih.


"Kejam!" desisnya ketika Broton men-

gamuk dengan cakaran-cakaran yang mematikan. 

Sasarannya wajah, jantung dan kemaluan.

Sementara Kertapati harus dengan susah 

payah menghindar dan membalas.

"Sebenarnya laki-laki yang berpakaian putih-

putih itu bisa menang," desis orang yang menge-

nakan jubah putih itu lagi. "Hanya sayang... dia 

terlalu welas asih dan menganggap ini memang 

sebuah pertandingan biasa. Tapi... ah, yang men-

genakan pakaian hitam-hitam itu begitu kejam. 

Bahkan wajahnya berkesan ingin membunuh! 

Hmmm... ini tidak adil!"

Laki-laki berjubah putih itu menggeleng-

gelengkan kepala.

Di atas panggung, Kertapati memang men-

ganggap ini sebuah pertandingan biasa. Bukan 

untuk saling membunuh. Gerakannya pun tak se-

buas gerakan Broto. Malah dia seakan selalu 

memberi angin untuk Broto menyerang.

Tetapi sampai sejauh itu, serangan-serangan 

kejam Broto tak satu pun yang mengenai sasaran.

"Kau memang hebat, Kertapati!" desisnya 

sambil bersalto ke belakang. Dan ketika hinggap, 

tangan kanannya sudah memegang sebilah pe-

dang.

"Haruskah kita bermain dengan senjata, 

Broto?" tanya Kertapati dengan sikap sebagai sa-

habat.

"Hhh! Kau takut rupanya!"

"Ini hanya pertandingan biasa, Broto. Kau 

ingat?"


"Perduli setan!"

"Broto...."

"Bila kau takut, menggelindinglah dari arena 

ini, Kertapati!"

Wajah Kertapati memerah. Tetapi nampak 

dia masih berusaha bersabar.

"Kita tak perlu bermain-main dengan senja-

ta! Antara kau dan aku bukan lawan! Kita saha-

bat, Broto.... Kau ingat?"

"Pengecut busuk! Turunlah dari arena ini bi-

la kau takut! Dan larilah seperti anak perempuan!"

"Broto...."

"Cabut kerismu, Kertapati...."

"Ingatlah, Broto... sangat berbahaya sekali 

bila bermain-main dengan senjata!"

"Baik, kalau begitu. Aku terima. Tapi dengan 

syarat, kau harus menyerah...."

Di samping memiliki sifat yang polos dan ju-

jur, Kertapati juga memiliki sifat seorang kesatria 

sejati. Dia pantang mengalah bila diejek seperti 

itu. Sebenarnya Kertapati ingin mundur saja dan 

menyerahkan jabatan sebagai kepala pengawal 

kepada Broto.

Tetapi dia tidak suka melihat sikap Broto 

yang pongah dan congkak. Lalu dengan berat hati, 

dia pun mencabut kerisnya.

"Kalau itu maumu... baiklah...." kata Kerta-

pati tetap berusaha menahan marahnya.

Sementara para penonton menjadi tegang 

ketika keduanya mencabut senjata. Begitu pula 

dengan Ki Ageng Tapa.


"Oh, mengapa harus mencabut senjata?" 

gumamnya. "Bukankah senjata yang mereka bawa 

itu hanya untuk menambah kegagahan mereka 

saja di atas arena?"

Laki-laki yang berjubah putih pun me-

nyayangkan hal itu. Dia memuji Kertapati dan 

memaki kesombongan Broto.

"Hmm... yang berpakaian putih begitu bijak-

sana. Dia masih menganggap lawannya itu sebagai 

seorang sahabat. Tetapi yang berbaju hitam, dia 

begitu congkak. Tapi mudah ditebak mengapa dia 

mencabut senjatanya. Karena dia kalah bila ber-

hadapan dengan tangan kosong. Itu adalah jiwa 

yang pengecut!"

Sementara di atas arena, keduanya sudah 

mencari posisi. Dan bergerak bagaikan ayam 

aduan

Tiba-tiba Broto memekik. Dan menerjang 

dengan pedang mengarah pada tenggorokan. Ker-

tapati pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pe-

dang itu dengan mudah. Dia menggerakkan tan-

gannya dan menangkis pedang itu dengan keris-

nya.

"Traaangg"

Benturan kedua senjata itu menimbulkan 

cahaya yang cukup terang. Para penonton mena-

han nafas dengan tegang.

Serangan-serangan yang di lancarkan Broto 

demikian ganas. Pedangnya berkelebat ke sana ke 

mari dengan cepat. Penuh tenaga dan nafsu ingin 

membunuh.


Namun Kertapati memang tangguh dalam 

memainkan kerisnya. Dia dapat menghindar dan 

menangkis setiap serangan Broto. Membuat Broto 

semakin panas.

"Jangan hanya seperti tikus dikejar kucing, 

Kertapati! Bisa mu hanya menghindar saja!" se-

runya sambil terus menggebrak.

Lama kelamaan karena diejek dan didesak 

terus menerus, Kertapati pun menjadi panas. Lalu 

dia pun mulai membalas.

Kertapati bersalto dua kali ke belakang. Dan 

begitu kakinya hinggap, dia langsung melenting ke 

atas. Kerisnya siap menyambar kepala Broto.

"Anjing kurap!!" bentak Broto seraya meng-

gelinding. Namun begitu dia berdiri tegak, keris 

Kertapati sudah menyerang nya lagi.

Sebisanya Broto menangkis. 

"Traaannggg!!"

Karena posisi berdirinya belum begitu kuat 

dan tenaga sambaran Kertapati yang cukup kuat, 

membuat pedang di tangan Broto terlepas.

Para penonton bertepuk tangan.

Broto menggeram dengan marah.

Kertapati menghentikan serangannya.

Dia tersenyum.

"Bangunlah, Kawan...."

"Bangsat! Aku belum kalah!" geram Broto 

marah dan panas. Wajahnya memerah karena ma-

lu.

"Lalu bagaimana maumu, Broto...."

"Aku akan membunuhmu, Kertapati!" geram 

Broto murka.


Ki Ageng Tapa yang melihat Broto sudah ja-

tuh, yakin sekali kalau Adipati Wisnuwisesa akan 

menghentikan pertandingan itu dan menyatakan 

Kertapati sebagai pemenang.

Namun dia melihat Adipati Wisnuwisesa 

hanya terdiam saja. Wajahnya tidak menampak-

kan ingin menghentikan pertandingan itu. Malah 

dia seperti robot belaka.

Para penonton yang menyaksikan hal itu 

pun menjadi heran. Mengapa Adipati Wisnuwisesa 

tidak menghentikan pertandingan itu. Jelas-jelas 

kalau Broto sudah kalah.

Merasa adipati tidak menghentikan pertan-

dingan itu, Broto berguling kembali sembari me-

nyambar pedangnya dan langsung menyerang.

Masih dengan keheranan mengapa sikap 

adipati hanya diam saja, Kertapati menyambut se-

rangan Broto.

Sementara laki-laki berjubah putih meng-

gumamkan sesuatu, 

"Hmm... ada yang tidak beres di sini"

Di atas panggung, Broto lebih gencar menye-

rang. Kejam. Dan mematikan. Kertapati sendiri 

kali ini dengan susah payah menghindar, melom-

pat dan membalas.

Broto seakan mendapat tenaga baru. Seran-

gan-serangannya makin cepat dan hebat Penuh 

tenaga dalam dan teknik-teknik yang mematikan.

"Tahan seranganku, Kertapati!!"

"Kau sudah kalah, Broto...."

"Aku belum kalah!"



"Kau sudah terjatuh! Dan pedangmu sudah 

terlepas dari tanganmu!"

"Bodoh! Mengapa kau tidak segera membu-

nuhku!!"

"Karena ini hanya pertandingan biasa, Broto! 

Bukan pertarungan!"

"Goblok! Ini pertarungan, Kertapati! Perta-

rungan antara hidup dan mati! Tahan seranganku! 

Aku siap untuk mencabut nyawamu!"

Sadarlah Kertapati kalau Broto kini telah 

menjadi lawannya. Dia pun membalas dengan gi-

gih. Serangan Broto hebat dan cepat.

Sampai suatu ketika, terdengar jeritan Broto. 

Laki-laki itu bersalto. Dan kakinya menyambar 

dada Kertapati hingga jatuh.

Lalu menyusul pedang Broto siap menikam 

jantungnya!

Orang-orang menahan nafas tegang.

***

EMPAT



Kertapati sendiri merasa tak ada lagi jalan 

baginya untuk meloloskan diri. Dia hanya pasrah 

saja ketika melihat jalannya pedang yang siap 

mencabut nyawanya.

Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras.

"Traaangg"

Pedang Broto melenceng dari sasarannya.

Kertapati membuka matanya.


Nampak di hadapannya Ki Ageng Tapa berdi-

ri dengan memegang tasbih peraknya. Dia yang 

melihat nasib Kertapati sangat mengerikan dan 

aja! siap menjemputnya, langsung bersalto dan 

menyambarkan tasbih peraknya ke pedang Broto.

"Kau?!" geram Broto begitu melihat siapa 

yang menghalanginya.

Ki Ageng Tapa tersenyum dingin.

"Kau kenapa Broto...."

"Jangan ikat campur urusan ini, Ki Ageng!" 

seru Broto keras. Tidak sedikit pun dia menghor-

mati Ki Ageng Tapa. Di luar kebiasaannya yang se-

lalu menghormati Ki Ageng Tapa.

Ki Ageng Tapa sendiri terkejut melihat peru-

bahan sikap Broto yang tidak menghormat pa-

danya.

"Kau bukan seorang kesatria, Broto...." ka-

tanya dengan suara dingin.

"Persetan dengan ucapanmu! Minggir kau, Ki 

Ageng! Aku harus membunuh Kertapati!"

"Broto!" seru Ki Ageng Tapa keras. Kemara-

hannya mulai naik.

"Jangan ikut campur urusanku! Kau tak 

berhak melarangku, Ki Ageng! Yang berhak hanya-

lah Adipati Wisnuwisesa! Kau lihat sendiri bukan, 

Adipati saja tidak menghentikan pertarungan 

ini...."

"Pertandingan, Broto...." potong Ki Ageng Ta-

pa.

"Apalah katamu, Ki Ageng! Tapi aku mena-

makan ini pertarungan antara hidup dan mati!


Dan kau tak berhak menghentikan semua ini tan-

pa perintah dari Adipati Wisnuwisesa"

"Tapi kau kulihat ingin membunuh Kertapa-

ti!"

"Niatku memang begitu."

"Kau keji, Broto!"

"Persetan dengan kau, Ki Ageng! Minggirlah 

kau dari sini!"

"Broto... tadi kau sudah terjatuh dan kalah. 

Tetapi sebagai seorang yang kesatria, Kertapati ti-

dak menyudahi mu. Padahal dia bisa membuatmu 

mampus saat itu juga!"

"Itu salahnya sendiri! Minggir kau, Ki Ageng!"

"Kau sudah kalah, Broto!"

"Persetan! Minggir kataku, kalau tidak, ter-

paksa aku harus menyingkirkan mu dari sini, Ki 

Ageng Tapa!" seru Broto.

Ki Ageng Tapa tetap tersenyum dingin. Sebe-

narnya dia semakin keheranan pada sikap Adipati 

Wisnuwisesa. Mengapa Adipati tidak menghenti-

kan pertandingan ini? Ah, dia bagaikan robot be-

laka di tempat duduknya.

Ki Ageng makin merasakan ada sesuatu 

yang ganjil pada diri Adipati Wisnuwisesa.

"Apa boleh buat... aku terpaksa melayani, 

Broto.... Bila tidak, kekejamanmu akan terus ber-

lanjut. Bila pun kau menang, kau tak patut men-

jadi kepala pengawal kadipaten...."

"Bangsat tua! Baik, bersiaplah!" geram Broto 

seraya menghunuskan pedangnya. Diiringi dengan 

pekikan yang cukup keras, dia menerjang ke arah 

Ki Ageng Tapa.


Para penonton terpekik terkejut melihat Bro-

to menyerang Ki Ageng Tapa.

Laki-laki yang mengenakan jubah putih itu 

hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak tahu berterima kasih kalau nyawanya 

sudah diselamatkan tadi. Tapi biarlah, aku ingin 

melihat sampai di mana kehebatan laki-laki ber-

pedang itu...."

Di panggung, kini Ki Ageng Tapa harus 

menghadapi serangan-serangan kejam dan ganas 

dari Broto. Berkali-kali dia hanya menghindar 

atau menangkis dengan tasbih peraknya.

Namun lama kelamaan dia bermaksud hen-

dak memberi pelajaran pada Broto. Maka dia pun 

mulai melancarkan serangan balasannya.

Tasbih peraknya berkelebat dengan hebat. 

Setiap kali dihentakkan atau digerakkan, menim-

bulkan suara yang cukup memekakkan telinga.

Broto kelihatan cukup terdesak.

"Menyerahlah, Broto! Sebelum kuturunkan 

tangan telengas!" geram Ki Ageng Tapa.

"Jangan bermimpi kau, Ki Ageng!" sambut 

Broto dengan garang.

Keduanya saling menyerang dengan cepat 

dan hebat. Ganas dan kejam.

Para penonton menahan nafas.

Di bibir Nyai Diah tersinggung sebuah se-

nyuman.

Sekar Juwita berkali-kali bertepuk tangan.

Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam mem-

perhatikan bagai sebuah robot.


Laki-laki yang berdiri di antara penonton 

yang mengenakan jubah putih bergumam, 

"Hmm... agaknya yang menggunakan tasbih ber-

warna perak itu sudah di atas angin.... Tapi... hei, 

apa yang dilakukan laki-laki berpedang itu? Dia 

berdiam diri dengan kedua tangan bersatu. Pe-

dangnya pun dilepaskan! Dan... ah, kedua telapak 

tangannya berwarna putih...."

Memang benar apa yang dikatakan laki-laki 

berjubah putih itu. Broto sambil bersalto mem-

buang pedangnya dan menyatukan telapak tan-

gannya. Lalu dibukanya kembali. Dan saat terbu-

ka telapak tangannya berwarna putih.

"Mampuslah kau saat ini juga, Ki Ageng Ta-

pa!" geram Broto seraya menyerang. Kedua telapak 

tangannya seakan berusaha ingin menyentuh ba-

gian tubuh dari Ki Ageng Tapa.

Ki Ageng Tapa sendiri merasakan hawa pa-

nas yang keluar dari kedua telapak tangan itu. Dia 

yakin kedua telapak tangan itu mengandung ra-

cun. Namun dia tidak tahu jenis racun apa. Lagi-

pula yang membuatnya heran, mengapa Broto 

mendadak mempunyai ilmu pukulan beracun?

"Hahaha... jangan lari seperti anak perem-

puan, Ki Ageng!" bentak Broto sambil terus mene-

kan dan mendesak Ki Ageng Tapa.

"Pukulan beracun apa yang kau gunakan 

itu, Broto?!" seru Ki Ageng Tapa sambil menghin-

dar.

"Kau akan tahu setelah kau merasakannya!"

"Ilmu hitam yang keji!"


"Dan kau akan merasakan kekejian ini, Ki 

Ageng Tapa!"

"Broto... di mana rasa hormatmu padaku, 

hah?!"

"Sekarang aku tak perlu menghormatimu, Ki 

Ageng Tapa! Meskipun kau seorang penasehat 

Adipati! Tapi kau tak patut dihormati!" 

"Budak setan!"

"Memakilah sepuasmu, Ki Ageng! Karena tak 

lama lagi kau tak akan bisa memaki!"

"Hhh! Kau begitu yakin dengan ucapanmu, 

Broto!"

"Karena kau lari seperti anak perempuan! 

Kau tak berani menyerangku, hah? Kau tak ubah-

nya seperti kucing yang dikejar anjing!"

"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi! 

Sambutlah seranganku!"

"Sejak tadi aku yang menyerangmu! Baik, 

aku akan sambut!"

Ki Ageng pun mulai membalas. Namun sam-

pai sejauh itu tak satu pun serangannya yang 

mengenai sasaran. Dia pun berusaha agar tubuh-

nya tidak bersentuhan dengan kedua telapak tan-

gan Broto.

"Ayo, Ki Ageng! Ayo cepat'" ejek Broto sambil 

terus menyerang. Dia tidak menghindar. Namun 

setiap kali Ki Ageng menyerang, dia pun mengge-

rakkan tangannya untuk menyentuh tangan atau 

bagian lain dari Ki Ageng Tapa.

Ini malah membuat Ki Ageng bingung, bah-

kan setiap kali dia menyambarkan tasbih perak-

nya, dengan licin dan lincahnya Broto segera me


nyerang bagian yang kosong. Ini membuat Ki 

Ageng Tapa menjadi sulit untuk menyerang secara 

pasti.

Sampai suatu ketika, kaki kanan Broto me-

nyambar dadanya.

"Dess"

Laki-laki setengah umur itu pun terhuyung 

ke belakang dengan dada yang sakit. Sedangkan 

Broto tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang 

ada. Dia langsung memekik menerjang. Kedua te-

lapak tangannya yang kini berwarna putih menga-

rah ke bagian dada Ki Ageng Tapa.

Sulit bagi Ki Ageng Tapa untuk menghindar.

Para penonton menahan nafas tegang. Tiba-

tiba Kertapati yang dalam keadaan terluka, bang-

kit memekik dan memapaki serangan ganas dari 

Broto. 

"Des!" 

"Des!"

Kedua pukulan itu beradu. Tubuh Kertapati 

terpental ke belakang beberapa tindak lalu am-

bruk dengan tubuh yang amat kesakitan.

Di dadanya tertanda dua buah telapak tan-

gan Broto.

Sedangkan Broto hanya terhuyung dua tin-

dak lalu berdiri dengan tegap.

"Kertapatiiiiii!!" seru Ki Ageng Tapa yang ti-

dak menyangka Kertapati akan berbuat nekad un-

tuk menyelamatkannya.

Dia pun bangkit memburu untuk melihat 

keadaan Kertapati. Dua buah telapak tangan Broto 

yang bercap didada Kertapati mendadak berubah


menjadi hitam. Lalu menjalar warna hitam itu ke 

seluruh tubuh Kertapati.

Satu keanehan terjadi. Tiba-tiba dari mulut 

Kertapati mengeluarkan darah berwarna kehita-

man pula. Dan sekujur tubuh nya mendadak 

membengkak besar. Lalu bengkakan itu pun mele-

tus. Mengeluarkan nanah berwarna putih. Menge-

rikan.

Menandakan pukulan yang dilepaskan Broto 

mengandung racun yang sangat kejam.

Terdengar jeritan Kertapati menahan rasa 

sakit.

"Aaaakkkhhh!!"

Lalu kepalanya terkulai. Ambruk. Matilah 

Kertapati dengan keadaan tubuh yang memilukan, 

sekaligus sangat mengerikan.

Para penonton memekik ngeri.

Ki Ageng Tapa menoleh pada Broto yang se-

dang tersenyum sinis. Tatapan Ki Ageng Tapa 

membara membahayakan. Menandakan dia sangat 

marah sekali.

"Kau harus membalas nyawa Kertapati, Bro-

to!" ujarnya sambil berdiri dengan tegap. Siap me-

nyerang Broto yang kini tertawa-tawa.

Namun belum lagi Ki Ageng Tapa bergerak 

menyerang, terdengar bentakan keras.

"Hentikan semuanya! Broto dinyatakan ke-

luar sebagai pemenang!!"

***


LIMA


Semua kepala yang ada menoleh ke arah su-

ara itu. Mereka melihat Adipati Wisnuwisesa ber-

diri gagah dengan mengangkat tangan kanannya.

"Pertandingan ini ku nyatakan selesai!" ter-

dengar suaranya lagi. 

"Dan mulai sekarang Broto kuangkat sebagai 

kepala pengawal di Kadipaten!"

Ki Ageng Tapa menjadi keheranan melihat 

sikap dan kata-kata Adipati. Adipati Wisnuwisesa 

yang selama ini disanjung dan dipujanya, ternyata 

hanya luarnya saja yang bijaksana.

Kalau dia adil dan bijaksana, dia pun sudah 

dapat melihat kalau Kertapati keluar sebagai pe-

menang. Tetapi tadi pun sang Adipati tidak me-

nyatakan pertandingan selesai.

Malah dia membiarkan saja Broto bangkit 

kembali menyerang. Bahkan ketika Ki Ageng Tapa 

melesat ke panggung untuk menyelamatkan Ker-

tapati, Adipati Wisnuwisesa tetap diam saja tak 

banyak mulut.

Tetapi kala Kertapati sudah terbunuh oleh 

tangan telengas Broto, dan Ki Ageng Tapa siap 

membalas kematian Kertapati yang telah menye-

lamatkannya, barulah terdengar suara Adipati 

Wisnuwisesa menghentikan pertandingan.

Diam-diam dari rasa keheranan melihat si-

kap aneh Adipati Wisuwisesa dalam diri Ki Ageng 

Tapa telah berubah menjadi kebencian. Dia muak 

melihat sikap Adipati sekarang.


Bahkan boleh dikatakan, rasa hormatnya te-

lah lenyap sama sekali.

Namun Ki Ageng Tapa seorang laki-laki yang 

kesatria dan amat menghormati tuannya. Meski-

pun dia kini benci dan muak, namun dia masih te-

tap menghargai perintah Adipati, yang menyeru-

kan pertandingan telah selesai.

Ki Ageng Tapa melirik pada Broto yang ter-

senyum kemenangan. Lalu dia kembali memperli-

hatkan mayat Kertapati yang sangat mengerikan.

Benar-benar kejam pukulan dari Broto itu.

Sementara laki-laki yang mengenakan jubah 

putih sangat terkejut melihat pukulan yang dile-

paskan Broto tadi.

Bersamaan kedua pukulan antara Broto dan 

Kertapati beradu, laki-laki berjubah putih itu me-

nahan nafas cukup tegang. Dan dia melihat Kerta-

pati terpental jauh beberapa tombak. di dadanya 

tercap kedua telapak tangan dari Broto.

Saat itulah dia berseru, "Racun Kelabang Pu-

tih!"

Suaranya bergetar. Menandakan keterkeju-

tan yang cukup beralasan. Laki-laki berjubah pu-

tih itu tahu betapa keji dan ganasnya racun itu.

Di atas panggung, Ki Ageng Tapa tak kuasa 

menahan air matanya. Jago tua itu pun menangis 

terharu melihat mayat Kertapati yang mengerikan. 

Juga mengingat Kertapati menjadi begini karena 

telah menyelamatkannya.

Terdengar lagi seruan dari Adipati Wis-

nuwisesa "Perhatian! Mulai saat ini, Broto ku nya-

takan sebagai kepala pengawal di Kadipaten!


Menggantikan Kertapati yang ternyata dapat dika-

lahkannya! Bahkan dibunuhnya!"

Suara tepukan yang bergemuruh menyam-

but kata-kata Adipati Wisnuwisesa.

Lalu sang Adipati bersama istrinya, Sekar 

Juwita dan ibu mertuanya, Nyai Diah yang terse-

nyum melihat Kertapati mati di tangan Broto 

bangkit meninggalkan tempat itu.

Broto sendiri tersenyum penuh kemenangan.

Sore harinya, mayat Kertapati pun dikubur-

kan. Ki Ageng Tapa begitu nampak amat sedih se-

kali. Dalam hatinya diam-diam dia berniat hendak 

menyelidiki keadaan Adipati Wisnuwisesa. Meski-

pun rasa hormatnya berubah menjadi benci dan 

muak, tetapi dia masih merasakan adanya keane-

han dari diri Adipati.

Sementara laki-laki berjubah putih itu men-

desah panjang. Yang dibingungkannya bukanlah 

sikap dari Adipati Wisnuwisesa. Tetapi racun kela-

bang putih yang ternyata muncul lagi.

Puluhan tahun yang lalu, laki-laki berjubah 

putih itu pernah mendengar akan sebuah pukulan 

beracun yang teramat ganas. Sekali bersentuhan, 

maka yang disentuh akan mati secara mengerikan.

Pukulan itu milik dari seorang nenek dari 

golongan hitam yang bernama Eyang Arumtari. Te-

tapi nenek itu telah mati setelah bertempur den-

gan beberapa tokoh dari golongan putih. Tokoh-

tokoh dari golongan putih itu pun kemudian mati 

dengan keadaan tubuh yang mengerikan.

Rupanya secara diam-diam Eyang Arumtari 

memiliki seorang murid yang mungkin telah me


warisi ilmu-ilmunya. Sekarang yang menjadi per-

tanyaan laki-laki berjubah putih itu adalah siapa-

kah murid dari Eyang Arumtari? Apakah Broto 

yang melepaskan pukulan yang mengandung ra-

cun Kelabang Putih itu?

Laki-laki berjubah putih itu mendesah.

Lalu meninggalkan tempat itu.

Sebenarnya siapakah laki-laki yang me-

ngenakan jubah putih dan berwajah arif dan bi-

jaksana itu? Dia tak lain adalah Madewa Gumilang 

alis Pendekar Bayangan Sukma.

Sudah seminggu lamanya Madewa Gumilang 

meninggalkan Perguruan Topeng Hitam. Sebuah 

perguruan silat yang dipimpinnya, warisan dari si 

Dewa Pedang Paksi Uludara (baca: Dewi Cantik 

Penyebar Maut).

Madewa Gumilang meninggalkan perguruan 

Topeng Hitam untuk mencari putranya Pranata 

Kumala dan anak menantunya Ambarwati yang te-

lah lama pergi mengembara. Dia merasa rindu se-

kali dengan kedua anak manusia itu.

Lalu dia memutuskan untuk pergi mencari 

keduanya. Tampuk pimpinan Perguruan Topeng 

Hitam untuk sementara diserahkannya pada is-

trinya yang bernama Ratih Ningrum. Seorang wa-

nita berparas cantik yang digjaya akan ilmu ke-

saktian.

Dalam pencariannya, Madewa tiba di daerah 

Tritis. Dia heran ketika melihat rakyat berbon-

dong-bondong pergi menuju suatu tempat. Lalu 

Madewa pun mengikutinya karena ingin tahu ada


kejadian apa di tempat yang dituju para pendu-

duk.

Dia melihat ada sebuah panggung besar di 

halaman depan kadipaten. Dan meloncatlah dua 

orang laki-laki gagah ke atas panggung. Rupanya 

di tempat itu sedang diadakan uji kesaktian untuk 

memperebutkan siapa yang berhak bertindak se-

bagai kepala pengawal kadipaten.

Dari kedua orang yang berlaga itu, Madewa 

dapat melihat sepak terjang laki-laki yang menge-

nakan pakaian berwarna hitam dan berpedang be-

gitu kejam dan telengas. Sedangkan yang menge-

nakan pakaian berwarna putih dan berkeris, begi-

tu arif dan bersahabat.

Nampak pertandingan tidak seimbang kare-

na yang mengenakan pakaian berwarna putih ber-

tindak dengan sikap sebagai sahabat.

Tetapi laki-laki yang mengenakan pakaian 

berwarna putih berada di atas angin. Namun ka-

rena sikapnya yang nampak bersahabat, menjadi-

kannya terdesak.

Dan dia pun tersambar satu tendangan yang 

cukup kuat. Lalu orang berpakaian hitam-hitam 

itu siap menghabisi nyawa yang berpakaian putih. 

Tetapi naik ke panggung seorang laki-laki seten-

gah baya yang membawa tasbih berwarna kepera-

kan.

Dan di luar dugaannya, laki-laki yang berpa-

kaian hitam-hitam mengeluarkan suatu pukulan 

yang amat hebat tangguh dan cepat. Dan mengan-

dung racun.


Semula Madewa Gumilang tidak yakin dan 

belum pasti kalau pukulan itu mengandung racun 

Kelabang Putih. Namun ketika pukulan itu men-

darat pada sasarannya, barulah dia yakin bahwa 

pukulan itu memang mengandung racun kelabang 

putih. Yang sangat kejam dan ganas.

Bagi yang terkena tanpa ampun saat itu pula 

bisa mampus seketika dengan tubuh yang menge-

rikan.

Namun bila tenaga yang dikerahkan oleh 

pemilik racun kelabang putih tidak begitu tinggi, 

dia bisa mati beberapa hari dengan rasa yang 

amat tersiksa.

Bahkan racun itu bisa dikerjakan melalui 

makanan atau minuman. Dengan menyentuhkan 

tangannya ke air atau minuman, maka secara 

otomatis benda yang disentuhnya akan mengan-

dung racun.

Sebuah pukulan yang berbahaya karena 

mengandung racun yang teramat keji.

Dan Madewa jadi bertanya-tanya, siapakah 

yang telah mewarisi racun Kelabang Putih dari 

Eyang Arumtari? Kalau orang itu tidak diketemu-

kan, maka akan gawat lah keadaan. Bila orang itu 

marah, maka, dengan mudahnya dia akan mem-

bunuh orang yang telah membuatnya marah.

Madewa mendesah panjang. Dia menatap 

langit yang mendadak berubah menjadi kelam. Dia 

bertekad untuk menemukan siapakah murid dari 

Eyang Arumsari sesungguhnya.

***


ENAM


Setelah Kertapati dikalahkan oleh Broto se-

kaligus tewas di tangannya, diadakanlah pengang-

katan besar-besaran dengan upacara meriah men-

gangkat Broto menjadi kepala pengawal kadipaten.

Sebenarnya penduduk banyak pula yang he-

ran. Karena baru kali ini Adipati Wisnuwisesa 

mengadakan pesta yang besar-besaran untuk 

mengangkat seorang kepala pengawal.

Tetapi mereka tak mau banyak bicara. Kare-

na bagi mereka yang penting bisa ikut menikmati 

pesta yang amat gembira itu.

Ki Ageng Tapa pun hadir dalam pesta besar 

itu. Dia pun merasa keanehan akan sikap dari 

Adipati. Sama halnya dengan sebagian penduduk 

yang keheranan, dia pun diam saja.

Namun yang membuatnya merasa aneh se-

kaligus sedih, ketika melihat Adipati Wisnuwisesa 

sendiri ikut minum-minum arak hingga mabuk.

Broto terbahak dalam hati melihat Adipati 

Wisnuwisesa sudah meracau dalam keadaan ma-

buk. Diam-diam dia meninggalkan pesta itu.

Dia berjalan masuk ke ruang utama Kadipa-

ten. Lalu membelok ke kiri. Dan setelah memper-

hatikan sekelilingnya sepi, Broto mengetuk sebuah 

pintu kamar yang terletak di ujung.

"Tok! Tok! Tok!"

Setelah agak lama menunggu barulah ter-

dengar suara, "Siapa?" 

"Aku, Nyai."


Pintu kamar itu terbuka. Nampaklah Nyai

Diah muncul dengan tersenyum genit. Dia menge-

nakan pakaian yang menerawang. Yang mampu 

membuat setiap laki-laki menahan nafas.

Tubuh itu begitu masih mempesona.

Menampilkan lekuk tubuh yang teramat 

sempurna.

Broto sendiri menahan nafasnya. Lalu buru-

buru dia masuk dan mengunci pintu.

"Aku rindu padamu, Nyai...." desisnya den-

gan suara di tenggorokan.

Lalu dia memburu memeluk Nyai Diah yang 

terkikik genit.

Dia menggelinjang kegelian kala bibir Broto 

yang cukup tebal menciumi bagian tengkuknya.

"Hihihi... geli, Broto... geli...." ringkiknya 

manja.

Broto makin menjadi buas.

"Aku sudah tidak tahan, Nyai.... Sudah 

hampir seminggu aku tidak menggeluti tubuhmu, 

Nyai.... Aku sudah tidak tahan...."

"Hihihi...."

"Kau makin menggairahkan saja, Nyai...." 

suara Broto makin berat terdengar. Lalu dia men-

dorong tubuh Nyai Diah ke peraduan.

Suasana di kamar itu berubah, bagaikan 

terdapat sebuah irama yang membangkitkan bira-

hi.

Beberapa menit kemudian, terdengarlah de-

sahan panjang dari keduanya. Hampir bersamaan. 

Lalu kedua tubuh itu terlentang di ranjang dengan 

nafas hampir terdengar putus-putus.


Broto membuka matanya.

"Nyai...."

"Hmm...."

"Sesuai dengan rencana kita... apakah se-

muanya sudah kau laksanakan?"

"Hihihi, Broto.... Broto.... Omongan mu seka-

rang berbalik. Bukankah dalam hal ini aku yang 

memegang peranan?"

Broto tertawa.

"Hahaha... tentu saja, Nyai.... Aku hanya 

bercanda saja. Apakah ucapanku tadi sudah pan-

tas sebagai seorang kepala pengawal?"

"Pantas. Tapi jangan kau ulangi lagi kata-

katamu tadi. Bagaimana, Broto? Semua sudah 

kau jalankan?" tanya Nyai Diah sambil merapikan 

pakaiannya yang agak acak-acakan.

"Beres, Nyai.... Sasaran kita pertama adalah 

menyingkirkan Ki Ageng Tapa. Dia bisa menjadi 

duri bagi kita untuk merebut Kadipaten dan me-

nyusun gerakan pemberontakan. Nyai... setelah 

berhasil menyingkirkan Ki Ageng Tapa... kita akan 

membuat Adipati Wisnuwisesa menjadi boneka ki-

ta untuk berhubungan dengan Prabu Hayam Wu-

ruk. Kita pun harus menyusupkan mata-mata ke 

Majapahit untuk mengadakan pemberontakan dan 

penyerbuan.

Dengan cara begitu, kita bisa menyerang da-

ri dalam. Dan ini sangat memudahkan kita untuk 

menguasai kerajaan...."

"Broto... sebagai kepala pengawal yang baru, 

kau harus bertindak dengan tegas. Usahakan agar


semua anak buahmu mengikuti. Kasih mereka pe-

lajaran bila ada yang membantah.

Dan kalau perlu, bunuh yang berani mem-

bantah mu!"

"Beres, Nyai...." kata Broto tersenyum. Lalu 

melirik Nyai Diah. 

"Nyai...kau harus mengajarkan aku lagi ilmu 

Racun Kelabang Putih dalam tahap yang sempur-

na...."

"Tenang, Broto... aku tak akan pernah melu-

pakanmu, yang banyak membantuku mewujudkan 

cita-cita dan keinginanku, Aku akan mengajarimu 

lagi...."

"Ya...."

"Cara kerjamu rapi sekali, Broto. Kau pun 

bisa menyelinap untuk memegang makanan yang 

hendak dihidangkan kepada istri Adipati Wisnuwi-

sesa dan para selirnya. Bagus, aku suka sekali 

bekerjasama denganmu"

"Aku tak pernah mengecewakan mu bukan, 

Nyai?" sahut Broto sambil mengecup kening Nyai 

Diah yang terkikik.

Tetapi kemudian dia terdiam, seperti teringat 

akan sesuatu.

Broto menatapnya.

"Ada apa, Nyai?"

"Aku merasa ada yang mencium kerja kita 

ini, Broto...." 

"Maksudmu?"

"Ada yang ingin menyelidiki kerja kita ini. 

Kau tidak merasakan itu?"


"Aku makin tidak mengerti dengan omongan 

mu, Nyai. Tak mungkin bila kau dan aku terlepas 

omong. Putri mu sendiri Sekar Juwita pun tidak 

tahu semua rencana kita.

Lalu bagaimana kau menduganya ada yang 

mengetahui semua rencana kita ini, Nyai?"

Nyai Diah mendesah.

"Masalahnya cuma satu, ada yang mengenali 

pukulan Racun Kelabang Putih."

"Siapa, Nyai? Bukankah kau sendiri yakin, 

bila pukulan itu dikeluarkan, orang tidak mendu-

ga mengandung racun yang mengerikan?"

"Bukan itu maksudku."

"Lalu apa, aku semakin tidak mengerti den-

gan kata-katamu, Nyai."

"Baiklah... ketika kau sedang bertanding 

dengan Kertapati dan Ki Ageng Tapa, aku melihat 

seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih 

yang berada di antara penonton...."

"Apa anehnya itu, Nyai? Kita kan tidak bisa 

melarang penonton yang hadir dengan mengena-

kan pakaian macam apapun?"

"Bukan itu maksudku. Menurut perasaanku, 

hanya dialah yang merasakan dan tahu tentang 

pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih 

itu...."

"Siapa dia, Nyai?"

"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku akan 

menyelidikinya. Menurut perasaanku, dia adalah 

seorang yang sakti mandraguna. Tapi... hihihi... 

tak satu orang pun yang dapat mengalahkan aku, 

Nyai Diah pemilik pukulan yang mengandung Ra


cun Kelabang Putih. Warisan dari guruku, si Kela-

bang Putih Nyai Arumtari...."

Broto terdiam. Bila begitu dugaan Nyai Diah, 

ini berarti amat berbahaya sekali.

"Nyai... ajarkan aku lagi ilmu pukulan itu. 

Biar semakin sempurna. Bukankah lebih baik kita 

bersama dan sama-sama memiliki ilmu pukulan

Racun Kelabang Putih? Ini akan menambah keku-

atan kita untuk melawan manusia berjubah putih 

itu.... Bukankah begitu, Nyai? Kita tetap satu."

Nyai Diah terdiam. Memikirkan kata-kata 

Broto. Saat Broto mengeluarkan pukulan Racun 

Kelabang Putihnya untuk menghadapi si Tasbih

Perak atau Ki Ageng Tapa, Nyai Diah dapat melihat 

wajah seorang laki-laki yang mengenakan jubah 

putih cukup terkejut.

Nyai Diah juga merasakan kalau laki-laki itu 

mengenali pukulan yang hendak dilepaskan oleh 

Broto pada Ki Ageng Tapa. Nyai Diah berusaha un-

tuk menduga-duga siapa laki-laki itu adanya. Te-

tapi dia tidak bisa menebak.

Hanya dia pernah mendengar tentang seo-

rang laki-laki yang disebut manusia dewa, atau 

juga sering disebut sebagai Pendekar Budiman. 

Kalau tidak salah ingat, laki-laki itu bernama Ma-

dewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma. Dia adalah seorang laki-laki 

yang aril dan bijaksana.

Seingat Nyai Diah atau menurut para pende-

kar, Madewa Gumilang selalu mengenakan jubah 

berwarna putih. Hal itulah yang membuat hati


Nyai Diah cukup menjadi kecut. Karena dia tahu 

siapa Madewa Gumilang sesungguhnya.

Namun dalam hal ini dia tak pernah mau 

mundur. Baginya dia memiliki pukulan yang cu-

kup ampuh. Pukulan yang mengandung Racun 

Kelabang Putih. 

Pukulan sakti warisan dari gurunya.

Mengingat hal itu, Nyai Diah pun tidak kebe-

ratan untuk mengajari kembali ilmu pukulan itu 

kepada Broto. Yang sebelumnya juga sudah di-

ajarkan.

Kata-kata Broto tadi benar. Bila mereka ber-

dua sama-sama telah sempurna memiliki pukulan 

Racun Kelabang Putih, bukankah pertahanan me-

reka akan semakin kuat bila ada orang sakti yang 

ingin menentang atau menghalangi keinginan me-

reka?

Nyai Diah pun bertekad untuk mencari laki-

laki berjubah putih itu untuk meyakinkan du-

gaannya.

Dia melirik Broto yang masih menunggu ka-

ta-katanya.

"Bagaimana, Nyai?" tanya Broto.

"Baiklah," kata Nyai Diah sambil mengang-

guk. "Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi ke 

Gunung Kidul. Ambillah sebanyak-banyaknya ke-

labang putih dan bawa ke sini. Cepat, Broto! Bila 

tidak, aku kuatir ada yang tahu akan rencana kita 

ini!"

Broto terbahak. "Hahaha... tenang, Nyai... 

tenanglah.... Semuanya akan berhasil.... Aku su-

dah tidak sabar ingin melihat kematian Ki Ageng


Tapa setelah minum tuak yang telah aku pegang 

dan secara otomatis tuak itu pun mengandung ra-

cun kelabang putih.... Hahahaha...."

***

TUJUH


Seminggu setelah pesta besar-besaran itu 

diadakan, Ki Ageng Tapa merasakan ada sesuatu 

yang ganjil pada tubuhnya. Dia merasakan tu-

buhnya gatal-gatal sekali. Dan bila digaruk malah 

akan semakin gatal.

"Ada apa dengan tubuhku ini?" tanyanya he-

ran. Dia membuka bajunya dan terkejut ketika 

melihat ada tonjolan di beberapa bagian tubuhnya. 

"Hei, tonjolan apa ini?"

Ki Ageng Tapa memegangnya.

Dan seketika terdengar jeritannya sendiri. 

"Aduh! Sakit sekali!"

Dia makin terkejut ketika dari tonjolan yang 

dipegangnya tadi nampak bergerak dan pecah 

mengeluarkan nanah.

"Oh.... Tuhan, ada apa denganku ini?" desis-

nya makin bingung. Lalu hati-hati dia mengalirkan 

tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir 

rasa gatal dan sakitnya. Dan sebagian untuk me-

nahan aliran nanah yang keluar dan menimbulkan 

bau yang agak busuk.

Tetapi aliran nanah itu terus saja keluar. 

Membuat Ki Ageng Tapa makin ngeri.


"Penyakit apa yang sedang aku derita ini?" 

desisnya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara Roro Kenanga dari 

luar kamarnya.

"Ki Ageng Tapa... ada yang perlu kubicara-

kan denganmu...."

Namun dalam keadaan kesakitan dan malu 

akan dirinya yang terkena penyakit aneh secara 

tiba-tiba ini membuat Ki Ageng Tapa lebih baik se-

gera menyingkir.

Dia pun membuka jendela kamarnya. Lalu 

melompat ke luar.

Dari luar kamarnya suara Roro Kenanga ma-

sih terdengar. Sampai akhirnya dia memutuskan 

untuk meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa karena 

merasa Ki Ageng Tapa tidak ada di kamarnya.

Sebenarnya kedatangan Roro Kenanga hen-

dak membicarakan satu masalah yang telah mem-

buatnya heran.

Diam-diam Roro Kenanga juga terkejut keti-

ka melihat Broto melepaskan pukulan aneh pada 

Ki Ageng Tapa. Yang membuatnya heran, kedua 

telapak tangan Broto berubah menjadi putih.

Di lain itu, dari mana Broto memiliki puku-

lan yang ampuh itu? Sampai Roro Kenanga terin-

gat tentang pukulan beracun yang dimiliki oleh 

Broto.

Pukulan Racun Kelabang Putih! Ya, ya... dia 

yakin soal itu. Itu sejenis pukulan yang ganas, ke-

jam dan keji. Maksud Roro Kenanga mencari Ki 

Ageng Tapa untuk membicarakan masalah dan 

kemungkinan itu.


"Hmm... ke mana kiranya Ki Ageng Tapa 

ini?" desisnya sambil berbalik.

Dan dia terkejut ketika melihat Nyai Diah 

sudah berdiri di depannya. Wanita itu memang 

pesolek sekali. Dia memanfaatkan semua fasilitas 

yang dimiliki putrinya dan anak menantunya.

Bagi Nyai Diah kesempatan seperti ini jelas

tak mau dia sia-siakan. Sejak lama dia memimpi-

kan semua ini. Dan di saat cita-citanya terwujud, 

tak mungkin akan dilepaskan.

Malah dalam benak Nyai Diah, dia berpikir 

akan menyerang Kadipaten lalu untuk bersatu 

dengannya sebelum memberontak pada Majapahit.

"Selamat sore, Nyonya...." sapa Roro Kenan-

ga hormat.

"Hmm... sedang apa kau di depan kamar Ki 

Ageng Tapa, Roro?"

"Saya hendak mencari Ki Ageng Tapa, 

Nyonya."

"Ada apa?"

"Ada yang perlu saya bicarakan dengannya. " 

"Soal apa?"

Roro Kenanga terdiam. Dia merasa tidak per-

lu untuk membicarakan keheranannya dengan 

Nyai Diah. Maka dia hanya tersenyum.

"Tidak ada apa-apa, Nyonya. Sebagai saha-

bat, saya memang selalu berbicara banyak dengan 

Ki Ageng Tapa. Tak ada maksud lain"

"Kalau memang demikian adanya, baiklah. 

Roro Kenanga... kembalilah kau ke tempatmu. Tak 

pantas kau berada di sini.”

"Baik, Nyonya...."


Roro Kenanga pun meninggalkan tempat itu. 

Nyai Diah memperhatikannya dengan tatapan ta-

jam.

Lalu dia pun kembali ke kamarnya.

Setelah meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa 

dan bertemu dengan Nyai Diah, Roro Kenanga ma-

sih tetap penasaran untuk bertemu dengan Ki 

Ageng Tapa. Menurutnya, dia harus segera mem-

beritahukan pukulan apa yang mengenai Kertapa-

ti. Pukulan yang sangat berbahaya sekaligus me-

matikan.

Roro Kenanga pun keluar melalui pintu be-

lakang. Lalu melesat dengan ilmu meringankan 

tubuhnya menuju ke hutan kecil yang berada tak 

jauh dari Kadipaten.

Di hutan kecil itu ada sebuah gubuk yang je-

lek. Dan di sanalah biasanya dia, Ki Ageng Tapa 

dan Kertapati saling bercengkrama atau pun ber-

senda gurau. Broto tak pernah melakukan ini, ka-

rena dulu tugasnya sebagai kepala rumah tangga.

Dugaan Roro Kenanga tepat, karena begitu 

dia mendekati gubuk itu, terdengar suara erangan 

kesakitan dari dalamnya.

Roro Kenanga heran. Siapakah yang telah 

mengerang itu? Apakah gubuk ini sudah di tempa-

ti orang lain? Namun dia terkejut ketika menengok 

siapa yang mengerang di dalam gubuk itu.

"Ki Ageng Tapa!" pekiknya seraya memburu 

mendekat. Dia melihat Ki Ageng Tapa sudah 

membuka pakaiannya dan sekujur tubuhnya pe-

nuh benjolan. Sudah ada yang mengeluarkan na-

nah.


"Apa yang terjadi, Ki Ageng?"

Ki Ageng Tapa yang merasa tidak bisa meng-

hindar lagi berkata perlahan, "Entahlah, Roro... 

penyakit apa yang sedang menimpa ku ini"

"Bukankah kau selama ini sehat-sehat saja?"

"Benar. Baru tadi rasa sakit ini ku rasakan," 

rintih Ki Ageng Tapa.

Melihat sakit yang diderita Ki Ageng Tapa, 

Roro Kenanga jadi teringat maksudnya mencari Ki 

Ageng Tapa. Untuk membicarakan masalah puku-

lan beracun milik Broto.

Dan melihat penyakit yang menimpa Ki 

Ageng Tapa, Roro Kenanga seperti diingatkan ke-

mungkinan kalau dia juga terkena pukulan racun 

kelabang putih.

"Ki Ageng... aku yakin, kau terkena Racun 

Kelabang Putih...." kata Roro Kenanga,

"Racun Kelabang Putih?" 

"Ya."

"Racun apa itu...." tanya Ki Ageng Tapa sam-

bil menahan rasa sakitnya.

"Racun yang keluar dari sebuah pukulan. 

Atau tepatnya sebuah pukulan yang mengandung 

Racun Kelabang Putih," jelas Roro Kenanga.

"Aku belum mengerti maksudnya"

"Dulu aku pernah mendengar Racun Kela-

bang Putih itu dari guruku. Pukulan Racun Kela-

bang Putih itu dimiliki oleh seorang nenek jahat 

dari golongan hitam yang bernama Eyang Arumta-

ri. Guruku adalah salah seorang dari orang-orang 

golongan putih yang hendak membasmi dan 

menghentikan kekejaman dan sepak terjang dari


Eyang Arumtari. Dari beliaulah aku pernah men-

dengar tentang pukulan Racun Kelabang Putih 

itu...."

"Lalu kenapa kau menduga aku terkena Ra-

cun Kelabang Putih. Bukankah selama ini aku tak 

pernah bertarung andaikata racun itu keluar dari 

sebuah pukulan?"

"Kau tidak mengerti betapa hebatnya Racun 

Kelabang Putih itu."

"Jelaskan, Roro...."

"Racun Kelabang Putih itu hanya keluar dari 

sebuah pukulan yang muncul dari kedua telapak 

tangan si pemilik. Bila sekali bersentuhan, racun 

itu sudah menjalar ke bagian dan seluruh tubuh 

yang disentuh. Racun itu pun bisa berpindah pada 

barang atau pun makanan dan minuman bila dis-

entuh oleh pemiliknya. Dan sekaligus memba-

hayakan bagi yang memegang, atau pun memakan 

dan meminumnya. Kekuatan dan kehebatan Ra-

cun Kelabang Putih ini sukar untuk ditandingi."

"Katamu tadi, Roro... si pemiliknya bila men-

geluarkan pukulan yang mengandung Racun Ke-

labang Putih itu kedua telapak tangannya berwar-

na putih?" tanya Ki Ageng Tapa setelah teringat 

sesuatu.

"Benar, Ki Ageng."

"Broto!" Pekiknya tiba-tiba. 

"Ya, ya... aku ingat, aku ingat... jelas, jelas 

kedua telapak tangan Broto mengeluarkan warna 

putih."


"Aku pun melihat hal itu Ki Ageng. Dan du-

gaanku, Broto juga memiliki pukulan Racun Kela-

bang Putih" desis Roro Kenanga.

"Tapi bukankah kau tadi berkata, yang me-

miliki pukulan Racun Kelabang Putih hanya Eyang 

Arumtari. Lalu mengapa bisa berada pada Broto?"

Roro Kenanga terdiam.

Lalu dia berkata, "Mungkinkah bila Broto 

ternyata murid dari Eyang Arumtari?"

Ki Ageng Tapa hanya mengangguk.

Tak berani menduga-duganya.

Lalu dia berkata, "Roro... bila ternyata du-

gaanmu itu benar aku terkena Racun Kelabang 

Putih, apakah makanan atau pun minuman yang 

aku santap sudah dipegang oleh Broto?"

"Ya, Tuhan... aku baru ingat. Pesta itu!" pe-

kik Roro Kenanga. "Tak salah lagi, pasti kau ter-

kena racun itu pada pesta itu, Ki ageng...."

"Broto keparat! Kubunuh kau nanti!" geram 

Ki Ageng Tapa sambil menahan rasa sakit,

"Hihihi... rupanya ada dua makhluk yang 

sedang asyik bercumbu di dalam gubuk!" terden-

gar suara genit dari luar.

Kedua orang yang berada di dalam gubuk itu 

terkejut. Roro Kenanga serentak keluar dari gubuk 

itu, 

"Siapa kau?!" bentaknya keras.

Di hadapannya berdiri satu sosok dengan 

mengenakan pakaian ringkas berwarna merah 

muda. Tetapi wajah orang yang baru datang itu 

tertutup rapat oleh kedok yang berwarna merah


muda pula. Mirip dengan yang dikenakan pembu-

nuh-pembunuh bayaran di Jepang, Ninja.

***

DELAPAN



Sosok berpakaian merah muda itu terkikik.

"Hihihi... rupanya aku mengganggu keasyi-

kan kalian berdua. Maaf, maaf... hihihi... tapi bu-

kankah kalian telah selesai?"

Wajah Roro Kenanga merah padam.

"Busuk sekali omongan mu, Perempuan" 

makinya jengkel.

"Hihihi... aku berbicara tentang fakta yang 

ada, bukan? Aku tidak mengada-ada."

"Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang 

buruk yang seperti kau duga!"

"Kalian memang tak pernah melakukannya 

di depan orang."

"Busuk sekali mulutmu!"

"Hihihi... bilang saja kau marah karena kea-

syikan mu terganggu, bukan?"

"Busuk!"

"Kau yang busuk malah memakiku busuk! 

Mana ada pencuri yang mengaku pencuri untuk 

menutupi belangnya?" balas wanita yang menge-

nakan pakaian merah muda itu.

"Perempuan busuk! Siapa kau sebenarnya?!" 

geram Roro Kenanga marah.


"Hihihi... kau boleh menyebutku si Bayangan 

Merah," balas orang itu masih terkikik. 

"Dan kau siapa adanya hah?!"

"Namaku Roro Kenanga! Si Tusuk Konde 

Emas! Nah, cepat kau berlutut di hadapanku sebe-

lum aku marah karena ucapanmu yang busuk 

itu!"

"Hihihi... berlutut? Kau sedang bermimpi ru-

panya, Roro... Hihihi... kau masih marah karena 

keasyikan mu terganggu, bukan?"

"Perempuan busuk!"

"Hihihi... apa yang dilakukan perempuan 

dan laki-laki berpengalaman berduaan di gubuk 

kecil yang sunyi ini, hah?!"

Roro Kenanga tidak bisa lagi membendung 

marahnya. Dia berseru jengkel, "Tutup mulutmu, 

Bayangan Merah! Atau... biar aku yang melaku-

kannya, hah?!"

"Hihihi... silahkan, silahkan... aku pun ingin 

merasakan kehebatan si Tusuk Konde Emas" si 

Bayangan Merah terkikik.

Kemarahan Roro Kenanga semakin menjadi-

jadi. Tanpa banyak ucap lagi, dia menggebrak ma-

ju. Gerakannya cepat dan gesit.

"Awas serangan!"

"Hihihi... rupanya kau pemarah juga, Roro 

Kenanga!" sahut si Bayangan Merah sambil meng-

hindar dan membalas dengan tendangan kaki ke 

arah muka.

Roro Kenanga cepat menunduk dan mengi-

rimkan satu jotosan ke arah ulu hati Bayangan


Merah. Tetapi sambil tertawa si Bayangan Merah 

menangkisnya.

"Des!"

Kedua tangan itu beradu.

Roro Kenanga merasakan tenaga dalam yang 

dimiliki lawannya cukup besar. Tetapi dia pun tak 

mau kalah. Dia meningkatkan lagi tenaga dalam-

nya. Lalu mencecar lagi dengan jurus Memetik 

Sang Surya.

Tiba-tiba saja gerakannya menimbulkan ha-

wa panas yang lumayan. Itu pun dirasakan oleh si 

Bayangan Merah.

"Hihihi... hebat, hebat! Ilmu Memetik Sang 

Surya!"

Roro Kenanga kaget karena lawannya men-

getahui jurusnya.

Sementara Ki Ageng Tapa yang sudah berpa-

kaian lengkap dan keluar dari gubuk itu hanya 

menonton saja. Dia tidak bermaksud membantu 

Roro Kenanga. Di samping dilihatnya Roro Kenan-

ga mampu melayani serangan-serangan si Bayan-

gan Merah, juga karena keduanya adalah wanita. 

Yang membuatnya jadi enggan untuk membantu.

Tetapi di jurus selanjutnya, terlihat kalau si 

Bayangan Merah mulai menekan dan mendesak 

Roro Kenanga. Dengan jurus-jurusnya yang tang-

guh.

"Hihihi... di mana nama besar si Tusuk 

Konde Emas!" ejek si Bayangan Merah yang mem-

buat Roro Kenanga semakin geram.

"Perempuan busuk! Kau lihat serangan!" 

makinya sambil menerjang lagi.


"Keluarkan yang kau punyai, Roro!"

"Jangan banyak among! Aku akan mengadu 

jiwa denganmu!"

"Dengan senang hati kulayani semua ke-

mauanmu! Yang perlu kau ketahui, aku datang 

memang ingin membunuhmu! Juga laki-laki yang 

nampak sedang sakit itu!"

"Banyak mulut!"

"Mana seranganmu lagi, hah?!" sahut si 

Bayangan Merah sambil menerjang dengan ganas. 

Dia mengimbangi dan membalas serangan-

serangan dari Roro Kenanga.

Karena keinginan untuk menyudahi lawan-

nya begitu menggebu-gebu di samping jengkel 

mendengarkan ejekan-ejekan si Bayangan Merah, 

serangan-serangan Roro Kenanga menjadi mem-

babi buta dan sukar dikendalikan. Dia bagaikan 

banteng terluka. Tetapi biarpun begitu serangan-

nya tetap ganas dan membahayakan.

Lagi-lagi si Bayangan Merah hanya tertawa. 

Dan tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan begitu 

kakinya hinggap di tanah langsung melenting lagi 

ke depan diiringi dengan pekikan keras.

"Awas serangan!" serunya,

Kali ini dia yang menekan dan mendesak Ro-

ro Kenanga. Sampai suatu ketika sebuah puku-

lannya dan disusul dengan tendangannya menge-

nai bagian dada Roro Kenanga.

Hingga wanita itu terhuyung.

"Des!"

"Des!"


Si Bayangan Merah terbahak. "Ternyata 

hanya begitu saja nama besar si Tusuk Konde 

Emas!"

Roro Kenanga mendelik marah seraya men-

gusap darah yang mengalir melalui mulutnya.

"Bangsat!"

"Hahahaha... ayo seranglah aku lagi! Biar 

cepat ku sudahi permainan ini!"

Roro Kenanga makin geram. Si Bayan-

gan Merah menganggap ini sebuah permainan. 

Bangsat! Dia benar-benar akan mengadu jiwa 

dengan si Bayangan Merah.

Sambil menggeram marah dan menahan ra-

sa sakitnya, dia kembali menerjang. Tetapi lagi-

lagi serangan-serangannya berhasil dipatahkan.

Bahkan kembali pukulan dan tendangan si 

Bayangan Merah menggedor dadanya.

Hingga terhuyung ke belakang.

Si Bayangan Merah tak mau membuang ke-

sempatan seperti tadi. Dengan ganasnya dia maju 

menyerang untuk menghabisi nyawa Roro Kenan-

ga.

"Mampuslah kau, Roro Kenanga!!"

Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan 

memapaki serangan si Bayangan Merah yang ditu-

jukan kepada Roro Kenanga.

"Des!!"

Dua tubuh itu terpental ke belakang. Si 

Bayangan Merah berdiri lagi dengan sigap.

Ki Ageng Tapa terhuyung sambil memegang

dadanya dan muntah darah.


Dia tadi yang memapaki serangan si Bayan-

gan Merah pada Roro Kenanga. Namun karena 

kondisinya yang sedang lemah dan dalam keadaan 

sakit, membuat tenaganya tidak seberapa besar.

Bahkan dia makin merasakan sakitnya keti-

ka berbenturan karena memapaki serangan si 

Bayangan Merah.

"Huak!!"

Ki Ageng Tapa kembali muntah darah.

"Ki Ageng!" seru Roro Kenanga dan berkele-

bat mendekat.

Terdengar si Bayangan Merah tertawa meli-

hat adegan itu.

"Hihihi... nampaknya adegan kemesraan ini 

terus berlangsung... Lucu, lucu sekali. Kalian pikir 

kalian masih muda dan remaja, ya? Sehingga ha-

rus bermesraan dengan gaya anak muda berpaca-

ran?"

Roro Kenanga menggeram. "Bangsat! Kau 

harus mampus di tanganku, Bayangan Merah!.

"Hihihi... majulah, Roro!"

Tiba-tiba kedua tangan Roro Kenanga berge-

rak cepat ke kepalanya dan menggerakkannya ke 

arah Bayangan Merah.

"Siiing!"

"Siiing!"

Dua buah Tusuk Konde Emasnya berdesing 

dan bergerak ke arah si Bayangan merah.

Sejenak si Bayangan Merah terkejut. Tetapi 

dia cepat bersalto ke samping. Namun kembali dia 

terkejut, karena dua buah tusuk konde itu bagai


kan punya sepasang mata yang dapat melihat dan 

mengancam sasarannya.

"Hei!" pekik si Bayangan Merah dan kembali 

menghindar.

Kali ini Roro Kenanga yang terbahak melihat 

lawannya menjadi panik.

"Hahaha... kau hendak lari ke mana, Bayan-

gan Merah? Sambutlah kedua tusuk konde ku

itu!"

"Setan alas! Kubunuh kau!" geram Si Bayan-

gan Merah sambil meluncur ke arah Roro Kenan-

ga.

Namun kembali urung karena tanpa didu-

ganya Tusuk Konde Emas milik Roro Kenanga te-

rus mengejarnya. Kembali dia menghindar sambil 

memaki jengkel.

"Setan!

"Hahaha... mau ke mana kau lari, Bayangan 

Merah! Pastikanlah ajalmu sebentar lagi akan ti-

ba!" tertawa Roro Kenanga.

Sementara si Bayangan Merah dengan susah 

payah menghindari kejaran kedua Tusuk Konde 

Emas itu.

Namun tiba-tiba saat kedua tusuk konde itu 

mengejarnya, dia bergulingan berlawanan arah. 

Dan tangannya dengan cepat menyambar seba-

tang ranting yang tergeletak di dekatnya.

Ketika Tusuk Konde Emas itu berbalik lagi 

ke arahnya, dengan cepat pula si Bayangan Merah 

menggerakkan tangannya mengayunkan sebatang 

ranting yang diambilnya tadi.

"Cep!"


"Ceep!

Kedua Tusuk Konde Emas itu menancap te-

pat di ranting itu. Dan tak bisa terlepas lagi.

Si Bayangan Merah terbahak.

"Hahaha... kini kalian terimalah ajal kalian!" 

serunya.

Lalu membuang batang ranting yang telah 

menancap kedua tusuk konde itu. Kemudian dia 

menyerang maju. Ganas dan mematikan.

Roro Kenanga dan Ki Ageng Tapa sebisanya 

menghindari serangan-serangan ganas itu.

Namun karena kondisi keduanya yang terlu-

ka, membuat gerakan mereka tidak selincah se-

mula. Malah dengan mudahnya si Bayangan Me-

rah memukul jatuh keduanya.

"hihihi... kini mampuslah kalian!"

Sambil terkikik Bayangan Merah menderu 

maju untuk menghabisi nyawa keduanya.

Tiba-tiba terdengar bentakan berwibawa, 

"Tahan!!"

***

SEMBILAN



Seketika si Bayangan Merah menghentikan 

serangannya. Dia melihat satu sosok berjubah pu-

tih dan tersenyum arif berdiri di dekatnya.

Hati si Bayangan Merah tercekat.


Dia tak melihat dan tidak tahu kapan mun-

culnya laki-laki berjubah putih yang tersenyum 

arif dan bijaksana itu.

"Hhh! Siapa kau sebenarnya, Jubah Putih?!"

bentaknya sambil menutupi kekagetannya.

"Ah, aku hanyalah orang biasa. Kedatangan-

ku sedang mencari putra dan anak menantuku, 

Pranata Kumala dan Ambarwati."

"Aku tidak tanya kau sedang apa. Yang ku-

tanya, kau siapa?!"

"Kalau itu maumu... namaku tidak bagus. 

Namaku Madewa Gumilang...."

"Pendekar Bayangan Sukma!" terdengar sua-

ra Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga berbarengan. 

Mereka sudah lama mendengar akan pendekar 

budiman yang sepak terjangnya begitu bijaksana. 

Dan mereka tak menyangka kalau di hari ini, di 

saat ajal mendekati mereka, bisa bertemu dan ber-

jumpa wajah dengan pendekar yang sakti itu.

"Yah... itulah namaku. Dan julukan seperti 

yang disebutkan kedua lawanmu itu...."

"Hhh! Madewa... kudengar kau seorang pen-

dekar budiman, yang tak pernah. mau ikut cam-

pur urusan orang! Tapi di hari ini, ternyata semua 

omongan itu bohong belaka!" seru si Bayangan 

Merah. "Kau telah mencampuri urusanku, Ma-

dewa!"

"Kata-katamu itu benar. Cuma sayang... kau 

salah tanggap. Aku tak pernah mencampuri uru-

san orang yang tidak bermusuhan. Tetapi dalam 

hal ini, kau bukan hanya bermusuhan dengan ke-

duanya, tetapi kau malah ingin membunuhnya...."


"Itu urusanku!"

"Aku hanya bertanya ada apa, setelah itu 

aku akan melanjutkan perjalananku...."

"Manusia sombong! Kau pikir kau dengan 

mudah menggertak ku dengan nama besarmu itu, 

hah?!"

"Aku hanya menginginkan satu kebenaran" 

sahut Madewa tetap dengan suara yang terdengar 

arif dan bijaksana.

"Sombong! Kebenaran itu akan kau da-

patkan bila kau sudah mampus di tanganku! Awas 

serangan!" sehabis berkata begitu, si Bayangan 

Merah berkelebat menyerang, dengan pukulan lu-

rus ke wajah.

Tetapi dengan mudahnya Madewa menghin-

dari serangan itu. Hal ini membuat si Bayangan 

Merah semakin jengkel. Dia meningkatkan dan 

mempercepat lagi serangan-serangannya. Ganas 

dan berbahaya.

Tetapi lagi-lagi Madewa dapat menghinda-

rinya dengan jurus Ular Meloloskan Diri.

Karena merasa serangannya berkali-kali 

gagal, si Bayangan Merah bersalto ke belakang. 

Dengan membesarkan hati dia berkata mengejek.

"Hhh! Ternyata bisa mu hanya menghindar 

saja. Cepat perlihatkan seranganmu!"

Madewa tersenyum. "Bila itu maumu, baik-

lah!" katanya sambil membuka jurusnya Ular Me-

matuk Katak.

Dia pun bergerak dengan cepat.


Si Bayangan Merah terkejut melihat seran-

gan yang cukup cepat itu. Dia pun menghindar 

dengan sigap dan bergerak mencoba membalas.

Namun balasannya seolah tak menemui 

tempat yang baik. Karena tertutup oleh serangan-

serangan Madewa Gumilang.

Tiba-tiba Bayangan Merah bersalto kebela-

kang. Menurut dugaannya, dia dapat menghindar 

dari serangan-serangan Madewa. Tetapi dia terpe-

kik kaget ketika Madewa terus memburunya. Kali 

ini Madewa mengejar dengan jurus Ular Cobra 

Bercabang Tiga. Tangannya bergerak secepat ge-

rakan ular.

Bayangan Merah yang telah membuat Ki 

Ageng Tapa dan Roro Kenanga menjadi bulan-

bulanannya, kini harus pontang panting menghin-

dari serangan-serangan Madewa.

"Mengapa kau menjadi kocar-kacir begitu? 

Bukankah tadi kau meminta aku untuk memba-

las?!" kata Madewa tetap dengan suara yang arif 

dan bijaksana. Tidak terdengar sedikit pun kalau 

dia mengejek.

"Bangsat, Jubah Putih!" geram Bayangan 

Merah 

"Tunggu pembalasanku!"

Tiba-tiba si Bayangan Merah bersalto dua 

kali ke belakang dan kemudian berkelebat cepat 

meninggalkan Madewa. Madewa tidak bermaksud 

mengejar.

Dia hanya terdiam di tempatnya. Tetapi pe-

lan-pelan dia membuka ilmu pandangan Menem-

bus Sukma. Dari jarak yang cukup jauh, Madewa


dapat melihat si Bayangan Merah berlalu menuju 

kadipaten.

Lalu melompati tembok bagian belakang dan 

masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana si Bayan-

gan Merah membuka kedok wajahnya. Dan terli-

hatlah wajah Nyai Diah!

Madewa mendesah panjang. Wanita itu per-

nah dilihatnya saat pertandingan di depan Kadipa-

ten. Wanita itu memiliki ilmu silat yang cukup 

tinggi. Berarti, dia wanita yang hebat. Apakah 

mungkin dia kaki tangan dari Broto?

Madewa menghentikan ilmu Pandangan Me-

nembus Sukmanya yang dapat menembus gunung 

tinggi.

Dia berpaling pada Ki Ageng Tapa dan Roro 

Kenanga yang tengah menjura.

"Salam hormat dari kami, Pendekar Budi-

man" kata keduanya berbarengan,

Madewa tersenyum.

"Sudahlah, tak perlu menghormat seperti 

itu. Ki Ageng Tapa... kulihat kau sedang dalam 

keadaan sakit. Dan aku mencium bau amis dari 

kelabang" kata Madewa sambil berjalan mendekati 

Ki Ageng Tapa.

Dan seperti tersadar, Ki Ageng Tapa menge-

luh kesakitan. Dia merasakan ada yang keluar da-

ri tonjolan-tonjolan yang terdapat di sekujur tu-

buhnya. Mengeluarkan nanah yang bau amis.

"Benar, Saudara Pendekar" desis Ki Ageng 

Tapa kesakitan.

"Masuklah ke dalam gubuk! Kau nampaknya 

terkena Racun Kelabang Putih...."


Ki Ageng Tapa menurut. Lalu Madewa pun 

mengobatinya.

***

SEPULUH



Sebenarnya Sekar Juwita sudah cukup lama 

curiga melihat gerak-gerik ibunya yang kadang be-

gitu akrab dengan Broto. Semula Sekar Juwita 

memang menikmati menjadi istri dari Adipati. Te-

tapi lama kelamaan dia merasakan bahwa dia 

hanya menjadi boneka dari ibunya untuk mende-

sak adipati jika dia menginginkan sesuatu.

Semula pula Sekar Juwita tidak merasakan 

apa-apa dari desakan ibunya. Tetapi lama kela-

maan dia menjadi kasihan pada suaminya. Secara 

diam-diam dia telah jatuh cinta pada Adipati Wis-

nuwisesa.

Dia sangat menyesal karena mau menuruti 

perintah ibunya memasukkan obat penurut ke da-

lam gelas minuman Adipati.

Diliriknya suaminya yang sedang pulas.

Malam telah larut.

"Oh, suamiku tercinta, maafkan aku...." 

desisnya pilu.

Dan tiba-tiba telinganya menangkap satu ge-

rakan yang bergerak di luar kamarnya. Sekar Ju-

wita menajamkan telinganya. Dan terdengar suara 

pintu belakang dibuka, lalu orang melangkah berJingkat.


Sekar Juwita menjadi penasaran. Siapa 

orang itu? Hati-hati dia mengintip dari lubang 

kunci kamarnya.

Dia melihat Broto tengah mengetuk pintu 

kamar ibunya. Dan tak lama kemudian terlihat 

pintu terbuka dan muncul ibunya yang celingukan 

setelah Broto masuk. Lalu menutup pintu.

"Kecurigaan ku terbukti...." desah Sekar Ju-

wita. "Aku tidak mau menjadi boneka ibu lagi, aku 

harus berontak dari semua ini... Harus!"

Dengan tekad yang bulat, Sekar Juwita ke-

luar dari kamarnya. Dan mencuri dengar dari ka-

mar ibunya. Keningnya pertama berkerut menden-

gar suara desah nafas seolah berlomba yang ter-

dengar, tetapi lama kelamaan dia menggeram. Se-

dih. Karena ibunya ternyata hanya seorang pela-

cur belaka!

Menjadi pemuas nafsu Broto. Atau juga 

mencari kepuasan melalui Broto.

Sekar Juwita masuk lagi ke kamarnya. Sete-

lah beberapa menit dia pun kembali mencuri den-

gar di kamar ibunya.

Dia menangkap suara ibunya, "Jalan satu-

satunya kita bunuh dulu Adipati Wisnuwisesa."

"Aku memang ingin mengusulkan begitu, 

Nyai. Kupikir, rencana kita sudah gagal. Karena Ki 

Ageng Tapa dan Roro Kenanga sudah mencium 

semuanya. Belum lagi dia dibantu oleh Pendekar 

Bayangan Sukma"

"Bagus, tapi aku tidak bisa membunuh Adi-

pati sekarang, karena ada putri ku di sana. Tapi...


ah, bukankah itu sesuatu yang mudah. Biar nanti 

ku peralat putri ku untuk membunuhnya...."

Nyai Diah terpekik.

Broto terkejut.

Karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.

Lalu muncul Sekar Juwita dengan tatapan 

sedih, marah dan kecewa.

"Putri...." seru Nyai Diah berlagak ter-

senyum. Buru-buru dia merapikan pakaiannya. 

Ah, mengapa tadi dia lupa mengunci? Karena Bro-

to sudah terlalu bernafsu tadi!

"Aku sudah mendengar semua kata-kata 

Ibu... Aku tidak mau ibu peralat lagi. Aku tidak 

mau, Bu... aku tidak mau mengkhianati suamiku 

lagi...."

"Semula Sekar memang tidak mengerti apa 

maksud ibu semua ini. Tetapi lama kelamaan Se-

kar mengerti. Sekar dijadikan alat untuk meme-

nuhi ambisi ibu...."

"Sekar!" wajah Nyai Diah merah padam.

"Sekar tidak mau melakukannya lagi, Bu...." 

kata Sekar Juwita menangis.

"Apa maksudmu Sekar?"

"Ibu jangan berpura-pura lagi. Sekar sudah 

tahu semuanya. Ibu mau membunuh suami Sekar 

untuk merebut semua yang ada. Bukankah bila 

ibu sudah mendapatkan tampuk kekuasaan seba-

gai adipati di sini, adipati-adipati lain akan tun-

duk?"

"Kau sudah berani kurang ajar pada ibumu, 

Sekar!"


"Ya, Sekar akan menentang semua perintah 

ibu sekarang!"

"Kurang ajaaaaar!" geram Nyai Diah sambil 

menggerakkan tangannya menampar wajah Sekar 

Juwita. "Kau kurang ajar sekali pada ibumu, Se-

kar!"

"Karena Sekar tidak suka dengan perbuatan 

Ibu. Maafkan Sekar, Bu...."

"Anak tidak tahu diri!" Kembali tangan Nyai 

Diah melayang. Kali ini Sekar Juwita langsung 

pingsan.

Tiba-tiba terdengar suara dari are bang pin-

tu, "Haha... mengapa anakmu sendiri yang kau 

siksa, Nyai Diah...."

Nyai Diah menoleh ke suara itu. Nampaklah 

Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga sedang berdiri di 

ambang pintu. Dan saling lemparkan senyum 

mengejek.

"Kau?!"

"Hahaha... rupanya si Bayangan Merah tiga 

hari yang lalu telah berganti wujud!" ejek Roro Ke-

nanga. Namun langsung menghindar karena tu-

buh Nyai Diah sudah berkelebat.

Begitu pula dengan Broto yang sudah me-

nerjang Ki Ageng Tapa.

Karena bagi mereka, untuk menutupi diri 

sudah sia-sia belaka. Karena kedok mereka sudah 

diketahui. Maka keduanya langsung mengelua-

rkan pukulan Racun Kelabang Putih.

Seketika telapak tangan keduanya berubah putih.


"Hahaha... mampuslah kalian berdua!!" desis 

Broto terbahak.

Seketika di ruangan itu terjadi pertempuran 

yang cukup sengit. Ki Ageng Tapa dan Roro Ke-

nanga tidak berani bersentuhan atau pun berben-

turan. Karena mereka tahu akibat apa bila sempat 

bersentuhan.

Dan itu memudahkan Nyai Diah dan Broto 

menyerang dengan hebat. Sehingga dalam tiga ju-

rus saja keduanya sudah mampu mendesak Ki 

Ageng Tapa dan Roro Kenanga.

Beberapa orang pengawal yang mendengar 

suara ribut-ribut masuk dan melihat pertarungan 

itu.

"Para pengawal!" seru Broto. "Tangkap Ki 

Ageng Tapa dan Roro Kenanga! Karena mereka 

hendak memberontak pada Adipati Wisnuwisesa! 

Cepat!"

Karena yang memberi perintah atasan mere-

ka, mereka pun langsung mengurung. Namun 

mendadak saja mereka merasakan ada angin be-

sar yang mendorong mereka hingga semuanya 

bergulingan.

Dan berdirilah sosok berjubah putih dengan 

tersenyum arif dan bijaksana.

"Madewa Gumilang!" seru Nyai Diah seraya 

bersiap.

Begitu pula Broto.

Dan tanpa banyak lagi keduanya segera me-

nyerang Madewa dengan cepat, tangkas dan ber-

bahaya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Ma-

dewa berhasil menghindari semua itu.


Namun baginya sulit untuk membalas. Ka-

rena bila tangannya bersentuhan dengan bagian 

tubuh dari keduanya, secara otomatis Racun Ke-

labang Putih itu akan mengalir ke tubuhnya.

Madewa pun bergerak dengan cepat sambil 

berpikir. Namun sulit baginya untuk melepaskan 

pukulan atau pun balasan ke arah keduanya.

Sampai akhirnya dia memutuskan untuk 

melepaskan Pukulan Bayangan Sukma. Pukulan 

sakti yang hebat itu adalah pukulan andalannya. 

Tak seorang pun di dunia ini yang mampu mena-

han pukulan itu.

Pertimbangannya untuk melepaskan puku-

lan itu, karena kedua pukulan itu dilancarkan 

Nyai Diah dan Broto sangat mematikan. Dan bisa 

membahayakannya. Tak ada jalan lain.

Madewa pun bersiap.

Keduanya tangannya terangkum menjadi sa-

tu di dada. Lalu nampaklah asap putih mengepul 

dari sana.

Nyai Diah terkikik. "Hihihi... rupanya kau 

ingin mengadu tanganmu dengan tangan ku, Ma-

dewa! Bagus! Broto, kita sambut pukulan Madewa 

yang kayak asap tabunan itu!"

Madewa hanya tersenyum.

"Siapakah di antara kalian murid dari Eyang 

Arumtari?" tanyanya.

"Aku, Madewa! Kaulah yang telah merusak 

semua rencanaku! Kaulah yang mengetahui ten-

tang pukulan Racun Kelabang Putih! Maka, kau 

harus mampus di tanganku!"


"Tak ada jalan lain! Aku pun tak menyukai 

kejahatan yang telah kalian lakukan! Bila kalian 

hentikan dan berjanji tidak akan mengulanginya 

lagi, maka akan aku lepaskan!"

"Bangsat! Kau pikir aku takut! Broto, kita 

hajar dia! Madewa... sambutlah pukulan Racun 

Kelabang Putih!" seru Nyai Diah.

Dan secara bersamaan dengan Broto kedua-

nya melesat menerjang Madewa. Yang juga berge-

rak menyambut dengan Pukulan Bayangan Sukma 

di tangan.

Ketika kedua pukulan itu bertemu, terdengar 

suara letusan yang cukup keras, Langit-langit 

ruangan hancur. Berguguran.

Tembok-tembok pun bergerak. Betapa dah-

syatnya. Betapa hebatnya.

Dan dari kepulan asap itu terlihat dua sosok 

tubuh terpental. Tubuh Nyai Diah dan Broto yang 

langsung ambruk dengan tubuh hancur.

Sementara Madewa hanya terhuyung bebe-

rapa tindak.

Melihat ibunya mati, Sekar Juwita menjerit, 

"Ibu...! Ibu!!" serunya seraya memburu. Tapi 

kemudian dia jatuh pingsan.

Madewa Gumilang mendesah panjang.

Lalu berkata pada Ki Ageng Tapa dan Roro 

Kenanga. 

"Kalian urus semuanya, selamat tinggal!"

"Saudara Pendekar!"

"Tunggu"

Tetapi bayangan itu sudah tidak nampak. Ki 

Ageng Tapa dan Roro Kenanga mendesah panjang.


                        SELESAI





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive