Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE GADIS DARI ALAM KUBUR

Gadis Dari Alam Kubur

 

Satu


Suasana di tepi lereng Gunung Setan pagi 

itu, sunyi senyap. Seperti biasanya hanya terden-

gar suara desir angin dan kicauan burung. Lain-

nya tak ada. Mungkin hanya geresek dedaunan 

yang tertiup angin. 

Gunung itu dipanggil Gunung Setan kare-

na tempatnya yang menyeramkan sekaligus 

mengerikan. Sepertinya di gunung itu ada be-

berapa makhluk yang tak kelihatan dan siap 

mengganggu siapa saja.

Karena keseramannya itulah gunung itu 

dipanggil Gunung Setan.

Penduduk yang berdiam di sekitar gunung 

itu bila senja telah datang tak satu pun yang be-

rani keluar rumah, sampai matahari muncul 

kembali keesokan harinya. Bagi mereka, lebih 

baik berdiam di rumah daripada terjadi apa-apa.

Dan di pagi yang cukup cerah ini, nampak 

tiga orang penunggang kuda mendekati lereng 

Gunung Setan. Ketiganya nampak lelah sekali. 

Melihat dari cara berpakaiannya yang ringkas dan 

pedang di punggung, mereka sepertinya orang-

orang rimba persilatan.

Ketiganya berhenti di depan sebuah wa-

rung kecil. Melihat kedatangan ketiga orang itu, 

membuat penduduk di sekitar sana bertanya-

tanya. Siapakah mereka?

Ketiga orang itu pun memasuki warung ke


cil itu. Dan memesan makanan dan minuman 

yang terlalu banyak untuk mereka bertiga. Na-

mun kelihatannya mereka habis melakukan satu 

perjalanan yang cukup jauh. Karena hidangan 

yang banyak itu dapat mereka habiskan.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri. 

Dan berseru lantang, menarik perhatian orang-

orang yang sedang makan.

"Maafkan aku, Saudara-saudaraku! Siapa-

kah gerangan yang bisa menunjukkan jalan me-

nuju puncak Gunung Setan?!"

Sebagian besar orang yang sedang makan 

di warung itu, tahu jalan menuju puncak Gunung 

Setan. Namun tak satu pun yang menyahut. Me-

reka terus menikmati hidangan mereka saja. Seo-

lah suara tadi tak pernah ada, bahkan tak pernah 

terdengar. Dan kata-kata orang itu tidak menarik 

perhatian mereka lagi.

Orang itu berkata lagi, "Barang siapa yang 

bisa menunjukkan jalan menuju puncak Gunung 

Setan, akan kami beri hadiah lima belas tail uang 

perak!"

Uang perak saat itu adalah jumlah yang 

sangat besar. Namun tak satu pun penduduk 

yang menyahut. Bagi mereka, pergi ke puncak 

Gunung Setan sama dengan mengantarkan nya-

wa dengan percuma.

Hmm, apa ketiga orang ini ingin mampus 

di sana? Atau sebenarnya mereka sudah bosan 

hidup? 

Karena tak ada yang menyahut, ketiga


orang itu pun segera membayar apa yang telah 

mereka makan. Lalu keluar dan menaiki kuda 

mereka kembali.

Ketiganya adalah orang-orang yang memi-

liki kepandaian ilmu kanuragan yang lumayan. 

Mereka menamakan diri, Tiga Pedang Perak! Ka-

rena pedang yang berada di punggung masing-

masing terbuat dari perak murni.

Tiba-tiba di hadapan mereka muncul satu 

sosok tubuh berperawakan sedang. Wajah orang 

itu jelek sekali. Dengan mata yang sebelah tertu-

tup dan sebelah terbuka. Gigi orang itu pun ke-

luar. Dia menyeringai pada Tiga Pedang Perak.

Salah seorang dari Tiga Pedang Perak yang 

bernama Banusura berkata, "Hei, orang jelek! 

Mau apa kau menghadang perjalanan kami?!"

Orang itu masih menyeringai.

"Maafkan aku, Tuan-tuan. Namaku Seto 

Mulia," kata orang itu sambil menjura.

"Hmm... Seto Mulia... katakan ada apa kau 

menghadang perjalanan kami?"

"Maafkan aku, Tuan-tuan. Tadi kudengar, 

Tuan-tuan tengah mencari orang untuk menun-

jukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."

"Hmm, benar. Kau tahu orangnya?"

"Mudah sekali, Tuan."

"Katakan pada kami, siapa orangnya?" 

tanya Banusura sedikit gembira.

"Itu masalah gampang, Tuan-tuan. Tetapi... 

bagaimana dengan pembayarannya?"

"Lima belas tail uang perak."


"Terlalu murah. Jalan menuju Puncak Gu-

nung Setan begitu susah."

"Berapa yang pantas?"

"Dua puluh tail uang perak dan seekor ku-

da."

"Pemeras!" terdengar yang berwajah cukup 

seram berseru. Dia bernama Abilaga.

Seto Mulia menyeringai.

"Bila Tuan-tuan tidak mau, aku tidak me-

maksa," katanya sambil berbalik.

"Hei, tunggu!" seru Banusura.

Orang itu berbalik dan kembali menyerin-

gai.

"Bagaimana, Tuan?"

"Baik, dua puluh tail uang perak dan see-

kor kuda. Nah, katakan siapa orangnya?"

"Hehehe... dia tak jauh berada di dekat 

Tuan-tuan..."

Seto Mulia terkekeh.

"Hei, jadi kau sendiri?!" seru Banusura se-

dikit kaget.

"Benar, Tuan. Bagaimana? Setuju?"

"Benar kau tahu jalan menuju puncak Gu-

nung Setan?"

"Tahu dengan pasti."

"Apa sangsinya bila kau tidak tahu?"

"Hehehe... leherku sebagai taruhannya. 

Dan aku pun tahu apa yang Tuan-tuan kehendaki 

di puncak Gunung Setan."

"Apa yang kau ketahui," kata Banusura 

yang merasa tengah berhadapan dengan manusia


licik.

"Makam Eyang Ringkih Dewi... pendekar 

wanita yang telah terkubur ratusan tahun di pun-

cak Gunung Setan..."

Dan makin sadarlah Banusura akan kelici-

kan Seta Mulia. Dia berkata.

"Apa lagi yang kau ketahui?"

"Letak makam itu pun aku tahu, Tuan... 

dan dari semua penduduk yang ada di sini, hanya 

akulah seorang yang tahu semua itu. Karena aku 

sering mencari kayu di puncak Gunung Setan..."

Banusura mendesah. "Baik, kapan kau bi-

sa mengantar kami?"

"Besok, pagi. Sebaiknya Tuan-tuan hari ini 

beristirahat saja. Di ujung jalan sana ada sebuah 

penginapan yang cukup murah."

"Baik, besok pagi kita melakukan perjala-

nan menuju puncak Gunung Setan."

Terdengar suara Seto Mulia terkekeh.

"Bagaimana dengan bayaran itu, Tuan?"

"Besok kau akan mendapatkan separuh 

uang muka dari seluruhnya. Dan seekor kuda...."

"Hehehe... aku minta sekarang, Tuan-

tuan... saat ini aku sedang kalah berjudi. Kumin-

ta uang muka sekarang... bila tidak, musnahlah 

harapan Tuan-tuan untuk datang ke puncak Gu-

nung Setan dan mengambil sebuah cambuk sakti 

milik Eyang Ringkih Dewi...."

Banusura mendesah. Orang ini agaknya 

tahu banyak tentang makam Eyang Ringkih Dewi 

dan cambuk Sutra Sakti. Banusura menjadi me


naruh harap pada Seto Mulia.

Memang, kedatangan Tiga Pedang Perak ke 

Gunung Setan untuk menggali makam Eyang 

Ringkih Dewi, pendekar wanita yang perkasa, 

yang memiliki cambuk Sutra Sakti. Biarpun wani-

ta itu dari golongan hitam yang sepak terjangnya 

amat mengerikan dan berbahaya, ketiga orang itu 

tidak takut. Bagi mereka bahkan, Eyang Ringkih 

Dewi seorang pendekar wanita yang gagah perka-

sa; Karena mereka sendiri adalah orang-orang da-

ri golongan hitam.

Permintaan Seto Mulia pun disetujui. Ba-

nusura menyerahkan sepuluh tail uang perak pa-

danya.

"Hehehe...!" Seto Mulia terkekeh. "Tuan-

tuan tak usah khawatir aku akan melarikan diri. 

Rumahku di dekat sungai sana. Tidak susah 

mencariku. Anak dan istriku berdiam di sana.... 

Selamat pagi, Tuan-tuan... dan selama beristira-

hat..."

Lalu laki-laki berwajah jelek itu berlalu 

sambil terkekeh meninggalkan Tiga Pedang Perak.

Abilaga yang sejak tadi jengkel mendengar 

kata-kata Seto Mulia berkata, "Hhh! Licik! Ini pe-

merasan namanya!"

"Tenanglah, Abilaga," kata Banusura. "Yang 

penting kita menemukan orang yang bisa menun-

jukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."

"Benar kata-katamu, Banusura," kata Ja-

galila yang sejak tadi terdiam. "Untuk saat ini, 

yang membuat kita menurut pada orang itu, ka


rena dialah kunci dari seluruh pencarian kita."

"Benar apa yang dikatakan Jagalila. Untuk 

sementara kita menurut saja dan memenuhi se-

mua kemauan dari orang jelek yang mengaku 

bernama Seto Mulia."

"Lalu?" tanya Abilaga. Sebelum Banusura 

menjawab, Jagalila menyelak, "Lalu... bukankah 

kau telah punya rencana tersendiri, Banusura?" 

Banusura terbahak. "Benar, Jagalila. Ren-

cana itu telah tersusun matang di benakku. Dan 

semuanya akan kulaksanakan. Orang seperti dia 

tak akan pernah kuberi ampun. Setelah semua-

nya beres, kita bunuh dia!"

Lalu sambil terbahak, ketiganya menjalan-

kan kuda mereka menuju ke penginapan. Begitu 

mereka masuk ke kamar yang mereka pesan, da-

tang pula ke tempat itu dua orang wanita.

Yang seorang bertanya, "Tiga orang yang 

berpedang di punggung, memesan nomor bera-

pa?"

Penjaga penginapan itu menyahut, "5."

"Terima kasih, kami pesan kamar nomor 

6," kata wanita itu lagi. Lalu keduanya pun me-

masuki kamar yang telah mereka pesan.

Melihat dari gerak-gerik keduanya, agak-

nya mereka punya rencana tersendiri terhadap 

Tiga Pedang Perak. Karena berulangkali kedua 

wanita itu nampak keluar masuk kamar.

Menjelang senja, Keduanya mendengar pin-

tu Tiga Pedang Perak terbuka. Nampak Abilaga 

keluar dari kamar itu.


"Juwita... kau ikutilah dia!" kata wanita itu 

pada yang satu. Yang satunya lebih muda dan 

seorang gadis remaja. Wajahnya jelita. Usianya ki-

ra-kira baru 17 tahun.

"Baik, Bibi!" Lalu gadis yang bernama Ju-

wita itu pun keluar dari kamarnya. Dan dengan 

hati-hati mengikuti ke mana perginya Abilaga.

Dan menjelang malam, dia baru kembali ke 

penginapan itu.

Wanita yang lebih tua segera bertanya. 

"Bagaimana, Juwita?"

"Dia hanya membeli seekor kuda, Bibi...."

"Hmm... barangkali untuk penunjuk jalan 

yang bermuka jelek itu. Juwita, sebaiknya kau ti-

dur saja. Mungkin besok kita harus melakukan 

perjalanan yang cukup jauh...."


Dua



Meskipun licik, Seto Mulia ternyata dapat 

dipercaya. Keesokan paginya, dia sudah menung-

gu di luar penginapan Tiga Pedang Perak.

Ketiga orang itu yang sudah bersiap pun 

keluar dari penginapan mereka. Seto Mulia terta-

wa melihat kini ada empat ekor kuda yang terikat 

di depan penginapan itu.

"Kita berangkat sekarang, Tuan-tuan?" 

tanya Seto Mulia.

"Lebih cepat lebih baik. Berapa lama yang 

kita butuhkan untuk tiba di sana?" tanya Banu


sura.

"Bila kita berangkat sekarang, besok pagi 

baru tiba di sana. Itu pun bila tanpa beristirahat."

"Baiklah kalau begitu. Kita berangkat saja 

sekarang."

Mereka segera naik kuda masing-masing. 

Dan tanpa setahu mereka, dua pasang mata 

memperhatikan kepergian mereka.

"Kita susul sekarang, Bibi?" tanya Juwita 

yang sudah tidak sabaran.

"Sabar saja, Juwita... biarkan keempat 

orang itu agak menjauh, baru nanti kita menyu-

sul..." sahut Bibinya sambil tersenyum.

Sebenarnya kedua wanita itu adalah murid 

dan guru. Muridnya bernama Juwita, sedangkan 

gurunya bernama Dewi Kantilaras atau yang ber-

juluk Dewi Bunga Biru. Karena Dewi Kantilaras 

bersenjatakan bunga berwarna biru. Namanya 

sudah cukup dikenal di rimba persilatan.

Terdengar lagi suara Juwita berkata, "Kita 

sudah hampir sebulan mengikuti perjalanan Tiga 

Pedang Perak, Bibi. Dan kini kita tahu, mereka 

mempunyai penunjuk jalan menuju Puncak Gu-

nung Setan. Apakah kita harus mengikuti mereka 

terus Bibi?" suara Juwita terdengar seperti kelu-

han.

Dewi Kantilaras, yang berusia kira-kira 35 

tahun tersenyum lagi sambil memandang Juwita. 

Dia ingat sekali, 17 tahun yang lalu dia menemu-

kan seorang bocah perempuan sedang menangis 

di tepi hutan. Sendirian. Dan bocah itu sepertinya


sengaja ditinggalkan oleh orangtuanya.

Dewi Kantilaras yang saat itu baru berusia 

18 tahun segera mengambilnya dan mengasuh-

nya. Dia pun mengajarkan ilmu silat pada bocah 

itu. Ketika Juwita berusia 15 tahun, Dewi Kanti-

laras menceritakan semua kejadian itu.

Juwita cuma menangis sesenggukan kare-

na mengetahui bahwa dia ternyata bukan anak 

kandung dari wanita itu.

Atas suruhan Dewi Kantilaras sendiri, dia 

mengubah panggilannya menjadi bibi.

"Kalau itu maumu, baiklah, Juwita," kata 

Dewi Kantilaras sambil mengajak Juwita berjalan 

ke belakang penginapan itu. Di sana ada dua ekor 

kuda milik mereka.

Dengan lincah keduanya segera naik ke 

punggung kuda masing-masing dan menggebah 

kuda mereka untuk menyusul Tiga Pedang Perak 

dan Seto Mulia.

***

Gunung Setan memang menyeramkan.

Menjelang senja, Tiga Pedang Perak dan 

Seto Mulia telah menempuh separuh perjalanan. 

Nampak pula mereka cukup letih. Meskipun me-

reka menunggangi kuda, namun panas yang cu-

kup menyengat membuat mereka menjadi agak 

kelelahan.

"Kita beristirahat saja dulu, Banusura..." 

usul Jagalila.


"Baik! Seto, kita beristirahat dulu!"

Seto Mulia cuma mengangguk. Baginya, 

meneruskan perjalanan sekarang pun tak menja-

di soal. Uang, sisa uang yang sepuluh tail lagi 

yang menjadi dambaannya sekarang. Baginya, dia 

tak perduli dengan makam Eyang Ringkih Dewi. 

Uang, uang itu dibutuhkannya!

Semalam dia kalah lagi di meja judi. Dan 

nafsu untuk bermain kembali menderanya. Judi 

baginya sudah mendarah daging. Dan nafsulah 

yang berperan pada semua ini. Bila kita sukar 

mengekang nafsu, hancurlah semuanya. Tetapi 

kebanyakannya orang lebih mudah diperbudak 

nafsu, daripada memperbudak nafsu. Inilah yang 

sebenarnya sangat membahayakan.

Bila kita sudah diperbudak nafsu, maka 

semuanya akan sulit dikekang. Dan kadang kita 

akan kesukaran untuk membedakan mana yang 

baik dan buruk, mana yang benar dan salah.

Seperti Seto Mulia ini. Baginya nafsu ada-

lah tuan dari segala tuan!!

Agak jauh dari sana, dua ekor kudapun 

berhenti. Kedua penunggangnya pun nampak ke-

lelahan. Mereka pun beristirahat.

"Bibi..." bisik Juwita.

"Ya?"

"Tempat ini menyeramkan sekali, Bibi...."

"Kau takut, Juwita?"

"Sebenarnya, iya... tapi dekat Bibi, apa 

yang harus ku takuti?"

Dewi Kantilaras tersenyum. "Orang-orang


memanggil gunung ini dengan sebutan Gunung 

Setan, karena keseramannya."

"Kita masih meneruskan perjalanan, Bibi?"

"Benar, Juwita. Aku sangat mengidam-

ngidamkan cambuk Sutra Sakti, yang pernah di-

miliki oleh Eyang Ringkih Dewi. Tokoh dari golon-

gan hitam yang amat sakti..."

"Lalu rencana Bibi bagaimana?"

"Bila mereka sudah menemukan ma-

kam itu dan mendapatkan Cambuk Sutra Sakti, 

kita akan merebutnya, sekaligus membunuh me-

reka..."

Juwita cuma mengangguk saja. Dia tahu 

ilmu silat yang dimiliki oleh bibinya sekaligus gu-

runya ini sangat tinggi. Namun tiba-tiba terdengar 

keributan tak jauh dari tempat mereka.

Serentak keduanya melihat. Di tempat isti-

rahatnya, nampaklah Tiga Pedang Perak sedang 

bertempur melawan seorang kakek yang bersenja-

takan tongkat berkepala buaya.

Dewi Kantilaras berdesis, "Hmm... Siluman 

Dewa Buaya... rupanya dia pun berniat untuk 

mendapatkan Cambuk Sutra Sakti..."

"Siapakah Siluman Dewa Buaya, Bibi?" 

tanya Juwita yang sangat tertarik. Berulang kali 

dia melihat pertempuran dan telah berulang kali 

pun dia terlibat pertempuran, namun kali ini yang 

dilihatnya nampak begitu hebat. Diam-diam dia 

kagum dengan kakek bertongkat kepala buaya itu 

yang masih bisa mengimbangi tiga serangan dari 

pengeroyoknya yang telah mencabut pedang mas


ing-masing.

"Sebenarnya... tak seorang pun yang tahu 

nama asli Siluman Dewa Buaya. Orang hanya ta-

hu dia seorang kakek sakti yang berdiam di Sun-

gai Buaya. Dan menjadi dewa para buaya. Kesak-

tiannya amat tinggi. Dan kekejamannya sama 

dengan buaya, tak mengenal ampun bagi siapa 

pun. Dan agaknya dia pun tertarik dengan Cam-

buk Sutra Sakti..." kata Dewi Kantilaras. Lalu ter-

dengar desahannya.

"Kenapa, Bibi?"

"Agaknya kita mempunyai penghalang pu-

la..." 

"Bibi takut?"

Dewi Kantilaras tersenyum. "Aku tak per-

nah takut dengan siapa pun, Juwita..."

Di tempat beristirahatnya, memang Tiga 

Pedang Perak tengah bertarung hebat melawan 

seorang kakek yang bersenjatakan tongkat dan di 

ujung tongkat itu berbentuk kepala buaya.

Mereka sendiri tidak menyangka ketika 

mendadak beberapa senjata rahasia mendesing ke 

arah mereka. Dan serentak ketiganya bersalto. 

Hanya Seto Mulia yang kebingungan mengapa 

mendadak saja ketiganya melompat ke depan.

Dan dia baru mengetahui jawabannya keti-

ka di hadapan mereka berdiri seorang kakek 

berwajah tirus dengan tubuh kurus kerempeng. 

Kakek itu menyeringai dan terkekeh.

Tiga Pedang Perak tahu siapa kakek itu. 

Dan mereka pun menjadi siaga. Dalam hati mere


ka mengumpat kesal, karena berarti perjalanan 

mereka ini telah dicium oleh orang-orang rimba 

persilatan.

Dan mereka tak mau banyak cakap lagi, 

serentak ketiganya maju menerjang Siluman De-

wa Buaya yang cuma terkekeh saja.

Dan menyambut serangan pedang perak 

mereka dengan tongkatnya.

"Hehehe... rupanya kalian tidak suka meli-

hat kemunculanku ini..." terkekeh Siluman Dewa 

Buaya sambil menangkis serangan-serangan yang 

datang.

"Siluman Dewa Buaya! Lebih baik kau me-

nyingkir saja dari sini!" geram Banusura sambil 

terus mencoba mendesak.

"Hehehe... mengapa mesti ada larangan se-

perti itu, Banusura?"

"Karena kami menginginkan nyawamu!"

"Hehehe... biar tak ada penghalang bagimu 

untuk mendapatkan Cambuk Sutra Sakti, bukan? 

Hehehe... mengapa tidak kau ajak sekalian saja 

aku, Banusura?"

"Kakek siluman!" terdengar dengusan Ab-

ilaga yang panasan namun polos dan jujur. "Kami 

tak ingin membunuhmu sebenarnya, namun kau 

sudah menampakkan diri dan sepertinya siap un-

tuk mati sekarang!!"

"Hehehe... Abilaga.. apakah kau dan kedua 

temanmu itu mampu untuk mengalahkan aku?" 

terkekeh lagi si kakek. "Atau... kalian yang harus 

mampus hari ini di tanganku?"


"Keparaaat!!" terdengar bentakan Jagalila 

sambil bersalto melewati kedua temannya dan 

menghunus pedang peraknya ke arah jantung Si-

luman Dewa Buaya. 

Siluman Dewa Buaya cuma terkekeh. Dan 

bergerak menangkis dengan tongkatnya.

"Traaak!" 

Terjadi benturan antara pedang perak di 

tangan Jagalila dan tongkat berkepala buaya mi-

lik Siluman Dewa Buaya.

Tubuh Jagalila mendadak terlontar ke be-

lakang. Dia merasakan tangannya bergetar. Se-

perti pula pedangnya yang dirasakannya seperti 

menghantam tembok besar. Bila bukan tongkat 

yang telah dialiri tenaga dalam itu dengan mudah 

saja terpatah menjadi dua bagian. Tetapi tongkat 

itu telah dialiri tenaga dalam yang kuat, di samp-

ing terbuat dari bambu yang sangat langka.

Siluman Dewa Buaya terkekeh. "Hehehe... 

lebih baik kalian membunuh diri di depanku se-

belum aku makin tega dan menurunkan tangan 

telengas kepada kalian!" desisnya menyebar maut.

"Hhh!" Banusura mendengus. "Kami, Tiga 

Pedang Perak yang akan mengambil nyawamu, Si-

luman Dewa Buaya!"

"Hehehe... lebih baik kalian cepatlah mem-

bunuh diri dan tak perlu banyak omong lagi!"

"Kau yang jeri rupanya!" 

"Hehehe... biasa, orang mau mati selalu 

banyak omong!"

"Anjing buduk! Tahan serangan!!" geram


Banusura memaki keras. Dia bukan main jeng-

kelnya melihat kenyataan ini. Dan dia tak pernah 

menyangka ada yang membuntuti perjalanan me-

reka. Bila terjadi seperti ini bukankah yang mem-

buntuti lebih enak?

Makanya kini dia menyerang dengan penuh 

amarah dan membabi buta. Namun Siluman De-

wa Buaya begitu tangguh. Tongkatnya bergerak 

dengan cepat dan kadang menderu dengan hebat. 

Tongkat itu kadang menusuk, menotok, memu-

kul, menangkis dan menampar. Benar-benar satu 

pertunjukkan permainan tongkat yang hebat ten-

gah ditampilkan oleh Siluman Dewa Buaya.

Dan sebentar saja Banusura terdesak. 

Hingga suatu ketika kakinya terhantam tongkat 

Siluman Dewa Buaya hingga dia sempoyongan. 

Dan dengan satu jeritan yang cukup kuat, 

Siluman Dewa Buaya bertekad untuk menghabisi 

Banusura. Dia menerjang dengan mengayunkan 

tongkatnya ke kepala Banusura.

Tiba-tiba terjadi benturan keras.

"Traaaak!!"

Ayunan tongkat Siluman Dewa Buaya tidak 

mengenai sasarannya. Malah menghantam pe-

dang perak milik Abilaga yang menangkis untuk 

menyelamatkan nyawa kawannya.

Siluman Dewa Buaya bersalto ke belakang. 

Belum lagi dia hinggap di bumi, Jagalila sudah 

menderu maju dengan pedang terhunus.

Siluman Dewa Buaya tak mau dirinya dija-

dikan sasaran empuk pedang perak milik Jagalila.


Dengan satu gerakan yang fantastis, Siluman 

Dewa Buaya menangkis pedang itu dan melenting 

kembali ke belakang dengan bantuan tongkatnya 

yang dijadikan sebagai tumpuan untuk men-

gayunkan tubuhnya.

"Hehehe.... ternyata kalian memang nekat 

sekali!" terkekeh Siluman Dewa Buaya begitu 

hinggap di bumi. "Bagus! Aku pun tak ingin tang-

gung-tanggung lagi bermain-main dengan kalian! 

Nah, kali ini tahan serangan! Tongkat Buaya 

Mengejar Mangsa!"

Lalu Siluman Dewa Buaya pun menerjang 

kembali. Kali ini tongkatnya bagaikan memiliki 

mata untuk menyerang lawannya. Begitu cepat, 

tangguh dan berbahaya.

Abilaga dan Jagalila berusaha menahan se-

rangan-serangan tongkat Siluman Dewa Buaya. 

Namun mereka bagaikan telah terkurung oleh 

arus desiran angin yang cukup kuat, yang ditim-

bulkan oleh desingan dari tongkat itu.

Banusura sendiri tak bisa berbuat banyak, 

karena kakinya begitu sakit sekali. Dan sukar un-

tuk diajak berjalan. Ayunan tongkat Siluman De-

wa Buaya telah mematahkan tulang keringnya. 

Kini dia tengah mengalirkan tenaga dalamnya.

Keringat terlihat bercucuran di wajah dan 

sekujur tubuhnya.

Perlahan-lahan matahari mulai membe-

namkan diri, seolah enggan untuk melihat per-

tunjukan darah yang sebentar lagi akan bersimbah.


Dan tiba-tiba terdengar pekikan Siluman 

Dewa Buaya. Tubuhnya mendadak bersalto dua 

kali ke udara. Dan tongkatnya siap menyapu ke-

pala dari Abilaga dan Jagalila.

Sebisanya keduanya menghindar dan me-

nangkis, Abilaga berguling menghindarkan diri. 

Sedangkan Jagalila langsung melompat ke kiri.

Serangan yang berbahaya itu luput menge-

nai sasarannya. Namun bagi Siluman Dewa 

Buaya ini sudah bukan main-main lagi. Dia pun 

tak mau bertindak tanggung lagi.

Masih bersalto di udara dia melentingkan 

kembali tubuhnya. Dan mendekati Banusura 

yang sudah duduk terdiam mengaliri tenaga da-

lamnya.

Tongkat Siluman Dewa Buaya pun siap un-

tuk menerkam mangsanya.

"Crasss!"

Tanpa ampun lagi tombak itu menghantam 

kepala Banusura hingga pecah. Terdengar peki-

kan yang merobek alam sekitar dengan keras.

Lalu tubuh itu pun ambruk. Sementara Si-

luman Dewa Buaya telah berdiri tegap di bumi

dengan gagah. Dan terkekeh yang membuat Ab-

ilaga dan Jagalila menjadi murka. Mereka seakan 

melupakan keadaan Banusura yang sudah ke-

payahan. Dan mereka tak bisa lagi untuk meno-

long Banusura.

Kini matilah salah seorang dari Tiga Pe-

dang Perak yang tangguh.

Dan melihat kenyataan itu, Abilaga dan


Jagalila pun semakin murka. Keduanya menderu 

maju dan untuk membalas kematian Banusura.

"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Si-

luman keparat!" gertak Abilaga sambil mengayun-

kan pedangnya dengan hebat.

Begitu pula dengan Jagalila yang tak mau 

ketinggalan untuk ambil bagian membalas kema-

tian Banusura. Pedang perak di tangannya berke-

lebat dengan hebat mencari sasaran.

"Hehehe.. kalian cepatlah membunuh diri 

dengan jalan menusukkan pedang kalian ke jan-

tung kalian!" kata Siluman Dewa Buaya sambil 

terkekeh.

"Laknat! Kau harus membayar dengan ji-

wamu, Siluman keparat!!"

"Hehehe... keluarkanlah segenap kemam-

puanmu! Aku pun sudah jenuh untuk bertarung 

lebih lama! Nah, kalian layani jurus tongkatku 

yang satu ini. Tongkat Buaya mencari Buruan!"

Dan tongkat itu pun makin hebat bergerak. 

Penuh tenaga dan berbahaya. Hingga suatu saat, 

kedua lawannya berada dalam kepungan tongkat 

itu.

Tak ada jalan lain, Abilaga dan Jagalila 

mencoba untuk menerobos kepungan tongkat 

yang bergerak dengan cepat itu!!

***


TIGA


"Heeeeiiiiit!!" keduanya memekik keras 

mencoba menerobos. Pedang perak di tangan 

masing-masing siap untuk melindungi tubuh 

masing-masing.

Namun kepungan tongkat Siluman Dewa 

Buaya memang sulit untuk ditembus. Tetapi ke-

duanya telah nekat. Bagi mereka lebih baik mati 

berkalang tanah daripada membunuh diri

Kejadian yang nekat itu pun terjadi.

Dua tubuh itu menderu melesat mencoba 

menerobos kepungan tongkat yang bagaikan seri-

bu. 

"Des!" 

"Des!"

Dua sosok tubuh mencelat dari kepungan 

tongkat yang jadi bagaikan seribu. Dan tubuh ke-

dua itu pun muntah darah lalu ambruk dengan 

nyawa melayang.

Deruan tongkat itu berhenti. Siluman Dewa 

Buaya terkekeh.

"Hehehe... tak satu pun yang berhasil me-

nembus pertahanan ku ini. Dan tak seorang pun 

yang akan berhasil. Tak akan pernah berhasil...."

Sementara itu Seto Mulia yang menyaksi-

kan pertarungan yang mendebarkan itu bering-

sut-ingsut ketakutan. Dia ngeri melihat kematian 

tiga orang yang menyewa jasanya itu. Dan lebih 

ngeri ketika teringat tinggal dia kini seorang. Ten


tunya Siluman Dewa Buaya akan menjadikannya 

penunjuk jalan menuju Puncak Gunung Setan.

Dugaannya memang benar, karena kini ke-

pala Siluman Dewa Buaya menoleh padanya. Se-

pasang matanya yang cekung menatap tajam.

Tiba-tiba terdengar kekehannya.

"Hehehe... kau tak bisa melarikan diri dari-

ku orang jelek! Ayo cepat kau katakan jalan mana 

yang harus kutempuh untuk menuju puncak Gu-

nung Setan?"

Seto Mulia menelan ludahnya. Kengerian 

itu semakin merambat. Mengerikan.

"Aku.." 

"Ya, kau bertugas untuk mengantarkan 

aku ke puncak Gunung Setan! Mengerti?!"

Tak bisa Seto Mulia menolak lagi. Segala 

kelicikannya telah lenyap. Dia ngeri melihat ka-

kek bermata cekung itu membunuhi orang-orang 

itu dengan mudahnya. Dan kini mau tak mau dia 

harus menuruti perintah kakek itu.

"Iya... ya, Tuan..." katanya tersendat, ta-

kut-takut.

"Tuan? Heheheh... bagus, bagus... panggil 

aku Tuan... hehehe... Tuan, tuan..." Siluman De-

wa Buaya bersorak gembira seperti anak kecil 

mendapat permen. Bahkan dia menari-nari.

Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-

laras dan Juwita tersenyum geli melihat tingkah 

kakek itu. Mereka tadi cukup kaget ketika melihat 

Tiga Pedang Perak dengan mudah dikalahkan 

oleh kakek itu.


Tetapi mengingat betapa kejam dan telen-

gasnya kakek itu menurunkan tangan, membuat 

Juwita sedikit bergidik. Namun begitu dilihat gu-

runya nampak tenang saja dia pun mencoba un-

tuk tenang.

"Dia kejam sekali, Bibi...." akhirnya keluar 

pula kata-kata yang ditahannya.

"Ya... orang-orang rimba persilatan sudah 

tahu betapa kejamnya kakek gila itu... Dia tak 

akan pernah melepaskan musuhnya bila belum 

mati..." sahut Dewi Kantilaras.

Lalu keduanya memperhatikan lagi Silu-

man Dewa Buaya yang tengah berkata pada Seto 

Mulia.

"Sekarang juga berangkat ke sana!"

"Tapi... aku lelah sekali..." sahut Seto Mulia 

takut-takut,

"Lelah? Hehehe... lelah, kau lelah, ya?" ter-

kekeh kakek itu. Dan tiba-tiba dia membentak, 

"Ayo cepat! Atau ku paksa kau seperti orang-

orang yang telah jadi mayat itu, hah?!"

Seto Mulia bagaikan disengat lebah men-

dengar suara yang keras menggelegar itu. Me-

mang tak ada pilihan lain. Meskipun lelah mende-

ranya, dia menaiki kembali kudanya. Siluman 

Dewa Buaya pun menaiki salah seekor kuda yang 

ada di sana.

Sementara itu Juwita tengah berkata pada 

Dewi Kantilaras.

"Mereka pergi lagi, Bibi...."

"Benar. Pasti Siluman Dewa Buaya telah


memaksa orang jelek itu."

"Lalu sekarang kira bagaimana, Bibi?"

"Maumu?"

"Aku tidak mau bertindak setengah-

setengah lagi, Bibi." 

"Maksudmu?"

"Kita ikuti saja mereka sekarang juga, Bi-

bi."

Dewi Kantilaras tersenyum.

"Bagus! Kau memang gadis yang pembera-

ni, Juwita!" kata Dewi Kantilaras sambil melom-

pat menaiki kudanya. Disusul dengan Juwita.

Lalu keduanya pun menjalankan kudanya 

mengikuti kuda-kuda yang bergerak di depan. 

Malam pekat. Untunglah purnama bersinar den-

gan terang.

***

Mentari di ufuk timur sana sudah menam-

pakkan bias kemerahannya. Tanda sebentar lagi 

kemunculannya akan tiba dan mulai tugas rutin-

nya menerangi seluruh jagat raya.

Sebagian sinarnya pun mulai menerangi 

bagian puncak dari Gunung Setan. Nampak dua 

orang penunggang kuda menjalankan kudanya 

secara perlahan, menapaki bagian-bagian jalan 

yang cukup terjal. Bila tidak hati-hati dan penuh 

perhitungan bisa terjungkal, terguling ke bawah.

Agaknya Seto Mulia memang sudah men-

genali jalan itu. Dia dengan mudah saja memapa


kinya. Walaupun tubuhnya terasa letih dan ma-

tanya amat mengantuk, dipaksakannya juga un-

tuk terus. Di belakangnya Siluman Dewa Buaya 

nampak masih dalam keadaan segar bugar.

Beberapa puluh meter dari mereka, nam-

pak Dewi Kantilaras dan Juwita menjalankan ku-

danya secara hati-hati pula.

Berulangkali Dewi Kantilaras berseru hati-

hati pada Juwita yang nampak sudah mengantuk.

"Hati-hati, Juwita! Kau harus berkonsen-

trasi penuh bila tidak ingin celaka!"

"Iya, Bibi!"

Juwita mencoba mengalirkan hawa mur-

ninya ke kedua matanya untuk mengusir rasa 

kantuknya. Memang tubuhnya sudah penat seka-

li. Beberapa saat kemudian, saat matahari telah 

muncul, terdengar seruan Seto Mulia, 

"Kita telah tiba di puncak Gunung Setan, 

Tuan!"

Siluman Dewa Buaya terkekeh.

"Hehehe... bagus, bagus. Nah, sekarang 

tunjukkan di mana makam Eyang Ringkih Dewi 

berada!"

"Saya... saya tidak tahu, Tuan..." kata Seto 

Mulia mencoba menghindar, karena dia tahu ka-

kek itu amat kejam sekali. Satu pikiran ada di 

benaknya. Bila dia memberitahukan di mana ma-

kam Eyang Ringkih Dewi berada, belum tentu dia 

akan mendapatkan upah dari petunjuknya ini. 

Malah Seto Mulia berpikir, dia akan dibunuh sete-

lah semua ini selesai. Makanya dia mencoba un


tuk berbohong.

Namun Siluman Dewa Buaya jelas tidak 

mau menerima begitu saja. Tongkatnya tiba-tiba 

bergerak.

"Tuk!"

Ujung tongkat itu telah menotok tubuh Se-

to Mulia hingga tak bisa bergerak.

"Hehehe... benar kau tidak tahu, Orang je-

lek?"

"Ia.. iya, Tuan..." kata Seto Mulia yang me-

rasa tubuhnya amat sukar untuk digerakkan. Dia 

merasa tersiksa sekali.

"Bagus! Kalau begitu biar aku yang cari 

sendiri! Dan kau tak akan pernah kulepaskan da-

ri totokkan itu! Biar kau mampus dipatuk ular di 

tempat yang menyeramkan ini, dan kaku selama-

lamanya!"

Wajah Seto Mulia pias.

Memerah. 

Dan ketakutan. 

"Aku... aku..."

"Hehehe.. kau sesungguhnya tahu, bukan? 

Nah, cepat tunjukkan! Bila tak ingin melihat aku 

marah dan menyiksamu!"

Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Seto 

Mulia. Bila dia tahu semuanya akan berakhir se-

perti ini, tak pernah dia mau menerima pekerjaan 

sebagai petunjuk jalan dari Tiga Pedang Perak. 

Biar dengan upah sebesar apa pun!

Tapi mau apa lagi?

Semua sudah terjadi dan dia tak mungkin


dapat melepaskan diri lagi.

Takut-takut dia mengangguk. 

"Iya... iya, Tuan...."

"Hehehe..." tongkat itu bergerak lagi, "Tuk!" 

dan terbebaslah Seto Mulia.

Lalu dengan teramat terpaksa, Seto Mulia 

pun menunjukkan makam Eyang Ringkih Dewi. 

Ternyata letaknya di dalam sebuah goa yang ter-

dapat di puncak Gunung Setan. Goa itu cukup 

menyeramkan. Dengan sedikit dipaksa, Seto Mu-

lia mengikuti Siluman Dewa Buaya memasuki goa 

itu.

Siluman Dewa Buaya terkekeh begitu meli-

hat sebuah makam yang telah jelek dan rusak. 

Batu nisannya tak ada sama sekali. Bahkan ma-

kam itu hampir rata dengan tanah. Bau lumut 

menguap dari dinding goa.

"Benar ini makam Eyang Ringkih Dewi, 

Orang jelek?" tanyanya.

"Be... benar, Tuan... Sayalah yang pertama 

kali menemukan makam ini."

"Bagus! Bagus! Hehehe... Cambuk Sutra 

Sakti akan menjadi milikku dan akulah yang 

menjadi penguasa di rimba persilatan ini!!"

Lalu dengan gerakan tongkatnya, Siluman 

Dewa Buaya mulai menggali makam itu. Seto Mu-

lia cuma memperhatikan dengan perasaan ngeri. 

Pertama ngeri karena takut pada Siluman Dewa 

Buaya. Kedua ngeri karena akan melihat mayat 

yang telah terpendam ratusan tahun yang lalu.

Bukankah ini suatu pemandangan yang


mengerikan?! 

Dan dia bergidik ngeri ketika kedua tangan 

Siluman Dewa Buaya mengangkat mayat yang te-

lah ratusan tahun terkubur itu.

Bau busuk menguap dari tubuh mayat itu. 

Menyebarkan aroma yang tidak sedap. Menyen-

gat. Teramat menyengat. Seluruh tubuh mayat itu 

telah rusak. Mengerikan. Dan teramat mengeri-

kan.

Seto Mulia langsung muntah karena bau 

busuk yang tak kepalang tanggung baunya.

Dia langsung berlari keluar goa untuk 

menghirup udara segar. Dan dia masih muntah-

muntah kembali.

Tak lama kemudian muncul Siluman Dewa 

Buaya sambil membopong mayat yang telah ru-

sak dan membusuk itu. Di bahunya terdapat se-

buah cambuk yang bagus sekali. Tangkai cambuk 

itu terbuat dari baja yang amat kuat. Sedangkan 

bagian surainya terbuat dari sutra yang indah se-

kali. Namun meskipun terbuat dari sutra yang 

nampak lembut, sebuah batu besar pun dapat 

hancur digebah oleh cambuk itu.

Bahkan sebuah senjata pusaka pun akan 

pecah berantakan bila terhantam cambuk itu. Itu-

lah Cambuk Sutra Sakti milik Eyang Ringkih De-

wi, tokoh dari golongan hitam yang hidup ratusan 

tahun yang lalu.

Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-

laras mendesah melihat Cambuk Sutra Sakti be-

rada di tangan Siluman Dewa Buaya. Cambuk


yang diimpi-impikannya untuk dijadikan senjata 

andalannya.

Dia harus merebut senjata pusaka itu se-

karang juga.

Lalu katanya pada Juwita, "Juwita... Bibi 

akan merebut Cambuk Sutra Sakti dari tangan 

Siluman Dewa Buaya sekarang..."

"Tapi Bibi..." 

"Kau tunggu di sini saja."

"Bukankah Bibi masih lelah?" 

Dewi Kantilaras tersenyum. Merasa senang 

diperhatikan oleh anak angkat sekaligus murid-

nya itu,

"Tenanglah. Bibi sanggup menghadapinya." 

"Kalau begitu, biar aku bantu, Bibi." 

"Tidak usah. Kau di sini saja," setelah ber-

kata begitu, Dewi Kantilaras bersalto dari ku-

danya.

Beberapa kali tubuhnya berputar di udara, 

dan hingga di depan Siluman Dewa Buaya yang 

teramat terkejut. Tetapi dia cuma terkekeh. 

"Hehehe... Dewi Bunga Biru rupanya yang 

telah hadir di tempat ini..."

"Hhhh!!" sepasang mata Dewi Kantilaras 

bersinar penuh perhitungan, "Kakek peot, cepat 

kau serahkan cambuk sakti itu padaku!!"

"Serahkan? Hehehe... tak semudah yang 

kau kira, Dewi..."

"Kakek peot! Jangan banyak omong! Ku-

minta serahkan padaku Cambuk Sutra Sakti itu!"

"Hehehe.... tak mudah, Dewi... tak mudah


untuk mendapatkan cambuk sakti ini dari tan-

ganku...."

"Rupanya kau sudah bosan hidup, Siluman 

Buaya darat!"

"Hehehe.... atau kau yang telah bosan hi-

dup, Dewi! Aku sudah tahu bahwa kau dari per-

tengahan jalan menuju puncak Gunung Setan ini 

telah menguntit aku, bukan? Hehehe.... kau tak 

bisa mungkir, Dewi! Nah, apa kau ingin seperti 

Tiga Pedang Perak, hah?"

Dewi Kantilaras terdiam. Dia baru menya-

dari kalau Siluman Dewa Buaya telah mengetahui 

dirinya diikuti olehnya dan Juwita.

Terdengar lagi suara Siluman Dewa Buaya 

terkekeh, "Hehehe... di mana temanmu yang can-

tik itu, hah? Aku sebenarnya sudah tidak tahan 

untuk melihatnya lagi dan mencicipi kehangatan 

tubuhnya..."

"Busuk sekali mulutmu, Kakek peot!" ge-

ram Dewi Kantilaras dengan wajah memerah.

"Hehehe... kau tentunya marah karena aku 

tak berminat denganmu, bukan? Sabarlah, De-

wi... nanti pun kau akan kuberikan kehangatan! 

Hehehe...."

Wajah itu semakin memerah. Dan kemara-

hannya pun mulai naik.

"Mulut busuk! Cepat kau serahkan Cam-

buk Sutra Sakti itu, bila tidak... kau akan mam-

pus di pagi ini! Dan Puncak Gunung Setan men-

jadi kuburanmu untuk selama-lamanya!"

"Hehehe... tak semudah itu, Dewi... He


hehe.. nah, kau cobalah!"

"Kakek jelek!" maki Dewi Kantilaras dengan 

berang. Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan.


Empat



Tiga buah bunga senjata rahasianya yang 

berwarna biru melesat deras ke arah Siluman 

Dewa Buaya. Bunga berwarna biru itu mengan-

dung racun yang amat mematikan. Jangankan 

menancap di tubuh lawan, terserempet saja su-

dah amat berbahaya.

Siluman Dewa Buaya tahu soal itu. Dan 

dia pun tak mau dirinya dijadikan sasaran den-

gan empuk senjata rahasia milik Dewi Bunga Bi-

ru.

Masih membopong mayat Eyang Ring-

kih Dewi yang rusak dan busuk itu, dia bersalto 

menghindar sambil terkekeh, "Hehehe... rupanya 

kau tak sabaran juga, Dewi... Hehehe... pembe-

rang pula?"

"Kakek peot! Jangan banyak omong lagi! 

Lihat serangan!"

Tubuh Dewi Kantilaras menderu dengan 

cepat. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga 

dalamnya, tertuju pada wajah dan dada Siluman 

Dewa Buaya.

Dengan satu gerakan yang amat cepat dan 

sukar diikuti oleh mata, Siluman Dewa Buaya



meletakkan mayat Eyang Ringkih Dewi dan dia 

sendiri bersalto ke samping hingga serangan Dewi 

Kantilaras luput dari sasarannya.

Melihat serangannya gagal, Dewi Kantilaras 

pun menyerang kembali. Kali ini lebih hebat dan 

dahsyat, berbahaya.

Siluman Dewa Buaya pun kali ini tidak 

hanya menghindar. Dia pun mulai membalas 

dengan gebukan tongkat berkepala buaya pada 

ujungnya.

Di puncak Gunung Setan itu pun terjadi 

pertarungan yang teramat berbahaya dan menge-

rikan. Kedua tokoh jago rimba persilatan ini tak 

kenal ampun lagi. Keduanya, saling serang dan 

menangkis.

Hebat.

Cepat.

Berbahaya,

Dan sekaligus mengerikan.

Seto Mulia sendiri hanya berdiri kaku me-

lihat perkelahian yang mendebarkan itu. Dia tak 

mampu lagi untuk berpikir melarikan diri. Tu-

buhnya mendadak kaku. Hanya memperhatikan 

jalannya pertarungan itu dengan tegang.

Di tempat persembunyiannya, Juwita sen-

diri tak bisa menahan debaran hatinya melihat 

pertarungan itu.

Dia mendesah dan berdoa semoga gurunya 

memenangkan pertarungan. Namun agaknya un-

tuk menang susah, karena mengimbangi Siluman 

Dewa Buaya yang bergerak cepat dengan tong


katnya telah memusingkan Dewi Kantilaras.

Dewi Kantilaras pun sudah membuka ju-

rus barunya, Bidadari Menyebar Bunga. Hingga 

gerakannya dengan cepat berputar, melompat, 

bersalto dan memburu.

Siluman Dewa Buaya pun sudah membuka 

permainan tongkatnya. Tongkat Buaya Mengejar 

Mangsa, yang membuat Dewi Kantilaras harus 

bertindak penuh perhitungan. Dia pun tak mau 

dirinya dijadikan sasaran tongkat itu. Meskipun 

dirinya terkepung, Dewi Kantilaras masih me-

mainkan jurus Bidadari Menyebar Bunganya. 

Dan mendadak saja tubuhnya melenting dan tan-

gan kanannya bergerak.

Tiga bunga biru yang mengandung racun 

itu berkelebat mengejar Siluman Dewa Buaya.

Namun satu pertunjukan permainan tong-

kat yang amat hebat pun diperlihatkan oleh Silu-

man Dewa Buaya.

Tongkatnya bergerak dengan cepat mema-

paki tiga senjata rahasia milik Dewi Kantilaras.

"Cep!"

"Cep!"

"Cep!"

Dan ketika Siluman Dewa Buaya berdiri te-

gak dengan tongkat di tangan, nampaklah tiga 

bunga biru itu telah menancap di tongkat milik-

nya.

"Hehehe...kau lihat, Dewi... sia-sia belaka 

kau membuang-buang senjata rahasiamu!"

Kalau mau jujur, secara diam-diam Dewi


Kantilaras pun kagum dan salut dengan permai-

nan tongkat yang diperlihatkan oleh Siluman De-

wa Buaya. Yang begitu cepat dan hebat.

Tetapi sudah tentu dia tak mau menunjuk-

kan kekagumannya. Dia malah mendengus mele-

cehkan.

"Hhh! Tongkat untuk memukul anjing saja 

kau perlihatkan padaku, Buaya Darat!!"

Wajah Siluman Dewa Buaya memerah.

Lalu katanya sambil memutar-mutar tong-

katnya hingga menimbulkan suara gemuruh, dia 

berkata, "Kalau begitu baiklah, Dewi... kau akan 

melihat sampai di mana kehebatan tongkatku ini! 

Aku tadi kagum kau bisa meloloskan diri dari ju-

rus Tongkat Buaya Mengejar Mangsa! Nah, kau 

sambutlah jurusku yang berikut ini! Tongkat 

Menggapai Matahari!!"

Setelah berkata begitu, Siluman Dewa 

Buaya pun kembali menyerang Dewi Kantilaras 

dengan cepat dan gencar. Permainan tongkatnya 

kali ini begitu hebat. Seolah tongkat itu menjadi 

seribu. Dan setiap kali berdesing, Dewi Kantilaras 

merasakan hawa panas yang keluar dari tongkat 

itu.

"Heit!" bentaknya sambil bersalto ketika 

tongkat itu mengancam kedua kakinya. Namun 

tanpa diduganya, tongkat itu terus memburunya 

yang masih melayang di udara.

Dewi Kantilaras sejenak kaget dan bingung, 

namun dengan cepat dia melempar tiga bunga bi-

runya.


"Sing!"

"Sing!"

"Sing!"

Siluman Dewa Buaya yang tengah membu-

ru, mengurungkan niatnya. Dan menangkis tiga 

bunga biru itu hingga terpental.

Sementara Dewi Kantilaras telah berdiri te-

gap di bumi. Kedua kakinya terbuka. Dia mende-

sis mendebarkan, "Kau terimalah jurusku ini, Si-

luman Dewa Buaya! Bidadari Memetik Bunga!!"

Lalu dengan satu pekikan yang cukup ke-

ras, tubuh Dewi Kantilaras menderu kembali. An-

gin yang ditimbulkan dari kelebatan tubuhnya 

menerpa Siluman Dewa Buaya cukup terkejut pu-

la. Namun tak ada jalan lain baginya untuk 

menghindar lagi. Dia pun memekik keras mema-

paki serangan dari Dewi Kantilaras.

"Haaaaiiiiiittttt!!!!"

Dua pekikan terdengar keras.

Dan dua benturan yang hebat pun tak tere-

lakkan lagi.

"Duaaaarrr!!"

Dua benturan dari tenaga dan jurus yang 

tangguh pun terjadi dan menimbulkan suara se-

perti ledakan. Debu-debu di sekitar sana berter-

bangan dan daun-daun pun berguguran.

Dan dua sosok tubuh itu pun terpental ke 

belakang. Masing-masing menahan rasa sakit di 

dada mereka. Dan secara berbarengan keduanya 

muntah darah.

"Huaaakkk!!"


Lalu kembali keduanya saling tatap dengan 

penuh amarah dan meradang.

"Serahkan Cambuk Sutra Sakti itu padaku, 

Buaya keparat!!" desis Dewi Kantilaras.

"Hhhh! Tak akan pernah, Dewi... tak akan 

pernah... Sebelum aku berkalang tanah..."

"Baik! Kamu harus kubuat mampus dulu 

sebelum menyerahkan Cambuk Sutra Sakti pa-

daku!!"

"Hhhh! Dan kau pun akan merasakan ke-

saktian cambuk ini, Dewi!!"

Secara tiba-tiba Siluman Dewa Buaya 

mengambil cambuk yang tersampir erat di ba-

hunya. Lalu dia pun mulai mengayun-

ayunkannya.

"Taaarrrrr!!"

Suara cletar yang ditimbulkan cambuk itu 

amat mengerikan dan mendebarkan. Tanpa dis-

adarinya, bulu kuduk Dewi Kantilaras berdiri. 

Cambuk itu seperti satu alat penghisap darah 

yang tak mengenal ampun.

Siluman Dewa Buaya terkekeh melihat wa-

jah pias Dewi Kantilaras.

"Hehehe... kau ngeri melihat kehebatan 

cambuk ini, Dewi..."

"Siluman Dewa Buaya, serahkan cambuk 

itu cepat! Sebelum kau kubunuh!"

"Atau kau yang harus kubunuh dengan 

cambuk yang kau impikan ini, Dewi!"

"Anjing buduk!"

"Nah, seranglah anjing buduk ini!!" tantang


Siluman Dewa Buaya sambil mengayun-ayunkan 

cambuk itu hingga menimbulkan suara cletar 

yang teramat keras, dan mengerikan.

Dewi Kantilaras pantang ditantang seperti 

itu. Apa pun yang terjadi dia telah bertekad untuk 

merebut Cambuk Sutra Sakti itu. Maka dia pun 

bersiap. Karena disadarinya senjata yang berada 

di tangan lawannya amat berbahaya, dia pun 

membuka jurus pamungkasnya. Bidadari Menge-

jar Bidadari.

Jurus yang amat berbahaya sekaligus amat 

mematikan. Karena itu merupakan jurus yang te-

rakhir dan menjadi pamungkas dari Dewi Kantila-

ras.

"Hehehe... keluarkanlah seluruh kepan-

daianmu. Dewi!" 

"Terimalah serangan ini, Siluman Kepa-

rat!!" seru Dewi Kantilaras. Dan dia pun memben-

tangkan kedua tangannya. Dan perlahan-lahan 

kedua tangan itu berubah menjadi merah. Berca-

haya dan mengeluarkan hawa yang cukup panas.

Siluman Dewa Buaya pun kagum dan se-

dikit ngeri melihat jurus yang dikeluarkan oleh 

Dewi Kantilaras. Tetapi dia hanya tertawa saja. 

Dan dia yakin senjata cambuk yang berada di 

tangannya lebih berbahaya daripada jurus yang 

dikeluarkan oleh Dewi Kantilaras.

Dewi Kantilaras pun tak mau menunggu 

waktu lagi. Dia pun menyerang dengan hebat. Si-

luman Dewa Buaya pun segera menyambutnya.

Kakek berwajah cekung itu ternyata agak


sulit untuk memainkan cambuk sakti itu, karena

jarak tubuh Dewi Kantilaras begitu dekat pa-

danya. Bahkan dia pun terdesak hebat oleh se-

rangan-serangan tangguh dari jurus Bidadari 

Mengejar Bidadari milik Dewi Kantilaras.

"Hihihi... ternyata kau tak bisa memainkan 

cambuk itu, Kakek peot!" ejek Dewi Kantilaras 

yang merasa berada di atas angin. "Cepat berikan 

padaku cambuk itu, sebelum kau kubuat mati di 

sini!!"

"Jangan gembira dulu, Dewi... aku... haet!" 

ucapan Siluman Dewa Buaya terpotong karena 

dia harus bersalto menghindari cecaran serangan 

Dewi Kantilaras.

Namun itu adalah satu keberuntungan pa-

da Siluman Dewa Buaya, karena dengan bersalto 

jaraknya dengan Dewi Kantilaras agak menjauh. 

Dan ini membuatnya dapat bergerak untuk me-

mainkan cambuknya.

Dewi Kantilaras menyadari kesalahannya. 

Karena dia tidak menjaga jarak. Namun Dewi 

Kantilaras seakan tak perduli dengan jarak yang 

sudah meregang itu. Baginya hanya satu, Cam-

buk Sutra Sakti harus menjadi miliknya!!

"Siluman keparat! Kukatakan untuk terak-

hir kalinya, serahkan cambuk itu padaku seka-

rang juga! Cepaat!!" bentak Dewi Kantilaras sam-

bil berpikir untuk mendesak dan tak memberi ke-

sempatan lagi pada Siluman Dewa Buaya.

"Hehehe... sekaranglah saatnya untuk uji 

coba dengan cambuk sakti ini, Dewi! Majulah lagi!


Kau akan kubuat lumat dengan cambuk ini!!"

Melihat hal itu, memang tak ada jalan lain 

untuk Dewi Kantilaras. Maka dia pun menyerang 

kembali dengan jurus Bidadari Mengejar Bidadari.

Namun Siluman Dewa Buaya tak mau 

mengulangi kesalahannya untuk kedua kalinya. 

Kali ini dia pun langsung memainkan cambuk-

nya.

"Tarrrrr!!" ujung cambuk itu berbunyi den-

gan keras.

Dan dengan satu gerakan yang hebat, Si-

luman Dewa Buaya memainkan cambuknya ke 

arah tubuh Dewi Kantilaras yang tengah menye-

rang.

Ujung cambuk itu siap menyambar tubuh 

Dewi Kantilaras. Menjemput nyawanya. Terdengar 

pekikan keras dari Dewi Kantilaras dan mengem-

pos kembali tubuhnya untuk bersalto ke bela-

kang. Bila dia terlambat sedikit saja, maka maut 

taruhannya. 

"Taaaarrrrr!!"

Ujung cambuk itu menyambar angin.

Melihat dirinya berada di atas angin, Silu-

man Dewa Buaya pun mencecar dengan Cambuk 

Sutra Sakti. Ganas dan berbahaya.

Dewi Kantilaras sebisanya untuk menghin-

dari serangan-serangan cambuk itu karena dia ti-

dak mau dirinya mati di ujung cambuk yang hen-

dak direbutnya.

"Hehehe... mau lari ke mana kau, Dewi? 

Bukankah kau ingin memiliki cambuk ini? Nah,


rebutlah dari tanganku!"

"Anjing buduk!"

Dewi Kantilaras mencoba untuk membalas, 

namun serangan cambuk itu telah mengepungnya 

dan sukar baginya untuk menerobos.

Dia mencoba dengan senjata rahasianya. 

Namun begitu senjata rahasia itu melesat, dengan 

cepat Siluman Dewa Buaya menggerakkan cam-

buknya.

Dan tiga buah bunga biru pun hancur ber-

keping-keping.

"Hehehe... sia-sia belaka kau menghadapi 

aku sekarang, Dewi! Sia-sia belaka!!"

"Bangsat peot! Kau harus mampus di tan-

ganku hari ini juga!"

"Hehehe... sejak tadi kau hanya berkata 

begitu, Dewi... Mana, mana buktinya? Kau malah 

lari seperti kucing dikejar anjing!"

"Anjing buduk!" Kembali Dewi Kantilaras 

mencoba menyerang kembali. Namun lagi-lagi se-

rangannya gagal karena dia harus menghindar-

kan ujung cambuk sakti itu.

"Hehehe... kau tak akan bisa lari, Dewi... 

Tak akan bisa lari... Kau akan mampus di ujung 

cambuk ini.... hehehe..."

Kembali Siluman Dewa Buaya mencecar 

dengan hebat. Berkali-kali serangannya luput ka-

rena dengan mengandalkan kegesitannya Dewi 

Kantilaras berhasil menghindar.

Namun akibatnya sungguh hebat.

Karena telah berulangkali cambuk yang lo


los itu, menghantam batu besar dan pepohonan 

hingga hancur berantakan dan tumbang.

Dewi Kantilaras dapat membayangkan aki-

batnya bila tubuhnya terkena ujung cambuk itu. 

Tentunya dia tak akan sempat lagi untuk berte-

riak karena tubuhnya telah hancur.

Melihat kenyataan ini, Dewi Kantilaras ti-

dak berani lagi untuk mencoba menyerang. Dia 

hanya menghindar sekuat tenaga. Dan men-

coba untuk meloloskan diri.

Namun cambuk itu seolah telah menge-

pungnya dan membelenggu langkahnya. Mem-

buatnya sama sekali tak berdaya selain hanya bi-

sa menghindar saja.

Dan satu ketika, dia tak mungkin bisa un-

tuk menghindar lagi. Karena cambuk itu telah 

benar-benar mengepung langkahnya. 

Hingga suatu saat, terdengar pekikan dari 

Siluman Dewa Buaya sambil mengayunkan cam-

buknya.

"Mampuslah kau, Dewi!!"

Dewi Kantilaras sendiri tak bisa lagi untuk 

menghindar. Di samping tenaganya yang sudah 

melemah, juga posisinya yang tidak menguntung-

kan.

Tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh me-

mapaki serangan dari Siluman Dewa Buaya pada 

Dewi Kantilaras. Juwita yang sejak tadi melihat 

pertarungan yang tak seimbang itu tak bisa me-

nahan diri lagi untuk membantu gurunya. Maka 

dia pun menerjang dan memapakinya.


Namun ini merupakan satu kesalahan 

yang teramat fatal dilakukannya. Meskipun dia 

menangkis dengan pedangnya, namun tak urung 

ujung cambuk itu mengenai tangan kirinya. Yang 

langsung putus mengeluarkan darah yang ba-

nyak.

Terdengar lolongan yang amat keras.

"Aaaaahhhh!!" tubuh Juwita terguling me-

nahan sakit yang teramat sangat. Tangan kirinya 

telah buntung. Dan tanpa ada yang melihat, se-

percik darah yang muncrat dari tangan kiri itu, 

mengenai mayat Eyang Ringkih Dewi!!


Lima



"Juwitaaaa!!" pekik Dewi Kantilaras kaget. 

Dan memburu Juwita yang pingsan karena ba-

nyak mengeluarkan darah. Dengan gerakan yang 

cepat Dewi Kantilaras menotok jalan darah Juwita 

hingga aliran darah itu pun berhenti. "Juwita... 

Juwita..." panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi 

gadis itu.

Namun Juwita yang dalam keadaan ping-

san, tidak mendengar panggilan itu. Wajahnya 

pias. Keringat nampak membanjiri sekujur tu-

buhnya.

Tiba-tiba Dewi Kantilaras berbalik dan 

memandang tajam pada Siluman Dewa Buaya 

yang sedang terkekeh.


"Kau harus membalas semua ini!!" bentak-

nya sambil bangkit perlahan-lahan. Sepasang ma-

tanya memancarkan sinar dendam yang teramat 

sangat.

Apalagi begitu teringat Juwita luka parah 

dan lengan kirinya buntung akibat ingin meno-

longnya. Makin murkalah Dewi Kantilaras.

"Hehehe... bukan main! Cambuk Sutra 

Sakti ini begitu hebat sekali!"

"Anjing buduk! Kau harus membayar se-

mua atas ulahmu ini!"

"Hehehe.... kau lihat sendiri kesaktian 

cambuk ini, Dewi... Baru terserempet sedikit saja, 

gadis itu telah buntung tangannya. Bagaimana bi-

la terkena benar-benar? Tentunya dia akan mam-

pus berkalang tanah hari ini juga! Bukan main!"

Semakin murkalah Dewi Kantilaras men-

dengar kata-kata itu. Dia akan segera menyerang. 

Namun urung karena tiba-tiba terdengar ketaku-

tan Seto Mulia. 

"Tolooooong! Mayat itu hidup lagi!!" seru 

Seto Mulia dan berlari ke arah Siluman Dewa 

Buaya.

Orang-orang yang berada di sana terkejut 

sekali, begitu melihat mayat Eyang Ringkih Dewi 

yang rusak dan mengeluarkan bau busuk itu per-

lahan-lahan bangkit lagi.

"Hei!" seru Dewi Kantilaras kaget.

"Mengapa bisa begini?!" seru Siluman Dewa 

Buaya pula yang tak kalah kagetnya.

Sebenarnya, mayat Eyang Ringkih Dewi itu


hidup kembali karena terkena percikan darah mi-

lik Juwita. Dulu, Eyang Ringkih Dewi memiliki 

ilmu yang bernama Ajian Batu Karang. Yang bila 

tubuhnya mati, maka tubuh itu menjadi rusak. 

Namun tidak hancur dimakan tanah. Dan bila 

tubuh itu terkena darah segar dari orang yang 

masih hidup, maka secara ajaib tubuh itu akan 

bangkit dan hidup kembali. Namun masih dalam 

kondisi yang sekarang. Rusak dan menyebarkan 

bau busuk! Mayat itu terkikik.

"Hihihi... rupanya aku telah bangun dari 

tidurku selama ratusan tahun ini... Hihihi tidur 

yang teramat panjang dan melelahkan..."

Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya 

saling berpandangan. Kali ini tatapan keduanya 

tidak lagi memancarkan sinar permusuhan, ama-

rah dan dendam. Melainkan seolah saling ber-

tanya mengapa mayat itu bisa hidup kembali.

Terdengar lagi mayat hidup itu berkata, 

"Ah... aku membutuhkan darah yang segar untuk 

memulihkan jasadku seperti dulu lagi... hihihi.... 

O... rupanya banyak darah segar di sini!" desisnya 

begitu melihat tiga orang itu yang berdiri dengan 

kebingungan. "Hihihi... aku membutuhkan salah 

seorang dari kalian... atau hihihi semunya... ya, 

ya.... semuanya...."

Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya 

sadar apa yang akan terjadi. Mayat hidup itu 

membutuhkan darah segar untuk mengembalikan 

keadaan tubuhnya seperti dulu.

Dan seperti disadari oleh bahaya yang


mengancam, keduanya mendadak bersiap.

Dan amat tiba-tiba sekali, terdengar benta-

kan menggelegar dari mulut mayat hidup itu.

"Manusia keparat! Rupanya kau hendak 

mencuri Cambuk Sutra Sakti milikku! Cepat 

kembalikan!"

"Mayat hidup bau busuk! Lebih baik kau 

kembali ke asalmu sana!" balas Siluman Dewa 

Buaya berani.

Mayat hidup itu menyeringai.

Amat mengerikan.

"Hihihi... kaulah yang akan membuatku 

semakin kuat dan bertahan lama untuk hidup 

kembali!" desisnya dan secara tiba-tiba mayat itu 

menerjang Siluman Dewa Buaya.

Kakek bermata cekung itu amat terkejut 

melihat serangan yang dilakukan dengan amat 

cepat itu. Dan tanpa dia sadari bagaimana ca-

ranya, tiba-tiba Cambuk Sutra Sakti itu telah be-

rada di tangan mayat hidup yang kini bersalto ke 

belakang dan hinggap di tanah.

"Hihihi... inilah senjata saktiku... Hihihi... 

kita akan bertualang lagi seperti dulu, Manis...." 

ujar mayat itu sambil membelai-belai cambuk itu.

Dan tiba-tiba mayat itu menggerakkan tan-

gannya. Cambuk yang kini di tangannya terarah 

pada Seto Mulia yang berdiri amat ketakutan. Se-

cara aneh dan tiba-tiba pula cambuk itu melilit 

tubuh Seto Mulia dan dengan cepat ditariknya 

hingga Seto Mulia tidak bisa bergerak untuk 

membebaskan diri.


Tak ubahnya seperti lilitan ular yang amat 

mematikan.

"Hihihi... rupanya kaulah orang pertama 

yang ditakdirkan Dewata untuk membuat wajah 

dan tubuhku seperti dulu lagi..." terkikik mayat 

itu dan dengan tiba-tiba dia menghujamkan gigi-

giginya ke leher Seto Mulia yang menjerit melo-

long menyayat hati.

Dan dalam sekejap saja tubuh Seto Mulia 

berubah menjadi putih seperti kapas. Lalu tubuh 

itu pun menggelosoh ambruk dengan tubuh yang 

kering darah dan mati secara mengerikan.

Keanehan terjadi pada mayat hidup itu. 

Secara perlahan-lahan, tubuhnya yang rusak 

dan mengeluarkan bau busuk berubah menjadi 

agak berisi. Tubuh itu kini menjadi amat sempur-

na, bagus dengan menampilkan lekuk tubuh yang 

aduhai. Karena tubuh itu dalam keadaan telan-

jang bulat.

Bila tidak menyadari dan melihat peruba-

han tubuh itu dari mayat yang rusak dan berbau 

busuk, birahi Siluman Dewa Buaya akan terang-

sang. Namun karena dia tahu tubuh yang molek 

nan aduhai itu berasal dari mayat hidup tadi, dia 

menjadi jijik melihatnya.

Apalagi ketika menatap wajah itu yang ma-

sih dalam keadaan rusak.

"Hihihi... aku membutuhkan darah segar 

lagi untuk memulihkan wajahku!!"

Dan secara tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi 

menggerakkan tangannya. Cambuknya berkelebat


ke arah sasaran. Siluman Dewa Buaya, yang 

langsung melompat karena tak mau darahnya di-

hirup untuk memulihkan kembali jasad itu.

"Hihihi... rupanya kau punya keahlian ju-

ga. Bagus! Sudah ratusan tahun aku tidak berke-

lahi dan menggunakan kepandaianku! Aku ingin 

melihat sampai di mana kemampuan dan kepan-

daian yang kau miliki, Kakek peot! Juga kau wa-

nita cantik! Ah, meskipun kalian sudah berumur 

tetapi darah kalian masih segar untuk merubah 

wajah jasadku menjadi seorang gadis jelita!!" 

Dan secara tiba-tiba pula, Eyang Ringkih 

Dewi menyerang Siluman Dewa Buaya dan Dewi 

Kantilaras secara bersamaan. Sudah tentu kedu-

anya tak mau dijadikan sasaran cambuk Eyang 

Ringkih Dewi.

Namun akibat tenaga yang telah terkuras 

habis dari perkelahian yang memakan waktu 

hampir setengah hari, membuat gerakan kedua-

nya tidak selincah tadi. Maka dengan satu benta-

kan yang cukup kuat, cambuk Eyang Ringkih 

Dewi melilit di tubuh Dewi Kantilaras yang tak bi-

sa untuk meloloskan diri lagi

"Hihihi.... darah segar! Darah segar!!" desis 

Eyang Ringkih Dewi.

Seperti yang dilakukannya terhadap Seto 

Mulia. Dia pun menghujamkan gigi-giginya pada 

leher Dewi Kantilaras yang menolong pula.

Dan tubuh itu pun menggelosoh lemah 

dengan keadaan yang tak berbeda seperti yang 

dialami oleh Seto Mulia.


Kembali keanehan itu terjadi. Siluman De-

wa Buaya melihat wajah yang rusak dan menye-

ramkan itu berangsur-angsur berubah menjadi 

cantik jelita. Dan kini di hadapannya telah berdiri 

seorang gadis yang teramat cantik.

Siluman Dewa Buaya sempat terpesona 

sendiri melihat kecantikan wajah yang terpam-

pang di matanya.

"Hihihi... kakek peot... kau heran bukan 

melihat wajahku yang jelita ini?"

Tiba-tiba seperti diingatkan kalau jasad 

dan wajah yang cantik merangsang itu berasal 

dari sebuah mayat, Siluman Dewa Buaya bergi-

dik. Dan membuang ludah.

"Ciiih! Mayat hidup, kau harus mampus 

kembali ke asalmu!" katanya sambil memegang 

tongkatnya kembali dengan erat. Apa pun yang 

akan terjadi, dia akan menghadapi mayat hidup 

itu dengan sekuat tenaga. Dia tak mau dirinya di-

jadikan sasaran untuk memulihkan seluruh 

yang ada pada mayat itu.

"Hihihihi... memakilah kau, Kakek Peot! 

Karena sebentar lagi ajalmu akan tiba!!"

Lalu kembali Eyang Ringkih Dewi yang kini 

berubah menjadi gadis jelita mengayunkan cam-

buknya, mencari sasarannya.

Siluman Dewa Buaya yang sudah bersiap 

untuk menghadapi apa pun yang terjadi pun ber-

salto ke belakang. Namun kini yang dihadapinya 

adalah tokoh sakti dari golongan hitam yang hi-

dup ratusan tahun yang lalu. Yang kesaktiannya


jauh berada di atasnya. Namun bagi Siluman De-

wa Buaya, tak ada jalan lain kecuali menghada-

pinya.

"Kau punya nyali juga rupanya... hihihi... 

ketahuilah... engkau tengah berhadapan dengan 

Eyang Ringkih Dewi atau si Cambuk Sutra Sak-

ti!!"

"Mayat hidup keparat! Sedikitpun aku tak 

akan mundur dari hadapanmu!"

"Bagus, bagus! Aku pun ingin melemaskan 

seluruh otot-otot kaku di tubuhku ini!" sehabis 

berkata begitu, kembali Eyang Ringkih Dewi me-

nyerang dengan hebat.

Siluman Dewa Buaya pun sudah mengelu-

arkan jurus-jurus andalannya. Namun tak satu 

pun yang berhasil menghentikan serangan Eyang 

Ringkih Dewi. Bahkan mayat hidup yang kini te-

lah berubah menjadi seorang gadis jelita, tidak 

kelihatan terdesak. Malah serangan-serangannya 

menjadi lebih hebat dan dahsyat.

Sadarlah Siluman Dewa Buaya kalau ajal-

nya sudah dekat. Namun dia pantang untuk me-

nyerah begitu saja. Dia masih mencoba untuk 

membalas. 

Tiba-tiba dia menjerit keras seraya men-

gayunkan tongkatnya ke kepala Eyang Ringkih 

Dewi. Namun dengan satu tenaga yang kuat dan 

hebat, Eyang Ringkih Dewi memapaki serangan 

tongkat itu dengan tangan kirinya.

"Traaakk!!"

Terdengar suara berderak yang cukup ke


ras. Bukan dari tangan Eyang Ringkih Dewi yang 

patah, tetapi dari tongkat Siluman Dewa Buaya 

yang kini terbagi menjadi dua.

Sungguh luar biasa tenaga dalam Eyang 

Ringkih Dewi. Diam-diam Siluman Dewa Buaya 

semakin ngeri dan ketakutan. Baginya memang 

tak ada jalan untuk meloloskan diri.

Dia kini bersiap untuk menyambut kembali 

serangan Eyang Ringkih Dewi dengan potongan 

tongkatnya. Tetapi gadis itu malah menghentikan 

serangannya.

Tiba-tiba dia tersenyum.

Begitu mesra.

Memabukkan.

Dan amat mempesona.

Siluman Dewa Buaya menjadi terdiam. 

Pandangannya berubah menjadi teramat kagum. 

Dia tidak tahu, kalau semua itu terjadi karena 

Eyang Ringkih Dewi mengeluarkan ilmu pemikat 

laki-lakinya, ajian Bidadari Turun dari Kahyan-

gan.

Dan tanpa disadari oleh Siluman Dewa 

Buaya, dia menjadi amat tertarik dengan Eyang 

Ringkih Dewi. Apalagi pandangannya kini menjadi 

nanar melihat tubuh Eyang Ringkih Dewi yang te-

lanjang bulat menggiurkan.

"Kemarilah, Kakang..." terdengar suara 

Eyang Ringkih Dewi yang halus dan mesra.

Dan tanpa disadarinya pula, seperti telah 

terhipnotis, perlahan-lahan Siluman Dewa Buaya 

berjalan mendekati tubuh telanjang itu dengan


kedua tangan yang terbuka lebar. Menantang 

Dan memperlihatkan sepasang buah dada 

yang ranum dan indah.

Bersamaan dengan itu, Juwita tersadar da-

ri pingsannya. Pertama-tama yang dirasakannya 

ada rasa sakit dari lengan kirinya.

Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. 

Dan amat terkejut ketika melihat tubuh Seto Mu-

lia atau si Orang jelek dan tubuh Dewi Kantilaras 

gurunya telah tergeletak menjadi mayat dengan 

wajah dan tubuh kering seputih kapas, seolah tak 

ada setitik darah pun yang mengaliri tubuh kedu-

anya.

Pertama yang diingatnya ini adalah hasil 

perbuatan kakek bermata cekung atau Siluman 

Dewa Buaya. Apalagi dia teringat kala menolong 

gurunya untuk memapaki serangan Siluman De-

wa Buaya dan tangan kirinya tersambar oleh 

Cambuk Sutra Sakti yang diayunkan oleh kakek 

itu.

Teringat itu, dia melirik tangan kirinya. 

Dan seperti disambar geledek sepasang mata yang 

indah itu terbelalak melihat tangannya telah ku-

tung.

Bangkitlah amarah Juwita dan dendam 

pada Siluman Dewa Buaya.

Tetapi dia amat terkejut ketika melihat Si-

luman Dewi Buaya tengah mendekati seorang ga-

dis jelita yang bertelanjang bulat. Siapakah gadis 

itu? desis Juwita dalam hati. Sepertinya tadi dia 

tidak melihat gadis itu ada.


Dan Juwita merasakan ada satu hal yang 

tidak wajar sedang terjadi pada Siluman Dewa 

Buaya. Karena sorot mata dan langkahnya begitu 

kaku dan penurut tertuju pada gadis itu.

Dia juga melihat gadis itu semakin mem-

buka kedua tangannya, seolah siap menerima da-

tangnya tubuh Siluman Dewa Buaya.

Senyum gadis itu begitu memabukkan.

Sepasang matanya amat memancarkan 

gairah.

"Kemarilah, Kakang..." desisnya. 

"Oh, Dewi.... begitu cantik sekali kau..." 

terdengar suara Siluman Dewa Buaya di tenggo-

rokan.

"Cepatlah kemari, Kakang... aku sudah ti-

dak sabar lagi... Lihatlah senja telah datang yang 

akan memayungi kita dengan keteduhannya... 

Kemarilah, Kakang..."

Bagai robot belaka tubuh Siluman Dewa 

Buaya semakin mendekat.

"Cepatlah, Kakang... aku sudah tak ta-

han... ayo, cepat lah..."

Dan tubuh itu bergerak dengan cepat. Lalu 

menubruk tubuh gadis itu yang terkikik. Kedua 

tubuh itu jatuh ke rumput yang basah.

Juwita memejamkan matanya melihat per-

tunjukan birahi didepannya. Sebagai gadis rema-

ja, mendadak saja jiwa mudanya bergolak.

Namun mendadak dia membuka matanya 

ketika mendengar jeritan yang menyayat dari Si-

luman Dewa Buaya. Dia melihat Siluman Dewa


Buaya sedang menggeliatkan tubuhnya seakan 

menahan sakit yang teramat sangat.

Semula Juwita menganggap mulut gadis 

itu yang berada di leher Siluman Dewa Buaya se-

dang mencium. Namun begitu menyadari kalau 

Siluman Dewa Buaya menjerit kesakitan, dia me-

lihat ada sesuatu yang ganjil telah terjadi.

Rupanya gadis itu bukan sedang mencium 

leher Siluman Dewa Buaya. Melainkan tengah 

menggigit dan menghisap darah. Karena terlihat 

kemudian tubuh Siluman Dewa Buaya menggelo-

soh ambruk. Dengan wajah seputih kipas.

Juwita pun melihat bibir gadis itu berda-

rah. Rupanya sisa darah yang dihisapnya dari 

leher Siluman Dewa Buaya.

Menyadari hal itu, Juwita teringat akan tu-

buh gurunya dan orang jelek itu yang telah men-

jadi mayat. Dia pun melihat ada luka di leher ke-

duanya dan tubuh mereka pun putih seperti ka-

pas seperti yang terjadi pada Siluman Dewa 

Buaya.

Kini Juwita sadar, kalau guru dan orang je-

lek itu pun mati sama seperti yang dialami oleh 

Siluman Dewa Buaya.

Hati-hati dia mengintip dan melihat peru-

bahan kembali pada gadis itu. Secara tiba-tiba sa-

ja tubuh gadis itu menjadi semakin montok dan 

seksi. Begitu pula dengan wajahnya yang kini 

nampak berseri-seri. Rupanya darah segar yang 

telah dihisapnya mengembalikan bentuk keadaan 

tubuhnya selagi muda dulu.


Juwita masih belum tahu siapa gadis itu. 

Namun mendadak dia tidak melihat mayat rusak 

dan bau itu di sana. Apakah gadis itu jelmaan da-

ri mayat tadi?

Dugaan Juwita menjadi kenyataan, karena 

dia mendengar suara gadis itu berkata sambil 

menengadah menatap langit yang tiba-tiba beru-

bah menjadi hitam.

"Hihihi... kini telah hidup kembali Eyang 

Ringkih Dewi yang telah terkubur selama ratusan 

tahun... Hihihi... aku akan memulai lagi petua-

langanku sebagai si penyebar maut di mana sa-

ja.... akan kucari darah-darah segar untuk mem-

buat hidupku lebih lama... hihihihi..."

Lalu tubuh itu pun melesat meninggalkan 

puncak Gunung Setan. Cepat, ringan dan seperti 

angin.

Tanpa menyadari kalau seseorang melihat 

semua perbuatannya.

Orang itu adalah Juwita yang berpura-pura 

mati ketika gadis itu meninggalkan tempat itu. 

Lalu dengan hati gundah dan pilu Juwita bangkit 

mendekati mayat gurunya.

"Bibi..." hanya desisan itu yang terdengar. 

Pada angin yang berhembus dingin. 

***


ENAM


Laki-laki berjubah putih yang tersenyum 

arif dan bijaksana itu, tiba di sebuah desa di le-

reng kaki Gunung Setan. Laki-laki itu kira-kira 

berusia 35 tahun. Dia selalu tersenyum pada sia-

pa saja yang dijumpainya.

Namun setiap kali dia mengerutkan ke-

ningnya, karena orang-orang yang disapanya sela-

lu melengos dan buru-buru meninggalkannya. 

Dari pancaran matanya, orang itu nampak keta-

kutan sekali.

Laki-laki berjubah putih itu mendesah.

"Apa yang telah terjadi di desa ini?" desis-

nya heran. Lalu dia pun mulai melangkah lagi 

memasuki keramaian desa. Namun lagi-lagi hal 

yang sama dialaminya. Tak satu pun penduduk 

yang menyahuti ucapannya atau pun membalas 

senyumnya. Membuat laki-laki berjubah putih itu 

semakin keheranan.

"Ada apa sebenarnya?" desisnya. Lalu dia 

memasuki sebuah rumah makan yang cukup ra-

mai dikunjungi tamu.

Dia mengambil tempat yang cukup di pojok 

dan memesan makanan. Baginya orang-orang di 

desa ini adalah orang-orang yang baik hati. Na-

mun mengapa mereka tidak mau menyahuti sa-

paannya dan tersenyum padanya.

Ketika pelayan itu menghidangkan pesa-

nannya pun tak sedikit pun pelayan itu mengu


capkan silahkan makan atau pun sesuatu untuk 

sekadar berbasa-basi.

Bahkan ketika laki-laki berjubah putih itu 

mengucapkan terima kasih, pelayan itu malah 

buru-buru menghindar.

"Aneh! Ada apa sebenarnya?" desisnya 

sambil memulai makan.

Namun baru beberapa kali dia menyendok, 

tiba-tiba dia melihat enam orang pemuda telah 

berdiri mengurungnya. Di tangan enam pemuda 

itu terdapat senjata golok yang cukup tajam.

Tetapi laki-laki berjubah putih itu mencoba 

tersenyum. Kesannya arif dan bijaksana.

"Bila kalian ingin menemaniku makan, si-

lahkan," ucapnya dengan nada bersahabat.

"Iblis busuk!" terdengar salah seorang 

membentak. 

"Kami tidak ingin menemani makan, tetapi 

kami ingin meminta tanggung jawab dari semua 

yang telah kau lakukan!!"

Sudah tentu laki-laki berjubah putih itu 

heran. Dia mengerutkan keningnya.

"Hmm.... apa yang telah aku lakukan?"

"Jangan banyak omong! Kau telah menjadi 

seorang pembunuh yang tak punya belas kasi-

han!!"

"Saudara... apa yang telah aku lakukan?"

"Hhhhh! Masih mencoba mungkir pula!"

"Saudara... katakanlah apa yang telah aku 

lakukan hingga kalian berenam nampak marah 

dan tidak senang padaku?" tanya laki-laki berju


bah putih itu tetap dengan suara bersahabat. 

Bahkan sedikit pun dia tidak nampakkan kejeng-

kelan dan kemarahan karena orang-orang ini 

main tuduh begitu saja padanya.

"Orang asing... kami masih mencoba ber-

tenggang rasa padamu! Tentunya kau sendiri ta-

hu apa yang telah kau lakukan? Tapi baiklah... 

biar kau menjadi teringat akan dosa-dosa yang te-

lah kau perbuat. Hhh! Sudah hampir tujuh orang 

korban dari desa sini kau ganyang, Iblis busuk!"

"Maaf..." kata laki-laki berjubah putih itu 

memotong pembicaraan pemuda yang nampak 

marah itu. "Apa yang telah kulakukan? Tujuh 

orang korban? Dan apa hubungannya dengan-

ku?"

"Orang asing... kau amat pandai bermain 

kata-kata dan bersandiwara. Baiklah... tujuh kor-

ban yang kami temukan itu mati dengan sekujur 

tubuh pucat pasi karena kehabisan darah. Dan di 

leher mereka ada bekas luka gigitan. Sudah beru-

langkali kami mencari siapa yang bertindak sung-

guh kejam dan sadis ini. Namun sampai sejauh 

ini orang itu belum kami temukan juga. Dan ak-

hirnya kau berani menampakkan diri juga penja-

hat busuk! Sungguh punya nyali juga kau ini!!"

"Maaf, Saudara... kalau bisa saya simpul-

kan dari kata-katamu itu, berarti saat ini ada seo-

rang penjahat yang dengan kejamnya membunuhi 

korbannya dengan jalan mengisap darah dengan 

menggigit leher korbannya? Benar begitu?"

"Ya!" Keenam pemuda itu menyahut se


rempak.

"Lalu kalian menuduhku sebagai pela-

kunya?"

"Ya! Dan kau sekarang tak akan bisa lari 

dari kami!" ancam salah seorang sambil mene-

gakkan goloknya.

Tetapi laki-laki yang memakai jubah putih 

itu cuma tersenyum.

"Maafkan aku, Saudara-saudara... agaknya 

kalian salah paham dan salah menuduh aku. 

Apakah dengan datangnya aku yang secara tidak 

sengaja berkunjung ke desa ini dikatakan sebagai 

pembunuh?"

"Ya! Karena kaulah satu-satunya orang as-

ing yang berada di sini!!"

Sebelum laki-laki berjubah putih itu me-

nyahut, seseorang telah berdiri dari duduknya. 

Sosok itu berpakaian ramping.

"Apakah aku bukan orang asing di sini?" 

serunya sambil menatap keenam orang itu.

Dan serentak enam pemuda itu menoleh ke 

orang yang berseru tadi, yang ternyata seorang 

gadis berwajah cantik. Sayang. Lengan kiri gadis 

itu buntung tangannya.

"Hei, gadis cantik! Siapa kau?!" orang itu 

kini membentak gadis cantik itu.

"Hmm... namaku Juwita..."

"Nona Juwita... kau orang asing di sini?" 

tanya orang itu lagi.

Dan semua itu telah menarik perhatian pa-

ra tamu di rumah makan itu.


"Ya! Baru kemarin aku tiba di sini!"

"Hhh! Lalu apakah kau yang melakukan 

semua ini?!" desis orang itu yang bernama Kelana 

lagi.

"Bukan aku! Bukan pula laki-laki yang 

memakai jubah putih itu?"

"Hhh!" geram Kelana. "Aku tak percaya! 

Paling tidak salah seorang di antara kalian yang 

telah melakukannya! Atau kalian berdua yang 

melakukannya!"

"Orang bodoh!" bentak gadis yang memang 

Juwita itu. Setelah menguburkan mayat gurunya, 

lalu dia pun kembali ke tempat asalnya di lereng 

Gunung Kidul. Setelah itu dendamnya pada 

Eyang Ringkih Dewi atau si mayat hidup menjadi-

jadi. Akhirnya Juwita memutuskan untuk menca-

ri dan membalas dendam pada Eyang Ringkih 

Dewi.

Sasarannya langsung pada desa yang terle-

tak di lereng Gunung Setan. Karena Juwita men-

duga, Eyang Ringkih Dewi akan mencari sasaran 

di desa lereng gunung itu.

Hari pertama di sini, sebenarnya dia sudah 

mendengar tentang kematian beberapa penduduk 

desa secara mengerikan. Mengingat luka di leher 

dan tubuh yang seputih kapas pada yang me-

ninggal, sudah tentu Juwita yakin itu perbuatan 

Eyang Ringkih Dewi.

Namun sampai sejauh ini dia tidak mau 

menggembar-gemborkan siapa yang telah melan-

carkan teror mengerikan itu.


Hingga laki-laki yang mengenakan jubah 

putih itu dituduh oleh orang-orang desa.

"Kau berani memakiku, Gadis buntung!!" 

seru Kelana dengan wajah merah padam. "Aku 

ingin melihat apakah kau punya kemampuan ju-

ga, hah?!"

Sehabis berkata begitu dia menghunus go-

loknya ke arah Juwita. Tetapi Juwita dengan mu-

dahnya mendorong sebuah kursi hingga orang itu 

melompat. Dan saat orang itu melompat, Juwita 

mengayunkan kakinya menendang. 

"Des!"

Tubuh Kelana terhuyung ke belakang.

Tetapi pemuda itu langsung bangkit den-

gan marah karena baru satu gebrak dia sudah di-

pecundangi. Tetapi lagi-lagi dia terus terhuyung 

ke belakang.

"Tahan!" terdengar suara dari laki-laki ber-

jubah putih itu. "Jangan lakukan serangan!"

Sedangkan Kelana yang terjatuh dua kali 

berseru pada teman-temannya. "Hei, mengapa ka-

lian diam saja? Tangkap kedua orang itu dan bu-

nuh! Karena merekalah yang menyebarkan petaka 

ini!!"

Serentak lima pemuda temannya menye-

rang Madewa. Dua orang dengan dibantu Kelana 

menyerang Juwita.

Serentak di rumah makan itu terjadi perke-

lahian. Laki-laki yang mengenakan jubah putih 

itu dengan enak dan santainya menghindari se-

tiap serangan. Tetapi dia tak membalas sedikit


pun. Malah tiba-tiba dia bergerak dengan cepat 

dan tiga buah golok kini berpindah tangan.

Ketiga pemuda itu terkejut, karena mereka 

sedikit pun tak melihat gerakan yang dilakukan 

orang berjubah putih itu. Kini mereka sadar kalau 

orang berjubah putih itu bukan orang sembaran-

gan.

Sebenarnya siapakah laki-laki yang men-

genakan jubah putih yang selalu tersenyum arif 

dan bijaksana itu dan telah dituduh menebarkan 

teror?

Dia tak lain adalah Madewa Gumilang alias 

Pendekar Bayangan Sukma. Pendekar budiman 

atau juga sering dijuluki sebagai manusia dewa. 

Sudah tentu pendekar yang welas asih itu tidak 

menurunkan tangan pada para penyerangnya, 

karena dia tahu saat ini antara dirinya dengan 

para pemuda itu telah terjadi salah paham.

Sementara itu Juwita sendiri menggebrak 

dengan hebat. Tidak seperti yang dilakukan Ma-

dewa Gumilang, dia menghantam setiap penye-

rangnya. Karena Juwita jengkel terhadap pemu-

da-pemuda ini yang tak mau berkompromi lagi, 

asal menyerang saja dan menuduh sembarangan!

"Des!" 

"Des!"

"Des!"

Tinju tangan kanannya menghantam ketiga 

penyerangnya yang terhuyung ke belakang den-

gan dada terasa sakit.

"Tahan!" seru Juwita ketiga-tiganya hendak


bangkit lagi menyerang.

"Iblis betina! Kami akan mengadu jiwa den-

ganmu!" bentak Kelana jengkel dan marah.

"Pemuda bodoh! Biar ku jelaskan dulu du-

duk permasalahnya biar tak terjadi salah paham 

di antara kita lagi!"

"Apa lagi yang hendak kau terangkan, pal-

ing tidak sekarang kami tahu siapa yang menye-

barkan teror keji dan jahat itu!!"

"Benar-benar bodoh!" seru Juwita jengkel. 

"Majulah bila kau masih penasaran!"

Ditantang seperti itu sudah tentu Kelana 

yang marah dan menganggap Juwita sebagai pe-

nyebar teror, menyerang lagi dengan goloknya. 

Kali ini benar-benar beringas.

Dan siap mengancam nyawa Juwita.

"Tahan serangan!"

"Kau yang harus menahan seranganku!" 

bentak Juwita sambil berkelit ketika golok itu 

menyambar lehernya.

Dan dengan satu gerakan yang manis, tiba-

tiba dia menerobos golok itu dan, "des!"

Sebuah pukulannya kembali mengenai sa-

saran. Tubuh Kelana sempoyongan. Dan kali ini 

Juwita tak mau lagi bertindak tanggung, dia me-

lesat dan menempeleng Kelana hingga pemuda itu 

pingsan.

"Pemuda bodoh dan sombong! Tak mau 

mendengarkan pendapat orang!!" geramnya.

Lalu dia berkata pada lima orang pemuda 

teman Kelana, "Apakah kalian tidak ingin men


dengarkan penjelasanku dan bertindak bodoh se-

perti kawan kalian ini?"

Kelima pemuda itu hanya terdiam. Tak ada 

yang berani buka mulut, dan tak ada yang berani 

membangkang.

Juwita mendesah.

"Bagus, nah kalian dengarkan dulu kata-

kataku ini! Setelah itu, kalian harus minta maaf 

pada laki-laki berjubah putih itu! Mengerti?!"

Lima kepala itu mengangguk.

Lalu Juwita pun menceritakan apa yang te-

lah dialaminya di puncak Gunung Setan beberapa 

waktu yang lalu. Orang-orang itu mengangguk-

angguk mengerti apa yang telah terjadi.

Madewa Gumilang sendiri paham bahwa 

kini ada seorang gadis dari alam kubur yang telah 

hidup kembali dan menebarkan teror. Gadis itu 

hanya bisa hidup bila telah menghirup darah se-

gar.

"Nah, terserah kalian mau percaya atau ti-

dak!" kata Juwita kemudian. "Tapi atas nama 

Dewata, cerita ku ini bukan bohong atau khaya-

lan belaka! Tetapi memang benar-benar terjadi!"

Orang-orang yang mendengarkan terdiam.

"Hei!" terdengar Juwita membentak pada 

lima pemuda itu. "Mengapa kalian tidak meminta 

maaf pada laki-laki berjubah putih itu? Ayo cepat 

lakukan, atau aku yang harus memaksa kalian?!"

Secara serempak kelima pemuda itu pun 

meminta maaf pada Madewa Gumilang yang su-

dah tentu memaafkannya. Biar pun mereka tidak


meminta maaf, Madewa sudah sejak tadi me-

maafkan karena dia tahu semua ini terjadi akibat 

salah paham saja.

Lalu dia berkata pada Juwita, "Nona... sia-

pakah nama Nona sebenarnya?"

Juwita menjura, "Namaku Juwita, Kisa-

nak..."

"Jangan panggil aku Kisanak. Namaku Ma-

dewa Gumilang..."

"Madewa Gumilang?" ulang Juwita dengan 

kening berkerut.

"Ya, itu memang namaku. Pemberian ke-

dua orang tuaku dulu..." kata Madewa tersenyum. 

Dia jadi teringat pada Ambarwati menantunya 

yang telah dinikahi putranya, Pranata Kumala 

yang saat ini tengah melakukan satu petualangan 

entah di mana. Tiba-tiba Madewa jadi rindu pada 

putra dan anak menantunya itu.

Juwita masih terdiam. Kalau tidak salah 

ingat, dia pernah mendengar cerita dari gurunya 

Dewi Kantilaras tentang seorang pendekar sakti 

yang budiman yang bernama Madewa Gumilang 

dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma.

Lalu dengan hati-hati dia bertanya, "Apa-

kah... Anda yang berjuluk Pendekar Bayangan 

Sukma?"

Madewa tersenyum.

"Orang-orang rimba persilatan menjuluki 

aku Pendekar Bayangan Sukma..."

"Oh, Tuan Pendekar... tak kusangka aku 

akan bertemu dengan Pendekar yang sering gu


ruku ceritakan itu... Salam hormatku untukmu, 

Madewa Gumilang..."

Juwita menjura penuh rasa hormat.

"Juwita... tak usahlah kau begitu meng-

hormat padaku. Ceritakanlah sekali lagi tentang 

munculnya Eyang Ringkih Dewi..."

Kembali Juwita menceritakan kejadian 

yang telah dialaminya.

"Jadi... gurumu Dewi Bunga Biru tewas di 

tangannya?"

"Benar, Kakang Madewa... guruku tewas di 

tangannya..."

"Begitu pula dengan Siluman Dewa 

Buaya?"

"Ya, keduanya mati secara. mengerikan. 

Dengan dihisap darahnya melalui leher mereka 

oleh Eyang Ringkih Dewi yang kejam itu..."

"Mengerikan sekali." Madewa mendesah 

sambil geleng kepala. "Lalu apa kerjamu di sini?"

"Aku hendak menuntut balas pada kema-

tian guruku, Madewa."

"Seorang diri?" 

"Tadi aku sendiri..." 

"Sekarang?" 

"Aku berdua!" 

"Dengan siapa?"

"Dengan siapa lagi kalau bukan denganmu, 

Kakang Madewa Gumilang... Apakah kau hanya 

berpangku tangan saja melihat kebiadaban yang 

dilakukan oleh Eyang Ringkih Dewi?"

Madewa tersenyum.


"Sudah tentu tidak, Juwita. Aku pun hen-

dak menyelidiki siapa dan di mana Eyang Ringkih 

Dewi berada. Bukankah kita satu tujuan, Juwi-

ta?"

Juwita tersenyum.

"Betul, Kakang Madewa... aku yakin, se-

mua sepak terjang dari Eyang Ringkih Dewi akan 

berhenti."

"Kenapa?"

"Karena dengan bantuanmu, kupikir se-

muanya akan menjadi lancar..."

Madewa tersenyum. Lalu dia segera menca-

ri penginapan. Begitu pula halnya dengan Juwita, 

yang tak menyangka akan bertemu dengan pen-

dekar budiman ini.

 

Tujuh



Malam mulai larut.

Rembulan menerangi desa di bawah lereng 

Gunung Setan itu. Suasana desa itu sepi. Sejak 

kejadian demi kejadian yang mengerikan terjadi 

dan berulang lagi, tak satu pun penduduk desa 

yang berani menampakkan diri.

Apalagi tersebar kabar bahwa penghuni 

Puncak Gunung Setan yang telah melakukan se-

mua ini. Semakin membuat mereka lebih baik be-

rada di dalam rumah. Sejak semula mereka pun 

sudah percaya akan keangkeran Gunung Setan, 

dan kini semuanya terbuka dan terbukti.


Di keremangan malam yang pekat, nampak 

satu sosok telanjang bulat melompat dari satu 

atap ke atap rumah lainnya. Gerakan sosok itu 

ringan dan lincah. Di tangannya terdapat sebuah 

cambuk yang nampak terbuat dari sutra.

Sosok itu tak lain adalah Eyang Ringkih 

Dewi yang tengah mencari mangsa lagi. Kali ini 

sasarannya pada sepasang pengantin baru yang 

baru dua minggu melangsungkan pernikahan.

Sebagaimana layaknya pengantin baru, 

malam hari adalah satu saat yang paling indah 

dan mesra untuk dinikmati. Tetapi karena keja-

dian yang mengerikan itu, keduanya tak bisa me-

nikmati kehidupan yang sesungguhnya dalam arti 

menikmati arti hubungan suami istri secara sah.

"Kakang aku takut, Kakang..." terdengar 

desisan yang perempuan.

"Tenang, Rayi.... malam ini tidak akan ada 

kejadian apa-apa... Bukankah kau tahu sendiri, 

pemuda-pemuda di sini siang dan malam selalu 

menjaga..." 

"Tapi, Kakang..." 

"Kenapa, Rayi?"

"Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak 

enak. Aku takut, Kakang...."

"Jangan risau.. tak usah dipikirkan, Rayi... 

Semuanya akan berlangsung dengan aman..."

Tiba-tiba satu tubuh turun dari atap den-

gan ringannya. Dan berdiri tegak di hadapan ke-

dua orang itu.

Sang istri langsung memeluk suaminya


erat-erat dan melihat satu sosok bertelanjang bu-

lat telah berdiri di hadapannya.

Sang suami membentak, "Siapa kau?!"

"Hihihi... aku adalah Dewi Pencabut Nyawa 

dan datang pada kalian!"

"Tolong.. jangan ganggu kami!"

"Hihihi... aku tidak mengganggu.. aku 

hanya meminta sedikit darah segar dari kalian..."

Sang pria menjadi sadar kalau wanita in-

ilah yang telah menebarkan teror pada kematian 

beberapa penduduk.

"Iblis betina! Rupanya kaulah biang keladi 

dari semua ini!" geramnya dan tangannya berge-

rak cepat meraih pedang yang terpajang di dind-

ing.

"Hihihi... untuk apa pedang itu! Apakah 

kau tidak tertarik dengan tubuhku?" Eyang Ring-

kih Dewi terkikik lagi.

"Cuuuuh! Aku tak pernah sedikit pun ter-

tarik dengan manusia laknat macam kau!"

Eyang Ringkih Dewi tersenyum. "Benar kau 

bicara begitu?"

"Ya! Menyingkirlah dari sini! Sebelum pe-

dangku memakan tubuhmu itu!"

"Hihihi... apakah benar ucapanmu tadi? 

Aku jadi ingin membuktikannya!"

Tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi tersenyum 

yang begitu mempesona dan memikat.

Dan mendadak saja laki-laki yang galak itu 

terdiam. Dan tiba-tiba dia pun tersenyum.

"Rayi..."


"Hihihi... kau memanggilku Rayi, Kakang?" 

kikik Eyang Ringkih Dewi.

"Ah, kau cantik sekali, Rayi..."

"Benar kakang... nah.. mendekatlah kau 

kemari... aku sudah tidak tahan ingin lelap dalam 

pelukan mu, Kakang..."

Laki-laki itu pun bergerak mendekati 

Eyang Ringkih Dewi yang telah membentangkan 

kedua tangannya. Bagai robot belaka dan diba-

wah pengaruh hipnotis Eyang Ringkih Dewi, laki-

laki itu bergerak mendekatinya.

Hal ini membuat istrinya jadi bingung.

"Kakang..." desisnya. 

Tetapi laki-laki itu terus berjalan mendeka-

ti Eyang Ringkih Dewi. 

Dan tiba-tiba saja Eyang Ringkih Dewi ber-

gerak menyergap. Dengan satu gerakan yang ce-

pat dan di saat laki-laki itu bergerak bagai robot 

belaka, dia menghujamkan giginya ke leher laki-

laki itu. Dan terhisaplah darah segar dari laki-laki 

itu masuk ke tubuhnya.

Tubuh itu pun menggelosoh dengan warna 

seputih kapas. Yang perempuan memekik ngeri 

melihatnya.

"Kakaaaaang!!"

Tetapi tubuh itu telah menjadi mayat.

Eyang Ringkih Dewi terkikik melihat kor-

bannya telah tewas. Lalu dengan hati-hati dia 

mendekati yang perempuan yang mundur ketaku-

tan.

"Hihihi... kau mau lari ke mana, Manis...


mari... mendekatlah padaku..."

"Jangan... jangan... tolooooongg!!"

"Hihihi... berteriaklah sekuat tenagamu! 

Bukankah dengan yang berdatangan ke sini tak 

menyulitkan aku untuk mencari mangsa lagi, bu-

kan?!"

Dan tiba-tiba saja terdengar suara ramai di 

luar rumah itu. 

"Bangsura! Ada apa?!"

"Komalaaaa! Apa yang terjadi?!"

"Buka pintu!"

"Biar kami masuk!"

"Katakan, ada apa Komala?!"

Orang-orang di luar bersuara ramai. Dan 

mereka pun mencoba menerobos masuk ketika 

mendengar jeritan keras dari Komala.

"Aaaaahhhhh!!"

Dan serentak pintu terbuka, lalu berham-

buranlah masuk para penduduk dengan memba-

wa senjata. Mereka terkejut melihat satu sosok 

tubuh di hadapan mereka. Dan lebih terkejut lagi 

ketika melihat mayat Bangsura dan Komala yang 

tergeletak dengan tubuh seputih kapas.

Dan mereka makin terkejut melihat sosok 

yang berhadapan dengan mereka ternyata seo-

rang gadis yang bertelanjang bulat.

"Hai, rupanya inilah iblis keparat itu!"

"Benar! Tangkap!" 

"Gayangan!" 

"Bunuh!" 

"Kuliti!"


"Bakar hidup-hidup!" 

Dan serentak orang-orang menerjang ke 

arah Eyang Ringkih Dewi. Tetapi mendadak pula 

mereka berjumpalitan dan sebagian memekik ke-

ras dengan tubuh hancur. Karena Cambuk Sutra 

Sakti milik Eyang Ringkih Dewi telah berkelebat 

dan memporakporandakan barisan orang-orang 

itu.

"Hati-hati! Dia ternyata iblis yang sakti!" 

Dan orang-orang itu pun berhamburan ke 

luar karena tak mau dijadikan sasaran cambuk 

Eyang Ringkih Dewi.

Tubuh Eyang Ringkih Dewi tiba-tiba mele-

sat. Bersalto. Dan telah berdiri di hadapan orang-

orang itu yang menjadi terkejut.

"Hihihi... kalian tak akan bisa lari dari tan-

ganku!"

"Iblis busuk! Kami akan mengadu jiwa 

denganmu!"

"Hihihi.... majulah kalian, kalian tentunya 

memang sudah ingin mati, bukan?"

"Bangsat! Serang!!"

Lalu orang-orang yang marah itu pun me-

nyerang dengan hebat. Tetapi mereka bukanlah 

tandingan dari Eyang Ringkih Dewi yang meski-

pun dikeroyok oleh puluhan orang tetapi masih 

nampak santai saja.

"Kalian hanya membuang-buang nyawa 

dengan percuma!" desisnya sambil mengayunkan 

kembali cambuknya.

Dan terdengarlah kembali jeritan.


Dan tubuh hancur.

"Hihihi... mampuslah kalian semua!"

Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat ke 

arah orang-orang itu. Dan yang mengenakan ju-

bah berwarna putih mengibaskan tangannya, 

hingga orang-orang itu berhempasan bagaikan di-

terpa angin yang kuat.

Kini kedua orang itulah yang berdiri di ha-

dapan Eyang Ringkih Dewi.

"Hihihi... rupanya kalian berdua memang 

sengaja datang mengantarkan nyawa..."

"Eyang Ringkih Dewi... kami datang untuk 

menghentikan sepak terjang mu!" geram Juwita 

murka karena melihat sepak terjang dari Eyang 

Ringkih Dewi.

Dan dia kembali teringat pada kematian 

gurunya.

"Hihihi... kalau tak salah ingat, bukankah 

kau gadis yang telah mati di puncak Gunung Se-

tan?!"

"Aku tidak mati, Manusia cabul!"

"Hihihi... bagus, bagus... agaknya darahmu 

cukup segar untuk ku nikmati..."

"Manusia cabul! Kau harus mengganti 

nyawamu dengan nyawa guruku!"

"Hihihi... rupanya kau murid dari salah 

seorang yang kubunuh itu. Bagus, bagus! Nah, 

kau siapa Laki-laki berjubah putih?"

"Dewi... namaku Madewa Gumilang... Aku 

tidak menginginkan sepak terjang mu ini berlang-

sung terus...."


"Madewa! Kau rupanya datang untuk men-

gantarkan nyawa padaku! Nah, kau lihatlah ma-

taku, Madewa!"

Madewa menatap mata yang tiba-tiba me-

mancarkan pesona itu. Dia merasakan ada satu 

getar aneh yang mengalir dari pancaran mata itu 

yang menghujam ke bola matanya.

Madewa pun menjadi paham ketika dirasa-

kannya dirinya seakan dimasuki oleh sinar yang 

mempesona. Buru-buru Madewa mengalirkan te-

naga dalam dan hawa murninya. Dan mengalir-

kan ke matanya.

Tiba-tiba terdengar jeritan dari mulut 

Eyang Ringkih Dewi. 

"Aaaaahhh!"

Lalu dia mengusap-ngusap matanya kare-

na dia merasa matanya bagai dihujam oleh se-

buah senjata.

"Bangsat! Rupanya kau berisi juga, Made-

wa!"

"Karena akulah yang akan menghentikan 

sepak terjang mu, Eyang!!"

"Hhhh! Anjing busuk!" Lalu Eyang Ringkih 

Dewi menggebrak menyerang dengan hebat. Dan 

gerakannya begitu berbahaya.

Madewa pun dapat merasakan desiran an-

gin yang cukup kuat menerpanya saat tubuh itu 

melayang. Dan tenaga itu dirasakannya akan 

mampu mendorong sebuah pohon hingga tum-

bang.

Namun kali ini yang dihadapi oleh Eyang


Ringkih Dewi adalah seorang pendekar sakti. Dan 

yang dihadapi Madewa pun seorang tokoh sakti.

Hingga pertempuran yang terjadi selanjut-

nya teramat dahsyat dan hebat. Juwita hanya bi-

sa memperhatikan dengan dada bergetar. Ru-

panya masih ada lagi orang-orang jago di rimba 

persilatan ini. Memang, di atas langit masih ada 

langit lagi!

Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu 

demikian hebat dan mengerikannya. Madewa 

sendiri sudah menggunakan jurus Ular Melo-

loskan Diri, untuk menghindari serangan-

serangan berbahaya yang dilancarkan oleh Eyang 

Ringkih Dewi.

Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan 

oleh Eyang Ringkih Dewi begitu dahsyat. Sejenak 

Madewa seperti kehilangan arah karena setiap 

langkahnya seperti dicegat dan dihalangi oleh ju-

rus Pusaran Angin milik Eyang Ringkih Dewi.

Setiap kali tubuhnya berkelebat, menim-

bulkan hawa dingin yang cukup kuat.

"Hihihi.... kau tak akan lari dari tanganku, 

Madewa Gumilang!"

"Dosa-dosamu sudah sulit untuk diampu-

ni, Eyang! Sebaiknya kau kembali ke alam ku-

burmu sana, dan jangan lagi membuat onar di 

muka bumi ini!!"

"Kerja ku memang membuat onar, Madewa! 

Dan itu akan kulakukan sampai akhir hayatku!" 

"Kau sudah mati, Eyang!"

"Hihih... kenyataannya kau melihat, bu


kan? Aku masih hidup dan segar bugar?"

"Karena kau telah menyedot darah segar 

dari tubuh manusia dan hawa murni yang mere-

ka miliki!"

"Ya, sebentar lagi darah dan hawa murni-

mulah yang menjadikan aku hidup lebih lama!" 

seru Eyang Ringkih Dewi sambil terus mencecar 

Madewa dengan jurus Pusaran Anginnya.

Madewa sebisanya menghindar kepungan 

jurus itu dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dan 

secara tiba-tiba dia mencoba menerobos kepun-

gan angin itu dengan jurus Ular Mematuk Katak 

yang disusul dengan Ular Cobra Bercabang Tiga.

Pertama tangannya bergerak mirip seekor 

ular yang hendak mematuk mangsanya. Sigap, 

cepat dan licin. Dan begitu tangan itu lolos dari 

Pusaran Angin milik Eyang Ringkih Dewi, tangan 

itu bergerak dengan cepat dan tiba-tiba saja tan-

gan itu berubah menjadi banyak. Cepat dan tang-

guh. 

"Des!"

Satu patukan tangan berbentuk ular 

menghantam keras dada Eyang Ringkih Dewi. Te-

tapi yang Madewa heran, tangannya seperti 

menghantam kapas. Kosong dan hampa.

Eyang Ringkih Dewi tertawa melihat wajah 

Madewa yang keheranan.

"Hihihi... kau tak akan bisa membunuhku, 

Madewa! Nah, kau rasakanlah ilmu cambuk Sutra 

Saktiku ini!" Lalu tangannya pun memainkan 

cambuk itu, hingga menimbulkan bunyi yang cu


kup keras.

"Madewa... " Juwita berseru. "Hati-hati 

dengan cambuk itu!"

"Tenanglah, Nona..." desis Madewa sambil 

bersalto menghindari ujung cambuk yang sudah 

berkelebat. Melihat serangan pertamanya gagal, 

Eyang Ringkih Dewi semakin menjadi ganas. Dia 

mengeluarkan permainan cambuknya yang dina-

makan Menjilat Lidah Api!

Sambaran-sambaran cambuk itu teramat 

dahsyat. Dan setiap kali luput dari sasarannya 

dan menghantam pohon yang tumbuh di halaman 

rumah itu, maka tumbanglah pohon itu dalam 

keadaan hancur.

"Hihihi... kau tak akan bisa lari, Madewa!"

Sambaran-sambaran cambuk itu memang 

amat menyusahkan Madewa. Kali ini satu pertun-

jukkan yang teramat fantastis diperlihatkan oleh 

Madewa Gumilang. Ilmu meringankan tubuhnya 

yang teramat sempurna diperlihatkannya untuk 

menghindari sambaran-sambaram cambuk itu. 

Gerakannya sungguh teramat cepat dan hebat, 

yang dipadukan dengan jurus Ular Meloloskan 

Diri.

Dan tiba-tiba Madewa menggerakkan tan-

gan kanannya. Dia tengah melepaskan pukulan 

Angin Salju. Dan serangkum angin dingin berge-

rak menerpa Eyang Ringkih Dewi. Wanita iblis itu 

tak menyangka kalau Madewa bisa melancarkan 

serangan balasan. Dan tubuhnya menjadi meng-

gigil karena angin yang amat dingin itu.



Secara otomatis serangan cambuk terhenti. 

Saat itulah Madewa Gumilang bergerak cepat 

sambil melancarkan pukulan Tembok Menghalau 

Badai.

"Des!"

Lagi-lagi dia merasakan pukulannya men-

genai ruangan kosong dan hampa. Seperti kapas. 

Ini membuat Madewa menjadi geram.

Sementara Eyang Ringkih Dewi terkikik. 

"Kau tak akan mampu membunuhku, Ma-

dewa!"

Lalu perlahan-lahan Madewa pun mencoba 

dengan pukulan andalannya. Dia merangkum ke-

dua tangannya di dada. Dan perlahan-lahan terli-

hat asap putih mengepul dari kedua tangannya. 

Itulah Pukulan Bayangan Sukma warisan gu-

runya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti.

Kala Eyang Ringkih Dewi menerjang den-

gan ayunan cambuknya, Madewa pun menerjang 

memapaki. 

"Duaaarrrr!!"

Benturan bagai ledakan terjadi. Madewa 

terhuyung beberapa tombak dan merasakan da-

danya amat sakit. Sementara Eyang Ringkih Dewi 

masih tegak berdiri tak kurang suatu apa. Melihat 

keadaan lawannya yang sudah agak parah, Eyang 

Ringkih Dewi pun menyerang bermaksud meng-

habisi nyawa Madewa Gumilang!

"Haaaiiiittt!!" Dia menerjang.

Sulit bagi Madewa untuk meloloskan diri.

Dan "Aaaahhh!!"


Terdengar satu jeritan keras. Bukan dari 

mulut Madewa Gumilang. Melainkan dari mulut 

Eyang Ringkih Dewi. Tubuhnya terpental ke bela-

kang. Dan cambuk Sutra Saktinya melilit tubuh-

nya mengikat, membuat Eyang Ringkih Dewi kelo-

jotan dan mencoba melepaskan diri.

Namun lilitan cambuk itu seperti makan 

tuan. Dan kembali terdengar jeritan keras, 

"Aaaaaahhh!" Lalu tubuh itu pun meledak han-

cur.

Mengapa bisa terjadi seperti itu. Tak lain 

adalah berkat sari ajaib rumput kelangkamaksa 

yang tak sengaja dihisap Madewa (Baca: Pedang 

Pusaka Dewa Matahari).

Madewa mendesah. Karena dia merasa ter-

tolong dengan tenaga tak terlihat itu. Dia melihat 

mayat Eyang Ringkih Dewi hancur. Dan secara 

perlahan-lahan cambuk sutra saktinya ikut han-

cur.

Juwita mendesah panjang. Dia bermaksud 

hendak mendekati Madewa. Tetapi sosok itu telah 

lenyap dari pandangannya.

Malam pekat dan semakin larut.

***


                     S E L E S A I


IKUTI SERIAL 

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA SELANJUTNYA:

Iblis Berbaju Hijau

Racun Kelabang Putih

Pertarungan di Gunung Tengkorak

Undangan Berdarah

Sumpit Nyai Loreng

Serikat Kupu-kupu Hitam

Maut buat Madewa Gumilang

Prahara di Laut Selatan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll

About