Satu
Suasana di tepi lereng Gunung Setan pagi
itu, sunyi senyap. Seperti biasanya hanya terden-
gar suara desir angin dan kicauan burung. Lain-
nya tak ada. Mungkin hanya geresek dedaunan
yang tertiup angin.
Gunung itu dipanggil Gunung Setan kare-
na tempatnya yang menyeramkan sekaligus
mengerikan. Sepertinya di gunung itu ada be-
berapa makhluk yang tak kelihatan dan siap
mengganggu siapa saja.
Karena keseramannya itulah gunung itu
dipanggil Gunung Setan.
Penduduk yang berdiam di sekitar gunung
itu bila senja telah datang tak satu pun yang be-
rani keluar rumah, sampai matahari muncul
kembali keesokan harinya. Bagi mereka, lebih
baik berdiam di rumah daripada terjadi apa-apa.
Dan di pagi yang cukup cerah ini, nampak
tiga orang penunggang kuda mendekati lereng
Gunung Setan. Ketiganya nampak lelah sekali.
Melihat dari cara berpakaiannya yang ringkas dan
pedang di punggung, mereka sepertinya orang-
orang rimba persilatan.
Ketiganya berhenti di depan sebuah wa-
rung kecil. Melihat kedatangan ketiga orang itu,
membuat penduduk di sekitar sana bertanya-
tanya. Siapakah mereka?
Ketiga orang itu pun memasuki warung ke
cil itu. Dan memesan makanan dan minuman
yang terlalu banyak untuk mereka bertiga. Na-
mun kelihatannya mereka habis melakukan satu
perjalanan yang cukup jauh. Karena hidangan
yang banyak itu dapat mereka habiskan.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri.
Dan berseru lantang, menarik perhatian orang-
orang yang sedang makan.
"Maafkan aku, Saudara-saudaraku! Siapa-
kah gerangan yang bisa menunjukkan jalan me-
nuju puncak Gunung Setan?!"
Sebagian besar orang yang sedang makan
di warung itu, tahu jalan menuju puncak Gunung
Setan. Namun tak satu pun yang menyahut. Me-
reka terus menikmati hidangan mereka saja. Seo-
lah suara tadi tak pernah ada, bahkan tak pernah
terdengar. Dan kata-kata orang itu tidak menarik
perhatian mereka lagi.
Orang itu berkata lagi, "Barang siapa yang
bisa menunjukkan jalan menuju puncak Gunung
Setan, akan kami beri hadiah lima belas tail uang
perak!"
Uang perak saat itu adalah jumlah yang
sangat besar. Namun tak satu pun penduduk
yang menyahut. Bagi mereka, pergi ke puncak
Gunung Setan sama dengan mengantarkan nya-
wa dengan percuma.
Hmm, apa ketiga orang ini ingin mampus
di sana? Atau sebenarnya mereka sudah bosan
hidup?
Karena tak ada yang menyahut, ketiga
orang itu pun segera membayar apa yang telah
mereka makan. Lalu keluar dan menaiki kuda
mereka kembali.
Ketiganya adalah orang-orang yang memi-
liki kepandaian ilmu kanuragan yang lumayan.
Mereka menamakan diri, Tiga Pedang Perak! Ka-
rena pedang yang berada di punggung masing-
masing terbuat dari perak murni.
Tiba-tiba di hadapan mereka muncul satu
sosok tubuh berperawakan sedang. Wajah orang
itu jelek sekali. Dengan mata yang sebelah tertu-
tup dan sebelah terbuka. Gigi orang itu pun ke-
luar. Dia menyeringai pada Tiga Pedang Perak.
Salah seorang dari Tiga Pedang Perak yang
bernama Banusura berkata, "Hei, orang jelek!
Mau apa kau menghadang perjalanan kami?!"
Orang itu masih menyeringai.
"Maafkan aku, Tuan-tuan. Namaku Seto
Mulia," kata orang itu sambil menjura.
"Hmm... Seto Mulia... katakan ada apa kau
menghadang perjalanan kami?"
"Maafkan aku, Tuan-tuan. Tadi kudengar,
Tuan-tuan tengah mencari orang untuk menun-
jukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."
"Hmm, benar. Kau tahu orangnya?"
"Mudah sekali, Tuan."
"Katakan pada kami, siapa orangnya?"
tanya Banusura sedikit gembira.
"Itu masalah gampang, Tuan-tuan. Tetapi...
bagaimana dengan pembayarannya?"
"Lima belas tail uang perak."
"Terlalu murah. Jalan menuju Puncak Gu-
nung Setan begitu susah."
"Berapa yang pantas?"
"Dua puluh tail uang perak dan seekor ku-
da."
"Pemeras!" terdengar yang berwajah cukup
seram berseru. Dia bernama Abilaga.
Seto Mulia menyeringai.
"Bila Tuan-tuan tidak mau, aku tidak me-
maksa," katanya sambil berbalik.
"Hei, tunggu!" seru Banusura.
Orang itu berbalik dan kembali menyerin-
gai.
"Bagaimana, Tuan?"
"Baik, dua puluh tail uang perak dan see-
kor kuda. Nah, katakan siapa orangnya?"
"Hehehe... dia tak jauh berada di dekat
Tuan-tuan..."
Seto Mulia terkekeh.
"Hei, jadi kau sendiri?!" seru Banusura se-
dikit kaget.
"Benar, Tuan. Bagaimana? Setuju?"
"Benar kau tahu jalan menuju puncak Gu-
nung Setan?"
"Tahu dengan pasti."
"Apa sangsinya bila kau tidak tahu?"
"Hehehe... leherku sebagai taruhannya.
Dan aku pun tahu apa yang Tuan-tuan kehendaki
di puncak Gunung Setan."
"Apa yang kau ketahui," kata Banusura
yang merasa tengah berhadapan dengan manusia
licik.
"Makam Eyang Ringkih Dewi... pendekar
wanita yang telah terkubur ratusan tahun di pun-
cak Gunung Setan..."
Dan makin sadarlah Banusura akan kelici-
kan Seta Mulia. Dia berkata.
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Letak makam itu pun aku tahu, Tuan...
dan dari semua penduduk yang ada di sini, hanya
akulah seorang yang tahu semua itu. Karena aku
sering mencari kayu di puncak Gunung Setan..."
Banusura mendesah. "Baik, kapan kau bi-
sa mengantar kami?"
"Besok, pagi. Sebaiknya Tuan-tuan hari ini
beristirahat saja. Di ujung jalan sana ada sebuah
penginapan yang cukup murah."
"Baik, besok pagi kita melakukan perjala-
nan menuju puncak Gunung Setan."
Terdengar suara Seto Mulia terkekeh.
"Bagaimana dengan bayaran itu, Tuan?"
"Besok kau akan mendapatkan separuh
uang muka dari seluruhnya. Dan seekor kuda...."
"Hehehe... aku minta sekarang, Tuan-
tuan... saat ini aku sedang kalah berjudi. Kumin-
ta uang muka sekarang... bila tidak, musnahlah
harapan Tuan-tuan untuk datang ke puncak Gu-
nung Setan dan mengambil sebuah cambuk sakti
milik Eyang Ringkih Dewi...."
Banusura mendesah. Orang ini agaknya
tahu banyak tentang makam Eyang Ringkih Dewi
dan cambuk Sutra Sakti. Banusura menjadi me
naruh harap pada Seto Mulia.
Memang, kedatangan Tiga Pedang Perak ke
Gunung Setan untuk menggali makam Eyang
Ringkih Dewi, pendekar wanita yang perkasa,
yang memiliki cambuk Sutra Sakti. Biarpun wani-
ta itu dari golongan hitam yang sepak terjangnya
amat mengerikan dan berbahaya, ketiga orang itu
tidak takut. Bagi mereka bahkan, Eyang Ringkih
Dewi seorang pendekar wanita yang gagah perka-
sa; Karena mereka sendiri adalah orang-orang da-
ri golongan hitam.
Permintaan Seto Mulia pun disetujui. Ba-
nusura menyerahkan sepuluh tail uang perak pa-
danya.
"Hehehe...!" Seto Mulia terkekeh. "Tuan-
tuan tak usah khawatir aku akan melarikan diri.
Rumahku di dekat sungai sana. Tidak susah
mencariku. Anak dan istriku berdiam di sana....
Selamat pagi, Tuan-tuan... dan selama beristira-
hat..."
Lalu laki-laki berwajah jelek itu berlalu
sambil terkekeh meninggalkan Tiga Pedang Perak.
Abilaga yang sejak tadi jengkel mendengar
kata-kata Seto Mulia berkata, "Hhh! Licik! Ini pe-
merasan namanya!"
"Tenanglah, Abilaga," kata Banusura. "Yang
penting kita menemukan orang yang bisa menun-
jukkan jalan menuju puncak Gunung Setan."
"Benar kata-katamu, Banusura," kata Ja-
galila yang sejak tadi terdiam. "Untuk saat ini,
yang membuat kita menurut pada orang itu, ka
rena dialah kunci dari seluruh pencarian kita."
"Benar apa yang dikatakan Jagalila. Untuk
sementara kita menurut saja dan memenuhi se-
mua kemauan dari orang jelek yang mengaku
bernama Seto Mulia."
"Lalu?" tanya Abilaga. Sebelum Banusura
menjawab, Jagalila menyelak, "Lalu... bukankah
kau telah punya rencana tersendiri, Banusura?"
Banusura terbahak. "Benar, Jagalila. Ren-
cana itu telah tersusun matang di benakku. Dan
semuanya akan kulaksanakan. Orang seperti dia
tak akan pernah kuberi ampun. Setelah semua-
nya beres, kita bunuh dia!"
Lalu sambil terbahak, ketiganya menjalan-
kan kuda mereka menuju ke penginapan. Begitu
mereka masuk ke kamar yang mereka pesan, da-
tang pula ke tempat itu dua orang wanita.
Yang seorang bertanya, "Tiga orang yang
berpedang di punggung, memesan nomor bera-
pa?"
Penjaga penginapan itu menyahut, "5."
"Terima kasih, kami pesan kamar nomor
6," kata wanita itu lagi. Lalu keduanya pun me-
masuki kamar yang telah mereka pesan.
Melihat dari gerak-gerik keduanya, agak-
nya mereka punya rencana tersendiri terhadap
Tiga Pedang Perak. Karena berulangkali kedua
wanita itu nampak keluar masuk kamar.
Menjelang senja, Keduanya mendengar pin-
tu Tiga Pedang Perak terbuka. Nampak Abilaga
keluar dari kamar itu.
"Juwita... kau ikutilah dia!" kata wanita itu
pada yang satu. Yang satunya lebih muda dan
seorang gadis remaja. Wajahnya jelita. Usianya ki-
ra-kira baru 17 tahun.
"Baik, Bibi!" Lalu gadis yang bernama Ju-
wita itu pun keluar dari kamarnya. Dan dengan
hati-hati mengikuti ke mana perginya Abilaga.
Dan menjelang malam, dia baru kembali ke
penginapan itu.
Wanita yang lebih tua segera bertanya.
"Bagaimana, Juwita?"
"Dia hanya membeli seekor kuda, Bibi...."
"Hmm... barangkali untuk penunjuk jalan
yang bermuka jelek itu. Juwita, sebaiknya kau ti-
dur saja. Mungkin besok kita harus melakukan
perjalanan yang cukup jauh...."
Dua
Meskipun licik, Seto Mulia ternyata dapat
dipercaya. Keesokan paginya, dia sudah menung-
gu di luar penginapan Tiga Pedang Perak.
Ketiga orang itu yang sudah bersiap pun
keluar dari penginapan mereka. Seto Mulia terta-
wa melihat kini ada empat ekor kuda yang terikat
di depan penginapan itu.
"Kita berangkat sekarang, Tuan-tuan?"
tanya Seto Mulia.
"Lebih cepat lebih baik. Berapa lama yang
kita butuhkan untuk tiba di sana?" tanya Banu
sura.
"Bila kita berangkat sekarang, besok pagi
baru tiba di sana. Itu pun bila tanpa beristirahat."
"Baiklah kalau begitu. Kita berangkat saja
sekarang."
Mereka segera naik kuda masing-masing.
Dan tanpa setahu mereka, dua pasang mata
memperhatikan kepergian mereka.
"Kita susul sekarang, Bibi?" tanya Juwita
yang sudah tidak sabaran.
"Sabar saja, Juwita... biarkan keempat
orang itu agak menjauh, baru nanti kita menyu-
sul..." sahut Bibinya sambil tersenyum.
Sebenarnya kedua wanita itu adalah murid
dan guru. Muridnya bernama Juwita, sedangkan
gurunya bernama Dewi Kantilaras atau yang ber-
juluk Dewi Bunga Biru. Karena Dewi Kantilaras
bersenjatakan bunga berwarna biru. Namanya
sudah cukup dikenal di rimba persilatan.
Terdengar lagi suara Juwita berkata, "Kita
sudah hampir sebulan mengikuti perjalanan Tiga
Pedang Perak, Bibi. Dan kini kita tahu, mereka
mempunyai penunjuk jalan menuju Puncak Gu-
nung Setan. Apakah kita harus mengikuti mereka
terus Bibi?" suara Juwita terdengar seperti kelu-
han.
Dewi Kantilaras, yang berusia kira-kira 35
tahun tersenyum lagi sambil memandang Juwita.
Dia ingat sekali, 17 tahun yang lalu dia menemu-
kan seorang bocah perempuan sedang menangis
di tepi hutan. Sendirian. Dan bocah itu sepertinya
sengaja ditinggalkan oleh orangtuanya.
Dewi Kantilaras yang saat itu baru berusia
18 tahun segera mengambilnya dan mengasuh-
nya. Dia pun mengajarkan ilmu silat pada bocah
itu. Ketika Juwita berusia 15 tahun, Dewi Kanti-
laras menceritakan semua kejadian itu.
Juwita cuma menangis sesenggukan kare-
na mengetahui bahwa dia ternyata bukan anak
kandung dari wanita itu.
Atas suruhan Dewi Kantilaras sendiri, dia
mengubah panggilannya menjadi bibi.
"Kalau itu maumu, baiklah, Juwita," kata
Dewi Kantilaras sambil mengajak Juwita berjalan
ke belakang penginapan itu. Di sana ada dua ekor
kuda milik mereka.
Dengan lincah keduanya segera naik ke
punggung kuda masing-masing dan menggebah
kuda mereka untuk menyusul Tiga Pedang Perak
dan Seto Mulia.
***
Gunung Setan memang menyeramkan.
Menjelang senja, Tiga Pedang Perak dan
Seto Mulia telah menempuh separuh perjalanan.
Nampak pula mereka cukup letih. Meskipun me-
reka menunggangi kuda, namun panas yang cu-
kup menyengat membuat mereka menjadi agak
kelelahan.
"Kita beristirahat saja dulu, Banusura..."
usul Jagalila.
"Baik! Seto, kita beristirahat dulu!"
Seto Mulia cuma mengangguk. Baginya,
meneruskan perjalanan sekarang pun tak menja-
di soal. Uang, sisa uang yang sepuluh tail lagi
yang menjadi dambaannya sekarang. Baginya, dia
tak perduli dengan makam Eyang Ringkih Dewi.
Uang, uang itu dibutuhkannya!
Semalam dia kalah lagi di meja judi. Dan
nafsu untuk bermain kembali menderanya. Judi
baginya sudah mendarah daging. Dan nafsulah
yang berperan pada semua ini. Bila kita sukar
mengekang nafsu, hancurlah semuanya. Tetapi
kebanyakannya orang lebih mudah diperbudak
nafsu, daripada memperbudak nafsu. Inilah yang
sebenarnya sangat membahayakan.
Bila kita sudah diperbudak nafsu, maka
semuanya akan sulit dikekang. Dan kadang kita
akan kesukaran untuk membedakan mana yang
baik dan buruk, mana yang benar dan salah.
Seperti Seto Mulia ini. Baginya nafsu ada-
lah tuan dari segala tuan!!
Agak jauh dari sana, dua ekor kudapun
berhenti. Kedua penunggangnya pun nampak ke-
lelahan. Mereka pun beristirahat.
"Bibi..." bisik Juwita.
"Ya?"
"Tempat ini menyeramkan sekali, Bibi...."
"Kau takut, Juwita?"
"Sebenarnya, iya... tapi dekat Bibi, apa
yang harus ku takuti?"
Dewi Kantilaras tersenyum. "Orang-orang
memanggil gunung ini dengan sebutan Gunung
Setan, karena keseramannya."
"Kita masih meneruskan perjalanan, Bibi?"
"Benar, Juwita. Aku sangat mengidam-
ngidamkan cambuk Sutra Sakti, yang pernah di-
miliki oleh Eyang Ringkih Dewi. Tokoh dari golon-
gan hitam yang amat sakti..."
"Lalu rencana Bibi bagaimana?"
"Bila mereka sudah menemukan ma-
kam itu dan mendapatkan Cambuk Sutra Sakti,
kita akan merebutnya, sekaligus membunuh me-
reka..."
Juwita cuma mengangguk saja. Dia tahu
ilmu silat yang dimiliki oleh bibinya sekaligus gu-
runya ini sangat tinggi. Namun tiba-tiba terdengar
keributan tak jauh dari tempat mereka.
Serentak keduanya melihat. Di tempat isti-
rahatnya, nampaklah Tiga Pedang Perak sedang
bertempur melawan seorang kakek yang bersenja-
takan tongkat berkepala buaya.
Dewi Kantilaras berdesis, "Hmm... Siluman
Dewa Buaya... rupanya dia pun berniat untuk
mendapatkan Cambuk Sutra Sakti..."
"Siapakah Siluman Dewa Buaya, Bibi?"
tanya Juwita yang sangat tertarik. Berulang kali
dia melihat pertempuran dan telah berulang kali
pun dia terlibat pertempuran, namun kali ini yang
dilihatnya nampak begitu hebat. Diam-diam dia
kagum dengan kakek bertongkat kepala buaya itu
yang masih bisa mengimbangi tiga serangan dari
pengeroyoknya yang telah mencabut pedang mas
ing-masing.
"Sebenarnya... tak seorang pun yang tahu
nama asli Siluman Dewa Buaya. Orang hanya ta-
hu dia seorang kakek sakti yang berdiam di Sun-
gai Buaya. Dan menjadi dewa para buaya. Kesak-
tiannya amat tinggi. Dan kekejamannya sama
dengan buaya, tak mengenal ampun bagi siapa
pun. Dan agaknya dia pun tertarik dengan Cam-
buk Sutra Sakti..." kata Dewi Kantilaras. Lalu ter-
dengar desahannya.
"Kenapa, Bibi?"
"Agaknya kita mempunyai penghalang pu-
la..."
"Bibi takut?"
Dewi Kantilaras tersenyum. "Aku tak per-
nah takut dengan siapa pun, Juwita..."
Di tempat beristirahatnya, memang Tiga
Pedang Perak tengah bertarung hebat melawan
seorang kakek yang bersenjatakan tongkat dan di
ujung tongkat itu berbentuk kepala buaya.
Mereka sendiri tidak menyangka ketika
mendadak beberapa senjata rahasia mendesing ke
arah mereka. Dan serentak ketiganya bersalto.
Hanya Seto Mulia yang kebingungan mengapa
mendadak saja ketiganya melompat ke depan.
Dan dia baru mengetahui jawabannya keti-
ka di hadapan mereka berdiri seorang kakek
berwajah tirus dengan tubuh kurus kerempeng.
Kakek itu menyeringai dan terkekeh.
Tiga Pedang Perak tahu siapa kakek itu.
Dan mereka pun menjadi siaga. Dalam hati mere
ka mengumpat kesal, karena berarti perjalanan
mereka ini telah dicium oleh orang-orang rimba
persilatan.
Dan mereka tak mau banyak cakap lagi,
serentak ketiganya maju menerjang Siluman De-
wa Buaya yang cuma terkekeh saja.
Dan menyambut serangan pedang perak
mereka dengan tongkatnya.
"Hehehe... rupanya kalian tidak suka meli-
hat kemunculanku ini..." terkekeh Siluman Dewa
Buaya sambil menangkis serangan-serangan yang
datang.
"Siluman Dewa Buaya! Lebih baik kau me-
nyingkir saja dari sini!" geram Banusura sambil
terus mencoba mendesak.
"Hehehe... mengapa mesti ada larangan se-
perti itu, Banusura?"
"Karena kami menginginkan nyawamu!"
"Hehehe... biar tak ada penghalang bagimu
untuk mendapatkan Cambuk Sutra Sakti, bukan?
Hehehe... mengapa tidak kau ajak sekalian saja
aku, Banusura?"
"Kakek siluman!" terdengar dengusan Ab-
ilaga yang panasan namun polos dan jujur. "Kami
tak ingin membunuhmu sebenarnya, namun kau
sudah menampakkan diri dan sepertinya siap un-
tuk mati sekarang!!"
"Hehehe... Abilaga.. apakah kau dan kedua
temanmu itu mampu untuk mengalahkan aku?"
terkekeh lagi si kakek. "Atau... kalian yang harus
mampus hari ini di tanganku?"
"Keparaaat!!" terdengar bentakan Jagalila
sambil bersalto melewati kedua temannya dan
menghunus pedang peraknya ke arah jantung Si-
luman Dewa Buaya.
Siluman Dewa Buaya cuma terkekeh. Dan
bergerak menangkis dengan tongkatnya.
"Traaak!"
Terjadi benturan antara pedang perak di
tangan Jagalila dan tongkat berkepala buaya mi-
lik Siluman Dewa Buaya.
Tubuh Jagalila mendadak terlontar ke be-
lakang. Dia merasakan tangannya bergetar. Se-
perti pula pedangnya yang dirasakannya seperti
menghantam tembok besar. Bila bukan tongkat
yang telah dialiri tenaga dalam itu dengan mudah
saja terpatah menjadi dua bagian. Tetapi tongkat
itu telah dialiri tenaga dalam yang kuat, di samp-
ing terbuat dari bambu yang sangat langka.
Siluman Dewa Buaya terkekeh. "Hehehe...
lebih baik kalian membunuh diri di depanku se-
belum aku makin tega dan menurunkan tangan
telengas kepada kalian!" desisnya menyebar maut.
"Hhh!" Banusura mendengus. "Kami, Tiga
Pedang Perak yang akan mengambil nyawamu, Si-
luman Dewa Buaya!"
"Hehehe... lebih baik kalian cepatlah mem-
bunuh diri dan tak perlu banyak omong lagi!"
"Kau yang jeri rupanya!"
"Hehehe... biasa, orang mau mati selalu
banyak omong!"
"Anjing buduk! Tahan serangan!!" geram
Banusura memaki keras. Dia bukan main jeng-
kelnya melihat kenyataan ini. Dan dia tak pernah
menyangka ada yang membuntuti perjalanan me-
reka. Bila terjadi seperti ini bukankah yang mem-
buntuti lebih enak?
Makanya kini dia menyerang dengan penuh
amarah dan membabi buta. Namun Siluman De-
wa Buaya begitu tangguh. Tongkatnya bergerak
dengan cepat dan kadang menderu dengan hebat.
Tongkat itu kadang menusuk, menotok, memu-
kul, menangkis dan menampar. Benar-benar satu
pertunjukkan permainan tongkat yang hebat ten-
gah ditampilkan oleh Siluman Dewa Buaya.
Dan sebentar saja Banusura terdesak.
Hingga suatu ketika kakinya terhantam tongkat
Siluman Dewa Buaya hingga dia sempoyongan.
Dan dengan satu jeritan yang cukup kuat,
Siluman Dewa Buaya bertekad untuk menghabisi
Banusura. Dia menerjang dengan mengayunkan
tongkatnya ke kepala Banusura.
Tiba-tiba terjadi benturan keras.
"Traaaak!!"
Ayunan tongkat Siluman Dewa Buaya tidak
mengenai sasarannya. Malah menghantam pe-
dang perak milik Abilaga yang menangkis untuk
menyelamatkan nyawa kawannya.
Siluman Dewa Buaya bersalto ke belakang.
Belum lagi dia hinggap di bumi, Jagalila sudah
menderu maju dengan pedang terhunus.
Siluman Dewa Buaya tak mau dirinya dija-
dikan sasaran empuk pedang perak milik Jagalila.
Dengan satu gerakan yang fantastis, Siluman
Dewa Buaya menangkis pedang itu dan melenting
kembali ke belakang dengan bantuan tongkatnya
yang dijadikan sebagai tumpuan untuk men-
gayunkan tubuhnya.
"Hehehe.... ternyata kalian memang nekat
sekali!" terkekeh Siluman Dewa Buaya begitu
hinggap di bumi. "Bagus! Aku pun tak ingin tang-
gung-tanggung lagi bermain-main dengan kalian!
Nah, kali ini tahan serangan! Tongkat Buaya
Mengejar Mangsa!"
Lalu Siluman Dewa Buaya pun menerjang
kembali. Kali ini tongkatnya bagaikan memiliki
mata untuk menyerang lawannya. Begitu cepat,
tangguh dan berbahaya.
Abilaga dan Jagalila berusaha menahan se-
rangan-serangan tongkat Siluman Dewa Buaya.
Namun mereka bagaikan telah terkurung oleh
arus desiran angin yang cukup kuat, yang ditim-
bulkan oleh desingan dari tongkat itu.
Banusura sendiri tak bisa berbuat banyak,
karena kakinya begitu sakit sekali. Dan sukar un-
tuk diajak berjalan. Ayunan tongkat Siluman De-
wa Buaya telah mematahkan tulang keringnya.
Kini dia tengah mengalirkan tenaga dalamnya.
Keringat terlihat bercucuran di wajah dan
sekujur tubuhnya.
Perlahan-lahan matahari mulai membe-
namkan diri, seolah enggan untuk melihat per-
tunjukan darah yang sebentar lagi akan bersimbah.
Dan tiba-tiba terdengar pekikan Siluman
Dewa Buaya. Tubuhnya mendadak bersalto dua
kali ke udara. Dan tongkatnya siap menyapu ke-
pala dari Abilaga dan Jagalila.
Sebisanya keduanya menghindar dan me-
nangkis, Abilaga berguling menghindarkan diri.
Sedangkan Jagalila langsung melompat ke kiri.
Serangan yang berbahaya itu luput menge-
nai sasarannya. Namun bagi Siluman Dewa
Buaya ini sudah bukan main-main lagi. Dia pun
tak mau bertindak tanggung lagi.
Masih bersalto di udara dia melentingkan
kembali tubuhnya. Dan mendekati Banusura
yang sudah duduk terdiam mengaliri tenaga da-
lamnya.
Tongkat Siluman Dewa Buaya pun siap un-
tuk menerkam mangsanya.
"Crasss!"
Tanpa ampun lagi tombak itu menghantam
kepala Banusura hingga pecah. Terdengar peki-
kan yang merobek alam sekitar dengan keras.
Lalu tubuh itu pun ambruk. Sementara Si-
luman Dewa Buaya telah berdiri tegap di bumi
dengan gagah. Dan terkekeh yang membuat Ab-
ilaga dan Jagalila menjadi murka. Mereka seakan
melupakan keadaan Banusura yang sudah ke-
payahan. Dan mereka tak bisa lagi untuk meno-
long Banusura.
Kini matilah salah seorang dari Tiga Pe-
dang Perak yang tangguh.
Dan melihat kenyataan itu, Abilaga dan
Jagalila pun semakin murka. Keduanya menderu
maju dan untuk membalas kematian Banusura.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Si-
luman keparat!" gertak Abilaga sambil mengayun-
kan pedangnya dengan hebat.
Begitu pula dengan Jagalila yang tak mau
ketinggalan untuk ambil bagian membalas kema-
tian Banusura. Pedang perak di tangannya berke-
lebat dengan hebat mencari sasaran.
"Hehehe.. kalian cepatlah membunuh diri
dengan jalan menusukkan pedang kalian ke jan-
tung kalian!" kata Siluman Dewa Buaya sambil
terkekeh.
"Laknat! Kau harus membayar dengan ji-
wamu, Siluman keparat!!"
"Hehehe... keluarkanlah segenap kemam-
puanmu! Aku pun sudah jenuh untuk bertarung
lebih lama! Nah, kalian layani jurus tongkatku
yang satu ini. Tongkat Buaya mencari Buruan!"
Dan tongkat itu pun makin hebat bergerak.
Penuh tenaga dan berbahaya. Hingga suatu saat,
kedua lawannya berada dalam kepungan tongkat
itu.
Tak ada jalan lain, Abilaga dan Jagalila
mencoba untuk menerobos kepungan tongkat
yang bergerak dengan cepat itu!!
***
TIGA
"Heeeeiiiiit!!" keduanya memekik keras
mencoba menerobos. Pedang perak di tangan
masing-masing siap untuk melindungi tubuh
masing-masing.
Namun kepungan tongkat Siluman Dewa
Buaya memang sulit untuk ditembus. Tetapi ke-
duanya telah nekat. Bagi mereka lebih baik mati
berkalang tanah daripada membunuh diri
Kejadian yang nekat itu pun terjadi.
Dua tubuh itu menderu melesat mencoba
menerobos kepungan tongkat yang bagaikan seri-
bu.
"Des!"
"Des!"
Dua sosok tubuh mencelat dari kepungan
tongkat yang jadi bagaikan seribu. Dan tubuh ke-
dua itu pun muntah darah lalu ambruk dengan
nyawa melayang.
Deruan tongkat itu berhenti. Siluman Dewa
Buaya terkekeh.
"Hehehe... tak satu pun yang berhasil me-
nembus pertahanan ku ini. Dan tak seorang pun
yang akan berhasil. Tak akan pernah berhasil...."
Sementara itu Seto Mulia yang menyaksi-
kan pertarungan yang mendebarkan itu bering-
sut-ingsut ketakutan. Dia ngeri melihat kematian
tiga orang yang menyewa jasanya itu. Dan lebih
ngeri ketika teringat tinggal dia kini seorang. Ten
tunya Siluman Dewa Buaya akan menjadikannya
penunjuk jalan menuju Puncak Gunung Setan.
Dugaannya memang benar, karena kini ke-
pala Siluman Dewa Buaya menoleh padanya. Se-
pasang matanya yang cekung menatap tajam.
Tiba-tiba terdengar kekehannya.
"Hehehe... kau tak bisa melarikan diri dari-
ku orang jelek! Ayo cepat kau katakan jalan mana
yang harus kutempuh untuk menuju puncak Gu-
nung Setan?"
Seto Mulia menelan ludahnya. Kengerian
itu semakin merambat. Mengerikan.
"Aku.."
"Ya, kau bertugas untuk mengantarkan
aku ke puncak Gunung Setan! Mengerti?!"
Tak bisa Seto Mulia menolak lagi. Segala
kelicikannya telah lenyap. Dia ngeri melihat ka-
kek bermata cekung itu membunuhi orang-orang
itu dengan mudahnya. Dan kini mau tak mau dia
harus menuruti perintah kakek itu.
"Iya... ya, Tuan..." katanya tersendat, ta-
kut-takut.
"Tuan? Heheheh... bagus, bagus... panggil
aku Tuan... hehehe... Tuan, tuan..." Siluman De-
wa Buaya bersorak gembira seperti anak kecil
mendapat permen. Bahkan dia menari-nari.
Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-
laras dan Juwita tersenyum geli melihat tingkah
kakek itu. Mereka tadi cukup kaget ketika melihat
Tiga Pedang Perak dengan mudah dikalahkan
oleh kakek itu.
Tetapi mengingat betapa kejam dan telen-
gasnya kakek itu menurunkan tangan, membuat
Juwita sedikit bergidik. Namun begitu dilihat gu-
runya nampak tenang saja dia pun mencoba un-
tuk tenang.
"Dia kejam sekali, Bibi...." akhirnya keluar
pula kata-kata yang ditahannya.
"Ya... orang-orang rimba persilatan sudah
tahu betapa kejamnya kakek gila itu... Dia tak
akan pernah melepaskan musuhnya bila belum
mati..." sahut Dewi Kantilaras.
Lalu keduanya memperhatikan lagi Silu-
man Dewa Buaya yang tengah berkata pada Seto
Mulia.
"Sekarang juga berangkat ke sana!"
"Tapi... aku lelah sekali..." sahut Seto Mulia
takut-takut,
"Lelah? Hehehe... lelah, kau lelah, ya?" ter-
kekeh kakek itu. Dan tiba-tiba dia membentak,
"Ayo cepat! Atau ku paksa kau seperti orang-
orang yang telah jadi mayat itu, hah?!"
Seto Mulia bagaikan disengat lebah men-
dengar suara yang keras menggelegar itu. Me-
mang tak ada pilihan lain. Meskipun lelah mende-
ranya, dia menaiki kembali kudanya. Siluman
Dewa Buaya pun menaiki salah seekor kuda yang
ada di sana.
Sementara itu Juwita tengah berkata pada
Dewi Kantilaras.
"Mereka pergi lagi, Bibi...."
"Benar. Pasti Siluman Dewa Buaya telah
memaksa orang jelek itu."
"Lalu sekarang kira bagaimana, Bibi?"
"Maumu?"
"Aku tidak mau bertindak setengah-
setengah lagi, Bibi."
"Maksudmu?"
"Kita ikuti saja mereka sekarang juga, Bi-
bi."
Dewi Kantilaras tersenyum.
"Bagus! Kau memang gadis yang pembera-
ni, Juwita!" kata Dewi Kantilaras sambil melom-
pat menaiki kudanya. Disusul dengan Juwita.
Lalu keduanya pun menjalankan kudanya
mengikuti kuda-kuda yang bergerak di depan.
Malam pekat. Untunglah purnama bersinar den-
gan terang.
***
Mentari di ufuk timur sana sudah menam-
pakkan bias kemerahannya. Tanda sebentar lagi
kemunculannya akan tiba dan mulai tugas rutin-
nya menerangi seluruh jagat raya.
Sebagian sinarnya pun mulai menerangi
bagian puncak dari Gunung Setan. Nampak dua
orang penunggang kuda menjalankan kudanya
secara perlahan, menapaki bagian-bagian jalan
yang cukup terjal. Bila tidak hati-hati dan penuh
perhitungan bisa terjungkal, terguling ke bawah.
Agaknya Seto Mulia memang sudah men-
genali jalan itu. Dia dengan mudah saja memapa
kinya. Walaupun tubuhnya terasa letih dan ma-
tanya amat mengantuk, dipaksakannya juga un-
tuk terus. Di belakangnya Siluman Dewa Buaya
nampak masih dalam keadaan segar bugar.
Beberapa puluh meter dari mereka, nam-
pak Dewi Kantilaras dan Juwita menjalankan ku-
danya secara hati-hati pula.
Berulangkali Dewi Kantilaras berseru hati-
hati pada Juwita yang nampak sudah mengantuk.
"Hati-hati, Juwita! Kau harus berkonsen-
trasi penuh bila tidak ingin celaka!"
"Iya, Bibi!"
Juwita mencoba mengalirkan hawa mur-
ninya ke kedua matanya untuk mengusir rasa
kantuknya. Memang tubuhnya sudah penat seka-
li. Beberapa saat kemudian, saat matahari telah
muncul, terdengar seruan Seto Mulia,
"Kita telah tiba di puncak Gunung Setan,
Tuan!"
Siluman Dewa Buaya terkekeh.
"Hehehe... bagus, bagus. Nah, sekarang
tunjukkan di mana makam Eyang Ringkih Dewi
berada!"
"Saya... saya tidak tahu, Tuan..." kata Seto
Mulia mencoba menghindar, karena dia tahu ka-
kek itu amat kejam sekali. Satu pikiran ada di
benaknya. Bila dia memberitahukan di mana ma-
kam Eyang Ringkih Dewi berada, belum tentu dia
akan mendapatkan upah dari petunjuknya ini.
Malah Seto Mulia berpikir, dia akan dibunuh sete-
lah semua ini selesai. Makanya dia mencoba un
tuk berbohong.
Namun Siluman Dewa Buaya jelas tidak
mau menerima begitu saja. Tongkatnya tiba-tiba
bergerak.
"Tuk!"
Ujung tongkat itu telah menotok tubuh Se-
to Mulia hingga tak bisa bergerak.
"Hehehe... benar kau tidak tahu, Orang je-
lek?"
"Ia.. iya, Tuan..." kata Seto Mulia yang me-
rasa tubuhnya amat sukar untuk digerakkan. Dia
merasa tersiksa sekali.
"Bagus! Kalau begitu biar aku yang cari
sendiri! Dan kau tak akan pernah kulepaskan da-
ri totokkan itu! Biar kau mampus dipatuk ular di
tempat yang menyeramkan ini, dan kaku selama-
lamanya!"
Wajah Seto Mulia pias.
Memerah.
Dan ketakutan.
"Aku... aku..."
"Hehehe.. kau sesungguhnya tahu, bukan?
Nah, cepat tunjukkan! Bila tak ingin melihat aku
marah dan menyiksamu!"
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Seto
Mulia. Bila dia tahu semuanya akan berakhir se-
perti ini, tak pernah dia mau menerima pekerjaan
sebagai petunjuk jalan dari Tiga Pedang Perak.
Biar dengan upah sebesar apa pun!
Tapi mau apa lagi?
Semua sudah terjadi dan dia tak mungkin
dapat melepaskan diri lagi.
Takut-takut dia mengangguk.
"Iya... iya, Tuan...."
"Hehehe..." tongkat itu bergerak lagi, "Tuk!"
dan terbebaslah Seto Mulia.
Lalu dengan teramat terpaksa, Seto Mulia
pun menunjukkan makam Eyang Ringkih Dewi.
Ternyata letaknya di dalam sebuah goa yang ter-
dapat di puncak Gunung Setan. Goa itu cukup
menyeramkan. Dengan sedikit dipaksa, Seto Mu-
lia mengikuti Siluman Dewa Buaya memasuki goa
itu.
Siluman Dewa Buaya terkekeh begitu meli-
hat sebuah makam yang telah jelek dan rusak.
Batu nisannya tak ada sama sekali. Bahkan ma-
kam itu hampir rata dengan tanah. Bau lumut
menguap dari dinding goa.
"Benar ini makam Eyang Ringkih Dewi,
Orang jelek?" tanyanya.
"Be... benar, Tuan... Sayalah yang pertama
kali menemukan makam ini."
"Bagus! Bagus! Hehehe... Cambuk Sutra
Sakti akan menjadi milikku dan akulah yang
menjadi penguasa di rimba persilatan ini!!"
Lalu dengan gerakan tongkatnya, Siluman
Dewa Buaya mulai menggali makam itu. Seto Mu-
lia cuma memperhatikan dengan perasaan ngeri.
Pertama ngeri karena takut pada Siluman Dewa
Buaya. Kedua ngeri karena akan melihat mayat
yang telah terpendam ratusan tahun yang lalu.
Bukankah ini suatu pemandangan yang
mengerikan?!
Dan dia bergidik ngeri ketika kedua tangan
Siluman Dewa Buaya mengangkat mayat yang te-
lah ratusan tahun terkubur itu.
Bau busuk menguap dari tubuh mayat itu.
Menyebarkan aroma yang tidak sedap. Menyen-
gat. Teramat menyengat. Seluruh tubuh mayat itu
telah rusak. Mengerikan. Dan teramat mengeri-
kan.
Seto Mulia langsung muntah karena bau
busuk yang tak kepalang tanggung baunya.
Dia langsung berlari keluar goa untuk
menghirup udara segar. Dan dia masih muntah-
muntah kembali.
Tak lama kemudian muncul Siluman Dewa
Buaya sambil membopong mayat yang telah ru-
sak dan membusuk itu. Di bahunya terdapat se-
buah cambuk yang bagus sekali. Tangkai cambuk
itu terbuat dari baja yang amat kuat. Sedangkan
bagian surainya terbuat dari sutra yang indah se-
kali. Namun meskipun terbuat dari sutra yang
nampak lembut, sebuah batu besar pun dapat
hancur digebah oleh cambuk itu.
Bahkan sebuah senjata pusaka pun akan
pecah berantakan bila terhantam cambuk itu. Itu-
lah Cambuk Sutra Sakti milik Eyang Ringkih De-
wi, tokoh dari golongan hitam yang hidup ratusan
tahun yang lalu.
Di tempat persembunyiannya, Dewi Kanti-
laras mendesah melihat Cambuk Sutra Sakti be-
rada di tangan Siluman Dewa Buaya. Cambuk
yang diimpi-impikannya untuk dijadikan senjata
andalannya.
Dia harus merebut senjata pusaka itu se-
karang juga.
Lalu katanya pada Juwita, "Juwita... Bibi
akan merebut Cambuk Sutra Sakti dari tangan
Siluman Dewa Buaya sekarang..."
"Tapi Bibi..."
"Kau tunggu di sini saja."
"Bukankah Bibi masih lelah?"
Dewi Kantilaras tersenyum. Merasa senang
diperhatikan oleh anak angkat sekaligus murid-
nya itu,
"Tenanglah. Bibi sanggup menghadapinya."
"Kalau begitu, biar aku bantu, Bibi."
"Tidak usah. Kau di sini saja," setelah ber-
kata begitu, Dewi Kantilaras bersalto dari ku-
danya.
Beberapa kali tubuhnya berputar di udara,
dan hingga di depan Siluman Dewa Buaya yang
teramat terkejut. Tetapi dia cuma terkekeh.
"Hehehe... Dewi Bunga Biru rupanya yang
telah hadir di tempat ini..."
"Hhhh!!" sepasang mata Dewi Kantilaras
bersinar penuh perhitungan, "Kakek peot, cepat
kau serahkan cambuk sakti itu padaku!!"
"Serahkan? Hehehe... tak semudah yang
kau kira, Dewi..."
"Kakek peot! Jangan banyak omong! Ku-
minta serahkan padaku Cambuk Sutra Sakti itu!"
"Hehehe.... tak mudah, Dewi... tak mudah
untuk mendapatkan cambuk sakti ini dari tan-
ganku...."
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Siluman
Buaya darat!"
"Hehehe.... atau kau yang telah bosan hi-
dup, Dewi! Aku sudah tahu bahwa kau dari per-
tengahan jalan menuju puncak Gunung Setan ini
telah menguntit aku, bukan? Hehehe.... kau tak
bisa mungkir, Dewi! Nah, apa kau ingin seperti
Tiga Pedang Perak, hah?"
Dewi Kantilaras terdiam. Dia baru menya-
dari kalau Siluman Dewa Buaya telah mengetahui
dirinya diikuti olehnya dan Juwita.
Terdengar lagi suara Siluman Dewa Buaya
terkekeh, "Hehehe... di mana temanmu yang can-
tik itu, hah? Aku sebenarnya sudah tidak tahan
untuk melihatnya lagi dan mencicipi kehangatan
tubuhnya..."
"Busuk sekali mulutmu, Kakek peot!" ge-
ram Dewi Kantilaras dengan wajah memerah.
"Hehehe... kau tentunya marah karena aku
tak berminat denganmu, bukan? Sabarlah, De-
wi... nanti pun kau akan kuberikan kehangatan!
Hehehe...."
Wajah itu semakin memerah. Dan kemara-
hannya pun mulai naik.
"Mulut busuk! Cepat kau serahkan Cam-
buk Sutra Sakti itu, bila tidak... kau akan mam-
pus di pagi ini! Dan Puncak Gunung Setan men-
jadi kuburanmu untuk selama-lamanya!"
"Hehehe... tak semudah itu, Dewi... He
hehe.. nah, kau cobalah!"
"Kakek jelek!" maki Dewi Kantilaras dengan
berang. Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan.
Empat
Tiga buah bunga senjata rahasianya yang
berwarna biru melesat deras ke arah Siluman
Dewa Buaya. Bunga berwarna biru itu mengan-
dung racun yang amat mematikan. Jangankan
menancap di tubuh lawan, terserempet saja su-
dah amat berbahaya.
Siluman Dewa Buaya tahu soal itu. Dan
dia pun tak mau dirinya dijadikan sasaran den-
gan empuk senjata rahasia milik Dewi Bunga Bi-
ru.
Masih membopong mayat Eyang Ring-
kih Dewi yang rusak dan busuk itu, dia bersalto
menghindar sambil terkekeh, "Hehehe... rupanya
kau tak sabaran juga, Dewi... Hehehe... pembe-
rang pula?"
"Kakek peot! Jangan banyak omong lagi!
Lihat serangan!"
Tubuh Dewi Kantilaras menderu dengan
cepat. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga
dalamnya, tertuju pada wajah dan dada Siluman
Dewa Buaya.
Dengan satu gerakan yang amat cepat dan
sukar diikuti oleh mata, Siluman Dewa Buaya
meletakkan mayat Eyang Ringkih Dewi dan dia
sendiri bersalto ke samping hingga serangan Dewi
Kantilaras luput dari sasarannya.
Melihat serangannya gagal, Dewi Kantilaras
pun menyerang kembali. Kali ini lebih hebat dan
dahsyat, berbahaya.
Siluman Dewa Buaya pun kali ini tidak
hanya menghindar. Dia pun mulai membalas
dengan gebukan tongkat berkepala buaya pada
ujungnya.
Di puncak Gunung Setan itu pun terjadi
pertarungan yang teramat berbahaya dan menge-
rikan. Kedua tokoh jago rimba persilatan ini tak
kenal ampun lagi. Keduanya, saling serang dan
menangkis.
Hebat.
Cepat.
Berbahaya,
Dan sekaligus mengerikan.
Seto Mulia sendiri hanya berdiri kaku me-
lihat perkelahian yang mendebarkan itu. Dia tak
mampu lagi untuk berpikir melarikan diri. Tu-
buhnya mendadak kaku. Hanya memperhatikan
jalannya pertarungan itu dengan tegang.
Di tempat persembunyiannya, Juwita sen-
diri tak bisa menahan debaran hatinya melihat
pertarungan itu.
Dia mendesah dan berdoa semoga gurunya
memenangkan pertarungan. Namun agaknya un-
tuk menang susah, karena mengimbangi Siluman
Dewa Buaya yang bergerak cepat dengan tong
katnya telah memusingkan Dewi Kantilaras.
Dewi Kantilaras pun sudah membuka ju-
rus barunya, Bidadari Menyebar Bunga. Hingga
gerakannya dengan cepat berputar, melompat,
bersalto dan memburu.
Siluman Dewa Buaya pun sudah membuka
permainan tongkatnya. Tongkat Buaya Mengejar
Mangsa, yang membuat Dewi Kantilaras harus
bertindak penuh perhitungan. Dia pun tak mau
dirinya dijadikan sasaran tongkat itu. Meskipun
dirinya terkepung, Dewi Kantilaras masih me-
mainkan jurus Bidadari Menyebar Bunganya.
Dan mendadak saja tubuhnya melenting dan tan-
gan kanannya bergerak.
Tiga bunga biru yang mengandung racun
itu berkelebat mengejar Siluman Dewa Buaya.
Namun satu pertunjukan permainan tong-
kat yang amat hebat pun diperlihatkan oleh Silu-
man Dewa Buaya.
Tongkatnya bergerak dengan cepat mema-
paki tiga senjata rahasia milik Dewi Kantilaras.
"Cep!"
"Cep!"
"Cep!"
Dan ketika Siluman Dewa Buaya berdiri te-
gak dengan tongkat di tangan, nampaklah tiga
bunga biru itu telah menancap di tongkat milik-
nya.
"Hehehe...kau lihat, Dewi... sia-sia belaka
kau membuang-buang senjata rahasiamu!"
Kalau mau jujur, secara diam-diam Dewi
Kantilaras pun kagum dan salut dengan permai-
nan tongkat yang diperlihatkan oleh Siluman De-
wa Buaya. Yang begitu cepat dan hebat.
Tetapi sudah tentu dia tak mau menunjuk-
kan kekagumannya. Dia malah mendengus mele-
cehkan.
"Hhh! Tongkat untuk memukul anjing saja
kau perlihatkan padaku, Buaya Darat!!"
Wajah Siluman Dewa Buaya memerah.
Lalu katanya sambil memutar-mutar tong-
katnya hingga menimbulkan suara gemuruh, dia
berkata, "Kalau begitu baiklah, Dewi... kau akan
melihat sampai di mana kehebatan tongkatku ini!
Aku tadi kagum kau bisa meloloskan diri dari ju-
rus Tongkat Buaya Mengejar Mangsa! Nah, kau
sambutlah jurusku yang berikut ini! Tongkat
Menggapai Matahari!!"
Setelah berkata begitu, Siluman Dewa
Buaya pun kembali menyerang Dewi Kantilaras
dengan cepat dan gencar. Permainan tongkatnya
kali ini begitu hebat. Seolah tongkat itu menjadi
seribu. Dan setiap kali berdesing, Dewi Kantilaras
merasakan hawa panas yang keluar dari tongkat
itu.
"Heit!" bentaknya sambil bersalto ketika
tongkat itu mengancam kedua kakinya. Namun
tanpa diduganya, tongkat itu terus memburunya
yang masih melayang di udara.
Dewi Kantilaras sejenak kaget dan bingung,
namun dengan cepat dia melempar tiga bunga bi-
runya.
"Sing!"
"Sing!"
"Sing!"
Siluman Dewa Buaya yang tengah membu-
ru, mengurungkan niatnya. Dan menangkis tiga
bunga biru itu hingga terpental.
Sementara Dewi Kantilaras telah berdiri te-
gap di bumi. Kedua kakinya terbuka. Dia mende-
sis mendebarkan, "Kau terimalah jurusku ini, Si-
luman Dewa Buaya! Bidadari Memetik Bunga!!"
Lalu dengan satu pekikan yang cukup ke-
ras, tubuh Dewi Kantilaras menderu kembali. An-
gin yang ditimbulkan dari kelebatan tubuhnya
menerpa Siluman Dewa Buaya cukup terkejut pu-
la. Namun tak ada jalan lain baginya untuk
menghindar lagi. Dia pun memekik keras mema-
paki serangan dari Dewi Kantilaras.
"Haaaaiiiiiittttt!!!!"
Dua pekikan terdengar keras.
Dan dua benturan yang hebat pun tak tere-
lakkan lagi.
"Duaaaarrr!!"
Dua benturan dari tenaga dan jurus yang
tangguh pun terjadi dan menimbulkan suara se-
perti ledakan. Debu-debu di sekitar sana berter-
bangan dan daun-daun pun berguguran.
Dan dua sosok tubuh itu pun terpental ke
belakang. Masing-masing menahan rasa sakit di
dada mereka. Dan secara berbarengan keduanya
muntah darah.
"Huaaakkk!!"
Lalu kembali keduanya saling tatap dengan
penuh amarah dan meradang.
"Serahkan Cambuk Sutra Sakti itu padaku,
Buaya keparat!!" desis Dewi Kantilaras.
"Hhhh! Tak akan pernah, Dewi... tak akan
pernah... Sebelum aku berkalang tanah..."
"Baik! Kamu harus kubuat mampus dulu
sebelum menyerahkan Cambuk Sutra Sakti pa-
daku!!"
"Hhhh! Dan kau pun akan merasakan ke-
saktian cambuk ini, Dewi!!"
Secara tiba-tiba Siluman Dewa Buaya
mengambil cambuk yang tersampir erat di ba-
hunya. Lalu dia pun mulai mengayun-
ayunkannya.
"Taaarrrrr!!"
Suara cletar yang ditimbulkan cambuk itu
amat mengerikan dan mendebarkan. Tanpa dis-
adarinya, bulu kuduk Dewi Kantilaras berdiri.
Cambuk itu seperti satu alat penghisap darah
yang tak mengenal ampun.
Siluman Dewa Buaya terkekeh melihat wa-
jah pias Dewi Kantilaras.
"Hehehe... kau ngeri melihat kehebatan
cambuk ini, Dewi..."
"Siluman Dewa Buaya, serahkan cambuk
itu cepat! Sebelum kau kubunuh!"
"Atau kau yang harus kubunuh dengan
cambuk yang kau impikan ini, Dewi!"
"Anjing buduk!"
"Nah, seranglah anjing buduk ini!!" tantang
Siluman Dewa Buaya sambil mengayun-ayunkan
cambuk itu hingga menimbulkan suara cletar
yang teramat keras, dan mengerikan.
Dewi Kantilaras pantang ditantang seperti
itu. Apa pun yang terjadi dia telah bertekad untuk
merebut Cambuk Sutra Sakti itu. Maka dia pun
bersiap. Karena disadarinya senjata yang berada
di tangan lawannya amat berbahaya, dia pun
membuka jurus pamungkasnya. Bidadari Menge-
jar Bidadari.
Jurus yang amat berbahaya sekaligus amat
mematikan. Karena itu merupakan jurus yang te-
rakhir dan menjadi pamungkas dari Dewi Kantila-
ras.
"Hehehe... keluarkanlah seluruh kepan-
daianmu. Dewi!"
"Terimalah serangan ini, Siluman Kepa-
rat!!" seru Dewi Kantilaras. Dan dia pun memben-
tangkan kedua tangannya. Dan perlahan-lahan
kedua tangan itu berubah menjadi merah. Berca-
haya dan mengeluarkan hawa yang cukup panas.
Siluman Dewa Buaya pun kagum dan se-
dikit ngeri melihat jurus yang dikeluarkan oleh
Dewi Kantilaras. Tetapi dia hanya tertawa saja.
Dan dia yakin senjata cambuk yang berada di
tangannya lebih berbahaya daripada jurus yang
dikeluarkan oleh Dewi Kantilaras.
Dewi Kantilaras pun tak mau menunggu
waktu lagi. Dia pun menyerang dengan hebat. Si-
luman Dewa Buaya pun segera menyambutnya.
Kakek berwajah cekung itu ternyata agak
sulit untuk memainkan cambuk sakti itu, karena
jarak tubuh Dewi Kantilaras begitu dekat pa-
danya. Bahkan dia pun terdesak hebat oleh se-
rangan-serangan tangguh dari jurus Bidadari
Mengejar Bidadari milik Dewi Kantilaras.
"Hihihi... ternyata kau tak bisa memainkan
cambuk itu, Kakek peot!" ejek Dewi Kantilaras
yang merasa berada di atas angin. "Cepat berikan
padaku cambuk itu, sebelum kau kubuat mati di
sini!!"
"Jangan gembira dulu, Dewi... aku... haet!"
ucapan Siluman Dewa Buaya terpotong karena
dia harus bersalto menghindari cecaran serangan
Dewi Kantilaras.
Namun itu adalah satu keberuntungan pa-
da Siluman Dewa Buaya, karena dengan bersalto
jaraknya dengan Dewi Kantilaras agak menjauh.
Dan ini membuatnya dapat bergerak untuk me-
mainkan cambuknya.
Dewi Kantilaras menyadari kesalahannya.
Karena dia tidak menjaga jarak. Namun Dewi
Kantilaras seakan tak perduli dengan jarak yang
sudah meregang itu. Baginya hanya satu, Cam-
buk Sutra Sakti harus menjadi miliknya!!
"Siluman keparat! Kukatakan untuk terak-
hir kalinya, serahkan cambuk itu padaku seka-
rang juga! Cepaat!!" bentak Dewi Kantilaras sam-
bil berpikir untuk mendesak dan tak memberi ke-
sempatan lagi pada Siluman Dewa Buaya.
"Hehehe... sekaranglah saatnya untuk uji
coba dengan cambuk sakti ini, Dewi! Majulah lagi!
Kau akan kubuat lumat dengan cambuk ini!!"
Melihat hal itu, memang tak ada jalan lain
untuk Dewi Kantilaras. Maka dia pun menyerang
kembali dengan jurus Bidadari Mengejar Bidadari.
Namun Siluman Dewa Buaya tak mau
mengulangi kesalahannya untuk kedua kalinya.
Kali ini dia pun langsung memainkan cambuk-
nya.
"Tarrrrr!!" ujung cambuk itu berbunyi den-
gan keras.
Dan dengan satu gerakan yang hebat, Si-
luman Dewa Buaya memainkan cambuknya ke
arah tubuh Dewi Kantilaras yang tengah menye-
rang.
Ujung cambuk itu siap menyambar tubuh
Dewi Kantilaras. Menjemput nyawanya. Terdengar
pekikan keras dari Dewi Kantilaras dan mengem-
pos kembali tubuhnya untuk bersalto ke bela-
kang. Bila dia terlambat sedikit saja, maka maut
taruhannya.
"Taaaarrrrr!!"
Ujung cambuk itu menyambar angin.
Melihat dirinya berada di atas angin, Silu-
man Dewa Buaya pun mencecar dengan Cambuk
Sutra Sakti. Ganas dan berbahaya.
Dewi Kantilaras sebisanya untuk menghin-
dari serangan-serangan cambuk itu karena dia ti-
dak mau dirinya mati di ujung cambuk yang hen-
dak direbutnya.
"Hehehe... mau lari ke mana kau, Dewi?
Bukankah kau ingin memiliki cambuk ini? Nah,
rebutlah dari tanganku!"
"Anjing buduk!"
Dewi Kantilaras mencoba untuk membalas,
namun serangan cambuk itu telah mengepungnya
dan sukar baginya untuk menerobos.
Dia mencoba dengan senjata rahasianya.
Namun begitu senjata rahasia itu melesat, dengan
cepat Siluman Dewa Buaya menggerakkan cam-
buknya.
Dan tiga buah bunga biru pun hancur ber-
keping-keping.
"Hehehe... sia-sia belaka kau menghadapi
aku sekarang, Dewi! Sia-sia belaka!!"
"Bangsat peot! Kau harus mampus di tan-
ganku hari ini juga!"
"Hehehe... sejak tadi kau hanya berkata
begitu, Dewi... Mana, mana buktinya? Kau malah
lari seperti kucing dikejar anjing!"
"Anjing buduk!" Kembali Dewi Kantilaras
mencoba menyerang kembali. Namun lagi-lagi se-
rangannya gagal karena dia harus menghindar-
kan ujung cambuk sakti itu.
"Hehehe... kau tak akan bisa lari, Dewi...
Tak akan bisa lari... Kau akan mampus di ujung
cambuk ini.... hehehe..."
Kembali Siluman Dewa Buaya mencecar
dengan hebat. Berkali-kali serangannya luput ka-
rena dengan mengandalkan kegesitannya Dewi
Kantilaras berhasil menghindar.
Namun akibatnya sungguh hebat.
Karena telah berulangkali cambuk yang lo
los itu, menghantam batu besar dan pepohonan
hingga hancur berantakan dan tumbang.
Dewi Kantilaras dapat membayangkan aki-
batnya bila tubuhnya terkena ujung cambuk itu.
Tentunya dia tak akan sempat lagi untuk berte-
riak karena tubuhnya telah hancur.
Melihat kenyataan ini, Dewi Kantilaras ti-
dak berani lagi untuk mencoba menyerang. Dia
hanya menghindar sekuat tenaga. Dan men-
coba untuk meloloskan diri.
Namun cambuk itu seolah telah menge-
pungnya dan membelenggu langkahnya. Mem-
buatnya sama sekali tak berdaya selain hanya bi-
sa menghindar saja.
Dan satu ketika, dia tak mungkin bisa un-
tuk menghindar lagi. Karena cambuk itu telah
benar-benar mengepung langkahnya.
Hingga suatu saat, terdengar pekikan dari
Siluman Dewa Buaya sambil mengayunkan cam-
buknya.
"Mampuslah kau, Dewi!!"
Dewi Kantilaras sendiri tak bisa lagi untuk
menghindar. Di samping tenaganya yang sudah
melemah, juga posisinya yang tidak menguntung-
kan.
Tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh me-
mapaki serangan dari Siluman Dewa Buaya pada
Dewi Kantilaras. Juwita yang sejak tadi melihat
pertarungan yang tak seimbang itu tak bisa me-
nahan diri lagi untuk membantu gurunya. Maka
dia pun menerjang dan memapakinya.
Namun ini merupakan satu kesalahan
yang teramat fatal dilakukannya. Meskipun dia
menangkis dengan pedangnya, namun tak urung
ujung cambuk itu mengenai tangan kirinya. Yang
langsung putus mengeluarkan darah yang ba-
nyak.
Terdengar lolongan yang amat keras.
"Aaaaahhhh!!" tubuh Juwita terguling me-
nahan sakit yang teramat sangat. Tangan kirinya
telah buntung. Dan tanpa ada yang melihat, se-
percik darah yang muncrat dari tangan kiri itu,
mengenai mayat Eyang Ringkih Dewi!!
Lima
"Juwitaaaa!!" pekik Dewi Kantilaras kaget.
Dan memburu Juwita yang pingsan karena ba-
nyak mengeluarkan darah. Dengan gerakan yang
cepat Dewi Kantilaras menotok jalan darah Juwita
hingga aliran darah itu pun berhenti. "Juwita...
Juwita..." panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi
gadis itu.
Namun Juwita yang dalam keadaan ping-
san, tidak mendengar panggilan itu. Wajahnya
pias. Keringat nampak membanjiri sekujur tu-
buhnya.
Tiba-tiba Dewi Kantilaras berbalik dan
memandang tajam pada Siluman Dewa Buaya
yang sedang terkekeh.
"Kau harus membalas semua ini!!" bentak-
nya sambil bangkit perlahan-lahan. Sepasang ma-
tanya memancarkan sinar dendam yang teramat
sangat.
Apalagi begitu teringat Juwita luka parah
dan lengan kirinya buntung akibat ingin meno-
longnya. Makin murkalah Dewi Kantilaras.
"Hehehe... bukan main! Cambuk Sutra
Sakti ini begitu hebat sekali!"
"Anjing buduk! Kau harus membayar se-
mua atas ulahmu ini!"
"Hehehe.... kau lihat sendiri kesaktian
cambuk ini, Dewi... Baru terserempet sedikit saja,
gadis itu telah buntung tangannya. Bagaimana bi-
la terkena benar-benar? Tentunya dia akan mam-
pus berkalang tanah hari ini juga! Bukan main!"
Semakin murkalah Dewi Kantilaras men-
dengar kata-kata itu. Dia akan segera menyerang.
Namun urung karena tiba-tiba terdengar ketaku-
tan Seto Mulia.
"Tolooooong! Mayat itu hidup lagi!!" seru
Seto Mulia dan berlari ke arah Siluman Dewa
Buaya.
Orang-orang yang berada di sana terkejut
sekali, begitu melihat mayat Eyang Ringkih Dewi
yang rusak dan mengeluarkan bau busuk itu per-
lahan-lahan bangkit lagi.
"Hei!" seru Dewi Kantilaras kaget.
"Mengapa bisa begini?!" seru Siluman Dewa
Buaya pula yang tak kalah kagetnya.
Sebenarnya, mayat Eyang Ringkih Dewi itu
hidup kembali karena terkena percikan darah mi-
lik Juwita. Dulu, Eyang Ringkih Dewi memiliki
ilmu yang bernama Ajian Batu Karang. Yang bila
tubuhnya mati, maka tubuh itu menjadi rusak.
Namun tidak hancur dimakan tanah. Dan bila
tubuh itu terkena darah segar dari orang yang
masih hidup, maka secara ajaib tubuh itu akan
bangkit dan hidup kembali. Namun masih dalam
kondisi yang sekarang. Rusak dan menyebarkan
bau busuk! Mayat itu terkikik.
"Hihihi... rupanya aku telah bangun dari
tidurku selama ratusan tahun ini... Hihihi tidur
yang teramat panjang dan melelahkan..."
Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya
saling berpandangan. Kali ini tatapan keduanya
tidak lagi memancarkan sinar permusuhan, ama-
rah dan dendam. Melainkan seolah saling ber-
tanya mengapa mayat itu bisa hidup kembali.
Terdengar lagi mayat hidup itu berkata,
"Ah... aku membutuhkan darah yang segar untuk
memulihkan jasadku seperti dulu lagi... hihihi....
O... rupanya banyak darah segar di sini!" desisnya
begitu melihat tiga orang itu yang berdiri dengan
kebingungan. "Hihihi... aku membutuhkan salah
seorang dari kalian... atau hihihi semunya... ya,
ya.... semuanya...."
Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya
sadar apa yang akan terjadi. Mayat hidup itu
membutuhkan darah segar untuk mengembalikan
keadaan tubuhnya seperti dulu.
Dan seperti disadari oleh bahaya yang
mengancam, keduanya mendadak bersiap.
Dan amat tiba-tiba sekali, terdengar benta-
kan menggelegar dari mulut mayat hidup itu.
"Manusia keparat! Rupanya kau hendak
mencuri Cambuk Sutra Sakti milikku! Cepat
kembalikan!"
"Mayat hidup bau busuk! Lebih baik kau
kembali ke asalmu sana!" balas Siluman Dewa
Buaya berani.
Mayat hidup itu menyeringai.
Amat mengerikan.
"Hihihi... kaulah yang akan membuatku
semakin kuat dan bertahan lama untuk hidup
kembali!" desisnya dan secara tiba-tiba mayat itu
menerjang Siluman Dewa Buaya.
Kakek bermata cekung itu amat terkejut
melihat serangan yang dilakukan dengan amat
cepat itu. Dan tanpa dia sadari bagaimana ca-
ranya, tiba-tiba Cambuk Sutra Sakti itu telah be-
rada di tangan mayat hidup yang kini bersalto ke
belakang dan hinggap di tanah.
"Hihihi... inilah senjata saktiku... Hihihi...
kita akan bertualang lagi seperti dulu, Manis...."
ujar mayat itu sambil membelai-belai cambuk itu.
Dan tiba-tiba mayat itu menggerakkan tan-
gannya. Cambuk yang kini di tangannya terarah
pada Seto Mulia yang berdiri amat ketakutan. Se-
cara aneh dan tiba-tiba pula cambuk itu melilit
tubuh Seto Mulia dan dengan cepat ditariknya
hingga Seto Mulia tidak bisa bergerak untuk
membebaskan diri.
Tak ubahnya seperti lilitan ular yang amat
mematikan.
"Hihihi... rupanya kaulah orang pertama
yang ditakdirkan Dewata untuk membuat wajah
dan tubuhku seperti dulu lagi..." terkikik mayat
itu dan dengan tiba-tiba dia menghujamkan gigi-
giginya ke leher Seto Mulia yang menjerit melo-
long menyayat hati.
Dan dalam sekejap saja tubuh Seto Mulia
berubah menjadi putih seperti kapas. Lalu tubuh
itu pun menggelosoh ambruk dengan tubuh yang
kering darah dan mati secara mengerikan.
Keanehan terjadi pada mayat hidup itu.
Secara perlahan-lahan, tubuhnya yang rusak
dan mengeluarkan bau busuk berubah menjadi
agak berisi. Tubuh itu kini menjadi amat sempur-
na, bagus dengan menampilkan lekuk tubuh yang
aduhai. Karena tubuh itu dalam keadaan telan-
jang bulat.
Bila tidak menyadari dan melihat peruba-
han tubuh itu dari mayat yang rusak dan berbau
busuk, birahi Siluman Dewa Buaya akan terang-
sang. Namun karena dia tahu tubuh yang molek
nan aduhai itu berasal dari mayat hidup tadi, dia
menjadi jijik melihatnya.
Apalagi ketika menatap wajah itu yang ma-
sih dalam keadaan rusak.
"Hihihi... aku membutuhkan darah segar
lagi untuk memulihkan wajahku!!"
Dan secara tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi
menggerakkan tangannya. Cambuknya berkelebat
ke arah sasaran. Siluman Dewa Buaya, yang
langsung melompat karena tak mau darahnya di-
hirup untuk memulihkan kembali jasad itu.
"Hihihi... rupanya kau punya keahlian ju-
ga. Bagus! Sudah ratusan tahun aku tidak berke-
lahi dan menggunakan kepandaianku! Aku ingin
melihat sampai di mana kemampuan dan kepan-
daian yang kau miliki, Kakek peot! Juga kau wa-
nita cantik! Ah, meskipun kalian sudah berumur
tetapi darah kalian masih segar untuk merubah
wajah jasadku menjadi seorang gadis jelita!!"
Dan secara tiba-tiba pula, Eyang Ringkih
Dewi menyerang Siluman Dewa Buaya dan Dewi
Kantilaras secara bersamaan. Sudah tentu kedu-
anya tak mau dijadikan sasaran cambuk Eyang
Ringkih Dewi.
Namun akibat tenaga yang telah terkuras
habis dari perkelahian yang memakan waktu
hampir setengah hari, membuat gerakan kedua-
nya tidak selincah tadi. Maka dengan satu benta-
kan yang cukup kuat, cambuk Eyang Ringkih
Dewi melilit di tubuh Dewi Kantilaras yang tak bi-
sa untuk meloloskan diri lagi
"Hihihi.... darah segar! Darah segar!!" desis
Eyang Ringkih Dewi.
Seperti yang dilakukannya terhadap Seto
Mulia. Dia pun menghujamkan gigi-giginya pada
leher Dewi Kantilaras yang menolong pula.
Dan tubuh itu pun menggelosoh lemah
dengan keadaan yang tak berbeda seperti yang
dialami oleh Seto Mulia.
Kembali keanehan itu terjadi. Siluman De-
wa Buaya melihat wajah yang rusak dan menye-
ramkan itu berangsur-angsur berubah menjadi
cantik jelita. Dan kini di hadapannya telah berdiri
seorang gadis yang teramat cantik.
Siluman Dewa Buaya sempat terpesona
sendiri melihat kecantikan wajah yang terpam-
pang di matanya.
"Hihihi... kakek peot... kau heran bukan
melihat wajahku yang jelita ini?"
Tiba-tiba seperti diingatkan kalau jasad
dan wajah yang cantik merangsang itu berasal
dari sebuah mayat, Siluman Dewa Buaya bergi-
dik. Dan membuang ludah.
"Ciiih! Mayat hidup, kau harus mampus
kembali ke asalmu!" katanya sambil memegang
tongkatnya kembali dengan erat. Apa pun yang
akan terjadi, dia akan menghadapi mayat hidup
itu dengan sekuat tenaga. Dia tak mau dirinya di-
jadikan sasaran untuk memulihkan seluruh
yang ada pada mayat itu.
"Hihihihi... memakilah kau, Kakek Peot!
Karena sebentar lagi ajalmu akan tiba!!"
Lalu kembali Eyang Ringkih Dewi yang kini
berubah menjadi gadis jelita mengayunkan cam-
buknya, mencari sasarannya.
Siluman Dewa Buaya yang sudah bersiap
untuk menghadapi apa pun yang terjadi pun ber-
salto ke belakang. Namun kini yang dihadapinya
adalah tokoh sakti dari golongan hitam yang hi-
dup ratusan tahun yang lalu. Yang kesaktiannya
jauh berada di atasnya. Namun bagi Siluman De-
wa Buaya, tak ada jalan lain kecuali menghada-
pinya.
"Kau punya nyali juga rupanya... hihihi...
ketahuilah... engkau tengah berhadapan dengan
Eyang Ringkih Dewi atau si Cambuk Sutra Sak-
ti!!"
"Mayat hidup keparat! Sedikitpun aku tak
akan mundur dari hadapanmu!"
"Bagus, bagus! Aku pun ingin melemaskan
seluruh otot-otot kaku di tubuhku ini!" sehabis
berkata begitu, kembali Eyang Ringkih Dewi me-
nyerang dengan hebat.
Siluman Dewa Buaya pun sudah mengelu-
arkan jurus-jurus andalannya. Namun tak satu
pun yang berhasil menghentikan serangan Eyang
Ringkih Dewi. Bahkan mayat hidup yang kini te-
lah berubah menjadi seorang gadis jelita, tidak
kelihatan terdesak. Malah serangan-serangannya
menjadi lebih hebat dan dahsyat.
Sadarlah Siluman Dewa Buaya kalau ajal-
nya sudah dekat. Namun dia pantang untuk me-
nyerah begitu saja. Dia masih mencoba untuk
membalas.
Tiba-tiba dia menjerit keras seraya men-
gayunkan tongkatnya ke kepala Eyang Ringkih
Dewi. Namun dengan satu tenaga yang kuat dan
hebat, Eyang Ringkih Dewi memapaki serangan
tongkat itu dengan tangan kirinya.
"Traaakk!!"
Terdengar suara berderak yang cukup ke
ras. Bukan dari tangan Eyang Ringkih Dewi yang
patah, tetapi dari tongkat Siluman Dewa Buaya
yang kini terbagi menjadi dua.
Sungguh luar biasa tenaga dalam Eyang
Ringkih Dewi. Diam-diam Siluman Dewa Buaya
semakin ngeri dan ketakutan. Baginya memang
tak ada jalan untuk meloloskan diri.
Dia kini bersiap untuk menyambut kembali
serangan Eyang Ringkih Dewi dengan potongan
tongkatnya. Tetapi gadis itu malah menghentikan
serangannya.
Tiba-tiba dia tersenyum.
Begitu mesra.
Memabukkan.
Dan amat mempesona.
Siluman Dewa Buaya menjadi terdiam.
Pandangannya berubah menjadi teramat kagum.
Dia tidak tahu, kalau semua itu terjadi karena
Eyang Ringkih Dewi mengeluarkan ilmu pemikat
laki-lakinya, ajian Bidadari Turun dari Kahyan-
gan.
Dan tanpa disadari oleh Siluman Dewa
Buaya, dia menjadi amat tertarik dengan Eyang
Ringkih Dewi. Apalagi pandangannya kini menjadi
nanar melihat tubuh Eyang Ringkih Dewi yang te-
lanjang bulat menggiurkan.
"Kemarilah, Kakang..." terdengar suara
Eyang Ringkih Dewi yang halus dan mesra.
Dan tanpa disadarinya pula, seperti telah
terhipnotis, perlahan-lahan Siluman Dewa Buaya
berjalan mendekati tubuh telanjang itu dengan
kedua tangan yang terbuka lebar. Menantang
Dan memperlihatkan sepasang buah dada
yang ranum dan indah.
Bersamaan dengan itu, Juwita tersadar da-
ri pingsannya. Pertama-tama yang dirasakannya
ada rasa sakit dari lengan kirinya.
Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Dan amat terkejut ketika melihat tubuh Seto Mu-
lia atau si Orang jelek dan tubuh Dewi Kantilaras
gurunya telah tergeletak menjadi mayat dengan
wajah dan tubuh kering seputih kapas, seolah tak
ada setitik darah pun yang mengaliri tubuh kedu-
anya.
Pertama yang diingatnya ini adalah hasil
perbuatan kakek bermata cekung atau Siluman
Dewa Buaya. Apalagi dia teringat kala menolong
gurunya untuk memapaki serangan Siluman De-
wa Buaya dan tangan kirinya tersambar oleh
Cambuk Sutra Sakti yang diayunkan oleh kakek
itu.
Teringat itu, dia melirik tangan kirinya.
Dan seperti disambar geledek sepasang mata yang
indah itu terbelalak melihat tangannya telah ku-
tung.
Bangkitlah amarah Juwita dan dendam
pada Siluman Dewa Buaya.
Tetapi dia amat terkejut ketika melihat Si-
luman Dewi Buaya tengah mendekati seorang ga-
dis jelita yang bertelanjang bulat. Siapakah gadis
itu? desis Juwita dalam hati. Sepertinya tadi dia
tidak melihat gadis itu ada.
Dan Juwita merasakan ada satu hal yang
tidak wajar sedang terjadi pada Siluman Dewa
Buaya. Karena sorot mata dan langkahnya begitu
kaku dan penurut tertuju pada gadis itu.
Dia juga melihat gadis itu semakin mem-
buka kedua tangannya, seolah siap menerima da-
tangnya tubuh Siluman Dewa Buaya.
Senyum gadis itu begitu memabukkan.
Sepasang matanya amat memancarkan
gairah.
"Kemarilah, Kakang..." desisnya.
"Oh, Dewi.... begitu cantik sekali kau..."
terdengar suara Siluman Dewa Buaya di tenggo-
rokan.
"Cepatlah kemari, Kakang... aku sudah ti-
dak sabar lagi... Lihatlah senja telah datang yang
akan memayungi kita dengan keteduhannya...
Kemarilah, Kakang..."
Bagai robot belaka tubuh Siluman Dewa
Buaya semakin mendekat.
"Cepatlah, Kakang... aku sudah tak ta-
han... ayo, cepat lah..."
Dan tubuh itu bergerak dengan cepat. Lalu
menubruk tubuh gadis itu yang terkikik. Kedua
tubuh itu jatuh ke rumput yang basah.
Juwita memejamkan matanya melihat per-
tunjukan birahi didepannya. Sebagai gadis rema-
ja, mendadak saja jiwa mudanya bergolak.
Namun mendadak dia membuka matanya
ketika mendengar jeritan yang menyayat dari Si-
luman Dewa Buaya. Dia melihat Siluman Dewa
Buaya sedang menggeliatkan tubuhnya seakan
menahan sakit yang teramat sangat.
Semula Juwita menganggap mulut gadis
itu yang berada di leher Siluman Dewa Buaya se-
dang mencium. Namun begitu menyadari kalau
Siluman Dewa Buaya menjerit kesakitan, dia me-
lihat ada sesuatu yang ganjil telah terjadi.
Rupanya gadis itu bukan sedang mencium
leher Siluman Dewa Buaya. Melainkan tengah
menggigit dan menghisap darah. Karena terlihat
kemudian tubuh Siluman Dewa Buaya menggelo-
soh ambruk. Dengan wajah seputih kipas.
Juwita pun melihat bibir gadis itu berda-
rah. Rupanya sisa darah yang dihisapnya dari
leher Siluman Dewa Buaya.
Menyadari hal itu, Juwita teringat akan tu-
buh gurunya dan orang jelek itu yang telah men-
jadi mayat. Dia pun melihat ada luka di leher ke-
duanya dan tubuh mereka pun putih seperti ka-
pas seperti yang terjadi pada Siluman Dewa
Buaya.
Kini Juwita sadar, kalau guru dan orang je-
lek itu pun mati sama seperti yang dialami oleh
Siluman Dewa Buaya.
Hati-hati dia mengintip dan melihat peru-
bahan kembali pada gadis itu. Secara tiba-tiba sa-
ja tubuh gadis itu menjadi semakin montok dan
seksi. Begitu pula dengan wajahnya yang kini
nampak berseri-seri. Rupanya darah segar yang
telah dihisapnya mengembalikan bentuk keadaan
tubuhnya selagi muda dulu.
Juwita masih belum tahu siapa gadis itu.
Namun mendadak dia tidak melihat mayat rusak
dan bau itu di sana. Apakah gadis itu jelmaan da-
ri mayat tadi?
Dugaan Juwita menjadi kenyataan, karena
dia mendengar suara gadis itu berkata sambil
menengadah menatap langit yang tiba-tiba beru-
bah menjadi hitam.
"Hihihi... kini telah hidup kembali Eyang
Ringkih Dewi yang telah terkubur selama ratusan
tahun... Hihihi... aku akan memulai lagi petua-
langanku sebagai si penyebar maut di mana sa-
ja.... akan kucari darah-darah segar untuk mem-
buat hidupku lebih lama... hihihihi..."
Lalu tubuh itu pun melesat meninggalkan
puncak Gunung Setan. Cepat, ringan dan seperti
angin.
Tanpa menyadari kalau seseorang melihat
semua perbuatannya.
Orang itu adalah Juwita yang berpura-pura
mati ketika gadis itu meninggalkan tempat itu.
Lalu dengan hati gundah dan pilu Juwita bangkit
mendekati mayat gurunya.
"Bibi..." hanya desisan itu yang terdengar.
Pada angin yang berhembus dingin.
***
ENAM
Laki-laki berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana itu, tiba di sebuah desa di le-
reng kaki Gunung Setan. Laki-laki itu kira-kira
berusia 35 tahun. Dia selalu tersenyum pada sia-
pa saja yang dijumpainya.
Namun setiap kali dia mengerutkan ke-
ningnya, karena orang-orang yang disapanya sela-
lu melengos dan buru-buru meninggalkannya.
Dari pancaran matanya, orang itu nampak keta-
kutan sekali.
Laki-laki berjubah putih itu mendesah.
"Apa yang telah terjadi di desa ini?" desis-
nya heran. Lalu dia pun mulai melangkah lagi
memasuki keramaian desa. Namun lagi-lagi hal
yang sama dialaminya. Tak satu pun penduduk
yang menyahuti ucapannya atau pun membalas
senyumnya. Membuat laki-laki berjubah putih itu
semakin keheranan.
"Ada apa sebenarnya?" desisnya. Lalu dia
memasuki sebuah rumah makan yang cukup ra-
mai dikunjungi tamu.
Dia mengambil tempat yang cukup di pojok
dan memesan makanan. Baginya orang-orang di
desa ini adalah orang-orang yang baik hati. Na-
mun mengapa mereka tidak mau menyahuti sa-
paannya dan tersenyum padanya.
Ketika pelayan itu menghidangkan pesa-
nannya pun tak sedikit pun pelayan itu mengu
capkan silahkan makan atau pun sesuatu untuk
sekadar berbasa-basi.
Bahkan ketika laki-laki berjubah putih itu
mengucapkan terima kasih, pelayan itu malah
buru-buru menghindar.
"Aneh! Ada apa sebenarnya?" desisnya
sambil memulai makan.
Namun baru beberapa kali dia menyendok,
tiba-tiba dia melihat enam orang pemuda telah
berdiri mengurungnya. Di tangan enam pemuda
itu terdapat senjata golok yang cukup tajam.
Tetapi laki-laki berjubah putih itu mencoba
tersenyum. Kesannya arif dan bijaksana.
"Bila kalian ingin menemaniku makan, si-
lahkan," ucapnya dengan nada bersahabat.
"Iblis busuk!" terdengar salah seorang
membentak.
"Kami tidak ingin menemani makan, tetapi
kami ingin meminta tanggung jawab dari semua
yang telah kau lakukan!!"
Sudah tentu laki-laki berjubah putih itu
heran. Dia mengerutkan keningnya.
"Hmm.... apa yang telah aku lakukan?"
"Jangan banyak omong! Kau telah menjadi
seorang pembunuh yang tak punya belas kasi-
han!!"
"Saudara... apa yang telah aku lakukan?"
"Hhhhh! Masih mencoba mungkir pula!"
"Saudara... katakanlah apa yang telah aku
lakukan hingga kalian berenam nampak marah
dan tidak senang padaku?" tanya laki-laki berju
bah putih itu tetap dengan suara bersahabat.
Bahkan sedikit pun dia tidak nampakkan kejeng-
kelan dan kemarahan karena orang-orang ini
main tuduh begitu saja padanya.
"Orang asing... kami masih mencoba ber-
tenggang rasa padamu! Tentunya kau sendiri ta-
hu apa yang telah kau lakukan? Tapi baiklah...
biar kau menjadi teringat akan dosa-dosa yang te-
lah kau perbuat. Hhh! Sudah hampir tujuh orang
korban dari desa sini kau ganyang, Iblis busuk!"
"Maaf..." kata laki-laki berjubah putih itu
memotong pembicaraan pemuda yang nampak
marah itu. "Apa yang telah kulakukan? Tujuh
orang korban? Dan apa hubungannya dengan-
ku?"
"Orang asing... kau amat pandai bermain
kata-kata dan bersandiwara. Baiklah... tujuh kor-
ban yang kami temukan itu mati dengan sekujur
tubuh pucat pasi karena kehabisan darah. Dan di
leher mereka ada bekas luka gigitan. Sudah beru-
langkali kami mencari siapa yang bertindak sung-
guh kejam dan sadis ini. Namun sampai sejauh
ini orang itu belum kami temukan juga. Dan ak-
hirnya kau berani menampakkan diri juga penja-
hat busuk! Sungguh punya nyali juga kau ini!!"
"Maaf, Saudara... kalau bisa saya simpul-
kan dari kata-katamu itu, berarti saat ini ada seo-
rang penjahat yang dengan kejamnya membunuhi
korbannya dengan jalan mengisap darah dengan
menggigit leher korbannya? Benar begitu?"
"Ya!" Keenam pemuda itu menyahut se
rempak.
"Lalu kalian menuduhku sebagai pela-
kunya?"
"Ya! Dan kau sekarang tak akan bisa lari
dari kami!" ancam salah seorang sambil mene-
gakkan goloknya.
Tetapi laki-laki yang memakai jubah putih
itu cuma tersenyum.
"Maafkan aku, Saudara-saudara... agaknya
kalian salah paham dan salah menuduh aku.
Apakah dengan datangnya aku yang secara tidak
sengaja berkunjung ke desa ini dikatakan sebagai
pembunuh?"
"Ya! Karena kaulah satu-satunya orang as-
ing yang berada di sini!!"
Sebelum laki-laki berjubah putih itu me-
nyahut, seseorang telah berdiri dari duduknya.
Sosok itu berpakaian ramping.
"Apakah aku bukan orang asing di sini?"
serunya sambil menatap keenam orang itu.
Dan serentak enam pemuda itu menoleh ke
orang yang berseru tadi, yang ternyata seorang
gadis berwajah cantik. Sayang. Lengan kiri gadis
itu buntung tangannya.
"Hei, gadis cantik! Siapa kau?!" orang itu
kini membentak gadis cantik itu.
"Hmm... namaku Juwita..."
"Nona Juwita... kau orang asing di sini?"
tanya orang itu lagi.
Dan semua itu telah menarik perhatian pa-
ra tamu di rumah makan itu.
"Ya! Baru kemarin aku tiba di sini!"
"Hhh! Lalu apakah kau yang melakukan
semua ini?!" desis orang itu yang bernama Kelana
lagi.
"Bukan aku! Bukan pula laki-laki yang
memakai jubah putih itu?"
"Hhh!" geram Kelana. "Aku tak percaya!
Paling tidak salah seorang di antara kalian yang
telah melakukannya! Atau kalian berdua yang
melakukannya!"
"Orang bodoh!" bentak gadis yang memang
Juwita itu. Setelah menguburkan mayat gurunya,
lalu dia pun kembali ke tempat asalnya di lereng
Gunung Kidul. Setelah itu dendamnya pada
Eyang Ringkih Dewi atau si mayat hidup menjadi-
jadi. Akhirnya Juwita memutuskan untuk menca-
ri dan membalas dendam pada Eyang Ringkih
Dewi.
Sasarannya langsung pada desa yang terle-
tak di lereng Gunung Setan. Karena Juwita men-
duga, Eyang Ringkih Dewi akan mencari sasaran
di desa lereng gunung itu.
Hari pertama di sini, sebenarnya dia sudah
mendengar tentang kematian beberapa penduduk
desa secara mengerikan. Mengingat luka di leher
dan tubuh yang seputih kapas pada yang me-
ninggal, sudah tentu Juwita yakin itu perbuatan
Eyang Ringkih Dewi.
Namun sampai sejauh ini dia tidak mau
menggembar-gemborkan siapa yang telah melan-
carkan teror mengerikan itu.
Hingga laki-laki yang mengenakan jubah
putih itu dituduh oleh orang-orang desa.
"Kau berani memakiku, Gadis buntung!!"
seru Kelana dengan wajah merah padam. "Aku
ingin melihat apakah kau punya kemampuan ju-
ga, hah?!"
Sehabis berkata begitu dia menghunus go-
loknya ke arah Juwita. Tetapi Juwita dengan mu-
dahnya mendorong sebuah kursi hingga orang itu
melompat. Dan saat orang itu melompat, Juwita
mengayunkan kakinya menendang.
"Des!"
Tubuh Kelana terhuyung ke belakang.
Tetapi pemuda itu langsung bangkit den-
gan marah karena baru satu gebrak dia sudah di-
pecundangi. Tetapi lagi-lagi dia terus terhuyung
ke belakang.
"Tahan!" terdengar suara dari laki-laki ber-
jubah putih itu. "Jangan lakukan serangan!"
Sedangkan Kelana yang terjatuh dua kali
berseru pada teman-temannya. "Hei, mengapa ka-
lian diam saja? Tangkap kedua orang itu dan bu-
nuh! Karena merekalah yang menyebarkan petaka
ini!!"
Serentak lima pemuda temannya menye-
rang Madewa. Dua orang dengan dibantu Kelana
menyerang Juwita.
Serentak di rumah makan itu terjadi perke-
lahian. Laki-laki yang mengenakan jubah putih
itu dengan enak dan santainya menghindari se-
tiap serangan. Tetapi dia tak membalas sedikit
pun. Malah tiba-tiba dia bergerak dengan cepat
dan tiga buah golok kini berpindah tangan.
Ketiga pemuda itu terkejut, karena mereka
sedikit pun tak melihat gerakan yang dilakukan
orang berjubah putih itu. Kini mereka sadar kalau
orang berjubah putih itu bukan orang sembaran-
gan.
Sebenarnya siapakah laki-laki yang men-
genakan jubah putih yang selalu tersenyum arif
dan bijaksana itu dan telah dituduh menebarkan
teror?
Dia tak lain adalah Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma. Pendekar budiman
atau juga sering dijuluki sebagai manusia dewa.
Sudah tentu pendekar yang welas asih itu tidak
menurunkan tangan pada para penyerangnya,
karena dia tahu saat ini antara dirinya dengan
para pemuda itu telah terjadi salah paham.
Sementara itu Juwita sendiri menggebrak
dengan hebat. Tidak seperti yang dilakukan Ma-
dewa Gumilang, dia menghantam setiap penye-
rangnya. Karena Juwita jengkel terhadap pemu-
da-pemuda ini yang tak mau berkompromi lagi,
asal menyerang saja dan menuduh sembarangan!
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Tinju tangan kanannya menghantam ketiga
penyerangnya yang terhuyung ke belakang den-
gan dada terasa sakit.
"Tahan!" seru Juwita ketiga-tiganya hendak
bangkit lagi menyerang.
"Iblis betina! Kami akan mengadu jiwa den-
ganmu!" bentak Kelana jengkel dan marah.
"Pemuda bodoh! Biar ku jelaskan dulu du-
duk permasalahnya biar tak terjadi salah paham
di antara kita lagi!"
"Apa lagi yang hendak kau terangkan, pal-
ing tidak sekarang kami tahu siapa yang menye-
barkan teror keji dan jahat itu!!"
"Benar-benar bodoh!" seru Juwita jengkel.
"Majulah bila kau masih penasaran!"
Ditantang seperti itu sudah tentu Kelana
yang marah dan menganggap Juwita sebagai pe-
nyebar teror, menyerang lagi dengan goloknya.
Kali ini benar-benar beringas.
Dan siap mengancam nyawa Juwita.
"Tahan serangan!"
"Kau yang harus menahan seranganku!"
bentak Juwita sambil berkelit ketika golok itu
menyambar lehernya.
Dan dengan satu gerakan yang manis, tiba-
tiba dia menerobos golok itu dan, "des!"
Sebuah pukulannya kembali mengenai sa-
saran. Tubuh Kelana sempoyongan. Dan kali ini
Juwita tak mau lagi bertindak tanggung, dia me-
lesat dan menempeleng Kelana hingga pemuda itu
pingsan.
"Pemuda bodoh dan sombong! Tak mau
mendengarkan pendapat orang!!" geramnya.
Lalu dia berkata pada lima orang pemuda
teman Kelana, "Apakah kalian tidak ingin men
dengarkan penjelasanku dan bertindak bodoh se-
perti kawan kalian ini?"
Kelima pemuda itu hanya terdiam. Tak ada
yang berani buka mulut, dan tak ada yang berani
membangkang.
Juwita mendesah.
"Bagus, nah kalian dengarkan dulu kata-
kataku ini! Setelah itu, kalian harus minta maaf
pada laki-laki berjubah putih itu! Mengerti?!"
Lima kepala itu mengangguk.
Lalu Juwita pun menceritakan apa yang te-
lah dialaminya di puncak Gunung Setan beberapa
waktu yang lalu. Orang-orang itu mengangguk-
angguk mengerti apa yang telah terjadi.
Madewa Gumilang sendiri paham bahwa
kini ada seorang gadis dari alam kubur yang telah
hidup kembali dan menebarkan teror. Gadis itu
hanya bisa hidup bila telah menghirup darah se-
gar.
"Nah, terserah kalian mau percaya atau ti-
dak!" kata Juwita kemudian. "Tapi atas nama
Dewata, cerita ku ini bukan bohong atau khaya-
lan belaka! Tetapi memang benar-benar terjadi!"
Orang-orang yang mendengarkan terdiam.
"Hei!" terdengar Juwita membentak pada
lima pemuda itu. "Mengapa kalian tidak meminta
maaf pada laki-laki berjubah putih itu? Ayo cepat
lakukan, atau aku yang harus memaksa kalian?!"
Secara serempak kelima pemuda itu pun
meminta maaf pada Madewa Gumilang yang su-
dah tentu memaafkannya. Biar pun mereka tidak
meminta maaf, Madewa sudah sejak tadi me-
maafkan karena dia tahu semua ini terjadi akibat
salah paham saja.
Lalu dia berkata pada Juwita, "Nona... sia-
pakah nama Nona sebenarnya?"
Juwita menjura, "Namaku Juwita, Kisa-
nak..."
"Jangan panggil aku Kisanak. Namaku Ma-
dewa Gumilang..."
"Madewa Gumilang?" ulang Juwita dengan
kening berkerut.
"Ya, itu memang namaku. Pemberian ke-
dua orang tuaku dulu..." kata Madewa tersenyum.
Dia jadi teringat pada Ambarwati menantunya
yang telah dinikahi putranya, Pranata Kumala
yang saat ini tengah melakukan satu petualangan
entah di mana. Tiba-tiba Madewa jadi rindu pada
putra dan anak menantunya itu.
Juwita masih terdiam. Kalau tidak salah
ingat, dia pernah mendengar cerita dari gurunya
Dewi Kantilaras tentang seorang pendekar sakti
yang budiman yang bernama Madewa Gumilang
dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma.
Lalu dengan hati-hati dia bertanya, "Apa-
kah... Anda yang berjuluk Pendekar Bayangan
Sukma?"
Madewa tersenyum.
"Orang-orang rimba persilatan menjuluki
aku Pendekar Bayangan Sukma..."
"Oh, Tuan Pendekar... tak kusangka aku
akan bertemu dengan Pendekar yang sering gu
ruku ceritakan itu... Salam hormatku untukmu,
Madewa Gumilang..."
Juwita menjura penuh rasa hormat.
"Juwita... tak usahlah kau begitu meng-
hormat padaku. Ceritakanlah sekali lagi tentang
munculnya Eyang Ringkih Dewi..."
Kembali Juwita menceritakan kejadian
yang telah dialaminya.
"Jadi... gurumu Dewi Bunga Biru tewas di
tangannya?"
"Benar, Kakang Madewa... guruku tewas di
tangannya..."
"Begitu pula dengan Siluman Dewa
Buaya?"
"Ya, keduanya mati secara. mengerikan.
Dengan dihisap darahnya melalui leher mereka
oleh Eyang Ringkih Dewi yang kejam itu..."
"Mengerikan sekali." Madewa mendesah
sambil geleng kepala. "Lalu apa kerjamu di sini?"
"Aku hendak menuntut balas pada kema-
tian guruku, Madewa."
"Seorang diri?"
"Tadi aku sendiri..."
"Sekarang?"
"Aku berdua!"
"Dengan siapa?"
"Dengan siapa lagi kalau bukan denganmu,
Kakang Madewa Gumilang... Apakah kau hanya
berpangku tangan saja melihat kebiadaban yang
dilakukan oleh Eyang Ringkih Dewi?"
Madewa tersenyum.
"Sudah tentu tidak, Juwita. Aku pun hen-
dak menyelidiki siapa dan di mana Eyang Ringkih
Dewi berada. Bukankah kita satu tujuan, Juwi-
ta?"
Juwita tersenyum.
"Betul, Kakang Madewa... aku yakin, se-
mua sepak terjang dari Eyang Ringkih Dewi akan
berhenti."
"Kenapa?"
"Karena dengan bantuanmu, kupikir se-
muanya akan menjadi lancar..."
Madewa tersenyum. Lalu dia segera menca-
ri penginapan. Begitu pula halnya dengan Juwita,
yang tak menyangka akan bertemu dengan pen-
dekar budiman ini.
Tujuh
Malam mulai larut.
Rembulan menerangi desa di bawah lereng
Gunung Setan itu. Suasana desa itu sepi. Sejak
kejadian demi kejadian yang mengerikan terjadi
dan berulang lagi, tak satu pun penduduk desa
yang berani menampakkan diri.
Apalagi tersebar kabar bahwa penghuni
Puncak Gunung Setan yang telah melakukan se-
mua ini. Semakin membuat mereka lebih baik be-
rada di dalam rumah. Sejak semula mereka pun
sudah percaya akan keangkeran Gunung Setan,
dan kini semuanya terbuka dan terbukti.
Di keremangan malam yang pekat, nampak
satu sosok telanjang bulat melompat dari satu
atap ke atap rumah lainnya. Gerakan sosok itu
ringan dan lincah. Di tangannya terdapat sebuah
cambuk yang nampak terbuat dari sutra.
Sosok itu tak lain adalah Eyang Ringkih
Dewi yang tengah mencari mangsa lagi. Kali ini
sasarannya pada sepasang pengantin baru yang
baru dua minggu melangsungkan pernikahan.
Sebagaimana layaknya pengantin baru,
malam hari adalah satu saat yang paling indah
dan mesra untuk dinikmati. Tetapi karena keja-
dian yang mengerikan itu, keduanya tak bisa me-
nikmati kehidupan yang sesungguhnya dalam arti
menikmati arti hubungan suami istri secara sah.
"Kakang aku takut, Kakang..." terdengar
desisan yang perempuan.
"Tenang, Rayi.... malam ini tidak akan ada
kejadian apa-apa... Bukankah kau tahu sendiri,
pemuda-pemuda di sini siang dan malam selalu
menjaga..."
"Tapi, Kakang..."
"Kenapa, Rayi?"
"Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak
enak. Aku takut, Kakang...."
"Jangan risau.. tak usah dipikirkan, Rayi...
Semuanya akan berlangsung dengan aman..."
Tiba-tiba satu tubuh turun dari atap den-
gan ringannya. Dan berdiri tegak di hadapan ke-
dua orang itu.
Sang istri langsung memeluk suaminya
erat-erat dan melihat satu sosok bertelanjang bu-
lat telah berdiri di hadapannya.
Sang suami membentak, "Siapa kau?!"
"Hihihi... aku adalah Dewi Pencabut Nyawa
dan datang pada kalian!"
"Tolong.. jangan ganggu kami!"
"Hihihi... aku tidak mengganggu.. aku
hanya meminta sedikit darah segar dari kalian..."
Sang pria menjadi sadar kalau wanita in-
ilah yang telah menebarkan teror pada kematian
beberapa penduduk.
"Iblis betina! Rupanya kaulah biang keladi
dari semua ini!" geramnya dan tangannya berge-
rak cepat meraih pedang yang terpajang di dind-
ing.
"Hihihi... untuk apa pedang itu! Apakah
kau tidak tertarik dengan tubuhku?" Eyang Ring-
kih Dewi terkikik lagi.
"Cuuuuh! Aku tak pernah sedikit pun ter-
tarik dengan manusia laknat macam kau!"
Eyang Ringkih Dewi tersenyum. "Benar kau
bicara begitu?"
"Ya! Menyingkirlah dari sini! Sebelum pe-
dangku memakan tubuhmu itu!"
"Hihihi... apakah benar ucapanmu tadi?
Aku jadi ingin membuktikannya!"
Tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi tersenyum
yang begitu mempesona dan memikat.
Dan mendadak saja laki-laki yang galak itu
terdiam. Dan tiba-tiba dia pun tersenyum.
"Rayi..."
"Hihihi... kau memanggilku Rayi, Kakang?"
kikik Eyang Ringkih Dewi.
"Ah, kau cantik sekali, Rayi..."
"Benar kakang... nah.. mendekatlah kau
kemari... aku sudah tidak tahan ingin lelap dalam
pelukan mu, Kakang..."
Laki-laki itu pun bergerak mendekati
Eyang Ringkih Dewi yang telah membentangkan
kedua tangannya. Bagai robot belaka dan diba-
wah pengaruh hipnotis Eyang Ringkih Dewi, laki-
laki itu bergerak mendekatinya.
Hal ini membuat istrinya jadi bingung.
"Kakang..." desisnya.
Tetapi laki-laki itu terus berjalan mendeka-
ti Eyang Ringkih Dewi.
Dan tiba-tiba saja Eyang Ringkih Dewi ber-
gerak menyergap. Dengan satu gerakan yang ce-
pat dan di saat laki-laki itu bergerak bagai robot
belaka, dia menghujamkan giginya ke leher laki-
laki itu. Dan terhisaplah darah segar dari laki-laki
itu masuk ke tubuhnya.
Tubuh itu pun menggelosoh dengan warna
seputih kapas. Yang perempuan memekik ngeri
melihatnya.
"Kakaaaaang!!"
Tetapi tubuh itu telah menjadi mayat.
Eyang Ringkih Dewi terkikik melihat kor-
bannya telah tewas. Lalu dengan hati-hati dia
mendekati yang perempuan yang mundur ketaku-
tan.
"Hihihi... kau mau lari ke mana, Manis...
mari... mendekatlah padaku..."
"Jangan... jangan... tolooooongg!!"
"Hihihi... berteriaklah sekuat tenagamu!
Bukankah dengan yang berdatangan ke sini tak
menyulitkan aku untuk mencari mangsa lagi, bu-
kan?!"
Dan tiba-tiba saja terdengar suara ramai di
luar rumah itu.
"Bangsura! Ada apa?!"
"Komalaaaa! Apa yang terjadi?!"
"Buka pintu!"
"Biar kami masuk!"
"Katakan, ada apa Komala?!"
Orang-orang di luar bersuara ramai. Dan
mereka pun mencoba menerobos masuk ketika
mendengar jeritan keras dari Komala.
"Aaaaahhhhh!!"
Dan serentak pintu terbuka, lalu berham-
buranlah masuk para penduduk dengan memba-
wa senjata. Mereka terkejut melihat satu sosok
tubuh di hadapan mereka. Dan lebih terkejut lagi
ketika melihat mayat Bangsura dan Komala yang
tergeletak dengan tubuh seputih kapas.
Dan mereka makin terkejut melihat sosok
yang berhadapan dengan mereka ternyata seo-
rang gadis yang bertelanjang bulat.
"Hai, rupanya inilah iblis keparat itu!"
"Benar! Tangkap!"
"Gayangan!"
"Bunuh!"
"Kuliti!"
"Bakar hidup-hidup!"
Dan serentak orang-orang menerjang ke
arah Eyang Ringkih Dewi. Tetapi mendadak pula
mereka berjumpalitan dan sebagian memekik ke-
ras dengan tubuh hancur. Karena Cambuk Sutra
Sakti milik Eyang Ringkih Dewi telah berkelebat
dan memporakporandakan barisan orang-orang
itu.
"Hati-hati! Dia ternyata iblis yang sakti!"
Dan orang-orang itu pun berhamburan ke
luar karena tak mau dijadikan sasaran cambuk
Eyang Ringkih Dewi.
Tubuh Eyang Ringkih Dewi tiba-tiba mele-
sat. Bersalto. Dan telah berdiri di hadapan orang-
orang itu yang menjadi terkejut.
"Hihihi... kalian tak akan bisa lari dari tan-
ganku!"
"Iblis busuk! Kami akan mengadu jiwa
denganmu!"
"Hihihi.... majulah kalian, kalian tentunya
memang sudah ingin mati, bukan?"
"Bangsat! Serang!!"
Lalu orang-orang yang marah itu pun me-
nyerang dengan hebat. Tetapi mereka bukanlah
tandingan dari Eyang Ringkih Dewi yang meski-
pun dikeroyok oleh puluhan orang tetapi masih
nampak santai saja.
"Kalian hanya membuang-buang nyawa
dengan percuma!" desisnya sambil mengayunkan
kembali cambuknya.
Dan terdengarlah kembali jeritan.
Dan tubuh hancur.
"Hihihi... mampuslah kalian semua!"
Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat ke
arah orang-orang itu. Dan yang mengenakan ju-
bah berwarna putih mengibaskan tangannya,
hingga orang-orang itu berhempasan bagaikan di-
terpa angin yang kuat.
Kini kedua orang itulah yang berdiri di ha-
dapan Eyang Ringkih Dewi.
"Hihihi... rupanya kalian berdua memang
sengaja datang mengantarkan nyawa..."
"Eyang Ringkih Dewi... kami datang untuk
menghentikan sepak terjang mu!" geram Juwita
murka karena melihat sepak terjang dari Eyang
Ringkih Dewi.
Dan dia kembali teringat pada kematian
gurunya.
"Hihihi... kalau tak salah ingat, bukankah
kau gadis yang telah mati di puncak Gunung Se-
tan?!"
"Aku tidak mati, Manusia cabul!"
"Hihihi... bagus, bagus... agaknya darahmu
cukup segar untuk ku nikmati..."
"Manusia cabul! Kau harus mengganti
nyawamu dengan nyawa guruku!"
"Hihihi... rupanya kau murid dari salah
seorang yang kubunuh itu. Bagus, bagus! Nah,
kau siapa Laki-laki berjubah putih?"
"Dewi... namaku Madewa Gumilang... Aku
tidak menginginkan sepak terjang mu ini berlang-
sung terus...."
"Madewa! Kau rupanya datang untuk men-
gantarkan nyawa padaku! Nah, kau lihatlah ma-
taku, Madewa!"
Madewa menatap mata yang tiba-tiba me-
mancarkan pesona itu. Dia merasakan ada satu
getar aneh yang mengalir dari pancaran mata itu
yang menghujam ke bola matanya.
Madewa pun menjadi paham ketika dirasa-
kannya dirinya seakan dimasuki oleh sinar yang
mempesona. Buru-buru Madewa mengalirkan te-
naga dalam dan hawa murninya. Dan mengalir-
kan ke matanya.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari mulut
Eyang Ringkih Dewi.
"Aaaaahhh!"
Lalu dia mengusap-ngusap matanya kare-
na dia merasa matanya bagai dihujam oleh se-
buah senjata.
"Bangsat! Rupanya kau berisi juga, Made-
wa!"
"Karena akulah yang akan menghentikan
sepak terjang mu, Eyang!!"
"Hhhh! Anjing busuk!" Lalu Eyang Ringkih
Dewi menggebrak menyerang dengan hebat. Dan
gerakannya begitu berbahaya.
Madewa pun dapat merasakan desiran an-
gin yang cukup kuat menerpanya saat tubuh itu
melayang. Dan tenaga itu dirasakannya akan
mampu mendorong sebuah pohon hingga tum-
bang.
Namun kali ini yang dihadapi oleh Eyang
Ringkih Dewi adalah seorang pendekar sakti. Dan
yang dihadapi Madewa pun seorang tokoh sakti.
Hingga pertempuran yang terjadi selanjut-
nya teramat dahsyat dan hebat. Juwita hanya bi-
sa memperhatikan dengan dada bergetar. Ru-
panya masih ada lagi orang-orang jago di rimba
persilatan ini. Memang, di atas langit masih ada
langit lagi!
Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu
demikian hebat dan mengerikannya. Madewa
sendiri sudah menggunakan jurus Ular Melo-
loskan Diri, untuk menghindari serangan-
serangan berbahaya yang dilancarkan oleh Eyang
Ringkih Dewi.
Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan
oleh Eyang Ringkih Dewi begitu dahsyat. Sejenak
Madewa seperti kehilangan arah karena setiap
langkahnya seperti dicegat dan dihalangi oleh ju-
rus Pusaran Angin milik Eyang Ringkih Dewi.
Setiap kali tubuhnya berkelebat, menim-
bulkan hawa dingin yang cukup kuat.
"Hihihi.... kau tak akan lari dari tanganku,
Madewa Gumilang!"
"Dosa-dosamu sudah sulit untuk diampu-
ni, Eyang! Sebaiknya kau kembali ke alam ku-
burmu sana, dan jangan lagi membuat onar di
muka bumi ini!!"
"Kerja ku memang membuat onar, Madewa!
Dan itu akan kulakukan sampai akhir hayatku!"
"Kau sudah mati, Eyang!"
"Hihih... kenyataannya kau melihat, bu
kan? Aku masih hidup dan segar bugar?"
"Karena kau telah menyedot darah segar
dari tubuh manusia dan hawa murni yang mere-
ka miliki!"
"Ya, sebentar lagi darah dan hawa murni-
mulah yang menjadikan aku hidup lebih lama!"
seru Eyang Ringkih Dewi sambil terus mencecar
Madewa dengan jurus Pusaran Anginnya.
Madewa sebisanya menghindar kepungan
jurus itu dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dan
secara tiba-tiba dia mencoba menerobos kepun-
gan angin itu dengan jurus Ular Mematuk Katak
yang disusul dengan Ular Cobra Bercabang Tiga.
Pertama tangannya bergerak mirip seekor
ular yang hendak mematuk mangsanya. Sigap,
cepat dan licin. Dan begitu tangan itu lolos dari
Pusaran Angin milik Eyang Ringkih Dewi, tangan
itu bergerak dengan cepat dan tiba-tiba saja tan-
gan itu berubah menjadi banyak. Cepat dan tang-
guh.
"Des!"
Satu patukan tangan berbentuk ular
menghantam keras dada Eyang Ringkih Dewi. Te-
tapi yang Madewa heran, tangannya seperti
menghantam kapas. Kosong dan hampa.
Eyang Ringkih Dewi tertawa melihat wajah
Madewa yang keheranan.
"Hihihi... kau tak akan bisa membunuhku,
Madewa! Nah, kau rasakanlah ilmu cambuk Sutra
Saktiku ini!" Lalu tangannya pun memainkan
cambuk itu, hingga menimbulkan bunyi yang cu
kup keras.
"Madewa... " Juwita berseru. "Hati-hati
dengan cambuk itu!"
"Tenanglah, Nona..." desis Madewa sambil
bersalto menghindari ujung cambuk yang sudah
berkelebat. Melihat serangan pertamanya gagal,
Eyang Ringkih Dewi semakin menjadi ganas. Dia
mengeluarkan permainan cambuknya yang dina-
makan Menjilat Lidah Api!
Sambaran-sambaran cambuk itu teramat
dahsyat. Dan setiap kali luput dari sasarannya
dan menghantam pohon yang tumbuh di halaman
rumah itu, maka tumbanglah pohon itu dalam
keadaan hancur.
"Hihihi... kau tak akan bisa lari, Madewa!"
Sambaran-sambaran cambuk itu memang
amat menyusahkan Madewa. Kali ini satu pertun-
jukkan yang teramat fantastis diperlihatkan oleh
Madewa Gumilang. Ilmu meringankan tubuhnya
yang teramat sempurna diperlihatkannya untuk
menghindari sambaran-sambaram cambuk itu.
Gerakannya sungguh teramat cepat dan hebat,
yang dipadukan dengan jurus Ular Meloloskan
Diri.
Dan tiba-tiba Madewa menggerakkan tan-
gan kanannya. Dia tengah melepaskan pukulan
Angin Salju. Dan serangkum angin dingin berge-
rak menerpa Eyang Ringkih Dewi. Wanita iblis itu
tak menyangka kalau Madewa bisa melancarkan
serangan balasan. Dan tubuhnya menjadi meng-
gigil karena angin yang amat dingin itu.
Secara otomatis serangan cambuk terhenti.
Saat itulah Madewa Gumilang bergerak cepat
sambil melancarkan pukulan Tembok Menghalau
Badai.
"Des!"
Lagi-lagi dia merasakan pukulannya men-
genai ruangan kosong dan hampa. Seperti kapas.
Ini membuat Madewa menjadi geram.
Sementara Eyang Ringkih Dewi terkikik.
"Kau tak akan mampu membunuhku, Ma-
dewa!"
Lalu perlahan-lahan Madewa pun mencoba
dengan pukulan andalannya. Dia merangkum ke-
dua tangannya di dada. Dan perlahan-lahan terli-
hat asap putih mengepul dari kedua tangannya.
Itulah Pukulan Bayangan Sukma warisan gu-
runya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti.
Kala Eyang Ringkih Dewi menerjang den-
gan ayunan cambuknya, Madewa pun menerjang
memapaki.
"Duaaarrrr!!"
Benturan bagai ledakan terjadi. Madewa
terhuyung beberapa tombak dan merasakan da-
danya amat sakit. Sementara Eyang Ringkih Dewi
masih tegak berdiri tak kurang suatu apa. Melihat
keadaan lawannya yang sudah agak parah, Eyang
Ringkih Dewi pun menyerang bermaksud meng-
habisi nyawa Madewa Gumilang!
"Haaaiiiittt!!" Dia menerjang.
Sulit bagi Madewa untuk meloloskan diri.
Dan "Aaaahhh!!"
Terdengar satu jeritan keras. Bukan dari
mulut Madewa Gumilang. Melainkan dari mulut
Eyang Ringkih Dewi. Tubuhnya terpental ke bela-
kang. Dan cambuk Sutra Saktinya melilit tubuh-
nya mengikat, membuat Eyang Ringkih Dewi kelo-
jotan dan mencoba melepaskan diri.
Namun lilitan cambuk itu seperti makan
tuan. Dan kembali terdengar jeritan keras,
"Aaaaaahhh!" Lalu tubuh itu pun meledak han-
cur.
Mengapa bisa terjadi seperti itu. Tak lain
adalah berkat sari ajaib rumput kelangkamaksa
yang tak sengaja dihisap Madewa (Baca: Pedang
Pusaka Dewa Matahari).
Madewa mendesah. Karena dia merasa ter-
tolong dengan tenaga tak terlihat itu. Dia melihat
mayat Eyang Ringkih Dewi hancur. Dan secara
perlahan-lahan cambuk sutra saktinya ikut han-
cur.
Juwita mendesah panjang. Dia bermaksud
hendak mendekati Madewa. Tetapi sosok itu telah
lenyap dari pandangannya.
Malam pekat dan semakin larut.
***
S E L E S A I
IKUTI SERIAL
PENDEKAR BAYANGAN SUKMA SELANJUTNYA:
Iblis Berbaju Hijau
Racun Kelabang Putih
Pertarungan di Gunung Tengkorak
Undangan Berdarah
Sumpit Nyai Loreng
Serikat Kupu-kupu Hitam
Maut buat Madewa Gumilang
Prahara di Laut Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar