DENDAM
ORANG-ORANG
GAGAH
Oleh Fahri A.
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 002 :
Dendam Orang-Orang Gagah
128 Hal.; 12 x 18 Cm
SATU
"Kang Genda dipanggil Ayah?" tanya
Ratih Ningrum dengan suara tersendat.
"Soal apa gerangan, Kang Genda?"
Genda menghela nafas. Dia tahu Ratih
Ningrum menangis memikirkan Madewa. Ah,
Tuannya begitu egois mengusir Madewa,
sementara putrinya menangis semalaman
karena kepergian pemuda itu.
"Soal Madewa, Den Putri."
Mata Ratih Ningrum membesar.
"Kenapa dengan Madewa, Kang Genda? Dia
pergi kemarin pagi. Dia tidak menoleh
sedikit pun padaku." Ratih Ningrum
menyambung sedih, "Dan tidak membalas
senyumanku."
"Yah... mungkin Tuanku telah
bertindak keliru atau juga benar. Memang
Den Putri, saat ini memang wanita bernama
Pratiwi tengah mencari Madewa. Dan Tuan
tidak ingin seisi rumah ini menjadi
terlibat. Lalu dia memutuskan, agar
Madewa menyelesaikan urusannya dengan
wanita itu."
"Urusan apa, Kang Genda?" Dada Ratih
Ningrum berdebar.
"Ini baru dugaan Tuan, Den Putri.
Madewa memiliki pedang pusaka dewa
matahari. Dan Pratiwi datang untuk
merebutnya."
"Oh!" desah Ratih Ningrum pilu. "Dia
bisa terluka, Kang Genda."
Genda mengangguk. Tidak kuasa
melihat wajah Ratih Ningrum yang begitu
ketakutan. Ratih Ningrum menggigit
bibirnya. Dia tidak kuasa membayangkan
Madewa terluka. Sambil menangis, dia
berlari ke kamarnya. Ditumpahkannya
seluruh air matanya di atas bantal.
Bayangan wajah Madewa yang lembut,
yang manis, yang selalu tersenyum
berganti dengan wajah yang menakutkan.
Cacat. Berdarah, karena bertempur dengan
Pratiwi si Selendang Merah. Biarpun
tidak mengerti ilmu silat. Ratih Ningrum
tahu apa kejahatan ilmu silat. Dia bisa
membinasakan lawan atau kawan!
Dan Madewa tergeletak tanpa nyawa!
Sementara itu, orang yang dicemaskannya
sedang duduk melamun di suatu tempat yang
sunyi. Begitu pergi dari rumah Bipar-
sena, Madewa Gumilang tidak langsung
pergi mencari Pratiwi. Dia berjalan ke
arah barat. Ingin menenangkan pikiran-
nya.
Selendang Merah rupanya masih
penasaran dengannya. Dan kehadiran
selendang merah bisa membongkar
rahasianya sebagai murid tunggal Ki
Rengsersari! Bisa bermunculan tokoh-
tokoh persilatan untuk merebut pusaka
dewa matahari dari tangannya! Ini bisa
gawat. Karena tugas dari gurunya belum
dia jalankan sementara dia bisa mati
konyol di tangan orang yang gila pusaka
itu.
Hhh, ini gara-gara kemunculan
Pratiwi! Yang... ah, Madewa mendesah.
Dia ingat bagaimana heran dan sedihnya
Ratih Ningrum ketika dia melengos begitu
saja. Itu memang disengaja, agar Ratih
Ningrum tahu, kalau hubungannya tidak
direstui. Dia juga heran, bagaimana
Biparsena bisa tahu soal itu.
Hanya satu dugaannya, ada yang
mengadukan! Tetapi siapa? Fitnah itu
berdosa. Berprasangka buruk saja sudah
berdosa.
Madewa mengambil sebatang rumput
berwarna kuning. Menggigit-gigitnya
perlahan. Hei, aneh! Rumput ini berair.
Dan terasa manis. Madewa mengambil lagi
sebatang. Mengisap-hisapnya. Manis.
Baru kali ini dia merasakan rumput berair
manis. Atau ini rumpun tebu? Tidak, tebu
besar. Ini kecil.
Mendadak Madewa menguap lebar.
Matanya mendadak terasa ngantuk. Tapi
dia berusaha menahan. Dia harus
memikirkan bagaimana caranya untuk
menghadapi Pratiwi. Tapi kantuk itu
terus menyerangnya. Tanpa sadar Madewa
tertidur pulas. Sebatang rumput aneh itu
masih menyantel di bibirnya.
Suasana daerah itu tetap sunyi.
Begitu Madewa tertidur, muncul seorang
kakek tua berjubah putih. Kakek itu
menggeleng-geleng melihat Madewa.
Dia bergumam, "Hmm, rupanya rumput
ajaib kelangkamaksa, berjodoh dengan
pemuda ini. Beruntung sekali pemuda ini.
Bertahun-tahun aku menjaga rumput itu,
baru sekarang ada yang menghisap
sarinya."
Setelah bergumam demikian, kakek
berjubah putih itu mendadak menghilang.
Sama seperti datangnya tadi, lenyapnya
pun demikian.
Waktu berganti, tak terasa sore
sudah tiba. Madewa menggeliat. Tubuhnya
terasa letih. Dia cepat terbangun.
Rupanya dia tertidur. Hmm, dia harus
segera mencari Pratiwi. Tantangannya
harus segera disambut.
Madewa cepat melangkah, tak tahu
arah. Dia hanya mendengar, kalau si
Selendang Merah itu tinggal di gubuk
dekat sungai hitam. Dia harus ke sana
untuk menantangnya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda dari
arah depan. Madewa menepi. Tiga sosok
tubuh berpakaian pendekar memacu kuda
mereka ke arah Madewa. Madewa cepat
bersalto, karena salah seekor kuda itu
menerjangnya. Aneh! Apa maunya mereka.
Tubuh Madewa hinggap kembali di tanah
dengan ringan.
Orang yang menerjang itu tertawa
ngakak. Sikapnya sombong sekali.
"Gerakan yang bagus!" katanya
memuji.
Madewa memperhatikan.
"Maksud apa kalian menghadang
perjalananku?" tanyanya dengan sikap
tenang. "Dan siapa kalian?"
Orang itu terbahak lagi. "Rupanya
kau belum tahu nama tiga dewa penunggang
kuda yang sudah membedah langit. Kalau
begitu biar kuperkenalkan. Camkan
baik-baik! Kami ini yang disebut Tiga
Dewa Penunggang Kuda. Namaku sendiri,
Wirapaksa. Yang memakai baju hitam itu
Wirapati, yang terkenal dengan pukulan
geledeknya. Dan adik kami yang bungsu,
Wiratiga, yang terkenal dengan aji
awang-awang! Puas?"
Madewa tetap tenang. "Lalu kalian
mau apa?"
"Jangan berpura-pura, Madewa! Kami
tertarik dengan murid tunggal Ki
Rengsersari! Dan kami bermaksud mencoba
ilmu murid Ki Rengsersari itu!"
"Untuk apa, kalau hanya akan
menimbulkan pertumpahan darah!" sahut
Madea tak kalah seramnya.
"Ha... ha... sudah jelas untuk
merebut Pedang Pusaka Dewa Matahari!"
Lagi-lagi soal itu. Tidak ada jalan
lain untuk berdamai. Dia harus menyambut
Tiga Dewa Penunggang Kuda itu. Maka
Madewa pun bersiap.
Ketika orang itu terbahak. Suaranya
membedah kesunyian. Dan mendadak mereka
menerjang dengan kuda yang meringkik
hebat. Madewa menghindar, dengan jalan
bersalto tiga kali ke belakang. Tapi
belum lagi dia hinggap di tanah,
Wirapaksa kembali menerjang. Sulit bagi
Madewa untuk menghindar. Maka tak urung
kakinya tersepak kuda putih Wirapaksa.
Belum juga dia bangkit, Wirapati
menyerang dengan pukulan tangan geledek-
nya. Madewa menyambut dengan jurus ular
ajaran Ki Rengsersari, Ular Mematuk
Katak. Keduanya terpental. Pukulan
tangan geledek Wirapati membuatnya
terhuyung.
Wirapati terbahak. Belum ada
seorang pun yang lolos dan pukulan tangan
geledeknya. Hanya begitu saja rupanya
murid tunggal Ki Rengsersari.
Tetapi mendadak matanya melotot.
Madewa berdiri tegak dengan sikap siap.
Tak sedikit pun dia terluka. Peluh
setitik pun tidak nampak di wajahnya.
Bukan hanya Wirapati yang terkejut,
Madewa pun terkejut. Tadi disangkanya
dia sudah mati, ajalnya hanya sampai di
sini, tapi ternyata dia masih hidup!
Madewa tidak bisa berpikir lagi,
karena Wirapati sudah menyerang kembali.
Dia penasaran. Pukulan tangan geledek
tingkat tinggi. Lagi-lagi Madewa
menyambutnya. Kembali dua pukulan penuh
tenaga itu beradu.
Wirapati mental ke belakang dengan
muntah darah. Sedangkan Madewa berdiri
tegak tak kurang suatu apa!
Wirapaksa menggeram. Tidak bisa
dianggap enteng murid Ki Rengsersari
itu. Dengan memekik keras dia bersalto
dari kudanya dan menerjang degnan
pukulan lurus ke arah Madewa. Sementara
dari sebelah kiri Wiratiga sudah merapal
aji awang-awangnya. Yang terkena pukulan
aji awang-awang itu, bisa kaku dan mati
membiru.
Menghadapi kedua serangan itu,
Madewa. tenang-tenang saja. Tapi dia
menyambut keduanya. Menunggu serangan
itu sampai padanya, lalu menghempas
kedua tangannya ke depan. Kembali
pukulan itu beradu.
Dan kembali Madewa tidak apa-apa.
Sementara Wirapaksa mati kelojotan.
Rupanya ketika Madewa merentangkan
tangannya, Wirapaksa bersalto menghin-
dar dan balik menyerang. Cuma naas
baginya, Wiratiga sedang melancarkan
pukulannya. Tak ayal lagi, pukulan itu
terkena kakak seperguruannya sendiri!
"Kang Wirapaksa!" jeritnya ter-
kejut. Lalu memeriksa tubuh Wirapaksa.
Tak dapat ditolong lagi, Wirapaksa sudah
mampus dengan tubuh membiru!
Wiratiga berbalik dengan geram. Dan
kembali dia menyerang Madewa. Kali ini
Madewa merasakan desiran angin yang
panas yang siap menyambarnya. Lalu
berganti dengan rasa dingin yang
menyengat. Madewa menghimpun hawa
murninya, justru ini yang fatal. Dia
tidak siap menyambut serangan Wiratiga.
Tanpa ampun lagi pukulan itu singgah
di tubuhnya dengan deras. Madewa
terpental ke belakang.
"Aaaah!" terdengar jeritan. Bukan
dari mulut Madewa, tapi Wiratiga! Dia
merasakan panas yang lebih besar
menyambarnya ketika pukulan nya mampir
di dada Madewa. Lalu dia mengejang. Kaku.
Dan mati membiru. Pukulan aji
awang-awangnya berbalik menyerangnya!
Sementara Madewa jatuh terduduk
tanpa cidera sedikit pun. Keheranannya
semakin me-besar. Siapa yang telah
melindungiku ini, desah Madewa dalam
hati.
Wirapati yang terluka dalam, tidak
berbuat banyak. Ia beringsut mengangkat
kedua mayat saudara seperguruannya ke
kuda masing-masing. Lalu mengeprak kuda
itu. Dia sendiri naik ke kudanya. Sebelum
berangkat, Wirapati menoleh pada Madewa
sambil menahan nyeri yang bukan main
sakitnya.
"Ingat, Madewa! Aku, Wirapati,
salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang
Kuda, akan menuntut balas dari kekalahan
ini! Ingat, Madewa! Aku akan mencari kau
di mana saja! Aku tak akan melupakan
semua ini!"
Sesudah berkata demikian, Wirapati
menggeprak kudanya. Menyusul kuda-kuda
yang membawa tubuh Wirapaksa dan
Wiratiga. Kekalahan ini terasa sekali,
membuat sakit hati Wirapati semakin
dalam. Apalagi dua saudara seper-
guruannya tewas di tangan pemuda itu. Dia
akan datang lagi untuk menuntut balas
atas kematian mereka. Telah bertahun-
tahun dia melanglang buana dengan kedua
saudara seperguruannya, dan bertahun-
tahun pula mereka bersama-sama menak-
lukkan jago-jago kawakan, hingga membuat
nama mereka melambung ke langit
tertinggi.
Tapi hari ini, hanya dengan bocah
ingusan mereka takluk, bahkan harus
ditebus dengan nyawa kedua saudara
seperguruannya! Mendidih darah Wirapati
mengingat itu.
Setelah Wirapati menghilang, Madewa
menghela nafas panjng. Dia telah membuat
permusuhan lagi. Ini akan menghambat
perjalannya mencari musuh besarnya, yang
sampai saat ini dia sendiri tidak tahu
siapa orangnya!
Tiba-tiba dia teringat akan
keanehan yang terjadi pada dirinya.
Heran, mengapa mendadak saja dia menjadi
kebal yang hebat sekali? Pukulan geledek
Wirapati seakan tak dirasakan menyentuh
tubuhnya. Dia hanya merasakan usapan
halus begitu pukulan itu menyentuh
tubuhnya. Aneh, keajaiban apa yang telah
masuk ke dalam dirinya?
Madewa berusaha mengingat-ingat.
Tapi apa yang menyebabkan semua ini? Dia
tidak tahu, kalau sumber kekuatan itu
berasal dari sari rumput yang dihisapnya
tadi. Dari rumput itu keluar air yang
manis, dan air itulah yang menjadikan
tubuh Madewa kebal. Bahkan bisa
membalikkan tenaga lawan.
Rumput itu dulu merupakan tanaman
pada orang sakti dan sampai pada suatu
masa, kalau bibit rumput itu hanya
tinggal sebuah. Kebetulan seorang pemuda
yang bernama Kartasura, menemukan bibit
rumput itu. Ia menanam dan merawatnya.
Sampai rumput itu tumbuh dengan su-bur.
Ketika dia akan memakan rumput itu, ada
sebuah suara gaib menyelinap di
telinganya. Yang mengatakan, kalau dia
hanya boleh merawat rumput itu saja dan
bukan pewarisnya. Jika Kartasura nekat
memakannya, niscaya Dewa mengutuknya.
Itulah sebabhya, Kartasura tidak
berani mengambil sari ajaib dari rumput
itu. Dan bertahun-tahun dia menjaga dan
mengawasinya. Dia juga tidak berani
memberikan rumput itu kepada sembarang
orang.
Akhirnya Kartasura bersumpah dalam
hati, rumput itu akan dibiarkan saja
sampai ada orang yang memakannya
sendiri. Herannya, sekian lama itu
rumput itu tidak membesar. Tetap seperti
sediakala. Yang akhirnya, Madewa
Gumilang menghisap sari dari rumput itu
tanpa sengaja.
Dan ketika mengalirkan tenaga sakti
ke dalam tubuhnya, yang mampu membuatnya
menjadi orang tak terkalahkan.
Kartasura gembira melihat ada yang
menemukan rumput itu.
Dan sekarang, Madewa menggeleng-
geleng bingung. Dia tidak mempersoalkan
keajaibannya itu lagi. Madewa hanya
berterima kasih pada orang yang telah
menolong. Itulah keyakinannya tentang
kesaktiannya tadi. Suatu saat nanti, dia
akan mencari orang yang telah
menolongnya itu.
Sekarang dia harus menghadapi
Pratiwi, sebelum wanita iblis itu
semakin merajalela, juga menhindari
terbukanya rahasianya sebagai murid
tunggal Ki Rengsersari, yang akan
membuatnya dalam kesulitan, karena bisa
bentrok dengan orang-orang yang masih
gila Pusaka Dewa Matahari.
Dengan cepat Madewa berkelebat.
Gerakannya menjadi lebih ringan. Begitu
dia menghilang, sesosok tubuh berjubah
putih muncul lagi. Dia geleng-geleng
kepala dengan bangga.
"Hmm, pemuda yang tangguh dan taat.
Aku bersimpati padamu.... Mudah-mudahan
kau berhasil menemukan musuh besar
gurumu dan membalaskan kematiannya!"
Lalu bayangan itu menghilang.
* * *
DUA
Selama perjalanan pulang, perasaan
bersalah semakin menggunung di hati
Genda. Dia bukan orang yang gampang
mengkhianati seseorang atau membuka
rahasia seseorang, namun ancaman
Biparsena begitu menakutkannya!.
Dia membutuhkan makan. Dan dia bukan
orang yang mampu. Hanya pekerjaan dari
Biparsenalah yang diharapkan bisa
mencukupi kehidupannya sehari-harinya.
Dan terpaksalah dia membuka rahasia
siapa sebenarnya Madewa itu, yang bisa
menjadikan malapetaka untuk dirinya.
Sambil memasuki rumahnya, perasaan
itu masih menghantui Genda. Perasaan
yang bersalah dan diliputi penyesalan.
Seharusnya dia tidak perlu membuka
rahasia itu. Namun. Yah... banyak sekali
namun di dunia ini. Saat itu, Genda ingin
tak ada satu 'namun' pun di dunia ini.
Dan tanpa dia sadari, sesosok tubuh
berpakaian hitam-hitam menyelinap di
belakang rumahnya. Gerakan orang itu
lincah dan ringan sekali, menandakan ia
memiliki ilmu peringan tubuh yang
sempurna. Dengan hanya sekali salto saja
dia sudah berada di bubungan rumah Genda.
Gerakannya pun tak menimbulkan
suara sedikit. Ia membuka sedikit
genting dan mengintip ke dalam. Yang
diintip sedang merapikan pakaiannya. Dan
akan bersiap-siap hendak makan. Genda
merasa tak ada gunanya memikirkan
kesalahannya lagi. Dan dia menganggap
bukan kesalahan yang sangat besar bagi
dirinya.
Sosok tubuh berbalut hitam-hitam
itu membetulkan letak genting kembali.
Dia melompat dengan ringan ke bawah.
Mengetuk pintu rumah Genda dengan cepat.
Lalu menyelinap bersembunyi tanpa
membuat suara sekecil pun
Genda yang akan menyendok nasi,
mengurungkan niatnya. Dia berjalan
membuka pintu. Tetapi di luar tidak
nampak siapa-siapa. Genda mendengus
jengkel. Perasaan bersalah terhadap
Madewa Gumilang berubah menjadi
kejengkelan yang luar biasa pada yang
mengganggunya ini. Siapa yang mau
main-main di malam ini.
Hhh! Ia memeriksa keluar sebentar.
Tak ada bayangan sedikit pun yang
mencurigakan. Tetapi ketika dia akan
menutup pintu. Sebuah bayangan hitam
menyergapnya. Mulutnya ditekap. Dan dia
diseret masuk ke dalam.
Genda berusaha membebaskan diri.
Namun cengkraman orang itu begitu kuat.
"Cepat katakan, di mana temanmu yang
bernama Madewa Gumilang berada?" tanya
sosok hitam itu dengan suara yang seram
dan penuh ancaman.
Genda gelagapan. Dia megap-megap
minta dikendori tekanpan pada mulutnya.
Orang itu mengendorkan tekapan tangan-
nya.
"Ak... aku... tidak tahu...." suara
Genda terputus-putus. Belum bernafas
dengan lega.
"Jangan main-main denganku!"
"Sungguh, aku tidak tahu!"
"Bangsat! Kau pasti tahu! Cepat
katakan, aku tidak suka main-main!
Atau... kau ingin kumampusin?!"
"Aku sudah lama tak jumpa
dengannya!"
"Katakan!"
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu!"
"Katakan!" Orang itu memuntir
lengan Genda.
Genda menjerit kesakitan. "Aku
tidak tahu!"
"Katakan!" Orang itu semakin kuat
memuntir. Genda semakin keras menjerit.
"Biar kau paksa aku sampai sesakit
apa pun, aku tetap tidak tahu!" seru
Genda geram.
Orang itu mendengus. Marah. Tapi
tidak memaksa lagi. Dia yakin Genda
benar-benar tidak tahu.
Dan dengan gerakan cepat, orang itu
menotok urat suara Genda, hingga pemuda
itu terdiam dengan mulut menganga.
Tubuhnya pun tak bisa bergerak, karena
orang itu juga telah menotoknya. Sosok
tubuh hitam itu menggeram.
"Besok aku akan datang lagi. Katakan
pada Madewa Gumilang, akulah yang
menyebarkan kabar palsu untuk gurunya!
Kalau dia ingin membunuhku, kutunggu
kapan saja! Dan katakan, jaga nyawanya
baik-baik! Kalau tidak ingin cepat
melayang! Ha... ha... ha...!"
Sosok hitam itu melayang keluar.
Tetapi mendadak dia berbalik. Tangannya
memetik dua buah daun kebil. Daun itu
dilemparkannya ke arah leher dan dada
Genda. Seketika itu totokan di tubuh
Genda terlepas.
Tenaga dalam yang hebat. Hanya
dengan sehelai daun dia bisa melepaskan
totokannya. Menandakan, orang itu bukan
orang sembarangan!
Orang itu sudah menghilang dalam
kegelapan malam.
Genda berbalik akan mengejar. Dia
penasaran ingin tahu siapa orang itu.
Bukan main, orang itu benar-benar luar
biasa. Dan keberaniannya sungguh-
sungguh luar biasa pula. Dia berani
menampakkan diri dan mengaku terus
terang, kalau dialah yang telah
menyebarkan kabar palsu untuk gurunya
Madewa Gumilang.
Kalau saja pemuda itu mendengar,
pasti akan langsung dibunuhnya orang
itu.
Hmm, Genda merasa dia harus segera
mencari pemuda itu. Untuk memberitahu
semua ini. Tetapi ke mana dia harus
mencari, sedangkan bau pemuda itu pun
sedikit juga tak tercium olehnya.
Genda terdiam. Berpikir-pikir.
Kemana, ke mana akan dicarinya?
Tak ada jalan lain, dia harus
memberitahukan semua ini pada majikan-
nya, Biparsena. Majikannya yang tidak
percaya pada kata-katanya. Dan dia bisa
membuktikan kebenarannya sekarang.
Orang yang bersosok hitam itu sendiri
yang mengaku dan membuktinya kejaha-
tannya.
Jadi ucapan Madewa benar. Sejak
semula Genda sudah percaya pada pemuda
itu. Dan dia yakin, kalau Madewa Gumilang
benar-benar murid Ki Rengsersari.
Tanpa membuang waktu lagi, Genda
segera berlari ke rumah Biparsena.
Tetapi Biparsena tidak berada di rumah.
Kata Patidina yang menemuinya, Biparsena
sedang mengunjungi tempat 'kupu-kupu'
cantiknya bersama Tek Jien. Biparsena
baru mendengar, kalau pengawal
'Kupu-kupu cantik'-nya yang bernama
Agriwe telah tewas beberapa hari yang
lalu di tangan Pratiwi.
Genda terdiam. Tak bergairah
menceritakan kunjungan orang berpakaian
serba hitam tadi kepada Patidina. Dia
langsung berpamitan.
Tetapi ketika dia sampai di pintu
gerbang, "Kang Genda!"
Genda terhenti. Ratih Ningrum. Dari
mana gadis ini malam-malam?
"Ya, Den Putri."
"Mencari siapa?" Ratih Ningrum
mendekat.
"Tuan, Den Putri."
"Ayah sedang ke rumah Agriwe.
Katanya dia ditemukan mati di rumahnya."
"Saya sudah tahu, Den Putri. Saya...
saya permisi, Den Putri."
"Kang Genda...."
Genda tak jadi melangkah. Ia
berbalik lagi. Mata gadis itu menatapnya
penuh minta pertolongan.
Genda seperti tahu apa yang akan
menjadi pertanyaan Ratih Ningrum. Pasti
masalah Madewa.
"Ya, Den Putri."
"Kang Genda, sudah mendapat berita
tentang Kang Madewa?"
Genda menggeleng, lesu. Dia pun akan
mencari pemuda itu. Entah ke mana. Yang
penting dia akan mencarinya.
Gadis itu pun menunduk lesu. Tanpa
banyak tanya lagi, dia beranjak
meninggalkan Genda. Masuk ke rumahnya.
Genda terdiam. Dan menghela nafas
panjang. Kasihan gadis itu. Dia menjadi
korban ketidakjujuran ayahnya sendiri.
Genda tak menghiraukan tentang
gadis itu lagi. Dia langsung melesat
pulang. Makan dengan cepat, lalu keluar
lagi. Dengan tekad bulat, tak akan pulang
sebelum bertemu dengan pemuda itu.
* * *
TIGA
Tengah malam telah tiba. Suasana di
tepi sungai hitam itu sepi. Hanya desir
angin yang terdengar. Dan desah nafas
turun naik yang membum yang terdengar
dari dalam gubuk kecil di tepinya.
Niniwulandari mendengus. Sejak tadi
dia menunggu di sini. Pratiwi sudah asyik
lagi, dia seolah lupa kalau orang yang
dicarinya akan datang malam ini. Untuk
membunuh atau dibunuh.
Niniwulandari menggerutu dalam
hati. Setiap kali dia datang, pasti
Pratiwi sedang asyik. Benar-benar gila
dewi cabul itu. Bisa habis perjaka di
desa ini dihisap olehnya. Lagi-lagi
Niniwulandari menggerutu. Nafsu apa yang
merasuki diri Pratiwi, hingga nafsu
sexnya begitu besar.
Agaknya permainan di dalam gubuk itu
telah berakhir. Dua penghuninya sedang
melepaskan kenikmatan yang terakhir itu
dengan nafas panjang. Lalu terkulai
lemah di balai-balai.
Pratiwi bangkit memakai pakaiannya.
Dan berkata pada pemuda yang
menemaninya, "Cukup sudah untuk malam
ini. Aku suka padamu. Kau pemuda yang
kuat dan tangguh. Aku akan memanggilmu
kalau aku butuh lagi."
Pemuda itu mengangguk-angguk
tersipu. Pratiwi mencium bibir pemuda
itu lama sekali sampai kehabisan nafas.
Setelah itu dia menyuruhnya untuk segera
pulang. Biar begitu, Pratiwi masih
ingat, kalau Madewa Gumilang akan datang
malam ini. Dia harus segera
menyambutnya.
Pemuda itu memakai pakaiannya
dengan terburu-buru. Lalu menyelinap
lewat pintu belakang dan berlari
terseok-seok.
Letih, karena tenaganya habis
terkuras. Niniwulandari yang melihatnya
geleng-geleng kepala.
"Dasar cabul! Semakin hebat saja
kurasa permainan ilmu selendang merah
dewi cabul itu!" makinya sebal.
Ia menunggu Pratiwi keluar. Udara
yang dingin tak dirasakan oleh
Niniwulandari. Nenek sakti itu telah
menjalari darahnya dengan tenaga
dalamnya hingga melindunginya dari rasa
dingin.
Dan dia menggeram lagi. Dewi cabul
itu belum keluar-keluar juga. Apa ada
pemuda lain di sana?
Benar-benar gila! Yah... siapa pun
akan tertarik pada dewi cabul yang cantik
itu. Tetapi malam, ini, dia harus
'bertanding' dengan dua pemuda. Gila.
Gila!
Niniwulandari menggerutu jengkel.
Ditunggunya lagi.
Tapi tak terdengar desah nafas turun
naik. Sialan, pasti dewi cabul itu ingin
menggodanya!
Jengkel Niniwulandari melangkah
masuk. Sebenarnya Pratiwi ingin menguji
ilmu selendang merahnya pada nenek tua
itu. Makanya dia sengaja tidak keluar.
Dia menunggu sampai nenek tua itu masuk.
Dibiarkan saja Niniwulandari
memasuki gubuknya. Nenek sakti itu tidak
tahu maksud Pratiwi, dia enak saja masuk
ke gubuk itu walau hatinya jengkel.
Dan mendadak saja dia berjumpa-
litan. Bersalto ke belakang dengan cepat
dan hinggap dengan sempurna di tanah.
Menghindari kebutan selendang merah
Pratiwi.
Pratiwi terbahak. Senang melihat
nenek sakti itu panik. Niniwulandari
menggeram jengkel. Mau coba rupanya si
dewi cabul ini.
Baik, akan diterimanya permainan
ini sebelum menghadapi murid Ki
Rengsersari itu. Niniwulandari diam.
Merapal ilmunya. Setelah itu dia
melangkah lagi mendekati pintu gubuk
itu. Tetapi Selendang Merah Pratiwi
menyambutnya lagi.
Kali ini Niniwulandari tidak
menghindar. Dia menyambut selendang itu
dengan tangkisan tangan yang langsung
membuat tangan kanannya terasa ngilu,
dengan cepat ia mundur ke belakang kalau
tidak mau terkena sabetan selendang itu
lagi.
Hmm, sudah hebat sekarang rupaya
ilmu selendang merah Pratiwi. Pantas,
pantas, dia berani bermain-main
dengannya.
Niniwulandari menarik nafasnya.
Menghimpun tenaga dalamnya di pusarnya.
Lalu mengedarkan melalui darah dengan
bantuan tenaga angin. Itulah ilmu
kebalnya yang bernama Ilmu Menghimpun
Tenaga Matahari.
Sebenarnya kalau memakai tenaga
matahari, lebih dahsyat hasilnya.
Senjata macam apa pun tak akan mampu
melukainya.
Setelah merapak ilmunya, Nini
wulandari melangkah lagi. Kali ini dia
membiarkan selendang merah Pratiwi
menghujani tubuhnya. Niniwulandari
terus melangkah. Tak menghiraukan
sabetan-sabetan selendang merah itu yang
kadang berubah lemas dan tegak.
Kadang juga seperti membentuk
tombak yang ujungnya meruncing tajam!
Dan berbahaya.
Namun kali ini selendang merah itu
tak ada gunanya. Niniwulandari masuk
dengan selamat.
Pratiwi menghentikan serangannya.
Ia terkekeh seolah senang melihat
keberhasilan Niniwulandari menembus
serangannya. Padahal dia sedang menutupi
kekagetannya, karena ilmu selendangnya
masih belum mampu mengalahkan ilmu
menghimpun tenaga matahari milik nenek
tua itu.
Dulu pun, ketika dia berniat merebut
pusaka Siluman Mata Air, ilmu menghimpun
tenaga matahari itulah yang
mengalahkannya. Dan sekarang dia masih
belum mampu mengalahkannya!
"Kau semakin hebat saja, Nenek tua!"
pujinya. Kali ini setulus hati.
Niniwulandari terkekeh. Menjawab
merendah, "Kau semakin hebat, Dewi
cabul. Ilmu selendang merahmu sudah
sempurna sekali. Lima orang pemuda lagi
yang kau hisap keperjakaannya, maka aku
bisa kau kalahkan."
Pratiwi mendengus.
"Bah! Susah mencari pemuda yang
benar-benar perjaka di sini. Tadi pun
sudah tidak perjaka, hanya tampang
mereka yang masih kelihatan muda. Yah...
hanya kepalang tanggung saja, nafsuku
sudah minta pelampiasan, tak ada jalan
lain, kulepaskan saja pada dia.
"Itu bagus! Bisa habis perjaka di
sini kalau kau hisap semuanya!"
Niniwulandari terkekeh. Mengejek dalam
hati, rasakan kau, dewi cabul!
Lagi Pratiwi mendengus. Dia memakai
selendang merahnya, untuk menutupi buah
dadanya yang nampak dari baju suteranya
yang tipis.
Niniwulandari langsung ke
persoalan, setelah tidak ada yang perlu
dibicarakan lagi.
"Sudah datang murid Ki Rengsersari
itu?"
"Belum! Tapi bagus, aku masih sempat
bercinta dengan pemuda tadi."
"Bah!"
Pratiwi tertawa. "Jangan iri kau,
Nenek. Nafsumu sudah mati sih! Mungkin
tengah malam, pemuda itu datang."
"Atau dia tidak tahu di mana kau
berada?"
"Dia pasti tahu. Aku sengaja
menyebutkan gubukku ini pada orang-orang
desa. Lagipula, namaku sudah tenar di
desa ini sebagai perusak. Bisa jadi
Madewa bertanya dan orang itu menjawab
dengan benar. Hai, Nenek Tua!" panggil
Pratiwi tiba-tiba.
Niniwulandari mengangkat
kepalanya. Menatap dewi cabul itu. "Ada
apa! Kau takut menghadapi pemuda itu?
Hhh!" Nenek itu mendengus melecehkan.
"Pukulan bayangan sukma tidak akan bisa
sempurna jika dimainkan oleh orang lain,
biarpun dia itu langsung mendapatkannya
dari Ki Tua yang sudah mampus itu."
Pratiwi terdiam. Sebenarnya bukan
itu yang dikuatirkannya. Dia kuatir
Madewa datang tanpa pedang pusaka yang
diinginkan Niniwulandari.
Nah, Ini yang menjadi masalahnya.
Nenek tua itu bisa marah besar dan ada
kemungkinan dia akan membunuh Madewa.
Pratiwi menyayangkan itu. Madewa perjaka
asli yang bisa dinikmati keperjakaannya.
Hmm, dia harus mencari akal untuk
menghalangi hal yang satu ini.
Dia lalu berkata dengan pura-pura
ketakutan, "Yah, aku menakutkan soal
yang satu ini. Dulu aku pernah
dikalahkannya dengan pukulan bayangan
sukma."
Niniwulandari terkekeh melecehkan.
"Tenang saja kau, Dewi cabul. Biar aku
yang menghadapi pemuda itu. Percaya
padaku, dia akan kubuat bertekuk lutut
hingga mau melayanimu dengan senang
hati. Dan ingat... pedang pusaka dewa
matahari itu harus kumiliki." Nenek itu
terkekeh lagi. "Sebagai pengganti pedang
Siluman Mata Air yang hilang entah ke
mana."
Keduanya lalu tertawa berbarengan.
Hanya tawa keduanya itu berbeda makna.
Niniwulandari tertawa penuh kesenangan
karana sebentar lagi akan memiliki
pusaka yang dihebohkan, sedangkan
Pratiwi hanya tertawa berpura-pura,
menutupi kekuatirannya akan tangan
telengas Niniwulandari membunuh Madewa!
Sementara itu, tanpa mereka
ketahui, sesosok berbaju hitam-hitam,
mengintai dan mendengar pembicaraan
mereka dari balik semak yang tumbuh di
sekitar sungai hitam itu. Langkah orang
itu ringan dan mengandung tenaga.
Buktinya Niniwulandari dan Pratiwi tidak
mengetahui kedatangannya. Padahal
sebelum Pratiwi mempersilahkan Nini
wulandari masuk, orang misterius itu
sudah berada di sana!
Dia hanya mengangguk-angguk
mendengar percakapan itu. Setelah tidak
ada yang penting lagi menurutnya, orang
itu segera melompat dan menghilang.
Bertepatan dengan itu, Madewa
Gumilang muncul! Dia sempat melihat
bayangan itu berkelebat. Tanpa bersuara
lagi, Madewa mengejar!
Agaknya orang itu tahu kalau ada
yang mengejar. Ia mempercepat larinya.
Madewa pun tak mau kalah. Ilmu
meringankan tubuh yang dipelajarinya
dari Ki Rengsersari ditambah tekanannya.
Tiba-tiba Madewa menghentikan
larinya. Ia duduk persila. Daripada
susah-susah dia kejar tanpa hasil, lebih
baik diperhatikan saja. Bukankah dia
memiliki ilmu pandangan menembus sukma?
Maka dia pun mulai merapal. Tangannya
mengembang ke samping, lalu bersatu di
dada. Dia mengambil nafas. Memejamkan
matanya.
Dan mendadak saja pandangannya
mererang. Menembus gelapnya malam.
Sesosok tubuh hitam-hitam itu pun
tertangkap oleh pandanganya. Orang itu
tengah celingukan, menanti orang yang
mengejarnya. Tapi rasa-rasanya orang
yang mengejarnya tidak sanggup
mengikutinya. Sosok hitam itu
memperlambat langkahnya. Dan dia membuka
penutup kepala sampai ke wajahnya!
Madewa terkejut. Dia kenal dengan
orang itu. Pemuda yang bicara dengan
Genda di warung nasi. Buntoro! Hmm, bukan
main. Pemuda yang nampak lemah itu
mempunyai simpanan ilmu yang hebat. Tapi
mau apa dia mendengar pembicaraan
Niniwulandari dan Pratiwi. Madewa pun
sudah mengetahui siapa yang berada di
dalam gubuk itu. Ilmu menembus sukma
warisan Ki Rengser ternyata berguna
sekali.
Hmm, lebih baik dia mengangkap
Buntoro saja. Dia harus tahu! Madewa pun
menghentikan rapalannya. Seketika
tempat itu terlihat gelap. Pohon-pohon
yang tinggi seakan berserakan. Lalu ia
berlari dengan cepat menyusul Buntoro
yang berjalan tanpa perasaan diikuti.
Lebih baik disergapnya saja
Buntoro, sebelum pemuda itu bersiaga.
Maka setelah dekat, Madewa menerjang
menyergap. Disangkanya dia akan mudah
meringkus Buntoro, tapi meleset. Buntoro
merasakan angin mendesir ke arahnya.
Maka dia langsung bersalto ke depan.
Madewa mendengus. Kini keduanya
berhadapan. Buntoro terkejut. Orang yang
mengejarnya adalah Madewa Gumilang! Dan
dia tidak menyangka kalau pemuda itu
masih mengejarnya.
Dengan suara geram Buntoro berkata,
"Mau apa kau mengikuti, Murid Ki
Rengsersari?"
Merah wajah Madewa diejek demikian.
Tapi dia tenang saja.
"Aku ingin tahu apa maksudmu
menguping pembicaraan orang?"
"Hhh!" Buntoro mendengus.
"Pertanyaan tak mutu! Lebih baik kau
minggat daripada aku marah!"
Buntoro menantangnya! Merah lagi
wajah Madewa. "Aku tidak akan minggat
sebelum kau menjawab!"
"Bangsat! Apa perlumu mendengar
jawabanku?"
"Tak banyak. Aku tak suka kau
mencuri dengar pembicaraan orang."
"Lalu apa maumu?" Naik darah
Buntoro.
"Jawab, atau kita main-main
sejenak."
"Setttan!!" Geram Buntoro jengkel.
Murid Ki Rengser ini benar-benar hendak
mencobanya. Disangkanya dia takut. Hmm,
murid kesayangan Niniwulandari tidak
pernah mundur selangkah pun menghadapi
siapa pun juga. Tak terkecuali murid
tunggal Ki Rengsersari itu.
Setelah menggeram panjang, Buntoro
menerjang. Pukulannya cepat, lurus ke
wajah Madewa. Madewa merasakan tenaga
yang kuat tersalur di tangan Buntoro. Dia
mengelak ke samping dan membalas dengan
sapuan ke kaki Buntoro. Buntoro mencelat
ke atas. Luar biasa. Selagi tubuhnya
terbang, dia bisa melancarkan tendangan-
nya tepat ke kepala Madewa. Sedetik
Madewa tak merunduk, bisa mampus dia.
Lagi serangan Buntoro meleset.
Buntoro hinggap dengan mulusnya.
Dan langsung melenting lagi. Rupanya
Buntoro tidak mau membuang kesempatan
yang ada untuk menyerang. Bagaimana pun
posisinya dia harus menyerang. Kali ini
tangan dan kakinya bekerja bersamaan.
Madewa bersiaga. Tiba-tiba dia melenting
pula. Menyambut serangan Buntoro dengan
gebrakan yang sama. Begitu hampir
bertabrakan, Madewa mencelat ke samping.
Dan menendang pinggang Buntoro sampai
orang itu jatuh.
Serasa ngilu pinggang Buntoro. Tapi
dia langsung bangkit. Rupanya Buntoro
benar-benar murid kesayangan
Niniwulandari, buktinya dia memiliki
ilmu menghimpun tenaga matahari yang
hebat. Buntoro pun langsung merapalnya.
Akan dia habisi pemuda sialan ini.
"Hmm, bersiap-siaplah, Madewa.
Ajalmu sudah dekat," ejeknya sambil
menyilangkan tangan di dada.
Madewa tahu akan ilmu itu. Tapi dia
heran, ini malam hari. Matahari tidak
ada. Tenaga dari mana diambilnya? Tanpa
matahari ilmu itu tidak ada gunanya
mestinya.
Buntoro tertawa mengejek. Rupanya
dia tahu jalan pikiran Madewa.
"Jangan terkejut, Madewa. Ilmu
menghimpun tenaga matahari, tanpa
matahari pun bisa dilakukan. Dia
menyerap sinar bulan dan mempersa-
tukannya dengan tenaga bayu. Ini
kekuatan yang lebih dahsyat. Nah,
bersiaplah menerima kematianmu!"
Buntoro menjalankan tangannya perlahan
ke depan. Tiba-tiba dia melanjutkan
perkataannya, "Titip apa kau buat Ratih
Ningrum?"
Madewa agak terkejut. Buntoro tahu
soal itu!
"Aku tidak akan mati di tanganmu,
Buntoro. Ratih Ningrum tetap akan
menjadi kekasihku yang setia."
Buntoro ngakak. "Ha... ha... jangan
mimpi, Madewa! Kau akan menerima hukuman
dari Tuan Biparsena setelah membunuh
Selendang Merah. Makanya, gembel
berkasih-kasihan dengan jutawan, mimpi
di siang bolong!"
Merah wajah Madewa mendengar ejekan
itu. Didengarnya lagi perkataan Buntoro,
"Kau tidak akan sempat membunuh
Selendang Merah, karena ajalmu ada di
tanganku. Nah, kesempatan terakhir
sebelum kau mampus, ketahuilah, akulah
yang mengadukan hubunganmu dengan Bi-
parsena! Aku cemburu padamu, Madewa. Aku
mencintai Ratih Ningrum. Dan aku siap
menyingkirkan sainganku dengan jalan apa
pun!" Kini Madewa mendengus. Geram.
Rupanya ini biang keladi dari semua ini.
Pantas Biparsena bisa tahu hubungannya
dengan Ratih Ningrum.
Hmm, sekarang pun dia siap mengadu
nyawa.
Dia tak sudi Ratih Ningrum jatuh ke
pelukan laki-laki setan ini.
Madewa pun menghimpun ilmu pukulan
bayangan sukmanya dengan sempurna.
Buntoro memperhatikan. Hmm, dia belum
merapal dengan baik. Kesempatan yang
bagus. Dia harus menyerang!
Dan diserangnya Madewa selagi
pemuda itu tengah merapal ilmunya.
Pekikan keras membuyarkan konsentrasi
Madewa. Apalagi pukulan lurus yang
mengandung tenaga yang hebat dari
Buntoro sudah menerjang.
Tak ada kesempatan berkelit. Hanya
satu-satunya jalan, menangkis. Tetapi
resikonya besar. Namun tak ada jalan
lagi. Begitu tangan Buntoro mendekat,
asal saja Madewa menangkis.
"Aauuuh!"
Buntoro terhuyung ke belakang
dengan muntah darah! Sementara Madewa
tegak tak kurang suatu apa!
Kembali keajaiban itu terjadi.
Tubuh Madewa seakan ada yang melindungi.
Lagi-lagi Madewa heran. Tadi dia mengira
benar-benar hanya sampai di situ
umurnya. Hmm, siapa orangnya yang tengah
melindungi dia. Madewa tidak tahu,
keajaiban itu timbul dari sari rumput
kelangkamaksa yang mengandung tenaga
penghalang dari setiap serangan yang
datang!
"Hauuuk!" Buntoro muntah darah
lagi. Tubuhnya kejang. Rupanya
pukulannya itu mengenai dirinya sendiri.
Tanpa sempat memikirkan keheranannya,
Buntoro sudah pergi untuk selama-
lamanya.
Jeritannya menggema keras. Madewa
mendesah. Kesombongan itu akhirnya
runtuh juga, walau dipertahankan dengan
jalan apa pun.
Tetapi kepergian Buntoro memecahkan
teka-teki siapa yang mengadukan
hubungannya dengan Ratih Ningrum pada
Biparsena. Buntoro yang terbakar cemburu
buta!
Dia pulalah yang mengintip setiap
kali keduanya berhubungan.
Madewa agak menyesal, sebenarnya
dia tidak menghendaki kematian Buntoro.
Pemuda itu masih bisa dipakai untuk
dimintai keterangan. Tentang keadaan di
sungai hitam itu. Tetapi begitu Madewa
muncul tadi, Buntoro malah merasa dia
harus melenyapkan pemuda itu!
Yang menjadi saingannya dalam
mengambil hati Ratih Ningrum.
Gadis yang dicintainya.
Namun ajal telah datang padanya.
Madewa menengadah. Menatap langit
yang agak hitam. Tiba-tiba saja dia rindu
akan Ratih Ningrum. Gadis jelita yang
menggoda hatinya.
Dia rindu akan mata indah gadis itu.
Senyumnya yang hangat dan manis.
Bibirnya yang merekah dan selalu
menunduk tersipu jika dikecup.
Tapi sayang, kini tak bisa
dikecupnya lagi bibir gadis itu. Tak bisa
dinikmatinya mata indah gadis itu. Tak
bisa diresapinya lagi senyum gadis itu.
Suara 'krak' dari belakang
membuyarkan lamunannya. Dia bersiaga.
Hanya seekor binatang malam yang keluar
hendak mencari makan.... Dan mengi-
ngatkannya akan tantangan Pratiwi si
Selendang Merah di sungai hitam.
Yah, kali ini dia harus berhadapan
lagi dengan tokoh cabul yang hebat itu.
Apalagi Nini wulandari ada di sana, entah
mau apa. Yang pasti dia membantu dewi
cabul itu.
Madewa cepat melesat. Tantangan itu
harus segera dipenuhinya. Entah apa yang
akan terjadi nanti jika dia benar-benar
berhadapan dengan kedua tokoh kosen itu.
Dia akan mempertahankan selembar
nyawanya! Dan Madewa berhadap, keajaiban
itu akan muncul lagi! Ah, siapa
sebenarnya orang yang berada di
belakangnya yang menolongnya itu. Madewa
tidak yakin kalau keajaiban tadi muncul
dari dalam dirinya.
Karena sampai saat ini, Madewa tidak
tahu apa penyebabnya.
Malam semakin merambat.
* * *
EMPAT
Di tepi sungai hitam itu,
Niniwulandari menggerutu terus sejak
tadi.
Pratiwi hanya sesekali tertawa.
"Sabar, Nini. Sebentar lagi pemuda itu
pasti datang. Dan kau akan memiliki
pusaka yang ampuh itu. Kau pasti akan
menjadi tokoh persilatan nomor satu dan
tak ada tanding!" hibur Pratiwi setengah
menghasut. Karena bantuan nenek sakti
itu amat dibutuhkannya.
Tetapi nenek itu mendengus. "Hhh!
Kalau pusaka itu sudah kudapat, akan
kucari pedang Siluman Mata Airku yang
hilang. Akan kubunuh dan kucincang orang
yang mengambilnya itu!"
Pratiwi tahu pusaka itu telah
berhasil direbut Kebo Winata. Tetapi dia
juga tidak tahu siapa yang telah membunuh
tokoh itu dan merebut pedang pusaka.
Suatu kejadian yang masih terpendam
dan memendam sejuta rahasia tentang
orang itu.
"Kalau kau butuh bantuanku untuk
mencarinya, aku akan membantumu."
"Hmm, setelah itu kau memintanya
dariku?"
Wajah Pratiwi memerah.
"Jangan bicara demikian, Nini. Aku
hanya ingin bersahabat denganmu. Ada
baiknya bukan, kita bersatu setelah
tugas ini? Kekuatan kita berdua akan
menggemparkan dunia persilatan, Nini.
Akan kita taklukan jago-jago dunia
lainnya. Kita tantang tokoh-tokoh kosen
dari Tiongkok. Bukankah akan menjadikan
dan menempatkan nama kita di tempat
kehormatan?"
Niniwulandari tetap mendengus.
"Pintar kau, Dewi cabul! Omonganmu
menjadi manis sekali! Demi keperjakaan
pemuda yang kau perlukan itu, kau
bermanis membujukku!"
Lagi-lagi memerah wajah Pratiwi.
Panas dirasakannya. Dan mendadak dia
menoleh ke arah yang gelap tak jauh dari
mereka menunggu. Pendengarannya yang
tajam menangkap langkah orang datang.
Diliriknya Niniwulandari. Nenek
sakti itu agaknya sudah rnendengar pula,
hanya dia tenang-tenang saja.
Pratiwi menduga pasti Madewa yang
datang.
Dia berpikir, kalau nenek tua ini
yang lebih dulu menyerang, nyawa pemuda
itu bisa melayang saat ini juga. Lebih
baik dia saja yang mendahului.
Dengan cepat Pratiwi menguraikan
selendang merahnya. Dengan aliran tenaga
dalam yang lemah, selendang itu tegak di
ujungnya. Dan langsung dihentakkan
menyambar leher orang yang baru datang
itu, yang langsung berdiri tegak tanpa
bisa bergrak. Karena tertotok oleh ujung
selendang itu.
"Luar biasa!" Niniwulandari
mengguman salut. Lalu melesat mendekati
sosok yang kaku itu.
Pratiwi menyusul dengan cepat pula.
Dan dilihatnya Niniwulandari telah
membopong tubuh yang kaku itu. Luar
biasa, nenek peot itu mampu mengangkat
tubuh yang tiga kali lebih berat dari
tubuhnya. Gerakannya pun ringan. Ia
mendirikan tubuh yang kaku itu di depan
Pratiwi.
"Kerjaan yang hebat, Dewi cabul,"
katanya memuji.
Tetapi Pratiwi tidak gembira, tidak
menyambut pujian itu. Dia malah
terbelalak jengkel. Mendengus. Pemuda
itu bukan Madewa Gumilang. Bah! Siapa
lagi dia? Kalau tahu begini, biar
dihancurkan saja dia oleh Niniwulandari.
Ditolehnya nenek tua itu. "Nenek
tua! Bukan ini orang yang kita tunggu!"
Niniwulandari terkejut. Dia
memperhatikan tubuh yang kaku itu dengan
seksama. Dan mendengus kesal pada tubuh
itu yang tak lain adalah Genda. Pengurus
kuda milik Biparsena yang tengah mencari
Madewa Gumilang.
"Kau benar?" tanya Niniwulandari
sangsi. Kuatir Pratiwi menipunya.
"Ya!" Pratiwi meludahi wajah Genda.
Dan tangannya mengayun. Selendang
merahnya langsung berubah menjadi tombak
dan menembus tepat di jantung Genda.
Darah segar mengumbar membasahi baju
Genda. Dewi cabul itu jengkel sekali. Dia
mengayunkan lagi selendang merahnya pada
tubuh yang ambruk jadi mayat itu,
menampar wajah Genda hingga hancur
berantakan.
Pemuda yang tengah mencari Madewa
itu benar-benar sudah mampus tak
berbentuk. Dan tak sempat mengucapkan
sepatah kata pun ketika maut
menjemputnya untuk ikut!
Pratiwi terkekeh senang. Dia
melampiaskan kekesalan terakhirnya
dengan menendang tubuh Genda ke sungai
hitam.
Byurr!
Tubuh itu lambat-lambat tenggelem.
Dan kelebatan yang baru datang ini
benar-benar yang mereka tunggu. Madewa
Gumilang. Sedetik dia telah terlambat
datang. Kalau saja dia tidak lewat dari
satu detik itu, dia masih bisa
menyelamatkan Genda.
Dia berdiri dengan sikap gagah.
Niniwulandari yang terkekeh melihat
kerjaan Pratiwi berbalik dengan sigap.
Matanya menyelidik ke arah pemuda itu. Ia
terkekeh lagi. Sementara Pratiwi
langsung berbalik dan tersenyum genit.
Pemuda itu benar-benar jantan, berani
datang menyambut tantangannya. Dan
kegagahan serta ketampanan pemuda itu
membangkitkan kobaran nafsu birahi
Pratiwi.
Ia langsung mengeluarkan ilmu
pengharum tubuhnya sambil menguraikan
selendang merahnya yang langsung
menampakkan buah dadanya yang padat dan
segar.
Madewa memejamkan mata sejenak
seraya menghimpun hawa murninya. Lalu
dia berkata, "Aku sudah datang,
Selendang Merah."
Pratiwi terkikik. "Bagus, kau
memang pemuda yang jantan.... Dan aku
penasaran terhadapmu."
"Tapi kita tidak punya masalah,
Selendang Merah. Kita tidak ada tali
permusuhan. Lalu untuk apa kau
menantangku?"
"Hik... hik... kalau kau mau
melayaniku, aku akan melepaskanmu dengan
baik-baik."
Wajah Madewa memerah. "Omonganmu
kotor, Pratiwi!" geramnya yang membuat
Pratiwi terkekeh. Diam-diam dia semakin
mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya.
Dan terlihata Madewa sedikit tersedak.
Tanpa sadar dia sudah menghirupnya.
Lagi-lagi dia menaikkan hawa murninya,
untuk mengusir hawa yang menghanyutkan.
Rupanya Niniwulandari sudah bosan
dengan basa-basi. Apalagi sejak tadi
diperhatikannya pemuda itu tidak membawa
apa-apa, apalagi pedang yang
diimpikannya.
Dia langsung membentak, "Hei,
Bocah! Serahkan pusaka Dewa Matahari
padaku!"
Madewa melirik. Memperhatikan nenek
tua ini. Hmm, dia pernah melihat nenek
ini, yang pernah berkunjung ke rumah
Biparsena. Dia juga tahu nama nenek itu,
Niniwulandari.
"Pedang apa maksudmu, Nenek?"
"Hhh! Kau pura-pura, Bocah! Cepat
serahkan padaku!"
Madewa tertawa keras. Menatap
mengejek. "Rupanya kutemui lagi orang
tolol! Dengar, Nenek! Aku tidak memiliki
pedang itu. Juga tidak pada almarhum
guruku, Ki Rengsersari!"
"Apa maksudmu, Bocah?"tanya
Niniwulandari antara tak percaya dan
terkejut.
"Kabar Pusaka Dewa Matahari itu
hanya kabar bohong belaka! Dan tak ada
seorang pun yang memilikinya!"
"Jangan bohong kau, Bocah!!" geram
nenek tua itu jengkel. Ia bersiap hendak
menyerang. Madewa masih tenang saja. Dia
harus menyakini nenek tua ini kalau dia
tidak memiliki pedang pusaka itu. Itu
lebih baik. Bentrok dengan nenek tua ini
dan si Selendang Merah bisa kacau!
"Aku tidak bohong, Nenek! Kupikir
tokoh kosen macam kau tidak termakan
kabar bohong itu, tapi nyatanya, kau juga
termakan!"
Diejek begitu wajah Niniwulandari
memerah, jengkel.
"Bohong! Kau yang menyebarkan kabar
bohong itu! Pedang itu ada padamu!”
"Aku benar-benar tidak mengerti!"
Madewa mengeluh sambil menggeleng
geleng. "Demi Dewa Jagat Raya, aku tidak
memiliki pedang itu! Dan aku yakin, tak
seorang pun di dunia ini yang memiliki
pedang itu!"
Niniwulandari menggeram marah. Dia
sudah merasakan asam garam dalam rimba
persilatan. Dan dia tahu tipuan macam
ucapan Madewa. Maka tanpa banyak cakap
lagi, dia langsung menerjang.
Untung Madewa sudah bersiaga sejak
tadi. Dia langsung berkelit seraya
membalas dengan tendangan ke arah perut.
Niniwulandari menahan pukulannya.
Menghindar dengan jalan bersalto ke
belakang. Tetapi Madewa terus
mengejarnya sambil menendang balik.
"Des!" benturan antara kaki dengan
tangan itu menimbulkan suara yang
lumayan.
Niniwulandari menggeram dengan
kesal. Dia membalas lagi. Kali ini tangan
kanannya menyambar ke bawah. Madewa
mengangkat sebelah kakinya. Justru itu
yang fatal. Gerakan tanan kanan
Niniwulandari hanya tipuan. Begitu
Madewa mengangkat sebelah kakinya, kaki
nenek tua itu langsung menyambar kaki
tumpuan berat badan Madewa.
"Tapi!" Madewa terpelanting. Ketika
Niniwulandari mengejar hendak menje-
jakkan kakinya ke perut Madewa,
selendang merah Pratiwi menahan gerakan-
nya. Dan membanting Niniwulandari yang
berontak dengan bersalto hingga tidak
jatuh.
Niniwulandari menoleh pada Pratiwi.
Marah. "Apa maksudmu berbuat begitu?!"
"Ingat perjanjian kita!" sahut
Pratiwi seraya menarik lagi selendang
merahnya.
"Tapi dia tidak membawa pusaka
itu!!"
"Hei, Nenek tua! Dia musuhku! Aku
yang berhak menghancurkannya. Bukan
dirimu yang tak punya masalah apa-apa
dengannya!!"
Niniwulandari menggeram kesal. Lalu
berkata dengan sinis, "Baik! Kau
selesaikan dia! Kalau kau tidak sanggup
mengalahkannya, dia menjadi bagianku!
Mau kuapakan terserah padaku! Dengar
Pratiwi, dia akan kubunuh!"
Madewa yang merasa ada kesempatan
untuk bangkit mengambil nafas, memu-
lihkan pernafasannya yang terasa sesak
tadi. Dia bersiaga, bersiap menunggu
serangan dari si Selendang Merah.
Pratiwi pun bersiap. Selendangnya
di putar-putar yang menimbulkan desingan
cepat dan angin yang agak dingin. Ia
mendekat sambil menggoyangkan tubuhnya.
Buah dadanya yang hanya tertutup sedikit
begitu menantang pandangan.
Apalagi dengan hawa harum yang
menguar dari tubuhnya, bisa membuat
laki-laki langsung bangkit nafsu
birahinya.
Tetapi Madewa telah berusaha
mati-matian menahan semua itu dengan
hawa murninya.
Pratiwi belum memulai serangannya.
Sebenarnya ia merasa sayang harus
mengalahkan pemuda ini yang paling tidak
harus terluka di salah satu bagian tubuh
pemuda itu. Belum lagi kalau nenek tua
itu ingin membunuhnya.
Ya, dia harus dapat mengambil
keperjakaan yang terpendam di tubuh
pemuda itu dulu.
"Dewi cabul! Tunggu apa lagi? Cepat
kau bunuh dia!!" geram Niniwulandari.
Pratiwi menghela nafas dalam-dalam.
Lalu menyalurkan lagi tenaga dalamnya.
Hingga putaran selendangnya semakin
cepat dan hebat.
Tak ada jalan lain. Dia harus
menyerang. Daripada nenek tua itu yang
lebih dulu membunuh Madewa, lebih baik
dia.
Dengan hentakan cepat Pratiwi
mengibaskan selendang merahnya ke leher
Madewa. Untung Madewa sudah bersiap
sejak tadi. Dia langsung bersalto ke
belakang. Tapi serangan Pratiwi terus
berdatangan.
Begitu Madewa berdiri, Pratiwi
memukul dengan tepakan tangan kirinya.
Madewa menangkis.
"Des! Plak! Plak!"
Keduanya terhuyung. Tapi Pratiwi
lebih cepat. Sambil terhuyung begitu,
dia mengibas lagi selendangnya. Madewa
cepat berkelit berguling.
Selendang Pratiwi menghantam sebuah
pohon hingga berlubang. Dan serangan
demi serangan berlanjut. Keduanya
sama-sama tangguh.
Niniwulandari semakin bosan karena
Pratiwi belum juga menjatuhkan pemuda
itu. Dia mengibaskan tangannya. Selarik
sinar biru keluar dan tertuju pada
Madewa.
Sedetik Madewa tidak menghindar,
hangus sudah wajahnya dihantam sinar
itu. Pratiwi bersalto karena tersentak.
Dan hinggap di depan nenek sakti itu.
"Tidak perlu membokong! Seranganmu
berbahaya!" bentaknya marah.
"Kau bodoh, Pratiwi! Karena nafsumu
kau masih main-main dengan bahaya!"
balas Niniwulandari sebal.
"Aku tidak merasa main-main! Aku
akan menangkap anak itu!"
"Dia berbahaya, Pratiwi. Lagi pula,
dia tidak membawa pusaka itu!"
"Kau mau apa?"
"Aku akan membunuhnya!"
"Hei, kalian orang-orang jahat!"
bentak Madewa jemu. "Cepat kalian
kemari! Akan kucabut nyawa busuk
kalian!!"
Niniwulandari mendengus. Berpaling
pada Pratiwi. Dan berkata mengejek,
"Lihat, nyawamu atau nyawanya yang
hilang!"
Dan Pratiwi berpaling marah pada
pemuda itu. Dengan ganas ia menerjang
lagi. Kali ini dia tidak perduli mau jadi
apa pemuda itu. Pikirannya cuma satu,
anak itu harus mati! Di tangannya... atau
di tangan nenek sakti itu.
Madewa menghindar, berlompat ke
kiri. Tapi serangan Niniwulandari
mengurungkan niatnya. Dia bersalto ke
belakang. Lagi serangan dari Pratiwi
datang. Dua buah gelombang serangan yang
dahsyat berusaha dihindarinya dengan
mati-matian.
Suatu ketika Niniwulandari
membentak. "Jatuh!"
Mendadak pertahanan Madewa goyah.
Ia terhuyung ke belakang, namun berusaha
untuk tidak jatuh.
"Jatuh!"
Madewa terhuyung lagi. Tahu-tahu
dia membentak pula.
"Tidak!"
"Jatuh!"
"Tidak!" Madewa tegak lagi. Jurus
Ular Menyimpan Tenaga digunakannya
dengan sempurna.
Niniwulandari membentak lagi.
Pandangan matanya berubah menjadi merah.
Ia telah menggunakan ilmu sihirnya. Tapi
ilmu itu tetap tak membawa pengaruh yang
besar selain membuat Madewa terhuyung
sebentar untuk berdiri tegak.
"Tidak!" seru Madewa sambil
menerjang. Niniwulandari tersentak.
Konsentrasinya kuat. Ia tak sempat
menangkis pukulan Madewa.
"Des! Aaaah!" Ganti sekarang
Niniwulandari yang terhuyung. Madewa
mencecar terus. Dua buah pukulannya
mengenai bagian kaki dan wajah
Niniwulandari. Ketika akan melakukan
serangan lagi, selendang merah Pratiwi
menangkap tangannya. Dan membantingnya.
Ketika ditarik itu Madewa tidak
menahan, malah mengikuti arah tarikan-
nya. Dan mengempos tubuhnya ke arah
Pratiwi.
Pratiwi terkejut. Tidak menyangka
pemuda itu berbuat nekat. Dengan begitu
dia mencoba menjajagi berapa besar
tenaga Pratiwi. Cepat Pratiwi melepaskan
libatan selendang merahnya dari tangan
Madewa.
Dan tangan kirinya menghantam
tangan Madewa.
"Plak! Plak!"
Dengan jurus Ular Meloloskan Diri,
Madewa berkelit ke samping. Dan bergerak
dengan cepat.
"Des!"
Tubuh Pratiwi terhantam kaki
kanannya. Pratiwi mengaduh. Belum lagi
dia berdiri, Madewa sudah menerjang.
Sejak tadi dia merapal pukulan
andalannya.
Tak ada jalan lain. Dia dalam
keadaan terdesak. Dia harus mengelurkan
jurusnya yang paling ampuh. Kedua
tangannya mengepal. Dan mengeluarkan
asap putih.
"Hiaaat!"
Niniwulandari tahu gelagat itu.
Pukulan Bayangan Sukma, siap mencabut
nyawa Pratiwi yang masih terhuyung.
Dengan secepat kilat dia bersalto tiga
kali dan mendorong tubuh Pratiwi.
"Wuttt!" serangan Madewa lewat di
atas kepala dewi cabul itu. Menghantam
dua buah pohon yang berjajaran dan
seketika hangus dengan daun berguguran.
Niniwulandari membentak dan ber-
balik. Lagi selarik sinar biru mengarah
pada Madewa. Madewa tak sempat mengelak.
Ia menyongsong sinar biru itu.
"Des! Duaaar!"
Ledakan itu terdengar hebat.
Niniwulandari tertawa dalam hati. Pasti
hangus tubuh pemuda itu. Demikian pula
Pratiwi, yang sudah tidak menghiraukan
keperjakaan pemuda itu. Yang pasti dia
sudah membalas kematian Gundaling.
Namun kedua-duanya terbelalak
kaget. Malah Niniwulandari mengusap-
usap matanya, seolah tak percaya pada
penglihatannya sendiri.
Madewa masih berdiri tegak.
Tak kurang suatu apa.
Ketika kedua lawannya sedang
terbengong itu, Madewa membentak dan
menerjang. Walaupun masih terbengong,
keduanya bukan jago kemarin. Dengan
reflek keduanya menghindar.
Bergulingan.
Madewa terbahak.
"Ternyata sinar birumu tak berguna
untukku, Nini! Pukulan Bayangan Sukma
tetap nomor satu!"
Bukan main geramnya Niniwulandari.
Selagi pemuda itu meleng, dia melepaskan
lagi pukulan jarak jauhnya.
"Siing!"
Madewa terkejut. Dia telah dibuai
oleh kemenangannya. Tak ampun tubuhnya
terhantam pukulan itu. Dia terguling.
Jatuh. Dan muntah darah.
Dia tidak siap dengan ilmu pukulan
bayangan sukmanya. Maka dia kena
terhantam. Kalau saja bukan Madewa,
mungkin orang itu sudah mati hangus tak
berbentuk.
Walaupun begitu, Niniwulandari
terbahak melihat hasil kerjanya.
"Pratiwi! Kau bunuh dia!"
Tertatih selendang merah bangkit.
Kemarahannya sudah ingin meledak di
ubun-ubun. Tanpa membuang waktu lagi,
dia mengayunkan selendang merahnya. Siap
mencabut nyawa Madewa!
Tetapi tiba-tiba dari atas pohon
terdengar tawa terkekeh-kekeh, panjang.
Sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam
dengan penutup wajahnya tergelak-gelak
sambil menggoyang-goyangkan kaki. Di
tangan kanannya terdapat sebuah pedang
aneh, karena pedang itu mengeluarkan
sinar putih yang menyilaukan mata.
Mereka terkejut. Madewa heran,
apakah orang itu Buntoro? Bukankah dia
sudah mampus?
Pratiwi terbelalak. Sejak tadi dia
tidak mendengar adanya orang di atas
pohon itu. Pasti sejak mereka bertempur
dia sudah berada di sana.
Niniwulandari lebih kaget lagi.
Pedang di tangan orang itu dikenalnya.
Pedang kepunyaannya. Pusaka Siluman Mata
Air!
Hei, mengapa pedang itu ada padanya?
Apakah orang ini yang telah membunuh Kebo
Winata dan merebut pedang itu? Kemarahan
Niniwulandari semakin naik. Tanpa
basa-basi lagi dia menyerang. Pukulan
jarak jauhnya mengibas orang asing itu.
Tapi orang itu cepat melentingkan
tubuhnya dan hinggap di tanah dengan
sempurna. Seolah sebuah kapas yang jatuh
dari atas. Sementara ranting kecil yang
didudukinya itu hancur terkena pukulan
jarak jauh nenek tua itu.
Orang itu terbahak.
"Ha... ha... nenek peot! Aku
menampakkan diri sekarang! Dengarlah
kau, Nenek peot! Akulah yang telah
membunuh Kebo Winata, dan merebut pedang
pusakamu ini!
Sekarang jika kau menginginkannya,
rebutlah dariku!" Orang berpakaian
hitam-hitam itu terbahak, lalu
menyambung lagi, "Nenek peot, apa yang
dikatakan pemuda itu benar! Tentang
Pusaka Dewa Matahari adalah kabar
bohong!
Kau tak perlu kaget! Dan kau Madewa,
akulah orang yang selama ini kau cari!
Akulah yang menyebarkan kabar bohong itu
untuk gurumu, Ki Tua yang telah mampus!"
Madewa terbelalak gusar. Sakit
tidak dirasakannya lagi. Pengakuan yang
telah lama ditunggu-tunggunya. Tajam ia
menatap orang itu.
"Bangsaaat!!" geramnya marah. "Kau
harus membayar semua perbuatanmu itu
dengan nyawamu!"
Orang itu geleng-geleng kepala.
"Jangan mimpi, Bocah. Apa bisamu,
hah?!"
Sejak tadi yang tidak mengerti hanya
selendang merah. Dia hanya kaget karena
tidak mengetahui adanya orang berpakaian
hitam-hitam itu. Dan terbengong-bengong
mendengar orang-orang itu adu mulut.
Tetapi kemudian dia tanggap. Orang itu
yang telah mencuri pusaka Siluman Mata
Air milik Niniwulandari dan penyebar
kabar bohong tentang adanya pusaka dewa
matahari. Tapi apa tujuan orang itu
melakukan ini semua?
Pratiwi mencetuskan keherannya,
"Kisanak, tanpa tujuan yang pasti, kau
tentu tidak akan melakukan semua itu,
bukan?"
Orang itu tergelak lagi. Merasa lucu
dengan pertanyaan Pratiwi. "Ha... ha...
perempuan cabul, kau pintar omong juga
rupanya! Kukira yang kau tahu hanya nafsu
birahi saja!" Tanpa menghiraukan wajah
Pratiwi yang memerah, orang itu
melanjutkan, "Baiklah, kalian dengarkan
semua! Memang pedang siluman mata air ini
kurebut dari Kebo Winata, yang telah
berhasil merebutnya dari nenek peot itu.
Kalian tentu heran, kenapa aku bisa
membunuh Kebo Winata? Ha... ha... racun
kelabang hitamku bekerja dengan ampuh
pada air yang kusuguhi untuknya!"
Sampai di situ orang itu bicara,
terdengar sahutan,
"Keji!"
"Tak ada jalan lain, Selendang
Merah. Tubuh yang telah tak berdaya itu
kuhancurkan dengan pedangku! Dan
kubuang! Mudah, bukan!"
"Lalu apa maksudmu menyebarkan
kabar bohong itu untuk guruku?!" bentak
Madewa yang dari tadi tak tahan untuk
bicara, wajahnya memerah menahan marah.
"Ha... ha... muda saja! Biar
orang-orang yang gila akan pusaka
Siluman Mata Air beralih pada Ki
Rengsersari yang memiliki pusaka Dewa
Matahari! Dan aku terbebas dari
orang-orang gila itu!
Hanya yang disayangkan, Ki
Rengsersari memiliki seorang murid, yang
bisa menjadi duri bagiku! Yang menjadi
bukti terkuat, kalau kabar itu
benar-benar kabar bohong. Dan murid itu
adalah kau, Madewa"
Sampai di situ, orang itu menyerang
Madewa. Lengan kirinya mengembang
membentuk cakar, sasarannya adalah
jantung!
Madewa berkelit lagi. Padahal dia
tengah menutupi kekagetannya. Jarang
orang yang bisa menghindar dari serangan
cakar macanya. Ketika dia akan menyerang
lagi, Pratiwi berseru, "Tahan!"
Orang itu melirik mengejek. "Hmm,
mau apa kau, Dewi cabul?"
"Sebelum berakhir semua ini, aku
ingin tahu namamu, Kisanak...."
Belum habis kalimat Pratiwi, Madewa
memotong, "Biar aku bisa menulis namamu
di batu nisanmu nanti!"
Kalau tidak tertutup topeng hitam
itu, pasti mereka dapat melihat betapa
memerahnya wajah orang itu. Tetapi dia
hanya tertawa, padahal dalam hatinya
geram bukan main. Akan dihabisinya nanti
pemuda sialan ini!
"Ha... ha... bagus, bagus! Camkan
nama besarku baik-baik! Orang-orang
menyebutku pendekar Cakar Macan alias
Bayangan Hitam alias...."
"Kambing kentut!" dengus Nini
wulandari yang sudah tidak dapat menahan
jengkelnya. Baru sekarang ditemukannya
orang yang telah merebut pedang
pusakanya. Dan orang itu berani-
beraninya muncul!
Punya ilmu macam apa dia? "Nenek
peot yang pemarah!" sahut bayangan hitam
dengan nada mengejek. "Tak perlu
marah-marah! Jika kau ingin merebut
kembali pedangmu ini, rebutlah! Cuma
ingin, mengalahkanmu semudah membalik-
kan telapak tangan, Nenek peot!!"
Niniwulandari menggeram marah.
Sekarang Madewa Gumilang tidak
dipersoalkannya lagi, karena pemuda itu
benar-benar tidak memiliki pedang pusaka
dewa matahari.
Kini ia berbalik pada Bayangan
Hitam. Ia menyerang bercampur hentakan
tenaga dalam yang mengalir melalui
tatapannya. Bayangan hitam tahu serangan
diam-diam itu. Namun kelihatan dia
tenang-tenang saja. Seolah serangan
diam-diam itu tidak dirasakannya. Dia
malah tenang-tenang saja dengan mata
berkedip-kedip.
Dan tahu-tahu, Niniwulandari
mengaduh pelan. Tenaganya berbalik
menimpanya sendiri. Matanya sangat
pedih. Itulah yang dinamakan ajian
bayangan hitam, yang membuat orang bisa
termakan tenaganya sendiri.
Si Bayangan Hitam terbahak, "Ilmu
tak berguna kau pamerkan kepadaku! Kau
cari mati saja, Nenek peot!"
Niniwulandari geram bukan main.
Tahu-tahu dia berteriak dan menerjang
dengan pukulan serentak. Bayangan hitam
berkelit dengan cepat. Geraknya cocok
sekali dengan tingkatan ilmunya, yang
dapat bergerak bagaikan bayangan.
Tak satu pun serangan Niniwulandari
yang masuk.
Bayangan hitam bersalto ke
belakang.
"Kenapa hanya kau yang menyerangku,
Nenek peot! Kau pun boleh menyerangku,
Madewa! Musuh besarmu berada di sini
sekarang! Jangan sungkan, balaskan
dendam Ki Rengsersari! Tetapi ingat,
mengalahkanmu juga tak sesulit
mengalahkan nenek peot itu!!"
Justru yang geram adalah Pratiwi.
Setidaknya, dengan datangnya Bayangan
Hitam, perhatian Niniwulandari terlepas
dari Madewa. Dan ia tak mungkin bisa
mengalahkan Madewa sendiri.
Tanpa banyak cakap lagi, dia
mengelebatkan selendang merahnya.
"Wuuutt!"
Dengan tangkas Bayangan Hitam meng-
hindar. Sambil melompat itu dia berseru,
"Ha... ha... Selendang Merah rupanya
turun tangan juga! Baiklah, kalian
jangan sungkan! Keroyoklah aku! Dan
kalian akan merasakan serangan kalian
itu sia-sia!!"
Sehabis berkata begitu, di Bayangan
Hitam meloloskan pedangnya. Benar-benar
sebuah pedang yang hebat dan
diimpi-impikan oleh orang-orang rimba
persilatan!
Pedang itu memancarkan sinar putih
yang luar biasa terangnya. Keadaan malam
yang gelap itu seperti pada siang hari.
Dan bagi yang mempunyai tenaga dalam
lemah, bisa buta kedua matanya terkena
sinar pedang itu.
Masing-masing menahan serangan
diam-diam itu dengan menghimpun tenaga
dalam mereka.
"Ayo maju! Tunggu apa lagi?" ejek
Bayangan Hitam. "Kita buktikan siapa
yang digjaya! Anggaplah kita tengah
mengadakan pertandingan perebutan
pusaka Siluman Mata Air! Tetapi ingat,
pertarungan ini mempertaruhkan nyawa!
Yang masih sayang dengan nyawanya, lebih
baik mundur! Tidur di rumah dan menyusu
pada ibu kalian!"
"Bangsat! Jangan banyak omong!
Serahkan pedang itu padaku, Bayangan
Hitam!" geram Niniwulandari seraya
menyerang ke depan. Bayangan Hitam
dengan lincah menghincar serangan itu.
Melihat serangannya luput,
Niniwulandari menjadi geram bukan main.
Apalagi pusaka yang dipegang Bayangan
hitam itu membuatnya semakin bernafsu
untuk merebut.
Tetapi kali ini, ketika dia bergerak
lagi, Bayangan Hitam mengibaskan pedang
itu. Nenek tua itu menjerit kaget dan
bersalto menghindar. Namun tak urung
pakaiannya terkena dan hangus terbakar.
Bayangan Hitam tergelak-gelak. Yang
lain memandang kagum dan terkejut.
Pedang yang ampuh itu semakin hebat
rasanya di tangan orang yang memiliki
ilmu pedang. Seperti si Bayangan Hitam.
Madewa merasa dia harus menyerang
pula. Selagi musuh besarnya berada di
sini. Dilupakannya masalahnya dengan
Pratiwi dan Niniwulandari. Dan agakaya
keduanya juga melupakan masalah itu.
Dia menghimpun ilmu pukulan
bayangan sukma tingkat tinggi, karena
Madewa tahu ilmu yang dimiliki Bayangan
Hitam. Dan menghantam orang itu dengan
cepat. Bayangan Hitam menerjang dengan
sambaran pedangnya. Kelitan pedang itu
dihindarinya dengan meloncat, tetapi
pukulannya tetap deras ke depan.
Bayangan Hitam berbalik dan mengibaskan
pedangnya lagi. Lagi Madewa menghindar,
malah kakinya sempat menyampok tangan
kiri orang itu.
"Des!"
Bayangan Hitam terhuyung. Madewa
melanjutkan serangannya tetap dengan
ajian saktinya. Tak ada jalan lain.
Dengan terhuyung itu Bayangan Hitam
memapaki serangan Madewa.
"Des!"
Kedua-keduanya terpental. Bayangan
Hitam kaget juga melihat serangan hebat
itu. Tangannya terasa ngilu. Dan nyeri
dirasakan.
Demikian pula dengan Madewa,
pukulan bayangan sukmanya ternyata tak
membawa pengaruh pada lawannya itu.
Dia membetulkan sikapnya berdiri.
Belum lagi dia menyerang, Pratiwi sudah
menyambarkan senjatanya. Tetapi Pratiwi
menjadi kaget sendiri. Disangkanya dalam
posisi yang goyah itu dia akan mudah
mendaratkan selendangnya, namun
dugaannya meleset.
Selendangnya langsung putus dan
terbakar tersabet pedang pusaka itu.
"Bangsat!" geram Pratiwi marah.
"Kau telah merusak selendangku!"
"Ha... ha... tak ada gunanya kau
mengomel, Pratiwi! Karena nyawamu akan
kucabut saat ini juga!
"Baik! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" Pratiwi menerjang lagi.
Sungguh berbahaya. Dia berani memasuki
lingkaran kibasan pedang pusaka itu.
Nini Wulandari berseru
memperingatkan,
"Hati-hati, Dewi cabul!" Lalu dia
sendiri memasuki ajang pertempuran.
Dikeroyok begitu, Bayangan Hitam
masih tenang-tenang saja. Pedangnya
terus berkelebatan kesana kemari. Sampai
sekian jurus kedua pengeroyoknya belum
mampu menyentuh tubuhnya. Malah dia yang
telah melukai kedua pengeroyoknya!
Lengan kiri Niniwulandari tergores
dan hangus. Sedangkan Pratiwi telah
telanjang bulat karena dengan cabulnya
Bayangan Hitam merobek seluruh bagian
baju Pratiwi dengan pedangnya.
Pratiwi mejerit. Dia berusaha
menutupi tubuhnya dengan pakaian yang
compang-camping. Dan buru-buru mengam-
bil sisa selendangnya dan membelitkan ke
tubuhnya. Walaupun begitu tetap tak
banyak gunanya.
"Biadab! Cabul kau, Bayangan
Hitam!"
Bayangan Hitam malah terbahak-
bahak. Senang melihat tubuh Pratiwi yang
putih mulus. Dia sengaja tak melukai
tubuh indah itu. Lebih asyik mengoyak
pakaian selendang merah!
Sementara Pratiwi kalang kabut,
Niniwulandari menekap lukanya. Terasa
perih sekali. Kalau saja Bayangan Hitam
tidak memiliki pusaka itu, pasti dengan
mudah dikalahkannya. Biarpun terluka,
Niniwulandari bertekad, akan mengadu
jiwa dengan orang itu.
Tanpa menghiraukan rasa sakitnya
lagi, dia nekad menyerang.
"Ha... ha... keluarkan semua
ilmumu, Nini!"
Jelas ini merupakan ilmu pamungkas
dari nenek tua itu. Ilmu kebalnya
dikerahkan sampai ke tingkat pamungkas.
Dia berharap, ilmu menghimpun tenaga
matahari mampu menahan serangan pusaka
itu. Bayangan Hitam agaknya mengenal
ilmu itu, dia berusaha menjaga jarak
walaupun dia memegang pedang.
Pukulan Niniwulandari bisa
dihancurkan tubuhnya jika dikehendaki.
Dan nenek tua itu menghendakinya!
"Awas!!"
Bayangan Hitam berkelit. Bersalto
ke atas. Di saat tubuhnya melayang itu,
Pratiwi menerjang. Pukulannya tepat
mengenai pinggang Bayangan Hitam. Namun
semua itu harus dibayar mahal. Lengan
kirinya buntung ditebas pedang pusaka!
"Aaaah!" Keduanya menjerit ber-
samaan. Tetapi Pratiwi ambruk, sedangkan
Bayangan Hitam hanya mengeliat.
"Dewi cabul!" jerit Madewa
terkejut. Biar bagaimana pun bencinya
dia pada Pratiwi, tetap! melihat wanita
itu menggeliat kesakitan, amarahnya
timbul. Sejak tadi dia diam, karena
berusaha melihat titik kelemahan ilmu
pedang Bayangan Hitam dengan ilmu
pandangan menembus sukma.
Dan dia akan menghancurkan orang
itu!
Bersamaan dengan jerit yang
mengerikan, Madewa menyerang. Bayangan
Hitam mengibaskan pedangnya. Madewa
bersalto. Di saat bersalto itulah dia
ingat akan keajaiban yang kerap datang
membantunya. Tetapi mengapa tidak
datang! Mana tenaga yang bisa mem-
balikkan serangan lawan mengenai dirinya
sendiri?
Mana?
Bayangan Hitam mengejar. Kali ini
dibarengi dengan jurus cakar macannya.
Madewa tidak sempat berkelit. Cakar
macan itu mampir di pinggangnya. Tetapi
dirasakan oleh Bayangan Hitam kalau
pinggang itu terasa keras. Dan tangannya
terasa panas. Buru-buru dia melirik
tangannya.
Madewa heran melihat musuhnya
menjerit. Dia baru sadar, orang itu
mencengkram seruling naga pemberian
gurunya. Ingat itu, Madewa berpikir.
Yah... dia harus menggunakan seruling
sakti itu.
Dengan cepat dia mencabut seruling
itu. Dan ingat lagi akan petuah gurunya,
kalau seruling itu tidak bisa digunakan
dalam keadaan bernafsu atau marah.
Cepat-cepat dia menenangkan
dirinya. Dan duduk bersila dengan
menghimpun tenaga dalamnya.
Niniwulandari menjerit jengkel.
"Pengecut!" serunya melihat Madewa
duduk. Dalam medan laga, pantangan besar
bagi kesatria untuk duduk. Itu tanda
menyerah! "Percuma kau sebagai murid
tunggal Ki Tua yang sakti itu, kalau
menyerah!"
Madewa menyahut pelan, "Biar dia
menyerangku, Nenek! Aku ingin tahu
sampai di mana kehebatannya!"
"Pengecut!" Niniwulandari
menyembrut gusar. Hhh! Dia berbalik pada
Bayangan Hitam yang berdiri
tenang-tenang saja. Niniwulandari
menyerang lagi. Tetapi kembali dia
ambruk. Kali ini Bayangan Hitam tak ampun
lagi. Dia menyabet mati nenek tua itu.
Hilanglah sudah nyawa nenek sakti itu.
Dalam ajalnya dia masih sempat menjerit,
"Bunuh dia, Madewa!" Lalu mati!
"Nenek tua!” jerit Madewa kaget.
Sementara musuhnya tertawa terbahak.
"Jangan kau tangisi dia, Madewa!
Sekarang hadapilah aku! Sudah kukatakan,
kalau hidup kalian hanya sampai di sini!"
Madewa mendengus gusar. Tatapannya
nyalang. Ia menyahut angker, "Baiklah...
sekarang seranglah aku!"
Ha... ha... kau sombong. Baik. Kau
lihat seranganku! Awas serangan!"
Bayangan Hitam memainkan gerakan
ilmu pedangnya. Dan menyerang. Madewa
tetap duduk dengan tenang. Dengan
gerakan tenang pula dia memainkan
serulingnya. Meniup dengan perlahan.
Tetapi suara seruling itu seakan
membakar telinga Bayangan Hitam yang
sedang bernafsu. Jika yang menyerang itu
marah, maka kerja seruling itu lebih
cepat. Bayangan Hitam menjerit. Dan
melompat ke belakang.
"Seruling Naga!"
Tetapi Madewa terus meniup seruling
itu, N-danya semakin menyentak dirasakan
oleh telinga musuhnya. Dia menjerit.
Tenaga dalam dan hawa murninya serasa
tidak bekerja menahan serangan seruling
itu, karena dia telah dikuasai oleh
seruling itu.
Tiba-tiba dia menerjang dengan
diiringi jeritan nyaring. Pedangnya
terhunus langsung ke arah jantung.
Madewa tetap meniup seruling itu. Dia
berdoa, semoga seruling itu mampu
menahan serangan yang berbahaya. Tetapi
pedang itu terus terhunus ke arahnya.
Seruling tidak mampu menahan! Kesempatan
untuk bergerak pun susah. Tak ada detik
untuk mengelak. Inilah ajal bagi Madewa?
Tetapi keajaiban itu muncul lagi.
Belum sampai pusaka itu menyentuh
tubuhnya, orang itumsudah jumpalitan dan
jatuh muntah darah.
Lagi-lagi Bayangan Hitam berteriak,
"Rumput kelangkamaksa!"
Madewa menghentikan meniup
serulingnya. Dia mendengar teriakan
orang itu. Rumput? Oh, Dewa... rupanya
khasiat air rumput ajaib itu yang
menjadikannya sehebat ini.
Pantas, keajaiban itu tidak datang
lagi. Rupanya orang yang menggunakan ini
harus dalam keadaan tenang pula.
Di saat Bayangan Hitam kelojotan,
Madewa meniup serulingnya lagi.Tubuh itu
semakin kelojotan. Terlihat dari hidung
dan mulut Bayangan Hitam mengeluarkan
darah. Pedang pusaka Siluman Mata Air
terlepas dari genggamannya. Mengheran-
kan, karena begitu terlepas, tiba-tiba
cahaya yang memancar dari pedang itu,
hilang.
Dan pedang itu hancur menjadi debu!
Sementara tubuh Bayangan Hitam
masih menggelepar. Kali ini dari mata dan
duburnya mengeluarkan darah.
"Madewa...." rintihnya. "Bunuh,
bunuh saja aku. Jangan kau siksa
begini... ah!"
Madewa terus meniup serulingnya.
Orang sesat macam Bayangan Hitam biar
disiksanya dulu sebelum dibunuh. Tak ada
gunanya orang macam ini hidup. Tetapi
akhirnya Madewa menghentikan juga meniup
serulingnya. Tak tahan melihat lawannya
sudah merintih demikian.
Hati-hati dihampirinya lawannya
yang tengah sekarat. Sebentar lagi ajal
pasti menjemputnya.
Diperhatikannya topeng hitam yang
berwarna karena darah yang mengalir dari
seluruh wajah orang itu. Perlahan Madewa
membungkuk dan menarik topeng itu. Dia
terkejut. Mulutnya menganga. Dia kenal
wajah ini.
Wajah yang tak asing lagi!
Wajah Biparsena! Majikannya!
Orang itu ternyata memang
Biparsena. Murid durhaka yang berani
merebut pusaka dan membunuh gurunya
sendiri, Niniwulandari.
Megap-megap orang itu menatap
Madewa.
"Madewa... kau... ampunilah
dosa-dosaku..... Aku bersalah...
maafkanlah aku... aku tahu kau orang
gagah... ja-ja... jaga... jagalah Ratih
Ningrum dalam... dekapanmu.... Aku...
aku rela... aku... ah...."
Tubuh itu ambruk untuk selama-
lamanya. Madewa mendesah. Tak tahan dia
melihat siksaan yang terjadi pada bekas
musuhnya, juga majikannya.
Dengan gontai dia berdiri.
Menatap senja yang mulai berarak.
Tak terasa pertempuran itu memakan waktu
setengah hari.
Diperhatikannya satu per satu mayat
yang bergeletakan. Dia menguburkannya
dengan menahan haru dan air mata.
Ditatapnya tubuh Biparsena dan
Niniwulandari sebelum dikuburkan.
Orang-orang gagah yang mati dalam
kesesatan.
Setelah menguburkan keduanya,
Madewa menghampiri Pratiwi yang masih
pingsan. Dibalutnya lengan kiri wanita
itu yang buntung, agar darah tidak
mengalir terus.
Senja semakin turun.
Tak ada hukuman yang akan dijatuhkan
Biparsena padanya.
Tanpa menghiraukan Pratiwi lagi,
dia beranjak meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan dua tubuh yang dikebumikan.
Meninggalkan Pratiwi yang masih pingsan.
Dan meninggalkan sepotong harapan yang
diberikan Biparsena untuk menjaga
putrinya.
Dia tidak melangkah menuju rumah
Biparsena. Dia tidak ingin menemui Ratih
Ningrum. Tugas mendiang gurunya telah
diselesaikan. Dia ingin mencari ayahnya,
mendadak kerinduan itu muncul. Dan
dirasakan sebagai tugas selanjutnya. .
Tetapi dia juga berjanji, akan
menolong orang-orang yang lemah. Dia
akan membela kebenaran dan membasmi
kejahatan. Seperti janjinya pada
mendiang gurunya.
Dia cinta Ratih Ningrum. Tetapi dia
juga tahu, gadis itu ada yang menjaga.
Tiga pengawal Biparsena yang hebat.
Mukti, Patidina dan Tek Jien.
Biarlah nanti kalau ada waktu dia akan
menemui Ratih Ningrum. Tetapi untuk saat
ini tidak. Kalau dia bertemu dengan gadis
itu, mau tidak mau dia akan bercerita
tentang ayah gadis itu, tentang
kematiannya.
Biparsena yang mati di tangannya!
Madewa terus melangkah. Tak tahu
arah, tak tahu hendak ke mana. Madewa
hanya berpikir, ke mana kakinya akan
melangkah, dia akan mengikuti.
* * *
LIMA
Malam yang gelap dan dingin, membuat
orang merasa lebih senang dan aman berada
di rumah. Bercakap dan menghangatkan
tubuh di depan perapian bersama
keluarga.
Suasana di jalan itu hening. Tak
seorang pun yang kelihatan berkeliaran.
Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan
hitam dari satu atap rumah ke atap yang
lain. Gerakannya ringan. Dan langkahnya
cepat. Menandakan orang itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Di salah sebuah rumah di ujung
jalan, orarig itu berhenti. Kembali
dengan ringannya dia melompat turun. Dan
bersalto dua kali hingga sampai di
samping rumah.
Kelihatan dia terdiam, seperti
mengingat-ingat. "Hmm, benar ini rumah
yang diinapi pemuda bangsat itu.
Mudah-mudahan dia belum pergi. Aku harus
membalaskan dendam itu sekarang juga!"
Siapa sebenarnya orang itu? Kalau
dilihat dari gumamannya tadi, dia
memendam dendam kesumat yang amat dalam.
Dan dia telah bersumpah harus membalas
dendam itu sampai akhir hayatnya.
Orang itu tidak lain adalah
Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa
Penunggang Kuda, yang begitu dendam pada
Madewa Gumilang, pemuda yang tengah
dicarinya saat ini. Pemuda itu pernah
mengalahkannya setahun yang lewat.
Tetapi Wirapati tidak akan bisa tenang
sebelum membalas kematian kakak dan adik
seperguruannya, yang tewas di tangan
Madewa Gumilang. Dalam waktu setahun
itu, Wirapati bersembunyi. Berlatih ilmu
silat. Dan bisa di duga, kemajuan ilmu
silatnya sangat pesat sekali. Ilmu
meringankan tubuhnya pun semakin tinggi.
Dendam begitu membakarnya, sampai
dia bisa menciptakan ilmu silat yang
hebat sekali, yang dinamakannya jurus
Naga Menguak Langit dan ilmu pedang yang
tak kalah dahsyatnya, yang dinamakan,
ilmu pedang membelah mega!
Setelah dirasakannya bekalnya telah
cukup, Wirapati pun keluar dari
persembunyiannya. Dia mulai melangkah
mencari jejak Madewa Gumilang, pemuda
yang tak akan terlupakan selama
hidupnya. Hampir sebulan Wirapati tidak
menemukan jejek pemuda itu, sampai
akhirnya dia mendengar kalau di kota ini
ada seorang pemuda yang memiliki ilmu
pukulan bayangan sukma! Yang dengan
ilmunya itu telah menghancurkan
segerombolan perampok yang hendak
merampok rumah Tuan Abindamanyu, orang
yang terpandang di kota itu.
Wirapati berpikir, siapa lagi
orangnya yang memiliki ilmu pukulan
bayangan sukma selain Madewa alias murid
tunggal Ki Rengsersari, yang meninggal
akibat kabar bohong yang menimpa
dirinya.
Maka Wirapati pun mulai menyelidik
tentang adanya pemuda itu. Dan hasilnya
memuaskan. Memang benar, pemuda itu yang
telah menyebabkan kematian kedua saudara
seperguruannya. Dan pemuda itu selama
ini menginap di rumah Tuan Abindamanyu,
tuan hartawan yang telah ditolongnya.
Wirapati pun tak kuasa lagi
memendung dendamnya lama-lama. Dia mulai
mempersiapkan diri. Dan malam ini dia
menjalankan missinya.
Dengan langkah yang tetap ringan
malah seakan tak menginjak tanah,
Wirapati berkelebat mendekati pintu. Dia
sudah menghitung berapa banyaknya
pengawal Tuan Abindamanyu itu. Hanya
lima dan tampak seperti keroco yang hanya
mengandalkan tampang yang bengis dan
golok yang besar dan panjang.
Tidak sulit untuk melumpuhkan
mereka. Dia mengendap mendekati penjaga
yang berberewok tebal yang menjaga di
pintu masuk dari belakang. Dengan sigap
Wirapati mengambil sebuah batu kerikil
yang kecil. Disambitnya batu itu ke arah
penjaga, sedetik kemudian terlihat kalau
penjaga itu tersentak dan terdiam kaku.
Rupanya Wirapati menotok dari jauh
melalui kerikil itu.
"Benar-benar tidak sulit," gumamnya
seraya bersalto menghampiri penjaga di
pintu depan yang sedang tertawa-tawa
sambil menikmati kopi hangat. Rupanya di
bagian depan di tempatkan penjaga dua
orang. Dan keduanya tengah tertawa
kegirangan merasa nasib mereka sebagai
penjaga sangat baik.
Kali ini Wirapati langsung
berkelebat ke depan. Kedua penjaga itu
tak sempat berbuat apa-apa. Karena
tangan Wirapati sudah mengepit kedua
leher mereka. Terdengar tarikan nafas
dipaksakan.
Heiik!
Lalu kedua tubuh itu ambruk tak
bernyawa.
Wirapati berkelebat lagi. Tinggal
dua penjaga. Hmm, itu tidak sulit. Dia
harus masuk ke dalam rumah. Dengan
setengah berlari Wirapati memeriksa
setiap bagian yagn bisa dipakai untuk
masuk. Hmm, jendela di sebelah kanan
tampak sedikit terbuka. Keadaan dalamnya
pun terang. Wirapati mendekat. Dan
mengintip. Terlihat olehnya seorang
gadis manis tengah membaca buku di tempat
tidur. Cantik sekali. Dialah Nindia,
putri tunggal Abindamanyu yang
kecantikannya tersohor sekali. Selain
cantik, budi pekerti Nindia juga baik
sekali dinilai oleh orang sekitarnya.
Nindia tidak sombong seperti kebanyakan
anak-anak orang kaya yang lain. Dia mau
berteman dengan siapa saja, tak perduli
kaya atau miskin.
Wirapati melihat ke sana kemari
Tidak ada tanda-tanda orang yang datang.
Sementara Nindia tidak sedikit pun
melihat bahaya mengancam, dia terus
asyik dengan buku sastranya. Nindia
menggemari sastra-sastra. Tetapi begitu
bayangan hitam itu berkelebat masuk, dia
bangkit terkejut.
"Siapa kau?!" jeritnya. Tetapi
hanya itu yang sempat diucapkan, karena
tiba-tiba dia merasakan lidahnya sukar
untuk bicara. Wirapati telah menotok
urat suaranya!
"Jangan ribut, Nona! Kalau Nona
berisik, berarti Nona akan menemui
kematian!" ancam Wirapati bengis.
Tetapi Nindia masih mau berontak,
walau suaranya sukar untuk dikeluarkan.
Wirapati menjadi geram. Tangannya
melayang ke pipi gadis itu yang kontan
terjengkang ke ranjangnya.
Nindia mengaduh dalam hati. Dan
menangis ketakutan.
"Sudah kubilang, kau diam saja!
Atau... kau ingin kuhina, Nona. Biar
semua orang tahu, kalau gadis kesayangan
Tuan Abindamanyu, sudah tidak perawan
lagi!!"
Mendengar ancaman yang mengerikan
itu, Nindia terdiam. Tetapi air matanya
jatuh satu per satu. Dia menyesal mengapa
jendela kamarnya tidak ditutup. Padahal
ayahnya selalu berpesan sejak terjadinya
peristiwa perampokan yang gagal itu
karena ada Madewa Gumilang yang menolong
mereka.
Wirapati mendekatkan wajahnya ke
wajah Nindia yang ketakutan setengah
mati. Tangannya bergerak, membebaskan
totokannya pada urat suara Nindia.
"Jangan ribut, atau kuperkosa kau!
Sekarang jawab pertanyaanku, di mana
pemuda yang telah menolong kalian!"
"Oh... dia... dia," desis Nindia
takut-takut.
"Jawab yang benar!"
"Dia... dia baru saja pergi tadi
sore...."
"Hah?" potong Wirapati terkejut.
Sia-sia kalau begini kedatangannya. "Ke
mana dia pergi?!"
"Ka... kami tidak ada... yang tahu,
karena... pemuda itu aneh... katanya
dia... hendak merantau lagi...."
"Bangsaaat!!" Wirapati menggeram
jengkel. Belum lagi dia berkata apa-apa,
terdengar jeritan dari laur,
"Pembunuhan! Pembunuhan!"
Wirapati bergerak sigap. Ia menotok
tubuh Nindia yang seketika menjadi
lemas. Cepat dibopongnya tubuh yang
montok itu. Sebelum pergi dia menggigit
ujung jari telunjuknya hingga berdarah.
Lalu dangan darah itu dia menulis di
cermin yang ada di depan meja rias
Nindia.
KALAU INGIN MENEMUI PUTRIMU, SURUH
MADEWA GUMILANG MENEMUIKU DI TANAH
GENTING SEBELAH TIMUR LAUT SELATAN
WIRAPATI.
Setelah menulis itu dia melompat ke
luar. Walaupun membawa beban, sedikit
pun dia tak kelihatan repot. Malah seakan
tak membawa apa-apa Wirapati berkelebat
menghilang. Melompat dari atap yang satu
ke atap yang lain. Lalu menghilang di
telan malam bersama tubuh Nindia.
Keadaan di rumah Abindamanyu
menjadi kacau. Tuan rumah itu keluar
dengan cepat bersama istrinya begitu
mendengar seruan penjaganya tentang
pembunuhan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada
dua penjaganya itu.
"Jaka dan Topa kami temukan mati,
Tuan!" sahut penjaganya yang bertubuh
lebih pendek dari yang satu. Dia bernama
Dika.
"Kenapa bisa begini?" tanya
Abindamanyu tak mengerti.
Belum lagi Dika menjawab, penjaga
kebun berlari-lari dari belakang, "Tuan,
Kang Depa berdiri kaku di belakang! Saya
tidak bisa membua-nya bergerak lagi!"
Teman Dika yang satu langsung
berlari ke belakang. Dia membebskan Depa
dari totokan itu. Semula sukar sekali dia
menemukan di mana totokan itu. Tapi
akhirnya ketemu. Di urat yang berada di
dada sebelah kanan. Kalau saja totokan
itu langsung dilakukan melalui melalui
tangan, bukan melalui batu, pasti orang
itu tidak akan bisa membebaskan Depa.
Depa mengeliat. Lalu mengucapkan
terima kasih pada temannya.
"Apa yang terjadi, Depa?"
"Seseorang yang berbaju serba hitam
menyerangku, Kang Raga."
"Siapa?" dengus Raga memburu. Dia
nampak geram sekali melihat semua ini.
Tadi dia dan Dika sedang mengontrol
bagian luar rumah sehingga tidak
mengetahui semua ini. Dan baru tahu
setelah melihat tubuh Jaka dan Topa yang
tergeletak dengan lidah menjulur.
Diketahui kalau keduanya mati tercekik
dan belum lama, karena tubuh mereka masih
hangat.
"Aku tidak tahu, Kang Raga. Memang
apa yang telah terjadi di sini?"
"Jaka dan Topa diketemukan mati!"
"Oh, Tuhan!" Tanpa banyak tanya
lagi, Depa melesat ke depan lalu Raga
menyusul. Benar kata Raga, kedua
temannya itu mati dan di sana sudah ada
tuan rumah berserta istrinya yang
wajahnya pucat bukan main. Mungkin
terpukul melihat mayat itu dan terkejut
yang amat sangat.
Tuan Abindamanyu menyuruh tiga
orang pengawalnya mengangkat tubuh Jaka
dan Topa, lalu menenangkan istrinya
dengan jalan memeluknya.
Tapi tiba-tiba istrinya memberontak
dan seraya berlari ke dalam dia menjerit,
"Anakku?!" Di mana anakku, Nindia!!"
Serentak mereka terkejut. Dan
langsung mengikuti nyonya rumahnya
masuk. Dari dalam kamar Nindia terdengar
jeritan kaget dan panik istri tuannya.
Abindamanyu memburu dengan cepat dan
menemukan tubuh istrinya yang jatuh
pingsan dengan tangan tertunjuk ke
cermin.
Sambil memeluk tubuh istrinya,
Abindamanyu menoleh ke cermin. Terlihat
dan terbaca tulisan berdarah yang sudah
agak mengering itu. Dia menghela nafas
panjang, tubuhnya mendadak lemas.
Anaknya hilang diculik oleh orang yang
mengaku bernama Wirapati!
Lagi-lagi dia menghela nafas
panjang. Wajahnya kuyu dan lemah. Semua
ini terjadi karena orang itu mencari
Madewa Gumilang! Sedikit yang
disesalkannya, kenapa Madewa pergi
sebelum kejadian ini terjadi.
Pengawalnya yang berdesakan masuk,
melihat kedua tuan rumahnya dalam
keadaan menunduk, sementara istri
tuannya jatuh pingsan dalam rangkulan
suaminya.
Mereka sadar, kalau putri Nindia
tidak ada di tempat. Dan baru jelas
setelah membaca tulisan berdarah di
cermin.
Raga melangkah ke depan. Menghormat
pada tuannya, "Tuan Abindamanyu, jika
persoalan ini menyangkut nama Dik Madewa
Gumilang, ada baiknya kalau sekarang
juga saya mencarinya. biar kita tahu apa
yang menjadi masalah ini dan biar dia
yang menyelesaikan semuanya, karena dari
tulisan itu jelas diketahui kalau ada
sangkut paut antara Madewa dengan
Wirapati yang pasti suatu dendam lama!"
Abindamanyu tidak bisa berkata-kata
lagi. Dia hanya mengangguk saja. Dan
mencium wajah istrinya yang terkulai
lemas seraya memanggil nama putrinya
lemah, "Nindia...."
Malam itu juga Raga cepat berangkat
setelah memerintahkan pada dua orang
temannya untuk menjaga di tempat itu
dengan baik dan menyuruh mereka
mengerahkan tukang kebun dan penjaga
kuda agar tidak tidur semalam suntuk ini.
Raga berjanji, sebelum matahari
esok terbit, dia sudah kembali bersama
pemuda yang bernama Madewa Gumilang.
Dengan cepat dia berlari ke kudanya dan
menggeprak punggung kudanya sehingga
kuda itu melompat dengan menyentak.
Bersamaan dengan itu, di suatu
tempat yang jauh dari kota itu, di sebuah
rumah besar terdengar bentakan dan
seruan keras seorang perempuan. Kalau
dilihat sekilas nampak seperti
marah-marah dan ketakutan. Tetapi kalau
dilihat dari dekat, jalas sekali gadis
itu tengah berlatih silat.
Gerakannya mantap dan kukuh.
Tenaganya pun besar. Di dekatnya
berlatih berdiri tiga orang laki-laki
yang memperhatikan. Merekalah guru dari
gadis cantik itu. Masing-masing guru
mempunyai kebiasaan sendiri. Dan mereka
dengan sukahati dan serempak menurunkan
ilmu mereka pada gadis itu, yang
menjadikan murid kesayangan mereka.
Selain cantik, kemauan gadis itu
besar untuk bisa menguasai ilmu yang
diajarkan ketiga gurunya.
Laki-laki yang berdiri agak kiri,
seorang laki-laki yang tegap. Orang itu
memakai baju hitam dan berselempang dua
buah pedang di punggungnya. Orang itu
adalah Mukti yang berjuluk si Pedang
Kembar.
Di sebelahnya berdiri orang yang
mamakai pakaian keraton, dialah Patidina
si keris tunggal.
Dan yang terakhir memakai celana
hitam gombrang tanpa baju. Orang itu ada
keturunan Cina, matanya sipit. Wajahnya
dingin. Dialah Tek Jien, si Pukulan
Seribu.
Mereka adalah tiga pengawal Pribadi
dari Biparsena (baca : Pusaka Dewa
Matahari). Sedangkan gadis yang menjadi
murid mereka tak lain adalah Ratih
Ningrum. Putri tunggal Biparsena. Yang
sekarang semakin nampak kecantikan dan
kemolekkannya. Juga perubahan pada
bentuk tubuhnya.
Bentuk tubuh yang padat dan indah,
semakin menarik karena banyak bergerak.
Dalam gerakan ilmu silat, terdapat gerak
senam yang harus dikuasai oleh setiap
pendekar.
Dan senam itu semakin membuat
keindahan tubuh Ratih Ningrum.
Peristiwa setahun yang lalu masih
terbayang di benak Ratih Ningrum.
Kejadian yang menimpa dirinya dan
Madewa. Madewa dulu adalah kekasihnya,
tetapi sekarang ini entah dia berada di
mana. Waktu itu Ratih Ningrum tidak tahu
apa sebabnya Madewa meninggalkannya. Dan
akhirnya dia tahu, sebelum ayahnya
pergi, ayahnya pernah bilang, kalau dia
tidak boleh berhubungan dengan Madewa,
karena dia telah dijodohkan oleh
Buntoro, adik seperguruan ayahnya dari
guru Niniwulandari. Tentu saja Ratih
Ningrum terkejut, tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Karena ayahnya pantang di-
tentang. Sesudah itu ayahnya pergi
keluar, katanya mau mencari angin.
Dan setelah itu ayahnya tidak pernah
pulang ke rumah. Tidak ada kabarnya pula
sedikit pun. Baru kemudian diketahui di
dekat sungai hitam ditemukan dua buah
kuburan yang masih kelihatan baru. Ratih
Ningrum curiga dengan kuburan itu. Dia
menyuruh membongkar kembali kuburan itu.
Dan bukan main terkejutnya dia ketika
diketahui kalau dua buah mayat itu adalah
mayat ayahnya dan Niniwulandari.
Perasaan Ratih Ningrum saat itu
menjadi kacau balau. Lalu didengarnya
pula telah diketemukan mayat Buntoro.
Ratih Ningrum tetap tidak tahu apa yang
telah terjadi.
Pikirannya semakin kalut, apalagi
tidak ada Madewa Gumilang di sisinya,
ketika tempat 'kupu-kupu cantik' ayahnya
porak poranda, karena tidak ada yang
membiayainya. Ratih Ningrum terkejut,
karena dia baru tahu sekarang kalau
ayahnya mengelola tempat itu.
Lalu dia menyuruh tiga orang
pengawal ayahnya yang setia membubarkan
tempat itu dan membakar hanguskannya,
sementara masing-masing penghuni diberi
biaya sedikit untuk hidup.
Setelah itu keadaan Ratih Ningrum
semakin parah. Akhirnya Mukti, si Pedang
Kembar, menyarankan kepada kedua
temannya untuk menghibur Ratih Ningrum
dengan jalan mengajarkannya permainan
ilmu silat. Kedua temannya sepakat. Lalu
mulailah mereka menggembleng Ratih
Ningrum, yang mau mengikuti saran dan
usul mereka.
Kelihatan sekali kalau Ratih
Ningrum begitu berbakat. Dan sedikit
demi sedikit dia menguasai ilmu yang
diturunkan oleh ketiga pengawalnya yang
sekarang menjadi gurunya. Dia juga mulai
melupakan kesedihan yang menimpanya.
Sekarang ini, masing-masing guru
tengah melihat kelihaian dan kematangan
ilmu silat Ratih Ningrum. Benar-benar
mengagumkan. Sepasang tongkat kayu yang
dimainkan Ratih Ningrum, sungguh hebat
sekali. Keduanya bergerak bergantian,
saling mengisi tempat yang kosong.
Begitu pula ketika dia memainkan
jurus keris tunggal dengan menggunakan
sebatang kayu. Benar-benar pesat ilmu
silat yang dimiliki Ratih Ningrum.
Gadis itu kelihatan begitu tegar
sekarang. Begitu kukuh dan mengagumkan.
Selain cantik, ilmu silatnya pun dalam.
Dari Tek Jien, dia menerima ilmu tangan
kosong pukulan tangan seribu dan ilmu
meringankan tubuh yang dikuasainya
dengan sempurna. Mungkin kalau gurunya
melawan dia, belum tentu mereka
menguasai muridnya. Karena muridnya
menguasai ilmu ketiganya, sedangkan
gurunya hanya menguasai ilmu yang
diturunkan pada muridnya saja.
Ratih Ningrum sudah selesai
memainkan ilmu pedang kembarnya dengan
baik. Wajahnya yang cantik terlihat
semakin cantik dengan tubuh berpeluh dan
wajah agak berkeringat. Riap-riap
rambutnya basah kena keringat.
Ketiga gurunya bertepuk tangan
dengan kagum.
"Bukan main! Kau menguasai ilmu
pedang kembar dengan baik, Ratih!"
Ratih Ningrum menjura. Sikapnya
menghormat. "Terima kasih, Paman Mukti.
Kalau tidak Paman ajarkan, apakah
bisanya saya? Demikian pula dengan Paman
Patidina dan Paman Tek Jien. Saya
menghaturkan beribu terima kasih." Tek
Jien tertawa sambil menggoyang-goyang-
kan tangannya.
"Tak perlu berterima kasih, sudah
sepatutnya kami mendidikmu. Hari sudah
larut malam, sebaiknya kamu masuk saja,
Ratih. Beristirahatlah dengan tenang."
Ratih Ningrum menjura lagi. "Maaf,
Paman. Sebenarnya ada yang hendak saya
bicarakan dengan Paman sekalian."
"Apakah itu, Ratih?" tanya Patidina.
"Sekali lagi maaf, Paman. Sebenarnya,
telah lama keinginan saya ini muncul..."
"Keinginan apakah gerangan itu,
Ratih?" Ratih Ningrum tertunduk tersipu.
Wajahnya mendadak semburat merah. Dengan
malu-malu dia berucap, "Sa... saya ingin
mencari Kang Madewa, Paman."
"Oh!" seruan itu terdengar
bersamaan dari mulut ketiga gurunya.
Rupanya gadis itu masih ingat dengan
pemuda yang telah pergi, yang telah
membawa sebagian hatinya bersama
kepergiannya itu. Mukti menyambung,
"Lalu maksudmu apa, Ratih?"
"Sa... saya, minta izin paman
sekalian, untuk mengizinkan saya mencari
Kang Madewa. Saya ingin melihat dunia
luar, Paman. Telah lama saya tidak
berjalan-jalan. Keinginan itu pun akan
saya laksanakan kalau Paman sekalian
mengizinkan. Karena Paman bertigalah
yang saya anggap sebagai pelindung dan
penganti orang tua saya...."
Ketiga gurunya saling berpandangan.
Tak ada yang bersuara, Ratih Ningrum
menunggu tegang. Tetapi jika tidak
diizinkan dia tidak akan memaksa dan
memberontak. Dia akan tetap menurut. Dan
menuruti apapun yang akan dikatakan
ketiga gurunya itu.
Tek Jien mengangkat wajahnya,
menatap Ratih Ningrum. Lalu katanya
lembut, "Ratih, sebaiknya kau masuk saja
ke dalam. Malam semakin larut. Tentang
izin yang kau inginkan itu, bisa kau
dengan besok pagi. Masuklah."
Ratih Ningrum menjura lagi. Lalu
melangkah perlahan ke dalam. Tetapi kali
ini langkahnya kelihatan mantap dan
kukuh bertanda bukan gadis yang cengeng
lagi dia, melainkan gadis yang tegar dan
mampu bermain silat dengan cemerlang!
Sementara itu ketiga gurunya
meneruskan percakapan mereka sambil
merundingkan permintaan Ratih Ningrum.
Sampai ayam berkokok mereka baru masuk ke
dalam. Dan telah menemukan sebuah
keputusan!
Keesokan harinya, seperti biasa
Ratih Ningrum bangun. Mandi. Berpakaian
lalu makan. Pelayan-pelayannya masih
setia kepadanya. Hanya dua orang yang
berhenti, itu pun dia tidak tahu ke mana.
Yang satu adalah Genda, penjaga kuda yang
kita ketahui meninggal di tangan Pratiwi
alias Selendang Merah. Yang satunya
lagi, adalah Manggada, penjaga kebun
yang minta berhenti tanpa menjelaskan
maksudnya. Ratih Ningrum hanya
mengabulkan saja, tanpa banyak tanya.
Sedangkan yang lain, tetap seperti yang
dulu.
Selesai makan, dia melangkah ke
ruang samping. Beristirahat dulu
sebenar, lalu mulai melatih ilmu
silatnya. Kali jni ia memainkan jurus
pukulan tangan seribu yang diwariskan
oleh Tek Jien. Pukulan itu mantap sekali
dimainkan Ratih. Tak ada celanya sedikit
pun. Malah terlihat lebih mantap
daripada Tek Jien sendiri.
Lalu ia melompat ke sana kemari,
melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Wuttt!
Dia melompat ke atas dan langsung
bersalto ke belakang. Begitu hinggap di
tanah, langsung melompat kembali seolah
di bawahnya ada per yang membuatnya
melompat. Begitu seterusnya. Ratih
Ningrum tak puas-puasnya berlatih.
Sebenarnya dalam hati kecilnya,
keinginan untuk mencari Madewa hanya
alasan saja kepergiannya. Sebenarnya dia
ingin mencari pembunuh ayahnya. Sampai
saat ini dia tidak tahu siapa pembunuh
ayahnya dan apa penyebabnya.
Ratih Ningrum hanya mendengus,
pembunuh ayahnya adalah Pratiwi si
Selendang Merah, yang dia tidak tahu di
mana wanita itu berada.
Begitu selesai berlatih, terdengar
tepukan dari samping. Ratih Ningrum
menoleh dan langsung menjura hormat.
Ketiga gurunya sudah berada di sana.
Lengkap dengan senjata mereka, kecuali
Tek Jien yang memang hanya berkosong
tangan. "Selamat pagi, Guru sekalian!"
"Selamat pagi, Ratih! Pukulan tangan
seribumu sudah sempurna sekali," kata
Tek Jien memuji.
"Terima kasih, Paman."
Mukti melambaikan tangannya,
menyuruh Ratih Ningrum mendekat.
Perlahan gadis itu melangkah. Mendadak
dadanya berdebar, melihat keseriusan
wajah Mukti.
"Ada apa, Paman?"
"Ratih... pagi ini kau akan
mendengar apa yang menjadi jawaban kami
atas keinginanmu Untuk merantau
sekaligus mencari Madewa Gumilang."
Semakin berdebar dada Ratih Ningrum
mendengar itu. Tetapi dia nampak tenang,
tidak menampilkan wajah yang tegang.
"Tetapi kami harap, kau tegar
mendengar semua ini. Kau tidak boleh
marah atau kecewa mendengar keputusan
kami. Kau bersedia, Ratih?"
Ratih Ningrum menganggtik mantap.
"Apa pun keputusan Paman sekalian, akan
saya terima dengan senang hati. Bukankah
kemarin malam saya pun mengatakan yang
demikian?"
"Kami memang mendengarnya, Ratih.
Tapi kami ingin lebih meyakinkan diri.
Baiklah, sekarang dengarkan keputusan
kami. Kalau memang niatmu hanya untuk
merantau dan mencari Madewa Gumilang,
kami semua mendukung dan... menyetujui
keinginanmu," sampai di situ Muktu
berkata, wajah Ratih Ningrum berseri-
seri. Sambil tersenyum si Pedang Kembar
melanjutkan, "Untuk itu, kami bertiga
telah sepakat untuk membekali
kepergianmu."
Kali ini kening Ratih Ningrum
berkerut. Bekal? Bukankah sudah cukup
bekal ilmu yang diberikan ketiga gurunya
padanya? Dia yakin, dia mampu membela
diri dari setiap serangan yang datang.
Ah, lagipula, belum tentukan akan adanya
serangan itu?
Seperti mengetahui jalan pikiran
Ratih Ningrum, Mukti berkata lagi, "Kami
bertiga yakin, kamu mampu menjaga diri.
Tapi kami akan tetap memberimu bekal,
walaupun bekal itu tidak seberapa
besarnya."
Bekal uangkah? Kalau memang iya,
Ratih Ningrum bersiap akan menolak. Dia
masih punya uang simpanan yang banyak.
Lagipula, warisan ayahnya begitu
melimpah ruah. Lalu apa gerangan bekal
itu?
"Ratih, bekal itu kami minta agar
kau menjaganya. Dan gunakanlah untuk
kebaikan, karena kami tidak ingin bekal
ini, ternodai oleh darah kejahatan."
Ratih Ningrum akhirnya mencetuskan
keheranannya, "Paman, sejak tadi Paman
hanya menyebutkan bekal, tanpa
memberitahu bekal apa yang hendak Paman
bekalkan padaku."
Mukti tersenyum. Melirik Patidina,
yang terlihat mengangguk. "Baiklah,
Ratih," kata Mukti seraya meloloskan
sepasang pedang kembarnya. "Ini yang
kumaksudkan dengan bekal itu. Terimalah
sepasang pedang kembarku, yang telah
lama ada bersamaku dengan setianya. Hei,
terimalah!"
Ragu-ragu Ratih Ningrum mengambil
bekal itu. Dia tidak menyangka kalau itu
yang akan diberikan oleh guru-gurunya.
Begitu pula dengan Patidina, dia
menyerahkan keris tunggalnya. Rupa-
rupanya Tek Jien tidak mau kalah. Setelah
semalam mereka mencapai keputusan untuk
membekali Ratih Ningrum dengan senjata
masing-masing, Tek Jien mengambil sumpit
beracunnya, yang telah lama disimpan.
Sumpit itu pun diberikannya pada Ratih
Ningrum, yang menerima kesemuanya dengan
sukacita. Matanya mengembang bening.
Terharu. Begitu cinta nampaknya ketiga
gurunya padanya. Guru yang dulu sebagai
pengawal!
Setelah menerima kesemua itu, Ratih
Ningrum berlutut.
"Paman, terima kasih atas bekal yang
Paman sekalian berikan. Saya berjanji,
akan menjaga bekal ini dengan baik, dan
tidak akan menodainya dengan kejahatan."
"Bagus!" kata Mukti. "Kapan Kau akan
berangkat?"
"Kalau bisa, ketika matahari
sepenggalah saya sudah meninggalkan
rumah."
"Begitu cepat?" tanya Mukti agak
kaget.
"Karena lebih cepat lebih baik
Paman."
Mukti menghela nafas panjang.
"Baiklah, persiapkanlah dirimu dengan
baik. Kalau bisa, ada baiknya kau
menyamar sebagai pria dan kalau bisa
gantilah namamu."
"Baik, Paman."
Setelah memberi hormat, Ratih
Ningrum berlari ke kamarnya. Dia segera
mempersiapkan segala sesuatunya dengan
baik. Dia juga merias dirinya menjadi
seorang pria. Kumis tipis dipakainya
untuk menyempurnakan samarannya. Ketika
dia keluar lagi, ketiga gurunya agak
terkejut, karena seorang pria keluar
dari kamar Ratih Ningrum!
Serentak mereka menyebar dengan
sigap. Berdiri dengan sikap mengurung.
Tentu saja Ratih Ningrum yang sudah
menyamar itu menjadi keheranan.
"Hei, Paman? Kenapa Paman bertiga
mengurung saya?"
Mendadak ketiga gurunya tersipu.
Rupanya Ratih Ningrum. Sungguh pekerjaan
yang cepat. Disuruh menyamar, saat itu
pula dia menyamar. Dan dalam hati mereka
tahu apa penyabab Ratih berbuat segala
sesuatunya dengan cepat. Dia ingin
buru-buru bertemu dengan sang pujaan!
Patidina cepat-cepat memperbaiki
sikapnya, juga dengan yang lain. Ia
memandang Ratih dengan penuh kasih
sayang, seperti orang tua yang hendak
ditinggal pergi oleh anaknya. Dan kali
ini benar-benar dirasakan demikian oleh
Patidina.
"Hati-hati Ratih. Pesan Paman,
hati-hatilah dalah bertindak. Jangan
sembarangan menjatuhkan tangan. Dan
ingat, kau harus segera kembali setelah
bertemu dengan Madewa Gumilang!"
"Baik, Paman. Pesan Paman akan saya
laksanakan. Seperti kata saya tadi
Paman, saya akan berangkat sebelum
matahari sepenggalah."
Ketiga gurunya menatap terharu.
Perlahan Ratih Ningrum mengangkat
buntelannya di pundak. Sikapnya seperti
seorang pria sejati! Dengan sepasang
pedang di punggung. Keris di pinggang dan
sumpit di dalam buntelan, Ratih merasa
cukup bekalnya untuk pergi. Untuk
mencari pembunuh ayahnya!
Langkahnya pun mulai beranjak. Ia
menjura lagi. "Selamat tinggal, Paman
sekalian! Saya berharap kita bisa
bertemu lagi."
Tak ada yang bersuara. Ketiga
gurunya melambaikan tangan. Tanpa
diminta oleh Ratih untuk menjaga rumah
warisan mendiang ayahnya, ketiga gurunya
itu mempunyai kewajiban untuk
menjaganya.
Ratih Ningrum membalas lambaian
itu. Dan melangkah perlahan. Hatinya
riang merasa lepas dari rumah yang
membuatnya teringat akan kejadian yang
lalu.
Namun dalam hati kecilnya, dia
merasa bersalah. Telah membohongi ketiga
gurunya tentang kepergiannya. Yang tak
lain dan tak bukan, hendak mencari siapa
pembunuh ayahnya!
"Maafkan saya, Paman sekalian...."
Suaranya bersatu dengan desir
angin.
* * *
TUJUH
Derap kuda itu memecah kesunyian.
Paman yang tengah membakar ikan menjadi
bersiaga. Tetapi dia tidak berusaha
bersembunyi. Sikapnya wajar. Malah dia
seperti menunggu orang yang berkuda itu
mendekat.
Tiba-tiba orang yang berkuda itu
menghentikan laju kudanya. Hidungnya
mencium asap wangi yang enak, yang
langsung membuat perutnya menagih. Orang
itu baru ingat, sejak tengah malam dia
berkuda dan belum sekali pun istirahat,
apalagi makan.
Dia langsung tururi mencari sumber
bau wangi itu. Tak jauh dari tempatnya
berhenti, terlihat asap mengepul. Dia
langsung mendekati tempat itu, dengan
sedikit harapan agar kiranya yang
membakar ikan itu mau membaginya sedikit
untuk mengganjal rasa laparnya. Dengan
harapan itu, dia mendekat.
"Selamat pagi, Tuan." " Pemuda yang
sedang membakar itu menoleh sambil
tersenyum. Tetapi mendadak senyumnya
hilang dan berubah menjadi keterkejutan.
Demikian pula dengan tamu yang baru
datang itu. Matanya terbelalak.
"Tuan Madewa!"
"He, Raga! Ada apa kau kemari?!"
tanya pemuda yang tak lain adalah Madewa
Gumilang. Sebenarnya sehabis makan dia
akan melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi
menunda karena yang datang adalah
pengawal Tuan Abindamanyu.
Raga seperti kejatuhan bulan.
Hampir setengah malam dia mencari pemuda
itu sehubungan dengan penculikan Nindia,
tak tahunya pemuda itu berhasil ditemui.
Dia hampir putus asa. Seperti janjinya,
akan kembali sebelum matahari terbit!
Dia buru-buru menghormat, "Kiranya
Tuan Madewa ada di sini..."
"Duduk yang baik, Raga. Ceritakan,
kenapa kau sampai ke tempat ini? Kalau
dilihat dari bicaramu tadi, kau memang
seperti mencariku. Ada apa gerangan?"
Raga buru-buru bercerita tentang
kejadian yang menimpa keluarga
majikannya setelah pemuda itu pergi.
"Sekarang Nona Nindia diculik, Tuan. Dia
berada di dalam kekuasaan penculik
itu.... Sebelum pergi penculik itu
menulis dengan tetesan darahnya, kalau
kami ingin mencari Nona Nindia, harap
menemuinya di tanah genting sebelah
timur laut selatan. Tulisan itu
ditujukan kepada Tuan Madewa, karena
nampak orang itu mendendam kepada Tuan."
"Siapa nama penculik itu?"
"Wirapati."
"Wirapati?" Kening Madewa berkerut.
Lalu terbayang kejadian setahun yang
lalu, ketika dia mengalahkan Tiga Dewa
Penunggang Kuda. Sebelum Wirapati
meninggalkan tempat itu, masih dingatnya
benar akan seruan Wirapati, "Ingat,
Madewa! Aku akan datang menuntut balas!"
Dan rupa-rupanya dia benar-benar tidak
melupakan seruannya itu.
Madewa menjadi tidak enak hati.
Putri Tuan Abindamanyu dalam kesulitan
gara-gara persoalannya. Lalu ia mengajak
makan Raga. Setelah itu dengan
membonceng kuda Raga, mereka kembali ke
rumah Abindamanyu.
Jelas Abindamanyu merasa gembira.
Tadi dia sudah cemas karena Raga belum
kembali seperti yang dijanjikannya.
Tiba-tiba dia mendengar derap kuda, dia
langsung bangkit menyambut. Kiranya
tepat dugaannya, Raga dengan Madewa
Gumilang!
"Oh, Tuan Madewa!" serunya
sukacita. Madewa turun dengan gerakan
ringan. "Maafkan saya, Tuan Abindamanyu.
Karena persoalan saya, Tuan sekalian
dalam kesulitan," katanya sambil
menjura.
"Oh, tidak-tidak apa-apa. Hanya
yang kurisaukan, masalah putriku. Aku
tidak ingin dia dihina oleh orang yang
mengaku bernama Wirapati. Oh... mari
silahkan masuk!"
Kedua orang itu masuk ke dalam.
Abindamanyu bertepuk tiga kali. Lalu
keluar pelayan dengan hidangan yang
enak. Sambil mempersilahkan Madewa
mencicipi hidangan itu, Abindamanyu
memanggil istrinya, yang keluar dari
kamar dalam keadaan kuyu dan sembab
matanya. Rupanya dia terus menerus
memikirkan nasib putri tunggalnya.
"Maafkan saya, Kakak Nadia," kata
Madewa seraya berdiri hormat.
Nadia menghapus air matanya. Ia
berusaha tersenyum, namun terasa sekali
kalau dipaksakan.
"Itu bukan salahmu, Dik Madewa.
Mungkin itu sudah nasib adikmu, Rayi
Nindia."
Madewa tersenyum mendengar perka-
taan Nadia yang mencerminkan jiwa yang
tabah. Abindamanyu menyuruh Madewa
menceritakan masalahnya terhadap
Wirapati.
Dengan hati-hati Madewa menceri-
takan peristiwa yang dihadapinya dulu.
Setelah mendengar cerita itu, Abin-
damanyu mengangguk-angguk.
"Sekali lagi saya tidak menyalahkan
masalahmu, Adik Madewa. Tetapi sebagai
seorang ayah, saya amat mengkhawatirkan
keselamatan putriku...."
"Saya akan berusaha mencari putri
Nindia, Tuan Abindamanyu." kata Madewa
mantap.
"Kalau itu memang keinginanmu, saya
tidak melarang. Dan ingat Madewa, kau
jangan merasa dipaksa olehku... walau
ini agak merupakan paksaan. Pasti kau
mengerti, bagaimana galaunya perasaan
seorang ayah terhadap putrinya, yang
tidak tahu di mana rimbanya."
"Saya mengerti, kakang. Dan saya
memang berniat hendak menyelesaikan
masalah dengan Wirapati. Dalam
kesempatan ini saya juga akan berusaha
mencari dan menyelamatkan Putri Nindia."
Nadia menghapus air matanya. Wanita
setengah baya itu menatap Madewa penuh
harap, "Dik Madewa... temukanlah
putriku. Bawalah dia kepadaku...."
"Saya akan berusaha memenuhi
harapan kakak Nadia. Untuk itu, saya
tidak perlu berlama-lama lagi di sini.
Saya mohon pamit dan mohon doa agar
berhasil menyelesaikan masalah ini."
Abindamanyu berdiri. "Kenapa harus
terburu-buru?"
"Semakin cepat, akan semakin baik.
saya mohon diri," kata Madewa seraya
mundur. Lalu menghormat sekali lagi. Dan
melompat ke belakang.
Wutt!
Seperti terbang begitu saja. Dan
menghilang.
Abindamanyu dan istrinya memandang
kagum. Diam-diam dalam hati keduanya,
akan menjodohkan Madewa dengan putri
mereka kalau berhasil diselamatkan.
Begitu meninggalkan rumah
Abindamanyu, Madewa melangkah ke arah
timur. Dia hendak langsung menyusul ke
tanah genting, tempat yang diinginkan
Wirapati bertempur dengannya.
Tanah genting itu sungguh sukar
sekali dicapai. Orang sudah tahu, kalau
yang nekat berani datang ke sana, hanya
maut taruhannya. Karena di sana-sini
banyak tempat yang berbahaya. Belum lagi
lumpur hidupnya yang penuh dengan
lintah.
Tempat yang mengerikan! Dan hanya
orang-orang yang mati saja yang ingin
datang ke sana.
Namun Madewa tak gentar mendengar
semuanya itu. Dia hanya bertekad untuk
menyelesaikan masalahnya dengan
Wirapati. Dan menggembalikan putri
Nindia secara utuh pada Abindamanyu,
orang kaya yang pernah ditolongnya dari
perampokan.
Wirapati benar-benar menepati
ucapanya dulu. Dia akan datang lagi
menuntut balas. Menuntut kematian dua
saudara seperguruannya.
Pasti kepadaian Wirapati semakin
maju, Orang macam Wirapati sudah tidak
memikirkan kehidupan. Di benaknya hanya
ada satu pikiran, menuntut balas!
Dan bunuh orang itu!
Mendadak Madewa menghentikan
langkahnya. Di depannya terjadi
keributan. Beberapa orang berpakaian
lengkap seperti pengawal istana sedang
mengolok-olok seorang pengemis yang
duduk ketakutan di bawah sebatang pohon.
Wajah pengemis itu pias dan pucat.
Rupanya pengemis itu kelaparan dan
hendak memasuki sebuah rumah makan yang
mewah. Namun oleh penjaga rumah makan itu
tidak diizinkan, karena hanya
orang-orang terpandang saja yang boleh
memasuki rumah makan itu.
Dan orang-orang yang berpakaian
seperti pengawal istana itu tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
mengganggu si pengemis. Mereka
beramai-ramai mengolok-olok dengan
kata-kata yang tidak sopan. Kelihatan
mereka orang-orang yang berkuasa. Karena
orang-orang di sana diam saja, tak ada
yang berani menolong pengemis itu.
"Hei, Gembel busuk!" bentak yang
kurus tinggi dengan codet di sebelah pipi
kiranya. "Kau tidak pantas masuk ke rumah
makan! Makananmu cukup hanya sampah yang
busuk itu!"
Kata-katanya disambut oleh yang
lain. Jumlah orang-orang itu ada
delapan. Lengkap dengan senjata pedang
masing-masing. Madewa jadi geram
mendengarnya. Benar-benar tidak
berperikemanusiaan orang-orang itu.
Namun ia menunggu sampai di mana prilaku
orang-orang itu terhadap si pengemis.
"Kalau ingin makan, nih ambil!" kata
yang seorang lagi seraya melempar
bungkusan.
Rupanya pengemis itu benar-benar
kelaparan. Dia langsung menubruk
bungkusan yang dilempar tadi. Namun
sebelum sampai pada sasarannya, orang
tadi menendang bungkusan itu ke samping.
Si pengemis berusaha untuk mengambilnya.
Namun di tendang lagi. Begitu
seterusnya. Sampai si pengemis kelelahan
dan ludahnya berceceran saking tak
kuatnya menahan lapar. Sementara
orang-orang itu tertawa kegirangan,
merasa mendapat mainan yang mengasyikan.
Madewa menggeram jengkel. Dia akan
membereskan persoalan itu. Tetapi
tiba-tiba meloncat bayangan ringan ke
dekat pengemis itu, yang langsung masuk
ke lingkaran para pengawal.
Bayangan yang berkelebat itu,
seorang pemuda yang perkasa. Tubuhnya
tegap. Dia memakai caping yang bagus
sekali. Pemuda itu menolong sang
pengemis. Lalu memberinya makanan dari
bekal yang dibawanya.
Hal itu membuat orang-orang yang
mempermainkan pengemis tadi menjadi
marah. Salah seorang membentak, "Hei,
siapa kau! Berani lancang menolong
gembel busuk itu!!"
Tetapi pemuda itu tenang-tenang
saja. Tidak beranjak dari tempatnya,
memperhatikan pengemis itu makan.
Orang-orang itu semakin marah.
"Bangsat! Kau ingin main-main rupanya
dengan kami! Delapan Pendekar Berpakaian
Pengawal!"
Kali ini pemuda itu bangkit.
Sikapnya tetap tenang. Wajahnya tampan
sekali. Matanya yang kecil menatap
mereka dengan garang.
"Heh!" serunya mengejek. "Julukan
yang kosong saja! Kalian hanya berani
menganggu orang yang lemah! Kalau kalian
hebat, coba layani aku beberapa jurus!
Ditanggung, sebelum sepuluh jurus kalian
sudah berantakan!!"
Kata-kata itu semakin membuat
orang-orang itu geram. Diam-diam Madewa
memperhatikan pemuda yang bersuara
angkuh itu. Suaranya terdengar merdu.
Menandakan dia orang yang berpendidikan
tinggi.
Tiba-tiba dua orang yang berpakaian
pengawal itu maju seraya menyabetkan
pedangnya secara bersamaan namun
berlawanan.
"Wuit! Des!"
Dua bayangan pedang itu berkelebat
bagai sinar putih. Namun pemuda itu tetap
tenang. Tanpa beranjak sedikit pun, dia
menggerakkan kedua tangannya. Mendadak
terdengar kedua orang itu menjerit.
"Des!!"
Lalu ambruk dengan tangan yang
terasa ngilu.
Pemuda itu tertawa. "Ha... ha...
siapa lagi yang mau maju! Cepat, selagi
aku ingin bermain-main dengan kalian!!"
Enam orang yang lain itu menjadi
demikian geramnya. Tanpa aba-aba lagi,
serentak mereka mengurung pemuda tampan
itu.
"Hei, pemuda ceriwis! Katakan siapa
namamu sebelum kami mencabut nyawamu?!"
"Ha... ha... baik, baik, kalau
memang itu perlu. Camkan baik-baik,
namaku Adi Permana, alias Walet Putih
dari Utara! Ha... ha... bawalah namaku ke
liang kubur kalian masing-masing!"
Pemuda itu berkelit begitu serangan
datang. Gerakannya ringan. Benar seperti
walet terbang. Kembali pedang-pedang itu
bersambaran dengan cepat. Dan terlihat
gulungan bayangan putih menjadi satu
dengan tubuh yang lincahnya melompat dan
menghindar. Sampai lima jurus
pedang-pedang itu belum satu pun
menyentuh tubuh si Pemuda yang bernama
Adi permana.
Tiba-tiba pemuda itu melompat
dengan menyambar.
Dukk!
Tubuh seorang lawannya terjungkal
dengan muntah darah. Gerakan pemuda itu
begitu cepat. Seolah tangannya
berkelebat menjadi banyak. Demikian
terus menerus, sampai semua lawannya
ambruk tak berkutik.
Pemuda itu terbahak."Ha... ha...
benar kataku, bukan? Sebelum sepuluh
jurus, kalian akan tumbang di tanganku!
Sekarang cepat kalian berlutut dan
ngabur dari sini! Cepaaaatt!!"
Terburu-buru delapan orang itu
berlutut. Sikap mereka pasrah. Dan
malunya tidak ketulungan. Setelah itu
mereka lari seperti anak perempuan, yang
diiringi oleh tawa pemuda itu.
Madewa kagum bukan main. Dengan
sebentar saja delapan orang itu dibuat
kalang kabut oleh sang pemuda. Tetapi
mendadak, dia teringat. Dia seperti
mengenai pukulan yang dilakukan pemuda
itu. Hmm, tapi siapa orangnya yang punya
pukulan demikian. Tanpa memikirkan soal
itu lagi, Madewa berkelebat. Bersamaan
dengan itu, Adi Permana menoleh. Sekilas
melihat wajah Madewa. Dia berseru, "Hei,
tunggu!!" Lalu berkelebat mengejar.
Madewa yang merasa dirinya
dipanggil, menghentikan larinya. Pemuda
yang mengejar itu sampai di tempatnya
menunggu.
"Ada keperluan apa, Walet Putih,
memanggil saya?" tanya Madewa sopan.
Pemuda itu memperhatikan Madewa.
Tiba-tiba dia tersenyum, "Maaf, kusangka
kau salah seorang dari pengacau tadi!"
"Oh, tuduhan yang keliru."
"Sekali lagi maaf. Boleh kutahu
namamu?" Madewa mengangguk.
"Namaku, Madewa Gumilang," kata
Madewa yang merasa Adi Permana bicara
akrab dengannya.
"Hmm, boleh kutahu ke mana kau
pergi?" "Tidak ada salahnya. Kebetulan
sekali, saat ini aku hendak ke tanah
genting di sebelah timur laut selatan.
Ada keperluan apakah kiranya saudara Adi
Permana mengetahui kepergian saya?"
"Oh, tidak. Aku hanya ingin
bersahabat denganmu. Sejak turun gunung,
belum seorang pun aku mendapat sahabat.
Apakah kiranya Saudara Madewa menerima
persahabatanku?"
Madewa tersenyum. Pemuda ini sopan.
Tidak ada salah menerima persahabatan
itu. "Dengan senang hati."
"Terima kasih, Saudara Madewa,"
kata Adi Permana seraya membuka
capingnya. Madewa melihat wajah yang
sangat tampan sekali. Mata itu begitu
bening. Alisanya begitu hitam. Dan kumis
tipis semakin menambah ketampanan wajah
itu. "
Aku harap, kita bisa menjadi dua
sahabat yang baik."
"Aku pun berharap begitu. Namun...
aku harus melanjutkan perjalanan ke
tanah genting, di sana ada masalah yang
sangat penting yang harus kuselesaikan."
"Apakah Saudara Madewa tidak
keberatan kalau aku ikut serta?"
"Oh."
"Kenapa, Saudara Madewa?"
"Tentu dengan senang hati. Hanya
saja, perjalananku kali ini menempuh
bahaya yang amat tinggi. Karena
kedatanganku ke sana, harus
menyelesaikan dendam yang tak mungkin
akan padam."
"Walaupun bagaimana bahayanya,
sebagai seorang sahabat, aku bersedia
membantu."
"Kalau memang itu keinginanmu,
baiklah. Mari kita berangkat."
Lalu keduanya melangkah. Persaha-
batan yang cepat. Tanpa saling
mencurigai siapa sahabatnya itu,
keduanya berjalan dengan riang dan penuh
tawa. Tidak menyadari kalau di tanah
genting sebelah timur laut selatan maut
telah menunggu kedatangan mereka.
Di suatu tempat yang sunyi,
terdengar langkah kaki terseok-seok.
Seakan pemilik kaki itu sudah tak kuat
lagi melangkah.
Enggan, namun dipaksakan.
Tangannya memegang sebuah tongkat
kayu.
Dan pakaiannya betapa lusuh dan
jeleknya. Warnanya sudah pudar.
Rambutnya pun kusut. Wajahnya kuyu. Dan
tubuh orang itu baunya minta ampun.
Mungkin sudah setahun orang itu
tidak mandi!
Ya, orang itu adalah pengemis yang
tadi di tolong oleh Walet Putih, yang
kini pergi bersama Madewa ke tanah
genting.
Walaupun sudah mendapat makanan,
pengemis itu masih kelihatan lemah.
Tanpa disadari, langkahnya mengarah pada
tanah genting! Entah kenapa dia
mengikuti Madewa melangkah.
Ia pun tahu saat ini Madewa bersama
siapa. Tiba-tiba terdengar suara
membentak, "Itu dia orangnya!"
Pengemis itu gugup. Ketakutan dia
mencari suara itu. Tahu-tahu telah
muncul orang-orang berpakaian pengawal
mengurungnya. Merekalah yang mengganggu
pengemis itu di depan rumah makan.
Delapan Pendekar Berpakaian Pengawal!
"Bangsat rendah!" geram salah
seorang jengkel. Ia menendang pengemis
itu hingga jatuh bergulingan. Lalu yang
lain menyambar. Menendang pula.
"Gara-gara kau kami dibuat malu oleh
pemuda itu!
Des! Des!" Pengemis itu sampai tak
berdaya.
Tetapi orang-orang itu belum puas
juga. Mereka menghajar pengemis itu
sampai tak berdaya. Mereka marah.
Menurut mereka gara-gara pengemis inilah
mereka dipecundangi oleh Walet Putih.
Padahal, kalau mereka tidak
menganggu pengemis itu, tidak akan
mereka dikalahkan oleh Adi Permana alisa
Walet Putih.
Tapi orang-orang bengis itu tak
perduli. Mereka menghantam. Memukul.
Menendang. Pengemis itu sampai
benar-benar sekarat.
Dan mereka tertawa kegirangan
merasa kemarahan mereka terlampiaskan.
Pengemis itu mengaduh dan memohon
ampun. Namun hanya tawa dan cacian yang
diterimanya. Juga pukulan!
"Am... ampuni saya... aaahh!"
Des! Plak! Plak!"
Pengemis itu ambruk tak berdaya.
Dari seluruh tubuhnya mengalir darah
"Bunuh saja!"
"Cepat habisi!"
Salah seorang dari mereka
mengangkat tangan kanannya. Dan siap
menghabisi nyawa pengemis itu.
"Tahan!"
Orang itu menghentikan ayunan
tangannya. Sesosok tubuh melayang dari
atas pohon. Gerakannya ringan. Dan tidak
menimbulkan suara.
"Ingin kalian apakan orang itu?!"
Mereka hanya tertawa. Mereka sangka
siapa tadi. Tidak tahunya seorang wanita
setengah baya yang masih kelihatan
cantik. Dan berpakaian indah. Sungguh
besar nyali wanita ini, berani
menghalangi perbuatan mereka.
"Hei, kamu mau apa mencampuri urusan
kami? Cepat minggat dari sini!"
Wanita itu hanya tersenyum saja.
Tidak bergeser sedikit pun dari
tempatnya berdiri. Bahkan dia melangkah
menghampiri pengemis yang sudah mau
mampus itu.
Dua orang bersalto menghalanginya.
"Cepat enyah dari sini, sebelum kami
keprus kepalamu!" bentak salah seorang.
Wanita itu tetap hanya tersenyum.
Kecantikan wajahnya masih menggetarkan
setiap pria. Tahu-tahu matanya menatap
dengan mesra sekali. Kedua orang itu
menjadi gugup. Dan tanpa mereka sadari,
mereka begitu bernafsu sekali pada
wanita itu.
Serentak keduanya menubruk.
Memeluk. Dan menciumi. Kawan-kawannya
terkejut. Sedangkan wanita itu hanya
tenang saja. Dibiarkan saja kedua orang
itu memeluk dan menciuminya.
Namun tiba-tiba kedua tangan wanita
itu terangkat. Dan menggeprak kepala
kedua orang itu.
"Haitt! Des!"
Kedua orang itu terkulai dengan
kepala pecah. Wanita itu menepuk-nepuk
kedua tangannya. Hmm, hanya mengotor-
ngotori tanganku saja, katanya dalam
hati.
Teman-teman kedua orang itu kaget.
Tak menyangka semudah itu wanita itu
menghabisi nyawa teman mereka.
Tanpa diperintahkan, serentak
mereka mengurung. Wanita itu sangat
berbahaya. Mereka sudah tidak perduli
dengan pengemis itu.
"Kejam!" desis salah seorang dari
mereka.
Wanita itu hanya tertawa.
"Kalian tidak sadar dengan
perbuatan kalian... yang lebih kejam
dari binatang," ejeknya sambil menunjuk
pengemis itu.
"Itu urusan kami! Kau tak perlu
mencampuri!!"
Wanita itu tersenyum.
"Kalian juga tidak perlu mencampuri
urusanku. Biar kedua orang itu mampus.
Itu urusanku, bukan urusan kalian!"
"Setan! Mereka teman kami, dan
urusan kami!"
"Pengemis itu temanku, dan
urusanku."
Orang itu menggeram marah. Mendadak
dia menyerang dengan goloknya yang
panjang. Wanita itu hanya berkelit
sedikit. Luput dari serangan pedang itu.
Namun golok-golok yang lain segera
berterjangan. Silih berganti.
Tetapi wanita itu tetap tenang.
Lagi-lagi ia hanya menghindar ke
sana-kesini dengan gerakannya yang
cepat. Bahkan dia sempat menjatuhkan dua
orang dari mereka, yang langsung mati
terkena pukulannya.
Mereka terkejut. Hanya dengan
sekali pukul, kawan mereka mati. Lagi
mereka serentak menyerang.
Dan ambruk tubuh mereka satu
persatu. Wanita itu mendengus.
Meremehkan. "Kepandaian cuma segitu,
kalian pamerkan padaku!"
Lalu ia melangkahi mayat-mayat itu,
menghampiri pengemis yang masih
tergeletak. Dia mengomel sendirian,
"Sudah kubilang jangan pergi, kau malah
meninggalkanku. Dasar bandel!"
Wanita itu mendudukkan pengemis itu
dalam posisi bersila. Sedangkan dia
berada di belakangnya. Kedua telaak
tangannya bertumpu di punggung pengemis
itu. Lalu dia menarik nafas panjang. Dan
mengalirlah tenaga dalamnya ke tubuh
pengemis itu
Rupanya dia hendak mengobati
pengemis itu. Kedua telapak tangannya
mengeluarkan asap putih. Sekian lama dia
menyalurkan tenaga dalamnya.
Dan mendadak pengemis itu tersentak
dan muntah darah.
"Huaak!"
"Terus muntahkan, tolol!" bentak
wanita itu masih tetap menyalurkan
tenaga dalamnya.
Pengemis itu terus muntah darah. Tak
berapa lama kemudian, berhenti. Tangan
wanita itu dengan cekatan menotok
beberapa bagian tubuh pengemis itu. Lalu
ia berdiri dan membentak, "Sudah
kukatakan jangan pergi, kau pergi juga!
Beginilah akibatnya!"
Pengemis itu menggeliat. Tubuhnya
sudah terasa agak enakan. Dia jengkel
dibentak demikian. Tidak berterima kasih
sedikit pun.
Ia balas membentak, "Kau tidak perlu
memperdulikan aku lagi, Pandan! Cepat
kau balik ke rumah! Aku akan tetap dengan
tujuanku!"
"Bah!" Wanita itu mendengus. "Mana
mungkin kau masih mengenalinya? Sekian
tahun dia pergi! Dan tak ada kabarnya!
Kau pun belum tahu dia masih hidup atau
sudah mati?!"
"Tidak, aku akan tetap mencarinya!
Aku rindu pada mereka!"
Wanita cantik itu sekali lagi
mendengus. Ia membentak lagi, "Kau tidak
akan menjumpainya, Karto! Sudah lama
mereka pergi, entah ke mana!"
"Ini semua gara-gara kau, tahu! Kau
telah membuat keluargaku berantakan! Kau
memang wanita iblis, Pandan!"
Wanita tu menggeleng. "Jangan
salahkan aku! Salahkan ayahnya Warsih
Inten, istrimu itu! Dialah yang telah
mempermainkan ibuku sampai ibuku menjadi
gila. Orang itu seenaknya saja
menghamili ibuku. Aku tidak terima,
Karto.... Dan aku lahir ke dunia ini
karena cinta terpaksa dari ayah Warsih
Inten, yang lalu membuang aku dan ibuku
jauh ke hutan.
Aku mendendam pada orang itu,
sekalipun dia adalah ayahku sendiri.
Tapi sayang, orang itu sudah mati ketika
aku ingin membalas dendam.
Tetapi istrimu adalah anaknya, aku
bisa membalaskan dendam itu padanya,
dengan merebutmu dari sisinya!"
"Kau jahat, Pandan!" geram pengemis
itu.
"Bukan aku!"
"Kau! Kau telah mempengaruhiku. Dan
menyebabkan anak istriku pergi entah ke
mana dan bagaimana nasib mereka."
"Biar saja kedua orang itu mampus.
Aku toh istrimu...."
"Tidak! Aku akan tetap mencari
mereka!!"
Wanita cantik berpakaian indah itu
mengejar, "Aku ikut, Karto!"
"Tidak!" Pengemis itu berbalik dan
menatap wanita itu dengan garang. "Sudah
kukatakan Pandan, kau tinggalkan aku
sendiri di sini! Jangan ganggu aku lagi.
Kita sudah sama-sama tua...Pandan..
Kuminta padamu, di akhir hidupku ini,
jangan ganggu aku lagi. Biarkan aku
mencari anak istriku. Aku ingin
mengakhiri hidupku bersama mereka."
"Tapi aku istrimu!"
"Iya, tapi kau tidak boleh ikut!"
Wanita itu menggeleng keras.
"Aku akan ikut denganmu! Akan
kubunuh anak istrimu itu!"
"Pandan!"
"Aku mencintaimu, Karto... hu...
hu... kau jahat.... Jangan tinggalkan
aku, Karto...."
Pengemis itu menggeleng-geleng
kepala bingung. Yah... pengemis itu
bernama Kartonggolo dan wanita cantik
itu bernama Pandan Ningsih.
Kartonggolo itu sebenarnya adalah
ayahnya Madewa Gumilang, yang telah
berbuat serong dengan Pandan Ningsih
(baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Pandan Ningsih melakukan semua itu,
karena mendendam pada ayahnya Warsih
Inten, istri Kartonggolo, yang telah
menyebabkan ibunya menjadi gila. Dia
sengaja mengacaukan rumah tangga Warsih
Inten. Dan menyebabkan wanita itu pergi
bersama Madewa ketika masih kecil.
Sangka Pandan Ningsih, setelah
menyebabkan wanita itu pergi, dia akan
segera meninggalkan Kartonggolo. Namun
dia amat mencintai laki-laki. Dan dia pun
enggan meninggalkannya. Selama 15 tahun
dia hidup penuh cinta dengan laki-laki
itu. Dan di saat yang lama itu, dia
teringat akan nasib Warsih Inten. Biar
bagaimanapun, Pandan Ningsih masih
mempunyai naluri keibuan. Dia menyesal
telah menyebabkan wanita itu pergi dan
sengsara.
Tetapi ketika suaminya berniat
hendak menyusul mereka, Pandan Ningsih
menjadi marah dan cemburu. Dia selalu
menghalangi ke mana pun suaminya pergi.
Sedangkan rasa rindu Kartonggolo
pada anak istrinya begitu mendesak dan
menyentak. Namun suatu ketika, dia
berhasil lolos dari pengamatan istrinya
yang sedang mandi. Dengan cepat
Kartonggolo menyelinap dan menyelinap
dan menyamar sebagai pengemis agar tidak
dikenali istrinya, Pandan Ningsih.
Tetapi agaknya Pandan Ningsih jeli.
15 tahun tinggal bersama, dia hafal bau
Kartonggolo. Dia berhasil menjumpai
suaminya itu, yang merasa kembali ada
halangan untuk menjumpai anak istrinya.
Karena Pandan Ningsih ingin
membunuh mereka, karena merasa kasih
sayang Kartonggolo akan diambil alih
oleh mereka.
Ini membuat Kartonggolo kebingungan
lagi. Tapi kalau saja Pandan Ningsih yang
sudah menjadi istrinya secara sah tidak
datang, dia pasti mampus di tangan
orang-orang tadi.
Diam-diam Kartonggolo bersyukur
juga jika istrinya ikut. Istrinya
seorang wanita yang pandai bersilat.
Juga ilmu hipnotisnya yang hebat.
Kalau istrinya ikut, pasti
keselamatannya ter-amin. Namun istrinya
akan membunuh putranya jika bertemu.
Tak ada pilihan lain. Kartonggolo
mengajak Pandan Ningsin ikut mencari
putranya. Biar dia pergi sendirian,
pasti Pandan Ningsih akan tetap
membuntutinya.
* * *
SEMBILAN
Tanah genting itu sunyi. Tetapi di
atas sana beberapa camar berteriak-
teriak. Tak seorang pun yang kelihatan
berada di sana.
Hanya yang ingin cari mati saja yang
nekad datang ke tampat itu.
Tetapi pagi itu terdengar suara isak
dari goa yang terdapat di sana. Isak itu
begitu memilukan. Sejak malam isak itu
terdengar.
Dan lagi-lagi terdengar bentakan
jengkel, "Jangan menangis! Atau kau
ingin kubunuh?!"
Tetapi suara tangis itu bukannya
mereda malah berkepanjangan. Suara
tangis wanita, yang tak lain adalah
Nindia. Dan yang membentak itu Wirapati
yang sudah lima hari menyekap Nindia.
Wirapati kesal bukan main, karena
sekian lama orang yang ditunggunya tidak
datang-datang. Apalagi gadis itu
sepanjang hari kerjanya menangis terus.
Dan terasa mengganggunya.
Ancaman apa pun tak mempan bagi
gadis itu. Walaupun diancam akan
dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia,
lebih baik dibunuh daripada disekap oleh
penjahat itu.
Bayangan wajah ayah dan ibunya
bermain di matanya setiap malam. Dia
ingin lari dari sini. Dia ingin berada di
samping ayah ibunya.
Sudah dua kali dia mencoba lari.
Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh
Wirapati, yang langsung menyeretnya
tanpa ampun.
Sejak kejadian itu, Nindia tidak
berani melarikan diri walau ada
kesempatan sekali pun.
Dan tidak ada yang dapat
dilakukannya selain menangis. Dan
menangis, memohon belas kasihan
penyekapnya agar dia dibebaskan.
Dan lagi-lagi terdengar bentakan
jengkel, "Jangan menangis! Atau kau
ingin kubunuh?!"
Tetapi suara tangis itu bukannya
mereda malah berkepanjangan. Suara
tangis wanita, yang tak lain adalah
Nindia. Dan yang membentak itu Wirapati
yang sudah lima hari menyekap Nindia.
Wirapati kesal bukan main, karena
sekian lama orang yang ditunggunya tidak
datang-datang. Apalagi gadis itu
sepanjang hari kerjanya menangis terus.
Dan terasa mengganggunya.
Ancaman apa pun tak mempan bagi
gadis itu. Walaupun diancam akan
dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia,
lebih baik dibunuh daripada disekap oleh
penjahat itu.
Bayangan wajah ayah dan ibunya
bermain di matanya setiap malam. Dia
ingin lari dari sini. Dia ingin berada di
samping ayah ibunya.
Sudah dua kali dia mencoba lari.
Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh
Wirapati, yang langsung menyeretnya
tanpa ampun.
Sejak kejadian itu, Nindia tidak
berani melarikan diri walau ada
kesempatan sekali pun.
Dan tidak ada yang dapat
dilakukannya selain menangis. Dan
menangis, memohon belas kasihan
penyekapnya agar dia dibebaskan.
Tapi Wirapati tetap tidak perduli!
Sebelum pemuda yang ditunggunya datang,
dia tidak akan melepaskan sanderanya.
Hari ini Nindia menangis lagi.
Tubuhnya semakin kurus dan lemah.
Matanya sembab. Pipinya memerah. Dia
selalu menolak makanan yang disuguhkan
oleh Wirapati. Dia tidak sudi memakan
makanan yang dihidangkan oleh orang yang
dibencinya!
"Hei, Gadis manis!" bentak Wirapati
jengkel, karena tangis itu belum
berhenti juga. "Kalau kau tidak
menghentikan tangismu, aku akan benar-
benar membunuhmu!" Wirapati menarik
pedangnya dari sarungnya.
Sreeet!
Pedang yang bercahaya itu
diacungkan di depan wajah Nindia. "Lihat
ini, kalau kau tidak berhenti menangis,
akan kubuat cacat tubuhmu!"
"Lakukan, lakukan itu! Buat cacat
wajahku!" tantang Nindia tidak takut.
Suaranya serak, penuh kegeraman. "Aku
lebih baik mati daripada disekap olehmu!
Bunuh, bunuh aku!"
Wirapati menjadi semakin jengkel.
Dengan gerakan yang cepat tangannya
mengayun.
Sreet! Sreeet!
Ujung pedang itu mengenai pakaian
atas Nindia. Tidak melukai wajahnya.
Juga tidak melukai bagian tubuh yang
lain.
Gerakan itu sebenarnya tidak
sengaja. Tapi Wirapati benar-benar akan
membunuh gadis itu. Kegeramannya sudah
naik ke ubun-ubun, minta ditumpahkan.
Tetapi dia ingat, akan datangnya
Madewa Gumilang untuk mengambil gadis
ini. Wirapati seorang kesatria yang
memegang teguh adat kekesatriaannya.
Yang tidak boleh melanggar ucapannya
sendiri.
Jika dilanggar bagaikan mencoreng
mukanya sendiri. Makanya dia menyalahkan
sasaran pedangnya dari wajah Nindia.
"Oh!" Nindia mengeluh kaget melihat
pakaiannya mendadak melorot begitu saja.
Reflek dia menutupi dadanya dengan kedua
tangannya.
Matanya melotot merah dan benci pada
Wirapati. "Kau?! Penjahat cabul!!"
bentaknya geram seraya beringsut ke
belakang.
Justru dengan terlihatnya bagian
dada Nindia, mata Wirapati terbelelak.
Mendadak matanya berkilat-kilat penuh
gairah. Marahnya mendadak tiba-tiba
padam, bergantian dengan nafsu birahi.
Tatapannya liar, nanar menatap
pemandangan yang sudah lama tidak
dinikmatinya.
Sejak bergabung dengan Tiba Dewa
Penunggang Kuda, Wirapati telah lama
tidak merasakan kehangatan tubuh wanita
lagi. Dan kali ini melihat Nindia,
mendadak nafsu yang sudah padam itu
bangkit. Ia masih menatap. Ia menjilat
lidahnya. Matanya memancarkan sorot yang
menakutkan. Berkilat dan bercahaya penuh
gairah.
Nindia ketakutan melihat sorot mata
itu. Dia beringsut ke sudut. Perlahan
Wirapati menjatuhkan pedangnya.
Perlahan pula mendekati dengan
menyeringai lebar.
"Ma... mau... apa kau?!" bentaknya
takut-takut.
"He... he... tubuhmu sedap
dipandang juga, gadis manis," desis
Wirapati sambil membelai lengan Nindia,
"Iih!" desis Nindia jijik. "Ja...
jangan ganggu aku! Kubunuh kau nanti!!"
"Ha... ha... omonganmu besar juga,
Gadis. Hei, aku belum tahu siapa namamu?"
"Tidak, tidak! Jangan... jangan
ganggu aku!"
"Ha... ha... aku ingin tahu namamu,
Gadis manis." Tiba-tiba suara Wirapati
berubah bengis, "Ingat, kalau sampai
besok Madewa tidak datang kau akan kuhina
habis-habisan! Kau harus melayaniku
selama-lamanya di sini ha... ha...."
Nindia menangis terguguk. Sedikit
lega karena Wirapati tidak sekarang
menghendaki tubuhnya. Tiba-tiba dia
berharap, agar pemuda yang pernah
menginap di rumahnya datang menolong.
Tetapi kapan harapan itu akan datang.
Wirapati bangkit sambil menelan air
liurnya. Tiba-tiba saja dia menyentak
kedua tangan Nindia dari dadanya. Nindia
menjerit seraya meronta. Wirapati
terkekeh. Senang melihat buah dada
Nindia yang montok.
"Penjahat cabul!!" tiba-tiba
terdengar bentakan keras itu. Wirapati
menoleh sigap. Disangkanya Madewa yang
datang, dia langsung menyambar pedangnya
yang jatuh, Tetapi dia terkejut, bukan
Madewa, malainkan seorang wanita yang
cantik. Dengan senyumnya mendebarkan.
"Siapa kau?!" bentak Wirapati yang
merasa wanita itu menganggu
keasyikannya. Dia tak perduli siapa
wanita itu. Pokoknya yang telah
mengganggunya, akan dihabisinya.
Wanita cantik itu tertawa. Baju di
lengan kirinya menjuntai. Rupanya lengan
kiri wanita cantik itu buntung! Ia
mengenakan baju tipis berwarna merah,
juga selendangnya yang berwarna merah.
"Kau ingat dengan selendang ini?"
suara wanita itu mengerikan.
Wirapati terdiam. Mengingat-ingat.
Kalau selendang merahnya dia jelas tahu
siapa wanita itu, tetapi mengapa lengan
kirinya buntung?
Belum lagi dia menjawab, wanita itu
terkekeh, "Tepat dugaanmu, Penjahat
cabul! Akulah Pratiwi, si Selendang
Merah. Hik... hik...!"
Wirapati terperangah. Kaget.
Matanya memperhatikan wanita yang lengan
sebelah kirinya buntung. Wanita itu
mengaku Pratiwi? Apa tidak salah.
Wirapati tahu, Pratiwi adalah tokoh
wanita sesat yang berpredikat Dewi
cabul. Tetapi akhir-akhir ini namanya
telah lenyap. Namun sekarang ada yang
mengaku-ngaku sebagai Pratiwi. Ha...
ha... lucu! Pratiwi si Selendang Merah
tidak buntung lengan kirinya!
"Hei, perempuan buntung!" bentak
Wirapati mengejek. "Enak-enak saja kau
mengaku sebagai Pratiwi! Mimpi apa aku
menjumpai wanita gila macam kau!"
Dibentak seperti itu Pratiwi hanya
terkekeh.
Tanpa menghiraukan Wirapati, dia
menghampiri Nindia yang merasa beruntung
karena datangnya dewi penyelamat itu.
Nindia langsung memeluk Dewi Cabul
itu. Ia menangis terguguk. Pratiwi
membelai rambutnya dan berbisik lembut,
"Jangan menangis, Anak manis. Jangan
takut. Selama ada aku di sini, kau akan
aman."
"Bangsat kau, Perempuan buntung!"
geram Wirapati marah karena seruannya
dianggap angin lalu saja oleh Pratiwi.
Pratiwi bangkit dengan cepat.
Matanya seakan menyala menatap Wirapati.
Jengkelnya bukan main karena sudah dua
kali dia dipanggil perempuan buntung.
"Hmm," desisnya mengerikan.
Suaranya persis ular cobra yang sedang
marah. "Katakan siapa namamu, sebelum
kucabut nyawamu?!"
Wirapati tergelak. "Punya nyali
juga rupanya kau, Perempuan buntung!
Ketahuilah, aku Wirapati, salah seorang
dari Tiga Dewa Penunggang Kuda. Ha...
ha... cepatlah berlutut sebelum kucabut
nyawamu!"
"Hhh! Kau yang akan menerima
akibatnya dari ucapanmu itu!"
"Ha... ha... aku ingin kau
membuktikan ucapanmu, Perempuan
Buntung! Biarpun kau mengaku sebagai
Pratiwi alias Si Selendang Merah, tak ada
rasa takut sedikit pun terhadapmu!"
Merah wajah Pratiwi. Tahu-tahu
dengan gerakan yang sangat cepat, ia
telah menguraikan selendang merah yang
membelit di dadanya. Wirapati hanya
tertawa mengejek. Dia tahu siapa
Selendang Merah. Dan dia yakin, wanita
ini hanya orang gila yang mengaku sebagai
tokoh wanita sesat itu.
"Baik, Wirapati! Kau sambutlah ilmu
selendang merahku. Perhatikan baik-
baik, siapa aku sebenarnya!" sesudah
berkata begitu, Pratiwi langsung
melecutkan selendangnya dengan jurus
Angin Membelah Badai. Wirapati
tersentak. Dia mengenai jurus itu. Jurus
yang nampak ringan namun berbahaya. Dia
langsung berkelit menghindari lecutan
selendang itu. Serangan Pratiwi luput,
dan selendang merahnya meluncur mengenai
dinding goa yang menimbulkan suara
keras.
"Plarr!"
Dinding goa itu hancur berantakan.
Belum lagi Wirapti sempat membalas,
selendang merah Pratiwi kembali
menyerang. Rupanya jurus Angin Membelas
Badai, merupakan gerakan yang
menyambung, yang ujung selendang telah
dialiri tenaga dalam yang kuat. Kali ini
Wirapati bergerak cepat. Dan tangannya
mengayunkan pedang dengan gerakan cepat
pula. Pratiwi menarik pula selendang
merahnya.
Dia langsung merubah jurusnya. Kali
ini dia memainkan jurus selendang
Menjadi Tombak. Dan keanehan terjadi.
Selendang yang lemah dan lembut itu,
mendadak berubah menjadi sebuah tombak
yang kokoh dan kuat. Dengan tombak itu
dia melakukan tusukan yang cepat ke arah
leher Wirapati.
"Trang... trang!!'
Bunyi itu terdengar keras. Sebelum
tombak Pratiwi mengenai sasarannya,
Wirapati sudah menghalau dengan
pedangnya. Namun dia terhuyung ke
belakang. Tangannya terasa kesemutan.
Tenaga yang mengalir dalam selendang itu
begitu besarnya.
Sekarang Wirapati yakin, siapa
wanita ini sebenarnya. Memang Pratiwi
alis si Selendang Merah. Tetapi mengapa
tangannya buntung? Dan ke mana dia selama
setahun belakangan ini?
Nindia yang sejak tadi cemas, bisa
bernafas dengan lega kembali. Wanita
yang datang itu benar-benar seorang
tokoh jagoan yang sakti. Walaupun lengan
kirinya buntung, tetapi dia mampu
menandingi Wirapati!
"Tahan!" jerit Wirapti seraya
menghindar. "Kau memang benar Pratiwi
adanya. Sebelum dilanjutkan, ada
beberapa pertanyaanku."
"Hhh!" Pratiwi mendengus meremeh-
kan. Tangannya memutar-mutar selen-
dangnya yang kini kembali lembut.
"Jangan bertele-tele Wirapati, aku sudah
tak tahan ingin mencabut nyawamu!!"
"Tahan, Pratiwi! Dengar pertanyaan-
ku, bukankah kau selama setahun ini sudah
mengundurkan diri? Apa gerangan yang
membuatmu kembali ke rimba persilatan
ini?"
"Itu urusanku! Kau tidak perlu
tahu!"
"Baik! Kurasa kita hentikan saja
pertandingan ini. Bawalah gadis itu
bersamamu. Aku tak ingin membuat
permusuhan denganmu!"
"Pengecut! Rupanya bekas anggota
Tiga Dewa Penunggang Kuda, punya nyali
seperti tikus!"
SELESAI
Nah, sampai disini kisah ini
berakhir selanjutnya silakan anda simak
dalam "Petaka Cinta Berdarah".
0 comments:
Posting Komentar