..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 15 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE DENDAM ORANG ORANG GAGAH

 

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE DENDAM ORANG ORANG GAGAH

DENDAM 

ORANG-ORANG 

GAGAH

Oleh Fahri A.

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode 002 :

Dendam Orang-Orang Gagah

128 Hal.; 12 x 18 Cm



SATU


"Kang Genda dipanggil Ayah?" tanya 

Ratih Ningrum dengan suara tersendat. 

"Soal apa gerangan, Kang Genda?"

Genda menghela nafas. Dia tahu Ratih

Ningrum menangis memikirkan Madewa. Ah, 

Tuannya begitu egois mengusir Madewa, 

sementara putrinya menangis semalaman 

karena kepergian pemuda itu.

"Soal Madewa, Den Putri."

Mata Ratih Ningrum membesar. 

"Kenapa dengan Madewa, Kang Genda? Dia 

pergi kemarin pagi. Dia tidak menoleh 

sedikit pun padaku." Ratih Ningrum 

menyambung sedih, "Dan tidak membalas 

senyumanku."

"Yah... mungkin Tuanku telah 

bertindak keliru atau juga benar. Memang 

Den Putri, saat ini memang wanita bernama

Pratiwi tengah mencari Madewa. Dan Tuan 

tidak ingin seisi rumah ini menjadi 

terlibat. Lalu dia memutuskan, agar 

Madewa menyelesaikan urusannya dengan 

wanita itu."

"Urusan apa, Kang Genda?" Dada Ratih 

Ningrum berdebar.

"Ini baru dugaan Tuan, Den Putri. 

Madewa memiliki pedang pusaka dewa 

matahari. Dan Pratiwi datang untuk 

merebutnya."

"Oh!" desah Ratih Ningrum pilu. "Dia 

bisa terluka, Kang Genda."


Genda mengangguk. Tidak kuasa 

melihat wajah Ratih Ningrum yang begitu 

ketakutan. Ratih Ningrum menggigit 

bibirnya. Dia tidak kuasa membayangkan 

Madewa terluka. Sambil menangis, dia 

berlari ke kamarnya. Ditumpahkannya 

seluruh air matanya di atas bantal.

Bayangan wajah Madewa yang lembut, 

yang manis, yang selalu tersenyum 

berganti dengan wajah yang menakutkan. 

Cacat. Berdarah, karena bertempur dengan 

Pratiwi si Selendang Merah. Biarpun 

tidak mengerti ilmu silat. Ratih Ningrum 

tahu apa kejahatan ilmu silat. Dia bisa 

membinasakan lawan atau kawan!

Dan Madewa tergeletak tanpa nyawa! 

Sementara itu, orang yang dicemaskannya 

sedang duduk melamun di suatu tempat yang 

sunyi. Begitu pergi dari rumah Bipar-

sena, Madewa Gumilang tidak langsung 

pergi mencari Pratiwi. Dia berjalan ke 

arah barat. Ingin menenangkan pikiran-

nya.

Selendang Merah rupanya masih 

penasaran dengannya. Dan kehadiran 

selendang merah bisa membongkar 

rahasianya sebagai murid tunggal Ki 

Rengsersari! Bisa bermunculan tokoh-

tokoh persilatan untuk merebut pusaka 

dewa matahari dari tangannya! Ini bisa 

gawat. Karena tugas dari gurunya belum 

dia jalankan sementara dia bisa mati 

konyol di tangan orang yang gila pusaka 

itu.


Hhh, ini gara-gara kemunculan 

Pratiwi! Yang... ah, Madewa mendesah. 

Dia ingat bagaimana heran dan sedihnya 

Ratih Ningrum ketika dia melengos begitu 

saja. Itu memang disengaja, agar Ratih 

Ningrum tahu, kalau hubungannya tidak 

direstui. Dia juga heran, bagaimana 

Biparsena bisa tahu soal itu.

Hanya satu dugaannya, ada yang 

mengadukan! Tetapi siapa? Fitnah itu 

berdosa. Berprasangka buruk saja sudah 

berdosa.

Madewa mengambil sebatang rumput 

berwarna kuning. Menggigit-gigitnya 

perlahan. Hei, aneh! Rumput ini berair. 

Dan terasa manis. Madewa mengambil lagi 

sebatang. Mengisap-hisapnya. Manis. 

Baru kali ini dia merasakan rumput berair

manis. Atau ini rumpun tebu? Tidak, tebu 

besar. Ini kecil.

Mendadak Madewa menguap lebar. 

Matanya mendadak terasa ngantuk. Tapi 

dia berusaha menahan. Dia harus 

memikirkan bagaimana caranya untuk 

menghadapi Pratiwi. Tapi kantuk itu 

terus menyerangnya. Tanpa sadar Madewa 

tertidur pulas. Sebatang rumput aneh itu 

masih menyantel di bibirnya.

Suasana daerah itu tetap sunyi. 

Begitu Madewa tertidur, muncul seorang 

kakek tua berjubah putih. Kakek itu 

menggeleng-geleng melihat Madewa.

Dia bergumam, "Hmm, rupanya rumput 

ajaib kelangkamaksa, berjodoh dengan


pemuda ini. Beruntung sekali pemuda ini. 

Bertahun-tahun aku menjaga rumput itu, 

baru sekarang ada yang menghisap 

sarinya."

Setelah bergumam demikian, kakek 

berjubah putih itu mendadak menghilang. 

Sama seperti datangnya tadi, lenyapnya 

pun demikian.

Waktu berganti, tak terasa sore

sudah tiba. Madewa menggeliat. Tubuhnya 

terasa letih. Dia cepat terbangun. 

Rupanya dia tertidur. Hmm, dia harus 

segera mencari Pratiwi. Tantangannya 

harus segera disambut.

Madewa cepat melangkah, tak tahu 

arah. Dia hanya mendengar, kalau si 

Selendang Merah itu tinggal di gubuk 

dekat sungai hitam. Dia harus ke sana 

untuk menantangnya.

Tiba-tiba terdengar derap kuda dari 

arah depan. Madewa menepi. Tiga sosok 

tubuh berpakaian pendekar memacu kuda 

mereka ke arah Madewa. Madewa cepat 

bersalto, karena salah seekor kuda itu 

menerjangnya. Aneh! Apa maunya mereka. 

Tubuh Madewa hinggap kembali di tanah 

dengan ringan.

Orang yang menerjang itu tertawa 

ngakak. Sikapnya sombong sekali.

"Gerakan yang bagus!" katanya 

memuji.

Madewa memperhatikan.


"Maksud apa kalian menghadang 

perjalananku?" tanyanya dengan sikap 

tenang. "Dan siapa kalian?"

Orang itu terbahak lagi. "Rupanya 

kau belum tahu nama tiga dewa penunggang 

kuda yang sudah membedah langit. Kalau 

begitu biar kuperkenalkan. Camkan 

baik-baik! Kami ini yang disebut Tiga 

Dewa Penunggang Kuda. Namaku sendiri, 

Wirapaksa. Yang memakai baju hitam itu 

Wirapati, yang terkenal dengan pukulan 

geledeknya. Dan adik kami yang bungsu, 

Wiratiga, yang terkenal dengan aji 

awang-awang! Puas?"

Madewa tetap tenang. "Lalu kalian 

mau apa?"

"Jangan berpura-pura, Madewa! Kami 

tertarik dengan murid tunggal Ki 

Rengsersari! Dan kami bermaksud mencoba 

ilmu murid Ki Rengsersari itu!"

"Untuk apa, kalau hanya akan 

menimbulkan pertumpahan darah!" sahut 

Madea tak kalah seramnya.

"Ha... ha... sudah jelas untuk 

merebut Pedang Pusaka Dewa Matahari!"

Lagi-lagi soal itu. Tidak ada jalan 

lain untuk berdamai. Dia harus menyambut 

Tiga Dewa Penunggang Kuda itu. Maka 

Madewa pun bersiap.

Ketika orang itu terbahak. Suaranya 

membedah kesunyian. Dan mendadak mereka 

menerjang dengan kuda yang meringkik 

hebat. Madewa menghindar, dengan jalan 

bersalto tiga kali ke belakang. Tapi


belum lagi dia hinggap di tanah, 

Wirapaksa kembali menerjang. Sulit bagi 

Madewa untuk menghindar. Maka tak urung 

kakinya tersepak kuda putih Wirapaksa.

Belum juga dia bangkit, Wirapati 

menyerang dengan pukulan tangan geledek-

nya. Madewa menyambut dengan jurus ular 

ajaran Ki Rengsersari, Ular Mematuk

Katak. Keduanya terpental. Pukulan 

tangan geledek Wirapati membuatnya 

terhuyung.

Wirapati terbahak. Belum ada 

seorang pun yang lolos dan pukulan tangan 

geledeknya. Hanya begitu saja rupanya 

murid tunggal Ki Rengsersari.

Tetapi mendadak matanya melotot. 

Madewa berdiri tegak dengan sikap siap. 

Tak sedikit pun dia terluka. Peluh 

setitik pun tidak nampak di wajahnya.

Bukan hanya Wirapati yang terkejut, 

Madewa pun terkejut. Tadi disangkanya 

dia sudah mati, ajalnya hanya sampai di 

sini, tapi ternyata dia masih hidup!

Madewa tidak bisa berpikir lagi, 

karena Wirapati sudah menyerang kembali. 

Dia penasaran. Pukulan tangan geledek 

tingkat tinggi. Lagi-lagi Madewa 

menyambutnya. Kembali dua pukulan penuh 

tenaga itu beradu.

Wirapati mental ke belakang dengan 

muntah darah. Sedangkan Madewa berdiri 

tegak tak kurang suatu apa!

Wirapaksa menggeram. Tidak bisa 

dianggap enteng murid Ki Rengsersari


itu. Dengan memekik keras dia bersalto 

dari kudanya dan menerjang degnan 

pukulan lurus ke arah Madewa. Sementara 

dari sebelah kiri Wiratiga sudah merapal 

aji awang-awangnya. Yang terkena pukulan 

aji awang-awang itu, bisa kaku dan mati 

membiru.

Menghadapi kedua serangan itu, 

Madewa. tenang-tenang saja. Tapi dia 

menyambut keduanya. Menunggu serangan 

itu sampai padanya, lalu menghempas 

kedua tangannya ke depan. Kembali 

pukulan itu beradu.

Dan kembali Madewa tidak apa-apa. 

Sementara Wirapaksa mati kelojotan. 

Rupanya ketika Madewa merentangkan 

tangannya, Wirapaksa bersalto menghin-

dar dan balik menyerang. Cuma naas 

baginya, Wiratiga sedang melancarkan 

pukulannya. Tak ayal lagi, pukulan itu 

terkena kakak seperguruannya sendiri!

"Kang Wirapaksa!" jeritnya ter-

kejut. Lalu memeriksa tubuh Wirapaksa. 

Tak dapat ditolong lagi, Wirapaksa sudah 

mampus dengan tubuh membiru!

Wiratiga berbalik dengan geram. Dan 

kembali dia menyerang Madewa. Kali ini 

Madewa merasakan desiran angin yang 

panas yang siap menyambarnya. Lalu 

berganti dengan rasa dingin yang 

menyengat. Madewa menghimpun hawa 

murninya, justru ini yang fatal. Dia 

tidak siap menyambut serangan Wiratiga.


Tanpa ampun lagi pukulan itu singgah 

di tubuhnya dengan deras. Madewa 

terpental ke belakang.

"Aaaah!" terdengar jeritan. Bukan 

dari mulut Madewa, tapi Wiratiga! Dia 

merasakan panas yang lebih besar 

menyambarnya ketika pukulan nya mampir 

di dada Madewa. Lalu dia mengejang. Kaku. 

Dan mati membiru. Pukulan aji 

awang-awangnya berbalik menyerangnya!

Sementara Madewa jatuh terduduk 

tanpa cidera sedikit pun. Keheranannya 

semakin me-besar. Siapa yang telah 

melindungiku ini, desah Madewa dalam 

hati.

Wirapati yang terluka dalam, tidak 

berbuat banyak. Ia beringsut mengangkat 

kedua mayat saudara seperguruannya ke 

kuda masing-masing. Lalu mengeprak kuda 

itu. Dia sendiri naik ke kudanya. Sebelum 

berangkat, Wirapati menoleh pada Madewa 

sambil menahan nyeri yang bukan main 

sakitnya.

"Ingat, Madewa! Aku, Wirapati, 

salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang 

Kuda, akan menuntut balas dari kekalahan 

ini! Ingat, Madewa! Aku akan mencari kau 

di mana saja! Aku tak akan melupakan 

semua ini!"

Sesudah berkata demikian, Wirapati 

menggeprak kudanya. Menyusul kuda-kuda 

yang membawa tubuh Wirapaksa dan 

Wiratiga. Kekalahan ini terasa sekali, 

membuat sakit hati Wirapati semakin


dalam. Apalagi dua saudara seper-

guruannya tewas di tangan pemuda itu. Dia 

akan datang lagi untuk menuntut balas 

atas kematian mereka. Telah bertahun-

tahun dia melanglang buana dengan kedua 

saudara seperguruannya, dan bertahun-

tahun pula mereka bersama-sama menak-

lukkan jago-jago kawakan, hingga membuat 

nama mereka melambung ke langit 

tertinggi.

Tapi hari ini, hanya dengan bocah 

ingusan mereka takluk, bahkan harus 

ditebus dengan nyawa kedua saudara 

seperguruannya! Mendidih darah Wirapati 

mengingat itu.

Setelah Wirapati menghilang, Madewa 

menghela nafas panjng. Dia telah membuat 

permusuhan lagi. Ini akan menghambat 

perjalannya mencari musuh besarnya, yang 

sampai saat ini dia sendiri tidak tahu 

siapa orangnya!

Tiba-tiba dia teringat akan 

keanehan yang terjadi pada dirinya. 

Heran, mengapa mendadak saja dia menjadi 

kebal yang hebat sekali? Pukulan geledek 

Wirapati seakan tak dirasakan menyentuh 

tubuhnya. Dia hanya merasakan usapan 

halus begitu pukulan itu menyentuh 

tubuhnya. Aneh, keajaiban apa yang telah 

masuk ke dalam dirinya?

Madewa berusaha mengingat-ingat. 

Tapi apa yang menyebabkan semua ini? Dia 

tidak tahu, kalau sumber kekuatan itu 

berasal dari sari rumput yang dihisapnya


tadi. Dari rumput itu keluar air yang 

manis, dan air itulah yang menjadikan 

tubuh Madewa kebal. Bahkan bisa 

membalikkan tenaga lawan.

Rumput itu dulu merupakan tanaman 

pada orang sakti dan sampai pada suatu 

masa, kalau bibit rumput itu hanya 

tinggal sebuah. Kebetulan seorang pemuda 

yang bernama Kartasura, menemukan bibit 

rumput itu. Ia menanam dan merawatnya. 

Sampai rumput itu tumbuh dengan su-bur. 

Ketika dia akan memakan rumput itu, ada 

sebuah suara gaib menyelinap di 

telinganya. Yang mengatakan, kalau dia 

hanya boleh merawat rumput itu saja dan 

bukan pewarisnya. Jika Kartasura nekat 

memakannya, niscaya Dewa mengutuknya.

Itulah sebabhya, Kartasura tidak 

berani mengambil sari ajaib dari rumput 

itu. Dan bertahun-tahun dia menjaga dan 

mengawasinya. Dia juga tidak berani 

memberikan rumput itu kepada sembarang 

orang.

Akhirnya Kartasura bersumpah dalam 

hati, rumput itu akan dibiarkan saja 

sampai ada orang yang memakannya 

sendiri. Herannya, sekian lama itu 

rumput itu tidak membesar. Tetap seperti 

sediakala. Yang akhirnya, Madewa 

Gumilang menghisap sari dari rumput itu 

tanpa sengaja.

Dan ketika mengalirkan tenaga sakti 

ke dalam tubuhnya, yang mampu membuatnya 

menjadi orang tak terkalahkan.


Kartasura gembira melihat ada yang 

menemukan rumput itu.

Dan sekarang, Madewa menggeleng-

geleng bingung. Dia tidak mempersoalkan 

keajaibannya itu lagi. Madewa hanya 

berterima kasih pada orang yang telah 

menolong. Itulah keyakinannya tentang 

kesaktiannya tadi. Suatu saat nanti, dia 

akan mencari orang yang telah 

menolongnya itu.

Sekarang dia harus menghadapi 

Pratiwi, sebelum wanita iblis itu 

semakin merajalela, juga menhindari 

terbukanya rahasianya sebagai murid 

tunggal Ki Rengsersari, yang akan 

membuatnya dalam kesulitan, karena bisa 

bentrok dengan orang-orang yang masih 

gila Pusaka Dewa Matahari.

Dengan cepat Madewa berkelebat. 

Gerakannya menjadi lebih ringan. Begitu 

dia menghilang, sesosok tubuh berjubah 

putih muncul lagi. Dia geleng-geleng 

kepala dengan bangga.

"Hmm, pemuda yang tangguh dan taat. 

Aku bersimpati padamu.... Mudah-mudahan 

kau berhasil menemukan musuh besar 

gurumu dan membalaskan kematiannya!"

Lalu bayangan itu menghilang.

* * *


DUA


Selama perjalanan pulang, perasaan 

bersalah semakin menggunung di hati 

Genda. Dia bukan orang yang gampang 

mengkhianati seseorang atau membuka

rahasia seseorang, namun ancaman 

Biparsena begitu menakutkannya!.

Dia membutuhkan makan. Dan dia bukan

orang yang mampu. Hanya pekerjaan dari 

Biparsenalah yang diharapkan bisa 

mencukupi kehidupannya sehari-harinya.

Dan terpaksalah dia membuka rahasia 

siapa sebenarnya Madewa itu, yang bisa 

menjadikan malapetaka untuk dirinya.

Sambil memasuki rumahnya, perasaan 

itu masih menghantui Genda. Perasaan 

yang bersalah dan diliputi penyesalan. 

Seharusnya dia tidak perlu membuka 

rahasia itu. Namun. Yah... banyak sekali 

namun di dunia ini. Saat itu, Genda ingin 

tak ada satu 'namun' pun di dunia ini.

Dan tanpa dia sadari, sesosok tubuh 

berpakaian hitam-hitam menyelinap di 

belakang rumahnya. Gerakan orang itu 

lincah dan ringan sekali, menandakan ia 

memiliki ilmu peringan tubuh yang 

sempurna. Dengan hanya sekali salto saja 

dia sudah berada di bubungan rumah Genda.

Gerakannya pun tak menimbulkan 

suara sedikit. Ia membuka sedikit 

genting dan mengintip ke dalam. Yang

diintip sedang merapikan pakaiannya. Dan 

akan bersiap-siap hendak makan. Genda


merasa tak ada gunanya memikirkan 

kesalahannya lagi. Dan dia menganggap 

bukan kesalahan yang sangat besar bagi 

dirinya.

Sosok tubuh berbalut hitam-hitam 

itu membetulkan letak genting kembali. 

Dia melompat dengan ringan ke bawah. 

Mengetuk pintu rumah Genda dengan cepat. 

Lalu menyelinap bersembunyi tanpa 

membuat suara sekecil pun

Genda yang akan menyendok nasi, 

mengurungkan niatnya. Dia berjalan 

membuka pintu. Tetapi di luar tidak 

nampak siapa-siapa. Genda mendengus 

jengkel. Perasaan bersalah terhadap 

Madewa Gumilang berubah menjadi 

kejengkelan yang luar biasa pada yang 

mengganggunya ini. Siapa yang mau 

main-main di malam ini.

Hhh! Ia memeriksa keluar sebentar. 

Tak ada bayangan sedikit pun yang 

mencurigakan. Tetapi ketika dia akan 

menutup pintu. Sebuah bayangan hitam 

menyergapnya. Mulutnya ditekap. Dan dia 

diseret masuk ke dalam.

Genda berusaha membebaskan diri. 

Namun cengkraman orang itu begitu kuat.

"Cepat katakan, di mana temanmu yang 

bernama Madewa Gumilang berada?" tanya 

sosok hitam itu dengan suara yang seram 

dan penuh ancaman.

Genda gelagapan. Dia megap-megap 

minta dikendori tekanpan pada mulutnya.


Orang itu mengendorkan tekapan tangan-

nya.

"Ak... aku... tidak tahu...." suara 

Genda terputus-putus. Belum bernafas 

dengan lega.

"Jangan main-main denganku!"

"Sungguh, aku tidak tahu!"

"Bangsat! Kau pasti tahu! Cepat 

katakan, aku tidak suka main-main! 

Atau... kau ingin kumampusin?!"

"Aku sudah lama tak jumpa 

dengannya!" 

"Katakan!"

"Aku sungguh-sungguh tidak tahu!" 

"Katakan!" Orang itu memuntir 

lengan Genda.

Genda menjerit kesakitan. "Aku 

tidak tahu!" 

"Katakan!" Orang itu semakin kuat 

memuntir. Genda semakin keras menjerit. 

"Biar kau paksa aku sampai sesakit 

apa pun, aku tetap tidak tahu!" seru 

Genda geram.

Orang itu mendengus. Marah. Tapi 

tidak memaksa lagi. Dia yakin Genda 

benar-benar tidak tahu.

Dan dengan gerakan cepat, orang itu 

menotok urat suara Genda, hingga pemuda 

itu terdiam dengan mulut menganga. 

Tubuhnya pun tak bisa bergerak, karena 

orang itu juga telah menotoknya. Sosok 

tubuh hitam itu menggeram.

"Besok aku akan datang lagi. Katakan 

pada Madewa Gumilang, akulah yang


menyebarkan kabar palsu untuk gurunya! 

Kalau dia ingin membunuhku, kutunggu 

kapan saja! Dan katakan, jaga nyawanya 

baik-baik! Kalau tidak ingin cepat 

melayang! Ha... ha... ha...!"

Sosok hitam itu melayang keluar. 

Tetapi mendadak dia berbalik. Tangannya 

memetik dua buah daun kebil. Daun itu 

dilemparkannya ke arah leher dan dada 

Genda. Seketika itu totokan di tubuh 

Genda terlepas.

Tenaga dalam yang hebat. Hanya 

dengan sehelai daun dia bisa melepaskan 

totokannya. Menandakan, orang itu bukan 

orang sembarangan!

Orang itu sudah menghilang dalam 

kegelapan malam.

Genda berbalik akan mengejar. Dia 

penasaran ingin tahu siapa orang itu. 

Bukan main, orang itu benar-benar luar 

biasa. Dan keberaniannya sungguh-

sungguh luar biasa pula. Dia berani 

menampakkan diri dan mengaku terus 

terang, kalau dialah yang telah 

menyebarkan kabar palsu untuk gurunya 

Madewa Gumilang.

Kalau saja pemuda itu mendengar, 

pasti akan langsung dibunuhnya orang 

itu.

Hmm, Genda merasa dia harus segera 

mencari pemuda itu. Untuk memberitahu 

semua ini. Tetapi ke mana dia harus 

mencari, sedangkan bau pemuda itu pun 

sedikit juga tak tercium olehnya.


Genda terdiam. Berpikir-pikir. 

Kemana, ke mana akan dicarinya?

Tak ada jalan lain, dia harus 

memberitahukan semua ini pada majikan-

nya, Biparsena. Majikannya yang tidak 

percaya pada kata-katanya. Dan dia bisa 

membuktikan kebenarannya sekarang. 

Orang yang bersosok hitam itu sendiri 

yang mengaku dan membuktinya kejaha-

tannya.

Jadi ucapan Madewa benar. Sejak 

semula Genda sudah percaya pada pemuda 

itu. Dan dia yakin, kalau Madewa Gumilang 

benar-benar murid Ki Rengsersari. 

Tanpa membuang waktu lagi, Genda 

segera berlari ke rumah Biparsena. 

Tetapi Biparsena tidak berada di rumah. 

Kata Patidina yang menemuinya, Biparsena 

sedang mengunjungi tempat 'kupu-kupu' 

cantiknya bersama Tek Jien. Biparsena 

baru mendengar, kalau pengawal 

'Kupu-kupu cantik'-nya yang bernama 

Agriwe telah tewas beberapa hari yang 

lalu di tangan Pratiwi. 

Genda terdiam. Tak bergairah 

menceritakan kunjungan orang berpakaian 

serba hitam tadi kepada Patidina. Dia 

langsung berpamitan.

Tetapi ketika dia sampai di pintu 

gerbang, "Kang Genda!"

Genda terhenti. Ratih Ningrum. Dari 

mana gadis ini malam-malam?

"Ya, Den Putri."


"Mencari siapa?" Ratih Ningrum 

mendekat. 

"Tuan, Den Putri."

"Ayah sedang ke rumah Agriwe. 

Katanya dia ditemukan mati di rumahnya."

"Saya sudah tahu, Den Putri. Saya... 

saya permisi, Den Putri."

"Kang Genda...."

Genda tak jadi melangkah. Ia 

berbalik lagi. Mata gadis itu menatapnya 

penuh minta pertolongan.

Genda seperti tahu apa yang akan 

menjadi pertanyaan Ratih Ningrum. Pasti 

masalah Madewa.

"Ya, Den Putri."

"Kang Genda, sudah mendapat berita 

tentang Kang Madewa?"

Genda menggeleng, lesu. Dia pun akan 

mencari pemuda itu. Entah ke mana. Yang 

penting dia akan mencarinya.

Gadis itu pun menunduk lesu. Tanpa 

banyak tanya lagi, dia beranjak 

meninggalkan Genda. Masuk ke rumahnya.

Genda terdiam. Dan menghela nafas 

panjang. Kasihan gadis itu. Dia menjadi 

korban ketidakjujuran ayahnya sendiri.

Genda tak menghiraukan tentang 

gadis itu lagi. Dia langsung melesat 

pulang. Makan dengan cepat, lalu keluar 

lagi. Dengan tekad bulat, tak akan pulang 

sebelum bertemu dengan pemuda itu.

* * *


TIGA


Tengah malam telah tiba. Suasana di 

tepi sungai hitam itu sepi. Hanya desir 

angin yang terdengar. Dan desah nafas 

turun naik yang membum yang terdengar 

dari dalam gubuk kecil di tepinya.

Niniwulandari mendengus. Sejak tadi 

dia menunggu di sini. Pratiwi sudah asyik 

lagi, dia seolah lupa kalau orang yang 

dicarinya akan datang malam ini. Untuk 

membunuh atau dibunuh.

Niniwulandari menggerutu dalam 

hati. Setiap kali dia datang, pasti 

Pratiwi sedang asyik. Benar-benar gila 

dewi cabul itu. Bisa habis perjaka di 

desa ini dihisap olehnya. Lagi-lagi 

Niniwulandari menggerutu. Nafsu apa yang 

merasuki diri Pratiwi, hingga nafsu 

sexnya begitu besar.

Agaknya permainan di dalam gubuk itu 

telah berakhir. Dua penghuninya sedang 

melepaskan kenikmatan yang terakhir itu 

dengan nafas panjang. Lalu terkulai 

lemah di balai-balai.

Pratiwi bangkit memakai pakaiannya. 

Dan berkata pada pemuda yang 

menemaninya, "Cukup sudah untuk malam 

ini. Aku suka padamu. Kau pemuda yang 

kuat dan tangguh. Aku akan memanggilmu 

kalau aku butuh lagi."

Pemuda itu mengangguk-angguk 

tersipu. Pratiwi mencium bibir pemuda 

itu lama sekali sampai kehabisan nafas.


Setelah itu dia menyuruhnya untuk segera 

pulang. Biar begitu, Pratiwi masih 

ingat, kalau Madewa Gumilang akan datang 

malam ini. Dia harus segera 

menyambutnya.

Pemuda itu memakai pakaiannya 

dengan terburu-buru. Lalu menyelinap 

lewat pintu belakang dan berlari 

terseok-seok.

Letih, karena tenaganya habis 

terkuras. Niniwulandari yang melihatnya 

geleng-geleng kepala.

"Dasar cabul! Semakin hebat saja 

kurasa permainan ilmu selendang merah 

dewi cabul itu!" makinya sebal.

Ia menunggu Pratiwi keluar. Udara 

yang dingin tak dirasakan oleh 

Niniwulandari. Nenek sakti itu telah 

menjalari darahnya dengan tenaga 

dalamnya hingga melindunginya dari rasa 

dingin.

Dan dia menggeram lagi. Dewi cabul 

itu belum keluar-keluar juga. Apa ada 

pemuda lain di sana?

Benar-benar gila! Yah... siapa pun 

akan tertarik pada dewi cabul yang cantik 

itu. Tetapi malam, ini, dia harus 

'bertanding' dengan dua pemuda. Gila. 

Gila!

Niniwulandari menggerutu jengkel.

Ditunggunya lagi.

Tapi tak terdengar desah nafas turun 

naik. Sialan, pasti dewi cabul itu ingin 

menggodanya!

Jengkel Niniwulandari melangkah 

masuk. Sebenarnya Pratiwi ingin menguji 

ilmu selendang merahnya pada nenek tua 

itu. Makanya dia sengaja tidak keluar. 

Dia menunggu sampai nenek tua itu masuk.

Dibiarkan saja Niniwulandari 

memasuki gubuknya. Nenek sakti itu tidak 

tahu maksud Pratiwi, dia enak saja masuk 

ke gubuk itu walau hatinya jengkel.

Dan mendadak saja dia berjumpa-

litan. Bersalto ke belakang dengan cepat 

dan hinggap dengan sempurna di tanah. 

Menghindari kebutan selendang merah 

Pratiwi.

Pratiwi terbahak. Senang melihat 

nenek sakti itu panik. Niniwulandari 

menggeram jengkel. Mau coba rupanya si 

dewi cabul ini.

Baik, akan diterimanya permainan 

ini sebelum menghadapi murid Ki 

Rengsersari itu. Niniwulandari diam. 

Merapal ilmunya. Setelah itu dia 

melangkah lagi mendekati pintu gubuk 

itu. Tetapi Selendang Merah Pratiwi 

menyambutnya lagi.

Kali ini Niniwulandari tidak 

menghindar. Dia menyambut selendang itu 

dengan tangkisan tangan yang langsung 

membuat tangan kanannya terasa ngilu, 

dengan cepat ia mundur ke belakang kalau 

tidak mau terkena sabetan selendang itu 

lagi.

Hmm, sudah hebat sekarang rupaya 

ilmu selendang merah Pratiwi. Pantas,


pantas, dia berani bermain-main 

dengannya.

Niniwulandari menarik nafasnya. 

Menghimpun tenaga dalamnya di pusarnya. 

Lalu mengedarkan melalui darah dengan 

bantuan tenaga angin. Itulah ilmu 

kebalnya yang bernama Ilmu Menghimpun 

Tenaga Matahari.

Sebenarnya kalau memakai tenaga 

matahari, lebih dahsyat hasilnya. 

Senjata macam apa pun tak akan mampu 

melukainya.

Setelah merapak ilmunya, Nini

wulandari melangkah lagi. Kali ini dia 

membiarkan selendang merah Pratiwi 

menghujani tubuhnya. Niniwulandari 

terus melangkah. Tak menghiraukan 

sabetan-sabetan selendang merah itu yang 

kadang berubah lemas dan tegak.

Kadang juga seperti membentuk 

tombak yang ujungnya meruncing tajam! 

Dan berbahaya.

Namun kali ini selendang merah itu 

tak ada gunanya. Niniwulandari masuk 

dengan selamat.

Pratiwi menghentikan serangannya. 

Ia terkekeh seolah senang melihat 

keberhasilan Niniwulandari menembus 

serangannya. Padahal dia sedang menutupi 

kekagetannya, karena ilmu selendangnya 

masih belum mampu mengalahkan ilmu 

menghimpun tenaga matahari milik nenek 

tua itu.


Dulu pun, ketika dia berniat merebut 

pusaka Siluman Mata Air, ilmu menghimpun 

tenaga matahari itulah yang 

mengalahkannya. Dan sekarang dia masih 

belum mampu mengalahkannya!

"Kau semakin hebat saja, Nenek tua!" 

pujinya. Kali ini setulus hati.

Niniwulandari terkekeh. Menjawab 

merendah, "Kau semakin hebat, Dewi 

cabul. Ilmu selendang merahmu sudah 

sempurna sekali. Lima orang pemuda lagi 

yang kau hisap keperjakaannya, maka aku 

bisa kau kalahkan."

Pratiwi mendengus.

"Bah! Susah mencari pemuda yang 

benar-benar perjaka di sini. Tadi pun 

sudah tidak perjaka, hanya tampang 

mereka yang masih kelihatan muda. Yah... 

hanya kepalang tanggung saja, nafsuku 

sudah minta pelampiasan, tak ada jalan 

lain, kulepaskan saja pada dia.

"Itu bagus! Bisa habis perjaka di 

sini kalau kau hisap semuanya!" 

Niniwulandari terkekeh. Mengejek dalam 

hati, rasakan kau, dewi cabul!

Lagi Pratiwi mendengus. Dia memakai 

selendang merahnya, untuk menutupi buah 

dadanya yang nampak dari baju suteranya 

yang tipis.

Niniwulandari langsung ke 

persoalan, setelah tidak ada yang perlu 

dibicarakan lagi.

"Sudah datang murid Ki Rengsersari 

itu?"


"Belum! Tapi bagus, aku masih sempat 

bercinta dengan pemuda tadi."

"Bah!"

Pratiwi tertawa. "Jangan iri kau, 

Nenek. Nafsumu sudah mati sih! Mungkin 

tengah malam, pemuda itu datang."

"Atau dia tidak tahu di mana kau 

berada?"

"Dia pasti tahu. Aku sengaja 

menyebutkan gubukku ini pada orang-orang 

desa. Lagipula, namaku sudah tenar di 

desa ini sebagai perusak. Bisa jadi 

Madewa bertanya dan orang itu menjawab 

dengan benar. Hai, Nenek Tua!" panggil 

Pratiwi tiba-tiba.

Niniwulandari mengangkat 

kepalanya. Menatap dewi cabul itu. "Ada 

apa! Kau takut menghadapi pemuda itu? 

Hhh!" Nenek itu mendengus melecehkan. 

"Pukulan bayangan sukma tidak akan bisa 

sempurna jika dimainkan oleh orang lain, 

biarpun dia itu langsung mendapatkannya 

dari Ki Tua yang sudah mampus itu."

Pratiwi terdiam. Sebenarnya bukan 

itu yang dikuatirkannya. Dia kuatir 

Madewa datang tanpa pedang pusaka yang 

diinginkan Niniwulandari.

Nah, Ini yang menjadi masalahnya. 

Nenek tua itu bisa marah besar dan ada 

kemungkinan dia akan membunuh Madewa. 

Pratiwi menyayangkan itu. Madewa perjaka 

asli yang bisa dinikmati keperjakaannya. 

Hmm, dia harus mencari akal untuk 

menghalangi hal yang satu ini.


Dia lalu berkata dengan pura-pura 

ketakutan, "Yah, aku menakutkan soal 

yang satu ini. Dulu aku pernah 

dikalahkannya dengan pukulan bayangan 

sukma."

Niniwulandari terkekeh melecehkan. 

"Tenang saja kau, Dewi cabul. Biar aku 

yang menghadapi pemuda itu. Percaya 

padaku, dia akan kubuat bertekuk lutut 

hingga mau melayanimu dengan senang 

hati. Dan ingat... pedang pusaka dewa 

matahari itu harus kumiliki." Nenek itu 

terkekeh lagi. "Sebagai pengganti pedang 

Siluman Mata Air yang hilang entah ke 

mana."

Keduanya lalu tertawa berbarengan. 

Hanya tawa keduanya itu berbeda makna. 

Niniwulandari tertawa penuh kesenangan 

karana sebentar lagi akan memiliki 

pusaka yang dihebohkan, sedangkan 

Pratiwi hanya tertawa berpura-pura, 

menutupi kekuatirannya akan tangan 

telengas Niniwulandari membunuh Madewa!

Sementara itu, tanpa mereka 

ketahui, sesosok berbaju hitam-hitam, 

mengintai dan mendengar pembicaraan 

mereka dari balik semak yang tumbuh di 

sekitar sungai hitam itu. Langkah orang 

itu ringan dan mengandung tenaga. 

Buktinya Niniwulandari dan Pratiwi tidak 

mengetahui kedatangannya. Padahal

sebelum Pratiwi mempersilahkan Nini

wulandari masuk, orang misterius itu 

sudah berada di sana!


Dia hanya mengangguk-angguk 

mendengar percakapan itu. Setelah tidak 

ada yang penting lagi menurutnya, orang 

itu segera melompat dan menghilang.

Bertepatan dengan itu, Madewa 

Gumilang muncul! Dia sempat melihat 

bayangan itu berkelebat. Tanpa bersuara 

lagi, Madewa mengejar!

Agaknya orang itu tahu kalau ada 

yang mengejar. Ia mempercepat larinya. 

Madewa pun tak mau kalah. Ilmu 

meringankan tubuh yang dipelajarinya 

dari Ki Rengsersari ditambah tekanannya.

Tiba-tiba Madewa menghentikan 

larinya. Ia duduk persila. Daripada 

susah-susah dia kejar tanpa hasil, lebih 

baik diperhatikan saja. Bukankah dia 

memiliki ilmu pandangan menembus sukma? 

Maka dia pun mulai merapal. Tangannya 

mengembang ke samping, lalu bersatu di 

dada. Dia mengambil nafas. Memejamkan 

matanya.

Dan mendadak saja pandangannya 

mererang. Menembus gelapnya malam. 

Sesosok tubuh hitam-hitam itu pun 

tertangkap oleh pandanganya. Orang itu 

tengah celingukan, menanti orang yang 

mengejarnya. Tapi rasa-rasanya orang 

yang mengejarnya tidak sanggup 

mengikutinya. Sosok hitam itu 

memperlambat langkahnya. Dan dia membuka 

penutup kepala sampai ke wajahnya!

Madewa terkejut. Dia kenal dengan 

orang itu. Pemuda yang bicara dengan


Genda di warung nasi. Buntoro! Hmm, bukan 

main. Pemuda yang nampak lemah itu 

mempunyai simpanan ilmu yang hebat. Tapi 

mau apa dia mendengar pembicaraan 

Niniwulandari dan Pratiwi. Madewa pun 

sudah mengetahui siapa yang berada di 

dalam gubuk itu. Ilmu menembus sukma 

warisan Ki Rengser ternyata berguna 

sekali.

Hmm, lebih baik dia mengangkap 

Buntoro saja. Dia harus tahu! Madewa pun 

menghentikan rapalannya. Seketika 

tempat itu terlihat gelap. Pohon-pohon 

yang tinggi seakan berserakan. Lalu ia 

berlari dengan cepat menyusul Buntoro 

yang berjalan tanpa perasaan diikuti. 

Lebih baik disergapnya saja 

Buntoro, sebelum pemuda itu bersiaga. 

Maka setelah dekat, Madewa menerjang 

menyergap. Disangkanya dia akan mudah 

meringkus Buntoro, tapi meleset. Buntoro 

merasakan angin mendesir ke arahnya.

Maka dia langsung bersalto ke depan.

Madewa mendengus. Kini keduanya 

berhadapan. Buntoro terkejut. Orang yang 

mengejarnya adalah Madewa Gumilang! Dan 

dia tidak menyangka kalau pemuda itu 

masih mengejarnya.

Dengan suara geram Buntoro berkata, 

"Mau apa kau mengikuti, Murid Ki 

Rengsersari?"

Merah wajah Madewa diejek demikian. 

Tapi dia tenang saja.


"Aku ingin tahu apa maksudmu 

menguping pembicaraan orang?"

"Hhh!" Buntoro mendengus. 

"Pertanyaan tak mutu! Lebih baik kau 

minggat daripada aku marah!"

Buntoro menantangnya! Merah lagi 

wajah Madewa. "Aku tidak akan minggat 

sebelum kau menjawab!"

"Bangsat! Apa perlumu mendengar 

jawabanku?"

"Tak banyak. Aku tak suka kau 

mencuri dengar pembicaraan orang."

"Lalu apa maumu?" Naik darah 

Buntoro.

"Jawab, atau kita main-main 

sejenak."

"Setttan!!" Geram Buntoro jengkel. 

Murid Ki Rengser ini benar-benar hendak 

mencobanya. Disangkanya dia takut. Hmm, 

murid kesayangan Niniwulandari tidak 

pernah mundur selangkah pun menghadapi

siapa pun juga. Tak terkecuali murid 

tunggal Ki Rengsersari itu.

Setelah menggeram panjang, Buntoro 

menerjang. Pukulannya cepat, lurus ke 

wajah Madewa. Madewa merasakan tenaga 

yang kuat tersalur di tangan Buntoro. Dia 

mengelak ke samping dan membalas dengan 

sapuan ke kaki Buntoro. Buntoro mencelat 

ke atas. Luar biasa. Selagi tubuhnya 

terbang, dia bisa melancarkan tendangan-

nya tepat ke kepala Madewa. Sedetik 

Madewa tak merunduk, bisa mampus dia. 

Lagi serangan Buntoro meleset.


Buntoro hinggap dengan mulusnya. 

Dan langsung melenting lagi. Rupanya 

Buntoro tidak mau membuang kesempatan 

yang ada untuk menyerang. Bagaimana pun 

posisinya dia harus menyerang. Kali ini 

tangan dan kakinya bekerja bersamaan. 

Madewa bersiaga. Tiba-tiba dia melenting 

pula. Menyambut serangan Buntoro dengan 

gebrakan yang sama. Begitu hampir 

bertabrakan, Madewa mencelat ke samping. 

Dan menendang pinggang Buntoro sampai 

orang itu jatuh.

Serasa ngilu pinggang Buntoro. Tapi 

dia langsung bangkit. Rupanya Buntoro 

benar-benar murid kesayangan

Niniwulandari, buktinya dia memiliki 

ilmu menghimpun tenaga matahari yang 

hebat. Buntoro pun langsung merapalnya. 

Akan dia habisi pemuda sialan ini.

"Hmm, bersiap-siaplah, Madewa. 

Ajalmu sudah dekat," ejeknya sambil 

menyilangkan tangan di dada.

Madewa tahu akan ilmu itu. Tapi dia

heran, ini malam hari. Matahari tidak 

ada. Tenaga dari mana diambilnya? Tanpa 

matahari ilmu itu tidak ada gunanya 

mestinya.

Buntoro tertawa mengejek. Rupanya 

dia tahu jalan pikiran Madewa.

"Jangan terkejut, Madewa. Ilmu 

menghimpun tenaga matahari, tanpa 

matahari pun bisa dilakukan. Dia 

menyerap sinar bulan dan mempersa-

tukannya dengan tenaga bayu. Ini


kekuatan yang lebih dahsyat. Nah, 

bersiaplah menerima kematianmu!" 

Buntoro menjalankan tangannya perlahan 

ke depan. Tiba-tiba dia melanjutkan 

perkataannya, "Titip apa kau buat Ratih 

Ningrum?"

Madewa agak terkejut. Buntoro tahu 

soal itu!

"Aku tidak akan mati di tanganmu, 

Buntoro. Ratih Ningrum tetap akan 

menjadi kekasihku yang setia."

Buntoro ngakak. "Ha... ha... jangan 

mimpi, Madewa! Kau akan menerima hukuman 

dari Tuan Biparsena setelah membunuh 

Selendang Merah. Makanya, gembel 

berkasih-kasihan dengan jutawan, mimpi 

di siang bolong!"

Merah wajah Madewa mendengar ejekan 

itu. Didengarnya lagi perkataan Buntoro, 

"Kau tidak akan sempat membunuh 

Selendang Merah, karena ajalmu ada di 

tanganku. Nah, kesempatan terakhir 

sebelum kau mampus, ketahuilah, akulah 

yang mengadukan hubunganmu dengan Bi-

parsena! Aku cemburu padamu, Madewa. Aku 

mencintai Ratih Ningrum. Dan aku siap 

menyingkirkan sainganku dengan jalan apa 

pun!" Kini Madewa mendengus. Geram. 

Rupanya ini biang keladi dari semua ini. 

Pantas Biparsena bisa tahu hubungannya 

dengan Ratih Ningrum.

Hmm, sekarang pun dia siap mengadu 

nyawa.


Dia tak sudi Ratih Ningrum jatuh ke 

pelukan laki-laki setan ini.

Madewa pun menghimpun ilmu pukulan 

bayangan sukmanya dengan sempurna. 

Buntoro memperhatikan. Hmm, dia belum 

merapal dengan baik. Kesempatan yang 

bagus. Dia harus menyerang!

Dan diserangnya Madewa selagi 

pemuda itu tengah merapal ilmunya. 

Pekikan keras membuyarkan konsentrasi 

Madewa. Apalagi pukulan lurus yang 

mengandung tenaga yang hebat dari 

Buntoro sudah menerjang.

Tak ada kesempatan berkelit. Hanya 

satu-satunya jalan, menangkis. Tetapi 

resikonya besar. Namun tak ada jalan 

lagi. Begitu tangan Buntoro mendekat, 

asal saja Madewa menangkis.

"Aauuuh!"

Buntoro terhuyung ke belakang 

dengan muntah darah! Sementara Madewa 

tegak tak kurang suatu apa!

Kembali keajaiban itu terjadi. 

Tubuh Madewa seakan ada yang melindungi. 

Lagi-lagi Madewa heran. Tadi dia mengira 

benar-benar hanya sampai di situ 

umurnya. Hmm, siapa orangnya yang tengah 

melindungi dia. Madewa tidak tahu, 

keajaiban itu timbul dari sari rumput 

kelangkamaksa yang mengandung tenaga 

penghalang dari setiap serangan yang 

datang!

"Hauuuk!" Buntoro muntah darah 

lagi. Tubuhnya kejang. Rupanya


pukulannya itu mengenai dirinya sendiri. 

Tanpa sempat memikirkan keheranannya, 

Buntoro sudah pergi untuk selama-

lamanya.

Jeritannya menggema keras. Madewa 

mendesah. Kesombongan itu akhirnya 

runtuh juga, walau dipertahankan dengan 

jalan apa pun.

Tetapi kepergian Buntoro memecahkan 

teka-teki siapa yang mengadukan 

hubungannya dengan Ratih Ningrum pada 

Biparsena. Buntoro yang terbakar cemburu 

buta!

Dia pulalah yang mengintip setiap 

kali keduanya berhubungan.

Madewa agak menyesal, sebenarnya 

dia tidak menghendaki kematian Buntoro. 

Pemuda itu masih bisa dipakai untuk 

dimintai keterangan. Tentang keadaan di 

sungai hitam itu. Tetapi begitu Madewa 

muncul tadi, Buntoro malah merasa dia 

harus melenyapkan pemuda itu!

Yang menjadi saingannya dalam 

mengambil hati Ratih Ningrum.

Gadis yang dicintainya.

Namun ajal telah datang padanya.

Madewa menengadah. Menatap langit 

yang agak hitam. Tiba-tiba saja dia rindu 

akan Ratih Ningrum. Gadis jelita yang 

menggoda hatinya.

Dia rindu akan mata indah gadis itu. 

Senyumnya yang hangat dan manis. 

Bibirnya yang merekah dan selalu 

menunduk tersipu jika dikecup.


Tapi sayang, kini tak bisa 

dikecupnya lagi bibir gadis itu. Tak bisa 

dinikmatinya mata indah gadis itu. Tak 

bisa diresapinya lagi senyum gadis itu.

Suara 'krak' dari belakang 

membuyarkan lamunannya. Dia bersiaga. 

Hanya seekor binatang malam yang keluar 

hendak mencari makan.... Dan mengi-

ngatkannya akan tantangan Pratiwi si 

Selendang Merah di sungai hitam.

Yah, kali ini dia harus berhadapan 

lagi dengan tokoh cabul yang hebat itu. 

Apalagi Nini wulandari ada di sana, entah 

mau apa. Yang pasti dia membantu dewi 

cabul itu.

Madewa cepat melesat. Tantangan itu 

harus segera dipenuhinya. Entah apa yang 

akan terjadi nanti jika dia benar-benar 

berhadapan dengan kedua tokoh kosen itu.

Dia akan mempertahankan selembar 

nyawanya! Dan Madewa berhadap, keajaiban 

itu akan muncul lagi! Ah, siapa 

sebenarnya orang yang berada di 

belakangnya yang menolongnya itu. Madewa 

tidak yakin kalau keajaiban tadi muncul 

dari dalam dirinya.

Karena sampai saat ini, Madewa tidak 

tahu apa penyebabnya.

Malam semakin merambat.

* * *


EMPAT



Di tepi sungai hitam itu, 

Niniwulandari menggerutu terus sejak 

tadi.

Pratiwi hanya sesekali tertawa. 

"Sabar, Nini. Sebentar lagi pemuda itu 

pasti datang. Dan kau akan memiliki 

pusaka yang ampuh itu. Kau pasti akan 

menjadi tokoh persilatan nomor satu dan 

tak ada tanding!" hibur Pratiwi setengah 

menghasut. Karena bantuan nenek sakti 

itu amat dibutuhkannya.

Tetapi nenek itu mendengus. "Hhh! 

Kalau pusaka itu sudah kudapat, akan

kucari pedang Siluman Mata Airku yang 

hilang. Akan kubunuh dan kucincang orang 

yang mengambilnya itu!"

Pratiwi tahu pusaka itu telah 

berhasil direbut Kebo Winata. Tetapi dia 

juga tidak tahu siapa yang telah membunuh 

tokoh itu dan merebut pedang pusaka.

Suatu kejadian yang masih terpendam 

dan memendam sejuta rahasia tentang 

orang itu.

"Kalau kau butuh bantuanku untuk 

mencarinya, aku akan membantumu."

"Hmm, setelah itu kau memintanya 

dariku?"

Wajah Pratiwi memerah.

"Jangan bicara demikian, Nini. Aku 

hanya ingin bersahabat denganmu. Ada 

baiknya bukan, kita bersatu setelah 

tugas ini? Kekuatan kita berdua akan


menggemparkan dunia persilatan, Nini. 

Akan kita taklukan jago-jago dunia 

lainnya. Kita tantang tokoh-tokoh kosen 

dari Tiongkok. Bukankah akan menjadikan 

dan menempatkan nama kita di tempat 

kehormatan?"

Niniwulandari tetap mendengus.

"Pintar kau, Dewi cabul! Omonganmu 

menjadi manis sekali! Demi keperjakaan 

pemuda yang kau perlukan itu, kau 

bermanis membujukku!"

Lagi-lagi memerah wajah Pratiwi. 

Panas dirasakannya. Dan mendadak dia 

menoleh ke arah yang gelap tak jauh dari 

mereka menunggu. Pendengarannya yang 

tajam menangkap langkah orang datang.

Diliriknya Niniwulandari. Nenek 

sakti itu agaknya sudah rnendengar pula, 

hanya dia tenang-tenang saja.

Pratiwi menduga pasti Madewa yang 

datang.

Dia berpikir, kalau nenek tua ini 

yang lebih dulu menyerang, nyawa pemuda 

itu bisa melayang saat ini juga. Lebih 

baik dia saja yang mendahului.

Dengan cepat Pratiwi menguraikan 

selendang merahnya. Dengan aliran tenaga 

dalam yang lemah, selendang itu tegak di 

ujungnya. Dan langsung dihentakkan 

menyambar leher orang yang baru datang 

itu, yang langsung berdiri tegak tanpa 

bisa bergrak. Karena tertotok oleh ujung 

selendang itu.


"Luar biasa!" Niniwulandari 

mengguman salut. Lalu melesat mendekati 

sosok yang kaku itu.

Pratiwi menyusul dengan cepat pula. 

Dan dilihatnya Niniwulandari telah 

membopong tubuh yang kaku itu. Luar 

biasa, nenek peot itu mampu mengangkat 

tubuh yang tiga kali lebih berat dari 

tubuhnya. Gerakannya pun ringan. Ia 

mendirikan tubuh yang kaku itu di depan 

Pratiwi.

"Kerjaan yang hebat, Dewi cabul," 

katanya memuji.

Tetapi Pratiwi tidak gembira, tidak 

menyambut pujian itu. Dia malah 

terbelalak jengkel. Mendengus. Pemuda 

itu bukan Madewa Gumilang. Bah! Siapa 

lagi dia? Kalau tahu begini, biar 

dihancurkan saja dia oleh Niniwulandari.

Ditolehnya nenek tua itu. "Nenek 

tua! Bukan ini orang yang kita tunggu!"

Niniwulandari terkejut. Dia 

memperhatikan tubuh yang kaku itu dengan 

seksama. Dan mendengus kesal pada tubuh 

itu yang tak lain adalah Genda. Pengurus 

kuda milik Biparsena yang tengah mencari 

Madewa Gumilang.

"Kau benar?" tanya Niniwulandari 

sangsi. Kuatir Pratiwi menipunya.

"Ya!" Pratiwi meludahi wajah Genda. 

Dan tangannya mengayun. Selendang 

merahnya langsung berubah menjadi tombak 

dan menembus tepat di jantung Genda. 

Darah segar mengumbar membasahi baju


Genda. Dewi cabul itu jengkel sekali. Dia 

mengayunkan lagi selendang merahnya pada 

tubuh yang ambruk jadi mayat itu, 

menampar wajah Genda hingga hancur 

berantakan.

Pemuda yang tengah mencari Madewa 

itu benar-benar sudah mampus tak 

berbentuk. Dan tak sempat mengucapkan 

sepatah kata pun ketika maut 

menjemputnya untuk ikut!

Pratiwi terkekeh senang. Dia 

melampiaskan kekesalan terakhirnya 

dengan menendang tubuh Genda ke sungai 

hitam. 

Byurr! 

Tubuh itu lambat-lambat tenggelem.

Dan kelebatan yang baru datang ini 

benar-benar yang mereka tunggu. Madewa 

Gumilang. Sedetik dia telah terlambat 

datang. Kalau saja dia tidak lewat dari 

satu detik itu, dia masih bisa 

menyelamatkan Genda.

Dia berdiri dengan sikap gagah. 

Niniwulandari yang terkekeh melihat 

kerjaan Pratiwi berbalik dengan sigap. 

Matanya menyelidik ke arah pemuda itu. Ia 

terkekeh lagi. Sementara Pratiwi 

langsung berbalik dan tersenyum genit. 

Pemuda itu benar-benar jantan, berani 

datang menyambut tantangannya. Dan 

kegagahan serta ketampanan pemuda itu 

membangkitkan kobaran nafsu birahi 

Pratiwi.


Ia langsung mengeluarkan ilmu 

pengharum tubuhnya sambil menguraikan 

selendang merahnya yang langsung 

menampakkan buah dadanya yang padat dan 

segar.

Madewa memejamkan mata sejenak 

seraya menghimpun hawa murninya. Lalu 

dia berkata, "Aku sudah datang, 

Selendang Merah."

Pratiwi terkikik. "Bagus, kau 

memang pemuda yang jantan.... Dan aku 

penasaran terhadapmu."

"Tapi kita tidak punya masalah, 

Selendang Merah. Kita tidak ada tali 

permusuhan. Lalu untuk apa kau 

menantangku?"

"Hik... hik... kalau kau mau 

melayaniku, aku akan melepaskanmu dengan 

baik-baik."

Wajah Madewa memerah. "Omonganmu 

kotor, Pratiwi!" geramnya yang membuat 

Pratiwi terkekeh. Diam-diam dia semakin 

mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya. 

Dan terlihata Madewa sedikit tersedak. 

Tanpa sadar dia sudah menghirupnya. 

Lagi-lagi dia menaikkan hawa murninya, 

untuk mengusir hawa yang menghanyutkan.

Rupanya Niniwulandari sudah bosan 

dengan basa-basi. Apalagi sejak tadi 

diperhatikannya pemuda itu tidak membawa 

apa-apa, apalagi pedang yang 

diimpikannya.


Dia langsung membentak, "Hei, 

Bocah! Serahkan pusaka Dewa Matahari 

padaku!"

Madewa melirik. Memperhatikan nenek 

tua ini. Hmm, dia pernah melihat nenek 

ini, yang pernah berkunjung ke rumah 

Biparsena. Dia juga tahu nama nenek itu, 

Niniwulandari.

"Pedang apa maksudmu, Nenek?"

"Hhh! Kau pura-pura, Bocah! Cepat 

serahkan padaku!"

Madewa tertawa keras. Menatap 

mengejek. "Rupanya kutemui lagi orang 

tolol! Dengar, Nenek! Aku tidak memiliki 

pedang itu. Juga tidak pada almarhum 

guruku, Ki Rengsersari!"

"Apa maksudmu, Bocah?"tanya 

Niniwulandari antara tak percaya dan 

terkejut.

"Kabar Pusaka Dewa Matahari itu 

hanya kabar bohong belaka! Dan tak ada 

seorang pun yang memilikinya!"

"Jangan bohong kau, Bocah!!" geram 

nenek tua itu jengkel. Ia bersiap hendak 

menyerang. Madewa masih tenang saja. Dia 

harus menyakini nenek tua ini kalau dia 

tidak memiliki pedang pusaka itu. Itu 

lebih baik. Bentrok dengan nenek tua ini 

dan si Selendang Merah bisa kacau!

"Aku tidak bohong, Nenek! Kupikir 

tokoh kosen macam kau tidak termakan 

kabar bohong itu, tapi nyatanya, kau juga 

termakan!"


Diejek begitu wajah Niniwulandari 

memerah, jengkel.

"Bohong! Kau yang menyebarkan kabar 

bohong itu! Pedang itu ada padamu!”

"Aku benar-benar tidak mengerti!" 

Madewa mengeluh sambil menggeleng

geleng. "Demi Dewa Jagat Raya, aku tidak 

memiliki pedang itu! Dan aku yakin, tak 

seorang pun di dunia ini yang memiliki 

pedang itu!"

Niniwulandari menggeram marah. Dia 

sudah merasakan asam garam dalam rimba 

persilatan. Dan dia tahu tipuan macam 

ucapan Madewa. Maka tanpa banyak cakap 

lagi, dia langsung menerjang.

Untung Madewa sudah bersiaga sejak 

tadi. Dia langsung berkelit seraya 

membalas dengan tendangan ke arah perut. 

Niniwulandari menahan pukulannya. 

Menghindar dengan jalan bersalto ke 

belakang. Tetapi Madewa terus 

mengejarnya sambil menendang balik.

"Des!" benturan antara kaki dengan 

tangan itu menimbulkan suara yang 

lumayan.

Niniwulandari menggeram dengan 

kesal. Dia membalas lagi. Kali ini tangan 

kanannya menyambar ke bawah. Madewa 

mengangkat sebelah kakinya. Justru itu 

yang fatal. Gerakan tanan kanan 

Niniwulandari hanya tipuan. Begitu 

Madewa mengangkat sebelah kakinya, kaki 

nenek tua itu langsung menyambar kaki 

tumpuan berat badan Madewa.


"Tapi!" Madewa terpelanting. Ketika 

Niniwulandari mengejar hendak menje-

jakkan kakinya ke perut Madewa, 

selendang merah Pratiwi menahan gerakan-

nya. Dan membanting Niniwulandari yang 

berontak dengan bersalto hingga tidak 

jatuh.

Niniwulandari menoleh pada Pratiwi. 

Marah. "Apa maksudmu berbuat begitu?!"

"Ingat perjanjian kita!" sahut 

Pratiwi seraya menarik lagi selendang 

merahnya.

"Tapi dia tidak membawa pusaka 

itu!!"

"Hei, Nenek tua! Dia musuhku! Aku 

yang berhak menghancurkannya. Bukan 

dirimu yang tak punya masalah apa-apa 

dengannya!!"

Niniwulandari menggeram kesal. Lalu 

berkata dengan sinis, "Baik! Kau 

selesaikan dia! Kalau kau tidak sanggup

mengalahkannya, dia menjadi bagianku! 

Mau kuapakan terserah padaku! Dengar 

Pratiwi, dia akan kubunuh!"

Madewa yang merasa ada kesempatan 

untuk bangkit mengambil nafas, memu-

lihkan pernafasannya yang terasa sesak 

tadi. Dia bersiaga, bersiap menunggu 

serangan dari si Selendang Merah.

Pratiwi pun bersiap. Selendangnya 

di putar-putar yang menimbulkan desingan 

cepat dan angin yang agak dingin. Ia 

mendekat sambil menggoyangkan tubuhnya.


Buah dadanya yang hanya tertutup sedikit 

begitu menantang pandangan.

Apalagi dengan hawa harum yang 

menguar dari tubuhnya, bisa membuat 

laki-laki langsung bangkit nafsu 

birahinya.

Tetapi Madewa telah berusaha 

mati-matian menahan semua itu dengan 

hawa murninya.

Pratiwi belum memulai serangannya. 

Sebenarnya ia merasa sayang harus 

mengalahkan pemuda ini yang paling tidak 

harus terluka di salah satu bagian tubuh 

pemuda itu. Belum lagi kalau nenek tua 

itu ingin membunuhnya.

Ya, dia harus dapat mengambil 

keperjakaan yang terpendam di tubuh 

pemuda itu dulu.

"Dewi cabul! Tunggu apa lagi? Cepat 

kau bunuh dia!!" geram Niniwulandari.

Pratiwi menghela nafas dalam-dalam. 

Lalu menyalurkan lagi tenaga dalamnya. 

Hingga putaran selendangnya semakin 

cepat dan hebat.

Tak ada jalan lain. Dia harus 

menyerang. Daripada nenek tua itu yang 

lebih dulu membunuh Madewa, lebih baik 

dia.

Dengan hentakan cepat Pratiwi 

mengibaskan selendang merahnya ke leher 

Madewa. Untung Madewa sudah bersiap 

sejak tadi. Dia langsung bersalto ke 

belakang. Tapi serangan Pratiwi terus 

berdatangan.


Begitu Madewa berdiri, Pratiwi 

memukul dengan tepakan tangan kirinya. 

Madewa menangkis.

"Des! Plak! Plak!"

Keduanya terhuyung. Tapi Pratiwi 

lebih cepat. Sambil terhuyung begitu, 

dia mengibas lagi selendangnya. Madewa 

cepat berkelit berguling.

Selendang Pratiwi menghantam sebuah 

pohon hingga berlubang. Dan serangan 

demi serangan berlanjut. Keduanya 

sama-sama tangguh.

Niniwulandari semakin bosan karena 

Pratiwi belum juga menjatuhkan pemuda 

itu. Dia mengibaskan tangannya. Selarik 

sinar biru keluar dan tertuju pada 

Madewa.

Sedetik Madewa tidak menghindar, 

hangus sudah wajahnya dihantam sinar 

itu. Pratiwi bersalto karena tersentak. 

Dan hinggap di depan nenek sakti itu.

"Tidak perlu membokong! Seranganmu 

berbahaya!" bentaknya marah.

"Kau bodoh, Pratiwi! Karena nafsumu 

kau masih main-main dengan bahaya!" 

balas Niniwulandari sebal.

"Aku tidak merasa main-main! Aku 

akan menangkap anak itu!"

"Dia berbahaya, Pratiwi. Lagi pula, 

dia tidak membawa pusaka itu!" 

"Kau mau apa?" 

"Aku akan membunuhnya!" 

"Hei, kalian orang-orang jahat!" 

bentak Madewa jemu. "Cepat kalian


kemari! Akan kucabut nyawa busuk 

kalian!!"

Niniwulandari mendengus. Berpaling 

pada Pratiwi. Dan berkata mengejek, 

"Lihat, nyawamu atau nyawanya yang 

hilang!"

Dan Pratiwi berpaling marah pada 

pemuda itu. Dengan ganas ia menerjang 

lagi. Kali ini dia tidak perduli mau jadi 

apa pemuda itu. Pikirannya cuma satu, 

anak itu harus mati! Di tangannya... atau 

di tangan nenek sakti itu.

Madewa menghindar, berlompat ke 

kiri. Tapi serangan Niniwulandari 

mengurungkan niatnya. Dia bersalto ke 

belakang. Lagi serangan dari Pratiwi 

datang. Dua buah gelombang serangan yang 

dahsyat berusaha dihindarinya dengan 

mati-matian.

Suatu ketika Niniwulandari 

membentak. "Jatuh!"

Mendadak pertahanan Madewa goyah. 

Ia terhuyung ke belakang, namun berusaha 

untuk tidak jatuh.

"Jatuh!"

Madewa terhuyung lagi. Tahu-tahu 

dia membentak pula.

"Tidak!"

"Jatuh!"

"Tidak!" Madewa tegak lagi. Jurus 

Ular Menyimpan Tenaga digunakannya 

dengan sempurna.

Niniwulandari membentak lagi. 

Pandangan matanya berubah menjadi merah.


Ia telah menggunakan ilmu sihirnya. Tapi 

ilmu itu tetap tak membawa pengaruh yang 

besar selain membuat Madewa terhuyung 

sebentar untuk berdiri tegak.

"Tidak!" seru Madewa sambil 

menerjang. Niniwulandari tersentak. 

Konsentrasinya kuat. Ia tak sempat 

menangkis pukulan Madewa.

"Des! Aaaah!" Ganti sekarang 

Niniwulandari yang terhuyung. Madewa 

mencecar terus. Dua buah pukulannya 

mengenai bagian kaki dan wajah 

Niniwulandari. Ketika akan melakukan 

serangan lagi, selendang merah Pratiwi 

menangkap tangannya. Dan membantingnya.

Ketika ditarik itu Madewa tidak 

menahan, malah mengikuti arah tarikan-

nya. Dan mengempos tubuhnya ke arah 

Pratiwi.

Pratiwi terkejut. Tidak menyangka 

pemuda itu berbuat nekat. Dengan begitu 

dia mencoba menjajagi berapa besar 

tenaga Pratiwi. Cepat Pratiwi melepaskan 

libatan selendang merahnya dari tangan 

Madewa.

Dan tangan kirinya menghantam 

tangan Madewa.

"Plak! Plak!"

Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, 

Madewa berkelit ke samping. Dan bergerak 

dengan cepat. 

"Des!"

Tubuh Pratiwi terhantam kaki 

kanannya. Pratiwi mengaduh. Belum lagi


dia berdiri, Madewa sudah menerjang. 

Sejak tadi dia merapal pukulan 

andalannya.

Tak ada jalan lain. Dia dalam 

keadaan terdesak. Dia harus mengelurkan 

jurusnya yang paling ampuh. Kedua 

tangannya mengepal. Dan mengeluarkan 

asap putih.

"Hiaaat!"

Niniwulandari tahu gelagat itu. 

Pukulan Bayangan Sukma, siap mencabut 

nyawa Pratiwi yang masih terhuyung. 

Dengan secepat kilat dia bersalto tiga 

kali dan mendorong tubuh Pratiwi.

"Wuttt!" serangan Madewa lewat di 

atas kepala dewi cabul itu. Menghantam 

dua buah pohon yang berjajaran dan 

seketika hangus dengan daun berguguran.

Niniwulandari membentak dan ber-

balik. Lagi selarik sinar biru mengarah 

pada Madewa. Madewa tak sempat mengelak. 

Ia menyongsong sinar biru itu.

"Des! Duaaar!"

Ledakan itu terdengar hebat. 

Niniwulandari tertawa dalam hati. Pasti 

hangus tubuh pemuda itu. Demikian pula 

Pratiwi, yang sudah tidak menghiraukan 

keperjakaan pemuda itu. Yang pasti dia 

sudah membalas kematian Gundaling.

Namun kedua-duanya terbelalak 

kaget. Malah Niniwulandari mengusap-

usap matanya, seolah tak percaya pada 

penglihatannya sendiri.

Madewa masih berdiri tegak.


Tak kurang suatu apa.

Ketika kedua lawannya sedang 

terbengong itu, Madewa membentak dan 

menerjang. Walaupun masih terbengong, 

keduanya bukan jago kemarin. Dengan 

reflek keduanya menghindar.

Bergulingan.

Madewa terbahak.

"Ternyata sinar birumu tak berguna 

untukku, Nini! Pukulan Bayangan Sukma 

tetap nomor satu!"

Bukan main geramnya Niniwulandari. 

Selagi pemuda itu meleng, dia melepaskan 

lagi pukulan jarak jauhnya.

"Siing!"

Madewa terkejut. Dia telah dibuai 

oleh kemenangannya. Tak ampun tubuhnya 

terhantam pukulan itu. Dia terguling. 

Jatuh. Dan muntah darah.

Dia tidak siap dengan ilmu pukulan 

bayangan sukmanya. Maka dia kena 

terhantam. Kalau saja bukan Madewa, 

mungkin orang itu sudah mati hangus tak 

berbentuk.

Walaupun begitu, Niniwulandari 

terbahak melihat hasil kerjanya.

"Pratiwi! Kau bunuh dia!"

Tertatih selendang merah bangkit. 

Kemarahannya sudah ingin meledak di 

ubun-ubun. Tanpa membuang waktu lagi, 

dia mengayunkan selendang merahnya. Siap 

mencabut nyawa Madewa!

Tetapi tiba-tiba dari atas pohon 

terdengar tawa terkekeh-kekeh, panjang.


Sesosok tubuh berpakaian hitam-hitam 

dengan penutup wajahnya tergelak-gelak 

sambil menggoyang-goyangkan kaki. Di 

tangan kanannya terdapat sebuah pedang 

aneh, karena pedang itu mengeluarkan 

sinar putih yang menyilaukan mata.

Mereka terkejut. Madewa heran, 

apakah orang itu Buntoro? Bukankah dia 

sudah mampus?

Pratiwi terbelalak. Sejak tadi dia 

tidak mendengar adanya orang di atas 

pohon itu. Pasti sejak mereka bertempur 

dia sudah berada di sana.

Niniwulandari lebih kaget lagi. 

Pedang di tangan orang itu dikenalnya. 

Pedang kepunyaannya. Pusaka Siluman Mata 

Air!

Hei, mengapa pedang itu ada padanya? 

Apakah orang ini yang telah membunuh Kebo 

Winata dan merebut pedang itu? Kemarahan 

Niniwulandari semakin naik. Tanpa 

basa-basi lagi dia menyerang. Pukulan 

jarak jauhnya mengibas orang asing itu. 

Tapi orang itu cepat melentingkan 

tubuhnya dan hinggap di tanah dengan 

sempurna. Seolah sebuah kapas yang jatuh 

dari atas. Sementara ranting kecil yang 

didudukinya itu hancur terkena pukulan 

jarak jauh nenek tua itu.

Orang itu terbahak.

"Ha... ha... nenek peot! Aku 

menampakkan diri sekarang! Dengarlah 

kau, Nenek peot! Akulah yang telah


membunuh Kebo Winata, dan merebut pedang 

pusakamu ini!

Sekarang jika kau menginginkannya, 

rebutlah dariku!" Orang berpakaian 

hitam-hitam itu terbahak, lalu 

menyambung lagi, "Nenek peot, apa yang 

dikatakan pemuda itu benar! Tentang 

Pusaka Dewa Matahari adalah kabar 

bohong!

Kau tak perlu kaget! Dan kau Madewa, 

akulah orang yang selama ini kau cari! 

Akulah yang menyebarkan kabar bohong itu 

untuk gurumu, Ki Tua yang telah mampus!"

Madewa terbelalak gusar. Sakit 

tidak dirasakannya lagi. Pengakuan yang 

telah lama ditunggu-tunggunya. Tajam ia 

menatap orang itu.

"Bangsaaat!!" geramnya marah. "Kau 

harus membayar semua perbuatanmu itu 

dengan nyawamu!"

Orang itu geleng-geleng kepala.

"Jangan mimpi, Bocah. Apa bisamu, 

hah?!"

Sejak tadi yang tidak mengerti hanya 

selendang merah. Dia hanya kaget karena 

tidak mengetahui adanya orang berpakaian 

hitam-hitam itu. Dan terbengong-bengong 

mendengar orang-orang itu adu mulut. 

Tetapi kemudian dia tanggap. Orang itu

yang telah mencuri pusaka Siluman Mata 

Air milik Niniwulandari dan penyebar 

kabar bohong tentang adanya pusaka dewa 

matahari. Tapi apa tujuan orang itu 

melakukan ini semua?


Pratiwi mencetuskan keherannya, 

"Kisanak, tanpa tujuan yang pasti, kau 

tentu tidak akan melakukan semua itu, 

bukan?"

Orang itu tergelak lagi. Merasa lucu 

dengan pertanyaan Pratiwi. "Ha... ha... 

perempuan cabul, kau pintar omong juga 

rupanya! Kukira yang kau tahu hanya nafsu 

birahi saja!" Tanpa menghiraukan wajah 

Pratiwi yang memerah, orang itu 

melanjutkan, "Baiklah, kalian dengarkan 

semua! Memang pedang siluman mata air ini 

kurebut dari Kebo Winata, yang telah 

berhasil merebutnya dari nenek peot itu. 

Kalian tentu heran, kenapa aku bisa 

membunuh Kebo Winata? Ha... ha... racun 

kelabang hitamku bekerja dengan ampuh 

pada air yang kusuguhi untuknya!"

Sampai di situ orang itu bicara, 

terdengar sahutan, 

"Keji!"

"Tak ada jalan lain, Selendang 

Merah. Tubuh yang telah tak berdaya itu 

kuhancurkan dengan pedangku! Dan 

kubuang! Mudah, bukan!"

"Lalu apa maksudmu menyebarkan 

kabar bohong itu untuk guruku?!" bentak 

Madewa yang dari tadi tak tahan untuk 

bicara, wajahnya memerah menahan marah.

"Ha... ha... muda saja! Biar 

orang-orang yang gila akan pusaka 

Siluman Mata Air beralih pada Ki 

Rengsersari yang memiliki pusaka Dewa


Matahari! Dan aku terbebas dari 

orang-orang gila itu!

Hanya yang disayangkan, Ki 

Rengsersari memiliki seorang murid, yang 

bisa menjadi duri bagiku! Yang menjadi 

bukti terkuat, kalau kabar itu 

benar-benar kabar bohong. Dan murid itu 

adalah kau, Madewa"

Sampai di situ, orang itu menyerang 

Madewa. Lengan kirinya mengembang 

membentuk cakar, sasarannya adalah 

jantung!

Madewa berkelit lagi. Padahal dia 

tengah menutupi kekagetannya. Jarang 

orang yang bisa menghindar dari serangan 

cakar macanya. Ketika dia akan menyerang 

lagi, Pratiwi berseru, "Tahan!"

Orang itu melirik mengejek. "Hmm, 

mau apa kau, Dewi cabul?"

"Sebelum berakhir semua ini, aku 

ingin tahu namamu, Kisanak...."

Belum habis kalimat Pratiwi, Madewa 

memotong, "Biar aku bisa menulis namamu 

di batu nisanmu nanti!"

Kalau tidak tertutup topeng hitam 

itu, pasti mereka dapat melihat betapa 

memerahnya wajah orang itu. Tetapi dia 

hanya tertawa, padahal dalam hatinya 

geram bukan main. Akan dihabisinya nanti 

pemuda sialan ini!

"Ha... ha... bagus, bagus! Camkan 

nama besarku baik-baik! Orang-orang 

menyebutku pendekar Cakar Macan alias 

Bayangan Hitam alias...."


"Kambing kentut!" dengus Nini

wulandari yang sudah tidak dapat menahan 

jengkelnya. Baru sekarang ditemukannya 

orang yang telah merebut pedang 

pusakanya. Dan orang itu berani-

beraninya muncul!

Punya ilmu macam apa dia? "Nenek 

peot yang pemarah!" sahut bayangan hitam 

dengan nada mengejek. "Tak perlu 

marah-marah! Jika kau ingin merebut 

kembali pedangmu ini, rebutlah! Cuma 

ingin, mengalahkanmu semudah membalik-

kan telapak tangan, Nenek peot!!"

Niniwulandari menggeram marah. 

Sekarang Madewa Gumilang tidak

dipersoalkannya lagi, karena pemuda itu 

benar-benar tidak memiliki pedang pusaka 

dewa matahari.

Kini ia berbalik pada Bayangan 

Hitam. Ia menyerang bercampur hentakan 

tenaga dalam yang mengalir melalui 

tatapannya. Bayangan hitam tahu serangan 

diam-diam itu. Namun kelihatan dia 

tenang-tenang saja. Seolah serangan 

diam-diam itu tidak dirasakannya. Dia 

malah tenang-tenang saja dengan mata 

berkedip-kedip.

Dan tahu-tahu, Niniwulandari 

mengaduh pelan. Tenaganya berbalik 

menimpanya sendiri. Matanya sangat 

pedih. Itulah yang dinamakan ajian 

bayangan hitam, yang membuat orang bisa 

termakan tenaganya sendiri.


Si Bayangan Hitam terbahak, "Ilmu 

tak berguna kau pamerkan kepadaku! Kau 

cari mati saja, Nenek peot!"

Niniwulandari geram bukan main. 

Tahu-tahu dia berteriak dan menerjang 

dengan pukulan serentak. Bayangan hitam 

berkelit dengan cepat. Geraknya cocok 

sekali dengan tingkatan ilmunya, yang 

dapat bergerak bagaikan bayangan.

Tak satu pun serangan Niniwulandari 

yang masuk.

Bayangan hitam bersalto ke 

belakang.

"Kenapa hanya kau yang menyerangku, 

Nenek peot! Kau pun boleh menyerangku, 

Madewa! Musuh besarmu berada di sini 

sekarang! Jangan sungkan, balaskan 

dendam Ki Rengsersari! Tetapi ingat, 

mengalahkanmu juga tak sesulit 

mengalahkan nenek peot itu!!"

Justru yang geram adalah Pratiwi. 

Setidaknya, dengan datangnya Bayangan 

Hitam, perhatian Niniwulandari terlepas 

dari Madewa. Dan ia tak mungkin bisa 

mengalahkan Madewa sendiri.

Tanpa banyak cakap lagi, dia 

mengelebatkan selendang merahnya. 

"Wuuutt!"

Dengan tangkas Bayangan Hitam meng-

hindar. Sambil melompat itu dia berseru, 

"Ha... ha... Selendang Merah rupanya 

turun tangan juga! Baiklah, kalian 

jangan sungkan! Keroyoklah aku! Dan


kalian akan merasakan serangan kalian 

itu sia-sia!!"

Sehabis berkata begitu, di Bayangan 

Hitam meloloskan pedangnya. Benar-benar 

sebuah pedang yang hebat dan 

diimpi-impikan oleh orang-orang rimba 

persilatan!

Pedang itu memancarkan sinar putih 

yang luar biasa terangnya. Keadaan malam 

yang gelap itu seperti pada siang hari. 

Dan bagi yang mempunyai tenaga dalam 

lemah, bisa buta kedua matanya terkena 

sinar pedang itu.

Masing-masing menahan serangan 

diam-diam itu dengan menghimpun tenaga 

dalam mereka.

"Ayo maju! Tunggu apa lagi?" ejek 

Bayangan Hitam. "Kita buktikan siapa 

yang digjaya! Anggaplah kita tengah 

mengadakan pertandingan perebutan 

pusaka Siluman Mata Air! Tetapi ingat, 

pertarungan ini mempertaruhkan nyawa! 

Yang masih sayang dengan nyawanya, lebih 

baik mundur! Tidur di rumah dan menyusu 

pada ibu kalian!"

"Bangsat! Jangan banyak omong! 

Serahkan pedang itu padaku, Bayangan 

Hitam!" geram Niniwulandari seraya 

menyerang ke depan. Bayangan Hitam 

dengan lincah menghincar serangan itu.

Melihat serangannya luput, 

Niniwulandari menjadi geram bukan main. 

Apalagi pusaka yang dipegang Bayangan


hitam itu membuatnya semakin bernafsu 

untuk merebut.

Tetapi kali ini, ketika dia bergerak 

lagi, Bayangan Hitam mengibaskan pedang 

itu. Nenek tua itu menjerit kaget dan 

bersalto menghindar. Namun tak urung 

pakaiannya terkena dan hangus terbakar.

Bayangan Hitam tergelak-gelak. Yang 

lain memandang kagum dan terkejut. 

Pedang yang ampuh itu semakin hebat 

rasanya di tangan orang yang memiliki 

ilmu pedang. Seperti si Bayangan Hitam.

Madewa merasa dia harus menyerang 

pula. Selagi musuh besarnya berada di 

sini. Dilupakannya masalahnya dengan 

Pratiwi dan Niniwulandari. Dan agakaya 

keduanya juga melupakan masalah itu.

Dia menghimpun ilmu pukulan 

bayangan sukma tingkat tinggi, karena 

Madewa tahu ilmu yang dimiliki Bayangan 

Hitam. Dan menghantam orang itu dengan 

cepat. Bayangan Hitam menerjang dengan 

sambaran pedangnya. Kelitan pedang itu 

dihindarinya dengan meloncat, tetapi 

pukulannya tetap deras ke depan. 

Bayangan Hitam berbalik dan mengibaskan 

pedangnya lagi. Lagi Madewa menghindar, 

malah kakinya sempat menyampok tangan 

kiri orang itu. 

"Des!"

Bayangan Hitam terhuyung. Madewa 

melanjutkan serangannya tetap dengan 

ajian saktinya. Tak ada jalan lain.


Dengan terhuyung itu Bayangan Hitam 

memapaki serangan Madewa.

"Des!" 

Kedua-keduanya terpental. Bayangan 

Hitam kaget juga melihat serangan hebat 

itu. Tangannya terasa ngilu. Dan nyeri 

dirasakan.

Demikian pula dengan Madewa, 

pukulan bayangan sukmanya ternyata tak 

membawa pengaruh pada lawannya itu.

Dia membetulkan sikapnya berdiri. 

Belum lagi dia menyerang, Pratiwi sudah 

menyambarkan senjatanya. Tetapi Pratiwi 

menjadi kaget sendiri. Disangkanya dalam 

posisi yang goyah itu dia akan mudah 

mendaratkan selendangnya, namun 

dugaannya meleset.

Selendangnya langsung putus dan 

terbakar tersabet pedang pusaka itu.

"Bangsat!" geram Pratiwi marah. 

"Kau telah merusak selendangku!"

"Ha... ha... tak ada gunanya kau 

mengomel, Pratiwi! Karena nyawamu akan 

kucabut saat ini juga!

"Baik! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!" Pratiwi menerjang lagi. 

Sungguh berbahaya. Dia berani memasuki 

lingkaran kibasan pedang pusaka itu.

Nini Wulandari berseru 

memperingatkan, 

"Hati-hati, Dewi cabul!" Lalu dia 

sendiri memasuki ajang pertempuran.

Dikeroyok begitu, Bayangan Hitam 

masih tenang-tenang saja. Pedangnya


terus berkelebatan kesana kemari. Sampai 

sekian jurus kedua pengeroyoknya belum 

mampu menyentuh tubuhnya. Malah dia yang 

telah melukai kedua pengeroyoknya!

Lengan kiri Niniwulandari tergores 

dan hangus. Sedangkan Pratiwi telah 

telanjang bulat karena dengan cabulnya 

Bayangan Hitam merobek seluruh bagian 

baju Pratiwi dengan pedangnya.

Pratiwi mejerit. Dia berusaha 

menutupi tubuhnya dengan pakaian yang 

compang-camping. Dan buru-buru mengam-

bil sisa selendangnya dan membelitkan ke 

tubuhnya. Walaupun begitu tetap tak 

banyak gunanya.

"Biadab! Cabul kau, Bayangan 

Hitam!"

Bayangan Hitam malah terbahak-

bahak. Senang melihat tubuh Pratiwi yang 

putih mulus. Dia sengaja tak melukai 

tubuh indah itu. Lebih asyik mengoyak 

pakaian selendang merah!

Sementara Pratiwi kalang kabut, 

Niniwulandari menekap lukanya. Terasa 

perih sekali. Kalau saja Bayangan Hitam 

tidak memiliki pusaka itu, pasti dengan 

mudah dikalahkannya. Biarpun terluka, 

Niniwulandari bertekad, akan mengadu 

jiwa dengan orang itu.

Tanpa menghiraukan rasa sakitnya 

lagi, dia nekad menyerang.

"Ha... ha... keluarkan semua 

ilmumu, Nini!"


Jelas ini merupakan ilmu pamungkas 

dari nenek tua itu. Ilmu kebalnya 

dikerahkan sampai ke tingkat pamungkas. 

Dia berharap, ilmu menghimpun tenaga 

matahari mampu menahan serangan pusaka 

itu. Bayangan Hitam agaknya mengenal 

ilmu itu, dia berusaha menjaga jarak 

walaupun dia memegang pedang.

Pukulan Niniwulandari bisa 

dihancurkan tubuhnya jika dikehendaki. 

Dan nenek tua itu menghendakinya!

"Awas!!"

Bayangan Hitam berkelit. Bersalto 

ke atas. Di saat tubuhnya melayang itu, 

Pratiwi menerjang. Pukulannya tepat 

mengenai pinggang Bayangan Hitam. Namun 

semua itu harus dibayar mahal. Lengan 

kirinya buntung ditebas pedang pusaka!

"Aaaah!" Keduanya menjerit ber-

samaan. Tetapi Pratiwi ambruk, sedangkan 

Bayangan Hitam hanya mengeliat.

"Dewi cabul!" jerit Madewa 

terkejut. Biar bagaimana pun bencinya 

dia pada Pratiwi, tetap! melihat wanita 

itu menggeliat kesakitan, amarahnya 

timbul. Sejak tadi dia diam, karena 

berusaha melihat titik kelemahan ilmu 

pedang Bayangan Hitam dengan ilmu 

pandangan menembus sukma.

Dan dia akan menghancurkan orang 

itu!

Bersamaan dengan jerit yang 

mengerikan, Madewa menyerang. Bayangan 

Hitam mengibaskan pedangnya. Madewa


bersalto. Di saat bersalto itulah dia 

ingat akan keajaiban yang kerap datang 

membantunya. Tetapi mengapa tidak 

datang! Mana tenaga yang bisa mem-

balikkan serangan lawan mengenai dirinya 

sendiri?

Mana?

Bayangan Hitam mengejar. Kali ini 

dibarengi dengan jurus cakar macannya. 

Madewa tidak sempat berkelit. Cakar 

macan itu mampir di pinggangnya. Tetapi 

dirasakan oleh Bayangan Hitam kalau 

pinggang itu terasa keras. Dan tangannya 

terasa panas. Buru-buru dia melirik 

tangannya.

Madewa heran melihat musuhnya 

menjerit. Dia baru sadar, orang itu 

mencengkram seruling naga pemberian

gurunya. Ingat itu, Madewa berpikir. 

Yah... dia harus menggunakan seruling 

sakti itu.

Dengan cepat dia mencabut seruling 

itu. Dan ingat lagi akan petuah gurunya, 

kalau seruling itu tidak bisa digunakan 

dalam keadaan bernafsu atau marah.

Cepat-cepat dia menenangkan 

dirinya. Dan duduk bersila dengan 

menghimpun tenaga dalamnya.

Niniwulandari menjerit jengkel.

"Pengecut!" serunya melihat Madewa 

duduk. Dalam medan laga, pantangan besar 

bagi kesatria untuk duduk. Itu tanda 

menyerah! "Percuma kau sebagai murid


tunggal Ki Tua yang sakti itu, kalau 

menyerah!"

Madewa menyahut pelan, "Biar dia 

menyerangku, Nenek! Aku ingin tahu 

sampai di mana kehebatannya!"

"Pengecut!" Niniwulandari 

menyembrut gusar. Hhh! Dia berbalik pada 

Bayangan Hitam yang berdiri 

tenang-tenang saja. Niniwulandari 

menyerang lagi. Tetapi kembali dia 

ambruk. Kali ini Bayangan Hitam tak ampun 

lagi. Dia menyabet mati nenek tua itu. 

Hilanglah sudah nyawa nenek sakti itu. 

Dalam ajalnya dia masih sempat menjerit, 

"Bunuh dia, Madewa!" Lalu mati!

"Nenek tua!” jerit Madewa kaget. 

Sementara musuhnya tertawa terbahak.

"Jangan kau tangisi dia, Madewa! 

Sekarang hadapilah aku! Sudah kukatakan, 

kalau hidup kalian hanya sampai di sini!"

Madewa mendengus gusar. Tatapannya 

nyalang. Ia menyahut angker, "Baiklah... 

sekarang seranglah aku!"

Ha... ha... kau sombong. Baik. Kau 

lihat seranganku! Awas serangan!"

Bayangan Hitam memainkan gerakan 

ilmu pedangnya. Dan menyerang. Madewa 

tetap duduk dengan tenang. Dengan 

gerakan tenang pula dia memainkan

serulingnya. Meniup dengan perlahan. 

Tetapi suara seruling itu seakan 

membakar telinga Bayangan Hitam yang 

sedang bernafsu. Jika yang menyerang itu 

marah, maka kerja seruling itu lebih


cepat. Bayangan Hitam menjerit. Dan 

melompat ke belakang.

"Seruling Naga!"

Tetapi Madewa terus meniup seruling 

itu, N-danya semakin menyentak dirasakan 

oleh telinga musuhnya. Dia menjerit. 

Tenaga dalam dan hawa murninya serasa 

tidak bekerja menahan serangan seruling 

itu, karena dia telah dikuasai oleh 

seruling itu.

Tiba-tiba dia menerjang dengan 

diiringi jeritan nyaring. Pedangnya 

terhunus langsung ke arah jantung. 

Madewa tetap meniup seruling itu. Dia 

berdoa, semoga seruling itu mampu 

menahan serangan yang berbahaya. Tetapi 

pedang itu terus terhunus ke arahnya. 

Seruling tidak mampu menahan! Kesempatan 

untuk bergerak pun susah. Tak ada detik 

untuk mengelak. Inilah ajal bagi Madewa?

Tetapi keajaiban itu muncul lagi. 

Belum sampai pusaka itu menyentuh 

tubuhnya, orang itumsudah jumpalitan dan 

jatuh muntah darah.

Lagi-lagi Bayangan Hitam berteriak, 

"Rumput kelangkamaksa!"

Madewa menghentikan meniup 

serulingnya. Dia mendengar teriakan 

orang itu. Rumput? Oh, Dewa... rupanya 

khasiat air rumput ajaib itu yang 

menjadikannya sehebat ini.

Pantas, keajaiban itu tidak datang 

lagi. Rupanya orang yang menggunakan ini 

harus dalam keadaan tenang pula.


Di saat Bayangan Hitam kelojotan, 

Madewa meniup serulingnya lagi.Tubuh itu 

semakin kelojotan. Terlihat dari hidung 

dan mulut Bayangan Hitam mengeluarkan 

darah. Pedang pusaka Siluman Mata Air 

terlepas dari genggamannya. Mengheran-

kan, karena begitu terlepas, tiba-tiba 

cahaya yang memancar dari pedang itu, 

hilang.

Dan pedang itu hancur menjadi debu!

Sementara tubuh Bayangan Hitam 

masih menggelepar. Kali ini dari mata dan 

duburnya mengeluarkan darah.

"Madewa...." rintihnya. "Bunuh, 

bunuh saja aku. Jangan kau siksa 

begini... ah!"

Madewa terus meniup serulingnya. 

Orang sesat macam Bayangan Hitam biar 

disiksanya dulu sebelum dibunuh. Tak ada 

gunanya orang macam ini hidup. Tetapi 

akhirnya Madewa menghentikan juga meniup 

serulingnya. Tak tahan melihat lawannya 

sudah merintih demikian.

Hati-hati dihampirinya lawannya 

yang tengah sekarat. Sebentar lagi ajal 

pasti menjemputnya.

Diperhatikannya topeng hitam yang 

berwarna karena darah yang mengalir dari 

seluruh wajah orang itu. Perlahan Madewa 

membungkuk dan menarik topeng itu. Dia 

terkejut. Mulutnya menganga. Dia kenal 

wajah ini.

Wajah yang tak asing lagi!

Wajah Biparsena! Majikannya!


Orang itu ternyata memang 

Biparsena. Murid durhaka yang berani 

merebut pusaka dan membunuh gurunya 

sendiri, Niniwulandari.

Megap-megap orang itu menatap 

Madewa.

"Madewa... kau... ampunilah 

dosa-dosaku..... Aku bersalah... 

maafkanlah aku... aku tahu kau orang 

gagah... ja-ja... jaga... jagalah Ratih 

Ningrum dalam... dekapanmu.... Aku... 

aku rela... aku... ah...."

Tubuh itu ambruk untuk selama-

lamanya. Madewa mendesah. Tak tahan dia 

melihat siksaan yang terjadi pada bekas 

musuhnya, juga majikannya.

Dengan gontai dia berdiri.

Menatap senja yang mulai berarak. 

Tak terasa pertempuran itu memakan waktu 

setengah hari. 

Diperhatikannya satu per satu mayat 

yang bergeletakan. Dia menguburkannya 

dengan menahan haru dan air mata. 

Ditatapnya tubuh Biparsena dan 

Niniwulandari sebelum dikuburkan.

Orang-orang gagah yang mati dalam 

kesesatan.

Setelah menguburkan keduanya, 

Madewa menghampiri Pratiwi yang masih 

pingsan. Dibalutnya lengan kiri wanita 

itu yang buntung, agar darah tidak 

mengalir terus.

Senja semakin turun.


Tak ada hukuman yang akan dijatuhkan 

Biparsena padanya.

Tanpa menghiraukan Pratiwi lagi, 

dia beranjak meninggalkan tempat itu. 

Meninggalkan dua tubuh yang dikebumikan. 

Meninggalkan Pratiwi yang masih pingsan. 

Dan meninggalkan sepotong harapan yang 

diberikan Biparsena untuk menjaga 

putrinya.

Dia tidak melangkah menuju rumah 

Biparsena. Dia tidak ingin menemui Ratih 

Ningrum. Tugas mendiang gurunya telah 

diselesaikan. Dia ingin mencari ayahnya, 

mendadak kerinduan itu muncul. Dan 

dirasakan sebagai tugas selanjutnya. .

Tetapi dia juga berjanji, akan 

menolong orang-orang yang lemah. Dia 

akan membela kebenaran dan membasmi 

kejahatan. Seperti janjinya pada 

mendiang gurunya.

Dia cinta Ratih Ningrum. Tetapi dia 

juga tahu, gadis itu ada yang menjaga. 

Tiga pengawal Biparsena yang hebat.

Mukti, Patidina dan Tek Jien. 

Biarlah nanti kalau ada waktu dia akan 

menemui Ratih Ningrum. Tetapi untuk saat 

ini tidak. Kalau dia bertemu dengan gadis 

itu, mau tidak mau dia akan bercerita 

tentang ayah gadis itu, tentang 

kematiannya.

Biparsena yang mati di tangannya!

Madewa terus melangkah. Tak tahu 

arah, tak tahu hendak ke mana. Madewa


hanya berpikir, ke mana kakinya akan 

melangkah, dia akan mengikuti.

* * *

LIMA



Malam yang gelap dan dingin, membuat 

orang merasa lebih senang dan aman berada 

di rumah. Bercakap dan menghangatkan 

tubuh di depan perapian bersama 

keluarga.

Suasana di jalan itu hening. Tak 

seorang pun yang kelihatan berkeliaran. 

Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan 

hitam dari satu atap rumah ke atap yang 

lain. Gerakannya ringan. Dan langkahnya 

cepat. Menandakan orang itu memiliki 

ilmu meringankan tubuh yang tinggi.

Di salah sebuah rumah di ujung 

jalan, orarig itu berhenti. Kembali 

dengan ringannya dia melompat turun. Dan 

bersalto dua kali hingga sampai di 

samping rumah.

Kelihatan dia terdiam, seperti 

mengingat-ingat. "Hmm, benar ini rumah 

yang diinapi pemuda bangsat itu. 

Mudah-mudahan dia belum pergi. Aku harus 

membalaskan dendam itu sekarang juga!"

Siapa sebenarnya orang itu? Kalau 

dilihat dari gumamannya tadi, dia 

memendam dendam kesumat yang amat dalam. 

Dan dia telah bersumpah harus membalas 

dendam itu sampai akhir hayatnya.

Orang itu tidak lain adalah 

Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa 

Penunggang Kuda, yang begitu dendam pada 

Madewa Gumilang, pemuda yang tengah 

dicarinya saat ini. Pemuda itu pernah 

mengalahkannya setahun yang lewat. 

Tetapi Wirapati tidak akan bisa tenang 

sebelum membalas kematian kakak dan adik 

seperguruannya, yang tewas di tangan 

Madewa Gumilang. Dalam waktu setahun 

itu, Wirapati bersembunyi. Berlatih ilmu 

silat. Dan bisa di duga, kemajuan ilmu 

silatnya sangat pesat sekali. Ilmu 

meringankan tubuhnya pun semakin tinggi.

Dendam begitu membakarnya, sampai 

dia bisa menciptakan ilmu silat yang 

hebat sekali, yang dinamakannya jurus 

Naga Menguak Langit dan ilmu pedang yang 

tak kalah dahsyatnya, yang dinamakan, 

ilmu pedang membelah mega!

Setelah dirasakannya bekalnya telah 

cukup, Wirapati pun keluar dari 

persembunyiannya. Dia mulai melangkah 

mencari jejak Madewa Gumilang, pemuda 

yang tak akan terlupakan selama 

hidupnya. Hampir sebulan Wirapati tidak 

menemukan jejek pemuda itu, sampai 

akhirnya dia mendengar kalau di kota ini 

ada seorang pemuda yang memiliki ilmu 

pukulan bayangan sukma! Yang dengan 

ilmunya itu telah menghancurkan 

segerombolan perampok yang hendak 

merampok rumah Tuan Abindamanyu, orang 

yang terpandang di kota itu.


Wirapati berpikir, siapa lagi 

orangnya yang memiliki ilmu pukulan 

bayangan sukma selain Madewa alias murid 

tunggal Ki Rengsersari, yang meninggal 

akibat kabar bohong yang menimpa 

dirinya.

Maka Wirapati pun mulai menyelidik 

tentang adanya pemuda itu. Dan hasilnya 

memuaskan. Memang benar, pemuda itu yang 

telah menyebabkan kematian kedua saudara 

seperguruannya. Dan pemuda itu selama 

ini menginap di rumah Tuan Abindamanyu, 

tuan hartawan yang telah ditolongnya.

Wirapati pun tak kuasa lagi 

memendung dendamnya lama-lama. Dia mulai 

mempersiapkan diri. Dan malam ini dia 

menjalankan missinya.

Dengan langkah yang tetap ringan 

malah seakan tak menginjak tanah, 

Wirapati berkelebat mendekati pintu. Dia

sudah menghitung berapa banyaknya 

pengawal Tuan Abindamanyu itu. Hanya 

lima dan tampak seperti keroco yang hanya 

mengandalkan tampang yang bengis dan 

golok yang besar dan panjang.

Tidak sulit untuk melumpuhkan 

mereka. Dia mengendap mendekati penjaga 

yang berberewok tebal yang menjaga di 

pintu masuk dari belakang. Dengan sigap 

Wirapati mengambil sebuah batu kerikil 

yang kecil. Disambitnya batu itu ke arah 

penjaga, sedetik kemudian terlihat kalau 

penjaga itu tersentak dan terdiam kaku.


Rupanya Wirapati menotok dari jauh 

melalui kerikil itu.

"Benar-benar tidak sulit," gumamnya 

seraya bersalto menghampiri penjaga di 

pintu depan yang sedang tertawa-tawa 

sambil menikmati kopi hangat. Rupanya di 

bagian depan di tempatkan penjaga dua 

orang. Dan keduanya tengah tertawa 

kegirangan merasa nasib mereka sebagai 

penjaga sangat baik.

Kali ini Wirapati langsung 

berkelebat ke depan. Kedua penjaga itu 

tak sempat berbuat apa-apa. Karena 

tangan Wirapati sudah mengepit kedua 

leher mereka. Terdengar tarikan nafas 

dipaksakan. 

Heiik! 

Lalu kedua tubuh itu ambruk tak 

bernyawa.

Wirapati berkelebat lagi. Tinggal 

dua penjaga. Hmm, itu tidak sulit. Dia 

harus masuk ke dalam rumah. Dengan 

setengah berlari Wirapati memeriksa 

setiap bagian yagn bisa dipakai untuk 

masuk. Hmm, jendela di sebelah kanan 

tampak sedikit terbuka. Keadaan dalamnya 

pun terang. Wirapati mendekat. Dan 

mengintip. Terlihat olehnya seorang 

gadis manis tengah membaca buku di tempat 

tidur. Cantik sekali. Dialah Nindia, 

putri tunggal Abindamanyu yang 

kecantikannya tersohor sekali. Selain 

cantik, budi pekerti Nindia juga baik 

sekali dinilai oleh orang sekitarnya.


Nindia tidak sombong seperti kebanyakan 

anak-anak orang kaya yang lain. Dia mau 

berteman dengan siapa saja, tak perduli 

kaya atau miskin.

Wirapati melihat ke sana kemari

Tidak ada tanda-tanda orang yang datang. 

Sementara Nindia tidak sedikit pun 

melihat bahaya mengancam, dia terus 

asyik dengan buku sastranya. Nindia 

menggemari sastra-sastra. Tetapi begitu 

bayangan hitam itu berkelebat masuk, dia 

bangkit terkejut.

"Siapa kau?!" jeritnya. Tetapi 

hanya itu yang sempat diucapkan, karena 

tiba-tiba dia merasakan lidahnya sukar 

untuk bicara. Wirapati telah menotok 

urat suaranya!

"Jangan ribut, Nona! Kalau Nona 

berisik, berarti Nona akan menemui 

kematian!" ancam Wirapati bengis.

Tetapi Nindia masih mau berontak, 

walau suaranya sukar untuk dikeluarkan. 

Wirapati menjadi geram. Tangannya 

melayang ke pipi gadis itu yang kontan 

terjengkang ke ranjangnya.

Nindia mengaduh dalam hati. Dan 

menangis ketakutan.

"Sudah kubilang, kau diam saja! 

Atau... kau ingin kuhina, Nona. Biar 

semua orang tahu, kalau gadis kesayangan 

Tuan Abindamanyu, sudah tidak perawan 

lagi!!"

Mendengar ancaman yang mengerikan 

itu, Nindia terdiam. Tetapi air matanya


jatuh satu per satu. Dia menyesal mengapa 

jendela kamarnya tidak ditutup. Padahal 

ayahnya selalu berpesan sejak terjadinya 

peristiwa perampokan yang gagal itu 

karena ada Madewa Gumilang yang menolong 

mereka.

Wirapati mendekatkan wajahnya ke 

wajah Nindia yang ketakutan setengah 

mati. Tangannya bergerak, membebaskan 

totokannya pada urat suara Nindia.

"Jangan ribut, atau kuperkosa kau! 

Sekarang jawab pertanyaanku, di mana 

pemuda yang telah menolong kalian!"

"Oh... dia... dia," desis Nindia 

takut-takut.

"Jawab yang benar!"

"Dia... dia baru saja pergi tadi 

sore...."

"Hah?" potong Wirapati terkejut. 

Sia-sia kalau begini kedatangannya. "Ke 

mana dia pergi?!"

"Ka... kami tidak ada... yang tahu, 

karena... pemuda itu aneh... katanya 

dia... hendak merantau lagi...."

"Bangsaaat!!" Wirapati menggeram 

jengkel. Belum lagi dia berkata apa-apa, 

terdengar jeritan dari laur, 

"Pembunuhan! Pembunuhan!"

Wirapati bergerak sigap. Ia menotok 

tubuh Nindia yang seketika menjadi 

lemas. Cepat dibopongnya tubuh yang 

montok itu. Sebelum pergi dia menggigit 

ujung jari telunjuknya hingga berdarah. 

Lalu dangan darah itu dia menulis di


cermin yang ada di depan meja rias 

Nindia.

KALAU INGIN MENEMUI PUTRIMU, SURUH 

MADEWA GUMILANG MENEMUIKU DI TANAH 

GENTING SEBELAH TIMUR LAUT SELATAN

WIRAPATI.

Setelah menulis itu dia melompat ke 

luar. Walaupun membawa beban, sedikit 

pun dia tak kelihatan repot. Malah seakan 

tak membawa apa-apa Wirapati berkelebat 

menghilang. Melompat dari atap yang satu 

ke atap yang lain. Lalu menghilang di 

telan malam bersama tubuh Nindia.

Keadaan di rumah Abindamanyu 

menjadi kacau. Tuan rumah itu keluar 

dengan cepat bersama istrinya begitu 

mendengar seruan penjaganya tentang 

pembunuhan.

"Apa yang terjadi?" tanyanya pada 

dua penjaganya itu.

"Jaka dan Topa kami temukan mati, 

Tuan!" sahut penjaganya yang bertubuh 

lebih pendek dari yang satu. Dia bernama 

Dika.

"Kenapa bisa begini?" tanya 

Abindamanyu tak mengerti.

Belum lagi Dika menjawab, penjaga 

kebun berlari-lari dari belakang, "Tuan, 

Kang Depa berdiri kaku di belakang! Saya 

tidak bisa membua-nya bergerak lagi!"

Teman Dika yang satu langsung 

berlari ke belakang. Dia membebskan Depa


dari totokan itu. Semula sukar sekali dia 

menemukan di mana totokan itu. Tapi 

akhirnya ketemu. Di urat yang berada di 

dada sebelah kanan. Kalau saja totokan 

itu langsung dilakukan melalui melalui 

tangan, bukan melalui batu, pasti orang 

itu tidak akan bisa membebaskan Depa.

Depa mengeliat. Lalu mengucapkan 

terima kasih pada temannya.

"Apa yang terjadi, Depa?"

"Seseorang yang berbaju serba hitam 

menyerangku, Kang Raga."

"Siapa?" dengus Raga memburu. Dia 

nampak geram sekali melihat semua ini. 

Tadi dia dan Dika sedang mengontrol 

bagian luar rumah sehingga tidak 

mengetahui semua ini. Dan baru tahu 

setelah melihat tubuh Jaka dan Topa yang 

tergeletak dengan lidah menjulur. 

Diketahui kalau keduanya mati tercekik 

dan belum lama, karena tubuh mereka masih 

hangat.

"Aku tidak tahu, Kang Raga. Memang 

apa yang telah terjadi di sini?"

"Jaka dan Topa diketemukan mati!"

"Oh, Tuhan!" Tanpa banyak tanya 

lagi, Depa melesat ke depan lalu Raga 

menyusul. Benar kata Raga, kedua 

temannya itu mati dan di sana sudah ada 

tuan rumah berserta istrinya yang 

wajahnya pucat bukan main. Mungkin 

terpukul melihat mayat itu dan terkejut 

yang amat sangat.


Tuan Abindamanyu menyuruh tiga 

orang pengawalnya mengangkat tubuh Jaka 

dan Topa, lalu menenangkan istrinya 

dengan jalan memeluknya.

Tapi tiba-tiba istrinya memberontak 

dan seraya berlari ke dalam dia menjerit, 

"Anakku?!" Di mana anakku, Nindia!!"

Serentak mereka terkejut. Dan 

langsung mengikuti nyonya rumahnya 

masuk. Dari dalam kamar Nindia terdengar 

jeritan kaget dan panik istri tuannya. 

Abindamanyu memburu dengan cepat dan 

menemukan tubuh istrinya yang jatuh 

pingsan dengan tangan tertunjuk ke 

cermin.

Sambil memeluk tubuh istrinya, 

Abindamanyu menoleh ke cermin. Terlihat 

dan terbaca tulisan berdarah yang sudah 

agak mengering itu. Dia menghela nafas 

panjang, tubuhnya mendadak lemas. 

Anaknya hilang diculik oleh orang yang 

mengaku bernama Wirapati!

Lagi-lagi dia menghela nafas 

panjang. Wajahnya kuyu dan lemah. Semua 

ini terjadi karena orang itu mencari 

Madewa Gumilang! Sedikit yang 

disesalkannya, kenapa Madewa pergi 

sebelum kejadian ini terjadi.

Pengawalnya yang berdesakan masuk, 

melihat kedua tuan rumahnya dalam 

keadaan menunduk, sementara istri 

tuannya jatuh pingsan dalam rangkulan 

suaminya.


Mereka sadar, kalau putri Nindia 

tidak ada di tempat. Dan baru jelas 

setelah membaca tulisan berdarah di 

cermin.

Raga melangkah ke depan. Menghormat 

pada tuannya, "Tuan Abindamanyu, jika 

persoalan ini menyangkut nama Dik Madewa 

Gumilang, ada baiknya kalau sekarang 

juga saya mencarinya. biar kita tahu apa 

yang menjadi masalah ini dan biar dia 

yang menyelesaikan semuanya, karena dari 

tulisan itu jelas diketahui kalau ada 

sangkut paut antara Madewa dengan 

Wirapati yang pasti suatu dendam lama!"

Abindamanyu tidak bisa berkata-kata 

lagi. Dia hanya mengangguk saja. Dan 

mencium wajah istrinya yang terkulai 

lemas seraya memanggil nama putrinya 

lemah, "Nindia...."

Malam itu juga Raga cepat berangkat 

setelah memerintahkan pada dua orang 

temannya untuk menjaga di tempat itu 

dengan baik dan menyuruh mereka 

mengerahkan tukang kebun dan penjaga 

kuda agar tidak tidur semalam suntuk ini.

Raga berjanji, sebelum matahari 

esok terbit, dia sudah kembali bersama 

pemuda yang bernama Madewa Gumilang. 

Dengan cepat dia berlari ke kudanya dan 

menggeprak punggung kudanya sehingga 

kuda itu melompat dengan menyentak.

Bersamaan dengan itu, di suatu 

tempat yang jauh dari kota itu, di sebuah 

rumah besar terdengar bentakan dan


seruan keras seorang perempuan. Kalau 

dilihat sekilas nampak seperti 

marah-marah dan ketakutan. Tetapi kalau 

dilihat dari dekat, jalas sekali gadis 

itu tengah berlatih silat.

Gerakannya mantap dan kukuh. 

Tenaganya pun besar. Di dekatnya 

berlatih berdiri tiga orang laki-laki 

yang memperhatikan. Merekalah guru dari 

gadis cantik itu. Masing-masing guru 

mempunyai kebiasaan sendiri. Dan mereka 

dengan sukahati dan serempak menurunkan 

ilmu mereka pada gadis itu, yang

menjadikan murid kesayangan mereka.

Selain cantik, kemauan gadis itu 

besar untuk bisa menguasai ilmu yang 

diajarkan ketiga gurunya.

Laki-laki yang berdiri agak kiri, 

seorang laki-laki yang tegap. Orang itu 

memakai baju hitam dan berselempang dua 

buah pedang di punggungnya. Orang itu 

adalah Mukti yang berjuluk si Pedang 

Kembar.

Di sebelahnya berdiri orang yang 

mamakai pakaian keraton, dialah Patidina 

si keris tunggal.

Dan yang terakhir memakai celana 

hitam gombrang tanpa baju. Orang itu ada 

keturunan Cina, matanya sipit. Wajahnya 

dingin. Dialah Tek Jien, si Pukulan 

Seribu.

Mereka adalah tiga pengawal Pribadi 

dari Biparsena (baca : Pusaka Dewa 

Matahari). Sedangkan gadis yang menjadi


murid mereka tak lain adalah Ratih 

Ningrum. Putri tunggal Biparsena. Yang 

sekarang semakin nampak kecantikan dan 

kemolekkannya. Juga perubahan pada 

bentuk tubuhnya.

Bentuk tubuh yang padat dan indah, 

semakin menarik karena banyak bergerak. 

Dalam gerakan ilmu silat, terdapat gerak 

senam yang harus dikuasai oleh setiap 

pendekar.

Dan senam itu semakin membuat 

keindahan tubuh Ratih Ningrum.

Peristiwa setahun yang lalu masih 

terbayang di benak Ratih Ningrum. 

Kejadian yang menimpa dirinya dan 

Madewa. Madewa dulu adalah kekasihnya, 

tetapi sekarang ini entah dia berada di 

mana. Waktu itu Ratih Ningrum tidak tahu 

apa sebabnya Madewa meninggalkannya. Dan 

akhirnya dia tahu, sebelum ayahnya 

pergi, ayahnya pernah bilang, kalau dia 

tidak boleh berhubungan dengan Madewa, 

karena dia telah dijodohkan oleh 

Buntoro, adik seperguruan ayahnya dari 

guru Niniwulandari. Tentu saja Ratih 

Ningrum terkejut, tapi tak bisa berbuat 

apa-apa. Karena ayahnya pantang di-

tentang. Sesudah itu ayahnya pergi 

keluar, katanya mau mencari angin.

Dan setelah itu ayahnya tidak pernah 

pulang ke rumah. Tidak ada kabarnya pula 

sedikit pun. Baru kemudian diketahui di

dekat sungai hitam ditemukan dua buah 

kuburan yang masih kelihatan baru. Ratih


Ningrum curiga dengan kuburan itu. Dia 

menyuruh membongkar kembali kuburan itu. 

Dan bukan main terkejutnya dia ketika 

diketahui kalau dua buah mayat itu adalah 

mayat ayahnya dan Niniwulandari.

Perasaan Ratih Ningrum saat itu 

menjadi kacau balau. Lalu didengarnya 

pula telah diketemukan mayat Buntoro. 

Ratih Ningrum tetap tidak tahu apa yang 

telah terjadi.

Pikirannya semakin kalut, apalagi 

tidak ada Madewa Gumilang di sisinya, 

ketika tempat 'kupu-kupu cantik' ayahnya 

porak poranda, karena tidak ada yang 

membiayainya. Ratih Ningrum terkejut, 

karena dia baru tahu sekarang kalau 

ayahnya mengelola tempat itu.

Lalu dia menyuruh tiga orang 

pengawal ayahnya yang setia membubarkan 

tempat itu dan membakar hanguskannya, 

sementara masing-masing penghuni diberi 

biaya sedikit untuk hidup.

Setelah itu keadaan Ratih Ningrum 

semakin parah. Akhirnya Mukti, si Pedang 

Kembar, menyarankan kepada kedua 

temannya untuk menghibur Ratih Ningrum 

dengan jalan mengajarkannya permainan 

ilmu silat. Kedua temannya sepakat. Lalu 

mulailah mereka menggembleng Ratih 

Ningrum, yang mau mengikuti saran dan 

usul mereka.

Kelihatan sekali kalau Ratih 

Ningrum begitu berbakat. Dan sedikit 

demi sedikit dia menguasai ilmu yang


diturunkan oleh ketiga pengawalnya yang 

sekarang menjadi gurunya. Dia juga mulai 

melupakan kesedihan yang menimpanya.

Sekarang ini, masing-masing guru 

tengah melihat kelihaian dan kematangan 

ilmu silat Ratih Ningrum. Benar-benar 

mengagumkan. Sepasang tongkat kayu yang 

dimainkan Ratih Ningrum, sungguh hebat 

sekali. Keduanya bergerak bergantian, 

saling mengisi tempat yang kosong.

Begitu pula ketika dia memainkan 

jurus keris tunggal dengan menggunakan 

sebatang kayu. Benar-benar pesat ilmu 

silat yang dimiliki Ratih Ningrum.

Gadis itu kelihatan begitu tegar 

sekarang. Begitu kukuh dan mengagumkan. 

Selain cantik, ilmu silatnya pun dalam. 

Dari Tek Jien, dia menerima ilmu tangan 

kosong pukulan tangan seribu dan ilmu 

meringankan tubuh yang dikuasainya 

dengan sempurna. Mungkin kalau gurunya 

melawan dia, belum tentu mereka 

menguasai muridnya. Karena muridnya 

menguasai ilmu ketiganya, sedangkan 

gurunya hanya menguasai ilmu yang 

diturunkan pada muridnya saja.

Ratih Ningrum sudah selesai 

memainkan ilmu pedang kembarnya dengan 

baik. Wajahnya yang cantik terlihat 

semakin cantik dengan tubuh berpeluh dan 

wajah agak berkeringat. Riap-riap 

rambutnya basah kena keringat.

Ketiga gurunya bertepuk tangan 

dengan kagum.


"Bukan main! Kau menguasai ilmu 

pedang kembar dengan baik, Ratih!"

Ratih Ningrum menjura. Sikapnya 

menghormat. "Terima kasih, Paman Mukti. 

Kalau tidak Paman ajarkan, apakah 

bisanya saya? Demikian pula dengan Paman 

Patidina dan Paman Tek Jien. Saya 

menghaturkan beribu terima kasih." Tek 

Jien tertawa sambil menggoyang-goyang-

kan tangannya.

"Tak perlu berterima kasih, sudah 

sepatutnya kami mendidikmu. Hari sudah 

larut malam, sebaiknya kamu masuk saja, 

Ratih. Beristirahatlah dengan tenang."

Ratih Ningrum menjura lagi. "Maaf,

Paman. Sebenarnya ada yang hendak saya 

bicarakan dengan Paman sekalian." 

"Apakah itu, Ratih?" tanya Patidina. 

"Sekali lagi maaf, Paman. Sebenarnya, 

telah lama keinginan saya ini muncul..."

"Keinginan apakah gerangan itu, 

Ratih?" Ratih Ningrum tertunduk tersipu. 

Wajahnya mendadak semburat merah. Dengan 

malu-malu dia berucap, "Sa... saya ingin 

mencari Kang Madewa, Paman."

"Oh!" seruan itu terdengar 

bersamaan dari mulut ketiga gurunya. 

Rupanya gadis itu masih ingat dengan 

pemuda yang telah pergi, yang telah 

membawa sebagian hatinya bersama 

kepergiannya itu. Mukti menyambung, 

"Lalu maksudmu apa, Ratih?"

"Sa... saya, minta izin paman 

sekalian, untuk mengizinkan saya mencari


Kang Madewa. Saya ingin melihat dunia 

luar, Paman. Telah lama saya tidak 

berjalan-jalan. Keinginan itu pun akan 

saya laksanakan kalau Paman sekalian 

mengizinkan. Karena Paman bertigalah 

yang saya anggap sebagai pelindung dan 

penganti orang tua saya...."

Ketiga gurunya saling berpandangan. 

Tak ada yang bersuara, Ratih Ningrum 

menunggu tegang. Tetapi jika tidak 

diizinkan dia tidak akan memaksa dan 

memberontak. Dia akan tetap menurut. Dan 

menuruti apapun yang akan dikatakan 

ketiga gurunya itu.

Tek Jien mengangkat wajahnya, 

menatap Ratih Ningrum. Lalu katanya 

lembut, "Ratih, sebaiknya kau masuk saja 

ke dalam. Malam semakin larut. Tentang 

izin yang kau inginkan itu, bisa kau 

dengan besok pagi. Masuklah."

Ratih Ningrum menjura lagi. Lalu 

melangkah perlahan ke dalam. Tetapi kali 

ini langkahnya kelihatan mantap dan 

kukuh bertanda bukan gadis yang cengeng 

lagi dia, melainkan gadis yang tegar dan 

mampu bermain silat dengan cemerlang!

Sementara itu ketiga gurunya 

meneruskan percakapan mereka sambil 

merundingkan permintaan Ratih Ningrum. 

Sampai ayam berkokok mereka baru masuk ke 

dalam. Dan telah menemukan sebuah 

keputusan!

Keesokan harinya, seperti biasa 

Ratih Ningrum bangun. Mandi. Berpakaian


lalu makan. Pelayan-pelayannya masih 

setia kepadanya. Hanya dua orang yang 

berhenti, itu pun dia tidak tahu ke mana. 

Yang satu adalah Genda, penjaga kuda yang 

kita ketahui meninggal di tangan Pratiwi 

alias Selendang Merah. Yang satunya 

lagi, adalah Manggada, penjaga kebun 

yang minta berhenti tanpa menjelaskan 

maksudnya. Ratih Ningrum hanya 

mengabulkan saja, tanpa banyak tanya. 

Sedangkan yang lain, tetap seperti yang 

dulu.

Selesai makan, dia melangkah ke 

ruang samping. Beristirahat dulu 

sebenar, lalu mulai melatih ilmu 

silatnya. Kali jni ia memainkan jurus 

pukulan tangan seribu yang diwariskan 

oleh Tek Jien. Pukulan itu mantap sekali 

dimainkan Ratih. Tak ada celanya sedikit 

pun. Malah terlihat lebih mantap 

daripada Tek Jien sendiri.

Lalu ia melompat ke sana kemari, 

melatih ilmu meringankan tubuhnya. 

Wuttt! 

Dia melompat ke atas dan langsung 

bersalto ke belakang. Begitu hinggap di 

tanah, langsung melompat kembali seolah 

di bawahnya ada per yang membuatnya 

melompat. Begitu seterusnya. Ratih 

Ningrum tak puas-puasnya berlatih.

Sebenarnya dalam hati kecilnya, 

keinginan untuk mencari Madewa hanya 

alasan saja kepergiannya. Sebenarnya dia 

ingin mencari pembunuh ayahnya. Sampai


saat ini dia tidak tahu siapa pembunuh 

ayahnya dan apa penyebabnya.

Ratih Ningrum hanya mendengus, 

pembunuh ayahnya adalah Pratiwi si 

Selendang Merah, yang dia tidak tahu di 

mana wanita itu berada.

Begitu selesai berlatih, terdengar 

tepukan dari samping. Ratih Ningrum 

menoleh dan langsung menjura hormat. 

Ketiga gurunya sudah berada di sana. 

Lengkap dengan senjata mereka, kecuali 

Tek Jien yang memang hanya berkosong 

tangan. "Selamat pagi, Guru sekalian!" 

"Selamat pagi, Ratih! Pukulan tangan 

seribumu sudah sempurna sekali," kata 

Tek Jien memuji.

"Terima kasih, Paman."

Mukti melambaikan tangannya, 

menyuruh Ratih Ningrum mendekat. 

Perlahan gadis itu melangkah. Mendadak 

dadanya berdebar, melihat keseriusan 

wajah Mukti.

"Ada apa, Paman?"

"Ratih... pagi ini kau akan 

mendengar apa yang menjadi jawaban kami 

atas keinginanmu Untuk merantau 

sekaligus mencari Madewa Gumilang."

Semakin berdebar dada Ratih Ningrum 

mendengar itu. Tetapi dia nampak tenang, 

tidak menampilkan wajah yang tegang.

"Tetapi kami harap, kau tegar 

mendengar semua ini. Kau tidak boleh 

marah atau kecewa mendengar keputusan 

kami. Kau bersedia, Ratih?"


Ratih Ningrum menganggtik mantap. 

"Apa pun keputusan Paman sekalian, akan 

saya terima dengan senang hati. Bukankah 

kemarin malam saya pun mengatakan yang 

demikian?"

"Kami memang mendengarnya, Ratih. 

Tapi kami ingin lebih meyakinkan diri. 

Baiklah, sekarang dengarkan keputusan 

kami. Kalau memang niatmu hanya untuk 

merantau dan mencari Madewa Gumilang, 

kami semua mendukung dan... menyetujui 

keinginanmu," sampai di situ Muktu 

berkata, wajah Ratih Ningrum berseri-

seri. Sambil tersenyum si Pedang Kembar 

melanjutkan, "Untuk itu, kami bertiga 

telah sepakat untuk membekali 

kepergianmu."

Kali ini kening Ratih Ningrum 

berkerut. Bekal? Bukankah sudah cukup 

bekal ilmu yang diberikan ketiga gurunya 

padanya? Dia yakin, dia mampu membela 

diri dari setiap serangan yang datang. 

Ah, lagipula, belum tentukan akan adanya 

serangan itu?

Seperti mengetahui jalan pikiran 

Ratih Ningrum, Mukti berkata lagi, "Kami 

bertiga yakin, kamu mampu menjaga diri. 

Tapi kami akan tetap memberimu bekal, 

walaupun bekal itu tidak seberapa 

besarnya."

Bekal uangkah? Kalau memang iya, 

Ratih Ningrum bersiap akan menolak. Dia 

masih punya uang simpanan yang banyak. 

Lagipula, warisan ayahnya begitu


melimpah ruah. Lalu apa gerangan bekal 

itu?

"Ratih, bekal itu kami minta agar 

kau menjaganya. Dan gunakanlah untuk 

kebaikan, karena kami tidak ingin bekal 

ini, ternodai oleh darah kejahatan."

Ratih Ningrum akhirnya mencetuskan 

keheranannya, "Paman, sejak tadi Paman 

hanya menyebutkan bekal, tanpa 

memberitahu bekal apa yang hendak Paman 

bekalkan padaku."

Mukti tersenyum. Melirik Patidina, 

yang terlihat mengangguk. "Baiklah, 

Ratih," kata Mukti seraya meloloskan 

sepasang pedang kembarnya. "Ini yang 

kumaksudkan dengan bekal itu. Terimalah 

sepasang pedang kembarku, yang telah 

lama ada bersamaku dengan setianya. Hei, 

terimalah!"

Ragu-ragu Ratih Ningrum mengambil 

bekal itu. Dia tidak menyangka kalau itu 

yang akan diberikan oleh guru-gurunya. 

Begitu pula dengan Patidina, dia 

menyerahkan keris tunggalnya. Rupa-

rupanya Tek Jien tidak mau kalah. Setelah 

semalam mereka mencapai keputusan untuk 

membekali Ratih Ningrum dengan senjata 

masing-masing, Tek Jien mengambil sumpit 

beracunnya, yang telah lama disimpan. 

Sumpit itu pun diberikannya pada Ratih 

Ningrum, yang menerima kesemuanya dengan 

sukacita. Matanya mengembang bening. 

Terharu. Begitu cinta nampaknya ketiga


gurunya padanya. Guru yang dulu sebagai 

pengawal!

Setelah menerima kesemua itu, Ratih 

Ningrum berlutut.

"Paman, terima kasih atas bekal yang 

Paman sekalian berikan. Saya berjanji, 

akan menjaga bekal ini dengan baik, dan 

tidak akan menodainya dengan kejahatan."

"Bagus!" kata Mukti. "Kapan Kau akan 

berangkat?"

"Kalau bisa, ketika matahari 

sepenggalah saya sudah meninggalkan 

rumah."

"Begitu cepat?" tanya Mukti agak 

kaget.

"Karena lebih cepat lebih baik 

Paman."

Mukti menghela nafas panjang. 

"Baiklah, persiapkanlah dirimu dengan 

baik. Kalau bisa, ada baiknya kau 

menyamar sebagai pria dan kalau bisa 

gantilah namamu."

"Baik, Paman."

Setelah memberi hormat, Ratih 

Ningrum berlari ke kamarnya. Dia segera 

mempersiapkan segala sesuatunya dengan 

baik. Dia juga merias dirinya menjadi 

seorang pria. Kumis tipis dipakainya 

untuk menyempurnakan samarannya. Ketika 

dia keluar lagi, ketiga gurunya agak 

terkejut, karena seorang pria keluar 

dari kamar Ratih Ningrum!

Serentak mereka menyebar dengan 

sigap. Berdiri dengan sikap mengurung.


Tentu saja Ratih Ningrum yang sudah 

menyamar itu menjadi keheranan.

"Hei, Paman? Kenapa Paman bertiga 

mengurung saya?"

Mendadak ketiga gurunya tersipu. 

Rupanya Ratih Ningrum. Sungguh pekerjaan 

yang cepat. Disuruh menyamar, saat itu 

pula dia menyamar. Dan dalam hati mereka 

tahu apa penyabab Ratih berbuat segala 

sesuatunya dengan cepat. Dia ingin 

buru-buru bertemu dengan sang pujaan!

Patidina cepat-cepat memperbaiki 

sikapnya, juga dengan yang lain. Ia 

memandang Ratih dengan penuh kasih 

sayang, seperti orang tua yang hendak 

ditinggal pergi oleh anaknya. Dan kali 

ini benar-benar dirasakan demikian oleh 

Patidina.

"Hati-hati Ratih. Pesan Paman, 

hati-hatilah dalah bertindak. Jangan 

sembarangan menjatuhkan tangan. Dan 

ingat, kau harus segera kembali setelah 

bertemu dengan Madewa Gumilang!"

"Baik, Paman. Pesan Paman akan saya 

laksanakan. Seperti kata saya tadi 

Paman, saya akan berangkat sebelum 

matahari sepenggalah."

Ketiga gurunya menatap terharu. 

Perlahan Ratih Ningrum mengangkat 

buntelannya di pundak. Sikapnya seperti 

seorang pria sejati! Dengan sepasang 

pedang di punggung. Keris di pinggang dan 

sumpit di dalam buntelan, Ratih merasa


cukup bekalnya untuk pergi. Untuk 

mencari pembunuh ayahnya!

Langkahnya pun mulai beranjak. Ia 

menjura lagi. "Selamat tinggal, Paman 

sekalian! Saya berharap kita bisa 

bertemu lagi."

Tak ada yang bersuara. Ketiga 

gurunya melambaikan tangan. Tanpa 

diminta oleh Ratih untuk menjaga rumah 

warisan mendiang ayahnya, ketiga gurunya 

itu mempunyai kewajiban untuk 

menjaganya.

Ratih Ningrum membalas lambaian 

itu. Dan melangkah perlahan. Hatinya 

riang merasa lepas dari rumah yang 

membuatnya teringat akan kejadian yang 

lalu.

Namun dalam hati kecilnya, dia 

merasa bersalah. Telah membohongi ketiga 

gurunya tentang kepergiannya. Yang tak

lain dan tak bukan, hendak mencari siapa 

pembunuh ayahnya!

"Maafkan saya, Paman sekalian...."

Suaranya bersatu dengan desir 

angin.

* * *

TUJUH



Derap kuda itu memecah kesunyian. 

Paman yang tengah membakar ikan menjadi 

bersiaga. Tetapi dia tidak berusaha 

bersembunyi. Sikapnya wajar. Malah dia

seperti menunggu orang yang berkuda itu 

mendekat.

Tiba-tiba orang yang berkuda itu 

menghentikan laju kudanya. Hidungnya 

mencium asap wangi yang enak, yang 

langsung membuat perutnya menagih. Orang 

itu baru ingat, sejak tengah malam dia 

berkuda dan belum sekali pun istirahat, 

apalagi makan.

Dia langsung tururi mencari sumber 

bau wangi itu. Tak jauh dari tempatnya 

berhenti, terlihat asap mengepul. Dia 

langsung mendekati tempat itu, dengan 

sedikit harapan agar kiranya yang 

membakar ikan itu mau membaginya sedikit 

untuk mengganjal rasa laparnya. Dengan 

harapan itu, dia mendekat. 

"Selamat pagi, Tuan." " Pemuda yang 

sedang membakar itu menoleh sambil 

tersenyum. Tetapi mendadak senyumnya 

hilang dan berubah menjadi keterkejutan. 

Demikian pula dengan tamu yang baru 

datang itu. Matanya terbelalak. 

"Tuan Madewa!"

"He, Raga! Ada apa kau kemari?!" 

tanya pemuda yang tak lain adalah Madewa 

Gumilang. Sebenarnya sehabis makan dia 

akan melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi 

menunda karena yang datang adalah 

pengawal Tuan Abindamanyu.

Raga seperti kejatuhan bulan. 

Hampir setengah malam dia mencari pemuda 

itu sehubungan dengan penculikan Nindia, 

tak tahunya pemuda itu berhasil ditemui.


Dia hampir putus asa. Seperti janjinya, 

akan kembali sebelum matahari terbit!

Dia buru-buru menghormat, "Kiranya 

Tuan Madewa ada di sini..."

"Duduk yang baik, Raga. Ceritakan, 

kenapa kau sampai ke tempat ini? Kalau 

dilihat dari bicaramu tadi, kau memang 

seperti mencariku. Ada apa gerangan?"

Raga buru-buru bercerita tentang 

kejadian yang menimpa keluarga 

majikannya setelah pemuda itu pergi. 

"Sekarang Nona Nindia diculik, Tuan. Dia 

berada di dalam kekuasaan penculik 

itu.... Sebelum pergi penculik itu 

menulis dengan tetesan darahnya, kalau 

kami ingin mencari Nona Nindia, harap 

menemuinya di tanah genting sebelah 

timur laut selatan. Tulisan itu 

ditujukan kepada Tuan Madewa, karena 

nampak orang itu mendendam kepada Tuan." 

"Siapa nama penculik itu?" 

"Wirapati."

"Wirapati?" Kening Madewa berkerut. 

Lalu terbayang kejadian setahun yang 

lalu, ketika dia mengalahkan Tiga Dewa 

Penunggang Kuda. Sebelum Wirapati 

meninggalkan tempat itu, masih dingatnya 

benar akan seruan Wirapati, "Ingat, 

Madewa! Aku akan datang menuntut balas!" 

Dan rupa-rupanya dia benar-benar tidak 

melupakan seruannya itu.

Madewa menjadi tidak enak hati. 

Putri Tuan Abindamanyu dalam kesulitan 

gara-gara persoalannya. Lalu ia mengajak


makan Raga. Setelah itu dengan 

membonceng kuda Raga, mereka kembali ke

rumah Abindamanyu.

Jelas Abindamanyu merasa gembira. 

Tadi dia sudah cemas karena Raga belum 

kembali seperti yang dijanjikannya. 

Tiba-tiba dia mendengar derap kuda, dia 

langsung bangkit menyambut. Kiranya 

tepat dugaannya, Raga dengan Madewa 

Gumilang!

"Oh, Tuan Madewa!" serunya 

sukacita. Madewa turun dengan gerakan 

ringan. "Maafkan saya, Tuan Abindamanyu. 

Karena persoalan saya, Tuan sekalian 

dalam kesulitan," katanya sambil 

menjura.

"Oh, tidak-tidak apa-apa. Hanya 

yang kurisaukan, masalah putriku. Aku 

tidak ingin dia dihina oleh orang yang 

mengaku bernama Wirapati. Oh... mari 

silahkan masuk!"

Kedua orang itu masuk ke dalam. 

Abindamanyu bertepuk tiga kali. Lalu 

keluar pelayan dengan hidangan yang 

enak. Sambil mempersilahkan Madewa 

mencicipi hidangan itu, Abindamanyu 

memanggil istrinya, yang keluar dari 

kamar dalam keadaan kuyu dan sembab 

matanya. Rupanya dia terus menerus 

memikirkan nasib putri tunggalnya.

"Maafkan saya, Kakak Nadia," kata 

Madewa seraya berdiri hormat.


Nadia menghapus air matanya. Ia 

berusaha tersenyum, namun terasa sekali 

kalau dipaksakan.

"Itu bukan salahmu, Dik Madewa. 

Mungkin itu sudah nasib adikmu, Rayi 

Nindia."

Madewa tersenyum mendengar perka-

taan Nadia yang mencerminkan jiwa yang 

tabah. Abindamanyu menyuruh Madewa 

menceritakan masalahnya terhadap 

Wirapati.

Dengan hati-hati Madewa menceri-

takan peristiwa yang dihadapinya dulu. 

Setelah mendengar cerita itu, Abin-

damanyu mengangguk-angguk.

"Sekali lagi saya tidak menyalahkan 

masalahmu, Adik Madewa. Tetapi sebagai 

seorang ayah, saya amat mengkhawatirkan 

keselamatan putriku...."

"Saya akan berusaha mencari putri 

Nindia, Tuan Abindamanyu." kata Madewa 

mantap.

"Kalau itu memang keinginanmu, saya 

tidak melarang. Dan ingat Madewa, kau 

jangan merasa dipaksa olehku... walau 

ini agak merupakan paksaan. Pasti kau 

mengerti, bagaimana galaunya perasaan 

seorang ayah terhadap putrinya, yang 

tidak tahu di mana rimbanya."

"Saya mengerti, kakang. Dan saya 

memang berniat hendak menyelesaikan 

masalah dengan Wirapati. Dalam 

kesempatan ini saya juga akan berusaha 

mencari dan menyelamatkan Putri Nindia."


Nadia menghapus air matanya. Wanita 

setengah baya itu menatap Madewa penuh 

harap, "Dik Madewa... temukanlah 

putriku. Bawalah dia kepadaku...."

"Saya akan berusaha memenuhi 

harapan kakak Nadia. Untuk itu, saya 

tidak perlu berlama-lama lagi di sini. 

Saya mohon pamit dan mohon doa agar 

berhasil menyelesaikan masalah ini."

Abindamanyu berdiri. "Kenapa harus 

terburu-buru?"

"Semakin cepat, akan semakin baik. 

saya mohon diri," kata Madewa seraya 

mundur. Lalu menghormat sekali lagi. Dan 

melompat ke belakang. 

Wutt! 

Seperti terbang begitu saja. Dan 

menghilang.

Abindamanyu dan istrinya memandang 

kagum. Diam-diam dalam hati keduanya, 

akan menjodohkan Madewa dengan putri 

mereka kalau berhasil diselamatkan.

Begitu meninggalkan rumah 

Abindamanyu, Madewa melangkah ke arah 

timur. Dia hendak langsung menyusul ke 

tanah genting, tempat yang diinginkan 

Wirapati bertempur dengannya.

Tanah genting itu sungguh sukar 

sekali dicapai. Orang sudah tahu, kalau 

yang nekat berani datang ke sana, hanya 

maut taruhannya. Karena di sana-sini 

banyak tempat yang berbahaya. Belum lagi 

lumpur hidupnya yang penuh dengan 

lintah.


Tempat yang mengerikan! Dan hanya 

orang-orang yang mati saja yang ingin 

datang ke sana.

Namun Madewa tak gentar mendengar 

semuanya itu. Dia hanya bertekad untuk 

menyelesaikan masalahnya dengan 

Wirapati. Dan menggembalikan putri 

Nindia secara utuh pada Abindamanyu, 

orang kaya yang pernah ditolongnya dari 

perampokan.

Wirapati benar-benar menepati 

ucapanya dulu. Dia akan datang lagi 

menuntut balas. Menuntut kematian dua 

saudara seperguruannya.

Pasti kepadaian Wirapati semakin 

maju, Orang macam Wirapati sudah tidak 

memikirkan kehidupan. Di benaknya hanya 

ada satu pikiran, menuntut balas!

Dan bunuh orang itu!

Mendadak Madewa menghentikan 

langkahnya. Di depannya terjadi 

keributan. Beberapa orang berpakaian 

lengkap seperti pengawal istana sedang 

mengolok-olok seorang pengemis yang 

duduk ketakutan di bawah sebatang pohon. 

Wajah pengemis itu pias dan pucat. 

Rupanya pengemis itu kelaparan dan 

hendak memasuki sebuah rumah makan yang 

mewah. Namun oleh penjaga rumah makan itu 

tidak diizinkan, karena hanya 

orang-orang terpandang saja yang boleh 

memasuki rumah makan itu.

Dan orang-orang yang berpakaian 

seperti pengawal istana itu tidak


menyia-nyiakan kesempatan ini untuk 

mengganggu si pengemis. Mereka 

beramai-ramai mengolok-olok dengan 

kata-kata yang tidak sopan. Kelihatan 

mereka orang-orang yang berkuasa. Karena 

orang-orang di sana diam saja, tak ada 

yang berani menolong pengemis itu.

"Hei, Gembel busuk!" bentak yang 

kurus tinggi dengan codet di sebelah pipi 

kiranya. "Kau tidak pantas masuk ke rumah 

makan! Makananmu cukup hanya sampah yang 

busuk itu!"

Kata-katanya disambut oleh yang 

lain. Jumlah orang-orang itu ada 

delapan. Lengkap dengan senjata pedang 

masing-masing. Madewa jadi geram 

mendengarnya. Benar-benar tidak 

berperikemanusiaan orang-orang itu. 

Namun ia menunggu sampai di mana prilaku 

orang-orang itu terhadap si pengemis.

"Kalau ingin makan, nih ambil!" kata 

yang seorang lagi seraya melempar 

bungkusan.

Rupanya pengemis itu benar-benar 

kelaparan. Dia langsung menubruk 

bungkusan yang dilempar tadi. Namun 

sebelum sampai pada sasarannya, orang 

tadi menendang bungkusan itu ke samping. 

Si pengemis berusaha untuk mengambilnya. 

Namun di tendang lagi. Begitu 

seterusnya. Sampai si pengemis kelelahan 

dan ludahnya berceceran saking tak 

kuatnya menahan lapar. Sementara


orang-orang itu tertawa kegirangan, 

merasa mendapat mainan yang mengasyikan.

Madewa menggeram jengkel. Dia akan 

membereskan persoalan itu. Tetapi 

tiba-tiba meloncat bayangan ringan ke 

dekat pengemis itu, yang langsung masuk 

ke lingkaran para pengawal.

Bayangan yang berkelebat itu, 

seorang pemuda yang perkasa. Tubuhnya 

tegap. Dia memakai caping yang bagus 

sekali. Pemuda itu menolong sang 

pengemis. Lalu memberinya makanan dari 

bekal yang dibawanya.

Hal itu membuat orang-orang yang 

mempermainkan pengemis tadi menjadi 

marah. Salah seorang membentak, "Hei, 

siapa kau! Berani lancang menolong 

gembel busuk itu!!"

Tetapi pemuda itu tenang-tenang 

saja. Tidak beranjak dari tempatnya, 

memperhatikan pengemis itu makan.

Orang-orang itu semakin marah. 

"Bangsat! Kau ingin main-main rupanya 

dengan kami! Delapan Pendekar Berpakaian 

Pengawal!"

Kali ini pemuda itu bangkit. 

Sikapnya tetap tenang. Wajahnya tampan 

sekali. Matanya yang kecil menatap 

mereka dengan garang.

"Heh!" serunya mengejek. "Julukan 

yang kosong saja! Kalian hanya berani 

menganggu orang yang lemah! Kalau kalian 

hebat, coba layani aku beberapa jurus!


Ditanggung, sebelum sepuluh jurus kalian 

sudah berantakan!!"

Kata-kata itu semakin membuat 

orang-orang itu geram. Diam-diam Madewa 

memperhatikan pemuda yang bersuara 

angkuh itu. Suaranya terdengar merdu.

Menandakan dia orang yang berpendidikan 

tinggi.

Tiba-tiba dua orang yang berpakaian 

pengawal itu maju seraya menyabetkan 

pedangnya secara bersamaan namun 

berlawanan.

"Wuit! Des!" 

Dua bayangan pedang itu berkelebat 

bagai sinar putih. Namun pemuda itu tetap 

tenang. Tanpa beranjak sedikit pun, dia 

menggerakkan kedua tangannya. Mendadak 

terdengar kedua orang itu menjerit.

"Des!!" 

Lalu ambruk dengan tangan yang 

terasa ngilu.

Pemuda itu tertawa. "Ha... ha... 

siapa lagi yang mau maju! Cepat, selagi 

aku ingin bermain-main dengan kalian!!"

Enam orang yang lain itu menjadi 

demikian geramnya. Tanpa aba-aba lagi, 

serentak mereka mengurung pemuda tampan 

itu.

"Hei, pemuda ceriwis! Katakan siapa 

namamu sebelum kami mencabut nyawamu?!"

"Ha... ha... baik, baik, kalau 

memang itu perlu. Camkan baik-baik, 

namaku Adi Permana, alias Walet Putih


dari Utara! Ha... ha... bawalah namaku ke 

liang kubur kalian masing-masing!"

Pemuda itu berkelit begitu serangan 

datang. Gerakannya ringan. Benar seperti 

walet terbang. Kembali pedang-pedang itu 

bersambaran dengan cepat. Dan terlihat 

gulungan bayangan putih menjadi satu 

dengan tubuh yang lincahnya melompat dan 

menghindar. Sampai lima jurus 

pedang-pedang itu belum satu pun 

menyentuh tubuh si Pemuda yang bernama 

Adi permana.

Tiba-tiba pemuda itu melompat 

dengan menyambar. 

Dukk! 

Tubuh seorang lawannya terjungkal 

dengan muntah darah. Gerakan pemuda itu 

begitu cepat. Seolah tangannya 

berkelebat menjadi banyak. Demikian 

terus menerus, sampai semua lawannya 

ambruk tak berkutik.

Pemuda itu terbahak."Ha... ha... 

benar kataku, bukan? Sebelum sepuluh 

jurus, kalian akan tumbang di tanganku! 

Sekarang cepat kalian berlutut dan 

ngabur dari sini! Cepaaaatt!!"

Terburu-buru delapan orang itu 

berlutut. Sikap mereka pasrah. Dan 

malunya tidak ketulungan. Setelah itu

mereka lari seperti anak perempuan, yang 

diiringi oleh tawa pemuda itu.

Madewa kagum bukan main. Dengan 

sebentar saja delapan orang itu dibuat 

kalang kabut oleh sang pemuda. Tetapi


mendadak, dia teringat. Dia seperti 

mengenai pukulan yang dilakukan pemuda 

itu. Hmm, tapi siapa orangnya yang punya 

pukulan demikian. Tanpa memikirkan soal 

itu lagi, Madewa berkelebat. Bersamaan 

dengan itu, Adi Permana menoleh. Sekilas 

melihat wajah Madewa. Dia berseru, "Hei, 

tunggu!!" Lalu berkelebat mengejar.

Madewa yang merasa dirinya 

dipanggil, menghentikan larinya. Pemuda 

yang mengejar itu sampai di tempatnya 

menunggu.

"Ada keperluan apa, Walet Putih, 

memanggil saya?" tanya Madewa sopan.

Pemuda itu memperhatikan Madewa. 

Tiba-tiba dia tersenyum, "Maaf, kusangka 

kau salah seorang dari pengacau tadi!" 

"Oh, tuduhan yang keliru." 

"Sekali lagi maaf. Boleh kutahu 

namamu?" Madewa mengangguk. 

"Namaku, Madewa Gumilang," kata 

Madewa yang merasa Adi Permana bicara 

akrab dengannya.

"Hmm, boleh kutahu ke mana kau 

pergi?" "Tidak ada salahnya. Kebetulan 

sekali, saat ini aku hendak ke tanah 

genting di sebelah timur laut selatan. 

Ada keperluan apakah kiranya saudara Adi 

Permana mengetahui kepergian saya?"

"Oh, tidak. Aku hanya ingin 

bersahabat denganmu. Sejak turun gunung, 

belum seorang pun aku mendapat sahabat. 

Apakah kiranya Saudara Madewa menerima 

persahabatanku?"


Madewa tersenyum. Pemuda ini sopan. 

Tidak ada salah menerima persahabatan 

itu. "Dengan senang hati." 

"Terima kasih, Saudara Madewa," 

kata Adi Permana seraya membuka 

capingnya. Madewa melihat wajah yang 

sangat tampan sekali. Mata itu begitu 

bening. Alisanya begitu hitam. Dan kumis 

tipis semakin menambah ketampanan wajah 

itu. "

Aku harap, kita bisa menjadi dua 

sahabat yang baik."

"Aku pun berharap begitu. Namun... 

aku harus melanjutkan perjalanan ke 

tanah genting, di sana ada masalah yang 

sangat penting yang harus kuselesaikan."

"Apakah Saudara Madewa tidak 

keberatan kalau aku ikut serta?"

"Oh."

"Kenapa, Saudara Madewa?"

"Tentu dengan senang hati. Hanya 

saja, perjalananku kali ini menempuh 

bahaya yang amat tinggi. Karena

kedatanganku ke sana, harus 

menyelesaikan dendam yang tak mungkin 

akan padam."

"Walaupun bagaimana bahayanya, 

sebagai seorang sahabat, aku bersedia 

membantu."

"Kalau memang itu keinginanmu, 

baiklah. Mari kita berangkat."

Lalu keduanya melangkah. Persaha-

batan yang cepat. Tanpa saling 

mencurigai siapa sahabatnya itu,


keduanya berjalan dengan riang dan penuh 

tawa. Tidak menyadari kalau di tanah 

genting sebelah timur laut selatan maut 

telah menunggu kedatangan mereka.

Di suatu tempat yang sunyi, 

terdengar langkah kaki terseok-seok. 

Seakan pemilik kaki itu sudah tak kuat 

lagi melangkah.

Enggan, namun dipaksakan.

Tangannya memegang sebuah tongkat 

kayu.

Dan pakaiannya betapa lusuh dan 

jeleknya. Warnanya sudah pudar. 

Rambutnya pun kusut. Wajahnya kuyu. Dan 

tubuh orang itu baunya minta ampun.

Mungkin sudah setahun orang itu 

tidak mandi!

Ya, orang itu adalah pengemis yang 

tadi di tolong oleh Walet Putih, yang 

kini pergi bersama Madewa ke tanah 

genting.

Walaupun sudah mendapat makanan, 

pengemis itu masih kelihatan lemah. 

Tanpa disadari, langkahnya mengarah pada 

tanah genting! Entah kenapa dia 

mengikuti Madewa melangkah.

Ia pun tahu saat ini Madewa bersama 

siapa. Tiba-tiba terdengar suara 

membentak, "Itu dia orangnya!"

Pengemis itu gugup. Ketakutan dia 

mencari suara itu. Tahu-tahu telah 

muncul orang-orang berpakaian pengawal 

mengurungnya. Merekalah yang mengganggu


pengemis itu di depan rumah makan. 

Delapan Pendekar Berpakaian Pengawal!

"Bangsat rendah!" geram salah 

seorang jengkel. Ia menendang pengemis 

itu hingga jatuh bergulingan. Lalu yang 

lain menyambar. Menendang pula.

"Gara-gara kau kami dibuat malu oleh 

pemuda itu! 

Des! Des!" Pengemis itu sampai tak 

berdaya.

Tetapi orang-orang itu belum puas 

juga. Mereka menghajar pengemis itu 

sampai tak berdaya. Mereka marah. 

Menurut mereka gara-gara pengemis inilah 

mereka dipecundangi oleh Walet Putih.

Padahal, kalau mereka tidak 

menganggu pengemis itu, tidak akan 

mereka dikalahkan oleh Adi Permana alisa 

Walet Putih.

Tapi orang-orang bengis itu tak 

perduli. Mereka menghantam. Memukul. 

Menendang. Pengemis itu sampai 

benar-benar sekarat.

Dan mereka tertawa kegirangan 

merasa kemarahan mereka terlampiaskan.

Pengemis itu mengaduh dan memohon 

ampun. Namun hanya tawa dan cacian yang 

diterimanya. Juga pukulan!

"Am... ampuni saya... aaahh!"

Des! Plak! Plak!"

Pengemis itu ambruk tak berdaya. 

Dari seluruh tubuhnya mengalir darah 

"Bunuh saja!" 

"Cepat habisi!"


Salah seorang dari mereka 

mengangkat tangan kanannya. Dan siap 

menghabisi nyawa pengemis itu.

"Tahan!"

Orang itu menghentikan ayunan 

tangannya. Sesosok tubuh melayang dari 

atas pohon. Gerakannya ringan. Dan tidak 

menimbulkan suara.

"Ingin kalian apakan orang itu?!"

Mereka hanya tertawa. Mereka sangka 

siapa tadi. Tidak tahunya seorang wanita 

setengah baya yang masih kelihatan 

cantik. Dan berpakaian indah. Sungguh 

besar nyali wanita ini, berani 

menghalangi perbuatan mereka.

"Hei, kamu mau apa mencampuri urusan 

kami? Cepat minggat dari sini!"

Wanita itu hanya tersenyum saja. 

Tidak bergeser sedikit pun dari 

tempatnya berdiri. Bahkan dia melangkah 

menghampiri pengemis yang sudah mau 

mampus itu.

Dua orang bersalto menghalanginya.

"Cepat enyah dari sini, sebelum kami 

keprus kepalamu!" bentak salah seorang.

Wanita itu tetap hanya tersenyum. 

Kecantikan wajahnya masih menggetarkan 

setiap pria. Tahu-tahu matanya menatap 

dengan mesra sekali. Kedua orang itu 

menjadi gugup. Dan tanpa mereka sadari, 

mereka begitu bernafsu sekali pada 

wanita itu.

Serentak keduanya menubruk. 

Memeluk. Dan menciumi. Kawan-kawannya


terkejut. Sedangkan wanita itu hanya 

tenang saja. Dibiarkan saja kedua orang 

itu memeluk dan menciuminya.

Namun tiba-tiba kedua tangan wanita 

itu terangkat. Dan menggeprak kepala 

kedua orang itu.

"Haitt! Des!"

Kedua orang itu terkulai dengan 

kepala pecah. Wanita itu menepuk-nepuk 

kedua tangannya. Hmm, hanya mengotor-

ngotori tanganku saja, katanya dalam 

hati.

Teman-teman kedua orang itu kaget. 

Tak menyangka semudah itu wanita itu 

menghabisi nyawa teman mereka.

Tanpa diperintahkan, serentak 

mereka mengurung. Wanita itu sangat 

berbahaya. Mereka sudah tidak perduli 

dengan pengemis itu.

"Kejam!" desis salah seorang dari 

mereka.

Wanita itu hanya tertawa.

"Kalian tidak sadar dengan 

perbuatan kalian... yang lebih kejam 

dari binatang," ejeknya sambil menunjuk 

pengemis itu.

"Itu urusan kami! Kau tak perlu 

mencampuri!!"

Wanita itu tersenyum.

"Kalian juga tidak perlu mencampuri 

urusanku. Biar kedua orang itu mampus. 

Itu urusanku, bukan urusan kalian!"

"Setan! Mereka teman kami, dan 

urusan kami!"


"Pengemis itu temanku, dan 

urusanku."

Orang itu menggeram marah. Mendadak 

dia menyerang dengan goloknya yang 

panjang. Wanita itu hanya berkelit 

sedikit. Luput dari serangan pedang itu. 

Namun golok-golok yang lain segera 

berterjangan. Silih berganti.

Tetapi wanita itu tetap tenang. 

Lagi-lagi ia hanya menghindar ke 

sana-kesini dengan gerakannya yang 

cepat. Bahkan dia sempat menjatuhkan dua 

orang dari mereka, yang langsung mati 

terkena pukulannya.

Mereka terkejut. Hanya dengan 

sekali pukul, kawan mereka mati. Lagi 

mereka serentak menyerang.

Dan ambruk tubuh mereka satu 

persatu. Wanita itu mendengus. 

Meremehkan. "Kepandaian cuma segitu, 

kalian pamerkan padaku!"

Lalu ia melangkahi mayat-mayat itu, 

menghampiri pengemis yang masih 

tergeletak. Dia mengomel sendirian, 

"Sudah kubilang jangan pergi, kau malah 

meninggalkanku. Dasar bandel!"

Wanita itu mendudukkan pengemis itu 

dalam posisi bersila. Sedangkan dia 

berada di belakangnya. Kedua telaak 

tangannya bertumpu di punggung pengemis 

itu. Lalu dia menarik nafas panjang. Dan 

mengalirlah tenaga dalamnya ke tubuh 

pengemis itu


Rupanya dia hendak mengobati 

pengemis itu. Kedua telapak tangannya 

mengeluarkan asap putih. Sekian lama dia 

menyalurkan tenaga dalamnya.

Dan mendadak pengemis itu tersentak 

dan muntah darah. 

"Huaak!"

"Terus muntahkan, tolol!" bentak 

wanita itu masih tetap menyalurkan 

tenaga dalamnya.

Pengemis itu terus muntah darah. Tak 

berapa lama kemudian, berhenti. Tangan 

wanita itu dengan cekatan menotok 

beberapa bagian tubuh pengemis itu. Lalu 

ia berdiri dan membentak, "Sudah 

kukatakan jangan pergi, kau pergi juga! 

Beginilah akibatnya!"

Pengemis itu menggeliat. Tubuhnya 

sudah terasa agak enakan. Dia jengkel 

dibentak demikian. Tidak berterima kasih 

sedikit pun.

Ia balas membentak, "Kau tidak perlu 

memperdulikan aku lagi, Pandan! Cepat 

kau balik ke rumah! Aku akan tetap dengan 

tujuanku!"

"Bah!" Wanita itu mendengus. "Mana 

mungkin kau masih mengenalinya? Sekian 

tahun dia pergi! Dan tak ada kabarnya! 

Kau pun belum tahu dia masih hidup atau 

sudah mati?!"

"Tidak, aku akan tetap mencarinya! 

Aku rindu pada mereka!"

Wanita cantik itu sekali lagi 

mendengus. Ia membentak lagi, "Kau tidak


akan menjumpainya, Karto! Sudah lama 

mereka pergi, entah ke mana!"

"Ini semua gara-gara kau, tahu! Kau 

telah membuat keluargaku berantakan! Kau 

memang wanita iblis, Pandan!"

Wanita tu menggeleng. "Jangan 

salahkan aku! Salahkan ayahnya Warsih 

Inten, istrimu itu! Dialah yang telah 

mempermainkan ibuku sampai ibuku menjadi 

gila. Orang itu seenaknya saja 

menghamili ibuku. Aku tidak terima, 

Karto.... Dan aku lahir ke dunia ini 

karena cinta terpaksa dari ayah Warsih 

Inten, yang lalu membuang aku dan ibuku 

jauh ke hutan.

Aku mendendam pada orang itu, 

sekalipun dia adalah ayahku sendiri. 

Tapi sayang, orang itu sudah mati ketika 

aku ingin membalas dendam.

Tetapi istrimu adalah anaknya, aku 

bisa membalaskan dendam itu padanya, 

dengan merebutmu dari sisinya!"

"Kau jahat, Pandan!" geram pengemis 

itu.

"Bukan aku!"

"Kau! Kau telah mempengaruhiku. Dan 

menyebabkan anak istriku pergi entah ke 

mana dan bagaimana nasib mereka."

"Biar saja kedua orang itu mampus. 

Aku toh istrimu...."

"Tidak! Aku akan tetap mencari 

mereka!!"

Wanita cantik berpakaian indah itu 

mengejar, "Aku ikut, Karto!"


"Tidak!" Pengemis itu berbalik dan 

menatap wanita itu dengan garang. "Sudah 

kukatakan Pandan, kau tinggalkan aku 

sendiri di sini! Jangan ganggu aku lagi. 

Kita sudah sama-sama tua...Pandan.. 

Kuminta padamu, di akhir hidupku ini, 

jangan ganggu aku lagi. Biarkan aku

mencari anak istriku. Aku ingin 

mengakhiri hidupku bersama mereka."

"Tapi aku istrimu!"

"Iya, tapi kau tidak boleh ikut!"

Wanita itu menggeleng keras.

"Aku akan ikut denganmu! Akan 

kubunuh anak istrimu itu!"

"Pandan!"

"Aku mencintaimu, Karto... hu... 

hu... kau jahat.... Jangan tinggalkan 

aku, Karto...."

Pengemis itu menggeleng-geleng 

kepala bingung. Yah... pengemis itu 

bernama Kartonggolo dan wanita cantik 

itu bernama Pandan Ningsih.

Kartonggolo itu sebenarnya adalah 

ayahnya Madewa Gumilang, yang telah 

berbuat serong dengan Pandan Ningsih 

(baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Pandan Ningsih melakukan semua itu, 

karena mendendam pada ayahnya Warsih 

Inten, istri Kartonggolo, yang telah 

menyebabkan ibunya menjadi gila. Dia 

sengaja mengacaukan rumah tangga Warsih 

Inten. Dan menyebabkan wanita itu pergi 

bersama Madewa ketika masih kecil.


Sangka Pandan Ningsih, setelah 

menyebabkan wanita itu pergi, dia akan 

segera meninggalkan Kartonggolo. Namun 

dia amat mencintai laki-laki. Dan dia pun 

enggan meninggalkannya. Selama 15 tahun 

dia hidup penuh cinta dengan laki-laki 

itu. Dan di saat yang lama itu, dia 

teringat akan nasib Warsih Inten. Biar 

bagaimanapun, Pandan Ningsih masih 

mempunyai naluri keibuan. Dia menyesal 

telah menyebabkan wanita itu pergi dan 

sengsara.

Tetapi ketika suaminya berniat 

hendak menyusul mereka, Pandan Ningsih 

menjadi marah dan cemburu. Dia selalu 

menghalangi ke mana pun suaminya pergi.

Sedangkan rasa rindu Kartonggolo 

pada anak istrinya begitu mendesak dan 

menyentak. Namun suatu ketika, dia 

berhasil lolos dari pengamatan istrinya 

yang sedang mandi. Dengan cepat 

Kartonggolo menyelinap dan menyelinap 

dan menyamar sebagai pengemis agar tidak 

dikenali istrinya, Pandan Ningsih.

Tetapi agaknya Pandan Ningsih jeli. 

15 tahun tinggal bersama, dia hafal bau 

Kartonggolo. Dia berhasil menjumpai 

suaminya itu, yang merasa kembali ada 

halangan untuk menjumpai anak istrinya.

Karena Pandan Ningsih ingin 

membunuh mereka, karena merasa kasih 

sayang Kartonggolo akan diambil alih 

oleh mereka.


Ini membuat Kartonggolo kebingungan 

lagi. Tapi kalau saja Pandan Ningsih yang 

sudah menjadi istrinya secara sah tidak 

datang, dia pasti mampus di tangan 

orang-orang tadi.

Diam-diam Kartonggolo bersyukur 

juga jika istrinya ikut. Istrinya 

seorang wanita yang pandai bersilat. 

Juga ilmu hipnotisnya yang hebat.

Kalau istrinya ikut, pasti 

keselamatannya ter-amin. Namun istrinya 

akan membunuh putranya jika bertemu.

Tak ada pilihan lain. Kartonggolo 

mengajak Pandan Ningsin ikut mencari 

putranya. Biar dia pergi sendirian, 

pasti Pandan Ningsih akan tetap 

membuntutinya.

* * *



SEMBILAN



Tanah genting itu sunyi. Tetapi di 

atas sana beberapa camar berteriak-

teriak. Tak seorang pun yang kelihatan 

berada di sana.

Hanya yang ingin cari mati saja yang 

nekad datang ke tampat itu.

Tetapi pagi itu terdengar suara isak 

dari goa yang terdapat di sana. Isak itu 

begitu memilukan. Sejak malam isak itu 

terdengar.


Dan lagi-lagi terdengar bentakan 

jengkel, "Jangan menangis! Atau kau 

ingin kubunuh?!"

Tetapi suara tangis itu bukannya 

mereda malah berkepanjangan. Suara 

tangis wanita, yang tak lain adalah 

Nindia. Dan yang membentak itu Wirapati 

yang sudah lima hari menyekap Nindia.

Wirapati kesal bukan main, karena 

sekian lama orang yang ditunggunya tidak 

datang-datang. Apalagi gadis itu 

sepanjang hari kerjanya menangis terus. 

Dan terasa mengganggunya.

Ancaman apa pun tak mempan bagi 

gadis itu. Walaupun diancam akan 

dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia, 

lebih baik dibunuh daripada disekap oleh 

penjahat itu.

Bayangan wajah ayah dan ibunya 

bermain di matanya setiap malam. Dia 

ingin lari dari sini. Dia ingin berada di 

samping ayah ibunya.

Sudah dua kali dia mencoba lari. 

Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh 

Wirapati, yang langsung menyeretnya 

tanpa ampun.

Sejak kejadian itu, Nindia tidak 

berani melarikan diri walau ada 

kesempatan sekali pun.

Dan tidak ada yang dapat 

dilakukannya selain menangis. Dan 

menangis, memohon belas kasihan 

penyekapnya agar dia dibebaskan.


Dan lagi-lagi terdengar bentakan 

jengkel, "Jangan menangis! Atau kau 

ingin kubunuh?!"

Tetapi suara tangis itu bukannya 

mereda malah berkepanjangan. Suara 

tangis wanita, yang tak lain adalah 

Nindia. Dan yang membentak itu Wirapati 

yang sudah lima hari menyekap Nindia.

Wirapati kesal bukan main, karena 

sekian lama orang yang ditunggunya tidak 

datang-datang. Apalagi gadis itu 

sepanjang hari kerjanya menangis terus. 

Dan terasa mengganggunya.

Ancaman apa pun tak mempan bagi 

gadis itu. Walaupun diancam akan 

dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia, 

lebih baik dibunuh daripada disekap oleh 

penjahat itu.

Bayangan wajah ayah dan ibunya 

bermain di matanya setiap malam. Dia 

ingin lari dari sini. Dia ingin berada di 

samping ayah ibunya.

Sudah dua kali dia mencoba lari. 

Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh 

Wirapati, yang langsung menyeretnya 

tanpa ampun.

Sejak kejadian itu, Nindia tidak 

berani melarikan diri walau ada 

kesempatan sekali pun.

Dan tidak ada yang dapat 

dilakukannya selain menangis. Dan 

menangis, memohon belas kasihan 

penyekapnya agar dia dibebaskan.


Tapi Wirapati tetap tidak perduli! 

Sebelum pemuda yang ditunggunya datang, 

dia tidak akan melepaskan sanderanya.

Hari ini Nindia menangis lagi. 

Tubuhnya semakin kurus dan lemah. 

Matanya sembab. Pipinya memerah. Dia 

selalu menolak makanan yang disuguhkan 

oleh Wirapati. Dia tidak sudi memakan 

makanan yang dihidangkan oleh orang yang 

dibencinya!

"Hei, Gadis manis!" bentak Wirapati 

jengkel, karena tangis itu belum 

berhenti juga. "Kalau kau tidak 

menghentikan tangismu, aku akan benar-

benar membunuhmu!" Wirapati menarik 

pedangnya dari sarungnya.

Sreeet! 

Pedang yang bercahaya itu 

diacungkan di depan wajah Nindia. "Lihat 

ini, kalau kau tidak berhenti menangis, 

akan kubuat cacat tubuhmu!"

"Lakukan, lakukan itu! Buat cacat 

wajahku!" tantang Nindia tidak takut. 

Suaranya serak, penuh kegeraman. "Aku 

lebih baik mati daripada disekap olehmu! 

Bunuh, bunuh aku!"

Wirapati menjadi semakin jengkel. 

Dengan gerakan yang cepat tangannya 

mengayun. 

Sreet! Sreeet! 

Ujung pedang itu mengenai pakaian 

atas Nindia. Tidak melukai wajahnya. 

Juga tidak melukai bagian tubuh yang 

lain.


Gerakan itu sebenarnya tidak 

sengaja. Tapi Wirapati benar-benar akan 

membunuh gadis itu. Kegeramannya sudah 

naik ke ubun-ubun, minta ditumpahkan.

Tetapi dia ingat, akan datangnya 

Madewa Gumilang untuk mengambil gadis 

ini. Wirapati seorang kesatria yang 

memegang teguh adat kekesatriaannya. 

Yang tidak boleh melanggar ucapannya 

sendiri.

Jika dilanggar bagaikan mencoreng 

mukanya sendiri. Makanya dia menyalahkan 

sasaran pedangnya dari wajah Nindia.

"Oh!" Nindia mengeluh kaget melihat 

pakaiannya mendadak melorot begitu saja. 

Reflek dia menutupi dadanya dengan kedua 

tangannya.

Matanya melotot merah dan benci pada 

Wirapati. "Kau?! Penjahat cabul!!" 

bentaknya geram seraya beringsut ke 

belakang.

Justru dengan terlihatnya bagian 

dada Nindia, mata Wirapati terbelelak. 

Mendadak matanya berkilat-kilat penuh 

gairah. Marahnya mendadak tiba-tiba 

padam, bergantian dengan nafsu birahi.

Tatapannya liar, nanar menatap 

pemandangan yang sudah lama tidak 

dinikmatinya.

Sejak bergabung dengan Tiba Dewa 

Penunggang Kuda, Wirapati telah lama 

tidak merasakan kehangatan tubuh wanita 

lagi. Dan kali ini melihat Nindia, 

mendadak nafsu yang sudah padam itu


bangkit. Ia masih menatap. Ia menjilat 

lidahnya. Matanya memancarkan sorot yang 

menakutkan. Berkilat dan bercahaya penuh

gairah.

Nindia ketakutan melihat sorot mata 

itu. Dia beringsut ke sudut. Perlahan 

Wirapati menjatuhkan pedangnya. 

Perlahan pula mendekati dengan 

menyeringai lebar.

"Ma... mau... apa kau?!" bentaknya 

takut-takut.

"He... he... tubuhmu sedap 

dipandang juga, gadis manis," desis 

Wirapati sambil membelai lengan Nindia,

"Iih!" desis Nindia jijik. "Ja... 

jangan ganggu aku! Kubunuh kau nanti!!"

"Ha... ha... omonganmu besar juga, 

Gadis. Hei, aku belum tahu siapa namamu?"

"Tidak, tidak! Jangan... jangan 

ganggu aku!"

"Ha... ha... aku ingin tahu namamu, 

Gadis manis." Tiba-tiba suara Wirapati 

berubah bengis, "Ingat, kalau sampai 

besok Madewa tidak datang kau akan kuhina 

habis-habisan! Kau harus melayaniku 

selama-lamanya di sini ha... ha...."

Nindia menangis terguguk. Sedikit 

lega karena Wirapati tidak sekarang 

menghendaki tubuhnya. Tiba-tiba dia 

berharap, agar pemuda yang pernah

menginap di rumahnya datang menolong. 

Tetapi kapan harapan itu akan datang.

Wirapati bangkit sambil menelan air 

liurnya. Tiba-tiba saja dia menyentak


kedua tangan Nindia dari dadanya. Nindia 

menjerit seraya meronta. Wirapati 

terkekeh. Senang melihat buah dada 

Nindia yang montok.

"Penjahat cabul!!" tiba-tiba 

terdengar bentakan keras itu. Wirapati 

menoleh sigap. Disangkanya Madewa yang 

datang, dia langsung menyambar pedangnya 

yang jatuh, Tetapi dia terkejut, bukan 

Madewa, malainkan seorang wanita yang 

cantik. Dengan senyumnya mendebarkan.

"Siapa kau?!" bentak Wirapati yang 

merasa wanita itu menganggu 

keasyikannya. Dia tak perduli siapa 

wanita itu. Pokoknya yang telah 

mengganggunya, akan dihabisinya.

Wanita cantik itu tertawa. Baju di 

lengan kirinya menjuntai. Rupanya lengan 

kiri wanita cantik itu buntung! Ia 

mengenakan baju tipis berwarna merah, 

juga selendangnya yang berwarna merah.

"Kau ingat dengan selendang ini?" 

suara wanita itu mengerikan.

Wirapati terdiam. Mengingat-ingat. 

Kalau selendang merahnya dia jelas tahu 

siapa wanita itu, tetapi mengapa lengan 

kirinya buntung?

Belum lagi dia menjawab, wanita itu 

terkekeh, "Tepat dugaanmu, Penjahat 

cabul! Akulah Pratiwi, si Selendang 

Merah. Hik... hik...!" 

Wirapati terperangah. Kaget. 

Matanya memperhatikan wanita yang lengan 

sebelah kirinya buntung. Wanita itu


mengaku Pratiwi? Apa tidak salah. 

Wirapati tahu, Pratiwi adalah tokoh 

wanita sesat yang berpredikat Dewi 

cabul. Tetapi akhir-akhir ini namanya 

telah lenyap. Namun sekarang ada yang 

mengaku-ngaku sebagai Pratiwi. Ha... 

ha... lucu! Pratiwi si Selendang Merah 

tidak buntung lengan kirinya!

"Hei, perempuan buntung!" bentak 

Wirapati mengejek. "Enak-enak saja kau 

mengaku sebagai Pratiwi! Mimpi apa aku 

menjumpai wanita gila macam kau!"

Dibentak seperti itu Pratiwi hanya 

terkekeh.

Tanpa menghiraukan Wirapati, dia 

menghampiri Nindia yang merasa beruntung 

karena datangnya dewi penyelamat itu.

Nindia langsung memeluk Dewi Cabul 

itu. Ia menangis terguguk. Pratiwi 

membelai rambutnya dan berbisik lembut, 

"Jangan menangis, Anak manis. Jangan 

takut. Selama ada aku di sini, kau akan 

aman."

"Bangsat kau, Perempuan buntung!" 

geram Wirapati marah karena seruannya 

dianggap angin lalu saja oleh Pratiwi.

Pratiwi bangkit dengan cepat. 

Matanya seakan menyala menatap Wirapati. 

Jengkelnya bukan main karena sudah dua 

kali dia dipanggil perempuan buntung.

"Hmm," desisnya mengerikan. 

Suaranya persis ular cobra yang sedang 

marah. "Katakan siapa namamu, sebelum 

kucabut nyawamu?!"


Wirapati tergelak. "Punya nyali 

juga rupanya kau, Perempuan buntung! 

Ketahuilah, aku Wirapati, salah seorang 

dari Tiga Dewa Penunggang Kuda. Ha... 

ha... cepatlah berlutut sebelum kucabut 

nyawamu!"

"Hhh! Kau yang akan menerima 

akibatnya dari ucapanmu itu!"

"Ha... ha... aku ingin kau 

membuktikan ucapanmu, Perempuan 

Buntung! Biarpun kau mengaku sebagai 

Pratiwi alias Si Selendang Merah, tak ada 

rasa takut sedikit pun terhadapmu!"

Merah wajah Pratiwi. Tahu-tahu 

dengan gerakan yang sangat cepat, ia 

telah menguraikan selendang merah yang 

membelit di dadanya. Wirapati hanya 

tertawa mengejek. Dia tahu siapa 

Selendang Merah. Dan dia yakin, wanita 

ini hanya orang gila yang mengaku sebagai 

tokoh wanita sesat itu.

"Baik, Wirapati! Kau sambutlah ilmu 

selendang merahku. Perhatikan baik-

baik, siapa aku sebenarnya!" sesudah 

berkata begitu, Pratiwi langsung 

melecutkan selendangnya dengan jurus 

Angin Membelah Badai. Wirapati 

tersentak. Dia mengenai jurus itu. Jurus 

yang nampak ringan namun berbahaya. Dia 

langsung berkelit menghindari lecutan 

selendang itu. Serangan Pratiwi luput, 

dan selendang merahnya meluncur mengenai 

dinding goa yang menimbulkan suara 

keras.


"Plarr!" 

Dinding goa itu hancur berantakan.

Belum lagi Wirapti sempat membalas, 

selendang merah Pratiwi kembali 

menyerang. Rupanya jurus Angin Membelas 

Badai, merupakan gerakan yang 

menyambung, yang ujung selendang telah 

dialiri tenaga dalam yang kuat. Kali ini 

Wirapati bergerak cepat. Dan tangannya 

mengayunkan pedang dengan gerakan cepat 

pula. Pratiwi menarik pula selendang 

merahnya.

Dia langsung merubah jurusnya. Kali 

ini dia memainkan jurus selendang 

Menjadi Tombak. Dan keanehan terjadi. 

Selendang yang lemah dan lembut itu, 

mendadak berubah menjadi sebuah tombak 

yang kokoh dan kuat. Dengan tombak itu 

dia melakukan tusukan yang cepat ke arah 

leher Wirapati.

"Trang... trang!!'

Bunyi itu terdengar keras. Sebelum 

tombak Pratiwi mengenai sasarannya, 

Wirapati sudah menghalau dengan 

pedangnya. Namun dia terhuyung ke 

belakang. Tangannya terasa kesemutan. 

Tenaga yang mengalir dalam selendang itu 

begitu besarnya.

Sekarang Wirapati yakin, siapa 

wanita ini sebenarnya. Memang Pratiwi 

alis si Selendang Merah. Tetapi mengapa 

tangannya buntung? Dan ke mana dia selama 

setahun belakangan ini?


Nindia yang sejak tadi cemas, bisa 

bernafas dengan lega kembali. Wanita 

yang datang itu benar-benar seorang 

tokoh jagoan yang sakti. Walaupun lengan 

kirinya buntung, tetapi dia mampu 

menandingi Wirapati!

"Tahan!" jerit Wirapti seraya 

menghindar. "Kau memang benar Pratiwi 

adanya. Sebelum dilanjutkan, ada 

beberapa pertanyaanku."

"Hhh!" Pratiwi mendengus meremeh-

kan. Tangannya memutar-mutar selen-

dangnya yang kini kembali lembut. 

"Jangan bertele-tele Wirapati, aku sudah 

tak tahan ingin mencabut nyawamu!!"

"Tahan, Pratiwi! Dengar pertanyaan-

ku, bukankah kau selama setahun ini sudah 

mengundurkan diri? Apa gerangan yang 

membuatmu kembali ke rimba persilatan 

ini?"

"Itu urusanku! Kau tidak perlu 

tahu!"

"Baik! Kurasa kita hentikan saja 

pertandingan ini. Bawalah gadis itu 

bersamamu. Aku tak ingin membuat 

permusuhan denganmu!"

"Pengecut! Rupanya bekas anggota 

Tiga Dewa Penunggang Kuda, punya nyali 

seperti tikus!" 



                            SELESAI



Nah, sampai disini kisah ini 

berakhir selanjutnya silakan anda simak 

dalam "Petaka Cinta Berdarah".


Share:

0 comments:

Posting Komentar