PEDANG PUSAKA
DEWA MATAHARI
Oleh Fahri A.
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 001 :
Pedang Pusaka Dewa Matahari
SATU
Malam itu angin bertiup lembut.
Suasana jalan agak sunyi. Walau dari
kejauhan terdengar kentongan walau agak
samar-samar. Hujan pun mulai turun
rintik-rintik, membuat penghuni setiap
rumah merasa lebih enak berdiam diri di
dalam daripada keluar.
Begitu pula dengan penghuni sebuah
rumah yang halamannya ditumbuhi pohon
besar. Kepala rumah tangga itu bernama
Kartonggolo. Seorang petani yang
bertubuh tegap karena dilahirkan dari
desa. Istrinya bernama Warsih Inten.
Agak mengherankan, karena istrinya
seorang perempuan yang mungil dan manis.
Lain dengan suaminya yang bertubuh besar
tetapi wajahnya tampan.
Mereka merupakan keluarga yang
bahagia. Apalagi sejak dikaruniai
seorang putra yang kini berusia lima
tahun, keluarga itu semakin berbahagia.
Warsih Inten sangat menyayangi anaknya.
Anak yang diharapkan dapat melindungi
orang tuanya di hari kelak nanti.
"Madewa...." panggilnya lembut pada
anak yang sedang bermain dibalai-balai.
"Ayo tidur. Hari sudah larut malam, Nak."
Bocah itu mengangkat wajahnya.
Tatapannya yang bundar dan indah
berputar menatap ayah dan ibunya
bergantian.
Bocah itu mengangguk.
"Ibu tidak tidur?" tanyanya.
"Ibu mau tidur."
"Ayah?"
Kartonggolo yang sedang memikirkan
akan kemajuan sawahnya mengangguk pula.
"Ayo kamu tidur sana dulu Nanti Ayah
menyusul."
Bocah itu langsung merebahkan
tubuhnya di balai-balai itu pula. Warsih
Inten menunggui sampai anak itu
terlelap. Betapa sayangnya dia dengan
anaknya. Dia ingin anaknya bisa tumbuh
melebihi ayahnya.
Tiba-tiba pintu depan ada yang
mengetuk. Kertonggolo bangkit dengan
sigap. Ia menyambar goloknya yang
tersampir di pagar rumah. Istrinya
bangkit dengan ketakutan. Gemetar
memegangi lengan suaminya.
Jelas saja mereka kuatir. Karena
akhir-akhir ini sering kali terjadi
perampokan yang diiringi dengan
perkosaan. Bahkan sering kali terjadi
pembunuhan yang sadis.
Kartonggolo menenangkan istrinya.
Lalu membentak keluar, "Siapa di luar?!"
Disangkanya suara yang seram dan
galak yang menyahut, tapi suara lembut
dan menggigil yang terdengar, "Saya."
"Saya siapa?!"
"Nama saya Pandan Ningsih. Mohon
dibukakan pintu, karena di luar dingin
sekali."
Kartonggolo ragu-ragu. Tapi
istrinya mendesak agar dia mau membuka
pintu. Warsih Inten tidak tega mendengar
suara yang menggigil itu. Dia
membayangkan, bagaimana dinginnya di
luar sana.
Dengan golok siap mengayun,
Kartonggolo membuka pintu. Pelan-pelan
dan hati-hati. Tidak ada yang menyerbu
masuk, padahal kalau ada, pasti buntung
lehemya ditebas golok itu.
"Oh!" Warsih Inten menjerit. Ia
berlari ke luar. Sosok tubuh wanita
menggigil kedinginan. Warsih Inten
merangkulnya mengajak masuk. "Silahkan,
Dik."
Wanita itu diam. Ia berwajah cantik.
Tubuhnya padat dan indah. Bibirnya agak
kebiruan karena menahan dingin.
Kartonggolo menutup pintu kembali.
Memperhatikan istrinya yang sibuk
memberikan kain penghangat pada wanita
itu.
Warsih Inten pun memberikan
pakaiannya sendiri untuk dipakai wanita
itu. Setelah itu dia bertanya, "Adik dari
mana dan mau ke mana?"
Wanita itu masih menggigil. Dan
mendadak dia terisak.
"Saya... kabur dari rumah...."
"Kenapa?"
"Ibu saya ingin mengawinkan saya
dengan laki-laki tua.... Saya tidak mau.
Saya tidak suka dengan bandot tua itu.
Tapi... Ibu memaksa... dia mengancam
akan membunuh saya kalau tidak mau
mengikuti kehendaknya.
Saya takut, Kak. Saya takut. Saya
lari dari rumah. Dan kemalaman di desa
ini...."
Lagi-lagi Warsih Inten membayangkan
kalau saja dirinya yang dijodohkan
demikian, tentu dia akan berbuat hal yang
sama seperti Pandan Ningsih.
Pandan Ningsih terisak lagi. Dulu
dalam angannya, dia menginginkan seorang
perjaka yang perkasa yang mampu
melindunginya, bukan duda yang jelek
itu!
Isaknya itu membuat Warsih Inten
semakin iba. Tanpa minta persetujuan
suaminya, ia m-nyuruh wanita itu
menginap di rumahnya. Sampai beberapa
hari lamanya Pandan Ningsih menginap.
Warsih Inten senang, karena setiap kali
suaminya ke sawah ia ada yang menemani
selain putranya yang bernama Madewa
Gumilang.
Bahkan Warsih Inten mengambil
Pandan Ningsih sebagai pengasuh anaknya.
Pandan Ningsih menerima usul itu sebagai
balas budi kebaikan Warsih Inten.
Mereka lalui hari-hari itu dengan
penuh kegembiraan. Kecerian Pandan
Ningsih muncul kembali. Setiap pagi dan
sore dia mengajak Madewa Gumilang
bermain. Madewa pun akrab dengan gadis
itu.
Ketika Madewa berusia enam tahun,
malapetaka itu pun terjadi. Malam itu
Warsih Inten terbangun. Ia heran melihat
suaminya tidak berada di sampingnya.
Dengan masih tanda tanya dia bangkit
keluar kamar. Sayup-sayup dia mendengar
suara cekikikan dan desah nafas turun
naik dari kamar Pandan Ningsih. Dia
cekikikan dengan siapa?
Hal itu membuat Warsih Inten menjadi
heran dan penasaran. Apalagi ketika
dicari ke setiap sudut rumah, suaminya
tidak ada. Kalau hendak keluar rumah,
suaminya selalu bilang hendak pergi.
Dengan hati-hati Warsih Inten mengintip
dari lubang kunci. Dan dia tersentak.
Benar-benar pemandangan yang
mengejutkan. Dia melihat suaminya tengah
menggumuli tubuh Pandan Ningsih yang
cekikikan dan bergelinjang keenakan.
Keduanya dalam keadaan telanjang bulat!
Menggigil tubuh Warsih Inten.
Sambil menggigit bibir marah dia
terhuyung ke belakang. Tatapan matanay
seakan berkunang-kunang. Kepalanya
pusing bukan kepalang. Ternyata suaminya
telah mengkhianatinya. Juga Pandan
Ningsih yang tega-teganya merebut
suaminya. Apa dia telah melupakan, kalau
setahun yang lalu gadis itu ditolongnya?
Entah perbuatan yang keberapa yang
mereka lakukan itu.
Tetapi kejadian itu didiamkan saja.
Sikap Warsih Inten tetap seperti biasa.
Walau dia geram sekali setiap kali
melihat Pandan Ningsih. Hanya saja kalau
setiap kali suaminya ingin k-butuhannya
dilayani, dia menolak. Beberapa kali
Kartonggolo hanya mendiamkan saja,
mengira istrinya sedang tidak enak
badan. Namun setelah beberapa kali
Warsih Inten tidak mau melayaninya,
Kartonggolo menjadi kesal. Dengan geram
dia menampar pipi istrinya hingga
memerah. Warsih Inten menangis terguguk.
Sementara Madewa yang terbangun hanya
diam saja. Dia tahu orang tuanya tengah
bertengkar, tapi dia tidak tahu apa
masalahnya.
Kartonggolo menggeram jengkel.
"Keterlaluan kau, Warsih! Hampir sepuluh
kali aku minta padamu, tapi kau selalu
menolak. Menolak. Sungguh keterlaluan!"
Kartonggolo bersunggut-sunggut. Ia sama
sekali tidak tahu apa penyebab
keengganan istrinnya itu. Warsih Inten
tidak mau mendapat bagian yang bekas. Dia
hanya ingin memiliki Kartonggolo
seorang!
Kartonggolo akan membentak lagi,
namun didahului oleh istrinya, "Kau yang
keterlaluan, Karto!" jerit Warsih Inten
diiringi isaknya. "Kau hendak menyamakan
aku dengan pelacur, kau samakan aku
dengan barang mainanmu. Aku tidak sudi!"
Jelas saja Kartonggolo tidak
mengerti apa yang dikatakan istrinya. Ia
tetap mengira istrinya belum mengetahui
belangnya.
"Kau bicara apa, Warsih?"
Warsih Inten terguguk. "Kau
jahanam, Karto! Kau jalang! Kau telah
menodai kesetianku. Kau anggap aku ini
apa, Karto?" Warsih Inten menangis
tersedu-sedu. Dipeluknya Madewa Gumi-
lang yang hanya diam saja. Tapi merasakan
kesedihan ibunya karena ibunya menangis.
Sekarang sadarlah Kartonggolo.
Kalau hubungan gelapnya dengan Pandan
Ningsih sudah diketahui istrinya. Dia
mendesah. Diam-diam dia menyesali
perbuatan hina itu. Ya, dia telah menodai
tirai perkawinan yang telah lama mereka
bina. Dia telah menghancurkan harapan
istrinya yang ingin bersandar padanya
selama-lamanya. Tiba-tiba Kartonggolo
berlutut di kaki istrinya. Matanya
memancarkan sorot penyesalan dan minta
maaf. Dia menangis di hadapan istrinya.
"Warsih... maaf... maafkan aku. Aku
bersalah. Pandan Ningsih yang merayuku,
aku...aku, khilaf, Warsih...."
Warsih Inten masih terguguk.
Perlahan dia menghapus air matanya.
Sebagai wanita yang mencintai suaminya,
Warsih Inten memaafkan perbuatan
suaminya. Ia memegang kedua bahu
suaminya. Dan mengangguk. Tetapi
tiba-tiba muncul Pandan Ningsih dengan
senyum yang mirip iblis betina.
"Hik... hik... rupanya ada
sandiwara yang mengharukan di kamar
ini...." suaranya pun lain seperti
biasanya.
Kartonggolo bangkit dan membalik.
"Pandan Ningsih!" geramnya marah.
Gara-gara wanita ini rumah tangganya
nyaris berantakan. "Enyah kau dari sini!
Cepat! Sebelum kemarahanku naik " Pandan
Ningsih tersenyum. Sedikit pun tidak
takut akan marahnya kartonggolo.
"Hik... hik... dasar laki-laki. Mau
enaknya saja. Kau telah merenggut
keperawananku, Karto. Kau telah
enak-enakan menggoyang tubuh di atas
tubuhku. Dan sekarang... kau ingin
membuangku begitu saja...."
Kartonggolo semakin marah. Betina
ini tidak takut dengannya rupanya.
Dengan gusar ia mengayunkan tangannya.
Wuut! Pukulannya lewat ke samping.
Entah bagaimana Pandan Ningsih sudah
berkelit ke samping.
"Hik... hik...."
Kartonggolo kaget serangannya
gagal. Ia akan menyerang lagi. Tapi
tiba-tiba tatapan matanya berbenturan
dengan mata Pandan Ningsih. Tatapan itu
begitu mesranya. Kartonggolo yang
tadinya marah, tiba-tiba menjadi senang.
Dia malah berbalik memeluk Pandan
Ningsih. Rupanya Pandan Ningsih seorang
wanita yang menguasai hipnotis, karena
dengan mudahnya Kartonggolo bisa
dipengaruhi.
Pandan Ningsih terkikik. "Hik...
hik... inilah ganjaran untuk ayahmu,
Warsih Inten. Ayahmu yang menghamili
ibuku, sehingga aku terhina.... Dan
mereka meninggalkan kami dalam keadaan
sengsara...."
Betapa geramnya Warsih Inten
melihat adegan itu". Dengan mesra sekali
suaminya mengecup bibir Pandan Ningsih
yang dibalas dengan tak kalah mesranya.
Tiba-tiba dia bangkit dengan kemarahan
membludak. Menyerang Pandan Ningsih
dengan kalap.
Tetapi Pandan Ningsih cukup
mengelak sedikit saja, hingga pukulan
itu luput. Malah ia sempat memukul bagian
belakang Warsih Inten hingga
terpelanting ke sudut kamar.
"Aaaaah!"
Pandan Ningsih hanya tertawa.
Sementara Kartonggolo hanya tersenyum.
Sedikit pun dia tidak berniat untuk
menolong istrinya. Dia terus menciumi
Pandan Ningsih dengan penuh nafsu.
"Ibu!" jeritan itu terdengar.
Madewa Gumilang berlari memburu ibunya
yang berdarah mulutnya. Lalu berbalik ke
arah Pandan Ningsih dengan marah.
"Perempuan jahat! Kenapa kau pukul Ibu?
Kasihan Ibu!"
"Hik... hik... hik... bocah, bocah.
Besar pula nyalimu."
"Kau jahat. Kau pukul Ibu. Aku akan
membalas!" seru Madewa kecil sambil
menyerang. Pandan Ningsih hanya
terkikik. Lalu menendang Madewa hingga
mengaduh keras. Tapi rupanya bocah itu
belum puas. Dia menyerang lagi.
Ditendang lagi. Menyerang lagi.
Ditendang lagi. Sampai kehabisan tenanga
sendiri.
"Kau bocah berani. Aku suka padamu,"
desis Pandan Ningsih sambil mengeliat
dari ciuman Kartonggolo yang sudah
dibuai nafsu. Lalu ia mengajak
Kartonggolo untuk rebahan di ranjang. Di
hadapan istri dan anaknya, Pandan
Ningsih bermain cinta dengan
Kartonggolo!
Dada Warsih Inten seakan mau pecah.
Tangisnya seakan mau meledak. Dia tak
kuasa melihat adegan itu. Tiba-tiba dia
menyambar tubuh anaknya lalu berlari
jauh-jauh meninggalkan rumah. Tawa
keenakan Pandan Ningsih mengiringi
kepergiannya.
Hancur sudah harapan yang dibangun
Warsih Inten sejak muda. Harapan yang
diimpikannya untuk hidup bahagia bersama
suami dan anak tercinta. Ia terus berlari
menembus kegelapan malam. Didiamkan saja
anaknya yang memanggil-manggil ayah.
Dia harus bisa mendidik Madewa agar
menjadi orang baik. Tidak sesat seperti
ayahnya, yang disangkanya dewa penolong
dalam kehidupannya.
Menjelang pagi, baru Warsih Inten
beristir-hat. Madewa sudah tertidur
dalam dekapannya. Letih baru dirasakan
sekarang. Langkahnya terasa enggan.
Kakinya terasa kaku. Ia merebahkan
Madewa di atas rumput lembut. Lalu ia
sendiri bersandar di batu besar. Angin
bertiup dengan semilir. Membuat ia
semakin mengantuk. Tak terasa ia
tertidur.
Dalam tidurnya dia bermimpi, kalau
dia dan suaminya sedang berada di sebuah
taman yang indah. Dan Madewa kecil
berlari di sekitar mereka. Mimpi yang
indah.
Tetapi begitu Warsih Inten
terbangun, ia menemukan dirinya berada
di luar mimpinya. Jauh berbeda dengan
mimpi indahnya. Perlahan-lahan ia
teringat berada di mana. Juga mengapa
berada di tempat itu. Ini semua gara-gara
wanita iblis itu. Diliriknya Madewa yang
tengah menggeliat.
Dan terbangun. Ia melihat ibunya
tengah menatapnya. Wajah Ibu nampak
pilu. Penuh dengan beban yang sarat.
Entah kenapa tahu-tahu Madewa bangkit
dan bertanya, "Ibu lapar?"
Warsih Inten tersenyum. Ia
menggeleng.
"Bohong. Ibu kelihatannya lapar.
Biar Dewa petikan buah ya, Bu? Di hutan
ini pasti banyak pohon buah. Ibu tunggu,
ya?"
Tanpa mendengarkan jawaban ibunya,
Madewa sudah berlari ke dalam hutan. Ia
menemukan sebuah pohon jambu. Dipetiknya
yang ranum-ranum. Dan dibawakannya untuk
ibunya.
Warsih Inten terharu melihat
anaknya datang dan meletakkan petikannya
di hadapannya.
"Ini buat Ibu. Ayolah Bu, dimakan."
Warsih Inten tersenyum. Ia memakan
sebuah. Dan dirasakan betapa segar
tenggorokannya sekarang. Ia melihat ke
atas. Matahari sudah tinggi sekali.
Karena terhalang oleh tingginya pohon
sinarnya tidak bisa menembus ke tanah.
Melihat Ibunya tersenyum, Madewa
gembira. Ia menyodorkan sebuah lagi.
"Ayo, bu."
Warsih Inten tertawa pelan. Ia
senang Madewa mengikutinya. Dan dia
bangga Madewa kecil tidak cerewet.
Mendadak Warsih Inten tercenung. Di mana
mereka akan tidur nanti malam? Juga
malam-malam selanjutnya. Madewa
menyangka ibunya sudah tidak ingin
memakan buah itu lagi. Ia membungkus buah
jambu itu dengan bajunya.
Sikap Madewa tetap gembira. Sudah
lama dia tidak bermain di luar rumah. Dan
sekarang, Ibu mengajaknya bermain jauh
dari rumah. Betapa senangnya. Apalagi
kalau ayah ada bersama mereka.
Menjelang malam, barulah Madewa
agak cerewet. Ia tak tahan kedinginan.
Dipeluknya tubuh ibunya untuk
mendapatkan kehangatan. Warsih Inten
balas memeluk erat. Dirasakan sekali
tubuh anaknya menggigil. diciuminya
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kalau
saja tidak ada wanita yang bernama Pandan
Ningsih itu, pasti malam ini dia tidur
dalam pelukan suaminya. Juga Madewa yang
tersenyum dalam tidurnya.
Setelah Madewa tertidur, Warsih
Inten bangkit perlahan-lahan. Dia harus
mencari tempat yang agak terlindung dari
udara yang menusuk ini. Dengan sekuat
tenaga ia menyongsong udara dingin itu.
Betapa sulitnya berjalan di udara di-
ngin. Tanpa putus asa Warsih Inten terus
merambah kegelapan.
Tak lama kemudian, dia melihat
sebuah gua agak besar. Bayangan tu tampak
terlihat karena sinar bulan yang
menjadikan tempat itu agak terang.
Karena pohon-pohon di sekitar sana tidak
begitu tinggi.
Tanpa menghiraukan ada binatang
buas, Warsih Inten memasuki gua itu. Agak
lumayan, udara dingin tidak begitu
menusuk. Udara di sekitar gua, lembab.
Agak hangat. Banyak pula ditumbuhi
rumput-rumput. Diletakkannya Madewa ke
rumput itu. Diselimuti oleh baju
luarnya. Dan dia pun tertidur karena
letihnya.
* * *
Sepuluh tahun telah lewat. Tempat di
sekitar sana tidak banyak berubah. Tetap
menyeramkan dan dingin kalau malam.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Ibu!
Ibu! Aku datang!"
Dari dalam gua itu, keluar seorang
wanita separuh baya. Wajah wanita itu
masih cantik. Tubuhnya pun masih padat.
Namun masih terdapat sisa-sisa duka yang
telah melandanya. Ia menyongsong seruan
tadi, "Kali ini kau dapat apa, Nak?"
Pemuda itu menunjukkan hasil
buruannya pada ibunya. "Lihat, Bu.
Kijang kecil ini enak untuk dimakan."
Wanita itu tersenyum. Ia bangga
dengan anaknya yang telah tumbuh menjadi
pemuda gagah. Tidak sia-sia dia bertahan
untuk hidup selama 10 tahun di gua itu.
Dengan daun-daun dan ikan yang bisa
dimakan, anaknya tumbuh menjadi orang
kuat. Gemblengan alam yang dahsyat
secara tak langsung menambah keperkasaan
anaknya.
Yah, wanita cantik itu tak lain
adalah Warsih Inten dan pemuda itu adalah
anaknya, Madewa Gumilng. Sepuluh tahun
mereka tinggal di gua itu tanpa
kekurangan suatu apa. Hanya saja Madewa
yang sekali-sekali suka mengingat-ingat
ayahnya. Tetapi sekarang sudah tidak
lagi. Malah anak itu percaya kalau
ayahnya sudah mati. Warsih Inten tidak
mau anaknya ingat akan ayah iblis itu.
Biarlah suaminya bersenang-senang
dengan wanita setan bernama Pandan
Ningsih itu, yang penting, mereka tidak
kurang suatu apa.
"Bu!" panggil Madewa. "Ayo kita
panggang kijang ini. Pagi ini kita pesta
daging kijang panggang!"
Warsih Inten tersenyum.
"Persiapkanlah sesuatunya."
Madewa segera sibuk. Menyembelih.
Mengeluti. Dan memanggang. Tak lama
kemudian, keduanya sudah asyik menikmati
kijang panggang. Benar-benar santapan
yang mengasyikan.
Malam harinya Madewa berpamitan,
akan berburu kijang yang lebih besar lagi
di pedalaman hutan. Pertaman-tama Warsih
Inten menolak, tetapi anaknya terus
memaksa. Hingga mau tak mau dia
mengizinkan,
Maka malam itu pula, Madewa
berangkat dengan gembira.
"Aku pergi dulu, Bu! Sebelum pagi
tiba, aku sudah berada di sini, Bu!"
Warsih Inten mengangguk. Menatap
kepergian anaknya dengan hati was-was,
karena baru kali ini, Madewa punya niat
untuk berburu malam.
Setelah Madewa pergi, dia kembali
masuk ke dalam gua. Dalam kesendiriannya
itu, Warsih Inten teringat betapa hangat
dan tentramnya rumahnya dulu. Alangkah
enaknya kalau sekarang mereka berada
bersama-sama. Madewa pasti sudah punya
adik. Dan mereka akan mengarungi hari
tuanya bersama suaminya. Entah bagaimana
nasib suaminya sekarang. Warsih Inten
sudah tidak tahu.
Tak terasa kantuk mulai
menyerangnya. Ia tertidur. Terlalu
ngantuk kalau menunggu anaknya pulang.
Menjelang tengah malam, dia
terbangun. Dari luar terdengar
langkah-langkah berat. Memasuki gua!
Mendadak Warsih Inten berdebar. Siapakah
di sana? Anaknyakah yang sudah kembali?
Tidak, tidak mungkin. Langkah itu
terdengar ramai. Bertanda tidak satu
orang. Berarti bukan anaknya. Hati-hati
Warsih Inten beringsut agak ke dalam.
"Lumayan tempat ini, Kakang,"
terdengar suara itu. Agak berat dan
menyeramkan. "Kita terhalang dari
dingin."
"Ya... kita bisa membagi hasil
rampokan ini di sini. Mana hasilnya,
Rengga. Coba kau nyalakan lilin, Toban?"
Yang dipanggil Toban menyalakan
lilin. Dari ujung sana, Warsih Inten bisa
melihat betapa menakutkannya wajah
ketiga orang itu. Kalau didengar
percakapannya tadi, jelas mereka
perampok-perampok. Dan akan membagi
hasil rampokannya di sini. Dalam hati
Warsih Inten berdoa, semoga saja
orang-orang itu tidak menyadari hadirnya
dia di sana.
Ketika orang itu sibuk membagi
hasil. Rengga dan Toban tidak banyak
cakap, meskipun hasil yang diterimanya
sedikit. Mangkara memang ketua mereka.
Ia tersenyum puas melihat hasil rampokan
mereka kali ini.
Tiba-tiba saja Rengga berseru,
"Hei, ada daging panggang di sini."
Serentak mereka menoleh. Rengga
mengambil daging itu. Kelihatannya masih
baru. Mendadak dia mencabut goloknya.
Dan berbisik, "Hati-hati, Kakang.
Rupanya tempat ini berpenghuni!"
Yang lain pun mencabut golok mereka.
Hati Warsih Inten semakin berdebar
ketakutan. Untuk melarikan diri susah.
Jalan keluar satu-satunya dikuasai oleh
orang-orang itu. Dan dadanya semakin
berdebar ketika orang-orang itu mulai
melangkah mendekat. Untuk bernafas saja
dia tidak berani.
Doanya tidak dikabulkan Tuhan.
Mendadak ia tersuruk ke depan. Tangannya
telah ditarik oleh seorang dari mereka.
Dan kilatan golok tajam itu akan
menyambar.
Namun, "Tahan, Rengga!" seru
Mangkara. Ia memperhatikan orang itu.
"Hei, seorang wanita! Untung tidak
langsung kau bunuh. Ha-ha-ha... lumayan,
untuk penghangat tubuh di udara dingin
begini."
"Jangan... jangan, Tuan...." rintih
Warsih Inten ketakutan.
Tetapi Mangkara hanya tertawa saja.
Juga Rengga dan Toban. Biar sudah agak
tua, tetapi tubuh wanita ini masih padat.
Masih hangat untuk dipakai.
Mangkara mencolek dagu Warsih
Inten. "Jangan takut, Manis. Kami tahu
kau kedinginan. Jangan kuatir, sebentar
lagi tubuhmu akan panas
menyentak-neyentak."
"Jangan... jangan... lakukan itu
padaku... jangan... oh!"
Breet!
Mangkara sudah tidak sabar. Ia
menarik baju Warsih Inten hingga robek
bagian dada. Dan langsung menampakkan
buah dada yang masih segar itu.
Ketakutan Warsih Inten menutupi
dengan kedua tangannya. "Jangan Tuan...
jangan lakukan itu.... Kasihanilah
saya.... Jangan, jangaaaaann!" Tetapi
Mangkar tak perduli. Dengan buasnya ia
menubruk tubuh Warsih Inten.
Menggumulinya hingga wanita itu
kehabisan tenaga. Dan terkulai lemah.
Dengan leluasa, Mangkara melucuti
pakaiannya. Dan memperkosanya dengan
buas. Air mata meleleh di pipi Warsih
Inten. Dia tidak dapat berbuat apa-apa
pada orang yang tengah berada di atas
tubuhnya dengan dengus nafas yang
memburu. Penderitaan itu masih datang
lagi.
Puas memperkosa, Mangkara
tersenyum. Ganti Rengga yang melakukan
itu. Lalu Toban. Mangkara rupanya belum
puas, dia kembali menggumuli tubuh
Warsih Inten.
Wanita itu pasrah. Tidak bisa
berbuat apa-apa. Sambil menahan sakit,
dia menggigit lidahnya hingga putus.
Kejadian ini lebih menyakitkan. Maka tak
ada jalan lain, Warsih Inten memutuskan
untuk bunuh diri. Soal Madewa Gumilang,
dia yakin, anaknya bisa menentukan jalan
sendiri.
Mangkara mendengus begitu
mengetahui wanita itu sudah menjadi
mayat.
"Setan! Dikasih enak tidak mau!"
geramnya sambil meludahi tubuh Warsih
Inten yang telanjang bulat.
"Ha... ha... kau sudah dua kali
menggumulinya, Kakang," kata Renggaa
tertawa.
"Ha... ha... benar, benar. Lumayan
tubuh wanita itu. Masih hangat. Untung
kau menemukannya untuk kita."
Ketiga orang biadab itu tertawa.
Menjelang pagi, baru mereka meninggalkan
tempat itu. Meninggalkan begitu saja
mayat Warsih Inten yang telanjang bulat.
Hanya berselisih beberapa menit
saja, Madewa Gumilang kembali dari
berburu. Di tangannya terdapat empat
ekor kelinci gemuk. Di bahunya sebuah
kijang tersampir. Ia memasuki gua dengan
gembira.
"Ibu!"
Suaranya menggema. Tidak ada
sahutan Ibu. Madewa heran, biasanya Ibu
selalu keluar jika dipanggil. Ah,
mungkin Ibu sedang mandi di sungai.
Madewa meletakkan hasil buruannya. Te-
tapi mendadak matanya terbentur pada
daging panggang yang kini telah habis.
Tidak mungkin Ibu yang memakan semua ini.
"Ibu!" panggilnya seraya masuk ke
dalam.
Dan mendadak dia terbelalak.
Sesosok tubuh telanjang tergeletak di
depannya. Mayat Ibu. Sudah dingin,
bertanda Ibu sudah lama meninggal.
"Ibu!" jerit Madewa parau. Ia
menangis di atas tubuh Ibunya. Madewa
sadar kalau ibunya telah diperkosa orang
dan membunuh diri dengan menggigit
lidahnya sendiri. Dibukanya pakaiannya.
Ditutupinya tubuh itu.
Madewa menyesal telah meninggalkan
ibu semalam. Tapi tak guna menyesali
kematian Ibu. Dia harus segera mencari
orang-orang biadab itu.
Dengan hati-hati dimakamkannya
tubuh ibunya. Madewa bersujud di depan
kuburan itu. Dan bersumpah, "Aku tahu
hidupmu tidak tenang di sana sebelum
kubunuh orang yang telah melakukan
perbuatan keji terhadapmu. Izinkanlah
anakmu mencari pembunuhmu, Ibu."
Tanpa menghiraukan hasil buruan dan
guanya, Madewa berlari meninggalkan
semua itu. Dia harus bisa mencari
pembunuh ibunya. Dia harus mencari!
Tak tahu arah, Madewa terus
melangkah.
* * *
DUA
Pagi itu udara cerah. Sang surya
baru naik setapak. Suasana di sekitar
tempat itu sunyi. Hening. Hanya desir
angin yang terdengar, juga suara burung
yang menjerit-jerit. Kelihatan jelas
kalau tempat itu telah lama tidak
dikunjungi orang. Tempat yang jauh di
dasar jurang.
Tetapi derap langkah itu bagaikan
menyentak alam yang tidur menjadi
bangun. Suasana langsung berubah. Lima
orang yang bertubuh tegap dan berwajah
seram datang mendekati tempat itu.
Kelihatan pula kalau mereka orang-orang
yang baru menjajagi tempat itu, karena
mereka pun masih agak heran.
"Sreet!" seorang yang berberewok
tebal tiba-tiba mencabut goloknya. Ia
menatap keempat temannya yang kelihatan
anak buahnya, karena hanya dia yang
memakai angkin merah.
"Kita bersiap! Kita sudah memasuki
daerah Ki Rengsersari!" Suaranya keras,
mengandung tenaga dalam yang lumayan.
Serentak yang lain bersiap pula,
mencabut golok masing-masing. Jelas
mereka adalah orang-orang satu
perguruan, karena golok mereka semua
sama.
"Di mana goa tempat kediaman Ki
Rengsersari, Kakang Tirawana?" tanya
yang memakai ikat kepala kuning.
"Tak jauh dari sini! Kita bersiaga.
Ki Tua itu punya ilmu pandangan menembus
sukma. Matanya bisa menembus jarak yang
jauh sekali. Apalagi kita berada di
sekitar sini, pasti bajingan tua itu
telah mengetahui kedatangan kita!"
Tak ada yang bersuara lagi. Mata
mereka menjaga waspada. Ketenaran Ki
Rengsersari sebagai jago tua yang
berjuluk Pendekar Ular Sakti memang
membuat orang berdebar mendengarnya.
Jurus-jurus ularnya sangat mematikan.
Sayang, jago tua itu beberapa tahun yang
lalu menarik diri dari rimba persilatan,
karena tidak berhasil memiliki murid
yang akan diwarisi ilmunya. Namun
kemudian orang baru tahu apa penyebab
yang sebenarnya. Telah tertiup kabar,
kalau Ki Rengsersari memiliki sebuah
pusaka yang hebat. Pedang Pusaka Dewa
Matahari yang menjadi heboh dan
pembicaraan orang, konon memiliki
keampuhan lebih hebat dari pedang
siluman Mata Air kepunyaan Nini
Wulandari. Nenek tua yang tak kalah
hebatnya dengan Ki Rengsersari.
Pedang itu pun pernah menjadi
rebutan antar jago-jago, yang akhirnya
berhasil direbut oleh Kebo Winata. Namun
herannya sang perebut mati dibunuh
orang. Dan pedang lenyap serta pembunuh
tidak diketahui siapa orangnya.
Kali ini orang lebih tertarik dengan
pedang yang dimiliki Ki Rengsersari.
Banyak pendekar-pendekar yang datang
untuk merebut. Sekarang ini yang datang,
Lima Gembong dari Sungai Hitam.
Jago-jago kenamaan yang sepak terjangnya
sangat dibenci orang. Karena kerja
mereka hanya merusak, merampok,
memperkosa dan membunuh!
Orang-orang itu semakin mendekati
goa yang berada di balik rimbunnya semak.
Mereka tidak bersuara lagi. Keadaan
kembali hening. Terasa mencekam. Bahkan
desir angin pun tak terdengar. Mereka
seolah tahu, kalau sebentar lagi akan ada
pertempuran yang dahsyat.
Tirawana diam-diam meraba
pinggangnya. Dan tangannya mendadak
bergerak ke arah goa. Terdengar desingan
senjata rahasia yang berupa jarum-jarum
berbisa. Itu yang dinamakan senjata
rahasia sirip ikan. Yang sekali kena
orang bisa langsung mampus kelojotan.
Tirawana yakin, senjatanya kali ini
mampu mengalahkan Ki Rengsersari. Tetapi
tidak terdengar jeritan apa-apa dari
dalam. Suasana semakin mencekam.
Beberapa menit telah lewat. Tetap tidak
ada perubahan apa-apa dari dalam goa.
Tirawana mengangkat tangannya ke atas,
memberi aba-aba agar segera masuk.
Bertepatan dengan kakinya
melangkah, terdengar tawa nyaring dari
belakang mereka.
Tirawana langsung berbalik dan
melempar-kan senjata rahasianya.
Lagi-lagi tidak ada yang mengaduh. Tidak
ada yang kelojotan.
"Hati-hati! Bangsat tua itu berada
di sini!" geram Tirawana jengkel.
Berarti, sejak tadi Ki Rengsersari tidak
berada di dalam goa.
Tiba-tiba terdengar tawa dari atas
batu besar. Entah dari mana datangnya Ki
Rengsersari sudah berdiri di atas batu
itu. Kakek tua yang sakti. Jubah putihnya
menambah keangkerannya.
"Apa maksud kalian datang kemari,
Orang-orang gagah?" tanyanya bergetar.
Dan terlihat kelima Gembong dari Sungai
Hitarn itu secara refleks menutup kuping
mereka. Ternyata suara Ki Rengsersari
mengandung tenaga dalam yang hebat.
Tapi bukan Gembong dari Sungai Hitam
kalau tidak mampun menahan serangan
tersembunyi itu. Masing-masing segera
mengerahkan tenaga dalam mereka, untuk
menghalau suara yang bising.
Tirawana mendengus. Wajahnya
menampak-kan kegeraman yang luar biasa.
"Jangan banyak cakap, Ki Tua!
Serahkan Pedang Pusaka Dewa Matahari
kepada kami!"
Ki Rengsersari tertawa ngakak. Ia
mengenali orang-orang yang datang itu.
"Kata siapa aku memiliki pusaka yang
ampuh itu, hah? Kau telah dikelabui
orang, Tirawana!" Katanya bijaksana.
"Aku tidak senang berbasa-basi. Kau
serahkan pedang itu atau tidak?"
"Sudah kukatakan, aku tidak
memiliki pedang itu!"
"Bangsat kau, Ki Tua!" geram
Tirawana jengkel.
"Kau jangan terlalu dibuai emosimu,
Tirawana. Aku sudah tua, untuk apa
memiliki pedang pusaka itu. Tak ada
gunanya aku memiliki pusaka itu. Aku
sudah tidak bertenaga lagi. Dengar
Tirawaria... aku sama sekali tidak
memiliki pedang itu. Ada orang yang
menyebarkan kabar bohong kepadaku. Entah
maksud orang itu apa. Tetapi karena
ulahnya, aku selalu ditimpa kesusahan
dari setiap yang ingin merebut pedang
itu. Padahal aku tidak memilikinya. Dan
juga kalian, yang hari ini akan membuat
kesusahan padaku..."
Kata-kata Ki Rengsersari membuat
darah Tirawana mendidih. Dengan dalih
apa pun dia tidak percaya kalau Ki Tua itu
tidak memiliki pusaka yang diimpikan
setiap orang.
"Tak ada jalan lain, Ki Tua! Kami,
Lima Gembong dari Sungai Hitam, akan
mengadu nyawa denganmu. Demi pedang
pusaka.... Kau atau kami yang mati!!"
"Tahan!" seru Ki Rengser sebelum
Tirawana menyerang. "Tak ada gunanya
kita bertempur...."
Belum habis kata-kata Ki Rengser,
Tirawana sudah menyela, "Bangsat! Kau
menghinaku, Ki Tua! Bilang kalau kau
menantang kami! Lihat serangan!"
Sehabis berkata begitu, Tirawana
langsung menyerang. Goloknya yang besar
langsung berkelebat. Sambaran anginnya
begitu deras. Ki Rengser menunduk
sedikit, tanpa menggerakkan tubuhnya.
Golok itu lewat di atas kepalanya. Belum
lagi dia berdiri tegak, golok-golok yang
lain sudah menyambar bergantian. Dengan
mempergunakan jurus Ular Meloloskan
Diri, Ki Rengser bisa menghindari setiap
serangan itu.
Melihat serangan mereka gagal,
Tirawana menggeram marah. Dia menerjang
kembali. Goloknya kembali berkelebat.
Bahkan dibarengi dengan lemparan senjata
rahasianya. Ki Rengser menahan serangan
itu dengan sapuan jubahnya.
Sreeet!
Senjata rahasia itu berbalik kepada
tuannya!
"Bangsat!" Tirawana bersalto
menghindar.
"Tak ada gunanya kita teruskan
pertempuran ini, Orang-orang gagah!"
kata Ki Rengsersari. "Kita hanya
menanamkan bibit permusuhan...."
"Ki Tua! Kalau kau serahkan pedang
pusaka itu, kami akan meninggalkan
tempat ini dengan damai. Cepat berikan
kepada kami!"
Ki Rengsersari menggeleng-geleng.
"Aku tidak memiliki pusaka itu...."
Sampai di situ Ki Rengser bicara,
mereka menerjang kembali. Serangan
dahsyat datang dari Tirawana.
Jurus-jurunya begitu hebat. Suatu ketika
keduanya behadapan. Dengan mengguna-kan
ilmu peringan tubuhnya, Tirawana
menyambar dari sana-sini.
"Des!" benturan kedua tangan
menyambar. Tirawana terpelanting ke
belakang, sedangkan Ki Rengsersari hanya
terhuyung.
Tetapi Tirawana cepat bangkit. Ia
menerjang lebih galak lagi. Kali ini Ki
Rengsersari menyambutnya. Gerakannya
sungguh tak terduga. Seakan tanpa
tenaga, tapi mampu merubuhkan Tirawana
dengan sekali pukul!
"Pukulan bayangan sukma!" jerit
Tirawana dan ambruk ke tanah untuk tidak
bangun lagi. Itulah jurus inti yang
dimiliki oleh Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti. Konon ilmu itu
didapat ketika dia mengembara ke
Tiongkok. Dengan ilmu itu pulalah Ki
Rengsersari disegani lawan maupun kawan,
di samping ilmu jurus ularnya yang ampuh.
Keempat adik seperguruannya
tersentak. Narawana memburu kakangnya.
Dan kegeramannya semakin menjadi-jadi
begitu mengetahui kakangnya sudah
menjadi mayat. Sambil menjerit hebat dia
menerjang.
"Dik Nara!" seru Jinawana kaget. Tak
menyangka Narawana senekat itu. Dia pun
menerjang untuk membantu.
Terdengar bentakan dan jeritan. Dua
tubuh ambruk sekaligus. Dengan tubuh
hancur dan tak bernyawa! Borawana dan
Dinawana terkejut. Keduanya
berpandangan. Sama-sama mengangguk.
Mereka harus menuntut kematian tiga
orang seperguruan mereka. Nyawa dibalas
nyawa. Dengan serentak mereka menyerang
Ki Rengsersari. Tetapi tetap tak ada
gunanya serangan itu.
Lagi-lagi terdengar jeritan dengan
debaman keras. Tubuh kedua orang itu pun
terhempas ambruk. Dan nyawa mereka
segera menyusul yang lain. Kini rimba
persilatan telah kehilangan Lima Gembong
dari Sungai Hitam. Perlahan Ki
Rengsersari menghela nafas.
Memperhatikan mayat-mayat itu.
Hatinya galau. Dia geleng-geleng
kepala melihat perbuatannya. Tetapi
salah mereka sendiri, tidak mau mengerti
penjelasannya. Walaupun begitu, Ki
Rengsersari sedih. Tanpa sadar air
matanya menitik di pipi.
"Hari ini, telah kucabut lima nyawa
sekaligus. Entah berapa banyak yang
kemarin dan berapa banyak yang akan
datang," desah pendekar tua itu pilu. Dia
menengadah menatap langit. "Tuhan...
kapan ini akan berakhir? Semakin hari
usiaku semakin bertambah. Aku semakin
tua. Tetapi semakin hari semakin banyak
nyawa yang kucabut. Aku seolah
melangkahimu, Tuhan. Ah... mereka
benar-benar tidak percaya kalau aku
tidak memiliki pusaka yang ampuh itu.
Siapa lagi yang ingin membuat onar,
hingga tega-teganya menyebarkan isu itu
padaku...."
Ki Rengsersari menunduk.
Memperhatikan mayat-mayat itu lagi.
Mayat-mayat orang yang serakah. Dan
mendadak kepalanya menegak.
Pandangannya yang mampu menembus gunung,
melihat seseorang datang padanya. Pemuda
tampan berpakaian biru muda dan membawa
bun-talan di pundaknya.
"Hmm, ada apa lagi ini? Oh, Tuhan...
apa aku harus mencabut nyawa pemuda ini
juga?" desah Ki Rengsersari sambil
melangkah ke goa persembunyiannya. Dia
merasa lebih enak berada di sana.
Menunggu apa yang akan diperbuat. pemuda
itu.
Pemuda yang dilihat oleh ilmu
menembus sukma itu, sudah tak jauh dari
tempat keributan tadi. Dialah Madewa
Gumilang. Putra Warsih Inten yang
mencari pembunuh ibunya. Sudah sekian
jauh dia melangkah, belum terlihat
tanda-tanda pemerkosa dan pembunuh
ibunya. Setiap kali Madewa ingat, dia
begitu terpukul. Apalagi ibunya
mengalami nasib itu tanpa dia di sisinya.
Betapa pedih dan sakitnya ibunya
diperlakukan demikian oleh orang-orang
biadab itu. Madewa tak sanggup
membayangkannya.
Mendadak dia berhenti melangkah.
Pandangannya terbentur pada mayat-mayat
yang bergeletakan. Melihat mayat-mayat
itu, dia teringat akan mayat ibunya.
"Apa yang telah terjadi di sini?"
serunya heran. "Tubuh ini hancur. Betapa
kejamnya yang membunuh."
Di dalam goa, Ki Rengser menahan
pilu hatinya. Tidak, aku tidak bermaksud
membunuh mereka. Hanya mereka yang
memaksaku.
Madewa tak tahan melihat
mayat-mayat itu. Ia mengumpulkan
mayat-mayat itu menjadi satu. Lalu
mencari batu karang yang agak cadas dan
tajam. Ki Rengser terkejut melihat apa
yang hendak dilakukan pemuda itu.
Madewa menguburkan kelima mayat
itu. Hampir sejam dia melakukannya.
Tubuhnya bersimbah peluh. Ia duduk
beristirahat. Merenung, merenungkan apa
yang baru saja dilakukannya. Dan
berpikir, bagaimana caranya menemukan
pembunuh ibunya. Sedangkan ciri-ciri
mereka sama sekali tidak diketahuinya.
Mendadak dia menoleh. Dari arah
samping terdengar deheman. Membuyarkan
lamunannya. Ki Rengsersari telah berdiri
dengan gagah dan tersenyum bijaksana.
Madewa buru-buru bangkit, dan
menjura dengan hormat, "Maafkan saya,
Kakek Tua. Saya tidak tahu tempat ini
berpenghuni."
Ki Rengsersari mengangguk.
Diam-diam keinginan untuk memiliki
seorang murid muncul kembali. Pilihannya
langsung jatuh kepada pemuda ini.
"Ini bukan tempatku, aku pun hanya
singgah. Apa yang telah kau lakukan tadi,
Anak muda?"
Madewa heran, kakek tua ini tahu apa
yang telah diperbuatnya. Sedangkan
sedikit pun Madewa tidak melihat
tanda-tanda adanya orang tua ini. Jelas,
jelas, kalau orang tua ini, orang tua
sakti.
Ia menyahut sopan, "Nama saya Madewa
Gumilang. Hanya menumpang istirahat,
setelah melakukan perjalanan jauh.
Sampai di sini, aku melihat ada lima buah
mayat bergeletakan. Aku tidak tega
melihatnya demikian. Kukuburkan
mayat-mayat itu. Maafkan, kalau aku
telah berbuat lancang."
Ki Rengsersari manggut-manggut. Dia
mengajak Madewa singgah di goa
kediamannya. Ia menyuguhkan sepotong
daging rusa. Madewa memakannya dengan
lahap.
Setelah itu Ki Rengsersari bertanya
tentang dirinya. Madewa menjelaskan
semuanya. Kalau ia sedang mencari
pembunuh ibunya. Dia sudah tidak perduli
di mana ayahnya berada.
"Kasihan Ibumu... Madewa... apa kau
telah memiliki bekal yang cukup untuk
mencari pembunuh ibumu?" tahu-tahu Ki
Rengser bertanya begitu.
"Dengan kedua tangan dan kedua
kakiku, aku akan membalaskan dendam
Ibu."
Mendadak Ki Rengsersari tertawa.
"Jangan mimpi kau.... tanpa kepandaian
sedikit pun, bagaimana mungkin kau bisa
mengalahkan pembunuh-pembunuh ibumu."
"Aku akan berusaha untuk
mengalahkan mereka!" seru Madewa ngotot.
Lagi Ki Rengsersari tertawa.
"Semangatmu boleh tinggi, tapi
ilmumu rendah. Tanpa kepandaian, kau
sama saja mengantarkan nyawamu pada
orang-orang itu!"
"Bah!" Madewa bangkit seraya
mengambil buntalannya. "Aku tidak suka
kau remehkan! Terima kasih atas daging
rusa itu, Kakek Tua!" Madewa langsung
melangkah ke luar.
Ki Rengsersari berkelebat mengejar.
Anak muda ini tidak boleh lepas dari
genggamannya. Hanya dia seorang yang
bisa dijadikan pewaris ilmunya.
"Kamu marah?" katanya lucu.
Madewa cemberut. "Aku benci kau
rendahkan! Aku mampu mengalahkan
mereka!"
"Iya, iya. Kau mampu. Tapi aku bisa
menjadikan kau lebih mampu."
"Bagaimana?" Mata Madewa terbuka
gembira.
"Syaratnya hanya satu, kau mau
menjadi muridku."
"Hhh, pakai syarat segala. Tak usah
kau bantu, aku akan tetap mencari
pembunuh-pembunuh itu!"
"Eit, tunggu dulu! Kau mau kuajari
ilmu silat?" kejar Ki Rengsersari
penasaran.
"Buat apa, kalau hanya untuk
merusak."
"Tidak, sebagai penjagaan untuk
dirimu."
"Aku sudah punya busur dan anak
panah."
"Itu belum cukup."
"Pasti cukup. Aku bisa membunuh
kijang jantan yang besar dengan mudah.
Pasti kubunuh juga orang-orang itu
dengan mudah."
"Ampun, kamu tetap tidak mengerti.
Kau hanya mengantarkan nyawa pada
mereka."
"Biar, buat apa kau larang. Aku
tidak tertarik dengan ilmu silatmu."
Madewa melangkah lagi.
Ki Rengsersari mengejar. "Tawaran
terakhir, kau mau kuajarkan ilmu silat?"
Madewa terus melangkah. "Tidak."
Ki Rengsersari mengejar. "Terakhir
lagi?"
"Tidak”.
"Semakin terakhir."
Madewa berhenti. Menggebrak kakinya
jengkel. "Aku tidak suka kau ajarkan ilmu
silat! Tanpa ilmu silat, aku mampu
mengalahkan orang-orang biadab itu!"
Ki Rengsersari mengeluh. Anak ini
benar-benar teguh pendiriannya. Dan ini
membuatnya semakin penasaran. Dibiarkan
saja anak itu meninggalkannya. Dia hanya
menatapnya dari kejauhan. Hatinya
benar-benar sudah kepincut. Tetapi
sayang, anak itu pun gagal dimilikinya.
Dalam hati Ki Rengsersari berniat
mengajar pemuda itu, tetapi dia kuatir,
masih adanya orang yang gila akan pedang
pusaka dewa matahari. Dan memberinya
kesulitan. Diam-diam Ki Rengser sudah
berniat, dia ingin meninggal di tempt
ini. Tempat yang didiaminya selama
delapan tahun.
Madewa terus melangkah. Hhh,
apa-apaan sih kakek tua itu? Dia tidak
suka ilmu silat. Madewa sering mendengar
cerita ibu tentang ilmu silat. Dengan
kepandaian silat orang sering menjadi
sombong dan selalu ingin kuasa. Ingin
selalu menindas yang lemah. Dan selalu
menjadi perusak. Itu sebabnya Madewa
menolak permintaan Ki Rengser.
Tiba-tiba Madewa berhenti
melangkah. Ia mendengar jeritan minta
tolong dari semak-semak. Suara seorang
wanita. Dan terdengar pula suara kekehan
seorang laki-laki.
Madewa mencari suara itu. Di
depannya seorang laki-laki sedang
berusaha memperkosa wanita muda. Wanita
itu menjerit-jerit ketakutan. Selintas
bayangan ibunya terbayang di benak
Madewa. Hal itu membuat dia geram.
Dengan marah Madewa menyerang.
Kakinya telah menendang punggung
laki-laki itu hingga terpelanting.
Madewa buru-buru menutupi tubuh wanita
yang ketakutan itu dengan bajunya.
"Hei, siapa kau?!" bentak laki-laki
itu yang sudah berdiri, geram.
"Aku Madewa. Tidak suka melihat
perbuatanmu ini!"
"Bangsat! Kau belum kenal aku
rupanya? Baik!" Sehabis berkata
demikian, orang itu menyerang. Madewa
kaget. Serangan orang itu begitu cepat.
Madewa tak sempat mengelak. Wajahnya
terhantam pukulan dengan keras.
Orang itu tertawa. Madewa kalap. Dia
menyerang dengan serabutan. Pukulannya
kacau. Orang itu hanya tenang-tenang
saja. Dia menguasai silat yang lumayan.
Dengan dua kali mengelak dia menghantam
keras perut Madewa.
"Heiik!" Madewa terhuyung ke
belakang. Mual perutnya.
"Ha... ha...'ha... anak muda.
Terimalah ajalmu hari ini!"
Madewa berusaha bangkit. Tetapi
sakit sekali perutnya, Orang itu tertawa
keras. Dan memekik dengan tangan lurus
diarahkan ke wajah Madewa. Madewa
memejamkan matanya. Tak kuasa melihat
kehancuran dirinya.
Tetapi bukan dia yang menjerit,
malah orang itu.
"Aaaahh!"
Dan disusul dengan tubuh ambruk.
Perlahan Madewa membuka matanya.
Tubuhnya masih segar bugar. Setan mana
yang telah menolongnya?
Sosok tubuh tua berpakaian putih
berdiri di sampingnya.
"Hhh, tanpa ilmu kepandaian, apa
yang akan kau berikan?" ejekan itu
menyakitkan telinganya.
"Kau lagi, Kakek Tua! Kau selalu
menggangguku!" seru Madewa sambil
mengambil buntelannya. Sedangkan wanita
muda yang ditolongnya, sudah lari entah
ke mana.
“Pemuda edan! Sudah ditolong tidak
mengucapkan terima kasih!"
Madewa terus melangkah.
"Hei, Pemuda tak balas budi!
Teman-teman orang itu akan mencarimu.
Dan kau akan dibunuhnya!"
Madewa berhenti melangkah. Kata
kakek tua itu benar, dia bisa mati konyol
kalau teman-teman orang itu
mengeroyoknya. Kalau dia mati, siapa
yang membalaskan dendam Ibu? Tidak, dia
tidak boleh mati dulu. Buru-buru dia
berbalik pada Ki Rengsersari. Dan
menjatuhkan dirinya di hadapan kakek tua
itu.
"Kakek Tua yang baik, aku
menghaturkan terima ksih. Dan sudi
menjadi muridmu...."
Sekarang Ki Rengsersari mendengus.
Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.
"Hei, siapa yang mau mengangkatmu
menjadi murid!" suaranya tajam.
"Aduh, Kakek Tua. Masa kakek tua
lupa. Kakek tua sendiri yang
menginginkan aku menjadi murid."
"Tidak. Kau begitu angkuh dan
sombong. Aku tidak sudi mengangkatmu
menjadi murid!" kata Ki Rengser sambil
melangkah.
Madewa buru-buru mengikuti.
"Aku mau diangkat menjadi muridmu.
Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin
membalas dendam ibu. Ayo dong, terima
aku...."
Ki Rengsersari terus melangkah. Tak
mengacuhkan. Padahal dalam hatinya dia
gembira sekali. Tetapi gantian dong,
sekarang dia yang mempermainkan pemuda
itu. Madewa masih memohon untuk diangkat
menjadi murid.
"Aku tidak mau menerimamu!"
"Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin
belajar ilmu silat darimu. Biar aku jadi
perkasa dan bisa membalaskan kematian
ibu...."
Ki Rengser duduk di batu besar di
samping goa kediamannya. Sikapnya masih
acuh tak acuh. Didiamkan saja Madewa yang
berlutut di hadapannya.
"Hei, kenapa kau masih di sini?
Cepat pergi! Aku muak melihat
tampangmu!!"
"Aku ingin menjadi muridmu."
"Buat apa? Kau toh tidak perlu ilmu
silat. Bukankah kau sudah mempunyai
busur yang kuat?"
"Sekarang aku memerlukan ilmu silat
itu, Kakek Tua."
“Tapi sekarang aku tidak sudi
mengajarkanmu.
"Aku akan berlutut sampai kapan pun
kalau kau tidak mau mengangkatku menjadi
muridmu."
"Berlututlah! Apa urusanku!" Ki
Rengsersari bersalto ke belakang. Dan
sekali loncatan lagi dia sampai di dalam
goa.
Madewa berlutut lesu. Kakek sakti
itu benar-benar tak sudi mengangkatnya
menjadi murid. Biarlah, dia akan tetap
berlutut sampai kakek itu mengajarkannya
ilmu silat. Dia harus memiliki ilmu itu,
agar dapat membalaskan dendam ibunya.
Di dalam goa, Ki Rengsersari terus
memperhatikan. Siang malam Madewa
berlutut. Dia tak memperdulikan hawa
dingin yang sangat menusuk. Juga panas
yang menyengat. Sampai tiga hari
berturut-turut Ki Rengsersari
mendiamkan pemuda itu, tetapi pemuda itu
tetap berlutut tanpa kenal lelah.
Padahal tenaganya sudah benar-benar
habis!
Ki Rengsersari manggut-manggut.
Benar-benar cocok pilihannya. Selain
kuat, pemuda ini pun tegar. Pantang
menyerah. Ia keluar perlahan-lahan. Dan
perlahan-lahan pula memegang bahu pemuda
yang sudah berkunang-kunang matanya.
"Bangunlah, mulai sekarang kau
kuangkat menjadi muridku," suara Ki
Rengsersari pelan, tetapi jelas didengar
Madewa. Pemuda itu bersorak dan bangkit
kegirangan. Namun langsung terjatuh,
karena terlalu letih.
"Oohh!"
Dalam hati Ki Rengsersari tertawa.
Tetapi ia membentak, "Menjadi muridku
jangan loyo! Ayo bangkit! Masuk ke dalam
goa! Aku sudah menyiapkan makanan
untukmu!"
Madewa mengerahkan segenap
sisa-sisa tenaganya. Dan
terhuyung-huyung memasuki goa. Di pintu
goa, ia ambruk lagi. Bangkit lagi,
berusaha untuk masuk.
"Ayo cepat! Atau makanan ini
kuhabiskan sendiri?"
Semangat Madewa seakan pulih. Ia
serentak berlari. Dan menyambar makan
itu dengan cepat. Dan memakannya dengan
lahap.
* * *
TIGA
Alam sekitar itu tetap sunyi. Tak
terasa genap sudah umur tempat itu
bertambah dua tahun. Tetapi keadaannya
tak banyak berubah, kecuali pohon-pohon
yang semakin besar.
Di depan goa itu kelihatan seorang
pemuda tengah bersila dengan kedua
tangan bersatu di dada. Pemuda itu tengah
berlatih ilmu pernafasan. Sikapnya
benar-benar sempurna. Dialah Madewa
Gumilang, yang hampir dua tahun mendiami
tempat itu. Kini Madewa telah menjadi
pemuda perkasa. Tak sia-sia Ki
Rengsersari menggemblengnya dengan
keras.
Pemuda itu sudah selesai berlatih.
Ia duduk dengan konsentrasi penuh. Dan
mendadak saja matanya bisa menembus
kejauhan. Menjelajah seluruh hutan itu.
Itulah ilmu terakhir yang diturunkan Ki
Rengsersari. Ilmu pandangan menembus
sukma, yang telah sempurna dipelajari
Madewa.
Madewa benar-benar merasakan
perubahan yang luar biasa dalam dirinya.
Ia menjadi mantap dan tegar.
Keinginannya untuk mencari pemerkosa dan
pembunuh ibunya semakin kuat. Tetapi dia
tidak tega meninggalkan Kakek Tua yang
sakti itu.
Dari kejadian selama dua tahun,
Madewa mengetahui apa yang telah membuat
gurunya susah. Isu tentang pedang pusaka
dewa matahari, yang selalu membuat
gurunya dibayangi pembunuhan. Akhirnya
gurunya itu mau menceritakan kejadian
yang sesungguhnya, setelah selesai
membunuh Raja Setan dari Utara.
Madewa hanya mengangguk dan
mendengarkan. Dan merasa berkewajiban
membela gurunya. Itulah sebabnya dia
belajar dengan giat, hingga tamatlah
semua pelajaran silat yang didapatnya
dari Ki Rengsersari. Ki Rengsersari
bangga dengan pemuda itu. Jurus-jurus
ular sakti yang diajarkannya, telah
dikuasai pemuda itu dengan sempurna.
"Madewa."
Madewa menoleh. Gurunya keluar dari
goa. Madewa bangkit dan menjura. Sikap
guru lain seperti biasanya. Kayaknya ada
sesuatu yang akan dibicarakan.
Benar saja, Ki Rengser berkata,
"Duduk."
Madewa duduk di rumput. Ki Rengser
di atas batu.
"Ada yang akan kubicarakan
denganmu. Seperti kau ketahui sendiri,
hidupku selama ini selalu dibayangi
pembunuhan, jadi kupikir, suatu saat aku
pasti akan kecolongan. Dan aku tidak mau
hal itu terjadi padamu...."
Madewa heran. Ia memotong, "Saya
tidak paham maksud, Kakek Tua."
"Hanya satu pintaku, kau harus
meninggalkan tempat ini sekarang. Agar
kau tidak mati konyol. Lanjutkan terus
perjalananmu mencari pembunuh ibumu.
Gunakan ilmu yang kuajarkan itu untuk
kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Dan
ingat, kalau keadaan tidak mendesak.
Ilmu pukulan bayangan sukma tidak perlu
kau gunakan...."
"Tapi Kakek Tua... saya tidak akan
meninggalkan kakek tua sendiri. Saya
tidak menganggap kakek tua tidak mampu
menghalau setiap serangan yang datang.
Tapi saya sudah menganggap kakek tua
sebagai orang tua saya sendiri. Dan saya
harus menjaga kakek tua."
"Aku pun berat berpisah denganmu.
Selama dua tahun ini, kaulah yang
menemani sisa hidupku. Tapi semua ini
kulakukan untuk kebaikanmu. Aku yakin,
pasti masih ada orang-orang yang gila
pedang pusaka itu yang akan berdatangan
kemari."
"Tidak! Saya akan menemani Kakek Tua
di sini!" sahut Madewa mantap.
Ki Rengsersari terdiam. Anak yang
teguh pendiriannya. Ia mengusap wajahnya
yang berkeriput, janggutnya yang putih
semakin menampakkan ketuaannya.
"Kukatakan sekali lagi, kau harus
segera meninggalkan tempat ini. Aku
kuatir, suatu saat aku tidak mampu
membela diri. Dan kau mendapat akibat
yang berat sekali dari masalahku ini.
Jika kau mati, siapa yang akan
membalaskan dendam itu? Coba pikir,
siapa Madewa? Kau harus ingat, masih ada
tugas lain selain mencari pembunuh
ibumu. Untuk itu, kau harus segera turun
gunung."
"Apa tugas itu, Kakek Tua?"
"Carikan untukku, orang yang telah
menyebarkan kabar bohong tentang pusaka
itu. Dan kau harus mampu membunuhnya.
Jangan kembali sebelum berhasil. Kau
sanggup melakukan itu?"
Kali ini Madewa mengangguk. Itu
perintah yang tak bisa dibantah. Dia akan
mencari orang yang tega menyebarkan
kabar bohong itu. Akan dipenggalnya
orang itu.
"Saya akan patuhi semua itu," suara
Madewa lemah namun mantap.
Ki Rengsersari tersenyum. Wajahnya
berseri.
"Bagus! Aku hanya membekalkanmu
ilmu yang kuturunkan itu. Dan sebuah
seruling. Ingat Madewa, seruling ini
hanya bisa digunakan dalam keadaan
tenang. Jiwa yang bersih. Sedikit saja
kau dikuasai emosimu, seruling ini tidak
bisa digunakan.
Orang menyebutnya Seruling Naga.
Karena dengan sekali tiup orang yang
memiliki tenaga dalam rendah, akan
hancur telinganya. Dan mati seketika.
Maka berhati-hatilah kau
menggunakannya.
Madewa mengangguk. Terus
mendengarkan petuah gurunya. Walau dalam
hati kecilnya dia enggan disuruh turun
gunung. Tapi perintah tetap perintah.
Dia harus menunjukkan baktinya pada Ki
Rengsersari. Dia akan mencari orang yang
telah menyebarkan isu itu.
Ki Rengsersari mendeham. Tangannya
sudah memegang sebuah seruling. Itu yang
disebut Seruling Naga. Bentuknya hampir
sama dengan seruling biasa. Hanya saja
seruling itu ada gambar sepasang naga
yang sedang bergelut. Dan khasiat
seruling itu lain dengan seruling biasa!
"Terimalah ini untukmu...."
Madewa menadahkan kedua tangannya.
Tetapi mendadak dia jungkir balik. Ki
Rengsersari telah meniup seruling itu.
Bunyinya lembut dan halus. Tapi di
telinga Madewa begitu berisik sekali.
dan menyengat! Itulah kehebatan Seruling
Naga.
Buru-buru dia bersila. Menghimpun
tenaga dalam dan hawa murninya, untuk
mengusir suara seruling itu. Tangannya
bersatu di dada. Ia menarik nafas.
Mengaturnya dengan baik. Dan
menghembuskannya seraya mengeluarkan
hawa murninya.
Tekanan suara seruling itu semakin
keras dirasakan Madewa. Tetapi pemuda
itu tetap terdiam. Tak bergeming sedikit
pun. Diam-diam Ki Rengser tersenyum.
Kalau orang biasa atau yang punya hawa
murni rendah, dia sudah mampus
kelojotan. Ki Rengser menurunkan suara
serulingnya dan makin lama berhenti.
Madewa menarik nafas. Ki Rengser
tersenyum.
"Bagus! Kau bisa bertahan juga
rupanya. Hati-hati kau menggunakannya.
Madewa, sekarang seruling ini milikmu.
Jagalah dia, jangan sampai kau buat untuk
kejahatan."
Madewa bangkit dengan berlutut. Ia
mengamati seruling itu. Dan
menyelipkannya di amben yang melilit
pinggangnya.
Ki Rengser tersenyum puas. Tak
sia-sia dia menggembleng pemuda ini.
"Sekarang juga kau harus berangkat!
Jangan membantah. Cepat kemasi barang
yang kau perlukan! Matahari sepenggalah
kau masih berada di sini, murtadlah kau!"
ancam Ki Rengsersari seraya bangkit dan
berjalan menuju ke tempat
persemayamannya.
Sebelum dia sampai ke mulut goa,
mendadak dia berjumpalitan. Beberapa
buah senjata rahasia berbentuk bintang
menancap di dinding goa. Luput dari
sasaran.
"Keji!" geramnya yang membuat
Madewa bersiaga. Ia melompat berdiri di
samping gurunya dengan sigap.
Terdengar suara tawa dan mengikik di
depan mereka. Dua orang muncul dari balik
tebing. Seorang pria berpakaian hitam
dan seorang wanita cantik berpakaian
sutra tipis berwarna merah.
"Gundaling si Golok Hitam dan
Pratiwi si Selendang Merah!" seru Ki
Rengsersari agak terkejut. Orang-orang
rimba persilatan yang kesohor.
Gundaling tertawa melihat Ki
Rengsersari terkejut.
"Heran, kalau aku sampai tahu tempat
persembunyianmu, Kunyuk Tua?" Tangannya
meraba-raba golok hitamnya yang besar.
Madewa geram gurunya dihina
demikian. Dia membentak, "Hei, Orang
jelek! Apa maumu kemari? Cepat minggat,
sebelum nyawamu kucabut!"
Gundaling berpaling ke suara itu.
Dia memperhatikan. Lalu tertawa.
"Rupanya kau sudah mengangkat murid,
Kunyuk Tua! Bagus! Aku akan melihat
kemampuan muridmu nanti!"
Pratiwi, si Selendang Merah,
mengikik melihat ketampanan Madewa.
Pratiwi boleh dikatakan dewi merah yang
cabul. Yang kerap kali menghisap
keperjakaan pemuda-pemuda, demi ilmu
selendang merahnya. Melihat Madewa,
menitik air liurnya.
"Tak kusangka muridmu begitu
tampan, Kunyuk Tua. Bagus, aku
menginginkannya, hik... hik...."
Ki Rengsersari menghela nafas
pelan. Ini yang ditakutkannya. Dia tidak
ingin Madewa membuang nyawa percuma di
sini. Selendang merah tidak akan
melepaskan buruannya. Ki Rengser juga
tahu akan kemampuan rayuan Pratiwi.
Siapa pun takluk. Apalagi dia punya ilmu
pengharum tubuh, yang membuat orang
tergila-gila padanya karena mencium
wangi yang memabukan yang menguar dari
tubuhnya.
Haruskah dia mengorbankan Madewa
untuk dewi cabul ini? Tidak, dia harus
mempertahankannya. Diam-diam dia
berbisik di telinga Madewa, "Bersiaplah.
Kerahkan ilmu yang kuajarkan."
Madewa langsung bersiap. Menarik
nafas. Dan membuka telapak tangannya.
Lalu menggenggam.
Gundaling mengetahui gelagat itu.
Ia tertawa. "Ha... ha... percuma kau
gunakan ilmu itu, aku sudah punya
tandingannya! Penangkal bayangan
sukma!"
Berkata begitu, Gundaling langsung
menerjang dengan pukulan lurus, tepat ke
arah Madewa. Madewa akan menyambut
dengan bentrokan, tetapi Ki Rengser
sudah mendorongnya untuk menghindar.
Dan Madewa melihat apa yang terjadi
kalau pukulan itu dia sambut. Tebing goa
yang terkena pukulan itu hancur
berantakan.
Gundaling tertawa ngakak.
"Tubuh tuamu akan hancur dengan
pukulan ini, Kunyuk Tua! Ayo sambut aku
dengan pukulan bayangan sukmamu!
Pertiwi, kau hadapi bocah ingusan itu!
Kau isap saja sarinya!"
Pratiwi tertawa ngikik.
Tersipu-sipu seperti perawan ingin
ketemu pacarnya. Dengan sikap genit dia
menghampiri Madewa. Ki Rengser ingin
berteriak hati-hati, tapi perhatiannya
harus satu, pada Gundaling yang sudah
menerjang kembali.
Dia menghindar. Kembali pukulan
Gundaling meleset. Kali ini terkena
pohon yang tumbang seketika. Gundaling
menyerang lagi. Dua tokoh yang hebat itu
bergantian menyerang, yang langsung
menimbulkan kepulan debu di tempat itu.
Sementara itu Pratiwi sudah tepat
berada di depan Madewa. Dia tersenyum
manis. Madewa mendengus. Menghindar dari
tatapan yang penuh gairah itu. Pratiwi
tertawa dalam hati. Yakin kalau pemuda
ini sudah terpikat dengannya.
Pura-pura dia menjatuhkan selendang
merahnya, yang membuat orang keder
dengan julukan itu. Karena selendang
yang seperti kapas itu mampu
menghancurkan batu karang yang besar.
Madewa melengos. Selendang itu
telah memperlihatkan bagian atas
Pratiwi. Pratiwi semakin tertawa. Kali
ini dia menurunkan lagi selendang itu,
dan menampakkan bagian atas buah
dada-nya yang mulus dan padat.
Madewa menelan ludahnya. Matanya
memerah. Ah, buru-buru dia mengerahkan
hawa murninya, mengusir pengaruh yang
indah itu. Tapi bayangan indah itu
mengejarnya. Jelas satu-satunya untuk
mengusir pesona itu dia harus menyerang.
Mendadak dia berteriak nyaring, dan
menerjang selendang merah dengan gerakan
cepat.
Pratiwi terkejut. Tapi cepat dia
berkelit. Dan langsung melancarkan
pukulan ke tengkuk Madewa. Madewa
berbalik dan menendang. Tepat mengenai
paha Pratiwi yang jatuh terduduk.
Ki Rengser yang sedang menahan
serangan Gundaling, berseru dalam hati.
Bagus, Madewa! Habisi dewi cabul itu!
Pratiwi langsung naik marahnya. Dia
tidak berbasa-basi lagi. Langsung
diuraikannya selendang merahnya. Justru
ini yang membuat Madewa melengos. Bukan
takut pada selendang merah itu, tapi
tubuh Pratiwi yang indah terbuka jelas.
Hanya kainnya yang menutupi sebagian
kecil buah dadanya bagian bawah
Lagi-lagi Madewa mengerahkan hawa
murninya. Tubuh Pratiwi mengeluarkan
wangi yang memabukkan.
Pratiwi memainkan selendang
merahnya, seraya mengerahkan ilmu
pengharum tubuhnya. Madewa semakin mabuk
kepayang. Tapi sejurus kemudian dia
tersadar ketika mendengar teriakan
gurunya.
"Aaaaah!" Ki Rengser ambruk terkena
sabetan golok hitam Gundaling. Lalu
disusul pukulan yang berbahaya itu.
Tubuh Ki Rengser semakin kelojotan.
Madewa tertegun. Tapi sejurus
kemudian dia bergerak. Menyerang dengan
pukulan bayangan sukma tingkat tinggi.
Gundaling yang sedang tertawa melihat
hasil kerjanya, lengah. Tubuhnya terkena
pukulan bayangan sukma Madewa dengan
keras. Dan tubuh itu pun ambruk saat itu
juga.
Tapi Gundaling masih sempat
melemparkan senjata rahasianya yang
berbentuk bintang sebelum ambruk untuk
selamanya. Madewa pun tak sempat
berkelit. Sebuah senjata rahasia itu
menancap di tangannya.
"Aduuuuh!" '
Kali ini Pratiwi yang terkejut.
Tidak menyangka bocah itu mampu
mengalahkan Gundaling. Terang saja,
Gundaling sedang lengah, kalau tidak
hancur pemuda itu.
Dia geram melihat kawannya mati
kelojotan. Selendang merahnya segera
beraksi. Tubuh Madewa yang sedang
terhuyung, terbelit selendang itu, Dan
dengan sekali sentakan, tubuh itu
dihempaskan ke tebing goa. Tetapi
mendadak ayunannya melemah. Sehingga
tubuh Madewa terhempas ke tanah.
Pratiwi berpikir, pemuda ini masih
bisa digunakan untuk kesempurnaan ilmu
selendang merahnya. Jangan dibunuh dulu.
Dihisap dulu keperjakaannya.
Madewa yang sudah lemah, merasakan
pusing yang amat sakit. Rupanya racun
dari senjata rahasia Gundaling sudah
menjalar. Pratiwi memburunya. Sayang
kalau pemuda tampan ini sampai mati,
buru-buru dia mengeluarkan pil pemunah
racun itu. Diminumkannya pada Madewa.
Sebelum Madewa sadar, dia menotok
urat di bawah dagu Madewa sehingga tidak
bisa bergerak. Dan kesempatan itu harus
digunakan sebaik-baiknya. Si Selendang
Merah, langsung membuka seluruh
pakaiannya. Sekejap saja dia sudah
telanjang bulat di depan Madewa.
Tubuhnya putih mulus. Tak ada cacat. Buah
dadanya segar. Pinggulnya montok.
Pinggangnya ramping. Sepasang pahanya
mulus. Ah... membuat yang melihatnya
langsung menelan liur.
Tapi Madewa ngeri melihatnya.
Apalagi tangan Pratiwi sudah merabai
tubuhnya. Dan membuka pakaiannya satu
per satu.
"Jangan takut, Madewa. Kita akan ke
sorga sejenak. Kau pasti akan
ketagihan," rayu dewi cabul itu sambil
tersenyum genit. Dia sudah tidak
memperdulikan lagi mayat sahabatnya itu.
Pratiwi mengikik. Suaranya penuh
gairah. Ia menjatuhkan tubuh
telanjangnya di atas tubuh Madewa yang
tidak bisa bergerak.
Madewa memejamkan mata ketika
Pratiwi sudah mau mulai. Tapi mendadak
Pratiwi menyambar pakaiannya. Dan
memakainya dengan buru-buru.
Pendengarannya yang tajam menangkap
derap langkah mendekati tempat itu.
Sesosok tubuh besar berdiri di
dekatnya sambil menggeleng-geleng.
Bandartaman. Dan menyeringai pada
Pratiwi yang jadi jengkel bukan main.
"Bukan main tubuh selendang merah.
Indah. Ah, kalau saja aku bisa menghisap
buah dada itu...."
"Jangan cabul, Bandartaman!" geram
Pratiwi sengit.
"Kau yang hendak berbuat cabul,
bukan?"
"Itu urusanku, bukan urusanmu!"
"Aku tahu, tapi aku boleh kan
menikmati tubuhmu juga? Ah, tubuhmu
ranum sekali, Pratiwi."
"Bangsaaat!"
"Sabar, Pratiwi! Izinkan aku sekali
lagi melihat tubuhmu. Masih terbayang
indahnya buah dadamu dan sesuatu yang
tersembunyi di antara pahamu...."
"Setan kau, Bandartaman!" serentak
Pratiwi mengayunkan selendang merahnya.
Bandartaman berkelit. Selendang itu
menghantam pohon yang langsung hangus.
Bandartaman berdecak.
"Hebat, hebat! Sudah, sudah!
Sebenarnya aku ke mari bukan ingin
bertarung denganmu, Pratiwi! Tapi dengan
Ki Rengsersari, untuk memperebutkan
pusaka dewa matahari!"
"Kau terlambat, Ki Rengser sudah
mampus terbunuh!"
"Hah? Mana?"
Pratiwi mengayunkan selendang
merahnya. Tepat mampir di tubuh Ki
Rengser yang sudah menjadi mayat. Mata
Bandartaman semakin terbelalak. Apalagi
ketika melihat tubuh Gundaling yang
hancur.
Ia berpaling pada Pratiwi.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Keduanya saling membunuh!"
"Aku tidak percaya! Pasti kau yang
telah membunuhnya! Dan telah mendapatkan
pedang pusaka dewa matahari itu! Cepat
serahkan padaku, Pratiwi! Atau... kau
ingin kubunuh!"
"Enaknya menuduhku yang
bukan-bukan! Pedang itu tidak penting
bagiku, Bandartaman! Aku lebih suka
pemuda ini daripada pedang itu!"
Bandartaman tahu akan kecabulan
Pratiwi. Benar, bagi Pratiwi pasti
pemuda itu lebih mengasyikan daripada
pedang. Kalau begitu pedang itu masih
berada di dalam goa.
Ia melirik Pratiwi lagi.
"Kau tidak menginginkan pedang itu?
"Tidak, aku lebih menginginkan
pemuda ini!"
"Baik, aku tidak akan mengganggu
keasyikanmu! Tapi kau juga jangan
merebut pedang itu apabila aku
mendapatkannya!"
"Sudah kubilang aku tidak akan
mengganggumu!"
"Baik! Selamat bergoyang, Pratiwi!"
Bandartaman terbahak. Dia tidak
perlu repot-repot lagi untuk merebut
pusaka itu. Cepat masuk ke dalam goa.
Pratiwi mendengus. Menganggu keasyikan
orang saja. Ia berpaling lagi pada Madewa
Gumilang yang masih bertanding kaku.
Tangannya membelai pipi Madewa.
"Hmm, kita lanjutkan lagi perjalan
kita ke sorga, bocah!" Pratiwi kembali
membuka seluruh pakaiannya. Kali ini dia
langsung menuju sasaran.
Tapi lagi-lagi gagal. Bandartaman
keluar sambil mengamuk-ngamuk. Pedang
itu tidak didapatnya. Dia merasa
Pratiwi, menipunya. Di dalam goa tidak
ada apa-apa. Hanya batu-batu dan dinding
goa yang berlumut.
Dengan geram dia mengambil golok
hitam kepunyaan Gundaling. Dan
menghampiri Pratiwi yang tergesa
berpakaian kembali.
"Mau apa lagi kau?" geram Pratiwi
jengkel.
"Mana pedang itu?" bentak
Bandartaman keras.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan bohong! Pasti berada
padamu!"
"Kau jangan mengada-ngada,
Bandartaman! Aku belum mengambil pedang
itu!"
"Jangan coba-coba membohongiku,
Pratiwi! Aku bisa marah besar padamu!"
"Kau mau mengelak pula,
Bandartaman! Sudah kubilang, aku tidak
minat dengan pedang itu! Jangan
memutarbalikkan fakta!"
"Setan! Kau yang menipuku! Baik
Pratiwi, rupanya kita ditakdirkan untuk
bertarung! Bersiaplah! Aku telah
bersumpah, akan merebut pedang itu dari
siapa pun juga."
Kembali kedua tokoh itu bertarung.
Madewa kembali menghela nafas lega.
Hampir saja dia terjerumus dosa yang
besar. Berzina dilarang. Dan haram
hukumnya.
Diperhatikannya saja kedua orang
itu bertarung. Keadaan di sana semakin
ribut. Debu semakin banyak berkepul.
Madewa ingin pindah, tapi susah sekali
tubuhnya digerakkan.
Tetapi kemudian dia terkejut,
sebuah kerikil terpental dari arena
pertarungan itu. Dan jatuh tepat pada
totokannya. Karena kerasnya lemparan
batu itu, totokannya terlepas.
Madewa langsung melompat. Dan
menyambar pakaiannya. Tanpa menunggu
akan apa ke-anjutan dari pertarungan
itu. Dia buru-buru menghindar.
Meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan, debu itu masih
nampak. Madewa berdiri di ketinggian
tempat. Memandangi tempat itu. Tempat
selama dua tahun dia digembleng oleh Ki
Rengsersari.
Dan kini dia benar-benar akan
meninggalkannya. Juga meninggalkan
tubuh Ki Rengsersari yang telah menjadi
mayat.
Tugas telah menantinya. Dia akan
mencari penyebar kabar bohong itu, yang
menyebabkan gurunya menemui ajal hari
ini juga. Sebelum dia sempat
beristirahat di dalam goanya yang
nyaman. Juga mencari orang-orang yang
menyebabkan kematian Ibu.
Madewa melompat. Berjalan. Berlari.
Jauh-jauh meninggalkan tempat itu.
Di sana, Pratiwi si Selendang Merah
masih bertarung dengan Bandartaman.
* * *
EMPAT
Entah sudah berapa kilometer Madewa
melangkah. Siang malam dia selalu
terbayang wajah gurunya. Juga ketika
golok Gundaling menyambar tubuh renta
itu. Madewa mengeluh dan perasaan
bersalah menggunduk di hatinya. Tetapi
dia harus mencari pembunuh ibunya dan
penyebar isu tentang pusaka dewa
Matahari yang telah menyebabkan kematian
gurunya.
Kalau malam, Madewa selalu teringat
akan gurunya. Gurunya yang baik. Gurunya
yang kadang menjengkel. Harus mati
secara mengenaskan. Dia harus membalas
kematian gurunya terhadap Pratiwi!
Sekarang biarlah dia akan mencari dulu
pembunuh ibunya dan penyebar isu itu.
Pada suatu hari, dia tiba di sebuah
desa yang bernama Bojongronggo. Perutnya
terasa lapar sekali. Kebetulan dia masih
ada sisa uang sedikit. Madewa pun mampir
ke sebuah warung. Kehadirannya sebagai
orang asing membuat pengunjung warung
memperhatikannya. Tetapi Madewa tak
mengacuhkannya, dia santai saja
menikmati makannya, hingga orang-orang
itu pun mulai tak acuh. Mereka kembali
melanjutkan makan dan bercakap-cakap.
Tiba-tiba Madewa menajamkan
pendengarannya. Dia tertarik pada
percakapan dua laki-laki yang duduk di
sebelahnya, karena kedua orang itu ada
menyebut-nyebut nama gurunya.
"Kau serius, Genda?" tanya yang
kurus pada teman bicaranya. Ia nampak
tertarik sekali.
Yang dipanggil Genda itu
mengangguk. "Aku mendengar kabar itu
dari desa seberang. Ki Rengsersari mati
terbunuh oleh Gundaling. Juga Gundaling.
Kelihatan kalau keduanya saling
membunuh. Tetapi di sana juga ada mayat
Bandartaman, yang tidak diketahui siapa
pembunuhnya. Kalau dilihat letak mayat
Ki Rengser dan Gundaling, jelas bukan
mereka yang membunuh Bandartaman, karena
mayat Bandartaman jauh dari mereka."
Madewa mendesah dalam hati. Pratiwi
yang memenangkan pertarungan itu. Dewi
cabul itu benar-benar hebat.
"Lalu bagaimana dengan pedang itu?"
Didengarnya lagi percakapan kedua orang
itu.
"Mereka tidak ada yang tahu. Pusaka
itu lenyap entah ke mana. Kemungkinan
besar ada orang keempat yang
mengambilnya."
"Siapa?"
"Orang-orang di sekitar sana hanya
tahu, kalau jagoan tua itu punya seorang
murid. Mungkin pedang itu ada padanya.
Dan dia yang membunuh Bandartaman demi
mempertahankan pedang pusaka."
"Lalu ke mana larinya muridnya itu?"
"Tidak ada yang tahu. Orang
persilatan tengah mencarinya. Yah, salah
Ki Tua itu juga. Punya pedang sakti
disembunyikan."
"Memang, pedang itu hanya bisa
ditandingi oleh pusaka Siluman Mata Air
milik Niniwulandari yang juga hilang
entah ke mana."
"Bagi yang memiliki kedua pedang
itu, dia bisa jadi raja di dunia
persilatan ini."
"Eh," tiba-tiba Genda bangkit, "Aku
permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang
harus kulakukan, Buntoro."
Buntoro meneruskan makannya,
"Silahkan, Genda."
Pemuda itu membayar apa yang dia
makan, lalu pergi. Madewa melirik orang
itu. Dia berniat akan menyusul. Sebelum
dia bangkit, dua orang bertubuh
kerempeng telah bangkit lebih dulu.
Dan berjalan ke arah yang dilalui
Genda. Rupanya kedua orang itu tertarik
pula dengan percakapan tadi.
Buru-buru Madewa membayar, lalu
bergegas menyusul. Tempat itu masih
asing baginya, sebentar saja dia sudah
kehilangan jejak. Namun tiba-tiba
pendengarannya menangkap bentakan tak
jauh dari situ, "Tunggu sebentar,
Kawan!"
Medewa cepat mencari sumber suara
itu. Lalu menyelinap di balik semak dan
memperhatikan dua orang tadi tengah
menghampiri Genda yang merasa tidak
mengenal keduanya.
"Ada apa, Kisanak?"
"Kami minta keterangan sedikit
darimu," kata yang bergolok tipis, dia
bernama Caraka.
"Keterangan apa?" Kening Genda
berkerut. Siapa orang-orang ini?
"Tentang Pusaka Dewa Matahari."
"Oh,aku tidak tahu soal itu.
"Jangan dusta! Barusan kami
mendengar kau membicarakannya!"
"Aku hanya tahu... pusaka itu
dilarikan murid Ki Rengsersari."
Mendadak orang itu tertawa ngakak.
Kawannya yang bernama Tikam ikut pula
tertawa.
"Dan kami tahu siapa muridnya Ki
Rengsersari itu!"
Madewa yang mengintip menjadi
bersiap. Di sangkanya kedua orang itu
tahu dia mencuri dengar. Tapi Caraka
malah maju ke depan Genda. Suaranya
merandek. "Pasti kau muridnya, bukan?!
Kami tahu penyamaranmu, Kawan! Cepat
serahkan pedang itu pada kami!"
Jelas Genda terkejut dan heran.
Apa-apaan orang ini menuduh di sebagai
murid Ki Rengsersari. Wah, jelas
keduanya tidak tahu siapa dia. Dia
perumput dan penjaga kuda-kuda
Biparsena, orang terkaya di desa
Bolongronggo ini.
"Apa-apaan kalian omong? Aku Genda!
Bukan muridnya Ki Rengsersari! Kalian
mengigau apa?"
"Jangan berdusta!" bentak Tikam
jengkel. Ia mencabut goloknya. Golok itu
berkilat ditimpa cahaya matahari, yang
membuat Genda mundur ketakutan. Wajahnya
memucat. Bibirnya mendadak membiru.
"Bukan, bukan aku! Aku tidak tahu
apa-apa!"
"Katakan, di mana pusaka itu?"
bentak Caraka geram. "Atau... kau mau
mampus di tangan kami! Cepat katakan!!"
"Jangan, jangan! Aku tidak tahu
apa-apa!"
Sikap Genda itu membuat kemarahan
mereka naik. Disangkanya mereka tidak
tahu kalau murid Ki Rengsersari ini
berpura-pura. Secepat kilat Caraka
mengayunkan goloknya. Tepat ke arah
leher Genda. Genda memekik ketakutan.
Bersamaan dengan itu sesuatu menambrak
golok Caraka. Caraka menyangka Genda
yang menangkis. Dia tidak tahu, karena
takutnya asal saja Genda mengayunkan
tangannya. Tapi tidak mengenai golok
itu. Genda sendiri saja heran, kenapa
golok itu tidak mampir di lehernya.
Caraka mundur. Mengatur posisi.
Tikam bersiap pula. Murid Ki Rengser
tidak boleh dianggap enteng. Keduanya
serentak menerjang Genda yang menjerit
ketakutan. Tapi lagi-lagi keduanya
gagal. Sesuatu menerjang mereka hingga
terpelanting.
"Bangsat!" geram Caraka. "Pantas
kau berani bertingkah, punya mainan juga
rupanya! Tapi kali ini, terimalah
kematianmu. Tikam, satukan permainan
golokmu dengan golokku. Kita habiskan
dia!"
Tikam merapat. Caraka merapat.
Goloknya berada di sebelah kanan. Tikam
sebelah kiri. Keduanya merapatkan
tangan. Tangan yang satunya lagi
mengepal. Dan mendadak mengeluarkan
asap. Inilah puncak ilmu Keduanya.
Keduanya menamakan golok kembar mengacau
gunung. Murid Ki Rengser hanya pantas
dilawan oleh ilmu golok macam ini.
Madewa yang dua kali menghalau
serangan mereka pada Genda, terkejut.
Dia tidak bisa menahan serangan itu kalau
hanya dengan bersembunyi. Dia harus
menampakkan diri.
Maka dia melompat. Dengan sekali
salto saja dia sudah berdiri di hadapan
keduanya, melindungi Genda yang
menggigil ketakutan.
Keduanya terbelalak. Tapi kemudian
menggeram.
"Mau apa kau? Jangan halangi
perbuatan kami!"
"Perbuatan yang salah, harus
dihalau! Aku bertugas melakukannya!"
sahut Madewa tenang.
"Bangsat!" dengus Caraka. "Siapa
kau?"
"Kau sedang mencari siapa tadi?"
sahut Madewa lagi.
"Muridnya Ki Rengser!"
"Nah, sekarang muridnya itu sudah
berdiri di hadapan kalian! Kalian mau
apa?!"
Keduanya terbelalak, tak percaya.
Menoleh pada Genda yang sedang menatap
Madewa. Tak percaya pula. Tapi kemudian
dia menghela nafas lega. Buru-buru dia
melongok pada kedua orang itu.
"Nah, benarkah? Bukan aku orangnya
yang menjadi murid Ki Rengser! Malu tuh!"
katanya meledek, lalu akan melangkah.
Tapi Caraka membentak, "Jangan
pergi kau! Hei, kawan! Benar kau muridnya
Ki Rengser?"
Madewa mengangguk sambil tersenyum.
"Akulah murid tunggalnya, Madewa
Gumilang!"
"Bagus! Sekarang serahkan pedang
pusaka dewa matahari kepada kami!
Cepat!"
"Jangan mimpi, Kawan. Aku tidak
memiliki benda itu! Sekarang kuminta,
cepat pergi dari tempat ini sebelum aku
marah!"
"Bangsat cilik! Kau sangka kami
takut?!"
"Mungkin tidak kalau kalian sudah
tidak sayang dengan nyawa kalian!"
"Setan kau!" geram Caraka dan Tikam
berbarengan. Mereka menyatukan tenaga
lagi. Dan serentak menggeram serayo
menyerang. Golok kembar mengacau gunung,
membuat Madewa agak kaget. Dia tidak
berani mengadu tenaga, buru-buru dia
menghindar. Sepasang golok itu meleset.
Dan memakan pohon di depannya, yang
langsung tumbang sekali tebas.
Genda semakin ketakutan. Dia
bersembunyi di balik batu besar.
Madewa tersenyum. Ilmu yang bagus.
Dia mulai menghimpun tenaga. Pukulan
bayangan sukma merangkum di tangannya.
Ketika kedua orang itu menyerang, kali
ini Madewa menyambut. Sama dengan
teriakan yang menggelegar.
Dua buah tenaga besar beradu,
akibatnya menjadi. kacau. Keduanya
terpental ke belakang. Tempat itu seakan
bergoncang. Debu berkepul tebal.
Madewa langsung bersalto dan
berdiri dengan kedua tangan bersatu di
dada. Menghimpun nafas dan tenaganya.
Sementara kedua orang itu jatuh ambruk
dan tak bernafas lagi.
Genda yang sudah setengah mampus
ketakutannya, menghela nafas lega dan
tenaga membuka matanya. Tidak seberapa
tenaga kedua orang itu. Dia pun tadi bisa
mengimbanginya dengan jurus Tembok
Menghalau Badai.
"Terima kasih, Tuan penolong. Kalau
tidak ada Tuan, pasti saya sudah mati,"
terdengar suara Genda sopan. Orangnya
membungkuk hormat di hadapan Madewa.
Madewa tersenyum.
"Kebetulan saja aku melihat semua
ini."
Tuan ini melihatnya? Oh, kalau
begitu pasti dia yang menolongnya dari
sabetan golok dan terjangan kedua orang
itu. Sekali lagi Genda berterima kasih.
"Kalau boleh saya tahu, benarkah
Tuan muridnya Ki Rengsersari?"
Madewa tersenyum lagi.
"Jangan panggil aku Tuan. Yah,
kebetulan aku murid tunggalnya Ki
Rengser. Kenapa?"
"Oh!" Genda celingukan seolah
kuatir ada yang mengintip. "Tuan harus
berhati-hati. Orang-orang jago sedang
ramai mencari Tuan."
"Kenapa mereka mencariku?"
"Karena Tuan membawa pusaka dewa
matahari itu."
"Oh, Tuhan. Lagi-lagi pusaka itu,"
Madewa mengeluh. Dalam hati dia
menyambung, benar-benar isu yang
menghancurkan. Dia semakin ingin bertemu
dengan orang yang menyebarkan kabar
bohong itu. Ah, mungkinkah Genda bisa
dimanfaatkannya?
"Ya, Tuan. Sebaiknya Tuan
bersembunyi saja. Oh, bagaimana kalau di
tempat saya?"
Madewa menatap laki-laki kurus itu.
"Kalau tidak keberatan?"
Genda menggeleng. "Karena Tuan
orang baik, dan sudah menolongku."
"Baiklah. Mungkin untuk sementara
ada baiknya aku tinggal di rumahmu."
Keduanya mulai melangkah.
Malam mulai merambat, ketika Genda
datang dari bekerja. Setiba mengantar
Madewa ke rumahnya, Genda langsung
berangkat bekerja, sebagai perawat
kuda-kuda. Ia membawa beberapa bungkus
makanan ketika pulang.
Keduanya makan di temani lilin
kecil.
"Kata Tuan tadi siang, Tuan mau
bercerita tentang kedatangan Tuan ke
daerah ini. Boleh dilanjutkan?"
Madewa mengangguk. Ia menyelesaikan
makannya dulu. Lalu, "Ya, aku memang ada
perlu.... Benar ceritamu, guruku dan
Gundaling, mati saling bunuh. Sedangkan
Bandartaman, mati di tangan Pratiwi, si
Selendang merah. Tapi masalah pedang
itu, tidak ada padaku. Juga tidak pada
guruku. Ketahuilah Genda, sebenarnya
pusaka itu tidak ada pada guruku. Guruku
tidak memilikinya. Itu hanya kabar
bohong yang diberitakan orang yang iri
pada guruku...."
"Jadi?" potong Genda tidak sabar.
"Ya, pusaka itu hanya kabar bohong
saja. Kedatanganku pun, ingin mencari
orang yang menyiarkan kabar bohong itu.
Yang telah membuat hidup guruku tidak
tenang. Dan mati secara mengerikan."
Terkenang lagi semua yang terjadi di
benak Madewa. Pertama dia bertemu Ki
Rengsersari. Diangkat jadi murid.
Belajar. Diberi nasehat. Dan hari yang
menentukan itu, sebelum gurunya sempat
beristirahat, maut telah menjemputnya!
Madewa mendesah.
Genda jadi tidak enak. Dia merasa
bersalah karena mengembalikan ingatan
Madewa tentang kejadian sedih itu.
“Ah, sebaiknya Tuan tidur saja dulu.
Besok baru kita bicarakan soal ini lagi."
"Sebentar Genda. Kau bisa
membantuku?'
"Bantu apa?"
"Pergaulanmu luas. Temanmu banyak.
Kau pasti bisa menemukan kabar-kabar
baru untukku. Kalau ada yang bicara
tentang pusaka itu, beritahukan padaku.
Bisa kau?"
"Untuk Tuan aku akan melakukannya."
"Terima kasih, Genda. Kau tidurlah
lebih dulu."
"Aku tidak mengantuk, Tuan."
"Aku juga. Kita lanjutkan obrolan
ini?"
"Terserah, Tuan."
Madewa hanya mengangguk. Dan
obrolan itu terus berlanjut. Sampai
kokok ayam terdengar, mereka masih asyik
bicara. Tanpa terasa ngantuk.
Genda sudah bersiap hendak
berangkat bekerja lagi keesokan harinya.
Ia berpesan pada Madewa, agar jangan ke
mana-mana, karena keselamatannya tidak
menjamin.
"Aku tidak akan jauh dari rumah
ini," sahut Madewa tersenyum. Sahabat
barunya ini begitu menguatirkan
keselamatannya.
"Baiklah, Tuan. Kupikir, Tuan juga
mampu menghalau setiap serangan yang
datang. Aku berangkat dulu, Tuan."
Madewa mengangguk. Genda pergi dengan
langkah pelan. Rumah majikannya tidak
jauh dari tempat tinggainya. Beberapa
saat kemudian dia sudah tiba di sana. Dan
langsung menuju ke kandang kuda.
Kuda-kuda itu sehat. Berjumlah sepuluh
ekor. Majikannya memang orang yang kaya.
Bertubuh gendut. Dia seorang duda.
Istrinya meninggal ketika melahirkan
anaknya yang cuma semata wayang. Dan
majikannya itu tidak ingin menikah lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya,
dia tinggal mendatangi tempat ‘kupu-kupu
cantik' bersarang yang memang dia
sendiri yang mengelolanya. Atau
mendatangkannya dua orang yang masih
muda dan cantik ke rumahnya.
Herannya, anak gadisnya yang tumbuh
menjadi kembang yang sangat cantik,
tidak tahu akan hal itu. Biparsena memang
hebat menyembunyikan belangnya dari
anaknya, Ratih Ningrum.
Kadang-kadang Genda juga heran,
majikannya yang jelek itu punya anak
secantik Ratih Ningrum.
Ketika dia sedang mengelurkan
kuda-kuda itu untuk dibawa ke padang
rumput, gadis itu sudah berdiri di pintu
kandang.
"Kang gendang," panggilnya dengan
suara yang lembut.
Genda terkejut. Dia bisa kena marah
oleh majikannya karena anak
kesayangannya berada di tempat kotor
ini.
"Ada apa, Den Putri?" tanyanya
hormat.
"Saya ingin jalan-jalan."
"Oh, silahkan. Tinggal pilih
kudanya, Den Putri. Saya akan urusi
nanti."
"Biar aku yang mengurusnya."
"Jangan, Den putri. Nanti kena marah
ayah."
"Tidak! Ayah lagi ada tamunya. Nggak
tahu siapa. Nenek tua yang genit!"
Ratih Ningrum menunjuk kuda tinggi
yang berwarna putih. Genda buru-buru
memasang perlengkapan kuda itu. Lalu,
"Silahkan, Den putri."
Ratih Ningrum meloncat ke atas kuda.
Ia berkata pada Genda, "Kalau ditanya
Ayah, aku pergi jalan-jalan!"
"Iya, Den putri!"
Ratih Ningrum menggeprak kudanya
yang langsung meloncat dengan indah.
Genda geleng-geleng kepala. Kecantikan
gadis itu begitu memukaunya. Penuh
pesona yang sukar ditepiskan. Ah,
apa-apaan dia melamunkan gadis itu. Mim-
pi! Jangan suka berkhayal, nanti jadi
pusing sendiri.
Ia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Dari arah samping terdengar suara
majikannya, "Jadi itu keputusanmu,
Nini?"
Nenek Tua yang berdiri di sampingnya
mengangguk.
"Tidak ada jalan lain, tinggal dia
satu-satunya yang diharapkan," kata
nenek tua yang tidak lain adalah
Niniwulandari.
"Baik! Akan saya usahakan untuk
mendapatkannya!"
"Bagus, Biparsena! Kau seorang
murid yang jempolan. Mengerti kemauan
gurunya! Aku permisi. Sambil mencari
tahu tentang orang itu."
"Hati-hati, Nini!"
Niniwulandari terkekeh. Langkahnya
tidak mencerminkan seorang nenek tua
yang lemah. Tapi penuh gairah dan tenaga.
Ia melangkah dengan tegap.
Biparsena mengusap-usap dagunya.
Rupanya yang dicari gurunya itu telah
tiba di sini. Bagus, kita akan
mencarinya!
Genda masih bekerja. Dia pura-pura
menggosok kuda itu ketika majikannya
menoleh.
"Kemari sebentar, Genda!"
"Ya, Tuan!"
"Aku punya tugas untukmu!" "Tugas
apa, Tuan."
"Cari keterangan, tentang orang
asing yang masuk ke daerah ini."
"Maksud Tuan?"
"Kemungkinan besar orang asing itu
akan merusak daerah kita ini. Dikabarkan
akan adanya bencana yang besar bagi
daerah ini. Makanya kau cari tahu siapa
saja yang datang. Mengerti?"
"Mengerti, Tua."
Biparsena mengangguk puas.
"Tadi kulihat Ratih Ningrum berada
di sini? Di mana dia sekarang?"
"Sedang jalan-jalan dengan
menunggang kuda, Tuan."
"Hmm, bagus kalau begitu. Nafsu
syahwatku sudah tidak kuat kubendung
lagi. Tolong panggil dua wanita muda yang
cantik ke mari. Cepat Genda, aku sudah
tidak tahan!"
"Baik, Tuan!"
Yah, memang hanya pembantu-pembantu
setianya saja, Biparsena mau membuka
rahasia, kalau dia membuka tempat
praktek pelacuran di daerah ini. Genda
pun tahu tempatnya. Dia memilih dua orang
yang cantik dan membawanya ke rumah
majikannya.
Tak kalah kemudian, dari kamar itu
terdengar nafas rintihan dan erangan.
Hari sudah agak siang ketika Ratih
Ningrum berniat untuk kembali. Ia
memutar haluan kudanya. Ketika melewati
rumah Genda, dia melihat seorang pemuda
sedang melamun di depan rumah itu.
Ratih Ningrum heran. Bukankah hanya
Genda yang menghuni rumah itu? Lalu siapa
orang itu. Jangan-jangan dia mau berbuat
jahat.
Ratih Ningrum bukan gadis penakut.
Apalagi ayahnya berkuasa di sini.
Perlahan menjalankan kudanya mendekati
pemuda yang tak lain Madewa Gumilang.
Pemuda itu kaget mendengar langkah
kuda mendekatinya. Juga kaget melihat
betapa cantiknya penunggang kuda itu.
Baru kali ini Madewa melihat gadis
secantik dia.
Ratih Ningrum jadi agak malu dengan
tatapan Madewa yang jelas mengagumi
kecantikannya. Dia membentak, "Hei, kamu
siapa?!"
Madewa tergagap. Lalu tersenyum
sambil buru-buru berdiri.
"Oh, saya bernama Madewa Gumilang,
Nona."
"Kamu sedang apa di sini?"
"Duduk-duduk saja."
"Maksudku... di rumah ini?"
"Oh, aku tinggal bersama Genda,
sahabatku, Nona. Sekarang dia sedang
bekerja di keluarga Biparsena."
Melihat tingkah pemuda itu sopan,
kecurigaan Ratih Ningrum menghilang.
"Aku baru tahu kalau Genda punya
teman...."
"Saya teman barunya, Nona." Mata
Madewa tetap tidak berpaling sedikit pun
dari wajah Ratih Ningrum. Masih tetap
menikmati kecantikan itu selagi gadis
itu masih ada.
"O ya, namaku Ratih Ningrum."
"Nama yang indah. Secantik
orangnya," puji Madewa setulus hati.
Wajah Ratih Ningrum memerah. Baru
kali ini dia mendengar pujian dari
seorang pemuda yang begitu terus terang.
Berulang kali di mendengar pemuda-pemuda
mengagumi kecantikannya, tapi hanya
secara sembunyi-sembunyi.
Wajah yang memerah itu, semakin
menambah kecantikannya. Madewa
geleng-geleng kepala. Mendesah.
"Saya gembira sekali bisa
berkenalan dengan gadis cantik macam,
Nona."
"Panggil aku, Ratih," kata Ratih
sambil menunduk. Menghindari tatapan
Madewa yang terus menerus. Mendadak
dadanya bergetar. Tatapan itu pun
mempesonanya. Tatapan yang tulus. Tidak
ada gairah yang menjijikkan. Ia
menenangkan gemuruh dadanya. "Ah, hari
ini sudah siang! Aku permisi dulu,
Madewa!"
"Tunggu sebentar, Nona! Boleh...
aku tahu rumahmu?"
Ingin sekali Ratih menyebutkan
rumahnya. Tapi dia kuatir. Dia tahu
ayahnya, yang melarangnya bergaul dengan
pemuda-pemuda kampung. Dia hanya pantas
berdampingan dengan bangsawan, begitu
kata ayahnya.
"Ah, dekat kok!" hanya itu jawaban
Ratih.
"Di mana?"
"Pokoknya dekat." Ratih melengos.
"Yuk, ah! Aku permisi!"
"Ratih!" panggil Madewa penasaran.
Tapi kuda itu sudah membawa Ratih pulang
ke rumahnya. Hanya Madewa yang masih
berdiri menatap hilangnya kuda yang
membawa gadis cantik itu.
Madewa mendesah. Entah berapa
banyak dia telah menjumpai gadis
secantik Ratih, tapi baru kali ini
hatinya bergetar melihat seorang gadis.
Ah, apakah dia telah jatuh cinta dengan
gadis itu?
Madewa kembali duduk di tempatnya
tadi. Heran, sejak tadi yang
direnungkannya adalah bagaimaan cara
mencari orang yang menjadi musuh
besarnya itu yang telah menjadikan akhir
hidup gurunya penuh derita tetapi
sekarang, bayangan Ratih Ningrum yang
cantik yang menggodanya.
Wajah itu betapa manisnya.
Senyumnya memikat sekali. Kembali Madewa
mendesah. Diam-diam dia merasa agak
beruntung karena singgah di desa ini,
yang memberinya kesempatan untuk
berkenalan dengan Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Madewa mendongak.
Seseorang telah berdiri di dekatnya.
Madewa merasa mengenal laki-laki ini.
Orang yang berbicara dengan Genda
kemarin di warung nasi itu. Madewa pun
tahu namanya. Buntoro.
"Maaf, apakah Genda ada di rumah?"
tanya Buntoro.
"Oh, dia sedang bekerja di rumah
Biparsena," sahut Madewa sambil
tersenyum. Dia harus bisa mengambil hati
orang-orang di desa ini, agar mereka
jangan curiga dengan pendatang baru.
"Baiklah, nanti saya kembali lagi,"
kata Buntoro seraya pergi. Madewa hanya
mengangguk. Kembali lamunannya bekerja.
Dan seraut wajah Ratih Ningrum
menggodanya lagi!
Madewa cepat-cepat menghimpun hawa
murninya, mengusir bayangan indah itu.
Dan pikirannya pun bekerja lagi, mencari
jalan untuk menemukan orang yang
menyebabkan isu tentang pusaka dewa
matahari.
Sementara itu Buntoro agak
bergegas. Dia heran, ternyata orang yang
kemarin makan di warung nasi itu, tinggal
di rumah Genda. Hmm, Genda baik hati
sekali kau menerima orang asing yang
tidak diketahui asal usulnya. Dia harus
memperingatkan Genda agar berhati-hati.
Tanpa buang waktu lagi, Buntoro
pergi ke rumah Biparsena. Majikan Genda
itu, yang juga majikannya. Dia melihat
Genda masih berada di kandang. Buru-buru
dia mendekat.
"Genda siapa orang yang tinggal di
rumahmu itu?" tanyanya terburu-buru
pula. Genda menoleh. Agak tertawa.
"Kamu bicara apa?"
"Aku curiga dengan laki-laki yang
berada di rumahmu, Genda."
"Siapa maksudmu? Madewa?"
"Aku tidak tahu siapa nama pemuda
itu. Tapi dia orang asing, Genda. Bisa
saja dia membuat keributan di sini."
Genda tertawa pelan.
"Aku mengenal dia dengan baik,
Buntoro.
Aku yakin, dia pun orang baik-baik.
Dia tidak akan membuat onar seperti yang
kau takutkan."
"Tapi kita harus berhati-hati,
Genda."
"Aku bisa menjaga diri, Buntoro. Aku
lebih takut dengan orang-orang yang
manis mulut daripada dengannya."
Wajah Buntoro agak memerah. Merasa
disindir. Dia terdiam. Akhirnya dia
pergi sambil menggerutu. Dibilangin kok
tidak mau peduli. Buntoro juga perawat
kuda-kuda Biparsena. Kadang-kadang
bergantian dengan Genda.
Setelah Buntoro pergi, muncul Ratih
Ningrum sambil membimbing kudanya.
Wajahnya kelihatan ceria sekali. Dia
bernyanyi-nyanyi kecil. Genda
mengangkat wajahnya. Gembira melihat
putri majikannya itu senang. Ia
menyambut.
"Senang perjalanan Den Putri hari
ini?"
"Iya, Kang Genda. Udara pagi ini
sejuk sekali. Burung-burung pun ramai
berterbangan dan bernyanyi," sahut Ratih
Ningrum dengan suaranya yang lembut.
"Syukurlah kalau begitu," Genda
memasukkan kuda itu. Dan kembali menemui
Ratih Ningrum yang masih berdiri di dekat
kandang kuda itu. Genda heran, tidak
biasanya Ratih menunggu di situ. Pasti
ada apa-apa. "Ada apa lagi, Den Putri?"
Ratih Ningrum nampak tersipu. Ia
menunduk malu-malu. Genda semakin
keheranan.
"Ada yang menyusahkan, Den Putri?"
Ratih Ningrum buru-buru menggeleng.
"Tidak, hari ini aku senang sekali."
"Lalu apa yang membuat Den Putri
menunggu di sini? Lebih baik Den Putri
masuk, tempat ini kotor. Nanti Den Putri
kena marah oleh ayah."
"Tidak, tidak. Ayah ada tamunya
lagi. Siapa sih kedua gadis yang
cekikikan di ruang tamu itu?"
Sejenak Genda menahan nafas. Ah,
untung Tuannya sudah selesai 'bekerja'.
"Tamunya mungkin. Biasa Den Putri,
ayah Den Putri orang terpandang di desa
ini dan banyak yang minta nasehat
darinya," kata Genda dengan harapan
Ratih Ningrum tidak mempersoalkan tamu
itu lagi.
Ratih Ningrum kembali terdiam.
Nampak ragu-ragu. Kemudian,
"Kang Genda...."
"Apa, Den Putri?"
"Siapa... pemuda yang ada di
rumahmu?" tanya Ratih Ningrum malu-malu,
lalu menunduk. Tidak pantas seorang
gadis menanyakan seorang pemuda secara
terang-terangan begitu.
Genda tersenyum mengerti. Jadi itu
yang membuat Ratih Ningrum menunggunya
di tempat ini.
"Dia teman saya, Den Putri," kata
Genda hormat, sedikit pun tidak menggoda
Ratih Ningrum yang sudah kuatir dituduh
perempuan genit. Dalam hati Genda
bilang, siapa pun akan tertarik dengan
Madewa Gumilang yang tampan dan gagah
itu.
Merasa Genda tidak menggodanya,
Ratih Ningrum melanjutkan
pertanyaannya, "Sejak kapan kau berteman
dengan dia, Kang Genda?"
"Belum lama, Den Putri. Pemuda itu
datang dari tempat yang jauh, dan tidak
punya tempat tinggal. Jadi untuk
sementara dia tinggal di rumah saya...."
"Apakah dia tidak ingin bekerja?"
"Oh, dia ingin sekali, Den Putri.
Tapi pekerjaan apa? Cari kerja itu sangat
sulit sekali."
Wajah Ratih Ningrum berseri-seri.
"Kalau benar dia mau bekerja, aku akan
bilang pada ayah. Pasti ada pekerjaan
untuknya."
Genda tersenyum. Ia sudah menduga
pasti itu jawabannya. Ah, Ratih Ningrum
sudah jatuh cinta rupanya pada Madewa,
sampai menginginkan dekat dengannya.
Dengan bekerja di situ, bukankah dia bisa
berdekatan dengan Madewa?
Ratih Ningrum jengah Genda
tersenyum begitu. Buru-buru ia berpaling
dan berlari ke kamarnya.
* * *
LIMA
Biparsena memperhatikan tubuh
Madewa Gumilang dengan seksama.
Sementara di sampingnya Ratih Ningrum
duduk dengan tersipu. Hari ini dia
berdandan secantik mungkin.
Sebenarnya Biparsena tidak mau
mengambil seorang pekerja lagi, tapi dia
tidak tega menolak permintaan putri
tersayanganya. Maka keesokkan harinya
dia langsung menyuruh Genda memanggil
Madewa menghadap.
Madewa pun sebenarnya hendak
melanjutkan perjalanan lagi, karena
sudah tiga hari dia tinggal di daerah ini
belum ada kabar lagi tentang orang yang
ribut-ribut mencari Pusaka Dewa
Matahari. Tetapi Genda menahan,
menyuruhnya menerima pekerjaan yang akan
disodorkan Biparsena. Biparsena orang
yan terpandang, dan dia punya keterangan
yang banyak dan luas.
"Baiklah," kata Biparsena akhirnya.
"Kau kuangkat menjadi pengawal pribadi
putriku."
Ratih Ningrum tercekat sejenak.
Pemuda itu akan menjadi pengawal
pribadinya? Oh, alangkah pandainya
ayahnya mencarikan pekerjaan yang memang
dia sukai. Dijaga oleh pemuda yang
disukainya, betapa indahnya!
Biparsena melanjutkan
perkataannya, "Tapi sebelumnya, kau
harus diuji dulu ilmu silatmu. Kalau
melihat potonganmu, kau pandai silat.
Tapi aku akan melihatnya dulu!" Setelah
bicara itu, Biparsena bertepuk dua kali.
Dari balik ruangan yang berdinding
tebal, muncul tiga orang pengawal yang
memakai pakaian dan bersenjata
berlainan. Mereka merupakan pengawal
pribadi Biparsena.
"Madewa, mereka yang akan
mengujimu! Beri hormat pada mereka!"
Madewa berbalik. Agak membungkuk
sedikit pada ketiga orang jago
kepercayaan Biparsena. Ketiganya balas
membungkuk.
"Bagus! Sekarang kalain perkenalkan
diri!"
Yang memakai baju hijau dan
berselempang pedang di belakang maju
selangkah. "Perkenalkan, Mukti, si
pedang kembar!"
Yang memakai baju seperti orang
keraton maju pula selangkah. "Patidina,
si keris tunggal, Yang terakhir tidak
memakai baju. Bercelana gombrang warna
hitam. Rambutnya dikepang ke belakang.
Kalau dilihat sekilas, dia bukan orang
sini. Matanya agak sipit. Kulitnya pun
putih.
"Tek Jien, pukulan seribu!"
suaranya seram Memberi kesan kalau dia
orang yang kejam.
Biparsena bertepuk lagi. "Bagus,
bagus! Madewa kau hadapilah mereka!
Jangan tanggung-tanggung! Keluarkan
semua ilmumu! Kalau kau lengah, nyawamu
melayang! Pedang kembar, hadapi dia!"
Selesai Biparsena berseru, Mukti
alias si Pedang Kembar segera meloncat ke
depan. Langkahnya ringan. Dia menunggu
Madewa menghampiri. Madewa melirik dulu
pada Ratih Ningrum yang berubah pucat.
Juga Genda yang berlutut dengan tubuh
gemetar. Keduanya tidak mengharapkan uji
coba macam ini!
Madewa melangkah perlahan. Sikapnya
tenang. Di hadapannya Mukti menghormat,
Madewa balas menghormat. Saling bungkuk.
Biparsena berseru lagi,
"Mulai!" Serentak si Pedang Kembang
membuka jurusnya. Kaki kanannya
menggeser ke belakang. Dadanya tegak.
Tangan kanannya mengembang ke samping.
Tangan kiri menekuk di dada.
Kelihatannya pertahanannya kosong, tapi
penuh pukulan rahasia dan tenaga.
Madewa pun membuka jurusnya. Jurus
ular warisan gurunya mendiang Ki
Rengsersari. Dia membuka jurus Ular
Mematuk Katak. Tangannya saling merapat.
Lalu mengembang dan berhenti di dada.
Mukti langsung menyerang, menjerit
seraya meluncurkan tangan kanannya ke
arah wajah Madewa. Tangan Madewa beraksi
cepat. Dia menangkis pukulan itu dan
tangannya bagaikan gerakan ular meluncur
ke perut Mukti. Mukti menarik tangannya,
menahan pukulan itu dengan sikunya.
Secara tak langsung pertahanan atasnya
kosong. Tangan kiri Madewa bergerak
cepat. Mematuk dada Mukti dengan keras.
Mukti terhuyung. Madewa tidak
melanjutkan serangannya. Karena dia
pikir, ini hanya latihan. Tapi
perbuatannya itu membangkitkan
kemarahan Mukti. Cepat dia meloloskan
kedua pedangnya. Dan memainkan keduanya
dengan hebat.
Pedangnya berkelebat dengan
dahsyat. Bahkan desingnya membuat sakit
telinga.
Madewa tetap berdiri tegak. Dia
berpikir, kalau diserang tidak mungkin.
Kalau diam dia akan diserang. Madewa
tidak mau mengeluarkan ilmu andalannya,
pukulan bayangan sukma. Karena Madewa
kuatir, penyamarannya akan diketahui
dengan terlihatnya ilmu itu.
Mukti masih mendemonstrasikan
kehebatan ilmu pedangnya. Dan di saat
itulah Madewa ingat akan ilmu pandangan
sukma. Diam-diam dia mengerahkannya.
Mencari di mana kelemahan ilmu pedang
Mukti. Dan terlihat, kalau kedua pedang
kembar Mukti itu hanya melindungi bagian
atas saja dan bagian bawah sebatas lutut.
Hanya satu kelemahannya, pergelangan
kaki!
Maka ketika Mukti menyerang, dengan
tetap menggunakan jurus Ular Mamatuk
Katak, Madewa menyambar pergelangan kaki
Mukti. Gerakannya cepat dan menyentak.
Dan benar dugaannya tadi. Mukti jadi
kelimpungan. Dia mendengus keras, pemuda
ini tahu kelemahan ilmunya. Dia
mengangkat kedua kakinya dan bersalto ke
belakang!
Mukti menyerang lagi. Justru ini
yang ditunggu Madewa. Ketika Mukti
membabatkan pedangnya ke leher dan kaki
Madewa, pemuda itu menghindar ke
belakang. Tetapi langsung menerjang ke
depan, menembus kedua pedang itu.
Perbuatan yang berbahaya. Penuh resiko.
Tapi perhitungan Madewa matang.
Gerakannya pun lebih cepat. Tangan kanan
cepat menangkap pergelangan kaki kiri
Mukti. Dan membantingnya dengan keras.
Sementara tangan kirinya menotok pangkal
lengan Mukti yang membuatnya
berkunang-kunang.
Terdengar tepukan dari atas. Ratih
Ningrum bertepuk tangan gembira.
Biparsena pun hanya manggut-manggut. Dia
sudah menduga, kalau pemuda ini punya
kemampuan.
"Keris Tunggal!!"
Begitu dipanggil, Patidina langsung
menusukkan keris ampuhnya ke lambung
Madewa. Rupanya dia sudah tahu kehebatan
pemuda itu, makanya tak perlu basa-basi
lagi. Madewa terkejut. Tidak bisa
mengelak lagi. Keris Patidina tepat
menuju sasaran. Tapi keris itu tidak
nembus, malah terdengar suara
"Trak!"
Patidina bersalto ke belakang,
memenangkan hatinya yang keheranan.
Seharusnya keris itu sudah bisa membunuh
pemuda itu. Madewa pun heran. Tetapi
kemudian dia tersenyum. Keris Patidina
mengenai Seruling Naga yang terselip di
angkinnya!
"Kita bertarung lagi, Patidina!"
tantang pemuda itu.
Patidina menggeram. Dia menyerang
lagi. Kerisnya bergerak cepat. Kali ini
Madewa menyambut.
"Duk!" Pukulannya bersarang di dada
Patidina yang merasakan ingin muntah.
Kelincahannya kalah oleh Madewa. Orang
itu jatuh ke lantai.
Belum lagi Biparsena berseru
memanggil Tek Jien, orang itu sudah
menyerang Madewa dengan pukulan tangan
kosongnya. Sungguh hebat. Pukulan itu
terlihat banyak sekali, seakan berjumlah
seribu. Sungguh pantas julukan Pukulan
Seribu untuk Tek Jaien!
Madewa kembali menyambut. Dia
merubah jurusnya. Dengan jurus Ular
Cobra Bercabang Tiga, Madewa memapakai
serangan Tek Jien. Tangannya bergerak
cepat. Dan bisa mengimbangi pukulan
tangan seribu Tek Jien, Tek Jien
mempercepat serangannya. Madewa pun
mempercepat pukulannya. Suatu ketika
keduanya bersiap. Dan menerjang dengan
serentak!
Semua kaget. Ratih Ningrum menjerit
ngeri. Genda menahan nafas, lalu
melengos. Tidak ingin melihat apa
kejadian selanjutnya.
Terdengar suara yang keras sekali.
Dari tangan keduanya terlihat kepulan
asap, menandakan masing-masing
menaikkan tenaga ke tangan.
Sekali lagi terdengar suara keras
itu. Dan jeritan yang disusul tubuh
ambruk. Tek Jien tergeletak dengan bibir
berdarah. Sementara Madewa hanya
terhuyung selangkah. Lalu berdiri tegak,
siap menyambut lagi serangan Tek Jien.
Biparsena bertepuk. Menandakan uji
coba selesai.
"Bagus, Madewa! Kau memenuhi syarat
untuk menjaga putriku! Beri salam pada
mereka, karena mereka lebih tua darimu!"
Pemuda itu mengangguk hormat.
Melepaskan totokannya dari pangkal
lengan Mukti. Membantu Patidina berdiri.
Dan mengusap darah di bibir Tek Jien
dengan angkinnya.
Ketiga pengawal itu surut
kemarahannya. Hilang rasa malu mereka,
begitu melihat jiwa kesatria Madewa yang
tidak sombong. Dan mau menolong mereka
dari rasa malu di depan Biparsena. Kalau
mereka yang bisa menjatuhkan Madewa,
langsung diserangnya Madewa sampai mati.
Tapi pemuda itu tidak melakukannya!
"Madewa!" panggil Biparsena. "Mulai
hari ini, kau harus tinggal di sini!
Ambil barang-barangmu! Dan mulai hari
ini pula, keselamatan putriku,
kupercayakan kepadamu!"
Madewa berlutut. "Pekerjaan ini
saya terima, Tuan!"
Biparsena mengangguk-angguk puas.
Ratih Ningrum tersenyum gembira, karena
Madewa berada di dekatnya!
Niniwulandari manggut-manggut
mendengar penuturan itu. Dipandanginya
laki-laki yang memberi kabar itu
padanya.
"Benar kata-katamu?" tanyanya
seakan tak percaya.
"Benar, Nini. Pemuda itu orang baru
di sini! Dia bernama Madewa Gumilang!"
"Apa kira-kira dia tahu tentang
Pusaka Dewa Matahari?" gumam
Niniwulandari.
"Soal itu jangan kuatir Nini. Saya
bisa mengoreknya dari Genda."
"Kau yakin?"
"Yakin. Dan saya mau membantu Nini.
Asalkan Nini juga mau mewujudkan
keinginan saya untuk mempersunting Ratih
Ningrum."
Niniwulandari terkekeh. "Soal itu,
jangan kuatir. Aku bisa mengurusnya dari
Biparsena. Asal kau bisa menjalankan
tugasmu dengan baik, aku pun akan
mewujudkan keinginanmu. He... he...."
"Semua yang Nini perintahkan, akan
saya lakukan."
Niniwulandari terkekeh lagi. Merasa
senang karena orang ini begitu patuh.
"Sekarang juga kau harus mencari
keterangan itu."
* * *
ENAM
Hari ini Madewa mengawal Ratih
Ningrum berjalan-jalan. Gadis itu
kelihatan gembira sekali. Berkali-kali
ia menyuruh agar Madewa menjajarkan
langkah kudanya dengan kuda dia. Sebagai
pengawal, Madewa hanya mengikuti saja.
Ratih Ningrum yang cantik itu kerap
kali membuatnya bergetar. Apalagi kalau
terjadi saling tatap tak sengaja,
keduanya sama-sama menunduk dengan wajah
memerah.
Tetapi Madewa sadar, sebagai
pengawal dia tidak boleh melakukan
apa-apa. Apalagi sampai mencintai Ratih
Ningrum.
Udara sore itu sejuk. Ratih Ningrum
menjalankan kudanya dengan hati-hati
Madewa menjajarinya.
"Kamu betah tinggal di sini,
Madewa?" tanya Ratih Ningrum dengan
senyum yang manis. Bibir merekah yang
mungil itu menantang sekali untuk
dikecup.
"Betah, Den Putri...."
"Mengawalku?"
"Itu sudah tugasku, Den Putri."
"Dulu aku selalu berjalan-jalan
sendirian. Dengan kudaku ini. Aku selalu
menolak kalau disuruh ayah membawa
pengawal. Tetapi sekarang, aku malah
suka kau kawal? Kau tahu kenapa?"
"Tidak, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum memerah.
Padahal dia berharap Madewa tahu arti
ucapan itu, kalau dia mencintainya.
Ratih Ningrum jadi malu sendiri.
Buru-buru ia menggeprak kudanya. Kudanya
melesat ke depan.
Dalam hati Madewa tersenyum. Ia
sebenarnya mengerti apa maksud Ratih
Ningrum. Tetapi seperti yang
diragukannya, apakah pantas dia
berdampingan dengan gadis secantik itu?
Tiba-tiba terdengar suara Ratih
Ningrum minta tolong. Madewa menepak
kudanya dengan keras hingga melaju
dengan cepat. Di depan sana, Ratih
Ningrum tengah ditarik oleh seorang
laki-laki berwajah seram. Sedangkan
kudanya dipegangi oleh dua orang
laki-laki yang lain.
"Tolong! Tolong aku, Madewa!!"
jerit Ratih Ningrum.
Madewa semakin mempercepat lari
kudanya. Begitu dekat, dia langsung
bersalto dari atas kuda. Dan berbalik
menerjang laki-laki yang menyeret Ratih
Ningrum itu.
"Des! Des!"
Dua buah pukulan mengenai laki-laki
itu. Pegangannya pada Ratih Ningrum
terlepas. Madewa cepat melindungi gadis
itu dengan jalan merangkulnya.
"Kalian bangsat-bangsat rendah!
Yang kerjanya hanya membuat onar saja!"
Dua laki-laki yang memegangi kuda,
berkelebat ke depan. Mereka siap
menyerang. Golok panjang tercengkram di
tangan masing-masing. Begitu pula dengan
yang diserang Madewa tadi. Geram ia
bangkit.
"Pemuda gila! Kau harus menebus
semua ini dengan nyawamu!" seraya sambil
mencabut goloknya.
Madewa tersenyum, menyahut tenang,
"Nyawa kalian yang akan kucabut! Aku
tidak suka dengan orang yang selalu
membuat keonaran! Yang kerjanya hanya
merusak saja. Cepat kalian berlutut dan
minta maaf, sebelum aku telengas
menjatuhkan tangan!"
"Bangsat! Kau kira kami takut? Lihat
serangan, pemuda sombong!" sehabis
berkata demikian, orang itu menyerang.
Madewa berputar ke depan. Hingga Ratih
Ningrum berada di belakangnya. Dengan
tenang ia menyambut serangan itu. Jurus
Ular Meloloskan Diri digunakan dengan
mantap. Tak satu serangan pun yang
mengenai sasaran.
Melihat temannya dipermainkan, dua
orang yang lain membantu. Kini tiga buah
golok berkelebatan dengan cepat.
Lagi-lagi Madewa mampu menghindari semua
serangan itu. Bahkan ia sempat memukul
salah seorang dari mereka. Dan
"brerkk!"
baju orang itu koyak termakan
jarinya.
"Ha-ha-ha... cepat kalian berlutut!
Sebelum aku marah!"
"Setan! Aku akan mengadu nyawa
denganmu!" Orang itu melempar goloknya.
Dengan tangan kosong dia menyerang.
Pukulan lurus ke wajah dielakkan dengan
mudah oleh Madewa. Dan tangannya cepat
menyambar batang leher orang itu.
Sedetik orang itu tak berkelit, bisa
mampus dia!
"Sreet!"
Madewa merasakan tangannya
menjambret kalung orang itu, Ia tertawa.
"Ha-ha-ha... hati-hatilah kalian.
Kalung ini... hei!" Madewa terperanjat.
Orang-orang itu pun kaget. Ratih Ningrum
hanya berdiri ketakutan. Tubuhnya
menggigil. Madewa mengenali kalung ini.
Tidak mungkin, kalung ini ada dua buah di
dunia ini. Ini kalung ibu, pemberian dari
ayahnya. Madewa hafal! Tiba-tiba dia
mengangkat kepalanya. Dan menatap
orang-orang itu dengan bengis!
"Hhh! Sekarang dengarkan aku?
Apakah kalian yang telah memperkosa dan
menyebabkan kematian seorang wanita di
goa tepi hutan dua setengah tahun yang
lalu?" tanyanya marah.
Orang-orang tu berpandangan. Dan
mendadak mereka tertawa serempak.
"Ha... ha... ha... memang itu
perbuatan kami. Kenapa? Wanita itu
ibumu? Ha... ha... daripada dia
kedinginan, lebih baik kami beri
kehangatan, bukan?"
Mendidih Madewa mendengarnya. Jadi
ketiga orang ini yang telah memperkosa
dan menyebabkan ibunya bunuh diri. Dia
tidak perlu mencari susah-susah kalau
begini.
"Bangsat rendah!" suara Madewa
bergetar menahan marah. "Hari ini kalian
akan menerima ajal yang mengerikan!!
Dengarkan, akulah anak dari wanita yang
kalian perkosa itu! Dan hari ini aku akan
membalaskan sakit hati ibuku!
Bersiaplah!!"
Ketiga orang itu yang tak Iain dari
Mangkara, Rengga dan Toban,
perampok-perampok yang telah memperkosa
Wasih Inten. Melihat Madewa beringas
demikian, ketiganya bersiap. Mereka
sadar akan kehebatan pemuda itu. Maka
ketiganya pun bersiap dengan golok
masing-masing.
Madewa tidak bertindak tanggung,
dia mengerahkan ilmu pukulan bayangan
sukmanya.
Kemarahannya sudah menjadi-jadi.
Dia merasa orang-orang macam mereka
dihapuskan saja dari muka bumi ini.
Tanpa membuang waktu lagi, dia
langsung menyerang. Ketiga orang itu
serentak memapaki. Tiga buah golok
ditangkisnya dengan tangan kanan.
Serentak golok-golok itu terlepas.
Ketiganya merasakan panas yang luar
biasa mengalir dari golok itu ke telapak
tangan masing-masing.
Begitu golok mereka terlepas,
Madewa langsung menyerang kembali.
Serangannya cepat.
Duk! Duk! Duk!
Pukulannya bersarang di masing
masing tubuh mereka. Dan satu per satu
ambruk dengan tubuh hancur.
Ratih Ningrum menjerit.
"Aaah!!" Ia menutup wajahnya dan
berpaling.
Madewa masih berdiri tegak dengan
kedua tangan masih mengepal. Ia puas
melihat ketiga lawannya ambruk. Dengan
geram ia menengadah. Berseru pada
langit,
"Ibuuu! Lihatlah, anakmu telah
menuntut balas! Tenanglah kau di
sisi-Nya!!"
Madewa mendekap wajahnya dengan
kedua telapak tangannya. Hatinya puas.
Dendam Ibu sudah terbalaskan. Ratih
Ningrum yang kaget melihat Madewa
sekejam itu, berlari ke kudanya. Dan
melarikan kudanya kencang-kencang. Ma-
dewa menoleh. Dan cepat mengejar. Hanya
tiga kali salto saja, dia sudah bisa
mengiringi Ratih Ningrum.
"Den Putri! Berhenti!"
"Tidak! Kau kejam, Madewa!!" seru
Ratih Ningrum terus melarikan kudanya.
Madewa menahan tali kekang kuda itu.
Secara paksa kuda berhenti. Ringkiknya
menggema keras. Ratih Ningrum
terpelanting ke belakang. Madewa dengan
cepat menyambar, hingga tubuh gadis itu
jatuh dalam rangkulannya. Ratih Ningrum
menangis segugukan. Madewa menurunkan
dan mendudukan gadis itu di rumput.
"Maafkan aku, Den Putri...." kata
Madewa serba salah. Ratih Ningrum adalah
gadis terpelajar. Dia belum pernah
menyaksikan pembunuhan. Dan betapa
kagetnya dia melihat Madewa begitu
telengas menurunkan tangan tadi. Ratih
Ningrum masih segugukan.
"Aku... yah... aku terpaksa
membunuh mereka.. .. Karena mereka
orang-orang yang kejam. Yang
tega-teganya membunuh ibuku setelah
memperkosanya. Aku... aku terpaksa, Den
Putri”.
Ratih Ningrum mengangkat wajahnya.
Wajahnya yang cantik nampak semakin
cantik karena air mata. Matanya yang
memerah membuah wajahnya merah dadu. Ia
mengusap air matanya. Mengerti mengapa
Madewa kejam itu.
"Aku...."
"Maafkan aku, Den Putri. Tidak
seharusnya Den Putri menyaksikan
pembunuhan tadi...."
Tetapi gadis itu menggeleng. "Aku
bisa memahami perasaanmu... Madewa....
Mungkin aku pun... akan berbuat
demikian... jika... ibu yang... oh!"
Tanpa sadar Madewa merangkul gadis
itu. Tanpa sadar pula Ratih Ningrum
merebahkan tubuhnya di dada Madewa.
Angin bertiup lembut.
Madewa berbisik, "Hari sudah sore,
Den Putri.... Kita harus segera
kembali...."
Ratih Ningrum tersentak begitu
sadar ada dalam pelukan pemuda itu.
Buru-buru ia bangkit, menaiki kudanya.
Madewa segera menyusul.
Sejak kejadian dua hari yang lalu,
perasaan rindu Ratih Ningrum pada Madewa
semakin menjadi-jadi. Walaupun setiap
hari bertemu, tetap saja dia merasakan
rindu yang amat s-ngat.
Apalagi ketika itu tanpa sadar dia
merebahkan tubuhnya dalam rangkulan
pemuda itu. Ihh, memerah wajah Ratih
Ningrum kalau mengingatnya.
Demikian pula dengan Madewa. Hampir
sebulan dia bekerja sebagai pengawal
pribadi Ratih Ningrum. Tetapi sampai
saat ini, dia belum mendengar orang yang
ribut mencarinya dan mencari pedang
pusaka itu. Madewa berpikir, dia harus
segera melanjutkan perjalanan sesuai de-
ngan perintah almarhum gurunya.
Pekerjaan mencari pemerkosa ibunya,
telah selesai dilakukan. Suatu kebetulan
belaka dia bertemu dengan orang-orang
itu. Dan diam-diam... dia ingin mencari
ayahnya. Ayah yang ditinggalkannya
hampir 13 tahun.
Madewa pun sadar, kalau lama-lama
berada di sini, dia semakin jatuh cinta
pada Ratih Ning-nim. Setiap kali
berdekatan, dirasakannya suatu getaran
hebat yang mengganggu jiwanya. Madewa
pun tahu, kalau Ratih Ningrum menaruh
hati pula padanya.
Malam ini bulan bersinar dengan
penuh. Madewa duduk sendiri di taman
depan kamar gadis itu. Tempat biasa dia
menjaga kalau tidak mengantar gadis itu
berjalan-jalan. Tatapannya menatap ke
depan. Menatap sinar yang remang-remang.
Mencari jalan bagaimana caranya menemui
musuh besarnya, orang yang menyebarkan
kabar palsu itu pada gurunya.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam
menangkap langkah yang ringan sekali.
Madewa menoleh. Dia buru-buru bangkit
dan tersenyum begitu melihat siapa yang
datang. Ratih Ningrum dengan pakaian
tidurnya yang indah.
"Belum tidur, Den Putri?"
Ratih Ningrum menggeleng. Wajahnya
semakin cantik disinari oleh bulan.
Madewa menahan degup jantungnya yang
semakin keras dan tak beraturan. Gadis
itu duduk, dan menyuruh pemuda itu duduk.
"Aku belum mengantuk, Madewa...."
"Hari sudah larut malam. Angin malam
tidak baik untuk kesehatan Den
Putri...."
Ratih Ningrum mengeluh. "Madewa...
sudah berapa kali kukatakan padamu,
janganlah panggil aku 'Den Putri',
panggil saja namaku kenapa, sih? Atau...
namaku jelek... hingga kau enggan
menyebutnya?"
Madewa gelagapan ditembak begitu.
Memang, sudah beberapa kali Ratih
Ningrum memperingatkannya agar
memanggil namanya saja. Tetapi Madewa
tetap merasa, kalau dia hanya seorang
pengawal yang tak pantas berbuat lancang
demikian.
"Ti... tidak, Den Putri... Eh,
Ratih... Nama Den... eh... kamu bagus...
Ratih. Ratih Ningrum... nama yang indah
sekali... aku... aku... suka menyebut
namamu, Ratih...."
Ratih Ningrum tersenyum. Dadanya
bergetar mendengar pemuda itu memanggil
namanya. Betapa mesranya, sampai meresap
ke dada. Betapa enaknya nama itu disebut
dari mulut Madewa Gumilang.
"Madewa...."
"Ya... Ratih?"
Tahu-tahu Ratih Ningrum menunduk.
Suaranya tersendat. "Selama... tinggal
di sini... apakah kau merasakan sesuatu
yang baru?"
Madewa yang belum tahu maksud gadis
itu, menjawab, "Ya... suasana di tempat
ini lain dengan di tempatku dulu. Aku
punya sahabat baru... dan banyak pula
kawan baru...."
"Bukan itu, "Ratih Ningrum menyahut
gemas.
Madewa menoleh heran. "Jadi?"
Wajah gadis itu memerah. "Kau...
tidak merasakannya seperti aku
merasakannya?"
Madewa bingung. Perasaan yang baru
itu? Ditatapnya gadis itu lekat-lekat,
yang semakin menunduk tersipu.
"Saya... tidak mengerti... Ratih "
“Sungguh?" Suara Ratih Ningrum
tersendat, agak kecewa.
Madewa perlahan mengangguk.
"Ya." Tetapi sejurus kemudian, dia
mendesah. Yah, dia mengerti. Mengerti
apa perasaan baru itu. Ini yang
ditakutinya sekaligus diingininya. Dia
pun merasakan itu. Merasakan cinta yang
membara. Tetapi... apakah pantas dirinya
berdampingan dengan Ratih Ningrum yang
cantik dan terpandang itu?
Terdengar suara gadis itu lagi. Agak
tersendat dan ragu-ragu.
"Madewa... aku... aku...."
Madewa menghela nafas. Dia tidak
ingin melihat Ratih Ningrum kecewa.
Perlahan dipegangnya tangan gadis itu
yang terkejut, tapi kemudian menunduk.
Hatinya bergemuruh hebat, tetapi damai
sekali dalam genggaman itu.
"Saya... juga merasakan hal yang
sama, Ratih...." bisik Madewa pelan,
tapi sudah merupakan jawaban yang indah
untuk Ratih Ningrum. Gadis itu
mengangkat wajahnya. Matanya
ber-seri-seri.
"Benarkah, Madewa?" wajahnya
memerah.
Madewa mengangguk. "Ya, Ratih. Tapi
apa pantas saya mengutarakannya kepada
Ratih, sementara saya hanya seorang
pesuruh?"
"Jangan... jangan kau pikiran soal
itu, Madewa. Aku... aku mencintaimu. Kau
juga mencintaiku? Kita coba untuk
mewujudkannya...."
"Meskipun banyak rintangan?" Madewa
tersenyum menyaksikan kemurnian cinta
gadis itu.
"Meskipun banyak rintangan," sahut
Ratih Ningrum mantap.
Madewa menatap mata Ratih
dalam-dalam. Mata itu menggambarkan
gairah cinta yang bergelora.
Perlahan-lahan Madewa mendekatkan
wajahnya. Dan mengecup bibir Ratih yang
merah basah, yang membalas dengan
malu-malu. Keduanya berciuman dengan
bergairah. Saling kulum dan memberi.
Tanpa sadar, kalau sejak tadi sepasang
mata marah memperhatikan mereka.
Beberapa saat kemudian, Madewa
melepaskan ciumannya. Ia memegang kedua
bahu Ratih Ningrum.
"Kamu harus tidur, Ratih," bisik
Madewa mesra, tepat di telinga gadis itu.
Kali ini Ratih Ningrum mengangguk.
Dia tidak gelisah lagi. Penantian dan
pencariannya sudah menemukan titik temu.
Dia balas berbisik, "Aku akan
menuruti kata-katamu...."
Madewa tersenyum. "Selamat tidur,
Ratih. Mimpilah yang indah."
"Aku akan memimpikan kamu, Madewa,"
sahut Ratih sambil mendekatkan wajahnya
lagi. Madewa mengecup bibir itu. Ratih
Ningrum mengeluh dalam kecupannya. Lalu
beranjak menuju kamarnya.
Madewa menatap sosok gadisnya dari
belakang. Betapa indahnya bentuk tubuh
itu. Ciuman tadi pun menggairahkan
sekali. Menandakan betapa lamanya gadis
itu memendam cinta padanya.
Setelah gadis itu menghilang,
Madewa termenung lagi. Kali ini
pikirannya tenang. Tidak dihantui oleh
perasaan rindu yang menggebu.
Sepasang mata yang mengintai,
berkelebat. Menghilang ditelan malam,
dengan perasaan yang marah sekali.
Sementara Madewa masih duduk berjaga di
taman dekat kamar Ratih Ningrum.
* * *
Wanita itu sudah hampir sebulan
berjalan kaki. Dia kelihatan lemah.
Wajahnya agak pucat. Tapi wajahnya tetap
cantik. Juga potongan tubuhnya yang
menggairahkan, yang membuat setiap mata
laki-laki berpaling ke arahnya.
Ketika memasuki warung nasi itu,
beberapa pasang mata pria yang makan di
sana, seakan-akan tak henti lepas dari
tubuh wanita itu, yang begitu tipis
pakaiannya dan menampakkan bagian buah
dadanya yang montok, yang seakan mau
meloncat keluar karena kegerahan.
Selendang merahnya pun
sekali-sekali terjatuh. Entah sengaja
entah tidak, tapi kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh pandangan bergairah dari
beberapa laki-laki. Namun wanita itu
tetap saja asyik makan, tak perduli
dengan tubuhnya yang membuat orang
begitu penasaran.
Salah seorang pengunjung warung
nasi tidak tahan menahan nafsunya. Dia
bernama Agriwe. Tubuhnya besar.
Berewokan lebat. Wajahnya pun seram. Dia
beringsut mendekat wanita itu, yang tak
lain Pratiwi alias si Selendang Merah.
Setelah membunuh Bandartaman,
Pratiwi segera berangkat mencari Madewa.
Dia heran, karena pemuda itu berhasil
melepaskan diri dari totokannya. Dengan
jengkel Pratiwi menghampiri mayat
Bandartaman. Semua ini gara-gara dia!
Mangsa empuk yang sudah di tangan lepas
begitu saja. Dengan geram Pratiwi
mengayunkan selendangnya ke mayat
Bandartaman, yang seketika itu juga
hancur berantakan. Setelah puas
mencabik-cabik mayat itu, Pratiwi segera
berangkat. Tak memperdulikan mayat
Gundaling, kawan seperjalannya.
Dan hari ini Pratiwi tiba di desa
tempat Madewa berada.
Agriwe menelan air liurnya setelah
melihat dada Pratiwi lebih dekat. Berani
ia mencolek dagu Pratiwi. Pratiwi yang
sedang tidak mau mencari ribut,
mendiamkan saja. Justru membuat Agriwe
keenakan. Dengan lebih berani dia meraba
leher Pratiwi. Pratiwi kembali
terdiam. Tangan Agriwe lebih turun ke
bawah. Meraba payudara Pratiwi, bahkan
meremasnya!
Justru ini yang membangkitkan
kemarahan Pratiwi. Biarpun dia dewi
cabul yang kotor, tapi orang jelek macam
Agriwe tidak masuk dalam jajarannya.
Dengan geram disambarnya minumnya, dan
dituangkannya ke kepala Agriwe yang
asyik meremas-remas.
Agriwe terkejut. Ia mendengus
marah. Tapi Pratiwi tetap tenang. Malah
para pengunjung berbalik jadi kecut.
Wanita itu belum kenal Agriwe
barangkali. Dialah raja maling yang
ditakuti orang di daerah itu. Tetapi
mereka juga belum kenal Pratiwi
Selendang merah yang ditakuti di rimba
persilatan.
"Hai, gadis! Nekat sekali kau
melakukan itu padaku?!" geram Agriwe.
"Kenapa memang?" sahut Pratiwi
tenang. "Kau pun ceriwis meremas
payudaraku!"
Agriwe terbahak. "Karena kau
menggairahkan...."
Pratiwi melirik dengan manja.
Senyumnya mengembang dengan genit.
"Kalau kau suka, minta baik-baik. Aku pun
akan melayanimu."
Kata-kata itu membuat Agriwe
keenakan. Marahnya surut. Langsung saja
dia merangkul Pratiwi dan menciumnya
dengan bertubi-tubi. Pratiwi berusaha
meronta. Dan dengan sekali sikut saja,
Agriwe melepaskan rangkulannya. Dia
mengaduh.
"Maaf," desah Pratiwi pura-pura.
Dan buru-buru mengusap dada Agriwe. "Aku
tidak sengaja. Kamu juga sih,
kubilangkan, baik-baik."
Agriwe tersenyum tegak. Sinar
matanya bergairah menjijikkan.
"Aku akan minta baik-baik. Di mana
kau mau melayaniku?"
"Di mana saja," kata Pratiwi manja.
"Bagaimana kalau di rumahku?"
"Istrimu bagaimana?"
Agriwe terbahak lagi. Istri? Dia
tidak punya yang nama istri. Tapi untuk
pemuas nafsunya dia cukup datang ke
tempat 'kupu-kupu cantik' milik
Biparsena, karena Agriwe yang bertugas
menjaga tempat itu.
"Aku tidak punya istri. Pokoknya
layani aku dengan baik."
Pratiwi mengangguk menggemaskan.
Lidahnya menjilat bibirnya, membuat
Agriwe menahan nafas.
"Ayolah," kata Pratiwi. "Tapi
tolong bayar makanan yang aku makan."
Dengan tertawa Agriwe membayar.
Lalu bergaya menggandeng wanita cantik
macam Pratiwi, yang lain hanya menantap
dengan iri. Cemburu, karena dengan
sekali gaet, Agriwe bisa terbang ke sorga
dengan wanita baru yang kemungkinan
besar masih perawan. Pasti mata Agriwe
akan terbalik karena enaknya.
Tetapi dugaan mereka ternyata
meleset. Begitu sampai di rumah Agriwe,
Pratiwi langsung masuk kamar. Dan
bertelanjang bulat. Mata Agriwe nanar
menatap indahnya tubuh itu. Dia langsung
membuka seluruh bajunya. Dan menubruk
tubuh indah Pratiwi.
Diciumnya habis-habisan. Nafas
Agriwe memburu dengan dahsyat. Tetapi
ketika dia akan memulai, Pratiwi memukul
tengkuk Agriwe, yang membuatnya
terhuyung, dengan mata
berkunang-kunang.
Pratiwi langsung menyambar
pakaiannya. Dan menekuk leher Agriwe
dengan gemas.
"Ini upahnya bagi orang ceriwis,"
desis Pratiwi dengan suaranya yang
sesungguhnya. Yang tinggi dan terdengar
kejam.
Agriwe mengaduh. Bangsat! Wanita
ini ternyata tidak sembarangan. Dia
menjerit lagi karena Pratiwi menekuk
lagi lehernya.
"Aduh! Katakan apa keinginanmu, aku
akan menjawabnya! Jangan... jangan kau
pelintir leherku!!" rintih Agriwe
kesakitan.
Pratiwi terkikik. "Rupanya kau
takut mati juga. Hmm, baik. Aku akan
mengampunimu. Sekarang jawab
pertanyaanku. Kau pernah mendengar
pemuda yang bernama Madewa Gumilang?"
"Siapa?"
"Madewa Gumilang. Kau pernah
dengar?"
Agriwe berpikir. "Madewa...
madewa... ya, ya. Aku tahu!"
"Di mana pemuda itu?" tanya Pratiwi
bersemangat.
"Lepaskan leherku, baru kukatakan."
"Jangan main-main, aku bisa
membunuhmu dengan sekali tekuk. Cepat
katakan.
"Aku tidak akan katakan, sebelum kau
cabut ancamanmu itu," kata Agriwe yang
merasa menang. Tapi dia belum tahu
Pratiwi, yang selalu masa bodoh terhadap
musuhnya. Dia memang melepaskan
tangannya, tapi ketika Agriwe hendak
berdiri, tangan Pratiwi berkelebat. Lima
buah jarum mautnya menancap di dada,
lengan dan paha Agriwe. Agriwe mengaduh.
Pratiwi terkikik.
"Cepat katakan, kalau tidak, aku
tidak akan memberikan pemunah racun
itu!"
Agriwe tergagap. Dia terhuyung. Dan
jatuh di sudut ranjang. Wajahnya pucat.
Racun itu cepat sekali menjalar.
"Yah... yah... pemuda itu berada di
sini," suaranya melemah.
"Di mana, katakan cepat?!" sahut
Pratiwi terburu-buru.
"Berikan aku obat pemunah racunmu,
racun ini kuat sekali," mohon Agriwe
dengan suara yang semakin lemah.
"Cepat katakan dulu, di mana!"
"Di... di...." Agriwe tidak bisa
melanjutkan kata-katanya lagi, karena
dia langsung ambruk tak bernyawa.
Pratiwi mendesah. Ah, kenapa lima buah
jarum yang dilemparnya sehingga lebih
cepat memakan nyawa Agriwe?
Pratiwi membenahi pakaiannya. Ia
meludahi tubuh Agriwe dengan jijik, lalu
pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan dia selalu
menanyakan tentang Madewa Gumilang. Bagi
yang tidak tahu, dia langsung
membunuhnya! Bagi yang tahu, setelah
memberitahu, dia pun membunuhnya!
Beberapa hari kemudian, tenarlah
nama Pratiwi si selendang merah sebagai
gadis pembunuh berdarah dingin! Juga
Madewa Gumilang yang setiap kali
diteriakan agar keluar dari
persembunyiannya, kalau tidak ingin
nyawa lebih banyak berjatuhan.
Seketika keadaan desa Bojongronggo
itu menjadi kacau. Bagaikan dewa maut
yang datang dan menjajah, desa itu
menjadi penuh bayangan kematian.
Pratiwi tetap dewi cabul yang ganas.
Yang tak segan-segan menjatuhkan
tangannya pada siapa pun.
Sepak terjang Pratiwi sampai ke
telinga Biparsena. Sebagai orang yang
terpandang, Biparsena tidak
menginginkan keonaran itu berlanjut.
Apalagi masalah kedatangan Pratiwi ada
hubungannya dengan pegawainya yang baru.
Madewa Gumilang!
Hari itu juga dia memanggil pemuda
itu untuk menghadap. Madewa pun datang
menghadap. Ia duduk bersila di hadapan
Biparsena yang tidak senang akhir-akhir
ini padanya.
"Kau sudah mendengar tentang
datangnya wanita yang bergelar Selendang
merah, Madewa?" tanya Biparsena tanpa
basa-basi. Langsung ke permasalahan.
Madewa terdiam. Pratiwi, rupanya
dia sudah sampai ke daerah ini. Hmm,
dengan begini, penyamarannya akan
ketahuan. Walaupun tidak menyamarkan
nama dan rupanya, Madewa selama ini
merahasiakan siapa dirinya, yang tak
lain adalah murid tunggal Ki
Rengsersari.
"Ya Tuanku. Saya mendengar kabar
itu."
"Kau tahu apa yang dilakukannya?"
"Ya Tuanku. Dia telah membuat
keonaran dan pembunuhan di desa ini."
"Dan kau kenal siapa dia?"
"Saya mengenalnya...."
"Hmm... siapa dia, Madewa?"
Madewa terdiam. Agak ragu-ragu.
"Kau kenal dia, Madewa?!" Suara
Biparsena meninggi.
"Ya."
"Jelaskan, siapa dia?!"
"Dia... musuh saya, Tuanku."
"Musuh? Lalu kau tidak mau keluar
untuk menghadapinya? Sedangkan rakyat
yang lain mati karena ulahnya? Madewa,
kau harus segera keluar untuk
menghadapinya. Biar kejadian ini tidak
berlarut-larut. Dan penduduk tidak takut
dibayangi kematian. Hmm, kalau aku boleh
tahu, apa yang menyebabkan sumber
permusuhan itu?"
Madewa terdiam. Ini sudah sampai ke
pangkal persoalan. Dia tidak boleh
membuka rahasianya sendiri. Dia
menjawab, "Hanya persoalan adu
kepandaian saja, Tuanku. Tiga tahun yang
lalu, saya pernah bertarung dengannya,
dan dia kalah Mungkin kali ini dia akan
menuntut balas."
"Tapi kudengar... ada hubungannya
dengan Pedang Pusaka Dewa Matahari. Apa
benar itu?"
Madewa berkata dalam hati, dia pun
tahu tentang itu. Berita yang sudah
meluas. Dan kedatangan Selendang Merah
itu bisa membahayakan posisinya.
"Tentang itu, saya tidak tahu,
Tuanku. Mungkin Tuanku salah mendengar
keterangan yang ada."
Biparsena manggut-manggut.
"Baiklah, kau selesaikan masalahmu
dengan Selendang Merah. Dan ada satu lagi
masalah yang harus kau jalani."
"Apa itu, Tuanku?"
"Kau harus menerima hukuman
dariku!"
Madewa terkejut.
"Hukuman apa, Tuanku?"
Pandangan Biparsena berubah menjadi
sengit. Ia kelihatan benar-benar
jengkel. "Madewa... kau tahu, apa
derajatmu di sini? Kau hanya seorang
pengawal yang rendah, atau tak lebih dari
seorang pesuruh. Tapi kau
berani-beraninya berhubungan dengan
putriku, putri seorang kaya raya yang tak
pantas berdampingan dengan orang macam
kau!
Aku tahu hubungan kau dengan
putriku. Sekarang pintaku, kau putuskan
hubungan dengan putriku, agar jangan
berlarut-larut. Putriku hanya cocok
berdampingan dengan seorang putra
bangsawan! Mengerti?"
Madewa tertunduk. tidak menyangka
soal itu yang menjadi kemarahan
Biparsena. Walaupun keduanya sudah
berusaha menyembunyikan hubungan
mereka, toh Biparsena mencium pula.
Madewa tidak tahu, kalau sepasang mata
yang mengintainya malam itu, telah
mengadukan perbuatannya pada Biparsena!
"Kau mengerti, Madewa?" Suara
Biparsena tajam.
Madewa mengangguk. "Ya Tuanku. Saya
akan berusaha menghindari putri Ratih
Ningrum."
"Bagus! Malam ini, kau tak perlu
menjaga putriku, uruslah masalahmu
dengan si Selendang Merah. Jangan
kembali sebelum selesai!"
Madewa mengangguk. Dia menjura
hormat. Lalu undur ke belakang. Ketika
aku melewati kamar Ratih Ningrum, dia
melihat gadis itu menatapnya dengan
gembira, karena menyangka Madewa akan
mengunjunginya seperti biasa.
Tapi Ratih Ningrum tersentak ketika
Madewa hanya melengos dan terus
melangkah, tanpa berucap... tanpa
melambai....
Ratih Ningrum sedih, ia tertunduk
pilu. Ada apa dengan kekasihnya itu?
Mengapa dia menjadi tak acuh. Ratih
Ningrum pun melihat perubahan pada wajah
kekasihnya, yang kelihatan lesu.
Dan ketika Madewa melewati kandang
kuda, sepasang mata bersinar gembira
karena telah berhasil menyingkirkan
saingannya dalam merebut Ratih Ningrum.
Lalu orang itu masukkan kuda-kuda ke
kandang, karena memang itu tugasnya!
* * *
TUJUH
Kedatangan Pratiwi si selendang
merah, juga menarik perhatian
Niniwulandari. Dia telah lama mengenal
Pratiwi. Dewi cabul bergenjatakan
selendangnya yang ampuh.
Kira-kira empat tahun yang lalu, dia
pernah bertempur dengan Pratiwi, ketika
dewi cabul itu datang hendak merebut
pedang pusaka siluman mata air yang
dimilikinya. Tetapi Pratiwi berhasil
dikalahkannya.
Lalu muncul Kebo Winata, jagoan dari
timur, yang juga akan merebut pusaka itu.
Dan dia berhasil dikalahkannya. Pusaka
siluman mata air berhasil direbut Kebo
Winata.
Dengan membawa luka dalam yang
parah, Nniniwulandari melarikan diri ke
pegunungan Pengging. Di sana dia melatih
ilmu silatnya lebih dalam. Apalagi
ketika dia sedang mandi di sungai,.
terlihat di dinding-dinding goa,
rangkaian jurus silat yang bagus dan
indah. Bagai menemukan emas,
Niniwulandari mempelajari jurus silat
itu. Lalu mencari Kebo Winata. Dan
herannya, Kebo Winata mati terbunuh,
serta pusaka Siluman mata air lenyap
diambil pembunuh.
Saat itu juga Niniwulandari
bersumpah. Akan mencari dan membunuh
orang yang telah mengambil pedang
pusakanya. Sampai kemudian tersiar
kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki
pula sebuah pusaka yang hebat, pusaka
dewa matahari. Pusaka itu pun banyak
diperebutkan orang. Niniwulandari
sendiri pernah berniat akan merebut
pedang pusaka itu, sebagai ganti pusaka
miliknya yang hilang. Tapi sebelum
niatpya terlaksana, Ki Rengsersari mati
terbunuh oleh Gundaling! Dan pusaka
hilang entah ke mana.
Hanya yang dia ketahui, Ki
Rengsersari mempunyai seorang murid. Dan
kemungkinan besar pedang itu ada
padanya!
Lalu sekarang, mau apa Pratiwi alias
selendang merah mencari pengawal Ratih
Ningrum? Ada urusan apa dia dengannya?
Niniwulandari bangkit dari
duduknya. Ia harus menjumpai Pratiwi.
Dia harus tahu semuanya. Barangkali saja
pengawal Ratih Ningrum yang dia tahu
bernama Madewa Gumilang, punya
keterangan yang bagus tentang pusaka
dewa matahari! Siapa tahu.
Niniwulandari bergegas. Dia
mendengar Pratiwi tinggal di gubuk kecil
dekat hulu sungai. Dan di sana pula dia
membawa pemuda-pemuda tampan yang
berhasil dipikat untuk diambil
keperjakaannya.
Seperti ketika Niniwulandari
datang. Dari gubuk itu terdengar kekehan
manja dan lenguh kenikmatan dan desah
nafas yang memburu. Lalu disambung
lenguhan panjang, yang menandakan
penghuninya baru saja meraih kenikmatan
yang tiada tara.
Niniwulandari menggeram. Bisa habis
perjaka desa ini dihisap oleh Pratiwi.
Geram dia mengambil sebuah kerikil
kecil. Lalu dilempar ke arah pintu.
Lemparannya seperti biasa saja, tanpa
tenaga. Tapi pintu yang terkunci itu
terhempas, dan copot dengan mengeluarkan
suara yang mengagetkan.
Serentak Pratiwi bangkit. Menyambar
pakaiannya. Begitu pula dengan pemuda
yang masih memejamkan mata keenakan.
Mengenakan pakaiannya dengan
terburu-buru.
"Jangan takut," kata Pratiwi
menenangkannya. "Kalau ada apa-apa, biar
aku yang urus."
Pemuda itu mengangguk dengan
terburu-buru pula.
"Kau duduk di situ!" kata Pratiwi.
"Aku akan melihat siapa yang berbuat usil
begini."
Bersamaan dengan itu terdengar
suara dari luar, "Hei, dewi cabul! Cepat
kau menampakkan diri! Aku sudah tidak
sabar ingin berjumpa denganmu!"
Pratiwi menajamkan telinganya.
Mengingat-ingat akan suara itu. Kayaknya
dia pernah mengenal. Hmm, tidak salah
lagi. Nenek cerewet itu. Mau apa lagi
dia? Mengganggu keenakkan orang saja.
Tadi disangkanya Madewa yang d-tang. Dia
sudah bersiap hendak mengeluarkan ilmu
pengharum tubuhnya, biar pemuda itu
terangsang.
Pratiwi keluar dengan langkah
tegap. Niniwulandari terkekeh melihat
wajah Pratiwi yang kusut dan rambut yang
kusut pula.
"He... he... maafkan aku, Pratiwi!
Aku mengganggu kesenanganmu!" sambutnya
sambil ter-senyum.
"Jangan banyak cakap! Mau apa kau ke
sini?!" bentak Pratiwi jengkel.
"Jangan marah dulu, Dewi cabul. Ada
beberapa pertanyaan yang aku perlukan
jawabannya darimu."
"Aku tidak punya waktu menjawab
pertanyaanmu!" sahut Pratiwi hendak
masuk lagi.
"Tunggu! Ingat Pratiwi, aku pernah
mengalahkanmu. Dan kau akan takluk di
tanganku hari ini! Jawab pertanyaanku!"
bentak Nenek tua itu tegas.
Pratiwi terdiam. Yah, dia pernah
merasakan betapa hebatnya ilmu nenek tua
ini. Pratiwi menunggu. Niniwulandari
memulai pertanyaannya.
"Maksud apa kau datang ke tempat
ini, Pratiwi?"
"Aku hendak mencari orang yang
bernama Madewa Gumilang!" sahut Pratiwi
masam.
"Ada masalah apa kau dengan dia?"
"Kau tidak perlu tahu, nenek tua.
Ini urusanku!"
"Baik! Aku tidak memaksamu. Dengar
Pratiwi, kata berita, Ki Rengsersari
mati terbunuh oleh Gundaling, sedangkan
Gundaling itu teman seperjalananmu. Aku
yakin, kamu pasti tahu soal itu. Di mana
ada Gundaling, pasti ada Selendang
Merah. Di mana ada Selendang Merah, pasti
ada Gundaling! Ceritakan kematian
Gundaling dan Ki Rengsersari! Cepat,
Pratiwi!!"
Pratiwi terdiam. Kalau nenek tua ini
tahu semuanya, bisa runyam. Dia pasti
akan tahu siapa Madewa Gumiiang itu. Dan
dia akan merebut pusaka dewa matahari
darinya. Tetapi membohongi
Niniwulandari sama saja mencari mati.
Pratiwi yakin, dia akan kalah oleh nenek
peot ini. Apalagi tenaganya selama tiga
jam dipakai buat bergelut dengan pemuda
tampan yang sekarang duduk ketakutan di
gubuknya.
Tak ada pilihan lain. Pratiwi
menceritakan semuanya!
Benar dugaannya, nenek tua itu
terkejut. Dia memang tengah mencari
murid dari Ki Rengsersari!
"Kau bicara jujur, Pratiwi?"
"Aku jujur, Nenek Tua!"
Niniwulandari terkekeh. Dia menatap
Pratiwi dengan sinar mengancam.
"Aku akan bertarung dengan siapa
saja yang berhasil memiliki pusaka dewa
matahari itu. Kau akan merebutnya dari
Madewa, bukan?"
Pratiwi menatap sengit. Sama
seperti suaranya, "Enak saja kau bilang!
Aku tidak tertarik dengan pusaka itu,
Nenek Tua! Aku lebih tertarik dengan
Madewa, yang tampan dan gagah!"
Niniwulandari terkekeh lagi.
"Baik, baik. Bagaimana kalau kita
bekerja sama?"
"Maksudmu?"
"Kita gempur pemuda itu. Aku dapat
bagian pusaka, dan kau dapat bagian
pemuda itu sendiri. Bagaimana, Selendang
Merah?"
Pratiwi terdiam. Dia
manggut-manggut. Lalu tertawa.
"Aku setuju dengan usul itu. Tapi
ingat, pemuda itu jangan cidera sedikit
pun! Aku telah menantangnya untuk datang
ke tempat ini!"
"Bagus! Kapan itu?"
"Tengah malam, saat purnama
bersinar."
Niniwulandari terkekeh senang.
"Baik, nanti malam aku akan datang.
Sekarang kau teruskan bersenang-senang
lagi dengan pemuda itu."
Setelah berkata begitu,
Niniwulandari melompat ke belakang.
Bersalto tiga kali. Gerakannya cepat dan
indah. Lalu menghilang, hanya kekehnya
yang terdengar mengejek Pratiwi.
Pratiwi menghela nafas lega.
Setidaknya bisa menghindari bentrokan
dengan nenek sakti itu. Dan tidak sia-sia
dia mencari Madewa Gumilang. Sampai
kapan pun dia akan mencari pemuda itu.
Dia ingin membalas kematian Gundaling,
yang telah lima tahun melanglang buana
bersamanya. Tetapi sebelum dibunuh, dia
akan menyerap sari perjaka pemuda itu.
Kalau Niniwulandari dapat
membantunya, dia pasti dapat memiliki
pemuda itu. Menitik air liur Pratiwi
membayangkannya.
Masih tersenyum senang, Pratiwi
masuk lagi ke gubuknya. Ia langsung
bertelanjang bulat. Mengangkangkan
kedua pahahya di muka pemuda desa itu,
yang masih berdiri dengan wajah pucat.
"Hei, ayo kita teruskan lagi!"
bentak Pratiwi.
"Aku... aku...." Pemuda itu
menyahut lirih. Ia tak sanggup melayani
nafsu setan Pratiwi.
"Kamu kenapa? Ayo kita
bersenang-senang lagi."
"Aku letih, Pratiwi.... Tenagaku
serasa habis. Bagaimana kalau besok?"
Pratiwi tersenyum. Bangkit.
Membelai wajah pemuda itu. Tapi sedetik
kemudian terdengar suara "krak!". Tangan
Pratiwi telah memuntir leher pemuda itu
sampai patah!
"Hhh! Pemuda tak berguna! Baru
sebentar saja sudah loyo! Orang macam kau
lebih baik mampus saja" geram Pratiwi
sambil meludahi tubuh yang telah menjadi
mayat itu.
Genda heran, ketika dia datang tidak
melihat Madewa. Biasanya pemuda itu
duduk berdua dengan Ratih Ningrum di
taman depan kamar gadis itu.
Dan dia lebih heran, ketika melewati
kamar Ratih Ningrum mendengar isak gadis
itu. Lho, apa yang telah terjadi? Kenapa
gadis itu menangis? Apa ada pertengkaran
antara keduanya. Atau, Ratih Ningrum
kena marah ayahnya. Tapi salahnya apa?
Terdengar panggilan dari dalam.
"Genda! Ke sini sebentar!"
Genda buru-buru menghampiri orang
yang memanggilnya, yang tak lain
Biparsena, majikannya. Ia membungkuk
hormat di depan Biparsena yang duduk
sambil merokok di ruang dalam.
"Ya, Tuanku."
"Duduk! Sekarang kau ceritakan
padaku, tentang temanmu itu," kata
Biparsena yang membuat Genda
kebingungan.
"Teman saya, banyak, Tuanku. Yang
mana yang Tuan maksudkan?"
"Madewa!"
"Madewa?"
Biparsena mendeham. "Ya, pemuda
sahabat barumu itu. Sekarang ini seorang
wanita yang bernama Pratiwi tengah
mencarinya, entah dengan alasan apa. Dan
aku ingin tahu, kenapa dia mencari
Madewa. Untuk itu aku ingin mendengar
siapa Madewa sebenarnya."
Genda terdiam. Haruskan dia katakan
semua itu, padahal dia sudah berjanji
pada Madewa untuk tidak akan mengatakan
siapa sebenarnya pemuda itu pada siapa
pun.
Biparsena berang Genda hanya diam
saja.
"Hei, Genda! Kau tahu aku tidak suka
bertele-tele, bukan? Cepat kau katakan
apa yang kau ketahui!" bentak Biparsena
karena Genda diam saja.
Genda membungkuk. "Saya tidak tahu
apa-apa tentang dia, Tuanku."
"Bagaimana mungkin? Dia hampir
tinggal selama lima hari bersamamu.
Mustahil dia tidak bercerita tentang
dirinya!" Suara Biparsena terdengar
sinis. "Jawab pertanyaanku itu, Genda.
Aku membutuhkan keterangan tentang diri
pemuda itu. Kau tahu, Pratiwi semakin
menjadi-jadi ganasnya gara-gara pemuda
itu. Dan aku yakin, tidak dengan
sembarangan alasan Selendang Merah
Mencari pemuda itu."
"Saya...."
"Genda!!" Suara Biparsena marah.
Matanya melotot ganas. Wajahnya memerah,
membuat Genda tertunduk ketakutan. Tak
ada jalan lain, dia harus mengatakan
semuanya kalau tidak mau dimarahi
majikannya. Sebelum berkata, Genda
berbisik dalam hati,
"Maafkan aku sahabat. Aku hanya
rakyat kecil yang perlu makan. Kalau
dipecat dari pekerjaanku, aku makan apa?
Aku memberitahukan tentang dirimu,
sahabat. Maafkan aku...."
Perlahan Genda mengangkat wajahnya.
Ia mengangguk.
"Ya, Tuanku. Yang saya tahu...
pemuda itu sedang mencari seseorang,
yang katanya musuh besarnya. Tapi entah
siapa orangnya. Dia sendiri tidak
mengenalnya," suara Genda bergetar.
"Aneh." Biparsena mengusap-ngusap
dagunya. Tidak puas dengan jawaban
demikian. Tetapi sikapnya sudah
merupakan isyarat bagi Genda, agar dia
meneruskan perkataannya.
"Memang aneh. Sebenarnya... dia
adalah murid tunggal dari Pendekar Ular
Sakti alias Ki Rengsersari...."
Sampai di situ Genda bicara
Biparsena melotot dan berseru kaget,
"Hah?" Lalu dia menurunkan
suaranya. "Benar dia murid Ki Rengser-
sari?"
"Begitulah pengakuannya. Dan saat
ini, dia tengah mencari orang yang
membuat kabar palsu tentang gurunya yang
memiliki pusaka dewa matahari. Menurut
Madewa, gurunya tidak memiliki pusaka
yang hebat itu."
Biparsena mendengus. "Tidak
mungkin! Ki Rengsersari pasti memiliki
pusaka itu!"
"Tetapi Madewa berkeras tidak."
"Jelas dia mengatakan tidak,
soalnya dia tidak ingin orang tahu kalau
pedang itu sekarang berada padanya."
"Tetapi dia tidak membawa apa-apa
ketika bertemu dengan saya, Tuanku."
Biparsena terbahak. "Kau bodoh,
Genda. Sudah disembunyikan olehnya. Hmm,
sekarang aku baru mengerti. Si Selendang
Merah mencarinya, pasti soal pusaka itu.
Untung dia cepat kuusir, kalau tidak, aku
bisa bentrok dengan Pratiwi, dewi cabul
itu!"
"Ke mana dia, Tuanku?" tanya Genda
cemas. Kata-kata majikannya berusan
merupakan jawaban tentang
kebingungannya tidak melihat Madewa hari
ini.
"Aku tidak tahu ke mana perginya.
Tapi kusuruh mencari Pratiwi!" Biparsena
mematikan rokoknya. "Sekarang kau
kembali ke tempatmu.
Terima kasih atas keteranganmu."
Genda berbalik. Melangkah kembali
ke tempatnya bekerja. Tiba-tiba suara
lembut terdengar di belakangnya.
"Kang Genda...."
Genda berbalik. "Oh, Den Putri."
Wajah Ratih Ningrum sembab. Matanya
memerah. Dari semalam dia menangis,
memikirkan Madewa. Madewa begitu sombong
sekali. Dia tidak menyambut senyumannya.
Dan langsung berjalan tanpa membalas
lambaiannya sedikit pun. Gadis itu
terguguk.
Apa Madewa marah padanya? Bosan
padanya? Hari ini pun dia tidak nampak.
Sudah dicari tidak diketemukan juga. Apa
Madewa pergi meninggalkannya?
Ikuti dalam kisah Selanjutnya :
“Dendam Orang Orang Gagah”
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar