..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 14 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PEDANG PUSAKA DEWA MATAHARI

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PUSAKA PEDANG DEWA MATAHARI

 PEDANG PUSAKA 

DEWA MATAHARI

Oleh Fahri A.

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode 001 :

Pedang Pusaka Dewa Matahari



SATU


Malam itu angin bertiup lembut.

Suasana jalan agak sunyi. Walau dari 

kejauhan terdengar kentongan walau agak 

samar-samar. Hujan pun mulai turun 

rintik-rintik, membuat penghuni setiap 

rumah merasa lebih enak berdiam diri di 

dalam daripada keluar.

Begitu pula dengan penghuni sebuah 

rumah yang halamannya ditumbuhi pohon 

besar. Kepala rumah tangga itu bernama 

Kartonggolo. Seorang petani yang 

bertubuh tegap karena dilahirkan dari 

desa. Istrinya bernama Warsih Inten. 

Agak mengherankan, karena istrinya 

seorang perempuan yang mungil dan manis. 

Lain dengan suaminya yang bertubuh besar 

tetapi wajahnya tampan.

Mereka merupakan keluarga yang 

bahagia. Apalagi sejak dikaruniai 

seorang putra yang kini berusia lima 

tahun, keluarga itu semakin berbahagia. 

Warsih Inten sangat menyayangi anaknya. 

Anak yang diharapkan dapat melindungi 

orang tuanya di hari kelak nanti.

"Madewa...." panggilnya lembut pada 

anak yang sedang bermain dibalai-balai. 

"Ayo tidur. Hari sudah larut malam, Nak."


Bocah itu mengangkat wajahnya. 

Tatapannya yang bundar dan indah 

berputar menatap ayah dan ibunya 

bergantian.

Bocah itu mengangguk.

"Ibu tidak tidur?" tanyanya.

"Ibu mau tidur."

"Ayah?"

Kartonggolo yang sedang memikirkan 

akan kemajuan sawahnya mengangguk pula.

"Ayo kamu tidur sana dulu Nanti Ayah 

menyusul."

Bocah itu langsung merebahkan 

tubuhnya di balai-balai itu pula. Warsih 

Inten menunggui sampai anak itu 

terlelap. Betapa sayangnya dia dengan 

anaknya. Dia ingin anaknya bisa tumbuh 

melebihi ayahnya.

Tiba-tiba pintu depan ada yang 

mengetuk. Kertonggolo bangkit dengan 

sigap. Ia menyambar goloknya yang 

tersampir di pagar rumah. Istrinya 

bangkit dengan ketakutan. Gemetar 

memegangi lengan suaminya.

Jelas saja mereka kuatir. Karena 

akhir-akhir ini sering kali terjadi 

perampokan yang diiringi dengan 

perkosaan. Bahkan sering kali terjadi 

pembunuhan yang sadis.


Kartonggolo menenangkan istrinya. 

Lalu membentak keluar, "Siapa di luar?!"

Disangkanya suara yang seram dan 

galak yang menyahut, tapi suara lembut 

dan menggigil yang terdengar, "Saya."

"Saya siapa?!"

"Nama saya Pandan Ningsih. Mohon 

dibukakan pintu, karena di luar dingin 

sekali."

Kartonggolo ragu-ragu. Tapi 

istrinya mendesak agar dia mau membuka 

pintu. Warsih Inten tidak tega mendengar 

suara yang menggigil itu. Dia 

membayangkan, bagaimana dinginnya di 

luar sana.

Dengan golok siap mengayun, 

Kartonggolo membuka pintu. Pelan-pelan 

dan hati-hati. Tidak ada yang menyerbu 

masuk, padahal kalau ada, pasti buntung 

lehemya ditebas golok itu.

"Oh!" Warsih Inten menjerit. Ia 

berlari ke luar. Sosok tubuh wanita 

menggigil kedinginan. Warsih Inten 

merangkulnya mengajak masuk. "Silahkan, 

Dik."

Wanita itu diam. Ia berwajah cantik. 

Tubuhnya padat dan indah. Bibirnya agak 

kebiruan karena menahan dingin. 

Kartonggolo menutup pintu kembali. 

Memperhatikan istrinya yang sibuk


memberikan kain penghangat pada wanita 

itu.

Warsih Inten pun memberikan 

pakaiannya sendiri untuk dipakai wanita 

itu. Setelah itu dia bertanya, "Adik dari 

mana dan mau ke mana?"

Wanita itu masih menggigil. Dan 

mendadak dia terisak.

"Saya... kabur dari rumah...."

"Kenapa?"

"Ibu saya ingin mengawinkan saya 

dengan laki-laki tua.... Saya tidak mau. 

Saya tidak suka dengan bandot tua itu. 

Tapi... Ibu memaksa... dia mengancam 

akan membunuh saya kalau tidak mau 

mengikuti kehendaknya.

Saya takut, Kak. Saya takut. Saya 

lari dari rumah. Dan kemalaman di desa 

ini...."

Lagi-lagi Warsih Inten membayangkan 

kalau saja dirinya yang dijodohkan 

demikian, tentu dia akan berbuat hal yang 

sama seperti Pandan Ningsih.

Pandan Ningsih terisak lagi. Dulu 

dalam angannya, dia menginginkan seorang 

perjaka yang perkasa yang mampu 

melindunginya, bukan duda yang jelek 

itu!

Isaknya itu membuat Warsih Inten 

semakin iba. Tanpa minta persetujuan


suaminya, ia m-nyuruh wanita itu 

menginap di rumahnya. Sampai beberapa 

hari lamanya Pandan Ningsih menginap. 

Warsih Inten senang, karena setiap kali

suaminya ke sawah ia ada yang menemani 

selain putranya yang bernama Madewa 

Gumilang.

Bahkan Warsih Inten mengambil 

Pandan Ningsih sebagai pengasuh anaknya. 

Pandan Ningsih menerima usul itu sebagai 

balas budi kebaikan Warsih Inten.

Mereka lalui hari-hari itu dengan 

penuh kegembiraan. Kecerian Pandan 

Ningsih muncul kembali. Setiap pagi dan 

sore dia mengajak Madewa Gumilang 

bermain. Madewa pun akrab dengan gadis 

itu.

Ketika Madewa berusia enam tahun, 

malapetaka itu pun terjadi. Malam itu 

Warsih Inten terbangun. Ia heran melihat 

suaminya tidak berada di sampingnya. 

Dengan masih tanda tanya dia bangkit 

keluar kamar. Sayup-sayup dia mendengar 

suara cekikikan dan desah nafas turun 

naik dari kamar Pandan Ningsih. Dia 

cekikikan dengan siapa?

Hal itu membuat Warsih Inten menjadi 

heran dan penasaran. Apalagi ketika 

dicari ke setiap sudut rumah, suaminya 

tidak ada. Kalau hendak keluar rumah,


suaminya selalu bilang hendak pergi. 

Dengan hati-hati Warsih Inten mengintip 

dari lubang kunci. Dan dia tersentak. 

Benar-benar pemandangan yang 

mengejutkan. Dia melihat suaminya tengah 

menggumuli tubuh Pandan Ningsih yang 

cekikikan dan bergelinjang keenakan. 

Keduanya dalam keadaan telanjang bulat!

Menggigil tubuh Warsih Inten. 

Sambil menggigit bibir marah dia 

terhuyung ke belakang. Tatapan matanay

seakan berkunang-kunang. Kepalanya 

pusing bukan kepalang. Ternyata suaminya 

telah mengkhianatinya. Juga Pandan 

Ningsih yang tega-teganya merebut 

suaminya. Apa dia telah melupakan, kalau 

setahun yang lalu gadis itu ditolongnya? 

Entah perbuatan yang keberapa yang 

mereka lakukan itu.

Tetapi kejadian itu didiamkan saja. 

Sikap Warsih Inten tetap seperti biasa. 

Walau dia geram sekali setiap kali 

melihat Pandan Ningsih. Hanya saja kalau 

setiap kali suaminya ingin k-butuhannya 

dilayani, dia menolak. Beberapa kali 

Kartonggolo hanya mendiamkan saja, 

mengira istrinya sedang tidak enak 

badan. Namun setelah beberapa kali 

Warsih Inten tidak mau melayaninya, 

Kartonggolo menjadi kesal. Dengan geram


dia menampar pipi istrinya hingga 

memerah. Warsih Inten menangis terguguk. 

Sementara Madewa yang terbangun hanya 

diam saja. Dia tahu orang tuanya tengah 

bertengkar, tapi dia tidak tahu apa 

masalahnya.

Kartonggolo menggeram jengkel. 

"Keterlaluan kau, Warsih! Hampir sepuluh 

kali aku minta padamu, tapi kau selalu 

menolak. Menolak. Sungguh keterlaluan!" 

Kartonggolo bersunggut-sunggut. Ia sama 

sekali tidak tahu apa penyebab 

keengganan istrinnya itu. Warsih Inten 

tidak mau mendapat bagian yang bekas. Dia 

hanya ingin memiliki Kartonggolo 

seorang!

Kartonggolo akan membentak lagi, 

namun didahului oleh istrinya, "Kau yang

keterlaluan, Karto!" jerit Warsih Inten 

diiringi isaknya. "Kau hendak menyamakan 

aku dengan pelacur, kau samakan aku 

dengan barang mainanmu. Aku tidak sudi!"

Jelas saja Kartonggolo tidak 

mengerti apa yang dikatakan istrinya. Ia 

tetap mengira istrinya belum mengetahui 

belangnya.

"Kau bicara apa, Warsih?"

Warsih Inten terguguk. "Kau 

jahanam, Karto! Kau jalang! Kau telah 

menodai kesetianku. Kau anggap aku ini


apa, Karto?" Warsih Inten menangis 

tersedu-sedu. Dipeluknya Madewa Gumi-

lang yang hanya diam saja. Tapi merasakan 

kesedihan ibunya karena ibunya menangis.

Sekarang sadarlah Kartonggolo. 

Kalau hubungan gelapnya dengan Pandan 

Ningsih sudah diketahui istrinya. Dia 

mendesah. Diam-diam dia menyesali 

perbuatan hina itu. Ya, dia telah menodai 

tirai perkawinan yang telah lama mereka 

bina. Dia telah menghancurkan harapan 

istrinya yang ingin bersandar padanya 

selama-lamanya. Tiba-tiba Kartonggolo 

berlutut di kaki istrinya. Matanya 

memancarkan sorot penyesalan dan minta 

maaf. Dia menangis di hadapan istrinya.

"Warsih... maaf... maafkan aku. Aku 

bersalah. Pandan Ningsih yang merayuku, 

aku...aku, khilaf, Warsih...."

Warsih Inten masih terguguk. 

Perlahan dia menghapus air matanya. 

Sebagai wanita yang mencintai suaminya, 

Warsih Inten memaafkan perbuatan 

suaminya. Ia memegang kedua bahu 

suaminya. Dan mengangguk. Tetapi 

tiba-tiba muncul Pandan Ningsih dengan 

senyum yang mirip iblis betina.

"Hik... hik... rupanya ada 

sandiwara yang mengharukan di kamar


ini...." suaranya pun lain seperti 

biasanya.

Kartonggolo bangkit dan membalik. 

"Pandan Ningsih!" geramnya marah. 

Gara-gara wanita ini rumah tangganya 

nyaris berantakan. "Enyah kau dari sini! 

Cepat! Sebelum kemarahanku naik " Pandan 

Ningsih tersenyum. Sedikit pun tidak 

takut akan marahnya kartonggolo.

"Hik... hik... dasar laki-laki. Mau 

enaknya saja. Kau telah merenggut 

keperawananku, Karto. Kau telah 

enak-enakan menggoyang tubuh di atas 

tubuhku. Dan sekarang... kau ingin 

membuangku begitu saja...."

Kartonggolo semakin marah. Betina 

ini tidak takut dengannya rupanya. 

Dengan gusar ia mengayunkan tangannya. 

Wuut! Pukulannya lewat ke samping. 

Entah bagaimana Pandan Ningsih sudah 

berkelit ke samping. 

"Hik... hik...."

Kartonggolo kaget serangannya 

gagal. Ia akan menyerang lagi. Tapi 

tiba-tiba tatapan matanya berbenturan 

dengan mata Pandan Ningsih. Tatapan itu 

begitu mesranya. Kartonggolo yang 

tadinya marah, tiba-tiba menjadi senang. 

Dia malah berbalik memeluk Pandan 

Ningsih. Rupanya Pandan Ningsih seorang


wanita yang menguasai hipnotis, karena 

dengan mudahnya Kartonggolo bisa 

dipengaruhi.

Pandan Ningsih terkikik. "Hik... 

hik... inilah ganjaran untuk ayahmu, 

Warsih Inten. Ayahmu yang menghamili 

ibuku, sehingga aku terhina.... Dan 

mereka meninggalkan kami dalam keadaan 

sengsara...."

Betapa geramnya Warsih Inten 

melihat adegan itu". Dengan mesra sekali 

suaminya mengecup bibir Pandan Ningsih 

yang dibalas dengan tak kalah mesranya. 

Tiba-tiba dia bangkit dengan kemarahan 

membludak. Menyerang Pandan Ningsih 

dengan kalap.

Tetapi Pandan Ningsih cukup 

mengelak sedikit saja, hingga pukulan 

itu luput. Malah ia sempat memukul bagian 

belakang Warsih Inten hingga 

terpelanting ke sudut kamar.

"Aaaaah!"

Pandan Ningsih hanya tertawa. 

Sementara Kartonggolo hanya tersenyum. 

Sedikit pun dia tidak berniat untuk 

menolong istrinya. Dia terus menciumi 

Pandan Ningsih dengan penuh nafsu.

"Ibu!" jeritan itu terdengar. 

Madewa Gumilang berlari memburu ibunya 

yang berdarah mulutnya. Lalu berbalik ke


arah Pandan Ningsih dengan marah. 

"Perempuan jahat! Kenapa kau pukul Ibu? 

Kasihan Ibu!"

"Hik... hik... hik... bocah, bocah. 

Besar pula nyalimu."

"Kau jahat. Kau pukul Ibu. Aku akan 

membalas!" seru Madewa kecil sambil 

menyerang. Pandan Ningsih hanya 

terkikik. Lalu menendang Madewa hingga 

mengaduh keras. Tapi rupanya bocah itu 

belum puas. Dia menyerang lagi. 

Ditendang lagi. Menyerang lagi. 

Ditendang lagi. Sampai kehabisan tenanga 

sendiri.

"Kau bocah berani. Aku suka padamu," 

desis Pandan Ningsih sambil mengeliat 

dari ciuman Kartonggolo yang sudah 

dibuai nafsu. Lalu ia mengajak 

Kartonggolo untuk rebahan di ranjang. Di 

hadapan istri dan anaknya, Pandan 

Ningsih bermain cinta dengan 

Kartonggolo!

Dada Warsih Inten seakan mau pecah. 

Tangisnya seakan mau meledak. Dia tak 

kuasa melihat adegan itu. Tiba-tiba dia 

menyambar tubuh anaknya lalu berlari 

jauh-jauh meninggalkan rumah. Tawa 

keenakan Pandan Ningsih mengiringi 

kepergiannya.


Hancur sudah harapan yang dibangun 

Warsih Inten sejak muda. Harapan yang 

diimpikannya untuk hidup bahagia bersama 

suami dan anak tercinta. Ia terus berlari 

menembus kegelapan malam. Didiamkan saja 

anaknya yang memanggil-manggil ayah.

Dia harus bisa mendidik Madewa agar 

menjadi orang baik. Tidak sesat seperti 

ayahnya, yang disangkanya dewa penolong 

dalam kehidupannya.

Menjelang pagi, baru Warsih Inten 

beristir-hat. Madewa sudah tertidur 

dalam dekapannya. Letih baru dirasakan 

sekarang. Langkahnya terasa enggan. 

Kakinya terasa kaku. Ia merebahkan 

Madewa di atas rumput lembut. Lalu ia 

sendiri bersandar di batu besar. Angin 

bertiup dengan semilir. Membuat ia 

semakin mengantuk. Tak terasa ia 

tertidur.

Dalam tidurnya dia bermimpi, kalau 

dia dan suaminya sedang berada di sebuah 

taman yang indah. Dan Madewa kecil 

berlari di sekitar mereka. Mimpi yang 

indah.

Tetapi begitu Warsih Inten 

terbangun, ia menemukan dirinya berada 

di luar mimpinya. Jauh berbeda dengan 

mimpi indahnya. Perlahan-lahan ia 

teringat berada di mana. Juga mengapa


berada di tempat itu. Ini semua gara-gara 

wanita iblis itu. Diliriknya Madewa yang 

tengah menggeliat.

Dan terbangun. Ia melihat ibunya 

tengah menatapnya. Wajah Ibu nampak 

pilu. Penuh dengan beban yang sarat. 

Entah kenapa tahu-tahu Madewa bangkit 

dan bertanya, "Ibu lapar?"

Warsih Inten tersenyum. Ia 

menggeleng.

"Bohong. Ibu kelihatannya lapar. 

Biar Dewa petikan buah ya, Bu? Di hutan 

ini pasti banyak pohon buah. Ibu tunggu, 

ya?"

Tanpa mendengarkan jawaban ibunya, 

Madewa sudah berlari ke dalam hutan. Ia 

menemukan sebuah pohon jambu. Dipetiknya 

yang ranum-ranum. Dan dibawakannya untuk 

ibunya.

Warsih Inten terharu melihat 

anaknya datang dan meletakkan petikannya 

di hadapannya.

"Ini buat Ibu. Ayolah Bu, dimakan."

Warsih Inten tersenyum. Ia memakan 

sebuah. Dan dirasakan betapa segar 

tenggorokannya sekarang. Ia melihat ke 

atas. Matahari sudah tinggi sekali. 

Karena terhalang oleh tingginya pohon 

sinarnya tidak bisa menembus ke tanah.


Melihat Ibunya tersenyum, Madewa 

gembira. Ia menyodorkan sebuah lagi.

"Ayo, bu."

Warsih Inten tertawa pelan. Ia 

senang Madewa mengikutinya. Dan dia 

bangga Madewa kecil tidak cerewet. 

Mendadak Warsih Inten tercenung. Di mana 

mereka akan tidur nanti malam? Juga 

malam-malam selanjutnya. Madewa 

menyangka ibunya sudah tidak ingin 

memakan buah itu lagi. Ia membungkus buah 

jambu itu dengan bajunya.

Sikap Madewa tetap gembira. Sudah 

lama dia tidak bermain di luar rumah. Dan 

sekarang, Ibu mengajaknya bermain jauh 

dari rumah. Betapa senangnya. Apalagi 

kalau ayah ada bersama mereka.

Menjelang malam, barulah Madewa 

agak cerewet. Ia tak tahan kedinginan. 

Dipeluknya tubuh ibunya untuk 

mendapatkan kehangatan. Warsih Inten 

balas memeluk erat. Dirasakan sekali 

tubuh anaknya menggigil. diciuminya 

anaknya dengan penuh kasih sayang. Kalau 

saja tidak ada wanita yang bernama Pandan 

Ningsih itu, pasti malam ini dia tidur 

dalam pelukan suaminya. Juga Madewa yang 

tersenyum dalam tidurnya.

Setelah Madewa tertidur, Warsih 

Inten bangkit perlahan-lahan. Dia harus


mencari tempat yang agak terlindung dari 

udara yang menusuk ini. Dengan sekuat 

tenaga ia menyongsong udara dingin itu. 

Betapa sulitnya berjalan di udara di-

ngin. Tanpa putus asa Warsih Inten terus 

merambah kegelapan.

Tak lama kemudian, dia melihat 

sebuah gua agak besar. Bayangan tu tampak 

terlihat karena sinar bulan yang 

menjadikan tempat itu agak terang. 

Karena pohon-pohon di sekitar sana tidak 

begitu tinggi.

Tanpa menghiraukan ada binatang 

buas, Warsih Inten memasuki gua itu. Agak 

lumayan, udara dingin tidak begitu 

menusuk. Udara di sekitar gua, lembab. 

Agak hangat. Banyak pula ditumbuhi 

rumput-rumput. Diletakkannya Madewa ke 

rumput itu. Diselimuti oleh baju 

luarnya. Dan dia pun tertidur karena 

letihnya.

* * *

Sepuluh tahun telah lewat. Tempat di 

sekitar sana tidak banyak berubah. Tetap 

menyeramkan dan dingin kalau malam.

Tiba-tiba terdengar seruan, "Ibu! 

Ibu! Aku datang!"


Dari dalam gua itu, keluar seorang 

wanita separuh baya. Wajah wanita itu 

masih cantik. Tubuhnya pun masih padat. 

Namun masih terdapat sisa-sisa duka yang 

telah melandanya. Ia menyongsong seruan 

tadi, "Kali ini kau dapat apa, Nak?"

Pemuda itu menunjukkan hasil 

buruannya pada ibunya. "Lihat, Bu. 

Kijang kecil ini enak untuk dimakan."

Wanita itu tersenyum. Ia bangga 

dengan anaknya yang telah tumbuh menjadi 

pemuda gagah. Tidak sia-sia dia bertahan 

untuk hidup selama 10 tahun di gua itu. 

Dengan daun-daun dan ikan yang bisa 

dimakan, anaknya tumbuh menjadi orang 

kuat. Gemblengan alam yang dahsyat 

secara tak langsung menambah keperkasaan 

anaknya.

Yah, wanita cantik itu tak lain 

adalah Warsih Inten dan pemuda itu adalah 

anaknya, Madewa Gumilng. Sepuluh tahun 

mereka tinggal di gua itu tanpa 

kekurangan suatu apa. Hanya saja Madewa 

yang sekali-sekali suka mengingat-ingat 

ayahnya. Tetapi sekarang sudah tidak 

lagi. Malah anak itu percaya kalau 

ayahnya sudah mati. Warsih Inten tidak 

mau anaknya ingat akan ayah iblis itu. 

Biarlah suaminya bersenang-senang 

dengan wanita setan bernama Pandan


Ningsih itu, yang penting, mereka tidak 

kurang suatu apa.

"Bu!" panggil Madewa. "Ayo kita 

panggang kijang ini. Pagi ini kita pesta 

daging kijang panggang!"

Warsih Inten tersenyum.

"Persiapkanlah sesuatunya."

Madewa segera sibuk. Menyembelih. 

Mengeluti. Dan memanggang. Tak lama 

kemudian, keduanya sudah asyik menikmati 

kijang panggang. Benar-benar santapan 

yang mengasyikan.

Malam harinya Madewa berpamitan, 

akan berburu kijang yang lebih besar lagi 

di pedalaman hutan. Pertaman-tama Warsih 

Inten menolak, tetapi anaknya terus 

memaksa. Hingga mau tak mau dia 

mengizinkan,

Maka malam itu pula, Madewa 

berangkat dengan gembira.

"Aku pergi dulu, Bu! Sebelum pagi 

tiba, aku sudah berada di sini, Bu!"

Warsih Inten mengangguk. Menatap 

kepergian anaknya dengan hati was-was, 

karena baru kali ini, Madewa punya niat 

untuk berburu malam.

Setelah Madewa pergi, dia kembali 

masuk ke dalam gua. Dalam kesendiriannya 

itu, Warsih Inten teringat betapa hangat 

dan tentramnya rumahnya dulu. Alangkah


enaknya kalau sekarang mereka berada

bersama-sama. Madewa pasti sudah punya 

adik. Dan mereka akan mengarungi hari 

tuanya bersama suaminya. Entah bagaimana 

nasib suaminya sekarang. Warsih Inten 

sudah tidak tahu.

Tak terasa kantuk mulai 

menyerangnya. Ia tertidur. Terlalu 

ngantuk kalau menunggu anaknya pulang.

Menjelang tengah malam, dia 

terbangun. Dari luar terdengar 

langkah-langkah berat. Memasuki gua! 

Mendadak Warsih Inten berdebar. Siapakah 

di sana? Anaknyakah yang sudah kembali? 

Tidak, tidak mungkin. Langkah itu 

terdengar ramai. Bertanda tidak satu 

orang. Berarti bukan anaknya. Hati-hati 

Warsih Inten beringsut agak ke dalam.

"Lumayan tempat ini, Kakang," 

terdengar suara itu. Agak berat dan 

menyeramkan. "Kita terhalang dari 

dingin."

"Ya... kita bisa membagi hasil 

rampokan ini di sini. Mana hasilnya, 

Rengga. Coba kau nyalakan lilin, Toban?"

Yang dipanggil Toban menyalakan 

lilin. Dari ujung sana, Warsih Inten bisa 

melihat betapa menakutkannya wajah 

ketiga orang itu. Kalau didengar 

percakapannya tadi, jelas mereka


perampok-perampok. Dan akan membagi 

hasil rampokannya di sini. Dalam hati 

Warsih Inten berdoa, semoga saja 

orang-orang itu tidak menyadari hadirnya 

dia di sana.

Ketika orang itu sibuk membagi 

hasil. Rengga dan Toban tidak banyak 

cakap, meskipun hasil yang diterimanya 

sedikit. Mangkara memang ketua mereka. 

Ia tersenyum puas melihat hasil rampokan 

mereka kali ini.

Tiba-tiba saja Rengga berseru, 

"Hei, ada daging panggang di sini."

Serentak mereka menoleh. Rengga 

mengambil daging itu. Kelihatannya masih 

baru. Mendadak dia mencabut goloknya. 

Dan berbisik, "Hati-hati, Kakang. 

Rupanya tempat ini berpenghuni!"

Yang lain pun mencabut golok mereka. 

Hati Warsih Inten semakin berdebar 

ketakutan. Untuk melarikan diri susah. 

Jalan keluar satu-satunya dikuasai oleh 

orang-orang itu. Dan dadanya semakin 

berdebar ketika orang-orang itu mulai 

melangkah mendekat. Untuk bernafas saja 

dia tidak berani.

Doanya tidak dikabulkan Tuhan. 

Mendadak ia tersuruk ke depan. Tangannya 

telah ditarik oleh seorang dari mereka.


Dan kilatan golok tajam itu akan 

menyambar.

Namun, "Tahan, Rengga!" seru 

Mangkara. Ia memperhatikan orang itu. 

"Hei, seorang wanita! Untung tidak 

langsung kau bunuh. Ha-ha-ha... lumayan, 

untuk penghangat tubuh di udara dingin 

begini."

"Jangan... jangan, Tuan...." rintih 

Warsih Inten ketakutan.

Tetapi Mangkara hanya tertawa saja. 

Juga Rengga dan Toban. Biar sudah agak 

tua, tetapi tubuh wanita ini masih padat. 

Masih hangat untuk dipakai.

Mangkara mencolek dagu Warsih 

Inten. "Jangan takut, Manis. Kami tahu 

kau kedinginan. Jangan kuatir, sebentar 

lagi tubuhmu akan panas 

menyentak-neyentak."

"Jangan... jangan... lakukan itu 

padaku... jangan... oh!"

Breet! 

Mangkara sudah tidak sabar. Ia 

menarik baju Warsih Inten hingga robek 

bagian dada. Dan langsung menampakkan 

buah dada yang masih segar itu.

Ketakutan Warsih Inten menutupi 

dengan kedua tangannya. "Jangan Tuan... 

jangan lakukan itu.... Kasihanilah 

saya.... Jangan, jangaaaaann!" Tetapi


Mangkar tak perduli. Dengan buasnya ia 

menubruk tubuh Warsih Inten. 

Menggumulinya hingga wanita itu 

kehabisan tenaga. Dan terkulai lemah.

Dengan leluasa, Mangkara melucuti 

pakaiannya. Dan memperkosanya dengan 

buas. Air mata meleleh di pipi Warsih 

Inten. Dia tidak dapat berbuat apa-apa 

pada orang yang tengah berada di atas 

tubuhnya dengan dengus nafas yang 

memburu. Penderitaan itu masih datang 

lagi.

Puas memperkosa, Mangkara 

tersenyum. Ganti Rengga yang melakukan 

itu. Lalu Toban. Mangkara rupanya belum 

puas, dia kembali menggumuli tubuh 

Warsih Inten.

Wanita itu pasrah. Tidak bisa 

berbuat apa-apa. Sambil menahan sakit, 

dia menggigit lidahnya hingga putus.

Kejadian ini lebih menyakitkan. Maka tak 

ada jalan lain, Warsih Inten memutuskan 

untuk bunuh diri. Soal Madewa Gumilang, 

dia yakin, anaknya bisa menentukan jalan 

sendiri.

Mangkara mendengus begitu 

mengetahui wanita itu sudah menjadi 

mayat.


"Setan! Dikasih enak tidak mau!" 

geramnya sambil meludahi tubuh Warsih 

Inten yang telanjang bulat.

"Ha... ha... kau sudah dua kali 

menggumulinya, Kakang," kata Renggaa 

tertawa.

"Ha... ha... benar, benar. Lumayan 

tubuh wanita itu. Masih hangat. Untung 

kau menemukannya untuk kita."

Ketiga orang biadab itu tertawa. 

Menjelang pagi, baru mereka meninggalkan 

tempat itu. Meninggalkan begitu saja 

mayat Warsih Inten yang telanjang bulat.

Hanya berselisih beberapa menit 

saja, Madewa Gumilang kembali dari 

berburu. Di tangannya terdapat empat 

ekor kelinci gemuk. Di bahunya sebuah 

kijang tersampir. Ia memasuki gua dengan 

gembira.

"Ibu!"

Suaranya menggema. Tidak ada 

sahutan Ibu. Madewa heran, biasanya Ibu 

selalu keluar jika dipanggil. Ah,

mungkin Ibu sedang mandi di sungai. 

Madewa meletakkan hasil buruannya. Te-

tapi mendadak matanya terbentur pada 

daging panggang yang kini telah habis. 

Tidak mungkin Ibu yang memakan semua ini.

"Ibu!" panggilnya seraya masuk ke 

dalam.


Dan mendadak dia terbelalak. 

Sesosok tubuh telanjang tergeletak di 

depannya. Mayat Ibu. Sudah dingin,

bertanda Ibu sudah lama meninggal.

"Ibu!" jerit Madewa parau. Ia 

menangis di atas tubuh Ibunya. Madewa 

sadar kalau ibunya telah diperkosa orang 

dan membunuh diri dengan menggigit 

lidahnya sendiri. Dibukanya pakaiannya. 

Ditutupinya tubuh itu.

Madewa menyesal telah meninggalkan 

ibu semalam. Tapi tak guna menyesali 

kematian Ibu. Dia harus segera mencari 

orang-orang biadab itu.

Dengan hati-hati dimakamkannya 

tubuh ibunya. Madewa bersujud di depan 

kuburan itu. Dan bersumpah, "Aku tahu 

hidupmu tidak tenang di sana sebelum 

kubunuh orang yang telah melakukan 

perbuatan keji terhadapmu. Izinkanlah 

anakmu mencari pembunuhmu, Ibu."

Tanpa menghiraukan hasil buruan dan 

guanya, Madewa berlari meninggalkan 

semua itu. Dia harus bisa mencari 

pembunuh ibunya. Dia harus mencari!

Tak tahu arah, Madewa terus 

melangkah.

* * *


DUA



Pagi itu udara cerah. Sang surya 

baru naik setapak. Suasana di sekitar 

tempat itu sunyi. Hening. Hanya desir 

angin yang terdengar, juga suara burung 

yang menjerit-jerit. Kelihatan jelas 

kalau tempat itu telah lama tidak 

dikunjungi orang. Tempat yang jauh di 

dasar jurang.

Tetapi derap langkah itu bagaikan 

menyentak alam yang tidur menjadi 

bangun. Suasana langsung berubah. Lima 

orang yang bertubuh tegap dan berwajah 

seram datang mendekati tempat itu. 

Kelihatan pula kalau mereka orang-orang 

yang baru menjajagi tempat itu, karena 

mereka pun masih agak heran.

"Sreet!" seorang yang berberewok 

tebal tiba-tiba mencabut goloknya. Ia 

menatap keempat temannya yang kelihatan 

anak buahnya, karena hanya dia yang 

memakai angkin merah.

"Kita bersiap! Kita sudah memasuki 

daerah Ki Rengsersari!" Suaranya keras, 

mengandung tenaga dalam yang lumayan.

Serentak yang lain bersiap pula, 

mencabut golok masing-masing. Jelas 

mereka adalah orang-orang satu


perguruan, karena golok mereka semua 

sama.

"Di mana goa tempat kediaman Ki 

Rengsersari, Kakang Tirawana?" tanya 

yang memakai ikat kepala kuning.

"Tak jauh dari sini! Kita bersiaga. 

Ki Tua itu punya ilmu pandangan menembus 

sukma. Matanya bisa menembus jarak yang 

jauh sekali. Apalagi kita berada di 

sekitar sini, pasti bajingan tua itu 

telah mengetahui kedatangan kita!"

Tak ada yang bersuara lagi. Mata 

mereka menjaga waspada. Ketenaran Ki 

Rengsersari sebagai jago tua yang 

berjuluk Pendekar Ular Sakti memang 

membuat orang berdebar mendengarnya. 

Jurus-jurus ularnya sangat mematikan. 

Sayang, jago tua itu beberapa tahun yang 

lalu menarik diri dari rimba persilatan, 

karena tidak berhasil memiliki murid 

yang akan diwarisi ilmunya. Namun 

kemudian orang baru tahu apa penyebab 

yang sebenarnya. Telah tertiup kabar, 

kalau Ki Rengsersari memiliki sebuah 

pusaka yang hebat. Pedang Pusaka Dewa 

Matahari yang menjadi heboh dan 

pembicaraan orang, konon memiliki 

keampuhan lebih hebat dari pedang 

siluman Mata Air kepunyaan Nini


Wulandari. Nenek tua yang tak kalah 

hebatnya dengan Ki Rengsersari.

Pedang itu pun pernah menjadi 

rebutan antar jago-jago, yang akhirnya 

berhasil direbut oleh Kebo Winata. Namun 

herannya sang perebut mati dibunuh 

orang. Dan pedang lenyap serta pembunuh 

tidak diketahui siapa orangnya.

Kali ini orang lebih tertarik dengan 

pedang yang dimiliki Ki Rengsersari. 

Banyak pendekar-pendekar yang datang 

untuk merebut. Sekarang ini yang datang, 

Lima Gembong dari Sungai Hitam. 

Jago-jago kenamaan yang sepak terjangnya 

sangat dibenci orang. Karena kerja 

mereka hanya merusak, merampok, 

memperkosa dan membunuh!

Orang-orang itu semakin mendekati 

goa yang berada di balik rimbunnya semak. 

Mereka tidak bersuara lagi. Keadaan 

kembali hening. Terasa mencekam. Bahkan 

desir angin pun tak terdengar. Mereka 

seolah tahu, kalau sebentar lagi akan ada 

pertempuran yang dahsyat.

Tirawana diam-diam meraba 

pinggangnya. Dan tangannya mendadak 

bergerak ke arah goa. Terdengar desingan 

senjata rahasia yang berupa jarum-jarum 

berbisa. Itu yang dinamakan senjata


rahasia sirip ikan. Yang sekali kena 

orang bisa langsung mampus kelojotan.

Tirawana yakin, senjatanya kali ini 

mampu mengalahkan Ki Rengsersari. Tetapi 

tidak terdengar jeritan apa-apa dari 

dalam. Suasana semakin mencekam. 

Beberapa menit telah lewat. Tetap tidak 

ada perubahan apa-apa dari dalam goa. 

Tirawana mengangkat tangannya ke atas, 

memberi aba-aba agar segera masuk.

Bertepatan dengan kakinya 

melangkah, terdengar tawa nyaring dari 

belakang mereka.

Tirawana langsung berbalik dan 

melempar-kan senjata rahasianya. 

Lagi-lagi tidak ada yang mengaduh. Tidak 

ada yang kelojotan.

"Hati-hati! Bangsat tua itu berada 

di sini!" geram Tirawana jengkel. 

Berarti, sejak tadi Ki Rengsersari tidak 

berada di dalam goa.

Tiba-tiba terdengar tawa dari atas 

batu besar. Entah dari mana datangnya Ki 

Rengsersari sudah berdiri di atas batu 

itu. Kakek tua yang sakti. Jubah putihnya 

menambah keangkerannya.

"Apa maksud kalian datang kemari, 

Orang-orang gagah?" tanyanya bergetar. 

Dan terlihat kelima Gembong dari Sungai 

Hitarn itu secara refleks menutup kuping


mereka. Ternyata suara Ki Rengsersari 

mengandung tenaga dalam yang hebat.

Tapi bukan Gembong dari Sungai Hitam 

kalau tidak mampun menahan serangan 

tersembunyi itu. Masing-masing segera 

mengerahkan tenaga dalam mereka, untuk 

menghalau suara yang bising.

Tirawana mendengus. Wajahnya 

menampak-kan kegeraman yang luar biasa.

"Jangan banyak cakap, Ki Tua! 

Serahkan Pedang Pusaka Dewa Matahari 

kepada kami!"

Ki Rengsersari tertawa ngakak. Ia 

mengenali orang-orang yang datang itu.

"Kata siapa aku memiliki pusaka yang 

ampuh itu, hah? Kau telah dikelabui 

orang, Tirawana!" Katanya bijaksana.

"Aku tidak senang berbasa-basi. Kau 

serahkan pedang itu atau tidak?"

"Sudah kukatakan, aku tidak 

memiliki pedang itu!"

"Bangsat kau, Ki Tua!" geram 

Tirawana jengkel.

"Kau jangan terlalu dibuai emosimu, 

Tirawana. Aku sudah tua, untuk apa 

memiliki pedang pusaka itu. Tak ada 

gunanya aku memiliki pusaka itu. Aku 

sudah tidak bertenaga lagi. Dengar 

Tirawaria... aku sama sekali tidak 

memiliki pedang itu. Ada orang yang


menyebarkan kabar bohong kepadaku. Entah 

maksud orang itu apa. Tetapi karena

ulahnya, aku selalu ditimpa kesusahan 

dari setiap yang ingin merebut pedang 

itu. Padahal aku tidak memilikinya. Dan

juga kalian, yang hari ini akan membuat 

kesusahan padaku..."

Kata-kata Ki Rengsersari membuat 

darah Tirawana mendidih. Dengan dalih 

apa pun dia tidak percaya kalau Ki Tua itu 

tidak memiliki pusaka yang diimpikan 

setiap orang.

"Tak ada jalan lain, Ki Tua! Kami,

Lima Gembong dari Sungai Hitam, akan 

mengadu nyawa denganmu. Demi pedang 

pusaka.... Kau atau kami yang mati!!"

"Tahan!" seru Ki Rengser sebelum 

Tirawana menyerang. "Tak ada gunanya 

kita bertempur...."

Belum habis kata-kata Ki Rengser, 

Tirawana sudah menyela, "Bangsat! Kau 

menghinaku, Ki Tua! Bilang kalau kau 

menantang kami! Lihat serangan!"

Sehabis berkata begitu, Tirawana 

langsung menyerang. Goloknya yang besar 

langsung berkelebat. Sambaran anginnya 

begitu deras. Ki Rengser menunduk 

sedikit, tanpa menggerakkan tubuhnya. 

Golok itu lewat di atas kepalanya. Belum 

lagi dia berdiri tegak, golok-golok yang


lain sudah menyambar bergantian. Dengan 

mempergunakan jurus Ular Meloloskan

Diri, Ki Rengser bisa menghindari setiap 

serangan itu.

Melihat serangan mereka gagal, 

Tirawana menggeram marah. Dia menerjang 

kembali. Goloknya kembali berkelebat. 

Bahkan dibarengi dengan lemparan senjata 

rahasianya. Ki Rengser menahan serangan 

itu dengan sapuan jubahnya. 

Sreeet! 

Senjata rahasia itu berbalik kepada 

tuannya!

"Bangsat!" Tirawana bersalto 

menghindar. 

"Tak ada gunanya kita teruskan 

pertempuran ini, Orang-orang gagah!" 

kata Ki Rengsersari. "Kita hanya 

menanamkan bibit permusuhan...."

"Ki Tua! Kalau kau serahkan pedang 

pusaka itu, kami akan meninggalkan 

tempat ini dengan damai. Cepat berikan 

kepada kami!"

Ki Rengsersari menggeleng-geleng. 

"Aku tidak memiliki pusaka itu...."

Sampai di situ Ki Rengser bicara, 

mereka menerjang kembali. Serangan 

dahsyat datang dari Tirawana. 

Jurus-jurunya begitu hebat. Suatu ketika 

keduanya behadapan. Dengan mengguna-kan


ilmu peringan tubuhnya, Tirawana 

menyambar dari sana-sini.

"Des!" benturan kedua tangan 

menyambar. Tirawana terpelanting ke 

belakang, sedangkan Ki Rengsersari hanya 

terhuyung.

Tetapi Tirawana cepat bangkit. Ia 

menerjang lebih galak lagi. Kali ini Ki 

Rengsersari menyambutnya. Gerakannya 

sungguh tak terduga. Seakan tanpa 

tenaga, tapi mampu merubuhkan Tirawana 

dengan sekali pukul!

"Pukulan bayangan sukma!" jerit 

Tirawana dan ambruk ke tanah untuk tidak 

bangun lagi. Itulah jurus inti yang 

dimiliki oleh Ki Rengsersari atau 

Pendekar Ular Sakti. Konon ilmu itu 

didapat ketika dia mengembara ke 

Tiongkok. Dengan ilmu itu pulalah Ki 

Rengsersari disegani lawan maupun kawan, 

di samping ilmu jurus ularnya yang ampuh.

Keempat adik seperguruannya 

tersentak. Narawana memburu kakangnya. 

Dan kegeramannya semakin menjadi-jadi 

begitu mengetahui kakangnya sudah 

menjadi mayat. Sambil menjerit hebat dia 

menerjang.

"Dik Nara!" seru Jinawana kaget. Tak 

menyangka Narawana senekat itu. Dia pun 

menerjang untuk membantu.


Terdengar bentakan dan jeritan. Dua 

tubuh ambruk sekaligus. Dengan tubuh 

hancur dan tak bernyawa! Borawana dan 

Dinawana terkejut. Keduanya 

berpandangan. Sama-sama mengangguk. 

Mereka harus menuntut kematian tiga 

orang seperguruan mereka. Nyawa dibalas 

nyawa. Dengan serentak mereka menyerang 

Ki Rengsersari. Tetapi tetap tak ada 

gunanya serangan itu.

Lagi-lagi terdengar jeritan dengan 

debaman keras. Tubuh kedua orang itu pun 

terhempas ambruk. Dan nyawa mereka 

segera menyusul yang lain. Kini rimba 

persilatan telah kehilangan Lima Gembong 

dari Sungai Hitam. Perlahan Ki 

Rengsersari menghela nafas. 

Memperhatikan mayat-mayat itu.

Hatinya galau. Dia geleng-geleng 

kepala melihat perbuatannya. Tetapi 

salah mereka sendiri, tidak mau mengerti 

penjelasannya. Walaupun begitu, Ki 

Rengsersari sedih. Tanpa sadar air 

matanya menitik di pipi.

"Hari ini, telah kucabut lima nyawa 

sekaligus. Entah berapa banyak yang 

kemarin dan berapa banyak yang akan 

datang," desah pendekar tua itu pilu. Dia

menengadah menatap langit. "Tuhan... 

kapan ini akan berakhir? Semakin hari


usiaku semakin bertambah. Aku semakin 

tua. Tetapi semakin hari semakin banyak 

nyawa yang kucabut. Aku seolah 

melangkahimu, Tuhan. Ah... mereka 

benar-benar tidak percaya kalau aku 

tidak memiliki pusaka yang ampuh itu. 

Siapa lagi yang ingin membuat onar, 

hingga tega-teganya menyebarkan isu itu 

padaku...."

Ki Rengsersari menunduk. 

Memperhatikan mayat-mayat itu lagi. 

Mayat-mayat orang yang serakah. Dan 

mendadak kepalanya menegak. 

Pandangannya yang mampu menembus gunung, 

melihat seseorang datang padanya. Pemuda 

tampan berpakaian biru muda dan membawa 

bun-talan di pundaknya.

"Hmm, ada apa lagi ini? Oh, Tuhan... 

apa aku harus mencabut nyawa pemuda ini 

juga?" desah Ki Rengsersari sambil 

melangkah ke goa persembunyiannya. Dia 

merasa lebih enak berada di sana. 

Menunggu apa yang akan diperbuat. pemuda 

itu. 

Pemuda yang dilihat oleh ilmu 

menembus sukma itu, sudah tak jauh dari 

tempat keributan tadi. Dialah Madewa 

Gumilang. Putra Warsih Inten yang 

mencari pembunuh ibunya. Sudah sekian 

jauh dia melangkah, belum terlihat


tanda-tanda pemerkosa dan pembunuh 

ibunya. Setiap kali Madewa ingat, dia 

begitu terpukul. Apalagi ibunya 

mengalami nasib itu tanpa dia di sisinya. 

Betapa pedih dan sakitnya ibunya 

diperlakukan demikian oleh orang-orang 

biadab itu. Madewa tak sanggup 

membayangkannya.

Mendadak dia berhenti melangkah. 

Pandangannya terbentur pada mayat-mayat 

yang bergeletakan. Melihat mayat-mayat 

itu, dia teringat akan mayat ibunya.

"Apa yang telah terjadi di sini?" 

serunya heran. "Tubuh ini hancur. Betapa 

kejamnya yang membunuh."

Di dalam goa, Ki Rengser menahan 

pilu hatinya. Tidak, aku tidak bermaksud 

membunuh mereka. Hanya mereka yang 

memaksaku.

Madewa tak tahan melihat 

mayat-mayat itu. Ia mengumpulkan 

mayat-mayat itu menjadi satu. Lalu 

mencari batu karang yang agak cadas dan 

tajam. Ki Rengser terkejut melihat apa 

yang hendak dilakukan pemuda itu.

Madewa menguburkan kelima mayat 

itu. Hampir sejam dia melakukannya. 

Tubuhnya bersimbah peluh. Ia duduk 

beristirahat. Merenung, merenungkan apa 

yang baru saja dilakukannya. Dan


berpikir, bagaimana caranya menemukan 

pembunuh ibunya. Sedangkan ciri-ciri 

mereka sama sekali tidak diketahuinya.

Mendadak dia menoleh. Dari arah 

samping terdengar deheman. Membuyarkan 

lamunannya. Ki Rengsersari telah berdiri 

dengan gagah dan tersenyum bijaksana.

Madewa buru-buru bangkit, dan 

menjura dengan hormat, "Maafkan saya, 

Kakek Tua. Saya tidak tahu tempat ini 

berpenghuni."

Ki Rengsersari mengangguk. 

Diam-diam keinginan untuk memiliki 

seorang murid muncul kembali. Pilihannya 

langsung jatuh kepada pemuda ini.

"Ini bukan tempatku, aku pun hanya 

singgah. Apa yang telah kau lakukan tadi, 

Anak muda?"

Madewa heran, kakek tua ini tahu apa 

yang telah diperbuatnya. Sedangkan 

sedikit pun Madewa tidak melihat 

tanda-tanda adanya orang tua ini. Jelas, 

jelas, kalau orang tua ini, orang tua 

sakti.

Ia menyahut sopan, "Nama saya Madewa 

Gumilang. Hanya menumpang istirahat, 

setelah melakukan perjalanan jauh. 

Sampai di sini, aku melihat ada lima buah 

mayat bergeletakan. Aku tidak tega 

melihatnya demikian. Kukuburkan


mayat-mayat itu. Maafkan, kalau aku 

telah berbuat lancang."

Ki Rengsersari manggut-manggut. Dia 

mengajak Madewa singgah di goa 

kediamannya. Ia menyuguhkan sepotong 

daging rusa. Madewa memakannya dengan 

lahap.

Setelah itu Ki Rengsersari bertanya 

tentang dirinya. Madewa menjelaskan 

semuanya. Kalau ia sedang mencari 

pembunuh ibunya. Dia sudah tidak perduli 

di mana ayahnya berada.

"Kasihan Ibumu... Madewa... apa kau 

telah memiliki bekal yang cukup untuk 

mencari pembunuh ibumu?" tahu-tahu Ki 

Rengser bertanya begitu.

"Dengan kedua tangan dan kedua 

kakiku, aku akan membalaskan dendam 

Ibu."

Mendadak Ki Rengsersari tertawa. 

"Jangan mimpi kau.... tanpa kepandaian 

sedikit pun, bagaimana mungkin kau bisa 

mengalahkan pembunuh-pembunuh ibumu."

"Aku akan berusaha untuk 

mengalahkan mereka!" seru Madewa ngotot.

Lagi Ki Rengsersari tertawa.

"Semangatmu boleh tinggi, tapi 

ilmumu rendah. Tanpa kepandaian, kau 

sama saja mengantarkan nyawamu pada 

orang-orang itu!"


"Bah!" Madewa bangkit seraya 

mengambil buntalannya. "Aku tidak suka 

kau remehkan! Terima kasih atas daging 

rusa itu, Kakek Tua!" Madewa langsung 

melangkah ke luar.

Ki Rengsersari berkelebat mengejar. 

Anak muda ini tidak boleh lepas dari 

genggamannya. Hanya dia seorang yang 

bisa dijadikan pewaris ilmunya.

"Kamu marah?" katanya lucu.

Madewa cemberut. "Aku benci kau 

rendahkan! Aku mampu mengalahkan 

mereka!"

"Iya, iya. Kau mampu. Tapi aku bisa 

menjadikan kau lebih mampu."

"Bagaimana?" Mata Madewa terbuka 

gembira.

"Syaratnya hanya satu, kau mau 

menjadi muridku."

"Hhh, pakai syarat segala. Tak usah 

kau bantu, aku akan tetap mencari 

pembunuh-pembunuh itu!"

"Eit, tunggu dulu! Kau mau kuajari 

ilmu silat?" kejar Ki Rengsersari 

penasaran.

"Buat apa, kalau hanya untuk 

merusak."

"Tidak, sebagai penjagaan untuk 

dirimu."


"Aku sudah punya busur dan anak 

panah."

"Itu belum cukup."

"Pasti cukup. Aku bisa membunuh 

kijang jantan yang besar dengan mudah. 

Pasti kubunuh juga orang-orang itu 

dengan mudah."

"Ampun, kamu tetap tidak mengerti. 

Kau hanya mengantarkan nyawa pada 

mereka."

"Biar, buat apa kau larang. Aku 

tidak tertarik dengan ilmu silatmu." 

Madewa melangkah lagi.

Ki Rengsersari mengejar. "Tawaran 

terakhir, kau mau kuajarkan ilmu silat?"

Madewa terus melangkah. "Tidak."

Ki Rengsersari mengejar. "Terakhir 

lagi?"

"Tidak”.

"Semakin terakhir."

Madewa berhenti. Menggebrak kakinya 

jengkel. "Aku tidak suka kau ajarkan ilmu 

silat! Tanpa ilmu silat, aku mampu 

mengalahkan orang-orang biadab itu!"

Ki Rengsersari mengeluh. Anak ini 

benar-benar teguh pendiriannya. Dan ini 

membuatnya semakin penasaran. Dibiarkan 

saja anak itu meninggalkannya. Dia hanya 

menatapnya dari kejauhan. Hatinya 

benar-benar sudah kepincut. Tetapi


sayang, anak itu pun gagal dimilikinya. 

Dalam hati Ki Rengsersari berniat 

mengajar pemuda itu, tetapi dia kuatir, 

masih adanya orang yang gila akan pedang 

pusaka dewa matahari. Dan memberinya 

kesulitan. Diam-diam Ki Rengser sudah 

berniat, dia ingin meninggal di tempt 

ini. Tempat yang didiaminya selama 

delapan tahun.

Madewa terus melangkah. Hhh, 

apa-apaan sih kakek tua itu? Dia tidak 

suka ilmu silat. Madewa sering mendengar 

cerita ibu tentang ilmu silat. Dengan 

kepandaian silat orang sering menjadi 

sombong dan selalu ingin kuasa. Ingin 

selalu menindas yang lemah. Dan selalu

menjadi perusak. Itu sebabnya Madewa 

menolak permintaan Ki Rengser.

Tiba-tiba Madewa berhenti 

melangkah. Ia mendengar jeritan minta 

tolong dari semak-semak. Suara seorang 

wanita. Dan terdengar pula suara kekehan 

seorang laki-laki.

Madewa mencari suara itu. Di 

depannya seorang laki-laki sedang 

berusaha memperkosa wanita muda. Wanita 

itu menjerit-jerit ketakutan. Selintas 

bayangan ibunya terbayang di benak 

Madewa. Hal itu membuat dia geram.


Dengan marah Madewa menyerang. 

Kakinya telah menendang punggung 

laki-laki itu hingga terpelanting. 

Madewa buru-buru menutupi tubuh wanita 

yang ketakutan itu dengan bajunya.

"Hei, siapa kau?!" bentak laki-laki 

itu yang sudah berdiri, geram.

"Aku Madewa. Tidak suka melihat 

perbuatanmu ini!"

"Bangsat! Kau belum kenal aku 

rupanya? Baik!" Sehabis berkata 

demikian, orang itu menyerang. Madewa 

kaget. Serangan orang itu begitu cepat.

Madewa tak sempat mengelak. Wajahnya 

terhantam pukulan dengan keras.

Orang itu tertawa. Madewa kalap. Dia 

menyerang dengan serabutan. Pukulannya 

kacau. Orang itu hanya tenang-tenang 

saja. Dia menguasai silat yang lumayan. 

Dengan dua kali mengelak dia menghantam 

keras perut Madewa.

"Heiik!" Madewa terhuyung ke 

belakang. Mual perutnya.

"Ha... ha...'ha... anak muda. 

Terimalah ajalmu hari ini!"

Madewa berusaha bangkit. Tetapi 

sakit sekali perutnya, Orang itu tertawa 

keras. Dan memekik dengan tangan lurus 

diarahkan ke wajah Madewa. Madewa


memejamkan matanya. Tak kuasa melihat 

kehancuran dirinya.

Tetapi bukan dia yang menjerit, 

malah orang itu.

"Aaaahh!"

Dan disusul dengan tubuh ambruk. 

Perlahan Madewa membuka matanya. 

Tubuhnya masih segar bugar. Setan mana 

yang telah menolongnya?

Sosok tubuh tua berpakaian putih 

berdiri di sampingnya.

"Hhh, tanpa ilmu kepandaian, apa 

yang akan kau berikan?" ejekan itu 

menyakitkan telinganya.

"Kau lagi, Kakek Tua! Kau selalu 

menggangguku!" seru Madewa sambil 

mengambil buntelannya. Sedangkan wanita 

muda yang ditolongnya, sudah lari entah 

ke mana.

“Pemuda edan! Sudah ditolong tidak 

mengucapkan terima kasih!"

Madewa terus melangkah.

"Hei, Pemuda tak balas budi! 

Teman-teman orang itu akan mencarimu. 

Dan kau akan dibunuhnya!"

Madewa berhenti melangkah. Kata 

kakek tua itu benar, dia bisa mati konyol 

kalau teman-teman orang itu 

mengeroyoknya. Kalau dia mati, siapa 

yang membalaskan dendam Ibu? Tidak, dia


tidak boleh mati dulu. Buru-buru dia 

berbalik pada Ki Rengsersari. Dan 

menjatuhkan dirinya di hadapan kakek tua 

itu.

"Kakek Tua yang baik, aku 

menghaturkan terima ksih. Dan sudi 

menjadi muridmu...."

Sekarang Ki Rengsersari mendengus. 

Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.

"Hei, siapa yang mau mengangkatmu 

menjadi murid!" suaranya tajam.

"Aduh, Kakek Tua. Masa kakek tua 

lupa. Kakek tua sendiri yang 

menginginkan aku menjadi murid."

"Tidak. Kau begitu angkuh dan 

sombong. Aku tidak sudi mengangkatmu 

menjadi murid!" kata Ki Rengser sambil 

melangkah.

Madewa buru-buru mengikuti.

"Aku mau diangkat menjadi muridmu. 

Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin 

membalas dendam ibu. Ayo dong, terima 

aku...."

Ki Rengsersari terus melangkah. Tak 

mengacuhkan. Padahal dalam hatinya dia 

gembira sekali. Tetapi gantian dong, 

sekarang dia yang mempermainkan pemuda 

itu. Madewa masih memohon untuk diangkat 

menjadi murid.

"Aku tidak mau menerimamu!"


"Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin 

belajar ilmu silat darimu. Biar aku jadi 

perkasa dan bisa membalaskan kematian 

ibu...."

Ki Rengser duduk di batu besar di 

samping goa kediamannya. Sikapnya masih 

acuh tak acuh. Didiamkan saja Madewa yang 

berlutut di hadapannya.

"Hei, kenapa kau masih di sini? 

Cepat pergi! Aku muak melihat 

tampangmu!!"

"Aku ingin menjadi muridmu."

"Buat apa? Kau toh tidak perlu ilmu 

silat. Bukankah kau sudah mempunyai 

busur yang kuat?"

"Sekarang aku memerlukan ilmu silat

itu, Kakek Tua."

“Tapi sekarang aku tidak sudi 

mengajarkanmu.

"Aku akan berlutut sampai kapan pun 

kalau kau tidak mau mengangkatku menjadi 

muridmu."

"Berlututlah! Apa urusanku!" Ki 

Rengsersari bersalto ke belakang. Dan 

sekali loncatan lagi dia sampai di dalam 

goa.

Madewa berlutut lesu. Kakek sakti 

itu benar-benar tak sudi mengangkatnya 

menjadi murid. Biarlah, dia akan tetap 

berlutut sampai kakek itu mengajarkannya


ilmu silat. Dia harus memiliki ilmu itu, 

agar dapat membalaskan dendam ibunya.

Di dalam goa, Ki Rengsersari terus 

memperhatikan. Siang malam Madewa

berlutut. Dia tak memperdulikan hawa 

dingin yang sangat menusuk. Juga panas 

yang menyengat. Sampai tiga hari 

berturut-turut Ki Rengsersari 

mendiamkan pemuda itu, tetapi pemuda itu 

tetap berlutut tanpa kenal lelah. 

Padahal tenaganya sudah benar-benar 

habis!

Ki Rengsersari manggut-manggut. 

Benar-benar cocok pilihannya. Selain 

kuat, pemuda ini pun tegar. Pantang 

menyerah. Ia keluar perlahan-lahan. Dan 

perlahan-lahan pula memegang bahu pemuda 

yang sudah berkunang-kunang matanya.

"Bangunlah, mulai sekarang kau 

kuangkat menjadi muridku," suara Ki 

Rengsersari pelan, tetapi jelas didengar 

Madewa. Pemuda itu bersorak dan bangkit 

kegirangan. Namun langsung terjatuh, 

karena terlalu letih. 

"Oohh!"

Dalam hati Ki Rengsersari tertawa. 

Tetapi ia membentak, "Menjadi muridku 

jangan loyo! Ayo bangkit! Masuk ke dalam 

goa! Aku sudah menyiapkan makanan 

untukmu!"


Madewa mengerahkan segenap 

sisa-sisa tenaganya. Dan 

terhuyung-huyung memasuki goa. Di pintu 

goa, ia ambruk lagi. Bangkit lagi, 

berusaha untuk masuk.

"Ayo cepat! Atau makanan ini 

kuhabiskan sendiri?"

Semangat Madewa seakan pulih. Ia 

serentak berlari. Dan menyambar makan 

itu dengan cepat. Dan memakannya dengan 

lahap.

* * *

TIGA



Alam sekitar itu tetap sunyi. Tak 

terasa genap sudah umur tempat itu 

bertambah dua tahun. Tetapi keadaannya 

tak banyak berubah, kecuali pohon-pohon 

yang semakin besar.

Di depan goa itu kelihatan seorang 

pemuda tengah bersila dengan kedua 

tangan bersatu di dada. Pemuda itu tengah 

berlatih ilmu pernafasan. Sikapnya 

benar-benar sempurna. Dialah Madewa 

Gumilang, yang hampir dua tahun mendiami 

tempat itu. Kini Madewa telah menjadi 

pemuda perkasa. Tak sia-sia Ki

Rengsersari menggemblengnya dengan 

keras.

Pemuda itu sudah selesai berlatih. 

Ia duduk dengan konsentrasi penuh. Dan 

mendadak saja matanya bisa menembus 

kejauhan. Menjelajah seluruh hutan itu. 

Itulah ilmu terakhir yang diturunkan Ki 

Rengsersari. Ilmu pandangan menembus 

sukma, yang telah sempurna dipelajari 

Madewa.

Madewa benar-benar merasakan 

perubahan yang luar biasa dalam dirinya. 

Ia menjadi mantap dan tegar. 

Keinginannya untuk mencari pemerkosa dan 

pembunuh ibunya semakin kuat. Tetapi dia 

tidak tega meninggalkan Kakek Tua yang 

sakti itu.

Dari kejadian selama dua tahun, 

Madewa mengetahui apa yang telah membuat 

gurunya susah. Isu tentang pedang pusaka 

dewa matahari, yang selalu membuat 

gurunya dibayangi pembunuhan. Akhirnya 

gurunya itu mau menceritakan kejadian 

yang sesungguhnya, setelah selesai 

membunuh Raja Setan dari Utara.

Madewa hanya mengangguk dan 

mendengarkan. Dan merasa berkewajiban 

membela gurunya. Itulah sebabnya dia 

belajar dengan giat, hingga tamatlah 

semua pelajaran silat yang didapatnya


dari Ki Rengsersari. Ki Rengsersari 

bangga dengan pemuda itu. Jurus-jurus 

ular sakti yang diajarkannya, telah 

dikuasai pemuda itu dengan sempurna.

"Madewa."

Madewa menoleh. Gurunya keluar dari 

goa. Madewa bangkit dan menjura. Sikap 

guru lain seperti biasanya. Kayaknya ada 

sesuatu yang akan dibicarakan.

Benar saja, Ki Rengser berkata, 

"Duduk."

Madewa duduk di rumput. Ki Rengser 

di atas batu.

"Ada yang akan kubicarakan 

denganmu. Seperti kau ketahui sendiri, 

hidupku selama ini selalu dibayangi 

pembunuhan, jadi kupikir, suatu saat aku 

pasti akan kecolongan. Dan aku tidak mau 

hal itu terjadi padamu...."

Madewa heran. Ia memotong, "Saya 

tidak paham maksud, Kakek Tua."

"Hanya satu pintaku, kau harus 

meninggalkan tempat ini sekarang. Agar 

kau tidak mati konyol. Lanjutkan terus 

perjalananmu mencari pembunuh ibumu. 

Gunakan ilmu yang kuajarkan itu untuk 

kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Dan 

ingat, kalau keadaan tidak mendesak. 

Ilmu pukulan bayangan sukma tidak perlu 

kau gunakan...."


"Tapi Kakek Tua... saya tidak akan 

meninggalkan kakek tua sendiri. Saya 

tidak menganggap kakek tua tidak mampu 

menghalau setiap serangan yang datang. 

Tapi saya sudah menganggap kakek tua 

sebagai orang tua saya sendiri. Dan saya 

harus menjaga kakek tua."

"Aku pun berat berpisah denganmu. 

Selama dua tahun ini, kaulah yang 

menemani sisa hidupku. Tapi semua ini 

kulakukan untuk kebaikanmu. Aku yakin, 

pasti masih ada orang-orang yang gila 

pedang pusaka itu yang akan berdatangan 

kemari."

"Tidak! Saya akan menemani Kakek Tua 

di sini!" sahut Madewa mantap.

Ki Rengsersari terdiam. Anak yang 

teguh pendiriannya. Ia mengusap wajahnya 

yang berkeriput, janggutnya yang putih 

semakin menampakkan ketuaannya.

"Kukatakan sekali lagi, kau harus 

segera meninggalkan tempat ini. Aku 

kuatir, suatu saat aku tidak mampu 

membela diri. Dan kau mendapat akibat 

yang berat sekali dari masalahku ini. 

Jika kau mati, siapa yang akan 

membalaskan dendam itu? Coba pikir, 

siapa Madewa? Kau harus ingat, masih ada 

tugas lain selain mencari pembunuh


ibumu. Untuk itu, kau harus segera turun 

gunung."

"Apa tugas itu, Kakek Tua?"

"Carikan untukku, orang yang telah 

menyebarkan kabar bohong tentang pusaka 

itu. Dan kau harus mampu membunuhnya. 

Jangan kembali sebelum berhasil. Kau 

sanggup melakukan itu?"

Kali ini Madewa mengangguk. Itu 

perintah yang tak bisa dibantah. Dia akan 

mencari orang yang tega menyebarkan 

kabar bohong itu. Akan dipenggalnya 

orang itu.

"Saya akan patuhi semua itu," suara 

Madewa lemah namun mantap.

Ki Rengsersari tersenyum. Wajahnya 

berseri.

"Bagus! Aku hanya membekalkanmu 

ilmu yang kuturunkan itu. Dan sebuah 

seruling. Ingat Madewa, seruling ini 

hanya bisa digunakan dalam keadaan 

tenang. Jiwa yang bersih. Sedikit saja 

kau dikuasai emosimu, seruling ini tidak 

bisa digunakan.

Orang menyebutnya Seruling Naga. 

Karena dengan sekali tiup orang yang 

memiliki tenaga dalam rendah, akan 

hancur telinganya. Dan mati seketika. 

Maka berhati-hatilah kau 

menggunakannya.


Madewa mengangguk. Terus 

mendengarkan petuah gurunya. Walau dalam 

hati kecilnya dia enggan disuruh turun 

gunung. Tapi perintah tetap perintah. 

Dia harus menunjukkan baktinya pada Ki 

Rengsersari. Dia akan mencari orang yang 

telah menyebarkan isu itu.

Ki Rengsersari mendeham. Tangannya 

sudah memegang sebuah seruling. Itu yang 

disebut Seruling Naga. Bentuknya hampir 

sama dengan seruling biasa. Hanya saja 

seruling itu ada gambar sepasang naga 

yang sedang bergelut. Dan khasiat 

seruling itu lain dengan seruling biasa!

"Terimalah ini untukmu...."

Madewa menadahkan kedua tangannya. 

Tetapi mendadak dia jungkir balik. Ki 

Rengsersari telah meniup seruling itu. 

Bunyinya lembut dan halus. Tapi di 

telinga Madewa begitu berisik sekali. 

dan menyengat! Itulah kehebatan Seruling 

Naga.

Buru-buru dia bersila. Menghimpun 

tenaga dalam dan hawa murninya, untuk 

mengusir suara seruling itu. Tangannya 

bersatu di dada. Ia menarik nafas. 

Mengaturnya dengan baik. Dan 

menghembuskannya seraya mengeluarkan 

hawa murninya.


Tekanan suara seruling itu semakin 

keras dirasakan Madewa. Tetapi pemuda 

itu tetap terdiam. Tak bergeming sedikit 

pun. Diam-diam Ki Rengser tersenyum. 

Kalau orang biasa atau yang punya hawa 

murni rendah, dia sudah mampus 

kelojotan. Ki Rengser menurunkan suara 

serulingnya dan makin lama berhenti.

Madewa menarik nafas. Ki Rengser 

tersenyum.

"Bagus! Kau bisa bertahan juga 

rupanya. Hati-hati kau menggunakannya. 

Madewa, sekarang seruling ini milikmu. 

Jagalah dia, jangan sampai kau buat untuk 

kejahatan."

Madewa bangkit dengan berlutut. Ia 

mengamati seruling itu. Dan 

menyelipkannya di amben yang melilit 

pinggangnya.

Ki Rengser tersenyum puas. Tak 

sia-sia dia menggembleng pemuda ini.

"Sekarang juga kau harus berangkat! 

Jangan membantah. Cepat kemasi barang 

yang kau perlukan! Matahari sepenggalah 

kau masih berada di sini, murtadlah kau!" 

ancam Ki Rengsersari seraya bangkit dan 

berjalan menuju ke tempat 

persemayamannya.

Sebelum dia sampai ke mulut goa, 

mendadak dia berjumpalitan. Beberapa


buah senjata rahasia berbentuk bintang 

menancap di dinding goa. Luput dari 

sasaran.

"Keji!" geramnya yang membuat 

Madewa bersiaga. Ia melompat berdiri di 

samping gurunya dengan sigap.

Terdengar suara tawa dan mengikik di 

depan mereka. Dua orang muncul dari balik 

tebing. Seorang pria berpakaian hitam 

dan seorang wanita cantik berpakaian 

sutra tipis berwarna merah.

"Gundaling si Golok Hitam dan 

Pratiwi si Selendang Merah!" seru Ki 

Rengsersari agak terkejut. Orang-orang 

rimba persilatan yang kesohor.

Gundaling tertawa melihat Ki 

Rengsersari terkejut.

"Heran, kalau aku sampai tahu tempat 

persembunyianmu, Kunyuk Tua?" Tangannya 

meraba-raba golok hitamnya yang besar.

Madewa geram gurunya dihina 

demikian. Dia membentak, "Hei, Orang 

jelek! Apa maumu kemari? Cepat minggat, 

sebelum nyawamu kucabut!"

Gundaling berpaling ke suara itu. 

Dia memperhatikan. Lalu tertawa. 

"Rupanya kau sudah mengangkat murid, 

Kunyuk Tua! Bagus! Aku akan melihat 

kemampuan muridmu nanti!"


Pratiwi, si Selendang Merah, 

mengikik melihat ketampanan Madewa. 

Pratiwi boleh dikatakan dewi merah yang 

cabul. Yang kerap kali menghisap 

keperjakaan pemuda-pemuda, demi ilmu 

selendang merahnya. Melihat Madewa, 

menitik air liurnya.

"Tak kusangka muridmu begitu 

tampan, Kunyuk Tua. Bagus, aku 

menginginkannya, hik... hik...."

Ki Rengsersari menghela nafas 

pelan. Ini yang ditakutkannya. Dia tidak 

ingin Madewa membuang nyawa percuma di 

sini. Selendang merah tidak akan 

melepaskan buruannya. Ki Rengser juga 

tahu akan kemampuan rayuan Pratiwi. 

Siapa pun takluk. Apalagi dia punya ilmu 

pengharum tubuh, yang membuat orang 

tergila-gila padanya karena mencium 

wangi yang memabukan yang menguar dari 

tubuhnya.

Haruskah dia mengorbankan Madewa 

untuk dewi cabul ini? Tidak, dia harus 

mempertahankannya. Diam-diam dia 

berbisik di telinga Madewa, "Bersiaplah. 

Kerahkan ilmu yang kuajarkan."

Madewa langsung bersiap. Menarik 

nafas. Dan membuka telapak tangannya. 

Lalu menggenggam.


Gundaling mengetahui gelagat itu. 

Ia tertawa. "Ha... ha... percuma kau 

gunakan ilmu itu, aku sudah punya 

tandingannya! Penangkal bayangan 

sukma!"

Berkata begitu, Gundaling langsung 

menerjang dengan pukulan lurus, tepat ke 

arah Madewa. Madewa akan menyambut 

dengan bentrokan, tetapi Ki Rengser 

sudah mendorongnya untuk menghindar.

Dan Madewa melihat apa yang terjadi 

kalau pukulan itu dia sambut. Tebing goa 

yang terkena pukulan itu hancur 

berantakan.

Gundaling tertawa ngakak.

"Tubuh tuamu akan hancur dengan 

pukulan ini, Kunyuk Tua! Ayo sambut aku 

dengan pukulan bayangan sukmamu! 

Pertiwi, kau hadapi bocah ingusan itu! 

Kau isap saja sarinya!"

Pratiwi tertawa ngikik. 

Tersipu-sipu seperti perawan ingin 

ketemu pacarnya. Dengan sikap genit dia 

menghampiri Madewa. Ki Rengser ingin 

berteriak hati-hati, tapi perhatiannya 

harus satu, pada Gundaling yang sudah 

menerjang kembali.

Dia menghindar. Kembali pukulan 

Gundaling meleset. Kali ini terkena 

pohon yang tumbang seketika. Gundaling


menyerang lagi. Dua tokoh yang hebat itu 

bergantian menyerang, yang langsung 

menimbulkan kepulan debu di tempat itu.

Sementara itu Pratiwi sudah tepat 

berada di depan Madewa. Dia tersenyum 

manis. Madewa mendengus. Menghindar dari 

tatapan yang penuh gairah itu. Pratiwi 

tertawa dalam hati. Yakin kalau pemuda 

ini sudah terpikat dengannya.

Pura-pura dia menjatuhkan selendang 

merahnya, yang membuat orang keder 

dengan julukan itu. Karena selendang 

yang seperti kapas itu mampu 

menghancurkan batu karang yang besar.

Madewa melengos. Selendang itu 

telah memperlihatkan bagian atas 

Pratiwi. Pratiwi semakin tertawa. Kali 

ini dia menurunkan lagi selendang itu, 

dan menampakkan bagian atas buah 

dada-nya yang mulus dan padat.

Madewa menelan ludahnya. Matanya 

memerah. Ah, buru-buru dia mengerahkan 

hawa murninya, mengusir pengaruh yang 

indah itu. Tapi bayangan indah itu 

mengejarnya. Jelas satu-satunya untuk 

mengusir pesona itu dia harus menyerang. 

Mendadak dia berteriak nyaring, dan 

menerjang selendang merah dengan gerakan 

cepat.


Pratiwi terkejut. Tapi cepat dia 

berkelit. Dan langsung melancarkan 

pukulan ke tengkuk Madewa. Madewa 

berbalik dan menendang. Tepat mengenai 

paha Pratiwi yang jatuh terduduk.

Ki Rengser yang sedang menahan 

serangan Gundaling, berseru dalam hati. 

Bagus, Madewa! Habisi dewi cabul itu!

Pratiwi langsung naik marahnya. Dia 

tidak berbasa-basi lagi. Langsung 

diuraikannya selendang merahnya. Justru 

ini yang membuat Madewa melengos. Bukan 

takut pada selendang merah itu, tapi 

tubuh Pratiwi yang indah terbuka jelas. 

Hanya kainnya yang menutupi sebagian 

kecil buah dadanya bagian bawah

Lagi-lagi Madewa mengerahkan hawa 

murninya. Tubuh Pratiwi mengeluarkan 

wangi yang memabukkan.

Pratiwi memainkan selendang 

merahnya, seraya mengerahkan ilmu 

pengharum tubuhnya. Madewa semakin mabuk 

kepayang. Tapi sejurus kemudian dia 

tersadar ketika mendengar teriakan 

gurunya.

"Aaaaah!" Ki Rengser ambruk terkena 

sabetan golok hitam Gundaling. Lalu 

disusul pukulan yang berbahaya itu. 

Tubuh Ki Rengser semakin kelojotan.


Madewa tertegun. Tapi sejurus 

kemudian dia bergerak. Menyerang dengan 

pukulan bayangan sukma tingkat tinggi. 

Gundaling yang sedang tertawa melihat 

hasil kerjanya, lengah. Tubuhnya terkena 

pukulan bayangan sukma Madewa dengan 

keras. Dan tubuh itu pun ambruk saat itu 

juga.

Tapi Gundaling masih sempat 

melemparkan senjata rahasianya yang 

berbentuk bintang sebelum ambruk untuk 

selamanya. Madewa pun tak sempat 

berkelit. Sebuah senjata rahasia itu 

menancap di tangannya.

"Aduuuuh!" '

Kali ini Pratiwi yang terkejut. 

Tidak menyangka bocah itu mampu 

mengalahkan Gundaling. Terang saja, 

Gundaling sedang lengah, kalau tidak 

hancur pemuda itu.

Dia geram melihat kawannya mati 

kelojotan. Selendang merahnya segera 

beraksi. Tubuh Madewa yang sedang 

terhuyung, terbelit selendang itu, Dan 

dengan sekali sentakan, tubuh itu 

dihempaskan ke tebing goa. Tetapi 

mendadak ayunannya melemah. Sehingga 

tubuh Madewa terhempas ke tanah.

Pratiwi berpikir, pemuda ini masih 

bisa digunakan untuk kesempurnaan ilmu


selendang merahnya. Jangan dibunuh dulu. 

Dihisap dulu keperjakaannya.

Madewa yang sudah lemah, merasakan 

pusing yang amat sakit. Rupanya racun 

dari senjata rahasia Gundaling sudah 

menjalar. Pratiwi memburunya. Sayang 

kalau pemuda tampan ini sampai mati, 

buru-buru dia mengeluarkan pil pemunah 

racun itu. Diminumkannya pada Madewa.

Sebelum Madewa sadar, dia menotok 

urat di bawah dagu Madewa sehingga tidak 

bisa bergerak. Dan kesempatan itu harus 

digunakan sebaik-baiknya. Si Selendang 

Merah, langsung membuka seluruh 

pakaiannya. Sekejap saja dia sudah 

telanjang bulat di depan Madewa. 

Tubuhnya putih mulus. Tak ada cacat. Buah 

dadanya segar. Pinggulnya montok. 

Pinggangnya ramping. Sepasang pahanya 

mulus. Ah... membuat yang melihatnya 

langsung menelan liur.

Tapi Madewa ngeri melihatnya. 

Apalagi tangan Pratiwi sudah merabai 

tubuhnya. Dan membuka pakaiannya satu 

per satu.

"Jangan takut, Madewa. Kita akan ke 

sorga sejenak. Kau pasti akan 

ketagihan," rayu dewi cabul itu sambil 

tersenyum genit. Dia sudah tidak 

memperdulikan lagi mayat sahabatnya itu.


Pratiwi mengikik. Suaranya penuh 

gairah. Ia menjatuhkan tubuh 

telanjangnya di atas tubuh Madewa yang 

tidak bisa bergerak.

Madewa memejamkan mata ketika 

Pratiwi sudah mau mulai. Tapi mendadak 

Pratiwi menyambar pakaiannya. Dan 

memakainya dengan buru-buru. 

Pendengarannya yang tajam menangkap 

derap langkah mendekati tempat itu.

Sesosok tubuh besar berdiri di 

dekatnya sambil menggeleng-geleng. 

Bandartaman. Dan menyeringai pada 

Pratiwi yang jadi jengkel bukan main.

"Bukan main tubuh selendang merah. 

Indah. Ah, kalau saja aku bisa menghisap 

buah dada itu...."

"Jangan cabul, Bandartaman!" geram 

Pratiwi sengit.

"Kau yang hendak berbuat cabul, 

bukan?"

"Itu urusanku, bukan urusanmu!"

"Aku tahu, tapi aku boleh kan 

menikmati tubuhmu juga? Ah, tubuhmu 

ranum sekali, Pratiwi."

"Bangsaaat!"

"Sabar, Pratiwi! Izinkan aku sekali 

lagi melihat tubuhmu. Masih terbayang 

indahnya buah dadamu dan sesuatu yang 

tersembunyi di antara pahamu...."


"Setan kau, Bandartaman!" serentak 

Pratiwi mengayunkan selendang merahnya. 

Bandartaman berkelit. Selendang itu 

menghantam pohon yang langsung hangus.

Bandartaman berdecak.

"Hebat, hebat! Sudah, sudah! 

Sebenarnya aku ke mari bukan ingin 

bertarung denganmu, Pratiwi! Tapi dengan 

Ki Rengsersari, untuk memperebutkan 

pusaka dewa matahari!"

"Kau terlambat, Ki Rengser sudah 

mampus terbunuh!"

"Hah? Mana?"

Pratiwi mengayunkan selendang 

merahnya. Tepat mampir di tubuh Ki 

Rengser yang sudah menjadi mayat. Mata 

Bandartaman semakin terbelalak. Apalagi 

ketika melihat tubuh Gundaling yang 

hancur.

Ia berpaling pada Pratiwi.

"Siapa yang membunuhnya?"

"Keduanya saling membunuh!"

"Aku tidak percaya! Pasti kau yang 

telah membunuhnya! Dan telah mendapatkan 

pedang pusaka dewa matahari itu! Cepat 

serahkan padaku, Pratiwi! Atau... kau 

ingin kubunuh!"

"Enaknya menuduhku yang 

bukan-bukan! Pedang itu tidak penting


bagiku, Bandartaman! Aku lebih suka 

pemuda ini daripada pedang itu!"

Bandartaman tahu akan kecabulan 

Pratiwi. Benar, bagi Pratiwi pasti 

pemuda itu lebih mengasyikan daripada 

pedang. Kalau begitu pedang itu masih 

berada di dalam goa.

Ia melirik Pratiwi lagi.

"Kau tidak menginginkan pedang itu?

"Tidak, aku lebih menginginkan 

pemuda ini!"

"Baik, aku tidak akan mengganggu 

keasyikanmu! Tapi kau juga jangan 

merebut pedang itu apabila aku 

mendapatkannya!"

"Sudah kubilang aku tidak akan 

mengganggumu!"

"Baik! Selamat bergoyang, Pratiwi!"

Bandartaman terbahak. Dia tidak 

perlu repot-repot lagi untuk merebut 

pusaka itu. Cepat masuk ke dalam goa. 

Pratiwi mendengus. Menganggu keasyikan 

orang saja. Ia berpaling lagi pada Madewa 

Gumilang yang masih bertanding kaku. 

Tangannya membelai pipi Madewa.

"Hmm, kita lanjutkan lagi perjalan 

kita ke sorga, bocah!" Pratiwi kembali 

membuka seluruh pakaiannya. Kali ini dia 

langsung menuju sasaran.


Tapi lagi-lagi gagal. Bandartaman

keluar sambil mengamuk-ngamuk. Pedang 

itu tidak didapatnya. Dia merasa 

Pratiwi, menipunya. Di dalam goa tidak 

ada apa-apa. Hanya batu-batu dan dinding 

goa yang berlumut.

Dengan geram dia mengambil golok 

hitam kepunyaan Gundaling. Dan 

menghampiri Pratiwi yang tergesa 

berpakaian kembali.

"Mau apa lagi kau?" geram Pratiwi 

jengkel.

"Mana pedang itu?" bentak 

Bandartaman keras.

"Aku tidak tahu!"

"Jangan bohong! Pasti berada 

padamu!"

"Kau jangan mengada-ngada, 

Bandartaman! Aku belum mengambil pedang 

itu!"

"Jangan coba-coba membohongiku, 

Pratiwi! Aku bisa marah besar padamu!"

"Kau mau mengelak pula, 

Bandartaman! Sudah kubilang, aku tidak 

minat dengan pedang itu! Jangan 

memutarbalikkan fakta!"

"Setan! Kau yang menipuku! Baik 

Pratiwi, rupanya kita ditakdirkan untuk 

bertarung! Bersiaplah! Aku telah


bersumpah, akan merebut pedang itu dari 

siapa pun juga."

Kembali kedua tokoh itu bertarung. 

Madewa kembali menghela nafas lega. 

Hampir saja dia terjerumus dosa yang 

besar. Berzina dilarang. Dan haram 

hukumnya.

Diperhatikannya saja kedua orang 

itu bertarung. Keadaan di sana semakin 

ribut. Debu semakin banyak berkepul. 

Madewa ingin pindah, tapi susah sekali 

tubuhnya digerakkan.

Tetapi kemudian dia terkejut, 

sebuah kerikil terpental dari arena 

pertarungan itu. Dan jatuh tepat pada 

totokannya. Karena kerasnya lemparan 

batu itu, totokannya terlepas.

Madewa langsung melompat. Dan 

menyambar pakaiannya. Tanpa menunggu 

akan apa ke-anjutan dari pertarungan 

itu. Dia buru-buru menghindar. 

Meninggalkan tempat itu.

Dari kejauhan, debu itu masih 

nampak. Madewa berdiri di ketinggian 

tempat. Memandangi tempat itu. Tempat 

selama dua tahun dia digembleng oleh Ki 

Rengsersari.

Dan kini dia benar-benar akan 

meninggalkannya. Juga meninggalkan

tubuh Ki Rengsersari yang telah menjadi 

mayat.

Tugas telah menantinya. Dia akan 

mencari penyebar kabar bohong itu, yang 

menyebabkan gurunya menemui ajal hari 

ini juga. Sebelum dia sempat

beristirahat di dalam goanya yang 

nyaman. Juga mencari orang-orang yang 

menyebabkan kematian Ibu.

Madewa melompat. Berjalan. Berlari. 

Jauh-jauh meninggalkan tempat itu.

Di sana, Pratiwi si Selendang Merah 

masih bertarung dengan Bandartaman.

* * *

EMPAT



Entah sudah berapa kilometer Madewa 

melangkah. Siang malam dia selalu 

terbayang wajah gurunya. Juga ketika 

golok Gundaling menyambar tubuh renta 

itu. Madewa mengeluh dan perasaan 

bersalah menggunduk di hatinya. Tetapi 

dia harus mencari pembunuh ibunya dan 

penyebar isu tentang pusaka dewa 

Matahari yang telah menyebabkan kematian 

gurunya.


Kalau malam, Madewa selalu teringat 

akan gurunya. Gurunya yang baik. Gurunya 

yang kadang menjengkel. Harus mati 

secara mengenaskan. Dia harus membalas 

kematian gurunya terhadap Pratiwi! 

Sekarang biarlah dia akan mencari dulu 

pembunuh ibunya dan penyebar isu itu.

Pada suatu hari, dia tiba di sebuah 

desa yang bernama Bojongronggo. Perutnya 

terasa lapar sekali. Kebetulan dia masih 

ada sisa uang sedikit. Madewa pun mampir 

ke sebuah warung. Kehadirannya sebagai 

orang asing membuat pengunjung warung 

memperhatikannya. Tetapi Madewa tak 

mengacuhkannya, dia santai saja 

menikmati makannya, hingga orang-orang 

itu pun mulai tak acuh. Mereka kembali 

melanjutkan makan dan bercakap-cakap.

Tiba-tiba Madewa menajamkan 

pendengarannya. Dia tertarik pada 

percakapan dua laki-laki yang duduk di 

sebelahnya, karena kedua orang itu ada 

menyebut-nyebut nama gurunya.

"Kau serius, Genda?" tanya yang 

kurus pada teman bicaranya. Ia nampak 

tertarik sekali.

Yang dipanggil Genda itu 

mengangguk. "Aku mendengar kabar itu 

dari desa seberang. Ki Rengsersari mati 

terbunuh oleh Gundaling. Juga Gundaling.


Kelihatan kalau keduanya saling 

membunuh. Tetapi di sana juga ada mayat 

Bandartaman, yang tidak diketahui siapa 

pembunuhnya. Kalau dilihat letak mayat 

Ki Rengser dan Gundaling, jelas bukan 

mereka yang membunuh Bandartaman, karena 

mayat Bandartaman jauh dari mereka."

Madewa mendesah dalam hati. Pratiwi 

yang memenangkan pertarungan itu. Dewi 

cabul itu benar-benar hebat.

"Lalu bagaimana dengan pedang itu?" 

Didengarnya lagi percakapan kedua orang 

itu.

"Mereka tidak ada yang tahu. Pusaka 

itu lenyap entah ke mana. Kemungkinan 

besar ada orang keempat yang 

mengambilnya."

"Siapa?"

"Orang-orang di sekitar sana hanya 

tahu, kalau jagoan tua itu punya seorang 

murid. Mungkin pedang itu ada padanya. 

Dan dia yang membunuh Bandartaman demi 

mempertahankan pedang pusaka."

"Lalu ke mana larinya muridnya itu?"

"Tidak ada yang tahu. Orang 

persilatan tengah mencarinya. Yah, salah 

Ki Tua itu juga. Punya pedang sakti 

disembunyikan."

"Memang, pedang itu hanya bisa 

ditandingi oleh pusaka Siluman Mata Air


milik Niniwulandari yang juga hilang 

entah ke mana."

"Bagi yang memiliki kedua pedang 

itu, dia bisa jadi raja di dunia 

persilatan ini."

"Eh," tiba-tiba Genda bangkit, "Aku 

permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang 

harus kulakukan, Buntoro."

Buntoro meneruskan makannya, 

"Silahkan, Genda."

Pemuda itu membayar apa yang dia 

makan, lalu pergi. Madewa melirik orang 

itu. Dia berniat akan menyusul. Sebelum 

dia bangkit, dua orang bertubuh 

kerempeng telah bangkit lebih dulu.

Dan berjalan ke arah yang dilalui 

Genda. Rupanya kedua orang itu tertarik 

pula dengan percakapan tadi.

Buru-buru Madewa membayar, lalu 

bergegas menyusul. Tempat itu masih 

asing baginya, sebentar saja dia sudah 

kehilangan jejak. Namun tiba-tiba 

pendengarannya menangkap bentakan tak 

jauh dari situ, "Tunggu sebentar, 

Kawan!"

Medewa cepat mencari sumber suara 

itu. Lalu menyelinap di balik semak dan 

memperhatikan dua orang tadi tengah 

menghampiri Genda yang merasa tidak 

mengenal keduanya.


"Ada apa, Kisanak?"

"Kami minta keterangan sedikit 

darimu," kata yang bergolok tipis, dia 

bernama Caraka.

"Keterangan apa?" Kening Genda 

berkerut. Siapa orang-orang ini?

"Tentang Pusaka Dewa Matahari."

"Oh,aku tidak tahu soal itu.

"Jangan dusta! Barusan kami 

mendengar kau membicarakannya!"

"Aku hanya tahu... pusaka itu 

dilarikan murid Ki Rengsersari."

Mendadak orang itu tertawa ngakak. 

Kawannya yang bernama Tikam ikut pula 

tertawa.

"Dan kami tahu siapa muridnya Ki 

Rengsersari itu!"

Madewa yang mengintip menjadi 

bersiap. Di sangkanya kedua orang itu 

tahu dia mencuri dengar. Tapi Caraka 

malah maju ke depan Genda. Suaranya 

merandek. "Pasti kau muridnya, bukan?! 

Kami tahu penyamaranmu, Kawan! Cepat 

serahkan pedang itu pada kami!"

Jelas Genda terkejut dan heran. 

Apa-apaan orang ini menuduh di sebagai 

murid Ki Rengsersari. Wah, jelas 

keduanya tidak tahu siapa dia. Dia 

perumput dan penjaga kuda-kuda


Biparsena, orang terkaya di desa 

Bolongronggo ini.

"Apa-apaan kalian omong? Aku Genda! 

Bukan muridnya Ki Rengsersari! Kalian 

mengigau apa?"

"Jangan berdusta!" bentak Tikam 

jengkel. Ia mencabut goloknya. Golok itu 

berkilat ditimpa cahaya matahari, yang 

membuat Genda mundur ketakutan. Wajahnya 

memucat. Bibirnya mendadak membiru.

"Bukan, bukan aku! Aku tidak tahu 

apa-apa!"

"Katakan, di mana pusaka itu?" 

bentak Caraka geram. "Atau... kau mau 

mampus di tangan kami! Cepat katakan!!"

"Jangan, jangan! Aku tidak tahu 

apa-apa!"

Sikap Genda itu membuat kemarahan 

mereka naik. Disangkanya mereka tidak 

tahu kalau murid Ki Rengsersari ini 

berpura-pura. Secepat kilat Caraka 

mengayunkan goloknya. Tepat ke arah 

leher Genda. Genda memekik ketakutan. 

Bersamaan dengan itu sesuatu menambrak 

golok Caraka. Caraka menyangka Genda 

yang menangkis. Dia tidak tahu, karena 

takutnya asal saja Genda mengayunkan 

tangannya. Tapi tidak mengenai golok 

itu. Genda sendiri saja heran, kenapa 

golok itu tidak mampir di lehernya.


Caraka mundur. Mengatur posisi. 

Tikam bersiap pula. Murid Ki Rengser 

tidak boleh dianggap enteng. Keduanya 

serentak menerjang Genda yang menjerit 

ketakutan. Tapi lagi-lagi keduanya 

gagal. Sesuatu menerjang mereka hingga 

terpelanting.

"Bangsat!" geram Caraka. "Pantas 

kau berani bertingkah, punya mainan juga 

rupanya! Tapi kali ini, terimalah 

kematianmu. Tikam, satukan permainan 

golokmu dengan golokku. Kita habiskan 

dia!"

Tikam merapat. Caraka merapat. 

Goloknya berada di sebelah kanan. Tikam 

sebelah kiri. Keduanya merapatkan 

tangan. Tangan yang satunya lagi 

mengepal. Dan mendadak mengeluarkan 

asap. Inilah puncak ilmu Keduanya. 

Keduanya menamakan golok kembar mengacau 

gunung. Murid Ki Rengser hanya pantas 

dilawan oleh ilmu golok macam ini.

Madewa yang dua kali menghalau 

serangan mereka pada Genda, terkejut. 

Dia tidak bisa menahan serangan itu kalau 

hanya dengan bersembunyi. Dia harus 

menampakkan diri.

Maka dia melompat. Dengan sekali 

salto saja dia sudah berdiri di hadapan


keduanya, melindungi Genda yang 

menggigil ketakutan.

Keduanya terbelalak. Tapi kemudian 

menggeram.

"Mau apa kau? Jangan halangi 

perbuatan kami!"

"Perbuatan yang salah, harus 

dihalau! Aku bertugas melakukannya!" 

sahut Madewa tenang.

"Bangsat!" dengus Caraka. "Siapa 

kau?"

"Kau sedang mencari siapa tadi?" 

sahut Madewa lagi.

"Muridnya Ki Rengser!"

"Nah, sekarang muridnya itu sudah 

berdiri di hadapan kalian! Kalian mau 

apa?!"

Keduanya terbelalak, tak percaya. 

Menoleh pada Genda yang sedang menatap 

Madewa. Tak percaya pula. Tapi kemudian 

dia menghela nafas lega. Buru-buru dia 

melongok pada kedua orang itu.

"Nah, benarkah? Bukan aku orangnya 

yang menjadi murid Ki Rengser! Malu tuh!" 

katanya meledek, lalu akan melangkah.

Tapi Caraka membentak, "Jangan 

pergi kau! Hei, kawan! Benar kau muridnya 

Ki Rengser?"


Madewa mengangguk sambil tersenyum. 

"Akulah murid tunggalnya, Madewa 

Gumilang!"

"Bagus! Sekarang serahkan pedang 

pusaka dewa matahari kepada kami! 

Cepat!"

"Jangan mimpi, Kawan. Aku tidak 

memiliki benda itu! Sekarang kuminta, 

cepat pergi dari tempat ini sebelum aku 

marah!"

"Bangsat cilik! Kau sangka kami 

takut?!"

"Mungkin tidak kalau kalian sudah 

tidak sayang dengan nyawa kalian!"

"Setan kau!" geram Caraka dan Tikam 

berbarengan. Mereka menyatukan tenaga 

lagi. Dan serentak menggeram serayo 

menyerang. Golok kembar mengacau gunung, 

membuat Madewa agak kaget. Dia tidak 

berani mengadu tenaga, buru-buru dia 

menghindar. Sepasang golok itu meleset. 

Dan memakan pohon di depannya, yang 

langsung tumbang sekali tebas.

Genda semakin ketakutan. Dia 

bersembunyi di balik batu besar.

Madewa tersenyum. Ilmu yang bagus. 

Dia mulai menghimpun tenaga. Pukulan 

bayangan sukma merangkum di tangannya. 

Ketika kedua orang itu menyerang, kali


ini Madewa menyambut. Sama dengan 

teriakan yang menggelegar.

Dua buah tenaga besar beradu, 

akibatnya menjadi. kacau. Keduanya 

terpental ke belakang. Tempat itu seakan 

bergoncang. Debu berkepul tebal.

Madewa langsung bersalto dan 

berdiri dengan kedua tangan bersatu di 

dada. Menghimpun nafas dan tenaganya. 

Sementara kedua orang itu jatuh ambruk 

dan tak bernafas lagi.

Genda yang sudah setengah mampus 

ketakutannya, menghela nafas lega dan 

tenaga membuka matanya. Tidak seberapa 

tenaga kedua orang itu. Dia pun tadi bisa 

mengimbanginya dengan jurus Tembok 

Menghalau Badai.

"Terima kasih, Tuan penolong. Kalau 

tidak ada Tuan, pasti saya sudah mati," 

terdengar suara Genda sopan. Orangnya 

membungkuk hormat di hadapan Madewa.

Madewa tersenyum.

"Kebetulan saja aku melihat semua 

ini."

Tuan ini melihatnya? Oh, kalau 

begitu pasti dia yang menolongnya dari 

sabetan golok dan terjangan kedua orang 

itu. Sekali lagi Genda berterima kasih.

"Kalau boleh saya tahu, benarkah 

Tuan muridnya Ki Rengsersari?"


Madewa tersenyum lagi.

"Jangan panggil aku Tuan. Yah, 

kebetulan aku murid tunggalnya Ki 

Rengser. Kenapa?"

"Oh!" Genda celingukan seolah 

kuatir ada yang mengintip. "Tuan harus 

berhati-hati. Orang-orang jago sedang 

ramai mencari Tuan." 

"Kenapa mereka mencariku?"

"Karena Tuan membawa pusaka dewa 

matahari itu."

"Oh, Tuhan. Lagi-lagi pusaka itu," 

Madewa mengeluh. Dalam hati dia 

menyambung, benar-benar isu yang 

menghancurkan. Dia semakin ingin bertemu 

dengan orang yang menyebarkan kabar 

bohong itu. Ah, mungkinkah Genda bisa 

dimanfaatkannya?

"Ya, Tuan. Sebaiknya Tuan 

bersembunyi saja. Oh, bagaimana kalau di 

tempat saya?"

Madewa menatap laki-laki kurus itu.

"Kalau tidak keberatan?"

Genda menggeleng. "Karena Tuan 

orang baik, dan sudah menolongku."

"Baiklah. Mungkin untuk sementara 

ada baiknya aku tinggal di rumahmu."

Keduanya mulai melangkah.

Malam mulai merambat, ketika Genda 

datang dari bekerja. Setiba mengantar


Madewa ke rumahnya, Genda langsung 

berangkat bekerja, sebagai perawat 

kuda-kuda. Ia membawa beberapa bungkus 

makanan ketika pulang.

Keduanya makan di temani lilin 

kecil.

"Kata Tuan tadi siang, Tuan mau 

bercerita tentang kedatangan Tuan ke 

daerah ini. Boleh dilanjutkan?"

Madewa mengangguk. Ia menyelesaikan 

makannya dulu. Lalu, "Ya, aku memang ada 

perlu.... Benar ceritamu, guruku dan 

Gundaling, mati saling bunuh. Sedangkan 

Bandartaman, mati di tangan Pratiwi, si 

Selendang merah. Tapi masalah pedang 

itu, tidak ada padaku. Juga tidak pada 

guruku. Ketahuilah Genda, sebenarnya 

pusaka itu tidak ada pada guruku. Guruku 

tidak memilikinya. Itu hanya kabar 

bohong yang diberitakan orang yang iri 

pada guruku...."

"Jadi?" potong Genda tidak sabar.

"Ya, pusaka itu hanya kabar bohong 

saja. Kedatanganku pun, ingin mencari 

orang yang menyiarkan kabar bohong itu. 

Yang telah membuat hidup guruku tidak 

tenang. Dan mati secara mengerikan."

Terkenang lagi semua yang terjadi di 

benak Madewa. Pertama dia bertemu Ki 

Rengsersari. Diangkat jadi murid.


Belajar. Diberi nasehat. Dan hari yang 

menentukan itu, sebelum gurunya sempat 

beristirahat, maut telah menjemputnya!

Madewa mendesah.

Genda jadi tidak enak. Dia merasa 

bersalah karena mengembalikan ingatan 

Madewa tentang kejadian sedih itu.

“Ah, sebaiknya Tuan tidur saja dulu. 

Besok baru kita bicarakan soal ini lagi."

"Sebentar Genda. Kau bisa 

membantuku?'

"Bantu apa?"

"Pergaulanmu luas. Temanmu banyak. 

Kau pasti bisa menemukan kabar-kabar 

baru untukku. Kalau ada yang bicara 

tentang pusaka itu, beritahukan padaku. 

Bisa kau?"

"Untuk Tuan aku akan melakukannya."

"Terima kasih, Genda. Kau tidurlah 

lebih dulu."

"Aku tidak mengantuk, Tuan."

"Aku juga. Kita lanjutkan obrolan 

ini?"

"Terserah, Tuan."

Madewa hanya mengangguk. Dan 

obrolan itu terus berlanjut. Sampai 

kokok ayam terdengar, mereka masih asyik 

bicara. Tanpa terasa ngantuk.

Genda sudah bersiap hendak 

berangkat bekerja lagi keesokan harinya.


Ia berpesan pada Madewa, agar jangan ke 

mana-mana, karena keselamatannya tidak 

menjamin.

"Aku tidak akan jauh dari rumah 

ini," sahut Madewa tersenyum. Sahabat 

barunya ini begitu menguatirkan 

keselamatannya.

"Baiklah, Tuan. Kupikir, Tuan juga 

mampu menghalau setiap serangan yang 

datang. Aku berangkat dulu, Tuan." 

Madewa mengangguk. Genda pergi dengan 

langkah pelan. Rumah majikannya tidak 

jauh dari tempat tinggainya. Beberapa 

saat kemudian dia sudah tiba di sana. Dan 

langsung menuju ke kandang kuda. 

Kuda-kuda itu sehat. Berjumlah sepuluh 

ekor. Majikannya memang orang yang kaya. 

Bertubuh gendut. Dia seorang duda. 

Istrinya meninggal ketika melahirkan 

anaknya yang cuma semata wayang. Dan 

majikannya itu tidak ingin menikah lagi. 

Untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya,

dia tinggal mendatangi tempat ‘kupu-kupu 

cantik' bersarang yang memang dia 

sendiri yang mengelolanya. Atau 

mendatangkannya dua orang yang masih 

muda dan cantik ke rumahnya.

Herannya, anak gadisnya yang tumbuh 

menjadi kembang yang sangat cantik, 

tidak tahu akan hal itu. Biparsena memang


hebat menyembunyikan belangnya dari 

anaknya, Ratih Ningrum.

Kadang-kadang Genda juga heran, 

majikannya yang jelek itu punya anak 

secantik Ratih Ningrum.

Ketika dia sedang mengelurkan 

kuda-kuda itu untuk dibawa ke padang 

rumput, gadis itu sudah berdiri di pintu 

kandang.

"Kang gendang," panggilnya dengan 

suara yang lembut.

Genda terkejut. Dia bisa kena marah 

oleh majikannya karena anak 

kesayangannya berada di tempat kotor 

ini.

"Ada apa, Den Putri?" tanyanya 

hormat.

"Saya ingin jalan-jalan."

"Oh, silahkan. Tinggal pilih 

kudanya, Den Putri. Saya akan urusi 

nanti."

"Biar aku yang mengurusnya."

"Jangan, Den putri. Nanti kena marah 

ayah."

"Tidak! Ayah lagi ada tamunya. Nggak 

tahu siapa. Nenek tua yang genit!"

Ratih Ningrum menunjuk kuda tinggi 

yang berwarna putih. Genda buru-buru 

memasang perlengkapan kuda itu. Lalu, 

"Silahkan, Den putri."


Ratih Ningrum meloncat ke atas kuda. 

Ia berkata pada Genda, "Kalau ditanya 

Ayah, aku pergi jalan-jalan!"

"Iya, Den putri!"

Ratih Ningrum menggeprak kudanya 

yang langsung meloncat dengan indah. 

Genda geleng-geleng kepala. Kecantikan 

gadis itu begitu memukaunya. Penuh 

pesona yang sukar ditepiskan. Ah, 

apa-apaan dia melamunkan gadis itu. Mim-

pi! Jangan suka berkhayal, nanti jadi 

pusing sendiri.

Ia melanjutkan pekerjaannya lagi.

Dari arah samping terdengar suara 

majikannya, "Jadi itu keputusanmu, 

Nini?"

Nenek Tua yang berdiri di sampingnya 

mengangguk.

"Tidak ada jalan lain, tinggal dia 

satu-satunya yang diharapkan," kata 

nenek tua yang tidak lain adalah 

Niniwulandari.

"Baik! Akan saya usahakan untuk 

mendapatkannya!"

"Bagus, Biparsena! Kau seorang 

murid yang jempolan. Mengerti kemauan 

gurunya! Aku permisi. Sambil mencari 

tahu tentang orang itu."

"Hati-hati, Nini!"


Niniwulandari terkekeh. Langkahnya 

tidak mencerminkan seorang nenek tua 

yang lemah. Tapi penuh gairah dan tenaga. 

Ia melangkah dengan tegap.

Biparsena mengusap-usap dagunya. 

Rupanya yang dicari gurunya itu telah 

tiba di sini. Bagus, kita akan 

mencarinya!

Genda masih bekerja. Dia pura-pura 

menggosok kuda itu ketika majikannya 

menoleh.

"Kemari sebentar, Genda!"

"Ya, Tuan!"

"Aku punya tugas untukmu!" "Tugas 

apa, Tuan."

"Cari keterangan, tentang orang 

asing yang masuk ke daerah ini." 

"Maksud Tuan?"

"Kemungkinan besar orang asing itu 

akan merusak daerah kita ini. Dikabarkan 

akan adanya bencana yang besar bagi 

daerah ini. Makanya kau cari tahu siapa 

saja yang datang. Mengerti?"

"Mengerti, Tua."

Biparsena mengangguk puas.

"Tadi kulihat Ratih Ningrum berada 

di sini? Di mana dia sekarang?"

"Sedang jalan-jalan dengan 

menunggang kuda, Tuan."


"Hmm, bagus kalau begitu. Nafsu 

syahwatku sudah tidak kuat kubendung 

lagi. Tolong panggil dua wanita muda yang 

cantik ke mari. Cepat Genda, aku sudah 

tidak tahan!" 

"Baik, Tuan!"

Yah, memang hanya pembantu-pembantu 

setianya saja, Biparsena mau membuka 

rahasia, kalau dia membuka tempat 

praktek pelacuran di daerah ini. Genda 

pun tahu tempatnya. Dia memilih dua orang 

yang cantik dan membawanya ke rumah 

majikannya.

Tak kalah kemudian, dari kamar itu 

terdengar nafas rintihan dan erangan.

Hari sudah agak siang ketika Ratih 

Ningrum berniat untuk kembali. Ia 

memutar haluan kudanya. Ketika melewati 

rumah Genda, dia melihat seorang pemuda 

sedang melamun di depan rumah itu.

Ratih Ningrum heran. Bukankah hanya 

Genda yang menghuni rumah itu? Lalu siapa 

orang itu. Jangan-jangan dia mau berbuat 

jahat.

Ratih Ningrum bukan gadis penakut. 

Apalagi ayahnya berkuasa di sini. 

Perlahan menjalankan kudanya mendekati 

pemuda yang tak lain Madewa Gumilang.

Pemuda itu kaget mendengar langkah 

kuda mendekatinya. Juga kaget melihat


betapa cantiknya penunggang kuda itu. 

Baru kali ini Madewa melihat gadis 

secantik dia.

Ratih Ningrum jadi agak malu dengan 

tatapan Madewa yang jelas mengagumi 

kecantikannya. Dia membentak, "Hei, kamu 

siapa?!"

Madewa tergagap. Lalu tersenyum 

sambil buru-buru berdiri.

"Oh, saya bernama Madewa Gumilang, 

Nona."

"Kamu sedang apa di sini?"

"Duduk-duduk saja."

"Maksudku... di rumah ini?"

"Oh, aku tinggal bersama Genda, 

sahabatku, Nona. Sekarang dia sedang 

bekerja di keluarga Biparsena."

Melihat tingkah pemuda itu sopan, 

kecurigaan Ratih Ningrum menghilang.

"Aku baru tahu kalau Genda punya 

teman...."

"Saya teman barunya, Nona." Mata 

Madewa tetap tidak berpaling sedikit pun 

dari wajah Ratih Ningrum. Masih tetap 

menikmati kecantikan itu selagi gadis 

itu masih ada.

"O ya, namaku Ratih Ningrum."

"Nama yang indah. Secantik 

orangnya," puji Madewa setulus hati.


Wajah Ratih Ningrum memerah. Baru 

kali ini dia mendengar pujian dari 

seorang pemuda yang begitu terus terang. 

Berulang kali di mendengar pemuda-pemuda 

mengagumi kecantikannya, tapi hanya 

secara sembunyi-sembunyi.

Wajah yang memerah itu, semakin 

menambah kecantikannya. Madewa 

geleng-geleng kepala. Mendesah.

"Saya gembira sekali bisa 

berkenalan dengan gadis cantik macam, 

Nona."

"Panggil aku, Ratih," kata Ratih 

sambil menunduk. Menghindari tatapan 

Madewa yang terus menerus. Mendadak 

dadanya bergetar. Tatapan itu pun 

mempesonanya. Tatapan yang tulus. Tidak 

ada gairah yang menjijikkan. Ia 

menenangkan gemuruh dadanya. "Ah, hari

ini sudah siang! Aku permisi dulu, 

Madewa!"

"Tunggu sebentar, Nona! Boleh... 

aku tahu rumahmu?"

Ingin sekali Ratih menyebutkan 

rumahnya. Tapi dia kuatir. Dia tahu 

ayahnya, yang melarangnya bergaul dengan 

pemuda-pemuda kampung. Dia hanya pantas 

berdampingan dengan bangsawan, begitu 

kata ayahnya.


"Ah, dekat kok!" hanya itu jawaban 

Ratih.

"Di mana?"

"Pokoknya dekat." Ratih melengos. 

"Yuk, ah! Aku permisi!"

"Ratih!" panggil Madewa penasaran. 

Tapi kuda itu sudah membawa Ratih pulang 

ke rumahnya. Hanya Madewa yang masih 

berdiri menatap hilangnya kuda yang 

membawa gadis cantik itu.

Madewa mendesah. Entah berapa 

banyak dia telah menjumpai gadis 

secantik Ratih, tapi baru kali ini 

hatinya bergetar melihat seorang gadis. 

Ah, apakah dia telah jatuh cinta dengan 

gadis itu?

Madewa kembali duduk di tempatnya 

tadi. Heran, sejak tadi yang 

direnungkannya adalah bagaimaan cara 

mencari orang yang menjadi musuh 

besarnya itu yang telah menjadikan akhir 

hidup gurunya penuh derita tetapi 

sekarang, bayangan Ratih Ningrum yang

cantik yang menggodanya.

Wajah itu betapa manisnya. 

Senyumnya memikat sekali. Kembali Madewa 

mendesah. Diam-diam dia merasa agak 

beruntung karena singgah di desa ini, 

yang memberinya kesempatan untuk 

berkenalan dengan Ratih Ningrum.


Tiba-tiba Madewa mendongak. 

Seseorang telah berdiri di dekatnya. 

Madewa merasa mengenal laki-laki ini. 

Orang yang berbicara dengan Genda 

kemarin di warung nasi itu. Madewa pun 

tahu namanya. Buntoro.

"Maaf, apakah Genda ada di rumah?" 

tanya Buntoro.

"Oh, dia sedang bekerja di rumah 

Biparsena," sahut Madewa sambil 

tersenyum. Dia harus bisa mengambil hati 

orang-orang di desa ini, agar mereka 

jangan curiga dengan pendatang baru.

"Baiklah, nanti saya kembali lagi," 

kata Buntoro seraya pergi. Madewa hanya 

mengangguk. Kembali lamunannya bekerja. 

Dan seraut wajah Ratih Ningrum 

menggodanya lagi!

Madewa cepat-cepat menghimpun hawa 

murninya, mengusir bayangan indah itu. 

Dan pikirannya pun bekerja lagi, mencari 

jalan untuk menemukan orang yang 

menyebabkan isu tentang pusaka dewa 

matahari.

Sementara itu Buntoro agak 

bergegas. Dia heran, ternyata orang yang 

kemarin makan di warung nasi itu, tinggal 

di rumah Genda. Hmm, Genda baik hati 

sekali kau menerima orang asing yang


tidak diketahui asal usulnya. Dia harus 

memperingatkan Genda agar berhati-hati.

Tanpa buang waktu lagi, Buntoro 

pergi ke rumah Biparsena. Majikan Genda 

itu, yang juga majikannya. Dia melihat 

Genda masih berada di kandang. Buru-buru 

dia mendekat.

"Genda siapa orang yang tinggal di 

rumahmu itu?" tanyanya terburu-buru 

pula. Genda menoleh. Agak tertawa. 

"Kamu bicara apa?"

"Aku curiga dengan laki-laki yang 

berada di rumahmu, Genda."

"Siapa maksudmu? Madewa?"

"Aku tidak tahu siapa nama pemuda 

itu. Tapi dia orang asing, Genda. Bisa 

saja dia membuat keributan di sini."

Genda tertawa pelan.

"Aku mengenal dia dengan baik, 

Buntoro.

Aku yakin, dia pun orang baik-baik. 

Dia tidak akan membuat onar seperti yang 

kau takutkan."

"Tapi kita harus berhati-hati, 

Genda."

"Aku bisa menjaga diri, Buntoro. Aku 

lebih takut dengan orang-orang yang

manis mulut daripada dengannya."

Wajah Buntoro agak memerah. Merasa 

disindir. Dia terdiam. Akhirnya dia


pergi sambil menggerutu. Dibilangin kok 

tidak mau peduli. Buntoro juga perawat 

kuda-kuda Biparsena. Kadang-kadang 

bergantian dengan Genda.

Setelah Buntoro pergi, muncul Ratih 

Ningrum sambil membimbing kudanya. 

Wajahnya kelihatan ceria sekali. Dia 

bernyanyi-nyanyi kecil. Genda 

mengangkat wajahnya. Gembira melihat 

putri majikannya itu senang. Ia 

menyambut.

"Senang perjalanan Den Putri hari 

ini?"

"Iya, Kang Genda. Udara pagi ini 

sejuk sekali. Burung-burung pun ramai 

berterbangan dan bernyanyi," sahut Ratih 

Ningrum dengan suaranya yang lembut.

"Syukurlah kalau begitu," Genda 

memasukkan kuda itu. Dan kembali menemui 

Ratih Ningrum yang masih berdiri di dekat 

kandang kuda itu. Genda heran, tidak 

biasanya Ratih menunggu di situ. Pasti 

ada apa-apa. "Ada apa lagi, Den Putri?"

Ratih Ningrum nampak tersipu. Ia 

menunduk malu-malu. Genda semakin 

keheranan.

"Ada yang menyusahkan, Den Putri?"

Ratih Ningrum buru-buru menggeleng.

"Tidak, hari ini aku senang sekali."


"Lalu apa yang membuat Den Putri 

menunggu di sini? Lebih baik Den Putri 

masuk, tempat ini kotor. Nanti Den Putri 

kena marah oleh ayah."

"Tidak, tidak. Ayah ada tamunya 

lagi. Siapa sih kedua gadis yang 

cekikikan di ruang tamu itu?"

Sejenak Genda menahan nafas. Ah, 

untung Tuannya sudah selesai 'bekerja'.

"Tamunya mungkin. Biasa Den Putri, 

ayah Den Putri orang terpandang di desa 

ini dan banyak yang minta nasehat 

darinya," kata Genda dengan harapan 

Ratih Ningrum tidak mempersoalkan tamu 

itu lagi.

Ratih Ningrum kembali terdiam. 

Nampak ragu-ragu. Kemudian, 

"Kang Genda...."

"Apa, Den Putri?"

"Siapa... pemuda yang ada di 

rumahmu?" tanya Ratih Ningrum malu-malu, 

lalu menunduk. Tidak pantas seorang 

gadis menanyakan seorang pemuda secara 

terang-terangan begitu.

Genda tersenyum mengerti. Jadi itu 

yang membuat Ratih Ningrum menunggunya 

di tempat ini.

"Dia teman saya, Den Putri," kata 

Genda hormat, sedikit pun tidak menggoda 

Ratih Ningrum yang sudah kuatir dituduh


perempuan genit. Dalam hati Genda 

bilang, siapa pun akan tertarik dengan 

Madewa Gumilang yang tampan dan gagah 

itu.

Merasa Genda tidak menggodanya, 

Ratih Ningrum melanjutkan 

pertanyaannya, "Sejak kapan kau berteman 

dengan dia, Kang Genda?"

"Belum lama, Den Putri. Pemuda itu 

datang dari tempat yang jauh, dan tidak 

punya tempat tinggal. Jadi untuk 

sementara dia tinggal di rumah saya...."

"Apakah dia tidak ingin bekerja?" 

"Oh, dia ingin sekali, Den Putri. 

Tapi pekerjaan apa? Cari kerja itu sangat 

sulit sekali."

Wajah Ratih Ningrum berseri-seri. 

"Kalau benar dia mau bekerja, aku akan 

bilang pada ayah. Pasti ada pekerjaan 

untuknya."

Genda tersenyum. Ia sudah menduga 

pasti itu jawabannya. Ah, Ratih Ningrum 

sudah jatuh cinta rupanya pada Madewa, 

sampai menginginkan dekat dengannya. 

Dengan bekerja di situ, bukankah dia bisa 

berdekatan dengan Madewa?

Ratih Ningrum jengah Genda 

tersenyum begitu. Buru-buru ia berpaling 

dan berlari ke kamarnya.


* * *

LIMA



Biparsena memperhatikan tubuh 

Madewa Gumilang dengan seksama. 

Sementara di sampingnya Ratih Ningrum 

duduk dengan tersipu. Hari ini dia 

berdandan secantik mungkin.

Sebenarnya Biparsena tidak mau 

mengambil seorang pekerja lagi, tapi dia 

tidak tega menolak permintaan putri 

tersayanganya. Maka keesokkan harinya

dia langsung menyuruh Genda memanggil 

Madewa menghadap.

Madewa pun sebenarnya hendak 

melanjutkan perjalanan lagi, karena 

sudah tiga hari dia tinggal di daerah ini 

belum ada kabar lagi tentang orang yang 

ribut-ribut mencari Pusaka Dewa 

Matahari. Tetapi Genda menahan, 

menyuruhnya menerima pekerjaan yang akan 

disodorkan Biparsena. Biparsena orang 

yan terpandang, dan dia punya keterangan 

yang banyak dan luas.

"Baiklah," kata Biparsena akhirnya. 

"Kau kuangkat menjadi pengawal pribadi 

putriku."

Ratih Ningrum tercekat sejenak. 

Pemuda itu akan menjadi pengawal 

pribadinya? Oh, alangkah pandainya 

ayahnya mencarikan pekerjaan yang memang 

dia sukai. Dijaga oleh pemuda yang 

disukainya, betapa indahnya!

Biparsena melanjutkan 

perkataannya, "Tapi sebelumnya, kau 

harus diuji dulu ilmu silatmu. Kalau 

melihat potonganmu, kau pandai silat. 

Tapi aku akan melihatnya dulu!" Setelah 

bicara itu, Biparsena bertepuk dua kali.

Dari balik ruangan yang berdinding 

tebal, muncul tiga orang pengawal yang 

memakai pakaian dan bersenjata 

berlainan. Mereka merupakan pengawal 

pribadi Biparsena.

"Madewa, mereka yang akan 

mengujimu! Beri hormat pada mereka!"

Madewa berbalik. Agak membungkuk 

sedikit pada ketiga orang jago 

kepercayaan Biparsena. Ketiganya balas 

membungkuk.

"Bagus! Sekarang kalain perkenalkan 

diri!"

Yang memakai baju hijau dan 

berselempang pedang di belakang maju 

selangkah. "Perkenalkan, Mukti, si 

pedang kembar!"


Yang memakai baju seperti orang 

keraton maju pula selangkah. "Patidina, 

si keris tunggal, Yang terakhir tidak 

memakai baju. Bercelana gombrang warna 

hitam. Rambutnya dikepang ke belakang. 

Kalau dilihat sekilas, dia bukan orang 

sini. Matanya agak sipit. Kulitnya pun 

putih.

"Tek Jien, pukulan seribu!" 

suaranya seram Memberi kesan kalau dia 

orang yang kejam.

Biparsena bertepuk lagi. "Bagus, 

bagus! Madewa kau hadapilah mereka! 

Jangan tanggung-tanggung! Keluarkan 

semua ilmumu! Kalau kau lengah, nyawamu 

melayang! Pedang kembar, hadapi dia!"

Selesai Biparsena berseru, Mukti 

alias si Pedang Kembar segera meloncat ke 

depan. Langkahnya ringan. Dia menunggu 

Madewa menghampiri. Madewa melirik dulu 

pada Ratih Ningrum yang berubah pucat. 

Juga Genda yang berlutut dengan tubuh 

gemetar. Keduanya tidak mengharapkan uji 

coba macam ini!

Madewa melangkah perlahan. Sikapnya 

tenang. Di hadapannya Mukti menghormat, 

Madewa balas menghormat. Saling bungkuk. 

Biparsena berseru lagi, 

"Mulai!" Serentak si Pedang Kembang 

membuka jurusnya. Kaki kanannya


menggeser ke belakang. Dadanya tegak. 

Tangan kanannya mengembang ke samping. 

Tangan kiri menekuk di dada. 

Kelihatannya pertahanannya kosong, tapi 

penuh pukulan rahasia dan tenaga.

Madewa pun membuka jurusnya. Jurus 

ular warisan gurunya mendiang Ki 

Rengsersari. Dia membuka jurus Ular 

Mematuk Katak. Tangannya saling merapat. 

Lalu mengembang dan berhenti di dada.

Mukti langsung menyerang, menjerit 

seraya meluncurkan tangan kanannya ke 

arah wajah Madewa. Tangan Madewa beraksi 

cepat. Dia menangkis pukulan itu dan 

tangannya bagaikan gerakan ular meluncur 

ke perut Mukti. Mukti menarik tangannya, 

menahan pukulan itu dengan sikunya. 

Secara tak langsung pertahanan atasnya 

kosong. Tangan kiri Madewa bergerak 

cepat. Mematuk dada Mukti dengan keras.

Mukti terhuyung. Madewa tidak 

melanjutkan serangannya. Karena dia 

pikir, ini hanya latihan. Tapi 

perbuatannya itu membangkitkan 

kemarahan Mukti. Cepat dia meloloskan 

kedua pedangnya. Dan memainkan keduanya 

dengan hebat.

Pedangnya berkelebat dengan 

dahsyat. Bahkan desingnya membuat sakit 

telinga.


Madewa tetap berdiri tegak. Dia 

berpikir, kalau diserang tidak mungkin. 

Kalau diam dia akan diserang. Madewa 

tidak mau mengeluarkan ilmu andalannya, 

pukulan bayangan sukma. Karena Madewa 

kuatir, penyamarannya akan diketahui 

dengan terlihatnya ilmu itu.

Mukti masih mendemonstrasikan 

kehebatan ilmu pedangnya. Dan di saat 

itulah Madewa ingat akan ilmu pandangan 

sukma. Diam-diam dia mengerahkannya. 

Mencari di mana kelemahan ilmu pedang 

Mukti. Dan terlihat, kalau kedua pedang 

kembar Mukti itu hanya melindungi bagian 

atas saja dan bagian bawah sebatas lutut. 

Hanya satu kelemahannya, pergelangan 

kaki!

Maka ketika Mukti menyerang, dengan 

tetap menggunakan jurus Ular Mamatuk 

Katak, Madewa menyambar pergelangan kaki 

Mukti. Gerakannya cepat dan menyentak. 

Dan benar dugaannya tadi. Mukti jadi 

kelimpungan. Dia mendengus keras, pemuda 

ini tahu kelemahan ilmunya. Dia 

mengangkat kedua kakinya dan bersalto ke 

belakang!

Mukti menyerang lagi. Justru ini 

yang ditunggu Madewa. Ketika Mukti 

membabatkan pedangnya ke leher dan kaki 

Madewa, pemuda itu menghindar ke


belakang. Tetapi langsung menerjang ke 

depan, menembus kedua pedang itu. 

Perbuatan yang berbahaya. Penuh resiko. 

Tapi perhitungan Madewa matang. 

Gerakannya pun lebih cepat. Tangan kanan 

cepat menangkap pergelangan kaki kiri 

Mukti. Dan membantingnya dengan keras. 

Sementara tangan kirinya menotok pangkal 

lengan Mukti yang membuatnya 

berkunang-kunang.

Terdengar tepukan dari atas. Ratih 

Ningrum bertepuk tangan gembira. 

Biparsena pun hanya manggut-manggut. Dia 

sudah menduga, kalau pemuda ini punya 

kemampuan. 

"Keris Tunggal!!"

Begitu dipanggil, Patidina langsung 

menusukkan keris ampuhnya ke lambung 

Madewa. Rupanya dia sudah tahu kehebatan 

pemuda itu, makanya tak perlu basa-basi 

lagi. Madewa terkejut. Tidak bisa 

mengelak lagi. Keris Patidina tepat 

menuju sasaran. Tapi keris itu tidak 

nembus, malah terdengar suara 

"Trak!"

Patidina bersalto ke belakang, 

memenangkan hatinya yang keheranan. 

Seharusnya keris itu sudah bisa membunuh 

pemuda itu. Madewa pun heran. Tetapi 

kemudian dia tersenyum. Keris Patidina


mengenai Seruling Naga yang terselip di 

angkinnya!

"Kita bertarung lagi, Patidina!" 

tantang pemuda itu.

Patidina menggeram. Dia menyerang 

lagi. Kerisnya bergerak cepat. Kali ini 

Madewa menyambut.

"Duk!" Pukulannya bersarang di dada 

Patidina yang merasakan ingin muntah. 

Kelincahannya kalah oleh Madewa. Orang

itu jatuh ke lantai.

Belum lagi Biparsena berseru 

memanggil Tek Jien, orang itu sudah 

menyerang Madewa dengan pukulan tangan 

kosongnya. Sungguh hebat. Pukulan itu 

terlihat banyak sekali, seakan berjumlah 

seribu. Sungguh pantas julukan Pukulan

Seribu untuk Tek Jaien!

Madewa kembali menyambut. Dia 

merubah jurusnya. Dengan jurus Ular 

Cobra Bercabang Tiga, Madewa memapakai 

serangan Tek Jien. Tangannya bergerak 

cepat. Dan bisa mengimbangi pukulan 

tangan seribu Tek Jien, Tek Jien 

mempercepat serangannya. Madewa pun 

mempercepat pukulannya. Suatu ketika 

keduanya bersiap. Dan menerjang dengan 

serentak!

Semua kaget. Ratih Ningrum menjerit 

ngeri. Genda menahan nafas, lalu


melengos. Tidak ingin melihat apa 

kejadian selanjutnya.

Terdengar suara yang keras sekali. 

Dari tangan keduanya terlihat kepulan 

asap, menandakan masing-masing 

menaikkan tenaga ke tangan.

Sekali lagi terdengar suara keras 

itu. Dan jeritan yang disusul tubuh 

ambruk. Tek Jien tergeletak dengan bibir 

berdarah. Sementara Madewa hanya 

terhuyung selangkah. Lalu berdiri tegak, 

siap menyambut lagi serangan Tek Jien.

Biparsena bertepuk. Menandakan uji 

coba selesai.

"Bagus, Madewa! Kau memenuhi syarat 

untuk menjaga putriku! Beri salam pada 

mereka, karena mereka lebih tua darimu!"

Pemuda itu mengangguk hormat. 

Melepaskan totokannya dari pangkal 

lengan Mukti. Membantu Patidina berdiri. 

Dan mengusap darah di bibir Tek Jien 

dengan angkinnya.

Ketiga pengawal itu surut 

kemarahannya. Hilang rasa malu mereka, 

begitu melihat jiwa kesatria Madewa yang 

tidak sombong. Dan mau menolong mereka 

dari rasa malu di depan Biparsena. Kalau 

mereka yang bisa menjatuhkan Madewa, 

langsung diserangnya Madewa sampai mati. 

Tapi pemuda itu tidak melakukannya!


"Madewa!" panggil Biparsena. "Mulai 

hari ini, kau harus tinggal di sini! 

Ambil barang-barangmu! Dan mulai hari 

ini pula, keselamatan putriku, 

kupercayakan kepadamu!"

Madewa berlutut. "Pekerjaan ini 

saya terima, Tuan!"

Biparsena mengangguk-angguk puas. 

Ratih Ningrum tersenyum gembira, karena 

Madewa berada di dekatnya!

Niniwulandari manggut-manggut 

mendengar penuturan itu. Dipandanginya 

laki-laki yang memberi kabar itu 

padanya.

"Benar kata-katamu?" tanyanya 

seakan tak percaya.

"Benar, Nini. Pemuda itu orang baru 

di sini! Dia bernama Madewa Gumilang!"

"Apa kira-kira dia tahu tentang

Pusaka Dewa Matahari?" gumam 

Niniwulandari.

"Soal itu jangan kuatir Nini. Saya 

bisa mengoreknya dari Genda." 

"Kau yakin?"

"Yakin. Dan saya mau membantu Nini. 

Asalkan Nini juga mau mewujudkan 

keinginan saya untuk mempersunting Ratih 

Ningrum."

Niniwulandari terkekeh. "Soal itu, 

jangan kuatir. Aku bisa mengurusnya dari


Biparsena. Asal kau bisa menjalankan 

tugasmu dengan baik, aku pun akan 

mewujudkan keinginanmu. He... he...."

"Semua yang Nini perintahkan, akan 

saya lakukan."

Niniwulandari terkekeh lagi. Merasa 

senang karena orang ini begitu patuh.

"Sekarang juga kau harus mencari 

keterangan itu."

* * * 

ENAM



Hari ini Madewa mengawal Ratih 

Ningrum berjalan-jalan. Gadis itu 

kelihatan gembira sekali. Berkali-kali 

ia menyuruh agar Madewa menjajarkan

langkah kudanya dengan kuda dia. Sebagai 

pengawal, Madewa hanya mengikuti saja.

Ratih Ningrum yang cantik itu kerap 

kali membuatnya bergetar. Apalagi kalau 

terjadi saling tatap tak sengaja, 

keduanya sama-sama menunduk dengan wajah 

memerah.

Tetapi Madewa sadar, sebagai 

pengawal dia tidak boleh melakukan 

apa-apa. Apalagi sampai mencintai Ratih 

Ningrum.

Udara sore itu sejuk. Ratih Ningrum 

menjalankan kudanya dengan hati-hati 

Madewa menjajarinya.

"Kamu betah tinggal di sini, 

Madewa?" tanya Ratih Ningrum dengan 

senyum yang manis. Bibir merekah yang 

mungil itu menantang sekali untuk 

dikecup.

"Betah, Den Putri...."

"Mengawalku?"

"Itu sudah tugasku, Den Putri."

"Dulu aku selalu berjalan-jalan 

sendirian. Dengan kudaku ini. Aku selalu 

menolak kalau disuruh ayah membawa 

pengawal. Tetapi sekarang, aku malah 

suka kau kawal? Kau tahu kenapa?"

"Tidak, Den Putri."

Wajah Ratih Ningrum memerah. 

Padahal dia berharap Madewa tahu arti 

ucapan itu, kalau dia mencintainya. 

Ratih Ningrum jadi malu sendiri. 

Buru-buru ia menggeprak kudanya. Kudanya 

melesat ke depan.

Dalam hati Madewa tersenyum. Ia 

sebenarnya mengerti apa maksud Ratih 

Ningrum. Tetapi seperti yang 

diragukannya, apakah pantas dia 

berdampingan dengan gadis secantik itu?

Tiba-tiba terdengar suara Ratih 

Ningrum minta tolong. Madewa menepak


kudanya dengan keras hingga melaju 

dengan cepat. Di depan sana, Ratih 

Ningrum tengah ditarik oleh seorang 

laki-laki berwajah seram. Sedangkan 

kudanya dipegangi oleh dua orang 

laki-laki yang lain.

"Tolong! Tolong aku, Madewa!!" 

jerit Ratih Ningrum.

Madewa semakin mempercepat lari 

kudanya. Begitu dekat, dia langsung 

bersalto dari atas kuda. Dan berbalik 

menerjang laki-laki yang menyeret Ratih 

Ningrum itu.

"Des! Des!" 

Dua buah pukulan mengenai laki-laki 

itu. Pegangannya pada Ratih Ningrum 

terlepas. Madewa cepat melindungi gadis 

itu dengan jalan merangkulnya. 

"Kalian bangsat-bangsat rendah! 

Yang kerjanya hanya membuat onar saja!"

Dua laki-laki yang memegangi kuda, 

berkelebat ke depan. Mereka siap 

menyerang. Golok panjang tercengkram di 

tangan masing-masing. Begitu pula dengan 

yang diserang Madewa tadi. Geram ia 

bangkit.

"Pemuda gila! Kau harus menebus 

semua ini dengan nyawamu!" seraya sambil 

mencabut goloknya.


Madewa tersenyum, menyahut tenang, 

"Nyawa kalian yang akan kucabut! Aku 

tidak suka dengan orang yang selalu 

membuat keonaran! Yang kerjanya hanya 

merusak saja. Cepat kalian berlutut dan 

minta maaf, sebelum aku telengas 

menjatuhkan tangan!"

"Bangsat! Kau kira kami takut? Lihat 

serangan, pemuda sombong!" sehabis 

berkata demikian, orang itu menyerang. 

Madewa berputar ke depan. Hingga Ratih 

Ningrum berada di belakangnya. Dengan 

tenang ia menyambut serangan itu. Jurus 

Ular Meloloskan Diri digunakan dengan 

mantap. Tak satu serangan pun yang 

mengenai sasaran.

Melihat temannya dipermainkan, dua 

orang yang lain membantu. Kini tiga buah 

golok berkelebatan dengan cepat. 

Lagi-lagi Madewa mampu menghindari semua 

serangan itu. Bahkan ia sempat memukul 

salah seorang dari mereka. Dan 

"brerkk!" 

baju orang itu koyak termakan 

jarinya.

"Ha-ha-ha... cepat kalian berlutut! 

Sebelum aku marah!"

"Setan! Aku akan mengadu nyawa 

denganmu!" Orang itu melempar goloknya. 

Dengan tangan kosong dia menyerang.


Pukulan lurus ke wajah dielakkan dengan 

mudah oleh Madewa. Dan tangannya cepat 

menyambar batang leher orang itu. 

Sedetik orang itu tak berkelit, bisa 

mampus dia!

"Sreet!" 

Madewa merasakan tangannya 

menjambret kalung orang itu, Ia tertawa. 

"Ha-ha-ha... hati-hatilah kalian.

Kalung ini... hei!" Madewa terperanjat. 

Orang-orang itu pun kaget. Ratih Ningrum 

hanya berdiri ketakutan. Tubuhnya 

menggigil. Madewa mengenali kalung ini. 

Tidak mungkin, kalung ini ada dua buah di 

dunia ini. Ini kalung ibu, pemberian dari 

ayahnya. Madewa hafal! Tiba-tiba dia 

mengangkat kepalanya. Dan menatap 

orang-orang itu dengan bengis!

"Hhh! Sekarang dengarkan aku? 

Apakah kalian yang telah memperkosa dan 

menyebabkan kematian seorang wanita di 

goa tepi hutan dua setengah tahun yang 

lalu?" tanyanya marah.

Orang-orang tu berpandangan. Dan 

mendadak mereka tertawa serempak.

"Ha... ha... ha... memang itu 

perbuatan kami. Kenapa? Wanita itu 

ibumu? Ha... ha... daripada dia 

kedinginan, lebih baik kami beri 

kehangatan, bukan?"


Mendidih Madewa mendengarnya. Jadi 

ketiga orang ini yang telah memperkosa 

dan menyebabkan ibunya bunuh diri. Dia 

tidak perlu mencari susah-susah kalau 

begini.

"Bangsat rendah!" suara Madewa 

bergetar menahan marah. "Hari ini kalian 

akan menerima ajal yang mengerikan!! 

Dengarkan, akulah anak dari wanita yang 

kalian perkosa itu! Dan hari ini aku akan 

membalaskan sakit hati ibuku! 

Bersiaplah!!"

Ketiga orang itu yang tak Iain dari 

Mangkara, Rengga dan Toban, 

perampok-perampok yang telah memperkosa 

Wasih Inten. Melihat Madewa beringas 

demikian, ketiganya bersiap. Mereka 

sadar akan kehebatan pemuda itu. Maka 

ketiganya pun bersiap dengan golok 

masing-masing.

Madewa tidak bertindak tanggung, 

dia mengerahkan ilmu pukulan bayangan 

sukmanya.

Kemarahannya sudah menjadi-jadi. 

Dia merasa orang-orang macam mereka 

dihapuskan saja dari muka bumi ini.

Tanpa membuang waktu lagi, dia 

langsung menyerang. Ketiga orang itu 

serentak memapaki. Tiga buah golok 

ditangkisnya dengan tangan kanan.


Serentak golok-golok itu terlepas. 

Ketiganya merasakan panas yang luar 

biasa mengalir dari golok itu ke telapak 

tangan masing-masing.

Begitu golok mereka terlepas, 

Madewa langsung menyerang kembali. 

Serangannya cepat. 

Duk! Duk! Duk! 

Pukulannya bersarang di masing 

masing tubuh mereka. Dan satu per satu 

ambruk dengan tubuh hancur.

Ratih Ningrum menjerit.

"Aaah!!" Ia menutup wajahnya dan 

berpaling.

Madewa masih berdiri tegak dengan 

kedua tangan masih mengepal. Ia puas 

melihat ketiga lawannya ambruk. Dengan 

geram ia menengadah. Berseru pada 

langit, 

"Ibuuu! Lihatlah, anakmu telah 

menuntut balas! Tenanglah kau di 

sisi-Nya!!"

Madewa mendekap wajahnya dengan 

kedua telapak tangannya. Hatinya puas. 

Dendam Ibu sudah terbalaskan. Ratih 

Ningrum yang kaget melihat Madewa 

sekejam itu, berlari ke kudanya. Dan 

melarikan kudanya kencang-kencang. Ma-

dewa menoleh. Dan cepat mengejar. Hanya


tiga kali salto saja, dia sudah bisa 

mengiringi Ratih Ningrum.

"Den Putri! Berhenti!" 

"Tidak! Kau kejam, Madewa!!" seru 

Ratih Ningrum terus melarikan kudanya.

Madewa menahan tali kekang kuda itu. 

Secara paksa kuda berhenti. Ringkiknya 

menggema keras. Ratih Ningrum 

terpelanting ke belakang. Madewa dengan 

cepat menyambar, hingga tubuh gadis itu 

jatuh dalam rangkulannya. Ratih Ningrum 

menangis segugukan. Madewa menurunkan 

dan mendudukan gadis itu di rumput.

"Maafkan aku, Den Putri...." kata 

Madewa serba salah. Ratih Ningrum adalah 

gadis terpelajar. Dia belum pernah 

menyaksikan pembunuhan. Dan betapa 

kagetnya dia melihat Madewa begitu 

telengas menurunkan tangan tadi. Ratih 

Ningrum masih segugukan. 

"Aku... yah... aku terpaksa 

membunuh mereka.. .. Karena mereka 

orang-orang yang kejam. Yang 

tega-teganya membunuh ibuku setelah 

memperkosanya. Aku... aku terpaksa, Den 

Putri”.

Ratih Ningrum mengangkat wajahnya. 

Wajahnya yang cantik nampak semakin 

cantik karena air mata. Matanya yang 

memerah membuah wajahnya merah dadu. Ia


mengusap air matanya. Mengerti mengapa 

Madewa kejam itu.

"Aku...."

"Maafkan aku, Den Putri. Tidak 

seharusnya Den Putri menyaksikan 

pembunuhan tadi...."

Tetapi gadis itu menggeleng. "Aku 

bisa memahami perasaanmu... Madewa.... 

Mungkin aku pun... akan berbuat 

demikian... jika... ibu yang... oh!"

Tanpa sadar Madewa merangkul gadis 

itu. Tanpa sadar pula Ratih Ningrum 

merebahkan tubuhnya di dada Madewa. 

Angin bertiup lembut.

Madewa berbisik, "Hari sudah sore, 

Den Putri.... Kita harus segera 

kembali...."

Ratih Ningrum tersentak begitu 

sadar ada dalam pelukan pemuda itu. 

Buru-buru ia bangkit, menaiki kudanya. 

Madewa segera menyusul.

Sejak kejadian dua hari yang lalu, 

perasaan rindu Ratih Ningrum pada Madewa 

semakin menjadi-jadi. Walaupun setiap 

hari bertemu, tetap saja dia merasakan 

rindu yang amat s-ngat.

Apalagi ketika itu tanpa sadar dia 

merebahkan tubuhnya dalam rangkulan 

pemuda itu. Ihh, memerah wajah Ratih 

Ningrum kalau mengingatnya.


Demikian pula dengan Madewa. Hampir 

sebulan dia bekerja sebagai pengawal 

pribadi Ratih Ningrum. Tetapi sampai 

saat ini, dia belum mendengar orang yang 

ribut mencarinya dan mencari pedang 

pusaka itu. Madewa berpikir, dia harus 

segera melanjutkan perjalanan sesuai de-

ngan perintah almarhum gurunya.

Pekerjaan mencari pemerkosa ibunya, 

telah selesai dilakukan. Suatu kebetulan 

belaka dia bertemu dengan orang-orang 

itu. Dan diam-diam... dia ingin mencari 

ayahnya. Ayah yang ditinggalkannya 

hampir 13 tahun.

Madewa pun sadar, kalau lama-lama 

berada di sini, dia semakin jatuh cinta 

pada Ratih Ning-nim. Setiap kali 

berdekatan, dirasakannya suatu getaran 

hebat yang mengganggu jiwanya. Madewa 

pun tahu, kalau Ratih Ningrum menaruh 

hati pula padanya.

Malam ini bulan bersinar dengan 

penuh. Madewa duduk sendiri di taman 

depan kamar gadis itu. Tempat biasa dia 

menjaga kalau tidak mengantar gadis itu 

berjalan-jalan. Tatapannya menatap ke 

depan. Menatap sinar yang remang-remang. 

Mencari jalan bagaimana caranya menemui 

musuh besarnya, orang yang menyebarkan 

kabar palsu itu pada gurunya.


Tiba-tiba pendengarannya yang tajam 

menangkap langkah yang ringan sekali. 

Madewa menoleh. Dia buru-buru bangkit 

dan tersenyum begitu melihat siapa yang 

datang. Ratih Ningrum dengan pakaian 

tidurnya yang indah.

"Belum tidur, Den Putri?"

Ratih Ningrum menggeleng. Wajahnya 

semakin cantik disinari oleh bulan. 

Madewa menahan degup jantungnya yang 

semakin keras dan tak beraturan. Gadis 

itu duduk, dan menyuruh pemuda itu duduk.

"Aku belum mengantuk, Madewa...."

"Hari sudah larut malam. Angin malam 

tidak baik untuk kesehatan Den 

Putri...."

Ratih Ningrum mengeluh. "Madewa... 

sudah berapa kali kukatakan padamu, 

janganlah panggil aku 'Den Putri', 

panggil saja namaku kenapa, sih? Atau... 

namaku jelek... hingga kau enggan 

menyebutnya?"

Madewa gelagapan ditembak begitu. 

Memang, sudah beberapa kali Ratih 

Ningrum memperingatkannya agar 

memanggil namanya saja. Tetapi Madewa 

tetap merasa, kalau dia hanya seorang 

pengawal yang tak pantas berbuat lancang 

demikian.


"Ti... tidak, Den Putri... Eh, 

Ratih... Nama Den... eh... kamu bagus... 

Ratih. Ratih Ningrum... nama yang indah 

sekali... aku... aku... suka menyebut 

namamu, Ratih...."

Ratih Ningrum tersenyum. Dadanya 

bergetar mendengar pemuda itu memanggil 

namanya. Betapa mesranya, sampai meresap 

ke dada. Betapa enaknya nama itu disebut 

dari mulut Madewa Gumilang.

"Madewa...." 

"Ya... Ratih?"

Tahu-tahu Ratih Ningrum menunduk. 

Suaranya tersendat. "Selama... tinggal 

di sini... apakah kau merasakan sesuatu 

yang baru?"

Madewa yang belum tahu maksud gadis 

itu, menjawab, "Ya... suasana di tempat 

ini lain dengan di tempatku dulu. Aku 

punya sahabat baru... dan banyak pula 

kawan baru...."

"Bukan itu, "Ratih Ningrum menyahut 

gemas.

Madewa menoleh heran. "Jadi?"

Wajah gadis itu memerah. "Kau... 

tidak merasakannya seperti aku 

merasakannya?"

Madewa bingung. Perasaan yang baru 

itu? Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, 

yang semakin menunduk tersipu.


"Saya... tidak mengerti... Ratih " 

“Sungguh?" Suara Ratih Ningrum 

tersendat, agak kecewa.

Madewa perlahan mengangguk. 

"Ya." Tetapi sejurus kemudian, dia 

mendesah. Yah, dia mengerti. Mengerti 

apa perasaan baru itu. Ini yang 

ditakutinya sekaligus diingininya. Dia 

pun merasakan itu. Merasakan cinta yang 

membara. Tetapi... apakah pantas dirinya 

berdampingan dengan Ratih Ningrum yang 

cantik dan terpandang itu?

Terdengar suara gadis itu lagi. Agak 

tersendat dan ragu-ragu. 

"Madewa... aku... aku...."

Madewa menghela nafas. Dia tidak 

ingin melihat Ratih Ningrum kecewa. 

Perlahan dipegangnya tangan gadis itu 

yang terkejut, tapi kemudian menunduk. 

Hatinya bergemuruh hebat, tetapi damai 

sekali dalam genggaman itu.

"Saya... juga merasakan hal yang 

sama, Ratih...." bisik Madewa pelan, 

tapi sudah merupakan jawaban yang indah 

untuk Ratih Ningrum. Gadis itu 

mengangkat wajahnya. Matanya 

ber-seri-seri.

"Benarkah, Madewa?" wajahnya 

memerah.


Madewa mengangguk. "Ya, Ratih. Tapi 

apa pantas saya mengutarakannya kepada 

Ratih, sementara saya hanya seorang 

pesuruh?"

"Jangan... jangan kau pikiran soal 

itu, Madewa. Aku... aku mencintaimu. Kau 

juga mencintaiku? Kita coba untuk 

mewujudkannya...."

"Meskipun banyak rintangan?" Madewa 

tersenyum menyaksikan kemurnian cinta 

gadis itu.

"Meskipun banyak rintangan," sahut 

Ratih Ningrum mantap.

Madewa menatap mata Ratih 

dalam-dalam. Mata itu menggambarkan 

gairah cinta yang bergelora. 

Perlahan-lahan Madewa mendekatkan 

wajahnya. Dan mengecup bibir Ratih yang 

merah basah, yang membalas dengan 

malu-malu. Keduanya berciuman dengan 

bergairah. Saling kulum dan memberi. 

Tanpa sadar, kalau sejak tadi sepasang 

mata marah memperhatikan mereka.

Beberapa saat kemudian, Madewa 

melepaskan ciumannya. Ia memegang kedua 

bahu Ratih Ningrum.

"Kamu harus tidur, Ratih," bisik 

Madewa mesra, tepat di telinga gadis itu.


Kali ini Ratih Ningrum mengangguk. 

Dia tidak gelisah lagi. Penantian dan 

pencariannya sudah menemukan titik temu.

Dia balas berbisik, "Aku akan 

menuruti kata-katamu...."

Madewa tersenyum. "Selamat tidur, 

Ratih. Mimpilah yang indah."

"Aku akan memimpikan kamu, Madewa," 

sahut Ratih sambil mendekatkan wajahnya 

lagi. Madewa mengecup bibir itu. Ratih 

Ningrum mengeluh dalam kecupannya. Lalu 

beranjak menuju kamarnya.

Madewa menatap sosok gadisnya dari 

belakang. Betapa indahnya bentuk tubuh 

itu. Ciuman tadi pun menggairahkan 

sekali. Menandakan betapa lamanya gadis 

itu memendam cinta padanya.

Setelah gadis itu menghilang, 

Madewa termenung lagi. Kali ini 

pikirannya tenang. Tidak dihantui oleh 

perasaan rindu yang menggebu.

Sepasang mata yang mengintai, 

berkelebat. Menghilang ditelan malam, 

dengan perasaan yang marah sekali. 

Sementara Madewa masih duduk berjaga di 

taman dekat kamar Ratih Ningrum.

* * *


Wanita itu sudah hampir sebulan 

berjalan kaki. Dia kelihatan lemah. 

Wajahnya agak pucat. Tapi wajahnya tetap 

cantik. Juga potongan tubuhnya yang 

menggairahkan, yang membuat setiap mata 

laki-laki berpaling ke arahnya.

Ketika memasuki warung nasi itu, 

beberapa pasang mata pria yang makan di 

sana, seakan-akan tak henti lepas dari 

tubuh wanita itu, yang begitu tipis 

pakaiannya dan menampakkan bagian buah 

dadanya yang montok, yang seakan mau 

meloncat keluar karena kegerahan.

Selendang merahnya pun 

sekali-sekali terjatuh. Entah sengaja 

entah tidak, tapi kesempatan itu tidak 

dilewatkan oleh pandangan bergairah dari 

beberapa laki-laki. Namun wanita itu 

tetap saja asyik makan, tak perduli 

dengan tubuhnya yang membuat orang 

begitu penasaran.

Salah seorang pengunjung warung 

nasi tidak tahan menahan nafsunya. Dia 

bernama Agriwe. Tubuhnya besar. 

Berewokan lebat. Wajahnya pun seram. Dia 

beringsut mendekat wanita itu, yang tak 

lain Pratiwi alias si Selendang Merah.

Setelah membunuh Bandartaman, 

Pratiwi segera berangkat mencari Madewa. 

Dia heran, karena pemuda itu berhasil


melepaskan diri dari totokannya. Dengan 

jengkel Pratiwi menghampiri mayat 

Bandartaman. Semua ini gara-gara dia! 

Mangsa empuk yang sudah di tangan lepas 

begitu saja. Dengan geram Pratiwi 

mengayunkan selendangnya ke mayat 

Bandartaman, yang seketika itu juga 

hancur berantakan. Setelah puas 

mencabik-cabik mayat itu, Pratiwi segera 

berangkat. Tak memperdulikan mayat 

Gundaling, kawan seperjalannya.

Dan hari ini Pratiwi tiba di desa 

tempat Madewa berada.

Agriwe menelan air liurnya setelah 

melihat dada Pratiwi lebih dekat. Berani 

ia mencolek dagu Pratiwi. Pratiwi yang 

sedang tidak mau mencari ribut, 

mendiamkan saja. Justru membuat Agriwe 

keenakan. Dengan lebih berani dia meraba 

leher Pratiwi. Pratiwi kembali 

terdiam. Tangan Agriwe lebih turun ke 

bawah. Meraba payudara Pratiwi, bahkan 

meremasnya!

Justru ini yang membangkitkan 

kemarahan Pratiwi. Biarpun dia dewi 

cabul yang kotor, tapi orang jelek macam 

Agriwe tidak masuk dalam jajarannya. 

Dengan geram disambarnya minumnya, dan 

dituangkannya ke kepala Agriwe yang 

asyik meremas-remas.


Agriwe terkejut. Ia mendengus 

marah. Tapi Pratiwi tetap tenang. Malah 

para pengunjung berbalik jadi kecut. 

Wanita itu belum kenal Agriwe 

barangkali. Dialah raja maling yang 

ditakuti orang di daerah itu. Tetapi 

mereka juga belum kenal Pratiwi

Selendang merah yang ditakuti di rimba 

persilatan.

"Hai, gadis! Nekat sekali kau 

melakukan itu padaku?!" geram Agriwe.

"Kenapa memang?" sahut Pratiwi 

tenang. "Kau pun ceriwis meremas 

payudaraku!"

Agriwe terbahak. "Karena kau 

menggairahkan...."

Pratiwi melirik dengan manja. 

Senyumnya mengembang dengan genit. 

"Kalau kau suka, minta baik-baik. Aku pun 

akan melayanimu."

Kata-kata itu membuat Agriwe 

keenakan. Marahnya surut. Langsung saja 

dia merangkul Pratiwi dan menciumnya 

dengan bertubi-tubi. Pratiwi berusaha 

meronta. Dan dengan sekali sikut saja, 

Agriwe melepaskan rangkulannya. Dia 

mengaduh.

"Maaf," desah Pratiwi pura-pura. 

Dan buru-buru mengusap dada Agriwe. "Aku


tidak sengaja. Kamu juga sih, 

kubilangkan, baik-baik."

Agriwe tersenyum tegak. Sinar 

matanya bergairah menjijikkan.

"Aku akan minta baik-baik. Di mana 

kau mau melayaniku?"

"Di mana saja," kata Pratiwi manja. 

"Bagaimana kalau di rumahku?" 

"Istrimu bagaimana?"

Agriwe terbahak lagi. Istri? Dia 

tidak punya yang nama istri. Tapi untuk 

pemuas nafsunya dia cukup datang ke 

tempat 'kupu-kupu cantik' milik 

Biparsena, karena Agriwe yang bertugas 

menjaga tempat itu.

"Aku tidak punya istri. Pokoknya 

layani aku dengan baik."

Pratiwi mengangguk menggemaskan. 

Lidahnya menjilat bibirnya, membuat 

Agriwe menahan nafas.

"Ayolah," kata Pratiwi. "Tapi 

tolong bayar makanan yang aku makan."

Dengan tertawa Agriwe membayar. 

Lalu bergaya menggandeng wanita cantik 

macam Pratiwi, yang lain hanya menantap 

dengan iri. Cemburu, karena dengan 

sekali gaet, Agriwe bisa terbang ke sorga 

dengan wanita baru yang kemungkinan 

besar masih perawan. Pasti mata Agriwe 

akan terbalik karena enaknya.


Tetapi dugaan mereka ternyata 

meleset. Begitu sampai di rumah Agriwe, 

Pratiwi langsung masuk kamar. Dan 

bertelanjang bulat. Mata Agriwe nanar 

menatap indahnya tubuh itu. Dia langsung 

membuka seluruh bajunya. Dan menubruk 

tubuh indah Pratiwi.

Diciumnya habis-habisan. Nafas 

Agriwe memburu dengan dahsyat. Tetapi 

ketika dia akan memulai, Pratiwi memukul 

tengkuk Agriwe, yang membuatnya 

terhuyung, dengan mata 

berkunang-kunang.

Pratiwi langsung menyambar 

pakaiannya. Dan menekuk leher Agriwe 

dengan gemas.

"Ini upahnya bagi orang ceriwis," 

desis Pratiwi dengan suaranya yang 

sesungguhnya. Yang tinggi dan terdengar 

kejam.

Agriwe mengaduh. Bangsat! Wanita 

ini ternyata tidak sembarangan. Dia 

menjerit lagi karena Pratiwi menekuk 

lagi lehernya.

"Aduh! Katakan apa keinginanmu, aku 

akan menjawabnya! Jangan... jangan kau 

pelintir leherku!!" rintih Agriwe 

kesakitan.

Pratiwi terkikik. "Rupanya kau 

takut mati juga. Hmm, baik. Aku akan


mengampunimu. Sekarang jawab 

pertanyaanku. Kau pernah mendengar 

pemuda yang bernama Madewa Gumilang?"

"Siapa?"

"Madewa Gumilang. Kau pernah 

dengar?"

Agriwe berpikir. "Madewa... 

madewa... ya, ya. Aku tahu!"

"Di mana pemuda itu?" tanya Pratiwi 

bersemangat.

"Lepaskan leherku, baru kukatakan."

"Jangan main-main, aku bisa 

membunuhmu dengan sekali tekuk. Cepat 

katakan.

"Aku tidak akan katakan, sebelum kau 

cabut ancamanmu itu," kata Agriwe yang 

merasa menang. Tapi dia belum tahu 

Pratiwi, yang selalu masa bodoh terhadap 

musuhnya. Dia memang melepaskan 

tangannya, tapi ketika Agriwe hendak 

berdiri, tangan Pratiwi berkelebat. Lima 

buah jarum mautnya menancap di dada, 

lengan dan paha Agriwe. Agriwe mengaduh. 

Pratiwi terkikik.

"Cepat katakan, kalau tidak, aku 

tidak akan memberikan pemunah racun 

itu!"

Agriwe tergagap. Dia terhuyung. Dan 

jatuh di sudut ranjang. Wajahnya pucat. 

Racun itu cepat sekali menjalar.


"Yah... yah... pemuda itu berada di 

sini," suaranya melemah.

"Di mana, katakan cepat?!" sahut 

Pratiwi terburu-buru.

"Berikan aku obat pemunah racunmu, 

racun ini kuat sekali," mohon Agriwe 

dengan suara yang semakin lemah.

"Cepat katakan dulu, di mana!"

"Di... di...." Agriwe tidak bisa 

melanjutkan kata-katanya lagi, karena 

dia langsung ambruk tak bernyawa. 

Pratiwi mendesah. Ah, kenapa lima buah 

jarum yang dilemparnya sehingga lebih 

cepat memakan nyawa Agriwe?

Pratiwi membenahi pakaiannya. Ia 

meludahi tubuh Agriwe dengan jijik, lalu 

pergi meninggalkan tempat itu.

Di sepanjang jalan dia selalu 

menanyakan tentang Madewa Gumilang. Bagi 

yang tidak tahu, dia langsung 

membunuhnya! Bagi yang tahu, setelah 

memberitahu, dia pun membunuhnya!

Beberapa hari kemudian, tenarlah 

nama Pratiwi si selendang merah sebagai 

gadis pembunuh berdarah dingin! Juga 

Madewa Gumilang yang setiap kali 

diteriakan agar keluar dari 

persembunyiannya, kalau tidak ingin 

nyawa lebih banyak berjatuhan.


Seketika keadaan desa Bojongronggo 

itu menjadi kacau. Bagaikan dewa maut 

yang datang dan menjajah, desa itu 

menjadi penuh bayangan kematian.

Pratiwi tetap dewi cabul yang ganas. 

Yang tak segan-segan menjatuhkan 

tangannya pada siapa pun.

Sepak terjang Pratiwi sampai ke 

telinga Biparsena. Sebagai orang yang

terpandang, Biparsena tidak 

menginginkan keonaran itu berlanjut. 

Apalagi masalah kedatangan Pratiwi ada 

hubungannya dengan pegawainya yang baru.

Madewa Gumilang!

Hari itu juga dia memanggil pemuda 

itu untuk menghadap. Madewa pun datang 

menghadap. Ia duduk bersila di hadapan 

Biparsena yang tidak senang akhir-akhir 

ini padanya.

"Kau sudah mendengar tentang 

datangnya wanita yang bergelar Selendang 

merah, Madewa?" tanya Biparsena tanpa 

basa-basi. Langsung ke permasalahan.

Madewa terdiam. Pratiwi, rupanya 

dia sudah sampai ke daerah ini. Hmm, 

dengan begini, penyamarannya akan 

ketahuan. Walaupun tidak menyamarkan 

nama dan rupanya, Madewa selama ini 

merahasiakan siapa dirinya, yang tak


lain adalah murid tunggal Ki 

Rengsersari.

"Ya Tuanku. Saya mendengar kabar 

itu."

"Kau tahu apa yang dilakukannya?"

"Ya Tuanku. Dia telah membuat 

keonaran dan pembunuhan di desa ini."

"Dan kau kenal siapa dia?"

"Saya mengenalnya...."

"Hmm... siapa dia, Madewa?"

Madewa terdiam. Agak ragu-ragu.

"Kau kenal dia, Madewa?!" Suara 

Biparsena meninggi.

"Ya."

"Jelaskan, siapa dia?!"

"Dia... musuh saya, Tuanku."

"Musuh? Lalu kau tidak mau keluar 

untuk menghadapinya? Sedangkan rakyat 

yang lain mati karena ulahnya? Madewa, 

kau harus segera keluar untuk 

menghadapinya. Biar kejadian ini tidak 

berlarut-larut. Dan penduduk tidak takut 

dibayangi kematian. Hmm, kalau aku boleh 

tahu, apa yang menyebabkan sumber 

permusuhan itu?"

Madewa terdiam. Ini sudah sampai ke 

pangkal persoalan. Dia tidak boleh 

membuka rahasianya sendiri. Dia 

menjawab, "Hanya persoalan adu 

kepandaian saja, Tuanku. Tiga tahun yang


lalu, saya pernah bertarung dengannya, 

dan dia kalah Mungkin kali ini dia akan 

menuntut balas."

"Tapi kudengar... ada hubungannya 

dengan Pedang Pusaka Dewa Matahari. Apa 

benar itu?"

Madewa berkata dalam hati, dia pun 

tahu tentang itu. Berita yang sudah 

meluas. Dan kedatangan Selendang Merah 

itu bisa membahayakan posisinya.

"Tentang itu, saya tidak tahu, 

Tuanku. Mungkin Tuanku salah mendengar 

keterangan yang ada."

Biparsena manggut-manggut. 

"Baiklah, kau selesaikan masalahmu 

dengan Selendang Merah. Dan ada satu lagi 

masalah yang harus kau jalani."

"Apa itu, Tuanku?"

"Kau harus menerima hukuman 

dariku!"

Madewa terkejut.

"Hukuman apa, Tuanku?"

Pandangan Biparsena berubah menjadi 

sengit. Ia kelihatan benar-benar 

jengkel. "Madewa... kau tahu, apa 

derajatmu di sini? Kau hanya seorang 

pengawal yang rendah, atau tak lebih dari 

seorang pesuruh. Tapi kau 

berani-beraninya berhubungan dengan 

putriku, putri seorang kaya raya yang tak


pantas berdampingan dengan orang macam 

kau!

Aku tahu hubungan kau dengan 

putriku. Sekarang pintaku, kau putuskan 

hubungan dengan putriku, agar jangan 

berlarut-larut. Putriku hanya cocok 

berdampingan dengan seorang putra 

bangsawan! Mengerti?"

Madewa tertunduk. tidak menyangka 

soal itu yang menjadi kemarahan 

Biparsena. Walaupun keduanya sudah 

berusaha menyembunyikan hubungan 

mereka, toh Biparsena mencium pula. 

Madewa tidak tahu, kalau sepasang mata 

yang mengintainya malam itu, telah 

mengadukan perbuatannya pada Biparsena!

"Kau mengerti, Madewa?" Suara 

Biparsena tajam.

Madewa mengangguk. "Ya Tuanku. Saya 

akan berusaha menghindari putri Ratih 

Ningrum."

"Bagus! Malam ini, kau tak perlu 

menjaga putriku, uruslah masalahmu 

dengan si Selendang Merah. Jangan 

kembali sebelum selesai!"

Madewa mengangguk. Dia menjura 

hormat. Lalu undur ke belakang. Ketika 

aku melewati kamar Ratih Ningrum, dia 

melihat gadis itu menatapnya dengan


gembira, karena menyangka Madewa akan 

mengunjunginya seperti biasa.

Tapi Ratih Ningrum tersentak ketika 

Madewa hanya melengos dan terus 

melangkah, tanpa berucap... tanpa 

melambai....

Ratih Ningrum sedih, ia tertunduk 

pilu. Ada apa dengan kekasihnya itu? 

Mengapa dia menjadi tak acuh. Ratih 

Ningrum pun melihat perubahan pada wajah 

kekasihnya, yang kelihatan lesu.

Dan ketika Madewa melewati kandang 

kuda, sepasang mata bersinar gembira 

karena telah berhasil menyingkirkan 

saingannya dalam merebut Ratih Ningrum.

Lalu orang itu masukkan kuda-kuda ke 

kandang, karena memang itu tugasnya!

* * *

TUJUH



Kedatangan Pratiwi si selendang 

merah, juga menarik perhatian 

Niniwulandari. Dia telah lama mengenal 

Pratiwi. Dewi cabul bergenjatakan 

selendangnya yang ampuh.

Kira-kira empat tahun yang lalu, dia 

pernah bertempur dengan Pratiwi, ketika

dewi cabul itu datang hendak merebut 

pedang pusaka siluman mata air yang 

dimilikinya. Tetapi Pratiwi berhasil 

dikalahkannya.

Lalu muncul Kebo Winata, jagoan dari 

timur, yang juga akan merebut pusaka itu. 

Dan dia berhasil dikalahkannya. Pusaka 

siluman mata air berhasil direbut Kebo 

Winata.

Dengan membawa luka dalam yang 

parah, Nniniwulandari melarikan diri ke 

pegunungan Pengging. Di sana dia melatih 

ilmu silatnya lebih dalam. Apalagi 

ketika dia sedang mandi di sungai,. 

terlihat di dinding-dinding goa, 

rangkaian jurus silat yang bagus dan 

indah. Bagai menemukan emas, 

Niniwulandari mempelajari jurus silat 

itu. Lalu mencari Kebo Winata. Dan 

herannya, Kebo Winata mati terbunuh, 

serta pusaka Siluman mata air lenyap 

diambil pembunuh.

Saat itu juga Niniwulandari 

bersumpah. Akan mencari dan membunuh 

orang yang telah mengambil pedang

pusakanya. Sampai kemudian tersiar 

kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki 

pula sebuah pusaka yang hebat, pusaka 

dewa matahari. Pusaka itu pun banyak 

diperebutkan orang. Niniwulandari

sendiri pernah berniat akan merebut 

pedang pusaka itu, sebagai ganti pusaka 

miliknya yang hilang. Tapi sebelum 

niatpya terlaksana, Ki Rengsersari mati 

terbunuh oleh Gundaling! Dan pusaka 

hilang entah ke mana.

Hanya yang dia ketahui, Ki 

Rengsersari mempunyai seorang murid. Dan 

kemungkinan besar pedang itu ada 

padanya!

Lalu sekarang, mau apa Pratiwi alias 

selendang merah mencari pengawal Ratih 

Ningrum? Ada urusan apa dia dengannya?

Niniwulandari bangkit dari 

duduknya. Ia harus menjumpai Pratiwi. 

Dia harus tahu semuanya. Barangkali saja 

pengawal Ratih Ningrum yang dia tahu 

bernama Madewa Gumilang, punya 

keterangan yang bagus tentang pusaka 

dewa matahari! Siapa tahu.

Niniwulandari bergegas. Dia 

mendengar Pratiwi tinggal di gubuk kecil 

dekat hulu sungai. Dan di sana pula dia 

membawa pemuda-pemuda tampan yang 

berhasil dipikat untuk diambil 

keperjakaannya.

Seperti ketika Niniwulandari 

datang. Dari gubuk itu terdengar kekehan 

manja dan lenguh kenikmatan dan desah 

nafas yang memburu. Lalu disambung


lenguhan panjang, yang menandakan 

penghuninya baru saja meraih kenikmatan 

yang tiada tara.

Niniwulandari menggeram. Bisa habis 

perjaka desa ini dihisap oleh Pratiwi. 

Geram dia mengambil sebuah kerikil 

kecil. Lalu dilempar ke arah pintu. 

Lemparannya seperti biasa saja, tanpa 

tenaga. Tapi pintu yang terkunci itu 

terhempas, dan copot dengan mengeluarkan 

suara yang mengagetkan.

Serentak Pratiwi bangkit. Menyambar 

pakaiannya. Begitu pula dengan pemuda 

yang masih memejamkan mata keenakan. 

Mengenakan pakaiannya dengan 

terburu-buru.

"Jangan takut," kata Pratiwi 

menenangkannya. "Kalau ada apa-apa, biar 

aku yang urus."

Pemuda itu mengangguk dengan 

terburu-buru pula.

"Kau duduk di situ!" kata Pratiwi. 

"Aku akan melihat siapa yang berbuat usil 

begini."

Bersamaan dengan itu terdengar 

suara dari luar, "Hei, dewi cabul! Cepat 

kau menampakkan diri! Aku sudah tidak 

sabar ingin berjumpa denganmu!"

Pratiwi menajamkan telinganya. 

Mengingat-ingat akan suara itu. Kayaknya


dia pernah mengenal. Hmm, tidak salah 

lagi. Nenek cerewet itu. Mau apa lagi 

dia? Mengganggu keenakkan orang saja.

Tadi disangkanya Madewa yang d-tang. Dia 

sudah bersiap hendak mengeluarkan ilmu 

pengharum tubuhnya, biar pemuda itu 

terangsang.

Pratiwi keluar dengan langkah 

tegap. Niniwulandari terkekeh melihat 

wajah Pratiwi yang kusut dan rambut yang 

kusut pula.

"He... he... maafkan aku, Pratiwi! 

Aku mengganggu kesenanganmu!" sambutnya 

sambil ter-senyum.

"Jangan banyak cakap! Mau apa kau ke 

sini?!" bentak Pratiwi jengkel.

"Jangan marah dulu, Dewi cabul. Ada 

beberapa pertanyaan yang aku perlukan 

jawabannya darimu."

"Aku tidak punya waktu menjawab 

pertanyaanmu!" sahut Pratiwi hendak 

masuk lagi.

"Tunggu! Ingat Pratiwi, aku pernah 

mengalahkanmu. Dan kau akan takluk di 

tanganku hari ini! Jawab pertanyaanku!" 

bentak Nenek tua itu tegas.

Pratiwi terdiam. Yah, dia pernah 

merasakan betapa hebatnya ilmu nenek tua 

ini. Pratiwi menunggu. Niniwulandari 

memulai pertanyaannya.


"Maksud apa kau datang ke tempat 

ini, Pratiwi?"

"Aku hendak mencari orang yang 

bernama Madewa Gumilang!" sahut Pratiwi 

masam.

"Ada masalah apa kau dengan dia?"

"Kau tidak perlu tahu, nenek tua. 

Ini urusanku!"

"Baik! Aku tidak memaksamu. Dengar 

Pratiwi, kata berita, Ki Rengsersari 

mati terbunuh oleh Gundaling, sedangkan 

Gundaling itu teman seperjalananmu. Aku 

yakin, kamu pasti tahu soal itu. Di mana 

ada Gundaling, pasti ada Selendang 

Merah. Di mana ada Selendang Merah, pasti 

ada Gundaling! Ceritakan kematian 

Gundaling dan Ki Rengsersari! Cepat, 

Pratiwi!!"

Pratiwi terdiam. Kalau nenek tua ini 

tahu semuanya, bisa runyam. Dia pasti 

akan tahu siapa Madewa Gumiiang itu. Dan 

dia akan merebut pusaka dewa matahari 

darinya. Tetapi membohongi 

Niniwulandari sama saja mencari mati. 

Pratiwi yakin, dia akan kalah oleh nenek 

peot ini. Apalagi tenaganya selama tiga 

jam dipakai buat bergelut dengan pemuda 

tampan yang sekarang duduk ketakutan di 

gubuknya.


Tak ada pilihan lain. Pratiwi 

menceritakan semuanya!

Benar dugaannya, nenek tua itu 

terkejut. Dia memang tengah mencari 

murid dari Ki Rengsersari!

"Kau bicara jujur, Pratiwi?"

"Aku jujur, Nenek Tua!"

Niniwulandari terkekeh. Dia menatap 

Pratiwi dengan sinar mengancam.

"Aku akan bertarung dengan siapa 

saja yang berhasil memiliki pusaka dewa 

matahari itu. Kau akan merebutnya dari 

Madewa, bukan?"

Pratiwi menatap sengit. Sama 

seperti suaranya, "Enak saja kau bilang! 

Aku tidak tertarik dengan pusaka itu, 

Nenek Tua! Aku lebih tertarik dengan 

Madewa, yang tampan dan gagah!"

Niniwulandari terkekeh lagi.

"Baik, baik. Bagaimana kalau kita 

bekerja sama?"

"Maksudmu?"

"Kita gempur pemuda itu. Aku dapat 

bagian pusaka, dan kau dapat bagian 

pemuda itu sendiri. Bagaimana, Selendang 

Merah?"

Pratiwi terdiam. Dia 

manggut-manggut. Lalu tertawa.

"Aku setuju dengan usul itu. Tapi 

ingat, pemuda itu jangan cidera sedikit


pun! Aku telah menantangnya untuk datang 

ke tempat ini!"

"Bagus! Kapan itu?"

"Tengah malam, saat purnama 

bersinar."

Niniwulandari terkekeh senang. 

"Baik, nanti malam aku akan datang. 

Sekarang kau teruskan bersenang-senang 

lagi dengan pemuda itu."

Setelah berkata begitu, 

Niniwulandari melompat ke belakang. 

Bersalto tiga kali. Gerakannya cepat dan 

indah. Lalu menghilang, hanya kekehnya 

yang terdengar mengejek Pratiwi.

Pratiwi menghela nafas lega. 

Setidaknya bisa menghindari bentrokan 

dengan nenek sakti itu. Dan tidak sia-sia 

dia mencari Madewa Gumilang. Sampai 

kapan pun dia akan mencari pemuda itu. 

Dia ingin membalas kematian Gundaling, 

yang telah lima tahun melanglang buana 

bersamanya. Tetapi sebelum dibunuh, dia 

akan menyerap sari perjaka pemuda itu.

Kalau Niniwulandari dapat 

membantunya, dia pasti dapat memiliki 

pemuda itu. Menitik air liur Pratiwi 

membayangkannya.

Masih tersenyum senang, Pratiwi 

masuk lagi ke gubuknya. Ia langsung 

bertelanjang bulat. Mengangkangkan


kedua pahahya di muka pemuda desa itu, 

yang masih berdiri dengan wajah pucat.

"Hei, ayo kita teruskan lagi!" 

bentak Pratiwi.

"Aku... aku...." Pemuda itu 

menyahut lirih. Ia tak sanggup melayani 

nafsu setan Pratiwi.

"Kamu kenapa? Ayo kita 

bersenang-senang lagi."

"Aku letih, Pratiwi.... Tenagaku 

serasa habis. Bagaimana kalau besok?"

Pratiwi tersenyum. Bangkit. 

Membelai wajah pemuda itu. Tapi sedetik 

kemudian terdengar suara "krak!". Tangan 

Pratiwi telah memuntir leher pemuda itu 

sampai patah!

"Hhh! Pemuda tak berguna! Baru 

sebentar saja sudah loyo! Orang macam kau 

lebih baik mampus saja" geram Pratiwi 

sambil meludahi tubuh yang telah menjadi 

mayat itu.

Genda heran, ketika dia datang tidak 

melihat Madewa. Biasanya pemuda itu 

duduk berdua dengan Ratih Ningrum di 

taman depan kamar gadis itu.

Dan dia lebih heran, ketika melewati 

kamar Ratih Ningrum mendengar isak gadis 

itu. Lho, apa yang telah terjadi? Kenapa 

gadis itu menangis? Apa ada pertengkaran


antara keduanya. Atau, Ratih Ningrum 

kena marah ayahnya. Tapi salahnya apa?

Terdengar panggilan dari dalam. 

"Genda! Ke sini sebentar!"

Genda buru-buru menghampiri orang 

yang memanggilnya, yang tak lain 

Biparsena, majikannya. Ia membungkuk 

hormat di depan Biparsena yang duduk 

sambil merokok di ruang dalam.

"Ya, Tuanku."

"Duduk! Sekarang kau ceritakan 

padaku, tentang temanmu itu," kata 

Biparsena yang membuat Genda 

kebingungan.

"Teman saya, banyak, Tuanku. Yang 

mana yang Tuan maksudkan?"

"Madewa!"

"Madewa?"

Biparsena mendeham. "Ya, pemuda 

sahabat barumu itu. Sekarang ini seorang 

wanita yang bernama Pratiwi tengah 

mencarinya, entah dengan alasan apa. Dan 

aku ingin tahu, kenapa dia mencari 

Madewa. Untuk itu aku ingin mendengar 

siapa Madewa sebenarnya."

Genda terdiam. Haruskan dia katakan 

semua itu, padahal dia sudah berjanji 

pada Madewa untuk tidak akan mengatakan 

siapa sebenarnya pemuda itu pada siapa 

pun.


Biparsena berang Genda hanya diam 

saja.

"Hei, Genda! Kau tahu aku tidak suka 

bertele-tele, bukan? Cepat kau katakan 

apa yang kau ketahui!" bentak Biparsena 

karena Genda diam saja.

Genda membungkuk. "Saya tidak tahu 

apa-apa tentang dia, Tuanku."

"Bagaimana mungkin? Dia hampir 

tinggal selama lima hari bersamamu. 

Mustahil dia tidak bercerita tentang 

dirinya!" Suara Biparsena terdengar 

sinis. "Jawab pertanyaanku itu, Genda. 

Aku membutuhkan keterangan tentang diri 

pemuda itu. Kau tahu, Pratiwi semakin 

menjadi-jadi ganasnya gara-gara pemuda 

itu. Dan aku yakin, tidak dengan 

sembarangan alasan Selendang Merah 

Mencari pemuda itu." 

"Saya...."

"Genda!!" Suara Biparsena marah. 

Matanya melotot ganas. Wajahnya memerah, 

membuat Genda tertunduk ketakutan. Tak 

ada jalan lain, dia harus mengatakan 

semuanya kalau tidak mau dimarahi 

majikannya. Sebelum berkata, Genda 

berbisik dalam hati, 

"Maafkan aku sahabat. Aku hanya 

rakyat kecil yang perlu makan. Kalau 

dipecat dari pekerjaanku, aku makan apa?


Aku memberitahukan tentang dirimu, 

sahabat. Maafkan aku...."

Perlahan Genda mengangkat wajahnya. 

Ia mengangguk.

"Ya, Tuanku. Yang saya tahu... 

pemuda itu sedang mencari seseorang, 

yang katanya musuh besarnya. Tapi entah 

siapa orangnya. Dia sendiri tidak 

mengenalnya," suara Genda bergetar.

"Aneh." Biparsena mengusap-ngusap 

dagunya. Tidak puas dengan jawaban 

demikian. Tetapi sikapnya sudah 

merupakan isyarat bagi Genda, agar dia 

meneruskan perkataannya.

"Memang aneh. Sebenarnya... dia 

adalah murid tunggal dari Pendekar Ular 

Sakti alias Ki Rengsersari...."

Sampai di situ Genda bicara 

Biparsena melotot dan berseru kaget, 

"Hah?" Lalu dia menurunkan 

suaranya. "Benar dia murid Ki Rengser-

sari?"

"Begitulah pengakuannya. Dan saat 

ini, dia tengah mencari orang yang 

membuat kabar palsu tentang gurunya yang 

memiliki pusaka dewa matahari. Menurut 

Madewa, gurunya tidak memiliki pusaka 

yang hebat itu."


Biparsena mendengus. "Tidak 

mungkin! Ki Rengsersari pasti memiliki 

pusaka itu!"

"Tetapi Madewa berkeras tidak."

"Jelas dia mengatakan tidak, 

soalnya dia tidak ingin orang tahu kalau

pedang itu sekarang berada padanya."

"Tetapi dia tidak membawa apa-apa 

ketika bertemu dengan saya, Tuanku."

Biparsena terbahak. "Kau bodoh, 

Genda. Sudah disembunyikan olehnya. Hmm, 

sekarang aku baru mengerti. Si Selendang 

Merah mencarinya, pasti soal pusaka itu. 

Untung dia cepat kuusir, kalau tidak, aku 

bisa bentrok dengan Pratiwi, dewi cabul 

itu!"

"Ke mana dia, Tuanku?" tanya Genda 

cemas. Kata-kata majikannya berusan 

merupakan jawaban tentang 

kebingungannya tidak melihat Madewa hari 

ini.

"Aku tidak tahu ke mana perginya. 

Tapi kusuruh mencari Pratiwi!" Biparsena 

mematikan rokoknya. "Sekarang kau 

kembali ke tempatmu.

Terima kasih atas keteranganmu."

Genda berbalik. Melangkah kembali 

ke tempatnya bekerja. Tiba-tiba suara 

lembut terdengar di belakangnya.

"Kang Genda...."


Genda berbalik. "Oh, Den Putri."

Wajah Ratih Ningrum sembab. Matanya 

memerah. Dari semalam dia menangis, 

memikirkan Madewa. Madewa begitu sombong 

sekali. Dia tidak menyambut senyumannya. 

Dan langsung berjalan tanpa membalas 

lambaiannya sedikit pun. Gadis itu 

terguguk. 

Apa Madewa marah padanya? Bosan 

padanya? Hari ini pun dia tidak nampak. 

Sudah dicari tidak diketemukan juga. Apa 

Madewa pergi meninggalkannya? 

Ikuti dalam kisah Selanjutnya : 

“Dendam Orang Orang Gagah”



                       SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar