Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka
JAGO-JAGO ROGOJEMBANGAN
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Jago-Jago Rogojembangan
SATU
Dua ekor kuda yang menarik sebuah gerobak
kayu itu meringkik berbarengan ketika melewati pa-
dang tandus. Di mana-mana banyak berserakan tulang
belulang. Entah bekas kerangka apa. Yang jelas di situ
ada bermacam-macam tulang belulang. Di antara tu-
lang belulang binatang, ada juga terselip kerangka
manusia. Bahkan beberapa roda pedati yang telah
usang sekalipun ikut berserakan di situ.
Gerobak itu berhenti mendadak. Pengendalinya
yang hanya seorang itu geram sekali memecuti kuda-
kudanya. Dua ekor kuda itu masih terus meringkik,
membuat gerobak yang ditariknya bergoyang-goyang
dan hampir terbalik. Pengendali kuda itu makin ken-
cang mencambuki kuda-kudanya.... Hreaaaa!
Hreaaaaa! Hreaaaa! Teriakannya menggelegar meme-
cah kesunyian padang tandus. Burung-burung Nazar
beterbangan mendengar suara yang menakutkan itu.
Bersamaan dengan beterbangan burung-
burung pemakan bangkai, kuda-kuda itu berlari ken-
cang. Debu-debu pun menggumpal bagai asap mengi-
kuti ke mana arah gerobak kayu itu melaju. Pengenda-
linya merasa lega. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Beberapa peti besar masih utuh pada tempatnya di-
tambahkan memenuhi ruang belakang gerobak. Sete-
lah itu ia kembali mencambuki kuda-kudanya.
Beberapa saat kemudian kereta gerobak ber-
henti lagi. Kali ini bukan karena kuda-kudanya. Si
pengendali sendiri yang menghendaki. Di hadapannya
membentang sebuah jembatan kayu yang menyebe-
rangi jurang menghubungkan pada puncak jurang be-
rikutnya. Hati-hati sekali ia mengendalikan kuda
kudanya menyeberangi jalan itu. Roda-roda gerobak
berderak-derak saat melindas jembatan kayu. Jemba-
tan itu cukup kuat, di kedua sisinya terdapat dua utas
tambang sebesar lengan memanjang sebagai pembatas
lebarnya jembatan itu.
Udara yang berhembus dari jurang seberang
begitu segar. Dataran itu nampak lebih subur dari pa-
dang tandus yang ia lewati tadi. Di situ banyak pepo-
honan, tanahnya pun berumput. Dari kejauhan nam-
pak seperti permadani hijau yang membentang di kaki
langit. Kereta gerobak itu kembali melaju dengan cepat
setelah melewati jembatan penghubung.
"Huh kalau tahu keadaan Rogojembangan be-
gini, aku tak mau lagi ke sini..." keluh si pengendali
gerobak dalam hati. Kedua lengannya memacu tali ke-
kang. Derap kaki kuda semakin cepat menelusuri jalan
yang berliku. Melalui pohon-pohon besar yang tumbuh
banyak di kedua sisi jalan.
"Mudah-mudahan saja ini untuk yang terakhir
kalinya..." keluhnya lagi ketika ia melihat sebuah ban-
gunan yang hampir roboh termakan usia. Dari kejau-
han nampak bangunan itu begitu kotor dan tak teru-
rus.
Kereta gerobak itu berjalan perlahan meng-
hampiri halaman bangunan. Si pengendali menghapus
keringat yang membanjir di sekitar keningnya. Seluruh
bajunya telah basah oleh keringat yang mengucur se-
dari tadi. Belum kereta gerobak itu berhenti, seorang
lelaki berperawakan kurus keluar dari bangunan. Me-
lihat sosok berkulit hitam dengan rambut yang semra-
wut, si pengendali kereta gerobak begitu tercengang...
Bukan karena takut! Tapi baru kali ini ia melihat se-
seorang berkulit yang demikian hitamnya. Kuda-kuda
itu tidak meringkik begitu mendekati sosok hitam yang
berdiri tepat di muka pintu bangunan.
"Kaukah Umbara Komang dari lereng Ungaran
yang terkenal itu...?" sapa sosok hitam ketika kereta
gerobak berhenti di hadapannya. Orang yang duduk di
atas gerobak menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku Wadak Keling akan membawa masuk ba-
rang-barang yang kau bawa... Mana barang-barang
itu...?" kata sosok hitam yang menamakan dirinya Wa-
dak Keling. Si pengendali kereta yang ternyata Umbara
Komang menunjuk ke belakang gerobak dengan ibu ja-
rinya. Wadak Keling mengangkat wajahnya melongok
ke belakang gerobak. Dilihatnya dua buah peti beruku-
ran besar terikat kuat saling tindih. Umbara Komang
turun dari gerobak, ia menambatkan kuda-kudanya
pada sebatang tonggak. Ia sempat melirik ke arah Wa-
dak Keling yang mulai membuka ikatan peti-peti di be-
lakang gerobak.
Tanpa minta bantuan Umbara Komang, Wadak
Keling menurunkan satu demi satu peti-peti itu. Lalu
memanggul peti itu memasuki ruangan bangunan yang
nampak begitu gelap. Umbara Komang sengaja me-
nunggu di luar. Ia membiarkan Wadak Keling mema-
sukkan peti-peti itu sendirian. Suatu kesempatan un-
tuk menghemat tenaga.
Peti kedua telah masuk ke dalam bangunan.
Umbara Komang menghela nafas. Ingin rasanya ia ce-
pat-cepat meninggalkan tempat ini. Bau kemenyan
yang sedari tadi keluar dari ruangan sejak pintu ban-
gunan itu terbuka sangat menyesakkan hidungnya.
Sebentar-sebentar ia mengendus mengusir aroma yang
sangat membangunkan bulu roma. Namun Umbara
Komang sengaja menunggu di luar. Menunggu Wadak
Keling keluar dengan membawa sesuatu yang menjadi
imbalan untuknya.
Lama sekali Wadak Keling tidak menampakkan
diri. Setelah ia membawa masuk peti kedua Wadak
Keling tidak muncul-muncul lagi. Umbara Komang jadi
tidak sabar.
"Wadak Keling...! Aku tidak bisa lama-lama di
sini! Tolong sampaikan salamku kepada Ki Rondo
Mayit! Bagianku harus ku terima sekarang...!" teriak
Umbara Komang. Ia membenahi tali-tali pengikat peti
yang malang melintang di sekitar roda gerobak.
"Aku mendengar suaramu, Umbara Komang...!
Terimalah ini!" Terdengar suara dari dalam bangunan.
Jelas bukan suara Wadak Keling. Bersamaan dengan
itu desiran angin sangat kencang menjurus keluar...
"Wwwwes!" Tiba-tiba saja Umbara Komang memekik
dengan tubuh terbanting. Terasa sesuatu menghantam
dadanya... Dengan tubuh yang masih seloyongan, ia
berusaha bangkit.
"Apa-apaan kau, Ki Rondo Mayit! Aku tidak
pernah mengecewakan kau, kenapa malah menye-
rangku sampai sedemikian rupa...!" bentak Umbara
Komang. Ia melangkah memasuki bangunan itu. Wa-
jahnya merah padam menahan amarah yang luar bi-
asa... Tapi baru saja ia melangkah pada garis depan
pintu yang terkuak lebar...
"Deeeeees!" Sebuah pukulan angin menghan-
tam lagi.
Tanpa dapat menghindari, tubuh Umbara Ko-
mang terlempar lebih jauh. Kali ini ia tidak dapat ban-
gun lagi. Umbara Komang terkapar di tanah dengan
berlumuran darah di mulutnya. Kedua kuda yang ter-
tambat di samping pintu meringkik hebat. Keduanya
menyepak-nyepakkan kaki seakan-akan hendak pergi
dari tempat itu.
Ringkikan kuda terhenti seketika saat dua
orang keluar dari balik pintu. Wadak Keling bersama
majikannya Ki Rondo Mayit. Mereka berdua sama se-
ramnya. Rambutnya sama-sama tak terurus. Hanya
kelainan pada Ki Rondo Mayit dengan rambut yang
awut-awutan memutih. Raut wajah Ki Rondo Mayit
sendiri tidak menggambarkan bahwa ia telah termakan
usia. Tidak ada kerut-kerut sedikit pun pada kulit mu-
kanya.
Tapi sewaktu Ki Rondo Mayit menyeringai meli-
hat tubuh Umbara Komang terkapar, terlihat kedua
gusinya tanpa sebutir gigi. Wadak Keling yang berdiri
di samping majikannya melangkah menghampiri tu-
buh Umbara Komang.
"Dia tidak mati, Ki... Jantungnya masih berde-
nyut halus...!" katanya setelah memeriksa tubuh ber-
lumuran darah itu.
"Memang itu yang kuharapkan! Aku tidak sam-
pai hati untuk membunuhnya, karena ia telah banyak
berjasa untukku..." jawab Ki Rondo Mayit ikut melang-
kah mendekat.
"Bawa saja ia masuk ke dalam... Aku masih
membutuhkan dirinya..." katanya lagi. Ia langsung
berbalik memasuki bangunan lebih dulu.
Wadak Keling menuruti perintah majikannya.
Tanpa banyak bicara ia memanggul tubuh Umbara
membawa masuk ke dalam ruangan yang sedikit gelap.
Ruangan itu tidak seberapa besar. Tapi ketika ia me-
masuki ruangan yang kedua. Ruangan itu gelap lagi.
Meskipun hanya diterangi dengan sebuah lampu obor,
cukup membuat keadaan di situ nampak jelas. Ki
Rondo Mayit telah menunggunya di samping meja
kayu yang di atasnya banyak berserakan alat-alat pen-
dupaan. Salah satu pendupaan itu masih mengepul-
kan asap menyebar bau kemenyan.
Dua buah peti berdiri bersandar pada dinding
batu. Ki Rondo Mayit memandangnya. Pandangannya
beralih ketika Wadak Keling masuk membawa tubuh
Umbara Komang ke ruangan itu. Wadak Keling mele-
takkannya pada sebuah balai di sudut ruangan.
"Penutup peti-peti itu harus kau buka Wadak
Keling. Aku ingin melihatnya! Jangan-jangan ia meni-
puku..." Majikannya berseru.
Wadak Keling tidak pernah membantah perin-
tah majikannya. Ia pun melangkah ke arah dua peti
yang bersandar pada dinding Hanya dengan sekali ta-
rik saja penutup peti itu terbuka. Maka terlihatlah dua
sosok tubuh yang telah membiru berdiri membujur da-
lam peti-peti itu. Ki Rondo Mayit tersenyum. Kembali
gusi tanpa gigi terlihat. Rambut yang putih beruban ti-
dak bergeming. Lalu.....
"Baringkan kedua mayat itu di samping tubuh
Umbara Komang... Awas. hati-hati Wadak Keling! Jan-
gan sampai kulit mereka rusak...!"
*
**
DUA
Wintara yang tadi berjalan di tengah-tengah ja-
lanan, melompat ke pinggir ketika mendengar suara
derap kaki kuda yang berjalan cepat dari arah bela-
kang. Ia sengaja berhenti dan melihat beberapa kuda
yang melaju dengan cepat melintasi jalan itu.
Ketiga para penunggang itu tidak perduli saat
Wintara memperhatikan mereka. Ketiganya berlalu
tanpa berpaling barang sekejap pun ke arah Wintara
yang berdiri di sisi jalan. Sepertinya ada sesuatu yang
mereka buru. Wintara pun masa bodoh. Sama acuh-
nya.
Setelah kuda-kuda itu menjauh, barulah Win-
tara meneruskan perjalanannya. Debu-debu bekas de-
rap langkah-langkah kuda masih mengepul.
"Sombong! Mentang-mentang memakai lencana
kerajaan, berjalan seenaknya saja!" gerutu Wintara
sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan pada baju
bulunya. Matanya masih tertuju pada ketiga ekor kuda
yang mulai hilang dari pandangan mata. Debu-debu
yang melekat pada baju bulunya tidak hilang.
Dengan kesal Wintara berlari kencang menyu-
sul mereka. Kecepatan larinya membuat rumput-
rumput yang tumbuh di pinggir jalan seperti merebah
tidur saat ia melewatinya. Itu karena terjangan angin
yang begitu deras. Langkah-langkah Wintara sendiri
tidak jelas kelihatan. Tahu-tahu saja ia sudah berada
jauh di depan sana. Menyusul ketiga kuda yang berlari
di hadapannya.
Sekali hentak, kedua kaki Wintara melejit ke
udara. Tubuhnya berputar berkali-kali. Kemudian
hinggap tanpa menimbulkan suara di atas tanah. Keti-
ga penunggang kuda itu tercengang. Karena tahu-tahu
saja telah muncul di hadapan mereka seorang pemuda
mengenakan baju bulu binatang berdiri menghalangi
perjalanan mereka.
"Minggirlah, anak muda! Kami tengah mengejar
seseorang. Orang itu amat berbahaya sekali... Jadi
kami tidak ingin kehilangan jejaknya." kata salah seo-
rang penunggang yang berada paling tengah.
"Begitu pentingkah orang itu sehingga kalian
tidak menghormati orang yang berjalan kaki di jalan
ini...? Kalian lihat pakaian ku! Aku memang seorang
jembel yang tidak patut dihormati... Tapi justru kalian
orang-orang dari kerajaan tidak memiliki rasa sopan
sedikit pun...!" Bicara Wintara blak-blakan.
"Oh... maafkanlah kami, Anak muda! Bukan
sengaja kami mengotori pakaian mu... Sungguh! Kami
kelewat terburu-buru... Sekali lagi maafkanlah kami..."
kata orang yang menunggangi kudanya di pinggir.
"Betul, anak muda. Kami tengah mengemban
tugas dari kerajaan... Sebenarnya kami bukan orang-
orang kerajaan, kami hanya orang-orang pilihan Raden
Mas Kinanjar Swantaka... Bukan hanya kami bertiga
orang-orang pilihan beliau. Masih banyak lagi orang-
orang seperti kami."
"Orang-orang pilihan...?" Wintara jadi heran.
Ketiganya tidak luput dari tatapan Wintara. Ia melang-
kah ke samping jalan seolah-olah memberi jalan pada
mereka.
"Kami tidak dapat menjelaskannya sekarang,
Anak muda... Maaf, kami harus mengejar buruan yang
telah lepas dari pengamatan... Permisi... Mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi." kata penunggang
kuda yang paling tengah. Orang itu segera menghela
kudanya, maka kuda itu pun berlari lagi. Yang lain
mengikuti mengejar. Wintara terpaku diam melihat ke-
pergian mereka. Sebentar saja kuda-kuda itu jauh
menghilang dengan asap-asap debu yang berterbangan
di sekitar langkah-langkah kuda.
Di depan sana sebuah perkampungan tampak
sepi. Binatang-binatang peliharaan dari sapi, kambing
sampai ayam berkeliaran seperti tidak diurus oleh pe-
miliknya. Binatang-binatang itu simpang siur di sepan-
jang jalan yang menghubungkan ke arah perkampun-
gan. Ketiga penunggang kuda itu pun merasa aneh
dengan keadaan yang seperti mereka lihat sekarang.
Binatang-binatang peliharaan itu segera menyingkir
saat ke tiga kuda memasuki perkampungan. Ketiganya
tersentak kaget melihat suasana dalam perkampungan
yang sangat di luar dugaan.
Para penduduknya telah terkapar bergelimpan-
gan tanpa nyawa. Darah segar masih menetes dari
tiap-tiap tubuh yang bergelimpangan itu.
"Pastilah si pembunuh terkutuk itu yang mela-
kukannya... Dia masih ada di sekitar sini! Cepat cari!
Kalau tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bunuh
saja!" Penunggang kuda yang sampai lebih dulu turun
dari kudanya. Lengan kanannya langsung mencabut
pedang dari pinggang dengan ke dua sorot mata yang
tajam.
"Begitu cepat ia menghabisi orang-orang kam-
pung ini...! Dasar pembunuh! Padahal dirinya telah
menjadi buruan kita! Masih saja sempat menurunkan
tangan jahil....!" Temannya yang mulai turun dari ku-
danya ikut mendongkol.
"Mungkinkah ia masih di sini, Mogeni Kalpa....?
Rasanya aku tidak yakin...."
"Kau bisa melihat mayat-mayat ini... Nampak-
nya pembantaian baru saja terjadi...." jawab Mogeni
Kalpa yang berdiri di antara mayat-mayat penduduk
kampung itu. Dua orang yang berdiri di belakangnya
memperhatikan mayat-mayat itu... Memang benar, lu-
ka-luka pada setiap mayat masih mengeluarkan darah
segar. Hampir rata-rata leher para mayat itu berlumu-
ran darah.
"Baru kali ini kulihat pembantaian sadis...! Bu-
ronan itu mesti dicincang habis!" Salah satu penung-
gang kuda itu geram. Tangannya cekatan menyambar
sebilah pedang tajam berkilat menyilaukan.
"Cepat menyebar...!" Mogeni Kalpa memberi
komando. Dua orang yang berdiri di belakangnya ber-
lari berlainan arah. Pandangan mereka hati-hati sekali.
Setiap sudut maupun pelosok tidak luput dari penga-
wasan mereka. Ketiganya telah bersiap-siap dengan
pedang terhunus di tangan.
Mogeni Kalpa memasuki tiap-tiap gubuk yang
telah kosong. Ia berpindah-pindah terus. Dari satu
gubuk ke gubuk yang lain. Namun tetap saja ia tidak
menemukan orang yang dicari. Pedangnya berkelebat
ke nana ke mari menyibakkan kain-kain yang menu-
tupi tiap-tiap ruangan. Amarahnya makin meluap keti-
ka ia melihat sosok tubuh seorang bayi yang hampir
tidak terbentuk lagi. Mogeni Kalpa cepat beringsut dari
tempat itu.
"Mogeni Kalpa...! Mogeni Kalpa...! Cepat ke ma-
ri...!" Salah seorang temannya berteriak-teriak. Mogeni
Kalpa langsung melompat ke luar.
"Ada apa...? Apakah kalian menemukan manu-
sia keparat itu...?" Mogeni Kalpa berlari ke arah suara
orang yang memanggil-manggil namanya. Dan ia cu-
kup terperanjat ketika tiba di samping kedua teman-
nya.
"Kau lihat itu, Mogeni Kalpa... Dia ada di si-
ni...!" Mogeni Kalpa seperti tidak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri. Sosok tubuh seseorang yang ten-
gah mereka cari telah terkapar di hadapan mereka.
Tubuh itu penuh dengan luka-luka. Pada batang le-
hernya terlihat jelas goresan-goresan luka yang menga-
lirkan darah segar.
Tubuh penuh luka itu bergerak-gerak. Mulut-
nya terbuka seperti hendak mengeluarkan kata-kata.
Mogeni Kalpa menariknya berdiri.
"Susah payah aku mencarimu, Bala Tlenges!
Ternyata demikian mudahnya kami mendapatkan di
rimu di sini...! Sebelum ku kirim ke akherat, apakah
ada pesan yang akan kau sampaikan? Katakanlah
Bala Tlenges! Cepat! Orang-orang kampung yang telah
kau bantai itu pasti akan menuntut mu dari alam baka
sana...!" Mogeni Kalpa geram. Tiba-tiba saja tinjunya
melayang menghantam perut, membuat Bala Tlenges
tersungkur ke tanah dengan menghamburkan darah
dari mulutnya. Bala Tlenges merangkak bagai binatang
melata.
"Anjing! Tunjukkan kebolehan mu... Ayo!" Mo-
geni Kalpa menendang keras tubuh lelaki itu.
"Buuuuug!" Bala Tlenges terlempar lagi. Kali ini
tubuhnya membentur dinding kayu sebuah gubuk.
Namun tetap saja lelaki itu berusaha bangkit walau-
pun dengan susah payah. Darah menyembur lagi dari
mulutnya. Mogeni Kalpa bermaksud memberi hanta-
man lagi. Tapi salah seorang temannya menghalangi...
"Sudahlah...! Ia sudah terluka parah! Mungkin
orang-orang kampung telah mengeroyoknya sewaktu ia
membantai di sini...!"
"Kalau saja ia dapat bicara aku sudah cukup
senang! Tapi ia tetap bungkam! Itu yang membuat aku
naik darah!" jawab Mogeni Kalpa.
"Ia pasti sedang mengucapkan sesuatu, Mogeni
Kalpa... Kau lihat gerak bibirnya. Hanya sayang sua-
ranya tidak keluar, mungkin karena tenggorokannya
robek."
"Bagaimana pun keadaannya ia tetap buronan!
Cepat atau lambat ia pasti dihukum mati! Apa bedanya
kalau ia kubikin mampus sekarang!" Mogeni Kalpa
menatap geram ke arah Bala Tlenges yang sudah ber-
diri dengan seloyongan.
"Kau harus berkepala dingin, Mogeni... Seka-
rang buronan telah kita tangkap, biar saja Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang menentukan hukumannya.
Kau harus ingat, kita hanya orang-orang pilihan...."
*
**
TIGA
Ketiga kuda itu meninggalkan perkampungan
di mana mayat-mayat berserakan bergelimpangan
dengan darah. Mogeni Kalpa masih terdiam menguasai
perasaannya. Ia tetap menunggangi kudanya paling
tengah. Dua orang temannya mengiringi di samping
kanan dan kiri. Di belakang mereka, tubuh Bala
Tlenges terseret tak berdaya. Manakala ketiga kuda itu
berlari semakin kencang berpacu. Tubuh itu tidak be-
danya bagai sebatang tonggak yang terbawa arus per-
jalanan yang kadang-kadang membentur bebatuan
menonjol di sepanjang jalan.
Diperlakukan seperti itu pastilah Bala Tlenges
bakal mampus, pikir Mogeni yang masih menaruh
amarah terhadap buronannya.
Bagaimana tidak? Bala Tlenges seorang peram-
pok dan juga pembunuh sadis. Dalam satu hari selalu
saja ada yang menjadi korbannya. Apalagi hari ini.
Bala Tlenges telah membantai seluruh orang-orang
kampung terpencil. Ini merupakan kejadian yang san-
gat luar biasa. Begitu tega Bala Tlenges membunuh
habis para korbannya. Tidak perduli memandang usia,
dari anak-anak sampai kakek-nenek pun habis diban-
tai.
Tubuh Bala Tlenges masih terseret kencang.
Seluruh pakaiannya yang memerah bersimbah darah
mulai koyak. Kedua matanya kadang terpejam kadang
terbeliak menahan sakit. Jelaslah Bala Tlenges masih
hidup.
Saat itu tanpa sepengetahuan ketiga penung-
gang kuda, sosok bayangan berkelebat dari atas seba-
tang pohon yang cukup tinggi. Sosok bayangan itu
menukik menyambar memutuskan tali yang menyeret
tubuh Bala Tlenges dan sekaligus membawanya pergi.
Mogeni Kalpa yang menyadari ikatan talinya telah ko-
song langsung menoleh ke belakang. Dan ia terkejut
bukan main. Tapi ia masih sempat melihat sosok
bayangan membawa kabur tubuh Bala Tlenges. Keti-
ganya memutar arah. Dua orang temannya dapat me-
lihat kecepatan lari sosok bayangan itu.
"Bangsat...! Bala Tlenges dicuri orang! Cepat ki-
ta kejar...!" Hreaaaaa! Hreaaaaa!! Mogeni Kalpa mema-
cu kudanya. Yang lain mengikuti menuju ke mana la-
rinya bayangan tersebut. Ketiga ekor kuda itu saling
kejar dan saling mendahului mengejar sosok bayangan
yang makin lama makin mereka dekati.
Tiba-tiba saja ketiga kuda itu berhenti berlari.
Kuda-kuda itu meringkik hebat, para penunggangnya
hampir terpelanting dari atas pelana. Untunglah mere-
ka cukup mahir menunggangi kuda milik mereka. Ku-
da-kuda mereka terus meringkik dengan kedua kaki
yang terangkat ke atas seakan enggan meneruskan
perjalanan. Mogeni Kalpa maupun dua orang teman-
nya berteriak-teriak menghela kudanya. Namun tetap
saja kuda-kuda itu seperti mengamuk. Mereka betul-
betul sudah tidak dapat mengendalikan lagi.
Dalam pada itu dua sosok tubuh pucat berja-
tuhan dari atas pohon. Tubuh-tubuh itu terbanting ke-
ras ke tanah. Kedua sosok tubuh pucat itu diam ter-
kapar di tanah. Mogeni Kalpa bersama dua orang temannya memandang keheranan. Mereka menatap dari
mana asal mereka jatuh, kemudian beralih pandang
mereka pada kedua sosok tubuh yang terkapar tak
bergeming. Kuda-kuda tidak mengamuk lagi. Ringki-
kannya tidak sekeras tadi.
"Mayat-mayat siapa ini...? Mengapa berjatuhan
dari atas pohon, apakah kalian lihat ada orang yang
sengaja melemparkannya?"
"Mayat-mayat ini tidak begitu penting bagi kita!
Yang jelas sekarang kita harus mendapatkan kembali
Bala Tlenges! Ayo kejar lagi...!" Setelah kuda-kuda itu
cukup tenang, Mogeni Kalpa menghela kudanya. Kuda-
kuda mereka berlari lagi.
Di luar dugaan, bahkan tanpa sepengetahuan
mereka kedua sosok mayat yang telah pucat membiru
bangkit dan melesat ke arah kuda-kuda itu. Kedua
mayat itu dapat menyergap dua penunggang kuda
yang berada di samping kiri dan kanan Mogeni Kalpa.
Mereka bergulingan.
Mogeni Kalpa turun dari kudanya dengan ka-
lap. Cepat ia menarik gagang pedangnya dari pinggang.
Ia tidak berani membabatkan pedangnya ke arah
mayat-mayat hidup itu. Karena kedua temannya ten-
gah bergelut melawan. Ia sendiri tersentak kaget ketika
dilihatnya salah seorang temannya terlempar terkena
hantaman dari mayat hidup yang amat menyeramkan
itu.
Mogeni Kalpa langsung menerjang dengan ba-
batan pedangnya yang menyambar cepat...
"Bwwwes!" Bagai mengerti ilmu silat, mayat hi-
dup itu dapat mengelakkan babatan pedang. Malah
sempat membalas serangan itu dengan sambaran ca-
kar yang berkuku sangat runcing.
Kalau saja Mogeni Kalpa tidak cepat menarik
mundur tubuhnya, sudah pasti perutnya robek. Ia ti-
dak menyangka sama sekali kalau mayat hidup yang ia
hadapi demikian tangkasnya. Sukar sekali Mogeni Kal-
pa melancarkan serangannya. Sekalipun babatan-
babatan pedangnya terus berkelebat menyambar ke
sana ke mari.
Begitu juga dengan kedua orang temannya. Se-
kalipun mereka berdua mengeroyok salah satu mayat
hidup itu dengan menggunakan senjata. Seleret sinar
berkelebat menyambar perut mayat hidup itu...
"Breeeeet!" Mayat hidup yang berperawakan gemuk ini
mundur beberapa langkah. Lambungnya robek mele-
bar. Tapi tidak ada setetes darah pun yang keluar. Ke-
cuali isi perut berupa sekumpulan belatung-belatung
yang menjijikkan.
Bau busuk menyebar dari lambung yang robek.
Mayat hidup itu tetap berdiri tegar dengan mata terbe-
lalak. Kedua bola matanya putih dengan kelopak mata
yang cekung ke dalam. Serentetan giginya yang telah
menghitam menyeringai... Lalu dengan sekali gerakan,
tubuh busuk itu melesat ke atas. Dua orang yang ber-
senjatakan pedang menyambutnya dengan babatan-
babatan pedang...
"Weeees...! Weeees!" Bagaikan kilatan seleret si-
nar dari babatan pedang mencerca tubuh busuk. Na-
mun tubuh gemuk pucat membiru itu tetap berputar
menghindari dengan mudah babatan pedang dari la-
wannya yang berjumlah dua orang.
Salah seorang dari mereka berhasil menikam
pedangnya ke dada tubuh berbau busuk. Pedang itu
menembus sampai ke pangkalnya. Seperti tidak mera-
sakan sakit, mayat hidup itu menyeringai menyeram-
kan. Kedua lengannya terjulur ke depan mencengke-
ram leher orang yang menikamnya.
Salah seorang lagi berusaha mencegahnya. Ba-
batan-babatan pedangnya melanda di punggung mayat
hidup itu. Sekalipun punggungnya hampir hancur ter-
koyak, tubuh gemuk tak bernyawa itu makin kencang
mencengkeram leher seorang lawannya. Orang itu pun
meronta-ronta.
Kuku-kuku jari yang runcing bagai mata jarum
merejam batang leher. Salah seorang temannya ber-
maksud membabatkan pedangnya ke arah lengan yang
mencengkeram kuat, namun belum sempat niatnya
terlaksana... "Bug!" Sebelah kaki tubuh gemuk yang
tak bernyawa itu menyambar ke samping. Orang itu
pun terlempar jauh. Begitu juga dengan pedangnya.
Darah mulai mengalir dari batang leher yang
terkoyak. Orang itu masih meronta-ronta. Setelah len-
gan mayat hidup melepas kan cengkeramannya. Tapi
tak lama kemudian lengan itu menghantam lagi sam-
pai kepala itu terputus menggelinding ke tanah. Tubuh
tanpa kepala itu kelojotan dalam cengkeraman mayat
hidup. Darah menyembur bagai air mancur yang ke-
luar dari batang leher yang buntung.
Mogeni Kalpa terbelalak melihat seorang saha-
batnya tewas secara mengerikan. Babatan pedangnya
dipercepat sehingga membentuk seperti kitiran angin.
Mayat hidup yang dihadapinya pun tidak kalah gesit,
hanya dengan tendangan memutar pedang yang berge-
rak cepat itu terlepas dari genggaman Mogeni Kalpa.
Bersamaan dengan itu sosok tubuh yang tak bernyawa
itu melesat menerjang. Terjangan itu tak bisa di hinda-
ri lagi. Mogeni Kalpa berontak menghindari namun ter-
lambat, sederetan gigi yang menghitam menggigit pu-
tus tenggorokan Mogeni Kalpa.
Mayat hidup itu belum juga melepaskan rang-
kulannya yang membawa maut. Keduanya nampak
bergelindingan di tanah. Mogeni Kalpa menjerit-jerit.
Seorang temannya yang tadi terlempar datang mem-
bantu. Dengan cepat ia menyambar pedang yang terge-
letak di tanah ia menerjang. Babatan pedangnya siap
di arahkan pada batok kepala mayat hidup yang
menggigit tenggorokan Mogeni Kalpa....
"Craaak!" Sekali babat, batok kepala itu hampir
terkelupas. Ketika ia mengangkat pedangnya lagi,
mendadak tubuhnya terlempar. Sosok tubuh gemuk
tak bernyawa datang melancarkan serangannya. Den-
gan menyeringai mayat busuk itu maju menerjang
orang yang sudah terlempar. Orang itu cepat bangkit,
pedangnya siap menyambut terjangan mayat hidup.
Begitu mayat hidup mendekat, pedang berkele-
bat menyambar. Sebelum mata pedang itu menggores,
mayat hidup itu telah melesat ke atas lebih dahulu...
Tahu-tahu saja kelima kuku yang runcing bagai mata
jarum menembus tepat di atas kepala orang itu. Dan
seketika telapak tangan itu menarik ke atas. Isi kepala
ikut ke luar dari rongga otak dengan tubuh yang kelo-
jotan.
Bersamaan dengan itu pula tubuh Mogeni Kal-
pa telah terkapar kaku tak bernyawa. Tubuhnya nam-
pak koyak bekas cakaran-cakaran, tenggorokannya
hampir putus. Kedua mayat hidup itu menyeringai
mengeluarkan suara yang amat mengerikan. Lengan-
lengan mereka terjulur ke atas menunjukkan kuku-
kukunya yang runcing, tiba-tiba saja...
"Suiiiiiiiit!" terdengar siulan panjang mengu-
mandang di udara. Maka dengan serempak kedua
mayat hidup melompat-lompat meninggalkan tempat
itu. Sedangkan di depannya nampak sesosok bayangan
berlari kencang membawa sesuatu. Kedua tubuh yang
menyebarkan bau busuk itu menuju ke sana. Ke mana
sosok itu pergi, ke sanalah tujuan mereka.
*
**
EMPAT
Dari kejauhan Wintara sudah dapat melihat ti-
ga ekor kuda berdiri menghalangi jalan. Ia sendiri ber-
jalan menyusuri jalan itu. Tidak ada kesan apa-apa se-
telah melihat ketiga ekor kuda.... Pandangannya malah
menatap jauh mengarah pada perbukitan tandus ber-
warna keemasan tertimpa sinar matahari. Di atasnya
membentang cakrawala nan biru dengan awan keputi-
han bergumpal bergeser tertiup angin.
Kuda-kuda itu meringkik kencang ketika lang-
kah-langkah Wintara makin dekat. Pandangan Wintara
teralih ke situ. Pada jarak yang sangat jauh ia dapat
melihat tiga sosok tubuh bergelimpangan di sekitar
kaki-kaki kuda. Jelas ketiga orang itu adalah orang-
orang yang mereka temui tadi. Langkahnya dipercepat,
ia telah menduga bahwa telah terjadi sesuatu pada
mereka.
Wintara betul-betul tersentak ketika sampai di
tempat itu. Ia melihat tiga sosok si penunggang kuda
bergelimpangan tan nyawa. Keadaan mereka sangat
mengerikan. Salah satu di antaranya tewas dengan ke-
pala terpisah. Ada juga yang batok kepalanya pecah
dengan isi kepala yang berhamburan ke luar. Satu
orang lagi yang pernah berbicara dengan Wintara te-
was dengan tenggorokan yang hampir putus, tubuhnya
pun habis terkoyak oleh sesuatu yang sangat tajam...
Seperti cakaran, itu pendapat Wintara setelah memeriksa ketiga sosok berlumuran darah.
"Sadis! Perbuatan siapa ini...? Masih ada juga
manusia yang berdarah dingin di muka bumi ini! Meli-
hat dari luka-luka mereka, tentulah bukan dikarena-
kan dengan senjata! Tapi..." Wintara tidak habis pikir.
Ia sendiri tidak tahu mesti berbuat apa terhadap ketiga
mayat itu.
"Tadi mereka mengatakan, bahwa mereka akan
mengejar seorang buronan! Apakah mereka telah me-
nemukan buronan itu sehingga terjadi pertarungan
yang begini seru? Kalau demikian, sungguh hebat bu-
ronan itu!" gumam Wintara. Mata Wintara tertuju pada
sebuah lencana yang melingkar di setiap lengan kiri
mereka. Semua lencana itu sama. Tanda orang-orang
kepercayaan kerajaan.
Ada pemikiran Wintara untuk mengantarkan
mereka pada pesanggrahan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka. Tapi cepat ia membatalkan niatnya. Ia tidak ingin
terlibat urusan ini. Toh ketiga orang ini sama sekali ti-
dak dikenalnya. Apalagi dengan Raden Mas Kinanjar
Swantaka... Macam apa dia orangnya, Wintara tidak
tahu sama sekali. Berniat mengantarkan mayat-mayat
ini sama saja mencari penyakit! Sudah tentu dirinya
akan dilimpahkan beribu-ribu pertanyaan yang memu-
singkan.
Sekarang Wintara hanya menaikkan tiap-tiap
mayat ke atas kuda. Ia merasa ada kesulitan ketika
menaikkan tubuh tanpa kepala. Tidak mungkin ia
membiarkan kepala itu tetap tertinggal di situ. Seben-
tar kemudian Wintara menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Setelah rambut gondrongnya menjadi
kusut, ia mendapatkan satu cara.
Tanpa merasa jijik, Wintara meraih kepala yang
buntung itu dari tanah. Tentu saja ia hanya memegang
rambutnya. Lalu ia menyelipkan ke dalam balik baju
tubuh tanpa kepala itu. Ketiga tubuh tanpa nyawa te-
lah terikat di atas pelana kuda-kuda mereka. Wintara
tersenyum ia merasa puas akan tindakannya itu.
"Aku yakin, kuda-kuda ini sangat patuh... Me-
reka akan sampai ke tempat tinggal tuannya..." kata
Wintara dalam hati setelah itu ia menepuk salah satu
kuda yang berdiri paling depan. Kuda itu pun berlari.
Dua kuda lainnya mengikuti. Meskipun lari kuda-kuda
itu tidak kencang, tidak jadi masalah. Lambat laun
mereka akan sampai ke tempat tujuan.
Wintara belum beranjak dari situ, ia masih me-
natap kepergian ketiga kuda yang kian menjauh. Pan-
dangannya menggambarkan rasa iba. Ketiga wajah
orang itu belum lepas dari ingatannya. Begitu cepatnya
hidup ini. Sepertinya Tuhan telah mengutuk!
*
**
Nafas Wadak Keling terengah-engah ketika tiba
di depan bangunan yang hampir roboh. Sosok tubuh
yang dibawanya, diletakkan begitu saja di depan pintu.
Punggungnya terasa sekali berdenyut. Sebentar kemu-
dian ia menoleh ke belakang. Ia melihat dua sosok me-
lompat-lompat menyusul ke tempat itu.
"Dasar mayat! Gerakannya lambat kayak
keong!" gerutunya. Kembali ia mengangkat sosok tu-
buh yang berlumuran darah, sosok itu mengerang-
ngerang menahan sakit. Luka-lukanya sudah tidak ka-
ruan parahnya. Tapi ia masih bertahan hidup. Sung-
guh luar biasa!
Wadak Keling tidak perduli kedua sosok mayat
melompat-lompat ikut memasuki ruangan bangunan.
Setelah ia menembus ruangan yang agak gelap, ia
memasuki ruangan lain yang cukup terang disinari
lampu obor. Di situ telah menunggu sosok berambut
putih kusut duduk menghadapi sebuah pendupaan
yang mengepulkan asap kental menyebarkan bau ke-
menyan.
Kedua mayat hidup itu melompat-lompat me-
masuki ruangan itu. Seperti telah terkendali mereka
memasuki peti-peti yang bersandar pada dinding batu.
Sesaat kemudian dua sosok dalam peti itu diam sea-
kan tertidur pulas. Kedua mata mereka yang tadi sela-
lu membelalak menyeramkan, kini terpejam rapat. So-
sok berambut putih kusut itu meniup asap pendupaan
dalam-dalam. Bara api dalam pendupaan itu mati den-
gan seketika.
"Ki Rondo Mayit, sebaiknya cepat kau tolong
putra mu ini... Luka-lukanya sangat parah..." kata
Wadak Keling ketika melihat sosok berambut putih ku-
sut itu berdiri.
"Jangan khawatir, Wadak Keling... Bala Tlenges
akan segera pulih dari luka-lukanya. Baringkan saja di
atas balai. Buka pakaiannya dan jangan sekali-kali
kau membuka ikat pinggangnya... Ingat itu!"
"Aku mengerti, Ki Rondo Mayit!" Wadak Keling
membawa tubuh Bala Tlenges ke arah balai. Di situ te-
lah duduk seseorang bertubuh kekar. Sedari tadi ia
memperhatikan mereka sambil tersenyum cengenge-
san. Ketika Wadak Keling mendekati balai, sosok tu-
buh kekar itu langsung beringsut menyingkir. Orang
itu kembali duduk di atas lantai.
"Begitulah, Umbara Komang! Meskipun kau te-
lah gila harus punya rasa tahu diri!" Wadak Keling
membentak. Ia membaringkan tubuh Bala Tlenges di
atas balai. Ki Rondo Mayit mendekati.
"Bawa ke luar, Umbara Komang! Aku khawatir
ia akan mengganggu pekerjaanku! Selama aku tidak
memanggil jangan masuki ke mari." kata Ki Rondo
Mayit. Wadak Keling menurut, ia melangkah mendeka-
ti Umbara Komang yang duduk di lantai. Lalu menye-
retnya ke luar dengan kasar. Umbara Komang malah
tertawa.
"Manusia gila! Ayo kita main di luar! Ada kau di
sini malah merepotkan aku!" Lengan Wadak Keling
menarik makin keras. Sebentar saja mereka sudah be-
rada di luar. Umbara Komang berjingkrak-jingkrak ke-
girangan.
Ada sesuatu yang tidak beres dalam otak Um-
bara Komang. Kesadarannya telah berputar seratus
delapan puluh derajat. Tidak di sangkal lagi semua ke-
tidakberesan yang ada pada diri Umbara Komang aki-
bat ulah Ki Rondo Mayit. Ki Rondo Mayit sengaja me-
lakukannya. Sewaktu ia merapalkan ajian membang-
kitkan mayat yang telah hampir membusuk. Tubuh
Umbara Komang yang hanya pingsan diikutsertakan.
Mayat-mayat itu dapat hidup meskipun tidak sempur-
na. Tapi mayat-mayat itu dapat diperintah sebagaima-
na Ki Rondo Mayit suka. Umbara Komang lain! Ajian Ki
Rondo Mayit memang mengena, tapi Umbara Komang
bukan mayat! Ia manusia yang masih hidup... Ketika
Umbara Komang siuman ia telah kehilangan kesada-
rannya. Sampai sekarang... Ia telah gila!
"Langit akan runtuh...! Bumi akan belah...! He-
he-he-he... jangan takut... jangan takut...! Ki Rondo
Mayit akan merobah segalanya...! Wuaaaaaa! Jangan!
Jangan...! Roh jahat pergi...!" Umbara Komang berte-
riak-teriak. Wadak Keling yang menjaganya jadi kesal.
Dengan telengas ia menendang tubuh Umbara Ko-
mang. Tubuhnya menggelinding.
"Kau siluman hitam yang jahat...! Hiiii... Nanti
juga aku jadi siluman! Aku tidak takut! Hua-ha-ha...!"
"Nanti kau jadi siluman gila!" jawab Wadak Kel-
ing setengah membentak. Ia membiarkan Umbara Ko-
mang berjungkir balik di halaman gedung. Kelakuan-
nya memang selalu begitu. Wadak Keling sudah tidak
heran lagi. Melihat tingkah Umbara Komang yang san-
gat menggelikan itu, Wadak Keling merasa terhibur. Ia
membiarkan Umbara Komang bertingkah apa saja. Ia
sengaja hanya duduk pada undakan batu di bagian te-
ras bangunan. Tubuh hitamnya berkilat tertimpah ca-
haya matahari. Rambutnya yang kusut kaku tidak
bergerak walau dihembus angin. Kedua matanya terus
mengawasi Umbara Komang.
"Aku mau pergi...! Di sini tidak enak rasanya
panas seperti di neraka! Selamat tinggal siluman hitam
yang jahat...." Umbara Komang mengoceh sambil ke-
dua kakinya berlari menjauh.
Langkah-langkahnya yang tidak karuan mem-
buat larinya tak tentu arah.
*
**
ENAM
Sudah tentu Wadak Keling tidak akan mem-
biarkan Umbara Komang meninggalkan tempat itu.
Dengan cepat tubuhnya melesat dan berputar di atas
kepala Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah ber-
diri di hadapan Umbara Komang sambil menjambak
rambutnya.
"Kau mau menyusahkan aku... Ayo kembali...!"
Wadak Keling membentak. Ia mendorong kuat-kuat
tubuh Umbara Komang kembali ke arah bangunan.
"Aku tidak mau main dengan siluman hitam
yang jahat macam kau! Aku mau main sendiri...!" Um-
bara Komang berteriak-teriak. Tubuhnya meronta-
ronta. Wadak Keling melancarkan hantaman ke pung-
gung agar Umbara Komang tenang, tapi sebelum pu-
kulan itu mengenai punggungnya, Plaaak!" Umbara
Komang menangkis dengan lengan kirinya. Hantaman
itu beradu. Wadak Keling merasakan lengannya berde-
nyut.
"Ha-ha-ha-ha... Siluman jahat kesakitan! Ra-
sain...! Ha-ha-ha-ha....! Umbara Komang tertawa ter-
bahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak di teras ge-
dung. Wadak Keling jadi geram. Sekali lagi ia melan-
carkan pukulan....
"Des!" Umbara Komang terbanting. Tapi ia ma-
lah tertawa mengejek.
"Kalau mau memijit bukan begitu caranya...
Mari aku ajarkan...!"
Tiba-tiba saja tubuh Umbara Komang melesat
ke arah Wadak Keling. Tahu-tahu... Plaaaakkkkk! tela-
pak tangan Umbara Komang menghantam keras kepa-
la Wadak Keling. Terasa sekali hantaman itu.
Tentu saja Wadak Keling jadi kalap. Segera ia
maju menerjang....
"Hreeeaaaaahhh!" Kedua lengannya siap meng-
hantam, tapi....
"Wadak Keling! Apa-apaan kau!?" Ki Rondo
Mayit sudah berada di situ.
Wadak Keling membatalkan serangannya. Mu-
kanya memerah menatap Umbara Komang yang tetap
cengengesan.
"Bantu aku sebentar! Biarkan saja ia bermain
sesukanya di sini!..! Ayo!" Ki Rondo Mayit masuk lagi.
Wadak Keling tidak segera ikut masuk. Pandangannya
masih menatap tajam pada Umbara Komang.
"Ingat Umbara Komang.... Jangan coba-coba
melarikan diri dari sini! Aku tidak segan-segan mem-
bunuhmu...!" ancam Wadak Keling sambil melangkah
masuk.
"Whueeeeeeee!" Umbara Komang menjulurkan
lidahnya.
Ketika Wadak Keling memasuki ruangan ten-
gah, Ki Rondo Mayit menyerahkan sebuah pundi yang
mengepulkan asap putih. Wadak Keling langsung me-
nerimanya.
"Borehkan semua ramuan ini di tubuh Bala
Tlenges! Sementara itu aku membuat ramuan lain agar
ia kuat kembali."
Wadak Keling mengangguk. Ia pun melangkah
ke arah tubuh Bala Tlenges yang masih terbaring. Bala
Tlenges sudah tidak mengerang lagi. Matanya terpe-
jam, namun nafasnya kian memburu. Wadak Keling
menuangkan ramuan obat ke telapak tangannya, lalu
ia memborehkan ke seluruh tubuh yang dipenuhi den-
gan luka-luka yang cukup parah.
Cairan berwarna kehijauan melapisi kulit Bala
Tlenges yang diam terlentang. Dadanya naik turun
mengeluarkan nafas yang demikian berat. Dua kelopak
matanya berkedutan ketika cairan berwarna kehijauan
membasahi di luka-lukanya.
"Kenapa Bala Tlenges sampai terluka be-gini,
Wadak Keling...? Setahuku, Bala Tlengas tidak mung-
kin bakal dikalahkan orang. Aku telah menempa di-
rinya sekuat batu ka-rang dan seteguh gunung... Apa
lagi ia menguasai ilmu membaca pikiran orang!" kata
Ki Rondo Mayit sambil menumbuk dedaunan di atas
meja.
"Semuanya di luar dugaan, Ki... Sewaktu aku
membawa kedua mayat hidup itu ke desa terpencil, ti-
ba-tiba saja Bala Tlenges datang di saat kedua mayat-
mayat itu mengamuk!" kata Wadak Keling menunjuk
ke arah kedua mayat yang berdiri kaku dalam dua
buah peti.
"Lantas?" tanya Ki Rondo Mayit. Lengannya si-
buk menumbuk ramuan daun.
"Kedua mayat hidup itu mengira Bala Tlenges
adalah orang kampung itu juga, maka ia pun tidak lu-
put dari amukan mayat hidup! Bala Tlenges mengada-
kan perlawanan. Tapi sia-sia menghadapi mereka.
Mayat hidup bergerak tanpa berpikir. Tapi setiap gera-
kannya membawa maut." Wadak Keling menjelaskan.
Ki Rondo Mayit tersenyum.
"Aku khawatir luka di tenggorokannya tak akan
sembuh. Sekalipun sembuh mungkin ia tidak dapat
mengeluarkan suaranya..." kata Wadak Keling setelah
memeriksa luka robek di tenggorokan Bala Tlenges.
"Mau dikata apa! Semua sudah terlanjur. Lagi pula, ti-
dak perlu disesalkan. Sesuatu yang akan berhasil sela-
lu memerlukan pengorbanan." Ki Rondo Mayit selesai
menumbuk dedaunan. Lalu ia mengairi tumbukan
daun itu dengan cairan berwarna hitam.
"Beri dia minuman ini... Kalau tidak habis, si-
sakan buat nanti sore!" kata Ki Rondo Mayit. Ia me-
nuang ramuan obat yang telah di beri cairan hitam ke
dalam gelas bambu. Wadak Keling menerima gelas
bambu itu. Kemudian ia melangkah lagi ke arah tubuh
Bala Tlenges.
Sebelah lengan Wadak Keling mengangkat tu
buh Bala Tlenges bangun. Sebelah lengannya lagi
mencekoki ramuan obat ke mulutnya. Tapi cairan ken-
tal hitam itu keluar lagi melalui tenggorokannya yang
robek. Cepat Wadak Keling menutup tenggorokannya
yang robek itu dengan telapak tangannya. Dengan be-
gitu barulah cairan kental berwarna hitam kental ma-
suk semua ke perut Bala Tlenges.
"Kalau sudah, kau boleh keluar Wadak Keling...
Aku sudah tidak membutuhkan mu lagi."
Wadak keling bangkit dari bale-bale, ia tidak
menyerahkan gelas bambu pada Ki Rondo Mayit. Sen-
gaja ia menaruh sendiri gelas bambu itu di atas meja
yang banyak berserakan alat-alat keperluan Ki Rondo
Mayit. Setelah itu ia keluar tanpa bicara apa-apa.
Sepeninggal Wadak Keling, Ki Rondo Mayit
mendekati tubuh putranya yang terbaring di atas balai.
Tubuhnya telah penuh dengan cairan berwarna hijau.
Ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Len-
gannya meraba ikat pinggang Bala Tlenges yang me-
lingkar kendor di pinggang. Lalu ia mengikat kencang
kembali ikat pinggang itu.
"Ki Rondo Mayit... Ki Rondo Mayit...!" Tiba-tiba
saja Wadak Keling kembali masuk ke dalam ruangan
itu sambil berteriak-teriak.
"Ada apa!" Ki Rondo Mayit membalikkan tubuh.
"Umbara Komang sudah tidak ada di luar.... Ia
kabur!" jawab Wadak Keling tergagap.
"Budak tolol! Cari sampai dapat...!" bentak Ki
Rondo Mayit.
Wadak Keling segera berlari ke luar. langkah-
nya berdetak-detak menginjak
lantai. Pandangannya memutar sesampainya
luar bangunan. Ia betul-betul mengawasi tiap-tiap pe-
losok. Jauh di sana di antara rerimbunan pepohonan,
sosok tubuh berjingkrak-jingkrak kian lama kian men-
jauh. Itulah sosok Umbara Komang. Wadak Keling me-
rasa lega. Ia pun segera mengejar.
"Umbara Komang...! Kembali...!" Wadak Keling
berteriak-teriak. Larinya makin cepat.
Umbara Komang yang mendengar suara itu
makin cepat pula melarikan diri. Sebentar-sebentar ia
menoleh ke belakang sambil berjingkrak-jingkrak. Se-
telah itu ia berlari lagi. Wadak Keling memacu larinya
lebih cepat, terkadang pula ia melompat.
Umbara Komang memang berada jauh di de-
pannya. Namun Wadak Keling tidak putus asa menge-
jarnya. Dalam hatinya ia mendongkol. Mengapa Ki
Rondo Mayit tidak menjadikannya mayat hidup saja
sekalian. Daripada ia gila seperti ini, akhirnya mem-
buat repot! Untung saja ia gila. Coba kalau ia sadar
seperti dulu. Sudah pasti akan lebih merepotkan lagi.
Karena Umbara Komang bukanlah orang yang mudah
diremehkan. Paling tidak ia memiliki kepandaian yang
tidak rendah. Lihat saja sekarang. Meski pun ia gila
kecepatan larinya sangat luar
biasa. Setengah mati Wadak Keling mengejar.
"Sampai di mana pun kau akan kudapat, ma-
nusia gila...!" teriak Wadak Keling emosi.
"Siluman hitam mana becus lari... Hua-ha-ha-
ha-ha...!" jawab Umbara Komang. Suaranya yang keras
hanyut terbawa angin. Mendengar ucapan yang demi-
kian Wadak Keling amat gusar. Maka ia mengerahkan
seluruh tenaganya. Dan kecepatan larinya cepat bagai
angin. Sosok tubuhnya berkelebat bagai bayangan hi-
tam.
Yang Umbara Komang tahu hanyalah siluman
hitam mengejar. Ia semakin ketakutan saat sosok hi-
tam itu mulai mendekat. Langkah-langkah Umbara
Komang yang tidak karuan memperlambat kecepatan
larinya. Bahkan ia sempat terjerembab ke dalam se-
mak yang rimbun. Begitu panik ia berusaha mele-
paskan dirinya dari libatan-libatan akar-akar pohon
yang merambat.
Dari kejauhan Wadak Keling dapat melihat
Umbara Komang jatuh ke dalam semak. Teriakannya
pun terdengar. Begitu juga dengan gemerisiknya daun-
daun yang nampak bergerak-gerak.
"Wuaaaaaaa...! Ular...! Tolong ular-ular ini me-
libat ku... toloooong!" Umbara Komang menjerit-jerit.
Wadak Keling sudah berdiri di situ dengan pandangan
sadis. Ia menatap garang ke arah Umbara Komang
yang repot menyingkirkan akar-akar pohon merambat
yang telah kering. Makin banyak bergerak, akar-akar
pohon itu makin kusut membelit.
*
**
ENAM
Sekali tendang tubuh Umbara Komang mence-
lat berikut akar-akar pohon yang putus berantakan.
Wadak Keling melompat lagi ke arah Umbara Komang.
Kepalannya siap mengarah ke bagian muka. Umbara
Komang kalap, ia mendorong kuat-kuat tubuh Wadak
Keling...
"Brweeeek!" Wadak Keling terpelanting. Ia tidak
menyangka kalau dorongan itu begitu deras.
"Siluman jahat! Nanti kalau aku telah menjadi
siluman boleh kita main-main...!" kata Umbara Komang sambil kacak pinggang. Hidungnya kembang
kempis.
Diam-diam Wadak Keling bangkit berdiri, den-
gan gerakan yang sangat cepat ia menerjang. Umbara
Komang hanya diam menghadapi sergapan itu. Maka
keduanya bergulingan. Umbara Komang malah tertawa
terkekeh-kekeh. Sebuah tamparan mendarat di pi-
pinya... Umbara Komang meringis. Sosok hitam den-
gan rambut kusut menjambak rambutnya, lalu...
"Deeees!" Sebuah hantaman mendarat di dada. Tubuh
Umbara Komang mental menggelinding. Dan tepat
berhenti di bawah kaki seseorang yang berdiri di situ.
Dengan tubuh yang terlentang, Umbara Komang me-
natap wajah orang itu. Seorang anak muda yang men-
genakan pakaian bulu binatang, Wintara!
Wintara membantu Umbara Komang bangkit
berdiri. Kedua matanya tertuju pada seorang yang
berkulit hitam dengan rambut yang kusut tak terurus.
Alisnya mengernyit.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha... Untung ada dewa peno-
long! Ayo siluman jahat tangkap aku kalau berani...
Ha-ha-ha-ha-ha...!" Umbara Komang tertawa di samp-
ing Wintara. Wadak Keling menatap anak muda itu.
"Siluman jahat tidak mungkin berani terhadap
dewa...! Kalau berani melawan bisa kuwalat!" celoteh
Umbara Komang. Wintara sudah menyadari kalau
orang yang berdiri di sampingnya adalah orang yang
rada kurang beres otaknya. Namun begitu Wintara per-
lu melindunginya. Karena sejak tadi
Wintara sudah melihat penganiayaan Wadak
Keling terhadap Umbara Komang. Sekarang ia melihat
Wadak Keling berdiri angkuh.
"Anak muda jangan mencampuri urusan ku...
Lebih baik menyingkirlah! Orang gila itu salah satu
anggota keluargaku, aku harap kau mau mengerti...!"
"Bohong! Dia bukan anggota keluarga! Dia si-
luman jahat yang mau membawa diriku ke neraka!
Aku tidak mau...! Aku tidak mauuuu!"
"Umbara Komang! Ayo kembali!" bentak Wadak
Keling. Lengannya siap menghantam. Sebelum hanta-
man itu mengena... "Plaak!" Wintara menepis dengan
tangan kirinya. Wadak Keling melotot. Lengannya tadi
memutar menyerang Wintara... "Weeees!" Wintara
menggeser tubuhnya.
"Sudah kubilang kau tidak perlu ikut campur!"
Wadak Keling melancarkan tendangan. Wintara me-
nyambut dengan kakinya pula. Tendangan mereka be-
radu. Wadak Keling menahan sakit.
"Kalau dia anggota keluargamu tidak mungkin
kau menganiaya, sobat!" jawab Wintara mengangkat
tangannya menangkis serangan Wadak Keling yang
kian membabi buta. Kedua lengan hitam itu berkelebat
menyilang mengarah ke bagian kepala. Hanya dengan
memutar lengannya, Wintara dapat menggeser kedua
lengan hitam itu sampai melesat ke samping.
Melihat itu Umbara Komang berjingkrak-
jingkrak kegirangan. Mimiknya bagaikan bayi. Apalagi
saat Wintara berhasil menghantam perut Wadak Kel-
ing... "Bug!" Meskipun tidak keras tapi tubuh hitam itu
mundur seloyongan. Umbara Komang ngakak tidak
kepalang tanggung.
"Hua-ha-ha-ha-ha... Mana ada siluman jahat
mengalahkan dewa...? Kau bakal mampus siluman ja-
hat! Kau akan tertimbun oleh langit dan awan! Ha-ha-
ha-ha..."
Wajah hitam Wadak Keling makin kelam diper-
lakukan begitu oleh Wintara. Maka sebelum ia melan-
carkan serangannya lagi, ia menghimpun tenaganya.
Dari mulutnya terdengar raungan yang sangat hebat.
Wintara mundur selangkah. Umbara Komang nampak
menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangan-
nya.
Sesaat kemudian Wadak Keling melompat sam-
bil lengannya menyambar. Wintara yang bermata jeli
langsung menepis sambaran tangan itu, tapi ia tidak
dapat mengelakkan serangan lengan lainnya... "Bug!"
Menghantam telak di punggung. Wintara hampir ter-
sungkur. Hantaman itu sangat keras, punggungnya
seperti berdenyut.
Wintara berusaha berdiri tegar sambil mengge-
rak-gerakkan punggungnya yang masih berdenyut.
Matanya menatap mengawasi setiap gerakan Wadak
Keling. Tubuh hitam itu maju lagi menyerang, sebelum
ia melancarkan tendangannya, jotosannya bergerak
maju... "Wes!" Wintara melesat ke atas berputar di
udara dengan kaki ke atas. Sebelah lengannya me-
nangkis jotosan Wadak Keling. Namun tubuh hitam itu
menyambut lagi dengan tendangannya yang berputar
dua kali mengarah kepada Wintara yang masih bersal-
to di udara...
"Bwet...! Bwet!" Dua tendangan yang berturut-
turut itu mengenai tempat yang kosong.
Dan ketika Wintara menginjakkan kakinya ke
tanah, ia mendorong telapak tangannya kuat-kuat.
Wadak Keling tidak sempat lagi menghindar...
"Deeeees!" Tepat menghantam tenggorokannya.
Sosok hitam itu pun memekik keras. Pernafasannya
seperti putus. Sebentar kemudian ia menyeringai sa-
dis. Wintara yang berdiri di hadapannya cepat merun-
duk saat Wadak Keling menubruk dengan serentetan
hantaman. Dalam keadaan seperti itu, sebelah kaki
Wintara menyabet memutar bagian bawah...
"Plaaak!" Tak urung lagi tubuh hitam itu terpe-
lanting. Namun sebelum Wadak Keling terbanting ke
tanah, ia sempat menghantam Wintara dengan kedua
kakinya... "Bug...!Bug!" Wintara sendiri yang akhirnya
terpelanting hebat. Wintara menyeka darah yang mulai
mengalir dari lubang hidungnya. Ia baru menyadari
lawan yang dihadapi ini tidak boleh dianggap remeh.
Wadak Keling masih tetap berdiri. Sebelah kakinya
nampak gemetar menahan sakit akibat sapuan kaki
Wintara tadi. Ia bergeser ke kiri, kaki yang gemetar itu
terasa seperti kaku. Wintara sudah menduga paling ti-
dak tulang keringnya patah. Meskipun begitu Wadak
Keling masih bernafsu untuk melancarkan serangan
berikutnya. Dengan tenang Wintara menyambut se-
rangan itu. Jotosannya tahu-tahu menghantam ulu
hati. Wadak Keling ambruk celentang tanpa mengelua-
rkan suara. Wintara membiarkan tubuh hitam itu ter-
geletak. Ia sendiri beranjak mendekati Umbara Ko-
mang yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangannya.
Wintara merasa ingin tertawa melihat tingkah
Umbara Komang yang sangat aneh itu. Sewaktu mere-
ka berhadapan, Umbara Komang cepat menyelinap ke
balik pohon. Tapi sebentar-sebentar ia melongok meli-
hat Wintara yang masih berdiri di situ. Wintara terse-
nyum. Tanpa perduli ia melangkah meninggalkan Um-
bara Komang yang sembunyi di balik pohon.
Setelah Wintara berjalan agak jauh, barulah
Umbara Komang berani keluar. Dengan perlahan ia
melangkah ke arah tubuh hitam yang terlentang di ta-
nah. Dilihatnya sosok hitam itu masih bernafas,
meskipun perlahan... Maka...
"Dewaaaaa...! Siluman jahat masih hidup... Aku
takut! Dewaaaaa... Tungguuuu!" Umbara Komang berlari menyusul kepergian Wintara. Larinya yang begitu
cepat hampir menabrak Wintara yang berjalan tenang.
"Ada apa lagi...?" tanya Wintara. "Siluman itu masih
hidup...! Siluman itu harus dilemparkan ke dalam api
yang sangat panas... Jangan dibiarkan hidup di surga!"
"Kau ini bicara apa, sobat...? Aku memang ti-
dak membunuhnya, hanya membuat dia jera agar ti-
dak berbuat sewenang-wenang lagi terhadap kamu..."
jawab Wintara sambil melangkah. Umbara Komang
mengikuti.
"Kalau begitu langit bakal runtuh, bumi bakal
goncang! Lihat saja nanti... Sayang aku bukan silu-
man...!" Kata Umbara Komang ngawur. Wintara hanya
tersenyum. Mereka berjalan beriringan.
Mereka berdua makin jauh melangkah. Menuju
ke perbukitan yang nampak subur. Arus kali terdengar
menderu-deru menerjang bebatuan yang menonjol di
permukaan air. Dari kejauhan nampak kali itu berliku-
liku menuju sebuah jeram.
"Dewa... coba dengar suara itu.. Itu tandanya
langit akan runtuh dan bumi akal berguncang... Apa-
kah kau tidak takut?"
"Itu suara arus air yang deras! Kau pikir itu su-
ara apa!" jawab Wintara.
"Apakah kau pernah melihat air?" kata Wintara
lagi. Umbara Komang menggeleng Lalu...
"Apakah air itu jenis siluman yang jahat?"
tanya Umbara Komang seakan betul-betul tidak men-
gerti.. Parah! Parah sekali gilanya, pikir Wintara. Ter-
hadap air saja ia tidak mengenalnya. Semua yang dili-
hatnya dianggap siluman. Malang benar dia. Lelaki se-
tegar ini mesti kehilangan ingatan. Cacat sejak lahir-
kah? Atau...
Wintara sengaja mengajak Umbara Komang
menuju kali yang mengalirkan airnya dengan deras. Di
situ ia akan memperkenalkan apa yang disebut air.
Mungkin dengan cara itu ia bisa membedakan siluman
dengan apa saja yang selama ini dianggap siluman.
Seperti anak kecil, Umbara Komang mengikuti langkah
Wintara. Makin lama makin terdengar jelas suara air
menderu-deru. Wintara sengaja pula berjalan lebih du-
lu, sebab ia yakin laki-laki berpenyakit saraf ini pasti
mengikuti. Dugaan Wintara tidak meleset. Mendadak
Wintara berlari... Umbara Komang dengan spontan
ikut berlari mengejarnya.
*
**
TUJIH
Sampai di tepi kali, Wintara melompat ke atas
batu yang cukup besar di tengah permukaan air yang
mengalir deras. Batu-batu di situ banyak sekali meng-
hampar Umbara Komang berdiri menatap Wintara. Ia
gemetar mendengar suara arus air.
"Tunggu saja di situ, aku akan mencari sesuatu
yang bisa untuk dijadikan pengisi perut..." seru Winta-
ra. Umbara Komang tetap diam, lalu ia duduk bersila
di pinggiran kali.
"Tentunya kau pun lapar, bukan?" kata Winta-
ra lagi. Kedua matanya tertuju ke bawah. Menatap riak
air yang begitu bening. Kemudian ia turun ke dalam
air. Kali itu tidak dalam dan juga tidak berlumpur. Di
dasarnya banyak berserakan batu-batu kerikil.
Kedalaman kali itu hanya sebatas pinggang.
Umbara Komang termangu menatapnya, sebenarnya ia
ingin sekali ikut menyeburkan diri ke kali itu. Tapi ia
takut sekali dengan suara air yang menderu bagaikan
guntur di siang bolong.
Wintara menarik nafas. Kedua lengannya te-
rangkat ke atas saat ia melihat beberapa ekor ikan
berseliweran di sekitar kakinya. Lalu dengan cepat se-
kali kedua tangan itu masuk ke dalam air... Permu-
kaan air menciprat ke atas membasahi muka Wintara
saat kedua lengannya masuk menangkap ikan-ikan
itu. Umbara Komang berseri ketika Wintara mengang-
kat kedua lengannya berhasil menangkap dua ekor
ikan sekaligus.
"Hari ini kita makan besar, sobat! Nah, tangkap
ini... Ikan-ikan di sini masih banyak." ujar Wintara
sambil melemparkan ikan-ikan itu ke pinggiran kali.
Umbara Komang langsung bangkit memunguti ikan-
ikan yang menggelepar-gelepar di tanah berbatu. Bu-
kan main senangnya Umbara Komang menangkapi
ikan-ikan itu.
"Ha-ha-ha-ha...!" Wintara tertawa melihat keto-
lolan Umbara Komang. Dari tadi ia belum juga dapat
menangkap ikan-ikan itu. Wintara membiarkannya,
kembali ia mengawasi sekitar kakinya. Ikan-ikan di si-
tu memang banyak, dan juga cukup besar-besar. Dan
di saat Wintara berhasil menangkap ikan lagi, ia men-
dengar sesuatu... "Byuuuur!" Cepat Wintara menoleh.
Ternyata Umbara Komang terjun masuk ke kali. Kedua
lengannya menyusup ke dalam air. Seluruh pakaian-
nya telah basah kuyup.
"Siluman-siluman kecil itu melarikan diri... Itu
dia! Ha-ha-ha... Jangan harap kau bisa lolos dariku..."
teriak Umbara ketika melihat dua ekor ikan berenang
cepat di air. Air yang menggenang sebatas pinggang ti-
dak diperdulikan. Langkah-langkahnya yang cepat di
bantu arus air mengejar ke mana ikan-ikan itu bere-
nang.
Wintara menggelengkan kepala, ia melempar-
kan dua ekor ikan lagi ke tepi kali. Kembali pandan-
gannya mengarah ke bawah mengawasi sekitar ka-
kinya. Kedua kakinya menahan kuat arus air yang
makin lama makin kencang mendorong tubuhnya. Se-
saat kemudian ia tersentak kaget. Ada sesuatu yang ia
lupakan. Pandangannya menoleh cepat ke arah Umba-
ra Komang. Astaga! Ia memekik. Dilihatnya Umbara
Komang sudah berada jauh darinya. Meskipun air
hanya menelan sebatas pinggang, namun arusnya
yang demikian kencang mampu membawa tubuh Um-
bara Komang yang masih bersorak-sorak kegirangan.
Ia tidak tahu sama sekali bahaya yang ada di depan.
Kurang lebih lima tombak lagi sebuah jeram
menganga siap menelan tubuh Umbara Komang. Um-
bara Komang sendiri tidak menyadari kalau tubuhnya
sudah terbawa jauh oleh arus air. Wintara jadi kalap.
Ia melesat cepat dan melompat berkali-kali untuk
mencapai Umbara Komang. Ia melompati tiap-tiap ba-
tu yang ada di permukaan air. Untuk menyelamatkan
Umbara Komang sudah tidak mungkin lagi. Wintara
benar-benar putus asa. Apalagi ketika dilihatnya tu-
buh Umbara Komang berdiri tepat di tepi jeram yang
menerjunkan airnya ke dasar yang sangat tinggi.
"Sobat gila...!" Wintara memekik saat Umbara
Komang ikut jatuh ke dasar jurang bersama air yang
membawanya. Harapannya telah putus. Ia sudah
membayangkan sesuatu yang bakal terjadi terhadap
sahabatnya. Dan sudah membayangkan pula batu-
batu cadas yang siap menyambutnya di dasar jurang
sana. Wintara terdiam kaku. Tubuhnya tidak bergem-
ing melawan arus. Manakala suara air yang jatuh ke
dasar jeram terdengar bergemuruh menakutkan.
"Maaf, sobat... Aku tidak dapat menyelamatkan mu! A-
aku sendiri tidak berani membayangkan apa yang ter-
jadi atas dirimu di sana...! Semoga saja kau dapat te...
Hah?! ucapan Wintara terputus. Kedua matanya terbe-
lalak seakan tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Sosok tubuh Umbara Komang melesat ke atas
dari dasar jeram tanpa luka sedikit pun. Tubuh itu te-
rus melesat ke atas. Lalu ia hinggap tepat di bibir je-
ram yang masih menerjunkan airnya dengan deras.
Umbara Komang berlari melawan arus meski-
pun air menelannya sebatas pinggang. Arus air tidak
berpengaruh sama sekali, gerak larinya nampak seper-
ti biasa. Kedua lengannya mengacung-ngacung ke
atas. Dua telapak tangannya menggenggam dua ekor
ikan.
"Sudah kubilang, Dewa! Siluman-siluman kecil
ini pasti kudapat kembali! Lihat ini!" Umbara Komang
menunjukkan dua ekor dalam genggamannya kepada
Wintara yang masih terlolong menatap kedatangan la-
ki-laki itu.
"Kau tidak apa-apa, sobat?" tanya Wintara pe-
nasaran. Ikan-ikan dalam genggamannya terlepas.
Membiarkan ikan-ikan itu bebas berenang.
"Siluman air ternyata tidak sejahat siluman hi-
tam! Cakar-cakarannya yang lembut melempar diriku
ke atas kembali..." kata Umbara Komang sambil mem-
peragakan dengan tangannya. Wintara tidak percaya
dengan apa yang dibicarakan Umbara Komang. Men-
gapa tiba-tiba saja tubuhnya dapat melesat ke atas, ti-
dak tahukah kalau dirinya sudah merasa khawatir se-
tengah mati...? Mungkinkah ada orang yang kebetulan
menyelamatkan di dasar jeram sana? Rasanya tidak
mungkin! Wintara dapat melihat jelas saat Umbara
Komang hinggap di tepi jurang. Jelas itu perbuatannya
sendiri. Siapa pun tidak ada yang menyelamatkan di
bawah sana! Gerakannya tadi cukup membuktikan
bahwa Umbara Komang memiliki ilmu peringan tubuh
yang sangat sempurna. Hanya saja dia tidak menyada-
ri! Itu pendapat Wintara. Tanpa banyak bicara Wintara
melesat ke tepi kali. Kedua kakinya hinggap di tanah
berbatu tanpa mengeluarkan suara.
Wintara berharap Umbara Komang mengikuti
gerakannya. Ia ingin melihat lagi kesempurnaan ilmu
peringan tubuh yang di miliki Umbara Komang. Na-
mun Wintara sangat kecewa sekali, Umbara Komang
hanya melemparkan ikan-ikannya kemudian ia me-
langkah perlahan ke pinggir dengan sangat hati-hati
sekali. Susah payah ia mencapai pinggiran kali. Arus
yang begitu kuat membuat gerakan Umbara Komang
semakin lamban.
Kedua lengannya menjulur. Wintara memban-
tu menarik tubuh itu ke atas pinggiran kali. Ia tidak
merasa kedinginan walaupun seluruh bajunya telah
basah. Sekarang ia membantu Wintara mengumpulkan
ikan-ikan yang menggelepar-gelepar di tanah. Sekali
pun tidak pernah berhasil. Wintara cukup senang
akan sifat kegotong royongannya.
Wintara sempat melirik ke arah Umbara Ko-
mang yang susah payah menangkap ikan-ikannya.
Wintara pun pura-pura merasa kesulitan di hadapan
Umbara Komang. Dengan sengaja ia melepaskan see-
kor ikan dengan sikap seolah-olah ikan itu terlepas.
Ikan itu mencelat ke atas dan bakal jatuh ke dalam
kali. Umbara Komang yang melihatnya langsung
menghentakkan kakinya, maka tubuh Umbara Ko-
mang melesat ke arah ikan itu yang hampir nyemplung
ke air.
Dengan gerakan yang di luar kesadarannya,
Umbara Komang dapat menangkap ikan itu kembali.
Lalu kedua kakinya menghentak dari atas batu besar
yang ada di permukaan air. Tubuhnya melesat berpu-
tar di udara. Kemudian turun tepat di hadapan
Wintara. Umbara Komang menyerahkan ikan
itu padanya.
"Dewa kurang berhati-hati... Siluman kecil san-
gat licin dan mudah terlepas!" ujar Umbara Komang.
"Cukup, sobat. Kau tidak perlu lagi menyem-
bunyikan dirimu! Sekarang katakan siapa dirimu yang
sebenarnya...!" tanya Wintara setengah membentak.
"Orang lain tak ada yang tahu siapa aku... He-
he-he-he...!" jawabnya sambil tertawa. Wintara me-
nunggu kata-kata itu, tapi Umbara Komang tidak me-
lanjutkannya.
"Yah orang lain tak boleh tahu, kecuali aku,
bukan?" kata Wintara lagi.
"Ya... ya... Hanya dewa yang boleh tahu...! De-
wa lihat sendiri... miripkah aku seperti siluman...?"
Wintara diam mendengar jawaban yang mulai
kacau. Umbara Komang mundur, lalu...
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha..." Tiba-tiba Umbara Ko-
mang tertawa ngakak.
"Bagaimana aku tahu siapa diriku? Dewa tidak
tahu... Orang lain tidak ada yang tahu... Aku ini seekor
siluman, hanya sayang belum jadi!" Umbara ngoceh.
"Kau bukan siluman!" bentak Wintara.
"Tidak! Aku siluman! Aku ingin jadi siluman!"
Umbara Komang tidak kalah membentak.
Wintara geram. Tinjunya melayang menghan-
tam sebuah batu di bawah kakinya. Batu itu hancur
sampai mengeluarkan percikan api. Rumput-rumput
kering yang bertebaran di situ ikut terbakar. Wintara
menambahkannya dengan ranting kayu. Membuat api
itu makin besar bagai api unggun.
*
**
DELAPAN
Tubuh hitam itu mengejang kejang saat Ki
Rondo Mayit membalut luka di sekitar tulang kering-
nya. Ia sengaja menahan jeritannya agar tidak keluar
dari mulutnya. Kalau saja Ki Rondo Mayit tidak mena-
hannya kuat-kuat, mungkin Wadak Keling sudah me-
ronta-ronta.
"Tulang yang patah ini sudah ku sambung,
Wadak Keling! Tapi kau jangan banyak berjalan du-
lu..." pesan Ki Rondo Mayit. Wadak Keling meringis
meskipun rasa sakitnya sudah berkurang. Luka-
lukanya nampak merembeskan darah ke kain pemba-
lut yang melilit di betisnya.
"Soal kaburnya Umbara Komang lupakan saja,
ia sudah tidak berarti apa-apa bagi kita... Toh dia su-
dah gila! Mana mungkin dia bisa menceritakan kegia-
tan kita di sini!" tutur Ki Rondo Mayit. Wadak Keling
mencoba turun dari kursi. Bahkan ia mencoba bangkit
berdiri. Sungguh ajaib! Tulang keringnya yang patah
sudah tidak terasa apa-apa.
Ki Rondo Mayit meninggalkan Wadak Keling
yang masih mencoba melangkahkan kakinya dengan
berjalan-jalan di sekitar ruangan itu. Lelaki berambut
putih kusut itu tersenyum menatap sosok tubuh yang
terlentang telanjang dada di atas balai. Laku-laki itu
melangkah mendekatinya. Tubuh yang terlentang itu
masih berlumuran cairan berwarna hijau. Nafasnya te-
ratur naik turun. Dua kelopak matanya nampak berge-
tar.
Perlahan sekali ia membuka matanya. Samar-
samar ia melihat sosok tubuh berambut putih kusut
berdiri di sampingnya. Lama kelamaan sosok tua itu
nampak jelas.
"A-a-ayah..." Suaranya keluar pelan dan hampir
tidak kedengaran. Ia mencoba bangkit dengan sebelah
telapak tangannya memegangi tenggorokan yang terba-
lut terasa sakit. Lelaki berambut putih kusut itu lang-
sung membantu tubuh anaknya duduk bersandar pa-
da dinding batu di atas balai. "A-ayah...."
"Aku masih mendengar suaramu, Bala
Tlenges...! Maafkan ayah, Nak! Bukan maksud ayah
menyuruh mereka menganiaya dirimu!" kata Ki Rondo
Mayit sambil menunjuk ke arah dua buah peti yang
bersandar pada dinding batu. Mata Bala Tlenges mena-
tap ke situ. Melihat dua sosok tubuh pucat biru berdiri
seakan tidur. Bala Tlenges langsung melompat dari
atas balai. Langkahnya yang cepat meluruk ke situ
dengan kedua lengan yang siap menghantam. Ki Ron-
do Mayit cepat pula menyambar tubuh yang berlumu-
ran cairan hijau...
"Sabar, Bala Tlenges...! Semua memang salah-
ku! Tapi ini terjadi di luar perkiraan! Mereka cuma
mayat-mayat. Kau hancurkan dia tak akan melawan...!
Sabarlah dan tahan emosi mu, Bala Tlenges!" Ki Rondo
Mayit merangkul tubuh Bala Tlenges. Bala Tlenges tak
dapat bergerak lagi. Nafasnya kian memburu menahan
amarah yang meluap-luap setelah melihat kedua sosok
yang telah melukai dirinya. Namun dua sosok tubuh
itu tetap diam berdiri dalam dua buah peti.
"Mereka tak dapat berbuat sesuatu tanpa ayah
mengendalikannya! Dan aku tidak mengira kalau kau
ada di perkampungan kecil itu sewaktu mencoba me-
reka...!" Bala Tlenges masih menatap garang ke arah
dua sosok dalam peti. Ingin rasanya ia menghancur
lumatkan tubuh mereka. Tapi amarahnya cepat mere-
da setelah sang ayah menjelaskannya.
"Luka-lukamu akan segera sembuh! Dan tak
lama lagi kita akan menguasai tanah Rogojembangan
ini! Percayalah, kedua mayat itu pasti dapat membantu
banyak." Bala Tlenges masih ingat akan kehebatan ke-
dua mayat hidup itu sewaktu ia menghadapinya di se-
buah perkampungan terpencil. Tindakan kedua mayat
itu lebih keji dari apa yang pernah dilakukannya. Bah-
kan lebih dahsyat! Mereka tidak pandang bulu dalam
membunuh. Betul-betul berdarah dingin.
"Untuk menguasai tanah Rogojembangan ini,
kita harus memusnahkan dahulu Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Dia satu-satunya orang sangat berpengaruh
dan memiliki banyak anak buah yang berilmu tinggi...
Itulah sebabnya aku memilih mereka, kedua mayat hi-
dup itu untuk membantumu...."
"Bagaimana aku bisa menguasai mereka,
Ayah!" Bala Tlenges mulai tertarik dengan ucapan Ki
Rondo Mayit.
"Untuk menguasainya kau tak mungkin bisa.
Aku yang mengendalikannya dan sini... Tapi kau tak
usah khawatir akan mereka. Mereka tidak akan men-
gulangi perbuatannya, karena ajian anti pati mayit te-
lah meresap ke dalam tubuhmu. Bahkan kau akan le-
bih cepat menjatuhkan orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka." jawab Ki Rondo Mayit.
"Mengapa ayah memilih kedua mayat yang
hampir busuk itu? Apakah tidak ada manusia biasa
yang berilmu tinggi untuk membantu kita?"
"Di tanah Rogojembangan ini mana ada orang-
orang berilmu tinggi dari golongan hitam. Kecuali ki-
ta...! Untuk itulah aku memilih kalian berempat men-
jadi Jago-jago Rogojembangan, termasuk Wadak Keling
dan kedua mayat itu. Kalian berempat harus bersatu
menghancurkan kekuatan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka!"
"Aku berjanji, Ayah...! Kita harus menjadi pen-
guasa Rogojembangan!" kata Bala Tlenges penuh se-
mangat. Wadak Keling sudah berdiri dekat mereka.
Wajah hitamnya menyeringai menakutkan membuat
Bala Tlenges tambah semangat!
"Untuk sekarang ini kalian tidak perlu keluar!
Suasana masih kacau. Aku yakin kematian tiga orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka pasti menggem-
parkan pesanggrahan! Beliau pasti mengerahkan
orang-orangnya untuk mencari pembunuh mereka.
Dalam hal ini sudah tentu Bala Tlenges menjadi kamb-
ing hitam. Karena sebelumnya kau memang seorang
pengacau yang selalu membunuh!"
"Itu lebih bagus! Biar mereka semua mencari
aku. Memang dari dulu aku bersumpah akan memba-
suh kedua lenganku ini dengan darah mereka!" kata
Bala Tlenges.
"Ha-ha-ha-ha... Bagus! Bagus! Kau memang
anakku. Dalam bertindak memang harus demikian!
Jangan tanggung-tanggung! ujar Ki Rondo Mayit.
Ki Rondo Mayit melangkah ke samping meja.
Lalu ia membereskan peralatannya yang berantakan.
Dua buah pendupaan dibiarkan berada di tengah-
tengah meja. Begitu juga dengan dua buah boneka dari
sabut kelapa. Keduanya tergeletak masing-masing di
depan pendupaan itu. Selembar batang anak lidi ikut
tergeletak di samping meja.
Bala Tlenges maupun Wadak Keling sudah ti-
dak heran lagi dengan isi yang ada di atas meja. Se-
muanya itu memang peralatan milik Ki Rondo Mayit.
Dan mereka tidak berani menyentuhnya meskipun
dengan maksud untuk membereskan atau membersih-
kannya dari debu dan sarang laba-laba yang menyelu-
bungi semua peralatan itu.
Lagi pula Ki Rondo Mayit tidak pernah menyu-
ruhnya. Bahkan tidak ingin sama sekali benda-benda
miliknya disentuh orang. Sekalipun oleh Bala Tlenges
anaknya. Untuk Wadak Keling, ia jarang memasuki
ruangan itu kalau bukan diperintah atau dipanggil.
Kalau bukan karena luka tidak mungkin Wadak Keling
akan berada lama dalam ruangan khusus Ki Rondo
Mayit. Seperti halnya siang itu.
Ruangan itu kembali sepi saat Wadak Keling
meninggalkan ruangan itu, Ki Rondo Mayit masih si-
buk membenahi mejanya. Bala Tlenges kembali naik
ke atas balai. Ia tidak lagi tidur terlentang tapi duduk
bersila. Tubuhnya masih berlumuran cairan hijau yang
mulai menghilang terhapus oleh keringat. Tenggoro-
kannya yang robek telah terbalut dengan sobekan kain
usang. Darah merah masih merembes dari situ. Tapi ia
tidak merasakan sakit sama sekali. Kedua lengannya
yang juga dilumuri cairan hijau bergerak-gerak memu-
tar bergantian. Menarik nafas dalam-dalam kemudian
dihembuskan perlahan. Begitu seterusnya berulang-
ulang.
"Sungguh cerdik! Dengan mengatur nafas, lu-
ka-lukamu akan cepat pulih!" kata Ki Rondo Mayit se-
telah merapikan meja kerjanya. Lalu ia melangkah
mendekati Bala Tlenges. Ia pun naik ke atas balai dan
duduk bersila di belakang anaknya yang mengatur
pernafasannya.
"Kalau saja kau tidak memakai ikat pinggang-
mu, kau sudah tewas, Anakku...!" bisik Ki Rondo Mayit
perlahan sambil menjulurkan kedua telapak tangan-
nya ke punggung Bala Tlenges. Terasa sekali kedua te-
lapak tangan itu panas ketika menyentuh punggung-
nya.
"Tahan. Tenaga dalammu akan ku jernihkan..."
bisiknya lagi. Bala Tlenges menganggukkan kepala.
Namun bibirnya menyeringai menahan sakit yang luar
biasa. Keduanya sama-sama duduk bersila tak berge-
rak. Rambut putih kusut Ki Rondo mengeluarkan
asap hitam mengepul ke atas, Penyaluran tenaga da-
lam terus berlangsung. Tubuh Bala Tlenges mengu-
curkan keringat yang begitu deras membuat cairan hi-
jau itu luntur di tubuhnya.
Ada sesuatu yang membuat Ki Rondo Mayit
berlega hati. Semula ia menduga Bala Tlenges anaknya
akan cacat bisu atau tidak dapat mengeluarkan suara
karena tenggorokannya robek. Tapi ternyata tidak.
Mungkin karena balutan di lehernya yang menyumbat
luka robekan itu. Namun Ki Rondo Mayit tetap menye-
sali akibat ulahnya yang di luar perkiraannya. Kalau
saja Bala Tlenges tidak ada di kampung terpencil itu,
tidak akan terjadi hal yang seperti ini.
*
**
SEMBILAN
Lolongan serigala di atas bukit membuat dua
orang peronda malam berhenti berbicara. Keduanya
saling pandang menunjukkan rasa ngeri. Suara
jangkrik ikut pula membisingkan suasana malam itu.
Bulan yang bersinar penuh, mengambang di balik bu-
kit di mana di atasnya bertengger beberapa ekor seri-
gala yang melolongkan suara panjang mengerikan.
Udara berhembus makin dingin menyengat ku-
lit. Dan saat serigala-serigala itu melolong kembali, bu-
lu kuduk mereka berdiri. Salah seorang dari mereka
membetulkan kain sarung yang menutupi tubuhnya
sebagai penahan dingin. Satu lagi mengeluarkan se-
bungkus daun bakau. Setelah melinting daun bakau
itu, ia menyulutnya.
Tanpa ditawari orang yang berkerudung kain
sarung itu menyambar bungkusan daun bakau yang
tergeletak di atas balai. Ia pun melakukan hal yang
sama seperti temannya.
Rumah-rumah penduduk nampak sunyi di te-
rangi pelita yang berkelap kelip sejak sore tadi. Seseka-
li terdengar pula tangisan bayi yang terjaga dari tidur-
nya. Sesaat kemudian tangisan itu lenyap. Dan suasa-
na kampung itu kembali sunyi.
"Jun, kau lihat serigala-serigala di atas bukit
sana? Aneh ya! Biasanya kalau terang bulan begini
mereka tidak menampakkan diri... Paling-paling hanya
terdengar lolongannya saja." kata salah seorang peron-
da itu.
"Entahlah! Mungkin mereka kelaparan... Hati-
hati saja terhadap hewan peliharaan kita. Kalau sam-
pai mereka menyerbu ke sini repot!"
"Jangan takut, Jun... Semua serigala takut ter-
hadap api..." Orang itu melangkah ke arah api unggun
yang meletup-letup di samping gubuk ronda. Ia me-
nambahkan beberapa batang ranting. Api itu menyala
bertambah besar menerangi sekitar gubuk.
"Sekalian kau bakar ini, Pri... Dari tadi perutku
keroncongan." kata orang yang berkerudung kain sarung sambil melemparkan beberapa penggal singkong
yang masih mentah berlapis tanah. Orang yang berada
di dekat api unggun langsung memasukkan singkong-
singkong itu ke dalam bara api. "Kau dengar berita tadi
pagi? Apa betul Raden Mas Kinanjar Swantaka akan
membangun pertahanan darurat di kampung ini?"
"Itukan baru rencana! Mana mau Raden Mas
Kinanjar Swantaka berdiam di desa kotor seperti ini.
Enakan juga di pesanggrahan!"
"Bisa aja, Jun! Raden Mas Kinanjar Swantaka
itu masih bujangan! Siapa tahu ia akan mengambil sa-
lah satu kembang di kampung ini. Di sinikan banyak
gadis-gadis cantik."
"Sttt, Pri... Ada orang!" Sesaat percakapan me-
reka berhenti... Lolongan serigala terdengar lagi. Kali
ini saling bersahutan. Orang yang berada dekat api
unggun memicingkan mata memandang jauh ke arah
jalanan. Nampak jelas empat sosok berjalan beriringan
menyusuri jalan itu. Keempatnya berjalan tenang dite-
rangi sinar rembulan. Hanya saja wajah mereka tidak
nampak jelas.
"Siapa mereka?" bisik orang yang dekat api un-
ggun mulai berdiri mengawasi keempat orang itu.
Orang yang duduk di dalam gubuk ronda mengangkat
bahu. Ia pun ikut menatap empat orang yang berjalan
makin dekat ke arah mereka. Mereka mencium udara
berbau busuk.
Dua orang peronda berdiri menanti kedatangan
mereka. Bau busuk makin menyengat ketika keempat
orang itu berjalan makin dekat ke arah kedua peronda.
Keduanya sempat terbelalak saat jarak mereka dalam
beberapa tombak. Keempat orang itu menatap liar ba-
gai serigala-serigala liar. Dua dari keempat orang itu
melangkah ke depan dengan kaku. Maka wajah yang
amat menyeramkan itu nampak jelas terlihat. Api un-
ggun menerangi mereka.
Para peronda malam itu tidak sempat berbalik
mundur. Dua sosok menyeramkan lebih dulu mener-
jang. Kuku-kukunya yang runcing bagai mata jarum
mencengkeram erat di tenggorokan mereka. Mereka
pun menjerit-jerit sambil berusaha beronta dari terka-
man sosok yang menyebarkan bau busuk. Jeritan me-
reka terhenti saat gigi-gigi hitam mengoyak robek pe-
rut.
Lolong serigala meraung mengerikan mengisi
kesunyian malam itu. Lingkaran bulan yang mengam-
bang di balik bukit mendadak gelap tertutup awan hi-
tam yang bergumpal. Sinar terang api unggun mene-
rangi dua sosok menyeramkan melahap dengan rakus
isi dari perut yang terkoyak itu. Manakala dua sosok
tubuh lain tetap berdiri menyaksikan dengan puas.
Mereka tidak lain Bala Tlenges dan Wadak Keling!
"Suiiiiiit" Wadak Keling memberi aba-aba den-
gan siulan nyaring. Tubuhnya yang berkulit sangat hi-
tam hampir tidak kelihatan. Bala Tlenges melangkah
meninggalkan mereka. Wadak Keling menyusul. Begitu
juga dengan kedua mayat hidup yang setelah menden-
gar siulan nyaring meninggalkan dua sosok tubuh
yang terkapar dengan mata melotot. Keduanya melom-
pat-lompat menyusul langkah-langkah Bala Tlenges
dan Wadak Keling berjalan di depan.
*
**
Raden Mas Kinanjar Swantaka memijit-mijit
keningnya. Beberapa orang yang dalam tenda itu
memperhatikan. Tidak satu pun di antara orang-orang
itu berani mengeluarkan suara. Rata-rata mereka se-
mua menundukkan kepala. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka menghela nafas. Lalu ia bangkit berdiri. Langkah-
nya yang cepat membawa dirinya ke luar dari tenda.
Di luar tenda nampak puluhan orang tengah
mendirikan pagar dari bambu yang mengelilingi lapan-
gan luas. Nampaknya hampir selesai. Pintu pagar yang
setinggi tiga tombak mulai dipasang. Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka melirik ke tenda, lalu....
"Kalian ke mari semua!" Maka orang-orang yang
berada di dalam tenda ke luar semua. Mereka berdiri
berderet di belakang Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Mereka berjumlah delapan orang. Dua di antaranya
wanita kembar.
"Berpencar menjadi empat bagian dan cari
sampai dapat Bala Tlenges!" ujar Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Kemudian ia berbalik menghadapi mereka.
"Hamba rasa kematian dua orang peronda pada
malam itu bukan dilakukan oleh Bala Tlenges. Hamba
mendengar selentingan dari penduduk setempat, bah-
wa pada malam itu berdatangan segerombolan serigala
dari bukit tandus." kata salah seorang dari wanita
kembar yang berderet pada deretan ketiga.
"Jadi kalian berpendapat kedua peronda itu
diserang oleh serombongan srigala? Begitu...? Kalau
memang serigala yang menyerang mereka. Kedua pe-
ronda malam sudah tinggal tulang belulang...! Apa ka-
lian masih ingat bagaimana keadaan mayat ketiga te-
man kalian? Mogeni Kalpa? Dan dua orang teman ka-
lian lainnya... Luka-luka mereka sama! Pada leher me-
reka terdapat cakaran-cakaran yang merobek kulit
tenggorokan!"
Kedelapan orang itu diam. Kata-kata Ra-den
Mas Kinanjar Swantaka memang masuk akal. Yang jadi pertanyaan pada diri mereka, mengapa Bala Tlenges
jadi demikian sadisnya? Sebelumnya ia memang sering
membantai orang-orang kampung juga orang-orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi Bala
Tlenges tidak pernah melakukan hal yang tidak wajar!
Mogeni Kalpa bersama dua orang sahabatnya tergolong
orang paling tinggi ilmunya. Mereka masih saja bisa
tewas secara keji di tangan Bala Tlenges.
"Aku cukup menghargai pendapat kalian. Tapi
aku lebih menghargai lagi bila bisa membagi tugas dan
dapat menyeret ke mari Bala Tlenges hidup-hidup atau
mati!"
"Kalau begitu kami 'Cambuk Seriti Kembar'
Akan melacak ke Utara!" kata wanita kembar sembari
mengacungkan cambuknya yang melingkar bagai
ular...
"Siapa pun yang ikut denganku terserah!
Aku Langkung Daro mengambil jalan ke Ti-
mur!" kata lelaki yang bersenjatakan sederetan pisau-
pisau kecil menyerong di dadanya.
"Menurut hematku, Tangan Besi akan melang-
kah ke Tenggara! Siapa yang mau ikut denganku, Bala
Tlenges bakal hancur kepalanya!" Orang yang berdiri
paling ujung menunjukkan tinjunya tak mau kalah.
"Aku yang hanya mengandalkan gelang-gelang
ini, tak punya pilihan... Akan ku lacak ke mana pun
sampai Bala Tlenges ku dapat!" Gelang-gelang berge-
merincingan di kedua lengan lelaki bertubuh kekar te-
lanjang dada. Raden Mas Kinanjar Swantaka menga-
mati kedelapan orang yang berdiri berderet di hada-
pannya. Lalu pandangannya beralih kepada puluhan
orang yang tengah menyelesaikan pagar benteng me-
lingkar tanah lapangan itu.
"Aku beri waktu tiga hari... Berhasil atau tidak,
kalian harus kembali ke sini. Aku tidak ingin gagal se-
perti Mogeni Kalpa yang terlalu ceroboh."
Tanpa diperintah kapan mereka harus berang-
kat, kedelapan orang-orang pilihan Raden Mas Kinan-
jar Swantaka berpencar menjadi empat bagian. Sebe-
lum mereka mengambil kuda-kuda yang ditambatkan
di kandang, mereka menunjukkan sikap hormat ter-
hadap lelaki yang cukup berpengaruh itu. Lalu dua-
dua mereka berjalan ke kandang memilih kuda. Seriti
Kembar yang bersenjatakan cambuk telah menda-
patkan kuda pilihannya. Dan mereka berangkat lebih
dulu.
*
* *
SEPULUH
Daerah yang dilalui wanita kembar itu menuju
ke perkampungan. Namun sebelum mencapai perkam-
pungan tersebut mereka harus menembus hutan yang
sangat lebat. Hutan itu membatasi tanah lapangan di
mana Raden Mas Kinanjar Swantaka membuat daerah
pertahanan bersama puluhan orang prajuritnya. Mere-
ka sempat pula menoleh ke belakang saat menembus
hutan. Yang mereka lihat hanyalah sederetan pagar
bambu yang sangat tinggi memanjang di seputar ta-
mah lapang. Setelah menghela kuda-kudanya mereka
hilang ditelan kegelapan dalamnya hutan.
Yang terdengar dari luar hanyalah geletar-
geletar cambuk menghela laju kudanya. Bersamaan
dengan itu menyusul lagi beberapa orang menunggangi
kuda. Sebelum beberapa orang itu menembus hutan,
mereka berpisah dua-dua. Langkung Daro bersama
seorang temannya menuju ke arah Timur, Tangan Besi
pun berangkat berdua menerobos hutan mengambil ja-
lan ke Tenggara. Yang paling terakhir, seorang lelaki
bersenjatakan gelang-gelang di kedua lengannya. Ia
pun bersama seorang teman. Mereka berdua menung-
gangi kudanya perlahan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka memandangi
mereka dari kejauhan. Ia belum beranjak saat orang-
orang pilihannya hilang dari pandangan mata. Piki-
rannya masih membayang pada kedelapan wajah
orang-orang pilihannya. Ia berharap sekali kedelapan
orang itu berhasil menyeret Bala Tlenges ke bawah ka-
kinya. Yang akan menjatuhkan hukuman mati atas
perbuatan terkutuk itu. Raden Mas Kinanjar Swantaka
melangkah masuk ke dalam benteng pertahanan. Pu-
luhan prajurit masih sibuk dengan pekerjaannya.
Dua wanita kembar mencambuki kudanya
kuat-kuat, maka kuda-kuda mereka berlari kencang
menerobos lebatnya semak dan pohon-pohon besar.
Cara mengemudikan kuda mereka memang aneh! Pa-
dahal kuda-kuda itu cukup dengan dihela saja sudah
dapat berlari kencang. Tapi mereka selalu mencambu-
ki. Kuda-kuda itu terus meringkik walaupun berlari
kencang.
Sesekali juga mereka menemukan beberapa
gubuk terpencil dalam hutan itu. Tapi mereka tidak
perduli. Sekalipun beberapa penghuninya nampak ke-
luar gubuk memperhatikan mereka. Setelah melewati
gubuk-gubuk itu, barulah mereka menemukan jalan
yang melintas keluar dari hutan. Dengan melintasi ja-
lan itu mereka tidak lagi mendapatkan halangan-
halangan seperti dalam hutan tadi. Mereka menyusuri
jalan itu terus. Udara segar pun mulai berhembus me
nerpa kulit mereka.
Dari kejauhan mereka sudah melihat titik-titik
berwarna warni rumah para penduduk. Rumah-rumah
penduduk nampak berderet. Membentuk suatu per-
kampungan. Selama melintasi jalan itu mereka sering
berpapasan dengan orang-orang yang menuju ke desa
tersebut. Kebanyakan dari orang-orang yang mereka
jumpai para pedagang. Sudah tentu mereka berdua
akan singgah di situ. Mengingat hari hampir gelap,
mungkin juga mereka akan mencari tempat pengina-
pan.
"Seriti Wuni, kita tidak mungkin dapat mene-
ruskan perjalanan. Aku rasa di desa itu ada tempat
untuk kita bermalam... Paling tidak sebuah pengina-
pan tentunya...!"
"Aku ini tidak gila, Seriti Kuni. Aku pun sudah
merasa lelah sejak tadi... Aku lapar sekali..." Wanita
yang satu ini memacu kudanya lebih cepat. Kemba-
rannya mengikuti. Asap debu mengepul saat kuda-
kuda mereka saling susul menyusul. Keduanya terta-
wa cekikikan. Ketika mereka mendekati mulut desa.
Kuda-kuda mereka berjalan perlahan beriringan. Desa
itu nampak ramai, tiap-tiap di depan rumah selalu ada
orang yang tengah duduk-duduk berbincang. Tidak se-
gan-segan lagi kedua wanita kembar itu memasuki de-
sa tersebut.
*
**
Anak muda yang mengenakan pakaian bulu bi-
natang ini merasa risih saat semua mata memandang
ke arahnya. Di antara mereka ada juga yang menerta-
wakannya. Tapi Wintara tetap acuh. Tidak perduli
dengan orang-orang yang memandang lucu ke arah-
nya. Wintara sendiri merasa kalau orang-orang itu bu-
kan menertawakan dirinya.
Tapi tertuju pada lelaki yang berjalan di sebe-
lahnya. Lelaki itu memang bertingkah aneh. Ia selalu
menunjuk-nunjuk setiap orang yang dijumpainya.
Wintara sudah melarang, namun lelaki itu tetap saja
bertingkah aneh.
Sudah jelas orang-orang itu menganggap lelaki
yang berjalan bersama Wintara lelaki berpenyakit sa-
rap! Wintara yang berjalan di sebelahnya sempat ter-
tawa melihat cara berjalan sahabatnya.
"Dewa... Hati-hati di sini banyak siluman berke-
liaran! Aku khawatir mereka akan menyerang kita...!"
Umbara Komang bertingkah bagai seorang pendekar
yang sedang waspada.
"Mereka bukan siluman, sobat. Mereka cuma
manusia seperti kita! Bersikaplah yang wajar... Coba
lihat! Sedari tadi mereka memperhatikan kamu." jawab
Wintara. Umbara Komang cemberut. Sepertinya ia ti-
dak senang dengan ucapan Wintara.
"Apa? Mereka memperhatikan aku... Wuaaah!
Jangan-jangan mereka mau menerkam aku...! Hiiiiy!
Pasti mereka mata-mata siluman hitam!" Umbara Ko-
mang memeluk tubuh Wintara.
"Tenang... Mereka tidak akan berbuat apa-apa!"
kata Wintara sambil melangkah ke arah sebuah pohon
besar yang ada di sudut desa. Pohon itu cukup rin-
dang untuk berteduh. Setibanya pada pohon itu Win-
tara langsung duduk. Umbara Komang berdiri menga-
wasi rumah-rumah yang berderet di hadapannya.
"Duduklah di sini, sobat... Kita tidak pantas
memasuki rumah-rumah penginapan itu! Tempat kita
cukup di sini... Mudah-mudahan saja tidak turun hujan." kata Wintara lagi sambil menarik lengan Umbara
Komang sampai terjatuh duduk di sampingnya. mata
Umbara Komang masih tertuju pada beberapa rumah
penginapan yang nampak ramai dikunjungi orang.
"Sssst! Aku yakin yang berderet di depan sana
pasti istana para siluman! Lihat, para siluman jahat
mulai berdatangan. Aku akan ke sana!" Umbara Ko-
mang bangkit berdiri, tapi Wintara cepat menahannya.
"Diamlah di sini, sobat.... Di sana bukan tempat
kita!" Wintara menarik kembali lengan Umbara Ko-
mang. Ia melotot! Dan duduk kembali di samping Win-
tara.
"Kenapa tidak boleh ke sana? Dewa bilang me-
reka sama dengan kita! Kalau mereka siluman, aku ju-
ga siluman! Atau aku yang bukan siluman!" kata Um-
bara Komang nyerocos.
"Kenapa semua orang tidak mengakui kalau di-
riku ini siluman... Dewa pun begitu! Tidak mengakui...
Oh! Kalau saja aku siluman, aku bisa membalas den-
dam terhadap siluman hitam yang selama ini menyiksa
hidupku..." Umbara Komang mengeluh dengan wajah
yang sangat memelas. Wintara makin risi manakala
semua orang menertawainya. Wintara tetap bersikap
acuh dan bersandar pada batang pohon besar itu.
Umbara Komang menangis tersedu-sedu di sebelah-
nya. Wintara jadi kesal.
"Baiklah kuakui bahwa kau siluman...!" kata
Wintara sambil memalingkan muka.
"Apa?" Pendengaran Umbara Komang tidak je-
las.
"Kau siluman!" Wintara membentak. Orang-
orang yang mendengar bentakan Wintara tertawa ter-
pingkal-pingkal. Wintara jadi malu.
"Benarkah aku siluman...? Benarkah...?" Tiba
tiba saja tubuh Umbara Komang melesat ke atas. Ge-
rakannya cepat sekali. Wintara tersentak kaget. Ia ti-
dak sempat lagi menahan lesatan tubuh Umbara Ko-
mang yang begitu cepat. Orang-orang yang berada di
situ pun berhenti tertawa saat sebelah lengan Umbara
Komang menghantam cabang pohon yang cukup be-
sar. Cabang pohon itu berderak patah dan jatuh ke
bawah bakal menimpa atap sebuah rumah yang bera-
da di bawahnya. Tubuh Umbara Komang jatuh lagi ke
tanah bagaikan daun kering. Wintara malah melesat
ke atas menyambar cabang pohon yang patah itu. Atap
rumah yang di duga pasti hancur tertimpa, sama seka-
li utuh.
Semua orang berdecak kagum melihat keheba-
tan Wintara menyambar cabang pohon yang hampir
menghancurkan atap rumah. Sebelumnya orang-orang
itu memekik ngeri, karena di bawah atap itu nampak
beberapa anak kecil yang sedang bermain. Wintara me-
lemparkan cabang pohon itu ke tempat yang kosong.
Umbara Komang bersikap tenang.
"Hampir saja kau membunuh anak-anak kecil,
Siluman tolol!" Wintara memaki.
"Mereka bukan apa-apa, Dewa... Mereka me-
mang harus dimusnahkan sejak kecil! Nanti setelah
besar, bisa menghirup darah kita...! Sekarang aku ti-
dak khawatir lagi! Aku siluman yang hebat, lihat ini...
Hreaaaaaaa!" Umbara Komang melesat lagi, langkah-
nya cepat menuju batang pohon. Lalu kedua telapak
tangannya mencakar-cakar habis kulit batang pohon
itu. Wintara tercengang melihatnya. Tiba-tiba saja Um-
bara Komang mendadak hebat. Kenapa kehebatannya
itu selalu datang di saat-saat tertentu? Apalagi kea-
daannya yang demikian parah. Memiliki ilmu yang de-
mikian akan berbahaya bila tak terkendali, Wintara tidak habis pikir. Ia masih melihat ilmu cakaran Umba-
ra Komang yang menguliti habis kulit luar pohon itu.
Pastilah pada dasarnya lelaki berpenyakit saraf
itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Wintara datang
menghampiri menahan gerakan-gerakan Umbara Ko-
mang. Terhadap Wintara, Umbara Komang cukup pa-
tuh. Ia berhenti mencakar-cakar.
"Siluman hitam akan sama seperti ini... Lihat
saja nanti! Jangan menatap begitu, Dewa... Percayalah!
Aku siluman baik. Mereka juga siluman baik, kan?"
Umbara Komang nyengir.
*
* *
SEBELAS
Orang-orang yang berada di desa itu tidak me-
nyangka kalau kedua orang yang mereka tertawakan
ternyata memiliki ilmu demikian hebatnya. Sekarang
mereka tidak menertawakan lagi, kini mereka cukup
salut akan kehebatan kedua pendatang baru itu.
Hanya sayang seorang di antara kedua manusia itu
ada yang tak waras.
Peristiwa yang sangat mengagumkan itu tidak
hanya diketahui oleh orang-orang yang berada di luar.
Para pendatang yang berada di warung-warung mau-
pun di ruangan teras penginapan juga sempat me-
nyaksikan kehebatan yang sangat luar biasa itu. Bah-
kan di antara mereka banyak yang keluar untuk meli-
hat lebih jelas siapa kedua manusia yang berbeda wa-
tak di luar sana.
"Haaaait!" Tiba-tiba saja serentetan teriakan
menggelegar. Bersamaan dengan itu dua sosok tubuh
ramping beterbangan melesat di udara. Setelah berpu-
tar salto di udara kedua sosok ramping itu hinggap di
hadapan Wintara dan Umbara Komang. Wintara yang
berdiri tenang menatap mereka yang berwajah serupa.
Wanita kembar! Umbara Komang sendiri yang tidak
waras merasa heran. Dan kebingungan melihat keha-
diran mereka yang begitu mendadak muncul. Umbara
Komang melangkah ke hadapan Wintara menghadapi
kedua wanita kembar itu.
"Hati-hati, Dewa! Siluman kembar sangat ber-
bahaya dan berbisa! Hati-hati terhadap ular-ularnya!"
ujar Umbara Komang menatap dua gulung cemeti di
tangan mereka masing-masing. Wanita kembar itu
menatap garang.
"Kalau siluman kembar itu berani bertingkah di
hadapanku, biar ku cabik-cabik tubuhnya bagai pohon
itu." kata Umbara Komang dengan sikap yang acuh
menatap langit. Sudah tentu kedua wanita kembar ini
merasa tersinggung. Mereka nampak menyiapkan
cambuk-cambuknya. Sebelum mereka bereaksi, Winta-
ra mengeluarkan suara.
"Sabar, Nona-nona... Sabar... Harap di maklumi
saja ucapan sahabat saya yang rada tidak beres itu.
Semua orang pun tahu, dia itu berpenyakit saraf." ujar
Wintara menenangkan suasana. Tapi kedua wanita
kembar ini tidak mau mengerti.
"Maksudmu dia itu gila? Huh, siapa yang per-
caya dengan ocehanmu, Anak muda! Kalau dia gila
mana mungkin memiliki ilmu yang demikian hebat.
Kau lihat sendiri, keparat itu hampir membunuh bebe-
rapa anak kecil!" Salah seorang dari wanita kembar itu
mendorong tubuh Wintara. Wintara terhuyung bebera-
pa langkah ke belakang. Melihat itu Umbara Komang
tidak tinggal diam. Mendadak saja tubuhnya maju me-
lancarkan serangan. Pukulannya menghantam lengan
wanita itu yang mendorong Wintara... "Plaaak!"
"Siluman kembar tak tahu penyakit! Berani kau
menyentuh dewa... Rasakan ini!" Umbara Komang me-
nyerang lagi. Tapi wanita itu cepat menyambut dengan
cambuknya... "Cletaaar!" Cambuk itu melilit di lengan
Umbara Komang. Seorang kembarannya datang mem-
bantu. Ia pun menggunakan cambuknya. Tapi sebelum
ujung cambuk itu menghantam tubuh Umbara Ko-
mang, Wintara melompat menyambar ujung cambuk
yang berbandul besi dengan tendangannya...
"Deeees!"
Ujung cambuk yang berbandul besi itu berbalik
dan hampir mengenai kepala wanita itu. Untung saja
ia cepat merunduk dan menangkap mata cambuk.
Umbara Komang masih tetap berdiri dengan sebelah
lengan terbelit cambuk salah seorang wanita kembar.
Keduanya saling tarik. Wintara melangkah ke situ ber-
diri di antara mereka. Tapi wanita kembarannya itu
masih terus melancarkan cambuknya...
"Cletaaar!" Cambuk itu kini membelit di tubuh
Wintara. Baju bulu binatangnya sampai mengepul, ra-
sa sakitnya pun bukan main. Wintara sengaja tidak
membalas. Ia hanya menoleh sebentar. Lalu....
"Kita hanya salah paham, Nona...! Semua yang
dilakukan olehnya di luar kesadarannya. Sekalipun dia
berilmu tinggi, ada perduli apa dengan kalian?" kata
Wintara tenang.
"Kami adalah orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Kami cenderung kalian adalah
musuh-musuhnya... Pasti kalian juga yang membantai
habis teman-teman kami!" kata wanita tadi menarik
cambuknya dari lengan Umbara Komang. Kini tubuh
nya melesat ke atas sambil tangannya menarik kuat
cambuk itu. Tubuh Umbara Komang ikut melesat ke
atas mengimbangi. Wintara yang pinggangnya terbelit
cambuk sempat melihat keduanya siap melancarkan
serangan. Maka ia pun segera melompat ke atas. Sebe-
lum Umbara Komang dan wanita itu saling melancar-
kan serangan, dalam keadaan melompat ke atas Win-
tara menghantam mereka...
"Des...! Des!" Keduanya berjatuhan di tanah.
Tapi Wintara tidak sempat menghindari serangan yang
dilancarkan oleh perempuan yang membelitkan cam-
buknya... "Bug!" Punggung Wintara berdenyut. Hampir
saja ia tersungkur.
Dua wanita kembar itu maju berbareng menye-
rang Umbara Komang yang sudah bangkit. Lalu Umba-
ra Komang bergulingan menghindari sambaran-
sambaran cambuk mereka...
"Cletaaar...! Cletaaaar...! Cletaaar!" Melihat itu
Wintara cepat bertindak, sekali hentak kedua kakinya
melayang ke atas. Lalu kedua tangannya tahu-tahu
menangkapi semua cambuk-cambuk mereka. Kedua
perempuan kembar itu pun tersentak.
"Sabarlah, Nona... Apa maksud kalian menu-
duh kami yang bukan-bukan! Aku memang pernah
mendengar nama Raden Mas Kinanjar Swantaka dari
ketiga orang yang pernah kujumpai di perjalanan.
Sayang mereka telah tewas semua... Akulah yang me-
naikkan mayat-mayat mereka ke atas kuda. Salah sa-
tunya dengan kepala putus. Tapi mengenai siapa pem-
bunuhnya aku sendiri tidak tahu...." kata Wintara
sambil melepaskan cambuk-cambuk itu. Dengan sekali
tarik cambuk-cambuk itu sudah bergulung di tangan
mereka.
"Bagaimana pun kami tidak mempercayai kata
katamu, Anak muda! Aku sendiri sudah melihat ilmu
cakaran si bangsat gila itu! Semua mayat-mayat yang
kami temukan dipenuhi dengan luka-luka cakaran pa-
da tenggorokan mereka! Apa lagi yang mau dipungki-
ri...?" ujar salah seorang wanita kembar itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia pelakunya...!" ja-
wab yang satunya.
"Jangan asal tuduh dulu... Aku pernah dengar
selentingan bahwa orang-orang pilihan Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka tengah mencari-cari seorang buro-
nan. Apakah betul demikian?"
"Betul! Dari mana kau tahu?" jawab wanita
kembar itu serempak.
"Soal dari mana selentingan itu kalian tidak
perlu tahu! Jawab dulu pertanyaanku. Apakah kalian
kenal betul dengan buronan itu?" tanya Wintara man-
tap.
"Sekalipun ia telah menjadi abu, aku dapat
mengenali bangsat itu!" jawab wanita kembar itu sen-
git. Wintara tersenyum. Lalu...
"Kalian perhatikan baik-baik! Apakah wajah
buronan itu mirip dengan sahabatku ini?" Wintara
menunjuk ke arah Umbara Komang yang berdiri sam-
bil menggaruk-garuk kepalanya. Kedua wanita kembar
itu saling pandang. Jelas bukan! Yang mereka cari
adalah Bala Tlenges! Bukan seorang yang berpenyakit
gila seperti Umbara Komang. Keduanya diam.
"Selama ini dia selalu bersamaku, kalau tadi
dia mencakar-cakar batang pohon, itu karena emo-
sinya melonjak ke luar, dia sangat senang kalau di-
rinya disebut siluman. Jangan marah dulu. Aku pun
tidak tahu dia gila karena apa... Anehnya, semua yang
di lihatnya dianggap siluman..." Wintara menjelaskan.
"Bubar...! Bubar! Kalian semua siluman tengik!
Aku siluman baik jangan sampai meruntuhkan langit!
Atau bumi yang kalian pijak akan belah!" Tiba-tiba sa-
ja Umbara Komang berteriak-teriak mengusir orang-
orang yang memperhatikan mereka, maka orang-orang
itu pun segera berlarian menghindari.
"Siluman! Kembali ke sini...!" Wintara memben-
tak. Umbara Komang merungkut, ia takut menatap
Wintara. Tapi ia tetap saja melangkah mendekat. Ia
bergidik saat melihat dua gulungan cambuk yang ma-
sih dikiranya dua ekor ular. Kedua wanita kembar itu
tidak segarang tadi. Namun mereka masih menunjuk-
kan sikap angkuh.
"Kalau semua orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka diturunkan, berarti persoalan ini
tidak sepele... Bahkan mungkin juga jiwa Raden Mas
Kinanjar Swantaka sendiri pasti terancam. Aku punya
usul... Bagaimana kalau kami berdua ikut membantu
menangkap buronan itu? Aku harap kalian berse-
dia...!" Wintara menawarkan diri. Umbara Komang me-
natap salah seorang wanita kembar itu. Tapi setelah
mereka saling tatap. Umbara Komang menunduk sam-
bil nyengir.
"Kau pikir mudah untuk menjadi orang-orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka? Tidak semudah
itu, Anak muda... Boleh-boleh saja kalau mau ikut
membantu. Itu lebih bagus tapi kau harus tanggung
resikonya! Karena dalam hal ini tanpa sepengetahuan
Raden Mas Kinanjar Swantaka!"
"Sekalipun jadi budak kalian, aku bersama sa-
habatku ini rela! Daripada dituduh sebagai pembu-
nuh!" jawab Wintara sambil merangkul punggung Um-
bara Komang.
"Siluman baik pantang membunuh siluman
baik... Tapi kalau ada siluman jahat, jangan harap bisa
lewat di hadapanku." Umbara Komang ikut bicara.
Tingkah lakunya masih saja membuat orang tertawa.
Gerak geriknya hampir mirip lutung kebakaran bun-
tut.
*
**
DUA BELAS
Bagi Langkung Daro perjalanan ke Timur amat-
lah menyenangkan. Ia tidak menemukan rintangan
apa-apa selama dalam perjalanan. Setelah menerobos
hutan belukar Langkung Daro bersama seorang te-
mannya menyeberangi sebuah kali. Arus kali itu cukup
deras. Dalam menyeberangi kali itu mereka tidak perlu
turun dari kudanya. Mereka sengaja menunggangi ku-
da-kudanya menyeberangi kali itu. Dan ternyata kali
itu memang tidak dalam. Di atas permukaan air ba-
nyak menghampar batu-batu yang tidak beraturan be-
sarnya.
Sebentar saja mereka sudah berada di seberang
kali. Di situ jarang sekali ditumbuhi rerumputan. Ta-
nah yang menghampar pada dataran itu nampak tan-
dus. Beberapa pohon besar yang telah mengering ber-
diri menghitam di sana sini. Juga batu-batu besar
yang mencuat ke atas nampak membentuk sebuah
bukit. Kedua kuda itu berjalan tenang.
Matahari hampir tenggelam menampakkan si-
narnya yang kemerahan di balik bukit. Langkung Daro
menghentikan langkah kudanya. Temannya yang ber-
jalan menunggangi kudanya beriringan ikut berhenti.
Ia baru menyadari kalau tanah yang mereka lewati banyak menghampar tulang belulang berserakan. Sekali-
pun di antara tulang belulang itu banyak terlihat jelas
tulang kerangka manusia. Mereka tidak gentar sedikit
pun.
Mereka pun tetap tenang ketika menyeberangi
sebuah jembatan kayu yang menghubungkan jurang
membentang di hadapan mereka. Meskipun jembatan
kayu itu nampak lapuk, tapi cukup kuat untuk mere-
ka mencapai dataran seberang. Dari kejauhan mereka
sudah dapat melihat sebuah bangunan yang hampir
roboh. Dan sudah dapat dipastikan mereka bakal me-
nuju ke sana Mengingat hari hampir gelap, mereka ti-
dak mungkin meneruskan perjalanannya. Kemana
lagi mereka mencari tempat untuk beristirahat, kalau
bukan pada bangunan itu?
Dan mereka cukup lega ketika melihat sebuah
pelita menerangi ruangan dalam bangunan itu. Kedu-
anya menambatkan kuda-kudanya di depan bangu-
nan.
"Siapa di luar...! Kaukah Wadak Keling?" Ter-
dengar suara dari dalam ruangan.
"Bukan...! Kami orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang bermaksud menumpang ber-
malam di sini!" jawab Langkung Daro sambil mengikat
tali kekang pada sebatang tonggak. Tidak ada jawaban
lagi dari dalam. Tiba-tiba lampu pelita yang menerangi
ruangan itu padam! Langkung Daro bersama teman-
nya tidak jadi masuk. Mereka berbalik curiga.
"Ki Sanak, bolehkah kami menumpang beristi-
rahat di sini...?" teriak Langkung Daro. Seorang te-
mannya sudah selesai menambatkan kudanya. Ia me-
langkah masuk ke pintu bangunan.
"Aneh! Tadi terdengar ada suara orang menegur
kita... Kenapa ia tidak menyahut, malah ia mematikan
pelitanya! Apakah ia tidak suka terhadap orang-orang
Raden Mas Kinanjar Swantaka...!" Ia memasuki ke
arah ruangan yang gelap itu. Tiba-tiba saja...,
"Aaaaaaarght!" Orang yang melangkah masuk menda-
dak terlempar ke luar. Hampir saja tubuh itu mena-
brak Langkung Daro yang berdiri tepat di depan pintu.
Tapi cepat ia merentangkan kedua lengannya menang-
kap tubuh yang masih terpental. Orang itu gelagapan,
lalu menarik pedangnya dan pinggang....
"Sudah masuk, kenapa keluar lagi?" Terdengar
jawaban dari luar. Langkung Daro dan temannya me-
mandang ke arah ruangan gelap itu. Mereka tidak me-
lihat siapa-siapa. Orang yang memegang pedang me-
langkah masuk. Sebentar saja ia sudah hilang ke da-
lam kegelapan ruangan. Langkung Daro sengaja me-
nunggu di luar. Kedua lengannya siap-siap menarik pi-
sau-pisau kecil yang berderet di sepanjang dadanya.
"Traaak...! Deeeees...!" Terdengar suara dari
ruangan gelap itu. Belum sempat Langkung Daro
memburu masuk, sesosok tubuh menabraknya lagi.
Keduanya bergulingan di tanah. Langkung Daro cepat
bangkit, tapi seorang temannya menggelepar-gelepar di
tanah. Pedang dalam genggamannya patah dua. Lang-
kung Daro tersentak kaget melihat temannya kaku di-
am tak berkutik. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Langkung Daro kalap. Ia melemparkan pisau-
pisau kecil ke dalam ruangan gelap itu... "Zing... Zing!"
Terdengar pula suara orang bergerak-gerak menghin-
dari pisau-pisau kecil yang melesat bagai anak panah.
Langkung Daro makin gencar menghujani pisau-pisau
kecilnya. Namun ia masih belum berani masuk ke da-
lam ruangan itu. Gerakan-gerakan orang melompat-
lompat tambah jelas kedengaran... Dan pada anak pi-
sau yang terakhir... "Zing...! Zing!" Dua belah pisau ke
cil meluncur deras! Maka... "Arrrrrght!" Terdengar pula
sebuah jeritan.
Ruangan itu jadi sepi. Langkung Daro merasa-
kan kebisuan itu, ia pun melangkah perlahan mulai
memasuki ruangan itu. Ruangan itu betul-betul gelap.
Apalagi suasana di luar, sinar matahari sudah tidak
nampak lagi. Matanya nyalang mengawasi sekitar
ruangan.
Darahnya terkesiap ketika tiba-tiba saja lampu
pelita menyala dan di hadapannya telah berdiri sosok
tubuh dengan rambut putih beruban tak terurus. Wa-
jah itu menyeringai menunjukkan mulutnya terbuka
lebar tanpa sebutir gigi. Langkung Daro tidak sempat
lagi memekik. Tahu-tahu saja sebuah hantaman keras
melanda di tubuhnya sampai terlempar keluar melalui
pintu. Sebelum tubuh itu jatuh ke tanah, belasan pi-
sau-pisau kecil menyusul ke arah Langkung Daro. Be-
gitu tubuh Langkung Daro terkapar di tanah ia tidak
bergerak lagi.
Sekujur tubuhnya telah menancap semua pi-
sau-pisau kecil miliknya.
Tak berapa lama keluarlah sosok tubuh beram-
but putih dari dalam ruangan gelap. Ia memandangi
kedua mayat yang terkapar di sekitar halaman bangu-
nan usang itu, Ki Rondo Mayit menyeringai lagi. Ram-
butnya yang putih kusut bergerak-gerak tertiup angin
malam.
*
**
Gelang-gelang besi bergemerincing saat kuda
yang ditungganginya melompati gundukan tanah. Be-
gitu juga dengan sahabatnya yang mengikuti perjalanan dalam mencari buronan Bala Tlenges. Dalam per-
jalanan itu sepertinya mereka tidak pernah habis me-
nerobos hutan belukar yang demikian gelap. Mereka
sendiri kebingungan mencari tempat untuk peristira-
hatan. Di tempat yang segelap itu bagaimana mereka
bisa memilih tempat yang nyaman. Bulan yang bersi-
nar terang memang nampak dari celah-celah lebatnya
dedaunan, mereka hanya melihat samar-samar kea-
daan di situ. Bagaimana pun mereka tidak akan men-
dapatkan tempat untuk bermalam, karena seluruh da-
taran hutan itu ditumbuhi dengan rumput alang-alang
setinggi betis. Akhirnya mereka memutuskan untuk
meneruskan perjalanan.
Dalam keremangan sinar bulan mereka nam-
pak duduk tegar di atas pelana kuda-kudanya. Suara-
suara binatang malam memenuhi suasana malam itu.
Beberapa pasang mata burung hantu nampak jalang
bertengger di atas batang-batang pohon. Mereka tidak
tahu sampai di mana batas hutan yang mereka lewati.
Mereka hanya mengikuti jalan yang diterangi sinar bu-
lan.
Mendadak saja kuda-kuda mereka meringkik
meronta-ronta. Dua orang penunggangnya tetap
menghela. Namun kuda-kuda itu seperti tidak mau
meneruskan perjalanannya. Dua penunggang kuda ini
keheranan. Tiba-tiba saja burung-burung hantu beter-
bangan. Terdengar sekali kepak-kepak sayap mereka
beterbangan menjauh dari cabang-cabang pohon itu.
Membuat kuda-kuda itu semakin takut dan meringkik
keras. Di hadapan mereka telah berdiri sosok tubuh
berdiri tegak di balik semak-semak. Tubuh itu nampak
jelas terkena sinar bulan yang menerobos dari celah-
celah dedaunan.
Bukan main mereka kagetnya. Karena yang di
lihat di hadapannya itu tidak lain Bala Tlenges! Buro-
nan mereka! Sosok Bala Tlenges melangkah menerobos
semak-semak itu. Dua orang penunggang kuda itu
langsung turun.
"Sudah kuduga kau akan bersembunyi di sini,
Bala Tlenges! Menyerahlah...! Kau tidak bisa lolos dari
kami!" kata orang yang bersenjatakan gelang-gelang di
lengannya
"Menyerah...? Ha-ha-ha-ha-ha...!" Bala Tlenges
malah tertawa.
Dari atas pohon beberapa sosok tubuh terjun
ke bawah, serangan itu mendadak sekali. Salah seo-
rang penunggang kuda itu tidak sempat menghindari.
Tahu-tahu saja tubuhnya telah di rejam oleh kedua
mayat hidup. Ia menjerit-jerit saat kuku-kuku mereka
yang laksana jarum menembus di tenggorokan. Gigi-
gigi hitam mereka pun mengoyak habis perutnya.
Orang yang bersenjatakan gelang pun tidak da-
pat menghindari sergapan sosok bertubuh hitam. Tapi
sekali ia menghentakkan kedua lengannya, tubuh so-
sok hitam itu terlempar jatuh ke tanah. Bala Tlenges
yang melihat itu langsung melesat ke arah orang itu.
Kedua telapak tangannya menghantam keras di bagian
dada. Orang bersenjatakan gelang itu pun ambruk.
Mayat-mayat hidup yang telah selesai membereskan
korbannya meluruk menerjang. Sebelum mereka da-
tang mendekat...
"Creb...! Creb...! Creeb... Creeb!"
Empat buah gelang menancap tepat di tubuh
kedua mayat hidup itu, namun mayat-mayat hidup itu
masih saja datang menerjang seakan gelang-gelang
yang menembus di tubuh mereka tidak dirasakan sa-
ma sekali. Orang itu pun tidak sempat lagi menghin-
dar. Dirasakan rasa sakit di sekitar tenggorokannya
yang mengeluarkan darah. Begitu juga dengan tubuh-
nya. Sekali mencabik, kuku-kuku yang runcing mero-
bek pakaian serta kulit perutnya. Gelang-gelang di ke-
dua lengannya bergemerincing saat ia meronta-ronta.
*
**
TIGA
"Suiiiiit...!" Mendengar aba-aba yang demikian
kedua mayat hidup berhenti menyerang meninggalkan
korbannya. Korbannya masih bergerak-gerak dan be-
rusaha bangkit. Seluruh tubuhnya telah berlumuran
darah. Bala Tlenges menatap puas.
"Kenapa cuma kalian berdua yang menyerbu ke
mari? Mana yang lain!" bentak Bala Tlenges. Orang itu
tidak menjawab, hanya gelang-gelangnya yang berge-
merincing. Ketika Bala Tlenges melangkah mendekat,
orang itu melemparkan beberapa gelangnya...
"Zing...! Zing...!" Bala Tlenges yang selalu awas
melompat ke atas, tubuhnya bersalto di udara. Gelang-
gelang itu meleset ke tempat yang kosong. Dan ketika
Bala Tlenges hampir menginjak tanah, tubuh
berlumuran darah itu melancarkan serangan
lagi. Kakinya bergerak menyapu bagian bawah, namun
tetap saja serangan itu gagal.
Bala Tlenges yang masih berada di udara me-
mutar kakinya ke depan... "Deeees!" Tendangan itu
melempar tubuh berlumuran darah itu semakin jauh.
Darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih sa-
ja dapat bangkit berdiri. Dua ekor kuda masih tetap
berdiri di situ sambil meringkik-ringkik ketakutan. Diluar dugaan tubuh berlumuran darah itu melompat ke
atas pelana dan kuda itu cepat membawa pergi tuan-
nya dari tempat itu. Bala Tlenges sengaja tidak menge-
jarnya. Wadak Keling dan dua mayat hidup masih ter-
paku melihat kepergian orang itu.
"Mengapa ia dibiarkan hidup, Bala Tlenges...?
Tanpa kau yang turun tangan, mayat-mayat hidup ini
bisa bekerja sendiri..." kata Wadak Keling. Dua mayat
hidup di sampingnya bergerak-gerak menyeramkan.
"Tolol! Orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar
Swantaka tidak berarti apa-apa bagi kita... Membunuh
mereka sama mudahnya membalikkan telapak tangan
...! Kalau dia mampus, mana bisa kita tahu di mana
Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Karena selama
ini hanya bangsat itu yang kita cari!
"Akal yang cerdik, Bala Tlenges! Aku tidak ber-
pikir sampai ke situ... Tentunya kita sekarang harus
cepat membuntutinya....!" ujar Wadak Keling. Bala
Tlengas tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh lalu
secepat kilat ia melesat. Melihat kepergian Bala
Tlenges, Wadak Keling memimpin kedua mayat hidup
itu berlari mengikuti. Maka terlihatlah empat sosok
bayangan hitam berlarian menembus kegelapan ma-
lam. Sementara itu di hadapan mereka terdengar derap
langkah kuda yang sangat cepat.
Wintara bersama Umbara Komang tidak lagi
berteduh pada pohon yang rindang di depan pengina-
pan itu. Mereka kini berada di tempat yang lebih nya-
man, dari pada udara di luar yang mulai dingin. Mere-
ka baru saja selesai makan malam, Umbara Komang
sengaja dipisahkan pada meja yang lain. Ia belum juga
menyelesaikan santapannya. Karena wanita kembar
itu sengaja membayarinya pesanan yang banyak untuk
manusia gila itu. Mulutnya berdecak-decak saat men
gunyah. Orang-orang yang kebetulan akan bermalam
di situ, menyaksikan sambil tertawa keheranan. Nasi
hampir sebakul munjung berpindah habis ke dalam
perutnya.
Umbara Komang sendiri tersenyum-senyum ke
arah setiap pendatang yang ada di penginapan itu. Ke-
tika ia minum ia tidak perlu lagi menuang air ke dalam
gelas bambu, ia langsung menenggaknya langsung dari
pundi. Semua orang pun tertawa ngakak melihat ting-
kahnya. Setelah air dalam pundi itu habis ia menyeka
mulutnya dengan lengan baju. Wintara bersama dua
wanita kembar masih duduk pada meja sebelah. Mere-
ka juga memperhatikan tingkah Umbara Komang yang
sangat lucu dan menggelikan.
Meskipun malam mulai merambat gelap. Desa
itu sangat ramai dan banyak diterangi lampu-lampu
pelita maupun obor sebagai penerang jalan. Orang-
orang masih banyak yang berseliweran di tiap-tiap
muka rumah. Beberapa orang yang berjalan beriringan
di tengah jalan segera menyingkir saat seekor kerbau
penarik gerobak melewati jalan itu. Di atas gerobak
beberapa anak kecil menjaga beberapa buntelan kain.
Kerbau itu di tuntun oleh seorang nenek keriput yang
berjalan tanpa alas kaki.
Ia menghentikan kerbaunya di depan sebuah
penginapan yang cukup ramai. Melihat itu seorang pe-
layan keluar. Nenek itu langsung menghadap.
"Maaf, Den... Aku memang tidak punya uang,
tapi kami butuh tempat untuk bermalam. Besok kami
berangkat lagi..." kata nenek itu pelan tubuhnya nam-
pak menggigil kedinginan.
"Maaf, Nek... Bukan saya tidak mengijinkan,
kamar-kamar di sini telah penuh semua. Coba saja
nenek cari tempat lain..." jawab pelayan itu. Wajah si
nenek memelas. Nampaknya ia telah lelah sekali.
"Seriti Wuni, coba kau lihat ke sana.. " Salah
satu wanita kembar itu menunjuk ke arah pelayan
yang tengah berbicara dengan seorang nenek. Wintara
ikut menoleh.
"Bukankah mereka para penduduk yang tinggal
di dalam hutan sana? Ada apa nenek itu bersama cu-
cunya ke mari?" jawab salah seorang wanita kembar
itu, ia bangkit berdiri melangkah. Wanita satunya
mengikuti. Umbara Komang memperhatikan mereka,
tapi kembali ia asyik dengan santapannya. Wintara te-
tap duduk diam.
"Ada apa dengan nenek ini...?" tanya salah seo-
rang wanita kembar.
"Nenek ini bersama cucu-cucunya akan berma-
lam di sini, tapi semua kamar telah penuh... Saya me-
nyarankan agar ia mencari tempat lain saja." kata pe-
layan penginapan ramah. Wanita kembar ini memper-
hatikan raut wajah yang nampak begitu letih. Lalu
pandangan mereka beralih ke belakang nenek itu, me-
reka melihat seekor kerbau penarik gerobak dengan
barang-barang berikut anak-anak kecil di atasnya.
"Bukankah nenek penduduk di hutan terpencil
itu... Aku masih ingat betul sewaktu melintasi daerah
hutan sana!"
"Betul, Ndoro... Orang-orang kampung pedala-
man semua ngungsi malam ini. Kami semua ketaku-
tan. Empat orang berwajah seram tiba-tiba saja datang
mengamuk membantai semua laki-laki yang ada di ke-
luarga kami...! Sekarang kami sudah terlalu lelah. Ka-
mi perlu istirahat malam ini... Kami rasa di sini
aman..." kata nenek itu memohon. Dua wanita kembar
saling pandang begitu mendengar penjelasan nenek
itu.
"Lalu ke mana keempat orang yang menyeram-
kan itu, Nek...? Apakah sekiranya nenek mengeta-
huinya...?" tanya wanita itu tidak sabaran.
"Entahlah... di sana tidak ada perkampungan
lagi... yang nenek tahu mereka mengamuk saat pen-
duduk hutan terpencil tertidur pulas. Dua di anta-
ranya mayat hidup. Salah seorang di antaranya bertu-
buh hitam, lalu yang seorang lagi menyebut-nyebut
nama Raden Mas Kinanjar Swantaka...." Bagai tersam-
bar petir kedua wanita kembar itu mendengarnya. Lalu
dengan cepat ia menarik lengan pelayan yang masih
berdiri di situ.
"Berikan dua kamar yang ku pesan tadi untuk
mereka. Dan tolong keluarkan kuda-kuda kami... Ce-
pat!" Setelah berkata begitu, salah seorang wanita
kembar itu menoleh arah Wintara yang sejak tadi
memperhatikannya. Pelayan itu dengan sigap berjalan
ke samping menuju kandang kuda. Salah seorang dari
wanita itu membawa masuk nenek yang menggigil ke-
dinginan, yang seorang lagi menuruni anak-anak kecil
satu persatu dari atas gerobak. Mereka membawa ma-
suk keluarga itu ke dalam ruangan itu.
"Nanti barang-barang nenek diangkut oleh pe-
layan tadi, tenang saja di sini..." Perempuan itu menge-
luarkan sekantong uang. Lalu diberikannya pada ne-
nek itu.
"Besok pagi kalau nenek mau berangkat, bayar
pakai uang ini... Sisanya ambil buat nenek, ya?" kata
perempuan itu ramah. "Anak muda ke mari... Ajak se-
kalian teman mu
ke mari...!" kata yang seorang lagi. Wintara
langsung bangkit dari bangku panjang. Sambil me-
langkah ia menepuk punggung Umbara Komang yang
telah selesai makan. Melihat Wintara bangkit berjalan,
Umbara Komang ikut bangkit meninggalkan mejanya
menyusul langkah-langkah Wintara.
Pelayan itu datang lagi membawa dua ekor ku-
da. Wanita kembar itu menerima kuda-kuda mereka.
Wintara dan Umbara Komang sudah berada di situ.
"Terima kasih. Antarkan keluarga ini ke kamar,
jangan lupa tolong bawakan barang-barang mereka...
Aku telah menitipkan sejumlah uang pembayaran ka-
mar dan makan kami tadi, kalau perlu beri mereka
makan dulu..." Perempuan itu langsung menaiki ku-
danya.
"Ayo, Seriti Kuni... Kau naik bersamaku di sini!
Biar anak muda itu bersama temannya dengan kuda
itu! Atau kau ingin bersama dengan lelaki gila itu?"
"Chis! Siapa yang mau! Seriti Wuni kalau ngo-
mong seenaknya saja! Jangan-jangan kau yang naksir
sama dia..." jawab Seriti Kuni langsung melompat ke
belakang Seriti Wuni kembarannya. Wintara masih
berdiri terpaku memandangi mereka. Umbara Komang
menggaruk kepala.
"Cepat anak muda...! Kita harus segera ke ben-
teng! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya...!"
Dengan tenang Wintara menaiki kuda itu. Umbara
Komang tetap diam. Tapi Wintara cepat menariknya ke
atas kuda. Umbara Komang nyengir ke arah wanita
kembar itu....
*
* *
EMPAT BELAS
Tubuh berlumuran darah itu terkatung-katung
di atas seekor kuda yang ditungganginya. Gelang-
gelang yang ada di kedua lengannya bergemerincing
membisingkan. Kuda itu membawanya menuju ke se-
buah benteng. Dari kejauhan benteng itu nampak
tinggi menghitam, dengan tonggak-tonggak bambu
yang runcing.
Sesampai di depan pintu gerbang yang terbuat
dari susunan bambu setinggi tiga tombak kuda itu
menyepak-nyepakkan kakinya ke pintu itu. Orang-
orang yang berada di balik pagar bambu itu mendadak
kaget. Beberapa tenda yang ada di sekitar tanah la-
pang itu nampak terang benderang. Raden Mas Kinan-
jar Swantaka sendiri belum tidur. Ia masih menatap
sinar rembulan yang bersinar penuh di luar tenda. Ia
pun mendadak kaget setelah mendengar suara pintu
gerbang berderak-derak.
Puluhan orang menuju ke arah pintu. Dari lu-
bang-lubang yang sengaja dibuat pada pintu gerbang,
mereka melihat sosok tubuh pendekar gelang paksi
terluka parah. Maka cepat mereka membuka pintu.
Seekor kuda masuk membawa tubuh berlumuran da-
rah. Sosok tubuh terluka itu merintih-rintih....
"Bala Tlenges...! Hhhh... Bala Tlenges...!" Sosok
itu ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Semua orang
mengerumuni tubuh terlentang bersimbah darah. Da-
lam pada itu dua sosok bayangan menyebarkan bau
busuk melesat dari luar masuk ke dalam sambil me-
lancarkan serangan dengan cakaran-cakaran yang
mematikan. Mendadak saja tempat itu penuh dengan
jeritan kesakitan. Puluhan orang itu segera mengepung
kedua orang yang datang-datang mengamuk. Namun
kepungan mereka sia-sia! Dua sosok ini tidak perduli
dengan orang-orang yang demikian banyaknya mener-
jang. Dua sosok busuk itu makin liar melancarkan cakaran cakarannya. Sekali cakar, dua sampai tiga orang
bergulingan.
Dalam keramaian itu datang lagi dua sosok dari
luar. Lesatan tubuhnya begitu cepat. Tahu-tahu saja
kedua orang itu berada di antara puluhan orang yang
tengah mengepung dua mayat hidup. Mereka pun sa-
ma brutal. Datang-datang langsung mengamuk mem-
bantai orang-orang itu. Hantaman-hantaman mereka
lebih parah. Sekali hantam ada yang kepalanya pecah,
ada juga yang patah tulang! Sungguh mengerikan!
Raden Mas Kinanjar Swantaka berlari ke arah
kekacauan itu. Dilihatnya para anak buahnya berpen-
talan satu demi satu. Matanya terbelalak melihat em-
pat sosok mengamuk menjatuhkan para prajuritnya.
Dan yang membuat dia tak percaya ketika melihat so-
sok Bala Tlenges di antara empat pengacau itu. Den-
gan geram ia melompat ke arah pertempuran itu.
"Hreaaaaaaaa!" Teriakannya menggelegar men-
gisi kegaduhan itu. Tubuhnya melesat di udara dan tu-
run langsung melancarkan serangan kepungan Bala
Tlenges... "Deeees!" Mendapat hantaman yang demi-
kian keras, Bala Tlenges tidak goncang sedikit pun.
Malah ia berbalik menoleh ke arah penyerangnya. Ia
pun menggeram sengit.
"Bagus, Bala Tlenges! Kau datang untuk men-
gantarkan nyawa! Hreaaat!" Raden Mas Kinanjar
Swantaka melancarkan tendangannya. Bala Tlenges
cepat menangkis.
"Aku justru datang untuk mengakhiri hidupmu,
Raden Terkutuk!" kata Bala Tlenges sambil membalas
serangan. Raden Mas Kinanjar Swantaka melompat
jauh memisahkan diri dari para prajuritnya yang ten-
gah menggempur dua sosok mayat hidup dan sosok
berkulit hitam. Bala Tlengas pun ikut melompat, kedua
lengannya berputar-putar menyambar tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka... Beberapa hantaman hampir
saja mengenainya. Raden Mas Kinanjar Swantaka
membalas dengan sabetan lengan kirinya... "Weees!"
Bala Tlenges gelagapan menyambut! Ia tidak menyang-
ka Raden Mas Kinanjar Swantaka begitu hebat. Tinju
Bala Tlenges maju lagi, kali ini bergulung-gulung men-
cecar pada bagian yang mematikan.
"Mampus!" teriak Bala Tlenges, hantamannya
menyerempet tubuh lawannya. Namun cukup pedas
terasa di pinggang Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
pun segera membalas serangan dengan tendangan
memutar... "Blaaak!" Bala Tlenges menyambut dengan
kedua telapak tangannya. Benturan itu sangat keras.
Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka sampai terbant-
ing. Melihat lawannya kehilangan posisi, Bala Tlenges
menerjang lagi... Tapi... "Cletaaar...! Cletaaar!" Dua
cambuk sekaligus melilit di tubuh Bala Tlenges mena-
han gerakannya. Wanita kembar, Wintara dan Umbara
Komang sudah berada di situ.
Wintara berlari ke arah Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Ia membantunya bangkit berdiri. Bala
Tlenges menatap geram terhadap dua wanita kembar
yang menahannya. Umbara Komang malah menyaksi-
kan pertempuran yang tengah berlangsung. Kedua ma-
tanya membelalak ketika ia melihat sosok bertubuh hi-
tam menghantam jatuh para prajurit Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka.
"Minggir...! Minggir...! Siluman hitam itu mu-
suhku! Biar aku yang menghirup darahnya...!" Tiba-
tiba saja Umbara Komang berlari ke arah pertempu-
ran. Kedua lengannya sibuk melemparkan orang-orang
yang menghalanginya. Wintara mendengar teriakan
Umbara Komang, maka ia pun menoleh ke arah sahabatnya itu. Tanpa sengaja ia melihat dua sosok mayat
hidup mengamuk. Ia sampai terperanjat tak percaya.
Dalam kelengahan itu sebelah kaki Bala Tlenges
menghantam perut Wintara... "Bug!" Tubuhnya terpe-
lanting jatuh. Wintara bangkit lagi, ia tidak membalas
serangan itu. Matanya masih tertuju pada kedua
mayat hidup yang mengamuk membabi buta. Bagai-
mana pun Wintara masih mengenali mereka. Mayat-
mayat itu tidak lain dari jasad Raden Sintoro Tinggil
dan Gada Rencah. (Baca: Tapak Hitam Rajawali Perak
& Tapis Ledok Membara). Yah jelas sekali wajah-wajah
mereka. Sampai mati pun Wintara tetap yakin! Yang
menjadi pertanyaan adalah, kenapa mereka bisa bang-
kit dari kubur? Tentunya ada yang membangkitkan-
nya. Pikirannya buyar saat ia mendengar teriakan dua
wanita kembar.
Bala Tlenges menarik kuat kedua cambuk yang
melilit di tubuhnya. Maka kedua wanita kembar ini
terbanting bergulingan di tanah. Cambuk-cambuk itu
lepas dari belitan di tubuh Bala Tlenges. Ia tidak mem-
perdulikan perempuan-perempuan itu, langkahnya
menerjang deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swanta-
ka. Tapi mana mau wanita kembar itu membiarkan
junjungannya celaka. Hebatnya Raden Mas Kinanjar
Swantaka bisa mengatasi suasana. Saat Bala Tlenges
menerjang, Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambut
dengan sodokan kaki kirinya yang menghantam keras
ke perut Bala Tlenges.
Saat tubuhnya terbanting, Seriti Wuni dan Seri-
ti Kuni melancarkan cambuknya.
Cambuk-cambuk itu mendera di tubuh Bala
Tlenges. Raden Mas Kinanjar Swantaka datang ikut
mengeroyok. Mendapat serangan dari tiga orang la-
wannya yang berilmu tinggi, Bala Tlenges setengah
mati mengatasinya.
Wadak Keling telah menjatuhkan belasan
orang. Hantaman-hantamannya selalu saja memakan
korban. Teriakannya berbareng saat ia melancarkan
hantaman, begitu juga dengan pekikan kesakitan para
prajurit itu. Telah banyak bergelimpangan sosok-
sosok tubuh bersimbah darah. Wadak Keling tidak ta-
hu lagi kalau di tempat itu telah berdiri sosok manusia
gila Umbara Komang. Saat Wadak Keling menghantam
ke samping... "Deeeees!" Lengannya berdenyut! Terasa
sekali ia membentur benda yang sangat keras. Kiranya
benturan itu akibat Umbara Komang yang menyambut
serangannya tadi dengan sebuah pukulan. Wadak Kel-
ing sendiri tidak menduga kalau Umbara Komang su-
dah berada di situ.
"He-he-he... Sekarang kita sama-sama siluman!
Aku tidak perlu takut lagi dengan mu... Ayo siluman
hitam kita bertempur sampai neraka ini hancur..."
ujar Umbara Komang. Wadak Keling langsung meng-
hadapinya. Melihat kedua orang ini saling berhadapan
para prajurit segera mundur.
"Kebetulan kita bertemu di sini, Umbara Ko-
mang! Mari maju! Biar nyawamu yang gila dapat me-
layang!" gertak Wadak Keling sambil melancarkan be-
berapa hantaman. Sambil nyengir Umbara Komang
merunduk, sebelah tangannya menyambar hantaman-
hantaman itu.
"Aku bukan Umbara Komang. Tapi siluman
baik! Tidak seperti kau siluman yang hitam dan jahat!"
Tendangan Umbara Komang menjurus ke depan.
Menghadapi tendangan yang sangat cepat, Wadak Kel-
ing tidak dapat menghindar. Apalagi tendangan-
tendangan itu beruntun mencecar...
"Des! Des!" Dua tendangan sekaligus membuat
tubuh hitam itu bergulingan. Tapi dalam keadaan se-
perti itu Wadak Keling menghentakkan sebelah len-
gannya, maka tubuhnya melesat ke atas. Lalu menu-
kik menerjang ke bawah.
"Mampus kau, Gila!" Hantaman Wadak Keling
berkelebat menyambar. Umbara Komang menyambut
dengan menggeser tubuhnya ke samping,... Hantaman
itu meleset. kini berganti Umbara Komang yang memu-
tar lengannya...
"Des!" Wadak Keling ambruk ke tanah. Tubuh-
nya bergulingan ke arah para prajurit yang masih ber-
diri di situ. Mereka yang sejak tadi menunggu kesem-
patan, tidak menyia-nyiakannya. Begitu tubuh Wadak
Keling berguling ke arah mereka, para prajurit itu
menghujami tubuh hitam itu dengan senjata-senjata
mereka. Maka terdengarlah jeritan Wadak Keling yang
menyayat.
Beberapa saat kemudian para prajurit itu be-
terbangan terlempar. Wadak Keling berontak sekuat
tenaga. Para pengeroyoknya bergelimpangan. Ia berdiri
terhuyung dengan tubuh yang terkoyak bersimbah da-
rah. Kedua matanya merah. Umbara Komang tidak
membiarkan Wadak Keling berdiri terlalu lama. Den-
gan gerakan yang sangat cepat ia menyambar sebilah
pedang yang tergeletak di tanah. Lalu pedang itu
membersit memisahkan kepala Wadak Keling dari le-
hernya... "Bet!" Tubuh hitam itu pun terbanting kelojo-
tan dengan darah menyembur di leher.
*
**
LIMA BELAS
Dengan sengit Umbara Komang menendang ke-
ras kepala Wadak Keling yang masih menggelinding di
tanah. Kepala itu melayang deras membentur pagar
bambu, membleduk! Lalu Umbara Komang menoleh
melihat kesibukan Wintara menghadapi dua mayat hi-
dup yang mengamuk memakan korban. Ia pun melihat
Wintara berhasil menghantam beberapa kali. Namun
kedua mayat hidup itu tetap saja masih sanggup me-
lawan.
"Kalian semua menyingkir...! Kedua mahluk ini
sangat berbahaya! Menyingkir!" teriak Wintara sambil
menghalangi serangan-serangan kedua mayat itu yang
liar mencakar-cakar setiap orang yang ada di hada-
pannya. Dalam pada itu tubuh Umbara Komang me-
lompat ke situ. Membentak-bentak semua para praju-
rit yang bersikeras menyingkirkan kedua mayat hidup
itu. Namun orang-orang itu masih saja terus mendesak
menyerang.
"Siluman-siluman tolol tidak tahu penyakit...
Dua orang ini raja neraka! Ditambah sepasukan kera-
jaan lagi pun kalian tidak akan sanggup menyingkir-
kannya." Umbara Komang mendorong beberapa orang
yang ada di hadapannya. Mereka pun bergulingan.
"Tindakan kalian hanya merepotkan saja! Kalau
mau tetap tinggal di surga kalian menyingkir!" Umbara
Komang melancarkan tendangan menyingkirkan mere-
ka. Orang-orang itu pun segera menyingkir. Semua
yang dikatakan laki-laki gila itu memang benar. Para
prajurit itu cukup ngeri setelah melihat belasan mayat
bergelimpangan di sekitar tempat pertempuran. Hal itu
juga yang membuat beberapa orang lari terbirit-birit.
Seketika tempat itu menjadi leluasa. Yang nampak
hanya Wintara menghadapi kedua mayat hidup.
"Dewa...! Jangan gentar terhadap raja-raja ne-
raka itu! Aku datang membantu!" Umbara Komang me-
lancarkan serangan terhadap salah satu mayat hidup
itu. Adanya bantuan dari Umbara Komang, Wintara ti-
dak perlu tarik otot lagi menghadapi mayat hidup itu.
Wintara sendiri yakin sahabatnya itu pasti bisa menga-
tasinya. Sebagai pendekar Pengelana Sakti tentunya
Wintara bisa mengukur kehebatan ilmu Umbara Ko-
mang. Dan ia tidak ragu-ragu lagi membiarkan laki-
laki gila itu menghadapi salah satu mayat hidup.
"Semasa hidupnya mereka musuh-musuhku,
siluman...! Yang kau hadapi adalah jasad Raden Sinto-
ro Tinggil!" ujar Wintara, tangannya menepiskan kedua
cakaran yang hampir merobek tenggorokannya. Lalu
membalas menyerang dengan sebuah pukulan. Tin-
junya tepat mengena, bahkan lengan Wintara sampai
menembus di lambung mayat hidup itu. Ketika ia me-
narik lengannya isi perut yang bercampur dengan ra-
tusan belatung menghambur. Wintara bergidik.
"Pantas ia jadi raja neraka! Seorang raden ma-
na pantas jadi siluman!" jawab Umbara Komang yang
juga berhasil menendang patah tulang leher jasad Ra-
den Sintoro Tinggil. Namun mayat hidup itu tetap ber-
diri kokoh dengan kepala miring menyentuh bahu. Ke-
dua cakarnya yang runcing siap menerkam. Umbara
Komang berguling ke samping sambil mendorong ke-
dua telapak tangannya... "Deees!" Tenaga yang luar bi-
asa itu melempar jauh jasad Raden Sintoro
Tinggil. Tubuh itu melambung jauh tinggi ke
udara. Di bawahnya menanti pagar bambu dengan
ujung-ujungnya yang runcing berderet.... "Jreeeees!"
Tubuh busuk itu jatuh tepat menancap di atas pagar.
Dengan seketika tubuh itu kaku tak bergeming.
Mengira akan bangkit lagi, Umbara Komang
melesat ke atas lalu kedua kakinya dengan kuat men-
ginjak tubuh busuk itu makin amblas tertancap pagar
bambu. Umbara Komang masih tetap berdiri di atas
tubuh itu. Kedua matanya tertuju pada Wintara meng-
hadapi jasad musuh lamanya. Hantaman-
hantamannya menggeledek mendera. Namun mayat
hidup itu selalu saja dapat bangkit dan menyerang la-
gi.
Jasad Gada Rencah ini memang alot. Untuk
mengenal Gada Rencah, anda bisa mengikuti serial
Pendekar Kelana Sakti dalam 'Tapis Ledok Membara')
Wintara sudah melancarkan serangan dengan berbagai
cara. Bahkan selalu mengena telak. Tapi jasad ini tidak
pernah roboh dan lumpuh. Dalam pada itu Wintara
sempat melihat sosok tubuh kaku di atas pagar. Sosok
itu tidak lain jasad Raden Sintoro Tinggil. Umbara Ko-
mang berdiri menginjak tubuh itu. Selintas Wintara
mendapat satu cara. Tiba-tiba saja Wintara berlari
menjauh meninggalkan jasad Gada Rencah yang masih
mengejar melancarkan cakaran-cakarannya ke arah
Wintara.
Sekali hantam pagar bambu itu berantakan.
Wintara menarik salah satu batang bambu itu. Ujung
bambu yang runcing diarahkan pada jasad Gada Ren-
cah yang datang menerjang. Umbara Komang segera
turun, ia pun mengikuti seperti yang dilakukan Winta-
ra Sebilah bambu panjang dengan ujung yang runcing
pula, siap mengarah. Keduanya sama-sama berlari
berbarengan menyambut terjangan Gada Rencah...
Maka... "Breeees...! Breeeees!" Kedua bilah bambu itu
menembus di jasad menyeramkan. Tubuh busuk itu
pun diam dengan seketika! Mereka mendorong terus
dua bilah bambu. Tubuh yang sudah kaku terkulai
dengan tubuh yang tertembus batang-batang bambu.
Jasad itu betul-betul sudah tak berkutik.
"Ayo siluman... Cepat kita bantu Raden Mas
Kinanjar Swantaka!" Wintara menarik Umbara Ko-
mang. Laki-laki gila itu mengikuti langkah Wintara.
"Siluman hitam telah mengganti nama ku...!"
Umbara Komang nyengir.
"Rasanya nama Umbara Komang sangat cocok
untukku, baguskan nama itu..." katanya lagi. Wintara
berhenti melangkah.
"Nama itu lebih bagus daripada aku harus me-
nyebut mu siluman!"
"Asyiiiiik... Aku sekarang Umbara Komang...
Aku bukan siluman lagi! Kalian semua yang silu-
man...!" katanya kegirangan sambil menunjuk-nunjuk
orang-orang yang berdiri ketakutan. Ia bangga sekali
dengan nama barunya.
*
**
Tendangan Bala Tlenges yang dahsyat luar bi-
asa menjatuhkan dua wanita kembar dan Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Ketiganya jatuh bergulingan. Ke-
dua wanita kembar itu menyemburkan darah. Raden
Mas Kinanjar Swantaka memegangi dadanya yang
memar. Bala Tlenges menatap garang saat mereka ber-
gulingan. Ia bukannya tidak tahu dengan kematian ke-
tiga orang temannya. Maka ia tidak tanggung-tanggung
lagi melancarkan serangan ke arah Raden Mas Kinan-
jar Swantaka. Namun kedua wanita kembar itu beru-
saha menghalangi dengan sabetan-sabetan cambuknya
yang mendera di tubuh Bala Tlenges.
Dengan sengit Bala Tlenges menangkapi cam-
buk-cambuk yang mendera di tubuhnya. Lalu kuat
kuat ia menariknya sampai tubuh kedua wanita kem-
bar itu ikut terbawa. Bala Tlenges menyambarnya den-
gan hantaman yang membuat kedua tubuh ramping
itu terbanting. Sebelum Bala Tlenges datang menye-
rang Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit melancar-
kan tendangan.
Bala Tlenges yang repot melancarkan hanta-
man ke arah wanita kembar itu tidak sempat meng-
hindari tendangan Raden Mas Kinanjar Swantaka ber-
sarang di pinggang. Umbara Komang yang ada di situ
langsung menghantamkan kedua lengannya ke tubuh
Bala Tlenges yang masih terhuyung. Kontan tubuh
Bala Tlenges terpelanting. Dengan sigap pula ia bang-
kit berdiri.
Kini di hadapannya telah berdiri lima orang.
Paling tengah berdiri sosok Raden Mas Kinanjar Swan-
taka. Wintara paling ujung di samping Umbara Ko-
mang.
"Hukum sudah tidak berlaku lagi untuk ku,
Raden... Hayo, kalian lima-limanya maju semua! Ka-
lian pikir aku gentar?" kata Bala Tlenges sambil men-
gikat kencang ikat pinggangnya. Perut serta dadanya
nampak kencang. Pada tenggorokannya masih terbalut
dengan belitan kain usang. Ia melangkah maju. Kedua
wanita kembar, Seriti Wuni dan Seriti Kuni menyerang
lebih dulu. Cambuknya berkelebat ke sana ke mari ba-
gai ekor naga. Raden Mas Kinanjar Swantaka mener-
jang melancarkan dua tinjunya sekaligus. Umbara
Komang melesat ke atas menghantam bagian kepala.
Bala Tlenges tidak mundur selangkah pun. Se-
belah tangannya dapat menangkapi cambuk-cambuk
wanita kembar itu, lalu sebelah lengannya lagi me-
nyambut tinju Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
berturut-turut. Benturan hantaman itu membuat Raden Mas Kinanjar Swantaka terpelanting ke tanah.
Wanita kembar itu memekik kesakitan saat tendangan
keras Bala Tlenges mendarat di perut mereka. Umbara
Komang yang masih di udara melancarkan pukulan-
nya ke kepala Bala Tlenges... "Der!" Jelas sekali kepala
itu pecah! Darah mulai menghambur dari batok kepa-
lanya. Namun Bala Tlenges masih tetap berdiri tegar.
Umbara Komang hinggap di tanah tanpa bersuara. Ia
tidak tahu dari arah belakang Bala Tlenges melancar-
kan tendangannya...
"Plaak!" Wintara datang menepis tendangan itu,
tapi dengan cepat pula Bala Tlenges membalas. Dan
Wintara tidak mengira akan mendapat hantaman telak
di dadanya. Setelah menghantam dada Wintara, Bala
Tlenges memutar kakinya ke belakang...
"Des!" Salah seorang wanita kembar memekik.
Kembali dari mulutnya menyembur darah. Melihat itu,
Wintara melompat menerjang. Hantaman siap mere-
mukkan kepalanya. Namun belum sempat Wintara
melancarkannya, Bala Tlenges berbalik menghantam
pinggangnya...
"Bug!" Wintara jatuh terbanting. Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka tidak tinggal diam. Cepat ia meraih
pedang dari salah seorang prajurit yang berada di de-
kat situ. Lalu dengan sekuat tenaga ia membabatkan
ke arah perut...
"Brwweeeek!" Perut itu nampak menghambur-
kan darah.
"Ha-ha-ha-ha-ha... Kalian pikir mudah mem-
bunuh ku...? Jangan harap Raden..!" Bala Tlenges ma-
lah tertawa. Mendadak lengannya berputar menghan-
tam Raden Mas Kinanjar Swantaka...
"Deeeeer!" Menghantam keras di dada. Tubuh-
nya terlempar ke arah bambu-bambu yang sangat
runcing. Wintara cepat menyanggah tubuh itu. Bam-
bu-bambu runcing diam di samping mereka. Kalau ta-
di Wintara tidak cepat menyanggah tubuh Raden Mas
Kinanjar Swantaka, mungkin tubuh itu telah menjadi
sate manusia. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah
terkulai lemas tak berkutik. Dari mulutnya berkali-kali
menyembur darah segar.
"Raden... Bala Tlenges memiliki ilmu membaca
pikiran orang. Satu-satunya orang yang mampu men-
gatasinya cuma Umbara Komang, karena pikiran dia
selalu simpang siur..." bisik Wintara. Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka menarik nafas.
"Tangkap dia...!" perintah Raden Mas Kinanjar
Swantaka.
"Pendekar kembar menyingkirlah..." teriak Win-
tara. Maka kedua wanita kembar yang nampak terluka
parah itu menggeser tubuhnya menjauh. Namun Bala
Tlenges masih terus melancarkan serangan kepada
pendekar kembar itu. Wintara dan Umbara Komang
menerjang menghalangi serangan-serangan itu...
"Deeeeer!" Bala Tlenges menyambut Wintara dengan
tendangan! Tapi untuk Umbara Komang, ia berhasil
menghantam punggung Bala Tlenges. Sosok berlumu-
ran darah itu tersungkur namun hanya dalam sekejap
ia bangkit lagi. Kedua tangannya sibuk membetulkan
ikat pinggangnya yang hampir terlepas.
Seriti Kuni menyambar pedang dari tangan Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka. Pedang itu dilemparkan-
nya kuat-kuat, maka...
"Jreeeeeb!" Pedang itu menembus di dada
samping ke tulang punggung. Tubuh itu hanya tersen-
tak sebentar, sesaat kemudian ia terus melancarkan
serangan ke arah Umbara Komang.
Kini hanya Umbara Komang sendiri yang
menghadapi Bala Tlenges. Umbara Komang berkelit ge-
sit menghindari serangan-serangan itu. Gerakan-
gerakan aneh Umbara Komang sukar untuk dihindari.
Tubuh yang tertancap pedang itu mendadak mencelat
saat Umbara Komang mendorong kakinya ke depan!
Ternyata tendangan itu sangat keras dan berisikan te-
naga penuh.
Semua yang dikatakan Wintara benar! Bala
Tlenges memiliki ilmu membaca pikiran orang. Meng-
hadapi laki-laki gila yang pikirannya semerawut dalam
bertindak, Bala Tlenges betul-betul terkecoh. Ia tidak
dapat mengira setiap hantaman yang dilancarkan oleh
Umbara Komang.
Bala Tlenges meraung-raung dengan kedua te-
lapak tangan yang siap mencakar. Umbara Komang
hanya nyengir, lalu ia pun mengikuti gerakan-gerakan
itu. Mereka sama-sama mengeluarkan cakaran-
cakaran. Sudah tentu Bala Tlenges merasa dipermain-
kan. Maka ia pun menerjang dengan geram... Di luar
dugaan Umbara Komang cepat merunduk sambil ca-
karnya menyambar bagian perut...
"Brweeeeek!" Tanpa sengaja pula ikat pinggang
Bala Tlenges ikut tertarik dalam cakaran Umbara Ko-
mang.
Sesaat kemudian Bala Tlenges berkelojotan ke-
jang. Jeritannya menggelegar membisingkan tempat
itu. Para prajurit beringsut minggir. Mereka tinggal se-
paruh. Separuh lagi telah berserakan terkapar meme-
nuhi dataran itu. Ada yang tewas ada juga yang luka-
luka berat. Jeritan Bala Tlenges melengking tinggi. Ma-
tanya membeliak-beliak menahan sakit.
Tubuh yang berlumuran darah dengan pedang
yang menembus ke punggung itu bangkit terhuyung,
kedua matanya liar menatap ke arah Raden Mas Ki
nanjar Swantaka. Langkah-langkahnya gontai mende-
kat. Semua mata memandang kepadanya. Rata-rata
mereka menatap ngeri.
Lalu mereka semua yang berada di situ meme-
kik saat Bala Tlenges menerjang deras ke arah Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang masih lemas terluka di
samping Wintara. Tentu saja Wintara tidak membiar-
kan Bala Tlenges melancarkan serangan terhadap
orang yang terluka di sebelahnya. Dengan cepat pula
Wintara menendang ke depan... menggagalkan seran-
gan Bala Tlenges... "Deeeeer!" Bala Tlenges ambruk ter-
lentang bersimbah darah tak berkutik lagi.
Umbara Komang masih memegangi ikat ping-
gang Bala Tlenges. Ikat pinggang itu sudah koyak tak
karuan terkena cakaran tadi. Sambil memonyongkan
bibirnya Umbara Komang melemparkan ikat pinggang
itu. Wintara kagum dengan apa yang dilakukan oleh
Umbara Komang. Lalu ia melangkah mendekati Winta-
ra yang membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka
bangkit.
"Dewa... Aku lupa dengan nama baruku tadi...
Siapa ya... Kalau tidak salah... Combro eh, bukan...
Bukan Combro... Aduh apa ya...?" Umbara Komang
menggaruk-garuk kepalanya. Wintara dan Raden Mas
Kinanjar Swantaka tertawa. Begitu juga dengan pen-
dekar wanita kembar, meskipun dadanya terasa sakit
ia sempat tersenyum mendengar omongan Umbara
Komang.
"Aduuuuh... Kenapa jadi blo'on...? Apa sih tadi
nama baruku...?" Umbara Komang masih mikir. Lalu
ia duduk sambil menopangkan telapak tangannya ke
dagu.
"Sudah namamu 'siluman' saja! Agar mudah di-
ingat...!" kata Wintara memapah Raden Mas Kinanjar
Swantaka melangkah menuju tenda. Para prajurit mu-
lai berdatangan membantu menggantikan Wintara. Me-
reka segera membawa masuk Raden Mas Kinanjar
Swantaka ke dalam tenda dan merawatnya.
"Tidak, aku tidak mau punya nama 'siluman'!
Tadi yang diberikan oleh siluman hitam sangat bagus
dan aku sendiri pernah mendengarnya! Tapi sekarang
aku lupa!" jawab Umbara Komang. Ia masih duduk
termangu. Dua wanita kembar mendekatinya. Mereka
ikut duduk menghadapi Umbara Komang. Begitu juga
dengan Wintara, ia melangkah ke arah mereka...
"Namamu: Umbara Komang!" kata Wintara se-
telah mendekat.
"Ya! Betul...! Namaku Umbara Komang... Horee!
Aku Umbara Komang!" Laki-laki sinting itu ber-
jingkrak-jingkrak kegirangan. Wintara dan dua pende-
kar wanita kembar tertawa.
Malam makin larut, suasana masih beranta-
kan. Di mana-mana berserakan tubuh-tubuh prajurit
Raden Mas Kinanjar Swantaka. Beberapa prajurit yang
masih hidup mulai membereskan mayat-mayat itu.
Tenda-tenda sudah diterangi lampu-lampu obor. Bulan
di atas sana ikut menerangi dataran itu. Nampak so-
sok Umbara Komang berjingkrak-jingkrak kegiran-
gan... Dengan tingkahnya yang tidak waras!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar