..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 14 Desember 2024

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE JAGO JAGO ROGOJEMBANGAN

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE JAGO JAGO ROGOJEMBANGAN


Cerita ini adalah fiktif. 

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka

JAGO-JAGO ROGOJEMBANGAN

Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Hak Cipta ada pada Penerbit 

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Buce L. Hadi

Serial Pendekar Kelana Sakti

dalam episode: Jago-Jago Rogojembangan


SATU



Dua ekor kuda yang menarik sebuah gerobak 

kayu itu meringkik berbarengan ketika melewati pa-

dang tandus. Di mana-mana banyak berserakan tulang 

belulang. Entah bekas kerangka apa. Yang jelas di situ 

ada bermacam-macam tulang belulang. Di antara tu-

lang belulang binatang, ada juga terselip kerangka 

manusia. Bahkan beberapa roda pedati yang telah 

usang sekalipun ikut berserakan di situ.

Gerobak itu berhenti mendadak. Pengendalinya 

yang hanya seorang itu geram sekali memecuti kuda-

kudanya. Dua ekor kuda itu masih terus meringkik, 

membuat gerobak yang ditariknya bergoyang-goyang 

dan hampir terbalik. Pengendali kuda itu makin ken-

cang mencambuki kuda-kudanya.... Hreaaaa! 

Hreaaaaa! Hreaaaa! Teriakannya menggelegar meme-

cah kesunyian padang tandus. Burung-burung Nazar 

beterbangan mendengar suara yang menakutkan itu.

Bersamaan dengan beterbangan burung-

burung pemakan bangkai, kuda-kuda itu berlari ken-

cang. Debu-debu pun menggumpal bagai asap mengi-

kuti ke mana arah gerobak kayu itu melaju. Pengenda-

linya merasa lega. Sesekali ia menoleh ke belakang. 

Beberapa peti besar masih utuh pada tempatnya di-

tambahkan memenuhi ruang belakang gerobak. Sete-

lah itu ia kembali mencambuki kuda-kudanya.

Beberapa saat kemudian kereta gerobak ber-

henti lagi. Kali ini bukan karena kuda-kudanya. Si 

pengendali sendiri yang menghendaki. Di hadapannya 

membentang sebuah jembatan kayu yang menyebe-

rangi jurang menghubungkan pada puncak jurang be-

rikutnya. Hati-hati sekali ia mengendalikan kuda


kudanya menyeberangi jalan itu. Roda-roda gerobak 

berderak-derak saat melindas jembatan kayu. Jemba-

tan itu cukup kuat, di kedua sisinya terdapat dua utas 

tambang sebesar lengan memanjang sebagai pembatas 

lebarnya jembatan itu.

Udara yang berhembus dari jurang seberang

begitu segar. Dataran itu nampak lebih subur dari pa-

dang tandus yang ia lewati tadi. Di situ banyak pepo-

honan, tanahnya pun berumput. Dari kejauhan nam-

pak seperti permadani hijau yang membentang di kaki 

langit. Kereta gerobak itu kembali melaju dengan cepat 

setelah melewati jembatan penghubung.

"Huh kalau tahu keadaan Rogojembangan be-

gini, aku tak mau lagi ke sini..." keluh si pengendali 

gerobak dalam hati. Kedua lengannya memacu tali ke-

kang. Derap kaki kuda semakin cepat menelusuri jalan 

yang berliku. Melalui pohon-pohon besar yang tumbuh 

banyak di kedua sisi jalan.

"Mudah-mudahan saja ini untuk yang terakhir 

kalinya..." keluhnya lagi ketika ia melihat sebuah ban-

gunan yang hampir roboh termakan usia. Dari kejau-

han nampak bangunan itu begitu kotor dan tak teru-

rus.

Kereta gerobak itu berjalan perlahan meng-

hampiri halaman bangunan. Si pengendali menghapus 

keringat yang membanjir di sekitar keningnya. Seluruh 

bajunya telah basah oleh keringat yang mengucur se-

dari tadi. Belum kereta gerobak itu berhenti, seorang 

lelaki berperawakan kurus keluar dari bangunan. Me-

lihat sosok berkulit hitam dengan rambut yang semra-

wut, si pengendali kereta gerobak begitu tercengang... 

Bukan karena takut! Tapi baru kali ini ia melihat se-

seorang berkulit yang demikian hitamnya. Kuda-kuda 

itu tidak meringkik begitu mendekati sosok hitam yang

berdiri tepat di muka pintu bangunan. 

"Kaukah Umbara Komang dari lereng Ungaran 

yang terkenal itu...?" sapa sosok hitam ketika kereta 

gerobak berhenti di hadapannya. Orang yang duduk di 

atas gerobak menjawab dengan anggukan kepala.

"Aku Wadak Keling akan membawa masuk ba-

rang-barang yang kau bawa... Mana barang-barang 

itu...?" kata sosok hitam yang menamakan dirinya Wa-

dak Keling. Si pengendali kereta yang ternyata Umbara 

Komang menunjuk ke belakang gerobak dengan ibu ja-

rinya. Wadak Keling mengangkat wajahnya melongok 

ke belakang gerobak. Dilihatnya dua buah peti beruku-

ran besar terikat kuat saling tindih. Umbara Komang 

turun dari gerobak, ia menambatkan kuda-kudanya 

pada sebatang tonggak. Ia sempat melirik ke arah Wa-

dak Keling yang mulai membuka ikatan peti-peti di be-

lakang gerobak.

Tanpa minta bantuan Umbara Komang, Wadak 

Keling menurunkan satu demi satu peti-peti itu. Lalu 

memanggul peti itu memasuki ruangan bangunan yang 

nampak begitu gelap. Umbara Komang sengaja me-

nunggu di luar. Ia membiarkan Wadak Keling mema-

sukkan peti-peti itu sendirian. Suatu kesempatan un-

tuk menghemat tenaga.

Peti kedua telah masuk ke dalam bangunan. 

Umbara Komang menghela nafas. Ingin rasanya ia ce-

pat-cepat meninggalkan tempat ini. Bau kemenyan 

yang sedari tadi keluar dari ruangan sejak pintu ban-

gunan itu terbuka sangat menyesakkan hidungnya. 

Sebentar-sebentar ia mengendus mengusir aroma yang 

sangat membangunkan bulu roma. Namun Umbara 

Komang sengaja menunggu di luar. Menunggu Wadak 

Keling keluar dengan membawa sesuatu yang menjadi 

imbalan untuknya.


Lama sekali Wadak Keling tidak menampakkan 

diri. Setelah ia membawa masuk peti kedua Wadak 

Keling tidak muncul-muncul lagi. Umbara Komang jadi 

tidak sabar.

"Wadak Keling...! Aku tidak bisa lama-lama di 

sini! Tolong sampaikan salamku kepada Ki Rondo 

Mayit! Bagianku harus ku terima sekarang...!" teriak 

Umbara Komang. Ia membenahi tali-tali pengikat peti 

yang malang melintang di sekitar roda gerobak.

"Aku mendengar suaramu, Umbara Komang...!

Terimalah ini!" Terdengar suara dari dalam bangunan. 

Jelas bukan suara Wadak Keling. Bersamaan dengan 

itu desiran angin sangat kencang menjurus keluar... 

"Wwwwes!" Tiba-tiba saja Umbara Komang memekik 

dengan tubuh terbanting. Terasa sesuatu menghantam 

dadanya... Dengan tubuh yang masih seloyongan, ia 

berusaha bangkit.

"Apa-apaan kau, Ki Rondo Mayit! Aku tidak 

pernah mengecewakan kau, kenapa malah menye-

rangku sampai sedemikian rupa...!" bentak Umbara 

Komang. Ia melangkah memasuki bangunan itu. Wa-

jahnya merah padam menahan amarah yang luar bi-

asa... Tapi baru saja ia melangkah pada garis depan 

pintu yang terkuak lebar... 

"Deeeeees!" Sebuah pukulan angin menghan-

tam lagi.

Tanpa dapat menghindari, tubuh Umbara Ko-

mang terlempar lebih jauh. Kali ini ia tidak dapat ban-

gun lagi. Umbara Komang terkapar di tanah dengan 

berlumuran darah di mulutnya. Kedua kuda yang ter-

tambat di samping pintu meringkik hebat. Keduanya 

menyepak-nyepakkan kaki seakan-akan hendak pergi 

dari tempat itu.

Ringkikan kuda terhenti seketika saat dua


orang keluar dari balik pintu. Wadak Keling bersama 

majikannya Ki Rondo Mayit. Mereka berdua sama se-

ramnya. Rambutnya sama-sama tak terurus. Hanya 

kelainan pada Ki Rondo Mayit dengan rambut yang 

awut-awutan memutih. Raut wajah Ki Rondo Mayit 

sendiri tidak menggambarkan bahwa ia telah termakan 

usia. Tidak ada kerut-kerut sedikit pun pada kulit mu-

kanya.

Tapi sewaktu Ki Rondo Mayit menyeringai meli-

hat tubuh Umbara Komang terkapar, terlihat kedua 

gusinya tanpa sebutir gigi. Wadak Keling yang berdiri 

di samping majikannya melangkah menghampiri tu-

buh Umbara Komang.

"Dia tidak mati, Ki... Jantungnya masih berde-

nyut halus...!" katanya setelah memeriksa tubuh ber-

lumuran darah itu.

"Memang itu yang kuharapkan! Aku tidak sam-

pai hati untuk membunuhnya, karena ia telah banyak 

berjasa untukku..." jawab Ki Rondo Mayit ikut melang-

kah mendekat.

"Bawa saja ia masuk ke dalam... Aku masih 

membutuhkan dirinya..." katanya lagi. Ia langsung 

berbalik memasuki bangunan lebih dulu.

Wadak Keling menuruti perintah majikannya. 

Tanpa banyak bicara ia memanggul tubuh Umbara 

membawa masuk ke dalam ruangan yang sedikit gelap. 

Ruangan itu tidak seberapa besar. Tapi ketika ia me-

masuki ruangan yang kedua. Ruangan itu gelap lagi. 

Meskipun hanya diterangi dengan sebuah lampu obor, 

cukup membuat keadaan di situ nampak jelas. Ki 

Rondo Mayit telah menunggunya di samping meja 

kayu yang di atasnya banyak berserakan alat-alat pen-

dupaan. Salah satu pendupaan itu masih mengepul-

kan asap menyebar bau kemenyan.


Dua buah peti berdiri bersandar pada dinding 

batu. Ki Rondo Mayit memandangnya. Pandangannya 

beralih ketika Wadak Keling masuk membawa tubuh 

Umbara Komang ke ruangan itu. Wadak Keling mele-

takkannya pada sebuah balai di sudut ruangan.

"Penutup peti-peti itu harus kau buka Wadak 

Keling. Aku ingin melihatnya! Jangan-jangan ia meni-

puku..." Majikannya berseru.

Wadak Keling tidak pernah membantah perin-

tah majikannya. Ia pun melangkah ke arah dua peti 

yang bersandar pada dinding Hanya dengan sekali ta-

rik saja penutup peti itu terbuka. Maka terlihatlah dua 

sosok tubuh yang telah membiru berdiri membujur da-

lam peti-peti itu. Ki Rondo Mayit tersenyum. Kembali 

gusi tanpa gigi terlihat. Rambut yang putih beruban ti-

dak bergeming. Lalu.....

"Baringkan kedua mayat itu di samping tubuh 

Umbara Komang... Awas. hati-hati Wadak Keling! Jan-

gan sampai kulit mereka rusak...!"

*

**

DUA



Wintara yang tadi berjalan di tengah-tengah ja-

lanan, melompat ke pinggir ketika mendengar suara 

derap kaki kuda yang berjalan cepat dari arah bela-

kang. Ia sengaja berhenti dan melihat beberapa kuda 

yang melaju dengan cepat melintasi jalan itu.

Ketiga para penunggang itu tidak perduli saat 

Wintara memperhatikan mereka. Ketiganya berlalu 

tanpa berpaling barang sekejap pun ke arah Wintara


yang berdiri di sisi jalan. Sepertinya ada sesuatu yang 

mereka buru. Wintara pun masa bodoh. Sama acuh-

nya.

Setelah kuda-kuda itu menjauh, barulah Win-

tara meneruskan perjalanannya. Debu-debu bekas de-

rap langkah-langkah kuda masih mengepul.

"Sombong! Mentang-mentang memakai lencana 

kerajaan, berjalan seenaknya saja!" gerutu Wintara 

sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan pada baju 

bulunya. Matanya masih tertuju pada ketiga ekor kuda 

yang mulai hilang dari pandangan mata. Debu-debu 

yang melekat pada baju bulunya tidak hilang.

Dengan kesal Wintara berlari kencang menyu-

sul mereka. Kecepatan larinya membuat rumput-

rumput yang tumbuh di pinggir jalan seperti merebah 

tidur saat ia melewatinya. Itu karena terjangan angin 

yang begitu deras. Langkah-langkah Wintara sendiri 

tidak jelas kelihatan. Tahu-tahu saja ia sudah berada 

jauh di depan sana. Menyusul ketiga kuda yang berlari 

di hadapannya.

Sekali hentak, kedua kaki Wintara melejit ke 

udara. Tubuhnya berputar berkali-kali. Kemudian 

hinggap tanpa menimbulkan suara di atas tanah. Keti-

ga penunggang kuda itu tercengang. Karena tahu-tahu 

saja telah muncul di hadapan mereka seorang pemuda 

mengenakan baju bulu binatang berdiri menghalangi 

perjalanan mereka.

"Minggirlah, anak muda! Kami tengah mengejar 

seseorang. Orang itu amat berbahaya sekali... Jadi 

kami tidak ingin kehilangan jejaknya." kata salah seo-

rang penunggang yang berada paling tengah.

"Begitu pentingkah orang itu sehingga kalian 

tidak menghormati orang yang berjalan kaki di jalan 

ini...? Kalian lihat pakaian ku! Aku memang seorang


jembel yang tidak patut dihormati... Tapi justru kalian 

orang-orang dari kerajaan tidak memiliki rasa sopan 

sedikit pun...!" Bicara Wintara blak-blakan.

"Oh... maafkanlah kami, Anak muda! Bukan 

sengaja kami mengotori pakaian mu... Sungguh! Kami 

kelewat terburu-buru... Sekali lagi maafkanlah kami..." 

kata orang yang menunggangi kudanya di pinggir.

"Betul, anak muda. Kami tengah mengemban 

tugas dari kerajaan... Sebenarnya kami bukan orang-

orang kerajaan, kami hanya orang-orang pilihan Raden 

Mas Kinanjar Swantaka... Bukan hanya kami bertiga 

orang-orang pilihan beliau. Masih banyak lagi orang-

orang seperti kami."

"Orang-orang pilihan...?" Wintara jadi heran. 

Ketiganya tidak luput dari tatapan Wintara. Ia melang-

kah ke samping jalan seolah-olah memberi jalan pada 

mereka.

"Kami tidak dapat menjelaskannya sekarang, 

Anak muda... Maaf, kami harus mengejar buruan yang 

telah lepas dari pengamatan... Permisi... Mudah-

mudahan kita bisa bertemu lagi." kata penunggang 

kuda yang paling tengah. Orang itu segera menghela 

kudanya, maka kuda itu pun berlari lagi. Yang lain 

mengikuti mengejar. Wintara terpaku diam melihat ke-

pergian mereka. Sebentar saja kuda-kuda itu jauh 

menghilang dengan asap-asap debu yang berterbangan 

di sekitar langkah-langkah kuda.

Di depan sana sebuah perkampungan tampak 

sepi. Binatang-binatang peliharaan dari sapi, kambing 

sampai ayam berkeliaran seperti tidak diurus oleh pe-

miliknya. Binatang-binatang itu simpang siur di sepan-

jang jalan yang menghubungkan ke arah perkampun-

gan. Ketiga penunggang kuda itu pun merasa aneh 

dengan keadaan yang seperti mereka lihat sekarang.


Binatang-binatang peliharaan itu segera menyingkir 

saat ke tiga kuda memasuki perkampungan. Ketiganya 

tersentak kaget melihat suasana dalam perkampungan 

yang sangat di luar dugaan.

Para penduduknya telah terkapar bergelimpan-

gan tanpa nyawa. Darah segar masih menetes dari 

tiap-tiap tubuh yang bergelimpangan itu.

"Pastilah si pembunuh terkutuk itu yang mela-

kukannya... Dia masih ada di sekitar sini! Cepat cari! 

Kalau tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bunuh 

saja!" Penunggang kuda yang sampai lebih dulu turun 

dari kudanya. Lengan kanannya langsung mencabut 

pedang dari pinggang dengan ke dua sorot mata yang 

tajam.

"Begitu cepat ia menghabisi orang-orang kam-

pung ini...! Dasar pembunuh! Padahal dirinya telah 

menjadi buruan kita! Masih saja sempat menurunkan 

tangan jahil....!" Temannya yang mulai turun dari ku-

danya ikut mendongkol.

"Mungkinkah ia masih di sini, Mogeni Kalpa....? 

Rasanya aku tidak yakin...."

"Kau bisa melihat mayat-mayat ini... Nampak-

nya pembantaian baru saja terjadi...." jawab Mogeni 

Kalpa yang berdiri di antara mayat-mayat penduduk 

kampung itu. Dua orang yang berdiri di belakangnya 

memperhatikan mayat-mayat itu... Memang benar, lu-

ka-luka pada setiap mayat masih mengeluarkan darah 

segar. Hampir rata-rata leher para mayat itu berlumu-

ran darah.

"Baru kali ini kulihat pembantaian sadis...! Bu-

ronan itu mesti dicincang habis!" Salah satu penung-

gang kuda itu geram. Tangannya cekatan menyambar 

sebilah pedang tajam berkilat menyilaukan.

"Cepat menyebar...!" Mogeni Kalpa memberi


komando. Dua orang yang berdiri di belakangnya ber-

lari berlainan arah. Pandangan mereka hati-hati sekali. 

Setiap sudut maupun pelosok tidak luput dari penga-

wasan mereka. Ketiganya telah bersiap-siap dengan 

pedang terhunus di tangan.

Mogeni Kalpa memasuki tiap-tiap gubuk yang 

telah kosong. Ia berpindah-pindah terus. Dari satu 

gubuk ke gubuk yang lain. Namun tetap saja ia tidak 

menemukan orang yang dicari. Pedangnya berkelebat 

ke nana ke mari menyibakkan kain-kain yang menu-

tupi tiap-tiap ruangan. Amarahnya makin meluap keti-

ka ia melihat sosok tubuh seorang bayi yang hampir 

tidak terbentuk lagi. Mogeni Kalpa cepat beringsut dari 

tempat itu.

"Mogeni Kalpa...! Mogeni Kalpa...! Cepat ke ma-

ri...!" Salah seorang temannya berteriak-teriak. Mogeni 

Kalpa langsung melompat ke luar.

"Ada apa...? Apakah kalian menemukan manu-

sia keparat itu...?" Mogeni Kalpa berlari ke arah suara 

orang yang memanggil-manggil namanya. Dan ia cu-

kup terperanjat ketika tiba di samping kedua teman-

nya.

"Kau lihat itu, Mogeni Kalpa... Dia ada di si-

ni...!" Mogeni Kalpa seperti tidak percaya dengan pen-

glihatannya sendiri. Sosok tubuh seseorang yang ten-

gah mereka cari telah terkapar di hadapan mereka. 

Tubuh itu penuh dengan luka-luka. Pada batang le-

hernya terlihat jelas goresan-goresan luka yang menga-

lirkan darah segar.

Tubuh penuh luka itu bergerak-gerak. Mulut-

nya terbuka seperti hendak mengeluarkan kata-kata. 

Mogeni Kalpa menariknya berdiri.

"Susah payah aku mencarimu, Bala Tlenges! 

Ternyata demikian mudahnya kami mendapatkan di


rimu di sini...! Sebelum ku kirim ke akherat, apakah 

ada pesan yang akan kau sampaikan? Katakanlah 

Bala Tlenges! Cepat! Orang-orang kampung yang telah 

kau bantai itu pasti akan menuntut mu dari alam baka 

sana...!" Mogeni Kalpa geram. Tiba-tiba saja tinjunya 

melayang menghantam perut, membuat Bala Tlenges 

tersungkur ke tanah dengan menghamburkan darah 

dari mulutnya. Bala Tlenges merangkak bagai binatang 

melata.

"Anjing! Tunjukkan kebolehan mu... Ayo!" Mo-

geni Kalpa menendang keras tubuh lelaki itu.

"Buuuuug!" Bala Tlenges terlempar lagi. Kali ini 

tubuhnya membentur dinding kayu sebuah gubuk. 

Namun tetap saja lelaki itu berusaha bangkit walau-

pun dengan susah payah. Darah menyembur lagi dari 

mulutnya. Mogeni Kalpa bermaksud memberi hanta-

man lagi. Tapi salah seorang temannya menghalangi...

"Sudahlah...! Ia sudah terluka parah! Mungkin 

orang-orang kampung telah mengeroyoknya sewaktu ia 

membantai di sini...!"

"Kalau saja ia dapat bicara aku sudah cukup 

senang! Tapi ia tetap bungkam! Itu yang membuat aku 

naik darah!" jawab Mogeni Kalpa.

"Ia pasti sedang mengucapkan sesuatu, Mogeni

Kalpa... Kau lihat gerak bibirnya. Hanya sayang sua-

ranya tidak keluar, mungkin karena tenggorokannya 

robek."

"Bagaimana pun keadaannya ia tetap buronan! 

Cepat atau lambat ia pasti dihukum mati! Apa bedanya 

kalau ia kubikin mampus sekarang!" Mogeni Kalpa 

menatap geram ke arah Bala Tlenges yang sudah ber-

diri dengan seloyongan.

"Kau harus berkepala dingin, Mogeni... Seka-

rang buronan telah kita tangkap, biar saja Raden Mas

Kinanjar Swantaka yang menentukan hukumannya. 

Kau harus ingat, kita hanya orang-orang pilihan...."

*

**

TIGA



Ketiga kuda itu meninggalkan perkampungan 

di mana mayat-mayat berserakan bergelimpangan 

dengan darah. Mogeni Kalpa masih terdiam menguasai 

perasaannya. Ia tetap menunggangi kudanya paling 

tengah. Dua orang temannya mengiringi di samping 

kanan dan kiri. Di belakang mereka, tubuh Bala 

Tlenges terseret tak berdaya. Manakala ketiga kuda itu 

berlari semakin kencang berpacu. Tubuh itu tidak be-

danya bagai sebatang tonggak yang terbawa arus per-

jalanan yang kadang-kadang membentur bebatuan

menonjol di sepanjang jalan.

Diperlakukan seperti itu pastilah Bala Tlenges 

bakal mampus, pikir Mogeni yang masih menaruh 

amarah terhadap buronannya.

Bagaimana tidak? Bala Tlenges seorang peram-

pok dan juga pembunuh sadis. Dalam satu hari selalu 

saja ada yang menjadi korbannya. Apalagi hari ini. 

Bala Tlenges telah membantai seluruh orang-orang 

kampung terpencil. Ini merupakan kejadian yang san-

gat luar biasa. Begitu tega Bala Tlenges membunuh 

habis para korbannya. Tidak perduli memandang usia, 

dari anak-anak sampai kakek-nenek pun habis diban-

tai.

Tubuh Bala Tlenges masih terseret kencang. 

Seluruh pakaiannya yang memerah bersimbah darah

mulai koyak. Kedua matanya kadang terpejam kadang 

terbeliak menahan sakit. Jelaslah Bala Tlenges masih 

hidup.

Saat itu tanpa sepengetahuan ketiga penung-

gang kuda, sosok bayangan berkelebat dari atas seba-

tang pohon yang cukup tinggi. Sosok bayangan itu 

menukik menyambar memutuskan tali yang menyeret 

tubuh Bala Tlenges dan sekaligus membawanya pergi. 

Mogeni Kalpa yang menyadari ikatan talinya telah ko-

song langsung menoleh ke belakang. Dan ia terkejut 

bukan main. Tapi ia masih sempat melihat sosok 

bayangan membawa kabur tubuh Bala Tlenges. Keti-

ganya memutar arah. Dua orang temannya dapat me-

lihat kecepatan lari sosok bayangan itu. 

"Bangsat...! Bala Tlenges dicuri orang! Cepat ki-

ta kejar...!" Hreaaaaa! Hreaaaaa!! Mogeni Kalpa mema-

cu kudanya. Yang lain mengikuti menuju ke mana la-

rinya bayangan tersebut. Ketiga ekor kuda itu saling 

kejar dan saling mendahului mengejar sosok bayangan 

yang makin lama makin mereka dekati.

Tiba-tiba saja ketiga kuda itu berhenti berlari. 

Kuda-kuda itu meringkik hebat, para penunggangnya 

hampir terpelanting dari atas pelana. Untunglah mere-

ka cukup mahir menunggangi kuda milik mereka. Ku-

da-kuda mereka terus meringkik dengan kedua kaki 

yang terangkat ke atas seakan enggan meneruskan 

perjalanan. Mogeni Kalpa maupun dua orang teman-

nya berteriak-teriak menghela kudanya. Namun tetap 

saja kuda-kuda itu seperti mengamuk. Mereka betul-

betul sudah tidak dapat mengendalikan lagi.

Dalam pada itu dua sosok tubuh pucat berja-

tuhan dari atas pohon. Tubuh-tubuh itu terbanting ke-

ras ke tanah. Kedua sosok tubuh pucat itu diam ter-

kapar di tanah. Mogeni Kalpa bersama dua orang temannya memandang keheranan. Mereka menatap dari 

mana asal mereka jatuh, kemudian beralih pandang 

mereka pada kedua sosok tubuh yang terkapar tak 

bergeming. Kuda-kuda tidak mengamuk lagi. Ringki-

kannya tidak sekeras tadi.

"Mayat-mayat siapa ini...? Mengapa berjatuhan 

dari atas pohon, apakah kalian lihat ada orang yang 

sengaja melemparkannya?"

"Mayat-mayat ini tidak begitu penting bagi kita! 

Yang jelas sekarang kita harus mendapatkan kembali 

Bala Tlenges! Ayo kejar lagi...!" Setelah kuda-kuda itu 

cukup tenang, Mogeni Kalpa menghela kudanya. Kuda-

kuda mereka berlari lagi.

Di luar dugaan, bahkan tanpa sepengetahuan 

mereka kedua sosok mayat yang telah pucat membiru 

bangkit dan melesat ke arah kuda-kuda itu. Kedua 

mayat itu dapat menyergap dua penunggang kuda 

yang berada di samping kiri dan kanan Mogeni Kalpa. 

Mereka bergulingan.

Mogeni Kalpa turun dari kudanya dengan ka-

lap. Cepat ia menarik gagang pedangnya dari pinggang. 

Ia tidak berani membabatkan pedangnya ke arah 

mayat-mayat hidup itu. Karena kedua temannya ten-

gah bergelut melawan. Ia sendiri tersentak kaget ketika 

dilihatnya salah seorang temannya terlempar terkena 

hantaman dari mayat hidup yang amat menyeramkan 

itu.

Mogeni Kalpa langsung menerjang dengan ba-

batan pedangnya yang menyambar cepat... 

"Bwwwes!" Bagai mengerti ilmu silat, mayat hi-

dup itu dapat mengelakkan babatan pedang. Malah 

sempat membalas serangan itu dengan sambaran ca-

kar yang berkuku sangat runcing.

Kalau saja Mogeni Kalpa tidak cepat menarik


mundur tubuhnya, sudah pasti perutnya robek. Ia ti-

dak menyangka sama sekali kalau mayat hidup yang ia

hadapi demikian tangkasnya. Sukar sekali Mogeni Kal-

pa melancarkan serangannya. Sekalipun babatan-

babatan pedangnya terus berkelebat menyambar ke 

sana ke mari.

Begitu juga dengan kedua orang temannya. Se-

kalipun mereka berdua mengeroyok salah satu mayat 

hidup itu dengan menggunakan senjata. Seleret sinar 

berkelebat menyambar perut mayat hidup itu... 

"Breeeeet!" Mayat hidup yang berperawakan gemuk ini 

mundur beberapa langkah. Lambungnya robek mele-

bar. Tapi tidak ada setetes darah pun yang keluar. Ke-

cuali isi perut berupa sekumpulan belatung-belatung 

yang menjijikkan.

Bau busuk menyebar dari lambung yang robek. 

Mayat hidup itu tetap berdiri tegar dengan mata terbe-

lalak. Kedua bola matanya putih dengan kelopak mata 

yang cekung ke dalam. Serentetan giginya yang telah 

menghitam menyeringai... Lalu dengan sekali gerakan, 

tubuh busuk itu melesat ke atas. Dua orang yang ber-

senjatakan pedang menyambutnya dengan babatan-

babatan pedang... 

"Weeees...! Weeees!" Bagaikan kilatan seleret si-

nar dari babatan pedang mencerca tubuh busuk. Na-

mun tubuh gemuk pucat membiru itu tetap berputar 

menghindari dengan mudah babatan pedang dari la-

wannya yang berjumlah dua orang.

Salah seorang dari mereka berhasil menikam 

pedangnya ke dada tubuh berbau busuk. Pedang itu 

menembus sampai ke pangkalnya. Seperti tidak mera-

sakan sakit, mayat hidup itu menyeringai menyeram-

kan. Kedua lengannya terjulur ke depan mencengke-

ram leher orang yang menikamnya.


Salah seorang lagi berusaha mencegahnya. Ba-

batan-babatan pedangnya melanda di punggung mayat 

hidup itu. Sekalipun punggungnya hampir hancur ter-

koyak, tubuh gemuk tak bernyawa itu makin kencang 

mencengkeram leher seorang lawannya. Orang itu pun 

meronta-ronta.

Kuku-kuku jari yang runcing bagai mata jarum 

merejam batang leher. Salah seorang temannya ber-

maksud membabatkan pedangnya ke arah lengan yang 

mencengkeram kuat, namun belum sempat niatnya 

terlaksana... "Bug!" Sebelah kaki tubuh gemuk yang 

tak bernyawa itu menyambar ke samping. Orang itu 

pun terlempar jauh. Begitu juga dengan pedangnya.

Darah mulai mengalir dari batang leher yang 

terkoyak. Orang itu masih meronta-ronta. Setelah len-

gan mayat hidup melepas kan cengkeramannya. Tapi 

tak lama kemudian lengan itu menghantam lagi sam-

pai kepala itu terputus menggelinding ke tanah. Tubuh 

tanpa kepala itu kelojotan dalam cengkeraman mayat 

hidup. Darah menyembur bagai air mancur yang ke-

luar dari batang leher yang buntung.

Mogeni Kalpa terbelalak melihat seorang saha-

batnya tewas secara mengerikan. Babatan pedangnya 

dipercepat sehingga membentuk seperti kitiran angin. 

Mayat hidup yang dihadapinya pun tidak kalah gesit, 

hanya dengan tendangan memutar pedang yang berge-

rak cepat itu terlepas dari genggaman Mogeni Kalpa. 

Bersamaan dengan itu sosok tubuh yang tak bernyawa 

itu melesat menerjang. Terjangan itu tak bisa di hinda-

ri lagi. Mogeni Kalpa berontak menghindari namun ter-

lambat, sederetan gigi yang menghitam menggigit pu-

tus tenggorokan Mogeni Kalpa.

Mayat hidup itu belum juga melepaskan rang-

kulannya yang membawa maut. Keduanya nampak

bergelindingan di tanah. Mogeni Kalpa menjerit-jerit. 

Seorang temannya yang tadi terlempar datang mem-

bantu. Dengan cepat ia menyambar pedang yang terge-

letak di tanah ia menerjang. Babatan pedangnya siap 

di arahkan pada batok kepala mayat hidup yang 

menggigit tenggorokan Mogeni Kalpa.... 

"Craaak!" Sekali babat, batok kepala itu hampir 

terkelupas. Ketika ia mengangkat pedangnya lagi, 

mendadak tubuhnya terlempar. Sosok tubuh gemuk 

tak bernyawa datang melancarkan serangannya. Den-

gan menyeringai mayat busuk itu maju menerjang 

orang yang sudah terlempar. Orang itu cepat bangkit, 

pedangnya siap menyambut terjangan mayat hidup.

Begitu mayat hidup mendekat, pedang berkele-

bat menyambar. Sebelum mata pedang itu menggores, 

mayat hidup itu telah melesat ke atas lebih dahulu... 

Tahu-tahu saja kelima kuku yang runcing bagai mata 

jarum menembus tepat di atas kepala orang itu. Dan 

seketika telapak tangan itu menarik ke atas. Isi kepala 

ikut ke luar dari rongga otak dengan tubuh yang kelo-

jotan.

Bersamaan dengan itu pula tubuh Mogeni Kal-

pa telah terkapar kaku tak bernyawa. Tubuhnya nam-

pak koyak bekas cakaran-cakaran, tenggorokannya 

hampir putus. Kedua mayat hidup itu menyeringai 

mengeluarkan suara yang amat mengerikan. Lengan-

lengan mereka terjulur ke atas menunjukkan kuku-

kukunya yang runcing, tiba-tiba saja... 

"Suiiiiiiiit!" terdengar siulan panjang mengu-

mandang di udara. Maka dengan serempak kedua 

mayat hidup melompat-lompat meninggalkan tempat 

itu. Sedangkan di depannya nampak sesosok bayangan 

berlari kencang membawa sesuatu. Kedua tubuh yang 

menyebarkan bau busuk itu menuju ke sana. Ke mana

sosok itu pergi, ke sanalah tujuan mereka.

*

**

EMPAT



Dari kejauhan Wintara sudah dapat melihat ti-

ga ekor kuda berdiri menghalangi jalan. Ia sendiri ber-

jalan menyusuri jalan itu. Tidak ada kesan apa-apa se-

telah melihat ketiga ekor kuda.... Pandangannya malah 

menatap jauh mengarah pada perbukitan tandus ber-

warna keemasan tertimpa sinar matahari. Di atasnya 

membentang cakrawala nan biru dengan awan keputi-

han bergumpal bergeser tertiup angin.

Kuda-kuda itu meringkik kencang ketika lang-

kah-langkah Wintara makin dekat. Pandangan Wintara 

teralih ke situ. Pada jarak yang sangat jauh ia dapat 

melihat tiga sosok tubuh bergelimpangan di sekitar 

kaki-kaki kuda. Jelas ketiga orang itu adalah orang-

orang yang mereka temui tadi. Langkahnya dipercepat, 

ia telah menduga bahwa telah terjadi sesuatu pada 

mereka.

Wintara betul-betul tersentak ketika sampai di 

tempat itu. Ia melihat tiga sosok si penunggang kuda 

bergelimpangan tan nyawa. Keadaan mereka sangat 

mengerikan. Salah satu di antaranya tewas dengan ke-

pala terpisah. Ada juga yang batok kepalanya pecah 

dengan isi kepala yang berhamburan ke luar. Satu 

orang lagi yang pernah berbicara dengan Wintara te-

was dengan tenggorokan yang hampir putus, tubuhnya 

pun habis terkoyak oleh sesuatu yang sangat tajam... 

Seperti cakaran, itu pendapat Wintara setelah memeriksa ketiga sosok berlumuran darah.

"Sadis! Perbuatan siapa ini...? Masih ada juga 

manusia yang berdarah dingin di muka bumi ini! Meli-

hat dari luka-luka mereka, tentulah bukan dikarena-

kan dengan senjata! Tapi..." Wintara tidak habis pikir. 

Ia sendiri tidak tahu mesti berbuat apa terhadap ketiga 

mayat itu.

"Tadi mereka mengatakan, bahwa mereka akan 

mengejar seorang buronan! Apakah mereka telah me-

nemukan buronan itu sehingga terjadi pertarungan 

yang begini seru? Kalau demikian, sungguh hebat bu-

ronan itu!" gumam Wintara. Mata Wintara tertuju pada 

sebuah lencana yang melingkar di setiap lengan kiri 

mereka. Semua lencana itu sama. Tanda orang-orang 

kepercayaan kerajaan.

Ada pemikiran Wintara untuk mengantarkan 

mereka pada pesanggrahan Raden Mas Kinanjar Swan-

taka. Tapi cepat ia membatalkan niatnya. Ia tidak ingin 

terlibat urusan ini. Toh ketiga orang ini sama sekali ti-

dak dikenalnya. Apalagi dengan Raden Mas Kinanjar 

Swantaka... Macam apa dia orangnya, Wintara tidak 

tahu sama sekali. Berniat mengantarkan mayat-mayat 

ini sama saja mencari penyakit! Sudah tentu dirinya 

akan dilimpahkan beribu-ribu pertanyaan yang memu-

singkan.

Sekarang Wintara hanya menaikkan tiap-tiap 

mayat ke atas kuda. Ia merasa ada kesulitan ketika 

menaikkan tubuh tanpa kepala. Tidak mungkin ia 

membiarkan kepala itu tetap tertinggal di situ. Seben-

tar kemudian Wintara menggaruk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Setelah rambut gondrongnya menjadi 

kusut, ia mendapatkan satu cara.

Tanpa merasa jijik, Wintara meraih kepala yang 

buntung itu dari tanah. Tentu saja ia hanya memegang


rambutnya. Lalu ia menyelipkan ke dalam balik baju 

tubuh tanpa kepala itu. Ketiga tubuh tanpa nyawa te-

lah terikat di atas pelana kuda-kuda mereka. Wintara 

tersenyum ia merasa puas akan tindakannya itu.

"Aku yakin, kuda-kuda ini sangat patuh... Me-

reka akan sampai ke tempat tinggal tuannya..." kata 

Wintara dalam hati setelah itu ia menepuk salah satu 

kuda yang berdiri paling depan. Kuda itu pun berlari. 

Dua kuda lainnya mengikuti. Meskipun lari kuda-kuda 

itu tidak kencang, tidak jadi masalah. Lambat laun 

mereka akan sampai ke tempat tujuan.

Wintara belum beranjak dari situ, ia masih me-

natap kepergian ketiga kuda yang kian menjauh. Pan-

dangannya menggambarkan rasa iba. Ketiga wajah 

orang itu belum lepas dari ingatannya. Begitu cepatnya 

hidup ini. Sepertinya Tuhan telah mengutuk!

*

**

Nafas Wadak Keling terengah-engah ketika tiba 

di depan bangunan yang hampir roboh. Sosok tubuh 

yang dibawanya, diletakkan begitu saja di depan pintu. 

Punggungnya terasa sekali berdenyut. Sebentar kemu-

dian ia menoleh ke belakang. Ia melihat dua sosok me-

lompat-lompat menyusul ke tempat itu.

"Dasar mayat! Gerakannya lambat kayak 

keong!" gerutunya. Kembali ia mengangkat sosok tu-

buh yang berlumuran darah, sosok itu mengerang-

ngerang menahan sakit. Luka-lukanya sudah tidak ka-

ruan parahnya. Tapi ia masih bertahan hidup. Sung-

guh luar biasa!

Wadak Keling tidak perduli kedua sosok mayat 

melompat-lompat ikut memasuki ruangan bangunan.

Setelah ia menembus ruangan yang agak gelap, ia 

memasuki ruangan lain yang cukup terang disinari 

lampu obor. Di situ telah menunggu sosok berambut 

putih kusut duduk menghadapi sebuah pendupaan 

yang mengepulkan asap kental menyebarkan bau ke-

menyan.

Kedua mayat hidup itu melompat-lompat me-

masuki ruangan itu. Seperti telah terkendali mereka 

memasuki peti-peti yang bersandar pada dinding batu. 

Sesaat kemudian dua sosok dalam peti itu diam sea-

kan tertidur pulas. Kedua mata mereka yang tadi sela-

lu membelalak menyeramkan, kini terpejam rapat. So-

sok berambut putih kusut itu meniup asap pendupaan 

dalam-dalam. Bara api dalam pendupaan itu mati den-

gan seketika.

"Ki Rondo Mayit, sebaiknya cepat kau tolong 

putra mu ini... Luka-lukanya sangat parah..." kata 

Wadak Keling ketika melihat sosok berambut putih ku-

sut itu berdiri.

"Jangan khawatir, Wadak Keling... Bala Tlenges 

akan segera pulih dari luka-lukanya. Baringkan saja di 

atas balai. Buka pakaiannya dan jangan sekali-kali 

kau membuka ikat pinggangnya... Ingat itu!"

"Aku mengerti, Ki Rondo Mayit!" Wadak Keling 

membawa tubuh Bala Tlenges ke arah balai. Di situ te-

lah duduk seseorang bertubuh kekar. Sedari tadi ia 

memperhatikan mereka sambil tersenyum cengenge-

san. Ketika Wadak Keling mendekati balai, sosok tu-

buh kekar itu langsung beringsut menyingkir. Orang 

itu kembali duduk di atas lantai.

"Begitulah, Umbara Komang! Meskipun kau te-

lah gila harus punya rasa tahu diri!" Wadak Keling 

membentak. Ia membaringkan tubuh Bala Tlenges di 

atas balai. Ki Rondo Mayit mendekati.


"Bawa ke luar, Umbara Komang! Aku khawatir 

ia akan mengganggu pekerjaanku! Selama aku tidak 

memanggil jangan masuki ke mari." kata Ki Rondo 

Mayit. Wadak Keling menurut, ia melangkah mendeka-

ti Umbara Komang yang duduk di lantai. Lalu menye-

retnya ke luar dengan kasar. Umbara Komang malah 

tertawa.

"Manusia gila! Ayo kita main di luar! Ada kau di 

sini malah merepotkan aku!" Lengan Wadak Keling 

menarik makin keras. Sebentar saja mereka sudah be-

rada di luar. Umbara Komang berjingkrak-jingkrak ke-

girangan.

Ada sesuatu yang tidak beres dalam otak Um-

bara Komang. Kesadarannya telah berputar seratus 

delapan puluh derajat. Tidak di sangkal lagi semua ke-

tidakberesan yang ada pada diri Umbara Komang aki-

bat ulah Ki Rondo Mayit. Ki Rondo Mayit sengaja me-

lakukannya. Sewaktu ia merapalkan ajian membang-

kitkan mayat yang telah hampir membusuk. Tubuh 

Umbara Komang yang hanya pingsan diikutsertakan. 

Mayat-mayat itu dapat hidup meskipun tidak sempur-

na. Tapi mayat-mayat itu dapat diperintah sebagaima-

na Ki Rondo Mayit suka. Umbara Komang lain! Ajian Ki 

Rondo Mayit memang mengena, tapi Umbara Komang 

bukan mayat! Ia manusia yang masih hidup... Ketika 

Umbara Komang siuman ia telah kehilangan kesada-

rannya. Sampai sekarang... Ia telah gila!

"Langit akan runtuh...! Bumi akan belah...! He-

he-he-he... jangan takut... jangan takut...! Ki Rondo 

Mayit akan merobah segalanya...! Wuaaaaaa! Jangan! 

Jangan...! Roh jahat pergi...!" Umbara Komang berte-

riak-teriak. Wadak Keling yang menjaganya jadi kesal. 

Dengan telengas ia menendang tubuh Umbara Ko-

mang. Tubuhnya menggelinding.


"Kau siluman hitam yang jahat...! Hiiii... Nanti 

juga aku jadi siluman! Aku tidak takut! Hua-ha-ha...!"

"Nanti kau jadi siluman gila!" jawab Wadak Kel-

ing setengah membentak. Ia membiarkan Umbara Ko-

mang berjungkir balik di halaman gedung. Kelakuan-

nya memang selalu begitu. Wadak Keling sudah tidak 

heran lagi. Melihat tingkah Umbara Komang yang san-

gat menggelikan itu, Wadak Keling merasa terhibur. Ia 

membiarkan Umbara Komang bertingkah apa saja. Ia 

sengaja hanya duduk pada undakan batu di bagian te-

ras bangunan. Tubuh hitamnya berkilat tertimpah ca-

haya matahari. Rambutnya yang kusut kaku tidak 

bergerak walau dihembus angin. Kedua matanya terus 

mengawasi Umbara Komang.

"Aku mau pergi...! Di sini tidak enak rasanya 

panas seperti di neraka! Selamat tinggal siluman hitam 

yang jahat...." Umbara Komang mengoceh sambil ke-

dua kakinya berlari menjauh.

Langkah-langkahnya yang tidak karuan mem-

buat larinya tak tentu arah.

*

**

ENAM



Sudah tentu Wadak Keling tidak akan mem-

biarkan Umbara Komang meninggalkan tempat itu. 

Dengan cepat tubuhnya melesat dan berputar di atas 

kepala Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah ber-

diri di hadapan Umbara Komang sambil menjambak

rambutnya.

"Kau mau menyusahkan aku... Ayo kembali...!" 

Wadak Keling membentak. Ia mendorong kuat-kuat 

tubuh Umbara Komang kembali ke arah bangunan.

"Aku tidak mau main dengan siluman hitam 

yang jahat macam kau! Aku mau main sendiri...!" Um-

bara Komang berteriak-teriak. Tubuhnya meronta-

ronta. Wadak Keling melancarkan hantaman ke pung-

gung agar Umbara Komang tenang, tapi sebelum pu-

kulan itu mengenai punggungnya, Plaaak!" Umbara 

Komang menangkis dengan lengan kirinya. Hantaman 

itu beradu. Wadak Keling merasakan lengannya berde-

nyut.

"Ha-ha-ha-ha... Siluman jahat kesakitan! Ra-

sain...! Ha-ha-ha-ha....! Umbara Komang tertawa ter-

bahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak di teras ge-

dung. Wadak Keling jadi geram. Sekali lagi ia melan-

carkan pukulan....

"Des!" Umbara Komang terbanting. Tapi ia ma-

lah tertawa mengejek.

"Kalau mau memijit bukan begitu caranya... 

Mari aku ajarkan...!"

Tiba-tiba saja tubuh Umbara Komang melesat 

ke arah Wadak Keling. Tahu-tahu... Plaaaakkkkk! tela-

pak tangan Umbara Komang menghantam keras kepa-

la Wadak Keling. Terasa sekali hantaman itu. 

Tentu saja Wadak Keling jadi kalap. Segera ia 

maju menerjang....

"Hreeeaaaaahhh!" Kedua lengannya siap meng-

hantam, tapi....

"Wadak Keling! Apa-apaan kau!?" Ki Rondo 

Mayit sudah berada di situ. 

Wadak Keling membatalkan serangannya. Mu-

kanya memerah menatap Umbara Komang yang tetap


cengengesan.

"Bantu aku sebentar! Biarkan saja ia bermain 

sesukanya di sini!..! Ayo!" Ki Rondo Mayit masuk lagi. 

Wadak Keling tidak segera ikut masuk. Pandangannya 

masih menatap tajam pada Umbara Komang.

"Ingat Umbara Komang.... Jangan coba-coba 

melarikan diri dari sini! Aku tidak segan-segan mem-

bunuhmu...!" ancam Wadak Keling sambil melangkah 

masuk.

"Whueeeeeeee!" Umbara Komang menjulurkan 

lidahnya.

Ketika Wadak Keling memasuki ruangan ten-

gah, Ki Rondo Mayit menyerahkan sebuah pundi yang 

mengepulkan asap putih. Wadak Keling langsung me-

nerimanya.

"Borehkan semua ramuan ini di tubuh Bala 

Tlenges! Sementara itu aku membuat ramuan lain agar 

ia kuat kembali."

Wadak Keling mengangguk. Ia pun melangkah 

ke arah tubuh Bala Tlenges yang masih terbaring. Bala 

Tlenges sudah tidak mengerang lagi. Matanya terpe-

jam, namun nafasnya kian memburu. Wadak Keling 

menuangkan ramuan obat ke telapak tangannya, lalu 

ia memborehkan ke seluruh tubuh yang dipenuhi den-

gan luka-luka yang cukup parah.

Cairan berwarna kehijauan melapisi kulit Bala 

Tlenges yang diam terlentang. Dadanya naik turun 

mengeluarkan nafas yang demikian berat. Dua kelopak 

matanya berkedutan ketika cairan berwarna kehijauan 

membasahi di luka-lukanya.

"Kenapa Bala Tlenges sampai terluka be-gini, 

Wadak Keling...? Setahuku, Bala Tlengas tidak mung-

kin bakal dikalahkan orang. Aku telah menempa di-

rinya sekuat batu ka-rang dan seteguh gunung... Apa


lagi ia menguasai ilmu membaca pikiran orang!" kata 

Ki Rondo Mayit sambil menumbuk dedaunan di atas 

meja.

"Semuanya di luar dugaan, Ki... Sewaktu aku 

membawa kedua mayat hidup itu ke desa terpencil, ti-

ba-tiba saja Bala Tlenges datang di saat kedua mayat-

mayat itu mengamuk!" kata Wadak Keling menunjuk 

ke arah kedua mayat yang berdiri kaku dalam dua 

buah peti.

"Lantas?" tanya Ki Rondo Mayit. Lengannya si-

buk menumbuk ramuan daun.

"Kedua mayat hidup itu mengira Bala Tlenges

adalah orang kampung itu juga, maka ia pun tidak lu-

put dari amukan mayat hidup! Bala Tlenges mengada-

kan perlawanan. Tapi sia-sia menghadapi mereka. 

Mayat hidup bergerak tanpa berpikir. Tapi setiap gera-

kannya membawa maut." Wadak Keling menjelaskan. 

Ki Rondo Mayit tersenyum.

"Aku khawatir luka di tenggorokannya tak akan 

sembuh. Sekalipun sembuh mungkin ia tidak dapat 

mengeluarkan suaranya..." kata Wadak Keling setelah 

memeriksa luka robek di tenggorokan Bala Tlenges. 

"Mau dikata apa! Semua sudah terlanjur. Lagi pula, ti-

dak perlu disesalkan. Sesuatu yang akan berhasil sela-

lu memerlukan pengorbanan." Ki Rondo Mayit selesai 

menumbuk dedaunan. Lalu ia mengairi tumbukan 

daun itu dengan cairan berwarna hitam.

"Beri dia minuman ini... Kalau tidak habis, si-

sakan buat nanti sore!" kata Ki Rondo Mayit. Ia me-

nuang ramuan obat yang telah di beri cairan hitam ke 

dalam gelas bambu. Wadak Keling menerima gelas 

bambu itu. Kemudian ia melangkah lagi ke arah tubuh 

Bala Tlenges.

Sebelah lengan Wadak Keling mengangkat tu


buh Bala Tlenges bangun. Sebelah lengannya lagi 

mencekoki ramuan obat ke mulutnya. Tapi cairan ken-

tal hitam itu keluar lagi melalui tenggorokannya yang 

robek. Cepat Wadak Keling menutup tenggorokannya 

yang robek itu dengan telapak tangannya. Dengan be-

gitu barulah cairan kental berwarna hitam kental ma-

suk semua ke perut Bala Tlenges.

"Kalau sudah, kau boleh keluar Wadak Keling... 

Aku sudah tidak membutuhkan mu lagi."

Wadak keling bangkit dari bale-bale, ia tidak 

menyerahkan gelas bambu pada Ki Rondo Mayit. Sen-

gaja ia menaruh sendiri gelas bambu itu di atas meja 

yang banyak berserakan alat-alat keperluan Ki Rondo 

Mayit. Setelah itu ia keluar tanpa bicara apa-apa. 

Sepeninggal Wadak Keling, Ki Rondo Mayit 

mendekati tubuh putranya yang terbaring di atas balai. 

Tubuhnya telah penuh dengan cairan berwarna hijau. 

Ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Len-

gannya meraba ikat pinggang Bala Tlenges yang me-

lingkar kendor di pinggang. Lalu ia mengikat kencang 

kembali ikat pinggang itu.

"Ki Rondo Mayit... Ki Rondo Mayit...!" Tiba-tiba 

saja Wadak Keling kembali masuk ke dalam ruangan 

itu sambil berteriak-teriak. 

"Ada apa!" Ki Rondo Mayit membalikkan tubuh. 

"Umbara Komang sudah tidak ada di luar.... Ia 

kabur!" jawab Wadak Keling tergagap.

"Budak tolol! Cari sampai dapat...!" bentak Ki 

Rondo Mayit.

Wadak Keling segera berlari ke luar. langkah-

nya berdetak-detak menginjak

lantai. Pandangannya memutar sesampainya 

luar bangunan. Ia betul-betul mengawasi tiap-tiap pe-

losok. Jauh di sana di antara rerimbunan pepohonan,


sosok tubuh berjingkrak-jingkrak kian lama kian men-

jauh. Itulah sosok Umbara Komang. Wadak Keling me-

rasa lega. Ia pun segera mengejar.

"Umbara Komang...! Kembali...!" Wadak Keling 

berteriak-teriak. Larinya makin cepat.

Umbara Komang yang mendengar suara itu 

makin cepat pula melarikan diri. Sebentar-sebentar ia 

menoleh ke belakang sambil berjingkrak-jingkrak. Se-

telah itu ia berlari lagi. Wadak Keling memacu larinya 

lebih cepat, terkadang pula ia melompat.

Umbara Komang memang berada jauh di de-

pannya. Namun Wadak Keling tidak putus asa menge-

jarnya. Dalam hatinya ia mendongkol. Mengapa Ki 

Rondo Mayit tidak menjadikannya mayat hidup saja 

sekalian. Daripada ia gila seperti ini, akhirnya mem-

buat repot! Untung saja ia gila. Coba kalau ia sadar 

seperti dulu. Sudah pasti akan lebih merepotkan lagi. 

Karena Umbara Komang bukanlah orang yang mudah 

diremehkan. Paling tidak ia memiliki kepandaian yang 

tidak rendah. Lihat saja sekarang. Meski pun ia gila 

kecepatan larinya sangat luar 

biasa. Setengah mati Wadak Keling mengejar.

"Sampai di mana pun kau akan kudapat, ma-

nusia gila...!" teriak Wadak Keling emosi.

"Siluman hitam mana becus lari... Hua-ha-ha-

ha-ha...!" jawab Umbara Komang. Suaranya yang keras 

hanyut terbawa angin. Mendengar ucapan yang demi-

kian Wadak Keling amat gusar. Maka ia mengerahkan 

seluruh tenaganya. Dan kecepatan larinya cepat bagai 

angin. Sosok tubuhnya berkelebat bagai bayangan hi-

tam.

Yang Umbara Komang tahu hanyalah siluman 

hitam mengejar. Ia semakin ketakutan saat sosok hi-

tam itu mulai mendekat. Langkah-langkah Umbara


Komang yang tidak karuan memperlambat kecepatan 

larinya. Bahkan ia sempat terjerembab ke dalam se-

mak yang rimbun. Begitu panik ia berusaha mele-

paskan dirinya dari libatan-libatan akar-akar pohon 

yang merambat.

Dari kejauhan Wadak Keling dapat melihat 

Umbara Komang jatuh ke dalam semak. Teriakannya 

pun terdengar. Begitu juga dengan gemerisiknya daun-

daun yang nampak bergerak-gerak.

"Wuaaaaaaa...! Ular...! Tolong ular-ular ini me-

libat ku... toloooong!" Umbara Komang menjerit-jerit. 

Wadak Keling sudah berdiri di situ dengan pandangan 

sadis. Ia menatap garang ke arah Umbara Komang 

yang repot menyingkirkan akar-akar pohon merambat 

yang telah kering. Makin banyak bergerak, akar-akar 

pohon itu makin kusut membelit. 

*

**

ENAM



Sekali tendang tubuh Umbara Komang mence-

lat berikut akar-akar pohon yang putus berantakan. 

Wadak Keling melompat lagi ke arah Umbara Komang. 

Kepalannya siap mengarah ke bagian muka. Umbara 

Komang kalap, ia mendorong kuat-kuat tubuh Wadak 

Keling... 

"Brweeeek!" Wadak Keling terpelanting. Ia tidak 

menyangka kalau dorongan itu begitu deras.

"Siluman jahat! Nanti kalau aku telah menjadi 

siluman boleh kita main-main...!" kata Umbara Komang sambil kacak pinggang. Hidungnya kembang 

kempis.

Diam-diam Wadak Keling bangkit berdiri, den-

gan gerakan yang sangat cepat ia menerjang. Umbara 

Komang hanya diam menghadapi sergapan itu. Maka 

keduanya bergulingan. Umbara Komang malah tertawa 

terkekeh-kekeh. Sebuah tamparan mendarat di pi-

pinya... Umbara Komang meringis. Sosok hitam den-

gan rambut kusut menjambak rambutnya, lalu... 

"Deeees!" Sebuah hantaman mendarat di dada. Tubuh 

Umbara Komang mental menggelinding. Dan tepat 

berhenti di bawah kaki seseorang yang berdiri di situ. 

Dengan tubuh yang terlentang, Umbara Komang me-

natap wajah orang itu. Seorang anak muda yang men-

genakan pakaian bulu binatang, Wintara!

Wintara membantu Umbara Komang bangkit 

berdiri. Kedua matanya tertuju pada seorang yang 

berkulit hitam dengan rambut yang kusut tak terurus. 

Alisnya mengernyit.

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha... Untung ada dewa peno-

long! Ayo siluman jahat tangkap aku kalau berani... 

Ha-ha-ha-ha-ha...!" Umbara Komang tertawa di samp-

ing Wintara. Wadak Keling menatap anak muda itu.

"Siluman jahat tidak mungkin berani terhadap 

dewa...! Kalau berani melawan bisa kuwalat!" celoteh 

Umbara Komang. Wintara sudah menyadari kalau 

orang yang berdiri di sampingnya adalah orang yang 

rada kurang beres otaknya. Namun begitu Wintara per-

lu melindunginya. Karena sejak tadi

Wintara sudah melihat penganiayaan Wadak 

Keling terhadap Umbara Komang. Sekarang ia melihat 

Wadak Keling berdiri angkuh.

"Anak muda jangan mencampuri urusan ku... 

Lebih baik menyingkirlah! Orang gila itu salah satu


anggota keluargaku, aku harap kau mau mengerti...!"

"Bohong! Dia bukan anggota keluarga! Dia si-

luman jahat yang mau membawa diriku ke neraka! 

Aku tidak mau...! Aku tidak mauuuu!"

"Umbara Komang! Ayo kembali!" bentak Wadak 

Keling. Lengannya siap menghantam. Sebelum hanta-

man itu mengena... "Plaak!" Wintara menepis dengan 

tangan kirinya. Wadak Keling melotot. Lengannya tadi 

memutar menyerang Wintara... "Weeees!" Wintara 

menggeser tubuhnya.

"Sudah kubilang kau tidak perlu ikut campur!" 

Wadak Keling melancarkan tendangan. Wintara me-

nyambut dengan kakinya pula. Tendangan mereka be-

radu. Wadak Keling menahan sakit.

"Kalau dia anggota keluargamu tidak mungkin 

kau menganiaya, sobat!" jawab Wintara mengangkat 

tangannya menangkis serangan Wadak Keling yang 

kian membabi buta. Kedua lengan hitam itu berkelebat 

menyilang mengarah ke bagian kepala. Hanya dengan 

memutar lengannya, Wintara dapat menggeser kedua 

lengan hitam itu sampai melesat ke samping.

Melihat itu Umbara Komang berjingkrak-

jingkrak kegirangan. Mimiknya bagaikan bayi. Apalagi 

saat Wintara berhasil menghantam perut Wadak Kel-

ing... "Bug!" Meskipun tidak keras tapi tubuh hitam itu 

mundur seloyongan. Umbara Komang ngakak tidak 

kepalang tanggung.

"Hua-ha-ha-ha-ha... Mana ada siluman jahat 

mengalahkan dewa...? Kau bakal mampus siluman ja-

hat! Kau akan tertimbun oleh langit dan awan! Ha-ha-

ha-ha..."

Wajah hitam Wadak Keling makin kelam diper-

lakukan begitu oleh Wintara. Maka sebelum ia melan-

carkan serangannya lagi, ia menghimpun tenaganya.


Dari mulutnya terdengar raungan yang sangat hebat. 

Wintara mundur selangkah. Umbara Komang nampak 

menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangan-

nya.

Sesaat kemudian Wadak Keling melompat sam-

bil lengannya menyambar. Wintara yang bermata jeli 

langsung menepis sambaran tangan itu, tapi ia tidak 

dapat mengelakkan serangan lengan lainnya... "Bug!" 

Menghantam telak di punggung. Wintara hampir ter-

sungkur. Hantaman itu sangat keras, punggungnya 

seperti berdenyut.

Wintara berusaha berdiri tegar sambil mengge-

rak-gerakkan punggungnya yang masih berdenyut. 

Matanya menatap mengawasi setiap gerakan Wadak 

Keling. Tubuh hitam itu maju lagi menyerang, sebelum 

ia melancarkan tendangannya, jotosannya bergerak 

maju... "Wes!" Wintara melesat ke atas berputar di 

udara dengan kaki ke atas. Sebelah lengannya me-

nangkis jotosan Wadak Keling. Namun tubuh hitam itu 

menyambut lagi dengan tendangannya yang berputar 

dua kali mengarah kepada Wintara yang masih bersal-

to di udara... 

"Bwet...! Bwet!" Dua tendangan yang berturut-

turut itu mengenai tempat yang kosong.

Dan ketika Wintara menginjakkan kakinya ke 

tanah, ia mendorong telapak tangannya kuat-kuat. 

Wadak Keling tidak sempat lagi menghindar... 

"Deeeees!" Tepat menghantam tenggorokannya. 

Sosok hitam itu pun memekik keras. Pernafasannya 

seperti putus. Sebentar kemudian ia menyeringai sa-

dis. Wintara yang berdiri di hadapannya cepat merun-

duk saat Wadak Keling menubruk dengan serentetan 

hantaman. Dalam keadaan seperti itu, sebelah kaki 

Wintara menyabet memutar bagian bawah...


"Plaaak!" Tak urung lagi tubuh hitam itu terpe-

lanting. Namun sebelum Wadak Keling terbanting ke 

tanah, ia sempat menghantam Wintara dengan kedua 

kakinya... "Bug...!Bug!" Wintara sendiri yang akhirnya 

terpelanting hebat. Wintara menyeka darah yang mulai 

mengalir dari lubang hidungnya. Ia baru menyadari 

lawan yang dihadapi ini tidak boleh dianggap remeh. 

Wadak Keling masih tetap berdiri. Sebelah kakinya 

nampak gemetar menahan sakit akibat sapuan kaki 

Wintara tadi. Ia bergeser ke kiri, kaki yang gemetar itu 

terasa seperti kaku. Wintara sudah menduga paling ti-

dak tulang keringnya patah. Meskipun begitu Wadak 

Keling masih bernafsu untuk melancarkan serangan 

berikutnya. Dengan tenang Wintara menyambut se-

rangan itu. Jotosannya tahu-tahu menghantam ulu 

hati. Wadak Keling ambruk celentang tanpa mengelua-

rkan suara. Wintara membiarkan tubuh hitam itu ter-

geletak. Ia sendiri beranjak mendekati Umbara Ko-

mang yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak 

tangannya.

Wintara merasa ingin tertawa melihat tingkah 

Umbara Komang yang sangat aneh itu. Sewaktu mere-

ka berhadapan, Umbara Komang cepat menyelinap ke 

balik pohon. Tapi sebentar-sebentar ia melongok meli-

hat Wintara yang masih berdiri di situ. Wintara terse-

nyum. Tanpa perduli ia melangkah meninggalkan Um-

bara Komang yang sembunyi di balik pohon.

Setelah Wintara berjalan agak jauh, barulah 

Umbara Komang berani keluar. Dengan perlahan ia 

melangkah ke arah tubuh hitam yang terlentang di ta-

nah. Dilihatnya sosok hitam itu masih bernafas, 

meskipun perlahan... Maka...

"Dewaaaaa...! Siluman jahat masih hidup... Aku 

takut! Dewaaaaa... Tungguuuu!" Umbara Komang berlari menyusul kepergian Wintara. Larinya yang begitu 

cepat hampir menabrak Wintara yang berjalan tenang. 

"Ada apa lagi...?" tanya Wintara. "Siluman itu masih 

hidup...! Siluman itu harus dilemparkan ke dalam api 

yang sangat panas... Jangan dibiarkan hidup di surga!"

"Kau ini bicara apa, sobat...? Aku memang ti-

dak membunuhnya, hanya membuat dia jera agar ti-

dak berbuat sewenang-wenang lagi terhadap kamu..." 

jawab Wintara sambil melangkah. Umbara Komang 

mengikuti.

"Kalau begitu langit bakal runtuh, bumi bakal 

goncang! Lihat saja nanti... Sayang aku bukan silu-

man...!" Kata Umbara Komang ngawur. Wintara hanya 

tersenyum. Mereka berjalan beriringan.

Mereka berdua makin jauh melangkah. Menuju 

ke perbukitan yang nampak subur. Arus kali terdengar 

menderu-deru menerjang bebatuan yang menonjol di 

permukaan air. Dari kejauhan nampak kali itu berliku-

liku menuju sebuah jeram.

"Dewa... coba dengar suara itu.. Itu tandanya 

langit akan runtuh dan bumi akal berguncang... Apa-

kah kau tidak takut?"

"Itu suara arus air yang deras! Kau pikir itu su-

ara apa!" jawab Wintara.

"Apakah kau pernah melihat air?" kata Wintara 

lagi. Umbara Komang menggeleng Lalu...

"Apakah air itu jenis siluman yang jahat?" 

tanya Umbara Komang seakan betul-betul tidak men-

gerti.. Parah! Parah sekali gilanya, pikir Wintara. Ter-

hadap air saja ia tidak mengenalnya. Semua yang dili-

hatnya dianggap siluman. Malang benar dia. Lelaki se-

tegar ini mesti kehilangan ingatan. Cacat sejak lahir-

kah? Atau...

Wintara sengaja mengajak Umbara Komang


menuju kali yang mengalirkan airnya dengan deras. Di 

situ ia akan memperkenalkan apa yang disebut air. 

Mungkin dengan cara itu ia bisa membedakan siluman 

dengan apa saja yang selama ini dianggap siluman. 

Seperti anak kecil, Umbara Komang mengikuti langkah 

Wintara. Makin lama makin terdengar jelas suara air 

menderu-deru. Wintara sengaja pula berjalan lebih du-

lu, sebab ia yakin laki-laki berpenyakit saraf ini pasti 

mengikuti. Dugaan Wintara tidak meleset. Mendadak 

Wintara berlari... Umbara Komang dengan spontan 

ikut berlari mengejarnya.

*

**

TUJIH



Sampai di tepi kali, Wintara melompat ke atas 

batu yang cukup besar di tengah permukaan air yang 

mengalir deras. Batu-batu di situ banyak sekali meng-

hampar Umbara Komang berdiri menatap Wintara. Ia 

gemetar mendengar suara arus air.

"Tunggu saja di situ, aku akan mencari sesuatu 

yang bisa untuk dijadikan pengisi perut..." seru Winta-

ra. Umbara Komang tetap diam, lalu ia duduk bersila 

di pinggiran kali.

"Tentunya kau pun lapar, bukan?" kata Winta-

ra lagi. Kedua matanya tertuju ke bawah. Menatap riak 

air yang begitu bening. Kemudian ia turun ke dalam

air. Kali itu tidak dalam dan juga tidak berlumpur. Di 

dasarnya banyak berserakan batu-batu kerikil.

Kedalaman kali itu hanya sebatas pinggang. 

Umbara Komang termangu menatapnya, sebenarnya ia

ingin sekali ikut menyeburkan diri ke kali itu. Tapi ia 

takut sekali dengan suara air yang menderu bagaikan 

guntur di siang bolong.

Wintara menarik nafas. Kedua lengannya te-

rangkat ke atas saat ia melihat beberapa ekor ikan 

berseliweran di sekitar kakinya. Lalu dengan cepat se-

kali kedua tangan itu masuk ke dalam air... Permu-

kaan air menciprat ke atas membasahi muka Wintara 

saat kedua lengannya masuk menangkap ikan-ikan 

itu. Umbara Komang berseri ketika Wintara mengang-

kat kedua lengannya berhasil menangkap dua ekor 

ikan sekaligus.

"Hari ini kita makan besar, sobat! Nah, tangkap 

ini... Ikan-ikan di sini masih banyak." ujar Wintara 

sambil melemparkan ikan-ikan itu ke pinggiran kali. 

Umbara Komang langsung bangkit memunguti ikan-

ikan yang menggelepar-gelepar di tanah berbatu. Bu-

kan main senangnya Umbara Komang menangkapi 

ikan-ikan itu.

"Ha-ha-ha-ha...!" Wintara tertawa melihat keto-

lolan Umbara Komang. Dari tadi ia belum juga dapat 

menangkap ikan-ikan itu. Wintara membiarkannya, 

kembali ia mengawasi sekitar kakinya. Ikan-ikan di si-

tu memang banyak, dan juga cukup besar-besar. Dan 

di saat Wintara berhasil menangkap ikan lagi, ia men-

dengar sesuatu... "Byuuuur!" Cepat Wintara menoleh. 

Ternyata Umbara Komang terjun masuk ke kali. Kedua 

lengannya menyusup ke dalam air. Seluruh pakaian-

nya telah basah kuyup.

"Siluman-siluman kecil itu melarikan diri... Itu 

dia! Ha-ha-ha... Jangan harap kau bisa lolos dariku..." 

teriak Umbara ketika melihat dua ekor ikan berenang 

cepat di air. Air yang menggenang sebatas pinggang ti-

dak diperdulikan. Langkah-langkahnya yang cepat di


bantu arus air mengejar ke mana ikan-ikan itu bere-

nang.

Wintara menggelengkan kepala, ia melempar-

kan dua ekor ikan lagi ke tepi kali. Kembali pandan-

gannya mengarah ke bawah mengawasi sekitar ka-

kinya. Kedua kakinya menahan kuat arus air yang 

makin lama makin kencang mendorong tubuhnya. Se-

saat kemudian ia tersentak kaget. Ada sesuatu yang ia 

lupakan. Pandangannya menoleh cepat ke arah Umba-

ra Komang. Astaga! Ia memekik. Dilihatnya Umbara 

Komang sudah berada jauh darinya. Meskipun air 

hanya menelan sebatas pinggang, namun arusnya 

yang demikian kencang mampu membawa tubuh Um-

bara Komang yang masih bersorak-sorak kegirangan. 

Ia tidak tahu sama sekali bahaya yang ada di depan.

Kurang lebih lima tombak lagi sebuah jeram 

menganga siap menelan tubuh Umbara Komang. Um-

bara Komang sendiri tidak menyadari kalau tubuhnya 

sudah terbawa jauh oleh arus air. Wintara jadi kalap. 

Ia melesat cepat dan melompat berkali-kali untuk 

mencapai Umbara Komang. Ia melompati tiap-tiap ba-

tu yang ada di permukaan air. Untuk menyelamatkan 

Umbara Komang sudah tidak mungkin lagi. Wintara 

benar-benar putus asa. Apalagi ketika dilihatnya tu-

buh Umbara Komang berdiri tepat di tepi jeram yang 

menerjunkan airnya ke dasar yang sangat tinggi.

"Sobat gila...!" Wintara memekik saat Umbara 

Komang ikut jatuh ke dasar jurang bersama air yang 

membawanya. Harapannya telah putus. Ia sudah 

membayangkan sesuatu yang bakal terjadi terhadap 

sahabatnya. Dan sudah membayangkan pula batu-

batu cadas yang siap menyambutnya di dasar jurang 

sana. Wintara terdiam kaku. Tubuhnya tidak bergem-

ing melawan arus. Manakala suara air yang jatuh ke


dasar jeram terdengar bergemuruh menakutkan. 

"Maaf, sobat... Aku tidak dapat menyelamatkan mu! A-

aku sendiri tidak berani membayangkan apa yang ter-

jadi atas dirimu di sana...! Semoga saja kau dapat te... 

Hah?! ucapan Wintara terputus. Kedua matanya terbe-

lalak seakan tidak percaya dengan penglihatannya 

sendiri. Sosok tubuh Umbara Komang melesat ke atas 

dari dasar jeram tanpa luka sedikit pun. Tubuh itu te-

rus melesat ke atas. Lalu ia hinggap tepat di bibir je-

ram yang masih menerjunkan airnya dengan deras.

Umbara Komang berlari melawan arus meski-

pun air menelannya sebatas pinggang. Arus air tidak 

berpengaruh sama sekali, gerak larinya nampak seper-

ti biasa. Kedua lengannya mengacung-ngacung ke 

atas. Dua telapak tangannya menggenggam dua ekor 

ikan.

"Sudah kubilang, Dewa! Siluman-siluman kecil 

ini pasti kudapat kembali! Lihat ini!" Umbara Komang 

menunjukkan dua ekor dalam genggamannya kepada 

Wintara yang masih terlolong menatap kedatangan la-

ki-laki itu.

"Kau tidak apa-apa, sobat?" tanya Wintara pe-

nasaran. Ikan-ikan dalam genggamannya terlepas. 

Membiarkan ikan-ikan itu bebas berenang.

"Siluman air ternyata tidak sejahat siluman hi-

tam! Cakar-cakarannya yang lembut melempar diriku 

ke atas kembali..." kata Umbara Komang sambil mem-

peragakan dengan tangannya. Wintara tidak percaya 

dengan apa yang dibicarakan Umbara Komang. Men-

gapa tiba-tiba saja tubuhnya dapat melesat ke atas, ti-

dak tahukah kalau dirinya sudah merasa khawatir se-

tengah mati...? Mungkinkah ada orang yang kebetulan 

menyelamatkan di dasar jeram sana? Rasanya tidak 

mungkin! Wintara dapat melihat jelas saat Umbara


Komang hinggap di tepi jurang. Jelas itu perbuatannya 

sendiri. Siapa pun tidak ada yang menyelamatkan di 

bawah sana! Gerakannya tadi cukup membuktikan 

bahwa Umbara Komang memiliki ilmu peringan tubuh 

yang sangat sempurna. Hanya saja dia tidak menyada-

ri! Itu pendapat Wintara. Tanpa banyak bicara Wintara 

melesat ke tepi kali. Kedua kakinya hinggap di tanah 

berbatu tanpa mengeluarkan suara.

Wintara berharap Umbara Komang mengikuti 

gerakannya. Ia ingin melihat lagi kesempurnaan ilmu 

peringan tubuh yang di miliki Umbara Komang. Na-

mun Wintara sangat kecewa sekali, Umbara Komang 

hanya melemparkan ikan-ikannya kemudian ia me-

langkah perlahan ke pinggir dengan sangat hati-hati 

sekali. Susah payah ia mencapai pinggiran kali. Arus 

yang begitu kuat membuat gerakan Umbara Komang 

semakin lamban.

Kedua lengannya menjulur. Wintara memban-

tu menarik tubuh itu ke atas pinggiran kali. Ia tidak 

merasa kedinginan walaupun seluruh bajunya telah 

basah. Sekarang ia membantu Wintara mengumpulkan 

ikan-ikan yang menggelepar-gelepar di tanah. Sekali 

pun tidak pernah berhasil. Wintara cukup senang 

akan sifat kegotong royongannya.

Wintara sempat melirik ke arah Umbara Ko-

mang yang susah payah menangkap ikan-ikannya. 

Wintara pun pura-pura merasa kesulitan di hadapan 

Umbara Komang. Dengan sengaja ia melepaskan see-

kor ikan dengan sikap seolah-olah ikan itu terlepas. 

Ikan itu mencelat ke atas dan bakal jatuh ke dalam 

kali. Umbara Komang yang melihatnya langsung 

menghentakkan kakinya, maka tubuh Umbara Ko-

mang melesat ke arah ikan itu yang hampir nyemplung 

ke air.


Dengan gerakan yang di luar kesadarannya, 

Umbara Komang dapat menangkap ikan itu kembali. 

Lalu kedua kakinya menghentak dari atas batu besar 

yang ada di permukaan air. Tubuhnya melesat berpu-

tar di udara. Kemudian turun tepat di hadapan

Wintara. Umbara Komang menyerahkan ikan 

itu padanya.

"Dewa kurang berhati-hati... Siluman kecil san-

gat licin dan mudah terlepas!" ujar Umbara Komang.

"Cukup, sobat. Kau tidak perlu lagi menyem-

bunyikan dirimu! Sekarang katakan siapa dirimu yang 

sebenarnya...!" tanya Wintara setengah membentak.

"Orang lain tak ada yang tahu siapa aku... He-

he-he-he...!" jawabnya sambil tertawa. Wintara me-

nunggu kata-kata itu, tapi Umbara Komang tidak me-

lanjutkannya.

"Yah orang lain tak boleh tahu, kecuali aku, 

bukan?" kata Wintara lagi.

"Ya... ya... Hanya dewa yang boleh tahu...! De-

wa lihat sendiri... miripkah aku seperti siluman...?"

Wintara diam mendengar jawaban yang mulai 

kacau. Umbara Komang mundur, lalu...

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha..." Tiba-tiba Umbara Ko-

mang tertawa ngakak.

"Bagaimana aku tahu siapa diriku? Dewa tidak 

tahu... Orang lain tidak ada yang tahu... Aku ini seekor 

siluman, hanya sayang belum jadi!" Umbara ngoceh.

"Kau bukan siluman!" bentak Wintara. 

"Tidak! Aku siluman! Aku ingin jadi siluman!" 

Umbara Komang tidak kalah membentak.

Wintara geram. Tinjunya melayang menghan-

tam sebuah batu di bawah kakinya. Batu itu hancur 

sampai mengeluarkan percikan api. Rumput-rumput 

kering yang bertebaran di situ ikut terbakar. Wintara

menambahkannya dengan ranting kayu. Membuat api 

itu makin besar bagai api unggun.

*

**

DELAPAN



Tubuh hitam itu mengejang kejang saat Ki 

Rondo Mayit membalut luka di sekitar tulang kering-

nya. Ia sengaja menahan jeritannya agar tidak keluar 

dari mulutnya. Kalau saja Ki Rondo Mayit tidak mena-

hannya kuat-kuat, mungkin Wadak Keling sudah me-

ronta-ronta.

"Tulang yang patah ini sudah ku sambung, 

Wadak Keling! Tapi kau jangan banyak berjalan du-

lu..." pesan Ki Rondo Mayit. Wadak Keling meringis 

meskipun rasa sakitnya sudah berkurang. Luka-

lukanya nampak merembeskan darah ke kain pemba-

lut yang melilit di betisnya.

"Soal kaburnya Umbara Komang lupakan saja, 

ia sudah tidak berarti apa-apa bagi kita... Toh dia su-

dah gila! Mana mungkin dia bisa menceritakan kegia-

tan kita di sini!" tutur Ki Rondo Mayit. Wadak Keling 

mencoba turun dari kursi. Bahkan ia mencoba bangkit 

berdiri. Sungguh ajaib! Tulang keringnya yang patah 

sudah tidak terasa apa-apa. 

Ki Rondo Mayit meninggalkan Wadak Keling 

yang masih mencoba melangkahkan kakinya dengan 

berjalan-jalan di sekitar ruangan itu. Lelaki berambut 

putih kusut itu tersenyum menatap sosok tubuh yang 

terlentang telanjang dada di atas balai. Laku-laki itu 

melangkah mendekatinya. Tubuh yang terlentang itu

masih berlumuran cairan berwarna hijau. Nafasnya te-

ratur naik turun. Dua kelopak matanya nampak berge-

tar.

Perlahan sekali ia membuka matanya. Samar-

samar ia melihat sosok tubuh berambut putih kusut 

berdiri di sampingnya. Lama kelamaan sosok tua itu 

nampak jelas. 

"A-a-ayah..." Suaranya keluar pelan dan hampir 

tidak kedengaran. Ia mencoba bangkit dengan sebelah 

telapak tangannya memegangi tenggorokan yang terba-

lut terasa sakit. Lelaki berambut putih kusut itu lang-

sung membantu tubuh anaknya duduk bersandar pa-

da dinding batu di atas balai. "A-ayah...."

"Aku masih mendengar suaramu, Bala 

Tlenges...! Maafkan ayah, Nak! Bukan maksud ayah 

menyuruh mereka menganiaya dirimu!" kata Ki Rondo 

Mayit sambil menunjuk ke arah dua buah peti yang 

bersandar pada dinding batu. Mata Bala Tlenges mena-

tap ke situ. Melihat dua sosok tubuh pucat biru berdiri 

seakan tidur. Bala Tlenges langsung melompat dari 

atas balai. Langkahnya yang cepat meluruk ke situ 

dengan kedua lengan yang siap menghantam. Ki Ron-

do Mayit cepat pula menyambar tubuh yang berlumu-

ran cairan hijau...

"Sabar, Bala Tlenges...! Semua memang salah-

ku! Tapi ini terjadi di luar perkiraan! Mereka cuma 

mayat-mayat. Kau hancurkan dia tak akan melawan...! 

Sabarlah dan tahan emosi mu, Bala Tlenges!" Ki Rondo 

Mayit merangkul tubuh Bala Tlenges. Bala Tlenges tak 

dapat bergerak lagi. Nafasnya kian memburu menahan 

amarah yang meluap-luap setelah melihat kedua sosok 

yang telah melukai dirinya. Namun dua sosok tubuh 

itu tetap diam berdiri dalam dua buah peti.

"Mereka tak dapat berbuat sesuatu tanpa ayah


mengendalikannya! Dan aku tidak mengira kalau kau 

ada di perkampungan kecil itu sewaktu mencoba me-

reka...!" Bala Tlenges masih menatap garang ke arah 

dua sosok dalam peti. Ingin rasanya ia menghancur 

lumatkan tubuh mereka. Tapi amarahnya cepat mere-

da setelah sang ayah menjelaskannya.

"Luka-lukamu akan segera sembuh! Dan tak 

lama lagi kita akan menguasai tanah Rogojembangan 

ini! Percayalah, kedua mayat itu pasti dapat membantu 

banyak." Bala Tlenges masih ingat akan kehebatan ke-

dua mayat hidup itu sewaktu ia menghadapinya di se-

buah perkampungan terpencil. Tindakan kedua mayat 

itu lebih keji dari apa yang pernah dilakukannya. Bah-

kan lebih dahsyat! Mereka tidak pandang bulu dalam 

membunuh. Betul-betul berdarah dingin.

"Untuk menguasai tanah Rogojembangan ini, 

kita harus memusnahkan dahulu Raden Mas Kinanjar 

Swantaka. Dia satu-satunya orang sangat berpengaruh 

dan memiliki banyak anak buah yang berilmu tinggi... 

Itulah sebabnya aku memilih mereka, kedua mayat hi-

dup itu untuk membantumu...."

"Bagaimana aku bisa menguasai mereka, 

Ayah!" Bala Tlenges mulai tertarik dengan ucapan Ki 

Rondo Mayit.

"Untuk menguasainya kau tak mungkin bisa. 

Aku yang mengendalikannya dan sini... Tapi kau tak 

usah khawatir akan mereka. Mereka tidak akan men-

gulangi perbuatannya, karena ajian anti pati mayit te-

lah meresap ke dalam tubuhmu. Bahkan kau akan le-

bih cepat menjatuhkan orang-orang pilihan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka." jawab Ki Rondo Mayit.

"Mengapa ayah memilih kedua mayat yang 

hampir busuk itu? Apakah tidak ada manusia biasa 

yang berilmu tinggi untuk membantu kita?"


"Di tanah Rogojembangan ini mana ada orang-

orang berilmu tinggi dari golongan hitam. Kecuali ki-

ta...! Untuk itulah aku memilih kalian berempat men-

jadi Jago-jago Rogojembangan, termasuk Wadak Keling 

dan kedua mayat itu. Kalian berempat harus bersatu 

menghancurkan kekuatan Raden Mas Kinanjar Swan-

taka!"

"Aku berjanji, Ayah...! Kita harus menjadi pen-

guasa Rogojembangan!" kata Bala Tlenges penuh se-

mangat. Wadak Keling sudah berdiri dekat mereka. 

Wajah hitamnya menyeringai menakutkan membuat 

Bala Tlenges tambah semangat!

"Untuk sekarang ini kalian tidak perlu keluar! 

Suasana masih kacau. Aku yakin kematian tiga orang 

pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka pasti menggem-

parkan pesanggrahan! Beliau pasti mengerahkan 

orang-orangnya untuk mencari pembunuh mereka. 

Dalam hal ini sudah tentu Bala Tlenges menjadi kamb-

ing hitam. Karena sebelumnya kau memang seorang 

pengacau yang selalu membunuh!"

"Itu lebih bagus! Biar mereka semua mencari 

aku. Memang dari dulu aku bersumpah akan memba-

suh kedua lenganku ini dengan darah mereka!" kata 

Bala Tlenges.

"Ha-ha-ha-ha... Bagus! Bagus! Kau memang 

anakku. Dalam bertindak memang harus demikian! 

Jangan tanggung-tanggung! ujar Ki Rondo Mayit.

Ki Rondo Mayit melangkah ke samping meja. 

Lalu ia membereskan peralatannya yang berantakan. 

Dua buah pendupaan dibiarkan berada di tengah-

tengah meja. Begitu juga dengan dua buah boneka dari 

sabut kelapa. Keduanya tergeletak masing-masing di 

depan pendupaan itu. Selembar batang anak lidi ikut 

tergeletak di samping meja.


Bala Tlenges maupun Wadak Keling sudah ti-

dak heran lagi dengan isi yang ada di atas meja. Se-

muanya itu memang peralatan milik Ki Rondo Mayit. 

Dan mereka tidak berani menyentuhnya meskipun 

dengan maksud untuk membereskan atau membersih-

kannya dari debu dan sarang laba-laba yang menyelu-

bungi semua peralatan itu.

Lagi pula Ki Rondo Mayit tidak pernah menyu-

ruhnya. Bahkan tidak ingin sama sekali benda-benda 

miliknya disentuh orang. Sekalipun oleh Bala Tlenges 

anaknya. Untuk Wadak Keling, ia jarang memasuki 

ruangan itu kalau bukan diperintah atau dipanggil. 

Kalau bukan karena luka tidak mungkin Wadak Keling 

akan berada lama dalam ruangan khusus Ki Rondo 

Mayit. Seperti halnya siang itu.

Ruangan itu kembali sepi saat Wadak Keling 

meninggalkan ruangan itu, Ki Rondo Mayit masih si-

buk membenahi mejanya. Bala Tlenges kembali naik 

ke atas balai. Ia tidak lagi tidur terlentang tapi duduk 

bersila. Tubuhnya masih berlumuran cairan hijau yang 

mulai menghilang terhapus oleh keringat. Tenggoro-

kannya yang robek telah terbalut dengan sobekan kain 

usang. Darah merah masih merembes dari situ. Tapi ia 

tidak merasakan sakit sama sekali. Kedua lengannya 

yang juga dilumuri cairan hijau bergerak-gerak memu-

tar bergantian. Menarik nafas dalam-dalam kemudian 

dihembuskan perlahan. Begitu seterusnya berulang-

ulang.

"Sungguh cerdik! Dengan mengatur nafas, lu-

ka-lukamu akan cepat pulih!" kata Ki Rondo Mayit se-

telah merapikan meja kerjanya. Lalu ia melangkah 

mendekati Bala Tlenges. Ia pun naik ke atas balai dan 

duduk bersila di belakang anaknya yang mengatur 

pernafasannya.


"Kalau saja kau tidak memakai ikat pinggang-

mu, kau sudah tewas, Anakku...!" bisik Ki Rondo Mayit 

perlahan sambil menjulurkan kedua telapak tangan-

nya ke punggung Bala Tlenges. Terasa sekali kedua te-

lapak tangan itu panas ketika menyentuh punggung-

nya.

"Tahan. Tenaga dalammu akan ku jernihkan..." 

bisiknya lagi. Bala Tlenges menganggukkan kepala. 

Namun bibirnya menyeringai menahan sakit yang luar 

biasa. Keduanya sama-sama duduk bersila tak berge-

rak. Rambut putih kusut Ki Rondo mengeluarkan 

asap hitam mengepul ke atas, Penyaluran tenaga da-

lam terus berlangsung. Tubuh Bala Tlenges mengu-

curkan keringat yang begitu deras membuat cairan hi-

jau itu luntur di tubuhnya.

Ada sesuatu yang membuat Ki Rondo Mayit 

berlega hati. Semula ia menduga Bala Tlenges anaknya 

akan cacat bisu atau tidak dapat mengeluarkan suara 

karena tenggorokannya robek. Tapi ternyata tidak. 

Mungkin karena balutan di lehernya yang menyumbat 

luka robekan itu. Namun Ki Rondo Mayit tetap menye-

sali akibat ulahnya yang di luar perkiraannya. Kalau 

saja Bala Tlenges tidak ada di kampung terpencil itu, 

tidak akan terjadi hal yang seperti ini.

*

**

SEMBILAN



Lolongan serigala di atas bukit membuat dua 

orang peronda malam berhenti berbicara. Keduanya 

saling pandang menunjukkan rasa ngeri. Suara 

jangkrik ikut pula membisingkan suasana malam itu.

Bulan yang bersinar penuh, mengambang di balik bu-

kit di mana di atasnya bertengger beberapa ekor seri-

gala yang melolongkan suara panjang mengerikan.

Udara berhembus makin dingin menyengat ku-

lit. Dan saat serigala-serigala itu melolong kembali, bu-

lu kuduk mereka berdiri. Salah seorang dari mereka 

membetulkan kain sarung yang menutupi tubuhnya 

sebagai penahan dingin. Satu lagi mengeluarkan se-

bungkus daun bakau. Setelah melinting daun bakau 

itu, ia menyulutnya.

Tanpa ditawari orang yang berkerudung kain 

sarung itu menyambar bungkusan daun bakau yang 

tergeletak di atas balai. Ia pun melakukan hal yang 

sama seperti temannya.

Rumah-rumah penduduk nampak sunyi di te-

rangi pelita yang berkelap kelip sejak sore tadi. Seseka-

li terdengar pula tangisan bayi yang terjaga dari tidur-

nya. Sesaat kemudian tangisan itu lenyap. Dan suasa-

na kampung itu kembali sunyi.

"Jun, kau lihat serigala-serigala di atas bukit 

sana? Aneh ya! Biasanya kalau terang bulan begini 

mereka tidak menampakkan diri... Paling-paling hanya 

terdengar lolongannya saja." kata salah seorang peron-

da itu.

"Entahlah! Mungkin mereka kelaparan... Hati-

hati saja terhadap hewan peliharaan kita. Kalau sam-

pai mereka menyerbu ke sini repot!"

"Jangan takut, Jun... Semua serigala takut ter-

hadap api..." Orang itu melangkah ke arah api unggun 

yang meletup-letup di samping gubuk ronda. Ia me-

nambahkan beberapa batang ranting. Api itu menyala 

bertambah besar menerangi sekitar gubuk.

"Sekalian kau bakar ini, Pri... Dari tadi perutku 

keroncongan." kata orang yang berkerudung kain sarung sambil melemparkan beberapa penggal singkong 

yang masih mentah berlapis tanah. Orang yang berada 

di dekat api unggun langsung memasukkan singkong-

singkong itu ke dalam bara api. "Kau dengar berita tadi 

pagi? Apa betul Raden Mas Kinanjar Swantaka akan 

membangun pertahanan darurat di kampung ini?"

"Itukan baru rencana! Mana mau Raden Mas 

Kinanjar Swantaka berdiam di desa kotor seperti ini. 

Enakan juga di pesanggrahan!"

"Bisa aja, Jun! Raden Mas Kinanjar Swantaka 

itu masih bujangan! Siapa tahu ia akan mengambil sa-

lah satu kembang di kampung ini. Di sinikan banyak 

gadis-gadis cantik."

"Sttt, Pri... Ada orang!" Sesaat percakapan me-

reka berhenti... Lolongan serigala terdengar lagi. Kali 

ini saling bersahutan. Orang yang berada dekat api 

unggun memicingkan mata memandang jauh ke arah 

jalanan. Nampak jelas empat sosok berjalan beriringan 

menyusuri jalan itu. Keempatnya berjalan tenang dite-

rangi sinar rembulan. Hanya saja wajah mereka tidak 

nampak jelas.

"Siapa mereka?" bisik orang yang dekat api un-

ggun mulai berdiri mengawasi keempat orang itu. 

Orang yang duduk di dalam gubuk ronda mengangkat 

bahu. Ia pun ikut menatap empat orang yang berjalan 

makin dekat ke arah mereka. Mereka mencium udara 

berbau busuk.

Dua orang peronda berdiri menanti kedatangan 

mereka. Bau busuk makin menyengat ketika keempat 

orang itu berjalan makin dekat ke arah kedua peronda. 

Keduanya sempat terbelalak saat jarak mereka dalam 

beberapa tombak. Keempat orang itu menatap liar ba-

gai serigala-serigala liar. Dua dari keempat orang itu 

melangkah ke depan dengan kaku. Maka wajah yang


amat menyeramkan itu nampak jelas terlihat. Api un-

ggun menerangi mereka.

Para peronda malam itu tidak sempat berbalik 

mundur. Dua sosok menyeramkan lebih dulu mener-

jang. Kuku-kukunya yang runcing bagai mata jarum 

mencengkeram erat di tenggorokan mereka. Mereka 

pun menjerit-jerit sambil berusaha beronta dari terka-

man sosok yang menyebarkan bau busuk. Jeritan me-

reka terhenti saat gigi-gigi hitam mengoyak robek pe-

rut.

Lolong serigala meraung mengerikan mengisi 

kesunyian malam itu. Lingkaran bulan yang mengam-

bang di balik bukit mendadak gelap tertutup awan hi-

tam yang bergumpal. Sinar terang api unggun mene-

rangi dua sosok menyeramkan melahap dengan rakus 

isi dari perut yang terkoyak itu. Manakala dua sosok 

tubuh lain tetap berdiri menyaksikan dengan puas. 

Mereka tidak lain Bala Tlenges dan Wadak Keling!

"Suiiiiiit" Wadak Keling memberi aba-aba den-

gan siulan nyaring. Tubuhnya yang berkulit sangat hi-

tam hampir tidak kelihatan. Bala Tlenges melangkah 

meninggalkan mereka. Wadak Keling menyusul. Begitu 

juga dengan kedua mayat hidup yang setelah menden-

gar siulan nyaring meninggalkan dua sosok tubuh 

yang terkapar dengan mata melotot. Keduanya melom-

pat-lompat menyusul langkah-langkah Bala Tlenges 

dan Wadak Keling berjalan di depan.

*

**

Raden Mas Kinanjar Swantaka memijit-mijit 

keningnya. Beberapa orang yang dalam tenda itu 

memperhatikan. Tidak satu pun di antara orang-orang


itu berani mengeluarkan suara. Rata-rata mereka se-

mua menundukkan kepala. Raden Mas Kinanjar Swan-

taka menghela nafas. Lalu ia bangkit berdiri. Langkah-

nya yang cepat membawa dirinya ke luar dari tenda.

Di luar tenda nampak puluhan orang tengah 

mendirikan pagar dari bambu yang mengelilingi lapan-

gan luas. Nampaknya hampir selesai. Pintu pagar yang 

setinggi tiga tombak mulai dipasang. Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka melirik ke tenda, lalu....

"Kalian ke mari semua!" Maka orang-orang yang 

berada di dalam tenda ke luar semua. Mereka berdiri 

berderet di belakang Raden Mas Kinanjar Swantaka. 

Mereka berjumlah delapan orang. Dua di antaranya 

wanita kembar.

"Berpencar menjadi empat bagian dan cari 

sampai dapat Bala Tlenges!" ujar Raden Mas Kinanjar 

Swantaka. Kemudian ia berbalik menghadapi mereka.

"Hamba rasa kematian dua orang peronda pada 

malam itu bukan dilakukan oleh Bala Tlenges. Hamba 

mendengar selentingan dari penduduk setempat, bah-

wa pada malam itu berdatangan segerombolan serigala 

dari bukit tandus." kata salah seorang dari wanita 

kembar yang berderet pada deretan ketiga.

"Jadi kalian berpendapat kedua peronda itu 

diserang oleh serombongan srigala? Begitu...? Kalau 

memang serigala yang menyerang mereka. Kedua pe-

ronda malam sudah tinggal tulang belulang...! Apa ka-

lian masih ingat bagaimana keadaan mayat ketiga te-

man kalian? Mogeni Kalpa? Dan dua orang teman ka-

lian lainnya... Luka-luka mereka sama! Pada leher me-

reka terdapat cakaran-cakaran yang merobek kulit 

tenggorokan!"

Kedelapan orang itu diam. Kata-kata Ra-den 

Mas Kinanjar Swantaka memang masuk akal. Yang jadi pertanyaan pada diri mereka, mengapa Bala Tlenges 

jadi demikian sadisnya? Sebelumnya ia memang sering 

membantai orang-orang kampung juga orang-orang 

pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi Bala 

Tlenges tidak pernah melakukan hal yang tidak wajar! 

Mogeni Kalpa bersama dua orang sahabatnya tergolong 

orang paling tinggi ilmunya. Mereka masih saja bisa 

tewas secara keji di tangan Bala Tlenges.

"Aku cukup menghargai pendapat kalian. Tapi 

aku lebih menghargai lagi bila bisa membagi tugas dan 

dapat menyeret ke mari Bala Tlenges hidup-hidup atau 

mati!"

"Kalau begitu kami 'Cambuk Seriti Kembar' 

Akan melacak ke Utara!" kata wanita kembar sembari 

mengacungkan cambuknya yang melingkar bagai 

ular...

"Siapa pun yang ikut denganku terserah!

Aku Langkung Daro mengambil jalan ke Ti-

mur!" kata lelaki yang bersenjatakan sederetan pisau-

pisau kecil menyerong di dadanya.

"Menurut hematku, Tangan Besi akan melang-

kah ke Tenggara! Siapa yang mau ikut denganku, Bala 

Tlenges bakal hancur kepalanya!" Orang yang berdiri 

paling ujung menunjukkan tinjunya tak mau kalah.

"Aku yang hanya mengandalkan gelang-gelang 

ini, tak punya pilihan... Akan ku lacak ke mana pun 

sampai Bala Tlenges ku dapat!" Gelang-gelang berge-

merincingan di kedua lengan lelaki bertubuh kekar te-

lanjang dada. Raden Mas Kinanjar Swantaka menga-

mati kedelapan orang yang berdiri berderet di hada-

pannya. Lalu pandangannya beralih kepada puluhan 

orang yang tengah menyelesaikan pagar benteng me-

lingkar tanah lapangan itu.

"Aku beri waktu tiga hari... Berhasil atau tidak,


kalian harus kembali ke sini. Aku tidak ingin gagal se-

perti Mogeni Kalpa yang terlalu ceroboh."

Tanpa diperintah kapan mereka harus berang-

kat, kedelapan orang-orang pilihan Raden Mas Kinan-

jar Swantaka berpencar menjadi empat bagian. Sebe-

lum mereka mengambil kuda-kuda yang ditambatkan 

di kandang, mereka menunjukkan sikap hormat ter-

hadap lelaki yang cukup berpengaruh itu. Lalu dua-

dua mereka berjalan ke kandang memilih kuda. Seriti 

Kembar yang bersenjatakan cambuk telah menda-

patkan kuda pilihannya. Dan mereka berangkat lebih 

dulu.

*

* *

SEPULUH



Daerah yang dilalui wanita kembar itu menuju 

ke perkampungan. Namun sebelum mencapai perkam-

pungan tersebut mereka harus menembus hutan yang 

sangat lebat. Hutan itu membatasi tanah lapangan di 

mana Raden Mas Kinanjar Swantaka membuat daerah 

pertahanan bersama puluhan orang prajuritnya. Mere-

ka sempat pula menoleh ke belakang saat menembus 

hutan. Yang mereka lihat hanyalah sederetan pagar 

bambu yang sangat tinggi memanjang di seputar ta-

mah lapang. Setelah menghela kuda-kudanya mereka 

hilang ditelan kegelapan dalamnya hutan.

Yang terdengar dari luar hanyalah geletar-

geletar cambuk menghela laju kudanya. Bersamaan 

dengan itu menyusul lagi beberapa orang menunggangi 

kuda. Sebelum beberapa orang itu menembus hutan,


mereka berpisah dua-dua. Langkung Daro bersama 

seorang temannya menuju ke arah Timur, Tangan Besi 

pun berangkat berdua menerobos hutan mengambil ja-

lan ke Tenggara. Yang paling terakhir, seorang lelaki 

bersenjatakan gelang-gelang di kedua lengannya. Ia 

pun bersama seorang teman. Mereka berdua menung-

gangi kudanya perlahan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka memandangi 

mereka dari kejauhan. Ia belum beranjak saat orang-

orang pilihannya hilang dari pandangan mata. Piki-

rannya masih membayang pada kedelapan wajah 

orang-orang pilihannya. Ia berharap sekali kedelapan 

orang itu berhasil menyeret Bala Tlenges ke bawah ka-

kinya. Yang akan menjatuhkan hukuman mati atas 

perbuatan terkutuk itu. Raden Mas Kinanjar Swantaka 

melangkah masuk ke dalam benteng pertahanan. Pu-

luhan prajurit masih sibuk dengan pekerjaannya.

Dua wanita kembar mencambuki kudanya 

kuat-kuat, maka kuda-kuda mereka berlari kencang 

menerobos lebatnya semak dan pohon-pohon besar. 

Cara mengemudikan kuda mereka memang aneh! Pa-

dahal kuda-kuda itu cukup dengan dihela saja sudah 

dapat berlari kencang. Tapi mereka selalu mencambu-

ki. Kuda-kuda itu terus meringkik walaupun berlari 

kencang.

Sesekali juga mereka menemukan beberapa 

gubuk terpencil dalam hutan itu. Tapi mereka tidak 

perduli. Sekalipun beberapa penghuninya nampak ke-

luar gubuk memperhatikan mereka. Setelah melewati 

gubuk-gubuk itu, barulah mereka menemukan jalan 

yang melintas keluar dari hutan. Dengan melintasi ja-

lan itu mereka tidak lagi mendapatkan halangan-

halangan seperti dalam hutan tadi. Mereka menyusuri 

jalan itu terus. Udara segar pun mulai berhembus me


nerpa kulit mereka.

Dari kejauhan mereka sudah melihat titik-titik 

berwarna warni rumah para penduduk. Rumah-rumah 

penduduk nampak berderet. Membentuk suatu per-

kampungan. Selama melintasi jalan itu mereka sering 

berpapasan dengan orang-orang yang menuju ke desa 

tersebut. Kebanyakan dari orang-orang yang mereka 

jumpai para pedagang. Sudah tentu mereka berdua 

akan singgah di situ. Mengingat hari hampir gelap, 

mungkin juga mereka akan mencari tempat pengina-

pan.

"Seriti Wuni, kita tidak mungkin dapat mene-

ruskan perjalanan. Aku rasa di desa itu ada tempat 

untuk kita bermalam... Paling tidak sebuah pengina-

pan tentunya...!"

"Aku ini tidak gila, Seriti Kuni. Aku pun sudah 

merasa lelah sejak tadi... Aku lapar sekali..." Wanita 

yang satu ini memacu kudanya lebih cepat. Kemba-

rannya mengikuti. Asap debu mengepul saat kuda-

kuda mereka saling susul menyusul. Keduanya terta-

wa cekikikan. Ketika mereka mendekati mulut desa. 

Kuda-kuda mereka berjalan perlahan beriringan. Desa 

itu nampak ramai, tiap-tiap di depan rumah selalu ada 

orang yang tengah duduk-duduk berbincang. Tidak se-

gan-segan lagi kedua wanita kembar itu memasuki de-

sa tersebut.

*

**

Anak muda yang mengenakan pakaian bulu bi-

natang ini merasa risih saat semua mata memandang 

ke arahnya. Di antara mereka ada juga yang menerta-

wakannya. Tapi Wintara tetap acuh. Tidak perduli


dengan orang-orang yang memandang lucu ke arah-

nya. Wintara sendiri merasa kalau orang-orang itu bu-

kan menertawakan dirinya.

Tapi tertuju pada lelaki yang berjalan di sebe-

lahnya. Lelaki itu memang bertingkah aneh. Ia selalu 

menunjuk-nunjuk setiap orang yang dijumpainya. 

Wintara sudah melarang, namun lelaki itu tetap saja 

bertingkah aneh.

Sudah jelas orang-orang itu menganggap lelaki 

yang berjalan bersama Wintara lelaki berpenyakit sa-

rap! Wintara yang berjalan di sebelahnya sempat ter-

tawa melihat cara berjalan sahabatnya.

"Dewa... Hati-hati di sini banyak siluman berke-

liaran! Aku khawatir mereka akan menyerang kita...!" 

Umbara Komang bertingkah bagai seorang pendekar 

yang sedang waspada.

"Mereka bukan siluman, sobat. Mereka cuma 

manusia seperti kita! Bersikaplah yang wajar... Coba 

lihat! Sedari tadi mereka memperhatikan kamu." jawab 

Wintara. Umbara Komang cemberut. Sepertinya ia ti-

dak senang dengan ucapan Wintara.

"Apa? Mereka memperhatikan aku... Wuaaah! 

Jangan-jangan mereka mau menerkam aku...! Hiiiiy! 

Pasti mereka mata-mata siluman hitam!" Umbara Ko-

mang memeluk tubuh Wintara.

"Tenang... Mereka tidak akan berbuat apa-apa!" 

kata Wintara sambil melangkah ke arah sebuah pohon 

besar yang ada di sudut desa. Pohon itu cukup rin-

dang untuk berteduh. Setibanya pada pohon itu Win-

tara langsung duduk. Umbara Komang berdiri menga-

wasi rumah-rumah yang berderet di hadapannya.

"Duduklah di sini, sobat... Kita tidak pantas 

memasuki rumah-rumah penginapan itu! Tempat kita 

cukup di sini... Mudah-mudahan saja tidak turun hujan." kata Wintara lagi sambil menarik lengan Umbara 

Komang sampai terjatuh duduk di sampingnya. mata 

Umbara Komang masih tertuju pada beberapa rumah 

penginapan yang nampak ramai dikunjungi orang.

"Sssst! Aku yakin yang berderet di depan sana 

pasti istana para siluman! Lihat, para siluman jahat 

mulai berdatangan. Aku akan ke sana!" Umbara Ko-

mang bangkit berdiri, tapi Wintara cepat menahannya.

"Diamlah di sini, sobat.... Di sana bukan tempat 

kita!" Wintara menarik kembali lengan Umbara Ko-

mang. Ia melotot! Dan duduk kembali di samping Win-

tara.

"Kenapa tidak boleh ke sana? Dewa bilang me-

reka sama dengan kita! Kalau mereka siluman, aku ju-

ga siluman! Atau aku yang bukan siluman!" kata Um-

bara Komang nyerocos.

"Kenapa semua orang tidak mengakui kalau di-

riku ini siluman... Dewa pun begitu! Tidak mengakui... 

Oh! Kalau saja aku siluman, aku bisa membalas den-

dam terhadap siluman hitam yang selama ini menyiksa 

hidupku..." Umbara Komang mengeluh dengan wajah 

yang sangat memelas. Wintara makin risi manakala 

semua orang menertawainya. Wintara tetap bersikap 

acuh dan bersandar pada batang pohon besar itu. 

Umbara Komang menangis tersedu-sedu di sebelah-

nya. Wintara jadi kesal.

"Baiklah kuakui bahwa kau siluman...!" kata 

Wintara sambil memalingkan muka.

"Apa?" Pendengaran Umbara Komang tidak je-

las.

"Kau siluman!" Wintara membentak. Orang-

orang yang mendengar bentakan Wintara tertawa ter-

pingkal-pingkal. Wintara jadi malu.

"Benarkah aku siluman...? Benarkah...?" Tiba


tiba saja tubuh Umbara Komang melesat ke atas. Ge-

rakannya cepat sekali. Wintara tersentak kaget. Ia ti-

dak sempat lagi menahan lesatan tubuh Umbara Ko-

mang yang begitu cepat. Orang-orang yang berada di 

situ pun berhenti tertawa saat sebelah lengan Umbara 

Komang menghantam cabang pohon yang cukup be-

sar. Cabang pohon itu berderak patah dan jatuh ke 

bawah bakal menimpa atap sebuah rumah yang bera-

da di bawahnya. Tubuh Umbara Komang jatuh lagi ke 

tanah bagaikan daun kering. Wintara malah melesat 

ke atas menyambar cabang pohon yang patah itu. Atap 

rumah yang di duga pasti hancur tertimpa, sama seka-

li utuh.

Semua orang berdecak kagum melihat keheba-

tan Wintara menyambar cabang pohon yang hampir 

menghancurkan atap rumah. Sebelumnya orang-orang 

itu memekik ngeri, karena di bawah atap itu nampak 

beberapa anak kecil yang sedang bermain. Wintara me-

lemparkan cabang pohon itu ke tempat yang kosong. 

Umbara Komang bersikap tenang.

"Hampir saja kau membunuh anak-anak kecil, 

Siluman tolol!" Wintara memaki.

"Mereka bukan apa-apa, Dewa... Mereka me-

mang harus dimusnahkan sejak kecil! Nanti setelah 

besar, bisa menghirup darah kita...! Sekarang aku ti-

dak khawatir lagi! Aku siluman yang hebat, lihat ini... 

Hreaaaaaaa!" Umbara Komang melesat lagi, langkah-

nya cepat menuju batang pohon. Lalu kedua telapak 

tangannya mencakar-cakar habis kulit batang pohon 

itu. Wintara tercengang melihatnya. Tiba-tiba saja Um-

bara Komang mendadak hebat. Kenapa kehebatannya 

itu selalu datang di saat-saat tertentu? Apalagi kea-

daannya yang demikian parah. Memiliki ilmu yang de-

mikian akan berbahaya bila tak terkendali, Wintara tidak habis pikir. Ia masih melihat ilmu cakaran Umba-

ra Komang yang menguliti habis kulit luar pohon itu.

Pastilah pada dasarnya lelaki berpenyakit saraf 

itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Wintara datang 

menghampiri menahan gerakan-gerakan Umbara Ko-

mang. Terhadap Wintara, Umbara Komang cukup pa-

tuh. Ia berhenti mencakar-cakar.

"Siluman hitam akan sama seperti ini... Lihat 

saja nanti! Jangan menatap begitu, Dewa... Percayalah! 

Aku siluman baik. Mereka juga siluman baik, kan?" 

Umbara Komang nyengir.

*

* *

SEBELAS



Orang-orang yang berada di desa itu tidak me-

nyangka kalau kedua orang yang mereka tertawakan 

ternyata memiliki ilmu demikian hebatnya. Sekarang 

mereka tidak menertawakan lagi, kini mereka cukup 

salut akan kehebatan kedua pendatang baru itu. 

Hanya sayang seorang di antara kedua manusia itu 

ada yang tak waras.

Peristiwa yang sangat mengagumkan itu tidak 

hanya diketahui oleh orang-orang yang berada di luar. 

Para pendatang yang berada di warung-warung mau-

pun di ruangan teras penginapan juga sempat me-

nyaksikan kehebatan yang sangat luar biasa itu. Bah-

kan di antara mereka banyak yang keluar untuk meli-

hat lebih jelas siapa kedua manusia yang berbeda wa-

tak di luar sana.

"Haaaait!" Tiba-tiba saja serentetan teriakan

menggelegar. Bersamaan dengan itu dua sosok tubuh 

ramping beterbangan melesat di udara. Setelah berpu-

tar salto di udara kedua sosok ramping itu hinggap di 

hadapan Wintara dan Umbara Komang. Wintara yang 

berdiri tenang menatap mereka yang berwajah serupa. 

Wanita kembar! Umbara Komang sendiri yang tidak 

waras merasa heran. Dan kebingungan melihat keha-

diran mereka yang begitu mendadak muncul. Umbara 

Komang melangkah ke hadapan Wintara menghadapi 

kedua wanita kembar itu.

"Hati-hati, Dewa! Siluman kembar sangat ber-

bahaya dan berbisa! Hati-hati terhadap ular-ularnya!" 

ujar Umbara Komang menatap dua gulung cemeti di 

tangan mereka masing-masing. Wanita kembar itu 

menatap garang.

"Kalau siluman kembar itu berani bertingkah di 

hadapanku, biar ku cabik-cabik tubuhnya bagai pohon 

itu." kata Umbara Komang dengan sikap yang acuh 

menatap langit. Sudah tentu kedua wanita kembar ini 

merasa tersinggung. Mereka nampak menyiapkan 

cambuk-cambuknya. Sebelum mereka bereaksi, Winta-

ra mengeluarkan suara.

"Sabar, Nona-nona... Sabar... Harap di maklumi 

saja ucapan sahabat saya yang rada tidak beres itu. 

Semua orang pun tahu, dia itu berpenyakit saraf." ujar 

Wintara menenangkan suasana. Tapi kedua wanita 

kembar ini tidak mau mengerti.

"Maksudmu dia itu gila? Huh, siapa yang per-

caya dengan ocehanmu, Anak muda! Kalau dia gila 

mana mungkin memiliki ilmu yang demikian hebat. 

Kau lihat sendiri, keparat itu hampir membunuh bebe-

rapa anak kecil!" Salah seorang dari wanita kembar itu 

mendorong tubuh Wintara. Wintara terhuyung bebera-

pa langkah ke belakang. Melihat itu Umbara Komang


tidak tinggal diam. Mendadak saja tubuhnya maju me-

lancarkan serangan. Pukulannya menghantam lengan 

wanita itu yang mendorong Wintara... "Plaaak!"

"Siluman kembar tak tahu penyakit! Berani kau 

menyentuh dewa... Rasakan ini!" Umbara Komang me-

nyerang lagi. Tapi wanita itu cepat menyambut dengan 

cambuknya... "Cletaaar!" Cambuk itu melilit di lengan 

Umbara Komang. Seorang kembarannya datang mem-

bantu. Ia pun menggunakan cambuknya. Tapi sebelum 

ujung cambuk itu menghantam tubuh Umbara Ko-

mang, Wintara melompat menyambar ujung cambuk 

yang berbandul besi dengan tendangannya... 

"Deeees!"

Ujung cambuk yang berbandul besi itu berbalik 

dan hampir mengenai kepala wanita itu. Untung saja 

ia cepat merunduk dan menangkap mata cambuk. 

Umbara Komang masih tetap berdiri dengan sebelah 

lengan terbelit cambuk salah seorang wanita kembar. 

Keduanya saling tarik. Wintara melangkah ke situ ber-

diri di antara mereka. Tapi wanita kembarannya itu 

masih terus melancarkan cambuknya... 

"Cletaaar!" Cambuk itu kini membelit di tubuh 

Wintara. Baju bulu binatangnya sampai mengepul, ra-

sa sakitnya pun bukan main. Wintara sengaja tidak 

membalas. Ia hanya menoleh sebentar. Lalu....

"Kita hanya salah paham, Nona...! Semua yang 

dilakukan olehnya di luar kesadarannya. Sekalipun dia 

berilmu tinggi, ada perduli apa dengan kalian?" kata 

Wintara tenang.

"Kami adalah orang-orang pilihan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka. Kami cenderung kalian adalah 

musuh-musuhnya... Pasti kalian juga yang membantai 

habis teman-teman kami!" kata wanita tadi menarik 

cambuknya dari lengan Umbara Komang. Kini tubuh


nya melesat ke atas sambil tangannya menarik kuat 

cambuk itu. Tubuh Umbara Komang ikut melesat ke 

atas mengimbangi. Wintara yang pinggangnya terbelit 

cambuk sempat melihat keduanya siap melancarkan 

serangan. Maka ia pun segera melompat ke atas. Sebe-

lum Umbara Komang dan wanita itu saling melancar-

kan serangan, dalam keadaan melompat ke atas Win-

tara menghantam mereka... 

"Des...! Des!" Keduanya berjatuhan di tanah. 

Tapi Wintara tidak sempat menghindari serangan yang 

dilancarkan oleh perempuan yang membelitkan cam-

buknya... "Bug!" Punggung Wintara berdenyut. Hampir 

saja ia tersungkur.

Dua wanita kembar itu maju berbareng menye-

rang Umbara Komang yang sudah bangkit. Lalu Umba-

ra Komang bergulingan menghindari sambaran-

sambaran cambuk mereka... 

"Cletaaar...! Cletaaaar...! Cletaaar!" Melihat itu 

Wintara cepat bertindak, sekali hentak kedua kakinya 

melayang ke atas. Lalu kedua tangannya tahu-tahu 

menangkapi semua cambuk-cambuk mereka. Kedua 

perempuan kembar itu pun tersentak.

"Sabarlah, Nona... Apa maksud kalian menu-

duh kami yang bukan-bukan! Aku memang pernah 

mendengar nama Raden Mas Kinanjar Swantaka dari 

ketiga orang yang pernah kujumpai di perjalanan. 

Sayang mereka telah tewas semua... Akulah yang me-

naikkan mayat-mayat mereka ke atas kuda. Salah sa-

tunya dengan kepala putus. Tapi mengenai siapa pem-

bunuhnya aku sendiri tidak tahu...." kata Wintara 

sambil melepaskan cambuk-cambuk itu. Dengan sekali 

tarik cambuk-cambuk itu sudah bergulung di tangan 

mereka.

"Bagaimana pun kami tidak mempercayai kata


katamu, Anak muda! Aku sendiri sudah melihat ilmu 

cakaran si bangsat gila itu! Semua mayat-mayat yang 

kami temukan dipenuhi dengan luka-luka cakaran pa-

da tenggorokan mereka! Apa lagi yang mau dipungki-

ri...?" ujar salah seorang wanita kembar itu.

"Siapa lagi kalau bukan dia pelakunya...!" ja-

wab yang satunya.

"Jangan asal tuduh dulu... Aku pernah dengar 

selentingan bahwa orang-orang pilihan Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka tengah mencari-cari seorang buro-

nan. Apakah betul demikian?"

"Betul! Dari mana kau tahu?" jawab wanita 

kembar itu serempak.

"Soal dari mana selentingan itu kalian tidak 

perlu tahu! Jawab dulu pertanyaanku. Apakah kalian 

kenal betul dengan buronan itu?" tanya Wintara man-

tap.

"Sekalipun ia telah menjadi abu, aku dapat 

mengenali bangsat itu!" jawab wanita kembar itu sen-

git. Wintara tersenyum. Lalu...

"Kalian perhatikan baik-baik! Apakah wajah 

buronan itu mirip dengan sahabatku ini?" Wintara 

menunjuk ke arah Umbara Komang yang berdiri sam-

bil menggaruk-garuk kepalanya. Kedua wanita kembar 

itu saling pandang. Jelas bukan! Yang mereka cari 

adalah Bala Tlenges! Bukan seorang yang berpenyakit 

gila seperti Umbara Komang. Keduanya diam.

"Selama ini dia selalu bersamaku, kalau tadi 

dia mencakar-cakar batang pohon, itu karena emo-

sinya melonjak ke luar, dia sangat senang kalau di-

rinya disebut siluman. Jangan marah dulu. Aku pun 

tidak tahu dia gila karena apa... Anehnya, semua yang 

di lihatnya dianggap siluman..." Wintara menjelaskan.

"Bubar...! Bubar! Kalian semua siluman tengik!

Aku siluman baik jangan sampai meruntuhkan langit! 

Atau bumi yang kalian pijak akan belah!" Tiba-tiba sa-

ja Umbara Komang berteriak-teriak mengusir orang-

orang yang memperhatikan mereka, maka orang-orang 

itu pun segera berlarian menghindari.

"Siluman! Kembali ke sini...!" Wintara memben-

tak. Umbara Komang merungkut, ia takut menatap 

Wintara. Tapi ia tetap saja melangkah mendekat. Ia 

bergidik saat melihat dua gulungan cambuk yang ma-

sih dikiranya dua ekor ular. Kedua wanita kembar itu 

tidak segarang tadi. Namun mereka masih menunjuk-

kan sikap angkuh.

"Kalau semua orang-orang pilihan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka diturunkan, berarti persoalan ini 

tidak sepele... Bahkan mungkin juga jiwa Raden Mas 

Kinanjar Swantaka sendiri pasti terancam. Aku punya 

usul... Bagaimana kalau kami berdua ikut membantu 

menangkap buronan itu? Aku harap kalian berse-

dia...!" Wintara menawarkan diri. Umbara Komang me-

natap salah seorang wanita kembar itu. Tapi setelah 

mereka saling tatap. Umbara Komang menunduk sam-

bil nyengir.

"Kau pikir mudah untuk menjadi orang-orang 

pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka? Tidak semudah 

itu, Anak muda... Boleh-boleh saja kalau mau ikut 

membantu. Itu lebih bagus tapi kau harus tanggung 

resikonya! Karena dalam hal ini tanpa sepengetahuan 

Raden Mas Kinanjar Swantaka!"

"Sekalipun jadi budak kalian, aku bersama sa-

habatku ini rela! Daripada dituduh sebagai pembu-

nuh!" jawab Wintara sambil merangkul punggung Um-

bara Komang.

"Siluman baik pantang membunuh siluman 

baik... Tapi kalau ada siluman jahat, jangan harap bisa

lewat di hadapanku." Umbara Komang ikut bicara. 

Tingkah lakunya masih saja membuat orang tertawa. 

Gerak geriknya hampir mirip lutung kebakaran bun-

tut.

*

**

DUA BELAS



Bagi Langkung Daro perjalanan ke Timur amat-

lah menyenangkan. Ia tidak menemukan rintangan 

apa-apa selama dalam perjalanan. Setelah menerobos 

hutan belukar Langkung Daro bersama seorang te-

mannya menyeberangi sebuah kali. Arus kali itu cukup 

deras. Dalam menyeberangi kali itu mereka tidak perlu 

turun dari kudanya. Mereka sengaja menunggangi ku-

da-kudanya menyeberangi kali itu. Dan ternyata kali 

itu memang tidak dalam. Di atas permukaan air ba-

nyak menghampar batu-batu yang tidak beraturan be-

sarnya.

Sebentar saja mereka sudah berada di seberang 

kali. Di situ jarang sekali ditumbuhi rerumputan. Ta-

nah yang menghampar pada dataran itu nampak tan-

dus. Beberapa pohon besar yang telah mengering ber-

diri menghitam di sana sini. Juga batu-batu besar 

yang mencuat ke atas nampak membentuk sebuah 

bukit. Kedua kuda itu berjalan tenang.

Matahari hampir tenggelam menampakkan si-

narnya yang kemerahan di balik bukit. Langkung Daro 

menghentikan langkah kudanya. Temannya yang ber-

jalan menunggangi kudanya beriringan ikut berhenti. 

Ia baru menyadari kalau tanah yang mereka lewati banyak menghampar tulang belulang berserakan. Sekali-

pun di antara tulang belulang itu banyak terlihat jelas 

tulang kerangka manusia. Mereka tidak gentar sedikit 

pun.

Mereka pun tetap tenang ketika menyeberangi 

sebuah jembatan kayu yang menghubungkan jurang 

membentang di hadapan mereka. Meskipun jembatan 

kayu itu nampak lapuk, tapi cukup kuat untuk mere-

ka mencapai dataran seberang. Dari kejauhan mereka 

sudah dapat melihat sebuah bangunan yang hampir 

roboh. Dan sudah dapat dipastikan mereka bakal me-

nuju ke sana Mengingat hari hampir gelap, mereka ti-

dak mungkin meneruskan perjalanannya. Kemana 

lagi mereka mencari tempat untuk beristirahat, kalau 

bukan pada bangunan itu?

Dan mereka cukup lega ketika melihat sebuah 

pelita menerangi ruangan dalam bangunan itu. Kedu-

anya menambatkan kuda-kudanya di depan bangu-

nan.

"Siapa di luar...! Kaukah Wadak Keling?" Ter-

dengar suara dari dalam ruangan.

"Bukan...! Kami orang-orang pilihan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka yang bermaksud menumpang ber-

malam di sini!" jawab Langkung Daro sambil mengikat 

tali kekang pada sebatang tonggak. Tidak ada jawaban 

lagi dari dalam. Tiba-tiba lampu pelita yang menerangi 

ruangan itu padam! Langkung Daro bersama teman-

nya tidak jadi masuk. Mereka berbalik curiga.

"Ki Sanak, bolehkah kami menumpang beristi-

rahat di sini...?" teriak Langkung Daro. Seorang te-

mannya sudah selesai menambatkan kudanya. Ia me-

langkah masuk ke pintu bangunan.

"Aneh! Tadi terdengar ada suara orang menegur 

kita... Kenapa ia tidak menyahut, malah ia mematikan


pelitanya! Apakah ia tidak suka terhadap orang-orang 

Raden Mas Kinanjar Swantaka...!" Ia memasuki ke 

arah ruangan yang gelap itu. Tiba-tiba saja..., 

"Aaaaaaarght!" Orang yang melangkah masuk menda-

dak terlempar ke luar. Hampir saja tubuh itu mena-

brak Langkung Daro yang berdiri tepat di depan pintu. 

Tapi cepat ia merentangkan kedua lengannya menang-

kap tubuh yang masih terpental. Orang itu gelagapan, 

lalu menarik pedangnya dan pinggang....

"Sudah masuk, kenapa keluar lagi?" Terdengar 

jawaban dari luar. Langkung Daro dan temannya me-

mandang ke arah ruangan gelap itu. Mereka tidak me-

lihat siapa-siapa. Orang yang memegang pedang me-

langkah masuk. Sebentar saja ia sudah hilang ke da-

lam kegelapan ruangan. Langkung Daro sengaja me-

nunggu di luar. Kedua lengannya siap-siap menarik pi-

sau-pisau kecil yang berderet di sepanjang dadanya.

"Traaak...! Deeeees...!" Terdengar suara dari 

ruangan gelap itu. Belum sempat Langkung Daro 

memburu masuk, sesosok tubuh menabraknya lagi. 

Keduanya bergulingan di tanah. Langkung Daro cepat

bangkit, tapi seorang temannya menggelepar-gelepar di 

tanah. Pedang dalam genggamannya patah dua. Lang-

kung Daro tersentak kaget melihat temannya kaku di-

am tak berkutik. Dari mulutnya mengalir darah segar.

Langkung Daro kalap. Ia melemparkan pisau-

pisau kecil ke dalam ruangan gelap itu... "Zing... Zing!" 

Terdengar pula suara orang bergerak-gerak menghin-

dari pisau-pisau kecil yang melesat bagai anak panah. 

Langkung Daro makin gencar menghujani pisau-pisau 

kecilnya. Namun ia masih belum berani masuk ke da-

lam ruangan itu. Gerakan-gerakan orang melompat-

lompat tambah jelas kedengaran... Dan pada anak pi-

sau yang terakhir... "Zing...! Zing!" Dua belah pisau ke


cil meluncur deras! Maka... "Arrrrrght!" Terdengar pula 

sebuah jeritan.

Ruangan itu jadi sepi. Langkung Daro merasa-

kan kebisuan itu, ia pun melangkah perlahan mulai 

memasuki ruangan itu. Ruangan itu betul-betul gelap. 

Apalagi suasana di luar, sinar matahari sudah tidak 

nampak lagi. Matanya nyalang mengawasi sekitar 

ruangan.

Darahnya terkesiap ketika tiba-tiba saja lampu 

pelita menyala dan di hadapannya telah berdiri sosok 

tubuh dengan rambut putih beruban tak terurus. Wa-

jah itu menyeringai menunjukkan mulutnya terbuka 

lebar tanpa sebutir gigi. Langkung Daro tidak sempat 

lagi memekik. Tahu-tahu saja sebuah hantaman keras 

melanda di tubuhnya sampai terlempar keluar melalui 

pintu. Sebelum tubuh itu jatuh ke tanah, belasan pi-

sau-pisau kecil menyusul ke arah Langkung Daro. Be-

gitu tubuh Langkung Daro terkapar di tanah ia tidak 

bergerak lagi.

Sekujur tubuhnya telah menancap semua pi-

sau-pisau kecil miliknya.

Tak berapa lama keluarlah sosok tubuh beram-

but putih dari dalam ruangan gelap. Ia memandangi 

kedua mayat yang terkapar di sekitar halaman bangu-

nan usang itu, Ki Rondo Mayit menyeringai lagi. Ram-

butnya yang putih kusut bergerak-gerak tertiup angin 

malam.

*

**

Gelang-gelang besi bergemerincing saat kuda 

yang ditungganginya melompati gundukan tanah. Be-

gitu juga dengan sahabatnya yang mengikuti perjalanan dalam mencari buronan Bala Tlenges. Dalam per-

jalanan itu sepertinya mereka tidak pernah habis me-

nerobos hutan belukar yang demikian gelap. Mereka 

sendiri kebingungan mencari tempat untuk peristira-

hatan. Di tempat yang segelap itu bagaimana mereka 

bisa memilih tempat yang nyaman. Bulan yang bersi-

nar terang memang nampak dari celah-celah lebatnya 

dedaunan, mereka hanya melihat samar-samar kea-

daan di situ. Bagaimana pun mereka tidak akan men-

dapatkan tempat untuk bermalam, karena seluruh da-

taran hutan itu ditumbuhi dengan rumput alang-alang 

setinggi betis. Akhirnya mereka memutuskan untuk 

meneruskan perjalanan.

Dalam keremangan sinar bulan mereka nam-

pak duduk tegar di atas pelana kuda-kudanya. Suara-

suara binatang malam memenuhi suasana malam itu. 

Beberapa pasang mata burung hantu nampak jalang 

bertengger di atas batang-batang pohon. Mereka tidak 

tahu sampai di mana batas hutan yang mereka lewati. 

Mereka hanya mengikuti jalan yang diterangi sinar bu-

lan.

Mendadak saja kuda-kuda mereka meringkik 

meronta-ronta. Dua orang penunggangnya tetap 

menghela. Namun kuda-kuda itu seperti tidak mau 

meneruskan perjalanannya. Dua penunggang kuda ini 

keheranan. Tiba-tiba saja burung-burung hantu beter-

bangan. Terdengar sekali kepak-kepak sayap mereka 

beterbangan menjauh dari cabang-cabang pohon itu. 

Membuat kuda-kuda itu semakin takut dan meringkik 

keras. Di hadapan mereka telah berdiri sosok tubuh 

berdiri tegak di balik semak-semak. Tubuh itu nampak 

jelas terkena sinar bulan yang menerobos dari celah-

celah dedaunan.

Bukan main mereka kagetnya. Karena yang di


lihat di hadapannya itu tidak lain Bala Tlenges! Buro-

nan mereka! Sosok Bala Tlenges melangkah menerobos 

semak-semak itu. Dua orang penunggang kuda itu 

langsung turun.

"Sudah kuduga kau akan bersembunyi di sini, 

Bala Tlenges! Menyerahlah...! Kau tidak bisa lolos dari 

kami!" kata orang yang bersenjatakan gelang-gelang di 

lengannya

"Menyerah...? Ha-ha-ha-ha-ha...!" Bala Tlenges 

malah tertawa.

Dari atas pohon beberapa sosok tubuh terjun 

ke bawah, serangan itu mendadak sekali. Salah seo-

rang penunggang kuda itu tidak sempat menghindari. 

Tahu-tahu saja tubuhnya telah di rejam oleh kedua 

mayat hidup. Ia menjerit-jerit saat kuku-kuku mereka 

yang laksana jarum menembus di tenggorokan. Gigi-

gigi hitam mereka pun mengoyak habis perutnya.

Orang yang bersenjatakan gelang pun tidak da-

pat menghindari sergapan sosok bertubuh hitam. Tapi 

sekali ia menghentakkan kedua lengannya, tubuh so-

sok hitam itu terlempar jatuh ke tanah. Bala Tlenges 

yang melihat itu langsung melesat ke arah orang itu. 

Kedua telapak tangannya menghantam keras di bagian 

dada. Orang bersenjatakan gelang itu pun ambruk. 

Mayat-mayat hidup yang telah selesai membereskan 

korbannya meluruk menerjang. Sebelum mereka da-

tang mendekat... 

"Creb...! Creb...! Creeb... Creeb!" 

Empat buah gelang menancap tepat di tubuh 

kedua mayat hidup itu, namun mayat-mayat hidup itu 

masih saja datang menerjang seakan gelang-gelang 

yang menembus di tubuh mereka tidak dirasakan sa-

ma sekali. Orang itu pun tidak sempat lagi menghin-

dar. Dirasakan rasa sakit di sekitar tenggorokannya


yang mengeluarkan darah. Begitu juga dengan tubuh-

nya. Sekali mencabik, kuku-kuku yang runcing mero-

bek pakaian serta kulit perutnya. Gelang-gelang di ke-

dua lengannya bergemerincing saat ia meronta-ronta.

*

**

TIGA



"Suiiiiit...!" Mendengar aba-aba yang demikian 

kedua mayat hidup berhenti menyerang meninggalkan 

korbannya. Korbannya masih bergerak-gerak dan be-

rusaha bangkit. Seluruh tubuhnya telah berlumuran 

darah. Bala Tlenges menatap puas.

"Kenapa cuma kalian berdua yang menyerbu ke 

mari? Mana yang lain!" bentak Bala Tlenges. Orang itu 

tidak menjawab, hanya gelang-gelangnya yang berge-

merincing. Ketika Bala Tlenges melangkah mendekat, 

orang itu melemparkan beberapa gelangnya... 

"Zing...! Zing...!" Bala Tlenges yang selalu awas 

melompat ke atas, tubuhnya bersalto di udara. Gelang-

gelang itu meleset ke tempat yang kosong. Dan ketika 

Bala Tlenges hampir menginjak tanah, tubuh

berlumuran darah itu melancarkan serangan 

lagi. Kakinya bergerak menyapu bagian bawah, namun 

tetap saja serangan itu gagal.

Bala Tlenges yang masih berada di udara me-

mutar kakinya ke depan... "Deeees!" Tendangan itu 

melempar tubuh berlumuran darah itu semakin jauh. 

Darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih sa-

ja dapat bangkit berdiri. Dua ekor kuda masih tetap 

berdiri di situ sambil meringkik-ringkik ketakutan. Diluar dugaan tubuh berlumuran darah itu melompat ke 

atas pelana dan kuda itu cepat membawa pergi tuan-

nya dari tempat itu. Bala Tlenges sengaja tidak menge-

jarnya. Wadak Keling dan dua mayat hidup masih ter-

paku melihat kepergian orang itu.

"Mengapa ia dibiarkan hidup, Bala Tlenges...? 

Tanpa kau yang turun tangan, mayat-mayat hidup ini 

bisa bekerja sendiri..." kata Wadak Keling. Dua mayat 

hidup di sampingnya bergerak-gerak menyeramkan.

"Tolol! Orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar 

Swantaka tidak berarti apa-apa bagi kita... Membunuh 

mereka sama mudahnya membalikkan telapak tangan 

...! Kalau dia mampus, mana bisa kita tahu di mana 

Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Karena selama 

ini hanya bangsat itu yang kita cari!

"Akal yang cerdik, Bala Tlenges! Aku tidak ber-

pikir sampai ke situ... Tentunya kita sekarang harus 

cepat membuntutinya....!" ujar Wadak Keling. Bala 

Tlengas tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh lalu 

secepat kilat ia melesat. Melihat kepergian Bala 

Tlenges, Wadak Keling memimpin kedua mayat hidup 

itu berlari mengikuti. Maka terlihatlah empat sosok 

bayangan hitam berlarian menembus kegelapan ma-

lam. Sementara itu di hadapan mereka terdengar derap 

langkah kuda yang sangat cepat.

Wintara bersama Umbara Komang tidak lagi 

berteduh pada pohon yang rindang di depan pengina-

pan itu. Mereka kini berada di tempat yang lebih nya-

man, dari pada udara di luar yang mulai dingin. Mere-

ka baru saja selesai makan malam, Umbara Komang

sengaja dipisahkan pada meja yang lain. Ia belum juga 

menyelesaikan santapannya. Karena wanita kembar 

itu sengaja membayarinya pesanan yang banyak untuk 

manusia gila itu. Mulutnya berdecak-decak saat men


gunyah. Orang-orang yang kebetulan akan bermalam 

di situ, menyaksikan sambil tertawa keheranan. Nasi 

hampir sebakul munjung berpindah habis ke dalam 

perutnya.

Umbara Komang sendiri tersenyum-senyum ke 

arah setiap pendatang yang ada di penginapan itu. Ke-

tika ia minum ia tidak perlu lagi menuang air ke dalam 

gelas bambu, ia langsung menenggaknya langsung dari 

pundi. Semua orang pun tertawa ngakak melihat ting-

kahnya. Setelah air dalam pundi itu habis ia menyeka 

mulutnya dengan lengan baju. Wintara bersama dua 

wanita kembar masih duduk pada meja sebelah. Mere-

ka juga memperhatikan tingkah Umbara Komang yang 

sangat lucu dan menggelikan.

Meskipun malam mulai merambat gelap. Desa 

itu sangat ramai dan banyak diterangi lampu-lampu 

pelita maupun obor sebagai penerang jalan. Orang-

orang masih banyak yang berseliweran di tiap-tiap 

muka rumah. Beberapa orang yang berjalan beriringan 

di tengah jalan segera menyingkir saat seekor kerbau

penarik gerobak melewati jalan itu. Di atas gerobak 

beberapa anak kecil menjaga beberapa buntelan kain. 

Kerbau itu di tuntun oleh seorang nenek keriput yang 

berjalan tanpa alas kaki.

Ia menghentikan kerbaunya di depan sebuah 

penginapan yang cukup ramai. Melihat itu seorang pe-

layan keluar. Nenek itu langsung menghadap.

"Maaf, Den... Aku memang tidak punya uang, 

tapi kami butuh tempat untuk bermalam. Besok kami 

berangkat lagi..." kata nenek itu pelan tubuhnya nam-

pak menggigil kedinginan.

"Maaf, Nek... Bukan saya tidak mengijinkan, 

kamar-kamar di sini telah penuh semua. Coba saja 

nenek cari tempat lain..." jawab pelayan itu. Wajah si


nenek memelas. Nampaknya ia telah lelah sekali.

"Seriti Wuni, coba kau lihat ke sana.. " Salah 

satu wanita kembar itu menunjuk ke arah pelayan 

yang tengah berbicara dengan seorang nenek. Wintara 

ikut menoleh.

"Bukankah mereka para penduduk yang tinggal 

di dalam hutan sana? Ada apa nenek itu bersama cu-

cunya ke mari?" jawab salah seorang wanita kembar 

itu, ia bangkit berdiri melangkah. Wanita satunya 

mengikuti. Umbara Komang memperhatikan mereka, 

tapi kembali ia asyik dengan santapannya. Wintara te-

tap duduk diam.

"Ada apa dengan nenek ini...?" tanya salah seo-

rang wanita kembar.

"Nenek ini bersama cucu-cucunya akan berma-

lam di sini, tapi semua kamar telah penuh... Saya me-

nyarankan agar ia mencari tempat lain saja." kata pe-

layan penginapan ramah. Wanita kembar ini memper-

hatikan raut wajah yang nampak begitu letih. Lalu 

pandangan mereka beralih ke belakang nenek itu, me-

reka melihat seekor kerbau penarik gerobak dengan 

barang-barang berikut anak-anak kecil di atasnya.

"Bukankah nenek penduduk di hutan terpencil 

itu... Aku masih ingat betul sewaktu melintasi daerah 

hutan sana!"

"Betul, Ndoro... Orang-orang kampung pedala-

man semua ngungsi malam ini. Kami semua ketaku-

tan. Empat orang berwajah seram tiba-tiba saja datang 

mengamuk membantai semua laki-laki yang ada di ke-

luarga kami...! Sekarang kami sudah terlalu lelah. Ka-

mi perlu istirahat malam ini... Kami rasa di sini 

aman..." kata nenek itu memohon. Dua wanita kembar 

saling pandang begitu mendengar penjelasan nenek 

itu.


"Lalu ke mana keempat orang yang menyeram-

kan itu, Nek...? Apakah sekiranya nenek mengeta-

huinya...?" tanya wanita itu tidak sabaran.

"Entahlah... di sana tidak ada perkampungan 

lagi... yang nenek tahu mereka mengamuk saat pen-

duduk hutan terpencil tertidur pulas. Dua di anta-

ranya mayat hidup. Salah seorang di antaranya bertu-

buh hitam, lalu yang seorang lagi menyebut-nyebut 

nama Raden Mas Kinanjar Swantaka...." Bagai tersam-

bar petir kedua wanita kembar itu mendengarnya. Lalu 

dengan cepat ia menarik lengan pelayan yang masih 

berdiri di situ.

"Berikan dua kamar yang ku pesan tadi untuk 

mereka. Dan tolong keluarkan kuda-kuda kami... Ce-

pat!" Setelah berkata begitu, salah seorang wanita 

kembar itu menoleh arah Wintara yang sejak tadi 

memperhatikannya. Pelayan itu dengan sigap berjalan 

ke samping menuju kandang kuda. Salah seorang dari 

wanita itu membawa masuk nenek yang menggigil ke-

dinginan, yang seorang lagi menuruni anak-anak kecil 

satu persatu dari atas gerobak. Mereka membawa ma-

suk keluarga itu ke dalam ruangan itu.

"Nanti barang-barang nenek diangkut oleh pe-

layan tadi, tenang saja di sini..." Perempuan itu menge-

luarkan sekantong uang. Lalu diberikannya pada ne-

nek itu.

"Besok pagi kalau nenek mau berangkat, bayar 

pakai uang ini... Sisanya ambil buat nenek, ya?" kata 

perempuan itu ramah. "Anak muda ke mari... Ajak se-

kalian teman mu

ke mari...!" kata yang seorang lagi. Wintara 

langsung bangkit dari bangku panjang. Sambil me-

langkah ia menepuk punggung Umbara Komang yang 

telah selesai makan. Melihat Wintara bangkit berjalan,


Umbara Komang ikut bangkit meninggalkan mejanya 

menyusul langkah-langkah Wintara.

Pelayan itu datang lagi membawa dua ekor ku-

da. Wanita kembar itu menerima kuda-kuda mereka. 

Wintara dan Umbara Komang sudah berada di situ.

"Terima kasih. Antarkan keluarga ini ke kamar, 

jangan lupa tolong bawakan barang-barang mereka... 

Aku telah menitipkan sejumlah uang pembayaran ka-

mar dan makan kami tadi, kalau perlu beri mereka 

makan dulu..." Perempuan itu langsung menaiki ku-

danya.

"Ayo, Seriti Kuni... Kau naik bersamaku di sini! 

Biar anak muda itu bersama temannya dengan kuda 

itu! Atau kau ingin bersama dengan lelaki gila itu?"

"Chis! Siapa yang mau! Seriti Wuni kalau ngo-

mong seenaknya saja! Jangan-jangan kau yang naksir 

sama dia..." jawab Seriti Kuni langsung melompat ke 

belakang Seriti Wuni kembarannya. Wintara masih 

berdiri terpaku memandangi mereka. Umbara Komang 

menggaruk kepala.

"Cepat anak muda...! Kita harus segera ke ben-

teng! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya...!" 

Dengan tenang Wintara menaiki kuda itu. Umbara 

Komang tetap diam. Tapi Wintara cepat menariknya ke 

atas kuda. Umbara Komang nyengir ke arah wanita 

kembar itu....

*

* *

EMPAT BELAS



Tubuh berlumuran darah itu terkatung-katung

di atas seekor kuda yang ditungganginya. Gelang-

gelang yang ada di kedua lengannya bergemerincing 

membisingkan. Kuda itu membawanya menuju ke se-

buah benteng. Dari kejauhan benteng itu nampak 

tinggi menghitam, dengan tonggak-tonggak bambu 

yang runcing.

Sesampai di depan pintu gerbang yang terbuat 

dari susunan bambu setinggi tiga tombak kuda itu 

menyepak-nyepakkan kakinya ke pintu itu. Orang-

orang yang berada di balik pagar bambu itu mendadak 

kaget. Beberapa tenda yang ada di sekitar tanah la-

pang itu nampak terang benderang. Raden Mas Kinan-

jar Swantaka sendiri belum tidur. Ia masih menatap 

sinar rembulan yang bersinar penuh di luar tenda. Ia 

pun mendadak kaget setelah mendengar suara pintu 

gerbang berderak-derak.

Puluhan orang menuju ke arah pintu. Dari lu-

bang-lubang yang sengaja dibuat pada pintu gerbang, 

mereka melihat sosok tubuh pendekar gelang paksi 

terluka parah. Maka cepat mereka membuka pintu. 

Seekor kuda masuk membawa tubuh berlumuran da-

rah. Sosok tubuh terluka itu merintih-rintih....

"Bala Tlenges...! Hhhh... Bala Tlenges...!" Sosok 

itu ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Semua orang 

mengerumuni tubuh terlentang bersimbah darah. Da-

lam pada itu dua sosok bayangan menyebarkan bau 

busuk melesat dari luar masuk ke dalam sambil me-

lancarkan serangan dengan cakaran-cakaran yang 

mematikan. Mendadak saja tempat itu penuh dengan 

jeritan kesakitan. Puluhan orang itu segera mengepung 

kedua orang yang datang-datang mengamuk. Namun 

kepungan mereka sia-sia! Dua sosok ini tidak perduli 

dengan orang-orang yang demikian banyaknya mener-

jang. Dua sosok busuk itu makin liar melancarkan cakaran cakarannya. Sekali cakar, dua sampai tiga orang 

bergulingan.

Dalam keramaian itu datang lagi dua sosok dari 

luar. Lesatan tubuhnya begitu cepat. Tahu-tahu saja 

kedua orang itu berada di antara puluhan orang yang 

tengah mengepung dua mayat hidup. Mereka pun sa-

ma brutal. Datang-datang langsung mengamuk mem-

bantai orang-orang itu. Hantaman-hantaman mereka 

lebih parah. Sekali hantam ada yang kepalanya pecah, 

ada juga yang patah tulang! Sungguh mengerikan!

Raden Mas Kinanjar Swantaka berlari ke arah 

kekacauan itu. Dilihatnya para anak buahnya berpen-

talan satu demi satu. Matanya terbelalak melihat em-

pat sosok mengamuk menjatuhkan para prajuritnya. 

Dan yang membuat dia tak percaya ketika melihat so-

sok Bala Tlenges di antara empat pengacau itu. Den-

gan geram ia melompat ke arah pertempuran itu.

"Hreaaaaaaaa!" Teriakannya menggelegar men-

gisi kegaduhan itu. Tubuhnya melesat di udara dan tu-

run langsung melancarkan serangan kepungan Bala 

Tlenges... "Deeees!" Mendapat hantaman yang demi-

kian keras, Bala Tlenges tidak goncang sedikit pun. 

Malah ia berbalik menoleh ke arah penyerangnya. Ia 

pun menggeram sengit.

"Bagus, Bala Tlenges! Kau datang untuk men-

gantarkan nyawa! Hreaaat!" Raden Mas Kinanjar 

Swantaka melancarkan tendangannya. Bala Tlenges 

cepat menangkis.

"Aku justru datang untuk mengakhiri hidupmu, 

Raden Terkutuk!" kata Bala Tlenges sambil membalas 

serangan. Raden Mas Kinanjar Swantaka melompat 

jauh memisahkan diri dari para prajuritnya yang ten-

gah menggempur dua sosok mayat hidup dan sosok 

berkulit hitam. Bala Tlengas pun ikut melompat, kedua

lengannya berputar-putar menyambar tubuh Raden 

Mas Kinanjar Swantaka... Beberapa hantaman hampir 

saja mengenainya. Raden Mas Kinanjar Swantaka 

membalas dengan sabetan lengan kirinya... "Weees!" 

Bala Tlenges gelagapan menyambut! Ia tidak menyang-

ka Raden Mas Kinanjar Swantaka begitu hebat. Tinju 

Bala Tlenges maju lagi, kali ini bergulung-gulung men-

cecar pada bagian yang mematikan.

"Mampus!" teriak Bala Tlenges, hantamannya 

menyerempet tubuh lawannya. Namun cukup pedas 

terasa di pinggang Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia 

pun segera membalas serangan dengan tendangan 

memutar... "Blaaak!" Bala Tlenges menyambut dengan 

kedua telapak tangannya. Benturan itu sangat keras. 

Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka sampai terbant-

ing. Melihat lawannya kehilangan posisi, Bala Tlenges 

menerjang lagi... Tapi... "Cletaaar...! Cletaaar!" Dua 

cambuk sekaligus melilit di tubuh Bala Tlenges mena-

han gerakannya. Wanita kembar, Wintara dan Umbara 

Komang sudah berada di situ.

Wintara berlari ke arah Raden Mas Kinanjar 

Swantaka. Ia membantunya bangkit berdiri. Bala 

Tlenges menatap geram terhadap dua wanita kembar 

yang menahannya. Umbara Komang malah menyaksi-

kan pertempuran yang tengah berlangsung. Kedua ma-

tanya membelalak ketika ia melihat sosok bertubuh hi-

tam menghantam jatuh para prajurit Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka.

"Minggir...! Minggir...! Siluman hitam itu mu-

suhku! Biar aku yang menghirup darahnya...!" Tiba-

tiba saja Umbara Komang berlari ke arah pertempu-

ran. Kedua lengannya sibuk melemparkan orang-orang 

yang menghalanginya. Wintara mendengar teriakan 

Umbara Komang, maka ia pun menoleh ke arah sahabatnya itu. Tanpa sengaja ia melihat dua sosok mayat 

hidup mengamuk. Ia sampai terperanjat tak percaya. 

Dalam kelengahan itu sebelah kaki Bala Tlenges 

menghantam perut Wintara... "Bug!" Tubuhnya terpe-

lanting jatuh. Wintara bangkit lagi, ia tidak membalas 

serangan itu. Matanya masih tertuju pada kedua 

mayat hidup yang mengamuk membabi buta. Bagai-

mana pun Wintara masih mengenali mereka. Mayat-

mayat itu tidak lain dari jasad Raden Sintoro Tinggil 

dan Gada Rencah. (Baca: Tapak Hitam Rajawali Perak 

& Tapis Ledok Membara). Yah jelas sekali wajah-wajah 

mereka. Sampai mati pun Wintara tetap yakin! Yang 

menjadi pertanyaan adalah, kenapa mereka bisa bang-

kit dari kubur? Tentunya ada yang membangkitkan-

nya. Pikirannya buyar saat ia mendengar teriakan dua 

wanita kembar.

Bala Tlenges menarik kuat kedua cambuk yang 

melilit di tubuhnya. Maka kedua wanita kembar ini 

terbanting bergulingan di tanah. Cambuk-cambuk itu 

lepas dari belitan di tubuh Bala Tlenges. Ia tidak mem-

perdulikan perempuan-perempuan itu, langkahnya 

menerjang deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swanta-

ka. Tapi mana mau wanita kembar itu membiarkan 

junjungannya celaka. Hebatnya Raden Mas Kinanjar 

Swantaka bisa mengatasi suasana. Saat Bala Tlenges 

menerjang, Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambut 

dengan sodokan kaki kirinya yang menghantam keras 

ke perut Bala Tlenges.

Saat tubuhnya terbanting, Seriti Wuni dan Seri-

ti Kuni melancarkan cambuknya.

Cambuk-cambuk itu mendera di tubuh Bala 

Tlenges. Raden Mas Kinanjar Swantaka datang ikut 

mengeroyok. Mendapat serangan dari tiga orang la-

wannya yang berilmu tinggi, Bala Tlenges setengah


mati mengatasinya.

Wadak Keling telah menjatuhkan belasan 

orang. Hantaman-hantamannya selalu saja memakan 

korban. Teriakannya berbareng saat ia melancarkan 

hantaman, begitu juga dengan pekikan kesakitan para 

prajurit itu. Telah banyak bergelimpangan sosok-

sosok tubuh bersimbah darah. Wadak Keling tidak ta-

hu lagi kalau di tempat itu telah berdiri sosok manusia 

gila Umbara Komang. Saat Wadak Keling menghantam 

ke samping... "Deeeees!" Lengannya berdenyut! Terasa 

sekali ia membentur benda yang sangat keras. Kiranya 

benturan itu akibat Umbara Komang yang menyambut 

serangannya tadi dengan sebuah pukulan. Wadak Kel-

ing sendiri tidak menduga kalau Umbara Komang su-

dah berada di situ.

"He-he-he... Sekarang kita sama-sama siluman! 

Aku tidak perlu takut lagi dengan mu... Ayo siluman 

hitam kita bertempur sampai neraka ini hancur..." 

ujar Umbara Komang. Wadak Keling langsung meng-

hadapinya. Melihat kedua orang ini saling berhadapan 

para prajurit segera mundur.

"Kebetulan kita bertemu di sini, Umbara Ko-

mang! Mari maju! Biar nyawamu yang gila dapat me-

layang!" gertak Wadak Keling sambil melancarkan be-

berapa hantaman. Sambil nyengir Umbara Komang 

merunduk, sebelah tangannya menyambar hantaman-

hantaman itu.

"Aku bukan Umbara Komang. Tapi siluman 

baik! Tidak seperti kau siluman yang hitam dan jahat!" 

Tendangan Umbara Komang menjurus ke depan. 

Menghadapi tendangan yang sangat cepat, Wadak Kel-

ing tidak dapat menghindar. Apalagi tendangan-

tendangan itu beruntun mencecar... 

"Des! Des!" Dua tendangan sekaligus membuat


tubuh hitam itu bergulingan. Tapi dalam keadaan se-

perti itu Wadak Keling menghentakkan sebelah len-

gannya, maka tubuhnya melesat ke atas. Lalu menu-

kik menerjang ke bawah.

"Mampus kau, Gila!" Hantaman Wadak Keling 

berkelebat menyambar. Umbara Komang menyambut 

dengan menggeser tubuhnya ke samping,... Hantaman 

itu meleset. kini berganti Umbara Komang yang memu-

tar lengannya... 

"Des!" Wadak Keling ambruk ke tanah. Tubuh-

nya bergulingan ke arah para prajurit yang masih ber-

diri di situ. Mereka yang sejak tadi menunggu kesem-

patan, tidak menyia-nyiakannya. Begitu tubuh Wadak 

Keling berguling ke arah mereka, para prajurit itu 

menghujami tubuh hitam itu dengan senjata-senjata 

mereka. Maka terdengarlah jeritan Wadak Keling yang 

menyayat.

Beberapa saat kemudian para prajurit itu be-

terbangan terlempar. Wadak Keling berontak sekuat 

tenaga. Para pengeroyoknya bergelimpangan. Ia berdiri 

terhuyung dengan tubuh yang terkoyak bersimbah da-

rah. Kedua matanya merah. Umbara Komang tidak 

membiarkan Wadak Keling berdiri terlalu lama. Den-

gan gerakan yang sangat cepat ia menyambar sebilah 

pedang yang tergeletak di tanah. Lalu pedang itu 

membersit memisahkan kepala Wadak Keling dari le-

hernya... "Bet!" Tubuh hitam itu pun terbanting kelojo-

tan dengan darah menyembur di leher.

*

**

LIMA BELAS



Dengan sengit Umbara Komang menendang ke-

ras kepala Wadak Keling yang masih menggelinding di 

tanah. Kepala itu melayang deras membentur pagar 

bambu, membleduk! Lalu Umbara Komang menoleh 

melihat kesibukan Wintara menghadapi dua mayat hi-

dup yang mengamuk memakan korban. Ia pun melihat 

Wintara berhasil menghantam beberapa kali. Namun 

kedua mayat hidup itu tetap saja masih sanggup me-

lawan.

"Kalian semua menyingkir...! Kedua mahluk ini 

sangat berbahaya! Menyingkir!" teriak Wintara sambil 

menghalangi serangan-serangan kedua mayat itu yang 

liar mencakar-cakar setiap orang yang ada di hada-

pannya. Dalam pada itu tubuh Umbara Komang me-

lompat ke situ. Membentak-bentak semua para praju-

rit yang bersikeras menyingkirkan kedua mayat hidup 

itu. Namun orang-orang itu masih saja terus mendesak 

menyerang.

"Siluman-siluman tolol tidak tahu penyakit... 

Dua orang ini raja neraka! Ditambah sepasukan kera-

jaan lagi pun kalian tidak akan sanggup menyingkir-

kannya." Umbara Komang mendorong beberapa orang 

yang ada di hadapannya. Mereka pun bergulingan.

"Tindakan kalian hanya merepotkan saja! Kalau 

mau tetap tinggal di surga kalian menyingkir!" Umbara 

Komang melancarkan tendangan menyingkirkan mere-

ka. Orang-orang itu pun segera menyingkir. Semua 

yang dikatakan laki-laki gila itu memang benar. Para 

prajurit itu cukup ngeri setelah melihat belasan mayat 

bergelimpangan di sekitar tempat pertempuran. Hal itu 

juga yang membuat beberapa orang lari terbirit-birit. 

Seketika tempat itu menjadi leluasa. Yang nampak 

hanya Wintara menghadapi kedua mayat hidup.


"Dewa...! Jangan gentar terhadap raja-raja ne-

raka itu! Aku datang membantu!" Umbara Komang me-

lancarkan serangan terhadap salah satu mayat hidup 

itu. Adanya bantuan dari Umbara Komang, Wintara ti-

dak perlu tarik otot lagi menghadapi mayat hidup itu. 

Wintara sendiri yakin sahabatnya itu pasti bisa menga-

tasinya. Sebagai pendekar Pengelana Sakti tentunya 

Wintara bisa mengukur kehebatan ilmu Umbara Ko-

mang. Dan ia tidak ragu-ragu lagi membiarkan laki-

laki gila itu menghadapi salah satu mayat hidup.

"Semasa hidupnya mereka musuh-musuhku, 

siluman...! Yang kau hadapi adalah jasad Raden Sinto-

ro Tinggil!" ujar Wintara, tangannya menepiskan kedua 

cakaran yang hampir merobek tenggorokannya. Lalu 

membalas menyerang dengan sebuah pukulan. Tin-

junya tepat mengena, bahkan lengan Wintara sampai 

menembus di lambung mayat hidup itu. Ketika ia me-

narik lengannya isi perut yang bercampur dengan ra-

tusan belatung menghambur. Wintara bergidik.

"Pantas ia jadi raja neraka! Seorang raden ma-

na pantas jadi siluman!" jawab Umbara Komang yang 

juga berhasil menendang patah tulang leher jasad Ra-

den Sintoro Tinggil. Namun mayat hidup itu tetap ber-

diri kokoh dengan kepala miring menyentuh bahu. Ke-

dua cakarnya yang runcing siap menerkam. Umbara 

Komang berguling ke samping sambil mendorong ke-

dua telapak tangannya... "Deees!" Tenaga yang luar bi-

asa itu melempar jauh jasad Raden Sintoro 

Tinggil. Tubuh itu melambung jauh tinggi ke 

udara. Di bawahnya menanti pagar bambu dengan 

ujung-ujungnya yang runcing berderet.... "Jreeeees!" 

Tubuh busuk itu jatuh tepat menancap di atas pagar. 

Dengan seketika tubuh itu kaku tak bergeming.

Mengira akan bangkit lagi, Umbara Komang


melesat ke atas lalu kedua kakinya dengan kuat men-

ginjak tubuh busuk itu makin amblas tertancap pagar 

bambu. Umbara Komang masih tetap berdiri di atas 

tubuh itu. Kedua matanya tertuju pada Wintara meng-

hadapi jasad musuh lamanya. Hantaman-

hantamannya menggeledek mendera. Namun mayat 

hidup itu selalu saja dapat bangkit dan menyerang la-

gi.

Jasad Gada Rencah ini memang alot. Untuk 

mengenal Gada Rencah, anda bisa mengikuti serial 

Pendekar Kelana Sakti dalam 'Tapis Ledok Membara') 

Wintara sudah melancarkan serangan dengan berbagai 

cara. Bahkan selalu mengena telak. Tapi jasad ini tidak 

pernah roboh dan lumpuh. Dalam pada itu Wintara 

sempat melihat sosok tubuh kaku di atas pagar. Sosok 

itu tidak lain jasad Raden Sintoro Tinggil. Umbara Ko-

mang berdiri menginjak tubuh itu. Selintas Wintara 

mendapat satu cara. Tiba-tiba saja Wintara berlari 

menjauh meninggalkan jasad Gada Rencah yang masih 

mengejar melancarkan cakaran-cakarannya ke arah 

Wintara.

Sekali hantam pagar bambu itu berantakan. 

Wintara menarik salah satu batang bambu itu. Ujung 

bambu yang runcing diarahkan pada jasad Gada Ren-

cah yang datang menerjang. Umbara Komang segera 

turun, ia pun mengikuti seperti yang dilakukan Winta-

ra Sebilah bambu panjang dengan ujung yang runcing 

pula, siap mengarah. Keduanya sama-sama berlari 

berbarengan menyambut terjangan Gada Rencah... 

Maka... "Breeees...! Breeeees!" Kedua bilah bambu itu 

menembus di jasad menyeramkan. Tubuh busuk itu 

pun diam dengan seketika! Mereka mendorong terus 

dua bilah bambu. Tubuh yang sudah kaku terkulai 

dengan tubuh yang tertembus batang-batang bambu.


Jasad itu betul-betul sudah tak berkutik.

"Ayo siluman... Cepat kita bantu Raden Mas 

Kinanjar Swantaka!" Wintara menarik Umbara Ko-

mang. Laki-laki gila itu mengikuti langkah Wintara.

"Siluman hitam telah mengganti nama ku...!" 

Umbara Komang nyengir.

"Rasanya nama Umbara Komang sangat cocok 

untukku, baguskan nama itu..." katanya lagi. Wintara 

berhenti melangkah.

"Nama itu lebih bagus daripada aku harus me-

nyebut mu siluman!"

"Asyiiiiik... Aku sekarang Umbara Komang... 

Aku bukan siluman lagi! Kalian semua yang silu-

man...!" katanya kegirangan sambil menunjuk-nunjuk 

orang-orang yang berdiri ketakutan. Ia bangga sekali 

dengan nama barunya.

*

**

Tendangan Bala Tlenges yang dahsyat luar bi-

asa menjatuhkan dua wanita kembar dan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka. Ketiganya jatuh bergulingan. Ke-

dua wanita kembar itu menyemburkan darah. Raden 

Mas Kinanjar Swantaka memegangi dadanya yang 

memar. Bala Tlenges menatap garang saat mereka ber-

gulingan. Ia bukannya tidak tahu dengan kematian ke-

tiga orang temannya. Maka ia tidak tanggung-tanggung 

lagi melancarkan serangan ke arah Raden Mas Kinan-

jar Swantaka. Namun kedua wanita kembar itu beru-

saha menghalangi dengan sabetan-sabetan cambuknya 

yang mendera di tubuh Bala Tlenges.

Dengan sengit Bala Tlenges menangkapi cam-

buk-cambuk yang mendera di tubuhnya. Lalu kuat


kuat ia menariknya sampai tubuh kedua wanita kem-

bar itu ikut terbawa. Bala Tlenges menyambarnya den-

gan hantaman yang membuat kedua tubuh ramping 

itu terbanting. Sebelum Bala Tlenges datang menye-

rang Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit melancar-

kan tendangan.

Bala Tlenges yang repot melancarkan hanta-

man ke arah wanita kembar itu tidak sempat meng-

hindari tendangan Raden Mas Kinanjar Swantaka ber-

sarang di pinggang. Umbara Komang yang ada di situ 

langsung menghantamkan kedua lengannya ke tubuh 

Bala Tlenges yang masih terhuyung. Kontan tubuh 

Bala Tlenges terpelanting. Dengan sigap pula ia bang-

kit berdiri.

Kini di hadapannya telah berdiri lima orang. 

Paling tengah berdiri sosok Raden Mas Kinanjar Swan-

taka. Wintara paling ujung di samping Umbara Ko-

mang.

"Hukum sudah tidak berlaku lagi untuk ku, 

Raden... Hayo, kalian lima-limanya maju semua! Ka-

lian pikir aku gentar?" kata Bala Tlenges sambil men-

gikat kencang ikat pinggangnya. Perut serta dadanya 

nampak kencang. Pada tenggorokannya masih terbalut 

dengan belitan kain usang. Ia melangkah maju. Kedua 

wanita kembar, Seriti Wuni dan Seriti Kuni menyerang 

lebih dulu. Cambuknya berkelebat ke sana ke mari ba-

gai ekor naga. Raden Mas Kinanjar Swantaka mener-

jang melancarkan dua tinjunya sekaligus. Umbara 

Komang melesat ke atas menghantam bagian kepala.

Bala Tlenges tidak mundur selangkah pun. Se-

belah tangannya dapat menangkapi cambuk-cambuk 

wanita kembar itu, lalu sebelah lengannya lagi me-

nyambut tinju Raden Mas Kinanjar Swantaka yang 

berturut-turut. Benturan hantaman itu membuat Raden Mas Kinanjar Swantaka terpelanting ke tanah. 

Wanita kembar itu memekik kesakitan saat tendangan 

keras Bala Tlenges mendarat di perut mereka. Umbara 

Komang yang masih di udara melancarkan pukulan-

nya ke kepala Bala Tlenges... "Der!" Jelas sekali kepala 

itu pecah! Darah mulai menghambur dari batok kepa-

lanya. Namun Bala Tlenges masih tetap berdiri tegar. 

Umbara Komang hinggap di tanah tanpa bersuara. Ia 

tidak tahu dari arah belakang Bala Tlenges melancar-

kan tendangannya... 

"Plaak!" Wintara datang menepis tendangan itu, 

tapi dengan cepat pula Bala Tlenges membalas. Dan 

Wintara tidak mengira akan mendapat hantaman telak 

di dadanya. Setelah menghantam dada Wintara, Bala 

Tlenges memutar kakinya ke belakang... 

"Des!" Salah seorang wanita kembar memekik. 

Kembali dari mulutnya menyembur darah. Melihat itu, 

Wintara melompat menerjang. Hantaman siap mere-

mukkan kepalanya. Namun belum sempat Wintara 

melancarkannya, Bala Tlenges berbalik menghantam 

pinggangnya... 

"Bug!" Wintara jatuh terbanting. Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka tidak tinggal diam. Cepat ia meraih 

pedang dari salah seorang prajurit yang berada di de-

kat situ. Lalu dengan sekuat tenaga ia membabatkan 

ke arah perut... 

"Brwweeeek!" Perut itu nampak menghambur-

kan darah.

"Ha-ha-ha-ha-ha... Kalian pikir mudah mem-

bunuh ku...? Jangan harap Raden..!" Bala Tlenges ma-

lah tertawa. Mendadak lengannya berputar menghan-

tam Raden Mas Kinanjar Swantaka... 

"Deeeeer!" Menghantam keras di dada. Tubuh-

nya terlempar ke arah bambu-bambu yang sangat


runcing. Wintara cepat menyanggah tubuh itu. Bam-

bu-bambu runcing diam di samping mereka. Kalau ta-

di Wintara tidak cepat menyanggah tubuh Raden Mas 

Kinanjar Swantaka, mungkin tubuh itu telah menjadi 

sate manusia. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah 

terkulai lemas tak berkutik. Dari mulutnya berkali-kali 

menyembur darah segar.

"Raden... Bala Tlenges memiliki ilmu membaca 

pikiran orang. Satu-satunya orang yang mampu men-

gatasinya cuma Umbara Komang, karena pikiran dia 

selalu simpang siur..." bisik Wintara. Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka menarik nafas.

"Tangkap dia...!" perintah Raden Mas Kinanjar 

Swantaka.

"Pendekar kembar menyingkirlah..." teriak Win-

tara. Maka kedua wanita kembar yang nampak terluka 

parah itu menggeser tubuhnya menjauh. Namun Bala 

Tlenges masih terus melancarkan serangan kepada 

pendekar kembar itu. Wintara dan Umbara Komang 

menerjang menghalangi serangan-serangan itu... 

"Deeeeer!" Bala Tlenges menyambut Wintara dengan 

tendangan! Tapi untuk Umbara Komang, ia berhasil 

menghantam punggung Bala Tlenges. Sosok berlumu-

ran darah itu tersungkur namun hanya dalam sekejap 

ia bangkit lagi. Kedua tangannya sibuk membetulkan 

ikat pinggangnya yang hampir terlepas.

Seriti Kuni menyambar pedang dari tangan Ra-

den Mas Kinanjar Swantaka. Pedang itu dilemparkan-

nya kuat-kuat, maka... 

"Jreeeeeb!" Pedang itu menembus di dada 

samping ke tulang punggung. Tubuh itu hanya tersen-

tak sebentar, sesaat kemudian ia terus melancarkan 

serangan ke arah Umbara Komang.

Kini hanya Umbara Komang sendiri yang


menghadapi Bala Tlenges. Umbara Komang berkelit ge-

sit menghindari serangan-serangan itu. Gerakan-

gerakan aneh Umbara Komang sukar untuk dihindari. 

Tubuh yang tertancap pedang itu mendadak mencelat 

saat Umbara Komang mendorong kakinya ke depan! 

Ternyata tendangan itu sangat keras dan berisikan te-

naga penuh.

Semua yang dikatakan Wintara benar! Bala 

Tlenges memiliki ilmu membaca pikiran orang. Meng-

hadapi laki-laki gila yang pikirannya semerawut dalam 

bertindak, Bala Tlenges betul-betul terkecoh. Ia tidak 

dapat mengira setiap hantaman yang dilancarkan oleh 

Umbara Komang.

Bala Tlenges meraung-raung dengan kedua te-

lapak tangan yang siap mencakar. Umbara Komang 

hanya nyengir, lalu ia pun mengikuti gerakan-gerakan 

itu. Mereka sama-sama mengeluarkan cakaran-

cakaran. Sudah tentu Bala Tlenges merasa dipermain-

kan. Maka ia pun menerjang dengan geram... Di luar 

dugaan Umbara Komang cepat merunduk sambil ca-

karnya menyambar bagian perut...

"Brweeeeek!" Tanpa sengaja pula ikat pinggang 

Bala Tlenges ikut tertarik dalam cakaran Umbara Ko-

mang.

Sesaat kemudian Bala Tlenges berkelojotan ke-

jang. Jeritannya menggelegar membisingkan tempat 

itu. Para prajurit beringsut minggir. Mereka tinggal se-

paruh. Separuh lagi telah berserakan terkapar meme-

nuhi dataran itu. Ada yang tewas ada juga yang luka-

luka berat. Jeritan Bala Tlenges melengking tinggi. Ma-

tanya membeliak-beliak menahan sakit.

Tubuh yang berlumuran darah dengan pedang 

yang menembus ke punggung itu bangkit terhuyung, 

kedua matanya liar menatap ke arah Raden Mas Ki


nanjar Swantaka. Langkah-langkahnya gontai mende-

kat. Semua mata memandang kepadanya. Rata-rata 

mereka menatap ngeri.

Lalu mereka semua yang berada di situ meme-

kik saat Bala Tlenges menerjang deras ke arah Raden 

Mas Kinanjar Swantaka yang masih lemas terluka di 

samping Wintara. Tentu saja Wintara tidak membiar-

kan Bala Tlenges melancarkan serangan terhadap 

orang yang terluka di sebelahnya. Dengan cepat pula 

Wintara menendang ke depan... menggagalkan seran-

gan Bala Tlenges... "Deeeeer!" Bala Tlenges ambruk ter-

lentang bersimbah darah tak berkutik lagi.

Umbara Komang masih memegangi ikat ping-

gang Bala Tlenges. Ikat pinggang itu sudah koyak tak 

karuan terkena cakaran tadi. Sambil memonyongkan 

bibirnya Umbara Komang melemparkan ikat pinggang 

itu. Wintara kagum dengan apa yang dilakukan oleh 

Umbara Komang. Lalu ia melangkah mendekati Winta-

ra yang membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka 

bangkit.

"Dewa... Aku lupa dengan nama baruku tadi... 

Siapa ya... Kalau tidak salah... Combro eh, bukan... 

Bukan Combro... Aduh apa ya...?" Umbara Komang 

menggaruk-garuk kepalanya. Wintara dan Raden Mas 

Kinanjar Swantaka tertawa. Begitu juga dengan pen-

dekar wanita kembar, meskipun dadanya terasa sakit 

ia sempat tersenyum mendengar omongan Umbara 

Komang.

"Aduuuuh... Kenapa jadi blo'on...? Apa sih tadi 

nama baruku...?" Umbara Komang masih mikir. Lalu 

ia duduk sambil menopangkan telapak tangannya ke 

dagu.

"Sudah namamu 'siluman' saja! Agar mudah di-

ingat...!" kata Wintara memapah Raden Mas Kinanjar


Swantaka melangkah menuju tenda. Para prajurit mu-

lai berdatangan membantu menggantikan Wintara. Me-

reka segera membawa masuk Raden Mas Kinanjar 

Swantaka ke dalam tenda dan merawatnya.

"Tidak, aku tidak mau punya nama 'siluman'! 

Tadi yang diberikan oleh siluman hitam sangat bagus 

dan aku sendiri pernah mendengarnya! Tapi sekarang 

aku lupa!" jawab Umbara Komang. Ia masih duduk 

termangu. Dua wanita kembar mendekatinya. Mereka 

ikut duduk menghadapi Umbara Komang. Begitu juga 

dengan Wintara, ia melangkah ke arah mereka...

"Namamu: Umbara Komang!" kata Wintara se-

telah mendekat.

"Ya! Betul...! Namaku Umbara Komang... Horee! 

Aku Umbara Komang!" Laki-laki sinting itu ber-

jingkrak-jingkrak kegirangan. Wintara dan dua pende-

kar wanita kembar tertawa.

Malam makin larut, suasana masih beranta-

kan. Di mana-mana berserakan tubuh-tubuh prajurit 

Raden Mas Kinanjar Swantaka. Beberapa prajurit yang 

masih hidup mulai membereskan mayat-mayat itu. 

Tenda-tenda sudah diterangi lampu-lampu obor. Bulan 

di atas sana ikut menerangi dataran itu. Nampak so-

sok Umbara Komang berjingkrak-jingkrak kegiran-

gan... Dengan tingkahnya yang tidak waras!



                               TAMAT






















Share:

0 comments:

Posting Komentar