SATU
Pengawal yang bernama Surya itu segera
menjalankan perintah. Pengawal yang satu lagi
masih berdiri di dekat pintu. Raja memanggilnya.
"Bagaimana dengan penjagaan di luar?"
Pengawal itu menunduk. Juga tidak mengangkat
wajahnya ketika menjawab,
"Sebagaimana yang hamba ketahui,
penjagaan diperkuat dengan beberapa orang
bayaran, Paduka."
Raja merasa tidak enak pengawal itu
menyahut tanpa mengangkat kepalanya.
"Kau tidak perlihatkan wajahmu padaku,
kenapa?" tanya Raja agak marah.
Tetapi pengawal itu masih menunduk.
"Hamba malu memperlihatkan wajah
hamba..."
"Hei, memang kau siapa?"
"Hamba pengawal baru, Paduka."
Raja manggut-manggut. Mungkin pengawal
baru itu masih agak canggung menghadapinya.
Maklum, Raja adalah orang yang sangat
dihormati. Raja terdiam. Menunggu kedatangan
orang-orang yang dipanggilnya.
Mendadak pengawal itu maju selangkah.
Dia mengangkat wajahnya, menatap Raja. Raja
terkejut, karena pengawal itu ternyata seorang
wanita.
Apa-apaan ini, mengapa wanita yang
dipilih menjadi pengawal? Siapa yang
mengambilnya?
Belum lagi Raja menemukan jawabannya,
wanita itu sudah menodongkan tombaknya.
Tatapannya bengis. Raja terperangah.
"Apa-apaan ini?" tanyanya tenang dan
berwibawa.
"Aku menginginkan kematianmu, Raja!"
desis wanita itu dengan suara menyeramkan.
"Kau siapa?"
"Kalau kau mau tahu, aku anak buah
Madewa Gumilang, yang mendapat tugas untuk
membunuhmu. Terimalah ajalmu, Raja!" sahut
wanita itu bengis.
Wanita itu menggerakan tombaknya
dengan cepat. Dan secepat itu pula, Raja berkelit
ke samping. Tusukan itu luput. Melihat
serangannya gagal, wanita itu memekik. Sambil
bergulingan dia menusukkan kembali tombaknya.
Raja berusaha menghindar dengan jalan
bersalto. Dan menyambar pedang yang
tergantung di dinding. Raja berdiri dengan siaga.
Menanti serangan wanita itu lagi.
Wanita itu berbalik, Dan terkekeh.
"Tak ada gunanya kau melawan anak buah
Madewa Gumilang, Raja! Karena perlawananmu
akan sia-sia!"
Wanita itu membuang tombaknya. Ia
menyilangkan kedua tangannya. Tahu-tahu dia
melesat dengan cepat. Gerakannya seakan tak
terlihat. Raja buru-buru menyabetkan pedangnya
ke depan. Tubuh wanita itu melentik ke atas. Dan
tangannya membentuk cakar siap mengancam
ubun-ubun Raja.
Raja cepat berguling. Cakar wanita itu
menembus lantai. Betapa dahsyat. Agaknya
wanita itu memang ingin cepat-cepat mengambil
nyawa Raja. Tentu saja Raja berusaha
mempertahankan selembar nyawanya. Ini
rupanya yang menggelisahkan nya sejak tadi.
Ketika wanita itu akan menyerang lagi Raja
sudah melempar tombak yang dipegang wanita
itu tadi. Wanita itu tidak berkelit. Dengan tangkas
dia menangkap mata tombak itu. Dan dengan
sekali sentak tombak itu patah.
Raja terbelalak. Dan 'siiinng!" patahan
tombak itu melesat ke arahnya. Raja bergerak ke
samping menghindar. Patahan tombak itu terus
bergerak. Pada saat itu pintu ruangan terbuka.
Pengawal yang bernama Surya datang bersama
orang-orang yang dipanggil Raja. Baru saja dia
mempersilahkan mereka masuk, tubuhnya
langsung kelojotan. "Aaah...!"
Patahan tombak itu menembus tubuhnya!
Orang-orang itu terkejut. Serentak mereka
masuk dan sebagian mencari tahu penyebab
kematian Surya. Mereka melihat seorang wanita
sedang terkekeh.
Raja Tianawarman agak lega karena orang-
orangnya datang. Juga tiga jago bayaran itu. Yang
tak lain dari Datuk Sakti Berjubah Putih,
Pendekar Kipas Sakti dan Dewi Maut yang
menyamar sebagai jago bayaran.
Tiga jago bayaran itu sudah berdiri
membelakangi Raja. Berhadapan dengan wanita
itu yang masih terkekeh.
"Siapa kau, Wanita cantik?" tanya Datuk
sakti dengan suara angker.
"Hi... hi... kita pernah berjumpa bukan?
Kau sudah lupa rupanya denganku, Datuk!"
Datuk sakti memperhatikan dengan
seksama. Tetapi dia tetap tak mengenali wanita
itu. Mendadak wanita itu membuka pakaian
pengawalnya. Dan sekarang terlihat sebuah
pakaian ringkas berwarna merah menyala!
"Kau?!"
"Ya... akulah Mawar merah. Yang saat ini
siap untuk mencabut nyawa kalian semua. Dulu
sudah pernah kuperingatkan kepadamu, Datuk.
Jika mengganggu tugasku lagi, kubunuh kau!
Sekarang bersiaplah! Juga kau pendekar tampan
dan dewi cerewet! Mari kita ramaikan permainan
ini sebelum kubunuh Raja!"
"Kau mimpi, Mawar merah! Hari ini kau
akan menemui ajalmu di tanganku!" bentak
Datuk Sakti tak kalah seramnya.
"Hi... hi... kau yang mimpi, Datuk! Murid
Dewi Cantik Penyebar Maut tak akan mundur
setapak pun!"
Raja Tianawarman terkejut mendengarnya.
Murid Dewi Cantik Penyebar Maut? Kalau begitu
wanita itu dusta mengatakan anak buah Madewa
Gumilang. Yang menuduh pendekar budiman itu
sebagai pemberontak raja!
Di hadapannya, wanita cantik itu terkekeh
lagi.
"Ayo tunggu apa lagi, cepat kalian serang
aku! Ku ingin semakin cepat, akan semakin
mudah membinasakan kalian!"
"Bangsat!" Datuk Sakti membentak jengkel.
Dia membuka jurusnya, tanpa membuang waktu
lagi dia menerjang dengan dua buah pukulan
lurus ke arah wajah dan dada Mawar merah.
Merasakan dorongan angin yang kuat,
Mawar merah malah menerjang pula. Memapaki
dengan kedua tangannya. Gerakannya pun tak
kalah cepat dan kuatnya.
Dua benturan tenaga sakti membuat
keduanya terhuyung. Tapi cepat kembali
keduanya saling melancarkan serangan.
"Des...! Des...!"
Kembali berbenturan tangan keduanya.
Ketika Datuk sakti terhuyung, Mawar merah
sudah bersalto ke depan. Dan melancarkan
tendangannya. Cepat Datuk sakti menangkis
dengan lututnya. Tetapi gempuran tenaga
tendangan Mawar merah lebih besar. Lagipula
posisi Datuk sakti tidak menguntungkan.
Keseimbangannya berada hanya di kaki kiri.
"Des...!"
Dia pun jatuh bergulingan.
Tanpa membuang waktu lagi, Mawar
merah memekik hebat. Menerjang dengan tumit
siap mengancam kepala Datuk sakti. Tetapi
belum sampai maksudnya, dia telah bersalto
sambil membentak jengkel, "Bangsat!"
Dan bagai sehelai bulu tubuhnya hinggap
di tanah. Berhadapan dengan Dewi maut yang
melempar tombak ke arahnya tadi. Sementara
Datuk sakti beringsut berdiri. Kakinya terasa
remuk.
"Kau rupanya ingin cari mati juga, Dewi!"
seru Mawar Merah marah. Tak ayal lagi, ia
mengeluarkan jurus andalannya. Menggempur
sejuta batu karang!
Melihat gelagat itu, Dewi maut pun
mengeluarkan pukulan saktinya. Tangannya
terlihat berwarna hijau. Begitu pula dengan
Mawar Merah. Kepalannya berubah menjadi
merah.
Dan tahu-tahu selarik sinar merah
berkelebat dari jari-jarinya. Dewi maut berkelit
dan menyerang dengan pukulan saktinya.
Tetapi Mawar merah sudah bersiap sejak
tadi. Dia menyongsong dengan pukulan
menggempur sejuta batu karang. Pekikan
keduanya begitu dahsyat, merobek keheningan
malam. Dan membangunkan Sekarjingga yang
langsung berlari ke dalam pelukan suaminya.
Dan kini dua tokoh sakti itu saling
menghantam. Dua buah pukulan sakti
berbenturan dengan dahsyat. Sedikit membuat
ruangan itu bergoyang.
Dari keduanya muncul asap berwarna
putih dan agak menyakitkan mata.
Tahu-tahu terdengar pekikan keras,
"Aaaaah!"
Dua buah tubuh terlempar dari kepulan
asap itu. Jatuh bergulingan dan ambruk dalam
keadaan muntah darah!
"Dewi Maut!" seru Pendekar Kipas Sakti
sambil memburu wanita itu yang dalam keadaan
sekarat. Dari mulutnya mengalir darah kental.
Dadanya turun naik. Nafasnya sesak. Benturan
tadi seakan mematahkan semua tulang-
tulangnya.
Dewi Maut meringis kesakitan. Ia menolak
ketika diberikan dua buah pil pemunah racun.
"Aku... ah... hidupku tak akan lama lagi...
untuk apa... ditahan... tahan... aku bangga...
sebelum a... ajalku... bisa mem...
persembahkan... hidupku... untuk negara....
Aaaah!"
"Dewi!" panggil Datuk Sakti Berjubah Putih
sambil menahan pula sakit kakinya.
Dewi Maut tersenyum.
"Benar katamu dulu, Datuk.... Dewi Cantik
Penyebar Maut... wanita iblis yang hebat se...
sekali.... Muridnya saja... belum mampu aku
mengalahkan... ah... aku tak kuat lagi.... Selamat
tinggal semua...."
Dewi Maut itu menarik nafas panjang. Lalu
meregang. Dan hilanglah nyawanya. Tamat sudah
Dewi sakti itu.
Sementara itu, keadaan Mawar merah pun
tak lebih dari Dewi Maut. Tetapi dia masih
mampu bertahan. Dengan susah payah dia
bangkit. Tetapi sebelum dia berdiri tegak,
Pendekar Kipas Sakti sudah mengibaskan
tangannya. Dari kipas itu melesat lima buah
jarum beracun.
Dan menancap di lima bagian Mawar
merah, yang terguling lagi dengan muntah darah.
Meringis menahan sakit. Lalu tamat pula riwayat
gadis yang kejam itu!
Mereka sangka, dengan kematian Mawar
merah sudah berakhir petaka itu....
Ternyata tidak. Karena dengan tiba-tiba
saja muncul dua orang gadis berpakaian merah
pula. Mereka adalah Pinus merah dan Melati
merah, yang langsung terpekik melihat kawannya
tergeletak tanpa nyawa.
Keduanya berbalik. Tatapan mereka
nyalang. Seolah tatapan itu mampu menembus
jantung yang ditatap. Raja tidak mau membuang
waktu lagi, dia mengibaskan tangannya ke atas.
Dan serentak para pengawal mengurung dua
wanita itu. Yang hanya menatap mereka dengan
bengis.
Para pengawal segera maju menyerang
dengan beruntun. Bagaikan air bah yang siap
menghantam jembatan. Tetapi dua wanita itu
bukan jembatan. Mereka adalah tembok raksasa,
yang tidak mampu dijebol oleh apa pun.
Begitu serangan datang, kedua wanita itu
hanya mengibaskan tangan mereka. Dan
berkelebatan sinar merah dari tangan keduanya.
Yang menghantam barisan penyerang itu hingga
berantakan dan hangus lalu menemui ajalnya.
Yang tidak terkena masih nekat
menyerang. Tetapi mereka jelas-jelas bukan
tandingan kedua wanita itu. Yang hanya sekali
mengibaskan tangan sudah membuat mereka
mampus kelojotan.
Terdengar bentakan Datuk Sakti,
"Mundur!"
Sisa-sisa pengawal itu mundur dengan
cepat. Mereka juga enggan mengantarkan nyawa
kepada dua gadis itu. Datuk sakti dan Pendekar
Kipas Sakti sudah maju ke depan. Kedua wanita
itu pun maju selangkah. Sikap mereka angker.
Penuh nafsu ingin membunuh, membalas
kematian Mawar merah. Pada siapa saja yang
berada di sana!
"Jadi kalian lagi yang menghalangi
perbuatan kami!" desis Pinus Merah. "Hari ini kau
Pendekar Kipas Sakti, kulenyapkan kau dari
muka bumi!."
Pendekar tampan itu hanya tersenyum.
Mengipas-ngipas dengan tenang.
"Pinus merah... ajal di tangan Yang Kuasa.
Kalau kau mampu, lakukanlah! Aku juga ingin
segera membunuhmu!"
"Bangsat!" Pinus merah. Siap menyerang.
Pendekar tampan itu tertawa. "Ruangan ini
terlalu kecil untuk kita. Kami tunggu kalian di
luar!"
Lalu dia melesat keluar. Disusul oleh
Datuk Sakti Berjubah Putih. Pinus merah dan
Melati merah melesat menyusul. Di saat melesat
itu, Pinus merah melancarkan pukulan jarak
jauhnya pada raja dan istrinya.
Untung raja sejak tadi waspada. Sambil
mendorong tubuh Sekarjingga, dia bergulingan
menghindari sinar merah itu.
Pendekar Kipas Sakti dan Datuk Sakti
Berjubah Putih sudah menunggu di halaman
istana. Dua tubuh bersalto ke depan mereka. Dan
langsung melancarkan tendangan ke kepala
mereka.
Serentak keduanya menangkis.
"Duk...!"
Dua serangan tadi tertahan. Kedua gadis
itu bersalto ke belakang. Dan kembali bersalto ke
depan. Kali ini cakar mereka mengancam jantung!
Suatu pertunjukan meringankan tubuh
yang hebat.
Kali ini kedua orang yang diserang itu
berkelit ke samping dan berbalik melancarkan
pukulan ke punggung lawan.
Kembali pertunjukan ilmu meringankan
tubuh diperlihatkan kedua wanita itu. Tahu-tahu
tubuh keduanya melentik ke atas. Dan mereka
memutar dengan tendangan lurus.
Lagi keduanya menangkis serangan itu.
Tapi kali ini kedua wanita itu membarengi dengan
sinar merah yang mengancam dari jarak dekat.
"Heiit!" Datuk sakti memekik dan
bergulingan. Menyadarkan pendekar tampan itu
untuk berbuat serupa.
Dan keduanya berdiri agak jauh dari kedua
wanita sakti itu. Sengaja mengatur jarak dan
nafas. Keduanya kini masing-masing menghadapi
satu lawan.
Pendekar Kipas Sakti dengan Pinus merah,
lawan yang pernah dihadapinya sebulan yang
lalu.
Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan
dengan Melati merah yang sudah tidak sabar
ingin merenggut nyawanya.
Di atas rembulan sudah menghilang.
Malam telah berganti. Mentari sudah muncul di
ufuk sana. Cahayanya memancarkan sinar
keemasan.
Dua pasang manusia yang siap bertarung
itu masih mencari kesempatan dan kelengahan
lawan. Matanya menatap waspada.
Tetapi rupanya Melati merah tidak mau
membuang waktu lagi, apalagi terbayang kembali
wajah Mawar merah yang sudah menjadi mayat
itu.
Pukulan lurusnya menerjang Datuk sakti.
Kali ini pun Datuk sakti tak mau ayal lagi. Dia
hanya menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Sebuah dorongan angin menghantam Melati
merah hingga bergulingan.
Rupanya Datuk sakti itu masih mempunyai
sebuah ilmu simpanan yang hebat. Melati merah
bangkit, menatap penuh kemarahan. Tiba-tiba dia
menyentakkan kedua tangannya pula. Sepuluh
sinar merah keluar dari jari-jarinya. Dan
mengejar Datuk sakti.
Dengan susah payah Datuk sakti
menghindar. Dan dia pun tak mau kalah,
dikeluarkannya pukulan jarak jauhnya. Selarik
sinar putih pun berkelebat. Kali ini Melati merah
yang bergulingan menghindar.
Sementara itu, Pinus merah sudah
menendang. Pendekar Kipas Sakti menangkis
dengan keras. Tetapi tendangan Pinus merah
bukanlah tendangan sembarangan. Itu tendangan
berantai. Yang ditangkis masih bisa menendang
lagi. Malah sampai lima kali.
Pendekar tampan itu pun berusaha
menangkis, terakhir menghindar.
Keduanya sudah saling menyerang.
Berbagai kesaktian dan ketrampilan dipamerkan
dalam adu kesaktian itu. Benar-benar suatu
pemandangan yang mengerikan sekaligus
menakjubkan.
Pasir yang berada di kalangan itu
berterbangan. Yang melihat pertarungan itu
diam-diam menjadi kecut sendiri.
Sekarjingga pun menyembunyikan,
wajahnya di dada suaminya. Ngeri.
Empat orang yang bertarung itu, bagaikan
seribu kerbau gila yang mengamuk. Bahkan lebih
dahsyat. Berbagai gerakan disajikan dengan
tangguh dan cepat.
Tetapi sampai sejauh itu, belum ada
kelihatan yang terdesak. Mereka masih
berimbang. Tetapi setelah Pinus merah
mengeluarkan ilmu kebalnya menahan gelombang
batu karang, baru kelihatan Pendekar Kipas Sakti
agak terdesak. Pukulan dan tendangannya
diterima begitu saja oleh Pinus merah tanpa
merasakan sakit sedikit pun. Bahkan pukulan
sakti pendekar tampan itu tak mampu menembus
ilmu kebal Pinus merah!
Dengan mengandalkan ilmu kebalnya itu,
dia terus mendesak Pendekar Kipas Sakti. Dua
buah pukulannya mendarat tepat di dada
pendekar tampan itu.
Dan tahu-tahu Pinus merah berbalik.
Tendangannya memutar dengan cepat. Sedetik
pendekar tampan itu tidak merunduk, copot
kepala dari lehernya. Lalu ia menangkis dan
melancarkan pukulannya ke perut Pinus merah.
"Buk..,!"
Pukulan itu diterima Pinus merah seperti
tak ada masalah. Kembali dia mendesak.
Pendekar tampan itu buru-buru berguling.
Dan "Siiing!" dia melontarkan senjata
rahasia dari kipasnya. Kali ini Pinus merah
melompat menghindar. Mengetahui lawannya
menghindar, pendekar tampan ini mengetahui
kalau ilmu kebal Pinus merah hanya bisa
menahan pukulan dan tendangan, sekalipun
pukulan atau tendangan itu amat saktinya.
Buru-buru dia bersalto dan bergulingan,
menyambar sebuah tombak dari salah seorang
pengawal. Dan menerjang Pinus merah.
Benar dugaannya, Pinus merah
menghindar! Rupanya ilmu kebal itu amat
pantang bersentuhan dengan besi. Ujung tombak
itu terbuat dari besi!
Kali ini pendekar tampan itu berada di atas
angin. Dia mendesak dengan hebat. Sampai suatu
ketika ujung tombaknya menggores bahu Pinus
merah yang langsung mengaduh.
"Ha... ha... ajalmu sebentar lagi, Pinus
merah!"
Pinus merah mengusap darah yang
merembes keluar. Ia menatap pendekar tampan
itu dengan marah. Dan dengan gerakan cepat di
melancarkan pukulan jarak jauhnya. Pendekar
Kipas Sakti bergulingan. Tapi serangan jarak jauh
itu terus mencecarnya. Sebisanya dia
menghindar.
Sementara itu keadaan Melati merah
terdesak oleh Datuk Sakti, dua kali dia kena
pukul di dada dan wajahnya.
Rupanya ilmu dorongan tenaga angin
Datuk sakti itu, tidak mampu ditandingi Melati
merah. Dia hanya bisa membalas melalui pukulan
jarak jauhnya. Tetapi datuk tua itu pun
membalas dengan sinar putihnya. Membuat
Melati merah menjadi kelabakan.
Tahu-tahu dia bersalto mendekati Raja dan
Sekarjingga. Dan tahu-tahu kedua tangannya
sudah berada di leher dua orang pemimpin itu.
Raja dan istrinya tersedak. Tak menyangka Melati
merah akan berbuat curang. Para pengawal
serentak berbalik dan mengurung Melati merah.
Datuk sakti pun tak menyangka Melati
merah akan berbuat curang. Dia melesat ke
depan. Dan membentak, "Hhh! Kau hendak
berbuat apa, Melati merah?!"
Melati merah terkekeh. Cengkeraman di
leher Raja dan Sekarjingga menguat. Membuat
keduanya kesakitan. Dan tidak bisa berbuat apa-
apa.
Sebenarnya Raja bisa melepaskan
cengkraman itu, tetapi dia kuatir dengan istrinya.
Istrinya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa mungkin
dia bisa melepaskan diri begitu dia menerjang
nanti? Raja tidak berani mengambil resiko dengan
mengorbankan istrinya.
"Kau jangan mendekat, Datuk!" bentak
Melati Merah. "Selangkah lagi kau maju, nyawa
keduanya akan melayang! Aku tidak main-main,
Datuk!"
Datuk sakti pun yakin Melati Merah tidak
main-main. Itu bukan gertakan sambal belaka.
Melati Merah gadis yang kejam, yang mungkin
digembleng oleh Dewi Cantik Penyebar Maut
untuk menjadi seorang pembunuh.
"Lepaskan mereka, Melati Merah!" seru
Datuk sakti pula. "Kita teruskan pertarungan itu!"
"Bah! Mudah saja melepaskan daging yang
sudah di tangan! Datuk... ambil pedang itu!" seru
Melati Merah sambil melirik salah seorang
pengawal yang membawa pedang.
Datuk sakti belum beranjak. Tak mengerti
maksud Melati Merah. Melati merah membentak,
"Ambil! Kalau tidak, kubunuh dua orang ini!!"
Datuk sakti ragu-ragu. Akhirnya dia
mengambil pedang itu.
"Ini pedang itu...."
"Sekarang kau penggal lehermu sendiri,
Datuk!" bentak Melati merah yang membuat
semua kaget.
Sementara itu Pinus merah pun sudah
bersalto, berdiri di samping Melati Merah.
Pendekar Kipas Sakti tidak jadi memburu.
Ia pun tegang melihat Raja dan istrinya
dalam cengkeraman mereka dan melihat Datuk
sakti ragu-ragu. Pedang itu masih dipegangnya.
"Cepat Datuk, kau penggal dirimu! Atau...
kau ingin kedua orang ini mati sebelum ajalmu?"
geram Melati Merah sambil memperkuat
cengkraman di leher raja dan istrinya.
Sekarjingga mengeluarkan suara tercekik.
Membuat Raja menjadi gelagapan. Padahal dia
sendiri merasakan susah bernafas, Melati Merah
menyambung, "Kalau kau belum melaksanakan
perintahku Datuk, kubunuh kedua orang ini!
Cepat!"
Datuk sakti menjadi kebingungan. Di lain
pihak dia ingin mempertahankan dirinya, di lain
pihak dia ingin raja dan istrinya selamat. Tetapi
bagaimana caranya menyelamatkan mereka yang
sudah di ujung tanduk itu?
Tak ada pilihan lain, demi keselamatan
Baginda dan istrinya Datuk sakti rela berkorban.
"Baik, Melati Merah! Semua akan
kulakukan. Satu pintaku, setelah kematianku,
kau tinggalkan tempat ini!"
Melati Merah mendengus mengejek.
"Cepat kerjakan! Penggal lehermu!"
Datuk sakti menatap pedang yang
digenggamnya erat-erat. Perlahan-lahan matanya
terpejam. Dan perlahan-lahan pula pedangnya
terayun. Semua memperhatikan dengan tegang.
Dan....
"tak!" pedang yang dipegangnya jatuh
sebelum sampai ke leher. Datuk sakti itu
terhuyung ke belakang. Melati merah terkejut.
Siapa yang telah melepaskan pedang itu. Belum
lagi dia sempat tahu orangnya, tahu-tahu kedua
tangannya terasa kesemutan. Dan genggamannya
terlepas. Raja cepat mendorong istrinya dan
berguling menjauhi Melati merah.
"Bangsat!" Melati merah menggeram. Pinus
merah bersiap pula. Dia juga tidak tahu siapa
yang melakukan itu.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras
di tembok istana. Seorang tua bertubuh pendek
gemuk tergelak-gelak sambil memegangi
perutnya. Tetapi matanya kelihatan agak terpejam
dan seperti orang tidur.
Datuk sakti yang sudah berdiri berseru,
"Dewa Tua Pengantuk!"
Orang bertubuh pendek itu terbahak.
Datuk sakti bersyukur, di saat kritis itu
sahabatnya datang.
Melati merah menggeram marah
mengetahui siapa yang telah melepaskan
tawanannya. Tangannya mengibas. Sinar merah
yang merupakan andalan orang-orang Dewi
Cantik Penyebar Maut berkelebat.
Orang tua bertubuh pendek itu bersalto ke
depan, menghindari sinar merah itu. Walaupun
gemuk tubuhnya terasa ringan sekali. Ia berdiri di
samping Datuk Sakti Berjubah Putih.
"Ha... ha... hanya orang-orang begini saja
kau tak mampu mengalahkannya, Datuk;..."
Memerah wajah Datuk sakti itu. Tetapi dia
menyahut, "Mereka orang-orang pilihan, Dewa
gemuk! Kau pun belum tentu mampu
menghadapinya!"
Kembali dewa tua itu tertawa. Lalu
berguling ke depan, tubuhnya bagaikan sebuah
tong yang berjalan. Ia berdiri tepat di depan
kedua anak buah dewi sesat atau Nindia.
"Kalian, rupanya yang membuat onar lagi,"
kata dewa tua itu. "Cepat kalian bersujud dan
meminta maaf, sebelum nyawa kalian ku cabut!"
Dewa Tua Pengantuk terbahak. Matanya
masih tetap terpejam tubuhnya yang gemuk
terguncang-guncang.
"Ha... ha.,. kau masih banyak omong pula!"
Sehabis berkata begitu, dia menerjang.
Sungguh di luar dugaan, tubuhnya yang gemuk
itu bukan merupakan penghalang baginya untuk
bergerak. Gerakannya cepat dan gesit.
Pukulannya pun penuh tenaga.
Kedua wanita itu terkejut. Pinus merah
berkelit. Melati merah menangkis dengan tangan
kanannya. Dan seketika dia terhuyung. Betapa
besarnya tenaga kakek gemuk itu.
"Hayo kalian keluarkan ilmu kalian! Biar
kuremas kepala kalian nanti!" seru Dewa tua.
Dan serentak Melati merah dan Pinus
merah menyerang. Dua serangan yang datangnya
dari arah berlawanan hanya membuat Dewa tua
bingung sejenak. Tiba-tiba ia bersalto ke belakang
dan bersalto lagi ke depan. Saat kedua gadis itu
berkelebat dia menjejakkan kedua kakinya di
punggung mereka. Kembali keduanya terhuyung.
Pendekar Kipas Sakti mengibas kipasnya.
Berterbangan jarum-jarum beracunnya ke arah
kedua wanita itu. Sebisanya mereka berkelit.
Tetapi jarum-jarum itu telah melaksanakan
tugasnya dengan baik. Menembus kulit putih
keduanya.
Tiba-tiba keduanya mengerang. Dan
ambruk ke tanah dengan mulut mengeluarkan
darah. Beberapa detik kemudian, nyawa
keduanya lepas dari tubuh masing-masing.
Hampir bersamaan. Dan terkulai tanpa bersuara
lagi. Semua menghela nafas lega, Walaupun telat,
kedatangan Dewa Tua Pengantuk itu sangat
diperlukan sekali. Tanpa kedatangannya tadi,
tamatlah semua riwayat yang ada di sana. Dan
istana berhasil digulingkan.
Dewa Tua Pengantuk terbahak. Dia baru
saja menyelesaikan satu tugas yang luar biasa, di
mana dia menerangkan kepada rakyat yang
terpengaruh ingin memberontak. Rakyat sebagian
sudah dihasut oleh orang-orang Dewi Cantik
Penyebar Maut. Dan mereka akan siap
memberontak. Rencananya hari ini di saat Mawar
merah berhasil membunuh raja.
Tetapi semua sudah berakhir. Dewa Tua
Pengantuk juga masih harus menghindari
bentrokan dengan lima murid dari perguruan
Topeng Hitam, yang dia tahu karena salah
paham.
Matahari menyengat panas. Mayat-mayat
yang bergeletakan diangkat dan dikuburkan. Raja
Tianawarman mengundang mereka masuk.
Dari omong-omong itu, Datuk Sakti
Berjubah Putih, Pendekar Kipas Sakti dan Dewa
Tua Pengantuk, akan segera berangkat mencari
persembunyian Dewi Cantik Penyebar Maut.
Raja mengangguk mengerti. Juga mengerti
kalau rencana memberontak itu bukan dari
Madewa Gumilang.
Ketika senja mulai turun, orang-orang itu
berangkat.
DUA
Begitu meninggalkan perguruan Topeng
Hitam, Madewa Gumilang beserta Paksi Uludara
segera mencari jejak di mana Dewi Cantik
Penyebar Maut berada. Dalam kesempatan itu,
dia juga mampir ke rumah Abindamanyu, yang
saat ini masih dalam keadaan bergembira, karena
telah kembalinya putri Nindia.
Mulanya pun Madewa menyangka itu
Nindia yang asli, tetapi lama kelamaan dia
menemukan kejanggalan. Di mana dia melihat
gerakan Nindia begitu ringan seolah memiliki ilmu
meringankan tubuh dan selalu berpakaian merah.
Kita sudah tahu siapa gadis itu
sebenarnya, yang tak lain adalah Dahlia merah.
Yang diperintahkan gurunya untuk menyamar
sebagai Nindia. Hanya menyamar, tidak
ditugaskan merampok atau membunuh. Saat itu
Dahlia merah heran, kenapa mendadak gurunya
memerintahkan tidak seperti biasanya.
Dia lalu menganalisa setiap kejadian yang
ada. Dan kesimpulannya membuatnya terkejut
sendiri. Di kelima murid gurunya, hanya dia yang
mirip dengan gurunya. Dan saat ini, Tuan
Abindamanyu juga orang-orang yang ada
menyangkanya Nindia. Berarti dia mirip dengan
putri Abindamanyu.
Lalu kembali kepada perintah gurunya,
tidak boleh membunuh atau menyakiti siapa pun
di rumah Abindamanyu. Apa sebabnya?
Dan kesimpulan itu, gurunya adalah putri
Abindamanyu alias Nindia. Walau mulanya Dahlia
merah ragu-ragu dengan kesimpulannya sendiri.
Sementara itu Madewa masih
memperhatikan gerak-gerik Dahlia merah secara
diam-diam. Dalam waktu satu jam saja dia sudah
bisa menebak, kalau ini bukan putri Nindia.
Untuk membuktikan kebenarannya, dia
bertanya langsung pada Abindamanyu dan
dijawab, Ya. Itu memang bukan Nindia yang asli.
Itu dilakukan agar istrinya sembuh. Memang
benar, kesehatan istrinya sudah hampir pulih.
Tetapi yang membuat Madewa curiga, gadis
itu selalu berpakaian merah. Tidak pernah mau
memakai pakaian warna lain, biarpun
Abindamanyu menyediakannya.
Yang ditakutkan Madewa hanya satu, gadis
itu adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut. Paksi Uludara pun menyadari hal itu.
Tetapi dia lebih banyak diam. Namun dia was-
pada menjaga kalau terjadi apa-apa.
Selesai membicarakan urusan Nindia,
keesokan harinya Madewa berpamitan.
Abindamanyu melepas kepergian keduanya
dengan harapan Madewa segera menemukan
putrinya. Sementara istrinya berada di samping
Nindia palsu, dengan senyum ceria.
Di tengah jalan, Madewa berkata pada
Paksi Uludara tentang kecurigaannya pada gadis
berbaju merah itu. Paksi Uludara pun
menyatakan kecurigaannya. Akhirnya mereka
sepakat untuk kembali ke rumah Abindamanyu
nanti malam.
Dan ketika malam mulai menyelimuti seisi
dunia, di atas genting rumah Abindamanyu
menyelinap dua sosok tubuh dengan hati-hati.
Gerakan keduanya ringan dan mantap.
Salah seorang dari mereka bersalto turun.
Juga tanpa menimbulkan suara. Berlari
mengendap dengan cepat. Di depan jendela yang
masih menyala lampunya, orang itu terdiam.
Nampak berkonsentrasi. Matanya terpejam. Dan
pandangannya bisa menembus ke dalam kamar
itu. Melihat seisi kamar itu. Itulah ilmu
pandangan menembus sukma, yang hanya
dimiliki oleh seorang saja. Dan orang itu Madewa
Gumilang.
Dia melihat gadis yang dicurigainya sedang
duduk bersemadi. Dan telapak tangannya
nampak memancar sinar merah. Dan perlahan-
lahan sinar itu melesat menghantam dua buah
bata di hadapannya hingga hancur berantakan.
Madewa sadar, kalau ternyata dugaannya
benar. Dan gadis itu sangat membahayakan
keluarga Abindamanyu. Dia mengalihkan
tatapannya ke arah Paksi Uludara yang menjaga
di atas. Paksi Uludara masih bersiaga. Madewa
segera mengirimkan suara jarak jauhnya yang
tepat terdengar di telinga Paksi Uludara.
"Dugaan kita tepat, ternyata gadis itu
murid Dewi Cantik Penyebar Maut. Tapi tak usah
kuatir, biar aku selesaikan!"
Madewa menghentikan konsentrasinya. Dia
mengetuk jendela itu. Nindia palsu alias Dahlia
merah yang sedang bersemadi tersentak. Dia
buru-buru merapikan sikapnya. Dia tidak boleh
ketahuan sebagai murid Dewi Cantik Penyebar
Maut.
Buru-buru dia membuka jendela itu.
"Siapa?"
Tuk! Tuk!
Dia tak sempat bertanya lagi, karena dua
buah totokan telah hinggap di bawah iganya dan
di lehernya. Membuat tubuhnya kaku dan
suaranya menghilang.
Madewa cepat melompat dan menutup
jendela. Dia memperhatikan gadis itu. Ternyata
orang yang berbahaya yang berada di rumah
Tuan Abindamanyu,
"Kau tak perlu takut, Nona. Aku tidak akan
berbuat apa-apa," kata Madewa pelan. "Dan
maafkan aku, kalau aku mencurigaimu. Untuk
kerja sama kita Nona, ada baiknya kau mengakui
terus terang, siapa sebenarnya dirimu?"
Tangan Madewa bergerak cepat.
Membebaskan totokannya di urat leher gadis itu.
Yang langsung membentak marah, "Kurang ajar!
Kau laki-laki ceriwis, berani-beraninya masuk ke
kamarku?!"
"Ini demi kepentingan kita semua, Nona."
"Kurang ajar!" gadis itu mendelik marah.
"Nanti kulaporkan ayah akan ulahmu ini!"
"Di sini tak ada ayahmu, Nona. Kau
bukanlah putri Nindia. Dan aku hanya ingin
tahu, siapa kau sebenarnya? Cepat jawab
pertanyaanku, Nona...."
Gadis itu terbelalak gusar. Apa-apaan
orang ini, dia menyangka dirinya siapa.
"Kau bicara apa?" serunya jengkel. Kalau
saja tubuhnya bisa digerakkan, sudah
ditempeleng nya orang ini.
"Aku mencurigaimu, Nona. Aku tahu kau
bukanlah putri Nindia. Karena Nindia tidak punya
keahlian ilmu silat dan kesaktian. Aku sudah
mengintip kamar ini tadi, Nona. Dari tanganmu
memancar sinar merah. Dan kau selalu berbaju
merah. Aku curiga padamu... sebagai anak buah
Dewi Cantik Penyebar Maut!"
Sekarang gadis itu terdiam. Tidak berkata-
kata lagi. Memang dia anak buah dewi sesat itu.
Dan dia bernama Dahlia merah. Dalam hati
Dahlia merah menggeram. Rupanya orang ini
mengetahui siapa dirinya. Orang yang selama ini
selalu membuat keresahan. Dan secara tidak
langsung menjadi buronan orang golongan putih!
Gadis itu memicingkan matanya. Menatap
tajam Madewa yang tahu gadis itu sudah
mengaku. Suaranya mendesis, "Aku tidak
memungkiri, kalau aku anak buah Dewi Cantik
Penyebar Maut."
"Apa maksudmu dikirim ke mari oleh dewi
sesat itu?"
Dahlia merah terdiam. Lebih baik diam,
karena dia sendiri tidak tahu.
"Aku bisa marah besar padamu, Nona!"
geram Madewa.
Kalau saja tubuhnya tidak dalam keadaan
tertotok, akan dilabraknya laki-laki ini. Tapi
tangan laki-laki itu sudah melayang di pipinya.
"Aku tidak tahu apa maksudmu dikirim ke
mari oleh dewi sesat itu. Dan sekarang Nona...
katakan, di mana tempat dia berada? Cepat
Nona... aku membutuhkan bantuanmu. Anak
istriku berada di tangan mereka!"
Dahlia merah mendengus mengejek. Biar
kau tahu rasa! Tawanan di tangan gurunya, tidak
ikan bisa hidup lama. Dia akan mati disiksa atau
dibunuh sekaligus.
"Sampai kapan pun aku tidak akan bicara
di mana guruku berada."
"Kau?!" geram Madewa.
"Ya, aku anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut. Dan tidak akan semudah itu membocorkan
rahasia."
Madewa kehabisan akal menghadapi
wanita bandel itu. Tahu-tahu dia menotok urat
lehernya kembali. Lalu membopong tubuh gadis
itu dan melesat ke luar. Dia ingin melihat, sampai
di mana kekeras kepalaan gadis itu.
Melihat bayangan berkelebat, Paksi
Uludara cepat bersalto dan menyusul.
Madewa membawa Dahlia merah ke
sebuah hutan yang jauh dari rumah
Abindamanyu. Dia mencari serat-serat akar
pohon yang banyak terdapat di sana dan
menyambungnya menjadi tali. Lalu melempar tali
itu ke sebuah dahan dan mengikat kedua kaki
Dahlia merah. Lalu ditariknya tali itu hingga
tubuh Dahlia merah tergantung dengan kepala di
bawah.
Paksi Uludara hanya memperhatikan saja.
Madewa melepaskan totokan di urat leher Dahlia
merah. Totokan pada bagian bawah tulang
iganya, dibiarkan saja. Tubuh itu tergantung
kaku dan kepala di bawah.
"Kalau kau belum menunjukkan di mana
ketuamu berada, aku akan melepaskan. Biar
dirimu di makan harimau! Mari Paksi, kita lihat
saja kehebatan gadis ini!"
Madewa mengajak Paksi Uludara
meninggalkan tempat itu. Tetapi kemudian
mereka bersembunyi. Dahlia merah mengetahui
hal itu. Dia bertekad akan bertahan semampu
mungkin. Baru harimau. Apa sih yang
ditakutkannya?
Tetapi begitu muncul seekor harimau
belang yang besar, dia bergidik. Apalagi harimau
itu mengendus-ngendus dirinya. Dahlia merah
lupa, dia dalam keadaan tertotok, tidak bisa
berbuat apa-apa. Harimau itu sudah mengitari
tubuhnya. Melihat ada mangsa empuk yang enak
buat disantap.
Meremang bulu kuduk Dahlia merah. Biar
bagaimana pun dia seorang wanita, yang jijik
dengan binatang macam begituan. Tetapi
walaupun begitu dia tidak mau menjerit.
Ditahannya kengeriannya ketika harimau itu
mengaum keras, seakan merontokkan jantung!
Namun ketika harimau itu mengindap-
indap dan mengambil ancang-ancang untuk
menerkam, secara tak sadar Dahlia merah
menjerit.
"Lepaskan...! Lepaskan aku!" jeritnya
ketakutan dan jeritan itu mengejutkan harimau
akan tetapi tidak membuatnya takut hanya
agaknya menunda terkamannya. Kelihatan
harimau itu menunggu. Karena tidak terjadi apa-
apa, dia mengambil ancang-ancang lagi untuk
menerkam. Kengerian semakin membesar di hati
Dahlia merah. Tubuhnya sukar sekali digerakkan.
Kalau bisa bergerak, dia tidak akan sekuatir ini.
Harimau itu mengaum dulu sebelum
menerkam, Dahlia merah menjerit-jerit.
"Lepaskan... lepaskan aku! Ya, ya... aku
akan mengatakan di mana Dewi Cantik Penyebar
Maut berada.... Tolooong! Lepaskan!"
Harimau itu sudah melompat dan
menerkam. Dahlia merah memejamkan matanya,
menanti dirinya diterkam. Tetapi tiba-tiba
terdengar suara erangan harimau itu keras dan
gedebuk. Perlahan-lahan Dahlian merah
membuka matanya. Harimau itu bergulingan
sambil mengeluarkan erangan kesakitan. Di leher
dan perutnya tertancap dua batang kayu.
Tak jauh dari harimau yang kesakitan itu
berdiri dua orang yang menawannya tadi.
Harimau itu bergulingan hebat dan
mengeluarkan auman panjang yang mengakhiri
hidupnya. Sejenak Dahlia merah merasa gembira
terlepas dari ancaman maut itu.
Madewa Gumilang merasa dia menang.
Dengan diiringi Paksi Uludara dia mendekati
Dahlia merah.
"Katakan, di mana berada dewi sesat itu?"
"Baik, baik. Tapi turunkan dulu aku dan
lepaskan semua yang mengekang gerakanku.".
Madewa langsung menurunkan dan
membebaskan diri gadis itu. Dia sudah tak sabar
ingin bertemu anak istrinya. Dia yakin, keduanya
berada dalam kekuasaan dewi sesat yang cantik
itu.
"Cepat katakan," kata Madewa ketika
Dahlia merah sudah terbebas. Gadis itu sedang
mengusap-usap pergelangan tangannya. Ia
melirik Madewa.
"Tak jauh dari sini."
"Ayo antar kami ke sana." Dahlia merah
melangkah duluan. Madewa Gumilang dan Paksi
Uludara mengikuti dari belakang. Baru mereka
berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba Dahlia merah
memekik dan bersalto ke belakang, melewati
kedua pendekar itu.
Dan saat bersalto itu dia mengibaskan
tangannya. Berkelebat senjata andalannya yang
berupa pukulan jarak jauh sinar merah.
Namun keduanya bukan jago-jago kemarin,
yang mudah tertipu. Mereka tak percaya begitu
saja dengan Dahlia merah. Keduanya sudah siaga
sejak tadi. Dengan gesit masing-masing berkelit
secara berlawanan. Begitu mereka berdiri tegak,
Dahlia merah terbahak sambil berkacak
pinggang.
"Tidak semudah itu memaksaku,
Sahabat.... Aku bukanlah seorang
pengkhianat,..."
"Kau berkhianat kepada kami!" geram
Madewa marah.
"Aku lebih taat pad ketuaku dari pada
kalian!" balas Dahlia merah tak kalah galaknya.
"Bangsat!" Madewa langsung melesat ke
depan. Menyerang dengan pukulan lurus. Dahlia
merah memapaki dengan cepat pula.
"Des...! Plak...!"
Keduanya bersalto ke udara. Dan saling
menyerang kembali begitu hinggap di tanah.
Beberapa kali Dahlia merah mengirimkan sinar
merahnya, tetapi dengan menggunakan jurus
Ular Meloloskan Diri, semua itu luput. Bahkan
Madewa melesat dengan cepat dan mengirimkan
sebuah pukulan Tembok Menghalau Badai.
Saat itu pun Dahlia merah sudah
mengeluarkan ilmu berkelitnya yang bernama
menghindar hujan menghalau badai.
Kelincahannya dipakai untuk mengimbangi
pukulan sakti Madewa. Keduanya sama-sama
pandai menghindar dan berkelit. Kelincahan
keduanya seimbang.
Beberapa kali serangan Madewa luput.
Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya. Ular
mematuk katak kali ini dipergunakan. Dan
tangannya bergerak dengan sangat cepatnya.
Mencecar dengan gencar.
Dada Dahlia merah tergedor serangan tadi.
Saat dia terhuyung Madewa menghantam dengan
pukulan tembok menghalau badai.
"Des! Krak!"
Tubuh itu ambruk dengan beberapa tulang
yang patah. Madewa memburu tetapi ajal telah
mengundang Delima merah untuk pergi.
Terdengar desisan kagum Paksi Uludara
yang dari tadi hanya nonton saja.
"Serangan yang berbahaya namun kejam,"
kata Paksi Uludara sambil bertepuk.
Madewa bangkit dan menghampiri Paksi
Uludara.
"Dia sudah mati. Tak ada jalan lain, kita
harus menembus hutan ini. Kurasa disekitar sini
dewi sesat itu berada!" Lalu dia melesat dengan
disusul Paksi Uludara. Kelebatan lari kudanya
sangat cepat. Masing-masing memamerkan ilmu
lari dan meringankan tubuh mereka.
Sampai keduanya berhenti karena tiba-tiba
saja terdengar derap langkah bergegas di
belakang mereka. Tanpa dikomando lagi
keduanya melompat ke atas pohon. Dan
mengintai.
Di bawah lima orang berpakaian hitam-
hitam dan bertopeng hitam tiba. Mereka
celingukan, seolah kebingungan ke mana
perginya dua orang yang dibuntuti tadi.
Tiba-tiba Paksi Uludara melompat turun
dan berdiri di hadapan mereka. Serentak lima
orang itu mencabut sepasang pedang yang
menggantung di punggung mereka masing-
masing.
Tetapi mendadak kelimanya menjatuhkan
diri di hadapan Paksi Uludara.
"Oh, guru kiranya yang berada di sini,"
kata salah seorang dengan nada menyesal.
Paksi Uludara tertawa pelan. Menyuruh
Madewa turun, Dan menyuruh kelima orang itu
bangkit. Sebelum dia berkata, salah seorang
sudah maju dan menjura, "Maafkan kami, guru.
Kami tidak menyangka guru yang kami kejar tadi.
Kami kira Dewa Tua Pengantuk. Karena sampai
saat ini, kami belum berhasil menangkap Dewa
Tua Pengantuk untuk dihadapkan kepada guru-"
Lagi-lagi Paksi Uludara tertawa. Lalu
menerangkan kepada lima orang itu yang ternyata
murid-muridnya siapa adanya Dewa Tua
Pengantuk.
"Begitulah, semua hanya salah paham.
Dan siasat adu domba yang dijalankan Dewi
Cantik Penyebar Maut." Paksi Uludara berpaling
pada Madewa. "Bagaimana saudara, kita
lanjutkan pencarian kita?"
"Sebentar. Aku yakin, dewi iblis itu berada
di sekitar hutan ini!" Tahu-tahu Madewa
merangkum kedua tangannya di dada. Dan
perlahan-lahan tubuhnya turun dan duduk
bersila.
Kembali dia menggunakan ilmu
andalannya, pandangan menembus sukma dan
tatapannya kembali beredar dengan seksama.
Meneliti setiap tempat, bahkan menerobos
dinding-dinding gua yang ada di sekitar hutan itu.
Sampai suatu ketika dia melihat sebuah
gua yang kelihatan terang di dalamnya. Madewa
semakin mempertajam pandangannya. Dan
menembus ke dalam.
Di sebuah sudut gua itu terlihat sebuah
batu yang bernyala indah. Bersinar karena
berhiaskan permata, intan dan emas. Dan dia
melihat seorang wanita cantik berbaju merah
sedang duduk menghadap ke singgasana itu.
Pikiran berputar di kepala Madewa. Dialah
Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan di sampingnya
berdiri seorang gadis berbaju merah pula seolah
menjaga dewi itu.
Pandangan Madewa berputar lagi. Dan
bukan main terkejutnya dia, ketika melihat Ratih
Ningrum terkulai dalam keadaan terikat. Begitu
pula dengan Pranata Kumala yang terkulai dalam
keadaan terikat pula.
Betapa kejam!
Kemarahan Madewa bangkit.
Dia menghentikan konsentrasinya dan
bangkit seraya menjerit keras.
Suaranya bergetar menusuk kalbu.
Paksi Uludara dan murid-muridnya
bingung. Malah mereka bersiap, mungkin saja
Madewa mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Madewa merasa kemarahannya agak
menurun. Dia berbalik dan berkata, "Aku sudah
mengetahui di mana dewi iblis itu berada! Istri
dan anakku menjadi tawanan mereka. Aku akan
segera ke sana!"
Tanpa menunggu jawaban Paksi Uludara
lagi, Madewa melesat.
"Saudara! Tunggu!" seru Paksi Uludara
seraya menyusul, kelima muridnya pun bergerak
dengan cepat.
Madewa sudah ingin membunuh dewi iblis
itu cepat-cepat. Kalau dia tahu anak dan istrinya
terluka, akan dibumiratakan gua itu.
Dia langsung melesat memasuki gua yang
dilihat oleh pandangan menembus sukmanya.
Tetapi tiba-tiba dia bersalto. Sebuah sinar merah
menyongsong larinya. Sinar merah itu terus
berkelebat. Paksi Uludara yang baru memasuki
pintu gua bergulingan menghindari. Begitu pula
dengan murid-muridnya. Tetapi naas, murid yang
paling belakang, tak sempat berguling.
Sinar merah itu menghantam tepat di
jantungnya!
Tubuh itu meregang dengan jantung
hangus.
"Pandu!" seru Paksi Uludara terkejut.
Tetapi nyawa muridnya sudah tak tertolong. Dia
berbalik geram. "Dewi iblis, kuminta nyawamu
penebus nyawa muridku!" serunya dan melesat
kembali.
Di tempat yang agak luas, dia melihat
Madewa sudah berhadapan dengan dewi cantik
dan seorang muridnya. Dewi iblis itu terkekeh
melihat Madewa Gumilang berdiri dengan mata
marah.
Tetapi tiba-tiba dewi iblis itu terdiam.
Matanya mendadak redup. Pemuda yang dicintai
dan dirinduinya kini berdiri di hadapannya. Ingin
dia berlari ke pelukannya, merebahkan kepala di
dadanya. Betapa indahnya. Betapa bahagianya.
Tetapi semua itu tidak bisa dia lakukan. Saat ini
orang yang dicintainya merupakan musuh utama
yang harus dimusnahkan!
Dewi iblis atau Nindia, terkekeh kembali.
Perasaan wanitanya memanggilnya untuk tidak
menyerang lebih dulu. Dan bergetar kembali
melihat pemuda yang dirinduinya.
"Selamat datang di tempatku ini, Madewa,"
suaranya bergetar pula. Sampai-sampai Puspa
merah melirik. Kenapa suara guru bergetar?
Tidak seperti biasanya yang seram dan
mencekam.
"Aku tak perlu berbasa-basi! Hari ini, kau
dan muridmu, akan kumusnahkan dari muka
bumi!" seru Madewa.
"Hi... hi... kau bermimpi, Madewa. Baiklah,
sebelum kita laksanakan pertempuran itu, ada
baiknya kau mengenalku...."
"Aku sudah tahu siapa kau, Dewi! Kau
wanita iblis kejam yang tak kenal dosa! Dosamu
tak berampun lagi!"
"Baik. Baik. Kau jahat menuduhku seperti
itu, Madewa. Ingatkah kau lima tahun yang lalu,
saat kau menolong seorang gadis bernama
Nindia?" Madewa terdiam. Jelas dia ingat. Tadi
pun dia telah membunuh Nindia palsu. Tapi mau
apa dewi sesat itu bertanya-tanya?
"Aku tahu soal itu!"
"Kau tahu di mana gadis itu berada?"
"Sampai saat ini, aku tidak tahu dia berada
di mana...."
Belum lagi selesai bicara Madewa, Paksi
Uludara sudah memotong, "Untuk apa kita
teruskan percakapan ini! Lebih baik kita segera
musnahkan wanita itu, Madewa!"
Nindia terkekeh.
"Kau pemarah sekali, Kakek Tua!"
"Kau telah membunuh muridku, Dewi!
Sinar merahmu sungguh berbahaya dan kejam!"
Nindia terkekeh lagi. "Salah muridmu
sendiri, kenapa tidak menghindar? Hi... hi...
Madewa, kita teruskan pembicaraan tadi....
Memang tak ada seorang pun yang tahu di mana
gadis itu berada. Tetapi hari ini kau akan
mengetahuinya...."
Dada Madewa berdebar lebih cepat. Kalau
begitu putri Nindia berada dalam cengkraman
Dewi penyebar maut itu. Pantas dicari ke mana
pun tidak ketemu.
"Di mana dia? Cepat kau keluarkan! Dan
lepaskan anak istriku, Dewi...."
"Hi...hi..., aku takut kau tidak
mengenalinya, Madewa. Kau masih ingat suara
gadis itu?"
Kembali Madewa terdiam. Mengingat-ingat.
Yah... suara Nindia halus dan mendayu-
dayu. Lembut, sedap didengar telinga.
"Aku masih ingat suaranya."
Tiba-tiba tatapan dewi sesat itu meredup.
Ia menghela nafas panjang. Semua menunggu
dengan tegang. Begitu pula dengan Puspa merah.
Bukankah guru tidak menawan orang selain
Ratih Ningrum dan Pranata Kumala?
Ah, mungkin gurunya punya siasat yang
jitu lagi.
Dan semua terkejut. Puspa merah pun
terkejut. Tiba-tiba gurunya berkata, suranya
bukan suara yang seperti didengar. Kali ini suara
itu lembut. Mendayu-dayu. Dan agak terisak!
"Madewa... akulah Nindia, putri
Abindamanyu yang menghilang lima tahun yang
lalu...."
Madewa tersentak. Ia menatap tak percaya.
Benarkah Dewi Cantik Penyebar Maut yang kejam
itu putri Nindia? Dari mana gadis itu
mendapatkan ilmu kesaktian. Dan bagaimana
cepatnya gadis lembut berubah menjadi beringas.
Kenapa? Kenapa?
Dan dewi itu sudah melanjutkan, "Ini
semua gara-gara kau sendiri, Madewa! Kau telah
menyebabkan aku berubah! Kau telah
membuatku sengsara. Sejak lama aku mencintai,
Madewa.... Tapi rupanya kau hancurkan cinta itu
karena kau sudah mempunyai seorang kekasih!
Saat itu hatiku gundah. Terluka. Siang malam
aku membayangkan kau yang berkasih-kasihan
dengan Ratih Ningrum, dan membuatku
menangis selalu dan tidak rela kau berkasih-
kasihan dengannya. Saat itu aku bersumpah,
akan membunuh salah seorang dari kalian, atau
kedua-duanya! Untungnya seorang kakek sakti
membawaku ke gunung Muria. Empat tahun aku
digemblengnya sampai menjadi gadis yang sakti.
Dan dendamku semakin membara walau cintaku
padamu tak pernah hilang.
Akhirnya aku berhasil keluar dari gunung
itu setelah kubunuh guruku sendiri. Itu semua
gara-garamu pula, Madewa! Dosaku sudah
bertumpuk. Tak mungkin terampuni. Aku juga
telah berdosa pada ayah dan ibu.
Semua sudah kepalang basah. Aku akan
menambah dosa itu dengan beberapa nyawa lagi
hari ini! Bersiaplah, Madewa! Ajal telah
mengundangmu di sini!"
Madewa masih terdiam, memperhatikan
wanita itu. Benarkah dia Nindia? Gadis yang lima
tahun lalu pernah ditolongnya? Tetapi semua
figur dari gadis itu memang mirip dengan putri
Nindia. Wajahnya pun tak berubah. Hanya
menampakkan kebengisan dan seperti
memendam rindu yang amat dalam.
Dia tidak boleh memakai kekerasan. Gadis
ini yang bisa menyembuhkan penyakit Nadia, istri
Abindamanyu. Apalagi Nindia palsu telah
dibunuh oleh Madewa. Dia harus bisa membujuk
agar gadis ini kembali ke jalan yang benar. Dan
kembali ke pangkuan ayah dan ibunya.
"Putri Nindia... mengapa semua jadi
begini?" kata Madewa lirih. Dulu pun dia tahu
gadis itu mencintainya. "Kau seorang gadis yang
lembut tapi telah berubah menjadi seorang wanita
yang kejam. Putri Nindia... kembalilah ke jalan
yang benar... Ayah dan bundamu merindukan
mu..."
"Aku pun rindu pada mereka, Madewa....
Tetapi aku harus membunuhmu hari ini...." suara
Nindia agak terisak.
"Putri... semua yang lalu biarlah berlalu.
Perbuatanmu telah melampaui batas. Kau telah
membuat semua menjadi kacau... Nindia... kau
adalah seorang yang terpelajar... Ayah bundamu
pasti kecewa melihat putri yang disayanginya
menjadi seorang gadis yang kejam...."
"Ini semua gara-gara kau, Madewa! Kau
telah menghancurkan hatiku!" suara Nindia
berubah. Kejam. Bengis. Ia menuding Madewa
penuh kebencian. "Aku tak akan tenang hidup di
dunia ini, sebelum membunuhmu! Membunuh
orang yang membiarkan hatiku sengsara...."
"Nindia... kini aku telah beristri. Dulu pun
aku tak mungkin bisa menerimamu.... Kembalilah
Nindia... bundamu sakit keras karena rindu
padamu...."
Kembali wajah Nindia meredup. Ibunya
sakit keras? Bunda yang dirinduinya? Oh... dia
menutup kedua wajahnya dengan kedua
tangannya. Menangis terisak. Dan mendadak dia
mengangkat wajahnya. Kembali kebengisan itu
nampak. Kebenciannya semakin menjadi-jadi
pada Madewa.
"Kau harus kubunuh, pemuda kejam!"
serunya seraya mengibaskan tangannya. Dan
sinar merah melesat dengan cepatnya!
Madewa berkelit ke samping. Tetapi jarum-
jarum berbisa yang dilontarkan lagi oleh Nindia
kembali membuatnya kelabakan. Dia bersalto dan
hingga di hadapan Nindia,
"Tahan putri.... Semua ini tak ada gunanya
kita lakukan...."
"Aku tak ingin mendengar suaramu lagi,
Madewa! Aku telah bersumpah akan mencabut
nyawamu! Madewa... jika kau bisa membunuhku,
sampaikan salamku kepada ayah dan ibu. Ratih
Ningrum dan putramu kukembalikan secara
utuh! Tetapi jika kau yang terbunuh, akan ku
siksa kedua orang yang kau kasihi itu sampai
mampus!"
"Jaga seranganku, Madewa! Kau Puspa
merah, hadapi kakek jelek itu!"
Sesudah berkata demikian, Nindia melesat
ke depan. Tangannya membentuk cakar yang siap
mencabut jantung Madewa.
Melihat serangan itu, Madewa merunduk
dari menangkis. Dan kakinya bergerak ingin
mengibas kaki Nindia. Tetapi begitu kaki Madewa
bergerak gadis itu sudah bersalto. Dan
menjejakkan sebelah kakinya di punggung
Madewa. Sungguh cepat gerakannya.
"Des!"
Madewa terguling menerima tendangan
penuh tenaga itu. Ia kembali berdiri tegak.
Berkata sebelum Nindia menyerang lagi, "Kita tak
perlu bertempur, Putri. Kembalilah ke jalan yang
benar...,"
"Kau tak perlu berkhotbah!" Nindia
mengibaskan kedua tangannya sekaligus. Dan
sinar merah berkelebat dari sepuluh jarinya.
Madewa pun bergerak cepat. Mau tak mau
dia harus membalas kalau tidak ingin mati
konyol. Dia bergulingan menghindari sinar merah
itu. Tetapi sinar merah itu terus mengejarnya.
Madewa mulai mengeluarkan jurus berkelitnya
yang ampuh, jurus Ular Meloloskan Diri.
Serangan sinar merah itu tak ada yang
menemui sasarannya. Tiba-tiba Madewa memekik
dan tubuhnya seakan terbang melesat ke depan.
Nindia merasakan dorongan angin yang
sangat hebat. Dia adalah didikan seorang kakek
sakti di gunung Muria. Serangan itu dengan
mudah saja dielakkan. Bahkan dia membalas
dengan pukulan menggempur sejuta batu karang.
"Des! Plak!"
Dua buah tenaga penuh berbenturan.
Madewa terhuyung lima langkah, sedangkan
Nindia hanya satu langkah. Berarti pukulan
Nindia lebih sakti dari pukulan yang dikeluarkan
Madewa. Tembok Menghalau Badai.
Sementara itu, Puspa merah sudah
menyerang Paksi Uludara. Serangan gadis itu pun
tak kalah hebatnya Seperti gurunya. Paksi
Uludara sejenak agak kewalahan. Tetapi ketika
dia mencabut pedang mustikanya, dia langsung
berada di atas angin.
Dia adalah jago pedang nomor satu saat
itu. Ilmu pedangnya belum ada yang menandingi.
Empat orang muridnya hanya menonton saja
tanpa berbuat apa-apa. Mereka kuatir, kalau
dibantu Paksi Uludara malah marah. Lagipula,
gadis itu pasti tak akan berumur panjang.
Kibasan dan tusukan permainan pedang
Paksi Uludara benar-benar hebat dan cepat.
Pedangnya menderu-deru dan bergulung-gulung.
Selain itu ilmu meringankan tubuhnya pun tinggi.
Semakin sempurnalah serangan-serangannya
pada Puspa merah yang berusaha menghindar
sekuat tenaga.
Sekali waktu Paksi Uludara berguling dan
pedangnya menusuk ke atas. Puspa merah
menjerit kaget. Karena barang rahasianya yang
diancam oleh Paksi Uludara.
"Bangsat cabul!" bentaknya seraya
menghindar dan mengirimkan serangan dengan
kaki. Tetapi dia cepat menarik kakinya, karena
Paksi Uludara sudah mengibaskan pedangnya.
Puspa merah kembali menjerit kaget. Dia
bergulingan dan mengambil jarak agak jauh dari
Paksi Uludara berdiri.
"Baik, Kakek cabul. Aku akan mengadu
jiwa denganmu!" geramnya seraya membuka
jurus baru.
Paksi Uludara hanya menunggu dengan
bersiaga. Tiba-tiba Puspa merah menerjang
dengan teriakan keras. Kelebatan tubuhnya
menimbulkan desiran angin yang keras. Paksi
Uludara menyambut serangan itu dengan
pedangnya.
Tetapi Puspa merah sudah bertekad untuk
mengadu nyawa. Dia tidak menghindar. Malah
memasuki gulungan pedang itu. Paksi Uludara
semakin cepat memainkan pedangnya. Tetapi
sungguh di luar dugaan. Ketika pedang itu akan
menyambar tubuh Puspa merah, Puspa merah
melenting ke samping. Menghantam salah
seorang murid perguruan Topeng Hitam, Dan
menyambar sepasang pedangnya.
Murid perguruan Topeng Hitam itu ambruk
dengan tubuh berdarah.
Kini Puspa merah sudah memegang
sepasang pedang. Dia pun memainkannya dengan
hebat. Jurus pedang Empat Penjuru dan sedikit-
sedikit dia mampu mengimbangi permainan
pedang Paksi Uludara. Namun Paksi Uludara
adalah orang sakti berilmu pedang yang sampai
saat ini belum terkalahkan. Dan pedang
mustikanya itu menyabet dengan deras.
Menghantam kedua tangan Puspa merah hingga
buntung.
Paksi Uludara bukanlah orang yang kejam.
Tetapi hari ini dia bertindak kejam. Seorang
muridnya telah mampus lagi. Maka dia menjerit
keras dan pedangnya menusuk Puspa Merah
hingga ambruk dan mati seketika itu juga.
Pekikannya membuat Nindia menoleh. Ia marah
melihat muridnya mati. Mendadak dia merubah
serangannya. Kali ini melesat ke arah Paksi
Uludara dengan hebat.
Cakarnya mengancam dengan deras. Paksi
Uludara berkelit, Dan menusukkan pedangnya.
Tetapi Nindia melenting ke atas. Dan
selarik sinar merah berkelebat, menghantam
tangan kiri Paksi Uludara.
"Aaaah!" Paksi Uludara menjerit kesakitan.
Panas sekali dirasakannya. Ia terhuyung. Melihat
guru mereka kalah, tiga orang murid perguruan
Topeng Hitam serentak menyerang. Tetapi mereka
bukanlah tandingan Nindia.
Dengan sekali kibas saja, mereka tunggang
langgang dan tewas seketika dengan muntah
darah.
Nindia menggeram. Menghadapi Paksi
Uludara yang sedang menahan rasa sakit.
"Hutang nyawa dibayar nyawa! Kau harus
membayar nyawa Puspa merah, Kakek!"
Dan Nindia mengibaskan tangannya.
Dorongan angin yang keras mengarah kepada
Paksi Uludara. Melihat bahaya yang mengancam,
Madewa Gumilang cepat bersalto dan mendorong
tubuh Paksi Uludara.
Serangan itu luput, menabrak dinding gua
yang hancur berantakan. Nindia menggeram
marah.
"Bangsat kau, Madewa! Kubunuh kau!"
"Putri... sadarlah, semua ini tak ada
gunanya," kata Madewa mencoba membujuk.
"Mari kita kembali ke rumah...."
"Tidak! Aku harus membunuhmu dulu!"
bentak Nindia dan dia pun memekik keras dan
menyerang Madewa dengan dahsyatnya.
Madewa menunduk sedikit ketika pukulan
Nindia mengarah ke wajahnya. Dan Madewa cepat
menyodokkan sikunya hingga Nindia surut ke
belakang. Madewa meneruskan serangan itu
dengan tendangan dan membuat Nindia kali ini
bersalto menghindar.
"Bangsat! Terima kematianmu, Madewa!"
Nindia membentak. Tahu-tahu kedua tangannya
mengepal dan mengeluarkan asap merah. Itulah
jurus simpanannya yang ampuh.
Madewa pun beriap. Ia merangkum tenaga
di tangannya. Dia pun sudah mengeluarkan jurus
andalannya, pukulan bayangan sukma. Dari
kedua tangannya mengeluarkan asap putih,
Keduanya saling berhadapan. Di mata
Nindia penuh nafsu membunuh, sedangkan
Madewa masih berharap, agar gadis ini mau
kembali ke jalan yang benar.
Cinta memang mengalahkan segala-
galanya, membutakan semuanya. Jika cinta tak
kesampaian, dia akan berubah menjadi dendam
yang mengalahkan segala-galanya! Tetapi bagi
yang bersabar, semua itu bisa ditahannya.
Tiba-tiba terdengar lengkingan Nindia. Dia
sudah bergerak menyerang. Madewa pun berbuat
yang sama. Tak ada jalan lain, dia harus
mempertahankan selembar nyawanya. Dua tubuh
itu melesat ke depan saling memapaki.
"Des! Des!"
Dua buah pukulan sakti itu beradu dengan
kerasnya. Menimbulkan kepulan asap dan suara
yang menggetarkan. Dari kumpulan asap itu
terlihat dua tubuh terpental ke belakang. Dari
mulut kedua-duanya mengeluarkan darah.
Rupanya kedua pukulan sakti itu seimbang.
Mendadak di saat tubuh Nindia masih tergeletak,
Paksi Uludara menyerang, dengan sisa tenaganya.
Tetapi dia lupa, kesaktian dewi saat itu
sangat tinggi. Nindia berguling seraya
mengibaskan tangannya. Dua larik sinar merah
melayang dan menghantam hangus Paksi
Uludara.
"Ketua!" seru Madewa Gumilang terkejut,
susah payah dia bangkit dan memburu. Tubuh
Paksi Uludara hangus. Nafasnya masih terdengar
walau putus-putus.
Ia menahan nyeri yang amat sakit.
Perlahan matanya terbuka, menatap Madewa
dengan tatapan yang redup.
"Madewa... ajal menantiku... di sini...
Hanya satu pesanku... kau... pim... pinlah...
perguruan Topeng Hi... tam... salam untuk....
murid... ah...."
Tubuh gagah itu terkulai dan hilang
nyawanya. Madewa memandang sedih tubuh
Paksi Uludara. Tetapi begitu mendengar kekehan
Nindia, dia bangkit dengan marahnya. Tak ada
jalan lain, dia harus membunuh wanita sesat ini!
Tetapi kesaktian gadis itu benar-benar luar
biasa. Madewa hendak menggunakan senjatanya,
seruling naga warisan Ki Rengsersari, mendiang
gurunya. Tetapi dia ingat, anak dan istrinya
berada di sini. Keduanya bisa mati kelojotan
mendengar suara seruling itu.
Tahu-tahu Madewa berkelebat. Pukulan
bayangan sukma menerjang Nindia yang berkelit
dan menghantamkan pukulan saktinya. Saat
serangannya luput, Madewa menenangkan
jiwanya. Menurunkan rasa marahnya.
Mendadak keajaiban itu terjadi, Ketika
Nindia hendak menyerangkan pukulannya,
tubuhnya mendadak terjengkang ke belakang dan
bergulingan muntah darah.
Pukulannya menerjang dia sendiri! Itulah
keajaiban yang terjadi pada Madewa setelah dia
menghisap sari rumput kelangkamaksa. Rumput
sakti yang hanya dimiliki oleh para dewa.
Tubuh yang muntah darah itu berusaha
bangkit, tetapi ambruk kembali. Madewa berbalik,
hendak melontarkan pukulan jarak jauhnya. Dia
ingin menghabisi saja Nindia yang sudah menjadi
gadis setan.
Tetapi dia menurunkan tangannya.
Kasihan melihat gadis itu merintih. Lagipula, dulu
gadis itu amat dikasihinya. Dan gadis itu bisa
menjadikan obat penyembuh bagi Nadia.
Perlahan Madewa menghampiri Nindia
yang tengah menahan sakit. Serangannya tadi
sangat luar biasa. Dan tanpa disangka serangan
itu berbalik memakannya sendiri. ."Putri...."
Mata Nindia meredup.
"Madewa... maaf... maafkan aku... Ah...
aku telah banyak dosa. Dan benar katamu...
perbuatanku tak terampuni...."
"Sabar putri… bertahanlah...."
"Kurasa... ajalku sudah tiba, Madewa....
Sampaikan salam maafku kepada ayah dan ibu....
Katakan saja, bahwa putrinya telah mati di
tengah jurang.... Madewa... berbahagialah engkau
dengan Ratih Ningrum... juga putramu.... Terus
terang, aku iri pada mereka, yang telah merebut
hatimu... Sampai mati pun kubawa cintaku
padamu... Cintaku tak akan hilang... dan... aku...
ingin kau mati bersamaku hari ini!"
Nindia tiba-tiba melayangkan pukulannya.
Tetapi dia salah perhitungan. Pada saat tenang
begitu, keajaiban rumput kelangkamaksa
berfungsi. Tak ayal lagi, kembali pukulan itu
menghantamnya sendiri dan meninggal dengan
muntah darah.
"Putri Nindia!" seru Madewa terkejut.
Tetapi gadis itu telah pergi untuk selama-
lamanya. Heran, bibirnya tersenyum. Seolah
berbahagia bisa mati dekat orang yang
dicintainya.
Madewa tersendat. Entah kenapa dia
terisak. Baru kali ini dia terisak selama
petualangannya. Dibelainya pipi Nindia dengan
lembut. Dulu pipi itu milik seorang gadis yang
manis dan manja, tetapi kini milik seorang gadis
yang mati dalam kesesatan.
Madewa menengadah, menatap atap gua
dan pancarannya sampai ke langit.
"Maafkanlah segala perbuatannya,
Gusti...."
Sesudah itu dia mencari Ratih Ningrum
dan Pranata Kumala. Mereka berpelukan dengan
gembira. Madewa menguburkan mayat-mayat itu
di dalam gua. Gua yang menjadikan tempat
terakhir bagi mereka, juga Paksi Uludara!
Ketika menguburkan tubuh Nindia,
sesuatu jatuh dari angkinnya. Sebuah keris
berwarna merah. Itulah keris Naga Merah yang
dicurinya dari gurunya di gunung Muria.
Ratih Ningrum terharu melihat kesetiaan
cinta Nindia pada suaminya. Kalau tahu semua
akan jadi begini, dulu lebih baik dia tidak mencari
kekasihnya. Biarlah Nindia berbahagia dengan
kekasihnya.
Nindia merupakan contoh orang baik yang
menjadi jahat. Banyak manusia yang seperti itu,
yang selalu menurutkan hawa nafsunya dengan
jalan apa pun, asal semuanya terpuaskan!
Selesai menguburkan semuanya, Madewa,
istrinya dan anaknya pergi ke rumah
Abindamanyu, hendak memberitahukan semua
kejadian itu.
Sesampai di sana, ada ramai-ramai di
rumah itu. Rupanya, Nadia sudah meninggal
dunia tadi malam. Begitu mendadak. Tanpa
sempat berpesan apa-apa. Dia sudah gembira di
akhir ajalnya dapat bertemu dengan putri
tersayangnya.
Nadia tidak tahu, putrinya yang selama ini
menemaninya adalah Nindia palsu alias Dahlia
Merah.
Semua itu merupakan teka-teki yang tak
terjawabkan bagi Nadia sampai ke liang
kuburnya.
Setelah semua urusan itu diselesaikan,
Madewa berpamitan. Mereka langsung menuju ke
perguruan Topeng Hitam. Madewa Gumilang
hendak menjalankan semua amanat Paksi Ulu
dara walau sebenarnya dia enggan.
Murid-murid Paksi Uludara menerima
semuanya dengan tabah. Dan di bawah pimpinan
Madewa Gumilang, perguruan Topeng Hitam men
julang namanya.
Tetapi diam-diam ada beberapa orang yang
iri, apalagi Madewa diketahui memiliki keris Naga
Merah, keris sakti punya kakek sakti di gunung
Muria
TIGA
Di bawah lereng pegunungan sebelah timur
sana, merupakan daerah yang terindah. Banyak
lembah dan hutan rimba yang liar tak jauh dari
sana. Hanya di bawah pegunungan itu saja
banyak terdapat dusun-dusun kecil yang hanya
terdiri dari beberapa kepala keluarga yang
sederhana. Hidup mereka sangat sederhana.
Hidup hanya dari bertani dan berburu.
Hari itu udara sangat cerah. Matahari baru
muncul dari peraduan. Para penduduk bekerja
dengan giat, demi mencari penghidupan keluarga
mereka.
Dusun-dusun itu merupakan sebuah
daerah yang tentram. Apalagi telah lama di sana
bercokol sebuah perguruan silat yang sudah
menjulang namanya. Perguruan Topeng Hitam.
Dulu perguruan Topeng Hitam dipimpin
oleh seorang ketua yang bernama Paksi Uludara,
seorang jago pedang yang amat tangguh. Tetapi
sejak empat tahun terakhir, perguruan itu tidak
lagi dipimpin oleh Paksi Uludara, karena beliau
telah menemui ajalnya di tangan Nindia atau
Dewi Cantik Penyebar Maut.
Dan sebelum ajalnya Paksi Uludara
memberi amanat kepada Madewa Gumilang,
seorang tokoh yang amat sakti, untuk memimpin
perguruan Topeng Hitam (baca: Petaka Cinta
Berdarah).
Di bawah pemimpin baru itu, keadaan
perguruan Topeng Hitam semakin tangguh.
Bahkan diakui sebagai perguruan terbesar saat
itu. Selain, ketua mereka yang baru amat disegani
kawan maupun lawan, istrinya pun seorang
pendekar wanita yang hebat. Dia bernama Ratih
Ningrum. Wanita yang pandai pula memainkan
pedang.
Semakin tinggilah nama perguruan Topeng
Hitam. Tetapi biar begitu, ada pula beberapa
perguruan silat yang iri pada nama besar mereka.
Salah satu perguruan yang amat membenci
mereka adalah perguruan Cakar Naga. Mereka
dulu adalah perguruan yang amat tinggi, tetapi
sekarang berada di bawah kedudukan perguruan
Topeng Hitam.
Ketua perguruan Cakar Naga bernama Resi
Sendaring, seorang laki-laki berusia empat puluh
tujuh tahun yang tinggi ilmunya. Jurus-jurus
cakar naganya amatlah tangguh. Dia didampingi
oleh enam bawahannya yang tangguh pula.
Pagi ini Resi Sendaring sedang awut-
awutan pikirannya. Sejak dikalahkan oleh
perguruan Topeng Hitam; hadiah dan salam
perguruan yang di bawahnya beralih ke
perguruan Topeng Hitam yang berarti hilanglah
pemasukan yang amat penting.
Resi Sendaring benar-benar geram. Dia
tidak menginginkan hal itu berlanjut terus
menerus. Akhirnya dia memanggil enam
bawahannya untuk berunding. Mencari jalan
untuk mengambil alih kembali kejayaan nama
perguruan Cakar Naga.
Enam bawahannya itu terdiri dari dua
wanita tangguh dan enam laki-laki yang tangguh
pula. Kesaktian dan nama mereka sudah
menjulang, merupakan tokoh-tokoh hitam
golongan sesat. Mereka dulu membuat nama
mereka menjulang dengan sendiri-sendiri. Tetapi
karena telah takluk oleh Resi Sendaring mereka
mengabdikan diri.
Mereka terdiri dari Madurka, seorang laki-
laki yang bertubuh gemuk. Tangan kiri orang
buntung, diganti dengan sebuah besi yang
ujungnya lancip. Dia bergelar, Orang Cacat Sakti.
Di samping orang itu duduk seorang
wanita setengah baya. Wanita itu memakai
kerudung putih. Sikapnya manis dan sopan. Dia
bergelar Dewi Mulia Berhati Busuk. Wajah dan
pakaiannya saja yang kelihatan baik, tetapi
semua itu palsu. Karena dia adalah wanita yang
sangat kejam.
Di samping wanita itu duduk pemuda
tampan yang selalu tersenyum. Dia masih sangat
muda. Tabiatnya aneh. Kadang seperti orang
sinting. Dia sangat ahli dalam melempar senjata.
Pemuda itu bernama Angkasena dan dia berjuluk
Iblis Berwajah Bocah.
Di hadapan ketiga orang itu duduk pula
tiga orang yang lain wajah dan tingkahnya. Yang
berhadapan dengan Madurka, seorang pria
setengah baya yang sangat kurus. Saking
kurusnya tulang-tulang pria itu bertonjolan
keluar. Di pinggangnya menyantel sebuah pedang
tipis yang tajam. Pria itu bernama Tidasewu. Pria
diberi julukan Dewa Pedang, karena permainan
pedangnya amat hebat.
Di samping Tidasewu duduk seorang
wanita yang berwajah buruk. Sebelah matanya
picek. Bibirnya tebal. Di bagian kulit wajahnya
bertonjolan luka yang menjijikkan. Tetapi
mengherankan, karena anggota tubuhnya yang
lain sangat halus, dan mulusnya. Tidak ada luka
yang mengerikan macam di wajahnya. Wanita itu
bernama Sumpila. Wanita itu sangat hebat
kesaktian dan kepandaiannya. Jurus-jurusnya
amat tangguh, yang merupakan gerakan dari
burung bangau. Dia berjuluk Dewi Buruk Rupa.
Dan yang terakhir adalah seorang pria yang
kelihatan genit. Beberapa kali lidahnya menjilat
bibirnya. Dan dia mengikik selalu. Pria itu
bernama Aryo Gembala. Seorang pria dari lereng
gunung pengging yang bergelar Banci Murah
Senyum.
Itulah orang-orang yang dikumpulkan oleh
Resi Sendaring. Rata-rata orang itu semua pernah
dikalahkannya, yang menandakan betapa
tingginya ilmu kesaktian Resi Sendaring.
Resi Sendaring mengemukakan masalah
yang menjadi ganjalan hatinya terhadap
perguruan Topeng Hitam dan kebenciannya
kepada ketua perguruan itu yang bernama
Madewa Gumilang.
Orang-orang yang dipanggilnya itu
mengangguk setuju ketika Resi Sendaring berkata
akan menyerbu ke perguruan itu.
"Jalan itu adalah jalan yang baik di rimba
persilatan, Resi," kata Madurka sambil
mengusap-usap tangan kirinya yang berbentuk
besi lancip.
"Ya, aku pun setuju dengan usul itu,"
dukung Tidasewu yang juga amat membenci pada
Madewa Gumilang. Dia adalah sahabat erat
Krampelaksa, ketua perkumpulan Telapak Naga
yang tewas di tangan Madewa (baca: Dendam
Orang-orang Gagah). Telah lama Tidasewu
mencari kesempatan yang baik untuk
membalaskan dendam itu.
Dan saat ini rencananya itu akan segera
terlaksana.
"Kalau begitu, bagaimana cara kita
mengatur strategi yang baik?" tanya Sumpila,
Dewi Buruk Rupa. Dia pun iri terhadap
kecantikan istri Madewa yang bernama Ratih
Ningrum.
Resi Sendaring tertawa karena usulnya
disambut dengan baik. Dia telah menyusun
semua rencana itu dengan matang. Tinggal
menunggu kesempatan untuk menjalankan
semua itu. Tetapi itu pun tidak akan lama.
Karena kesempatan sebentar lagi datang.
"Rencanaku itu sudah ada di benakku,
Sumpila. Kita menunggu waktu yang tepat untuk
menyerbu ke sana," jawabnya dengan gembira.
Nimas Sertani alias Dewi Mulia Berhati
Busuk, angkat suara, "Resi Sendaring yang
kuhormati, aku pernah mendengar nama Madewa
Gumilang. Kalau tidak salah, dia adalah murid
seorang tokoh legenda yang sakti, Ki Rengsersari
atau Pendekar Ular Sakti, benarkah itu?"
Resi Sendaring mengangguk mengiyakan.
"Ya, dia merupakan murid tunggal tokoh
legendaris itu, yang kesaktiannya pun tak kalah
dengan Ki Rengsersari. Bahkan dia memiliki ilmu
simpanan gurunya...."
"Kesaktian macam apa itu, Resi?" tanya
Nimas Setani lagi.
"Sebuah pukulan yang amat hebat.
Pukulan Bayangan Sukma."
Sampai di situ Resi Sendaring berkata,
terdengar seruan kaget. Pukulan Bayangan
Sukma, pukulan yang amat saktinya. Tak ada
satu pun yang bisa menandingi pukulan sakti itu.
Tetapi mereka bukanlah tokoh-tokoh
golongan sesat yang baru mencuat namanya.
Pukulan macam itu tidak membuat mereka jeri.
Mereka sudah tertawa-tawa lagi. Bahkan
keinginan untuk menjatuhkan perguruan Topeng
Hitam semakin menggebu-gebu.
Sebuah rencana telah disusun oleh Resi
Sendaring adalah rencana yang hebat dan
mantap. Membuat Resi Sendaring sendiri amat
yakin akan rencananya. Pasti rencana itu akan
berhasil dan membawa kembali nama perguruan
Cakar Naga menguak di atas bumi ini.
Setelah terjadi tanya dan jawab di sana-
sini, akhirnya Resi Sendaring mengemukakan
rencananya. Rencana itu hebat namun keji.
Suatu rencana yang berada di luar dugaan
enam orang bawahannya. Bahkan mereka merasa
jeri untuk melakukannya. Namun mereka adalah
abdi-abdi Resi Sendaring yang setia. Walaupun
dari golongan sesat, tetapi kesetiaan mereka jaga
sebagai seorang pendekar. Sebagai tokoh kelas
utama!
Resi Sendaring telah mengatur rencana itu
sedemikian rupa sehingga nampak merupakan
sebagai bantuan, padahal di balik semua itu
terselip rencana terselubung yang amat keji.
Resi Sendaring tertawa ketika mendengar
jawaban dari bawahannya. Mereka setuju untuk
membantu. Bahkan rela mengorban nyawa sekali
pun.
"Kalian tak perlu kuatir...." kata Resi
Sendaring sambil tetap tertawa. "Nyawa kalian tak
akan hilang dalam rencana ini. Aku tahu, kalian
adalah pendekar-pendekar yang tangguh, bisa
melindungi nyawa dari serangan apa pun.
Lagipula, aku menjamin... keselamatan kalian
akan terjaga. Kalian tahu, apa yang kuinginkan
dari keruntuhan perguruan Topeng Hitam?"
Resi Sendaring mengedarkan pandangan.
Tetapi tak ada jawaban. Dan jawaban Resi
Sendaring sungguh di luar dugaan mereka.
Rupanya kali ini Resi Sendaring selalu membuat
kejutan-kejutan.
"Aku menginginkan istri Madewa yang
bernama Ratih Ningrum itu menjadi istriku...."
Semua terdiam. Resi Sendaring tertawa
terbahak-bahak. Tawanya sedemikian kerasnya.
Seakan membawa suara dan rencananya itu ke
pelosok negeri.
Rencana yang keji!
***
EMPAT
Di perguruan Topeng Hitam, seperti biasa
pagi itu murid-muridnya tengah berlatih. Mereka
masih berlatih ilmu pedang warisan Paksi
Uludara. Raja pedang yang amat tangguh. Jurus-
jurus pedangnya sangat hebat dan berbahaya.
Tak jauh dari mereka berlatih ada seorang
anak laki-laki kecil yang mengikuti gerakan
mereka. Dengan susah payah bocah itu mengikuti
setiap gerakan. Di tangannya terpegang sebuah
pedang yang terbuat dari kayu. Anak itu
sepertinya berminat sekali dengan ilmu silat.
Anak itu baru berusia sembilan tahun.
Kelihatan sekali kalau dia berbakat dalam ilmu
silat. Setiap gerakannya walau agak kaku tetapi
mantap.
Dia adalah Pranata Kumala, putra Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum. Empat tahun
tinggal di perguruan Topeng Hitam, membuatnya
terbiasa dengan latihan-latihan seperti itu. Biar
pun masih dilarang oleh orang tuanya, Pranata
Kumala tetap berkeras ingin pandai silat. Apalagi
ketika dia berumur lima tahun, dia telah
diajarkan oleh ibunya beberapa gerakan silat.
Dan anak itu telah pandai bersalto!
Beberapa menit kemudian, muncul seorang
wanita muda yang cantik. Wanita itu kira-kira
berusia dua puluh sembilan tahun, tetapi
sepertinya baru berusia dua puluh empat tahun.
Tubuhnya indah dan menggairahkan. Membuat
setiap yang menatapnya tidak mau lepas dari
pandangan.
Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa
Gumilang. Ratih Ningrum juga mengajarkan ilmu
pedang kembarnya. Dan secara tak langsung,
Ratih Ningrum juga mempelajari jurus-jurus ilmu
pedang perguruan Topeng Hitam.
Di perguruan besar itu, hanya Ratih
Ningrumlah seorang wanita. Yang lain terdiri dari
laki-laki. Tetapi walaupun begitu, Ratih Ningrum
tidak minder. Bahkan sikapnya yang wibawa
membuat murid-murid perguruan Topeng Hitam
segan terhadapnya.
Ratih Ningrum adalah seorang pendekar
wanita yang hebat. Dia pernah belajar kepandaian
dari tiga orang gurunya yang tadinya merupakan
pengawal pribadi ayahnya.
Namun diam-diam, ada salah seorang
murid perguruan Topeng Hitam yang menaruh
hati kepada Ratih Ningrum. Setiap kali melihat
wajah Ratih Ningrum hatinya selalu bergetar. Dia
bernama Bayuseta, orang yang berada di bawah
pimpinan.
Tetapi tentu saja Bayuseta tidak berani
bertindak secara terus terang. Dia hanya
memendam rasa cintanya itu dalam hati. Dan
menahan rasa cemburunya setiap kali Ratih
Ningrum bicara dengan suaminya.
Saat ini Ratih Ningrum menghampiri
putranya yang masih tengah berlatih dengan
sekali-sekali melirik ke samping, mengikuti
gerakan yang lain.
"Pranata..." panggil Ratih Ningrum
Pranata Kumala menoleh, tidak
menghentikan gerakanya. "Eh, Ibu! Selamat pagi,
Bu!"
"Selamat pagi.... Kau berlatih lagi?" Pranata
mengangguk. Tetap tidak menghentikan
gerakannya.
"Lihat, Bu. Bagaimana dengan gerakanku?
Sudah mantap, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum. Gerakannya
memang mantap tetapi kuda-kuda anak itu
begitu lemah.
"Coba kau perbaiki kuda-kudamu, Pranata!
Kelihatan sekali betapa goyahnya kuda-kudamu."
Pranata memajukan kaki kanannya,
menekuk sembilan puluh derajat dan kaki.
kirinya terjulur ke belakang. Agak mantap. Ratih
Ningrum tersenyum.
"Saat kau dalam posisi demikian, kekuatan
tubuhmu sepenuhnya kau letakkan pada kaki
kanan. Ingat, jangan kaki kiri."
"Baik, Bu." Pranata mengangguk, masih
tak menghentikan gerakannya.
"Pranata... kalau kau ingin berlatih ilmu
pedang, sebaiknya kau berada di deretan
belakang mereka. Karena dengan begitu, kau
tidak perlu melirik-lirik lagi. Karena banyak
melirik kau lupa pada kuda-kuda dan
gerakanmu. Mulai besok, kau harus berada di
belakang mereka. Dengan begitu kau mudah
mengikutinya."
"Baik, Bu. Tetapi mana janji Ibu? Katanya
Ibu ingin mengajarkan aku pukulan tangan
seribu. Mana, Bu?"
Ratih Ningrum tersenyum.
"Mulai besok kau Ibu latih. Sekarang
hentikan gerakanmu. Coba perlihatkan saltomu
pada Ibu. Kau pasti jarang melatihnya, ya?"
Anak laki-laki itu menghentikan
gerakannya.
Berkata dengan bersungut-sungut.
"Kata siapa aku tidak melatihnya? Ibu
boleh lihat, betapa lihainya aku sekarang."
Sesudah berkata begitu, anak laki-laki itu
tiba-tiba bersalto ke belakang. Hentakan
tenaganya lumayan, karena itu jarak saltonya
lumayan jauh pula.
Dia bergerak ke samping. Dua kali bersalto
dengan cepat. Dan tiba-tiba bergerak ke depan.
Tubuhnya melenting ke udara dan masih di udara
tubuhnya berputar tiga kali! Sungguh gerakan
hebat diperlihatkan Pranata Kumala.
Ia hinggap dan berdiri tepat di depan
ibunya. "Bagaimana, Bu? Hebat, bukan?"
"Lumayan," sahut Ratih Ningrum
tersenyum lalu mengambil pedang kayu yang
diletakkan Pranata di lantai tadi. "Sekarang jaga
serangan ibu. Gunakan saltomu dengan baik.
Ingat, pedang kayu ini bisa membuat tubuhmu
merah..."
"Ibu tidak boleh memukulku," protes
Pranata tetapi dia sudah bergerak menghindar
dengan cepat, karena pedang kayu itu sudah
menyambar tubuhnya.
"Aaaah, ibu!" jerit Pranata kalang kabut.
Serangan ibunya demikian cepat, membuat
Pranata harus berkelit lebih cepat lagi.
"Kau boleh membalas, Pranata!" seru Ratih
Ningrum seraya mengirimkan satu tusukan ke
perut Pranata. Pranata melenting ke atas. Hebat,
masih di atas dia berbalik dan kakinya lurus ke
arah wajah ibunya.
Ratih Ningrum sendiri agak terkejut, tetapi
serangan itu tak ada manfaatnya baginya. Dengan
satu tangkisan tangannya dia membuat serangan
itu luput dan tubuh Pranata jatuh bergulingan.
Ratih Ningrum mengejar dengan sabetan
pedang kayunya. Pranata berguling tetapi tiba-
tiba dia mengaduh. Ibunya sudah memutar
tubuhnya dan pedang kayu itu menimpa kaki
Pranata.
"Aduh, Ibu!" jerit Pranata kesakitan.
Ratih Ningrum tertawa. Tidak melanjutkan
serangannya.
"Bagus, ilmu saltomu sudah hebat. Berarti
ilmu meringankan tubuhmu sudah lumayan. Kau
harus berlatih pukulan tangan kosong, Pranata.
Ibu janji, mulai besok semua itu akan kau
terima". Cuma ingat...." Ratih Ningrum
menghentikan suaranya.
"Ingat apa, Bu?"
"Sebagai seorang pendekar, mengaduh itu
pantang dilakukan. Kau telah melakukannya tadi.
Ingat, kau tak boleh mengucapkannya lagi."
"Aku tadi kaget, Bu. Ibu menyerangku
benar-benar, aku bingung!"
"Kalau ibu main-main, kau akan mudah
menghindar. Itu namanya bukan berlatih! Dalam
berlatih segala sesuatunya harus keras, karena
dengan tak langsung menggembleng fisik dan
mental!"
Pranata mengangguk mengerti. Dia tidak
bersungut-sungut lagi. Ratih Ningrum lalu
menyuruh putranya mengikuti kembali gerakan
ilmu pedang yang masih dimainkan oleh murid-
murid yang sedang berlatih.
Dia sendiri hendak kembali ke dalam, tadi
dia hanya menengok kemajuan Pranata Kumala.
Diam-diam, di balik sebuah topeng salah seorang
dari yang berlatih itu, terlihat tatapan penuh
gairah cinta yang meledak-ledak. Tatapan milik
Bayuseta yang hampir tak tahan memendung
rasa cintanya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menakutkan. Terkikik macam iblis. Serentak
Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya dan
melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas
tembok yang mengelilingi perguruan Topeng
Hitam itu.
Murid-murid yang sedang berlatih pun
menghentikan latihannya. Mereka
memperhatikan sosok tubuh yang selalu
mengikik itu. Suaranya mirip wanita, tetapi
postur tubuhnya seperti orang laki-laki. Hanya
wajahnya saja yang kelihatan manis.
Dia adalah Aryo Gembala alias Banci
Murah Senyum, yang datang sesuai dengan
rencana Resi Sendaring.
"Hi... hi... hik... kalian semua belum
mengenal aku, kan?" tanyanya dengan suaranya
yang merdu.
Ratih Ningrum membentak, "Sebenarnya
kami tidak ingin mengenalmu, tetapi karena kau
telah datang tanpa diundang, kami harus tahu
siapa dirimu! Dan ada keperluan apa datang
kemari?"
Aryo Gembala mengikik lagi.
"Kau pasti yang bernama Ratih Ningrum.
Dan bocah cilik itu adalah putramu yang
bernama Pranata Kumala. Sungguh bukan suatu
omong kosong tentang kecantikan dirimu, Ratih.
Istri ketua perguruan Topeng Hitam yang
mashyur...."
"Tak perlu panjang lebar, Kisanak!
Terangkan siapa dirimu sebenarnya!"
"Kau rupanya pemarah sekali, Nyonya
Madewa Gumilang. Baik, baik.... Aku Aryo
Gembala yang berjuluk Banci Murah Senyum....
Hi... hik... maksudku kemari, ingin menantang
ketua Perguruan Topeng Hitam yang bergelar
Pendekar Pukulan Bayangan Sukma...."
Ratih Ningrum menahan rasa marahnya.
Melihat orang itu datang dengan meloncati
tembok saja dia tidak senang. Apalagi menantang
suaminya. Ia menyuruh Pranata untuk berdiri
berjajaran dengan murid-murid yang lain. Ratih
Ningrum baru mengenal nama yang disebutkan
tadi. Dia tidak merasa takut sedikit pun terhadap
orang itu. Rasa geramnya semakin menjadi-jadi
ketika Aryo Gembala ingin menantang suaminya!
Sudah berani dia! Punya modal apa? Tetapi
Ratih Ningrum sadar, orang yang berani datang
untuk menantang, pasti punya kesaktian dan
kepandaian yang berarti.
Ratih Ningrum membentak, "Kau ingin cari
mati rupanya! Tanpa alasan sedikit pun tahu-
tahu menantang suamiku!"
"Hik... hik... alasanku sudah jelas. Ingin
mencoba kesaktian suamimu!"
"Suamiku sedang bersemadi di dalam.
Tidak bisa diganggu!"
Aryo Gembala terkikik dan menyahut
mengejek.
"Suamimu bukan orang yang pengecut,
bukan? Katakan kepadanya, aku, Aryo Gembala
datang untuk menantang atau... sekaligus
mencabut nyawanya!"
"Bangsat!" Ratih Ningrum tak dapat
menahan gejolak marahnya. "Kau tak perlu
berhadapan dengan suamiku dulu, kau hadapilah
aku!"
Aryo Gembala mengikik.
"Kau? Hi... hik..." tawanya mengejek.
"Ya, aku Ratih Ningrum, yang akan
membela nama baik suamiku...."
Aryo Gembala mengikik lagi. Dia melompat
turun dengan ringannya. Kikikannya masih
terdengar, bernada mengejek.
Rupanya beberapa orang murid perguruan
Topeng Hitam, tidak bisa menahan diri melihat
istri ketua mereka diejek demikian. Lima orang
melesat ke depan. Siap dengan sepasang pedang
mereka.
"Nyonya ketua, minggirlah!" seru salah
seorang. "Biar orang sombong ini kami ajar adat!"
Ratih Ningrum mundur dua langkah. Aryo
Gembala tertawa mengikik. Lucu menurutnya,
ada orang yang berani nekat melawannya.
"Kalian hanya mengantarkan nyawa
untukku...."
"Manusia sombong, kami peringatkan
kepadamu untuk segera minggat dari sini, kalau
tidak pedang kami akan mengantarkanmu ke
liang kubur!" bentak salah seorang dengan
pedang siap di tangannya.
Tetapi Aryo Gembala alias Banci Murah
Senyum tidak gentar dengan gertakan itu. Karena
orang itu belum juga mau pergi, kelima murid
perguruan Topeng Hitam segera maju
mengurung, mengambil siap tempur.
Aryo Gembala mengikik. Sikapnya tenang.
Tiba-tiba kelima orang itu sudah bergerak dengan
jeritan melengking. Aryo Gembala mengikik dan
tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas dan
bersalto ke belakang. Kelima orang itu segera
berbalik dan menyerang kembali:
Aryo Gembala mengibaskan tangannya dan
menimbulkan dorongan angin yang amat kuat.
Kelima orang itu jatuh tunggang langgang.
Sungguh hebat dorongan tenaga dalam
Aryo Gembala. Ratih Ningrum sendiri terkejut.
Kelima murid perguruan Topeng Hitam yang
terkena serangan tadi muntah darah. Dada
mereka teras sesak dan menyakitkan.
Ketika yang lain hendak maju membantu
Ratih Ningrum merentangkan kedua tangannya!
Menghalangi mereka untuk menyerang.
"Biar aku yang menghadapi orang ini!"
desisnya seraya melangkah dan berhadapan
dengan Aryo Gembala dalam jarak empat meter.
Aryo Gembala tersenyum mengejek
menyambutnya.
"Kuminta Madewa Gumilang yang
menghadapiku. Tapi baiklah, kalau kau ingin
mencobanya! Tapi kurasa sia-sia, Nyonya cantik!
Lebih baik kau ikut denganku untuk kujadikan
selir!"
Merah pada wajah Ratih Ningrum. Ucapan
Banci Murah Senyum itu sangat menjijikkan nya.
Dia membentak, "Kau menjijikkan sekali,
Banci! Mulutmu harus dirobek!" Lalu melesat dan
kirimkan sebuah pukulan ke arah Aryo Gembala.
Aryo Gembala mengikik dan masih
mengikik dia mengelak dengan ringannya.
Tubuhnya melesat dengan cepat dan balas
menyerang.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya, Ratih Ningrum menghindari setiap
setangan itu dan balas menyerang pula.
Dengan ditonton oleh puluhan murid
perguruan Topeng Hitam dan Pranata Kumala
yang bersorak berseru "Pukul, Ibu! Hajar orang
itu!" Ratih Ningrum dan Aryo Gembala berlaga
dengan gigih. Saling serang dan membalas.
Tetapi sampai sejauh itu, belum ada
kelihatan yang terdesak. Keduanya masih sama
tangguh dan hebat. Serangan mereka lancarkan
dengan cepat dan penuh tenaga.
Tetapi ketika memasuki jurus ke tiga
puluh, kelihatan Ratih Ningrum terdesak. Kalah
tenaga, dan nafas. Berkali-kali serangan
berbahaya Aryo Gembala mengancam dirinya.
Sebisanya Ratih Ningrum menghindar.
"Buk!" sebuah pukulan menghantam
punggungnya. Ratih Ningrum terhuyung. Aryo
Gembala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,
dia langsung menerjang. Merasakan dorongan
angin yang kuat, Ratih Ningrum berusaha
menghindar dengan jalan bergulingan.
Serangan itu luput dan saat berguling
Ratih Ningrum mengayunkan kakinya ke bawah.
"Des!"
Kakinya menghantam kedua kaki Aryo
Gembala hingga banci itu jatuh tersungkur. Ratih
Ningrum cepat berdiri sementara Aryo Gembala
sudah berdiri pula.
"Tidak kusangka, permainan ilmu silatmu
lumayan juga, Nyonya Cantik! Pukulan tangan
seribu mengingatkan aku pada seorang tokoh
keturunan Cina bernama Tek Jien!"
Mendengar nama itu disebutkan, Ratih
Ningrum tertawa.
"Mungkin kau jeri mendengar nama tokoh
itu disebutkan, Banci! Nah, ketahuilah, tokoh
yang kau sebutkan tadi adalah guruku. Tek Jien
Si Pukulan Tangan Seribu!"
Aryo Gembala berseru kaget. Jadi Ratih
Ningrum murid Tek Jien itu. Mendadak
kemarahannya naik. Ia menjadi semakin
beringas.
Dia memendam sebuah dendam pada Tek
Jien.
Dulu dia memiliki seorang istri yang amat
cantik. Hidupnya tentram dan aman. Waktu itu
Aryo Gembala belum menjadi seorang tokoh sesat
yang disegani. Dia masih seorang petani yang
bodoh dan sederhana.
Sampai suatu ketika istrinya jatuh cinta
pada Tek Jien. Orang keturunan Cina yang
datang hendak mencari pekerjaan. Istrinya nekat
meninggalkannya untuk menikah dengan Tek
Jien. Tetapi Tek Jien menolak karena wanita itu
masih bersuami. Rupanya istri Aryo Gembala itu
tidak mau mengerti. Dia tetap berkeras untuk
menjadi istri Tek Jien, kalau tidak dia akan
membunuh diri.
Tek Jien tetap dengan putusannya. Dia
tidak akan menerima cinta wanita itu. Dan wanita
itu benar-benar menjalankan perkataannya, dia
membunuh diri dengan jalan membuang diri ke
laut.
Keadaan itu semakin membuat Aryo
Gembala dalam kesedihan yang amat sangat. Dia
tidak bisa melupakan istrinya, dan ke semua itu
terjadi karena laki-laki bernama Tek Jien. Aryo
Gembala bersumpah akan membunuh laki-laki
itu.
Mulailah dia mengembara mencari seorang
tokoh sakti yang mampu mendidiknya ilmu
kepandaian dan kesaktian. Kebetulan sekali saat
itu, seorang tokoh sesat sedang mencari murid
untuk meneruskan perbuatannya. Dan Aryo
Gembala diangkat menjadi murid.
Dia dididik kesaktian dan kepandaian yang
hebat. Dalam selama hidupnya, Aryo Gembala
telah bersumpah, tidak akan menikah lagi selain
dengan istrinya. Dia sangat mencintai istrinya.
Itulah sebabnya lambat-laun dia merubah
tabiatnya menjadi seorang wanita, agar dia tidak
bernafsu dengan wanita.
Tingkah lakunya pun kejam. Kadang
membunuh dan merampok.
Jadilah dia seorang tokoh sesat berjuluk
Banci Murah Senyum. Kepada siapa saja dia
selalu tersenyum. Namun kepada siapa saja dia
ringan tangan.
Dan sekarang ini, baru dia dengar di mana
orang yang dibencinya berada. Sekarang pun dia
tengah berhadapan dengan murid orang itu.
Kebencian dan dendamnya semakin
menjadi-jadi. Mendadak dia membuka jurus
simpanan warisan dari gurunya itu. Jurus Naga
Hitam Menembus Bumi.
"Ratih Ningrum," suaranya menggeram.
"Gurumu adalah orang yang sangat kubenci. Dan
hari ini, aku harus menumpahkan semua
kebencianku itu kepadamu! Terimalah
kematianmu, Ratih Ningrum!"
Ratih Ningrum pun bersiap. Rupanya Arya
Gembala benar-benar menginginkan nyawanya.
Serangannya kali ini sangat berbahaya dan ganas.
Dia memekik panjang ketika melesat menyerang.
Tangannya berubah menjadi hitam dan
gerakannya benar-benar ganas. Dorongan
anginnya saja sudah menggetarkan, belum lagi
pukulannya!
Ratih Ningrum tidak berani menangkis
atau memapaki. Dia berkelit ke samping dan
balas menyerang dengan tendangannya.
Aryo Gembala tiba-tiba memutar dan
berbalik menangkis tendangan Ratih Ningrum.
"Des!"
Tubuh Ratih Ningrum jatuh terjengkang
menerima tangkisan itu. Tenaga tangkisan Aryo
Gembala kuat sekali dan membuat kaki Ratih
Ningrum kesemutan.
Terdengar pekikan keras, Aryo Gembala
sudah menerjang maju. Ratih Ningrum tidak
mungkin bisa menghindar lagi.
Tiba-tiba terdengar pekikan pula yang
keras, sesosok tubuh meloncat menghalangi
serangan itu. Tetapi tak kuasa menahan, karena
tubuh itu langsung dihantam oleh pukulan naga
hitam Aryo Gembala:
"Des! Des!"
Tubuh itu terhuyung dan ambruk. Ratih
Ningrum yang merasa diselamatkan, bangkit dan
menghampiri tubuh yang ambruk itu. Membuka
topeng hitamnya. Dia adalah Bayuseta, pemuda
yang memendam cinta pada Ratih Ningrum.
Banci Murah Senyum terkikik.
"Untung masih ada orang yang rela
mengorbankan nyawanya untukmu, Ratih. Kalau
tidak, kau sudah mampus di tanganku!"
Ratih Ningrum bangkit dan memandang
marah.
"Kau pun harus mati di tanganku. Banci
jelek!" serunya seraya mencabut sesuatu dari
angkinnya. Sebuah keris yang indah dan
berkilau. Dari keris itu mengeluarkan cahaya
bening. Itu adalah senjata warisan dari gurunya
yang bernama Patidina, si keris tunggal.
Dengan senjata itu Ratih Ningrum
meneruskan perkelahiannya, sementara tubuh
Bayuseta diangkat ke dalam oleh yang lain dan
diobati.
Dengan keris di tangan, Ratih Ningrum
kelihatan berada di atas angin. Tusukan-tusukan
kerisnya sungguh hebat. Sangat cepat dan penuh
tenaga. Berkelebatan ke sana-kemari. Namun
suatu ketika, Aryo Gembala tepat memukul di
pergelangan tangan kanan Ratih Ningrum.
Membuatnya kaget dan kerisnya terlepas.
Aryo Gembala tak membuang kesempatan
lagi. Dia melesat dengan cepat, ingin menghabisi
nyawa Ratih Ningrum sekarang juga.
Tetapi mendadak tubuhnya terhuyung ke
belakang dengan deras dan menabrak tembok!
"Des!!"
Ratih Ningrum menoleh heran. Tapi dia
langsung bangkit ketika melihat suaminya sudah
berdiri. Rupanya suaminya yang menghalangi
serangan tadi. Dia mengibaskan tangannya dan
mendorong tubuh Aryo Gembala dengan pukulan
jarak jauh yang hebat.
"Kakang," panggil Ratih Ningrum gembira.
"Kau sudah menghentikan tapamu?"
"Semua sudah selesai, Rayi! Waktu yang
kuperlukan hanya satu minggu. Rayi... siapa
orang itu, mengapa dia kelihatan ingin
membunuhmu?" tanya Madewa Gumilang. Dia
kelihatan sudah agak tua. Usianya sekarang
sudah tiga puluh empat tahun. Tetapi tubuh dan
wajahnya masih kelihatan tampan dan gagah.
Ratih Ningrum menceritakan dari mana
laki-laki banci itu datang. Juga tentang dendam
pada gurunya yang menjadikan laki-laki itu
semakin bernafsu ingin membunuhnya.
Sementara itu Aryo Gembala sudah bangkit
dan membentak jengkel, "Hhh! Seorang pendekar
besar ternyata berjiwa pengecut, beraninya hanya
main bokong!"
Madewa tersenyum bijaksana. Usia yang
bertambah semakin menambah kewibawaannya.
"Aku hanya mengibaskan tangan saja,
tidak membokongmu."
Wajah Aryo Gembala memerah. Hanya
dengan kibasan tangan saja dia sampai
terpelanting ke tembok.
Dia membentak lagi, "Madewa Gumilang,
hari ini aku datang untuk menantangmu! Sebagai
seorang yang berjiwa kesatria, kau pasti
menerima tantanganku! Larilah kalau kau
seorang pengecut!"
"Untuk apa kau menantangku?
Perkelahian itu tak ada gunanya. Akan
menimbulkan sengketa bagi yang kalah, dan akan
semakin sombonglah orang yang menang. Lebih
baik, kau cabut tantanganmu itu. Bertamulah
dengan sopan, jangan membuat tuan rumah
marah."
"Kau bukan seorang pengecut, bukan?
Nah, terimalah tantanganku!"
Selesai membentak begitu, tanpa banyak
cakap lagi, Aryo Gembala sudah menyerang. Mau
tak mau Madewa menyambut serangan itu. Selain
ingin mempertahankan nyawanya, dia juga tidak
ingin dibilang pengecut, apalagi hadapan murid-
muridnya.
Dia menangkis serang itu dan balas
memukul.
"Des!"
Belum satu gebrakan, Aryo Gembala sudah
terkena pukulannya. Madewa telah mengeluarkan
jurus Ular Mematuk Katak, jurus yang cepat dan
hebat.
Aryo Gembala terhuyung. Wajahnya
memerah menahan marah. Dia menyerang lagi
karena masih penasaran.
Tetapi lagi-lagi Madewa menghantamnya.
Bahkan dua kali mendaratkan pukulannya. Kali
ini Aryo Gembala ambruk dan merasakan
matanya berkunang-kunang. Tenaganya sudah
terkuras tadi ketika menghadapi Ratih Ningrum,
jelas saja dia kewalahan menghadapi Madewa.
Susah payah Aryo Gembala bangkit. Dia
merasakan dadanya sesak kembali. Tetapi dia
tidak menyerang lagi.
"Madewa... kau benar hebat, tapi aku akan
datang lagi untuk menantangmu.... Dan satu soal
lagi yang tak kalah pentingnya yang kubawa...."
"Apa itu?" tanya Madewa Gumilang. Dia
pun tidak menyerang lagi. Lawan sudah kalah.
"Kau datanglah ke goa sebelah barat sana,
di mana kuburan Paksi Uludara berada. Kau
lihatlah apa yang telah terjadi dengan makam
itu...."
Tubuh Aryo Gembala berkelebat dan
menghilang. Madewa memburu, "Hei, kau belum
menjelaskan semuanya!" Tetapi Aryo Gembala
sudah menghilang dari pandangan
Madewa kembali lagi, apa yang telah terjadi
dengan makam Paksi Uludara. Dan siapa
sebenarnya orang itu, dari golongan mana dia
datang?
Makam yang setiap tahun dikunjungi dan
sembayangi, kini apa yang telah terjadi.
Madewa merasa, ada persoalan yang gawat
dalam hal itu. Dan dia teringat, ketika dia
menguburkan mayat Paksi Uludara dia juga
menguburkan sebuah pedang mustika yang
bernama Pedang Sakti Naga Emas.
Apakah pedang itu yang menjadi masalah.
Kemungkinan besar orang-orang jago akan
mengambilnya. Dia harus segera ke sana untuk
menyelidikinya.
Tiba-tiba dari dalam muncul seorang murid
dengan wajah pucat, dan berkata setelah
menjura, "Ketua dan Nyonya ketua, keadaan
Bayuseta gawat! Harap ketua berdua sudi
menengok!"
Serentak mereka berlari ke dalam. Pranata
Kumala yang masih asyik mengkhayalkan andai
kata dia seperti ayahnya, turut pula masuk.
Beberapa orang murid menjaga di depan.
Mereka tidak memakai topeng lagi. Topeng hitam
itu hanya digunakan jika ada hal yang penting
dan latihan. Menjaga-jaga kalau serangan itu
datang lagi.
***
LIMA
eadaan Bayuseta memang agak parah. Ia
terluka dalam. Pukulan Aryo Gembala benar-
benar hebat.
Madewa Gumilang memeriksa keadaan
Bayuseta. Ia meletakkan kedua telapak
tangannya di dada Bayuseta. Bayuseta menjerit
pelan, menahan sakit. Madewa menahan nafas
dan mengeluarkan nafasnya perlahan-lahan dari
hidung, sementara dari kedua tangannya
mengalir dorongan tenaga panas dan meresap ke
dada Bayuseta.
Bayuseta merasakan dadanya sudah tidak
begitu sesak. Dan tubuhnya sudah agak enakan.
Madewa memberikan dua buah pil penguat
tubuh. Setelah itu Bayuseta membuka kedua
matanya.
Madewa tersenyum.
"Bagaimana, Bayu?"
Bayuseta tersenyum, agak meringis.
"Sudah enakan, Ketua," desisnya pelan dari
selintas melintas di benaknya akan keadaan Ratih
Ningrum. Bagaimana keadaan wanita yang
dicintainya dengan diam-diam itu?
Ketika mendengar suaranya, dada
Bayuseta menjadi ringan. Wanita yang dicintainya
masih dalam keadaan segar bugar
"Kau telah menyelamatkan nyawaku,
Bayuseta...."
Bayuseta melirik. Duh, betapa cantiknya
wanita itu. Sayang, dia istri ketua yang harus
dihormatinya.
"Sudah sepatutnya hal itu kulakukan,
Nyonya ketua...." desisnya dengan suara pelan.
"Walau bagaimana pun, nyawaku telah kau
selamatkan. Aku berhutang budi padamu,
Bayuseta," kata Ratih Ningrum lagi.
"Soal itu, tidak usah dipikirkan, Nyonya.
Tak ada hutang budi dalam hidupku."
"Tidak, biar bagaimanapun aku berhutang
budi padamu, Bayuseta. Suatu saat nanti aku
akan membayar lunas hutangku itu...."
Bayuseta memejamkan matanya. Melihat
wajah dan mendengar suara wanita yang
dicintainya itu, dia sudah bahagia apalagi kalau
wanita itu membalas budinya.
Suatu pikiran jelek mendadak melintas di
benak Bayuseta. Sekaranglah jalan satu-satunya
untuk memiliki Ratih Ningrum!
Rencana itu akan dijalankannya nanti.
Madewa Gumilang beranjak meninggalkan tempat
itu. Ratih Ningrum dan Pranata Kumala
mengikutinya. Beberapa orang murid menjagai
Bayuseta, karena keadaan pemuda itu masih
lemah.
Madewa Gumilang duduk di kursi yang
biasa diduduki oleh Paksi Uludara. Istrinya
duduk di hadapannya dan Pranata Kumala sudah
kembali bermain dengan pedang kayunya.
Tidak menghiraukan pikiran yang
menghantui di benak ayahnya.
Ratih Ningrum pun tidak tahu. Tetapi
melihat suaminya duduk termenung, dia mulai
menduga, pasti ada sesuatu yang sedang
dipikirkan oleh suaminya.
Entah apa itu.
Ratih Ningrum mencetuskan
keingintahuan nya, "Kakang... apa lagi yang kau
pikirkan? Persoalan Aryo Gembalakah yang
menyusahkanmu?"
Madewa menghela napas.
"Iya, Rayi. Tetapi bukan Aryo Gembalanya
yang menjadi masalah... tetapi perkataannya
tentang makam Paksi Uludara."
"Ada apa sebenarnya dengan makam
beliau?"
"Aku pun tidak tahu, Rayi."
"Lalu bagaimana dengan tindakanmu?"
Aku akan pergi untuk menyelidikinya
sekalian menyembahyanginya.... Sudah tiga bulan
sejak tahun ini kita belum pernah ke sana."
"Apa tidak perlu kau utus salah seorang
untuk menengok, Kakang?"
"Biarlah aku sendiri yang ke sana. Aku
kuatir, di sana akan terjadi apa-apa...."
Rupanya masalah itu memang menjadi
pikiran yang berat bagi Madewa. Makam Paksi
Uludara sangat dihormatinya. Makam yang
dianggapnya keramat!
Madewa berkata lagi, "Rayi... besok aku
akan berangkat. Kuminta kau menjaga perguruan
dan Pranata Kumala. Jika ada apa-apa, mintalah
bantuan dari murid utama. Tapi kurasa... kau
mampu menangani semua persoalan yang
datang."
Ratih Ningrum terdiam. Selama
mengunjungi dan menyembahyangi makam Paksi
Uludara mereka selalu bersama-sama dan kali ini
suaminya akan pergi sendiri. Tentu saja hati
Ratih Ningrum agak kecewa. Di samping tidak
yakin akan mampu memimpin perguruan selama
suaminya pergi.
Ratih Ningrum takut kalau dia pergi nanti,
Aryo Gembala datang kembali membalas
kekalahannya. Mungkin kalau dia sendiri masih
bisa ditanganinya. Tetapi bagaimana jika Aryo
Gembala datang bersama teman-temannya. Tentu
dia akan kelabakan.
Tetapi semua itu tidak bisa dibantah lagi.
Suaminya akan, pergi sendiri. Karena menurut
dugaan Madewa, pasti ada sesuatu yang gawat
pada makam Paksi Uludara!
Entah apa, dia pun tak tahu.
Dan untuk tahu, dia harus datang dan
melihat sendiri apa gangguan itu.
***
Keesokan paginya, Madewa sudah siap-
siap hendak berangkat. Dia mengendarai seekor
kuda jantan yang gagah. Seperti biasa, Madewa
tidak membawa senjata apa-apa, kecuali senjata
warisan mendiang gurunya Ki Rengsersari. Yaitu
sebuah seruling yang dinamakan Seruling Naga.
Seruling itu hampir sama bentuknya
dengan seruling biasa, hanya di seruling itu
terdapat gambar dua ekor naga sedang bertarung.
Dan keampuhan seruling itu lain dengan
yang lain. Dengan sekali tiup seruling itu mampu
membinasakan orang apalagi jika orang itu dalam
keadaan marah. Semakin marah dia akan
semakin termakan oleh suara seruling itu.
Dan bisa dikuasainya!
Ratih Ningrum melepaskan kepergian
suaminya dengan sedih dan enggan. Entah
kenapa dia merasakan sekali kalau kepergian
suaminya akan membawa sebuah malapetaka
bagi suami dan dirinya. Tetapi dia tidak tahu, apa
malapetaka itu.
Setelah berpesan pada istrinya agar
berhati-hati, juga kepada beberapa orang murid
utamanya agar menjaga perguruan dan istrinya
dengan baik, Madewa menaiki kudanya.
Di saat itu terdengar suara, "Ayah! Ayah
mau ke mana?!"
Madewa tidak jadi menggebrak kudanya.
Dari dalam Pranata Kumala yang baru bangun
tidur, berlari menghambur keluar. Di dekat kuda
ayahnya dia berkata lagi, "Ayah mau ke mana?
Aku dan ibu tidak diajak?"
Madewa tersenyum. Turun lagi mengecup
pipi putranya.
"Ayah mau pergi dulu. Kamu jaga ibu ya?"
"Ke mana, Yah?"
"Pokoknya tidak jauh dan ayah akan cepat
kembali. Kamu mampu kan menjaga Ibu?"
"Beres!" anak itu mengacungkan
jempolnya. Madewa melompat lagi ke punggung
kudanya. Setelah berpesan sekali lagi terhadap
istrinya, dia menggebrak kudanya. Kuda berlari
dengan menyentak, meninggalkan debu yang
mengepul akibat lompatan kakinya.
Kudanya lari demikian cepat, karena
Madewa memang ingin cepat-cepat tiba di sana.
Dia langsung mengarahkan lari kudanya ke
tempat peristirahatan terakhir Paksi Uludara,
yang jaraknya sangat jauh dari sana.
Hampir setengah hari Madewa melarikan
kudanya. Ketika tiba di sebuah kota kecil, ia
turun hendak makan. Sejak tadi perutnya lapar
sekali. Aroma yang keluar dari rumah makan itu
semakin membuatnya lapar.
Di dalam rumah itu hanya ada tiga orang
yang sedang makan. Mereka terpisah-pisah. Dua
orang laki-laki dan satu wanita. Wanita itu
berwajah cantik. Ia memakai kerudung putih.
Madewa langsung mengambil tempat
duduk dan memesan makanan serta lauknya.
Lalu mulailah dia makan dengan nikmatnya, tak
memperdulikan keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari
luar, "Kalian cepat semua minggat! Tuan besar
kalian ingin makan di sini!"
Beberapa orang berwajah seram dan
bertubuh besar, masuk dengan sikap yang
sombong. Mereka menggebrak-gebrak meja dan
tertawa-tawa. Dua orang laki-laki yang sedang
makan langsung keluar dengan ketakutan.
Keduanya sudah mengenal siapa orang-orang itu.
Perampok kejam yang bergelar Lima Iblis
Pencabut Nyawa!
Mereka tertawa mengejek melihat kedua
orang tadi terbirit-birit. Tetapi langsung melotot
marah karena dua orang lagi belum juga
meninggalkan tempat itu.
"Bangsat!" menggeram salah seorang yang
bernama Danuwending. Wajah orang itu penuh
ditumbuhi kumis dan janggut yang lebat,
membuat wajah orang itu nampak tak karuan. Ia
menghampiri meja yang diduduki wanita
berkerudung putih, sementara empat orang
temannya tertawa-tawa sambil duduk
memperhatikan.
Madewa pun diam-diam memperhatikan.
Tetapi dia tetap tenang, tidak beranjak pula.
Karena menurut Madewa, dia harus melindungi
wanita berkerudung putih itu. Kalau wanita itu
pergi, dia akan pergi juga. Lagipula, dia belum
diusir oleh orang-orang itu.
Sekarang wanita itu sedang digoda oleh
Danuwending yang kesenangan karena wanita itu
diam saja. Tetapi tidak menunjukkan ketakutan
sedikit pun.
"He... he... kau masih manis, Nona.
Kulitmu halus sekali," dengan ceriwis
Danuwending mencolek dagu wanita itu. Wanita
itu hanya melengos, menepis tangan
Danuwending dengan halus. Lalu tersenyum.
"Aku sedang makan, Kangmas. Jangan
ganggu aku!" suaranya pelan dan mendayu-dayu
membuat Danuwending kesenangan.
"Manis, bagaimana kalau kau tinggal di
rumahku? Kau pasti akan senang."
"Saya sudah bersuami, Kangmas. Tidak
bisa mengikuti, Kangmas."
Tiba-tiba Danuwending menggeram.
Wanita itu sudah bersuami? Siapa suaminya.
Akan dia rebut wanita manis ini dari tangan
suaminya.
"Katakan, siapa suamimu? Dan di mana
dia berada sekarang?"
Wanita itu tersenyum, tersipu.
"Dia... dia sudah meninggal, Kangmas. Dan
tentu saja dia sekarang berada di pemakaman
umum. Aku sendiri baru mengunjungi dan
menyembahyanginya."
Sekarang Danuwending terbahak.
Suaranya keras. Mulutnya bau. Wanita itu
sampai menekap hidungnya. Lalu ia berdiri,
hendak beranjak.
Danuwending menahan tangannya. "Kamu
mau ke mana?"
"Aku harus pulang. Anakku menunggu di
rumah," sahut wanita itu dan secara tidak diduga
dia menepis tangan Danuwending dengan halus,
tetapi dirasakan Danuwending agak menyentak.
Danuwending sendiri kaget. Tenaga wanita
itu lumayan juga. Merasa tangannya terlepas,
wanita itu membayar makanannya dan hendak
pergi.
"Tunggu, Nona!" seru Danuwending
penasaran apalagi teman-temannya tertawa
karena dia tidak berhasil menaklukkan wanita
itu.
Wanita itu berbalik dan wajahnya
menampakkan kejengkelan yang luar biasa. Tidak
ada tanda malu-malu dan kemanisan wajahnya.
Yang ada sorot mata yang mengerikan dan tiba-
tiba wanita, itu terkikik dengan suara yang
menyeramkan.
"Hik... hik... kau mau apa, Danuwending?"
Danuwending terkejut, wanita itu mengenal
namanya. Juga teman-temannya, mereka
serentak bangkit. Wanita itu mencurigakan.
Mereka serentak bangkit mengurung.
Wanita itu hanya tertawa.
"Jadi ini yang bergelar Lima Iblis Pencabut
Nyawa? Hik... hik... kalian tidak pantas
menyandang gelar itu! Gelar kalian pantasnya
Lima Monyet Nangkring di Pohon!" Wanita itu
tertawa lagi.
Seketika wajah orang-orang itu menjadi
geram. Wanita ini berani-beraninya mengejek
mereka. Rupanya dia belum tahu siapa mereka.
Pemilik warung yang bertubuh gendut
ketakutan menghampiri Madewa. Ia berkata
dengan suara terburu-buru, "Raden, cepatlah
pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka
menimpakan kesalahan kepadamu. Cepatlah,
Raden...."
Madewa tersenyum, menenangkan pemilik
warung yang ketakutan itu.
"Tenanglah, Paman. Aku ingin menonton
mereka. Lagipula, aku belum selesai makan,
Paman."
Pemilik warung itu masuk lagi ke dalam,
memanggil semua pelayannya dan mengunci
pintu ruang yang berhubungan dengan rumah
makan itu.
Terdengar bentakan keras, "Kau siapa,
Nona? Sikapmu menantang kami terlalu berani!"
Wanita itu tertawa. "Baik, baik. Dan
kuminta setelah mendengar namaku, kalian pergi
dari sini. Dengarkan... namaku Nimas Sertani
atau kalian mungkin lebih mengenal dengan
sebutan Dewi Mulia Berhati Busuk...." wanita itu
menghentikan suaranya karena wajah kelima
orang itu terkejut dan pias. Dia mengikik.
"Cepat kalian bersujud untuk minta
ampun!"
Tetapi mereka, adalah orang-orang yang
kejam dan tak mengenal takut. Gelar wanita itu
pun tidak membuat mereka takut. Malah
kelimanya sudah mengambil senjata mereka yang
berbentuk cambuk.
Dan menyabetnya hingga menimbulkan
suara bergeletar.
Bukan hanya mereka saja yang terkejut,
Madewa pun demikian. Jadi ini orangnya yang
telah lama dia dengar namanya
Terdengar tawa ngikik dari bibir Nimas
Sertani yang mungil itu.
"Kalian mau apa?"
"Kami ingin mencoba kesaktian Dewi Muka
Berhati Busuk!" seru Danuwending dan sudah
melancarkan serangannya. Cambuknya
menyambar dengan cepat.
Nimas Sertani menghindar dengan jalan
meloncat, tetapi cambuk-cambuk yang lain sudah
menyambar, seolah takut tidak kebagian jatah.
Namun semua serangan itu dielakkan
dengan baik oleh Nimas Sertani, wanita golongan
sesat yang amat tinggi ilmunya. Kelima orang itu
menjadi penasaran, mereka menyerang lagi
dengan membabi buta. Namun lagi-lagi serangan
itu tak menemui sasarannya dan agaknya Nimas
Sertani sudah bosan dari tadi mengelak terus,
kini dia balas menyerang.
Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya, dia berkelebat ke sama-
kemari dengan cepat dan melancarkan pukulan
dan tendangannya. Kelincahan dan
ketangkasannya membuat kelima orang itu
menjadi kalang kabut. Padahal Nimas Sertani
tidak memakai senjata. Tetapi karena nama
besarnya sudah mengejutkan kelima orang itu,
kini serangan mereka menjadi kacau dan dengan
mudahnya Nimas Sertani menjatuhkan mereka
satu per satu.
Ia tertawa setelah menendang
Danuwending hingga tersungkur di bawah kursi.
"Inilah upahnya bagi orang-orang ceriwis
macam kalian! Kalian beruntung, hari ini aku lagi
tak bernafsu untuk membunuh. Tapi lain kali,
nyawa kalian tak ada ampunnya! Cepat kalian
menggelinding dari sini!"
Nimas Sertani menendangi mereka satu per
satu keluar. Kelima orang itu lari terbirit-birit.
Lupa dengan nama besar mereka yang terkenal di
dusun Kampil.
Nimas Sertani terbahak-bahak. Senang
dengan permainan yang lucu tadi. Dia
menggebrak meja dan berseru, "Pelayan! Di mana
kau? Cepat ambilkan aku nasi lagi dengan lauk
pauknya!"
Pelayan-pelayan yang mengintip itu, segera
keluar dengan tergopoh-gopoh. Dua orang
melayani Nimas Sertani makan dan beberapa
orang lagi merapikan tempat yang agak
berantakan.
Selesai makan, Nimas Sertani beranjak
meninggalkan tempat itu. Sikapnya tenang,
seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.
Madewa pun meninggalkan tempat itu.
Benar-benar diluar dugaannya, kalau wanita itu
ternyata Dewi Mulia Berhati Busuk. Seorang
tokoh sesat yang amat lihai.
Madewa menaiki kudanya dan melanjutkan
perjalanan. Matahari sudah beranjak dari
tempatnya di atas kepala. Sudah agak condong ke
barat, menandakan sebentar lagi hari sore dan
malam akan datang.
Ketika Madewa melarikan kudanya,
sesosok bayangan tubuh berkerudung putih
berkelebat. Dia itu Dewi Mulia Berhati Busuk,
yang tengah ditugasi oleh Resi Sendaring untuk
memata-matai Madewa Gumilang!
Setelah Aryo Gembala gagal membunuhnya
di perguruan Topeng Hitam, Resi Sendaring
segera bertindak sesuai dengan rencananya.
ENAM
Laki-laki itu berusia kurang lebih enam
puluh lima tahun, tinggi kurus, namun
langkahnya tegap dan gagah. Ia memegang
sebuah tongkat yang terbuat dari bambu kuning.
Dengan tongkat itu seakan menambah
kegagahannya dan tidak menampakkan
ketuaannya. Kumis, janggut dan rambutnya
sudah putih semua.
Kakek itu bernama Ki Ageng Jayasih. Dia
baru lima hari turun dari tempat kediamannya, di
puncak gunung Muria. Luar biasa, kakek renta
itu mampu menuruni gunung yang demikian
tinggi dan landai itu, menandakan kakek itu
bukan orang sembarangan.
Memang, Ki Ageng Jayasih adalah seorang
pendekar yang bergelar Pendekar Sinar Merah,
karena dari kedua tangannya bisa memancarkan
pukulan jarak jauh yang berupa sinar merah.
Keperluan turun gunungnya kali ini,
adalah mencari murid murtad yang bernama
Nindia yang telah mencuri keris ampuhnya keris
Naga Merah dan mencoba membunuhnya.
Ki Ageng Jayasih luput dari pembunuhan
itu ketika dia sedang bersamadhi. Saat itu,
pikirannya kosong dan jiwanya pun kosong.
Muridnya yang Bernama Nindia diam-diam
mengambil keris Naga Merah dan menikamnya
dengan keris pusaka itu.
Ki Ageng Jayasih rubuh dengan berlumur
darah dan secepat itu Nindia melarikan diri.
Tetapi Ki Ageng Jayasih bukanlah pendekar tua
yang sembarangan. Saat jiwanya kosong
demikian, darahnya cepat berhenti dan dengan
susah payah dia bangkit. Untung yang ditikam
bagian punggungnya. Dengan menelan hati ular
merah, lukanya dapat disembuhkan.
Dia menyangka muridnya itu akan kembali
untuk minta maaf, tetapi ditunggu sampai
delapan tahun, muridnya itu tidak pernah
kembali. Ki Ageng Jayasih kuatir, kalau muridnya
mempergunakan keris Naga Merah untuk
kejahatan. Keris itu ampuh sekali, dapat
menembus ilmu kebal macam apa pun.
Setelah delapan tahun itu, mulailah dia
turun gunung. Ki Ageng Jayasih tidak tahu sama
sekali, kalau murid murtadnya itu telah menemui
ajalnya di tangan Madewa Gumilang dan keris
Naga Merah sekarang berada pada pendekar itu
(baca : Petaka Cinta Berdarah).
Dia akan mencari muridnya dan
menghukumnya seberat-beratnya, padahal kalau
muridnya datang untuk minta maaf dia akan
mengampuni. Ki Ageng Jayasih terkenal sebagai
orang yang welas asih. Sama siapa pun juga, baik
lawan maupun kawan. Apalagi ini seorang
muridnya, yang diambilnya karena muridnya itu
kecewa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ki Ageng Jayasih melangkahkan kakinya
dengan tenang, santai dan ringan. Dia tidak ingin
bertemu dengan muridnya buru-buru, dia masih
mengharapkan muridnya itu akan datang
kepadanya untuk minta maaf.
Karena selama lima hari dia berjalan terus
menerus tanpa berhenti, akhirnya dia beristirahat
di sebuah hutan kecil dan mulai membuka
perbekalannya. Mulailah dia menikmati isi
perbekalannya dengan lahap.
Tetapi belum lagi dia menyelesaikan
santapannya, terdengar bentakan keras, "Siapa
adanya yang berani beristirahat di daerah
kekuasaanku!"
Sesosok tubuh gemuk pendek telah berdiri
tak jauh dari Ki Ageng Jayasih yang sedang
makan. Orang bertubuh pendek itu mendengus
congkak jengkel karena hutan kecil ini adalah
daerah kekuasaannya dan orang itu makan
dengan seenaknya tanpa izinnya.
Orang pendek itu melangkah mendekati Ki
Ageng Jayasih yang sudah memasukkan kembali
perbekalannya. Tangan kiri orang itu berkilat-
kilat tertimpa cahaya matahari, tetapi setelah
dekat barulah Ki Ageng Jayasih melihat kalau
tangan kiri itu terbuat dari sebatang besi bulat
yang ujungnya lancip.
Diam-diam Ki Ageng Jayasih mengenal
orang ini. Tangan kiri orang itu buntung akibat
pukulannya beberapa tahun yang lalu. Orang itu
adalah Madurka, adik seperguruannya yang
melarikan putri gurunya dulu dan dialah yang
menyelamatkan gadis itu dengan memberi
kenang-kenangan di tangan kiri Madurka dan
rupanya sudah diganti dengan besi bulat itu.
Ki Ageng Jayasih mengangkat wajahnya
dan tertawa.
"He... he... kita bertemu lagi, Madurka,"
katanya sambil berdiri dan bertumpu di
tongkatnya. "Hampir tiga puluh tahun kita
berpisah, kini keadaanmu semakin hebat saja
nampaknya."
Orang yang ternyata adalah Madurka itu
terkejut. Ia memperhatikan orang tua itu dengan
seksama dan terlintaslah di benaknya sebuah
wajah yang tak mungkin terlupakan. Wajah yang
bertahun-tahun dia pendam di hatinya, yang
telah memberi kenangan pada tangan kirinya.
Madurka terbahak.
"Ha... ha... rupanya Kakang Jayasih yang
datang berkunjung ke tempatku ini. Apa kabar,
Kakang? Keadaanmu tak banyak berubah seperti
dulu. Sikapmu masih sopan dan baik...."
"Kabarku baik, Adi Madurka. Kau pun
kelihatan baik, bukan? Kau nampak semakin
gagah dan hebat. Ilmu kesaktianmu pasti tinggi."
"Jangan merendah Kakang Jayasih. Aku
tahu kau pun pasti lebih hebat sekarang. Dari
dulu pun aku tak bisa mengalahkanmu. Kakang
Jayasih... masih ingatkah kau kejadian tiga puluh
tahun yang lalu, ketika kau mengalahkan aku?"
"Aku tak pernah melupakannya, Adi
Madurka."
"Aku pun demikian, Kakang. Bertahun-
tahun kupendam sakit hatiku kepadamu dengan
banyak mempelajari ilmu kepandaian dan
kesaktian. Aku kini menuntut padamu Kakang
Jayasih."
"Tuntut apa, Adi Madurka?" tanya Ki Ageng
Jayasih pura-pura tidak tahu.
"Aku menginginkan tangan kirimu pula
atau kalau bisa... nyawamu!"
Ki Ageng Jayasih tertawa pelan. "Rupanya
kau belum melupakan perselisihan kita dulu.
Sikapmu tak berubah, selalu berangasan dan
penuh dendam. Aku sebenarnya datang bukan
untuk mencarimu, tetapi untuk mencari murid
yang telah membawa lari keris Naga Merah."
Madurka mendengus. Dendam telah
membakarnya. Dulu dia kalah karena Ki Ageng
Jayasih adalah kakak seperguruannya. Kini tak
ada tanda itu, yang ada hanya dua orang yang
berselisih. Dan Madurka yakin, dengan
kesaktiannya yang dipelajarinya selama ini
mampu mengalahkan kakangnya."
"Kakang Jayasih, bersiaplah.... Aku akan
menuntut balas atas buntungnya tanganku!"
Ki Ageng Jayasih tertawa. Belum bersiap
pula. Madurka tak ambil perduli. Dia membuka
jurusnya dan berseru, "Awas serangan, Kakang
Jayasih!" Lalu dia melesat dan menyerang dengan
ganas. Pukulannya penuh tenaga.
Ki Ageng Jayasih masih tertawa dan
mengelak sedikit dengan jalan memiringkan
tubuhnya. Pukulan itu luput, tetapi tangan kiri
Madurka yang berbentuk besi itu menyambar ke
arah leher. Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih masih
tertawa. Ia merunduk sedikit dan menyodok
tongkatnya menotok. Madurka menjerit kaget,
tangan kirinya cepat menangkis gerakan itu.
"Tok! Tok!"
Tongkat itu berbenturan dengan tangan Ki
Madurka yang terbuat dari besi. Benturan itu
membuat keduanya agak terhuyung ke belakang!
Rupanya benturan tadi sudah
menggunakan tenaga dalam yang disalurkan
melalui senjata mereka masing-masing, Madurka
mendengus.
"Dari dulu kau hebat, Kakang Jayasih.
Tetapi sambutlah kembali seranganku!"
"Keluarkan semua ilmumu, Adi Madurka.
Aku pun ingin tahu sampai di mana
kehebatanmu!"
Kali ini Madurka menyerang dengan lebih
cepat dan ganas. Tangan kirinya menyambar
dengan cepat dan sekali-sekali membuat tusukan,
Ki Ageng Jayasih juga berbuat hal yang sama. Dia
mengimbangi kecepatan dan ketangkasan bekas
adik seperguruannya.
Dua orang tokoh sakti bertempur sudah
pasti sangat hebatnya. Kecepatan keduanya sukar
diikuti oleh mata. Sambaran tongkat dan tangan
besi keduanya seperti gulungan-gulungan hitam
saja yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Kadang kedua senjata masing-masing itu
berbenturan dan menimbulkan suara yang
nyaring. Keduanya semakin meningkatkan
permainan mereka.
Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih membentak
keras dan mengibaskan tangan kirinya. "Sreeet!"
Selarik sinar merah melesat ke arah Madurka.
Madurka terkejut, dengan sigap dia
melompat ke samping, sinar merah itu melesat
menghantam pohon hingga hancur berantakan.
Madurka pias melihatnya. Dulu pun dia
dikalahkan dengan pukulan sinar merah itu.
Tetapi sekarang dia tidak gentar. Masih dalam
keadaan melompat dia menerjang ke depan.
Tangan kirinya lurus mengancam jantung. Ki
Ageng Jayasih mengerakkan tongkat dan
"Wuutt!"
Tongkatnya setelah menangkis menyambar
ke paha Madurka Madurka mengangkat kakinya
dan bersalto sambil menendang.
"Des!"
Tendangan itu sungguh cepat dan tepat.
Mengenai punggung Ki Ageng Jayasih yang
langsung terhuyung ke depan. Lumayan sakitnya.
Ki Ageng Jayasih berbalik dan tertawa.
"Luar biasa, gerakanmu semakin cepat
saja, Adi Madurka. Tak sia-sia kau kabur dari
perguruan."
"Kau pun luar biasa, Kakang Jayasih.
Sinar merahmu masih merupakan momok
bagiku. Tetapi hari ini, aku akan membalas lunas
semua kekalahanku beberapa tahun yang lalu.
Bersiaplah, Kakang Jayasih. Aku akan
mematahkan tangan kirimu! Bersiaplah, Kakang!"
Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Madurka
sudah membuka sebuah jurus, yang kelihatan
ringan namun berbahaya. Walaupun tubuhnya
gemuk, agaknya dia mampu memainkan jurus
itu. Ki Ageng Jayasih mengenali jurus itu.
Dia berkata dengan nada menegur, "Adi
Madurka! Kau tidak boleh memainkan jurus
warisan guru. Jurus itu tidak boleh dimainkan
sembarangan!"
"Kau jeri melihat jurus itu, Kakang
Jayasih? Tak ada jalan lain, aku harus
mematahkan lengan kirimu. Jurus Rajawali Sakti
hanya aku yang diwariskan guru. Tapi kau juga
mendapat sebuah ilmu sakti yang lain. Keluarkan
Kakang Jurus Tangan Bayangan! Kita buktikan
sekarang, siapa yang mampu bertahan dengan
ilmu warisan guru!"
Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku tidak
ingin menggunakan ilmu warisan guru terhadap
saudara seperguruan! Kau pun seharusnya
demikian, Adi Madurka!"
"Masa bodoh!" Madurka keras kepala. Dia
yakin, selain ilmu Rajawali Sakti dia tidak akan
mampu menandingi kakak seperguruannya.
"Bersiaplah, Kakang! Kau akan berkenalan lagi
dengan Rajawali Sakti!"
Tiba-tiba Madurka mengangkat kedua
tangannya ke atas, membentuk sebuah cakar.
Kakinya terangkat satu. Sebenarnya lucu
gerakannya, tetapi dalam gerakan itu tersimpan
sebuah jurus maut yang hebat dan gerakannya
pun menyentak, dengan tiba-tiba saja dia bersalto
ke depan dan menyambar dengan cakarnya.
Ki Ageng Jayasih merunduk, tetapi tubuh
gemuk itu memutar, kali ini tangan kirinya
menyambar ke kaki. Ki Ageng Jayasih melompat
dan lagi Madurka melancarkan serangannya.
Menerkam dengan tangan kanannya. Beruntun
dengan sangat cepat.
Susah payah Ki Ageng Jayasih menangkis
dan "Des!" sebuah pukulan bersarang di dadanya,
yang langsung terasa sesak. Rupanya Mandurka
benar-benar menginginkan lengan kirinya, dia
bergerak lagi dengan cakar menyambar dan
tangan kiri menusuk.
Ki Angeng Jayasih bersalto ke belakang da
begitu hinggap di tanah, dia membuka sebuah
jurus dan melempar tongkatnya ke samping.
Madurka terbahak melihatnya.
"Akhirnya kau mainkan juga jurus Tangan
Bayangan!" serunya mengejek.
"Tak ada jalan lain, Adi Madurka. Ilmu
warisan guru harus dilawan dengan ilmu warisan
guru pula. Kini aku siap menandingimu."
"Baik! Tahan seranganku, Kakang Jayasih!"
Kembali dua tenaga dan ilmu sakti saling
beradu. Saling serang dan membalas. Keduanya
benar-benar hebat dan mengandalkan kekuatan
dan kelincahan, ketangkasan, serta ilmu warisan
guru mereka, mendiang Sunan Bonang.
Gempuran-gempuran itu membuat
suasana di hutan kecil itu seperti kedatangan
puluhan banteng liar. Beberapa pohon tumbang
terkena pukulan dan tendangan. Juga sekali-
sekali Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan
sinar merahnya yang menghantam pohon hingga
kering dan hangus.
Tiba-tiba Madurka memekik, tubuhnya
melompat di udara. Tangan kanannya
menyambar ke kepala Ki Ageng Jayasih. Dia
rupanya sudah sampai pada titik tinggi ilmu
Rajawali Saktinya. Ki Ageng pun berbuat yang
sama. Dia pun melompat dan memapaki serangan
itu dengan jurus Tangan Bayangannya, yang
membuat tangan itu bergerak seperti bayangan.
Tak kelihatan gerakannya, hanya dorongan
anginnya yang masih bisa membuat Madurka
menangkis.
Dua tenaga itu saling berbenturan dengan
keras dan tubuh keduanya ambruk ke tanah
dalam keadaan muntah darah. Sama-sama
menderita luka dalam.
Ki Ageng Jayasih bangkit lebih dulu,
rupanya dia tidak begitu parah lukanya.
Kemudian menyusul Madurka yang agak
terhuyung. Dadanya sakit sekali. Tangannya pun
terasa mau patah.
Ia menatap kakak seperguruannya dengan
geram.
"Rupanya Yang Kuasa belum menghendaki
aku menang.... Tunggulah aku lagi, Kakang
Jayasih! Aku akan tetap mencarimu dan tak akan
melupakan semua yang telah terjadi di antara
kita...!"
Lalu dengan menahan sakit dadanya dan
sakit hatinya, Madurka meninggalkan tempat itu
dengan terhuyung. Ki Ageng Jayasih pun
menahan rasa sakitnya. Dia menelan pil yang
disimpan di kantung perbekalannya. Lalu
mengambil tongkatnya dan meninggalkan tempat
itu
Dia tidak menyangka, akan berjumpa
dengan adik seperguruannya, yang ternyata
masih mendendam dan tidak melupakan
kekalahannya dulu.
Lebih baik dia mencari tempat untuk
menetap selama beberapa hari, memulihkan luka
dalamnya. Nanti setelah sembuh, dia akan
mencari muridnya dan keris Naga Merah pusaka
kebanggaannya.
TUJUH
Malam pekat. Bulan bersinar dengan
terang, memang saat itu bulan purnama.
Keheningan malam terasa amat mencekam.
Dari perguruan Topeng Hitam, menyelinap
sesosok tubuh dengan ringannya. Gerakan orang
itu cepat dan agaknya dia menggunakan ilmu
meringankan tubuh untuk berlari.
Setelah agak jauh dari perguruan itu,
orang itu berhenti. Membuka topeng hitamnya,
dan menyelipkan di balik pakaiannya. Wajah
orang itu tertimpa cahaya bulan dan terlihat
seraut wajah persegi namun tampan, dia adalah
Bayuseta.
Bayuseta yang mempunyai pikiran jelek
setelah Ratih Ningrum berkata telah berhutang
budi padanya, dia akan mencari jalan agar Ratih
Ningrum mau tak mau akan mengabulkan
permintaannya, sebagai balas budi yang telah dia
lakukan.
Dan itu akan dilakukannya agar Ratih
Ningrum mau menerima cintanya.
Menurut aturan yang dimiliki perguruan
Topeng Hitam, dilarang murid-murid untuk
keluar tanpa izin, apalagi jika sang ketua tidak
ada. Namun Bayuseta sudah beberapa kali
melakukan hal itu. Dia adalah seorang pemuda
mata keranjang yang tak tahan menahan nafsu
birahinya jika melihat wanita cantik. Dia selalu
menyelinap keluar untuk melampiaskan nafsu
setannya di tempat-tempat pelacuran.
Tetapi kali ini, keperluannya lain.
Persaingan antara perguruan Topeng Hitam
dengan perguruan Cakar Naga, bukan berita baru
di telinga Bayuseta. Dia akan mempergunakan
kesempatan itu untuk bisa merebut Ratih
Ningrum dari tangan ketuanya sendiri!
Bayuseta kembali mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya. Dengan cara itu, dia
hanya sebentar saja tiba diperguruan Cakar Naga
yang jauh jaraknya. Ia menenangkan nafasnya
sebentar. Lalu bersalto ke tembok perguruan itu.
Tak ada seorang pun penjaga di sana.
Tetapi begitu dia menjejakkan kakinya,
bermunculan belasan penjaga siap dengan
senjata masing-masing. Bayuseta jerih juga
melihatnya. Tetapi dia mengambil sikap tenang,
memang harus menempuh bahaya kalau ingin
berhasil, begitu hiburnya dalam hati.
"Maaf Saudara-saudara, namaku Bayuseta.
Kedatanganku ada perlu dengan Resi Sendaring!"
serunya keras.
"Ketua sedang sibuk!" bentak salah
seorang. "Tidak bisa diganggu!"
"Masalahnya penting, Saudara!
Perkenankan saya menemui Resi Sendaring!"
"Tidak bisa'" orang itu membentak lagi.
Dan serentak tiga orang maju dengan sikap siap
tempur. Bayuseta pun bersiap, menghadapi
kemungkinan yang terjadi.
"Tahan!" terdengar bentakan keras dan
sosok tubuh bersalto memasuki tempat di mana
Bayuseta dikepung. Orang itu adalah Resi
Sendaring. Kini melipat tangannya dan berdiri
dengan gagah. Bajunya yang panjang berkibar
ditiup angin malam. "Siapa kau, Orang muda?"
tanyanya dengan suara yang angkuh. "Dan perlu
apa mencariku?"
"Bayuseta menjura hormat, merasa
beruntung karena Resi Sendaring sendiri yang
muncul.
"Namaku Bayuseta, Resi. Kedatanganku ke
mari adalah membawa suatu masalah yang amat
penting."
"Hmm, apa itu?"
"Sekali lagi maaf, Resi. Ada baiknya kalau
kita membicarakan masalah ini di dalam."
Bayuseta menjura sekali lagi.
"Resi Sendaring terdiam. Mengusap-ngusap
janggutnya yang putih. Tetapi kemudian dia
mengangguk.
"Baiklah, silahkan masuk, Bayuseta."
"Terima kasih, Resi."
Resi Sendaring mendahului masuk.
Bayuseta menyusul. Orang-orang yang
mengurung tadi menjaga ke tempat semula.
Sebenarnya kedatangan Bayuseta tadi sudah
diketahui oleh salah seorang penjaga dan mereka
bersembunyi dengan maksud menjebak. Sebelum
terjadi pertumpahan darah, ketua mereka
muncul.
Resi Sendaring mengajak Bayuseta ke
tempat pribadinya. Sebuah ruangan yang agak
besar. Ia menyuruh Bayuseta duduk.
"Nah, katakan apa maksud kedatanganmu,
Orang muda?"
"Maafkan aku, Resi yang kuhormati.
Sebenarnya, aku murid perguruan Topeng
Hitam..." Bayuseta menghentikan kata-katanya
karena kelihatan Resi Sendaring sedikit kaget,
tetapi setelah tidak menampakkan rasa
kemarahan, Bayuseta meneruskan, "Saat ini
ketua perguruan Topeng Hitam sedang tidak
berada di tempat. Perguruan hanya dijaga oleh
istrinya yang bernama Ratih Ningrum dan
beberapa orang pilihan...."
Resi Sendaring memotong, "Lalu
maksudmu apa, Bayuseta?"
"Resi... biarpun aku salah seorang murid
dari perguruan Topeng Hitam, tetapi aku sangat
membenci sang ketua, Madewa Gumilang. Beliau
sangat sombong sekali tidak seperti Paksi
Uludara. Dan aku kemari, mohon petunjuk dan
bantuanmu, bagaimana caranya agar aku dapat
mengalahkan Madewa Gumilang."
Tiba-tiba Resi Sendaring terbahak keras,
sampai Bayuseta sendiri kaget mendengarnya.
"Jadi kau menginginkan kematian
ketuamu, hah?" tanya Resi Sendaring gembira.
Bayuseta mengangguk mantap. Dengan
dibunuh Madewa Gumilang, dia akan leluasa
memiliki Ratih Ningrum. Soal itu gampang,
sebagai balas budi!
Resi Sendaring menepuk-nepuk bahu
Bayuseta.
"Soal itu mudah, Orang muda. Mulai hari
ini, kau menjadi sekutu perguruan Cakar Naga!
Bayuseta, sejak lama aku pun, menginginkan
kematian ketuamu itu dan kehancuran
perguruan Topeng Hitam! Dan sekarang kau
datang menyampaikan hal itu, baik, baik, aku
akan menjalankan semuanya dengan baik!
Kuminta padamu, Bayuseta... laporkan kalau ada
hal-hal yang berkenaan dengan rencana kita."
"Baik, Resi."
"Sekarang kau kembalilah keperguruanmu,
hati-hati jangan sampai ketahuan siapa pun kau
menyelinap kemari."
"Baik, Resi. Ada satu lagi yang hendak ku
beritahu kepadamu."
"Soal apa?"
"Beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki
seperti banci mengacau di perguruan Topeng
Hitam, tetapi berhasil dikalahkan oleh ketua
Madewa Gumilang. Sebelum pergi laki-laki yang
bernama Aryo Gembala berkata tentang makam
Paksi Uludara yang...."
Resi Sendaring memotong, "Tak perlu kau
teruskan. Aku sudah mengetahui semua itu."
Bayuseta terkejut. "Resi sudah mengetahui
semua itu?"
"Ya... karena Aryo Gembala adalah orangku
juga, termasuk kau! Dan aku tahu ke mana
Madewa pergi, dia mengunjungi makam Paksi
Uludara...."
Bayuseta belum mengetahui ada apa
sebenarnya dengan makam ketuanya yang
terdahulu itu. Dia mencetuskan keingintahuan
nya. Resi Sendaring tertawa.
"Kau boleh lihat sendiri nanti! Kita
menunggu laporan Dewi Mulia Berhati Busuk,
yang ku tugaskan untuk memata-matai Madewa
Gumilang."
Bayuseta terdiam. Biar bagaimana pun,
Paksi Uludara dulu yang mendidik dan
melatihnya dalam ilmu pedang dan kepandaian
yang lain. Dalam hatinya dia tidak rela kalau
makam ketuanya itu diganggu oleh orang
perguruan Cakar Naga. Tetapi mau apa,
menentang mereka akan percuma. Lagipula, dia
sudah masuk ke perkumpulan itu.
"Bayuseta, kau kembalilah. Laporkan
kepadaku jika ada sesuatu yang penting."
Bayuseta bangkit dan menjura. "Baik, Resi.
Aku mohon diri!" Bayuseta mundur ke belakang,
lalu melompat tembok dan menghilang di
kegelapan malam. Di tempat tadi dia membuka
topengnya, dia mengenakan topeng itu kembali.
Lalu menyelinap lewat belakang. Melewati istal
kuda, dia melompat ke genting dan membuka
beberapa buah genting lalu meloncat ke bawah.
Lega hatinya sudah kembali ke perguruan.
Sementara itu Resi Sendaring gembira, karena
tanpa disangkanya, orang perguruan Topeng
Hitam sendiri yang menginginkan kematian
Madewa Gumilang.
Ini suatu keuntungan baginya, dengan
begitu, dia bisa memata-matai kegiatan yang
berlangsung di perguruan Topeng Hitam.
Sebelum matahari terbit, besok dia akan
mengirimkan sepuluh orang muridnya untuk
membongkar makam Paksi Uludara dan
membawa kerangkanya kemari! Itulah rencana
Resi Sendaring terhadap makam Paksi Uludara.
Resi Sendaring tertawa sendiri karena
yakin rencananya akan berhasil. Besoknya pula,
dia akan mengirimkan beberapa orang tokoh sakti
seperti Sumpila, Tidasewu dan Angkasena untuk
mengacau di perguruan Topeng Hitam. Malah
kalau bisa, menangkap hidup-hidup Ratih
Ningrum.
Ketiga orang itu, pasti bisa menjalankan
tugas mereka dengan baik. Resi Sendaring pun
sudah berpesan, agar jangan membawa namanya
dan nama perguruan Cakar Naga!
Tunggulah aku, Topeng Hitam,
keruntuhanmu tak akan lama lagi!
Dan yang paling membuat Resi Sendaring
gembira, adalah membayangkan Ratih Ningrum
bakal menjadi pendampingnya.
***
DELAPAN
Keesokkan harinya, sesuai dengan
rencananya, Resi Sendaring mengirimkan sepuluh
orang murid perguruan Cakar Naga ke makam
Paksi Uludara. Sepuluh orang murid itu adalah
murid-murid utama perguruan Cakar Naga.
Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang
bernama Joko Mandra, yang dibekali sebuah
golok besar oleh Resi Sendaring.
Mereka berangkat sebelum matahari terbit.
Sesudah itu, Resi Sendaring juga
menugaskan tiga orang tangan kanannya untuk
mengunjungi perguruan Topeng Hitam, kalau bisa
menguasai perguruan itu. Ia sendiri akan pergi ke
rumah Madurka atau si Orang Cacat Sakti, yang
diberitakan terluka parah.
Lalu ketiga orang yang ditugaskan itu
segera berangkat. Mereka akan merebut
perguruan Topeng Hitam itu.
Saat itu di perguruan Topeng Hitam seperti
biasa kalau pagi murid-muridnya berlatih. Kali ini
di bawah pimpinan Ratih Ningrum. Ia
mengajarkan jurus pedang kembarnya. Dan
seperti biasa Pranata Kumala mengikuti setiap
gerakan itu, seperti kali ini berada di barisan
belakang, tidak di samping seperti biasanya.
Tujuh barisan bergerak mengikuti gerakan
Ratih Ningrum. Setiap barisan berisi sepuluh
orang. Jadi semuanya tujuh puluh orang. Masih
ada beberapa murid perguruan Topeng Hitam
yang tidak ikut latihan. Mereka bertugas
memasak dan merapikan ruangan, juga merawat
kuda-kuda.
Semua gerakan itu diikuti dengan
sungguh-sungguh. Hanya ada seorang yang
gerakannya kelihatan kaku, padahal dia murid
utama. Orang itu adalah Bayuseta, yang sedang
cemas menanti kedatangan orang utusan Resi
Sendaring. Karena berlatih sambil berpikir,
gerakannya jadi kacau. Ia tidak bisa konsentrasi.
Agaknya Ratih Ningrum melihat hal itu.
Dia berseru memanggil, "Bayuseta! Kulihat
gerakanmu kacau, lebih baik beristirahat dulu
kalau kau lelah!"
Hari ini, murid-murid perguruan Topeng
Hitam tidak memakai topeng hitamnya, karena
Ratih Ningrum sulit untuk mengenali mereka.
Lain dengan suaminya yang padangannya bisa
menembus jarak yang jauh, bahkan menembus
gunung sekalipun. Suaminya memiliki ilmu
pandangan menembus sukma.
Karena saat ini murid-murid itu tidak
memakai topeng hitam, Ratih Ningrum mudah
mengenali Bayuseta.
Bayuseta segera membetulkan gerakannya.
Ia agak malu ditegur demikian, apalagi sama
wanita yang dicintainya. Tetapi ia tidak mau
berhenti.
Ratih Ningrum berkata lagi, "Istirahatlah
dulu, Bayuseta. Mungkin kau lelah."
Bayuseta menjura antara malu dan
hormat.
"Tidak, Nyonya ketua."
"Kalau begitu, kau perbaiki gerakanmu dan
perhatikan yang lain."
Ratih Ningrum memperhatikan lagi murid-
murid perguruan Topeng Hitam yang berlatih
dengan sungguh-sungguh. Bayuseta pun berbuat
yang sama, walau pikirannya sekali-kali melayang
kepada rencana Resi Sendaring. Kenapa orang-
orang yang diutusnya belum datang juga?
Beberapa jam kemudian, latihan itu
selesai. Murid-murid perguruan Topeng Hitam
berhamburan masuk dan sebagian beristirahat.
Pranata Kumala masih berlatih di tempat tadi.
Bocah itu tidak puas-puasnya berlatih. Sejak
melihat ayahnya mengalahkan Aryo Gembala,
Pranata Kumala ingin bisa seperti ayahnya.
Makanya dia giat berlatih.
Mendadak telinganya mendengar panggilan
dari kiri, "Hei, kau bocah! Kemari!"
Pranata Kumala menghentikan berlatihnya.
Ia menoleh, seorang laki-laki kurus tinggi
melambaikan tangannya. Pranata belum beranjak
mendekati, dia masih heran, dari mana orang itu
masuk. Tetapi kemudian dia ingat akan Aryo
Gembala, yang datang dengan melompati pagar.
Orang yang datang tanpa lewat pintu
depan, adalah orang yang tak sopan. Seperti Aryo
Gembala yang hendak mengacau. Berpikiran
demikian, bocah kecil yang pintar itu, menatap
orang tinggi kurus itu dengan curiga.
"Kamu siapa, Bapa?" tanyanya tanpa
mendekati.
Orang yang tak lain adalah Tidasewu,
melambaikan tangan lagi.
"Cepat kau kemari, aku punya hadiah
untukmu."
"Tidak mau. Kau pasti hendak berbuat
jahat."
Tidasewu menjadi gemas. Anak ini ternyata
cerdas. Dia berlari menubruk, tapi sungguh di
luar dugaannya, anak itu mampu mengelak. Dia
menjadi penasaran. Ditubruknya lagi dengan
lebih cepat, tetapi lagi-lagi anak itu mampu
menghindar. Kali ini dengan bersalto ke belakang.
Gerakan anak itu bagus dan mantap.
Merasa tangkapan orang itu selalu menemui
kegagalan, Pranata Kumala menjadi keenakan
dan geli sendiri.
"Ayo tangkap aku, Bapak!" ejeknya yang
membuat wajah Tidasewu merah padam.
Dia terdiam, akan dikejutinya anak itu.
Pranata masih tertawa-tawa. Tiba-tiba Tidasewu
menerjang, Pranata berkelit ke kiri. Kesempatan
itu dipakai oleh Tidasewu dengan menggerakkan
kakinya untuk menyambar kaki anak itu. Tetapi
sungguh di luar dugaannya. Bocah itu masih
mampu menghindar.
Kesabaran Tidasewu habis. Dia
mempercepat tangkapan dan terjangannya. Biar
bagaimanapun Pranata Kumala hanya seorang
bocah, biar pun kelihaiannya bersalto lumayan,
tetapi tenaganya jauh dibandingkan dengan
Tidasewu. Juga kelihaiannya.
Ia agak kewalahan sekarang menghindari
serangan yang gencar itu. Suatu ketika Tidasewu
berhasil menangkap tangan kirinya. Tetapi
serentak dia lepaskan, karena bocah itu sudah
memukulkan pedang kayunya.
Memang pukulan itu tidak sakit, tetapi
sungguh mengejutkan. Rupanya bocah itu pandai
pula bersilat.
Merasa dia menang lagi, Pranata Kumala
tertawa mengejek.
"Ayo tangkap, aku! Tangkap!" serunya
sambil bersalto ke sana-kemari, menunjukkan
kelincahannya.
Tidasewu semakin marah. Mendadak dia
meloloskan pedang dari punggungnya.
Pedang itu diacungkan di wajah Pranata.
"Lihat pedang ini, Bocah! Akan kusembelih kau!"
Pranata tidak takut melihat pedang itu. Dia
sudah sering melihat kakak-kakak perguruan
Topeng Hitam berlatih dengan menggunakan
pedang. Dua pedang saja dia tidak takut, apalagi
hanya satu pedang yang dipegang laki-laki tinggi
kurus itu.
Melihat bocah itu tenang-tenang saja,
Tidasewu geram bukan main. Dia berkelebat
cepat. Pedangnya menyabet tanpa ampun.
Pranata masih mempergunakan
kelihaiannya berkelit. Tetapi hanya sekali dia bisa
melakukan itu. Dia hanya seorang bocah yang
belum tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Yang dihadapinya adalah seorang dewa pedang
yang tangguh dan perkasa.
Hanya seorang yang mampu mengimbangi
permainan pedangnya, orang itu Paksi Uludara
dan secara otomatis Tidasewu merajai permainan
pedang di rimba persilatan kala itu karena Paksi
Uludara sudah empat tahun wafat.
Dan bocah cilik itu tidak tahu siapa yang
sedang dihadapinya. Tidasewu adalah orang yang
kejam. Begitu dia menyodokkan pedangnya,
Pranata bersalto. Tetapi pedangnya langsung
menyambar, membuat anak itu memekik
ketakutan. Ia terjatuh.
Tidasewu sudah berdiri di hadapannya.
Pedangnya siap mengayun. Wajah Pranata
Kumala pucat. Ketakutan mulai menjalar.
Dadanya bergemuruh. Sekarang dia melihat laki-
laki kurus tinggi itu bukan laki-laki yang bisa
diajak bermain tetapi laki-laki yang ingin
membunuhnya!
Tidasewu tidak mau menunggu lama lagi,
anak ini sudah menjengkelkannya. Ia
mengayunkan pedangnya. Pranata memejamkan
matanya, ngeri. Ia menjerit ketakutan.
"Trang!"
Pedang yang dipegang Tidasewu berpijar,
Tidasewu sendiri terhuyung ke belakang. Sebuah
senjata rahasia berbentuk topeng hitam
menabrak pedangnya.
Sepuluh orang murid perguruan Topeng
Hitam sudah mengepungnya. Ratih Ningrum pun
sudah berlari dan menghampiri putranya.
Ia memperhatikan laki-laki kurus tinggi ini.
"Siapa Anda kenapa hendak membunuh
anak ku?" bentaknya marah.
Tidasewu tertawa. Tawanya nyaring.
"Aku datang, memang untuk membunuh
semua orang di sini!" nada suaranya menjadi
kejam. "Termasuk kau, Ratih Ningrum!"
Mendengar istri ketuanya dibentak, salah
seorang murid perguruan Topeng Hitam balas
membentak, "Kau bicara sembarangan, orang
jelek! Kau sudah memasuki daerah macan, dan
sulit untukmu untuk melepaskan diri!"
Tidasewu tertawa lagi.
"Akan kuratakan semua orang di sini
dengan tanah! Ketahuilah, aku Tidasewu, Dewa
Pedang yang akan menghancurkan perguruan
Topeng Hitam!"
Nah, bagaimana nasib Perguruan Topeng
Hitam. Silahkan anda ikuti dalam Kakek Sakti
dari Gunung Muria.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar