"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE KERIS NAGA MERAH

Keris Naga Merah

SATU


Pengawal yang bernama Surya itu segera 

menjalankan perintah. Pengawal yang satu lagi 

masih berdiri di dekat pintu. Raja memanggilnya.

"Bagaimana dengan penjagaan di luar?" 

Pengawal itu menunduk. Juga tidak mengangkat 

wajahnya ketika menjawab,

"Sebagaimana yang hamba ketahui, 

penjagaan diperkuat dengan beberapa orang 

bayaran, Paduka."

Raja merasa tidak enak pengawal itu 

menyahut tanpa mengangkat kepalanya.

"Kau tidak perlihatkan wajahmu padaku, 

kenapa?" tanya Raja agak marah.

Tetapi pengawal itu masih menunduk.

"Hamba malu memperlihatkan wajah 

hamba..." 

"Hei, memang kau siapa?"

"Hamba pengawal baru, Paduka."

Raja manggut-manggut. Mungkin pengawal 

baru itu masih agak canggung menghadapinya. 

Maklum, Raja adalah orang yang sangat 

dihormati. Raja terdiam. Menunggu kedatangan 

orang-orang yang dipanggilnya.

Mendadak pengawal itu maju selangkah. 

Dia mengangkat wajahnya, menatap Raja. Raja 

terkejut, karena pengawal itu ternyata seorang 

wanita.

Apa-apaan ini, mengapa wanita yang


dipilih menjadi pengawal? Siapa yang 

mengambilnya?

Belum lagi Raja menemukan jawabannya, 

wanita itu sudah menodongkan tombaknya. 

Tatapannya bengis. Raja terperangah.

"Apa-apaan ini?" tanyanya tenang dan 

berwibawa.

"Aku menginginkan kematianmu, Raja!" 

desis wanita itu dengan suara menyeramkan.

"Kau siapa?"

"Kalau kau mau tahu, aku anak buah 

Madewa Gumilang, yang mendapat tugas untuk 

membunuhmu. Terimalah ajalmu, Raja!" sahut 

wanita itu bengis.

Wanita itu menggerakan tombaknya 

dengan cepat. Dan secepat itu pula, Raja berkelit 

ke samping. Tusukan itu luput. Melihat 

serangannya gagal, wanita itu memekik. Sambil 

bergulingan dia menusukkan kembali tombaknya.

Raja berusaha menghindar dengan jalan 

bersalto. Dan menyambar pedang yang 

tergantung di dinding. Raja berdiri dengan siaga. 

Menanti serangan wanita itu lagi.

Wanita itu berbalik, Dan terkekeh.

"Tak ada gunanya kau melawan anak buah 

Madewa Gumilang, Raja! Karena perlawananmu 

akan sia-sia!" 

Wanita itu membuang tombaknya. Ia 

menyilangkan kedua tangannya. Tahu-tahu dia 

melesat dengan cepat. Gerakannya seakan tak 

terlihat. Raja buru-buru menyabetkan pedangnya


ke depan. Tubuh wanita itu melentik ke atas. Dan 

tangannya membentuk cakar siap mengancam 

ubun-ubun Raja.

Raja cepat berguling. Cakar wanita itu 

menembus lantai. Betapa dahsyat. Agaknya 

wanita itu memang ingin cepat-cepat mengambil 

nyawa Raja. Tentu saja Raja berusaha 

mempertahankan selembar nyawanya. Ini 

rupanya yang menggelisahkan nya sejak tadi.

Ketika wanita itu akan menyerang lagi Raja 

sudah melempar tombak yang dipegang wanita 

itu tadi. Wanita itu tidak berkelit. Dengan tangkas 

dia menangkap mata tombak itu. Dan dengan 

sekali sentak tombak itu patah.

Raja terbelalak. Dan 'siiinng!" patahan 

tombak itu melesat ke arahnya. Raja bergerak ke 

samping menghindar. Patahan tombak itu terus 

bergerak. Pada saat itu pintu ruangan terbuka. 

Pengawal yang bernama Surya datang bersama 

orang-orang yang dipanggil Raja. Baru saja dia 

mempersilahkan mereka masuk, tubuhnya 

langsung kelojotan. "Aaah...!"

Patahan tombak itu menembus tubuhnya!

Orang-orang itu terkejut. Serentak mereka 

masuk dan sebagian mencari tahu penyebab 

kematian Surya. Mereka melihat seorang wanita 

sedang terkekeh.

Raja Tianawarman agak lega karena orang-

orangnya datang. Juga tiga jago bayaran itu. Yang 

tak lain dari Datuk Sakti Berjubah Putih, 

Pendekar Kipas Sakti dan Dewi Maut yang


menyamar sebagai jago bayaran.

Tiga jago bayaran itu sudah berdiri 

membelakangi Raja. Berhadapan dengan wanita 

itu yang masih terkekeh.

"Siapa kau, Wanita cantik?" tanya Datuk 

sakti dengan suara angker.

"Hi... hi... kita pernah berjumpa bukan? 

Kau sudah lupa rupanya denganku, Datuk!"

Datuk sakti memperhatikan dengan 

seksama. Tetapi dia tetap tak mengenali wanita 

itu. Mendadak wanita itu membuka pakaian 

pengawalnya. Dan sekarang terlihat sebuah 

pakaian ringkas berwarna merah menyala!

"Kau?!"

"Ya... akulah Mawar merah. Yang saat ini 

siap untuk mencabut nyawa kalian semua. Dulu 

sudah pernah kuperingatkan kepadamu, Datuk. 

Jika mengganggu tugasku lagi, kubunuh kau! 

Sekarang bersiaplah! Juga kau pendekar tampan 

dan dewi cerewet! Mari kita ramaikan permainan 

ini sebelum kubunuh Raja!"

"Kau mimpi, Mawar merah! Hari ini kau 

akan menemui ajalmu di tanganku!" bentak 

Datuk Sakti tak kalah seramnya.

"Hi... hi... kau yang mimpi, Datuk! Murid 

Dewi Cantik Penyebar Maut tak akan mundur 

setapak pun!"

Raja Tianawarman terkejut mendengarnya. 

Murid Dewi Cantik Penyebar Maut? Kalau begitu 

wanita itu dusta mengatakan anak buah Madewa 

Gumilang. Yang menuduh pendekar budiman itu


sebagai pemberontak raja!

Di hadapannya, wanita cantik itu terkekeh

lagi.

"Ayo tunggu apa lagi, cepat kalian serang 

aku! Ku ingin semakin cepat, akan semakin 

mudah membinasakan kalian!" 

"Bangsat!" Datuk Sakti membentak jengkel. 

Dia membuka jurusnya, tanpa membuang waktu 

lagi dia menerjang dengan dua buah pukulan 

lurus ke arah wajah dan dada Mawar merah.

Merasakan dorongan angin yang kuat, 

Mawar merah malah menerjang pula. Memapaki 

dengan kedua tangannya. Gerakannya pun tak 

kalah cepat dan kuatnya.

Dua benturan tenaga sakti membuat 

keduanya terhuyung. Tapi cepat kembali 

keduanya saling melancarkan serangan.

"Des...! Des...!"

Kembali berbenturan tangan keduanya. 

Ketika Datuk sakti terhuyung, Mawar merah 

sudah bersalto ke depan. Dan melancarkan 

tendangannya. Cepat Datuk sakti menangkis 

dengan lututnya. Tetapi gempuran tenaga 

tendangan Mawar merah lebih besar. Lagipula 

posisi Datuk sakti tidak menguntungkan. 

Keseimbangannya berada hanya di kaki kiri.

"Des...!"

Dia pun jatuh bergulingan.

Tanpa membuang waktu lagi, Mawar 

merah memekik hebat. Menerjang dengan tumit 

siap mengancam kepala Datuk sakti. Tetapi


belum sampai maksudnya, dia telah bersalto 

sambil membentak jengkel, "Bangsat!"

Dan bagai sehelai bulu tubuhnya hinggap 

di tanah. Berhadapan dengan Dewi maut yang 

melempar tombak ke arahnya tadi. Sementara 

Datuk sakti beringsut berdiri. Kakinya terasa 

remuk.

"Kau rupanya ingin cari mati juga, Dewi!" 

seru Mawar Merah marah. Tak ayal lagi, ia 

mengeluarkan jurus andalannya. Menggempur 

sejuta batu karang!

Melihat gelagat itu, Dewi maut pun 

mengeluarkan pukulan saktinya. Tangannya 

terlihat berwarna hijau. Begitu pula dengan 

Mawar Merah. Kepalannya berubah menjadi 

merah.

Dan tahu-tahu selarik sinar merah 

berkelebat dari jari-jarinya. Dewi maut berkelit 

dan menyerang dengan pukulan saktinya.

Tetapi Mawar merah sudah bersiap sejak 

tadi. Dia menyongsong dengan pukulan 

menggempur sejuta batu karang. Pekikan 

keduanya begitu dahsyat, merobek keheningan 

malam. Dan membangunkan Sekarjingga yang 

langsung berlari ke dalam pelukan suaminya.

Dan kini dua tokoh sakti itu saling 

menghantam. Dua buah pukulan sakti 

berbenturan dengan dahsyat. Sedikit membuat 

ruangan itu bergoyang.

Dari keduanya muncul asap berwarna 

putih dan agak menyakitkan mata.


Tahu-tahu terdengar pekikan keras, 

"Aaaaah!"

Dua buah tubuh terlempar dari kepulan 

asap itu. Jatuh bergulingan dan ambruk dalam 

keadaan muntah darah!

"Dewi Maut!" seru Pendekar Kipas Sakti 

sambil memburu wanita itu yang dalam keadaan 

sekarat. Dari mulutnya mengalir darah kental. 

Dadanya turun naik. Nafasnya sesak. Benturan 

tadi seakan mematahkan semua tulang-

tulangnya.

Dewi Maut meringis kesakitan. Ia menolak 

ketika diberikan dua buah pil pemunah racun.

"Aku... ah... hidupku tak akan lama lagi... 

untuk apa... ditahan... tahan... aku bangga... 

sebelum a... ajalku... bisa mem... 

persembahkan... hidupku... untuk negara.... 

Aaaah!"

"Dewi!" panggil Datuk Sakti Berjubah Putih 

sambil menahan pula sakit kakinya.

Dewi Maut tersenyum.

"Benar katamu dulu, Datuk.... Dewi Cantik 

Penyebar Maut... wanita iblis yang hebat se... 

sekali.... Muridnya saja... belum mampu aku 

mengalahkan... ah... aku tak kuat lagi.... Selamat 

tinggal semua...."

Dewi Maut itu menarik nafas panjang. Lalu 

meregang. Dan hilanglah nyawanya. Tamat sudah 

Dewi sakti itu.

Sementara itu, keadaan Mawar merah pun 

tak lebih dari Dewi Maut. Tetapi dia masih


mampu bertahan. Dengan susah payah dia 

bangkit. Tetapi sebelum dia berdiri tegak, 

Pendekar Kipas Sakti sudah mengibaskan 

tangannya. Dari kipas itu melesat lima buah 

jarum beracun.

Dan menancap di lima bagian Mawar 

merah, yang terguling lagi dengan muntah darah. 

Meringis menahan sakit. Lalu tamat pula riwayat 

gadis yang kejam itu!

Mereka sangka, dengan kematian Mawar 

merah sudah berakhir petaka itu.... 

Ternyata tidak. Karena dengan tiba-tiba 

saja muncul dua orang gadis berpakaian merah 

pula. Mereka adalah Pinus merah dan Melati 

merah, yang langsung terpekik melihat kawannya 

tergeletak tanpa nyawa.

Keduanya berbalik. Tatapan mereka 

nyalang. Seolah tatapan itu mampu menembus 

jantung yang ditatap. Raja tidak mau membuang 

waktu lagi, dia mengibaskan tangannya ke atas. 

Dan serentak para pengawal mengurung dua 

wanita itu. Yang hanya menatap mereka dengan 

bengis.

Para pengawal segera maju menyerang 

dengan beruntun. Bagaikan air bah yang siap 

menghantam jembatan. Tetapi dua wanita itu 

bukan jembatan. Mereka adalah tembok raksasa, 

yang tidak mampu dijebol oleh apa pun. 

Begitu serangan datang, kedua wanita itu 

hanya mengibaskan tangan mereka. Dan 

berkelebatan sinar merah dari tangan keduanya.


Yang menghantam barisan penyerang itu hingga 

berantakan dan hangus lalu menemui ajalnya.

Yang tidak terkena masih nekat 

menyerang. Tetapi mereka jelas-jelas bukan 

tandingan kedua wanita itu. Yang hanya sekali 

mengibaskan tangan sudah membuat mereka 

mampus kelojotan.

Terdengar bentakan Datuk Sakti, 

"Mundur!"

Sisa-sisa pengawal itu mundur dengan 

cepat. Mereka juga enggan mengantarkan nyawa 

kepada dua gadis itu. Datuk sakti dan Pendekar 

Kipas Sakti sudah maju ke depan. Kedua wanita 

itu pun maju selangkah. Sikap mereka angker. 

Penuh nafsu ingin membunuh, membalas 

kematian Mawar merah. Pada siapa saja yang 

berada di sana!

"Jadi kalian lagi yang menghalangi 

perbuatan kami!" desis Pinus Merah. "Hari ini kau 

Pendekar Kipas Sakti, kulenyapkan kau dari 

muka bumi!."

Pendekar tampan itu hanya tersenyum. 

Mengipas-ngipas dengan tenang.

"Pinus merah... ajal di tangan Yang Kuasa. 

Kalau kau mampu, lakukanlah! Aku juga ingin 

segera membunuhmu!"

"Bangsat!" Pinus merah. Siap menyerang.

Pendekar tampan itu tertawa. "Ruangan ini 

terlalu kecil untuk kita. Kami tunggu kalian di 

luar!"

Lalu dia melesat keluar. Disusul oleh


Datuk Sakti Berjubah Putih. Pinus merah dan 

Melati merah melesat menyusul. Di saat melesat 

itu, Pinus merah melancarkan pukulan jarak 

jauhnya pada raja dan istrinya.

Untung raja sejak tadi waspada. Sambil 

mendorong tubuh Sekarjingga, dia bergulingan 

menghindari sinar merah itu.

Pendekar Kipas Sakti dan Datuk Sakti 

Berjubah Putih sudah menunggu di halaman 

istana. Dua tubuh bersalto ke depan mereka. Dan 

langsung melancarkan tendangan ke kepala 

mereka.

Serentak keduanya menangkis.

"Duk...!"

Dua serangan tadi tertahan. Kedua gadis 

itu bersalto ke belakang. Dan kembali bersalto ke 

depan. Kali ini cakar mereka mengancam jantung!

Suatu pertunjukan meringankan tubuh 

yang hebat.

Kali ini kedua orang yang diserang itu 

berkelit ke samping dan berbalik melancarkan 

pukulan ke punggung lawan.

Kembali pertunjukan ilmu meringankan 

tubuh diperlihatkan kedua wanita itu. Tahu-tahu 

tubuh keduanya melentik ke atas. Dan mereka 

memutar dengan tendangan lurus. 

Lagi keduanya menangkis serangan itu. 

Tapi kali ini kedua wanita itu membarengi dengan 

sinar merah yang mengancam dari jarak dekat.

"Heiit!" Datuk sakti memekik dan 

bergulingan. Menyadarkan pendekar tampan itu


untuk berbuat serupa.

Dan keduanya berdiri agak jauh dari kedua 

wanita sakti itu. Sengaja mengatur jarak dan 

nafas. Keduanya kini masing-masing menghadapi 

satu lawan.

Pendekar Kipas Sakti dengan Pinus merah, 

lawan yang pernah dihadapinya sebulan yang 

lalu.

Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan 

dengan Melati merah yang sudah tidak sabar 

ingin merenggut nyawanya.

Di atas rembulan sudah menghilang. 

Malam telah berganti. Mentari sudah muncul di 

ufuk sana. Cahayanya memancarkan sinar 

keemasan.

Dua pasang manusia yang siap bertarung 

itu masih mencari kesempatan dan kelengahan 

lawan. Matanya menatap waspada.

Tetapi rupanya Melati merah tidak mau 

membuang waktu lagi, apalagi terbayang kembali 

wajah Mawar merah yang sudah menjadi mayat 

itu.

Pukulan lurusnya menerjang Datuk sakti. 

Kali ini pun Datuk sakti tak mau ayal lagi. Dia 

hanya menyentakkan kedua tangannya ke depan. 

Sebuah dorongan angin menghantam Melati 

merah hingga bergulingan.

Rupanya Datuk sakti itu masih mempunyai 

sebuah ilmu simpanan yang hebat. Melati merah 

bangkit, menatap penuh kemarahan. Tiba-tiba dia 

menyentakkan kedua tangannya pula. Sepuluh


sinar merah keluar dari jari-jarinya. Dan 

mengejar Datuk sakti.

Dengan susah payah Datuk sakti 

menghindar. Dan dia pun tak mau kalah, 

dikeluarkannya pukulan jarak jauhnya. Selarik 

sinar putih pun berkelebat. Kali ini Melati merah 

yang bergulingan menghindar. 

Sementara itu, Pinus merah sudah 

menendang. Pendekar Kipas Sakti menangkis 

dengan keras. Tetapi tendangan Pinus merah 

bukanlah tendangan sembarangan. Itu tendangan 

berantai. Yang ditangkis masih bisa menendang 

lagi. Malah sampai lima kali.

Pendekar tampan itu pun berusaha 

menangkis, terakhir menghindar.

Keduanya sudah saling menyerang. 

Berbagai kesaktian dan ketrampilan dipamerkan 

dalam adu kesaktian itu. Benar-benar suatu 

pemandangan yang mengerikan sekaligus 

menakjubkan.

Pasir yang berada di kalangan itu 

berterbangan. Yang melihat pertarungan itu 

diam-diam menjadi kecut sendiri.

Sekarjingga pun menyembunyikan, 

wajahnya di dada suaminya. Ngeri.

Empat orang yang bertarung itu, bagaikan 

seribu kerbau gila yang mengamuk. Bahkan lebih 

dahsyat. Berbagai gerakan disajikan dengan 

tangguh dan cepat.

Tetapi sampai sejauh itu, belum ada 

kelihatan yang terdesak. Mereka masih


berimbang. Tetapi setelah Pinus merah 

mengeluarkan ilmu kebalnya menahan gelombang 

batu karang, baru kelihatan Pendekar Kipas Sakti 

agak terdesak. Pukulan dan tendangannya 

diterima begitu saja oleh Pinus merah tanpa 

merasakan sakit sedikit pun. Bahkan pukulan 

sakti pendekar tampan itu tak mampu menembus

ilmu kebal Pinus merah!

Dengan mengandalkan ilmu kebalnya itu, 

dia terus mendesak Pendekar Kipas Sakti. Dua 

buah pukulannya mendarat tepat di dada 

pendekar tampan itu.

Dan tahu-tahu Pinus merah berbalik. 

Tendangannya memutar dengan cepat. Sedetik 

pendekar tampan itu tidak merunduk, copot 

kepala dari lehernya. Lalu ia menangkis dan 

melancarkan pukulannya ke perut Pinus merah. 

"Buk..,!"

Pukulan itu diterima Pinus merah seperti 

tak ada masalah. Kembali dia mendesak. 

Pendekar tampan itu buru-buru berguling.

Dan "Siiing!" dia melontarkan senjata 

rahasia dari kipasnya. Kali ini Pinus merah 

melompat menghindar. Mengetahui lawannya 

menghindar, pendekar tampan ini mengetahui 

kalau ilmu kebal Pinus merah hanya bisa 

menahan pukulan dan tendangan, sekalipun 

pukulan atau tendangan itu amat saktinya.

Buru-buru dia bersalto dan bergulingan, 

menyambar sebuah tombak dari salah seorang

pengawal. Dan menerjang Pinus merah.


Benar dugaannya, Pinus merah 

menghindar! Rupanya ilmu kebal itu amat 

pantang bersentuhan dengan besi. Ujung tombak 

itu terbuat dari besi!

Kali ini pendekar tampan itu berada di atas 

angin. Dia mendesak dengan hebat. Sampai suatu 

ketika ujung tombaknya menggores bahu Pinus 

merah yang langsung mengaduh.

"Ha... ha... ajalmu sebentar lagi, Pinus 

merah!"

Pinus merah mengusap darah yang 

merembes keluar. Ia menatap pendekar tampan 

itu dengan marah. Dan dengan gerakan cepat di 

melancarkan pukulan jarak jauhnya. Pendekar 

Kipas Sakti bergulingan. Tapi serangan jarak jauh 

itu terus mencecarnya. Sebisanya dia 

menghindar.

Sementara itu keadaan Melati merah 

terdesak oleh Datuk Sakti, dua kali dia kena 

pukul di dada dan wajahnya.

Rupanya ilmu dorongan tenaga angin 

Datuk sakti itu, tidak mampu ditandingi Melati 

merah. Dia hanya bisa membalas melalui pukulan 

jarak jauhnya. Tetapi datuk tua itu pun 

membalas dengan sinar putihnya. Membuat 

Melati merah menjadi kelabakan.

Tahu-tahu dia bersalto mendekati Raja dan 

Sekarjingga. Dan tahu-tahu kedua tangannya 

sudah berada di leher dua orang pemimpin itu. 

Raja dan istrinya tersedak. Tak menyangka Melati 

merah akan berbuat curang. Para pengawal


serentak berbalik dan mengurung Melati merah.

Datuk sakti pun tak menyangka Melati 

merah akan berbuat curang. Dia melesat ke 

depan. Dan membentak, "Hhh! Kau hendak 

berbuat apa, Melati merah?!"

Melati merah terkekeh. Cengkeraman di 

leher Raja dan Sekarjingga menguat. Membuat 

keduanya kesakitan. Dan tidak bisa berbuat apa-

apa.

Sebenarnya Raja bisa melepaskan 

cengkraman itu, tetapi dia kuatir dengan istrinya. 

Istrinya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa mungkin 

dia bisa melepaskan diri begitu dia menerjang 

nanti? Raja tidak berani mengambil resiko dengan 

mengorbankan istrinya.

"Kau jangan mendekat, Datuk!" bentak 

Melati Merah. "Selangkah lagi kau maju, nyawa 

keduanya akan melayang! Aku tidak main-main, 

Datuk!"

Datuk sakti pun yakin Melati Merah tidak 

main-main. Itu bukan gertakan sambal belaka. 

Melati Merah gadis yang kejam, yang mungkin 

digembleng oleh Dewi Cantik Penyebar Maut 

untuk menjadi seorang pembunuh.

"Lepaskan mereka, Melati Merah!" seru 

Datuk sakti pula. "Kita teruskan pertarungan itu!" 

"Bah! Mudah saja melepaskan daging yang 

sudah di tangan! Datuk... ambil pedang itu!" seru 

Melati Merah sambil melirik salah seorang 

pengawal yang membawa pedang.

Datuk sakti belum beranjak. Tak mengerti


maksud Melati Merah. Melati merah membentak, 

"Ambil! Kalau tidak, kubunuh dua orang ini!!"

Datuk sakti ragu-ragu. Akhirnya dia 

mengambil pedang itu. 

"Ini pedang itu...."

"Sekarang kau penggal lehermu sendiri, 

Datuk!" bentak Melati merah yang membuat 

semua kaget.

Sementara itu Pinus merah pun sudah 

bersalto, berdiri di samping Melati Merah. 

Pendekar Kipas Sakti tidak jadi memburu.

Ia pun tegang melihat Raja dan istrinya 

dalam cengkeraman mereka dan melihat Datuk 

sakti ragu-ragu. Pedang itu masih dipegangnya.

"Cepat Datuk, kau penggal dirimu! Atau... 

kau ingin kedua orang ini mati sebelum ajalmu?" 

geram Melati Merah sambil memperkuat 

cengkraman di leher raja dan istrinya. 

Sekarjingga mengeluarkan suara tercekik. 

Membuat Raja menjadi gelagapan. Padahal dia 

sendiri merasakan susah bernafas, Melati Merah 

menyambung, "Kalau kau belum melaksanakan 

perintahku Datuk, kubunuh kedua orang ini! 

Cepat!"

Datuk sakti menjadi kebingungan. Di lain 

pihak dia ingin mempertahankan dirinya, di lain 

pihak dia ingin raja dan istrinya selamat. Tetapi 

bagaimana caranya menyelamatkan mereka yang 

sudah di ujung tanduk itu?

Tak ada pilihan lain, demi keselamatan 

Baginda dan istrinya Datuk sakti rela berkorban.


"Baik, Melati Merah! Semua akan 

kulakukan. Satu pintaku, setelah kematianku, 

kau tinggalkan tempat ini!"

Melati Merah mendengus mengejek.

"Cepat kerjakan! Penggal lehermu!"

Datuk sakti menatap pedang yang 

digenggamnya erat-erat. Perlahan-lahan matanya 

terpejam. Dan perlahan-lahan pula pedangnya 

terayun. Semua memperhatikan dengan tegang.

Dan.... 

"tak!" pedang yang dipegangnya jatuh 

sebelum sampai ke leher. Datuk sakti itu 

terhuyung ke belakang. Melati merah terkejut. 

Siapa yang telah melepaskan pedang itu. Belum 

lagi dia sempat tahu orangnya, tahu-tahu kedua 

tangannya terasa kesemutan. Dan genggamannya 

terlepas. Raja cepat mendorong istrinya dan 

berguling menjauhi Melati merah.

"Bangsat!" Melati merah menggeram. Pinus 

merah bersiap pula. Dia juga tidak tahu siapa 

yang melakukan itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras 

di tembok istana. Seorang tua bertubuh pendek 

gemuk tergelak-gelak sambil memegangi 

perutnya. Tetapi matanya kelihatan agak terpejam 

dan seperti orang tidur.

Datuk sakti yang sudah berdiri berseru, 

"Dewa Tua Pengantuk!"

Orang bertubuh pendek itu terbahak. 

Datuk sakti bersyukur, di saat kritis itu 

sahabatnya datang.


Melati merah menggeram marah 

mengetahui siapa yang telah melepaskan 

tawanannya. Tangannya mengibas. Sinar merah 

yang merupakan andalan orang-orang Dewi 

Cantik Penyebar Maut berkelebat.

Orang tua bertubuh pendek itu bersalto ke 

depan, menghindari sinar merah itu. Walaupun 

gemuk tubuhnya terasa ringan sekali. Ia berdiri di 

samping Datuk Sakti Berjubah Putih.

"Ha... ha... hanya orang-orang begini saja 

kau tak mampu mengalahkannya, Datuk;..."

Memerah wajah Datuk sakti itu. Tetapi dia 

menyahut, "Mereka orang-orang pilihan, Dewa 

gemuk! Kau pun belum tentu mampu 

menghadapinya!"

Kembali dewa tua itu tertawa. Lalu 

berguling ke depan, tubuhnya bagaikan sebuah 

tong yang berjalan. Ia berdiri tepat di depan 

kedua anak buah dewi sesat atau Nindia.

"Kalian, rupanya yang membuat onar lagi," 

kata dewa tua itu. "Cepat kalian bersujud dan 

meminta maaf, sebelum nyawa kalian ku cabut!"

Dewa Tua Pengantuk terbahak. Matanya 

masih tetap terpejam tubuhnya yang gemuk 

terguncang-guncang.

"Ha... ha.,. kau masih banyak omong pula!"

Sehabis berkata begitu, dia menerjang. 

Sungguh di luar dugaan, tubuhnya yang gemuk 

itu bukan merupakan penghalang baginya untuk 

bergerak. Gerakannya cepat dan gesit. 

Pukulannya pun penuh tenaga.


Kedua wanita itu terkejut. Pinus merah 

berkelit. Melati merah menangkis dengan tangan 

kanannya. Dan seketika dia terhuyung. Betapa 

besarnya tenaga kakek gemuk itu.

"Hayo kalian keluarkan ilmu kalian! Biar 

kuremas kepala kalian nanti!" seru Dewa tua.

Dan serentak Melati merah dan Pinus 

merah menyerang. Dua serangan yang datangnya 

dari arah berlawanan hanya membuat Dewa tua 

bingung sejenak. Tiba-tiba ia bersalto ke belakang 

dan bersalto lagi ke depan. Saat kedua gadis itu 

berkelebat dia menjejakkan kedua kakinya di 

punggung mereka. Kembali keduanya terhuyung. 

Pendekar Kipas Sakti mengibas kipasnya. 

Berterbangan jarum-jarum beracunnya ke arah 

kedua wanita itu. Sebisanya mereka berkelit. 

Tetapi jarum-jarum itu telah melaksanakan 

tugasnya dengan baik. Menembus kulit putih 

keduanya.

Tiba-tiba keduanya mengerang. Dan 

ambruk ke tanah dengan mulut mengeluarkan 

darah. Beberapa detik kemudian, nyawa 

keduanya lepas dari tubuh masing-masing. 

Hampir bersamaan. Dan terkulai tanpa bersuara 

lagi. Semua menghela nafas lega, Walaupun telat, 

kedatangan Dewa Tua Pengantuk itu sangat 

diperlukan sekali. Tanpa kedatangannya tadi, 

tamatlah semua riwayat yang ada di sana. Dan 

istana berhasil digulingkan.

Dewa Tua Pengantuk terbahak. Dia baru 

saja menyelesaikan satu tugas yang luar biasa, di


mana dia menerangkan kepada rakyat yang 

terpengaruh ingin memberontak. Rakyat sebagian 

sudah dihasut oleh orang-orang Dewi Cantik 

Penyebar Maut. Dan mereka akan siap 

memberontak. Rencananya hari ini di saat Mawar 

merah berhasil membunuh raja.

Tetapi semua sudah berakhir. Dewa Tua 

Pengantuk juga masih harus menghindari 

bentrokan dengan lima murid dari perguruan 

Topeng Hitam, yang dia tahu karena salah 

paham.

Matahari menyengat panas. Mayat-mayat 

yang bergeletakan diangkat dan dikuburkan. Raja 

Tianawarman mengundang mereka masuk.

Dari omong-omong itu, Datuk Sakti 

Berjubah Putih, Pendekar Kipas Sakti dan Dewa 

Tua Pengantuk, akan segera berangkat mencari 

persembunyian Dewi Cantik Penyebar Maut.

Raja mengangguk mengerti. Juga mengerti 

kalau rencana memberontak itu bukan dari 

Madewa Gumilang.

Ketika senja mulai turun, orang-orang itu 

berangkat.


DUA



Begitu meninggalkan perguruan Topeng 

Hitam, Madewa Gumilang beserta Paksi Uludara 

segera mencari jejak di mana Dewi Cantik 

Penyebar Maut berada. Dalam kesempatan itu,


dia juga mampir ke rumah Abindamanyu, yang 

saat ini masih dalam keadaan bergembira, karena 

telah kembalinya putri Nindia.

Mulanya pun Madewa menyangka itu 

Nindia yang asli, tetapi lama kelamaan dia 

menemukan kejanggalan. Di mana dia melihat 

gerakan Nindia begitu ringan seolah memiliki ilmu 

meringankan tubuh dan selalu berpakaian merah.

Kita sudah tahu siapa gadis itu 

sebenarnya, yang tak lain adalah Dahlia merah. 

Yang diperintahkan gurunya untuk menyamar 

sebagai Nindia. Hanya menyamar, tidak 

ditugaskan merampok atau membunuh. Saat itu 

Dahlia merah heran, kenapa mendadak gurunya 

memerintahkan tidak seperti biasanya. 

Dia lalu menganalisa setiap kejadian yang 

ada. Dan kesimpulannya membuatnya terkejut 

sendiri. Di kelima murid gurunya, hanya dia yang 

mirip dengan gurunya. Dan saat ini, Tuan 

Abindamanyu juga orang-orang yang ada 

menyangkanya Nindia. Berarti dia mirip dengan 

putri Abindamanyu.

Lalu kembali kepada perintah gurunya, 

tidak boleh membunuh atau menyakiti siapa pun 

di rumah Abindamanyu. Apa sebabnya?

Dan kesimpulan itu, gurunya adalah putri 

Abindamanyu alias Nindia. Walau mulanya Dahlia 

merah ragu-ragu dengan kesimpulannya sendiri. 

Sementara itu Madewa masih 

memperhatikan gerak-gerik Dahlia merah secara 

diam-diam. Dalam waktu satu jam saja dia sudah


bisa menebak, kalau ini bukan putri Nindia.

Untuk membuktikan kebenarannya, dia 

bertanya langsung pada Abindamanyu dan 

dijawab, Ya. Itu memang bukan Nindia yang asli. 

Itu dilakukan agar istrinya sembuh. Memang 

benar, kesehatan istrinya sudah hampir pulih.

Tetapi yang membuat Madewa curiga, gadis 

itu selalu berpakaian merah. Tidak pernah mau 

memakai pakaian warna lain, biarpun 

Abindamanyu menyediakannya.

Yang ditakutkan Madewa hanya satu, gadis 

itu adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar 

Maut. Paksi Uludara pun menyadari hal itu. 

Tetapi dia lebih banyak diam. Namun dia was-

pada menjaga kalau terjadi apa-apa.

Selesai membicarakan urusan Nindia, 

keesokan harinya Madewa berpamitan. 

Abindamanyu melepas kepergian keduanya 

dengan harapan Madewa segera menemukan 

putrinya. Sementara istrinya berada di samping 

Nindia palsu, dengan senyum ceria.

Di tengah jalan, Madewa berkata pada 

Paksi Uludara tentang kecurigaannya pada gadis 

berbaju merah itu. Paksi Uludara pun 

menyatakan kecurigaannya. Akhirnya mereka 

sepakat untuk kembali ke rumah Abindamanyu 

nanti malam.

Dan ketika malam mulai menyelimuti seisi 

dunia, di atas genting rumah Abindamanyu 

menyelinap dua sosok tubuh dengan hati-hati. 

Gerakan keduanya ringan dan mantap.


Salah seorang dari mereka bersalto turun. 

Juga tanpa menimbulkan suara. Berlari 

mengendap dengan cepat. Di depan jendela yang 

masih menyala lampunya, orang itu terdiam. 

Nampak berkonsentrasi. Matanya terpejam. Dan 

pandangannya bisa menembus ke dalam kamar 

itu. Melihat seisi kamar itu. Itulah ilmu 

pandangan menembus sukma, yang hanya 

dimiliki oleh seorang saja. Dan orang itu Madewa 

Gumilang.

Dia melihat gadis yang dicurigainya sedang 

duduk bersemadi. Dan telapak tangannya 

nampak memancar sinar merah. Dan perlahan-

lahan sinar itu melesat menghantam dua buah 

bata di hadapannya hingga hancur berantakan.

Madewa sadar, kalau ternyata dugaannya 

benar. Dan gadis itu sangat membahayakan 

keluarga Abindamanyu. Dia mengalihkan 

tatapannya ke arah Paksi Uludara yang menjaga 

di atas. Paksi Uludara masih bersiaga. Madewa 

segera mengirimkan suara jarak jauhnya yang 

tepat terdengar di telinga Paksi Uludara.

"Dugaan kita tepat, ternyata gadis itu 

murid Dewi Cantik Penyebar Maut. Tapi tak usah 

kuatir, biar aku selesaikan!"

Madewa menghentikan konsentrasinya. Dia 

mengetuk jendela itu. Nindia palsu alias Dahlia 

merah yang sedang bersemadi tersentak. Dia 

buru-buru merapikan sikapnya. Dia tidak boleh 

ketahuan sebagai murid Dewi Cantik Penyebar 

Maut.


Buru-buru dia membuka jendela itu. 

"Siapa?"

Tuk! Tuk! 

Dia tak sempat bertanya lagi, karena dua 

buah totokan telah hinggap di bawah iganya dan 

di lehernya. Membuat tubuhnya kaku dan 

suaranya menghilang.

Madewa cepat melompat dan menutup 

jendela. Dia memperhatikan gadis itu. Ternyata 

orang yang berbahaya yang berada di rumah 

Tuan Abindamanyu,

"Kau tak perlu takut, Nona. Aku tidak akan 

berbuat apa-apa," kata Madewa pelan. "Dan 

maafkan aku, kalau aku mencurigaimu. Untuk 

kerja sama kita Nona, ada baiknya kau mengakui 

terus terang, siapa sebenarnya dirimu?"

Tangan Madewa bergerak cepat. 

Membebaskan totokannya di urat leher gadis itu. 

Yang langsung membentak marah, "Kurang ajar! 

Kau laki-laki ceriwis, berani-beraninya masuk ke 

kamarku?!"

"Ini demi kepentingan kita semua, Nona."

"Kurang ajar!" gadis itu mendelik marah. 

"Nanti kulaporkan ayah akan ulahmu ini!"

"Di sini tak ada ayahmu, Nona. Kau 

bukanlah putri Nindia. Dan aku hanya ingin 

tahu, siapa kau sebenarnya? Cepat jawab 

pertanyaanku, Nona...." 

Gadis itu terbelalak gusar. Apa-apaan 

orang ini, dia menyangka dirinya siapa.

"Kau bicara apa?" serunya jengkel. Kalau


saja tubuhnya bisa digerakkan, sudah 

ditempeleng nya orang ini.

"Aku mencurigaimu, Nona. Aku tahu kau 

bukanlah putri Nindia. Karena Nindia tidak punya 

keahlian ilmu silat dan kesaktian. Aku sudah 

mengintip kamar ini tadi, Nona. Dari tanganmu 

memancar sinar merah. Dan kau selalu berbaju 

merah. Aku curiga padamu... sebagai anak buah 

Dewi Cantik Penyebar Maut!"

Sekarang gadis itu terdiam. Tidak berkata-

kata lagi. Memang dia anak buah dewi sesat itu. 

Dan dia bernama Dahlia merah. Dalam hati 

Dahlia merah menggeram. Rupanya orang ini 

mengetahui siapa dirinya. Orang yang selama ini 

selalu membuat keresahan. Dan secara tidak 

langsung menjadi buronan orang golongan putih!

Gadis itu memicingkan matanya. Menatap 

tajam Madewa yang tahu gadis itu sudah 

mengaku. Suaranya mendesis, "Aku tidak 

memungkiri, kalau aku anak buah Dewi Cantik 

Penyebar Maut."

"Apa maksudmu dikirim ke mari oleh dewi 

sesat itu?"

Dahlia merah terdiam. Lebih baik diam, 

karena dia sendiri tidak tahu.

"Aku bisa marah besar padamu, Nona!" 

geram Madewa.

Kalau saja tubuhnya tidak dalam keadaan 

tertotok, akan dilabraknya laki-laki ini. Tapi 

tangan laki-laki itu sudah melayang di pipinya.

"Aku tidak tahu apa maksudmu dikirim ke


mari oleh dewi sesat itu. Dan sekarang Nona... 

katakan, di mana tempat dia berada? Cepat 

Nona... aku membutuhkan bantuanmu. Anak 

istriku berada di tangan mereka!"

Dahlia merah mendengus mengejek. Biar 

kau tahu rasa! Tawanan di tangan gurunya, tidak 

ikan bisa hidup lama. Dia akan mati disiksa atau 

dibunuh sekaligus.

"Sampai kapan pun aku tidak akan bicara 

di mana guruku berada."

"Kau?!" geram Madewa.

"Ya, aku anak buah Dewi Cantik Penyebar 

Maut. Dan tidak akan semudah itu membocorkan 

rahasia."

Madewa kehabisan akal menghadapi 

wanita bandel itu. Tahu-tahu dia menotok urat 

lehernya kembali. Lalu membopong tubuh gadis 

itu dan melesat ke luar. Dia ingin melihat, sampai 

di mana kekeras kepalaan gadis itu.

Melihat bayangan berkelebat, Paksi 

Uludara cepat bersalto dan menyusul.

Madewa membawa Dahlia merah ke 

sebuah hutan yang jauh dari rumah 

Abindamanyu. Dia mencari serat-serat akar 

pohon yang banyak terdapat di sana dan 

menyambungnya menjadi tali. Lalu melempar tali 

itu ke sebuah dahan dan mengikat kedua kaki 

Dahlia merah. Lalu ditariknya tali itu hingga 

tubuh Dahlia merah tergantung dengan kepala di 

bawah.

Paksi Uludara hanya memperhatikan saja.


Madewa melepaskan totokan di urat leher Dahlia 

merah. Totokan pada bagian bawah tulang 

iganya, dibiarkan saja. Tubuh itu tergantung 

kaku dan kepala di bawah.

"Kalau kau belum menunjukkan di mana 

ketuamu berada, aku akan melepaskan. Biar 

dirimu di makan harimau! Mari Paksi, kita lihat 

saja kehebatan gadis ini!"

Madewa mengajak Paksi Uludara 

meninggalkan tempat itu. Tetapi kemudian 

mereka bersembunyi. Dahlia merah mengetahui 

hal itu. Dia bertekad akan bertahan semampu 

mungkin. Baru harimau. Apa sih yang 

ditakutkannya?

Tetapi begitu muncul seekor harimau 

belang yang besar, dia bergidik. Apalagi harimau 

itu mengendus-ngendus dirinya. Dahlia merah 

lupa, dia dalam keadaan tertotok, tidak bisa 

berbuat apa-apa. Harimau itu sudah mengitari 

tubuhnya. Melihat ada mangsa empuk yang enak 

buat disantap.

Meremang bulu kuduk Dahlia merah. Biar 

bagaimana pun dia seorang wanita, yang jijik 

dengan binatang macam begituan. Tetapi 

walaupun begitu dia tidak mau menjerit. 

Ditahannya kengeriannya ketika harimau itu 

mengaum keras, seakan merontokkan jantung!

Namun ketika harimau itu mengindap-

indap dan mengambil ancang-ancang untuk 

menerkam, secara tak sadar Dahlia merah 

menjerit.


"Lepaskan...! Lepaskan aku!" jeritnya 

ketakutan dan jeritan itu mengejutkan harimau 

akan tetapi tidak membuatnya takut hanya 

agaknya menunda terkamannya. Kelihatan 

harimau itu menunggu. Karena tidak terjadi apa-

apa, dia mengambil ancang-ancang lagi untuk 

menerkam. Kengerian semakin membesar di hati 

Dahlia merah. Tubuhnya sukar sekali digerakkan. 

Kalau bisa bergerak, dia tidak akan sekuatir ini.

Harimau itu mengaum dulu sebelum 

menerkam, Dahlia merah menjerit-jerit.

"Lepaskan... lepaskan aku! Ya, ya... aku 

akan mengatakan di mana Dewi Cantik Penyebar 

Maut berada.... Tolooong! Lepaskan!"

Harimau itu sudah melompat dan 

menerkam. Dahlia merah memejamkan matanya, 

menanti dirinya diterkam. Tetapi tiba-tiba 

terdengar suara erangan harimau itu keras dan 

gedebuk. Perlahan-lahan Dahlian merah 

membuka matanya. Harimau itu bergulingan 

sambil mengeluarkan erangan kesakitan. Di leher 

dan perutnya tertancap dua batang kayu.

Tak jauh dari harimau yang kesakitan itu 

berdiri dua orang yang menawannya tadi.

Harimau itu bergulingan hebat dan 

mengeluarkan auman panjang yang mengakhiri 

hidupnya. Sejenak Dahlia merah merasa gembira 

terlepas dari ancaman maut itu.

Madewa Gumilang merasa dia menang. 

Dengan diiringi Paksi Uludara dia mendekati 

Dahlia merah.


"Katakan, di mana berada dewi sesat itu?" 

"Baik, baik. Tapi turunkan dulu aku dan 

lepaskan semua yang mengekang gerakanku.".

Madewa langsung menurunkan dan 

membebaskan diri gadis itu. Dia sudah tak sabar 

ingin bertemu anak istrinya. Dia yakin, keduanya 

berada dalam kekuasaan dewi sesat yang cantik 

itu.

"Cepat katakan," kata Madewa ketika 

Dahlia merah sudah terbebas. Gadis itu sedang 

mengusap-usap pergelangan tangannya. Ia 

melirik Madewa.

"Tak jauh dari sini." 

"Ayo antar kami ke sana." Dahlia merah 

melangkah duluan. Madewa Gumilang dan Paksi 

Uludara mengikuti dari belakang. Baru mereka 

berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba Dahlia merah 

memekik dan bersalto ke belakang, melewati 

kedua pendekar itu.

Dan saat bersalto itu dia mengibaskan 

tangannya. Berkelebat senjata andalannya yang 

berupa pukulan jarak jauh sinar merah.

Namun keduanya bukan jago-jago kemarin, 

yang mudah tertipu. Mereka tak percaya begitu 

saja dengan Dahlia merah. Keduanya sudah siaga 

sejak tadi. Dengan gesit masing-masing berkelit 

secara berlawanan. Begitu mereka berdiri tegak, 

Dahlia merah terbahak sambil berkacak 

pinggang.

"Tidak semudah itu memaksaku, 

Sahabat.... Aku bukanlah seorang


pengkhianat,..."

"Kau berkhianat kepada kami!" geram 

Madewa marah.

"Aku lebih taat pad ketuaku dari pada 

kalian!" balas Dahlia merah tak kalah galaknya.

"Bangsat!" Madewa langsung melesat ke 

depan. Menyerang dengan pukulan lurus. Dahlia 

merah memapaki dengan cepat pula.

"Des...! Plak...!"

Keduanya bersalto ke udara. Dan saling 

menyerang kembali begitu hinggap di tanah. 

Beberapa kali Dahlia merah mengirimkan sinar 

merahnya, tetapi dengan menggunakan jurus 

Ular Meloloskan Diri, semua itu luput. Bahkan 

Madewa melesat dengan cepat dan mengirimkan 

sebuah pukulan Tembok Menghalau Badai.

Saat itu pun Dahlia merah sudah 

mengeluarkan ilmu berkelitnya yang bernama 

menghindar hujan menghalau badai. 

Kelincahannya dipakai untuk mengimbangi 

pukulan sakti Madewa. Keduanya sama-sama 

pandai menghindar dan berkelit. Kelincahan 

keduanya seimbang.

Beberapa kali serangan Madewa luput. 

Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya. Ular 

mematuk katak kali ini dipergunakan. Dan 

tangannya bergerak dengan sangat cepatnya. 

Mencecar dengan gencar.

Dada Dahlia merah tergedor serangan tadi. 

Saat dia terhuyung Madewa menghantam dengan 

pukulan tembok menghalau badai.


"Des! Krak!"

Tubuh itu ambruk dengan beberapa tulang 

yang patah. Madewa memburu tetapi ajal telah 

mengundang Delima merah untuk pergi.

Terdengar desisan kagum Paksi Uludara 

yang dari tadi hanya nonton saja.

"Serangan yang berbahaya namun kejam," 

kata Paksi Uludara sambil bertepuk.

Madewa bangkit dan menghampiri Paksi 

Uludara.

"Dia sudah mati. Tak ada jalan lain, kita 

harus menembus hutan ini. Kurasa disekitar sini 

dewi sesat itu berada!" Lalu dia melesat dengan 

disusul Paksi Uludara. Kelebatan lari kudanya 

sangat cepat. Masing-masing memamerkan ilmu 

lari dan meringankan tubuh mereka.

Sampai keduanya berhenti karena tiba-tiba 

saja terdengar derap langkah bergegas di 

belakang mereka. Tanpa dikomando lagi 

keduanya melompat ke atas pohon. Dan 

mengintai.

Di bawah lima orang berpakaian hitam-

hitam dan bertopeng hitam tiba. Mereka 

celingukan, seolah kebingungan ke mana 

perginya dua orang yang dibuntuti tadi.

Tiba-tiba Paksi Uludara melompat turun 

dan berdiri di hadapan mereka. Serentak lima 

orang itu mencabut sepasang pedang yang 

menggantung di punggung mereka masing-

masing.

Tetapi mendadak kelimanya menjatuhkan


diri di hadapan Paksi Uludara. 

"Oh, guru kiranya yang berada di sini," 

kata salah seorang dengan nada menyesal.

Paksi Uludara tertawa pelan. Menyuruh 

Madewa turun, Dan menyuruh kelima orang itu 

bangkit. Sebelum dia berkata, salah seorang 

sudah maju dan menjura, "Maafkan kami, guru. 

Kami tidak menyangka guru yang kami kejar tadi. 

Kami kira Dewa Tua Pengantuk. Karena sampai 

saat ini, kami belum berhasil menangkap Dewa 

Tua Pengantuk untuk dihadapkan kepada guru-" 

Lagi-lagi Paksi Uludara tertawa. Lalu 

menerangkan kepada lima orang itu yang ternyata 

murid-muridnya siapa adanya Dewa Tua 

Pengantuk.

"Begitulah, semua hanya salah paham. 

Dan siasat adu domba yang dijalankan Dewi 

Cantik Penyebar Maut." Paksi Uludara berpaling 

pada Madewa. "Bagaimana saudara, kita 

lanjutkan pencarian kita?"

"Sebentar. Aku yakin, dewi iblis itu berada 

di sekitar hutan ini!" Tahu-tahu Madewa 

merangkum kedua tangannya di dada. Dan 

perlahan-lahan tubuhnya turun dan duduk 

bersila.

Kembali dia menggunakan ilmu 

andalannya, pandangan menembus sukma dan 

tatapannya kembali beredar dengan seksama. 

Meneliti setiap tempat, bahkan menerobos 

dinding-dinding gua yang ada di sekitar hutan itu.

Sampai suatu ketika dia melihat sebuah


gua yang kelihatan terang di dalamnya. Madewa 

semakin mempertajam pandangannya. Dan 

menembus ke dalam.

Di sebuah sudut gua itu terlihat sebuah 

batu yang bernyala indah. Bersinar karena 

berhiaskan permata, intan dan emas. Dan dia 

melihat seorang wanita cantik berbaju merah 

sedang duduk menghadap ke singgasana itu.

Pikiran berputar di kepala Madewa. Dialah 

Dewi Cantik Penyebar Maut. Dan di sampingnya 

berdiri seorang gadis berbaju merah pula seolah 

menjaga dewi itu.

Pandangan Madewa berputar lagi. Dan 

bukan main terkejutnya dia, ketika melihat Ratih 

Ningrum terkulai dalam keadaan terikat. Begitu 

pula dengan Pranata Kumala yang terkulai dalam 

keadaan terikat pula.

Betapa kejam! 

Kemarahan Madewa bangkit.

Dia menghentikan konsentrasinya dan 

bangkit seraya menjerit keras.

Suaranya bergetar menusuk kalbu.

Paksi Uludara dan murid-muridnya 

bingung. Malah mereka bersiap, mungkin saja 

Madewa mendengar sesuatu yang mencurigakan.

Madewa merasa kemarahannya agak 

menurun. Dia berbalik dan berkata, "Aku sudah 

mengetahui di mana dewi iblis itu berada! Istri 

dan anakku menjadi tawanan mereka. Aku akan 

segera ke sana!"

Tanpa menunggu jawaban Paksi Uludara


lagi, Madewa melesat.

"Saudara! Tunggu!" seru Paksi Uludara 

seraya menyusul, kelima muridnya pun bergerak 

dengan cepat.

Madewa sudah ingin membunuh dewi iblis 

itu cepat-cepat. Kalau dia tahu anak dan istrinya 

terluka, akan dibumiratakan gua itu.

Dia langsung melesat memasuki gua yang 

dilihat oleh pandangan menembus sukmanya. 

Tetapi tiba-tiba dia bersalto. Sebuah sinar merah 

menyongsong larinya. Sinar merah itu terus 

berkelebat. Paksi Uludara yang baru memasuki 

pintu gua bergulingan menghindari. Begitu pula 

dengan murid-muridnya. Tetapi naas, murid yang 

paling belakang, tak sempat berguling.

Sinar merah itu menghantam tepat di 

jantungnya!

Tubuh itu meregang dengan jantung 

hangus.

"Pandu!" seru Paksi Uludara terkejut. 

Tetapi nyawa muridnya sudah tak tertolong. Dia 

berbalik geram. "Dewi iblis, kuminta nyawamu 

penebus nyawa muridku!" serunya dan melesat

kembali.

Di tempat yang agak luas, dia melihat 

Madewa sudah berhadapan dengan dewi cantik 

dan seorang muridnya. Dewi iblis itu terkekeh 

melihat Madewa Gumilang berdiri dengan mata 

marah. 

Tetapi tiba-tiba dewi iblis itu terdiam. 

Matanya mendadak redup. Pemuda yang dicintai


dan dirinduinya kini berdiri di hadapannya. Ingin 

dia berlari ke pelukannya, merebahkan kepala di 

dadanya. Betapa indahnya. Betapa bahagianya. 

Tetapi semua itu tidak bisa dia lakukan. Saat ini 

orang yang dicintainya merupakan musuh utama 

yang harus dimusnahkan!

Dewi iblis atau Nindia, terkekeh kembali. 

Perasaan wanitanya memanggilnya untuk tidak 

menyerang lebih dulu. Dan bergetar kembali 

melihat pemuda yang dirinduinya.

"Selamat datang di tempatku ini, Madewa," 

suaranya bergetar pula. Sampai-sampai Puspa 

merah melirik. Kenapa suara guru bergetar? 

Tidak seperti biasanya yang seram dan 

mencekam.

"Aku tak perlu berbasa-basi! Hari ini, kau 

dan muridmu, akan kumusnahkan dari muka 

bumi!" seru Madewa.

"Hi... hi... kau bermimpi, Madewa. Baiklah, 

sebelum kita laksanakan pertempuran itu, ada 

baiknya kau mengenalku...."

"Aku sudah tahu siapa kau, Dewi! Kau 

wanita iblis kejam yang tak kenal dosa! Dosamu 

tak berampun lagi!"

"Baik. Baik. Kau jahat menuduhku seperti 

itu, Madewa. Ingatkah kau lima tahun yang lalu, 

saat kau menolong seorang gadis bernama 

Nindia?" Madewa terdiam. Jelas dia ingat. Tadi 

pun dia telah membunuh Nindia palsu. Tapi mau 

apa dewi sesat itu bertanya-tanya?

"Aku tahu soal itu!"


"Kau tahu di mana gadis itu berada?"

"Sampai saat ini, aku tidak tahu dia berada 

di mana...."

Belum lagi selesai bicara Madewa, Paksi 

Uludara sudah memotong, "Untuk apa kita 

teruskan percakapan ini! Lebih baik kita segera 

musnahkan wanita itu, Madewa!"

Nindia terkekeh.

"Kau pemarah sekali, Kakek Tua!" 

"Kau telah membunuh muridku, Dewi! 

Sinar merahmu sungguh berbahaya dan kejam!"

Nindia terkekeh lagi. "Salah muridmu 

sendiri, kenapa tidak menghindar? Hi... hi... 

Madewa, kita teruskan pembicaraan tadi.... 

Memang tak ada seorang pun yang tahu di mana 

gadis itu berada. Tetapi hari ini kau akan 

mengetahuinya...."

Dada Madewa berdebar lebih cepat. Kalau 

begitu putri Nindia berada dalam cengkraman 

Dewi penyebar maut itu. Pantas dicari ke mana 

pun tidak ketemu.

"Di mana dia? Cepat kau keluarkan! Dan 

lepaskan anak istriku, Dewi...."

"Hi...hi..., aku takut kau tidak 

mengenalinya, Madewa. Kau masih ingat suara 

gadis itu?"

Kembali Madewa terdiam. Mengingat-ingat. 

Yah... suara Nindia halus dan mendayu-

dayu. Lembut, sedap didengar telinga.

"Aku masih ingat suaranya."

Tiba-tiba tatapan dewi sesat itu meredup.


Ia menghela nafas panjang. Semua menunggu 

dengan tegang. Begitu pula dengan Puspa merah. 

Bukankah guru tidak menawan orang selain 

Ratih Ningrum dan Pranata Kumala?

Ah, mungkin gurunya punya siasat yang 

jitu lagi.

Dan semua terkejut. Puspa merah pun 

terkejut. Tiba-tiba gurunya berkata, suranya 

bukan suara yang seperti didengar. Kali ini suara 

itu lembut. Mendayu-dayu. Dan agak terisak!

"Madewa... akulah Nindia, putri 

Abindamanyu yang menghilang lima tahun yang 

lalu...."

Madewa tersentak. Ia menatap tak percaya. 

Benarkah Dewi Cantik Penyebar Maut yang kejam 

itu putri Nindia? Dari mana gadis itu 

mendapatkan ilmu kesaktian. Dan bagaimana 

cepatnya gadis lembut berubah menjadi beringas.

Kenapa? Kenapa?

Dan dewi itu sudah melanjutkan, "Ini 

semua gara-gara kau sendiri, Madewa! Kau telah 

menyebabkan aku berubah! Kau telah 

membuatku sengsara. Sejak lama aku mencintai, 

Madewa.... Tapi rupanya kau hancurkan cinta itu 

karena kau sudah mempunyai seorang kekasih! 

Saat itu hatiku gundah. Terluka. Siang malam 

aku membayangkan kau yang berkasih-kasihan 

dengan Ratih Ningrum, dan membuatku 

menangis selalu dan tidak rela kau berkasih-

kasihan dengannya. Saat itu aku bersumpah,

akan membunuh salah seorang dari kalian, atau


kedua-duanya! Untungnya seorang kakek sakti 

membawaku ke gunung Muria. Empat tahun aku 

digemblengnya sampai menjadi gadis yang sakti. 

Dan dendamku semakin membara walau cintaku 

padamu tak pernah hilang.

Akhirnya aku berhasil keluar dari gunung 

itu setelah kubunuh guruku sendiri. Itu semua 

gara-garamu pula, Madewa! Dosaku sudah 

bertumpuk. Tak mungkin terampuni. Aku juga 

telah berdosa pada ayah dan ibu.

Semua sudah kepalang basah. Aku akan 

menambah dosa itu dengan beberapa nyawa lagi 

hari ini! Bersiaplah, Madewa! Ajal telah 

mengundangmu di sini!"

Madewa masih terdiam, memperhatikan 

wanita itu. Benarkah dia Nindia? Gadis yang lima 

tahun lalu pernah ditolongnya? Tetapi semua 

figur dari gadis itu memang mirip dengan putri 

Nindia. Wajahnya pun tak berubah. Hanya 

menampakkan kebengisan dan seperti 

memendam rindu yang amat dalam. 

Dia tidak boleh memakai kekerasan. Gadis 

ini yang bisa menyembuhkan penyakit Nadia, istri 

Abindamanyu. Apalagi Nindia palsu telah 

dibunuh oleh Madewa. Dia harus bisa membujuk 

agar gadis ini kembali ke jalan yang benar. Dan 

kembali ke pangkuan ayah dan ibunya.

"Putri Nindia... mengapa semua jadi 

begini?" kata Madewa lirih. Dulu pun dia tahu 

gadis itu mencintainya. "Kau seorang gadis yang 

lembut tapi telah berubah menjadi seorang wanita


yang kejam. Putri Nindia... kembalilah ke jalan 

yang benar... Ayah dan bundamu merindukan 

mu..."

"Aku pun rindu pada mereka, Madewa.... 

Tetapi aku harus membunuhmu hari ini...." suara 

Nindia agak terisak.

"Putri... semua yang lalu biarlah berlalu. 

Perbuatanmu telah melampaui batas. Kau telah 

membuat semua menjadi kacau... Nindia... kau 

adalah seorang yang terpelajar... Ayah bundamu 

pasti kecewa melihat putri yang disayanginya 

menjadi seorang gadis yang kejam...."

"Ini semua gara-gara kau, Madewa! Kau 

telah menghancurkan hatiku!" suara Nindia 

berubah. Kejam. Bengis. Ia menuding Madewa 

penuh kebencian. "Aku tak akan tenang hidup di 

dunia ini, sebelum membunuhmu! Membunuh 

orang yang membiarkan hatiku sengsara...."

"Nindia... kini aku telah beristri. Dulu pun 

aku tak mungkin bisa menerimamu.... Kembalilah 

Nindia... bundamu sakit keras karena rindu 

padamu...."

Kembali wajah Nindia meredup. Ibunya 

sakit keras? Bunda yang dirinduinya? Oh... dia 

menutup kedua wajahnya dengan kedua 

tangannya. Menangis terisak. Dan mendadak dia 

mengangkat wajahnya. Kembali kebengisan itu 

nampak. Kebenciannya semakin menjadi-jadi 

pada Madewa.

"Kau harus kubunuh, pemuda kejam!" 

serunya seraya mengibaskan tangannya. Dan


sinar merah melesat dengan cepatnya!

Madewa berkelit ke samping. Tetapi jarum-

jarum berbisa yang dilontarkan lagi oleh Nindia 

kembali membuatnya kelabakan. Dia bersalto dan 

hingga di hadapan Nindia,

"Tahan putri.... Semua ini tak ada gunanya 

kita lakukan...."

"Aku tak ingin mendengar suaramu lagi, 

Madewa! Aku telah bersumpah akan mencabut 

nyawamu! Madewa... jika kau bisa membunuhku, 

sampaikan salamku kepada ayah dan ibu. Ratih 

Ningrum dan putramu kukembalikan secara 

utuh! Tetapi jika kau yang terbunuh, akan ku 

siksa kedua orang yang kau kasihi itu sampai 

mampus!"

"Jaga seranganku, Madewa! Kau Puspa 

merah, hadapi kakek jelek itu!" 

Sesudah berkata demikian, Nindia melesat 

ke depan. Tangannya membentuk cakar yang siap 

mencabut jantung Madewa.

Melihat serangan itu, Madewa merunduk 

dari menangkis. Dan kakinya bergerak ingin 

mengibas kaki Nindia. Tetapi begitu kaki Madewa 

bergerak gadis itu sudah bersalto. Dan 

menjejakkan sebelah kakinya di punggung 

Madewa. Sungguh cepat gerakannya.

"Des!"

Madewa terguling menerima tendangan 

penuh tenaga itu. Ia kembali berdiri tegak. 

Berkata sebelum Nindia menyerang lagi, "Kita tak 

perlu bertempur, Putri. Kembalilah ke jalan yang


benar...,"

"Kau tak perlu berkhotbah!" Nindia 

mengibaskan kedua tangannya sekaligus. Dan 

sinar merah berkelebat dari sepuluh jarinya.

Madewa pun bergerak cepat. Mau tak mau 

dia harus membalas kalau tidak ingin mati 

konyol. Dia bergulingan menghindari sinar merah 

itu. Tetapi sinar merah itu terus mengejarnya. 

Madewa mulai mengeluarkan jurus berkelitnya 

yang ampuh, jurus Ular Meloloskan Diri.

Serangan sinar merah itu tak ada yang 

menemui sasarannya. Tiba-tiba Madewa memekik 

dan tubuhnya seakan terbang melesat ke depan.

Nindia merasakan dorongan angin yang 

sangat hebat. Dia adalah didikan seorang kakek 

sakti di gunung Muria. Serangan itu dengan 

mudah saja dielakkan. Bahkan dia membalas 

dengan pukulan menggempur sejuta batu karang.

"Des! Plak!" 

Dua buah tenaga penuh berbenturan. 

Madewa terhuyung lima langkah, sedangkan 

Nindia hanya satu langkah. Berarti pukulan 

Nindia lebih sakti dari pukulan yang dikeluarkan 

Madewa. Tembok Menghalau Badai.

Sementara itu, Puspa merah sudah 

menyerang Paksi Uludara. Serangan gadis itu pun 

tak kalah hebatnya Seperti gurunya. Paksi 

Uludara sejenak agak kewalahan. Tetapi ketika 

dia mencabut pedang mustikanya, dia langsung 

berada di atas angin.

Dia adalah jago pedang nomor satu saat


itu. Ilmu pedangnya belum ada yang menandingi. 

Empat orang muridnya hanya menonton saja 

tanpa berbuat apa-apa. Mereka kuatir, kalau 

dibantu Paksi Uludara malah marah. Lagipula, 

gadis itu pasti tak akan berumur panjang.

Kibasan dan tusukan permainan pedang 

Paksi Uludara benar-benar hebat dan cepat. 

Pedangnya menderu-deru dan bergulung-gulung. 

Selain itu ilmu meringankan tubuhnya pun tinggi. 

Semakin sempurnalah serangan-serangannya 

pada Puspa merah yang berusaha menghindar 

sekuat tenaga.

Sekali waktu Paksi Uludara berguling dan 

pedangnya menusuk ke atas. Puspa merah 

menjerit kaget. Karena barang rahasianya yang 

diancam oleh Paksi Uludara.

"Bangsat cabul!" bentaknya seraya 

menghindar dan mengirimkan serangan dengan 

kaki. Tetapi dia cepat menarik kakinya, karena 

Paksi Uludara sudah mengibaskan pedangnya. 

Puspa merah kembali menjerit kaget. Dia 

bergulingan dan mengambil jarak agak jauh dari

Paksi Uludara berdiri.

"Baik, Kakek cabul. Aku akan mengadu 

jiwa denganmu!" geramnya seraya membuka 

jurus baru. 

Paksi Uludara hanya menunggu dengan 

bersiaga. Tiba-tiba Puspa merah menerjang 

dengan teriakan keras. Kelebatan tubuhnya 

menimbulkan desiran angin yang keras. Paksi 

Uludara menyambut serangan itu dengan


pedangnya.

Tetapi Puspa merah sudah bertekad untuk 

mengadu nyawa. Dia tidak menghindar. Malah 

memasuki gulungan pedang itu. Paksi Uludara 

semakin cepat memainkan pedangnya. Tetapi 

sungguh di luar dugaan. Ketika pedang itu akan 

menyambar tubuh Puspa merah, Puspa merah 

melenting ke samping. Menghantam salah 

seorang murid perguruan Topeng Hitam, Dan 

menyambar sepasang pedangnya.

Murid perguruan Topeng Hitam itu ambruk 

dengan tubuh berdarah.

Kini Puspa merah sudah memegang 

sepasang pedang. Dia pun memainkannya dengan 

hebat. Jurus pedang Empat Penjuru dan sedikit-

sedikit dia mampu mengimbangi permainan 

pedang Paksi Uludara. Namun Paksi Uludara 

adalah orang sakti berilmu pedang yang sampai 

saat ini belum terkalahkan. Dan pedang 

mustikanya itu menyabet dengan deras. 

Menghantam kedua tangan Puspa merah hingga 

buntung.

Paksi Uludara bukanlah orang yang kejam. 

Tetapi hari ini dia bertindak kejam. Seorang 

muridnya telah mampus lagi. Maka dia menjerit 

keras dan pedangnya menusuk Puspa Merah 

hingga ambruk dan mati seketika itu juga. 

Pekikannya membuat Nindia menoleh. Ia marah 

melihat muridnya mati. Mendadak dia merubah 

serangannya. Kali ini melesat ke arah Paksi 

Uludara dengan hebat.


Cakarnya mengancam dengan deras. Paksi 

Uludara berkelit, Dan menusukkan pedangnya.

Tetapi Nindia melenting ke atas. Dan 

selarik sinar merah berkelebat, menghantam 

tangan kiri Paksi Uludara.

"Aaaah!" Paksi Uludara menjerit kesakitan. 

Panas sekali dirasakannya. Ia terhuyung. Melihat 

guru mereka kalah, tiga orang murid perguruan 

Topeng Hitam serentak menyerang. Tetapi mereka 

bukanlah tandingan Nindia.

Dengan sekali kibas saja, mereka tunggang 

langgang dan tewas seketika dengan muntah 

darah. 

Nindia menggeram. Menghadapi Paksi 

Uludara yang sedang menahan rasa sakit.

"Hutang nyawa dibayar nyawa! Kau harus 

membayar nyawa Puspa merah, Kakek!"

Dan Nindia mengibaskan tangannya.

Dorongan angin yang keras mengarah kepada 

Paksi Uludara. Melihat bahaya yang mengancam, 

Madewa Gumilang cepat bersalto dan mendorong 

tubuh Paksi Uludara.

Serangan itu luput, menabrak dinding gua 

yang hancur berantakan. Nindia menggeram 

marah. 

"Bangsat kau, Madewa! Kubunuh kau!" 

"Putri... sadarlah, semua ini tak ada 

gunanya," kata Madewa mencoba membujuk. 

"Mari kita kembali ke rumah...."

"Tidak! Aku harus membunuhmu dulu!"

bentak Nindia dan dia pun memekik keras dan


menyerang Madewa dengan dahsyatnya.

Madewa menunduk sedikit ketika pukulan 

Nindia mengarah ke wajahnya. Dan Madewa cepat 

menyodokkan sikunya hingga Nindia surut ke 

belakang. Madewa meneruskan serangan itu 

dengan tendangan dan membuat Nindia kali ini 

bersalto menghindar. 

"Bangsat! Terima kematianmu, Madewa!" 

Nindia membentak. Tahu-tahu kedua tangannya 

mengepal dan mengeluarkan asap merah. Itulah 

jurus simpanannya yang ampuh.

Madewa pun beriap. Ia merangkum tenaga 

di tangannya. Dia pun sudah mengeluarkan jurus 

andalannya, pukulan bayangan sukma. Dari 

kedua tangannya mengeluarkan asap putih,

Keduanya saling berhadapan. Di mata 

Nindia penuh nafsu membunuh, sedangkan 

Madewa masih berharap, agar gadis ini mau 

kembali ke jalan yang benar.

Cinta memang mengalahkan segala-

galanya, membutakan semuanya. Jika cinta tak 

kesampaian, dia akan berubah menjadi dendam 

yang mengalahkan segala-galanya! Tetapi bagi 

yang bersabar, semua itu bisa ditahannya.

Tiba-tiba terdengar lengkingan Nindia. Dia 

sudah bergerak menyerang. Madewa pun berbuat 

yang sama. Tak ada jalan lain, dia harus 

mempertahankan selembar nyawanya. Dua tubuh 

itu melesat ke depan saling memapaki.

"Des! Des!" 

Dua buah pukulan sakti itu beradu dengan


kerasnya. Menimbulkan kepulan asap dan suara 

yang menggetarkan. Dari kumpulan asap itu 

terlihat dua tubuh terpental ke belakang. Dari 

mulut kedua-duanya mengeluarkan darah. 

Rupanya kedua pukulan sakti itu seimbang. 

Mendadak di saat tubuh Nindia masih tergeletak, 

Paksi Uludara menyerang, dengan sisa tenaganya.

Tetapi dia lupa, kesaktian dewi saat itu 

sangat tinggi. Nindia berguling seraya 

mengibaskan tangannya. Dua larik sinar merah 

melayang dan menghantam hangus Paksi 

Uludara.

"Ketua!" seru Madewa Gumilang terkejut, 

susah payah dia bangkit dan memburu. Tubuh 

Paksi Uludara hangus. Nafasnya masih terdengar 

walau putus-putus.

Ia menahan nyeri yang amat sakit. 

Perlahan matanya terbuka, menatap Madewa 

dengan tatapan yang redup.

"Madewa... ajal menantiku... di sini... 

Hanya satu pesanku... kau... pim... pinlah... 

perguruan Topeng Hi... tam... salam untuk.... 

murid... ah...."

Tubuh gagah itu terkulai dan hilang 

nyawanya. Madewa memandang sedih tubuh 

Paksi Uludara. Tetapi begitu mendengar kekehan 

Nindia, dia bangkit dengan marahnya. Tak ada 

jalan lain, dia harus membunuh wanita sesat ini!

Tetapi kesaktian gadis itu benar-benar luar 

biasa. Madewa hendak menggunakan senjatanya, 

seruling naga warisan Ki Rengsersari, mendiang


gurunya. Tetapi dia ingat, anak dan istrinya 

berada di sini. Keduanya bisa mati kelojotan 

mendengar suara seruling itu.

Tahu-tahu Madewa berkelebat. Pukulan 

bayangan sukma menerjang Nindia yang berkelit 

dan menghantamkan pukulan saktinya. Saat 

serangannya luput, Madewa menenangkan 

jiwanya. Menurunkan rasa marahnya.

Mendadak keajaiban itu terjadi, Ketika 

Nindia hendak menyerangkan pukulannya, 

tubuhnya mendadak terjengkang ke belakang dan 

bergulingan muntah darah.

Pukulannya menerjang dia sendiri! Itulah 

keajaiban yang terjadi pada Madewa setelah dia 

menghisap sari rumput kelangkamaksa. Rumput 

sakti yang hanya dimiliki oleh para dewa.

Tubuh yang muntah darah itu berusaha 

bangkit, tetapi ambruk kembali. Madewa berbalik, 

hendak melontarkan pukulan jarak jauhnya. Dia 

ingin menghabisi saja Nindia yang sudah menjadi 

gadis setan.

Tetapi dia menurunkan tangannya. 

Kasihan melihat gadis itu merintih. Lagipula, dulu 

gadis itu amat dikasihinya. Dan gadis itu bisa 

menjadikan obat penyembuh bagi Nadia.

Perlahan Madewa menghampiri Nindia 

yang tengah menahan sakit. Serangannya tadi 

sangat luar biasa. Dan tanpa disangka serangan 

itu berbalik memakannya sendiri. ."Putri...."

Mata Nindia meredup. 

"Madewa... maaf... maafkan aku... Ah...


aku telah banyak dosa. Dan benar katamu... 

perbuatanku tak terampuni...."

"Sabar putri… bertahanlah...."

"Kurasa... ajalku sudah tiba, Madewa.... 

Sampaikan salam maafku kepada ayah dan ibu.... 

Katakan saja, bahwa putrinya telah mati di 

tengah jurang.... Madewa... berbahagialah engkau 

dengan Ratih Ningrum... juga putramu.... Terus 

terang, aku iri pada mereka, yang telah merebut 

hatimu... Sampai mati pun kubawa cintaku 

padamu... Cintaku tak akan hilang... dan... aku... 

ingin kau mati bersamaku hari ini!"

Nindia tiba-tiba melayangkan pukulannya. 

Tetapi dia salah perhitungan. Pada saat tenang 

begitu, keajaiban rumput kelangkamaksa 

berfungsi. Tak ayal lagi, kembali pukulan itu 

menghantamnya sendiri dan meninggal dengan 

muntah darah.

"Putri Nindia!" seru Madewa terkejut. 

Tetapi gadis itu telah pergi untuk selama-

lamanya. Heran, bibirnya tersenyum. Seolah 

berbahagia bisa mati dekat orang yang 

dicintainya.

Madewa tersendat. Entah kenapa dia 

terisak. Baru kali ini dia terisak selama 

petualangannya. Dibelainya pipi Nindia dengan 

lembut. Dulu pipi itu milik seorang gadis yang 

manis dan manja, tetapi kini milik seorang gadis

yang mati dalam kesesatan. 

Madewa menengadah, menatap atap gua 

dan pancarannya sampai ke langit.


"Maafkanlah segala perbuatannya, 

Gusti...."

Sesudah itu dia mencari Ratih Ningrum 

dan Pranata Kumala. Mereka berpelukan dengan 

gembira. Madewa menguburkan mayat-mayat itu 

di dalam gua. Gua yang menjadikan tempat 

terakhir bagi mereka, juga Paksi Uludara!

Ketika menguburkan tubuh Nindia, 

sesuatu jatuh dari angkinnya. Sebuah keris 

berwarna merah. Itulah keris Naga Merah yang 

dicurinya dari gurunya di gunung Muria.

Ratih Ningrum terharu melihat kesetiaan 

cinta Nindia pada suaminya. Kalau tahu semua 

akan jadi begini, dulu lebih baik dia tidak mencari 

kekasihnya. Biarlah Nindia berbahagia dengan 

kekasihnya.

Nindia merupakan contoh orang baik yang 

menjadi jahat. Banyak manusia yang seperti itu, 

yang selalu menurutkan hawa nafsunya dengan 

jalan apa pun, asal semuanya terpuaskan!

Selesai menguburkan semuanya, Madewa, 

istrinya dan anaknya pergi ke rumah 

Abindamanyu, hendak memberitahukan semua 

kejadian itu.

Sesampai di sana, ada ramai-ramai di 

rumah itu. Rupanya, Nadia sudah meninggal 

dunia tadi malam. Begitu mendadak. Tanpa 

sempat berpesan apa-apa. Dia sudah gembira di 

akhir ajalnya dapat bertemu dengan putri 

tersayangnya.

Nadia tidak tahu, putrinya yang selama ini


menemaninya adalah Nindia palsu alias Dahlia 

Merah.

Semua itu merupakan teka-teki yang tak 

terjawabkan bagi Nadia sampai ke liang 

kuburnya.

Setelah semua urusan itu diselesaikan, 

Madewa berpamitan. Mereka langsung menuju ke 

perguruan Topeng Hitam. Madewa Gumilang 

hendak menjalankan semua amanat Paksi Ulu 

dara walau sebenarnya dia enggan.

Murid-murid Paksi Uludara menerima 

semuanya dengan tabah. Dan di bawah pimpinan 

Madewa Gumilang, perguruan Topeng Hitam men 

julang namanya. 

Tetapi diam-diam ada beberapa orang yang 

iri, apalagi Madewa diketahui memiliki keris Naga 

Merah, keris sakti punya kakek sakti di gunung 

Muria



TIGA



Di bawah lereng pegunungan sebelah timur 

sana, merupakan daerah yang terindah. Banyak 

lembah dan hutan rimba yang liar tak jauh dari 

sana. Hanya di bawah pegunungan itu saja 

banyak terdapat dusun-dusun kecil yang hanya 

terdiri dari beberapa kepala keluarga yang 

sederhana. Hidup mereka sangat sederhana. 

Hidup hanya dari bertani dan berburu.

Hari itu udara sangat cerah. Matahari baru


muncul dari peraduan. Para penduduk bekerja 

dengan giat, demi mencari penghidupan keluarga 

mereka.

Dusun-dusun itu merupakan sebuah 

daerah yang tentram. Apalagi telah lama di sana 

bercokol sebuah perguruan silat yang sudah 

menjulang namanya. Perguruan Topeng Hitam.

Dulu perguruan Topeng Hitam dipimpin 

oleh seorang ketua yang bernama Paksi Uludara, 

seorang jago pedang yang amat tangguh. Tetapi 

sejak empat tahun terakhir, perguruan itu tidak 

lagi dipimpin oleh Paksi Uludara, karena beliau 

telah menemui ajalnya di tangan Nindia atau 

Dewi Cantik Penyebar Maut.

Dan sebelum ajalnya Paksi Uludara 

memberi amanat kepada Madewa Gumilang, 

seorang tokoh yang amat sakti, untuk memimpin 

perguruan Topeng Hitam (baca: Petaka Cinta 

Berdarah).

Di bawah pemimpin baru itu, keadaan 

perguruan Topeng Hitam semakin tangguh. 

Bahkan diakui sebagai perguruan terbesar saat 

itu. Selain, ketua mereka yang baru amat disegani 

kawan maupun lawan, istrinya pun seorang 

pendekar wanita yang hebat. Dia bernama Ratih 

Ningrum. Wanita yang pandai pula memainkan 

pedang.

Semakin tinggilah nama perguruan Topeng 

Hitam. Tetapi biar begitu, ada pula beberapa 

perguruan silat yang iri pada nama besar mereka.

Salah satu perguruan yang amat membenci


mereka adalah perguruan Cakar Naga. Mereka 

dulu adalah perguruan yang amat tinggi, tetapi 

sekarang berada di bawah kedudukan perguruan 

Topeng Hitam.

Ketua perguruan Cakar Naga bernama Resi 

Sendaring, seorang laki-laki berusia empat puluh 

tujuh tahun yang tinggi ilmunya. Jurus-jurus 

cakar naganya amatlah tangguh. Dia didampingi 

oleh enam bawahannya yang tangguh pula.

Pagi ini Resi Sendaring sedang awut-

awutan pikirannya. Sejak dikalahkan oleh 

perguruan Topeng Hitam; hadiah dan salam 

perguruan yang di bawahnya beralih ke 

perguruan Topeng Hitam yang berarti hilanglah 

pemasukan yang amat penting.

Resi Sendaring benar-benar geram. Dia 

tidak menginginkan hal itu berlanjut terus 

menerus. Akhirnya dia memanggil enam 

bawahannya untuk berunding. Mencari jalan 

untuk mengambil alih kembali kejayaan nama 

perguruan Cakar Naga. 

Enam bawahannya itu terdiri dari dua 

wanita tangguh dan enam laki-laki yang tangguh 

pula. Kesaktian dan nama mereka sudah 

menjulang, merupakan tokoh-tokoh hitam 

golongan sesat. Mereka dulu membuat nama 

mereka menjulang dengan sendiri-sendiri. Tetapi 

karena telah takluk oleh Resi Sendaring mereka 

mengabdikan diri. 

Mereka terdiri dari Madurka, seorang laki-

laki yang bertubuh gemuk. Tangan kiri orang


buntung, diganti dengan sebuah besi yang 

ujungnya lancip. Dia bergelar, Orang Cacat Sakti.

Di samping orang itu duduk seorang 

wanita setengah baya. Wanita itu memakai 

kerudung putih. Sikapnya manis dan sopan. Dia 

bergelar Dewi Mulia Berhati Busuk. Wajah dan 

pakaiannya saja yang kelihatan baik, tetapi 

semua itu palsu. Karena dia adalah wanita yang 

sangat kejam.

Di samping wanita itu duduk pemuda 

tampan yang selalu tersenyum. Dia masih sangat 

muda. Tabiatnya aneh. Kadang seperti orang 

sinting. Dia sangat ahli dalam melempar senjata. 

Pemuda itu bernama Angkasena dan dia berjuluk 

Iblis Berwajah Bocah.

Di hadapan ketiga orang itu duduk pula 

tiga orang yang lain wajah dan tingkahnya. Yang 

berhadapan dengan Madurka, seorang pria 

setengah baya yang sangat kurus. Saking 

kurusnya tulang-tulang pria itu bertonjolan 

keluar. Di pinggangnya menyantel sebuah pedang 

tipis yang tajam. Pria itu bernama Tidasewu. Pria 

diberi julukan Dewa Pedang, karena permainan 

pedangnya amat hebat.

Di samping Tidasewu duduk seorang 

wanita yang berwajah buruk. Sebelah matanya 

picek. Bibirnya tebal. Di bagian kulit wajahnya 

bertonjolan luka yang menjijikkan. Tetapi 

mengherankan, karena anggota tubuhnya yang 

lain sangat halus, dan mulusnya. Tidak ada luka 

yang mengerikan macam di wajahnya. Wanita itu


bernama Sumpila. Wanita itu sangat hebat 

kesaktian dan kepandaiannya. Jurus-jurusnya 

amat tangguh, yang merupakan gerakan dari 

burung bangau. Dia berjuluk Dewi Buruk Rupa. 

Dan yang terakhir adalah seorang pria yang 

kelihatan genit. Beberapa kali lidahnya menjilat 

bibirnya. Dan dia mengikik selalu. Pria itu 

bernama Aryo Gembala. Seorang pria dari lereng 

gunung pengging yang bergelar Banci Murah 

Senyum. 

Itulah orang-orang yang dikumpulkan oleh 

Resi Sendaring. Rata-rata orang itu semua pernah 

dikalahkannya, yang menandakan betapa 

tingginya ilmu kesaktian Resi Sendaring.

Resi Sendaring mengemukakan masalah 

yang menjadi ganjalan hatinya terhadap 

perguruan Topeng Hitam dan kebenciannya 

kepada ketua perguruan itu yang bernama 

Madewa Gumilang.

Orang-orang yang dipanggilnya itu 

mengangguk setuju ketika Resi Sendaring berkata 

akan menyerbu ke perguruan itu.

"Jalan itu adalah jalan yang baik di rimba 

persilatan, Resi," kata Madurka sambil 

mengusap-usap tangan kirinya yang berbentuk 

besi lancip.

"Ya, aku pun setuju dengan usul itu," 

dukung Tidasewu yang juga amat membenci pada 

Madewa Gumilang. Dia adalah sahabat erat 

Krampelaksa, ketua perkumpulan Telapak Naga 

yang tewas di tangan Madewa (baca: Dendam


Orang-orang Gagah). Telah lama Tidasewu 

mencari kesempatan yang baik untuk 

membalaskan dendam itu.

Dan saat ini rencananya itu akan segera 

terlaksana. 

"Kalau begitu, bagaimana cara kita 

mengatur strategi yang baik?" tanya Sumpila, 

Dewi Buruk Rupa. Dia pun iri terhadap 

kecantikan istri Madewa yang bernama Ratih 

Ningrum.

Resi Sendaring tertawa karena usulnya 

disambut dengan baik. Dia telah menyusun 

semua rencana itu dengan matang. Tinggal 

menunggu kesempatan untuk menjalankan 

semua itu. Tetapi itu pun tidak akan lama. 

Karena kesempatan sebentar lagi datang. 

"Rencanaku itu sudah ada di benakku, 

Sumpila. Kita menunggu waktu yang tepat untuk 

menyerbu ke sana," jawabnya dengan gembira.

Nimas Sertani alias Dewi Mulia Berhati 

Busuk, angkat suara, "Resi Sendaring yang 

kuhormati, aku pernah mendengar nama Madewa 

Gumilang. Kalau tidak salah, dia adalah murid 

seorang tokoh legenda yang sakti, Ki Rengsersari 

atau Pendekar Ular Sakti, benarkah itu?"

Resi Sendaring mengangguk mengiyakan.

"Ya, dia merupakan murid tunggal tokoh 

legendaris itu, yang kesaktiannya pun tak kalah 

dengan Ki Rengsersari. Bahkan dia memiliki ilmu 

simpanan gurunya...."

"Kesaktian macam apa itu, Resi?" tanya


Nimas Setani lagi. 

"Sebuah pukulan yang amat hebat. 

Pukulan Bayangan Sukma."

Sampai di situ Resi Sendaring berkata, 

terdengar seruan kaget. Pukulan Bayangan 

Sukma, pukulan yang amat saktinya. Tak ada 

satu pun yang bisa menandingi pukulan sakti itu.

Tetapi mereka bukanlah tokoh-tokoh 

golongan sesat yang baru mencuat namanya. 

Pukulan macam itu tidak membuat mereka jeri. 

Mereka sudah tertawa-tawa lagi. Bahkan 

keinginan untuk menjatuhkan perguruan Topeng 

Hitam semakin menggebu-gebu.

Sebuah rencana telah disusun oleh Resi 

Sendaring adalah rencana yang hebat dan 

mantap. Membuat Resi Sendaring sendiri amat 

yakin akan rencananya. Pasti rencana itu akan 

berhasil dan membawa kembali nama perguruan 

Cakar Naga menguak di atas bumi ini.

Setelah terjadi tanya dan jawab di sana-

sini, akhirnya Resi Sendaring mengemukakan 

rencananya. Rencana itu hebat namun keji.

Suatu rencana yang berada di luar dugaan 

enam orang bawahannya. Bahkan mereka merasa 

jeri untuk melakukannya. Namun mereka adalah 

abdi-abdi Resi Sendaring yang setia. Walaupun 

dari golongan sesat, tetapi kesetiaan mereka jaga 

sebagai seorang pendekar. Sebagai tokoh kelas 

utama!

Resi Sendaring telah mengatur rencana itu 

sedemikian rupa sehingga nampak merupakan


sebagai bantuan, padahal di balik semua itu 

terselip rencana terselubung yang amat keji.

Resi Sendaring tertawa ketika mendengar 

jawaban dari bawahannya. Mereka setuju untuk 

membantu. Bahkan rela mengorban nyawa sekali 

pun. 

"Kalian tak perlu kuatir...." kata Resi 

Sendaring sambil tetap tertawa. "Nyawa kalian tak 

akan hilang dalam rencana ini. Aku tahu, kalian 

adalah pendekar-pendekar yang tangguh, bisa 

melindungi nyawa dari serangan apa pun. 

Lagipula, aku menjamin... keselamatan kalian 

akan terjaga. Kalian tahu, apa yang kuinginkan 

dari keruntuhan perguruan Topeng Hitam?" 

Resi Sendaring mengedarkan pandangan. 

Tetapi tak ada jawaban. Dan jawaban Resi 

Sendaring sungguh di luar dugaan mereka. 

Rupanya kali ini Resi Sendaring selalu membuat 

kejutan-kejutan.

"Aku menginginkan istri Madewa yang 

bernama Ratih Ningrum itu menjadi istriku...."

Semua terdiam. Resi Sendaring tertawa 

terbahak-bahak. Tawanya sedemikian kerasnya. 

Seakan membawa suara dan rencananya itu ke 

pelosok negeri.

Rencana yang keji!

***


EMPAT


Di perguruan Topeng Hitam, seperti biasa 

pagi itu murid-muridnya tengah berlatih. Mereka 

masih berlatih ilmu pedang warisan Paksi 

Uludara. Raja pedang yang amat tangguh. Jurus-

jurus pedangnya sangat hebat dan berbahaya.

Tak jauh dari mereka berlatih ada seorang 

anak laki-laki kecil yang mengikuti gerakan 

mereka. Dengan susah payah bocah itu mengikuti 

setiap gerakan. Di tangannya terpegang sebuah 

pedang yang terbuat dari kayu. Anak itu 

sepertinya berminat sekali dengan ilmu silat.

Anak itu baru berusia sembilan tahun. 

Kelihatan sekali kalau dia berbakat dalam ilmu 

silat. Setiap gerakannya walau agak kaku tetapi 

mantap.

Dia adalah Pranata Kumala, putra Madewa 

Gumilang dan Ratih Ningrum. Empat tahun 

tinggal di perguruan Topeng Hitam, membuatnya 

terbiasa dengan latihan-latihan seperti itu. Biar 

pun masih dilarang oleh orang tuanya, Pranata 

Kumala tetap berkeras ingin pandai silat. Apalagi 

ketika dia berumur lima tahun, dia telah 

diajarkan oleh ibunya beberapa gerakan silat. 

Dan anak itu telah pandai bersalto!

Beberapa menit kemudian, muncul seorang 

wanita muda yang cantik. Wanita itu kira-kira

berusia dua puluh sembilan tahun, tetapi 

sepertinya baru berusia dua puluh empat tahun.


Tubuhnya indah dan menggairahkan. Membuat 

setiap yang menatapnya tidak mau lepas dari 

pandangan.

Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa 

Gumilang. Ratih Ningrum juga mengajarkan ilmu 

pedang kembarnya. Dan secara tak langsung, 

Ratih Ningrum juga mempelajari jurus-jurus ilmu 

pedang perguruan Topeng Hitam.

Di perguruan besar itu, hanya Ratih 

Ningrumlah seorang wanita. Yang lain terdiri dari 

laki-laki. Tetapi walaupun begitu, Ratih Ningrum 

tidak minder. Bahkan sikapnya yang wibawa 

membuat murid-murid perguruan Topeng Hitam 

segan terhadapnya.

Ratih Ningrum adalah seorang pendekar 

wanita yang hebat. Dia pernah belajar kepandaian 

dari tiga orang gurunya yang tadinya merupakan 

pengawal pribadi ayahnya.

Namun diam-diam, ada salah seorang 

murid perguruan Topeng Hitam yang menaruh 

hati kepada Ratih Ningrum. Setiap kali melihat 

wajah Ratih Ningrum hatinya selalu bergetar. Dia 

bernama Bayuseta, orang yang berada di bawah 

pimpinan.

Tetapi tentu saja Bayuseta tidak berani 

bertindak secara terus terang. Dia hanya 

memendam rasa cintanya itu dalam hati. Dan 

menahan rasa cemburunya setiap kali Ratih 

Ningrum bicara dengan suaminya.

Saat ini Ratih Ningrum menghampiri 

putranya yang masih tengah berlatih dengan


sekali-sekali melirik ke samping, mengikuti 

gerakan yang lain.

"Pranata..." panggil Ratih Ningrum

Pranata Kumala menoleh, tidak 

menghentikan gerakanya. "Eh, Ibu! Selamat pagi, 

Bu!" 

"Selamat pagi.... Kau berlatih lagi?" Pranata 

mengangguk. Tetap tidak menghentikan 

gerakannya.

"Lihat, Bu. Bagaimana dengan gerakanku? 

Sudah mantap, bukan?" 

Ratih Ningrum tersenyum. Gerakannya 

memang mantap tetapi kuda-kuda anak itu 

begitu lemah.

"Coba kau perbaiki kuda-kudamu, Pranata! 

Kelihatan sekali betapa goyahnya kuda-kudamu."

Pranata memajukan kaki kanannya, 

menekuk sembilan puluh derajat dan kaki. 

kirinya terjulur ke belakang. Agak mantap. Ratih 

Ningrum tersenyum.

"Saat kau dalam posisi demikian, kekuatan 

tubuhmu sepenuhnya kau letakkan pada kaki 

kanan. Ingat, jangan kaki kiri."

"Baik, Bu." Pranata mengangguk, masih 

tak menghentikan gerakannya.

"Pranata... kalau kau ingin berlatih ilmu 

pedang, sebaiknya kau berada di deretan 

belakang mereka. Karena dengan begitu, kau 

tidak perlu melirik-lirik lagi. Karena banyak 

melirik kau lupa pada kuda-kuda dan 

gerakanmu. Mulai besok, kau harus berada di


belakang mereka. Dengan begitu kau mudah 

mengikutinya."

"Baik, Bu. Tetapi mana janji Ibu? Katanya 

Ibu ingin mengajarkan aku pukulan tangan 

seribu. Mana, Bu?"

Ratih Ningrum tersenyum.

"Mulai besok kau Ibu latih. Sekarang 

hentikan gerakanmu. Coba perlihatkan saltomu 

pada Ibu. Kau pasti jarang melatihnya, ya?"

Anak laki-laki itu menghentikan 

gerakannya.

Berkata dengan bersungut-sungut.

"Kata siapa aku tidak melatihnya? Ibu 

boleh lihat, betapa lihainya aku sekarang."

Sesudah berkata begitu, anak laki-laki itu 

tiba-tiba bersalto ke belakang. Hentakan 

tenaganya lumayan, karena itu jarak saltonya 

lumayan jauh pula.

Dia bergerak ke samping. Dua kali bersalto 

dengan cepat. Dan tiba-tiba bergerak ke depan. 

Tubuhnya melenting ke udara dan masih di udara 

tubuhnya berputar tiga kali! Sungguh gerakan 

hebat diperlihatkan Pranata Kumala.

Ia hinggap dan berdiri tepat di depan 

ibunya. "Bagaimana, Bu? Hebat, bukan?" 

"Lumayan," sahut Ratih Ningrum 

tersenyum lalu mengambil pedang kayu yang 

diletakkan Pranata di lantai tadi. "Sekarang jaga 

serangan ibu. Gunakan saltomu dengan baik. 

Ingat, pedang kayu ini bisa membuat tubuhmu 

merah..."


"Ibu tidak boleh memukulku," protes 

Pranata tetapi dia sudah bergerak menghindar 

dengan cepat, karena pedang kayu itu sudah 

menyambar tubuhnya.

"Aaaah, ibu!" jerit Pranata kalang kabut. 

Serangan ibunya demikian cepat, membuat 

Pranata harus berkelit lebih cepat lagi.

"Kau boleh membalas, Pranata!" seru Ratih 

Ningrum seraya mengirimkan satu tusukan ke 

perut Pranata. Pranata melenting ke atas. Hebat, 

masih di atas dia berbalik dan kakinya lurus ke 

arah wajah ibunya.

Ratih Ningrum sendiri agak terkejut, tetapi 

serangan itu tak ada manfaatnya baginya. Dengan 

satu tangkisan tangannya dia membuat serangan 

itu luput dan tubuh Pranata jatuh bergulingan.

Ratih Ningrum mengejar dengan sabetan 

pedang kayunya. Pranata berguling tetapi tiba-

tiba dia mengaduh. Ibunya sudah memutar 

tubuhnya dan pedang kayu itu menimpa kaki 

Pranata.

"Aduh, Ibu!" jerit Pranata kesakitan.

Ratih Ningrum tertawa. Tidak melanjutkan 

serangannya.

"Bagus, ilmu saltomu sudah hebat. Berarti 

ilmu meringankan tubuhmu sudah lumayan. Kau 

harus berlatih pukulan tangan kosong, Pranata. 

Ibu janji, mulai besok semua itu akan kau 

terima". Cuma ingat...." Ratih Ningrum 

menghentikan suaranya.

"Ingat apa, Bu?"


"Sebagai seorang pendekar, mengaduh itu 

pantang dilakukan. Kau telah melakukannya tadi. 

Ingat, kau tak boleh mengucapkannya lagi."

"Aku tadi kaget, Bu. Ibu menyerangku 

benar-benar, aku bingung!"

"Kalau ibu main-main, kau akan mudah 

menghindar. Itu namanya bukan berlatih! Dalam 

berlatih segala sesuatunya harus keras, karena 

dengan tak langsung menggembleng fisik dan 

mental!"

Pranata mengangguk mengerti. Dia tidak 

bersungut-sungut lagi. Ratih Ningrum lalu 

menyuruh putranya mengikuti kembali gerakan 

ilmu pedang yang masih dimainkan oleh murid-

murid yang sedang berlatih.

Dia sendiri hendak kembali ke dalam, tadi 

dia hanya menengok kemajuan Pranata Kumala. 

Diam-diam, di balik sebuah topeng salah seorang 

dari yang berlatih itu, terlihat tatapan penuh 

gairah cinta yang meledak-ledak. Tatapan milik 

Bayuseta yang hampir tak tahan memendung 

rasa cintanya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang 

menakutkan. Terkikik macam iblis. Serentak 

Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya dan 

melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas 

tembok yang mengelilingi perguruan Topeng 

Hitam itu.

Murid-murid yang sedang berlatih pun 

menghentikan latihannya. Mereka 

memperhatikan sosok tubuh yang selalu


mengikik itu. Suaranya mirip wanita, tetapi 

postur tubuhnya seperti orang laki-laki. Hanya 

wajahnya saja yang kelihatan manis.

Dia adalah Aryo Gembala alias Banci 

Murah Senyum, yang datang sesuai dengan 

rencana Resi Sendaring.

"Hi... hi... hik... kalian semua belum 

mengenal aku, kan?" tanyanya dengan suaranya 

yang merdu.

Ratih Ningrum membentak, "Sebenarnya 

kami tidak ingin mengenalmu, tetapi karena kau 

telah datang tanpa diundang, kami harus tahu 

siapa dirimu! Dan ada keperluan apa datang 

kemari?"

Aryo Gembala mengikik lagi.

"Kau pasti yang bernama Ratih Ningrum. 

Dan bocah cilik itu adalah putramu yang 

bernama Pranata Kumala. Sungguh bukan suatu 

omong kosong tentang kecantikan dirimu, Ratih. 

Istri ketua perguruan Topeng Hitam yang 

mashyur...."

"Tak perlu panjang lebar, Kisanak! 

Terangkan siapa dirimu sebenarnya!"

"Kau rupanya pemarah sekali, Nyonya 

Madewa Gumilang. Baik, baik.... Aku Aryo 

Gembala yang berjuluk Banci Murah Senyum.... 

Hi... hik... maksudku kemari, ingin menantang 

ketua Perguruan Topeng Hitam yang bergelar 

Pendekar Pukulan Bayangan Sukma...."

Ratih Ningrum menahan rasa marahnya. 

Melihat orang itu datang dengan meloncati


tembok saja dia tidak senang. Apalagi menantang 

suaminya. Ia menyuruh Pranata untuk berdiri 

berjajaran dengan murid-murid yang lain. Ratih 

Ningrum baru mengenal nama yang disebutkan 

tadi. Dia tidak merasa takut sedikit pun terhadap 

orang itu. Rasa geramnya semakin menjadi-jadi 

ketika Aryo Gembala ingin menantang suaminya!

Sudah berani dia! Punya modal apa? Tetapi 

Ratih Ningrum sadar, orang yang berani datang 

untuk menantang, pasti punya kesaktian dan 

kepandaian yang berarti.

Ratih Ningrum membentak, "Kau ingin cari 

mati rupanya! Tanpa alasan sedikit pun tahu-

tahu menantang suamiku!"

"Hik... hik... alasanku sudah jelas. Ingin 

mencoba kesaktian suamimu!"

"Suamiku sedang bersemadi di dalam. 

Tidak bisa diganggu!"

Aryo Gembala terkikik dan menyahut 

mengejek.

"Suamimu bukan orang yang pengecut, 

bukan? Katakan kepadanya, aku, Aryo Gembala 

datang untuk menantang atau... sekaligus 

mencabut nyawanya!"

"Bangsat!" Ratih Ningrum tak dapat 

menahan gejolak marahnya. "Kau tak perlu 

berhadapan dengan suamiku dulu, kau hadapilah 

aku!"

Aryo Gembala mengikik.

"Kau? Hi... hik..." tawanya mengejek.

"Ya, aku Ratih Ningrum, yang akan


membela nama baik suamiku...."

Aryo Gembala mengikik lagi. Dia melompat 

turun dengan ringannya. Kikikannya masih 

terdengar, bernada mengejek.

Rupanya beberapa orang murid perguruan 

Topeng Hitam, tidak bisa menahan diri melihat 

istri ketua mereka diejek demikian. Lima orang 

melesat ke depan. Siap dengan sepasang pedang 

mereka.

"Nyonya ketua, minggirlah!" seru salah 

seorang. "Biar orang sombong ini kami ajar adat!"

Ratih Ningrum mundur dua langkah. Aryo 

Gembala tertawa mengikik. Lucu menurutnya, 

ada orang yang berani nekat melawannya.

"Kalian hanya mengantarkan nyawa 

untukku...."

"Manusia sombong, kami peringatkan 

kepadamu untuk segera minggat dari sini, kalau 

tidak pedang kami akan mengantarkanmu ke 

liang kubur!" bentak salah seorang dengan 

pedang siap di tangannya.

Tetapi Aryo Gembala alias Banci Murah 

Senyum tidak gentar dengan gertakan itu. Karena 

orang itu belum juga mau pergi, kelima murid 

perguruan Topeng Hitam segera maju 

mengurung, mengambil siap tempur.

Aryo Gembala mengikik. Sikapnya tenang. 

Tiba-tiba kelima orang itu sudah bergerak dengan 

jeritan melengking. Aryo Gembala mengikik dan 

tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas dan 

bersalto ke belakang. Kelima orang itu segera


berbalik dan menyerang kembali:

Aryo Gembala mengibaskan tangannya dan 

menimbulkan dorongan angin yang amat kuat. 

Kelima orang itu jatuh tunggang langgang.

Sungguh hebat dorongan tenaga dalam 

Aryo Gembala. Ratih Ningrum sendiri terkejut. 

Kelima murid perguruan Topeng Hitam yang 

terkena serangan tadi muntah darah. Dada 

mereka teras sesak dan menyakitkan.

Ketika yang lain hendak maju membantu 

Ratih Ningrum merentangkan kedua tangannya! 

Menghalangi mereka untuk menyerang.

"Biar aku yang menghadapi orang ini!" 

desisnya seraya melangkah dan berhadapan 

dengan Aryo Gembala dalam jarak empat meter.

Aryo Gembala tersenyum mengejek 

menyambutnya.

"Kuminta Madewa Gumilang yang 

menghadapiku. Tapi baiklah, kalau kau ingin 

mencobanya! Tapi kurasa sia-sia, Nyonya cantik! 

Lebih baik kau ikut denganku untuk kujadikan 

selir!"

Merah pada wajah Ratih Ningrum. Ucapan 

Banci Murah Senyum itu sangat menjijikkan nya.

Dia membentak, "Kau menjijikkan sekali, 

Banci! Mulutmu harus dirobek!" Lalu melesat dan 

kirimkan sebuah pukulan ke arah Aryo Gembala.

Aryo Gembala mengikik dan masih 

mengikik dia mengelak dengan ringannya. 

Tubuhnya melesat dengan cepat dan balas 

menyerang.


Dengan mengandalkan ilmu meringankan 

tubuhnya, Ratih Ningrum menghindari setiap 

setangan itu dan balas menyerang pula.

Dengan ditonton oleh puluhan murid 

perguruan Topeng Hitam dan Pranata Kumala 

yang bersorak berseru "Pukul, Ibu! Hajar orang 

itu!" Ratih Ningrum dan Aryo Gembala berlaga 

dengan gigih. Saling serang dan membalas.

Tetapi sampai sejauh itu, belum ada 

kelihatan yang terdesak. Keduanya masih sama 

tangguh dan hebat. Serangan mereka lancarkan 

dengan cepat dan penuh tenaga.

Tetapi ketika memasuki jurus ke tiga 

puluh, kelihatan Ratih Ningrum terdesak. Kalah 

tenaga, dan nafas. Berkali-kali serangan 

berbahaya Aryo Gembala mengancam dirinya. 

Sebisanya Ratih Ningrum menghindar.

"Buk!" sebuah pukulan menghantam 

punggungnya. Ratih Ningrum terhuyung. Aryo 

Gembala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, 

dia langsung menerjang. Merasakan dorongan 

angin yang kuat, Ratih Ningrum berusaha 

menghindar dengan jalan bergulingan.

Serangan itu luput dan saat berguling 

Ratih Ningrum mengayunkan kakinya ke bawah.

"Des!"

Kakinya menghantam kedua kaki Aryo 

Gembala hingga banci itu jatuh tersungkur. Ratih 

Ningrum cepat berdiri sementara Aryo Gembala 

sudah berdiri pula.

"Tidak kusangka, permainan ilmu silatmu


lumayan juga, Nyonya Cantik! Pukulan tangan

seribu mengingatkan aku pada seorang tokoh 

keturunan Cina bernama Tek Jien!"

Mendengar nama itu disebutkan, Ratih 

Ningrum tertawa.

"Mungkin kau jeri mendengar nama tokoh 

itu disebutkan, Banci! Nah, ketahuilah, tokoh 

yang kau sebutkan tadi adalah guruku. Tek Jien 

Si Pukulan Tangan Seribu!"

Aryo Gembala berseru kaget. Jadi Ratih 

Ningrum murid Tek Jien itu. Mendadak 

kemarahannya naik. Ia menjadi semakin 

beringas.

Dia memendam sebuah dendam pada Tek 

Jien.

Dulu dia memiliki seorang istri yang amat 

cantik. Hidupnya tentram dan aman. Waktu itu 

Aryo Gembala belum menjadi seorang tokoh sesat 

yang disegani. Dia masih seorang petani yang 

bodoh dan sederhana.

Sampai suatu ketika istrinya jatuh cinta 

pada Tek Jien. Orang keturunan Cina yang 

datang hendak mencari pekerjaan. Istrinya nekat 

meninggalkannya untuk menikah dengan Tek 

Jien. Tetapi Tek Jien menolak karena wanita itu 

masih bersuami. Rupanya istri Aryo Gembala itu 

tidak mau mengerti. Dia tetap berkeras untuk 

menjadi istri Tek Jien, kalau tidak dia akan 

membunuh diri.

Tek Jien tetap dengan putusannya. Dia 

tidak akan menerima cinta wanita itu. Dan wanita


itu benar-benar menjalankan perkataannya, dia 

membunuh diri dengan jalan membuang diri ke 

laut.

Keadaan itu semakin membuat Aryo 

Gembala dalam kesedihan yang amat sangat. Dia 

tidak bisa melupakan istrinya, dan ke semua itu 

terjadi karena laki-laki bernama Tek Jien. Aryo 

Gembala bersumpah akan membunuh laki-laki 

itu.

Mulailah dia mengembara mencari seorang 

tokoh sakti yang mampu mendidiknya ilmu 

kepandaian dan kesaktian. Kebetulan sekali saat 

itu, seorang tokoh sesat sedang mencari murid 

untuk meneruskan perbuatannya. Dan Aryo 

Gembala diangkat menjadi murid.

Dia dididik kesaktian dan kepandaian yang 

hebat. Dalam selama hidupnya, Aryo Gembala 

telah bersumpah, tidak akan menikah lagi selain 

dengan istrinya. Dia sangat mencintai istrinya. 

Itulah sebabnya lambat-laun dia merubah 

tabiatnya menjadi seorang wanita, agar dia tidak 

bernafsu dengan wanita.

Tingkah lakunya pun kejam. Kadang 

membunuh dan merampok. 

Jadilah dia seorang tokoh sesat berjuluk 

Banci Murah Senyum. Kepada siapa saja dia 

selalu tersenyum. Namun kepada siapa saja dia 

ringan tangan.

Dan sekarang ini, baru dia dengar di mana 

orang yang dibencinya berada. Sekarang pun dia 

tengah berhadapan dengan murid orang itu.


Kebencian dan dendamnya semakin 

menjadi-jadi. Mendadak dia membuka jurus 

simpanan warisan dari gurunya itu. Jurus Naga 

Hitam Menembus Bumi.

"Ratih Ningrum," suaranya menggeram. 

"Gurumu adalah orang yang sangat kubenci. Dan 

hari ini, aku harus menumpahkan semua 

kebencianku itu kepadamu! Terimalah 

kematianmu, Ratih Ningrum!"

Ratih Ningrum pun bersiap. Rupanya Arya

Gembala benar-benar menginginkan nyawanya. 

Serangannya kali ini sangat berbahaya dan ganas. 

Dia memekik panjang ketika melesat menyerang. 

Tangannya berubah menjadi hitam dan 

gerakannya benar-benar ganas. Dorongan 

anginnya saja sudah menggetarkan, belum lagi 

pukulannya!

Ratih Ningrum tidak berani menangkis 

atau memapaki. Dia berkelit ke samping dan 

balas menyerang dengan tendangannya.

Aryo Gembala tiba-tiba memutar dan 

berbalik menangkis tendangan Ratih Ningrum.

"Des!"

Tubuh Ratih Ningrum jatuh terjengkang 

menerima tangkisan itu. Tenaga tangkisan Aryo 

Gembala kuat sekali dan membuat kaki Ratih 

Ningrum kesemutan.

Terdengar pekikan keras, Aryo Gembala 

sudah menerjang maju. Ratih Ningrum tidak 

mungkin bisa menghindar lagi.

Tiba-tiba terdengar pekikan pula yang


keras, sesosok tubuh meloncat menghalangi 

serangan itu. Tetapi tak kuasa menahan, karena 

tubuh itu langsung dihantam oleh pukulan naga 

hitam Aryo Gembala:

"Des! Des!"

Tubuh itu terhuyung dan ambruk. Ratih 

Ningrum yang merasa diselamatkan, bangkit dan 

menghampiri tubuh yang ambruk itu. Membuka 

topeng hitamnya. Dia adalah Bayuseta, pemuda 

yang memendam cinta pada Ratih Ningrum.

Banci Murah Senyum terkikik.

"Untung masih ada orang yang rela 

mengorbankan nyawanya untukmu, Ratih. Kalau 

tidak, kau sudah mampus di tanganku!"

Ratih Ningrum bangkit dan memandang 

marah.

"Kau pun harus mati di tanganku. Banci 

jelek!" serunya seraya mencabut sesuatu dari 

angkinnya. Sebuah keris yang indah dan 

berkilau. Dari keris itu mengeluarkan cahaya 

bening. Itu adalah senjata warisan dari gurunya 

yang bernama Patidina, si keris tunggal.

Dengan senjata itu Ratih Ningrum 

meneruskan perkelahiannya, sementara tubuh 

Bayuseta diangkat ke dalam oleh yang lain dan 

diobati.

Dengan keris di tangan, Ratih Ningrum 

kelihatan berada di atas angin. Tusukan-tusukan 

kerisnya sungguh hebat. Sangat cepat dan penuh 

tenaga. Berkelebatan ke sana-kemari. Namun 

suatu ketika, Aryo Gembala tepat memukul di


pergelangan tangan kanan Ratih Ningrum. 

Membuatnya kaget dan kerisnya terlepas.

Aryo Gembala tak membuang kesempatan 

lagi. Dia melesat dengan cepat, ingin menghabisi 

nyawa Ratih Ningrum sekarang juga.

Tetapi mendadak tubuhnya terhuyung ke 

belakang dengan deras dan menabrak tembok!

"Des!!"

Ratih Ningrum menoleh heran. Tapi dia 

langsung bangkit ketika melihat suaminya sudah 

berdiri. Rupanya suaminya yang menghalangi 

serangan tadi. Dia mengibaskan tangannya dan 

mendorong tubuh Aryo Gembala dengan pukulan 

jarak jauh yang hebat.

"Kakang," panggil Ratih Ningrum gembira. 

"Kau sudah menghentikan tapamu?"

"Semua sudah selesai, Rayi! Waktu yang 

kuperlukan hanya satu minggu. Rayi... siapa 

orang itu, mengapa dia kelihatan ingin 

membunuhmu?" tanya Madewa Gumilang. Dia

kelihatan sudah agak tua. Usianya sekarang 

sudah tiga puluh empat tahun. Tetapi tubuh dan 

wajahnya masih kelihatan tampan dan gagah.

Ratih Ningrum menceritakan dari mana 

laki-laki banci itu datang. Juga tentang dendam 

pada gurunya yang menjadikan laki-laki itu 

semakin bernafsu ingin membunuhnya.

Sementara itu Aryo Gembala sudah bangkit 

dan membentak jengkel, "Hhh! Seorang pendekar 

besar ternyata berjiwa pengecut, beraninya hanya 

main bokong!"


Madewa tersenyum bijaksana. Usia yang 

bertambah semakin menambah kewibawaannya.

"Aku hanya mengibaskan tangan saja, 

tidak membokongmu." 

Wajah Aryo Gembala memerah. Hanya 

dengan kibasan tangan saja dia sampai 

terpelanting ke tembok.

Dia membentak lagi, "Madewa Gumilang, 

hari ini aku datang untuk menantangmu! Sebagai 

seorang yang berjiwa kesatria, kau pasti 

menerima tantanganku! Larilah kalau kau 

seorang pengecut!"

"Untuk apa kau menantangku? 

Perkelahian itu tak ada gunanya. Akan 

menimbulkan sengketa bagi yang kalah, dan akan 

semakin sombonglah orang yang menang. Lebih 

baik, kau cabut tantanganmu itu. Bertamulah 

dengan sopan, jangan membuat tuan rumah 

marah."

"Kau bukan seorang pengecut, bukan? 

Nah, terimalah tantanganku!"

Selesai membentak begitu, tanpa banyak 

cakap lagi, Aryo Gembala sudah menyerang. Mau 

tak mau Madewa menyambut serangan itu. Selain 

ingin mempertahankan nyawanya, dia juga tidak 

ingin dibilang pengecut, apalagi hadapan murid-

muridnya.

Dia menangkis serang itu dan balas 

memukul.

"Des!"

Belum satu gebrakan, Aryo Gembala sudah


terkena pukulannya. Madewa telah mengeluarkan 

jurus Ular Mematuk Katak, jurus yang cepat dan 

hebat.

Aryo Gembala terhuyung. Wajahnya 

memerah menahan marah. Dia menyerang lagi 

karena masih penasaran.

Tetapi lagi-lagi Madewa menghantamnya. 

Bahkan dua kali mendaratkan pukulannya. Kali 

ini Aryo Gembala ambruk dan merasakan 

matanya berkunang-kunang. Tenaganya sudah 

terkuras tadi ketika menghadapi Ratih Ningrum, 

jelas saja dia kewalahan menghadapi Madewa.

Susah payah Aryo Gembala bangkit. Dia 

merasakan dadanya sesak kembali. Tetapi dia 

tidak menyerang lagi.

"Madewa... kau benar hebat, tapi aku akan 

datang lagi untuk menantangmu.... Dan satu soal 

lagi yang tak kalah pentingnya yang kubawa...."

"Apa itu?" tanya Madewa Gumilang. Dia 

pun tidak menyerang lagi. Lawan sudah kalah.

"Kau datanglah ke goa sebelah barat sana, 

di mana kuburan Paksi Uludara berada. Kau 

lihatlah apa yang telah terjadi dengan makam 

itu...."

Tubuh Aryo Gembala berkelebat dan 

menghilang. Madewa memburu, "Hei, kau belum 

menjelaskan semuanya!" Tetapi Aryo Gembala 

sudah menghilang dari pandangan

Madewa kembali lagi, apa yang telah terjadi 

dengan makam Paksi Uludara. Dan siapa 

sebenarnya orang itu, dari golongan mana dia


datang?

Makam yang setiap tahun dikunjungi dan 

sembayangi, kini apa yang telah terjadi.

Madewa merasa, ada persoalan yang gawat 

dalam hal itu. Dan dia teringat, ketika dia 

menguburkan mayat Paksi Uludara dia juga 

menguburkan sebuah pedang mustika yang 

bernama Pedang Sakti Naga Emas.

Apakah pedang itu yang menjadi masalah. 

Kemungkinan besar orang-orang jago akan 

mengambilnya. Dia harus segera ke sana untuk 

menyelidikinya.

Tiba-tiba dari dalam muncul seorang murid 

dengan wajah pucat, dan berkata setelah 

menjura, "Ketua dan Nyonya ketua, keadaan 

Bayuseta gawat! Harap ketua berdua sudi 

menengok!"

Serentak mereka berlari ke dalam. Pranata 

Kumala yang masih asyik mengkhayalkan andai 

kata dia seperti ayahnya, turut pula masuk.

Beberapa orang murid menjaga di depan. 

Mereka tidak memakai topeng lagi. Topeng hitam 

itu hanya digunakan jika ada hal yang penting 

dan latihan. Menjaga-jaga kalau serangan itu 

datang lagi.

***


LIMA


eadaan Bayuseta memang agak parah. Ia 

terluka dalam. Pukulan Aryo Gembala benar-

benar hebat.

Madewa Gumilang memeriksa keadaan 

Bayuseta. Ia meletakkan kedua telapak 

tangannya di dada Bayuseta. Bayuseta menjerit 

pelan, menahan sakit. Madewa menahan nafas 

dan mengeluarkan nafasnya perlahan-lahan dari 

hidung, sementara dari kedua tangannya 

mengalir dorongan tenaga panas dan meresap ke 

dada Bayuseta.

Bayuseta merasakan dadanya sudah tidak 

begitu sesak. Dan tubuhnya sudah agak enakan. 

Madewa memberikan dua buah pil penguat 

tubuh. Setelah itu Bayuseta membuka kedua 

matanya.

Madewa tersenyum.

"Bagaimana, Bayu?"

Bayuseta tersenyum, agak meringis.

"Sudah enakan, Ketua," desisnya pelan dari 

selintas melintas di benaknya akan keadaan Ratih 

Ningrum. Bagaimana keadaan wanita yang 

dicintainya dengan diam-diam itu?

Ketika mendengar suaranya, dada 

Bayuseta menjadi ringan. Wanita yang dicintainya 

masih dalam keadaan segar bugar

"Kau telah menyelamatkan nyawaku, 

Bayuseta...."


Bayuseta melirik. Duh, betapa cantiknya 

wanita itu. Sayang, dia istri ketua yang harus 

dihormatinya.

"Sudah sepatutnya hal itu kulakukan, 

Nyonya ketua...." desisnya dengan suara pelan.

"Walau bagaimana pun, nyawaku telah kau 

selamatkan. Aku berhutang budi padamu, 

Bayuseta," kata Ratih Ningrum lagi.

"Soal itu, tidak usah dipikirkan, Nyonya. 

Tak ada hutang budi dalam hidupku."

"Tidak, biar bagaimanapun aku berhutang 

budi padamu, Bayuseta. Suatu saat nanti aku 

akan membayar lunas hutangku itu...."

Bayuseta memejamkan matanya. Melihat 

wajah dan mendengar suara wanita yang 

dicintainya itu, dia sudah bahagia apalagi kalau 

wanita itu membalas budinya.

Suatu pikiran jelek mendadak melintas di 

benak Bayuseta. Sekaranglah jalan satu-satunya 

untuk memiliki Ratih Ningrum!

Rencana itu akan dijalankannya nanti. 

Madewa Gumilang beranjak meninggalkan tempat 

itu. Ratih Ningrum dan Pranata Kumala 

mengikutinya. Beberapa orang murid menjagai 

Bayuseta, karena keadaan pemuda itu masih 

lemah.

Madewa Gumilang duduk di kursi yang 

biasa diduduki oleh Paksi Uludara. Istrinya 

duduk di hadapannya dan Pranata Kumala sudah 

kembali bermain dengan pedang kayunya.

Tidak menghiraukan pikiran yang


menghantui di benak ayahnya.

Ratih Ningrum pun tidak tahu. Tetapi 

melihat suaminya duduk termenung, dia mulai 

menduga, pasti ada sesuatu yang sedang 

dipikirkan oleh suaminya.

Entah apa itu.

Ratih Ningrum mencetuskan 

keingintahuan nya, "Kakang... apa lagi yang kau 

pikirkan? Persoalan Aryo Gembalakah yang 

menyusahkanmu?" 

Madewa menghela napas.

"Iya, Rayi. Tetapi bukan Aryo Gembalanya 

yang menjadi masalah... tetapi perkataannya 

tentang makam Paksi Uludara."

"Ada apa sebenarnya dengan makam 

beliau?"

"Aku pun tidak tahu, Rayi." 

"Lalu bagaimana dengan tindakanmu?" 

Aku akan pergi untuk menyelidikinya 

sekalian menyembahyanginya.... Sudah tiga bulan 

sejak tahun ini kita belum pernah ke sana."

"Apa tidak perlu kau utus salah seorang 

untuk menengok, Kakang?"

"Biarlah aku sendiri yang ke sana. Aku 

kuatir, di sana akan terjadi apa-apa...." 

Rupanya masalah itu memang menjadi 

pikiran yang berat bagi Madewa. Makam Paksi 

Uludara sangat dihormatinya. Makam yang 

dianggapnya keramat! 

Madewa berkata lagi, "Rayi... besok aku 

akan berangkat. Kuminta kau menjaga perguruan


dan Pranata Kumala. Jika ada apa-apa, mintalah

bantuan dari murid utama. Tapi kurasa... kau 

mampu menangani semua persoalan yang 

datang."

Ratih Ningrum terdiam. Selama 

mengunjungi dan menyembahyangi makam Paksi 

Uludara mereka selalu bersama-sama dan kali ini 

suaminya akan pergi sendiri. Tentu saja hati 

Ratih Ningrum agak kecewa. Di samping tidak 

yakin akan mampu memimpin perguruan selama 

suaminya pergi.

Ratih Ningrum takut kalau dia pergi nanti, 

Aryo Gembala datang kembali membalas 

kekalahannya. Mungkin kalau dia sendiri masih 

bisa ditanganinya. Tetapi bagaimana jika Aryo 

Gembala datang bersama teman-temannya. Tentu 

dia akan kelabakan.

Tetapi semua itu tidak bisa dibantah lagi. 

Suaminya akan, pergi sendiri. Karena menurut 

dugaan Madewa, pasti ada sesuatu yang gawat 

pada makam Paksi Uludara!

Entah apa, dia pun tak tahu.

Dan untuk tahu, dia harus datang dan 

melihat sendiri apa gangguan itu.

***

Keesokan paginya, Madewa sudah siap-

siap hendak berangkat. Dia mengendarai seekor 

kuda jantan yang gagah. Seperti biasa, Madewa 

tidak membawa senjata apa-apa, kecuali senjata


warisan mendiang gurunya Ki Rengsersari. Yaitu 

sebuah seruling yang dinamakan Seruling Naga.

Seruling itu hampir sama bentuknya 

dengan seruling biasa, hanya di seruling itu 

terdapat gambar dua ekor naga sedang bertarung.

Dan keampuhan seruling itu lain dengan 

yang lain. Dengan sekali tiup seruling itu mampu 

membinasakan orang apalagi jika orang itu dalam 

keadaan marah. Semakin marah dia akan 

semakin termakan oleh suara seruling itu.

Dan bisa dikuasainya!

Ratih Ningrum melepaskan kepergian 

suaminya dengan sedih dan enggan. Entah 

kenapa dia merasakan sekali kalau kepergian 

suaminya akan membawa sebuah malapetaka 

bagi suami dan dirinya. Tetapi dia tidak tahu, apa 

malapetaka itu. 

Setelah berpesan pada istrinya agar 

berhati-hati, juga kepada beberapa orang murid 

utamanya agar menjaga perguruan dan istrinya 

dengan baik, Madewa menaiki kudanya.

Di saat itu terdengar suara, "Ayah! Ayah 

mau ke mana?!" 

Madewa tidak jadi menggebrak kudanya. 

Dari dalam Pranata Kumala yang baru bangun 

tidur, berlari menghambur keluar. Di dekat kuda 

ayahnya dia berkata lagi, "Ayah mau ke mana? 

Aku dan ibu tidak diajak?"

Madewa tersenyum. Turun lagi mengecup 

pipi putranya.

"Ayah mau pergi dulu. Kamu jaga ibu ya?"


"Ke mana, Yah?"

"Pokoknya tidak jauh dan ayah akan cepat 

kembali. Kamu mampu kan menjaga Ibu?"

"Beres!" anak itu mengacungkan 

jempolnya. Madewa melompat lagi ke punggung 

kudanya. Setelah berpesan sekali lagi terhadap 

istrinya, dia menggebrak kudanya. Kuda berlari 

dengan menyentak, meninggalkan debu yang 

mengepul akibat lompatan kakinya.

Kudanya lari demikian cepat, karena 

Madewa memang ingin cepat-cepat tiba di sana. 

Dia langsung mengarahkan lari kudanya ke 

tempat peristirahatan terakhir Paksi Uludara, 

yang jaraknya sangat jauh dari sana.

Hampir setengah hari Madewa melarikan 

kudanya. Ketika tiba di sebuah kota kecil, ia 

turun hendak makan. Sejak tadi perutnya lapar 

sekali. Aroma yang keluar dari rumah makan itu 

semakin membuatnya lapar.

Di dalam rumah itu hanya ada tiga orang 

yang sedang makan. Mereka terpisah-pisah. Dua 

orang laki-laki dan satu wanita. Wanita itu 

berwajah cantik. Ia memakai kerudung putih.

Madewa langsung mengambil tempat 

duduk dan memesan makanan serta lauknya. 

Lalu mulailah dia makan dengan nikmatnya, tak 

memperdulikan keadaan di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari 

luar, "Kalian cepat semua minggat! Tuan besar 

kalian ingin makan di sini!"

Beberapa orang berwajah seram dan


bertubuh besar, masuk dengan sikap yang 

sombong. Mereka menggebrak-gebrak meja dan 

tertawa-tawa. Dua orang laki-laki yang sedang 

makan langsung keluar dengan ketakutan. 

Keduanya sudah mengenal siapa orang-orang itu. 

Perampok kejam yang bergelar Lima Iblis 

Pencabut Nyawa!

Mereka tertawa mengejek melihat kedua 

orang tadi terbirit-birit. Tetapi langsung melotot 

marah karena dua orang lagi belum juga 

meninggalkan tempat itu.

"Bangsat!" menggeram salah seorang yang 

bernama Danuwending. Wajah orang itu penuh 

ditumbuhi kumis dan janggut yang lebat, 

membuat wajah orang itu nampak tak karuan. Ia 

menghampiri meja yang diduduki wanita

berkerudung putih, sementara empat orang 

temannya tertawa-tawa sambil duduk 

memperhatikan.

Madewa pun diam-diam memperhatikan. 

Tetapi dia tetap tenang, tidak beranjak pula. 

Karena menurut Madewa, dia harus melindungi 

wanita berkerudung putih itu. Kalau wanita itu 

pergi, dia akan pergi juga. Lagipula, dia belum 

diusir oleh orang-orang itu.

Sekarang wanita itu sedang digoda oleh 

Danuwending yang kesenangan karena wanita itu 

diam saja. Tetapi tidak menunjukkan ketakutan 

sedikit pun.

"He... he... kau masih manis, Nona. 

Kulitmu halus sekali," dengan ceriwis


Danuwending mencolek dagu wanita itu. Wanita 

itu hanya melengos, menepis tangan 

Danuwending dengan halus. Lalu tersenyum.

"Aku sedang makan, Kangmas. Jangan 

ganggu aku!" suaranya pelan dan mendayu-dayu 

membuat Danuwending kesenangan.

"Manis, bagaimana kalau kau tinggal di 

rumahku? Kau pasti akan senang."

"Saya sudah bersuami, Kangmas. Tidak 

bisa mengikuti, Kangmas."

Tiba-tiba Danuwending menggeram. 

Wanita itu sudah bersuami? Siapa suaminya. 

Akan dia rebut wanita manis ini dari tangan 

suaminya.

"Katakan, siapa suamimu? Dan di mana 

dia berada sekarang?"

Wanita itu tersenyum, tersipu.

"Dia... dia sudah meninggal, Kangmas. Dan 

tentu saja dia sekarang berada di pemakaman 

umum. Aku sendiri baru mengunjungi dan 

menyembahyanginya."

Sekarang Danuwending terbahak. 

Suaranya keras. Mulutnya bau. Wanita itu 

sampai menekap hidungnya. Lalu ia berdiri, 

hendak beranjak.

Danuwending menahan tangannya. "Kamu 

mau ke mana?"

"Aku harus pulang. Anakku menunggu di 

rumah," sahut wanita itu dan secara tidak diduga 

dia menepis tangan Danuwending dengan halus, 

tetapi dirasakan Danuwending agak menyentak.


Danuwending sendiri kaget. Tenaga wanita 

itu lumayan juga. Merasa tangannya terlepas, 

wanita itu membayar makanannya dan hendak 

pergi. 

"Tunggu, Nona!" seru Danuwending 

penasaran apalagi teman-temannya tertawa 

karena dia tidak berhasil menaklukkan wanita 

itu.

Wanita itu berbalik dan wajahnya 

menampakkan kejengkelan yang luar biasa. Tidak 

ada tanda malu-malu dan kemanisan wajahnya. 

Yang ada sorot mata yang mengerikan dan tiba-

tiba wanita, itu terkikik dengan suara yang 

menyeramkan.

"Hik... hik... kau mau apa, Danuwending?" 

Danuwending terkejut, wanita itu mengenal 

namanya. Juga teman-temannya, mereka 

serentak bangkit. Wanita itu mencurigakan.

Mereka serentak bangkit mengurung. 

Wanita itu hanya tertawa.

"Jadi ini yang bergelar Lima Iblis Pencabut 

Nyawa? Hik... hik... kalian tidak pantas 

menyandang gelar itu! Gelar kalian pantasnya 

Lima Monyet Nangkring di Pohon!" Wanita itu 

tertawa lagi.

Seketika wajah orang-orang itu menjadi 

geram. Wanita ini berani-beraninya mengejek 

mereka. Rupanya dia belum tahu siapa mereka.

Pemilik warung yang bertubuh gendut 

ketakutan menghampiri Madewa. Ia berkata 

dengan suara terburu-buru, "Raden, cepatlah


pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka 

menimpakan kesalahan kepadamu. Cepatlah, 

Raden...."

Madewa tersenyum, menenangkan pemilik 

warung yang ketakutan itu. 

"Tenanglah, Paman. Aku ingin menonton 

mereka. Lagipula, aku belum selesai makan, 

Paman."

Pemilik warung itu masuk lagi ke dalam, 

memanggil semua pelayannya dan mengunci 

pintu ruang yang berhubungan dengan rumah 

makan itu.

Terdengar bentakan keras, "Kau siapa, 

Nona? Sikapmu menantang kami terlalu berani!"

Wanita itu tertawa. "Baik, baik. Dan 

kuminta setelah mendengar namaku, kalian pergi 

dari sini. Dengarkan... namaku Nimas Sertani 

atau kalian mungkin lebih mengenal dengan 

sebutan Dewi Mulia Berhati Busuk...." wanita itu 

menghentikan suaranya karena wajah kelima 

orang itu terkejut dan pias. Dia mengikik.

"Cepat kalian bersujud untuk minta 

ampun!"

Tetapi mereka, adalah orang-orang yang 

kejam dan tak mengenal takut. Gelar wanita itu 

pun tidak membuat mereka takut. Malah 

kelimanya sudah mengambil senjata mereka yang 

berbentuk cambuk.

Dan menyabetnya hingga menimbulkan 

suara bergeletar.

Bukan hanya mereka saja yang terkejut,


Madewa pun demikian. Jadi ini orangnya yang 

telah lama dia dengar namanya

Terdengar tawa ngikik dari bibir Nimas 

Sertani yang mungil itu. 

"Kalian mau apa?"

"Kami ingin mencoba kesaktian Dewi Muka 

Berhati Busuk!" seru Danuwending dan sudah 

melancarkan serangannya. Cambuknya 

menyambar dengan cepat.

Nimas Sertani menghindar dengan jalan 

meloncat, tetapi cambuk-cambuk yang lain sudah 

menyambar, seolah takut tidak kebagian jatah.

Namun semua serangan itu dielakkan 

dengan baik oleh Nimas Sertani, wanita golongan 

sesat yang amat tinggi ilmunya. Kelima orang itu 

menjadi penasaran, mereka menyerang lagi 

dengan membabi buta. Namun lagi-lagi serangan 

itu tak menemui sasarannya dan agaknya Nimas 

Sertani sudah bosan dari tadi mengelak terus, 

kini dia balas menyerang.

Dengan mempergunakan ilmu 

meringankan tubuhnya, dia berkelebat ke sama-

kemari dengan cepat dan melancarkan pukulan 

dan tendangannya. Kelincahan dan 

ketangkasannya membuat kelima orang itu 

menjadi kalang kabut. Padahal Nimas Sertani 

tidak memakai senjata. Tetapi karena nama 

besarnya sudah mengejutkan kelima orang itu, 

kini serangan mereka menjadi kacau dan dengan 

mudahnya Nimas Sertani menjatuhkan mereka 

satu per satu.


Ia tertawa setelah menendang 

Danuwending hingga tersungkur di bawah kursi.

"Inilah upahnya bagi orang-orang ceriwis 

macam kalian! Kalian beruntung, hari ini aku lagi 

tak bernafsu untuk membunuh. Tapi lain kali, 

nyawa kalian tak ada ampunnya! Cepat kalian 

menggelinding dari sini!"

Nimas Sertani menendangi mereka satu per 

satu keluar. Kelima orang itu lari terbirit-birit. 

Lupa dengan nama besar mereka yang terkenal di 

dusun Kampil.

Nimas Sertani terbahak-bahak. Senang 

dengan permainan yang lucu tadi. Dia 

menggebrak meja dan berseru, "Pelayan! Di mana 

kau? Cepat ambilkan aku nasi lagi dengan lauk 

pauknya!"

Pelayan-pelayan yang mengintip itu, segera 

keluar dengan tergopoh-gopoh. Dua orang 

melayani Nimas Sertani makan dan beberapa 

orang lagi merapikan tempat yang agak 

berantakan.

Selesai makan, Nimas Sertani beranjak 

meninggalkan tempat itu. Sikapnya tenang, 

seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.

Madewa pun meninggalkan tempat itu. 

Benar-benar diluar dugaannya, kalau wanita itu 

ternyata Dewi Mulia Berhati Busuk. Seorang 

tokoh sesat yang amat lihai.

Madewa menaiki kudanya dan melanjutkan 

perjalanan. Matahari sudah beranjak dari

tempatnya di atas kepala. Sudah agak condong ke


barat, menandakan sebentar lagi hari sore dan 

malam akan datang.

Ketika Madewa melarikan kudanya, 

sesosok bayangan tubuh berkerudung putih 

berkelebat. Dia itu Dewi Mulia Berhati Busuk, 

yang tengah ditugasi oleh Resi Sendaring untuk 

memata-matai Madewa Gumilang!

Setelah Aryo Gembala gagal membunuhnya 

di perguruan Topeng Hitam, Resi Sendaring 

segera bertindak sesuai dengan rencananya. 



ENAM



Laki-laki itu berusia kurang lebih enam 

puluh lima tahun, tinggi kurus, namun 

langkahnya tegap dan gagah. Ia memegang 

sebuah tongkat yang terbuat dari bambu kuning. 

Dengan tongkat itu seakan menambah 

kegagahannya dan tidak menampakkan 

ketuaannya. Kumis, janggut dan rambutnya 

sudah putih semua.

Kakek itu bernama Ki Ageng Jayasih. Dia 

baru lima hari turun dari tempat kediamannya, di 

puncak gunung Muria. Luar biasa, kakek renta 

itu mampu menuruni gunung yang demikian 

tinggi dan landai itu, menandakan kakek itu 

bukan orang sembarangan.

Memang, Ki Ageng Jayasih adalah seorang 

pendekar yang bergelar Pendekar Sinar Merah, 

karena dari kedua tangannya bisa memancarkan


pukulan jarak jauh yang berupa sinar merah.

Keperluan turun gunungnya kali ini,

adalah mencari murid murtad yang bernama 

Nindia yang telah mencuri keris ampuhnya keris 

Naga Merah dan mencoba membunuhnya.

Ki Ageng Jayasih luput dari pembunuhan 

itu ketika dia sedang bersamadhi. Saat itu, 

pikirannya kosong dan jiwanya pun kosong. 

Muridnya yang Bernama Nindia diam-diam 

mengambil keris Naga Merah dan menikamnya 

dengan keris pusaka itu.

Ki Ageng Jayasih rubuh dengan berlumur 

darah dan secepat itu Nindia melarikan diri. 

Tetapi Ki Ageng Jayasih bukanlah pendekar tua 

yang sembarangan. Saat jiwanya kosong 

demikian, darahnya cepat berhenti dan dengan 

susah payah dia bangkit. Untung yang ditikam 

bagian punggungnya. Dengan menelan hati ular 

merah, lukanya dapat disembuhkan.

Dia menyangka muridnya itu akan kembali 

untuk minta maaf, tetapi ditunggu sampai 

delapan tahun, muridnya itu tidak pernah 

kembali. Ki Ageng Jayasih kuatir, kalau muridnya 

mempergunakan keris Naga Merah untuk 

kejahatan. Keris itu ampuh sekali, dapat 

menembus ilmu kebal macam apa pun.

Setelah delapan tahun itu, mulailah dia 

turun gunung. Ki Ageng Jayasih tidak tahu sama 

sekali, kalau murid murtadnya itu telah menemui 

ajalnya di tangan Madewa Gumilang dan keris 

Naga Merah sekarang berada pada pendekar itu


(baca : Petaka Cinta Berdarah). 

Dia akan mencari muridnya dan 

menghukumnya seberat-beratnya, padahal kalau 

muridnya datang untuk minta maaf dia akan 

mengampuni. Ki Ageng Jayasih terkenal sebagai 

orang yang welas asih. Sama siapa pun juga, baik 

lawan maupun kawan. Apalagi ini seorang 

muridnya, yang diambilnya karena muridnya itu 

kecewa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Ki Ageng Jayasih melangkahkan kakinya 

dengan tenang, santai dan ringan. Dia tidak ingin 

bertemu dengan muridnya buru-buru, dia masih 

mengharapkan muridnya itu akan datang 

kepadanya untuk minta maaf.

Karena selama lima hari dia berjalan terus 

menerus tanpa berhenti, akhirnya dia beristirahat 

di sebuah hutan kecil dan mulai membuka 

perbekalannya. Mulailah dia menikmati isi 

perbekalannya dengan lahap.

Tetapi belum lagi dia menyelesaikan 

santapannya, terdengar bentakan keras, "Siapa 

adanya yang berani beristirahat di daerah 

kekuasaanku!"

Sesosok tubuh gemuk pendek telah berdiri 

tak jauh dari Ki Ageng Jayasih yang sedang 

makan. Orang bertubuh pendek itu mendengus 

congkak jengkel karena hutan kecil ini adalah 

daerah kekuasaannya dan orang itu makan 

dengan seenaknya tanpa izinnya.

Orang pendek itu melangkah mendekati Ki 

Ageng Jayasih yang sudah memasukkan kembali


perbekalannya. Tangan kiri orang itu berkilat-

kilat tertimpa cahaya matahari, tetapi setelah 

dekat barulah Ki Ageng Jayasih melihat kalau 

tangan kiri itu terbuat dari sebatang besi bulat 

yang ujungnya lancip.

Diam-diam Ki Ageng Jayasih mengenal 

orang ini. Tangan kiri orang itu buntung akibat

pukulannya beberapa tahun yang lalu. Orang itu 

adalah Madurka, adik seperguruannya yang 

melarikan putri gurunya dulu dan dialah yang 

menyelamatkan gadis itu dengan memberi 

kenang-kenangan di tangan kiri Madurka dan 

rupanya sudah diganti dengan besi bulat itu.

Ki Ageng Jayasih mengangkat wajahnya 

dan tertawa. 

"He... he... kita bertemu lagi, Madurka," 

katanya sambil berdiri dan bertumpu di 

tongkatnya. "Hampir tiga puluh tahun kita 

berpisah, kini keadaanmu semakin hebat saja 

nampaknya."

Orang yang ternyata adalah Madurka itu 

terkejut. Ia memperhatikan orang tua itu dengan 

seksama dan terlintaslah di benaknya sebuah 

wajah yang tak mungkin terlupakan. Wajah yang 

bertahun-tahun dia pendam di hatinya, yang 

telah memberi kenangan pada tangan kirinya. 

Madurka terbahak.

"Ha... ha... rupanya Kakang Jayasih yang 

datang berkunjung ke tempatku ini. Apa kabar, 

Kakang? Keadaanmu tak banyak berubah seperti 

dulu. Sikapmu masih sopan dan baik...."


"Kabarku baik, Adi Madurka. Kau pun 

kelihatan baik, bukan? Kau nampak semakin 

gagah dan hebat. Ilmu kesaktianmu pasti tinggi."

"Jangan merendah Kakang Jayasih. Aku 

tahu kau pun pasti lebih hebat sekarang. Dari 

dulu pun aku tak bisa mengalahkanmu. Kakang 

Jayasih... masih ingatkah kau kejadian tiga puluh 

tahun yang lalu, ketika kau mengalahkan aku?"

"Aku tak pernah melupakannya, Adi 

Madurka."

"Aku pun demikian, Kakang. Bertahun-

tahun kupendam sakit hatiku kepadamu dengan 

banyak mempelajari ilmu kepandaian dan 

kesaktian. Aku kini menuntut padamu Kakang 

Jayasih."

"Tuntut apa, Adi Madurka?" tanya Ki Ageng 

Jayasih pura-pura tidak tahu.

"Aku menginginkan tangan kirimu pula

atau kalau bisa... nyawamu!"

Ki Ageng Jayasih tertawa pelan. "Rupanya 

kau belum melupakan perselisihan kita dulu. 

Sikapmu tak berubah, selalu berangasan dan 

penuh dendam. Aku sebenarnya datang bukan 

untuk mencarimu, tetapi untuk mencari murid 

yang telah membawa lari keris Naga Merah."

Madurka mendengus. Dendam telah 

membakarnya. Dulu dia kalah karena Ki Ageng 

Jayasih adalah kakak seperguruannya. Kini tak 

ada tanda itu, yang ada hanya dua orang yang 

berselisih. Dan Madurka yakin, dengan 

kesaktiannya yang dipelajarinya selama ini


mampu mengalahkan kakangnya."

"Kakang Jayasih, bersiaplah.... Aku akan 

menuntut balas atas buntungnya tanganku!"

Ki Ageng Jayasih tertawa. Belum bersiap 

pula. Madurka tak ambil perduli. Dia membuka 

jurusnya dan berseru, "Awas serangan, Kakang 

Jayasih!" Lalu dia melesat dan menyerang dengan 

ganas. Pukulannya penuh tenaga.

Ki Ageng Jayasih masih tertawa dan 

mengelak sedikit dengan jalan memiringkan 

tubuhnya. Pukulan itu luput, tetapi tangan kiri 

Madurka yang berbentuk besi itu menyambar ke 

arah leher. Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih masih 

tertawa. Ia merunduk sedikit dan menyodok 

tongkatnya menotok. Madurka menjerit kaget, 

tangan kirinya cepat menangkis gerakan itu.

"Tok! Tok!" 

Tongkat itu berbenturan dengan tangan Ki 

Madurka yang terbuat dari besi. Benturan itu 

membuat keduanya agak terhuyung ke belakang!

Rupanya benturan tadi sudah 

menggunakan tenaga dalam yang disalurkan 

melalui senjata mereka masing-masing, Madurka 

mendengus.

"Dari dulu kau hebat, Kakang Jayasih. 

Tetapi sambutlah kembali seranganku!"

"Keluarkan semua ilmumu, Adi Madurka. 

Aku pun ingin tahu sampai di mana 

kehebatanmu!"

Kali ini Madurka menyerang dengan lebih 

cepat dan ganas. Tangan kirinya menyambar


dengan cepat dan sekali-sekali membuat tusukan, 

Ki Ageng Jayasih juga berbuat hal yang sama. Dia 

mengimbangi kecepatan dan ketangkasan bekas 

adik seperguruannya.

Dua orang tokoh sakti bertempur sudah 

pasti sangat hebatnya. Kecepatan keduanya sukar 

diikuti oleh mata. Sambaran tongkat dan tangan 

besi keduanya seperti gulungan-gulungan hitam 

saja yang bergerak dengan sangat cepatnya.

Kadang kedua senjata masing-masing itu 

berbenturan dan menimbulkan suara yang 

nyaring. Keduanya semakin meningkatkan 

permainan mereka. 

Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih membentak 

keras dan mengibaskan tangan kirinya. "Sreeet!" 

Selarik sinar merah melesat ke arah Madurka.

Madurka terkejut, dengan sigap dia 

melompat ke samping, sinar merah itu melesat 

menghantam pohon hingga hancur berantakan. 

Madurka pias melihatnya. Dulu pun dia 

dikalahkan dengan pukulan sinar merah itu. 

Tetapi sekarang dia tidak gentar. Masih dalam 

keadaan melompat dia menerjang ke depan. 

Tangan kirinya lurus mengancam jantung. Ki 

Ageng Jayasih mengerakkan tongkat dan 

"Wuutt!" 

Tongkatnya setelah menangkis menyambar 

ke paha Madurka Madurka mengangkat kakinya 

dan bersalto sambil menendang. 

"Des!"

Tendangan itu sungguh cepat dan tepat.


Mengenai punggung Ki Ageng Jayasih yang 

langsung terhuyung ke depan. Lumayan sakitnya. 

Ki Ageng Jayasih berbalik dan tertawa.

"Luar biasa, gerakanmu semakin cepat 

saja, Adi Madurka. Tak sia-sia kau kabur dari 

perguruan."

"Kau pun luar biasa, Kakang Jayasih. 

Sinar merahmu masih merupakan momok 

bagiku. Tetapi hari ini, aku akan membalas lunas 

semua kekalahanku beberapa tahun yang lalu. 

Bersiaplah, Kakang Jayasih. Aku akan 

mematahkan tangan kirimu! Bersiaplah, Kakang!"

Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Madurka 

sudah membuka sebuah jurus, yang kelihatan 

ringan namun berbahaya. Walaupun tubuhnya 

gemuk, agaknya dia mampu memainkan jurus 

itu. Ki Ageng Jayasih mengenali jurus itu.

Dia berkata dengan nada menegur, "Adi 

Madurka! Kau tidak boleh memainkan jurus 

warisan guru. Jurus itu tidak boleh dimainkan 

sembarangan!"

"Kau jeri melihat jurus itu, Kakang 

Jayasih? Tak ada jalan lain, aku harus 

mematahkan lengan kirimu. Jurus Rajawali Sakti 

hanya aku yang diwariskan guru. Tapi kau juga 

mendapat sebuah ilmu sakti yang lain. Keluarkan 

Kakang Jurus Tangan Bayangan! Kita buktikan 

sekarang, siapa yang mampu bertahan dengan 

ilmu warisan guru!" 

Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku tidak 

ingin menggunakan ilmu warisan guru terhadap


saudara seperguruan! Kau pun seharusnya 

demikian, Adi Madurka!"

"Masa bodoh!" Madurka keras kepala. Dia 

yakin, selain ilmu Rajawali Sakti dia tidak akan 

mampu menandingi kakak seperguruannya. 

"Bersiaplah, Kakang! Kau akan berkenalan lagi 

dengan Rajawali Sakti!"

Tiba-tiba Madurka mengangkat kedua 

tangannya ke atas, membentuk sebuah cakar. 

Kakinya terangkat satu. Sebenarnya lucu 

gerakannya, tetapi dalam gerakan itu tersimpan 

sebuah jurus maut yang hebat dan gerakannya 

pun menyentak, dengan tiba-tiba saja dia bersalto 

ke depan dan menyambar dengan cakarnya.

Ki Ageng Jayasih merunduk, tetapi tubuh 

gemuk itu memutar, kali ini tangan kirinya 

menyambar ke kaki. Ki Ageng Jayasih melompat 

dan lagi Madurka melancarkan serangannya. 

Menerkam dengan tangan kanannya. Beruntun 

dengan sangat cepat.

Susah payah Ki Ageng Jayasih menangkis

dan "Des!" sebuah pukulan bersarang di dadanya, 

yang langsung terasa sesak. Rupanya Mandurka 

benar-benar menginginkan lengan kirinya, dia 

bergerak lagi dengan cakar menyambar dan 

tangan kiri menusuk.

Ki Angeng Jayasih bersalto ke belakang da 

begitu hinggap di tanah, dia membuka sebuah 

jurus dan melempar tongkatnya ke samping. 

Madurka terbahak melihatnya.

"Akhirnya kau mainkan juga jurus Tangan


Bayangan!" serunya mengejek. 

"Tak ada jalan lain, Adi Madurka. Ilmu 

warisan guru harus dilawan dengan ilmu warisan 

guru pula. Kini aku siap menandingimu." 

"Baik! Tahan seranganku, Kakang Jayasih!"

Kembali dua tenaga dan ilmu sakti saling 

beradu. Saling serang dan membalas. Keduanya 

benar-benar hebat dan mengandalkan kekuatan 

dan kelincahan, ketangkasan, serta ilmu warisan 

guru mereka, mendiang Sunan Bonang.

Gempuran-gempuran itu membuat 

suasana di hutan kecil itu seperti kedatangan 

puluhan banteng liar. Beberapa pohon tumbang 

terkena pukulan dan tendangan. Juga sekali-

sekali Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan 

sinar merahnya yang menghantam pohon hingga 

kering dan hangus.

Tiba-tiba Madurka memekik, tubuhnya 

melompat di udara. Tangan kanannya 

menyambar ke kepala Ki Ageng Jayasih. Dia 

rupanya sudah sampai pada titik tinggi ilmu 

Rajawali Saktinya. Ki Ageng pun berbuat yang 

sama. Dia pun melompat dan memapaki serangan 

itu dengan jurus Tangan Bayangannya, yang 

membuat tangan itu bergerak seperti bayangan. 

Tak kelihatan gerakannya, hanya dorongan 

anginnya yang masih bisa membuat Madurka 

menangkis.

Dua tenaga itu saling berbenturan dengan 

keras dan tubuh keduanya ambruk ke tanah 

dalam keadaan muntah darah. Sama-sama


menderita luka dalam.

Ki Ageng Jayasih bangkit lebih dulu, 

rupanya dia tidak begitu parah lukanya. 

Kemudian menyusul Madurka yang agak 

terhuyung. Dadanya sakit sekali. Tangannya pun 

terasa mau patah.

Ia menatap kakak seperguruannya dengan 

geram.

"Rupanya Yang Kuasa belum menghendaki 

aku menang.... Tunggulah aku lagi, Kakang 

Jayasih! Aku akan tetap mencarimu dan tak akan 

melupakan semua yang telah terjadi di antara 

kita...!"

Lalu dengan menahan sakit dadanya dan 

sakit hatinya, Madurka meninggalkan tempat itu 

dengan terhuyung. Ki Ageng Jayasih pun 

menahan rasa sakitnya. Dia menelan pil yang 

disimpan di kantung perbekalannya. Lalu 

mengambil tongkatnya dan meninggalkan tempat 

itu

Dia tidak menyangka, akan berjumpa 

dengan adik seperguruannya, yang ternyata 

masih mendendam dan tidak melupakan 

kekalahannya dulu.

Lebih baik dia mencari tempat untuk 

menetap selama beberapa hari, memulihkan luka 

dalamnya. Nanti setelah sembuh, dia akan 

mencari muridnya dan keris Naga Merah pusaka 

kebanggaannya.


TUJUH


Malam pekat. Bulan bersinar dengan 

terang, memang saat itu bulan purnama. 

Keheningan malam terasa amat mencekam.

Dari perguruan Topeng Hitam, menyelinap 

sesosok tubuh dengan ringannya. Gerakan orang 

itu cepat dan agaknya dia menggunakan ilmu 

meringankan tubuh untuk berlari.

Setelah agak jauh dari perguruan itu, 

orang itu berhenti. Membuka topeng hitamnya, 

dan menyelipkan di balik pakaiannya. Wajah 

orang itu tertimpa cahaya bulan dan terlihat 

seraut wajah persegi namun tampan, dia adalah 

Bayuseta.

Bayuseta yang mempunyai pikiran jelek 

setelah Ratih Ningrum berkata telah berhutang 

budi padanya, dia akan mencari jalan agar Ratih 

Ningrum mau tak mau akan mengabulkan 

permintaannya, sebagai balas budi yang telah dia 

lakukan.

Dan itu akan dilakukannya agar Ratih 

Ningrum mau menerima cintanya.

Menurut aturan yang dimiliki perguruan 

Topeng Hitam, dilarang murid-murid untuk 

keluar tanpa izin, apalagi jika sang ketua tidak 

ada. Namun Bayuseta sudah beberapa kali 

melakukan hal itu. Dia adalah seorang pemuda 

mata keranjang yang tak tahan menahan nafsu 

birahinya jika melihat wanita cantik. Dia selalu


menyelinap keluar untuk melampiaskan nafsu 

setannya di tempat-tempat pelacuran.

Tetapi kali ini, keperluannya lain. 

Persaingan antara perguruan Topeng Hitam 

dengan perguruan Cakar Naga, bukan berita baru 

di telinga Bayuseta. Dia akan mempergunakan 

kesempatan itu untuk bisa merebut Ratih 

Ningrum dari tangan ketuanya sendiri!

Bayuseta kembali mempergunakan ilmu 

meringankan tubuhnya. Dengan cara itu, dia 

hanya sebentar saja tiba diperguruan Cakar Naga 

yang jauh jaraknya. Ia menenangkan nafasnya 

sebentar. Lalu bersalto ke tembok perguruan itu. 

Tak ada seorang pun penjaga di sana. 

Tetapi begitu dia menjejakkan kakinya, 

bermunculan belasan penjaga siap dengan 

senjata masing-masing. Bayuseta jerih juga 

melihatnya. Tetapi dia mengambil sikap tenang, 

memang harus menempuh bahaya kalau ingin 

berhasil, begitu hiburnya dalam hati.

"Maaf Saudara-saudara, namaku Bayuseta. 

Kedatanganku ada perlu dengan Resi Sendaring!" 

serunya keras.

"Ketua sedang sibuk!" bentak salah 

seorang. "Tidak bisa diganggu!"

"Masalahnya penting, Saudara! 

Perkenankan saya menemui Resi Sendaring!"

"Tidak bisa'" orang itu membentak lagi. 

Dan serentak tiga orang maju dengan sikap siap 

tempur. Bayuseta pun bersiap, menghadapi 

kemungkinan yang terjadi.


"Tahan!" terdengar bentakan keras dan 

sosok tubuh bersalto memasuki tempat di mana 

Bayuseta dikepung. Orang itu adalah Resi 

Sendaring. Kini melipat tangannya dan berdiri 

dengan gagah. Bajunya yang panjang berkibar 

ditiup angin malam. "Siapa kau, Orang muda?" 

tanyanya dengan suara yang angkuh. "Dan perlu 

apa mencariku?"

"Bayuseta menjura hormat, merasa 

beruntung karena Resi Sendaring sendiri yang 

muncul.

"Namaku Bayuseta, Resi. Kedatanganku ke 

mari adalah membawa suatu masalah yang amat 

penting."

"Hmm, apa itu?"

"Sekali lagi maaf, Resi. Ada baiknya kalau 

kita membicarakan masalah ini di dalam." 

Bayuseta menjura sekali lagi.

"Resi Sendaring terdiam. Mengusap-ngusap 

janggutnya yang putih. Tetapi kemudian dia 

mengangguk. 

"Baiklah, silahkan masuk, Bayuseta." 

"Terima kasih, Resi."

Resi Sendaring mendahului masuk. 

Bayuseta menyusul. Orang-orang yang 

mengurung tadi menjaga ke tempat semula. 

Sebenarnya kedatangan Bayuseta tadi sudah 

diketahui oleh salah seorang penjaga dan mereka 

bersembunyi dengan maksud menjebak. Sebelum 

terjadi pertumpahan darah, ketua mereka 

muncul.


Resi Sendaring mengajak Bayuseta ke 

tempat pribadinya. Sebuah ruangan yang agak 

besar. Ia menyuruh Bayuseta duduk.

"Nah, katakan apa maksud kedatanganmu, 

Orang muda?" 

"Maafkan aku, Resi yang kuhormati. 

Sebenarnya, aku murid perguruan Topeng 

Hitam..." Bayuseta menghentikan kata-katanya 

karena kelihatan Resi Sendaring sedikit kaget, 

tetapi setelah tidak menampakkan rasa 

kemarahan, Bayuseta meneruskan, "Saat ini 

ketua perguruan Topeng Hitam sedang tidak 

berada di tempat. Perguruan hanya dijaga oleh 

istrinya yang bernama Ratih Ningrum dan 

beberapa orang pilihan...."

Resi Sendaring memotong, "Lalu 

maksudmu apa, Bayuseta?"

"Resi... biarpun aku salah seorang murid 

dari perguruan Topeng Hitam, tetapi aku sangat 

membenci sang ketua, Madewa Gumilang. Beliau 

sangat sombong sekali tidak seperti Paksi 

Uludara. Dan aku kemari, mohon petunjuk dan 

bantuanmu, bagaimana caranya agar aku dapat 

mengalahkan Madewa Gumilang."

Tiba-tiba Resi Sendaring terbahak keras, 

sampai Bayuseta sendiri kaget mendengarnya.

"Jadi kau menginginkan kematian 

ketuamu, hah?" tanya Resi Sendaring gembira.

Bayuseta mengangguk mantap. Dengan 

dibunuh Madewa Gumilang, dia akan leluasa 

memiliki Ratih Ningrum. Soal itu gampang,


sebagai balas budi!

Resi Sendaring menepuk-nepuk bahu 

Bayuseta.

"Soal itu mudah, Orang muda. Mulai hari 

ini, kau menjadi sekutu perguruan Cakar Naga! 

Bayuseta, sejak lama aku pun, menginginkan 

kematian ketuamu itu dan kehancuran 

perguruan Topeng Hitam! Dan sekarang kau 

datang menyampaikan hal itu, baik, baik, aku 

akan menjalankan semuanya dengan baik! 

Kuminta padamu, Bayuseta... laporkan kalau ada 

hal-hal yang berkenaan dengan rencana kita." 

"Baik, Resi." 

"Sekarang kau kembalilah keperguruanmu, 

hati-hati jangan sampai ketahuan siapa pun kau 

menyelinap kemari."

"Baik, Resi. Ada satu lagi yang hendak ku 

beritahu kepadamu." 

"Soal apa?" 

"Beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki 

seperti banci mengacau di perguruan Topeng 

Hitam, tetapi berhasil dikalahkan oleh ketua 

Madewa Gumilang. Sebelum pergi laki-laki yang 

bernama Aryo Gembala berkata tentang makam 

Paksi Uludara yang...."

Resi Sendaring memotong, "Tak perlu kau 

teruskan. Aku sudah mengetahui semua itu."

Bayuseta terkejut. "Resi sudah mengetahui 

semua itu?" 

"Ya... karena Aryo Gembala adalah orangku 

juga, termasuk kau! Dan aku tahu ke mana


Madewa pergi, dia mengunjungi makam Paksi 

Uludara...."

Bayuseta belum mengetahui ada apa 

sebenarnya dengan makam ketuanya yang 

terdahulu itu. Dia mencetuskan keingintahuan 

nya. Resi Sendaring tertawa.

"Kau boleh lihat sendiri nanti! Kita 

menunggu laporan Dewi Mulia Berhati Busuk, 

yang ku tugaskan untuk memata-matai Madewa 

Gumilang."

Bayuseta terdiam. Biar bagaimana pun, 

Paksi Uludara dulu yang mendidik dan 

melatihnya dalam ilmu pedang dan kepandaian 

yang lain. Dalam hatinya dia tidak rela kalau 

makam ketuanya itu diganggu oleh orang 

perguruan Cakar Naga. Tetapi mau apa, 

menentang mereka akan percuma. Lagipula, dia 

sudah masuk ke perkumpulan itu.

"Bayuseta, kau kembalilah. Laporkan 

kepadaku jika ada sesuatu yang penting."

Bayuseta bangkit dan menjura. "Baik, Resi. 

Aku mohon diri!" Bayuseta mundur ke belakang, 

lalu melompat tembok dan menghilang di 

kegelapan malam. Di tempat tadi dia membuka 

topengnya, dia mengenakan topeng itu kembali. 

Lalu menyelinap lewat belakang. Melewati istal 

kuda, dia melompat ke genting dan membuka 

beberapa buah genting lalu meloncat ke bawah.

Lega hatinya sudah kembali ke perguruan. 

Sementara itu Resi Sendaring gembira, karena 

tanpa disangkanya, orang perguruan Topeng


Hitam sendiri yang menginginkan kematian 

Madewa Gumilang.

Ini suatu keuntungan baginya, dengan 

begitu, dia bisa memata-matai kegiatan yang 

berlangsung di perguruan Topeng Hitam. 

Sebelum matahari terbit, besok dia akan 

mengirimkan sepuluh orang muridnya untuk 

membongkar makam Paksi Uludara dan 

membawa kerangkanya kemari! Itulah rencana 

Resi Sendaring terhadap makam Paksi Uludara.

Resi Sendaring tertawa sendiri karena 

yakin rencananya akan berhasil. Besoknya pula, 

dia akan mengirimkan beberapa orang tokoh sakti 

seperti Sumpila, Tidasewu dan Angkasena untuk 

mengacau di perguruan Topeng Hitam. Malah 

kalau bisa, menangkap hidup-hidup Ratih 

Ningrum.

Ketiga orang itu, pasti bisa menjalankan 

tugas mereka dengan baik. Resi Sendaring pun 

sudah berpesan, agar jangan membawa namanya 

dan nama perguruan Cakar Naga!

Tunggulah aku, Topeng Hitam, 

keruntuhanmu tak akan lama lagi!

Dan yang paling membuat Resi Sendaring 

gembira, adalah membayangkan Ratih Ningrum 

bakal menjadi pendampingnya.

***

DELAPAN


Keesokkan harinya, sesuai dengan 

rencananya, Resi Sendaring mengirimkan sepuluh 

orang murid perguruan Cakar Naga ke makam 

Paksi Uludara. Sepuluh orang murid itu adalah 

murid-murid utama perguruan Cakar Naga. 

Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang 

bernama Joko Mandra, yang dibekali sebuah 

golok besar oleh Resi Sendaring. 

Mereka berangkat sebelum matahari terbit.

Sesudah itu, Resi Sendaring juga 

menugaskan tiga orang tangan kanannya untuk 

mengunjungi perguruan Topeng Hitam, kalau bisa 

menguasai perguruan itu. Ia sendiri akan pergi ke 

rumah Madurka atau si Orang Cacat Sakti, yang 

diberitakan terluka parah.

Lalu ketiga orang yang ditugaskan itu 

segera berangkat. Mereka akan merebut 

perguruan Topeng Hitam itu.

Saat itu di perguruan Topeng Hitam seperti 

biasa kalau pagi murid-muridnya berlatih. Kali ini 

di bawah pimpinan Ratih Ningrum. Ia 

mengajarkan jurus pedang kembarnya. Dan 

seperti biasa Pranata Kumala mengikuti setiap 

gerakan itu, seperti kali ini berada di barisan 

belakang, tidak di samping seperti biasanya.

Tujuh barisan bergerak mengikuti gerakan 

Ratih Ningrum. Setiap barisan berisi sepuluh 

orang. Jadi semuanya tujuh puluh orang. Masih


ada beberapa murid perguruan Topeng Hitam 

yang tidak ikut latihan. Mereka bertugas 

memasak dan merapikan ruangan, juga merawat 

kuda-kuda.

Semua gerakan itu diikuti dengan 

sungguh-sungguh. Hanya ada seorang yang 

gerakannya kelihatan kaku, padahal dia murid 

utama. Orang itu adalah Bayuseta, yang sedang 

cemas menanti kedatangan orang utusan Resi 

Sendaring. Karena berlatih sambil berpikir, 

gerakannya jadi kacau. Ia tidak bisa konsentrasi. 

Agaknya Ratih Ningrum melihat hal itu.

Dia berseru memanggil, "Bayuseta! Kulihat 

gerakanmu kacau, lebih baik beristirahat dulu 

kalau kau lelah!"

Hari ini, murid-murid perguruan Topeng 

Hitam tidak memakai topeng hitamnya, karena 

Ratih Ningrum sulit untuk mengenali mereka. 

Lain dengan suaminya yang padangannya bisa 

menembus jarak yang jauh, bahkan menembus 

gunung sekalipun. Suaminya memiliki ilmu 

pandangan menembus sukma.

Karena saat ini murid-murid itu tidak 

memakai topeng hitam, Ratih Ningrum mudah 

mengenali Bayuseta.

Bayuseta segera membetulkan gerakannya. 

Ia agak malu ditegur demikian, apalagi sama 

wanita yang dicintainya. Tetapi ia tidak mau 

berhenti.

Ratih Ningrum berkata lagi, "Istirahatlah 

dulu, Bayuseta. Mungkin kau lelah."


Bayuseta menjura antara malu dan 

hormat.

"Tidak, Nyonya ketua."

"Kalau begitu, kau perbaiki gerakanmu dan 

perhatikan yang lain."

Ratih Ningrum memperhatikan lagi murid-

murid perguruan Topeng Hitam yang berlatih 

dengan sungguh-sungguh. Bayuseta pun berbuat 

yang sama, walau pikirannya sekali-kali melayang 

kepada rencana Resi Sendaring. Kenapa orang-

orang yang diutusnya belum datang juga?

Beberapa jam kemudian, latihan itu 

selesai. Murid-murid perguruan Topeng Hitam 

berhamburan masuk dan sebagian beristirahat. 

Pranata Kumala masih berlatih di tempat tadi. 

Bocah itu tidak puas-puasnya berlatih. Sejak 

melihat ayahnya mengalahkan Aryo Gembala, 

Pranata Kumala ingin bisa seperti ayahnya. 

Makanya dia giat berlatih.

Mendadak telinganya mendengar panggilan 

dari kiri, "Hei, kau bocah! Kemari!"

Pranata Kumala menghentikan berlatihnya. 

Ia menoleh, seorang laki-laki kurus tinggi 

melambaikan tangannya. Pranata belum beranjak 

mendekati, dia masih heran, dari mana orang itu 

masuk. Tetapi kemudian dia ingat akan Aryo 

Gembala, yang datang dengan melompati pagar.

Orang yang datang tanpa lewat pintu 

depan, adalah orang yang tak sopan. Seperti Aryo 

Gembala yang hendak mengacau. Berpikiran 

demikian, bocah kecil yang pintar itu, menatap


orang tinggi kurus itu dengan curiga.

"Kamu siapa, Bapa?" tanyanya tanpa 

mendekati.

Orang yang tak lain adalah Tidasewu, 

melambaikan tangan lagi.

"Cepat kau kemari, aku punya hadiah 

untukmu." 

"Tidak mau. Kau pasti hendak berbuat 

jahat."

Tidasewu menjadi gemas. Anak ini ternyata 

cerdas. Dia berlari menubruk, tapi sungguh di 

luar dugaannya, anak itu mampu mengelak. Dia 

menjadi penasaran. Ditubruknya lagi dengan 

lebih cepat, tetapi lagi-lagi anak itu mampu 

menghindar. Kali ini dengan bersalto ke belakang.

Gerakan anak itu bagus dan mantap. 

Merasa tangkapan orang itu selalu menemui 

kegagalan, Pranata Kumala menjadi keenakan 

dan geli sendiri.

"Ayo tangkap aku, Bapak!" ejeknya yang 

membuat wajah Tidasewu merah padam.

Dia terdiam, akan dikejutinya anak itu. 

Pranata masih tertawa-tawa. Tiba-tiba Tidasewu 

menerjang, Pranata berkelit ke kiri. Kesempatan 

itu dipakai oleh Tidasewu dengan menggerakkan 

kakinya untuk menyambar kaki anak itu. Tetapi 

sungguh di luar dugaannya. Bocah itu masih 

mampu menghindar.

Kesabaran Tidasewu habis. Dia 

mempercepat tangkapan dan terjangannya. Biar 

bagaimanapun Pranata Kumala hanya seorang


bocah, biar pun kelihaiannya bersalto lumayan, 

tetapi tenaganya jauh dibandingkan dengan 

Tidasewu. Juga kelihaiannya.

Ia agak kewalahan sekarang menghindari 

serangan yang gencar itu. Suatu ketika Tidasewu 

berhasil menangkap tangan kirinya. Tetapi 

serentak dia lepaskan, karena bocah itu sudah 

memukulkan pedang kayunya.

Memang pukulan itu tidak sakit, tetapi 

sungguh mengejutkan. Rupanya bocah itu pandai 

pula bersilat.

Merasa dia menang lagi, Pranata Kumala 

tertawa mengejek. 

"Ayo tangkap, aku! Tangkap!" serunya 

sambil bersalto ke sana-kemari, menunjukkan 

kelincahannya.

Tidasewu semakin marah. Mendadak dia 

meloloskan pedang dari punggungnya.

Pedang itu diacungkan di wajah Pranata. 

"Lihat pedang ini, Bocah! Akan kusembelih kau!"

Pranata tidak takut melihat pedang itu. Dia 

sudah sering melihat kakak-kakak perguruan 

Topeng Hitam berlatih dengan menggunakan 

pedang. Dua pedang saja dia tidak takut, apalagi 

hanya satu pedang yang dipegang laki-laki tinggi 

kurus itu.

Melihat bocah itu tenang-tenang saja, 

Tidasewu geram bukan main. Dia berkelebat 

cepat. Pedangnya menyabet tanpa ampun.

Pranata masih mempergunakan 

kelihaiannya berkelit. Tetapi hanya sekali dia bisa


melakukan itu. Dia hanya seorang bocah yang 

belum tahu tingginya langit dalamnya lautan. 

Yang dihadapinya adalah seorang dewa pedang 

yang tangguh dan perkasa.

Hanya seorang yang mampu mengimbangi 

permainan pedangnya, orang itu Paksi Uludara 

dan secara otomatis Tidasewu merajai permainan 

pedang di rimba persilatan kala itu karena Paksi 

Uludara sudah empat tahun wafat.

Dan bocah cilik itu tidak tahu siapa yang 

sedang dihadapinya. Tidasewu adalah orang yang 

kejam. Begitu dia menyodokkan pedangnya, 

Pranata bersalto. Tetapi pedangnya langsung 

menyambar, membuat anak itu memekik 

ketakutan. Ia terjatuh.

Tidasewu sudah berdiri di hadapannya. 

Pedangnya siap mengayun. Wajah Pranata 

Kumala pucat. Ketakutan mulai menjalar. 

Dadanya bergemuruh. Sekarang dia melihat laki-

laki kurus tinggi itu bukan laki-laki yang bisa 

diajak bermain tetapi laki-laki yang ingin 

membunuhnya!

Tidasewu tidak mau menunggu lama lagi, 

anak ini sudah menjengkelkannya. Ia 

mengayunkan pedangnya. Pranata memejamkan 

matanya, ngeri. Ia menjerit ketakutan.

"Trang!"

Pedang yang dipegang Tidasewu berpijar, 

Tidasewu sendiri terhuyung ke belakang. Sebuah 

senjata rahasia berbentuk topeng hitam 

menabrak pedangnya.


Sepuluh orang murid perguruan Topeng 

Hitam sudah mengepungnya. Ratih Ningrum pun 

sudah berlari dan menghampiri putranya.

Ia memperhatikan laki-laki kurus tinggi ini.

"Siapa Anda kenapa hendak membunuh 

anak ku?" bentaknya marah.

Tidasewu tertawa. Tawanya nyaring.

"Aku datang, memang untuk membunuh 

semua orang di sini!" nada suaranya menjadi 

kejam. "Termasuk kau, Ratih Ningrum!"

Mendengar istri ketuanya dibentak, salah 

seorang murid perguruan Topeng Hitam balas 

membentak, "Kau bicara sembarangan, orang 

jelek! Kau sudah memasuki daerah macan, dan 

sulit untukmu untuk melepaskan diri!"

Tidasewu tertawa lagi.

"Akan kuratakan semua orang di sini 

dengan tanah! Ketahuilah, aku Tidasewu, Dewa 

Pedang yang akan menghancurkan perguruan 

Topeng Hitam!"

Nah, bagaimana nasib Perguruan Topeng 

Hitam. Silahkan anda ikuti dalam Kakek Sakti 

dari Gunung Muria.



                  SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive