"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE DEWI CANTIK PENYEBAR MAUT

Dewi Cantik Penyebar Maut

DEWI CANTIK 

PENYEBAR MAUT

Oleh Fahri A.

Hak cipta dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Pendekar Bayangan Sukma

Dalam Episode 004 :

Dewi Cantik Penyebar Maut

128 Hal.; 12 x 18 Cm


SATU


Dewi Maut masih meneruskan ejekannya.

Wajah Datuk Sakti memerah. Tetapi dia 

tetap bersabar, kalau tidak, tidak mung-

kin terbentuk suatu kesatuan yang kukuh. 

Percuma dia mengundang orang-orang sakti 

itu kalau tidak berhasil membentuk suatu 

kesatuan yang kuat.

"Dewi Maut, aku pun sadar akan nama 

besarmu. Tetapi orang yang akan kita ha-

dapi, bukanlah orang sembarangan. Dia 

seorang tokoh sakti yang masih muda. Dan 

anak buahnya yang merupakan murid-

muridnya juga tokoh-tokoh muda yang tak 

kalah saktinya dengan gurunya...." 

"Ah, sudahlah!" potong Dewi Maut 

jengkel. "Biar kuhadapi orang-orang itu 

nanti!"

Tiba-tiba terdengar suara kekehan. 

Dewa Tua Pengantuk yang terkekeh. Walau-

pun matanya terpejam dia tetap terkekeh. 

Entah menertawakan apa. Yang pasti, dia 

bosan mendengar perdebatan itu.

Suasana hening setelah Dewa tua itu 

berhenti tertawa. Dan dia sudah kembali 

tertidur.

Pendekar Kipas Sakti berdiri. "Datuk 

tua... kita tidak menginginkan perdebatan 

di antara kita, bukan? Ada baiknya, seka-

rang kau menuturkan bagaimana rencanamu


untuk menghadapi Dewi penyebar maut itu. 

Kami semua sudah tidak sabar menung-

gu...." Lalu duduk kembali sambil berki-

pas.

Datuk tua itu mengangguk. Tidak meng-

hiraukan Dewi Maut yang masih nampak 

jengkel.

Tetapi belum lagi dia bicara, sebuah 

pisau berpita merah mendesing ke arahnya, 

Secepat kilat Datuk tua itu bersalto. Dan 

pisau menancap ke tembok, sampai pada 

pangkalnya. Menandakan betapa besarnya 

tenaga dalam orang yang melempar itu.

"Pembokong busuk, cepat kau menampak-

kan diri!" geram Datuk tua. Dan yang lain 

berdiri dengan sikap siaga, Bahkan Tiga 

Malaikat Berantai Emas, sudah bersiap

dengan senjatanya.

Terdengar suara kekehan nyaring seo-

rang perempuan. Lagi-lagi orang itu mema-

merkan kehebatan tenaga dalamnya. Karena 

getaran tawanya begitu nyaring.

Entah dari mana munculnya, tahu-tahu 

di hadapan mereka telah muncul tiga orang 

wanita muda berpakaian merah semua.

Datuk Sakti tahu siapa mereka, meli-

hat dari pakaian mereka. Mereka adalah 

anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!

Melihat gelagat itu, Dengan bersikap 

bersahabat. Ia menjura.

"Oh... kiranya dewi-dewi terhormat. 

Ada apa gerangan dewi-dewi datang kema


ri?"

Salah satu wanita muda itu mendengus. 

Dia bernama Mawar Merah,

"Kau Jangan berpura-pura, orang tua! 

Kami telah tahu apa yang akan kau renca-

nakan terhadap guru kami! Dan hari ini 

kami akan menggagalkan semua rencana ka-

lian!"

Datuk itu agak kaget juga. Rupanya 

rencana rahasia mereka telah diketahui 

oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar 

Maut. 

Tiba-tiba muncul seorang wanita muda 

berpakaian merah. Wanita muda itu berja-

lan santai sambil menepuk-nepuk tangan-

nya.

'Tidak sulit membunuh pengawal-

pengawal itu, Mawar Merah!" serunya sam-

bil tersenyum.

Lagi Datuk tua itu tersentak. Pengaw-

al-pengawalnya yang terdiri dari orang 

yang berilmu lumayan, dikalahkan oleh sa-

tu orang? Perasaan terkejut Itu dirasakan 

pula oleh yang lain. Kecuali Dewi Maut 

yang ingin segera menyerang.

"Bagus, Dahlia Merah! Sekarang, kita 

bunuh orang-orang ini!"

"Tunggu!" seru Pendekar Kipas Sakti. 

"Katakan, di mana ketua kalian berada?"

Mawar Merah tertawa.

"Tidak semudah itu, Saudara? Kecua-

li...kau telah menjadi mayat, baru kami


memberitahumu!"

Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah. 

Dia begitu direndahkan. Kegeramannya men-

jalar ke wajahnya. Apalagi wanita-wanita 

muda itu tertawa yang sangat menyakitkan 

telinganya.

Dengan teriakan keras, Pendekar itu 

menyerang. Kipasnya merapat, membentuk 

totokan. Keempat wanita muda itu dengan 

serentak bersalto ke belakang. Dalam ber-

salto itu Mawar Merah berseru, "Pinus Me-

rah, kau hadapi dia!"

Dan serentak yang diperintah tadi, 

melenting kembali begitu kakinya memijak 

lantai. Membalas serangan Pendekar Sakti 

itu. Gerakan kaki dan tangannya begitu 

cepat dan beruntun. Pendekar itu agak ke-

bingungan dan bersalto ke belakang. Kem-

bali ke tempatnya semula dengan wajah 

pias.

Benar-benar tidak boleh dianggap re-

meh. Pinus Merah pun kembali berjajaran 

dengan saudara-saudaranya.

Mawar Merah tertawa

"Nah, tunggu apa lagi?" ejeknya. "Ayo 

lawan kami! Bukankah kalian ingin membu-

nuh kami! Bah, mimpi yang tak tersampai-

kan! seraaaang!"

Serentak keempat wanita muda itu me-

lesat ke depan. Gerakan mereka benar-

benar cepat. Dan tanpa dikomando lagi, 

mereka segera memilih lawan-lawan mereka.


Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan 

dengan Mawar Merah. Tiga Malaikat Beran-

tai Emas berhadapan dengan Dahlia Merah. 

Pendekar Kipas Sakti berhadapan dengan 

Pinus Merah yang menyerangnya dengan 

buas. Sedangkan Dewi Maut berhadapan den-

gan Melati Merah.

Hanya Dewa Tua Pengantuk yang tidak 

mendapat lawan. Orang tua itu hanya ter-

kekeh pelan. 

"Ha... buang-buang tenaga saja. Per-

cuma kalian berkelahi. Tak ada gunanya," 

katanya masih terkekeh.

Dan seperti tidak ada kegiatan apa-

apa, orang tua itu ngeloyor meninggalkan 

tempat itu. Tetap dengan matanya yang se-

lalu terpejam.

Pertempuran berjalan dengan serunya. 

Keadaan Datuk Sakti Berjubah Putih seim-

bang dengan Mawar Merah. Dewi Cantik Pe-

nyebar Maut sungguh luar biasa melatih 

dan mendidik murid-muridnya. Sampai se-

kian jurus, Datuk Sakti yang sudah melan-

glang buana yang membuat namanya menju-

lang setinggi langit, tidak mampu menja-

tuhkan Mawar Merah. Bahkan membuat Mawar 

Merah kewalahan pun dia tidak mampu.

Malah suatu ketika Mawar Merah mampu 

menjatuhkan tangannya di bahu Datuk tua 

itu, yang merasakan bagaimana ditimpa go-

dam bahunya.

Dia sedikit terhuyung.


Mawar Merah terbahak.

"Ha... ha.... Orang tua! Mimpi apa 

kau ingin mengalahkan guruku! Nyawamu tak 

ada gunanya! Dan kau pun tak berguna hi-

dup di dunia ini!"

Sehabis berkata begitu, dia menyerang 

lagi. Sedetik Datuk tua itu tidak berke-

lit, tamatlah riwayatnya. Mawar Merah te-

lah menggunakan ilmu sakti yang diberikan 

gurunya. Menggempur sejuta batu karang.

Di lain itu, Tiga Malaikat Berantai 

Emas pun belum mampu menjatuhkan Dahlia 

merah. Senjata sakti mereka menderu-deru 

dengan dahsyat. Tetapi belum sekali pun 

mengenai tubuh Dahlia Merah. Dahlia Merah 

telah menggunakan ilmu berkelit yang di-

berikan gurunya yang bernama, menghindar 

hujan menghalau badai.

Yang sambil berkelit masih mampu mem-

balas! Salah seorang dari Tiga Malaikat

itu, berhasil digedor dadanya hingga ter-

huyung dan muntah darah.

"Dik Suta!" jerit salah seorang sau-

daranya yang kaget. Dan marahnya bangkit 

ketika diketahui adiknya telah mati den-

gan jantung yang seketika putus. "Kau?!" 

geramnya pada Dahlia merah yang tertawa

penuh ejekan.

"Sudah kukatakan sejak tadi, kalian 

akan percuma menghadapi kami! Cepat ber-

sujud dan cium ibu jari kakiku!"

"Bangsat!!" geram kedua orang itu.


Keduanya merapat. Dan memainkan rantai 

berbandul tajam dengan dahsyat. Anginnya 

menderu hebat. Dan dengan pekikan hebat 

keduanya menerjang berbarengan.

Lagi-lagi dengan menggunakan ilmu 

menghindar Hujan menghalau badai, seran-

gan itu luput. Dengan hebat dan ringan-

nya, Dahlia melenting ke atas. Dengan 

bersalto dia mengirimkan pukulan jarak 

jauhnya. Dua buah larik sinar merah ber-

kelebat.

"Awaas!!" Dua orang berkepala gundul 

itu bergulingan menghindar. Tetapi tak 

urung baju salah seorang dari mereka ter-

koyak terkena sinar merah itu. Mengepul 

asap dari pakaian yang koyak itu. Wajah 

keduanya pias. Tetapi kemarahan semakin 

membara. Membludak meminta pelampiasan.

Lagi keduanya serentak menyerang.

Di lain itu, keadaan Pendekar Kipas 

Sakti tidak banyak berbeda dengan kawan-

kawannya.

Pinus Merah berhasil mendesak pende-

kar tampan Itu. Dua kali dia berhasil 

mendaratkan pukulan dan tendangannya.

Tetapi pendekar tampan itu bukanlah 

pendekar yang baru mencuat namanya. Dia 

juga berhasil membalas. Tenaga dalamnya 

menghimpun di tangan dan mendarat di dada 

Pinus Merah.

Namun sedikit pun Pinus Merah tak 

bergeming. Bahkan dia tetap berdiri tegak


dengan bibir tersungging sebuah senyuman 

manis!

Pendekar itu terkejut. Surut ke bela-

kang dengan keheranan.

Pinus Merah terbahak. "Pukulan apa 

pun tak akan mampu membuatku terhuyung, 

Pendekar tampan! Percuma kau buang tena-

gamu untuk menghadapiku!" 

"Kau...."

"Tak perlu terkejut. Itulah ilmu keb-

al pemberian guruku, yang dinamakan, me-

nahan gelombang batu karang! Hei, Pende-

kar tampan! Cepat kau bersujud, sebelum 

kucabut nyawamu!!"

Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah. 

Dengan marah dia menyerang lagi.

Di lain itu, hanya Dewi Maut yang 

mampu mengimbangi serangan Melati merah. 

Tokoh sakti yang telah banyak makan asam 

garam itu, mampu berbuat lebih banyak da-

ri Melati merah. Serangan-serangan tangan 

kosongnya sangat berbahaya. Dia telah 

menghimpun pukulan saktinya di kepalan 

tangannya.

Agaknya Melati merah mengetahui se-

rangan Itu. Sejauh itu dia berusaha untuk 

menghindar. Tidak berani mengadu tangan 

atau menahan serangan itu secara berben-

turan.

Sampai suatu ketika dia mendadak men-

jatuhkan dirinya. Dan melontarkan pukulan 

jarak jauhnya. Selarik sinar merah berke


lebat dengan cepat.

Dewi maut menjerit kaget. Dia melom-

pat dengan cepat. Belum lagi dia menje-

jakkan kakinya ke tanah, selarik sinar 

merah itu telah memburunya lagi. Membu-

runya terus. Sampai Dewi Maut kewalahan 

sendiri.

Di saat itulah, Melati Merah menjerit 

menerjang. Dan... 

Des!!

Pukulan menghajar perut Dewi Maut 

yang langsung terhuyung.

Melihat keadaan itu. Melati Merah 

mengejar, dengan pukulan lurus yang siap 

menghancurkan Dewi maut. Tetapi mendadak 

serangannya urung, sebuah sinar putih 

menghalau serangannya.

"Setan!" Melati Merah menghindar den-

gan jalan bergulingan.

Pukulan jarak jauh itu, dilontarkan 

oleh Datuk Sakti Berjubah Putih, yang me-

lihat keadaan genting akan menimpa Dewi 

Maut. Sedetik dia terlambat, tamatlah ri-

wayat Dewi Maut.

Melihat borongan itu, Mawar Merah 

menjadi marah. Hampir saja serangan itu 

mematikan adik seperguruannya. Dia menga-

muk, serangannya membabi buta. Dan. mem-

buat Datuk sakti itu menjadi kewalahan.

Sebisanya dia menangkis serangan itu. 

Bahkan dengan kibasan tongkat berkepala 

ularnya. Tapi tak urung sebuah pukulan


menghantam pahanya, yang langsung mem-

buatnya jatuh bergulingan.

Bersamaan dengan jatuhnya Datuk sakti 

itu, terdengar dua jeritan memilukan. Dua 

pendekar berkepala gundul menemui ajalnya 

di tangan Dahlia Merah.

Tamatlah riwayat Tiga Malaikat Beran-

tai Emas, yang menemukan ajalnya dengan

sangat mengenaskan. Wajah keduanya hancur 

tak berbentuk.

Dan Pendekar Sakti pun terhuyung ter-

makan tendangan Pinus Merah yang membuat-

nya muntah darah.

"Tahan!!" Seruan itu terdengar. Mawar 

Merah mengisyaratkan saudara-saudaranya 

untuk mendekatinya. Serentak mereka ber-

salto dan berdiri berjajaran di samping 

mawar merah dengan sikap gagah. 

Mawar merah mendengus. "Hhh, hari ini 

nyawa kalian kami ampuni. Ingat!!, jangan 

membuat kami marah lagi! Kalian tidak ada 

gunanya menentang kehendak kami!

Kalau kalian menentang perbuatan ka-

mi, kami segera akan mengirim nyawa ka-

lian ke akhirat! Kau Datuk tua, camkan 

peringatan kami baik-baik!

Sebelum guru kami yang turun, yang 

sekali kelebat membuat nyawamu putus, ada 

baiknya kau urungkan niatmu untuk menen-

tang kami!"

Datuk tua itu mengatur nafasnya. Me-

nahan rasa sakit di dadanya. Matanya nya


lang, penuh kemarahan.

"Tidak, sampai kapan pun, aku menen-

tang perbuatan kalian! Demi keadilan dan 

keberanian!"

"Bangsat!" Mawar merah mengibaskan 

tangannya. Selarik sinar merah menerjang 

ke arah Datuk tua.

Dengan sisa tenaganya, datuk tua itu 

menghindar. Sinar merah itu menghantam 

dinding rumah hingga bolong.

"Itu peringatan untuk kalian semua 

Camkan baik-baik! Kami akan datang lagi 

untuk membunuh kalian!"

Setelah berkata demikian, Mawar merah 

bersalto. Dan menghilang di kegelapan ma-

lam.

Begitu pula dengan yang lain. Dengan 

sekali kelebat saja, mereka sudah lenyap 

dari pandangan.

Setelah mereka menghilang, dengan Su-

sah payah Datuk Sakti Berjubah Putih ber-

diri. Dia sadar, mereka belum tentu mampu 

menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut. 

Dengan murid-muridnya saja mereka sudah 

dibuat jungkir balik tak karuan.

"Saudara-saudara... kita harus menca-

ri tokoh sakti untuk menghadapi mere-

ka...." desisnya pelan.

Malam pun semakin merambat.

***


DUA


"Pranata! Pranata! Hhh, ke mana lagi 

anak itu! Sudah sore begini belum kemba-

li?!" gerutu seorang wanita muda. Agaknya 

dia tengah mencari anaknya. Padahal anak-

nya bersembunyi tak Jauh dari tempatnya 

berdiri. Daerah itu sunyi. Matahari mulai 

turun, kembali keperaduan.

"Hei, Pranata! Ayo kembali! Kamu ha-

rus mandi!" wanita muda itu berseru lagi.

Di pohon besar itu, anak kecil yang 

bernama Pranata terkekeh. Geli sendiri 

karena ibunya kebingungan. Dia tidak ta-

hu, sebenarnya ibunya sudah mengetahui di 

mana dia berada. Tetapi ibunya pura-pura 

tidak tahu.

Anak kecil itu masih terkekeh geli. 

Tanpa disadarinya, ibunya sudah bersalto 

mendekati dan langsung menggendong anak 

itu.

"Hu, ibu curang! Ibu curang!" serunya 

meronta-ronta minta diturunkan.

"Ha... ha... habis, kau mau memper-

mainkan Ibu," kata wanita muda itu sambil 

berjalan ke rumahnya.

"Ibu curang! Ibu pakai kepandaian ibu 

untuk menangkapku! Ibu curang, ibu cu-

rang!"

"Ibu tidak curang, kamu yang curang.


Dipanggil kok sembunyi."

"Ibu curang karena ibu tidak menga-

jarkan aku melompat seperti tadi!"

"Nanti ibu ajarkan. Ayo sekarang man-

di."

"Nggak mau! Ibu harus janji, akan 

mengajarkan aku melompat seperti tadi. 

Aku ingin bisa, aku ingin bisa!"

"Iya, iya! Ayo mandi!"

"Janji, ya?"

Ibunya mengangguk sambil tersenyum. 

Anak itu turun dari gendongannya. Berlari 

ke kamar mandi. Janji tadi sudah membuat-

nya gembira.

Wanita itu menggeleng-geleng. Anaknya 

itu memang bandel. Entah turunan dari 

siapa. Ayahnya atau dia sendiri? Biarpun 

begitu, dia sangat menyayangi putranya 

yang semata wayang itu. Yang diberinya 

nama Pranata Kumala.

Sebenarnya siapakah wanita yang pan-

dai bersalto itu? Dia memang seorang wa-

nita yang mampu memainkan ilmu silat. Ke-

pandaiannya lumayan tinggi.

Dia adalah Ratih Ningrum, yang menda-

patkan pelajaran silat dari tiga penga-

walnya dulu. Dan anak itu adalah buah 

perkawinannya dengan Madewa Gumilang, pe-

muda yang sangat dicintainya (baca : Den-

dam Orang-Orang Gagah).

Setelah bertemu dengan pemuda itu du-

lu, mereka segera menikah. Seorang laki


laki tua telah memberkati pernikahan me-

reka. Entah di mana laki-laki tua itu se-

karang.

Dan selama dua tahun mereka meningga-

li rumah mungil itu, penuh suka dan duka. 

Kelahiran Pranata Kumala menambah kecin-

taan mereka semakin melekat dan membara.

Ratih Ningrum lambat laun bisa mema-

hami arti hidup yang sebenarnya, yang pe-

nuh dengan permainan-permainan hidup. De-

rita dan senang datang silih berganti. 

Sejak kecil sampai remaja, Ratih Ningrum 

hidup bergelimang harta. Sampai saat ini 

pun masih memiliki harta itu. Tetapi Ra-

tih Ningrum sudah tidak mau menerimanya.

Kekayaannya itu telah dipercayai oleh 

tiga pengawal setianya, Mukti, Patidina 

dan Tek Jien. Juga karena suaminya yang 

tidak mau ketika diajak untuk kembali ke 

rumahnya.

Suaminya memutuskan hidup di desa 

ini. Desa yang aman dan tentram. Yang pe-

nuh kedamaian.

Hari ini Madewa Gumilang, suaminya, 

tengah pergi ke kota. Ada urusan yang ha-

rus diselesaikan di Kotaraja, yang mana 

tengah menyangkut nama baik suaminya sen-

diri.

Suaminya dituduh memimpin gerakan 

yang akan menggulingkan kedudukan raja. 

Dia dituduh telah menyebarkan empat orang 

anak buahnya untuk menghimpun dan menja


tuhkan kedudukan raja dengan jalan meng-

hasut dan gerilya. Bahkan pernah menye-

rang istana! .

Dari petunjuk yang didapat, anak 

buahnya itu berpakaian merah dan semuanya 

adalah wanita-wanita muda yang cantik dan 

sakti.

Tentu saja Madewa membantah tuduhan 

demikian. Dia bersumpah, tidak berniat 

untuk menggulingkan kedudukan raja sedi-

kit pun. Bahkan dia tidak memiliki anak 

buah semacam demikian!

Madewa dihadapkan kepada Bupati yang 

memanggilnya. 

"Madewa... kami memandang nama besar-

mu," kata Bupati. "Sebagai orang yang te-

lah menumpas gerombolan sesat Perkumpulan 

Telapak Naga. Tetapi kami kecewa, dengan 

sikap dan keinginan yang sesat, yang tak 

ubahnya seperti orang-orang Telapak Naga!

Ingin memberontak terhadap raja!

Madewa menjura hormat.

"Tuanku Bupati yang terhormat, sedi-

kit pun saya tidak berniat untuk membe-

rontak terhadap raja yang arif dan agung. 

Malah saya mendukung dan membantu raja 

menghadapi kesulitan! Saya bersumpah, de-

mi langit dan Bumi, saya tidak memimpin 

gerakan memberontak itu!

Bupati yang bernama Wrahatnala men-

gangguk antara percaya dan tidak.

"Lalu apa maksud orang-orang itu me


nyerang dan berseru, "Pimpinan kami ada-

lah Madewa Gumilang!". Bukankah itu nama-

mu, Madewa? Namamu yang besar, yang dibe-

ri gelar Pendekar Pukulan Bayangan Suk-

ma?"

"Sekali lagi, Bupati Wrahatnala! Saya 

tidak memimpin gerakan demikian!"

"Baiklah Madewa. Kita tidak perlu ba-

nyak bicara. Untuk membuktikan kebenaran 

itu, kau kuperintahkan menangkap dan mem-

bawa orang-orang itu kepadaku, untuk di-

jatuhi hukuman" Madewa mengangguk hormat. 

"Baik, Bupati Wrahatnala. Semua akan 

saya lakukan. Jika benar saya yang memim-

pin gerakan memberontak itu, kepala saya 

taruhannya. Saya rela mati dipenggal! Ka-

lau pun saya masih hidup, biarlah Yang 

Kausa membuat saya sakit yang mengerikan 

dan mati perlahan-lahan..."

Sumpah dan janji yang mengerikan. 

Wrahatnala sampai bergidik mendengarnya. 

Tetapi dia sadar dan yakin, ucapan Madewa 

benar dan akan terbukti! Wrahatnala sudah 

lama mendengar nama besar Madewa Gumilang 

yang selalu menentang dan menghancurkan 

kejahatan.

Tetapi, apa tidak mungkin dia ingin 

memberontak?

"Kupegang janjimu, Madewa."

Madewa menjura.

"Saya mohon diri, Bupati Wrahatna-

la...."


Wrahatnala mengangguk. Madewa keluar 

dengan dikawal oleh beberapa orang pen-

gawal, yang siap dengan senjatanya. Made-

wa tersenyum sedih. Dalam hati dia berka-

ta. Sudah mulai lagi kehidupan ini, yang 

penuh cobaan. Dia akan membuktikan pada 

raja bahkan pada dunia, bahwa dia bukan-

lah pemimpin gerakan pemberontakan itu!

***

Tubuh pendek bulat bundar itu berja-

lan dengan sempoyongan. Tubuhnya limbung

kesana ke mari. Biarpun begitu, penden-

garnya masih tajam. Dia adalah Dewa Tua 

Pengantuk.

Pendengarannya menangkap adanya gera-

kan-gerakan yang mencurigakan. Karena ge-

rakan-gerakan itu seperti berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat Jain, 

menandakan dia sedang dikuntit orang se-

jak tadi!

Tetapi Dewa Tua Pengantuk itu masih 

tetap tenang. Dia tetap memejamkan ma-

tanya. Seolah tak perduli dengan pengun-

tit-penguntit itu.

Dia menghitung setiap gerakan orang-

orang itu. Hmm, ada lima orang yang men-

gikutinya. Mau apa keroco-keroco ini men-

gikutinya? Hmm, dia akan melihat keroco-

keroco itu.

Akan dipermainkannya.

Tahu-tahu Dewa Tua Pengantuk itu ber


kelebat ke depan. Dan "Wuutt!" gerakannya 

cepat. Tahu-tahu saja dia sudah menghi-

lang dari pandangan orang-orang itu.

Orang-orang itu panik dan terkejut. 

Serentak mereka mengejar. Kali ini tidak 

dengan sembunyi-sembunyi. Benar dugaan 

Dewa tua pengantuk itu, mereka berjumlah 

lima orang. Semua berpakaian hitam-hitam. 

Dan di punggung mereka ada sepasang pe-

dang tipis yang tajam.

Tahu-tahu kelima orang itu berhenti. 

Terdengar suara tawa dari atas pohon. De-

wa Tua Pengantuk sudah duduk di ujung 

ranting yang kecil dan menggoyang-

goyangkan kaki! Betapa tinggi ilmu merin-

gankan tubuh orang tua itu. Dahan ranting 

yang kecil, mampu menahan berat tubuhnya 

yang gemuk.

"Kalian cecunguk-cecunguk busuk, mau 

apa mengikutiku?!" bentaknya masih tetap 

menggoyang-goyangkan kaki.

"Orang tua pengantuk, hari ini kami 

akan mencabut nyawamu!" bentak salah seo-

rang sambil mengambil sepasang pedangnya. 

Dua buah pedang berkilat tertimpa mataha-

ri.

Yang lain pun berbuat yang sama. Kini 

sepuluh pedang tipis dan tajam, siap me-

renggut nyawa Dewa Tua Pengantuk itu!

Tetapi orang tua itu masih saja ter-

tawa.

"Ada apa gerangan kalian ingin membu


nuhku?"

"Kau masih banyak bertanya saja, 

Orang tua pengantuk!"

"Ha... ha... kau pun demikian, orang 

muda pemarah. Tanpa menyebutkan nama ka-

lian dan apa alasan kalian ingin membu-

nuhku, aku enggan untuk melayani kalian. 

Selamat tinggal!"

"Tunggu!"

"Ha... ha.apa lagi Orang muda pema-

rah?'

"Kau orang tua yang keji! Kau telah 

menculik dan membunuh adik seperguruan 

kami. Sudah jelas, kami akan menuntut ba-

las atas kematiannya!"

"Hei, hei! Apa-apaan kalian ini? Kok 

menuduh aku?" Kening orang tua pengantuk 

itu berkerut. Matanya terbuka lebih le-

bar. Ia menggeleng-geleng.

"Siapa lagi yang kami tuduh kalau bu-

kan Dewa Tua Pengantuk geleng-geleng ke-

pala lagi.

"Orang Muda pemarah, Kau menuduhku 

sembarangan! Apa bukti tuduhanmu itu un-

tukku?"

"Kau masih membantah?" 

"Jelas kubantah, karena aku tidak me-

rasa membunuh saudara seperguruanmu?"

"Baik! Ada seorang wanita muda yang 

melihatmu membunuh saudara seperguruan 

kami! Orang itu mengenal kau! Dewa Tua 

Pengantuk, yang kabarnya dari golongan


putih, tetapi begitu talengas menurunkan 

tangan untuk saudara seperguruan kami 

yang tak bersalah!" 

"Tuduhan tak benar!"

"Orang tua pengantuk, kami tak perlu 

banyak sikap lagi. Cepat kau menyerah dan 

ikut kami Untuk dihadapkan kepada ketua!"

"Hhh, betapa enaknya! Tuduhan itu 

palsu! Aku tidak melakukan apa-apa selama 

ini!" 

"Tetapi kau melakukan perbuatan keji 

itu!"

"Kau tetap tidak percaya, Orang muda. 

Baik, siapa kalian sebenarnya?"

"Hhh! Kami adalah murid-murid dari 

lereng bukit sebelah timur sana!"

"Perguruan topeng hitam!" seru Dewa 

Tua Pengantuk terkejut. Perguruan yang 

sudah lama mencuat namanya. Dan kali ini 

dia harus berurusan dengan orang-orang 

topeng hitam itu. Urusan yang salah pa-

ham. Dan dia telah dilemparkan tuduhan 

palsu!

"Hmm," salah seorang dari anak murid 

Perguruan topeng hitam tersenyum sinis. 

"Kau terkejut, bukan? Cepat minta maaf, 

sebelum ketua kami Paksi Uludara turun 

tangan merenggut nyawamu!"

Dewa Tua Pengantuk itu bersalto dua 

kali untuk hinggap di tanah dengan sem-

purna. Dia menatap lima orang yang telah 

mengenakan topeng hitam itu.


"Sejak muda aku tidak punya masalah 

dengan perguruan topeng hitam. Tapi hari 

ini, kita berselisih. Aku tetap menolak 

tuduhan itu, karena aku tidak melakukan-

nya!"

"Bangsat! Kau banyak bicara!" Orang 

itu segera menerjang dengan satu tusukan 

lurus pada tenggorokan Dewa Tua Pengan-

tuk.

Orang tua itu mengelak sedikit ke 

samping, serangan itu luput. Belum lagi 

dia menegakkan badannya, pedang-pedang 

yang lain bersambaran. Dan seketika sepu-

luh buah pedang itu berkelebat bergan-

tian.

Orang tua itu agak kewalahan. Tetapi 

bukan Dewa tua pengantuk kalau tidak bisa 

menghindari serangan-serangan itu.

Tiba-tiba dia melenting ke atas, me-

nyambar sebuah ranting kecil. Dan dengan 

ranting itu dia menghalau setiap sabetan 

pedang yang datang.

Sungguh hebat, ranting itu tidak pu-

tus atau patah termakan sabetan pedang, 

karena telah dialiri tenaga dalam Dewa 

tua itu.

Bahkan dengan ranting itu ia mampu 

menotok salah seorang dari mereka, yang 

langsung berdiri tegak, kaku, tanpa bisa 

menggerakkan tubuhnya sedikit pun.

"Kuminta kita hentikan pertempuran 

itu," kata orang tua itu sambil melenting


ke atas, menghindari tusukan sepasang pe-

dang yang menyambar dengan cepat.

"Kau jangan menghasut, orang tua! 

Saat ini kami menginginkan nyawamu!"

Dan sebuah pukulan jarak jauh menyam-

bar ke arah orang tua itu. 

Wutt!

Orang tua itu berkelit dengan jalan 

bersalto. Belum lagi dia hinggap di ta-

nah, puluhan senjata rahasia yang berben-

tuk topeng-topeng kecil berterbangan ce-

pat, masih di udara orang tua itu mampu 

bersalto dua kali. Serangan-serangan itu 

luput.

"Kita sudahi pertempuran ini, Sauda-

ra!" kata Dewa tua sambil hinggap di ta-

nah. "Kita semua salah paham. Wanita muda 

yang menjadi saksi itu, pasti salah meli-

hat! Disangkanya diriku yang dilihatnya! 

Atau mungkin juga... dia ingin mengadu 

domba di antara kita!"

"Aku tidak perduli semua itu, yang 

kami inginkan sekarang! Mempersembahkan 

nyawamu untuk adik seperguruan kami! Ta-

han serangan, Orang tua!"

Lagi mereka menyerang. Kali ini lebih 

hebat dan dahsyat. Sabetan dan kibasan 

pedang berkelebat dengan cepat. Pukulan 

jarak jauh dan senjata rahasia berterban-

gan dengan tersembunyi, siap mencabut 

nyawa dewa tua itu.

Tetapi sampai sejauh itu, orang tua


itu masih mampu bertahan. Dan lagi-lagi 

dengan rantingnya, dia mampu menotok sa-

lah seorang dari mereka.

Kini tinggal tiga yang masih bernafsu 

untuk menjatuhkan. Yang dua hanya berdiri 

kaku dan agak menjadi ngeri melihat per-

tempuran itu.

"Kita pergunakan tiga serangan pedang 

mencabut nyawa, Saudara!" seru salah seo-

rang. Dan serentak tiga orang itu membuka 

jurus yang sama.

Orang tua itu sadar, kali ini mereka 

memainkan jurus simpanan, yang pasti dah-

syat dan ampuh. Dia pun bersiap. Kedua 

tangannya merapat di dada, mengempit 

ranting itu erat-erat. Matanya terbuka 

lebih lebar. Ia menghimpun tenaga dalam-

nya menjadi satu.

Siap menyambut serangan mereka. Tiba-

tiba salah seorang dari mereka menjerit 

panjang, dan menerjang dengan cepat. 

Orang tua itu cepat memapaki. Dan tiba-

tiba orang yang menyerang tadi melenting 

ke atas. Ganti orang kedua yang menye-

rang. Begitu seterusnya. Rupanya jurus 

mereka yang satu ini, serangan berantai 

dengan dimainkan oleh perorangan tetapi 

rangkaian dari serangannya, dipakai oleh 

yang lain.

Bergantian. Hebat dan semangat. Meru-

pakan jurus yang ampuh. Paksi Uludara

menciptakan jurus itu dengan sangat sem


purna.

Kali ini orang tua itu benar-benar 

kewalahan.

Sebuah pedang sempat menggores ba-

hunya, yang langsung berdarah. Orang tua 

itu menekap lukanya. Matanya nyalang. Ke-

sabarannya sudah habis.

Ganti dia kini yang menerjang. Seran-

gannya membabi buta. Tetapi sejauh itu, 

dia pun tak mampu menembus pertahanan dan 

serangan balasan berangkai yang dipergu-

nakan oleh lawan-lawannya.

Bahkan sekali lagi pedang itu menyam-

bar dadanya. 

"Breeet!"

Bajunya sobek. Dan merembes darah se-

gar.

Melihat keadaannya yang agak payah, 

tahu-tahu orang tua itu berkelebat. Den-

gan sekali salto dan menghilang. Orang-

orang itu serentak mengejar, tetapi se-

rentak mereka bersalto. Ranting kering 

yang dipergunakan orang tua tadi sebagai 

senjata, telah dilempar dengan penuh te-

naga.

Dan menancap di sebuah batang pohon.

Tidak mungkin untuk mengejar orang 

tua itu. Dengan perasaan geram dan marah, 

mereka kembali ke tempat tadi. Membe-

baskan dua saudara seperguruan mereka da-

ri totokan orang tua tadi.

"Kita gagal menangkap orang tua itu,"


kata salah seorang antara kecewa dan ma-

rah.

"Yah... Guru pasti marah dengan kega-

galan Ini," sahut salah seorang.

"Kita harus bagaimana?" tanya salah 

seorang.

"Kita cari orang tua itu," sahut sa-

lah seorang.

"Sampai kapan pun, kalau kita tidak 

berhasil membunuhnya dan mempersembahkan 

kepalanya kepada guru, guru pasti akan 

membunuh kita!"

"Yah... dia sangat menyayangi adik 

seperguruan kita," kata salah seorang.

"Kalau begitu, kita harus segera men-

cari jejak orang tua itu!" usul salah 

seorang. 

"Biar bagaimana pun, kita harus ber-

hasil menangkapnya! Semata bukan karena 

kuatir guru marah, tetapi bakti kita ke-

pada guru dan membalaskan dendam adik se-

perguruan!"

"Setuju!"

"Ya!! Mari!"

Serentak kelima orang berpakaian hi-

tam dan topeng hitam, menyarungkan sepa-

sang pedang mereka masing-masing.

Dan seperti dikomando, mereka berla-

ri. Seolah saling berlomba.

***


TIGA


Bayangan-bayangan itu berkelebat me-

nembus hutan yang lebat, Agaknya mereka 

memang sering melewati hutan itu, karena 

begitu enak dan hafal jalan-jalannya.

Bayangan-bayangan itu berpakaian me-

rah semua. Ringan dan cepat gerakan mere-

ka.

Hutan yang penuh pohon-pohon jati itu 

bukan merupakan halangan bagi mereka un-

tuk melangkah. Mereka seakan berlomba adu 

pamer kesaktian berlari mereka.

Di sebuah gua yang terletak di tempat 

yang benar-benar sunyi mereka berhenti. 

Dan serentak mereka menjura kearah gua 

itu.

"Masuk!" terdengar suara lembut tapi 

penuh tenaga dari dalam.

Orang-orang itu segera masuk. Kali 

ini tidak serentak. Mereka berjajaran ke 

belakang. Penuh sikap hormat berjalan, 

satu persatu.

Gua yang kelihatan sempit itu semakin 

lama semakin melebar. Dan keadaan dalam 

gua itu terang benderang. Di ujung sana, 

terdapat sebuah batu yang berhias emas 

intan dan permata. Begitu indah dan ber-

kilauan. Benar-benar menakjubkan.

Dan yang lebih menakjubkan lagi,


orang yang duduk di kursi batu itu. Seo-

rang wanita muda yang sangat luar biasa 

cantiknya.

Wajahnya seperti memancarkan cahaya

Pakaiannya dari sutera yang indah, ber-

warna merah. Dan sangat kontras dipakai 

oleh wanita yang berkulit putih itu.

Orang-orang yang baru masuk itu, men-

jura. "Salam, Ketua!" sahut mereka serem-

pak. Wanita cantik itu tersenyum. Ia me-

nyuruh mereka duduk di hadapannya.

"Laporkan hasil kerja kalian," suara 

itu lembut dan penuh wibawa.

"Semua telah kami laksanakan dengan 

baik, Ketua. Perintah ketua kami junjung 

tinggi," kata salah seorang wanita yang 

berpakaian merah itu. Dia si Mawar Me-

rah."

"Hmm, bagus. Kau sudah menyiarkan ka-

bar, kalau kalian dipimpin oleh seorang 

pendekar yang bernama Madewa Gumilang?"

"Semua telah kami laksanakan, ketua." 

"Bagus, bagus!" wanita cantik yang 

tak lain dari Dewi Cantik Penyebar Maut 

itu tersenyum senang. Betapa cantiknya.

"Kita tunggu kedatangan Puspa Merah, 

Dia tengah kuperintahkan menyelidiki kea-

daan keluarga Madewa Gumilang. Semua ter-

diam.

Hanya memperhatikan sang ketua bica-

ra. Dewi cantik yang kejam. Yang hatinya 

mendendam pada pemuda yang bernama Madewa



Gumilang!

Entah kenapa, mereka tidak ada yang 

tahu kecuali sang ketua sendiri.

Sebenarnya, siapakah wanita muda yang 

kejam itu, yang bergelar Dewi Cantik Pe-

nyebar Maut?

Dia tidak lain adalah Nindia, wanita 

muda yang lima tahun yang lalu pergi ka-

rena kecewa. Kecewa karena pemuda yang 

dicintainya mencintai wanita lain.

Pemuda itu Madewa Gumilang, yang dia 

kenal pernah menolong keluarganya dari 

perampokan (baca: Dendam Orang-orang Ga-

gah). Dan wanita itu adalah Ratih Ningrum 

yang dulu disangkanya seorang pria, pa-

dahal Ratih Ningrum menyamar sebagai Adi 

Permana. Dan bersama Madewa Gumilang, dia 

menyelamatkannya dari tangan Wirapati.

Perasaan Nindia galau. Gundah. Kece-

wa. Malu. Marah. Dia berlari meninggalkan 

keduanya. Hatinya benar-benar hancur. Da-

lam keadaan terluka itu dia bertemu den-

gan seorang kakek sakti yang berdiam di 

gunung Muria.

Dia dibawa oleh kakek sakti itu ke 

gunung Muria. Di sana dia diberi ilmu ke-

saktian yang amat dahsyat. Entah kenapa 

Nindia menerima semua pemberian itu. Pe-

rasaan kecewa terhadap Madewa Gumilang 

menjadikannya wanita yang penuh semangat 

dalam menuntut kesaktian.

Dan dia berubah menjadi dendam pada


Madewa. Juga pada pemuda-pemuda yang se-

baya Madewa. Tak jarang diam-diam Nindia 

turun gunung untuk membunuh pemuda-pemuda 

itu. Walau tidak ada kesalahan sedikit 

pun! Perbuatannya itu diketahui oleh gu-

runya, yang sangat marah besar. Gurunya 

memberi ilmu kesaktian dan kepandaian ke-

padanya, agar dia bisa menghilangkan ke-

sedihan dan melupakan pemuda yang bernama 

Madewa Gumilang.

Tetapi kemarahan gurunya itu, malah 

ditentang oleh Nindia. Dengan beraninya 

dia menantang gurunya berkelahi. Jelas 

saja Nindia kalah.

Sebagai seorang guru yang arif, gu-

runya itu mengampuni semua kesalahannya. 

Namun Nindia malah semakin mendendam. Dia 

mencuri keris pusaka Naga merah milik gu-

runya. Dan dengan keris itu dia menikam 

gurunya ketika sedang bersemadi.

Dan mulailah Nindia melanglang buana 

untuk mencari Madewa Gumilang dan is-

trinya. Dia tidak ingin kedua orang itu 

hidup. Karena dia masih terbayang oleh 

kekalahannya dalam memiliki Madewa.

Sikapnya yang telengas dan keji apa-

lagi setiap kali bertemu dengan pemuda-

pemuda yang menggodanya, dia langsung 

membunuh, membuatnya menjadi wanita yang 

kejam.

Dan dengan cepatnya tersebar kabar 

dan julukan orang akan adanya Dewi Cantik


Penyebar Maut yang menggetarkan.

Yang begitu kejam! Menjatuhkan tangan 

tanpa pandang siapa orangnya!

Nindia juga mulai mengambil beberapa 

orang murid wanita. Lima wanita muda dan 

cantik diambilnya secara paksa. Tetapi 

lambat laun orang-orang itu menurut pa-

danya. Tidak ada lagi yang merasa terpak-

sa.

Mereka pun dididik menjadi orang-

orang yang kejam. Yang merampok dan mem-

bunuh. Juga menyebarkan desas-desus akan 

memberontak terhadap raja di bawah pimpi-

nan Madewa Gumilang!

Dewi Cantik Penyebar Maut beserta 

anak buahnya, menjadikan orang bergetar

mendengarnya. Apalagi menyebut namanya.

Banyak orang-orang dari golongan pu-

tih yang menentang mereka, tetapi mereka 

tak berumur panjang. Karena menghadapi 

anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut saja 

mereka tidak mampu, apalagi menghadapi 

gurunya! Dewi Cantik Penyebar Maut, men-

jadi momok nomor satu baik oleh lawan 

maupun kawan. Baik dari golongan putih 

ataupun golongan hitam!

Nenek tua itu tertatih-tatih mendeka-

ti rumah itu. Ia kelihatan letih. Mungkin 

habis melakukan perjalanan yang jauh. 

Langkahnya pelan. Dan kadang terhuyung. 

Tongkat di tangannya begitu jelek dan pa-

kaiannya pun betapa lusuhnya.


Pranata Kumala yang sedang bermain-

main di halaman rumahnya, melihat nenek 

tua itu. Dia kasihan melihatnya. Buru-

buru dia menghampiri. "Nenek mau kemana?" 

tanyanya sambil memandang nenek tua itu 

dengan tatapannya yang bundar.

Nenek tua itu tersenyum. Wajahnya su-

dah keriput. Rambutnya putih semua. Tu-

buhnya pun agak bungkuk.

"Nenek tidak tahu mau ke mana, Nak," 

sahut nenek itu. Suaranya lemah.

"Nenek tidak tahu mau ke mana?" Anak 

itu bertanya lagi, heran.

Nenek itu menggeleng.

"Memangnya rumah nenek di mana?"

Lagi nenek itu menggeleng.

"Nenek tidak punya rumah, Nak."

"Kalau begitu mampir ke rumah saya 

ya, Nek? Mungkin ibu punya sedikit air 

dan kue untuk nenek. Ayo!" ajak Pranata 

Kumala sambil menarik lengan nenek itu. 

Dan membimbingnya dengan hati-hati.

Nenek itu mengikuti. Ia dibawa masuk 

ke dalam rumah mungil itu. Pranata masuk 

ke dalam. Berseru memanggil ibunya.

"Bu, bu!" serunya. "Ibu di mana, 

sih?"

Ratih Ningrum yang tengah menanak na-

si keluar dengan tergopoh-gopoh. Pranata 

Kumala tersenyum melihat ibunya.

"Ada apa, Nak?"

"Ikut aku ke depan, Bu!"


Tanpa banyak tanya, Ratih Ningrum 

mengikuti anaknya ke ruang depan • Nenek 

tua itu tengah melepaskan lelahnya dengan 

menyelonjorkan kaki di depan.

Pranata Kumala menunjuk dan berkata.

"Nenek itu nggak punya rumah, Bu. Ku-

bawa saja ke mari. Ibu masih punya maka-

nan kan?" 

Ratih Ningrum terkejut melihat nenek 

tua itu. Kelihatan sekali dia keletihan. 

Mungkin juga kelaparan. Buru-buru dia ma-

suk ke dalam. Untung masih ada sedikit 

makanan dan minuman. Diberikannya kepada 

nenek itu yang memakannya dengan lahap.

Setelah itu mereka bercakap-cakap. 

Nenek itu bilang, dia dari perjalanan 

jauh, tengah mencari anaknya yang hilang. 

Dia sendiri sudah lupa siap nama anaknya.

Ratih Ningrum manggut-manggut walau 

agak heran. Ah, mungkin nenek tua itu su-

dah pikun. Tetapi sedetik kemudian, dia 

melompat merangkul anaknya. Dan menjauhi 

nenek tua itu. Dia membentak, 

"Siapa kau sebenarnya?!" Nenek Tua 

itu terbatuk. Kaget dengan pertanyaan Ra-

tih Ningrum.

"Aku... aku... ingin mencari anak-

ku...." Dia terbatuk lagi.

Tahu-tahu Ratih Ningrum mengibaskan 

tangannya. Wuuut! Sebuah dorongan angin 

yang lumayan menyambar ke arah rambut ne-

nek itu.


Dan rambut putih itu terlepas! Ber-

ganti dengan rambut hitam yang terurai.

"Siapa kau sebenarnya?" bentak Ratih 

Ningrum lagi. Dia melindungi anaknya di 

belakang tubuhnya. Sebenarnya Ratih Nin-

grum tidak curiga, tetapi gagang pedang 

yang menyembul di punggung nenek itu mem-

buatnya curiga. Gagang pedang itu dipakai

untuk membuat pungguk agar nampak bong-

kok.

Nenek tua itu memang bukan nenek da-

lam arti sebenarnya. Sekarang dia telah 

membuka seluruh penyamarannya. Wanita mu-

da berpakaian merah dengan sebilah pedang 

di punggungnya.

Wanita itu terkekeh. "Ini rupanya is-

tri Madewa Gumilang? Tidak percuma kau 

menjadi istri pendekar besar itu. Matamu 

awas. Dan ilmumu lumayan tinggi!" 

"Tunggu! Kau siapa?" 

"He... he... hari ini aku datang un-

tuk mencabut nyawamu! Demi perintah ketua 

untukku! Aku harus mempersembahkan kepa-

lamu kepadanya! Bersiaplah, Ratih Nin-

grum?"

"Sebutkan siapa namamu dan siapa ke-

tuamu?" 

Wanita muda itu terkekeh lagi. "Kau 

akan bergetar mendengar siapa nama guruku 

yang sekaligus ketuaku. Hmm, dengar baik-

baik, Ratih Ningrum... Ketuaku bergelar..

I Dewi Penyebar Maut...."


Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-

tih Ningrum melengak kaget. Nama yang su-

dah sering didengarnya. Nama maut yang 

menggetarkan.

"Aku sendiri bernama Puspa Merah! Kau 

Bersiaplah, Ratih Ningrum! Ajalmu hanya 

sampai di sini!"

"Baik, tapi jangan kau ganggu putra-

ku!" Ratih Ningrum menyuruh anaknya tetap 

di dalam. Ia melesat ke luar setelah me-

nyambar sepasang pedang kembarnya. Puspa 

Merah mengikuti keluar.

Keduanya berhadapan dengan tatapan 

siaga dan nyalang. Ratih Ningrum sadar 

akan kehebatan anak buah Dewi Cantik Pe-

nyebar Maut itu. Dia tidak ingin bertin-

dak gegabah. Sepasang pedang kembarnya 

dicabut. Pedang warisan gurunya yang ber-

nama Mukti yang bergelar si Pedang Kem-

bar.

Dia mulai memamerkan kehebatan ilmu 

pedangnya. Puspa merah pun tak mau kalah. 

Dia pun mencabut pedangnya. Kini keduanya 

mulai menjajagi.

Sekilas, Ratih Ningrum akan menang, 

karena senjatanya sepasang. Tetapi Puspa 

Merah bukanlah murid sembarangan dari De-

wi Cantik Penyebar Maut!

Tahu-tahu Puspa Merah menerjang. Se-

rangannya cepat. Tusukan dan sabetan pe-

dangnya mengarah pada tempat yang memati-

kan.


Ratih Ningrum menyambut serangan itu.

"Trang! Trang! Trang!"

Benturan kedua senjata itu menimbul-

kan pijar api yang agak menyilaukan ber-

tanda keduanya memakai tenaga dalam yang 

lumayan.

Puspa merah meloncat ke depan. Sambil 

meloncat itu dia menusuk tepat ke kepala 

Ratih Ningrum. Ratih Ningrum mengelak si-

gap. Bergulingan ke belakang sambil me-

nyabetkan pedangnya pada Puspa merah yang 

masih bersalto di atas.

"Trang!"

Puspa merah menangkis dan hinggap 

dengan sigap.

"Bersiaplah, Ratih!" desisnya tajam. 

Ia terdiam. Tampaknya tengah merapal ilmu 

simpanannya Dan gerakan pedangnya menjadi 

nampak lebih cepat. Itulah yang dinamakan 

jurus Pedang Empat Penjuru. Yang bisa ke-

lihatan lebih banyak. Dan sukar ditentu-

kan ke mana arah tusukan atau sabetannya.

Ratih Ningrum pun bersiap. Ketika 

Puspa Merah menerjang, dia menyambut den-

gan lengkingan panjang. Kembali keduanya

saling menyerang dan bertahan.

Agaknya permainan pedang Ratih Nin-

grum masih berada jauh di bawah ilmu pe-

dang Puspa merah. Dengan sekali sentak 

saja, sebuah pedang di tangan kirinya 

terlepas!

Puspa Merah menghindar sambil terta


wa. "Sebentar lagi nyawamu, Ratih!" Kem-

bali dia menyerang. Sebisanya Ratih Nin-

grum bertahan. Dan lagi-lagi pedangnya 

terlepas. Kini Ratih Ningrum hanya ber-

tangan kosong.

Puspa merah tertawa.

"Tak ada gunanya kau melawanku, Ra-

tih! Hari ini kau harus mampus di tangan-

ku!"

Lagi dia menyerang. Masih tetap den-

gan jurus yang tadi. Dengan sekuat tenaga

Ratih Ningrum menghindar dengan ilmu me-

ringankan tubuhnya. Dan sekali-sekali me-

lepaskan pukulannya.

Kali ini pukulannya nampak banyak dan 

sukar ditangkap oleh mata. Itulah jurus 

pukulan tangan seribu, warisan dari gu-

runya yang bernama Tek Jien.

Rupanya jurus itu bisa mengacaukan 

permainan pedang Puspa Merah.

Mendadak Ratih Ningrum memekik. Ia 

menyerang dengan penuh tenaga. Mendadak 

Puspa merah menghentikan serangannya. Dia 

menghindar dengan bersalto ke belakang.

Justru itu yang diinginkan Ratih Nin-

grum. Ketika Puspa merah menghindar. Den-

gan cepat Ratih Ningrum memungut kembali 

sepasang pedangnya.

Dia merasa mampu mengimbangi permai-

nan pedang Puspa merah. Dia memakai jurus 

pukulan tangan seribunya dengan memainkan 

pedang. Dan dipadukan dengan ilmu pedang


nya.

Benar saja, Puspa merah mundur ketika 

dia menyerangnya dengan memakai jurus de-

mikian.

Bahkan dengan cepatnya, sebuah pedang 

Ratih Ningrum menyobek kain di dada Puspa 

Merah.

"Breeek!"

Puspa merah menjerit sambil mendekap 

dadanya. Ia tidak bisa memaki, karena la-

wannya seorang wanita.

Dia menggeram marah. "Kubunuh kau, 

Ratih! bentaknya seraya menyerang. Kali 

ini serangannya tak terarah, begitu mem-

babi buta. Dan kesempatan itu tidak dis-

ia-siakan oleh Ratih Ningrum. 

Dengan sebuah gerakan manis, dia mem-

balas. Kembali pedangnya mengenai tubuh 

Puspa merah. Darah mengalir dari pahanya.

Puspa merah terhuyung, matanya berku-

nang-kunang.

Ia tak sanggup melanjutkan pertempu-

ran. Dengan menahan rasa sakitnya, dia 

berkelebat menghilang.

Ratih Ningrum menghela nafas lega. 

Rupanya Dewi Cantik Penyebar Maut mulai 

menyebarkan terornya kepadanya.

Hmm, siapa sebenarnya wanita yang 

bergelar menyeramkan itu.

Yang setiap detik mampu mencabut nya-

wa siapa yang diingininya.

Tangisan Pranata, mengalihkan perha


tian Ratih Ningrum. Bergegas dia menjum-

pai putranya, yang menangis ketakutan. 

Ratih Ningrum menggendongnya.

"Hu... hu... nenek itu jahat. Nenek 

itu memukul Ibu," tangis Pranata. Ratih 

Ningrum tersenyum. "Dia tidak memukul 

Ibu. Ibu yang memukul dia. Dia orang ja-

hat. Kita harus memerangi kejahatan. Ayo 

Pranata, katanya kau mau belajar ilmu me-

lompat seperti ibu? Ayo kita mulai, mung-

kin hari ini Ayahmu kembali!"

Anak itu berhenti menangis. Dia se-

nang dengan ilmu silat. Dan keinginan itu 

begitu besar. Ratih Ningrum pun senang 

mengajari anaknya yang baru berusia lima 

tahun itu. Kelihatan kalau anaknya berba-

kat.

Dan diam-diam dia masih memikirkan, 

siapa sebenarnya Dewi Cantik Penyebar 

Maut itu? Teror-terornya sangat mencekam-

kan! Tak pandang bulu, siapa saja kena 

terornya!

***


EMPAT



Di dalam gua itu, Dewi Cantik Penye-

bar Maut masih menunggu kedatangan Puspa 

merah bersama empat murid lainnya.


Puspa merah bertugas menyelidiki kea-

daan Ratih Ningrum, dan kalau bisa membu-

nuhnya! Puspa merah menjanjikan waktu se-

minggu untuk menyelidik itu. Dan ini ada-

lah hari terakhir untuk Puspa merah.

Kalau Puspa merah gagal menyelidik, 

nyawa taruhannya. Untung dia dulu tidak 

berjanji akan bisa membunuhnya!

Sesosok tubuh memasuki gua dalam kea-

daan terhuyung. Tubuhnya penuh luka. di-

alah Puspa merah yang menerima kekalahan 

dari Ratih Ningrum.

Selama tujuh hari dia menyamar seba-

gai nenek tua untuk mencari Ratih Ningrum 

dan selagi bertemu, dia menerima kekala-

han.

"Puspa merah!" jerit Melati merah 

yang langsung memburunya. Juga yang lain. 

Mereka menggotong Puspa merah dan mere-

bahkannya di pembaringan yang terbuat da-

ri batu.

Wajah Puspa merah kuyu dan pucat. Tu-

buhnya letih. Melati merah memberinya ob-

at kuat dan pemunah racun, kalau-kalau 

Puspa merah keracunan.

Nindia alias Dewi Cantik Penyebar 

Maut, bangkit dari 'singgasana'nya. Ba-

junya yang terbuat dari sutera begitu in-

dah dan berkilauan.

"Kalian minggir!" desisnya pada mu-

rid-muridnya. Lalu ia memeriksa keadaan 

Puspa merah menjadi pulih tenaganya. Ia


lalu menotok urat di dada dan paha Puspa 

merah, menghentikan aliran darahnya.

Beberapa menit kemudian, dia mele-

paskan kedua totokan itu. Lalu membuka 

pakaian di dada Nindia. Kembali dia me-

nempelkan kedua tangannya. Kali ini mem-

buat aliran darah Puspa merah normal kem-

bali.

Dan sungguh hebat, nafas Puspa tidak 

lagi terdengar memburu. Kali ini teratur. 

Begitu merasa dirinya agak enak dia lang-

sung berdiri tegak. Langsung berlutut di 

hadapan ketuanya.

"Maaf ketua... saya tidak mampu mem-

bunuh Ratih Ningrum," katanya dengan sua-

ra takut-takut.

"Hmm," Nindia tersenyum manis, tapi 

menakutkan bagi Puspa merah.

"Sudah kuduga, melihat kondisimu se-

perti ini. Tapi kau berhasil menjum-

painya, bukan?" 

"Iya, Ketua."

"Di mana dia tinggal? Dan bagaimana 

keadaannya?"

"Dia tinggal sangat jauh dari tempat 

ini. Di desa Beranggih. Dan dia telah 

mempunyai seorang anak laki-laki yang ki-

ra-kira baru berusia lima tahun."

Sang ketua terdiam. Ratih Ningrum su-

dah punya anak? Betapa senangnya, dengan 

suami yang gagah perkasa dan anak yang 

mungil dan lincah.


Nindia membayangkan, kalau saja di-

rinya yang menjadi Ratih Ningrum, betapa 

bahagianya. 

"Kau menjumpai suaminya?" tanyanya 

lagi, menghilangkan khayalan yang tak 

mungkin tersampaikan. Dan perasaan ingin 

membunuh Ratih Ningrum semakin besar, Ke-

bahagiaan itu harus dimusnahkannya, biar 

Ratih Ningrum merasakan bagaimana dukanya 

ditinggal kekasih. Apalagi jika hasratnya 

tak kesampaian.

Puspa merah menggeleng.

"Tidak, Ketua. Di rumah itu, hanya 

ada Ratih Ningrum beserta putranya."

Nindia alias Dewi Cantik Penyebar 

Maut kembali ke tempat duduknya semula. 

Ia menatap murid-muridnya satu per satu.

"Kali ini, kita akan mengadakan sia-

sat adu domba! Untuk memusnahkan orang-

orang yang kubenci. Sekaligus, kita akan 

menggulingkan kedudukan raja. Seharusnya 

aku yang menjadi raja di negeri ini!

Dan untuk itu, kalian harus pandai-

pandai menyamar dan menyebarkan teror! 

Siasat itu sudah mulai kujalankan. Aku 

telah membunuh salah seorang dari pergu-

ruan Topeng Hitam. Dan aku telah menya-

lahkan Dewa Tua Pengantuk sebagai pela-

kunya!"

Terdengar empat seruan kaget. Dewa 

tua pengantuk! Orang sakti yang mereka 

biarkan lolos ketika menggempur kawan Da


tuk Sakti Berjubah Putih! Kalau begitu, 

ketua mengikuti gerak-gerik mereka.

Serentak keempat orang itu berlutut 

dan menunduk. Puspa Merah yang tidak tahu 

kenapa mereka berbuat begitu, hanya men-

gikuti, kembali berlutut.

"Maafkan kami, ketua," kata Mawar me-

rah. "Dewa tua pengantuk itu kami biarkan 

lolos. Mohon ampun, Ketua."

Dewi Cantik Penyebar Maut mengibaskan 

tangan.

"Sudahlah, yang pasti, orang-orang 

perguruan topeng hitam sekarang tengah 

mencari Dewa Tua Pengantuk itu. Semua itu 

kulakukan ketika melihat dewa tua pengan-

tuk itu keluar dari rumah Datuk sakti. 

Dan kebetulan sekali aku melihat seorang 

pemuda tampan berpakaian hitam berjalan 

seorang diri.

Dia langsung kubunuh.

Begitu selesai kubunuh, muncul sauda-

ra-saudara seperguruan pemuda itu. Ru-

panya dia pergi bersama-sama saudara-

saudaranya. Mereka menanyaiku. Dan kuja-

wab, dewa tua pengantuk yang melakukan-

nya!

Ah, sudahlah. Sekarang, kita jalankan 

permainan yang baru. Yang akan sampai pa-

da Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

Kalian berdua, tunggulah kematian ka-

lian!"


***

Madewa manggut-manggut mendengar pe-

nuturan istrinya mengenai kedatangan 

orang dari Dewi Cantik Penyebar Maut.

la bersyukur sekali, karena istrinya 

mampu menghalau serangan itu. Yang lebih 

penting lagi, Pranata Kumala tidak kurang 

suatu apa.

"Sebenarnya siapa Dewi sesat itu, Ka-

kang?" tanya Ratih Ningrum pada suaminya 

yang masih duduk termenung.

Madewa menggeleng. Menatap istrinya.

"Aku tidak tahu. Nama itu baru muncul 

dan mendadak menjadi sangat besar. Begitu 

menakutkan dan menghantui setiap pera-

saan. Seolah dewi sesat itu berada di se-

tiap urat nadi kita. Dan kedatangan dewi 

sesat itu akan berurusan dengan raja."

"Apa maksudmu, Kakang?" 

"Kota raja diserang oleh beberapa 

orang wanita muda berpakaian merah. Men-

dengar ceritamu tadi, anak buah dewi se-

sat itu berpakaian berwarna merah. Siapa 

lagi yang memakai pakaian demikian yang 

menyerang kota raja kalau bukan mereka? 

Dan mereka menyebutkan namaku sebagai

pemimpin mereka, yang akan menggulingkan 

raja. Bupati Wrahatnala memanggilku sehu-

bungan dengan peristiwa itu. Dia meminta 

keterangan dan pertanggung jawabanku, se-

belum diajukan kepada Raja.


Kini aku tahu, siapa yang membuat 

onar itu. Anak buah Dewi Cantik Penyebar 

Maut!" Madewa menyebut nama itu dengan 

geram.

Ratih Ningrum terdiam. Rupanya masa-

lah itu. Dewi maut itu lebih dulu telah 

mencemarkan nama baik suaminya dan ber-

niat ingin membunuhnya.

"Lalu apa yang akan kau lakukan, Ka-

kang?" tanya Ratih Ningrum cemas. Sebagai 

istri dia patut cemas, karena semua itu 

demi keselamatan , suaminya.

Bahkan keluarganya!

Diliriknya Pranata yang tertidur pu-

las. Malas semakin larut. Entah kenapa 

Ratih Ningrum merasakan itu sebagai de-

tik-detik yang mencemaskan.

Dadanya pun berdebar keras. Tetapi 

karena dilihatnya suaminya tenang saja, 

dia pun berusaha tenang.

Madewa menghela nafas panjang.

"Entahlah, yang pasti, aku akan me-

nentang perbuatan Dewi Cantik Penyebar 

Maut itu! Padahal aku masih ada urusan 

dengan Tuan Abindamanyu."

Ratih Ningrum terdiam. Dia mengenal 

Tuan Abindamanyu itu, walaupun sampai 

saat ini rupa orang itu belum pernah di-

lihatnya,

Ratih Ningrum tahu dari cerita sua-

minya. Dan Abindamanyu adalah orang tua 

Nindia, gadis yang dulu diselamatkan sua


minya dari tangan Wirapati. Ratih Ningrum 

pun ikut membantu, ketika dia masih me-

nyamar sebagai Adi Permana yang bergelar 

Walet Putih dari Utara (baca : Dendam 

Orang-orang Gagah)

Ratih Ningrum juga tahu, apa urusan 

suaminya dengan Abindamanyu. Mempertang-

gung jawabkan keselamatan putrinya yang 

bernama Nindia.

"Lalu apa yang hendak kau lakukan, 

Kakang?" 

"Tak ada jalan lain, Rayi. Aku harus 

menjelaskan semua ini padanya. Selama 

enam tahun ini, aku tidak mendengar kabar 

di mana putri Nindia berada."

"Dan bagaimana dengan orang-orang de-

wi sesat itu?"

"Aku pun punya urusan, yang tidak 

langsung melibatkan dirimu dan Pranata." 

"Kenapa, Kakang?"

"Aku yakin, orang-orang itu masih pe-

nasaran sebelum membunuhmu. Dan herannya, 

sampai saat ini aku belum menemukan motif 

yang sesungguhnya dari dewi sesat itu. 

Dia benar-benar datang untuk menyebarkan 

maut. Siapa saja yang melawannya pasti 

dibunuh. Bahkan, yang tak mengenalnya pun 

dibunuh tanpa kesalahan sedikit pun!"

"Benar-benar orang yang kejam dia 

itu. Tetapi Kakang, aku tak akan mundur 

sedetik pun menghadapinya. Untukmu, untuk 

keluarga kita, aku rela berkorban, walau


sesungguhnya aku pun tidak tahu apa motif 

dia sebenarnya,

Madewa menatap istrinya lama-lama. 

Istrinya adalah seorang anak hartawan, 

anak orang yang berada. Tetapi kini, hi-

dupnya bagai diburu teror yang mena-

kutkan.

Digenggamnya tangan istrinya.

"Ratih... maafkan aku, karena hidup 

bersamaku kau selalu ditimpa kesusa-

han...."

Ratih Ningrum balas menatap. Terse-

nyum.

"Tidak Kakang, aku tidak menyesal hi-

dup bersamamu. Aku malah bangga menjadi 

istri seorang pendekar yang sanggup mem-

bela kaum yang lemah dan menentang keja-

hatan. Aku bangga, Kakang. Aku... cinta 

padamu...."

Madewa tersenyum. Genggamannya sema-

kin erat.

"Kita harus bersiap, Ratih."

"Saya siap, Kakang!" sahut Ratih Nin-

grum mantap.

"Kau siap kalau aku tinggal beberapa 

lama?" Ratih Ningrum menatap suaminya pe-

nuh selidik-

"Kau hendak kemana, Kakang?"

"Kau sudah lupa, Rayi. Aku masih ada 

tugas untuk menyelesaikan urusan dengan 

Abindamanyu. Kurasa saat inilah yang te-

pat untuk menyelesaikan masalah itu...."


Ratih Ningrum terdiam, lalu mengge-

leng.

"Kau lupa, Kakang.... Kalau nyawa ka-

mi terancam oleh orang-orang dewi sesat 

itu?"

"Itulah persoalannya sekarang. Aku 

bingung hendak bagaimana...."

Suasana hening. Kedua suami istri itu 

terdiam. Tahu-tahu Ratih Ningrum menepuk 

bahu suaminya. Wajahnya riang.

"Kakang... bagaimana kalau aku ikut 

bersamamu? Juga anak kita Pranata. Dia 

pasti senang kita pergi berjalan-jalan. 

Anggaplah kita sedang bertamasya. Bagai-

mana, Kakang? Kau setuju dengan usul 

itu?"

Mata Madewa Gumilang terbuka. Suatu 

usul yang bagus. Dia jelas setuju.

Madewa mengangguk.

"Usul itu sebenarnya sudah ada di be-

nakku. Tapi aku takut mengemukakannya."

"Kenapa?"

"Kau anak orang kaya, Rayi. Ikut den-

ganku, kesengsaraan akan turut bersamamu. 

Maksudku tadi, aku hendak mengirimkan kau 

dan Pranata ke tempat tinggalmu di desa 

asalmu. Jatiberingin. Di sana kau akan 

aman bersama tiga pengawal setia ayah-

mu... yang sekaligus adalah guru-

gurumu...."

"Tidak," potong Ratih Ningrum tegas. 

"Aku akan tetap ikut bersamamu, Kakang.


Biar bagaimana nasib yang aku terima, 

bersamamu aku akan selalu senang. Izinkan 

aku ikut, Kakang? Juga Pranata. Izinkan 

aku, Kakang."

Madewa tersenyum. Mengecup dahi is-

trinya.

"Aku akan membawa kalian serta. Ka-

lian adalah harta dan benda kesayanganku. 

Orang-orang yang sangat kukasihi hidup 

dan mati Lahir dan batin". bisik Madewa 

lembut di telinga istrinya.

Istrinya merebahkan tubuhnya didada 

suaminya. Ratih Ningrum merasakan detak 

jantung suaminya yang teratur.

Dia pun mengasihi suaminya. Suaminya 

yang dulu hanya merupakan seorang pengaw-

al pribadinya (baca : Pedang Pusaka Dewa 

Matahari)

Kali ini, selama enam tahun mereka 

menempati rumah mungil itu, besok atau 

mungkin lusa, mereka akan meninggalkan-

nya.

***

LIMA



Keesokan harinya, sebelum matahari 

sepenggalah, Madewa Gumilang, Ratih Nin-

grum dan anak mereka, Pranata Kumala, su

dah meninggalkan rumah mungil itu. Mereka 

hanya membawa barang-barang yang ringan-

ringan saja.

Ratih Ningrum agak sedih meninggalkan 

rumah yang sudah enam tahun mereka tempa-

ti. Perasaannya amat sayang dengan rumah 

itu. Tetapi keadaan begitu mendesak, tak 

ada jalan lain. Mereka memang harus me-

ninggalkan tempat itu!

Meninggalkan rumah mungil itu.

Hanya Pranata Kumala yang nampak gem-

bira. Dia senang ayah dan ibunya menga-

jaknya jalan-jalan. Dia tidak tahu, pa-

dahal setiap saat maut siap menerjang me-

reka.

Dan mencabut nyawa mereka!

Desa tempat tinggal Abindamanyu begi-

tu jauh dengan desa Renggih. Jaraknya ba-

gaikan ribuan mil.

Ketika tiba di penginapan pertama, 

Madewa membeli dua ekor kuda. Dan kembali 

melanjutkan perjalanan. Kali ini agak lu-

mayan. Ditempuh dengan kuda sepertinya 

menghemat waktu.

Ketika melewati sebuah hutan kecil 

tiba-tiba di hadapan mereka, muncul dela-

pan orang berpakaian kerajaan. Mereka 

menghadang dengan sikap mereka yang buas 

dan marah. Masing-masing memegang senja-

ta.

Madewa menghentikan laju kudanya. Dan 

menyuruh istrinya menjajari kudanya. Se


mentara Pranata Kumala jengkel, karena 

ibunya menghentikan laju kudanya.

Madewa melompat turun. Menghadapi 

orang-orang itu.

"Ada apa kiranya orang-orang kerajaan 

menghadang perjalanan kami?" tanyanya se-

telah menjura.

"Hhh!" mendengus salah seorang dari 

mereka, yang nampaknya pemimpin orang-

orang itu. "Rupanya kau berada di sini, 

Madewa! Hampir satu hari satu malam kami 

mencarimu!"

Madewa merasa, ini ada persoalan yang 

gawat. Sikap pengawal kerajaan itu tidak 

bersahabat. Nada suaranya menyentak dan 

menjengkelkan. Menandakan dia sedang da-

lam puncak kemarahan. Entah apa sebabnya.

"Ada persoalan apakah kalian mencari-

ku?" tanya Madewa tetap dengan sikap so-

pan.

"Jangan banyak cakap, Madewa! Kami 

diperintahkan untuk segera menangkapmu".

"Hei, ada persoalan apa gerangan?!" 

seru Madewa terkejut. Juga istrinya yang 

mendadak bersiap. Sepasang pedang di 

punggung Ratih Ningrum menjadikan wanita 

itu nampak kehebatan dan kepandaiannya.

"Hhh, kau berpura-pura, Madewa! Ru-

panya kecurigaan Bupati terhadapmu memang 

beralasan...."

"Tunggu Saudara... ada apa gerangan?" 

potong Madewa bingung.


"Baik, walau aku tahu tak ada gunanya 

memberitahumu. Karena kau sendiri yang 

menjalankan aksi pembunuhan itu!"

"Pembunuhan?!" Madewa terbelalak, 

Ratih Ningrum pun terkejut. Orang itu 

tertawa sinis.

"Yah... kau telah menyerang rumah Bu-

pati Wrahatnala karena dendam dipanggil 

kemarin. Kini Bupati menugaskan kami un-

tuk menangkapmu!" Orang itu mengangkat 

tangannya ke atas. Mendadak dengan seren-

tak yang lain mempersiapkan senjata mere-

ka masing-masing. Mengambil sikap siap 

tempur. "Madewa... kami tidak Mengingin-

kan adanya pertumpahan darah. Untuk itu 

kami minta, kau mengaku dengan sikap ke-

satria. Siap menerima hukuman sesuai den-

gan perbuatanmu! Cepat! Ku hitung sampai 

tiga. Satu...!"

Madewa masih terdiam. Dia menduga-

duga siapa yang telah melakukan pembunu-

han itu. Pasti orang itu sangat sakti, 

karena tokoh-tokoh utama kerajaan mati 

terbunuh.

Dan lagi-lagi namanya yang dipakai 

sebagai kambing hitam!

"Dua...!"

Apa tidak mungkin orang-orang dewi 

sesat itu yang memulai terornya? Untuk 

bertanya pada orang-orang yang sedang ma-

rah itu tidak mungkin. Pikiran mereka 

hanya satu, menjalankan perintah.


Dan perintah itu untuk menangkapnya!

Atau membunuhnya.

"Tiga... seraaaang!"

Madewa tersentak. Orang-orang itu se-

gera berterjangan ke depan. Cepat dan 

dahsyat diiringi oleh pekikan.

Tersadar Madewa bersalto menghindar.

Ia berseru pada istrinya, "Rayi...

cepat kau menghindar dari tempat ini.' 

Cepat, Rayi!"

Ratih Ningrum memutar kudanya. Dan 

dari kejauhan melihat suaminya bertempur. 

Ada keinginan untuk membantu. Tetapi dia 

yakin, suaminya mampu menghadapi mereka. 

Selain itu, Pranata tidak mau ditinggal 

sendiri.

Ratih Ningrum hanya memperhatikan

Bagi Madewa Gumilang, menghadapi 

orang-orang ini tidak susah. Dengan mudah 

dia bisa menjatuhkan mereka. Orang-orang 

yang tahu hanya pada perintah.

Dan orang-orang yang tak berdosa. Dia 

tidak ingin menjatuhkan tangannya pada 

mereka. Sampai sejauh itu dia hanya meng-

hindari serangan-serangan mereka. Dengan 

jurus Ular Meloloskan Diri, serangan-

serangan itu mampu dielakkan.

Tetapi kalau begini terus, lama kela-

maan tenaganya akan terkuras. Dan pertem-

puran itu memang percuma.

Tiba-tiba Madewa bersalto, dan dengan 

sigap cepat dia menyambar pemimpin kelom

pok itu. Gerakannya cepat dan penuh per-

hitungan.

Melihat pimpinan mereka ditawan, 

orang-orang itu bergerak kembali. Madewa 

bersalto. Mendadak orang-orang itu meng-

hentikan serangannya kuatir mengenai te-

man mereka sendiri. Kesempatan itu digu-

nakan Madewa untuk kembali menyambar pe-

mimpin mereka. Dan menyeretnya agak jauh.

Golok yang dipegang orang itu kini 

digenggamnya. Tangannya menelikung di 

leher. Dan goloknya mengancam. Siap mene-

bas lehernya.

"Semua berhenti, kalau tidak, orang 

ini kubunuh!" bentak Madewa. Orang itu 

meronta.

"Jangan takut, bunuh saja dia! Bunuh 

saja dia! Aku rela mati untuk kerajaan 

dan keadilan!"

"Setan!" Madewa menabok pipi orang 

itu hingga memerah. Lalu membentak pada 

pengawal kerajaan yang lain, yang ingin 

maju dengan ragu-ragu, "Cepat kalian per-

gi dari sini! Katakan kepada raja, kalau 

bukan aku yang melakukan pembunuhan itu! 

Cepat pergi!" 

Orang yang ditekuk lehernya itu ber-

seru, "Jangan hiraukan perkataannya, se-

rang dia!"

"Jangan mendekat, kubunuh orang ini!" 

bentak Madewa. Goloknya terangkat. Orang-

orang yang mau menyerang itu menjadi ra


gu.

Madewa mempergunakan kesempatan itu. 

Tangannya dengan cepat menotok orang itu 

hingga kaku. Dan dia berkelebat dengan 

cepat. Menyambut senjata-senjata pengawal 

yang lain. Gerakannya sukar diikuti oleh 

mata. Tahu-tahu mereka merasakan senjata 

tidak ada lagi di tangan.

Dan di hadapan mereka Madewa Gumilang 

sudah menggenggam senjata-senjata itu.

Orang-orang itu terperangah. Sungguh 

suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh 

yang sempurna.

"Cepat kalian minggat dari sini!"seru 

Madewa berwibawa. "Katakan kepada Bupati 

bukan aku yang melakukan aksi pembunuhan 

itu! Dan katakan pula, aku akan membong-

kar aksi itu, yang telah mengambing hi-

tamkan namaku! Akan kubongkar sampai ke 

akar-akarnya!"

"Madewa! seru salah seorang. "Kami 

memandang nama besarmu. Dan kami kecewa 

kau telah melakukan perbuatan keji itu. 

Madewa, kami minta kau secara suka rela 

menyerahkan diri kepada Bupati untuk dis-

erahkan kepada Raja!"

"Bagaimana mungkin aku menyerahkan 

diri, kalau bukan aku yang melakukan se-

mua itu! Kalian memang para pengawal Bu-

pati yang setia, tetapi kalian telah sa-

lah melihat orang! Di belakang semua ini, 

pasti ada seorang yang membenciku, yang


tega memakai namaku di balik kejahatan-

nya! Untuk itu, secara damai pun kalian 

kubiarkan bebas. Dan katakan semua perka-

taanku itu kepada Bupati!"

"Orang itu menggeleng. Katanya keras 

kepala, "Kami tidak akan kembali sebelum 

membawamu serta. Kami ingin membaktikan 

tenaga untuk kerajaan. Biar bagaimana pun 

kami tetap akan menyerangmu!".

"Tahan! Jika aku mau dengan mudah 

nyawa kalian kucabut. Tetapi aku bukanlah 

orang yang telengas, yang ringan menja-

tuhkan tangan! Kita semua salah paham. 

Izinkan aku untuk membersihkan nama baik-

ku! Kuminta sekali lagi, kalian tinggal-

kan tempat ini! Dan sampaikan maafku ke-

pada Bupati Wrahatnala!"

"Tidak!" 

"Kau keras kepala, Saudara! Baiklah, 

aku akan menyerahkan diri secara suka re-

la, tetapi tolong jelaskan... jalannya 

aksi pembunuhan itu!"

Merasa Madewa mau menyerahkan diri 

dengan suka rela, orang itu mulai, berce-

rita.

Kemarin malam keadaan rumah Bupati 

Wrahatnala aman dan damai. Bupati tidak 

merasa sedikit pun akan adanya serangan 

gelap. Apalagi orang yang dituduh Madewa 

Gumilang, telah berjanji akan menangkap 

orang-orang yang membuat keonaran. Dia 

tidak ingin berita pemberontakan itu sam


pai kepada Raja. Dia ingin menyelesaikan 

dulu semua persoalannya.

Walaupun Bupati tidak begitu yakin 

akan ucapan Madewa, karena Bupati masih 

mencurigainya!

Dan menjelang tengah malam, terdengar 

pekikan dari pintu gerbang. Serentak sei-

si rumah terbangun. Dan menemukan orang 

yang menjerit tadi. Orang yang telah me-

nemui ajalnya yang sangat mengerikan. Tu-

buhnya hancur dan wajahnya tak terbentuk 

lagi. Tetapi Bupati yakin, itu adalah sa-

lah seorang dari pengawalnya.

Bupati Wrahatnala marah besar melihat 

aksi pembunuhan itu. Malam itu juga dia 

mengadakan rapat, dengan memanggil pem-

bantu-pembantunya yang terdiri dari pena-

sehat dan beberapa orang yang mempunyai 

kepandaian silat.

Dalam rapat itu salah seorang yang 

bernama Senomurka, seorang ahli silat 

berpendapat, "Bupati yang terhormat, jika 

melihat bentuk tubuh yang hancur itu, 

hanya ada satu ilmu yang bisa melumatkan 

demikian. Dan hanya sekali pukul orang 

itu bisa hancur!"

"Hmm... pukulan apa itu, ya ahliku?" 

tanya Wrahatnala yang sudah sangat marah 

sekali.

Senomurka menghela nafas, lalu berka-

ta lambat-lambat.

"Pukulan bayangan sukma."


"Pukulan bayangan sukma?" jerit Wra-

hatnala terkejut. Bukan dia saja yang 

terkejut, beberapa tokoh lain pun terke-

jut.

Pukulan bayangan sukma, pukulan yang 

begitu dahsyat! Dan hanya seorang di du-

nia ini pemiliknya.

"Apakah Madewa Gumilang yang telah 

melakukan aksi pembunuhan itu?" gumam 

Wrahatnala sangsi.

"Kemungkinan itu bisa saja, Bupati 

Wrahatnala. Kita semua tahu, hanya Madewa 

Gumilang yang memiliki pukulan sakti itu. 

Tetapi kita tidak tahu, apa maksudnya 

membunuh pengawal kita."

Semua terdiam. Suasana hening. Saling 

berpikir menemukan jawaban. Ada pula yang 

meragukan kebenaran itu, tetapi ada juga 

yang mengiyakannya. Termasuk Wrahatnala 

yang yakin Madewa Gumilang yang melakukan 

aksi itu.

"Aku tahu wahai segenap pembantuku," 

kata Wrahatnala kemudian. "Bukankah ak-

hir-akhir ini kita mengetahui, kalau Ma-

dewa Gumilang bermaksud menggulingkan 

tahta kerajaan. Tak salah lagi, pasti dia 

memulai lagi aksinya! Untuk itu kepada 

kalian semua... jika bertemu dengan manu-

sia sesat itu, kalian tangkap dan hadapan 

kepadaku!"

Semua setuju dengan pendapat Bupati 

Wrahatnala. Memang hanya itu satu-satunya


kemungkinan. Dan semua geram dengan Made-

wa Gumilang, tokoh sakti yang mereka 

sangka arif dan bijaksana, tahunya mempu-

nyai niat yang keji dibalik kebaikannya 

itu.

Tiba-tiba selarik sinar merah berke-

lebat ke ruang rapat itu. Dan menghantam 

dinding hingga hancur berantakan.

Semua tersentak. Serangan tersembunyi 

yang berbahaya. Untung tidak diarahkan 

kepada salah seorang di ruangan itu. Be-

berapa orang bersalto mendekati Bupati 

dengan maksud melindunginya. Dan beberapa 

orang lagi bersiaga. Rupanya Madewa Gumi-

lang sudah kembali menjalankan aksinya.

Kali ini, langsung kepada Bupati se-

belum menjalankan aksinya kepada Raja.

Tiba-tiba meloncat sesosok tubuh den-

gan ringannya di hadapan mereka. Tubuh 

itu tertutup pakaian putih-putih, juga 

wajahnya. Dilihat dari posturnya, tubuh 

seorang laki-laki. Dan matanya memancar-

kan nafsu membunuh.

Terdengar suara hardikan Senomurka, 

"Hmm, siapa sebenarnya, Kisanak? Dan mau 

apa mengirimkan serangan keji tadi?"

Orang itu terbahak. Dan tahu-tahu me-

nuding kepada Bupati Wrahatnala!

"Kau? Hari ini aku bermaksud mengam-

bil nyawamu. Dan kuminta, dengan baik-

baik, kau mau menyerahkannya kepadaku, 

kalau tidak, pukulan bayangan sukmaku


akan menghancurkan seisi rumah ini! Kau 

telah mengganggu kerjaku untuk merebut 

tahta kerajaan!"

Diam-diam Wrahatnala terkejut. Puku-

lan bayangan sukma. Kalau begitu dugaan-

nya benar, Madewa Gumilang yang melakukan 

semua ini. Dan dengan alasan yang tepat 

pula!

Wrahatnala menggeram. Melangkah ke 

depan.

"Tidak semudah itu, Saudara? Tahta 

kerajaan bukanlah kue yang seenaknya di-

bagi dan berpindah tangan. Dan tak akan 

pernah ada orang keji macam kau memimpin 

kerajaan! Kau mimpi, Saudara! Keinginanmu 

keinginan yang busuk, yang bersumber da-

lam hati yang busuk. Yang menginginkan

malapetaka terjadi bukan untuk kedamaian 

dan ketentraman. Dan kuminta Saudara, 

jangan mengganggu ketenangan daerah ini"

Belum lagi Bupati habis bicara, orang 

itu sudah mengibaskan tangannya.

"Aku segan mendengar khotbahmu, Bupa-

ti! Kuminta kerja sama kita untuk menggu-

lingkan kerajaan!" Tahu-tahu selarik si-

nar merah berkelebat.

Bupati memekik dan bersalto ke samp-

ing. Begitu pula dengan yang berdiri di 

belakangnya. Serentak pula mereka bersal-

to. Sekali lagi sinar merah itu menghan-

curkan dinding ruang rapat.

"Bangsat!" membentak tokoh yang ber


pakaian gombrong berwarna hijau. Berambut 

panjang sampai sebahu. Dengan masih ber-

salto dia menyerang orang yang berpakaian 

putih-putih.

Ganti orang itu berkelit. Sambil ber-

kelit dia mengirimkan serangan jarak 

jauhnya.

Tokoh yang memakai baju hijau itu 

berkelit pula. Dan balas menyerang diha-

dapkan Bupati dan pembantu-pembantunya, 

keduanya saling menyerang. Serangan-

serangan yang berbahaya saling dilancar-

kan. Pukulan jarak jauh yang berkelebat 

menambah hebatnya pertempuran.

Tetapi sampai sejauh itu keduanya be-

lum ada yang nampak kelihatan kalah. Ke-

duanya masih dalam keadaan seimbang Bebe-

rapa jurus telah berjalan.

Memasuki jurus ke-21, kelihatan orang 

betul pakaian putih-putih itu berada di 

atas angin. Dial mulai mendesak pembantu 

Bupati itu dengan1 serangan-serangan yang 

mematikan.

Dan tiba-tiba dia membentak seraya 

melesat, "Awas serangan!"

Pembantu Bupati itu terkejut. Seran-

gan orang berbaju putih demikian cepat-

nya. Dan pukulan tangan kanannya tepat 

menghantam dadanya hingga muntah darah.

Terdengar jeritan dari seberang,

"Pukulan bayangan sukma!"

Tokoh berbaju hijau itu menemui ajal


nya dengan tubuh hancur!

Orang berbaju putih-putih itu terba-

hak. 

"Cepatlah Bupati, sebelum aku telen-

gas menurunkan tangan kepadamu!"

Bupati yang yakin bahwa itu Madewa 

Gumilang berseru, "Madewa... tokoh putih 

seperti kau, ternyata punya pikiran yang 

amat hina sekali. Biar bagaimana saktinya 

kau, aku tetap tidak akan membantumu 

menggulingkan kerajaan.

Bahkan aku akan mempertahankannya 

sampai titik yang penghabisan."

"Kalau itu permintaanmu, baik. Aku, 

Madewa Gumilang, telah bersumpah akan me-

rebut tahta kerajaan darimu. Atau dari 

siapa pun! Bersiaplah Bupati!"

Belum lagi Bupati memerintahkan pen-

gawalnya menyerang, mereka sudah berkele-

bat ke depan. Dan mengurung orang yang 

mengaku Madewa itu.

Orang berpakaian putih-putih itu te-

nang saja. Sedikit pun tidak kelihatan 

takut. Malah yang mengurung mereka, men-

jadi agak gentar dengan kehebatan dan ke-

saktian Madewa Gumilang sudah menembus 

langit ke tujuh.

Tetapi mereka bukanlah orang-orang 

yang penakut dan gentar. Demi kebenaran 

mereka sanggup membela.

Dan serentak pula mereka mengeluarkan 

jurus masing-masing.


Orang berpakaian putih-putih itu ter-

bahak.

"Ha... ha... keluarkan semua jurus 

kalian. Dengan pukulan bayangan sukmaku 

kalian akan hancur berantakan. Cepat maju 

dan perlihatkan serangan kalian!"

Seperti dikomando, mereka serentak 

menyerang. Dengan tenaga dalam yang he-

bat. Dan serangan yang serempak. Membuat 

orang berpakaian putih-putih agak kebin-

gungan sejenak. Tapi kemudian dia memben-

tak. Tubuhnya mencelat ke atas dan hing-

gap agak jauh dari orang-orang yang men-

gurungnya.

Orang-orang itu berbalik dan kembali 

menyerang. Kali ini serangan mereka dis-

ambut dengan sinar merah yang melesat 

dengan cepat.

Dan orang-orang itu membuyar, masing-

masing berusaha menyelamatkan diri. Teta-

pi sinar merah itu terus melesat ke arah 

Wrahatnala yang tengah terpaku memperha-

tikan pertempuran itu.

"Awaaaas!" Senomurka menjerit. Dan 

menerjang Bupati hingga bergulingan. Si-

nar merah itu melesat dua senti di atas

kepala Wrahatnala.

Wajah Bupati pias. Lawannya itu bu-

kanlah orang sembarangan. Dia yakin, Ma-

dewa Gumilang!

Lagi-lagi wajah Bupati pias, di arena 

pertempuran tinggal seorang pembantu uta


manya yang masih mampu bertahan. Sedang-

kan yang empat orang sudah menemui ajal-

nya dengan tubuh hancur!

Dan yang seorang pun tak bertahan la-

ma, dia pun mati dengan tubuh hancur pu-

la!

Orang berpakaian putih-putih itu me-

ludah di atas mayat-mayat itu. Dan ber-

paling kepada Wrahatnala menuding.

"Kuperingatkan kepadamu, Bupati! Ka-

lau kau tetap tidak membantuku, baik, ku-

bunuh kau!"

Tetapi Wrahatnala bukanlah orang yang 

mudah digertak. Dengan berwibawa dia me-

nyahut, "Sampai kapan pun aku tak akan 

mau membantumu Madewa! Sayang, tokoh sak-

ti dari golongan putih telah membuat dosa 

yang tak berampun!"

"Aku tak suka dengan khotbahmu, Bupa-

ti!

Kau menginginkan kekerasan daripada 

sukarela. Jangan salahkan aku kalau malam 

ini kucabut nyawamu!"

Orang itu bersiap. Senomurka cepat 

bertindak. Berdiri di depan Wrahatnala. 

Tangannya mengibas ke belakang, memberi

tanda agar Bupati segera masuk ke dalam.

Tetapi Wrahatnala tidak beranjak dari 

tempatnya. Biar bagaimana pun, dia tetap 

tak akan mundur. Walaupun ajal menjemput-

nya!

Orang berpakaian putih-putih itu ter


bahak melihat sikap Senomurka.

"Kau hanya mengantarkan nyawa kepada-

ku, Orang jelek! Kau lihat lima orang ka-

wanmu saja tak mampu menangkapku, apalagi 

hanya kau seorang!"

"Aku pun tak suka kau berkhotbah," 

sahut Senomurka tak kalah seramnya. "Kita 

buktikan!"

Sesudah berkata begitu dia melompat 

ke depan. Baru saja dia hinggap di tanah, 

dirasakannya desiran angin yang kuat me-

nerjang ke arahnya, Dengan cepat dia me-

runduk dan menangkis.

"Buk!"

Dua buah pukulan yang penuh tenaga 

itu saling berhantam. Senomurka merasakan 

tangannya kesemutan. Tak urung orang ber-

pakaian putih-putih merasakan hal yang 

sama.

Dia bisa menduga, Senomurka tidak bi-

sa dianggap main-main. Tenaga dalamnya 

seimbang.

Begitu pula dengan Senomurka. Dia te-

tap tidak berani menganggap enteng Madewa 

Gumilang.

Orang berpakaian putih-putih itu me-

nyerang kembali. Kali ini dorongan angin 

yang agak besar siap menyambar. Dia tidak 

berani menangkis, dia hanya berkelit se-

dikit. Dan secepat kilat kepalanya me-

nyambar.

Sungguh hebat. Dalam posisi demikian,


orang berpakaian putih-putih itu berbalik 

dan menangkis pukulan Senomurka.

Kembali dua pukulan beradu. Kali ini 

mereka tidak merasakan lagi. Langsung 

saling menyerang dengan penuh nafsu ingin 

menjatuhkan.

Puluhan jurus telah berlangsung, te-

tapi belum ada tanda-tanda yang kalah.

Semuanya masih bertahan dengan sekuat te-

naga.

Tiba-tiba Senomurka berguling. Dan 

melemparkan senjata rahasianya yang ber-

bentuk jarum-jarum berbisa.

Orang berpakaian putih-putih itu ter-

kejut sedang melancarkan serangannya. Dan 

serentak bersalto ke belakang. Tetapi tak 

urung sebuah jarum berbisa itu mengenai 

bahunya. Orang itu mengaduh dan terjatuh.

Kesempatan itu tidak disia-siakan Se-

nomurka, dia menjerit dan menerjang. Te-

tapi orang berpakaian putih masih sempat 

melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang 

mengurungkan niat Senomurka.

Kali ini orang itu tak sia-sia mele-

paskan kesempatan. Selagi Senomurka sibuk 

menghindar. Dia melesat dan menghilang di 

kegelapan malam.

Senomurka menggeram marah. Orang itu 

sudah tidak nampak lagi wujudnya. Seno-

murka memeriksa tubuh-tubuh kawannya yang 

sudah menjadi mayat.

Benar-benar terkena pukulan bayangan


sukma!

Senomurka berpaling kepada Wrahatnala 

yang masih berdiri tegak. Kali ini keli-

hatan jelas, kalau Wrahatnala tidak tahu 

apa yang harus dilakukannya.

Senomurka menghampiri, menjura hor-

mat, "Maafkan saya, Tuanku. saya tak ber-

hasil menangkap orang itu...."

Bupati tergagap. Dia menatap Senomur-

ka yang menunduk.

"Semua ini terjadi di luar kehendak 

kita, Senomurka. Dan mulai besok, umumkan 

kesegala pelosok negeri, kalau Madewa Gu-

milang menjadi buronan orang istana! Dan 

laksanakan semua itu, sebutkan berita ini 

sampai kepada Raja!"

Pengumuman ini besoknya pun terden-

gar, bertepatan dengan Madewa Gumilang, 

Ratih Ningrum dan putra mereka, mening-

galkan rumah berangkat menuju kediaman 

Abindamanyu.

Dan orang-orang kerajaan pun sudah 

berkeliaran mencarinya. Kali ini delapan 

orang kerajaan berjumpa dengannya. Namun 

tak dapat berbuat apa-apa karena Madewa 

telah merebut semua senjata mereka.

Setelah mendengar penuturan salah 

seorang dari pengawal itu, Madewa mang-

gut-manggut.

Mencoba menganalisa aksi pembunuhan 

itu. Orang berpakaian putih-putih yang 

mengaku sebagai dirinya. Dan mempunyai


pukulan bayangan sukma. Tiba-tiba Madewa 

terlonjak.

Dia ingat dari salah satu penuturan 

itu. Sinar merah!

Hhh, Madewa menggeram. Siapa lagi 

orangnya yang memakai pukulan jarak jauh 

berwarna merah. Pasti anak buah Dewi Can-

tik Penyebar Maut!

Lagi-lagi dirinya yang menjadi kamb-

ing hitam! Kenapa?

"Madewa!" bentak pengawal itu. "Cepat 

kau serahkan dirimu pada kerajaan!"

"Tidak, aku tidak akan menyerahkan 

diri pada kerajaan. Aku akan mencari 

orang-orang yang membuat namaku cemar! 

Dan katakan kepada raja, orang itu adalah 

anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut. 

Hanya mereka yang mempunyai pukulan jarak 

jauh berupa sinar merah! Bisa kalian sam-

paikan salam ku itu sekarang juga!"

Madewa membebaskan totokannya pada 

tubuh pengawal yang kaku. Dan melemparkan 

senjata yang dipegangnya.

Entah kenapa kali ini mereka menurut. 

Rupanya nama Dewi Cantik Penyebar Maut 

membuat mereka gentar. Dengan terburu-

buru mereka mengambil senjatanya masing-

masing dan berhamburan meninggalkan tem-

pat itu.

Madewa merenung. Lagi-lagi Dewi Can-

tik Penyebar Maut. Dan Madewa ingin seka-

li cepat-cepat bertemu dengan orang itu.


Sayang dia tidak tahu di mana kediaman 

dewi sesat itu!

Ia berbalik hendak menemui anak dan 

istrinya, Madewa terkejut. Istri dan 

anaknya tidak ada di tempat tadi. Madewa 

melesat ke depan. Ke mana mereka pergi? 

Hanya ada kudanya saja.

"Ratih! Pranata!" serunya kalang ka-

but.

Tetapi tak ada sahutan. Hanya desir 

angin yang menggesek dedaunan. Madewa 

mencari di segenap tempat itu, tetapi tak 

ditemukannya orang-orang yang dicin-

tainya.

Ia tertunduk. Entah apa yang telah 

terjadi dengan istri dan anaknya.

Tahu-tahu pandangannya terbentur pada 

benda hitam di tanah. Dia memungutnya. 

Sebuah topeng hitam! Madewa mengenal to-

peng hitam itu. Merupakan senjata rahasia 

dan sekaligus lambang dari perguruan To-

peng Hitam. 

Dan Madewa sadar, kalau anak istrinya 

telah diculik oleh orang-orang topeng hi-

tam!

Dia tidak akan membiarkan semua ini. 

Lebih baik diurungkan saja niatnya ke ru-

mah Abindamanyu. Dia harus segera mencari 

anak istrinya.

Entah ada urusan apa anggota topeng 

hitam menculik anak istrinya. Padahal Ma-

dewa yakin, dia tidak pernah punya urusan


dengan orang-orang perguruan topeng hi-

tam.

Kembali satu persoalan muncul. Dan 

persoalan yang amat pelik. Belum tersele-

saikan persoalan yang satu, muncul yang 

lain.

Mempertanggungjawabkan putri Nindia 

pada Abindamanyu, belum dilaksanakan. 

Mencari orang-orang Dewi Cantik Penyebar 

Maut. Membersihkan namanya yang mulai ce-

mar.

Satu saja belum berhasil dia be-

reskan!

Tetapi nyawa anak istrinya lebih ber-

harga dari semua itu! Biar, biar dia me-

ninggalkan kewajiban itu semua.

Anak istrinya harus dicari sampai da-

pat!

Jika anak istrinya terluka atau lecet 

sekali pun, dia bersumpah, akan menghan-

curkan perguruan topeng hitam itu.

Madewa melompat ke kudanya. Mengge-

prak dan melarikannya dengan cepat.

Sementara itu, delapan pengawal kera-

jaan sekarang sudah tidak berlari. Mereka 

berjalan kaki dengan penuh kegeraman dan 

penyesalan karena tidak berhasil menang-

kap Madewa Gumilang.

Ketika melewati sebuah hutan, bebera-

pa sinar merah berkelebat. Dan menghantam 

tubuh mereka hingga hangus.

Lalu berkelebat sesosok tubuh berpa


kaian merah.

"Hhh! Manusia-manusia tak berguna! 

Bukannya dibunuh saja Madewa Gumilang! 

Sampaikan pesannya itu di akhirat nanti!"

Lalu sosok tubuh berpakaian merah itu 

menghilang.

***

ENAM


Sebenarnya bagaimana mulanya Ratih 

Ningrum dan Pranata Kumala bisa menghi-

lang?

Baiknya kita ikuti dulu asal mulanya.

Ketika suaminya sedang bertempur den-

gan para pengawal kerajaan itu, Ratih 

Ningrum sudah ingin turun tangan memban-

tu. Dia geram mendengar suaminya dituduh 

membunuh para tokoh-tokoh utama istana.

Ingin dihabisi saja orang-orang itu!

Tetapi agaknya suaminya tidak ingin 

membunuh mereka, dilihat dia hanya meng-

hindari serangan-serangan itu tanpa mem-

balas. Ratih Ningrum jadi enggan memban-

tu. Walaupun dia bosan menunggu.

Pranata Kumala sudah tidak sabar in-

gin segera melarikan kudanya. Dia meren-

gek terus. Akhirnya Ratih Ningrum menja-

lankan kudanya sekadar menghibur Pranata

Kumala sekalian menunggu suaminya selesai 

berurusan dengan orang-orang kerajaan.

Pranata gembira ketika kuda mulai me-

laju lagi. Dia tertawa-tawa. Begitu pula 

dengan Ratih Ningrum, yang menjalankan 

kudanya dengan santai.

Tanpa menyadari kalau beberapa pasang 

mata berpakaian hitam-hitam mengintai da-

ri balik semak.

Dan berloncatan menghadang! Semuanya 

memakai topeng hitam.

Ratih Ningrum tersentak. Seketika ia 

menghentikan kudanya. Saking kerasnya ia 

menarik kendali, kuda sampai terangkat 

dan meringkik hebat.

Sebagai wanita yang telah digembleng 

mental dan fisiknya, Ratih Ningrum tenang 

menghadapi penghadangannya.

Dia bertanya, "Maaf, kenapa kalian 

menghadangku?"

Salah seorang menyahut, "Kami dari 

perguruan Topeng Hitam, menginginkan nya-

wamu!"

"Ada persoalan apa gerangan?" Ratih 

Ningrum masih bertanya dengan sikap te-

nang. Sementara Pranata Kumala terdiam. 

Heran dengan orang-orang yang berpakaian 

hitam-hitam itu. Mau apa sih mereka? 

Mengganggu keasyikan nya naik kuda saja? 

Hhh! Sebel!

"Kami hanya menginginkan nyawamu! 

Perguruan Topeng Hitam muak dengan ting


kahmu!" suara itu semakin bengis dan ang-

ker. Penuh nafsu ingin membunuh.

"Sebentar, Saudara!" Masih tetap te-

nang sikap Ratih Ningrum. "Kupikir, sela-

ma ini tingkah lakuku tidak pernah ber-

tentangan dengan perguruan Topeng Hitam. 

Lalu mendadak saja kalian menginginkan 

nyawaku! Apa itu tidak salah?"

"Salah atau tidak salah, kami akan 

menangkapmu!" Salah seorang mencabut pe-

dangnya-Dan dua orang yang lain berbuat 

yang sama. Mereka mengambil sikap mengu-

rung Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum masih tenang duduk di 

atas kudanya. Tetapi sikap orang-orang 

lama kelamaan membuatnya menjadi jengkel.

"Baik, kulayani-kemauan kalian! Asal 

ingat, jangan ganggu putraku! Kulihat dia 

terluka, aku bersumpah demi langit dan 

bumi, akan menghancurkan kalian dan per-

guruan Topeng Hitam!"

Sesudah berkata begitu, Ratih Ningrum 

bersalto sambil mencabut sepasang pedang 

kembarnya dan berhadapan dengan tiga 

orang dari perguruan Topeng Hitam itu.

Sikapnya masih tetap tenang. Dia be-

lum mulai serangannya. Menurut Ratih Nin-

grum, dia tidak punya salah. Lebih baik 

menunggu orang-orang itu menyerang.

Dan dia tidak menunggu lama, karena 

salah seorang dari mereka sudah menye-

rang. Dengan sepasang pedang pula.


Jurus-jurus pedang perguruan Topeng 

Hitam sudah tidak boleh disangsikan lagi 

kehebatannya. Jurus-jurus pedangnya mema-

tikan. Cepat dan dahsyat.

Tetapi Ratih Ningrum bukan sembarang

pendekar wanita. Dia digembleng oleh tiga 

gurunya yang sakti. Dengan sepasang pe-

dang kembar pemberian gurunya yang berna-

ma Mukti, dia menghadapi serangan-

serangan itu.

Keduanya lincah memakai jurus masing-

masing.

Menjelang jurus ke-8, Ratih Ningrum 

berhasil menjatuhkan sepasang pedang la-

wannya dan kesempatan itu digunakan untuk 

terus menyerang.

Bersamaan dengan itu, dua orang yang 

lain memapaki. Menyabet pedang Ratih Nin-

grum hingga menimbulkan pijar dan suara 

yang nyaring. Selamatlah nyawa teman me-

reka yang satu itu. Kini Ratih Ningrum 

dikeroyok dari dua jurusan. Empat buah 

pedang lawan berkilatan berkelebat di 

timpa matahari.

Ratih Ningrum masih lincah menghin-

dar. Bahkan meningkatkan permainan pe-

dangnya. Ia memperpadukan dengan jurus 

pukulan tangan seribunya. Yang membuat 

pedang di tangannya terlihat berjumlah 

seribu.

Tiba-tiba terdengar pekikan keras, 

orang yang terjatuh tadi bangkit menye


rang. Ratih Ningrum merasakan dorongan 

angin yang keras mendekatinya. Dia berke-

lit dan menangkis. Lalu memberikan satu 

tusukan melalui pedangnya.

Tetapi orang itu sungguh lincah, dia 

masih tetap bersalto menghindari tusukan 

itu.

Sekarang Ratih Ningrum yang kelimpun-

gan menghadapi serangan itu. Tiga orang 

mengeroyoknya dengan hebat.

Ratih Ningrum bertahan mati-matian, 

dengan harapan suaminya sudah menyelesai-

kan persoalannya dengan pengawal-pengawal 

kerajaan itu. Dan datang membantunya.

Tetapi sampai pedangnya terlepas sa-

tu, suaminya masih belum datang juga. Pu-

tus sudah harapannya untuk bertahan. Ke-

tika salah seorang dari orang itu berha-

sil mengirimkan pukulannya ke dada.

Dia merasakan dadanya seakan mau pe-

cah. Nafasnya terasa sesak dan matanya 

berkunang-kunang. Tahu-tahu dia mencium 

bau wangi yang harum sekali.

Mendadak tubuhnya melemah. Terhuyung.

rupanya bau itu adalah uap bius, yang 

membuatnya kelimpungan.

Dan mendadak dia terjatuh.

Orang-orang itu tidak menyerang lagi.

Salah seorang memerintah, "Kau, cepat 

beresi bocah itu! Dan kau, bawa kuda itu 

mendekati pertempuran Madewa Gumilang 

dengan pengawal kerajaan! Dan jangan lu


pa, lemparkan beberapa senjata rahasia 

perguruan Topeng Hitam seperti siasat ki-

ta!

Cepat!"

Dua orang yang diperintah itu berge-

rak dengan cepat. Seorang melompat dan 

menotok urat di punggung Pranata Kumala, 

lalu menggendongnya.

Yang seorang lagi membawa kuda itu 

dengan hati-hati. Mendekati Madewa Gumi-

lang yang masih bertempur dengan orang-

orang kerajaan. Dan melemparkan beberapa 

buah senjata rahasia Perguruan Topeng Hi-

tam di sekitar kuda itu sendiri.

Sementara yang memerintah membereskan 

Ratih Ningrum yang dalam keadaan pingsan.

Semua itu dilakukan dan terjadi begi-

tu cepat. Madewa tidak menyadari kalau 

istri dan anaknya sudah tidak berada lagi 

di tempat.

Setelah tugas mereka selesai, orang-

orang bertopeng hitam itu melesat mening-

galkan tempat itu.

Dalam hati mereka tertawa, melihat 

siasat yang mereka jalankan membawa ha-

sil.

Semua siasat yang hebat. Ketua memang 

telah memperhitungkan semuanya dengan ma-

tang.

* * *


Ada baiknya kita tengok dulu keadaan 

Abindamanyu dan istrinya yang bernama Na-

dia.

Sejak penculikan Nindia lima setengah 

tahun yang lalu, keadaan istrinya nampak 

mulai payah. Dan kerinduannya terhadap 

putri tunggal mereka, semakin menggunung

dirasakan oleh istrinya. Begitu pula den-

gan Abindamanyu, yang setiap hari ker-

janya selalu termenung.

Istrinya lebih parah lagi, sejak tiga 

bulan yang lalu dia jatuh sakit. Keadaan-

nya semakin lama semakin payah. Setiap 

malam yang diingat hanya putrinya itu. 

Setiap malam pula dia memanggil-manggil 

nama Nindia.

Siang itu keadaan di rumah Abinda-

manyu seperti biasa dalam keadaan sunyi. 

Tak ada riang tawa Nindia di rumah harta-

wan itu seperti biasa.

Lima setengah tahun yang lewat, Made-

wa pernah berjanji akan mencari dan meno-

long putrinya dari tangan Wirapati. Teta-

pi sampai saat ini, dia belum juga datang 

membawa putrinya. Apakah pemuda itu tidak 

berhasil menyelamatkan putrinya?

Habis sudah bahan untuk membujuk is-

trinya agar bersabar, tetapi keadaan bu-

kannya menjadi lebih baik, malah bertam-

bah parah. Istrinya jatuh sakit. Dan dia 

sendiri pun merasakan dirinya menjadi le-

bih tua.


Dan enggan berbuat apa-apa. Tiba-tiba 

di depan rumah terdengar derap langkah 

kuda. Serentak Abindamanyu berlari ke de-

pan. Barangkali orang-orang yang diperin-

tahkan untuk mencari putrinya membawa ha-

sil sekarang. Sudah hampir sepuluh kali 

dia memerintahkan orang-orang bayaran 

maupun pengawal pribadinya mencari pu-

trinya, tetapi semua berhasil nihil.

Bahkan mereka tidak membawa kabar se-

dikit pun tentang putrinya.

Dan kali ini, orang-orang itu pun 

gagal mencari putrinya. Abindamanyu sudah 

bisa menebak dengan melihat wajah-wajah 

mereka yang layu. Juga tak ada tanda-

tanda putrinya berada bersama mereka.

Tetapi walaupun begitu, Abindamanyu 

bertanya, "Bagaimana usaha kalian? Berha-

silkah menemui putriku?"

Salah seorang dari mereka maju se-

langkah, dia bernama Panji. Ia menjura.

"Maafkan kami, Tuanku. Sedikit pun 

kami tidak mendengar kabar di mana putri 

Nindia berada. Hampir seluruh pelosok ne-

geri kami jelajahi, tetapi sedikit pun 

kami tak mendengar di mana dia berada?"

Abindamanyu terdiam. Lagi-lagi jawa-

ban seperti itu yang didengarnya. Hampir 

setiap kali. Telinganya sudah hafal den-

gan jawaban-jawaban seperti itu.

Dia hanya menghela nafas.

"Memang sulit menemukan di mana pu


triku berada," gumamnya lesu. "Malah ku-

duga, dia sudah menemui ajalnya di tangan 

Wirapati. Dan juga, pemuda yang bernama 

Madewa Gumilang itu, mampus pula di tan-

gan Wirapati."

Lagi dia terdiam. Yang lain pun ter-

diam. Hanya menundukkan kepala. Tak kuasa 

menatap tuannya yang nampak semakin tua. 

Dan semakin murung. Suasana hening, Bu-

rung pun seperti enggan bernyanyi.

Abindamanyu menghela nafas panjang. 

Hanya satu yang dipersoalkannya sekarang. 

Kesehatan istrinya yang nampaknya semakin 

memburuk.

Menurut tabib yang mengobatinya, dia 

tidak bisa disembuhkan kecuali bertemu 

dengan putrinya. Dan mencari Nindia di 

mana dia berada, adalah sulit sekali. Ba-

gaimana mencari sebuah jarum di tumpukan 

jerami!

Tak ada jalan penyembuhan lain. Ini 

yang dikuatirkan Abindamanyu. Lama kela-

maan istrinya bisa menemui ajalnya gara-

gara rindu dengan putrinya. Dia harus bi-

sa memecahkan masalah ini.

Malam harinya, ketika semuanya sudah 

tidur, Abindamanyu memanggil beberapa 

orang yang dipercayainya. Termasuk Panji. 

Mereka berkumpul di ruang belakang Sikap 

Abindamanyu penuh rahasia. Membuat semua 

yang hadir keheranan.

Tetapi mereka tidak berani bertanya


sebelum tuannya berbicara.

Setelah mereka berkumpul, barulah Ab-

indamanyu bicara.

"Mungkin kalian heran, mengapa aku 

mengumpulkan kalian di ruangan ini. 

Yah... ini kulakukan demi satu tugas ra-

hasia yang harus kalian rahasiakan. Ka-

lian adalah orang-orang yang mengenal pu-

triku sejak kecil. Kalian sudah hafal pu-

la bagaimana raut wajahnya dan tingkah 

lakunya.

Untuk itu, aku ingin kalian menyetu-

jui atau memberi pendapat atas keputusan-

ku untuk menyembuhkan istriku.

Dengarkan baik-baik. Kita semua tahu, 

sudah hampir lima setengah tahun putriku 

tidak ada dirumah. Dan sudah kita cari ke 

mana-mana, tetapi tetap tidak diketahui 

rimbanya. Untuk itu, kepada kalian semua 

aku minta, agar merahasiakan semua yang 

hendak aku lakukan. Yah... kalian kuminta 

membantu dalam melaksanakan hal ini...."

Seorang laki-laki tua yang berjanggut 

panjang, memotong perkataan Abindamanyu, 

"Ya, Tuanku. Sampai saat ini, hati saya 

masih bertanya-tanya. Kiranya tugas apa 

yang hendak tuanku laksanakan dan berikan 

kepada kami?"

Abindamanyu menatap kakek yang berna-

ma Tindaruka itu.

"Sebenarnya aku ragu akan semua yang

hendak kulakukan. Tetapi demi istriku,


aku harus berani mengambil tindakan."

"Tindakan apa ya, Tuanku?" Lagi Tin-

daruka bertanya.

Abindamanyu terdiam. Suasana mendadak 

menjadi tegang. Entah kenapa raut wajah 

Abindamanyu pun menjadi tegang.

Perlahan-lahan Abindamanyu berkata, 

"Aku akan mencari seorang gadis yang mi-

rip dengan putriku, untuk dipalsukan dan 

menemui istriku....",

Beberapa seruan kaget terdengar.

"Maksud tuanku, gadis itu menjadi pu-

tri Nindia?" tanya yang kakek yang bertu-

buh gemuk. Matanya melotot kaget.

Abindamanyu mengangguk lemah.

"Tak ada jalan Iain. Hanya itu satu-

satunya cara yang bisa kulakukan, demi 

kesehatan istriku."

Tindaruka menarik nafas panjang. "Apa 

tuanku sudah memperhitungkan baik buruk-

nya?"

"Sudah, Tindaru. Aku sudah memperhi-

tungkan sebaik-baiknya. Hanya kepada ka-

lian aku mengatakan semua ini, karena aku 

takut, jika gadis itu nanti tidak mencer-

minkan sikap Nindia, kalian akan ber-

tanya-tanya, siapa sebenarnya gadis itu? 

Untuk itu kuminta kalian merahasiakannya.

"Bagaimana dengan suruhan yang lain?" 

tanya Tindaruka pula.

"Penjaga atau pesuruh yang lain, ra-

ta-rata masih baru. Mereka belum begitu


mengenal wajah dan tingkah laku Nindia. 

Hanya kalian yang mengenalnya secara 

baik."

Tak ada yang bertanya lagi. Rupanya 

tuan Abindamanyu memang telah memperhi-

tungkan semuanya. Dan memang tak ada cara 

lain untuk menyembuhkan istrinya. Hanya 

itu satu-satunya jalan, walaupun jika 

terbongkar akan membawa akibat yang fatal 

bagi Nadia.

Tetapi segala sesuatunya harus dico-

ba. Dan Abindamanyu akan melaksanakan ke-

putusannya itu.

Besoknya, dia memerintahkan kembali 

beberapa orang untuk mencari putrinya. 

Orang-orang itu adalah mereka yang sema-

lam ikut dalam rapat rahasianya. Dan su-

dah direncanakan, kalau dalam dua hari 

mendatang mereka harus segera kembali dan 

membawa kabar tentang putrinya.

Semua berjalan dengan lancar. Dua ha-

ri kemudian pencari-pencari itu kembali. 

Dan membawa kabar yang mengejutkan!

Putri Nindia telah diketahui jejak-

nya.

Seisi rumah besar itu bersorak gembi-

ra. Putri mereka yang amat cantik akan 

kembali berkumpul. Kabar itu pun terden-

gar di telinga Nadia yang sedang sakit. 

Dia langsung bisa duduk di ranjang.

Menoleh pada embannya.

"Benarkah putriku ditemukan, Sukma?"


tanyanya dengan suara serak.

Emban yang bernama Sukma itu mengang-

guk.

"Benar, Tuanku. Putri Nindia dalam 

waktu singkat ini akan segera kembali."

"Oh, putriku... akhirnya kita dapat 

berkumpul kembali," desah Nadia gembira.

Abindamanyu masuk ke kamar istrinya. 

Ia menemukan istrinya dalam keadaan ter-

duduk. Suatu yang jarang terjadi selama 

dua bulan terakhir ini.

Hatinya terharu melihat wajah is-

trinya gembira. Matanya berkaca-kaca.

Dan dalam hati dia berbisik, "Maafkan 

aku istriku. Ini kulakukan demi kebaikan-

mu."

Dia tidak kuasa menatap istrinya la-

ma-lama. Istrinya yang tengah gembira ka-

rena kabar bohong. Dan mungkin besok atau 

lusa, kebohongan itu akan semakin leng-

kap, dengan hadirnya Nindia palsu di ru-

mah ini.

Abindamanyu kembali memerintahkan ke-

pada Panji, untuk menjemput putrinya. Dia 

sudah mengatakan, "Aku sudah mencari seo-

rang gadis yang mirip dengan putriku. Dia 

berbaju merah. Raut wajahnya mirip dengan 

putriku. Dan gadis itu menunggu di tepi 

hutan yang jauh dari tempat ini."

Panji segera berangkat. Hutan yang 

dikatakan tuannya itu sangat jauh dari 

tempat mereka tinggal. Tetapi Panji telah


bertekad, dia harus mencapai tempat itu 

secepat mungkin.

Sebelum matahari terbenam, dia sudah 

menemukan hutan itu. Dan benar saja. Di 

dekat sebuah pohon besar, sudah menunggu 

seorang gadis yang cantiknya luar biasa. 

Kalau dilihat sekilas, gadis itu memang 

mirip dengan putri Nindia. Tetapi jelas, 

kalau gadis itu lebih tinggi sedikit. 

Panji hafal wajah dan tinggi Nindia.

Gadis itu tersenyum begitu dia turun 

dari kudanya dan menghampiri. Senyumnya 

pun mirip dengan putri Nindia. Kulitnya 

yang putih sangat kontras dengan pakaian-

nya yang berwarna merah.

Panji menjura hormat.

"Maaf, kalau saya lancang bertanya, 

Nona. Nonakah yang akan menjalankan tugas 

rahasia dari tuan Abindamanyu?"

Gadis itu tersenyum.

"Ya, Kakang."

Suaranya pun tak beda dengan Nindia! 

"Kalau memang begitu kiranya, mari kita 

segera berangkat. Tuanku sudah lama me-

nunggu, Nona."

Gadis itu mengangguk. Panji melompat 

ke punggung kudanya. Dan menuntun gadis 

itu untuk naik. Lalu kuda kembali menuju 

rumah Abindamanyu.

Kedatangan putri Nindia sudah terden-

gar di seluruh desa. Abindamanyu mengada-

kan pesta besar-besaran untuk menyambut


putrinya.

Istrinya pun sudah nampak lebih se-

hat. Dia sudah mampu berjalan walau keli-

hatan masih lemah.

Begitu Panji datang, mereka berhambu-

ran keluar. Ingin menyambut kedatangan 

putri yang mereka rindukan. Dan bertanya-

tanya, bagaimana keadaan dan wajah Nindia 

sekarang? Apakah masih cantik?

Dan mereka melihat wajah gadis.itu 

masih tetap cantik seperti dulu. Langkah-

nya pun masih tetap gemulai. Dan tingkah-

nya masih tetap sopan.

Masih mau bergaul dengan para pendu-

duk. Ketika datang dia menegur mereka sa-

tu persatu.

Mereka berpesta selama sehari sema-

lam. Nadia tidak mau jauh dari putrinya. 

Setiap saat dia memeluk putrinya yang 

amat dirinduinya.

Dan gadis yang berperan sebagai Nin-

dia itu, amat mampu memainkan perannya. 

Benar-benar tepat pilihan Abindamanyu. 

Walau hatinya sedih karena sudah membo-

hongi istrinya, Abindamanyu tetap gembira 

karena istrinya sudah agak sembuh.

Dan tidak ada yang tahu. Semua tidak 

ada yang tahu. Mereka menyangka pilihan 

tuannya terhadap gadis itu tepat. Abinda-

manyu pun demikian. Dia menemukan gadis 

itu ketika sedang berjalan-jalan seorang 

diri di tepi hutan sebelah sana.


Gadis itu bernama Surti dan tinggal 

bersama ayahnya yang penebang kayu.

Abindamanyu tidak tahu kalau semua 

itu adalah tipu belaka.

Surti bukan anak penebang kayu dan 

tidak pernah mengenalkan ayahnya pada Ab-

indamanyu.

Dia adalah gadis kejam berbaju merah. 

Anak buah Dewi Penyebar Maut yang bernama 

Dahlia merah!

***

Lereng bukit yang indah dan permai. 

Di sana-sini ditumbuhi pohon-pohon yang 

subur. Suasana di depan gunung itu bagai-

kan sorga firdaus. Betapa indah dan ten-

tramnya. Sungai yang mengalir dan gemeri-

cik suaranya, menambah kesyahduan tempat 

itu berada. Angin bertiup dengan semilir. 

Membuat yang datang enggan untuk pulang. 

Dan yang kembali berharap sebisa mungkin 

datang lagi atau kembali mengenang tempat 

itu. 

Di tempat itulah Paksi Uludara sejak 

puluhan tahun yang lalu mendirikan sebuah 

perguruan yang diberi nama Perguruan To-

peng Hitam.

Sampai saat ini, belum pernah terden-

gar kabar, perguruan Topeng Hitam beruru-

san dengan dunia luar. Mereka hanya turun 

jika memang keadaan dunia luar memerlukan


tenaga mereka. Mereka adalah orang-orang 

golongan putih yang berjuang demi kebena-

ran dan keadilan.

Dan Paksi Uludara telah menetapkan 

peraturan, barang siapa yang meninggalkan 

perguruan tanpa izin atau perintah, tidak 

akan diperkenankan kembali untuk datang! 

dan harap menyerahkan semua ilmu yang di-

dapat dari perguruan dengan jalan memo-

tong buntung kedua lengannya sendiri!

Peraturan yang menyeramkan. Tetapi 

tak seorang murid pun yang pernah melang-

garnya. Mereka telah menemukan sebuah 

tempat yang indah, mengapa harus diting-

galkan?

Hari ini Paksi Uludara sedang melihat 

murid-muridnya berlatih. Dalam setiap la-

tihan mereka semua mengenakan pakaian hi-

tam-hitam dan bertopeng hitam. Itu meru-

pakan ciri dari perguruan .

Dan juga sepasang pedang tipis yang 

merupakan kebanggaan perguruan Topeng Hi-

tam. Jurus-jurus pedang yang sangat ber-

bahaya dan mematikan!

Paksi Uludara memang seorang jago pe-

dang yang tak terkalahkan dulunya. Tetapi 

sejak mendirikan perguruan itu, dia tidak 

pernah lagi muncul di rimba persilatan. 

Namun namanya tetap menjadi momok bagi 

siapa saja.

Tiba-tiba masuk seorang murid yang 

menjaga di gerbang depan. Murid itu men


jura hormat.

"Hmm, ada apa, Murta?" tanya Paksi 

Uludara dengan sikap wibawa. Karena si-

kapnya itu murid-muridnya sangat menghor-

matinya.

"Maafkan saya, Ketua. Di luar ada be-

berapa orang yang ingin bertemu dengan 

Ketua." "Siapa mereka?" Paksi Uludara 

mengusap-usap janggut putihnya. Sementara 

tangan kirinya berada di belakang.

"Mereka terdiri dari kakek tua yang 

mengaku bernama Datuk Sakti Berjubah Pu-

tih, seorang pemuda yang tampan bernama 

Pendekar Kipas Sakti dan seorang wanita 

setengah baya yang cantik bernama Dewi 

Maut.

Paksi Uludara mengenal nama-nama itu. 

Tetapi tidak tahu apa yang menjadi urusan 

hingga mereka datang berkunjung. Walau 

begitu Paksi Uludara menyuruh mereka ma-

suk.

"Bawa mereka menemuiku di ruang khu-

sus!" katakan seraya melangkah.

Ruang khusus itu adalah ruang di mana 

Paksi Uludara dan murid-muridnya berkum-

pul. Hendak membicarakan masalah sesuatu 

atau memperbincangkan masalah dunia luar. 

Di ruang khusus itu juga terdapat senja-

ta-senjata rahasia yang disembunyikan. 

Itu dipakai untuk menjaga kalau-kalau ada 

serangan dari dunia luar. Paksi Uludara 

duduk di singgasananya. Ia memakai baju


kebesarannya yang berupa jubah bergambar 

topeng hitam. Dan dia sendiri mengenakan 

topeng hitam dan pedang mustikanya yang 

bernama Pedang Sakti Naga Emas.

Beberapa menit kemudian, orang-orang 

itu datang menghadap. Paksi Uludara ber-

diri. Tertawa. Dalam tawanya itu mengan-

dung tenaga dalam yang lumayan.

Serentak para tamu itu menaikkan te-

naga dalamnya untuk menahan uji coba ter-

sembunyi. Mereka menjura. Paksi Uludara 

masih tertawa. "Ha.., ha... ha... sikap 

kalian terlalu kaku rupanya. Tidak perlu 

menghormat segala. Silahkan, silahkan du-

duk.'"

Ketiga tamu itu duduk. Paksi Uludara 

duduk kembali di singgasananya. La mena-

tap tamunya satu persatu.

"Hmm, ada apa kiranya kalian tamu-

tamuku yang terhormat datang? Sungguh su-

atu penghormatan yang besar bagiku. 

Orang-orang yang sudah melangit namanya

datang menghadap. Silahkan terangkan mak-

sud kedatangan kalian...."

Datuk Sakti Berjubah Putih bangkit. 

Lagi menjura. Lagi Paksi Uludara tertawa.

"Kedatangan kami kemari, sehubungan 

dengan adanya petaka yang disebarkan oleh 

Dewi Cantik Penyebar Maut."

Paksi Uludara manggut-manggut. "Ya... 

aku pernah mendengar kabar itu. Lalu?"

"Kami meralat kata-kata Ketua Paksi


Uludara. Nama kami tidak melangit, tidak 

melanglang buana, karena beberapa minggu 

yang lalu, kami baru saja dikalahkan oleh 

anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut.

Sebagai orang dari golongan putih, 

kami bermaksud menghapus dan memusnahkan 

orang macam Dewi sesat itu. Tetapi tenaga 

kami tidak mampu menghadapinya."

"Maafkan kami, Ketua Paksi Uludara. 

Kami kemari, mengharapkan bantuan ketua 

untuk membunuh atau menangkap dewi sesat 

itu...."

Paksi Uludara terdiam. Ia meraba-raba 

pedangnya. Lalu menatap Datuk Sakti Ber-

jubah Putih.

"Aku pun ingin menentramkan kembali 

dunia persilatan ini. Aku pun ingin turun 

tangan menghadapi orang-orang macam dewi 

sesat itu. Tetapi ada satu ganjalan yang 

membuatku enggan melakukannya. Bahkan 

membantu kalian."

Orang-orang itu terkejut. Datuk sakti 

langsung angkat suara, "Mengapa demikian, 

ketua? Saya dengar, perguruan Topeng Hi-

tam selalu menggerakkan hati dan kemam-

puannya untuk membantu memberantas orang-

orang sesama.

"Mungkin itu akan kulakukan, Datuk 

sakti. Tetapi bukan atas dasar membantu 

kalian."

Datuk Sakti merasakan nada suara Pak-

si Uludara agak berubah tajam dan meni


kam.

"Apakah ketua sudah melupakan persa-

habatan kita?"

"Sampai kapan pun aku tidak pernah 

melupakannya. Juga dengan seorang saha-

batmu yang bergelar Dewa Tua Pengantuk. 

Tetapi saat ini, aku menyatakan perang 

dengan Dewa Tua Pengantuk, dan sekaligus 

dengan kalian!!"

"Ketua Paksi Uludara!" seru Datuk 

sakti kaget. "Ada apa sampai ketua berka-

ta demikian?"

"Dewa Tua Pengantuk telah membunuh 

seorang murid kesayanganku!"

"Tidak mungkin!" bantah Datuk sakti 

langsung.

"Semua sudah terbukti, Datuk! Aku ma-

sih tetap sahabat kalian, jika kalian mau 

menyerahkan Dewa Tua Pengantuk kepadaku 

untuk kujatuhi hukuman!"

"Ketua... apa tidak salah ketua menu-

duhnya?" 

"Ada saksi yang melihat perbuatannya, 

Datuk!"

"Siapa saksinya?" kejar datuk sakti 

penasaran.

"Seorang dara berbaju merah!"

Semakin terkejut Datuk sakti. Juga 

dengan Pendekar Kipas Sakti dan Dewi 

Maut. Dara berbaju merah? Siapa lagi ka-

lau bukan orang-orang Dewi Cantik Penye-

bar Maut!


Apakah bisa diterangkan pada Paksi 

Uludara semua itu? Sedangkan saat ini 

sang ketua sedang geramnya terhadap Dewa 

Tua Pengantuk!

Datuk Sakti menjura.

"Kalau memang ketua percaya bahwa 

yang melakukan pembunuhan itu Dewa Tua 

Pengantuk, kami akan mencarinya dan me-

nyerahkannya kepada ketua."

Walau kami yakin, bukan si dewa tua 

itu yang membunuh murid perguruan Topeng 

Hitam. Dan kami berterima kasih kepada 

ketua Paksi Uludara, yang akan mau turun 

tangan menghadapi Dewi Cantik Penyebar 

Maut!

Kami rasa, tidak ada yang perlu dibi-

carakan lagi!

Kami mohon diri, Paksi Uludara!"

Dewi Maut dan Pendekar Kipas Sakti 

bangkit. Lalu sama-sama menjura. Paksi 

Uludara hanya mengangguk. Tidak mengantar 

tamu-tamunya itu keluar.

Hhhh, kalau saja aku tidak memandang 

kalian sebagai sahabat, sudah kubunuh ka-

lian, desisnya dalam hati. Sebagai orang-

orang yang dekat dengan Dewa Tua Pengan-

tuk, mereka akan dihabisi saja.

Paksi Uludara bangkit. Hendak menco-

pot jubah kebesarannya. Tetapi tiba-tiba 

terdengar hiruk pikuk di luar. Bahkan ada

pekik dan jeritan kesakitan.

Paksi Uludara menggeram.


Rupanya tamu-tamunya itu memang hen-

dak berbuat onar. Mereka memancingnya un-

tuk bertanding.

Paksi Uludara berkelebat ke depan. Di 

halaman depan beberapa orang muridnya se-

dang bertempur melawan seorang pemuda 

berpakaian biru-biru. Pemuda itu keliha-

tan sedang marah. Dan tangguh. Dengan se-

kali pukul saja barisan murid-muridnya 

hancur berantakan.

Paksi Uludara bersalto. Dan kini ber-

hadapan dengan pemuda yang tak lain ada-

lah Madewa Gumilang.

Karena yakin yang menculik anak is-

trinya adalah orang-orang perguruan To-

peng Hitam, Madewa langsung mengamuk. Di-

hajarnya orang yang menghalanginya masuk. 

Dia sangat marah sekali. Dua orang yang 

dikasihinya itu berani diganggu.

Madewa menggeram melihat Paksi Uluda-

ra. Ia melirik ke samping, Hhm, dia kenal 

orang-orang ini. Datuk Sakti Berjubah Pu-

tih. Pendekar Kipas Sakti. Dan Roro Anti-

ka atau si Dewi Maut. Sedang apa mereka 

kemari.

Madewa kembali menatap Paksi Uludara 

yang tengah mengira-ngira siapa gerangan 

pemuda ini?

Madewa membentak, "Di mana anak dan 

istriku kau sembunyikan?!"

Paksi Uludara heran. Anak istri? Sia-

pa? Yang mana?.


"Apa maksudmu, Saudara?"

"Aku tidak mau berbasa-basi lagi!" 

bentak Madewa. "Cepat keluarkan anak is-

triku, kalau tidak, lereng bukit beserta

isinya akan kuhancurkan!"

"Tenang, Saudara. Aku tidak mengerti 

sama sekali apa maksudmu. Katakan dengan 

tenang dan jelas."

Madewa mendengus. Dia merasa diper-

mainkan. 

"Baik, istriku bernama Ratih Ningrum 

dan putraku bernama Pranata Kumala. Kedua 

orang yang kukasihi itu telah diculik 

oleh anak-anak dari Perguruan Topeng Hi-

tam...."

"Kau menuduh tanpa bukti, Saudara. Di 

sini tidak ada orang yang kau sebutkan 

tadi."

"Aku punya bukti!" Madewa mengambil 

senjata rahasia topeng hitam dari angkin-

nya. Dan membuka telapak tangannya. "Ini! 

Ini senjata khas kepunyaan perguruan ini! 

Kutemukan tak jauh dari kuda istriku! Ce-

pat katakan, di mana istri dan anakku!"

Paksi Uludara memperhatikan senjata 

rahasia itu. Hmm, memang benar. Itu kepu-

nyaan orang-orang topeng hitam. Tetapi 

siapa yang telah melakukan aksi penculi-

kan ini? Murid-muridnya tidak ada yang 

keluar dari perguruan selain lima orang 

yang ditugaskan dalam mencari Dewa Tua 

Pengantuk.


Apakah ada di antara murid-muridnya 

yang menyelinap ke luar dan melakukan ak-

si penculikan itu? Tetapi tidak mungkin, 

dia telah waspada terhadap kemungkinan 

itu.

Melihat Paksi Uludara terdiam, Madewa 

menggeram. Ia maju selangkah. Serentak 

murid-murid Perguruan Topeng Hitam tengah 

berlatih tadi mengurungnya.

"Hhh!" Madewa mendengus. Dan mengi-

baskan tangan kanannya.

Bagai ada badai yang besar, orang-

orang yang mengurung tadi berhamburan 

terpelanting.

Paksi Uludara terkejut melihat kehe-

batan tenaga kibasan orang itu. Siapa dia 

adanya?

"Saudara, semua yang kau katakan ta-

di, aku membantahnya. Dan tidak terima 

dengan tuduhan itu!"

"Baik! Dan aku telah bersumpah, jika 

orang-orang perguruan Topeng Hitam tidak 

mengeluarkan istri dan anakku. Maka ku 

hancurkan perguruan ini rata dengan ta-

nah!"

Sehabis berkata begitu, Madewa mele-

sat. Menyerang Paksi Uludara. Mendapat 

dorongan angin yang keras, Paksi Uludara 

berkelit. Dan menangkis.

"Plak! Duk! Duk!"

Madewa benar-benar sudah kalap, Nya-

wa' istri dan anaknya lebih penting dari


nyawanya sendiri. Begitu habis ditangkis 

serangannya, dia melenting ke atas. Dan 

mengirimkan pukulannya lagi.

Kali ini Paksi Uludara menghindar 

dengan jalan berkelit. Dan entah bagaima-

na tahu-tahu tangannya sudah memegang se-

buah pedang. Pedang yang disambar dari 

salah seorang muridnya. Sedangkan pedang 

mustikanya masih tergenggam di tangan ki-

rinya.

"Paksi Uludara! Keluarkan semua ilmu-

mu! Hari ini kita bersilang sengketa! Dan 

aku tak akan mau bertindak setengah untuk 

menghancurkanmu!" bentak Madewa.

Dia melompat ke depan lagi. Dengan 

jurus Ular Mematuk Katak dia menyerang. 

Paksi Uludara berusaha berkelit dan me-

mainkan pedangnya.

Pedang di tangan Paksi Uludara tak 

ubahnya seperti kilat yang menyambar. 

Bergulung-gulung dengan cepat. Dan mem-

buat Madewa menghentikan serangannya.

Dia menghindari tusukan dan sabetan 

pedang itu dengan jurus Ular Meloloskan 

Diri. Jurus warisan gurunya, Ki Rengser-

sari.

Sampai dua puluh jurus, Paksi Uludara 

belum mampu mendaratkan pedangnya di tu-

buh Madewa.

Pertempuran dua tokoh kelas utama me-

nimbulkan getaran yang hebat, suasana di 

halaman perguruan itu bagaikan ada dua


ekor naga yang bertarung.

Datuk Sakti Berjubah Putih tiba-tiba 

memekik. Dan melompat ke arena. Dia ber-

pikir, mungkin saja dengan bantuannya 

Paksi Uludara bisa menarik lagi tuduhan-

nya atas Dewa Tua Pengantuk.

Madewa berkelit ke samping menerima 

serangan mendadak itu.

"Bagus! Rupanya kau pan berteman den-

gan orang sesat macam Paksi Uludara!"

"Karena aku tidak suka dengan orang 

sombong macam kau!" bentak Datuk sakti 

sambil melontarkan pukulannya.

Madewa bersalto ke belakang. "Bagus 

majulah kalian semua!"

Dan dia melenting lagi ke depan. Kali 

ini yang menjadi sasaran Datuk Sakti Ber-

jubah Putih. Dengan gempuran hebat dia 

bertekad menghabisi Datuk Sakti.

Paksi Uludara tak mau ketinggalan. 

Dia pun menerjang. Pertarungan yang tak 

seimbang. Tetapi rupanya Madewa masih 

mampu mempertahankan diri.

Suatu ketika pukulan Datuk Sakti men-

genai dadanya. Dia terhuyung. Saat itulah 

Pendekar Kipas Sakti bergerak dengan ce-

pat. Memburu Madewa yang masih terhuyung.

Mendadak terjadi keanehan. Bukannya 

tubuh Madewa yang terpelanting, malah tu-

buh Pendekar tampan itu yang kembali ke 

tempatnya. Bergulingan. Ia merasa meng-

hantam sebuah tembok besar.


Pendekar tampan itu muntah darah!

Itulah salah satu kesaktian dari Ma-

dewa Gumilang, yang didapatnya secara ti-

dak sengaja ketika dia menghisap rumput 

sakti kelangkamaksa. Ilmu itu tidak bisa 

digunakan sembarangan. Hanya benar-benar 

keluar jika orang yang memilikinya dalam 

keadaan tenang.

Saat terhuyung itu Madewa kehilangan 

keseimbangan. Marahnya agak mereda, seca-

ra tak sengaja khasiat rumput sakti ke-

langkamaksa keluar. Itulah sebabnya Pen-

dekar tampan itu tertabrak ilmu dari sari 

rumput kelangkamaksa.

Dewi maut memekik dan memburu pende-

kar Kipas Sakti. Ia memeriksa keadaan 

pendekar itu dan memberinya sebuah pil. 

Lalu dia sendiri terjun ke arah pertarun-

gan.

Madewa yang sudah berdiri tegak lagi, 

menatap lawannya satu per satu.

"Hhhh, tidak tahu malu beraninya ke-

royokan!" bentaknya marah.

"Untuk orang tak tahu adat macam kau, 

cara apa pun akan halal dilakukan!" ben-

tak Dewi Maut jengkel.

"Aku tidak akan melajukan semua ini 

jika istri dan anakku dikeluarkan!"

"Dasar orang edan! Sudah dibilang ti-

dak ada disini, masih ngotot juga!" ben-

tak Dewi Maut lagi.

"Aku memang edan, sebelum anak istri


ku keluar!"

"Kalau begitu, terimalah ajalmu!"

Dewi Maut bersiap. Ia mengerahkan te-

naga dalamnya di tangannya. Pukulan maut-

nya siap merenggut nyawa Madewa. Begitu 

pula dengan Paksi Uludara. Walaupun malu 

dibantu demikian tetapi dia mendiamkan 

saja. Dia merasa ilmu yang dimiliki laki-

laki itu tinggi sekali. Persetan dengan 

tatapan murid-muridnya yang merasa heran.

Ketua mengeroyok laki-laki itu?

Benar kata Dewi Maut, untuk laki-laki 

edan yang menuduh sembarangan saja, cara 

apa pun halal dilakukan.

Terdengar jeritan Dewi Maut ketika 

melancarkan serangannya. Madewa sigap. Ia 

berkelit dengan cara berguling. ke arah 

Paksi Uludara. Dengan masih berguling itu 

dia melancarkan kakinya yang mengancam 

kemaluan Paksi Uludara.

Bukan ketua perguruan Topeng Hitam 

jika tidak bisa menghindari serangan de-

mikian. Buru-buru dia melompat dan ka-

kinya balas meluncur deras pada Madewa 

yang masih berguling.

Dorongan angin yang dipancarkan dari 

kaki Paksi Uludara menyadarkan Madewa un-

tuk menghindar. Tiba-tiba tubuhnya me-

lenting ke udara dan kembali kakinya men-

gancam. Kali ini Datuk Sakti Berjubah Pu-

tih yang menjadi sasaran.

Cepat dia menangkis. Benturan dua


buah tenaga menimbulkan getaran yang he-

bat. Rupanya Madewa sudah menaikkan tena-

ga dalamnya.

Datuk sakti itu terguling, dadanya 

terasa sesak. Bukan main, baru kali ini 

dia merasakan tenaga dalam yang begitu

hebatnya.

Dewi Maut menyerang kembali dengan 

pukulan jarak jauhnya. Madewa bersalto 

dan tangannya mengepal. Dari kedua tangan 

itu berpijar asap putih, Pukulan bayangan 

sukma tengah dilancarkan oleh Madewa!

Paksi Uludara mengenali pukulan demi-

kian, dia menghentikan serangannya.

"Madewa Gumilang!" serunya kaget. Na-

ma itu membuat orang-orang rimba persila-

tan mengagungkan nya. Dan hanya satu 

orang yang memiliki ilmu pukulan demi-

kian.

Madewa tidak jadi melancarkan puku-

lannya. Ia menoleh kepada Paksi Uludara.

"Kau sudah tahu namaku?" desisnya 

mengejek. "Cepat keluarkan istri dan 

anakku, kalau tidak ingin pukulanku men-

gantarkan kau ke pintu"

"Saudara Madewa, baru kali ini aku 

yang tua berhadapan dengan saudara yang 

terkenal itu! Walau pun demikian, kami 

berani bersumpah, atas langit biru serta 

isinya, kami tidak, menculik dan menyem-

bunyikan istri dan anakmu!" seru Paksi 

Uludara berwibawa.


"Aku tidak percaya sebelum melihat 

sendiri!"

"Silahkan... periksalah seluruh isi 

perguruan Topeng Hitam ini! Jika kau me-

nemukan istri dan anakmu, kami rela bunuh 

diri di hadapanmu!"

Madewa mendengus melecehkan. Walau 

kaget dengan sumpah demikian. Tetapi dia 

mau melangkah. Dia kuatir Paksi Uludara 

menipunya.

"Tidak semudah itu, Paksi Uludara. 

Kau ingin membiarkan aku masuk perangkap-

mu?"

"Tidak ada perangkap untuk, Saudara 

pendekar!"

"Apa taruhannya?"

Paksi Uludara terdiam sejenak. Lalu, 

"Kau boleh bawa pedang mustika Sakti Naga 

Emas. Dengan pedang ini kau sanggup men-

dobrak perangkap rahasia jika memang 

ada!"

Sesudah berkata demikian, Paksi Ulu-

dara melempar pedang pusakanya. Madewa 

menangkap.

"Baik! Aku akan memeriksa seluruh isi 

ruangan ini!"

Lalu Madewa melangkah dengan tenang. 

Pedang pusaka itu digenggamnya dengan 

kuat. Beberapa orang murid hendak menyu-

sul, tetapi dilarang oleh Paksi Uludara.

"Biarkan dia sendiri... biar dia ta-

hu, kalau kita tidak menculik istri dan


anaknya. Pasti telah terjadi salah paham 

yang menyebabkannya marah demikian besar.

Madewa terus melangkah. Memasuki 

ruang-an perguruan Topeng hitam itu dia 

meneliti setiap sudutnya. Di mana kira-

kira ada perangkap rahasia.

Tahu-tahu dia berbalik ke belakang. 

Dan menghentakkan sebelah kakinya. Pintu 

ruangan yang berat itu, yang hanya bisa 

digerakkan dengan tongkat penutup, perla-

han-lahan menutup rapat.

Orang-orang di luar mendecak kagum. 

Pameran tenaga dalam yang mendebarkan.

Madewa berbalik lagi. Dia duduk ber-

sila. Matanya dipejamkan. Dia berkonsen-

trasi sejenak. Kedua tangannya bersatu di 

dada.

Tiba-tiba tatapan matanya bisa menem-

bus seluruh ruangan itu. Tatapannya mene-

rang walaupun matanya terpejam. Itulah 

ilmu pandangan menembus sukma, yang mampu 

melihat jarak jauh dengan tegas walaupun 

dihalangi gunung sekalipun.

Dengan ilmu pandangan sukmanya itu, 

Madewa mencari di mana istri dan anaknya 

berada. Sampai ke dasar rumah pun dica-

rinya dengan tatapannya. Tetapi sedikit 

pun tak ada tanda-tanda di mana istrinya 

berada.

Seluruh ruangan sudah dijelajahi nya

oleh tatapannya. Juga ruangan-ruangan ra-

hasia. Tapi tidak ada jejak sedikit pun


istri dan anaknya.

Kalau begitu, di mana mereka menyem-

bunyikan orang-orang yang dikasihinya 

itu?

Madewa menghentikan konsentrasi nya. 

Matanya perlahan terbuka. Kali ini ma-

tanya berair. Bukan karena pengaruh ilmu 

pandangan menembus sukma, tetapi air yang 

mengalir karena kesedihan. Sedih memikir-

kan bagaimana nasib Ratih Ningrum dan 

Pranata Kumala.

Terbayang wajah istri dan anaknya 

itu, yang sedang tersenyum. Apakah saat 

ini keduanya masih tetap tersenyum?

Madewa bangkit. Kembali dia menghen-

takan kakinya. Dan pintu gerbang itu ter-

buka perlahan-lahan. Orang-orang yang me-

nunggu di luar. hanya memperhatikannya 

saja Madewa yang melangkah dengan lesu 

namun tegap.

Paksi Uludara melangkah menghampiri. 

"Bagaimana, Saudara?" Madewa mengangkat 

wajahnya. Lesu. 

"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara. 

Aku telah bertindak gegabah, menuduhmu 

sembarangan. Tetapi aku benar-benar gusar 

tak rela istri dan anakku diculik. Sekali 

lagi maafkan aku, mungkin ada orang yang 

ingin membuat kita salah paham dan saling 

bentrok, dengan mengambing hitamkan per-

guruan Topeng Hitam.

Ku kembalikan pedang pusakamu ini,


juga senjata rahasia milik perguruan-

mu...."

Madewa memberikan kembali pedang pu-

saka milik Paksi Uludara dan membuka te-

lapak tangannya. Paksi Uludara mengambil 

kedua benda itu.

Tiba-tiba Datuk Sakti Berjubah Putih 

berseru, 

"Saudara Madewa?"

Madewa menoleh. Mendadak ia menjura. 

"Maafkan aku, Datuk."

Datuk sakti itu mengibaskan tangan. 

"Sudahlah. Kembali ke senjata rahasia ta-

di. Kau menemukan senjata itu dekat kuda 

istrimu?"

Madewa mengangguk.

Datuk sakti itu menggeleng-gelengkan

kepala.

"Tepat dugaanku."

Madewa cepat bertanya, "Dugaan apa?"

"Yah... dugaan bahwa kita semua salah 

paham...." :

"Aku tak mengerti maksudmu...."

"Begini, Saudara pendekar," kata Da-

tuk sakti. Lalu kepada Paksi Uludara, 

"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara, karena 

lancang bicara di depanmu."

Paksi Uludara mengibaskan lengannya, 

aku pun ingin mendengar apa yang kau ka-

takan."

Datuk Sakti Berjubah Putih menatap 

seluruh manusia yang berada di sana, ter


masuk murid-murid perguruan Topeng Hitam.

Matahari sudah beranjak dari tempat-

nya di atas kepala. Senja mulai turun. 

Angin bertiup sejuk.

Datuk sakti berkata, "Kita semua be-

rada dalam keadaan salah paham. Mula-mula 

Ketua Paksi Uludara sendiri yang salah 

paham, di mana dia menuduh Dewa Tua Pen-

gantuk yang membunuh salah seorang murid-

nya.

Saya berani berkata demikian, karena 

merasa aneh terhadap gadis yang menjadi 

saksi itu. Anehnya dimana, gadis itu ber-

pakaian warna merah. Yang bisa saya duga, 

adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar 

Maut atau memang dia sendiri yang melaku-

kan. Bisa ditebak, Dewi sesat itu ingin 

mengadu domba sesama kita. Dan kemungki-

nan tentang anak dan istrimu, Saudara 

pendekar, mungkin orang-orang Dewi sesat 

itu yang melakukannya. Dan mengambing hi-

tamkan orang-orang. perguruan Topeng Hi-

tam dengan menebar senjata rahasia khas 

perguruan itu. Mungkin dugaan itu bisa 

salah bisa pula tidak. Tetapi Saudara 

pendekar sudah menyaksikannya sendiri, 

kalau di sini tidak ada istri dan anak, 

Saudara...."

Semua terdiam mendengar penuturan 

itu. Penuturan yang bisa saja terbukti. 

Paksi Uludara diam-diam mempertimbangkan 

kata-kata itu.


Apa tidak mungkin, Datuk sakti itu 

ingin mengambil keuntungan dengan datang-

nya Madewa Gumilang, agar sahabatnya Dewa 

Tua Pengantuk terbebas dari tuduhan?

Tetapi agaknya benar juga. Mereka 

Siap memeriksa saksi pembunuhan itu. Dan 

orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut 

berpakaian merah!

Tidak mustahil memang dia yang menga-

dakan siasat adu domba ini. Demi kejayaan 

dan keinginannya menjadi orang nomor satu 

dirimba persilatan.

Paksi Uludara memandang pada Madewa 

Gumilang, "Apa Pendapatmu tentang hal 

ini, Saudara pendekar?" 

"Aku tidak tahu. Yang kuinginkan, 

anak dan istriku kembali dengan selamat," 

kata Madewa seolah kebingungan. Tetapi 

dia langsung menambahkan dengan tegas, 

"Aku bisa terima pendapat itu, aku pun 

tahu ciri anak buah Dewi Cantik Penyebar 

Maut, mereka selalu berpakaian warna me-

rah. Dan tak mustahil mereka yang mencu-

lik anakku. Dan ingin mengadu domba sesa-

ma kita...."

"Lalu apa yang akan Anda lakukan?" 

tanya Datuk sakti.

"Aku akan mencari orang-orang itu 

yang telah menteror keluargaku tanpa se-

bab, juga mencoreng namaku di hadapan ra-

ja!

Akan kubumi hanguskan mereka!" Madewa


menggeram. Giginya bergemerutuk dengan 

keras. Wajahnya memancarkan sinar kemara-

han. Dan tanpa sadar, kedua kakinya telah 

amblas semata kaki ke dalam tanah!

Bertanda betapa besarnya kemarahan 

Madewa Gumilang!

Datuk sakti berkata lagi, "Saudara 

pendekar, ada baiknya kita bersatu meng-

hadapi mereka."

"Terserah bagaimana, yang pasti aku 

akan menghancurkan mereka! Dan melindungi 

raja dari keganasan mereka!"

"Baiklah, Saudara pendekar. Hari ini 

juga, kami bertiga akan menjaga di Kota 

Raja. Dan kau mencari Dewi Cantik Penye-

bar Maut itu!" Datuk sakti berpaling pada 

Paksi Uludara. "Bagaimana pula dengan 

Saudara ketua?"

"Karena aku punya urusan dengan 

orang-orang Dewi sesat itu, aku ikut Sau-

dara Madewa!" kata Paksi Uludara sambil 

membuka topeng hitamnya. Seraut wajah tua 

yang berjanggut putih nampak.

Wajah yang nampak letih namun penuh 

kegusaran.

"Kalau begitu, baiklah. Kita segera 

berpisah!" kata Datuk sakti itu. Dia agak 

gembira, karena persoalan salah paham itu 

berhasil dipecahkan.

Madewa menghampiri Pendekar Kipas 

Sakti yang masih terluka. Ia berdiri di 

belakangnya.


"Sebentar, Saudara."

Lalu menempelkan kedua tangannya di 

punggung pendekar tampan itu, untuk men-

gusir uap beracun yang masih terdapat di 

sekitar tubuhnya. Perlahan Pendekar Kipas 

Sakti merasakan dorongan tenaga yang han-

gat menembus kulitnya. Bahkan masuk ke 

dalam dagingnya!

Sekarang nafasnya sudah agak normal, 

tidak sesesak tadi. Dia meminta maaf pada 

Madewa akan tindakannya yang ceroboh ta-

di.

Lalu dia bersama dengan Datuk Sakti 

dan Dewi Maut, segera pergi menuju Kota 

Raja, menjaga ketentraman di sana.

Sementara itu, Paksi Uludara tengah 

memberikan wanti-wantinya kepada murid 

utamanya Jayalaksa, agar selama dia per-

gi, memimpin perguruan dengan baik.

Lalu bersama Madewa Gumilang keduanya 

beranjak meninggalkan lereng bukit yang 

indah. Paksi Uludara tidak memakai pa-

kaian kebesarannya dan topeng hitamnya, 

dia hanya membawa pedang pusakanya saja.

Malam mulai turun, menyelimuti lereng 

bukit yang indah itu.

***


SEMBILAN



Jauh dari lereng bukit itu, di dekat 

hutan yang sangat lebat, terdapat sebuah 

gua. Tempat di sekitar itu sunyi dan di 

gua itu merupakan tempat tinggal Dewi 

Cantik Penyebar Maut alias Nindia dan 

anak buahnya.

Di sudut dari gua itu terlihat seo-

rang wanita lesu dalam keadaan terikat. 

Kedua tangannya terikat di dua batang 

bambu. Begitu pula dengan kakinya. Wajah 

wanita itu pucat. Tubuhnya lemah. Rambut-

nya pun acak-acakan.

Tak jauh dari sana, seorang bocah la-

ki-laki tertidur dalam keadaan terikat 

pula. Bocah itu pulas sekali. Wajahnya 

pun pucat. Tubuhnya pun lemah. Tetapi dia 

tidak merasakan hal itu karena tertidur.

Mereka adalah Ratih Ningrum dan Pra-

nata Kumala yang diculik oleh orang-orang 

Dewi Cantik Penyebar Maut yang menyamar 

sebagai perguruan Topeng Hitam. Benar du-

gaan Datuk Sakti Berjubah Putih, senjata


rahasia topeng hitam itu hanya untuk 

mengalihkan penculikan orang-orang itu.

Dewi Cantik Penyebar Maut benar-benar 

hebat, hampir saja orang-orang rimba per-

silatan saling bentrok karena salah pa-

ham. Saat itu pun beberapa orang muridnya 

sedang mengacau di Kota Raja. Mereka ada-

lah Mawar merah, Puspa merah dan Pinus 

merah. Sedangkan Melati Merah menemaninya 

di gua. Dan Dahlia merah tengah melaksa-

nakan tugas rahasia untuk Tuan Abinda-

manyu!

Wajah Ratih Ningrum terbuka, sayu. 

Matanya kelihatan masih mengantuk. Dia 

terkejut mendapati dirinya dalam keadaan 

terikat. Entah berapa hari dia pingsan 

akibat mencium bau harum yang ternyata 

obat bius. Menurut Ratih Ningrum, dia be-

rada di tempat orang-orang bertopeng hi-

tam itu. Dan orang-orang itu yang mena-

wannya.

Hhh, orang-orang pengecut. Beraninya 

keroyokan dan memakai obat bius!

Tiba-tiba kepalanya mendongak. Ma-

tanya menatap tak percaya sosok tubuh 

yang tahu-tahu berdiri di hadapannya. 

Seorang wanita cantik berpakaian merah. 

Betapa cantiknya!

Wanita itu tersenyum. Senyumnya pun 

manis dan mengandung sesuatu yang menge-

rikan. Ratih Ningrum merasakannya. Entah 

kenapa dia agak bergidik melihatnya.


"Selamat datang di tempatku... Ratih 

Ningrum," kata wanita itu dengan senyum-

nya yang tetap dirasakan mengerikan oleh 

Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum menantang tatapan wani-

ta itu.

"Hhh! Rupanya orang yang mengeroyokku 

bukan dari perguruan Topeng Hitam! Pergu-

ruan Topeng Hitam tidak menerima murid 

seorang wanita, juga tak ada guru wani-

ta!"

Wanita cantik itu terbahak.

"Kau pintar juga rupanya, Ratih Nin-

grum. Terus terang, memang bukan orang-

orang Topeng Hitam yang menyerangmu...."

"Hhh! Kalau begitu, siapa kalian?" 

bentak Ratih Ningrum, geram. Keletihannya 

kini sudah tidak nampak lagi.

Wanita itu terbahak lagi. Masih tetap 

tenang menghadapi Ratih Ningrum yang ten-

gah marah.

"Rupanya kau belum mengenal orang 

yang menyebarkan teror akhir-akhir ini. 

Nah, dengar baik-baik, Ratih Ningrum. 

Akulah yang diberi julukan.. Dewi Cantik 

Penyebar Maut!"

Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-

tih Ningrum terbelalak. Mulutnya mengan-

ga. Inikah wanita iblis itu? Kalau dili-

hat sekilas, tak ada tanda-tanda jahat di 

wajahnya yang cantik itu. Tetapi hatinya, 

pastilah sangat busuk!


"Jadi kaulah orang yang bergelar Dewi 

Cantik Penyebar Maut, tak kusangka sede-

mikian cantiknya kau. Dewi sesat... kau 

adalah seorang wanita yang berilmu ting-

gi, bukankah kau lebih baik menjadi 

orang-orang golongan putih daripada jadi 

golongan sesat? Kau telah menteror bebe-

rapa buah desa bersama anak buahmu. Kau 

punya keinginan untuk menggulingkan Raja! 

Sungguh busuk hatimu, Dewi!"

"Bangsat hina!" Dewi sesat itu meng-

geram dan menempeleng pipi Ratih Ningrum

hingga berdarah.

Kepala Ratih Ningrum langsung mene-

gak. Matanya memancarkan kegusaran yang

tidak biasa.

"Kalau kau memang hebat, buka ikatan-

ku! Kita bertanding!" geramnya marah. 

"Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan 

orang yang bergelar menakutkan itu!!"

"Ratih Ningrum.... membunuhmu semudah 

dengan membalikkan tangan. Tanpa bergerak 

pun aku mampu membunuhmu. Dan sebelum 

ajalmu, aku ingin bercerita sedikit ten-

tang siapa aku...."

"Bah! Aku muak denganmu!"

"Setan!" dewi sesat itu menempeleng 

kepala Ratih Ningrum kembali. "Kau den-

garkan saja, tak perlu banyak komentar!

Kau masih ingat, ketika seorang pemu-

da bernama Madewa Gumilang atau suamimu 

itu menyelamatkan seorang gadis bernama


Nindia dari tangan Wirapati? Kau tentu 

ingat. Sejak bertemu dengan suamimu, ga-

dis itu telah jatuh cinta padanya. Siang 

malam dia selalu terbayang wajah Madewa.

Sampai gadis itu diculik oleh Wirapa-

ti. Dan Madewa menemukannya bersama seo-

rang pemuda bernama Adi Permana. Betapa 

senangnya gadis itu bertemu dengan pujaan 

yang diimpikannya siang dan malam.

Tetapi malang tak dapat ditolak, un-

tung tak dapat diraih, rupanya pemuda 

yang bernama Adi Permana itu adalah seo-

rang wanita yang menyamar.

Dan wanita itu adalah kau, Ratih Nin-

grum! Yang ternyata kekasih Madewa sejak 

lama. Kau tahu Ratih, bagaimana hancurnya 

perasaan gadis yang bernama Nindia itu. 

Dia tidak bisa menolak semua kenyataan 

yang ada. Hatinya terluka. Semua angan 

dan harapannya hancur gara-gara kau, Ra-

tih!

Dengan membawa luka hati yang dalam, 

gadis itu bersumpah, tidak akan membiar-

kan Madewa Gumilang hidup bersamamu. Kau 

pun harus merasakan semua kepedihan dan 

luka yang dihadapinya.

Dan entah kebetulan entah tidak, seo-

rang kakek sakti memungutnya dan menggem-

blengnya pelajaran silat di puncak gunung 

Muria. Walaupun belum selesai, gadis itu 

sudah turun gunung, sudah tak tahan me-

mendam perasaan rindu dan dendamnya kepa


da Madewa.

Mulailah dia melakukan teror dan men-

cari anak buah, sampai dia dijuluki den-

gan sebutan Dewi Cantik Penyebar Maut! 

Dan dewi cantik Itu, setiap saat selalu 

teringat kepada Madewa dan dendamnya ke-

pada istri Madewa, yang dirasakan sebagai 

saingan dalam merebut hati Madewa! Kein-

ginan membunuhnya semakin besar.

Hari ini semua itu akan terlaksana, 

istri Madewa berada dalam cengkeraman ga-

dis itu...."

"Kau?" potong Ratih Ningrum terkejut. 

Tatapannya terbelalak.

"Yah... akulah gadis yang hatinya 

terluka itu. Nindia...."

Ratih Ningrum merasakan dadanya ber-

debar, ingatannya beralih pada kira-kira 

lima tahun yang silam. Di mana dia menya-

mar sebagai Adi Permana bersama Madewa 

yang saat itu belum menjadi suaminya me-

nyelamatkan Nindia dari tangan Wirapati.

Dan gadis itu ternyata memendam cinta 

yang amat dalam pada suaminya hingga tak 

mampu melupakannya. Setiap saat dia sela-

lu teringat pada pemuda itu. Dan di lain 

waktu dia ingin membunuhnya. Juga istri 

pemuda itu!

Wajah Ratih Ningrum mendadak memucat. 

Jadi Dewi sesat yang bergelar Dewi Cantik 

Penyebar Maut, adalah gadis yang sejak 

lama dikenalnya! Nindia, putri Abinda


manyu! Dan sekarang siap membunuhnya. Te-

tapi Ratih Ningrum menyembunyikan kekua-

tiran nya. Dalam keadaan terikat begini, 

Nindia mampu membunuhnya dengan sekali 

pukul.

"Jadi kau rupanya, gadis yang disela-

matkan suamiku dulu," katanya dengan sua-

ra yang be-wibawa. Tatapannya mengejek 

memperhatikan sekujur tubuh Nindia. "Hhh! 

Sudah hebat rupanya kau, sampai berani 

membuat teror yang menakutkan! Dan berge-

lar yang mengerikan!"

Nindia terkekeh. Tawanya mengerikan. 

Setiap saat mampu mengundang maut. "Itu-

lah aku, Ratih Ningrum...." 

"Bah! Kau merupakan iblis betina yang 

kejam. Aku tidak mengerti dengan tingkah-

mu, Nindia! Untuk apa kau culik pemuda 

dan bayi-bayi?"

Nindia menghentikan tawanya. Suaranya 

seram, "Kau tahu, para pemuda itu untuk 

kubunuh, agar tidak menjadi hidung belang 

macam suamimu. Dan bayi-bayi itu, aku pun 

membunuhi mereka. Aku senang melihat da-

rah dan tangis mereka...."

Seketika Ratih Ningrum melirik pu-

tranya yang masih pulas tidur. Jelas ti-

dak mungkin Nindia tidak melakukan hal 

yang sama terhadap Pranata Kumala. Oh, 

tidak! Jika itu sampai dilakukannya, dia 

bersumpah akan menghirup darah Nindia!

Tahu-tahu Nindia terkekeh lagi.


"He... he... sebentar lagi itu akan kula-

kukan pada putramu, Ratih. Kau boleh sak-

sikan, bagaimana tangis dan darah anakmu!

Tentu sangat sedap didengar telinga!"

"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu 

pada anakku!" seru Ratih Ningrum antara 

ketakutan dan marah. "Ingat Nindia, ke 

mana pun kau pergi akan kucari kalau kau 

berani melakukannya!"

"He... he... suatu hal yang tak mung-

kin. Karena setelah anakmu kubunuh, ganti 

kau yang kubunuh!"

"Kau?!" Ratih Ningrum membelalak gu-

sar. Dan membentak, "Lepaskan ikatanku

lepaskan! Kita bertanding secara kesa-

tria!"

"Untuk apa aku susah payah melepaskan 

ikatanmu? Toh aku mudah membunuhmu...."

"Pengecut! Ternyata gelar Dewi Cantik 

Penyebar Maut hanyalah seorang iblis yang 

pengecut?"

"Bangsat!" Nindia melayangkan tangan-

nya. Lagi Ratih Ningrum ditamparnya. Kali 

ini pipi itu memerah sekali. Dan amat sa-

kit dirasakan Ratih Ningrum. Tetapi itu 

semakin membuatnya gusar. Matanya melotot 

marah.

"Kau benar-benar pengecut! Kau hanya 

berani menamparku dalam keadaan terikat!"

Mata Nindia memancarkan sorot yang 

menakutkan. Ratih Ningrum tidak takut. 

Dia balas menentang tatapan itu. Dia ber


harap, Nindia melupakan persoalan pu-

tranya.

Tahu-tahu Nindia berbalik dan mengi-

baskan tangannya kebelakang. 

Siingg! 

Selarik sinar merah melesat dari ke-

lima jarinya. Dan menghantam dinding gua 

hingga menimbulkan suara ledakan. Dan 

dinding itu hancur berantakan.

Diam-diam Ratih Ningrum ngeri meli-

hatnya. Tetapi dia tetap tenang sambil 

menahan debar kengeriannya.

Nindia berbalik lagi.

"Tak sulit membunuhmu!" desisnya ang-

ker.

Lalu meninggalkan tempat itu dengan 

kekehnya yang menakutkan.

Ratih Ningrum menghela nafas panjang, 

agak lega. Nindia sekarang bukanlah Nin-

dia yang dulu. Nindia sekarang telah tum-

buh menjadi seorang wanita yang ganas dan 

kejam, dan telengas menurunkan tangan.

Cinta memang membuat orang jadi mabuk 

kepayang dan kadang kelabakan. Semua tak 

ada yang bisa mengubah cinta itu kecuali 

orang itu sendiri. Dan Nindia tidak bisa 

merubahnya.

Dia tetap memendam cinta itu pada Ma-

dewa yang kini menjadi suami Ratih Nin-

grum. Dan karena cinta dia membuat petaka 

berdarah ini, yang selalu memakan nyawa 

manusia.


Kata orang, cinta mengalahkan segala-

galanya. Dan kini terbukti, cinta menghi-

langkan cinta wanita Nindia Wanita yang 

lemah lembut dan selalu menangis, kini 

menjelma menjadi wanita yang menggegerkan 

seisi rimba persilatan. Wanita yang men-

jadi momok bagi siapa saja!

Tak terkecuali diri dan suaminya!

Entah kapan semua itu akan berakhir. 

Hanya yang Kuasa yang tahu. Tetapi Nindia 

semakin seenaknya menjalankan terornya

tanpa ada berani yang menentang.

Di mana orang-orang golongan putih? 

Mengapa mereka hanya berdiam saja? Belum 

lagi kalau nanti muncul orang-orang go-

longan hitam yang membantu Nindia. Sema-

kin kacau tentu dirasakan!

Dan semakin sulit dibasminya! Ratih 

Ningrum pun bertanya-tanya di mana sua-

minya berada sekarang. Mungkinkah dia ke 

perguruan Topeng Hitam? Entah kenapa Ra-

tih Ningrum yakin suaminya akan ke sana. 

Pasti orang-orang yang menyergapnya waktu 

itu meninggalkan jejak. Dan menginginkan 

terjadinya salah paham antara suaminya 

dan orang-orang Topeng Hitam.

Siasat adu domba yang memecahkan!

Atau juga saat ini suaminya sudah di-

hadapkan kepada Raja akibat tuduhan ingin 

memberontak.

Ratih Ningrum menjadi pusing sendiri.

la melirik putranya masih tertidur.


Betapa nyenyaknya Pranata tidur, dan ti-

dak tahu kalau maut setiap saat akan da-

tang.

* * *

SEPULUH



Malam merambat dengan perlahan. Awan 

gelap menyelimuti bumi. Bertanda sebentar 

lagi akan turun hujan. Angin besar seka-

li, menderu-deru. Dan menusuk kulit. Sua-

sana hening dan dingin. Mencekam.

Perasaan seperti itu pun dirasakan 

oleh Bupati Wrahatnala. Dia merasa sulit 

untuk memejamkan matanya. Berkali-kali 

dia mencoba tidur tetapi mata itu, tetap 

tak mau terpejam.

Dia merasakan sekujur tubuhnya berke-

ringat. Ada ketegangan yang merayap per-

lahan, entah apa.

Diliriknya istrinya yang bernama Se-

kar Jingga yang tidur di sisinya. Wajah 

Sekar Jingga cantik. Dan selalu terse-

nyum. Dalam tidurnya pun dia tersenyum.

Walaupun Wrahatnala seorang bupati, 

sampai saat ini dia tidak punya istri se-

lain Sekar Jingga. Juga tidak punya se-

lir! Dia memiliki dua orang putra. Tetapi 

saat ini keduanya tidak berada di antara


mereka. Keduanya tengah berguru pada tem-

pat yang berlain. Yang pertama di pegu-

nungan Lawu. Sedangkan yang satunya, di 

dataran Pantai Selatan.

Dan lagi-lagi Wrahatnala merasakan 

ketegangan itu. Tahu-tahu ia bangkit. Ke-

luar dari kamarnya. Dua orang pengawal 

yang menjaga di depan kamarnya berbalik 

dan salah seorang bertanya, "Ada apa ge-

rangan tuanku Bupati keluar dari pera-

duan?"

"Aku tidak tahu perasaanku tidak enak 

saja," kata Bupati seraya duduk di dekat 

jendela. Menatap dua pengawal yang menja-

ga didepan kamarnya. 

"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan 

yang menyusahkan Paduka?" 

"Aku sendiri tidak tahu. Aku merasa-

kan sesuatu yang mengerikan akan menimpa 

kita. Surya, tolong kau panggil orang-

orang pilihan istana. Aku ingin berbin-

cang-bincang dengan mereka."

Nah, sampai disini tentu anda masih 

penasaran. Silakan anda simak episode be-

rikut : 

"Keris Naga Merah"



                        SELESAI





 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive