DEWI CANTIK
PENYEBAR MAUT
Oleh Fahri A.
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 004 :
Dewi Cantik Penyebar Maut
128 Hal.; 12 x 18 Cm
SATU
Dewi Maut masih meneruskan ejekannya.
Wajah Datuk Sakti memerah. Tetapi dia
tetap bersabar, kalau tidak, tidak mung-
kin terbentuk suatu kesatuan yang kukuh.
Percuma dia mengundang orang-orang sakti
itu kalau tidak berhasil membentuk suatu
kesatuan yang kuat.
"Dewi Maut, aku pun sadar akan nama
besarmu. Tetapi orang yang akan kita ha-
dapi, bukanlah orang sembarangan. Dia
seorang tokoh sakti yang masih muda. Dan
anak buahnya yang merupakan murid-
muridnya juga tokoh-tokoh muda yang tak
kalah saktinya dengan gurunya...."
"Ah, sudahlah!" potong Dewi Maut
jengkel. "Biar kuhadapi orang-orang itu
nanti!"
Tiba-tiba terdengar suara kekehan.
Dewa Tua Pengantuk yang terkekeh. Walau-
pun matanya terpejam dia tetap terkekeh.
Entah menertawakan apa. Yang pasti, dia
bosan mendengar perdebatan itu.
Suasana hening setelah Dewa tua itu
berhenti tertawa. Dan dia sudah kembali
tertidur.
Pendekar Kipas Sakti berdiri. "Datuk
tua... kita tidak menginginkan perdebatan
di antara kita, bukan? Ada baiknya, seka-
rang kau menuturkan bagaimana rencanamu
untuk menghadapi Dewi penyebar maut itu.
Kami semua sudah tidak sabar menung-
gu...." Lalu duduk kembali sambil berki-
pas.
Datuk tua itu mengangguk. Tidak meng-
hiraukan Dewi Maut yang masih nampak
jengkel.
Tetapi belum lagi dia bicara, sebuah
pisau berpita merah mendesing ke arahnya,
Secepat kilat Datuk tua itu bersalto. Dan
pisau menancap ke tembok, sampai pada
pangkalnya. Menandakan betapa besarnya
tenaga dalam orang yang melempar itu.
"Pembokong busuk, cepat kau menampak-
kan diri!" geram Datuk tua. Dan yang lain
berdiri dengan sikap siaga, Bahkan Tiga
Malaikat Berantai Emas, sudah bersiap
dengan senjatanya.
Terdengar suara kekehan nyaring seo-
rang perempuan. Lagi-lagi orang itu mema-
merkan kehebatan tenaga dalamnya. Karena
getaran tawanya begitu nyaring.
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu
di hadapan mereka telah muncul tiga orang
wanita muda berpakaian merah semua.
Datuk Sakti tahu siapa mereka, meli-
hat dari pakaian mereka. Mereka adalah
anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!
Melihat gelagat itu, Dengan bersikap
bersahabat. Ia menjura.
"Oh... kiranya dewi-dewi terhormat.
Ada apa gerangan dewi-dewi datang kema
ri?"
Salah satu wanita muda itu mendengus.
Dia bernama Mawar Merah,
"Kau Jangan berpura-pura, orang tua!
Kami telah tahu apa yang akan kau renca-
nakan terhadap guru kami! Dan hari ini
kami akan menggagalkan semua rencana ka-
lian!"
Datuk itu agak kaget juga. Rupanya
rencana rahasia mereka telah diketahui
oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar
Maut.
Tiba-tiba muncul seorang wanita muda
berpakaian merah. Wanita muda itu berja-
lan santai sambil menepuk-nepuk tangan-
nya.
'Tidak sulit membunuh pengawal-
pengawal itu, Mawar Merah!" serunya sam-
bil tersenyum.
Lagi Datuk tua itu tersentak. Pengaw-
al-pengawalnya yang terdiri dari orang
yang berilmu lumayan, dikalahkan oleh sa-
tu orang? Perasaan terkejut Itu dirasakan
pula oleh yang lain. Kecuali Dewi Maut
yang ingin segera menyerang.
"Bagus, Dahlia Merah! Sekarang, kita
bunuh orang-orang ini!"
"Tunggu!" seru Pendekar Kipas Sakti.
"Katakan, di mana ketua kalian berada?"
Mawar Merah tertawa.
"Tidak semudah itu, Saudara? Kecua-
li...kau telah menjadi mayat, baru kami
memberitahumu!"
Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah.
Dia begitu direndahkan. Kegeramannya men-
jalar ke wajahnya. Apalagi wanita-wanita
muda itu tertawa yang sangat menyakitkan
telinganya.
Dengan teriakan keras, Pendekar itu
menyerang. Kipasnya merapat, membentuk
totokan. Keempat wanita muda itu dengan
serentak bersalto ke belakang. Dalam ber-
salto itu Mawar Merah berseru, "Pinus Me-
rah, kau hadapi dia!"
Dan serentak yang diperintah tadi,
melenting kembali begitu kakinya memijak
lantai. Membalas serangan Pendekar Sakti
itu. Gerakan kaki dan tangannya begitu
cepat dan beruntun. Pendekar itu agak ke-
bingungan dan bersalto ke belakang. Kem-
bali ke tempatnya semula dengan wajah
pias.
Benar-benar tidak boleh dianggap re-
meh. Pinus Merah pun kembali berjajaran
dengan saudara-saudaranya.
Mawar Merah tertawa
"Nah, tunggu apa lagi?" ejeknya. "Ayo
lawan kami! Bukankah kalian ingin membu-
nuh kami! Bah, mimpi yang tak tersampai-
kan! seraaaang!"
Serentak keempat wanita muda itu me-
lesat ke depan. Gerakan mereka benar-
benar cepat. Dan tanpa dikomando lagi,
mereka segera memilih lawan-lawan mereka.
Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan
dengan Mawar Merah. Tiga Malaikat Beran-
tai Emas berhadapan dengan Dahlia Merah.
Pendekar Kipas Sakti berhadapan dengan
Pinus Merah yang menyerangnya dengan
buas. Sedangkan Dewi Maut berhadapan den-
gan Melati Merah.
Hanya Dewa Tua Pengantuk yang tidak
mendapat lawan. Orang tua itu hanya ter-
kekeh pelan.
"Ha... buang-buang tenaga saja. Per-
cuma kalian berkelahi. Tak ada gunanya,"
katanya masih terkekeh.
Dan seperti tidak ada kegiatan apa-
apa, orang tua itu ngeloyor meninggalkan
tempat itu. Tetap dengan matanya yang se-
lalu terpejam.
Pertempuran berjalan dengan serunya.
Keadaan Datuk Sakti Berjubah Putih seim-
bang dengan Mawar Merah. Dewi Cantik Pe-
nyebar Maut sungguh luar biasa melatih
dan mendidik murid-muridnya. Sampai se-
kian jurus, Datuk Sakti yang sudah melan-
glang buana yang membuat namanya menju-
lang setinggi langit, tidak mampu menja-
tuhkan Mawar Merah. Bahkan membuat Mawar
Merah kewalahan pun dia tidak mampu.
Malah suatu ketika Mawar Merah mampu
menjatuhkan tangannya di bahu Datuk tua
itu, yang merasakan bagaimana ditimpa go-
dam bahunya.
Dia sedikit terhuyung.
Mawar Merah terbahak.
"Ha... ha.... Orang tua! Mimpi apa
kau ingin mengalahkan guruku! Nyawamu tak
ada gunanya! Dan kau pun tak berguna hi-
dup di dunia ini!"
Sehabis berkata begitu, dia menyerang
lagi. Sedetik Datuk tua itu tidak berke-
lit, tamatlah riwayatnya. Mawar Merah te-
lah menggunakan ilmu sakti yang diberikan
gurunya. Menggempur sejuta batu karang.
Di lain itu, Tiga Malaikat Berantai
Emas pun belum mampu menjatuhkan Dahlia
merah. Senjata sakti mereka menderu-deru
dengan dahsyat. Tetapi belum sekali pun
mengenai tubuh Dahlia Merah. Dahlia Merah
telah menggunakan ilmu berkelit yang di-
berikan gurunya yang bernama, menghindar
hujan menghalau badai.
Yang sambil berkelit masih mampu mem-
balas! Salah seorang dari Tiga Malaikat
itu, berhasil digedor dadanya hingga ter-
huyung dan muntah darah.
"Dik Suta!" jerit salah seorang sau-
daranya yang kaget. Dan marahnya bangkit
ketika diketahui adiknya telah mati den-
gan jantung yang seketika putus. "Kau?!"
geramnya pada Dahlia merah yang tertawa
penuh ejekan.
"Sudah kukatakan sejak tadi, kalian
akan percuma menghadapi kami! Cepat ber-
sujud dan cium ibu jari kakiku!"
"Bangsat!!" geram kedua orang itu.
Keduanya merapat. Dan memainkan rantai
berbandul tajam dengan dahsyat. Anginnya
menderu hebat. Dan dengan pekikan hebat
keduanya menerjang berbarengan.
Lagi-lagi dengan menggunakan ilmu
menghindar Hujan menghalau badai, seran-
gan itu luput. Dengan hebat dan ringan-
nya, Dahlia melenting ke atas. Dengan
bersalto dia mengirimkan pukulan jarak
jauhnya. Dua buah larik sinar merah ber-
kelebat.
"Awaas!!" Dua orang berkepala gundul
itu bergulingan menghindar. Tetapi tak
urung baju salah seorang dari mereka ter-
koyak terkena sinar merah itu. Mengepul
asap dari pakaian yang koyak itu. Wajah
keduanya pias. Tetapi kemarahan semakin
membara. Membludak meminta pelampiasan.
Lagi keduanya serentak menyerang.
Di lain itu, keadaan Pendekar Kipas
Sakti tidak banyak berbeda dengan kawan-
kawannya.
Pinus Merah berhasil mendesak pende-
kar tampan Itu. Dua kali dia berhasil
mendaratkan pukulan dan tendangannya.
Tetapi pendekar tampan itu bukanlah
pendekar yang baru mencuat namanya. Dia
juga berhasil membalas. Tenaga dalamnya
menghimpun di tangan dan mendarat di dada
Pinus Merah.
Namun sedikit pun Pinus Merah tak
bergeming. Bahkan dia tetap berdiri tegak
dengan bibir tersungging sebuah senyuman
manis!
Pendekar itu terkejut. Surut ke bela-
kang dengan keheranan.
Pinus Merah terbahak. "Pukulan apa
pun tak akan mampu membuatku terhuyung,
Pendekar tampan! Percuma kau buang tena-
gamu untuk menghadapiku!"
"Kau...."
"Tak perlu terkejut. Itulah ilmu keb-
al pemberian guruku, yang dinamakan, me-
nahan gelombang batu karang! Hei, Pende-
kar tampan! Cepat kau bersujud, sebelum
kucabut nyawamu!!"
Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah.
Dengan marah dia menyerang lagi.
Di lain itu, hanya Dewi Maut yang
mampu mengimbangi serangan Melati merah.
Tokoh sakti yang telah banyak makan asam
garam itu, mampu berbuat lebih banyak da-
ri Melati merah. Serangan-serangan tangan
kosongnya sangat berbahaya. Dia telah
menghimpun pukulan saktinya di kepalan
tangannya.
Agaknya Melati merah mengetahui se-
rangan Itu. Sejauh itu dia berusaha untuk
menghindar. Tidak berani mengadu tangan
atau menahan serangan itu secara berben-
turan.
Sampai suatu ketika dia mendadak men-
jatuhkan dirinya. Dan melontarkan pukulan
jarak jauhnya. Selarik sinar merah berke
lebat dengan cepat.
Dewi maut menjerit kaget. Dia melom-
pat dengan cepat. Belum lagi dia menje-
jakkan kakinya ke tanah, selarik sinar
merah itu telah memburunya lagi. Membu-
runya terus. Sampai Dewi Maut kewalahan
sendiri.
Di saat itulah, Melati Merah menjerit
menerjang. Dan...
Des!!
Pukulan menghajar perut Dewi Maut
yang langsung terhuyung.
Melihat keadaan itu. Melati Merah
mengejar, dengan pukulan lurus yang siap
menghancurkan Dewi maut. Tetapi mendadak
serangannya urung, sebuah sinar putih
menghalau serangannya.
"Setan!" Melati Merah menghindar den-
gan jalan bergulingan.
Pukulan jarak jauh itu, dilontarkan
oleh Datuk Sakti Berjubah Putih, yang me-
lihat keadaan genting akan menimpa Dewi
Maut. Sedetik dia terlambat, tamatlah ri-
wayat Dewi Maut.
Melihat borongan itu, Mawar Merah
menjadi marah. Hampir saja serangan itu
mematikan adik seperguruannya. Dia menga-
muk, serangannya membabi buta. Dan. mem-
buat Datuk sakti itu menjadi kewalahan.
Sebisanya dia menangkis serangan itu.
Bahkan dengan kibasan tongkat berkepala
ularnya. Tapi tak urung sebuah pukulan
menghantam pahanya, yang langsung mem-
buatnya jatuh bergulingan.
Bersamaan dengan jatuhnya Datuk sakti
itu, terdengar dua jeritan memilukan. Dua
pendekar berkepala gundul menemui ajalnya
di tangan Dahlia Merah.
Tamatlah riwayat Tiga Malaikat Beran-
tai Emas, yang menemukan ajalnya dengan
sangat mengenaskan. Wajah keduanya hancur
tak berbentuk.
Dan Pendekar Sakti pun terhuyung ter-
makan tendangan Pinus Merah yang membuat-
nya muntah darah.
"Tahan!!" Seruan itu terdengar. Mawar
Merah mengisyaratkan saudara-saudaranya
untuk mendekatinya. Serentak mereka ber-
salto dan berdiri berjajaran di samping
mawar merah dengan sikap gagah.
Mawar merah mendengus. "Hhh, hari ini
nyawa kalian kami ampuni. Ingat!!, jangan
membuat kami marah lagi! Kalian tidak ada
gunanya menentang kehendak kami!
Kalau kalian menentang perbuatan ka-
mi, kami segera akan mengirim nyawa ka-
lian ke akhirat! Kau Datuk tua, camkan
peringatan kami baik-baik!
Sebelum guru kami yang turun, yang
sekali kelebat membuat nyawamu putus, ada
baiknya kau urungkan niatmu untuk menen-
tang kami!"
Datuk tua itu mengatur nafasnya. Me-
nahan rasa sakit di dadanya. Matanya nya
lang, penuh kemarahan.
"Tidak, sampai kapan pun, aku menen-
tang perbuatan kalian! Demi keadilan dan
keberanian!"
"Bangsat!" Mawar merah mengibaskan
tangannya. Selarik sinar merah menerjang
ke arah Datuk tua.
Dengan sisa tenaganya, datuk tua itu
menghindar. Sinar merah itu menghantam
dinding rumah hingga bolong.
"Itu peringatan untuk kalian semua
Camkan baik-baik! Kami akan datang lagi
untuk membunuh kalian!"
Setelah berkata demikian, Mawar merah
bersalto. Dan menghilang di kegelapan ma-
lam.
Begitu pula dengan yang lain. Dengan
sekali kelebat saja, mereka sudah lenyap
dari pandangan.
Setelah mereka menghilang, dengan Su-
sah payah Datuk Sakti Berjubah Putih ber-
diri. Dia sadar, mereka belum tentu mampu
menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut.
Dengan murid-muridnya saja mereka sudah
dibuat jungkir balik tak karuan.
"Saudara-saudara... kita harus menca-
ri tokoh sakti untuk menghadapi mere-
ka...." desisnya pelan.
Malam pun semakin merambat.
***
DUA
"Pranata! Pranata! Hhh, ke mana lagi
anak itu! Sudah sore begini belum kemba-
li?!" gerutu seorang wanita muda. Agaknya
dia tengah mencari anaknya. Padahal anak-
nya bersembunyi tak Jauh dari tempatnya
berdiri. Daerah itu sunyi. Matahari mulai
turun, kembali keperaduan.
"Hei, Pranata! Ayo kembali! Kamu ha-
rus mandi!" wanita muda itu berseru lagi.
Di pohon besar itu, anak kecil yang
bernama Pranata terkekeh. Geli sendiri
karena ibunya kebingungan. Dia tidak ta-
hu, sebenarnya ibunya sudah mengetahui di
mana dia berada. Tetapi ibunya pura-pura
tidak tahu.
Anak kecil itu masih terkekeh geli.
Tanpa disadarinya, ibunya sudah bersalto
mendekati dan langsung menggendong anak
itu.
"Hu, ibu curang! Ibu curang!" serunya
meronta-ronta minta diturunkan.
"Ha... ha... habis, kau mau memper-
mainkan Ibu," kata wanita muda itu sambil
berjalan ke rumahnya.
"Ibu curang! Ibu pakai kepandaian ibu
untuk menangkapku! Ibu curang, ibu cu-
rang!"
"Ibu tidak curang, kamu yang curang.
Dipanggil kok sembunyi."
"Ibu curang karena ibu tidak menga-
jarkan aku melompat seperti tadi!"
"Nanti ibu ajarkan. Ayo sekarang man-
di."
"Nggak mau! Ibu harus janji, akan
mengajarkan aku melompat seperti tadi.
Aku ingin bisa, aku ingin bisa!"
"Iya, iya! Ayo mandi!"
"Janji, ya?"
Ibunya mengangguk sambil tersenyum.
Anak itu turun dari gendongannya. Berlari
ke kamar mandi. Janji tadi sudah membuat-
nya gembira.
Wanita itu menggeleng-geleng. Anaknya
itu memang bandel. Entah turunan dari
siapa. Ayahnya atau dia sendiri? Biarpun
begitu, dia sangat menyayangi putranya
yang semata wayang itu. Yang diberinya
nama Pranata Kumala.
Sebenarnya siapakah wanita yang pan-
dai bersalto itu? Dia memang seorang wa-
nita yang mampu memainkan ilmu silat. Ke-
pandaiannya lumayan tinggi.
Dia adalah Ratih Ningrum, yang menda-
patkan pelajaran silat dari tiga penga-
walnya dulu. Dan anak itu adalah buah
perkawinannya dengan Madewa Gumilang, pe-
muda yang sangat dicintainya (baca : Den-
dam Orang-Orang Gagah).
Setelah bertemu dengan pemuda itu du-
lu, mereka segera menikah. Seorang laki
laki tua telah memberkati pernikahan me-
reka. Entah di mana laki-laki tua itu se-
karang.
Dan selama dua tahun mereka meningga-
li rumah mungil itu, penuh suka dan duka.
Kelahiran Pranata Kumala menambah kecin-
taan mereka semakin melekat dan membara.
Ratih Ningrum lambat laun bisa mema-
hami arti hidup yang sebenarnya, yang pe-
nuh dengan permainan-permainan hidup. De-
rita dan senang datang silih berganti.
Sejak kecil sampai remaja, Ratih Ningrum
hidup bergelimang harta. Sampai saat ini
pun masih memiliki harta itu. Tetapi Ra-
tih Ningrum sudah tidak mau menerimanya.
Kekayaannya itu telah dipercayai oleh
tiga pengawal setianya, Mukti, Patidina
dan Tek Jien. Juga karena suaminya yang
tidak mau ketika diajak untuk kembali ke
rumahnya.
Suaminya memutuskan hidup di desa
ini. Desa yang aman dan tentram. Yang pe-
nuh kedamaian.
Hari ini Madewa Gumilang, suaminya,
tengah pergi ke kota. Ada urusan yang ha-
rus diselesaikan di Kotaraja, yang mana
tengah menyangkut nama baik suaminya sen-
diri.
Suaminya dituduh memimpin gerakan
yang akan menggulingkan kedudukan raja.
Dia dituduh telah menyebarkan empat orang
anak buahnya untuk menghimpun dan menja
tuhkan kedudukan raja dengan jalan meng-
hasut dan gerilya. Bahkan pernah menye-
rang istana! .
Dari petunjuk yang didapat, anak
buahnya itu berpakaian merah dan semuanya
adalah wanita-wanita muda yang cantik dan
sakti.
Tentu saja Madewa membantah tuduhan
demikian. Dia bersumpah, tidak berniat
untuk menggulingkan kedudukan raja sedi-
kit pun. Bahkan dia tidak memiliki anak
buah semacam demikian!
Madewa dihadapkan kepada Bupati yang
memanggilnya.
"Madewa... kami memandang nama besar-
mu," kata Bupati. "Sebagai orang yang te-
lah menumpas gerombolan sesat Perkumpulan
Telapak Naga. Tetapi kami kecewa, dengan
sikap dan keinginan yang sesat, yang tak
ubahnya seperti orang-orang Telapak Naga!
Ingin memberontak terhadap raja!
Madewa menjura hormat.
"Tuanku Bupati yang terhormat, sedi-
kit pun saya tidak berniat untuk membe-
rontak terhadap raja yang arif dan agung.
Malah saya mendukung dan membantu raja
menghadapi kesulitan! Saya bersumpah, de-
mi langit dan Bumi, saya tidak memimpin
gerakan memberontak itu!
Bupati yang bernama Wrahatnala men-
gangguk antara percaya dan tidak.
"Lalu apa maksud orang-orang itu me
nyerang dan berseru, "Pimpinan kami ada-
lah Madewa Gumilang!". Bukankah itu nama-
mu, Madewa? Namamu yang besar, yang dibe-
ri gelar Pendekar Pukulan Bayangan Suk-
ma?"
"Sekali lagi, Bupati Wrahatnala! Saya
tidak memimpin gerakan demikian!"
"Baiklah Madewa. Kita tidak perlu ba-
nyak bicara. Untuk membuktikan kebenaran
itu, kau kuperintahkan menangkap dan mem-
bawa orang-orang itu kepadaku, untuk di-
jatuhi hukuman" Madewa mengangguk hormat.
"Baik, Bupati Wrahatnala. Semua akan
saya lakukan. Jika benar saya yang memim-
pin gerakan memberontak itu, kepala saya
taruhannya. Saya rela mati dipenggal! Ka-
lau pun saya masih hidup, biarlah Yang
Kausa membuat saya sakit yang mengerikan
dan mati perlahan-lahan..."
Sumpah dan janji yang mengerikan.
Wrahatnala sampai bergidik mendengarnya.
Tetapi dia sadar dan yakin, ucapan Madewa
benar dan akan terbukti! Wrahatnala sudah
lama mendengar nama besar Madewa Gumilang
yang selalu menentang dan menghancurkan
kejahatan.
Tetapi, apa tidak mungkin dia ingin
memberontak?
"Kupegang janjimu, Madewa."
Madewa menjura.
"Saya mohon diri, Bupati Wrahatna-
la...."
Wrahatnala mengangguk. Madewa keluar
dengan dikawal oleh beberapa orang pen-
gawal, yang siap dengan senjatanya. Made-
wa tersenyum sedih. Dalam hati dia berka-
ta. Sudah mulai lagi kehidupan ini, yang
penuh cobaan. Dia akan membuktikan pada
raja bahkan pada dunia, bahwa dia bukan-
lah pemimpin gerakan pemberontakan itu!
***
Tubuh pendek bulat bundar itu berja-
lan dengan sempoyongan. Tubuhnya limbung
kesana ke mari. Biarpun begitu, penden-
garnya masih tajam. Dia adalah Dewa Tua
Pengantuk.
Pendengarannya menangkap adanya gera-
kan-gerakan yang mencurigakan. Karena ge-
rakan-gerakan itu seperti berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat Jain,
menandakan dia sedang dikuntit orang se-
jak tadi!
Tetapi Dewa Tua Pengantuk itu masih
tetap tenang. Dia tetap memejamkan ma-
tanya. Seolah tak perduli dengan pengun-
tit-penguntit itu.
Dia menghitung setiap gerakan orang-
orang itu. Hmm, ada lima orang yang men-
gikutinya. Mau apa keroco-keroco ini men-
gikutinya? Hmm, dia akan melihat keroco-
keroco itu.
Akan dipermainkannya.
Tahu-tahu Dewa Tua Pengantuk itu ber
kelebat ke depan. Dan "Wuutt!" gerakannya
cepat. Tahu-tahu saja dia sudah menghi-
lang dari pandangan orang-orang itu.
Orang-orang itu panik dan terkejut.
Serentak mereka mengejar. Kali ini tidak
dengan sembunyi-sembunyi. Benar dugaan
Dewa tua pengantuk itu, mereka berjumlah
lima orang. Semua berpakaian hitam-hitam.
Dan di punggung mereka ada sepasang pe-
dang tipis yang tajam.
Tahu-tahu kelima orang itu berhenti.
Terdengar suara tawa dari atas pohon. De-
wa Tua Pengantuk sudah duduk di ujung
ranting yang kecil dan menggoyang-
goyangkan kaki! Betapa tinggi ilmu merin-
gankan tubuh orang tua itu. Dahan ranting
yang kecil, mampu menahan berat tubuhnya
yang gemuk.
"Kalian cecunguk-cecunguk busuk, mau
apa mengikutiku?!" bentaknya masih tetap
menggoyang-goyangkan kaki.
"Orang tua pengantuk, hari ini kami
akan mencabut nyawamu!" bentak salah seo-
rang sambil mengambil sepasang pedangnya.
Dua buah pedang berkilat tertimpa mataha-
ri.
Yang lain pun berbuat yang sama. Kini
sepuluh pedang tipis dan tajam, siap me-
renggut nyawa Dewa Tua Pengantuk itu!
Tetapi orang tua itu masih saja ter-
tawa.
"Ada apa gerangan kalian ingin membu
nuhku?"
"Kau masih banyak bertanya saja,
Orang tua pengantuk!"
"Ha... ha... kau pun demikian, orang
muda pemarah. Tanpa menyebutkan nama ka-
lian dan apa alasan kalian ingin membu-
nuhku, aku enggan untuk melayani kalian.
Selamat tinggal!"
"Tunggu!"
"Ha... ha.apa lagi Orang muda pema-
rah?'
"Kau orang tua yang keji! Kau telah
menculik dan membunuh adik seperguruan
kami. Sudah jelas, kami akan menuntut ba-
las atas kematiannya!"
"Hei, hei! Apa-apaan kalian ini? Kok
menuduh aku?" Kening orang tua pengantuk
itu berkerut. Matanya terbuka lebih le-
bar. Ia menggeleng-geleng.
"Siapa lagi yang kami tuduh kalau bu-
kan Dewa Tua Pengantuk geleng-geleng ke-
pala lagi.
"Orang Muda pemarah, Kau menuduhku
sembarangan! Apa bukti tuduhanmu itu un-
tukku?"
"Kau masih membantah?"
"Jelas kubantah, karena aku tidak me-
rasa membunuh saudara seperguruanmu?"
"Baik! Ada seorang wanita muda yang
melihatmu membunuh saudara seperguruan
kami! Orang itu mengenal kau! Dewa Tua
Pengantuk, yang kabarnya dari golongan
putih, tetapi begitu talengas menurunkan
tangan untuk saudara seperguruan kami
yang tak bersalah!"
"Tuduhan tak benar!"
"Orang tua pengantuk, kami tak perlu
banyak sikap lagi. Cepat kau menyerah dan
ikut kami Untuk dihadapkan kepada ketua!"
"Hhh, betapa enaknya! Tuduhan itu
palsu! Aku tidak melakukan apa-apa selama
ini!"
"Tetapi kau melakukan perbuatan keji
itu!"
"Kau tetap tidak percaya, Orang muda.
Baik, siapa kalian sebenarnya?"
"Hhh! Kami adalah murid-murid dari
lereng bukit sebelah timur sana!"
"Perguruan topeng hitam!" seru Dewa
Tua Pengantuk terkejut. Perguruan yang
sudah lama mencuat namanya. Dan kali ini
dia harus berurusan dengan orang-orang
topeng hitam itu. Urusan yang salah pa-
ham. Dan dia telah dilemparkan tuduhan
palsu!
"Hmm," salah seorang dari anak murid
Perguruan topeng hitam tersenyum sinis.
"Kau terkejut, bukan? Cepat minta maaf,
sebelum ketua kami Paksi Uludara turun
tangan merenggut nyawamu!"
Dewa Tua Pengantuk itu bersalto dua
kali untuk hinggap di tanah dengan sem-
purna. Dia menatap lima orang yang telah
mengenakan topeng hitam itu.
"Sejak muda aku tidak punya masalah
dengan perguruan topeng hitam. Tapi hari
ini, kita berselisih. Aku tetap menolak
tuduhan itu, karena aku tidak melakukan-
nya!"
"Bangsat! Kau banyak bicara!" Orang
itu segera menerjang dengan satu tusukan
lurus pada tenggorokan Dewa Tua Pengan-
tuk.
Orang tua itu mengelak sedikit ke
samping, serangan itu luput. Belum lagi
dia menegakkan badannya, pedang-pedang
yang lain bersambaran. Dan seketika sepu-
luh buah pedang itu berkelebat bergan-
tian.
Orang tua itu agak kewalahan. Tetapi
bukan Dewa tua pengantuk kalau tidak bisa
menghindari serangan-serangan itu.
Tiba-tiba dia melenting ke atas, me-
nyambar sebuah ranting kecil. Dan dengan
ranting itu dia menghalau setiap sabetan
pedang yang datang.
Sungguh hebat, ranting itu tidak pu-
tus atau patah termakan sabetan pedang,
karena telah dialiri tenaga dalam Dewa
tua itu.
Bahkan dengan ranting itu ia mampu
menotok salah seorang dari mereka, yang
langsung berdiri tegak, kaku, tanpa bisa
menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Kuminta kita hentikan pertempuran
itu," kata orang tua itu sambil melenting
ke atas, menghindari tusukan sepasang pe-
dang yang menyambar dengan cepat.
"Kau jangan menghasut, orang tua!
Saat ini kami menginginkan nyawamu!"
Dan sebuah pukulan jarak jauh menyam-
bar ke arah orang tua itu.
Wutt!
Orang tua itu berkelit dengan jalan
bersalto. Belum lagi dia hinggap di ta-
nah, puluhan senjata rahasia yang berben-
tuk topeng-topeng kecil berterbangan ce-
pat, masih di udara orang tua itu mampu
bersalto dua kali. Serangan-serangan itu
luput.
"Kita sudahi pertempuran ini, Sauda-
ra!" kata Dewa tua sambil hinggap di ta-
nah. "Kita semua salah paham. Wanita muda
yang menjadi saksi itu, pasti salah meli-
hat! Disangkanya diriku yang dilihatnya!
Atau mungkin juga... dia ingin mengadu
domba di antara kita!"
"Aku tidak perduli semua itu, yang
kami inginkan sekarang! Mempersembahkan
nyawamu untuk adik seperguruan kami! Ta-
han serangan, Orang tua!"
Lagi mereka menyerang. Kali ini lebih
hebat dan dahsyat. Sabetan dan kibasan
pedang berkelebat dengan cepat. Pukulan
jarak jauh dan senjata rahasia berterban-
gan dengan tersembunyi, siap mencabut
nyawa dewa tua itu.
Tetapi sampai sejauh itu, orang tua
itu masih mampu bertahan. Dan lagi-lagi
dengan rantingnya, dia mampu menotok sa-
lah seorang dari mereka.
Kini tinggal tiga yang masih bernafsu
untuk menjatuhkan. Yang dua hanya berdiri
kaku dan agak menjadi ngeri melihat per-
tempuran itu.
"Kita pergunakan tiga serangan pedang
mencabut nyawa, Saudara!" seru salah seo-
rang. Dan serentak tiga orang itu membuka
jurus yang sama.
Orang tua itu sadar, kali ini mereka
memainkan jurus simpanan, yang pasti dah-
syat dan ampuh. Dia pun bersiap. Kedua
tangannya merapat di dada, mengempit
ranting itu erat-erat. Matanya terbuka
lebih lebar. Ia menghimpun tenaga dalam-
nya menjadi satu.
Siap menyambut serangan mereka. Tiba-
tiba salah seorang dari mereka menjerit
panjang, dan menerjang dengan cepat.
Orang tua itu cepat memapaki. Dan tiba-
tiba orang yang menyerang tadi melenting
ke atas. Ganti orang kedua yang menye-
rang. Begitu seterusnya. Rupanya jurus
mereka yang satu ini, serangan berantai
dengan dimainkan oleh perorangan tetapi
rangkaian dari serangannya, dipakai oleh
yang lain.
Bergantian. Hebat dan semangat. Meru-
pakan jurus yang ampuh. Paksi Uludara
menciptakan jurus itu dengan sangat sem
purna.
Kali ini orang tua itu benar-benar
kewalahan.
Sebuah pedang sempat menggores ba-
hunya, yang langsung berdarah. Orang tua
itu menekap lukanya. Matanya nyalang. Ke-
sabarannya sudah habis.
Ganti dia kini yang menerjang. Seran-
gannya membabi buta. Tetapi sejauh itu,
dia pun tak mampu menembus pertahanan dan
serangan balasan berangkai yang dipergu-
nakan oleh lawan-lawannya.
Bahkan sekali lagi pedang itu menyam-
bar dadanya.
"Breeet!"
Bajunya sobek. Dan merembes darah se-
gar.
Melihat keadaannya yang agak payah,
tahu-tahu orang tua itu berkelebat. Den-
gan sekali salto dan menghilang. Orang-
orang itu serentak mengejar, tetapi se-
rentak mereka bersalto. Ranting kering
yang dipergunakan orang tua tadi sebagai
senjata, telah dilempar dengan penuh te-
naga.
Dan menancap di sebuah batang pohon.
Tidak mungkin untuk mengejar orang
tua itu. Dengan perasaan geram dan marah,
mereka kembali ke tempat tadi. Membe-
baskan dua saudara seperguruan mereka da-
ri totokan orang tua tadi.
"Kita gagal menangkap orang tua itu,"
kata salah seorang antara kecewa dan ma-
rah.
"Yah... Guru pasti marah dengan kega-
galan Ini," sahut salah seorang.
"Kita harus bagaimana?" tanya salah
seorang.
"Kita cari orang tua itu," sahut sa-
lah seorang.
"Sampai kapan pun, kalau kita tidak
berhasil membunuhnya dan mempersembahkan
kepalanya kepada guru, guru pasti akan
membunuh kita!"
"Yah... dia sangat menyayangi adik
seperguruan kita," kata salah seorang.
"Kalau begitu, kita harus segera men-
cari jejak orang tua itu!" usul salah
seorang.
"Biar bagaimana pun, kita harus ber-
hasil menangkapnya! Semata bukan karena
kuatir guru marah, tetapi bakti kita ke-
pada guru dan membalaskan dendam adik se-
perguruan!"
"Setuju!"
"Ya!! Mari!"
Serentak kelima orang berpakaian hi-
tam dan topeng hitam, menyarungkan sepa-
sang pedang mereka masing-masing.
Dan seperti dikomando, mereka berla-
ri. Seolah saling berlomba.
***
TIGA
Bayangan-bayangan itu berkelebat me-
nembus hutan yang lebat, Agaknya mereka
memang sering melewati hutan itu, karena
begitu enak dan hafal jalan-jalannya.
Bayangan-bayangan itu berpakaian me-
rah semua. Ringan dan cepat gerakan mere-
ka.
Hutan yang penuh pohon-pohon jati itu
bukan merupakan halangan bagi mereka un-
tuk melangkah. Mereka seakan berlomba adu
pamer kesaktian berlari mereka.
Di sebuah gua yang terletak di tempat
yang benar-benar sunyi mereka berhenti.
Dan serentak mereka menjura kearah gua
itu.
"Masuk!" terdengar suara lembut tapi
penuh tenaga dari dalam.
Orang-orang itu segera masuk. Kali
ini tidak serentak. Mereka berjajaran ke
belakang. Penuh sikap hormat berjalan,
satu persatu.
Gua yang kelihatan sempit itu semakin
lama semakin melebar. Dan keadaan dalam
gua itu terang benderang. Di ujung sana,
terdapat sebuah batu yang berhias emas
intan dan permata. Begitu indah dan ber-
kilauan. Benar-benar menakjubkan.
Dan yang lebih menakjubkan lagi,
orang yang duduk di kursi batu itu. Seo-
rang wanita muda yang sangat luar biasa
cantiknya.
Wajahnya seperti memancarkan cahaya
Pakaiannya dari sutera yang indah, ber-
warna merah. Dan sangat kontras dipakai
oleh wanita yang berkulit putih itu.
Orang-orang yang baru masuk itu, men-
jura. "Salam, Ketua!" sahut mereka serem-
pak. Wanita cantik itu tersenyum. Ia me-
nyuruh mereka duduk di hadapannya.
"Laporkan hasil kerja kalian," suara
itu lembut dan penuh wibawa.
"Semua telah kami laksanakan dengan
baik, Ketua. Perintah ketua kami junjung
tinggi," kata salah seorang wanita yang
berpakaian merah itu. Dia si Mawar Me-
rah."
"Hmm, bagus. Kau sudah menyiarkan ka-
bar, kalau kalian dipimpin oleh seorang
pendekar yang bernama Madewa Gumilang?"
"Semua telah kami laksanakan, ketua."
"Bagus, bagus!" wanita cantik yang
tak lain dari Dewi Cantik Penyebar Maut
itu tersenyum senang. Betapa cantiknya.
"Kita tunggu kedatangan Puspa Merah,
Dia tengah kuperintahkan menyelidiki kea-
daan keluarga Madewa Gumilang. Semua ter-
diam.
Hanya memperhatikan sang ketua bica-
ra. Dewi cantik yang kejam. Yang hatinya
mendendam pada pemuda yang bernama Madewa
Gumilang!
Entah kenapa, mereka tidak ada yang
tahu kecuali sang ketua sendiri.
Sebenarnya, siapakah wanita muda yang
kejam itu, yang bergelar Dewi Cantik Pe-
nyebar Maut?
Dia tidak lain adalah Nindia, wanita
muda yang lima tahun yang lalu pergi ka-
rena kecewa. Kecewa karena pemuda yang
dicintainya mencintai wanita lain.
Pemuda itu Madewa Gumilang, yang dia
kenal pernah menolong keluarganya dari
perampokan (baca: Dendam Orang-orang Ga-
gah). Dan wanita itu adalah Ratih Ningrum
yang dulu disangkanya seorang pria, pa-
dahal Ratih Ningrum menyamar sebagai Adi
Permana. Dan bersama Madewa Gumilang, dia
menyelamatkannya dari tangan Wirapati.
Perasaan Nindia galau. Gundah. Kece-
wa. Malu. Marah. Dia berlari meninggalkan
keduanya. Hatinya benar-benar hancur. Da-
lam keadaan terluka itu dia bertemu den-
gan seorang kakek sakti yang berdiam di
gunung Muria.
Dia dibawa oleh kakek sakti itu ke
gunung Muria. Di sana dia diberi ilmu ke-
saktian yang amat dahsyat. Entah kenapa
Nindia menerima semua pemberian itu. Pe-
rasaan kecewa terhadap Madewa Gumilang
menjadikannya wanita yang penuh semangat
dalam menuntut kesaktian.
Dan dia berubah menjadi dendam pada
Madewa. Juga pada pemuda-pemuda yang se-
baya Madewa. Tak jarang diam-diam Nindia
turun gunung untuk membunuh pemuda-pemuda
itu. Walau tidak ada kesalahan sedikit
pun! Perbuatannya itu diketahui oleh gu-
runya, yang sangat marah besar. Gurunya
memberi ilmu kesaktian dan kepandaian ke-
padanya, agar dia bisa menghilangkan ke-
sedihan dan melupakan pemuda yang bernama
Madewa Gumilang.
Tetapi kemarahan gurunya itu, malah
ditentang oleh Nindia. Dengan beraninya
dia menantang gurunya berkelahi. Jelas
saja Nindia kalah.
Sebagai seorang guru yang arif, gu-
runya itu mengampuni semua kesalahannya.
Namun Nindia malah semakin mendendam. Dia
mencuri keris pusaka Naga merah milik gu-
runya. Dan dengan keris itu dia menikam
gurunya ketika sedang bersemadi.
Dan mulailah Nindia melanglang buana
untuk mencari Madewa Gumilang dan is-
trinya. Dia tidak ingin kedua orang itu
hidup. Karena dia masih terbayang oleh
kekalahannya dalam memiliki Madewa.
Sikapnya yang telengas dan keji apa-
lagi setiap kali bertemu dengan pemuda-
pemuda yang menggodanya, dia langsung
membunuh, membuatnya menjadi wanita yang
kejam.
Dan dengan cepatnya tersebar kabar
dan julukan orang akan adanya Dewi Cantik
Penyebar Maut yang menggetarkan.
Yang begitu kejam! Menjatuhkan tangan
tanpa pandang siapa orangnya!
Nindia juga mulai mengambil beberapa
orang murid wanita. Lima wanita muda dan
cantik diambilnya secara paksa. Tetapi
lambat laun orang-orang itu menurut pa-
danya. Tidak ada lagi yang merasa terpak-
sa.
Mereka pun dididik menjadi orang-
orang yang kejam. Yang merampok dan mem-
bunuh. Juga menyebarkan desas-desus akan
memberontak terhadap raja di bawah pimpi-
nan Madewa Gumilang!
Dewi Cantik Penyebar Maut beserta
anak buahnya, menjadikan orang bergetar
mendengarnya. Apalagi menyebut namanya.
Banyak orang-orang dari golongan pu-
tih yang menentang mereka, tetapi mereka
tak berumur panjang. Karena menghadapi
anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut saja
mereka tidak mampu, apalagi menghadapi
gurunya! Dewi Cantik Penyebar Maut, men-
jadi momok nomor satu baik oleh lawan
maupun kawan. Baik dari golongan putih
ataupun golongan hitam!
Nenek tua itu tertatih-tatih mendeka-
ti rumah itu. Ia kelihatan letih. Mungkin
habis melakukan perjalanan yang jauh.
Langkahnya pelan. Dan kadang terhuyung.
Tongkat di tangannya begitu jelek dan pa-
kaiannya pun betapa lusuhnya.
Pranata Kumala yang sedang bermain-
main di halaman rumahnya, melihat nenek
tua itu. Dia kasihan melihatnya. Buru-
buru dia menghampiri. "Nenek mau kemana?"
tanyanya sambil memandang nenek tua itu
dengan tatapannya yang bundar.
Nenek tua itu tersenyum. Wajahnya su-
dah keriput. Rambutnya putih semua. Tu-
buhnya pun agak bungkuk.
"Nenek tidak tahu mau ke mana, Nak,"
sahut nenek itu. Suaranya lemah.
"Nenek tidak tahu mau ke mana?" Anak
itu bertanya lagi, heran.
Nenek itu menggeleng.
"Memangnya rumah nenek di mana?"
Lagi nenek itu menggeleng.
"Nenek tidak punya rumah, Nak."
"Kalau begitu mampir ke rumah saya
ya, Nek? Mungkin ibu punya sedikit air
dan kue untuk nenek. Ayo!" ajak Pranata
Kumala sambil menarik lengan nenek itu.
Dan membimbingnya dengan hati-hati.
Nenek itu mengikuti. Ia dibawa masuk
ke dalam rumah mungil itu. Pranata masuk
ke dalam. Berseru memanggil ibunya.
"Bu, bu!" serunya. "Ibu di mana,
sih?"
Ratih Ningrum yang tengah menanak na-
si keluar dengan tergopoh-gopoh. Pranata
Kumala tersenyum melihat ibunya.
"Ada apa, Nak?"
"Ikut aku ke depan, Bu!"
Tanpa banyak tanya, Ratih Ningrum
mengikuti anaknya ke ruang depan • Nenek
tua itu tengah melepaskan lelahnya dengan
menyelonjorkan kaki di depan.
Pranata Kumala menunjuk dan berkata.
"Nenek itu nggak punya rumah, Bu. Ku-
bawa saja ke mari. Ibu masih punya maka-
nan kan?"
Ratih Ningrum terkejut melihat nenek
tua itu. Kelihatan sekali dia keletihan.
Mungkin juga kelaparan. Buru-buru dia ma-
suk ke dalam. Untung masih ada sedikit
makanan dan minuman. Diberikannya kepada
nenek itu yang memakannya dengan lahap.
Setelah itu mereka bercakap-cakap.
Nenek itu bilang, dia dari perjalanan
jauh, tengah mencari anaknya yang hilang.
Dia sendiri sudah lupa siap nama anaknya.
Ratih Ningrum manggut-manggut walau
agak heran. Ah, mungkin nenek tua itu su-
dah pikun. Tetapi sedetik kemudian, dia
melompat merangkul anaknya. Dan menjauhi
nenek tua itu. Dia membentak,
"Siapa kau sebenarnya?!" Nenek Tua
itu terbatuk. Kaget dengan pertanyaan Ra-
tih Ningrum.
"Aku... aku... ingin mencari anak-
ku...." Dia terbatuk lagi.
Tahu-tahu Ratih Ningrum mengibaskan
tangannya. Wuuut! Sebuah dorongan angin
yang lumayan menyambar ke arah rambut ne-
nek itu.
Dan rambut putih itu terlepas! Ber-
ganti dengan rambut hitam yang terurai.
"Siapa kau sebenarnya?" bentak Ratih
Ningrum lagi. Dia melindungi anaknya di
belakang tubuhnya. Sebenarnya Ratih Nin-
grum tidak curiga, tetapi gagang pedang
yang menyembul di punggung nenek itu mem-
buatnya curiga. Gagang pedang itu dipakai
untuk membuat pungguk agar nampak bong-
kok.
Nenek tua itu memang bukan nenek da-
lam arti sebenarnya. Sekarang dia telah
membuka seluruh penyamarannya. Wanita mu-
da berpakaian merah dengan sebilah pedang
di punggungnya.
Wanita itu terkekeh. "Ini rupanya is-
tri Madewa Gumilang? Tidak percuma kau
menjadi istri pendekar besar itu. Matamu
awas. Dan ilmumu lumayan tinggi!"
"Tunggu! Kau siapa?"
"He... he... hari ini aku datang un-
tuk mencabut nyawamu! Demi perintah ketua
untukku! Aku harus mempersembahkan kepa-
lamu kepadanya! Bersiaplah, Ratih Nin-
grum?"
"Sebutkan siapa namamu dan siapa ke-
tuamu?"
Wanita muda itu terkekeh lagi. "Kau
akan bergetar mendengar siapa nama guruku
yang sekaligus ketuaku. Hmm, dengar baik-
baik, Ratih Ningrum... Ketuaku bergelar..
I Dewi Penyebar Maut...."
Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-
tih Ningrum melengak kaget. Nama yang su-
dah sering didengarnya. Nama maut yang
menggetarkan.
"Aku sendiri bernama Puspa Merah! Kau
Bersiaplah, Ratih Ningrum! Ajalmu hanya
sampai di sini!"
"Baik, tapi jangan kau ganggu putra-
ku!" Ratih Ningrum menyuruh anaknya tetap
di dalam. Ia melesat ke luar setelah me-
nyambar sepasang pedang kembarnya. Puspa
Merah mengikuti keluar.
Keduanya berhadapan dengan tatapan
siaga dan nyalang. Ratih Ningrum sadar
akan kehebatan anak buah Dewi Cantik Pe-
nyebar Maut itu. Dia tidak ingin bertin-
dak gegabah. Sepasang pedang kembarnya
dicabut. Pedang warisan gurunya yang ber-
nama Mukti yang bergelar si Pedang Kem-
bar.
Dia mulai memamerkan kehebatan ilmu
pedangnya. Puspa merah pun tak mau kalah.
Dia pun mencabut pedangnya. Kini keduanya
mulai menjajagi.
Sekilas, Ratih Ningrum akan menang,
karena senjatanya sepasang. Tetapi Puspa
Merah bukanlah murid sembarangan dari De-
wi Cantik Penyebar Maut!
Tahu-tahu Puspa Merah menerjang. Se-
rangannya cepat. Tusukan dan sabetan pe-
dangnya mengarah pada tempat yang memati-
kan.
Ratih Ningrum menyambut serangan itu.
"Trang! Trang! Trang!"
Benturan kedua senjata itu menimbul-
kan pijar api yang agak menyilaukan ber-
tanda keduanya memakai tenaga dalam yang
lumayan.
Puspa merah meloncat ke depan. Sambil
meloncat itu dia menusuk tepat ke kepala
Ratih Ningrum. Ratih Ningrum mengelak si-
gap. Bergulingan ke belakang sambil me-
nyabetkan pedangnya pada Puspa merah yang
masih bersalto di atas.
"Trang!"
Puspa merah menangkis dan hinggap
dengan sigap.
"Bersiaplah, Ratih!" desisnya tajam.
Ia terdiam. Tampaknya tengah merapal ilmu
simpanannya Dan gerakan pedangnya menjadi
nampak lebih cepat. Itulah yang dinamakan
jurus Pedang Empat Penjuru. Yang bisa ke-
lihatan lebih banyak. Dan sukar ditentu-
kan ke mana arah tusukan atau sabetannya.
Ratih Ningrum pun bersiap. Ketika
Puspa Merah menerjang, dia menyambut den-
gan lengkingan panjang. Kembali keduanya
saling menyerang dan bertahan.
Agaknya permainan pedang Ratih Nin-
grum masih berada jauh di bawah ilmu pe-
dang Puspa merah. Dengan sekali sentak
saja, sebuah pedang di tangan kirinya
terlepas!
Puspa Merah menghindar sambil terta
wa. "Sebentar lagi nyawamu, Ratih!" Kem-
bali dia menyerang. Sebisanya Ratih Nin-
grum bertahan. Dan lagi-lagi pedangnya
terlepas. Kini Ratih Ningrum hanya ber-
tangan kosong.
Puspa merah tertawa.
"Tak ada gunanya kau melawanku, Ra-
tih! Hari ini kau harus mampus di tangan-
ku!"
Lagi dia menyerang. Masih tetap den-
gan jurus yang tadi. Dengan sekuat tenaga
Ratih Ningrum menghindar dengan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Dan sekali-sekali me-
lepaskan pukulannya.
Kali ini pukulannya nampak banyak dan
sukar ditangkap oleh mata. Itulah jurus
pukulan tangan seribu, warisan dari gu-
runya yang bernama Tek Jien.
Rupanya jurus itu bisa mengacaukan
permainan pedang Puspa Merah.
Mendadak Ratih Ningrum memekik. Ia
menyerang dengan penuh tenaga. Mendadak
Puspa merah menghentikan serangannya. Dia
menghindar dengan bersalto ke belakang.
Justru itu yang diinginkan Ratih Nin-
grum. Ketika Puspa merah menghindar. Den-
gan cepat Ratih Ningrum memungut kembali
sepasang pedangnya.
Dia merasa mampu mengimbangi permai-
nan pedang Puspa merah. Dia memakai jurus
pukulan tangan seribunya dengan memainkan
pedang. Dan dipadukan dengan ilmu pedang
nya.
Benar saja, Puspa merah mundur ketika
dia menyerangnya dengan memakai jurus de-
mikian.
Bahkan dengan cepatnya, sebuah pedang
Ratih Ningrum menyobek kain di dada Puspa
Merah.
"Breeek!"
Puspa merah menjerit sambil mendekap
dadanya. Ia tidak bisa memaki, karena la-
wannya seorang wanita.
Dia menggeram marah. "Kubunuh kau,
Ratih! bentaknya seraya menyerang. Kali
ini serangannya tak terarah, begitu mem-
babi buta. Dan kesempatan itu tidak dis-
ia-siakan oleh Ratih Ningrum.
Dengan sebuah gerakan manis, dia mem-
balas. Kembali pedangnya mengenai tubuh
Puspa merah. Darah mengalir dari pahanya.
Puspa merah terhuyung, matanya berku-
nang-kunang.
Ia tak sanggup melanjutkan pertempu-
ran. Dengan menahan rasa sakitnya, dia
berkelebat menghilang.
Ratih Ningrum menghela nafas lega.
Rupanya Dewi Cantik Penyebar Maut mulai
menyebarkan terornya kepadanya.
Hmm, siapa sebenarnya wanita yang
bergelar menyeramkan itu.
Yang setiap detik mampu mencabut nya-
wa siapa yang diingininya.
Tangisan Pranata, mengalihkan perha
tian Ratih Ningrum. Bergegas dia menjum-
pai putranya, yang menangis ketakutan.
Ratih Ningrum menggendongnya.
"Hu... hu... nenek itu jahat. Nenek
itu memukul Ibu," tangis Pranata. Ratih
Ningrum tersenyum. "Dia tidak memukul
Ibu. Ibu yang memukul dia. Dia orang ja-
hat. Kita harus memerangi kejahatan. Ayo
Pranata, katanya kau mau belajar ilmu me-
lompat seperti ibu? Ayo kita mulai, mung-
kin hari ini Ayahmu kembali!"
Anak itu berhenti menangis. Dia se-
nang dengan ilmu silat. Dan keinginan itu
begitu besar. Ratih Ningrum pun senang
mengajari anaknya yang baru berusia lima
tahun itu. Kelihatan kalau anaknya berba-
kat.
Dan diam-diam dia masih memikirkan,
siapa sebenarnya Dewi Cantik Penyebar
Maut itu? Teror-terornya sangat mencekam-
kan! Tak pandang bulu, siapa saja kena
terornya!
***
EMPAT
Di dalam gua itu, Dewi Cantik Penye-
bar Maut masih menunggu kedatangan Puspa
merah bersama empat murid lainnya.
Puspa merah bertugas menyelidiki kea-
daan Ratih Ningrum, dan kalau bisa membu-
nuhnya! Puspa merah menjanjikan waktu se-
minggu untuk menyelidik itu. Dan ini ada-
lah hari terakhir untuk Puspa merah.
Kalau Puspa merah gagal menyelidik,
nyawa taruhannya. Untung dia dulu tidak
berjanji akan bisa membunuhnya!
Sesosok tubuh memasuki gua dalam kea-
daan terhuyung. Tubuhnya penuh luka. di-
alah Puspa merah yang menerima kekalahan
dari Ratih Ningrum.
Selama tujuh hari dia menyamar seba-
gai nenek tua untuk mencari Ratih Ningrum
dan selagi bertemu, dia menerima kekala-
han.
"Puspa merah!" jerit Melati merah
yang langsung memburunya. Juga yang lain.
Mereka menggotong Puspa merah dan mere-
bahkannya di pembaringan yang terbuat da-
ri batu.
Wajah Puspa merah kuyu dan pucat. Tu-
buhnya letih. Melati merah memberinya ob-
at kuat dan pemunah racun, kalau-kalau
Puspa merah keracunan.
Nindia alias Dewi Cantik Penyebar
Maut, bangkit dari 'singgasana'nya. Ba-
junya yang terbuat dari sutera begitu in-
dah dan berkilauan.
"Kalian minggir!" desisnya pada mu-
rid-muridnya. Lalu ia memeriksa keadaan
Puspa merah menjadi pulih tenaganya. Ia
lalu menotok urat di dada dan paha Puspa
merah, menghentikan aliran darahnya.
Beberapa menit kemudian, dia mele-
paskan kedua totokan itu. Lalu membuka
pakaian di dada Nindia. Kembali dia me-
nempelkan kedua tangannya. Kali ini mem-
buat aliran darah Puspa merah normal kem-
bali.
Dan sungguh hebat, nafas Puspa tidak
lagi terdengar memburu. Kali ini teratur.
Begitu merasa dirinya agak enak dia lang-
sung berdiri tegak. Langsung berlutut di
hadapan ketuanya.
"Maaf ketua... saya tidak mampu mem-
bunuh Ratih Ningrum," katanya dengan sua-
ra takut-takut.
"Hmm," Nindia tersenyum manis, tapi
menakutkan bagi Puspa merah.
"Sudah kuduga, melihat kondisimu se-
perti ini. Tapi kau berhasil menjum-
painya, bukan?"
"Iya, Ketua."
"Di mana dia tinggal? Dan bagaimana
keadaannya?"
"Dia tinggal sangat jauh dari tempat
ini. Di desa Beranggih. Dan dia telah
mempunyai seorang anak laki-laki yang ki-
ra-kira baru berusia lima tahun."
Sang ketua terdiam. Ratih Ningrum su-
dah punya anak? Betapa senangnya, dengan
suami yang gagah perkasa dan anak yang
mungil dan lincah.
Nindia membayangkan, kalau saja di-
rinya yang menjadi Ratih Ningrum, betapa
bahagianya.
"Kau menjumpai suaminya?" tanyanya
lagi, menghilangkan khayalan yang tak
mungkin tersampaikan. Dan perasaan ingin
membunuh Ratih Ningrum semakin besar, Ke-
bahagiaan itu harus dimusnahkannya, biar
Ratih Ningrum merasakan bagaimana dukanya
ditinggal kekasih. Apalagi jika hasratnya
tak kesampaian.
Puspa merah menggeleng.
"Tidak, Ketua. Di rumah itu, hanya
ada Ratih Ningrum beserta putranya."
Nindia alias Dewi Cantik Penyebar
Maut kembali ke tempat duduknya semula.
Ia menatap murid-muridnya satu per satu.
"Kali ini, kita akan mengadakan sia-
sat adu domba! Untuk memusnahkan orang-
orang yang kubenci. Sekaligus, kita akan
menggulingkan kedudukan raja. Seharusnya
aku yang menjadi raja di negeri ini!
Dan untuk itu, kalian harus pandai-
pandai menyamar dan menyebarkan teror!
Siasat itu sudah mulai kujalankan. Aku
telah membunuh salah seorang dari pergu-
ruan Topeng Hitam. Dan aku telah menya-
lahkan Dewa Tua Pengantuk sebagai pela-
kunya!"
Terdengar empat seruan kaget. Dewa
tua pengantuk! Orang sakti yang mereka
biarkan lolos ketika menggempur kawan Da
tuk Sakti Berjubah Putih! Kalau begitu,
ketua mengikuti gerak-gerik mereka.
Serentak keempat orang itu berlutut
dan menunduk. Puspa Merah yang tidak tahu
kenapa mereka berbuat begitu, hanya men-
gikuti, kembali berlutut.
"Maafkan kami, ketua," kata Mawar me-
rah. "Dewa tua pengantuk itu kami biarkan
lolos. Mohon ampun, Ketua."
Dewi Cantik Penyebar Maut mengibaskan
tangan.
"Sudahlah, yang pasti, orang-orang
perguruan topeng hitam sekarang tengah
mencari Dewa Tua Pengantuk itu. Semua itu
kulakukan ketika melihat dewa tua pengan-
tuk itu keluar dari rumah Datuk sakti.
Dan kebetulan sekali aku melihat seorang
pemuda tampan berpakaian hitam berjalan
seorang diri.
Dia langsung kubunuh.
Begitu selesai kubunuh, muncul sauda-
ra-saudara seperguruan pemuda itu. Ru-
panya dia pergi bersama-sama saudara-
saudaranya. Mereka menanyaiku. Dan kuja-
wab, dewa tua pengantuk yang melakukan-
nya!
Ah, sudahlah. Sekarang, kita jalankan
permainan yang baru. Yang akan sampai pa-
da Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.
Kalian berdua, tunggulah kematian ka-
lian!"
***
Madewa manggut-manggut mendengar pe-
nuturan istrinya mengenai kedatangan
orang dari Dewi Cantik Penyebar Maut.
la bersyukur sekali, karena istrinya
mampu menghalau serangan itu. Yang lebih
penting lagi, Pranata Kumala tidak kurang
suatu apa.
"Sebenarnya siapa Dewi sesat itu, Ka-
kang?" tanya Ratih Ningrum pada suaminya
yang masih duduk termenung.
Madewa menggeleng. Menatap istrinya.
"Aku tidak tahu. Nama itu baru muncul
dan mendadak menjadi sangat besar. Begitu
menakutkan dan menghantui setiap pera-
saan. Seolah dewi sesat itu berada di se-
tiap urat nadi kita. Dan kedatangan dewi
sesat itu akan berurusan dengan raja."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Kota raja diserang oleh beberapa
orang wanita muda berpakaian merah. Men-
dengar ceritamu tadi, anak buah dewi se-
sat itu berpakaian berwarna merah. Siapa
lagi yang memakai pakaian demikian yang
menyerang kota raja kalau bukan mereka?
Dan mereka menyebutkan namaku sebagai
pemimpin mereka, yang akan menggulingkan
raja. Bupati Wrahatnala memanggilku sehu-
bungan dengan peristiwa itu. Dia meminta
keterangan dan pertanggung jawabanku, se-
belum diajukan kepada Raja.
Kini aku tahu, siapa yang membuat
onar itu. Anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut!" Madewa menyebut nama itu dengan
geram.
Ratih Ningrum terdiam. Rupanya masa-
lah itu. Dewi maut itu lebih dulu telah
mencemarkan nama baik suaminya dan ber-
niat ingin membunuhnya.
"Lalu apa yang akan kau lakukan, Ka-
kang?" tanya Ratih Ningrum cemas. Sebagai
istri dia patut cemas, karena semua itu
demi keselamatan , suaminya.
Bahkan keluarganya!
Diliriknya Pranata yang tertidur pu-
las. Malas semakin larut. Entah kenapa
Ratih Ningrum merasakan itu sebagai de-
tik-detik yang mencemaskan.
Dadanya pun berdebar keras. Tetapi
karena dilihatnya suaminya tenang saja,
dia pun berusaha tenang.
Madewa menghela nafas panjang.
"Entahlah, yang pasti, aku akan me-
nentang perbuatan Dewi Cantik Penyebar
Maut itu! Padahal aku masih ada urusan
dengan Tuan Abindamanyu."
Ratih Ningrum terdiam. Dia mengenal
Tuan Abindamanyu itu, walaupun sampai
saat ini rupa orang itu belum pernah di-
lihatnya,
Ratih Ningrum tahu dari cerita sua-
minya. Dan Abindamanyu adalah orang tua
Nindia, gadis yang dulu diselamatkan sua
minya dari tangan Wirapati. Ratih Ningrum
pun ikut membantu, ketika dia masih me-
nyamar sebagai Adi Permana yang bergelar
Walet Putih dari Utara (baca : Dendam
Orang-orang Gagah)
Ratih Ningrum juga tahu, apa urusan
suaminya dengan Abindamanyu. Mempertang-
gung jawabkan keselamatan putrinya yang
bernama Nindia.
"Lalu apa yang hendak kau lakukan,
Kakang?"
"Tak ada jalan lain, Rayi. Aku harus
menjelaskan semua ini padanya. Selama
enam tahun ini, aku tidak mendengar kabar
di mana putri Nindia berada."
"Dan bagaimana dengan orang-orang de-
wi sesat itu?"
"Aku pun punya urusan, yang tidak
langsung melibatkan dirimu dan Pranata."
"Kenapa, Kakang?"
"Aku yakin, orang-orang itu masih pe-
nasaran sebelum membunuhmu. Dan herannya,
sampai saat ini aku belum menemukan motif
yang sesungguhnya dari dewi sesat itu.
Dia benar-benar datang untuk menyebarkan
maut. Siapa saja yang melawannya pasti
dibunuh. Bahkan, yang tak mengenalnya pun
dibunuh tanpa kesalahan sedikit pun!"
"Benar-benar orang yang kejam dia
itu. Tetapi Kakang, aku tak akan mundur
sedetik pun menghadapinya. Untukmu, untuk
keluarga kita, aku rela berkorban, walau
sesungguhnya aku pun tidak tahu apa motif
dia sebenarnya,
Madewa menatap istrinya lama-lama.
Istrinya adalah seorang anak hartawan,
anak orang yang berada. Tetapi kini, hi-
dupnya bagai diburu teror yang mena-
kutkan.
Digenggamnya tangan istrinya.
"Ratih... maafkan aku, karena hidup
bersamaku kau selalu ditimpa kesusa-
han...."
Ratih Ningrum balas menatap. Terse-
nyum.
"Tidak Kakang, aku tidak menyesal hi-
dup bersamamu. Aku malah bangga menjadi
istri seorang pendekar yang sanggup mem-
bela kaum yang lemah dan menentang keja-
hatan. Aku bangga, Kakang. Aku... cinta
padamu...."
Madewa tersenyum. Genggamannya sema-
kin erat.
"Kita harus bersiap, Ratih."
"Saya siap, Kakang!" sahut Ratih Nin-
grum mantap.
"Kau siap kalau aku tinggal beberapa
lama?" Ratih Ningrum menatap suaminya pe-
nuh selidik-
"Kau hendak kemana, Kakang?"
"Kau sudah lupa, Rayi. Aku masih ada
tugas untuk menyelesaikan urusan dengan
Abindamanyu. Kurasa saat inilah yang te-
pat untuk menyelesaikan masalah itu...."
Ratih Ningrum terdiam, lalu mengge-
leng.
"Kau lupa, Kakang.... Kalau nyawa ka-
mi terancam oleh orang-orang dewi sesat
itu?"
"Itulah persoalannya sekarang. Aku
bingung hendak bagaimana...."
Suasana hening. Kedua suami istri itu
terdiam. Tahu-tahu Ratih Ningrum menepuk
bahu suaminya. Wajahnya riang.
"Kakang... bagaimana kalau aku ikut
bersamamu? Juga anak kita Pranata. Dia
pasti senang kita pergi berjalan-jalan.
Anggaplah kita sedang bertamasya. Bagai-
mana, Kakang? Kau setuju dengan usul
itu?"
Mata Madewa Gumilang terbuka. Suatu
usul yang bagus. Dia jelas setuju.
Madewa mengangguk.
"Usul itu sebenarnya sudah ada di be-
nakku. Tapi aku takut mengemukakannya."
"Kenapa?"
"Kau anak orang kaya, Rayi. Ikut den-
ganku, kesengsaraan akan turut bersamamu.
Maksudku tadi, aku hendak mengirimkan kau
dan Pranata ke tempat tinggalmu di desa
asalmu. Jatiberingin. Di sana kau akan
aman bersama tiga pengawal setia ayah-
mu... yang sekaligus adalah guru-
gurumu...."
"Tidak," potong Ratih Ningrum tegas.
"Aku akan tetap ikut bersamamu, Kakang.
Biar bagaimana nasib yang aku terima,
bersamamu aku akan selalu senang. Izinkan
aku ikut, Kakang? Juga Pranata. Izinkan
aku, Kakang."
Madewa tersenyum. Mengecup dahi is-
trinya.
"Aku akan membawa kalian serta. Ka-
lian adalah harta dan benda kesayanganku.
Orang-orang yang sangat kukasihi hidup
dan mati Lahir dan batin". bisik Madewa
lembut di telinga istrinya.
Istrinya merebahkan tubuhnya didada
suaminya. Ratih Ningrum merasakan detak
jantung suaminya yang teratur.
Dia pun mengasihi suaminya. Suaminya
yang dulu hanya merupakan seorang pengaw-
al pribadinya (baca : Pedang Pusaka Dewa
Matahari)
Kali ini, selama enam tahun mereka
menempati rumah mungil itu, besok atau
mungkin lusa, mereka akan meninggalkan-
nya.
***
LIMA
Keesokan harinya, sebelum matahari
sepenggalah, Madewa Gumilang, Ratih Nin-
grum dan anak mereka, Pranata Kumala, su
dah meninggalkan rumah mungil itu. Mereka
hanya membawa barang-barang yang ringan-
ringan saja.
Ratih Ningrum agak sedih meninggalkan
rumah yang sudah enam tahun mereka tempa-
ti. Perasaannya amat sayang dengan rumah
itu. Tetapi keadaan begitu mendesak, tak
ada jalan lain. Mereka memang harus me-
ninggalkan tempat itu!
Meninggalkan rumah mungil itu.
Hanya Pranata Kumala yang nampak gem-
bira. Dia senang ayah dan ibunya menga-
jaknya jalan-jalan. Dia tidak tahu, pa-
dahal setiap saat maut siap menerjang me-
reka.
Dan mencabut nyawa mereka!
Desa tempat tinggal Abindamanyu begi-
tu jauh dengan desa Renggih. Jaraknya ba-
gaikan ribuan mil.
Ketika tiba di penginapan pertama,
Madewa membeli dua ekor kuda. Dan kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini agak lu-
mayan. Ditempuh dengan kuda sepertinya
menghemat waktu.
Ketika melewati sebuah hutan kecil
tiba-tiba di hadapan mereka, muncul dela-
pan orang berpakaian kerajaan. Mereka
menghadang dengan sikap mereka yang buas
dan marah. Masing-masing memegang senja-
ta.
Madewa menghentikan laju kudanya. Dan
menyuruh istrinya menjajari kudanya. Se
mentara Pranata Kumala jengkel, karena
ibunya menghentikan laju kudanya.
Madewa melompat turun. Menghadapi
orang-orang itu.
"Ada apa kiranya orang-orang kerajaan
menghadang perjalanan kami?" tanyanya se-
telah menjura.
"Hhh!" mendengus salah seorang dari
mereka, yang nampaknya pemimpin orang-
orang itu. "Rupanya kau berada di sini,
Madewa! Hampir satu hari satu malam kami
mencarimu!"
Madewa merasa, ini ada persoalan yang
gawat. Sikap pengawal kerajaan itu tidak
bersahabat. Nada suaranya menyentak dan
menjengkelkan. Menandakan dia sedang da-
lam puncak kemarahan. Entah apa sebabnya.
"Ada persoalan apakah kalian mencari-
ku?" tanya Madewa tetap dengan sikap so-
pan.
"Jangan banyak cakap, Madewa! Kami
diperintahkan untuk segera menangkapmu".
"Hei, ada persoalan apa gerangan?!"
seru Madewa terkejut. Juga istrinya yang
mendadak bersiap. Sepasang pedang di
punggung Ratih Ningrum menjadikan wanita
itu nampak kehebatan dan kepandaiannya.
"Hhh, kau berpura-pura, Madewa! Ru-
panya kecurigaan Bupati terhadapmu memang
beralasan...."
"Tunggu Saudara... ada apa gerangan?"
potong Madewa bingung.
"Baik, walau aku tahu tak ada gunanya
memberitahumu. Karena kau sendiri yang
menjalankan aksi pembunuhan itu!"
"Pembunuhan?!" Madewa terbelalak,
Ratih Ningrum pun terkejut. Orang itu
tertawa sinis.
"Yah... kau telah menyerang rumah Bu-
pati Wrahatnala karena dendam dipanggil
kemarin. Kini Bupati menugaskan kami un-
tuk menangkapmu!" Orang itu mengangkat
tangannya ke atas. Mendadak dengan seren-
tak yang lain mempersiapkan senjata mere-
ka masing-masing. Mengambil sikap siap
tempur. "Madewa... kami tidak Mengingin-
kan adanya pertumpahan darah. Untuk itu
kami minta, kau mengaku dengan sikap ke-
satria. Siap menerima hukuman sesuai den-
gan perbuatanmu! Cepat! Ku hitung sampai
tiga. Satu...!"
Madewa masih terdiam. Dia menduga-
duga siapa yang telah melakukan pembunu-
han itu. Pasti orang itu sangat sakti,
karena tokoh-tokoh utama kerajaan mati
terbunuh.
Dan lagi-lagi namanya yang dipakai
sebagai kambing hitam!
"Dua...!"
Apa tidak mungkin orang-orang dewi
sesat itu yang memulai terornya? Untuk
bertanya pada orang-orang yang sedang ma-
rah itu tidak mungkin. Pikiran mereka
hanya satu, menjalankan perintah.
Dan perintah itu untuk menangkapnya!
Atau membunuhnya.
"Tiga... seraaaang!"
Madewa tersentak. Orang-orang itu se-
gera berterjangan ke depan. Cepat dan
dahsyat diiringi oleh pekikan.
Tersadar Madewa bersalto menghindar.
Ia berseru pada istrinya, "Rayi...
cepat kau menghindar dari tempat ini.'
Cepat, Rayi!"
Ratih Ningrum memutar kudanya. Dan
dari kejauhan melihat suaminya bertempur.
Ada keinginan untuk membantu. Tetapi dia
yakin, suaminya mampu menghadapi mereka.
Selain itu, Pranata tidak mau ditinggal
sendiri.
Ratih Ningrum hanya memperhatikan
Bagi Madewa Gumilang, menghadapi
orang-orang ini tidak susah. Dengan mudah
dia bisa menjatuhkan mereka. Orang-orang
yang tahu hanya pada perintah.
Dan orang-orang yang tak berdosa. Dia
tidak ingin menjatuhkan tangannya pada
mereka. Sampai sejauh itu dia hanya meng-
hindari serangan-serangan mereka. Dengan
jurus Ular Meloloskan Diri, serangan-
serangan itu mampu dielakkan.
Tetapi kalau begini terus, lama kela-
maan tenaganya akan terkuras. Dan pertem-
puran itu memang percuma.
Tiba-tiba Madewa bersalto, dan dengan
sigap cepat dia menyambar pemimpin kelom
pok itu. Gerakannya cepat dan penuh per-
hitungan.
Melihat pimpinan mereka ditawan,
orang-orang itu bergerak kembali. Madewa
bersalto. Mendadak orang-orang itu meng-
hentikan serangannya kuatir mengenai te-
man mereka sendiri. Kesempatan itu digu-
nakan Madewa untuk kembali menyambar pe-
mimpin mereka. Dan menyeretnya agak jauh.
Golok yang dipegang orang itu kini
digenggamnya. Tangannya menelikung di
leher. Dan goloknya mengancam. Siap mene-
bas lehernya.
"Semua berhenti, kalau tidak, orang
ini kubunuh!" bentak Madewa. Orang itu
meronta.
"Jangan takut, bunuh saja dia! Bunuh
saja dia! Aku rela mati untuk kerajaan
dan keadilan!"
"Setan!" Madewa menabok pipi orang
itu hingga memerah. Lalu membentak pada
pengawal kerajaan yang lain, yang ingin
maju dengan ragu-ragu, "Cepat kalian per-
gi dari sini! Katakan kepada raja, kalau
bukan aku yang melakukan pembunuhan itu!
Cepat pergi!"
Orang yang ditekuk lehernya itu ber-
seru, "Jangan hiraukan perkataannya, se-
rang dia!"
"Jangan mendekat, kubunuh orang ini!"
bentak Madewa. Goloknya terangkat. Orang-
orang yang mau menyerang itu menjadi ra
gu.
Madewa mempergunakan kesempatan itu.
Tangannya dengan cepat menotok orang itu
hingga kaku. Dan dia berkelebat dengan
cepat. Menyambut senjata-senjata pengawal
yang lain. Gerakannya sukar diikuti oleh
mata. Tahu-tahu mereka merasakan senjata
tidak ada lagi di tangan.
Dan di hadapan mereka Madewa Gumilang
sudah menggenggam senjata-senjata itu.
Orang-orang itu terperangah. Sungguh
suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna.
"Cepat kalian minggat dari sini!"seru
Madewa berwibawa. "Katakan kepada Bupati
bukan aku yang melakukan aksi pembunuhan
itu! Dan katakan pula, aku akan membong-
kar aksi itu, yang telah mengambing hi-
tamkan namaku! Akan kubongkar sampai ke
akar-akarnya!"
"Madewa! seru salah seorang. "Kami
memandang nama besarmu. Dan kami kecewa
kau telah melakukan perbuatan keji itu.
Madewa, kami minta kau secara suka rela
menyerahkan diri kepada Bupati untuk dis-
erahkan kepada Raja!"
"Bagaimana mungkin aku menyerahkan
diri, kalau bukan aku yang melakukan se-
mua itu! Kalian memang para pengawal Bu-
pati yang setia, tetapi kalian telah sa-
lah melihat orang! Di belakang semua ini,
pasti ada seorang yang membenciku, yang
tega memakai namaku di balik kejahatan-
nya! Untuk itu, secara damai pun kalian
kubiarkan bebas. Dan katakan semua perka-
taanku itu kepada Bupati!"
"Orang itu menggeleng. Katanya keras
kepala, "Kami tidak akan kembali sebelum
membawamu serta. Kami ingin membaktikan
tenaga untuk kerajaan. Biar bagaimana pun
kami tetap akan menyerangmu!".
"Tahan! Jika aku mau dengan mudah
nyawa kalian kucabut. Tetapi aku bukanlah
orang yang telengas, yang ringan menja-
tuhkan tangan! Kita semua salah paham.
Izinkan aku untuk membersihkan nama baik-
ku! Kuminta sekali lagi, kalian tinggal-
kan tempat ini! Dan sampaikan maafku ke-
pada Bupati Wrahatnala!"
"Tidak!"
"Kau keras kepala, Saudara! Baiklah,
aku akan menyerahkan diri secara suka re-
la, tetapi tolong jelaskan... jalannya
aksi pembunuhan itu!"
Merasa Madewa mau menyerahkan diri
dengan suka rela, orang itu mulai, berce-
rita.
Kemarin malam keadaan rumah Bupati
Wrahatnala aman dan damai. Bupati tidak
merasa sedikit pun akan adanya serangan
gelap. Apalagi orang yang dituduh Madewa
Gumilang, telah berjanji akan menangkap
orang-orang yang membuat keonaran. Dia
tidak ingin berita pemberontakan itu sam
pai kepada Raja. Dia ingin menyelesaikan
dulu semua persoalannya.
Walaupun Bupati tidak begitu yakin
akan ucapan Madewa, karena Bupati masih
mencurigainya!
Dan menjelang tengah malam, terdengar
pekikan dari pintu gerbang. Serentak sei-
si rumah terbangun. Dan menemukan orang
yang menjerit tadi. Orang yang telah me-
nemui ajalnya yang sangat mengerikan. Tu-
buhnya hancur dan wajahnya tak terbentuk
lagi. Tetapi Bupati yakin, itu adalah sa-
lah seorang dari pengawalnya.
Bupati Wrahatnala marah besar melihat
aksi pembunuhan itu. Malam itu juga dia
mengadakan rapat, dengan memanggil pem-
bantu-pembantunya yang terdiri dari pena-
sehat dan beberapa orang yang mempunyai
kepandaian silat.
Dalam rapat itu salah seorang yang
bernama Senomurka, seorang ahli silat
berpendapat, "Bupati yang terhormat, jika
melihat bentuk tubuh yang hancur itu,
hanya ada satu ilmu yang bisa melumatkan
demikian. Dan hanya sekali pukul orang
itu bisa hancur!"
"Hmm... pukulan apa itu, ya ahliku?"
tanya Wrahatnala yang sudah sangat marah
sekali.
Senomurka menghela nafas, lalu berka-
ta lambat-lambat.
"Pukulan bayangan sukma."
"Pukulan bayangan sukma?" jerit Wra-
hatnala terkejut. Bukan dia saja yang
terkejut, beberapa tokoh lain pun terke-
jut.
Pukulan bayangan sukma, pukulan yang
begitu dahsyat! Dan hanya seorang di du-
nia ini pemiliknya.
"Apakah Madewa Gumilang yang telah
melakukan aksi pembunuhan itu?" gumam
Wrahatnala sangsi.
"Kemungkinan itu bisa saja, Bupati
Wrahatnala. Kita semua tahu, hanya Madewa
Gumilang yang memiliki pukulan sakti itu.
Tetapi kita tidak tahu, apa maksudnya
membunuh pengawal kita."
Semua terdiam. Suasana hening. Saling
berpikir menemukan jawaban. Ada pula yang
meragukan kebenaran itu, tetapi ada juga
yang mengiyakannya. Termasuk Wrahatnala
yang yakin Madewa Gumilang yang melakukan
aksi itu.
"Aku tahu wahai segenap pembantuku,"
kata Wrahatnala kemudian. "Bukankah ak-
hir-akhir ini kita mengetahui, kalau Ma-
dewa Gumilang bermaksud menggulingkan
tahta kerajaan. Tak salah lagi, pasti dia
memulai lagi aksinya! Untuk itu kepada
kalian semua... jika bertemu dengan manu-
sia sesat itu, kalian tangkap dan hadapan
kepadaku!"
Semua setuju dengan pendapat Bupati
Wrahatnala. Memang hanya itu satu-satunya
kemungkinan. Dan semua geram dengan Made-
wa Gumilang, tokoh sakti yang mereka
sangka arif dan bijaksana, tahunya mempu-
nyai niat yang keji dibalik kebaikannya
itu.
Tiba-tiba selarik sinar merah berke-
lebat ke ruang rapat itu. Dan menghantam
dinding hingga hancur berantakan.
Semua tersentak. Serangan tersembunyi
yang berbahaya. Untung tidak diarahkan
kepada salah seorang di ruangan itu. Be-
berapa orang bersalto mendekati Bupati
dengan maksud melindunginya. Dan beberapa
orang lagi bersiaga. Rupanya Madewa Gumi-
lang sudah kembali menjalankan aksinya.
Kali ini, langsung kepada Bupati se-
belum menjalankan aksinya kepada Raja.
Tiba-tiba meloncat sesosok tubuh den-
gan ringannya di hadapan mereka. Tubuh
itu tertutup pakaian putih-putih, juga
wajahnya. Dilihat dari posturnya, tubuh
seorang laki-laki. Dan matanya memancar-
kan nafsu membunuh.
Terdengar suara hardikan Senomurka,
"Hmm, siapa sebenarnya, Kisanak? Dan mau
apa mengirimkan serangan keji tadi?"
Orang itu terbahak. Dan tahu-tahu me-
nuding kepada Bupati Wrahatnala!
"Kau? Hari ini aku bermaksud mengam-
bil nyawamu. Dan kuminta, dengan baik-
baik, kau mau menyerahkannya kepadaku,
kalau tidak, pukulan bayangan sukmaku
akan menghancurkan seisi rumah ini! Kau
telah mengganggu kerjaku untuk merebut
tahta kerajaan!"
Diam-diam Wrahatnala terkejut. Puku-
lan bayangan sukma. Kalau begitu dugaan-
nya benar, Madewa Gumilang yang melakukan
semua ini. Dan dengan alasan yang tepat
pula!
Wrahatnala menggeram. Melangkah ke
depan.
"Tidak semudah itu, Saudara? Tahta
kerajaan bukanlah kue yang seenaknya di-
bagi dan berpindah tangan. Dan tak akan
pernah ada orang keji macam kau memimpin
kerajaan! Kau mimpi, Saudara! Keinginanmu
keinginan yang busuk, yang bersumber da-
lam hati yang busuk. Yang menginginkan
malapetaka terjadi bukan untuk kedamaian
dan ketentraman. Dan kuminta Saudara,
jangan mengganggu ketenangan daerah ini"
Belum lagi Bupati habis bicara, orang
itu sudah mengibaskan tangannya.
"Aku segan mendengar khotbahmu, Bupa-
ti! Kuminta kerja sama kita untuk menggu-
lingkan kerajaan!" Tahu-tahu selarik si-
nar merah berkelebat.
Bupati memekik dan bersalto ke samp-
ing. Begitu pula dengan yang berdiri di
belakangnya. Serentak pula mereka bersal-
to. Sekali lagi sinar merah itu menghan-
curkan dinding ruang rapat.
"Bangsat!" membentak tokoh yang ber
pakaian gombrong berwarna hijau. Berambut
panjang sampai sebahu. Dengan masih ber-
salto dia menyerang orang yang berpakaian
putih-putih.
Ganti orang itu berkelit. Sambil ber-
kelit dia mengirimkan serangan jarak
jauhnya.
Tokoh yang memakai baju hijau itu
berkelit pula. Dan balas menyerang diha-
dapkan Bupati dan pembantu-pembantunya,
keduanya saling menyerang. Serangan-
serangan yang berbahaya saling dilancar-
kan. Pukulan jarak jauh yang berkelebat
menambah hebatnya pertempuran.
Tetapi sampai sejauh itu keduanya be-
lum ada yang nampak kelihatan kalah. Ke-
duanya masih dalam keadaan seimbang Bebe-
rapa jurus telah berjalan.
Memasuki jurus ke-21, kelihatan orang
betul pakaian putih-putih itu berada di
atas angin. Dial mulai mendesak pembantu
Bupati itu dengan1 serangan-serangan yang
mematikan.
Dan tiba-tiba dia membentak seraya
melesat, "Awas serangan!"
Pembantu Bupati itu terkejut. Seran-
gan orang berbaju putih demikian cepat-
nya. Dan pukulan tangan kanannya tepat
menghantam dadanya hingga muntah darah.
Terdengar jeritan dari seberang,
"Pukulan bayangan sukma!"
Tokoh berbaju hijau itu menemui ajal
nya dengan tubuh hancur!
Orang berbaju putih-putih itu terba-
hak.
"Cepatlah Bupati, sebelum aku telen-
gas menurunkan tangan kepadamu!"
Bupati yang yakin bahwa itu Madewa
Gumilang berseru, "Madewa... tokoh putih
seperti kau, ternyata punya pikiran yang
amat hina sekali. Biar bagaimana saktinya
kau, aku tetap tidak akan membantumu
menggulingkan kerajaan.
Bahkan aku akan mempertahankannya
sampai titik yang penghabisan."
"Kalau itu permintaanmu, baik. Aku,
Madewa Gumilang, telah bersumpah akan me-
rebut tahta kerajaan darimu. Atau dari
siapa pun! Bersiaplah Bupati!"
Belum lagi Bupati memerintahkan pen-
gawalnya menyerang, mereka sudah berkele-
bat ke depan. Dan mengurung orang yang
mengaku Madewa itu.
Orang berpakaian putih-putih itu te-
nang saja. Sedikit pun tidak kelihatan
takut. Malah yang mengurung mereka, men-
jadi agak gentar dengan kehebatan dan ke-
saktian Madewa Gumilang sudah menembus
langit ke tujuh.
Tetapi mereka bukanlah orang-orang
yang penakut dan gentar. Demi kebenaran
mereka sanggup membela.
Dan serentak pula mereka mengeluarkan
jurus masing-masing.
Orang berpakaian putih-putih itu ter-
bahak.
"Ha... ha... keluarkan semua jurus
kalian. Dengan pukulan bayangan sukmaku
kalian akan hancur berantakan. Cepat maju
dan perlihatkan serangan kalian!"
Seperti dikomando, mereka serentak
menyerang. Dengan tenaga dalam yang he-
bat. Dan serangan yang serempak. Membuat
orang berpakaian putih-putih agak kebin-
gungan sejenak. Tapi kemudian dia memben-
tak. Tubuhnya mencelat ke atas dan hing-
gap agak jauh dari orang-orang yang men-
gurungnya.
Orang-orang itu berbalik dan kembali
menyerang. Kali ini serangan mereka dis-
ambut dengan sinar merah yang melesat
dengan cepat.
Dan orang-orang itu membuyar, masing-
masing berusaha menyelamatkan diri. Teta-
pi sinar merah itu terus melesat ke arah
Wrahatnala yang tengah terpaku memperha-
tikan pertempuran itu.
"Awaaaas!" Senomurka menjerit. Dan
menerjang Bupati hingga bergulingan. Si-
nar merah itu melesat dua senti di atas
kepala Wrahatnala.
Wajah Bupati pias. Lawannya itu bu-
kanlah orang sembarangan. Dia yakin, Ma-
dewa Gumilang!
Lagi-lagi wajah Bupati pias, di arena
pertempuran tinggal seorang pembantu uta
manya yang masih mampu bertahan. Sedang-
kan yang empat orang sudah menemui ajal-
nya dengan tubuh hancur!
Dan yang seorang pun tak bertahan la-
ma, dia pun mati dengan tubuh hancur pu-
la!
Orang berpakaian putih-putih itu me-
ludah di atas mayat-mayat itu. Dan ber-
paling kepada Wrahatnala menuding.
"Kuperingatkan kepadamu, Bupati! Ka-
lau kau tetap tidak membantuku, baik, ku-
bunuh kau!"
Tetapi Wrahatnala bukanlah orang yang
mudah digertak. Dengan berwibawa dia me-
nyahut, "Sampai kapan pun aku tak akan
mau membantumu Madewa! Sayang, tokoh sak-
ti dari golongan putih telah membuat dosa
yang tak berampun!"
"Aku tak suka dengan khotbahmu, Bupa-
ti!
Kau menginginkan kekerasan daripada
sukarela. Jangan salahkan aku kalau malam
ini kucabut nyawamu!"
Orang itu bersiap. Senomurka cepat
bertindak. Berdiri di depan Wrahatnala.
Tangannya mengibas ke belakang, memberi
tanda agar Bupati segera masuk ke dalam.
Tetapi Wrahatnala tidak beranjak dari
tempatnya. Biar bagaimana pun, dia tetap
tak akan mundur. Walaupun ajal menjemput-
nya!
Orang berpakaian putih-putih itu ter
bahak melihat sikap Senomurka.
"Kau hanya mengantarkan nyawa kepada-
ku, Orang jelek! Kau lihat lima orang ka-
wanmu saja tak mampu menangkapku, apalagi
hanya kau seorang!"
"Aku pun tak suka kau berkhotbah,"
sahut Senomurka tak kalah seramnya. "Kita
buktikan!"
Sesudah berkata begitu dia melompat
ke depan. Baru saja dia hinggap di tanah,
dirasakannya desiran angin yang kuat me-
nerjang ke arahnya, Dengan cepat dia me-
runduk dan menangkis.
"Buk!"
Dua buah pukulan yang penuh tenaga
itu saling berhantam. Senomurka merasakan
tangannya kesemutan. Tak urung orang ber-
pakaian putih-putih merasakan hal yang
sama.
Dia bisa menduga, Senomurka tidak bi-
sa dianggap main-main. Tenaga dalamnya
seimbang.
Begitu pula dengan Senomurka. Dia te-
tap tidak berani menganggap enteng Madewa
Gumilang.
Orang berpakaian putih-putih itu me-
nyerang kembali. Kali ini dorongan angin
yang agak besar siap menyambar. Dia tidak
berani menangkis, dia hanya berkelit se-
dikit. Dan secepat kilat kepalanya me-
nyambar.
Sungguh hebat. Dalam posisi demikian,
orang berpakaian putih-putih itu berbalik
dan menangkis pukulan Senomurka.
Kembali dua pukulan beradu. Kali ini
mereka tidak merasakan lagi. Langsung
saling menyerang dengan penuh nafsu ingin
menjatuhkan.
Puluhan jurus telah berlangsung, te-
tapi belum ada tanda-tanda yang kalah.
Semuanya masih bertahan dengan sekuat te-
naga.
Tiba-tiba Senomurka berguling. Dan
melemparkan senjata rahasianya yang ber-
bentuk jarum-jarum berbisa.
Orang berpakaian putih-putih itu ter-
kejut sedang melancarkan serangannya. Dan
serentak bersalto ke belakang. Tetapi tak
urung sebuah jarum berbisa itu mengenai
bahunya. Orang itu mengaduh dan terjatuh.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Se-
nomurka, dia menjerit dan menerjang. Te-
tapi orang berpakaian putih masih sempat
melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang
mengurungkan niat Senomurka.
Kali ini orang itu tak sia-sia mele-
paskan kesempatan. Selagi Senomurka sibuk
menghindar. Dia melesat dan menghilang di
kegelapan malam.
Senomurka menggeram marah. Orang itu
sudah tidak nampak lagi wujudnya. Seno-
murka memeriksa tubuh-tubuh kawannya yang
sudah menjadi mayat.
Benar-benar terkena pukulan bayangan
sukma!
Senomurka berpaling kepada Wrahatnala
yang masih berdiri tegak. Kali ini keli-
hatan jelas, kalau Wrahatnala tidak tahu
apa yang harus dilakukannya.
Senomurka menghampiri, menjura hor-
mat, "Maafkan saya, Tuanku. saya tak ber-
hasil menangkap orang itu...."
Bupati tergagap. Dia menatap Senomur-
ka yang menunduk.
"Semua ini terjadi di luar kehendak
kita, Senomurka. Dan mulai besok, umumkan
kesegala pelosok negeri, kalau Madewa Gu-
milang menjadi buronan orang istana! Dan
laksanakan semua itu, sebutkan berita ini
sampai kepada Raja!"
Pengumuman ini besoknya pun terden-
gar, bertepatan dengan Madewa Gumilang,
Ratih Ningrum dan putra mereka, mening-
galkan rumah berangkat menuju kediaman
Abindamanyu.
Dan orang-orang kerajaan pun sudah
berkeliaran mencarinya. Kali ini delapan
orang kerajaan berjumpa dengannya. Namun
tak dapat berbuat apa-apa karena Madewa
telah merebut semua senjata mereka.
Setelah mendengar penuturan salah
seorang dari pengawal itu, Madewa mang-
gut-manggut.
Mencoba menganalisa aksi pembunuhan
itu. Orang berpakaian putih-putih yang
mengaku sebagai dirinya. Dan mempunyai
pukulan bayangan sukma. Tiba-tiba Madewa
terlonjak.
Dia ingat dari salah satu penuturan
itu. Sinar merah!
Hhh, Madewa menggeram. Siapa lagi
orangnya yang memakai pukulan jarak jauh
berwarna merah. Pasti anak buah Dewi Can-
tik Penyebar Maut!
Lagi-lagi dirinya yang menjadi kamb-
ing hitam! Kenapa?
"Madewa!" bentak pengawal itu. "Cepat
kau serahkan dirimu pada kerajaan!"
"Tidak, aku tidak akan menyerahkan
diri pada kerajaan. Aku akan mencari
orang-orang yang membuat namaku cemar!
Dan katakan kepada raja, orang itu adalah
anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut.
Hanya mereka yang mempunyai pukulan jarak
jauh berupa sinar merah! Bisa kalian sam-
paikan salam ku itu sekarang juga!"
Madewa membebaskan totokannya pada
tubuh pengawal yang kaku. Dan melemparkan
senjata yang dipegangnya.
Entah kenapa kali ini mereka menurut.
Rupanya nama Dewi Cantik Penyebar Maut
membuat mereka gentar. Dengan terburu-
buru mereka mengambil senjatanya masing-
masing dan berhamburan meninggalkan tem-
pat itu.
Madewa merenung. Lagi-lagi Dewi Can-
tik Penyebar Maut. Dan Madewa ingin seka-
li cepat-cepat bertemu dengan orang itu.
Sayang dia tidak tahu di mana kediaman
dewi sesat itu!
Ia berbalik hendak menemui anak dan
istrinya, Madewa terkejut. Istri dan
anaknya tidak ada di tempat tadi. Madewa
melesat ke depan. Ke mana mereka pergi?
Hanya ada kudanya saja.
"Ratih! Pranata!" serunya kalang ka-
but.
Tetapi tak ada sahutan. Hanya desir
angin yang menggesek dedaunan. Madewa
mencari di segenap tempat itu, tetapi tak
ditemukannya orang-orang yang dicin-
tainya.
Ia tertunduk. Entah apa yang telah
terjadi dengan istri dan anaknya.
Tahu-tahu pandangannya terbentur pada
benda hitam di tanah. Dia memungutnya.
Sebuah topeng hitam! Madewa mengenal to-
peng hitam itu. Merupakan senjata rahasia
dan sekaligus lambang dari perguruan To-
peng Hitam.
Dan Madewa sadar, kalau anak istrinya
telah diculik oleh orang-orang topeng hi-
tam!
Dia tidak akan membiarkan semua ini.
Lebih baik diurungkan saja niatnya ke ru-
mah Abindamanyu. Dia harus segera mencari
anak istrinya.
Entah ada urusan apa anggota topeng
hitam menculik anak istrinya. Padahal Ma-
dewa yakin, dia tidak pernah punya urusan
dengan orang-orang perguruan topeng hi-
tam.
Kembali satu persoalan muncul. Dan
persoalan yang amat pelik. Belum tersele-
saikan persoalan yang satu, muncul yang
lain.
Mempertanggungjawabkan putri Nindia
pada Abindamanyu, belum dilaksanakan.
Mencari orang-orang Dewi Cantik Penyebar
Maut. Membersihkan namanya yang mulai ce-
mar.
Satu saja belum berhasil dia be-
reskan!
Tetapi nyawa anak istrinya lebih ber-
harga dari semua itu! Biar, biar dia me-
ninggalkan kewajiban itu semua.
Anak istrinya harus dicari sampai da-
pat!
Jika anak istrinya terluka atau lecet
sekali pun, dia bersumpah, akan menghan-
curkan perguruan topeng hitam itu.
Madewa melompat ke kudanya. Mengge-
prak dan melarikannya dengan cepat.
Sementara itu, delapan pengawal kera-
jaan sekarang sudah tidak berlari. Mereka
berjalan kaki dengan penuh kegeraman dan
penyesalan karena tidak berhasil menang-
kap Madewa Gumilang.
Ketika melewati sebuah hutan, bebera-
pa sinar merah berkelebat. Dan menghantam
tubuh mereka hingga hangus.
Lalu berkelebat sesosok tubuh berpa
kaian merah.
"Hhh! Manusia-manusia tak berguna!
Bukannya dibunuh saja Madewa Gumilang!
Sampaikan pesannya itu di akhirat nanti!"
Lalu sosok tubuh berpakaian merah itu
menghilang.
***
ENAM
Sebenarnya bagaimana mulanya Ratih
Ningrum dan Pranata Kumala bisa menghi-
lang?
Baiknya kita ikuti dulu asal mulanya.
Ketika suaminya sedang bertempur den-
gan para pengawal kerajaan itu, Ratih
Ningrum sudah ingin turun tangan memban-
tu. Dia geram mendengar suaminya dituduh
membunuh para tokoh-tokoh utama istana.
Ingin dihabisi saja orang-orang itu!
Tetapi agaknya suaminya tidak ingin
membunuh mereka, dilihat dia hanya meng-
hindari serangan-serangan itu tanpa mem-
balas. Ratih Ningrum jadi enggan memban-
tu. Walaupun dia bosan menunggu.
Pranata Kumala sudah tidak sabar in-
gin segera melarikan kudanya. Dia meren-
gek terus. Akhirnya Ratih Ningrum menja-
lankan kudanya sekadar menghibur Pranata
Kumala sekalian menunggu suaminya selesai
berurusan dengan orang-orang kerajaan.
Pranata gembira ketika kuda mulai me-
laju lagi. Dia tertawa-tawa. Begitu pula
dengan Ratih Ningrum, yang menjalankan
kudanya dengan santai.
Tanpa menyadari kalau beberapa pasang
mata berpakaian hitam-hitam mengintai da-
ri balik semak.
Dan berloncatan menghadang! Semuanya
memakai topeng hitam.
Ratih Ningrum tersentak. Seketika ia
menghentikan kudanya. Saking kerasnya ia
menarik kendali, kuda sampai terangkat
dan meringkik hebat.
Sebagai wanita yang telah digembleng
mental dan fisiknya, Ratih Ningrum tenang
menghadapi penghadangannya.
Dia bertanya, "Maaf, kenapa kalian
menghadangku?"
Salah seorang menyahut, "Kami dari
perguruan Topeng Hitam, menginginkan nya-
wamu!"
"Ada persoalan apa gerangan?" Ratih
Ningrum masih bertanya dengan sikap te-
nang. Sementara Pranata Kumala terdiam.
Heran dengan orang-orang yang berpakaian
hitam-hitam itu. Mau apa sih mereka?
Mengganggu keasyikan nya naik kuda saja?
Hhh! Sebel!
"Kami hanya menginginkan nyawamu!
Perguruan Topeng Hitam muak dengan ting
kahmu!" suara itu semakin bengis dan ang-
ker. Penuh nafsu ingin membunuh.
"Sebentar, Saudara!" Masih tetap te-
nang sikap Ratih Ningrum. "Kupikir, sela-
ma ini tingkah lakuku tidak pernah ber-
tentangan dengan perguruan Topeng Hitam.
Lalu mendadak saja kalian menginginkan
nyawaku! Apa itu tidak salah?"
"Salah atau tidak salah, kami akan
menangkapmu!" Salah seorang mencabut pe-
dangnya-Dan dua orang yang lain berbuat
yang sama. Mereka mengambil sikap mengu-
rung Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum masih tenang duduk di
atas kudanya. Tetapi sikap orang-orang
lama kelamaan membuatnya menjadi jengkel.
"Baik, kulayani-kemauan kalian! Asal
ingat, jangan ganggu putraku! Kulihat dia
terluka, aku bersumpah demi langit dan
bumi, akan menghancurkan kalian dan per-
guruan Topeng Hitam!"
Sesudah berkata begitu, Ratih Ningrum
bersalto sambil mencabut sepasang pedang
kembarnya dan berhadapan dengan tiga
orang dari perguruan Topeng Hitam itu.
Sikapnya masih tetap tenang. Dia be-
lum mulai serangannya. Menurut Ratih Nin-
grum, dia tidak punya salah. Lebih baik
menunggu orang-orang itu menyerang.
Dan dia tidak menunggu lama, karena
salah seorang dari mereka sudah menye-
rang. Dengan sepasang pedang pula.
Jurus-jurus pedang perguruan Topeng
Hitam sudah tidak boleh disangsikan lagi
kehebatannya. Jurus-jurus pedangnya mema-
tikan. Cepat dan dahsyat.
Tetapi Ratih Ningrum bukan sembarang
pendekar wanita. Dia digembleng oleh tiga
gurunya yang sakti. Dengan sepasang pe-
dang kembar pemberian gurunya yang berna-
ma Mukti, dia menghadapi serangan-
serangan itu.
Keduanya lincah memakai jurus masing-
masing.
Menjelang jurus ke-8, Ratih Ningrum
berhasil menjatuhkan sepasang pedang la-
wannya dan kesempatan itu digunakan untuk
terus menyerang.
Bersamaan dengan itu, dua orang yang
lain memapaki. Menyabet pedang Ratih Nin-
grum hingga menimbulkan pijar dan suara
yang nyaring. Selamatlah nyawa teman me-
reka yang satu itu. Kini Ratih Ningrum
dikeroyok dari dua jurusan. Empat buah
pedang lawan berkilatan berkelebat di
timpa matahari.
Ratih Ningrum masih lincah menghin-
dar. Bahkan meningkatkan permainan pe-
dangnya. Ia memperpadukan dengan jurus
pukulan tangan seribunya. Yang membuat
pedang di tangannya terlihat berjumlah
seribu.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras,
orang yang terjatuh tadi bangkit menye
rang. Ratih Ningrum merasakan dorongan
angin yang keras mendekatinya. Dia berke-
lit dan menangkis. Lalu memberikan satu
tusukan melalui pedangnya.
Tetapi orang itu sungguh lincah, dia
masih tetap bersalto menghindari tusukan
itu.
Sekarang Ratih Ningrum yang kelimpun-
gan menghadapi serangan itu. Tiga orang
mengeroyoknya dengan hebat.
Ratih Ningrum bertahan mati-matian,
dengan harapan suaminya sudah menyelesai-
kan persoalannya dengan pengawal-pengawal
kerajaan itu. Dan datang membantunya.
Tetapi sampai pedangnya terlepas sa-
tu, suaminya masih belum datang juga. Pu-
tus sudah harapannya untuk bertahan. Ke-
tika salah seorang dari orang itu berha-
sil mengirimkan pukulannya ke dada.
Dia merasakan dadanya seakan mau pe-
cah. Nafasnya terasa sesak dan matanya
berkunang-kunang. Tahu-tahu dia mencium
bau wangi yang harum sekali.
Mendadak tubuhnya melemah. Terhuyung.
rupanya bau itu adalah uap bius, yang
membuatnya kelimpungan.
Dan mendadak dia terjatuh.
Orang-orang itu tidak menyerang lagi.
Salah seorang memerintah, "Kau, cepat
beresi bocah itu! Dan kau, bawa kuda itu
mendekati pertempuran Madewa Gumilang
dengan pengawal kerajaan! Dan jangan lu
pa, lemparkan beberapa senjata rahasia
perguruan Topeng Hitam seperti siasat ki-
ta!
Cepat!"
Dua orang yang diperintah itu berge-
rak dengan cepat. Seorang melompat dan
menotok urat di punggung Pranata Kumala,
lalu menggendongnya.
Yang seorang lagi membawa kuda itu
dengan hati-hati. Mendekati Madewa Gumi-
lang yang masih bertempur dengan orang-
orang kerajaan. Dan melemparkan beberapa
buah senjata rahasia Perguruan Topeng Hi-
tam di sekitar kuda itu sendiri.
Sementara yang memerintah membereskan
Ratih Ningrum yang dalam keadaan pingsan.
Semua itu dilakukan dan terjadi begi-
tu cepat. Madewa tidak menyadari kalau
istri dan anaknya sudah tidak berada lagi
di tempat.
Setelah tugas mereka selesai, orang-
orang bertopeng hitam itu melesat mening-
galkan tempat itu.
Dalam hati mereka tertawa, melihat
siasat yang mereka jalankan membawa ha-
sil.
Semua siasat yang hebat. Ketua memang
telah memperhitungkan semuanya dengan ma-
tang.
* * *
Ada baiknya kita tengok dulu keadaan
Abindamanyu dan istrinya yang bernama Na-
dia.
Sejak penculikan Nindia lima setengah
tahun yang lalu, keadaan istrinya nampak
mulai payah. Dan kerinduannya terhadap
putri tunggal mereka, semakin menggunung
dirasakan oleh istrinya. Begitu pula den-
gan Abindamanyu, yang setiap hari ker-
janya selalu termenung.
Istrinya lebih parah lagi, sejak tiga
bulan yang lalu dia jatuh sakit. Keadaan-
nya semakin lama semakin payah. Setiap
malam yang diingat hanya putrinya itu.
Setiap malam pula dia memanggil-manggil
nama Nindia.
Siang itu keadaan di rumah Abinda-
manyu seperti biasa dalam keadaan sunyi.
Tak ada riang tawa Nindia di rumah harta-
wan itu seperti biasa.
Lima setengah tahun yang lewat, Made-
wa pernah berjanji akan mencari dan meno-
long putrinya dari tangan Wirapati. Teta-
pi sampai saat ini, dia belum juga datang
membawa putrinya. Apakah pemuda itu tidak
berhasil menyelamatkan putrinya?
Habis sudah bahan untuk membujuk is-
trinya agar bersabar, tetapi keadaan bu-
kannya menjadi lebih baik, malah bertam-
bah parah. Istrinya jatuh sakit. Dan dia
sendiri pun merasakan dirinya menjadi le-
bih tua.
Dan enggan berbuat apa-apa. Tiba-tiba
di depan rumah terdengar derap langkah
kuda. Serentak Abindamanyu berlari ke de-
pan. Barangkali orang-orang yang diperin-
tahkan untuk mencari putrinya membawa ha-
sil sekarang. Sudah hampir sepuluh kali
dia memerintahkan orang-orang bayaran
maupun pengawal pribadinya mencari pu-
trinya, tetapi semua berhasil nihil.
Bahkan mereka tidak membawa kabar se-
dikit pun tentang putrinya.
Dan kali ini, orang-orang itu pun
gagal mencari putrinya. Abindamanyu sudah
bisa menebak dengan melihat wajah-wajah
mereka yang layu. Juga tak ada tanda-
tanda putrinya berada bersama mereka.
Tetapi walaupun begitu, Abindamanyu
bertanya, "Bagaimana usaha kalian? Berha-
silkah menemui putriku?"
Salah seorang dari mereka maju se-
langkah, dia bernama Panji. Ia menjura.
"Maafkan kami, Tuanku. Sedikit pun
kami tidak mendengar kabar di mana putri
Nindia berada. Hampir seluruh pelosok ne-
geri kami jelajahi, tetapi sedikit pun
kami tak mendengar di mana dia berada?"
Abindamanyu terdiam. Lagi-lagi jawa-
ban seperti itu yang didengarnya. Hampir
setiap kali. Telinganya sudah hafal den-
gan jawaban-jawaban seperti itu.
Dia hanya menghela nafas.
"Memang sulit menemukan di mana pu
triku berada," gumamnya lesu. "Malah ku-
duga, dia sudah menemui ajalnya di tangan
Wirapati. Dan juga, pemuda yang bernama
Madewa Gumilang itu, mampus pula di tan-
gan Wirapati."
Lagi dia terdiam. Yang lain pun ter-
diam. Hanya menundukkan kepala. Tak kuasa
menatap tuannya yang nampak semakin tua.
Dan semakin murung. Suasana hening, Bu-
rung pun seperti enggan bernyanyi.
Abindamanyu menghela nafas panjang.
Hanya satu yang dipersoalkannya sekarang.
Kesehatan istrinya yang nampaknya semakin
memburuk.
Menurut tabib yang mengobatinya, dia
tidak bisa disembuhkan kecuali bertemu
dengan putrinya. Dan mencari Nindia di
mana dia berada, adalah sulit sekali. Ba-
gaimana mencari sebuah jarum di tumpukan
jerami!
Tak ada jalan penyembuhan lain. Ini
yang dikuatirkan Abindamanyu. Lama kela-
maan istrinya bisa menemui ajalnya gara-
gara rindu dengan putrinya. Dia harus bi-
sa memecahkan masalah ini.
Malam harinya, ketika semuanya sudah
tidur, Abindamanyu memanggil beberapa
orang yang dipercayainya. Termasuk Panji.
Mereka berkumpul di ruang belakang Sikap
Abindamanyu penuh rahasia. Membuat semua
yang hadir keheranan.
Tetapi mereka tidak berani bertanya
sebelum tuannya berbicara.
Setelah mereka berkumpul, barulah Ab-
indamanyu bicara.
"Mungkin kalian heran, mengapa aku
mengumpulkan kalian di ruangan ini.
Yah... ini kulakukan demi satu tugas ra-
hasia yang harus kalian rahasiakan. Ka-
lian adalah orang-orang yang mengenal pu-
triku sejak kecil. Kalian sudah hafal pu-
la bagaimana raut wajahnya dan tingkah
lakunya.
Untuk itu, aku ingin kalian menyetu-
jui atau memberi pendapat atas keputusan-
ku untuk menyembuhkan istriku.
Dengarkan baik-baik. Kita semua tahu,
sudah hampir lima setengah tahun putriku
tidak ada dirumah. Dan sudah kita cari ke
mana-mana, tetapi tetap tidak diketahui
rimbanya. Untuk itu, kepada kalian semua
aku minta, agar merahasiakan semua yang
hendak aku lakukan. Yah... kalian kuminta
membantu dalam melaksanakan hal ini...."
Seorang laki-laki tua yang berjanggut
panjang, memotong perkataan Abindamanyu,
"Ya, Tuanku. Sampai saat ini, hati saya
masih bertanya-tanya. Kiranya tugas apa
yang hendak tuanku laksanakan dan berikan
kepada kami?"
Abindamanyu menatap kakek yang berna-
ma Tindaruka itu.
"Sebenarnya aku ragu akan semua yang
hendak kulakukan. Tetapi demi istriku,
aku harus berani mengambil tindakan."
"Tindakan apa ya, Tuanku?" Lagi Tin-
daruka bertanya.
Abindamanyu terdiam. Suasana mendadak
menjadi tegang. Entah kenapa raut wajah
Abindamanyu pun menjadi tegang.
Perlahan-lahan Abindamanyu berkata,
"Aku akan mencari seorang gadis yang mi-
rip dengan putriku, untuk dipalsukan dan
menemui istriku....",
Beberapa seruan kaget terdengar.
"Maksud tuanku, gadis itu menjadi pu-
tri Nindia?" tanya yang kakek yang bertu-
buh gemuk. Matanya melotot kaget.
Abindamanyu mengangguk lemah.
"Tak ada jalan Iain. Hanya itu satu-
satunya cara yang bisa kulakukan, demi
kesehatan istriku."
Tindaruka menarik nafas panjang. "Apa
tuanku sudah memperhitungkan baik buruk-
nya?"
"Sudah, Tindaru. Aku sudah memperhi-
tungkan sebaik-baiknya. Hanya kepada ka-
lian aku mengatakan semua ini, karena aku
takut, jika gadis itu nanti tidak mencer-
minkan sikap Nindia, kalian akan ber-
tanya-tanya, siapa sebenarnya gadis itu?
Untuk itu kuminta kalian merahasiakannya.
"Bagaimana dengan suruhan yang lain?"
tanya Tindaruka pula.
"Penjaga atau pesuruh yang lain, ra-
ta-rata masih baru. Mereka belum begitu
mengenal wajah dan tingkah laku Nindia.
Hanya kalian yang mengenalnya secara
baik."
Tak ada yang bertanya lagi. Rupanya
tuan Abindamanyu memang telah memperhi-
tungkan semuanya. Dan memang tak ada cara
lain untuk menyembuhkan istrinya. Hanya
itu satu-satunya jalan, walaupun jika
terbongkar akan membawa akibat yang fatal
bagi Nadia.
Tetapi segala sesuatunya harus dico-
ba. Dan Abindamanyu akan melaksanakan ke-
putusannya itu.
Besoknya, dia memerintahkan kembali
beberapa orang untuk mencari putrinya.
Orang-orang itu adalah mereka yang sema-
lam ikut dalam rapat rahasianya. Dan su-
dah direncanakan, kalau dalam dua hari
mendatang mereka harus segera kembali dan
membawa kabar tentang putrinya.
Semua berjalan dengan lancar. Dua ha-
ri kemudian pencari-pencari itu kembali.
Dan membawa kabar yang mengejutkan!
Putri Nindia telah diketahui jejak-
nya.
Seisi rumah besar itu bersorak gembi-
ra. Putri mereka yang amat cantik akan
kembali berkumpul. Kabar itu pun terden-
gar di telinga Nadia yang sedang sakit.
Dia langsung bisa duduk di ranjang.
Menoleh pada embannya.
"Benarkah putriku ditemukan, Sukma?"
tanyanya dengan suara serak.
Emban yang bernama Sukma itu mengang-
guk.
"Benar, Tuanku. Putri Nindia dalam
waktu singkat ini akan segera kembali."
"Oh, putriku... akhirnya kita dapat
berkumpul kembali," desah Nadia gembira.
Abindamanyu masuk ke kamar istrinya.
Ia menemukan istrinya dalam keadaan ter-
duduk. Suatu yang jarang terjadi selama
dua bulan terakhir ini.
Hatinya terharu melihat wajah is-
trinya gembira. Matanya berkaca-kaca.
Dan dalam hati dia berbisik, "Maafkan
aku istriku. Ini kulakukan demi kebaikan-
mu."
Dia tidak kuasa menatap istrinya la-
ma-lama. Istrinya yang tengah gembira ka-
rena kabar bohong. Dan mungkin besok atau
lusa, kebohongan itu akan semakin leng-
kap, dengan hadirnya Nindia palsu di ru-
mah ini.
Abindamanyu kembali memerintahkan ke-
pada Panji, untuk menjemput putrinya. Dia
sudah mengatakan, "Aku sudah mencari seo-
rang gadis yang mirip dengan putriku. Dia
berbaju merah. Raut wajahnya mirip dengan
putriku. Dan gadis itu menunggu di tepi
hutan yang jauh dari tempat ini."
Panji segera berangkat. Hutan yang
dikatakan tuannya itu sangat jauh dari
tempat mereka tinggal. Tetapi Panji telah
bertekad, dia harus mencapai tempat itu
secepat mungkin.
Sebelum matahari terbenam, dia sudah
menemukan hutan itu. Dan benar saja. Di
dekat sebuah pohon besar, sudah menunggu
seorang gadis yang cantiknya luar biasa.
Kalau dilihat sekilas, gadis itu memang
mirip dengan putri Nindia. Tetapi jelas,
kalau gadis itu lebih tinggi sedikit.
Panji hafal wajah dan tinggi Nindia.
Gadis itu tersenyum begitu dia turun
dari kudanya dan menghampiri. Senyumnya
pun mirip dengan putri Nindia. Kulitnya
yang putih sangat kontras dengan pakaian-
nya yang berwarna merah.
Panji menjura hormat.
"Maaf, kalau saya lancang bertanya,
Nona. Nonakah yang akan menjalankan tugas
rahasia dari tuan Abindamanyu?"
Gadis itu tersenyum.
"Ya, Kakang."
Suaranya pun tak beda dengan Nindia!
"Kalau memang begitu kiranya, mari kita
segera berangkat. Tuanku sudah lama me-
nunggu, Nona."
Gadis itu mengangguk. Panji melompat
ke punggung kudanya. Dan menuntun gadis
itu untuk naik. Lalu kuda kembali menuju
rumah Abindamanyu.
Kedatangan putri Nindia sudah terden-
gar di seluruh desa. Abindamanyu mengada-
kan pesta besar-besaran untuk menyambut
putrinya.
Istrinya pun sudah nampak lebih se-
hat. Dia sudah mampu berjalan walau keli-
hatan masih lemah.
Begitu Panji datang, mereka berhambu-
ran keluar. Ingin menyambut kedatangan
putri yang mereka rindukan. Dan bertanya-
tanya, bagaimana keadaan dan wajah Nindia
sekarang? Apakah masih cantik?
Dan mereka melihat wajah gadis.itu
masih tetap cantik seperti dulu. Langkah-
nya pun masih tetap gemulai. Dan tingkah-
nya masih tetap sopan.
Masih mau bergaul dengan para pendu-
duk. Ketika datang dia menegur mereka sa-
tu persatu.
Mereka berpesta selama sehari sema-
lam. Nadia tidak mau jauh dari putrinya.
Setiap saat dia memeluk putrinya yang
amat dirinduinya.
Dan gadis yang berperan sebagai Nin-
dia itu, amat mampu memainkan perannya.
Benar-benar tepat pilihan Abindamanyu.
Walau hatinya sedih karena sudah membo-
hongi istrinya, Abindamanyu tetap gembira
karena istrinya sudah agak sembuh.
Dan tidak ada yang tahu. Semua tidak
ada yang tahu. Mereka menyangka pilihan
tuannya terhadap gadis itu tepat. Abinda-
manyu pun demikian. Dia menemukan gadis
itu ketika sedang berjalan-jalan seorang
diri di tepi hutan sebelah sana.
Gadis itu bernama Surti dan tinggal
bersama ayahnya yang penebang kayu.
Abindamanyu tidak tahu kalau semua
itu adalah tipu belaka.
Surti bukan anak penebang kayu dan
tidak pernah mengenalkan ayahnya pada Ab-
indamanyu.
Dia adalah gadis kejam berbaju merah.
Anak buah Dewi Penyebar Maut yang bernama
Dahlia merah!
***
Lereng bukit yang indah dan permai.
Di sana-sini ditumbuhi pohon-pohon yang
subur. Suasana di depan gunung itu bagai-
kan sorga firdaus. Betapa indah dan ten-
tramnya. Sungai yang mengalir dan gemeri-
cik suaranya, menambah kesyahduan tempat
itu berada. Angin bertiup dengan semilir.
Membuat yang datang enggan untuk pulang.
Dan yang kembali berharap sebisa mungkin
datang lagi atau kembali mengenang tempat
itu.
Di tempat itulah Paksi Uludara sejak
puluhan tahun yang lalu mendirikan sebuah
perguruan yang diberi nama Perguruan To-
peng Hitam.
Sampai saat ini, belum pernah terden-
gar kabar, perguruan Topeng Hitam beruru-
san dengan dunia luar. Mereka hanya turun
jika memang keadaan dunia luar memerlukan
tenaga mereka. Mereka adalah orang-orang
golongan putih yang berjuang demi kebena-
ran dan keadilan.
Dan Paksi Uludara telah menetapkan
peraturan, barang siapa yang meninggalkan
perguruan tanpa izin atau perintah, tidak
akan diperkenankan kembali untuk datang!
dan harap menyerahkan semua ilmu yang di-
dapat dari perguruan dengan jalan memo-
tong buntung kedua lengannya sendiri!
Peraturan yang menyeramkan. Tetapi
tak seorang murid pun yang pernah melang-
garnya. Mereka telah menemukan sebuah
tempat yang indah, mengapa harus diting-
galkan?
Hari ini Paksi Uludara sedang melihat
murid-muridnya berlatih. Dalam setiap la-
tihan mereka semua mengenakan pakaian hi-
tam-hitam dan bertopeng hitam. Itu meru-
pakan ciri dari perguruan .
Dan juga sepasang pedang tipis yang
merupakan kebanggaan perguruan Topeng Hi-
tam. Jurus-jurus pedang yang sangat ber-
bahaya dan mematikan!
Paksi Uludara memang seorang jago pe-
dang yang tak terkalahkan dulunya. Tetapi
sejak mendirikan perguruan itu, dia tidak
pernah lagi muncul di rimba persilatan.
Namun namanya tetap menjadi momok bagi
siapa saja.
Tiba-tiba masuk seorang murid yang
menjaga di gerbang depan. Murid itu men
jura hormat.
"Hmm, ada apa, Murta?" tanya Paksi
Uludara dengan sikap wibawa. Karena si-
kapnya itu murid-muridnya sangat menghor-
matinya.
"Maafkan saya, Ketua. Di luar ada be-
berapa orang yang ingin bertemu dengan
Ketua." "Siapa mereka?" Paksi Uludara
mengusap-usap janggut putihnya. Sementara
tangan kirinya berada di belakang.
"Mereka terdiri dari kakek tua yang
mengaku bernama Datuk Sakti Berjubah Pu-
tih, seorang pemuda yang tampan bernama
Pendekar Kipas Sakti dan seorang wanita
setengah baya yang cantik bernama Dewi
Maut.
Paksi Uludara mengenal nama-nama itu.
Tetapi tidak tahu apa yang menjadi urusan
hingga mereka datang berkunjung. Walau
begitu Paksi Uludara menyuruh mereka ma-
suk.
"Bawa mereka menemuiku di ruang khu-
sus!" katakan seraya melangkah.
Ruang khusus itu adalah ruang di mana
Paksi Uludara dan murid-muridnya berkum-
pul. Hendak membicarakan masalah sesuatu
atau memperbincangkan masalah dunia luar.
Di ruang khusus itu juga terdapat senja-
ta-senjata rahasia yang disembunyikan.
Itu dipakai untuk menjaga kalau-kalau ada
serangan dari dunia luar. Paksi Uludara
duduk di singgasananya. Ia memakai baju
kebesarannya yang berupa jubah bergambar
topeng hitam. Dan dia sendiri mengenakan
topeng hitam dan pedang mustikanya yang
bernama Pedang Sakti Naga Emas.
Beberapa menit kemudian, orang-orang
itu datang menghadap. Paksi Uludara ber-
diri. Tertawa. Dalam tawanya itu mengan-
dung tenaga dalam yang lumayan.
Serentak para tamu itu menaikkan te-
naga dalamnya untuk menahan uji coba ter-
sembunyi. Mereka menjura. Paksi Uludara
masih tertawa. "Ha.., ha... ha... sikap
kalian terlalu kaku rupanya. Tidak perlu
menghormat segala. Silahkan, silahkan du-
duk.'"
Ketiga tamu itu duduk. Paksi Uludara
duduk kembali di singgasananya. La mena-
tap tamunya satu persatu.
"Hmm, ada apa kiranya kalian tamu-
tamuku yang terhormat datang? Sungguh su-
atu penghormatan yang besar bagiku.
Orang-orang yang sudah melangit namanya
datang menghadap. Silahkan terangkan mak-
sud kedatangan kalian...."
Datuk Sakti Berjubah Putih bangkit.
Lagi menjura. Lagi Paksi Uludara tertawa.
"Kedatangan kami kemari, sehubungan
dengan adanya petaka yang disebarkan oleh
Dewi Cantik Penyebar Maut."
Paksi Uludara manggut-manggut. "Ya...
aku pernah mendengar kabar itu. Lalu?"
"Kami meralat kata-kata Ketua Paksi
Uludara. Nama kami tidak melangit, tidak
melanglang buana, karena beberapa minggu
yang lalu, kami baru saja dikalahkan oleh
anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut.
Sebagai orang dari golongan putih,
kami bermaksud menghapus dan memusnahkan
orang macam Dewi sesat itu. Tetapi tenaga
kami tidak mampu menghadapinya."
"Maafkan kami, Ketua Paksi Uludara.
Kami kemari, mengharapkan bantuan ketua
untuk membunuh atau menangkap dewi sesat
itu...."
Paksi Uludara terdiam. Ia meraba-raba
pedangnya. Lalu menatap Datuk Sakti Ber-
jubah Putih.
"Aku pun ingin menentramkan kembali
dunia persilatan ini. Aku pun ingin turun
tangan menghadapi orang-orang macam dewi
sesat itu. Tetapi ada satu ganjalan yang
membuatku enggan melakukannya. Bahkan
membantu kalian."
Orang-orang itu terkejut. Datuk sakti
langsung angkat suara, "Mengapa demikian,
ketua? Saya dengar, perguruan Topeng Hi-
tam selalu menggerakkan hati dan kemam-
puannya untuk membantu memberantas orang-
orang sesama.
"Mungkin itu akan kulakukan, Datuk
sakti. Tetapi bukan atas dasar membantu
kalian."
Datuk Sakti merasakan nada suara Pak-
si Uludara agak berubah tajam dan meni
kam.
"Apakah ketua sudah melupakan persa-
habatan kita?"
"Sampai kapan pun aku tidak pernah
melupakannya. Juga dengan seorang saha-
batmu yang bergelar Dewa Tua Pengantuk.
Tetapi saat ini, aku menyatakan perang
dengan Dewa Tua Pengantuk, dan sekaligus
dengan kalian!!"
"Ketua Paksi Uludara!" seru Datuk
sakti kaget. "Ada apa sampai ketua berka-
ta demikian?"
"Dewa Tua Pengantuk telah membunuh
seorang murid kesayanganku!"
"Tidak mungkin!" bantah Datuk sakti
langsung.
"Semua sudah terbukti, Datuk! Aku ma-
sih tetap sahabat kalian, jika kalian mau
menyerahkan Dewa Tua Pengantuk kepadaku
untuk kujatuhi hukuman!"
"Ketua... apa tidak salah ketua menu-
duhnya?"
"Ada saksi yang melihat perbuatannya,
Datuk!"
"Siapa saksinya?" kejar datuk sakti
penasaran.
"Seorang dara berbaju merah!"
Semakin terkejut Datuk sakti. Juga
dengan Pendekar Kipas Sakti dan Dewi
Maut. Dara berbaju merah? Siapa lagi ka-
lau bukan orang-orang Dewi Cantik Penye-
bar Maut!
Apakah bisa diterangkan pada Paksi
Uludara semua itu? Sedangkan saat ini
sang ketua sedang geramnya terhadap Dewa
Tua Pengantuk!
Datuk Sakti menjura.
"Kalau memang ketua percaya bahwa
yang melakukan pembunuhan itu Dewa Tua
Pengantuk, kami akan mencarinya dan me-
nyerahkannya kepada ketua."
Walau kami yakin, bukan si dewa tua
itu yang membunuh murid perguruan Topeng
Hitam. Dan kami berterima kasih kepada
ketua Paksi Uludara, yang akan mau turun
tangan menghadapi Dewi Cantik Penyebar
Maut!
Kami rasa, tidak ada yang perlu dibi-
carakan lagi!
Kami mohon diri, Paksi Uludara!"
Dewi Maut dan Pendekar Kipas Sakti
bangkit. Lalu sama-sama menjura. Paksi
Uludara hanya mengangguk. Tidak mengantar
tamu-tamunya itu keluar.
Hhhh, kalau saja aku tidak memandang
kalian sebagai sahabat, sudah kubunuh ka-
lian, desisnya dalam hati. Sebagai orang-
orang yang dekat dengan Dewa Tua Pengan-
tuk, mereka akan dihabisi saja.
Paksi Uludara bangkit. Hendak menco-
pot jubah kebesarannya. Tetapi tiba-tiba
terdengar hiruk pikuk di luar. Bahkan ada
pekik dan jeritan kesakitan.
Paksi Uludara menggeram.
Rupanya tamu-tamunya itu memang hen-
dak berbuat onar. Mereka memancingnya un-
tuk bertanding.
Paksi Uludara berkelebat ke depan. Di
halaman depan beberapa orang muridnya se-
dang bertempur melawan seorang pemuda
berpakaian biru-biru. Pemuda itu keliha-
tan sedang marah. Dan tangguh. Dengan se-
kali pukul saja barisan murid-muridnya
hancur berantakan.
Paksi Uludara bersalto. Dan kini ber-
hadapan dengan pemuda yang tak lain ada-
lah Madewa Gumilang.
Karena yakin yang menculik anak is-
trinya adalah orang-orang perguruan To-
peng Hitam, Madewa langsung mengamuk. Di-
hajarnya orang yang menghalanginya masuk.
Dia sangat marah sekali. Dua orang yang
dikasihinya itu berani diganggu.
Madewa menggeram melihat Paksi Uluda-
ra. Ia melirik ke samping, Hhm, dia kenal
orang-orang ini. Datuk Sakti Berjubah Pu-
tih. Pendekar Kipas Sakti. Dan Roro Anti-
ka atau si Dewi Maut. Sedang apa mereka
kemari.
Madewa kembali menatap Paksi Uludara
yang tengah mengira-ngira siapa gerangan
pemuda ini?
Madewa membentak, "Di mana anak dan
istriku kau sembunyikan?!"
Paksi Uludara heran. Anak istri? Sia-
pa? Yang mana?.
"Apa maksudmu, Saudara?"
"Aku tidak mau berbasa-basi lagi!"
bentak Madewa. "Cepat keluarkan anak is-
triku, kalau tidak, lereng bukit beserta
isinya akan kuhancurkan!"
"Tenang, Saudara. Aku tidak mengerti
sama sekali apa maksudmu. Katakan dengan
tenang dan jelas."
Madewa mendengus. Dia merasa diper-
mainkan.
"Baik, istriku bernama Ratih Ningrum
dan putraku bernama Pranata Kumala. Kedua
orang yang kukasihi itu telah diculik
oleh anak-anak dari Perguruan Topeng Hi-
tam...."
"Kau menuduh tanpa bukti, Saudara. Di
sini tidak ada orang yang kau sebutkan
tadi."
"Aku punya bukti!" Madewa mengambil
senjata rahasia topeng hitam dari angkin-
nya. Dan membuka telapak tangannya. "Ini!
Ini senjata khas kepunyaan perguruan ini!
Kutemukan tak jauh dari kuda istriku! Ce-
pat katakan, di mana istri dan anakku!"
Paksi Uludara memperhatikan senjata
rahasia itu. Hmm, memang benar. Itu kepu-
nyaan orang-orang topeng hitam. Tetapi
siapa yang telah melakukan aksi penculi-
kan ini? Murid-muridnya tidak ada yang
keluar dari perguruan selain lima orang
yang ditugaskan dalam mencari Dewa Tua
Pengantuk.
Apakah ada di antara murid-muridnya
yang menyelinap ke luar dan melakukan ak-
si penculikan itu? Tetapi tidak mungkin,
dia telah waspada terhadap kemungkinan
itu.
Melihat Paksi Uludara terdiam, Madewa
menggeram. Ia maju selangkah. Serentak
murid-murid Perguruan Topeng Hitam tengah
berlatih tadi mengurungnya.
"Hhh!" Madewa mendengus. Dan mengi-
baskan tangan kanannya.
Bagai ada badai yang besar, orang-
orang yang mengurung tadi berhamburan
terpelanting.
Paksi Uludara terkejut melihat kehe-
batan tenaga kibasan orang itu. Siapa dia
adanya?
"Saudara, semua yang kau katakan ta-
di, aku membantahnya. Dan tidak terima
dengan tuduhan itu!"
"Baik! Dan aku telah bersumpah, jika
orang-orang perguruan Topeng Hitam tidak
mengeluarkan istri dan anakku. Maka ku
hancurkan perguruan ini rata dengan ta-
nah!"
Sehabis berkata begitu, Madewa mele-
sat. Menyerang Paksi Uludara. Mendapat
dorongan angin yang keras, Paksi Uludara
berkelit. Dan menangkis.
"Plak! Duk! Duk!"
Madewa benar-benar sudah kalap, Nya-
wa' istri dan anaknya lebih penting dari
nyawanya sendiri. Begitu habis ditangkis
serangannya, dia melenting ke atas. Dan
mengirimkan pukulannya lagi.
Kali ini Paksi Uludara menghindar
dengan jalan berkelit. Dan entah bagaima-
na tahu-tahu tangannya sudah memegang se-
buah pedang. Pedang yang disambar dari
salah seorang muridnya. Sedangkan pedang
mustikanya masih tergenggam di tangan ki-
rinya.
"Paksi Uludara! Keluarkan semua ilmu-
mu! Hari ini kita bersilang sengketa! Dan
aku tak akan mau bertindak setengah untuk
menghancurkanmu!" bentak Madewa.
Dia melompat ke depan lagi. Dengan
jurus Ular Mematuk Katak dia menyerang.
Paksi Uludara berusaha berkelit dan me-
mainkan pedangnya.
Pedang di tangan Paksi Uludara tak
ubahnya seperti kilat yang menyambar.
Bergulung-gulung dengan cepat. Dan mem-
buat Madewa menghentikan serangannya.
Dia menghindari tusukan dan sabetan
pedang itu dengan jurus Ular Meloloskan
Diri. Jurus warisan gurunya, Ki Rengser-
sari.
Sampai dua puluh jurus, Paksi Uludara
belum mampu mendaratkan pedangnya di tu-
buh Madewa.
Pertempuran dua tokoh kelas utama me-
nimbulkan getaran yang hebat, suasana di
halaman perguruan itu bagaikan ada dua
ekor naga yang bertarung.
Datuk Sakti Berjubah Putih tiba-tiba
memekik. Dan melompat ke arena. Dia ber-
pikir, mungkin saja dengan bantuannya
Paksi Uludara bisa menarik lagi tuduhan-
nya atas Dewa Tua Pengantuk.
Madewa berkelit ke samping menerima
serangan mendadak itu.
"Bagus! Rupanya kau pan berteman den-
gan orang sesat macam Paksi Uludara!"
"Karena aku tidak suka dengan orang
sombong macam kau!" bentak Datuk sakti
sambil melontarkan pukulannya.
Madewa bersalto ke belakang. "Bagus
majulah kalian semua!"
Dan dia melenting lagi ke depan. Kali
ini yang menjadi sasaran Datuk Sakti Ber-
jubah Putih. Dengan gempuran hebat dia
bertekad menghabisi Datuk Sakti.
Paksi Uludara tak mau ketinggalan.
Dia pun menerjang. Pertarungan yang tak
seimbang. Tetapi rupanya Madewa masih
mampu mempertahankan diri.
Suatu ketika pukulan Datuk Sakti men-
genai dadanya. Dia terhuyung. Saat itulah
Pendekar Kipas Sakti bergerak dengan ce-
pat. Memburu Madewa yang masih terhuyung.
Mendadak terjadi keanehan. Bukannya
tubuh Madewa yang terpelanting, malah tu-
buh Pendekar tampan itu yang kembali ke
tempatnya. Bergulingan. Ia merasa meng-
hantam sebuah tembok besar.
Pendekar tampan itu muntah darah!
Itulah salah satu kesaktian dari Ma-
dewa Gumilang, yang didapatnya secara ti-
dak sengaja ketika dia menghisap rumput
sakti kelangkamaksa. Ilmu itu tidak bisa
digunakan sembarangan. Hanya benar-benar
keluar jika orang yang memilikinya dalam
keadaan tenang.
Saat terhuyung itu Madewa kehilangan
keseimbangan. Marahnya agak mereda, seca-
ra tak sengaja khasiat rumput sakti ke-
langkamaksa keluar. Itulah sebabnya Pen-
dekar tampan itu tertabrak ilmu dari sari
rumput kelangkamaksa.
Dewi maut memekik dan memburu pende-
kar Kipas Sakti. Ia memeriksa keadaan
pendekar itu dan memberinya sebuah pil.
Lalu dia sendiri terjun ke arah pertarun-
gan.
Madewa yang sudah berdiri tegak lagi,
menatap lawannya satu per satu.
"Hhhh, tidak tahu malu beraninya ke-
royokan!" bentaknya marah.
"Untuk orang tak tahu adat macam kau,
cara apa pun akan halal dilakukan!" ben-
tak Dewi Maut jengkel.
"Aku tidak akan melajukan semua ini
jika istri dan anakku dikeluarkan!"
"Dasar orang edan! Sudah dibilang ti-
dak ada disini, masih ngotot juga!" ben-
tak Dewi Maut lagi.
"Aku memang edan, sebelum anak istri
ku keluar!"
"Kalau begitu, terimalah ajalmu!"
Dewi Maut bersiap. Ia mengerahkan te-
naga dalamnya di tangannya. Pukulan maut-
nya siap merenggut nyawa Madewa. Begitu
pula dengan Paksi Uludara. Walaupun malu
dibantu demikian tetapi dia mendiamkan
saja. Dia merasa ilmu yang dimiliki laki-
laki itu tinggi sekali. Persetan dengan
tatapan murid-muridnya yang merasa heran.
Ketua mengeroyok laki-laki itu?
Benar kata Dewi Maut, untuk laki-laki
edan yang menuduh sembarangan saja, cara
apa pun halal dilakukan.
Terdengar jeritan Dewi Maut ketika
melancarkan serangannya. Madewa sigap. Ia
berkelit dengan cara berguling. ke arah
Paksi Uludara. Dengan masih berguling itu
dia melancarkan kakinya yang mengancam
kemaluan Paksi Uludara.
Bukan ketua perguruan Topeng Hitam
jika tidak bisa menghindari serangan de-
mikian. Buru-buru dia melompat dan ka-
kinya balas meluncur deras pada Madewa
yang masih berguling.
Dorongan angin yang dipancarkan dari
kaki Paksi Uludara menyadarkan Madewa un-
tuk menghindar. Tiba-tiba tubuhnya me-
lenting ke udara dan kembali kakinya men-
gancam. Kali ini Datuk Sakti Berjubah Pu-
tih yang menjadi sasaran.
Cepat dia menangkis. Benturan dua
buah tenaga menimbulkan getaran yang he-
bat. Rupanya Madewa sudah menaikkan tena-
ga dalamnya.
Datuk sakti itu terguling, dadanya
terasa sesak. Bukan main, baru kali ini
dia merasakan tenaga dalam yang begitu
hebatnya.
Dewi Maut menyerang kembali dengan
pukulan jarak jauhnya. Madewa bersalto
dan tangannya mengepal. Dari kedua tangan
itu berpijar asap putih, Pukulan bayangan
sukma tengah dilancarkan oleh Madewa!
Paksi Uludara mengenali pukulan demi-
kian, dia menghentikan serangannya.
"Madewa Gumilang!" serunya kaget. Na-
ma itu membuat orang-orang rimba persila-
tan mengagungkan nya. Dan hanya satu
orang yang memiliki ilmu pukulan demi-
kian.
Madewa tidak jadi melancarkan puku-
lannya. Ia menoleh kepada Paksi Uludara.
"Kau sudah tahu namaku?" desisnya
mengejek. "Cepat keluarkan istri dan
anakku, kalau tidak ingin pukulanku men-
gantarkan kau ke pintu"
"Saudara Madewa, baru kali ini aku
yang tua berhadapan dengan saudara yang
terkenal itu! Walau pun demikian, kami
berani bersumpah, atas langit biru serta
isinya, kami tidak, menculik dan menyem-
bunyikan istri dan anakmu!" seru Paksi
Uludara berwibawa.
"Aku tidak percaya sebelum melihat
sendiri!"
"Silahkan... periksalah seluruh isi
perguruan Topeng Hitam ini! Jika kau me-
nemukan istri dan anakmu, kami rela bunuh
diri di hadapanmu!"
Madewa mendengus melecehkan. Walau
kaget dengan sumpah demikian. Tetapi dia
mau melangkah. Dia kuatir Paksi Uludara
menipunya.
"Tidak semudah itu, Paksi Uludara.
Kau ingin membiarkan aku masuk perangkap-
mu?"
"Tidak ada perangkap untuk, Saudara
pendekar!"
"Apa taruhannya?"
Paksi Uludara terdiam sejenak. Lalu,
"Kau boleh bawa pedang mustika Sakti Naga
Emas. Dengan pedang ini kau sanggup men-
dobrak perangkap rahasia jika memang
ada!"
Sesudah berkata demikian, Paksi Ulu-
dara melempar pedang pusakanya. Madewa
menangkap.
"Baik! Aku akan memeriksa seluruh isi
ruangan ini!"
Lalu Madewa melangkah dengan tenang.
Pedang pusaka itu digenggamnya dengan
kuat. Beberapa orang murid hendak menyu-
sul, tetapi dilarang oleh Paksi Uludara.
"Biarkan dia sendiri... biar dia ta-
hu, kalau kita tidak menculik istri dan
anaknya. Pasti telah terjadi salah paham
yang menyebabkannya marah demikian besar.
Madewa terus melangkah. Memasuki
ruang-an perguruan Topeng hitam itu dia
meneliti setiap sudutnya. Di mana kira-
kira ada perangkap rahasia.
Tahu-tahu dia berbalik ke belakang.
Dan menghentakkan sebelah kakinya. Pintu
ruangan yang berat itu, yang hanya bisa
digerakkan dengan tongkat penutup, perla-
han-lahan menutup rapat.
Orang-orang di luar mendecak kagum.
Pameran tenaga dalam yang mendebarkan.
Madewa berbalik lagi. Dia duduk ber-
sila. Matanya dipejamkan. Dia berkonsen-
trasi sejenak. Kedua tangannya bersatu di
dada.
Tiba-tiba tatapan matanya bisa menem-
bus seluruh ruangan itu. Tatapannya mene-
rang walaupun matanya terpejam. Itulah
ilmu pandangan menembus sukma, yang mampu
melihat jarak jauh dengan tegas walaupun
dihalangi gunung sekalipun.
Dengan ilmu pandangan sukmanya itu,
Madewa mencari di mana istri dan anaknya
berada. Sampai ke dasar rumah pun dica-
rinya dengan tatapannya. Tetapi sedikit
pun tak ada tanda-tanda di mana istrinya
berada.
Seluruh ruangan sudah dijelajahi nya
oleh tatapannya. Juga ruangan-ruangan ra-
hasia. Tapi tidak ada jejak sedikit pun
istri dan anaknya.
Kalau begitu, di mana mereka menyem-
bunyikan orang-orang yang dikasihinya
itu?
Madewa menghentikan konsentrasi nya.
Matanya perlahan terbuka. Kali ini ma-
tanya berair. Bukan karena pengaruh ilmu
pandangan menembus sukma, tetapi air yang
mengalir karena kesedihan. Sedih memikir-
kan bagaimana nasib Ratih Ningrum dan
Pranata Kumala.
Terbayang wajah istri dan anaknya
itu, yang sedang tersenyum. Apakah saat
ini keduanya masih tetap tersenyum?
Madewa bangkit. Kembali dia menghen-
takan kakinya. Dan pintu gerbang itu ter-
buka perlahan-lahan. Orang-orang yang me-
nunggu di luar. hanya memperhatikannya
saja Madewa yang melangkah dengan lesu
namun tegap.
Paksi Uludara melangkah menghampiri.
"Bagaimana, Saudara?" Madewa mengangkat
wajahnya. Lesu.
"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara.
Aku telah bertindak gegabah, menuduhmu
sembarangan. Tetapi aku benar-benar gusar
tak rela istri dan anakku diculik. Sekali
lagi maafkan aku, mungkin ada orang yang
ingin membuat kita salah paham dan saling
bentrok, dengan mengambing hitamkan per-
guruan Topeng Hitam.
Ku kembalikan pedang pusakamu ini,
juga senjata rahasia milik perguruan-
mu...."
Madewa memberikan kembali pedang pu-
saka milik Paksi Uludara dan membuka te-
lapak tangannya. Paksi Uludara mengambil
kedua benda itu.
Tiba-tiba Datuk Sakti Berjubah Putih
berseru,
"Saudara Madewa?"
Madewa menoleh. Mendadak ia menjura.
"Maafkan aku, Datuk."
Datuk sakti itu mengibaskan tangan.
"Sudahlah. Kembali ke senjata rahasia ta-
di. Kau menemukan senjata itu dekat kuda
istrimu?"
Madewa mengangguk.
Datuk sakti itu menggeleng-gelengkan
kepala.
"Tepat dugaanku."
Madewa cepat bertanya, "Dugaan apa?"
"Yah... dugaan bahwa kita semua salah
paham...." :
"Aku tak mengerti maksudmu...."
"Begini, Saudara pendekar," kata Da-
tuk sakti. Lalu kepada Paksi Uludara,
"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara, karena
lancang bicara di depanmu."
Paksi Uludara mengibaskan lengannya,
aku pun ingin mendengar apa yang kau ka-
takan."
Datuk Sakti Berjubah Putih menatap
seluruh manusia yang berada di sana, ter
masuk murid-murid perguruan Topeng Hitam.
Matahari sudah beranjak dari tempat-
nya di atas kepala. Senja mulai turun.
Angin bertiup sejuk.
Datuk sakti berkata, "Kita semua be-
rada dalam keadaan salah paham. Mula-mula
Ketua Paksi Uludara sendiri yang salah
paham, di mana dia menuduh Dewa Tua Pen-
gantuk yang membunuh salah seorang murid-
nya.
Saya berani berkata demikian, karena
merasa aneh terhadap gadis yang menjadi
saksi itu. Anehnya dimana, gadis itu ber-
pakaian warna merah. Yang bisa saya duga,
adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut atau memang dia sendiri yang melaku-
kan. Bisa ditebak, Dewi sesat itu ingin
mengadu domba sesama kita. Dan kemungki-
nan tentang anak dan istrimu, Saudara
pendekar, mungkin orang-orang Dewi sesat
itu yang melakukannya. Dan mengambing hi-
tamkan orang-orang. perguruan Topeng Hi-
tam dengan menebar senjata rahasia khas
perguruan itu. Mungkin dugaan itu bisa
salah bisa pula tidak. Tetapi Saudara
pendekar sudah menyaksikannya sendiri,
kalau di sini tidak ada istri dan anak,
Saudara...."
Semua terdiam mendengar penuturan
itu. Penuturan yang bisa saja terbukti.
Paksi Uludara diam-diam mempertimbangkan
kata-kata itu.
Apa tidak mungkin, Datuk sakti itu
ingin mengambil keuntungan dengan datang-
nya Madewa Gumilang, agar sahabatnya Dewa
Tua Pengantuk terbebas dari tuduhan?
Tetapi agaknya benar juga. Mereka
Siap memeriksa saksi pembunuhan itu. Dan
orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut
berpakaian merah!
Tidak mustahil memang dia yang menga-
dakan siasat adu domba ini. Demi kejayaan
dan keinginannya menjadi orang nomor satu
dirimba persilatan.
Paksi Uludara memandang pada Madewa
Gumilang, "Apa Pendapatmu tentang hal
ini, Saudara pendekar?"
"Aku tidak tahu. Yang kuinginkan,
anak dan istriku kembali dengan selamat,"
kata Madewa seolah kebingungan. Tetapi
dia langsung menambahkan dengan tegas,
"Aku bisa terima pendapat itu, aku pun
tahu ciri anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut, mereka selalu berpakaian warna me-
rah. Dan tak mustahil mereka yang mencu-
lik anakku. Dan ingin mengadu domba sesa-
ma kita...."
"Lalu apa yang akan Anda lakukan?"
tanya Datuk sakti.
"Aku akan mencari orang-orang itu
yang telah menteror keluargaku tanpa se-
bab, juga mencoreng namaku di hadapan ra-
ja!
Akan kubumi hanguskan mereka!" Madewa
menggeram. Giginya bergemerutuk dengan
keras. Wajahnya memancarkan sinar kemara-
han. Dan tanpa sadar, kedua kakinya telah
amblas semata kaki ke dalam tanah!
Bertanda betapa besarnya kemarahan
Madewa Gumilang!
Datuk sakti berkata lagi, "Saudara
pendekar, ada baiknya kita bersatu meng-
hadapi mereka."
"Terserah bagaimana, yang pasti aku
akan menghancurkan mereka! Dan melindungi
raja dari keganasan mereka!"
"Baiklah, Saudara pendekar. Hari ini
juga, kami bertiga akan menjaga di Kota
Raja. Dan kau mencari Dewi Cantik Penye-
bar Maut itu!" Datuk sakti berpaling pada
Paksi Uludara. "Bagaimana pula dengan
Saudara ketua?"
"Karena aku punya urusan dengan
orang-orang Dewi sesat itu, aku ikut Sau-
dara Madewa!" kata Paksi Uludara sambil
membuka topeng hitamnya. Seraut wajah tua
yang berjanggut putih nampak.
Wajah yang nampak letih namun penuh
kegusaran.
"Kalau begitu, baiklah. Kita segera
berpisah!" kata Datuk sakti itu. Dia agak
gembira, karena persoalan salah paham itu
berhasil dipecahkan.
Madewa menghampiri Pendekar Kipas
Sakti yang masih terluka. Ia berdiri di
belakangnya.
"Sebentar, Saudara."
Lalu menempelkan kedua tangannya di
punggung pendekar tampan itu, untuk men-
gusir uap beracun yang masih terdapat di
sekitar tubuhnya. Perlahan Pendekar Kipas
Sakti merasakan dorongan tenaga yang han-
gat menembus kulitnya. Bahkan masuk ke
dalam dagingnya!
Sekarang nafasnya sudah agak normal,
tidak sesesak tadi. Dia meminta maaf pada
Madewa akan tindakannya yang ceroboh ta-
di.
Lalu dia bersama dengan Datuk Sakti
dan Dewi Maut, segera pergi menuju Kota
Raja, menjaga ketentraman di sana.
Sementara itu, Paksi Uludara tengah
memberikan wanti-wantinya kepada murid
utamanya Jayalaksa, agar selama dia per-
gi, memimpin perguruan dengan baik.
Lalu bersama Madewa Gumilang keduanya
beranjak meninggalkan lereng bukit yang
indah. Paksi Uludara tidak memakai pa-
kaian kebesarannya dan topeng hitamnya,
dia hanya membawa pedang pusakanya saja.
Malam mulai turun, menyelimuti lereng
bukit yang indah itu.
***
SEMBILAN
Jauh dari lereng bukit itu, di dekat
hutan yang sangat lebat, terdapat sebuah
gua. Tempat di sekitar itu sunyi dan di
gua itu merupakan tempat tinggal Dewi
Cantik Penyebar Maut alias Nindia dan
anak buahnya.
Di sudut dari gua itu terlihat seo-
rang wanita lesu dalam keadaan terikat.
Kedua tangannya terikat di dua batang
bambu. Begitu pula dengan kakinya. Wajah
wanita itu pucat. Tubuhnya lemah. Rambut-
nya pun acak-acakan.
Tak jauh dari sana, seorang bocah la-
ki-laki tertidur dalam keadaan terikat
pula. Bocah itu pulas sekali. Wajahnya
pun pucat. Tubuhnya pun lemah. Tetapi dia
tidak merasakan hal itu karena tertidur.
Mereka adalah Ratih Ningrum dan Pra-
nata Kumala yang diculik oleh orang-orang
Dewi Cantik Penyebar Maut yang menyamar
sebagai perguruan Topeng Hitam. Benar du-
gaan Datuk Sakti Berjubah Putih, senjata
rahasia topeng hitam itu hanya untuk
mengalihkan penculikan orang-orang itu.
Dewi Cantik Penyebar Maut benar-benar
hebat, hampir saja orang-orang rimba per-
silatan saling bentrok karena salah pa-
ham. Saat itu pun beberapa orang muridnya
sedang mengacau di Kota Raja. Mereka ada-
lah Mawar merah, Puspa merah dan Pinus
merah. Sedangkan Melati Merah menemaninya
di gua. Dan Dahlia merah tengah melaksa-
nakan tugas rahasia untuk Tuan Abinda-
manyu!
Wajah Ratih Ningrum terbuka, sayu.
Matanya kelihatan masih mengantuk. Dia
terkejut mendapati dirinya dalam keadaan
terikat. Entah berapa hari dia pingsan
akibat mencium bau harum yang ternyata
obat bius. Menurut Ratih Ningrum, dia be-
rada di tempat orang-orang bertopeng hi-
tam itu. Dan orang-orang itu yang mena-
wannya.
Hhh, orang-orang pengecut. Beraninya
keroyokan dan memakai obat bius!
Tiba-tiba kepalanya mendongak. Ma-
tanya menatap tak percaya sosok tubuh
yang tahu-tahu berdiri di hadapannya.
Seorang wanita cantik berpakaian merah.
Betapa cantiknya!
Wanita itu tersenyum. Senyumnya pun
manis dan mengandung sesuatu yang menge-
rikan. Ratih Ningrum merasakannya. Entah
kenapa dia agak bergidik melihatnya.
"Selamat datang di tempatku... Ratih
Ningrum," kata wanita itu dengan senyum-
nya yang tetap dirasakan mengerikan oleh
Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum menantang tatapan wani-
ta itu.
"Hhh! Rupanya orang yang mengeroyokku
bukan dari perguruan Topeng Hitam! Pergu-
ruan Topeng Hitam tidak menerima murid
seorang wanita, juga tak ada guru wani-
ta!"
Wanita cantik itu terbahak.
"Kau pintar juga rupanya, Ratih Nin-
grum. Terus terang, memang bukan orang-
orang Topeng Hitam yang menyerangmu...."
"Hhh! Kalau begitu, siapa kalian?"
bentak Ratih Ningrum, geram. Keletihannya
kini sudah tidak nampak lagi.
Wanita itu terbahak lagi. Masih tetap
tenang menghadapi Ratih Ningrum yang ten-
gah marah.
"Rupanya kau belum mengenal orang
yang menyebarkan teror akhir-akhir ini.
Nah, dengar baik-baik, Ratih Ningrum.
Akulah yang diberi julukan.. Dewi Cantik
Penyebar Maut!"
Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-
tih Ningrum terbelalak. Mulutnya mengan-
ga. Inikah wanita iblis itu? Kalau dili-
hat sekilas, tak ada tanda-tanda jahat di
wajahnya yang cantik itu. Tetapi hatinya,
pastilah sangat busuk!
"Jadi kaulah orang yang bergelar Dewi
Cantik Penyebar Maut, tak kusangka sede-
mikian cantiknya kau. Dewi sesat... kau
adalah seorang wanita yang berilmu ting-
gi, bukankah kau lebih baik menjadi
orang-orang golongan putih daripada jadi
golongan sesat? Kau telah menteror bebe-
rapa buah desa bersama anak buahmu. Kau
punya keinginan untuk menggulingkan Raja!
Sungguh busuk hatimu, Dewi!"
"Bangsat hina!" Dewi sesat itu meng-
geram dan menempeleng pipi Ratih Ningrum
hingga berdarah.
Kepala Ratih Ningrum langsung mene-
gak. Matanya memancarkan kegusaran yang
tidak biasa.
"Kalau kau memang hebat, buka ikatan-
ku! Kita bertanding!" geramnya marah.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan
orang yang bergelar menakutkan itu!!"
"Ratih Ningrum.... membunuhmu semudah
dengan membalikkan tangan. Tanpa bergerak
pun aku mampu membunuhmu. Dan sebelum
ajalmu, aku ingin bercerita sedikit ten-
tang siapa aku...."
"Bah! Aku muak denganmu!"
"Setan!" dewi sesat itu menempeleng
kepala Ratih Ningrum kembali. "Kau den-
garkan saja, tak perlu banyak komentar!
Kau masih ingat, ketika seorang pemu-
da bernama Madewa Gumilang atau suamimu
itu menyelamatkan seorang gadis bernama
Nindia dari tangan Wirapati? Kau tentu
ingat. Sejak bertemu dengan suamimu, ga-
dis itu telah jatuh cinta padanya. Siang
malam dia selalu terbayang wajah Madewa.
Sampai gadis itu diculik oleh Wirapa-
ti. Dan Madewa menemukannya bersama seo-
rang pemuda bernama Adi Permana. Betapa
senangnya gadis itu bertemu dengan pujaan
yang diimpikannya siang dan malam.
Tetapi malang tak dapat ditolak, un-
tung tak dapat diraih, rupanya pemuda
yang bernama Adi Permana itu adalah seo-
rang wanita yang menyamar.
Dan wanita itu adalah kau, Ratih Nin-
grum! Yang ternyata kekasih Madewa sejak
lama. Kau tahu Ratih, bagaimana hancurnya
perasaan gadis yang bernama Nindia itu.
Dia tidak bisa menolak semua kenyataan
yang ada. Hatinya terluka. Semua angan
dan harapannya hancur gara-gara kau, Ra-
tih!
Dengan membawa luka hati yang dalam,
gadis itu bersumpah, tidak akan membiar-
kan Madewa Gumilang hidup bersamamu. Kau
pun harus merasakan semua kepedihan dan
luka yang dihadapinya.
Dan entah kebetulan entah tidak, seo-
rang kakek sakti memungutnya dan menggem-
blengnya pelajaran silat di puncak gunung
Muria. Walaupun belum selesai, gadis itu
sudah turun gunung, sudah tak tahan me-
mendam perasaan rindu dan dendamnya kepa
da Madewa.
Mulailah dia melakukan teror dan men-
cari anak buah, sampai dia dijuluki den-
gan sebutan Dewi Cantik Penyebar Maut!
Dan dewi cantik Itu, setiap saat selalu
teringat kepada Madewa dan dendamnya ke-
pada istri Madewa, yang dirasakan sebagai
saingan dalam merebut hati Madewa! Kein-
ginan membunuhnya semakin besar.
Hari ini semua itu akan terlaksana,
istri Madewa berada dalam cengkeraman ga-
dis itu...."
"Kau?" potong Ratih Ningrum terkejut.
Tatapannya terbelalak.
"Yah... akulah gadis yang hatinya
terluka itu. Nindia...."
Ratih Ningrum merasakan dadanya ber-
debar, ingatannya beralih pada kira-kira
lima tahun yang silam. Di mana dia menya-
mar sebagai Adi Permana bersama Madewa
yang saat itu belum menjadi suaminya me-
nyelamatkan Nindia dari tangan Wirapati.
Dan gadis itu ternyata memendam cinta
yang amat dalam pada suaminya hingga tak
mampu melupakannya. Setiap saat dia sela-
lu teringat pada pemuda itu. Dan di lain
waktu dia ingin membunuhnya. Juga istri
pemuda itu!
Wajah Ratih Ningrum mendadak memucat.
Jadi Dewi sesat yang bergelar Dewi Cantik
Penyebar Maut, adalah gadis yang sejak
lama dikenalnya! Nindia, putri Abinda
manyu! Dan sekarang siap membunuhnya. Te-
tapi Ratih Ningrum menyembunyikan kekua-
tiran nya. Dalam keadaan terikat begini,
Nindia mampu membunuhnya dengan sekali
pukul.
"Jadi kau rupanya, gadis yang disela-
matkan suamiku dulu," katanya dengan sua-
ra yang be-wibawa. Tatapannya mengejek
memperhatikan sekujur tubuh Nindia. "Hhh!
Sudah hebat rupanya kau, sampai berani
membuat teror yang menakutkan! Dan berge-
lar yang mengerikan!"
Nindia terkekeh. Tawanya mengerikan.
Setiap saat mampu mengundang maut. "Itu-
lah aku, Ratih Ningrum...."
"Bah! Kau merupakan iblis betina yang
kejam. Aku tidak mengerti dengan tingkah-
mu, Nindia! Untuk apa kau culik pemuda
dan bayi-bayi?"
Nindia menghentikan tawanya. Suaranya
seram, "Kau tahu, para pemuda itu untuk
kubunuh, agar tidak menjadi hidung belang
macam suamimu. Dan bayi-bayi itu, aku pun
membunuhi mereka. Aku senang melihat da-
rah dan tangis mereka...."
Seketika Ratih Ningrum melirik pu-
tranya yang masih pulas tidur. Jelas ti-
dak mungkin Nindia tidak melakukan hal
yang sama terhadap Pranata Kumala. Oh,
tidak! Jika itu sampai dilakukannya, dia
bersumpah akan menghirup darah Nindia!
Tahu-tahu Nindia terkekeh lagi.
"He... he... sebentar lagi itu akan kula-
kukan pada putramu, Ratih. Kau boleh sak-
sikan, bagaimana tangis dan darah anakmu!
Tentu sangat sedap didengar telinga!"
"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu
pada anakku!" seru Ratih Ningrum antara
ketakutan dan marah. "Ingat Nindia, ke
mana pun kau pergi akan kucari kalau kau
berani melakukannya!"
"He... he... suatu hal yang tak mung-
kin. Karena setelah anakmu kubunuh, ganti
kau yang kubunuh!"
"Kau?!" Ratih Ningrum membelalak gu-
sar. Dan membentak, "Lepaskan ikatanku
lepaskan! Kita bertanding secara kesa-
tria!"
"Untuk apa aku susah payah melepaskan
ikatanmu? Toh aku mudah membunuhmu...."
"Pengecut! Ternyata gelar Dewi Cantik
Penyebar Maut hanyalah seorang iblis yang
pengecut?"
"Bangsat!" Nindia melayangkan tangan-
nya. Lagi Ratih Ningrum ditamparnya. Kali
ini pipi itu memerah sekali. Dan amat sa-
kit dirasakan Ratih Ningrum. Tetapi itu
semakin membuatnya gusar. Matanya melotot
marah.
"Kau benar-benar pengecut! Kau hanya
berani menamparku dalam keadaan terikat!"
Mata Nindia memancarkan sorot yang
menakutkan. Ratih Ningrum tidak takut.
Dia balas menentang tatapan itu. Dia ber
harap, Nindia melupakan persoalan pu-
tranya.
Tahu-tahu Nindia berbalik dan mengi-
baskan tangannya kebelakang.
Siingg!
Selarik sinar merah melesat dari ke-
lima jarinya. Dan menghantam dinding gua
hingga menimbulkan suara ledakan. Dan
dinding itu hancur berantakan.
Diam-diam Ratih Ningrum ngeri meli-
hatnya. Tetapi dia tetap tenang sambil
menahan debar kengeriannya.
Nindia berbalik lagi.
"Tak sulit membunuhmu!" desisnya ang-
ker.
Lalu meninggalkan tempat itu dengan
kekehnya yang menakutkan.
Ratih Ningrum menghela nafas panjang,
agak lega. Nindia sekarang bukanlah Nin-
dia yang dulu. Nindia sekarang telah tum-
buh menjadi seorang wanita yang ganas dan
kejam, dan telengas menurunkan tangan.
Cinta memang membuat orang jadi mabuk
kepayang dan kadang kelabakan. Semua tak
ada yang bisa mengubah cinta itu kecuali
orang itu sendiri. Dan Nindia tidak bisa
merubahnya.
Dia tetap memendam cinta itu pada Ma-
dewa yang kini menjadi suami Ratih Nin-
grum. Dan karena cinta dia membuat petaka
berdarah ini, yang selalu memakan nyawa
manusia.
Kata orang, cinta mengalahkan segala-
galanya. Dan kini terbukti, cinta menghi-
langkan cinta wanita Nindia Wanita yang
lemah lembut dan selalu menangis, kini
menjelma menjadi wanita yang menggegerkan
seisi rimba persilatan. Wanita yang men-
jadi momok bagi siapa saja!
Tak terkecuali diri dan suaminya!
Entah kapan semua itu akan berakhir.
Hanya yang Kuasa yang tahu. Tetapi Nindia
semakin seenaknya menjalankan terornya
tanpa ada berani yang menentang.
Di mana orang-orang golongan putih?
Mengapa mereka hanya berdiam saja? Belum
lagi kalau nanti muncul orang-orang go-
longan hitam yang membantu Nindia. Sema-
kin kacau tentu dirasakan!
Dan semakin sulit dibasminya! Ratih
Ningrum pun bertanya-tanya di mana sua-
minya berada sekarang. Mungkinkah dia ke
perguruan Topeng Hitam? Entah kenapa Ra-
tih Ningrum yakin suaminya akan ke sana.
Pasti orang-orang yang menyergapnya waktu
itu meninggalkan jejak. Dan menginginkan
terjadinya salah paham antara suaminya
dan orang-orang Topeng Hitam.
Siasat adu domba yang memecahkan!
Atau juga saat ini suaminya sudah di-
hadapkan kepada Raja akibat tuduhan ingin
memberontak.
Ratih Ningrum menjadi pusing sendiri.
la melirik putranya masih tertidur.
Betapa nyenyaknya Pranata tidur, dan ti-
dak tahu kalau maut setiap saat akan da-
tang.
* * *
SEPULUH
Malam merambat dengan perlahan. Awan
gelap menyelimuti bumi. Bertanda sebentar
lagi akan turun hujan. Angin besar seka-
li, menderu-deru. Dan menusuk kulit. Sua-
sana hening dan dingin. Mencekam.
Perasaan seperti itu pun dirasakan
oleh Bupati Wrahatnala. Dia merasa sulit
untuk memejamkan matanya. Berkali-kali
dia mencoba tidur tetapi mata itu, tetap
tak mau terpejam.
Dia merasakan sekujur tubuhnya berke-
ringat. Ada ketegangan yang merayap per-
lahan, entah apa.
Diliriknya istrinya yang bernama Se-
kar Jingga yang tidur di sisinya. Wajah
Sekar Jingga cantik. Dan selalu terse-
nyum. Dalam tidurnya pun dia tersenyum.
Walaupun Wrahatnala seorang bupati,
sampai saat ini dia tidak punya istri se-
lain Sekar Jingga. Juga tidak punya se-
lir! Dia memiliki dua orang putra. Tetapi
saat ini keduanya tidak berada di antara
mereka. Keduanya tengah berguru pada tem-
pat yang berlain. Yang pertama di pegu-
nungan Lawu. Sedangkan yang satunya, di
dataran Pantai Selatan.
Dan lagi-lagi Wrahatnala merasakan
ketegangan itu. Tahu-tahu ia bangkit. Ke-
luar dari kamarnya. Dua orang pengawal
yang menjaga di depan kamarnya berbalik
dan salah seorang bertanya, "Ada apa ge-
rangan tuanku Bupati keluar dari pera-
duan?"
"Aku tidak tahu perasaanku tidak enak
saja," kata Bupati seraya duduk di dekat
jendela. Menatap dua pengawal yang menja-
ga didepan kamarnya.
"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan
yang menyusahkan Paduka?"
"Aku sendiri tidak tahu. Aku merasa-
kan sesuatu yang mengerikan akan menimpa
kita. Surya, tolong kau panggil orang-
orang pilihan istana. Aku ingin berbin-
cang-bincang dengan mereka."
Nah, sampai disini tentu anda masih
penasaran. Silakan anda simak episode be-
rikut :
"Keris Naga Merah"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar