..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 17 Desember 2024

KISAH HOROR EPISODE PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI

PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI

ABDULLAH HARAHAP

PENGHUNI LEMBAH GAYAGIRI

CITRA BARU

JAKARTA


Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita 
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka. 
Cerita ini adalah fiktif.
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI 
Karya Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh. Citra Baru, Jakarta
Cover oleh Deddy S.
Cetakan pertama 1993 
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Citra Baru 
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk 
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

SATU
NASIB sial agaknya belum puas-puas 
mengangkangi Antonius Suhandinata
Menyusul pemutasian seorang pejabat teras di 
perum telekomunikasi, tadi Antonius menerima surat 
pemberitahuan resmi bahwa perusahaannya telah 
dicoret dari daftar rekanan. Belum juga lenyap pening 
di kepala, sore harinya datang lagi kabar buruk lain. 
Rahadi, orang kepercayaannya yang ia tugasi 
mengawasi pembangunan sebuah gedung 
perkantoran milik pemerintah daerah setempat, 
menginterlokal dari Bogor dengan suara panik : “Tim 
pemeriksa dari inspektorat wilayah baru saja 
meninggalkan proyek. Mereka muncul untuk inpeksi 
mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya dari 
pak Manan sehingga kami tidak siap...”
Antonius langsung dapat menebak hasil akhir 
inspeksi mendadak itu, beberapa bagian konstruksi 
bangunan ternyata tidak sesuai bestek, harus 
dilakukan pembongkaran segera lalu pembangunan 
ulang, dan…
Dan, anak muda perlente yang diboyong 
Antonius dari sebuah club malam ke sebuah kamar
hotel ternyata hanya hebat lagaknya saja. Di atas 
tempat tidur anak muda itu tidak ada apa apanya. 
Lebih banyak diam Bersikap pasip, Menunggu. Kurang 
ajarnya lagi, baru juga Antonius masuk si anak muda 
tahu-tahu muntah berat. Birahi Antonius pun langsung 
terbunuh seketika.
Sambil menarik diri dari pantat si pemuda 
Antonius mengomel kesal “Tadi katanya suka dan 
ingin. Tetapi sekarang!”
Dengan wajah pucat, anak muda itu bergumam 
gemetar dan memelas. “Maaf Om, Sudah ketiga kali 
aku melakukan ini... namun masih saja aku tidak 
mampu menahan perasaan mual.”
“Brengsek! Rupanya kau mencari duit di tempat 
yang salah!”
“Apa boleh buat Om,'' sahut si anak muda lirih 
“Semenjak kecil uang jajanku sudah terbiasa 
berlebihan. Tetapi setelah usaha papa bangkrut dan 
mama kemudian minta cerai...”
Meski kesal alang kepalang, terpaksa juga 
Antonius merogo isi dompet, la ambil lima lembar 
uang kertas lima puluh ribuan yang kemudian ia 
sodorkan ke tangan gembel intelek yang salah jalan itu
Si anak muda menatap ragu ragu. “Tetapi Om 
belum...”
Antonius mendengus tak senang.
“Bagaimana itu ku bisa muntah, kalau mulutmu 
sudah muntah duluan?”
Si anak muda buru-buru mengantongi bayarannya 
sambii berujar polos. “Biar aku muntah-muntah, dua 
orang lain sebelum Om tetap jalan terus!”
Menyeringai malu-malu sejenak, ia kemudian 
menambahkan dengan suara tulus “Bila lain kali Om 
menginginkan aku lagi…”
“Tidak ada lain kali untukmu. Enyahlah!”
*
* *
Masih kesal oleh nasib sial yang datang 
beruntun itu, Antonius memacu mobilnya di jalanan 
kota Bandung yang bertambah malam bertambah sepi 
dan lengang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, 
sakit. Urusan bisnis yang mendadak kacau mungkin 
kelak dapat teratasi setelah pikirannya lebih tenang.
Tetapi bagaimana pikiran bisa tenang, bila birahi terus 
dipendam. Tak tersalurkan?
Berbulan-bulan sudah Antonius berusaha 
mengekang kejantanannya yang terus saja meletup-
letup. Semenjak Boy memutuskan hubungan mereka. 
Antonius belum tertarik untuk mencari pengganti, la 
hanya menginginkan Boy seorang. Sampai kapan pun 
ia akan tetap mencintai Boy, sebagaimana ia merasa 
yakin bahwa Boy pun masih mencintainya. Dan 
berharap suatu hari kelak Boy berubah pikiran, tidak 
jadi meninggalkan dunia gay. Lantas menelepon. 
Tanpa kau, hidupku tak punya arti. Aku merindukan
mu...!”
Bila saat itu tiba. Antonius berjanji pada diri 
sendiri, ia akan mengakui terus terang apa yang telah 
diperbuatnya malam ini. “Aku tidak bermaksud 
mengkhianati cinta kita. Apa yang kuperbuat semata-
mata karena tergerak oleh pikiran kacau akibat 
goncangan bisnis yang kuhadapi. Untungnya pemuda 
itu keburu muntah pula...”
Antonius yakin betul, Boy akan memahami 
lantas memaafkan. Kemudian Boy akan naik ke 
tempat tidur. Dan seperti biasa, rebah dengan gerakan 
gemulai. Sambil mengundang dengan suara manja.
“Cintailah aku kekasih. Hancur-luluhkan aku dengan 
kejantananmu yang menakjubkan itu!”
Lamunan itu menghidupkan kembali birahi 
Antonius yang di hotel tadi sempat mati. Kejantanan
nya terlonjak. Sedemikian hebat, sehingga sekujur 
tubuhnya ikut mengejang. Tak tahan. Tanpa sadar, 
dari mulutnya terlontar geraman gemetar. 
“Aku harus mengunjungi Boy malam ini juga. 
Akan kubujuk dia supaya mau bermain cinta, walau 
hanya sekali ini saja. Bila perlu, ia akan kuperkosa. 
Setelah menikmati tubuh hangatnya yang indah... 
mati pun aku rela!”
Di tengah lonjakan birahinya, Antonius masih 
cukup sadar untuk mengurangi kecepatan mobil, 
ketika dari kejauhan ia lihat lampu setopan di 
perempatan Sukajadi-Karangsari searah jalannya, 
menyala merah. Main terobos sih boleh-boleh saja. 
Tetapi tidak ada salahnya bertindak hati-hati. 
Yakinkan dulu bahwa lalu-lintas dari samping kiri 
kanan cukup aman untuk mencuri jalan.
Baru setelah mobilnya benar-benar berhenti,
Antonius menyadari kehadiran seseorang di sebelah 
luar mobil. Orang itu berpakaian warna gelap dan 
mukanya tertutup topeng aneh bahkan tampak
mengerikan. Seraya bergerak meninggalkan tempat
nya berdiri, laki laki misterius itu mendekati mobil 
tanpa ragu-ragu. Salah satu tangannya diangkat, 
memperlihatkan sejumlah topeng kain yang ia jinjing.
Herannya, sedikit pun Antonius tidak dihinggapi
perasaan kuatir, apalagi takut. Cukup sekilas pandang, 
ia sudah menyadari bahwa ia tengah berhadapan 
dengan seorang penjual topeng. Meski akal sehatnya 
sempat mengingatkan bahwa orang itu memilih 
tempat dan waktu yang tidak lazim menjajakan barang 
dagangannya, entah mengapa tergerak juga hati 
Antonius menurunkan kaca jendela mobil di 
sebelahnya, setelah laki-laki itu mengetuk-ngetuk dari 
sebelah luar.
“Silakan Om pilih mana suka!” terdengar suara 
bernada ganjil. “Muka beruk, muka macan, muka 
tikus. Lumayan untuk menakut-nakuti bini di rumah, 
atau dipakai buat pesta!”
Ah, ya. Pesta. Mengapa tidak? Bukankah 
pertemuan pertamanya dengan Boy berlangsung 
dalam pesta topeng tahunan yang dilangsungkan oleh 
kelompok tetap mereka? Mengunjungi Boy tersayang 
pada dinihari sekarang ini dengan mengenakan 
topeng, pasti akan merupakan sebuah nostalgia.
Barangkali saja hati nurani kekasihnya tercinta akan 
tergugah, dan…
Antonius menaksir topeng-topeng yang disodor
kan ke jendela mobil yang terbuka menganga. 
Sungguh topeng-topeng aneh Karena kesemuanya 
tampak seperti bersinar-sinar Sehingga dalam 
kegelapan, bentuk dari masing-masing topeng tetap 
terlihat dengan jelas. Barangkali memang itulah sebab
nya mengapa si penjual beroperasi malam hari. Agar 
keistimewaan barang dagangannya tampak dengan 
nyata.
“Bagaimana Om?” suara ganjil itu menyadarkan 
Antonius. Suara lirih dan terdengar sayup. Seolah-olah 
datang dari jauh.
Mungkin ada gangguan pada tenggorokannya, 
pikir Antonius seraya tengadah untuk mengawasi 
topeng yang menutupi wajah si penjual. Dan apa yang 
ia saksikan, benar-benar sebuah topeng yang sangat 
menakjubkan. Selain berwarna hijau mencolok, kulit 
muka topeng tampak kesat, bersisik-sisik kasar: Lebih 
menakjubkan lagi, adalah sepasang mata. Didominasi 
warna kuning, titik mata topeng berwarna merah 
darah, sinar merah darah itu berdaya pukau luar biasa
pula. Selama sepersekian detik, denyutan jantung 
Antonius sempat terhenti karenanya.
Antonius menahan nafas. Selain pemunculan 
Antonius yang di luar dugaan, topeng hebat itu 
pastilah akan sangat mengejutkan kekasihnya. 
Berharap saja Boy lantas jatuh pingsan, sehingga 
Antonius memperoleh kesempatan mengangkat 
tubuh sang kekasih ke dalam kamar. Dan sebelum Boy 
siuman, Antonius sudah keburu 'masuk'. Ah, ah!
Antonius pun cepat-cepat memutuskan. “Aku 
pilih yang kau pakai saja. Yang itu benar-benar muka 
setan!”
“Ini milik pribadi, Om tidak untuk diperjual 
belikan...” suara mirip bisikan itu berlagak jual mahal.
Antonius memaksa. “Aku mau yang itu saja. 
Berapa pun harganya akan kubayar!”
“Jika itu keputusan Om, baiklah...,” si penjual 
topeng menyerah. la kemudian meluruskan tegaknya, 
sehingga ketika ia tanggalkan wajah palsu nya. 
Antonius tidak dapat melihat. Topengnya, dibuka 
tidak dengan cara yang umum: melepas pengait atau 
tali karet pengikat Melainkan dibuka dengan cara 
seperti merobek. Dimulai dari bawah dagu, sampai 
seluruhnya melepas hingga ke tepi bawah rambu
Dan, di bekas topeng itu tadinya melekat, tidak 
tampak apapun juga!
Tidak ada wajah. Apakah itu wajah perempuan, 
atau wajah laki-laki. Persisnya, dari rambut sampai ke 
batang leher, yang tampak hanyalah ruang kosong dan 
hitam, sehitam malam di sekitar.
*
* *
Antonius yang menunggu tak sabar, akhirnya 
mendapatkan topeng yang ia inginkan, la tidak merasa 
perlu menyalakan lampu dalam mobil, sebab sinar 
pada wajah topeng sudah cukup untuk memperlihat
kan wujutnya yang mendebarkan jantung. Meraba-
raba sebentar. Antonius lantas nyeletuk heran. “Kok 
tidak ada pengait telinga atau tali pengikat?”
Tetap berdiri tegak di luar mobil, si penjual 
memperdengarkan suara ganjilnya yang meyakinkan. 
“Namanya juga topeng langka, Om. la akan melekat 
bahkan menyatu sendiri dengan wajah Om. Bila tidak 
percaya, silahkan dicoba...”
Suatu dorongan gaib menghilangkan keragu-
raguan Antonius. Topeng misterius itu dengan hati-
hati ia tempelkan dan dipas-paskan ke wajahnya 
sendiri. Tanpa mengetahui bahwa dari ruang kosong 
di bagian kepala si penjual topeng di luar mobil, tiba-
tiba meliuk keluar sinar hijau yang aneh. Dan sinar 
hijau itu melesat sangat cepat. Untuk kemudian 
meliuk-liuk liar di sepanjang sisi topeng yang tengah 
dikenakan oleh Antonius.. Begitu kedua tangan 
Antonius turun dari wajah, sinar hijau misterius 
tersebut berhenti meliuk. Kemudian melenyap hilang 
ke arah dalam kepala Antonius.
“Hem!” Antonius mendengus senang. “Benar-
benar pas. Dan nyaman pula dipakai!”
Tak terdengar adanya komentar.
Antonius menoleh ke luar jendela mobil. Sambil 
menggumamkan tanya. “Berapa harga yang harus 
ku...”
Ucapannya terhenti sampai di situ.
Lantas dengan mulut ternganga dan mata
membelalak, Antonius menatap tidak percaya. Tidak 
ada sosok tubuh di luar jendela mobilnya. Belum 
yakin, ia memutarkan pandang ke kiri, ke muka, ke 
belakang lalu kembali ke arah semula. Sama saja. Tak
ada siapa-siapa. Yang ada hanya semilir angin kota 
Bandung yang dingin Serta suara sepi yang terasa 
mencekam. Antonius tersedak.
Pada saat itulah perasaan takut dengan tiba-
tiba menghinggapi dirinya. Tanpa berpikir panjang lagi 
dengan tangan serta kaki bergemetar, rem tangan 
mobil ia turunkan. Pedal kopling serta gas dioperasi
kan pada waktu bersamaan. Mobil itu pun seketika 
terlonjak ke depan dengan sentakan mengejutkan. 
Kemudian, tanpa memperdulikan apakah lampu 
setopan di arahnya menyala merah atau hijau, 
Antonius langsung tancap gas dan ngebut seperti 
orang kesurupan.
Baru setelah berkendara di jalan Setiabudi yang 
lalu lintasnya sedikit lebih hidup, perasaan takut 
Antonius mereda perlahan-lahan. Kecepatan mobil ia 
turunkan. Setelah mana ia putuskan berhenti sejenak 
untuk menenangkan deburan jantungnya yang 
menggila. Mobil ia parkir di antara sejumlah 
kendaraan lainnya di lokasi penjual jagung bakar yang 
berderet di satu sisi, serta warung-warung penjual 
makanan berderet di sisi berseberangan. Banyak 
manusia berkeliaran di sekitarnya. Ya para pedagang 
setempat, ya juga para pengunjung yang singgah 
untuk beristirahat seraya menikmati jagung bakar
atau jagung rebus dengan kombinasi minuman kopi 
panas yang mengundang selera.
Antonius sudah akan turun dan bergabung 
dengan para pengunjung lain di jongko terdekat, 
ketika teringat pada topeng yang barusan tadi ia 
kenakan pada wajahnya. Apakah topeng mengerikan 
itu benar-benar ada atau...
Harap-harap cemas, Antonius meraba-raba 
wajah sendiri. Tak ada topeng. Yang teraba, adalah 
wajah yang cukup ia kenal. Tetapi supaya lebih yakin, 
lampu dalam mobil dinyalakan juga. Letak kaca spion 
tengah ia atur sedemikian rupa, sehingga keseluruhan 
wajahnya terlihat dengan jelas. Memang benar. Tidak 
tampak adanya topeng. Yang tampak hanyalah wajah 
pucat dan tampak kusut serta lelah karena goncangan 
bathin.
Sewaktu turun dari mobil, Antonius toh masih 
diganggu oleh pikiran yang tidak menyenangkan. 
Apakah ketika berhenti di lampu setopan tadi ia 
sempat mengantuk lantas terlelap sekilas. Dan 
sewaktu terlelap itulah ia bermimpi ketemu hantu.
Atau semua itu adalah halusinasi yang dialaminya
secara sadar karena melamunkan hal yang bukan-
bukan? Akan tetapi, semua kejadian itu terasa begitu
nyata. Ada sosok berpakaian warna gelap. Ada suara 
ganjil mirip bisikan dari alam gaib. Tanya jawab yang 
begitu hidup dan teringat jelasi kata demi kata. Juga 
topeng-topeng misterius yang bersinar-sinar aneh 
dalam kegelapan...
Antonius duduk di bangku kosong jongko.
Lantas memesan segelas kopi dengan wajah masih 
pucat dan suara pun masih menggagap, gemetar.
*
* *
Mundur beberapa menit ke belakang, di 
perempatan jalan Sukajadi-Karangsari. Andaikata 
pada wantu mencari-cari dengan matanya ke sekitar 
mobil, Antonius tidak hanya memperhatikan pada 
ketinggian sejajar... tetapi juga memperhatikan ke 
sebelah bawah. Maka di luar pintu mobil, akan tampak 
olehnya pakaian berwarna gelap tertumpuk bersama 
sejumlah topeng mengerikan di permukaan jalanan 
aspal. Dari bawah tumpukan itu tampak merembes 
keluar cairan kental berwarna hijau redup namun 
bersinar-sina
Dan andaikata Antonius punya sedikit 
keberanian dan waktu untuk menunggu dan melihat. 
Akan tampak olehnya bagaimana genangan cairan 
hijau kental itu perlahan-lahan melenyap sirna. 
Disusul oleh pakaian dan topeng-topeng yang juga 
perlahan-lahan mengabur hilang. Lalu ketika lampu 
setopan kembali menyala merah dan sebuah mobil 
mewah lainnya kemudian berhenti di tempat mana 
sebelumnya Antonius berhenti, di permukaan jalan 
tak tampak apapun lagi. Kecuali warna hitam aspal 
yang sedikit kecoklat-coklatan karena resapan debu 
yang terus berproses dari waktu ke waktu.
Sambil menunggu lampu setopan menyala 
hijau, si pengemudi mobil mewah malah sempat 
berciuman dengan perempuan yang duduk 
menyandar rapat ke bahunya.
Tanpa ada gangguan sedikit pun.
Dan si penjual topeng setan. Yang sudah 
menghilang entah ke mana.
*
* *
DUA
DI DAERAH perbukitan Jayagiri, Lembang, 
Ronald ‘Boy’ Palgunadi menggeliat bangun dengan 
nafas tersengal-sengal. Tangannya menggapai ke 
tombol lampu kaca di samping tempat tidur yang 
kemudian ia putar sampai ke batas maksimum. 
Cahaya yang semula redup, dengan cepat telah 
berubah menjadi terang benderang.
Ronald lantas mengawasi sekitarnya, dengan 
pandangan liar. Tak ada siapa-siapa di dalam kamar 
yang ia tempati, kecuali dirinya sendiri. Untuk 
beberapa saat lamanya Ronald duduk diam-diam, 
menenangkan diri. Apa sebenarnya yang barusan ia 
alami? Halusinasi dari keinginan-keinginan yang sudah 
lama dikubur dengan paksa? Ataukah hanya sekedar 
mimpi belaka?
Tetapi kehadiran Antonius terasa begitu sangat 
jelas dan nyata. Suaranya. Sentuhan-sentuhan. 
Bahkan tubuhnya yang kenyal serta kokoh sebagai 
mantan atlit binaraga, muncul begitu utuh dan 
menantang pula. Terutama pada bagian-bagian 
tertentu, yang dengan dahsyatnya membangkitkan 
nafsu seksuil Ronald. Dan ketika Ronald nyaris
mencapai orgasme, semuanya tahu-tahu melenyap. 
Hilang begitu saja. Digantikan oleh hawa sejuk 
pegunungan yang dingin menusuk, Ronald pun 
terbangun. Dengan lonjakan birahi yang tertahan tiba-
tiba gagal terlampiaskan!
Gemetar Ronald meluncur turun dari tempat 
tidur. Dengan langkah tersuruk-suruk ia pergi ke ruang 
duduk. Sesuatu harus dilakukan, sebelum kepalanya 
menjadi sakit berlarut-larut dalam tekanan hasrat 
seksuil yang tidak terkendalikan.
Setelah mengangkat gagang telepon, bathin 
Ronald sempat berperang. Nomor telepon siapa 
sebaiknya yang ia putar? Antonius, atau... Setelah
melalui perjuangan yang berat dan keras sehingga 
pelipis Ronald sampai berpeluh, dial telepon akhirnya 
ia putar juga, angka demi angka. Dan begitu telepon di 
seberang sana terdengar diangkat oleh seseorang 
tanpa salam pendahuluan dan tanpa ragu-ragu Ronald 
langsung berbicara. “Hasrat terkutuk itu datang lagi, 
Maria!”
“Oh kau Ronald,” terdengar suara mengantuk 
seorang perempuan. Helaan nafas sebentar. Lalu 
disusul suara tertahan. “Hasrat yang mana?”
“Yang lama!”
”Oh!”
“Aku takut, Maria.”
”Takut apa?”
“Tergoda untuk mengulanginya kembali. 
Panggilannya begitu kuat...” Dan itu memang 
sebenarnya. Di balik kimono tidurnya, kejantanan 
Ronald masih tetap tegak. Menunggu.
Sepi sebentar. Helaan nafas lagi. Berat dan 
panjang. Lantas, “Ronald?”
“Aku masih di sini.”
“Tunggulah barang satu jam. Aku akan ke sana 
untuk... membicarakannya!”
“Memang itulah yang sangat kubutuhkan saat 
ini, desah Ronald, polos. “Seorang teman berbicara!”
“Seorang teman... ah, sudahlah! Jangan pergi 
kemana-mana, kumohon!”
“Tidak akan!” Ronald berjanji.
“Dan, Ronald...”
“Ya?”
“Sementara menunggu, kabulkanlah satu 
permintaanku...”
“Katakan saja.”
“Jangan merusak apa yang telah aku bangun 
dengan susah payah. Memikirkan saja pun, jangan!”
Ronald menyeringai. Kecut. “Setidak-tidaknya 
aku telah meneleponmu. Bukan dia!”
“Itu sebuah permulaan yang baik. Sampai nanti, 
Ronald!”
“Kutunggu...”
Usai percakapan di telepon, Ronald masih 
termangu-mangu di tempatnya berdiri. Maria telah 
berkata: jangan merusak apa yang telah kau bangun. 
Bukan: yang telah kita bangun. Padahal Maria ikut 
berperan dalam therapi yang dijalani Ronald. Malah 
Maria sudah bergerak dan bertindak jebih jauh dari 
rencana semula. Dengan hasil positip yang Ronald 
sendiri tidak pernah mengimpikannya. Jelas Maria 
tidak hanya sekedar meminta. Gadis itu bermaksud 
memperingatkan, seberapa besar pun juga peranan 
yang diambil Maria, hasil akhir tetap tergantung di 
tangan Ronald sendiri: seberapa besar tekad dan 
usahanya untuk berubah.
Atau sebagaimana yang pernah dikatakan 
dokter Rinaldi, psikiater yang menangani kasus 
Ronald. “Maria itu umpama sebongkah batu di tengah 
sungai. Sewaktu-waktu dapat saja tenggelam bahkan 
tersingkir tak punya arti. Karena ia hanya sekedar 
berfungsi sebagai penahan arus. Bukan untuk 
menghentikannya!”
Ronald menghela nafas panjang lalu pergi ke 
bar di salah satu sudut ruang duduk, la jangkau sebotol 
brendi dari rak. Satu dua sloki minuman keras 
barangkali akan mampu menolongnya melepaskan 
diri dari dorongan rindu yang begitu kuat untuk 
bertemu lalu bercinta dengan Antonius. Tetapi 
sewaktu akan menenggak isi sloki yang pertama, 
mendadak terngiang apa yang pernah diucapkan 
Maria. “Minuman keras memang tempat pelarian 
yang termudah. Aku sendiri pun terkadang masih 
membutuhkan. Boleh-boleh saja. Tidak ada yang 
melarang. Karena persoalan yang kau hadapi bukanlah 
apa yang kau minum. Melainkan, apa yang kau 
pikirkan!”
Menimbang-nimbang sejenak, Ronald 
kemudian menuang isi sloki ke wasthafel. Botol brendi 
ia simpan kembali ke tempat semula. Lalu ia sambar 
sebuah gelas kosong dari tempat persediaan air
mineral yang dilengkapi mesin pengatur suhu. Tombol 
mesin ia tekan tanpa main pilih. Yang ngucur ke dalam 
gelas adalah air sedingin es. Tetapi Ronald tidak 
perduli meski cuaca sekitarnya terasa semakin dingin, 
membeku. Malah isi gelas ia habiskan sekali tenggak. 
Ternyata ia tidak sampai terbatuk atau menggigil.
Ronald mengisi gelasnya lagi, kemudian 
berjalan mendekati tungku pendiangan. Dengan 
pikiran masih tetap gundah, sisa bara menyala di 
dalam tungku ia korek pakai pencungkil besi. Setelah 
menyusun puntung-puntung kayu yang masih ada, ia 
tiup bara dengan mempergunakan pipa yang tersedia. 
Begitu api menyala, ia tambahkan ke tumpukan itu 
sebongkah besar kayu bakar yang masih baru. Lalu 
duduk di sofa. Menunggu.
Satu jam, kata Maria. Satu jam seorang wanita 
dapat berarti dua atau tiga jam, bahkan lebih. Tetapi 
tak apa. Ronald akan menunggu dengan sabar. Bukan 
semata-mata demi kebaikan dirinya sendiri Tetapi 
lebih-lebih untuk menebus dosanya pada keluarga 
Benny, si jenius yang malang...
*
* *
Bagaimana tidak!
Semenjak di sekolah dasar, Benny selalu 
menempati ranking pertama. Lulus dari sekolah dasar, 
Ronald dan Benny melanjutkan pelajaran di SMP yang 
terpisah cukup jauh. Tetapi memasuki bangku SMA, 
mereka kembali satu sekolah, meski berpisah kelas 
dan... lagi-lagi Benny selalu menempati ranking 
pertama. Sehingga tidaklah mengherankan bila kepala 
sekolah pernah memuji Benny sebagai generasi 
harapan di masa depan.
Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna.
Termasuk Benny.
la seorang penderita odipoes-complex. Yang 
mencintai dan menghormati ibunya sedemikian rupa, 
sehingga menjadikan ibunya itu sebagai idola. Entah 
berapa kali sudah Benny jatuh cinta pada gadis-gadis 
yang bahkan satu dua di antaranya mengejar Benny 
setengah mati. Namun semua percintaan itu selalu 
kandas di tengah jalan.
Kendalanya sering-sering malah kedengaran 
sederhana saja. “Rohani memang cantik,” kata Benny. 
“Tetapi caranya tertawa sangat kontras dengan 
mama!”
Atau: “Ida memang lembut. Tetapi lihatlah 
lenggangnya ketika berjalan. Tidak seperti mama...”
Dan: “Benar bibir serta hidung Netty persis 
hidung serta bibir mama. Tetapi alis matanya...”
Pernah Ronald mengingatkan bahwa adalah 
langka manusia dilahirkan persis sama. “Kalau pun 
ada, perbandingannya adalah satu lawan seribu...”
Tangkisan Benny pun sederhana pula. “Aku 
akan bersabar menunggu sampai bertemu yang satu 
itu !”
Pada akhirnya, Benny tidak lagi menunggu. 
Bukan karena hilang kesabaran. Melainkan, karena 
peristiwa kebetulan kemudian telah merubah 
perjalanan hidupnya secara drastis.
Kejadiannya bermula pada suatu malam, ketika 
Ronald menginap di rumah Benny sebagaimana 
acapkali terjadi bila Ronald kemalaman setelah habis 
belajar bersama. Atau persisnya, sehabis Benny 
'menurunkan’ sedikit kejeniusannya pada Ronald yang 
memang berotak pas-pasan, terutama dalam 
pelajaran matematika. Sekitar pukul tiga dini hari, 
Ronald terbangun dari tidur karena dorongan yang 
kuat untuk buang air kecil. Tanpa lebih dulu lihat kiri
kanan, ia langsung saja bergegas masuk ke kamar 
mandi yang tersedia di kamar tidur yang sama.
Dalam keadaan setengah mengantuk, Ronald 
tidak menyadari bahwa kamar mandi menyala terang 
benderang pertanda ada orang di dalam. Karena pintu 
sedikit terbuka, ia lantas mendorongnya begitu saja. 
Seketika itu juga ia menegun dengan terkejut. Kiranya 
Benny sudah lebih dulu ada di kamar mandi. Bukan 
sedang buang air.
Benny sedang melakukan masturbasi!
Tentu saja Benny pun terkejut pula. Bahkan 
tampak malu karena kepergok. Buru-buru ia tarik 
celana dalamnya ke atas. Lantas dengan wajah
bersemu merah ia bergegas meninggalkan kamar 
mandi tanpa berkata sepatah pun juga. Ronald ganti 
masuk ke kamar mandi. Kantuknya lenyap sudah. 
Sekujur tubuhnya pun terasa tegang dan gemetar, la 
telah sempat melihatnya. Kejantanan Benny yang 
begitu besar dan tegak terus membayang di pelupuk 
mata, dan entah bagaimana membuat Ronald 
terangsang dengan hebat.
Rangsangan itu terus menggebu, sampai ia 
kembali ke tempat tidur dan melihat Benny bergulung 
di bawah selimut, menghadap ke tembok. Ronald
kemudian naik dan rebah di bawah selimut yang sama 
sambil berjuang keras menekan lonjakan birahinya 
yang nyaris tak tertahankan itu.
Beberapa saat berlalu dalam sepi yang 
mencekam. Sampai tiba-tiba terdengar suara Benny 
dalam bisikan tertahan.”... berjanjilah untuk tidak 
memberitahukan siapa-siapa. Apalagi Mama!”
“Tidak akan!” Ronald berjanji, dengan suara 
gemetar. Masih tetap memunggungi, Benny berbisik 
lagi. “Aku malu sekali. Akhirnya kau mengetahui 
bahwa aku...”
“Mengapa harus malu?” sahut Ronald, 
menghibur. “Kadang-kadang, aku pun melakukannya 
juga!”
“Oh ya?” Terdengar bunyi ranjang berderit 
pertanda Benny bergerak merubah posisi. Tidak lagi 
memunggungi Ronald. “... siapa yang selalu kau 
bayangkan, ketika kau melakukannya?”
“Tidak tentu,” jawab Ronald, pelan. “Yang pasti, 
gambaran sosok tubuh seseorang...” Dan, Ronald 
tentu saja tidak akan memberitahu bahwa gambaran 
dimaksud adalah foto-foto tubuh sejumlah atlit 
binaraga yang memenuhi hampir semua bidang 
dinding kamar tidur kost Ronald. Karena foto-foto
berbagai ukuran dan posisi itu, kesemuanya dari atlit 
binaraga pria.
Benny mengeluh getir. Kemudian... “kau 
beruntung,” katanya, lirih.
“Beruntung apanya?” tanya Ronald heran.
“Kau mampu membayangkan orang yang 
berganti-ganti. Sementara aku...”
Ronald bergerak merubah posisi. Dari 
menelentang, jadi menyisi. Agak terengah Ronald, 
sewaktu menyadari wajahnya hampir beradu dengan 
wajah Benny yang justru menghadap ke arahnya pula. 
Begitu rapat, sehingga ujung hidung mereka nyaris 
bersentuhan. Dan Ronald makin terangsang saja. 
Dengan pikiran kacau, ia bertanya asal-asalan. “Siapa 
orangnya?”
“Pasti kau sudah dapat menduganya!”
Ronald berpikir sejenak, kemudian bertanya 
setengah terkejut. “Tante Evi? Ibumu sendiri?”
“Lantas siapa lagi?!” Ronald mengerang dengan 
suara agak keras, agaknya marah pada diri sendiri. 
“Sering-sering aku merasa begitu terkutuk, sehingga 
sering pula aku gagal mencapai klimaks...!”
“Bagaimana dengan tadi?” bisik Ronald, 
bergetar.
“Apalagi tadi!” Benny menjawab, serak. “Ketika
kau masuk aku baru setengah jalan...”
Setengah jalan, tetapi sudah begitu tegak!
Ronald hampir gila membayangkanny. Saking 
tak tahan, ia bertanya tanpa dipikir-pikir lagi. 
“Kau masih ingin?”
“Masih. Tetapi “
“Kalau begitu. Mari kubantu. Sampai kau... 
keluar!”
Benny menatap heran, namun tertarik.
“Caranya?”
“Kau tetap sajalah menelentang. Terus saja 
membayangkan tante, dan...”
Dan tanpa ragu-ragu sedikit pun Ronald mulai 
meraba lalu menyentuh apa yang ia cari. Benny 
sempat terkejut, dan menggelinjang geli. Namun 
sentuhan-sentuhan tangan Ronald yang semakin 
teratur membuatnya terdiam, pasrah. Bahkan 
perlahan-lahan mulai menikmatinya. Demikian pula
halnya dengan Ronald. Lantas ketika Benny mulai 
menggelinjang keras, pikiran yang lebih gila itu pun 
datang merasuki kepala Ronald. Buru-buru ia melepas 
celana dalamnya. Kemudian menungging sambil 
berkata tak sabar. “Ke sini...” ia menunjuk tempat 
yang ia maksud. “... cepatlah!”
Benny sempat bimbang.
Tetapi kemudian mematuhinya juga.
Dan tak berapa lama kemudian, Benny 
merebahkan diri di tempat tidur sambil berbisik 
terengah-engah. “... fantastis!”
Siapa nyana. Benny ketagihan. Bulan demi 
bulan berikutnya, Ronald sampai dibuat kewalahan 
Benar, ia kemudian juga menyukai permaian yang 
bermula dan eksperimen gila-gilaan itu. Tetapi Benny 
bukanlah tipenya Benny memang tampan. Namun 
memiliki postur tubuh yang umum terlihat di mana-
mana. Bukan tubuh seorang bina ragawan!
Beruntung, setamat SMA. Benny yang jenius itu 
memperoleh beasiswa untuk meneruskan studi di 
Amerika. Sementara Ronald yang selain otak 
kemampuan ekonomi keluarganya pun pas-pasan 
pula Ronald harus putus sekolah. Ayahnya yang 
mantan kepala montir di bengkel sepeda motor milik
orang lain, bermaksud membuka bengkel sendiri dan 
Ronald diminta untuk membantu Alasannya klise 
namun kenyataan: 
“Kini giliran adik-adikmu untuk maju.”
Benny mulanya masih sering berkirim surat.
Salah satu suratnya itu antara lain berisi kalimat 
berikut: “... di negara ini, mereka sudah sedemikian 
maju dan terbuka. Orientasi seksuil yang seperti kita 
alami, di sini tidak lagi dianggap menyimpang. Aku tak 
perlu takut atau malu melakukannya. Begitu banyak 
yang dapat kupilih. Bahkan salah seorang dari mereka 
bersikeras mengajakku untuk menikah. Resmi lagi, 
bayangkan! Di gereja, di depan pendeta, dihadiri 
jemaat, dan... Sungguh tawaran yang sangat 
menggoda. Kalau saja tak membayangkan apa jadinya 
dengan mama,...!”
Setelah itu surat-surat Benny mengendor 
kemudian putus sama sekali Ronald pun kemudian
melupakan sahabat yang banyak membantu ia hingga 
Ronald mampu meraih ijazah SMA dengan nilai 
memuaskan (walau ijazah itu akhirnya cuma 
bermanfaat untuk hiasan dinding). Ronald pun 
kemudian tidak lagi punya waktu memikirkan apakah 
Benny akhirnya jadi menikah dengan pasangannya la
menetap di Amerika, atau sudah pulang kembali ke 
tanah air Ronald terlalu sibuk untuk memikirkan 
semua itu. Sibuk oleh pekerjaan di bengkel ayahnya. 
Dan lebih sibuk lagi di luar rumah, gunta-ganti 'teman 
bermain'. Benny akhirnya benar-benar terkubur dari
kenangan Ronald ketika ia memasuki usia 25 tahun.
Dan di sebuah pesta topeng tahunan yang diadakan 
oleh kelompok eksklusip kaum gay, kaya raya, tatapi 
juga pernah jadi atlit binaraga terkemuka. Walau 
cuma mantan, Antonius langsung jatuh cinta Dan...”
Dan, mendadak Benny bangkit dari kubur.
*
* *
TIGA
HARI itu Ronald habis membezuk pamannya 
yang dirawat di salah satu pavilyun sebuah rumah 
sakit swasta di Jakarta, ketika suara lembut seseorang 
tiba-tiba terdengar menegur. 
“Hai, Ronald!”
Ronald membalikkan tubuh dan seketika 
berhadapan dengan seorang laki-laki kurus dan 
tampak sudah berumur. Dengan sekali pandang 
Ronald langsung mengenali siapa penegurnya.
“Om Eddi, astaga...!” Ronald berujar surprise 
dan gembira. Tangannya diulurkan ke depan untuk 
bersalaman. “Setelah sekian tahun, siapa sangka. Apa 
yang...”
Tak ada tangan yang terulur untuk menyambut. 
Yang ada, justru percikan butir-butir air bening yang 
membasahi sepasang mata si penegur. Disusul suara 
getir, mendekati frustrasi. “Seperti mereka yang lain, 
Ronald. Kau pun salah mengenali aku sebagai Papa...”
Bingung sejenak, Ronald kemudian memperhati
kan wajah di hadapannya dengan lebih seksama. 
Lantas mencetus, terperanjat.
“Benny. Mustahil!”
Benny menyeringai. Murung. 
“Apakah aku perlu mengeluarkan KTP, SIM,
atau Visa. Untuk meyakinkannya?”
Masih tak percaya, Ronald menggagap. 
“Tetapi...”
“Ayo kita cari kantin untuk minum sambil ngobrol!”
Setelah menemukan kantin rumah sakit 
dimaksud, Benny memilih meja paling sudut dan jauh 
dari pengunjung lain. Setelah beberapa saat lamanya 
mereka saling berdiam diri, Benny akhirnya membuka 
mulut juga. 
“Apa kabarmu selama ini, Ronald?”
“Baik.”
“Jadi kau pun tinggal di Jakarta ya?”
“Masih tetap di Bandung.”
“Oh. Kerja apa?”
“Sekretaris. Di sebuah perusahaan kontraktor.”
“Hem. Tentunya..
Ronald benci dengan basa-basi yang 
menjengkelkan itu. Lantas tidak bisa menahan diri 
untuk menanyakan apa yang semenjak tadi 
mengganggu pikirannya. 
“Katakanlah Benny. Mengapa kau tampak...”
Toh, Ronald tak sanggup meneruskan. Benny-lah yang 
meneruskan. Dengan suara datar. 
“Tampak setua ayahku?”
Ronald manggut-manggut. Kaku.
Lebih dulu Benny melirik kiri kanan. Untuk 
meyakinkan tidak ada orang lain yang melihat atau 
mendengar. Lalu jari telunjuknya ia guratkan di 
permukaan meja. Membentuk empat hurup-hurup
maut : AIDS. 
“Di negara yang bebas tetapi terkutuk itu, aku 
terlalu membabi buta. Lantas tidak mawas diri...” ia 
menambahkan.
Ronald merinding seketika.
Mulutnya kemak-kemik ingin mengucapkan 
sesuatu. Tetapi karena tidak tahu harus berkata apa, 
mulutnya kemudian mengatup kaku. Benny 
menyeringai. Acuh tak acuh.
“Mengerikan! Itulah yang mau kau katakan, 
bukan? Tak apa-apa Ronald. Toh demikianlah 
kenyataannya. Dan belakangan ini aku sendiri pun 
tidak lagi perduli. Meski hidupku pada akhirnya hanya 
menjalani dua hal saja. Bekerja, bekerja. Dan keluar 
masuk rumah sakit seperti hari ini...”
Ronald menelan ludah. Membasahi kerong-
kongannya yang mendadak kering kerontang. Ketika ia 
sadari bahwa ia memegang sebotol minuman dingin, 
Ronald cepat-cepat menyedotnya. Dengan sedotan 
keras dan terburu-buru. Sampai ia terbatuk-batuk 
sendiri. Kemudian. 
“Entah apa yang harus kukatakan, Benny...”
katanya, tersengal. “Aku sangat terkejut, dan...” ia 
tarik nafas dalam-dalam. “Apakah om dan tante 
mengetahuinya?”
“Tentu saja. Karena begitu menginjakkan kaki 
kembali di tanah air, pergantian cuaca langsung 
melemparkan aku ke rumah sakit. Semuanya lantas 
terbuka!”
“Dan?”
“Papa hanya bisa menangis dan menangis. 
Mama terkena serangan jantung, tetapi lama kelama-
an menjadi terbiasa.”

“Dan?” Ronald mengulangi. Dengan nada lebih 
mendesak.
Menatap sejenak ke mata sahabat lamanya, 
Benny lantas mengerti. “Tidak usah kuatir, Ronald. 
Papa dan mama percaya mutlak sewaktu kukatakan, 
teman-teman Amerikakulah yang menyeret aku 
masuk ke dunia gay.”
Kembali Ronald merinding. 
“Kau membuat aku merasa berdosa...”
“Hei. Ucapan apa pula itu?”
Ronald berbisik tersedak. 
“Entah apa yang sudah kuperbuat malam itu 
kepadamu!”
“Apa yang sudah kau perbuat?”
Benny tersenyum. “Justru kau telah mencegah 
aku melakukan sebuah dosa yang tidak terampun
kan!”
“Dosa apa?”
Benny merendahkan volume suaranya. Dan 
memberitahu tanpa ragu-ragu. “Ketahuilah, Ronald. 
Sebelum semalam itu kau memergoki aku di kamar
mandi, diam-diam aku telah menyusun rencana. 
Setelah pada akhirnya aku sadar bahwa hanya ada 
satu perempuan yang kucintai dan sekaligus 
kuinginkan, aku lantas memutuskan untuk nekad 
menidurinya. Dengan berpura-pura mabuk minuman 
keras, begitulah kurencanakan. Tinggal menunggu 
waktu serta kesempatan yang cocok. Dan, kau tahu 
siapa kiranya perempuan yang kumaksud!”
“Astaga, Benny...” Ronald membelalak.
“Maka itu, Ronald. Buanglah jauh-jauh 
perasaan bersalah di kepalamu. Oke?”
“Entahlah, Benny. Aku...”
“Oh ya. Bagaimana dengan kau sendiri?”
dengan bijak Benny mengalihkan pembicaraan. 
“Apakah kau masih melakukannya?”
“Masih.”
“Bila demikian dengar nasihatku, kawan. 
Mulailah berpikir untuk berhenti, Ronald!”
Ronald mau tertawa. Tetapi didahului ucapan 
Benny yang tegas dan dingin menghunjam. 
“Lihatlah diriku!”
Ronald tidak merasa perlu melihat, la langsung 
berkata. 
“Aku rutin chek-up ke lab. Dan aku sepenuhnya 
sehat. Begitu pula dia...”
Benny tidak bertanya siapa 'dia' yang dimaksud. Benny 
justru menanyakan yang lain. 
“Sampai kapan?!”
Ronald terdiam.
Benny mengeluarkan sehelai kartu namanya 
yang ia sodorkan ke depan Ronald. 
“Berkunjunglah kapan saja kau ada waktu 
luang. Tetapi jangan dalam satu bulan ini. Karena 
besok aku harus sudah ada di Brunai. Bulan depan 
baru kembali.”
“Brunai Darussalam? Apa kerjamu di sana?”
“Menatap interior sejumlah apartemen milik 
salah seorang keluarga dekat Sultan,” jawab Benny tak 
acuh. “Waktu menyaksikan pameran yang kuadakan 
bersama beberapa rekan seprofesi, dia sangat tertarik 
dengan kombinasi timur-barat hasil kreasiku. Dan...”
***
Lewat tiga bulan, barulah Ronald mengunjungi 
alamat yang diberitakan oleh Benny. Itu pun tanpa 
direncanakan. Dan tanpa maksud-maksud khusus. 
Awalnya, Ronald bergaul kelewat akrab dengan
seorang gay yang lain sehingga Antonius cemburu 
berat lalu memukuli gay dimaksud sampai terluka 
parah.
Ronald tentu saja tidak senang atas perlakuan 
brutal kekasihnya. “Sumpah mati. Tidak ada urusan 
seks apalagi cinta di antara kami berdua. Tak lebih dari 
teman biasa!”
Antonius tak mau percaya. Dan mereka pun 
lantas bertengkar hebat. Ronald tidak tahan lantas 
minggat ke Jakarta, la tinggal beberapa hari di tempat 
salah seorang adiknya yang kuliah dj Universitas 
Trisakti. Suatu hari, sang adik membawa Ronald pergi 
berjalan-jalan untuk diperkenalkan pada teman 
gadisnya yang tinggal di kawasan elit Pluit Mas. 
Barulah waktu Ronald teringat bahwa Benny tinggal di 
kawasan perumahan yang sama. la kemudian pamit 
pada kedua orang muda yang sedang dimabuk cinta 
itu, lalu pergi mengunjungi Benny.
Tiba di tempat yang dituju, ia lihat banyak orang 
tengah berkumpul. Suasana yang tampak jelas
suasana berkabung. Ronald bertanya pada orang 
pertama yang dijumpainya. “Siapa yang meninggal?”
“Pemilik rumah!”
Ronald baru akan bertanya apakah yang 
dimaksud om Eddi atau tante Evi, manakala seseorang 
muncul di pintu depan. Begitu mengenali, Ronald 
langsung mendatangi. “Benny?”
Yang disapa, menatap terkejut. 
“Nak Ronald! Mimpi apa yang mengantar 
langkahmu kemari?”
Ronald terpana.
Salah mengerti, orang yang tegak di pintu turun 
menyongsong sambil berkata. “Kok bengong, Nak? 
Atau kau tidak ingat lagi pada Om Eddimu yang sudah 
tua ini?”
Menyadari kekeliruannya, Ronald hanya mampu 
menggagap. “Benny...”
“la meninggal tadi malam, Nak. Ayo, masuklah!”
Di ruang tengah yang megah dan luas, Benny 
tampak terbaring diam dalam sebuah peti mati berukir 
indah. Berpakaian lengkap serta indah pula. Namun
toh tidak membuat muda wajah si mati yang tampak 
begitu tua dan menderita. 
“Lihatlah diriku... Mulailah berpikir untuk 
berhenti, Ronald!”
Bergidik, Ronald melangkah surut menjauhi peti mati.
“Kau tentunya bertanya-tanya, bukan?”
terdengar suara desahan lemah om Eddi di sebelah
nya. Ronald menggelengkan kepala yang terasa 
berdenyut-denyut sakit. 
“Kami sudah bertemu sebelumnya, Om.”
“Oh ya?” Om Eddi mendesah lagi. Dengan 
pandangan menduga-duga.
“Benny telah menceritakan… semuanya!”
“Baguslah. Aku jadi tak perlu repot-repot.”
“Mana tante?”
“Aduh. Hampir lupa. Mari kuantar menemui 
nya, Nak.”
Om Eddi membuka pintu sebuar kamar. Nyaris saja 
Ronald tidak mengenali siapa perempuan yang 
berbaring di atas tempat tidur. Bukan hanya lemah 
dan pucat. Tubuh molek dan wajah cantik tante Evi
juga tampak sudah sirna. Apa yang dilihat oleh Ronald 
adalah sesosok tubuh kering serta wajah yang rentah.
Sepasang kelopak mata keriput itu berkedap-
kedip membuka lalu memperhatikan siapa orang yang 
berdiri di samping tempat tidurnya, kemudian bibir 
tuanya komat-kamit bergetar : “… apakah mataku 
tidak salah?”
Terharu biru. Ronald menyahuti : “Aku Ronald, 
Tante!”
Seolah, memperoleh tambahan tenaga baru tante Evi 
terlonjak bangun lalu merangkul Ronald dengan 
sekujur tubuh bergemetaran “Anakku Ronald, puji. 
Tuhan!” ia berkata dalam tangis. “Mengapa kau 
menghilang begitu lama? Mengapa kau biarkan Benny 
pergi ke Amerika?”
“Bu!” suaminya menegur. Tajam.
Perlahan-lahan tante Evi melepaskan rangkulan 
nya. Lalu berbaring kembali di tempat tidur. Lunglai. 
Isak tangisnya kian menjadi. “Memang bukan 
salahmu, Nak. Juga bukan salah Om-mu. Akulah yang 
salah. Karena aku terlalu bangga puteraku satu-
satunya memperoleh beasiswa. Akulah yang 
mendorongnya mengambil beasiswa itu. Aku 
terhanyut oleh pujian mereka bahwa Benny-ku adalah
generasi harapan masa depan. Dan lihatlah apa yang 
ia dapatkan!”
Om Eddi duduk di pinggir tempat tidur. la seka 
air mata yang menggenangi pipi isterinya seraya 
berujar lembut dan penuh kasih. “Sudahlah, Bu. 
Berhentilah menyalahkan dirimu. Semua ini terjadi 
atas kehendak Tuhan jua adanya.”
“Terkutuklah bila aku menjadikan Tuhan 
sebagai kambing hitam...!” Tante Evi tidak terbujuk. 
“Ingat bukan Pak? Berapa kali sudah anak kita pernah 
jatuh cinta pada teman-teman gadisnya? Itu 
membuktikan... pada dasarnya ia adalah lelaki normal. 
Tetapi karena aku bersikeras mengantarkan ia pada 
teman-teman Amerikanya...”
“Bu,” sang suami membujuk dengan sabar.
“Apa yang telah kau perbuat jelas didasari niat baik 
dan cita-cita luhur seorang ibu. Yang terjadi 
setelahnya, bukan lagi menjadi tanggung jawabmu 
Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, itu adalah 
teman-teman Amerika anak kita. Merekalah yang 
membujuk dan menyeret anak kita sampai menyalahi 
kodrat. Jadi bukan kau. Tetapi merekalah yang 
bertanggung jawab... atas kematian anak kita... !”
Suami isteri itu kemudian berpeluk-pelukan dan 
bertangis-tangisan. Tanpa mengetahui bahwa Ronald 
mengundurkan diri dari kamar dengan langkah 
tertatih-tatih.
Kemudian melarikan diri dari rumah yang 
diseliputi kabut duka cita serta kesengsaraan itu. 
Dengan membawa serta hati nuraninya. 
Yang terguncang hebat.
*
* *
Pada waktu Antonius akhirnya datang men 
jemput ke Jakarta seraya menyatakan penyesalan atas 
kelakuannya yang tidak patut dan membujuk. “Aku 
merindukanmu. Marilah kita pulang…“
Ronald manurut bagai kerbau dicocok hidung.
Namun ketika taman kumpul kebonya itu 
mencumbu Ronald di tempat tidur, Ronald cuma 
rebah diam. Dengan tubuh dingin bagai sebatang 
pohon pisang tumbang. Masuk kantor pun ia tidak 
bergairah. Diajak liburan ke mana saja, jawabannya
pendek saja ‘malas’. Ronald lebih suka berkurung di 
rumah. Tidak mau benemu atau berbicara dengan 
siapa-siapa kecuali Antonius itu pun seperlunya dan 
bila lebih dulu ditanya hadiah-hadiah yang dibelikan 
Antonius... termasuk sebuah mobil rakitan terbaru, 
pun cuma dipandang sebelah mata. Tanpa kemauan 
untuk memakainya. Seteteh itu kembali menutup diri.
Makan tak bernafsu, tidur pun tak lelap. Lambat laun
bobotnya menurun drastis.
Antonius menjadi cemas setengah mati. Lantas 
membujuk, “Bagaimana kalau kau kuantar ber
konsultasi pada psikiater?”
Adalah menakutkan untuk mengungkap rahasia 
pribadi pada orang yang belum dikenal. Kunjungan 
pertama jadinya tidak menghasilkan apa-apa. Begitu 
pula halnya dengan kunjungan kedua. Baru setelah 
kunjungan berikutnya dan Antonius tidak diperkenan
kan lagi ikut masuk ke kamar praktek, Ronald 
perlahan-lahan membuka diri. Dengan suara sakit dan 
getir mengeluh pada dokter Rinaldi.
“Aku telah membunuh seseorang. Dan aku ingin 
berhenti!”
Tidak lama setelahnya, Ronald pun dipertemu
kan dengan Maria.
*
* *
Oh ya. Bukankah Maria akan datang berkunjung?
Ronald melihat ke jam dinding. Dua puluh menit 
lewat pukul satu dinihari. Tadi ia bertelepon dengan 
Maria sekitar pukul setengah satu. Ada baiknya ia 
buka saja pintu gerbang sekarang. Siapa tahu Maria 
datang tepat waktu.
Setelah merapihkan kayu bakar di tungku agar 
apinya tidak keburu padam, Ronald kemudian pergi 
keluar rumah. Baru saja pintu gerbang dibuka, tampak 
cahaya lampu mobil muncul dari sebuah belokan. 
Mungkin penghuni setempat.
Tetapi mungkin juga Maria, datang lebih cepat 
dari waktu yang dijanjikan.
Tidak ada salahnya menunggu.
Benar saja. Mobil itu berhenti tepat di depan 
Ronald. Perlahan-lahan pintunya terbuka dari sebelah 
dalam. Lalu sesosok tubuh melangkah keluar.
Ronald terkesiap.
Dengan jantung berdebar.
EMPAT
“HALLO sayangku!” Antonius menyeringai 
lebar. “Kekasih mana yang sedang kau tunggu-
tunggu?”
Kekasih mana!
Selamanya Ronald hanya mencintai satu orang. 
Tidak pernah berpikir untuk mencintai yang lain. Dan 
orang yang dicintainya itu sekarang malah berkata: 
kekasih mana. Sungguh tuduhan yang terasa begitu 
menyakitkan!
Ronald mundur selangkah. “Mengapa kau ke sini?'“
“Ucapan selamat datang yang benar-benar 
manis ..” Antonius masih tetap menyeringai. Dagunya 
ia gerakkan ke arah rumah Sambil menambahkan 
“Apakah juga aku tidak akan diundang masuk ke 
dalam sana, Boy?”
Udara di luar sudah cukup membuat Ronald 
menggigil. Mendengar nama itu disebut-sebut, ia 
semakin menggigil. “Boy sudah lama mati, Anton. 
Yang berdiri di depanmu adalah Ronald!”
“Aku tak percaya. “
Terserah. Tapi kuanjurkan, naik dan putar mobilmu 
kembali Dan mulailah berpikir untuk mempercayai 
nya!”
Seringai Antonius menghilang. Namun tidak 
seluruhnya. Dengan suara lembut dan sabar ia 
berkata, “Aku mengenal betul siapa dirimu, kekasih. 
Boy boleh saja mati. Tetapi cintanya tidak akan!”
Tembakan Antonius langsung mengenai 
sasaran. Ronald tersudut, lantas melemah. Bahkan 
lututnya terasa goyah, sehingga tegaknya tidak lagi 
segagah tadi. Antonius tersenyum. Sadar bahwa 
Ronald sudah tergenggam di tangan, ia tidak mau 
membuang tempo. Sekali lagi ia menembak “Ayolah, 
sayangku. Sudah waktunya kita masuk ke dalam sana. 
Untuk saling melepas, rindu.”
Sentuhan sentuhan gaib itu! Sosok Antonius 
yang kokoh serta perkasa! Tanpa dapat dicegah, birahi 
Ronald terbangkit lagi perlahan-lahan. Namun ia 
masih cukup sadar untuk apa dan mengapa ia 
membuka pintu gerbang. Adalah tidak pantas bila saja 
nanti...
“... jangan di dalam sana!”
Antonius tersenyum lagi. Manis sekali. “Mengapa?”
“Maria akan datang sebentar lagi.”
“Oh, dia...” desah Antonius. Ingin meremehkan, 
tapi cepat ditahan. Siapa tahu. “Aku kira di luar sini 
pun tersedia banyak tempat yang cukup romantis. 
Naiklah ke mobil, manisku”
“Aku akan ganti pakaian dulu.”
Antonius mengawasi kimono tidur berbulu tebal yang 
melekat di tubuh Ronald. “Yang itu lebih praktis. Aku 
malah sudah tidak tahan untuk membukanya!”
Ragu-ragus sesaat. Ronald kemudian membuka
pintu mobil lalu menyelinap masuk ke jok belakang 
yang tempatnya lapang serta nyaman.
Seraya menyeringai Antonius pun duduk di belakang 
kemudi. Mobil dijalankan pelan-pelan saja. Tidak perlu 
tergesa-gesa. Toh Boy sudah jadi miliknya kembali.
Tinggal pilih saja. Mencari tempat yang sepi tetapi 
aman untuk bercumbu. Atau mencari tempat 
memutar lalu memboyong Boy pulang ke rumah... 
untuk tidak dilepaskan lagi!
Pilihan yang kedua adalah yang terbaik. 
Godaannya pun terasa lebih kuat. Tetapi Antonius 
tidak mau sembrono, la sudah pernah bertindak 
seperti itu. Tanpa diperhitungkan masak-masak,
Antonius mengantarkan Boy berkonsultasi pada 
seorang psikiater. Akibatnya fatal dan sampai 
sekarang pun Antonius masih menyesalinya.
Antonius harus lebih berhati-hati. Memang 
sebaiknya Boy ia boyong pulang. Tetapi jangan sampai 
Boy terkejut lantas hatinya terluka. la lebih dulu harus 
menjajaki seberapa besar ketertarikan Boy pada 
perempuan bernama Maria itu. Lebih-lebih, lagi ia pun 
harus menjajaki apakah Boy masih tetap Boy-nya yang 
lama. Atau Boy yang berbeda: masih tetap berdarah 
homo, tetapi sudah dicampurinya jenis darah yang 
lain. Dan sejauh mana jenis darah yang lain itu telah 
berpengaruh pada diri Boy. Terutama pada orientasi
seksuilnya.
Tiba tiba terdengar suara lirih di belakangnya, 
“Bagaimana kau tahu aku menetap di daerah ini?”
Sambil menjalankan mobil dengan hati hati agar 
tidak keluar dari badan jalan yang begitu sempit dan 
kurang terawat. Antonius menjawab santai.
“Aku punya uang bukan? Dan informasi mudah 
dibeli di mana-mana!”
“Lalu sejak kapan kau tahu?”
“Minggu pertama setelah kau meninggalkan 
tempat persembunyianmu yang terakhir...” Antonius 
diam sejenak. Kemudian sambil tersenyum simpul, ia 
menambahkan. “Hotel Anggrek, kamar 10”
Ronald mengingat-ingat. Lantas berdecak 
kagum. “Berarti sudah lebih setengah tahun. Hebat! 
Bagaimana kau mampu bersabar selama itu?”
Ada sebuah tempat sepi dan cukup romantis. 
Terlindung pepohonan serta perkebunan jagung yang 
subur. Antonius terus saja menjalankan mobil. Yang ia 
cari adalah tempat memutar. 
“Tidak ada istilah sabar,” katanya datar. “Bila 
informasinya mengatakan kau tergoda lantas lari 
dengan seorang gay lain, Aku akan langsung 
menjemputmu pada kesempatan pertama. Meski 
untuk itu aku lebih dulu harus melangkahi mayat 
seseorang!”
Ronald terdiam.
“Tetapi informasi akurat yang kuterima 
ternyata berbeda dan jauh dari sangkaan!” lanjut 
Antonius, getir. “Untuk beberapa waktu lamanya aku 
terombang-ambing tak tahu harus berbuat apa. 
Sampai akhirnya aku tiba pada pemikiran. Bahwa cinta 
tidak hanya perlu kesabaran, tetapi juga
pengorbanan...” Antonius diam sebentar. Setelah 
menghela nafas panjang dan berat, barulah ia 
meneruskan. “Begitu kuketahui kau sedang menjalani 
terapi dengan latihan sosial pada wanita... aku 
langsung berkata pada diriku sendiri. Aku mencintai
nya. Maka berilah dia kesempatan, bila itu memang 
dapat membahagiakannya!”
Ronald semakin terbungkam.
Dengan hati diam-diam terenyuh.
Pada saat bersamaan Antonius berpikir: waktu 
ujian telah tiba! Maka ia pun bertanya hati-hati. 
“Apa pendapatmu tentang dia?”
“Maria?”
“Ya.”
Ronald berpikir sejenak. Kemudian menjawab 
pendek, “la seorang gadis yang baik.”
“Itu saja?”
“Apa gunanya kuteruskan?” tambah Ronald, 
“Toh yang sesungguhnya ingin kau tanyakan, bukan 
itu!”
Antonius tertawa. Sumbang. “Jadi?”
Tanpa ragu-ragu Ronald langsung memberi-
tahu. “Kami memang pernah melakukannya...”
Jari jemari Antonius dibantalan kemudi terasa 
mengejang. Kaku: Itulah yang paling ia takutkan 
selama ini. Boy telah merasakan yang “lain”. Betapa 
ingin Antonius menjerit serta meraung untuk 
melampiaskan kekecewaan. Tetapi bukankah semua 
itu berasal dari kesalahan Antonius sendiri?
Dialah yang melemparkan Boy ke tangan psikiater. 
Akhirnya Antonius cuma mampu mengeluarkan 
geraman bergetar. “ dan?”
“Dan apa?!” Ronald mendengus. Tak senang. la 
memang selalu terbuka pada Antonius dan akan tetap 
seperti itu. Hanya saja, ia tidak suka didesak.
Antonius menyadari hal itu. Tetapi Antonius
sedang frustrasi. Lantas kehilangan kendali diri.
“Apakah kalian menikmatinya?”
Ronald ingin marah. Tetapi ia menjawab juga.
“Dari pihak Maria, ya!”
“Kau?”
“... pada akhirnya juga ya. Tetapi yang kunikmati 
adalah sebuah kenikmatan semu!”
“Aku tak mengerti...”
“Begitu kuketahui Maria sudah selesai, aku 
langsung menarik diri. Tanpa memperoleh apa-apa!”
Ronald menjelaskan. “Tetapi Maria seorang yang 
penuh pengertian dan tidak mudah dibodohi...”
Secara ringkas Ronald lalu menceritakan apa yang 
kemudian terjadi pada malam bersejarah dalam 
perjalanan hidupnya itu. Maria bertanya apa yang 
telah menghambat Ronald. Ronald menjawab terus 
terang bahwa ia sudah terbiasa memasuki tempat 
yang berbeda dan betapa ia mendambakan agar Maria 
tangkurap saja.
Maria sempat terkejut lalu kemudian tertawa. 
la menyelinap sebentar ke kamar mandi untuk 
membersihkan diri. Kembali lagi ke tempat tidur.
Maria kemudian berkata “Kita akan mengulanginya 
kembali. Tetapi kau menelentang dan diam-diam saja
lah. Biarkan aku yang aktip bekerja!”
Tetapi Ronald tidak sampai hati membiarkan Maria 
berjuang sendirian. Sementara Maria sibuk sendiri, 
diam-diam Ronald berhalusinasi. Pengaruhnya 
memang langsung terasa. Perlahan-lahan Ronald 
mendekati akhir perjalanan yang melelahkan namun 
sensasionil itu. Maria dapat menangkap gelagat.
Lantas pada saat yang tepat Maria langsung 
mendorong Ronald memasuki dirinya.
Ronald tak perduli.
Yang penting ia mencapai tujuan.
Seraya mendesahkan... nama Antonius!
*
* *
Perasaan frustrasi Antonius mengendur. 
Bahkan kemudian tertawa gembira. Lalu berkata 
dengan ceria. “Pantas kau bilang kenikmatan semu 
Meski dengan bantuan Maria, itu sama saja halnya 
dengan bermasturbasi!”
Ronald diam saja.
Kejadian malam itu belum seluruhnya lepas dari 
pelupuk mata. Terbayang saat-saat Maria tiba-tiba 
menegun kaku. “... jadi, jerih payahku sia-sia saja!” ia 
mendengus. Lalu meluncur turun dari atas tubuh 
Ronald. Dengan marahnya, la kemudian menyelinap
ke kamar lain. Membiarkan Ronald rebah termangu
mangu. Dan nyaris sepanjang sisa malam itu tak dapat 
tertidur. Didera oleh perasaan bersalah.
Tetapi ketika pagi harinya ia bangun Maria tetap 
menunggunya di meja makan. Baru setelah usai 
sarapan pagi. Maria membuka mulut. “Mengenai yang 
tadi malam, Ronald.”
Ronald mengangkat muka. Ragu-ragu “... ya?”
“Aku dapat memahami. Paling tidak, kau telah 
melakukan itu di tempat yang semestinya!”
Ronald tidak akan pernah melupakan betapa 
lembut dan sederhana cara Maria mengutarakannya. 
Tidak ada nada mempersalahkan. Pun Maria tidak 
menuntut apa-apa. Sehingga jauh di dalam 
sanubarinya, mau tidak mau Ronald harus menyimpan 
perasaan hormat yang dalam serta tulus terhadap 
gadis itu.
Dan sekarang, apa yang ia berikan sebagai
imbalan pada Maria? Mengikuti Antonius seperti
orang idiot! Mengikuti dorongan nafsu birahi 
terkutuk... yang telah mengantarkan Benny ke 
pelukan sang maut!
Ronald benar-benar malu pada dirinya sendiri
“Boy?”
“... heh?” Ronald terjengah. 
“Ceritamu tadi itu. Membuat aku tidak tahan lagi!”
Seraya berujar demikian, Antonius mengawas sekitar 
jalanan yang mereka lalui. Begitu melihat ada tempat 
yang ia perkirakan cukup sepi serta aman untuk 
bercumbu, Antonius mengarahkan mobil ke pinggir. 
Rem dipasang dan kunci kontak diputar dengan 
sentakan tak sabar. Mesin pun mati. Menyusul lampu-
lampu dipadamkan. Dalam tempo seketika, segala 
sesuatu baik di dalam apalagi di luar berubah menjadi 
hitam pekat. Dan dikegelapan malam yang gulita itu, 
samar-samar tampak gerakan sosok kekar Antonius 
yang sedang berusaha pindah ke jok belakang.
“Tidak...!” Ronald tiba-tiba berkata. Gugup. 
“Aku tidak mau!”
“Hei!”
Ronald membuka pintu mobil di sebelahnya. 
Lalu melompat keluar. Di tempat yang ia tinggalkan, 
Antonius sempat dibuat terheran-heran. Lantas 
menyusul keluar sambil menanggapi. “Pasti kau hanya 
ingin bercanda, Boy...”
Ronald menggelengkan kepala. “Aku tidak mau 
lagi melakukannya!” ia mengulangi dengan tegas. 
“Sungguh!”
Dijilati sinar rembulan yang pucat, wajah 
Antonius tampak mengejang. Kaku. Sadar bahwa 
Antonius dapat berlaku brutal bila sudah marah, 
Ronald berkata setengah memohon. “Aku sudah mulai 
menemukan jati diriku, Anton. Maka berilah aku 
kesempatan...!”
Antonius merintih sakit bercampur marah. Jadi 
beginilah akhirnya. Boy sudah bukan miliknya lagi. Bila 
memang demikianlah kenyataan yang harus ia terima, 
baiklah. Antonius bersedia memberi keleluasaan pada 
Boy untuk menemukan apa yang oleh kekasihnya itu, 
jati diri. Tetapi harus ada timbal balik. Antonius pun 
punya jati diri. Dan jati dirinya ia sudah sangat lama 
menunggu dengan sabar untuk dilampiaskan, la tidak 
sudi menunggu lebih lama lagi. Sekarang, atau tidak 
sama sekali!
Dengan pikiran jahat merasuki kepala, Antonius 
memperlunak sikap “Rasanya ini akan sangat berat 
untukku, Boy,” ia mendesah. Lembut. “Tetapi tak 
apalah. Hanya saja, kapan kau ingin kembali kau pasti 
tahu siapa yang harus kau temu
Ronald menarik nafas lega. “Aku akan 
mengingatnya selalu,” ia berjanji setulus hati “Entah 
bagaimana aku harus berterimakasih...”
Antonius menyeringai gembira. “Cukuplah 
dengan sebuah cium perpisahan Itu pun, bila kau tidak 
berkeberatan!”
Sedikit pun tidak.
Dan, tanpa ragu-ragu Ronald mendekat 
Antonius menunggu. Dengan bibir mengulas 
senyuman tipis. 
Misterius.
*
* *
Begitu mereka berhadap-hadapan, Ronald yang 
memang bertubuh sedikit lebih kecil dan lebih 
pendek, tentu saja harus mengangkat tumit dan 
tengadah untuk dapat mencecahkan bibirnya ke bibir 
Antonius. Pada detik-detik terakhir sebelum bibir 
mereka berdua saling bersentuhan Ronald masih 
sempat melihat sesuatu di balik mata Antonius.
Semacam sinar yang aneh, karena tampak begitu jelas 
meski suasana sekitar gelap gulita.
Namun penglihatan sekilas itu diabaikan 
Ronald. Mungkin hanya pantulan sinar rembulan, 
pikirnya. Lalu bibir mereka pun bertamu. Semula 
Ronald meniatkan hanya sebuah kecupan pendek. 
Tetapi Ronald diam dan membiarkan saja sewaktu 
Antonius mengulum lalu memaksa bibir nya setengah 
membuka. Bahkan Ronald diam-diam menikmati. 
Kelopak matanya terpejam, bergairah. Demikian pula 
halnya Antonius. Sehingga manakala suatu saat dua 
pasang bibir mereka saling melonggar untuk berubah 
posisi, mereka tidak melihat munculnya selarik sinar 
hijau tajam yang meliuk ke luar dari dalam mulut 
Antonius, lalu berkelebat masuk ke dalam mulut 
Ronald.
Pada saat bersamaan, Antonius sudah 
mengetahui bahwa birahi Ronald sudah berhasil ia 
bangkitkan. Selanjutnya, mudah. Malah lebih mudah 
dari apa yang ia perkirakan semula. Agaknya, Antonius 
tidak perlu main perkosa. Karena sewaktu ia 
merangkul tubuh Ronald untuk dibawa merapat ke 
tubuhnya sendiri, ternyata sang kekasih menurut 
dengan pasrah.
“Aku menginginkanmu, Boy,” Antonius berbisik 
terengah-engah di telinga Ronald. “Aku menginginkan
mu!”
Ronald diam saja.
Tetapi Antonius tidak perduli. Saking tidak 
tahan lagi, sebelah tangannya ia selundupkan ke balik 
kimono tidur Ronald. Kemudian menyelusup ke 
bawah pinggang. Menggapai Liar.
Dan pada saat Antonius mulai menikmatinya, 
tiba-tiba ia dihinggapi perasaan lain yang sama sekali 
bertentangan. Yakni perasaan sakit yang luar biasa 
dahsyat manakala sesuatu menembus lambungnya.
Untuk kemudian merobek dan terus merobek.
Dengan brutal.
Dan kejam tiada terperi.
*
* *
LIMA
MARIA MAGDALENA meninggalkan rumah 
mungilnya di sekitar pusat kota Bandung dengan 
pikiran terumbang-ambing. Apa yang telah ia lakukan? 
Menjanjikan lalu kini berkeluyuran dinihari untuk 
mendatangi seorang laki-laki! Benar-benar memalu
kan. Seharusnya si lelaki-lah yang datang padanya. 
Konon lagi, justru lelaki itu pula yang membutuhkan 
kehadiran Maria. Tetapi, apakah memang Ronald 
harus? Maria toh bukan 'apa-apa'-nya Ronald: Maria 
hanya sekedar seorang teman. Sebagaimana tadi di 
telepon Ronald berkata: seorang teman berbicara!
Itu artinya posisi Maria tidak lebih sama dengan 
Amelia, mantan teman sekerja Ronald yang sudah 
menganggap Ronald sebagai abang kandung sendiri. 
Posisi Maria barangkali malah ada di bawah sang janda
beranak dua, Daisyi, yang terang-terangan pernah 
mengakui: “Menikahi Ronald pun aku mau saja. Dia 
punya daya tarik seksuil yang luar biasa. Namun bukan 
itu semata-piata yang kutuju. Keberadaannya lebih 
kubutuhkan sebagai pendamping... terutama bila aku
melakukan perjalanan bisnis ke luar daerah. Sebagai 
seorang pengusaha garmen, aku...”
Tidak ada alasan khusus mengapa pilihan 
Ronald akhirnya jatuh pada Maria. 
“Amel membutuhkan tempat bersandar, yang 
justru aku sendiri sangat memerlukannya...” Ronald 
pernah menjelaskan. Dan mengenai perempuan 
satunya lagi: “Tante Essi? Dalam dirinya aku melihat 
seorang Antonius. Yang berbeda hanya cetakannya 
saja!”
Bagaimana dengan Maria?
“... bisnis yang kau tawarkan, sungguh 
menantang!” jawab Ronald sederhana. “Naik turun 
truk, keluar masuk perkebunan, membaurkan diri 
dengan para petani lalu para pedagang bermuka dua 
di pasar induk. Aku yakin; itu akan menjadi sebuah 
kehidupan yang keras. Kontras dengan kehidupan 
yang kujalani selama ini, yang telah membuatku 
semakin lupa bahwa aku terlahir sebagai laki-laki!”
Cuma itu.
Dan jauh-jauh hari, dokter Rinaldi yang sudah 
lama menjadi sahabat kental keluarga Maria, memang 
telah memberitahu. “Itulah yang menjadi tujuan 
utama Ronald. Kembali pada harkat dirinya sebagai 
seorang laki-laki. Bukan hanya pisik. Melainkan lebih-
lebih secara mental biologis. Yang, selama lebih dari
10 tahun menyimpang ke arah yang salah. 
Penyimpangan mana justru memberinya kebahagiaan 
tersendiri, bahkan... cinta!”
“Sepertinya, aku diminta menegakkan seutas
benang basah!” Maria mengomentari.
“Tetapi sewaktu-waktu dapat menjadi kering, 
bukan?” psikiater berkata membujuk. “Aku memang 
belum tahu, kapan Ronald akan mencapai titik kering 
dimaksud. Yang aku ketahui, gradasi kelabu dalam 
kehidupan seksual Ronald sudah mendekati tingkat 
yang parah, dimana sifat homonya lebih dominan. 
Paling-paling kita hanya bisa mengubahnya menjadi 
40% homo dengan 60% hetero...”
“Ada harapan untuk itu?”
“Menurut pengamatanku, ada. Hanya sebuah 
celah tipis transparan memang. Jadi diperlukan 
kesabaran dan kehati-hatian yang sungguh-sungguh. 
Jadi kunasihatkan, begitu kau lihat lelaki itu terbuka, 
jangan buru-buru masuk. Karena salah-salah, kau akan 
terbentur sendiri. Lebih fatal lagi, celah itu bisa 
menutup diri kembali. Lebih rapat dari sebelumnya!”
*
* *
Ada bayang-bayang hitam mendadak melompat 
dari sebelah kiri jalan untuk kemudian lari menghilang 
di seberang kanan. Maria sempat tersentak lalu
seketika menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya oleng 
satu dua detik, sebelum kemudian berhenti dengan 
sentakan keras didahului suara berisik ban saling gigit 
dengan aspal.
Sejenak lamanya Maria hanya terduduk dengan 
wajah pucat pasi serta jantung bagai coplok begitu 
saja. Baru setelah itu, takut-takut ia melirik ke kaca 
spion. Mengawasi jalanan di belakangnya. Lampu 
merkuri di trotoir hanya memperlihatkan jalanan yang 
lengang dan hampa. Tak tampak adanya sesuatu 
tergeletak di sana. Lalu kemudian Maria kembali 
melihat bayang-bayang hitam tadi. Tegak diam-diam 
di trotoir sebelah kanan, dengan moncong mengarah 
ke mobil Maria. Terdengar suara gonggongan keras, 
disahuti oleh gonggongan lain dari kegelapan malam 
di sekitar. Bayang-bayang hitam itu segera berlari 
menghilang. Hanya suara gonggongannya saja yang 
masih terdengar. Mengejar arah datangnya gong-
gongan susulan tadi.
“Anjing buduk!” Maria mengumpat. “Kukira 
apa...”
Sambil tertawa lega, Maria menjalankan 
mobilnya kembali. Namun tidak lagi sekencang tadi. la 
I sedikit lebih santai. Malah mendekati ogah-ogahan. 
Apakah ia tidak lebih baik pulang lagi, lantas 
meneruskan tidurnya yang tadi sempat terganggu? 
Tetapi nada suara Ronald di telepon terdengar agak 
berbeda dari biasa. Suara itu sepertinya menyimpan 
ketakutan tersembunyi. Entah apa yang ditakutkan 
Ronald dan entah apakah Ronald sendiri menyadari
nya. Ronald hanya berbicara tentang hawa nafsu 
terkutuk “yang lama” telah mengusik dirinya kembali 
Tak lebih dari itu.
Namun entah mengapa, Maria dapat 
merasakan adanya sesuatu dalam suara Ronald. 
Sesuatu yang tidak biasa, sehingga Maria ikut 
dijangkiti perasaan takut yang aneh dan misterius itu. 
Tetapi, apakah 'itu' kiranya? Maria tidak tahu. Maria 
hanya dapat merasakan!
Yang pasti, Ronald tidak perlu mengangkat 
telepon di tengah malam buta, hanya untuk 
membicarakan nafsu terkutuknya yang lama. Toh 
selama bulan-bulan terakhir ini, setahap demi setahap 
Ronald sudah mampu mengatasinya sendiri. Meski 
tidak sesempurna yang mereka harapkan bersama. 
Karena, “... maklum sudah mendarah daging!” Ronald
pernah mengaku. “Biarpun sudah kucabik-cabik 
dengan susah payah, tetap saja masih ada bibit yang 
tersisa di sana-sini.”
Sungguh menggembirakan, ketika pada 
akhirnya Ronald mengakui banyak hal. Tetapi betapa 
banyak jalan berliku-liku yang harus ditapaki Maria 
untuk mendapatkannya. Liku-liku yang sering-sering 
melelahkan. Malah ada kalanya teramat sangat 
membosankan.
Coba saja ingat minggu-minggu pertama yang 
datang untuk kemudian berlalu begitu saja, nyaris 
tanpa menghasilkan apa-apa. Hubungan Maria dan 
Ronald hanya sebatas bisnis belaka. Peranannya pun 
lebih banyak diambil alih oleh pak Jayusman. Orang 
kepercayaan almarhum ayah Maria itulah yang lebih 
banyak mengajari, memberi petunjuk-petunjuk, 
membimbing dan menemani Ronald kian kemari.
Keberadaan Maria boleh dikata tak ubahnya 
pos jaga yang disinggahi untuk bertanya ini itu. Lantas 
karena ia terlanjur sudah ambil bagian dalam terapi 
yang dilakukan dokter Rinaldi, Maria tentu saja harus 
menjawab setiap pertanyaan atau pendapat yang
diinginkan Ronald. Misalnya, “Tempat tinggal? Pakai 
sajalah rumahku yang di Jayagiri. Selama ini aku
tempati hanya diakhir pekan, itu pun tidak selalu. 
Memang ada beberapa anggota keluarga yang suka 
menginap di sana. Tapi temporer. Bayar sewa? Hai, 
omongan macam apa itu? Lupakan sajalah. Bukan 
menolak rejeki. Tetapi hitung-hitung ada yang 
mengisi. Ketimbang sering di biarkan kosong, lantas 
lama-kelamaan bobrok sendiri!”
Atau: “Oh, mau ikut tanam modal? Oke-oke 
saja. Lagipula itu bagus untukmu. Kau akan berjuang 
lebih keras. Karena yang kau pertaruhkan, sebahagian 
adalah milikmu sendiri. Hanya, satu hal perlu kau 
timbang masak-masak. Bisnis sayur mayur memang 
tampak menggiurkan, apalagi mendekati dan di 
musim paceklik. Namun resiko-nya pun sering tidak 
tanggung-tanggung. Terutama pada musim panen 
raya. Salah perhitungan sedikit saja, jangankan dapat 
laba. Modal pun bisa ikut tumpur...”
Dan entah apalagi. Yang sedikit pun tidak ada 
kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut urusan 
mental biologis. Konon pula yang menjurus ke urusan 
seksuil. Kalau pun ada pembicaraan yang sifatnya 
pribadi, tak lebih dari permukaannya saja
Sebagai contoh: “Aku ini anak satu-satunya. 
Sebagaimana ayahku adalah anak satu-satunya pula
dari kakek...” Maria memberitahu. “Agaknya aku 
terlahir dalam sebuah keluarga yang dalam urusan 
jumlah generasi penerus bukan main kikirnya!”
Di lain waktu: “Honorarium yang kuterima dari 
majalah tempatku bekerja? Oh, tak seberapa! Sering-
sering malah nombok...” Maria tertawa. “Tetapi tak 
apa, bukan? Toh peninggalan yang kuwarisi dari 
orangtuaku bila kumakan sendiri bukannya habis. 
Malah sebaliknya, terus saja bertambah. Adapun 
mengenai aku tidak berminat menekuni usaha 
keluarga yang sudah turun temurun, mungkin karena 
aku berbeda dengan para pendahuluku. Mengapa aku 
jadi wartawati? Spesialis kriminil pula? Oh, mungkin 
karena panggilan jiwa. Tetapi alasan yang lebih pas 
adalah karena aku menyukai petualangan. Khususnya 
mengenai perilaku manusia... dan bagaimana mereka 
menggapai kehidupan yang acapkali tidak mengenal 
kompromi...!”
Yang agak menjurus, paling-paling. “Pacar? 
Tentu saja aku pernah punya. Gunta-ganti malah! 
Sayangnya...”
Atau, “Menikah? Hem. Belum terpikirkan!”
*
* *
alanan menanjak di depannya semakin 
menanjak dan terus saja menanjak pertanda ia sudah 
mendekati kota Lembang, setelah itu Ronald dan... 
Maria mendadak tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba 
teringat bahwa Ronald sudah tahu banyak mengenai 
dirinya. Sementara Maria tentang Ronald boleh 
dibilang nol besar.
Belum pernah Maria bertemu orang setertutup 
Ronald. Jangankan mau berbicara tentang teman-
teman sesama gay. Mengenai keluarganya sendiri pun 
Ronald hanya membuka seperlunya saja. Sebagai 
misal: “Aku lahir di keluarga berpenghasilan kecil 
dengan tantangan besar,” kata Ronald. Lalu dengan 
cepat beralih ke urusan pekerjaan.
Atau: “Ayah orangnya keras tetapi berhati 
baik!” Lantas pembicaraan beralih lagi ke soal lain. 
Teman bermain?
“Banyak. Terutama sewaktu SD lalu SMP.”
Setelah di SMA?
Ronald sempat terdiam. Lantas cepat-cepat 
mengalih. “Bagaimana dengan laporan keuangan yang 
kemarin itu?”
Tak puas, pada kesempatan lain, Maria mendesakkan 
pertanyaan yang sama. Berpikir sejenak, baru. Ronald 
menjawab: “Ada beberapa.. Tetapi tak akrab.”
“Dari beberapa itu, tentunya ada yang cukup 
intim, seorang gadis dan...”
“Beberapa hari ini aku kurang tidur!” Ronald 
menukas. “Tak apa aku istirahat sebentar di kamar?”
Dan Ronald tidak keluar-keluar lagi dari kamar, 
sampai Maria meninggalkan Jayagiri sore harinya. 
Setelah hari itu, Ronald tahu-tahu menjaga jarak. 
Benar sikapnya masih tetap sopan dan ramah bila 
mereka bertemu. Tetapi selalu ada saja alasannya 
yang masuk akal untuk meninggalkan atau menolak 
ajakan Maria berjalan-jalan. Seperti: “Aduh, 
bagaimana ya. Ada sekian ton kentang di Cisarua...”
Perubahan sikap Ronald itu langsung 
dikemukakan Maria pada dokter Rinaldi sewaktu 
kebetulan mereka bertemu pada sebuah acara 
cocktail party. Seperti halnya Ronald, psikiater itu pun 
sempat terdiam beberapa saat lamanya. Baru 
kemudian, dengan pandangan enggan ia membuka 
mulut. “Satu hal yang kusukai pada dirimu, Maria...”
Rinaldi berkata. “Adalah sifatmu yang terbuka dan
terkesan agressip. Tetapi menyangkut Ronald, aku kira 
kau terlalu agressip.”
“Terlalunya?”
“Kau telah menyerang titik paling peka dalam 
diri Ronald. Justru sewaktu di SMA-lah penyimpangan 
itu dimulai Ronald, Berawal dari sebuah eksperimen 
iseng...”
“Eksperimen?”
Rinaldi seperti menyadari sesuatu yang tabu. 
“Ah, sudahlah. Sebaiknya hal itu tersimpan dalam 
arsipku saja...”
“Itu tidak adil!”
“Kode etik, Nak...”
“Persetan dengan kode etik Om itu!” potong
Maria sengit. “Bukan aku yang meminta ikut ambil 
bagian dalam terapi menjengkelkan ini!”
“Tetapi kau bersedia!” Rinaldi tersenyum 
dengan manisnya. “Dan aku pernah bilang. Kau bebas 
mengundurkan diri kapan saja kau mau. Tidak seorang 
pun yang akan menyalahkan.”
Diingatkan begitu... ditambah senyuman manis 
sang psikiater, membuat Maria melemah. Katanya. 
“Aku paling tak suka bekerja tanggung-tanggung.
“Maka, berhentilah bersikap cengeng. Mantap
kan hati. Teruslah berjalan, dengan kepala tegak. 
Sampai...”
“Tersandung sendiri!” .
Rinaldi tertawa membahak. “Tersandung? 
Orang seperti kau?” Rinaldi tertawa lagi. “Kiamatlah 
dunia...”
Siapa sangka, Maria akhirnya tersandung juga.
Namun dunia tidak sampai kiamat. Meski ada 
sedikit borok yang terasa mengganggu, ketika 
peristiwa itu berlangsung... dunia justru terasa betapa 
indah.
Sensasionil, malah.
ENAM
KOTA kecil Lembang yang masih menggeliat 
bangun pada dinihari itu dilewati Maria dengan begitu 
saja. Lupa bahwa sebelumnya ia sudah meniatkan 
singgah di warung pojok siang-malam, membeli pisang 
goreng bumbu 'Mak Onah' yang digandrungi para 
turis. Ingatan Maria sedang melambung ke malam 
sensasionil di tengah hujan badai dan amukan petir. 
Yang mengantar Ronald memasuki bulan ketiga terapi 
penyembuhannya.
Tumpahan air dari langit yang disertai butiran-
butiran es itu muncul pada saat Maria sedang bersiap-
siap pulang ke rumah mungilnya di pusat kota. “Ini 
bukan saat yang baik untuk berkeluyuran di luar sana,”
Ronald menganjurkan. “Menginap sajalah!”
Setelah berlangsung obrolan tak tentu arah 
selama sekian menit, Ronald yang pada malam itu 
masih menjaga jarak, meminta maaf pada Maria. “Aku 
harus memeriksa pembukuan untuk bulan terakhir,”
katanya.
Sementara Ronald sibuk di belakang meja 
kerjanya, Maria terpaksa harus menonton televisi 
sendirian. Menunggu kantuk datang atau hujan
berhenti dan ia bisa terus pulang Suasana kaku 
ditambah fenomena alam yang menggetarkan di luar 
rumah, mau tidak mau membuat Maria benar-benar
gelisah. Lalu, suatu saat ia merubah posisi duduknya, 
secara tidak sengaja lengan Maria terbentur pada 
bantalan lengan kursi. Gelangnya pun tersangkut. 
Sewaktu berusaha membebaskan gelang dari 
bantalan kursi, Mana melihat bahwa salah satu mata 
berlian gelang itu sudah tak ada di tempatnya. Pasti 
tanggal karena benturan tadi dan terlempar entah ke 
mana.
Maka begitu gelang berhasil ia bebaskan, Maria 
pun sibuk mencari batu berharga itu. la berjongkok 
untuk menyimak dan meraba-raba di permukaan 
karpet berbulu lumayan tebal. Terkadang mem-
bungkuk, malah kemudian menungging cukup lama 
supaya lebih mudah meraba-raba ke kolong meja 
duduk. Tanpa menyadari bahwa pantatnya 
menghadap ke arah Ronald.
Setelah mata berliannya ketemu, Maria bangkit 
dengan perasaan lega. Barulah saat itu ia teringat 
pada kehadiran Ronald, dan Ronald pasti bertanya-
tanya apa yang barusan Maria perbuat. Maria pun 
membalikkan tubuh untuk menjelaskan. Dan seketika 
itu juga Maria menegun dengan terkejut. Karena
“Mengapa kau memandangku seperti itu?”
Maria bertanya keheranan.
Ronald tersentak. Lalu menjawab polos namun 
gugup. “Baru sekarang aku menyadari. Bahwa 
pinggulmu... sangat indah!”
Maria memang berpinggul besar. Kencang dan 
padat. Kulit muka Maria lantas bersemu merah. 
Perasaan hangat menjalari sekujur tubuhnya.
Ada dua alasan mengapa Maria bersedia ambil 
bagian dalam terapi dokter Rinaldi. Pertama, karena 
benar-benar ingin menolong. Alasan kedua, begitu ia 
bertemu Ronald, Maria langsung tertarik. Dan 
semakin sering bertemu, semakin Maria diusik oleh 
sebuah harapan tersembunyi. “Andaikata ia bukan 
seorang homo…”
Di tengah perasaan hangat yang menggugah 
kewanitaannya itu, Maria mendadak teringat. 
Bukankah Ronald sudah sering bertemu dengannya. 
Jadi Ronal pun sudah sering pula melihat pinggul 
Maria. Tetapi mengapa baru sekarang Ronald 
memuji? Karena menahan diri? Pasti bukan. Ronald 
memang sangat tertutup mengenai dirinya. Namun 
menyangkut Maria. Ronald tak segan-segan bertanya 
atau mengomentari.
Kesimpulannya hanya satu saja
Tadi Maria menungging. Dan pantatnya…
Susah payah Maria menguasai diri Kemudian, 
adalah sepatutnya ia menegur dan mengingatkan 
Ronald pada terapi yang masih dijalaninya. Di luar 
kehendak pikiran sehatnya. Maria malah tergoda 
untuk, bertanya. “Kecenderungan lama itu, ya?”
Ronald menganggukkan kepala.
Godaan tadi kian merasuki Maria. la mendesak, 
“Dan?”
Ronald mengaku tersipu-sipu namun juga blak-
blakan. “Kau membuatku… berdiri.”
Kewanitaan Maria tergugah lagi. Dengan 
sentakan keras. Tanpa bisa dicegah lagi mulutnya 
melontarkan sebuah pertanyaan berbahaya.
“Kau menginginkannya?“
Ronald mengangguk lagi.
“Begitu pula aku.” Maria berkata sejujurnya.
“Tetapi bukan seperti apa yang aku bayangkan!”
Ronald mengeluh. 
“Jika demikian, lupakan sajalah!”
“Mengapa?”
“Karena kita... berbeda.”
“Kita dapat mencobanya, Ronald!”
“Kita tidak akan berhasil...”
“Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Dan 
bukankah itu yang menjadi tujuan akhir dari terapi 
ini?”
Ronald terdiam.
“Jawablah, Ronald!”
“... aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kau... kecewa.”
“Belum tentu. Kalau pun ya, kekecewaan yang 
sama sudah pernah kualami dari dua pria terakhir 
sebelum ini. Dan aku sudah terbiasa!”
“Situasinya berbeda, Maria.”
“Pasti. Di lain pihak, kau pun sudah harus mulai 
belajar untuk memasuki... pintu yang benar!”
“Tetapi...”
“Dengan berbicara saja kita tidak akan 
mencapai apa-apa, Ronald!”
Maria mengakhiri kata-katanya dengan 
tindakan nyata, la berjalan menuju kamar tidur yang 
hanya sewaktu-waktu dipergunakan oleh Maria. 
Setelah membuka pintu, ia berdiri menunggu. Ronald 
menyerah meski tanpak ragu-ragu, ia tinggalkan juga 
kursi kerjanya.
Setelah mereka berdua naik ke tempat tidur, 
lagi-lagi Maria yang harus mengambil inisiatip. La
menanggalkan pakaiannya lebih dulu, baru setelah itu 
ia beralih ke pakaian Ronald. Dan, Maria tercengang. 
Jantungnya memukul-mukul dengan kerasnya. 
Bayangan Daisyi mengilas di pelupuk matanya. Jika 
Ronald yang terbungkus pakaian sudah punya daya 
tarik seksuil luar biasa... apa kiranya komentar janda 
beranak dua itu bila sekarang ini ia menyaksikan 
Ronald yang sepolos bayi baru dilahirkan?!
Maria sendiri bahkan sampai terpengaruh 
sedemikian hebat. Sehingga melupakan bahwa Ronald 
seorang homo, dan butuh bimbingan. Juga lupa pada 
semua teori-teori yang pernah ia pelajari dan 
dipratekkan. Tak ubahnya seekor kucing betina yang 
sudah lama terkurung lalu ketika dilepas langsung
melihat seekor kucing jantan perkasa sudah 
menunggu... Maria langsung main terkam serta 
bertingkah laku sangat liar. Lantas ketika pada 
akhirnya ia selesai, barulah Maria menyadari bahwa 
Ronald masih tetap dalam keadaan serta posisi 
semula. Tanpa memperoleh apa-apa!
Itu tidak biasa dialami Maria. Benar, ada kalanya 
ia suka tergesa-gesa Namun bila ia sudah seliar tadi, 
kekasih-kekasih Maria sebelumnya sudah lebih dulu 
angkat tangan, pada menyerah. Sementara orang 
yang satu ini... Sambil istirahat sejenak, Maria berpikir 
keras. Kendala yang dialami Ronald bukanlah 
menyangkut daya tahan. Tetapi jelas diakibatkan 
adanya penolakan dari dalam.
Apa boleh buat.
Maria menghibur Ronald dengan bisikan 
lembut. “Kita akan mencobanya sekali lagi. Tunggulah 
sebentar...” la menyelinap ke kamar mandi, 
membersihkan diri. Kembali ke tempat tidur, ia 
kemudian memberi petunjuk-petunjuk pada Ronald. 
Seraya tak lupa menambahkan... “jangan biarkan 
dirimu menolak. Bagaimana pun caranya, usahakan 
supaya dirimu menerima!”
Dan Maria tidak lagi bertingkah liar. Dengan penuh 
kesabaran ia mencari lalu menyentuh titik-titik paling 
peka seorang laki-laki di sekitar tubuh Ronald. 
Khususnya di sekitar pinggul mengingat Ronald adalah 
seorang homo. Lambat tetapi pasti, terasa adanya 
reaksi pada tubuh Ronald, bahkan juga Maria sendiri. 
Andaikata mengikutkan hawa nafsu, mauulah Maria 
segera mendorong Ronald memasuki dirinya. Namun 
ia menahan diri sekuat daya, meski kewanitaannya 
mulai tidak tahan. Baru setelah ia yakini betul bahwa 
Ronald sudah siap merangkak ke pendakian terakhir, 
Ronald ia bimbing masuk.
Mereka tiba pada waktu bersamaan.
Sensasi itu menakjubkan Maria. Sayangnya, 
sesuatu yang tidak dikehendaki, muncul mengganggu. 
Pada saat Ronald tiba, Ronald merintihkan sebuah 
nama: “Anton, oh... Antonius...!”
Sempat dibuat merinding Maria seketika itu 
juga menarik diri dari tubuh Ronald, pakaiannya 
disambar. Lalu tanpa berkata atau menoleh lagi ke 
belakang, ia langsung minggat dari kamar.
Lantas meringkuk di dekat tungku pendiangan 
sambil mengumpat-umpat berang. “Haram jadah
terkutuk! Aku yang jungkir balik, orang lain yang ia 
bayangkan. Laki-laki pula lagi. Sialan!”
Setelah menenggak satu sloki whisky yang ia 
ambil dari bar, perlahan-lahan Maria menjadi tenang 
dan kemarahannya pun menyurut. Kembali, ke dekat 
tungku, ia sudah dapat berpikir jernih. Memang bukan 
salah Ronald, pikirnya. Toh sebelumnya Ronald tidak 
menjanjikan apa-apa. Maria juga tiba-tiba teringat, 
bahwa tadi telah menganjurkan sendiri. “Bagaimana 
pun caranya, usahakanlah supaya...” Ronald sudah 
mematuhi anjuran Maria. Tetapi dengan cara sesuai 
keinginan serta lamunan Ronald sendiri!
Jadi kesalahan ada pada pihak Maria sendiri. 
Namun untuk mengakuinya terus terang. Maria 
merasa risi. Selain itu, ia juga harus ingat bahwa 
Ronald sedang menjalani terapi penyembuhan. Maria
harus memikirkan kalimat yang sebijaksana mungkin 
sebagai pernyataan menyesal. Sekaligus mendorong 
Ronald untuk berpikir bahwa hasil akhir dari 
eksperimen yang tadi mereka lakukan, bukanlah 
merupakan sebuah kegagalan.
Kunci jawaban akhirnya ditemukan Maria. Lalu 
ia menunggu tibanya waktu sarapan pagi. Waktu di 
mana setiap orang menerima enerji baru, untuk
melangkah memasuki hari yang baru pula. Hasilnya 
terbukti positif. Maria melihat seraut wajah terharu.
Dan di wajah itu, wajah Ronald-nya, tampak 
adanya bias-bias tersembunyi. Bias-bias harapan.
Senyum yang sempat marak di bibir Maria, 
segera meredup manakala dengan terkejut ia 
menyadari bahwa ia tahu-tahu sudah sampai ke 
tujuan. Maria pun tak perlu repot-repot turun untuk 
memijit bel, karena pintu gerbang tampak menganga 
terbuka.
Sambil membelok lalu membiarkan mobilnya 
merayap lambat menuju serambi depan rumah, Maria 
bertanya-tanya dalam hati mengapa Ronald sampai 
berlaku seceroboh itu. Bukankah Ronald sudah tahu 
bahwa akhir-akhir ini perampokan bersenjata semakin 
menggalak, terutama di pinggiran kota? Merasa tak 
enak, Maria melirik pada tiga buah truk mereka yang 
diparkir di pelataran sebelah kanan. Lalu ke gudang 
besar yang digembok rapat dari sebelah luar. Terakhir 
ia memperhatikan rumah di depannya. Kecuali ruang 
duduk, bagian lain rumah tampak gelap gulita.
Herannya, meski lampu mobil menerpa ke 
rumah, tak ada yang keluar untuk mengetahui siapa
yang datang. Bi Nining maupun suaminya mungkin
masih terlelap. Tetapi, Ronald?
Perasaan tak enak sewaktu mendengar suara
Ronald di telepon, kembali mengusik Setelah, mobil 
berhenti, ia turun cepat-cepat Lalu naik ke serambi 
dengan perasaan gelisah, karena Ronald tak juga 
keluar untuk menyambut Pintu depan ia temukan 
tertutup, namun tidak terkunci. Aneh, pikirnya.
Lantas menyelinap masuk ke dalam. Dengan 
jantung berdebar.
Maria bukan seorang pengecut. Selain itu, iaj 
juga sudah terbiasa menghadapi bahaya. Tetapi-
malam ini, dan justru di rumahnya sendiri, Maria tiba-
tiba merasakan dirinya dihinggapi perasaan takut yang 
ganjil. Yang, seolah-olah menyeretnya dengan paksa 
ke sebuah mimpi buruk. Dan Maria saat ini merasa 
bukan sedang memasuki rumah miliknya sendiri, la 
merasa seperti sedang memasuki dunia lain.
Sebuah dunia terasing.
Yang menakutkan.

TUJUH
TAKUT-TAKUT, Maria memanggil lirih. 
“Ronald?”
Tak ada sahutan.
Rumah yang dimasuki Maria terasa begitu sepi. 
Dan mati.
Tetapi seakan-akan ada kekuatan gaib yang 
menariknya dari sebeiah dalam rumah, Maria terus 
juga melangkah masuk meski hati kecil menyuruhnya
melarikan diri secepat dan sejauh mungkin. Hati kecil 
Maria itu bahkan seperti menceritakan kata-kata 
peringatan. “Lupakan dan jangan pernah kembali lagi 
ke rumah terkutuk ini!”
Maria melewati ruang depan yang gelap dan 
tiba di ruang duduk yang terang benderang. Tak ada 
siapa-siapa di dalam. Juga tidak tanda-tanda 
kehidupan, kecuali di tungku pendiangan. Namun 
udara sepertinya tercemar. Hidung Maria menangkap 
bau sesuatu. Bau yang tidak biasa dan tidak 
semestinya tercium di sebuah ruang duduk yang 
nyaman, berperalatan megah, serta terawat dengan 
baik.
Maria mengacuhkan bau asing itu dan 
meneruskan langkah ke pintu kamar tidur Ronald yang 
menganga terbuka. Kamar itu pun kosong, namun
ranjang tampak bekas ditiduri. Maria sudah akan 
membalikkan tubuh ketika ia mendengar bunyi 
cucuran air diseling suara nafas berat. Datangnya dari 
kamar mandi yang pintunya setengah terbuka.
“Ronald?” kembali Maria memanggil. “Kaukah
itu?”
Karena tak juga ada sahutan, Maria lantas 
memberanikan diri mendekati kamar mandi. Harap-
harap cemas ia dorong sedikit pintu yang setengah 
terbuka itu agar dapat melihat lebih jelas ke sebelah 
dalam, tanpa ia harus masuk. Di balik tabir pemisah 
samar-samar tampak bayang-bayang seseorang yang 
sedang mandi di bawah pancuran dengan tubuh 
sepenuhnya bugil. Biarpun tidak begitu jelas terlihat, 
Maria dengan segera sudah dapat mengenali tubuh 
Ronald.
Lega namun juga sekaligus malu, Maria mundur 
lalu bergegas meninggalkan kamar tidur itu sebelum ia 
ketahuan mengintip. Perasaan seperti terseret ke 
dunia gaib di tengah sebuah mimpi buruk itu masih
mengusik. Tetapi Maria sedikit lebih tenang. Paling 
tidak, Ronald ada, dan masih hidup.
Sambil berjalan menuju ke kamar tidur pribadi 
nya, Maria berusaha keras membuang perasaan yang 
terus mengusik itu. Dan mengingatkan pada diri 
sendiri bahwa ia telah dibuat ketakutan sendiri gara-
gara pintu gerbang dibiarkan menganga terbuka tanpa 
dijaga, ia membayangkan kemungkinan terjadi 
perampokan berdarah... Eh, nanti dulu. Apa yang 
barusan sempat ia lihat di lantai kamar mandi? Oh ya. 
Air bekas mandi, tentu saja, mengalir ke saluran 
pembuangan. Tetapi kok warnanya kemerah-merahan 
ya? Seperti genangan air bercampur darah. Apakah 
Ronald...
Maria tertegun sesaat. Lalu kemudian 
meneruskan langkah setelah ingat bahwa di balik tabir 
pemisah, gaya Ronald mandi tampak biasa-biasa saja. 
Bukan seperti orang kesakitan atau terluka. Lagi siapa 
pula yang melukainya? Rumah yang dimasuki Maria 
tampak biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda 
kekerasan. “Ya, ampun!” Maria bersungut-sungut. 
“Perampokan berdarah itu kan hanya ada dalam 
angan-anganku?”
Masuk ke kamar tidurnya, Maria rebahan 
sejenak di atas ranjang berkasur empuk dan nyaman. 
Seraya menenangkan diri, sepasang mata Maria 
mengawasi ke sekitar. Setiap benda yang dilihatnya, 
masih tetap benda yang sama dan juga masih di 
tempat yang sama pula. Kecuali sprei dan sarung-
sarung bantal, yang tentunya telah diganti oleh bi 
Nining, begitu Maria meninggalkan rumah ini satu 
minggu yang lalu. Jelas sudah, Maria ada di kamar 
tidurnya sendiri, di rumahnya sendiri pula, dan 
bersama orang-orang yang dikenalnya, la telah 
berpikir lantas melamun yang bukan-bukan.
Kurang ajarnya, ia terpengaruh. 
Lantas ketakutan sendiri!
Teringat bahwa sebentar lagi Ronald akan 
menyelesaikan mandinya, Maria segera meluncur 
turun dari tempat tidur. Dalam sekejap ia sudah 
berpindah tempat. Duduk menghadapi meja rias. 
Untuk mematut-matut diri, tentu saja. Rias wajah 
Maria masih utuh sempurna. Hanya tatanan rambut 
yang sedikit rusak karena rebahan barusan. Maria 
segera menyisirnya supaya kembali rapih. Ujung lidah 
dikeluarkan sedikit. Mengusap sepasang bibir. Diberi
tambahan lipstik satu polesan. Cukup untuk membuat 
bibirnya tampak lebih memerah, basah.
Sejenak, ia duduk diam-diam.
Mengawasi wajahnya yang memantul pada 
permukaan cermin. Wajah di cermin itu balas 
menatap Lurus ke arah mata Maria. Dengan sorot 
mata kaku. Lantas sepasang bibir di bawah mata yang 
menyorot kaku itu, perlahan-lahan. Lalu telinga Maria 
menangkap suara desahan tajam. “Nah, di sinilah kau 
sekarang! Tetapi, untuk apa?”
Bathin Maria menjawab, lemah. “... aku tidak tahu.”
“Jangan munafik!” wajah di cermin menghardik. 
“Kau pasti tahu untuk apa!”
“Aku kira... Ronald membutuhkan pertolonganku.”
“Dia tidak seperti orang yang butuh pertolongan!”
“Siapa bilang?”
“Lihat saja tadi. Kau sudah mencemaskannya 
setengah mati. Eh, dia malah sedang enak-enak
mandi!”
“Tetapi...”
“Janganlah mendustai dirimu sendiri. Dia tidak 
memintamu datang. Kau datang atas kemauan sendiri. 
Jadi, yang jujur sajalah. Mengapa kau ke sini?!”
“Aku... mencintai Ronald.”
“Oh, oh, oh! Dulu mengakunya hanya sekedar 
tertarik!”
“Mulanya, memang...”
“Hem. Semenjak kapan perasaan hatimu 
berkembang menjadi separah itu?”
“Tidak pasti. Mungkin semenjak... malam yang 
sensasionil itu.”
“Sensasi apa! Meski terkadang mereka lemah, 
kau toh sudah sering mengalami sensasi yang sama 
dari Parman, dari Effendi, dari...”
“Memang aku menyukai mereka. Tetapi cinta? 
Tidak akan! Mereka itu suka mengobral janji, 
kenyataan di belakang, terlalu banyak menuntut. Bila 
tidak minta ini itu, pastilah berkata: kau harus 
Beginilah, kau harus begitulah...! Ronald berbeda. Dia 
tidak pernah menjanjikan apa-apa. Juga tidak 
menuntut. Dia tahunya bekerja, bekerja dan bekerja. 
Masih ada lagi...”
“Apa?”
“Dalam urusan tempat tidur, mereka yang kau 
sebut-sebut tadi sama berpengalamannya dengan aku 
sendiri. Ronald? Dia tak ubahnya seorang perjaka. 
Dan... berani taruhan, akulah perempuan pertama 
yang pernah ditidurinya.”
“Ditidurinya? Apa tidak terbalik? Kaulah yang 
meniduri dia. Dan agaknya kau lupa ia seorang 
homo?“
“Dia akan berubah!”
“Akan kapankah itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Dan apakah kau pikir ia dapat berubah hanya 
dengan eskperimenmu yang sekali itu saja? Mana 
boleh dibilang gagal pula lagi. Seharusnya eksperimen 
itu kau teruskan Coba lagi, coba lagi Sampai...”
“Cukuplah yang sekali itu saja Sampai mati pun. 
aku tak sudi lagi mengulanginya!”
“Kok sadis begitu.”
“Habis? Keberadaanku tak dianggap! Kalaupun 
dianggap, Ronald membayangkan diriku seorang laki-
laki. Dan di dalam bayangannya itu, yang dia masuki
adalah... Ih, sudahlah. Pendek kata, gambaran seperti 
itu sampai sekarang pun masih tetap membuat aku 
merinding. Jijik!”
“Katanya... cinta!”
“Justru karena cintalah aku masih bersedia 
menunggu Sampai dia berubah. Dan perubahan itu 
harus datang dari dalam dirinya sendiri!”
“Egomu terlalu tinggi!”
“Menurutku wajar-wajar saja!”
“Wajar bagaimana? Ingat kau hadapai adalah 
seorang anak manusia yang kebetulan memiliki 
kecenderungan seksual yang justru tidak wajar.”
“Lantas, aku harus berbuat apa, eh?!”
“Nah, lihatlah. Ego-mu memang tinggi. Ketika
tiba persoalan menyangkut pribadimu, kau uring-
uringan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Ronald, 
apalagi. Dia pun tidak tahu harus berbuat apa. Dunia 
yang sekarang dia masuki adalah sebuah dunia yang 
jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan apa 
yang dia tinggalkan di belakangnya. Dia masih perlu 
bimbingan. Tuntunan. Dan, di atas itu semua... jelas 
yang paling dia butuhkan adalah seorang 
pendamping!”
“Aku toh terus mendampinginya...”
“Betul. Tetapi hanya pada akhir pekan saja. 
Sementara yang dibutuhkan Ronald adalah seseorang 
yang bisa senantiasa mendampinginya. Bukan cuma 
datang sesekali... itu pun, sambil mengusik-usik masa 
lampau yang ingin dilupakannya. Yang lebih penting 
lagi, orang itu mau mengerti serta memahami siapa 
dirinya.”
Wajah di cermin melenyap ketika Maria 
merunduk pelan.
Menekuri lantai.
Dengan perasaan gundah.
Tidak mau dibawa larut oleh perasaan 
gundahnya, Maria keluar dengan langkah gontai 
meninggalkan kamar tidur, la pergi ke bar di ruang 
duduk. Dari rak minuman Maria mengambil botol 
Martini. Setelah dituangkan secukupnya ke sebuah 
gelas kecil, Maria berjalan menuju tungku pendiangan.
Nyala api tampak sudah tidak semarak ketika ia 
mula-mula tiba Maria meneguk sedikit Martininya. 
Lalu sambil setengah bersimpuh di lantai, dikorek-
koreknya bara api di bawah tumpukan kayu bakar
itu, bau yang mencemari udara ruang duduk itu 
tercium lagi. Lebih keras sekarang. Maria mengendus-
endus untuk mengenali bau yang tidak lazim itu. 
Sepertinya bau kain terbakar, dan...
“... hai,” terdengar sapaan lunak di belakangnya.
Maria berpaling terperanjat. “Oh, kau Ronald!”
gumamnya lega. Seraya mengawasi sosok Ronald yang 
memakai piyama bergaris-garis tebal warna coklat tua 
dengan warna dasar krem. “Kau membuat aku 
kaget...”
Ronald tersenyum. 
“Barusan aku mau melihat-lihat keluar sana. Eh, 
tak tahunya kau sudah di dalam sini. Mau kubuatkan 
minuman?”
Maria menunjuk ke gelas kecil berisi Martini yang tadi 
ia letakkan di dekatnya. “Kau buatlah untukmu sendiri, 
Ronald.”
“Aku sudah minum tadi...” Ronald berkata 
sambil duduk santai di sofa. Setelah mana ia kemudian 
memperhatikan Maria, dari ujung rambut sampai ke 
ujung kaki.
Diperhatikan seperti itu, jantung Maria 
berdebar. Hangat. Tetapi kok dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki... seperti Ronald baru pertama 
kali ini melihat Maria?
“Sudah lama?”
“... heh?” Maria terjengah.
“Tibamu. Sudah berapa lama?”
“Oh. Paling banter juga sepuluh menit.”
“Hem. Tentunya selagi aku mandi. Barusan tadi 
otot-ototku terasa kaku. Lalu kupikir, dengan bersiram 
air hangat aku akan menjadi segar kembali!”
“Bukan hanya segar,” komentar Maria seraya 
menyimak wajah Ronald. “Kau malah tampak jauh 
lebih sehat dari sebelumnya. Oh ya. Aku harap 
keadaanmu baik-baik saja...”
Ronald tersenyum lagi. “Memangnya aku kenapa.”
Maria menimbang-nimbang sejenak. Baru setelahnya 
menjawab. “Bukan apa-apa. Hanya saja, tadi di 
telepon...”
“Oh, itu!” Ronald tertawa kecil. “Lupakanlah. 
Aku pun sudah tidak mengingatnya lagi!”
Semudah itu?
Maria benar-benar tidak percaya. Lebih tidak 
percaya lagi, adalah penampilan Ronald. Betul 
semenjak malam sensaionil itu Ronald sudah lebih 
terbuka pada Maria, meski hanya sampai batas-batas 
tertentu saja. Namun, tertawa? Bibir Ronald bisa 
mengguratkan senyuman tipis saja pun sudah luar 
biasa. Wajah Ronald senantiasa kelabu. Diselimuti 
masa lalu yang masih terus menghantui dirinya.
Lalu mengapa Ronald mendadak berubah? 
Jangan-jangan Ronald cuma berpura-pura. Untuk 
menghibur Maria yang sudah bersedia datang jauh-
jauh menemuinya, pada dinihari pula?
“Tahukah kau, Maria?”
Sekali lagi Maria terjengah. “Heh?”
Sekali lagi pula Ronald memperhatikan wajah 
Maria. Kali ini pada wajah. Dengan tatap mata terang-
terangan. Lalu “... kau tampak cantik sekali malam 
ini!”
Jantung Maria bukan lagi hanya berdebar. 
Namun seakan mau copot saja. Benarkah apa yang ia 
dengar? Ronald memujinya! Tak masuk akal! Sekali-
kalinya Ronald memuji, hanyalah pada malam itu. 
“Pinggulmu...”
Pinggul, okelah. Karena di bagian yang itu, ada 
sesuatu yang didambakan Ronald.
Tetapi wajah?
Mengulas lagi senyuman di bibir Ronald. “Kau 
tampaknya seperti mau pingsan saja, Maria.”
Sekujur tubuh Maria terasa bergetar. Terutama 
oleh senyuman Ronald. “Oh...”
Ronald pelan-pelan meninggalkan sofa. Seperti 
halnya Maria. Ronald pun bersimpuh di lantai. 
Sepasang tangannya terulur ke depan. Menyentuh 
wajah Maria. Lalu mengusap dan mengusap. Hangat. 
Dan bergetar. Maria sampai terpejam. Dan selagi 
Maria terpejam, sapuan hangat Ronald terasa 
mendatangi. Lalu bibir Maria tahu-tahu sudah dicium 
oleh bibir Ronald yang pun terasa hangat bergetar.
Ternyata yang dimasuki Maria bukanlah mimpi 
buruk. Melainkan sebuah mimpi menakjubkan. 
Sedemikian menakjubkannya, sehingga nyaris terasa 
seperti mustahil. Karena sentuhan-sentuhan Ronald 
jelas adalah sentuhan-sentuhan penuh birahi. Birahi 
seorang laki-laki!
Laki-laki?
Ronald menarik tubuh Maria dengan lembut ke 
atas karpet. Merebahkannya dengan lebih lembut lagi. 
Maria seakan melambung tinggi. Namun alam bawah 
sadarnya masih bertahan. Alam bawah sadar itu 
mendorong Maria untuk bersikap waspada. Laki-laki! 
Siapa sebenarnya yang dibayangkan Ronald sekarang 
ini? Antoniuskah?
Ronald siap untuk menarik lepas blus Maria. 
Dan saat itulah Maria bereaksi. Tangan Ronald 
ditahan, lalu dicengkram. Maria membuka kelopak 
matanya. Dengan pandangan nanar ia menatap lurus-
lurus ke sepasang mata Ronald yang balas menatap. 
Heran.
“Katakanlah...” bisik Maria terengah. Dengan 
nada memohon. “Bahwa saat ini kau tidak sedang 
membayangkan... bahwa aku adalah...”
Ronald tidak langsung menjawab. Lebih dulu ia 
mengecup bibir Maria. Baru setelahnya ia berbisik di 
telinga Maria. 
“Aku tidak membayangkan siapa pun juga, 
Maria. Aku hanya menginginkanmu. Menghendaki 
dirimu sebagai seorang wanita!”
Namanyalah yang disebut. Dan dirinya sebagai wanita.
Di luar sana, terdengar suara sepeda motor
meraung-raung. Seakan pengendaranya sedang 
memburu sesuatu. Tetapi Maria tidak perduli. Juga 
ketika terdengar raungan sepeda motor lainnya, 
menyusul yang pertama tadi. Baru setelah terdengar 
raungan sirene, Maria tertegun sejenak. Lantas 
berbisik. “Sirene itu…”
“Biarkan sajalah,” Ronald balas berbisik. “Paling 
juga ada yang kebakaran. Entah di mana…”
“Bukan. Itu adalah ambulans.”
“Ya. Ada orang mendadak sakit kalau begitu!”
tambah Ronald yang sudah mulai membuktikan 
dirinya sebagai seorang laki-laki. Dan apa yang harus 
dilakukan laki-laki itu pada wanita yang diinginkannya.
Sirine lagi.
Hei. Mengapa mendadak begitu ramai?
“Ronald?”
“… apa?”
Maria sebenarnya ingin menyatakan. “Tadi 
ambulan. Sekarang, mobil patroli polisi!” Akan tetapi, 
karena Ronald sudah melambungkannya semakin 
tinggi, Maria kemudian hanya mendesah samar
samar. Sehingga nyaris tak terdengar, bahkan oleh 
telinganya sendiri. “Ah Lupakan saja lah...”
Ya. memang seharusnya begitu
Lupakan saja semua ribut ribut yang muncul 
mendadak di luar sana Biarkan para petugas 
kesehatan serta polisi-polisi itu menjalankan tugas 
entah di sudut mana Jayagiri ini. Lupakan juga 
panggilan hati untuk segera keluar dan mengikuti ke 
arah mana mereka pergi. Pasti ada berita menarik. 
Tetapi itu dapat menyusul.
Bila pun ada yang harus diingat, adalah dokter 
Rinaldi. Yang pernah berkata: “Ini bukan pekerjaan 
enteng, Maria. Mungkin saja diperlukan waktu paling 
tidak satu dua tahun...”
Psikiater itu pasti akan tercengang-cengang 
andaikata ia tahu apa yang terjadi sekarang ini. Ronald 
tidak lagi perlu dirangsang, tidak lagi perlu dituntun. 
Ronald sudah dapat melakukannya sendiri. Dengan 
utuh. Dengan cara yang semestinya. Di tempat yang 
semestinya pula!
Kalau bukan Maria sendiri yang mengalami dan 
merasakannya, pastilah Maria pun akan menertawa
kan bila ada seseorang yang memberitahu bahwa 
Ronald sudah berubah secara drastis dan tiba-tiba Seolah-olah ia adalah seorang Ronald yang lain.
Bukan Ronald yang pernah dikenal Maria.
*
* *
DELAPAN
MARIA terbangun dengan sekujur tubuh terasa 
lemas sekitar pukul sembilan pagi dan menemukan 
Ronald sudah tidak ada di sebelahnya. Namun sedikit 
pun Maria tak kecewa. Apalagi setelah membuka 
jendela kamar tidur , ia lihat ke tiga buah truk sudah 
tidak ada di pelataran parkir. Pertanda di suatu tempat 
sedang ada panen, entah panen apa, dan Ronald 
beserta para pembantunya sekarang ini tentu dalam 
perjalanan ke sana.
Dihirupnya udara hangat segar yang berlimpah-
limpah di luar jendela, sebanyak paru-parunya 
sanggup menerima. Seraya membathin bahagia 
“Ronald bakal menjadi seorang suami yang hebat!”
Bagaimana tidak hebat, Laki laki yang 
dicintainya itu giat bekerja. Juga luar biasa di tempat 
tidur. Lihat saja menjelang subuh tadi. “Aku masih saja 
mendambakan dirimu Kita ke tempat tidur yuk…” bisik 
Ronald di telinga Maria. Maria tidak pernah 
memimpikan bisa menikmat orgasme tiga kali
berturut-turut hanya dalam tempo tidak sampai dua 
jam. Namun Ronald telah mempersembahkan mimpi 
indah itu ke haribaan Maria. Dengan lembut serta
penuh kasih sayang pula. “Kau wanita pertama dalam 
hidupku, Maria. Sampai kapan pun kau tidak akan 
pernah kulepaskan dari pelukan ku...!”
Dengan perasaan setengah melayang, Maria 
meninggalkan jendela untuk mengambil training nya 
dari lemari pakaian. Sedikit berolah raga akan 
memulihkan tenaganya kembali. Lalu ia siap memulai 
hari-harinya yang baru Hari-hari yang tentu saja akan 
sangat berbeda dengan yang sebelumnya telah ia 
jalani. Mungkin kebiasaan berkeliaran belum akan ia 
tinggalkan (perilaku dan cara manusia menggapai 
kehidupan masih tetap merangsang untuk diikuti lalu 
dipindahkan ke mesin tik). Akan tetapi beberapa 
kebiasaan lainnya, dari sekarang harus sudah mulai 
dijauhi Maria. Tidak boleh pergi atau pulang sesuka-
suka hati. Tidak lagi makan atau tidur dimana serta 
kapan saja sempat. Dan entah apa lagi. Karena, Maria 
tidak lagi hanya bertanggung jawab pada diri sendiri. 
Kini ia juga dibebani (yang ia terima dengan senang 
hati), tanggung jawab untuk membuat Ronald betah di 
rumah. Lalu pulangnya, ada yang menyambut dan siap 
membantu Ronald melepaskan diri dari kelelahan. 
Kemudian...
“Nyenyak tidurnya, Non?” Nining yang sedang 
menatap ruang duduk langsung menyapa begitu sang 
majikan nongol dari pintu kamar tidur.
Masih diliputi perasaan bahagia, Maria menyahuti... 
diiringi senyuman ceria. “Nyenyak banget, Bi Nining!”
“Syukurlah. Mau sarapan sekarang?”
“Nanti sajalah. Aku jogging dulu sebentar.”
Nining memperhatikan dengan pandangan 
serius. Lalu, “Tak biasanya Non sesantai ini. Pastilah 
Non belum mendengarnya.”
Maria yang sudah akan berjalan ke pintu depan, 
seketika membalikkan tubuh. Bertanya tertarik 
“Mendengar apa, Bi?”
“Ada anjing dimakan... eh, terbalik,” Nining 
berujar serius. “Maksud saya, Non. Ada orang dimakan 
anjing. Tak jauh dari sini!”
Maria membelalak. “Yang benar!”
“Semua orang sekampung juga sudah pada 
tahu, Non. Kalau tidak percaya, tanyai saja mereka. 
Subuh tadi...”
Subuh tadi!
Ribut-ribut yang mengganggu, ambulan, mobil 
patroli polisi!
Maria melupakan niatnya berolahraga pagi. la 
langsung bergegas ke meja telepon. Sempat keliru 
memutar nomor-nomor kantor kepolisian wilayah 
Bandung tetapi segera sadar lalu membatalkannya, la 
kemudian memutar nomor telepon lainnya. Begitu 
dapat sambungan, Maria bertanya tak sabar. 
“Hallo. Dengan Polsek Lembang?”
“Betul,” terdengar suara-berat dan sedikit kasar 
di seberang sana.
“Bisa bicara sebentar dengan pak Herman?”
“Kapten sedang keluar. Ini siapa?”
Maria menyebut identitas dirinya. Lengkap
dengan nama majalah berita mingguan tempatnya 
bernaung. Suara di seberang sana telepon seketika 
berubah ramah. “Oh. Kau rupanya, Maria. Kapten 
barusan pergi ke Polres. Ini aku, Solihin. Apa yang 
dapat kami bantu, Maria?”
Maria mengutarakan maksudnya. Tidak lupa 
menambahkan.”... dan aku sepenuhnya percaya, 
Sersan. Bahwa Nining bukan sedang bergurau!

Sepi sejenak. Baru setelahnya, terdengar suara 
yang bernada heran. “Jadi kau ada di Jayagiri. Bukan di 
rumahmu yang di kota. Kok sampai tidak tahu...”
“Katakanlah, aku kecolongan,” sahut Maria 
ringkas. “Nah, Sersan?”
“Ya, memang benar ada mayat seseorang di 
sana. Hanya saja informasi yang kau dengar sedikit 
berlebihan!”
“Pasnya?”
“Sewaktu ditemukan, sepotong dari isi lambung 
korban sedang diperebutkan oleh dua ekor anjing,”
Solihin memberitahu dengan kalem.
Perut Maria mendadak terasa mual Kuatir 
Solihin tahu lantas diam-diam menertawakan, Maria 
menguasai diri dan buru-buru meneruskan. “Ada di 
mana mayat itu sekarang?”
“Pertanyaan apa pula itu?” Solihin mendengus. 
“Tentu saja sudah dikirim ke Hasan Sadikin. Malah aku 
yakin, mereka pun sudah mulai menjagalnya!”
Sarkastik! tetapi Maria dapat memahami. Sifat 
macam itu lumrah menghinggapi orang yang terpaksa 
harus mengerjakan apa yang pasti dihindari umumnya 
manusia; bahkan orang itu sendiri pun tidak
menyukainya. Yang pasti, bagaimana pun cara Solihin 
mengungkapkannya, satu hal jelas sudah. Mayat 
korban sudah dikirim ke meja otopsi rumah sakit. 
Untuk dapat memotretnya, Maria terpaksa 
menunggu. Dan itu akan makan tempo.
Memang masih ada pilihan lain. Meminjam hasil 
pemotretan bagian indentifikasi polisi, atau rekan 
seprofesi yang sudah bergerak mendahului Maria. 
Pilihan yang sungguh sangat ia benci. Karena Maria 
sangat gandrung yang serba eksklusif. Namun, bila 
terpaksa... Oh, oh! Mimpi indah Maria agaknya 
memang membutuhkan pengorbanan juga...
“Nyawamu masih di situ, Maria?”
Maria menyeringai. “Masih.”
“Kalau begitu, datanglah kemari. Siapa tahu ada 
informasi yang teman-temanmu belum pada tahu!”
Itu salah satu segi baik pada diri sersan Solihin 
maupun rekan-rekannya satu korps di banyak tempat: 
tahu betul apa yang dikehendaki Maria. Maria 
sebaliknya pula: tahu betul bagaimana caranya 
menjaga segi baik itu dapat bertahan untuk jangka 
panjang. Sambil memikirkan oleh-oleh apa kiranya 
yang pantas dibawa ke sana, Maria berujar tulus. 
“Terimakasih, Sersan. Aku akan ke sana nanti.”
“Kami tunggu, cantik!”
Setelah menyimpan gagang telepon di 
tempatnya, Maria bergegas masuk ke kamarnya 
kembali. Niat untuk jogging sudah terlupakan, la 
langsung mandi, berpakaian buru-buru lalu berdandan 
seadanya saja. Bukan mau ke pesta ini!
Dari lemari ia keluarkan tustel cadangan dan 
sekotak negatip film yang memang sengaja disimpan 
(bersama mesin tik) bila sewaktu-waktu diperlukan 
dan ia sedang berada di Jayagiri. Dengan menenteng 
tas berisi perlengkapan memotret dan loket uang, 
tidak berapa lama kemudian Maria keluar dari 
kamarnya.
Pelayannya segera mendatangi. “Sarapan sudah 
tersedia, Non.”
Maria terus saja melangkah menuju pintu 
keluar. “Belum lapar. Habiskan saja oleh Bibi!”
Dengan pandangan maklum, Nining mengantar 
majikannya sampai ke serambi depan. Sambil 
mengawasi mobil sang majikan yang sedang meluncur 
ke pintu gerbang, Nining kemudian geleng-geleng 
kepala. Lantas bergumam kagum... namun juga 
sekaligus prihatin. “Apa kubilang! Pantang ada berita
bagus, langsung melompat seketika. Bagaimana tak 
sulit mendapatkan jodoh...!”
*
* *
Maria tidak langsung pergi ke kantor polisi. 
Melainkan lebih dulu mendatangi tempat kejadian 
peristiwa, la tidak merasa perlu bertanya di mana.
Daerah tempat tinggalnya memang sudah 
berbau kota Tetapi kebiasaan rakyat di pedesaan 
masih saja mendominasi Di desa, masih juga orang 
suka bergerombol menggunjingkan suami isteri 
tetangga mereka yang ribut bertengkar. Padahal, di 
saat mereka bergunjing itu, si suami isteri tersebut 
sudah bergumul lebih hebat di tempat tidur. Tetapi 
yang ini. untuk memproduksi calon anak mereka yang 
ke sekian!
Tidak sampai seperempat jam berikutnya, 
Maria sudah menemukan tempat yang dicari, bahkan 
juga orang-orang yang ia kehendaki. Karena memang 
sudah mengenal siapa Maria, si penemu mayat 
dengan senang hati menceritakan apa yang 
sebelumnya telah ia ceritakan pada polisi.
“... gonggongan ribut anjing-anjing itu membuat 
saya tidak bisa tidur lagi,” demikian antara lain isi 
ceritanya, “Saya langsung keluar dari rumah saya di 
bawah sana. Naik ke sini dan... Aduh, Non Mengerikan 
sekali. Andaikata Non ikut menyaksikan, Non mungkin 
semaput. Saya sendiri sempat muntah berat. Dan 
sampai sekarang belum berani makan apa-apa...”
“Semengerikan bagaimana?”
“Ada tiga ekor anjing. Non. Yang satu sedang 
menarik-narik bagian usus yang terburai. Dan yang 
lain sedang berebut bagian limpa. Setelah saya usir 
dan lempari pakai batu...”
“Kok bisa tahu itu limpa?”
“Yang diperebutkan tertinggal sepotong 
sewaktu anjing-anjing itu pada kabur. Lalu orang yang 
datang dengan ambulans... sepertinya dia itu dokter, 
mengatakan pada polisi yang menanyainya. Bahwa ia 
yakin benar bahwa potongan yang tersisa itu adalah 
limpa sang mayat!”
“Apakah korban penduduk setempat?”
“Agaknya sih bukan, Non. Sampai sekarang 
belum ada yang lapor telah kehilangan anggota 
keluarga. Apalagi yang usia maupun postur tubuhnya
seperti korban. Bungalow sekitar juga sudah didatangi 
satu persatu. Hasilnya sama. Pasti deh orang luar, 
Non.”
“Anjing-anjing tadi. Boleh lihat?”
“Untuk apa, Non?”
“Dipotret.”
“Wah, Non. Sulit, habis temponya singkat, mana 
gelap lagi. Jadi saya tidak keburu mengenali itu anjing 
mana atau milik siapa. Kalau mau dipotret, saya saja 
deh Non...”
“Pasti. Tetapi apakah anjing-anjing itu tidak dicari?”
“Sudah, Non. Malah penduduk sudah 
diinstruksikan begitu melihatnya supaya ditangkap 
dan dibunuh sekalian!”
“Instruksi? Instruksi dari siapa?”
“Polisi, Non.”
“Hem. Lalu?”
“Yah, jelas repot, Non-Ada begitu banyak anjing 
di sekitar sini. Sukar untuk memastikan mana anjing 
yang terlibat,mana yang tidak...”
“Kok anjing-anjing itu bisa buas begitu ya? Tega-
teganya menggerogoti mayat manusia?”
“Saya juga sempat berpikir begitu Non. Tetapi 
yah, namanya juga anjing lihat darah atau daging 
segar...!”
Iya juga. Dan setelah merasa cukup 
memperoleh keterangan yang ia inginkan, Maria 
kemudian memotret tempat mayat ditemukan dan 
masih ada sisa-sisa tanda yang dibuat sebelumnya 
oleh polisi. Rerumputan di bagian tersebut nyaris 
berselimut taburan pasir yang dipergunakan untuk 
menutupi ceceran darah di sana sini. Begitu pula 
bekas-bekas ban mobil yang tampak diputar paksa 
sebelum meninggalkan tempat kejadian, tak luput 
dipotret. Si penemu mayat dipotret khusus. Yang ikut 
nimbrung memberi keterangan (meski kebanyakan 
kacau balau) juga dipotret beramai-ramai... untuk 
sekedar menyenangkan hati mereka.
“Jika nanti anjingnya ada yang tertangkap, kami 
akan segera antarkan ke rumah Non. Dan...”
Maria dicabik-cabik?
“Tidak, terima kasih. Antar saja langsung ke 
kantor polisi!”
*
* *
Saking otaknya asyik memilah-milih bagian 
mana dari keterangan tadi yang patut ditulis dan 
sekaligus juga menarik untuk dibaca, siang hari itu juga 
Maria melenggang masuk ke kantor kepolisian sektor 
Lembang... tanpa ingat beli oleh-oleh yang sebelum
nya telah ia rencanakan.
Untungnya sersan satu Solihin sudah pergi 
menjalankan tugas lapangan. Kapten Herman
Sumadikun sudah pula kembali ke tempat. Maria 
disambut ramah bahkan disuguhi minuman segar oleh 
perwira yang juga teman dekat keluarga itu.
“Omong-omong, kapan kita terakhir bertemu, 
Maria?”
“Kalau tidak salah, pada waktu papa dan mama 
dimakamkan, Om.”
“Ah ya, betul. Hem, bila kuingat mengenai 
kecelakaan tragis itu... eh, astaga! Kok aku jadi 
melantur begini ya?” sang kapten menepuk-nepuk 
jidat sendiri. Dengan wajah menyesal. Lalu, “Beginilah 
kalau laki-laki sudah mulai ubanan, Maria. Maksud
akan mengambil hati gadis cantik yang membuatnya 
ingin muda kembali, uh, malah jadinya berantakan!”
Maria tertawa renyai. 
“Om masih terhitung muda, kok. Tampan lagi!”
“Sayang aku bukan tipe-mu ya?”
“Aku yang salah, Om. Terlambat lahir sekian 
belas tahun!”
Kapten Herman tersenyum dikulum. “Sebelum 
hidung tuaku ini bertambah panjang, Maria. 
Sebaiknya kupanggil Harsoyo untuk bergabung...”
Letnan dua Harsoyo berusia sekitar 35 tahun.
Posturnya kurus kecil. Dengan wajah serta sorot mata 
lembut persis guru mengaji atau pendeta. Sungguh 
penampilan yang bisa menipu, mengingat reputasi 
maupun unit yang dibawahinya: rampok dan bunuh.
Tetapi jangan ditanya tentang kepercayaan diri 
serta bobot setiap perkataan yang keluar dari 
mulutnya. 
“Mengapa korban ditelanjangi? Jelas untuk 
melenyapkan petunjuk atau barang bukti pakaian 
serta identitas lainnya!”
“Hanya melengkapi kerusakan. Tak lebih dari itu!”
“Jadi?”
“Robekan menganga di lambung korban adalah 
penyebab ajal datang menjemput. Adapun wajah yang 
dirusak bukan tercabik-cabik... dimaksudkan agar 
korban sulit dikenali.”
“Kesimpulannya?”
“Si pembunuh ada hubungan dekat dengan 
korban. Dan tidak mau mengambil resiko diketahui.”
“Motivasi pembunuhan?”
“Nanti saja. Setelah korban diketahui, siapa.”
“Ada petunjuk?”
“Dari postur dan susunan serta bentuk otot-
otot, kemungkinan besar korban adalah seorang atlit 
atau mantan atlit. Angkat besi, atau binaraga. 
Selebihnya, masih menunggu hasil otopsi.”
Anjing yang melengkapi kerusakan tadi. Apakah 
instruksinya tidak cukup dengan ditangkap saja. Tidak 
langsung dibunuh?
“Toh pada akhirnya juga harus dibunuh!”
“Mengapa?”
“Anjing-anjing itu, Nona Maria. Sekali sudah 
menikmati lezatnya darah atau daging manusia, maka 
tidak mustahil mereka akan menjadi makhluk-
makhluk buas yang dapat membahayakan manusia-
manusia hidup di sekitarnya. Lagi pula, isi perut 
makhluk-makhluk itu harus segera diteliti di 
laboratorium...”
“Untuk?”
“Memastikan sesuatu. Baru berupa dugaan. 
Tetapi bila benar, maka si pembunuh adalah manusia 
berbahaya dan berperilaku mengerikan!”
“Dasar dugaan?”
“Jantung korban diketahui lenyap. Ada petunjuk 
kuat, bukan ulah dari anjing-anjing itu.,..”
“Artinya, si pembunuh...”
Disertai senyuman tipis, letnan dua Harsoyo 
memberitahu dengan suara lembut. “Bila kebetulan si 
pembunuh berada di didekatmu jagalah jantungmu 
baik-baik, Nona!”
“Bila kebetulan si pembunuh berada di 
dekatku...” Maria membalas tantangan Harsoyo 
dengan seringai lebar. “Yang pertama-tama Ingin 
kulihat, apakah ia cukup menarik untuk dikencan
Kapten Herman yang diam saja dari tadi, 
tertawa terbahak.
*
* *
SEMBILAN
KARENA tidak tahu pasti pukul berapa Ronald 
pulang ke rumah, sisa hari itu dihabiskan Maria 
dengan berkeliaran ke pusat kota mencari bahan-
bahan berita yang menarik untuk ditulis. Dengan 
bersemangat ia menerima ajakan tim buru-sergap 
kepolisian sektor Bandung Tengah menciduk dua 
orang buronan yang diketahui bersembunyi di rumah 
seorang penyanyi club malam, tidak jauh dari komplek 
pelacuran Saritem.
Sempat terjadi baku tembak yang singkat 
sebelum salah seorang penjahat yang bersenjatakan 
revolver kaliber 36 terjerembab mati. Penjahat 
satunya lagi berhasil diringkus. Tetapi sempat melukai 
lengan seorang polisi wanita yang ikut dalam operasi 
penyergapan itu, sewaktu si penjahat yang bersenjata
kan golok berusaha melarikan diri. Lukanya tidak 
seberapa, namun toh perlu perawatan segera. Maria 
kemudian ikut mendampingi ketika polwan yang 
terluka itu dibawa ke rumah sakit
Selagi menunggu di depan ruang gawat darurat. 
Maria mendengar suara seseorang dengan sapaan 
yang khas. “Hai, cantik!”
Bahkan sebelum berpaling, Maria sudah dapat 
menebak siapa orang yang menyapa. Sersan satu 
Solihin tampak mendatangi dari arah koridor dengan 
wajah riang gembira. “Menunggu siapa, Maria?” ia 
bertanya enteng sambil melirik ke pintu ruang gawat 
darurat yang tertutup rapat.
“Kalau calon suami, air mataku pasti sedang 
tersibak!” jawab Maria sama gembiranya. “Anda 
sendiri habis dari mana Sersan?”
“Kamar mati. Untuk memastikan mayat itu tidak 
buru-buru minggat sebelum memperkenalkan diri!”
“Mayat yang mana?”
“Yang ditemukan subuh tadi. Memangnya ada 
berapa mayat yang ingin kau langkahi hari ini, eh?”
“Barusan tadi ada satu lagi,” jawab Maria, la 
ceritakan sekilas mengenai baku tembak yang 
keseluruhan adegan terekam utuh dengan tustelnya. 
Lalu “.. jadi, otopsinya sudah selesai?”
“Laporan lengkap sih belum. Kalau tambal 
sulam mayat, sudah!”
Maria langsung tertarik. “Mau mengantarkan 
aku ke sana, Sersan?”
Solihin garuk-garuk kepala. Berpikir-pikir.
Tetapi Maria sudah keburu bangkit dari 
duduknya. “Ayolah, Sersan. Mumpung Anda ada 
untuk menggendong, kalau-kalau nanti aku jatuh 
pingsan.
“Kalau urusan menggendongmu sih...” Solihin 
menyeringai lebar. Lantas mengikuti Maria pergi 
menuju kamar mayat rumah sakit.
Meski bukan sekali dua saja melihat mayat 
sehingga lama-kelamaan menjadi terbiasa, namun toh 
setelah peti penyimpanan jenazah ditarik keluar dari 
tempatnya, Maria dibuat merinding juga. Apa yang 
dilihatnya memang benar adalah wajah seorang laki-
laki berambut tebal dan ikal. Tetapi itu adalah seraut 
wajah yang nyaris kehilangan bentuk. Sebagian daun 
bibir dipenuhi jahitan. Begitu pula kelopak mata serta 
tulang pipi sebelah kanan. Namun beberapa goresan 
dibiarkan tetap sebagaimana adanya, termasuk 
robekan menganga di pelipis kiri. Mungkin kalau 
dijahit juga, nantinya yang terlihat bukanlah wajah 
manusia. Melainkan wajah sesosok monster yang 
mengintai dari dalam liang kubur.
Lambung mayat keadaannya lebih parah lagi. 
Jahitannya simpang siur dan jelas dipaksakan. Agar
kulit serta daging-daging lambung dapat menyatu, 
walau tidak lagi kembali pada bidang maupun 
bentuknya semula.
Tidak tahan melihat berlama-lama, Maria buru-
buru mengajak Solihin keluar dari kamar mayat. 
Solihin menurut saja. Namun tidak bisa menahan diri 
untuk bertanya. “Lho. Kok tidak jeprat-jepret?”
Seraya berjuang keras untuk menahan perutnya 
tidak sampai mengulah, Maria menjawab dengan 
nafas tersengah-sengal. “Dipotret pun tidak akan 
dimuat. Aku akan pinjam sketsa kalian punya saja...”
“Akan kukopi seberapa banyak kau ingin!”
Solihin berjanji. Lalu berdiri diam, memperhatikan
Maria yang menyandar ke salah satu tiang koridor di 
luar kamar mayat. Tampak jelas gadis itu sedang 
berusaha mengatur nafas serta peredaran darahnya 
yang mendadak kacau balau.
Solihin diam-diam merasa iba. Namun dengan 
sengaja ia justru berkata setengah mengolok-olok. 
“Ke mana kau ingin kugendong?”
Benar saja. Maria meluruskan tegaknya 
seketika. Lantas dengan wajah masam ia berkata 
cemberut. “Dengan tanganmu yang suka jahil itu?
Terima kasih, Sersan! Tetapi kalau memang masih 
mau membantu, tolong deh aku dipertemukan 
dengan dokter yang membehandel mayat tadi!”
“Bagus! Dengan begitu kau akan segera mem-
peroleh apa yang tadi telah kujanjikan di telepon.
Ayolah!”
“Informasi eksklusif?” tanya Maria sambil 
berjalan mengikuti.
“Sangat eksklusif. Bila dimuat, kujamin majalah 
kalian akan laku keras.”
Semangat Maria kembali dengan cepat. 
“Tampaknya menarik...”
“Pasti!” Solihin manggut-manggut meyakinkan. 
“Tetapi sebagai informasi pembuka aku akan 
memberitahu sesuatu. Tadi sebelum meninggalkan 
kantor, aku bertemu seorang rekan sejawat dari resort 
Gubang. la menyempatkan singgah dalam perjalanan
tugas ke Bandung. Biasa. Untuk saling tukar informasi. 
Dan tahu apa yang ku peroleh, Maria? Mereka 
menemukan sebuah mobil misterius terbakar di dasar 
jurang, sekitar kampung Cibeureum…”
“Misteriusnya?”
Sambil belok kiri di pertigaan koridor berikut 
Solihin menjelaskan “Seumpama mobil itu terjerumus, 
pasti ada penumpang, paling tidak pengemudi. Entah 
itu terbakar atau sebelumnya sempat melompat 
keluar. Tetapi setelah diperiksa dengan cermat, sama 
sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada 
dua kemungkinan itu. Lebih menarik lagi, mobil 
tersobut tidak dilengkapi plat nomor!”
“Pasti mobil curian!” gumam Maria, seraya 
menduga duga ke mana arah cerita Solihin.
“Mobil curian, Maria. Tidak akan dibuang begitu 
saja tanpa lebih dulu mempereteli perlengkapannya 
yang berharga dan laku dijual!”
“Hem. Biarkan aku menebak,” Maria menukas 
“Mobil itu dijerumuskan untuk menutupi sesuatu!”
“Begitu pula dugaan kami,” Solihin mengangguk 
sependapat. “Nah. Dapat menangkap arah pem-
bicaraanku sekarang? Aku percaya, kau pasti sudah
pergi ke lokasi mayat itu ditemukan...”
Maria seketika teringat pada jejak-jejak ban 
mobil yang ia lihat. la pun sudah mempelajari berkat 
laporan penemuan mayat, yang diperlihatkan oleh 
Letnan Dua Harsoyo. Dalam berkas itu dicantumkan 
bahwa dokter pemeriksa mayat di tempat kejadian
menyatakan dengan yakin, bahwa korban diperkira 
kan meninggal antara pukul satu dan pukul dua dini
hari.
“Mobil misterius itu!” gumam Maria “Pukul
berapa ditemukan?
“Menurut penduduk setempat sekitar pukul 
dua dini hari,” Solihin memberitahu. “Tetapi tidak
lebih dari pukul setengah tiga!”
“Mungkinkah...”
Solihin tak sabar juga akhirnya, la langsung 
memotong, dengan bernafsu. “Bukan lagi mungkin, 
Maria. Aku malah merasa pasti! Ada dua petunjuk 
yang menguatkan. Pertama, jarak tempuh 
berkendaraan dari Jayagiri ke Cilimus... apalagi pada 
dini hari, tidak akan lebih dari seperempat jam. 
Petunjuk lainnya: wajah yang dipermak, pakaian, pasti 
juga plus surat-surat pengenal, dipereteli. Berikutnya, 
mobil, pasti mobil milik korban dan si pembunuh tidak 
berniat memiliki. Karena, jika hanya sekedar untuk 
menghilangkan jejak masih banyak cara yang dapat 
ditempuh. Tidak harus dengan membakarnya. Apalagi 
itu adalah sebuah mobil mewah, pakai AC dan telepon 
segala!”
“Hem, baiklah,” Maria manggut-manggut 
“Misalkan itu benar mobil milik si terbunuh. Dan bisa 
dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui siapa. 
Lantas, apa maksud Sersan tadi menyebut-nyebut 
semua itu sebagai informasi pembuka?”
“Karena. Maria,” Solihin menjawab dengan 
suara dalam “Orang yang kita hadapi, tampaknya 
bukan hanya punya otak. Dia pun, bukan sekedar 
pembunuh biasa!”
“Maksud Sersan?”
“Persiapkan saja catatanmu.” Solihin menurun 
kan tekanan suaranya. “Kita sudah sampai.”
Tanpa disadari Maria, rupanya mereka sudah 
tiba di tempat yang dituju, bagian bedah forensik.
*
* *
Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan 
masuk, mereka berdua langsung berhadapan dengar 
seorang laki-laki berusia sekitar 50-an tahun. 
Posturnya gemuk, dengan rambut beruban dan wajah 
tampak seperti orang baru bangun dari mimpi buruk.
Lusuh dan tidak ramah. Duduk santai di belakang meja 
sambil menikmati sesuatu yang ia kunyah-kunyah 
dalam mulutnya.
“Eh, kau lagi Sersan!” ia menyambut dengan 
suara berat “Apa ada yang masih kurang pada 
keteranganku tadi?”
“Lebih dari cukup, dokter Johan'“ jawab Solihin
disertai seringai lebar “Hanya saja aku kuatir selah 
menjelaskan pada temanku ini…”
Maria kemudian diperkenalkan. Jabatan tangan 
yang ia terima ternyata lembut dan hangat. Begitu 
pula kata-kata yang keluar dan dari celah-celah bibir 
tebal tuan rumah. “Andai saja setiap hari ada gadis 
semolek Nona mau bermurah hati mengunjungi 
padang pembantaianku ini... Ayo. Silakan duduk. 
Rileks saja.”
Mana bisa Maria rilek! Karena pintu tembut ke 
ruangan sebelah dalam keadaan setengah terbuka. 
Memang dari tempat Maria duduk tidak terlihat apa-
apa kecuali lantai yang tampak balas menatap dengan 
pandangan dingin. Namun dari pintu itu tercium bau 
keras formalin. Dan mengingat siapa tuan rumahnya, 
pastilah yang di balik pintu itu ruang bedah mayat.
Sialnya lagi, sewaktu memalingkan muka dari 
pintu setengah terbuka itu, ekor mata Maria secara 
tidak disengaja memandang ke sebuah piring di atas 
meja. Di piring itu terhidang sesuatu yang mem-
beritahu apa yang tadi ia lihat sedang dikunyah-
kunyah tuan rumah dengan nikmat. Tampak jelas 
beberapa potong daging bakar, dengan bumbu saos 
kental berwarna merah darah.
Dokter Johan rupanya menangkap arah lirikan 
ekor mata tamunya. Maka sebagai tuan rumah yang 
baik, piring itu ia dorongkan lebih dekat ke depan 
Solihin dan Maria. Sambil berkata, gembira. “Jangan 
kuatir. Aku tidak menyimpan oven di dalam sana...” ia 
gerakkan dagu ke arah pintu ruang bedah. “Ini barusan 
dikirim dari restoran Jepang langgananku. Silakan 
dicoba. Enak kok”
Solihin menanggapi dengan seringai lebar.
Maria, dengan suara setengah menggigil: 
“... terima kasih.”
Karena tidak ada yang menyentuh, dokter 
Johan menarik kembali piring itu ke dekatnya. Dengan 
pisau, ia kerat sepotong daging. “Tak baik dibiarkan 
dingin!” katanya kalem. Dan kalem pula, keratan 
dimaksud ia selipkan ke mulut dengan memperguna
kan garpu. Lalu seraya mangui ngunyah nikmat, ia 
bergumam ceria. “Nah Apa yang bisa kubantu, Nona?”
Karena wajah Maria tampak seperti tidak enak 
badan, Solihin segera memaklumi. Sersan polisi itu 
batuk-batuk kecil sebentar. Lantas mengambil 
inisiatip. “Begini, Dokter. Seperti tadi kukatakan...”
Dan pembicaraan santai pun berlangsunglah. 
Diseling sejumlah istilah kedokteran forensik, yang 
oleh Maria beberapa kali minta dieja atau diulangi
tuan rumah, agar Maria tidak sampai salah tulis. 
Buntut dari pembicaraan akhirnya tiba juga pada 
urusan senjata yang dipergunakan oleh si pembunuh. 
Di situlah sikap santai dokter Johan menghilang 
perlahan-lahan.
“... bagian yang ini, Nona. Terus terang sifatnya, 
off-the-record...!” ia berkata dengan wajah serius.
“Argumentasinya?” tanya Maria. Tidak mau 
langsung main terima begitu saja.
“Bila dimuat oleh media cetak, masyarakat 
umum akan terganggu. Dan aku akan dijagal bukan 
lagi sebagai penjagal!”
Maria terpaksa menyerah. “Aku siap 
mendengar, Dokter...”
“Apa yang kami perkirakan semula, ternyata 
keliru!” dokter Johan berkata dengan wajah murung. 
“Alat yang dipergunakan mencacah wajah dan 
merobek lambung korban, bukanlah senjata tajam 
biasa atau sudah umum dikenal. Melainkan semacam 
cakar!”
“Cakar? Apakah maksud dokter, anjing-anjing itu…”
“Memang ada kemiripannya Hanya, yang ini 
berlipat ganda lebih besar dan lebih tajam dari cakar 
anjing. Dengan kemampuan merobek atau merenggut 
bertenaga luar biasa kuat. Apa atau siapa pun pemilik 
cakar mengerikan itu, Nona. Satu hal kami merasa 
pasti. Bukan anjing-anjing itu, melainkan si pembunuh
lah yang telah mengambil jantung korban.”
Sebagaimana dugaan Letnan Harsoyo, pikir
Maria. Untuk apa? Letnan itu menjawab dengan 
seloroh: dipakai jimat, barangkali! Maria tidak bisa 
menahan diri mengajukan pertanyaan yang sama 
pada dokter Johan. “Untuk diapakan, Dokter?”
Wajah yang ditanya tampak bertambah 
murung. Dan nada suaranya sungguh-sungguh, 
sewaktu ia berujar getir. “Andai kata kami tahu, 
Nona...” menarik nafas panjang sejenak, ia kemudian 
meneruskan. “Pernah dengar tentang penganut ilmu
hitam? Yang memakan bagian tertentu dari tubuh 
sesama manusia... untuk melengkapi sebuah upacara 
ritual?”
Maria diam. Kerongkongannya seperti tersumbat.
“Itulah yang kumaksudkan tadi, Maria...”
terdengar Solihin bergumam. Lirih. “... pemuja setan!”
Dari arah pintu ruang bedah, bau formalin 
tercium semakin keras. 
Bau yang sangat tajam 
Dan menusuk.
SEPULUH
MALAM sudah mulai jatuh ketika Maria ke 
Jayagiri. Ronald sendiri yang membukakan pintu. Dan 
langsung menyambut Maria dengan pelukan hangat. 
“Aku senang kau kembali Maria. Bukan ke rumahmu 
yang di kota…”
Pelukan hangat dan ucapan Ronald tersebut membuat 
jantung Maria bergetar. Sebagai respon ia mencium 
wajah serta bibir Ronald sepuas hati. Sampai Maria 
tidak tahan sendiri lantas berbisik mesra di telinga 
Ronald. “Katakanlah, sayangku bahwa kau 
mencintaiku. Atau angkatlah aku ka tempat tidur!”
Ronald mengambil pilihan kedua. Dimana kata-
kata cinta hanyalah sebuah simbol semu. Atau sekedar 
bumbu pelengkap cita rasa saja. Maria tidak berani 
bahkan juga merasa tidak berhak menuntut. Karena 
Ronald memang mampu mengimbangi tuntutan itu 
dengan cara Ronald sendiri. Terbukti ketika erosi 
mental yang sempai mengguncang kepercayaan diri 
Maria sepanjang hari itu, dengan segera sudah 
melebur bersama sensasi demi sensasi yang masih 
saja membuat Maria terpesona.
Maria menunggu sampai pesona tersebut 
meninggalkan dirinya perlahan-lahan. Baru kemudian 
ia mendesah hati-hati.
“Ronald?”
Ronald menggeliat di bawah selimut. “Hem?”
“Bagaimana, kau mendadak bisa?”
Ronald sempat terdiam. Agak kaget dengan 
pertanyaan yang diluar sangkaan itu. Maria sendiri 
sudah berniat minta maaf dan menarik kembali
pertanyaannya. Namun Ronald sudah keburu 
membuka mulut. 
“Apakah itu penting?”
Jadinya Maria terus. 
“Penting benar sih tidak. Tetapi karena 
lompatahmu begitu jauh dan tiba-tiba pula. mau tidak 
mau membuat diriku bertanya-tanya!”
Diam lagi. Kemudian, “... berkat kau juga, Maria.”
“Aku?” Maria tertawa. Kecut. “Kau tahu sendiri 
ketika kita melakukannya pertama kali, Ronald., 
Bagaimana aku telah berusaha keras untuk 
mendorongmu. Dan bagaimana ketika pada akhirnya 
kau sampai, ternyata kau memanipulasi situasinya
“Pada waktu itu memang betul. Namun 
setelahnya Maria, aku begitu menyesal. Lalu aku 
mencambuk diriku sendiri dengan apa yang selalu kau 
Ingatkan. Bahwa jika aku ingin berubah, perubahan itu 
harus datang dari dalam diriku sendiri. Bukan 
perjuangan yang mudah. Tetapi hasilnya, kau sudah 
tahu sendiri...”
“Sesederhana itu?” Maria bergumam, tak puas.
“Benar.” sahut Ronald dengan suara setengah 
mengantuk. “Sesederhana itu!”
Setengah tidak sadar. Maria langsung 
menceletuk. “Aku tak percaya!”
Dalam rebahnya, sepasang kelopak mata 
Ronald yang sudah mengatup ingin tidur, serempak 
membuka. Nyalang. Bukan untuk memandang ke arah 
Maria. Melainkan ke langit-langit kamar tidur. Seperti 
tadi. Maria diam-diam menyesali ucapannya yang 
lepas kendali, la menggeser posisi rebahnya, 
menghadap ke arah Ronald. Pada waktu bersamaan, 
Ronald kebetulan berbuat hal yang sama pula. Dua 
pasang mata mereka mau tidak mau saling beradu, 
tidak terelakkan...
Maria dengan sorot mata menyesal
Ronald dengan sorot mata lurus. Menghunjam.
Sementara Maria terpaksa menelan ludah 
untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak 
kering, bibir Ronald perlahan-lahan mengguratkan 
senyuman tipis. Senyum beribu makna.
“Masih ingat ketika pak Jayus memutuskan 
pindah dan menetap di Jakarta sebagai distributor 
sayur-mayur yang kita pasok?”
Maria manggut saja. Karena perasaannya 
mendadak tidak menentu.
“Pada waktu itu,” Ronald melanjutkan. “Dia 
bilang aku sudah belajar lebih dari cukup sehingga dia 
yakin betul aku cukup mampu menggantikan 
tempatnya. Aku sempat mengajukan keberatan, 
bukan?”
Lagi Maria manggut-manggut. Tetapi sudah 
mulai menangkap ke mana arah pembicaraan Ronald. 
Maria ingat betul bagaimana Ronald memprotes keras 
sewaktu Maria menerima usul Jayusman begitu saja. 
Ronald mengatakan bahwa Maria telah berlaku 
ceroboh tanpa memperhitungkan resiko yang 
mungkin terjadi. Maklum Ronald belum lama 
memasuki kehidupan Maria. Maria belum tahu sejauh 
mana loyalitas Ronald, padahal yang dipertaruhkan
Maria adalah usaha yang telah dijalani turun temurun.
Menyangkut modal yang bukan sedikit pula. Tangkisan 
Maria ketika itu sederhana dan pendek saja. 
“Kepercayaan Ronald Adalah kunci menuju sukses!”
“…kini. Maria.” terdengar gumam lembut 
Ronald di sebelahnya “Perkenankan aku mengutip 
kata-kata mutiaramu itu. Dengan komposisi yang 
sedikit berbeda…” Ronald berhenti sejenak Memberi 
kesempatan pada Maria untuk mencamkan apa yang 
akan ia ucapkan. “Kepercayaan Maria.” Ronald 
berkata, “Adalah kunci menuju kebahagiaan!”
Marialah yang terdiam sekarang.
Tetapi tidak ada nada kemenangan dalam suara 
Ronald sewaktu la kemudian berujar lembut “Sudah 
waktunya tidur, Maria…” Bibir Maria di kecup. Lembut 
juga. “Bermimpilah yang indah!“
Ronald kembali menelentang di bawah selimut.
Sepasang kelopak matanya dengan segera
sudah mengatup kian rapat. Dan beberapa saat 
berikutnya, Ronald sudah mendengkur.
Enak. Dan pulas
*
* *
Kelelahan pisik sebenarnya sudah membujuk 
Maria agar segera mengikuti jejak Ronald. Tetapi 
pikiran menolak. Bagaimana pun kelopak mata 
dipejam-pejamkan, toh akhirnya terbuka juga. 
Menoleh ke samping, Maria sempat iri pada Ronald 
yang begitu cepat tertidur. Nyenyak pula lagi.
Maria bergeser sedikit untuk dapat menggapai 
tombol lampu meja di sebelah tempat tidur. Nyalanya 
diperbesar sedikit. Cukup untuk memuaskan hati 
Maria dapat memperhatikan wajah lelaki yang 
dicintainya itu. Beberapa saat lamanya Maria 
setengah rebah dengan salah satu siku terlipat di 
permukaan kasur. Inilah pertama kali ia 
memperhatikan wajah Ronald sebegitu dekat dan 
leluasa. Lantas kini mengerti, mengapa.
Dagu. tulang pipi maupun tulang hidung Ronald 
tampak kokoh dan memperlihatkan lambang 
kejantanan. Akan tetapi telinganya sedikit kecil 
dibanding telinga umumnya lelaki seusia dan sepostur 
Ronald. Lalu kulit wajah, alis serta bulu mata. dan 
terutama garis-garis bibir Ronald sedemikian halusnya 
sehingga tampak begitu feminin. Sungguh sebuah
kontradiksi unik, yang justru membuat wajah Ronald 
memancarkan daya tarik seksuil tersendiri.
Dari apa yang sudah dialami Maria sendiri, serta 
mengingat siapa Ronald sebelumnya, kiranyadaya 
tarik Ronald itu telah menebar benih benih birahi di 
dua arah… dengan atau tanpa disadari oleh Ronald 
sendiri. Ya pada wanita sekaligus juga pada kaum pria, 
khususnya pria berdarah homo.
Maria mengecup kehalusan pipi dan bibir 
Ronald dongan penuh kasih; dan tanpa mengusik sang 
kekasih tercinta dari tidurnya yang demikian pulas. 
Cahaya lampu meja ia kecilkan seperti semula dan 
kembali mencoba untuk tidur.
Gagal lagi!
Pikiran Maria masih terus menolak. Memang 
benar sebelum tidur Ronald memperlihatkan sikap 
yang sedemikian manis dan mesra. Tetapi sorot 
matanya yang lurus menghunjam sebelum itu masih 
saja mengganggu Maria. Selama ini Ronald tidak 
pernah menatap Maria seperti itu. Jangankan dengan 
sorot menghunjam. Menatap lurus dan terang-
terangan pun Ronald tampak segan. Kalau pun pada 
akhirnya ia punya keberanian, di balik sorot mata 
Ronald hanya tersembunyi dua hal saja. Persahabatan
yang tulus. Lalu sesekali... yang membuat Maria sering 
rikuh, perasaan hormat.
Namun hari ini sudah dua kali Ronald menatap 
Maria dengan lebih berani, lebih terang-terangan 
Pertama, ketika mereka mengobrol di dekat tungku 
pendiangan. Sorot mata Ronald pada dini hari itu 
menghunjamkan birahi yang langsung membangkit
kan gairah Maria dengan hebat. Tetapi yang barusan 
terasakan benar menimbulkan akibat lain yang sangat 
jauh bertolak belakang. Apa yang dilihat Maria tak 
ubahnya sepasang mata yang mengintai dari balik 
kegelapan dimana kita terperangkap. Menghujamkan 
kemarahan yang sangat dari sang angkara murka yang 
siap untuk menerkam lalu mencabik-cabik dengan 
buasnya. Sorot mata Ronaid yang barusan itu tampak 
begitu asing. Dan menakutkan.
Dimana letak kekalahan yang telah diperbuat 
Maria sehingga pengaruhnya sedemikian besar 
terhadap Ronald? Apakah pada pertanyaan itu sendiri, 
atau cara mengucapkannya?
Oh, oh. Maria yang malang dan tidak tahu diri! 
Ronald sudah melimpahi dirimu mimpi-mimpi indah 
dan sensasional. Ronald pun telah berubah, bahkan 
jauh melebihi apa yang kau harapkan. Dan apa yang
kau berikan padanya sebagai ucapan terima kasih? 
Melukai hatinya! Dengan ucapan yang seenak perut 
pula: “Aku tak percaya!”
Jelas sudah, bukan hanya Maria. Ronald pun 
punya ego. Tetapi baiklah. Untuk menjaga agar segala 
sesuatunya tetap berjalan dengan baik dan benar 
tanpa mempersoalkan ego siapa yang lebih tinggi, 
Maria akan mengalah. Cukuplah sudah pengalaman 
pahitnya selama ini gara-gara mempertahankan ego 
sendiri. Hatinya pun sudah cukup terluka setelah ia 
ditinggalkan oleh Parman, menyusul kemudian
Effendi. dan... Untuk saat ini dan semoga seterusnya 
(Maria berjanji pada diri sendiri), Ronald adalah satu-
satunya dan segala-galanya. Bila Ronald pun akhirnya 
pergi pula, bukan hanya akan terluka saja. Maria juga 
akan habis!
Dan, mumpung hidup belum tamat dan masih 
ada yang bisa dinikmati, tidurlah sekarang. Begitu 
bangun besok pagi...
Kelopak mata Maria memberat dan terus saja 
memberat.
Lalu, di tengah transisi dari alam nyata ke alam 
mimpi, sesuatu terdengar bergerak di sekitar Maria. 
Suara langkah kaki mundar-mandir, disertai desahan
desahan nafas berat yang aneh dan menakutkan. Juga 
terdengar suara pintu... entah dimana, dibuka lalu 
ditutupkan oleh seseorang.
Dengan mata masih terasa memberat, tangan 
kiri Maria meraba-raba ke sebelahnya. Seraya 
berbisik-bisik cemas. “Ronald? Bangunlah, Ronald! 
Apakah kau juga mendengar...”
Tidak ada sosok tubuh yang tersentuh oleh jari-
jemari tangan Maria. Apa yang tersentuh ketika ia 
meraba dan meraba lagi, hanyalah sprei yang terasa 
kusut dan dingin. Kelopak mata Maria pun lantas 
membuka takut-takut. Menoleh ke samping, kasur di 
sebelahnya memang dalam keadaan kosong. Bingung 
dan semakin takut, Maria memanggil dengan suara 
tertahan di tenggorokan. “Ronald? Kemana kau 
Ronald?!”
Sepi.
Tidak ada sahutan dari Ronald. Bahkan suara-
suara aneh tadi pun mendadak hilang begitu saja. 
Tidak terdengar apa pun, terkecuali desahan nafas 
Maria sendiri. Yang keluar dengan susah payah, 
sehingga Maria jadinya terengah-engah.
Oh, oh. Pasti Maria telah bermimpi. Dan Ronald 
pasti masih berbaring di sebelahnya. Dalam tidur yang
pulas. Kalau tidak percaya, bangunlah sekarang juga, 
Maria. Bangun dan lihat!
Namun ketika Maria berusaha untuk bangkit, 
sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Luar biasa 
lemas. Seolan-olah ia seperti mengalami kelumpuhan 
total yang datangnya sangat tiba-tiba. Hal yang 
sedemikian itu biasa terjadi pada orang yang sedang 
tenggelam dalam lautan mimpi buruk Dan mimpi 
Maria sedemikian buruknya.
Coba saja! Di tengah suasana sepi yang 
menekan dan semakin menekan itu, telinga Maria 
seakan menangkap suara bisikan sayup-sayup sampai. 
“Tidurlah, Maria... tidurlah...!”
“Tidak Aku tidak mau!” Maria merintihkan 
penoiakan. “Aku harus terjaga sekarang juga Harus!”
“Aku bilang tidur, Maria. Ini adalah perintah. 
Ayo, Maria. Tidurlah...!”
Bisikan sayup itu sepertinya suara bisikan 
Ronald. Suara yang mengandung daya hipnotis. Dan 
membuat Maria tidak kuasa menolak. Terbukti 
kelopak matanya kembali memberat dan semakin
berat saja. Yang aneh, alam bawah sadar Maria masih 
tetap berfungsi. Alam bawah sadarnya terus saja
terjaga. Bersama waktu yang juga terus berjalan. Tidak 
dapat dihentikan oleh apapun juga.
Alam bawah sadar itu sepertinya menunggu. 
Entah apa yang ditunggu, Maria tidak tahu bahkan 
juga tidak mampu untuk memikirkannya. Yang pasti, 
menunggu.
Dan saat-saat menunggu yang semacam itu 
tidak hanya terasa sangat membingungkan serta 
melelahkan.
Tetapi juga, menakutkan.
*
* *
SEBELAS
ERWIN GAUTAMA meninggalkan hotel 
Papandayan dengan perasan gembira sekaligus tak 
sabar. Peragaan tunggal rancangan-rancangan 
terbarunya yang dilangsungkan di lobby hotel 
terkemuka itu berjalan lancar, malah boleh dibilang 
sukses. Dari sekitar 50-an model busana yang ia 
lempar ke panggung, lebih dari dua per tiganya 
langsung terjual atau dipesan. Baik oleh pemakai 
perorangan maupun oleh pelanggan yang biasa 
mengambil dalam partai besar. Asesoris pelengkap 
jangan dikata lagi. Erwin benar-benar kehabisan stock 
Tetapi para pelanggan bersedia menunggu.
Untuk semua itu, seusai penunjukan terpaksa 
harus menyediakan waktu luang satu jam untuk 
bermanis-manis muka di hadapan para pelanggan 
setianya Terutama, ibu Walikota. “... Bung Erwin, kan 
tahu sendiri bagaimana si Mia. Enam model yang tadi 
diambil si bungsu itu, paling banter dalam satu dua 
minggu akan habis terpakai. Selelahnya, dia pasti akan 
ribut lagi Maka...”
Padahal, betapa sudah tidak sabarnya Erwin 
untuk segera angkat kaki dari hadapan mereka semua.
Untungnya dalih kelelahan pisik dapat mereka terima 
dengan penuh pengertian. Kecuali, Leonardo. 
Peragawan andalannya untuk busana-busana pria 
eksekutif malam itu, terus saja menempel Erwin, 
bahkan sampai ke tempat parkir.
Aku tahu kau masih dalam kondisi fit!” anak 
muda kelahiran Maluku yang berpostur gagah itu 
berkata mendesak. “Kau sendiri tadi sudah bilang oke. 
Dan aku sudah memesan kamar!”
“Batalkan sajalah, Leon.” Erwin mengusulkan 
“Besok-besok toh masih bisa...”
“Menunggu lebih lama lagi, Erwin, aku bisa gila! 
Kau begitu dibuat sibuk oleh koleksi-koleksi terbaru
mu. Sehingga kau melupakan bahwa sudah dua 
minggu kita tidak tidur bersama. Ayolah kekasih, kita 
masuk lagi ke dalam. Satu jam saja pun jadilah!”
Erwin memutar kunci kontak mobilnya dengan 
tak acuh “Maaf, Leon. Aku...”
“Seperempat jam!”
Erwin tertawa mendengarnya. “Seperempat 
jam? Apa maksudmu kau akan langsung menembak 
bahkan sebelum celanaku dilepas, eh?”
“Aduh, Erwin. Kumohon...” suara Leonardo 
terdengar bergemetar.
Erwin mengeluarkan kendaraannya dari blok 
parkir Tetapi Leonardo masih saja menempel di 
sebelah luar. Sambil menuduh. “Kau ada janji dengan 
pacarmu yang lain, ya? Pasti. Pasti itulah sebabnya…”
Erwin sempat tertegun. Namun mobil terus saja 
ia jalankan menuju pintu gerbang parkir. Dan di 
belakangnya terdengar jeritan marah Leonardo.
“Terkutuklah kau, Erwin. Dimakan setanlah 
engkau hendaknya…!”
Penjaga parkir menerima kartu yang disodorkan 
Erwin seraya menggeleng-geleng prihatin.
“Maaf, Om.” Ia menggumamkan komentar. 
“Ucapan teman Anda itu sungguh berbahaya…”
Erwin menjawab dengan senyuman. “Biarkan 
saja.”
“Tetapi, Om. Dimakan setan…”
Si penjaga parkir tidak meneruskan omongan 
nya. Mobil Erwin sudah berlalu ke jalan raya. Si 
penjaga parkir ganti menoleh ke laki-laki satunya lagi. 
Yang tampak mundar-mandir dengan tinju terkepal
Disertai sumpah serapah. “Haram jadah terkutuk! Apa 
dia pikir aku sudi dikhianati begitu saja? Biarlah setan 
jadi saksiku…”
Si penjaga parkir mengurut dada. Seraya 
berucap, kuatir. “Astagfirullah!”
*
* *
Erwin terus berpacu menembus kegelapan 
malam dengan sedikit penyesalan menggurat dalam 
hati. Tidak seharusnya ia berlaku sekasar itu pada 
Leonardo. Karena Leonardo adalan peragawan 
pavoritnya. Dalam kondisi bagaimanapun, Leonardo 
senantiasa tampil antusias dan penuh kepercayaan 
diri. Pernah karena kurang menjaga kondisi, sakit 
maag anak itu kambuh setengah jam menjelang naik 
panggung. Erwin sudah menyarankan Leonardo 
supaya pulang ke rumah, berisitirahat. Masih ada 
peragawan lain yang diharapkan dapat menggantikan 
tempatnya, sementara honorarium Leonardo tetap 
akan dibayar penuh. Akan tetapi Leonardo menola
“Aku tidak mau mengecewakan pelanggan-
pelangganmu,” ia berkata teguh. “Beri aku tempo 
beberapa menit...”
Dan dengan sedikit pulasan kosmetik untuk 
menutupi kepucatan wajahnya, waktu itu Leonardo 
benar-benar tampil gemilang. Lima jenis busana yang 
diperagakannya, langsung terjual habis.
Leonardo juga punya potensi. “Bagaimana kalau 
pola peragaan kau rubah begini...” Selama beberapa 
bulan terakhir, Erwin sudah memantau bakat 
terpendam anak itu sebagai manajer pemasaran. 
Tampaknya Leonardo bakal mampu menggantikan, 
atau paling tidak mendampingi Pardomuan Sianipar 
yang belakangan ini konsentrasinya semakin terpecah 
dua: pada pekerjaan, dan… agaknya sudah malah lebih 
tercurah pada sang isteri yang terus menerus keluar 
masuk rumah sakit untuk menjalani cuci darah.
“Aku senang dan siap menerima penawaranmu 
itu...” Leonardo menanggapi positip gambaran Erwin 
untuk mengorbitkannya ke masa depan yang lebih 
menjamin. “Tetapi ketahuilah. Yang sesungguhnya 
lebih kutunggu-tunggu adalah, kapan kau akan 
mengajakku hidup serumah?”
Itulah salah satu segi kekurangan Leonardo 
Masih tidak mau memahami, bahwa Erwin tidak 
bersedia terikat dan hidup bersama dengan orang 
yang tidak dicintainya. Padahal Erwin sudah beberapa 
kali mcmberitahu dengan terus terang. 
“Aku pernah jatuh cinta. Dan itu adalah yang 
pertama namun juga sekaligus yang terakhir!”
Orang lain boleh saja geleng-geleng kepala. 
Namun bagaimana pun Antonius telah mengecewa
kannya. Antonius masih saja satu-satunya kekasih 
yang mampu melumpuhkan hati Erwin sampai terkulai 
tak berdaya. Dipukuli sampai terluka pun oleh 
Antonius yang memang emosionil dan ringan tangan 
itu, Erwin tetap sabar dan setia. Asal lelaki yang satu 
itu tidak meninggalkannya. Dan ketika toh pada 
akhirnya Antonius pergi juga, Erwin tidak menyalah
kan. Yang disalahkan Erwin tetap dirinya sendiri. 
Dialah yang membawa Ronald ke pesta tahunan yang 
menyakitkan itu.
Suatu hari mobil Erwin mogok mendadak. 
Kebetulan ada bengkel yang letaknya berdekatan. Di 
sanalah Erwin pertama kali berkenalan dengan 
Ronald. Dan dengan matanya yang jeli, ia langsung 
mengetahui bahwa si anak pemilik bengkel ternyata
berdarah homo seperti dirinya. Tidak tega melihat 
anak berpenampilan lembut dan manis itu harus 
berkubang di kolong mobil dengan sekujur tubuh 
dikotori minyak pelumas bercampur debu, Erwin 
kemudian mengajak Ronald ikut hadir dalam pesta 
topeng yang diadakan sekali dalam setahun oleh 
kelompok mereka. Maksudnya, untuk diperkenalkan 
pada seorang pengusaha keroseri yang memang 
sedang mencari seorang gay pemula sebagai 
nyamikan penyegar Eh, tak tahunya ketika semua 
topeng dibuka oleh masing-masing pasangan melantai 
Ronald justru berhadapan dengan Antonius. Dan 
semenjak hari itu, Antonius tidak pernah lagi 
melepaskannya Erwinlah yang kemudian tersingkir 
bersama penyesalan yang tak kunjung habis.
Sesekali Erwin memang masih didatangi 
Antonius. Tetapi setelah menyadari kedatangan 
Antonius itu hanya sebagai pelarian akibat bentrok 
dengan kekasih barunya. Erwin dengan berat hati 
mengambil keputusan. 
“Aku mencintaimu, Anton, dan selamanya akan 
tetap begitu!” ia berkata pada kekasihnya “Namun 
tidak berarti aku bersedia dijadikan lubang 
pelampiasan sementara saja. Pergilah, Anton. Dan 
kapan kau ingin menemuiku lagi, camkan dalam
hatimu, bahwa kedatanganmu itu nanti harus untuk
selama-lamanya!”
*
* *
Erwin menerobos lampu merah di perempatan 
jalan Cipaganti dengan tak sabar la sudah semakin 
dekat ke rumah. Semakin dekat dengan Antonius 
tercinta!
Rasanya Erwin bagaikan bermimpi ketika di
tengah pertunjukan tadi ada telepon untuknya. 
Semula ia sempat mengomel setelah mengetahui 
bahwa si penelepon adalah mang Kurdi, pelayannya.
Tetapi sebelum Erwin memutuskan hubungan 
telepon, suara mang Kurdi mendadak digantikan oleh 
suara orang lain. “Hallo, sayangku. Pulanglah segera. 
Aku tidak tahan menunggu!”
Hanya satu orang yang berani mengganggu 
Erwin yang lagisibuk dengan bisnis, dan main perintah 
pula. Dan itu, benar-benar suara Antonius. Suara
serak-serak kasar yang tidak akan pernah hilang dari
sanubari Erwin. Suara yang seakan bardaya magis dan 
sering membuat Erwm lumpuh tak berdaya. Tadi di
belakang panggung pun, Erwin sempat terpesona satu 
dua detik. Sampai ada seorang entah siapa menegur
nya dengan berseloroh. “Ada hantu lewat, Om?”
Tapi setelah menenangkan deburan jantung-
dengan susah payah, barulah Erwin sanggup 
menjawab. Itu pun dengan suara lemah. Patah-patah.
“Anton! Setelah sekian tahun. Apa yang…”
“Kau pasti sudah tahu mengapa, Erwinku
terkasih!”
“Oh ya. Ya. Sudah beberapa bulan ini kau tidak 
kelihaian di club kita. Aku dengar… dia meninggalkan 
mu…”
“Untuk selamanya, Erwin. Untuk selamanya. 
Kau paham. Bukan?”
Erwin memang sudah mendengar keputusan 
Ronald untuk meninggalkan dunia mereka. Terapi 
yang dijalani Ronald bahkan sering jadi bahan 
pergunjingan. Kebanyakan, menertawakan. Tetapi, 
satu dua orang, sempat dibuat berpikir-pikir
“Untuk siapa yang selama-lamanya itu Anton?”
Erwin bertanya, ingin kepastian
“Untukmu, sayangku. Dan bila kau nanti pulang, 
kau tidak akan pernah lagi melihat aku pergi pada yang 
lain!”
Erwin percaya.
Sepenuhnya percaya, kata demi kata. Memang 
kalimat dan cara Antonius mengutarakannya 
terdengar agak aneh. Masih tetap romantis, tetapi 
bukanlah kebiasaan Antonius beraneh-aneh. Pasti 
dikarenakan hatinya yang dibuat sangat terluka oleh 
Ronald, pikir Erwin, sambil diam-diam merasa iba. 
Lantas membathin. “Mungkin hatinya belum 
sepenuhnya kembali. Tetapi lambat laun, sebagian 
yang belum kembali itu akan kuraih sedikit demi 
sedikit. Yang penting...”
“Erwin?”
“Aku masih di sini, Anton...”
“Lho. Aku kira kau sudah dalam perjalanan!”
Erwin tersenyum. 
“Sebentar lagi, Anton. Sebentar lagi. Aku 
masih...” dengan hati-hati dan kata-kata terpilih, 
Erwin menjelaskan situasi yang ia hadapi dan 
memohon dengan sangat agar Antonius mau 
mengerti.
“Yang penting, kau pulang!” jawab Antonius 
datar.
“Pasti. Dan, Anton?”
“Heh?”
“Begitu mang Kurdi selesai menyuguhi 
minuman, bilang dia supaya langsung pergi tidur. 
Supaya kita…”
Antonius tertawa serak. “Aku kira saat ini dia 
malah sudah terbang ke alam mimpi!”
*
* *
Erwin membelokkan mobilnya memasuki 
halaman sebuah rumah mewah bertingkat di kawasan 
perumahan elit Ciumbeuleuit. Pintu gerbang rupanya 
dibiarkan dalam keadaan terbuka karena mang Kurdi 
tahu dia bakal segera pulang. Tetapi di halaman rumah 
tidak tampak adanya mobil. Pastilah Antonius datang 
pakai taksi, pikir Erwin sambil memperhatikan 
rumahnya yang tampak sepi-sepi saja dari luar. Tetapi 
lampu ruang tamu terang benerang. Tidak ada orang
di dalam ketika Erwin membuka pintu, yang juga 
rupanya dibiarkan tidak terkunci.
Namun tanda-tanda kehidupan masih saja tidak 
kelihlatan, walaupun Erwin sudah masuk dan 
menyalakan lampu ruang tengah. Erwin berjalan 
menuju pintu kamar tidur yang tertutup karena 
menduga Antonius pasti menunggunya di situ dengan 
maksud membuat surprise langsung di tempat tidur. 
Belum juga sampai ke pintu yang ditujunya, telinga 
Erwin tahu-tahu menangkap suara bisikan serak. 
Terdengarnya seperti sayup namun cukup jelas di 
telinga. “Aku di sini, Erwin…!”
Erwin menoleh ke pintu kamar berseberangan.
Pintu kamar kerjanya dari mana suara itu terdengar, 
tampak sedikit terbuka. Suasana di dalam tampak 
remang-remang. Rupanya lampu utama tidak 
dinyalakan. Jika bukan lampu duduk pastilah yang 
dinyalakan oleh Antonius lampu bias meja kerja.
Pernah Antonius merebahkan lalu meniduri Erwin di 
atas meja berlapis kaca bias itu, tetapi ketika 
kemudian kacanya pecah, mereka lalu pindah ke 
lantai.
Oh, oh. Agaknya Antonius ingin bernostalgia!
Dengan jantung berdebar hangat. Erwin 
melangkah masuk ke ruangan yang remang-remang 
itu. Memang benar, lampu biaslah yang menyala 
Cahayanya yang redup menerangi kursi kerja berjok 
tinggi. Di sandaran kursi mana tampak lengan-lengan 
telanjang seseorang yang duduk diam-diam tanpa 
bergerak.
Eh, apa pula maksud Antonius?
Erwin berjalan mendekati kursi yang posisinya 
membelakangi pintu itu. 
“Anton?”
Kursi kerja berputar perlahan-lahan. Sosok yang 
menempatinya tempat duduk dengan kaku. Bias 
lampu yang kini membelakangi sosok itu, menimbulan 
sinar misterius, dan terasa agak mencekam. Tetapi
lampu ruang tengah yang menerobos masuk lewat 
pintu yang barusan dibuka lebih besar oleh Erwin 
memperlihatkan dengan jelas sosok tersebut 
termasuk seringainya yang tipis namun… kejam.
Erwin tersentak.
Terlebih lagi setelah mengenali sosok siapa ang 
menunggu di hadapannya.
“Ya, ampun...” Erwin bergumam tersedak. “Kau 
adalah...”
Sayang, Erwin terlambat.
*
* *
DUA BELAS
NUN jauh lebih ke utara Ciumbeuleuit, yakni di 
wilayah berbukit-bukit Jayagiri… penungguan yang 
melelahkan itu semakin mendekati akhirnya juga.
Maria sama sekali tidak tahu entah berapa lama 
waktu menunggu tersebut sudah berjalan ketika 
suara-suara tadi kembali terdengar mengisi suasana 
sunyi sepi di sekitarnya. Ada langkah-langkah kaki 
mendatangi. Langkah yang seperti tersuruk-suruk. 
Desahan-desahan nafas berat itu pun muncul lagi, 
yang kali ini terdengar seperti terengah-engah.
Lalu terasakan benar adanya sesuatu yang 
bergerak di dekat Maria. Sedemikian dekatnya, 
sehingga nafas sesuatu itu terasa menyapu wajahnya.
Sapuan nafas yang begitu dingin. Menusuk, 
melumpuhkan.
Antara sadar dan tidak. Maria terkejut dan 
mencoba membuka kelopak mata. Namun tidak 
berhasil. Sementara alam bawah sadarnya dengan 
ngeri menyadari bahwa sesuatu itu perlahan-lahan 
kemudian duduk diam-diam, mengawasi dirinya 
Dengan sorot mata buas. Sorot mata yang haus darah
Maria berjuang keras untuk bangun.
Sia-sia.
Sekujur tubuhnya kembali mengalami 
kelumpuhan total. Namun toh rnasih cukup sadar
untuk merasakan adanya tangan yang merayap lalu 
menggerayangi lambungnya. Tangan kekar yang 
sedingin es. Tangan itu kesat, berlipat-lipat Dengan 
jari jemari melengkung, berujung runcing tajam. Jari-
jemari mengerikan itu menggurat pelan menggores-
gores. Seolah olah ingin memastikan sesuatu. Lantas 
dengan sebuah renggutan kejam dan sangat tiba-tiba, 
jantung Maria pun lenyap sudah.
Yang aneh, Maria tidak langsung mati. Maria 
masih bernafas, dan terus bernafas. Malah entah 
bagaimana, sepasang matanya mampu terbuka 
Membelalak lebar. Melihati muncratnya darah merah 
segar.
Darah yang kemudian mengalir sangat deras.
Dan, menggenang kemana-mana.
*
* *
TIGA BELAS
TEROR mengerikan itu diakhiri oleh goncangan-
goncangan keras pada bahu dan lengan Maria yang 
pelan-pelan membuatnya terjaga dari tidur yang 
sangat melelahkan. Kelopak mata Maria membuka 
lebar dan melihat Ronald yang tengah mengawasi 
dengan pandangan cemas. Suara Ronald pun
terdengar begitu kuatir. “Kau baik-baik saja Maria?”
Maria menggeliat di bawah selimut. Lantas 
dengan nafas masih tersengal-sengal, balik bertanya. 
Tidak percaya. “Apakah aku, masih hidup, Ronald?”
Ronald menghela nafas lega. “Itu pertanyaan 
terlucu yang pernah kudengar dari mulutmu,” 
katanya. “Tetapi setidak-tidaknya, itu juga pertanda 
kau masih hidup. Hanya saja, nafasmu barusan 
terdengar sangat sesak!”
Masih tak yakin, Maria merayap bangun dengan 
susah payah lalu duduk diam-diam. Tanpa 
memperdulikan selimut yang meluncur turun 
sehingga Maria seketika berbugil ria. Secara naluriah 
tangannya bergerak ke arah lambung. Meraba-taba 
gemetar. Ah, ah masih utuh. Jantung pun jelas masih 
bercokol di tempatnya. Karena sang jantung terasa
berdenyut-denyut teratur dan semakin teratur. 
Barulah setelah itu Maria menyadari kebugilannya dan 
buru-buru menarik selimut sampai menutup sebatas 
leher. “Ya, ampun!” ia mengeluh tersipu sipu. “Kiranya 
aku cuma bermimpi. Sudah pukul berapa sekarang, 
Ronald?”
“Delapan lebih,” jawab Ronald. “Mau kubuka
kan jendela?”
Maria manggut-manggut dan memperhatikan 
Ronald yang sudah berpakaian rapih beranjak dan 
tempat tidur dan pergi membuka jendela. Matahari 
pagi langsung menyeruak masuk. Lembut dan hangat.
Matahari kehidupan yang ternyata masih bisa 
dinikmati oleh Maria. Ronald kembali duduk di pinggir 
tempat tidur. Kecemasan sudah lenyap dan wajahnya.
“Lucu, kalau mengingat kelakuanku barusan!” ia 
berkata ceria. “Bayangkan saja. Tadi aku sudah mau 
berangkat, Dan kupikir tidak ada salahnya mengecup 
bibirmu sebelum pergi. Lalu aku pun menyelinap lagi 
ke kamar ini. Berjingkat segala!. Maksud agar tidurmu 
tidak sampai terusik. Nyatanya, apa!” Ronald 
menggeleng-geleng, lucu. “Malah kau terpaksa 
kuguncang-guncang supaya bangun. Habis? Tubuhmu
kaku tak bergerak ,gerak. Tetapi nafas terengah-engah 
Keras dan pendek-pendek. Mimpi buruk ya?”
“Sangat buruk...” Maria mengeluh. “Bahkan 
rasanya seperti bukan mimpi!” Maria lalu mencerita
kan apa yang dirasakan serta dialaminya dalam mimpi. 
Cerita mana diakhiri Maria dengan suara resah. “Kau
lihat bukan? Aku bahkan mengingat setiap detail. 
Seolah-olah semua itu benar-benar dan barusan saja 
terjadi …”
Ronald diam sejenak. Tampak berpikir-pikir. 
Kemudian berujar enteng. 
“Pasti karena ulahmu juga!“
“Ulahku?”
Ronald mengangguk-“Aku tidak melihatmu 
ketika kemarin aku pulang. Lalu bi Nining mem-
beritahu bagaimana kau langsung terlompat begitu 
kau mendengar ada seseorang terbunuh tidak jauh 
dari rumah ini. Dapat kupastikan sepanjang hari 
kemarin kau sibuk melacak berita itu kian kemari.
Melihat mayat yang lambungnya robek menganga, 
yang jantungnya lenyap dimakan si pembunuh. Kau 
sedemikian menghayati apa yang kau dengar dan lihat 
sehingga tanpa kau sadari semua itu lantas terbawa-
bawa dalam tidurmu...”
“Benar juga!”
Maria manggut-manggut sependapat. Lantas 
diam termenung. Analisa Ronald memang masuk akal, 
namun pikiran Maria mendadak terusik begitu saja. 
Ada sesuatu yang salah, tetapi apa? Pikiran itu 
melintas sekilas saja. Dan sebelum Maria sempat 
menangkapnya, sudah menghilang dengan cepat. Apa 
yang salah? Di mana letak kesalahannya?
Selagi Maria mengingat-ingat, Ronald tahu-tahu 
sudah mengecup pipinya. Lembut dan hangat. 
“Sudahlah!” katanya. “Kau mandi dan segeralah 
berpakaian. Ingat, jangan berlama-lama. Aku paling 
tidak suka sarapan pagi sendirian!”
Habis berkata demikian Ronald berjalan ke
pintu. Setelah tersenyum ke arah Maria kemudian 
berlalu. Maria menatap ke pintu yang ditutupkan oleh 
Ronald. Ucapan yang ia dengar barusan membuat 
Maria sempat termangu.
“Belum juga jadi suami, sudah berani main 
perintah.“ ia membathin. Namun tanpa perasaan 
tersinggung. “Apa boleh buat. Jika aku ingin jadi 
isterinya, aku harus sudah siap menerima hal-hal kecil 
semacam itu!”
Lagi pula. sikap Ronald barusan jelas menunjuk
kan bahwa Ronald sudah semakin banyak berubah. 
Dan perubahan tersebut justru membuat Maria 
semakin jatuh cinta. Jangan berlama-lama, kata 
Ronald, dan Maria harus membuktikan bahwa dirinya 
adalah seorang calon isteri yang sesuai dengan 
harapan laki-laki yang satu ini. Maka, Maria pun 
melemparkan selimutnya dan bergegas masuk ke
kamar mandi, la bersiram cepat-cepat. Cukup 
membuat dirinya bersih dan merasa lebih segar. 
Kembali ke kamar tidur, Maria pun berdandan 
seperlunya saja. Juga cukup sekedar membuat dirinya 
tampak cantik di mata Ronald. Karena hari itu belum 
ada rencana untuk berkeliaran lagi seperti biasa. Tidak
berapa lama kemudian Maria keluar dari kamar hanya 
dengan pakaian rumah saja. Gaun warna hijau lumut 
yang sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang 
seputih dan sehalus lilin. Berlengan longgar dengan 
leher rendah, sehingga lembah payudaranya 
terpampang nyata.
Tak ayal lagi, begitu mereaka berdua duduk
menghadapi meja makan. Ronald mencuri lirik sekilas.
Lantas berujar lirih “Kau membuatku segan 
meninggalkan rumah…
Maria tertawa bahagia Hangat, ia me-
ngomentari. “Kau, sih. Pagi pagi begini mau kabur. 
Memangnya ada yang dikejar?”
Sambil memperhatikan Maria menyendokkan 
nasi goreng dan lauk-lauk pelengkap ke piring di 
depannya, Ronald menjawab. “Mengedar, tidak. 
Mencari, ya!”
“Yang dicari?”
“Panenan kemarin di Cisarua,” Ronald memberi
tahu. “Hanya cukup untuk memasok langganan 
langganan kita di pasar induk Caringin dan Gedebage. 
Stock untuk pak Jayus masih harus dikumpulkan dari 
sekitar Cibodas. Aku harap sore ini juga sudah dapat 
dikirimkan ke Jakarta.”
Maria duduk menghadapi piringnya sendai yang 
sudah terisi. “Terus menumpuk uang, ya?”
“Aku cuma pekerja,” kata Ronald “Uangnya, 
adalah uangmu!”
“Uang kita berdua,” Maria membetulkan.
“Ah. Punyaku tak seberapa. Dibanding dengan...”
“Dibanding dengan punya lelaki lain,” Maria 
cepat memotong. Lalu disertai senyum dan kerlingan 
nakal, meneruskan. “Punyamu jauh lebih hebat!”
Sejenak Ronald tampak bingung, kemudian
tertawa. “Apa yang tadi malam belum cukup Maria?”
“Tidak akan pernah cukupl” Maria menantang.
“Maka bila nanti kau pergi, janganlah membiarkan aku 
gelisah menunggu…“
“Eh, nanti dulu. Kau sepertinya sudah 
memutuskan untuk menetap di rumah ini!”
“Apa kau keberatan, Ronald?” Maria memanclng.
Ronald menyeringai. “Bodoh sekali bila aku 
keberatan Tetapi, Maria. Agaknya kau melupakan satu 
hal.”
“Hem?”
“Pandangan tetangga sekitar. Maria. Coba saja. 
Kita hidup serumah. Dan ...” Ronald tiba-tiba berhenti. 
Maria pun sengaja diam. Menunggu. Sampai Ronald 
mengerti sendiri. Lalu berujar terkejut. “Kau tentunya 
tidak bersungguh sungguh, Maria!”
Maria tetap diam. Kini, dengan jantung 
berdebar-debar.
“Apakah kau sudah menimbangnya masak-
masak, Maria?”
Sungguh mati, belum. Tetapi Maria nekat.
”... sudah.”
Ronald menatap lurus-lurus ke mata Maria. 
Seperti sebelum-sebelumnya, yang ini juga terasa 
berbeda. Sorot mata Ronald memang tampak 
menyelidik. Namun ada sesuatu di sebaliknya. Sesuatu 
yang membuat Maria diam-diam merasa takut. Bukan 
takut ditolak. Maria sudah mengenal dan tahu siapa 
Ronald. Memang belum keseluruhan. Tetapi yang 
selebihnya dapat menyusul kemudian. Karena unsur 
terpenting sudah ada. Maria cinta dan mendambakan 
Ronald.
Lalu mengapa Maria harus takut?
Dan apa yang membuatnya takut?
Seakan mengetahui apa yang sedang bergejolak 
dalam pikiran Maria, Ronald tersenyum samar-samar. 
“Ada bagusnya kau mengingatkan, Maria…” ia 
berkata. Lirih. “Bahwa suatu hari kelak, aku toh harus 
menikah juga. Punya istri, punya keturunan. Hanya 
saja, otakku bergerak sedikit lamban. Mungkin karena
selama sekian tahun aku pernah serumah dengan 
sesama homo. Lantas …”
Maria cepat menyentuh tangan Ronald. 
Mengusapnya dengan kasih sayang. Seraya berujar 
lunak dan hati-hati. “Kau bukan lagi seorang homo,
Ronald!”
“Katakanlah kau benar. Atau setidak tidaknya, 
aku sudah mulai berubah. Tetapi, Maria. Perubahan 
itu masih perlu penyesuaian. Barangkali juga waktu. 
Kalau segala sesuatunya datang serba mendadak…”
“Aku mengerti,” bisik Maria, “Yang penting, kau 
sudah tahu!”
“Tetapi kau tidak mau hatimu sampai terluka 
Maria!”
Maria tersenyum. “Kita sudah saling berterus 
terang, Ronald. Sudah lebih terbuka. Itu sudah cukup 
membahagiakan diriku!“
“Terimakasih, Maria.”
Namun setelah Ronald pergi meninggalkan 
rumah… tentu saja diantar Maria dengan ciuman 
selamat jalan. Maria toh kemudian duduk terhenyak 
di sebuah kursi. Memikirkan yang barusan telah ia 
bicarakan dengan Ronald. Tidak ada rencana sama
sekali. Pembicaran itu muncul dan terjadi dengan 
begitu saja. Bukan hanya Ronald. Maria sendiri pun 
diam-diam ikut terkejut. Saking terkejutnya ia sampai 
berdusta pada Ronald. Nekat saja mengiyakan, ketika 
ditanya apakah keputusan untuk menikahi Ronald 
sudah dipertimbangkan Maria masak-masak.
Barulah setelah ia ditinggal sendirian, Maria 
mulai menimbang-nimbang. Apakah ia benar-benar 
sudah siap menghadapi kenyataan tentang keberada-
an Ronald yang tadinya seorang homo. Benar Ronald 
sudah banyak berubah. Namun setahu Maria, 
perubahan itu baru sebatas di tempat tidur saja. Apa 
yang ada di dalam jiwa maupun pandangan hidup 
Ronald, Maria masih dalam tarap meraba-raba.
“Adalah mustahil kita mengharapkan perubah-
an total!” terngiang di telinga Maria apa yang pernah 
ditandaskan oleh dokter Rinaldi “Kita hanya mampu 
merubah dirinya menjadi 60 persen hetero dan 40 
persen. Sisanya masih tetap homo.”
Bukan mustahil, yang 40 persen itu di kelak 
kemudian hari akan menimbulkan efek samplngan 
yang tidak dikehendaki Maria, bahkan juga Ronald. 
Oke kalau mereka siap dan mampu mangatasi efek 
samplngan itu. Tetapi bila tidak
Di ruang tengah, terdengar bunyi telepon 
berdering. Maria mau bangkit, tetapi sekujur 
tubuhnya terasa begitu lesu. Pembicaraannya tadi 
dengan Ronald, tidak menghasilkan apa-apa. Tidak 
ada keputusan yang diambil. Kecuali, bahwa Maria
harus bersabar menunggu. Dan Ronald dibebani 
tambahan pemikiran yang tentunya tidak enteng dan 
tidak mudah dipecahkannya sendiri. Maria masih 
harus berjuang, dan...
Pelayannya muncul di ambang pintu ruang 
tengah. “Ada telepon, Non,” Nining memberitahu, 
“Dari kantor polisi!”
*
* *
EMPAT BELAS
SOLIHIN yang menelepon dan kemudian juga 
dengan senang hati menemani Maria turun ke kota. 
Tentu saja dengan seijin komandan. “Jauhkan 
tanganmu dari dia, Sersan.” Kapten Herman berkata 
dari belakang meja. “Atau pangkatmu kuturunkan.”
“Sungguh hari yang apes buatku ketika itu,” 
Solihin menggerutu setelah duduk di dalam mobli 
yang dikemudikan Mafia “Padahal aku cuma 
bermaksud menangkap kecoa yang hinggap di pantat 
rok Nurhayati. Bila kuberitahu lebih dutu, pasti dia 
akan menjerit-jerit lintang pukang karena Nurhayati 
memang paling takut pada kecoa. Jadi aku langsung 
saja main tepuk. Eh, siapa nyana, itu lantas menjadi 
tepukan legendaris…“
Maria tertawa. “Mereka bilang tidak ada kecoa 
di tanganmu, Sersan!“
“Kecoanya lebih gesit. Keburu terbang. Sumpah!”
“Tetapi polwan itu bilang, kau juga main remas…”
“Habis? Namanya juga kepalang sudah 
mendarat!” Solihim mengaku. Setengah membela diri.
“Itu pun cuma sambil lalu “
“Masih untung kau tidak ditembaknya, Sersan.”
“Apa? Masih untungkah ditampar seorang 
perempuan di depan banyak orang?”
“Tetapi setidak-tidaknya kalian berdua 
kemudian jadi kawan akrab. Malah kau diminta jadi 
pendamping mempelai ketika polwan Nurhayati 
menikah.”
“Iya juga. Dan, hem. Kalau kuingat-ingat betapa 
beruntungnya suami Nurhayati. Bayangkan Maria. 
Pinggul Nurhayati...”
“Biarkanlah, itu tetap jadi milik polwan 
Nurhayati. Tidak akan pindah ke pinggul suaminya!”
Solihin tertawa bergelak. “Ah, kau ini. Baiklah, baiklah. 
Aku memang sudah melantur. Nah, dari mana aku 
harus memulai?”
“Aku memang pernah membeli gaun di butik 
Erwin Gautama,” Maria berkata. “Tetapi karena 
menurutku corak rancangannya terlalu feminin, aku 
malah jadi tak suka. Aku dengar-dengar, rencananya 
malam tadi ia akan melangsungkan, fashion-show di 
hotel Papandayan.”
“Memang jadi. Sukses, malah. Sungguh sebuah 
sukses penutup yang sangat tragis!”
“Jadi, ia terbunuh sepulang dari pertunjukan?”
“Betul.”
“Teruskan.”
“Menurut informasi yang kami terima, dapat 
kami perkirakan bahwa waktu kematian perancang 
busana itu juga seperti waktu kematian korban tak 
dikenal yang ditemukan di Jayagiri. Yakni antara pukul 
satu dan dua dini hari kemungkinan modus operandi
nya juga sama. Korban dijebak, lalu dibunuh …”
“Tadi di kantor kalian bilang lambungnya 
dirobek?”
“Ya.”
“Dan, jantungnya?*
“Juga lenyap, tak berbekas'“
“... oh, oh!”
Solihin menyeringai. “Mulai kehilangan nyali, 
eh?”
Maria menggelengkan kepala. “Aku hanya 
mendadak ingin marah pada diriku sendiri!” ia berujar
kesal. “Dua kematian yang beruntun dalam tempo dua 
hari. Malah tiga dengan buronan yang tertembak di 
depan mata kepalaku sendiri. Dan bahu apa yang telah 
kulakukan, sersan?”
“Apa, cantik?”
Maria mengepalkan tangan dan meninju kemudi di 
depannya dengan berang. “Tak satu pun, Sersan! 
Mesin tikku di rumah masih terkunci. Belum satu huruf 
pun yang sudah kuketik!”
Solihin tercengang. “Astaga...”
“Memang astaga!” Maria menggeram. “Dan 
entah wartawan apa aku ini!”
“Lantas apa kerjamu sepanjang malam tadi?”
Melampiaskan nafsu!
Hampir saja perkataan itu meluncur dari mulut 
Maria yang bergetar marah. Mujur ia keburu sadar 
lantas diam-diam malu sendiri. Tersengal sesaat,
Maria kemudian mengeluh. “Kukira peristiwa yang 
kudengar dan kulihat sepanjang hari kemarin, 
membuat aku begitu lelah lahir bathin. Jadi tiba di 
rumah aku langsung jatuh tidur... “
Dan bermimpi.
Lambung yang robek, jantung yang lenyap, 
muncratnya darah merah segar. Siapa yang telah 
menciptakan halusinasi dalam tidurnya? Korban yang 
di Jayagiri? Atau Erwin Gautama? Andai saja Maria 
tahu pukul berapa saat ia bermimpi melihat 
muncratnya darah itu! Maria menggeleng-geleng, 
dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Sakit.
“Bagaimana sempat korban kedua langsung 
dikenali?” Maria bertanya asal bertanya. Sekedar 
membuang pikiran gundah akibat mengabaikan 
pekerjaan yang sebenarnya sudah mendarah daging 
sehingga biasanya Maria pantang membuang tempo 
sia-sia.
“Bagaimana tidak langsung dikenali,” jawab 
Solihin, heran mendengar pertanyaan Maria. 
“Bukankah tadi di kantor sudah kuberitahu. Bahwa si 
perancang mode ditemukan mati di rumahnya sendiri. 
Dan tidak ada barang bukti yang dilenyapkan. Oh ya, 
kecuali jantungnya, tentu saja!”
“Dan si pembunuh...”
“Di situlah segi menariknya, Maria. Memang 
ada satu orang yang sudah mereka tahan. Sebagai 
tersangka utama, dengan motivasi yang kuat pula. 
Tetapi kalau tak salah dengar, kawan-kawan kami
yang di Bandung itu agak sedikit dibuat bingung 
dengan urusan sidik jari.”
“Mengapa?”
“Selain sidik jari tersangka, konon mereka juga 
menemukan sejumlah sidik jari lainnya. Ya di telepon, 
ya di meja kerja dan juga di sandaran kursi milik 
korban. Ada kemungkinan bahwa pengakuan 
tersangka yang kini mereka tahan bahwa dirinya tidak 
bersalah, boleh jadi benar. Dan pembunuh 
sesungguhnya adalah justru si pemilik sidik jari 
tersebut. Justru itu pula yang konon membuat mereka 
dibuat pusing tujuh keliling.”
“Kok aneh!”
“Bagaimana tak aneh, Maria. Karena 
sebagaimana yang kudengar, sidik jari yang mereka 
temukan katanya bukan sidik jari manusia...”
“Yang benar!”
“Maka itulah aku ditugaskan untuk bergabung 
dengan mereka,” Solihin menjelaskan. Lantas seraya 
tersenyum-senyum, ia menambahkan. “Dan karena 
aku keranjingan gadis cantik yang berpinggul besar 
pula, aku pun terayu untuk mengajakmu serta!”
“Aku sangat berterimakasih, Sersan,” Maria 
berujar tulus. “Tetapi sebagaimana tadi dikatakan 
oleh kapten...”
“Tidak akan ada penurunan pangkat,” Solihin 
menyeringai. “Asal saja kau tidak ribut memprotes.”
Solihin melirik terang-terangan ke pinggul Maria. 
Sambil tangannya didekatkan, menggoda. “Secolek 
saja. Boleh kan?”
“Sialan!” Maria memaki.
Tetapi rupanya Solihin tidak tahan. “Kepalang 
sudah dekat!” ia bergumam lucu, dan pinggul Maria 
yang kencang padat sudah dicubit Solihin dengan 
gemas.
Maria memekik tertahan. Kemudian tertawa. 
Tak apalah. Demi persahabatan!
*
* *
Kasus Erwin Gautama ditangani langsung oleh 
satuan serse poltabes Bandung yang berkantor dijalan 
Jawa. Maria diajak Solihin langsung ke bagian 
identifikasi, dimana pada mereka diperlihatkan
seberkas sidik jari. Baik hasil jepretan lensa kamera 
maupun sketsa tiruan yang sudah diperbesar dan 
diperbanyak.
“... omong kosong bila ada yang meributkan 
bahwa ini adalah sidik jari binatang buas!” petugas 
yang menerima mereka berkicau tanpa diminta. 
“Coba saja. Binatang buas apa yang sanggup 
bertelepon dan bercakap-cakap sebagaimana kita 
sekarang ini bercakap-cakap?”
“Siapa tahu, binatang jadi-jadian!” Solihin 
menyeletuk.
“Maaf, Sersan. Boleh tanya tetapi tanpa Anda 
nanti marah?”
“Lucu!” Solihin menyeringai. “Kalau pertanyaan
nya menyakitkan hati, tentu saja aku tidak terima. 
Tetapi karena kau sudah minta maaf ...”
“Aku percaya Sersan adalah orang beragama, kan?”
“Jelas dong!” seringai Solihin benar-benar 
meyakinkan.
“Nah. Sebagai orang beragama, mestinya Anda 
tidak akan mempercayai tahayul semacam itu.”
“Mestinya!” Solihin mengangguk setuju. “Tetapi 
dalam kitab suci toh ada disebut mengenai hal-hal 
yang gaib!”
“Memang. Tetapi itu tergantung dari sudut 
mana kita memandangnya,” si petugas identifikasi 
bersiteguh. “Untuk mereka yang percaya atau lemah 
iman, yang gaib itu bisa berubah jadi tahayul...”
Merasa diledek, Solihin menyerbu. “Bagaimana 
dengan kau sendiri?”
“Biarlah Tuhan dan aku sendiri yang tahu!” si 
petugas menjawab diplomatis. “Tetapi khusus 
menyangkut yang satu ini berani bertaruh. Jika bukan 
seorang manusia jenius, tentulah si pemilik sidik jari 
orang yang mengidap penyakit kulit. Entah apa, terus 
terang aku tidak tahu dan memang bukan bidangku!”
“Hem. Kalau begitu, kita singkirkan saja dulu 
urusan mengenai penyakit kulit. Lalu, sejenius apa 
kiranya orang itu?”
“Dia punya keahlian menciptakan sidik jari 
palsu. Namun entah dengan maksud apa, dia 
membuatnya sedemikian rupa, sehingga tetap sulit 
untuk kita lacak!”
“Letak kesulitannya?”
“Lihat saja, Sersan!” si petugas menunjuk ke 
garis-garis silang tidak teratur namun tampak sama 
pada setiap bagian jari. “Semisal sarung tangan bisa 
meninggalkan bekas, maka permukaannya tidak licin. 
Menurutku kesat, dan juga berlipat-lipat...”
Maria yang dari tadi hanya mendengarkan, tiba-
tiba menyela tanpa sadar. “... dan, ujung-ujung jari 
orang itu pastilah berkuku runcing dan melengkung!”
Petugas identifikasi menatap tajam ke wajah 
Maria. Katanya. “Dari bentuk keseluruhan telapak 
tangan, tampaknya memang begitu. Tetapi dari mana 
Nona tahu?”
“Mimpiku yang mengerikan!”
Maria membathin, dengan bulu kuduk pada 
tegak merinding. Dan di mulut, ia berkata gemetar. 
“Dokter Johan...”
“Dokter Johan?”
Maria tidak segera menjawab. Solihin melirik 
sekilas, lantas membantu. “Ahli bedah forensik di 
Hasan Sadikin!”
“O, beliau!”
Setelah memperoleh satu copy berkas sidik jari 
yang diperbincangkan, Solihin menggamit Maria 
untuk meninggalkan bagian identifikasi. Di luar, 
barulah Solihin bertanya dengan nada kuatir. 
“Kau tampak pucat, Maria. Sakit ya?”
Maria menggeleng lesu. Suaranya pun
terdengar lesu. “Otakku saja yang lelah, barangkali. 
Sudah sejak kemarin, Sersan. Semakin banyak aku 
mendengar, semuanya tambah mengerikan saja!”
“Hei. Mana ketegaranmu yang menakjubkan itu?”
“Aku ini manusia biasa juga, Sersan. Wanita pula...”
Solihin yang tahu betul sifat Maria, langsung 
memanas-manasi. 
“Apakah kau ingin berhenti?”
Dagu Maria seketika terangkat. “Dan membuat 
diriku tampak seperti orang tolol? Tidak akan, 
Sersan!”
“Kalau begitu,” Solihin tersenyum gembira. 
“Marilah kita pergi ke bagian interogasi...”
Mereka diterima oleh seorang letnan yang 
sudah dikenal baik oleh Maria sehingga tuan rumah 
dengan senang hati memberikan informasi.
“... namanya Leonardo!” demikian antara lain 
informasi yang dicatat Maria, “la peragawan top dan 
merupakan kesayangan korban Erwin Gautama. Itu 
salah satu unsur yang mungkin kelak akan diperguna
kan memperkuat posisi tersangka. Selain sidik jari 
yang aneh itu, tentu saja. Masih ada lagi. Pelayan setia 
korban dengan yakin memastikan bukan Leonardo 
orang yang ia persilahkan masuk dan kemudian 
berbicara dengan Majikannya di telepon...”
“Bagaimana dengan si pelayan itu sendiri?”
“Kurdi, atau lengkapnya Ahmad Kurdi... untuk 
sementara hanya kami panggil sebagai saksi.”
“Mengapa bukan tersangka?”
“Pertama, Maria. Kurdi sudah mengenal Erwin 
semenjak Erwin masih ingusan. Dari pengakuannya 
sendiri dan juga dari informasi yang kami kumpulkan, 
Erwin sudah dianggap dan diperlakukan Kurdi sebagai 
anak kandungnya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Dua, 
kami belum melihat adanya motivasi membunuh dari 
pihak Kurdi. Hidupnya serta hidup keluarganya 
dicukupi oleh Erwin. Bahkan biaya sekolah anak-anak 
Kurdi juga ditanggung sepenuhnya. Dua di antaranya, 
sudah pula diberi pekerjaan yang memadai. Terakhir, 
dan justru yang terpenting... Kurdi sudah mendekati
uzur. Jangankan mampu merobek lambung orang. 
Untuk mengancing baju sendiri pun terkadang harus 
dibantu.”
“Lalu bagaimana dia dapat memastikan bukan 
Leonardo orang yang dia persilahkan masuk ke 
rumah?”
“Orang misterius itu, menurut Kurdi sama tinggi 
dengan Kurdi sendiri. Sedang untuk berbicara dan 
melihat ke mata Leonardo, Kurdi harus agak 
menengadah...”
“Begitu!” Maria manggut-manggut seraya terus 
mencatat yang penting-penting di notesnya. Detail 
selebihnya, ia biarkan menyerap di kepala. “Apakah 
dia dapat mengenali si tersangka misterius tersebut?”
“Bagian itulah yang paling menarik, Maria!”
“Oh?”
“Menurut keterangan Kurdi, setelah telepon 
diambil alih tamunya, Kurdi mendadak terserang 
kantuk yang sangat hebat. Dia merasa seperti ada 
yang menyuruh dan memaksanya supaya pergi tidur. 
Tidak kuasa menolak, orang tua itu lantas 
meninggalkan sang tamu tidak dikenal. Bayangkan, 
ditinggal begitu saja!”
“Terus?” Maria mendesah, tertarik.
“Ketika Kurdi kemudian terbangun oleh suara-
suara gaduh yang ditimbulkan Leonardo, orang tua itu 
katanya hanya dapat mengingat bahwa ia telah 
membukakan pintu untuk seseorang dan kemudian 
menyerahkan telepon pada orang tersebut. 
Selebihnya, nol besar. Tidak ingat wajah, tidak ingat 
nama, juga tidak ingat apa saja yang telah dibicarakan 
atau ia dengar Kurdi bersikukuh mengatakan dirinya 
pasti terkena guna-guna. Atau... kalau keterangannya 
benar, kita anggap saja dia terkena hipnotis!”
Maria dibuat terkesan, sehingga beberapa saat 
lamanya, ia hanya diam termangu. Si pembunuh 
bukan hanya kejam dan biadab. Si pembunuh juga 
jenius, punya sidik jari yang aneh dan kini, 
berkemampuan menghipnotis.
“Cukup, Maria?”
Maria tersentak. Lalu 
“... bagaimana dengan Leonardo?”
“Alibi Leonardo sangat lemah. Sebaliknya, dia 
Punya motivasi kuat untuk membunuh Erwin.
Masukan itu kami terima dari salah seorang penjaga 
parkir di hotel papandayan. Belum satu jam yang lalu
si penjaga parkir meninggalkan ruangan ini. Kehadiran
nya kami perlukan untuk mengindetifikasi Leonardo, 
tanpa diketahui yang bersangkutan.”
“Hasilnya?”
“Kadang-kadang aku suka berpikir, Maria...”
sang Letnan tersenyum lebar. “Andaikata kau berniat 
melamar di kantor ini, dapat kupastikan kau bakal 
diterima!”
Maria balas tersenyum. “Tawaran yang menarik, 
Letnan. Tetapi, terimakasih deh...”
“Sayang sekali. Baiklah. Sewaktu kalian berdua 
tadi nongol di ambang pintu, kami justru sudah berniat 
memeriksa ulang Leonardo. Jadi, tunggulah 
sebentar!”
Seorang bawahan segera diperintahkan 
mengambil Leonardo dari sel tahanan. Dan tidak 
berapa lama kemudian, si peragawan pun muncul. 
Tanpa diborgol, namun dengan pengawalan ketat. 
Maria melihat sosok atletis seorang anak muda 
berpostur tinggi kekar. Pakaian yang melekat di 
tubuhnya pasti dari bahan yang mahal namun terlihat 
kusut. Sekusut wajah si anak muda yang sebenarnya 
tampan dan gagah. Cambang di depan kedua telinga 
anak muda itu tercukur rapih. Dan Maria tiba-tiba baru
menyadari bahwa cambang seseorang ternyata juga 
dapat menimbulkan kesan seksi.
Akan tetapi, kesemua kesan itu perlahan-lahan 
mengabur hilang setelah Leonardo menghenyakkan 
pantat di kursi yang ditunjuk. Sambil endengus 
beringas. Tidak santun sedikit pun. 
“Apalagi yang kalian kehendaki dari aku?!”
“Hanya mengulangi apa yang sudah kita 
obrolkan sebelum ini,” Letnan berujar lembut, “Siapa 
tahu ada yang terlupa...”
“Mulutku sudah berbusa!”
”Telan sajalah,” Letnan mengomentari dengan 
senyuman yang juga sangat lembut. Seolah-olah 
dialah penyebab dan yang bertanggung-jawab atas 
kelahiran Leonardo ke dunia fana. “Ada yang bilang, 
busa di mulut dapat menjadi obat penyembuh yang 
mujarab!”
Entah Leonardo menanggapi lalu menuruti 
nasihat itu secara harfiah atau entah menyadari 
sindiran halus sang letnan, yang. pasti kepala 
Leonardo agaknya berubah lebih dingin. Tidak secara 
total, memang. Namun ia tampak sedikit melemah.
Meski masih disertai tuntutan. “Aku minta didampingi 
pengacara...”
“Siapa yang ingin kau tunjuk, Leon?”
“Belum tahu. Habis, bermimpi akan mengalami 
yang seperti ini, pun aku belum pernah!”
“Maka mulailah memikirkannya, Leon. Tetapi 
itu nanti. Sekarang ini kita ngobrol-ngobrol sajalah 
dulu. Dan, santailah. Tidak seorang pun dari kami 
berniat menerkammu. Setuju, bukan?”
Leonardo mengangguk-angguk. Kaku.
“Dari mana aku harus memulai?”
“Terserah...”
Lebih dulu Leonardo mengawasi sekitarnya.
Mungkin sambil berpikir-pikir. Ketika sepasang 
matanya beradu dengan mata Maria, di mata 
Leonardo tidak tampak kesan apa-apa. Maria sedikit 
kecewa karena dirinya seperti tidak punya daya tarik 
apa-apa buat si peragawan top yang bercambang seksi 
itu. Kemudian Maria melihat bahwa Leonardo cukup 
lama memperhatikan salah seorang petugas yang tadi 
mengawalnya. Malah sempat melempar senyum
samar pada si petugas yang berwajah lembut dan 
klimis itu.
Kemudian, “... sebagaimana sudah kuceritakan 
subuh tadi,” Leonardo memulai. “Aku melihat Erwin 
tampak lain dari biasa, la mendadak sangat tidak 
ramah dan sepertinya menutup-nutupi sesuatu. 
Padahal selamanya ia selalu terbuka denganku. 
Bahkan sampai ke masalah yang sifatnya sangat 
pribadi sekali pun. Tentu saja aku lantas bercuriga. 
Firasat buruk mendorongku untuk memanggil taksi 
dan menyusul Erwin ke rumahnya...”
“Firasat buruk bagaimana?”
“Entahlah. Yang jelas, aku merasa sesuatu yang 
tidak menyenangkan akan menimpa diri Erwin. Dan 
aku harus menolongnya!”
“Hem. Terus?”
“Seturun dari. taksi, aku bergegas memasuki 
halaman rumah...”
“Jadi taksinya berhenti di tepi jalan. Mengapa 
tidak sekalian disuruh masuk ke halaman? Lagi-pula, 
bila yang kau takutkan memang benar terjadi... dan 
itulah yang kita semua tahu sudah terjadi, supir taksi 
mungkin dapat kau mintai bantuan!”
“Aku hanya bilang, sesuatu yang tidak 
menyenangkan!”, Leonardo tampak beringas kembali. 
“Dan itu tidak berarti pembunuhan!”
“Baiklah”, Letnan tersenyum sabar. “Tetapi apa 
kiranya hal yang tidak menyenangkan itu, Leon?”
“Aku punya perasaan telah 'dikhianati!”
“Dikhianati bagaimana?”
Agaknya, sadar ia memasuki perangkap, 
Leonardo terdiam sejenak sebelum kemudian ia 
menjawab hati-hati. 
“Aku... aku tidak bisa menjelaskannya.”
Senyuman sabar di bibir sang Letnan melenyap, 
la condongkan mukanya ke depan, seakan-akan 
bermaksud menerkam. “Leonardo,” ia mendengus 
datar. “Janganlah kau kira kami ini bodoh. Tidak 
punya mata, tidak punya telinga. Walaupun hari masih 
pagi, bung, disana sini burung-burung sudah pada 
ribut bekicau. Apakah perlu kuberitahu kicauan apa 
saja yang telah kami dengar?”
“Itu hanya gertakan...”, Leonardo mencoba 
bertahan. Namun suaranya terdengar melemah.
“Oh ya? Bagaimana bila kukatakan ada saksi 
dibawah sumpah. Yang tegas-tegas menyatakan kau 
telah melontarkan ucapan-ucapan menghasut dan 
bernada mengancam keselamatan nyawa Erwin?”
Leonardo mengingat-ingat sebentar. Lalu, “Hem, pasti 
itu si penjaga parkir. Dan ia pasti melebih-lebihkan!”
“Pasnya, Leon?”
“Aku... tidak begitu... ingat lagi. Waktu itu aku 
sedemikian frustasi karena menyangka Erwin ada 
main dengan laki-laki lain...”
“Dengan,” Letnan memotong seketika. “... 
apa?”
Seolah-olah pertanyaan dengan konotasi apa 
bukan siapa itu membuat harga dirinya terinjak-injak, 
Leonardo menjawab berang. “Dengan lelaki lain! 
Apakah itu salah? Dan apakah juga salah bila aku 
lantas cemburu dan merasa dikhianati?!”
Gumam campur aduk berdengung di kiri kanan. 
Malah seorang petugas menyeletuk kasar. “Sialan. 
Sapa nyana kita rupanya sedang berurusan dengan 
homo!”
Letnan menyeringai masam dan melirik ke arah 
Maria. Maria tahu itu adalah lirikan sambil lalu dan
tidak bermaksud apa-apa. Namun seringai dan lirikan 
Letnan itu seakan menghunjamkan sebuah pertanya-
an mengejek: “Bagaimana dengan homo yang ada di 
tempat tidurmu?!”
Nyaris tanpa disadari olehnya sendiri, Maria 
diam-diam merunduk. Malu.
Untunglah suasana tidak menyenangkan itu 
dengan segera diredakan oleh suara sang Letnan yang 
terdengar lembut. “Baiklah, Leonardo. Aku dapat 
memahami perasaanmu. Sekarang, coba kau 
ceritakan kembali apa yang kemudian terjadi setelah 
kau turun dari taksi...”
Leonardo mengatur nafasnya, sebentar. Kemudian, 
“…beberapa meter menjelang aku tiba di serambi, 
pintu depan rumah, mendadak dibuka seseorang dari 
dalam. Takut ketahuan, aku cepat-cepat menyelinap 
di balik mobil Erwin yang masih terparkir di halaman. 
Dari balik mobil itulah aku lalu mengintip diam-diam. 
Dan...”. Suara Leonardo mendadak tersendat. 
Wajahnya perlahan-lahan memucat, dengan mata 
membelalak bagai dilanda teror.
Letnan mendorong dengan lembut. “Dan?”
Leonardo seketika bergemetar di kursinya.”... 
tolonglah!”, ia merintih dengan suara memelas. Lalu
seraya menangkupkan wajah di kedua telapak 
tangannya, Leonardo pun mengerang. “Aku tidak mau 
mengingat-ingat kejadian itu lagi. Hanya akan 
membuat jiwaku tersiksa... karena aku terlambat tiba 
di sana. Aku pun sangat muak dan benci... pada diriku 
sendiri. Harusnya pembunuh biadab itu kuterkam. 
Harusnya ia kucincang... untuk membalaskan 
penderitaan Erwin. Tetapi aku malah merungkut 
ketakutan. Aku biarkan... pembunuh biadab itu berlalu 
begitu saja. Pemunculannya begitu mengerikan. Dia... 
dia...”
“Apakah kau dapat mengenali siapa orang itu, Leon?”
Kedua telapak tangan Leonardo bergerak turun. 
Lalu dengan wajah serta sorot mata membelalak 
ketakutan, ia bertanya gemetar. “Orang, Letnan? 
Orangkah yang tangan serta mulutnya bergelimang 
darah... Dan, mata kuningnya memancarkan sinar api 
yang bernyala-nyala itu? Apakah dia yang berjalan 
seperti melayang dan... dalam tempo sekejap sudah 
melesat hilang? Orangkah dia itu Letnan? Atau setan 
yang bangkit dari tengah api neraka?!”
Yang ditanya, bungkam seribu bahasa.
Mereka yang lain saling bertukar pandang tanpa 
satu pun yang berselera untuk membuka mulut.
Ruang interogasi seketika terasa sunyi. 
Mencekam.
Dan sekujur tubuh Maria terasa dingin. 
Menusuk.
(BERLANJUT KE JILID 2)


197
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI
Karya : Abdullah Harahap
Sesosok tubuh telanjang ditemukan mati secara 
misterius di tengah udara berkabut Lembah Jayagiri,
Selain wajah yang sengaja dirusak dan Identitas 
lainnya yang sengaja dilenyapkan, jantung korban pun 
ikut lenyap pula. Polisi pun dibuat sibuk, apalagi 
setelah muncul sinyalemen bahwa perbuatan biadab 
Itu dilakukan oleh sekelompok pemuja setan.
Seorang wartawati cantik tergerak untuk ikut
menelusuri penemuan mayat misterius Itu. Tetapi 
ketika korban lain kembali berjatuhan, Maria 
dihadapkan pada masalah yang tidak hanya pelik 
tetapi juga menakutkan. Ada petunjuk kuat bahwa si 
pembunuh mengkhususkan diri mencari mangsa dl 
kalangan homo seksual.
Dan bukan mustahil korban berikutnya adalah 
Ronald yang tengah berjuang untuk kembali hidup 
sebagai seorang lelaki sejati, setelah sekian tahun 
lamanya menjalani kehidupan mengerikan bersama 
teman sejenis.
Lalu teror Itu pun datang. Tidak hanya 
memburu Ronald. Tetapi juga Maria. ***





 



Share:

0 comments:

Posting Komentar