ABDULLAH HARAHAP
PENGHUNI LEMBAH GAYAGIRI
CITRA BARU
JAKARTA
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka.
Cerita ini adalah fiktif.
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI
Karya Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh. Citra Baru, Jakarta
Cover oleh Deddy S.
Cetakan pertama 1993
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Citra Baru
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
SATU
NASIB sial agaknya belum puas-puas
mengangkangi Antonius Suhandinata
Menyusul pemutasian seorang pejabat teras di
perum telekomunikasi, tadi Antonius menerima surat
pemberitahuan resmi bahwa perusahaannya telah
dicoret dari daftar rekanan. Belum juga lenyap pening
di kepala, sore harinya datang lagi kabar buruk lain.
Rahadi, orang kepercayaannya yang ia tugasi
mengawasi pembangunan sebuah gedung
perkantoran milik pemerintah daerah setempat,
menginterlokal dari Bogor dengan suara panik : “Tim
pemeriksa dari inspektorat wilayah baru saja
meninggalkan proyek. Mereka muncul untuk inpeksi
mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya dari
pak Manan sehingga kami tidak siap...”
Antonius langsung dapat menebak hasil akhir
inspeksi mendadak itu, beberapa bagian konstruksi
bangunan ternyata tidak sesuai bestek, harus
dilakukan pembongkaran segera lalu pembangunan
ulang, dan…
Dan, anak muda perlente yang diboyong
Antonius dari sebuah club malam ke sebuah kamar
hotel ternyata hanya hebat lagaknya saja. Di atas
tempat tidur anak muda itu tidak ada apa apanya.
Lebih banyak diam Bersikap pasip, Menunggu. Kurang
ajarnya lagi, baru juga Antonius masuk si anak muda
tahu-tahu muntah berat. Birahi Antonius pun langsung
terbunuh seketika.
Sambil menarik diri dari pantat si pemuda
Antonius mengomel kesal “Tadi katanya suka dan
ingin. Tetapi sekarang!”
Dengan wajah pucat, anak muda itu bergumam
gemetar dan memelas. “Maaf Om, Sudah ketiga kali
aku melakukan ini... namun masih saja aku tidak
mampu menahan perasaan mual.”
“Brengsek! Rupanya kau mencari duit di tempat
yang salah!”
“Apa boleh buat Om,'' sahut si anak muda lirih
“Semenjak kecil uang jajanku sudah terbiasa
berlebihan. Tetapi setelah usaha papa bangkrut dan
mama kemudian minta cerai...”
Meski kesal alang kepalang, terpaksa juga
Antonius merogo isi dompet, la ambil lima lembar
uang kertas lima puluh ribuan yang kemudian ia
sodorkan ke tangan gembel intelek yang salah jalan itu
Si anak muda menatap ragu ragu. “Tetapi Om
belum...”
Antonius mendengus tak senang.
“Bagaimana itu ku bisa muntah, kalau mulutmu
sudah muntah duluan?”
Si anak muda buru-buru mengantongi bayarannya
sambii berujar polos. “Biar aku muntah-muntah, dua
orang lain sebelum Om tetap jalan terus!”
Menyeringai malu-malu sejenak, ia kemudian
menambahkan dengan suara tulus “Bila lain kali Om
menginginkan aku lagi…”
“Tidak ada lain kali untukmu. Enyahlah!”
*
* *
Masih kesal oleh nasib sial yang datang
beruntun itu, Antonius memacu mobilnya di jalanan
kota Bandung yang bertambah malam bertambah sepi
dan lengang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut,
sakit. Urusan bisnis yang mendadak kacau mungkin
kelak dapat teratasi setelah pikirannya lebih tenang.
Tetapi bagaimana pikiran bisa tenang, bila birahi terus
dipendam. Tak tersalurkan?
Berbulan-bulan sudah Antonius berusaha
mengekang kejantanannya yang terus saja meletup-
letup. Semenjak Boy memutuskan hubungan mereka.
Antonius belum tertarik untuk mencari pengganti, la
hanya menginginkan Boy seorang. Sampai kapan pun
ia akan tetap mencintai Boy, sebagaimana ia merasa
yakin bahwa Boy pun masih mencintainya. Dan
berharap suatu hari kelak Boy berubah pikiran, tidak
jadi meninggalkan dunia gay. Lantas menelepon.
Tanpa kau, hidupku tak punya arti. Aku merindukan
mu...!”
Bila saat itu tiba. Antonius berjanji pada diri
sendiri, ia akan mengakui terus terang apa yang telah
diperbuatnya malam ini. “Aku tidak bermaksud
mengkhianati cinta kita. Apa yang kuperbuat semata-
mata karena tergerak oleh pikiran kacau akibat
goncangan bisnis yang kuhadapi. Untungnya pemuda
itu keburu muntah pula...”
Antonius yakin betul, Boy akan memahami
lantas memaafkan. Kemudian Boy akan naik ke
tempat tidur. Dan seperti biasa, rebah dengan gerakan
gemulai. Sambil mengundang dengan suara manja.
“Cintailah aku kekasih. Hancur-luluhkan aku dengan
kejantananmu yang menakjubkan itu!”
Lamunan itu menghidupkan kembali birahi
Antonius yang di hotel tadi sempat mati. Kejantanan
nya terlonjak. Sedemikian hebat, sehingga sekujur
tubuhnya ikut mengejang. Tak tahan. Tanpa sadar,
dari mulutnya terlontar geraman gemetar.
“Aku harus mengunjungi Boy malam ini juga.
Akan kubujuk dia supaya mau bermain cinta, walau
hanya sekali ini saja. Bila perlu, ia akan kuperkosa.
Setelah menikmati tubuh hangatnya yang indah...
mati pun aku rela!”
Di tengah lonjakan birahinya, Antonius masih
cukup sadar untuk mengurangi kecepatan mobil,
ketika dari kejauhan ia lihat lampu setopan di
perempatan Sukajadi-Karangsari searah jalannya,
menyala merah. Main terobos sih boleh-boleh saja.
Tetapi tidak ada salahnya bertindak hati-hati.
Yakinkan dulu bahwa lalu-lintas dari samping kiri
kanan cukup aman untuk mencuri jalan.
Baru setelah mobilnya benar-benar berhenti,
Antonius menyadari kehadiran seseorang di sebelah
luar mobil. Orang itu berpakaian warna gelap dan
mukanya tertutup topeng aneh bahkan tampak
mengerikan. Seraya bergerak meninggalkan tempat
nya berdiri, laki laki misterius itu mendekati mobil
tanpa ragu-ragu. Salah satu tangannya diangkat,
memperlihatkan sejumlah topeng kain yang ia jinjing.
Herannya, sedikit pun Antonius tidak dihinggapi
perasaan kuatir, apalagi takut. Cukup sekilas pandang,
ia sudah menyadari bahwa ia tengah berhadapan
dengan seorang penjual topeng. Meski akal sehatnya
sempat mengingatkan bahwa orang itu memilih
tempat dan waktu yang tidak lazim menjajakan barang
dagangannya, entah mengapa tergerak juga hati
Antonius menurunkan kaca jendela mobil di
sebelahnya, setelah laki-laki itu mengetuk-ngetuk dari
sebelah luar.
“Silakan Om pilih mana suka!” terdengar suara
bernada ganjil. “Muka beruk, muka macan, muka
tikus. Lumayan untuk menakut-nakuti bini di rumah,
atau dipakai buat pesta!”
Ah, ya. Pesta. Mengapa tidak? Bukankah
pertemuan pertamanya dengan Boy berlangsung
dalam pesta topeng tahunan yang dilangsungkan oleh
kelompok tetap mereka? Mengunjungi Boy tersayang
pada dinihari sekarang ini dengan mengenakan
topeng, pasti akan merupakan sebuah nostalgia.
Barangkali saja hati nurani kekasihnya tercinta akan
tergugah, dan…
Antonius menaksir topeng-topeng yang disodor
kan ke jendela mobil yang terbuka menganga.
Sungguh topeng-topeng aneh Karena kesemuanya
tampak seperti bersinar-sinar Sehingga dalam
kegelapan, bentuk dari masing-masing topeng tetap
terlihat dengan jelas. Barangkali memang itulah sebab
nya mengapa si penjual beroperasi malam hari. Agar
keistimewaan barang dagangannya tampak dengan
nyata.
“Bagaimana Om?” suara ganjil itu menyadarkan
Antonius. Suara lirih dan terdengar sayup. Seolah-olah
datang dari jauh.
Mungkin ada gangguan pada tenggorokannya,
pikir Antonius seraya tengadah untuk mengawasi
topeng yang menutupi wajah si penjual. Dan apa yang
ia saksikan, benar-benar sebuah topeng yang sangat
menakjubkan. Selain berwarna hijau mencolok, kulit
muka topeng tampak kesat, bersisik-sisik kasar: Lebih
menakjubkan lagi, adalah sepasang mata. Didominasi
warna kuning, titik mata topeng berwarna merah
darah, sinar merah darah itu berdaya pukau luar biasa
pula. Selama sepersekian detik, denyutan jantung
Antonius sempat terhenti karenanya.
Antonius menahan nafas. Selain pemunculan
Antonius yang di luar dugaan, topeng hebat itu
pastilah akan sangat mengejutkan kekasihnya.
Berharap saja Boy lantas jatuh pingsan, sehingga
Antonius memperoleh kesempatan mengangkat
tubuh sang kekasih ke dalam kamar. Dan sebelum Boy
siuman, Antonius sudah keburu 'masuk'. Ah, ah!
Antonius pun cepat-cepat memutuskan. “Aku
pilih yang kau pakai saja. Yang itu benar-benar muka
setan!”
“Ini milik pribadi, Om tidak untuk diperjual
belikan...” suara mirip bisikan itu berlagak jual mahal.
Antonius memaksa. “Aku mau yang itu saja.
Berapa pun harganya akan kubayar!”
“Jika itu keputusan Om, baiklah...,” si penjual
topeng menyerah. la kemudian meluruskan tegaknya,
sehingga ketika ia tanggalkan wajah palsu nya.
Antonius tidak dapat melihat. Topengnya, dibuka
tidak dengan cara yang umum: melepas pengait atau
tali karet pengikat Melainkan dibuka dengan cara
seperti merobek. Dimulai dari bawah dagu, sampai
seluruhnya melepas hingga ke tepi bawah rambu
Dan, di bekas topeng itu tadinya melekat, tidak
tampak apapun juga!
Tidak ada wajah. Apakah itu wajah perempuan,
atau wajah laki-laki. Persisnya, dari rambut sampai ke
batang leher, yang tampak hanyalah ruang kosong dan
hitam, sehitam malam di sekitar.
*
* *
Antonius yang menunggu tak sabar, akhirnya
mendapatkan topeng yang ia inginkan, la tidak merasa
perlu menyalakan lampu dalam mobil, sebab sinar
pada wajah topeng sudah cukup untuk memperlihat
kan wujutnya yang mendebarkan jantung. Meraba-
raba sebentar. Antonius lantas nyeletuk heran. “Kok
tidak ada pengait telinga atau tali pengikat?”
Tetap berdiri tegak di luar mobil, si penjual
memperdengarkan suara ganjilnya yang meyakinkan.
“Namanya juga topeng langka, Om. la akan melekat
bahkan menyatu sendiri dengan wajah Om. Bila tidak
percaya, silahkan dicoba...”
Suatu dorongan gaib menghilangkan keragu-
raguan Antonius. Topeng misterius itu dengan hati-
hati ia tempelkan dan dipas-paskan ke wajahnya
sendiri. Tanpa mengetahui bahwa dari ruang kosong
di bagian kepala si penjual topeng di luar mobil, tiba-
tiba meliuk keluar sinar hijau yang aneh. Dan sinar
hijau itu melesat sangat cepat. Untuk kemudian
meliuk-liuk liar di sepanjang sisi topeng yang tengah
dikenakan oleh Antonius.. Begitu kedua tangan
Antonius turun dari wajah, sinar hijau misterius
tersebut berhenti meliuk. Kemudian melenyap hilang
ke arah dalam kepala Antonius.
“Hem!” Antonius mendengus senang. “Benar-
benar pas. Dan nyaman pula dipakai!”
Tak terdengar adanya komentar.
Antonius menoleh ke luar jendela mobil. Sambil
menggumamkan tanya. “Berapa harga yang harus
ku...”
Ucapannya terhenti sampai di situ.
Lantas dengan mulut ternganga dan mata
membelalak, Antonius menatap tidak percaya. Tidak
ada sosok tubuh di luar jendela mobilnya. Belum
yakin, ia memutarkan pandang ke kiri, ke muka, ke
belakang lalu kembali ke arah semula. Sama saja. Tak
ada siapa-siapa. Yang ada hanya semilir angin kota
Bandung yang dingin Serta suara sepi yang terasa
mencekam. Antonius tersedak.
Pada saat itulah perasaan takut dengan tiba-
tiba menghinggapi dirinya. Tanpa berpikir panjang lagi
dengan tangan serta kaki bergemetar, rem tangan
mobil ia turunkan. Pedal kopling serta gas dioperasi
kan pada waktu bersamaan. Mobil itu pun seketika
terlonjak ke depan dengan sentakan mengejutkan.
Kemudian, tanpa memperdulikan apakah lampu
setopan di arahnya menyala merah atau hijau,
Antonius langsung tancap gas dan ngebut seperti
orang kesurupan.
Baru setelah berkendara di jalan Setiabudi yang
lalu lintasnya sedikit lebih hidup, perasaan takut
Antonius mereda perlahan-lahan. Kecepatan mobil ia
turunkan. Setelah mana ia putuskan berhenti sejenak
untuk menenangkan deburan jantungnya yang
menggila. Mobil ia parkir di antara sejumlah
kendaraan lainnya di lokasi penjual jagung bakar yang
berderet di satu sisi, serta warung-warung penjual
makanan berderet di sisi berseberangan. Banyak
manusia berkeliaran di sekitarnya. Ya para pedagang
setempat, ya juga para pengunjung yang singgah
untuk beristirahat seraya menikmati jagung bakar
atau jagung rebus dengan kombinasi minuman kopi
panas yang mengundang selera.
Antonius sudah akan turun dan bergabung
dengan para pengunjung lain di jongko terdekat,
ketika teringat pada topeng yang barusan tadi ia
kenakan pada wajahnya. Apakah topeng mengerikan
itu benar-benar ada atau...
Harap-harap cemas, Antonius meraba-raba
wajah sendiri. Tak ada topeng. Yang teraba, adalah
wajah yang cukup ia kenal. Tetapi supaya lebih yakin,
lampu dalam mobil dinyalakan juga. Letak kaca spion
tengah ia atur sedemikian rupa, sehingga keseluruhan
wajahnya terlihat dengan jelas. Memang benar. Tidak
tampak adanya topeng. Yang tampak hanyalah wajah
pucat dan tampak kusut serta lelah karena goncangan
bathin.
Sewaktu turun dari mobil, Antonius toh masih
diganggu oleh pikiran yang tidak menyenangkan.
Apakah ketika berhenti di lampu setopan tadi ia
sempat mengantuk lantas terlelap sekilas. Dan
sewaktu terlelap itulah ia bermimpi ketemu hantu.
Atau semua itu adalah halusinasi yang dialaminya
secara sadar karena melamunkan hal yang bukan-
bukan? Akan tetapi, semua kejadian itu terasa begitu
nyata. Ada sosok berpakaian warna gelap. Ada suara
ganjil mirip bisikan dari alam gaib. Tanya jawab yang
begitu hidup dan teringat jelasi kata demi kata. Juga
topeng-topeng misterius yang bersinar-sinar aneh
dalam kegelapan...
Antonius duduk di bangku kosong jongko.
Lantas memesan segelas kopi dengan wajah masih
pucat dan suara pun masih menggagap, gemetar.
*
* *
Mundur beberapa menit ke belakang, di
perempatan jalan Sukajadi-Karangsari. Andaikata
pada wantu mencari-cari dengan matanya ke sekitar
mobil, Antonius tidak hanya memperhatikan pada
ketinggian sejajar... tetapi juga memperhatikan ke
sebelah bawah. Maka di luar pintu mobil, akan tampak
olehnya pakaian berwarna gelap tertumpuk bersama
sejumlah topeng mengerikan di permukaan jalanan
aspal. Dari bawah tumpukan itu tampak merembes
keluar cairan kental berwarna hijau redup namun
bersinar-sina
Dan andaikata Antonius punya sedikit
keberanian dan waktu untuk menunggu dan melihat.
Akan tampak olehnya bagaimana genangan cairan
hijau kental itu perlahan-lahan melenyap sirna.
Disusul oleh pakaian dan topeng-topeng yang juga
perlahan-lahan mengabur hilang. Lalu ketika lampu
setopan kembali menyala merah dan sebuah mobil
mewah lainnya kemudian berhenti di tempat mana
sebelumnya Antonius berhenti, di permukaan jalan
tak tampak apapun lagi. Kecuali warna hitam aspal
yang sedikit kecoklat-coklatan karena resapan debu
yang terus berproses dari waktu ke waktu.
Sambil menunggu lampu setopan menyala
hijau, si pengemudi mobil mewah malah sempat
berciuman dengan perempuan yang duduk
menyandar rapat ke bahunya.
Tanpa ada gangguan sedikit pun.
Dan si penjual topeng setan. Yang sudah
menghilang entah ke mana.
*
* *
DUA
DI DAERAH perbukitan Jayagiri, Lembang,
Ronald ‘Boy’ Palgunadi menggeliat bangun dengan
nafas tersengal-sengal. Tangannya menggapai ke
tombol lampu kaca di samping tempat tidur yang
kemudian ia putar sampai ke batas maksimum.
Cahaya yang semula redup, dengan cepat telah
berubah menjadi terang benderang.
Ronald lantas mengawasi sekitarnya, dengan
pandangan liar. Tak ada siapa-siapa di dalam kamar
yang ia tempati, kecuali dirinya sendiri. Untuk
beberapa saat lamanya Ronald duduk diam-diam,
menenangkan diri. Apa sebenarnya yang barusan ia
alami? Halusinasi dari keinginan-keinginan yang sudah
lama dikubur dengan paksa? Ataukah hanya sekedar
mimpi belaka?
Tetapi kehadiran Antonius terasa begitu sangat
jelas dan nyata. Suaranya. Sentuhan-sentuhan.
Bahkan tubuhnya yang kenyal serta kokoh sebagai
mantan atlit binaraga, muncul begitu utuh dan
menantang pula. Terutama pada bagian-bagian
tertentu, yang dengan dahsyatnya membangkitkan
nafsu seksuil Ronald. Dan ketika Ronald nyaris
mencapai orgasme, semuanya tahu-tahu melenyap.
Hilang begitu saja. Digantikan oleh hawa sejuk
pegunungan yang dingin menusuk, Ronald pun
terbangun. Dengan lonjakan birahi yang tertahan tiba-
tiba gagal terlampiaskan!
Gemetar Ronald meluncur turun dari tempat
tidur. Dengan langkah tersuruk-suruk ia pergi ke ruang
duduk. Sesuatu harus dilakukan, sebelum kepalanya
menjadi sakit berlarut-larut dalam tekanan hasrat
seksuil yang tidak terkendalikan.
Setelah mengangkat gagang telepon, bathin
Ronald sempat berperang. Nomor telepon siapa
sebaiknya yang ia putar? Antonius, atau... Setelah
melalui perjuangan yang berat dan keras sehingga
pelipis Ronald sampai berpeluh, dial telepon akhirnya
ia putar juga, angka demi angka. Dan begitu telepon di
seberang sana terdengar diangkat oleh seseorang
tanpa salam pendahuluan dan tanpa ragu-ragu Ronald
langsung berbicara. “Hasrat terkutuk itu datang lagi,
Maria!”
“Oh kau Ronald,” terdengar suara mengantuk
seorang perempuan. Helaan nafas sebentar. Lalu
disusul suara tertahan. “Hasrat yang mana?”
“Yang lama!”
”Oh!”
“Aku takut, Maria.”
”Takut apa?”
“Tergoda untuk mengulanginya kembali.
Panggilannya begitu kuat...” Dan itu memang
sebenarnya. Di balik kimono tidurnya, kejantanan
Ronald masih tetap tegak. Menunggu.
Sepi sebentar. Helaan nafas lagi. Berat dan
panjang. Lantas, “Ronald?”
“Aku masih di sini.”
“Tunggulah barang satu jam. Aku akan ke sana
untuk... membicarakannya!”
“Memang itulah yang sangat kubutuhkan saat
ini, desah Ronald, polos. “Seorang teman berbicara!”
“Seorang teman... ah, sudahlah! Jangan pergi
kemana-mana, kumohon!”
“Tidak akan!” Ronald berjanji.
“Dan, Ronald...”
“Ya?”
“Sementara menunggu, kabulkanlah satu
permintaanku...”
“Katakan saja.”
“Jangan merusak apa yang telah aku bangun
dengan susah payah. Memikirkan saja pun, jangan!”
Ronald menyeringai. Kecut. “Setidak-tidaknya
aku telah meneleponmu. Bukan dia!”
“Itu sebuah permulaan yang baik. Sampai nanti,
Ronald!”
“Kutunggu...”
Usai percakapan di telepon, Ronald masih
termangu-mangu di tempatnya berdiri. Maria telah
berkata: jangan merusak apa yang telah kau bangun.
Bukan: yang telah kita bangun. Padahal Maria ikut
berperan dalam therapi yang dijalani Ronald. Malah
Maria sudah bergerak dan bertindak jebih jauh dari
rencana semula. Dengan hasil positip yang Ronald
sendiri tidak pernah mengimpikannya. Jelas Maria
tidak hanya sekedar meminta. Gadis itu bermaksud
memperingatkan, seberapa besar pun juga peranan
yang diambil Maria, hasil akhir tetap tergantung di
tangan Ronald sendiri: seberapa besar tekad dan
usahanya untuk berubah.
Atau sebagaimana yang pernah dikatakan
dokter Rinaldi, psikiater yang menangani kasus
Ronald. “Maria itu umpama sebongkah batu di tengah
sungai. Sewaktu-waktu dapat saja tenggelam bahkan
tersingkir tak punya arti. Karena ia hanya sekedar
berfungsi sebagai penahan arus. Bukan untuk
menghentikannya!”
Ronald menghela nafas panjang lalu pergi ke
bar di salah satu sudut ruang duduk, la jangkau sebotol
brendi dari rak. Satu dua sloki minuman keras
barangkali akan mampu menolongnya melepaskan
diri dari dorongan rindu yang begitu kuat untuk
bertemu lalu bercinta dengan Antonius. Tetapi
sewaktu akan menenggak isi sloki yang pertama,
mendadak terngiang apa yang pernah diucapkan
Maria. “Minuman keras memang tempat pelarian
yang termudah. Aku sendiri pun terkadang masih
membutuhkan. Boleh-boleh saja. Tidak ada yang
melarang. Karena persoalan yang kau hadapi bukanlah
apa yang kau minum. Melainkan, apa yang kau
pikirkan!”
Menimbang-nimbang sejenak, Ronald
kemudian menuang isi sloki ke wasthafel. Botol brendi
ia simpan kembali ke tempat semula. Lalu ia sambar
sebuah gelas kosong dari tempat persediaan air
mineral yang dilengkapi mesin pengatur suhu. Tombol
mesin ia tekan tanpa main pilih. Yang ngucur ke dalam
gelas adalah air sedingin es. Tetapi Ronald tidak
perduli meski cuaca sekitarnya terasa semakin dingin,
membeku. Malah isi gelas ia habiskan sekali tenggak.
Ternyata ia tidak sampai terbatuk atau menggigil.
Ronald mengisi gelasnya lagi, kemudian
berjalan mendekati tungku pendiangan. Dengan
pikiran masih tetap gundah, sisa bara menyala di
dalam tungku ia korek pakai pencungkil besi. Setelah
menyusun puntung-puntung kayu yang masih ada, ia
tiup bara dengan mempergunakan pipa yang tersedia.
Begitu api menyala, ia tambahkan ke tumpukan itu
sebongkah besar kayu bakar yang masih baru. Lalu
duduk di sofa. Menunggu.
Satu jam, kata Maria. Satu jam seorang wanita
dapat berarti dua atau tiga jam, bahkan lebih. Tetapi
tak apa. Ronald akan menunggu dengan sabar. Bukan
semata-mata demi kebaikan dirinya sendiri Tetapi
lebih-lebih untuk menebus dosanya pada keluarga
Benny, si jenius yang malang...
*
* *
Bagaimana tidak!
Semenjak di sekolah dasar, Benny selalu
menempati ranking pertama. Lulus dari sekolah dasar,
Ronald dan Benny melanjutkan pelajaran di SMP yang
terpisah cukup jauh. Tetapi memasuki bangku SMA,
mereka kembali satu sekolah, meski berpisah kelas
dan... lagi-lagi Benny selalu menempati ranking
pertama. Sehingga tidaklah mengherankan bila kepala
sekolah pernah memuji Benny sebagai generasi
harapan di masa depan.
Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna.
Termasuk Benny.
la seorang penderita odipoes-complex. Yang
mencintai dan menghormati ibunya sedemikian rupa,
sehingga menjadikan ibunya itu sebagai idola. Entah
berapa kali sudah Benny jatuh cinta pada gadis-gadis
yang bahkan satu dua di antaranya mengejar Benny
setengah mati. Namun semua percintaan itu selalu
kandas di tengah jalan.
Kendalanya sering-sering malah kedengaran
sederhana saja. “Rohani memang cantik,” kata Benny.
“Tetapi caranya tertawa sangat kontras dengan
mama!”
Atau: “Ida memang lembut. Tetapi lihatlah
lenggangnya ketika berjalan. Tidak seperti mama...”
Dan: “Benar bibir serta hidung Netty persis
hidung serta bibir mama. Tetapi alis matanya...”
Pernah Ronald mengingatkan bahwa adalah
langka manusia dilahirkan persis sama. “Kalau pun
ada, perbandingannya adalah satu lawan seribu...”
Tangkisan Benny pun sederhana pula. “Aku
akan bersabar menunggu sampai bertemu yang satu
itu !”
Pada akhirnya, Benny tidak lagi menunggu.
Bukan karena hilang kesabaran. Melainkan, karena
peristiwa kebetulan kemudian telah merubah
perjalanan hidupnya secara drastis.
Kejadiannya bermula pada suatu malam, ketika
Ronald menginap di rumah Benny sebagaimana
acapkali terjadi bila Ronald kemalaman setelah habis
belajar bersama. Atau persisnya, sehabis Benny
'menurunkan’ sedikit kejeniusannya pada Ronald yang
memang berotak pas-pasan, terutama dalam
pelajaran matematika. Sekitar pukul tiga dini hari,
Ronald terbangun dari tidur karena dorongan yang
kuat untuk buang air kecil. Tanpa lebih dulu lihat kiri
kanan, ia langsung saja bergegas masuk ke kamar
mandi yang tersedia di kamar tidur yang sama.
Dalam keadaan setengah mengantuk, Ronald
tidak menyadari bahwa kamar mandi menyala terang
benderang pertanda ada orang di dalam. Karena pintu
sedikit terbuka, ia lantas mendorongnya begitu saja.
Seketika itu juga ia menegun dengan terkejut. Kiranya
Benny sudah lebih dulu ada di kamar mandi. Bukan
sedang buang air.
Benny sedang melakukan masturbasi!
Tentu saja Benny pun terkejut pula. Bahkan
tampak malu karena kepergok. Buru-buru ia tarik
celana dalamnya ke atas. Lantas dengan wajah
bersemu merah ia bergegas meninggalkan kamar
mandi tanpa berkata sepatah pun juga. Ronald ganti
masuk ke kamar mandi. Kantuknya lenyap sudah.
Sekujur tubuhnya pun terasa tegang dan gemetar, la
telah sempat melihatnya. Kejantanan Benny yang
begitu besar dan tegak terus membayang di pelupuk
mata, dan entah bagaimana membuat Ronald
terangsang dengan hebat.
Rangsangan itu terus menggebu, sampai ia
kembali ke tempat tidur dan melihat Benny bergulung
di bawah selimut, menghadap ke tembok. Ronald
kemudian naik dan rebah di bawah selimut yang sama
sambil berjuang keras menekan lonjakan birahinya
yang nyaris tak tertahankan itu.
Beberapa saat berlalu dalam sepi yang
mencekam. Sampai tiba-tiba terdengar suara Benny
dalam bisikan tertahan.”... berjanjilah untuk tidak
memberitahukan siapa-siapa. Apalagi Mama!”
“Tidak akan!” Ronald berjanji, dengan suara
gemetar. Masih tetap memunggungi, Benny berbisik
lagi. “Aku malu sekali. Akhirnya kau mengetahui
bahwa aku...”
“Mengapa harus malu?” sahut Ronald,
menghibur. “Kadang-kadang, aku pun melakukannya
juga!”
“Oh ya?” Terdengar bunyi ranjang berderit
pertanda Benny bergerak merubah posisi. Tidak lagi
memunggungi Ronald. “... siapa yang selalu kau
bayangkan, ketika kau melakukannya?”
“Tidak tentu,” jawab Ronald, pelan. “Yang pasti,
gambaran sosok tubuh seseorang...” Dan, Ronald
tentu saja tidak akan memberitahu bahwa gambaran
dimaksud adalah foto-foto tubuh sejumlah atlit
binaraga yang memenuhi hampir semua bidang
dinding kamar tidur kost Ronald. Karena foto-foto
berbagai ukuran dan posisi itu, kesemuanya dari atlit
binaraga pria.
Benny mengeluh getir. Kemudian... “kau
beruntung,” katanya, lirih.
“Beruntung apanya?” tanya Ronald heran.
“Kau mampu membayangkan orang yang
berganti-ganti. Sementara aku...”
Ronald bergerak merubah posisi. Dari
menelentang, jadi menyisi. Agak terengah Ronald,
sewaktu menyadari wajahnya hampir beradu dengan
wajah Benny yang justru menghadap ke arahnya pula.
Begitu rapat, sehingga ujung hidung mereka nyaris
bersentuhan. Dan Ronald makin terangsang saja.
Dengan pikiran kacau, ia bertanya asal-asalan. “Siapa
orangnya?”
“Pasti kau sudah dapat menduganya!”
Ronald berpikir sejenak, kemudian bertanya
setengah terkejut. “Tante Evi? Ibumu sendiri?”
“Lantas siapa lagi?!” Ronald mengerang dengan
suara agak keras, agaknya marah pada diri sendiri.
“Sering-sering aku merasa begitu terkutuk, sehingga
sering pula aku gagal mencapai klimaks...!”
“Bagaimana dengan tadi?” bisik Ronald,
bergetar.
“Apalagi tadi!” Benny menjawab, serak. “Ketika
kau masuk aku baru setengah jalan...”
Setengah jalan, tetapi sudah begitu tegak!
Ronald hampir gila membayangkanny. Saking
tak tahan, ia bertanya tanpa dipikir-pikir lagi.
“Kau masih ingin?”
“Masih. Tetapi “
“Kalau begitu. Mari kubantu. Sampai kau...
keluar!”
Benny menatap heran, namun tertarik.
“Caranya?”
“Kau tetap sajalah menelentang. Terus saja
membayangkan tante, dan...”
Dan tanpa ragu-ragu sedikit pun Ronald mulai
meraba lalu menyentuh apa yang ia cari. Benny
sempat terkejut, dan menggelinjang geli. Namun
sentuhan-sentuhan tangan Ronald yang semakin
teratur membuatnya terdiam, pasrah. Bahkan
perlahan-lahan mulai menikmatinya. Demikian pula
halnya dengan Ronald. Lantas ketika Benny mulai
menggelinjang keras, pikiran yang lebih gila itu pun
datang merasuki kepala Ronald. Buru-buru ia melepas
celana dalamnya. Kemudian menungging sambil
berkata tak sabar. “Ke sini...” ia menunjuk tempat
yang ia maksud. “... cepatlah!”
Benny sempat bimbang.
Tetapi kemudian mematuhinya juga.
Dan tak berapa lama kemudian, Benny
merebahkan diri di tempat tidur sambil berbisik
terengah-engah. “... fantastis!”
Siapa nyana. Benny ketagihan. Bulan demi
bulan berikutnya, Ronald sampai dibuat kewalahan
Benar, ia kemudian juga menyukai permaian yang
bermula dan eksperimen gila-gilaan itu. Tetapi Benny
bukanlah tipenya Benny memang tampan. Namun
memiliki postur tubuh yang umum terlihat di mana-
mana. Bukan tubuh seorang bina ragawan!
Beruntung, setamat SMA. Benny yang jenius itu
memperoleh beasiswa untuk meneruskan studi di
Amerika. Sementara Ronald yang selain otak
kemampuan ekonomi keluarganya pun pas-pasan
pula Ronald harus putus sekolah. Ayahnya yang
mantan kepala montir di bengkel sepeda motor milik
orang lain, bermaksud membuka bengkel sendiri dan
Ronald diminta untuk membantu Alasannya klise
namun kenyataan:
“Kini giliran adik-adikmu untuk maju.”
Benny mulanya masih sering berkirim surat.
Salah satu suratnya itu antara lain berisi kalimat
berikut: “... di negara ini, mereka sudah sedemikian
maju dan terbuka. Orientasi seksuil yang seperti kita
alami, di sini tidak lagi dianggap menyimpang. Aku tak
perlu takut atau malu melakukannya. Begitu banyak
yang dapat kupilih. Bahkan salah seorang dari mereka
bersikeras mengajakku untuk menikah. Resmi lagi,
bayangkan! Di gereja, di depan pendeta, dihadiri
jemaat, dan... Sungguh tawaran yang sangat
menggoda. Kalau saja tak membayangkan apa jadinya
dengan mama,...!”
Setelah itu surat-surat Benny mengendor
kemudian putus sama sekali Ronald pun kemudian
melupakan sahabat yang banyak membantu ia hingga
Ronald mampu meraih ijazah SMA dengan nilai
memuaskan (walau ijazah itu akhirnya cuma
bermanfaat untuk hiasan dinding). Ronald pun
kemudian tidak lagi punya waktu memikirkan apakah
Benny akhirnya jadi menikah dengan pasangannya la
menetap di Amerika, atau sudah pulang kembali ke
tanah air Ronald terlalu sibuk untuk memikirkan
semua itu. Sibuk oleh pekerjaan di bengkel ayahnya.
Dan lebih sibuk lagi di luar rumah, gunta-ganti 'teman
bermain'. Benny akhirnya benar-benar terkubur dari
kenangan Ronald ketika ia memasuki usia 25 tahun.
Dan di sebuah pesta topeng tahunan yang diadakan
oleh kelompok eksklusip kaum gay, kaya raya, tatapi
juga pernah jadi atlit binaraga terkemuka. Walau
cuma mantan, Antonius langsung jatuh cinta Dan...”
Dan, mendadak Benny bangkit dari kubur.
*
* *
TIGA
HARI itu Ronald habis membezuk pamannya
yang dirawat di salah satu pavilyun sebuah rumah
sakit swasta di Jakarta, ketika suara lembut seseorang
tiba-tiba terdengar menegur.
“Hai, Ronald!”
Ronald membalikkan tubuh dan seketika
berhadapan dengan seorang laki-laki kurus dan
tampak sudah berumur. Dengan sekali pandang
Ronald langsung mengenali siapa penegurnya.
“Om Eddi, astaga...!” Ronald berujar surprise
dan gembira. Tangannya diulurkan ke depan untuk
bersalaman. “Setelah sekian tahun, siapa sangka. Apa
yang...”
Tak ada tangan yang terulur untuk menyambut.
Yang ada, justru percikan butir-butir air bening yang
membasahi sepasang mata si penegur. Disusul suara
getir, mendekati frustrasi. “Seperti mereka yang lain,
Ronald. Kau pun salah mengenali aku sebagai Papa...”
Bingung sejenak, Ronald kemudian memperhati
kan wajah di hadapannya dengan lebih seksama.
Lantas mencetus, terperanjat.
“Benny. Mustahil!”
Benny menyeringai. Murung.
“Apakah aku perlu mengeluarkan KTP, SIM,
atau Visa. Untuk meyakinkannya?”
Masih tak percaya, Ronald menggagap.
“Tetapi...”
“Ayo kita cari kantin untuk minum sambil ngobrol!”
Setelah menemukan kantin rumah sakit
dimaksud, Benny memilih meja paling sudut dan jauh
dari pengunjung lain. Setelah beberapa saat lamanya
mereka saling berdiam diri, Benny akhirnya membuka
mulut juga.
“Apa kabarmu selama ini, Ronald?”
“Baik.”
“Jadi kau pun tinggal di Jakarta ya?”
“Masih tetap di Bandung.”
“Oh. Kerja apa?”
“Sekretaris. Di sebuah perusahaan kontraktor.”
“Hem. Tentunya..
Ronald benci dengan basa-basi yang
menjengkelkan itu. Lantas tidak bisa menahan diri
untuk menanyakan apa yang semenjak tadi
mengganggu pikirannya.
“Katakanlah Benny. Mengapa kau tampak...”
Toh, Ronald tak sanggup meneruskan. Benny-lah yang
meneruskan. Dengan suara datar.
“Tampak setua ayahku?”
Ronald manggut-manggut. Kaku.
Lebih dulu Benny melirik kiri kanan. Untuk
meyakinkan tidak ada orang lain yang melihat atau
mendengar. Lalu jari telunjuknya ia guratkan di
permukaan meja. Membentuk empat hurup-hurup
maut : AIDS.
“Di negara yang bebas tetapi terkutuk itu, aku
terlalu membabi buta. Lantas tidak mawas diri...” ia
menambahkan.
Ronald merinding seketika.
Mulutnya kemak-kemik ingin mengucapkan
sesuatu. Tetapi karena tidak tahu harus berkata apa,
mulutnya kemudian mengatup kaku. Benny
menyeringai. Acuh tak acuh.
“Mengerikan! Itulah yang mau kau katakan,
bukan? Tak apa-apa Ronald. Toh demikianlah
kenyataannya. Dan belakangan ini aku sendiri pun
tidak lagi perduli. Meski hidupku pada akhirnya hanya
menjalani dua hal saja. Bekerja, bekerja. Dan keluar
masuk rumah sakit seperti hari ini...”
Ronald menelan ludah. Membasahi kerong-
kongannya yang mendadak kering kerontang. Ketika ia
sadari bahwa ia memegang sebotol minuman dingin,
Ronald cepat-cepat menyedotnya. Dengan sedotan
keras dan terburu-buru. Sampai ia terbatuk-batuk
sendiri. Kemudian.
“Entah apa yang harus kukatakan, Benny...”
katanya, tersengal. “Aku sangat terkejut, dan...” ia
tarik nafas dalam-dalam. “Apakah om dan tante
mengetahuinya?”
“Tentu saja. Karena begitu menginjakkan kaki
kembali di tanah air, pergantian cuaca langsung
melemparkan aku ke rumah sakit. Semuanya lantas
terbuka!”
“Dan?”
“Papa hanya bisa menangis dan menangis.
Mama terkena serangan jantung, tetapi lama kelama-
an menjadi terbiasa.”
“Dan?” Ronald mengulangi. Dengan nada lebih
mendesak.
Menatap sejenak ke mata sahabat lamanya,
Benny lantas mengerti. “Tidak usah kuatir, Ronald.
Papa dan mama percaya mutlak sewaktu kukatakan,
teman-teman Amerikakulah yang menyeret aku
masuk ke dunia gay.”
Kembali Ronald merinding.
“Kau membuat aku merasa berdosa...”
“Hei. Ucapan apa pula itu?”
Ronald berbisik tersedak.
“Entah apa yang sudah kuperbuat malam itu
kepadamu!”
“Apa yang sudah kau perbuat?”
Benny tersenyum. “Justru kau telah mencegah
aku melakukan sebuah dosa yang tidak terampun
kan!”
“Dosa apa?”
Benny merendahkan volume suaranya. Dan
memberitahu tanpa ragu-ragu. “Ketahuilah, Ronald.
Sebelum semalam itu kau memergoki aku di kamar
mandi, diam-diam aku telah menyusun rencana.
Setelah pada akhirnya aku sadar bahwa hanya ada
satu perempuan yang kucintai dan sekaligus
kuinginkan, aku lantas memutuskan untuk nekad
menidurinya. Dengan berpura-pura mabuk minuman
keras, begitulah kurencanakan. Tinggal menunggu
waktu serta kesempatan yang cocok. Dan, kau tahu
siapa kiranya perempuan yang kumaksud!”
“Astaga, Benny...” Ronald membelalak.
“Maka itu, Ronald. Buanglah jauh-jauh
perasaan bersalah di kepalamu. Oke?”
“Entahlah, Benny. Aku...”
“Oh ya. Bagaimana dengan kau sendiri?”
dengan bijak Benny mengalihkan pembicaraan.
“Apakah kau masih melakukannya?”
“Masih.”
“Bila demikian dengar nasihatku, kawan.
Mulailah berpikir untuk berhenti, Ronald!”
Ronald mau tertawa. Tetapi didahului ucapan
Benny yang tegas dan dingin menghunjam.
“Lihatlah diriku!”
Ronald tidak merasa perlu melihat, la langsung
berkata.
“Aku rutin chek-up ke lab. Dan aku sepenuhnya
sehat. Begitu pula dia...”
Benny tidak bertanya siapa 'dia' yang dimaksud. Benny
justru menanyakan yang lain.
“Sampai kapan?!”
Ronald terdiam.
Benny mengeluarkan sehelai kartu namanya
yang ia sodorkan ke depan Ronald.
“Berkunjunglah kapan saja kau ada waktu
luang. Tetapi jangan dalam satu bulan ini. Karena
besok aku harus sudah ada di Brunai. Bulan depan
baru kembali.”
“Brunai Darussalam? Apa kerjamu di sana?”
“Menatap interior sejumlah apartemen milik
salah seorang keluarga dekat Sultan,” jawab Benny tak
acuh. “Waktu menyaksikan pameran yang kuadakan
bersama beberapa rekan seprofesi, dia sangat tertarik
dengan kombinasi timur-barat hasil kreasiku. Dan...”
***
Lewat tiga bulan, barulah Ronald mengunjungi
alamat yang diberitakan oleh Benny. Itu pun tanpa
direncanakan. Dan tanpa maksud-maksud khusus.
Awalnya, Ronald bergaul kelewat akrab dengan
seorang gay yang lain sehingga Antonius cemburu
berat lalu memukuli gay dimaksud sampai terluka
parah.
Ronald tentu saja tidak senang atas perlakuan
brutal kekasihnya. “Sumpah mati. Tidak ada urusan
seks apalagi cinta di antara kami berdua. Tak lebih dari
teman biasa!”
Antonius tak mau percaya. Dan mereka pun
lantas bertengkar hebat. Ronald tidak tahan lantas
minggat ke Jakarta, la tinggal beberapa hari di tempat
salah seorang adiknya yang kuliah dj Universitas
Trisakti. Suatu hari, sang adik membawa Ronald pergi
berjalan-jalan untuk diperkenalkan pada teman
gadisnya yang tinggal di kawasan elit Pluit Mas.
Barulah waktu Ronald teringat bahwa Benny tinggal di
kawasan perumahan yang sama. la kemudian pamit
pada kedua orang muda yang sedang dimabuk cinta
itu, lalu pergi mengunjungi Benny.
Tiba di tempat yang dituju, ia lihat banyak orang
tengah berkumpul. Suasana yang tampak jelas
suasana berkabung. Ronald bertanya pada orang
pertama yang dijumpainya. “Siapa yang meninggal?”
“Pemilik rumah!”
Ronald baru akan bertanya apakah yang
dimaksud om Eddi atau tante Evi, manakala seseorang
muncul di pintu depan. Begitu mengenali, Ronald
langsung mendatangi. “Benny?”
Yang disapa, menatap terkejut.
“Nak Ronald! Mimpi apa yang mengantar
langkahmu kemari?”
Ronald terpana.
Salah mengerti, orang yang tegak di pintu turun
menyongsong sambil berkata. “Kok bengong, Nak?
Atau kau tidak ingat lagi pada Om Eddimu yang sudah
tua ini?”
Menyadari kekeliruannya, Ronald hanya mampu
menggagap. “Benny...”
“la meninggal tadi malam, Nak. Ayo, masuklah!”
Di ruang tengah yang megah dan luas, Benny
tampak terbaring diam dalam sebuah peti mati berukir
indah. Berpakaian lengkap serta indah pula. Namun
toh tidak membuat muda wajah si mati yang tampak
begitu tua dan menderita.
“Lihatlah diriku... Mulailah berpikir untuk
berhenti, Ronald!”
Bergidik, Ronald melangkah surut menjauhi peti mati.
“Kau tentunya bertanya-tanya, bukan?”
terdengar suara desahan lemah om Eddi di sebelah
nya. Ronald menggelengkan kepala yang terasa
berdenyut-denyut sakit.
“Kami sudah bertemu sebelumnya, Om.”
“Oh ya?” Om Eddi mendesah lagi. Dengan
pandangan menduga-duga.
“Benny telah menceritakan… semuanya!”
“Baguslah. Aku jadi tak perlu repot-repot.”
“Mana tante?”
“Aduh. Hampir lupa. Mari kuantar menemui
nya, Nak.”
Om Eddi membuka pintu sebuar kamar. Nyaris saja
Ronald tidak mengenali siapa perempuan yang
berbaring di atas tempat tidur. Bukan hanya lemah
dan pucat. Tubuh molek dan wajah cantik tante Evi
juga tampak sudah sirna. Apa yang dilihat oleh Ronald
adalah sesosok tubuh kering serta wajah yang rentah.
Sepasang kelopak mata keriput itu berkedap-
kedip membuka lalu memperhatikan siapa orang yang
berdiri di samping tempat tidurnya, kemudian bibir
tuanya komat-kamit bergetar : “… apakah mataku
tidak salah?”
Terharu biru. Ronald menyahuti : “Aku Ronald,
Tante!”
Seolah, memperoleh tambahan tenaga baru tante Evi
terlonjak bangun lalu merangkul Ronald dengan
sekujur tubuh bergemetaran “Anakku Ronald, puji.
Tuhan!” ia berkata dalam tangis. “Mengapa kau
menghilang begitu lama? Mengapa kau biarkan Benny
pergi ke Amerika?”
“Bu!” suaminya menegur. Tajam.
Perlahan-lahan tante Evi melepaskan rangkulan
nya. Lalu berbaring kembali di tempat tidur. Lunglai.
Isak tangisnya kian menjadi. “Memang bukan
salahmu, Nak. Juga bukan salah Om-mu. Akulah yang
salah. Karena aku terlalu bangga puteraku satu-
satunya memperoleh beasiswa. Akulah yang
mendorongnya mengambil beasiswa itu. Aku
terhanyut oleh pujian mereka bahwa Benny-ku adalah
generasi harapan masa depan. Dan lihatlah apa yang
ia dapatkan!”
Om Eddi duduk di pinggir tempat tidur. la seka
air mata yang menggenangi pipi isterinya seraya
berujar lembut dan penuh kasih. “Sudahlah, Bu.
Berhentilah menyalahkan dirimu. Semua ini terjadi
atas kehendak Tuhan jua adanya.”
“Terkutuklah bila aku menjadikan Tuhan
sebagai kambing hitam...!” Tante Evi tidak terbujuk.
“Ingat bukan Pak? Berapa kali sudah anak kita pernah
jatuh cinta pada teman-teman gadisnya? Itu
membuktikan... pada dasarnya ia adalah lelaki normal.
Tetapi karena aku bersikeras mengantarkan ia pada
teman-teman Amerikanya...”
“Bu,” sang suami membujuk dengan sabar.
“Apa yang telah kau perbuat jelas didasari niat baik
dan cita-cita luhur seorang ibu. Yang terjadi
setelahnya, bukan lagi menjadi tanggung jawabmu
Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, itu adalah
teman-teman Amerika anak kita. Merekalah yang
membujuk dan menyeret anak kita sampai menyalahi
kodrat. Jadi bukan kau. Tetapi merekalah yang
bertanggung jawab... atas kematian anak kita... !”
Suami isteri itu kemudian berpeluk-pelukan dan
bertangis-tangisan. Tanpa mengetahui bahwa Ronald
mengundurkan diri dari kamar dengan langkah
tertatih-tatih.
Kemudian melarikan diri dari rumah yang
diseliputi kabut duka cita serta kesengsaraan itu.
Dengan membawa serta hati nuraninya.
Yang terguncang hebat.
*
* *
Pada waktu Antonius akhirnya datang men
jemput ke Jakarta seraya menyatakan penyesalan atas
kelakuannya yang tidak patut dan membujuk. “Aku
merindukanmu. Marilah kita pulang…“
Ronald manurut bagai kerbau dicocok hidung.
Namun ketika taman kumpul kebonya itu
mencumbu Ronald di tempat tidur, Ronald cuma
rebah diam. Dengan tubuh dingin bagai sebatang
pohon pisang tumbang. Masuk kantor pun ia tidak
bergairah. Diajak liburan ke mana saja, jawabannya
pendek saja ‘malas’. Ronald lebih suka berkurung di
rumah. Tidak mau benemu atau berbicara dengan
siapa-siapa kecuali Antonius itu pun seperlunya dan
bila lebih dulu ditanya hadiah-hadiah yang dibelikan
Antonius... termasuk sebuah mobil rakitan terbaru,
pun cuma dipandang sebelah mata. Tanpa kemauan
untuk memakainya. Seteteh itu kembali menutup diri.
Makan tak bernafsu, tidur pun tak lelap. Lambat laun
bobotnya menurun drastis.
Antonius menjadi cemas setengah mati. Lantas
membujuk, “Bagaimana kalau kau kuantar ber
konsultasi pada psikiater?”
Adalah menakutkan untuk mengungkap rahasia
pribadi pada orang yang belum dikenal. Kunjungan
pertama jadinya tidak menghasilkan apa-apa. Begitu
pula halnya dengan kunjungan kedua. Baru setelah
kunjungan berikutnya dan Antonius tidak diperkenan
kan lagi ikut masuk ke kamar praktek, Ronald
perlahan-lahan membuka diri. Dengan suara sakit dan
getir mengeluh pada dokter Rinaldi.
“Aku telah membunuh seseorang. Dan aku ingin
berhenti!”
Tidak lama setelahnya, Ronald pun dipertemu
kan dengan Maria.
*
* *
Oh ya. Bukankah Maria akan datang berkunjung?
Ronald melihat ke jam dinding. Dua puluh menit
lewat pukul satu dinihari. Tadi ia bertelepon dengan
Maria sekitar pukul setengah satu. Ada baiknya ia
buka saja pintu gerbang sekarang. Siapa tahu Maria
datang tepat waktu.
Setelah merapihkan kayu bakar di tungku agar
apinya tidak keburu padam, Ronald kemudian pergi
keluar rumah. Baru saja pintu gerbang dibuka, tampak
cahaya lampu mobil muncul dari sebuah belokan.
Mungkin penghuni setempat.
Tetapi mungkin juga Maria, datang lebih cepat
dari waktu yang dijanjikan.
Tidak ada salahnya menunggu.
Benar saja. Mobil itu berhenti tepat di depan
Ronald. Perlahan-lahan pintunya terbuka dari sebelah
dalam. Lalu sesosok tubuh melangkah keluar.
Ronald terkesiap.
Dengan jantung berdebar.
EMPAT
“HALLO sayangku!” Antonius menyeringai
lebar. “Kekasih mana yang sedang kau tunggu-
tunggu?”
Kekasih mana!
Selamanya Ronald hanya mencintai satu orang.
Tidak pernah berpikir untuk mencintai yang lain. Dan
orang yang dicintainya itu sekarang malah berkata:
kekasih mana. Sungguh tuduhan yang terasa begitu
menyakitkan!
Ronald mundur selangkah. “Mengapa kau ke sini?'“
“Ucapan selamat datang yang benar-benar
manis ..” Antonius masih tetap menyeringai. Dagunya
ia gerakkan ke arah rumah Sambil menambahkan
“Apakah juga aku tidak akan diundang masuk ke
dalam sana, Boy?”
Udara di luar sudah cukup membuat Ronald
menggigil. Mendengar nama itu disebut-sebut, ia
semakin menggigil. “Boy sudah lama mati, Anton.
Yang berdiri di depanmu adalah Ronald!”
“Aku tak percaya. “
Terserah. Tapi kuanjurkan, naik dan putar mobilmu
kembali Dan mulailah berpikir untuk mempercayai
nya!”
Seringai Antonius menghilang. Namun tidak
seluruhnya. Dengan suara lembut dan sabar ia
berkata, “Aku mengenal betul siapa dirimu, kekasih.
Boy boleh saja mati. Tetapi cintanya tidak akan!”
Tembakan Antonius langsung mengenai
sasaran. Ronald tersudut, lantas melemah. Bahkan
lututnya terasa goyah, sehingga tegaknya tidak lagi
segagah tadi. Antonius tersenyum. Sadar bahwa
Ronald sudah tergenggam di tangan, ia tidak mau
membuang tempo. Sekali lagi ia menembak “Ayolah,
sayangku. Sudah waktunya kita masuk ke dalam sana.
Untuk saling melepas, rindu.”
Sentuhan sentuhan gaib itu! Sosok Antonius
yang kokoh serta perkasa! Tanpa dapat dicegah, birahi
Ronald terbangkit lagi perlahan-lahan. Namun ia
masih cukup sadar untuk apa dan mengapa ia
membuka pintu gerbang. Adalah tidak pantas bila saja
nanti...
“... jangan di dalam sana!”
Antonius tersenyum lagi. Manis sekali. “Mengapa?”
“Maria akan datang sebentar lagi.”
“Oh, dia...” desah Antonius. Ingin meremehkan,
tapi cepat ditahan. Siapa tahu. “Aku kira di luar sini
pun tersedia banyak tempat yang cukup romantis.
Naiklah ke mobil, manisku”
“Aku akan ganti pakaian dulu.”
Antonius mengawasi kimono tidur berbulu tebal yang
melekat di tubuh Ronald. “Yang itu lebih praktis. Aku
malah sudah tidak tahan untuk membukanya!”
Ragu-ragus sesaat. Ronald kemudian membuka
pintu mobil lalu menyelinap masuk ke jok belakang
yang tempatnya lapang serta nyaman.
Seraya menyeringai Antonius pun duduk di belakang
kemudi. Mobil dijalankan pelan-pelan saja. Tidak perlu
tergesa-gesa. Toh Boy sudah jadi miliknya kembali.
Tinggal pilih saja. Mencari tempat yang sepi tetapi
aman untuk bercumbu. Atau mencari tempat
memutar lalu memboyong Boy pulang ke rumah...
untuk tidak dilepaskan lagi!
Pilihan yang kedua adalah yang terbaik.
Godaannya pun terasa lebih kuat. Tetapi Antonius
tidak mau sembrono, la sudah pernah bertindak
seperti itu. Tanpa diperhitungkan masak-masak,
Antonius mengantarkan Boy berkonsultasi pada
seorang psikiater. Akibatnya fatal dan sampai
sekarang pun Antonius masih menyesalinya.
Antonius harus lebih berhati-hati. Memang
sebaiknya Boy ia boyong pulang. Tetapi jangan sampai
Boy terkejut lantas hatinya terluka. la lebih dulu harus
menjajaki seberapa besar ketertarikan Boy pada
perempuan bernama Maria itu. Lebih-lebih, lagi ia pun
harus menjajaki apakah Boy masih tetap Boy-nya yang
lama. Atau Boy yang berbeda: masih tetap berdarah
homo, tetapi sudah dicampurinya jenis darah yang
lain. Dan sejauh mana jenis darah yang lain itu telah
berpengaruh pada diri Boy. Terutama pada orientasi
seksuilnya.
Tiba tiba terdengar suara lirih di belakangnya,
“Bagaimana kau tahu aku menetap di daerah ini?”
Sambil menjalankan mobil dengan hati hati agar
tidak keluar dari badan jalan yang begitu sempit dan
kurang terawat. Antonius menjawab santai.
“Aku punya uang bukan? Dan informasi mudah
dibeli di mana-mana!”
“Lalu sejak kapan kau tahu?”
“Minggu pertama setelah kau meninggalkan
tempat persembunyianmu yang terakhir...” Antonius
diam sejenak. Kemudian sambil tersenyum simpul, ia
menambahkan. “Hotel Anggrek, kamar 10”
Ronald mengingat-ingat. Lantas berdecak
kagum. “Berarti sudah lebih setengah tahun. Hebat!
Bagaimana kau mampu bersabar selama itu?”
Ada sebuah tempat sepi dan cukup romantis.
Terlindung pepohonan serta perkebunan jagung yang
subur. Antonius terus saja menjalankan mobil. Yang ia
cari adalah tempat memutar.
“Tidak ada istilah sabar,” katanya datar. “Bila
informasinya mengatakan kau tergoda lantas lari
dengan seorang gay lain, Aku akan langsung
menjemputmu pada kesempatan pertama. Meski
untuk itu aku lebih dulu harus melangkahi mayat
seseorang!”
Ronald terdiam.
“Tetapi informasi akurat yang kuterima
ternyata berbeda dan jauh dari sangkaan!” lanjut
Antonius, getir. “Untuk beberapa waktu lamanya aku
terombang-ambing tak tahu harus berbuat apa.
Sampai akhirnya aku tiba pada pemikiran. Bahwa cinta
tidak hanya perlu kesabaran, tetapi juga
pengorbanan...” Antonius diam sebentar. Setelah
menghela nafas panjang dan berat, barulah ia
meneruskan. “Begitu kuketahui kau sedang menjalani
terapi dengan latihan sosial pada wanita... aku
langsung berkata pada diriku sendiri. Aku mencintai
nya. Maka berilah dia kesempatan, bila itu memang
dapat membahagiakannya!”
Ronald semakin terbungkam.
Dengan hati diam-diam terenyuh.
Pada saat bersamaan Antonius berpikir: waktu
ujian telah tiba! Maka ia pun bertanya hati-hati.
“Apa pendapatmu tentang dia?”
“Maria?”
“Ya.”
Ronald berpikir sejenak. Kemudian menjawab
pendek, “la seorang gadis yang baik.”
“Itu saja?”
“Apa gunanya kuteruskan?” tambah Ronald,
“Toh yang sesungguhnya ingin kau tanyakan, bukan
itu!”
Antonius tertawa. Sumbang. “Jadi?”
Tanpa ragu-ragu Ronald langsung memberi-
tahu. “Kami memang pernah melakukannya...”
Jari jemari Antonius dibantalan kemudi terasa
mengejang. Kaku: Itulah yang paling ia takutkan
selama ini. Boy telah merasakan yang “lain”. Betapa
ingin Antonius menjerit serta meraung untuk
melampiaskan kekecewaan. Tetapi bukankah semua
itu berasal dari kesalahan Antonius sendiri?
Dialah yang melemparkan Boy ke tangan psikiater.
Akhirnya Antonius cuma mampu mengeluarkan
geraman bergetar. “ dan?”
“Dan apa?!” Ronald mendengus. Tak senang. la
memang selalu terbuka pada Antonius dan akan tetap
seperti itu. Hanya saja, ia tidak suka didesak.
Antonius menyadari hal itu. Tetapi Antonius
sedang frustrasi. Lantas kehilangan kendali diri.
“Apakah kalian menikmatinya?”
Ronald ingin marah. Tetapi ia menjawab juga.
“Dari pihak Maria, ya!”
“Kau?”
“... pada akhirnya juga ya. Tetapi yang kunikmati
adalah sebuah kenikmatan semu!”
“Aku tak mengerti...”
“Begitu kuketahui Maria sudah selesai, aku
langsung menarik diri. Tanpa memperoleh apa-apa!”
Ronald menjelaskan. “Tetapi Maria seorang yang
penuh pengertian dan tidak mudah dibodohi...”
Secara ringkas Ronald lalu menceritakan apa yang
kemudian terjadi pada malam bersejarah dalam
perjalanan hidupnya itu. Maria bertanya apa yang
telah menghambat Ronald. Ronald menjawab terus
terang bahwa ia sudah terbiasa memasuki tempat
yang berbeda dan betapa ia mendambakan agar Maria
tangkurap saja.
Maria sempat terkejut lalu kemudian tertawa.
la menyelinap sebentar ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Kembali lagi ke tempat tidur.
Maria kemudian berkata “Kita akan mengulanginya
kembali. Tetapi kau menelentang dan diam-diam saja
lah. Biarkan aku yang aktip bekerja!”
Tetapi Ronald tidak sampai hati membiarkan Maria
berjuang sendirian. Sementara Maria sibuk sendiri,
diam-diam Ronald berhalusinasi. Pengaruhnya
memang langsung terasa. Perlahan-lahan Ronald
mendekati akhir perjalanan yang melelahkan namun
sensasionil itu. Maria dapat menangkap gelagat.
Lantas pada saat yang tepat Maria langsung
mendorong Ronald memasuki dirinya.
Ronald tak perduli.
Yang penting ia mencapai tujuan.
Seraya mendesahkan... nama Antonius!
*
* *
Perasaan frustrasi Antonius mengendur.
Bahkan kemudian tertawa gembira. Lalu berkata
dengan ceria. “Pantas kau bilang kenikmatan semu
Meski dengan bantuan Maria, itu sama saja halnya
dengan bermasturbasi!”
Ronald diam saja.
Kejadian malam itu belum seluruhnya lepas dari
pelupuk mata. Terbayang saat-saat Maria tiba-tiba
menegun kaku. “... jadi, jerih payahku sia-sia saja!” ia
mendengus. Lalu meluncur turun dari atas tubuh
Ronald. Dengan marahnya, la kemudian menyelinap
ke kamar lain. Membiarkan Ronald rebah termangu
mangu. Dan nyaris sepanjang sisa malam itu tak dapat
tertidur. Didera oleh perasaan bersalah.
Tetapi ketika pagi harinya ia bangun Maria tetap
menunggunya di meja makan. Baru setelah usai
sarapan pagi. Maria membuka mulut. “Mengenai yang
tadi malam, Ronald.”
Ronald mengangkat muka. Ragu-ragu “... ya?”
“Aku dapat memahami. Paling tidak, kau telah
melakukan itu di tempat yang semestinya!”
Ronald tidak akan pernah melupakan betapa
lembut dan sederhana cara Maria mengutarakannya.
Tidak ada nada mempersalahkan. Pun Maria tidak
menuntut apa-apa. Sehingga jauh di dalam
sanubarinya, mau tidak mau Ronald harus menyimpan
perasaan hormat yang dalam serta tulus terhadap
gadis itu.
Dan sekarang, apa yang ia berikan sebagai
imbalan pada Maria? Mengikuti Antonius seperti
orang idiot! Mengikuti dorongan nafsu birahi
terkutuk... yang telah mengantarkan Benny ke
pelukan sang maut!
Ronald benar-benar malu pada dirinya sendiri
“Boy?”
“... heh?” Ronald terjengah.
“Ceritamu tadi itu. Membuat aku tidak tahan lagi!”
Seraya berujar demikian, Antonius mengawas sekitar
jalanan yang mereka lalui. Begitu melihat ada tempat
yang ia perkirakan cukup sepi serta aman untuk
bercumbu, Antonius mengarahkan mobil ke pinggir.
Rem dipasang dan kunci kontak diputar dengan
sentakan tak sabar. Mesin pun mati. Menyusul lampu-
lampu dipadamkan. Dalam tempo seketika, segala
sesuatu baik di dalam apalagi di luar berubah menjadi
hitam pekat. Dan dikegelapan malam yang gulita itu,
samar-samar tampak gerakan sosok kekar Antonius
yang sedang berusaha pindah ke jok belakang.
“Tidak...!” Ronald tiba-tiba berkata. Gugup.
“Aku tidak mau!”
“Hei!”
Ronald membuka pintu mobil di sebelahnya.
Lalu melompat keluar. Di tempat yang ia tinggalkan,
Antonius sempat dibuat terheran-heran. Lantas
menyusul keluar sambil menanggapi. “Pasti kau hanya
ingin bercanda, Boy...”
Ronald menggelengkan kepala. “Aku tidak mau
lagi melakukannya!” ia mengulangi dengan tegas.
“Sungguh!”
Dijilati sinar rembulan yang pucat, wajah
Antonius tampak mengejang. Kaku. Sadar bahwa
Antonius dapat berlaku brutal bila sudah marah,
Ronald berkata setengah memohon. “Aku sudah mulai
menemukan jati diriku, Anton. Maka berilah aku
kesempatan...!”
Antonius merintih sakit bercampur marah. Jadi
beginilah akhirnya. Boy sudah bukan miliknya lagi. Bila
memang demikianlah kenyataan yang harus ia terima,
baiklah. Antonius bersedia memberi keleluasaan pada
Boy untuk menemukan apa yang oleh kekasihnya itu,
jati diri. Tetapi harus ada timbal balik. Antonius pun
punya jati diri. Dan jati dirinya ia sudah sangat lama
menunggu dengan sabar untuk dilampiaskan, la tidak
sudi menunggu lebih lama lagi. Sekarang, atau tidak
sama sekali!
Dengan pikiran jahat merasuki kepala, Antonius
memperlunak sikap “Rasanya ini akan sangat berat
untukku, Boy,” ia mendesah. Lembut. “Tetapi tak
apalah. Hanya saja, kapan kau ingin kembali kau pasti
tahu siapa yang harus kau temu
Ronald menarik nafas lega. “Aku akan
mengingatnya selalu,” ia berjanji setulus hati “Entah
bagaimana aku harus berterimakasih...”
Antonius menyeringai gembira. “Cukuplah
dengan sebuah cium perpisahan Itu pun, bila kau tidak
berkeberatan!”
Sedikit pun tidak.
Dan, tanpa ragu-ragu Ronald mendekat
Antonius menunggu. Dengan bibir mengulas
senyuman tipis.
Misterius.
*
* *
Begitu mereka berhadap-hadapan, Ronald yang
memang bertubuh sedikit lebih kecil dan lebih
pendek, tentu saja harus mengangkat tumit dan
tengadah untuk dapat mencecahkan bibirnya ke bibir
Antonius. Pada detik-detik terakhir sebelum bibir
mereka berdua saling bersentuhan Ronald masih
sempat melihat sesuatu di balik mata Antonius.
Semacam sinar yang aneh, karena tampak begitu jelas
meski suasana sekitar gelap gulita.
Namun penglihatan sekilas itu diabaikan
Ronald. Mungkin hanya pantulan sinar rembulan,
pikirnya. Lalu bibir mereka pun bertamu. Semula
Ronald meniatkan hanya sebuah kecupan pendek.
Tetapi Ronald diam dan membiarkan saja sewaktu
Antonius mengulum lalu memaksa bibir nya setengah
membuka. Bahkan Ronald diam-diam menikmati.
Kelopak matanya terpejam, bergairah. Demikian pula
halnya Antonius. Sehingga manakala suatu saat dua
pasang bibir mereka saling melonggar untuk berubah
posisi, mereka tidak melihat munculnya selarik sinar
hijau tajam yang meliuk ke luar dari dalam mulut
Antonius, lalu berkelebat masuk ke dalam mulut
Ronald.
Pada saat bersamaan, Antonius sudah
mengetahui bahwa birahi Ronald sudah berhasil ia
bangkitkan. Selanjutnya, mudah. Malah lebih mudah
dari apa yang ia perkirakan semula. Agaknya, Antonius
tidak perlu main perkosa. Karena sewaktu ia
merangkul tubuh Ronald untuk dibawa merapat ke
tubuhnya sendiri, ternyata sang kekasih menurut
dengan pasrah.
“Aku menginginkanmu, Boy,” Antonius berbisik
terengah-engah di telinga Ronald. “Aku menginginkan
mu!”
Ronald diam saja.
Tetapi Antonius tidak perduli. Saking tidak
tahan lagi, sebelah tangannya ia selundupkan ke balik
kimono tidur Ronald. Kemudian menyelusup ke
bawah pinggang. Menggapai Liar.
Dan pada saat Antonius mulai menikmatinya,
tiba-tiba ia dihinggapi perasaan lain yang sama sekali
bertentangan. Yakni perasaan sakit yang luar biasa
dahsyat manakala sesuatu menembus lambungnya.
Untuk kemudian merobek dan terus merobek.
Dengan brutal.
Dan kejam tiada terperi.
*
* *
LIMA
MARIA MAGDALENA meninggalkan rumah
mungilnya di sekitar pusat kota Bandung dengan
pikiran terumbang-ambing. Apa yang telah ia lakukan?
Menjanjikan lalu kini berkeluyuran dinihari untuk
mendatangi seorang laki-laki! Benar-benar memalu
kan. Seharusnya si lelaki-lah yang datang padanya.
Konon lagi, justru lelaki itu pula yang membutuhkan
kehadiran Maria. Tetapi, apakah memang Ronald
harus? Maria toh bukan 'apa-apa'-nya Ronald: Maria
hanya sekedar seorang teman. Sebagaimana tadi di
telepon Ronald berkata: seorang teman berbicara!
Itu artinya posisi Maria tidak lebih sama dengan
Amelia, mantan teman sekerja Ronald yang sudah
menganggap Ronald sebagai abang kandung sendiri.
Posisi Maria barangkali malah ada di bawah sang janda
beranak dua, Daisyi, yang terang-terangan pernah
mengakui: “Menikahi Ronald pun aku mau saja. Dia
punya daya tarik seksuil yang luar biasa. Namun bukan
itu semata-piata yang kutuju. Keberadaannya lebih
kubutuhkan sebagai pendamping... terutama bila aku
melakukan perjalanan bisnis ke luar daerah. Sebagai
seorang pengusaha garmen, aku...”
Tidak ada alasan khusus mengapa pilihan
Ronald akhirnya jatuh pada Maria.
“Amel membutuhkan tempat bersandar, yang
justru aku sendiri sangat memerlukannya...” Ronald
pernah menjelaskan. Dan mengenai perempuan
satunya lagi: “Tante Essi? Dalam dirinya aku melihat
seorang Antonius. Yang berbeda hanya cetakannya
saja!”
Bagaimana dengan Maria?
“... bisnis yang kau tawarkan, sungguh
menantang!” jawab Ronald sederhana. “Naik turun
truk, keluar masuk perkebunan, membaurkan diri
dengan para petani lalu para pedagang bermuka dua
di pasar induk. Aku yakin; itu akan menjadi sebuah
kehidupan yang keras. Kontras dengan kehidupan
yang kujalani selama ini, yang telah membuatku
semakin lupa bahwa aku terlahir sebagai laki-laki!”
Cuma itu.
Dan jauh-jauh hari, dokter Rinaldi yang sudah
lama menjadi sahabat kental keluarga Maria, memang
telah memberitahu. “Itulah yang menjadi tujuan
utama Ronald. Kembali pada harkat dirinya sebagai
seorang laki-laki. Bukan hanya pisik. Melainkan lebih-
lebih secara mental biologis. Yang, selama lebih dari
10 tahun menyimpang ke arah yang salah.
Penyimpangan mana justru memberinya kebahagiaan
tersendiri, bahkan... cinta!”
“Sepertinya, aku diminta menegakkan seutas
benang basah!” Maria mengomentari.
“Tetapi sewaktu-waktu dapat menjadi kering,
bukan?” psikiater berkata membujuk. “Aku memang
belum tahu, kapan Ronald akan mencapai titik kering
dimaksud. Yang aku ketahui, gradasi kelabu dalam
kehidupan seksual Ronald sudah mendekati tingkat
yang parah, dimana sifat homonya lebih dominan.
Paling-paling kita hanya bisa mengubahnya menjadi
40% homo dengan 60% hetero...”
“Ada harapan untuk itu?”
“Menurut pengamatanku, ada. Hanya sebuah
celah tipis transparan memang. Jadi diperlukan
kesabaran dan kehati-hatian yang sungguh-sungguh.
Jadi kunasihatkan, begitu kau lihat lelaki itu terbuka,
jangan buru-buru masuk. Karena salah-salah, kau akan
terbentur sendiri. Lebih fatal lagi, celah itu bisa
menutup diri kembali. Lebih rapat dari sebelumnya!”
*
* *
Ada bayang-bayang hitam mendadak melompat
dari sebelah kiri jalan untuk kemudian lari menghilang
di seberang kanan. Maria sempat tersentak lalu
seketika menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya oleng
satu dua detik, sebelum kemudian berhenti dengan
sentakan keras didahului suara berisik ban saling gigit
dengan aspal.
Sejenak lamanya Maria hanya terduduk dengan
wajah pucat pasi serta jantung bagai coplok begitu
saja. Baru setelah itu, takut-takut ia melirik ke kaca
spion. Mengawasi jalanan di belakangnya. Lampu
merkuri di trotoir hanya memperlihatkan jalanan yang
lengang dan hampa. Tak tampak adanya sesuatu
tergeletak di sana. Lalu kemudian Maria kembali
melihat bayang-bayang hitam tadi. Tegak diam-diam
di trotoir sebelah kanan, dengan moncong mengarah
ke mobil Maria. Terdengar suara gonggongan keras,
disahuti oleh gonggongan lain dari kegelapan malam
di sekitar. Bayang-bayang hitam itu segera berlari
menghilang. Hanya suara gonggongannya saja yang
masih terdengar. Mengejar arah datangnya gong-
gongan susulan tadi.
“Anjing buduk!” Maria mengumpat. “Kukira
apa...”
Sambil tertawa lega, Maria menjalankan
mobilnya kembali. Namun tidak lagi sekencang tadi. la
I sedikit lebih santai. Malah mendekati ogah-ogahan.
Apakah ia tidak lebih baik pulang lagi, lantas
meneruskan tidurnya yang tadi sempat terganggu?
Tetapi nada suara Ronald di telepon terdengar agak
berbeda dari biasa. Suara itu sepertinya menyimpan
ketakutan tersembunyi. Entah apa yang ditakutkan
Ronald dan entah apakah Ronald sendiri menyadari
nya. Ronald hanya berbicara tentang hawa nafsu
terkutuk “yang lama” telah mengusik dirinya kembali
Tak lebih dari itu.
Namun entah mengapa, Maria dapat
merasakan adanya sesuatu dalam suara Ronald.
Sesuatu yang tidak biasa, sehingga Maria ikut
dijangkiti perasaan takut yang aneh dan misterius itu.
Tetapi, apakah 'itu' kiranya? Maria tidak tahu. Maria
hanya dapat merasakan!
Yang pasti, Ronald tidak perlu mengangkat
telepon di tengah malam buta, hanya untuk
membicarakan nafsu terkutuknya yang lama. Toh
selama bulan-bulan terakhir ini, setahap demi setahap
Ronald sudah mampu mengatasinya sendiri. Meski
tidak sesempurna yang mereka harapkan bersama.
Karena, “... maklum sudah mendarah daging!” Ronald
pernah mengaku. “Biarpun sudah kucabik-cabik
dengan susah payah, tetap saja masih ada bibit yang
tersisa di sana-sini.”
Sungguh menggembirakan, ketika pada
akhirnya Ronald mengakui banyak hal. Tetapi betapa
banyak jalan berliku-liku yang harus ditapaki Maria
untuk mendapatkannya. Liku-liku yang sering-sering
melelahkan. Malah ada kalanya teramat sangat
membosankan.
Coba saja ingat minggu-minggu pertama yang
datang untuk kemudian berlalu begitu saja, nyaris
tanpa menghasilkan apa-apa. Hubungan Maria dan
Ronald hanya sebatas bisnis belaka. Peranannya pun
lebih banyak diambil alih oleh pak Jayusman. Orang
kepercayaan almarhum ayah Maria itulah yang lebih
banyak mengajari, memberi petunjuk-petunjuk,
membimbing dan menemani Ronald kian kemari.
Keberadaan Maria boleh dikata tak ubahnya
pos jaga yang disinggahi untuk bertanya ini itu. Lantas
karena ia terlanjur sudah ambil bagian dalam terapi
yang dilakukan dokter Rinaldi, Maria tentu saja harus
menjawab setiap pertanyaan atau pendapat yang
diinginkan Ronald. Misalnya, “Tempat tinggal? Pakai
sajalah rumahku yang di Jayagiri. Selama ini aku
tempati hanya diakhir pekan, itu pun tidak selalu.
Memang ada beberapa anggota keluarga yang suka
menginap di sana. Tapi temporer. Bayar sewa? Hai,
omongan macam apa itu? Lupakan sajalah. Bukan
menolak rejeki. Tetapi hitung-hitung ada yang
mengisi. Ketimbang sering di biarkan kosong, lantas
lama-kelamaan bobrok sendiri!”
Atau: “Oh, mau ikut tanam modal? Oke-oke
saja. Lagipula itu bagus untukmu. Kau akan berjuang
lebih keras. Karena yang kau pertaruhkan, sebahagian
adalah milikmu sendiri. Hanya, satu hal perlu kau
timbang masak-masak. Bisnis sayur mayur memang
tampak menggiurkan, apalagi mendekati dan di
musim paceklik. Namun resiko-nya pun sering tidak
tanggung-tanggung. Terutama pada musim panen
raya. Salah perhitungan sedikit saja, jangankan dapat
laba. Modal pun bisa ikut tumpur...”
Dan entah apalagi. Yang sedikit pun tidak ada
kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut urusan
mental biologis. Konon pula yang menjurus ke urusan
seksuil. Kalau pun ada pembicaraan yang sifatnya
pribadi, tak lebih dari permukaannya saja
Sebagai contoh: “Aku ini anak satu-satunya.
Sebagaimana ayahku adalah anak satu-satunya pula
dari kakek...” Maria memberitahu. “Agaknya aku
terlahir dalam sebuah keluarga yang dalam urusan
jumlah generasi penerus bukan main kikirnya!”
Di lain waktu: “Honorarium yang kuterima dari
majalah tempatku bekerja? Oh, tak seberapa! Sering-
sering malah nombok...” Maria tertawa. “Tetapi tak
apa, bukan? Toh peninggalan yang kuwarisi dari
orangtuaku bila kumakan sendiri bukannya habis.
Malah sebaliknya, terus saja bertambah. Adapun
mengenai aku tidak berminat menekuni usaha
keluarga yang sudah turun temurun, mungkin karena
aku berbeda dengan para pendahuluku. Mengapa aku
jadi wartawati? Spesialis kriminil pula? Oh, mungkin
karena panggilan jiwa. Tetapi alasan yang lebih pas
adalah karena aku menyukai petualangan. Khususnya
mengenai perilaku manusia... dan bagaimana mereka
menggapai kehidupan yang acapkali tidak mengenal
kompromi...!”
Yang agak menjurus, paling-paling. “Pacar?
Tentu saja aku pernah punya. Gunta-ganti malah!
Sayangnya...”
Atau, “Menikah? Hem. Belum terpikirkan!”
*
* *
alanan menanjak di depannya semakin
menanjak dan terus saja menanjak pertanda ia sudah
mendekati kota Lembang, setelah itu Ronald dan...
Maria mendadak tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba
teringat bahwa Ronald sudah tahu banyak mengenai
dirinya. Sementara Maria tentang Ronald boleh
dibilang nol besar.
Belum pernah Maria bertemu orang setertutup
Ronald. Jangankan mau berbicara tentang teman-
teman sesama gay. Mengenai keluarganya sendiri pun
Ronald hanya membuka seperlunya saja. Sebagai
misal: “Aku lahir di keluarga berpenghasilan kecil
dengan tantangan besar,” kata Ronald. Lalu dengan
cepat beralih ke urusan pekerjaan.
Atau: “Ayah orangnya keras tetapi berhati
baik!” Lantas pembicaraan beralih lagi ke soal lain.
Teman bermain?
“Banyak. Terutama sewaktu SD lalu SMP.”
Setelah di SMA?
Ronald sempat terdiam. Lantas cepat-cepat
mengalih. “Bagaimana dengan laporan keuangan yang
kemarin itu?”
Tak puas, pada kesempatan lain, Maria mendesakkan
pertanyaan yang sama. Berpikir sejenak, baru. Ronald
menjawab: “Ada beberapa.. Tetapi tak akrab.”
“Dari beberapa itu, tentunya ada yang cukup
intim, seorang gadis dan...”
“Beberapa hari ini aku kurang tidur!” Ronald
menukas. “Tak apa aku istirahat sebentar di kamar?”
Dan Ronald tidak keluar-keluar lagi dari kamar,
sampai Maria meninggalkan Jayagiri sore harinya.
Setelah hari itu, Ronald tahu-tahu menjaga jarak.
Benar sikapnya masih tetap sopan dan ramah bila
mereka bertemu. Tetapi selalu ada saja alasannya
yang masuk akal untuk meninggalkan atau menolak
ajakan Maria berjalan-jalan. Seperti: “Aduh,
bagaimana ya. Ada sekian ton kentang di Cisarua...”
Perubahan sikap Ronald itu langsung
dikemukakan Maria pada dokter Rinaldi sewaktu
kebetulan mereka bertemu pada sebuah acara
cocktail party. Seperti halnya Ronald, psikiater itu pun
sempat terdiam beberapa saat lamanya. Baru
kemudian, dengan pandangan enggan ia membuka
mulut. “Satu hal yang kusukai pada dirimu, Maria...”
Rinaldi berkata. “Adalah sifatmu yang terbuka dan
terkesan agressip. Tetapi menyangkut Ronald, aku kira
kau terlalu agressip.”
“Terlalunya?”
“Kau telah menyerang titik paling peka dalam
diri Ronald. Justru sewaktu di SMA-lah penyimpangan
itu dimulai Ronald, Berawal dari sebuah eksperimen
iseng...”
“Eksperimen?”
Rinaldi seperti menyadari sesuatu yang tabu.
“Ah, sudahlah. Sebaiknya hal itu tersimpan dalam
arsipku saja...”
“Itu tidak adil!”
“Kode etik, Nak...”
“Persetan dengan kode etik Om itu!” potong
Maria sengit. “Bukan aku yang meminta ikut ambil
bagian dalam terapi menjengkelkan ini!”
“Tetapi kau bersedia!” Rinaldi tersenyum
dengan manisnya. “Dan aku pernah bilang. Kau bebas
mengundurkan diri kapan saja kau mau. Tidak seorang
pun yang akan menyalahkan.”
Diingatkan begitu... ditambah senyuman manis
sang psikiater, membuat Maria melemah. Katanya.
“Aku paling tak suka bekerja tanggung-tanggung.
“Maka, berhentilah bersikap cengeng. Mantap
kan hati. Teruslah berjalan, dengan kepala tegak.
Sampai...”
“Tersandung sendiri!” .
Rinaldi tertawa membahak. “Tersandung?
Orang seperti kau?” Rinaldi tertawa lagi. “Kiamatlah
dunia...”
Siapa sangka, Maria akhirnya tersandung juga.
Namun dunia tidak sampai kiamat. Meski ada
sedikit borok yang terasa mengganggu, ketika
peristiwa itu berlangsung... dunia justru terasa betapa
indah.
Sensasionil, malah.
ENAM
KOTA kecil Lembang yang masih menggeliat
bangun pada dinihari itu dilewati Maria dengan begitu
saja. Lupa bahwa sebelumnya ia sudah meniatkan
singgah di warung pojok siang-malam, membeli pisang
goreng bumbu 'Mak Onah' yang digandrungi para
turis. Ingatan Maria sedang melambung ke malam
sensasionil di tengah hujan badai dan amukan petir.
Yang mengantar Ronald memasuki bulan ketiga terapi
penyembuhannya.
Tumpahan air dari langit yang disertai butiran-
butiran es itu muncul pada saat Maria sedang bersiap-
siap pulang ke rumah mungilnya di pusat kota. “Ini
bukan saat yang baik untuk berkeluyuran di luar sana,”
Ronald menganjurkan. “Menginap sajalah!”
Setelah berlangsung obrolan tak tentu arah
selama sekian menit, Ronald yang pada malam itu
masih menjaga jarak, meminta maaf pada Maria. “Aku
harus memeriksa pembukuan untuk bulan terakhir,”
katanya.
Sementara Ronald sibuk di belakang meja
kerjanya, Maria terpaksa harus menonton televisi
sendirian. Menunggu kantuk datang atau hujan
berhenti dan ia bisa terus pulang Suasana kaku
ditambah fenomena alam yang menggetarkan di luar
rumah, mau tidak mau membuat Maria benar-benar
gelisah. Lalu, suatu saat ia merubah posisi duduknya,
secara tidak sengaja lengan Maria terbentur pada
bantalan lengan kursi. Gelangnya pun tersangkut.
Sewaktu berusaha membebaskan gelang dari
bantalan kursi, Mana melihat bahwa salah satu mata
berlian gelang itu sudah tak ada di tempatnya. Pasti
tanggal karena benturan tadi dan terlempar entah ke
mana.
Maka begitu gelang berhasil ia bebaskan, Maria
pun sibuk mencari batu berharga itu. la berjongkok
untuk menyimak dan meraba-raba di permukaan
karpet berbulu lumayan tebal. Terkadang mem-
bungkuk, malah kemudian menungging cukup lama
supaya lebih mudah meraba-raba ke kolong meja
duduk. Tanpa menyadari bahwa pantatnya
menghadap ke arah Ronald.
Setelah mata berliannya ketemu, Maria bangkit
dengan perasaan lega. Barulah saat itu ia teringat
pada kehadiran Ronald, dan Ronald pasti bertanya-
tanya apa yang barusan Maria perbuat. Maria pun
membalikkan tubuh untuk menjelaskan. Dan seketika
itu juga Maria menegun dengan terkejut. Karena
“Mengapa kau memandangku seperti itu?”
Maria bertanya keheranan.
Ronald tersentak. Lalu menjawab polos namun
gugup. “Baru sekarang aku menyadari. Bahwa
pinggulmu... sangat indah!”
Maria memang berpinggul besar. Kencang dan
padat. Kulit muka Maria lantas bersemu merah.
Perasaan hangat menjalari sekujur tubuhnya.
Ada dua alasan mengapa Maria bersedia ambil
bagian dalam terapi dokter Rinaldi. Pertama, karena
benar-benar ingin menolong. Alasan kedua, begitu ia
bertemu Ronald, Maria langsung tertarik. Dan
semakin sering bertemu, semakin Maria diusik oleh
sebuah harapan tersembunyi. “Andaikata ia bukan
seorang homo…”
Di tengah perasaan hangat yang menggugah
kewanitaannya itu, Maria mendadak teringat.
Bukankah Ronald sudah sering bertemu dengannya.
Jadi Ronal pun sudah sering pula melihat pinggul
Maria. Tetapi mengapa baru sekarang Ronald
memuji? Karena menahan diri? Pasti bukan. Ronald
memang sangat tertutup mengenai dirinya. Namun
menyangkut Maria. Ronald tak segan-segan bertanya
atau mengomentari.
Kesimpulannya hanya satu saja
Tadi Maria menungging. Dan pantatnya…
Susah payah Maria menguasai diri Kemudian,
adalah sepatutnya ia menegur dan mengingatkan
Ronald pada terapi yang masih dijalaninya. Di luar
kehendak pikiran sehatnya. Maria malah tergoda
untuk, bertanya. “Kecenderungan lama itu, ya?”
Ronald menganggukkan kepala.
Godaan tadi kian merasuki Maria. la mendesak,
“Dan?”
Ronald mengaku tersipu-sipu namun juga blak-
blakan. “Kau membuatku… berdiri.”
Kewanitaan Maria tergugah lagi. Dengan
sentakan keras. Tanpa bisa dicegah lagi mulutnya
melontarkan sebuah pertanyaan berbahaya.
“Kau menginginkannya?“
Ronald mengangguk lagi.
“Begitu pula aku.” Maria berkata sejujurnya.
“Tetapi bukan seperti apa yang aku bayangkan!”
Ronald mengeluh.
“Jika demikian, lupakan sajalah!”
“Mengapa?”
“Karena kita... berbeda.”
“Kita dapat mencobanya, Ronald!”
“Kita tidak akan berhasil...”
“Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Dan
bukankah itu yang menjadi tujuan akhir dari terapi
ini?”
Ronald terdiam.
“Jawablah, Ronald!”
“... aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kau... kecewa.”
“Belum tentu. Kalau pun ya, kekecewaan yang
sama sudah pernah kualami dari dua pria terakhir
sebelum ini. Dan aku sudah terbiasa!”
“Situasinya berbeda, Maria.”
“Pasti. Di lain pihak, kau pun sudah harus mulai
belajar untuk memasuki... pintu yang benar!”
“Tetapi...”
“Dengan berbicara saja kita tidak akan
mencapai apa-apa, Ronald!”
Maria mengakhiri kata-katanya dengan
tindakan nyata, la berjalan menuju kamar tidur yang
hanya sewaktu-waktu dipergunakan oleh Maria.
Setelah membuka pintu, ia berdiri menunggu. Ronald
menyerah meski tanpak ragu-ragu, ia tinggalkan juga
kursi kerjanya.
Setelah mereka berdua naik ke tempat tidur,
lagi-lagi Maria yang harus mengambil inisiatip. La
menanggalkan pakaiannya lebih dulu, baru setelah itu
ia beralih ke pakaian Ronald. Dan, Maria tercengang.
Jantungnya memukul-mukul dengan kerasnya.
Bayangan Daisyi mengilas di pelupuk matanya. Jika
Ronald yang terbungkus pakaian sudah punya daya
tarik seksuil luar biasa... apa kiranya komentar janda
beranak dua itu bila sekarang ini ia menyaksikan
Ronald yang sepolos bayi baru dilahirkan?!
Maria sendiri bahkan sampai terpengaruh
sedemikian hebat. Sehingga melupakan bahwa Ronald
seorang homo, dan butuh bimbingan. Juga lupa pada
semua teori-teori yang pernah ia pelajari dan
dipratekkan. Tak ubahnya seekor kucing betina yang
sudah lama terkurung lalu ketika dilepas langsung
melihat seekor kucing jantan perkasa sudah
menunggu... Maria langsung main terkam serta
bertingkah laku sangat liar. Lantas ketika pada
akhirnya ia selesai, barulah Maria menyadari bahwa
Ronald masih tetap dalam keadaan serta posisi
semula. Tanpa memperoleh apa-apa!
Itu tidak biasa dialami Maria. Benar, ada kalanya
ia suka tergesa-gesa Namun bila ia sudah seliar tadi,
kekasih-kekasih Maria sebelumnya sudah lebih dulu
angkat tangan, pada menyerah. Sementara orang
yang satu ini... Sambil istirahat sejenak, Maria berpikir
keras. Kendala yang dialami Ronald bukanlah
menyangkut daya tahan. Tetapi jelas diakibatkan
adanya penolakan dari dalam.
Apa boleh buat.
Maria menghibur Ronald dengan bisikan
lembut. “Kita akan mencobanya sekali lagi. Tunggulah
sebentar...” la menyelinap ke kamar mandi,
membersihkan diri. Kembali ke tempat tidur, ia
kemudian memberi petunjuk-petunjuk pada Ronald.
Seraya tak lupa menambahkan... “jangan biarkan
dirimu menolak. Bagaimana pun caranya, usahakan
supaya dirimu menerima!”
Dan Maria tidak lagi bertingkah liar. Dengan penuh
kesabaran ia mencari lalu menyentuh titik-titik paling
peka seorang laki-laki di sekitar tubuh Ronald.
Khususnya di sekitar pinggul mengingat Ronald adalah
seorang homo. Lambat tetapi pasti, terasa adanya
reaksi pada tubuh Ronald, bahkan juga Maria sendiri.
Andaikata mengikutkan hawa nafsu, mauulah Maria
segera mendorong Ronald memasuki dirinya. Namun
ia menahan diri sekuat daya, meski kewanitaannya
mulai tidak tahan. Baru setelah ia yakini betul bahwa
Ronald sudah siap merangkak ke pendakian terakhir,
Ronald ia bimbing masuk.
Mereka tiba pada waktu bersamaan.
Sensasi itu menakjubkan Maria. Sayangnya,
sesuatu yang tidak dikehendaki, muncul mengganggu.
Pada saat Ronald tiba, Ronald merintihkan sebuah
nama: “Anton, oh... Antonius...!”
Sempat dibuat merinding Maria seketika itu
juga menarik diri dari tubuh Ronald, pakaiannya
disambar. Lalu tanpa berkata atau menoleh lagi ke
belakang, ia langsung minggat dari kamar.
Lantas meringkuk di dekat tungku pendiangan
sambil mengumpat-umpat berang. “Haram jadah
terkutuk! Aku yang jungkir balik, orang lain yang ia
bayangkan. Laki-laki pula lagi. Sialan!”
Setelah menenggak satu sloki whisky yang ia
ambil dari bar, perlahan-lahan Maria menjadi tenang
dan kemarahannya pun menyurut. Kembali, ke dekat
tungku, ia sudah dapat berpikir jernih. Memang bukan
salah Ronald, pikirnya. Toh sebelumnya Ronald tidak
menjanjikan apa-apa. Maria juga tiba-tiba teringat,
bahwa tadi telah menganjurkan sendiri. “Bagaimana
pun caranya, usahakanlah supaya...” Ronald sudah
mematuhi anjuran Maria. Tetapi dengan cara sesuai
keinginan serta lamunan Ronald sendiri!
Jadi kesalahan ada pada pihak Maria sendiri.
Namun untuk mengakuinya terus terang. Maria
merasa risi. Selain itu, ia juga harus ingat bahwa
Ronald sedang menjalani terapi penyembuhan. Maria
harus memikirkan kalimat yang sebijaksana mungkin
sebagai pernyataan menyesal. Sekaligus mendorong
Ronald untuk berpikir bahwa hasil akhir dari
eksperimen yang tadi mereka lakukan, bukanlah
merupakan sebuah kegagalan.
Kunci jawaban akhirnya ditemukan Maria. Lalu
ia menunggu tibanya waktu sarapan pagi. Waktu di
mana setiap orang menerima enerji baru, untuk
melangkah memasuki hari yang baru pula. Hasilnya
terbukti positif. Maria melihat seraut wajah terharu.
Dan di wajah itu, wajah Ronald-nya, tampak
adanya bias-bias tersembunyi. Bias-bias harapan.
Senyum yang sempat marak di bibir Maria,
segera meredup manakala dengan terkejut ia
menyadari bahwa ia tahu-tahu sudah sampai ke
tujuan. Maria pun tak perlu repot-repot turun untuk
memijit bel, karena pintu gerbang tampak menganga
terbuka.
Sambil membelok lalu membiarkan mobilnya
merayap lambat menuju serambi depan rumah, Maria
bertanya-tanya dalam hati mengapa Ronald sampai
berlaku seceroboh itu. Bukankah Ronald sudah tahu
bahwa akhir-akhir ini perampokan bersenjata semakin
menggalak, terutama di pinggiran kota? Merasa tak
enak, Maria melirik pada tiga buah truk mereka yang
diparkir di pelataran sebelah kanan. Lalu ke gudang
besar yang digembok rapat dari sebelah luar. Terakhir
ia memperhatikan rumah di depannya. Kecuali ruang
duduk, bagian lain rumah tampak gelap gulita.
Herannya, meski lampu mobil menerpa ke
rumah, tak ada yang keluar untuk mengetahui siapa
yang datang. Bi Nining maupun suaminya mungkin
masih terlelap. Tetapi, Ronald?
Perasaan tak enak sewaktu mendengar suara
Ronald di telepon, kembali mengusik Setelah, mobil
berhenti, ia turun cepat-cepat Lalu naik ke serambi
dengan perasaan gelisah, karena Ronald tak juga
keluar untuk menyambut Pintu depan ia temukan
tertutup, namun tidak terkunci. Aneh, pikirnya.
Lantas menyelinap masuk ke dalam. Dengan
jantung berdebar.
Maria bukan seorang pengecut. Selain itu, iaj
juga sudah terbiasa menghadapi bahaya. Tetapi-
malam ini, dan justru di rumahnya sendiri, Maria tiba-
tiba merasakan dirinya dihinggapi perasaan takut yang
ganjil. Yang, seolah-olah menyeretnya dengan paksa
ke sebuah mimpi buruk. Dan Maria saat ini merasa
bukan sedang memasuki rumah miliknya sendiri, la
merasa seperti sedang memasuki dunia lain.
Sebuah dunia terasing.
Yang menakutkan.
TUJUH
TAKUT-TAKUT, Maria memanggil lirih.
“Ronald?”
Tak ada sahutan.
Rumah yang dimasuki Maria terasa begitu sepi.
Dan mati.
Tetapi seakan-akan ada kekuatan gaib yang
menariknya dari sebeiah dalam rumah, Maria terus
juga melangkah masuk meski hati kecil menyuruhnya
melarikan diri secepat dan sejauh mungkin. Hati kecil
Maria itu bahkan seperti menceritakan kata-kata
peringatan. “Lupakan dan jangan pernah kembali lagi
ke rumah terkutuk ini!”
Maria melewati ruang depan yang gelap dan
tiba di ruang duduk yang terang benderang. Tak ada
siapa-siapa di dalam. Juga tidak tanda-tanda
kehidupan, kecuali di tungku pendiangan. Namun
udara sepertinya tercemar. Hidung Maria menangkap
bau sesuatu. Bau yang tidak biasa dan tidak
semestinya tercium di sebuah ruang duduk yang
nyaman, berperalatan megah, serta terawat dengan
baik.
Maria mengacuhkan bau asing itu dan
meneruskan langkah ke pintu kamar tidur Ronald yang
menganga terbuka. Kamar itu pun kosong, namun
ranjang tampak bekas ditiduri. Maria sudah akan
membalikkan tubuh ketika ia mendengar bunyi
cucuran air diseling suara nafas berat. Datangnya dari
kamar mandi yang pintunya setengah terbuka.
“Ronald?” kembali Maria memanggil. “Kaukah
itu?”
Karena tak juga ada sahutan, Maria lantas
memberanikan diri mendekati kamar mandi. Harap-
harap cemas ia dorong sedikit pintu yang setengah
terbuka itu agar dapat melihat lebih jelas ke sebelah
dalam, tanpa ia harus masuk. Di balik tabir pemisah
samar-samar tampak bayang-bayang seseorang yang
sedang mandi di bawah pancuran dengan tubuh
sepenuhnya bugil. Biarpun tidak begitu jelas terlihat,
Maria dengan segera sudah dapat mengenali tubuh
Ronald.
Lega namun juga sekaligus malu, Maria mundur
lalu bergegas meninggalkan kamar tidur itu sebelum ia
ketahuan mengintip. Perasaan seperti terseret ke
dunia gaib di tengah sebuah mimpi buruk itu masih
mengusik. Tetapi Maria sedikit lebih tenang. Paling
tidak, Ronald ada, dan masih hidup.
Sambil berjalan menuju ke kamar tidur pribadi
nya, Maria berusaha keras membuang perasaan yang
terus mengusik itu. Dan mengingatkan pada diri
sendiri bahwa ia telah dibuat ketakutan sendiri gara-
gara pintu gerbang dibiarkan menganga terbuka tanpa
dijaga, ia membayangkan kemungkinan terjadi
perampokan berdarah... Eh, nanti dulu. Apa yang
barusan sempat ia lihat di lantai kamar mandi? Oh ya.
Air bekas mandi, tentu saja, mengalir ke saluran
pembuangan. Tetapi kok warnanya kemerah-merahan
ya? Seperti genangan air bercampur darah. Apakah
Ronald...
Maria tertegun sesaat. Lalu kemudian
meneruskan langkah setelah ingat bahwa di balik tabir
pemisah, gaya Ronald mandi tampak biasa-biasa saja.
Bukan seperti orang kesakitan atau terluka. Lagi siapa
pula yang melukainya? Rumah yang dimasuki Maria
tampak biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda
kekerasan. “Ya, ampun!” Maria bersungut-sungut.
“Perampokan berdarah itu kan hanya ada dalam
angan-anganku?”
Masuk ke kamar tidurnya, Maria rebahan
sejenak di atas ranjang berkasur empuk dan nyaman.
Seraya menenangkan diri, sepasang mata Maria
mengawasi ke sekitar. Setiap benda yang dilihatnya,
masih tetap benda yang sama dan juga masih di
tempat yang sama pula. Kecuali sprei dan sarung-
sarung bantal, yang tentunya telah diganti oleh bi
Nining, begitu Maria meninggalkan rumah ini satu
minggu yang lalu. Jelas sudah, Maria ada di kamar
tidurnya sendiri, di rumahnya sendiri pula, dan
bersama orang-orang yang dikenalnya, la telah
berpikir lantas melamun yang bukan-bukan.
Kurang ajarnya, ia terpengaruh.
Lantas ketakutan sendiri!
Teringat bahwa sebentar lagi Ronald akan
menyelesaikan mandinya, Maria segera meluncur
turun dari tempat tidur. Dalam sekejap ia sudah
berpindah tempat. Duduk menghadapi meja rias.
Untuk mematut-matut diri, tentu saja. Rias wajah
Maria masih utuh sempurna. Hanya tatanan rambut
yang sedikit rusak karena rebahan barusan. Maria
segera menyisirnya supaya kembali rapih. Ujung lidah
dikeluarkan sedikit. Mengusap sepasang bibir. Diberi
tambahan lipstik satu polesan. Cukup untuk membuat
bibirnya tampak lebih memerah, basah.
Sejenak, ia duduk diam-diam.
Mengawasi wajahnya yang memantul pada
permukaan cermin. Wajah di cermin itu balas
menatap Lurus ke arah mata Maria. Dengan sorot
mata kaku. Lantas sepasang bibir di bawah mata yang
menyorot kaku itu, perlahan-lahan. Lalu telinga Maria
menangkap suara desahan tajam. “Nah, di sinilah kau
sekarang! Tetapi, untuk apa?”
Bathin Maria menjawab, lemah. “... aku tidak tahu.”
“Jangan munafik!” wajah di cermin menghardik.
“Kau pasti tahu untuk apa!”
“Aku kira... Ronald membutuhkan pertolonganku.”
“Dia tidak seperti orang yang butuh pertolongan!”
“Siapa bilang?”
“Lihat saja tadi. Kau sudah mencemaskannya
setengah mati. Eh, dia malah sedang enak-enak
mandi!”
“Tetapi...”
“Janganlah mendustai dirimu sendiri. Dia tidak
memintamu datang. Kau datang atas kemauan sendiri.
Jadi, yang jujur sajalah. Mengapa kau ke sini?!”
“Aku... mencintai Ronald.”
“Oh, oh, oh! Dulu mengakunya hanya sekedar
tertarik!”
“Mulanya, memang...”
“Hem. Semenjak kapan perasaan hatimu
berkembang menjadi separah itu?”
“Tidak pasti. Mungkin semenjak... malam yang
sensasionil itu.”
“Sensasi apa! Meski terkadang mereka lemah,
kau toh sudah sering mengalami sensasi yang sama
dari Parman, dari Effendi, dari...”
“Memang aku menyukai mereka. Tetapi cinta?
Tidak akan! Mereka itu suka mengobral janji,
kenyataan di belakang, terlalu banyak menuntut. Bila
tidak minta ini itu, pastilah berkata: kau harus
Beginilah, kau harus begitulah...! Ronald berbeda. Dia
tidak pernah menjanjikan apa-apa. Juga tidak
menuntut. Dia tahunya bekerja, bekerja dan bekerja.
Masih ada lagi...”
“Apa?”
“Dalam urusan tempat tidur, mereka yang kau
sebut-sebut tadi sama berpengalamannya dengan aku
sendiri. Ronald? Dia tak ubahnya seorang perjaka.
Dan... berani taruhan, akulah perempuan pertama
yang pernah ditidurinya.”
“Ditidurinya? Apa tidak terbalik? Kaulah yang
meniduri dia. Dan agaknya kau lupa ia seorang
homo?“
“Dia akan berubah!”
“Akan kapankah itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Dan apakah kau pikir ia dapat berubah hanya
dengan eskperimenmu yang sekali itu saja? Mana
boleh dibilang gagal pula lagi. Seharusnya eksperimen
itu kau teruskan Coba lagi, coba lagi Sampai...”
“Cukuplah yang sekali itu saja Sampai mati pun.
aku tak sudi lagi mengulanginya!”
“Kok sadis begitu.”
“Habis? Keberadaanku tak dianggap! Kalaupun
dianggap, Ronald membayangkan diriku seorang laki-
laki. Dan di dalam bayangannya itu, yang dia masuki
adalah... Ih, sudahlah. Pendek kata, gambaran seperti
itu sampai sekarang pun masih tetap membuat aku
merinding. Jijik!”
“Katanya... cinta!”
“Justru karena cintalah aku masih bersedia
menunggu Sampai dia berubah. Dan perubahan itu
harus datang dari dalam dirinya sendiri!”
“Egomu terlalu tinggi!”
“Menurutku wajar-wajar saja!”
“Wajar bagaimana? Ingat kau hadapai adalah
seorang anak manusia yang kebetulan memiliki
kecenderungan seksual yang justru tidak wajar.”
“Lantas, aku harus berbuat apa, eh?!”
“Nah, lihatlah. Ego-mu memang tinggi. Ketika
tiba persoalan menyangkut pribadimu, kau uring-
uringan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Ronald,
apalagi. Dia pun tidak tahu harus berbuat apa. Dunia
yang sekarang dia masuki adalah sebuah dunia yang
jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan apa
yang dia tinggalkan di belakangnya. Dia masih perlu
bimbingan. Tuntunan. Dan, di atas itu semua... jelas
yang paling dia butuhkan adalah seorang
pendamping!”
“Aku toh terus mendampinginya...”
“Betul. Tetapi hanya pada akhir pekan saja.
Sementara yang dibutuhkan Ronald adalah seseorang
yang bisa senantiasa mendampinginya. Bukan cuma
datang sesekali... itu pun, sambil mengusik-usik masa
lampau yang ingin dilupakannya. Yang lebih penting
lagi, orang itu mau mengerti serta memahami siapa
dirinya.”
Wajah di cermin melenyap ketika Maria
merunduk pelan.
Menekuri lantai.
Dengan perasaan gundah.
Tidak mau dibawa larut oleh perasaan
gundahnya, Maria keluar dengan langkah gontai
meninggalkan kamar tidur, la pergi ke bar di ruang
duduk. Dari rak minuman Maria mengambil botol
Martini. Setelah dituangkan secukupnya ke sebuah
gelas kecil, Maria berjalan menuju tungku pendiangan.
Nyala api tampak sudah tidak semarak ketika ia
mula-mula tiba Maria meneguk sedikit Martininya.
Lalu sambil setengah bersimpuh di lantai, dikorek-
koreknya bara api di bawah tumpukan kayu bakar
itu, bau yang mencemari udara ruang duduk itu
tercium lagi. Lebih keras sekarang. Maria mengendus-
endus untuk mengenali bau yang tidak lazim itu.
Sepertinya bau kain terbakar, dan...
“... hai,” terdengar sapaan lunak di belakangnya.
Maria berpaling terperanjat. “Oh, kau Ronald!”
gumamnya lega. Seraya mengawasi sosok Ronald yang
memakai piyama bergaris-garis tebal warna coklat tua
dengan warna dasar krem. “Kau membuat aku
kaget...”
Ronald tersenyum.
“Barusan aku mau melihat-lihat keluar sana. Eh,
tak tahunya kau sudah di dalam sini. Mau kubuatkan
minuman?”
Maria menunjuk ke gelas kecil berisi Martini yang tadi
ia letakkan di dekatnya. “Kau buatlah untukmu sendiri,
Ronald.”
“Aku sudah minum tadi...” Ronald berkata
sambil duduk santai di sofa. Setelah mana ia kemudian
memperhatikan Maria, dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki.
Diperhatikan seperti itu, jantung Maria
berdebar. Hangat. Tetapi kok dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki... seperti Ronald baru pertama
kali ini melihat Maria?
“Sudah lama?”
“... heh?” Maria terjengah.
“Tibamu. Sudah berapa lama?”
“Oh. Paling banter juga sepuluh menit.”
“Hem. Tentunya selagi aku mandi. Barusan tadi
otot-ototku terasa kaku. Lalu kupikir, dengan bersiram
air hangat aku akan menjadi segar kembali!”
“Bukan hanya segar,” komentar Maria seraya
menyimak wajah Ronald. “Kau malah tampak jauh
lebih sehat dari sebelumnya. Oh ya. Aku harap
keadaanmu baik-baik saja...”
Ronald tersenyum lagi. “Memangnya aku kenapa.”
Maria menimbang-nimbang sejenak. Baru setelahnya
menjawab. “Bukan apa-apa. Hanya saja, tadi di
telepon...”
“Oh, itu!” Ronald tertawa kecil. “Lupakanlah.
Aku pun sudah tidak mengingatnya lagi!”
Semudah itu?
Maria benar-benar tidak percaya. Lebih tidak
percaya lagi, adalah penampilan Ronald. Betul
semenjak malam sensaionil itu Ronald sudah lebih
terbuka pada Maria, meski hanya sampai batas-batas
tertentu saja. Namun, tertawa? Bibir Ronald bisa
mengguratkan senyuman tipis saja pun sudah luar
biasa. Wajah Ronald senantiasa kelabu. Diselimuti
masa lalu yang masih terus menghantui dirinya.
Lalu mengapa Ronald mendadak berubah?
Jangan-jangan Ronald cuma berpura-pura. Untuk
menghibur Maria yang sudah bersedia datang jauh-
jauh menemuinya, pada dinihari pula?
“Tahukah kau, Maria?”
Sekali lagi Maria terjengah. “Heh?”
Sekali lagi pula Ronald memperhatikan wajah
Maria. Kali ini pada wajah. Dengan tatap mata terang-
terangan. Lalu “... kau tampak cantik sekali malam
ini!”
Jantung Maria bukan lagi hanya berdebar.
Namun seakan mau copot saja. Benarkah apa yang ia
dengar? Ronald memujinya! Tak masuk akal! Sekali-
kalinya Ronald memuji, hanyalah pada malam itu.
“Pinggulmu...”
Pinggul, okelah. Karena di bagian yang itu, ada
sesuatu yang didambakan Ronald.
Tetapi wajah?
Mengulas lagi senyuman di bibir Ronald. “Kau
tampaknya seperti mau pingsan saja, Maria.”
Sekujur tubuh Maria terasa bergetar. Terutama
oleh senyuman Ronald. “Oh...”
Ronald pelan-pelan meninggalkan sofa. Seperti
halnya Maria. Ronald pun bersimpuh di lantai.
Sepasang tangannya terulur ke depan. Menyentuh
wajah Maria. Lalu mengusap dan mengusap. Hangat.
Dan bergetar. Maria sampai terpejam. Dan selagi
Maria terpejam, sapuan hangat Ronald terasa
mendatangi. Lalu bibir Maria tahu-tahu sudah dicium
oleh bibir Ronald yang pun terasa hangat bergetar.
Ternyata yang dimasuki Maria bukanlah mimpi
buruk. Melainkan sebuah mimpi menakjubkan.
Sedemikian menakjubkannya, sehingga nyaris terasa
seperti mustahil. Karena sentuhan-sentuhan Ronald
jelas adalah sentuhan-sentuhan penuh birahi. Birahi
seorang laki-laki!
Laki-laki?
Ronald menarik tubuh Maria dengan lembut ke
atas karpet. Merebahkannya dengan lebih lembut lagi.
Maria seakan melambung tinggi. Namun alam bawah
sadarnya masih bertahan. Alam bawah sadar itu
mendorong Maria untuk bersikap waspada. Laki-laki!
Siapa sebenarnya yang dibayangkan Ronald sekarang
ini? Antoniuskah?
Ronald siap untuk menarik lepas blus Maria.
Dan saat itulah Maria bereaksi. Tangan Ronald
ditahan, lalu dicengkram. Maria membuka kelopak
matanya. Dengan pandangan nanar ia menatap lurus-
lurus ke sepasang mata Ronald yang balas menatap.
Heran.
“Katakanlah...” bisik Maria terengah. Dengan
nada memohon. “Bahwa saat ini kau tidak sedang
membayangkan... bahwa aku adalah...”
Ronald tidak langsung menjawab. Lebih dulu ia
mengecup bibir Maria. Baru setelahnya ia berbisik di
telinga Maria.
“Aku tidak membayangkan siapa pun juga,
Maria. Aku hanya menginginkanmu. Menghendaki
dirimu sebagai seorang wanita!”
Namanyalah yang disebut. Dan dirinya sebagai wanita.
Di luar sana, terdengar suara sepeda motor
meraung-raung. Seakan pengendaranya sedang
memburu sesuatu. Tetapi Maria tidak perduli. Juga
ketika terdengar raungan sepeda motor lainnya,
menyusul yang pertama tadi. Baru setelah terdengar
raungan sirene, Maria tertegun sejenak. Lantas
berbisik. “Sirene itu…”
“Biarkan sajalah,” Ronald balas berbisik. “Paling
juga ada yang kebakaran. Entah di mana…”
“Bukan. Itu adalah ambulans.”
“Ya. Ada orang mendadak sakit kalau begitu!”
tambah Ronald yang sudah mulai membuktikan
dirinya sebagai seorang laki-laki. Dan apa yang harus
dilakukan laki-laki itu pada wanita yang diinginkannya.
Sirine lagi.
Hei. Mengapa mendadak begitu ramai?
“Ronald?”
“… apa?”
Maria sebenarnya ingin menyatakan. “Tadi
ambulan. Sekarang, mobil patroli polisi!” Akan tetapi,
karena Ronald sudah melambungkannya semakin
tinggi, Maria kemudian hanya mendesah samar
samar. Sehingga nyaris tak terdengar, bahkan oleh
telinganya sendiri. “Ah Lupakan saja lah...”
Ya. memang seharusnya begitu
Lupakan saja semua ribut ribut yang muncul
mendadak di luar sana Biarkan para petugas
kesehatan serta polisi-polisi itu menjalankan tugas
entah di sudut mana Jayagiri ini. Lupakan juga
panggilan hati untuk segera keluar dan mengikuti ke
arah mana mereka pergi. Pasti ada berita menarik.
Tetapi itu dapat menyusul.
Bila pun ada yang harus diingat, adalah dokter
Rinaldi. Yang pernah berkata: “Ini bukan pekerjaan
enteng, Maria. Mungkin saja diperlukan waktu paling
tidak satu dua tahun...”
Psikiater itu pasti akan tercengang-cengang
andaikata ia tahu apa yang terjadi sekarang ini. Ronald
tidak lagi perlu dirangsang, tidak lagi perlu dituntun.
Ronald sudah dapat melakukannya sendiri. Dengan
utuh. Dengan cara yang semestinya. Di tempat yang
semestinya pula!
Kalau bukan Maria sendiri yang mengalami dan
merasakannya, pastilah Maria pun akan menertawa
kan bila ada seseorang yang memberitahu bahwa
Ronald sudah berubah secara drastis dan tiba-tiba Seolah-olah ia adalah seorang Ronald yang lain.
Bukan Ronald yang pernah dikenal Maria.
*
* *
DELAPAN
MARIA terbangun dengan sekujur tubuh terasa
lemas sekitar pukul sembilan pagi dan menemukan
Ronald sudah tidak ada di sebelahnya. Namun sedikit
pun Maria tak kecewa. Apalagi setelah membuka
jendela kamar tidur , ia lihat ke tiga buah truk sudah
tidak ada di pelataran parkir. Pertanda di suatu tempat
sedang ada panen, entah panen apa, dan Ronald
beserta para pembantunya sekarang ini tentu dalam
perjalanan ke sana.
Dihirupnya udara hangat segar yang berlimpah-
limpah di luar jendela, sebanyak paru-parunya
sanggup menerima. Seraya membathin bahagia
“Ronald bakal menjadi seorang suami yang hebat!”
Bagaimana tidak hebat, Laki laki yang
dicintainya itu giat bekerja. Juga luar biasa di tempat
tidur. Lihat saja menjelang subuh tadi. “Aku masih saja
mendambakan dirimu Kita ke tempat tidur yuk…” bisik
Ronald di telinga Maria. Maria tidak pernah
memimpikan bisa menikmat orgasme tiga kali
berturut-turut hanya dalam tempo tidak sampai dua
jam. Namun Ronald telah mempersembahkan mimpi
indah itu ke haribaan Maria. Dengan lembut serta
penuh kasih sayang pula. “Kau wanita pertama dalam
hidupku, Maria. Sampai kapan pun kau tidak akan
pernah kulepaskan dari pelukan ku...!”
Dengan perasaan setengah melayang, Maria
meninggalkan jendela untuk mengambil training nya
dari lemari pakaian. Sedikit berolah raga akan
memulihkan tenaganya kembali. Lalu ia siap memulai
hari-harinya yang baru Hari-hari yang tentu saja akan
sangat berbeda dengan yang sebelumnya telah ia
jalani. Mungkin kebiasaan berkeliaran belum akan ia
tinggalkan (perilaku dan cara manusia menggapai
kehidupan masih tetap merangsang untuk diikuti lalu
dipindahkan ke mesin tik). Akan tetapi beberapa
kebiasaan lainnya, dari sekarang harus sudah mulai
dijauhi Maria. Tidak boleh pergi atau pulang sesuka-
suka hati. Tidak lagi makan atau tidur dimana serta
kapan saja sempat. Dan entah apa lagi. Karena, Maria
tidak lagi hanya bertanggung jawab pada diri sendiri.
Kini ia juga dibebani (yang ia terima dengan senang
hati), tanggung jawab untuk membuat Ronald betah di
rumah. Lalu pulangnya, ada yang menyambut dan siap
membantu Ronald melepaskan diri dari kelelahan.
Kemudian...
“Nyenyak tidurnya, Non?” Nining yang sedang
menatap ruang duduk langsung menyapa begitu sang
majikan nongol dari pintu kamar tidur.
Masih diliputi perasaan bahagia, Maria menyahuti...
diiringi senyuman ceria. “Nyenyak banget, Bi Nining!”
“Syukurlah. Mau sarapan sekarang?”
“Nanti sajalah. Aku jogging dulu sebentar.”
Nining memperhatikan dengan pandangan
serius. Lalu, “Tak biasanya Non sesantai ini. Pastilah
Non belum mendengarnya.”
Maria yang sudah akan berjalan ke pintu depan,
seketika membalikkan tubuh. Bertanya tertarik
“Mendengar apa, Bi?”
“Ada anjing dimakan... eh, terbalik,” Nining
berujar serius. “Maksud saya, Non. Ada orang dimakan
anjing. Tak jauh dari sini!”
Maria membelalak. “Yang benar!”
“Semua orang sekampung juga sudah pada
tahu, Non. Kalau tidak percaya, tanyai saja mereka.
Subuh tadi...”
Subuh tadi!
Ribut-ribut yang mengganggu, ambulan, mobil
patroli polisi!
Maria melupakan niatnya berolahraga pagi. la
langsung bergegas ke meja telepon. Sempat keliru
memutar nomor-nomor kantor kepolisian wilayah
Bandung tetapi segera sadar lalu membatalkannya, la
kemudian memutar nomor telepon lainnya. Begitu
dapat sambungan, Maria bertanya tak sabar.
“Hallo. Dengan Polsek Lembang?”
“Betul,” terdengar suara-berat dan sedikit kasar
di seberang sana.
“Bisa bicara sebentar dengan pak Herman?”
“Kapten sedang keluar. Ini siapa?”
Maria menyebut identitas dirinya. Lengkap
dengan nama majalah berita mingguan tempatnya
bernaung. Suara di seberang sana telepon seketika
berubah ramah. “Oh. Kau rupanya, Maria. Kapten
barusan pergi ke Polres. Ini aku, Solihin. Apa yang
dapat kami bantu, Maria?”
Maria mengutarakan maksudnya. Tidak lupa
menambahkan.”... dan aku sepenuhnya percaya,
Sersan. Bahwa Nining bukan sedang bergurau!
Sepi sejenak. Baru setelahnya, terdengar suara
yang bernada heran. “Jadi kau ada di Jayagiri. Bukan di
rumahmu yang di kota. Kok sampai tidak tahu...”
“Katakanlah, aku kecolongan,” sahut Maria
ringkas. “Nah, Sersan?”
“Ya, memang benar ada mayat seseorang di
sana. Hanya saja informasi yang kau dengar sedikit
berlebihan!”
“Pasnya?”
“Sewaktu ditemukan, sepotong dari isi lambung
korban sedang diperebutkan oleh dua ekor anjing,”
Solihin memberitahu dengan kalem.
Perut Maria mendadak terasa mual Kuatir
Solihin tahu lantas diam-diam menertawakan, Maria
menguasai diri dan buru-buru meneruskan. “Ada di
mana mayat itu sekarang?”
“Pertanyaan apa pula itu?” Solihin mendengus.
“Tentu saja sudah dikirim ke Hasan Sadikin. Malah aku
yakin, mereka pun sudah mulai menjagalnya!”
Sarkastik! tetapi Maria dapat memahami. Sifat
macam itu lumrah menghinggapi orang yang terpaksa
harus mengerjakan apa yang pasti dihindari umumnya
manusia; bahkan orang itu sendiri pun tidak
menyukainya. Yang pasti, bagaimana pun cara Solihin
mengungkapkannya, satu hal jelas sudah. Mayat
korban sudah dikirim ke meja otopsi rumah sakit.
Untuk dapat memotretnya, Maria terpaksa
menunggu. Dan itu akan makan tempo.
Memang masih ada pilihan lain. Meminjam hasil
pemotretan bagian indentifikasi polisi, atau rekan
seprofesi yang sudah bergerak mendahului Maria.
Pilihan yang sungguh sangat ia benci. Karena Maria
sangat gandrung yang serba eksklusif. Namun, bila
terpaksa... Oh, oh! Mimpi indah Maria agaknya
memang membutuhkan pengorbanan juga...
“Nyawamu masih di situ, Maria?”
Maria menyeringai. “Masih.”
“Kalau begitu, datanglah kemari. Siapa tahu ada
informasi yang teman-temanmu belum pada tahu!”
Itu salah satu segi baik pada diri sersan Solihin
maupun rekan-rekannya satu korps di banyak tempat:
tahu betul apa yang dikehendaki Maria. Maria
sebaliknya pula: tahu betul bagaimana caranya
menjaga segi baik itu dapat bertahan untuk jangka
panjang. Sambil memikirkan oleh-oleh apa kiranya
yang pantas dibawa ke sana, Maria berujar tulus.
“Terimakasih, Sersan. Aku akan ke sana nanti.”
“Kami tunggu, cantik!”
Setelah menyimpan gagang telepon di
tempatnya, Maria bergegas masuk ke kamarnya
kembali. Niat untuk jogging sudah terlupakan, la
langsung mandi, berpakaian buru-buru lalu berdandan
seadanya saja. Bukan mau ke pesta ini!
Dari lemari ia keluarkan tustel cadangan dan
sekotak negatip film yang memang sengaja disimpan
(bersama mesin tik) bila sewaktu-waktu diperlukan
dan ia sedang berada di Jayagiri. Dengan menenteng
tas berisi perlengkapan memotret dan loket uang,
tidak berapa lama kemudian Maria keluar dari
kamarnya.
Pelayannya segera mendatangi. “Sarapan sudah
tersedia, Non.”
Maria terus saja melangkah menuju pintu
keluar. “Belum lapar. Habiskan saja oleh Bibi!”
Dengan pandangan maklum, Nining mengantar
majikannya sampai ke serambi depan. Sambil
mengawasi mobil sang majikan yang sedang meluncur
ke pintu gerbang, Nining kemudian geleng-geleng
kepala. Lantas bergumam kagum... namun juga
sekaligus prihatin. “Apa kubilang! Pantang ada berita
bagus, langsung melompat seketika. Bagaimana tak
sulit mendapatkan jodoh...!”
*
* *
Maria tidak langsung pergi ke kantor polisi.
Melainkan lebih dulu mendatangi tempat kejadian
peristiwa, la tidak merasa perlu bertanya di mana.
Daerah tempat tinggalnya memang sudah
berbau kota Tetapi kebiasaan rakyat di pedesaan
masih saja mendominasi Di desa, masih juga orang
suka bergerombol menggunjingkan suami isteri
tetangga mereka yang ribut bertengkar. Padahal, di
saat mereka bergunjing itu, si suami isteri tersebut
sudah bergumul lebih hebat di tempat tidur. Tetapi
yang ini. untuk memproduksi calon anak mereka yang
ke sekian!
Tidak sampai seperempat jam berikutnya,
Maria sudah menemukan tempat yang dicari, bahkan
juga orang-orang yang ia kehendaki. Karena memang
sudah mengenal siapa Maria, si penemu mayat
dengan senang hati menceritakan apa yang
sebelumnya telah ia ceritakan pada polisi.
“... gonggongan ribut anjing-anjing itu membuat
saya tidak bisa tidur lagi,” demikian antara lain isi
ceritanya, “Saya langsung keluar dari rumah saya di
bawah sana. Naik ke sini dan... Aduh, Non Mengerikan
sekali. Andaikata Non ikut menyaksikan, Non mungkin
semaput. Saya sendiri sempat muntah berat. Dan
sampai sekarang belum berani makan apa-apa...”
“Semengerikan bagaimana?”
“Ada tiga ekor anjing. Non. Yang satu sedang
menarik-narik bagian usus yang terburai. Dan yang
lain sedang berebut bagian limpa. Setelah saya usir
dan lempari pakai batu...”
“Kok bisa tahu itu limpa?”
“Yang diperebutkan tertinggal sepotong
sewaktu anjing-anjing itu pada kabur. Lalu orang yang
datang dengan ambulans... sepertinya dia itu dokter,
mengatakan pada polisi yang menanyainya. Bahwa ia
yakin benar bahwa potongan yang tersisa itu adalah
limpa sang mayat!”
“Apakah korban penduduk setempat?”
“Agaknya sih bukan, Non. Sampai sekarang
belum ada yang lapor telah kehilangan anggota
keluarga. Apalagi yang usia maupun postur tubuhnya
seperti korban. Bungalow sekitar juga sudah didatangi
satu persatu. Hasilnya sama. Pasti deh orang luar,
Non.”
“Anjing-anjing tadi. Boleh lihat?”
“Untuk apa, Non?”
“Dipotret.”
“Wah, Non. Sulit, habis temponya singkat, mana
gelap lagi. Jadi saya tidak keburu mengenali itu anjing
mana atau milik siapa. Kalau mau dipotret, saya saja
deh Non...”
“Pasti. Tetapi apakah anjing-anjing itu tidak dicari?”
“Sudah, Non. Malah penduduk sudah
diinstruksikan begitu melihatnya supaya ditangkap
dan dibunuh sekalian!”
“Instruksi? Instruksi dari siapa?”
“Polisi, Non.”
“Hem. Lalu?”
“Yah, jelas repot, Non-Ada begitu banyak anjing
di sekitar sini. Sukar untuk memastikan mana anjing
yang terlibat,mana yang tidak...”
“Kok anjing-anjing itu bisa buas begitu ya? Tega-
teganya menggerogoti mayat manusia?”
“Saya juga sempat berpikir begitu Non. Tetapi
yah, namanya juga anjing lihat darah atau daging
segar...!”
Iya juga. Dan setelah merasa cukup
memperoleh keterangan yang ia inginkan, Maria
kemudian memotret tempat mayat ditemukan dan
masih ada sisa-sisa tanda yang dibuat sebelumnya
oleh polisi. Rerumputan di bagian tersebut nyaris
berselimut taburan pasir yang dipergunakan untuk
menutupi ceceran darah di sana sini. Begitu pula
bekas-bekas ban mobil yang tampak diputar paksa
sebelum meninggalkan tempat kejadian, tak luput
dipotret. Si penemu mayat dipotret khusus. Yang ikut
nimbrung memberi keterangan (meski kebanyakan
kacau balau) juga dipotret beramai-ramai... untuk
sekedar menyenangkan hati mereka.
“Jika nanti anjingnya ada yang tertangkap, kami
akan segera antarkan ke rumah Non. Dan...”
Maria dicabik-cabik?
“Tidak, terima kasih. Antar saja langsung ke
kantor polisi!”
*
* *
Saking otaknya asyik memilah-milih bagian
mana dari keterangan tadi yang patut ditulis dan
sekaligus juga menarik untuk dibaca, siang hari itu juga
Maria melenggang masuk ke kantor kepolisian sektor
Lembang... tanpa ingat beli oleh-oleh yang sebelum
nya telah ia rencanakan.
Untungnya sersan satu Solihin sudah pergi
menjalankan tugas lapangan. Kapten Herman
Sumadikun sudah pula kembali ke tempat. Maria
disambut ramah bahkan disuguhi minuman segar oleh
perwira yang juga teman dekat keluarga itu.
“Omong-omong, kapan kita terakhir bertemu,
Maria?”
“Kalau tidak salah, pada waktu papa dan mama
dimakamkan, Om.”
“Ah ya, betul. Hem, bila kuingat mengenai
kecelakaan tragis itu... eh, astaga! Kok aku jadi
melantur begini ya?” sang kapten menepuk-nepuk
jidat sendiri. Dengan wajah menyesal. Lalu, “Beginilah
kalau laki-laki sudah mulai ubanan, Maria. Maksud
akan mengambil hati gadis cantik yang membuatnya
ingin muda kembali, uh, malah jadinya berantakan!”
Maria tertawa renyai.
“Om masih terhitung muda, kok. Tampan lagi!”
“Sayang aku bukan tipe-mu ya?”
“Aku yang salah, Om. Terlambat lahir sekian
belas tahun!”
Kapten Herman tersenyum dikulum. “Sebelum
hidung tuaku ini bertambah panjang, Maria.
Sebaiknya kupanggil Harsoyo untuk bergabung...”
Letnan dua Harsoyo berusia sekitar 35 tahun.
Posturnya kurus kecil. Dengan wajah serta sorot mata
lembut persis guru mengaji atau pendeta. Sungguh
penampilan yang bisa menipu, mengingat reputasi
maupun unit yang dibawahinya: rampok dan bunuh.
Tetapi jangan ditanya tentang kepercayaan diri
serta bobot setiap perkataan yang keluar dari
mulutnya.
“Mengapa korban ditelanjangi? Jelas untuk
melenyapkan petunjuk atau barang bukti pakaian
serta identitas lainnya!”
“Hanya melengkapi kerusakan. Tak lebih dari itu!”
“Jadi?”
“Robekan menganga di lambung korban adalah
penyebab ajal datang menjemput. Adapun wajah yang
dirusak bukan tercabik-cabik... dimaksudkan agar
korban sulit dikenali.”
“Kesimpulannya?”
“Si pembunuh ada hubungan dekat dengan
korban. Dan tidak mau mengambil resiko diketahui.”
“Motivasi pembunuhan?”
“Nanti saja. Setelah korban diketahui, siapa.”
“Ada petunjuk?”
“Dari postur dan susunan serta bentuk otot-
otot, kemungkinan besar korban adalah seorang atlit
atau mantan atlit. Angkat besi, atau binaraga.
Selebihnya, masih menunggu hasil otopsi.”
Anjing yang melengkapi kerusakan tadi. Apakah
instruksinya tidak cukup dengan ditangkap saja. Tidak
langsung dibunuh?
“Toh pada akhirnya juga harus dibunuh!”
“Mengapa?”
“Anjing-anjing itu, Nona Maria. Sekali sudah
menikmati lezatnya darah atau daging manusia, maka
tidak mustahil mereka akan menjadi makhluk-
makhluk buas yang dapat membahayakan manusia-
manusia hidup di sekitarnya. Lagi pula, isi perut
makhluk-makhluk itu harus segera diteliti di
laboratorium...”
“Untuk?”
“Memastikan sesuatu. Baru berupa dugaan.
Tetapi bila benar, maka si pembunuh adalah manusia
berbahaya dan berperilaku mengerikan!”
“Dasar dugaan?”
“Jantung korban diketahui lenyap. Ada petunjuk
kuat, bukan ulah dari anjing-anjing itu.,..”
“Artinya, si pembunuh...”
Disertai senyuman tipis, letnan dua Harsoyo
memberitahu dengan suara lembut. “Bila kebetulan si
pembunuh berada di didekatmu jagalah jantungmu
baik-baik, Nona!”
“Bila kebetulan si pembunuh berada di
dekatku...” Maria membalas tantangan Harsoyo
dengan seringai lebar. “Yang pertama-tama Ingin
kulihat, apakah ia cukup menarik untuk dikencan
Kapten Herman yang diam saja dari tadi,
tertawa terbahak.
*
* *
SEMBILAN
KARENA tidak tahu pasti pukul berapa Ronald
pulang ke rumah, sisa hari itu dihabiskan Maria
dengan berkeliaran ke pusat kota mencari bahan-
bahan berita yang menarik untuk ditulis. Dengan
bersemangat ia menerima ajakan tim buru-sergap
kepolisian sektor Bandung Tengah menciduk dua
orang buronan yang diketahui bersembunyi di rumah
seorang penyanyi club malam, tidak jauh dari komplek
pelacuran Saritem.
Sempat terjadi baku tembak yang singkat
sebelum salah seorang penjahat yang bersenjatakan
revolver kaliber 36 terjerembab mati. Penjahat
satunya lagi berhasil diringkus. Tetapi sempat melukai
lengan seorang polisi wanita yang ikut dalam operasi
penyergapan itu, sewaktu si penjahat yang bersenjata
kan golok berusaha melarikan diri. Lukanya tidak
seberapa, namun toh perlu perawatan segera. Maria
kemudian ikut mendampingi ketika polwan yang
terluka itu dibawa ke rumah sakit
Selagi menunggu di depan ruang gawat darurat.
Maria mendengar suara seseorang dengan sapaan
yang khas. “Hai, cantik!”
Bahkan sebelum berpaling, Maria sudah dapat
menebak siapa orang yang menyapa. Sersan satu
Solihin tampak mendatangi dari arah koridor dengan
wajah riang gembira. “Menunggu siapa, Maria?” ia
bertanya enteng sambil melirik ke pintu ruang gawat
darurat yang tertutup rapat.
“Kalau calon suami, air mataku pasti sedang
tersibak!” jawab Maria sama gembiranya. “Anda
sendiri habis dari mana Sersan?”
“Kamar mati. Untuk memastikan mayat itu tidak
buru-buru minggat sebelum memperkenalkan diri!”
“Mayat yang mana?”
“Yang ditemukan subuh tadi. Memangnya ada
berapa mayat yang ingin kau langkahi hari ini, eh?”
“Barusan tadi ada satu lagi,” jawab Maria, la
ceritakan sekilas mengenai baku tembak yang
keseluruhan adegan terekam utuh dengan tustelnya.
Lalu “.. jadi, otopsinya sudah selesai?”
“Laporan lengkap sih belum. Kalau tambal
sulam mayat, sudah!”
Maria langsung tertarik. “Mau mengantarkan
aku ke sana, Sersan?”
Solihin garuk-garuk kepala. Berpikir-pikir.
Tetapi Maria sudah keburu bangkit dari
duduknya. “Ayolah, Sersan. Mumpung Anda ada
untuk menggendong, kalau-kalau nanti aku jatuh
pingsan.
“Kalau urusan menggendongmu sih...” Solihin
menyeringai lebar. Lantas mengikuti Maria pergi
menuju kamar mayat rumah sakit.
Meski bukan sekali dua saja melihat mayat
sehingga lama-kelamaan menjadi terbiasa, namun toh
setelah peti penyimpanan jenazah ditarik keluar dari
tempatnya, Maria dibuat merinding juga. Apa yang
dilihatnya memang benar adalah wajah seorang laki-
laki berambut tebal dan ikal. Tetapi itu adalah seraut
wajah yang nyaris kehilangan bentuk. Sebagian daun
bibir dipenuhi jahitan. Begitu pula kelopak mata serta
tulang pipi sebelah kanan. Namun beberapa goresan
dibiarkan tetap sebagaimana adanya, termasuk
robekan menganga di pelipis kiri. Mungkin kalau
dijahit juga, nantinya yang terlihat bukanlah wajah
manusia. Melainkan wajah sesosok monster yang
mengintai dari dalam liang kubur.
Lambung mayat keadaannya lebih parah lagi.
Jahitannya simpang siur dan jelas dipaksakan. Agar
kulit serta daging-daging lambung dapat menyatu,
walau tidak lagi kembali pada bidang maupun
bentuknya semula.
Tidak tahan melihat berlama-lama, Maria buru-
buru mengajak Solihin keluar dari kamar mayat.
Solihin menurut saja. Namun tidak bisa menahan diri
untuk bertanya. “Lho. Kok tidak jeprat-jepret?”
Seraya berjuang keras untuk menahan perutnya
tidak sampai mengulah, Maria menjawab dengan
nafas tersengah-sengal. “Dipotret pun tidak akan
dimuat. Aku akan pinjam sketsa kalian punya saja...”
“Akan kukopi seberapa banyak kau ingin!”
Solihin berjanji. Lalu berdiri diam, memperhatikan
Maria yang menyandar ke salah satu tiang koridor di
luar kamar mayat. Tampak jelas gadis itu sedang
berusaha mengatur nafas serta peredaran darahnya
yang mendadak kacau balau.
Solihin diam-diam merasa iba. Namun dengan
sengaja ia justru berkata setengah mengolok-olok.
“Ke mana kau ingin kugendong?”
Benar saja. Maria meluruskan tegaknya
seketika. Lantas dengan wajah masam ia berkata
cemberut. “Dengan tanganmu yang suka jahil itu?
Terima kasih, Sersan! Tetapi kalau memang masih
mau membantu, tolong deh aku dipertemukan
dengan dokter yang membehandel mayat tadi!”
“Bagus! Dengan begitu kau akan segera mem-
peroleh apa yang tadi telah kujanjikan di telepon.
Ayolah!”
“Informasi eksklusif?” tanya Maria sambil
berjalan mengikuti.
“Sangat eksklusif. Bila dimuat, kujamin majalah
kalian akan laku keras.”
Semangat Maria kembali dengan cepat.
“Tampaknya menarik...”
“Pasti!” Solihin manggut-manggut meyakinkan.
“Tetapi sebagai informasi pembuka aku akan
memberitahu sesuatu. Tadi sebelum meninggalkan
kantor, aku bertemu seorang rekan sejawat dari resort
Gubang. la menyempatkan singgah dalam perjalanan
tugas ke Bandung. Biasa. Untuk saling tukar informasi.
Dan tahu apa yang ku peroleh, Maria? Mereka
menemukan sebuah mobil misterius terbakar di dasar
jurang, sekitar kampung Cibeureum…”
“Misteriusnya?”
Sambil belok kiri di pertigaan koridor berikut
Solihin menjelaskan “Seumpama mobil itu terjerumus,
pasti ada penumpang, paling tidak pengemudi. Entah
itu terbakar atau sebelumnya sempat melompat
keluar. Tetapi setelah diperiksa dengan cermat, sama
sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada
dua kemungkinan itu. Lebih menarik lagi, mobil
tersobut tidak dilengkapi plat nomor!”
“Pasti mobil curian!” gumam Maria, seraya
menduga duga ke mana arah cerita Solihin.
“Mobil curian, Maria. Tidak akan dibuang begitu
saja tanpa lebih dulu mempereteli perlengkapannya
yang berharga dan laku dijual!”
“Hem. Biarkan aku menebak,” Maria menukas
“Mobil itu dijerumuskan untuk menutupi sesuatu!”
“Begitu pula dugaan kami,” Solihin mengangguk
sependapat. “Nah. Dapat menangkap arah pem-
bicaraanku sekarang? Aku percaya, kau pasti sudah
pergi ke lokasi mayat itu ditemukan...”
Maria seketika teringat pada jejak-jejak ban
mobil yang ia lihat. la pun sudah mempelajari berkat
laporan penemuan mayat, yang diperlihatkan oleh
Letnan Dua Harsoyo. Dalam berkas itu dicantumkan
bahwa dokter pemeriksa mayat di tempat kejadian
menyatakan dengan yakin, bahwa korban diperkira
kan meninggal antara pukul satu dan pukul dua dini
hari.
“Mobil misterius itu!” gumam Maria “Pukul
berapa ditemukan?
“Menurut penduduk setempat sekitar pukul
dua dini hari,” Solihin memberitahu. “Tetapi tidak
lebih dari pukul setengah tiga!”
“Mungkinkah...”
Solihin tak sabar juga akhirnya, la langsung
memotong, dengan bernafsu. “Bukan lagi mungkin,
Maria. Aku malah merasa pasti! Ada dua petunjuk
yang menguatkan. Pertama, jarak tempuh
berkendaraan dari Jayagiri ke Cilimus... apalagi pada
dini hari, tidak akan lebih dari seperempat jam.
Petunjuk lainnya: wajah yang dipermak, pakaian, pasti
juga plus surat-surat pengenal, dipereteli. Berikutnya,
mobil, pasti mobil milik korban dan si pembunuh tidak
berniat memiliki. Karena, jika hanya sekedar untuk
menghilangkan jejak masih banyak cara yang dapat
ditempuh. Tidak harus dengan membakarnya. Apalagi
itu adalah sebuah mobil mewah, pakai AC dan telepon
segala!”
“Hem, baiklah,” Maria manggut-manggut
“Misalkan itu benar mobil milik si terbunuh. Dan bisa
dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui siapa.
Lantas, apa maksud Sersan tadi menyebut-nyebut
semua itu sebagai informasi pembuka?”
“Karena. Maria,” Solihin menjawab dengan
suara dalam “Orang yang kita hadapi, tampaknya
bukan hanya punya otak. Dia pun, bukan sekedar
pembunuh biasa!”
“Maksud Sersan?”
“Persiapkan saja catatanmu.” Solihin menurun
kan tekanan suaranya. “Kita sudah sampai.”
Tanpa disadari Maria, rupanya mereka sudah
tiba di tempat yang dituju, bagian bedah forensik.
*
* *
Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan
masuk, mereka berdua langsung berhadapan dengar
seorang laki-laki berusia sekitar 50-an tahun.
Posturnya gemuk, dengan rambut beruban dan wajah
tampak seperti orang baru bangun dari mimpi buruk.
Lusuh dan tidak ramah. Duduk santai di belakang meja
sambil menikmati sesuatu yang ia kunyah-kunyah
dalam mulutnya.
“Eh, kau lagi Sersan!” ia menyambut dengan
suara berat “Apa ada yang masih kurang pada
keteranganku tadi?”
“Lebih dari cukup, dokter Johan'“ jawab Solihin
disertai seringai lebar “Hanya saja aku kuatir selah
menjelaskan pada temanku ini…”
Maria kemudian diperkenalkan. Jabatan tangan
yang ia terima ternyata lembut dan hangat. Begitu
pula kata-kata yang keluar dan dari celah-celah bibir
tebal tuan rumah. “Andai saja setiap hari ada gadis
semolek Nona mau bermurah hati mengunjungi
padang pembantaianku ini... Ayo. Silakan duduk.
Rileks saja.”
Mana bisa Maria rilek! Karena pintu tembut ke
ruangan sebelah dalam keadaan setengah terbuka.
Memang dari tempat Maria duduk tidak terlihat apa-
apa kecuali lantai yang tampak balas menatap dengan
pandangan dingin. Namun dari pintu itu tercium bau
keras formalin. Dan mengingat siapa tuan rumahnya,
pastilah yang di balik pintu itu ruang bedah mayat.
Sialnya lagi, sewaktu memalingkan muka dari
pintu setengah terbuka itu, ekor mata Maria secara
tidak disengaja memandang ke sebuah piring di atas
meja. Di piring itu terhidang sesuatu yang mem-
beritahu apa yang tadi ia lihat sedang dikunyah-
kunyah tuan rumah dengan nikmat. Tampak jelas
beberapa potong daging bakar, dengan bumbu saos
kental berwarna merah darah.
Dokter Johan rupanya menangkap arah lirikan
ekor mata tamunya. Maka sebagai tuan rumah yang
baik, piring itu ia dorongkan lebih dekat ke depan
Solihin dan Maria. Sambil berkata, gembira. “Jangan
kuatir. Aku tidak menyimpan oven di dalam sana...” ia
gerakkan dagu ke arah pintu ruang bedah. “Ini barusan
dikirim dari restoran Jepang langgananku. Silakan
dicoba. Enak kok”
Solihin menanggapi dengan seringai lebar.
Maria, dengan suara setengah menggigil:
“... terima kasih.”
Karena tidak ada yang menyentuh, dokter
Johan menarik kembali piring itu ke dekatnya. Dengan
pisau, ia kerat sepotong daging. “Tak baik dibiarkan
dingin!” katanya kalem. Dan kalem pula, keratan
dimaksud ia selipkan ke mulut dengan memperguna
kan garpu. Lalu seraya mangui ngunyah nikmat, ia
bergumam ceria. “Nah Apa yang bisa kubantu, Nona?”
Karena wajah Maria tampak seperti tidak enak
badan, Solihin segera memaklumi. Sersan polisi itu
batuk-batuk kecil sebentar. Lantas mengambil
inisiatip. “Begini, Dokter. Seperti tadi kukatakan...”
Dan pembicaraan santai pun berlangsunglah.
Diseling sejumlah istilah kedokteran forensik, yang
oleh Maria beberapa kali minta dieja atau diulangi
tuan rumah, agar Maria tidak sampai salah tulis.
Buntut dari pembicaraan akhirnya tiba juga pada
urusan senjata yang dipergunakan oleh si pembunuh.
Di situlah sikap santai dokter Johan menghilang
perlahan-lahan.
“... bagian yang ini, Nona. Terus terang sifatnya,
off-the-record...!” ia berkata dengan wajah serius.
“Argumentasinya?” tanya Maria. Tidak mau
langsung main terima begitu saja.
“Bila dimuat oleh media cetak, masyarakat
umum akan terganggu. Dan aku akan dijagal bukan
lagi sebagai penjagal!”
Maria terpaksa menyerah. “Aku siap
mendengar, Dokter...”
“Apa yang kami perkirakan semula, ternyata
keliru!” dokter Johan berkata dengan wajah murung.
“Alat yang dipergunakan mencacah wajah dan
merobek lambung korban, bukanlah senjata tajam
biasa atau sudah umum dikenal. Melainkan semacam
cakar!”
“Cakar? Apakah maksud dokter, anjing-anjing itu…”
“Memang ada kemiripannya Hanya, yang ini
berlipat ganda lebih besar dan lebih tajam dari cakar
anjing. Dengan kemampuan merobek atau merenggut
bertenaga luar biasa kuat. Apa atau siapa pun pemilik
cakar mengerikan itu, Nona. Satu hal kami merasa
pasti. Bukan anjing-anjing itu, melainkan si pembunuh
lah yang telah mengambil jantung korban.”
Sebagaimana dugaan Letnan Harsoyo, pikir
Maria. Untuk apa? Letnan itu menjawab dengan
seloroh: dipakai jimat, barangkali! Maria tidak bisa
menahan diri mengajukan pertanyaan yang sama
pada dokter Johan. “Untuk diapakan, Dokter?”
Wajah yang ditanya tampak bertambah
murung. Dan nada suaranya sungguh-sungguh,
sewaktu ia berujar getir. “Andai kata kami tahu,
Nona...” menarik nafas panjang sejenak, ia kemudian
meneruskan. “Pernah dengar tentang penganut ilmu
hitam? Yang memakan bagian tertentu dari tubuh
sesama manusia... untuk melengkapi sebuah upacara
ritual?”
Maria diam. Kerongkongannya seperti tersumbat.
“Itulah yang kumaksudkan tadi, Maria...”
terdengar Solihin bergumam. Lirih. “... pemuja setan!”
Dari arah pintu ruang bedah, bau formalin
tercium semakin keras.
Bau yang sangat tajam
Dan menusuk.
SEPULUH
MALAM sudah mulai jatuh ketika Maria ke
Jayagiri. Ronald sendiri yang membukakan pintu. Dan
langsung menyambut Maria dengan pelukan hangat.
“Aku senang kau kembali Maria. Bukan ke rumahmu
yang di kota…”
Pelukan hangat dan ucapan Ronald tersebut membuat
jantung Maria bergetar. Sebagai respon ia mencium
wajah serta bibir Ronald sepuas hati. Sampai Maria
tidak tahan sendiri lantas berbisik mesra di telinga
Ronald. “Katakanlah, sayangku bahwa kau
mencintaiku. Atau angkatlah aku ka tempat tidur!”
Ronald mengambil pilihan kedua. Dimana kata-
kata cinta hanyalah sebuah simbol semu. Atau sekedar
bumbu pelengkap cita rasa saja. Maria tidak berani
bahkan juga merasa tidak berhak menuntut. Karena
Ronald memang mampu mengimbangi tuntutan itu
dengan cara Ronald sendiri. Terbukti ketika erosi
mental yang sempai mengguncang kepercayaan diri
Maria sepanjang hari itu, dengan segera sudah
melebur bersama sensasi demi sensasi yang masih
saja membuat Maria terpesona.
Maria menunggu sampai pesona tersebut
meninggalkan dirinya perlahan-lahan. Baru kemudian
ia mendesah hati-hati.
“Ronald?”
Ronald menggeliat di bawah selimut. “Hem?”
“Bagaimana, kau mendadak bisa?”
Ronald sempat terdiam. Agak kaget dengan
pertanyaan yang diluar sangkaan itu. Maria sendiri
sudah berniat minta maaf dan menarik kembali
pertanyaannya. Namun Ronald sudah keburu
membuka mulut.
“Apakah itu penting?”
Jadinya Maria terus.
“Penting benar sih tidak. Tetapi karena
lompatahmu begitu jauh dan tiba-tiba pula. mau tidak
mau membuat diriku bertanya-tanya!”
Diam lagi. Kemudian, “... berkat kau juga, Maria.”
“Aku?” Maria tertawa. Kecut. “Kau tahu sendiri
ketika kita melakukannya pertama kali, Ronald.,
Bagaimana aku telah berusaha keras untuk
mendorongmu. Dan bagaimana ketika pada akhirnya
kau sampai, ternyata kau memanipulasi situasinya
“Pada waktu itu memang betul. Namun
setelahnya Maria, aku begitu menyesal. Lalu aku
mencambuk diriku sendiri dengan apa yang selalu kau
Ingatkan. Bahwa jika aku ingin berubah, perubahan itu
harus datang dari dalam diriku sendiri. Bukan
perjuangan yang mudah. Tetapi hasilnya, kau sudah
tahu sendiri...”
“Sesederhana itu?” Maria bergumam, tak puas.
“Benar.” sahut Ronald dengan suara setengah
mengantuk. “Sesederhana itu!”
Setengah tidak sadar. Maria langsung
menceletuk. “Aku tak percaya!”
Dalam rebahnya, sepasang kelopak mata
Ronald yang sudah mengatup ingin tidur, serempak
membuka. Nyalang. Bukan untuk memandang ke arah
Maria. Melainkan ke langit-langit kamar tidur. Seperti
tadi. Maria diam-diam menyesali ucapannya yang
lepas kendali, la menggeser posisi rebahnya,
menghadap ke arah Ronald. Pada waktu bersamaan,
Ronald kebetulan berbuat hal yang sama pula. Dua
pasang mata mereka mau tidak mau saling beradu,
tidak terelakkan...
Maria dengan sorot mata menyesal
Ronald dengan sorot mata lurus. Menghunjam.
Sementara Maria terpaksa menelan ludah
untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak
kering, bibir Ronald perlahan-lahan mengguratkan
senyuman tipis. Senyum beribu makna.
“Masih ingat ketika pak Jayus memutuskan
pindah dan menetap di Jakarta sebagai distributor
sayur-mayur yang kita pasok?”
Maria manggut saja. Karena perasaannya
mendadak tidak menentu.
“Pada waktu itu,” Ronald melanjutkan. “Dia
bilang aku sudah belajar lebih dari cukup sehingga dia
yakin betul aku cukup mampu menggantikan
tempatnya. Aku sempat mengajukan keberatan,
bukan?”
Lagi Maria manggut-manggut. Tetapi sudah
mulai menangkap ke mana arah pembicaraan Ronald.
Maria ingat betul bagaimana Ronald memprotes keras
sewaktu Maria menerima usul Jayusman begitu saja.
Ronald mengatakan bahwa Maria telah berlaku
ceroboh tanpa memperhitungkan resiko yang
mungkin terjadi. Maklum Ronald belum lama
memasuki kehidupan Maria. Maria belum tahu sejauh
mana loyalitas Ronald, padahal yang dipertaruhkan
Maria adalah usaha yang telah dijalani turun temurun.
Menyangkut modal yang bukan sedikit pula. Tangkisan
Maria ketika itu sederhana dan pendek saja.
“Kepercayaan Ronald Adalah kunci menuju sukses!”
“…kini. Maria.” terdengar gumam lembut
Ronald di sebelahnya “Perkenankan aku mengutip
kata-kata mutiaramu itu. Dengan komposisi yang
sedikit berbeda…” Ronald berhenti sejenak Memberi
kesempatan pada Maria untuk mencamkan apa yang
akan ia ucapkan. “Kepercayaan Maria.” Ronald
berkata, “Adalah kunci menuju kebahagiaan!”
Marialah yang terdiam sekarang.
Tetapi tidak ada nada kemenangan dalam suara
Ronald sewaktu la kemudian berujar lembut “Sudah
waktunya tidur, Maria…” Bibir Maria di kecup. Lembut
juga. “Bermimpilah yang indah!“
Ronald kembali menelentang di bawah selimut.
Sepasang kelopak matanya dengan segera
sudah mengatup kian rapat. Dan beberapa saat
berikutnya, Ronald sudah mendengkur.
Enak. Dan pulas
*
* *
Kelelahan pisik sebenarnya sudah membujuk
Maria agar segera mengikuti jejak Ronald. Tetapi
pikiran menolak. Bagaimana pun kelopak mata
dipejam-pejamkan, toh akhirnya terbuka juga.
Menoleh ke samping, Maria sempat iri pada Ronald
yang begitu cepat tertidur. Nyenyak pula lagi.
Maria bergeser sedikit untuk dapat menggapai
tombol lampu meja di sebelah tempat tidur. Nyalanya
diperbesar sedikit. Cukup untuk memuaskan hati
Maria dapat memperhatikan wajah lelaki yang
dicintainya itu. Beberapa saat lamanya Maria
setengah rebah dengan salah satu siku terlipat di
permukaan kasur. Inilah pertama kali ia
memperhatikan wajah Ronald sebegitu dekat dan
leluasa. Lantas kini mengerti, mengapa.
Dagu. tulang pipi maupun tulang hidung Ronald
tampak kokoh dan memperlihatkan lambang
kejantanan. Akan tetapi telinganya sedikit kecil
dibanding telinga umumnya lelaki seusia dan sepostur
Ronald. Lalu kulit wajah, alis serta bulu mata. dan
terutama garis-garis bibir Ronald sedemikian halusnya
sehingga tampak begitu feminin. Sungguh sebuah
kontradiksi unik, yang justru membuat wajah Ronald
memancarkan daya tarik seksuil tersendiri.
Dari apa yang sudah dialami Maria sendiri, serta
mengingat siapa Ronald sebelumnya, kiranyadaya
tarik Ronald itu telah menebar benih benih birahi di
dua arah… dengan atau tanpa disadari oleh Ronald
sendiri. Ya pada wanita sekaligus juga pada kaum pria,
khususnya pria berdarah homo.
Maria mengecup kehalusan pipi dan bibir
Ronald dongan penuh kasih; dan tanpa mengusik sang
kekasih tercinta dari tidurnya yang demikian pulas.
Cahaya lampu meja ia kecilkan seperti semula dan
kembali mencoba untuk tidur.
Gagal lagi!
Pikiran Maria masih terus menolak. Memang
benar sebelum tidur Ronald memperlihatkan sikap
yang sedemikian manis dan mesra. Tetapi sorot
matanya yang lurus menghunjam sebelum itu masih
saja mengganggu Maria. Selama ini Ronald tidak
pernah menatap Maria seperti itu. Jangankan dengan
sorot menghunjam. Menatap lurus dan terang-
terangan pun Ronald tampak segan. Kalau pun pada
akhirnya ia punya keberanian, di balik sorot mata
Ronald hanya tersembunyi dua hal saja. Persahabatan
yang tulus. Lalu sesekali... yang membuat Maria sering
rikuh, perasaan hormat.
Namun hari ini sudah dua kali Ronald menatap
Maria dengan lebih berani, lebih terang-terangan
Pertama, ketika mereka mengobrol di dekat tungku
pendiangan. Sorot mata Ronald pada dini hari itu
menghunjamkan birahi yang langsung membangkit
kan gairah Maria dengan hebat. Tetapi yang barusan
terasakan benar menimbulkan akibat lain yang sangat
jauh bertolak belakang. Apa yang dilihat Maria tak
ubahnya sepasang mata yang mengintai dari balik
kegelapan dimana kita terperangkap. Menghujamkan
kemarahan yang sangat dari sang angkara murka yang
siap untuk menerkam lalu mencabik-cabik dengan
buasnya. Sorot mata Ronaid yang barusan itu tampak
begitu asing. Dan menakutkan.
Dimana letak kekalahan yang telah diperbuat
Maria sehingga pengaruhnya sedemikian besar
terhadap Ronald? Apakah pada pertanyaan itu sendiri,
atau cara mengucapkannya?
Oh, oh. Maria yang malang dan tidak tahu diri!
Ronald sudah melimpahi dirimu mimpi-mimpi indah
dan sensasional. Ronald pun telah berubah, bahkan
jauh melebihi apa yang kau harapkan. Dan apa yang
kau berikan padanya sebagai ucapan terima kasih?
Melukai hatinya! Dengan ucapan yang seenak perut
pula: “Aku tak percaya!”
Jelas sudah, bukan hanya Maria. Ronald pun
punya ego. Tetapi baiklah. Untuk menjaga agar segala
sesuatunya tetap berjalan dengan baik dan benar
tanpa mempersoalkan ego siapa yang lebih tinggi,
Maria akan mengalah. Cukuplah sudah pengalaman
pahitnya selama ini gara-gara mempertahankan ego
sendiri. Hatinya pun sudah cukup terluka setelah ia
ditinggalkan oleh Parman, menyusul kemudian
Effendi. dan... Untuk saat ini dan semoga seterusnya
(Maria berjanji pada diri sendiri), Ronald adalah satu-
satunya dan segala-galanya. Bila Ronald pun akhirnya
pergi pula, bukan hanya akan terluka saja. Maria juga
akan habis!
Dan, mumpung hidup belum tamat dan masih
ada yang bisa dinikmati, tidurlah sekarang. Begitu
bangun besok pagi...
Kelopak mata Maria memberat dan terus saja
memberat.
Lalu, di tengah transisi dari alam nyata ke alam
mimpi, sesuatu terdengar bergerak di sekitar Maria.
Suara langkah kaki mundar-mandir, disertai desahan
desahan nafas berat yang aneh dan menakutkan. Juga
terdengar suara pintu... entah dimana, dibuka lalu
ditutupkan oleh seseorang.
Dengan mata masih terasa memberat, tangan
kiri Maria meraba-raba ke sebelahnya. Seraya
berbisik-bisik cemas. “Ronald? Bangunlah, Ronald!
Apakah kau juga mendengar...”
Tidak ada sosok tubuh yang tersentuh oleh jari-
jemari tangan Maria. Apa yang tersentuh ketika ia
meraba dan meraba lagi, hanyalah sprei yang terasa
kusut dan dingin. Kelopak mata Maria pun lantas
membuka takut-takut. Menoleh ke samping, kasur di
sebelahnya memang dalam keadaan kosong. Bingung
dan semakin takut, Maria memanggil dengan suara
tertahan di tenggorokan. “Ronald? Kemana kau
Ronald?!”
Sepi.
Tidak ada sahutan dari Ronald. Bahkan suara-
suara aneh tadi pun mendadak hilang begitu saja.
Tidak terdengar apa pun, terkecuali desahan nafas
Maria sendiri. Yang keluar dengan susah payah,
sehingga Maria jadinya terengah-engah.
Oh, oh. Pasti Maria telah bermimpi. Dan Ronald
pasti masih berbaring di sebelahnya. Dalam tidur yang
pulas. Kalau tidak percaya, bangunlah sekarang juga,
Maria. Bangun dan lihat!
Namun ketika Maria berusaha untuk bangkit,
sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Luar biasa
lemas. Seolan-olah ia seperti mengalami kelumpuhan
total yang datangnya sangat tiba-tiba. Hal yang
sedemikian itu biasa terjadi pada orang yang sedang
tenggelam dalam lautan mimpi buruk Dan mimpi
Maria sedemikian buruknya.
Coba saja! Di tengah suasana sepi yang
menekan dan semakin menekan itu, telinga Maria
seakan menangkap suara bisikan sayup-sayup sampai.
“Tidurlah, Maria... tidurlah...!”
“Tidak Aku tidak mau!” Maria merintihkan
penoiakan. “Aku harus terjaga sekarang juga Harus!”
“Aku bilang tidur, Maria. Ini adalah perintah.
Ayo, Maria. Tidurlah...!”
Bisikan sayup itu sepertinya suara bisikan
Ronald. Suara yang mengandung daya hipnotis. Dan
membuat Maria tidak kuasa menolak. Terbukti
kelopak matanya kembali memberat dan semakin
berat saja. Yang aneh, alam bawah sadar Maria masih
tetap berfungsi. Alam bawah sadarnya terus saja
terjaga. Bersama waktu yang juga terus berjalan. Tidak
dapat dihentikan oleh apapun juga.
Alam bawah sadar itu sepertinya menunggu.
Entah apa yang ditunggu, Maria tidak tahu bahkan
juga tidak mampu untuk memikirkannya. Yang pasti,
menunggu.
Dan saat-saat menunggu yang semacam itu
tidak hanya terasa sangat membingungkan serta
melelahkan.
Tetapi juga, menakutkan.
*
* *
SEBELAS
ERWIN GAUTAMA meninggalkan hotel
Papandayan dengan perasan gembira sekaligus tak
sabar. Peragaan tunggal rancangan-rancangan
terbarunya yang dilangsungkan di lobby hotel
terkemuka itu berjalan lancar, malah boleh dibilang
sukses. Dari sekitar 50-an model busana yang ia
lempar ke panggung, lebih dari dua per tiganya
langsung terjual atau dipesan. Baik oleh pemakai
perorangan maupun oleh pelanggan yang biasa
mengambil dalam partai besar. Asesoris pelengkap
jangan dikata lagi. Erwin benar-benar kehabisan stock
Tetapi para pelanggan bersedia menunggu.
Untuk semua itu, seusai penunjukan terpaksa
harus menyediakan waktu luang satu jam untuk
bermanis-manis muka di hadapan para pelanggan
setianya Terutama, ibu Walikota. “... Bung Erwin, kan
tahu sendiri bagaimana si Mia. Enam model yang tadi
diambil si bungsu itu, paling banter dalam satu dua
minggu akan habis terpakai. Selelahnya, dia pasti akan
ribut lagi Maka...”
Padahal, betapa sudah tidak sabarnya Erwin
untuk segera angkat kaki dari hadapan mereka semua.
Untungnya dalih kelelahan pisik dapat mereka terima
dengan penuh pengertian. Kecuali, Leonardo.
Peragawan andalannya untuk busana-busana pria
eksekutif malam itu, terus saja menempel Erwin,
bahkan sampai ke tempat parkir.
Aku tahu kau masih dalam kondisi fit!” anak
muda kelahiran Maluku yang berpostur gagah itu
berkata mendesak. “Kau sendiri tadi sudah bilang oke.
Dan aku sudah memesan kamar!”
“Batalkan sajalah, Leon.” Erwin mengusulkan
“Besok-besok toh masih bisa...”
“Menunggu lebih lama lagi, Erwin, aku bisa gila!
Kau begitu dibuat sibuk oleh koleksi-koleksi terbaru
mu. Sehingga kau melupakan bahwa sudah dua
minggu kita tidak tidur bersama. Ayolah kekasih, kita
masuk lagi ke dalam. Satu jam saja pun jadilah!”
Erwin memutar kunci kontak mobilnya dengan
tak acuh “Maaf, Leon. Aku...”
“Seperempat jam!”
Erwin tertawa mendengarnya. “Seperempat
jam? Apa maksudmu kau akan langsung menembak
bahkan sebelum celanaku dilepas, eh?”
“Aduh, Erwin. Kumohon...” suara Leonardo
terdengar bergemetar.
Erwin mengeluarkan kendaraannya dari blok
parkir Tetapi Leonardo masih saja menempel di
sebelah luar. Sambil menuduh. “Kau ada janji dengan
pacarmu yang lain, ya? Pasti. Pasti itulah sebabnya…”
Erwin sempat tertegun. Namun mobil terus saja
ia jalankan menuju pintu gerbang parkir. Dan di
belakangnya terdengar jeritan marah Leonardo.
“Terkutuklah kau, Erwin. Dimakan setanlah
engkau hendaknya…!”
Penjaga parkir menerima kartu yang disodorkan
Erwin seraya menggeleng-geleng prihatin.
“Maaf, Om.” Ia menggumamkan komentar.
“Ucapan teman Anda itu sungguh berbahaya…”
Erwin menjawab dengan senyuman. “Biarkan
saja.”
“Tetapi, Om. Dimakan setan…”
Si penjaga parkir tidak meneruskan omongan
nya. Mobil Erwin sudah berlalu ke jalan raya. Si
penjaga parkir ganti menoleh ke laki-laki satunya lagi.
Yang tampak mundar-mandir dengan tinju terkepal
Disertai sumpah serapah. “Haram jadah terkutuk! Apa
dia pikir aku sudi dikhianati begitu saja? Biarlah setan
jadi saksiku…”
Si penjaga parkir mengurut dada. Seraya
berucap, kuatir. “Astagfirullah!”
*
* *
Erwin terus berpacu menembus kegelapan
malam dengan sedikit penyesalan menggurat dalam
hati. Tidak seharusnya ia berlaku sekasar itu pada
Leonardo. Karena Leonardo adalan peragawan
pavoritnya. Dalam kondisi bagaimanapun, Leonardo
senantiasa tampil antusias dan penuh kepercayaan
diri. Pernah karena kurang menjaga kondisi, sakit
maag anak itu kambuh setengah jam menjelang naik
panggung. Erwin sudah menyarankan Leonardo
supaya pulang ke rumah, berisitirahat. Masih ada
peragawan lain yang diharapkan dapat menggantikan
tempatnya, sementara honorarium Leonardo tetap
akan dibayar penuh. Akan tetapi Leonardo menola
“Aku tidak mau mengecewakan pelanggan-
pelangganmu,” ia berkata teguh. “Beri aku tempo
beberapa menit...”
Dan dengan sedikit pulasan kosmetik untuk
menutupi kepucatan wajahnya, waktu itu Leonardo
benar-benar tampil gemilang. Lima jenis busana yang
diperagakannya, langsung terjual habis.
Leonardo juga punya potensi. “Bagaimana kalau
pola peragaan kau rubah begini...” Selama beberapa
bulan terakhir, Erwin sudah memantau bakat
terpendam anak itu sebagai manajer pemasaran.
Tampaknya Leonardo bakal mampu menggantikan,
atau paling tidak mendampingi Pardomuan Sianipar
yang belakangan ini konsentrasinya semakin terpecah
dua: pada pekerjaan, dan… agaknya sudah malah lebih
tercurah pada sang isteri yang terus menerus keluar
masuk rumah sakit untuk menjalani cuci darah.
“Aku senang dan siap menerima penawaranmu
itu...” Leonardo menanggapi positip gambaran Erwin
untuk mengorbitkannya ke masa depan yang lebih
menjamin. “Tetapi ketahuilah. Yang sesungguhnya
lebih kutunggu-tunggu adalah, kapan kau akan
mengajakku hidup serumah?”
Itulah salah satu segi kekurangan Leonardo
Masih tidak mau memahami, bahwa Erwin tidak
bersedia terikat dan hidup bersama dengan orang
yang tidak dicintainya. Padahal Erwin sudah beberapa
kali mcmberitahu dengan terus terang.
“Aku pernah jatuh cinta. Dan itu adalah yang
pertama namun juga sekaligus yang terakhir!”
Orang lain boleh saja geleng-geleng kepala.
Namun bagaimana pun Antonius telah mengecewa
kannya. Antonius masih saja satu-satunya kekasih
yang mampu melumpuhkan hati Erwin sampai terkulai
tak berdaya. Dipukuli sampai terluka pun oleh
Antonius yang memang emosionil dan ringan tangan
itu, Erwin tetap sabar dan setia. Asal lelaki yang satu
itu tidak meninggalkannya. Dan ketika toh pada
akhirnya Antonius pergi juga, Erwin tidak menyalah
kan. Yang disalahkan Erwin tetap dirinya sendiri.
Dialah yang membawa Ronald ke pesta tahunan yang
menyakitkan itu.
Suatu hari mobil Erwin mogok mendadak.
Kebetulan ada bengkel yang letaknya berdekatan. Di
sanalah Erwin pertama kali berkenalan dengan
Ronald. Dan dengan matanya yang jeli, ia langsung
mengetahui bahwa si anak pemilik bengkel ternyata
berdarah homo seperti dirinya. Tidak tega melihat
anak berpenampilan lembut dan manis itu harus
berkubang di kolong mobil dengan sekujur tubuh
dikotori minyak pelumas bercampur debu, Erwin
kemudian mengajak Ronald ikut hadir dalam pesta
topeng yang diadakan sekali dalam setahun oleh
kelompok mereka. Maksudnya, untuk diperkenalkan
pada seorang pengusaha keroseri yang memang
sedang mencari seorang gay pemula sebagai
nyamikan penyegar Eh, tak tahunya ketika semua
topeng dibuka oleh masing-masing pasangan melantai
Ronald justru berhadapan dengan Antonius. Dan
semenjak hari itu, Antonius tidak pernah lagi
melepaskannya Erwinlah yang kemudian tersingkir
bersama penyesalan yang tak kunjung habis.
Sesekali Erwin memang masih didatangi
Antonius. Tetapi setelah menyadari kedatangan
Antonius itu hanya sebagai pelarian akibat bentrok
dengan kekasih barunya. Erwin dengan berat hati
mengambil keputusan.
“Aku mencintaimu, Anton, dan selamanya akan
tetap begitu!” ia berkata pada kekasihnya “Namun
tidak berarti aku bersedia dijadikan lubang
pelampiasan sementara saja. Pergilah, Anton. Dan
kapan kau ingin menemuiku lagi, camkan dalam
hatimu, bahwa kedatanganmu itu nanti harus untuk
selama-lamanya!”
*
* *
Erwin menerobos lampu merah di perempatan
jalan Cipaganti dengan tak sabar la sudah semakin
dekat ke rumah. Semakin dekat dengan Antonius
tercinta!
Rasanya Erwin bagaikan bermimpi ketika di
tengah pertunjukan tadi ada telepon untuknya.
Semula ia sempat mengomel setelah mengetahui
bahwa si penelepon adalah mang Kurdi, pelayannya.
Tetapi sebelum Erwin memutuskan hubungan
telepon, suara mang Kurdi mendadak digantikan oleh
suara orang lain. “Hallo, sayangku. Pulanglah segera.
Aku tidak tahan menunggu!”
Hanya satu orang yang berani mengganggu
Erwin yang lagisibuk dengan bisnis, dan main perintah
pula. Dan itu, benar-benar suara Antonius. Suara
serak-serak kasar yang tidak akan pernah hilang dari
sanubari Erwin. Suara yang seakan bardaya magis dan
sering membuat Erwm lumpuh tak berdaya. Tadi di
belakang panggung pun, Erwin sempat terpesona satu
dua detik. Sampai ada seorang entah siapa menegur
nya dengan berseloroh. “Ada hantu lewat, Om?”
Tapi setelah menenangkan deburan jantung-
dengan susah payah, barulah Erwin sanggup
menjawab. Itu pun dengan suara lemah. Patah-patah.
“Anton! Setelah sekian tahun. Apa yang…”
“Kau pasti sudah tahu mengapa, Erwinku
terkasih!”
“Oh ya. Ya. Sudah beberapa bulan ini kau tidak
kelihaian di club kita. Aku dengar… dia meninggalkan
mu…”
“Untuk selamanya, Erwin. Untuk selamanya.
Kau paham. Bukan?”
Erwin memang sudah mendengar keputusan
Ronald untuk meninggalkan dunia mereka. Terapi
yang dijalani Ronald bahkan sering jadi bahan
pergunjingan. Kebanyakan, menertawakan. Tetapi,
satu dua orang, sempat dibuat berpikir-pikir
“Untuk siapa yang selama-lamanya itu Anton?”
Erwin bertanya, ingin kepastian
“Untukmu, sayangku. Dan bila kau nanti pulang,
kau tidak akan pernah lagi melihat aku pergi pada yang
lain!”
Erwin percaya.
Sepenuhnya percaya, kata demi kata. Memang
kalimat dan cara Antonius mengutarakannya
terdengar agak aneh. Masih tetap romantis, tetapi
bukanlah kebiasaan Antonius beraneh-aneh. Pasti
dikarenakan hatinya yang dibuat sangat terluka oleh
Ronald, pikir Erwin, sambil diam-diam merasa iba.
Lantas membathin. “Mungkin hatinya belum
sepenuhnya kembali. Tetapi lambat laun, sebagian
yang belum kembali itu akan kuraih sedikit demi
sedikit. Yang penting...”
“Erwin?”
“Aku masih di sini, Anton...”
“Lho. Aku kira kau sudah dalam perjalanan!”
Erwin tersenyum.
“Sebentar lagi, Anton. Sebentar lagi. Aku
masih...” dengan hati-hati dan kata-kata terpilih,
Erwin menjelaskan situasi yang ia hadapi dan
memohon dengan sangat agar Antonius mau
mengerti.
“Yang penting, kau pulang!” jawab Antonius
datar.
“Pasti. Dan, Anton?”
“Heh?”
“Begitu mang Kurdi selesai menyuguhi
minuman, bilang dia supaya langsung pergi tidur.
Supaya kita…”
Antonius tertawa serak. “Aku kira saat ini dia
malah sudah terbang ke alam mimpi!”
*
* *
Erwin membelokkan mobilnya memasuki
halaman sebuah rumah mewah bertingkat di kawasan
perumahan elit Ciumbeuleuit. Pintu gerbang rupanya
dibiarkan dalam keadaan terbuka karena mang Kurdi
tahu dia bakal segera pulang. Tetapi di halaman rumah
tidak tampak adanya mobil. Pastilah Antonius datang
pakai taksi, pikir Erwin sambil memperhatikan
rumahnya yang tampak sepi-sepi saja dari luar. Tetapi
lampu ruang tamu terang benerang. Tidak ada orang
di dalam ketika Erwin membuka pintu, yang juga
rupanya dibiarkan tidak terkunci.
Namun tanda-tanda kehidupan masih saja tidak
kelihlatan, walaupun Erwin sudah masuk dan
menyalakan lampu ruang tengah. Erwin berjalan
menuju pintu kamar tidur yang tertutup karena
menduga Antonius pasti menunggunya di situ dengan
maksud membuat surprise langsung di tempat tidur.
Belum juga sampai ke pintu yang ditujunya, telinga
Erwin tahu-tahu menangkap suara bisikan serak.
Terdengarnya seperti sayup namun cukup jelas di
telinga. “Aku di sini, Erwin…!”
Erwin menoleh ke pintu kamar berseberangan.
Pintu kamar kerjanya dari mana suara itu terdengar,
tampak sedikit terbuka. Suasana di dalam tampak
remang-remang. Rupanya lampu utama tidak
dinyalakan. Jika bukan lampu duduk pastilah yang
dinyalakan oleh Antonius lampu bias meja kerja.
Pernah Antonius merebahkan lalu meniduri Erwin di
atas meja berlapis kaca bias itu, tetapi ketika
kemudian kacanya pecah, mereka lalu pindah ke
lantai.
Oh, oh. Agaknya Antonius ingin bernostalgia!
Dengan jantung berdebar hangat. Erwin
melangkah masuk ke ruangan yang remang-remang
itu. Memang benar, lampu biaslah yang menyala
Cahayanya yang redup menerangi kursi kerja berjok
tinggi. Di sandaran kursi mana tampak lengan-lengan
telanjang seseorang yang duduk diam-diam tanpa
bergerak.
Eh, apa pula maksud Antonius?
Erwin berjalan mendekati kursi yang posisinya
membelakangi pintu itu.
“Anton?”
Kursi kerja berputar perlahan-lahan. Sosok yang
menempatinya tempat duduk dengan kaku. Bias
lampu yang kini membelakangi sosok itu, menimbulan
sinar misterius, dan terasa agak mencekam. Tetapi
lampu ruang tengah yang menerobos masuk lewat
pintu yang barusan dibuka lebih besar oleh Erwin
memperlihatkan dengan jelas sosok tersebut
termasuk seringainya yang tipis namun… kejam.
Erwin tersentak.
Terlebih lagi setelah mengenali sosok siapa ang
menunggu di hadapannya.
“Ya, ampun...” Erwin bergumam tersedak. “Kau
adalah...”
Sayang, Erwin terlambat.
*
* *
DUA BELAS
NUN jauh lebih ke utara Ciumbeuleuit, yakni di
wilayah berbukit-bukit Jayagiri… penungguan yang
melelahkan itu semakin mendekati akhirnya juga.
Maria sama sekali tidak tahu entah berapa lama
waktu menunggu tersebut sudah berjalan ketika
suara-suara tadi kembali terdengar mengisi suasana
sunyi sepi di sekitarnya. Ada langkah-langkah kaki
mendatangi. Langkah yang seperti tersuruk-suruk.
Desahan-desahan nafas berat itu pun muncul lagi,
yang kali ini terdengar seperti terengah-engah.
Lalu terasakan benar adanya sesuatu yang
bergerak di dekat Maria. Sedemikian dekatnya,
sehingga nafas sesuatu itu terasa menyapu wajahnya.
Sapuan nafas yang begitu dingin. Menusuk,
melumpuhkan.
Antara sadar dan tidak. Maria terkejut dan
mencoba membuka kelopak mata. Namun tidak
berhasil. Sementara alam bawah sadarnya dengan
ngeri menyadari bahwa sesuatu itu perlahan-lahan
kemudian duduk diam-diam, mengawasi dirinya
Dengan sorot mata buas. Sorot mata yang haus darah
Maria berjuang keras untuk bangun.
Sia-sia.
Sekujur tubuhnya kembali mengalami
kelumpuhan total. Namun toh rnasih cukup sadar
untuk merasakan adanya tangan yang merayap lalu
menggerayangi lambungnya. Tangan kekar yang
sedingin es. Tangan itu kesat, berlipat-lipat Dengan
jari jemari melengkung, berujung runcing tajam. Jari-
jemari mengerikan itu menggurat pelan menggores-
gores. Seolah olah ingin memastikan sesuatu. Lantas
dengan sebuah renggutan kejam dan sangat tiba-tiba,
jantung Maria pun lenyap sudah.
Yang aneh, Maria tidak langsung mati. Maria
masih bernafas, dan terus bernafas. Malah entah
bagaimana, sepasang matanya mampu terbuka
Membelalak lebar. Melihati muncratnya darah merah
segar.
Darah yang kemudian mengalir sangat deras.
Dan, menggenang kemana-mana.
*
* *
TIGA BELAS
TEROR mengerikan itu diakhiri oleh goncangan-
goncangan keras pada bahu dan lengan Maria yang
pelan-pelan membuatnya terjaga dari tidur yang
sangat melelahkan. Kelopak mata Maria membuka
lebar dan melihat Ronald yang tengah mengawasi
dengan pandangan cemas. Suara Ronald pun
terdengar begitu kuatir. “Kau baik-baik saja Maria?”
Maria menggeliat di bawah selimut. Lantas
dengan nafas masih tersengal-sengal, balik bertanya.
Tidak percaya. “Apakah aku, masih hidup, Ronald?”
Ronald menghela nafas lega. “Itu pertanyaan
terlucu yang pernah kudengar dari mulutmu,”
katanya. “Tetapi setidak-tidaknya, itu juga pertanda
kau masih hidup. Hanya saja, nafasmu barusan
terdengar sangat sesak!”
Masih tak yakin, Maria merayap bangun dengan
susah payah lalu duduk diam-diam. Tanpa
memperdulikan selimut yang meluncur turun
sehingga Maria seketika berbugil ria. Secara naluriah
tangannya bergerak ke arah lambung. Meraba-taba
gemetar. Ah, ah masih utuh. Jantung pun jelas masih
bercokol di tempatnya. Karena sang jantung terasa
berdenyut-denyut teratur dan semakin teratur.
Barulah setelah itu Maria menyadari kebugilannya dan
buru-buru menarik selimut sampai menutup sebatas
leher. “Ya, ampun!” ia mengeluh tersipu sipu. “Kiranya
aku cuma bermimpi. Sudah pukul berapa sekarang,
Ronald?”
“Delapan lebih,” jawab Ronald. “Mau kubuka
kan jendela?”
Maria manggut-manggut dan memperhatikan
Ronald yang sudah berpakaian rapih beranjak dan
tempat tidur dan pergi membuka jendela. Matahari
pagi langsung menyeruak masuk. Lembut dan hangat.
Matahari kehidupan yang ternyata masih bisa
dinikmati oleh Maria. Ronald kembali duduk di pinggir
tempat tidur. Kecemasan sudah lenyap dan wajahnya.
“Lucu, kalau mengingat kelakuanku barusan!” ia
berkata ceria. “Bayangkan saja. Tadi aku sudah mau
berangkat, Dan kupikir tidak ada salahnya mengecup
bibirmu sebelum pergi. Lalu aku pun menyelinap lagi
ke kamar ini. Berjingkat segala!. Maksud agar tidurmu
tidak sampai terusik. Nyatanya, apa!” Ronald
menggeleng-geleng, lucu. “Malah kau terpaksa
kuguncang-guncang supaya bangun. Habis? Tubuhmu
kaku tak bergerak ,gerak. Tetapi nafas terengah-engah
Keras dan pendek-pendek. Mimpi buruk ya?”
“Sangat buruk...” Maria mengeluh. “Bahkan
rasanya seperti bukan mimpi!” Maria lalu mencerita
kan apa yang dirasakan serta dialaminya dalam mimpi.
Cerita mana diakhiri Maria dengan suara resah. “Kau
lihat bukan? Aku bahkan mengingat setiap detail.
Seolah-olah semua itu benar-benar dan barusan saja
terjadi …”
Ronald diam sejenak. Tampak berpikir-pikir.
Kemudian berujar enteng.
“Pasti karena ulahmu juga!“
“Ulahku?”
Ronald mengangguk-“Aku tidak melihatmu
ketika kemarin aku pulang. Lalu bi Nining mem-
beritahu bagaimana kau langsung terlompat begitu
kau mendengar ada seseorang terbunuh tidak jauh
dari rumah ini. Dapat kupastikan sepanjang hari
kemarin kau sibuk melacak berita itu kian kemari.
Melihat mayat yang lambungnya robek menganga,
yang jantungnya lenyap dimakan si pembunuh. Kau
sedemikian menghayati apa yang kau dengar dan lihat
sehingga tanpa kau sadari semua itu lantas terbawa-
bawa dalam tidurmu...”
“Benar juga!”
Maria manggut-manggut sependapat. Lantas
diam termenung. Analisa Ronald memang masuk akal,
namun pikiran Maria mendadak terusik begitu saja.
Ada sesuatu yang salah, tetapi apa? Pikiran itu
melintas sekilas saja. Dan sebelum Maria sempat
menangkapnya, sudah menghilang dengan cepat. Apa
yang salah? Di mana letak kesalahannya?
Selagi Maria mengingat-ingat, Ronald tahu-tahu
sudah mengecup pipinya. Lembut dan hangat.
“Sudahlah!” katanya. “Kau mandi dan segeralah
berpakaian. Ingat, jangan berlama-lama. Aku paling
tidak suka sarapan pagi sendirian!”
Habis berkata demikian Ronald berjalan ke
pintu. Setelah tersenyum ke arah Maria kemudian
berlalu. Maria menatap ke pintu yang ditutupkan oleh
Ronald. Ucapan yang ia dengar barusan membuat
Maria sempat termangu.
“Belum juga jadi suami, sudah berani main
perintah.“ ia membathin. Namun tanpa perasaan
tersinggung. “Apa boleh buat. Jika aku ingin jadi
isterinya, aku harus sudah siap menerima hal-hal kecil
semacam itu!”
Lagi pula. sikap Ronald barusan jelas menunjuk
kan bahwa Ronald sudah semakin banyak berubah.
Dan perubahan tersebut justru membuat Maria
semakin jatuh cinta. Jangan berlama-lama, kata
Ronald, dan Maria harus membuktikan bahwa dirinya
adalah seorang calon isteri yang sesuai dengan
harapan laki-laki yang satu ini. Maka, Maria pun
melemparkan selimutnya dan bergegas masuk ke
kamar mandi, la bersiram cepat-cepat. Cukup
membuat dirinya bersih dan merasa lebih segar.
Kembali ke kamar tidur, Maria pun berdandan
seperlunya saja. Juga cukup sekedar membuat dirinya
tampak cantik di mata Ronald. Karena hari itu belum
ada rencana untuk berkeliaran lagi seperti biasa. Tidak
berapa lama kemudian Maria keluar dari kamar hanya
dengan pakaian rumah saja. Gaun warna hijau lumut
yang sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang
seputih dan sehalus lilin. Berlengan longgar dengan
leher rendah, sehingga lembah payudaranya
terpampang nyata.
Tak ayal lagi, begitu mereaka berdua duduk
menghadapi meja makan. Ronald mencuri lirik sekilas.
Lantas berujar lirih “Kau membuatku segan
meninggalkan rumah…
Maria tertawa bahagia Hangat, ia me-
ngomentari. “Kau, sih. Pagi pagi begini mau kabur.
Memangnya ada yang dikejar?”
Sambil memperhatikan Maria menyendokkan
nasi goreng dan lauk-lauk pelengkap ke piring di
depannya, Ronald menjawab. “Mengedar, tidak.
Mencari, ya!”
“Yang dicari?”
“Panenan kemarin di Cisarua,” Ronald memberi
tahu. “Hanya cukup untuk memasok langganan
langganan kita di pasar induk Caringin dan Gedebage.
Stock untuk pak Jayus masih harus dikumpulkan dari
sekitar Cibodas. Aku harap sore ini juga sudah dapat
dikirimkan ke Jakarta.”
Maria duduk menghadapi piringnya sendai yang
sudah terisi. “Terus menumpuk uang, ya?”
“Aku cuma pekerja,” kata Ronald “Uangnya,
adalah uangmu!”
“Uang kita berdua,” Maria membetulkan.
“Ah. Punyaku tak seberapa. Dibanding dengan...”
“Dibanding dengan punya lelaki lain,” Maria
cepat memotong. Lalu disertai senyum dan kerlingan
nakal, meneruskan. “Punyamu jauh lebih hebat!”
Sejenak Ronald tampak bingung, kemudian
tertawa. “Apa yang tadi malam belum cukup Maria?”
“Tidak akan pernah cukupl” Maria menantang.
“Maka bila nanti kau pergi, janganlah membiarkan aku
gelisah menunggu…“
“Eh, nanti dulu. Kau sepertinya sudah
memutuskan untuk menetap di rumah ini!”
“Apa kau keberatan, Ronald?” Maria memanclng.
Ronald menyeringai. “Bodoh sekali bila aku
keberatan Tetapi, Maria. Agaknya kau melupakan satu
hal.”
“Hem?”
“Pandangan tetangga sekitar. Maria. Coba saja.
Kita hidup serumah. Dan ...” Ronald tiba-tiba berhenti.
Maria pun sengaja diam. Menunggu. Sampai Ronald
mengerti sendiri. Lalu berujar terkejut. “Kau tentunya
tidak bersungguh sungguh, Maria!”
Maria tetap diam. Kini, dengan jantung
berdebar-debar.
“Apakah kau sudah menimbangnya masak-
masak, Maria?”
Sungguh mati, belum. Tetapi Maria nekat.
”... sudah.”
Ronald menatap lurus-lurus ke mata Maria.
Seperti sebelum-sebelumnya, yang ini juga terasa
berbeda. Sorot mata Ronald memang tampak
menyelidik. Namun ada sesuatu di sebaliknya. Sesuatu
yang membuat Maria diam-diam merasa takut. Bukan
takut ditolak. Maria sudah mengenal dan tahu siapa
Ronald. Memang belum keseluruhan. Tetapi yang
selebihnya dapat menyusul kemudian. Karena unsur
terpenting sudah ada. Maria cinta dan mendambakan
Ronald.
Lalu mengapa Maria harus takut?
Dan apa yang membuatnya takut?
Seakan mengetahui apa yang sedang bergejolak
dalam pikiran Maria, Ronald tersenyum samar-samar.
“Ada bagusnya kau mengingatkan, Maria…” ia
berkata. Lirih. “Bahwa suatu hari kelak, aku toh harus
menikah juga. Punya istri, punya keturunan. Hanya
saja, otakku bergerak sedikit lamban. Mungkin karena
selama sekian tahun aku pernah serumah dengan
sesama homo. Lantas …”
Maria cepat menyentuh tangan Ronald.
Mengusapnya dengan kasih sayang. Seraya berujar
lunak dan hati-hati. “Kau bukan lagi seorang homo,
Ronald!”
“Katakanlah kau benar. Atau setidak tidaknya,
aku sudah mulai berubah. Tetapi, Maria. Perubahan
itu masih perlu penyesuaian. Barangkali juga waktu.
Kalau segala sesuatunya datang serba mendadak…”
“Aku mengerti,” bisik Maria, “Yang penting, kau
sudah tahu!”
“Tetapi kau tidak mau hatimu sampai terluka
Maria!”
Maria tersenyum. “Kita sudah saling berterus
terang, Ronald. Sudah lebih terbuka. Itu sudah cukup
membahagiakan diriku!“
“Terimakasih, Maria.”
Namun setelah Ronald pergi meninggalkan
rumah… tentu saja diantar Maria dengan ciuman
selamat jalan. Maria toh kemudian duduk terhenyak
di sebuah kursi. Memikirkan yang barusan telah ia
bicarakan dengan Ronald. Tidak ada rencana sama
sekali. Pembicaran itu muncul dan terjadi dengan
begitu saja. Bukan hanya Ronald. Maria sendiri pun
diam-diam ikut terkejut. Saking terkejutnya ia sampai
berdusta pada Ronald. Nekat saja mengiyakan, ketika
ditanya apakah keputusan untuk menikahi Ronald
sudah dipertimbangkan Maria masak-masak.
Barulah setelah ia ditinggal sendirian, Maria
mulai menimbang-nimbang. Apakah ia benar-benar
sudah siap menghadapi kenyataan tentang keberada-
an Ronald yang tadinya seorang homo. Benar Ronald
sudah banyak berubah. Namun setahu Maria,
perubahan itu baru sebatas di tempat tidur saja. Apa
yang ada di dalam jiwa maupun pandangan hidup
Ronald, Maria masih dalam tarap meraba-raba.
“Adalah mustahil kita mengharapkan perubah-
an total!” terngiang di telinga Maria apa yang pernah
ditandaskan oleh dokter Rinaldi “Kita hanya mampu
merubah dirinya menjadi 60 persen hetero dan 40
persen. Sisanya masih tetap homo.”
Bukan mustahil, yang 40 persen itu di kelak
kemudian hari akan menimbulkan efek samplngan
yang tidak dikehendaki Maria, bahkan juga Ronald.
Oke kalau mereka siap dan mampu mangatasi efek
samplngan itu. Tetapi bila tidak
Di ruang tengah, terdengar bunyi telepon
berdering. Maria mau bangkit, tetapi sekujur
tubuhnya terasa begitu lesu. Pembicaraannya tadi
dengan Ronald, tidak menghasilkan apa-apa. Tidak
ada keputusan yang diambil. Kecuali, bahwa Maria
harus bersabar menunggu. Dan Ronald dibebani
tambahan pemikiran yang tentunya tidak enteng dan
tidak mudah dipecahkannya sendiri. Maria masih
harus berjuang, dan...
Pelayannya muncul di ambang pintu ruang
tengah. “Ada telepon, Non,” Nining memberitahu,
“Dari kantor polisi!”
*
* *
EMPAT BELAS
SOLIHIN yang menelepon dan kemudian juga
dengan senang hati menemani Maria turun ke kota.
Tentu saja dengan seijin komandan. “Jauhkan
tanganmu dari dia, Sersan.” Kapten Herman berkata
dari belakang meja. “Atau pangkatmu kuturunkan.”
“Sungguh hari yang apes buatku ketika itu,”
Solihin menggerutu setelah duduk di dalam mobli
yang dikemudikan Mafia “Padahal aku cuma
bermaksud menangkap kecoa yang hinggap di pantat
rok Nurhayati. Bila kuberitahu lebih dutu, pasti dia
akan menjerit-jerit lintang pukang karena Nurhayati
memang paling takut pada kecoa. Jadi aku langsung
saja main tepuk. Eh, siapa nyana, itu lantas menjadi
tepukan legendaris…“
Maria tertawa. “Mereka bilang tidak ada kecoa
di tanganmu, Sersan!“
“Kecoanya lebih gesit. Keburu terbang. Sumpah!”
“Tetapi polwan itu bilang, kau juga main remas…”
“Habis? Namanya juga kepalang sudah
mendarat!” Solihim mengaku. Setengah membela diri.
“Itu pun cuma sambil lalu “
“Masih untung kau tidak ditembaknya, Sersan.”
“Apa? Masih untungkah ditampar seorang
perempuan di depan banyak orang?”
“Tetapi setidak-tidaknya kalian berdua
kemudian jadi kawan akrab. Malah kau diminta jadi
pendamping mempelai ketika polwan Nurhayati
menikah.”
“Iya juga. Dan, hem. Kalau kuingat-ingat betapa
beruntungnya suami Nurhayati. Bayangkan Maria.
Pinggul Nurhayati...”
“Biarkanlah, itu tetap jadi milik polwan
Nurhayati. Tidak akan pindah ke pinggul suaminya!”
Solihin tertawa bergelak. “Ah, kau ini. Baiklah, baiklah.
Aku memang sudah melantur. Nah, dari mana aku
harus memulai?”
“Aku memang pernah membeli gaun di butik
Erwin Gautama,” Maria berkata. “Tetapi karena
menurutku corak rancangannya terlalu feminin, aku
malah jadi tak suka. Aku dengar-dengar, rencananya
malam tadi ia akan melangsungkan, fashion-show di
hotel Papandayan.”
“Memang jadi. Sukses, malah. Sungguh sebuah
sukses penutup yang sangat tragis!”
“Jadi, ia terbunuh sepulang dari pertunjukan?”
“Betul.”
“Teruskan.”
“Menurut informasi yang kami terima, dapat
kami perkirakan bahwa waktu kematian perancang
busana itu juga seperti waktu kematian korban tak
dikenal yang ditemukan di Jayagiri. Yakni antara pukul
satu dan dua dini hari kemungkinan modus operandi
nya juga sama. Korban dijebak, lalu dibunuh …”
“Tadi di kantor kalian bilang lambungnya
dirobek?”
“Ya.”
“Dan, jantungnya?*
“Juga lenyap, tak berbekas'“
“... oh, oh!”
Solihin menyeringai. “Mulai kehilangan nyali,
eh?”
Maria menggelengkan kepala. “Aku hanya
mendadak ingin marah pada diriku sendiri!” ia berujar
kesal. “Dua kematian yang beruntun dalam tempo dua
hari. Malah tiga dengan buronan yang tertembak di
depan mata kepalaku sendiri. Dan bahu apa yang telah
kulakukan, sersan?”
“Apa, cantik?”
Maria mengepalkan tangan dan meninju kemudi di
depannya dengan berang. “Tak satu pun, Sersan!
Mesin tikku di rumah masih terkunci. Belum satu huruf
pun yang sudah kuketik!”
Solihin tercengang. “Astaga...”
“Memang astaga!” Maria menggeram. “Dan
entah wartawan apa aku ini!”
“Lantas apa kerjamu sepanjang malam tadi?”
Melampiaskan nafsu!
Hampir saja perkataan itu meluncur dari mulut
Maria yang bergetar marah. Mujur ia keburu sadar
lantas diam-diam malu sendiri. Tersengal sesaat,
Maria kemudian mengeluh. “Kukira peristiwa yang
kudengar dan kulihat sepanjang hari kemarin,
membuat aku begitu lelah lahir bathin. Jadi tiba di
rumah aku langsung jatuh tidur... “
Dan bermimpi.
Lambung yang robek, jantung yang lenyap,
muncratnya darah merah segar. Siapa yang telah
menciptakan halusinasi dalam tidurnya? Korban yang
di Jayagiri? Atau Erwin Gautama? Andai saja Maria
tahu pukul berapa saat ia bermimpi melihat
muncratnya darah itu! Maria menggeleng-geleng,
dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Sakit.
“Bagaimana sempat korban kedua langsung
dikenali?” Maria bertanya asal bertanya. Sekedar
membuang pikiran gundah akibat mengabaikan
pekerjaan yang sebenarnya sudah mendarah daging
sehingga biasanya Maria pantang membuang tempo
sia-sia.
“Bagaimana tidak langsung dikenali,” jawab
Solihin, heran mendengar pertanyaan Maria.
“Bukankah tadi di kantor sudah kuberitahu. Bahwa si
perancang mode ditemukan mati di rumahnya sendiri.
Dan tidak ada barang bukti yang dilenyapkan. Oh ya,
kecuali jantungnya, tentu saja!”
“Dan si pembunuh...”
“Di situlah segi menariknya, Maria. Memang
ada satu orang yang sudah mereka tahan. Sebagai
tersangka utama, dengan motivasi yang kuat pula.
Tetapi kalau tak salah dengar, kawan-kawan kami
yang di Bandung itu agak sedikit dibuat bingung
dengan urusan sidik jari.”
“Mengapa?”
“Selain sidik jari tersangka, konon mereka juga
menemukan sejumlah sidik jari lainnya. Ya di telepon,
ya di meja kerja dan juga di sandaran kursi milik
korban. Ada kemungkinan bahwa pengakuan
tersangka yang kini mereka tahan bahwa dirinya tidak
bersalah, boleh jadi benar. Dan pembunuh
sesungguhnya adalah justru si pemilik sidik jari
tersebut. Justru itu pula yang konon membuat mereka
dibuat pusing tujuh keliling.”
“Kok aneh!”
“Bagaimana tak aneh, Maria. Karena
sebagaimana yang kudengar, sidik jari yang mereka
temukan katanya bukan sidik jari manusia...”
“Yang benar!”
“Maka itulah aku ditugaskan untuk bergabung
dengan mereka,” Solihin menjelaskan. Lantas seraya
tersenyum-senyum, ia menambahkan. “Dan karena
aku keranjingan gadis cantik yang berpinggul besar
pula, aku pun terayu untuk mengajakmu serta!”
“Aku sangat berterimakasih, Sersan,” Maria
berujar tulus. “Tetapi sebagaimana tadi dikatakan
oleh kapten...”
“Tidak akan ada penurunan pangkat,” Solihin
menyeringai. “Asal saja kau tidak ribut memprotes.”
Solihin melirik terang-terangan ke pinggul Maria.
Sambil tangannya didekatkan, menggoda. “Secolek
saja. Boleh kan?”
“Sialan!” Maria memaki.
Tetapi rupanya Solihin tidak tahan. “Kepalang
sudah dekat!” ia bergumam lucu, dan pinggul Maria
yang kencang padat sudah dicubit Solihin dengan
gemas.
Maria memekik tertahan. Kemudian tertawa.
Tak apalah. Demi persahabatan!
*
* *
Kasus Erwin Gautama ditangani langsung oleh
satuan serse poltabes Bandung yang berkantor dijalan
Jawa. Maria diajak Solihin langsung ke bagian
identifikasi, dimana pada mereka diperlihatkan
seberkas sidik jari. Baik hasil jepretan lensa kamera
maupun sketsa tiruan yang sudah diperbesar dan
diperbanyak.
“... omong kosong bila ada yang meributkan
bahwa ini adalah sidik jari binatang buas!” petugas
yang menerima mereka berkicau tanpa diminta.
“Coba saja. Binatang buas apa yang sanggup
bertelepon dan bercakap-cakap sebagaimana kita
sekarang ini bercakap-cakap?”
“Siapa tahu, binatang jadi-jadian!” Solihin
menyeletuk.
“Maaf, Sersan. Boleh tanya tetapi tanpa Anda
nanti marah?”
“Lucu!” Solihin menyeringai. “Kalau pertanyaan
nya menyakitkan hati, tentu saja aku tidak terima.
Tetapi karena kau sudah minta maaf ...”
“Aku percaya Sersan adalah orang beragama, kan?”
“Jelas dong!” seringai Solihin benar-benar
meyakinkan.
“Nah. Sebagai orang beragama, mestinya Anda
tidak akan mempercayai tahayul semacam itu.”
“Mestinya!” Solihin mengangguk setuju. “Tetapi
dalam kitab suci toh ada disebut mengenai hal-hal
yang gaib!”
“Memang. Tetapi itu tergantung dari sudut
mana kita memandangnya,” si petugas identifikasi
bersiteguh. “Untuk mereka yang percaya atau lemah
iman, yang gaib itu bisa berubah jadi tahayul...”
Merasa diledek, Solihin menyerbu. “Bagaimana
dengan kau sendiri?”
“Biarlah Tuhan dan aku sendiri yang tahu!” si
petugas menjawab diplomatis. “Tetapi khusus
menyangkut yang satu ini berani bertaruh. Jika bukan
seorang manusia jenius, tentulah si pemilik sidik jari
orang yang mengidap penyakit kulit. Entah apa, terus
terang aku tidak tahu dan memang bukan bidangku!”
“Hem. Kalau begitu, kita singkirkan saja dulu
urusan mengenai penyakit kulit. Lalu, sejenius apa
kiranya orang itu?”
“Dia punya keahlian menciptakan sidik jari
palsu. Namun entah dengan maksud apa, dia
membuatnya sedemikian rupa, sehingga tetap sulit
untuk kita lacak!”
“Letak kesulitannya?”
“Lihat saja, Sersan!” si petugas menunjuk ke
garis-garis silang tidak teratur namun tampak sama
pada setiap bagian jari. “Semisal sarung tangan bisa
meninggalkan bekas, maka permukaannya tidak licin.
Menurutku kesat, dan juga berlipat-lipat...”
Maria yang dari tadi hanya mendengarkan, tiba-
tiba menyela tanpa sadar. “... dan, ujung-ujung jari
orang itu pastilah berkuku runcing dan melengkung!”
Petugas identifikasi menatap tajam ke wajah
Maria. Katanya. “Dari bentuk keseluruhan telapak
tangan, tampaknya memang begitu. Tetapi dari mana
Nona tahu?”
“Mimpiku yang mengerikan!”
Maria membathin, dengan bulu kuduk pada
tegak merinding. Dan di mulut, ia berkata gemetar.
“Dokter Johan...”
“Dokter Johan?”
Maria tidak segera menjawab. Solihin melirik
sekilas, lantas membantu. “Ahli bedah forensik di
Hasan Sadikin!”
“O, beliau!”
Setelah memperoleh satu copy berkas sidik jari
yang diperbincangkan, Solihin menggamit Maria
untuk meninggalkan bagian identifikasi. Di luar,
barulah Solihin bertanya dengan nada kuatir.
“Kau tampak pucat, Maria. Sakit ya?”
Maria menggeleng lesu. Suaranya pun
terdengar lesu. “Otakku saja yang lelah, barangkali.
Sudah sejak kemarin, Sersan. Semakin banyak aku
mendengar, semuanya tambah mengerikan saja!”
“Hei. Mana ketegaranmu yang menakjubkan itu?”
“Aku ini manusia biasa juga, Sersan. Wanita pula...”
Solihin yang tahu betul sifat Maria, langsung
memanas-manasi.
“Apakah kau ingin berhenti?”
Dagu Maria seketika terangkat. “Dan membuat
diriku tampak seperti orang tolol? Tidak akan,
Sersan!”
“Kalau begitu,” Solihin tersenyum gembira.
“Marilah kita pergi ke bagian interogasi...”
Mereka diterima oleh seorang letnan yang
sudah dikenal baik oleh Maria sehingga tuan rumah
dengan senang hati memberikan informasi.
“... namanya Leonardo!” demikian antara lain
informasi yang dicatat Maria, “la peragawan top dan
merupakan kesayangan korban Erwin Gautama. Itu
salah satu unsur yang mungkin kelak akan diperguna
kan memperkuat posisi tersangka. Selain sidik jari
yang aneh itu, tentu saja. Masih ada lagi. Pelayan setia
korban dengan yakin memastikan bukan Leonardo
orang yang ia persilahkan masuk dan kemudian
berbicara dengan Majikannya di telepon...”
“Bagaimana dengan si pelayan itu sendiri?”
“Kurdi, atau lengkapnya Ahmad Kurdi... untuk
sementara hanya kami panggil sebagai saksi.”
“Mengapa bukan tersangka?”
“Pertama, Maria. Kurdi sudah mengenal Erwin
semenjak Erwin masih ingusan. Dari pengakuannya
sendiri dan juga dari informasi yang kami kumpulkan,
Erwin sudah dianggap dan diperlakukan Kurdi sebagai
anak kandungnya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Dua,
kami belum melihat adanya motivasi membunuh dari
pihak Kurdi. Hidupnya serta hidup keluarganya
dicukupi oleh Erwin. Bahkan biaya sekolah anak-anak
Kurdi juga ditanggung sepenuhnya. Dua di antaranya,
sudah pula diberi pekerjaan yang memadai. Terakhir,
dan justru yang terpenting... Kurdi sudah mendekati
uzur. Jangankan mampu merobek lambung orang.
Untuk mengancing baju sendiri pun terkadang harus
dibantu.”
“Lalu bagaimana dia dapat memastikan bukan
Leonardo orang yang dia persilahkan masuk ke
rumah?”
“Orang misterius itu, menurut Kurdi sama tinggi
dengan Kurdi sendiri. Sedang untuk berbicara dan
melihat ke mata Leonardo, Kurdi harus agak
menengadah...”
“Begitu!” Maria manggut-manggut seraya terus
mencatat yang penting-penting di notesnya. Detail
selebihnya, ia biarkan menyerap di kepala. “Apakah
dia dapat mengenali si tersangka misterius tersebut?”
“Bagian itulah yang paling menarik, Maria!”
“Oh?”
“Menurut keterangan Kurdi, setelah telepon
diambil alih tamunya, Kurdi mendadak terserang
kantuk yang sangat hebat. Dia merasa seperti ada
yang menyuruh dan memaksanya supaya pergi tidur.
Tidak kuasa menolak, orang tua itu lantas
meninggalkan sang tamu tidak dikenal. Bayangkan,
ditinggal begitu saja!”
“Terus?” Maria mendesah, tertarik.
“Ketika Kurdi kemudian terbangun oleh suara-
suara gaduh yang ditimbulkan Leonardo, orang tua itu
katanya hanya dapat mengingat bahwa ia telah
membukakan pintu untuk seseorang dan kemudian
menyerahkan telepon pada orang tersebut.
Selebihnya, nol besar. Tidak ingat wajah, tidak ingat
nama, juga tidak ingat apa saja yang telah dibicarakan
atau ia dengar Kurdi bersikukuh mengatakan dirinya
pasti terkena guna-guna. Atau... kalau keterangannya
benar, kita anggap saja dia terkena hipnotis!”
Maria dibuat terkesan, sehingga beberapa saat
lamanya, ia hanya diam termangu. Si pembunuh
bukan hanya kejam dan biadab. Si pembunuh juga
jenius, punya sidik jari yang aneh dan kini,
berkemampuan menghipnotis.
“Cukup, Maria?”
Maria tersentak. Lalu
“... bagaimana dengan Leonardo?”
“Alibi Leonardo sangat lemah. Sebaliknya, dia
Punya motivasi kuat untuk membunuh Erwin.
Masukan itu kami terima dari salah seorang penjaga
parkir di hotel papandayan. Belum satu jam yang lalu
si penjaga parkir meninggalkan ruangan ini. Kehadiran
nya kami perlukan untuk mengindetifikasi Leonardo,
tanpa diketahui yang bersangkutan.”
“Hasilnya?”
“Kadang-kadang aku suka berpikir, Maria...”
sang Letnan tersenyum lebar. “Andaikata kau berniat
melamar di kantor ini, dapat kupastikan kau bakal
diterima!”
Maria balas tersenyum. “Tawaran yang menarik,
Letnan. Tetapi, terimakasih deh...”
“Sayang sekali. Baiklah. Sewaktu kalian berdua
tadi nongol di ambang pintu, kami justru sudah berniat
memeriksa ulang Leonardo. Jadi, tunggulah
sebentar!”
Seorang bawahan segera diperintahkan
mengambil Leonardo dari sel tahanan. Dan tidak
berapa lama kemudian, si peragawan pun muncul.
Tanpa diborgol, namun dengan pengawalan ketat.
Maria melihat sosok atletis seorang anak muda
berpostur tinggi kekar. Pakaian yang melekat di
tubuhnya pasti dari bahan yang mahal namun terlihat
kusut. Sekusut wajah si anak muda yang sebenarnya
tampan dan gagah. Cambang di depan kedua telinga
anak muda itu tercukur rapih. Dan Maria tiba-tiba baru
menyadari bahwa cambang seseorang ternyata juga
dapat menimbulkan kesan seksi.
Akan tetapi, kesemua kesan itu perlahan-lahan
mengabur hilang setelah Leonardo menghenyakkan
pantat di kursi yang ditunjuk. Sambil endengus
beringas. Tidak santun sedikit pun.
“Apalagi yang kalian kehendaki dari aku?!”
“Hanya mengulangi apa yang sudah kita
obrolkan sebelum ini,” Letnan berujar lembut, “Siapa
tahu ada yang terlupa...”
“Mulutku sudah berbusa!”
”Telan sajalah,” Letnan mengomentari dengan
senyuman yang juga sangat lembut. Seolah-olah
dialah penyebab dan yang bertanggung-jawab atas
kelahiran Leonardo ke dunia fana. “Ada yang bilang,
busa di mulut dapat menjadi obat penyembuh yang
mujarab!”
Entah Leonardo menanggapi lalu menuruti
nasihat itu secara harfiah atau entah menyadari
sindiran halus sang letnan, yang. pasti kepala
Leonardo agaknya berubah lebih dingin. Tidak secara
total, memang. Namun ia tampak sedikit melemah.
Meski masih disertai tuntutan. “Aku minta didampingi
pengacara...”
“Siapa yang ingin kau tunjuk, Leon?”
“Belum tahu. Habis, bermimpi akan mengalami
yang seperti ini, pun aku belum pernah!”
“Maka mulailah memikirkannya, Leon. Tetapi
itu nanti. Sekarang ini kita ngobrol-ngobrol sajalah
dulu. Dan, santailah. Tidak seorang pun dari kami
berniat menerkammu. Setuju, bukan?”
Leonardo mengangguk-angguk. Kaku.
“Dari mana aku harus memulai?”
“Terserah...”
Lebih dulu Leonardo mengawasi sekitarnya.
Mungkin sambil berpikir-pikir. Ketika sepasang
matanya beradu dengan mata Maria, di mata
Leonardo tidak tampak kesan apa-apa. Maria sedikit
kecewa karena dirinya seperti tidak punya daya tarik
apa-apa buat si peragawan top yang bercambang seksi
itu. Kemudian Maria melihat bahwa Leonardo cukup
lama memperhatikan salah seorang petugas yang tadi
mengawalnya. Malah sempat melempar senyum
samar pada si petugas yang berwajah lembut dan
klimis itu.
Kemudian, “... sebagaimana sudah kuceritakan
subuh tadi,” Leonardo memulai. “Aku melihat Erwin
tampak lain dari biasa, la mendadak sangat tidak
ramah dan sepertinya menutup-nutupi sesuatu.
Padahal selamanya ia selalu terbuka denganku.
Bahkan sampai ke masalah yang sifatnya sangat
pribadi sekali pun. Tentu saja aku lantas bercuriga.
Firasat buruk mendorongku untuk memanggil taksi
dan menyusul Erwin ke rumahnya...”
“Firasat buruk bagaimana?”
“Entahlah. Yang jelas, aku merasa sesuatu yang
tidak menyenangkan akan menimpa diri Erwin. Dan
aku harus menolongnya!”
“Hem. Terus?”
“Seturun dari. taksi, aku bergegas memasuki
halaman rumah...”
“Jadi taksinya berhenti di tepi jalan. Mengapa
tidak sekalian disuruh masuk ke halaman? Lagi-pula,
bila yang kau takutkan memang benar terjadi... dan
itulah yang kita semua tahu sudah terjadi, supir taksi
mungkin dapat kau mintai bantuan!”
“Aku hanya bilang, sesuatu yang tidak
menyenangkan!”, Leonardo tampak beringas kembali.
“Dan itu tidak berarti pembunuhan!”
“Baiklah”, Letnan tersenyum sabar. “Tetapi apa
kiranya hal yang tidak menyenangkan itu, Leon?”
“Aku punya perasaan telah 'dikhianati!”
“Dikhianati bagaimana?”
Agaknya, sadar ia memasuki perangkap,
Leonardo terdiam sejenak sebelum kemudian ia
menjawab hati-hati.
“Aku... aku tidak bisa menjelaskannya.”
Senyuman sabar di bibir sang Letnan melenyap,
la condongkan mukanya ke depan, seakan-akan
bermaksud menerkam. “Leonardo,” ia mendengus
datar. “Janganlah kau kira kami ini bodoh. Tidak
punya mata, tidak punya telinga. Walaupun hari masih
pagi, bung, disana sini burung-burung sudah pada
ribut bekicau. Apakah perlu kuberitahu kicauan apa
saja yang telah kami dengar?”
“Itu hanya gertakan...”, Leonardo mencoba
bertahan. Namun suaranya terdengar melemah.
“Oh ya? Bagaimana bila kukatakan ada saksi
dibawah sumpah. Yang tegas-tegas menyatakan kau
telah melontarkan ucapan-ucapan menghasut dan
bernada mengancam keselamatan nyawa Erwin?”
Leonardo mengingat-ingat sebentar. Lalu, “Hem, pasti
itu si penjaga parkir. Dan ia pasti melebih-lebihkan!”
“Pasnya, Leon?”
“Aku... tidak begitu... ingat lagi. Waktu itu aku
sedemikian frustasi karena menyangka Erwin ada
main dengan laki-laki lain...”
“Dengan,” Letnan memotong seketika. “...
apa?”
Seolah-olah pertanyaan dengan konotasi apa
bukan siapa itu membuat harga dirinya terinjak-injak,
Leonardo menjawab berang. “Dengan lelaki lain!
Apakah itu salah? Dan apakah juga salah bila aku
lantas cemburu dan merasa dikhianati?!”
Gumam campur aduk berdengung di kiri kanan.
Malah seorang petugas menyeletuk kasar. “Sialan.
Sapa nyana kita rupanya sedang berurusan dengan
homo!”
Letnan menyeringai masam dan melirik ke arah
Maria. Maria tahu itu adalah lirikan sambil lalu dan
tidak bermaksud apa-apa. Namun seringai dan lirikan
Letnan itu seakan menghunjamkan sebuah pertanya-
an mengejek: “Bagaimana dengan homo yang ada di
tempat tidurmu?!”
Nyaris tanpa disadari olehnya sendiri, Maria
diam-diam merunduk. Malu.
Untunglah suasana tidak menyenangkan itu
dengan segera diredakan oleh suara sang Letnan yang
terdengar lembut. “Baiklah, Leonardo. Aku dapat
memahami perasaanmu. Sekarang, coba kau
ceritakan kembali apa yang kemudian terjadi setelah
kau turun dari taksi...”
Leonardo mengatur nafasnya, sebentar. Kemudian,
“…beberapa meter menjelang aku tiba di serambi,
pintu depan rumah, mendadak dibuka seseorang dari
dalam. Takut ketahuan, aku cepat-cepat menyelinap
di balik mobil Erwin yang masih terparkir di halaman.
Dari balik mobil itulah aku lalu mengintip diam-diam.
Dan...”. Suara Leonardo mendadak tersendat.
Wajahnya perlahan-lahan memucat, dengan mata
membelalak bagai dilanda teror.
Letnan mendorong dengan lembut. “Dan?”
Leonardo seketika bergemetar di kursinya.”...
tolonglah!”, ia merintih dengan suara memelas. Lalu
seraya menangkupkan wajah di kedua telapak
tangannya, Leonardo pun mengerang. “Aku tidak mau
mengingat-ingat kejadian itu lagi. Hanya akan
membuat jiwaku tersiksa... karena aku terlambat tiba
di sana. Aku pun sangat muak dan benci... pada diriku
sendiri. Harusnya pembunuh biadab itu kuterkam.
Harusnya ia kucincang... untuk membalaskan
penderitaan Erwin. Tetapi aku malah merungkut
ketakutan. Aku biarkan... pembunuh biadab itu berlalu
begitu saja. Pemunculannya begitu mengerikan. Dia...
dia...”
“Apakah kau dapat mengenali siapa orang itu, Leon?”
Kedua telapak tangan Leonardo bergerak turun.
Lalu dengan wajah serta sorot mata membelalak
ketakutan, ia bertanya gemetar. “Orang, Letnan?
Orangkah yang tangan serta mulutnya bergelimang
darah... Dan, mata kuningnya memancarkan sinar api
yang bernyala-nyala itu? Apakah dia yang berjalan
seperti melayang dan... dalam tempo sekejap sudah
melesat hilang? Orangkah dia itu Letnan? Atau setan
yang bangkit dari tengah api neraka?!”
Yang ditanya, bungkam seribu bahasa.
Mereka yang lain saling bertukar pandang tanpa
satu pun yang berselera untuk membuka mulut.
Ruang interogasi seketika terasa sunyi.
Mencekam.
Dan sekujur tubuh Maria terasa dingin.
Menusuk.
(BERLANJUT KE JILID 2)
197
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI
Karya : Abdullah Harahap
Sesosok tubuh telanjang ditemukan mati secara
misterius di tengah udara berkabut Lembah Jayagiri,
Selain wajah yang sengaja dirusak dan Identitas
lainnya yang sengaja dilenyapkan, jantung korban pun
ikut lenyap pula. Polisi pun dibuat sibuk, apalagi
setelah muncul sinyalemen bahwa perbuatan biadab
Itu dilakukan oleh sekelompok pemuja setan.
Seorang wartawati cantik tergerak untuk ikut
menelusuri penemuan mayat misterius Itu. Tetapi
ketika korban lain kembali berjatuhan, Maria
dihadapkan pada masalah yang tidak hanya pelik
tetapi juga menakutkan. Ada petunjuk kuat bahwa si
pembunuh mengkhususkan diri mencari mangsa dl
kalangan homo seksual.
Dan bukan mustahil korban berikutnya adalah
Ronald yang tengah berjuang untuk kembali hidup
sebagai seorang lelaki sejati, setelah sekian tahun
lamanya menjalani kehidupan mengerikan bersama
teman sejenis.
Lalu teror Itu pun datang. Tidak hanya
memburu Ronald. Tetapi juga Maria. ***
0 comments:
Posting Komentar