..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 16 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA

PENDEKAR MABUK EPISODE UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA

 Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah 

lindungan undang-undang.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.


1


SEBELUM berangkat ke Puri Gerbang Surgawi, 

tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang 

menjadi kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si 

Gila Tuak itu menyempatkan diri untuk singgah ke 

Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa 

meninggalkan Dewa Racun, orang kepercayaan Nyai 

Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput 

dan mengawal Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun 

agaknya tahu diri dalam hal ini.

"Tem... tem... temuilah gurumu, akkk... akkk... aku 

akan menunggu di luar gua. Aaakk... aku tidak perlu ikut 

masuk!"

"Baiklah. Aku tak lama!"

Suto cepat tinggalkan orang kerdil berpakaian putih-

putih dari jenis kulit binatang berbulu itu. Curahan air

terjun yang deras ditembusnya masuk dengan satu 

kelebatan secepat kilat. Jraasss...!

Mulut gua yang ada di balik curahan deras air terjun 

itu dipakai mendarat sepasang kaki Pendekar Mabuk 

yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak 

mungkin bisa menerabas tembus curahan air sebegitu 

besarnya dari jarak lompat lebih delapan belas langkah. 

Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah 

pasti akan membuat orang yang tidak mempunyai ilmu 

peringan tubuh akan tergelincir.

"Sudah kau selesaikan urusanmu, Suto?!"

Kehadiran Suto disambut oleh seorang berpakaian 

serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah 

kuningnya itu tampak digantungkan pada salah satu sisi 

dinding gua. Orang tua berambut panjang beruban itu 

tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.

"Maksud Guru, urusan yang mana?" Suto ganti 

bertanya sambil langkahkan kaki mendekati gentong 

tuak.

"Pertarunganmu dengan Manusia Sontoloyo apa 

sudah kau selesaikan?"

"Sudah, Guru!"

"Bagus. Sebab, menang atau kalah sebuah 

pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar. 

Dengan cara licik atau ksatria, janji pertarungan tanding 

laga tetap harus dilaksanakan!"

"Saya paham, Guru!"

Tak jauh dari gentong-gentong tuak itu, seorang 

perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk

memandangi Suto. Perempuan yang mengenakan 

pakaian biru muda dengan jubah tipis sutera warna 

kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang 

tuak ke dalam bumbung sambil melirik kepadanya.

"Apakah Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo itu 

tewas di tanganmu, Suto?" tanya perempuan itu yang tak 

lain adalah Betari Ayu.

"Tidak, ia dirobohkan oleh muridmu sendiri, Nyai 

Betari."

"Muridku?!" Betari Ayu berdiri dengan rasa kaget. 

"Muridku yang mana? Selendang Kubur?" 

"Ya. Dia bergabung dengan Peri Malam dan Perawan 

Sesat."

"Bergabung dengan Perawan Sesat?! Aneh sekali!"

"Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan di 

Bukit Jagal. Mereka bertiga ingin membunuhku setelah 

terlebih dulu tenagaku dipancing agar terkuras dengan 

melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji kepada 

Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si 

Sontoloyo itu, apabila Sontoloyo bisa mengalahkan aku!

Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat 

kelicikan lain juga untuk menjebak mereka bertiga. 

Sontoloyo kubiarkan menang, tentu saja mereka bertiga 

jadi kelabakan dituntut janjinya oleh Sontoloyo. 

Akhirnya mereka bertiga yang bertarung melawan 

Sontoloyo!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

Si Gila Tuak perdengarkan tawanya yang mirip orang 

menggumam. Kemudian ia ajukan tanya, "Apakah

Sontoloyo menang?"

"Tidak, Kakek Guru!" jawab Suto sudah terbiasa 

memanggil gurunya dengan sebutan kakek, karena Suto 

diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial 

Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").

Suto lanjutkan kata, "Dirgo Mukti atau si Manusia 

Sontoloyo itu terluka parah, nyaris mati di tangan tiga 

perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera 

mengambil tubuh Dirgo Mukti kemudian membawanya 

pergi ke Pulau Hantu."

"Mawar Hitam...?!" gumam Nyai Betari Ayu. Ada 

kecemasan terbayang di wajahnya yang cantik itu.

"Dia masih punya dendam padaku, juga kepada Bibi 

Guru," Suto palingkan wajah kepada si Gila Tuak yang 

punya nama asli Ki Sabawana.

"Hati-hatilah jika ketemu dia," kata si Gila Tuak. 

"Dia bukan saja berilmu tinggi, tapi punya banyak 

kelicikan."

"Saya mengerti, Guru."

"Kau tak perlu mengejarnya ke Pulau Hantu. Di sana 

banyak jebakan maut yang mematikan! Kalau kau ingin 

menghadapi dia, pancing dia supaya keluar dari Pulau 

Hantu dan lawanlah di tempat lain. Itu pun kalau 

memang terasa perlu!"

"Baik, Guru!"

Betari Ayu bertanya, "Lalu, apa alasannya ketiga 

perempuan itu ingin membunuhmu?"

"Aku kurang jelas, Nyai Betari. Tapi aku punya 

kemungkinan, barangkali saja mereka sakit hati sebab

cintanya tak pernah kuhiraukan."

Si Gila Tuak terkekeh dalam tawa pelannya. 

"Perempuan bisa lebih ganas dari seekor singa lapar jika 

sudah berurusan tentang cinta."

"Tapi bisa selembut sutera jika bisa mengendalikan 

cintanya," timpal Betari Ayu kemudian. Si Gila Tuak 

makin terkekeh.

"Guru, saya datang menemui Guru hanya sekadar 

untuk pamit. Saya hampir menemukan siapa perempuan 

yang bernama Dyah Sariningrum itu. Di mana 

tinggalnya pun saya sudah tahu. Sekarang saya akan 

berangkat ke Pulau Serindu untuk menemuinya."

Si Gila Tuak melayangkan pandang ke arah Betari 

Ayu yang mulai berwajah sendu. Si Gila Tuak tahu, di 

dalam hati Betari Ayu tersimpan duka kala Suto 

sebutkan nama Dyah Sariningrum. Karena, si Gila Tuak 

pun tahu bahwa Betari Ayu menyimpan rindu dan cinta 

untuk Suto Sinting. Tapi agaknya Betari Ayu lebih 

berjiwa mengalah dan tak mau memperlihatkan rasa 

kecewanya.

"Guru, apa saran Guru untuk perjalananku ke Pulau 

Serindu? Menurut kabar dari Peramal Pikun, Guru 

sebenarnya banyak tahu tentang calon jodoh saya itu, 

tapi selama ini Guru tidak pernah bilang apa-apa pada 

saya. Jika Guru berkenan, tolong ceritakan sedikit 

tentang Dyah Sariningrum, Guru!"

Kepala berikat kain merah itu menggeleng. Gila Tuak 

ucapkan kata dengan pelan, sangat berwibawa dan bijak 

sikapnya.

"Betari Ayu lebih banyak tahu tentang Dyah 

Sariningrum daripada aku. Tanyakan saja padanya."

Cepat-cepat Pendekar Mabuk palingkan wajah dan 

lemparkan pandangan tajam kepada Betari Ayu. Dahi 

pun dikerutkan tanda heran dan terperanjat, sebab 

selama ini Betari Ayu tak pernah mau bicarakan tentang 

Dyah Sariningrum. Jika benar Betari Ayu tahu banyak 

tentang Dyah Sariningrum, mengapa selama ini ia 

rahasiakan hal itu di depan Pendekar Mabuk?

Betari Ayu tak berani membalas tatapan Suto. 

Pandangan mata Pendekar Mabuk bagaikan menyimpan 

segunung cinta dan daya pikat yang luar biasa, sehingga 

Betari Ayu tak mau terjerat perasaannya terlalu dalam. Ia 

palingkan wajah ke arah lain sewaktu Suto ajukan tanya,

"Benarkah kau banyak tahu tentang Dyah 

Sariningrum?"

"Karena gurumu sudah buka rahasia, terpaksa aku tak 

bisa berpura-pura lagi," jawab Betari Ayu.

Pendekar Mabuk langkahkan kaki dua tindak ke 

depan Betari Ayu. Sengaja ia berdiri di depan wajah 

cantik itu supaya ia bisa menatap lekat-lekat wajah 

perempuan yang selama ini menyimpan cinta dan kasih 

sayang kepadanya itu.

"Nyai," ucap Suto dengan lembut, "Katakanlah apa 

yang kamu tahu tentang kekasihku itu! Katakanlah apa 

adanya, Nyai."

Terdongak sedikit wajah Betari Ayu. Dipaksakan diri 

memandang wajah Suto sambil ucapkan kata,

"Dyah Sariningrum adalah adikku!"

"Hah...?!"

Terperangah mulut Pendekar Mabuk seketika. 

Terbelalak mata pemuda tampan itu, dan mematunglah 

ia di depan Betari Ayu. Debar-debar jantung Suto seakan 

ingin meledak menjebol dada demi mendengar jawaban 

dari mulut berbibir manis milik Nyai Betari Ayu itu.

"Saat kau sebutkan nama adikku, saat kau mengigau 

dalam sakitmu memanggil-manggil nama adikku, hatiku 

pedih sekali, Suto. Perih, tapi juga bangga. Aku tahu kau 

sangat mencintai adikku walau belum pernah bertemu di 

alam nyata, kecuali di alam mimpi dan di alam 

semadimu. Tapi aku percaya, kau punya cinta yang tulus 

kepadanya. Itulah sebabnya aku tak banyak menuntut 

dari cinta yang tumbuh di hatiku, Suto. Karena aku tahu, 

hatimu itu ingin kau persembahkan kepada adikku 

sendiri. Aku hanya bisa merawat cinta untuk diriku 

sendiri, dan membagikan kasih sayang kepadamu yang 

jauh lebih dalam dari seluruh kasih sayang yang pernah 

ada."

"Mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku, 

Nyai?"

"Kau tidak mudah percaya. Kau akan tuduh aku 

mempengaruhi jalan pikiranmu. Kau akan anggap aku 

berdusta. Dan yang terakhir, kau bisa benci padaku 

karena salah duga. Aku tak ingin kau benci, Suto. Aku 

juga tak ingin membencimu. Karenanya, semua 

kupendam dan kujadikan rahasia pribadi buat diriku 

sendiri."

Saat ucapkan kalimat terakhir, Nyai Betari Ayu

tundukkan wajahnya, ia menggigit bibirnya sendiri, bak 

menahan luapan rasa yang tak mampu terucap lewat 

kata.

"Nyai...," Suto ingin ucapkan sesuatu, namun ia tak 

mampu menyampaikannya. Kerongkongannya bagai 

tersekat gumpalan rasa yang tak tahu apa namanya.

Betari Ayu mengangkat wajahnya pelan-pelan. 

Tangannya menggenggam pundak Suto sambil ucapkan 

kata,

"Pergilah. Berangkatlah ke Puri Gerbang Surgawi. 

Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya! Kabarkan 

keadaanku baik-baik saja!"

Suto makin tak tahu harus bilang apa melihat 

kebijakan begitu agung dari Nyai Betari Ayu. Ia hanya 

pandang gurunya, dan si Gila Tuak cepat menambahkan.

"Hati-hati, kau pasti akan berhadapan dengan 

Siluman Tujuh Nyawa!"

Dahi Suto berkerut. "Siapa Siluman Tujuh Nyawa itu, 

Guru?"

Gila Tuak hanya memandang Betari Ayu, lalu 

memberi isyarat dengan anggukkan kepala pelan sekali, 

hampir tak terlihat oleh mata Suto. Setelah melihat 

isyarat itu, Betari Ayu pun tuturkan kata sebagai 

jawaban pertanyaan Suto tadi.

"Nama aslinya Durmala Sanca, murid seorang 

Pendeta Tibet, ia penguasa Laut Tenggara. Usianya 

sudah seratus tahun, tapi masih kelihatan seperti berusia 

lima puluh tahun. Durmala Sanca orang berilmu tinggi. 

Jarang menginjakkan kakinya di tanah Jawa jika tidak

ada urusan penting. Salah satu ilmu kesaktiannya adalah, 

bisa berubah wujud menjadi tujuh rupa yang berbeda-

beda. Itulah sebabnya ia mendapat julukan di kalangan 

rimba persilatan sebagai Siluman Tujuh Nyawa."

"Apakah Kakek Guru pernah bertemu dengannya?" 

tanya Pendekar Mabuk kepada si Gila Tuak.

"Secara berhadapan belum pernah, ia selalu 

menghindari pertemuan denganku. Antara aku dan dia 

tidak punya persoalan apa-apa. Tapi dengan bibi 

gurumu, Bidadari Jalang, dia pernah bentrok dan hampir 

saja tewas di tangan Bidadari Jalang. Sejak itu ia tak 

pernah muncul lagi."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Lalu, ia 

alihkan pandang kepada Betari Ayu, dan lontarkan 

tanya,

"Lantas, apa hubungannya dengan Dyah 

Sariningrum?"

"Sejak masa mudanya, ia mengejar-ngejar adikku. 

Dia ingin memperistri adikku, tapi adikku menolak dan 

mengadakan perlawanan. Sampai akhirnya, Dyah 

Sariningrum terkena satu pukulan darinya yang bernama 

pukulan 'Candra Badar'."

"Apakah pukulan itu berbahaya?"

"Sampai sekarang masih berbahaya dan tetap 

bersarang di tubuh adikku. Pukulan 'Candra Badar' itu 

membuat adikku bagai tahanan yang terkurung, tak bisa 

keluar ke mana-mana, kecuali di lingkungan istananya."

"Mengapa bisa begitu?"

"Pukulan 'Candra Badar' membuat tubuh adikku

terbakar jika terkena sinar matahari, cahaya rembulan, 

atau cahaya bintang. Jadi, baik siang maupun malam, 

Dyah Sariningrum tidak bisa keluar dari istananya. 

Karena cahaya kunang-kunang pun bisa membuat 

tubuhnya terbakar. Semua cahaya yang bersifat alam, 

akan membakar tubuhnya sebelum pukulan 'Candra 

Badar' itu dibuang atau ditawarkan dari tubuh adikku. 

Itulah sebabnya ia tak pernah berkunjung kemari untuk 

menemuiku. Hanya sekali tempo saja aku ke sana 

menengok keadaannya."

Bukan hanya Pendekar Mabuk yang terkesiap 

mendengar penjelasan itu, tapi si Gila Tuak pun jadi 

kerutkan dahi, matanya tajam memandang Betari Ayu. 

Lalu, sebelum Suto Sinting bicara, Gila Tuak mendului 

berkata kepada Betari Ayu,

"Mengapa kau tak pernah ceritakan padaku tentang 

'Candra Badar' itu, Betari?! Aku malah baru

mendengarnya saat ini!"

"Urusan ini terlalu pribadi, sehingga tak enak jika 

harus kubeberkan pada orang lain," jawab Nyai Betari 

Ayu.

Rupanya keadaan Dyah Sariningrum yang diceritakan 

Betari Ayu membuat panas hati si Gila Tuak. Baik Nyai 

Betari Ayu maupun Dyah Sariningrum adalah teman 

baik semasa muda si Gila Tuak. Usia mereka sebenarnya 

seimbang, hanya bedanya Betari Ayu dan Dyah 

Sariningrum menguasai ilmu kecantikan abadi sehingga 

kelihatan tetap muda dan cantik, seperti yang dialami 

oleh Bidadari Jalang, Nyai Lembah Asmara, dan

beberapa tokoh tingkat tinggi lainnya.

Merasa teman baiknya dalam keadaan dilukai oleh 

Durmala Sanca, si Gila Tuak pandangkan mata ke arah 

luar mulut gua. Pandangannya kaku, dingin. Tangannya 

menggenggam kuat, giginya menggeletuk menahan 

geram. Lalu, terdengar suaranya yang sangat berwibawa 

di telinga Pendekar Mabuk.

"Suto, cepat berangkat! Bebaskan kekasihmu itu dan 

hancurkan Siluman Tujuh Nyawa:"

"Baik, Guru!" jawab Pendekar Mabuk tegas dan 

bersikap patuh. "Saya pamit sekarang, Guru!"

"Ya."

"Saya pamit, Nyai!"

"Tunggu," cegah Nyai Betari Ayu, membuat Suto 

menghentikan langkahnya yang sudah sampai di mulut

gua, juga membuat si Gila Tuak kerutkan dahi dalam 

menatapkan pandangannya.

"Bawalah cincin ini. Kau yang berhak memakainya, 

Suto. Bukan aku!" Nyai Betari Ayu melepaskan Cincin 

Pusaka Manik Intan yang mempunyai kekuatan sangat 

dahsyat itu. Tempo hari Pendekar Mabuk mengenakan di 

jari Betari Ayu sebagai sikap berjaga-jaga dari serangan 

mendadak, karena pada waktu itu Betari Ayu dalam 

keadaan terluka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

"Sebenarnya aku ingin menitipkan cincin ini padamu 

sebagai ganti diriku menjaga keselamatanmu, Nyai!"

"Tidak, Suto. Aku tidak berhak memakai cincin 

pusaka ini! Kaulah yang berhak memakainya, karena

cincin ini milik bibi gurumu, Bidadari Jalang."

Si Gila Tuak segera menyahut, "Simpan saja di dalam 

bumbung tuakmu. Tuak itu akan semakin mempunyai 

kekuatan dahsyat jika dipakai merendam cincin itu, 

Suto!"

"Baik, Guru!"

"Jika keadaan sangat memaksa, kau masih bisa 

memakai dan menggunakannya!" 

"Baik, Guru. Saya paham!"

"Suto," Betari Ayu meraih tangan pemuda tampan itu. 

"Ingatlah, kita saling menyimpan kasih sayang, tapi 

berikan cintamu kepada adikku setulus mungkin, dan 

kumohon jangan sakiti hatinya."

"Tidak akan aku melukai hatinya maupun kulitnya. 

Bahkan bayangannya pun tak berani sembarangan 

kuinjak!"

Senyum manis mekar di bibir Nyai Betari Ayu. 

Senyum manis itu berbaur dengan rasa iba, cinta, 

sayang, dan kebahagiaan. Pendekar Mabuk melirik 

gurunya sebentar. Tapi karena sang Guru tidak 

palingkan pandang, walau sudah ditunggu sekian lama, 

maka Pendekar Mabuk nekat mencium pipi Nyai Betari 

Ayu. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi malu melirik 

gurunya sendiri dan berkata pelan, "Maaf, Guru...!"

"Teruskan!" hanya itu jawaban si Gila Tuak, lalu 

balikkan badan dan melangkah ke gentong tuak.

Pendekar Mabuk baru akan mengulangi kembali 

kecupannya tadi, namun si Gila Tuak segera menoleh 

kaget. Dari sana ia membentak keras,

"Yang kumaksud, teruskan langkahmu!" 

"Oh, hmm... iya... anu, maaf, Guru!" Suto kaget dan 

jadi gelagapan. Lalu, dengan cepat ia melesat pergi 

tinggalkan mulut gua.

Si Gila Tuak memandangi kepergian muridnya 

sambil geleng-gelengkan kepala dan menggumam. 

"Dasar murid sinting...!"

*

* *

2

SATU hal yang belum diketahui secara pasti oleh 

Suto, yaitu dengan apa ia harus pergi ke Pulau Serindu, 

yang konon jauh letaknya dari tanah Jawa.

"Kkkam... kam... kamu tidak usah khawatir, Suto. 

Aku sudah siapkan pe... pppeee... per...." 

"Perawan?!"

"Husy! Bukan! Akk... aku sudah siapkan perahu 

untuk perjalanan kita ke sana. Perahu itu kugunakan 

waktu kemari dan kusimpan di tempat yang... yang 

ammm... ammm..."

"Ampuh?!"

"Aman!" sentak Dewa Racun.

Setiap Suto mendengar omongan Dewa Racun, ia 

selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu 

terengah-engah dalam bicaranya. Kadang Suto tak ingin 

mengajak Dewa Racun untuk bicara, tapi orang kerdil 

berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing

percakapan. Kadang Pendekar Mabuk merasa tak sabar 

jika bicara dengan Dewa Racun yang gagap itu. Kadang 

juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak 

bicara. Tapi si kerdil bersenjata panah pendek itu 

agaknya tersinggung jika tidak diajak bicara.

"Ap... apa... apakah kita mau mampir dulu ke 

pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam 

perjalanan menuju pantai,

"Siapa itu Renggono?"

"Nama aslinya Peee... pee.... Peramal Pikun!"

"Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kita perlu 

mampir ke sana dulu atau langsung ke pantai tempat 

perahumu disembunyikan?"

"Per... perrr... perasaanku tak enak sejak tadi. Ada 

baiknya kalau kita mammm... maamm... maamm...."

"Kamu itu lapar atau bagaimana? Kok maem, maem, 

terus?"

"Maksudku, mammm... mampir ke Peramal Pikun!" 

Dewa Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan. 

Pendekar Mabuk tertawa sambil tepuk-tepuk pundak 

Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun agar 

tidak tersingung.

"Baiklah, kalau memang kau punya perasaan tak 

enak, aku tak keberatan untuk mampir ke pondoknya 

Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."

Pondok persinggahan Peramal Pikun terletak di tepi 

sungai yang sunyi, rimbun oleh pepohonan sekitarnya. 

Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa 

nama. Enak untuk mengasingkan diri, juga enak untuk

berlatih ilmu.

Peramal Pikun bukan orang dari golongan hitam. 

Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan 

hitam, yaitu Cadaspati, murid dari Malaikat Tanpa 

Nyawa yang sudah dibunuh oleh si Gila Tuak, sebelum 

Suto menjadi muridnya. Cadaspati sendiri dibunuh oleh 

Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk 

dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").

Manusia kurus kering yang sudah tua renta itu 

sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa 

Peramal Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah 

Sariningrum, ia berteman akrab dengan Dewa Racun. 

Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya 

sendiri, yaitu Dyah Sariningrum dan pernah melawan 

untuk memperkosanya, sehingga ia diusir dari Pulau 

Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama 

'Rentang Kutuk'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Pertarungan di Bukit Jagal"). Tetapi pengaruh 

kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga Peramal 

Pikun yang tidak pernah meramal dan bila meramal 

tidak pernah tepat itu, lolos dari maut yang mengancam 

nyawanya.

Langkah Suto Sinting tiba-tiba terhenti, tangannya 

meraih lengan Dewa Racun. Berhentinya langkah 

Pendekar Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi 

pertanda merasa heran.

"Add... adda... ada apa, Suto?"

"Aku melihat mayat di sebelah kanan sana!" kata 

Pendekar Mabuk berbisik. Matanya yang memandang ke

arah kanan segera diikuti oleh pandangan mata Dewa 

Racun. Dengan satu lompatan Suto mendekati 

pandangan matanya, Dewa Racun juga ikut-ikutan 

lompat dalam kecepatan tinggi.

Wuuttt...!

Sesosok tubuh terkulai di atas batang pohon yang 

tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. 

Mayat perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa

lengan baju. Keadaannya tertelungkup bagai jemuran 

basah disampirkan di batang pohon. Perempuan bernasib 

malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak-

acakkan. Suto Sinting tak asing lagi dengan wajah itu, 

yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat.

Karenanya, Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat 

Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun 

sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah 

salah satu dari tiga kelompok perempuan patah hati. 

Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan Peri 

Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto 

setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan 

di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.

"Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi di sini? 

Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok 

kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan 

sejenaknya.

Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia 

terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan 

Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di

sekitar lehernya ada bilur-bilur luka, dan di kedua

lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata 

tajam beberapa kali.

Dewa Racun memandang mata Pendekar Mabuk. 

Pendekar Mabuk masih tertegun menatapi keadaan 

mayat Perawan Sesat. Lalu, Pendekar Mabuk 

melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon 

tumbang atau rusak, ada yang kering tapi masih berdiri 

dengan daun-daunnya yang masih tergantung menempel. 

Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa 

waktu yang lalu. Juga beberapa lubang tanah yang 

terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.

"Tampaknya habis ada pertarungan hebat di sini," 

gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada dirinya 

sendiri. Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara, 

sehingga ia pun menyahut.

"Ya. Ada pertarungan heb... heeb... hebat di sini. 

Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap dari 

benda terbak... bakar masih kurasakan jelas di hiid... 

hiiidung... hidungku!"

"Hmmm... siapa orang yang membunuh Perawan 

Sesat ini? Setahuku Perawan Sesat punya ilmu cukup 

tinggi. Aku pernah menolongnya, aku pernah 

bersamanya beberapa saat, dan aku tahu sebatas apa 

tinggi ilmunya! Apalagi dia punya pedang gading yang 

berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang 

gadingnya? Tak kulihat ada di sekitar sini?"

Pendekar Mabuk masih terpukau melihat keadaan 

mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa 

pedang gading, tanpa Selendang Kubur dan Perawan

Sesat, dadanya hangus sampai pakaiannya pun tampak 

habis terbakar, matanya masih mendelik saat sebelum 

dikatupkan oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu 

yang dimiliki Perawan Sesat bukan ilmu rendahan. 

Gerakannya cepat sekali, bahkan mempunyai gerak 

siluman yang bisa melesat cepat pindah tempat di 

kejauhan sana. Suto pernah adu kecepatan gerak pada 

waktu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: 

"Perawan Sesat" dan "Murka Sang Nyai"). Melihat 

keadaan seperti ini, pastilah lawan si Perawan Sesat

mempunyai ilmu lebih tinggi lagi.

"Mungkinkah kedua pppeee... perempuan temannya 

itu yang membunuhnya?" tanya Dewa Racun.

"Maksudmu Selendang Kubur dan Peri Malam? 

Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku 

bisa mengukur ilmu mereka berdua dibandingkan 

ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa. Masih 

tinggi ilmunya Perawan Sesat."

"Tap... tap... tapi mengapa dia sekarang mati?"

"Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti lagi!"

"Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"

"Maaf, aku sedikit latah," kata Suto tanpa ada kesan 

bercanda, berarti dia tadi memang benar-benar latah 

sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.

"Dddi... dia terkena pukulan beracun. Racun itu 

sangat gaaa... ga... ganas," sambil Dewa Racun 

mengamat-amati mayat itu.

"Apakah bukan karena pukulan tenaga dalam yang 

amat tinggi?"

"Ya. Mmme... memang. Tapi ada campuran rraaa... 

raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."

"Itu karena dia mati. Semua mayat bibirnya tampak 

biru!"

"Tiddd... tidak semua. Kulit di sekitar bib... bib... 

bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging di dalam 

kuku-kukunya itu juga membiru. Berarti addda... ada 

racun yang ikut masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin 

bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat... atau pukulan 

beracun dulu, baru pukulan yang meng... meng...

meng...."

"Mengerut?!"

"Bukan. Menghanguskan dadanya! Jeel... jelll..."

"Jelek?"

"Jelas! Jelas kematiannya disebabkan pula karena ada 

rrra... raa...."

"Raja?"

"Racun!" sentak Dewa Racun jengkel pada 

kegagapannya sendiri.

Suto diam sejenak, memandangi mayat itu lebih dekat 

lagi dengan berjongkok kaki. Lalu, ia berkata pada Dewa 

Racun.

"Luka di tangannya seperti luka cambuk. Juga di 

leher dan di bagian perutnya. Lihat, pakaiannya sampai 

robek seperti habis kena cambuk keras!"

"Berrr... berr... beeer...," Dewa Racun megap-megap 

sambil matanya terpejam-pejam. "Berr... berarti, ia 

bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam... 

cccam... caambuk!"

"Ya. Tapi, siapa tokoh berilmu tinggi yang 

bersenjatakan cambuk? Menurut cerita Peri Malam, ia 

pernah melihat Cadaspati bertarung dengan Datuk 

Marah Gadai dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik 

Cadaspati. Tapi, Cadaspati sudah lenyap. Mati di tangan 

Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang punya 

senjata cambuk? Seingatku tak ada!"

"Bbberr... beeer...."

"Beranak?"

"Berarti! Berarti kita harus mencari orang yang 

bersenjata cambuk. Pasti dialah pembunuh Perawan 

Sesat."

"Kenapa harus mencari orang itu? Aku tidak punya 

urusan apa-apa. Kematian Perawan Sesat bukan 

urusanku."

"Kal... kali... kalau begitu, sebaiknya kita ting... 

ting...."

"Tinggi?"

"Bukan. Kita ting... ting... ting...."

"Ah, kamu seperti lonceng penjual tuak saja, tang-

ting, tang-ting tak jelas artinya!"

"Maksudku, ting... tinggalkan saja! Ya, tinggalkan 

saja mayat ini kalau memang tak ada urusannya dengan 

diir... diiir... dirimu!"

Pendekar Mabuk diam sebentar. Ada sesuatu yang 

dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun 

pandangi wajah Suto yang berpikir. Lama sekali, baru 

Dewa Racun ajukan tanya.

"Add... ada... ada apa, Suto?"

"Hmm... tidak ada apa-apa! Mari kita ke pondoknya 

Peramal Pikun!" kata Pendekar Mabuk, lalu melesat 

cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun. Mata 

orang kerdil itu jelalatan mengikutinya dengan 

terbengong heran. Lalu, cepat ia susul Suto sambil 

membatin dalam hatinya.

"Mengapa gerakan Suto jadi cepat sekali? Ia seperti 

terburu-buru. Ada apa? Apakah mau kasih laporan pada 

Renggono? Mungkin karena kata Suto, Renggono 

pernah menolong Perawan Sesat, jadi ia merasa perlu

memberi tahu Renggono perihal kematian Perawan 

Sesat?"

Dewa Racun berhenti jarak sepuluh langkah dari 

pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut 

jarang itu terbuka lebar tak berkedip melihat dinding 

terbuat dari anyaman bambu itu jebol dan berantakan. 

Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis 

dipakai keluar makhluk yang bisa terbang, atau seperti 

habis kejatuhan seekor garuda raksasa.

Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi 

dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya 

memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam 

pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan 

sebagian atap.

"Pikun...!" desis Suto dengan mata tak berkedip, 

jantungnya berdetak dengan kuat. Di belakangnya segera 

menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis 

tegang.

"Renggono...?"

Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus 

kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar 

anyaman pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di 

bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat letak 

kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti 

Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ 

dengan keadaan susah payah.

Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap 

adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh 

Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, 

menggelembung kecil dan akhirnya pecah memercikkan 

darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah 

seputih kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa 

membuka mata sedikit.

"Racun cobra...!" desis Dewa Racun setelah 

memandangi bintik-bintik merah di sekujur tubuh 

Peramal Pikun, sampai pada bagian daun telinganya 

juga.

"Pikun, apa yang telah terjadi?" tanya Pendekar 

Mabuk sambil menahan kegeraman di dalam hatinya 

melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.

"Barrru... sajaaa... diiia... dia pergi," ucap Peramal 

Pikun dengan lirih sekali dan susah payah melontarkan 

nya.

"Siapa? Siapa yang menyerangmu?" desak Suto.

Dewa Racun menyahut, "Renggono, kau pasti ter...

terkena pukulan... pukulan 'Racun Sengat Cobra' 

Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... ada 

lah Siluman Tujuh Nyawa! Bbbe... benarkah yang

datang menyerangmu aaad... ada... adalah Siluman 

Tujuh Nyawa itu?"

Peramal Pikun makin berat helakan napas. Ada 

sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar.

Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar

dari mulut.

Melihat keadaan sudah separah itu, Suto cepat-cepat 

ambil bumbung tuaknya yang sejak tadi tersandar di 

punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung, 

dan ia tenggak tuak beberapa teguk, sebagian di

pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta

tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Peramal Piku 

Buuurs... bruus...!

"Ahhg... aahg...!" Peramal Pikun gelagapan.

Suto tuang tuak ke dalam mulutnya lagi, lalu 

semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...! 

Bruuus...! Bweeerrs...!

"Ahhhhggg...!"tubuh Peramal Pikun mengejang kaku, 

kepalanya terdongak ke atas dengan mata tuanya 

terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar 

asap kehijau-hijauan. Peramal Pikun mengerang dengan 

suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh kakunya 

menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap 

lubang pori-pori tubuhnya. Asap kehijauan itu 

mengabarkan bau aroma sangit, seperti rambut terbakar.

Melihat hal itu, Dewa Racun mundur tiga tindak. 

Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan 

Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang 

memandang walau ia pun mundur satu tindak.

Setelah asap kehijauan membungkus tubuh Peramal 

Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama 

makin habis. Tapi tubuh Peramal Pikun tidak sekejang 

tadi. Tubuh itu terkulai lemas dengan mata terpejam. 

Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa 

Racun menyangka Peramal Pikun mati. Tapi melihat 

dari gerakan dadanya yang turun naik dengan pelan itu, 

Dewa Racun yakin bahwa Renggono tidak mati.

Hal yang kemudian membuat Dewa Racun tak 

berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan 

yang bersih di tubuh itu. Bintik-bintik merah seperti 

cacar berdarah itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. 

Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung,

bibir, dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal 

Pikun bagaikan orang sedang tertidur dalam istirahat 

tenangnya.

Pendekar Mabuk sedikit sunggingkan senyum. Wajah 

cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan 

sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia segera 

melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling 

tempat itu, sambil melewati Dewa Racun dan berkata,

"Biarkan ia tidur sejenak."

Dewa Racun tidak mengucapkan sepatah kata pun, 

karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran 

melihat cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar 

Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana, tuak diminum, 

dikumur-kumur, lalu disemburkan. Mudah sekali, tapi 

sebenarnya punya kekuatan ilmu tinggi. Pengobatan 

seperti itu belum pernah dilihat Dewa Racun

sebelumnya.

"Aneh sekali," Dewa Racun membatin, "Begitu 

sederhana tapi punya khasiat yang amat tinggi. Luka itu 

lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal 

Pikun kelihatan kembali segar tubuhnya. Ilmu macam 

apa sebenarnya yang dimiliki anak muda itu?"

Dewa Racun cepat berkelebat menyusul Suto di luar 

pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu 

dengan mata memandang dedaunan.

"Saam... sampai kapan dddii... dia siuman?"

"Dia tidak pingsan. Dia hanya tertidur sebentar. Tak 

lama dia akan bangun. Tapi...," Suto diam, berkerut dahi, 

dan melepaskan kerutannya, seakan pasrah pada 

keadaan.

Dewa Racun jadi penasaran, lalu ajukan pertanyaan 

yang mendesak,

"Tapi kena... kenapa?"

"Dia akan lupa padaku."

"Maks... maksud... maksudmu?"

"Ilmu 'Sembur Husada' adalah jenis pengobatan yang 

bersifat sangat gawat. Korban bisa sembuh, tapi dia akan 

lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan 

bertemu dengan aku."

"Mengapa bisa begitu?"

"Semburan tuakku membuat ingatan masa lalunya 

tersapu habis. Terutama ingatan masa lalu tentang 

diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak 

berbekas."

"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu."

"Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong 

sesama," Pendekar Mabuk merendahkan diri. Dewa 

Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu 

depan Suto dan bertanya,

"App... apakah... ilmu 'Sembur Husada' bisa untuk... 

untuk mengobati segala macam luka raac... raac... 

racun?"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum rikuh, namun 

ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."

"Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua... 

semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu 

Sembur Hus... Huss...."

"Di sini tak ada ayam, tak perlu berhas-hus, has-hus!" 

Suto terkikik geli. Dewa Racun bersungut-sungut.

Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari 

pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja 

bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera 

berseri setelah memandang Dewa Racun.

"Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa 

teman baru? Hmm... siapa namanya? Kulihat anak muda 

itu cukup gagah dan ganteng."

Dewa Racun kerutkan dahi, lalu ucapkan kata lirih 

seperti bicara pada diri sendiri,

"Benar juga apa katamu, Sut... Sut... Suto! Dia tidak 

mengenalimu laaa... laaa... lagi!"

"Tak apa. Kau bisa membimbing ingatannya dengan 

menceritakan tentang diriku."

Peramal Pikun mendekati Dewa Racun dan Suto, tapi 

ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu

melihat Suto. Dewa Racun segera ajukan tanya,

"Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"

"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak 

tadi! O, ya... siapa namamu, Anak Muda?"

"Suto...!"

"Hmmm... Suto...? Ya, sepertinya aku pernah dengar, 

tapi di mana dan kapan. Aku lupa. Maklum sudah tua, 

sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir 

terkekeh.

"Dia yang baru saja sembuhkan kamu, Renggono!"

"Sembuhkan aku? Hmm...?" Renggono kerutkan dahi 

mengingat-ingat. "Seingatku, aku tadi dapat serangan 

dari orang tinggi besar menggendong tambang di 

pundaknya...."

"Tinggi, bess... besar...? Gendong tambang di pun... 

pundak?"

"Ya. Orang itu serang aku, karena ia tersinggung 

dengan jawabanku. Dia tanyakan di mana murid si Gila 

Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap 

gentong tuak, lalu dia marah. Dia serang aku habis-

habisan dan...."

"Dia itulah yang... yang... yang bernama Dadung 

Amuk!" sela Dewa Racun.

"Siapa Dadung Amuk itu?" 

"Oor... or... or... orang kepercayaan Siluman Tujuh 

Nyawa! Pantas kaal... kaaall... kalau kau kena pukulan 

'Racun Sengat Cobra'!"

"Dadung Amuk?!" gumam Pendekar Mabuk. "Dia 

cari aku? Untuk apa dan ke mana dia sekarang?"


3

KEPERGIAN ke Pulau Serindu tertunda karena hati 

Suto dibuat penasaran oleh dua kejadian aneh, yaitu 

kematian Perawan Sesat dan penyerangan terhadap diri 

Peramal Pikun. Sesuatu yang amat membuat penasaran 

hati Suto adalah ciri-ciri orang yang menyerang Peramal 

Pikun. Kepada Dewa Racun, Peramal Pikun 

mengatakan, bahwa orang yang menyerangnya dengan 

sebuah pukulan 'Racun Sengat Cobra' itu adalah orang 

yang tinggi, besar, matanya lebar, berkumis tebal 

melintang, jari-jari tangannya besar, alis juga tebal. 

Pakaiannya komprang, baju tak dikancingkan.

"Menurutku, orang itu bukan bernama Dadung 

Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai. "Aku 

pernah jumpai orang yang berciri-ciri begitu."

"Dddi... di... di mana kamu pernah jumpa orang itu?"

"Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu akan kita 

lewati."

"App... appa... apakah dia penduduk asli desa itu?"

"Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab Suto 

memastikan diri.

Dewa Racun diam memikirkah jawaban-jawaban 

Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya 

lagi,

"Set... set... seet... setahuku, Dadung Amuk tidak 

pernah tinggal menetap di sebuah desa. Ia selalu ikut ke 

mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia

termasuk tangan kanannya Siluman Tujuh Nya... Nya... 

Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena ia 

termasuk murid dari Siluman Tujuh Nyawa."

"Setahuku," kata Pendekar Mabuk setelah diam 

sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri seperti warok, bukan 

bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong! 

Dan dia tidak punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"

Pendekar Mabuk ingat saat ia mengejar Peri Malam 

dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah 

kedai. Suto mengisi tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia 

diganggu oleh penampilan seseorang yang bertubuh 

tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya 

mirip dengan orang yang diceritakan Peramal Pikun. 

Pendekar Mabuk sempat menumbangkan orang itu, dan 

orang itu bernama Singo Bodong. Bahkan waktu 

bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut 

hadir sebagai pendengar saat Suto menuturkan kisah 

kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan. Singo 

Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum 

Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Darah Asmara Gila").

Jika benar orang yang ciri-cirinya diceritakan oleh 

Peramal Pikun adalah Singo Bodong, yang mungkin 

juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar 

terkecoh kala itu. Ia menyangka Singo Bodong orang 

polos dan lugu dalam hal keilmuannya, tapi ternyata 

justru berilmu tinggi dan berbahaya, ia bisa 

melumpuhkan Peramal Pikun yang punya ilmu cukup 

tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.

Sebab menurut dugaan Dewa Racun, orang yang 

membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama 

dengan yang telah menyerang Peramal Pikun. Luka 

koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat diduga 

merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun 

tahu, bahwa Dadung Amuk banyak menggunakan 

senjata cambuk dalam pertarungannya. Sedangkan 

setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa-

bawa cambuk yang berupa tali di pundaknya. Inilah beda 

gambaran antara Dadung Amuk dengan Singo Bodong.

"Ada apa dia mencariku, sehingga dia membunuh 

Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun?" tanya 

Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri. 

Dewa Racun mendengar dan menanggapinya,

"Ku... ku... kurasa, kematian Perawan Sesat tid... 

tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu. Ku... 

kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib 

Peramal Pikun."

"Maksudmu?"

"Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung 

Amuk tersinggung, atau merasa jengkel dengan jaaa... 

jaaa...."

"Janda?"

"Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan 

Sesat. Seb... seeeb... seeb...." 

"Sebul?"

"Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah 

tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal... kalau 

sedang marah, tak segan-segan membunuh orang


walaupun perkaranya kee... keee...." 

"Kecil!"

"Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin 

Dadung Amuk bunuh ooor... orrr... orrr..." 

"Orok?"

"Orang!" sentak Dewa Racun.

"Kau tahu banyak tentang dia rupanya?"

"Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di 

Puri Gerbang Surgawi. Ak... aku... aku pernah terdesak 

melawannya."

Semakin sangsi hati Suto. Jika benar Singo Bodong 

itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun 

terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa 

Racun itu agaknya bukan pengakuan yang dibuat-buat. 

Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu.

Jika benar Dadung Amuk itu adalah Singo Bodong, 

maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar 

Mabuk. Tapi tidak wajar jika dia mencari Suto sampai 

membunuh Perawan Sesat atau melukai Peramal Pikun.

Langkah Pendekar Mabuk pun terhenti kembali. Kali 

ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena 

dia tidak tahu bahwa Suto akan menghentikan 

langkahnya, ia sempat mengomel,

"Lain kali kalau mau berhenti kasih tan... tan... tanda! 

Jadi aku tidak menabrakmu!"

"Kita sudah sampai di batas desa yang kuceritakan 

tadi."

"Hmmm... kkaal... kalau begitu, mari kita cari orang

yang... yang kamu bilang beer... berr... bernama Singo

Dobong!"

"Singo Bodong!" Pendekar Mabuk membetulkan. 

"O, iya. Singo Bodong!"

"Tak usah jauh-jauh mencarinya," kata Suto. "Kita 

bisa nongkrong di kedai yang dulu pernah kusinggahi 

itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo 

Bodong. Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana 

ada jual arak. Singo Bodong suka minum arak. Kita bisa 

sergap dia di sana!"

Sebuah kedai yang dulu pernah disinggahi Suto, 

keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya 

ditunggui oleh pemiliknya seorang perempuan tua kurus. 

Sekarang perempuan tua itu bersama suaminya, yang 

juga kurus badannya.

Kedai itu mempunyai bentuk meja yang berkeliling 

dalam bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan 

mempunyai bangku yang panjang pula. Saat Suto dan 

Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada empat 

pembeli, dua di meja yang berhadapan dengan Pendekar 

Mabuk dan Dewa Racun, dua lagi ada di samping depan 

Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama kali yang 

dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke 

dalam bumbung tuaknya.

Dua pembeli yang duduk berseberangan meja dengan 

Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil 

Dewa Racun. Mereka sebentar-sebentar melirik, 

berbisik, cekikik-cekikik, sambil menikmati 

makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan 

kejengkelan hati, sebab ia tahu dirinya ditertawakan.

Bahkan yang berbaju hijau berseru kepada pemilik 

kedai.

"Mak, Mak... tolong ambilkan kerupuk gendar di 

depan bocah cilik itu, Mak!"

Sebelum pemilik kedai mengambil kerupuk gendar, 

Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil 

berkata,

"Tak usah merepotkan si Mak, Kang.... Ini kuambil... 

kuambilkan! Te... te... terimalah!"

Wuuuttt...!

Dewa Racun melemparkan kerupuk gendar kepada si 

baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap, 

claapp...! Ia tersenyum menunjukkan ketangkasannya.

"Terima kasih, Nang! Kecil-kecil sudah ringan tangan 

besok gedenya pasti panjang tangan, he he he...!" si baju 

hijau tertawa, temannya si baju hitam juga tertawa. 

Temannya itu segera memotong kerupuk gendar 

tersebut, lalu keduanya sama-sama mencaplok kerupuk 

gendar yang agaknya baru saja digoreng sehingga 

terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada 

di depan samping Pendekar Mabuk itu jadi kepingin dan 

dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya 

dengan nikmat.

Pendekar Mabuk diam-diam sudah menaruh curiga 

pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk 

memandangi wajah dua orang yang sebentar-sebentar 

cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin lama 

makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang 

tersebut. Dari pori-pori wajahnya keluar rambut kecil

kecil. Rambut itu makin lama makin cepat 

bertumbuhnya, sehingga wajah orang itu mulai 

menghitam samar-samar.

Pemilik kedai dan dua orang di samping depan Suto 

itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang 

itu. Bahkan yang berbaju putih berseru,

"Kang, Kang...! Kenapa wajah kalian itu? Banyak 

rambutnya!"

Orang berbaju hitam memandang temannya dan 

berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"

Yang dipanggil Min juga berkata kepada si baju 

hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya, Jo?!"

Lalu, kedua orang itu saling tegang. Mereka 

mengusap-usap rambut di wajah, mengibas-

ngibaskannya, tapi rambut tetap tumbuh dengan cepat. 

Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan 

panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya 

digosokkan ke wajah. Tapi pertumbuhan rambut begitu 

cepat dan semakin lebat. Bahkan bukan hanya di 

wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta 

sekujur tubuh menjadi berambut lebat. Rambut 

kepalanya sendiri menjadi meriap panjang.

"Kenapa kita ini, Jo...?! Ooh... gatal sekali! Uuh...!"

"Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh, gatal sekali 

rambut-rambut ini?! Oooh... bagaimana ini, Min?!"

Suasana menjadi gaduh. Kedua orang itu garuk-garuk 

dan berpola serba salah. Rambut makin menutup sekujur 

tubuhnya. Mereka jejeritan sambil meraungkan tangis 

ketakutan. Satu dari mereka lari ke bawah pohon dan

menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang 

pohon itu. Temannya pun menyusul, sehingga akhirnya 

mereka jadi bahan tontonan orang banyak.

"Mungkin dia keracunan kerupuk gendar yang 

dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang 

duduk di samping orang berbaju putih. Yang berbaju 

putih menyanggah.

"Ah, kurasa kerupuk itu tidak ada racunnya. Buktinya 

aku juga makan kerupuk itu dan tidak tumbuh rambut 

seperti mereka!"

Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai 

tangannya sendiri. Pendekar Mabuk melirik dan 

membatin, "Tak salah lagi dugaanku, pasti dia yang 

bikin ulah terhadap dua orang itu. Tapi, biar sajalah. Biar 

dua orang itu belajar untuk tidak menertawakan 

kecacatan seseorang. Biar kapok mereka! Cuma... diam-

diam hebat juga Dewa Racun ini. Pasti saat ia lemparkan 

kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam kerupuk 

yang membuat pertumbuhan bulu kedua orang itu 

menjadi cepat dan lebat."

Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang. 

Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan 

kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti 

monyet kegatalan. Tontonan itu memancing seseorang 

untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-

tunggu oleh Suto.

Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada 

Suto,

"Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa...

datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya 

Dadung Amuk!"

Suto kerutkan dahi. Setahu Suto, orang tinggi besar 

yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan

Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang 

seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Suto pun 

membantah.

"Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi 

bernama Singo Bodong!"

"Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak... 

aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti 

mengenaliku, Suto! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, 

cobalah kau panggil dia!"

Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan 

mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat 

ulah kebingungan dua manusia berbulu itu.

"Huaaa, ha ha ha ha...! Ini baru tontonan segar, hua, 

ha ha ha...!"

Dari tempat duduknya di kedai itu, Suto mengambil 

sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan 

jagung rebus di atas meja. Biji jagung rebus yang lunak 

itu disentilkan ke betis orang tinggi besar tersebut.

Tasss...!

Biji jagung melesat cepat, mengenai betis yang 

sebesar gedebong pisang. Plik...!

"Aaauh...!" orang tinggi besar itu tiba-tiba menjerit 

dan jatuh ke tanah dalam keadaan terduduk, ia 

mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba

sakit sekali bagai dipatok ular berbisa, ia meraung

sambil memaki-maki kesakitan,

"Babi bunting! Siapa yang lempar kakiku pakai batu 

besar, hah?! Kucing kurap! Kambing kudis! Auuooh.. 

sakitnya, Diamput!"

Pendekar Mabuk berbisik kepada Dewa Racun, 

"Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan 

meraung kesakitan hanya terkena sentilan jagung rebus!"

"Aneh?!" gumam Dewa Racun sambil memandangi 

orang besar itu dengan mata terbengong. Lalu, ia segera 

bisikan kata pada Suto.

"Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak bisa 

kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena 

sebutir jagung, walau kau isi tenaga dalam, terkena 

tendangan dadanya ser... ser... seribu kali juga tidak akan 

mengaduh begitu."

"Itu tandanya dia bukan Dadung Amuk!"

"Tid... tidak... tidak mungkin. Dia pasti Dadung 

Amuk. Aku kenali suara tawanya tadi!"

Orang-orang yang menonton dua manusia berbulu itu 

sebagian memandang dan mengerumuni orang besar 

yang kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu 

memar membiru sebesar kelereng. Jelas itu karena 

tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui 

sebutir jagung rebus tadi. Jika tidak dialiri tenaga dalam, 

tak mungkin bisa membekas biru dan membuat orang 

tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja 

tenaga dalam itu tidak berbahaya. Suto Sinting tidak 

ingin mencelaki orang tak bersalah.

"Ada apa ini?!" Suto tampil dengan lagak tidak tahu

menahu.

"Oh, kamu...?! Kebetulan, kakiku sakit sekali, ada 

yang melemparnya pakai batu besar. Entah siapa 

orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong 

sembuhkan kakiku ini, sepertinya lumpuh dan tak bisa

dipakai berdiri lagi!"

"Mungkin kena kencing kodok, Kang!" kata Suto 

dengan kalem. Kemudian betis itu diperiksanya sebentar, 

dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!

"Wadooow...!" teriak orang itu dengan mulut lebar 

menganga. Teriakan itu justru ditertawakan oleh 

beberapa orang, karena wajah angker orang tinggi besar 

itu kelihatan lucu dalam keadaan meraung kesakitan 

begitu.

"Kamu ini bagaimana? Kusuruh menyembuhkan 

malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah 

gurumu si Gila Tuak jika harus menolong orang?!"

"Maaf, memang begitulah caraku mengobati penyakit 

seperti ini! Kalau kau tak terima, kukembalikan lagi 

penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk 

menabok betis lagi,

"Eeeh, jangan, jangan! Sudah. Sudah cukup...!" orang 

itu menggerak-gerakkan kakinya. "Hmmm... kok rasa 

sakitnya jadi hilang seketika? Tadinya urat kakiku terasa 

kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan 

kakinya ke depan.

Plokkk...!

Tiba-tiba ada orang yang terkena sentakkan kaki itu. 

Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak

mengalami luka apa pun. Orang besar itu justru 

mengomel.

"Lain kali kalau ada orang sedang goyang-goyangkan 

kaki jangan di depannya, tahu?! Kalau kena begitu 

bukan salah kakinya!"

Orang besar itu berdiri, mencoba berjalan mondar-

mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya 

nyengir kepada Pendekar Mabuk.

"Enteng sekali, Suto! Tak ada rasa sakit sedikit pun! 

Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Mabuk!"

Lalu, dia segera mendekat dan menepuk-nepuk 

pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini? Kapan 

datangnya, Suto?"

Pendekar Mabuk tidak langsung menjawab, tapi 

melirik tangan orang itu yang menepuk-nepuk 

pundaknya. Orang itu cepat-cepat hentikan gerakan 

tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir 

malu.

"Maaf, bukan maksudku berkurang ajar padamu. Aku 

gembira sekali kau datang dan tentunya kau 

menceritakan kisah pertempuran tokoh-tokoh di dunia 

persilatan, seperti waktu di rumahnya Kriyo Suntuk itu, 

bukan?"

"Apa benar kau yang bernama Singo Bodong?"

"O, ya jelas! Jelas!" Singo Bodong busungkan dada. 

"Orang perkasa begini mana ada lainnya kecuali Singo 

Bodong! Semua penduduk desa sini tahu kalau orang 

gagah dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha 

ha ha ha...! Ayo kutraktir minum kau! Mau minum Arak

Mujolangu atau Tuak Kebalen?"

Dewa Racun garuk-garuk kepala melihat keakraban 

Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya 

Dadung Amuk itu. Di dalam hati Dewa Racun masih 

membantah penglihatannya.

"Tak mungkin Dadung Amuk seperti ini. Tendangan 

kakinya yang tak sengaja mengenai orang tadi, membuat 

orang itu tidak apa-apa. Padahal angin tendangan 

Dadung Amuk sudah cukup membuat mulut orang 

menjadi pecah. Baru anginnya saja begitu, apalagi 

tendangan langsungnya. Hmmm... dia sepertinya 

memang bukan Dadung Amuk, tapi mataku belum rabun 

dan belum pikun, aku lihat jelas orang itu adalah Dadung 

Amuk. Anehnya dia sangat akrab dengan Suto?! Apakah 

dia mengenaliku juga? Seharusnya dia mengenaliku 

sebagai orang Puri Gerbang Surgawi, sebab aku pernah 

bertarung dengannya beberapa waktu yang lalu."

Pendekar Mabuk mengajak Singo Bodong duduk di 

dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada 

Singo Bodong.

"Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang 

sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina 

kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua 

orang tadi."

"Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan 

menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa 

Racun?"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun, 

melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong,

"Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama 

Dadung Amuk?"

"Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo 

Bodong dengan polos, tanpa ngotot sedikit pun.

"Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya 

Siluman Tujuh Nyawa!"

Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok 

punya tujuh nyawa? Orang mana dia itu?"

"Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" 

sentak Dewa Racun dengan kegeramannya. Singo 

Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang 

Suto.

"Kenapa dia galak padaku, Suto?"

*

* *

4

KALAU tidak ditahan Suto, Dewa Racun sudah 

melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Singo 

Bodong. Pukulan itu menyentak begitu saja melalui 

telapak tangan kiri Dewa Racun. Karena Suto berada di 

depan Singo Bodong, maka pukulan itu dihadang dengan 

tangan kanan Suto. Deebb...!

Tubuh Dewa Racun terguncang sedikit, seperti mau 

jatuh. Tubuh Pendekar Mabuk juga meliuk sedikit ke 

belakang. Itu pertanda pukulan tenaga dalam yang 

dilancarkan Dewa Racun cukup besar. Setidaknya dapat 

membuat dada Singo Bodong memar membiru jika 

terkena pukulan itu.

"Suto, mengapa temanmu memusuhiku? Aku tidak 

menghinanya dan tidak pula meremehkan kesaktiannya. 

Sumpah! Aku tidak menghinanya sedikit pun! Apa 

salahku hingga dia memusuhi aku?!"

"Tenanglah. Temanku ini tidak suka dengar orang 

banyak omong!"

"O, ya ya ya...! Aku akan diam," kata Singo Bodong 

kelihatan sangat ketakutan. Dari raut mukanya saja 

sudah dapat diketahui, Singo Bodong benar-benar 

ketakutan hingga wajahnya jadi pucat.

"Dewa Racun, kurasa ada sedikit kesalahpahaman di 

antara kita. Sebaiknya kita selesaikan dengan baik-baik."

"Aku masih tidak percaya kalau dia buk... buk... 

bukan Dadung Amuk! Aku kenal betul lagak-lagaknya!"

"Ya. Boleh saja kau beranggapan begitu. Tapi lihat 

wajah pucatnya. Dia benar-benar takut padamu!"

Dewa Racun perhatikan kepucatan wajah Singo 

Bodong. Yang diperhatikan sedikit tundukkan kepala 

alihkan pandangan dengan perasaan takut. Kemudian, 

terdengar Pendekar Mabuk berbisik lagi,

"Dewa Racun, kita cari tempat yang lebih baik untuk 

selesaikan perkara ini!"

"Baik!" jawab Dewa Racun dengan wajah bersungut-

sungut memendam kejengkelan.

Pendekar Mabuk membawa mereka berdua di 

perbatasan desa. Di sana ada pohon rindang yang 

berbentuk seperti payung raksasa. Biasanya pohon itu 

dipakai meneduh anak-anak penggembala kambing. Tapi 

kala itu suasana sepi, tak ada anak-anak penggembala

kambing. Mungkin mereka sedang bermain ke pantai 

yang ada di sebelah utara desa itu. Sebab, sebagian dari 

penduduk desa itu ada yang hidup sebagai nelayan, ada 

pula yang bercocok tanam. Yang rumahnya lebih ke 

utara hidup dengan bernelayan, yang rumahnya lebih ke 

selatan hidup dengan bercocok tanam atau berternak 

kambing.

Pendekar Mabuk berhenti melangkah setelah sampai 

di bawah pohon besar yang rindang mirip payung 

raksasa itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun, 

karena takut kalau-kalau manusia kerdil itu tiba-tiba 

menyerang Singo Bodong.

"Suto," kata Singo Bodong. "Aku sangat senang 

sekali bisa bertemu denganmu. Aku mencarimu ke 

mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan. 

Aku sangat berharap bisa bertemu dengan kamu. 

Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke 

mana pun kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian 

ilmumu. Aku ingin berguru kepadamu supaya punya 

simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku 

merasa dimusuhi oleh temanmu ini, aku jadi tak berani 

ikut kamu. Aku bisa mati dihajar oleh temanmu, yang 

walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya tinggi."

"Darimana kau tahu kalau dia berilmu tinggi?" 

pancing Pendekar Mabuk.

"Dari caranya memandang diriku, dia tak punya rasa 

takut sedikit pun. Kalau orang tidak punya ilmu tinggi, 

dia pasti akan takut memandang diriku yang tinggi, 

besar dan kelihatannya angker ini!"

Sederhana sekali cara berpikirnya, pikir Pendekar 

Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia 

pun segera berkata kepada Dewa Racun,

"Kurasa kau sudah mendengar sendiri kata-katanya 

tadi, Dewa Racun. Dia takut padamu."

"It... itu... itu hanya pura-pura saja! Ak... aku... aku 

masih ingin menjajalnya. Dia akan kupaksa agar 

menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"

"Jangan. Itu berbahaya. Dia bisa mati karena 

pukulanmu tadi!"

"Om... om... om...."

"Ompong?!"

"Omong kosong!" sentak Dewa Racun. "Dii... dia 

bisa menangkisnya sendiri. Kal... kalau... kalau tidak 

percaya, hhiiah...!"

Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan dua tangannya dari 

atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi. 

Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting. 

Tenaga dalam dihempaskan dari kedua tangan dan 

dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.

Singo Bodong yang masih terbengong tiba-tiba 

terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya 

bagaikan terbang dengan membungkuk ke depan, dan 

akhirnya jatuh terkapar sambil meraung keras-keras, ia 

terbatuk-batuk di sana dan memuntahkan darah kental 

dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat 

Suto cemas.

Suto bergegas menghampirinya. Menarik tangan 

Singo Bodong hingga terduduk di tempat. Mata orang

tinggi besar berkumis melintang itu terbeliak-beliak 

bagai sedang sekarat. Suto cepat tempelkan tangan 

kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni 

disalurkan lewat punggung Singo Bodong. Kejap 

berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang-

panjang, lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa 

bernapas dan tersengal-sengal.

"Adduuh... apa salahku, Suto?" ratapnya dengan nada 

sangat menderita sekali. "Kau bawa aku kemari hanya 

untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja, 

Suto!"

"Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka 

Dadung Amuk."

"Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu 

yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo 

Bodong, (dadung = tali tambang).

Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar 

Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah 

bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin,

"Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia 

biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau secara 

diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu 

menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak 

segera ditolong Suto, bisa mati dia! Apakah dia memang 

bukan Dadung Amuk? Rasa-rasanya sulit aku 

mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk?!"

Suto Sinting berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa 

sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia kosong. 

Tidak punya ilmu apa-apa."

"Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan 

liciknya, Suto," balas Dewa Racun berbisik.

"Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya, 

aku tidak merasakan getaran membalik sedikit pun. Itu 

tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."

"Benarkah?!"

"Ya. Aku bukan ada di pihaknya! Aku hanya ingin 

mencegah agar jangan terjadi kesalahpahaman yang 

menimbulkan korban."

Dewa Racun tarik napas, mengangkat pundaknya 

pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian 

ia dekati Singo Bodong dengan maksud mau minta 

maaf. Tapi Singo Bodong bergerak lari ke belakang 

pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan 

kaget bagi si kerdil Dewa Racun, sehingga Dewa Racun 

pasang kuda-kuda dan siap menyerang dengan pukulan 

jarak jauhnya.

"Tahan...!" sentak Suto cepat-cepat.

"Suto, aku mau pulang saja!" kata Singo Bodong 

dengan wajah makin merasa ngeri berada di depan Dewa 

Racun.

"Jangan bikin dia ketakutan dulu kalau kau mau tahu 

bagaimana keadaan sebenarnya." kata Suto kepada 

Dewa Racun.

"Kkku... kupikir dia mau menyerangku," kata Dewa 

Racun dengan tersipu malu. Melihat ada senyum malu di 

bibir Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika 

Suto memanggilnya, ia pun mendekat.

Dewa Racun segera berkata kepada Singo Bodong,

"Maafkan aku. Kau memang mirip sekali dengan bekas 

mus... mus... musuhku!"

"Aku merasa tidak bermusuhan denganmu."

"Kkau... kau berkata dde... dengan sungguh-

sungguh?"

"Sumpah! Berani disambar janda terbang atau apa 

saja, aku bukan musuhmu. Mak... mak... maksudku aku 

tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"

"Hai! Jang... jangan... jangan ikut-ikutan gagap 

kamu!" gertak Dewa Racun.

"Aku bukan ikut-ikutan gagap. Ak... aku... aku takut 

sama kamu!"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengarnya. Yang 

satu memang gagap omongannya, yang satu gagap 

karena gugup. Keringat dingin Singo Bodong sampai 

keluar semua karena ia duduk berhadapan dengan Dewa

Racun yang berdiri, ia merasa ngeri kalau sewaktu-

waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau 

tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup 

menghadapi Dewa Racun.

"Jad... jadi... jadi kamu bukan Dadung Amuk?'

"Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"

"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk tertawa terbahak-

bahak melihat kedua orang itu. Yang satu kecil tapi 

berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan 

yang menggelikan buat Suto.

Setelah tawa dan kegelian itu reda, Suto bertanya 

pada Singo Bodong,

"Apakah kau belum pernah mendengar nama Dadung

Amuk?"

"Belum, Suto."

"Apakah di sini ada yang bernama Dadung Amuk?"

"Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk di 

desa ini."

"Kal... kalau... kalau orang yang mirip kamu, apa ada 

di desa ini, Sing... Sing... Sing... Singo Bodong?"

"Tidak ada. Tidak ada orang yang mirip aku di sini!" 

kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto,

"Aku capek kalau dia ngomong."

"Ssst...!" Suto mengingatkan, Singo Bodong segera 

diam.

"Tap... tapi... tapi tadi di sana kudengar kamu 

mencari-cari Suto sam... sampai ke mana-mana. Apakah 

benar begitu?"

"Ya. Benar."

"Da... Dadung Amuk jug... juga mencari-cari Suto!"

"Apa perlunya dia mencari Suto? Kurasa berbeda 

dengan keperluanku mencari Suto," jawab Singo 

Bodong.

"Ap... apa... apa perlumu mencari Suto?"

"Mmmmau... mau berguru!" jawab Singo Bodong 

dengan masih menyimpan rasa waswas, takut dipukul 

orang kerdil itu.

"Mmme... meng... mengapa kamu mau berguru 

kepada Suto?"

"Sebab... sebab... sebab Suto sakti. Pendekar Mabuk 

punya ilmu tinggi. Aku kepingin seperti Pendekar 

Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan

menjadi muridnya juga, seperti Suto. Ak... aku... aku 

malu jadi orang besar dan berwajah angker begini, tapi 

tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku— aku malu 

pada diriku sendiri."

Plakkk...!

"Jangan ikut-ikutan gagap, nanti aku tersinggung!" 

kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi Singo 

Bodong. Yang ditampar kaget dan segera menggeser 

duduknya agak menjauh, sambil mengusap-usap pipinya 

yang pedas karena tamparan tangan kecil berbobot besar.

Pendekar Mabuk segera berkata kepada Dewa Racun, 

"Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar 

denganmu." Setelah itu Suto melangkah agak menjauhi 

Singo Bodong. Dewa Racun segera mendekati.

Suto segera jongkok biar bisik-bisiknya jelas di 

telinga Dewa Racun,

"Aku punya gagasan untuk membawa serta Singo

Bodong ke mana pun kita pergi."

"Apa... apa mak... mak... maksudmu membawa dia?" 

bisik Dewa Racun.

"Kalau dia bersama kita terus, segala gerak-geriknya 

bisa kita awasi, sehingga kita tahu apakah dia berpura-

pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa 

membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan 

pembantaian terhadap siapa pun, kalau memang ternyata 

Singo Bodong adalah Dadung Amuk." 

"Hmmm... ya, ak... ak... aku tahu maksudmu 

sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men... 

mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura

pura lengah, sup... supaya dia terpancing dengan jati 

dirinya. Tap... tapi kalau dia memang bukan Dadung 

Amu dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan 

penakut, apakah dia tidak akan menambah beb... beb...

beban kita?"

"Kit... kita bisa gunakan tenaga kasarnya," jawab

Suto agak terbawa gagap. Akhirnya ia tertawa sendiri 

karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.

Kepada Singo Bodong, Suto berkata, "Singo Bodong, 

aku dan Dewa Racun mau pergi menyeberang lautan. 

Apakah kau mau ikut kami?!"

"Iyyy... iya! Mau! Mmmmau... mau sekali!" sambil 

berdiri penuh semangat. Tapi Dewa Racun menggerutu,

"Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak 

disengaja?!"

"Dia kegirangan. Wajar kalau gagap sedikit. Jangan 

tersinggung."

Pendekar Mabuk ganti bicara pada Singo Bodong, 

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"

"Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar, 

Suto? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia tahu 

ke mana aku pergi!"

"Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi 

mass... masih harus pamit ibunya segala!" kata Dewa 

Racun.

"Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah."

"Tak ada temannya?"

"Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik

perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku

dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik 

iparnya!"

"Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!" 

kata Pendekar Mabuk sedikit membentak dan menahan 

rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa 

makanan kalau memang ada."

"Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang 

tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?"

"Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun 

berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.

Singo Bodong berlari seperti kerbau kebakaran ekor. 

Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang 

digunakan dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa 

Racun sengaja memperhatikan larinya untuk meneliti 

kebenaran jati diri Singo Bodong.

"Orang berilmu tinggi tidak mungkin berlari seperti

itu," kata Suto bersuara lirih.

"Kalau dia pintar bersandiwara, jelas dia akan berlari 

seperti itu di depp... deep... depan kita!"

Terdengar Suto berkata lagi tanpa memandang Dewa 

Racun.

"Bagaimana mengenai wajah pucatnya? Apakah

orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan 

sendirinya? Apakah wajah pucat bisa timbul pada diri 

orang yang berpura-pura takut?"

"Memm... memm... memang tidak bisa. Tap... tapi

kalau dia pandai berpura-pura, wajah pucat bis... bis...

bisa keluar dengan sen... sendirinya."

Suto Sinting duduk di sebuah batu yang licin, di

bawah pohon. Batu itu agaknya sudah sering digunakan

duduk oleh para penggembala, ia mengambil bumbung

dan menenggak tuak beberapa teguk.

Napas dihempas lepas, Suto berkata bebas, "Orang itu 

memang aneh dan membingungkan. Kalau tidak ada

penjelasan darimu tentang Dadung Amuk, aku tidak

akan terheran-heran dan bingung sendiri seperti saat ini. 

Separo hatiku percaya bahwa dia adalah Singo Bodong, 

tapi separo hatiku sangsi. Hanya saja aku lebih

mengikuti separo hatiku yang percaya bahwa dia Singo

Bodong."

"Sep... sep... separo hatiku juga sangsi, tapi separo

hatiku percaya bahwa dia Dadung Amuk, dan akk... ak 

cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah... bahwa

dia adalah Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja! 

Kal... kalau dia menggantungkan tali di pundaknya ak... 

aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk. 

Dan... dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"

"Curiga akan hal apa? Wajahmu jadi tegang, Dewa 

Racun?!"

"Jaaa... jang... jangan-jangan, dia melarikan diri 

karena kita telah tahu kedoknya, bahwa dia addda... 

adalah Dadung Amuk?!"

"Melarikan diri?"

"lyyy... iyaa.... Dia melarikan diri dan mencari 

kelengahanmu untuk menyerangmu dari belakang! Aku 

menyusulnya ke sana!"

Dewa Racun cepat sentakkan kaki dan melesat pergi. 

Suto terperanjat dan berseru,

"Mau ke mana kau?"

"Mencari rumah Singo Bodong dan membuktikan 

bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir... diri! 

tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"

Tak sempat Suto punya pertimbangan lain, Dewa 

Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di 

bawah pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan 

kejadian eneh tersebut. Suto membatin,

"Ada benarnya dugaan Dewa Racun. Kalau memang 

Singo Bodong adalah Dadung Amuk, bisa jadi dia 

melarikan diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan 

menghantamku dari belakang, tapi apa mungkin hal itu 

akan terjadi? Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan 

denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu 

keperluan. Hanya karena jawaban Peramal Pikun waktu 

itu menyinggung perasaannya, maka dia jadi marah dan 

mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas.

Apa perlunya Dadung Amuk mencariku, juga tak jelas.

Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum pasti 

karena kesalahan bicara. Mungkin punya alasan lain. 

Mungkin malah bukan Dadung Amuk yang 

membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu terlalu gampang 

mengambil kesimpulan. Aku tak perlu gegabah dalam 

bertindak. Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa 

bertemu dengan Dadung Amuk yang sebenarnya, supaya 

persoalan ini menjadi gamblang. Setelah itu, baru aku 

berangkat ke Pulau Serindu."

Pendekar Mabuk hempaskan napas panjang. Dewa 

Racun belum muncul juga bersama Singo Bodong.

Apakah ada masalah di sana? Jangan-jangan Dewa 

Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya 

Singo Bodong hingga terjadi keributan? Itu yang 

mencemaskan hati Suto. Maka, Suto pun bergegas untuk 

menyusul ke pertengahan desa mencari Singo Bodong 

atau Dewa Racun, ia harus mencegah rasa penasaran 

Dewa Racun, cupaya tidak timbul korban salah paham.

Tetapi baru saja Suto Sinting berdiri sambil 

membetulkan letak bumbung tuaknya di punggung, tiba-

tiba ia melihat seorang bertubuh besar melompat lari ke

arah kaki bukit di depan Suto. Cepat-cepat Suto 

menggumam dalam batinnya,

"O, rupanya Singo Bodong hanya ganti pakaian, yang 

semula hitam sekarang ganti pakai baju merah. Tapi 

celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia 

membawa tambang? Gulungan tambang itu 

digantungkan di pundak seperti tas gantung saja. Mau 

apa dia membawa tambang? Mau gali sumur atau mau 

tebang pohon? Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia 

hampir lupa menghampiriku di sini. Eh, tapi di mana 

Dewa Racun? Mengapa dia tidak bersama Dewa 

Racun?"

Pendekar Mabuk menjadi semakin curiga melihat 

gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat 

dan ringan, tidak seperti kerbau kebakaran ekornya. 

Kejap berikutnya, Singo Bodong berbaju merah tanpa 

dikancingkan itu sudah berada di depan Suto.

Matanya lebar, seperti biasanya. Alisnya tebal, 

kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo

Bodong berbaju komprang merah itu menatap Suto 

dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya 

sedikit lebih rapi dari yang tadi. Dan anehnya, Singo 

Bodong menyapa Suto dengan suaranya yang besar bulat 

seperti biasanya,

"Apakah kau kenal dengan orang yang bernama Suto 

Sinting?!"

5

KECURIGAAN Pendekar Mabuk menjadi bertambah 

setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak 

Pendekar Mabuk dengan sungguh-sungguh.

"Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja 

hah?!"

Di dalam hati Suto berkata, "Singo Bodong tidak 

akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku 

berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"

"Hei, kau tuli?!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku 

tanya kepadamu, apakah kamu kenal dengan orang yang 

bernama Suto Sinting?! Kalau kenal bilang saja kenal, 

kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku 

melabrak kepalamu, tahu?!"

"Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama 

orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Mabuk dengan 

kalem. "Siapa namanya tadi?"

"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah 

dongkol.

"Aneh. Nama kok Suto Sinting?" gumam Suto 

berlagak bingung.

"Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan 

membunuhnya!"

Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat 

terakhir. Geram mendengar dirinya dicari untuk 

dibunuh. Tapi Suto cepat menahan nafsu amarahnya, 

dan bersikap tetap tenang, ia hanya lontarkan tanya 

kepada orang itu,

"Apakah kau belum pernah bertemu dengan Suto 

Sinting?"

"Kalau sudah pernah bertemu, aku tak akan bertanya-

tanya lagi! Cukup dengan melihat orangnya, langsung 

kuhancurkan kepalanya!"

"Kau ini bagaimana? Belum pernah ketemu orangnya 

kok sudah mau main bunuh saja? Jangan-jangan malah 

kau yang terbunuh!"

"Gggrr...!" orang itu menggeram seperti singa. "Baru 

sekarang ada orang berani bicara seperti itu! Kurang 

ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau kau 

masih ingin bisa bersiul esok hari!"

"Aku tidak sepelekan kamu. Tapi aku khawatirkan 

dirimu. Badan besar begitu kalau tahu-tahu mati 

alangkah sayangnya?! Siapa yang mau menguburkan 

dirimu segede gajah itu?!"

"Lancang mulutmu, Anak Muda! Jangan bikin 

persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto 

Sinting! Bisa-bisa nasibmu seperti perempuan berambut 

jabrik dan lelaki kurus kering di dalam pondoknya!"

Suto cepat membatin, "Perempuan berambut jabrik? 

O, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat. Hmmm...

jadi rupanya dialah orang yang membunuh Perawan 

Sesat dan melukai Peramal Pikun!"

Orang itu berkata dengan mata melebar ganas,

"Ingat! Jangan lagi bicara sembrono di depanku! Kau 

bisa kehilangan nyawamu dalam satu helaan napas saja, 

tahu?!"

Suto tersenyum, bahkan tertawa pendek seperti orang 

terbatuk.

"Kau tak perlu berlagak galak di depanku, Singo 

Bodong! Aku...!"

"Namaku bukan Singo Bodong!" bentak orang itu. 

"Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung... Amuk...!"

Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan 

berkata, "Mau Dadung Amuk atau Dadung Keropos, di 

mataku kau tetap Singo Bodong! Kau tak bisa bohongi 

aku!"

"Kurang ajar! Hihhh...!"

Dadung Amuk melayangkan tamparan bertenaga 

dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari 

telunjuk dan jari tengah tangan kanan Pendekar Mabuk 

bergerak ke samping, menghadang gerakan tangan itu.

Tap...!

Telapak tangan bagai tertotok dua jari Suto. Tubuh 

Dadung Amuk tersentak bagai mau melonjak namun 

ditahan, ia menggeram sambil kibas-kibas tangannya 

yang membentur dua jari Suto,

"Ooo...?! Rupanya kau punya isi juga, Bocah 

Kencur?!" Dadung Amuk mulai tampak merah 

mukanya. Suto masih tetap tenang, berdiri tegak

memandang wajah Dadung Amuk.

"Boleh aku tahu, mengapa kau ingin membunuh 

Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan

di dada.

"Perlu apa kau tahu urusanku, hah! Terima saja 

pelajaran keras dariku ini! Huhh...!" 

Wuugh...!

Dadung Amuk kepalkan tangannya. Tinju yang besar 

itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh 

Pendekar Mabuk hanya berkelit ke samping dengan 

sedikit miring. Wuuus...! Pukulan besar itu lolos, tidak 

mengenai sasaran.

Orang tinggi besar itu hentikan gerak. Makin tajam ia 

perhatikan wajah Pendekar Mabuk sambil melangkah 

mengitarinya.

"Lincah juga kau rupanya!" gumam Dadung Amuk.

Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata sambil 

berkata,

"Kalau kau mau jelaskan persoalanmu, mungkin aku 

bisa ikut membantumu mencarikan Suto."

"Semula aku butuh bantuanmu!" kata Dadung Amuk 

yang kini ada di belakang Suto. Pendekar Mabuk tetap 

tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata,

"Tapi setelah kutahu kau sepertinya menantang ilmu 

padaku, aku jadi ingin mencoba isimu, setinggi apa 

kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada. 

Hiaaah...!"

Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan 

bertenaga dalam melesat dari tepian tangan. Arahnya ke

punggung Suto. Suto tersentak bagai mendapat dorongan 

keras dari belakang, tapi ketika ia terlompat ke depan, 

rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang. 

Prakkk...!

Kedua kaki Suto menendang bagai kuda dan tepat 

mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu 

tersentak bagai menggeragap dan mundur empat 

langkah, terhuyung-huyung jadinya.

Sementara itu, setelah kakinya mendarat di wajah 

Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di 

rerumputan, tapi punggungnya tak sampai menyentuh 

tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak di tanah secara 

mantap dan bersama-sama. Jlegg...! Dalam keadaan 

jongkok, Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan 

balikkan kepala bagai ingin membuang rasa sakit.

"Monyet!" geram Dadung Amuk di dalam hatinya, 

"Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua ekor 

kuda! Kalau aku tidak segera sigap, sudah berantakan 

gigiku!"

Dadung Amuk yang berpenampilan seperti seorang 

warok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin 

buas dan liar. Penuh nafsu untuk membunuh. Sedangkan 

Suto bergerak ke samping dengan kalem, dan berdiri 

dengan punggung disandarkan pada batang pohon besar.

"Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun 

padaku! Terima 'Racun Sengat Kobra'-ku ini, hiaaah...!"

Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di 

depan wajah membentuk tegak lurus ke atas. Lalu, dari 

kesepuluh kukunya mengeluarkan cahaya merah seperti

benang-benang menyala. Cahaya merah itu menjadi satu 

di depan tangan dan melesat membentuk bayangan 

seekor kobra melesat, menghantam dada Suto.

Tetapi sebelum bayangan ular kobra itu 

mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung 

bambu tempat tuaknya dari punggung ke depan, lalu 

bayangan merah seekor ular kobra itu ditangkisnya 

dengan bumbung tempat tuak. Trangngng...!

Terdengar seperti suara besi bolong yang dihantam 

besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk 

bumbung tuak. Bayangan merah itu berbalik arah, 

bahkan kini menjadi tiga bayangan ular kobra melesat 

menuju kepada pemiliknya.

Wesss... wess... wess...!

Dadung Amuk belalakkan matanya lebar-lebar. Kaget 

melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke 

arahnya. Cepat-cepat ia sentakkan kedua telapak 

tangannya dari bawah ke atas dengan sedikit 

merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.

Wuurrsss...!

Pukulan dari atas ke bawah itu membuat bayangan 

tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu, 

padam dan tinggal kepulan asapnya saja. Kepulan asap 

itu cepat menghilang ditiup angin.

Mulut Dadung Amuk tak bisa bicara apa-apa. Ia 

masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang 

satu tangan oleh Suto itu. Ia masih merasa seperti sedang 

bermimpi melihat pukulan 'Racun Sengat Cobra' bisa 

dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu. Baru

kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh 

mengherankan dan menakjubkan.

"Siapa anak muda itu sebenarnya? Tak mungkin ia 

berilmu rendah. Pukulan maut itu bisa ditangkis dan 

dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya! 

Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau 

kuceritakan kejadian ini kepadanya. Hmmm... sebaiknya 

tak perlu cerita kepada siapa-siapa, nanti malahan aku 

ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda ini 

tidak bisa dibuat main-main!"

Dengan lantang, untuk menutupi rasa kagetnya atas 

kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata,

"Bocah kencur! Siapa dirimu sebenarnya, hah?!"

"Apa perlunya kau tahu siapa diriku?" Suto sengaja 

berlagak sinis untuk memancing kemarahan Dadung 

Amuk.

"Sebaiknya kau mengaku saja, supaya aku bisa 

mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah 

kubunuh!"

"Akan kucatatkan sendiri setelah aku berhasil kau 

bunuh!"

Geram dari mulut Dadung Amuk semakin jelas. 

Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau 

mengamuk.

"Kuhitung tiga kali, kalau kau tak mau menyebutkan 

siapa dirimu, kuhabisi nyawamu sekarang juga!"

"Hitung saja satu kali! Jangan tiga kali. Itu terlalu 

banyak!" kata Suto makin memanaskan dada Dadung 

Amuk.

Orang yang tidak mau disebut Singo Bodong itu 

segera mengangkat kedua tangannya pelan-pelan. 

Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu 

bergetar dan bergerak terus sampai di atas kepala. Lalu, 

kedua telapak kakinya pelan-pelan terangkat naik sedikit 

dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam 

memandang. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat 

cepat menuju ke arah Pendekar Mabuk.

Wuuut...!

Wess...!

Pendekar Mabuk pun bergerak sangat cepat, 

menggunakan gerak siluman. Kejap berikut Pendekar 

Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang. 

Dan gerakan cepat tubuh Dadung Amuk menghantam 

pohon besar yang menyerupai bentuk payung besar itu.

Brruess...!

Wwwrrrr...!

Daun-daun runtuh bagaikan pohon mendapat 

guncangan hebat. Tubuh Dadung Amuk yang 

membentur pohon dengan keras itu terpental ke belakang 

dan terkapar telentang di rerumputan. Hidungnya 

berdarah, juga bibirnya ada yang robek sebagian. 

Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba berdiri dengan 

terengap-engap. Tubuhnya terkena rontokan daun cukup 

banyak, hingga ia merasa semakin geram dengan daun-

daun yang mengotori kepalanya.

"Haaah...!" Ia menyentak jengkel, lalu segera bangkit. 

Matanya memandang celingak-celinguk mencari Suto. 

Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja

di tempat berjarak dua puluh langkah dari pohon besar 

itu.

"Monyet borok!" geramnya memaki Suto. Darah

yang mengalir dari hidung diusapnya dengan lengan 

baju.

"Anak setan!" geram Dadung Amuk. "Cepat sekali 

gerakannya. Jangan-jangan dia punya ilmu sejajar 

dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini! 

Sebaiknya kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani, 

ketimbang aku gagal menemukan Suto, bisa kena 

pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"

Dengan satu hentakan kaki, Dadung Amuk segera 

melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju 

lereng perbukitan. Suto hanya memandanginya dengan 

senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba di perbatasan 

bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi. Wuuut... 

wuuut...!

Tahu-tahu ia sudah menghilang dari tempat semula 

dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena 

sewaktu ia hendak teruskan langkah setelah melewati 

perbatasan bukit, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri 

di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung 

Amuk pun menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan 

menggumam dalam hati,

"Monyet juling! Itu bocah sudah ada di sana! Cepat 

sekali gerakannya?! Setahuku dia masih tenang-tenang 

di bawah pohon pisang!"

Suto sunggingkan senyumnya, ramah tapi menantang. 

Dadung Amuk gemetar dibakar kemarahannya.

Napasnya pun naik-turun dengan cepat bukan karena lari 

tapi karena memendam nafsu amarahnya.

"Heii, Bocah Kencur...!" sapanya dengan lebih galak 

lagi, sambil ia langkahkan kaki tiga tindak ke depan.

"Apa maksudmu menghadang langkahku, hah?! Mau 

benar-benar cari mati kau, hah?!"

"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu ingin 

membunuh Suto?!"

"Itu tugasku! Tugas dari ketuaku!"

"Siapa ketuamu?"

"Siluman Tujuh Nyawa!"

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.

"Kenapa hanya 'O' saja? Kau tak merasa takut 

mendengar nama angker itu? Siluman Tujuh Nyawa! 

Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu 

mempunyai tujuh nyawa!"

"Kurang angker menurutku! Dan lagi, itu hanya 

sebutan saja! Toh nyawanya tetap hanya satu?!"

"Tapi kau bisa dipancung dalam sekejap jika kau 

berhadapan dengannya! Dia orang yang tak pernah kenal 

kata ampun dan menyerah!"

"Ooo...," Suto manggut-manggut lagi namun tetap 

tenang dan tersenyum-senyum kalem. "Lantas, apa 

alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto 

Sinting?"

"Itu rahasia!"

"Apakah Pendekar Mabuk itu musuh lamanya 

Siluman Tujuh Nyawa?" 

"Musuh barunya!"

"Musuh baru?! Hmmm... sejak kapan Siluman Tujuh 

Nyawa bermusuhan dengan Pendekar Mabuk?"

"Sejak Siluman Tujuh Nyawa mendengar kekasihnya 

mengirim utusan kemari untuk mencari orang yang

bernama Suto Sinting!"

"Siapa kekasihnya Siluman Tujuh Nyawa itu?" 

"Gusti Mahkota Sejati!"

Pendekar Mabuk perdengarkan tawa kecil berkesan 

meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh 

nafsu membunuh tapi tak berani lakukan karena 

pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya sangat tinggi 

itu,

"Mengapa kau tertawa? Apakah kau pernah 

mendengar nama itu?"

"Pernah atau tidak, itu urusanku, Dadung Amuk. Tapi 

tolong sampaikan kepada Durmala Sanca, bahwa I Gusti 

Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"

"Tunggu dulu!" sergah Dadung Amuk sambil maju 

dua tindak. "Kau menyebut nama asli ketuaku Durmala 

Sanca. Apakah kau kenal dengan dia? Apakah kau tahu 

persis tentang dia?"

"Tentu saja aku tahu, karena dulu aku gurunya 

Durmala Sanca. Dulu dia berguru denganku di Tibet."

"Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk mulai gentar 

karena dia tahu persis cerita tentang Siluman Tujuh 

Nyawa itu.

Melihat lawannya mulai terpengaruh oleh kata-

katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk 

menghindari pertumpahan darah. Sebab menurutnya,

Dadung Amuk tak bisa diusir pergi jika tanpa dilawan 

dengan kekerasan atau dengan kelicikan.

"Ketahuilah, Dadung Amuk, ketuamu itu mempunyai 

ilmu pukulan 'Candra Badar' juga dari aku!"

"'Candra Badar'...?! Oh, kau tahu juga tentang 

pukulan 'Candra Badar' itu?!"

"Jelas tahu, karena memang itu sebenarnya ilmuku 

yang kuturunkan kepadanya. Durmala Sanca bisa 

menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang 

dinamakan ilmu 'Siluman Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu 

yang kuturunkan padanya!"

"Oooh...?!" Dadung Amuk terperangah. Mulutnya 

yang berbibir tebal itu melongo bagai liang tikus. Untuk 

lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya,

"Jika kau benar mengetahui tentang diri ketuaku, 

coba sebutkan berapa usianya?"

"Usianya sudah cukup banyak. Mungkin kau tidak 

percaya kalau kukatakan bahwa usia Durmala Sanca 

sudah mencapai seratus tahun."

"Oh, benar...!" ucap Dadung Amuk dengan desah 

keheranan.

"Tapi karena dia kuberi ilmu awet muda, maka ia 

seperti baru berumur antara lima puluh tahunan."

"Benar lagi...," desahnya kagum.

"Sekarang, sebaiknya kembalilah kepada dia, dan 

katakan kau telah menemui gurunya. Katakan pula, guru 

berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota 

Sejati, dan jangan mencoba bermusuhan dengan anak 

muda yang bernama Suto Sinting itu!"

"Hmmm... ah, eh... anu... tapi, apakah kau juga tahu 

siapa perempuan yang bernama Gusti Mahkota Sejati 

itu?"

"Kenapa tidak? Aku selalu mengikuti gerakan 

Durmala Sanca! Aku tahu, sejak muda dia mengejar-

ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, 

yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri 

Gerbang Surgawi, yang ada di Pulau Serindu!"

"Ooh... benar lagi dia...," desah Dadung Amuk makin 

gemetar.

"Dan sekarang perempuan itu sedang terpenjara oleh 

ilmu 'Candra Badar', ia tak bisa keluar ke mana-mana 

karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar 

bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa 

membakar tubuh perempuan itu! Dan memang begitulah 

ilmu 'Candra Badar' kuciptakan!"

"Dia tahu semuanya tentang ilmu itu? Oh, kalau 

begitu apa yang dikatakannya memang benar. Dia 

gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa 

nama orang ini? Bagaimana aku harus menyebutkan 

namanya jika ditanya oleh sang ketua nanti?"

Lalu, Suto pun berkata dengan gaya wibawanya, 

"Dadung Amuk, kuperintahkan kau segera kembali 

kepada ketuamu dan tinggalkan pulau ini! Mengerti?!"

"Hmmm... eh... tapi... tapi jika benar kau guru sang 

ketua, hmmm... lantas bagaimana aku harus menjelaskan 

namamu? Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda 

dari sang ketua!"

"Tentu saja. Kalau muridku bisa semuda itu, mengapa

aku tidak bisa jauh lebih muda lagi?"

"O, hmmm... iya. Benar."

"Dan katakan saja kepadanya, bahwa kau habis 

bertemu dengan Pendeta Tibet! Tak perlu kau sebut 

namaku, dia sudah akan menyebutnya sendiri! Dia pasti 

masih ingat namaku!"

"Pendeta Tibet...! Oh, benar. Sang ketua memang 

pernah bercerita bahwa gurunya adalah Pendeta Tibet. 

Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan 

gurunya sang ketua?! Pantas ilmuku tidak ada apa-

apanya?!"

"Berangkatlah, Dadung Amuk! Pulanglah kepada 

muridku si Durmala Sanca itu!"

"Tapi... tapi...."

"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan 

'Candra Badar' ke tubuhmu, Dadung Amuk?!"

Orang itu kaget dan ketakutan. "Oh, hmmm... eh... 

tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan 

melaporkan pada sang ketua...!"

*

* *

6

SEPERGINYA Dadung Amuk, Pendekar Mabuk tak 

dapat menahan tawa. Ia lepaskan tawa itu sambil 

sesekali menenggak tuaknya. Dengan modal cerita dari 

Nyai Betari Ayu, ternyata ia bisa mengusir Dadung 

Amuk pergi meninggalkan tanah Jawa. Pikir punya 

pikir, Dadung Amuk itu sebenarnya sama bodohnya

dengan Singo Bodong.

"Singo Bodong...?!" gumam Suto sendirian. "O, ya... 

aku hampir lupa dengan Singo Bodong! Seharusnya tadi 

kudesak Dadung Amuk agar mengaku sebagai Singo 

Bodong! Paling tidak dia bisa jelaskan apa alasannya 

memakai Dadung Amuk dan memihak Siluman Tujuh 

Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah 

pergi jauh ketika kuancam dengan pukulan 'Candra 

Badar'...!"

Suto juga ingat tentang Dewa Racun. Maka, segera ia 

kembali ke pohon besar yang menyerupai payung 

raksasa itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu 

kedatangannya oleh dua orang, yaitu Dewa Racun dan 

satu lagi... Singo Bodong. Mata Suto sedikit menyipit 

heran memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa 

dikancingkan.

Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewa Racun sudah 

mendahului menyapanya,

"Ddda... dari... dari mana saja kamu? Sejak tadi aku 

menunggu di sini bersama si orang besar ini, tapi baru 

sekarang kau muncul!"

Suto masih memandang heran pada wajah Singo 

Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa 

takut dan tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto 

berucap kata,

"Secepat itukah Dadung Amuk ganti pakaian? 

Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya 

dengan rapi bersama tambangnya?"

Dewa Racun ajukan tanya, "Suto... aad... ada apa tadi

sebenarnya dddi... di sini?! Ak... aku melihat ada bek... 

bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas hit... 

hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk 

bayangan manusia! Tadi waktu kutinggalkan, pohon itu 

tidak membekas bayangan apa-apa! Ddda... daun-daun 

juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di sini!"

Suto tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia 

bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang 

tampak kegirangan mau diajak pergi itu. Singo Bodong 

sendiri ajukan tanya,

"Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau 

berangkat kapan? Sekarang?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar 

Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik 

lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata,

"Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang 

hangus!"

"Apa-apaan ini, Suto?"

"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"

"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"

Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang 

hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan 

ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan 

manusia yang hangus di pohon itu.

"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Mabuk 

membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya 

penuh keheranan.

"Ap... appp... apa maksudmu, Suto?!" tanya Dewa 

Racun.

"Aku habis bertarung dengan dia!" sambil Pendekar 

Mabuk menuding Singo Bodong. Yang dituding makin 

kerutkan dahi.

"Kau habis bertarung denganku? Oh mana mungkin!" 

kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak merasa 

bertarung denganmu!"

"Jangan pura-pura! Ukuran tubuhmu cocok dengan 

ukuran bayangan hangus di pohon itu! Kau tadi yang 

menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"

Dewa Racun membantah, "Ttid... tidak mungkin. Aku 

ada di rumahnya, menunggui dia mandi dan menimba air 

sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak 

bercerita banyak oleh adik perempuannya!"

"Saat kau ngobrol dengan adik perempuannya itulah 

dia lolos dan menemuiku di sini, berlagak tidak 

mengenaliku!"

"Tiiid... tidak... tidak mungkin! Aku bicara dengan

adik perempuannya di dekat sumur. Aku lihat dia men... 

men... menimba air!"

"Tapi dia tadi kemari sebagai Dadung Amuk dan 

mengadu ilmu denganku. Lalu lari ke sana dan aku 

mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada 

ketuanya, dan dia menurut. Dia pergi menghilang dari 

pandanganku, lalu aku kemari, dan dia sudah ada di 

sini!"

"Tidddak... tidak mungkin! Dia selalu bersamaku!" 

debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa Racun yang 

membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya

bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo 

Bodong tampak bingung memikirkan perdebatan itu.

Dewa Racun segera mengajak Pendekar Mabuk 

menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak-

kusuk,

"Apakah kau bertemu Dadung Amuk?" 

"Ya!"

"Diiid... dia... dia tidak kau desak untuk mengaku 

sebagai Singo Bodong?"

"Dia tidak mau mengaku."

"Apakah tidak ada kemungkinan, bahwa dddia... dia 

memang Dadung Amuk dan buk.. buk... bukan Singo 

Bodong?"

"Mengapa kau bertanya begitu?"

"Seb... seb... sebab aku berani bersumpah, dia sejak 

tadi bersamaku. Tidak ke mana-mana."

"Jangan-jangan dia punya ilmu sejenis 'Seberang 

Raga'? Dirinya yang asli sebagai Daduk Amuk, orang

lain atau makhluk lain dijadikan Singo Bodong?" 

"Se... se... seperti yang kau miliki itu?" 

"Ya!"

Dewa Racun diam tanda tak bisa menjawab dengan 

pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang 

bisa saja terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki 

oleh tokoh persilatan. Hanya orang-orang tertentu yang 

memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah Singo 

Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah! 

Yang jelas, Dewa Racun kembali mengikuti langkah 

Suto mendekati Singo Bodong.

"Singo Bodong," kata Pendekar Mabuk. "Kau tahu 

aku punya ilmu 'Candra Badar' juga! Sekarang juga akan 

kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"

"Maksudnya sekarang juga kau akan turunkan ilmu 

'Candra Badar' kepada diriku? O, boleh, boleh...!" Singo 

Bodong tampak kegirangan.

Dewa Racun merasa heran sekali dengan sikap Suto. 

Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang 

ke depan dan ke belakang dengan kaki kanan lurus ke 

belakang dan kaki kiri merendah, kepala dan badan ikut 

merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang 

pukulan itu di depan Singo Bodong.

"Tahan!" serunya. "Aaap... apa... apa maksudmu, 

Suto?!"

Pendekar Mabuk kendurkan ketegangannya, lalu 

hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan 

dongkol. Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan 

bisikkan kata di tempat jauh dari Singo Bodong.

"Aku hanya ingin mengujinya! Bodoh! Seharusnya 

kau biarkan aku berpura-pura mau lancarkan pukulan 

'Candra Badar'. Sebab tadi Dadung Amuk ketakutan 

waktu kuancam dengan pukulan itu!"

"Ta... tap... tapi apakah kau benar-benar punya 

pukulan itu?"

"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk 

memancing dia!"

"Kulihat dddi... dia... dia tidak takut, malah salah 

duga dan kegirangan. Disangkanya kau mau masukkan 

ilmu 'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir... dirinya!"

"Uuuf...! Pusing sekali aku memikirkan keanehan

ini!"

"Sebentar lagi hari menn... menjadi sore. Sebaiknya 

kiit... kita mendekati pantai. Kiit... kita tidur di sana, 

baru esok paginya berangkat ke Pulau Serindu!"

"Bagaimana dengan anak gajah itu? Tetap diajak?" 

Suto menuding Singo Bodong.

"Kkkkau... kau sendiri tadi yang usulkan begitu, 

sekarang kau sendiri yang... yang jadi ragu. Apa maumu 

sebenarnya, Suto?!"

"Baiklah. Aku yang usulkan, aku pula yang harus 

tanggung jawab! Kita berangkat sekarang!"

Singo Bodong tampak kegirangan ketika mengikuti 

langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri 

pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya 

perahu Dewa Racun. Mereka tidak menggunakan 

langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan 

langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah 

membuat Singo Bodong ketinggalan beberapa tombak 

jaraknya.

"Dadung Amuk tadi mengaku utusan dari Siluman 

Tujuh Nyawa. Tugasnya mencari aku dan 

membunuhnya. Tapi dia tidak tahu bahwa dia sudah 

berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai 

guru Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli 

Durmala Sanca."

"Hei, kkau... kau tahu nama asli Siluman Tujuh 

Nyawa? Dari... dari mana kau tahu nama itu?"

"O, ya! Rupanya aku belum cerita padamu. Betari

Ayu, orang yang pernah kuceritakan padamu tempo hari 

itu...."

"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku... aku ingat. Orang itu 

yang menaruh kasih sayang padamu! Lantas, ada apa 

dengan dia?"

"Dddi... ddia... dia adalah...."

"Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"

"O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Dyah 

Sariningrum!"

"Hahh...?!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget 

dan terperangah dongakkan kepala, memandang Suto.

"Kenapa kau terkejut? Aku tidak mendustaimu! 

Betari Ayu itulah yang diceritakan tentang 'Candra 

Badar' di dalam tubuh Dyah Sariningrum dan membuat 

nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena 

takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang 

bahkan cahaya sinar kunang-kunang...."

"Jjja... jaaadi... jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru 

Dyah Kumalawindu...?!"

"Siapa itu Dyah Kumalawindu?!"

"Kakak da... dari... Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"

"Setahuku dia bernama Betari Ayu!"

"Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia... 

kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab 

Pusaka Wedar Kesuma!"

"O, ya! Soal kitab pusaka itu aku pernah dengar. 

Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia 

punya nama sebenarnya adalah Dyah Kumalawindu."

"Jabang bayi!" gumam Dewa Racun, ia tetap diam di

tempat sampai Singo Bodong mendekat. Dewa Racun 

masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.

Singo Bodong berkata, "Langkah kalian boleh cepat 

dariku. Tapi napas kalian masih kalah dengan napasku. 

Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala! Bikin 

lama perjalanan saja!"

Singo Bodong meneruskan langkahnya, menunjukkan 

bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan 

Dewa Racun berhenti bukan karena istirahat, tapi ada 

sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan langkah Singo 

Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga 

Singo Bodong ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan 

mereka lagi.

"Ada apa, Dewa Racun? Kelihatannya kau gelisah 

sekali setelah kita bicara tentang Betari Ayu itu?"

"Nyai Guru Dyah Kumalawindu, adalah orang yang 

paling dihormati oleh nyai gustiku. Sebab, kitab Pusaka 

Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah 

Kumalawindu."

"Apa arti kitab itu bagi Gusti Mahkota Sejati?"

"Oh, kau tahu... tahu... nama kkke... kehormatan nyai 

gustiku juga rupanya?"

"Betari Ayu yang menceritakannya. Jadi, apa artinya 

kitab itu bagi nyai gustimu itu?"

"Semua ilmu yang dimiliki nyai gustiku ada di dalam 

Kitab Wedar Kesuma. Jaa... jadi... setinggi apa pun ilmu 

Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh Nyai 

Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai 

Betari Ayu, tidak banyak diketahui oleh Nyai Guss...

Gusti!"

"Terus, apa hubungannya?"

"Begg... beg... begini, Suto," Dewa Racun melompat 

di salah satu batu supaya tingginya mendekati tinggi 

tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh,

"Seeb... sebenarnya, aaad... ada dua syarat yang ingin 

diajukan oleh Nyai Gusti Dyah Sariningrum kepadamu. 

Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa 

memegang Kitab Pusaka Wedar Kesuma itu! Kkkau... 

kau harus bisa memilikinya, sebab dengan begitu, semua 

kekuatan Nyai Gusti dipasrahkan kepadamu. Itulah 

tanda cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku 

bell... beeel... belum tahu!"

"Jadi, aku harus merebut kitab pusaka dari tangan 

kakaknya?"

"Ssse... seolah-olah begitu. Kkau... kau harus 

mengalahkan kakaknya lebih dulu dan mengambil alih 

kitab pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan 

mengalahkan Nyai Betari Ayu, berarti hidup Nyai Gusti 

ada di tanganmu. Letak kehormatan Nyai Gusti ada pada 

dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai 

guruku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi dalam 

pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat 

yang... bisa dianggap sebagai mas kawin yang 

dimintanya."

"Hmmm... begitu maunya?!"

"Jad... jadi... jadi saranku, sebaiknya kau datang ke 

sana dengan sudah mmmemm... memm... membawa 

Kitab Wedar Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan

orang lain."

"Apakah menurutmu ada orang lain yang mengincar 

kitab itu?"

"Seee... see... seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai 

Gusti Mahkota Sejati, kedatangan tamu yang paling 

memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. 

Kedatangannya masih tetap sama, ingin melamar Nyai 

Gusti. Jikk... jik... jika Nyai Gusti menerima 

lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan 

dari tubuh Nyai Gusti. Tap... tapi... Nyai Gusti 

mengatakan bahwa beliau tidak punya pilihan lain 

terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali... 

kecuali kamu: Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh 

Nyawa tetap mendesak, dddan... dan mengancam akan 

menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan 

menenggelamkan Pul... Pul... Pulau Serindu. Hal itu 

membuat Nyai Gusti cemas, mengkhawatirkan nasib 

orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara 

untuk mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu. 

Beliau mau menerima lamaran Siluman Tujuh Nyawa 

kkkaa... kaaalau... kalau Siluman Tujuh Nyawa bisa 

mendapatkan kiiit... kiit.... Kitab Wedar Kesuma. 

Tentang di mana kitab itu berada, Nyai Guru tidak 

memm... memm... memberitahukannya."

"Hmmm...," Suto manggut-manggut. "Jadi, tentunya 

sekarang ini Siluman Tujuh Nyawa sedang kebingungan 

mencari Kitab Wedar Kesuma?"

"Aaak.. aku... rasa begitu, Pendekar Mabuk!"

"Dan pantas Siluman Tujuh Nyawa mengutus

Dadung Amuk untuk mencari Pendekar Mabuk dan 

membunuhnya. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa 

cemburu kepadaku, Dewa Racun!"

"Seep... sepertinya begitu!"

"Kitab Wedar Kesuma...?!" gumam Pendekar Mabuk 

sambil merenung lama, sampai akhirnya Dewa Racun 

berkata,

"Keistimewaan kitab itu lagi, ssse... setiap ilmu yang 

ditemukan oleh Nyai Gustiku atau Nyai Betari Ayu, 

sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab 

itu!"

"Hebat sekali kitab itu?!" Suto kerutkan dahi.

"Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan menjadi 

mas kawin buat Nyai Gusti Dyah Sariningrum. Paaal... 

paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru 

Mahkota Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih 

dulu dan merebut kitab pusaka itu."

Suto manggut-manggut dalam renungannya, lalu 

hatinya membatin,

"Tapi kenapa dulu kitab itu akan diserahkan kepada

Selendang Kubur atau Dewi Murka? Hmmm... mungkin 

waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari 

muridnya layak menjadi penerusnya dan berhak 

mempelajari isi Kitab Wedar Kesuma. Tapi, bisa saja 

sebenarnya kitab itu diserahkan kembali kepada adiknya, 

dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari dunia 

persilatan. Barangkali sudah ada kesepakatan antara 

kakak-beradik itu untuk menjadikan kitab tersebut 

sebagai mas kawin buat sang adik? Jadi, mungkin Betari

Ayu tidak ingin adiknya mempunyai sembarang suami 

yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata 

lain, siapa ingin menjadi suami Dyah Sariningrum harus 

diuji dulu tingkat ketinggian ilmunya. Hmmm... apakah 

itu berarti aku harus bertarung dulu dengan Nyai Betari 

Ayu?"

Mereka teruskan melangkah sambil 

mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah 

tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin 

cemas Dewa Racun sendiri. Karena itu, Suto 

memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului 

langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat 

arah.

Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto 

mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk 

mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi 

Suto tidak akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan 

melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati. 

Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan 

oleh pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka 

Wedar Kesuma?

Langkah Suto kembali terhenti. Kali ini terhenti 

secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul 

Singo Bodong berbaju komprang warna merah 

membawa tambang di pundaknya.

"Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?"

"Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk 

menghormat karena menyangka Pendekar Mabuk 

gurunya Siluman Tujuh Nyawa.

"Kenapa kau belum pergi? Dan kenapa kau hadang 

langkahku?"

"Eyang Guru, saya mohon izin untuk tinggal 

beberapa saat di pulau ini."

"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan 

wibawanya.

"Ada satu tugas dari sang ketua yang lupa saya 

bicarakan tadi." 

"Tugas apa?"

"Mencari Kitab Wedar Kesuma untuk mas kawin 

Gusti Mahkota Sejati!"

"Kitab itu tidak ada di sini!"

"O, begitukah, Eyang Guru?! Apakah tidak sebaiknya 

saya diizinkan untuk mencarinya lebih dulu?"

"Dekatlah kemari!" Pendekar Mabuk memanggil 

dengan dada membusung dan jari tangan menyuruh 

Dadung Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu 

membungkuk dan mendekatkan telinganya, Suto pun 

berbisik,

"Kitab Wedar Kesuma..., tapi jangan bilang siapa-

siapa, mengerti?"

"Baik. Baik, Eyang Guru.... Saya mengerti!"

"Kalau mau dapatkan Kitab Wedar kesuma, pergilah 

ke Pulau Hantu! Rebutlah dari tangan seorang nenek 

peot yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"

"Jelas, jelas! Jelas sekali, Eyang Guru!"

"Tapi hati-hati melawan dia! Jangan mudah ditipu 

dan jangan cepat mempercayai kata-katanya. Ingat, 

Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma

pada saat menjelang ajal!"

"O, ya! Saya mengerti. Jadi, saya harus bikin dia 

sekarat dulu!"

"Terserah caramu! Pergilah sana, Eyang merestui!"

"Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang bodoh itu pun 

pergi setelah memberi hormat pada Pendekar Mabuk 

yang dianggap eyang gurunya.

*

* *

7

SEPENINGGALAN Dadung Amuk, Pendekar 

Mabuk kembali renungkan diri. Ia membatin dalam 

hatinya,

"Lagi-lagi dia muncul pada saat Singo Bodong tidak 

ada di tempat! Mungkinkah Singo Bodong dapat 

berubah secepat itu? Tapi dari mana dia sembunyikan 

tambang yang selalu digulung menggantung di 

pundaknya! itu? Setahuku sejak dari desa dia berangkat 

tanpa membawa tambang. Bajunya tetap hitam, bukan 

merah. Dan lagi-lagi aku lupa mendesaknya untuk 

mengaku siapa dirinya sebenarnya! Apakah kali ini

Dewa Racun tetap ada bersama Singo Bodong? Ataukah 

dia sedang kelimpungan mencari Singo Bodong?"

Dari arah kejauhan, tampak dua sosok manusia 

berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat 

Suto menyongsong mereka, karena mereka adalah Dewa 

Racun dan Singo Bodong.

"Hamm... ham... hampir saja dia jatuh dari tebing 

kalau tidak segera kutolong!" kata Dewa Racun sambil 

menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.

"Kenapa dia berada di tebing?"

Singo Bodong menyahut, "Jalannya buntu. Harus 

memanjat tebing untuk mencapai pantai berikutnya! 

Jadi, aku naik ke tebing."

"Man... man... manusia ini bodoh sekali! Dia pilih 

teb... teb... tebing yang licin untuk dipanjatnya. Padahal 

ada tebing yang kering dan bisa untuk lee... leee... 

lewat!"

Suto menarik tangan Dewa Racun, menjauh sedikit 

dan berbisik,

"Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar 

bersamanya?"

"Bbe... be... benar! Ada apa?"

"Dadung Amuk baru saja menemuiku."

Terkesiap mata Dewa Racun menatap Pendekar 

Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit 

melirik Singo Bodong,

"Dia juga diperintahkan untuk mencari Kitab Wedar 

Kesuma!"

"Oh...? App... apa... apakah dia sudah tahu di mana 

letaknya?"

"Belum. Kutunjukkan arah yang salah. Kusuruh dia 

mencarinya pada Mawar Hitam di Pulau Hantu."

"He he he...!" Dewa Racun terkekeh geli. "Pin... 

pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau umpankan Dadung 

Amuk kepada Mawar Hitam. Pas... pasti habislah

Dadung Amuk dihajar si Mawar Hitam itu!

"Ya, tapi itu kalau Dadung Amuk bukan Singo 

Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah 

Singo Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar 

Hitam!"

"Kkku... kurasa mereka memang berbeda. Dia sejak 

tadi bersamaku dan setiap gerakannya kkku... 

kuperhatikan!"

"Baiklah. Aku percaya padamu! Tapi aku perlu 

tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk pun 

bergegas temui Singo Bodong yang merasa tak suka 

mereka kasak-kusuk terus sejak tadi.

"Singo Bodong, kau punya saudara berapa?"

"Satu," jawab Singo Bodong setelah diam sebentar 

merasa heran.

"Seorang adik atau seorang kakak?"

"Seorang adik."

"Lelaki atau perempuan?"

"Perempuan. Dewa Racun sudah ngobrol sama 

adikku!"

Dewa Racun menyahut, "Ya. Ddiiia... dia punya adik 

perempuan yang bernama Narsih. Anaknya sudah empat. 

Suaminya nelayan."

"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak 

perlu ikut campur. Mengerti?"

"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit 

melihat Pendekar Mabuk tanpa senyum.

"Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah 

kau tidak mempunyai saudara kembar?"

"Saudara kembar...?! Kurasa aku lahir tunggal dari 

perut ibuku."

"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"

"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya 

melahirkan dua kali. Pertama aku, kedua Narsih. Jangan 

kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"

Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh 

dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat 

sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya. 

Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu 

duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan 

patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan 

batu yang ada di depan Pendekar Mabuk. Dewa Racun 

mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon 

berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. 

Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan 

percakapan Suto dengan Singo Bodong.

Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-

sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. 

Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur 

petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar 

Mabuk tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.

"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu 

sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"

"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!" 

jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi 

bodoh itu.

"Siapa nama aslimu?"

"Sugali!"

"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"

"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir 

mati dimakan seekor singa. Tapi segera diselamatkan 

oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!" 

sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot 

keluar bagai mata orang sedang marah.

"Baiklah, aku percaya!"

"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai 

itu, kau dan Dewa Racun selalu curigai aku terus. Ada 

apa sebenarnya?"

"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama 

Dadung Amuk!"

"Mirip aku?!" Singo Bodong memegang dadanya 

sendiri. "Dia mirip Singo Bodong? Oh, tidak mungkin, 

Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau 

disamakan dengan Dadung Amuk!"

"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"

"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung 

Amuk!" Singo Bodong tetap menggeleng. "Kalau ada 

orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong, 

ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan 

adukan orang itu pada Ibu."

"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa Racun. 

"Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak-

anak! Masih suka manja kepada ibunya. Pantaslah kalau 

dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup 

dewasa."

Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan 

Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri

dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang 

membuat Singo Bodong tertegun beberapa saat,

"Apakah ayahmu masih ada?"

Singo Bodong menarik napas panjang-panjang. 

Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup. 

Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian 

terdengarlah jawaban dari mulut Singo Bodong yang 

bernada lesu,

"Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau 

tidak."

"Mengapa begitu?"

"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang 

sinden, ia berkeliling ke mana-mana bersama rombongan 

tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak 

lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku 

dari lelaki yang tidak mau menikahi Ibu. Lelaki itu 

sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah 

mati, Ibu sendiri tak tahu."

Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis 

tebal itu. Suto melihat kesungguhan dari cerita Singo 

Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi.

"Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki 

yang sama?"

"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"

"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu 

dengan laki-laki yang menjadi bapakmu itu?"

"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih, 

ibuku tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu."

"Kenapa?"

"Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu 

tidak tahu harus mencarinya ke mana. Lalu, Ibu berhenti 

jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai 

sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah 

malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah...."

"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan 

kehebatan ibumu," potong Suto yang merasa tak perlu 

mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.

Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati 

Pendekar Mabuk dan berbisik,

"Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis 

Sa... Sab... Sabrang Raga."

"Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya? 

Ayahnya dia?"

"Mungkin saja!"

Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong, 

"Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri 

lelaki yang menjadi bapakmu itu?"

"Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak, 

lalu menjawab, "Menurut cerita Ibu, bapakku orang yang 

ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut 

Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"

Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada 

Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya 

seperti dia, lantas sang Arjuna-nya seperti apa 

menurutmu?'

"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali 

bersikap tegas kepada Singo Bodong.

"Kau pemah dengar ibumu menyebutkan nama

bapakmu?"

"Hmmm... hm... dulu pernah."

"Siapa nama bapakmu itu?"

"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu 

lebih sering memanggilnya Arjuna!"

Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya 

tidak bisa bedakan antara Arjuna dengan Dasamuka?!" 

Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri. 

Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar 

itu.

Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...! 

Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa 

tadi?"

"Dasamuka?" ulang Dewa Racun. 

"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama 

bapakku."

"Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"

"Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton wayang. 

Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"

Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa 

saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama 

mirip Dasamuka?"

"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"

Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo 

Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan 

orang yang menjadi pujaan hatinya itu?"

"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang 

Arjuna itu pandai berkelahi. Kalau berkelahi tidak 

pernah kalah!"

Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan, 

"Jelas dia dari tokoh persilatan!"

"Hmmm.... Sssi... siapa? Siapa tokoh persilatan yang 

namanya mirip Dasamuka? Aaap... apakah Durmala, 

kurasa itu tak mungkin!"

Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia 

menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun

sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya.

"Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala 

siapa, ya?" pikir Singo Bodong. Suto cepat menyahut.

"Durmala Sanca...?"

"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan 

semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu; Durmala 

Sanca!"

Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan 

Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka 

saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama 

Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak 

mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah 

Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh 

Suto maupun Dewa Racun, karena Durmala Sanca 

adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.

"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto 

mencari tahu perasaan Dewa Racun. Dan si kerdil yang 

gagap itu menjawab,

"Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak 

mirip nama Durmala Sanca. Mungkin dia salah dengar 

atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca 

punya anak seperti dia!"

Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada 

Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang 

nama itu?"

"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku 

tak boleh menanyakan perihal lelaki yang telah 

dianggapnya siluman itu."

Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata 

Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama 

terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya 

masing-masing.

Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan 

tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon 

berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam 

oleh mereka. Dalam kejap berikutnya Singo Bodong 

telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu 

yang aneh dirasakan oleh Suto dan Dewa Racun. 

Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam 

hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam 

keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,

"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi?'

"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi 

menurutmu apa keanehan itu?"

"Suara dengkuran Singo Bodong."

"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun 

sedikit tegang.

"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini 

bergetar."

"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya 

walau sangat pelan."

"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun 

merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini 

cukup kekar. Tapi kenapa bergetar hanya karena suara;

dengkuran Singo Bodong?"

"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman 

Tujuh Nyawa?! Dia mewarisi darah kesaktian Siluman 

Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal itu. 

Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong

jarang tidur di rumah. Ibunya tidak suka jika Singo 

Bodong tidur di rumah." 

"Alasannya apa?"

"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau 

runtuh!"

"Begitukah dia?"

"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja. 

Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi... 

dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur 

bikin rumah mau roboh, kareeena... karena rumah itu 

pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"

Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih,

"Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar 

Singo Bodong anak Durmala Sanca atau Siluman Tujuh 

Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa? Apakah juga 

anaknya Durmala Sanca? Tapi Dadung Amuk menyebut 

Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak 

menyebutkan sang ayah."

"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo Bodong 

sendiri tidak menyadari bahwa dirinya bisa memecah 

diri menjadi satu orang lagi. Sat.. satu... satu orang dari

hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk! 

Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia 

tidak sadari kaaal... kalau dengkurannya bisa 

menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin... 

inn... ini!"

"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan, 

semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto. 

"Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi 

Dadung Amuk, berarti Singo Bodong orang sakti?"

"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak 

sakti. Tapi see... sebagai seorang Dadung Amuk, dia 

cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting... tinggi!"

Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu 

termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong 

hampir mirip lolong serigala. Setiap hembusan napas 

menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu membuat 

dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa 

gemetar.

"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau 

dibekali ilmu tenaga dalam," kata Suto kepada Dewa 

Racun yang duduk di samping kanannya.

"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga 

dalammu?"

"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."

"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan... 

dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa. 

Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada 

kita, sama saja senjata maak... makan... makan tuan!"

"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai

takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan 

sendiri!"

"Kkkal... kalau kau punya pikiran bbbeg... beeg... 

begitu, ya sudah. Lakukanlah!"

Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa 

kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana 

menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi

rasa penasaran ingin mengetahui siapa dan sejauh mana 

kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya 

bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong.

Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang 

kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke 

belakang, hampir membuatnya terjatuh dari atas pohon. 

Wuuuut...!

"Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.

"Add... ada apa...?!" Dewa Racun kaget dan bergegas 

bangkit.

Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang 

sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik, 

"Tubuhnya tak bisa disentuh." 

"Mak... maksudmu...?"

"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya, 

melapisi tubuhnya. Tanganku seperti kesemutan. Linu 

rasa tulangku."

"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah 

begitu?"

Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo 

Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo 

Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba

tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan 

kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang 

menghempaskan kaki itu.

Wuuut...!

Sreet...! Braas...!

"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena 

tubuh kecilnya terpental. Untung tangannya cepat meraih

salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia 

bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, 

dan membiarkan Dewa Racun naik kembali melalui 

ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap 

di dahan samping Suto.

"Bagaimana? Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa 

dia punya lapisan tenaga dalam yang membuat dirinya 

tak bisa disentuh orang?"

"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh 

sekali. Dia orang bodoh, lugu, tapi sebenarnya dia punya 

kekuatan yang cukup besar. Jang... jang... jangan-jangan 

kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung 

Amuk?!"

"Dadung Amuk?!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya. 

Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia 

menjadi Dadung Amuk?!"

*

* *

8

SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan 

di pantai menjadi tampak benderang. Karena

benderangnya cahaya itu, Suto melihat sekelebat gerakan 

melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan itu 

berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan dua 

teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke 

pohon besar itu.

Dalam kilasan gerak yang lain, Suto melihat 

seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat 

colekkan tangannya ke lengan Dewa Racun dan Dewa 

Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar 

Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah 

mengerti apa yang dimaksud Suto, maka ia pun ikut 

lemparkan pandang ke pantai.

Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah 

melihat perempuan itu!"

"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari 

ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal 

tempo hari."

"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha 

menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di 

tangannya itu?!"

"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu 

adalah Kitab Pusaka Wedar Kesuma?!"

"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar 

Kesuma?"

"Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin 

dia habis curi itu kitab atau... atau.... Entahlah! Kau tetap 

di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"

Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto 

sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut

kakinya ke dahan pohon. Wuuut...!

Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena 

seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari 

belakang. Tubuh perempuan itu tersungkur di pasir 

pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit 

dengan satu tangan kiri memeluk sebuah kitab.

Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya 

melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk 

lebih mendekat lagi. Jleeg...! Orang itu mendaratkan 

kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia berpakaian 

hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang 

pedang perak dengan sarung pedang dari perak berukir 

juga. Pakaian orang itu sebagian telah robek bagaikan 

koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan 

Selendang Kubur.

Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang 

berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu 

bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah 

akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat 

Pendekar Mabuk menggunakan Tuak Setan-nya.

"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai. 

"Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan 

kitab pusaka itu atau kutenggelamkan dirimu ke dasar 

bumi?!"

"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar 

bumi!"

"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera 

angkat tangan kanannya setinggi telinga, telapak tangan 

itu sudah mengembang dan menghadap ke arah

Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.

Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat 

satu kakinya hingga terlipat ke belakang, dua tangannya 

terentang tinggi sambil salah satu tangan masih 

menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor 

merpati yang siap murka di hadapan Datuk Marah 

Gadai. Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih 

mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-

kata,

"Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku 

bunuh diri!"

"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh 

diri! Apa pun yang terjadi, kau tidak berhak memiliki 

kitab pusaka ini!"

"Kau pun tak berhak, tahu?! Kau telah mencuri kitab 

itu tanpa setahu gurumu!"

"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...! 

Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasaya tak keberatan 

aku beradu nyawa kepadamu untuk mempertahankan 

kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu 

malam ini juga!"

"Keparat kau! Hiih...!"

Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari 

sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat 

ke arah Selendang Kubur. Tapi perempuan itu segera 

kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati 

mengamuk. Wuuut... wuuut... wuuut...!

Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari 

kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang

hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru 

dari tangan Datuk Marah Gadai.

Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap. 

Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan 

kuat yang membuat tubuh Selendang Kubur terpental 

tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan 

akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya.

Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua 

tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk 

Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri 

dan siap lancarkan serangan lagi.

Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang. 

Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang 

Kubur. Maka, dengan cepat Pendekar Mabuk melompat 

ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap 

menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah 

Gadai pun sentakkan kakinya dan dari kaki itu keluar 

cahaya putih keperakan yang pernah hampir 

menghancurkan tubuh Cadaspati. Wuuuut...!

Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah 

Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula, 

Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya. 

Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung 

tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang 

dan lebih besar lagi. Wooos...!

Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan

mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-

cepat ia sentakkan kaki dan melesat naik ke udara pada 

saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.

Wesss...! Clappp...!

Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk 

Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman 

cahaya putih keperakan itu. Bahkan debunya tak tersisa 

sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat 

memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya 

tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur 

seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar 

cahaya putih keperakan itu, hingga serbuk pun tak 

tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah 

Gadai belum pernah melihat kekuatan jurus Tapak 

Dewa'-nya sebesar itu.

"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah 

Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya 

yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar 

Mabuk dengan tajam. Suto hanya sunggingkan senyum 

kalem.

"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar 

Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut. 

"Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus 

dirimu sendiri!"

Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan 

langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk 

dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam 

cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya, 

Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia 

mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman 

Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.

"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit

Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak 

perlu bantu aku dalam urusan ini!"

"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil 

menepuk pundak Selendang Kubur. Tepukan pelan itu 

membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang 

tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.

Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak 

sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya 

selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"

"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua?! 

Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin 

aku menyerangnya dengan jurus 'Tapak Dewa'-ku!"

"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan 

menggunakan jurus berbahaya?"

"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini 

sangat penting!"

Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia 

sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi 

Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna 

hijau muda.

Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai 

membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan 

tubuhmu bersama perempuan itu!"

"Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu 

tidak mudah dihancurkan orang lain, Datuk!"

"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak 

kemarin sore mau gurui orang tua. Hah...?! Seharusnya

kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak 

ikut campur urusan ini!"

"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata 

Suto mulai serius. Agaknya ia cukup tersinggung dengan 

hinaan balik itu.

Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua 

kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua 

tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya 

dan tubuhnya pun melayang ke udara menyambut Datuk 

Marah Gadai.

"Hiaaat...!"

Plakkk... Plakkk...!

Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua 

pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke 

belakang dan berguling satu kali di udara, sedangkan 

Suto tak sampai terhempas ke belakang, namun segera 

turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit 

merendah. Jleggg...!

Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri 

tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu 

pandang sama tajamnya. Tapi bibir Pendekar Mabuk 

sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah 

Gadai mencibir sambil berkata,

"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu 

tenaga sama orang tua! Masih untung kau bisa bernapas 

saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga 

dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup 

banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"

"Wajahku memerah? Oh, mungkin saja begitu. Tapi 

bagaimana dengan kedua telapak tanganmu, Datuk?"

Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua

tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget 

melihat kedua telapak tangannya memar biru kemerah-

merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru 

legam.

Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya 

tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak 

menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar 

akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia 

alami hal seperti itu, sekalipun ia melawan tokoh tua.

"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga 

dalam lebih besar dariku! Baru sekarang kurasakan ngilu 

tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak 

tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa 

diajak bercanda rupanya! Cepat atau lambat harus 

kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku 

untuk mendapatkan kitab pusaka itu!"

Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya. Suto 

hanya melirik sesekali penuh waspada, tapi wajahnya 

menatap Selendang Kubur.

"Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang 

Kubur. Ilmunya cukup tinggi, tak sebanding dengan 

ilmumu!"

"Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan 

jangan ikut campur lagi urusanku! Aku muak padamu, 

Suto!"

"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak 

tadi? Larilah sana, selama kuhadapi Datuk Marah 

Gadai!"

"Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah

menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat 

aku terpaku di sini tak bisa bergerak kecuali bicara!

Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, 

sudah kuserang sendiri kau dari belakang!"

Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon 

menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata 

dalam hatinya, "Pantas sejak tadi Selendang Kubur 

hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah terkena 

totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto 

tadi. Hmm...! Sungguh mengangumkan sebenarnya anak 

muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai 

Gusti Dyah Sariningrum!"

Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya 

ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang 

panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa 

saat. Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai buka 

matanya dan serukan kata,

"Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari 

hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam 

ini juga!"

"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah 

secepatnya!"

"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin 

memiliki kitab pusaka itu juga?!"

"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan 

mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu 

Betari Ayu! Jadi aku sebenarnya hanya menyelamatkan 

kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri, seperti 

kalian berdua!"

"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur 

tiba-tiba. Ia masih tak bisa bergerak, tapi ia mampu 

bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan 

karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini, 

Suto!"

"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu 

baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! 

Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di 

dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, 

Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat 

burukmu itu!"

"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana. 

"Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun 

sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut 

nyawamu, Suto! Hiaaat...."

Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke 

depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai 

merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, 

tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan 

melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam 

bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga 

dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan 

bunga api biru.

Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan 

sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya. 

Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian. 

Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari 

sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam 

tubuh Datuk Marah Gadai, membuat tubuh itu terguling

dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai

terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur 

batuan karang setinggi dua tombak. Bluukk...! Prass...l

Ujung batuan karang itu patah, sebagian hancur 

terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu 

sendiri jatuh ke tanah dengan kepala terbenam di pasir 

pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak dialiri 

tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak 

akan remuk bagian ujung atasnya saat terkena benturan 

tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga dalam sedang 

memenuhi tubuh Datuk Marah Gadai yang siap 

dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan 

karang itu pun gompal pada bagian atasnya.

Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit 

sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas 

beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak 

hilang sama sekali. Datuk Marah Gadai bisa berdiri 

dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh 

Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api 

warna biru. Ia berseru dari sana,

"Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini, 

hiaaa...!"

Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai 

melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan 

cacing ganas, menggerombol dan menuju ke arah 

Pendekar Mabuk.

Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti 

memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto 

Sinting memancarkan cahaya merah bara. Pada saat

tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di 

udara, maka bertebaranlah bunga-bunga api warna

merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip 

cacing liar itu.

Prattt...! Trappp... trap...!

Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di 

udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan 

Pendekar Mabuk. Maka, dengan cepat tangan kiri 

Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara. 

Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga 

api terpercik dari jemari Suto Sinting, melesat 

menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar 

itu.

Trrappp... cerattt...! Prattt cratt erat...!

Pritik pritik prritik glegarrrr...!

Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan 

bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus 

'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan 

sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan 

yang menggema bagai menelusuri seluruh pantai. 

Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang 

besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai 

terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari 

pantai. Byurrr...!

Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena 

angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat 

bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, 

daunnya sebagian gugur. Tapi Singo Bodong tetap saja 

mendengkur.

Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu 

jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia 

memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan 

wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan 

tetap kaku dan seperti keadaan semula, yaitu mendekap 

kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah 

menggenggam, Pendekar Mabuk segera 

menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu 

diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak 

ditimbuni pasir supaya tak jatuh lagi.

"Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung 

yang sewaktu-waktu rubuh kau berdirikan lagi! 

Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"

"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan 

totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan 

letak baju, rambut, dan ikat pinggang Selendang Kubur. 

Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang 

Selendang Kubur juga dibetulkan letaknya, dirapikan, 

bagaikan patung yang dihias kembali letak busananya.

Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram 

hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan 

gigi bergeletuk,

"Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi 

mendadak ia berteriak, "Awaaaas...!"

Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah 

Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi 

berupa bola api yang makin dekat makin besar 

bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan 

bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas.

Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya 

kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong 

bola api yang bergerak mendekat menjadi bergerak naik, 

naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu meledak di 

angkasa sana.

Blengngng...!

Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana, 

bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul 

membentuk gulungan awan hitam, nyaris menutup 

terangnya sisa purnama di malam itu.

"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti 

Sukma' bisa dibuang ke atas olehnya! Setan cilik dari 

neraka mana bocah itu?!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang 

gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa. 

Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik 

Selendang Kubur dan berkata lirih,

"Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak, 

kita mati bersama dalam wujud kepingan tulang dan 

cuilan daging hangus!"

"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak 

menyelamatkan dirimu!"

"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak 

bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar 

Mabuk sambil senyum-senyum.

"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau 

harus mati di tanganku sendiri!" sentak Selendang Kubur 

dengan ketusnya.

Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas

pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut 

dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih 

tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai 

dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat 

pertarungan dahsyat itu.

Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan 

kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia 

tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. 

Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang

keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi.

"Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak 

lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar 

Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh 

dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di 

dadanya.

"Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih 

punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa 

hidupmu sekarang juga!"

"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa 

yang ingin kau lakukan," kata Suto. "Kalau kau masih 

merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi 

kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku, 

bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun 

aku tetap menghormati sikapmu, Datuk!"

"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini, 

hiaaat...!"

Gagang pedang digenggam kuat, lalu dicabut dari 

sarungnya.

"Uuh...! Uuh...! Uuuh...!" Datuk Marah Gadai

kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari 

sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk 

mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan 

terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya 

ditahan kuat-kuat, tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi 

pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia mencaci sendiri 

dengan napas terengah-engah.

"Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini 

dicabutnya! Biadab...! Kenapa jadi begini...?! Uuh, uuh, 

uuh...!"

Mata perempuan yang bagaikan patung itu 

membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut, 

demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun. 

Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum 

saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai 

mencabut pedang.

"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya 

berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"

"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai 

dengan hati makin panas. Cacian itu justru membuat 

Suto Sinting tertawa geli.

Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar 

Mabuk. Tadi kulihat ia sentilkan jarinya dan tubuh 

Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah 

sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak 

bisa dilepas dari sarungnya. Padahal menurut cerita Peri 

Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang amat 

hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut 

dari sarungnya. Tapi nyatanya menghadapi Suto pedang

itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si 

tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga 

mengagumkan dunia persilatan!"

Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk 

Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, 

karena dia mengintai dari balik semak sewaktu Datuk

Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang 

itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah 

Asmara Gila").

Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur 

bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang 

Kubur hanya berteriak-teriak dengan sebaris makian dan 

bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu 

dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.

Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah 

melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang 

mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha 

ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di 

depan dadanya pedang itu dibetot ke kanan, tapi tetap 

tak bisa terlepas dari sarungnya.

"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah?!" 

bentak Selendang Kubur.

"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.

"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"

"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian 

Datuk Marah Gadai, orang yang selalu mengejar-ngejar 

pusaka itu!"

"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup 

kuat!"

"Siapa bilang?"

"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah 

Iblis-nya itu. Kalau pedang itu tercabut, matilah kau di 

tangannya!"

"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu 

mati!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.

"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar 

Mabuk! Bukan untukku!"

"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar 

untukmu!"

"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang 

Kubur dengan ungkapan rasa benci karena memendam 

kedongkolan hati.

Datuk Marah Gadai kebingungan melepas 

pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan 

tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang 

berada dalam jarak lima belas langkah bersama 

Selendang Kubur, segera lemparkan pandangannya ke 

arah Datuk Marah Gadai. Jari tangan Suto mulai 

menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, 

Suto pun menyentilkan jari itu ke depan. Tasss...!

Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti 

mengerahkan tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, 

lalu mulai mencabut pedangnya lagi. Kali ini, pedang 

bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi tiba-tiba dari 

sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi 

ledakan yang cukup kuat dan keras.

Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang, 

glerrrrr...!

Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya 

tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata 

Dewa Racun juga terbelalak tak bisa berkedip lagi, 

karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah Gadai pecah 

akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa 

lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah kata pun.

*

* *

9

MALAM menjadi hening kembali setelah kematian 

Datuk Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan 

mulutnya, karena jiwanya terpaku melihat kehebatan 

ilmu Pendekar Mabuk yang jelas jauh di atas ilmunya. 

Datuk Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi 

Selendang Kubur tahu, Pendekar Mabuk-lah 

penyebabnya. Tanpa ketinggian ilmu Suto, tak mungkin 

Datuk Marah Gadai dimakan senjatanya sendiri.

Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya 

dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi 

kerongkongannya. Pendekar Mabuk merasa lega. Ia 

kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya 

kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah 

pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari 

pundak kanan ke pinggang kiri.

"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya 

memandang mayat Datuk Marah Gadai sebentar. 

Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan

pengaruh totokanku ini!" 

"Nanti dulu!"

"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur 

dongkol sekali.

"Bagaimana dengan kitab itu?"

"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid 

Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati 

Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam 

kitab inil"

Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan 

berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, 

ia berkata pada perempuan itu,

"Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, 

dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan. 

Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa 

mengejarnya!"

"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut 

melawanmu, Suto! Aku berani taruhkan nyawa untuk 

kitab ini!"

"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau 

mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi 

bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! 

Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"

"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini 

kecuali aku!"

"Siapa bilang?!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari 

kerumunan dedaunan di belakang Selendang Kubur. 

Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan 

ringan, dan jatuh dengan tegak di depan Selendang

Kubur.

Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran 

orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa,

"Nyai Guru...?!"

Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan 

kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya 

dengan senyum yang dipamerkan di depan Betari Ayu.

Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak 

sadar ia mengucap lirih,

"Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru? Oh, itu dia Nyai 

Guru Dyah Kemalawindu...?! Celaka! Suto tak mau

segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da... 

daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto! Uh, 

bodoh amat Suto itu!"

Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin 

melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari 

Ayu. Ia ingin melihat pertarungan yang sudah tentu lebih 

dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan Datuk 

Marah Gadai tadi.

"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang 

Kubur!" kata Betari Ayu dengan wajah dingin, kaku, 

menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya 

memandang tajam namun berkesan sinis.

"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar 

menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah 

Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh, 

Nyai!"

Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling 

wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur

sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan 

berharap Suto tidak ikut bicara dulu.

"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"

"Ben... benar, Nyai."

"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"

"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad... 

ad... ada di sana, Nyai!"

Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang 

ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia 

tahu kalau aku bicara gagap, sehingga dia bisa 

menghinaku dengan berpura-pura gagap?!"

Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang 

Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa 

rasa takutnya Selendang Kubur itu menghadirkan 

kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina 

kegagapan Dewa Racun. Karena itu, Dewa Racun tak 

jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas 

pohon.

Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada 

Selendang Kubur,

"Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai, 

mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"

"Suto menahan saya, Nyai!"

"Suto menahanmu? Ada perlu apa dia menahanmu?"

"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan 

terus!"

"Suto ingin merebut kitab itu? Untuk apa? Semua 

ilmu yang ada di dalam kitab ini masih belum ada 

sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"

"Tap... tapi... tapi...."

"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak 

bisa bergerak?"

Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya 

gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu 

kembali melanjutkan kata,

"Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai 

jika sejak tadi kau tak bisa bergerak, bahkan untuk 

pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung 

dipindahkan? Menahan gelombang ledakan pun kau tak 

mampu, hingga tubuhmu tumbang seperti batang 

pisang?! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh 

Datuk Marah Gadai?"

Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar 

Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi 

ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai 

kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan 

pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai.

Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab 

itu diambil paksa dari Selendang Kubur. Breet...! 

Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa 

bergerak sedikit pun. Kemudian, Pendekar Mabuk 

menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu.

"Ambillah, ini hakmu, Nyai!"

Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin. 

Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan 

Betari Ayu menerima kitab itu dengan mata tetap 

menatap Suto Sinting.

Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh!

Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar 

Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"

Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari 

Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur,

"Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"

Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di 

pinggangnya. Terdengar lagi Pendekar Mabuk berkata,

"Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal 

kepalanya?"

Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu 

untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih 

mendekap kitab.

"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin 

membuat Selendang Kubur cemas dan memendam 

kemarahan. Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri 

dengan kedua tangan di belakang itu berkata,

"Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang 

ia sukai!"

Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang 

Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur,

"Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu? Kau bebas 

memilih hukuman. Silakan pilih mana yang kau suka."

"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan?!"

Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya 

dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu 

menampar pipi Selendang Kubur dengan keras. Pipi itu 

menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur 

menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas 

terengah-engah. Betari Ayu berkata pelan,

"Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan

kedua tangan dan kakimu!"

Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak 

menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat 

menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati 

mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat 

dibela harga dirinya di depan sang murid.

"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur 

setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. 

Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata. 

Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan 

kemarahannya,

"Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku 

menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di 

depanku!"

Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia 

menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian 

berkata dengan tegas,

"Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan 

berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! 

Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat 

ini, Guru!"

Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik 

Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai 

mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali 

lunak.

"Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai 

Betari Ayu.

"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak

Kundalini beberapa waktu lamanya."

"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"

"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di 

lerengnya!"

Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir, 

lalu wajahnya ditengadahkan dan berkata kepada 

Pendekar Mabuk,

"Lepaskan totokannya, Suto!"

Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung 

Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, 

jangan sampai kau langgar!"

Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan 

jatuh bagaikan lumpuh. Beberapa saat kemudian ia 

berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia 

segera menunduk, memberi hormat pada gurunya yang 

bijak. Sang guru segera berkata,

"Pergilah sekarang juga ke Gunung Kundalini, aku

nanti menyusulmu!" 

"Baik, Guru!"

Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa 

menoleh kepada Suto lagi. Kini tinggal Suto berhadapan 

dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar 

memperhatikan pertemuan kedua tokoh Ku.

"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma 

ini, Suto?"

"Kalau kau izinkan, aku memintanya."

"Bagaimana kalau tak kuizinkan?"

"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan 

mas kawin untuk adikmu; Gusti Mahkota Sejati."

"Rebutlah dariku!"

Suto menggeleng dengan mulut bungkam.

"Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku, 

kitab ini tidak akan kuberikan padamu!"

"Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"

"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"

Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan 

tempat. Suto tertegun tak bergerak dalam kegundahan 

hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau 

mengalah? Dan pada saat itu Dewa Racun datang 

dengan kegeramannya.

"Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus 

tunjukkan pada Nyai Gusti-ku bahwa kau bisa merebut 

dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di... 

dia! Kejar...!"

Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan 

pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan.

Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada 

saat itu ia melihat ada bayangan datang mendekati Suto. 

Ternyata Betari Ayu kembali lagi.

Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan 

Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut. Lalu, 

Suto berkata,

"Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku 

membunuhmu, Nyai!"

"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung 

denganku," kata Betari Ayu. "Terimalah kitab ini! 

Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan 

katakan, kau telah menundukkan aku dengan kelembutan

dan kasih sayangmu!"

Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu 

melesat pergi tanpa pamit lagi. Suto menggeragap dan 

segera serukan kata,

"Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang 

dalam.


SELESAI

Pendekar Mabuk

Ikuti kisah Petualangan Suto Sinting Pendekar Mabuk


dalam episode:

ISTANA BERDARAH




Share:

0 comments:

Posting Komentar