..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 17 Desember 2024

KISAH HOROR EPISODE JERITAN PINTU KUBUR

JERITAN PINTU KUBUR

ABDULLAH HARAHAP 

JERITAN PINTU KUBUR 

Sarana Karya JAKARTA 

JERITAN PINTU KUBUR karya

Abdullah Harahap judul asli

Jeritan Pintu Kubur penerbit


Sarana Karya

Hak cipta dilindungi

undang-undang Dilarang

mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku

ini tanpa izin tertulis dari

Penerbit 

cerita ini adalah fiktif.

Persamaan nama tokoh, tempat

ataupun peristiwa hanyalah

kebetulan belaka. 

***

SATU 

Lila BARU saja akan mengetuk,

ketika pintu terbuka. 

Sesaat, hati Lila terkesiap,

Dihadapannya berdiri seorang

laki-laki tinggi besar, berkepala

licin bagai tempayan. Tanpa

rambut selembarpun, dan sedikit

berminyak. Di bawah alis yang

berbentuk golok, menyorot

sepasang mata yang berkilat

memandang Lila. Dingin. Dan

tajam menusuk sampai

kesumsum. Seperti disiksa oleh

penyakit sesak nafas, mulutnya

kemudian terbuka melepas suara

yang terengah-engah: 

...Nyonya....Lila?" 

Agak lama, baru leher Lila yang

kaku, bisa bergerak. 

"Ya". 

'Masuk!". 

Beberapa helai rambut Lila

berkibar di tiup angin malam

yang berhembus kencang .Ia

menggigil. Tertatih-tatih

melangkah kedalam. 

Selintas terbayang dibenaknya

betapa tinggi laki-laki itu.

Rambut yang berkibar hanya

sampai dibatas lengan yangjuga

licin tetapi tampak sangat kukuh

itu. Pintu kemudian tertutup 

dibelakang Lila. la kini berada

disebuah ruangan yang selebar

kebun di belakang rumahnya

sendiri seperangkatan perabotan

antik sejenak membuat mata

berkilat. 

"Duduk".

Tersadar dari kekagumannya

pada isi ruangan itu. Lila

terhenyak diatas sebuah kursi

berpikir dengan jok tebal

berbusa. Betapa kelam

permukaan meja didepan

matanya. Betapa kelam lantai

tegel kelabu di telapak kaki.

Lebih kelam lagi lampu yang

bersinar redup dari balik layon

yang terbuat dari anyaman

bambu dipojok.

Langkah-langkah kaki silelaki

gundul berdetak detak waktu

memasuki sebuah pintu kecil dan

kemudian lenyap meninggalkan

suasana sepi yang mencekik. 

Lila menarik nafas. Berat dan

susah. Ada sekali dua ia lewat

dihalaman rumah besar dan

megah ini. Ia tahu betul,

ruangan dimana kini ia duduk

menunggu dengan jantung yang

berdebur, selalu tampak terang

benderang. Tetapi mengapa kini

semua menjadi gelap gulita" O,

lampu di pojok. Hampir-hampir

tak bersinar. .Dan layon itu.

Mengingatkan Lila pada

kematian! la menggigil lagi.

Bagai pernah menderita demam.

Tetapi ia tidak pernah

semenggigil sekarang. Ruangan

rumahkah ini" Atau...bangunan

ditengah-tengah pekuburan" 

Pintu kecil tadi terbuka kembali.

Tubuh tinggi besar bagaikan

tumpukan bukit itu, berdiri di

sana. 

"Masuk", lagi-lagi ucapan yang

sama 

Lila berdiri, Ragu-ragu.

Ragu-ragu pula ia

melangkahkan kaki kesepanjang

ruangan menuju pintu kecil itu.

Rasanya sudah beriburibu

langkah ia lakukan, dan sudah

bermil-mil ia berjalan baru ia

sampai disebelah sana pintu

kecil. Untuk kedua kalinya pula

ia dengar perintah yang sama. 

"Duduk!" 

Perintah itu datang dari arah

sebuah ranjang besar yang

hampir memenuhi setengah dari

ruangan yang ternyata kamar

tidur, Barulah Lila terjengah.

Firasat buruk yang menyerang

dirinya semenjak meninggalkan

rumah, kini mulai membentuk

sebuah kenyataan yang memang

belum tampak buruknya, tetapi

sudah terasa betapa sangat tidak

enaknya. Letih karena

goncangan perasaan. Bila

kemudian mengambil tempat

duduk disebelah kursi rotan

bersandar tinggi, tak jauh dari

pintu. 

Reflex, ia menoleh. 

Laki-laki berkepala licin itu

telah menghilang. Dan pintu

tertutup rapat. Hampir-hampir

tidak bertepi, sehingga Lila

berpikir-pikir disebelah mana

letaknya pintu-pintu dari mana

ia tadi masuk. Firasat buruknya

kian menjadi. Namun ia belum

sempat untuk melakukan apalagi

memikirkan sesuatu, terdengar

bunyi derit halus dari arah

ranjang .

Sesosok tubuh kehitaman karena

piyama gunting cina yang

berwarna pekat duduk

mencangkung diatas tempat

tidur. Matanya berkilau 

tajam, lurus menelan bulat-bulat

kehadiran perempuan yang

duduk dikursi rotan. Lila jadi

terperangah. ialah kini yang

sesak nafas. Benarbenar sesak

nafas. 

"Takut?" 

Pertanyaan yang ganjil itu

justru mendatangkan jawaban

yang dikehendaki Lila. 

"Saya... pak lurah." 

"Kenapa?" 

Lila menjilat bibirnya yang

kering kerontang.

Baru kemudian: 

"Entah". 

'Tak perlu takut". laki-laki

setengah baya diatas ranjang

kemudian duduk di pinggir

tempat tidur. Sepasang kaki

menjuntai, hampirhampir

menyentuh lantai. 

'Minum?" 

"Suaramu gemetar." 

"Takut, pak lurah."

"Sudah kubilang?" 

"Mengapa disini" Mengapa

tidak di kamar tamu saja?" 

Suara cekakak yang

tertahan-tahan dan sedikit

parau, hampir mencopot jantung

Lila. Ia berpegang ketangan

kursi. berusaha berdiri. Tetapi

dengan susah payah ia sadari

kalau semua telah terlambat.

Sorot mata yang tajam dari

laki-laki di atas tempat tidur,

telah melumpuhkan' seluruh

tenaganya. Ia ingin menjerit.

Menjerit, sekeras-kerasnya.

Tetapi yang keluar cuma

keluhankeluhan pendek, disusul

oleh 

IsaK tangis. 

Mata Lila yang bundar dan

indah, mulai berlinang 

Diantara linangan air matanya

ia lihat lakilaki itu turun dari

atas tempat tidur. Satu-satu

melangkah. Gontai, seperti

orang mabuk. Atau memang

mabuk. Lila menjerit lagi dalam

hati. Dan telinganya semakin

perih oleh suara cekakakan yang

perlahan-lahan berubah jadi

tawa yang ganjil, laki-laki itu

kini berdiri tepat di depannya.

Memandang ke bawah, pada

perempuan yang sudah tinggal

seperti cacing yang terdampar

di laut pasir yang panas oleh

terik matahari. 

'...tidakkah kau tahu berterima

kasih. Lila?" 

Terengah-engah Lila menyahut: 

"Maksud...maksud pak lurah?"

"Janganlah memandangku

seperti itu. Toh aku bukan

setan." ' 

"Kau memang setan! Setan.

Setaaan!" Lila menjerit

lengking. Namun jeritan itu

cuma menghantam

paru-parunya sendiri.

Menghantam keras sehingga

paru-parunya seperti pecah dan

dada mulai rekah. Ia hampir

pingsan waktu tangan lelaki

setengah baya berpakaian pekat

itu mulai meraba pUndak,

kemudian pipinya. Tanpa bisa di

elakkan sama sekali oleh Lila.

"...kau semakin cantik saja.

Lila," menggeram laki-laki itu.

"Kau sepantasnya menerima

jamahan... tanganku..." 

"Pak lurah...pak lurah!" 

'Ah. Sudah. Lupakan kalau aku

ini lurah. 

Pandanglah aku ini sebagai

laki-laki. Bukankah kau sudah

lama merindukan kehangatan

tubuh seorang laki-laki" Dan

ranjangku...o, sudah lama terasa

amat dinginnya. Lebih dingin

dari udara malam ini, Sebentar

lagi akan hujan. Akan

bertambah dingin..." dan

tiba-tiba saja ia telah merahup

Lila. 

Perempuan itu seketika

tersentak. 

'Jangan !', keluhnya. Lirih. 

Sebuah ciuman mendarat di

bibirnya. 

Ganas dan buas. Rakus

menjijikan. Lila ingin muntah.

"Sayangku. O, sambutlah

cintaku. Peluklah aku, Lila.

Peluklah aku?" suara

terengah-engah merayapi cupil

telinganya. 

"Saya sudah bersuami, pak

lurah." 

'Bertahun-tahun kau

ditinggalkannya, Lila.

Bertahun-tahun aku telah

membantu hidupmu agar tidak

terlantar...o, isilah hatiku yang

sedang kosong. Lila, hangatilah

ranjangku yang dingin!" _ "

Sebuah sentakan yang keras

merobek blouse atas Lila. 

Bunyi robekan itu seperti bunyi

petir. Menyambar-nyambar ke

jantung Lila. Ia mulai histeri.

Tangannya mencakar. Kaki

menendangnendang seluruh

tubuhnya seperti

dipatahpatahkan oleh betotan

sepasang tangan yang

melilit-lilit bagaikan ular.

Dengan putus asa. Lila terpekik

tertahan waktu tubuhnya

terangkat kemudian

dihempaskan ke atas ranjang. Ia

berusaha bangkit. Tetapi

laki-laki itu sudah 

melompat. Kaki Lila

tercengkeram, ia tarik dengan

sekuat tenaga sambil tangannya

terus memukul-mukul. Pukulan

itu bagaikan cubit cubitan

lembut saja bagi silelaki yang

tertawatawa saja diantara desah

nafasnya yang menggebu-gebu. 

"Auuu; auuu! Lila terpekik lagi

waktu roknya yang kemudian

sobek karena sebuah sentakan

yang cepat. 

la jadi nekad karena rasa malu.

Kakinya yang masih

tercengkeram. Melipat dengan

tiba-tiba. Di detik berikutnya

terdengar bunyi "duk' yang

keras. Laki-laki itu mengeluh,

kemudian jatuh terhumbalang di

atas lantai, membentur kaki

meja. Dudukan lampu Hotel di

atasnya goncang,

perlahan-lahan jatuh persis di

atas kepala si lelaki. 

'Jadah!", ia memaki. 

Lampu itu mati. Gelap gulita

seketika.

Lila tak ingin berpikir panjang.

Kesempatan itu ia pergunakan

untuk meluncur dari atas

ranjang. Dengan terantuk-antuk

ia akhirnya mencapai tepi

dinding. Namun suara ribut

yang ia timbulkan memberi

petunjuk bagi si lelaki untuk

mengikuti arah perempuan yang

sedang berjuang membela

kehormatan itu. Karena sudah

terbiasa diam diruangan yang

sama, mata si lelakilah yang

lebih dulu awas mengatasi

kegelapan.

' Dan Lila berhasil mendorong

salah satu bagian dinding yang

ia perkirakan tempatnya

mula-mula masuk. Dinding itu

terbuka tetapi 

gelap sekali di dalamnya. Itu.

bukan ruangan duduk. Namun

Lila tidak perduli. la terobos

dengan nekad. la melewati

lorong yang gelap beberapa

langkah, kemudian membentur

anak tangga. Hampir saja Lila

terjatuh. ia terpekik. Dan suara

tertawa halus di belakangnya

mengejar semakin dekat.

Tenang-tenang saja lelaki itu,

seakan-akan ia tahu ia tidak

akan kehilangan mangsanya. 

Ketakutan dan keputus asaanlah

yang menolong Lila melampaui

anak tangga demi anak tangga

yang berputar-putar terus ke

atas. Suatu saat ia merasa

kepalanya membentur sesuatu.

Ia benturkan terus. Sesuatu itu

kehempas ke arah luar. Ternyata

bingkai penutup. Lila segera

menghambur ke luar. Dan hujan

deras menyambut

kedatangannya. Sedetik, Lila

menggigil oleh kucuran air

hujan yang membasahi sisa-sisa

pakaian yang melekat

ditubuhnya. Matanya jelalatan

dalam remang-remang malam

berhujan. Ada suara

menderuderu di depan,

datangnya dari arah bawah. 

Lila tidak perduli. 

Ia berlari sepanjang lantai tak

beratap yang rupanya terras

bagian paling atas dari

bangunan rumah itu.

Dibelakangnya, seorang lelaki

berpakaian pekat tertawa

cekakakan, seolaholah ingin

mengimbangi deru hujan yang

membahana, 

"Lari kemana, manisku?", ia

menggeram, dan kembali

mengejar. Lila mencapai pinggir

terras setinggi dada. Nanap, ia

memandang ke 

bawah. bagian belakang rumah

itu berdiri di atas pundamen

yang kukuh oleh batu-batu

padas. Samar-samar ia melihat

sungai yang tengah banjir di

bawah. Lila gemelutuk.

Takuttakut, ia membalik. 

"Sini, manis. Dingin di sini.

Kembali ya kekamar?", bujuk si

lelaki. 

"Cobalah!", Lila mendesis. 

"Sini, sayangku. Sini, manisku..."

"Setaaan! Setaaan!, Lila

menjerit. Jeritan yang

bersamaan dengan meledaknya

petir di langit. Dalam kilatan

petir, si lelaki melihat

bagaimana mangsanya berusaha

naik ke pinggir terras, berdiri

sempoyongan sesaat. Disaat

berikutnya terdengar jerit Lila

yang menyayatkan hati" Tubuh

perempuan itu lenyap ditelan

kegelapan. Sesaat sebelum

lenyap, masih sempat Lila

mengutuk: 

"Aku akan datang untuk

membalasmu!" 

***

DUA 

PARMAN JATUH terduduk

disisi makam.

"Aku akan tetap setia. kang.

Sampai matipun, kau akan tetap

kutunggu!" suara yang

tersendat-sendat itu seolah-olah

keluar dari timbunan tanah yang

masih kemerah-merahan itu.

Tangis Lila membasahi kemeja

Parman, yang tak berdaya untuk

membujuk isterinya. Tangan

Parman terbelenggu. Betapa

ingin ia memeluk isterinya. Dan

betapa perih terasa dihati

karena keinginan itu berhalang

oleh belenggu besi yang semakin

lama semakin menjepit kedua

pergelangan tangannya. Sakit

sampai ke tulang.

"Aku akan pulang. Lila-ku.

Selama kau masih cinta padaku,

aku akan .pulang sayangku".

itulah kata-kata terakhir yang

bisa diucapkan Parman.

Kemudian, ia cuma bisa

menggigit bibir menahan tangis,

ketika ia diseret oleh dua orang

petugas polisi naik ke atas Jeep

yang terbuka. Di tengah-tengah

goncangan Jeep karena jalan

yang becek dan

berlubanglubang, Parman

melihat Lila semakin jauh, jauh

dan jauh. Akhirnya hanya

merupakan titik kecil

ditengah-tengah kerumunan

penduduk yang menyemut

menyaksikan salah seorang

warganya diangkut pihak

berwajib dengan cap yang

mencoreng muka : perampok. 

Manusia-manusia yang

menyemut itu tidak seorangpun

yang memperlihatkan muka

ketika sejam yang lalu Parman

kembali ke kampungnya. Tetapi

ia yakin, dibalik tirai-tirai

jendela atau pintu-pintu yang

setengah terbuka, banyak mata

yang mengintai. Tak ada kata

yang terucap. Tetapi Parman

mendengar suara suara sinis

dihatinya sendiri: 

"Perampok itu telah pulang!" 

Satu-satunya orang yang

bersedia menyambut

kedatangannya, hanyalah

mertua perempuannya. Janda

tua yang telah pikun -itu _

menerima kedatangan Parman

dipintu rumah mereka yang

hampir ambruk. 

"Mana Lila, bu?" tanya Parman

dengan jantung berdegup, sadar

akan pandangan mata yang

menjorok, di wajah yang pikun

itu. 

"Kata mereka Lila telah

mati.-Tetapi Parman tidak

percaya seujung rambutpun

juga. Sampai ia tiba dimakam

dan membaca papan nisan yang

bertuliskan nama Lila, hari lahir

dan hari matinya. Lama sekali

Parman bersimpuh memandangi

papan nisan itu. Lila akan

menunggu katanya. Sampai mati

Lila akan menunggu. Sampai

mati. Dan kini Lila telah" mati.

"Tidak!", Parman menjerit 

***

Ia peluk nisan papan itu. Ia

rahup dan cakar tanah yang

masih memerah di dekat

kakinya. Ia ingin membongkar

makam itu sampai kedasar

dengan seluruh kekuatannya. Ia

ingin melihat Lila. Memandangi

wajah isterinya. Apakah

tersenyum melihat kedatangan

Parman. Ataukah menangis

terisak-isak. seperti ketika ia

melepas kepergian Parman.

Parman menjerit-jerit seperti

orang gila memanggil-manggil

nama isterinya sambil terus

menggali dengan tangannya. 

"Hentikan, Parman!" 

Suara yang berat dan

memerintah itu, seketika

menyadarkan Parman. Ia

menoleh. Seorang laki-laki tua

berkain sarung berdiri

didekatnya. Parman

mengharapkan senyum sympathi

atau wajah yang turut berduka.

Tetapi didepannya ia cuma

mendapatkan wajah yang dingin

serta senyum yang teramat kaku

"Percuma kau bongkar kuburan

isterimu," kata orang itu. 

'....tetapi Lila....Lila...' 

"Lila sudah mati". 

"Aku tak percaya, pak Angga.

Tak percaya. 

"Kami sendiri yang menemukan

mayatnya disungai. Kami sendiri

pula yang memakamkannya?" 

Parman terhenyak. Wajahnya

seketika ternganga.

"Di sungai?". Ia mendesis, "Ia

kalian temukan di sungai?" 

"Ya"

"Tidak. Tak mungkin Lila

membUnuh diri!". 

Laki-laki bersarung itu cuma

angkat bahu. 

"Pokoknya mayatnya kami

temukan di sungai'. 

Laki-laki itu mengajak Parman

kepinggir sungai, beberapa

ratus meter dari pemakaman.

Disebidang tanah berawa

dengan akar-akar pepohonan

yang telah ratusan tahun

umurnya menyuntai disana sini,

mereka berhenti. 

"Akar-akar ini yang menahan

tubuh Lila", kata orang itu. 

Parman menggigil. 

'Siapa...siapa yang

membunuhnya?" 

"Membunuh" Tak seorangpun

yang membunuhnya. Ia memang

ditemukan dalam keadaan

terluka. Pemeriksa mengatakan

Lila terjatuh dari tempat

ketinggian dan membentur

batu-batu cadas. Jatuh kesungai.

Hanyut sampai kemari...". 

'kata Mertuaku, Lila ditemukan

dalam keadaan setengah

telanjang," Parman menggeram 

"Tidak seorangpun yang

memperkosanya!" 

"Pak Angga bisa membuktikan?"

Parman menjadi marah.

Laki-laki tua yang dipanggil pak

Angga itu pun ikut marah.

Matanya menatap tajam pada

Parman. 

"Kampung ini masyhur karena

kesuburan dan keramah

tamahan penduduknya Parman

.Satu-satunya orang yang

mencemarkan nama baik

kampung ini, hanya kau.

Ingatlah itu!" 

Parman terdiam. Namun sinar

matanya

tidak menerima tuduhan itu.

"Kau akan lama disini?", tanya

pak Angga setelah mereka

terdiam. 

"Aku telah berjanji untuk selalu

didekat isteriku bila aku _

kembali," rungut Parman. Lirih. 

"Lila telah mati". 

"Aku tak akan

meninggalkannya!" 

Pak Angga menelan ludah. 

"Sebagai ketua erka', katanya

hati-hati, "Aku cuma ingin

menyampaikan keinginan

penduduk. Mereka tak ingin

kampung ini kembali tercemar. 

Parman gemetar. Kedua telapak

tangannya mengepal. 

"Aku telah berjanji pada Lila

untuk hidup secara baik-baik." 

"Lila telah mati'. 

'Jangan ulang-ulangi kalimat itu

pak Angga. Bagiku, Lila tidak

mati, Tidak pernah mati!"

"Lila telah mati! Tak ada yang

membutuhkanmu lagi

dikampung ini!" 

"Bapak mengusir?" 

"Terserah anggapanmu". 

Lantas, laki-laki tua itu

nyelonong pergi. 

Lama Parman terpaku

ditempatnya berdiri. Ia tidak

perduli pada ketua erka. Ia tidak

perduli apa kata dan keinginan

tetangganya. Dimatanya, cuma

terlukis akar-akar pohon

dirawa-rawa yang menjulur

sebagian ketengah sungai.

Diantara akar-akar pohon itu

mereka konon menemukan tubuh

Lila. Terbuka. tetapi

kata mereka bukan terbunuh.

Hampir telanjang, tetapi kata

mereka bukan karena diperkosa.

"Aku cinta padamu Lila", ia

bergumam Parau. Setengah

menangis. "Aku akan ikut

kemanapun kau pergi. Tetapi

aku harus tahu. mengapa kau

mesti pergi begitu saja, tanpa

menungguku seperti yang telah

kau janjikan!". 

Parman kemudian kembali ke

makam isterinya. 

Tanah yang tidak karuan lagi

bentuknya karena habis ia

bongkar tadi, ia betulkan dengan

hati-hati dan penuh kasih

sayang. Setelah itu, ia mendekap

lantas mencium papan nisan

isterinya. Lalu duduk

mencangkung, menatap lurus

kekepala makam. Matanya tidak

berkedip. Tubuhnya tidak

bergerak-gerak. Ia tidak perduli

pada malam yang telah mulai

datang. Pada kesepian yang

mencekam di kuburan. Pada

angin yang enggan bertiup

seperti keengganan manusia

untuk diam ditengah-tengah

kuburan. 

***

KABUT menyelimuti bumi ketika

sesosok bayangan menyelinap

memasuki pagar bambu sebuah

halaman'rumah yang besar dan

terletak didaerah tertinggi

kampung yang sepi itu.

Beberapa saat bayangan itu

termangu-mangu memandangi

rumah didepannya. Seperti

biasa, jendela kaca bentuk

modern dibagian depan tertutup

oleh tirai tipis sehingga cahaya

yang terang benderang dari

dalam membias keluar.

Seperangkatan perabotan antik

menggeletak diam-diam

dibeberapa bagian ruangan. 

Sesosok tubuh tadi hati-hati

berjalan di antara pohon jambu

dan rambutan sepanjang jalan

berbatu kerikil sampai ke pintu

besar berwarna hitam pekat.

Bunyi kerikil terinjak ditelan

oleh angin yang

mendesau-desau. Daundaun tua

berguguran kebumi, diantara

kakikaki yang terus melangkah

kepintu. Tiba disana, sesosok

tubuh itu kembali termangu

mangu. Kepalanya berputar

kesana kemari dengan mata

yang jelalatan mengintai.

Merasa aman, ia kemudian

mengetuk pintu hati-hati dengan

ketukan yang berirama.

Kemudian diam menanti. Tak

lama, pintu terbuka. Sedikit tapi.

Sebentuk wajah yang berbentuk

segi empat dengan kepala yang

licin tanpa sehelai rambut.

Tersembul dari sela-sela daun

pintu. 

"Siapa" terdengar suaranya

yang berat. 

'PARMAN" 

Daun pintu kemudian

dilebarkan. 

Parman masuk

Mau. apa?" tanya laki-laki

berkepala licin dan bertubuh

tinggi besar itu. setelah lebih

dulu nenutupkan pintu 

'Mana pak lurah'" 

"Tidur" 

'Bangunkan 

"Tetapi 

Bangunkan. Bejo" 

Laki-laki besar yang dipanggil

Bejo itu, sesaat ragu-ragu.

Matanya penuh selidik di bawah

alis berbentuk golok dan segera

bertemu de

ngan sepasang mata Parman

yang tegang, dingin tetapi penuh

ancaman. Dalam hati Bejo

berpikir cepat. Dengan mudah

akan ia taklukkan si Parman ini

dan lemparkan keluar. Tetapi

Parman kelihatannya nekad.

Bukan kekalahan yang ia

takutkan. Akan tetapi sesuatu

yang bersirat dibalik sinar mata

Parman. Dan itu berarti

ancaman bagi kedudukan

majikannya.

Enggan, Bejo berjalan kepintu

kecil. 

ia ketuk. Sekali. Dua kali. Tiga.

Empat. 

Bejo hampir mengundurkan

niatnya ketika pintu itu terbuka

diiringi suara yang malas: 

"Ada apa, Bejo" Tengah malam

inikau?" 

Suara itu mendadak sontak

berhenti setelah melihat

kehadiran laki-laki lain di

belakang Bejo. Sesaat, ia

menggeleng-gelengkan kepala

Kemudian mengkucek-kucek

mata. Tetapi dilihatnya tidak

berubah. Seorang laki-laki lain

dibelakang Bejo. 

Pak Lurah perlahan-lahan

tersenyum 

"Parman" Kapan pulang" 

"Tadi siang". 

Keduanya kemudian berjabatan

tangan. Parman heran, jabatan

pak lurah kaku dan dingin.

Namun diam-diam ia mengerti.

Mungkin kedatangannya bisa

berakibat lain pada pak lurah.

Setidak-tidaknya hanyalah

Parmanlah satu satunya setelah

Bejo siapa ada orang lain yang'

sebenarnya ikut mencemarkan

nama baik kampung mereka

selama ini. 

'Duduk. Duduklah. Cepat juga

kau keluar 

dari penjara", kata pak lurah

tersendat-sendat. seraya

menyeret Parman untuk duduk

diruang tamu.

Di belakang mereka, Bejo

pelan-pelan menghilang. 

'Apa maumu, Parman"!" 

Parman menatap langsung

kemata pak lurah tajam. 

"... kukira bapak ingin berterima

kasih", katanya. 

Parau. Pak lurah tertawa. Kecil 

"Jadi itu yang kau inginkan.

Terima kasih. Parman. Kau

benar-benar seorang sahabat

yang kuat rasa setia kawannya." 

Tetapi orang-orang kampung tak

lagi bersahabat padaku". 

"Oh"' 

"Pak Angga mengusirku pergi". 

"Ooo". 

Mata Parman menyipit Pak

Lurah cuma nengatakan. "Ooo"

saja. Demikian tenang. Tanpa

ekpressi. Namun lagi-lagi

Parman hanya bisa menelan

ludah. Sebagai ketua kampung,

tentu saja laki-laki setengah

baya didepannya telah

mengetahui apa keinginan

masyarakat yang berada

dibawah perlindungannya.

Tetapi bukankah pak lurah juga

harus memandang Parman

sebagai salah seorang anggota

masyarakat itu"

Setidak-tidaknya, seperti yang

telah ia katakan Seorang

sahabat! Yang tahu rasa setia

kawan! 

?"aku mohon pertolongan

bapak", kata Parman tak

bersemangat.

"O. tentu. Tentu. Sebagai

seorang sahabat, aku akan

menolongmu. Hanya, sampai

dimana kemampuanku untuk

menolong. Berapa kau perlukan

uang?" 

Parman menggigit bibir.

Hatinya terasa amat sakit. 

"Aku akan menetap di kampung

ini", katanya. 

'O, Lantas?" 

"Aku tak butuh uang. Selama

dipenjara aku dipekerjakan di

bengkel. Kelakuanku baik. Hasil

kerjaku di bengkel tidak

seberapa tetapi kepala

personalia penjara kemudian

memperkenalkan aku pada salah

seorang temannya di luar

penjara. Tentu saja setelah aku

dibebaskan. Temannya itu

memberi pekerjaan ' padaku;

Hasilnya kukumpulkan, setelah

kurasa cukup, aku minta

berhenti. lantas kembali kesini.

Tetapi kudapati, Lila telah

mati." 

Wajah pak lurah agak pucat

tiba-tiba. 

Parman heran. 

"Ya, ya... Lila kami temukan

tersangkut di pinggir sungai.

Perempuan yang malang.

Terimalah bela sungkawaku,

Parman," kata pak lurah

terburu-buru. 

"Jadi kau akan menetap di sini?"

Parman mengangguk. 

"Baiklah. Besok akan

kutanyakan pendapat pak

Angga". 

'Jangan tanyakan. Tetapi

tentukan!" 

"Tetapi mereka semua.

Parman...' 

"Bapak lurah disini. Selama

bertahun-tahun tidak

seorangpun penduduk yang

berani menghitamkan apa yang

kata bapak putih." 

Pak lurah menelan ludah.

"Baiklah," katanya hambar...

Besok akan kutemui er-ka dan

erte. Setelah itu aku akan

kerumahmu. Tunggu saja

disana. Ingat jangan

kemana-mana." 

Parman lantas berdiri. 

Tetapi sebelum keluar. Ia

memutar tubuh. 

"Saya juga berterima kasih,"

katanya "Kata mertuaku, selama

aku di penjara ia dan anaknya

Lila. Selalu memperoleh

bantuan keuangan dari bapak."

Pak lurah tertawa. 

"Ah. Itu belum seberapa,

Parman. Di banding dengan

kekuatan mentalmu untuk

menutup mulut tidak membuka

rahasiaku, bantuanku itu

benar-benar tidak berarti

apa-apa..." 

"Aku menutup mulut karena aku

harus pikirkan isteri dan

_mertuaku. Bapak tidak ikut

masuk penjara, berarti Lila dan

ibunya tidak hidup sengsara!"

Pak lurah terdiam. 

Dan Parman membuka pintu.

Keluar, lalu menutupkan pintu

dengan keras. Berdentam

bUnyinya. Pak lurah pucat.

Beberapa saat ia tercenung

ditempat duduknya. Ia menyulut

sebatang cerutu. Dihisapnya

berulang-ulang. Dalam,

Asapnya kemudian ia hembus.

Berkepul-kepul Naik ke

langit-langit ruangan. la agak

gemetar ketika berdiri dan

masuk kembali 

ke kamar tidurnya. la mau naik

ke atas ranjangnya yang besar

dan lebar, tetapi tak jadi. Angin

dingin meniup dari samping. 

Laki-laki itu menoleh. 

Ternyata salah satu bagian

dinding terbuka. Gelap di

dalamnya. Pak lurah terpaku

sesaat. Angin dingin merembes

keras dari bagian dinding yang

terbuka itu. Mulutnya terbuka.

Maksud memanggil Bejo. Tapi

tak jadi. Ah, mengapa hal sepele

begitu harus ia perintahkan

pada satu-satunya pelayan dan

temannya di rumah ini"

Ia lantas berjalan ke pintu itu. 

Bermaksud menutupkannya.

Namun, lagilagi ia tertegun.

Tidak mungkin ada angin yang

masuk kedalam, kalau tidak

tingkap penutup di bagian atas,

terbuka. 

"Sialan?" ia memaki. "Mengapa

pula si Bejo tidak

menutupkannya sejak tadi-tadi?"

Seraya menggerutu, ia kemudian

berjalan memasuki lorong

sempit dan pendek di balik pintu

itu. Dengan hati-hati ia

melangkah, menaiki anak tangga

demi anak tangga yang

berputar-putar sampai ke bagian

atas. Akhirnya ia tiba di terras

paling atas dari rumahnya. Di

luar tenang, tetapi angin betapa

dinginnya. Kabut tipis menutupi

pandangan matanya. Namun

setelah lama memperhatikan. ia

tidak melihat sesuatu yang

mencurigakan. 

Ia kembali turun. Dan

bermaksud menutupkan kembali

tingkat di atas tangga ketika

terdengar sebuah jerit yang

menyayat hati. 

***

Di BAWAH di luar rumah

parman juga mendengar Jeritan

itu. ia tertegun, diam

mendengarkan kemudian berlari

mengikuti arah jeritan tadi

menghilang. Beberapa kali ia ter

perosok pada lumpur dan

hampir membentur

cabang-batang pepohonan,

sebelum ia mencapai pinggir

tebing di bagian belakang

rumah pak lurah Sampai di

sana, ia berhenti dengan nafas

tersengal-sengal .Memandamg

dengan teliti ke arah anak

sungai. 

Ketika itu, sungai telah surut.

Air mengalir dengan tenangnya,

menimbulkan suara gemericik

halus menerpa batu-batu yang

menyembul di beberapa bagian

sungai. Kabut telah menipis. dan

bulan pucat di langit, menerangi

tempat itu dengan cahaya yang

samar-samar. Tetapi Parman

tidak melihat seseorangpun

juga,dia tidak lagi mendengar

jeritan yang menyayatkan hati

tadi. Tetapi ia pasti. Ada

seseorang yang menjerit. Orang

itu perempuan. Berdegup

jantung hati Parman setelah

mengingat-ingat ia seperti. ia

seperti mengenal suara jeritan

itu. 

"...Lila', ia mendesah. 

"Lilaaaa!". kemudian ia

berteriak. 

Suaranya memecah disekitar

tempat itu bergaung

kebukit-bukit di kejauhan

kemudian" Kembali dengan

suara mengaung ditelinganya. 

"Lila-ku," Parman berbisik. lirih

dan sakit. 

Seperti ditarik oleh tenaga gaib,

ia melangkah menuruni tebing.

Tetapi karena curam dan licin

bekas hujan renyai-renyai siang

harinya, ia jatuh bergulingan ke

bawah. Untungnya. langsung

tercebur dalam genangan air

berlumpur, hanya beberapa inci

dari sebuah batu besar

, dan runcing di

pinggir-pinggirnya. Dengan

hati. hati Parman naik ke atas

batu itu. Tubuhnya menggigil

kedinginan, dari sana ia

kemudian menatap ke hilir.

Sungai itu berbelok sekitar tiga

ratus meter di sebelah sana. Di

ujung belokan itulah ia dengar

ditemukan mayat 

isterinya tersangkut. . "0,

Lila-ku," ia berbisik lagi. "Kau

mau menuntunku bukan ?" 

Mulutnya tersenyum. Lembut

dan mesra.

Kemudian ia merangkak ke tepi.

Sampai di sana,

matanya'mencari-cari. Ia sudah

terbiasa oleh kegelapan. Kata

mereka Lila meninggal

seminggu yang lalu. Amat sukar

baginya mencari jejak, namun

hatinya yakin ia akan

menemukan sesuatu petunjuk.

Entah apa. tetapi ia pasti

menemukannya. 

"Dengan bantuanmu, Lilaku"

gumamnya. 

Berulang kali' ia berjongkok,

berjalan. berjongkok lagi,

berjalan dengan mata mencari

cari sepanjang pinggiran

sungai, dengan tubuh ' basah

oleh keringat ia sampai ditempat

di mana ia dan pak Angga tadi

sore berdiri. Sepanjang tiga '

ratus meter mencari tidak ia

temukan sesuatu apapun.

Parman tidak kalah semangat .

ia cinta pada Lila dan penduduk

toh akan 

mengusirnya lambat atau cepat.

Hati kecilnya mengatakan tipis

sekali harapan ia dapat bantuan

dari pak lurah.... 

Ha! pak lurah! 

Mengapa ia tidak coba mencari

mulai dari arah sana ke hulu"

Bukankah jeritan itu ia dengar

di bagian sana" Jeritan-Jeritan

siapa" Memang wanita, Lilakah"

Tetapi Lila sudah mati seminggu

yang lalu lantas jeritan siapakah

yang ia dengar tadi" Ataukah

hanya hallusasinasinya saja"

"Persetan". ia memaki. "Biar

hallusinasi, kalau itu jerit arwah

isteriku, aku tak perduli!" 

Atau, siapa tahu kalau ia bisa

menolong seseorang yang saat

itu membutuhkan bala bantuan"

Dengan

kemungkinan-kemungkinan yang

simpang siur itu, ia kembali ke

tempat di mana tadi ia berdiri.

Tetapi tepat di puncak batu

besar berujung runcing. di mana

lumpur yang memercik dari

pakaiannya yang basah terjatuh

kesana, masih membekas. Pada

saat itu, hari sudah menjelang

subuh. Kokok ayam mulai

bersahut-sahutan dari arah

kampung, dan bulan pucat

semakin pucat, namun cahaya

subuh yang remang-remang

semakin memperjelas

pandangan matanya. 

Parman menatap jauh ke hulu. 

Tetap saja ia tidak melihat

seseorang atau sesuatu yang

mencurigakan. Agak kecewa, ia

tengadah. Betapa perih

matanya. Dan tiba-tiba ia

tertegun. Diam. 

karena tengadah. matanya telah

menangkap sesuatu yang menari

di tebing batu yang sekaligus

menjadi pundamen yang kukuh

dari bagian belakang rumah pak

lurah yang bertingkat. disalah

satu ujung batu tebing,

tersangkut secarik kain yang

warnanya sudah tidak karuan

hanya bisa dilihat oleh orang

bermata tajam. 

Dalam sedetik. Parman telah

terjun ke sungai.

Ia berenang ke bagian yang

dalam, kemudian menepi persis

dibagian bawah tebing

pundamen rumah orang

kampung yang paling terhormat

itu. Dengan susah payah ia

merangkak memanjat tebing

yang curam itu

dengan_mengandalkan

ujung-ujung batu cadas yang

tersembul dari tembok tebing. 

Ia sudah kepayahan ketika tiba

dibagian mana carikan kain tadi

tersangkut. Ternyata bukan pada

ujung cadas, melainkan pada

ujung sebuah kayu bekas akar

pohon yang patah. 

Setelah memasukkan benda itu

ke balik kemejanya, ia tidak lagi

merayap turun. Melainkan,

mendoyongkan tubuh sedikit ke

depan, kemudian terjun ke

bawah. Tubuhnya mencebur di

bagian yang dalam. Ia biarkan

dirinya hanyut di bawa air. dan

kemudian tidak jauh dari tempat

mandi kaum wanita ia kemudian

merangkak ketepi. Beberapa

menit ia duduk melepas lelah.

Setelah itu berjalan menuju ke

rumah. Disana, Benda yang ia

temukan ia dekatkan pada

lampu. Benda itu ternyata 

sebuah beha 

"Kutang. Lila!". sungutnya

dengan wajah pucat 

***

DI RUMAHNYA, pak lurah

meluncur menuruni tangga

kemudian bergegas memanggil

manggil pelayannya.

"Tutupkan tingkap atas,

bangsat!', ia memaki kalang

kabut. Terheran-heran. Bejo

naik juga ke atas, menutupkan

tingkap yang terbuka dan

kembali ke bawah, disana ia

lihat majikannya meringkuk di

tempat tidur. Seluruh tubuhnya

terbenam dalam selimut yang

tebal. Namun jelas terlihat

bagaimana tubuh pak lurah

gemetar hebat. dan suaranya

menggigil seperti orang di

jangkiti malaria. 

***

TIGA 

PARMAN BERDIRI tegak

dipekarangan rumah pak lurah. 

Seluruh wajah sampai

Ketelinganya merah padam. 

"Pak lurah !", ia berteriak

memanggil .

Suara teriakannya yang keras

melengking seketika

memecahkan kesepian subuh

hari itu. Beberapa orang

penduduk yang masih enggan

bangun karena udara yang

dingin, mau tak mau terloncat

dari tempat tidur kemudian

berlari keluar rumah. Atau

memperhatikan dari balik pintu.

Tak sedikit pula yang mengintai

dari jendela. 

"Pak lurah! Keluar kau, laki-laki

jahanam!" 

Tak terdengar sahutan.

Penduduk yang memandang,

jadi penasaran. Ada apa

pagi-pagi bekas perampok itu

memanggil-manggil lurah

mereka" Sesubuh ini pula lagi.

Hari masih berkabut. Alangkah

dinginnya. Uap panas yang

membara hanya bergejolak

dalam diri satu orang. Parman,

yang berdiri mengkangkangkan

kaki di halaman rumah pak

lurah. 

Ia kemudian menyambar sebuah

batu besar. 

Mata semua orang terbeliak.

Batu itu melayang di udara,

menghempas dengan keras di

jendela rumah pak lurah. Bidang

kaca berwarna gelap dari luar

terang dari dalam, yang

termodern dan termegah di

kampung itu, seketika pecah

berantakan mengiringi suara

yang gegap gempita dari batu

besar yang kemudian

menggelinding di ruang tamu,

menghantam apa saja yang ada

di dalam. 

Hanya orang yang bertenaga

dalam yang tinggi yang bisa

melakukan hal itu. Namun

Parman bukanlah seorang

jagoan. Tenaganya mendapat

dorongan dari amarah dan

kebencian yang meluap-luap.

Suara yang hiruk pikuk itu,

selama beberapa saat berikutnya

digantikan oleh kesepian yang

menyentak. Bahkan ayam yang

tadi ribut berkokok maupun

berkotek, pada bungkam. Sedang

burungburung yang bercuit

bersahut-sahutan di pepohonan,

tidak ada lagi yang berani

bernyanyi. Semua diam. Semua

tegang. Semua menunggu.

Tetapi tak lama. 

Seorang keluar dari pintu besar

hitam di bagian samping rumah.

Ia bukan pak lurah. Melainkan

Bejo, yang melangkah tegap

mendatangi Parman. Yang di

datangi diam tidak bergerak,

sementara mukanya yang merah

berubah semakin kelabu. 

"...mau apa kau?", geram Bejo.

Parman meludah. 

"Aku tidak membutuhkan kau.

Bejo, aku Panggil majikanmu " 

"la tidur." 

Parman tertawa. 

"Kalau tak salah, batu yang

kulemparkan juga mengenai

pintu kamar tidurnya Tak

beranikah ia bangun untuk

menghadapi tangan salah

Seorang penduduknya?" 

"Jangan menghina!" 

"Majikanmu memang hina.

Seorang lakilaki bi-sex,

berpelayankan seorang laki-laki

homo sex. Panggil keluar pak

lurah. dan kau cari saja laki-laki

lain untuk jadi mainanmu!" 

Kepala yang gundul licin itu,

berkilau kemerah-merahan.

"Haram jadah!", makinya dan

meninju kedepan Parman yang

sudah tahu akan di hadapkan

pada pelayan itu mengelak

dengan cepat. Demikian cepat

dan demikian tiba-tiba. sehingga

pelayan yang sedang diamuk

amarah itu terdorong kedepan.

Tubuhnya tidak bisa ia imbangi

lagi. Terdengar suara berdebuk

yang riuh diatas tanah berkerikil

.Bejo mengaduh kesakitan.

Dengan sigap ia bangkit lagi,

tetapi Parman sudah maju ke

depan. Cepat sekali. 

"Aku sudah banyak latihan

dipenjara, Bejo", bentaknya

mengiringi hantaman lutut yang

deras kedagu Bejo. Pelayan itu

terdongak, lantas terhempas

kebelakang oleh sesudah tinju

Parman yang tubuhnya jauh

lebih kecil dari Bejo. Kekuatan

yang membahana dibalik tubuh

yang besar dan perkasa itu

ternyata tidak dibarengi dengan

kelihaian otak dan pengalaman.

Selama bertahun-tahun bekerja

dengan 

pak lurah, tidak seorangpun

yang pernah menjamah tubuh

Bejo. Karena tidak punya

urusan. Kalaupun ada, karena

tidak punya keberanian! 

Sekali dua ia dapat pula

menyarangkan pukulannya

ketubuh Parman sehingga

pembuat gaduh disubuh itu

beberapa kali sempat

terbanting-banting. Tetapi

pengalaman sebagai seorang

perampok dan bekas narapidana

menguntungkan baginya. Ia

hanya perlu mengelak dan

mengelak sambil melayangkan

pukulanpukulan berbahaya

sehingga Bejo akhirnya

terhempas kandas kelelahan.

Tidak ada luka-luka atau biru

lembam bekas pukulan di wajah

maupun tubuhnya. Sebaliknya

dengan Parman. Ia masih bisa

tegak memandangi lawannya

yang menggeliat di tanah.

Namun hidung Parman

berdarah, dan sebelah matanya

membiru. 

"Sudah", maki Parman.

Tersenggal senggal. "Sekarang

panggil! keluar majikanmu yang

berkutuk itu!" 

Bejo mengumpat-umpat. Namun

tidak kuasa berdiri.

Terdengar tawa parau dari

mulut Parman. Lantas ia

berjalan tertatih-tatih kearah

pintu rumah yang terbuka. Ia

baru saja menginjak lantai

terras ketika beberapa orang

penduduk meloncat keluar dari

rumah dan berlari memasuki

halaman rumah pak lurah. 

"Tahan, dia!" seseorang

berseru. 

Parman tertegun. 

Waktu ia membalikkan tubuh. ia

lihat belasan orang telah

mengepungnya. Ia menyeringai

 Kesal dan marah. 

"Mau apa kalian?" 

pak Angga yang berdiri paling

depan. meludah. 

"Jangan sekali-kali kau jamah

tubuh pak lurah!" umpatnya. 

Mata Parman menyipit. 

"Kenapa pula ia harus kalian

bela?"

"Terkutuk. Sudah tahu diri bekas

perampok, masih menghina

orang-orang terhormat" 

"Terhormat?", Parman tertawa

berkakakan. "Pak lurah yang

pengecut dan tidak berani

memperlihatkan muka itu. kalian

katakan terhormat?" 

Pantas, sambil mencerca begitu

Parman mengeluarkan kutang

perempuan yang lusuh dari balik

kemejanya yang basah oleh

keringat.

"Kalian lihat!", ia menggeram.

Matanya berkilat memandangi

orang-orang yang pernah

menjadi tetangga-tetangga

baiknya tetapi kini mengepung

untuk mengeroyoknya 

"...ini kutang isteriku. Kutang

Lila' Kalian dengar" ini kutang

Lila! 

Semua orang terdiam seketika 

Semua mata, membulet melihat

kutang lusuh ditangan Parman. 

Pak Angga batuk-batuk kecil

"Apa hubungan kutang itu

dengan kegaduhan yang kau

buat " "tanyanya 

"Kutang ini tersangkut ditebing

belakang mmah ini!". 

"Lantas?" 

Mata Parman merah menahan

marah dan kesal. 

"Bodoh!". gerutunya. Tak

sabar... ltu artinya, isteriku jatuh

atau dijatuhkan orang dari

terras belakang dibagian atas

rumah ini" 

"Tak mungkin.". beberapa mulut

menggumam. 

"Mengapa tidak" Apa kalian

pikir Lila merangkak dulu dari

sungai, naik ketebing baru

menjatuhkan diri?" 

"Kau menghasut!" 

"Aku mengemukakan fakta!" 

"Kau menghasut. Karena kau

mau di usir dari kampung ini

dan pak lurah tidak berdaya

menghadapi keinginan seluruh

penduduk, kau lantas

menghasutnya. Orang haram.

Perampok. Buangan. Mana kami

mau percaya pada

ucapan-ucapan kotor seseorang

yang menggerutu tak

berkeputusan. "Kau hina orang

paling terhormat dan budiman

dikampung ini. Bertahun tahun

ia jadi lurah disini. Tanpa cacat

tanpa cela. 

Bertahun-tahun ia

mengeluarkan uang untuk

mendirikan sekolah.

Membangun madrasah.

Memperbesar mesjid.

Menyumbang penduduk yang

tidak mampu. Orang'sebaik itu,

kau tuduh pembunuh dan

pemerkosa?" 

Suara-suara mengumpat

berkecamuk di sekeliling

Parman. 

"Kekayaan pak lurah didapat

dari merampok!", ia berteriak

mengatasi suara berkecamuk itu.

"Ia yang membiayaiku kesana

kemari dari 

tahun ketahun. hasil usahaku

sebagian besar ia ambil untuk

dirinya sendiri. Apa yang ia

sumbangkan pada kalian, hanya

satu dua sen dari kerja sama

kami!", 

"Puih !", pak Angga meludah.

Mukanya merah padam pula. 

"Ia sudah semakin menghasut.

anak-anak. Usir dia dari

kampung ini!" 

Hanya dalam beberapa menit

kekacauan itu menjadi reda.

Perlawanan Parman yang sudah

gelap mata, toh tidak sebanding

dengan amukan belasan laki-laki

yang ganti berganti menghantam

serta menghambat langkah

tubuhnya kesana kemari.

Pakaiannya sudah robekrobek

dan disana sini berlumur darah

sementara mukanya sudah mulai

tidak berbentuk. Dalam hati ia

memangggil nama isterinya

Mengeluh: 

"Akan matikah aku sekarang.

Lila?". 

***

PARMAN tidak mati. Ia hanya

hampir mati, ketika terdengar

suara pak lurah yang keras

tetapi lembut berwibawa: 

"Sudahlah, saudara-saudara!" 

Terdengar suara-suara nafas

lelah. Semua mata memandang

ke pintu. Di sana, pak lurah

berdiri tenang. Bersandar ke

bendul pintu .Wajahnya pucat,

tetapi mulutnya tersenyum. Ia

mengenakan kain sarung dan

berpeci.

"...aku sedang sembahyang

subuh ketika 

 ribut-ribut ini terjadi," katanya

dengan tenang Tenang sekali.

"Barusan sempat kudengar apa

yang dikatakan oleh Parman.

Percayakah kalian?" 

"Tidak. Tidak. Tak mungkin," ia

dengar suara-suara bergumam.

Aku tahu kalian tidak percaya.

Kasihan anak malang itu.

Mungkin karena dipenjara, ia

shock. Dan setelah isterinya

mati. pikirannya jadi engga

karuan. Ia mengatakan yang

bukan-bukan. Harap kalian

maklumi hal itu,

saudara-saudara. Hentikan

kegaduhan ini. Aku tak mau

salah seorang pendudukpun

tangannya dikotori oleh darah.

Kalian tidak boleh jadi

pembunuh!" 

Semua diam. Terpekur. Bahkan

ada yang menjadi malu. 

Banyak orang telah keluar dari

rumah. 

Berkerumun di depan pagar pak

lurah. Ayam-ayam sudah

bertaburan di sana sini. Burung

telah kembali bernyanyi. Seekor

kambing mengembik. Dan

beberapa ekor kerbau melenguh

di gelandang oleh seorang anak

kecil. 

"Sekarang begini," melanjutkan

pak lurah. "Keinginan kalian

untuk mengusir Parman, apa

boleh buat Terpaksa dengan

berat hati kukabulkan. Tetapi

tidak dengan cara yang kalian

lakukan. Sayang, aku terlambat

menengahi .Tetapi sudahlah.

Apa guna menyesal. Aku maklum

luapan kemarahan kalian..." ia

berhenti sebentar.

Menarik nafas panjang. Lantas: 

"Kalian bawalah Parman ke

klinik. Bila 

besok ia cukup kuat kalian antar

ke batas desa dan katakan

jangan ia coba-coba kembali ke

sini. Pergilah. Akan kuberikan

sejumlah uang untuk biaya

pengobatan anak yang malang

itu...!" 

Sambil mendorong tubuh

Parman yang babak belur dan

pingsan ke klinik, pak Angga

mengeluh: 

'Apa kubilang" pak lurah tidak

akan ada tandingan dalam soal

berderma dan soal budi di

kampung ini. Mungkin juga di

kampungkampung lain. Apalagi

di kota. Hem, anak ini," ia

menggeleng-gelengkan kepala

memandangi tubuh Parman.

"Benar tak tahu diuntung!" 

Di rumahnya, pak lurah

termangu-mangu. 

Bejo berjongkok kelelahan

disebelahnya.

"Tahukah kau apa keinginanku,

Bejo?" 

tanya pak lurah. . 

Bejo memandang, kemudian

menggeleng pak lurah

tersenyum. Dingin. Katanya: 

"Pergilah nanti malam ke klinik.

Jangan sampai ada yang lihat.

Dan bunuh si Parman!" 

***

EMPAT 

PARMAN TERLONJAK Kaget. 

la mengerang sesaat diserang

rasa perih yang teramat sangat

sekujur tubuh terutama diwajah

yang penuh pembalut. Nanap, ia

memandang ke jendela. Ia

sempat tersadar tadi siang,

kemudian pingsan lagi. Ia sadar

kembali sore harinya. Karena

ingin tahu di mana ia berada,

Parman ingat betul jendela

kamar klinik di mana ia rawat,

tetap tertutup. Rapat.

Kini, jendela itu terbuka.

Mengapa lebar. 

Bunyi jendela yang menghempas

ke dinding itulah yang

menyadarkan Parman dari

serangan kantuk yang luar

biasa-dan kelelahan yang

mengesalkan. Mata Parman

mencari-cari. Liar. Namun ia

tidak melihat kehadiran

seseorangpun. 

Baik di dalam kamar maupun di

luar jendela. Ia terengah dan

menggigil waktu angin yang

keras menampar wajahnya. 

Dengan susah payah, Parman

turun dari dipan. 

Sakit sekali sekujur tubuhnya. 

"Terkutuk mereka semua," ia

memaki-maki sendiri, "Hampir

saja tulang-tulangku mereka

remukkan!" 

Seraya memaki ia terus

merangkak ke pinggir jendela.

Bermaksud menutupkannya Dan'

?"kang!" 

Parman terdongak. 

"Kang Parman!" 

Seketika itu juga, Parman

menghambur ke 

jendela. Berpegangan

dibendulnya. Memandang keluar

dengan mata membesar. Gelap

sekali. Mula-mula ia hanya

melihat kabut tipis yang

bergerak perlahan-lahan. Ia

juga melihat dedaunan

berguguran dari cabang-cabang

pohon yang bergerak

lambat-lambat. Lantas. dari

tengah kabut yang tipis itu,

menjelma kabut lain Yang lebih

tebal. Mata Parman kian melotot

Dan kabut itupun kian tebal. _ 

"Kang?" 

Parman menggeleng-gelengkan

kepala. Keras-keras. Sakit bukan

alang-kepalang tetapi ia tidak

perduli. 

"Mungkinkah?", ia berbisik. 

Dan kabut menebal tadi berjalan

kearah tepi jendela. Semakin

lama semakin dekat. semakin

jelas. Tidak. Parman tidak

bermimpi. Di depan biji

matanya, ia melihat Lila muncul

dari tengah-tengah kabut.

Isterinya yang malang itu

hampir-hampir tidak berpakaian

sama sekali. Blusenya tinggal

setengah, sedangkan salah satu

tali kutangnya lepas.

Payudaranya Lila agak

menyembul ke luar .Sebelah

payudara itu membiru. Jelas

terlihat karena kulit Lila yang

putih gemerlap.

"Jahanam itu menggigit dadaku

kang "

bisikan yang hilang timbul.

Hilang timbul itu seperti helaan

nafas yang menyapu telingga

Parman." "Balaskan sakit

hatiku, kang. Balaskan sakit

hatiku!" 

Lantas bayangan Lila menjauh.

Menjauh dan menjauh. 

Barulah Parman tersadar. 

"Lila!", ingin ia menjerit.

Memanggilmanggil isterinya.

Namun lidah Parman kelu.

Hanya keluhan pendek saja yang

keluar. 

'Jangan...", ia mengerang.

"Jangan kau tinggalkan aku,

Lila...!" _ 

Kemudian, dengan mengerahkan

sisa-sisa tenaganya ia

merangkak memanjat jendela.

Malang, kekuatan Parman

belum pulih. 

Tiba di tepi jendela, ia jatuh

terhumbalang ke bawah.

Berguling-guling diantara

barangbatang pohon

buah-buahan di atas rerumputan

bertanah lembut yang menurun.

Beberapa kali Parman mengeluh

dan merintih kesakitan. Salah

satu rusuknya membangkitkan

kengiluan yang amat sangat

waktu membentur sebatang

pohon. 

Parman terhenyak. Lama. 

Ia kira ia kembali pingsan.

Tetapi tidak. Suara

mendesau-desau dari balik

pohon memaksanya membuka

mata. Parman merangkak

sedikit, berpegangan ke pohon

itu. 

Dan tiba-tiba ia membalik,

berguling kembali ketempat

semula. Ternyata disebelah sana

pohon, terdapat jurang yang

menganga diantara semak

belukar yang rimbun. Untunglah

ia mengenali sungai yang

mengalir di bawah sana. Kalau

tidak ia tentu akan terus

mengejar bayangan Lila yang

menghilang ke arah semak

belukar itu.

"Ya Tuhan!", ia mengucap. 

Lalu berusaha bangkit. Ia harus

kembali ke klinik, karena salah

satu luka di kakinya

mengucurkan darah.

Kepalanyapun berdenyutdenyut.

Mungkin pukulan orang-orang

kampung itu telah merekahkan

batok kepalanya. 

Parman memaki dan memaki

lagi. Tak berkeputusan. Kaki

kanannya yang luka berat itu

membuat ia tidak bisa berdiri.

Mau tidak mau ia merangkak

kearah klinik dimana ia bisa

membangunkan salah seorang

perawat jaga di sana untuk

menolongnya dari kematian

karena kehabisan darah.

Belikatnya lagi aduh! 

"Krasak!" 

Parman tertegun. 

Liar, matanya mencari lagi.

Suara itu datang dari arah

jendela klinik. Seperti ranting

terpijak. Kemudian sepi. Hanya

deru angin malam saja yang

menyambar-nyambar ribut.

Tampaknya akan badai.

Lila-kah. Dengan penuh harap,

Parman kembali merangkak.

Hatihati. Ia tidak boleh

kehilangan Lila untuk kedua

kalinya malam ini. 

Ia harus mencapai jendela,

melihat istrinya itu. memeluk

dan menangis diharibaannya,

menanyakan mengapa ia begitu

cepat mati dan siapa yang

menyebabkan kematiannya! 

Tetapi niat Parman tidak

kesampaian. 

Yang ia lihat didepan matanya,

bukan bayangan Lila yang

berpakaian tidak karuan dan

setengah telanjang. Melainkan

bayangan sesosok tubuh tinggi

besar. Mengenakan pakaian

hitam pekat. Sesosok itu

mendempet sepanjang dinding

klinik menuju jendela kamar

Parman. Dengan kecut, Parman

memandang ke jendela itu.

Matanya berbelalak. Aneh.

Jendela kamar Parman telah

terbuka kembali. Mungkin

karena dihempaskan angin. 

la alihkan lagi pandangan

matanya ke arah sesosok tubuh

tadi, sambil meringkukkan tubuh

dibalik bayang-bayang semak

belukar. Orang misterius itu

telah mencapai jendela. Lantas

mengintai ke dalam. Percuma,

tentu saja. Karena kaca jendela

kabur dibasah kabut. Hatihati,

orang tadi mulai mencukil

pinggir jendela. Berderik-derik

bunyinya. Tak lama kemudian

jendela terbuka. Didorong

perlahan-lahan. Kemudian

diam. Menunggu. 

Tidak ada reaksi. 

Sesosok tubuh tadi lantas

merangkak menaiki jendela

masuk kedalam. 

Ditempatnya bersembunyi.

Parman terhenyak. Menunggu

dengan tegang. Apa yang akan

dilakukan orang itu" Siapa dia"

Mengapa harus ke kamar

Parman" Sembunyi-sembunyi

pula lagi" Dan tengah malam

buta begini, selagi

petugas-petugas klinik dan

semua penduduk kampung

terlelap dalam buaian tidur yang

nyenyak diserang hawa dingin" 

tak lama ia dengar suara ribut

di dalam, disusul oleh caci maki:

"Jadah! anak jadah si Parman

itu!" 

Parman tersenyum. 

Bejo! gumamnya sendirian.

"Tentu di suruh pak lurah!" 

Bejo cepat-cepat keluar dari

kamar Parman dan sesaat

menyalangkan mata disekitar

halaman belakang klinik. Namun

ia tidak melihat apa-apa, kecuali

kegelapan dan kabut

menyelimut. Sambil

menghentak-hentakkan kaki ke

tanah menimbulkan suara

berdebum-debum ditelinga

Parman yang diam tergeletak

dipersembunyiannya, Bejo

mengumpat-umpat: 

"Dimakan setanlah hendaknya si

jadah itu!" 

Setelah mengumpat kesal

demikian. Bejo kemudian

menghilang disamping klinik. 

Parman menarik nafas.

"Kau menolongku lagi, Lila-ku

sayang' ucapnya dengan nafas

lega. 

Beberapa saat lamanya, ia

terbaring di atas rerumputan

yang basah oleh embun.

Otaknya berputar cepat. Setelah

itu, ia berusaha berdiri Susah

sekali. Udara yang beku

mungkin telah menghentikan

darah keluar dari kaki

kanannya. Terpaksa Parman

berjalan menyeret-nyeret se

belah kaki, kadang-kadang

merangkak, istirahat sebentar,

merangkak lagi, berjalan

menyeretnyeret kaki. "Begitu

terus. Semakin lama semakin

jauh ia dari arah klinik .

***

"kemana ia tadi ?"

Bejo panik dan panik. 

Wajahnya yang basah oleh

keringat, merunduk lesu. 

"Jadi Parman lari" celetuk

majikannya seraya menekan

puntung serutu ke asbak. Abunya

bertebaran dan asapnya

menyapu hidung Bejo. 

"Ada yang melihat kau?" 

"Tidak," sungut Bejo. 

"Hem. Jadi si Parman lari" Ia

telah menduga ada yang akan

kita lakukan atas dirinya. Setan

benar. Coba tadi pagi kubiarkan

saja orang-orang kampung

mengeroyoknya sampai mati

seperti cacing! 

Lelaki setengah baya itu

kemudian berdiri. Ia melangkah

ke arah kamar tidur. Tetapi di

depan pintu kecil, ia tertegun.

Lantas membalik. Memandang

tajam pada pelayannya yang

bertubuh kekar itu. 

"Bejo!" 

"Ya?" 

"Sudah kau dengar bagaimana

perkembangan bayi anak Nyi

Saodah yang sakit itu?" 

"Semakin payah. Pak lurah," . 

"Ada harapan hidup?"

"Kata mantri, tak mungkin lagi

di tolong Kemungkinan besar

malam ini sudah mati!" 

Sepasang mata pak lurah

berkilat. la bertepuk-tepuk.

Puas. 

"Malam apa ini, Bejo" 

"Jum'at, pak lurah." 

"jum'at apa" 

"Kliwon, pak lurah."

Pak lurah manggut-manggut.

Puas. Bayangan kekesalan

karena kehilangan Parman telah

lenyap sama sekali dari

wajahnya. Ia tersenyum.

Gembira. Matanya menatap

memandangi pelayanannya yang

masih berdiri terpekur-pekur

ditempatnya semenjak tadi. Ia

pandangi tubuh Bejo dengan

mata liar, menjelajahi dari

ujung rambut ke ujung kaki,

berhenti di beberapa bagian

tubuh yang kukuh itu, kemudian

menjilat ludah. 

"...Bejo?" suara pak lurah

berubah parau. 

"Ya?" 

"Masuklah ke kamar tidurku." 

Seketika. kemasgulan di Wajah

Bejo karena gagal

melaksanakan perintah

majikannya, ikut pula lenyap. Ia

memandang tubuh pak lurah

yang berjalan melenggang ke

kamar tidur. Seperti yang

dilakukan majikannya itu, Bejo

pun memandangi pak lurah dari

ujung rambut ke ujung kaki

menjilat bibir waktu memandang

lenggang punggung pak lurah

sebelum hilang di dalam kamar. 

Bejo dengan cepat berjalan

kesebelah kanan ruangan. Dari

dalam sebuah rak ia keluarkan

sebuah botol besar. Etiketnya

menandakan botol itu berisi

bier. Dengan giginya. Bejo

melepaskan tutup botol.

Meneguk isinya dengan leher

meleguk-leguk. lsi botol itu habis

hanya dalam sekali teguk. Bejo

menutupkan rak, meletakkan

botol bier yang telah kosong

seenaknya di atas sebuah kursi

Kemudian ia

memandang ke pintu kamar

tidur majikannya. Matanya

berkilat, sedikit

kemerah-merahan. 

"Malam yang dingin ya, pak

lurah?" ia tersenyum. 

Kemudian tertawa cekakakan.

Lantas berjalan ke arah pintu

kamar tidur majikannya, seraya

melepaskan kemeja . kemudian

celananya. Tiba di kamar tidur

majikannya ia lihat laki-laki

setengah kaya itu telah

berbaring di atas ranjang. Pak,

lurah memakai selimut tebal,

Bejo yakin majikannya'itu tidak

mengenakan pakaian sama

sekali. Mereka berpandangan

beberapa lama. tanpa berkedip

Pak Lurah gemetar waktu Bejo

pelan-pelan naik ke atas tempat

tidur dan menarik selimut yang

dipakainya. 

***

LIMA 

IBU LASMI mendengar suara

ketukan halus dipintu disusul

suara berdebum benda berat

terjatuh. Perempuan itu terkejut,

dan dengan hati-hati ia

melangkah kepintu. Sesaat ia

mendengarkan, tak ada suara

apa-apa. 

Ketika pintu ia buka,

dihadapannya tergeletak sesosok

tubuh. Berpakaian

compangcamping, kotor lumpur

bercampur darah kering. Wajah

dan kepala hampir tertutup

seluruhnya oleh pembalut

setelah berjongkok baru ia

kenali siapa orang itu.

"Parman!" serunya kaget. 

Mata Parman tertutup rapat

namun mulutnya menganga. Ia

bernafas tersengal-sengal. Ibu

Lasmi segera menyeret tubuh

Parman masuk ke dalam rumah.

Kemudian ia berlari lagi

kepintu. Memandang keluar

sesaat. Lantas menutupkan pintu

cepat-cepat. Lantas berlari lagi

kearah Parman yang tengah

berusaha untuk duduk dengan

susah payah. 

"Parman. Apa yang terjadi"

Mengapa kau sampai begini?",

tanya ibu Lasmi bcrtubi-tubi

seraya membantu Parman

berdiri, membim

bingnya kekamar dan kemudian

menidurkan laki-laki itu diatas

tempat tidurnya sendiri.

Lambat-lambat Parman

mengucapkan terima kasih.

Kemudian jatuh tertidur. Ibu

Lasmi memandangi tamunya

yang datang secara aneh

sesubuh begini. Masih dengan

mata tidak percaya. Waktu tadi

ia mendengar suara benda berat

jatuh didepan rumahnya ia kira

maling mula-mula. Sampai ia

dengar suara patah-patah

meminta tolong. 

"Parman, Parman!", gumamnya.

Lantas geleng-geleng kepala.

Cuma itu yang bisa ia perbuat. 

Waktu Parman membuka

matanya, hari sudah siang. 

Menoleh kejendela yang

terbuka, ia lihat ibu Lasmi

tengah membalikkan sebuah

kasur diatas jemuran yang

disusun dari dua buah kursi.

Parman menoleh lagi. Tempat

tidur dimana ia terbaring

rupanya berkasur dua. Salah

satu kasur berada dibawah

punggungnya yang masih-masih

sakit-sakit. Yang lainnya tengah

di jemur ibu Lasmi. Dilantai,

Parman melihat sehelai tikar

terhampar Ibu Lasmi dilantai

pada malam itu. 

Parman menghela nafas. Tidak

mengerti. 

"Mengapa ibu lurah tidur

dilantai?", tanyanya ketika

perempuan setengah baya itu tak

lama kemudian masuk seraya

membawakan segelas kopi susu

panas untuk Parman. 

Ibu Lasmi tersenyum. Ramah. 

'"minum, Parman. Itu lebih baik

bagimu. dari pada mengajukan

pertanyaan yang tidak perlu". 

"Mengapa tak sama-sama

diranjang?" 

"Kau mau minum apa tidak?",

ancam ibu Lasmi dengan mata

ancaman, namun melihat

pandangan mata perempuan itu

akhirnya ia mengalah. Ia

kemudian meneguk minuman

yang disodorkan siperempuan

langsung kemulutnya. Ia hidup

dengan kenikmatan yang tidak

tiada tara, tersenyum puas

karena minuman itu serasa

menghilangkan seluruh rasa

nyeri disekujur tubuhnya. 

"Melihat keadaanmu, Parman,

kau bukan datang dari rumah

sakit dikota. Kau tentu baru dari

klinik. Karena agak berlumpur,

bukan,-pula klinik didesa ini!" _ 

"Aku dari kampung kita tadi

malam".

"Siapa yang memukulimu

disana?" 

'Orang kampung, siapa lagi". 

"Tetapi mengapa?". 

".,..karena mereka tahu aku

seorang perampok". 

"Kudengar kau telah masuk

penjara. Kapan kau keluar?". 

"Baru". 

"lantas mereka pukuli kau.

Merampok lagi?". 

"Kata mereka, menghina". 

"Siapa?". 

Parman memandangi wajah

siperempuan sejenak, lantas: 

"Pak lurah". 

Namun tidak ada reaksi apa apa

diwajah perempuan itu. 

"Mengapa tak kau katakan saja

ia yang paling banyak makan

uang hasil rampokan mu?". 

Parman tertawa. 

"Ibu tahu, mereka tak akan

percaya". 

Ibu Lasmi tersenyum. Lirih.

Kemudian angkat bahu. 

"Makan ya?". 

"Kebetulan. Sejak kemaren aku

cuma makan Tinju dan

tendangan orang orang

kampung".

Ibu Lasmi membantu

menyodorkan nasi kemulut

Parman tidak sampai lima menit

berikutnya. Selama itu mereka

diam. Hanya mata Parman yang

tidak mau diam. Sepasang

matanya liar, menjelajahi

sekujur tubuh ibu Lasmi. Usia

perempuan itu lebih tua sepuluh

tahun diatas umurnya sendiri,

tetapi masih tampak berisi.

Tiada kerut merut kedukaan

diwajahnya, sehingga Parman

berpikir pikir apa yang kira kita

bisa membahagiakan

.siperempuan semenjak ia

menetap didesa ini, setengah

jam perjalanan dengan jalan

kaki dari kampung asal mereka

bersama. 

"Ku lap dengan air hangat ya?",

tanya ibu Lasmi selesai

menyuapi Parman. Selama pe

rempuan itu melap tubuhnya,

Parman tidak mengeluh sama

sekali. Ia memang merasa

kesakitan, namun matanya yang

menjilati payu dara perempuan

itu dibalik kebaya yang 

kancing bagian atasnya terlepas,

benar-benar pemandangan yang

merupakan impian semata

selama ia mendekam dibalik

jeruji besi. Dada lbu Lasmi

masih penuh dan Parman

merasakan betapa hangatnya

dada itu. Dulu. 

Ketika itu Parman masih

bujangan. 

Ia belum menikah dengan Lila.

Malah belum pernah

memikirkan seorang perempuan

secara serius. satu satunya

perempuan yang pernah jadi

pikirannya, hanyalah ibunya.

Tetapi ibu Parman sudah

meninggal diserang malaria

ketika Parman baru saja

menginjak usia remaja. Ayahnya

menyusul tiga tahun berikutnya.

karena kanker di dada jatuh

melarat karena harta habis di

pakai membayar biaya

perawatan sang ayah selama

menderita kanker yang ternyata

sia-sia karena toh ayahnya

akhirnya mati juga, Parman

kemudian bekerja sebagai

pelayan di rumah lurah. 

Baru sebulan bekerja ia sudah

digoda. 

Bukan oleh ibu Lasmi, isteri

lurah. Akan tetapi oleh pak

lurah sendiri. Seorang laki-laki

seperti Parman. ia tak mengerti

mengapa suatu hari pak lurah

menyuruh berjongkok diatas

tempat tidur setelah lebih dulu

diharuskan pula membuka

celana. Baru ketika pak lurah

membuka celananya sendiri dan

kemudian naik ketempat tidur,

Parman mulai curiga. la berlari

keluar dan bersembunyi

didapur. 

la sembunyi sampai tengah

malam di dapur itu. sampai ibu

Lasmi menemukannya dan

kemudian menyuruh Parman

kembali kekamar

nya sendiri. Tetapi ibu Lasmi

bukan sekedar menyuruh saja. Ia

juga mengantarkan Parman.

Sampai kedalam kamar. 

Bahkan menutupkan pintu

sekalian. Lantas membuka

pakaian yang melekat

ditubuhnya seraya menciumi

wajah dan mulut Parman

bertubi-tubi. Alangkah jauh

perbedaan pengaruh antara

tubuh pak Lurah dan ibu Lurah

yang sama-sama telanjang, atas

diri Parman. 

Ibu Lasmi tersentak 

Dengan wajah merah ia tepiskan

cepat-cepat tangan Parman

yang meraba pahanya yang

tersembul dari balik kain ketika

berjongkok untuk meremas air

hangat pada lap. 

'Jangan begitu, Parman. Tak

baik' gerutunya. 

Mata Parman yang kelopaknya

masih membiru, terbelalak

heran.

"Kau sudah beristeri. Parman"

menjelaskan ibu Lasmi. 

Seketika, Parman menjadi pucat.

Matanya kuyu. 

"Lila sudah mati', bisiknya,

parau. 

"Aku juga dengar. Aku ikut

berduka cita, Parman. Tetapi

kematian isterimu tidak lantas

berarti kau boleh menjamah

tubuhku". 

"Maafkan aku bu lurah..."

Perempuan itu tersenyum.

Menghibur. 

'Jangan sebut-sebut lagi aku ibu

lurah. 

Kau tahu, kami, telah bertahun

bercerai! Itupun tidak berani

sembarang lelaki boleh

menjamah tubuhku karena aku

telah menjanda?" 

Lesu, Parman menyela: 

"Sudah ada laki-laki tertentu, bu

Las?"

'Tak lama lagi". 

"Boleh aku tahu, siapa?" 

"Ah. malu. Nanti saja. Yang

jelas, ia bukan seorang

perampok seperti suami yang

pertama. Pula bukan seorang

laki-laki yang tidak saja

menyukai perempuan akan tetapi

tak kuat menahan nafsu melihat

kaum sejenisnya sendiri...",

wajah ibu Lasmi keruh. 

"Kalau kuingat semua itu

Parman, aku benar-benar takut

sama laki-laki. Ketakutan itulah

yang mendorongku untuk pernah

merayumu. Lantas bersetubuh

denganmu di rumah suamiku

sendiri, benar-benar

pelampiasan kebencian yang

ditimbulkan suamiku karena

memergoki dia bersetubuh.

Bukan saja dirumahku, akan

tetapi terutama karena lawan

bersetubuhnya justru laki-laki

seperti kau". 

Lantas ia menggeleng-gelengkan

kepala. Susah. 

"Tetapi yah. Sudahlah", ia

tersenyum lagi. 'Semua telah

berlalu, bukan" Nah. Parman

Gantilah pakaianmu. Dirumah

ini banyak pakaian. Punya

suamiku yang akan datang,

Mudah-mudahan ia tidak

kecewa kalau sepasang

pakaiannya kukenakan ketubuh

seorang laki-laki lain'. 

"Ia orang kampung ini juga?" 

"Bukan. Tetapi karena sering

urusan jual beli keluar masuk

kampung dari tempat tinggal

nya dikota, ia sering mampir

diwarung nasi yang kubuka.

Mula-mula tertarik pada

masakanku, kemudian pada

anak perempuanku yang masih

kecil. lama kelamaan, ia tertarik

padaku. Anak perempuanku ia

bawa kekota, ia sekolahkan

disana dan tinggal bersamanya

menanti aku benar-benar

melupakan masa laluku dan

mulai kembali menyukai seorang

laki-laki...". 

"Ibu perempuan yang

beruntung". 

Ibu Lasmi berdiri. Katanya:

"Luka lukamu lumayan.

Terutama itu yang dikaki kanan.

Kebetulan hari ini suamiku

biasanya singgah disini sebelum

pulang kekota. Kau ikut

dengannya ya?". 

"Untuk disekolahkan?" 

'Kerumah sakit, tolol!" 

Parman menggeleng kepala!" 

"Kau memerlukan perawatan

kusus" rungut ibu Lasmi. 

"Lila juga memerlukannya".

"Isterimu sudah mati. Parman."

"Tetapi arwahnya memerlukan

perhatian yang khusus. Aku

tidak bisa meninggalkannya. Ia

bahkan sempat datang tadi

malam kekamarku diklinik'. 

"Omong kosong!" 

"Sungguh, bu Las. Karena ia

datang, aku selamat dari maut

yang datang bersama si Bejo'.

"Bejo"'. bu Lasmi terpana. 

"bejo?" Atas suruhan lurah,

tentu saja" 

Ibu Lasmi terdiam lama. Lantas

berkata serius: 

"Kalau begitu, kau harus kekota.

Pak lurah akan terus

mengejarmu. Pasti bukan

sematamata karena kau

satu-satunya orang lain yang

tahu siapa ia sebenarnya. Entah

persoalan apa, tetapi kau harus

lari".

"Tidak. Pak lurah tak akan tahu

aku bersembunyi dirumah ini.'' 

"Tetapi calon suamiku nanti...",

ibu Lasmi kebingungan.

"Berikan alasan apa saja, bu

Las. Atau akan kuceritakan

padanya siapa pertama yang

memperkenalkan kehangatan

tubuh perempuan padaku!",

rungut Parman. Kasar. 

***

ENAM


SEORANG PEREMPUAN tua

berjongkok didepan makam Lila.

Diam. Mematung. ' 

Tak terdengar suara apa-apa.

Kecuali berisik dedaunan dan

keresek batang-batang bambu

ditiup angin. Bulan pucat di

langit kemudian menerangi

sesosok tubuh keluar dari balik

timbunan bambu. Ia

menyeret-nyeret sebelah kaki

dengan bantuan tongkat kayu.

Lama ia tegak dibelakang

perempuan itu. Baru

membungkuk. Hatihati pundak

siperempuan ia jamah. 

Yang dijamah menoleh.

Tengadah. Tiada kejutan

diwajahnya. 

"Pulanglah, bu. Sudah larut

malam...!'. 

Perempuan itu memandang

makam lagi. Tanpa kata-kata. 

Kalau saja ia tidak pikun tentu

ia akan meratap.

"Mengapa, nak" Mengapa kau

mendahului ibu" Padahal kau

masih muda Cantik. Punya

suamiPunya masa depan..." 

Tetapi ia cuma menatap makam

tanpa 

berkedip. Hanya itu yang bisa ia

sadari. Datang kemakam, duduk

didekatnya: Karena ia tahu.

anak perempuannya telah

disemayamkan di sana. Tidak

pernah lagi kembali kerumah .Ia

kini tinggal sendirian didunia

ini, seperti Parman. Bedanya,

Parman ditinggaLkan kedua

orang tuanya. Perempuan itu

ditinggalkan anak satu-satunya.

Namun bagaimanapun mereka

sama-sama telah kehilangan

orang-orang yang mereka cintai.

Suami si perempuan. Dan istri

Parman. 

"Pulanglah!" ulang Parman

seraya membantu si perempuan

berdiri. 

Lalu ia tuntun perempuan itu

keluar di antara

gundukan-gundukan makam:

Setelah dekat ke rumah salah

seorang penduduk, ia baru

lepaskan perempuan itu yang

berjalan terbungkuk-bungkuk ke

rumahnya sendiri. Lama

Parman memperhatikan

siperempuan berjalan di

tengah-tengah kesepian malam

yang mencekik. Lampu-lampu

minyak di pintu-pintu gerbang

rumah menimbulkan

bayangan-bayangan memanjang

tiap kali terlewati oleh

siperempuan. Akhirnya hilang

dibalik tembok sebuah rumah.

Parman menghela nafas. Berat. 

Seekor kelelawar terbang

menggelepar dari balik daun

pisang ketika Parman berjalan

kembali kearah makam istrinya.

Tiba disana. bulan persis

tenggelam-dibalik awan. Gelap

sekali. Parman membungkuk,

seperti yang di lakukan ibu

mertuanya tadi. memandangi

makam. Dan berbisik

perlahan-lahan. 

"Nyenyak tidurmu, sayang?".

Seakan-akan ia mendengar

suara Lila: "Engga". 

"Mengapa?".

"Kau belum menciumku'. 

Parman mencium batu nisan

dikepala makam. 

"Tidurlah ya?" 

Biasanya, Lila akan merajuk: 

"Selimuti aku". 

Awan kian tebal juga

menyelimuti langit, 

Parman terkejut karena seekor

tupai tibatiba terjatuh didekat

kakinya. Tupai itu tergelak

sesaat, bergerak-gerak disaat

berikutnya lantas lari

cepat-cepat kebalik

semak-semak. Bunyi

kelepak-kelepak di udara

menarik hati Parman. Ia

tengadah. Terbiasa oleh cahaya

gelap, kemudian lihat

banyak'sekali kelelawar. Lari

serabutan. Beberapa

diantaranya mengeluarkan

jeritan nyaring. Naluri Parman

mengatakan sesuatu. 

Hati-hati, ia merangkak dari

makam kebalik serimbunan

bambu.

Di sana, ia diam menunggu. 

Ia tidak melihat apa-apa. 

Tetapi kemudian telinganya

menangkap suara melucut-lucut

halus. Seperti ada orang

memacul tanah. Ah, siapa pula

manusia yang datang untuk

memacul tengah malam buta

begini di kuburan" Penasaran,

Parman mendorong

batang-batang bambu di

depannya kekiri dan kanan. Dari

celah-celah yang terkoyah

itu ia kemudian mengintai. 

Sosok tubuh tinggi besar sedang

menggali sebuah kuburan. Ia

bekerja dengan buru-buru: tiap

kali awan meninggalkan bulan,

orang itu menoleh kelangit.

Menyeka keringat. Sesekali ia

menggerutu tiap kali paculnya

menyentuh batu. Parman jelas

mendengar salah satu gerutuan. 

"Sialan! Mereka tanam bayi itu

diantara cadas!" 

Benturan besi pacul kebatu-batu

cadas berulang-ulang mengiris

telinga. Tampaknya orang yang

sibuk menggali itu tidak perduli

pada suara-suara ribut yang ia

timbulkan. Toh orang kampung

sudah pada lenyap tertidur. 

Kalaupun ada yang mendengar

suara berisik, tak akan ada yang

berani keluar. Siapa yang berani

coba-coba menyelidik suara

berbisik di tengah malam,

apabila ia tahu suara itu berasal

dari tengah-tengah kuburan"

Tetapi Parman di luar

perhitungan orang itu. 

Takut kakinya yang

terseret-seret terbentur

benda-benda yang bisa membuat

gaduh. Parman berjongkok di

atas tanah, kemudian merayap

diantara gundukan-gundukan

makam. 

Bila bulan pucat dilangit

muncul, ia rapatkan tubuh ke

tanah. Diam tak bergerak. Kalau

sudah gelap oleh gumpalan

awan, ia teruskan merayap.

Sampai akhirnya ia berada

hanya dua meter dari arah

orang yang tengah sibuk

Menggali makam. Penggali

kuburan itu telah terbenam

setengah dari tubuhnya dalam

lubang 

yang ia buat. Parman

memperhatikan dengan teliti.

Lantas mengenali tanah makam

yang tengah digali. Ternyata

masih kemerahan. Sebuah

kuburan baru. Dan mayat bayi

di dalamnya! 

Parman menahan nafas waktu

tak lama kemudian orang itu

keluar dari dalam lubang seraya

mengapit benda bungkusan kain

kafan. Melihat bentuknya

tentulah mayat bayi yang

dimaksud orang tadi. Setelah

menginjakan kaki di permukaan

bumi, orang tadi menatap ke

langit. Mulutnya melepas

senyum, sementara kepalanya

yang licin berkilau oleh

kubangan kermgat. 

"Mudah-mudahan Nyi Saodah

tak semaput kalau tahu kuburan

anaknya dibongkar maling?".

orang itu berkata pada diri

sendiri. 

"Pak lurah tentu akan ikut ribut

sana ribut sini..." orang itu

tertawa. Dengan kakinya ia

dorongkan pacul masuk

kelobang yang kemudian ia

tutupi dengan tanah. Juga

dilakukan oleh kaki yang sama. 

"Bejo terkutuk!" Parman

menyumpah nyumpah dalam hati

seraya mengikuti pelayan pak

lurah itu keluar dari

pemakaman. Karena orang itu

merasa gembira dengan hasil

kerjanya, ia sama sekali tidak

mendengar suara berisik yang

ditimbulkan oleh kaki Parman

yang terseret-seret dan tongkat

kayunya yang kadang-kadang

mengenal batu. Kaki kanan

dorongkan pacul masuk

kelobang yang kemudian ia

tutupi dengan tanah. Juga

dilakukan oleh kaki yang sama. 

"Bejo terkutuk!" Parman

menyumpah nyumpah dalam hati

seraya mengikuti pelayan pak

lurah itu keluar dari

pemakaman. Karena orang itu

merasa gembira dengan hasil

kerjanya, ia sama sekali tidak

mendengar suara berisik yang

ditimbulkan oleh kaki Parman

yang terseret-seret dan tongkat

kayunya yang kadang-kadang

mengenal batu. Kaki kanan

Parman berdenyut-denyut

dibagian tulang kering karena ia

terpaksa setengah berlari-lari 

mengejar dari belakang. 

Bejo tidak masuk dari halaman

depan rumah pak lurah. 

Ia bergerak kesamping

belakang. Dipinggir tebing, ia

merayap turun kebawah Lebih

dulu ia letakkan bungkusan

mayat bayi diatas. Kemudian

baru menggapainya dari bawah.

Parman lebih mendekat. la lihat

Bejo memindahkan beberapa

bungkalan batu dari balik

serimbunan semak belukar

didinding tebing. Riak-riak

sungai dibawah memecah di

batubatu besar menelan suara

ribut karena gerakan Bejo. 

Parman tersenyum dibalik

persembunyian

nya. 

"Awas kau, lurah bejat!"

desisnya. 

Setelah melepaskan lelah selama

lebih dari satu jam. Parman

kemudian menuruni bibir tebing

yang sama. Selama ini ia

melakukan hal itu hanya dalam

beberapa detik. Tetapi pembalut

tulang kering kaki kanannya

mengeluarkan darah. Berulang

kali ia merintih. ia bongkar

batu-batu dibalik semak-semak

yang telah disusun kembali oleh

Bejo sebelum menghilang ke

dalam: 

Kegelapan yang meremangkan

bulu kuduk, membuat Parman

tertegun sesaat setelah berada

didalam.

Baru pengap menyerang

hidungnya: Ia tahu ia berada

dalam lorong tanah yang

disangga kayu-kayu balok dikiri

kanan dan papan tebal melapisi

bagian atas Karena lorong itu

rendah. 

ia lantas merayap seperti yang

tadi Ia lakukan dikuburan. Kaki

kanannya semakin terasa sakit.

Mudah-mudahan saja perban itu

cukup tebal sehingga bisa

menyerap darah yang keluar.

Kalau tidak, darah dari kaki

Parman akan menetes

disepanjang lorong. Sehingga

pak lurah akan tahu kalau telah

ada orang lain yang mengetahui

jalan rahasia yang telah mereka

pakai selama bertahun-tahun. 

Seingat, Parman, lorong itu

menuju ke satu rumah. Yakni

ruang gudang di tengah rumah,

dari mana orang bisa menaiki

tangga ke ruang tengah atau

langsung ke terras di tingkat

atas. Tetapi didepan pintu yang

telah dikenal baik Parman,

ternyata ia menemukan sebuah

lorong yang lain. Uap hangat

menerobos dari ujung lorong

kedua ini Parman mengikutinya

dengan hati-hati. Makin lama ia

makin yakin lorong itu berakhir

disebuah ruangan lain yang

tidak begitu besar dan biasanya

dipakai menyimpan

barang-barang hasil rampokan

selama berminggu-minggu

sebelum dikeluarkan kembali

untuk dijual kepada para

penadah. 

Tetapi kenapa dari arah

ruangan yang ia duga tempat

penyimpanan barang-barang itu

keluar uap hangat dan bau api

perdiangan. Sambil menahan

rasa sakit dibelikat dan kaki

kanannya, ia terus merayap.

Dalam keadaan demikian

rasanya jauh dan lama sekali

jarak yang ia tempuh. Sampai ia

tiba dihadapan sebuah pintu

yang masih menganga. Cahaya

lampu samar-samar membias

lewat pintu. Par

man memepetkan tubuh ke

dinding. Lantas diam. Menunggu

dengan tubuh dan dada tegang. 

"... rasanya kok bayi yang

mungil ini masih hangat " ia

dengar suara pak lurah.

"Ah. Yang benar," rungut Bejo. 

"Kau kepit kuat-kuat ya" Lihat

sampai tulang lututnya patah.

Coba kalau Nyi Saodah tahu

lutut anaknya telah patah.". 

Bejo tertawa mendengarnya. 

"Besar api, Bejo". 

Parman dengan hati-hati

mengintai. 

Ia lihat pak lurah

membelakanginya. Lakilaki itu

memangku sesuatu. Tentu mayat

bayi itu. Didekat kakinya,

bertumpuk kain kafan yang telah

dilepaskan dari tubuh mayat.

Bejo menyorongkan beberapa

batang kayu-kayu besar dan

kering kedalam sebuah tungku.

Diatas tungku, tidak terdapat

periuk atau belanga seperti

biasanya. 

Yang ada ialah batang-batang

pohon pisang yang dipotong

pendek-pendek kemudian

disatu-satukan dengan kayu

seperti sebuah rakit kecil. 

Batang-batang pisang itu

menahan kobaran api agar tidak

menjilat pada sebidang bambu

yang tersusun rapih. Biasanya

diatas bidang belahan-belahan

bambu yang selebar satu meter

persegi itu, didiangkan ikan atau

ayam untuk disalei. Tetapi yang

dilihat Parman untuk disate

adalah bayi yang oleh pak lurah

digantungkan di atas para

bambu itu, pada seutas tali 

jerami yang ujungnya membelit

pada bahu langit-langit

ruangan. Kepala bayi kebawah.

Kaki-kakinya terikat pada ujung

tali yang lain.

Ketika pak lurah

melepaskannya, mayat bayi itu

berputar-putar sesaat mengikuti

gerakan tali yang mendapat

beban, kemudian diam.

Batang-batang pohon pisang

mulai mengerut, membubungkan

uap yang tebal kepara bambu.

Uap itu menerobos lewat

sela-sela bambu menimbulkan

garis-garis melingkar disekitar

tubuh mayat si bayi. Parman

menutup mata. tak tahu melihat

pemandangan buruk

didepannya. Ia baru membuka

matanya ia dengar suara pak

lurah: 

"Siapkan bunga-bunga rampai,

Bejo" 

Si Bejo menjadi sibuk

mencampur bau sejumlah

akar-akar dan

dedaunan-dedaunan jeruk purut

ketan hitam yang ia aduk dalam

sebuah baskom berisi air. Pak

Lurah memperhatikan pekerjaan

pelayannya itu seraya

bergumam lambat-lambat. 

?"semenjak Parman dipercaya,

telah kupikirkan untuk mencari

jimat. Bejo. Tapi jarang sekali

bayi yang mati pada malam

jum'at Kliwon. Siapa nyana,

kalau bayi pertama yang akan

kita jadikan percobaan, justru

baru beberapa hari yang lalu

ikut kuhadiri selamatan puput

pusarnya...! 

Setelah Bejo selesai mengaduk

ramuan.pak lurah mendesah: 

'Tutup pintU' lorong. Dan

marilah kita masuk kekamar

tidur, Bejo. Aku lelah sekali..." 

Parman buru-buru merapatkan

tubuh ketembok lorong. Detik

berikutnya, pintu di depannya

tertutup rapat. Parman

membuang nafas yang terasa

kering berdebu. 

***

TUJUH 

SUBUH HARI itu kembali ibu

Lasmi menemukan tubuh

Parman terkapar diambang

pintu rumahnya. Seraya

menyeret laki-laki ketempat

tidur. siperempuan tidak

habis-habisnya menggerutu. 

'Apa sudah kubilang. Jangan

pergi lagi kesana. Mana

malam-malam. Mana jauh.

Mana sakit. Belum lagi ada yang

lihat, kau di keroyok lagi dan..." 

"Bayi itu... bayi itu, hiii!" 

Ibu Lasmi terhenyak.

Memandangi Parman yang

matanya melotot terbuka, tetapi

kelihatan pudar 

"Bayi itu. Pak lurah

memanggangnya. Bayi itu...0,

jangan! Jangan dekatkan

"padaku! Tidak! Aku tak sudi

menyentuhnya. Tidak Tidak!

Tidaaaak!" sambil berkata

begitu Parman memberontak di

tempat tidur seraya kedua

tangannya menggapai-gapai

seperti mendorongkan sesuatu

agar menjauh dari depannya. 

'Parman' Parman! sadarlah...',

sungut ibu Lasmi. Pucat. 

Seorang laki-laki setengah umur

keluar mandi. Masih

mengenakan handuk. Tergopoh

gopoh mendekati ibu Lasmi. 

Ada apa, Las" Siapa dia" 

'.... bekas pelayan kami dulu,

kata siperempuan tanpa berpikir

lagi. Matanya mulai berkilau

oleh linangan butir-butir air. Ia

sesenggukan, berulang-ulang

menggoyangkan kepala dan

menceracau tidak karuan. 

lstigfar, Las Istigfar, laki-laki itu

menggoyang-goyangkan

bahunya. 

lbu Lasmi istifar. Lantas menjadi

tenang kembali. 

Kasihan, katanya memandangi

Parman. Ia mengigaukan

sesuatu yang menggoncangkan

syarafnya..." 

Beri dia air hangat. 

Ibu Lasmi lari kedapur dan tak

lama kembali membawa apa

yang diperintahkan silakilaki.

Tetapi ketika gelas berisi air

hangat itu didekatkan kemulut

Parman. tangan Parman cepat

menepiskannya. Keras sekali.

seraya memekik.

'Jangaaan !' 

Gelas itu melayang di udara.

membentur tembok. pecah lantas

berderai diatas lantai. Suara

berisik itu justru membuat

Parman semakin histeris. Ia mau

bangkit dan matanya menjadi

buas. 

'Apa boleh buat," ucap laki-laki

disamping ibu Lasmi yang

terpukau tak tahu mau berbuat

apa. Lantas dengan sekali tinju

Parman terbaring kembali di atas ranjang.

Tidak sadarkan diri 

Kau apakan dia, kak" ibu Lasmi

panik. 

Cuma sekedar menyadarkannya

dari histeris. 

'Tetapi .tetapi... ia pingsan.

Kalau-kalau 

Diam las. Orang ini cuma

tertidur. Mandilah. Siapkan

Sarapan pagi. Aku harus

kembali kekota hari ini. Kasihan

anakmu, ia tentu kasihan

dirumah" 

Ibu Lasmi menarik nafas.

Memandang lakilaki

disebelahnya dengan lembut. 

Kak" 

Ngh" 

Gimana Siti" 

Laki-laki itu tertawa. . 

Masih memanggil Oom padaku.

Sahutnya kemudian.

"Belum mau panggil bapak?" 

'Perlahan-lahan, Las,

perlahan-lahan. Kita harus

bersabar. Lagi pula...", ia balas

menatap mata siperempuan.

"Kau sendiri, sudahkah kau

putuskan?" 

Ibu Lasmi teringat pada

jamahan Parman tadi malam

pada pahanya. 

Wajah perempuan itu jadi

bersemu merah. 

Seraya merunduk ia

mengangguk 

'Alaaa, kayak perawan saja,"

kata si lakilaki tertawa. 'Sudah,

pergi mandi sana. Lantas kita

makan pagi bersama,

sebagaimana layaknya suami

isteri. Sayang, ada orang ini di

atas 

tempat tidurmu. Kalau tidak, kau

yang kutidurkan di atasnya.

Tidak perduli sudah mandi apa

belum..." 

'Idiih. si kakak!"

Tersipu-sipu, ibu Lasmi kabur

dari kamar 

***

PERNAH, suatu malam yang

gerah dan menyesakkan nafas,

ibu Lasmi terbirit-birit lari dari

kamar Parman ketika sang

suami tiba-tiba muncul

diambang pintu. Parman

menduga majikannya

laki-lakinya akan marah besar.

Ia sudah merungkut di pojok

tempat tidur, pucat dan

ketakutan. 

***

Dengan gemetar ia lihat

bagaimana pak lurah masuk ke

dalam kamar. Lantas duduk di

pinggir dipan Parman yang

barusan di tinggal isterinya .

Diluar dugaan Parman, pak

lurah berbicara dengan tenang: 

?" aku tahu Lasmi toh akan

melakukannya."

Parman terdiam. Masih gemetar

karena takut memandang mata

majikannya. 

"Sudah sering. ya?" 

Enggan, Parman mengangguk. 

"Hem. Biarlah. Mungkin

salahku. Tetapi, Parman,"

ditatapnya Parman dengan

tajam. "... lain kali kuncilah

pintu kamarmu. Jangan coba

coba dekati isteriku. 

Sekali kau langgar, akan

kusuruh si Bejo melemparkanmu

ke sungai dari tingkat atas

rumah ini...!" 

Parman terbungkuk-bungkuk

mengangguk. 

'Tetapi bukan cuma itu. Kau

harus lakukan sesuatu untukku!"

Mendengar itu, Parman pucat

kembali. Haruslah ia

menelanjangi tubuhnya di kamar

pak lurah, dan melakukan apa

yang telah ia lakukan pada

laki-laki itu seperti apa yang ia

lakukan bersama isteri laki ski

itu" Parman menggigil, dan

semakin menciut di pojok

ranjang. 

Sini kau..!" 

Parman buru-buru mengenakan

pakaian seadanya. Setelah itu.

terbungkuk-bungkuk ia

mengikuti majikannya ke luar

dari kamar. Mereka langsung

menuju kamar tidur pak lurah.

Bayangan ketika pertama kali ia

disuruh telanjang oleh pak

lurah, membuat Parman mau

lari saja dari tempat itu. Tetapi

bayangan tubuhnya

terhumbalang dari tingkat atas,

jatuh ke sungai dengan lebih

dulu membentur batu-batu cadas

pada tebing, memaksa Parman

untuk diam saja dan patuh pada

apapun yang dikehendaki

majikan darinya. 

Setelah berada dalam kamar,

pak lurah bergerak ke sebuah

peti empat persegi yang terletak

di atas lemari pakaian pak

lurah. Tidak seorangpun yang

diperbolehkan menyentuh peti

itu. Biar ibu Lasmi sendiri.

Apalagi Parman. Tetapi kini pak

lurah menyodorkan peti 

kecil itu kehadapannya seraya

memerintah. 

"...buka!" 

Parman memandang majikannya

dengan ragu. 

"Buka tutupnya Parman." 

Dengan tangan gemetar dan

tubuh basah oleh keringat

dingin, Parman membuka tutup

peti itu: la sampai gagal dua

kali.

Pada kali yang ketiga ia berhasil

menyentakkan tutup peti sampai

menganga terbuka sebagai

seorang pelayan, ia cepat-cepat

mengalihkan wajah, agar tidak

melihat isi peti yang pasti

merupakan rahasia pribadi

majikannya. Namun pak lurah

segera mendengus: 

"Pegang isinya!" 

Tanpa melihat. Parman

merogohkan tangannya kedalam

peti.

Hatinya berdetak ketika ia

meraba sesuatu benda kira-kira

sebesar lengan kanannya

sendiri. Lembut dan hangat,

namun Parman merasakan suatu

aliran yang dahsyat dari benda

itu ke tubuhnya. Ia sampai

gemetar, tidak kuat menjaga

keseimbangan badan. Dalam

sekejap, Parman telah terjatuh

di lantai dengan wajah biru

kepucatan dan basah kuyup oleh

peluh. Di tangannya ia

menggenggam benda yang

berasal dari dalam peti. 

"Tatap, Parman. Tatap !'.

dengus pak lurah. 

Takut takut, Parman menatap

benda itu. 

Ia dekatkan ke muka. Segera

hidungnya mencium bau anyir di

antara bau ramuan yang sangit.

Namun bukan bau-bauan itu

yang 

membuatnya hampir pingsan

dan perutnya mulas mau muntah

.Benda yang di pegangnya, jelas

bukan patung karena terdiri dari

daging, tulang dan tengkorak

yang berbalut kulit manusia.

Dengan mata melotot lebar.

Parman melihat sesosok tubuh

bayi yang telah mati, diciutkan

sampai sebesar lengan! 

"...tidaaak!", Parman terpekik,

lantas melemparkan benda itu

jauh-jauh. 

Pak lurah memungutnya

tenang-tenang, memasukkan ke

peti lantas menyimpannya

kembali di tempat semula.

Setelah itu ia berdiri di hadapan

Parman yang masih meringkuk

di lantai, antara sadar dan tidak.

Antara dengar dan tidak pula

Parman menangkap suara berat

majikannya: 

"Kau telah memegangnya,

Parman. Itu sudah cukup!" 

'Tetapi...tetapi...benda itu..." 

"Bayi, Parman. Mayat bayi yang

telah kuselei selama

berbulan-bulan! Keampuhannya

telah tersalur ketubuhmu begitu

kau memegang dan kemudian

menatapnya. Kau akan jadi

orang kaya. Parman. Kau dan

aku akan jadi orang terkaya

dikampung ini, kemudian paling

kaya di seluruh kecamatan. Tak

perlu lagi kau susah-susah

memikirkan uang maupun

kebutuhan sehari-hari.

Gampang sekali. Parman.

Gampang sekali kau

memperolehnya Berkat bantuan

ajimat itu!" 

Masih ingat Parman, bagaimana

pertama kali ia mendapat contoh

praktek memperoleh 

uang secara gampang. la

disuruh pak lurah memilih salah

satu rumah penduduk untuk

dijadikan percobaan sasaran. 

Parman memilih rumah pak

Baria. yang menolak keras anak

perempuannya bernama Lila

berkasih-kasihan dengan

Parman. Ketika itu, baru saja

lepas magrib. Lila berserta

kedua orang tuanya sedang

berseloro di kamar depan.

Parman masuk, tetapi tidak

seorangpun yang melihat.

Dengan kagum. Parman terus ke

kamar orang tua Lila,

menyambar sebuah tas besar

berisi uang hasil penjualan

panen ayah Lila. 

Ketiga orang penghuni rumah

terkejut dan pucat melihat

bagaimana tas milik mereka

melayang-layang di udara

seperti di pegang oleh seseorang

yang tidak kelihatan saking

terpukau, mereka cuma diam

memperhatikan. Baru setelah

Parman bersama tas hilang di

telan kegelapan malam yang

mulai turun di luar mereka

tersadar. Dari kejauhan Parman

tertawa-tawa mendengar

bagaimana ayah kekasihnya

berteriak-teriak dengan panik.

'Tasku! Tasku! Uangku! Dicuri

setan! Tolooooong!" ' 

Lewat kekasihnya, Parman

sehari kemudian mengembalikan

tas itu. 

"Kutemukan ditengah-tengah

kuburan," katanya memberi

alasan. 

Tetapi ayah Lila sudah kelewat

shock oleh apa yang dilihatnya.

la terkena serangan jantung

.Mati. Seminggu Lila menangis.

Seminggu

berikutnya, ia juga menangis.

Tetapi tangisnya lain dari tangis

yang pertama. Tangis Lila yang

kedua, adalah tangis

kebahagiaan karena Parman

melamarnya untuk diperisteri,

dan ibu Lila yang selama ini

bertengkar saja soal jodoh anak

mereka dengan ayah Lila,

dengan gembira memberi restu. 

***

PARMAN termenung di hadapan

ibu Lasmi dan calon suaminya. 

Lama ia dalam keadaan

demikian, sementara kedua

orang lainnya cuma diam

memperhatikan. Setelah menarik

nafas panjang, Parman berkata: 

?" mustahil, memang. Tetapi

nyatanya, semenjak itu dengan

mudah aku memasuki rumah

orang-orang kaya tanpa

dicurigai. Mereka menyangka

setan yang meludeskan

barangbarang berharga yang

ada di rumah mereka."

"Aku benar-benar tak percaya,"

gumam calon suami ibu Lasmi. 

"lantas mengapa akhirnya kau

tertangkap?" 

"Kena tangkal." 

"Tangkal?" 

"He-eh. Suatu malam di kota,

sebelum beroperasi aku tidur di

rumah seorang pelacur. Aku tak

tahu kalau rambut pelacur itu

melekat di sela-sela kuku.

Pengaruh jimat itu hilang

apabila bersentuhan dengan

rambut manusia di ." 

saat beroperasi. Aku ketahuan,

lari ke kampung. Karena

terbiasa leluasa, aku kurang

teliti menghilangkan jejak.

Kasihan Lila. Ia baru tahu aku

perampok. Setelah polisi datang

menangkapku ke rumah"!" 

Calon suami ibu Lasmi angkat

bahu. Lelah. Lantas berdiri. 

"Sebentar lagi bus menuju kota

akan lewat. Nah. Parman. 

Siap-siaplah."

Di kota, kita akan ke rumah

sakit. Tulang kering kaki

kananmu harus segera di

operasi, kalau tidak bisa

menimbulkan kelumpuhan total

pada tubuhmu!" 

***

DELAPAN 

SORE HARI itu Parman

terbangun karena serangan

ngilu di lutut kanan. la kira ia

telah tertidur selama

berabad-abad. Merasa lebih tua

bertahun-tahun. Lemah. Tidak

bersemangat. Dadanya dipenuhi

perasaan ganjil yang

membingungkan. Beberapa saat

ia geleng-gelengkan kepala.

Juga menggosok-gosok mata.

Namun perasaan ganjil itu kian

menghebat. 

"Lekas sembuh ya?" ia dengar

suara seseorang. 

Parman menoleh.

Disampingnya, di atas tempat

tidur yang sama dengan tempat

tidurnya sendiri, ia lihat seorang

pasien tengah bersalaman

dengan seseorang yang lain.

Pasti tamu. Kedua orang itu

bertatapan selama tiga helaan

nafas. Baru sang tamu memutar

tubuh mengangguk halus pada

Parman kemudian berjalan

menuju kepintu. Rupanya ia

adalah tamu terakhir yang

keluar sore hari itu Parman

lantas mengerti, ia telah

dipindahkan dari kamar operasi

kedalam sal ini. 

Rasa ngilu menyentak lagi

dilutut kanan.

Parman tiba-tiba gemetar. Aneh.

Ya. 

Keganjilan itu datang dari ' kaki

kanannya. Telah berhasilkah

dokter mengOperasi tulang

kering Parman" Kata mereka,

tulang keringnya telah borok.

Infeksi telah menjalar sampai

kesum-sum. Pantas ia sampai

pingsan dalam perjalanan bus

menuju ke kota ini. Ia ingat. Ibu

Lasmi mengantar mereka

sampai ke pintu pagar. Bus

merangkak menuju kota:

Membawa Parman. Dan calon

suami ibu Lasmi. la ingat lagi,

keringat sebesar-besar jagung

memercik hampir dari semua

pori-pori kulit. Lantas hentakan

yang keras ditulang kering

membuat ia terpekik bersakitan.

Ia pingsan seketika. 

Baru kini ia terbangun. 

Kedua kalinya. Yang pertama,

setiba ia di kamar bedah. 

Waktu itu, ia menjerit-jerit

menahan rasa sakit. Sekarang

rasa sakit itu telah hilang.

Diganti perasaan ganjil. Kaki

kanannya kok seolah olah lebih

ringan. Parman tak habis

mengerti. Perlahan-lahan,

dengan jantung dagdig-duk ia

balik selimut yang menutupi kaki

kanannya. Dan ia melihatnya.

Kaki kanan Parman terbalut

oleh perban tebal. Sampai batas

lutut. Dari lutut ke bawah, ia

cuma melihat sprei yang putih

dan sedikit bercak-bercak darah.

"Kakiku...". Parman mendesis.

"Kemana kakiku?" 

"Kemanapun ia cari, ia tidak

akan menemukan tulang

keringnya yang borok. Juga

betis. Juga telapak. Dan

jari-jemari. Yang bersisa 

hanya dari lutut ke atas. Parman

terkesiap. Darah memancar dari

kepala kebagian bawah

tubuhnya sehingga wajah

Parman seketika jadi pucat pasi.

Keringat dingin membasahi

ketiak. Menetes. Terus. Terus.

Terus. Juga darah di pembuluh.

Menetes. Terus Terus. Terus.

Parman terbelalak. 

Dan tiba-tiba:

'Kakiku!" ia berteriak lantang. 

Pasien-pasien lain dalam sal

yang sama. tersentak dan semua

memperhatikan bagaimana

Parman berusaha duduk lantas

memegangi lutut kanannya

seraya memekik-mekik dan

menangis. Tak ada yang buka

suara. Semua ikut terharu.

Bahkan lupa pada penyakit yang

diderita masing-masing .Sal

yang beberapa saat sebelumnya

tenang dan diam, meledak oleh

jerit tangis Parman.

Hanya dalam beberapa detik,

terdengar langkah-langkah

sepatu berlari. Seorang perawat

laki-laki buru-buru masuk

kedalam. mendekati Parman dan

berusaha membujuknya. 

"Tidurlah. Nanti lututnya

terganggu.' 

Parman meraung: 

"Tapi kakiku" ke mana kakiku".

Kemana?" 

"Terpaksa dipotong. bung...".

Dipotong! Ya Tuhan.

Bagaimana aku akan berjalan.

Bagaimana?" 'Kakimu yang lain

masih sempurna. bung. Kalau

yang kanan tak di potong,

mungkin yang kiri' akan

terjangkit. Bahkan sampai

kepinggang. Ah, sudahlah.

Tidur, bung. Usahakan untuk

tidur. Perjalanan darah

mu harus normal kembali. Biar

kau lekas sembuh..." 

"Sembuh!" jerit Parman. "Tanpa

kaki!"

"Kau bisa pakai tongkat": 

"Tongkat ?", mata Parman

terbelalak." Lila akan marah

kalau ia lihat aku pakai

tongkat!" 

Perawat itu... dan pasien-pasien

lainnya tidak tahu siapa Lila:

Yang ia tahu menyabarkan

Parman. Namun ia justru

mendapat X Perlawanan.

Sehingga terjadi dorong

mendorong. Perawat itu

berusaha mendorong bahu

Parman agar ia berbaring

kembali. Sebaliknya. Parman

berusaha melemparkan perawat

itu agar menjauhi dirinya.

Dokter yang dipanggil oleh

seorang pasien yang agak kuat

tubuhnya segera datang dan

menyuntikkan obat penenang ke

tubuh Parman.

Perlawanan Parman mulai

melemah. 

Kemudian, sepasang matanya

yang basah. mulai redup. Ia

kemudian terbaring. Lesu.

Namun masih sempat

mengerang:

"Kakiku mereka potong: Lila.

Mereka potong"." 

Dokter dan perawat juga

pasien-pasien lain menyangka

Parman mulai tertidur. Tetapi

proses dari kehilangan

kesadaran itu memerlukan waktu

itu dimanfaatkan oleh ingatan

Parman kembali pada

orang-orang yang

mengeroyoknya dihadapan

rumah pak lurah. ingatannya

semakin tertuju pada lurah itu.

Parman menggeram. Dan

tiba-tiba menjerit.

"Aku akan membalasmu, lurah

keparat." 

Lalu, iapun jatuh tertidur 

***

DALAM tidurnya Parman

melihat dirinya berjalan dengan

mempergunakan tongkat kayu.

Biasanya ia menempuh

perjalanan lima menit dari

mulut desa sampai ke depan

pintu rumah. Akan tetapi dengan

tongkat kayu itu ia memerlukan

waktu yang lebih lama.

Demikian lama dan melelahkan.

Sehingga tiba di depan pintu

tangannya sampai tidak bisa

terangkat untuk mengetuk. Lama

ia tersandar disana. Sampai Lila

sendiri membukakan pintu

untuknya. 

Tidak ada suara yang keluar

dari mulutnya. 

Parman ingin menangis. Ia

peluk Lila .Isterinyapun

menangis. 

"Mereka potong kakiku,

sayang", Parman mengadu. 

Lila masih tak menyahut. Ia

cuma membimbing tangan

suaminya masuk kedalam kamar

kemudian membaringkan

Parman diatas tempat tidur.

Setelah itu. ia duduk diatas

sebuah kursi. Memandangi

suaminya dengan sorot mata

penuh belas kasihan: 

"Kau tak malu bersuamikan

laki-laki cacat, Lila?" 

Isterinya menggelengkan

kepala:

"Aku tak akan bisa

kemana-mana lagi, Lila. Aku

terpaksa harus diam di rumah

saja. 

Tidak bisa lagi cari uang" 

Lila mengangguk pula. 

"mengapa kau cuma

mengangguk" bicaralah". 

Lila tidak bicara. Tubuhnya

malah mengabur. Lama-lama

berubah jadi kabut. Dari

tengah-tengah kabut itu ia

"Aku tak akan bisa

kemana-mana lagi, Lila. Aku

terpaksa harus diam di rumah

saja. 

Tidak bisa lagi cari uang" 

Lila mengangguk pula. 

"mengapa kau cuma

mengangguk" bicaralah". 

Lila tidak bicara. Tubuhnya

malah mengabur. Lama-lama

berubah jadi kabut. Dari

tengah-tengah kabut itu ia

dengar suara isterinya yang

menghiba: 

"Sanggupkah kau kini

membalaskan sakit hatiku,

akang?" 

PARMAN terkejut Bangun. 

"Lila..." gumamnya. "Lila. Lila.

Lilaaaaa!" 

suaranya kian keras. Pasien

disampingnya terbangun. Juga

satu dua orang pasien lainnya.

Ada yang menggerutu. Hanya

pasien di samping Parman yang

"Siapa kau?" 

Orang itu membuka selimutnya.

Memandang Parman. Dan

berkata jengkel 

'Tak bisakah kau diam bung." 

Parman menelan liur. Seluruh

tubuhnya basah oleh keringat. 

"Lila ku..." ia bersungut-sungut. 

Pasien di sebelahnya tak jadi

tidur kembali Ia agak berminat

rupanya. "Dari tadi kau

menyebut-nyebut nama Lila.

Siapa Lila-mu itu?" 

" .isteriku' 

Kejengkelan di bawah pasien

sebelah Parman mereda. 

"Aku juga punya isteri",

katanya. "Yang bertemu tadi

sore. Tetapi ia tak lagi sayang

padaku. Dua hari yang lalu

kutemukan ia menelungkup di

atas tubuh keponakanku. Di

kamar tidur kami. Isteriku

kupukul.

Keponakanku.membelanya.

Kami berkelahi. Pinggangku

kena ditusuk. Ini..." ia

memperlihatkan bagian

pinggangnya yang berbalut

perban. "Kau tahu betapa sakit

rasanya?" 

"Kakiku sakit sekali..." Parman

bergumam tak karuan: 

Pasien disebelahnya tak perduli.

Ia terus ngomong: 

"Bukan pinggangku: Berapalah

rasa sakit tusukan pisau Yang

lebih sakit adalah tusukan

sembilu pada hati. Aduhai, tak

ada duanya. Untung aku masih

ingat pada anak-anak.

Keponakanku tak kuadukan

polisi. Cuma kuusir. isteriku

meratap-ratap Minta maaf.

Sebagai suami yang sudah

hidup belasan tahun denganku.

aku memaafkan dia Dengan

syarat. agar 

ia tak mengulanginya lagi.

Kubilang padanya. sangat

memalukan kalau ...

lelaki itu berhenti bicara 

Menoleh kesamping, ia lihat

Parman telah terbaring dengan

mata setengah terbuka. Dari

mulut Parman lepas dengkur

yang tersentaksentak. Mungkin

mengiringi irama rasa ngeri dan

ngilu dikaki. Atau mungkin juga

dihati. Orang yang menamakan

dirinya Handoko, seorang

pegawai toko yang ditusuk oleh

ponakannya sendiri serta

dihianati sang isteri itu, angkat

bahu. Lantas kembali menarik

selimut, menutupi seluruh

tubuhnya. Iapun lelah seperti

Parman lelah jasmani. Lelah

rohani. Dan dalam sekejap,

Handoko tertidur pulas.

Tetapi mana bisa Parman tidur

pulas seperti Handoko. 

Ingatan pada kaki kanannya

yang tidak lengkap lagi:

membuat tidurnya tak nyenyak.

ingatan pada Lila, membuat

perasaannya tetap tergoncang.

Dinihari. la terbangun lagi

karena mimpi buruk melihat

isterinya terapung-apung

ditengah sungai dalam keadaan

setengah telanjang dan tubuhnya

berlumur darah. Parman

berusaha terjun kesungai. Mau

menolong. Tetapi kakinya

terantuk akar pohon. 

Dengan suara berbisik. Parman

terguling 

Bukan diatas akar-akar pohon

akan tetapi diatasjubin. 

Malangnya, justru lutut kanan

Parman yang lebih dulu

menyentuh lantai. "Aduh '.ia

rewel"lantas merangkak

menggapai tepi tempat tidur

Sudah payah, ia berhasil

berdiri-. Namun susah sekali

naik kembali keatas kasur.

Dengan putus asa. Parman

menyadari kalau lutut kanannya 

kembali mengucurkan darah.

Pembalutnya telah merah

karena kuyup oleh darah. Ia

menahan rasa sakit yang amat

sangat, lantas melakukan usaha

terakhir. Ia tekankan tumit

kuat-kuat kelantai lantas

melambungkan tubuh diudara.

Detik berikutnya, tubuhnya

Parman terbaring di atas

ranjang. 

'Lututku...lututku...", Ia

mengerang.

Teringat pada ucapan perawat

sore harinya, ia menggeram. 

'Tidak. Kaki yang lain tak boleh

di potong". 

Lantas ia gapaikan tangan

kebesi kepala tempat tidur.

Darah semakin banyak juga

mengucur. Juga keringat.

Parman benar-benar hanya

memiliki sisa-sisa terakhir untuk

menggerakkan anggota badan,

pada tombol kecil berwarna

kuning yang bersambung pada

seutas kabel dinding. Ia tekan

kuat-kuat tombol itu, lantas

tangannya kemudian menggapai

disebelahnya. Lunglai. Tak

berdaya. 

Lama ia menunggu. ' 

Matanya menatap kearah pintu

sal. Lama sekali. Lalu, pintu sal

terbuka. Muncul seorang.

Berpakaian seragam putih-putih.

Gerakan kakinya lamban.

Namun toh makin lama makin

dekat ketempat tidur Parman:

Dari samarsamar, Parman

kemudian melihat jelas siapa

orang itu. Seorang perempuan

dengan sepasang mata bundar,

hidung berbentuk manis mulut,

mungil yang kemerahan, dagu

yang melekuk lembut, leher yang

jenjang Tak sadar mulut Parman

melepas seruan terlepas seruan

ter

tahan. 

"Lila, kau!" 

SUSTER jaga pada malam itu

bengong seketika. 

la sama sekali tidak mengerti

apa yang dimaksud oleh pasien

bernama Parman itu.

Tetapi kebengongan suster

segera lenyap setelah melihat

warna merah samar-samar

membasahi lantai. Sprei lebih

merah lagi oleh bercak-bercak

darah. 

Terkejut, ia bergumam: 

"Perdarahan!" 

Seketika ia memutar tubuh.

bermaksud panggil dokter. ia

hampir terpekik saking kaget

waktu lengannya tiba-tiba

dicekal oleh pasien yang

menyebut dirinya Lila. dan

menganggap dirinya sudah... 

'Tidak!" ujarnya tergopoh-gopoh

"Namaku Dorothea". 

"Kau Lila! Lila!. Suara Parman

tiba-tiba berubah jadi keras.

Kemudian agak menghiba waktu

ia melanjutkan: "Sayangku.

Jangan pergi. Jangan lagi ya"

Jangan?" dan ia berusaha 

menarik perempuan itu ke atas

tempat tidur. Suster mulai panik.

Ia berusaha melepaskan

cengkeraman tangan Parman.

Namun tenaga laki-laki yang

dalam keadaan luka payah itu

masih kuat sekali. Suster jadi

ingin menangis. Ingin menjerit.

kalau saja ia tidak ingat sebuah

pekikan akan membangunkan

seisi rumah sakit yang sedang

tertidur nyenyak. Ia akan malu

besar. Akan ditegor oleh atasan.

Akan... 

"Lepaskan, bung", katanya

tergopoh-gopoh. "Kau perlu

pertolongan dokter". 

"Dokter" Aku memerlukanmu,

Lila. Bukan dokter".

"Bung, lepaskan. Demi Tuhan!". 

Mengapa. sayangku" Mengapa

kau panik dijamah oleh suamimu

sendiri?" 

"Bung... bung mengigau". 

"Tidak. Aku sadar seperti kau.

Lila". 

"Namaku Tea. Dorothea !'. 

"Kau Lila! Dan kau masih

hidup! Ini. Lenganmu hangat.

Bisa kugenggam. Berarti kau

bukan hantunya Lila. Kata

mereka kau telah mati. Ditanam

dipekuburan kampung kita. Lalu

siapa yang mereka tanam dalam

kuburan itu, Lila" Siapa"

bukankah, kau Lila!" 

Rentetan kata-kata yang berbau

kematian itu membuat suster

semakin panik. Pikirannya

berkecamuk. Yang ia hadapi

laki-laki. Tidak pernah ia takut

terhadap laki-laki. Yang ia

takutkan laki-laki ini berbicara

tentang seseorang bernama Lila

yang telah mati. Yang telah

dikubur. Pasien ini berbicara

tentang 

orang mati. Dan.. dan hantu,

Tengah malam buta begini..

Dalam keadaan putus asa

karena tekanan bathin yang

menegangkan sebelah

tangannya yang bebas

menggapai-gapai, berusaha

mencari tombol berwarna merah

dikepala tempat tidur. Ia tekan

terus, terus dan terus sambil

terus pula berusaha melepaskan

tangan yang lain dari betotan

pasien yang sudah setengah gila

dipengaruhi

bayangan-bayangannya yang

jauh lebih gila itu. Hanya dalam

beberapa detik seorang laki-laki

bertubuh tinggi besar telah

muncul di dalam sal, berlari

kearah kedua orang yang

sedang bergumul itu dan

membantu melepaskan betotan

Parman dilengan suster. 

"Siapa orang ini, Lila" Kenapa

kau panggil dia" Siapa dia"

Parman tiba-tiba membentak" 

Satu dua orang pasien

disekitarnya terbangun. Lantas

menggerutu. "Kau lelah, bung?"

bersungut-sungut perawat

laki-laki yang datang

belakangan. Dan pada suster

yang berdiri kebingungan

setelah lengannya lepas dari

cekalan Parman, ia bergumam. 

"Obat penenang. Cepat!" 

"Tidak!" jerit Parman ketika

melihat suster berlari keluar

"Aku butuhkan dia. Dia isteriku.

Lepaskan, lepaskan aku. Biarkan

aku bertemu dengan Lila.

Biarkan!" 

"Bung, kau bermimpi!"

"Tidak! Tidak! Tidaaaak!" 

"Siapa kau" Mengapa turut

campur urusan rumah tangga

orang?" 

"Bung ini rumah sakit!" 

"Aku tahu. Aku tahu. Tetapi

istriku?" 

"Ia suster. Tenanglah. Kami

akan menolong bung" 

Parman terus berteriak-teriak

sehingga seisi sal terbangun.

Semua memperhatikan

bagaimana seorang petugas

telah memegangi Parman.

Beberapa orang

menyumpah-nyumpah, kemudian

tidur seraya menekankan bantal

guling ketelinga. Yang lain

duduk mencangkung. Ada pula

yang tetap berbaring, seraya

menghela nafas. Seorang pasien

yang sudah lama ngendon disal

itu karena tekanan darah tinggi

berteriak lantang: 

"Suruh diam dia! Suruh diam!" 

Tetapi orang itulah yang

kemudian disuruh diam seorang

petugas lain yang segera datang

bersama dengan munculnya

suster bersama Dorothea. Suster

itu tidak berani dekat-dekat

ketempat tidur Parman ia hanya

memperhatikan dari jauh kedua

orang rekannya berusaha

menekan Parman agar terbaring

seperti biasa, lantas

menyuntikan 'obat penenang

kelengan kirinya .Parman sesaat

masih menuding-nuding kearah

Dorothea seraya

berteriak-teriak: 

"Tolonglah aku, Lila!

Tolonglah! Mereka akan

membunuhku. Kawan-kawanmu

ini anak buah pak lurah. Mereka

akan membunuhku. Lila,

kasihanilah suamimu.

Kasihanilah sayangku,

kasihanilah... mereka... mereka

akan..." dan kepalanya

kemudian terkulai!" Sepasang

matanya terkatup. Lesu. Tak

lama kemudian nafasnya yang

kembang kempis, mulai bergerak

teratur. la sama sekali tidak

sadar bagaimana dokter yang

segera datang setelah dipanggil,

memperbaiki gips di lututnya,

membedah beberapa bagian

kecil secara kilat ditempat itu

juga setelah pasien-pasien lain

disuruh tidur oleh Dorothea

menarik nafas. Ia tatap wajah

pasien yang pucat pasi itu. 

Ia kira, ia sendiri sama

pucatnya. Tak heran, suaranya

bergetar: 

"la bilang aku Lila. Isterinya.

Yang telah mati..." dan ia

menggigil kembali kemudian

tersuruk-suruk mengikuti

rekan-rekannya yang keluar dari

dalam sal. 

***

SEMBILAN 

KETIKA PARMAN terbangun,

hari sudah siang. 

Lutut kanannya

berdenyut-denyut, tetapi tidak

lagi sesakit tadi malam. Tadi

malam! Rasa-rasanya tadi

malam ia mengalami sesuatu.

Seperti ia melihat Lila masuk ke

dalam sal, akan tetapi bukan

untuk memeluknya dengan

penuh rasa kasih sayang

seorang isteri, melainkan malah

berusaha melarikan diri setelah

mendatangkan beberapa orang

laki-laki. Bermimpikah ia" 

Dan pada pasien disebelahnya,

yang rupanya terus

memperhatikan Parman

semenjak terbangun, ia

mengulangi pertanyaan yang

tersirat di benak. 

"Bermimpikah aku, saudara

Handoko?"

kejadian itu adalah kenyataan.

Betapa ingin ia melihat

isterinya, Lila masih hidup,

meski Lila telah tidak menyukai

dia lagi. Ya, siapa tahu lila

masih hidup" Toh Parman

sendiri belum membongkar

kuburan isterinya" Hanya

orangorang kampung yang

mengatakan isterinya telah mati.

Dan mertua perempuannya yang

sudah benar-benar pikun itu!

Kalau saja.. kalau saja Lila

masih hidup... ah, akan sudikah

Lila lagi mencintai Parman yang

sudah tak punya masa depan

sama sekali" Dan sudah tidak

punya sebelah kaki" Lalu, lalu

apa yang harus dilakukan

Parman, kalaupun toh ia sembuh

tanpa sebelah kaki" Untuk apa

ia hidup" 

'... kau tentunya sangat

mencintai isterimu, bukan?"

pegawai toko bernama Handoko

itu tiba-tiba bertanya. 

"Ya," sahut Parman. 

"Diapun mencintaimu?"

"Ya, suara Parman ragu-ragu." 

"'Kenapa kau ragu?" 

'.. kaki kananku sudau dipotong

Mana mungkin Lila mencintaiku

lagi?" 

"Mencintaimu lagi" Tetapi kau

katakan, isterimu sudah mati!" 

Parman menghela nafas. Berat. 

"Yah. Kata mereka isteriku telah

mati 

Orang-orang kampung itu. Dan

lurah. Yang telah mengusir

bahkan ingin melenyapkan aku

dari muka bumi ini?" 

"Melenyapkan kau"' 

parman manggut-manggut. 

"Mungkin juga mereka pula

yang telah melenyapkan

isteriku," gerutunya dengan

suara tersendat. Ya. Pasti

mereka, kalau Lila benarbenar

telah mati. Bukankah Parman

telah menemukan kutang

isterinya tersangkut dipinggir

cadas yang membatasi bagian

belakang rumah lurah dengan

sungai di bawahnya" Pasti!

Pasti! Pasti lurah itu yang telah

membunuh isterinya. Bahkan

tidak saja membunuh. Sebelum

Lila mati, lurah telah" terkutuk.

Terkutuklah lurah keparat itu.

Setelah Parman membelanya

mati-matian sehingga tidak ikut

terpenjara demi hidup isteri dan

mertua Parman, tak tahunya

orang bermuka manis namun

berhati bejat itu jadi pagar

makan tanaman. 

"Hem! Untuk dialah aku harus

tetap hidup," Parman

menggeram. "Dia" Dia siapa?"

tukas Handoko. 

"Lurah itu." 

"Ah. Saudara Parman," pegawai

toko Handoko itu angkat bahu.

"Tak baik membalas dendam.

Aku tahu apa yang diperbuat

lurah terhadap almarhumah

isterimu. Ataupun pada kau

Tetapi. kau lihat bukan"

Ponakanku tidak kuadukan ke

polisi. Isteriku kumaafkan. Demi

anak-anak kami. Demi masa

depan kami...."

"Kau punya anak. Punya isteri.

Punya masa depan . Aku ?"."

sungut Parman Kemudian ia

membalikkan tubuh Berusaha

mengatupkan mata memikirkan

cara apa yang ia lakukan untuk

membunuh lurah sebagai

pembalas sakit 

hatinya. serta kematian isterinya

sanggupkah niat itu ia

laksanakan dengan kaki

kanannya buntung" Lalu

bagaimana dengan orang-orang

kampung" Mereka akan

bertempur untuk membela lurah

yang mereka anggap sangat

berjanji di depan makam

Isterinya serta pada saat-saat

dimana bayangan Lila muncul

diantara kabut yang menyelimuti

klinik tempat Parman di rawat

pertama kali, maulah ia

hantam-hantamkan saja lututnya

yang buntung kelantai atau

mencabut tombol bel dan

menempelkan ujung kabel

ketubuh sehingga ia mati karena

dihisap stroom listrik. 

"Tidak, Lila sayangku,"

seringkali ia bergumam tiap kali

pikiran nekad hampir

mempengaruhi rasa putus

asanya. "Kau telah menolongku

malam itu di klinik. Aku tahu

matimu penasaran. Aku akan

menolongmu menyempurnakan

kematian. Semoga kau tabah.

sayangku dan..." 

Dan terngiang-ngiang ucapan

isterinya dua 

tahun yang lalu, ketika ia diseret

polisi karena terlibat

perampokan-perampokan: 

"Kau akan kutunggu sampai

mati, kang Parman!"

Sampai mati! Waktu itu, ucapan

Lila ia anggap hanyalah ucapan

seorang isteri yang ingin

menunjukkan kesetiaannya yang

murni, siapapun dan apapun

juga pekerjaan suaminya. Itulah

cinta. Demi cinta Parman

bekerja sama dengan lurah

untuk mengumpulkan harta yang

bisa ia persembahkan bagi

isterinya. Demi cinta ia masuk

penjara. Demi cinta isterinya

menunggu sampai ia keluar dari

penjara. la yakin demi cinta

pulalah isterinya sampai mati

penasaran. Lila tetap akan

menunggu Parman. Sampai

matinya. Untuk bertemu

kembali. Biarpun di alam baka.

Tetapi tidak. Sebelum Parman

membalaskan dendam mereka

bersama! 

Dengan tekad yang bulat itu

Parman berusaha untuk tetap

hidup. Hari demi hari ia

berangsur sembuh. Kemudian ia

dituntun oleh beberapa suster

atau perawat laki-laki seraya

bergantian. Mula-mula

disepanjang gang dalam sal.

Terus ke kebun bunga. Lama

kelamaan mereka melepaskan

Parman bergerak sendirian.

Dengan tongkat yang tercapit di

ketiak kanannya. Ibu Lasmi.

Bekas isteri lurah sekali dua

berkunjung bersama calon

suami dan anaknya. 

Mereka pulalah yang membayar

segala biaya perawatan Parman

selama di rumah sakit. Pada

mereka, Parman berjanji dalam

hati, 

kalau diizinkan Tuhan, ingin

membalas jasa. Tidak dengan

harta, paling dengan do'a.

***

SEPULUH 

LUBANG HIDUNG Parman

mengembung. Udara segera

menerobos masuk lewat jendela

sal yang baru saja dibuka oleh

seorang suster. Dihirupnya

dalam-dalam. Sesaat ia

berusaha duduk tenang-tenang

di pinggir tempat tidur.

Kemudian ia sambar tongkat

kayu yang tersandar ke tembok.

Ia lekatkan di bawah ketiak

kanan, dengan bantuan tongkat

berjalan ke arah pintu. 

Seorang petugas laki-laki

tersenyum padanya. Ramah, 

"Selamat pagi," kata orang itu. 

"Pagi." 

"Enak tidurnya semalam?" 

"Ya. Seenak enaknya tidur di

rumah sakit dengan pikiran tak

lepas dari bayangan sebelah

kaki yang hilang." 

"Sabarlah. Nanti juga terbiasa

pakai tongkat"

"Terima kasih." 

"Tidak mandi dulu?" 

"Ah. Seminggu terbaring di

tempat tidur, saya sudah

terbiasa di-lap. Nanti sajalah

lagi .." 

Lantas ia meninggalkan petugas

yang cuma bisa memandang

laki-laki yang malang itu dengan

mata bersimpati. Suara ketukan

tongkat kayu diketiak Parman

bergema sepanjang korridor.

Seorang dua suster menoleh.

Kemudian mengangguk seraya

tersenyum. Seorang pasien ia

lihat sedang berlari-lari kecil

dikorridor. Nafasnya

terengah-engah. Keluar dari

mulut yang kering setelah

melewati leher yang tipis. Wajah

pasien itu juga tipis. Setipis

tubuh yang tersembunyi dibalik

piyama tidur yang tampaknya

sudah beberapa hari tak diganti.

Sering Parman melihat lelaki

kurus itu melakukan olah raga

kecil, pagi, sore. Kata seorang

suster, terkena rheumatik yang

akut sudah sering berlangganan

dengan rumah sakit. Tiap

keluar, selalu tak lama lagi pasti

kembali. 

"Pantas matanya begitu layu,"

bisik Parman dalam hati, ketika

berpapasan dengan pasien itu.

Dan ketika mata si pasien

terpaut pada kaki kanan Parman

yang buntung. Parman

mengeluh, juga dalam hati: 

"Namun ia lebih beruntung. Bisa

berjalan bisa berlari. Dengan

kedua kakinya.?" 

Parman melangkah terus.

Tersuruk-suruk. Dengan tongkat

berdetuk-detuk. 

Dan bergumam lagi: 

"Bisakah kubalaskan dendamku

dengan kaki yang buntung

begini?" 

Pikiran Parman melambung ke

masa silam. Ketika kedua orang

tuanya meninggal karena

dimakan kolera, ia tidak

berputus asa. Mungkin karena

waktu itu ia masih berumur

belasan tahun, belum mengenal

bagaimana sebenarnya susah

hidup ini. Lebih-lebih setelah ia

diangkat sebagai pembantu di

rumah pak lurah. Tidur cukup.

Makan cukup. Dimanja bagai

anak sendiri. Bahkan kemudian

lebih dari itu, ketika suatu

malam isteri lurah ibu Lasmi

masuk ke kamar tidur kemudian

mencium bibirnya. Harihari

berikutnya, tak saja mencium.

Juga menggelut. Dan

melampiaskan Parman ke

sebuah penghidupan lain. Yang

indah. Yang bergairah. Panas.

Membara. 

Ia juga tidak begitu berputus asa

ketika pada saat lain, bukan ibu

Lasmi saja yang dengan

setengah paksa menggelut

tubuhnya. Akan tetapi juga,

suami perempuan itu.

Mengerikan memang Laki-laki.

Dengan lakilaki. la cuma

terkaget. Panik. Dan takut.

Mulamula. Lama-lama terbiasa.

Lebih-lebih kebutuhan hidupnya

semakin dipenuhi. Sampai benda

lembut yang mengerikan yang

selalu tersimpan dalam kotak

hitam di kamar pak lurah, ter

genggam di tangannya. Mayat

bayi yang tidak saja di awetkan.

Tetapi kemudian juga diciutkan.

Dengan itu. Parman leluasa

pergi kedesadesa lain. Juga ke

kota. Mengambil harta milik

orang lain dengan leluasa, tanpa

sekalipun ketahuan. 

Ketika kekebalan mayat bayi

yang menciut itu punah karena

selembar rambut perempuan

lacur terselip di kuku Parman

sehingga rahasianya terbongkar,

iapun tidak merasa berputus

asa. Betapa tidak. Ketika

ditangkap polisi, Lila cuma

menangis tersedu, akan tetapi

tidak menyesali perbuatan

suaminya. Karena semua itu

demi rumah tangga mereka,

perkawinan yang tanpa modal.

"Kau akan kutunggu".

terngiang-ngiang ucapan Lila.

"Sampai mati. akan kutunggu

dengan janji setia itu. Parman

bisa melampaui hidup yang

sengsara selama terpenjara.

Terjauh dari dunia luar, terjauh

dari cinta dan tubuh isterinya

sempat membuat Parman

kehilangan gairah untuk hidup.

Namun tak sempat sampai

berputus asa Dengan harapan

keluar dari penjara, ia masih

memiliki sesuatu yang paling

berharga di dunia ini: Lila. 

Tetapi kini Lila sudah tiada.

Juga sebelah kakinya. 

"Tidak!" mulutnya berdecip.

"Aku tak boleh berputus asa.

Demi Lila!" 

Detuk-detuk tongkatnya

bergema lagi sepahjang

korridor. 

Entah sudah berapa puluh meter

ia berjalan. Tubuhnya lelah.

Terutama pUndak kanan

yang menahan tekanan tongkat.

Lengan. apalagi. Tetapi ia tidak

mau berhenti. Ia harus terus.

Terus. Dan terus. Ia harus kuat.

Ia tidak boleh menyerah. Dokter

bilang, beberapa hari lagi

luka-luka bedah di lutut

kanannya akan mengering. Lalu

ia boleh pulang. 

"Kemana !", sesaat ia teringat.

"Ya. Ke mana?" 

"Pintu rumah kami terbuka lebar

untuk kamu, Parman,"

terngiang-ngiang pula ucapan

bu lasmi tiap kali datang bezuk.

Bibir Parman kering. Memang.

la yakin bu Lasmi tidak akan

menutup pintu baginya. Tetapi

pantaskah" Bu Lasmi akan

segera menikah, setelah cukup

lama bertahan jadi janda. Ia tak

lagi akan sendiri di rumahnya.

Ia akan ditemani suaminya yang

kedua. Suami yang tampaknya

bertanggung jawab. Dan tidak

bisex seperti suami pertama bu

lasmi Lurah terkutuk itu. Yang

menyebabkan Parman mengenal

hangatnya tubuh perempuan

sebelum waktunya. Bisakah

kehangatan tubuh perempuan itu

ia tekan dan buang jauh-jauh

selama ia tinggal bersama ibu

Lasmi nanti" . 

"O, andai saja," keluhnya halus.

"Andai saja ' Lila masih hidup?"

Dan tiba-tiba. hatinya yang

terkoyak berdenyut. Keras. 

Seorang perempuan berpakaian

seragam putih-putih, keluar dari

pintu sebuah kamar.

Detuk-detuk tongkat kayu yang

terhenti tibatiba menarik

perhatian siperempuan. Ia meno

leh. Hati Parman semakin

berdenyut. Jantungnya, apalagi.

Ia ternganga, perempuan itu

juga ternganga. Sepasang bola

matanya yang bundar sesaat

membesar. Mulutnya tergagap.

Seperti mau berkata sesuatu.

Tetapi tertahan di tenggorokan.

Dan parman mendahului: 

"... Lila," ia setengah berbisik.

Lalu, setengah berseru: 'Lila!".

Tongkatnya berdetuk detuk

kencang. la setengah berlari

perempuan itu menjadi pucat

waiahnya. Lalu bergerak

mundur. "Lila! Lila! Lila! 

Belasan pasang mata petugas

dan pasien yang sedang berada

di luar, terpusat pada Parman

yang menyeret-nyeret sebelah

kakinya dengan tongkat kayu

yang seperti menggapai gapai.

Keheningan pagi, dipecahkan

oleh detuk-detuk tongkat dan

suara Parman yang

memanggil-manggil. Semua

terpukau. Tak mengerti. Dan tak

tahu mau berbuat apa-apa.

Sampai disebuah lorong yang

bersudut empat, Parman

tertegun dengan mata liar

mencaricari. lorong itu sepi.

Salah satu, berakhir di pintu

kamar mati. Parman membasahi

bibirnya yang kering. 

Kemudian, tersuruk-suruk

berjalan lurus ke kamar mati. ' 

"Lila?" suaranya setengah

menangis. "Mengapa kau lari?"

Mengapa kau lari?" 

Tiba di pintu kamar mati. ia

coba membukanya. Terkunci.

Dengan sekuat suara. Parman

berteriak:

"Lila, bukalah pintu. Bukalah!" 

Sepi. Diam. 

"Bencikah kau padaku, Lila"

Bencikah" Karena aku cacad?" 

Sepi lagi. Diam lagi. Mencekam,

sesepi dan sediam pintu kamar

mati yang tetap tertutup.

Akhirnya, kesabaran Parman

habis. Ia menjadi marah.

Merasa dipermainkan. Merasa

terhina. Oleh isterinya sendiri.

Yang ia cintai, dan katanya

mencintai dirinya. Yang akan

setia menunggunya. Sampai

mati, dengan kemarahan yang

bergumpal-gumpal di dada,

Parman memukul-mukul pintu

kamar mati. Kemudian

menghantamnya berulang-ulang

dengan tongkat kayunya.

Berdentam-dentam. Suara

hingar bingar segera memenuhi

sekitar tempat itu. Tidak lagi

berbelas-belas. tetapi sudah

berpuluh-puluh bahkan mungkin

beratus-"ratus pasang mata

memperhatikan kejadian di

depan pintu kamar mati yang

terkunci rapat itu. 

'Buka! Buka! Buka! Lila, buka.

Lilaaaaa!". 

Beberapa orang petugas

laki-laki mendekat dari belakang

Parman. Setelah saling

pandang, seseorang berkata

hati-hati. 

"Bung, tak ada apa-apa di

dalam." 

Parman membalikkan tubuh.

Wajahnya merah padam.

Matanya kelabu, "Tak ada?" ia

bersungut-sungut. "Isteriku.

Isteriku ada di dalam". _

'Isterimu?" 

Petugas-petugas itu kembali

saling berpandangan. 

"lsteriku! Isteriku, dengar" Ia

lari dariku. 

dan bersembunyi di dalam.

Mana: kunci pintu" Mana?" 

Seraya menelan ludah, laki-laki

tadi berkata: . 

"Itu pintu kamar mati, bung". 

Parman menghentak hentakkan

tongkat kayunya kelantai lorong.

Berteriak-teriak: 

"lsteriku memang sudah mati.

Sudah mati. 

Seorang diantara perawat

laki-laki itu bergidik. Yang

seorang bergerak maju.

Tersenyum dibibir, tetapi cemas

dihati. Dalam hati kecilnya

orang itu menggelinding

dugaan-dugaan: 'Pasien ini

sudah gila. Benar-benar gila!"

Dan kedua lengannya

terkembang kedepan. Berusaha

memegang tangan Parman.

Yang mau dipegang, bergerak

mundur, dan bertahan ke pintu

kamar mati. 

"Mau apa kau?". suaranya

serak. "Mana kunci?" ' 

"Kemarilah, bung, Kau harus

kembali ke tempatmu". 

"Kembali?" mata Parman

membesar. 

'Tidak Aku tak sudi. Tanpa Lila".

"Bung', kata petugas dengan

sabar "Kau bilang, istrimu

sudah mati. Berarti ia tak ada

disini, bukan?" 

"Di dalam! Ia ada di dalam'" 

"Bung. tak ada apa-apa Kamar

mati itu kosong'. 

"Tidak. Tidak! Tidaaaak!" 

"Petugas-petugas lainjuga mulai

mendekat mengitari Parman. 

Tongkat kayu ditangm Parman

segera teracung ke udara.

"Mengapa kalian mengepungku"

tanyanya dengan suara tak puas.

"Kalian mau melarang aku

bertemu dengan isteriku, eh"

kalian mau menyembunyikannya

dikamar mati'! Membiarkan ia

sepi sendiri" kalian

menyiksanya. Kalian

membunuhnya. Kalian

antek-antek lurah. Kalian pasti

anak buahnya". 

Dan tongkat kayu Parman

melayang diudara. Petugas yang

terdekat segera membungkuk,

kemudian menyambar kaki kiri

Parman yang masih utuh.

Parman terhenyak. Tongkat

kayu ditangannya mau ia

hujamkan kebawah. Akan tetapi,

petugas lain segera bertindak.

Seorang menyambar ayunan

tongkat, seorang lagi

memegangi lengannya. dan yang

lain berusaha memeluk

pinggangnya, Parman

meronta-ronta. 

"Lepaskan! Lepaskan aku!

Kubunuh kalian! Kubunuh

kalian". _ 

Ditonton banyak orang. Parman

berhasil diringkus. Ia menangis

setelah kedua lengannya dibetot

kebelakang punggung, dan

tubuhnya diangkat oleh

petugas-petugas itu. Ia menangis

tersedu-sedu. 

'".O. kakiku. Kakiku !'. 

Kemudian perlawanannya

terhenti. Ia menangis. 

"Lila, mengapa kau tega"

Mengapa, sayangku?" 

Petugas-petugas yang

membopongnya sa

ling berpandangan kemudian

saling mengangguk Mengerti

Sama-sama sependapat: pasien

ini histeris. Atau bermimpi

waktu tidur. Dan setelah

bangun, terpengaruh oleh

impian pada isterinya. Tetapi

kekamar mati" hi! Mungkin

pasien ini sudah rusak jiwanya.

Mungkin. Lakilaki malang! 

"Kasihan..." seorang pasien

perempuan ber

ucap.

"Ya. Kasihan" kata orang lain

didekat. 

Dengan perasaan kasihan,

kedua pasien itu masuk kembali

kekamarnya. Sesaat. Mereka

tertegun dan pucat saking kaget,

ketika sesosok tuouh berpakaian

putih-putih dan berwajah pucat

pasi muncul dari-balik pintu.

Ingatan mereka lari pada pasien

aneh tadi. 

Dan.. kamar mati! Namun

setelah mengenal perempuan

cantik yang tersenyum ramah

dihadapan mereka, kedua pasien

tadi menjadi lega. Seorang

diantaranya bergumam: 

"Ah suster Tea, Kirain" apa" 

Dorothea, tetap tersenyum kaku.

Kemudian melangkah. Kaku. 

***

SEBELAS 

MASIH DENGAN wajah pucat.

Dorothea masuk keruangan

kantor di sebelah utara rumah

sakit. Seorang petugas yang

sedang membereskan sejumlah

arsip di atas meja menoleh

sekilas. Kemudian meneruskan

pekerjaannya. Biasa, kalau

sepagi itu sudah ada suster

muncul dengan wajah pucat.

Apalagi, suster yang baru

bertugasjuga malam. Tetapi... 

"... he, Tea. Kau tak tugas

malam tadi bukan?" 

Dorothea duduk disebuah kursi.

Tubuhnya menggigil. "Tidak",

katanya. Antara terdengar dan

tidak:

"Kok: Wajahmu pucat. Sakit?" 

Dorothea menggeleng 

"Baru lihat pasien yang mati?" 

Mendengar itu, wajah Dorothea

terdongak. Makin pucat. 

Pasien mati" Apa anehnya"

kemudian kepalanya terkulai

lagi. Layu, diatas leher yang

manis. Jenjang... mati,

gumamnya. Laki-laki itu bidara

soal isterinya yang mati lagi.

Kali ini... didepan kamar mati"

Temannya yang sedang

memberes-bereskan arsip,

memandang penuh perhatian. 

"Naa, apa kubilang," katanya.

"Jangan percaya laki-laki?" 

"Engga usah meledek Nur." 

"Habis. Marah main laki

didepan kamar mati! Apaan?" 

"Siapa bilang!"

"Lho. Tadi kau bilang..." 

"Ah. Kau. Mengada-ada saja.

Aku cuma bilang laki-laki itu

bicara soal isterinya yang sudah

mati!" . 

"Tentu saja. Supaya kau

bersedia menerima cintanya. Eh.

omong-omong. laki-laki pasien

atau... Ha. Pasti dokter Nata,

ya?" 

'Nata?" rungut Dorothea. Tak

bersemangat. 

"lyalah. Dokter Nata. Ia kan

sudah duda" 

"Yang benar saja", Dorothea

tersenyum. Wajahnya mulai

memerah kembali. Laki-laki tua

renta begitu" Huh" 

"Tua-tua sih, kalau sedang jatuh

cinta. Coba. Kalau kasih kuliah,

apa engga sering matanya

melirik-lirik kau?" 

"Tak pernah kuperhatikan,

sungut Dorothea seraya angkat

bahu. Lagi pula, yang benar saja

kau. Dokter kan harus jaga

gengsi. Masa pacaran didepan

kamar mati. Pagi begini?" 

Gengsi ya tinggal gengsi. Tapi

kalau cinta bicara... 

SUdah, Sudah Bosan! 

Nur tertawa. Katanya: 

Kalau begitu, Parno ya" 

Parno" 

Alaa. Yang paling rajin

menyalinkan hasil kuliah kebuku

Catatanmu, tiap kali kau absen...

Jangan mengada-ada Nur!

Khawatir musti begitu. 

Musti bagaimana" Menulis

diakhir catatan: Tea. Tea-ku.

Begitu" 

Ia iseng sih. 

Apakah dokter Pandi juga iseng,

sampaisampai ia meremehkan

isterinya yang suka main kontrol

kerumah sakit. kalau ia tahu

sang suami yang anti cewek itu

sering memakai kau sebagai

partner di kamar bedah?"

"Ia membedah pasien. Bukan

membedah tubuhku". 

"Tubuhmu sih tidak.

Pakaianmu"' 

"E e, Nur...!' 

"Engga ngaku?" 

Dengan dongkol. Dorothea

mengeluh: 

"Kau kan kenal mama. Paling

benci laki-laki yang sudah

beristeri, tetapi masih coba

dekatin perempuan". 

"Kau?" 

"Aku?", Dorothea angkat bahu,

'Kuhargai mamaku". 

"Kalau begitu. siapa lagi Tea"

Dokter Nata tidak, Parno tidak.

Dokter Andi juga tidak. Pasien

ya?" 

Dorothea menghela nafas.

Sahutnya: 

"Ya".

Nur tertawa lebar. 

"Biasa, Pasien laki-laki memang

suka be

gitu. Kita tak ambil open.

dibilang judes Serba salah". 

"Ya ini lain". 

"Lain?". 

"Ia malah sangka aku ini

isterinya". 

Nur mengernyitkan dahi. Lalu:

"Kau maksud.... pasien bernama

Parman yang berusaha memeluk

tubuhmu beberapa malam yang

lalu?" 

"He-eh". 

Wajah Nurjadi serius. Katanya: 

"Diapainnya pula kau tadi?" 

"Dikejar. Aku lantas

bersembunyi di balik pintu

kamar kelas tiga. la sangka aku

bersembunyi dikamar mati..." 

"Ka...mar mati?"

"He-eh Kau takut" Aku apalagi.

Ketahananku menghadapi

orang-orang mati atau yang

sekarat menjelang mati selama

ini, punah begitu saja. Laki-laki

itu tampaknya bukan saja

menganggap aku sebagai

isterinya.. tetapi juga.. juga

sebagai hantu isterinya. Hi!. 

"Kau percaya hantu?" 

"Dan kau?", Dorothea balik

bertanya. 

'.... kata orang. disekitar kamar

mati suka berisik kalau malam

hari, apalagi kalau malam

Jum'at. Malah pernah katanya

ada yang lihat. Penjual bakso. Ia

disuruh berhenti dan baksonya

dibeli seseorang. Setelah

baksonya habis orang itu pergi.

Tak bayar. Penjual bakso

nyusul. Tetapi orang itu

menghilang dibalik pintu kamar

mati. Penjual bakso itu panik.

lari. 

 Menabrak dengannya. Tumpah.

Berantakan. Lalu seorang rekan

juga pernah lihat perempuan

cekikikan didepan kamar mati.

Mulamula disangka suster yang

lagi pacaran. Tetapi suara

cekikikan berubah minta tolong.

Rekan itu mendatangi,

bermakSUd menolong. Tetapi

disekitar kamar mati tak ada

apa-apa?". 

"Kau percaya semua

cerita-cerita itu, Nur?". 

"Ya, bagaimana ya. Dan kau"!" 

"Kok nanya aku lagi". 

"Kau percaya?"

"Tidak. Sebelum melihat atau

mengalami sendiri". 

"Kau mau?". 

Dorothea tertawa. Parau.

Rungutnya: 

"Engga dong!" 

Mereka tertawa. Berbarengan.

Tawa mereka baru terhenti

ketika seorang laki-laki masuk

kedalam. Setelah melihat siapa

yang masuk, Nur mengerling

pada Dorothea. Kemudian

meneruskan pekerjaannya.

Pura-pura asyik. Tetapi cuping

telinganya mengembung.

Nguping Ia dengar: 

?" kau kucari-cari dari tadi Tea"

Ekor mata Nur melirik. Ia lihat

laki-laki tadi duduk disebelah

Dorothea. Wajahnya tampak

segar dan kemerahan. Pikir Nur

dalam hati: bukan karena udara

panas. Di luar kan masih pagi.

Matahari '" belum nongol. Hem,

pasti jantung si pria

berdentang-dentang seperti jam

dinding yang baru direeparasi.

Lantang Bersemangat. Hem. *"

'Bagaimana pasien itu?", tanya

Dorothea. 

"Sudah diberi obat penenang". 

"Masih. normalkan ia?" 

"Tampaknya begitu". 

"Tadi ia kukira sudah gila". 

"Kukira juga begitu". 

"Ia menangis ya?". 

"Ya. Sedih karena kakinya

buntung. Biasa".

Dorothea menarik nafas. 

"Kasihan". dengusnya. 

Laki-laki yang duduk

disebelahnya, menoleh pada

Dorothea. Memperhatikan

wajah gadis itu dengan seksama.

"Kau menaruh perhatian

padanya?". 

"Siapa?", Dorothea terkejut. 

"Parman".

"Pasien itu". Dorothea tertawa.

Tugasku. 

Sebagai suster" "Hanya sebagai

suster"'. 

"Suster. Tak lebih". 

"Syukur", laki-laki itu berkata

dengan suara lega. ' 

"Mengapa"' 

Laki-laki itu tak menoleh. Yang

menoleh justeru perempuan

dibelakang meja. Nur. Matanya

bermain. Dorothea membalas

dengan pelototan yang tidak

kepalang besarnya. Nur

menaruh telapak tangan

dimulut. Menahan gelak tawa

yang mau terburai keluar. Lalu

berpura-pura asyik lagi. Dengan

pekerjaannya di meja. Tetapi

arsip itu sama sekali tak menarik

perhatiannya. Disamping SUdah

rutin sehingga kadang-kadang

membosankan, juga 

tapi

karena tingkah laku orang yang

sedang jatuh cinta memang

selalu sangat menarik

perhatiannya. Disamping sudah

rutin sehingga kadangkadang

membosankan, juga karena

tingkah laku orang yang sedang

jatuh cinta memang selalu

sangat menarik perhatian.

Meskipun cuma dengan

mendengar doang. Sambil harap

harap cemas kalau ketahuan

nguping. Bisa diusir! 

"Mengapa, Parno?", Dorothea

seolah-olah mendesak sambil

menahan senyum di mulut. 

Parno menoleh pada Dorothea.

Tersipu. Menoleh kearah lain.

Terbentur pada Nur yang

sedang pura-pura tekun. Lalu:

"Ah. Tidak apaapa". 

"Syukurlah, ganti Dorothea yang

mengucapkan apa yang sesaat

sebelumnya diucapkan si lelaki.

Yang mendengarkan terpana

sesaat. Memandang tak mengerti

pada Dorothea. Matanya

membayang kecemasan. Meski

mulutnya berusaha tersenyum.

Betapa kaku. 

"Lututnya tak kambuh lagi,

Parno?"

"Lutut?" Parno tersenggap.

"Lutut siapa?" 

"Pasien itu" 

"Pasien itu lagi Pasien itu lagi.

Apa salahnya kita bicara soal

lain saja, Tea" Banyak halhal

yang lebih menarik dari pada

soal soal. pasien.." 

"Pasien selalu menarik.

Terutama tentang

perkembangan kesehatannya.

Dan jiwanya. ' lumayan toh"

Menambah pengetahuan teoritis

tentang psykologi dalam kuliah

bukan?" 

"Oh ya. Ya!", Laki-laki itu

berusaha mengelak. Biar tak

puas. Dimejanya, Nur tersenyum

senyum kecil. 

"Kau tak kena tadi?" 

"Tidak" 

?"aku bisa gemetar melihat

bagaimana si Parman itu tadi

mengamuk. Kau berani juga

Parno; berusaha menyadarkan

orang yang histeris dan ngamuk

begitu". 

"Demi tugas". 

"Nah. Hari ini kita sama-sama

punya tugas, bukan" Ah, hampir

saja aku lupa", Dorothea

berdiri: "Ketika bentrok dengan

si Parman itu. aku baru saja

keluar dari sebuah sal. Ada

pasien perempuan kecil yang

harus di infuse. Katanya baru

masuk subuh hari tadi, karena

kecelakaan. Oh ya, Parno. Mau

kau tolong panggilkan dokter

Dunil" Ia yang menolong

perempuan kecil itu subuh tadi.

Parno berdiri. Di wajahnya

masih terbayang rasa tak puas. 

"He, Nur. Aku pergi?" Dorothea

melambai." 

"Lihat-lihat jalannya. Tea.

Bisa-bisa nubruk pintu", balas

temannya sambil tersenyum

lebar. Wajah Parno jadi merah

padam. Buru-buru ia menyusul

Dorothea ke luar dari ruangan.

Setelah berusaha menahan diri

selama jalan berdampingan,

Parno tak kuat menahan diri.

Katanya, buru-buru.

"Sekarang Sabtu, Tea..." 

Dorothea menghentikan

langkah. 

"Lantas?". 

"Nanti malam Minggu". 

"Iya dong. Sekarang kan Sabtu".

"..., Parno memegang tangan

Dorothea.

Tangannya sendiri gemetar.

Katanya setengah berbisik:

"Boleh aku mengajakmu

jalanjalan malam ini, Tea?". 

Dorothea memandang tajam

kemata Parno. Menyahut

dengan suara tegas: 

"Sudah berapa kali kubilang,

Parno. Kita bersahabat. Cuma

itu" kemudian ia melepaskan

tangannya dari genggaman,

tangan Parno. Memutar tubuh.

Dan sebelum menjauh, ia

melanjutkan: "Dan ingat. Lain

kali, jangan tulis lagi dibuku

catatanku kata-kata Teaku. Aku

ini masih milik mama. Milik

papa, bukan milik siapa-siapa. 

***

TIBA dirumah, Dorothea gelisah

tak menentu. 

Seperti ketika bertugas hari itu

dirumah sakit, apa saja yang ia

kerjakan dirumah serba salah.

Waktu menyapu lantai, kakinya

tersandung kekaki meja tinggi

sehingga vas bunga diatasnya

jatuh. Tiba dilantai pecah

berderai. Waktu masak didapur,

ia mau menggoreng telor. Bikin

mata sapi. la ketok-ketokkan

halus ketepi wajan. Telornya

pecah. Jatuh dilantai dapur.

Celakanya ia tak sadar. Malah

ia masukkan kulit telor kedalam

minyak yang sudah panas.

Berdiri sebentar, kemudian

tercium bau tak sedap, baru ia

tahu telah salah masukkan. 

Habis mandi sore, ia duduk

dimeja makan bersama ayah

ibunya. Dorothea tidak

berselera!"

Makannya tertegun-tegun.

"Tea?" Terkejut, ia menoleh. Ia

lihat mata ibunya yang menatap

tajam, "Sakiti". "Oh, tidak,

mama'. 'Hidangannya tak enak"

ini masakanmu sendiri".

"Bukan'. "Lantas?" Dorothea tak

menjawab. Lama. Sampai

ayahnya angkat bicara: "Soal

pekerjaan?". Baru Dorothea

bernafas lega. Sahutnya: "Ya".

"Mengapa, nak" Ada kesulitan?"

"Kesulitan sih tidak. papa. Ini

tentang seorang pasien'. "Ah.

Kau sudah bercerita banyak

tentang pasien-pasienmu"

"Tetapi baru kali ini kau begitu

gelisah. 

Kalau tak salah, sudah beberapa

hari ini". 

"Seorang pasien bersikap aneh

padaku beberapa hari yang lalu.

Lalu tadi." "Hem aneh gimana?"

tanya ibunya. Matanya yang

awas, menatap tak berkedip.

Dan sebelum sang anak

menjawab perempuan itu

menegaskan; "Bukan SOal tetek

bengek. toh?"

'Tetek bengek?" Dorothea

sengau suaranya. "Misalnya,

soal.. cinta." 

Dorothea tertawa. 'Ah, mama

ini. Seperti si Nur saja. Meng

ada ada." 

"Syukurlah nak. Ingat. Kau

masih muda. Dan kami tak

punya anak lagi. Bukan kami

takut kehilangan kau,

seandainya kau jatuh cinta,

kawin dan kemudian hidup di

rumah tersendiri dengan orang

lain. Tetapi nak, karena kau

anak kami satu-satunya maka

kami mohon agar kau jaga nama

baik keluarga. Bila sudah tiba

waktunya, kau sudah dewasa

dan benarbenar mengerti makna

hidup ini, maka kamipun tak

melarangmu berbuat apapun

yang kau kehendaki" 

"Jangan takut, mama. Aku bisa

menjaga diri." 

Ayah Dorothea mendehem.

Tukasnya: 

"Mam, mam, apa apaan pula

kau" Tea dihadapkan pada

kesulitan

Dalam pekerjaan. Bukan pada

laki-laki," lantas sambil

memperhatikan wajah anaknya,

ia bertanya dengan suara

lembut: "Boleh kami tolong,

anakku"' 

"Tolong" Bisakah papa dan

mama menolong?" rungut

Dorothea. Lalu, seraya

meletakkan sendok garpu di atas

piring, ia menceritakan

bagaimana ketika tugas jaga

malam sebelumnya. Parman

bersikap aneh pada dirinya juga

menceritakan apa yang ia lihat

dan alami tertegun karena

berpikir keras Sampai akhirnya

ayah Dorothea berkata dengan

suara yakin. 

"Pasienmu yang satu ini. nak,

mungkin sedang dihinggapi

nervous karena tidak saja 

telah kehilangan isteri, tetapi

juga kakinya." 

"Tetapi papa," suara Dorothea

menghiba. "la anggap aku

isterinya. Bagaimana bisa jadi?"

"Waktu itu malam hari. la tak

melihat mu jelas-jelas, dan

pikirannya sedang terbayang

hanya pada isterinya itu saja." 

"Lalu tadi pagi" Di udara

secerah dan seterang itu" 

'Dan ia dalam keadaan sadar" 

"Sadar sesadar-sadarnya.

Malah sudah menjelang sembuh.

Mungkin dua tiga hari lagi

sudah boleh pulang." 

"Hem! Tea... mengapa tak kau

tanya sendiri padanya?"

"Takut?" 

"Matanya. Mata laki-laki itu!"

Dorothea menggigil. 

"Mata itu bersungguh-sungguh.

Juga sikapnya. Aku.. aku

benar-benar tidak mengerti,

papa. Kalau pikirannya sedang

terganggu oleh bayangan

isterinya, mengapa suster-suster

lain tidak ia ganggu" Mengapa

hanya aku saja?" 

"Mungkin wajahmu mirip wajah

isterinya."

"Mirip?" bibir Dorothea

mengucap. 

"Mirip?" ibunya juga mengucap.

Tetapi yang belakangan 'ini

kemudian diam. Tampaknya,

berusaha menahan sesuatu yang

tibatiba mengganjal hati. Ia

melirik sekilas pada suami dan

anaknya. Tetapi tak ada yang

memperhatikan. Perempuan

setengah baya itu menarik nafas.

Lega. Kemudian: 

'Tea. Kau bilang, kau takut dan

tidak ber

usaha untuk bertanya. Mama

artikan ucapanmu itu begini:

melihat laki-laki itu, kau lantas

lari. Menjauh darinya.

"Benarkah, nak" 

Dorothea mengangguk. 

Ibu tersenyum. Ramah. Namun

suaranya tajam: 

"Patutkah itu dilakukan seorang

suster, anakku" 

Dorothea terpukul. Dengan

suara jatuh, ia menyahut:

"Itulah yang kugelisahkan,

mama." 

"Nah. Kalau begitu, besok

temuilah dia." 

"Aku... aku tak sanggup, mama" 

"Harus, anakku. Kau tak bisa

melarikan diri dari pasien itu,

selama ia masih di rawat dan

kau masih bertugas di sana.

Lagi pula, anakku. Disinilah

kesempatanmu untuk mengabdi

pada kemanusiaan: Mungkin,

kehadiranmu secara nyata di

depan mata laki-laki itu, bisa

menolongnya. Katakanlah,

menolong dia meringankan

siksaan bathin pada isteri yang

selalu mengejar-ngejar matanya.

Setidak-tidaknya. menolong

laki-laki itu dari impian buruk.

Bahwa yang ia lihat adalah kau.

Nyata. Berwujud. Bukan

isterinya. Apalagi, arwah

isterinya!." 

Dorothea memikirkan

kemungkinan itu. 

Ayahnya cepat-cepat

mendorong:

"Nak. Ibumu benar. Temuilah

laki-laki itu. Kalau kau takut ia

berbuat yang tidak-tidak,

ajaklah seseorang atau

beberapa teman menemanimu.

Mereka akan membantu kalau

terjadi 

sesuatu. 

Gadis itu manggut-manggut. 

"Kasihan pasien bernama

Parman itu," gumamnya

perlahan.

"Setelah ia mengamuk kedua

kalinya tadi pagi, ia diikat di

tempat tidurnya. Beberapa

orang petugas laki-laki yang

berotot kuat mengawasinya

selalu. Dokter mengkhawatirkan

terjadinya gejala-gejala

gangguan syaraf akibat

pembedahan yang ia alami." 

"Nah, apalagi?" kata ayahnya,

"Berarti, kau juga akan

menolong dokter itu dari

kecemasan karena ia anggap

dirinya telah melakukan

kesalahan dalam bertugas

menolong sesama manusia."

***

DUA BELAS 

MENOLONG SESAMA manusia.

Ayah dan mamanya benar.

Dorothea harus lebih

mementingkan tugas itu, di atas

rasa takut dan pikiran yang

bukan-bukan. Ia lantas berjanji

pada dirinya sendiri. Besok ia

akan langsung menemui

Parman, bicara

berhadap-hadapan dan jujur

terhadapnya. Kalau perlu, ia

bisa saja menanyakan masalah

kejiwaan yang dihadapi pasien

itu. Tentang isterinya. Siapa

namanya ya" Lila. Ya. Lila.

Hem. Masih bisa ia tanyakan

hal-hal lain. Tentang masa

lalunya. Tentang kebenciannya

pada seseorang yang

berkedudukan sebagai lurah.

Lurah mana yang dimaksud

Parman. Dan mengapa ia

demikian membencinya" ' 

Dengan pikiran dan janji dalam

hati itu, Dorothea malam itu

menarik selimut menutupi

tubuhnya di atas tempat tidur.

Karena udara pada malam itu

teramat gersang dan panas, ia

membiarkan jendela kamar

tidurnya terbuka. Ia tak perlu

takut akibat yang ditimbulkan

jendela yang terbuka itu. Toh

kamarnya ia biarkan gelap,

sedangkan di luar, .terang

benderang.

Bagian luar dari jendela kamar

tidur itu terdiri dari ruangan

dalam rumah orang tuanya.

Ditanami bunga anggrek yang ia

rawat sendiri, sebuah kolam

kecil berisi ikan hias yang

malam ini pasti sudah tertidur. 

Di ujung taman sederhana itu,

terdapat ruangan dapur, gudang

dan kamar mandi. Dinding

belakang semua

ruangan-ruangan tambahan itu,

bertembok tinggi. Dan berpagar

kawat. Di luar tembok berpagar,

jalan raya selalu ramai. Tak

pernah mati, apalagi dekat

dengan pasar. Malah hanya

dalam jarak beberapa meter,

terdapat sebuah pos HANSIP

yang selalu berisik oleh gelak

tawa atau gerutuan

petugas-petugas jaga malam

atau orang-orang iseng yang

main gapleh atau domino disitu. 

Tetapi lewat tengah malam.

Dorothea terbangun. * 

Hawa dingin memenuhi ruangan

kamar tidurnya. Malas, ia

beranjak dari tempat tidur.

Melangkah ke jendela. Tiba

disana, menoleh sesaat ke luar,

dengan mata setengah

mengantuk. Langit membiru.

Beberapa potong awan putih

mengapas. Bulan terang

benderang. Bintang-bintang

gemerlapan. Waktu ia keluarkan

tangan untuk menarik daun

jendela di sebelah luar, ia

rasakan udara ternyata hangat.

Lalu mengapa udara di dalam

kamar terasa amat dingin. 

"Ah Mungkin darahku yang

hangat," gumamnya. Lalu

menutupkan daun jendela. 

Berharap, dengan itu udara

dingin tidak lagi menerobos

kedalam kamar tidurnya. Setelah

merasa puas, ia kemudian

berbalik. Dan bermaksud naik ke

atas ranjang kembali. Udara

masih tetap dingin. Malah

semakin dingin. Membeku. Dan..

tiba-tiba darah sekujur tubuh

Dorothea ikut membeku. la

tertegun di tempatnya sendiri.

Matanya terpentang lebar.

Lebar. Teramat lebar.

Hampir-hampir keluar. 

Di hadapannya, berdiri sesosok

tubuh! 

Sesosok tubuh dalam kegelapan

kamar. Kamar yang tertutup.

Yang pintunya ia kuncikan

sendiri dari dalam. Tetapi ia

tidak bermimpi. Sesosok tubuh

semampai di hadapannya.

Berpakaian compang-camping.

Beberapa bagian tubuhnya luka.

Berdarah. Dan darah itu tampak

mengucur deras dari luka lebar

seperti pecah padajidat.

Seketika, seluruh tubuh

Dorothea menjadi dingin. Ia

ingin berteriak. Tetapi lidahnya

kelu. Ia ingin berlari. Tetapi

anggota tubuhnya lumpuh. .Ia

ingin pingsan seketika. ' 

Tetapi paru-paru dan

jantungnya terus berdenyut"

'.... tolonglah, Tea. Tolonglah?"

telinga Dorothea yang sudah

kejang karena ketakutan,

mendengar suara halus

semacam bisikan. 'Tolonglah

aku..." 

Dorothea menggigil! 

Mulutnya kemak kemik. Lama,

baru suaranya keluar. Bergetar: 

"Ssss__ siapa... kau"' 

"Tolonglah aku, Tea." 

"siapa ku...?"

"Kau mau, bukan" Kau mau?" 

"aku... aku?" 

"Tolonglah. Tanpa bantuanmu,

suamiku tak akan berdaya

apa-apa?" 

"Su... suamimu?" 

"Tolonglah aku. Tolonglah

suamiku!" bisikan itu mendesir

seperti bunyi angin. Mendayu

dayu, mula-mula keras.

Kemudian perlahan. Dan

akhirnya lenyap sama sekali

bersamaan dengan lenyapnya

bayangan tubuh perempuan

berpakaian compang-camping'

dan bertubuh hampir penuh

darah karena luka-luka itu. 

Dorothea tersadar. 

Dan secepat ia tersadar, secepat

itu pula ia berteriak: 

"Mamaaaaa !' _ 

Lantas ia berlari menerjang

pintu. Memukul-mukulnya,_

memutar kunci dan setelah pintu

terbuka, berlari tergopoh-gopoh

keluar seraya berteriak-teriak

histeris memanggil ayah dan

ibunya. Kedua orang tuanya

yang terbangun karena sangat

terkejut, berlari-larian keluar

dari kamar dan menyongsong

anak gadis mereka yang tampak

panik, pucat, berkeringat dan..

jatuh pingsan begitu berada

dalam pelukan sang ayah! 

***

SATU jam kemudian Dorothea

tersadar dari pingsannya.

Seraya menangis terisak-isak ia

menceritakan'apa yang barusan

ia lihat dalam kamar

nya. Buru-buru papanya

membawa masuk ke dalam

kamar. Kemudian lalu dengan

wajah kebingungan. Seraya

memperhatikan isterinya yang

masih terus membujuk--bujuk

Dorothea, ia bergumam: 

"Kau bilang pintu kau kunci dari

dalam. Jendela juga tertutup.. ' 

"Darah! dari kepalanya

mengucur darah!" suara

Dorothea menggigil. Ayahnya

menggeleng. 

"Di lantai tak ada bekas tapak

apapun, anakku. Apalagi

darah!" 

"Aku melihatnya! Aku

melihatnya! tangis tea dengan

panik. "Malah aku dengar

suaranya!" 

"Suara?" ayah dan ibunya

saling pandang. 

"Ia minta tolong. la minta aku

menolongnya. Menolong

suaminya!" 

'Nak.." kata ayahnya dengan

sabar. 

"Kau tidak sedang bermimpi,

bukan?" 

Dorothea menjawab dengan

tangisan yang semakin tinggi

dan parau. Karena tak mau

kembali masuk ke kamar.

mereka. Di sana Dorothea

ditidurkan, dielus dan dipeluk

oleh ibunya dengan perasaan

lembut dan kasihan. Ia biarkan

anak gadisnya menghabiskan

sisa-sisa tangisnya, dan berbisik

pada si suami: 

"Pa, Tea tak pernah begini," 

Sisuami geleng-geleng kepala. 

"Memang tidak," rungutnya. 

"Mungkinkah?" 

'Mam. Jangan mengada-ada!"

kata si suami 

tajam.

"Aku.. aku cuma ingat pada

cerita Doro. thea dimeja makan.

mungkinkah pasienya di rumah

sakit itu menganggap Dorothea

mirip dengan isterinya yang

telah meninggal?" 

Si suami menelan ludah. 

"Lantas?" Katanya dengan

suara bimbang. 

"Siapa tahu?" 

"Ah. Tak masuk akal." 

"Sudah kubilang, siapa tahu.

pa?" 

Sementara itu Dorothea sudah

reda tangisnya. Tinggal

isak-isak halus, dan tubuh yang

masih gemetar. Ia merasa aman

dalam rangkulan ibunya, yang

dengan penuh kasih sayang

kemudian menyelimuti tubuh

anaknya. Ia bujuk Dorothea

agar tidur kembali dan

melupakan kejadian ataupun

mimpi yang barusan terjadi.

Tetapi Dorothea geleng-geleng

kepala. 

'Tak bisa kulupakan, mama.

Dan.. dan aku tidak bermimpi.

Sungguh!" 

"Kau yakin?" 

"Demi Tuhan, mama!" 

"Tea. Mau kau jawab

pertanyaanku'!" 

Dorothea manggut-manggut.

Susah payah. 

"Katakanlah. Sempat kau kenali

wajah bayangan perempuan

itu?" .

Yang ditanya mengingat-ingat.

Lalu. manggut-manggut lagi. 

"Kenal !" ' ' 

"Seperti." 

"Seperti kenal?" 

"Ya. Seperti kenal." 

'Seperti apalagi?" 

"Seperti..." dan tiba-tiba

Dorothea memeluk ibunya

dengan wajah ketakutan.

"Wajahnya mirip wajahku,

mama. Mirip wajahku. Apakah.

apakah bayangan itu mau

memperlihatkan bagaimana

nasibku dikelak kemudian hari"

Apakah demikian, mama?" dan

ia mencengkeram pundak ibunya

keras-keras. 

Ibunya menahan nafas. 

"Nak," katanya dengan suara

tertahan. 

"Kau mungkin bukan sedang

bermimpi. Tetapi, percayalah.

Bayangan itu tidak menunjuk ke

masa depan. Masa depan ada di

tangan Tuhan. Bayangan itu

menunjuk ke masa lalu." 

"Aku.. aku tak mengerti mama." 

"Kau ingat pasien yang kau

ceritakan?" 

Dorothea menggigil. Cetusnya. 

"Ya, mama," 

"Ia bilang kau isterinya. Karena

wajah mu mirip wajah isterinya,

dan yang tadi kau lihat, mirip

wajahmu..."

Medengar itu Dorothea ikut pula

tertahan nafasnya, sementara

ayahnya tertegun dan

memperhatikan dengan penuh

minat pada isterinya. Tetapi

yang diperhatikan terlalu lama

terdiam, tidak melanjutkan

kata-katanya karena tampak

berpikir keras. Dengan tak

sabar. ayah DOrothea menyela: 

"Kau tidak sedang mereka-reka

bukan, mam?" 

"Justru!"

"Aku takut pikiranmu sedang tak

waras." 

_ Jangan khawatir, pa.

Pikiranku waras sewaras

pikiranmu," 

'Tetapi ini?" 

Ibu Dorothea mengelus wajah

anaknya. 

"Diam disini ya Tea. Aku mau

bicara sebentar dengan

ayahmu." 

Dorothea cepat-cepat

menggenggam lengan ibunya. 

"Tidak! Jangan tinggalkan aku

sendirian." 

"Ah. Kami ada diluar pintu, dan

pintu tak akan kami tutupkan." 

"Aku takut!" 

"Nak ini demi kemanusiaan yang

kita bicarakan tadi. Karena itu,

tekanlah ketakutanmu

dalam-dalam. Kalau toh kau

tidak bisa membuangnya

jauh-jauh. Jangan bikin malu

ayahmu. Ia paling tak senang

punya anak penakut, biarpun

anaknya perempuan." 

Dorothea ragu-ragu, ' tetapi

kemudian mengangguk. Lesu. 

Ibunya kemudian menarik

ayahnya keluar. Setelah berada

di luar pintu, sang isteri berkata

"Pak, kupikir kita harus

mengerjakan sesuatu." 

"Malam-malam begini?" 

"Besok."

"Oh.Apa?" 

"Aku bukan mau mengungkit

masa lalu," ujar isterinya

dengan mata mohon pengertian.

"Tetapi tampaknya, aku terpaksa

membangkitkan masa silam

kembali, demi keselamatan dan

masa depan anak kita. " 

"Kau ini. kok jadi begitu serius

kenapa sih dengan masa lalu?"

"pa. Tetapi kau tak akan marah

kalau kuingatkan, Dorothea

tidak tahu siapa ayahnya yang

sebenarnya, bukan?"

Wajah si suami menjadi kelabu.

Namun dimatanya ia berusaha

menahan debaran. dan berkata

dengan suara

ditenang-tenangkan: 

"Anak siapapun dia. Tea telah

kuanggap anakku sendiri.

Terlebih lebih lagi aku ini

mandul. Dariku kau tak akan

bisa memberikan anak yang

menjadi darah dagingku." 

Sang isteri tersenyum. Puas. 

'Sekarang." katanya. "l'inggal

bagaimana cara mengatakannya

pada Tea." 

"Mengatakan apa?" 

"Kau bukan ayahnya." 

'Tak perlu" 

"Tetapi... apa yang akan kita

kerjakan justru mengharUskan

kita mengatakan hal itu," wajah

siperempuan jadi sendu.

Setengah menangis. ia

meneruskan. 'Kudengar ayah

kandungnya telah lama mati. itu

baik buat kita. Tetapi,. aku malu.

pa. Malu menceritakan

bagaimana belasan tahun yang

lalu aku tergoda pada laki-laki

teman sekuliah, jatuh cinta

padanya, kawin dengannya. Dan

ketika sedang mengandung

anaknya, aku didatangi seorang

perempuan yang menggendong

bayi dan katanya berasal dari

kampung suamiku. Tidak itu

saja. Ia juga mengatakan. _ "ini

anak dari suamiku. dan bayi itu 

anak suamiku!" 

"Ah. tak usah pula kau

ulang-ulangi lagi. Aku sendiri

telah melupakannya." 

"Aku juga sudah, pa. Tetapi

Tea?" 

"Baiklah. Kita ceritakan hal itu

padanya." Kita ceritakan pula.

Bagaimana kau marah dan sakit

hati. Merasa dipermainkan.

Merasa telah melukai hati

sesama kaummu. Meski tanpa

kau kehendaki. Demi perempuan

dan bayinya itu, kau lepaskan

suamimu dan datang padaku

yang semenjak lama memang

telah menunggununggu saat itu.

Sadar akan kemandulanku yang

membuatmu kawin dengan lelaki

lain itu, kau kuterima. Dengan

perutmu yang bunting Ah. Kita

telah sama-sama membuang

kebencian dan kekecewaan,

bukan" Nah. Hal yang sama

juga harus kita bukakan pada

anak kita. Misalnya, mengapa

kau membenci atau marah kalau

tahu ia berhubungan dengan

lelaki sebelum tiba masanya.

Apalagi dengan laki-laki yang

sudah beristeri. Tea sudah

dewasa, mam. Ia akan

mengerti..."

"Ya. Ia sudah dewasa.

Mudah-mudahan ia mengerti." 

"Lalu, apa yang harus

kukerjakan besok?" 

"Tinggalkan bengkel mobilmu' 

"Berarti, uang tak masuk." 

"Sehari dua, tak apalah." 

"Eh. Sehari dua. Tampaknya kau

mau suruh aku berjalan jauhh

eh?" 

iya

belasan tahun yang silam,

sempurna mewarisi wajah

ayahnya pula!" 

"Kau maksud.?" Sisuami mulai

mengerti. 

Isterinya menggigil dan

mendesah, kelu: 

"Ya. Siapa tahu-, perempuan

bernama Lila yang disebut-sebut

pasien Tea yang bernama

Parman itu adalah kakak Tea.

Dan arwah perempuan bernama

lila itu pulalah yang barusan

berkunjung kekamar Tea...

"Ya Tuhan! ucap si suami.

Pucat. 

'Bolehjadi!' 

"Nah. Kau mau, bukan?" 

Sisuami belum menjawab, ketika

dari kamar terdengar suara Tea:

"Mama, jangan berlama-lama...'

Kedua orang tua itu bergegas

masuk ke dalam.

Sebelum masuk, siisteri

memperingatkan. 

'Tak usah ceritakan sekarang,

pa. Nanti, setelah kau kembali

dari kampung" Si suami

manggut-manggut seperti

kerbau dicucuk hidung. Dan

pada anaknya, ia tersenyum.

Matanya berkilau. Mata seorang

ayah. Dua 

butir air bening menetes

disudut-sudut matanya, ketika ia

mengelus pipi Dorothea seraya

berkata:

"Aku sayang padamu, nak. Aku

sayang padamu!" 

Dorothea terheran-heran. 

Tetapi ayahnya telah pergi.

Masuk kekamar tidur lain.

Kamar Dorothea. Dan terpekur

di atas ranjang, sampai pagi

mendatang. Pagi-pagi benar ia

sudah siap dengan tas berisi

satu stel pakaian pengganti.

Setelah menyuruh pegawai

pegawai bengkel motor didepan

rumah agar terus bekerja tanpa

kehadirannya, barulah ia

dengan tenang bisa

meninggalkan anak dan

isterinya. Selama dalam

perjalanan, hanya sebuah

pertanyaan yang bergejolak

direlung hatinya yang paling

dalam: 

'Tak akan berkurangkah cinta

anakku pada diriku?" ' 

Dan dirumahnya, sang anak

duduk diamdiam di meja makan,

memandang dengan mata penuh

pertanyaan pada sang ibu.

Diperhatikan demikian, ibu

Dorothea agak kelabakan.

Gugup ia berkata: 

"Makanlah, nak. Supaya kau

sehat dan bisa bekerja dengan

tenang." 

"Dorothea ter-bungkam. Lama.

Lalu: 

"Tidak. Aku tak masuk kerja hari

ini." 

"Mengapa, Tea?" 

"Takut tidak konsentrasi: 

Tetapi dimata anaknya, sang ibu

melihat jawaban lain. Dengan

bijaksana, ia berkata: 

"Kalau ada sesuatu yang kau

pikirkan; nak, ibumu akan selalu

menolong." 

"Sungguh?" 

"Sungguh!" 

"Mengapa ayah berkata

demikian subuh tadi, mama?"

tanya Dorothea tiba-tiba. 

Sang ibu terkejut. Sesaat. Lalu

menjadi biasa kembali.

Menjawab: 

"Lumrah. Ia seorang ayah" 

"Aku melihat arwah seseorang.

Histeris. Pingsan. Kalian

sadarkan. Kemudian kalian

tinggalkan aku di kamar

sendirian. Diluar kalian

berbisik-bisik. Aku tak tahu apa

yang papa dan mama bisikan.

Dan... ah, biarlah. Tak usah

kuperdulikan, bukan?" 

Ia menatap sejenak kepada

ibunya. "Tetapi setelah kembali"

ucapan papa rasanya terlalu

janggal. 'Dan mengapa papa

pergi keluar kota dengan

tiba-tiba?" 

Dengan wajah penuh duka, sang

ibu berkata: 

"Tea, anakku. Kalau kau merasa

sayang pada ayahmu, tunggulah

sampai ia kembali dari luar

kota. Nanti. kau akan

memperoleh jawabannya. Nah.

Hari ini kau bertugas siang .Kau

dekatilah Parman. Bicara

dengannya.

***

TIGA BELAS 

PARMAN MEMBUKA matanya.

Menoleh ke arah pintu masuk

sal. Dokter Pandi masuk seraya

tersenyum ramah pada

pasien-pasien yang mengangguk

padanya, kemudian duduk pada

sebuah kursi di samping tempat

tidur Parman. 

'Bagaimana perasaan bung

Parman?" tanya dokter Pandi

seraya memeriksa mata Parman

serta denyut nadinya: 

"Jelek!" 

Dokter Pandi tertegun. 

'Jelek bagaimana?" 

'Jelek! Dan memalukan! Dua

hari terus menerus diikat pada

tempat tidur. Baru dibuka kalau

mau ke kamar kecil.

Pasien-pasien lain pada lihat.

Apalagi orang-orang luar yang

bezuk.. Dok". ."kapan ikatanku

dilepasKun sama sekali" Dan

aku diperbolehkan bergerak

leluasa tanpa pengawasan

seorang perawat yang otot-otot

lengannya bergumpal-gumpal?" 

Dokter Pandi tersenyum. 

"Tergantung bung sendiri." 

'Lho. jelas aku ingin bebas.' 

"Untuk mengamuk lagi?" _ . 

Kepala Parman yang terangkat

dan tadi terkulai di atas bantal

lalu berucap

'. aku tidak mengamuk. Aku

ini. bung. Apalagi yang muncul

di siang bolong seperti kemaren.

waktu kau kejar-kejar suster

Doroth "' 

'Suster itu jugakah yang masuk

ke kamar ini beberapa malam

yang lalu?" 

'Ya.' 

'la bukan Lila" Dan bukan pula

hantunya' 

'Maaf. Tetapi Dorothea memang

bukan lila!"

Parman terhenyak. 

'bukan lila " Lila!' gumamnya.

Jatuh Dokter bersympathi. 

'Begini. bung" katanya dengan

tekanan suara menyakinkan. 

'Perempuan yang kau lihat

semenjak dulu memakai nama

Dorothea. Setahuku. ia tidak 

pernah memakai nama Lila.

Omong-omong kapan terakhir

kau lihat isterimu?" 

"Dua tahun yang lalu."

"Nah Tea sudah tiga tahun lebih

bekerja disini. Dan belum

pernah punya suami. Jelas?" 

"Tetapi,. ia mirip sekali dengan

Lila, dokter." 

"Mirip tidak berarti sama. Perlu

kita buktikan?" 

Tanpa menunggu jawaban

Parman, dokter memijit tombol

dikepala tempat tidur. Perawat

laki-laki yang otot lengannya

bergumpal gumpal masuk ke

dalam sal dan mengangguk pada

dokter.

"Suster Tea ada di kantorku.

Katakan, ia sudah boleh

menemui Parman." 

Perawat itu pergi, dan_ Parman

terheran heran. 

"Suster Tea ingin menemuiku?" 

"Begitulah 

"Mengapa" Bukankah sudah dua

kali ia berusaha menghindar?" 

'Ia menyesal. Dan ingin

memperbaiki kesalahannya itu".

Mata Parman terpejam.

Keyakinannya semakin goyah.

Biarpun cuma impian, ia lebih

suka karena yang ia lihat adalah

Lila. Masih lebih baik dari pada

ia kembali harus menelan

kenyataan yang teramat' buruk.

Uluhatinya sudah jenuh oleh

endapan-endapan kenyataan

yang rasanya kian berkarat,

enggan mencari dan sama sekali

tidak bersedia membantu Par

man keluar dari kesulitan yang

tengah ia hadapi. Dan kini,

harus ia hadapi pula kenyataan

itu. Yang ia lihat belakangan ini

bukan isterinya. Tetapi seorang

perempuan lain:.Namun toh ia

harus bersyukur. Kalau semua

itu memang impian, alangkah

mengerikan membayangkan

isteri yang teramat didambakan,

berusaha menghindar dari

samping suaminya. 

Hembusan nafas tertahan seperti

kuda yang tiba-tiba ditarik tali

kekangnya, menyapu wajah

Parman! Ia membuka matanya.

Menoleh kesamping Dokter telah

berdiri Seorang perempuan

menggantikan tempatnya semula

dikursi: Seulas senyum dari

sepasang gondewa bibir yang

mekar memerah tanpa pulasan,

bergulung-gulung memasuki

mata Parman dan menimbulkan

perasaan nyaman didalam hati.

Ingin rasanya ia memeluk dan

menciumi perempuan yang

tersenyum mempesona itu.

Tetapi ia bukan Lila. Dan

Parman" sendiri terikat pada

tempat tidur. 

"Dokter?" 

"Ya?"

"Tolonglah lepaskan ikatan

saya" 

Seketika sepasang mata

Dorothea membesar. 

'Tidak", Parman tersenyum

kaku. "Saya tidak akan ngamuk

lagi': 

Dengan dibantu perawat yang

senantiasa siap mengawasi

Parman, dokter Pandi

melepaskan ikatan-ikatan tali

pada kaki-kaki tempat 

tidur. Beberapa orang pasien

yang tadinya sedang

melamunkan kehidupan yang

sempurna diluar rumah sakit

atau tengah asyik membaca

buku maupun majalah sebagai

pelepas rasa jemu, memusatkan

perhatian kearah tempat tidur

rekan mereka yang tidak saja

berkaki buntung akan tetapi

sering berlaku aneh itu.

Pasienpasien yang memiliki

keganjilan-keganjilan tertentu

memang selalu menjadi tontonan

yang menarik bagi pasien-pasien

lain dimanapun juga. 

Begitu ikatannya lepas, Parman

berusaha duduk. Ia rentang

rentangkan kedua lengannya.

Dan tersenyum pada perawat

laki-laki disebelah dokter, yang

matanya jadi tegang. Senyuman

Parman mengendurkan

ketegangan diwajah perawat itu,

dan mendatangkan sedikit rasa

aman dalam dada Dorothea

yang berkecamuk tak menentu.

Antara keinginan untuk

cepat-cepat menghindar, dan

hasrat tetap bertahan untuk

menolong sesama. Bahkan lebih

dari itu. Kalau Dorothea tinggal

ditempat berarti ia telah

menolong dirinya sendiri.

Alangkah menakutkan

membayangkan wujud seorang

perempuan yang mirip dengan

dirinya sendiri, muncul tengah

malam dalam kamar berpakaian

compang-camping dan sekujur

tubuh penuh luka-luka berdarah!

"Wah. Otot-ototku masih agak

kaku-kaku rasanya. Pegal." ia

menoleh pada suster Dorothea.

"Nona mau memaafkan bukan"

Dua hari terus menerus aku

diperlakukan seperti

orang gila. Salah sendiri.

Mengapa bertingkah laku seperti

orang gila. Tetapi percayalah

nona. Aku ini waras

sewaras-warasnya." 

Dorothea menelan ludah. Lalu" 

"Saya... saya minta maaf",

katanya dengan suara

terputus-putus "Kalau saja saya

bisa menahan diri, tentu saudara

tak diperlakukan demikian". 

"Nah. Satu-satu bukan" Kalau

begitu janganlah

bersaudara-saudara padaku.

Sebut saja namaku. Parman" 

"Saya Tea. Dorothea". 

Dengan hati bergetar Parman

menatap perempuan yang duduk

disamping tempat tidurnya itu.

Sepi mencengkam selama

pandang memandang itu

berlangsung. Dada Dorothea

bergelombang hebat.Dada

Parman berombak ombak bagai

tersapu angin ribut yang

menyadarkannya dari impian

buruk selama ini: Dokter Pandi

mendehem-dehem kecil. Lalu

bertanya:

'Bagaimana..."' 

Parman mengeluh: 

'... rambut Lila lebih panjang...' 

"Saya pakai wig", jawab

Dorothea tersenyum. Dorothea

melepas mahkota kesusterannya

yang terbuat dari kain putih,

kemudian juga melepas wignya.

Rambut yang panjang

bergelombang, segera terurai

disisi kedua pundak dan

menjuntai pada punggung:

Banyak orang yang menghela

nafas ketika itu. Parman. Dokter

Pandi. Budi. Dan satu dua orang

pasien 

lelaki di dekat mereka. Dalam

hati. dokter Pandi nyeletuk. 

"Kalau saja ada bidadari, maka

Dorothea adalah orangnya!" 

Dan dimulutnya ia berucap: 

"Tentu isteri bung Parman

secantik Dorothea, bukan" 

Parman tersenyum; Pahit.

"Aku bukan membanggakan diri.

Isteriku cantik, itu salah satu

sebab mengapa aku teramat

mendambakannya'. 

"Bung laki-laki yang

beruntung", dari dalam hati

kembali dokter Pandi

menyeletuk: 

"Laki-laki yang bila

mendampingi Dorothea,

benar-benar laki-laki yang

beruntung. Mungkinkah itu pula

salah satu sebab, mengapa

cintaku pada isteri dirumah, dari

hari ke hari kian meredup" Tiap

kali kupandang Dorothea, tiap

kali semakin aku percaya

kata-kata orang. Sekali kau

peristeri seorang perempuan,

kau pasti menyesal. Karena

dimatamu, perempuan

perempuan lain akan tampak

semakin cantik, jauh melebihi

kecantikan istrimu sendiri yang

tadinya teramat kau

bangga-banggakan". 

Lamunan dokter terputus ketika

Parman memohon: 

"Maukah kau memegangku.

suster Tea?"

Dorothea ragu-ragu. Tetapi

dokter mengangguk halus. 

Tanpa mengulangi Dorothea

segera memegang pergelangan

tangan Parman. 

"Lila selalu memegangjari

jemariku'. keluh 

Parman lirih. 

"Kau bukan Lila. Jadi jemarimu

lebih lentik. suster. Lebih halus.

Jari-jari Lila agak besar-besar.

Dan kasar. Maklum kerjanya di

sawah. Itupun punya orang?" 

***

Untuk sesaat Parman ingin

menangis. Ia tengah meloncati

tegalan sebuah sawah beberapa

tahun yang lalu ketika ia dengar

ucapan marah yang lengking : 

"Longsor. Biar longsor tegalan

itu, Man!" 

Parman buru-buru berpindah

ketengah yang lebih kering

"Kayak punya sendiri", ia

bersungut-sungut. 

"Biarpun bukan, tapi kan aku

yang kerjain?" 

"Ia deh Iya deh!" Parman segera

membetulkan longsoran tegalan

bekas injakannya "Biar kau

puas". 

"Nah, begitu. Awas ya, lain

kali?" 

'Lain kali yang kupegang bukan

lumpur" brengsek ini. Lila tetapi

tubuhmu!" 

"Eh..!" dan gadis yang tadinya

tengah menyiangi rerumputan

halus diantara batangbatang

padi yang baru jadi itu, menyiuk

segumpal rumput dengan kedua

telapak tangannya dan seperti

mau semburkan ke arah

Parman. Tetapi Parman tidak

menghindari; Ia malah

menantang: 

"Cobalah!" 

' Lila tak berani mencobanya.

merah padam sampai ketelinga

.Budi menggerutu. Dokter

tersenyum-senyum. Katanya: 

"Dorothea, anak baik: Kau

harus yakinkan pasien kita

bahwa di dunia ini tidak ada

hantu, kita sudah berhasil,

mungkin. Setidaktidaknya

berhasil menyakinkan pasien ini,

hantu isterinya tidak

gentayangan di rumah sakit kita.

Masalahnya sekarang,

yakinkanlah ia bahwa kau

Dorothea, bukan isterinya! 

Dorothea sudah terbiasa dalam

soal bukamembuka pakaian.

Baik dirumah maupun sebagai

seorang suster. Tapi kali ini, ia

benar benar kikuk ' 

"Bukalah, Tea", desah dokter

Pandi. 

"Malu....malu ah". 

"Eh. Kok lucu", dan dokter

Pandi tertawa: 

"Kalau di ruang praktek sih:

dokter... Tetapi, dihadapan

orang ini!"

"Anggap saja sedang

berpraktek!" 

"Maka: Dorothea menarik tepi

roknya sedikit keatas sangat

sedikit! 

"lebih tinggi, suster", pinta

Parman. 

Dorothea menariknya lebih

tinggi, 

"lagi:..." 

"Ech..." Dorothea jadi dongkol.

"Maaf, suster Tea. Sewaktu

gadisnya. Lila 

mengalami kecelakaan. la

terpeleset dijalan licin menuju

kesungai dan pangkal paha Lila

sebelah kiri tersangkut cabang

pohon yang rendah. Luka itu

menciptakan cacat tetap..." 

Namun tidak ada bekas luka di

pangkal paha sebelah kiri

maupun sebelah kanan

Dorothea, ketika ia tarik roknya

tinggi-tinggi. Waktu ia tutupkan

kembali seraya mengalihkan

Wajahnya kearah lain, ia

mengeram dengan suara keras: 

"Lihat apa, kalian semua?" 

Dokter, Budi dan Parman

menoleh. Beberapa orang pasien

yang kesemuanya lakilaki

buru-buru membalikkan tubuh

dan menutupkan selimut dari

ujung kaki sampai ujung kepala.

Dokter tertawa kecil. Sedangkan

Dorothea tak habis-habis

menggerutu. Budi pun

ikut-ikutan tertawa. Gerutuan

Dorothea semakin menjadi.

Tetapi kemudian ia sendiripun

tertawa, waktu ia lihat

Tawa dimulut Pandi jadi

hambar Ia coba melebur

kehambaran itu dengan menoleh

pada pembantunya seraya

bergumam 

"Okey, Budi, Banyak pekerjaan

lain yang harus diselesaikan,

bukan?" Budi mengangguk

Kemudian berjalan keluar

.Dokter Pandi mengikut seraya

dalam hati ia berharap

Dorothea juga melakukan hal

yang sama. Namun dengan

kecewa ia lihat bagaimana gadis

itu menyeret kursi lebih dekat ke

tempat tidur Parman, lantas

duduk dengan santai. Santai

pula Dorothea berkata: 

'". bagaimana kakimu. Baikan?" 

Semakin tercurah perhatian

seorang perempuan terhadap

seorang lelaki, semakin

tertumpah pula harapan lelaki

lain yang justru mengharapkan

perhatian itu ditujukan hanya

pada dirinya seorang. Perasaan

dokter Pandi kosong melompong

waktu berjalan terteguntegun ke

pintu keluar. Anggukan satu dua

pasien yang ia lewati sama

sekali tidak ia gubris, seorang

dokterpun toh punya emosi.

Emosi tidak saja menghilangkan

kemarahan yang senantiasa

bermain di mulut, akan tetapi

lebih-lebih menghilangkan

ketenangan yang dengan sekuat

tenaga ia coba pertahankan

direlung dada. 

Gelisah, dokter Pandi

mundar-mandlr setiba di ruang

kerjanya. Setumpuk catatan dan

foto-foto negatif paru-paru

seorang pasien yang baru saja

ia bedah tadi malam dan tengah

ia

145 

analisa dengan tekun waktu

Dorothea datang padanya pagi

itu untuk meminta tolong. tidak

menarik hatinya lagi. Dorothea

cuma berkata kasihan pada

pasien bernama Parman itu,

diikat ketempat tidur sepanjang

hari dan malam gara-gara ia

takut pada tingkah laku yang

aneh dari si pasien. Dorothea

tidak mengatakan sama sekali,

bahwa ia kemudian akan tinggal

beberapa lama dengan pasien

itu di sal, bahkan menjadi intim:

Akhirnya dokter Pandi tidak

kuat menahan gumpalan emosi

yang kian menumpuk. Ia sambar

telephone dan putar nomor

telephone dimana Parman di

rawat. 

Setelah dapat sambungan, ia

berusaha berkata dengan

tenang: 

"Budi?" 

"Ya, dokter." 

"Tolong panggilkan Dorothea." 

Rasanya lama sekali menunggu.

Sampai: 

"Ada apa, dokter?" terdengar

suara lembut mendayu-dayu di

rongga telinganya mengalir ke

leher terus ke ulu hati. Sejuk dan

agak mendinginkan emosinya

yang terus bergolak seperti

kawah gunung yang tidak mau

diam. 

"Ah. Bukan apa-apa." dokter

Pandi nyeletuk. Seolah-olah

tidak serius. ia melanjutkan:..."

Bagaimana dengan ajakan

tadi?"

"Ajakan?" 

"Makan siang di Grand." 

Sesaat tak ada jawaban.

Kepundan di dada dokter Pandi

jadi merekah-rekah. Ia takut

kepundan itu meledak.

Benar-benar meledak. 

 Untung Dorothea kemudian

mengajukan usul: 

'Bagaimana kalau lain kali,

dokter?" 

"Lain kali?"

"Ah, dokter. Pasien berpenyakit

paru-paru itu memerlukan

perhatian serius dari dokter.

Lagi pula.. ah. Pasien di sal ini

tampaknya baru saja

menemukan hidupnya yang

sempat hampir hilang. Kasihan

kalau..." 

"Kasihan. Hanya kasihan toh.

Tea?" 

"Ya, dokter?" 

'Ah. Engga. Cuma" okey deh.

Lain kali. Kapan?"

"Kapan saja, dok. Asal jangan

sekarang" 

'Dan dancing di kelab nanti

malam?" 

"Dok. Beberapa hari, saya tak

bisa tidur. Bagaimana kalau lain

kali pula?" 

Dengan perasaan terpukuL

dokter Pandi meletakkan

telephone kembali di tempatnya.

Ia semakin terpukul, waktu siang

hari itu lewat jendela kaca

ruang kerjanya, ia lihat

dikejauhan Dorothea keluar dari

sal dimana Parman dirawat.

Gadis itu tidak sendirian.

Disebelahnya, dengan bantuan

tongkat pasien yang buntung

sebelah kakinya itu berjalan

tersuruk suruk, pasien yang

memang patut dikasihani. Tetapi

dengan Dorothea

mendampinginya... dokter Pandi

diam-diam terus memperhatikan.

Waktu kedua orang itu

menghilang dibalik tembok

sebuah gang, dokter Pandi

keluar dari ruang kerja dan

mengintai dari jauh Dorothea

dan Parman masuk ke kantin

rumah sakit, dan dokter Pandi

berkata Dada diri sediri: 

"Lain kali, katanya. Lain kali

yang tak akan pernah ada!" 

la menghela nafas. Lalu masuk

kembali ke ruang kerjanya,

duduk dibelakang meja, ia

singkirkan catatan-catatan dan

foto-foto negatif di depannya.

Terjepit diantara kaca dan

beludru hijau yang melapisi

meja, terpampang potret

seorang perempuan. Cantik

sebenarnya. Akan tetapi tampak

jadi jelek kalau sudah ngomel

minta perhatian yang lebih

banyak dari dirinya dan sering

mengeluh karena selalu kesepian

di rumah karena waktu sang

suami terlalu banyak disita oleh

urusan kemanusiaan di rumah

sakit, tetapi mengabaikan

kebutuhan manusia lain di

rumah sendiri. 

Setengah berbisik, Dokter Pandi

bergumam: 

"Ros, isteriku yang malang.

Kapankah kau sendiri bisa

mengorbankan kepentinganmu,

demi keselamatan banyak jiwa

yang tergantung ditanganku?"

Dan di kantin, seraya makan

siang dengan penuh kenikmatan.

Dorothea berkata dengan suara

lembut pada Parman: 

"Ceritakanlah padaku tentang

almarhumah isterimu." 

Parman terdiam sebentar. Lalu: 

"Kau mau bersabar sampai aku

selesai makan, Tea" lngatanku

pada Lila. menyebabkan

bayangan pak lurah keparat itu

bermain pula dimata."

"Ceritakan jugalah tenang pak

lurah itu nanti. ya?" 

***

EMPAT BELAS 

PAK LURAH keluar dari ruang

bawah tanah rumahnya yang

besar itu dengan wajah muram

serta rambut kusut masai.

Warna gelap disepanjang mata

tuanya membayangkan perasaan

lelah dan kecewa yang tak bisa

ia bendung. Keringat-keringat

barusan tubuh Bejo

tertelungkup. 

?"barang busuk?" 

"Yang di gudang, kunyuk! Kau

kemanakan otakmu" Disimpan

di dengkul" 

Tanpa berkata lagi Bejo

mengenakan celana dan karena

pak lurah terus memandangnya .

dengan mata jengkel, ia tak

sempat lagi memakai kemeja.

Tersuruk-suruk setengah

mengantuk ia berjalan

sepanjang lorong yang gelap

menuju ke ruang bawah tanah,

pintunya masih terbuka. Ada

cahaya samar-samar dari

dalam. Lalu bau bangkai. Bejo

meludah. Terus masuk seraya

berusaha menahan perut mual

yang rasanya mau terburai saja

keluar, dari pada diatas tungku

api yang baranya masih hidup ia

genggam segumpal daging

berbentuk bayi manusia yang

besarnya sudah menciut menjadi

sebesar pergelangan tangan

Bejo sendiri. 

Sesaat, dalam kesamaran bara

perapian ia perhatikan mayat

bayi yang malang itu. Orok yang

masih merah waktu ditanam

oleh keluarganya dipekuburan

kampung matanya tak pernah

terkatup, penyakit yang

dideritanya semasih hidup

rupanya tak tertanggungkan

mahluk kecil itu sehingga ia mati

seperti orang yang penasaran.

Mata yang melotot itu tidak

pernah berhasil ditutupkan pak

lurah biarpun majikan Bejo itu

sudah memasukkan berbagai

ramuan dan membacakan

bermacam-macam mantera;

Usaha pak lurah semakin kacau

kemana tadi sore Bejo

tergopoh-gopoh masuk

keruangan itu seraya

melaporkan adanya orang asing

yang baru datang kekampung

mereka dan langsung menuju ke

rumah mertua Parman yang

sudah semakin pikun itu. "Setan.

Siapa orang itu" Polisi?" maki

pak lurah sore tadi. "Entah.

Katanya tamu biasa". 

Tetapi. Mengapa mesti kerumah

itu?" 

"Entah".

"Entah! Entah! Hanya itukah

yang bisa kau jawab" Tak

adakah pikiranmu untuk

menanyakan sendiri. Dan tidak

mengusik pekerjaanku, eh" Tak

kau lihatkah, mata jimatku ini

mulai berair?" 

Mata mayat bayi yang sedang

diramu apabila berair

menandakan usaha

menciutkannya lebih kecil

kemudian mengawetkannya

sebagai jimat akan gagal. Dan

kini, berada dalam

genggamannya, Bejo lihat

sepasang mata mayat bayi itu

tidak saja berair, tetapi mulai

bernanah dan mengeluarkan bau

busuk. Hampir-hampir ia

muntah, kalau tak cepat-cepat

menyambar pedupaan dari dekat

tungku. Pedupaan itu masih

mengepul-ngepulkan bau

kemenyan. Ia hirup bau menyan

itu sebanyakbanyaknya, dalam

usaha menekan bau busuk yang

hanyir pada tubuh mahluk kecil

digenggamnya. Kemudian

berjalan kepintu, naik kelorong

yang semakin lama semakin

sempit sehingga ia terpaksa

membungkuk dan akhirnya

merayap. Ditengah perjalanan

akhirnya ia tidak kuat lagi.

Karena merayap, mau tidak mau

mahluk digenggammannya

seringkali terluka dekat

kehidung. Perutnya membuncah,

melesak kekerongkongan dan

kemudian terburailah isi

perutnya keluar melalui mulut

yang pucat kebiruan. , 

Ia kembali muntah setelah

berada dibagian luar gedung

milik majikannya dan berdiri

dipinggir tebing sungai. Udara

malam yang di

ngin menusuk-nusuk kulit

tubuhnya yang setengah

telanjang. Kabut tebal menutupi

pandangan matanya kebawah. la

tidak-melihat sungai. Ia cuma

mendengar suara air mengalir

deras dibawah. Seraya menahan

rasa pusing di kepala dan mual

yang membelit belit usus,

dengan cepat ia lontarkan

mahluk kecil yang sudah

membusuk itu kebawah.

Terdengar suara tercebur yang

lembut. Barulah Bejo menghela

nafas. Lega. Dan merangkak

kembali masuk lubang ditanah,

dan menutupkannya pakai semak

belukar dari luar lebih dulu

sebelum menyusun batu-batuan

besar dibagian dalam. Tiba di

kamar majikannya, ia langsung

naik ke tempat tidur. Pak lurah

bersungut-sungut: 

"Sudah?" 

"Kau buang ke mana?" 

"Kesungai?" 

Pak lurah terduduk. Pucat. 

"Ke sungai" tolol Mengapa tak

di tanam?"

"Aku pusing. Dan mual!" 

"Bodoh! Bodoh! Bodoh ! Babi

benar kau!" pak lurah

memaki-maki kemudian: 

"Tak kau berati dengan batu

sebelum dibuang?" 

".."tidak!" 

"Plak!" sebuah tamparan yang

deras hinggap dipipi Bejo, la

tersenggap, tetapi kemudian

menunduk, kaku. Dan gemetar.

Tadinya setelah membUang

mahluk busuk itu ia masuk ke

kamar tidur pak lurah dengan

maksud bergelut dengan kawan

jenisnya itu sekedar melenyap

Kan rasa mual, pusing dan

tubuh yang menggigil

kedinginan. Namun yang ia

peroleh dari majikan sekaligus

teman tidurnya semenjak

bertahun-tahun, adalah sebuah

tamparan yang tidak saja

menyakitkan pipi, akan tetapi.

Lebih-lebih lagi menyakitkan

hati. Namun ia tidak pernah

berani memprotes. Mata pak

lurah telah memukaunya

semenjak ia bekerja di rumah ini

dan akan terus memukau selama

ia masih berada di bawah

naungan atau rumah yang sama.

'...bagaimana kalau mayat itu

hanyut kemudian tersungkut

dipinggir sungai seperti halnya

mayat isteri si Parman dulu?" 

"Maafkan saya pak lurah". 

'Maaf. Maaf nenek moyangmu!"

pak lurah menarik selimut,

kemudian merungkut di

dalamnya. Samar-samar telinga

Bejo mendengar lanjutan

gerutuan majikan yang tidak

saja ia segani, tetapi juga cintai

ini"... kau harus cari akal kalau

mayat itu ditemukan!

Seolah-olah mayat itu dibuang

oleh siapa lagi, kalau bukan

perempuan tua yang sudah

pikun itu. 

Bejo mengangguk-angguk

sendirian, meskipun ia tahu

anggukannya tak akan dilihat

oleh majikannya. Ia bermaksud

mau tidur pula seperti pak lurah

ketika tiba-tiba pak lurah

memukul pantatnya lagi seraya

menyentak:

"Mulai besok kau

dengar-dengarlah kalau ada

orok yang mati dimalam Jum'at. 

***

LIMA BELAS 

SUHARJA TERBANGUN oleh

suara hingar bingar di luar

rumah. Sejak semalaman ia

memang tidak bisa tidur.

Gelisah. Tak sedikitpun

kdari perempuan yang menghuni

rumah reot dan hampir ambruk

itu. Umur perempuan itu

sebenarnya baru sekitar tiga

puluh limaan. Demikian kata

tetangga sebelah tadi malam.

Tetapi penderitaan yang

membuatnya pikun, menjadikan

siperempuan tampak seperti

nenek-nenek yang tinggal satu

dua tarikan nafas saja lagi untuk

sampai keliang kubur. Kerjanya

cuma kemak-kemik. Tak menentu

kadang tertawa-tawa sendirian.

Kadang-kadang menangis.

Tanpa air mata: Bahkan tak ada

sinar sama sekali dimata yang

Keterangan yang bisa ia peroleh

cekung itu. 

Suhar-ja-merasa, perempuan itu

tak perduli pada kehadirannya

dirumah itu. Bahkan seperti tak

sadar, kalau ada Orang lain

bertamu dirumahnya. Tengah

malam perempuan itu keluar

rumah. Diikuti Suharja

diam-diam. Ternyata pergi

kekuburan. Duduk mencangkung

didepan dari onggokan tanah.

Kemak-kemik 

disitu. Tertawa lagi. Atau

menangis.

"Itu saja kerjanya setiap saat",

kata tetangga sebelah sore hari

seblumnya. "Kuburan itu tempat

dimakamkan suami dan anak

perempuannya. Mereka tempat

bergantung perginya selama ini.

Setelah keduanya mati,

perempuan itu seperti tak betah

hidup didunia, tetapi tak tahu

bagaimana caranya untuk

mengikuti jejak suami dan anak

perempuannya. 

Nasibnya tak akan seburuk itu,

kalau saja menantunya masih

ada dikampung ini?"

"Siapa nama menantu

perempuan itu?" tanya Suharja

berminat. "Parman", jawab yang

ditanya dengan suara tak sedap.

"Seorang bekas perampok yang

telah keluar dari penjara.

Penduduk. yang mengusirnya

dari kampung ini beberapa

waktu yang lalu?" 

Perampok! Lepasan penjara!

Suharja semakin tak enak

tidurnya malam itu. Teringat

pada anak gadisnya dikota,

Dorothea. Tahukah gadis itu

kalau pasien yang begitu

menaruh perhatiannya dirumah

sakit, adalah seorang lakilaki

yang berbahaya" Mau rasanya

Suharja kembali saja kekota.

Tetapi sudah terlalu malam

untuk bisa mengharapkan

lewatnya bus di jalan raya yang

lima kilo meter jauhnya dari

kampung ini. Lagipula, ia ingin

memperoleh keterangan yang

lebih banyak. Apa yang

menyebabkan kematian Lila"

Mengapa arwahnya muncul

dengan wujud mengerikan

dikamar tidur Dorothea" Apa

hubungan kematian itu dengan

Parman"

Dan yang paling membuatnya

harus bersabar sampai hari

berikutnya adalah perempuan

malang itu. Selama ini ia hanya

diurus oleh tetangga-tetangga

yang jatuh kasihan padanya.

Kalau tetangga-tetangga sedang

kesulitan, siperempuan sering

harus puasa berharihari

lamanya. Anehnya ia tetap

bertahan untuk tetap hidup. 

"Konon perempuan itu pernah

bersumpah didepan makam anak

perempuannya ia baru mau

mati, kalau kematian anaknya

ada yang membalaskan", begitu

desas-desus diantara penduduk

yang diceritakan oleh tetangga

sebelah pada Suharja. 

"Kalau begitu kematian Lila

kematian yang misterius" 

"Mati wajar. Terjun kesungai

karena putus asa. Tubuhnya

menghantam batu cadas sebelum

hanyut ditelan arus sungai yang

sedang banjir..." 

Semalaman Suharja memikirkan

cerita tetangga itu. Ia dengar

bagaimana Lila menunggu

dengan setia "suaminya pulang

dari penjara. Bagaimana

kemudian mayatnya ditemukan

tersangkut diakar pohon bakau

dipinggir sungai. 

Dan bagaimana kemudian

Parman pulang kekampung,

mendatangi dan menuduh lurah

serta pembantu-pembantunya

menjadi penyebab kematian

isterinya. Parman kemudian

diusir, dan kematian istrinya tak

pernah berhasil diungkapkan.

Mengapa harus ribut-ribut: Toh

Lila sudah mati. Dan Parman

seorang

bekas penjahat. Bisa saja

menuduh yang tidaktidak pada

pak lurah yang begitu dihormati

dan disegani penduduk

kampung: Sampai-sampai polisi

desa pun tak berminat untuk

membuka tabir kematian Lila. 

"Akan kubawa perempuan

malang ini kekota', pikir Suharja

dimalam yang dingin menusuk

sampai ketulang itu. "Kawanku

si Parta, si Kiartris itu tentu mau

menolong. Dan si Sunarko, pasti

akan bersedia meluangkan

sedikit waktunya untuk mengusut

peristiwa aneh yang melingkupi

keluarga muda isteriku itu. 

Sunarko seorang Kapten polisi

yang sangat berperasaan..." 

Niat itu sudah membulat

dihatinya, ketika ia terbangun

pagi itu. 

Suara hingar bingar diluar

rumah membuat ia tercengkat

seketika, meloncat turun dari

dipan beralas tikar yang sudah

retas-retas, dan langsung

mendorong jendela kamar yang

kuncinya sudah lama tak pernah

dipakai.

Darahnya tersirap melihat

suasana di luar rumah. 

Perempuan pikun itu duduk

mencangkung diatas kursi

bambu dipekarangan. Mulutnya

mengunyah-ngunyah sirih.

Warna merah berlepotan

dikedua belah pipi dan jari

jemarinya. Ia menatap dengan

liar pada kerumunan beberapa

orang penduduk yang seperti

mengepung rumah itu seraya

berteriak-ternak riuh. Beberapa

diantara membawa benda-benda

yang bisa berbahaya melihat

suasana itu. Dari mulai parang,

kampak, pacul sampai

potonganpotongan kayu.

Seorang perempuan muda yang

berada paling depan, seraya

menujuk kearah ibunya Lila,

berteriak-teriak histeris. 

"...bunuh kalian dia! Bunuh!" 

Beberapa yang lain ikut

memberi semangat: 

"Ya. Bunuh! bunuh!"

Dan mereka merangksek maju.

Persis pada saat itu, Suharja

membuka jendela kamarnya,

yang langsung berhadapan

dengan pekarangan. Seketika,

suara hiruk-pikuk itu terenggut

diam. Senyap menyentak, semua

mata memandang kejendela.

Suharja menghela nafas.

Bingung sesaat. 

"... ada apa" Ujarnya susah

payah setelah berusaha

menenangkan detak-detak hati. 

Perempuan muda tadi yang

berkata lebih dulu:

"Ia penyihir. Ia curi mayat

anakku dari kuburan!" _ 

Yang lain ikut meneriaki: 

"Si tua itu cuma berpura-pura

pikun. la mahluk jahat yang tega

menjadikan bayi orang sebagai

jimat. ia harus mati!" 

Agak terkesiap Suharja

mendengarnya. 

"Curi mayat" dari kuburan"

dijadikan jimat?", tanyanya

seperti pada diri sendiri.

Perempuan muda tadi berkata

setengah menangis: 

"Pagi tadi si Dul sedang

mengail disungai. Tahu apa

yang ia temukan" Ini"!" dan

perem

puan itu membuka bungkusan

yang dari tadi dipegangnya.

Suharja mencondongkan

tubuhnya lebih keluar dari

jendela, dan ia benarbenar

terperanjat melihat apa yang

berada ditangan perempuan itu.

Hampir-hampir ia tidak percaya

pada pandangan matanya.

Mulamula ia kira boneka. Tetapi

demikian dekatnya jendela

dengan tempat siperempuan

berdiri sehingga kemudian ia

bisa mengenali benda itu.

Sesosok tubuh bayi yang tidak

saja sudah busuk, tetapi?" 

"Mengapa... begitu kecil?",

tanya Suharja. seraya menahan

rasa mual karena bau busuk dari

mayat bayi itu. 

"Diramu! dijampe! diciutkan

untuk jadi jimat memperoleh

kekayaan!" tangis siperempuan

kemudian memeluk mayat itu

dengan erat, seperti memeluk

bayi yang masih hidup.

"Anakku! Anakku yang malang

ia menangis menghiba-hiba.

Lalu tiba-tiba: 

"He! Mengapa semua diam"

Mengapa tak kalian bunuh si

penyihir itu?" 

Sama sekali tak masuk diakal

Suharja apa yang ia lihat dan ia

dengar. Nalurinyalah yang lebih

cepat bekerja. Ia berteriak.

"Tunggu!" 

Orang-orang yang sudah

merangsek maju lebih dekat dan

sudah siap mengeroyok

perempuan pikun yang

tampaknya diam saja tak

bergerak, serentak terhenti.

Suara mereka yang riuh

rendahpun ikut berhenti. 

Mereka memperhatikan

bagaimana Suharja 

 menghilang sejenak, dan ketika

muncul di pintu rumah, sebuah

pestol telah tergenggam

ditangannya. 

'Tak seorangpun boleh

menyentuh perempuan tua ini. Ia

dibawah perlindunganku." 

Sesaat, semua orang

berpandang-pandangan tak

mengerti. Lalu tibatiba seorang

lelaki bertubuh tinggi besar dan

berkepala botak, maju kedepan.

Setelah memperhatikan sekilas

pestol! ditangan Suharja, ia

bersungut-sungut: 

"Bapak cuma tamu disini.

Mengapa turut campur?"

"Kau siapa?" Suharja tak kalah

gertak. 

"Bejo. Wakil lurah." 

"Nah. Kebetulan. Mana lurah

kalian?" 

'Kudengar kabar-kabar menarik

tentang dirinya dikota..." kata

Suharja sekenanya teringat pada

cerita Dorothea tentang

mimpi-mimpi dan sikap-sikap

aneh pasiennya bernama

Parman. "Panggillah lurah

kuingin bicara."

"Ia sakit," sungut Bejo, agak

gugup. Lalu ia menoleh pada

seorang laki-laki setengah baya

disebelahnya. Tampaknya minta

bantuan. Lakilaki yang dilirik

mengerti. Ia berkata dengan

suara perlahan: 

"Aku ketua erka disini. Aku bisa

mewakili pak lurah." 

Suharja menatap sebentar pada

orang itu. kemudian

mengangguk. 

"Suruh orang-orang itu pulang

semua," katanya. "Kita bicara

didalam." 

"Tetapi..." 

"Aku polisi dari kota. Dengar!

Kuperintahkan, agar semua

orang bubar. Cepat' Kalau

tidak, moncong pestolku akan

menggantikanku untuk berbicara

pada kalian semua!" 

Meskipun seraya menggerutu.

kerumunan orang itu akhirnya

pada bubar lebih-lebih setelah

pak Angga mengangguk pada

mereka. Ketua erka itu tersedikit

melotot pada Bejo yang enggan

untuk angkat kaki, dan pada Nyi

Saodah yang masih menangis

tersedu-sedu seraya memeluk

mayat anaknya yang berbentuk

aneh itu, ia bergumam lembut: 

"Pulanglah, Nyi. Entar kita

makamkan lagi anakmu

sebagaimana mestinya," dan

pada Bejo ia bertitah: "Kau

bawakanlah anak itu, Bejo!" 

Bejo menjadi pucat. la

buru-buru memapah Nyi Saodah

menjauhi rumah ibunya Lila,

namun tak bermaksud sama

melotot pada Bejo yang enggan

untuk angkat kaki, dan pada Nyi

Saodah yang masih menangis

tersedu-sedu seraya memeluk

mayat anaknya yang berbentuk

aneh itu, ia bergumam lembut: 

"Pulanglah, Nyi. Entar kita

makamkan lagi anakmu

sebagaimana mestinya," dan

pada Bejo ia bertitah: "Kau

bawakanlah anak itu, Bejo!" 

Bejo menjadi pucat. la

buru-buru memapah Nyi Saodah

menjauhi rumah ibunya Lila,

namun tak bermaksud sama

Dan dalam rumah, Suharja

menjelaskan pada pak Angga: 

'.. dikota banyak kami dengar

kabar-kabar aneh tentang

kampung ini. Pencurian mayat

mayat bayi, tempat perampokan

berkumpul, kematian-kematian

yang ganjil..." 

"Baru mayat Nyi Saodah yang

tercuri. dan perampok tak

pernah berkumpul di sini,

palingpaling si Parman jadah

itu, dan tentang kematian Lila..."

"Jangan potong bicaraku!" tukas

Suharja bernada jengkel, dalam

hati ia sendiri menggerutu:

"Mana aku tahu semua itu. Aku

cuma menerka nerka, berlagak

sebagai polisi pula. Pak Sunarko

pasti marah besar nanti.

Lebihlebih surat ijin pestolku

sudah lama habis waktunya..." 

Kemudian ia meneruskan: 

"Sayang, polisi desa disini tak

pernah melapor ke kota." 

"Pak lurah menyelesaikan

segala sesuatu dengan baik."

sungut pak angga. 

"Perkataan lurah bukan hukum.

Tindakannyapun. belum tentu

semua sesuai dengan hukum?" 

"Kami menghormatinya." 

'Dan tak pernah bercuriga

padanya, ya" Kami dengar, ia

orang terkaya diseantero daerah

ini?" 

'Bapak menuduh..." 

"Ah. Kami polisi selalu hati-hati

terhadap setiap seorang. Tapi

yah. Sudahlah. Aku dapat

perintah membawa ibunya Lila

kekota. Mungkin ada keterangan

yang menarik bisa kami peroleh.

bila saja ia berhasil

disembuhkan psikiater. Hal ini

juga mengingat hal-hal 

misterius disekitar kehidupan

menantunya, si Parman itu..." 

"Parman menghilang dari

kampung ini. Jadi ia telah

ditemukan polisi di kota, eh" 

"Itu tak penting. Nah. Boleh

minta tolong mencarikan sebuah

andong untuk membawa kami

kejalan besar?" 

Mendapat perintah halus itu,

ketua erka tak senang hatinya.

Namun lagak lagu tamu itu,

tentulah ia polisi dari kota

seperti pengakuannya. Karena

itu Angga harus berhati-hati.

Lagi pula apa perdulinya"

Dibawanya perempuan pikun itu

berarti lebih menenangkan hati

masyarakat dari perasaan

waswas yang tidaktidak. Mereka

lebih senang perempuan itu mati

saja. Setelah kini ada yang

bermaksud membawanya pergi,

mengapa harus ditolak" Tanpa

membantah Dak Amma keluar

dari rumah. 

***

ENAM BELAS 

SERINGAI, LEBAR bermain

dibibir Sunarko. 

'Bung!", sungutnya kemudian".

Kau bisa ditahan karena

mencatat nama corpsku. Tetapi

tak apalah. Sebagai polisi

gadungan tindakanmu cukup

berhasil menyelamatkan seorang

perempuan tua dari kematian

yang mengerikan. Namun soal

mayat bayi yang diciutkan untuk

jadi jimat...", kapten polisi itu

gelenggeleng kepala." Kau bikin

perutku sakit. Sejak kapan kau

percaya omong kosong semacam

itu, Harja?". 

'Jangan menghina, Narko. Kalau

tak kulihat dengan mata kepala

sendiri." 

"Mungkin bayi itu lahir

prematur." 

"Ia lahir sempurna. Dengan

wujut yang sempurna pula. Itu

yang kudengar. Banyak saksi.

Jangan pula lupa, mayat itu

dicuri dari kubur. Kau pikir

untuk apa" Dan mengapa

setelah sekian lama, yang

membusuk cuma bagian

matanya saja?" 

"Hem, Sunarko tercenung".

Sayang tak kau bawa Untuk kita

autopsi dilaboratorium. Tetapi 

eh, bukan itu maksudmu yang

utama datang menemuiku toh?" 

"Terus terang, ini menyangkut

Dorothea. Anak itu telah mulai

dekat pada pasiennya yang

bersama Parman itu. Kau

tahu?", Suharja bertanya

dengan dongkol. Tanya yang ia

jawab sendiri:, Ia sudah

berani-beranian membawa si

Parman itu kerumah. Malah

nekad membawanya nonton

biaskop. Tak perduli laki-laki itu

berkaki satu..." 

"Kaki satu tak jadi ukuran

perasaan. Harja". Mestinya kau

katakan pada anak gadismu,

siapa sebenarnya laki-laki itu'. 

"Aku tak sampai hati. Lagi pula

itu menyangkut masa lalu" 

"Maksudmu?" 

"Terserah apa maunya Thea

laki-laki yang boleh menjamah

hatinya, haruslah laki-laki yang

bersih masa depannya." 

"Eh, bagaimana kau tahu

Dorothea punya hati sama

Parman?"

"Aku ayahnya. Kau sendiri tahu,

Thea tak pernah rapat dengan

seorang laki-laki..." 

"Kita orang tua sebaiknya tak

terlalu banyak ikut campur

urusan anak-anak Harja.

Banyak kusaksikan akibatnya

yang negatif. Tetapi yah,

sudahlah. Demi seorang

sahabat. Aku akan memberikan

jalan keluar. Bisa kau atur

kapan aku dapat

berbincang-bincang dengan

laki-laki misterius itu?"

***

Laki-laki itu. Parman, tegak

dengan bahu bertahan dibendul

pintu. Belakangan ini kerut

merut harus mulai bermunculan

didahinya. Ia merasa lelah

setelah mengenakan tongkat

kayu untuk membantunya

berjalan. Lebih lagi-lagi hati

dan jiwanya setelah mengalami

penderitaan beruntun yang terus

menimpa. Ia merasa telah

berdosa pernah jadi pengganggu

ketentraman orang lain dengan

mengambil hartanya secara

tidak syah. Ia juga tahu,

hubungan zinah yang ia lakukan

dengan ibu Lasmi dimasa ia

masih perjaka. telah merupakan

dosa-dosa yang harus ia pikul.

Tetapi mengapa begini berat

hukuman Tuhan yang harus ia

tahankan" 

Perasaan lelah itulah yang

membuat Parman lama terdiam

seraya memandang gadis yang

berdiri resah didekatnya. Gadis

itu merundukkan muka,

ujung-ujung sepatunya bermain

dilantai teras. Malam telah

semakin larut. Gadis itu

seharusnya sudah pergi, tetapi

Parman ingin Dorothea lebih

baik tetap berada disampingnya.

Keinginan yang sama pulakah

yang bermukim dihati Dorothea

sehingga ia berdiri sedemikian

resah, sementara jarijemarinya

masih berada dalam genggaman

Parman" 

"... bagaimana aku harus

membalas budi baikmu, Thea?",

akhirnya Parman memecah

kesepian yang menggelitik

mereka.

Dorothea tengadah. Balas

menatap mata Parman. Senyum

lembut bermain dibibirnya yang

mungil dan kemerahan, tanpa

polesan lipstik. 

'Tidak" Kau telah

membangkitkan sema

ngatku untuk tetap hidup. Dan

perbuatan gila apa yang kau

lakukan ini" Mentraktirku

minum, nonton bioskop dan

menghirup udara sore yang baru

sekarang kutahu, betapa

cerahnya, sebagai seorang

laki-laki seharusnya aku malu

pada diri sendiri" 

"Kau membuat wajahku merah,

Parman". Dorothea tersipu

"Sudah ya; aku pulang" Nanti

papa dan mama mencari..." 

Tetapi ia tak juga menarik

tangannya dari genggam

Parman. 

"Ingin kuantar kau pulang,

Thea" 

"Kapan-kapan, Parman.

Sesudah fisikmu betul-betul

sehat dan kau terbiasa jalan

sendirian...", kemudian

Dorothea kembali menatap mata

Parman. Tajam namun alangkah

lembut sinar mata yang bundar

itu" 

Sudah ya", ulangnya. setengah

berbisik .Bersamaan dengan itu,

tumitnya terangkat keatas, dan

sebuah kecupan hangat dari

bibirnya singgah sekilas dimulut

Parman. Ada kejutan diwajah

dilelaki sehingga ia tak sadar

sama sekali kalau Dorothea

telah menarik tangannya dan

kemudian berjalan cepat-cepat

kejalan besar dan naik kesebuah

becak. 

Kejutan itu terus menerpa wajah

Parman. 

Ia terpukau ditempatnya berdiri,

menatap kekejauhan dengan

wajah yang pucat. Ia tidak

melihat Dorothea pergi. Tidak

melihat gadis itu naik kesebuah

becak. Dan tidak melihat becak

itupun kemudian menghilang

ditelan kegelapan malam.

Kecupan bibir Dorothea yang

panas 

Dorothea menghilang, Lila tetap

tak berada didepan mata

Parman yang masih terpana

oleh kejutan yang tiba-tiba

melecut jantungnya itu. 

'...mengapa. Sayang" Takutkan

kau?" 

Angin malam menerpa-nerpa

wajah Parman. Angin malam

yang dingin itu. Ya teramat

menusuk itu. Dan suara yang

seperti sayup sayup datang dari

jarak yang teramat jauh itu,

bergema dan bergema kembali:

"Takutkah kau, Parmanku

sayang'?" 

'Ti-dak...tidak", mulut Parman

menceracau. 

Tersenyum bayangan yang

berdiri di depan Parman. Mesra.

Tetapi kucuran darah dari

keningnya yang pucat... ia

goyangkan kepala sedikit

sehingga rambut tergerai yang

menutupi pipinya berkibar

kebelakang, ditiup angin malam

yang berhembus semakin keras.

Desau pepohonan dihalaman

rumah itu seperti jeritjerit yang

menyayat tulang ditelinga

Parman. Ia tahan. 

"Katakan, Lila...", mulut

Parman kemakkemik.

Tangannya mau menggapai,

tetapi tak 

ada kekuatan sama sekali. la

cuma tegak Diam. Beku seperti

patung yang ingin melepaskan

diri dari kekakuan yang

memakunya rapat kebendul

pintu"... mereka membunuhmu,

bukan?" 

Desau angin didaun-daun pohon

melejit lejit lengking: 

"Ya. Parman. Mereka

membunuhku. Mereka

membunuhku" . 

"Lurah" Lurah" Lurah...?" 

"Kau sudah tahu, Parman.

Mengapa tak kau balaskan sakit

hatiku" Mengapa kau bercumbu

dengan perempuan lain" Sudah

matikah bersama dengan

matinya diriku" Parman,

Parman. aku terus menangis

dikubur...menangis, Parman,

menangis menunggu kau

KutUnggu...!' 

"Lila! Lila! Lila!, dan Parman

bagai tercekat dari tegaknya,

menggapai kedepan semakin

kedepan... tak ingat Untuk

mempergunakan tongkat yang

dari tadi melekat d'bawah

ketiaknya. Lalu dengan suara

berdebuk yang keras. tubuh

Parman jatuh terjerembab

dilantai teras. Benturan yang

keras dari bibir tembok dengan

dagunya membuat

Parman mengaduh. Ribuan

bintang-bintang dilangit seperti

turun kebumi, bermain dan

menari-nari dengan irama liar

dikepala Parman. 

Ibu Lasmi dan suaminya berlari

larian keluar dari kamar dan

dengan terkejut melihat apa

yang terjadi. 

"Nak Parman, mengapa kau"

tanya ibu Las cemas seraya

menolong Parman berdiri

dibantu suaminya. 

"Mana... kemana dia", Parman

bersungutsungut. Matanya

berkunangkunang. 

"Dia" Dia siapa?" 

"Lila. Istriku..." 

'Ibu Lasmi memandang

suaminya dengan dahi berkerut. 

Seraya memapah laki-laki

malang itu kedalam, suami Ibu

Lasmi berkata dengan lembut: 

'Yang. mengantar kau tadi

pulang, Dorothea, nak. Bukan

Lila?"

"Ia Lila! Lila. aku... aku telah

berbicara padanya... ia..."

tiba-tiba Parman membentot

lengan perempuan setengah

baya disebelahnya." Tolonglah

aku. pak lurah yang membunuh

Lil" masih tak percayakah kau,

bu Lasmi. 

Setelah berkata begitu, Parman

jatuh tak sadarkan diri.

Bersusah payah ibu LAsmi dan

suaminya menyadarkan Parman,

kemudian memberikan pel tidur

yang disediakan Dorothea untuk

diminum Parman. Laki-laki itu

masih terus mencercau dan

berkumat-kamit tak karuan

sebelum ia kemudian berbaring

dengan 

mata terpejam rapat dan

bernafas dengan teratur. Ibu

Lasmi menghela nafas dengan

teratur. Ibu Lasmi menghela

nafas lega menoleh suaminya. 

'Apa yang harus kita lakukan,

Pak?" 

"Menghubungi polisi. Itu

satu-satunya jalan."

"Tetapi... siapa yang mau

percaya?" 

"ltulah. Harus kita buktikan

bersama-sama. Setelah

mendengar cerita Parman

selama ini dan pengakuanmu

sendiri tentang kehidupan bekas

suamimu yang pertama itu,

kupikir sudah waktunya kita

melakukan sesuatu. Kasihan

Parman. Arwah istrinya terus

mengganggu dia. 

. Padahal keadaan Parman

sudah agak baikan semenjak

bertemu Dorothea. He!" suami

ibu Lasmi tiba-tiba bercahaya

matanya. "Kau begitu kaget

ketika mula-mula bertemu Thea.

Tak salahkah penglihatan mu,

bu?" 

Tak mengerti, ibu Lasmi

bergumam: 

"Demi Tuhan, pak. Thea dan

Lila. bagai pinang di belah

dua!" 

"Hem," suami ibu Lasmi berpikir

sesaat. lantas: Bekas Suamimu

percaya dan hidup didunia

tahayul. Takutlah ia kalau

bertemu dengan hantu" , 

"Hantu?" ibu Lasmi gemetar. 

'Ya. Hantu korban

kebiadabannya!" 

Ibu Lasmi tiba-tiba tertawa.

Katanya: 

"Kau bukan dukun. Bagaimana

kau bisa memanggil arwah dari

alam kubur"' 

"Nanti juga akan kau ketahui,

bu. Kalau

besok Parman bangun,

katakanlah agar ia membujuk

hantu yang kumaksudkan. Aku

yakin, hantu tersebut pasti

bersedia membantu"!" 

***

HUJAN sudah mulai turun

ketika Dorothea menginjak pintu

rumahnya. 

"Maafkan, -aku kemalaman,

mama," ia memelas pada

perempuan setengah baya yang

membukakan pintu. 

Begitu pintu tertutup

dibelakangnya, Dorothea

mendengar suara ayahnya: 

"Wajahmu berseri-seri. Bersemu

merah kulihat. Bolehkah kami

minta kau duduk dulu sebentar.

Thea?" 

Dengan heran, Dorothea duduk

dihadapan ayah dan ibunya. . 

'Bagaimana Parman" Lebih

baik?"

Tiba-tiba saja, wajah Dorothea

kembali memerah. Ia merunduk

waktu menyahut: 

"Mudah-mudahan. papa." 

"Syukurlah. Ia sudah

menceritakan siapa dan

bagaimana masa lalunya?". 

"Dorothea menghela nafas.

Berat lalu mengangguk.

Perlahan. 

"Pentingkah itu, papa?" 

"Kami bukan mau turut campur

nak. Tetapi syukurlah kau sudah

tahu siapa Parman. Biarpun

pengetahuan itu tidak merubah

sikapmu terhadapnya. Mungkin

karena semula kau begitu takut

dan setengah mati berusaha

menjaUhinYa, sehinga kau

kemudian.. jatuh hati padanya.

Ah. nak. Tak usah mengelak.

Kami 

sudah maklum. bisa pulakah kau

maklumi, 

kalau misalnya kami katakan

mungkin perasaan

cintamu menjelma karena

hubungan batin " de

ngan saudaramu yang bernama

Lila?" Dorothea tertengadah.

Takjub. 

***

TUJUH BELAS 

HARI-HARI yang datang susul

menyusul bagi Bejo tak ubahnya

siksaan yang terus menerus

menyakiti tidak saja badannya

tetapi terutama hatinya.

Meskipun ia telah berhasil

mencuri mayat baru dari

kampung yang belasan kilometer

jauhnya dari desa mereka, pak

lurah masih saja bersikap tak

bersahabat pada Bejo. Tiap kali

ia akan naik ketempat tidur pak

lurah disertai kerinduan dan

nafsu yang meluap-luap, ia

selalu memperoleh sentakan: 

"Pergi sana! Jangan usik

tidurku." 

Bejo terpaksa menyingkir

kekamarnya sendiri dibagian

belakang rumah. Kamar yang

terasa kian hari kian sempit,

kian pengap dan kian menyiksa.

Kadang-kadang ia heran

mengapa dulu Parman betah

tinggal belasan tahun di kamar

ini. Tetapi setelah ingat si

Parman itu terpaksa saja mau

digeluti pak lurah, keheranan

Bejo hilang dengan sendirinya.

Lebihlebih kamar yang sempit

itu bersebelahan dengan sebuah

kamar besar dimana dulunya ibu

Lasmi tidur. Bah! Kamar yang

besarpun belum tentu

menyenangkan, buktinya ibu

Lasmi sering pindah dengan

diam-diam kekamar sempit

disebelahnya. Dikamar sempit

itulah ibu Lasmi memperoleh

kesenangan dan kehangatan dari

tubuh seorang perjaka yang

belum pernah mengenal

perempuan: Parman. 

Karena sering tak tahan oleh

udara pengap dikamarnya

sendiri sedangkan pintu kamar

tidur pak lurah tertutup buat

Bejo, ia kemudian sering pindah

kebekas kamar ibu Lasmi itu.

Suasananya lebih leluasa, dan

rasanya sisa-sisa kerapihan ibu

Lasmi, bau tubuh dan parfum

perempuan itu masih bergantung

dikamar. Bejo senang bau

harum itu, tetapi ia sama sekali

tidak senang pada tubuh yang

menimbulkan bau

menggairahkan itu Betapa tidak.

Tubuh itu cuma tubuh

perempuan, bukan tubuh

seorang laki-laki yang bagi Bejo

lebih menarik seleranya.

Kehangatan yang jauh berbeda.

Kegairahan yang ganjil, 'namun

tetap mengesankan. 

Namun kamar besar itu pun

lama-lama toh membosankan.

Seperti dulu ibu Lasmi bosan

karena kamarnya jarang

dimasuki kamar pak lurah.

Bejopun kini merasakan hal

yang serupa. Lantas datanglah

hasrat gilanya. Karena pintu

kamar tidur pak lurah selalu

terkunci, ia lantas senang

mengintai, kalau kebetulan hawa

sedang gersang sekali pak lurah

biasanya tidur bertelanjang.

Pemandangan itu sedikit

menghibur kelelakian Bejo.

Sayang. hiburan yang tidak

pernah sempurna sehingga ia

bosan sendiri akhirnya untuk

mengintip lewat lubang kunci

pak 

lurah keparat itu benar-benar

tak bisa lagi didekati. Bila tidak

sedang tidur, ia sibuk dengan

mayat bayi yang baru dikamar

rahasia. Biasanya Bejo diminta

membantu membuat ramuan

ramuan dikamar tersebut, tetapi

kini pak lurah lebih senang

bekerja sendirian. 

"Kau telah merusak meditasiku

ketika meramu bayi Nyi Saodah,

sekarang aku mau kerja sendiri.

Aku tak ingin gagal kali ini

kalau tidak, celakalah yang

bakal menimpa?" 

Agak takut-takut, Bejo pernah

coba menukas: 

"Celaka bagaimana, pak lurah?"

Yang ditanya mendelik pada

Bejo. Katanya tak senang: 

"Tak mengertikah kau, kunyuk?"

Otak Bejo yang bekerja lebih

lamban dari tubuhnya yang

tinggi besar, sebenarnya

memang tidak menangkap

maksud pak lurah. Ia malu

mengakuinya, tetapi ia pun

penasaran untuk mengetahui

bahaya apa yang mengincar

jiwa pak lurah. Karena bagi

Bejo, bahaya buat majikannya

berarti bahaya pula bagi dirinya

sendiri. 

"Kerbo!" pak lurah

bersungut-sungut melihat

pelayan rumah tangga yang '

sekaligus merangkap pelayan

nafsunya ditempat tidur itu,

cuma diam terbengong-bengong.

Sedikit rasa kasihan timbul juga

dihati laki-laki tua itu.

Betapapun, Bejo toh sering

memberi kepuasan dan telah

banyak membantu, siapa tahu

Bejo dapat pula membantu,

melepaskan mereka dari 

kesulitan yang tengah mereka

hadapi_ Oleh karena itu dengan

malas pak lurah menerangkan: 

"Kau masih ingat jimat yang

gagal itu?" 

"Masih, pak."

"Akhirnya mayat yang dicuri itu

kembali ditemukan Nyi Saodah."

"Kembali ditemukan Nyi

Saodah, pak." 

"Waktu itu, kita hampir celaka." 

"Hampir celaka..." 

"Latah!" pak lurah

mencak-mencak. Tak ingatkah

kau semua itu terjadi karena kau

sembarangan saja membuang

mayat bayi yang sudah busuk itu

kesunyian?" 

Bejo merungkut ketakutan. 

Ia cuma diam ketika pak lurah

melanjutkan omelannya: 

"... untung masih bisa kita

tudingkan kesalahan pada

mertua si Parman. Sekarang

pada siapa kesalahan kita

tudingkan kalau terulang

kesalahan yang sama, he?" 

Bejo tak menjawab. 

Pak Lurah memang tak

memerlukan jawab dari

pelayannya itu, Sungutnya: 

"Tidak pada siapa-siapa.

Karena kali ini aku tak akan

gagal"." 

"Kalau begitu. tak ada dong

bahayanya..." 

'Nenekmu! Kakekmu!

Moyangmu! kau tak maklum

bahaya yang mengintai

semenjak mertua si Parman itu

diangkut polisi kekota?" 

"Perempuan itu sudah pikun,

pak lurah," Bejo bergumam

dengan suara gemetar. 

"Seorang pikun belum berarti

seorang yang bisu. Mulutnya

masih bisa berkata tolol!" 

"Masih bisa, pak..." 

"Masih bisa masih bisa

bapakmu!, pak lurah

membanting-banting tinjunya

yang tak begitu besar kedaun

pintu itu berdengardengar, dan

Bejo tak heran mengapa pak

lurah tidak kesakitan biarpun

tulang-tulang tangannya yang

kurus begitu keras membentur

daun pintu. Betapa tidak.

Bukankah majikannya punya

ilmu" llmu itu pulalah yang

memukau Bejo, sehingga

biarpun ia bisa membunuh

majikannya hanya dengan sekali

banting tetapi toh tak pernah

bisa terlaksana betapapun pak

lurah sangat menyakiti

perasaannya. Kekuatan Bejo

selalu luntur setiap matanya

terbentur kemata pak lurah.

Mata yang gelap seperti lorong

yang dalam tetapi menyebarkan

bau yang ganas seperti gas

mematikan dari dalam

kegelapan itu, kini

bernyala-nyala menakutkan.

Bila sudah demikian hilanglah

nafsu Bejo untuk melepas

bajunya sendiri kemudian

melepas pak lurah. 

Itulah sebabnya mengapa Bejo

hari ini teramat bersuka cita.

Seorang tamu laki-laki telah

datang kerumah pak lurah. ia

membawa sepucuk surat yang

ditujukan pada Bejo. Namun toh

sikap bercuriga pak lurah

akhirakhir ini menyebabkan

majikannya penasaran untuk

sama-sama membaca isi surat:

"Nak Bejo. Pulanglah segera

Ayahmu dalam keadaan sakit

yang gawat. Ia menyesal berlaku

sepele padamu selama ini, dan

kini ia bermak

sud membicarakan harta

warisan denganmu. Ttd. Ibu". 

"Dibawah kalimat itu dibubuhi

nota." 

"Pembawa surat ini Kardi. la

butuh pekerjaan. Selama kau

pulang kekampung kita,

bicarakan dengan majikanmu

supaya Kardi bisa

menggantikan". 

Pak lurah menatap sekilas pada

Bejo. Sempat berkata: 

"Kau ketiban rejeki. eh?" 

Dikilas berikutnya, pak lurah

sudah menoleh pada tamu

mereka. Ia memperkenalkan diri

dengan nama Kardi. Sesuai

dengan bunyi surat. Bagi Bejo

itu tak penting. Yang penting

adalah tatap mata pak lurah

yang ganjil pada Kardi:

Laki-laki tua itu memandang

dengan mata tak berkedip

keseluruh tubuh Kardi,

kemudian tangannya hinggap

dipaha Kardi. menyapunya

dengan lembut. Suara pak lurah

gemetar seperti juga tubuhnya. 

"Aku senang padamu. Kau

kuterima" 

Darah disekujur tubuh Bejo rasa

meluap. Telinganya merah

padam. Dan mulutnya tidak bisa

menahan rasa cemburu: 

"... belum tentu ia sebaik saya,

pak lurah".

Dahi pak lurah mengernyit. Tak

senang. Gerutunya: 

"Kenapa kau tak segera pergi?" 

Kemudian pak lurah masuk

kedalam. Sesaat Bejo menoleh

pada Kardi. Laki-laki itu

tersenyum: Memang manis.

Seperti perempuan. Kalau saja

tak ada pak lurah Bejopun ada 

minat. Rasa cemburu Bejo akan

menjadi. lngin rasanya ia

membanting saja laki-laki yang

katanya berasal dari kampung

Bejo itu. Mungkin pencari kerja

baru disana, karena Bejo belum

pernah melihat laki-laki ini,

berkenalan dengan keluarganya,

bersahabat dan kemudian

memperoleh kepercayaan

membawakan surat buat Bejo. 

Tak lama pak lurah keluar: Ia

membawa sebuah koper yang ia

buka dihadapan Bejo. Isinya

seperangkatan pakaian yang

bagus-bagus malah ada mantel

bulu segala. Kedalam koper itu

dilemparkan pak lurah

setumpukan uang yang sesaat

membuat tidak saja mata Kardi

akan tetapi terutama mata Bejo

bekilat. 

"Semua ini untukmu. Bekal

pulang..", kata pak lurah lembut

pada Bejo. 

Mendengar ucapan pak lurah.

Bejo bukannya bergembira.

Didahinya tiba-tiba timbul

beberapa kerutan. Mata Bejo

mengecil waktu berkata dengan

suara datar: 

"Semua ini... untuk pesangon

saya?"

"Yal" jawab pak lurah

bersemangat. 

"Berarti saya dipecat". 

"Tepat sekali" 

Tubuh Bejo menegang. Ia

memandang pak lurah dengan

marah. Sang majikan terlalu

bergembira dengan suasana

yang tengah ia hadapi, atau

memang tidak perduli lagi Bejo

mau apa, sehingga tidak

berusaha menaklukkan Bejo

dengan kekuatan sorot matanya.

Sadar akan hal itu. kemarahan

Bejo kian memuncak. 

"Kau tahu, laki laki busuk?",

Bejo memaki: "Kau sudah

semakin peot, tetapi toh aku

masih senang melakukan apa

saja yang kau kehendaki: Asal

kau bahagia dan puas. Semua

kulakukan karena aku senang

dan puas pula hidup

bersamamu..." 

Pak lurah senyumsenyum saja,

sementara Kardi terheran heran.

Dan Bejo kian bergelombang

gelombang. 

"Persetanlah dengan kau, lurah

terkutuk .Haram jadah semua

pemberianmu, Seharam jadah

dirimu!" 

Lalu Bejo meninggalkan rumah

itu dengan perasaan terhina. 

Pak lurah geleng geleng kepala. 

"Anak yang sombong. Mentang

mentang mau dapat warisan.",

ia bersungut sungut. Kardi diam

saja. Tak menyahut. 

"Coba. Pakaian begini bagus

bagus, mana ada yang sanggup

memberikan kecuali aku" Dan

setumpuk uang...", pak lurah

geleng geleng kepala, tak

mengerti. 

Masih juga laki laki bernama

Kardi itu diam. 

Pak lurah jadi tertarik"

Tanyanya: 

"Salahkah apa yang kukatakan

Kardi?" 

Kardi geleng geleng kepala.

Untuk menguatkan, katanya. 

"Benar, pak lurah, benar sekali

apa yang 

kau katakan". 

Pak lurah tesrsenyum. Senang.

la sapu lagi 

Paha Kardi "dengan

tangan-tangan gemetar... 

Malah sempat pula ia

cengkeram pantat Kardi yang

tebal. empuk dan panas.

"Kau anak manis, Kardi. Dan

kalau kau berlaku manis. semua

ini untukmu kata, Pak Lurah". 

"Saya akan berusaha, pak lurah"

"Kalau begitu, kau bantulah aku

mulai dari sekarang" 

"Ya pak lurah?" 

"Aku kesepian" Temani aku

kekamar tidur, ya?"

***

Diatas andong, Bejo

membayangkan pak lurah tentu

tengah bergumul dengan Kardi

diatas tempat tidur. Tipe tamu

laki laki itu tampaknya memang

tipe lembut, biarpun pandangan

matanya tajam. Pak lurah akan

dengan mudah bisa

menaklukkan si Kardi keparat

yang telah mengusir Bejo dari

sisi majikan kesayangannya itu.

Beberapa kali Bejo bersungut su

ngut sendirian sehingga kusir

andong jadi penasaran. Tetapi

tahu siapa Bejo, kusir itu tak

berani bertanya. Juga tak berani

berkata apalagi mengajukan

protes biarpun Bejo angkat kaki

begitu saja menuju

kepemberhentian bus tanpa

membayar sewa andong. 

Tak lama Bejo menanti. Bus dari

kota yang menuju kekampung

halamannya, segera tiba. Ia lalu

naik mencari tempat duduk.

Dapat dipinggirjendela. 

Ketika bus akan berangkat,

tanpa sengaja Bejo melihat

keluar jendela. Kedalam sebuah

warung. "Terkejut ia seketika

seSeorang dida

lam warung juga tengah

memandanginya. Seseorang

yang sebelah kakinya buntung. '

"Parman!" Bejo berbisik parau.

Dan bus kian melaju.

***

DELAPAN BELAS 

TETAPI KARDI ternyata bukan

laki-laki yang mudah didekati.

Waktu pak lurah coba

memeluknya begitu 

pintu kamar tidur ditutup, Kardi

tiba-tiba . berusaha melepaskan

diri seraya berkata kecut: 

"Koper. Dan uang itu. Masih

diluar!" 

Kardi kemudian membuka pintu.

Pak Lurah dengan kesal berseru

dari dalam kamar. 

'Biarin saja. Tak kan ada yang

beraniberanian masuk

kerumahku' 

Kardi tak perduli. Ia terus saja

keluar menyimpan tas beserta

isinya keruangan dalam. Lama

pak lurah' menanti. Tetapi Kardi

tak masuk-masuk lagi. Sampai

hari jatuh senja ia terus sibuk

melakukan apa saja yang bisa ia

kerjakan dirumah sesuai dengan

tugas utamanya melamar

pekerjaan ditempat itu.

Memompa air dari sumur.

Menyapu. Didalam. Dan diluar

rumah mengumpulkan pakaian

pakaian kotor yang pada jam

tertentu diambil oleh seorang

perempuan yang bisa mencuci

dan menyetrikakan

pakaian-pakaian

tetangga-tetangga dengan upah

yang memadai. Mengambil 184 

makanan dari yang pada

waktunya sudah mempersiapkan

masakan kesukaan pak lurah. 

Karena jengkel pak lurah

kemudian keluar rumah. Ia pergi

kerumah pak Angga

Berbincung-bincang tentang

suasana desa mereka. Pergi

kemadrasah. Melihat anak-anak

bersekolah dan bersenda gurau

dengan guru-guru mereka,

waktu magrib masuk ke masjid

ikut bersembahyang dengan

penduduk. Namun pikirannya

tidak tertuju pada Tuhan.

Melainkan pada pelayan

barunya dirumah. Kardi itu

tidak setinggi dan sebesar Bejo.

Tetapi wajahnya kelimat. Halus.

Dandanannya senantiasa rapih.

Gerak geriknya lembut malah

agak gemulai. Kardi

benar-benar "laki-laki yang lain'

dan sesuai dengan seleranya.

Lasmi memang cantik. Dan

masih banyak perempuan

perempuan cantik didesa.

Tetapi mereka benar-benar tidak

semenarik Parman dulu, Bejo

lalu kini Kardi. 

Tanpa ikut berdoa dengan

penduduk lainnya, lurah

kemudian buruburu pulang. 

Ia benar-benar sudah tidak

sabar. Akhirakhir ini awan

mendung selalu memberati

langit. Hujan turun sesekali.

Dinginnya. Ampun. GERIMIS

JATUH MEMBINTANGI BUMI

KETIKA pak lurah TIBA

DIRUMAH. KARDI

MEMBUKAKAN PINTU

UNTUKNYA. 

"Sudah kau sediakan makan,

Kardi?" tanya pak lurah seraya

matanya menatap Kardi

dalam-dalam. 

"Sudah. pak lurah". 

"Kau makan bersamaku ya?" 

"Terima kasih pak lurah.

Belakangan saja". 

'Tidak. Kita makan

bersama-sama."

Selama makan pak lurah

bertanya asal usul Kardi.

Pelayan itu menceritakan ia

sudah tidak punya orang tua.

Juga tidak sanak saudara.

Kerjanya berkelana. Ia katanya

ingin mengenal dunia ini lebih

banyak. Bukan cuma selembar

tanah pertanian digunung

tempat kelahirannya. Di mana ia

tiba, ia bekerja apa saja untuk

dapat mengisi perut. Ia belum

kawin. Bahkan belum pernah

memikirkan perempuan. 

Rumah tak punya; tanah tak

punya. 

Apa-apa tak punya. Mana saya

berani berumah tangga?" 

"Pernah punya kekasih?", tanya

pak lurah hati-hati. ' 

"Ah. Saya bukan orang yang

mudah di dekati perempuan." 

"Mengapa?". 

"Mungkin karena saya tak

berani jatuh cinta. Mungkin

juga...". Kardi menatap mata

pak lurah. Tajam. "Mungkin

juga karena saya memang tidak

pernah merasa tertarik pada

perempuan, bagaimana cantik

dan montoknya!" 

Pak lurah tersenyum. Puas. Lalu

tertawa Puas. 

"Kau tak pernah kesepian,

Kardi?" 

_ "Tidak. Saya sudah terbiasa

hidup sentrian." 

'Tak pernah... kedinginan?" 

"Kedinginan "'.

"Maksudku... ditempat tidur" 

"Saya senang pakai selimut yang

tebal pak lurah. Kalau perlu,

berlapis-lapis...". 

'Tak pernah ingin selimut yang

lain?" 

"Selimut lain?", Kardi

memandang tak mengerti.

Dimata pak lurah, Kardi cuma

purapura tidak mengerti. 

Karena itu dengan bersemangat

pak lurah berdesah:

"Malam ini pasti hujan turun.

Dingin sekali disini dan sepi.

Sepi sekali. Aku tak senang

udara yang dingin. Benci rasa

sepi. Di rumah ini banyak

kamar-kamar. Kau boleh pilih

yang mana saja untuk kau pakai

tidur. Kecuali kamar tersendiri

disebelah gudang. Kau. bisa

pakai bekas kamar Bejo. Atau

kamar bekas Lasmi...". 

'Lasmi?" 

"la bekas isteriku..." pak lurah

tiba-tiba meludah. "Ah,

perempuan. Mereka tahunya

dipuasi sendiri. Tak perduli

pada kepuasan laki-laki..." ia

melirik dengan ekor matanya

kearah Kardi. Berkata setengah

mengajak: 

"Kalau kau merasa kedinginan

dan kesepian seperti aku,

datanglah ke kamarku. Kardi.

tidur bersama lebih enak" 

Kardi cuma tersenyum. Ia

bersihkan meja makan. Angkat

perabotan kekamar cuci.

Membersihkannya disana.

Menyimpannya hati-hati di rak

dapur. Ia kemudian

menjerangkan air. Pak lurah

yang tercenung diruang makan,

agak terkejut ketika Kardi

muncul dari dapur seraya 

bertanya. 

"Bapak senang kopi atau

dicampur susu?" 

"Kopi saja jangan pakai gula.

Gula membuat gigi rontok dan

ulu semakin cepat tua". 

Dan kopi tanpa gula bisa

menahan kantuk datang lebih

lama! 

Pak lurah gelisah dikamarnya.

Tak bisa tidur. Kepalanya jadi

pusing menjelang tengah malam.

Persetan benar, ia memaki diri

sendiri. Lalu keluar dari kamar.

Dari pada mati-matian

menyuruh mata terpejam, lebih

baik ia masuk kekamar kerja

pribadinya. Mayat bayi yang

telah dicuri Bejo beberapa hari

yang lalu dari kampung lain

sudah berubah warnanya

kemaren malam. Dari pucat

kewarna merah kembali. Seperti

bayi segar. Mati tidak, hidupun

tidak. Tak akan ia ciutkan mayat

bayi itu: Karena ia sekarang

tidak butuh jimat. Hartanya

masih banyak. Sawah

berhektar-hektar: Uang

bertumpuk dilemari besi. Dari

sejumlah rumah yang disewakan

pada penduduk. Sewa yang

sangat murah sehingga

sipenyewa menganggap memilih

rumah dermawan. Padahal

kalau dikumpul-kumpul sewa

semua rumah, dalam setahun

bisa membangun sebuah rumah

baru. Untuk disewakan lagi.

Begitu terus.

Kalau saja ia hidup dijaman

nenek moyangnya, ia sudah bisa

merajakan diri. Namun dengan

kedudukannya yang sekarang. la

telah merasa puas. Apalagi yang

ia cari. Harta sudah bertumpuk

.lsteri" buat apa. Ia cuma

sesekali berhasrat menggauli!

perempuan. Ia bisa pergi 

kedesa yang berjauhan. Atau

kekota. Melacur. Tetapi

perempuan-perempuan selalu

rewel. Dan sentimentil.

Kadang-kadang suka menutup

sebelah mata kalau melihat

laki-laki yang menggaulinya

sudah tua renta, biarpun

ketuaan itu belum berarti lebih

lemah kejantanannya dari

laki-laki yang lebih muda. Ah,

kalau saja si Kardi ini mudah

dikuasai seperti si Parman dulu.

Atau si Bejo. Ah. Mungkin masih

jinakjinak merpati. Apa kata si

Kardi" Ia tak begitu senang

perempuan... tak ada arti yang

lain lagi dari kalimat itu

kecuali" 

Pak lurah tertegun di depan

pintu kamar Kardi.

Pintu itu tidak terkunci. Malah

sedikit menganga, 

"Apakah Kardi mau bercumbu

dikamar ini saja?" bisik pak

lurah dengan jantung berdebur

kencang. 

Ia dorongkan daun pintu

hati-hati. Meninjau kedalam. 

Gelap. Gelap sekali. 

"Kardi?" pak lurah berbisik. 

Tak ada sahutan.

"Kardi?" ia memanggil lebih

keras. 

Tetapi sepi, mencekik. 

Pak lurah mulai curiga. Ia

masuk kedalam. Cahaya lampu

yang samar-samar dari luar

memberi penerangan yang

suram didalam. Tempat tidur

kosong. Diraba oleh pak lurah.

Dingin. Jadi Kardi belum

menidurinya. Kemana dia" Pak

lurah cepat-cepat keluar. Ia

masuk

kekamar sebelah. bekas kamar

Lasmi lampu didalam masih

menyala. Dan tempat tidur jelas

kosong melompong. Kecurigaan

pak lurah meningkat jadi

perasaan cemas. 

Bergegas ia menuju anak tangga

kamar rahasia. 

Dan ia terkejut sendiri, ketika di

persimpangan tangan menuju

keteras bagian atas rumah.

terdengar langkah kaki yang

halus. Pak lurah merapat ke

tembok. Matanya berhatihati.

Langkah-langkah itu kian jelas,

semakin dekat. Dan ia mulai

melihatnya. Kaki yang berkuku

lebar, berdaging tebal.

Kemudian celana panjang yang

ujungnya berlipat. Pak lurah

menghela nafas. Lega: Menyeka

keringat yang sempat membercik

dijidat. _ 

"Dari mana kau?" ia

bersungut-sungut begitu

siempunya kaki sudah berdiri

dihadapannya. 

"Menutup pintu tingkap, pak

lurah. Diluar hujan deras. Ada

angin merebes kedalam. Lalu

aku naik. Pintu tingkap ternyata

terbuka." 

"Oh?" pak lurah menggerutu

dan mengurut 

dada. 

'Saya senang kegelapan, pak

lurah. Saya berdiri diteras.

Dibawah atap. Kutekuri alam

yang tampaknya seram.

Menakutkan. Aneh. Saya

merasakan sesuatu yang ganjil

dan asing begitu mendengar

suara sungai mengalir di

bawah?"

"Sudah. Nanti kau juga terbiasa.

Dan mulai besok, Kardi. Pintu

tingkap itu dipaku saja 

biarin tertutup selamanya" 

"Mengapa pak lurah?" 

'Jangan banyak tanya, turut saja

perintahku!" 

"Tetapi memandang waktu Siang

disana, pasti menarik sekali, pak

lurah. ." 

"Kau bisa keluar rumah kapan

kau suka. Disana banyak tempat

kau bisa menikmati panorama

yang indah. Sekarang pergilah

tidur. Dan begitu kau bangun

besok, paku tingkap itu!" 

Kardi memandang lama ke

wajah pak lurah. Yang

dipandang tak senang .Bertanya

penasaran: 

"Mengapa kau pandangi aku

begitu?" 

Kardi bergumam. Habis: 

"Mata pak lurah membayangkan

ketakutan" 

Pak lurah gemetar: Tiba-tiba ia

menjadi marah. 

"Kau tahu apa ha?" 

"Maaf, pak lurah. Tetapi. diatas

sana tadi, saya juga tiba-tiba

didatangi rasa takut yang aneh" 

"Kubilang tidur! Tidur! Tidur!" 

Lantas tanpa menunggu Kardi

melakukan perintahnya, pak

lurah berlari-lari kecil kekamar

tidumya sendiri. Ia menutup

pintu rapatrapat. Menguncinya.

la periksa dinding samping yang

langsung menuju keteras. Juga

terkunci. Rapat. Malah sudah

diberi engsel penguat oleh Bejo

beberapa hari yang lalu. 

Sambil berbaring. pak lurah

bersungut-sungut sendiri: 

"Ramuan bayi itu harus segera

disempurnakan. Aku sudah tak

tahan. Bayi itu akan menambah

kekuatan jasmani dan jiwaku: O

mengapa aku ini" Belum pernah

aku begini sebelum peristiwa itu

terjadi..."

***

Ia benar. Semalam ia bermaksud

memperkosa Lila sehingga

perempuan itu terjun dari teras

diatas langsung keanak sungai

dibawah tebing yang curam

dibelakang rumah .pak lurah

tidak pernah mengenal rasa

takut sepanjang hidupnya,

kakeknya, ayahnya. pamannya,

semua dukun dukun terkemuka

semasa hidupnya. Hidup di

dunia magis. Terbiasa dengan

misteri-misteri magis. 

Tetapi, oh.. teriakan Lila yang

menyayatkan hati itu. Sebelum

Lila lenyap ditelan hujan lebat

dan kegelapan malam yang

menyentak: 

"Aku akan membalasmu! Akan

membalasmu!" 

Berhari-hari setelah peristiwa

itu, teriakan histeris itu sering

bergema dari arah jatuhnya Lila

sebelum mati. Dan ia anggap

semua itu illusi. Sisa gaung

suara. Tetapi ketika Parman

melarikan diri dari klinik

sebelum sempat dibunuh oleh

Bejo. tidak saja suara Lila yang

ia dengar. Tetapi perempuan itu

muncul dikamarnya. Mengulangi

ancamannya. Kemudian

menghilang. Pak Lurah

hampir-hampir menganggapnya

sebagai sebuah impian. Mimpi

yang buruk. 

Teramat buruk. la menggigil

lagi. Lagi. Lagi dan lagi... 

***

"Hem!" rungut Bejo sendirian.

"Heran juga Mengapa bapak

tiba-tiba jadi berbaik hati

padaku!" 

Mengapa" Pertanyaan itu selalu

mengaung ditelinga Bejo selama

berpegal pegal tulang diatas bus

dalam perjalanan yang

memakan waktu belasan jam itu.

Kini pertanyaan itu Semakin

meminta jawaban setelah ia

semakin dekat pula ke kampung

halamannya. Semakin dekat

pada orang tua yang semenjak

ia kenal, selalu membenci dan

tak henti-hentinya menyiksa.

Padahal Bejo anak kandung

mereka sendiri. Malah anak

laki-laki satu-satunya. Mendapat

cacimaki, sepak terjang dan

cubitan yang menyakitkan

disekujur tubuh semasa kecil,

oleh Bejo cuma ditanggapi:

bapak dan ibu kejam. Lalu

semakin ia dewasa, semakin ia

mengerti arti tatap mata orang

tua padanya mengapa begitu

benci mereka berdua

terhadapku" 

Neneknya yang menceritakan

pada Bejo. Kampung mereka

pernah diserang perampok.

Sambil merampok bajingan itu

juga memperkosa. Seorang

gadis di kampungjadi korban.

Padahal gadis itu sudah mau di

nikahkan beberapa hari

kemudiannya. Untung calon

suaminya sabar dan pasrah.

Gadis itu diterima terus sebagai

isterinya. Setelah mereka kawin,

anak yang terlahir akibat

perbuatan perampok yang

memperkosa si isteri. mereka

beri nama Bejo. Bayangan

siperampok selalu tampak di

mata suami isteri itu. Bayangan

penuh keben

cian dan dendam kesumat yang

tidak kesampaian. Anak itulah

yang jadi korban. Begitu benci

dan mendendamnya suami isteri

itu, sehingga anak-anak mereka

yang lahir dari perkawinan itu

turut membenci, Bejo. Anakanak

lain itu ada tiga orang. Semua

perempuan. 

Setelah neneknya mati Bejo tak

tahan tinggal di kampung. la

mengembara. Masuk kampung

keluar kampung. Sampai

akhirnya ia diterima bekerja

oleh pak lurah yang bertindak

tanduk aneh itu. Dukun yang

tidak saja senang mencuri mayat

bayi untuk dijadikan jimat

pengumpul harta. Tetapi juga

senang pada laki-laki sejenis

disamping senang pada

perempuan. Bejo yang telah

lama membenci perempuan

karena perbuatan ibu dan

saudara-saudaranya, merasakan

gelora nafsu pak lurah sebagai

gairah yang sangat

menyenangkan dan

mengesankan. Tetapi kini ia

diusir. Setelah kemaren laki-laki

yang lebih muda dan gemulai

dari Bejo muncul. Kardi siharam

jadah itu! 

'Aem!" rungut Bejo. Untung aku

kini sudah kaya raya!" 

Tetapi bayangan kekayaan itu

lenyap seketika, setelah Bejo

menginjak pintu rumah orang

tuanya. Bukan orang sakit apa

lagi yang hampir mati yang ia

temui melainkan orang yang

masih sehat walafiat, kuat dan

kekar. Mata orang-orang itu

menatap tanpa bersahabat pada

Bejo, disusul oleh suara

menghardik:

"Kupikir kau sudah mati!" 

***lbu Bejo yang datang

kemudian, pucat pasi. Bejo

berharap ia akan dipeluk dan di

rangkul penuh kerinduan.

Betapapun, toh perempuan itu

adalah manusia yang

melahirkannya kedunia ini. 

"Pergilah dari hadapanku.

Pergi. Aku benci melihat

mukamu! 

Bejo menelan ludah. la

mengerti. Wajahnya konon

menurut neneknya, sama dengan

wajah perampok yang

memperkosa ibunya. Bejo

teringat lagi caci maki, sepak

terjang dan cubitan yang

menyakitkan yang ia terima

selama belasan tahun berselang.

Bila adik-adik perempuannya

muncul disaat ini, maka

cemoohan akan ditujukan pada

diri Bejo: anak jadah. Anak

perampok. Anak terkutuk! 

Semua itu terbayang dan

mengaung di telinga Bejo. 

Ia tak tahan.

Lalu berteriak: 

"Dimakan setanlah kalian

semuanya!" 

Kemudian ia berlari. Jauh. Ia

tinggalkan kampung itu. Ia

berlari seraya menagis. Ia tak

perduli ia laki-laki atau bukan.

Ia memang lakilaki. Tetapi apa

yang ia perbuat dengan pak

lurah, bisa pula berarti ia

perempuan. Dan kini ia

menangis. Bejo sudah jadi

seorang perempuan!"

"Setan! Haram jadah! Setan!"

isaknya di pinggir jalan. Ketika

ia sudah naik kesebuah bus yang

akan membawanya ketempat ia

mulamula datang. barulah

pikiran sehat Bejo bekerja.

 la lupa menanyakan. kalau

mereka tak menghendaki

kehadirannya, mengapa ia

terima surat dari... Ha! Ibunya

buta huruf. Baru sekarang

diingat Bejo! ibunya buta huruf!

Juga saudara-saudaranya yang

lebih senang bersolek itu!" Tak

seorangpun yang bersekolah,

karena kata ibunya biar saja.

Toh mereka kaya Tanpa

bersekolah mereka juga banyak

yang akan mau mengawini.

Lagipula perempuan akan

kedapur pula jatuhnya. Lalu

siapa yang menulis itu"

Ayahnya" Bejo tahu betul tulisan

tangan ayah yang tak pernah

mengakuinya sebagai anak itu. 

Jadi" 

Tiba-tiba dimata Bejo terbayang

wajah seorang laki-laki

menatapnya dari dalam sebuah

warung. Wajah yang

menampakkan kekerasan hati.

Orang yang tak pernah kenal

menyerah, biarpun kini kakinya

telah buntung sebelah. Parman.

Si Parmankah yang menulis

surat itu" Atau orang lain yang

punya sangkut paut dengan

Parman" Pasti. Pasti si Parman.

Atau orangorang si Parman.

Kalau tidak, untuk apa ia

memperlihatkan batang hidung

disekitar desa mereka" Toh ia

dibenci. la pernah di usir.

Disiksa. Bahkan kalau tak

keburu minggat dari klinik yang

merawatnya. ia sudah mati

ditangan Bejo. Tak mungkin

kehadiran Parman kembali

tanpa sesuatu sebab. Tetapi, apa

tujuan Parman memancing Bejo

keluar. Tiba-tiba ia ingat pada

Kardi. . 

Laki-laki itu tak pernah

dikenalnya. Lalu dari mana

Parman atau Kardi tahu alamat

kampung Bejo" Di desa itu cuma

tiga orang yang tahu tempat asal

Bejo. Ia tidak pernah

menceritakan pada siapa-siapa.

Malu kalau ada yang tahu ia

dibenci oleh orang tua dan

saudara-saudaranya sendiri. Aib

pasti tercoreng dimuka Bejo

kalau di daerah yang jauh dari

kampung kelahirannya, orang

tahu terlahir ke dunia ini akibat

perbuatan durjana dari seorang

perampok. Hanya kepada pak

lurah semua itu ia ceritakan

karena toh pak lurah dengan

jimatnya itu bekerja juga

sebagai perampok. Biarpun

perampokan yang ia lakukan

melalui tangan orang lain. Si

Parman. 

Pak lurah tak mungkin pula

menceritakan tentang asal usul

Bejo pada si Parman. Ia tahu

betul, karena pak lurah telah

berjanji merahasiakan riwayat

hidup Bejo pada orang lain.

Kecuali pada isterinya waktu itu.

Ibu Lasmi. ltupun karena

terpaksa. Suatu ketika lbu Lasmi

memergoki Bejo bersetubuh

dengan suami ibu Lasmi.

Perempuan itu pingsan. Lalu

minta cerai. Pak lurah memelas:

'... jangan kasihani aku. Tetapi

kasihanilah si Bejo. Ia muak di

dekati perempuan. Tetapi ia

butuh penyaluran. Apa salahnya

ia kutolong" 

Namun ketika ibu Lasmi tahu

juga kalau Parman dijadikan

sasaran pemuasaan nafsu aneh

dari suaminya, ia kemudian

minta cerai juga akhirnya. Ia

bisa mengerti masa lalu Bejo,

dan mau mengerti arti

pertolongan suaminya. Ia cuma

_tak mau mengerti mengapa

Parman juga harus dijadikan

sasaran, sampai pak lurah ikut

juga mengerti Parman sudah

dijadikan gendak oleh ibu

Lasmi. Perceraian itupun

terjadi. 

Ibu Lasmi pergi sudah. Parman

kemudian menyusul, walau yang

terakhir ini perginya ke penjara.

Nah, ibu Lasmi tak punya

kepentingan dengan Bejo. Tetapi

Bejo tahu betul. Ibu Lasmi

punya, setidak-tidaknya pernah

punya kepentingan dengan

Parman. 

"Celaka!" ia mulai mengerti.

Suaranya demikian keras,

sehingga penumpang bus yang

lain pada menoleh. Bejo agak

kemerah-merahan mukanya.

Namun teriakan kaget itu ia

teruskan juga, meskipun dalam

hati: "Pak lurah dalam bahaya.

Aku harus segera

menolongnya!" 

***

SEMBILAN BELAS 

PERTOLONGAN itu tak pernah

bisa diberikan oleh Bejo. 

Begitu masuk ke desa pak lurah,

beberapa orang laki-laki telah

menghadangnya. 

'Jangan melawan. Kami polisi!"

Saking terkejutnya, Bejo tak

sempat lari. Keinginan itu baru

timbul setelah kedua tangannya

terbelenggu. Percuma saja.

Dalam kegelapan malam dan di

bawah hujan yang turun

renyai-renyai ia kemudian

digiring kesebuah rumah. Ia

tahu betul itu rumah pak Angga.

Bejo tersenyum. Pak Angga pasti

akan menolongnya, bila pak

Angga tahu Bejo ditangkap,

bukankah pak Angga teramat

mengabdi pada majikan Bejo" 

Namun harapan Bejo buyar

berantakan, begitu di rumah pak

Angga ia lihat orang yang sudah

tak asing lagi baginya: lbu

Lasmi, bekas isteri pak lurah.

Setelah orang-orang yang

menangkap Bejo melapor pada

seorang lakilaki setengah baya

bertampang keren dan kemudian

dikenal Bejo sebagai petugas

kepolisian berpangkat Kapten,

Bejo kemudian 

dibawa pergi. Orang-orang

yang menangkapnya

membawanya kembali kemulut

desa dibawah hujan yang

semakin deras turun, berjalan

dikegelapan malam yang dingin

menusuk tulang. Agak jauh

diluar desa, ia di bawa

kepinggir jalan. Dibalik

rimbunan bambu, terdapat

sebuah jeep polisi. Moncong

sebuah stengun diarahkan

keperut Bejo begitu ia

diperintahkan naik. Dan terus

terarah ketempat yang sama,

selama ia duduk dalam jeep

dengan tubuh gemetar dan

perasaan takut yang hampir

membuatnya gila. 

Di rumah pak Angga, ibu Lasmi

mendesah:

"... aku malu menceritakan

semua ini. Tetapi apa boleh

buat, belang bekas suamiku

harus diketahui oleh orang

kampung ini juga akhirnya." 

Sunarko melirik pada arloji

tangannya. Lalu berkata: . 

"Persis tengah malam. Beberapa

menit lagi mobil yang membawa

Dorothea dan ayahnya akan

segera tiba. Marilah pak Angga.

Giliran kita untuk masuk,

kasihan si Kardi. la tentu

menghadapi situasi gawat bila

kita terlambat masuk..." 

Dibawah hujan deras yang

menimbulkan suara ribut seperti

topan, kedua orang laki-laki itu

menerobos keluar dari rumah

dengan diamdiam. Tak seorang

penduduk pun tahu operasi yang

akan dilancarkan terhadap lurah

mereka. Dengan tubuh basah

kuyup dan tubuh menggigil

kedinginan, akhirnya mereka

tiba 

dihalaman rumah pak lurah. Pak

Angga mengajak Kapten polisi

Sunarko masuk dari halaman

samping. 

"Kerikil dari depan bisa

menimbulkan suara," ia

menjelaskan. Mereka

mengendap endap ke pintu

masuk. Gelap di dalam. 

Dengan dada berdebar, Sunarko

mendorong pintu masuk.

Terbuka. la tersenyum. Kardi

telah bekerja sesuai dengan

rencana. Setelah berada di

dalam pintu dibiarkan tetap

terbuka, kemudian mereka

berpencar mencari tempat

persembunyian. Di

persembunyiannya, Sunarko

memikirkan nasib Parman,

Laki-laki bertongkat kayu itu tak

mungkin masuk dari pintu

depan. Ia sendiri yang

mengusulkan untuk masuk dari

jalan rahasia dibagian tebing

sungai 

"Mudahan-mudahan rencana

Parman berjalan sesuai dengan

rencana maupun ceritanya yang

hampir-hampir tak masuk akal

itu," doa Sunarko dalam hati:

"Kalau semua ini tak benar,

kedudukanku di kantor

benar-benar berada di ujung

tanduk..." 

Di kamar tidurnya, pak lurah

juga menyadari adanya bahaya

yang mengancam, bahaya apa ia

tidak tahu sama sekali. Namun

ia merasa sangat ketakutan. la

meringkuk dalam selimut.

Menggigil kedinginan biarpun

selimut itu tebal dan kamarnya

terang dan hangat. Suara topan

badai menerpa lewat jendela

kaca. Sesekali petir menyambar,

menimbulkan kilatan-kilatan

mengejutkan di luar rumah. Pak

lurah menggerutu. Ia lupa

menutupkan bagian depan

jendela. Tetapi untuk turun dari

tempat tidur, ia sama sekali tak

berani. Satu jam yang lalu, ia

dengar Kardi berlari-lari turun

dari tangga atas seraya

berteriak-teriak ketakutan: 

"Tingkap terbuka. Pakunya

lepas! Tetapi tak ada orang...!" 

Sedang meringkuk ketakutan

pulakah si Kardi di kamarnya"

Sialan! Ia seharusnya

menemaniku, pikir pak lurah.

Lalu ia beraniberanikan dirinya

turun dari tempat tidur. Lututnya

gemetar. Ia paksakan berjalan.

Gontai. 

***

DUA PULUH 

ANGIN DlNGlN berbau hujan

menerpa wajah Pak lurah ketika

pintu kamar tidur ia buka. 

Untuk sesaat, ia tertegun. 

Lalu:

"... Kardi." suaranya lepas. 

Gemetar. 

Angin dingin menerpa lagi. Bau

hujan kian keras. Ada suara

rintikrintik air di lantai ruangan

depan. Pak lurah segera sadar,

kalau pintu depan ternganga.

Diantara rasa takutnya, segera

timbul rasa marah. la berteriak: 

"Kardi keparat! kupecat kau!

Kardi! Kardi! dimana kau?" 

Petir menyambar diluar dengan

tiba-tiba, seolah menjawab

teriakan pak lurah. Cahaya yang

sekilas menyambar ke dalam

memberikan suasana yang kelam

dan pengap. Topan mengguruh

di luar. Tak pernah hujan

sederas ini, pasti sungai di

belakang rumah banjir kembali.

Sawah-sawah akan tergenang

air Termasuk sawah... ah ia tak

perduli apakah sawahnya yang

padinya sudah mulai menguning

akan dilanda air sungai. Yang ia

inginkan 

sekarang ialah menutup pintu

depan yang menyebabkan air

hujan masuk ke dalam rumah.

Setelah itu ia akan memutar

tombol lampu ruangan itu.

Sialan benar, mengapa tombol

itu berada di dekat pintu masuk,

bukan di dekat pintu kamar

tidurnya! 

Pak lurah berjingkat-jingkat

dengan hati hati.

Angin dingin kian menerpa.

Malah air hujanpun mulai

menamparnampar tubuhnya. 

Ia menggigil, dan menggigil

terus.

Dan tiba-tiba pak lurah terpaku

ditempatnya berdiri. Dengan

mata terbeliak, ia menatap

kearah pintu masuk. Petir yang

menyambar sekilas

memperlihatkan bayangan

sesosok tubuh diambang pintu.

Mata pak lurah yang tajam

segera mengenali bayangan

tubuh itu. Bukan Kardi. Sebab

lekak-lekuk tubuh yang sekilas

diterangi kilat itu

memperlihatkan bentuk tubuh

perempuan. 

"Sia" siapa.. kau?" pak lurah

bertanya Serak. 

Sebagai jawaban, petir

menyambar lagi. 

Pak lurah menutup mulut

menahan teriakan kaget yang

mau keluar. Bayangan itu,

biarpun membelakangi cahaya

kilat yang menyambar cuma

beberapa detik, tetapi ia bisa

melihat pakaiannya yang

compang-camping. Setengah

telanjang. Rambutnya tergerai

ditiup angin, berkilau-kilauan

karena basah oleh air hujan, di

matanya pak lurah

membayangkan tidak saja

perempuan itu bertubuh

setengah 

telanjang serta berpukaian

compang camping kehujanan.

Tetapi" luka memar disana sini.

Ada darah. Ya darah. Pak lurah

mencium bau darah! 

Tiba-tiba ia ingin lari. Ingin

menjerit minta tolong. _ 

Tetapi seluruh tubuhnya lumpuh.

Lidahnya 

kelu.

Bayangan itu mulai melangkah.

Masuk. 

Pak lurah mengumpulkan semua

tenangnya. Apa daya, cuma

suara gemetar yang ia peroleh

dan kemudian lepas dari

bibirnya: 

'" kau itu" Lila" 

Disalah satu sudut ruangan itu,

seorang laki-laki yang lain juga

merasakan getar yang amat

_sangat disekujur tubuhnya,

sehingga ia sendiri hampir

berteriak ketakutan. 

Ia adalah pak Angga. Yang

segera bisa menguasai diri.

Benar, ia pernah melihat tubuh

seperti itu telah menjadi mayat,

yang rusak mengerikan. Tubuh

Lila. 

"Ah!" Pak Angga

bersungut-sungut sendirian.

Dalam hati, menekan rasa takut.

'Bodoh bener aku ini. Bukankah

itu tubuh perempuan lain" siapa

namanya kata mereka" Lila Ria"

Tea. Oh. Ya. Aku ingat sekarang.

Dorothea! Seorang juru rawat

rumah sakit. Dikota. Saudara

perempuan Lila dari ibu yang

lain. 0, alangkah miripnya Lila

dan Dorothea. Jadi ia telah

datang tepat pada waktunya,

sesuai dengan yang dijanjikan.

Tetapi mana si Suharja yang

pernah mengaku sebagai polisi

itu" Oh. 

205 

Ya tentu berdiri diluar. Siap

siaga menjaga halhal yang bisa

merusak rencana. Hem pak

lurah. Tak kusangka kau

sebenarnya seorang bajingan

tengik, manusia berjiwa iblis!" 

Dengan dada berdebar, ia

menanti apa yang selanjutnya

akan terjadi. Bayangan tubuh itu

bergerak terus ke depan, mulai

membuka mulut. 

'Mengapa, pak lurah" Takut

padaku?" 

"Tetapi:... tetapi..." 

Terdengar suara mengikik.

Halus Lalu: 

"Aku sudah mati" Ya. Aku

memang sudah mati.. kau ingat,

pak lurah" Kau ingin" Kau yang

telah membunuhnya!" 

Pak lurah ingin pingsan

rasanya. Tetapi tak bisa: la

memprotes dengan keras: 

"Tidak. Tidak benar!" 

"Kau.. kau yang membunuhku!' 

"Lila, aku.. aku tidak bermaksud

membunuhmu. Aku... aku.. "

"Kau Memperkosaku. eh" Mau

minta balas jasa atas kebaikan

kebaikanmu selama suamiku di

penjara eh"' 

"Itu.... salahnya. Mengapa ia

melanggar pantangan jimat,

Sehingga ia tertangkap!"

Bayangan itu terkikik lagi.

Lengking dan keras, Badai

diluar menyambutnya. Petir.

Guntur. Derai hujan. 

"Kau selalu menuduhkan

kesalahan pada orang bukan,

pak lurah" Padahal hasil

rampokan Parman, kau yang

memakannya. Ia berada

dibaWah perintahmu: DibaWah

pengaruh sinar matamu yang

busuk dan berbau iblis 

itu. Sudah kau biarkan ia

menderita dibalik jeruji besi.

mau kau diperkosaiku pula aku.

Isterinya. Manusia apa kau ini,

pak lurah'!" Tak puaskah kau

dengan mencuri mayat-mayat

bayi untuk kau jadikan jimat

pengumpul harta dan.. eh, pak

lurah. Katanya jimat itu bisa

menangkal bahaya. Kini..

kenapa kau takut" Sudah tak

berhasilkah kekuatan jimat dan

pengaruh matamu menolong

dirimu sendiri" Ayo pak lurah.

Tangkaplah aku. Perkosalah aku

seperti dulu kau pernah

mencobanya..."' 

"Tidak.. tidak. Jangan dekati

aku..jangan!" 

'Kok malu-malu. Bukankah kau

yang seratus malam yang lalu

ingin mencicipi kehangatan

tubuhku" Masih ingatkah kau,

pak lurah" Ini malam yang

keseratus. Aku akan membalas

dendam. Sudah kubilang, aku

akan membalaskan sakit hati..." 

'Jangan. Jangan kau ganggu

aku. 0, Lila Jangan! Ampunilah

dosaku. Aku.. aku toh tak jadi

memperkosa kau. Kau lari

keatas. Kau lari. Lila. Kau

lari..." 

"Tetapi kau terus mengejarku!"

ancam Suara bayangan itu

ketus. Lantas ia mengikik" Kau

kejar, bukan" Kau kejar?" 

"Aku bermaksud baik. Lila. Agar

kau... o, salahmu. Mengapa kau

tak mau menuruti kehendakku,

padahal aku ingin

membahagiakanmu. Salahmu

mengapa kau terjun kebawah

sehingga tubuhmu hancur oleh

batu cadas dan kau hanyut

dibawah sungai yang banjir...' 

"Lagi-lagi kau menyalahkan

orang seenak 

perutmu. Kini, terimalah

pembalasanku, pak lurah..." 

Lalu, bersamaan dengan

ancaman itu, bayangan tadi

bergerak lebih dekat Pak lurah

jatuh. Berlutut. Menyembah ; 

"Maafkan aku. Ampuni

dosa-dosaku, Lila Maafkan

aku!"

Dan tiba-tiba pak lurah

berteriak dengan kaget. la

menengadah muka lampu

ruangan itu menyala tiba-tiba.

Terang benderang. Namun

bayangan tubuh yang

mengerikan itu tetap berada

dihadapannya. Setengah

telanjang Rambut basah kuyup

seperti tubuhnya, dari dahi dan

mulutnya mengucur darah

memerah. Perempuan itu

menyeringai... Pak lurah

menggigil, dan kembali

memohon ampun seraya

menyembah.

"Jangan bunuh aku. Lila Jangan

bunuh aku..." 

'Tak ada yang akan

membunuhmu, pak lurah. Kau

ditangkap!" 

Suara yang sangat asing itu

mengejutkan laki-laki tua renta

yang masih bersimpuh di lantai.

Ia menatap liar kesekelilingnya.

Lalu ia lihat dari balik daun

pintu muncul seorang lakilaki

berseragam kepolisian dengan

pangkat Kapten. Dari balik rak

hias muncul pak Angga dan dari

ruangan dalam ia lihat Kardi

melangkah seraya

tersenyum-senyum. Setelah dekat

dengan petugas berseragam itu,

Kardi menggerutu: 

"Bajingan ini hampir-hampir

saja mem

perkosaku. Hiiiii, bisa menjerit

isteriku dirumah bila

kuceritakan..." 

Suara mereka terputus ketika

mendengar detak-detak tongkat

kayu. Mereka menoleh kearah

ruangan dalam: Parman

melangkah terseok seok dengan

kaki sebelah dibantu tongkat

kayu. Mendekati perempuan

yang perlahan lahan tanpa

mereka sadari telah menjauh.

Ketika mereka yang ada

diruangan itu menoleh, mereka

lihat perempuan yang

sebenarnya bertubuh montok

dan berwajah cantik tetapi kini

tampak mengerikan itu, telah

berdiri diundakan anak tangga

menuju ketingkat atas. 

"... kemarilah, kekasih.

Kemarilah" terdengar suara

berbisik dari mulutnya: Parau,

tetapi mesra:

Parman bergerak ke arah

perempuan itu. Menaiki undakan

anak tangga. 

Semua yang ada diruangan itu

merasa heran. Peristiwa yang

mereka lihat, berada diluar

rencana. Tetapi siperempuan

tidak bermain main. Ia terus

naik, diikuti oleh Parman. 

"Sudah kubilang" aku tetap

menunggumu bukan, Parman

sayang'. 

"Ya, sayangku: Kau isteriku

yang setia. Aku datang padamu,

kasih. Datang beserta segenap

cintaku?" 

Sunarkolah yang mula-mula

tersadar. 

Sementara Kardi membelenggu

tangan-tangan pak lurah,

Sunarko berseru memanggil: 

'Thea.. apa.. Ha. Parman.

Kesinilah kalian!" 

Tetapi baik bayangan tubuh itu

maupun

Parman telah menghilang. Yang

terdengar hanya detak-detak

tongkat kayu Parman, menaiki

anak tangga demi anak tangga

dengan susah payah. Semua

yang melihat tak mengerti, dan

tiba-tiba menjadi sangat terkejut

waktu mendengar suara orang

berlari-lari dari luar. Mereka

semua menoleh. Pak Sunarko

berseru ta'jub: 

"Dorothea!" 

Gadis itu berlarian masuk.

Bertanya heran:

"... apa yang terjadi" Mengapa

suasana yang kutemui tidak

sesuai dengan rencana?" 

SUnarko mengerdip-ngerdipkan

mata. Juga Kardi. Juga pak

Angga. Bahkan lurah. 

"Bukankah kau..." Sunarko

bersungut-sungut tak mengerti. 

"Maafkan, pak Narko. Pakaian

yang compang-camping dan

make up untuk darah tertinggal,

sehingga kami kembali kekota

dulu untuk mengambilnya. Tak

kusangka kalau keterlambatan

kami akan..." 

"Sudahlah". Sahut Sunarko."

Semua berhasil sesuai dengan

rencana. Tetapi siapa

perempuan yang tadi muncul di

sini?" 

"Perempuan?" Dorothea

mengernyitkan dahi. 

"Ia... Lila?" pak lurah

bersungut-sungut tiba-tiba.

Wajahnya yang pucat kini

membiru. Biru legam. 

Pucat pulalah wajah Dorothea.

Tanpa berpikir panjang lagi, ia

menguakkan mereka dan

berlari-lari menyongsong

kearah 

anak tangga hingga yang

menuju keteras atas seraya 

berteriak memunggu-manggil: 

"Parman! Parman! Ini aku,

Thea! Parman! Parman!" 

Suara hujan diluar sahut

bersahut dengan suara

Dorothea. Ia baru saja

menginjak anak tangga

terbawah, ketika dari atas

terdengar suara teriakan yang

menyayatkan hati. Suara

Parman. Sunarko, pak Angga

dan Dorothea segera

menghambur menaiki tangga

terus keatas. Hujan menyambut

mereka setiba diteras yang

terbuka. Mereka langsung

berlari kepinggir teras, dan

mencondongkan tubuh

ketembok, memandang ke bawah

dari arah mana teriakan kedua

menggema. Petir menyambar

sedetik. Namun cukup bagi

mereka melihat bayangan tubuh

Parman menghantam batu

cadas, kemudian hanyut

dibawah arus sungai yang deras.

Seketika, Dorothea menjerit lalu

jatuh pingsan. 

Dan semua penduduk desa itu

memuja kebesaran Tuhan, ketika

keesokan harinya mayat Parman

ditemukan tersangkut di atas

pohon dimana dulu tubuh Lila,

isterinya, juga ditemukan sudah

menjadi mayat. Mereka

menguburkan Parman disebelah

isterinya.

Semua orang berdo'a, semoga

suami isteri itu berbahagia disisi

Tuhan"." 



Sampai jumpa di lain kisah ya

!!!

Terimakasih.


                            TAMAT





 

Share:

0 comments:

Posting Komentar