ABDULLAH HARAHAP
JERITAN PINTU KUBUR
Sarana Karya JAKARTA
JERITAN PINTU KUBUR karya
Abdullah Harahap judul asli
Jeritan Pintu Kubur penerbit
Sarana Karya
Hak cipta dilindungi
undang-undang Dilarang
mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit
cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama tokoh, tempat
ataupun peristiwa hanyalah
kebetulan belaka.
***
SATU
Lila BARU saja akan mengetuk,
ketika pintu terbuka.
Sesaat, hati Lila terkesiap,
Dihadapannya berdiri seorang
laki-laki tinggi besar, berkepala
licin bagai tempayan. Tanpa
rambut selembarpun, dan sedikit
berminyak. Di bawah alis yang
berbentuk golok, menyorot
sepasang mata yang berkilat
memandang Lila. Dingin. Dan
tajam menusuk sampai
kesumsum. Seperti disiksa oleh
penyakit sesak nafas, mulutnya
kemudian terbuka melepas suara
yang terengah-engah:
...Nyonya....Lila?"
Agak lama, baru leher Lila yang
kaku, bisa bergerak.
"Ya".
'Masuk!".
Beberapa helai rambut Lila
berkibar di tiup angin malam
yang berhembus kencang .Ia
menggigil. Tertatih-tatih
melangkah kedalam.
Selintas terbayang dibenaknya
betapa tinggi laki-laki itu.
Rambut yang berkibar hanya
sampai dibatas lengan yangjuga
licin tetapi tampak sangat kukuh
itu. Pintu kemudian tertutup
dibelakang Lila. la kini berada
disebuah ruangan yang selebar
kebun di belakang rumahnya
sendiri seperangkatan perabotan
antik sejenak membuat mata
berkilat.
"Duduk".
Tersadar dari kekagumannya
pada isi ruangan itu. Lila
terhenyak diatas sebuah kursi
berpikir dengan jok tebal
berbusa. Betapa kelam
permukaan meja didepan
matanya. Betapa kelam lantai
tegel kelabu di telapak kaki.
Lebih kelam lagi lampu yang
bersinar redup dari balik layon
yang terbuat dari anyaman
bambu dipojok.
Langkah-langkah kaki silelaki
gundul berdetak detak waktu
memasuki sebuah pintu kecil dan
kemudian lenyap meninggalkan
suasana sepi yang mencekik.
Lila menarik nafas. Berat dan
susah. Ada sekali dua ia lewat
dihalaman rumah besar dan
megah ini. Ia tahu betul,
ruangan dimana kini ia duduk
menunggu dengan jantung yang
berdebur, selalu tampak terang
benderang. Tetapi mengapa kini
semua menjadi gelap gulita" O,
lampu di pojok. Hampir-hampir
tak bersinar. .Dan layon itu.
Mengingatkan Lila pada
kematian! la menggigil lagi.
Bagai pernah menderita demam.
Tetapi ia tidak pernah
semenggigil sekarang. Ruangan
rumahkah ini" Atau...bangunan
ditengah-tengah pekuburan"
Pintu kecil tadi terbuka kembali.
Tubuh tinggi besar bagaikan
tumpukan bukit itu, berdiri di
sana.
"Masuk", lagi-lagi ucapan yang
sama
Lila berdiri, Ragu-ragu.
Ragu-ragu pula ia
melangkahkan kaki kesepanjang
ruangan menuju pintu kecil itu.
Rasanya sudah beriburibu
langkah ia lakukan, dan sudah
bermil-mil ia berjalan baru ia
sampai disebelah sana pintu
kecil. Untuk kedua kalinya pula
ia dengar perintah yang sama.
"Duduk!"
Perintah itu datang dari arah
sebuah ranjang besar yang
hampir memenuhi setengah dari
ruangan yang ternyata kamar
tidur, Barulah Lila terjengah.
Firasat buruk yang menyerang
dirinya semenjak meninggalkan
rumah, kini mulai membentuk
sebuah kenyataan yang memang
belum tampak buruknya, tetapi
sudah terasa betapa sangat tidak
enaknya. Letih karena
goncangan perasaan. Bila
kemudian mengambil tempat
duduk disebelah kursi rotan
bersandar tinggi, tak jauh dari
pintu.
Reflex, ia menoleh.
Laki-laki berkepala licin itu
telah menghilang. Dan pintu
tertutup rapat. Hampir-hampir
tidak bertepi, sehingga Lila
berpikir-pikir disebelah mana
letaknya pintu-pintu dari mana
ia tadi masuk. Firasat buruknya
kian menjadi. Namun ia belum
sempat untuk melakukan apalagi
memikirkan sesuatu, terdengar
bunyi derit halus dari arah
ranjang .
Sesosok tubuh kehitaman karena
piyama gunting cina yang
berwarna pekat duduk
mencangkung diatas tempat
tidur. Matanya berkilau
tajam, lurus menelan bulat-bulat
kehadiran perempuan yang
duduk dikursi rotan. Lila jadi
terperangah. ialah kini yang
sesak nafas. Benarbenar sesak
nafas.
"Takut?"
Pertanyaan yang ganjil itu
justru mendatangkan jawaban
yang dikehendaki Lila.
"Saya... pak lurah."
"Kenapa?"
Lila menjilat bibirnya yang
kering kerontang.
Baru kemudian:
"Entah".
'Tak perlu takut". laki-laki
setengah baya diatas ranjang
kemudian duduk di pinggir
tempat tidur. Sepasang kaki
menjuntai, hampirhampir
menyentuh lantai.
'Minum?"
"Suaramu gemetar."
"Takut, pak lurah."
"Sudah kubilang?"
"Mengapa disini" Mengapa
tidak di kamar tamu saja?"
Suara cekakak yang
tertahan-tahan dan sedikit
parau, hampir mencopot jantung
Lila. Ia berpegang ketangan
kursi. berusaha berdiri. Tetapi
dengan susah payah ia sadari
kalau semua telah terlambat.
Sorot mata yang tajam dari
laki-laki di atas tempat tidur,
telah melumpuhkan' seluruh
tenaganya. Ia ingin menjerit.
Menjerit, sekeras-kerasnya.
Tetapi yang keluar cuma
keluhankeluhan pendek, disusul
oleh
IsaK tangis.
Mata Lila yang bundar dan
indah, mulai berlinang
Diantara linangan air matanya
ia lihat lakilaki itu turun dari
atas tempat tidur. Satu-satu
melangkah. Gontai, seperti
orang mabuk. Atau memang
mabuk. Lila menjerit lagi dalam
hati. Dan telinganya semakin
perih oleh suara cekakakan yang
perlahan-lahan berubah jadi
tawa yang ganjil, laki-laki itu
kini berdiri tepat di depannya.
Memandang ke bawah, pada
perempuan yang sudah tinggal
seperti cacing yang terdampar
di laut pasir yang panas oleh
terik matahari.
'...tidakkah kau tahu berterima
kasih. Lila?"
Terengah-engah Lila menyahut:
"Maksud...maksud pak lurah?"
"Janganlah memandangku
seperti itu. Toh aku bukan
setan." '
"Kau memang setan! Setan.
Setaaan!" Lila menjerit
lengking. Namun jeritan itu
cuma menghantam
paru-parunya sendiri.
Menghantam keras sehingga
paru-parunya seperti pecah dan
dada mulai rekah. Ia hampir
pingsan waktu tangan lelaki
setengah baya berpakaian pekat
itu mulai meraba pUndak,
kemudian pipinya. Tanpa bisa di
elakkan sama sekali oleh Lila.
"...kau semakin cantik saja.
Lila," menggeram laki-laki itu.
"Kau sepantasnya menerima
jamahan... tanganku..."
"Pak lurah...pak lurah!"
'Ah. Sudah. Lupakan kalau aku
ini lurah.
Pandanglah aku ini sebagai
laki-laki. Bukankah kau sudah
lama merindukan kehangatan
tubuh seorang laki-laki" Dan
ranjangku...o, sudah lama terasa
amat dinginnya. Lebih dingin
dari udara malam ini, Sebentar
lagi akan hujan. Akan
bertambah dingin..." dan
tiba-tiba saja ia telah merahup
Lila.
Perempuan itu seketika
tersentak.
'Jangan !', keluhnya. Lirih.
Sebuah ciuman mendarat di
bibirnya.
Ganas dan buas. Rakus
menjijikan. Lila ingin muntah.
"Sayangku. O, sambutlah
cintaku. Peluklah aku, Lila.
Peluklah aku?" suara
terengah-engah merayapi cupil
telinganya.
"Saya sudah bersuami, pak
lurah."
'Bertahun-tahun kau
ditinggalkannya, Lila.
Bertahun-tahun aku telah
membantu hidupmu agar tidak
terlantar...o, isilah hatiku yang
sedang kosong. Lila, hangatilah
ranjangku yang dingin!" _ "
Sebuah sentakan yang keras
merobek blouse atas Lila.
Bunyi robekan itu seperti bunyi
petir. Menyambar-nyambar ke
jantung Lila. Ia mulai histeri.
Tangannya mencakar. Kaki
menendangnendang seluruh
tubuhnya seperti
dipatahpatahkan oleh betotan
sepasang tangan yang
melilit-lilit bagaikan ular.
Dengan putus asa. Lila terpekik
tertahan waktu tubuhnya
terangkat kemudian
dihempaskan ke atas ranjang. Ia
berusaha bangkit. Tetapi
laki-laki itu sudah
melompat. Kaki Lila
tercengkeram, ia tarik dengan
sekuat tenaga sambil tangannya
terus memukul-mukul. Pukulan
itu bagaikan cubit cubitan
lembut saja bagi silelaki yang
tertawatawa saja diantara desah
nafasnya yang menggebu-gebu.
"Auuu; auuu! Lila terpekik lagi
waktu roknya yang kemudian
sobek karena sebuah sentakan
yang cepat.
la jadi nekad karena rasa malu.
Kakinya yang masih
tercengkeram. Melipat dengan
tiba-tiba. Di detik berikutnya
terdengar bunyi "duk' yang
keras. Laki-laki itu mengeluh,
kemudian jatuh terhumbalang di
atas lantai, membentur kaki
meja. Dudukan lampu Hotel di
atasnya goncang,
perlahan-lahan jatuh persis di
atas kepala si lelaki.
'Jadah!", ia memaki.
Lampu itu mati. Gelap gulita
seketika.
Lila tak ingin berpikir panjang.
Kesempatan itu ia pergunakan
untuk meluncur dari atas
ranjang. Dengan terantuk-antuk
ia akhirnya mencapai tepi
dinding. Namun suara ribut
yang ia timbulkan memberi
petunjuk bagi si lelaki untuk
mengikuti arah perempuan yang
sedang berjuang membela
kehormatan itu. Karena sudah
terbiasa diam diruangan yang
sama, mata si lelakilah yang
lebih dulu awas mengatasi
kegelapan.
' Dan Lila berhasil mendorong
salah satu bagian dinding yang
ia perkirakan tempatnya
mula-mula masuk. Dinding itu
terbuka tetapi
gelap sekali di dalamnya. Itu.
bukan ruangan duduk. Namun
Lila tidak perduli. la terobos
dengan nekad. la melewati
lorong yang gelap beberapa
langkah, kemudian membentur
anak tangga. Hampir saja Lila
terjatuh. ia terpekik. Dan suara
tertawa halus di belakangnya
mengejar semakin dekat.
Tenang-tenang saja lelaki itu,
seakan-akan ia tahu ia tidak
akan kehilangan mangsanya.
Ketakutan dan keputus asaanlah
yang menolong Lila melampaui
anak tangga demi anak tangga
yang berputar-putar terus ke
atas. Suatu saat ia merasa
kepalanya membentur sesuatu.
Ia benturkan terus. Sesuatu itu
kehempas ke arah luar. Ternyata
bingkai penutup. Lila segera
menghambur ke luar. Dan hujan
deras menyambut
kedatangannya. Sedetik, Lila
menggigil oleh kucuran air
hujan yang membasahi sisa-sisa
pakaian yang melekat
ditubuhnya. Matanya jelalatan
dalam remang-remang malam
berhujan. Ada suara
menderuderu di depan,
datangnya dari arah bawah.
Lila tidak perduli.
Ia berlari sepanjang lantai tak
beratap yang rupanya terras
bagian paling atas dari
bangunan rumah itu.
Dibelakangnya, seorang lelaki
berpakaian pekat tertawa
cekakakan, seolaholah ingin
mengimbangi deru hujan yang
membahana,
"Lari kemana, manisku?", ia
menggeram, dan kembali
mengejar. Lila mencapai pinggir
terras setinggi dada. Nanap, ia
memandang ke
bawah. bagian belakang rumah
itu berdiri di atas pundamen
yang kukuh oleh batu-batu
padas. Samar-samar ia melihat
sungai yang tengah banjir di
bawah. Lila gemelutuk.
Takuttakut, ia membalik.
"Sini, manis. Dingin di sini.
Kembali ya kekamar?", bujuk si
lelaki.
"Cobalah!", Lila mendesis.
"Sini, sayangku. Sini, manisku..."
"Setaaan! Setaaan!, Lila
menjerit. Jeritan yang
bersamaan dengan meledaknya
petir di langit. Dalam kilatan
petir, si lelaki melihat
bagaimana mangsanya berusaha
naik ke pinggir terras, berdiri
sempoyongan sesaat. Disaat
berikutnya terdengar jerit Lila
yang menyayatkan hati" Tubuh
perempuan itu lenyap ditelan
kegelapan. Sesaat sebelum
lenyap, masih sempat Lila
mengutuk:
"Aku akan datang untuk
membalasmu!"
***
DUA
PARMAN JATUH terduduk
disisi makam.
"Aku akan tetap setia. kang.
Sampai matipun, kau akan tetap
kutunggu!" suara yang
tersendat-sendat itu seolah-olah
keluar dari timbunan tanah yang
masih kemerah-merahan itu.
Tangis Lila membasahi kemeja
Parman, yang tak berdaya untuk
membujuk isterinya. Tangan
Parman terbelenggu. Betapa
ingin ia memeluk isterinya. Dan
betapa perih terasa dihati
karena keinginan itu berhalang
oleh belenggu besi yang semakin
lama semakin menjepit kedua
pergelangan tangannya. Sakit
sampai ke tulang.
"Aku akan pulang. Lila-ku.
Selama kau masih cinta padaku,
aku akan .pulang sayangku".
itulah kata-kata terakhir yang
bisa diucapkan Parman.
Kemudian, ia cuma bisa
menggigit bibir menahan tangis,
ketika ia diseret oleh dua orang
petugas polisi naik ke atas Jeep
yang terbuka. Di tengah-tengah
goncangan Jeep karena jalan
yang becek dan
berlubanglubang, Parman
melihat Lila semakin jauh, jauh
dan jauh. Akhirnya hanya
merupakan titik kecil
ditengah-tengah kerumunan
penduduk yang menyemut
menyaksikan salah seorang
warganya diangkut pihak
berwajib dengan cap yang
mencoreng muka : perampok.
Manusia-manusia yang
menyemut itu tidak seorangpun
yang memperlihatkan muka
ketika sejam yang lalu Parman
kembali ke kampungnya. Tetapi
ia yakin, dibalik tirai-tirai
jendela atau pintu-pintu yang
setengah terbuka, banyak mata
yang mengintai. Tak ada kata
yang terucap. Tetapi Parman
mendengar suara suara sinis
dihatinya sendiri:
"Perampok itu telah pulang!"
Satu-satunya orang yang
bersedia menyambut
kedatangannya, hanyalah
mertua perempuannya. Janda
tua yang telah pikun -itu _
menerima kedatangan Parman
dipintu rumah mereka yang
hampir ambruk.
"Mana Lila, bu?" tanya Parman
dengan jantung berdegup, sadar
akan pandangan mata yang
menjorok, di wajah yang pikun
itu.
"Kata mereka Lila telah
mati.-Tetapi Parman tidak
percaya seujung rambutpun
juga. Sampai ia tiba dimakam
dan membaca papan nisan yang
bertuliskan nama Lila, hari lahir
dan hari matinya. Lama sekali
Parman bersimpuh memandangi
papan nisan itu. Lila akan
menunggu katanya. Sampai mati
Lila akan menunggu. Sampai
mati. Dan kini Lila telah" mati.
"Tidak!", Parman menjerit
***
Ia peluk nisan papan itu. Ia
rahup dan cakar tanah yang
masih memerah di dekat
kakinya. Ia ingin membongkar
makam itu sampai kedasar
dengan seluruh kekuatannya. Ia
ingin melihat Lila. Memandangi
wajah isterinya. Apakah
tersenyum melihat kedatangan
Parman. Ataukah menangis
terisak-isak. seperti ketika ia
melepas kepergian Parman.
Parman menjerit-jerit seperti
orang gila memanggil-manggil
nama isterinya sambil terus
menggali dengan tangannya.
"Hentikan, Parman!"
Suara yang berat dan
memerintah itu, seketika
menyadarkan Parman. Ia
menoleh. Seorang laki-laki tua
berkain sarung berdiri
didekatnya. Parman
mengharapkan senyum sympathi
atau wajah yang turut berduka.
Tetapi didepannya ia cuma
mendapatkan wajah yang dingin
serta senyum yang teramat kaku
"Percuma kau bongkar kuburan
isterimu," kata orang itu.
'....tetapi Lila....Lila...'
"Lila sudah mati".
"Aku tak percaya, pak Angga.
Tak percaya.
"Kami sendiri yang menemukan
mayatnya disungai. Kami sendiri
pula yang memakamkannya?"
Parman terhenyak. Wajahnya
seketika ternganga.
"Di sungai?". Ia mendesis, "Ia
kalian temukan di sungai?"
"Ya"
"Tidak. Tak mungkin Lila
membUnuh diri!".
Laki-laki bersarung itu cuma
angkat bahu.
"Pokoknya mayatnya kami
temukan di sungai'.
Laki-laki itu mengajak Parman
kepinggir sungai, beberapa
ratus meter dari pemakaman.
Disebidang tanah berawa
dengan akar-akar pepohonan
yang telah ratusan tahun
umurnya menyuntai disana sini,
mereka berhenti.
"Akar-akar ini yang menahan
tubuh Lila", kata orang itu.
Parman menggigil.
'Siapa...siapa yang
membunuhnya?"
"Membunuh" Tak seorangpun
yang membunuhnya. Ia memang
ditemukan dalam keadaan
terluka. Pemeriksa mengatakan
Lila terjatuh dari tempat
ketinggian dan membentur
batu-batu cadas. Jatuh kesungai.
Hanyut sampai kemari...".
'kata Mertuaku, Lila ditemukan
dalam keadaan setengah
telanjang," Parman menggeram
"Tidak seorangpun yang
memperkosanya!"
"Pak Angga bisa membuktikan?"
Parman menjadi marah.
Laki-laki tua yang dipanggil pak
Angga itu pun ikut marah.
Matanya menatap tajam pada
Parman.
"Kampung ini masyhur karena
kesuburan dan keramah
tamahan penduduknya Parman
.Satu-satunya orang yang
mencemarkan nama baik
kampung ini, hanya kau.
Ingatlah itu!"
Parman terdiam. Namun sinar
matanya
tidak menerima tuduhan itu.
"Kau akan lama disini?", tanya
pak Angga setelah mereka
terdiam.
"Aku telah berjanji untuk selalu
didekat isteriku bila aku _
kembali," rungut Parman. Lirih.
"Lila telah mati".
"Aku tak akan
meninggalkannya!"
Pak Angga menelan ludah.
"Sebagai ketua erka', katanya
hati-hati, "Aku cuma ingin
menyampaikan keinginan
penduduk. Mereka tak ingin
kampung ini kembali tercemar.
Parman gemetar. Kedua telapak
tangannya mengepal.
"Aku telah berjanji pada Lila
untuk hidup secara baik-baik."
"Lila telah mati'.
'Jangan ulang-ulangi kalimat itu
pak Angga. Bagiku, Lila tidak
mati, Tidak pernah mati!"
"Lila telah mati! Tak ada yang
membutuhkanmu lagi
dikampung ini!"
"Bapak mengusir?"
"Terserah anggapanmu".
Lantas, laki-laki tua itu
nyelonong pergi.
Lama Parman terpaku
ditempatnya berdiri. Ia tidak
perduli pada ketua erka. Ia tidak
perduli apa kata dan keinginan
tetangganya. Dimatanya, cuma
terlukis akar-akar pohon
dirawa-rawa yang menjulur
sebagian ketengah sungai.
Diantara akar-akar pohon itu
mereka konon menemukan tubuh
Lila. Terbuka. tetapi
kata mereka bukan terbunuh.
Hampir telanjang, tetapi kata
mereka bukan karena diperkosa.
"Aku cinta padamu Lila", ia
bergumam Parau. Setengah
menangis. "Aku akan ikut
kemanapun kau pergi. Tetapi
aku harus tahu. mengapa kau
mesti pergi begitu saja, tanpa
menungguku seperti yang telah
kau janjikan!".
Parman kemudian kembali ke
makam isterinya.
Tanah yang tidak karuan lagi
bentuknya karena habis ia
bongkar tadi, ia betulkan dengan
hati-hati dan penuh kasih
sayang. Setelah itu, ia mendekap
lantas mencium papan nisan
isterinya. Lalu duduk
mencangkung, menatap lurus
kekepala makam. Matanya tidak
berkedip. Tubuhnya tidak
bergerak-gerak. Ia tidak perduli
pada malam yang telah mulai
datang. Pada kesepian yang
mencekam di kuburan. Pada
angin yang enggan bertiup
seperti keengganan manusia
untuk diam ditengah-tengah
kuburan.
***
KABUT menyelimuti bumi ketika
sesosok bayangan menyelinap
memasuki pagar bambu sebuah
halaman'rumah yang besar dan
terletak didaerah tertinggi
kampung yang sepi itu.
Beberapa saat bayangan itu
termangu-mangu memandangi
rumah didepannya. Seperti
biasa, jendela kaca bentuk
modern dibagian depan tertutup
oleh tirai tipis sehingga cahaya
yang terang benderang dari
dalam membias keluar.
Seperangkatan perabotan antik
menggeletak diam-diam
dibeberapa bagian ruangan.
Sesosok tubuh tadi hati-hati
berjalan di antara pohon jambu
dan rambutan sepanjang jalan
berbatu kerikil sampai ke pintu
besar berwarna hitam pekat.
Bunyi kerikil terinjak ditelan
oleh angin yang
mendesau-desau. Daundaun tua
berguguran kebumi, diantara
kakikaki yang terus melangkah
kepintu. Tiba disana, sesosok
tubuh itu kembali termangu
mangu. Kepalanya berputar
kesana kemari dengan mata
yang jelalatan mengintai.
Merasa aman, ia kemudian
mengetuk pintu hati-hati dengan
ketukan yang berirama.
Kemudian diam menanti. Tak
lama, pintu terbuka. Sedikit tapi.
Sebentuk wajah yang berbentuk
segi empat dengan kepala yang
licin tanpa sehelai rambut.
Tersembul dari sela-sela daun
pintu.
"Siapa" terdengar suaranya
yang berat.
'PARMAN"
Daun pintu kemudian
dilebarkan.
Parman masuk
Mau. apa?" tanya laki-laki
berkepala licin dan bertubuh
tinggi besar itu. setelah lebih
dulu nenutupkan pintu
'Mana pak lurah'"
"Tidur"
'Bangunkan
"Tetapi
Bangunkan. Bejo"
Laki-laki besar yang dipanggil
Bejo itu, sesaat ragu-ragu.
Matanya penuh selidik di bawah
alis berbentuk golok dan segera
bertemu de
ngan sepasang mata Parman
yang tegang, dingin tetapi penuh
ancaman. Dalam hati Bejo
berpikir cepat. Dengan mudah
akan ia taklukkan si Parman ini
dan lemparkan keluar. Tetapi
Parman kelihatannya nekad.
Bukan kekalahan yang ia
takutkan. Akan tetapi sesuatu
yang bersirat dibalik sinar mata
Parman. Dan itu berarti
ancaman bagi kedudukan
majikannya.
Enggan, Bejo berjalan kepintu
kecil.
ia ketuk. Sekali. Dua kali. Tiga.
Empat.
Bejo hampir mengundurkan
niatnya ketika pintu itu terbuka
diiringi suara yang malas:
"Ada apa, Bejo" Tengah malam
inikau?"
Suara itu mendadak sontak
berhenti setelah melihat
kehadiran laki-laki lain di
belakang Bejo. Sesaat, ia
menggeleng-gelengkan kepala
Kemudian mengkucek-kucek
mata. Tetapi dilihatnya tidak
berubah. Seorang laki-laki lain
dibelakang Bejo.
Pak Lurah perlahan-lahan
tersenyum
"Parman" Kapan pulang"
"Tadi siang".
Keduanya kemudian berjabatan
tangan. Parman heran, jabatan
pak lurah kaku dan dingin.
Namun diam-diam ia mengerti.
Mungkin kedatangannya bisa
berakibat lain pada pak lurah.
Setidak-tidaknya hanyalah
Parmanlah satu satunya setelah
Bejo siapa ada orang lain yang'
sebenarnya ikut mencemarkan
nama baik kampung mereka
selama ini.
'Duduk. Duduklah. Cepat juga
kau keluar
dari penjara", kata pak lurah
tersendat-sendat. seraya
menyeret Parman untuk duduk
diruang tamu.
Di belakang mereka, Bejo
pelan-pelan menghilang.
'Apa maumu, Parman"!"
Parman menatap langsung
kemata pak lurah tajam.
"... kukira bapak ingin berterima
kasih", katanya.
Parau. Pak lurah tertawa. Kecil
"Jadi itu yang kau inginkan.
Terima kasih. Parman. Kau
benar-benar seorang sahabat
yang kuat rasa setia kawannya."
Tetapi orang-orang kampung tak
lagi bersahabat padaku".
"Oh"'
"Pak Angga mengusirku pergi".
"Ooo".
Mata Parman menyipit Pak
Lurah cuma nengatakan. "Ooo"
saja. Demikian tenang. Tanpa
ekpressi. Namun lagi-lagi
Parman hanya bisa menelan
ludah. Sebagai ketua kampung,
tentu saja laki-laki setengah
baya didepannya telah
mengetahui apa keinginan
masyarakat yang berada
dibawah perlindungannya.
Tetapi bukankah pak lurah juga
harus memandang Parman
sebagai salah seorang anggota
masyarakat itu"
Setidak-tidaknya, seperti yang
telah ia katakan Seorang
sahabat! Yang tahu rasa setia
kawan!
?"aku mohon pertolongan
bapak", kata Parman tak
bersemangat.
"O. tentu. Tentu. Sebagai
seorang sahabat, aku akan
menolongmu. Hanya, sampai
dimana kemampuanku untuk
menolong. Berapa kau perlukan
uang?"
Parman menggigit bibir.
Hatinya terasa amat sakit.
"Aku akan menetap di kampung
ini", katanya.
'O, Lantas?"
"Aku tak butuh uang. Selama
dipenjara aku dipekerjakan di
bengkel. Kelakuanku baik. Hasil
kerjaku di bengkel tidak
seberapa tetapi kepala
personalia penjara kemudian
memperkenalkan aku pada salah
seorang temannya di luar
penjara. Tentu saja setelah aku
dibebaskan. Temannya itu
memberi pekerjaan ' padaku;
Hasilnya kukumpulkan, setelah
kurasa cukup, aku minta
berhenti. lantas kembali kesini.
Tetapi kudapati, Lila telah
mati."
Wajah pak lurah agak pucat
tiba-tiba.
Parman heran.
"Ya, ya... Lila kami temukan
tersangkut di pinggir sungai.
Perempuan yang malang.
Terimalah bela sungkawaku,
Parman," kata pak lurah
terburu-buru.
"Jadi kau akan menetap di sini?"
Parman mengangguk.
"Baiklah. Besok akan
kutanyakan pendapat pak
Angga".
'Jangan tanyakan. Tetapi
tentukan!"
"Tetapi mereka semua.
Parman...'
"Bapak lurah disini. Selama
bertahun-tahun tidak
seorangpun penduduk yang
berani menghitamkan apa yang
kata bapak putih."
Pak lurah menelan ludah.
"Baiklah," katanya hambar...
Besok akan kutemui er-ka dan
erte. Setelah itu aku akan
kerumahmu. Tunggu saja
disana. Ingat jangan
kemana-mana."
Parman lantas berdiri.
Tetapi sebelum keluar. Ia
memutar tubuh.
"Saya juga berterima kasih,"
katanya "Kata mertuaku, selama
aku di penjara ia dan anaknya
Lila. Selalu memperoleh
bantuan keuangan dari bapak."
Pak lurah tertawa.
"Ah. Itu belum seberapa,
Parman. Di banding dengan
kekuatan mentalmu untuk
menutup mulut tidak membuka
rahasiaku, bantuanku itu
benar-benar tidak berarti
apa-apa..."
"Aku menutup mulut karena aku
harus pikirkan isteri dan
_mertuaku. Bapak tidak ikut
masuk penjara, berarti Lila dan
ibunya tidak hidup sengsara!"
Pak lurah terdiam.
Dan Parman membuka pintu.
Keluar, lalu menutupkan pintu
dengan keras. Berdentam
bUnyinya. Pak lurah pucat.
Beberapa saat ia tercenung
ditempat duduknya. Ia menyulut
sebatang cerutu. Dihisapnya
berulang-ulang. Dalam,
Asapnya kemudian ia hembus.
Berkepul-kepul Naik ke
langit-langit ruangan. la agak
gemetar ketika berdiri dan
masuk kembali
ke kamar tidurnya. la mau naik
ke atas ranjangnya yang besar
dan lebar, tetapi tak jadi. Angin
dingin meniup dari samping.
Laki-laki itu menoleh.
Ternyata salah satu bagian
dinding terbuka. Gelap di
dalamnya. Pak lurah terpaku
sesaat. Angin dingin merembes
keras dari bagian dinding yang
terbuka itu. Mulutnya terbuka.
Maksud memanggil Bejo. Tapi
tak jadi. Ah, mengapa hal sepele
begitu harus ia perintahkan
pada satu-satunya pelayan dan
temannya di rumah ini"
Ia lantas berjalan ke pintu itu.
Bermaksud menutupkannya.
Namun, lagilagi ia tertegun.
Tidak mungkin ada angin yang
masuk kedalam, kalau tidak
tingkap penutup di bagian atas,
terbuka.
"Sialan?" ia memaki. "Mengapa
pula si Bejo tidak
menutupkannya sejak tadi-tadi?"
Seraya menggerutu, ia kemudian
berjalan memasuki lorong
sempit dan pendek di balik pintu
itu. Dengan hati-hati ia
melangkah, menaiki anak tangga
demi anak tangga yang
berputar-putar sampai ke bagian
atas. Akhirnya ia tiba di terras
paling atas dari rumahnya. Di
luar tenang, tetapi angin betapa
dinginnya. Kabut tipis menutupi
pandangan matanya. Namun
setelah lama memperhatikan. ia
tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan.
Ia kembali turun. Dan
bermaksud menutupkan kembali
tingkat di atas tangga ketika
terdengar sebuah jerit yang
menyayat hati.
***
Di BAWAH di luar rumah
parman juga mendengar Jeritan
itu. ia tertegun, diam
mendengarkan kemudian berlari
mengikuti arah jeritan tadi
menghilang. Beberapa kali ia ter
perosok pada lumpur dan
hampir membentur
cabang-batang pepohonan,
sebelum ia mencapai pinggir
tebing di bagian belakang
rumah pak lurah Sampai di
sana, ia berhenti dengan nafas
tersengal-sengal .Memandamg
dengan teliti ke arah anak
sungai.
Ketika itu, sungai telah surut.
Air mengalir dengan tenangnya,
menimbulkan suara gemericik
halus menerpa batu-batu yang
menyembul di beberapa bagian
sungai. Kabut telah menipis. dan
bulan pucat di langit, menerangi
tempat itu dengan cahaya yang
samar-samar. Tetapi Parman
tidak melihat seseorangpun
juga,dia tidak lagi mendengar
jeritan yang menyayatkan hati
tadi. Tetapi ia pasti. Ada
seseorang yang menjerit. Orang
itu perempuan. Berdegup
jantung hati Parman setelah
mengingat-ingat ia seperti. ia
seperti mengenal suara jeritan
itu.
"...Lila', ia mendesah.
"Lilaaaa!". kemudian ia
berteriak.
Suaranya memecah disekitar
tempat itu bergaung
kebukit-bukit di kejauhan
kemudian" Kembali dengan
suara mengaung ditelinganya.
"Lila-ku," Parman berbisik. lirih
dan sakit.
Seperti ditarik oleh tenaga gaib,
ia melangkah menuruni tebing.
Tetapi karena curam dan licin
bekas hujan renyai-renyai siang
harinya, ia jatuh bergulingan ke
bawah. Untungnya. langsung
tercebur dalam genangan air
berlumpur, hanya beberapa inci
dari sebuah batu besar
, dan runcing di
pinggir-pinggirnya. Dengan
hati. hati Parman naik ke atas
batu itu. Tubuhnya menggigil
kedinginan, dari sana ia
kemudian menatap ke hilir.
Sungai itu berbelok sekitar tiga
ratus meter di sebelah sana. Di
ujung belokan itulah ia dengar
ditemukan mayat
isterinya tersangkut. . "0,
Lila-ku," ia berbisik lagi. "Kau
mau menuntunku bukan ?"
Mulutnya tersenyum. Lembut
dan mesra.
Kemudian ia merangkak ke tepi.
Sampai di sana,
matanya'mencari-cari. Ia sudah
terbiasa oleh kegelapan. Kata
mereka Lila meninggal
seminggu yang lalu. Amat sukar
baginya mencari jejak, namun
hatinya yakin ia akan
menemukan sesuatu petunjuk.
Entah apa. tetapi ia pasti
menemukannya.
"Dengan bantuanmu, Lilaku"
gumamnya.
Berulang kali' ia berjongkok,
berjalan. berjongkok lagi,
berjalan dengan mata mencari
cari sepanjang pinggiran
sungai, dengan tubuh ' basah
oleh keringat ia sampai ditempat
di mana ia dan pak Angga tadi
sore berdiri. Sepanjang tiga '
ratus meter mencari tidak ia
temukan sesuatu apapun.
Parman tidak kalah semangat .
ia cinta pada Lila dan penduduk
toh akan
mengusirnya lambat atau cepat.
Hati kecilnya mengatakan tipis
sekali harapan ia dapat bantuan
dari pak lurah....
Ha! pak lurah!
Mengapa ia tidak coba mencari
mulai dari arah sana ke hulu"
Bukankah jeritan itu ia dengar
di bagian sana" Jeritan-Jeritan
siapa" Memang wanita, Lilakah"
Tetapi Lila sudah mati seminggu
yang lalu lantas jeritan siapakah
yang ia dengar tadi" Ataukah
hanya hallusasinasinya saja"
"Persetan". ia memaki. "Biar
hallusinasi, kalau itu jerit arwah
isteriku, aku tak perduli!"
Atau, siapa tahu kalau ia bisa
menolong seseorang yang saat
itu membutuhkan bala bantuan"
_
Dengan
kemungkinan-kemungkinan yang
simpang siur itu, ia kembali ke
tempat di mana tadi ia berdiri.
Tetapi tepat di puncak batu
besar berujung runcing. di mana
lumpur yang memercik dari
pakaiannya yang basah terjatuh
kesana, masih membekas. Pada
saat itu, hari sudah menjelang
subuh. Kokok ayam mulai
bersahut-sahutan dari arah
kampung, dan bulan pucat
semakin pucat, namun cahaya
subuh yang remang-remang
semakin memperjelas
pandangan matanya.
Parman menatap jauh ke hulu.
Tetap saja ia tidak melihat
seseorang atau sesuatu yang
mencurigakan. Agak kecewa, ia
tengadah. Betapa perih
matanya. Dan tiba-tiba ia
tertegun. Diam.
karena tengadah. matanya telah
menangkap sesuatu yang menari
di tebing batu yang sekaligus
menjadi pundamen yang kukuh
dari bagian belakang rumah pak
lurah yang bertingkat. disalah
satu ujung batu tebing,
tersangkut secarik kain yang
warnanya sudah tidak karuan
hanya bisa dilihat oleh orang
bermata tajam.
Dalam sedetik. Parman telah
terjun ke sungai.
Ia berenang ke bagian yang
dalam, kemudian menepi persis
dibagian bawah tebing
pundamen rumah orang
kampung yang paling terhormat
itu. Dengan susah payah ia
merangkak memanjat tebing
yang curam itu
dengan_mengandalkan
ujung-ujung batu cadas yang
tersembul dari tembok tebing.
Ia sudah kepayahan ketika tiba
dibagian mana carikan kain tadi
tersangkut. Ternyata bukan pada
ujung cadas, melainkan pada
ujung sebuah kayu bekas akar
pohon yang patah.
Setelah memasukkan benda itu
ke balik kemejanya, ia tidak lagi
merayap turun. Melainkan,
mendoyongkan tubuh sedikit ke
depan, kemudian terjun ke
bawah. Tubuhnya mencebur di
bagian yang dalam. Ia biarkan
dirinya hanyut di bawa air. dan
kemudian tidak jauh dari tempat
mandi kaum wanita ia kemudian
merangkak ketepi. Beberapa
menit ia duduk melepas lelah.
Setelah itu berjalan menuju ke
rumah. Disana, Benda yang ia
temukan ia dekatkan pada
lampu. Benda itu ternyata
sebuah beha
"Kutang. Lila!". sungutnya
dengan wajah pucat
***
DI RUMAHNYA, pak lurah
meluncur menuruni tangga
kemudian bergegas memanggil
manggil pelayannya.
"Tutupkan tingkap atas,
bangsat!', ia memaki kalang
kabut. Terheran-heran. Bejo
naik juga ke atas, menutupkan
tingkap yang terbuka dan
kembali ke bawah, disana ia
lihat majikannya meringkuk di
tempat tidur. Seluruh tubuhnya
terbenam dalam selimut yang
tebal. Namun jelas terlihat
bagaimana tubuh pak lurah
gemetar hebat. dan suaranya
menggigil seperti orang di
jangkiti malaria.
***
TIGA
PARMAN BERDIRI tegak
dipekarangan rumah pak lurah.
Seluruh wajah sampai
Ketelinganya merah padam.
"Pak lurah !", ia berteriak
memanggil .
Suara teriakannya yang keras
melengking seketika
memecahkan kesepian subuh
hari itu. Beberapa orang
penduduk yang masih enggan
bangun karena udara yang
dingin, mau tak mau terloncat
dari tempat tidur kemudian
berlari keluar rumah. Atau
memperhatikan dari balik pintu.
Tak sedikit pula yang mengintai
dari jendela.
"Pak lurah! Keluar kau, laki-laki
jahanam!"
Tak terdengar sahutan.
Penduduk yang memandang,
jadi penasaran. Ada apa
pagi-pagi bekas perampok itu
memanggil-manggil lurah
mereka" Sesubuh ini pula lagi.
Hari masih berkabut. Alangkah
dinginnya. Uap panas yang
membara hanya bergejolak
dalam diri satu orang. Parman,
yang berdiri mengkangkangkan
kaki di halaman rumah pak
lurah.
Ia kemudian menyambar sebuah
batu besar.
Mata semua orang terbeliak.
Batu itu melayang di udara,
menghempas dengan keras di
jendela rumah pak lurah. Bidang
kaca berwarna gelap dari luar
terang dari dalam, yang
termodern dan termegah di
kampung itu, seketika pecah
berantakan mengiringi suara
yang gegap gempita dari batu
besar yang kemudian
menggelinding di ruang tamu,
menghantam apa saja yang ada
di dalam.
Hanya orang yang bertenaga
dalam yang tinggi yang bisa
melakukan hal itu. Namun
Parman bukanlah seorang
jagoan. Tenaganya mendapat
dorongan dari amarah dan
kebencian yang meluap-luap.
Suara yang hiruk pikuk itu,
selama beberapa saat berikutnya
digantikan oleh kesepian yang
menyentak. Bahkan ayam yang
tadi ribut berkokok maupun
berkotek, pada bungkam. Sedang
burungburung yang bercuit
bersahut-sahutan di pepohonan,
tidak ada lagi yang berani
bernyanyi. Semua diam. Semua
tegang. Semua menunggu.
Tetapi tak lama.
Seorang keluar dari pintu besar
hitam di bagian samping rumah.
Ia bukan pak lurah. Melainkan
Bejo, yang melangkah tegap
mendatangi Parman. Yang di
datangi diam tidak bergerak,
sementara mukanya yang merah
berubah semakin kelabu.
"...mau apa kau?", geram Bejo.
Parman meludah.
"Aku tidak membutuhkan kau.
Bejo, aku Panggil majikanmu "
"la tidur."
Parman tertawa.
"Kalau tak salah, batu yang
kulemparkan juga mengenai
pintu kamar tidurnya Tak
beranikah ia bangun untuk
menghadapi tangan salah
Seorang penduduknya?"
"Jangan menghina!"
"Majikanmu memang hina.
Seorang lakilaki bi-sex,
berpelayankan seorang laki-laki
homo sex. Panggil keluar pak
lurah. dan kau cari saja laki-laki
lain untuk jadi mainanmu!"
Kepala yang gundul licin itu,
berkilau kemerah-merahan.
"Haram jadah!", makinya dan
meninju kedepan Parman yang
sudah tahu akan di hadapkan
pada pelayan itu mengelak
dengan cepat. Demikian cepat
dan demikian tiba-tiba. sehingga
pelayan yang sedang diamuk
amarah itu terdorong kedepan.
Tubuhnya tidak bisa ia imbangi
lagi. Terdengar suara berdebuk
yang riuh diatas tanah berkerikil
.Bejo mengaduh kesakitan.
Dengan sigap ia bangkit lagi,
tetapi Parman sudah maju ke
depan. Cepat sekali.
"Aku sudah banyak latihan
dipenjara, Bejo", bentaknya
mengiringi hantaman lutut yang
deras kedagu Bejo. Pelayan itu
terdongak, lantas terhempas
kebelakang oleh sesudah tinju
Parman yang tubuhnya jauh
lebih kecil dari Bejo. Kekuatan
yang membahana dibalik tubuh
yang besar dan perkasa itu
ternyata tidak dibarengi dengan
kelihaian otak dan pengalaman.
Selama bertahun-tahun bekerja
dengan
pak lurah, tidak seorangpun
yang pernah menjamah tubuh
Bejo. Karena tidak punya
urusan. Kalaupun ada, karena
tidak punya keberanian!
Sekali dua ia dapat pula
menyarangkan pukulannya
ketubuh Parman sehingga
pembuat gaduh disubuh itu
beberapa kali sempat
terbanting-banting. Tetapi
pengalaman sebagai seorang
perampok dan bekas narapidana
menguntungkan baginya. Ia
hanya perlu mengelak dan
mengelak sambil melayangkan
pukulanpukulan berbahaya
sehingga Bejo akhirnya
terhempas kandas kelelahan.
Tidak ada luka-luka atau biru
lembam bekas pukulan di wajah
maupun tubuhnya. Sebaliknya
dengan Parman. Ia masih bisa
tegak memandangi lawannya
yang menggeliat di tanah.
Namun hidung Parman
berdarah, dan sebelah matanya
membiru.
"Sudah", maki Parman.
Tersenggal senggal. "Sekarang
panggil! keluar majikanmu yang
berkutuk itu!"
Bejo mengumpat-umpat. Namun
tidak kuasa berdiri.
Terdengar tawa parau dari
mulut Parman. Lantas ia
berjalan tertatih-tatih kearah
pintu rumah yang terbuka. Ia
baru saja menginjak lantai
terras ketika beberapa orang
penduduk meloncat keluar dari
rumah dan berlari memasuki
halaman rumah pak lurah.
"Tahan, dia!" seseorang
berseru.
Parman tertegun.
Waktu ia membalikkan tubuh. ia
lihat belasan orang telah
mengepungnya. Ia menyeringai
Kesal dan marah.
"Mau apa kalian?"
pak Angga yang berdiri paling
depan. meludah.
"Jangan sekali-kali kau jamah
tubuh pak lurah!" umpatnya.
Mata Parman menyipit.
"Kenapa pula ia harus kalian
bela?"
"Terkutuk. Sudah tahu diri bekas
perampok, masih menghina
orang-orang terhormat"
"Terhormat?", Parman tertawa
berkakakan. "Pak lurah yang
pengecut dan tidak berani
memperlihatkan muka itu. kalian
katakan terhormat?"
Pantas, sambil mencerca begitu
Parman mengeluarkan kutang
perempuan yang lusuh dari balik
kemejanya yang basah oleh
keringat.
"Kalian lihat!", ia menggeram.
Matanya berkilat memandangi
orang-orang yang pernah
menjadi tetangga-tetangga
baiknya tetapi kini mengepung
untuk mengeroyoknya
"...ini kutang isteriku. Kutang
Lila' Kalian dengar" ini kutang
Lila!
Semua orang terdiam seketika
Semua mata, membulet melihat
kutang lusuh ditangan Parman.
Pak Angga batuk-batuk kecil
"Apa hubungan kutang itu
dengan kegaduhan yang kau
buat " "tanyanya
"Kutang ini tersangkut ditebing
belakang mmah ini!".
"Lantas?"
Mata Parman merah menahan
marah dan kesal.
"Bodoh!". gerutunya. Tak
sabar... ltu artinya, isteriku jatuh
atau dijatuhkan orang dari
terras belakang dibagian atas
rumah ini"
"Tak mungkin.". beberapa mulut
menggumam.
"Mengapa tidak" Apa kalian
pikir Lila merangkak dulu dari
sungai, naik ketebing baru
menjatuhkan diri?"
"Kau menghasut!"
"Aku mengemukakan fakta!"
"Kau menghasut. Karena kau
mau di usir dari kampung ini
dan pak lurah tidak berdaya
menghadapi keinginan seluruh
penduduk, kau lantas
menghasutnya. Orang haram.
Perampok. Buangan. Mana kami
mau percaya pada
ucapan-ucapan kotor seseorang
yang menggerutu tak
berkeputusan. "Kau hina orang
paling terhormat dan budiman
dikampung ini. Bertahun tahun
ia jadi lurah disini. Tanpa cacat
tanpa cela.
Bertahun-tahun ia
mengeluarkan uang untuk
mendirikan sekolah.
Membangun madrasah.
Memperbesar mesjid.
Menyumbang penduduk yang
tidak mampu. Orang'sebaik itu,
kau tuduh pembunuh dan
pemerkosa?"
Suara-suara mengumpat
berkecamuk di sekeliling
Parman.
"Kekayaan pak lurah didapat
dari merampok!", ia berteriak
mengatasi suara berkecamuk itu.
"Ia yang membiayaiku kesana
kemari dari
tahun ketahun. hasil usahaku
sebagian besar ia ambil untuk
dirinya sendiri. Apa yang ia
sumbangkan pada kalian, hanya
satu dua sen dari kerja sama
kami!",
"Puih !", pak Angga meludah.
Mukanya merah padam pula.
"Ia sudah semakin menghasut.
anak-anak. Usir dia dari
kampung ini!"
Hanya dalam beberapa menit
kekacauan itu menjadi reda.
Perlawanan Parman yang sudah
gelap mata, toh tidak sebanding
dengan amukan belasan laki-laki
yang ganti berganti menghantam
serta menghambat langkah
tubuhnya kesana kemari.
Pakaiannya sudah robekrobek
dan disana sini berlumur darah
sementara mukanya sudah mulai
tidak berbentuk. Dalam hati ia
memangggil nama isterinya
Mengeluh:
"Akan matikah aku sekarang.
Lila?".
***
PARMAN tidak mati. Ia hanya
hampir mati, ketika terdengar
suara pak lurah yang keras
tetapi lembut berwibawa:
"Sudahlah, saudara-saudara!"
Terdengar suara-suara nafas
lelah. Semua mata memandang
ke pintu. Di sana, pak lurah
berdiri tenang. Bersandar ke
bendul pintu .Wajahnya pucat,
tetapi mulutnya tersenyum. Ia
mengenakan kain sarung dan
berpeci.
"...aku sedang sembahyang
subuh ketika
ribut-ribut ini terjadi," katanya
dengan tenang Tenang sekali.
"Barusan sempat kudengar apa
yang dikatakan oleh Parman.
Percayakah kalian?"
"Tidak. Tidak. Tak mungkin," ia
dengar suara-suara bergumam.
Aku tahu kalian tidak percaya.
Kasihan anak malang itu.
Mungkin karena dipenjara, ia
shock. Dan setelah isterinya
mati. pikirannya jadi engga
karuan. Ia mengatakan yang
bukan-bukan. Harap kalian
maklumi hal itu,
saudara-saudara. Hentikan
kegaduhan ini. Aku tak mau
salah seorang pendudukpun
tangannya dikotori oleh darah.
Kalian tidak boleh jadi
pembunuh!"
Semua diam. Terpekur. Bahkan
ada yang menjadi malu.
Banyak orang telah keluar dari
rumah.
Berkerumun di depan pagar pak
lurah. Ayam-ayam sudah
bertaburan di sana sini. Burung
telah kembali bernyanyi. Seekor
kambing mengembik. Dan
beberapa ekor kerbau melenguh
di gelandang oleh seorang anak
kecil.
"Sekarang begini," melanjutkan
pak lurah. "Keinginan kalian
untuk mengusir Parman, apa
boleh buat Terpaksa dengan
berat hati kukabulkan. Tetapi
tidak dengan cara yang kalian
lakukan. Sayang, aku terlambat
menengahi .Tetapi sudahlah.
Apa guna menyesal. Aku maklum
luapan kemarahan kalian..." ia
berhenti sebentar.
Menarik nafas panjang. Lantas:
"Kalian bawalah Parman ke
klinik. Bila
besok ia cukup kuat kalian antar
ke batas desa dan katakan
jangan ia coba-coba kembali ke
sini. Pergilah. Akan kuberikan
sejumlah uang untuk biaya
pengobatan anak yang malang
itu...!"
Sambil mendorong tubuh
Parman yang babak belur dan
pingsan ke klinik, pak Angga
mengeluh:
'Apa kubilang" pak lurah tidak
akan ada tandingan dalam soal
berderma dan soal budi di
kampung ini. Mungkin juga di
kampungkampung lain. Apalagi
di kota. Hem, anak ini," ia
menggeleng-gelengkan kepala
memandangi tubuh Parman.
"Benar tak tahu diuntung!"
Di rumahnya, pak lurah
termangu-mangu.
Bejo berjongkok kelelahan
disebelahnya.
"Tahukah kau apa keinginanku,
Bejo?"
tanya pak lurah. .
Bejo memandang, kemudian
menggeleng pak lurah
tersenyum. Dingin. Katanya:
"Pergilah nanti malam ke klinik.
Jangan sampai ada yang lihat.
Dan bunuh si Parman!"
***
EMPAT
PARMAN TERLONJAK Kaget.
la mengerang sesaat diserang
rasa perih yang teramat sangat
sekujur tubuh terutama diwajah
yang penuh pembalut. Nanap, ia
memandang ke jendela. Ia
sempat tersadar tadi siang,
kemudian pingsan lagi. Ia sadar
kembali sore harinya. Karena
ingin tahu di mana ia berada,
Parman ingat betul jendela
kamar klinik di mana ia rawat,
tetap tertutup. Rapat.
Kini, jendela itu terbuka.
Mengapa lebar.
Bunyi jendela yang menghempas
ke dinding itulah yang
menyadarkan Parman dari
serangan kantuk yang luar
biasa-dan kelelahan yang
mengesalkan. Mata Parman
mencari-cari. Liar. Namun ia
tidak melihat kehadiran
seseorangpun.
Baik di dalam kamar maupun di
luar jendela. Ia terengah dan
menggigil waktu angin yang
keras menampar wajahnya.
Dengan susah payah, Parman
turun dari dipan.
Sakit sekali sekujur tubuhnya.
"Terkutuk mereka semua," ia
memaki-maki sendiri, "Hampir
saja tulang-tulangku mereka
remukkan!"
Seraya memaki ia terus
merangkak ke pinggir jendela.
Bermaksud menutupkannya Dan'
?"kang!"
Parman terdongak.
"Kang Parman!"
Seketika itu juga, Parman
menghambur ke
jendela. Berpegangan
dibendulnya. Memandang keluar
dengan mata membesar. Gelap
sekali. Mula-mula ia hanya
melihat kabut tipis yang
bergerak perlahan-lahan. Ia
juga melihat dedaunan
berguguran dari cabang-cabang
pohon yang bergerak
lambat-lambat. Lantas. dari
tengah kabut yang tipis itu,
menjelma kabut lain Yang lebih
tebal. Mata Parman kian melotot
Dan kabut itupun kian tebal. _
"Kang?"
Parman menggeleng-gelengkan
kepala. Keras-keras. Sakit bukan
alang-kepalang tetapi ia tidak
perduli.
"Mungkinkah?", ia berbisik.
Dan kabut menebal tadi berjalan
kearah tepi jendela. Semakin
lama semakin dekat. semakin
jelas. Tidak. Parman tidak
bermimpi. Di depan biji
matanya, ia melihat Lila muncul
dari tengah-tengah kabut.
Isterinya yang malang itu
hampir-hampir tidak berpakaian
sama sekali. Blusenya tinggal
setengah, sedangkan salah satu
tali kutangnya lepas.
Payudaranya Lila agak
menyembul ke luar .Sebelah
payudara itu membiru. Jelas
terlihat karena kulit Lila yang
putih gemerlap.
"Jahanam itu menggigit dadaku
kang "
bisikan yang hilang timbul.
Hilang timbul itu seperti helaan
nafas yang menyapu telingga
Parman." "Balaskan sakit
hatiku, kang. Balaskan sakit
hatiku!"
Lantas bayangan Lila menjauh.
Menjauh dan menjauh.
Barulah Parman tersadar.
"Lila!", ingin ia menjerit.
Memanggilmanggil isterinya.
Namun lidah Parman kelu.
Hanya keluhan pendek saja yang
keluar.
'Jangan...", ia mengerang.
"Jangan kau tinggalkan aku,
Lila...!" _
Kemudian, dengan mengerahkan
sisa-sisa tenaganya ia
merangkak memanjat jendela.
Malang, kekuatan Parman
belum pulih.
Tiba di tepi jendela, ia jatuh
terhumbalang ke bawah.
Berguling-guling diantara
barangbatang pohon
buah-buahan di atas rerumputan
bertanah lembut yang menurun.
Beberapa kali Parman mengeluh
dan merintih kesakitan. Salah
satu rusuknya membangkitkan
kengiluan yang amat sangat
waktu membentur sebatang
pohon.
Parman terhenyak. Lama.
Ia kira ia kembali pingsan.
Tetapi tidak. Suara
mendesau-desau dari balik
pohon memaksanya membuka
mata. Parman merangkak
sedikit, berpegangan ke pohon
itu.
Dan tiba-tiba ia membalik,
berguling kembali ketempat
semula. Ternyata disebelah sana
pohon, terdapat jurang yang
menganga diantara semak
belukar yang rimbun. Untunglah
ia mengenali sungai yang
mengalir di bawah sana. Kalau
tidak ia tentu akan terus
mengejar bayangan Lila yang
menghilang ke arah semak
belukar itu.
"Ya Tuhan!", ia mengucap.
Lalu berusaha bangkit. Ia harus
kembali ke klinik, karena salah
satu luka di kakinya
mengucurkan darah.
Kepalanyapun berdenyutdenyut.
Mungkin pukulan orang-orang
kampung itu telah merekahkan
batok kepalanya.
Parman memaki dan memaki
lagi. Tak berkeputusan. Kaki
kanannya yang luka berat itu
membuat ia tidak bisa berdiri.
Mau tidak mau ia merangkak
kearah klinik dimana ia bisa
membangunkan salah seorang
perawat jaga di sana untuk
menolongnya dari kematian
karena kehabisan darah.
Belikatnya lagi aduh!
"Krasak!"
Parman tertegun.
Liar, matanya mencari lagi.
Suara itu datang dari arah
jendela klinik. Seperti ranting
terpijak. Kemudian sepi. Hanya
deru angin malam saja yang
menyambar-nyambar ribut.
Tampaknya akan badai.
Lila-kah. Dengan penuh harap,
Parman kembali merangkak.
Hatihati. Ia tidak boleh
kehilangan Lila untuk kedua
kalinya malam ini.
Ia harus mencapai jendela,
melihat istrinya itu. memeluk
dan menangis diharibaannya,
menanyakan mengapa ia begitu
cepat mati dan siapa yang
menyebabkan kematiannya!
Tetapi niat Parman tidak
kesampaian.
Yang ia lihat didepan matanya,
bukan bayangan Lila yang
berpakaian tidak karuan dan
setengah telanjang. Melainkan
bayangan sesosok tubuh tinggi
besar. Mengenakan pakaian
hitam pekat. Sesosok itu
mendempet sepanjang dinding
klinik menuju jendela kamar
Parman. Dengan kecut, Parman
memandang ke jendela itu.
Matanya berbelalak. Aneh.
Jendela kamar Parman telah
terbuka kembali. Mungkin
karena dihempaskan angin.
la alihkan lagi pandangan
matanya ke arah sesosok tubuh
tadi, sambil meringkukkan tubuh
dibalik bayang-bayang semak
belukar. Orang misterius itu
telah mencapai jendela. Lantas
mengintai ke dalam. Percuma,
tentu saja. Karena kaca jendela
kabur dibasah kabut. Hatihati,
orang tadi mulai mencukil
pinggir jendela. Berderik-derik
bunyinya. Tak lama kemudian
jendela terbuka. Didorong
perlahan-lahan. Kemudian
diam. Menunggu.
Tidak ada reaksi.
Sesosok tubuh tadi lantas
merangkak menaiki jendela
masuk kedalam.
Ditempatnya bersembunyi.
Parman terhenyak. Menunggu
dengan tegang. Apa yang akan
dilakukan orang itu" Siapa dia"
Mengapa harus ke kamar
Parman" Sembunyi-sembunyi
pula lagi" Dan tengah malam
buta begini, selagi
petugas-petugas klinik dan
semua penduduk kampung
terlelap dalam buaian tidur yang
nyenyak diserang hawa dingin"
tak lama ia dengar suara ribut
di dalam, disusul oleh caci maki:
"Jadah! anak jadah si Parman
itu!"
Parman tersenyum.
Bejo! gumamnya sendirian.
"Tentu di suruh pak lurah!"
Bejo cepat-cepat keluar dari
kamar Parman dan sesaat
menyalangkan mata disekitar
halaman belakang klinik. Namun
ia tidak melihat apa-apa, kecuali
kegelapan dan kabut
menyelimut. Sambil
menghentak-hentakkan kaki ke
tanah menimbulkan suara
berdebum-debum ditelinga
Parman yang diam tergeletak
dipersembunyiannya, Bejo
mengumpat-umpat:
"Dimakan setanlah hendaknya si
jadah itu!"
Setelah mengumpat kesal
demikian. Bejo kemudian
menghilang disamping klinik.
Parman menarik nafas.
"Kau menolongku lagi, Lila-ku
sayang' ucapnya dengan nafas
lega.
Beberapa saat lamanya, ia
terbaring di atas rerumputan
yang basah oleh embun.
Otaknya berputar cepat. Setelah
itu, ia berusaha berdiri Susah
sekali. Udara yang beku
mungkin telah menghentikan
darah keluar dari kaki
kanannya. Terpaksa Parman
berjalan menyeret-nyeret se
belah kaki, kadang-kadang
merangkak, istirahat sebentar,
merangkak lagi, berjalan
menyeretnyeret kaki. "Begitu
terus. Semakin lama semakin
jauh ia dari arah klinik .
***
"kemana ia tadi ?"
Bejo panik dan panik.
Wajahnya yang basah oleh
keringat, merunduk lesu.
"Jadi Parman lari" celetuk
majikannya seraya menekan
puntung serutu ke asbak. Abunya
bertebaran dan asapnya
menyapu hidung Bejo.
"Ada yang melihat kau?"
"Tidak," sungut Bejo.
"Hem. Jadi si Parman lari" Ia
telah menduga ada yang akan
kita lakukan atas dirinya. Setan
benar. Coba tadi pagi kubiarkan
saja orang-orang kampung
mengeroyoknya sampai mati
seperti cacing!
Lelaki setengah baya itu
kemudian berdiri. Ia melangkah
ke arah kamar tidur. Tetapi di
depan pintu kecil, ia tertegun.
Lantas membalik. Memandang
tajam pada pelayannya yang
bertubuh kekar itu.
"Bejo!"
"Ya?"
"Sudah kau dengar bagaimana
perkembangan bayi anak Nyi
Saodah yang sakit itu?"
"Semakin payah. Pak lurah," .
"Ada harapan hidup?"
"Kata mantri, tak mungkin lagi
di tolong Kemungkinan besar
malam ini sudah mati!"
Sepasang mata pak lurah
berkilat. la bertepuk-tepuk.
Puas.
"Malam apa ini, Bejo"
"Jum'at, pak lurah."
"jum'at apa"
"Kliwon, pak lurah."
Pak lurah manggut-manggut.
Puas. Bayangan kekesalan
karena kehilangan Parman telah
lenyap sama sekali dari
wajahnya. Ia tersenyum.
Gembira. Matanya menatap
memandangi pelayanannya yang
masih berdiri terpekur-pekur
ditempatnya semenjak tadi. Ia
pandangi tubuh Bejo dengan
mata liar, menjelajahi dari
ujung rambut ke ujung kaki,
berhenti di beberapa bagian
tubuh yang kukuh itu, kemudian
menjilat ludah.
"...Bejo?" suara pak lurah
berubah parau.
"Ya?"
"Masuklah ke kamar tidurku."
Seketika. kemasgulan di Wajah
Bejo karena gagal
melaksanakan perintah
majikannya, ikut pula lenyap. Ia
memandang tubuh pak lurah
yang berjalan melenggang ke
kamar tidur. Seperti yang
dilakukan majikannya itu, Bejo
pun memandangi pak lurah dari
ujung rambut ke ujung kaki
menjilat bibir waktu memandang
lenggang punggung pak lurah
sebelum hilang di dalam kamar.
Bejo dengan cepat berjalan
kesebelah kanan ruangan. Dari
dalam sebuah rak ia keluarkan
sebuah botol besar. Etiketnya
menandakan botol itu berisi
bier. Dengan giginya. Bejo
melepaskan tutup botol.
Meneguk isinya dengan leher
meleguk-leguk. lsi botol itu habis
hanya dalam sekali teguk. Bejo
menutupkan rak, meletakkan
botol bier yang telah kosong
seenaknya di atas sebuah kursi
Kemudian ia
memandang ke pintu kamar
tidur majikannya. Matanya
berkilat, sedikit
kemerah-merahan.
"Malam yang dingin ya, pak
lurah?" ia tersenyum.
Kemudian tertawa cekakakan.
Lantas berjalan ke arah pintu
kamar tidur majikannya, seraya
melepaskan kemeja . kemudian
celananya. Tiba di kamar tidur
majikannya ia lihat laki-laki
setengah kaya itu telah
berbaring di atas ranjang. Pak,
lurah memakai selimut tebal,
Bejo yakin majikannya'itu tidak
mengenakan pakaian sama
sekali. Mereka berpandangan
beberapa lama. tanpa berkedip
Pak Lurah gemetar waktu Bejo
pelan-pelan naik ke atas tempat
tidur dan menarik selimut yang
dipakainya.
***
LIMA
IBU LASMI mendengar suara
ketukan halus dipintu disusul
suara berdebum benda berat
terjatuh. Perempuan itu terkejut,
dan dengan hati-hati ia
melangkah kepintu. Sesaat ia
mendengarkan, tak ada suara
apa-apa.
Ketika pintu ia buka,
dihadapannya tergeletak sesosok
tubuh. Berpakaian
compangcamping, kotor lumpur
bercampur darah kering. Wajah
dan kepala hampir tertutup
seluruhnya oleh pembalut
setelah berjongkok baru ia
kenali siapa orang itu.
"Parman!" serunya kaget.
Mata Parman tertutup rapat
namun mulutnya menganga. Ia
bernafas tersengal-sengal. Ibu
Lasmi segera menyeret tubuh
Parman masuk ke dalam rumah.
Kemudian ia berlari lagi
kepintu. Memandang keluar
sesaat. Lantas menutupkan pintu
cepat-cepat. Lantas berlari lagi
kearah Parman yang tengah
berusaha untuk duduk dengan
susah payah.
"Parman. Apa yang terjadi"
Mengapa kau sampai begini?",
tanya ibu Lasmi bcrtubi-tubi
seraya membantu Parman
berdiri, membim
bingnya kekamar dan kemudian
menidurkan laki-laki itu diatas
tempat tidurnya sendiri.
Lambat-lambat Parman
mengucapkan terima kasih.
Kemudian jatuh tertidur. Ibu
Lasmi memandangi tamunya
yang datang secara aneh
sesubuh begini. Masih dengan
mata tidak percaya. Waktu tadi
ia mendengar suara benda berat
jatuh didepan rumahnya ia kira
maling mula-mula. Sampai ia
dengar suara patah-patah
meminta tolong.
"Parman, Parman!", gumamnya.
Lantas geleng-geleng kepala.
Cuma itu yang bisa ia perbuat.
Waktu Parman membuka
matanya, hari sudah siang.
Menoleh kejendela yang
terbuka, ia lihat ibu Lasmi
tengah membalikkan sebuah
kasur diatas jemuran yang
disusun dari dua buah kursi.
Parman menoleh lagi. Tempat
tidur dimana ia terbaring
rupanya berkasur dua. Salah
satu kasur berada dibawah
punggungnya yang masih-masih
sakit-sakit. Yang lainnya tengah
di jemur ibu Lasmi. Dilantai,
Parman melihat sehelai tikar
terhampar Ibu Lasmi dilantai
pada malam itu.
Parman menghela nafas. Tidak
mengerti.
"Mengapa ibu lurah tidur
dilantai?", tanyanya ketika
perempuan setengah baya itu tak
lama kemudian masuk seraya
membawakan segelas kopi susu
panas untuk Parman.
Ibu Lasmi tersenyum. Ramah.
'"minum, Parman. Itu lebih baik
bagimu. dari pada mengajukan
pertanyaan yang tidak perlu".
"Mengapa tak sama-sama
diranjang?"
"Kau mau minum apa tidak?",
ancam ibu Lasmi dengan mata
ancaman, namun melihat
pandangan mata perempuan itu
akhirnya ia mengalah. Ia
kemudian meneguk minuman
yang disodorkan siperempuan
langsung kemulutnya. Ia hidup
dengan kenikmatan yang tidak
tiada tara, tersenyum puas
karena minuman itu serasa
menghilangkan seluruh rasa
nyeri disekujur tubuhnya.
"Melihat keadaanmu, Parman,
kau bukan datang dari rumah
sakit dikota. Kau tentu baru dari
klinik. Karena agak berlumpur,
bukan,-pula klinik didesa ini!" _
"Aku dari kampung kita tadi
malam".
"Siapa yang memukulimu
disana?"
'Orang kampung, siapa lagi".
"Tetapi mengapa?".
".,..karena mereka tahu aku
seorang perampok".
"Kudengar kau telah masuk
penjara. Kapan kau keluar?".
"Baru".
"lantas mereka pukuli kau.
Merampok lagi?".
"Kata mereka, menghina".
"Siapa?".
Parman memandangi wajah
siperempuan sejenak, lantas:
"Pak lurah".
Namun tidak ada reaksi apa apa
diwajah perempuan itu.
"Mengapa tak kau katakan saja
ia yang paling banyak makan
uang hasil rampokan mu?".
Parman tertawa.
"Ibu tahu, mereka tak akan
percaya".
Ibu Lasmi tersenyum. Lirih.
Kemudian angkat bahu.
"Makan ya?".
"Kebetulan. Sejak kemaren aku
cuma makan Tinju dan
tendangan orang orang
kampung".
Ibu Lasmi membantu
menyodorkan nasi kemulut
Parman tidak sampai lima menit
berikutnya. Selama itu mereka
diam. Hanya mata Parman yang
tidak mau diam. Sepasang
matanya liar, menjelajahi
sekujur tubuh ibu Lasmi. Usia
perempuan itu lebih tua sepuluh
tahun diatas umurnya sendiri,
tetapi masih tampak berisi.
Tiada kerut merut kedukaan
diwajahnya, sehingga Parman
berpikir pikir apa yang kira kita
bisa membahagiakan
.siperempuan semenjak ia
menetap didesa ini, setengah
jam perjalanan dengan jalan
kaki dari kampung asal mereka
bersama.
"Ku lap dengan air hangat ya?",
tanya ibu Lasmi selesai
menyuapi Parman. Selama pe
rempuan itu melap tubuhnya,
Parman tidak mengeluh sama
sekali. Ia memang merasa
kesakitan, namun matanya yang
menjilati payu dara perempuan
itu dibalik kebaya yang
kancing bagian atasnya terlepas,
benar-benar pemandangan yang
merupakan impian semata
selama ia mendekam dibalik
jeruji besi. Dada lbu Lasmi
masih penuh dan Parman
merasakan betapa hangatnya
dada itu. Dulu.
Ketika itu Parman masih
bujangan.
Ia belum menikah dengan Lila.
Malah belum pernah
memikirkan seorang perempuan
secara serius. satu satunya
perempuan yang pernah jadi
pikirannya, hanyalah ibunya.
Tetapi ibu Parman sudah
meninggal diserang malaria
ketika Parman baru saja
menginjak usia remaja. Ayahnya
menyusul tiga tahun berikutnya.
karena kanker di dada jatuh
melarat karena harta habis di
pakai membayar biaya
perawatan sang ayah selama
menderita kanker yang ternyata
sia-sia karena toh ayahnya
akhirnya mati juga, Parman
kemudian bekerja sebagai
pelayan di rumah lurah.
Baru sebulan bekerja ia sudah
digoda.
Bukan oleh ibu Lasmi, isteri
lurah. Akan tetapi oleh pak
lurah sendiri. Seorang laki-laki
seperti Parman. ia tak mengerti
mengapa suatu hari pak lurah
menyuruh berjongkok diatas
tempat tidur setelah lebih dulu
diharuskan pula membuka
celana. Baru ketika pak lurah
membuka celananya sendiri dan
kemudian naik ketempat tidur,
Parman mulai curiga. la berlari
keluar dan bersembunyi
didapur.
la sembunyi sampai tengah
malam di dapur itu. sampai ibu
Lasmi menemukannya dan
kemudian menyuruh Parman
kembali kekamar
nya sendiri. Tetapi ibu Lasmi
bukan sekedar menyuruh saja. Ia
juga mengantarkan Parman.
Sampai kedalam kamar.
Bahkan menutupkan pintu
sekalian. Lantas membuka
pakaian yang melekat
ditubuhnya seraya menciumi
wajah dan mulut Parman
bertubi-tubi. Alangkah jauh
perbedaan pengaruh antara
tubuh pak Lurah dan ibu Lurah
yang sama-sama telanjang, atas
diri Parman.
Ibu Lasmi tersentak
Dengan wajah merah ia tepiskan
cepat-cepat tangan Parman
yang meraba pahanya yang
tersembul dari balik kain ketika
berjongkok untuk meremas air
hangat pada lap.
'Jangan begitu, Parman. Tak
baik' gerutunya.
Mata Parman yang kelopaknya
masih membiru, terbelalak
heran.
"Kau sudah beristeri. Parman"
menjelaskan ibu Lasmi.
Seketika, Parman menjadi pucat.
Matanya kuyu.
"Lila sudah mati', bisiknya,
parau.
"Aku juga dengar. Aku ikut
berduka cita, Parman. Tetapi
kematian isterimu tidak lantas
berarti kau boleh menjamah
tubuhku".
"Maafkan aku bu lurah..."
Perempuan itu tersenyum.
Menghibur.
'Jangan sebut-sebut lagi aku ibu
lurah.
Kau tahu, kami, telah bertahun
bercerai! Itupun tidak berani
sembarang lelaki boleh
menjamah tubuhku karena aku
telah menjanda?"
Lesu, Parman menyela:
"Sudah ada laki-laki tertentu, bu
Las?"
'Tak lama lagi".
"Boleh aku tahu, siapa?"
"Ah. malu. Nanti saja. Yang
jelas, ia bukan seorang
perampok seperti suami yang
pertama. Pula bukan seorang
laki-laki yang tidak saja
menyukai perempuan akan tetapi
tak kuat menahan nafsu melihat
kaum sejenisnya sendiri...",
wajah ibu Lasmi keruh.
"Kalau kuingat semua itu
Parman, aku benar-benar takut
sama laki-laki. Ketakutan itulah
yang mendorongku untuk pernah
merayumu. Lantas bersetubuh
denganmu di rumah suamiku
sendiri, benar-benar
pelampiasan kebencian yang
ditimbulkan suamiku karena
memergoki dia bersetubuh.
Bukan saja dirumahku, akan
tetapi terutama karena lawan
bersetubuhnya justru laki-laki
seperti kau".
Lantas ia menggeleng-gelengkan
kepala. Susah.
"Tetapi yah. Sudahlah", ia
tersenyum lagi. 'Semua telah
berlalu, bukan" Nah. Parman
Gantilah pakaianmu. Dirumah
ini banyak pakaian. Punya
suamiku yang akan datang,
Mudah-mudahan ia tidak
kecewa kalau sepasang
pakaiannya kukenakan ketubuh
seorang laki-laki lain'.
"Ia orang kampung ini juga?"
"Bukan. Tetapi karena sering
urusan jual beli keluar masuk
kampung dari tempat tinggal
nya dikota, ia sering mampir
diwarung nasi yang kubuka.
Mula-mula tertarik pada
masakanku, kemudian pada
anak perempuanku yang masih
kecil. lama kelamaan, ia tertarik
padaku. Anak perempuanku ia
bawa kekota, ia sekolahkan
disana dan tinggal bersamanya
menanti aku benar-benar
melupakan masa laluku dan
mulai kembali menyukai seorang
laki-laki...".
"Ibu perempuan yang
beruntung".
Ibu Lasmi berdiri. Katanya:
"Luka lukamu lumayan.
Terutama itu yang dikaki kanan.
Kebetulan hari ini suamiku
biasanya singgah disini sebelum
pulang kekota. Kau ikut
dengannya ya?".
"Untuk disekolahkan?"
'Kerumah sakit, tolol!"
Parman menggeleng kepala!"
"Kau memerlukan perawatan
kusus" rungut ibu Lasmi.
"Lila juga memerlukannya".
"Isterimu sudah mati. Parman."
"Tetapi arwahnya memerlukan
perhatian yang khusus. Aku
tidak bisa meninggalkannya. Ia
bahkan sempat datang tadi
malam kekamarku diklinik'.
"Omong kosong!"
"Sungguh, bu Las. Karena ia
datang, aku selamat dari maut
yang datang bersama si Bejo'.
"Bejo"'. bu Lasmi terpana.
"bejo?" Atas suruhan lurah,
tentu saja"
Ibu Lasmi terdiam lama. Lantas
berkata serius:
"Kalau begitu, kau harus kekota.
Pak lurah akan terus
mengejarmu. Pasti bukan
sematamata karena kau
satu-satunya orang lain yang
tahu siapa ia sebenarnya. Entah
persoalan apa, tetapi kau harus
lari".
"Tidak. Pak lurah tak akan tahu
aku bersembunyi dirumah ini.''
"Tetapi calon suamiku nanti...",
ibu Lasmi kebingungan.
"Berikan alasan apa saja, bu
Las. Atau akan kuceritakan
padanya siapa pertama yang
memperkenalkan kehangatan
tubuh perempuan padaku!",
rungut Parman. Kasar.
***
ENAM
SEORANG PEREMPUAN tua
berjongkok didepan makam Lila.
Diam. Mematung. '
Tak terdengar suara apa-apa.
Kecuali berisik dedaunan dan
keresek batang-batang bambu
ditiup angin. Bulan pucat di
langit kemudian menerangi
sesosok tubuh keluar dari balik
timbunan bambu. Ia
menyeret-nyeret sebelah kaki
dengan bantuan tongkat kayu.
Lama ia tegak dibelakang
perempuan itu. Baru
membungkuk. Hatihati pundak
siperempuan ia jamah.
Yang dijamah menoleh.
Tengadah. Tiada kejutan
diwajahnya.
"Pulanglah, bu. Sudah larut
malam...!'.
Perempuan itu memandang
makam lagi. Tanpa kata-kata.
Kalau saja ia tidak pikun tentu
ia akan meratap.
"Mengapa, nak" Mengapa kau
mendahului ibu" Padahal kau
masih muda Cantik. Punya
suamiPunya masa depan..."
Tetapi ia cuma menatap makam
tanpa
berkedip. Hanya itu yang bisa ia
sadari. Datang kemakam, duduk
didekatnya: Karena ia tahu.
anak perempuannya telah
disemayamkan di sana. Tidak
pernah lagi kembali kerumah .Ia
kini tinggal sendirian didunia
ini, seperti Parman. Bedanya,
Parman ditinggaLkan kedua
orang tuanya. Perempuan itu
ditinggalkan anak satu-satunya.
Namun bagaimanapun mereka
sama-sama telah kehilangan
orang-orang yang mereka cintai.
Suami si perempuan. Dan istri
Parman.
"Pulanglah!" ulang Parman
seraya membantu si perempuan
berdiri.
Lalu ia tuntun perempuan itu
keluar di antara
gundukan-gundukan makam:
Setelah dekat ke rumah salah
seorang penduduk, ia baru
lepaskan perempuan itu yang
berjalan terbungkuk-bungkuk ke
rumahnya sendiri. Lama
Parman memperhatikan
siperempuan berjalan di
tengah-tengah kesepian malam
yang mencekik. Lampu-lampu
minyak di pintu-pintu gerbang
rumah menimbulkan
bayangan-bayangan memanjang
tiap kali terlewati oleh
siperempuan. Akhirnya hilang
dibalik tembok sebuah rumah.
Parman menghela nafas. Berat.
Seekor kelelawar terbang
menggelepar dari balik daun
pisang ketika Parman berjalan
kembali kearah makam istrinya.
Tiba disana. bulan persis
tenggelam-dibalik awan. Gelap
sekali. Parman membungkuk,
seperti yang di lakukan ibu
mertuanya tadi. memandangi
makam. Dan berbisik
perlahan-lahan.
"Nyenyak tidurmu, sayang?".
Seakan-akan ia mendengar
suara Lila: "Engga".
"Mengapa?".
"Kau belum menciumku'.
Parman mencium batu nisan
dikepala makam.
"Tidurlah ya?"
Biasanya, Lila akan merajuk:
"Selimuti aku".
Awan kian tebal juga
menyelimuti langit,
Parman terkejut karena seekor
tupai tibatiba terjatuh didekat
kakinya. Tupai itu tergelak
sesaat, bergerak-gerak disaat
berikutnya lantas lari
cepat-cepat kebalik
semak-semak. Bunyi
kelepak-kelepak di udara
menarik hati Parman. Ia
tengadah. Terbiasa oleh cahaya
gelap, kemudian lihat
banyak'sekali kelelawar. Lari
serabutan. Beberapa
diantaranya mengeluarkan
jeritan nyaring. Naluri Parman
mengatakan sesuatu.
Hati-hati, ia merangkak dari
makam kebalik serimbunan
bambu.
Di sana, ia diam menunggu.
Ia tidak melihat apa-apa.
Tetapi kemudian telinganya
menangkap suara melucut-lucut
halus. Seperti ada orang
memacul tanah. Ah, siapa pula
manusia yang datang untuk
memacul tengah malam buta
begini di kuburan" Penasaran,
Parman mendorong
batang-batang bambu di
depannya kekiri dan kanan. Dari
celah-celah yang terkoyah
itu ia kemudian mengintai.
Sosok tubuh tinggi besar sedang
menggali sebuah kuburan. Ia
bekerja dengan buru-buru: tiap
kali awan meninggalkan bulan,
orang itu menoleh kelangit.
Menyeka keringat. Sesekali ia
menggerutu tiap kali paculnya
menyentuh batu. Parman jelas
mendengar salah satu gerutuan.
"Sialan! Mereka tanam bayi itu
diantara cadas!"
Benturan besi pacul kebatu-batu
cadas berulang-ulang mengiris
telinga. Tampaknya orang yang
sibuk menggali itu tidak perduli
pada suara-suara ribut yang ia
timbulkan. Toh orang kampung
sudah pada lenyap tertidur.
Kalaupun ada yang mendengar
suara berisik, tak akan ada yang
berani keluar. Siapa yang berani
coba-coba menyelidik suara
berbisik di tengah malam,
apabila ia tahu suara itu berasal
dari tengah-tengah kuburan"
Tetapi Parman di luar
perhitungan orang itu.
Takut kakinya yang
terseret-seret terbentur
benda-benda yang bisa membuat
gaduh. Parman berjongkok di
atas tanah, kemudian merayap
diantara gundukan-gundukan
makam.
Bila bulan pucat dilangit
muncul, ia rapatkan tubuh ke
tanah. Diam tak bergerak. Kalau
sudah gelap oleh gumpalan
awan, ia teruskan merayap.
Sampai akhirnya ia berada
hanya dua meter dari arah
orang yang tengah sibuk
Menggali makam. Penggali
kuburan itu telah terbenam
setengah dari tubuhnya dalam
lubang
yang ia buat. Parman
memperhatikan dengan teliti.
Lantas mengenali tanah makam
yang tengah digali. Ternyata
masih kemerahan. Sebuah
kuburan baru. Dan mayat bayi
di dalamnya!
Parman menahan nafas waktu
tak lama kemudian orang itu
keluar dari dalam lubang seraya
mengapit benda bungkusan kain
kafan. Melihat bentuknya
tentulah mayat bayi yang
dimaksud orang tadi. Setelah
menginjakan kaki di permukaan
bumi, orang tadi menatap ke
langit. Mulutnya melepas
senyum, sementara kepalanya
yang licin berkilau oleh
kubangan kermgat.
"Mudah-mudahan Nyi Saodah
tak semaput kalau tahu kuburan
anaknya dibongkar maling?".
orang itu berkata pada diri
sendiri.
"Pak lurah tentu akan ikut ribut
sana ribut sini..." orang itu
tertawa. Dengan kakinya ia
dorongkan pacul masuk
kelobang yang kemudian ia
tutupi dengan tanah. Juga
dilakukan oleh kaki yang sama.
"Bejo terkutuk!" Parman
menyumpah nyumpah dalam hati
seraya mengikuti pelayan pak
lurah itu keluar dari
pemakaman. Karena orang itu
merasa gembira dengan hasil
kerjanya, ia sama sekali tidak
mendengar suara berisik yang
ditimbulkan oleh kaki Parman
yang terseret-seret dan tongkat
kayunya yang kadang-kadang
mengenal batu. Kaki kanan
dorongkan pacul masuk
kelobang yang kemudian ia
tutupi dengan tanah. Juga
dilakukan oleh kaki yang sama.
"Bejo terkutuk!" Parman
menyumpah nyumpah dalam hati
seraya mengikuti pelayan pak
lurah itu keluar dari
pemakaman. Karena orang itu
merasa gembira dengan hasil
kerjanya, ia sama sekali tidak
mendengar suara berisik yang
ditimbulkan oleh kaki Parman
yang terseret-seret dan tongkat
kayunya yang kadang-kadang
mengenal batu. Kaki kanan
Parman berdenyut-denyut
dibagian tulang kering karena ia
terpaksa setengah berlari-lari
mengejar dari belakang.
Bejo tidak masuk dari halaman
depan rumah pak lurah.
Ia bergerak kesamping
belakang. Dipinggir tebing, ia
merayap turun kebawah Lebih
dulu ia letakkan bungkusan
mayat bayi diatas. Kemudian
baru menggapainya dari bawah.
Parman lebih mendekat. la lihat
Bejo memindahkan beberapa
bungkalan batu dari balik
serimbunan semak belukar
didinding tebing. Riak-riak
sungai dibawah memecah di
batubatu besar menelan suara
ribut karena gerakan Bejo.
Parman tersenyum dibalik
persembunyian
nya.
"Awas kau, lurah bejat!"
desisnya.
Setelah melepaskan lelah selama
lebih dari satu jam. Parman
kemudian menuruni bibir tebing
yang sama. Selama ini ia
melakukan hal itu hanya dalam
beberapa detik. Tetapi pembalut
tulang kering kaki kanannya
mengeluarkan darah. Berulang
kali ia merintih. ia bongkar
batu-batu dibalik semak-semak
yang telah disusun kembali oleh
Bejo sebelum menghilang ke
dalam:
Kegelapan yang meremangkan
bulu kuduk, membuat Parman
tertegun sesaat setelah berada
didalam.
Baru pengap menyerang
hidungnya: Ia tahu ia berada
dalam lorong tanah yang
disangga kayu-kayu balok dikiri
kanan dan papan tebal melapisi
bagian atas Karena lorong itu
rendah.
ia lantas merayap seperti yang
tadi Ia lakukan dikuburan. Kaki
kanannya semakin terasa sakit.
Mudah-mudahan saja perban itu
cukup tebal sehingga bisa
menyerap darah yang keluar.
Kalau tidak, darah dari kaki
Parman akan menetes
disepanjang lorong. Sehingga
pak lurah akan tahu kalau telah
ada orang lain yang mengetahui
jalan rahasia yang telah mereka
pakai selama bertahun-tahun.
Seingat, Parman, lorong itu
menuju ke satu rumah. Yakni
ruang gudang di tengah rumah,
dari mana orang bisa menaiki
tangga ke ruang tengah atau
langsung ke terras di tingkat
atas. Tetapi didepan pintu yang
telah dikenal baik Parman,
ternyata ia menemukan sebuah
lorong yang lain. Uap hangat
menerobos dari ujung lorong
kedua ini Parman mengikutinya
dengan hati-hati. Makin lama ia
makin yakin lorong itu berakhir
disebuah ruangan lain yang
tidak begitu besar dan biasanya
dipakai menyimpan
barang-barang hasil rampokan
selama berminggu-minggu
sebelum dikeluarkan kembali
untuk dijual kepada para
penadah.
Tetapi kenapa dari arah
ruangan yang ia duga tempat
penyimpanan barang-barang itu
keluar uap hangat dan bau api
perdiangan. Sambil menahan
rasa sakit dibelikat dan kaki
kanannya, ia terus merayap.
Dalam keadaan demikian
rasanya jauh dan lama sekali
jarak yang ia tempuh. Sampai ia
tiba dihadapan sebuah pintu
yang masih menganga. Cahaya
lampu samar-samar membias
lewat pintu. Par
man memepetkan tubuh ke
dinding. Lantas diam. Menunggu
dengan tubuh dan dada tegang.
"... rasanya kok bayi yang
mungil ini masih hangat " ia
dengar suara pak lurah.
"Ah. Yang benar," rungut Bejo.
"Kau kepit kuat-kuat ya" Lihat
sampai tulang lututnya patah.
Coba kalau Nyi Saodah tahu
lutut anaknya telah patah.".
Bejo tertawa mendengarnya.
"Besar api, Bejo".
Parman dengan hati-hati
mengintai.
Ia lihat pak lurah
membelakanginya. Lakilaki itu
memangku sesuatu. Tentu mayat
bayi itu. Didekat kakinya,
bertumpuk kain kafan yang telah
dilepaskan dari tubuh mayat.
Bejo menyorongkan beberapa
batang kayu-kayu besar dan
kering kedalam sebuah tungku.
Diatas tungku, tidak terdapat
periuk atau belanga seperti
biasanya.
Yang ada ialah batang-batang
pohon pisang yang dipotong
pendek-pendek kemudian
disatu-satukan dengan kayu
seperti sebuah rakit kecil.
Batang-batang pisang itu
menahan kobaran api agar tidak
menjilat pada sebidang bambu
yang tersusun rapih. Biasanya
diatas bidang belahan-belahan
bambu yang selebar satu meter
persegi itu, didiangkan ikan atau
ayam untuk disalei. Tetapi yang
dilihat Parman untuk disate
adalah bayi yang oleh pak lurah
digantungkan di atas para
bambu itu, pada seutas tali
jerami yang ujungnya membelit
pada bahu langit-langit
ruangan. Kepala bayi kebawah.
Kaki-kakinya terikat pada ujung
tali yang lain.
Ketika pak lurah
melepaskannya, mayat bayi itu
berputar-putar sesaat mengikuti
gerakan tali yang mendapat
beban, kemudian diam.
Batang-batang pohon pisang
mulai mengerut, membubungkan
uap yang tebal kepara bambu.
Uap itu menerobos lewat
sela-sela bambu menimbulkan
garis-garis melingkar disekitar
tubuh mayat si bayi. Parman
menutup mata. tak tahu melihat
pemandangan buruk
didepannya. Ia baru membuka
matanya ia dengar suara pak
lurah:
"Siapkan bunga-bunga rampai,
Bejo"
Si Bejo menjadi sibuk
mencampur bau sejumlah
akar-akar dan
dedaunan-dedaunan jeruk purut
ketan hitam yang ia aduk dalam
sebuah baskom berisi air. Pak
Lurah memperhatikan pekerjaan
pelayannya itu seraya
bergumam lambat-lambat.
?"semenjak Parman dipercaya,
telah kupikirkan untuk mencari
jimat. Bejo. Tapi jarang sekali
bayi yang mati pada malam
jum'at Kliwon. Siapa nyana,
kalau bayi pertama yang akan
kita jadikan percobaan, justru
baru beberapa hari yang lalu
ikut kuhadiri selamatan puput
pusarnya...!
Setelah Bejo selesai mengaduk
ramuan.pak lurah mendesah:
'Tutup pintU' lorong. Dan
marilah kita masuk kekamar
tidur, Bejo. Aku lelah sekali..."
Parman buru-buru merapatkan
tubuh ketembok lorong. Detik
berikutnya, pintu di depannya
tertutup rapat. Parman
membuang nafas yang terasa
kering berdebu.
***
TUJUH
SUBUH HARI itu kembali ibu
Lasmi menemukan tubuh
Parman terkapar diambang
pintu rumahnya. Seraya
menyeret laki-laki ketempat
tidur. siperempuan tidak
habis-habisnya menggerutu.
'Apa sudah kubilang. Jangan
pergi lagi kesana. Mana
malam-malam. Mana jauh.
Mana sakit. Belum lagi ada yang
lihat, kau di keroyok lagi dan..."
"Bayi itu... bayi itu, hiii!"
Ibu Lasmi terhenyak.
Memandangi Parman yang
matanya melotot terbuka, tetapi
kelihatan pudar
"Bayi itu. Pak lurah
memanggangnya. Bayi itu...0,
jangan! Jangan dekatkan
"padaku! Tidak! Aku tak sudi
menyentuhnya. Tidak Tidak!
Tidaaaak!" sambil berkata
begitu Parman memberontak di
tempat tidur seraya kedua
tangannya menggapai-gapai
seperti mendorongkan sesuatu
agar menjauh dari depannya.
'Parman' Parman! sadarlah...',
sungut ibu Lasmi. Pucat.
Seorang laki-laki setengah umur
keluar mandi. Masih
mengenakan handuk. Tergopoh
gopoh mendekati ibu Lasmi.
Ada apa, Las" Siapa dia"
'.... bekas pelayan kami dulu,
kata siperempuan tanpa berpikir
lagi. Matanya mulai berkilau
oleh linangan butir-butir air. Ia
sesenggukan, berulang-ulang
menggoyangkan kepala dan
menceracau tidak karuan.
lstigfar, Las Istigfar, laki-laki itu
menggoyang-goyangkan
bahunya.
lbu Lasmi istifar. Lantas menjadi
tenang kembali.
Kasihan, katanya memandangi
Parman. Ia mengigaukan
sesuatu yang menggoncangkan
syarafnya..."
Beri dia air hangat.
Ibu Lasmi lari kedapur dan tak
lama kembali membawa apa
yang diperintahkan silakilaki.
Tetapi ketika gelas berisi air
hangat itu didekatkan kemulut
Parman. tangan Parman cepat
menepiskannya. Keras sekali.
seraya memekik.
'Jangaaan !'
Gelas itu melayang di udara.
membentur tembok. pecah lantas
berderai diatas lantai. Suara
berisik itu justru membuat
Parman semakin histeris. Ia mau
bangkit dan matanya menjadi
buas.
'Apa boleh buat," ucap laki-laki
disamping ibu Lasmi yang
terpukau tak tahu mau berbuat
apa. Lantas dengan sekali tinju
Parman terbaring kembali di atas ranjang.
Tidak sadarkan diri
Kau apakan dia, kak" ibu Lasmi
panik.
Cuma sekedar menyadarkannya
dari histeris.
'Tetapi .tetapi... ia pingsan.
Kalau-kalau
Diam las. Orang ini cuma
tertidur. Mandilah. Siapkan
Sarapan pagi. Aku harus
kembali kekota hari ini. Kasihan
anakmu, ia tentu kasihan
dirumah"
Ibu Lasmi menarik nafas.
Memandang lakilaki
disebelahnya dengan lembut.
Kak"
Ngh"
Gimana Siti"
Laki-laki itu tertawa. .
Masih memanggil Oom padaku.
Sahutnya kemudian.
"Belum mau panggil bapak?"
'Perlahan-lahan, Las,
perlahan-lahan. Kita harus
bersabar. Lagi pula...", ia balas
menatap mata siperempuan.
"Kau sendiri, sudahkah kau
putuskan?"
Ibu Lasmi teringat pada
jamahan Parman tadi malam
pada pahanya.
Wajah perempuan itu jadi
bersemu merah.
Seraya merunduk ia
mengangguk
'Alaaa, kayak perawan saja,"
kata si lakilaki tertawa. 'Sudah,
pergi mandi sana. Lantas kita
makan pagi bersama,
sebagaimana layaknya suami
isteri. Sayang, ada orang ini di
atas
tempat tidurmu. Kalau tidak, kau
yang kutidurkan di atasnya.
Tidak perduli sudah mandi apa
belum..."
'Idiih. si kakak!"
Tersipu-sipu, ibu Lasmi kabur
dari kamar
***
PERNAH, suatu malam yang
gerah dan menyesakkan nafas,
ibu Lasmi terbirit-birit lari dari
kamar Parman ketika sang
suami tiba-tiba muncul
diambang pintu. Parman
menduga majikannya
laki-lakinya akan marah besar.
Ia sudah merungkut di pojok
tempat tidur, pucat dan
ketakutan.
***
Dengan gemetar ia lihat
bagaimana pak lurah masuk ke
dalam kamar. Lantas duduk di
pinggir dipan Parman yang
barusan di tinggal isterinya .
Diluar dugaan Parman, pak
lurah berbicara dengan tenang:
?" aku tahu Lasmi toh akan
melakukannya."
Parman terdiam. Masih gemetar
karena takut memandang mata
majikannya.
"Sudah sering. ya?"
Enggan, Parman mengangguk.
"Hem. Biarlah. Mungkin
salahku. Tetapi, Parman,"
ditatapnya Parman dengan
tajam. "... lain kali kuncilah
pintu kamarmu. Jangan coba
coba dekati isteriku.
Sekali kau langgar, akan
kusuruh si Bejo melemparkanmu
ke sungai dari tingkat atas
rumah ini...!"
Parman terbungkuk-bungkuk
mengangguk.
'Tetapi bukan cuma itu. Kau
harus lakukan sesuatu untukku!"
Mendengar itu, Parman pucat
kembali. Haruslah ia
menelanjangi tubuhnya di kamar
pak lurah, dan melakukan apa
yang telah ia lakukan pada
laki-laki itu seperti apa yang ia
lakukan bersama isteri laki ski
itu" Parman menggigil, dan
semakin menciut di pojok
ranjang.
Sini kau..!"
Parman buru-buru mengenakan
pakaian seadanya. Setelah itu.
terbungkuk-bungkuk ia
mengikuti majikannya ke luar
dari kamar. Mereka langsung
menuju kamar tidur pak lurah.
Bayangan ketika pertama kali ia
disuruh telanjang oleh pak
lurah, membuat Parman mau
lari saja dari tempat itu. Tetapi
bayangan tubuhnya
terhumbalang dari tingkat atas,
jatuh ke sungai dengan lebih
dulu membentur batu-batu cadas
pada tebing, memaksa Parman
untuk diam saja dan patuh pada
apapun yang dikehendaki
majikan darinya.
Setelah berada dalam kamar,
pak lurah bergerak ke sebuah
peti empat persegi yang terletak
di atas lemari pakaian pak
lurah. Tidak seorangpun yang
diperbolehkan menyentuh peti
itu. Biar ibu Lasmi sendiri.
Apalagi Parman. Tetapi kini pak
lurah menyodorkan peti
kecil itu kehadapannya seraya
memerintah.
"...buka!"
Parman memandang majikannya
dengan ragu.
"Buka tutupnya Parman."
Dengan tangan gemetar dan
tubuh basah oleh keringat
dingin, Parman membuka tutup
peti itu: la sampai gagal dua
kali.
Pada kali yang ketiga ia berhasil
menyentakkan tutup peti sampai
menganga terbuka sebagai
seorang pelayan, ia cepat-cepat
mengalihkan wajah, agar tidak
melihat isi peti yang pasti
merupakan rahasia pribadi
majikannya. Namun pak lurah
segera mendengus:
"Pegang isinya!"
Tanpa melihat. Parman
merogohkan tangannya kedalam
peti.
Hatinya berdetak ketika ia
meraba sesuatu benda kira-kira
sebesar lengan kanannya
sendiri. Lembut dan hangat,
namun Parman merasakan suatu
aliran yang dahsyat dari benda
itu ke tubuhnya. Ia sampai
gemetar, tidak kuat menjaga
keseimbangan badan. Dalam
sekejap, Parman telah terjatuh
di lantai dengan wajah biru
kepucatan dan basah kuyup oleh
peluh. Di tangannya ia
menggenggam benda yang
berasal dari dalam peti.
"Tatap, Parman. Tatap !'.
dengus pak lurah.
Takut takut, Parman menatap
benda itu.
Ia dekatkan ke muka. Segera
hidungnya mencium bau anyir di
antara bau ramuan yang sangit.
Namun bukan bau-bauan itu
yang
membuatnya hampir pingsan
dan perutnya mulas mau muntah
.Benda yang di pegangnya, jelas
bukan patung karena terdiri dari
daging, tulang dan tengkorak
yang berbalut kulit manusia.
Dengan mata melotot lebar.
Parman melihat sesosok tubuh
bayi yang telah mati, diciutkan
sampai sebesar lengan!
"...tidaaak!", Parman terpekik,
lantas melemparkan benda itu
jauh-jauh.
Pak lurah memungutnya
tenang-tenang, memasukkan ke
peti lantas menyimpannya
kembali di tempat semula.
Setelah itu ia berdiri di hadapan
Parman yang masih meringkuk
di lantai, antara sadar dan tidak.
Antara dengar dan tidak pula
Parman menangkap suara berat
majikannya:
"Kau telah memegangnya,
Parman. Itu sudah cukup!"
'Tetapi...tetapi...benda itu..."
"Bayi, Parman. Mayat bayi yang
telah kuselei selama
berbulan-bulan! Keampuhannya
telah tersalur ketubuhmu begitu
kau memegang dan kemudian
menatapnya. Kau akan jadi
orang kaya. Parman. Kau dan
aku akan jadi orang terkaya
dikampung ini, kemudian paling
kaya di seluruh kecamatan. Tak
perlu lagi kau susah-susah
memikirkan uang maupun
kebutuhan sehari-hari.
Gampang sekali. Parman.
Gampang sekali kau
memperolehnya Berkat bantuan
ajimat itu!"
Masih ingat Parman, bagaimana
pertama kali ia mendapat contoh
praktek memperoleh
uang secara gampang. la
disuruh pak lurah memilih salah
satu rumah penduduk untuk
dijadikan percobaan sasaran.
Parman memilih rumah pak
Baria. yang menolak keras anak
perempuannya bernama Lila
berkasih-kasihan dengan
Parman. Ketika itu, baru saja
lepas magrib. Lila berserta
kedua orang tuanya sedang
berseloro di kamar depan.
Parman masuk, tetapi tidak
seorangpun yang melihat.
Dengan kagum. Parman terus ke
kamar orang tua Lila,
menyambar sebuah tas besar
berisi uang hasil penjualan
panen ayah Lila.
Ketiga orang penghuni rumah
terkejut dan pucat melihat
bagaimana tas milik mereka
melayang-layang di udara
seperti di pegang oleh seseorang
yang tidak kelihatan saking
terpukau, mereka cuma diam
memperhatikan. Baru setelah
Parman bersama tas hilang di
telan kegelapan malam yang
mulai turun di luar mereka
tersadar. Dari kejauhan Parman
tertawa-tawa mendengar
bagaimana ayah kekasihnya
berteriak-teriak dengan panik.
'Tasku! Tasku! Uangku! Dicuri
setan! Tolooooong!" '
Lewat kekasihnya, Parman
sehari kemudian mengembalikan
tas itu.
"Kutemukan ditengah-tengah
kuburan," katanya memberi
alasan.
Tetapi ayah Lila sudah kelewat
shock oleh apa yang dilihatnya.
la terkena serangan jantung
.Mati. Seminggu Lila menangis.
Seminggu
berikutnya, ia juga menangis.
Tetapi tangisnya lain dari tangis
yang pertama. Tangis Lila yang
kedua, adalah tangis
kebahagiaan karena Parman
melamarnya untuk diperisteri,
dan ibu Lila yang selama ini
bertengkar saja soal jodoh anak
mereka dengan ayah Lila,
dengan gembira memberi restu.
***
PARMAN termenung di hadapan
ibu Lasmi dan calon suaminya.
Lama ia dalam keadaan
demikian, sementara kedua
orang lainnya cuma diam
memperhatikan. Setelah menarik
nafas panjang, Parman berkata:
?" mustahil, memang. Tetapi
nyatanya, semenjak itu dengan
mudah aku memasuki rumah
orang-orang kaya tanpa
dicurigai. Mereka menyangka
setan yang meludeskan
barangbarang berharga yang
ada di rumah mereka."
"Aku benar-benar tak percaya,"
gumam calon suami ibu Lasmi.
"lantas mengapa akhirnya kau
tertangkap?"
"Kena tangkal."
"Tangkal?"
"He-eh. Suatu malam di kota,
sebelum beroperasi aku tidur di
rumah seorang pelacur. Aku tak
tahu kalau rambut pelacur itu
melekat di sela-sela kuku.
Pengaruh jimat itu hilang
apabila bersentuhan dengan
rambut manusia di ."
saat beroperasi. Aku ketahuan,
lari ke kampung. Karena
terbiasa leluasa, aku kurang
teliti menghilangkan jejak.
Kasihan Lila. Ia baru tahu aku
perampok. Setelah polisi datang
menangkapku ke rumah"!"
Calon suami ibu Lasmi angkat
bahu. Lelah. Lantas berdiri.
"Sebentar lagi bus menuju kota
akan lewat. Nah. Parman.
Siap-siaplah."
Di kota, kita akan ke rumah
sakit. Tulang kering kaki
kananmu harus segera di
operasi, kalau tidak bisa
menimbulkan kelumpuhan total
pada tubuhmu!"
***
DELAPAN
SORE HARI itu Parman
terbangun karena serangan
ngilu di lutut kanan. la kira ia
telah tertidur selama
berabad-abad. Merasa lebih tua
bertahun-tahun. Lemah. Tidak
bersemangat. Dadanya dipenuhi
perasaan ganjil yang
membingungkan. Beberapa saat
ia geleng-gelengkan kepala.
Juga menggosok-gosok mata.
Namun perasaan ganjil itu kian
menghebat.
"Lekas sembuh ya?" ia dengar
suara seseorang.
Parman menoleh.
Disampingnya, di atas tempat
tidur yang sama dengan tempat
tidurnya sendiri, ia lihat seorang
pasien tengah bersalaman
dengan seseorang yang lain.
Pasti tamu. Kedua orang itu
bertatapan selama tiga helaan
nafas. Baru sang tamu memutar
tubuh mengangguk halus pada
Parman kemudian berjalan
menuju kepintu. Rupanya ia
adalah tamu terakhir yang
keluar sore hari itu Parman
lantas mengerti, ia telah
dipindahkan dari kamar operasi
kedalam sal ini.
Rasa ngilu menyentak lagi
dilutut kanan.
Parman tiba-tiba gemetar. Aneh.
Ya.
Keganjilan itu datang dari ' kaki
kanannya. Telah berhasilkah
dokter mengOperasi tulang
kering Parman" Kata mereka,
tulang keringnya telah borok.
Infeksi telah menjalar sampai
kesum-sum. Pantas ia sampai
pingsan dalam perjalanan bus
menuju ke kota ini. Ia ingat. Ibu
Lasmi mengantar mereka
sampai ke pintu pagar. Bus
merangkak menuju kota:
Membawa Parman. Dan calon
suami ibu Lasmi. la ingat lagi,
keringat sebesar-besar jagung
memercik hampir dari semua
pori-pori kulit. Lantas hentakan
yang keras ditulang kering
membuat ia terpekik bersakitan.
Ia pingsan seketika.
Baru kini ia terbangun.
Kedua kalinya. Yang pertama,
setiba ia di kamar bedah.
Waktu itu, ia menjerit-jerit
menahan rasa sakit. Sekarang
rasa sakit itu telah hilang.
Diganti perasaan ganjil. Kaki
kanannya kok seolah olah lebih
ringan. Parman tak habis
mengerti. Perlahan-lahan,
dengan jantung dagdig-duk ia
balik selimut yang menutupi kaki
kanannya. Dan ia melihatnya.
Kaki kanan Parman terbalut
oleh perban tebal. Sampai batas
lutut. Dari lutut ke bawah, ia
cuma melihat sprei yang putih
dan sedikit bercak-bercak darah.
"Kakiku...". Parman mendesis.
"Kemana kakiku?"
"Kemanapun ia cari, ia tidak
akan menemukan tulang
keringnya yang borok. Juga
betis. Juga telapak. Dan
jari-jemari. Yang bersisa
hanya dari lutut ke atas. Parman
terkesiap. Darah memancar dari
kepala kebagian bawah
tubuhnya sehingga wajah
Parman seketika jadi pucat pasi.
Keringat dingin membasahi
ketiak. Menetes. Terus. Terus.
Terus. Juga darah di pembuluh.
Menetes. Terus Terus. Terus.
Parman terbelalak.
Dan tiba-tiba:
'Kakiku!" ia berteriak lantang.
Pasien-pasien lain dalam sal
yang sama. tersentak dan semua
memperhatikan bagaimana
Parman berusaha duduk lantas
memegangi lutut kanannya
seraya memekik-mekik dan
menangis. Tak ada yang buka
suara. Semua ikut terharu.
Bahkan lupa pada penyakit yang
diderita masing-masing .Sal
yang beberapa saat sebelumnya
tenang dan diam, meledak oleh
jerit tangis Parman.
Hanya dalam beberapa detik,
terdengar langkah-langkah
sepatu berlari. Seorang perawat
laki-laki buru-buru masuk
kedalam. mendekati Parman dan
berusaha membujuknya.
"Tidurlah. Nanti lututnya
terganggu.'
Parman meraung:
"Tapi kakiku" ke mana kakiku".
Kemana?"
"Terpaksa dipotong. bung...".
Dipotong! Ya Tuhan.
Bagaimana aku akan berjalan.
Bagaimana?" 'Kakimu yang lain
masih sempurna. bung. Kalau
yang kanan tak di potong,
mungkin yang kiri' akan
terjangkit. Bahkan sampai
kepinggang. Ah, sudahlah.
Tidur, bung. Usahakan untuk
tidur. Perjalanan darah
mu harus normal kembali. Biar
kau lekas sembuh..."
"Sembuh!" jerit Parman. "Tanpa
kaki!"
"Kau bisa pakai tongkat":
"Tongkat ?", mata Parman
terbelalak." Lila akan marah
kalau ia lihat aku pakai
tongkat!"
Perawat itu... dan pasien-pasien
lainnya tidak tahu siapa Lila:
Yang ia tahu menyabarkan
Parman. Namun ia justru
mendapat X Perlawanan.
Sehingga terjadi dorong
mendorong. Perawat itu
berusaha mendorong bahu
Parman agar ia berbaring
kembali. Sebaliknya. Parman
berusaha melemparkan perawat
itu agar menjauhi dirinya.
Dokter yang dipanggil oleh
seorang pasien yang agak kuat
tubuhnya segera datang dan
menyuntikkan obat penenang ke
tubuh Parman.
Perlawanan Parman mulai
melemah.
Kemudian, sepasang matanya
yang basah. mulai redup. Ia
kemudian terbaring. Lesu.
Namun masih sempat
mengerang:
"Kakiku mereka potong: Lila.
Mereka potong"."
Dokter dan perawat juga
pasien-pasien lain menyangka
Parman mulai tertidur. Tetapi
proses dari kehilangan
kesadaran itu memerlukan waktu
itu dimanfaatkan oleh ingatan
Parman kembali pada
orang-orang yang
mengeroyoknya dihadapan
rumah pak lurah. ingatannya
semakin tertuju pada lurah itu.
Parman menggeram. Dan
tiba-tiba menjerit.
"Aku akan membalasmu, lurah
keparat."
Lalu, iapun jatuh tertidur
***
DALAM tidurnya Parman
melihat dirinya berjalan dengan
mempergunakan tongkat kayu.
Biasanya ia menempuh
perjalanan lima menit dari
mulut desa sampai ke depan
pintu rumah. Akan tetapi dengan
tongkat kayu itu ia memerlukan
waktu yang lebih lama.
Demikian lama dan melelahkan.
Sehingga tiba di depan pintu
tangannya sampai tidak bisa
terangkat untuk mengetuk. Lama
ia tersandar disana. Sampai Lila
sendiri membukakan pintu
untuknya.
Tidak ada suara yang keluar
dari mulutnya.
Parman ingin menangis. Ia
peluk Lila .Isterinyapun
menangis.
"Mereka potong kakiku,
sayang", Parman mengadu.
Lila masih tak menyahut. Ia
cuma membimbing tangan
suaminya masuk kedalam kamar
kemudian membaringkan
Parman diatas tempat tidur.
Setelah itu. ia duduk diatas
sebuah kursi. Memandangi
suaminya dengan sorot mata
penuh belas kasihan:
"Kau tak malu bersuamikan
laki-laki cacat, Lila?"
Isterinya menggelengkan
kepala:
"Aku tak akan bisa
kemana-mana lagi, Lila. Aku
terpaksa harus diam di rumah
saja.
Tidak bisa lagi cari uang"
Lila mengangguk pula.
"mengapa kau cuma
mengangguk" bicaralah".
Lila tidak bicara. Tubuhnya
malah mengabur. Lama-lama
berubah jadi kabut. Dari
tengah-tengah kabut itu ia
"Aku tak akan bisa
kemana-mana lagi, Lila. Aku
terpaksa harus diam di rumah
saja.
Tidak bisa lagi cari uang"
Lila mengangguk pula.
"mengapa kau cuma
mengangguk" bicaralah".
Lila tidak bicara. Tubuhnya
malah mengabur. Lama-lama
berubah jadi kabut. Dari
tengah-tengah kabut itu ia
dengar suara isterinya yang
menghiba:
"Sanggupkah kau kini
membalaskan sakit hatiku,
akang?"
PARMAN terkejut Bangun.
"Lila..." gumamnya. "Lila. Lila.
Lilaaaaa!"
suaranya kian keras. Pasien
disampingnya terbangun. Juga
satu dua orang pasien lainnya.
Ada yang menggerutu. Hanya
pasien di samping Parman yang
"Siapa kau?"
Orang itu membuka selimutnya.
Memandang Parman. Dan
berkata jengkel
'Tak bisakah kau diam bung."
Parman menelan liur. Seluruh
tubuhnya basah oleh keringat.
"Lila ku..." ia bersungut-sungut.
Pasien di sebelahnya tak jadi
tidur kembali Ia agak berminat
rupanya. "Dari tadi kau
menyebut-nyebut nama Lila.
Siapa Lila-mu itu?"
" .isteriku'
Kejengkelan di bawah pasien
sebelah Parman mereda.
"Aku juga punya isteri",
katanya. "Yang bertemu tadi
sore. Tetapi ia tak lagi sayang
padaku. Dua hari yang lalu
kutemukan ia menelungkup di
atas tubuh keponakanku. Di
kamar tidur kami. Isteriku
kupukul.
Keponakanku.membelanya.
Kami berkelahi. Pinggangku
kena ditusuk. Ini..." ia
memperlihatkan bagian
pinggangnya yang berbalut
perban. "Kau tahu betapa sakit
rasanya?"
"Kakiku sakit sekali..." Parman
bergumam tak karuan:
Pasien disebelahnya tak perduli.
Ia terus ngomong:
"Bukan pinggangku: Berapalah
rasa sakit tusukan pisau Yang
lebih sakit adalah tusukan
sembilu pada hati. Aduhai, tak
ada duanya. Untung aku masih
ingat pada anak-anak.
Keponakanku tak kuadukan
polisi. Cuma kuusir. isteriku
meratap-ratap Minta maaf.
Sebagai suami yang sudah
hidup belasan tahun denganku.
aku memaafkan dia Dengan
syarat. agar
ia tak mengulanginya lagi.
Kubilang padanya. sangat
memalukan kalau ...
lelaki itu berhenti bicara
Menoleh kesamping, ia lihat
Parman telah terbaring dengan
mata setengah terbuka. Dari
mulut Parman lepas dengkur
yang tersentaksentak. Mungkin
mengiringi irama rasa ngeri dan
ngilu dikaki. Atau mungkin juga
dihati. Orang yang menamakan
dirinya Handoko, seorang
pegawai toko yang ditusuk oleh
ponakannya sendiri serta
dihianati sang isteri itu, angkat
bahu. Lantas kembali menarik
selimut, menutupi seluruh
tubuhnya. Iapun lelah seperti
Parman lelah jasmani. Lelah
rohani. Dan dalam sekejap,
Handoko tertidur pulas.
Tetapi mana bisa Parman tidur
pulas seperti Handoko.
Ingatan pada kaki kanannya
yang tidak lengkap lagi:
membuat tidurnya tak nyenyak.
ingatan pada Lila, membuat
perasaannya tetap tergoncang.
Dinihari. la terbangun lagi
karena mimpi buruk melihat
isterinya terapung-apung
ditengah sungai dalam keadaan
setengah telanjang dan tubuhnya
berlumur darah. Parman
berusaha terjun kesungai. Mau
menolong. Tetapi kakinya
terantuk akar pohon.
Dengan suara berbisik. Parman
terguling
Bukan diatas akar-akar pohon
akan tetapi diatasjubin.
Malangnya, justru lutut kanan
Parman yang lebih dulu
menyentuh lantai. "Aduh '.ia
rewel"lantas merangkak
menggapai tepi tempat tidur
Sudah payah, ia berhasil
berdiri-. Namun susah sekali
naik kembali keatas kasur.
Dengan putus asa. Parman
menyadari kalau lutut kanannya
kembali mengucurkan darah.
Pembalutnya telah merah
karena kuyup oleh darah. Ia
menahan rasa sakit yang amat
sangat, lantas melakukan usaha
terakhir. Ia tekankan tumit
kuat-kuat kelantai lantas
melambungkan tubuh diudara.
Detik berikutnya, tubuhnya
Parman terbaring di atas
ranjang.
'Lututku...lututku...", Ia
mengerang.
Teringat pada ucapan perawat
sore harinya, ia menggeram.
'Tidak. Kaki yang lain tak boleh
di potong".
Lantas ia gapaikan tangan
kebesi kepala tempat tidur.
Darah semakin banyak juga
mengucur. Juga keringat.
Parman benar-benar hanya
memiliki sisa-sisa terakhir untuk
menggerakkan anggota badan,
pada tombol kecil berwarna
kuning yang bersambung pada
seutas kabel dinding. Ia tekan
kuat-kuat tombol itu, lantas
tangannya kemudian menggapai
disebelahnya. Lunglai. Tak
berdaya.
Lama ia menunggu. '
Matanya menatap kearah pintu
sal. Lama sekali. Lalu, pintu sal
terbuka. Muncul seorang.
Berpakaian seragam putih-putih.
Gerakan kakinya lamban.
Namun toh makin lama makin
dekat ketempat tidur Parman:
Dari samarsamar, Parman
kemudian melihat jelas siapa
orang itu. Seorang perempuan
dengan sepasang mata bundar,
hidung berbentuk manis mulut,
mungil yang kemerahan, dagu
yang melekuk lembut, leher yang
jenjang Tak sadar mulut Parman
melepas seruan terlepas seruan
ter
tahan.
"Lila, kau!"
SUSTER jaga pada malam itu
bengong seketika.
la sama sekali tidak mengerti
apa yang dimaksud oleh pasien
bernama Parman itu.
Tetapi kebengongan suster
segera lenyap setelah melihat
warna merah samar-samar
membasahi lantai. Sprei lebih
merah lagi oleh bercak-bercak
darah.
Terkejut, ia bergumam:
"Perdarahan!"
Seketika ia memutar tubuh.
bermaksud panggil dokter. ia
hampir terpekik saking kaget
waktu lengannya tiba-tiba
dicekal oleh pasien yang
menyebut dirinya Lila. dan
menganggap dirinya sudah...
'Tidak!" ujarnya tergopoh-gopoh
"Namaku Dorothea".
"Kau Lila! Lila!. Suara Parman
tiba-tiba berubah jadi keras.
Kemudian agak menghiba waktu
ia melanjutkan: "Sayangku.
Jangan pergi. Jangan lagi ya"
Jangan?" dan ia berusaha
menarik perempuan itu ke atas
tempat tidur. Suster mulai panik.
Ia berusaha melepaskan
cengkeraman tangan Parman.
Namun tenaga laki-laki yang
dalam keadaan luka payah itu
masih kuat sekali. Suster jadi
ingin menangis. Ingin menjerit.
kalau saja ia tidak ingat sebuah
pekikan akan membangunkan
seisi rumah sakit yang sedang
tertidur nyenyak. Ia akan malu
besar. Akan ditegor oleh atasan.
Akan...
"Lepaskan, bung", katanya
tergopoh-gopoh. "Kau perlu
pertolongan dokter".
"Dokter" Aku memerlukanmu,
Lila. Bukan dokter".
"Bung, lepaskan. Demi Tuhan!".
Mengapa. sayangku" Mengapa
kau panik dijamah oleh suamimu
sendiri?"
"Bung... bung mengigau".
"Tidak. Aku sadar seperti kau.
Lila".
"Namaku Tea. Dorothea !'.
"Kau Lila! Dan kau masih
hidup! Ini. Lenganmu hangat.
Bisa kugenggam. Berarti kau
bukan hantunya Lila. Kata
mereka kau telah mati. Ditanam
dipekuburan kampung kita. Lalu
siapa yang mereka tanam dalam
kuburan itu, Lila" Siapa"
bukankah, kau Lila!"
Rentetan kata-kata yang berbau
kematian itu membuat suster
semakin panik. Pikirannya
berkecamuk. Yang ia hadapi
laki-laki. Tidak pernah ia takut
terhadap laki-laki. Yang ia
takutkan laki-laki ini berbicara
tentang seseorang bernama Lila
yang telah mati. Yang telah
dikubur. Pasien ini berbicara
tentang
orang mati. Dan.. dan hantu,
Tengah malam buta begini..
Dalam keadaan putus asa
karena tekanan bathin yang
menegangkan sebelah
tangannya yang bebas
menggapai-gapai, berusaha
mencari tombol berwarna merah
dikepala tempat tidur. Ia tekan
terus, terus dan terus sambil
terus pula berusaha melepaskan
tangan yang lain dari betotan
pasien yang sudah setengah gila
dipengaruhi
bayangan-bayangannya yang
jauh lebih gila itu. Hanya dalam
beberapa detik seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar telah
muncul di dalam sal, berlari
kearah kedua orang yang
sedang bergumul itu dan
membantu melepaskan betotan
Parman dilengan suster.
"Siapa orang ini, Lila" Kenapa
kau panggil dia" Siapa dia"
Parman tiba-tiba membentak"
Satu dua orang pasien
disekitarnya terbangun. Lantas
menggerutu. "Kau lelah, bung?"
bersungut-sungut perawat
laki-laki yang datang
belakangan. Dan pada suster
yang berdiri kebingungan
setelah lengannya lepas dari
cekalan Parman, ia bergumam.
"Obat penenang. Cepat!"
"Tidak!" jerit Parman ketika
melihat suster berlari keluar
"Aku butuhkan dia. Dia isteriku.
Lepaskan, lepaskan aku. Biarkan
aku bertemu dengan Lila.
Biarkan!"
"Bung, kau bermimpi!"
"Tidak! Tidak! Tidaaaak!"
"Siapa kau" Mengapa turut
campur urusan rumah tangga
orang?"
"Bung ini rumah sakit!"
"Aku tahu. Aku tahu. Tetapi
istriku?"
"Ia suster. Tenanglah. Kami
akan menolong bung"
Parman terus berteriak-teriak
sehingga seisi sal terbangun.
Semua memperhatikan
bagaimana seorang petugas
telah memegangi Parman.
Beberapa orang
menyumpah-nyumpah, kemudian
tidur seraya menekankan bantal
guling ketelinga. Yang lain
duduk mencangkung. Ada pula
yang tetap berbaring, seraya
menghela nafas. Seorang pasien
yang sudah lama ngendon disal
itu karena tekanan darah tinggi
berteriak lantang:
"Suruh diam dia! Suruh diam!"
Tetapi orang itulah yang
kemudian disuruh diam seorang
petugas lain yang segera datang
bersama dengan munculnya
suster bersama Dorothea. Suster
itu tidak berani dekat-dekat
ketempat tidur Parman ia hanya
memperhatikan dari jauh kedua
orang rekannya berusaha
menekan Parman agar terbaring
seperti biasa, lantas
menyuntikan 'obat penenang
kelengan kirinya .Parman sesaat
masih menuding-nuding kearah
Dorothea seraya
berteriak-teriak:
"Tolonglah aku, Lila!
Tolonglah! Mereka akan
membunuhku. Kawan-kawanmu
ini anak buah pak lurah. Mereka
akan membunuhku. Lila,
kasihanilah suamimu.
Kasihanilah sayangku,
kasihanilah... mereka... mereka
akan..." dan kepalanya
kemudian terkulai!" Sepasang
matanya terkatup. Lesu. Tak
lama kemudian nafasnya yang
kembang kempis, mulai bergerak
"
teratur. la sama sekali tidak
sadar bagaimana dokter yang
segera datang setelah dipanggil,
memperbaiki gips di lututnya,
membedah beberapa bagian
kecil secara kilat ditempat itu
juga setelah pasien-pasien lain
disuruh tidur oleh Dorothea
menarik nafas. Ia tatap wajah
pasien yang pucat pasi itu.
Ia kira, ia sendiri sama
pucatnya. Tak heran, suaranya
bergetar:
"la bilang aku Lila. Isterinya.
Yang telah mati..." dan ia
menggigil kembali kemudian
tersuruk-suruk mengikuti
rekan-rekannya yang keluar dari
dalam sal.
***
SEMBILAN
KETIKA PARMAN terbangun,
hari sudah siang.
Lutut kanannya
berdenyut-denyut, tetapi tidak
lagi sesakit tadi malam. Tadi
malam! Rasa-rasanya tadi
malam ia mengalami sesuatu.
Seperti ia melihat Lila masuk ke
dalam sal, akan tetapi bukan
untuk memeluknya dengan
penuh rasa kasih sayang
seorang isteri, melainkan malah
berusaha melarikan diri setelah
mendatangkan beberapa orang
laki-laki. Bermimpikah ia"
Dan pada pasien disebelahnya,
yang rupanya terus
memperhatikan Parman
semenjak terbangun, ia
mengulangi pertanyaan yang
tersirat di benak.
"Bermimpikah aku, saudara
Handoko?"
kejadian itu adalah kenyataan.
Betapa ingin ia melihat
isterinya, Lila masih hidup,
meski Lila telah tidak menyukai
dia lagi. Ya, siapa tahu lila
masih hidup" Toh Parman
sendiri belum membongkar
kuburan isterinya" Hanya
orangorang kampung yang
mengatakan isterinya telah mati.
Dan mertua perempuannya yang
sudah benar-benar pikun itu!
Kalau saja.. kalau saja Lila
masih hidup... ah, akan sudikah
Lila lagi mencintai Parman yang
sudah tak punya masa depan
sama sekali" Dan sudah tidak
punya sebelah kaki" Lalu, lalu
apa yang harus dilakukan
Parman, kalaupun toh ia sembuh
tanpa sebelah kaki" Untuk apa
ia hidup"
'... kau tentunya sangat
mencintai isterimu, bukan?"
pegawai toko bernama Handoko
itu tiba-tiba bertanya.
"Ya," sahut Parman.
"Diapun mencintaimu?"
"Ya, suara Parman ragu-ragu."
"'Kenapa kau ragu?"
'.. kaki kananku sudau dipotong
Mana mungkin Lila mencintaiku
lagi?"
"Mencintaimu lagi" Tetapi kau
katakan, isterimu sudah mati!"
Parman menghela nafas. Berat.
"Yah. Kata mereka isteriku telah
mati
Orang-orang kampung itu. Dan
lurah. Yang telah mengusir
bahkan ingin melenyapkan aku
dari muka bumi ini?"
"Melenyapkan kau"'
parman manggut-manggut.
"Mungkin juga mereka pula
yang telah melenyapkan
isteriku," gerutunya dengan
suara tersendat. Ya. Pasti
mereka, kalau Lila benarbenar
telah mati. Bukankah Parman
telah menemukan kutang
isterinya tersangkut dipinggir
cadas yang membatasi bagian
belakang rumah lurah dengan
sungai di bawahnya" Pasti!
Pasti! Pasti lurah itu yang telah
membunuh isterinya. Bahkan
tidak saja membunuh. Sebelum
Lila mati, lurah telah" terkutuk.
Terkutuklah lurah keparat itu.
Setelah Parman membelanya
mati-matian sehingga tidak ikut
terpenjara demi hidup isteri dan
mertua Parman, tak tahunya
orang bermuka manis namun
berhati bejat itu jadi pagar
makan tanaman.
"Hem! Untuk dialah aku harus
tetap hidup," Parman
menggeram. "Dia" Dia siapa?"
tukas Handoko.
"Lurah itu."
"Ah. Saudara Parman," pegawai
toko Handoko itu angkat bahu.
"Tak baik membalas dendam.
Aku tahu apa yang diperbuat
lurah terhadap almarhumah
isterimu. Ataupun pada kau
Tetapi. kau lihat bukan"
Ponakanku tidak kuadukan ke
polisi. Isteriku kumaafkan. Demi
anak-anak kami. Demi masa
depan kami...."
"Kau punya anak. Punya isteri.
Punya masa depan . Aku ?"."
sungut Parman Kemudian ia
membalikkan tubuh Berusaha
mengatupkan mata memikirkan
cara apa yang ia lakukan untuk
membunuh lurah sebagai
pembalas sakit
hatinya. serta kematian isterinya
sanggupkah niat itu ia
laksanakan dengan kaki
kanannya buntung" Lalu
bagaimana dengan orang-orang
kampung" Mereka akan
bertempur untuk membela lurah
yang mereka anggap sangat
berjanji di depan makam
Isterinya serta pada saat-saat
dimana bayangan Lila muncul
diantara kabut yang menyelimuti
klinik tempat Parman di rawat
pertama kali, maulah ia
hantam-hantamkan saja lututnya
yang buntung kelantai atau
mencabut tombol bel dan
menempelkan ujung kabel
ketubuh sehingga ia mati karena
dihisap stroom listrik.
"Tidak, Lila sayangku,"
seringkali ia bergumam tiap kali
pikiran nekad hampir
mempengaruhi rasa putus
asanya. "Kau telah menolongku
malam itu di klinik. Aku tahu
matimu penasaran. Aku akan
menolongmu menyempurnakan
kematian. Semoga kau tabah.
sayangku dan..."
Dan terngiang-ngiang ucapan
isterinya dua
tahun yang lalu, ketika ia diseret
polisi karena terlibat
perampokan-perampokan:
"Kau akan kutunggu sampai
mati, kang Parman!"
Sampai mati! Waktu itu, ucapan
Lila ia anggap hanyalah ucapan
seorang isteri yang ingin
menunjukkan kesetiaannya yang
murni, siapapun dan apapun
juga pekerjaan suaminya. Itulah
cinta. Demi cinta Parman
bekerja sama dengan lurah
untuk mengumpulkan harta yang
bisa ia persembahkan bagi
isterinya. Demi cinta ia masuk
penjara. Demi cinta isterinya
menunggu sampai ia keluar dari
penjara. la yakin demi cinta
pulalah isterinya sampai mati
penasaran. Lila tetap akan
menunggu Parman. Sampai
matinya. Untuk bertemu
kembali. Biarpun di alam baka.
Tetapi tidak. Sebelum Parman
membalaskan dendam mereka
bersama!
Dengan tekad yang bulat itu
Parman berusaha untuk tetap
hidup. Hari demi hari ia
berangsur sembuh. Kemudian ia
dituntun oleh beberapa suster
atau perawat laki-laki seraya
bergantian. Mula-mula
disepanjang gang dalam sal.
Terus ke kebun bunga. Lama
kelamaan mereka melepaskan
Parman bergerak sendirian.
Dengan tongkat yang tercapit di
ketiak kanannya. Ibu Lasmi.
Bekas isteri lurah sekali dua
berkunjung bersama calon
suami dan anaknya.
Mereka pulalah yang membayar
segala biaya perawatan Parman
selama di rumah sakit. Pada
mereka, Parman berjanji dalam
hati,
kalau diizinkan Tuhan, ingin
membalas jasa. Tidak dengan
harta, paling dengan do'a.
***
SEPULUH
LUBANG HIDUNG Parman
mengembung. Udara segera
menerobos masuk lewat jendela
sal yang baru saja dibuka oleh
seorang suster. Dihirupnya
dalam-dalam. Sesaat ia
berusaha duduk tenang-tenang
di pinggir tempat tidur.
Kemudian ia sambar tongkat
kayu yang tersandar ke tembok.
Ia lekatkan di bawah ketiak
kanan, dengan bantuan tongkat
berjalan ke arah pintu.
Seorang petugas laki-laki
tersenyum padanya. Ramah,
"Selamat pagi," kata orang itu.
"Pagi."
"Enak tidurnya semalam?"
"Ya. Seenak enaknya tidur di
rumah sakit dengan pikiran tak
lepas dari bayangan sebelah
kaki yang hilang."
"Sabarlah. Nanti juga terbiasa
pakai tongkat"
"Terima kasih."
"Tidak mandi dulu?"
"Ah. Seminggu terbaring di
tempat tidur, saya sudah
terbiasa di-lap. Nanti sajalah
lagi .."
Lantas ia meninggalkan petugas
yang cuma bisa memandang
laki-laki yang malang itu dengan
mata bersimpati. Suara ketukan
tongkat kayu diketiak Parman
bergema sepanjang korridor.
Seorang dua suster menoleh.
Kemudian mengangguk seraya
tersenyum. Seorang pasien ia
lihat sedang berlari-lari kecil
dikorridor. Nafasnya
terengah-engah. Keluar dari
mulut yang kering setelah
melewati leher yang tipis. Wajah
pasien itu juga tipis. Setipis
tubuh yang tersembunyi dibalik
piyama tidur yang tampaknya
sudah beberapa hari tak diganti.
Sering Parman melihat lelaki
kurus itu melakukan olah raga
kecil, pagi, sore. Kata seorang
suster, terkena rheumatik yang
akut sudah sering berlangganan
dengan rumah sakit. Tiap
keluar, selalu tak lama lagi pasti
kembali.
"Pantas matanya begitu layu,"
bisik Parman dalam hati, ketika
berpapasan dengan pasien itu.
Dan ketika mata si pasien
terpaut pada kaki kanan Parman
yang buntung. Parman
mengeluh, juga dalam hati:
"Namun ia lebih beruntung. Bisa
berjalan bisa berlari. Dengan
kedua kakinya.?"
Parman melangkah terus.
Tersuruk-suruk. Dengan tongkat
berdetuk-detuk.
Dan bergumam lagi:
"Bisakah kubalaskan dendamku
dengan kaki yang buntung
begini?"
Pikiran Parman melambung ke
masa silam. Ketika kedua orang
tuanya meninggal karena
dimakan kolera, ia tidak
berputus asa. Mungkin karena
waktu itu ia masih berumur
belasan tahun, belum mengenal
bagaimana sebenarnya susah
hidup ini. Lebih-lebih setelah ia
diangkat sebagai pembantu di
rumah pak lurah. Tidur cukup.
Makan cukup. Dimanja bagai
anak sendiri. Bahkan kemudian
lebih dari itu, ketika suatu
malam isteri lurah ibu Lasmi
masuk ke kamar tidur kemudian
mencium bibirnya. Harihari
berikutnya, tak saja mencium.
Juga menggelut. Dan
melampiaskan Parman ke
sebuah penghidupan lain. Yang
indah. Yang bergairah. Panas.
Membara.
Ia juga tidak begitu berputus asa
ketika pada saat lain, bukan ibu
Lasmi saja yang dengan
setengah paksa menggelut
tubuhnya. Akan tetapi juga,
suami perempuan itu.
Mengerikan memang Laki-laki.
Dengan lakilaki. la cuma
terkaget. Panik. Dan takut.
Mulamula. Lama-lama terbiasa.
Lebih-lebih kebutuhan hidupnya
semakin dipenuhi. Sampai benda
lembut yang mengerikan yang
selalu tersimpan dalam kotak
hitam di kamar pak lurah, ter
genggam di tangannya. Mayat
bayi yang tidak saja di awetkan.
Tetapi kemudian juga diciutkan.
Dengan itu. Parman leluasa
pergi kedesadesa lain. Juga ke
kota. Mengambil harta milik
orang lain dengan leluasa, tanpa
sekalipun ketahuan.
Ketika kekebalan mayat bayi
yang menciut itu punah karena
selembar rambut perempuan
lacur terselip di kuku Parman
sehingga rahasianya terbongkar,
iapun tidak merasa berputus
asa. Betapa tidak. Ketika
ditangkap polisi, Lila cuma
menangis tersedu, akan tetapi
tidak menyesali perbuatan
suaminya. Karena semua itu
demi rumah tangga mereka,
perkawinan yang tanpa modal.
"Kau akan kutunggu".
terngiang-ngiang ucapan Lila.
"Sampai mati. akan kutunggu
dengan janji setia itu. Parman
bisa melampaui hidup yang
sengsara selama terpenjara.
Terjauh dari dunia luar, terjauh
dari cinta dan tubuh isterinya
sempat membuat Parman
kehilangan gairah untuk hidup.
Namun tak sempat sampai
berputus asa Dengan harapan
keluar dari penjara, ia masih
memiliki sesuatu yang paling
berharga di dunia ini: Lila.
Tetapi kini Lila sudah tiada.
Juga sebelah kakinya.
"Tidak!" mulutnya berdecip.
"Aku tak boleh berputus asa.
Demi Lila!"
Detuk-detuk tongkatnya
bergema lagi sepahjang
korridor.
Entah sudah berapa puluh meter
ia berjalan. Tubuhnya lelah.
Terutama pUndak kanan
yang menahan tekanan tongkat.
Lengan. apalagi. Tetapi ia tidak
mau berhenti. Ia harus terus.
Terus. Dan terus. Ia harus kuat.
Ia tidak boleh menyerah. Dokter
bilang, beberapa hari lagi
luka-luka bedah di lutut
kanannya akan mengering. Lalu
ia boleh pulang.
"Kemana !", sesaat ia teringat.
"Ya. Ke mana?"
"Pintu rumah kami terbuka lebar
untuk kamu, Parman,"
terngiang-ngiang pula ucapan
bu lasmi tiap kali datang bezuk.
Bibir Parman kering. Memang.
la yakin bu Lasmi tidak akan
menutup pintu baginya. Tetapi
pantaskah" Bu Lasmi akan
segera menikah, setelah cukup
lama bertahan jadi janda. Ia tak
lagi akan sendiri di rumahnya.
Ia akan ditemani suaminya yang
kedua. Suami yang tampaknya
bertanggung jawab. Dan tidak
bisex seperti suami pertama bu
lasmi Lurah terkutuk itu. Yang
menyebabkan Parman mengenal
hangatnya tubuh perempuan
sebelum waktunya. Bisakah
kehangatan tubuh perempuan itu
ia tekan dan buang jauh-jauh
selama ia tinggal bersama ibu
Lasmi nanti" .
"O, andai saja," keluhnya halus.
"Andai saja ' Lila masih hidup?"
Dan tiba-tiba. hatinya yang
terkoyak berdenyut. Keras.
Seorang perempuan berpakaian
seragam putih-putih, keluar dari
pintu sebuah kamar.
Detuk-detuk tongkat kayu yang
terhenti tibatiba menarik
perhatian siperempuan. Ia meno
leh. Hati Parman semakin
berdenyut. Jantungnya, apalagi.
Ia ternganga, perempuan itu
juga ternganga. Sepasang bola
matanya yang bundar sesaat
membesar. Mulutnya tergagap.
Seperti mau berkata sesuatu.
Tetapi tertahan di tenggorokan.
Dan parman mendahului:
"... Lila," ia setengah berbisik.
Lalu, setengah berseru: 'Lila!".
Tongkatnya berdetuk detuk
kencang. la setengah berlari
perempuan itu menjadi pucat
waiahnya. Lalu bergerak
mundur. "Lila! Lila! Lila!
Belasan pasang mata petugas
dan pasien yang sedang berada
di luar, terpusat pada Parman
yang menyeret-nyeret sebelah
kakinya dengan tongkat kayu
yang seperti menggapai gapai.
Keheningan pagi, dipecahkan
oleh detuk-detuk tongkat dan
suara Parman yang
memanggil-manggil. Semua
terpukau. Tak mengerti. Dan tak
tahu mau berbuat apa-apa.
Sampai disebuah lorong yang
bersudut empat, Parman
tertegun dengan mata liar
mencaricari. lorong itu sepi.
Salah satu, berakhir di pintu
kamar mati. Parman membasahi
bibirnya yang kering.
Kemudian, tersuruk-suruk
berjalan lurus ke kamar mati. '
"Lila?" suaranya setengah
menangis. "Mengapa kau lari?"
Mengapa kau lari?"
Tiba di pintu kamar mati. ia
coba membukanya. Terkunci.
Dengan sekuat suara. Parman
berteriak:
"Lila, bukalah pintu. Bukalah!"
Sepi. Diam.
"Bencikah kau padaku, Lila"
Bencikah" Karena aku cacad?"
Sepi lagi. Diam lagi. Mencekam,
sesepi dan sediam pintu kamar
mati yang tetap tertutup.
Akhirnya, kesabaran Parman
habis. Ia menjadi marah.
Merasa dipermainkan. Merasa
terhina. Oleh isterinya sendiri.
Yang ia cintai, dan katanya
mencintai dirinya. Yang akan
setia menunggunya. Sampai
mati, dengan kemarahan yang
bergumpal-gumpal di dada,
Parman memukul-mukul pintu
kamar mati. Kemudian
menghantamnya berulang-ulang
dengan tongkat kayunya.
Berdentam-dentam. Suara
hingar bingar segera memenuhi
sekitar tempat itu. Tidak lagi
berbelas-belas. tetapi sudah
berpuluh-puluh bahkan mungkin
beratus-"ratus pasang mata
memperhatikan kejadian di
depan pintu kamar mati yang
terkunci rapat itu.
'Buka! Buka! Buka! Lila, buka.
Lilaaaaa!".
Beberapa orang petugas
laki-laki mendekat dari belakang
Parman. Setelah saling
pandang, seseorang berkata
hati-hati.
"Bung, tak ada apa-apa di
dalam."
Parman membalikkan tubuh.
Wajahnya merah padam.
Matanya kelabu, "Tak ada?" ia
bersungut-sungut. "Isteriku.
Isteriku ada di dalam". _
'Isterimu?"
Petugas-petugas itu kembali
saling berpandangan.
"lsteriku! Isteriku, dengar" Ia
lari dariku.
dan bersembunyi di dalam.
Mana: kunci pintu" Mana?"
Seraya menelan ludah, laki-laki
tadi berkata: .
"Itu pintu kamar mati, bung".
Parman menghentak hentakkan
tongkat kayunya kelantai lorong.
Berteriak-teriak:
"lsteriku memang sudah mati.
Sudah mati.
Seorang diantara perawat
laki-laki itu bergidik. Yang
seorang bergerak maju.
Tersenyum dibibir, tetapi cemas
dihati. Dalam hati kecilnya
orang itu menggelinding
dugaan-dugaan: 'Pasien ini
sudah gila. Benar-benar gila!"
Dan kedua lengannya
terkembang kedepan. Berusaha
memegang tangan Parman.
Yang mau dipegang, bergerak
mundur, dan bertahan ke pintu
kamar mati.
"Mau apa kau?". suaranya
serak. "Mana kunci?" '
"Kemarilah, bung, Kau harus
kembali ke tempatmu".
"Kembali?" mata Parman
membesar.
'Tidak Aku tak sudi. Tanpa Lila".
"Bung', kata petugas dengan
sabar "Kau bilang, istrimu
sudah mati. Berarti ia tak ada
disini, bukan?"
"Di dalam! Ia ada di dalam'"
"Bung. tak ada apa-apa Kamar
mati itu kosong'.
"Tidak. Tidak! Tidaaaak!"
"Petugas-petugas lainjuga mulai
mendekat mengitari Parman.
Tongkat kayu ditangm Parman
segera teracung ke udara.
"Mengapa kalian mengepungku"
tanyanya dengan suara tak puas.
"Kalian mau melarang aku
bertemu dengan isteriku, eh"
kalian mau menyembunyikannya
dikamar mati'! Membiarkan ia
sepi sendiri" kalian
menyiksanya. Kalian
membunuhnya. Kalian
antek-antek lurah. Kalian pasti
anak buahnya".
Dan tongkat kayu Parman
melayang diudara. Petugas yang
terdekat segera membungkuk,
kemudian menyambar kaki kiri
Parman yang masih utuh.
Parman terhenyak. Tongkat
kayu ditangannya mau ia
hujamkan kebawah. Akan tetapi,
petugas lain segera bertindak.
Seorang menyambar ayunan
tongkat, seorang lagi
memegangi lengannya. dan yang
lain berusaha memeluk
pinggangnya, Parman
meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku!
Kubunuh kalian! Kubunuh
kalian". _
Ditonton banyak orang. Parman
berhasil diringkus. Ia menangis
setelah kedua lengannya dibetot
kebelakang punggung, dan
tubuhnya diangkat oleh
petugas-petugas itu. Ia menangis
tersedu-sedu.
'".O. kakiku. Kakiku !'.
Kemudian perlawanannya
terhenti. Ia menangis.
"Lila, mengapa kau tega"
Mengapa, sayangku?"
Petugas-petugas yang
membopongnya sa
ling berpandangan kemudian
saling mengangguk Mengerti
Sama-sama sependapat: pasien
ini histeris. Atau bermimpi
waktu tidur. Dan setelah
bangun, terpengaruh oleh
impian pada isterinya. Tetapi
kekamar mati" hi! Mungkin
pasien ini sudah rusak jiwanya.
Mungkin. Lakilaki malang!
"Kasihan..." seorang pasien
perempuan ber
ucap.
"Ya. Kasihan" kata orang lain
didekat.
Dengan perasaan kasihan,
kedua pasien itu masuk kembali
kekamarnya. Sesaat. Mereka
tertegun dan pucat saking kaget,
ketika sesosok tuouh berpakaian
putih-putih dan berwajah pucat
pasi muncul dari-balik pintu.
Ingatan mereka lari pada pasien
aneh tadi.
Dan.. kamar mati! Namun
setelah mengenal perempuan
cantik yang tersenyum ramah
dihadapan mereka, kedua pasien
tadi menjadi lega. Seorang
diantaranya bergumam:
"Ah suster Tea, Kirain" apa"
Dorothea, tetap tersenyum kaku.
Kemudian melangkah. Kaku.
***
SEBELAS
MASIH DENGAN wajah pucat.
Dorothea masuk keruangan
kantor di sebelah utara rumah
sakit. Seorang petugas yang
sedang membereskan sejumlah
arsip di atas meja menoleh
sekilas. Kemudian meneruskan
pekerjaannya. Biasa, kalau
sepagi itu sudah ada suster
muncul dengan wajah pucat.
Apalagi, suster yang baru
bertugasjuga malam. Tetapi...
"... he, Tea. Kau tak tugas
malam tadi bukan?"
Dorothea duduk disebuah kursi.
Tubuhnya menggigil. "Tidak",
katanya. Antara terdengar dan
tidak:
"Kok: Wajahmu pucat. Sakit?"
Dorothea menggeleng
"Baru lihat pasien yang mati?"
Mendengar itu, wajah Dorothea
terdongak. Makin pucat.
Pasien mati" Apa anehnya"
kemudian kepalanya terkulai
lagi. Layu, diatas leher yang
manis. Jenjang... mati,
gumamnya. Laki-laki itu bidara
soal isterinya yang mati lagi.
Kali ini... didepan kamar mati"
Temannya yang sedang
memberes-bereskan arsip,
memandang penuh perhatian.
"Naa, apa kubilang," katanya.
"Jangan percaya laki-laki?"
"Engga usah meledek Nur."
"Habis. Marah main laki
didepan kamar mati! Apaan?"
"Siapa bilang!"
"Lho. Tadi kau bilang..."
"Ah. Kau. Mengada-ada saja.
Aku cuma bilang laki-laki itu
bicara soal isterinya yang sudah
mati!" .
"Tentu saja. Supaya kau
bersedia menerima cintanya. Eh.
omong-omong. laki-laki pasien
atau... Ha. Pasti dokter Nata,
ya?"
'Nata?" rungut Dorothea. Tak
bersemangat.
"lyalah. Dokter Nata. Ia kan
sudah duda"
"Yang benar saja", Dorothea
tersenyum. Wajahnya mulai
memerah kembali. Laki-laki tua
renta begitu" Huh"
"Tua-tua sih, kalau sedang jatuh
cinta. Coba. Kalau kasih kuliah,
apa engga sering matanya
melirik-lirik kau?"
"Tak pernah kuperhatikan,
sungut Dorothea seraya angkat
bahu. Lagi pula, yang benar saja
kau. Dokter kan harus jaga
gengsi. Masa pacaran didepan
kamar mati. Pagi begini?"
Gengsi ya tinggal gengsi. Tapi
kalau cinta bicara...
SUdah, Sudah Bosan!
Nur tertawa. Katanya:
Kalau begitu, Parno ya"
Parno"
Alaa. Yang paling rajin
menyalinkan hasil kuliah kebuku
Catatanmu, tiap kali kau absen...
Jangan mengada-ada Nur!
Khawatir musti begitu.
Musti bagaimana" Menulis
diakhir catatan: Tea. Tea-ku.
Begitu"
Ia iseng sih.
Apakah dokter Pandi juga iseng,
sampaisampai ia meremehkan
isterinya yang suka main kontrol
kerumah sakit. kalau ia tahu
sang suami yang anti cewek itu
sering memakai kau sebagai
partner di kamar bedah?"
"Ia membedah pasien. Bukan
membedah tubuhku".
"Tubuhmu sih tidak.
Pakaianmu"'
"E e, Nur...!'
"Engga ngaku?"
Dengan dongkol. Dorothea
mengeluh:
"Kau kan kenal mama. Paling
benci laki-laki yang sudah
beristeri, tetapi masih coba
dekatin perempuan".
"Kau?"
"Aku?", Dorothea angkat bahu,
'Kuhargai mamaku".
"Kalau begitu. siapa lagi Tea"
Dokter Nata tidak, Parno tidak.
Dokter Andi juga tidak. Pasien
ya?"
Dorothea menghela nafas.
Sahutnya:
"Ya".
Nur tertawa lebar.
"Biasa, Pasien laki-laki memang
suka be
gitu. Kita tak ambil open.
dibilang judes Serba salah".
"Ya ini lain".
"Lain?".
"Ia malah sangka aku ini
isterinya".
Nur mengernyitkan dahi. Lalu:
"Kau maksud.... pasien bernama
Parman yang berusaha memeluk
tubuhmu beberapa malam yang
lalu?"
"He-eh".
Wajah Nurjadi serius. Katanya:
"Diapainnya pula kau tadi?"
"Dikejar. Aku lantas
bersembunyi di balik pintu
kamar kelas tiga. la sangka aku
bersembunyi dikamar mati..."
"Ka...mar mati?"
"He-eh Kau takut" Aku apalagi.
Ketahananku menghadapi
orang-orang mati atau yang
sekarat menjelang mati selama
ini, punah begitu saja. Laki-laki
itu tampaknya bukan saja
menganggap aku sebagai
isterinya.. tetapi juga.. juga
sebagai hantu isterinya. Hi!.
"Kau percaya hantu?"
"Dan kau?", Dorothea balik
bertanya.
'.... kata orang. disekitar kamar
mati suka berisik kalau malam
hari, apalagi kalau malam
Jum'at. Malah pernah katanya
ada yang lihat. Penjual bakso. Ia
disuruh berhenti dan baksonya
dibeli seseorang. Setelah
baksonya habis orang itu pergi.
Tak bayar. Penjual bakso
nyusul. Tetapi orang itu
menghilang dibalik pintu kamar
mati. Penjual bakso itu panik.
lari.
Menabrak dengannya. Tumpah.
Berantakan. Lalu seorang rekan
juga pernah lihat perempuan
cekikikan didepan kamar mati.
Mulamula disangka suster yang
lagi pacaran. Tetapi suara
cekikikan berubah minta tolong.
Rekan itu mendatangi,
bermakSUd menolong. Tetapi
disekitar kamar mati tak ada
apa-apa?".
"Kau percaya semua
cerita-cerita itu, Nur?".
"Ya, bagaimana ya. Dan kau"!"
"Kok nanya aku lagi".
"Kau percaya?"
"Tidak. Sebelum melihat atau
mengalami sendiri".
"Kau mau?".
Dorothea tertawa. Parau.
Rungutnya:
"Engga dong!"
Mereka tertawa. Berbarengan.
Tawa mereka baru terhenti
ketika seorang laki-laki masuk
kedalam. Setelah melihat siapa
yang masuk, Nur mengerling
pada Dorothea. Kemudian
meneruskan pekerjaannya.
Pura-pura asyik. Tetapi cuping
telinganya mengembung.
Nguping Ia dengar:
?" kau kucari-cari dari tadi Tea"
Ekor mata Nur melirik. Ia lihat
laki-laki tadi duduk disebelah
Dorothea. Wajahnya tampak
segar dan kemerahan. Pikir Nur
dalam hati: bukan karena udara
panas. Di luar kan masih pagi.
Matahari '" belum nongol. Hem,
pasti jantung si pria
berdentang-dentang seperti jam
dinding yang baru direeparasi.
Lantang Bersemangat. Hem. *"
'Bagaimana pasien itu?", tanya
Dorothea.
"Sudah diberi obat penenang".
"Masih. normalkan ia?"
"Tampaknya begitu".
"Tadi ia kukira sudah gila".
"Kukira juga begitu".
"Ia menangis ya?".
"Ya. Sedih karena kakinya
buntung. Biasa".
Dorothea menarik nafas.
"Kasihan". dengusnya.
Laki-laki yang duduk
disebelahnya, menoleh pada
Dorothea. Memperhatikan
wajah gadis itu dengan seksama.
"Kau menaruh perhatian
padanya?".
"Siapa?", Dorothea terkejut.
"Parman".
"Pasien itu". Dorothea tertawa.
Tugasku.
Sebagai suster" "Hanya sebagai
suster"'.
"Suster. Tak lebih".
"Syukur", laki-laki itu berkata
dengan suara lega. '
"Mengapa"'
Laki-laki itu tak menoleh. Yang
menoleh justeru perempuan
dibelakang meja. Nur. Matanya
bermain. Dorothea membalas
dengan pelototan yang tidak
kepalang besarnya. Nur
menaruh telapak tangan
dimulut. Menahan gelak tawa
yang mau terburai keluar. Lalu
berpura-pura asyik lagi. Dengan
pekerjaannya di meja. Tetapi
arsip itu sama sekali tak menarik
perhatiannya. Disamping SUdah
rutin sehingga kadang-kadang
membosankan, juga
tapi
karena tingkah laku orang yang
sedang jatuh cinta memang
selalu sangat menarik
perhatiannya. Disamping sudah
rutin sehingga kadangkadang
membosankan, juga karena
tingkah laku orang yang sedang
jatuh cinta memang selalu
sangat menarik perhatian.
Meskipun cuma dengan
mendengar doang. Sambil harap
harap cemas kalau ketahuan
nguping. Bisa diusir!
"Mengapa, Parno?", Dorothea
seolah-olah mendesak sambil
menahan senyum di mulut.
Parno menoleh pada Dorothea.
Tersipu. Menoleh kearah lain.
Terbentur pada Nur yang
sedang pura-pura tekun. Lalu:
"Ah. Tidak apaapa".
"Syukurlah, ganti Dorothea yang
mengucapkan apa yang sesaat
sebelumnya diucapkan si lelaki.
Yang mendengarkan terpana
sesaat. Memandang tak mengerti
pada Dorothea. Matanya
membayang kecemasan. Meski
mulutnya berusaha tersenyum.
Betapa kaku.
"Lututnya tak kambuh lagi,
Parno?"
"Lutut?" Parno tersenggap.
"Lutut siapa?"
"Pasien itu"
"Pasien itu lagi Pasien itu lagi.
Apa salahnya kita bicara soal
lain saja, Tea" Banyak halhal
yang lebih menarik dari pada
soal soal. pasien.."
"Pasien selalu menarik.
Terutama tentang
perkembangan kesehatannya.
Dan jiwanya. ' lumayan toh"
Menambah pengetahuan teoritis
tentang psykologi dalam kuliah
bukan?"
"Oh ya. Ya!", Laki-laki itu
berusaha mengelak. Biar tak
puas. Dimejanya, Nur tersenyum
senyum kecil.
"Kau tak kena tadi?"
"Tidak"
?"aku bisa gemetar melihat
bagaimana si Parman itu tadi
mengamuk. Kau berani juga
Parno; berusaha menyadarkan
orang yang histeris dan ngamuk
begitu".
"Demi tugas".
"Nah. Hari ini kita sama-sama
punya tugas, bukan" Ah, hampir
saja aku lupa", Dorothea
berdiri: "Ketika bentrok dengan
si Parman itu. aku baru saja
keluar dari sebuah sal. Ada
pasien perempuan kecil yang
harus di infuse. Katanya baru
masuk subuh hari tadi, karena
kecelakaan. Oh ya, Parno. Mau
kau tolong panggilkan dokter
Dunil" Ia yang menolong
perempuan kecil itu subuh tadi.
Parno berdiri. Di wajahnya
masih terbayang rasa tak puas.
"He, Nur. Aku pergi?" Dorothea
melambai."
"Lihat-lihat jalannya. Tea.
Bisa-bisa nubruk pintu", balas
temannya sambil tersenyum
lebar. Wajah Parno jadi merah
padam. Buru-buru ia menyusul
Dorothea ke luar dari ruangan.
Setelah berusaha menahan diri
selama jalan berdampingan,
Parno tak kuat menahan diri.
Katanya, buru-buru.
"Sekarang Sabtu, Tea..."
Dorothea menghentikan
langkah.
"Lantas?".
"Nanti malam Minggu".
"Iya dong. Sekarang kan Sabtu".
"..., Parno memegang tangan
Dorothea.
Tangannya sendiri gemetar.
Katanya setengah berbisik:
"Boleh aku mengajakmu
jalanjalan malam ini, Tea?".
Dorothea memandang tajam
kemata Parno. Menyahut
dengan suara tegas:
"Sudah berapa kali kubilang,
Parno. Kita bersahabat. Cuma
itu" kemudian ia melepaskan
tangannya dari genggaman,
tangan Parno. Memutar tubuh.
Dan sebelum menjauh, ia
melanjutkan: "Dan ingat. Lain
kali, jangan tulis lagi dibuku
catatanku kata-kata Teaku. Aku
ini masih milik mama. Milik
papa, bukan milik siapa-siapa.
***
TIBA dirumah, Dorothea gelisah
tak menentu.
Seperti ketika bertugas hari itu
dirumah sakit, apa saja yang ia
kerjakan dirumah serba salah.
Waktu menyapu lantai, kakinya
tersandung kekaki meja tinggi
sehingga vas bunga diatasnya
jatuh. Tiba dilantai pecah
berderai. Waktu masak didapur,
ia mau menggoreng telor. Bikin
mata sapi. la ketok-ketokkan
halus ketepi wajan. Telornya
pecah. Jatuh dilantai dapur.
Celakanya ia tak sadar. Malah
ia masukkan kulit telor kedalam
minyak yang sudah panas.
Berdiri sebentar, kemudian
tercium bau tak sedap, baru ia
tahu telah salah masukkan.
Habis mandi sore, ia duduk
dimeja makan bersama ayah
ibunya. Dorothea tidak
berselera!"
Makannya tertegun-tegun.
"Tea?" Terkejut, ia menoleh. Ia
lihat mata ibunya yang menatap
tajam, "Sakiti". "Oh, tidak,
mama'. 'Hidangannya tak enak"
ini masakanmu sendiri".
"Bukan'. "Lantas?" Dorothea tak
menjawab. Lama. Sampai
ayahnya angkat bicara: "Soal
pekerjaan?". Baru Dorothea
bernafas lega. Sahutnya: "Ya".
"Mengapa, nak" Ada kesulitan?"
"Kesulitan sih tidak. papa. Ini
tentang seorang pasien'. "Ah.
Kau sudah bercerita banyak
tentang pasien-pasienmu"
"Tetapi baru kali ini kau begitu
gelisah.
Kalau tak salah, sudah beberapa
hari ini".
"Seorang pasien bersikap aneh
padaku beberapa hari yang lalu.
Lalu tadi." "Hem aneh gimana?"
tanya ibunya. Matanya yang
awas, menatap tak berkedip.
Dan sebelum sang anak
menjawab perempuan itu
menegaskan; "Bukan SOal tetek
bengek. toh?"
'Tetek bengek?" Dorothea
sengau suaranya. "Misalnya,
soal.. cinta."
Dorothea tertawa. 'Ah, mama
ini. Seperti si Nur saja. Meng
ada ada."
"Syukurlah nak. Ingat. Kau
masih muda. Dan kami tak
punya anak lagi. Bukan kami
takut kehilangan kau,
seandainya kau jatuh cinta,
kawin dan kemudian hidup di
rumah tersendiri dengan orang
lain. Tetapi nak, karena kau
anak kami satu-satunya maka
kami mohon agar kau jaga nama
baik keluarga. Bila sudah tiba
waktunya, kau sudah dewasa
dan benarbenar mengerti makna
hidup ini, maka kamipun tak
melarangmu berbuat apapun
yang kau kehendaki"
"Jangan takut, mama. Aku bisa
menjaga diri."
Ayah Dorothea mendehem.
Tukasnya:
"Mam, mam, apa apaan pula
kau" Tea dihadapkan pada
kesulitan
Dalam pekerjaan. Bukan pada
laki-laki," lantas sambil
memperhatikan wajah anaknya,
ia bertanya dengan suara
lembut: "Boleh kami tolong,
anakku"'
"Tolong" Bisakah papa dan
mama menolong?" rungut
Dorothea. Lalu, seraya
meletakkan sendok garpu di atas
piring, ia menceritakan
bagaimana ketika tugas jaga
malam sebelumnya. Parman
bersikap aneh pada dirinya juga
menceritakan apa yang ia lihat
dan alami tertegun karena
berpikir keras Sampai akhirnya
ayah Dorothea berkata dengan
suara yakin.
"Pasienmu yang satu ini. nak,
mungkin sedang dihinggapi
nervous karena tidak saja
telah kehilangan isteri, tetapi
juga kakinya."
"Tetapi papa," suara Dorothea
menghiba. "la anggap aku
isterinya. Bagaimana bisa jadi?"
"Waktu itu malam hari. la tak
melihat mu jelas-jelas, dan
pikirannya sedang terbayang
hanya pada isterinya itu saja."
"Lalu tadi pagi" Di udara
secerah dan seterang itu"
'Dan ia dalam keadaan sadar"
"Sadar sesadar-sadarnya.
Malah sudah menjelang sembuh.
Mungkin dua tiga hari lagi
sudah boleh pulang."
"Hem! Tea... mengapa tak kau
tanya sendiri padanya?"
"Takut?"
"Matanya. Mata laki-laki itu!"
Dorothea menggigil.
"Mata itu bersungguh-sungguh.
Juga sikapnya. Aku.. aku
benar-benar tidak mengerti,
papa. Kalau pikirannya sedang
terganggu oleh bayangan
isterinya, mengapa suster-suster
lain tidak ia ganggu" Mengapa
hanya aku saja?"
"Mungkin wajahmu mirip wajah
isterinya."
"Mirip?" bibir Dorothea
mengucap.
"Mirip?" ibunya juga mengucap.
Tetapi yang belakangan 'ini
kemudian diam. Tampaknya,
berusaha menahan sesuatu yang
tibatiba mengganjal hati. Ia
melirik sekilas pada suami dan
anaknya. Tetapi tak ada yang
memperhatikan. Perempuan
setengah baya itu menarik nafas.
Lega. Kemudian:
'Tea. Kau bilang, kau takut dan
tidak ber
usaha untuk bertanya. Mama
artikan ucapanmu itu begini:
melihat laki-laki itu, kau lantas
lari. Menjauh darinya.
"Benarkah, nak"
Dorothea mengangguk.
Ibu tersenyum. Ramah. Namun
suaranya tajam:
"Patutkah itu dilakukan seorang
suster, anakku"
Dorothea terpukul. Dengan
suara jatuh, ia menyahut:
"Itulah yang kugelisahkan,
mama."
"Nah. Kalau begitu, besok
temuilah dia."
"Aku... aku tak sanggup, mama"
"Harus, anakku. Kau tak bisa
melarikan diri dari pasien itu,
selama ia masih di rawat dan
kau masih bertugas di sana.
Lagi pula, anakku. Disinilah
kesempatanmu untuk mengabdi
pada kemanusiaan: Mungkin,
kehadiranmu secara nyata di
depan mata laki-laki itu, bisa
menolongnya. Katakanlah,
menolong dia meringankan
siksaan bathin pada isteri yang
selalu mengejar-ngejar matanya.
Setidak-tidaknya. menolong
laki-laki itu dari impian buruk.
Bahwa yang ia lihat adalah kau.
Nyata. Berwujud. Bukan
isterinya. Apalagi, arwah
isterinya!."
Dorothea memikirkan
kemungkinan itu.
Ayahnya cepat-cepat
mendorong:
"Nak. Ibumu benar. Temuilah
laki-laki itu. Kalau kau takut ia
berbuat yang tidak-tidak,
ajaklah seseorang atau
beberapa teman menemanimu.
Mereka akan membantu kalau
terjadi
sesuatu.
Gadis itu manggut-manggut.
"Kasihan pasien bernama
Parman itu," gumamnya
perlahan.
"Setelah ia mengamuk kedua
kalinya tadi pagi, ia diikat di
tempat tidurnya. Beberapa
orang petugas laki-laki yang
berotot kuat mengawasinya
selalu. Dokter mengkhawatirkan
terjadinya gejala-gejala
gangguan syaraf akibat
pembedahan yang ia alami."
"Nah, apalagi?" kata ayahnya,
"Berarti, kau juga akan
menolong dokter itu dari
kecemasan karena ia anggap
dirinya telah melakukan
kesalahan dalam bertugas
menolong sesama manusia."
***
DUA BELAS
MENOLONG SESAMA manusia.
Ayah dan mamanya benar.
Dorothea harus lebih
mementingkan tugas itu, di atas
rasa takut dan pikiran yang
bukan-bukan. Ia lantas berjanji
pada dirinya sendiri. Besok ia
akan langsung menemui
Parman, bicara
berhadap-hadapan dan jujur
terhadapnya. Kalau perlu, ia
bisa saja menanyakan masalah
kejiwaan yang dihadapi pasien
itu. Tentang isterinya. Siapa
namanya ya" Lila. Ya. Lila.
Hem. Masih bisa ia tanyakan
hal-hal lain. Tentang masa
lalunya. Tentang kebenciannya
pada seseorang yang
berkedudukan sebagai lurah.
Lurah mana yang dimaksud
Parman. Dan mengapa ia
demikian membencinya" '
Dengan pikiran dan janji dalam
hati itu, Dorothea malam itu
menarik selimut menutupi
tubuhnya di atas tempat tidur.
Karena udara pada malam itu
teramat gersang dan panas, ia
membiarkan jendela kamar
tidurnya terbuka. Ia tak perlu
takut akibat yang ditimbulkan
jendela yang terbuka itu. Toh
kamarnya ia biarkan gelap,
sedangkan di luar, .terang
benderang.
Bagian luar dari jendela kamar
tidur itu terdiri dari ruangan
dalam rumah orang tuanya.
Ditanami bunga anggrek yang ia
rawat sendiri, sebuah kolam
kecil berisi ikan hias yang
malam ini pasti sudah tertidur.
Di ujung taman sederhana itu,
terdapat ruangan dapur, gudang
dan kamar mandi. Dinding
belakang semua
ruangan-ruangan tambahan itu,
bertembok tinggi. Dan berpagar
kawat. Di luar tembok berpagar,
jalan raya selalu ramai. Tak
pernah mati, apalagi dekat
dengan pasar. Malah hanya
dalam jarak beberapa meter,
terdapat sebuah pos HANSIP
yang selalu berisik oleh gelak
tawa atau gerutuan
petugas-petugas jaga malam
atau orang-orang iseng yang
main gapleh atau domino disitu.
Tetapi lewat tengah malam.
Dorothea terbangun. *
Hawa dingin memenuhi ruangan
kamar tidurnya. Malas, ia
beranjak dari tempat tidur.
Melangkah ke jendela. Tiba
disana, menoleh sesaat ke luar,
dengan mata setengah
mengantuk. Langit membiru.
Beberapa potong awan putih
mengapas. Bulan terang
benderang. Bintang-bintang
gemerlapan. Waktu ia keluarkan
tangan untuk menarik daun
jendela di sebelah luar, ia
rasakan udara ternyata hangat.
Lalu mengapa udara di dalam
kamar terasa amat dingin.
"Ah Mungkin darahku yang
hangat," gumamnya. Lalu
menutupkan daun jendela.
Berharap, dengan itu udara
dingin tidak lagi menerobos
kedalam kamar tidurnya. Setelah
merasa puas, ia kemudian
berbalik. Dan bermaksud naik ke
atas ranjang kembali. Udara
masih tetap dingin. Malah
semakin dingin. Membeku. Dan..
tiba-tiba darah sekujur tubuh
Dorothea ikut membeku. la
tertegun di tempatnya sendiri.
Matanya terpentang lebar.
Lebar. Teramat lebar.
Hampir-hampir keluar.
Di hadapannya, berdiri sesosok
tubuh!
Sesosok tubuh dalam kegelapan
kamar. Kamar yang tertutup.
Yang pintunya ia kuncikan
sendiri dari dalam. Tetapi ia
tidak bermimpi. Sesosok tubuh
semampai di hadapannya.
Berpakaian compang-camping.
Beberapa bagian tubuhnya luka.
Berdarah. Dan darah itu tampak
mengucur deras dari luka lebar
seperti pecah padajidat.
Seketika, seluruh tubuh
Dorothea menjadi dingin. Ia
ingin berteriak. Tetapi lidahnya
kelu. Ia ingin berlari. Tetapi
anggota tubuhnya lumpuh. .Ia
ingin pingsan seketika. '
Tetapi paru-paru dan
jantungnya terus berdenyut"
'.... tolonglah, Tea. Tolonglah?"
telinga Dorothea yang sudah
kejang karena ketakutan,
mendengar suara halus
semacam bisikan. 'Tolonglah
aku..."
Dorothea menggigil!
Mulutnya kemak kemik. Lama,
baru suaranya keluar. Bergetar:
"Ssss__ siapa... kau"'
"Tolonglah aku, Tea."
"siapa ku...?"
"Kau mau, bukan" Kau mau?"
"aku... aku?"
"Tolonglah. Tanpa bantuanmu,
suamiku tak akan berdaya
apa-apa?"
"Su... suamimu?"
"Tolonglah aku. Tolonglah
suamiku!" bisikan itu mendesir
seperti bunyi angin. Mendayu
dayu, mula-mula keras.
Kemudian perlahan. Dan
akhirnya lenyap sama sekali
bersamaan dengan lenyapnya
bayangan tubuh perempuan
berpakaian compang-camping'
dan bertubuh hampir penuh
darah karena luka-luka itu.
Dorothea tersadar.
Dan secepat ia tersadar, secepat
itu pula ia berteriak:
"Mamaaaaa !' _
Lantas ia berlari menerjang
pintu. Memukul-mukulnya,_
memutar kunci dan setelah pintu
terbuka, berlari tergopoh-gopoh
keluar seraya berteriak-teriak
histeris memanggil ayah dan
ibunya. Kedua orang tuanya
yang terbangun karena sangat
terkejut, berlari-larian keluar
dari kamar dan menyongsong
anak gadis mereka yang tampak
panik, pucat, berkeringat dan..
jatuh pingsan begitu berada
dalam pelukan sang ayah!
***
SATU jam kemudian Dorothea
tersadar dari pingsannya.
Seraya menangis terisak-isak ia
menceritakan'apa yang barusan
ia lihat dalam kamar
nya. Buru-buru papanya
membawa masuk ke dalam
kamar. Kemudian lalu dengan
wajah kebingungan. Seraya
memperhatikan isterinya yang
masih terus membujuk--bujuk
Dorothea, ia bergumam:
"Kau bilang pintu kau kunci dari
dalam. Jendela juga tertutup.. '
"Darah! dari kepalanya
mengucur darah!" suara
Dorothea menggigil. Ayahnya
menggeleng.
"Di lantai tak ada bekas tapak
apapun, anakku. Apalagi
darah!"
"Aku melihatnya! Aku
melihatnya! tangis tea dengan
panik. "Malah aku dengar
suaranya!"
"Suara?" ayah dan ibunya
saling pandang.
"Ia minta tolong. la minta aku
menolongnya. Menolong
suaminya!"
'Nak.." kata ayahnya dengan
sabar.
"Kau tidak sedang bermimpi,
bukan?"
Dorothea menjawab dengan
tangisan yang semakin tinggi
dan parau. Karena tak mau
kembali masuk ke kamar.
mereka. Di sana Dorothea
ditidurkan, dielus dan dipeluk
oleh ibunya dengan perasaan
lembut dan kasihan. Ia biarkan
anak gadisnya menghabiskan
sisa-sisa tangisnya, dan berbisik
pada si suami:
"Pa, Tea tak pernah begini,"
Sisuami geleng-geleng kepala.
"Memang tidak," rungutnya.
"Mungkinkah?"
'Mam. Jangan mengada-ada!"
kata si suami
tajam.
"Aku.. aku cuma ingat pada
cerita Doro. thea dimeja makan.
mungkinkah pasienya di rumah
sakit itu menganggap Dorothea
mirip dengan isterinya yang
telah meninggal?"
Si suami menelan ludah.
"Lantas?" Katanya dengan
suara bimbang.
"Siapa tahu?"
"Ah. Tak masuk akal."
"Sudah kubilang, siapa tahu.
pa?"
Sementara itu Dorothea sudah
reda tangisnya. Tinggal
isak-isak halus, dan tubuh yang
masih gemetar. Ia merasa aman
dalam rangkulan ibunya, yang
dengan penuh kasih sayang
kemudian menyelimuti tubuh
anaknya. Ia bujuk Dorothea
agar tidur kembali dan
melupakan kejadian ataupun
mimpi yang barusan terjadi.
Tetapi Dorothea geleng-geleng
kepala.
'Tak bisa kulupakan, mama.
Dan.. dan aku tidak bermimpi.
Sungguh!"
"Kau yakin?"
"Demi Tuhan, mama!"
"Tea. Mau kau jawab
pertanyaanku'!"
Dorothea manggut-manggut.
Susah payah.
"Katakanlah. Sempat kau kenali
wajah bayangan perempuan
itu?" .
Yang ditanya mengingat-ingat.
Lalu. manggut-manggut lagi.
"Kenal !" ' '
"Seperti."
"Seperti kenal?"
"Ya. Seperti kenal."
'Seperti apalagi?"
"Seperti..." dan tiba-tiba
Dorothea memeluk ibunya
dengan wajah ketakutan.
"Wajahnya mirip wajahku,
mama. Mirip wajahku. Apakah.
apakah bayangan itu mau
memperlihatkan bagaimana
nasibku dikelak kemudian hari"
Apakah demikian, mama?" dan
ia mencengkeram pundak ibunya
keras-keras.
Ibunya menahan nafas.
"Nak," katanya dengan suara
tertahan.
"Kau mungkin bukan sedang
bermimpi. Tetapi, percayalah.
Bayangan itu tidak menunjuk ke
masa depan. Masa depan ada di
tangan Tuhan. Bayangan itu
menunjuk ke masa lalu."
"Aku.. aku tak mengerti mama."
"Kau ingat pasien yang kau
ceritakan?"
Dorothea menggigil. Cetusnya.
"Ya, mama,"
"Ia bilang kau isterinya. Karena
wajah mu mirip wajah isterinya,
dan yang tadi kau lihat, mirip
wajahmu..."
Medengar itu Dorothea ikut pula
tertahan nafasnya, sementara
ayahnya tertegun dan
memperhatikan dengan penuh
minat pada isterinya. Tetapi
yang diperhatikan terlalu lama
terdiam, tidak melanjutkan
kata-katanya karena tampak
berpikir keras. Dengan tak
sabar. ayah DOrothea menyela:
"Kau tidak sedang mereka-reka
bukan, mam?"
"Justru!"
"Aku takut pikiranmu sedang tak
waras."
_ Jangan khawatir, pa.
Pikiranku waras sewaras
pikiranmu,"
'Tetapi ini?"
Ibu Dorothea mengelus wajah
anaknya.
"Diam disini ya Tea. Aku mau
bicara sebentar dengan
ayahmu."
Dorothea cepat-cepat
menggenggam lengan ibunya.
"Tidak! Jangan tinggalkan aku
sendirian."
"Ah. Kami ada diluar pintu, dan
pintu tak akan kami tutupkan."
"Aku takut!"
"Nak ini demi kemanusiaan yang
kita bicarakan tadi. Karena itu,
tekanlah ketakutanmu
dalam-dalam. Kalau toh kau
tidak bisa membuangnya
jauh-jauh. Jangan bikin malu
ayahmu. Ia paling tak senang
punya anak penakut, biarpun
anaknya perempuan."
Dorothea ragu-ragu, ' tetapi
kemudian mengangguk. Lesu.
Ibunya kemudian menarik
ayahnya keluar. Setelah berada
di luar pintu, sang isteri berkata
"Pak, kupikir kita harus
mengerjakan sesuatu."
"Malam-malam begini?"
"Besok."
"Oh.Apa?"
"Aku bukan mau mengungkit
masa lalu," ujar isterinya
dengan mata mohon pengertian.
"Tetapi tampaknya, aku terpaksa
membangkitkan masa silam
kembali, demi keselamatan dan
masa depan anak kita. "
"Kau ini. kok jadi begitu serius
kenapa sih dengan masa lalu?"
"pa. Tetapi kau tak akan marah
kalau kuingatkan, Dorothea
tidak tahu siapa ayahnya yang
sebenarnya, bukan?"
Wajah si suami menjadi kelabu.
Namun dimatanya ia berusaha
menahan debaran. dan berkata
dengan suara
ditenang-tenangkan:
"Anak siapapun dia. Tea telah
kuanggap anakku sendiri.
Terlebih lebih lagi aku ini
mandul. Dariku kau tak akan
bisa memberikan anak yang
menjadi darah dagingku."
Sang isteri tersenyum. Puas.
'Sekarang." katanya. "l'inggal
bagaimana cara mengatakannya
pada Tea."
"Mengatakan apa?"
"Kau bukan ayahnya."
'Tak perlu"
"Tetapi... apa yang akan kita
kerjakan justru mengharUskan
kita mengatakan hal itu," wajah
siperempuan jadi sendu.
Setengah menangis. ia
meneruskan. 'Kudengar ayah
kandungnya telah lama mati. itu
baik buat kita. Tetapi,. aku malu.
pa. Malu menceritakan
bagaimana belasan tahun yang
lalu aku tergoda pada laki-laki
teman sekuliah, jatuh cinta
padanya, kawin dengannya. Dan
ketika sedang mengandung
anaknya, aku didatangi seorang
perempuan yang menggendong
bayi dan katanya berasal dari
kampung suamiku. Tidak itu
saja. Ia juga mengatakan. _ "ini
anak dari suamiku. dan bayi itu
anak suamiku!"
"Ah. tak usah pula kau
ulang-ulangi lagi. Aku sendiri
telah melupakannya."
"Aku juga sudah, pa. Tetapi
Tea?"
"Baiklah. Kita ceritakan hal itu
padanya." Kita ceritakan pula.
Bagaimana kau marah dan sakit
hati. Merasa dipermainkan.
Merasa telah melukai hati
sesama kaummu. Meski tanpa
kau kehendaki. Demi perempuan
dan bayinya itu, kau lepaskan
suamimu dan datang padaku
yang semenjak lama memang
telah menunggununggu saat itu.
Sadar akan kemandulanku yang
membuatmu kawin dengan lelaki
lain itu, kau kuterima. Dengan
perutmu yang bunting Ah. Kita
telah sama-sama membuang
kebencian dan kekecewaan,
bukan" Nah. Hal yang sama
juga harus kita bukakan pada
anak kita. Misalnya, mengapa
kau membenci atau marah kalau
tahu ia berhubungan dengan
lelaki sebelum tiba masanya.
Apalagi dengan laki-laki yang
sudah beristeri. Tea sudah
dewasa, mam. Ia akan
mengerti..."
"Ya. Ia sudah dewasa.
Mudah-mudahan ia mengerti."
"Lalu, apa yang harus
kukerjakan besok?"
"Tinggalkan bengkel mobilmu'
"Berarti, uang tak masuk."
"Sehari dua, tak apalah."
"Eh. Sehari dua. Tampaknya kau
mau suruh aku berjalan jauhh
eh?"
iya
belasan tahun yang silam,
sempurna mewarisi wajah
ayahnya pula!"
"Kau maksud.?" Sisuami mulai
mengerti.
Isterinya menggigil dan
mendesah, kelu:
"Ya. Siapa tahu-, perempuan
bernama Lila yang disebut-sebut
pasien Tea yang bernama
Parman itu adalah kakak Tea.
Dan arwah perempuan bernama
lila itu pulalah yang barusan
berkunjung kekamar Tea...
"Ya Tuhan! ucap si suami.
Pucat.
'Bolehjadi!'
"Nah. Kau mau, bukan?"
Sisuami belum menjawab, ketika
dari kamar terdengar suara Tea:
"Mama, jangan berlama-lama...'
Kedua orang tua itu bergegas
masuk ke dalam.
Sebelum masuk, siisteri
memperingatkan.
'Tak usah ceritakan sekarang,
pa. Nanti, setelah kau kembali
dari kampung" Si suami
manggut-manggut seperti
kerbau dicucuk hidung. Dan
pada anaknya, ia tersenyum.
Matanya berkilau. Mata seorang
ayah. Dua
butir air bening menetes
disudut-sudut matanya, ketika ia
mengelus pipi Dorothea seraya
berkata:
"Aku sayang padamu, nak. Aku
sayang padamu!"
Dorothea terheran-heran.
Tetapi ayahnya telah pergi.
Masuk kekamar tidur lain.
Kamar Dorothea. Dan terpekur
di atas ranjang, sampai pagi
mendatang. Pagi-pagi benar ia
sudah siap dengan tas berisi
satu stel pakaian pengganti.
Setelah menyuruh pegawai
pegawai bengkel motor didepan
rumah agar terus bekerja tanpa
kehadirannya, barulah ia
dengan tenang bisa
meninggalkan anak dan
isterinya. Selama dalam
perjalanan, hanya sebuah
pertanyaan yang bergejolak
direlung hatinya yang paling
dalam:
'Tak akan berkurangkah cinta
anakku pada diriku?" '
Dan dirumahnya, sang anak
duduk diamdiam di meja makan,
memandang dengan mata penuh
pertanyaan pada sang ibu.
Diperhatikan demikian, ibu
Dorothea agak kelabakan.
Gugup ia berkata:
"Makanlah, nak. Supaya kau
sehat dan bisa bekerja dengan
tenang."
"Dorothea ter-bungkam. Lama.
Lalu:
"Tidak. Aku tak masuk kerja hari
ini."
"Mengapa, Tea?"
"Takut tidak konsentrasi:
Tetapi dimata anaknya, sang ibu
melihat jawaban lain. Dengan
bijaksana, ia berkata:
"Kalau ada sesuatu yang kau
pikirkan; nak, ibumu akan selalu
menolong."
"Sungguh?"
"Sungguh!"
"Mengapa ayah berkata
demikian subuh tadi, mama?"
tanya Dorothea tiba-tiba.
Sang ibu terkejut. Sesaat. Lalu
menjadi biasa kembali.
Menjawab:
"Lumrah. Ia seorang ayah"
"Aku melihat arwah seseorang.
Histeris. Pingsan. Kalian
sadarkan. Kemudian kalian
tinggalkan aku di kamar
sendirian. Diluar kalian
berbisik-bisik. Aku tak tahu apa
yang papa dan mama bisikan.
Dan... ah, biarlah. Tak usah
kuperdulikan, bukan?"
Ia menatap sejenak kepada
ibunya. "Tetapi setelah kembali"
ucapan papa rasanya terlalu
janggal. 'Dan mengapa papa
pergi keluar kota dengan
tiba-tiba?"
Dengan wajah penuh duka, sang
ibu berkata:
"Tea, anakku. Kalau kau merasa
sayang pada ayahmu, tunggulah
sampai ia kembali dari luar
kota. Nanti. kau akan
memperoleh jawabannya. Nah.
Hari ini kau bertugas siang .Kau
dekatilah Parman. Bicara
dengannya.
***
TIGA BELAS
PARMAN MEMBUKA matanya.
Menoleh ke arah pintu masuk
sal. Dokter Pandi masuk seraya
tersenyum ramah pada
pasien-pasien yang mengangguk
padanya, kemudian duduk pada
sebuah kursi di samping tempat
tidur Parman.
'Bagaimana perasaan bung
Parman?" tanya dokter Pandi
seraya memeriksa mata Parman
serta denyut nadinya:
"Jelek!"
Dokter Pandi tertegun.
'Jelek bagaimana?"
'Jelek! Dan memalukan! Dua
hari terus menerus diikat pada
tempat tidur. Baru dibuka kalau
mau ke kamar kecil.
Pasien-pasien lain pada lihat.
Apalagi orang-orang luar yang
bezuk.. Dok". ."kapan ikatanku
dilepasKun sama sekali" Dan
aku diperbolehkan bergerak
leluasa tanpa pengawasan
seorang perawat yang otot-otot
lengannya bergumpal-gumpal?"
Dokter Pandi tersenyum.
"Tergantung bung sendiri."
'Lho. jelas aku ingin bebas.'
"Untuk mengamuk lagi?" _ .
Kepala Parman yang terangkat
dan tadi terkulai di atas bantal
lalu berucap
'. aku tidak mengamuk. Aku
ini. bung. Apalagi yang muncul
di siang bolong seperti kemaren.
waktu kau kejar-kejar suster
Doroth "'
'Suster itu jugakah yang masuk
ke kamar ini beberapa malam
yang lalu?"
'Ya.'
'la bukan Lila" Dan bukan pula
hantunya'
'Maaf. Tetapi Dorothea memang
bukan lila!"
Parman terhenyak.
'bukan lila " Lila!' gumamnya.
Jatuh Dokter bersympathi.
'Begini. bung" katanya dengan
tekanan suara menyakinkan.
'Perempuan yang kau lihat
semenjak dulu memakai nama
Dorothea. Setahuku. ia tidak
pernah memakai nama Lila.
Omong-omong kapan terakhir
kau lihat isterimu?"
"Dua tahun yang lalu."
"Nah Tea sudah tiga tahun lebih
bekerja disini. Dan belum
pernah punya suami. Jelas?"
"Tetapi,. ia mirip sekali dengan
Lila, dokter."
"Mirip tidak berarti sama. Perlu
kita buktikan?"
Tanpa menunggu jawaban
Parman, dokter memijit tombol
dikepala tempat tidur. Perawat
laki-laki yang otot lengannya
bergumpal gumpal masuk ke
dalam sal dan mengangguk pada
dokter.
"Suster Tea ada di kantorku.
Katakan, ia sudah boleh
menemui Parman."
Perawat itu pergi, dan_ Parman
terheran heran.
"Suster Tea ingin menemuiku?"
"Begitulah
"Mengapa" Bukankah sudah dua
kali ia berusaha menghindar?"
'Ia menyesal. Dan ingin
memperbaiki kesalahannya itu".
Mata Parman terpejam.
Keyakinannya semakin goyah.
Biarpun cuma impian, ia lebih
suka karena yang ia lihat adalah
Lila. Masih lebih baik dari pada
ia kembali harus menelan
kenyataan yang teramat' buruk.
Uluhatinya sudah jenuh oleh
endapan-endapan kenyataan
yang rasanya kian berkarat,
enggan mencari dan sama sekali
tidak bersedia membantu Par
man keluar dari kesulitan yang
tengah ia hadapi. Dan kini,
harus ia hadapi pula kenyataan
itu. Yang ia lihat belakangan ini
bukan isterinya. Tetapi seorang
perempuan lain:.Namun toh ia
harus bersyukur. Kalau semua
itu memang impian, alangkah
mengerikan membayangkan
isteri yang teramat didambakan,
berusaha menghindar dari
samping suaminya.
Hembusan nafas tertahan seperti
kuda yang tiba-tiba ditarik tali
kekangnya, menyapu wajah
Parman! Ia membuka matanya.
Menoleh kesamping Dokter telah
berdiri Seorang perempuan
menggantikan tempatnya semula
dikursi: Seulas senyum dari
sepasang gondewa bibir yang
mekar memerah tanpa pulasan,
bergulung-gulung memasuki
mata Parman dan menimbulkan
perasaan nyaman didalam hati.
Ingin rasanya ia memeluk dan
menciumi perempuan yang
tersenyum mempesona itu.
Tetapi ia bukan Lila. Dan
Parman" sendiri terikat pada
tempat tidur.
"Dokter?"
"Ya?"
"Tolonglah lepaskan ikatan
saya"
Seketika sepasang mata
Dorothea membesar.
'Tidak", Parman tersenyum
kaku. "Saya tidak akan ngamuk
lagi':
Dengan dibantu perawat yang
senantiasa siap mengawasi
Parman, dokter Pandi
melepaskan ikatan-ikatan tali
pada kaki-kaki tempat
tidur. Beberapa orang pasien
yang tadinya sedang
melamunkan kehidupan yang
sempurna diluar rumah sakit
atau tengah asyik membaca
buku maupun majalah sebagai
pelepas rasa jemu, memusatkan
perhatian kearah tempat tidur
rekan mereka yang tidak saja
berkaki buntung akan tetapi
sering berlaku aneh itu.
Pasienpasien yang memiliki
keganjilan-keganjilan tertentu
memang selalu menjadi tontonan
yang menarik bagi pasien-pasien
lain dimanapun juga.
Begitu ikatannya lepas, Parman
berusaha duduk. Ia rentang
rentangkan kedua lengannya.
Dan tersenyum pada perawat
laki-laki disebelah dokter, yang
matanya jadi tegang. Senyuman
Parman mengendurkan
ketegangan diwajah perawat itu,
dan mendatangkan sedikit rasa
aman dalam dada Dorothea
yang berkecamuk tak menentu.
Antara keinginan untuk
cepat-cepat menghindar, dan
hasrat tetap bertahan untuk
menolong sesama. Bahkan lebih
dari itu. Kalau Dorothea tinggal
ditempat berarti ia telah
menolong dirinya sendiri.
Alangkah menakutkan
membayangkan wujud seorang
perempuan yang mirip dengan
dirinya sendiri, muncul tengah
malam dalam kamar berpakaian
compang-camping dan sekujur
tubuh penuh luka-luka berdarah!
"Wah. Otot-ototku masih agak
kaku-kaku rasanya. Pegal." ia
menoleh pada suster Dorothea.
"Nona mau memaafkan bukan"
Dua hari terus menerus aku
diperlakukan seperti
orang gila. Salah sendiri.
Mengapa bertingkah laku seperti
orang gila. Tetapi percayalah
nona. Aku ini waras
sewaras-warasnya."
Dorothea menelan ludah. Lalu"
"Saya... saya minta maaf",
katanya dengan suara
terputus-putus "Kalau saja saya
bisa menahan diri, tentu saudara
tak diperlakukan demikian".
"Nah. Satu-satu bukan" Kalau
begitu janganlah
bersaudara-saudara padaku.
Sebut saja namaku. Parman"
"Saya Tea. Dorothea".
Dengan hati bergetar Parman
menatap perempuan yang duduk
disamping tempat tidurnya itu.
Sepi mencengkam selama
pandang memandang itu
berlangsung. Dada Dorothea
bergelombang hebat.Dada
Parman berombak ombak bagai
tersapu angin ribut yang
menyadarkannya dari impian
buruk selama ini: Dokter Pandi
mendehem-dehem kecil. Lalu
bertanya:
'Bagaimana..."'
Parman mengeluh:
'... rambut Lila lebih panjang...'
"Saya pakai wig", jawab
Dorothea tersenyum. Dorothea
melepas mahkota kesusterannya
yang terbuat dari kain putih,
kemudian juga melepas wignya.
Rambut yang panjang
bergelombang, segera terurai
disisi kedua pundak dan
menjuntai pada punggung:
Banyak orang yang menghela
nafas ketika itu. Parman. Dokter
Pandi. Budi. Dan satu dua orang
pasien
lelaki di dekat mereka. Dalam
hati. dokter Pandi nyeletuk.
"Kalau saja ada bidadari, maka
Dorothea adalah orangnya!"
Dan dimulutnya ia berucap:
"Tentu isteri bung Parman
secantik Dorothea, bukan"
Parman tersenyum; Pahit.
"Aku bukan membanggakan diri.
Isteriku cantik, itu salah satu
sebab mengapa aku teramat
mendambakannya'.
"Bung laki-laki yang
beruntung", dari dalam hati
kembali dokter Pandi
menyeletuk:
"Laki-laki yang bila
mendampingi Dorothea,
benar-benar laki-laki yang
beruntung. Mungkinkah itu pula
salah satu sebab, mengapa
cintaku pada isteri dirumah, dari
hari ke hari kian meredup" Tiap
kali kupandang Dorothea, tiap
kali semakin aku percaya
kata-kata orang. Sekali kau
peristeri seorang perempuan,
kau pasti menyesal. Karena
dimatamu, perempuan
perempuan lain akan tampak
semakin cantik, jauh melebihi
kecantikan istrimu sendiri yang
tadinya teramat kau
bangga-banggakan".
Lamunan dokter terputus ketika
Parman memohon:
"Maukah kau memegangku.
suster Tea?"
Dorothea ragu-ragu. Tetapi
dokter mengangguk halus.
Tanpa mengulangi Dorothea
segera memegang pergelangan
tangan Parman.
"Lila selalu memegangjari
jemariku'. keluh
Parman lirih.
"Kau bukan Lila. Jadi jemarimu
lebih lentik. suster. Lebih halus.
Jari-jari Lila agak besar-besar.
Dan kasar. Maklum kerjanya di
sawah. Itupun punya orang?"
***
Untuk sesaat Parman ingin
menangis. Ia tengah meloncati
tegalan sebuah sawah beberapa
tahun yang lalu ketika ia dengar
ucapan marah yang lengking :
"Longsor. Biar longsor tegalan
itu, Man!"
Parman buru-buru berpindah
ketengah yang lebih kering
"Kayak punya sendiri", ia
bersungut-sungut.
"Biarpun bukan, tapi kan aku
yang kerjain?"
"Ia deh Iya deh!" Parman segera
membetulkan longsoran tegalan
bekas injakannya "Biar kau
puas".
"Nah, begitu. Awas ya, lain
kali?"
'Lain kali yang kupegang bukan
lumpur" brengsek ini. Lila tetapi
tubuhmu!"
"Eh..!" dan gadis yang tadinya
tengah menyiangi rerumputan
halus diantara batangbatang
padi yang baru jadi itu, menyiuk
segumpal rumput dengan kedua
telapak tangannya dan seperti
mau semburkan ke arah
Parman. Tetapi Parman tidak
menghindari; Ia malah
menantang:
"Cobalah!"
' Lila tak berani mencobanya.
merah padam sampai ketelinga
.Budi menggerutu. Dokter
tersenyum-senyum. Katanya:
"Dorothea, anak baik: Kau
harus yakinkan pasien kita
bahwa di dunia ini tidak ada
hantu, kita sudah berhasil,
mungkin. Setidaktidaknya
berhasil menyakinkan pasien ini,
hantu isterinya tidak
gentayangan di rumah sakit kita.
Masalahnya sekarang,
yakinkanlah ia bahwa kau
Dorothea, bukan isterinya!
Dorothea sudah terbiasa dalam
soal bukamembuka pakaian.
Baik dirumah maupun sebagai
seorang suster. Tapi kali ini, ia
benar benar kikuk '
"Bukalah, Tea", desah dokter
Pandi.
"Malu....malu ah".
"Eh. Kok lucu", dan dokter
Pandi tertawa:
"Kalau di ruang praktek sih:
dokter... Tetapi, dihadapan
orang ini!"
"Anggap saja sedang
berpraktek!"
"Maka: Dorothea menarik tepi
roknya sedikit keatas sangat
sedikit!
"lebih tinggi, suster", pinta
Parman.
Dorothea menariknya lebih
tinggi,
"lagi:..."
"Ech..." Dorothea jadi dongkol.
"Maaf, suster Tea. Sewaktu
gadisnya. Lila
mengalami kecelakaan. la
terpeleset dijalan licin menuju
kesungai dan pangkal paha Lila
sebelah kiri tersangkut cabang
pohon yang rendah. Luka itu
menciptakan cacat tetap..."
Namun tidak ada bekas luka di
pangkal paha sebelah kiri
maupun sebelah kanan
Dorothea, ketika ia tarik roknya
tinggi-tinggi. Waktu ia tutupkan
kembali seraya mengalihkan
Wajahnya kearah lain, ia
mengeram dengan suara keras:
"Lihat apa, kalian semua?"
Dokter, Budi dan Parman
menoleh. Beberapa orang pasien
yang kesemuanya lakilaki
buru-buru membalikkan tubuh
dan menutupkan selimut dari
ujung kaki sampai ujung kepala.
Dokter tertawa kecil. Sedangkan
Dorothea tak habis-habis
menggerutu. Budi pun
ikut-ikutan tertawa. Gerutuan
Dorothea semakin menjadi.
Tetapi kemudian ia sendiripun
tertawa, waktu ia lihat
Tawa dimulut Pandi jadi
hambar Ia coba melebur
kehambaran itu dengan menoleh
pada pembantunya seraya
bergumam
"Okey, Budi, Banyak pekerjaan
lain yang harus diselesaikan,
bukan?" Budi mengangguk
Kemudian berjalan keluar
.Dokter Pandi mengikut seraya
dalam hati ia berharap
Dorothea juga melakukan hal
yang sama. Namun dengan
kecewa ia lihat bagaimana gadis
itu menyeret kursi lebih dekat ke
tempat tidur Parman, lantas
duduk dengan santai. Santai
pula Dorothea berkata:
'". bagaimana kakimu. Baikan?"
Semakin tercurah perhatian
seorang perempuan terhadap
seorang lelaki, semakin
tertumpah pula harapan lelaki
lain yang justru mengharapkan
perhatian itu ditujukan hanya
pada dirinya seorang. Perasaan
dokter Pandi kosong melompong
waktu berjalan terteguntegun ke
pintu keluar. Anggukan satu dua
pasien yang ia lewati sama
sekali tidak ia gubris, seorang
dokterpun toh punya emosi.
Emosi tidak saja menghilangkan
kemarahan yang senantiasa
bermain di mulut, akan tetapi
lebih-lebih menghilangkan
ketenangan yang dengan sekuat
tenaga ia coba pertahankan
direlung dada.
Gelisah, dokter Pandi
mundar-mandlr setiba di ruang
kerjanya. Setumpuk catatan dan
foto-foto negatif paru-paru
seorang pasien yang baru saja
ia bedah tadi malam dan tengah
ia
145
analisa dengan tekun waktu
Dorothea datang padanya pagi
itu untuk meminta tolong. tidak
menarik hatinya lagi. Dorothea
cuma berkata kasihan pada
pasien bernama Parman itu,
diikat ketempat tidur sepanjang
hari dan malam gara-gara ia
takut pada tingkah laku yang
aneh dari si pasien. Dorothea
tidak mengatakan sama sekali,
bahwa ia kemudian akan tinggal
beberapa lama dengan pasien
itu di sal, bahkan menjadi intim:
Akhirnya dokter Pandi tidak
kuat menahan gumpalan emosi
yang kian menumpuk. Ia sambar
telephone dan putar nomor
telephone dimana Parman di
rawat.
Setelah dapat sambungan, ia
berusaha berkata dengan
tenang:
"Budi?"
"Ya, dokter."
"Tolong panggilkan Dorothea."
Rasanya lama sekali menunggu.
Sampai:
"Ada apa, dokter?" terdengar
suara lembut mendayu-dayu di
rongga telinganya mengalir ke
leher terus ke ulu hati. Sejuk dan
agak mendinginkan emosinya
yang terus bergolak seperti
kawah gunung yang tidak mau
diam.
"Ah. Bukan apa-apa." dokter
Pandi nyeletuk. Seolah-olah
tidak serius. ia melanjutkan:..."
Bagaimana dengan ajakan
tadi?"
"Ajakan?"
"Makan siang di Grand."
Sesaat tak ada jawaban.
Kepundan di dada dokter Pandi
jadi merekah-rekah. Ia takut
kepundan itu meledak.
Benar-benar meledak.
Untung Dorothea kemudian
mengajukan usul:
'Bagaimana kalau lain kali,
dokter?"
"Lain kali?"
"Ah, dokter. Pasien berpenyakit
paru-paru itu memerlukan
perhatian serius dari dokter.
Lagi pula.. ah. Pasien di sal ini
tampaknya baru saja
menemukan hidupnya yang
sempat hampir hilang. Kasihan
kalau..."
"Kasihan. Hanya kasihan toh.
Tea?"
"Ya, dokter?"
'Ah. Engga. Cuma" okey deh.
Lain kali. Kapan?"
"Kapan saja, dok. Asal jangan
sekarang"
'Dan dancing di kelab nanti
malam?"
"Dok. Beberapa hari, saya tak
bisa tidur. Bagaimana kalau lain
kali pula?"
Dengan perasaan terpukuL
dokter Pandi meletakkan
telephone kembali di tempatnya.
Ia semakin terpukul, waktu siang
hari itu lewat jendela kaca
ruang kerjanya, ia lihat
dikejauhan Dorothea keluar dari
sal dimana Parman dirawat.
Gadis itu tidak sendirian.
Disebelahnya, dengan bantuan
tongkat pasien yang buntung
sebelah kakinya itu berjalan
tersuruk suruk, pasien yang
memang patut dikasihani. Tetapi
dengan Dorothea
mendampinginya... dokter Pandi
diam-diam terus memperhatikan.
Waktu kedua orang itu
menghilang dibalik tembok
sebuah gang, dokter Pandi
keluar dari ruang kerja dan
mengintai dari jauh Dorothea
dan Parman masuk ke kantin
rumah sakit, dan dokter Pandi
berkata Dada diri sediri:
"Lain kali, katanya. Lain kali
yang tak akan pernah ada!"
la menghela nafas. Lalu masuk
kembali ke ruang kerjanya,
duduk dibelakang meja, ia
singkirkan catatan-catatan dan
foto-foto negatif di depannya.
Terjepit diantara kaca dan
beludru hijau yang melapisi
meja, terpampang potret
seorang perempuan. Cantik
sebenarnya. Akan tetapi tampak
jadi jelek kalau sudah ngomel
minta perhatian yang lebih
banyak dari dirinya dan sering
mengeluh karena selalu kesepian
di rumah karena waktu sang
suami terlalu banyak disita oleh
urusan kemanusiaan di rumah
sakit, tetapi mengabaikan
kebutuhan manusia lain di
rumah sendiri.
Setengah berbisik, Dokter Pandi
bergumam:
"Ros, isteriku yang malang.
Kapankah kau sendiri bisa
mengorbankan kepentinganmu,
demi keselamatan banyak jiwa
yang tergantung ditanganku?"
Dan di kantin, seraya makan
siang dengan penuh kenikmatan.
Dorothea berkata dengan suara
lembut pada Parman:
"Ceritakanlah padaku tentang
almarhumah isterimu."
Parman terdiam sebentar. Lalu:
"Kau mau bersabar sampai aku
selesai makan, Tea" lngatanku
pada Lila. menyebabkan
bayangan pak lurah keparat itu
bermain pula dimata."
"Ceritakan jugalah tenang pak
lurah itu nanti. ya?"
***
EMPAT BELAS
PAK LURAH keluar dari ruang
bawah tanah rumahnya yang
besar itu dengan wajah muram
serta rambut kusut masai.
Warna gelap disepanjang mata
tuanya membayangkan perasaan
lelah dan kecewa yang tak bisa
ia bendung. Keringat-keringat
barusan tubuh Bejo
tertelungkup.
?"barang busuk?"
"Yang di gudang, kunyuk! Kau
kemanakan otakmu" Disimpan
di dengkul"
Tanpa berkata lagi Bejo
mengenakan celana dan karena
pak lurah terus memandangnya .
dengan mata jengkel, ia tak
sempat lagi memakai kemeja.
Tersuruk-suruk setengah
mengantuk ia berjalan
sepanjang lorong yang gelap
menuju ke ruang bawah tanah,
pintunya masih terbuka. Ada
cahaya samar-samar dari
dalam. Lalu bau bangkai. Bejo
meludah. Terus masuk seraya
berusaha menahan perut mual
yang rasanya mau terburai saja
keluar, dari pada diatas tungku
api yang baranya masih hidup ia
genggam segumpal daging
berbentuk bayi manusia yang
besarnya sudah menciut menjadi
sebesar pergelangan tangan
Bejo sendiri.
Sesaat, dalam kesamaran bara
perapian ia perhatikan mayat
bayi yang malang itu. Orok yang
masih merah waktu ditanam
oleh keluarganya dipekuburan
kampung matanya tak pernah
terkatup, penyakit yang
dideritanya semasih hidup
rupanya tak tertanggungkan
mahluk kecil itu sehingga ia mati
seperti orang yang penasaran.
Mata yang melotot itu tidak
pernah berhasil ditutupkan pak
lurah biarpun majikan Bejo itu
sudah memasukkan berbagai
ramuan dan membacakan
bermacam-macam mantera;
Usaha pak lurah semakin kacau
kemana tadi sore Bejo
tergopoh-gopoh masuk
keruangan itu seraya
melaporkan adanya orang asing
yang baru datang kekampung
mereka dan langsung menuju ke
rumah mertua Parman yang
sudah semakin pikun itu. "Setan.
Siapa orang itu" Polisi?" maki
pak lurah sore tadi. "Entah.
Katanya tamu biasa".
Tetapi. Mengapa mesti kerumah
itu?"
"Entah".
"Entah! Entah! Hanya itukah
yang bisa kau jawab" Tak
adakah pikiranmu untuk
menanyakan sendiri. Dan tidak
mengusik pekerjaanku, eh" Tak
kau lihatkah, mata jimatku ini
mulai berair?"
Mata mayat bayi yang sedang
diramu apabila berair
menandakan usaha
menciutkannya lebih kecil
kemudian mengawetkannya
sebagai jimat akan gagal. Dan
kini, berada dalam
genggamannya, Bejo lihat
sepasang mata mayat bayi itu
tidak saja berair, tetapi mulai
bernanah dan mengeluarkan bau
busuk. Hampir-hampir ia
muntah, kalau tak cepat-cepat
menyambar pedupaan dari dekat
tungku. Pedupaan itu masih
mengepul-ngepulkan bau
kemenyan. Ia hirup bau menyan
itu sebanyakbanyaknya, dalam
usaha menekan bau busuk yang
hanyir pada tubuh mahluk kecil
digenggamnya. Kemudian
berjalan kepintu, naik kelorong
yang semakin lama semakin
sempit sehingga ia terpaksa
membungkuk dan akhirnya
merayap. Ditengah perjalanan
akhirnya ia tidak kuat lagi.
Karena merayap, mau tidak mau
mahluk digenggammannya
seringkali terluka dekat
kehidung. Perutnya membuncah,
melesak kekerongkongan dan
kemudian terburailah isi
perutnya keluar melalui mulut
yang pucat kebiruan. ,
Ia kembali muntah setelah
berada dibagian luar gedung
milik majikannya dan berdiri
dipinggir tebing sungai. Udara
malam yang di
ngin menusuk-nusuk kulit
tubuhnya yang setengah
telanjang. Kabut tebal menutupi
pandangan matanya kebawah. la
tidak-melihat sungai. Ia cuma
mendengar suara air mengalir
deras dibawah. Seraya menahan
rasa pusing di kepala dan mual
yang membelit belit usus,
dengan cepat ia lontarkan
mahluk kecil yang sudah
membusuk itu kebawah.
Terdengar suara tercebur yang
lembut. Barulah Bejo menghela
nafas. Lega. Dan merangkak
kembali masuk lubang ditanah,
dan menutupkannya pakai semak
belukar dari luar lebih dulu
sebelum menyusun batu-batuan
besar dibagian dalam. Tiba di
kamar majikannya, ia langsung
naik ke tempat tidur. Pak lurah
bersungut-sungut:
"Sudah?"
"Kau buang ke mana?"
"Kesungai?"
Pak lurah terduduk. Pucat.
"Ke sungai" tolol Mengapa tak
di tanam?"
"Aku pusing. Dan mual!"
"Bodoh! Bodoh! Bodoh ! Babi
benar kau!" pak lurah
memaki-maki kemudian:
"Tak kau berati dengan batu
sebelum dibuang?"
".."tidak!"
"Plak!" sebuah tamparan yang
deras hinggap dipipi Bejo, la
tersenggap, tetapi kemudian
menunduk, kaku. Dan gemetar.
Tadinya setelah membUang
mahluk busuk itu ia masuk ke
kamar tidur pak lurah dengan
maksud bergelut dengan kawan
jenisnya itu sekedar melenyap
Kan rasa mual, pusing dan
tubuh yang menggigil
kedinginan. Namun yang ia
peroleh dari majikan sekaligus
teman tidurnya semenjak
bertahun-tahun, adalah sebuah
tamparan yang tidak saja
menyakitkan pipi, akan tetapi.
Lebih-lebih lagi menyakitkan
hati. Namun ia tidak pernah
berani memprotes. Mata pak
lurah telah memukaunya
semenjak ia bekerja di rumah ini
dan akan terus memukau selama
ia masih berada di bawah
naungan atau rumah yang sama.
'...bagaimana kalau mayat itu
hanyut kemudian tersungkut
dipinggir sungai seperti halnya
mayat isteri si Parman dulu?"
"Maafkan saya pak lurah".
'Maaf. Maaf nenek moyangmu!"
pak lurah menarik selimut,
kemudian merungkut di
dalamnya. Samar-samar telinga
Bejo mendengar lanjutan
gerutuan majikan yang tidak
saja ia segani, tetapi juga cintai
ini"... kau harus cari akal kalau
mayat itu ditemukan!
Seolah-olah mayat itu dibuang
oleh siapa lagi, kalau bukan
perempuan tua yang sudah
pikun itu.
Bejo mengangguk-angguk
sendirian, meskipun ia tahu
anggukannya tak akan dilihat
oleh majikannya. Ia bermaksud
mau tidur pula seperti pak lurah
ketika tiba-tiba pak lurah
memukul pantatnya lagi seraya
menyentak:
"Mulai besok kau
dengar-dengarlah kalau ada
orok yang mati dimalam Jum'at.
***
LIMA BELAS
SUHARJA TERBANGUN oleh
suara hingar bingar di luar
rumah. Sejak semalaman ia
memang tidak bisa tidur.
Gelisah. Tak sedikitpun
kdari perempuan yang menghuni
rumah reot dan hampir ambruk
itu. Umur perempuan itu
sebenarnya baru sekitar tiga
puluh limaan. Demikian kata
tetangga sebelah tadi malam.
Tetapi penderitaan yang
membuatnya pikun, menjadikan
siperempuan tampak seperti
nenek-nenek yang tinggal satu
dua tarikan nafas saja lagi untuk
sampai keliang kubur. Kerjanya
cuma kemak-kemik. Tak menentu
kadang tertawa-tawa sendirian.
Kadang-kadang menangis.
Tanpa air mata: Bahkan tak ada
sinar sama sekali dimata yang
Keterangan yang bisa ia peroleh
cekung itu.
Suhar-ja-merasa, perempuan itu
tak perduli pada kehadirannya
dirumah itu. Bahkan seperti tak
sadar, kalau ada Orang lain
bertamu dirumahnya. Tengah
malam perempuan itu keluar
rumah. Diikuti Suharja
diam-diam. Ternyata pergi
kekuburan. Duduk mencangkung
didepan dari onggokan tanah.
Kemak-kemik
disitu. Tertawa lagi. Atau
menangis.
"Itu saja kerjanya setiap saat",
kata tetangga sebelah sore hari
seblumnya. "Kuburan itu tempat
dimakamkan suami dan anak
perempuannya. Mereka tempat
bergantung perginya selama ini.
Setelah keduanya mati,
perempuan itu seperti tak betah
hidup didunia, tetapi tak tahu
bagaimana caranya untuk
mengikuti jejak suami dan anak
perempuannya.
Nasibnya tak akan seburuk itu,
kalau saja menantunya masih
ada dikampung ini?"
"Siapa nama menantu
perempuan itu?" tanya Suharja
berminat. "Parman", jawab yang
ditanya dengan suara tak sedap.
"Seorang bekas perampok yang
telah keluar dari penjara.
Penduduk. yang mengusirnya
dari kampung ini beberapa
waktu yang lalu?"
Perampok! Lepasan penjara!
Suharja semakin tak enak
tidurnya malam itu. Teringat
pada anak gadisnya dikota,
Dorothea. Tahukah gadis itu
kalau pasien yang begitu
menaruh perhatiannya dirumah
sakit, adalah seorang lakilaki
yang berbahaya" Mau rasanya
Suharja kembali saja kekota.
Tetapi sudah terlalu malam
untuk bisa mengharapkan
lewatnya bus di jalan raya yang
lima kilo meter jauhnya dari
kampung ini. Lagipula, ia ingin
memperoleh keterangan yang
lebih banyak. Apa yang
menyebabkan kematian Lila"
Mengapa arwahnya muncul
dengan wujud mengerikan
dikamar tidur Dorothea" Apa
hubungan kematian itu dengan
Parman"
Dan yang paling membuatnya
harus bersabar sampai hari
berikutnya adalah perempuan
malang itu. Selama ini ia hanya
diurus oleh tetangga-tetangga
yang jatuh kasihan padanya.
Kalau tetangga-tetangga sedang
kesulitan, siperempuan sering
harus puasa berharihari
lamanya. Anehnya ia tetap
bertahan untuk tetap hidup.
"Konon perempuan itu pernah
bersumpah didepan makam anak
perempuannya ia baru mau
mati, kalau kematian anaknya
ada yang membalaskan", begitu
desas-desus diantara penduduk
yang diceritakan oleh tetangga
sebelah pada Suharja.
"Kalau begitu kematian Lila
kematian yang misterius"
"Mati wajar. Terjun kesungai
karena putus asa. Tubuhnya
menghantam batu cadas sebelum
hanyut ditelan arus sungai yang
sedang banjir..."
Semalaman Suharja memikirkan
cerita tetangga itu. Ia dengar
bagaimana Lila menunggu
dengan setia "suaminya pulang
dari penjara. Bagaimana
kemudian mayatnya ditemukan
tersangkut diakar pohon bakau
dipinggir sungai.
Dan bagaimana kemudian
Parman pulang kekampung,
mendatangi dan menuduh lurah
serta pembantu-pembantunya
menjadi penyebab kematian
isterinya. Parman kemudian
diusir, dan kematian istrinya tak
pernah berhasil diungkapkan.
Mengapa harus ribut-ribut: Toh
Lila sudah mati. Dan Parman
seorang
bekas penjahat. Bisa saja
menuduh yang tidaktidak pada
pak lurah yang begitu dihormati
dan disegani penduduk
kampung: Sampai-sampai polisi
desa pun tak berminat untuk
membuka tabir kematian Lila.
"Akan kubawa perempuan
malang ini kekota', pikir Suharja
dimalam yang dingin menusuk
sampai ketulang itu. "Kawanku
si Parta, si Kiartris itu tentu mau
menolong. Dan si Sunarko, pasti
akan bersedia meluangkan
sedikit waktunya untuk mengusut
peristiwa aneh yang melingkupi
keluarga muda isteriku itu.
Sunarko seorang Kapten polisi
yang sangat berperasaan..."
Niat itu sudah membulat
dihatinya, ketika ia terbangun
pagi itu.
Suara hingar bingar diluar
rumah membuat ia tercengkat
seketika, meloncat turun dari
dipan beralas tikar yang sudah
retas-retas, dan langsung
mendorong jendela kamar yang
kuncinya sudah lama tak pernah
dipakai.
Darahnya tersirap melihat
suasana di luar rumah.
Perempuan pikun itu duduk
mencangkung diatas kursi
bambu dipekarangan. Mulutnya
mengunyah-ngunyah sirih.
Warna merah berlepotan
dikedua belah pipi dan jari
jemarinya. Ia menatap dengan
liar pada kerumunan beberapa
orang penduduk yang seperti
mengepung rumah itu seraya
berteriak-ternak riuh. Beberapa
diantara membawa benda-benda
yang bisa berbahaya melihat
suasana itu. Dari mulai parang,
kampak, pacul sampai
potonganpotongan kayu.
Seorang perempuan muda yang
berada paling depan, seraya
menujuk kearah ibunya Lila,
berteriak-teriak histeris.
"...bunuh kalian dia! Bunuh!"
Beberapa yang lain ikut
memberi semangat:
"Ya. Bunuh! bunuh!"
Dan mereka merangksek maju.
Persis pada saat itu, Suharja
membuka jendela kamarnya,
yang langsung berhadapan
dengan pekarangan. Seketika,
suara hiruk-pikuk itu terenggut
diam. Senyap menyentak, semua
mata memandang kejendela.
Suharja menghela nafas.
Bingung sesaat.
"... ada apa" Ujarnya susah
payah setelah berusaha
menenangkan detak-detak hati.
Perempuan muda tadi yang
berkata lebih dulu:
"Ia penyihir. Ia curi mayat
anakku dari kuburan!" _
Yang lain ikut meneriaki:
"Si tua itu cuma berpura-pura
pikun. la mahluk jahat yang tega
menjadikan bayi orang sebagai
jimat. ia harus mati!"
Agak terkesiap Suharja
mendengarnya.
"Curi mayat" dari kuburan"
dijadikan jimat?", tanyanya
seperti pada diri sendiri.
Perempuan muda tadi berkata
setengah menangis:
"Pagi tadi si Dul sedang
mengail disungai. Tahu apa
yang ia temukan" Ini"!" dan
perem
puan itu membuka bungkusan
yang dari tadi dipegangnya.
Suharja mencondongkan
tubuhnya lebih keluar dari
jendela, dan ia benarbenar
terperanjat melihat apa yang
berada ditangan perempuan itu.
Hampir-hampir ia tidak percaya
pada pandangan matanya.
Mulamula ia kira boneka. Tetapi
demikian dekatnya jendela
dengan tempat siperempuan
berdiri sehingga kemudian ia
bisa mengenali benda itu.
Sesosok tubuh bayi yang tidak
saja sudah busuk, tetapi?"
"Mengapa... begitu kecil?",
tanya Suharja. seraya menahan
rasa mual karena bau busuk dari
mayat bayi itu.
"Diramu! dijampe! diciutkan
untuk jadi jimat memperoleh
kekayaan!" tangis siperempuan
kemudian memeluk mayat itu
dengan erat, seperti memeluk
bayi yang masih hidup.
"Anakku! Anakku yang malang
ia menangis menghiba-hiba.
Lalu tiba-tiba:
"He! Mengapa semua diam"
Mengapa tak kalian bunuh si
penyihir itu?"
Sama sekali tak masuk diakal
Suharja apa yang ia lihat dan ia
dengar. Nalurinyalah yang lebih
cepat bekerja. Ia berteriak.
"Tunggu!"
Orang-orang yang sudah
merangsek maju lebih dekat dan
sudah siap mengeroyok
perempuan pikun yang
tampaknya diam saja tak
bergerak, serentak terhenti.
Suara mereka yang riuh
rendahpun ikut berhenti.
Mereka memperhatikan
bagaimana Suharja
menghilang sejenak, dan ketika
muncul di pintu rumah, sebuah
pestol telah tergenggam
ditangannya.
'Tak seorangpun boleh
menyentuh perempuan tua ini. Ia
dibawah perlindunganku."
Sesaat, semua orang
berpandang-pandangan tak
mengerti. Lalu tibatiba seorang
lelaki bertubuh tinggi besar dan
berkepala botak, maju kedepan.
Setelah memperhatikan sekilas
pestol! ditangan Suharja, ia
bersungut-sungut:
"Bapak cuma tamu disini.
Mengapa turut campur?"
"Kau siapa?" Suharja tak kalah
gertak.
"Bejo. Wakil lurah."
"Nah. Kebetulan. Mana lurah
kalian?"
'Kudengar kabar-kabar menarik
tentang dirinya dikota..." kata
Suharja sekenanya teringat pada
cerita Dorothea tentang
mimpi-mimpi dan sikap-sikap
aneh pasiennya bernama
Parman. "Panggillah lurah
kuingin bicara."
"Ia sakit," sungut Bejo, agak
gugup. Lalu ia menoleh pada
seorang laki-laki setengah baya
disebelahnya. Tampaknya minta
bantuan. Lakilaki yang dilirik
mengerti. Ia berkata dengan
suara perlahan:
"Aku ketua erka disini. Aku bisa
mewakili pak lurah."
Suharja menatap sebentar pada
orang itu. kemudian
mengangguk.
"Suruh orang-orang itu pulang
semua," katanya. "Kita bicara
didalam."
"Tetapi..."
"Aku polisi dari kota. Dengar!
Kuperintahkan, agar semua
orang bubar. Cepat' Kalau
tidak, moncong pestolku akan
menggantikanku untuk berbicara
pada kalian semua!"
Meskipun seraya menggerutu.
kerumunan orang itu akhirnya
pada bubar lebih-lebih setelah
pak Angga mengangguk pada
mereka. Ketua erka itu tersedikit
melotot pada Bejo yang enggan
untuk angkat kaki, dan pada Nyi
Saodah yang masih menangis
tersedu-sedu seraya memeluk
mayat anaknya yang berbentuk
aneh itu, ia bergumam lembut:
"Pulanglah, Nyi. Entar kita
makamkan lagi anakmu
sebagaimana mestinya," dan
pada Bejo ia bertitah: "Kau
bawakanlah anak itu, Bejo!"
Bejo menjadi pucat. la
buru-buru memapah Nyi Saodah
menjauhi rumah ibunya Lila,
namun tak bermaksud sama
melotot pada Bejo yang enggan
untuk angkat kaki, dan pada Nyi
Saodah yang masih menangis
tersedu-sedu seraya memeluk
mayat anaknya yang berbentuk
aneh itu, ia bergumam lembut:
"Pulanglah, Nyi. Entar kita
makamkan lagi anakmu
sebagaimana mestinya," dan
pada Bejo ia bertitah: "Kau
bawakanlah anak itu, Bejo!"
Bejo menjadi pucat. la
buru-buru memapah Nyi Saodah
menjauhi rumah ibunya Lila,
namun tak bermaksud sama
Dan dalam rumah, Suharja
menjelaskan pada pak Angga:
'.. dikota banyak kami dengar
kabar-kabar aneh tentang
kampung ini. Pencurian mayat
mayat bayi, tempat perampokan
berkumpul, kematian-kematian
yang ganjil..."
"Baru mayat Nyi Saodah yang
tercuri. dan perampok tak
pernah berkumpul di sini,
palingpaling si Parman jadah
itu, dan tentang kematian Lila..."
"Jangan potong bicaraku!" tukas
Suharja bernada jengkel, dalam
hati ia sendiri menggerutu:
"Mana aku tahu semua itu. Aku
cuma menerka nerka, berlagak
sebagai polisi pula. Pak Sunarko
pasti marah besar nanti.
Lebihlebih surat ijin pestolku
sudah lama habis waktunya..."
Kemudian ia meneruskan:
"Sayang, polisi desa disini tak
pernah melapor ke kota."
"Pak lurah menyelesaikan
segala sesuatu dengan baik."
sungut pak angga.
"Perkataan lurah bukan hukum.
Tindakannyapun. belum tentu
semua sesuai dengan hukum?"
"Kami menghormatinya."
'Dan tak pernah bercuriga
padanya, ya" Kami dengar, ia
orang terkaya diseantero daerah
ini?"
'Bapak menuduh..."
"Ah. Kami polisi selalu hati-hati
terhadap setiap seorang. Tapi
yah. Sudahlah. Aku dapat
perintah membawa ibunya Lila
kekota. Mungkin ada keterangan
yang menarik bisa kami peroleh.
bila saja ia berhasil
disembuhkan psikiater. Hal ini
juga mengingat hal-hal
misterius disekitar kehidupan
menantunya, si Parman itu..."
"Parman menghilang dari
kampung ini. Jadi ia telah
ditemukan polisi di kota, eh"
"Itu tak penting. Nah. Boleh
minta tolong mencarikan sebuah
andong untuk membawa kami
kejalan besar?"
Mendapat perintah halus itu,
ketua erka tak senang hatinya.
Namun lagak lagu tamu itu,
tentulah ia polisi dari kota
seperti pengakuannya. Karena
itu Angga harus berhati-hati.
Lagi pula apa perdulinya"
Dibawanya perempuan pikun itu
berarti lebih menenangkan hati
masyarakat dari perasaan
waswas yang tidaktidak. Mereka
lebih senang perempuan itu mati
saja. Setelah kini ada yang
bermaksud membawanya pergi,
mengapa harus ditolak" Tanpa
membantah Dak Amma keluar
dari rumah.
***
ENAM BELAS
SERINGAI, LEBAR bermain
dibibir Sunarko.
'Bung!", sungutnya kemudian".
Kau bisa ditahan karena
mencatat nama corpsku. Tetapi
tak apalah. Sebagai polisi
gadungan tindakanmu cukup
berhasil menyelamatkan seorang
perempuan tua dari kematian
yang mengerikan. Namun soal
mayat bayi yang diciutkan untuk
jadi jimat...", kapten polisi itu
gelenggeleng kepala." Kau bikin
perutku sakit. Sejak kapan kau
percaya omong kosong semacam
itu, Harja?".
'Jangan menghina, Narko. Kalau
tak kulihat dengan mata kepala
sendiri."
"Mungkin bayi itu lahir
prematur."
"Ia lahir sempurna. Dengan
wujut yang sempurna pula. Itu
yang kudengar. Banyak saksi.
Jangan pula lupa, mayat itu
dicuri dari kubur. Kau pikir
untuk apa" Dan mengapa
setelah sekian lama, yang
membusuk cuma bagian
matanya saja?"
"Hem, Sunarko tercenung".
Sayang tak kau bawa Untuk kita
autopsi dilaboratorium. Tetapi
eh, bukan itu maksudmu yang
utama datang menemuiku toh?"
"Terus terang, ini menyangkut
Dorothea. Anak itu telah mulai
dekat pada pasiennya yang
bersama Parman itu. Kau
tahu?", Suharja bertanya
dengan dongkol. Tanya yang ia
jawab sendiri:, Ia sudah
berani-beranian membawa si
Parman itu kerumah. Malah
nekad membawanya nonton
biaskop. Tak perduli laki-laki itu
berkaki satu..."
"Kaki satu tak jadi ukuran
perasaan. Harja". Mestinya kau
katakan pada anak gadismu,
siapa sebenarnya laki-laki itu'.
"Aku tak sampai hati. Lagi pula
itu menyangkut masa lalu"
"Maksudmu?"
"Terserah apa maunya Thea
laki-laki yang boleh menjamah
hatinya, haruslah laki-laki yang
bersih masa depannya."
"Eh, bagaimana kau tahu
Dorothea punya hati sama
Parman?"
"Aku ayahnya. Kau sendiri tahu,
Thea tak pernah rapat dengan
seorang laki-laki..."
"Kita orang tua sebaiknya tak
terlalu banyak ikut campur
urusan anak-anak Harja.
Banyak kusaksikan akibatnya
yang negatif. Tetapi yah,
sudahlah. Demi seorang
sahabat. Aku akan memberikan
jalan keluar. Bisa kau atur
kapan aku dapat
berbincang-bincang dengan
laki-laki misterius itu?"
***
Laki-laki itu. Parman, tegak
dengan bahu bertahan dibendul
pintu. Belakangan ini kerut
merut harus mulai bermunculan
didahinya. Ia merasa lelah
setelah mengenakan tongkat
kayu untuk membantunya
berjalan. Lebih lagi-lagi hati
dan jiwanya setelah mengalami
penderitaan beruntun yang terus
menimpa. Ia merasa telah
berdosa pernah jadi pengganggu
ketentraman orang lain dengan
mengambil hartanya secara
tidak syah. Ia juga tahu,
hubungan zinah yang ia lakukan
dengan ibu Lasmi dimasa ia
masih perjaka. telah merupakan
dosa-dosa yang harus ia pikul.
Tetapi mengapa begini berat
hukuman Tuhan yang harus ia
tahankan"
Perasaan lelah itulah yang
membuat Parman lama terdiam
seraya memandang gadis yang
berdiri resah didekatnya. Gadis
itu merundukkan muka,
ujung-ujung sepatunya bermain
dilantai teras. Malam telah
semakin larut. Gadis itu
seharusnya sudah pergi, tetapi
Parman ingin Dorothea lebih
baik tetap berada disampingnya.
Keinginan yang sama pulakah
yang bermukim dihati Dorothea
sehingga ia berdiri sedemikian
resah, sementara jarijemarinya
masih berada dalam genggaman
Parman"
"... bagaimana aku harus
membalas budi baikmu, Thea?",
akhirnya Parman memecah
kesepian yang menggelitik
mereka.
Dorothea tengadah. Balas
menatap mata Parman. Senyum
lembut bermain dibibirnya yang
mungil dan kemerahan, tanpa
polesan lipstik.
'Tidak" Kau telah
membangkitkan sema
ngatku untuk tetap hidup. Dan
perbuatan gila apa yang kau
lakukan ini" Mentraktirku
minum, nonton bioskop dan
menghirup udara sore yang baru
sekarang kutahu, betapa
cerahnya, sebagai seorang
laki-laki seharusnya aku malu
pada diri sendiri"
"Kau membuat wajahku merah,
Parman". Dorothea tersipu
"Sudah ya; aku pulang" Nanti
papa dan mama mencari..."
Tetapi ia tak juga menarik
tangannya dari genggam
Parman.
"Ingin kuantar kau pulang,
Thea"
"Kapan-kapan, Parman.
Sesudah fisikmu betul-betul
sehat dan kau terbiasa jalan
sendirian...", kemudian
Dorothea kembali menatap mata
Parman. Tajam namun alangkah
lembut sinar mata yang bundar
itu"
Sudah ya", ulangnya. setengah
berbisik .Bersamaan dengan itu,
tumitnya terangkat keatas, dan
sebuah kecupan hangat dari
bibirnya singgah sekilas dimulut
Parman. Ada kejutan diwajah
dilelaki sehingga ia tak sadar
sama sekali kalau Dorothea
telah menarik tangannya dan
kemudian berjalan cepat-cepat
kejalan besar dan naik kesebuah
becak.
Kejutan itu terus menerpa wajah
Parman.
Ia terpukau ditempatnya berdiri,
menatap kekejauhan dengan
wajah yang pucat. Ia tidak
melihat Dorothea pergi. Tidak
melihat gadis itu naik kesebuah
becak. Dan tidak melihat becak
itupun kemudian menghilang
ditelan kegelapan malam.
Kecupan bibir Dorothea yang
panas
Dorothea menghilang, Lila tetap
tak berada didepan mata
Parman yang masih terpana
oleh kejutan yang tiba-tiba
melecut jantungnya itu.
'...mengapa. Sayang" Takutkan
kau?"
Angin malam menerpa-nerpa
wajah Parman. Angin malam
yang dingin itu. Ya teramat
menusuk itu. Dan suara yang
seperti sayup sayup datang dari
jarak yang teramat jauh itu,
bergema dan bergema kembali:
"Takutkah kau, Parmanku
sayang'?"
'Ti-dak...tidak", mulut Parman
menceracau.
Tersenyum bayangan yang
berdiri di depan Parman. Mesra.
Tetapi kucuran darah dari
keningnya yang pucat... ia
goyangkan kepala sedikit
sehingga rambut tergerai yang
menutupi pipinya berkibar
kebelakang, ditiup angin malam
yang berhembus semakin keras.
Desau pepohonan dihalaman
rumah itu seperti jeritjerit yang
menyayat tulang ditelinga
Parman. Ia tahan.
"Katakan, Lila...", mulut
Parman kemakkemik.
Tangannya mau menggapai,
tetapi tak
ada kekuatan sama sekali. la
cuma tegak Diam. Beku seperti
patung yang ingin melepaskan
diri dari kekakuan yang
memakunya rapat kebendul
pintu"... mereka membunuhmu,
bukan?"
Desau angin didaun-daun pohon
melejit lejit lengking:
"Ya. Parman. Mereka
membunuhku. Mereka
membunuhku" .
"Lurah" Lurah" Lurah...?"
"Kau sudah tahu, Parman.
Mengapa tak kau balaskan sakit
hatiku" Mengapa kau bercumbu
dengan perempuan lain" Sudah
matikah bersama dengan
matinya diriku" Parman,
Parman. aku terus menangis
dikubur...menangis, Parman,
menangis menunggu kau
KutUnggu...!'
"Lila! Lila! Lila!, dan Parman
bagai tercekat dari tegaknya,
menggapai kedepan semakin
kedepan... tak ingat Untuk
mempergunakan tongkat yang
dari tadi melekat d'bawah
ketiaknya. Lalu dengan suara
berdebuk yang keras. tubuh
Parman jatuh terjerembab
dilantai teras. Benturan yang
keras dari bibir tembok dengan
dagunya membuat
Parman mengaduh. Ribuan
bintang-bintang dilangit seperti
turun kebumi, bermain dan
menari-nari dengan irama liar
dikepala Parman.
Ibu Lasmi dan suaminya berlari
larian keluar dari kamar dan
dengan terkejut melihat apa
yang terjadi.
"Nak Parman, mengapa kau"
tanya ibu Las cemas seraya
menolong Parman berdiri
dibantu suaminya.
"Mana... kemana dia", Parman
bersungutsungut. Matanya
berkunangkunang.
"Dia" Dia siapa?"
"Lila. Istriku..."
'Ibu Lasmi memandang
suaminya dengan dahi berkerut.
Seraya memapah laki-laki
malang itu kedalam, suami Ibu
Lasmi berkata dengan lembut:
'Yang. mengantar kau tadi
pulang, Dorothea, nak. Bukan
Lila?"
"Ia Lila! Lila. aku... aku telah
berbicara padanya... ia..."
tiba-tiba Parman membentot
lengan perempuan setengah
baya disebelahnya." Tolonglah
aku. pak lurah yang membunuh
Lil" masih tak percayakah kau,
bu Lasmi.
Setelah berkata begitu, Parman
jatuh tak sadarkan diri.
Bersusah payah ibu LAsmi dan
suaminya menyadarkan Parman,
kemudian memberikan pel tidur
yang disediakan Dorothea untuk
diminum Parman. Laki-laki itu
masih terus mencercau dan
berkumat-kamit tak karuan
sebelum ia kemudian berbaring
dengan
mata terpejam rapat dan
bernafas dengan teratur. Ibu
Lasmi menghela nafas dengan
teratur. Ibu Lasmi menghela
nafas lega menoleh suaminya.
'Apa yang harus kita lakukan,
Pak?"
"Menghubungi polisi. Itu
satu-satunya jalan."
"Tetapi... siapa yang mau
percaya?"
"ltulah. Harus kita buktikan
bersama-sama. Setelah
mendengar cerita Parman
selama ini dan pengakuanmu
sendiri tentang kehidupan bekas
suamimu yang pertama itu,
kupikir sudah waktunya kita
melakukan sesuatu. Kasihan
Parman. Arwah istrinya terus
mengganggu dia.
. Padahal keadaan Parman
sudah agak baikan semenjak
bertemu Dorothea. He!" suami
ibu Lasmi tiba-tiba bercahaya
matanya. "Kau begitu kaget
ketika mula-mula bertemu Thea.
Tak salahkah penglihatan mu,
bu?"
Tak mengerti, ibu Lasmi
bergumam:
"Demi Tuhan, pak. Thea dan
Lila. bagai pinang di belah
dua!"
"Hem," suami ibu Lasmi berpikir
sesaat. lantas: Bekas Suamimu
percaya dan hidup didunia
tahayul. Takutlah ia kalau
bertemu dengan hantu" ,
"Hantu?" ibu Lasmi gemetar.
'Ya. Hantu korban
kebiadabannya!"
Ibu Lasmi tiba-tiba tertawa.
Katanya:
"Kau bukan dukun. Bagaimana
kau bisa memanggil arwah dari
alam kubur"'
"Nanti juga akan kau ketahui,
bu. Kalau
besok Parman bangun,
katakanlah agar ia membujuk
hantu yang kumaksudkan. Aku
yakin, hantu tersebut pasti
bersedia membantu"!"
***
HUJAN sudah mulai turun
ketika Dorothea menginjak pintu
rumahnya.
"Maafkan, -aku kemalaman,
mama," ia memelas pada
perempuan setengah baya yang
membukakan pintu.
Begitu pintu tertutup
dibelakangnya, Dorothea
mendengar suara ayahnya:
"Wajahmu berseri-seri. Bersemu
merah kulihat. Bolehkah kami
minta kau duduk dulu sebentar.
Thea?"
Dengan heran, Dorothea duduk
dihadapan ayah dan ibunya. .
'Bagaimana Parman" Lebih
baik?"
Tiba-tiba saja, wajah Dorothea
kembali memerah. Ia merunduk
waktu menyahut:
"Mudah-mudahan. papa."
"Syukurlah. Ia sudah
menceritakan siapa dan
bagaimana masa lalunya?".
"Dorothea menghela nafas.
Berat lalu mengangguk.
Perlahan.
"Pentingkah itu, papa?"
"Kami bukan mau turut campur
nak. Tetapi syukurlah kau sudah
tahu siapa Parman. Biarpun
pengetahuan itu tidak merubah
sikapmu terhadapnya. Mungkin
karena semula kau begitu takut
dan setengah mati berusaha
menjaUhinYa, sehinga kau
kemudian.. jatuh hati padanya.
Ah. nak. Tak usah mengelak.
Kami
sudah maklum. bisa pulakah kau
maklumi,
kalau misalnya kami katakan
mungkin perasaan
cintamu menjelma karena
hubungan batin " de
ngan saudaramu yang bernama
Lila?" Dorothea tertengadah.
Takjub.
***
TUJUH BELAS
HARI-HARI yang datang susul
menyusul bagi Bejo tak ubahnya
siksaan yang terus menerus
menyakiti tidak saja badannya
tetapi terutama hatinya.
Meskipun ia telah berhasil
mencuri mayat baru dari
kampung yang belasan kilometer
jauhnya dari desa mereka, pak
lurah masih saja bersikap tak
bersahabat pada Bejo. Tiap kali
ia akan naik ketempat tidur pak
lurah disertai kerinduan dan
nafsu yang meluap-luap, ia
selalu memperoleh sentakan:
"Pergi sana! Jangan usik
tidurku."
Bejo terpaksa menyingkir
kekamarnya sendiri dibagian
belakang rumah. Kamar yang
terasa kian hari kian sempit,
kian pengap dan kian menyiksa.
Kadang-kadang ia heran
mengapa dulu Parman betah
tinggal belasan tahun di kamar
ini. Tetapi setelah ingat si
Parman itu terpaksa saja mau
digeluti pak lurah, keheranan
Bejo hilang dengan sendirinya.
Lebihlebih kamar yang sempit
itu bersebelahan dengan sebuah
kamar besar dimana dulunya ibu
Lasmi tidur. Bah! Kamar yang
besarpun belum tentu
menyenangkan, buktinya ibu
Lasmi sering pindah dengan
diam-diam kekamar sempit
disebelahnya. Dikamar sempit
itulah ibu Lasmi memperoleh
kesenangan dan kehangatan dari
tubuh seorang perjaka yang
belum pernah mengenal
perempuan: Parman.
Karena sering tak tahan oleh
udara pengap dikamarnya
sendiri sedangkan pintu kamar
tidur pak lurah tertutup buat
Bejo, ia kemudian sering pindah
kebekas kamar ibu Lasmi itu.
Suasananya lebih leluasa, dan
rasanya sisa-sisa kerapihan ibu
Lasmi, bau tubuh dan parfum
perempuan itu masih bergantung
dikamar. Bejo senang bau
harum itu, tetapi ia sama sekali
tidak senang pada tubuh yang
menimbulkan bau
menggairahkan itu Betapa tidak.
Tubuh itu cuma tubuh
perempuan, bukan tubuh
seorang laki-laki yang bagi Bejo
lebih menarik seleranya.
Kehangatan yang jauh berbeda.
Kegairahan yang ganjil, 'namun
tetap mengesankan.
Namun kamar besar itu pun
lama-lama toh membosankan.
Seperti dulu ibu Lasmi bosan
karena kamarnya jarang
dimasuki kamar pak lurah.
Bejopun kini merasakan hal
yang serupa. Lantas datanglah
hasrat gilanya. Karena pintu
kamar tidur pak lurah selalu
terkunci, ia lantas senang
mengintai, kalau kebetulan hawa
sedang gersang sekali pak lurah
biasanya tidur bertelanjang.
Pemandangan itu sedikit
menghibur kelelakian Bejo.
Sayang. hiburan yang tidak
pernah sempurna sehingga ia
bosan sendiri akhirnya untuk
mengintip lewat lubang kunci
pak
lurah keparat itu benar-benar
tak bisa lagi didekati. Bila tidak
sedang tidur, ia sibuk dengan
mayat bayi yang baru dikamar
rahasia. Biasanya Bejo diminta
membantu membuat ramuan
ramuan dikamar tersebut, tetapi
kini pak lurah lebih senang
bekerja sendirian.
"Kau telah merusak meditasiku
ketika meramu bayi Nyi Saodah,
sekarang aku mau kerja sendiri.
Aku tak ingin gagal kali ini
kalau tidak, celakalah yang
bakal menimpa?"
Agak takut-takut, Bejo pernah
coba menukas:
"Celaka bagaimana, pak lurah?"
Yang ditanya mendelik pada
Bejo. Katanya tak senang:
"Tak mengertikah kau, kunyuk?"
Otak Bejo yang bekerja lebih
lamban dari tubuhnya yang
tinggi besar, sebenarnya
memang tidak menangkap
maksud pak lurah. Ia malu
mengakuinya, tetapi ia pun
penasaran untuk mengetahui
bahaya apa yang mengincar
jiwa pak lurah. Karena bagi
Bejo, bahaya buat majikannya
berarti bahaya pula bagi dirinya
sendiri.
"Kerbo!" pak lurah
bersungut-sungut melihat
pelayan rumah tangga yang '
sekaligus merangkap pelayan
nafsunya ditempat tidur itu,
cuma diam terbengong-bengong.
Sedikit rasa kasihan timbul juga
dihati laki-laki tua itu.
Betapapun, Bejo toh sering
memberi kepuasan dan telah
banyak membantu, siapa tahu
Bejo dapat pula membantu,
melepaskan mereka dari
kesulitan yang tengah mereka
hadapi_ Oleh karena itu dengan
malas pak lurah menerangkan:
"Kau masih ingat jimat yang
gagal itu?"
"Masih, pak."
"Akhirnya mayat yang dicuri itu
kembali ditemukan Nyi Saodah."
"Kembali ditemukan Nyi
Saodah, pak."
"Waktu itu, kita hampir celaka."
"Hampir celaka..."
"Latah!" pak lurah
mencak-mencak. Tak ingatkah
kau semua itu terjadi karena kau
sembarangan saja membuang
mayat bayi yang sudah busuk itu
kesunyian?"
Bejo merungkut ketakutan.
Ia cuma diam ketika pak lurah
melanjutkan omelannya:
"... untung masih bisa kita
tudingkan kesalahan pada
mertua si Parman. Sekarang
pada siapa kesalahan kita
tudingkan kalau terulang
kesalahan yang sama, he?"
Bejo tak menjawab.
Pak Lurah memang tak
memerlukan jawab dari
pelayannya itu, Sungutnya:
"Tidak pada siapa-siapa.
Karena kali ini aku tak akan
gagal"."
"Kalau begitu. tak ada dong
bahayanya..."
'Nenekmu! Kakekmu!
Moyangmu! kau tak maklum
bahaya yang mengintai
semenjak mertua si Parman itu
diangkut polisi kekota?"
"Perempuan itu sudah pikun,
pak lurah," Bejo bergumam
dengan suara gemetar.
"Seorang pikun belum berarti
seorang yang bisu. Mulutnya
masih bisa berkata tolol!"
"Masih bisa, pak..."
"Masih bisa masih bisa
bapakmu!, pak lurah
membanting-banting tinjunya
yang tak begitu besar kedaun
pintu itu berdengardengar, dan
Bejo tak heran mengapa pak
lurah tidak kesakitan biarpun
tulang-tulang tangannya yang
kurus begitu keras membentur
daun pintu. Betapa tidak.
Bukankah majikannya punya
ilmu" llmu itu pulalah yang
memukau Bejo, sehingga
biarpun ia bisa membunuh
majikannya hanya dengan sekali
banting tetapi toh tak pernah
bisa terlaksana betapapun pak
lurah sangat menyakiti
perasaannya. Kekuatan Bejo
selalu luntur setiap matanya
terbentur kemata pak lurah.
Mata yang gelap seperti lorong
yang dalam tetapi menyebarkan
bau yang ganas seperti gas
mematikan dari dalam
kegelapan itu, kini
bernyala-nyala menakutkan.
Bila sudah demikian hilanglah
nafsu Bejo untuk melepas
bajunya sendiri kemudian
melepas pak lurah.
Itulah sebabnya mengapa Bejo
hari ini teramat bersuka cita.
Seorang tamu laki-laki telah
datang kerumah pak lurah. ia
membawa sepucuk surat yang
ditujukan pada Bejo. Namun toh
sikap bercuriga pak lurah
akhirakhir ini menyebabkan
majikannya penasaran untuk
sama-sama membaca isi surat:
"Nak Bejo. Pulanglah segera
Ayahmu dalam keadaan sakit
yang gawat. Ia menyesal berlaku
sepele padamu selama ini, dan
kini ia bermak
sud membicarakan harta
warisan denganmu. Ttd. Ibu".
"Dibawah kalimat itu dibubuhi
nota."
"Pembawa surat ini Kardi. la
butuh pekerjaan. Selama kau
pulang kekampung kita,
bicarakan dengan majikanmu
supaya Kardi bisa
menggantikan".
Pak lurah menatap sekilas pada
Bejo. Sempat berkata:
"Kau ketiban rejeki. eh?"
Dikilas berikutnya, pak lurah
sudah menoleh pada tamu
mereka. Ia memperkenalkan diri
dengan nama Kardi. Sesuai
dengan bunyi surat. Bagi Bejo
itu tak penting. Yang penting
adalah tatap mata pak lurah
yang ganjil pada Kardi:
Laki-laki tua itu memandang
dengan mata tak berkedip
keseluruh tubuh Kardi,
kemudian tangannya hinggap
dipaha Kardi. menyapunya
dengan lembut. Suara pak lurah
gemetar seperti juga tubuhnya.
"Aku senang padamu. Kau
kuterima"
Darah disekujur tubuh Bejo rasa
meluap. Telinganya merah
padam. Dan mulutnya tidak bisa
menahan rasa cemburu:
"... belum tentu ia sebaik saya,
pak lurah".
Dahi pak lurah mengernyit. Tak
senang. Gerutunya:
"Kenapa kau tak segera pergi?"
Kemudian pak lurah masuk
kedalam. Sesaat Bejo menoleh
pada Kardi. Laki-laki itu
tersenyum: Memang manis.
Seperti perempuan. Kalau saja
tak ada pak lurah Bejopun ada
minat. Rasa cemburu Bejo akan
menjadi. lngin rasanya ia
membanting saja laki-laki yang
katanya berasal dari kampung
Bejo itu. Mungkin pencari kerja
baru disana, karena Bejo belum
pernah melihat laki-laki ini,
berkenalan dengan keluarganya,
bersahabat dan kemudian
memperoleh kepercayaan
membawakan surat buat Bejo.
Tak lama pak lurah keluar: Ia
membawa sebuah koper yang ia
buka dihadapan Bejo. Isinya
seperangkatan pakaian yang
bagus-bagus malah ada mantel
bulu segala. Kedalam koper itu
dilemparkan pak lurah
setumpukan uang yang sesaat
membuat tidak saja mata Kardi
akan tetapi terutama mata Bejo
bekilat.
"Semua ini untukmu. Bekal
pulang..", kata pak lurah lembut
pada Bejo.
Mendengar ucapan pak lurah.
Bejo bukannya bergembira.
Didahinya tiba-tiba timbul
beberapa kerutan. Mata Bejo
mengecil waktu berkata dengan
suara datar:
"Semua ini... untuk pesangon
saya?"
"Yal" jawab pak lurah
bersemangat.
"Berarti saya dipecat".
"Tepat sekali"
Tubuh Bejo menegang. Ia
memandang pak lurah dengan
marah. Sang majikan terlalu
bergembira dengan suasana
yang tengah ia hadapi, atau
memang tidak perduli lagi Bejo
mau apa, sehingga tidak
berusaha menaklukkan Bejo
dengan kekuatan sorot matanya.
Sadar akan hal itu. kemarahan
Bejo kian memuncak.
"Kau tahu, laki laki busuk?",
Bejo memaki: "Kau sudah
semakin peot, tetapi toh aku
masih senang melakukan apa
saja yang kau kehendaki: Asal
kau bahagia dan puas. Semua
kulakukan karena aku senang
dan puas pula hidup
bersamamu..."
Pak lurah senyumsenyum saja,
sementara Kardi terheran heran.
Dan Bejo kian bergelombang
gelombang.
"Persetanlah dengan kau, lurah
terkutuk .Haram jadah semua
pemberianmu, Seharam jadah
dirimu!"
Lalu Bejo meninggalkan rumah
itu dengan perasaan terhina.
Pak lurah geleng geleng kepala.
"Anak yang sombong. Mentang
mentang mau dapat warisan.",
ia bersungut sungut. Kardi diam
saja. Tak menyahut.
"Coba. Pakaian begini bagus
bagus, mana ada yang sanggup
memberikan kecuali aku" Dan
setumpuk uang...", pak lurah
geleng geleng kepala, tak
mengerti.
Masih juga laki laki bernama
Kardi itu diam.
Pak lurah jadi tertarik"
Tanyanya:
"Salahkah apa yang kukatakan
Kardi?"
Kardi geleng geleng kepala.
Untuk menguatkan, katanya.
"Benar, pak lurah, benar sekali
apa yang
kau katakan".
Pak lurah tesrsenyum. Senang.
la sapu lagi
Paha Kardi "dengan
tangan-tangan gemetar...
Malah sempat pula ia
cengkeram pantat Kardi yang
tebal. empuk dan panas.
"Kau anak manis, Kardi. Dan
kalau kau berlaku manis. semua
ini untukmu kata, Pak Lurah".
"Saya akan berusaha, pak lurah"
"Kalau begitu, kau bantulah aku
mulai dari sekarang"
"Ya pak lurah?"
"Aku kesepian" Temani aku
kekamar tidur, ya?"
***
Diatas andong, Bejo
membayangkan pak lurah tentu
tengah bergumul dengan Kardi
diatas tempat tidur. Tipe tamu
laki laki itu tampaknya memang
tipe lembut, biarpun pandangan
matanya tajam. Pak lurah akan
dengan mudah bisa
menaklukkan si Kardi keparat
yang telah mengusir Bejo dari
sisi majikan kesayangannya itu.
Beberapa kali Bejo bersungut su
ngut sendirian sehingga kusir
andong jadi penasaran. Tetapi
tahu siapa Bejo, kusir itu tak
berani bertanya. Juga tak berani
berkata apalagi mengajukan
protes biarpun Bejo angkat kaki
begitu saja menuju
kepemberhentian bus tanpa
membayar sewa andong.
Tak lama Bejo menanti. Bus dari
kota yang menuju kekampung
halamannya, segera tiba. Ia lalu
naik mencari tempat duduk.
Dapat dipinggirjendela.
Ketika bus akan berangkat,
tanpa sengaja Bejo melihat
keluar jendela. Kedalam sebuah
warung. "Terkejut ia seketika
seSeorang dida
lam warung juga tengah
memandanginya. Seseorang
yang sebelah kakinya buntung. '
"Parman!" Bejo berbisik parau.
Dan bus kian melaju.
***
DELAPAN BELAS
TETAPI KARDI ternyata bukan
laki-laki yang mudah didekati.
Waktu pak lurah coba
memeluknya begitu
pintu kamar tidur ditutup, Kardi
tiba-tiba . berusaha melepaskan
diri seraya berkata kecut:
"Koper. Dan uang itu. Masih
diluar!"
Kardi kemudian membuka pintu.
Pak Lurah dengan kesal berseru
dari dalam kamar.
'Biarin saja. Tak kan ada yang
beraniberanian masuk
kerumahku'
Kardi tak perduli. Ia terus saja
keluar menyimpan tas beserta
isinya keruangan dalam. Lama
pak lurah' menanti. Tetapi Kardi
tak masuk-masuk lagi. Sampai
hari jatuh senja ia terus sibuk
melakukan apa saja yang bisa ia
kerjakan dirumah sesuai dengan
tugas utamanya melamar
pekerjaan ditempat itu.
Memompa air dari sumur.
Menyapu. Didalam. Dan diluar
rumah mengumpulkan pakaian
pakaian kotor yang pada jam
tertentu diambil oleh seorang
perempuan yang bisa mencuci
dan menyetrikakan
pakaian-pakaian
tetangga-tetangga dengan upah
yang memadai. Mengambil 184
makanan dari yang pada
waktunya sudah mempersiapkan
masakan kesukaan pak lurah.
Karena jengkel pak lurah
kemudian keluar rumah. Ia pergi
kerumah pak Angga
Berbincung-bincang tentang
suasana desa mereka. Pergi
kemadrasah. Melihat anak-anak
bersekolah dan bersenda gurau
dengan guru-guru mereka,
waktu magrib masuk ke masjid
ikut bersembahyang dengan
penduduk. Namun pikirannya
tidak tertuju pada Tuhan.
Melainkan pada pelayan
barunya dirumah. Kardi itu
tidak setinggi dan sebesar Bejo.
Tetapi wajahnya kelimat. Halus.
Dandanannya senantiasa rapih.
Gerak geriknya lembut malah
agak gemulai. Kardi
benar-benar "laki-laki yang lain'
dan sesuai dengan seleranya.
Lasmi memang cantik. Dan
masih banyak perempuan
perempuan cantik didesa.
Tetapi mereka benar-benar tidak
semenarik Parman dulu, Bejo
lalu kini Kardi.
Tanpa ikut berdoa dengan
penduduk lainnya, lurah
kemudian buruburu pulang.
Ia benar-benar sudah tidak
sabar. Akhirakhir ini awan
mendung selalu memberati
langit. Hujan turun sesekali.
Dinginnya. Ampun. GERIMIS
JATUH MEMBINTANGI BUMI
KETIKA pak lurah TIBA
DIRUMAH. KARDI
MEMBUKAKAN PINTU
UNTUKNYA.
"Sudah kau sediakan makan,
Kardi?" tanya pak lurah seraya
matanya menatap Kardi
dalam-dalam.
"Sudah. pak lurah".
"Kau makan bersamaku ya?"
"Terima kasih pak lurah.
Belakangan saja".
'Tidak. Kita makan
bersama-sama."
Selama makan pak lurah
bertanya asal usul Kardi.
Pelayan itu menceritakan ia
sudah tidak punya orang tua.
Juga tidak sanak saudara.
Kerjanya berkelana. Ia katanya
ingin mengenal dunia ini lebih
banyak. Bukan cuma selembar
tanah pertanian digunung
tempat kelahirannya. Di mana ia
tiba, ia bekerja apa saja untuk
dapat mengisi perut. Ia belum
kawin. Bahkan belum pernah
memikirkan perempuan.
Rumah tak punya; tanah tak
punya.
Apa-apa tak punya. Mana saya
berani berumah tangga?"
"Pernah punya kekasih?", tanya
pak lurah hati-hati. '
"Ah. Saya bukan orang yang
mudah di dekati perempuan."
"Mengapa?".
"Mungkin karena saya tak
berani jatuh cinta. Mungkin
juga...". Kardi menatap mata
pak lurah. Tajam. "Mungkin
juga karena saya memang tidak
pernah merasa tertarik pada
perempuan, bagaimana cantik
dan montoknya!"
Pak lurah tersenyum. Puas. Lalu
tertawa Puas.
"Kau tak pernah kesepian,
Kardi?"
_ "Tidak. Saya sudah terbiasa
hidup sentrian."
'Tak pernah... kedinginan?"
"Kedinginan "'.
"Maksudku... ditempat tidur"
"Saya senang pakai selimut yang
tebal pak lurah. Kalau perlu,
berlapis-lapis...".
'Tak pernah ingin selimut yang
lain?"
"Selimut lain?", Kardi
memandang tak mengerti.
Dimata pak lurah, Kardi cuma
purapura tidak mengerti.
Karena itu dengan bersemangat
pak lurah berdesah:
"Malam ini pasti hujan turun.
Dingin sekali disini dan sepi.
Sepi sekali. Aku tak senang
udara yang dingin. Benci rasa
sepi. Di rumah ini banyak
kamar-kamar. Kau boleh pilih
yang mana saja untuk kau pakai
tidur. Kecuali kamar tersendiri
disebelah gudang. Kau. bisa
pakai bekas kamar Bejo. Atau
kamar bekas Lasmi...".
'Lasmi?"
"la bekas isteriku..." pak lurah
tiba-tiba meludah. "Ah,
perempuan. Mereka tahunya
dipuasi sendiri. Tak perduli
pada kepuasan laki-laki..." ia
melirik dengan ekor matanya
kearah Kardi. Berkata setengah
mengajak:
"Kalau kau merasa kedinginan
dan kesepian seperti aku,
datanglah ke kamarku. Kardi.
tidur bersama lebih enak"
Kardi cuma tersenyum. Ia
bersihkan meja makan. Angkat
perabotan kekamar cuci.
Membersihkannya disana.
Menyimpannya hati-hati di rak
dapur. Ia kemudian
menjerangkan air. Pak lurah
yang tercenung diruang makan,
agak terkejut ketika Kardi
muncul dari dapur seraya
bertanya.
"Bapak senang kopi atau
dicampur susu?"
"Kopi saja jangan pakai gula.
Gula membuat gigi rontok dan
ulu semakin cepat tua".
Dan kopi tanpa gula bisa
menahan kantuk datang lebih
lama!
Pak lurah gelisah dikamarnya.
Tak bisa tidur. Kepalanya jadi
pusing menjelang tengah malam.
Persetan benar, ia memaki diri
sendiri. Lalu keluar dari kamar.
Dari pada mati-matian
menyuruh mata terpejam, lebih
baik ia masuk kekamar kerja
pribadinya. Mayat bayi yang
telah dicuri Bejo beberapa hari
yang lalu dari kampung lain
sudah berubah warnanya
kemaren malam. Dari pucat
kewarna merah kembali. Seperti
bayi segar. Mati tidak, hidupun
tidak. Tak akan ia ciutkan mayat
bayi itu: Karena ia sekarang
tidak butuh jimat. Hartanya
masih banyak. Sawah
berhektar-hektar: Uang
bertumpuk dilemari besi. Dari
sejumlah rumah yang disewakan
pada penduduk. Sewa yang
sangat murah sehingga
sipenyewa menganggap memilih
rumah dermawan. Padahal
kalau dikumpul-kumpul sewa
semua rumah, dalam setahun
bisa membangun sebuah rumah
baru. Untuk disewakan lagi.
Begitu terus.
Kalau saja ia hidup dijaman
nenek moyangnya, ia sudah bisa
merajakan diri. Namun dengan
kedudukannya yang sekarang. la
telah merasa puas. Apalagi yang
ia cari. Harta sudah bertumpuk
.lsteri" buat apa. Ia cuma
sesekali berhasrat menggauli!
perempuan. Ia bisa pergi
kedesa yang berjauhan. Atau
kekota. Melacur. Tetapi
perempuan-perempuan selalu
rewel. Dan sentimentil.
Kadang-kadang suka menutup
sebelah mata kalau melihat
laki-laki yang menggaulinya
sudah tua renta, biarpun
ketuaan itu belum berarti lebih
lemah kejantanannya dari
laki-laki yang lebih muda. Ah,
kalau saja si Kardi ini mudah
dikuasai seperti si Parman dulu.
Atau si Bejo. Ah. Mungkin masih
jinakjinak merpati. Apa kata si
Kardi" Ia tak begitu senang
perempuan... tak ada arti yang
lain lagi dari kalimat itu
kecuali"
Pak lurah tertegun di depan
pintu kamar Kardi.
Pintu itu tidak terkunci. Malah
sedikit menganga,
"Apakah Kardi mau bercumbu
dikamar ini saja?" bisik pak
lurah dengan jantung berdebur
kencang.
Ia dorongkan daun pintu
hati-hati. Meninjau kedalam.
Gelap. Gelap sekali.
"Kardi?" pak lurah berbisik.
Tak ada sahutan.
"Kardi?" ia memanggil lebih
keras.
Tetapi sepi, mencekik.
Pak lurah mulai curiga. Ia
masuk kedalam. Cahaya lampu
yang samar-samar dari luar
memberi penerangan yang
suram didalam. Tempat tidur
kosong. Diraba oleh pak lurah.
Dingin. Jadi Kardi belum
menidurinya. Kemana dia" Pak
lurah cepat-cepat keluar. Ia
masuk
kekamar sebelah. bekas kamar
Lasmi lampu didalam masih
menyala. Dan tempat tidur jelas
kosong melompong. Kecurigaan
pak lurah meningkat jadi
perasaan cemas.
Bergegas ia menuju anak tangga
kamar rahasia.
Dan ia terkejut sendiri, ketika di
persimpangan tangan menuju
keteras bagian atas rumah.
terdengar langkah kaki yang
halus. Pak lurah merapat ke
tembok. Matanya berhatihati.
Langkah-langkah itu kian jelas,
semakin dekat. Dan ia mulai
melihatnya. Kaki yang berkuku
lebar, berdaging tebal.
Kemudian celana panjang yang
ujungnya berlipat. Pak lurah
menghela nafas. Lega: Menyeka
keringat yang sempat membercik
dijidat. _
"Dari mana kau?" ia
bersungut-sungut begitu
siempunya kaki sudah berdiri
dihadapannya.
"Menutup pintu tingkap, pak
lurah. Diluar hujan deras. Ada
angin merebes kedalam. Lalu
aku naik. Pintu tingkap ternyata
terbuka."
"Oh?" pak lurah menggerutu
dan mengurut
dada.
'Saya senang kegelapan, pak
lurah. Saya berdiri diteras.
Dibawah atap. Kutekuri alam
yang tampaknya seram.
Menakutkan. Aneh. Saya
merasakan sesuatu yang ganjil
dan asing begitu mendengar
suara sungai mengalir di
bawah?"
"Sudah. Nanti kau juga terbiasa.
Dan mulai besok, Kardi. Pintu
tingkap itu dipaku saja
biarin tertutup selamanya"
"Mengapa pak lurah?"
'Jangan banyak tanya, turut saja
perintahku!"
"Tetapi memandang waktu Siang
disana, pasti menarik sekali, pak
lurah. ."
"Kau bisa keluar rumah kapan
kau suka. Disana banyak tempat
kau bisa menikmati panorama
yang indah. Sekarang pergilah
tidur. Dan begitu kau bangun
besok, paku tingkap itu!"
Kardi memandang lama ke
wajah pak lurah. Yang
dipandang tak senang .Bertanya
penasaran:
"Mengapa kau pandangi aku
begitu?"
Kardi bergumam. Habis:
"Mata pak lurah membayangkan
ketakutan"
Pak lurah gemetar: Tiba-tiba ia
menjadi marah.
"Kau tahu apa ha?"
"Maaf, pak lurah. Tetapi. diatas
sana tadi, saya juga tiba-tiba
didatangi rasa takut yang aneh"
"Kubilang tidur! Tidur! Tidur!"
Lantas tanpa menunggu Kardi
melakukan perintahnya, pak
lurah berlari-lari kecil kekamar
tidumya sendiri. Ia menutup
pintu rapatrapat. Menguncinya.
la periksa dinding samping yang
langsung menuju keteras. Juga
terkunci. Rapat. Malah sudah
diberi engsel penguat oleh Bejo
beberapa hari yang lalu.
Sambil berbaring. pak lurah
bersungut-sungut sendiri:
"Ramuan bayi itu harus segera
disempurnakan. Aku sudah tak
tahan. Bayi itu akan menambah
kekuatan jasmani dan jiwaku: O
mengapa aku ini" Belum pernah
aku begini sebelum peristiwa itu
terjadi..."
***
Ia benar. Semalam ia bermaksud
memperkosa Lila sehingga
perempuan itu terjun dari teras
diatas langsung keanak sungai
dibawah tebing yang curam
dibelakang rumah .pak lurah
tidak pernah mengenal rasa
takut sepanjang hidupnya,
kakeknya, ayahnya. pamannya,
semua dukun dukun terkemuka
semasa hidupnya. Hidup di
dunia magis. Terbiasa dengan
misteri-misteri magis.
Tetapi, oh.. teriakan Lila yang
menyayatkan hati itu. Sebelum
Lila lenyap ditelan hujan lebat
dan kegelapan malam yang
menyentak:
"Aku akan membalasmu! Akan
membalasmu!"
Berhari-hari setelah peristiwa
itu, teriakan histeris itu sering
bergema dari arah jatuhnya Lila
sebelum mati. Dan ia anggap
semua itu illusi. Sisa gaung
suara. Tetapi ketika Parman
melarikan diri dari klinik
sebelum sempat dibunuh oleh
Bejo. tidak saja suara Lila yang
ia dengar. Tetapi perempuan itu
muncul dikamarnya. Mengulangi
ancamannya. Kemudian
menghilang. Pak Lurah
hampir-hampir menganggapnya
sebagai sebuah impian. Mimpi
yang buruk.
Teramat buruk. la menggigil
lagi. Lagi. Lagi dan lagi...
***
"Hem!" rungut Bejo sendirian.
"Heran juga Mengapa bapak
tiba-tiba jadi berbaik hati
padaku!"
Mengapa" Pertanyaan itu selalu
mengaung ditelinga Bejo selama
berpegal pegal tulang diatas bus
dalam perjalanan yang
memakan waktu belasan jam itu.
Kini pertanyaan itu Semakin
meminta jawaban setelah ia
semakin dekat pula ke kampung
halamannya. Semakin dekat
pada orang tua yang semenjak
ia kenal, selalu membenci dan
tak henti-hentinya menyiksa.
Padahal Bejo anak kandung
mereka sendiri. Malah anak
laki-laki satu-satunya. Mendapat
cacimaki, sepak terjang dan
cubitan yang menyakitkan
disekujur tubuh semasa kecil,
oleh Bejo cuma ditanggapi:
bapak dan ibu kejam. Lalu
semakin ia dewasa, semakin ia
mengerti arti tatap mata orang
tua padanya mengapa begitu
benci mereka berdua
terhadapku"
Neneknya yang menceritakan
pada Bejo. Kampung mereka
pernah diserang perampok.
Sambil merampok bajingan itu
juga memperkosa. Seorang
gadis di kampungjadi korban.
Padahal gadis itu sudah mau di
nikahkan beberapa hari
kemudiannya. Untung calon
suaminya sabar dan pasrah.
Gadis itu diterima terus sebagai
isterinya. Setelah mereka kawin,
anak yang terlahir akibat
perbuatan perampok yang
memperkosa si isteri. mereka
beri nama Bejo. Bayangan
siperampok selalu tampak di
mata suami isteri itu. Bayangan
penuh keben
cian dan dendam kesumat yang
tidak kesampaian. Anak itulah
yang jadi korban. Begitu benci
dan mendendamnya suami isteri
itu, sehingga anak-anak mereka
yang lahir dari perkawinan itu
turut membenci, Bejo. Anakanak
lain itu ada tiga orang. Semua
perempuan.
Setelah neneknya mati Bejo tak
tahan tinggal di kampung. la
mengembara. Masuk kampung
keluar kampung. Sampai
akhirnya ia diterima bekerja
oleh pak lurah yang bertindak
tanduk aneh itu. Dukun yang
tidak saja senang mencuri mayat
bayi untuk dijadikan jimat
pengumpul harta. Tetapi juga
senang pada laki-laki sejenis
disamping senang pada
perempuan. Bejo yang telah
lama membenci perempuan
karena perbuatan ibu dan
saudara-saudaranya, merasakan
gelora nafsu pak lurah sebagai
gairah yang sangat
menyenangkan dan
mengesankan. Tetapi kini ia
diusir. Setelah kemaren laki-laki
yang lebih muda dan gemulai
dari Bejo muncul. Kardi siharam
jadah itu!
'Aem!" rungut Bejo. Untung aku
kini sudah kaya raya!"
Tetapi bayangan kekayaan itu
lenyap seketika, setelah Bejo
menginjak pintu rumah orang
tuanya. Bukan orang sakit apa
lagi yang hampir mati yang ia
temui melainkan orang yang
masih sehat walafiat, kuat dan
kekar. Mata orang-orang itu
menatap tanpa bersahabat pada
Bejo, disusul oleh suara
menghardik:
"Kupikir kau sudah mati!"
***lbu Bejo yang datang
kemudian, pucat pasi. Bejo
berharap ia akan dipeluk dan di
rangkul penuh kerinduan.
Betapapun, toh perempuan itu
adalah manusia yang
melahirkannya kedunia ini.
"Pergilah dari hadapanku.
Pergi. Aku benci melihat
mukamu!
Bejo menelan ludah. la
mengerti. Wajahnya konon
menurut neneknya, sama dengan
wajah perampok yang
memperkosa ibunya. Bejo
teringat lagi caci maki, sepak
terjang dan cubitan yang
menyakitkan yang ia terima
selama belasan tahun berselang.
Bila adik-adik perempuannya
muncul disaat ini, maka
cemoohan akan ditujukan pada
diri Bejo: anak jadah. Anak
perampok. Anak terkutuk!
Semua itu terbayang dan
mengaung di telinga Bejo.
Ia tak tahan.
Lalu berteriak:
"Dimakan setanlah kalian
semuanya!"
Kemudian ia berlari. Jauh. Ia
tinggalkan kampung itu. Ia
berlari seraya menagis. Ia tak
perduli ia laki-laki atau bukan.
Ia memang lakilaki. Tetapi apa
yang ia perbuat dengan pak
lurah, bisa pula berarti ia
perempuan. Dan kini ia
menangis. Bejo sudah jadi
seorang perempuan!"
"Setan! Haram jadah! Setan!"
isaknya di pinggir jalan. Ketika
ia sudah naik kesebuah bus yang
akan membawanya ketempat ia
mulamula datang. barulah
pikiran sehat Bejo bekerja.
la lupa menanyakan. kalau
mereka tak menghendaki
kehadirannya, mengapa ia
terima surat dari... Ha! Ibunya
buta huruf. Baru sekarang
diingat Bejo! ibunya buta huruf!
Juga saudara-saudaranya yang
lebih senang bersolek itu!" Tak
seorangpun yang bersekolah,
karena kata ibunya biar saja.
Toh mereka kaya Tanpa
bersekolah mereka juga banyak
yang akan mau mengawini.
Lagipula perempuan akan
kedapur pula jatuhnya. Lalu
siapa yang menulis itu"
Ayahnya" Bejo tahu betul tulisan
tangan ayah yang tak pernah
mengakuinya sebagai anak itu.
Jadi"
Tiba-tiba dimata Bejo terbayang
wajah seorang laki-laki
menatapnya dari dalam sebuah
warung. Wajah yang
menampakkan kekerasan hati.
Orang yang tak pernah kenal
menyerah, biarpun kini kakinya
telah buntung sebelah. Parman.
Si Parmankah yang menulis
surat itu" Atau orang lain yang
punya sangkut paut dengan
Parman" Pasti. Pasti si Parman.
Atau orangorang si Parman.
Kalau tidak, untuk apa ia
memperlihatkan batang hidung
disekitar desa mereka" Toh ia
dibenci. la pernah di usir.
Disiksa. Bahkan kalau tak
keburu minggat dari klinik yang
merawatnya. ia sudah mati
ditangan Bejo. Tak mungkin
kehadiran Parman kembali
tanpa sesuatu sebab. Tetapi, apa
tujuan Parman memancing Bejo
keluar. Tiba-tiba ia ingat pada
Kardi. .
Laki-laki itu tak pernah
dikenalnya. Lalu dari mana
Parman atau Kardi tahu alamat
kampung Bejo" Di desa itu cuma
tiga orang yang tahu tempat asal
Bejo. Ia tidak pernah
menceritakan pada siapa-siapa.
Malu kalau ada yang tahu ia
dibenci oleh orang tua dan
saudara-saudaranya sendiri. Aib
pasti tercoreng dimuka Bejo
kalau di daerah yang jauh dari
kampung kelahirannya, orang
tahu terlahir ke dunia ini akibat
perbuatan durjana dari seorang
perampok. Hanya kepada pak
lurah semua itu ia ceritakan
karena toh pak lurah dengan
jimatnya itu bekerja juga
sebagai perampok. Biarpun
perampokan yang ia lakukan
melalui tangan orang lain. Si
Parman.
Pak lurah tak mungkin pula
menceritakan tentang asal usul
Bejo pada si Parman. Ia tahu
betul, karena pak lurah telah
berjanji merahasiakan riwayat
hidup Bejo pada orang lain.
Kecuali pada isterinya waktu itu.
Ibu Lasmi. ltupun karena
terpaksa. Suatu ketika lbu Lasmi
memergoki Bejo bersetubuh
dengan suami ibu Lasmi.
Perempuan itu pingsan. Lalu
minta cerai. Pak lurah memelas:
'... jangan kasihani aku. Tetapi
kasihanilah si Bejo. Ia muak di
dekati perempuan. Tetapi ia
butuh penyaluran. Apa salahnya
ia kutolong"
Namun ketika ibu Lasmi tahu
juga kalau Parman dijadikan
sasaran pemuasaan nafsu aneh
dari suaminya, ia kemudian
minta cerai juga akhirnya. Ia
bisa mengerti masa lalu Bejo,
dan mau mengerti arti
pertolongan suaminya. Ia cuma
_tak mau mengerti mengapa
Parman juga harus dijadikan
sasaran, sampai pak lurah ikut
juga mengerti Parman sudah
dijadikan gendak oleh ibu
Lasmi. Perceraian itupun
terjadi.
Ibu Lasmi pergi sudah. Parman
kemudian menyusul, walau yang
terakhir ini perginya ke penjara.
Nah, ibu Lasmi tak punya
kepentingan dengan Bejo. Tetapi
Bejo tahu betul. Ibu Lasmi
punya, setidak-tidaknya pernah
punya kepentingan dengan
Parman.
"Celaka!" ia mulai mengerti.
Suaranya demikian keras,
sehingga penumpang bus yang
lain pada menoleh. Bejo agak
kemerah-merahan mukanya.
Namun teriakan kaget itu ia
teruskan juga, meskipun dalam
hati: "Pak lurah dalam bahaya.
Aku harus segera
menolongnya!"
***
SEMBILAN BELAS
PERTOLONGAN itu tak pernah
bisa diberikan oleh Bejo.
Begitu masuk ke desa pak lurah,
beberapa orang laki-laki telah
menghadangnya.
'Jangan melawan. Kami polisi!"
Saking terkejutnya, Bejo tak
sempat lari. Keinginan itu baru
timbul setelah kedua tangannya
terbelenggu. Percuma saja.
Dalam kegelapan malam dan di
bawah hujan yang turun
renyai-renyai ia kemudian
digiring kesebuah rumah. Ia
tahu betul itu rumah pak Angga.
Bejo tersenyum. Pak Angga pasti
akan menolongnya, bila pak
Angga tahu Bejo ditangkap,
bukankah pak Angga teramat
mengabdi pada majikan Bejo"
Namun harapan Bejo buyar
berantakan, begitu di rumah pak
Angga ia lihat orang yang sudah
tak asing lagi baginya: lbu
Lasmi, bekas isteri pak lurah.
Setelah orang-orang yang
menangkap Bejo melapor pada
seorang lakilaki setengah baya
bertampang keren dan kemudian
dikenal Bejo sebagai petugas
kepolisian berpangkat Kapten,
Bejo kemudian
dibawa pergi. Orang-orang
yang menangkapnya
membawanya kembali kemulut
desa dibawah hujan yang
semakin deras turun, berjalan
dikegelapan malam yang dingin
menusuk tulang. Agak jauh
diluar desa, ia di bawa
kepinggir jalan. Dibalik
rimbunan bambu, terdapat
sebuah jeep polisi. Moncong
sebuah stengun diarahkan
keperut Bejo begitu ia
diperintahkan naik. Dan terus
terarah ketempat yang sama,
selama ia duduk dalam jeep
dengan tubuh gemetar dan
perasaan takut yang hampir
membuatnya gila.
Di rumah pak Angga, ibu Lasmi
mendesah:
"... aku malu menceritakan
semua ini. Tetapi apa boleh
buat, belang bekas suamiku
harus diketahui oleh orang
kampung ini juga akhirnya."
Sunarko melirik pada arloji
tangannya. Lalu berkata: .
"Persis tengah malam. Beberapa
menit lagi mobil yang membawa
Dorothea dan ayahnya akan
segera tiba. Marilah pak Angga.
Giliran kita untuk masuk,
kasihan si Kardi. la tentu
menghadapi situasi gawat bila
kita terlambat masuk..."
Dibawah hujan deras yang
menimbulkan suara ribut seperti
topan, kedua orang laki-laki itu
menerobos keluar dari rumah
dengan diamdiam. Tak seorang
penduduk pun tahu operasi yang
akan dilancarkan terhadap lurah
mereka. Dengan tubuh basah
kuyup dan tubuh menggigil
kedinginan, akhirnya mereka
tiba
dihalaman rumah pak lurah. Pak
Angga mengajak Kapten polisi
Sunarko masuk dari halaman
samping.
"Kerikil dari depan bisa
menimbulkan suara," ia
menjelaskan. Mereka
mengendap endap ke pintu
masuk. Gelap di dalam.
Dengan dada berdebar, Sunarko
mendorong pintu masuk.
Terbuka. la tersenyum. Kardi
telah bekerja sesuai dengan
rencana. Setelah berada di
dalam pintu dibiarkan tetap
terbuka, kemudian mereka
berpencar mencari tempat
persembunyian. Di
persembunyiannya, Sunarko
memikirkan nasib Parman,
Laki-laki bertongkat kayu itu tak
mungkin masuk dari pintu
depan. Ia sendiri yang
mengusulkan untuk masuk dari
jalan rahasia dibagian tebing
sungai
"Mudahan-mudahan rencana
Parman berjalan sesuai dengan
rencana maupun ceritanya yang
hampir-hampir tak masuk akal
itu," doa Sunarko dalam hati:
"Kalau semua ini tak benar,
kedudukanku di kantor
benar-benar berada di ujung
tanduk..."
Di kamar tidurnya, pak lurah
juga menyadari adanya bahaya
yang mengancam, bahaya apa ia
tidak tahu sama sekali. Namun
ia merasa sangat ketakutan. la
meringkuk dalam selimut.
Menggigil kedinginan biarpun
selimut itu tebal dan kamarnya
terang dan hangat. Suara topan
badai menerpa lewat jendela
kaca. Sesekali petir menyambar,
menimbulkan kilatan-kilatan
mengejutkan di luar rumah. Pak
lurah menggerutu. Ia lupa
menutupkan bagian depan
jendela. Tetapi untuk turun dari
tempat tidur, ia sama sekali tak
berani. Satu jam yang lalu, ia
dengar Kardi berlari-lari turun
dari tangga atas seraya
berteriak-teriak ketakutan:
"Tingkap terbuka. Pakunya
lepas! Tetapi tak ada orang...!"
Sedang meringkuk ketakutan
pulakah si Kardi di kamarnya"
Sialan! Ia seharusnya
menemaniku, pikir pak lurah.
Lalu ia beraniberanikan dirinya
turun dari tempat tidur. Lututnya
gemetar. Ia paksakan berjalan.
Gontai.
***
DUA PULUH
ANGIN DlNGlN berbau hujan
menerpa wajah Pak lurah ketika
pintu kamar tidur ia buka.
Untuk sesaat, ia tertegun.
Lalu:
"... Kardi." suaranya lepas.
Gemetar.
Angin dingin menerpa lagi. Bau
hujan kian keras. Ada suara
rintikrintik air di lantai ruangan
depan. Pak lurah segera sadar,
kalau pintu depan ternganga.
Diantara rasa takutnya, segera
timbul rasa marah. la berteriak:
"Kardi keparat! kupecat kau!
Kardi! Kardi! dimana kau?"
Petir menyambar diluar dengan
tiba-tiba, seolah menjawab
teriakan pak lurah. Cahaya yang
sekilas menyambar ke dalam
memberikan suasana yang kelam
dan pengap. Topan mengguruh
di luar. Tak pernah hujan
sederas ini, pasti sungai di
belakang rumah banjir kembali.
Sawah-sawah akan tergenang
air Termasuk sawah... ah ia tak
perduli apakah sawahnya yang
padinya sudah mulai menguning
akan dilanda air sungai. Yang ia
inginkan
sekarang ialah menutup pintu
depan yang menyebabkan air
hujan masuk ke dalam rumah.
Setelah itu ia akan memutar
tombol lampu ruangan itu.
Sialan benar, mengapa tombol
itu berada di dekat pintu masuk,
bukan di dekat pintu kamar
tidurnya!
Pak lurah berjingkat-jingkat
dengan hati hati.
Angin dingin kian menerpa.
Malah air hujanpun mulai
menamparnampar tubuhnya.
Ia menggigil, dan menggigil
terus.
Dan tiba-tiba pak lurah terpaku
ditempatnya berdiri. Dengan
mata terbeliak, ia menatap
kearah pintu masuk. Petir yang
menyambar sekilas
memperlihatkan bayangan
sesosok tubuh diambang pintu.
Mata pak lurah yang tajam
segera mengenali bayangan
tubuh itu. Bukan Kardi. Sebab
lekak-lekuk tubuh yang sekilas
diterangi kilat itu
memperlihatkan bentuk tubuh
perempuan.
"Sia" siapa.. kau?" pak lurah
bertanya Serak.
Sebagai jawaban, petir
menyambar lagi.
Pak lurah menutup mulut
menahan teriakan kaget yang
mau keluar. Bayangan itu,
biarpun membelakangi cahaya
kilat yang menyambar cuma
beberapa detik, tetapi ia bisa
melihat pakaiannya yang
compang-camping. Setengah
telanjang. Rambutnya tergerai
ditiup angin, berkilau-kilauan
karena basah oleh air hujan, di
matanya pak lurah
membayangkan tidak saja
perempuan itu bertubuh
setengah
telanjang serta berpukaian
compang camping kehujanan.
Tetapi" luka memar disana sini.
Ada darah. Ya darah. Pak lurah
mencium bau darah!
Tiba-tiba ia ingin lari. Ingin
menjerit minta tolong. _
Tetapi seluruh tubuhnya lumpuh.
Lidahnya
kelu.
Bayangan itu mulai melangkah.
Masuk.
Pak lurah mengumpulkan semua
tenangnya. Apa daya, cuma
suara gemetar yang ia peroleh
dan kemudian lepas dari
bibirnya:
'" kau itu" Lila"
Disalah satu sudut ruangan itu,
seorang laki-laki yang lain juga
merasakan getar yang amat
_sangat disekujur tubuhnya,
sehingga ia sendiri hampir
berteriak ketakutan.
Ia adalah pak Angga. Yang
segera bisa menguasai diri.
Benar, ia pernah melihat tubuh
seperti itu telah menjadi mayat,
yang rusak mengerikan. Tubuh
Lila.
"Ah!" Pak Angga
bersungut-sungut sendirian.
Dalam hati, menekan rasa takut.
'Bodoh bener aku ini. Bukankah
itu tubuh perempuan lain" siapa
namanya kata mereka" Lila Ria"
Tea. Oh. Ya. Aku ingat sekarang.
Dorothea! Seorang juru rawat
rumah sakit. Dikota. Saudara
perempuan Lila dari ibu yang
lain. 0, alangkah miripnya Lila
dan Dorothea. Jadi ia telah
datang tepat pada waktunya,
sesuai dengan yang dijanjikan.
Tetapi mana si Suharja yang
pernah mengaku sebagai polisi
itu" Oh.
205
Ya tentu berdiri diluar. Siap
siaga menjaga halhal yang bisa
merusak rencana. Hem pak
lurah. Tak kusangka kau
sebenarnya seorang bajingan
tengik, manusia berjiwa iblis!"
Dengan dada berdebar, ia
menanti apa yang selanjutnya
akan terjadi. Bayangan tubuh itu
bergerak terus ke depan, mulai
membuka mulut.
'Mengapa, pak lurah" Takut
padaku?"
"Tetapi:... tetapi..."
Terdengar suara mengikik.
Halus Lalu:
"Aku sudah mati" Ya. Aku
memang sudah mati.. kau ingat,
pak lurah" Kau ingin" Kau yang
telah membunuhnya!"
Pak lurah ingin pingsan
rasanya. Tetapi tak bisa: la
memprotes dengan keras:
"Tidak. Tidak benar!"
"Kau.. kau yang membunuhku!'
"Lila, aku.. aku tidak bermaksud
membunuhmu. Aku... aku.. "
"Kau Memperkosaku. eh" Mau
minta balas jasa atas kebaikan
kebaikanmu selama suamiku di
penjara eh"'
"Itu.... salahnya. Mengapa ia
melanggar pantangan jimat,
Sehingga ia tertangkap!"
Bayangan itu terkikik lagi.
Lengking dan keras, Badai
diluar menyambutnya. Petir.
Guntur. Derai hujan.
"Kau selalu menuduhkan
kesalahan pada orang bukan,
pak lurah" Padahal hasil
rampokan Parman, kau yang
memakannya. Ia berada
dibaWah perintahmu: DibaWah
pengaruh sinar matamu yang
busuk dan berbau iblis
itu. Sudah kau biarkan ia
menderita dibalik jeruji besi.
mau kau diperkosaiku pula aku.
Isterinya. Manusia apa kau ini,
pak lurah'!" Tak puaskah kau
dengan mencuri mayat-mayat
bayi untuk kau jadikan jimat
pengumpul harta dan.. eh, pak
lurah. Katanya jimat itu bisa
menangkal bahaya. Kini..
kenapa kau takut" Sudah tak
berhasilkah kekuatan jimat dan
pengaruh matamu menolong
dirimu sendiri" Ayo pak lurah.
Tangkaplah aku. Perkosalah aku
seperti dulu kau pernah
mencobanya..."'
"Tidak.. tidak. Jangan dekati
aku..jangan!"
'Kok malu-malu. Bukankah kau
yang seratus malam yang lalu
ingin mencicipi kehangatan
tubuhku" Masih ingatkah kau,
pak lurah" Ini malam yang
keseratus. Aku akan membalas
dendam. Sudah kubilang, aku
akan membalaskan sakit hati..."
'Jangan. Jangan kau ganggu
aku. 0, Lila Jangan! Ampunilah
dosaku. Aku.. aku toh tak jadi
memperkosa kau. Kau lari
keatas. Kau lari. Lila. Kau
lari..."
"Tetapi kau terus mengejarku!"
ancam Suara bayangan itu
ketus. Lantas ia mengikik" Kau
kejar, bukan" Kau kejar?"
"Aku bermaksud baik. Lila. Agar
kau... o, salahmu. Mengapa kau
tak mau menuruti kehendakku,
padahal aku ingin
membahagiakanmu. Salahmu
mengapa kau terjun kebawah
sehingga tubuhmu hancur oleh
batu cadas dan kau hanyut
dibawah sungai yang banjir...'
"Lagi-lagi kau menyalahkan
orang seenak
perutmu. Kini, terimalah
pembalasanku, pak lurah..."
Lalu, bersamaan dengan
ancaman itu, bayangan tadi
bergerak lebih dekat Pak lurah
jatuh. Berlutut. Menyembah ;
"Maafkan aku. Ampuni
dosa-dosaku, Lila Maafkan
aku!"
Dan tiba-tiba pak lurah
berteriak dengan kaget. la
menengadah muka lampu
ruangan itu menyala tiba-tiba.
Terang benderang. Namun
bayangan tubuh yang
mengerikan itu tetap berada
dihadapannya. Setengah
telanjang Rambut basah kuyup
seperti tubuhnya, dari dahi dan
mulutnya mengucur darah
memerah. Perempuan itu
menyeringai... Pak lurah
menggigil, dan kembali
memohon ampun seraya
menyembah.
"Jangan bunuh aku. Lila Jangan
bunuh aku..."
'Tak ada yang akan
membunuhmu, pak lurah. Kau
ditangkap!"
Suara yang sangat asing itu
mengejutkan laki-laki tua renta
yang masih bersimpuh di lantai.
Ia menatap liar kesekelilingnya.
Lalu ia lihat dari balik daun
pintu muncul seorang lakilaki
berseragam kepolisian dengan
pangkat Kapten. Dari balik rak
hias muncul pak Angga dan dari
ruangan dalam ia lihat Kardi
melangkah seraya
tersenyum-senyum. Setelah dekat
dengan petugas berseragam itu,
Kardi menggerutu:
"Bajingan ini hampir-hampir
saja mem
perkosaku. Hiiiii, bisa menjerit
isteriku dirumah bila
kuceritakan..."
Suara mereka terputus ketika
mendengar detak-detak tongkat
kayu. Mereka menoleh kearah
ruangan dalam: Parman
melangkah terseok seok dengan
kaki sebelah dibantu tongkat
kayu. Mendekati perempuan
yang perlahan lahan tanpa
mereka sadari telah menjauh.
Ketika mereka yang ada
diruangan itu menoleh, mereka
lihat perempuan yang
sebenarnya bertubuh montok
dan berwajah cantik tetapi kini
tampak mengerikan itu, telah
berdiri diundakan anak tangga
menuju ketingkat atas.
"... kemarilah, kekasih.
Kemarilah" terdengar suara
berbisik dari mulutnya: Parau,
tetapi mesra:
Parman bergerak ke arah
perempuan itu. Menaiki undakan
anak tangga.
Semua yang ada diruangan itu
merasa heran. Peristiwa yang
mereka lihat, berada diluar
rencana. Tetapi siperempuan
tidak bermain main. Ia terus
naik, diikuti oleh Parman.
"Sudah kubilang" aku tetap
menunggumu bukan, Parman
sayang'.
"Ya, sayangku: Kau isteriku
yang setia. Aku datang padamu,
kasih. Datang beserta segenap
cintaku?"
Sunarkolah yang mula-mula
tersadar.
Sementara Kardi membelenggu
tangan-tangan pak lurah,
Sunarko berseru memanggil:
'Thea.. apa.. Ha. Parman.
Kesinilah kalian!"
Tetapi baik bayangan tubuh itu
maupun
Parman telah menghilang. Yang
terdengar hanya detak-detak
tongkat kayu Parman, menaiki
anak tangga demi anak tangga
dengan susah payah. Semua
yang melihat tak mengerti, dan
tiba-tiba menjadi sangat terkejut
waktu mendengar suara orang
berlari-lari dari luar. Mereka
semua menoleh. Pak Sunarko
berseru ta'jub:
"Dorothea!"
Gadis itu berlarian masuk.
Bertanya heran:
"... apa yang terjadi" Mengapa
suasana yang kutemui tidak
sesuai dengan rencana?"
SUnarko mengerdip-ngerdipkan
mata. Juga Kardi. Juga pak
Angga. Bahkan lurah.
"Bukankah kau..." Sunarko
bersungut-sungut tak mengerti.
"Maafkan, pak Narko. Pakaian
yang compang-camping dan
make up untuk darah tertinggal,
sehingga kami kembali kekota
dulu untuk mengambilnya. Tak
kusangka kalau keterlambatan
kami akan..."
"Sudahlah". Sahut Sunarko."
Semua berhasil sesuai dengan
rencana. Tetapi siapa
perempuan yang tadi muncul di
sini?"
"Perempuan?" Dorothea
mengernyitkan dahi.
"Ia... Lila?" pak lurah
bersungut-sungut tiba-tiba.
Wajahnya yang pucat kini
membiru. Biru legam.
Pucat pulalah wajah Dorothea.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia
menguakkan mereka dan
berlari-lari menyongsong
kearah
anak tangga hingga yang
menuju keteras atas seraya
berteriak memunggu-manggil:
"Parman! Parman! Ini aku,
Thea! Parman! Parman!"
Suara hujan diluar sahut
bersahut dengan suara
Dorothea. Ia baru saja
menginjak anak tangga
terbawah, ketika dari atas
terdengar suara teriakan yang
menyayatkan hati. Suara
Parman. Sunarko, pak Angga
dan Dorothea segera
menghambur menaiki tangga
terus keatas. Hujan menyambut
mereka setiba diteras yang
terbuka. Mereka langsung
berlari kepinggir teras, dan
mencondongkan tubuh
ketembok, memandang ke bawah
dari arah mana teriakan kedua
menggema. Petir menyambar
sedetik. Namun cukup bagi
mereka melihat bayangan tubuh
Parman menghantam batu
cadas, kemudian hanyut
dibawah arus sungai yang deras.
Seketika, Dorothea menjerit lalu
jatuh pingsan.
Dan semua penduduk desa itu
memuja kebesaran Tuhan, ketika
keesokan harinya mayat Parman
ditemukan tersangkut di atas
pohon dimana dulu tubuh Lila,
isterinya, juga ditemukan sudah
menjadi mayat. Mereka
menguburkan Parman disebelah
isterinya.
Semua orang berdo'a, semoga
suami isteri itu berbahagia disisi
Tuhan"."
Sampai jumpa di lain kisah ya
!!!
Terimakasih.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar