..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 17 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE ISTANA BERDARAH

PENDEKAR MABUK EPISODE ISTANA BERDARAH

 Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah

lindungan undang-undang.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.



1


GULUNGAN ombak setinggi rumah mengamuk di

tengah lautan. Hembusan angin begitu besar, bagai

tiupan napas-napas iblis dari neraka. Gulungan ombak

itu semakin besar dan meninggi, seakan ingin menembus

langit. Kilatan cahaya halilintar pun menyambar murka

pada benda apa pun yang muncul di permukaan laut.

Gelegar suaranya bagai geram raksasa di atas langit.

Sebuah perahu berlayar tunggal, tumbang diamuk

badai dan gelombang. Lambung perahu pecah, tiangnya

patah, layarnya tak tersisa sedikit pun pada tiang. Papan-

papan kayunya mengambang terombang-ambing ombak,

kadang terlempar ke angkasa dan jatuh entah ke mana.

Ketika murka samudera mereda, tampak sesosok

tubuh terkapar tak berdaya di pasir pantai. Orang itu

bertubuh tinggi besar tanpa mengenakan baju lagi.

Masih untung celananya tetap melekat dan tidak hanyut

terbawa ombak seperti bajunya. Orang itu dalam

keadaan tengkurap dan masih memeluk sebatang balok.

Melihat dari gelang kayu akar bahar di tangan

kanannya, melihat bentuk jari sebesar pisang ibaratnya,

orang itu tak lain ialah Singo Bodong. Bentuk pusarnya

yang menonjol tak bisa dipungkiri lagi, bahwa ia adalah

Singo Bodong yang mengikuti perjalanan Pendekar

Mabuk dan Dewa Racun ke Pulau Serindu.

Malang bagi sang Singo, perahu itu pecah dihantam

badai lautan, ia pun terpisah dari Pendekar Mabuk dan

Dewa Racun. Apakah Pendekar Mabuk masih bersama

Dewa Racun, ia pun tak tahu pasti. Yang jelas ia sadari,

bahwa pulau tempatnya terdampar itu adalah bukan

pulau tujuan terakhir. Pulau itu terlewati oleh perahu

mereka saat badai belum datang dan menggulung habis.

Cahaya sinar matahari yang menyengat kulit

membuat Singo Bodong sadar dari pingsannya, ia

menggeliat pelan diiringi oleh suara erang memanjang.

Sekujur tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya

bagaikan patah. Kulit pun terasa perih karena sabetan

lidah-lidah ombak. Urat-uratnya bagaikan putus semua

akibat berjuang mempertahankan hidup di tengah

amukan badai dan ombak.

"Pendekar Mabuk... Dewa Racun...!" Singo Bodong

memanggil dengan mata mengerjap-ngerjap perih, ia

menyeringai, menyipitkan mata karena tak kuat

menerima sinar matahari. Tubuhnya yang mau bangkit

jatuh kembali karena lemas.

"Aku terdampar!" pikirnya dalam kelemasannya.

"Pasti aku terdampar di suatu pulau. Kalau tahu pada

awalnya bahwa aku akan terdampar begini, aku tak mau

ikut Pendekar Mabuk! Perahu pecah, aku tak bisa

pegangan Pendekar Mabuk, untung aku menemukan

potongan balok, lalu aku berjuang sendiri melawan maut

di tengah laut, aah... sungguh tak enak! Ternyata

mengikuti perjalanan seorang pendekar sungguh tak

enak!"

Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam

perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis

tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan

akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu

tersontaklah isi perutnya keluar mulut. "Hoooek...!

Hoooek...!"

Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo

Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya

mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu

aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja.

Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini

datang!"

Baru saja Singo Bodong bangkit dengan

menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda

keras yang menyentak kuat. Bukk!

"Ehg...!" Singo Bodong memekik tertahan dan

tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit

terlonjak. Bruusss...!

Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan

setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana.

Kepalanya semakin berat, pandangan matanya

berkunang-kunang saat ia kibaskan pasir-pasir pantai

yang menempel di kumisnya.

Benda apa yang menimpa punggungnya tadi? Begitu

besar dan berat rasanya. Singo Bodong sempat menduga

dirinya ditabrak kapal. Tapi ketika ia berpaling ke

belakang, sangat kaget hatinya melihat seorang lelaki

kurus berdiri tegak dan sepasang kaki merentang, seakan

siap menerima pembalasan dari Singo Bodong.

Lelaki kurus berwajah bengis licik itu mengenakan

celana merah dengan ikat pinggang kain biru. Orang itu

tidak mengenakan baju, sehingga garis-garis tulangnya

yang menonjol keluar itu terlihat jelas sekali, ia mirip

sesosok tulang-belulang yang dibungkus oleh kulit.

Nyaris tanpa daging secuil pun. Bahkan wajahnya

kelihatan kempot sekali, dengan tulang pipi dan bagian

radang menonjol keras. Matanya cekung ke dalam tanpa

alis mata sedikit pun. Rambutnya panjang meriap sampai

lewat pundak, tapi tak terlalu lebat. Merawis tipis bagai

orang habis menderita sakit panas berat. Rambut itu

berwarna abu-abu, dan saat tertiup angin pantai mirip

bendera tercabik-cabik badai.

Singo Bodong berwajah angker, tapi menurutnya

orang kurus tanpa daging itu lebih angker lagi wajahnya.

Mata cekungnya memandang dengan tajam, bagai ingin

menembus ke dalam kelopak mata Singo Bodong.

Karenanya, Singo Bodong segera mundur tiga tindak.

Apalagi ia melihat senjata cakra di pinggangnya, Singo

Bodong menjadi lebih ngeri lagi.

"Kali ini kau tak akan bisa lolos lagi!" kata orang

kurus itu dengan suaranya yang cempreng mirip kaleng

rombeng.

"Siapa kamu, Pak Tua!?" Singo Bodong menatap

heran.

"Jangan berlagak lupa! Kau pasti masih mengenaliku.

Akulah Cakradanu, alias si Tengkorak Terbang!"

"Tengkorak Terbang?!" gumam Singo Bodong

kerutkan dahi. "Terbang ke mana? Aku tidak tahu!"

"Terbang ke ragamu untuk cabut nyawamu! Hiaah ha

ha hah...!"

Singo Bodong hanya membatin, "Ya ampun ini

orang... suaranya benar-benar bikin gendang telingaku

robek! Keras tapi tajam!"

Cakradanu alias si Tengkorak Terbang melangkahkan

kaki mendekati Singo Bodong tiga tindak. Matanya tetap

memandang tajam dan bermusuhan sikapnya. Singo

Bodong hanya bisa menahan rasa waswas dan ngeri,

sambil bergeser mundur sedikit demi sedikit.

"Sekarang tinggal pilih, mau mati di tanganku atau

kuserahkan kepada Ratu Pekat?!"

Singo Bodong gumamkan suara, "Ratu Pekat?! Siapa

lagi itu Ratu Pekat?! Aku semakin tidak mengerti apa

maunya orang ini?!"

"Jawab...!" sentak Tengkorak Terbang dengan suara

mengagetkan gendang telinga Singo Bodong.

"Aku tidak mengenal siapa kamu, dan siapa Ratu

Pekat itu! Aku tidak punya urusan dengan kamu,

Tengkorak Terbang!"

"Hiah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang

melontarkan tawa hingga tubuhnya terlonjak-lonjak

karena ringannya. Tiba-tiba tawa itu hilang lenyap bagai

ditelan bumi. Wajah Tengkorak Terbang menjadi kaku

dan bengis kembali. Terdengar suaranya menurun.

"Jangan berpura-pura pikun! Mataku masih jelas,

ingatanku masih tajam! Aku tak bisa melupakan

dirimu!"

"Aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Permisi!"

Singo Bodong cepat langkahkan kaki, lari seperti kerbau

mabuk. Larinya tak bisa kencang karena masih lemah

badannya dan berkurang tenaganya. Tapi sekuat tenaga

Singo Bodong harus bisa melarikan diri, sebab ia merasa

tidak mengenal orang itu dan tidak punya urusan apa-apa

yang perlu dijelaskan, ia merasa dalam bahaya yang tak

mungkin bisa dilawannya. Singo Bodong tahu, orang

sekurus tengkorak itu pasti berilmu tinggi, terbukti

tendangan kakinya tadi terasa begitu berat di punggung.

Sepertinya tulang punggung Singo Bodong mau patah

saat menerima tendangan kaki kurus yang terdiri dari

tulang terbungkus kulit itu.

Dugaan Singo Bodong tentang ketinggian ilmu

Cakradanu itu memang benar. Terbukti larinya yang

sudah sekencang itu masih bisa disusul oleh Cakradanu.

Bahkan tubuh kurus itu melompati tubuh Singo Bodong

yang tinggi besar, bersalto di udara dua kali, lalu

mendaratkan kakinya persis di depan langkah Singo.

Mau tak mau Singo pun berhenti secara mendadak.

Napasnya terengah-engah. Sedangkan napas Tengkorak

Terbang itu tetap tenang, bagai tak melakukan gerakan

apa pun.

"Kau tak akan bisa lolos lagi, Dadung Amuk!" kata

Cakradanu.

Singo Bodong jadi kerutkan dahi dalam

kecemasannya. Tapi ia mulai bisa menangkap persoalan

sebenarnya, bahwa Cakradanu telah salah duga,

menyangka Singo Bodong adalah Dadung Amuk. Maka,

Singo Bodong pun segera jelaskan kata.

"Kau salah sangka, Tengkorak Terbang. Kau pasti

mencari orang yang bernama Dadung Amuk. Aku bukan

Dadung Amuk. Aku bernama Singo Bodong! Sumpah!

Aku bernama Singo Bodong!"

"Hiaaah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang

tertawa keras. Singo Bodong cepat menutup telinganya.

Cakradanu berkata lagi,

"Rupanya kau sekarang menjadi orang yang paling

pengecut di dunia ini, Dadung Amuk!"

"Terserah anggapanmu. Tapi yang jelas aku bukan

Dadung Amuk!"

Lalu, di hati Singo Bodong menggeram jengkel,

"Lagi-lagi orang menyangka aku Dadung Amuk! Dulu

aku juga dicurigai sebagai Dadung Amuk oleh Pendekar

Mabuk dan Dewa Racun. Sekarang ini di sini pun

begitu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:

"Utusan Siluman Tujuh Nyawa). Nasib sial apa yang kualami ini sebenarnya? Dulu waktu Ibu mengandung

aku, ngidam apa dia, sehingga anaknya hidup serba sial

begini?!"

Rupanya Tengkorak Terbang sama sekali tidak mau

mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia

berkata,

"Kau boleh berganti nama jika kau sudah terbujur

kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!"

"Jangan begitu," Singo Bodong tampak gemetar.

"Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin

wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia,

Tengkorak Terbang. Sungguh! Berani sumpah apa saja!"

"Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu!

Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini,

hiaaaaah...!"

Tengkorak Terbang sentakkan sedikit kaki ke tanah,

tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo

Bodong. Kedua tangannya mengepal dan begitu

mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu

disentakkan ke depan dengan cepat sekali. Brreggh...!

Dada Singo Bodong menjadi sasaran empuknya.

Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk

menangkis, tapi meleset. Akibatnya, tubuh besar itu

tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai

mengambang di permukaan tanah. Lalu. ia jatuh

terjengkang dalam satu sentakan yang mantap sekali.

Blegggh...!

Singo Bodong menyeringai. Ingin rasanya ia

mengerang dan mengaduh tapi tak ada suara yang

mampu dikeluarkan, ia hanya meringis-meringis dengan

mencoba menarik napas yang rasanya sangat berat itu.

Pukulan 'Gempur Baja' membuat Singo Bodong

seperti kejatuhan batu sebesar ukuran tubuhnya sendiri.

Tulang dadanya menjadi ngilu dan sakit di bagian

dalamnya. Napasnya hanya bisa dihela sedikit, itu pun

terasa senut-senut. Jika tidak berisi tenaga dalam yang

cukup besar, tak mungkin pukulan dua tangan bertulang

tanpa daging itu bisa membuat tubuh tinggi besar

tersentak terbang ke belakang sampai berjarak empat

tindak.

"Bisa mati aku kalau tetap bertahan dan

melawannya," kata Singo Bodong dalam hatinya. "Tak

guna kujelaskan bahwa diriku bukan Dadung Amuk.

Sebaiknya, aku berpasrah diri saja. Biarlah dibawa ke

Ratu Pekat. Mungkin di sana aku bisa jelaskan siapa

diriku. Mungkin Ratu Pekat bisa percayai kata-kataku

ketimbang Tengkorak Terbang ini!"

Terdengar Cakradanu serukan suara cemprengnya,

"Dulu kau buat tulang punggungku hampir patah.

Sekarang giliranku membuat tulang lehermu patah,

Dadung Amuk!"

"Tunggu, tunggu, tunggu...!" sergah Singo Bodong

sambil kedua tangannya terjulur ke depan menahan agar

lawannya tidak bertindak. Lalu, Singo Bodong mencoba

berdiri. Pada saat itu, Tengkorak Terbang berkata,

"O, jadi kau sudah mulai siap menghadapi

seranganku kembali?!"

"Bukan begitu. Aku... aku tidak bermaksud melawan

dan menyerang. Kalau kau tadi bilang aku disuruh

memilih, baiklah.... Aku memilih diserahkan kepada

Ratu Pekat! Bawalah aku menghadap dia!"

Tengkorak Terbang memandang penuh sangsi. Sinar

matanya yang penuh curiga itu tak berkedip. Sekalipun

Singo Bodong telah sodorkan kedua tangannya untuk

siap dirantai atau diikat, tapi Tengkorak Terbang tak

cepat bertindak. Orang kurus kerontang itu justru

membatin dalam hatinya.

"Mengapa dia semudah itu kutumbangkan? Mengapa

dia segampang itu mau menyerah? Ada apa dengan

dirinya?"

Singo Bodong melihat lawannya ragu-ragu. Mulanya

ia merasa ada harapan, bahwa kata-katanya tadi akan

dipercaya. Tapi segera ia punya praduga lain, bahwa

lawannya tidak percaya tentang kepasrahannya dan

masih ingin mencoba menghajarnya. Singo Bodong

cemas dan segera ucapkan kata,

"Bawalah aku menghadap Ratu Pekat! Aku sudah

jelaskan bahwa diriku bukan si Dadung Amuk, tapi kau

tidak percaya! Kalau kau menantangku bertarung, aku

tidak berani. Aku bukan orang berilmu tinggi! Aku pasti

bisa kau bunuh dalam satu gebrakan saja. Daripada aku

mati nganggur, lebih baik bawalah aku menghadap Ratu

Pekat, yang juga tak kutahu siapa dia itu. Aku pasrah

padamu!"

Masih membatin Tengkorak Terbang saat ia berkata

dalam hati.

"Setahuku Dadung Amuk tidak punya jiwa seperti

ini! Setahuku Dadung Amuk pantang menyerah. Dia

memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tapi

mengapa orang ini mudah sekali pasrah padaku? Apakah

dia memang bukan Dadung Amuk? Ah, tak mungkin!

Baru enam bulan aku berpisah dari pertarungannya,

mana mungkin aku lupakan wajah angkernya itu?!

Hmmm... sebaiknya biar Ratu Pekat yang menentukan

apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Kalau toh dia

memang Dadung Amuk, tak urung aku juga yang akan

diperintahkan untuk menghabisi nyawanya!"

Singo Bodong segera digiring oleh Tengkorak

Terbang. Sebagai jaga-jaga, Tengkorak Terbang tak mau

berjalan di depan atau di samping Singo Bodong. Tetapi

hal itu menyulitkan buat Singo Bodong, sebab tiba-tiba

ia sering ditendang pinggangnya jika salah arah. Singo

Bodong sampai merasa jengkel sendiri dan berkata,

"Jalanlah lebih dulu, jadi aku bisa mengikutimu! Aku

tidak tahu ke mana arah menuju Ratu Pekat!"

"Jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" kata

Cakradanu dingin.

"Aku memang tidak tahu arah! Ke mana seharusnya

aku melangkah sekarang ini?!"

"Belok ke kiri, Tolol!" bentak Tengkorak Terbang

dengan suaranya yang nyaring memekakkan telinga.

Akhirnya Singo Bodong melangkah mengikuti

perintah Tengkorak Terbang, ia sama sekali tidak

memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan

perlawanan. Tengkorak Terbang semakin heran melihat

sikap polos itu.

Hanya saja, tiba-tiba Singo Bodong tersentak mundur

dalam tiga langkah sambil badannya melengkung ke

depan. Ada sesuatu yang telah menyodok perutnya,

hingga Singo Bodong merasa mual dan hampir muntah

lagi.

Sentakan mundur itu membuat tubuh besarnya

menabrak Tengkorak Terbang. Akibatnya, punggung

Singo Bodong kembali terkena pukulan tangan kurus

kerontang itu.

Plokk...!

"Aku tersentak dari depan!" bentak Singo Bodong

karena jengkel tak tertahankan. "Jangan marah padaku!

Ada sesuatu yang menyodok perutku dari arah depan!

Beratnya melebihi sebatang balok!"

Tengkorak Terbang tak jadi lepaskan pukulan lagi ke

arah wajah Singo Bodong. Mata cekungnya segera

menangkap memar merah di perut Singo Bodong, ia pun

segera tahu, ada orang yang telah menyerang Singo

Bodong dari kejauhan. Pukulan jarak jauh itu tepat

mengenai perut Singo Bodong, pada bagian sedikit di

atas pusarnya.

Mata cekung itu cepat layangkan pandang ke arah

depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap

jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata

cekung Tengkorak Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda

gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si Tengkorak

Terbang serukan suaranya,

"Siapa yang ada di depan?! Keluarlah! Jangan bikin

aku marah!"

Dari atas pohon meluncur orang berpakaian serba

ungu. Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak

Terbang sudah dapat mengerti siapa tokoh perempuan

yang baru saja turun dari pohon itu.

"Cempaka Ungu...?!" sebut Tengkorak Terbang

dengan sedikit kerutkan dahi.

Perempuan bertusuk konde bentuk kembang cempaka

itu berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang.

Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan

telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia

menyandang pedang di punggungnya dengan gagang

dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan

berusia antara tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik,

tapi juga bermata menarik. Mata itu memandang Singo

Bodong dengan tajam, penuh nafsu untuk membunuh.

Wajahnya terlihat angkuh, menggambarkan

ketegarannya sebagai perempuan gesit penantang maut.

"Apa maksudmu mengganggu perjalananku,

Cempaka Ungu?!"

"Apakah kau sekarang berpihak kepada si Badak

Busuk itu?!" sambil matanya tetap memandang Singo

Bodong.

"Jangan salah sangka! Aku hanya akan membawa dia

menghadap ibumu, si Ratu Pekat!"

"Ibu tidak butuhkan orang itu! Jadi serahkan saja dia

padaku! Cukup mampu aku melenyapkan nyawanya

dalam satu jurus saja!"

"Cempaka Ungu, biar keputusan akhir ada di tangan

ibumu!"

"Tidak perlu! Aku cukup bisa memutuskannya

sendiri! Dua kakakku telah dibunuhnya, sudah pantas

jika sebagai adik aku menuntut kematian kedua

kakakku!"

"Tahan dulu, Cempaka Ungu! Dia bukan Dadung

Amuk!"

"Omong kosong! Aku tahu persis wajahnya! Aku

hafal persis tiap lekuk tubuhnya! Karena waktu itu aku

pun hampir mati di tangannya! Dan sekarang,

minggirlah, Tengkorak Terbang! Biar kubereskan

dendamku kepada bangsat itu!"

Singo Bodong makin terbengong. Singo Bodong

bergeser mundur dengan rasa takut, sebab perempuan itu

telah mencabut pedangnya dari punggung. Sreeet...!

*

* *

2


SEBENARNYA Tengkorak Terbang bisa saja

merobohkan Cempaka Ungu. Dilihat dari gerakan

ringannya sudah dapat ditakar kekuatan Tengkorak

Terbang dalam menghadapi putri bungsu Ratu Pekat.

Terbukti satu serangan kaki Cempaka Ungu yang

menendang menggunakan jurus 'Tendangan Kipas', yaitu

tendangan yang berputar berturut-turut, telah berhasil

dihindari Tengkorak Terbang dengan hanya berkelit ke

sana-sini, melompat-lompat bagai belalang sulit untuk

disentuh.

Tak satu pun serangan Cempaka Ungu dibalas oleh

Tengkorak Terbang. Sebab akan berbahaya jika

Cempaka Ungu mengadu kepada ibunya, kalau ia

terkena pukulan dari Tengkorak Terbang. Pasti murka

sang Ratu Pekat akan menimpa diri Tengkorak Terbang.

Jika sampai begitu, Tengkorak Terbang tak tahu harus

lari ke mana menghadapi murka sang Ratu. Karena Ratu

Pekat mempunyai pukulan yang bernama 'Renta Buana'.

Tengkorak Terbang pernah melawan Ratu Pekat dan ia

terkena pukulan 'Renta Buana', yang dapat membuat

tubuh orang menjadi kurus berwajah tua.

Sebelum Cakradanu mendapat julukan Tengkorak

Terbang, ia adalah seorang pemuda yang gagah dan

rupawan. Pada waktu itu ia berusia antara dua puluh

enam tahun, tapi ilmunya sudah bisa dibilang tinggi, ia

murid seorang resi dari Partai Petapa Sakti yang bergelar

Resi Tembang Dewa.

Merasa dirinya muda dan tampan, juga berilmu

tinggi, Cakradanu mencoba melamar Kenanga Merah,

kakak dari Cempaka Ungu. Tetapi lamarannya ditolak,

Cakradanu sakit hati dan menyerang istana kecil yang

menjadi kekuasaan Ratu Pekat di Pulau Beliung itu.

Istana itu dikenal dengan nama Istana Cambuk Biru.

Pada waktu itu, dua putri Ratu Pekat, yaitu Kenanga

Merah dan Melati Hitam berusaha mengatasi amukan

Cakradanu. Tetapi, kedua kakak Cempaka Ungu itu

dapat dikalahkan. Namun ketika Ratu Pekat murka,

Cakradanu dihantamnya dengan pukulan 'Renta Buana',

ia menjadi lumpuh selama tujuh hari. Tubuhnya cepat

sekali menjadi susut dan menua. Dagingnya habis

bagaikan dimakan waktu yang ganas. Untung ia segera

mendapat obat penawar dari Ratu Pekat dengan

perjanjian, Cakradanu akan bersedia mengabdi

selamanya kepada Ratu Pekat sebagai penjaga pantai

Pulau Beliung. Kalau saja Ratu Pekat tidak memberi

obat dari pukulan 'Renta Buana'-nya itu, maka dalam

waktu sepuluh hari Cakradanu akan mati dalam keadaan

keropos tanpa kulit sedikit pun.

Usia Cakradanu yang pada waktu itu dua puluh enam

tahun berubah menjadi seperti orang berusia enam puluh

tahun. Bahkan sekarang, saat ia menemukan Singo

Bodong di pantai, usianya sebenarnya masih empat

puluh tahun kurang sedikit, tapi ia sudah kelihatan

seperti berusia delapan puluh tahunan.

Ingat kekuatan Ratu Pekat yang begitu hebat.

Cakradanu menjadi enggan membalas pukulan Cempaka

Ungu. Tetapi ketika Cempaka Ungu hendak melepaskan

pukulan pedang saktinya ke arah Singo Bodong,

Tengkorak Terbang cepat-cepat melompat dan

menyambut tubuh besar Singo Bodong. Tubuh besar itu

dengan entengnya dipanggul di pundak yang tinggal

tulang-belulang itu, lalu dibawanya lari cepat hingga

mirip jerakan terbang.

"Lepaskan dia atau kuhancurkan tubuhmu yang

keropos itu, Cakradanu!" teriak Cempaka Ungu dengan

sangat bernafsu hendak membunuh Singo.

Ternyata Tengkorak Terbang tak pedulikan seruan

itu. Cempaka Ungu cepat mengejarnya sambil masih

tetap memegang pedang di tangannya. Gerakan

Cempaka Ungu tak kalah cepat, hingga dalam waktu

singkat ia berhasil memotong jalan dan menghadang

langkah Cakradanu.

Mau tak mau Tengkorak Terbang berhenti dan

tuunkan tubuh besar Singo Bodong dari pundaknya.

Tubuh itu dibanting begitu saja bagai meletakkan karung

pasir. Blukk...!

"Uuhhg...!" Singo Bodong menyeringai kesakitan

sambil mengusap-usap pinggangnya.

"Cempaka Ungu, aku tahu kau punya dendam kepada

Dadung Amuk, tapi kumohon urusan itu diselesaian

nanti saja, setelah orang ini kuserahkan kepada ibumu!"

"Tidak bisa! Aku harus membunuhnya sekarang juga!

Setelah kupenggal kepalanya baru kau boleh serahkan

kepala orang itu kepada ibuku, Cakradanu!"

"Itu menyalahi tugas yang diberikan ibumu kepadaku,

Cempaka! Karena aku dipercaya untuk menjadi penjaga

pantai yang sewaktu-waktu harus bisa menangkap mata-

mata yang ingin menyusup masuk ke pulau ini! Aku

harus bisa menyerahkannya hidup-hidup. Aku takut

murka dari sang Ratu Pekat, Cempaka Ungu!

Mengertilah dengan alam pikiranku ini, Cempaka!"

Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu

mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia

memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya

dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang

besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong

dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong

ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas

kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan

Kenanga Merah.

Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu

bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi

nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya

bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya.

Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan

mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit

mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong

sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak

Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak

Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka

Ungu.

"Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan

mengimbangi kemarahan perempuan itu, "Kalau aku

bukan orang yang ditugaskan oleh ibumu untuk

menangkap orang asing yang berkeliaran di pantai, aku

akan serahkan orang besar ini kepadamu. Atau mungkin

aku telah membunuhnya saat kutemukan ia terkapar di

pantai. Tapi demi menjunjung tinggi titah sang Ratu,

demi hormatku kepada ibumu, aku harus serahkan orang

ini hidup-hidup kepada beliau. Jadi tolong jangan paksa

aku bertarung melawanmu hanya mempertahankan

orang yang nantinya akan dijatuhi hukuman mati oleh

ibumu. Biarkan aku membawa orang ini ke Istana

Cambuk Biru dan jangan halangi langkahku lagi,

Cempaka Ungu!"

Perempuan berhidung bangir itu sentakkan napas

kekesalannya lewat lubang hidung. Agaknya ia mulai

bisa memahami kata-kata Tengkorak Terbang. Gerakan

uratnya yang kencang kelihatan mengendor, pedangnya

mulai dimasukkan kembali ke sarung pedang yang ada

di punggung. Tapi sikapnya masih keras dan ketus.

"Ingat, Cakradanu... orang itu adalah bagianku! Kalau

Ibu telah lepaskan dia sebagai orang hukuman yang

patut menjalankan hukuman mati, maka akulah algojo

yang harus memenggalnya!"

"Itu terserah keputusan dari ibumu, Cempaka! Bukan

aku yang memutuskannya!" kata Tengkorak Terbang

dengan suara kecilnya.

Dari belakang Tengkorak Terbang, Singo Bodong

beranikan diri untuk berbisik. Tapi karena jenis suaranya

suara besar, maka bisikannya itu pun terdengar sampai

di telinga Cempaka Ungu,

"Kalau bisa jangan sampai dihukum mati, Paman!"

"Diam kau!" sentak Tengkorak Terbang.

Singo Bodong sempat tersentak kaget mendengar

suara bentakan Tengkorak Terbang yang memekakkan

gendang telinga itu. Sempat pula ia melirik kepada

Cempaka Ungu, dan perempuan itu tampak cibirkan

mulutnya dengan sinis mendengar bisikan tadi.

"Semudah itu ia menyerah kepada Tengkorak

Terbang," pikir Cempaka. "Padahal tempo hari aku

melihat sendiri saat ia menggempur Tengkorak Terbang

yang hampir-hampir tak bernyawa lagi itu. Mengapa

sekarang ia menjadi tunduk kepada Tengkorak Terbang?

Apakah Tengkorak Terbang sudah mempunyai ilmu

baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya?"

Salah duga itu membuat Cempaka Ungu menjadi

sedikit ciut nyalinya bila harus bertarung menghadapi

Tengkorak Terbang. Sebab itu, ia seolah-olah tidak mau

tahu lagi urusan Tengkorak Terbang dengan orang yang

disangkanya Dadung Amuk itu. Segera ia tinggalkan

mereka berdua dengan kata-kata,

"Kutunggu kedatanganmu dengan babi bengkak itu

ke istana!"

Kalau saja Singo Bodong adalah seorang perempuan

tanpa ilmu, ingin sekali ia menangis keras-keras saat itu.

Betapa sedih hatinya melihat banyak orang yang

memusuhi dirinya. Sedangkan dia tidak merasa berbuat

jahat kepada orang-orang itu. Ternyata orang-orang

Pulau Beliung banyak yang tidak suka melihat

kehadirannya. Bahkan ketika mendekati Istana Cambuk

Biru, beberapa pemuda tanggung melempari batu ke

arah Singo Bodong. Kalau Tengkorak Terbang tidak

menghalangi dan menghancurkan batu-batu yang

beterbangan dengan pukulan tenaga dalamnya, pasti

kepala Singo Bodong sudah bocor sejak tadi.

Bahkan seorang anak berusia antara dua belas tahun

berlari mendekati Singo Bodong dengan membawa pisau

dan hendak menusukkan pisau itu ke tubuh Singo

Bodong. Anak itu berteriak benci.

"Kau yang membunuh bapakku, Setan Bengkak!

Terimalah pembalasanku ini, ciaaat...!"

Plakk...! Anak itu terjengkang dan berjungkir balik di

tanah karena gebrakan tangan Tengkorak Terbang. Anak

itu bukan anak yang punya ilmu, hanya punya dendam

dan keberanian saja, sehingga dengan ditampar pipinya

sudah melintir jatuh dan kesakitan.

Singo Bodong merasa sangat bersyukur bertemu

Tengkorak Terbang, walau tetap saja diserahkan kepada

pengadilan sang Ratu. Tetapi dapat dibayangkan

olehnya, seandainya ia berada di pulau itu tanpa

Tengkorak Terbang, jelas tubuhnya akan hancur

dicincang banyak orang yang menaruh dendam

kepadanya.

Di dalam hati Singo Bodong terlontar lagi

keluhannya, "Seandainya Suto dan Dewa Racun ada

bersamaku, maka habislah orang-orang itu diamuknya!

Oh, Suto... di mana kamu? Apakah kamu tidak tahu

kalau aku dimusuhi orang begini banyaknya dan aku tak

bisa berkutik sedikit pun! Brengsek benar Suto dan

Dewa Racun! Pergi dari perahu tanpa membawaku!

Menyesal sekali aku mengikuti langkah orang yang

kubangga-banggakan itu. Ternyata Suto tidak seperti

bayangan kebanggaanku!"

Waktu Tengkorak Terbang mendekati pintu gerbang

istana bersama Singo Bodong, beberapa orang yang

menjadi prajurit istana itu segera mengepung mereka

berdua. Orang-orang itu bersenjata semua, dan senjata

mereka siap menghujam ke tubuh Singo Bodong.

Melihat ujung-ujung tombak yang runcing, mata pedang

yang berkilat tajam, Singo Bodong menjadi hampir tak

bisa berjalan lagi karena gemetarnya kedua lutut begitu

kuat.

Tengkorak Terbang tetap tenang di dalam kepungan

itu. Mulanya ia sempat menduga orang-orang itu adalah

suruhan Cempaka Ungu. Tapi pikirannya segera berubah

setelah ia ingat amukan Dadung Amuk yang banyak

menimbulkan korban baik prajurit-prajurit pengawal

istana atau penduduk desa tak bersalah. Mungkin

prajurit-prajurit yang mengepungnya saat itu bersikap

waspada dan siap tempur melihat orang yang datang

adalah orang yang disangkanya Dadung Amuk.

"Untuk apa kalian mengepung kami?!" suara

Tengkorak Terbang sedikit menyentak. Orang-orang

yang mengepung hanya saling pandang.

"Bubarkan kepungan ini!" sentak Tengkorak Terbang

lagi.

"Tidak bisa!" jawab salah seorang dari mereka.

"Kenapa tidak bisa?"

"Kau bersama Dadung Amuk!"

"Apa kau tak lihat keberadaanku di sini, hah?!"

"Justru aku dan teman-teman khawatir jika Dadung

Amuk menyerangmu secara tiba-tiba!"

"Kalau ku mau, sudah kupenggal batang lehernya dari

tadi!"

"Kenapa tidak kau lakukan?"

"Karena dia sudah menyerah dan siap dihadapkan

pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku ini,

berarti menentang keputusan sang Ratu!"

Orang yang tadi berani bicara sekarang terdiam.

Matanya memandangi teman-temannya. Teman-

temannya juga saling pandang satu dengan yang lain.

Pada saat hening tanpa kata, Tengkorak Terbang cepat

sentakkan suaranya lagi,

"Minggir kalian!"

Maka, empat orang yang menutup jalan menuju pintu

gerbang itu pun segera menepi dengan sikap tetap

mengacungkan senjatanya, seakan berjaga-jaga

mendapat serangan sewaktu-waktu dari Singo Bodong

yang dianggap tawanan mereka.

"Buka pintu!" sentak Tengkorak Terbang kepada

penjaga pintu gerbang itu. Dengan terburu-buru kedua

penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak

Terbang menarik tangan Singo Bodong agar

mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di

belakang Tengkorak Terbang yang melangkah lebih

dulu.

Begitu mereka masuk ke pintu gerbang, ternyata di

sana sudah ada rombongan penyambut kedatangan

mereka. Rombongan itu bukan orang-orang yang ingin

menjamu kedatangan seorang tamu, melainkan sebarisan

prajurit yang bersiaga menghadapi kedatangan

tawanannya.

Dua barisan bersenjata lengkap memagari jalan

menuju serambi istana. Mereka berjajar di kanan-kiri

membentuk barisan siap serang kapan saja terdengar

perintah dari atasannya. Singo Bodong menyeringai

karena merasa ngeri melihat senjata-senjata berkerlip

pantulan sinar matahari menuju ke arahnya.

Rupanya kedatangan Tengkorak Terbang sudah

diketahui oleh para penghuni Istana Cambuk Biru itu,

sehingga sudah dilakukan persiapan penyambutan

seperti itu. Siapa lagi yang membawa kabar tentang

kedatangan Tengkorak Terbang dan Singo Bodong jika

bukan Cempaka Ungu. Karenanya, Tengkorak Terbang

tidak heran jika di serambi istana kecil itu sudah berdiri

Ratu Pekat didampingi oleh Cempaka Ungu dan seorang

lelaki tampan yang menjadi tangan kanan dan pengawal

pribadi sang Ratu. Lelaki tampan itu dikenal dengan

nama Abirawa, berjuluk si Mata Elang, karena bentuk

matanya yang kecoklatan itu mirip mata burung elang.

Sekalipun Mata Elang menjadi pengawal sang Ratu,

yang tentunya punya ilmu cukup tinggi, tetapi ketika

bertarung melawan Dadung Amuk, ia terdesak mundur

dan hampir saja mati dengan aji pamungkas milik

Dadung Amuk. Kalau saja Ratu Pekat tidak turun tangan

menghadang aji pamungkas Dadung Amuk, mungkin

Mata Elang sampai sekarang tak bisa lagi berdiri

mendampingi sang Ratu.

Mata Elang, selain menjadi pengawal sang Ratu, juga

sebagai pria pemuas birahi sang Ratu. Karenanya, sang

Ratu tak mau jauh-jauh dari pemuda itu. Walau usia

Ratu Pekat sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi

sisa kecantikan dan keelokan masa mudanya masih ada.

Bahkan semangat cintanya masih meletup-letup dalam

jiwa tuanya itu.

Perempuan berambut sedikit uban dengan wajah tua

yang masih nampak cantik itu, berdiri tegak dengan

kedua tangan di belakang. Matanya memandang liar

kepada Singo Bodong, raut wajahnya mencerminkan

murka yang tertahan.

Tengkorak Terbang segera bungkukkan badan tanda

memberi hormat kepada sang Ratu. Semua dalam

keadaan diam tanpa suara. Suasana menjadi hening

mencekam, terutama buat Singo Bodong. Matanya yang

lebar berkesan beringas itu tak berani memandang sang

Ratu terlalu lama. Ia segera tundukkan wajah dengan

jantung berdebar-debar.

Di sela heningnya suasana itu, terdengarlah suara

kecil melengking milik Tengkorak Terbang, yang

sempat mengguncangkan tubuh Singo Bodong karena

kagetnya.

"Cakradanu menghadap, Nyai Ratu!"

"Sudah tahu!" jawab Ratu Pekat dengan suara besar

untuk jenis suara perempuan. "Siapa yang kau bawa

itu?"

"Menurut dugaan saya semula, dia adalah Dadung

Amuk! Tapi orang ini mengaku bernama Singo Bodong,

Nyai Ratu!"

"Dia jelas Dadung Amuk!" mata Ratu Pekat menyipit

dalam memandangi Singo Bodong.

"Terserah keputusan, Nyai Ratu!" kata Tengkorak

Terbang.

"Suruh dia mendekat!"

Kemudian Tengkorak Terbang menyuruh Singo

Bodong mendekat.

"Kau dengar apa perintahnya? Cepat sana,

mendekatlah!"

"Aku takut, Paman!" Singo Bodong meringis takut

dengan mata berkedip-kedip, ia bagaikan memohon

belas kasihan dan pembelaan dari Tengkorak Terbang.

"Mendekatlah sebelum Ratu murka!" sentaknya

dalam bisik.

"Ta... tapi... tapi aku tak berani. Aku takut dibunuh

olehnya!"

"Kalau kau bukan Dadung Amuk, kau harus bisa

jelaskan padanya!"

Tengkorak Terbang mendorong punggung Singo

Bodong. Kaki orang tinggi besar itu bagai sulit

digerakkan untuk melangkah maju. Lemas dan gemetar

sekali rasanya. Wajahnya sebentar-sebentar menoleh ke

belakang, seakan minta didampingi oleh Tengkorak

Terbang.

"Lekas maju!" sentak Tengkorak Terbang dalam

bisikan kecilnya, sambil mendorong punggung Singo

Bodong yang lebih tinggi dari kepalanya itu.

Singo Bodong menaiki tangga serambi yang terdiri

dari lima baris itu. Kakinya terpeleset dan ia jatuh karena

gemetarnya. Sang Ratu tersenyum sinis melihat jatuhnya

Singo Bodong, karena menganggapnya pura-pura.

"Cepat bangun atau kutendang pantatmu!" sentak

Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya melotot.

Singo Bodong takut dan segera bangkit dengan wajah

mau menangis, ia menjadi sangat grogi karena semua

mata memandang ke arahnya.

"Belum puaskah kamu mengobrak-abrik wilayahku

ini, hah?!" sentak Ratu Pekat dengan mata membelalak

tajam.

"Belum, eh... sudah, eh... anu... tidak! Tidak, Nyai

Ratu!" Singo Bodong menjawab dengan tergagap-gagap,

sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.

"Kau masih menyangka aku menyembunyikan kitab

itu?!"

'Tidak, eh... anu... jangan! Eh, bukan., anu... ya,

tidak!" Singo Bodong geleng-gelengkan kepala dalam

kepolosan bodohnya.

Ratu segera sentakkan napas melalui hidungnya.

Suuut...! Dan tubuh besar itu tumbang ke belakang,

berguling-guling menuruni anak tangga batu. Kepalanya

terbentur beberapa kali hingga ia mengerang dalam

kesakitan.

"Kosong sekali...?!" pikir Ratu Pekat. "Hempasan

napasku seperti menghantam gentong tanpa isi. Tak ada

sentakan padat sedikit pun pada dirinya! Aneh. Kenapa

Dadung Amuk seperti itu? Apakah dugaan Cempaka

Ungu memang benar, bahwa Dadung Amuk ilmunya

sudah berhasil dilenyapkan oleh Tengkorak Terbang?

Jika benar begitu, berarti Tengkorak Terbang telah

menguasai sebuah ilmu yang bernama ilmu 'Lebur

Samudera', yang bisa menghilangkan seluruh kekuatan

dan ilmu-ilmu yang dimiliki lawan! Hmm... dapat dari

mana Tengkorak Terbang? Ilmu itu hanya dimiliki oleh

beberapa gelintir orang dalam dunia persilatan. Aku saja

susah mendapatkannya sampai sekarang! Gawat! Aku

bisa celaka kalau melawan Cakradanu!"

*

* *

3


ILMU 'Lebur Samudera' adalah ilmu yang sangat

berbahaya. Si Gila Tuak pun tidak memiliki ilmu itu.

Tetapi Ratu Pekat tahu, satu-satunya orang yang

memiliki ilmu 'Lebur Samudera' yang ada di

sekelilingnya itu adalah Dewi Kencana Langit, yang

bersemayam di pesisir selatan bagian timur tanah Jawa.

'Lebur Samudera' ilmu yang tak kenal ampun lagi.

Orang yang memiliki kesaktian setinggi apa pun, jika

terkena pukulan ilmu 'Lebur Samudera', akan hilang

semua kesaktiannya, dan ia tak akan bisa berbuat apa-

apa. Ia akan menjadi orang polos dan bodoh. Bahkan

untuk berlari cepat pun tak akan mampu.

Ratu Pekat melihat keadaan Singo Bodong yang

dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan

agak ragu dalam bertindak. Sebab ia tahu ciri-ciri orang

berilmu tinggi yang habis terkena pukulan 'Lebur

Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong; bodoh,

penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun.

"Setidaknya," pikir Ratu Pekat, "Kalau Dadung

Amuk hanya berpura-pura kalah, maka hempasan 'Napas

Naga'-ku akan merasakan menyentuh benda padat. Itu

tandanya ada sisa ilmu yang disembunyikan oleh orang

yang kuserang. Tapi, 'Napas Naga'-ku tidak menyentuh

benda padat sedikit pun. Tak ada sebagian yang

memantul balik. Nyeplos begitu saja. Itu berarti Dadung

Amuk tanpa ilmu sedikit pun!"

Sementara itu, si Mata Elang dan Cempaka Ungu

menunggu keputusan yang akan dilontarkan oleh Ratu

Pekat. Mereka berdua memandang sang Ratu. Tetapi

sang Ratu memperhatikan gerakan Singo Bodong yang

menggeliat bangkit dalam keadaan hidung berdarah

sedikit.

"Apa keputusan Nyai...?!" Tengkorak Terbang

memberanikan diri bertanya, karena ia merasakan

kebisuan yang terjadi terlalu lama.

"Gantung dia di depan umum!" Cempaka Ungu yang

menjawab.

Nyai tetap diam. Tapi Singo Bodong terperangah

kaget dan semakin ketakutan, ia memandang

sekelilingnya, belum ada yang bergerak menyeretnya.

Bahkan Tengkorak Terbang hanya diam saja dengan

menatap Ratu Pekat. Seakan keputusan dan perintah

yang keluar dari mulut Cempaka Ungu itu tidak

dihiraukan sama sekali. Mereka masih menunggu-

nunggu keputusan dari Ratu Pekat.

Beberapa saat kemudian, Ratu Pekat serukan kata,

"Karena kau yang berhasil melumpuhkannya, Tengkorak

Terbang, maka kuserahkan nasibnya ke tanganmu!"

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh riuh seperti

ratusan lebah bergaung. Rupanya para prajurit dan

orang-orang yang ada di depan serambi itu saling

bergumam, saling membicarakan keputusan Ratu Pekat

yang terasa kurang sreg di hati mereka.

Tengkorak Terbang sendiri sempat bingung

menerima putusan itu, karena ia masih belum bisa

menentukan sikap dalam menghadapi keraguannya

tentang diri Singo Bodong. Sedangkan di serambi sana,

Cempaka Ungu mengajukan sanggahan terhadap

keputusan ibunya,

"Ini tidak adil! Ibu harus menjadi penentu hukuman.

Bukan Tengkorak Terbang! Karena Ibu yang kehilangan

dua anak akibat kebiadaban si Dadung Amuk itu!"

"Aku sudah menjadi penentu! Aku sudah putuskan

masalah ini. Tengkorak Terbang yang kuserahi tugas

menentukan hukumannya!"

"Ibu...."

"Jangan lawan Tengkorak Terbang!" sergah Ratu

Pekat berbisik kepada anaknya. "Nanti kujelaskan

mengapa aku berkeputusan begitu!"

Cempaka Ungu tampak kecewa sekali, ia menggeram

jengkel dengan kedua tangan menggenggam kencang.

Lalu, matanya dilemparkan ke arah Tengkorak Terbang,

dan ia berseru,

"Cakradanu...!" Cempaka Ungu segera turuni tangga

dan mendekati Tengkorak Terbang. Dengan mata yang

tajam memandang, Cempaka Ungu berkata dalam geram

kemarahannya,

"Seperti apa yang kukatakan tadi, kau hanya boleh

menyerahkan babi bengkak itu ke hadapan ibuku. Tapi

akulah yang menjadi algojo dalam melaksanakan

hukumannya nanti! Jadi sekarang, kuminta tawanan itu

diseret ke lapangan! Gantung dia di sana!"

Tengkorak Terbang menarik napasnya dalam-dalam

untuk meredam sesuatu yang menggelisahkan hatinya.

Kemudian dengan suara pelan ia menjawab,

"Ratu Pekat yang menjadi penguasa di Pulau Beliung

ini! Bukan kamu, Cempaka Ungu!"

"Tapi aku anaknya! Aku yang kehilangan kedua

kakakku dibunuh oleh babi bengkak itu! Aku berhak

menentukan putusan juga!"

"Tapi Nyai Ratu menyerahkannya kepadaku!"

"Gantung dia! Ini perintahku!" sentak Cempaka Ungu

dengan suara keras dan tangan menuding tegas.

Tengkorak Terbang memandang Ratu Pekat. Sang

Ratu diam saja, seakan menyetujui putusan yang

dilontarkan dari Cempaka Ungu. Tengkorak Terbang

merasa takut membantah keputusan itu, maka segera

tangannya berkelebat mencandak lengan Singo Bodong,

lalu menyeretnya pergi. Sementara, Singo Bodong

sendiri menjadi semakin gugup dan ketakutan,

"Jangan...! Jangan gantung aku, Paman! Aku benar-

benar bukan Dadung Amuk! Janganlah Paman salah

duga! Paman akan menyesal menggantung orang tak

bersalah. Sungguh, Paman... aku bukan Dadung Amuk.

Aku Singo Bodong yang...."

"Diaaam...!" bentak Tengkorak Terbang yang

membuat kata-kata Singo Bodong hilang seketika ditelan

lengkingnya suara tadi. Ia tetap diseret oleh Tengkorak

Terbang, dan keluar dari benteng istana kecil itu.

"Cempaka!" panggil Ratu Pekat ketika Cempaka

Ungu mau bergerak mengikuti langkah Tengkorak

Terbang. "Masuklah, aku mau bicara denganmu,

Cempaka!"

Napas Cempaka Ungu disentakkan dalam satu

hempasan rasa dongkol. Tapi akhirnya ia menuruti

perintah itu. Ia masuk ke dalam istana kecil yang

berlantai marmer hitam.

Ratu Pekat duduk di sebuah kursi bantalan merah

yang berpunggung ukiran bentuk mahkota. Kursi itu

panjang, bisa untuk melonjorkan kaki. Tapi saat itu Ratu

Pekat duduk dengan sedikit bersandar, punggungnya

dipijit-pijit oleh si Mata Elang dengan penuh kesetiaan

dari sebuah pengabdian.

"Cempaka, saat kuhempaskan 'Napas Naga'-ku, aku

merasakan ada kejanggalan dalam diri Dadung Amuk

tadi!"

Cempaka Ungu hanya cemberut, tak mau memberi

ucapan kata apa pun, wajahnya memandang ke arah lain.

Ratu Pekat melanjutkan kata,

"Dadung Amuk kehilangan semua ilmu dan

kesaktiannya! Ia telah kosong, seperti bayi baru lahir!"

Setelah palingkan wajah ke arah sang Ibu, Cempaka

segera ajukan tanya, "Dari mana Ibu tahu hal itu?"

"'Napas Naga'-ku menemukan tempat kosong, tak ada

sentakan balik sedikit pun. Itu tandanya Dadung Amuk

tanpa isi sedikit pun!"

Cempaka Ungu kerutkan dahi. "Mengapa bisa begitu,

Ibu?"

"Tengkorak Terbang yang melakukannya dan

membuat dia menjadi seperti itu."

"Apa maksud, Ibu?"

"Kau tahu sendiri kehebatan jurus dan ilmunya

Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan

mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh

dan hebatnya dia. Ibu mengakui hal itu. Tapi di tangan

Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya

seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa

sedikit pun. Dan hanya orang yang mempunyai ilmu

'Lebur Samudera' yang bisa membuat lawan menjadi

seperti itu."

"Jadi... jadi maksud Ibu, Tengkorak Terbang telah

memiliki ilmu 'Lebur Samudera'? Oh, tidak mungkin,

Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa memiliki

ilmu sehebat itu!"

"Nyatanya Dadung Amuk menjadi sebegitu lemahnya

setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan

Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan

'Lebur Samudera' yang membuat ilmu dan kesaktian

Dadung Amuk menjadi sirna tanpa bekas!"

Tertegun Cempaka Ungu merenungi kata-kata

ibunya. Tertegun pula si Mata Elang mendengar hal itu,

hingga pijitan di pundak Ratu Pekat terhenti. Setelah

Ratu Pekat menepuk pundaknya sendiri, si Mata Elang

bergegas memijitnya lagi dengan pelan-pelan.

"Aku tahu Cakradanu menyimpan ilmu itu baru-baru

ini saja. Sengaja ia tidak keluarkan kepada siapa pun,

kecuali kepada Dadung Amuk. Itu pun mungkin karena

sangat terpaksa. Dan kau tahu, Cempaka Ungu... jika ia

benar telah menguasai ilmu 'Lebur Samudera', maka

seluruh kesaktianmu, kesaktianku, bisa habis terkuras

tanpa bekas sedikit pun. Ibu, kamu, Mata Elang, dan

orang-orang kita bisa kehilangan kekuatan yang selama

ini kita gali dengan bersusah payah! Tengkorak Terbang

diam-diam menjadi orang paling berbahaya dari semua

orang yang menjadi musuh kita. Bahkan Siluman Tujuh

Nyawa pun bisa ditaklukkan oleh Tengkorak Terbang

karena ilmu pukulan 'Lebur Samudera' itu!"

Gemetar hati Cempaka Ungu mendengarnya. Apa

yang dikatakan oleh ibunya merupakan suatu keyakinan

yang tak bisa disanggah lagi. Cempaka Ungu mulai

merasa ngeri jika berhadapan dengan Tengkorak

Terbang.

Ratu Pekat berkata lagi. "Jadi kuminta kau berhati-

hati bila berhadapan dengannya. Sekali ia lancarkan

pukulan itu, habislah kekuatanmu, menjadi seperti bayi

baru lahir! Ibu pun diam-diam mencari cara untuk

menghindari bentrokan dengan dia!"

"Bukankah dia berada di bawah kekuasaan Ibu?"

"Memang. Tapi kekuasaan tidak cukup untuk

menandingi ilmu pukulan 'Lebur Samudera'!"

Si Mata Elang yang sejak tadi diam, kali ini mulai

angkat bicara dengan suaranya yang sedikit serak,

"Nyai masih bisa menggunakan kekuasaan untuk

mengalahkan ilmu baru yang dimiliki Tengkorak

Terbang!"

"Bagaimana caranya?"

"Beri dia tugas untuk satu perjalanan yang jauh, yang

kira-kira memakan waktu bertahun-tahun, sampai ia mati

dimakan usia di tempat itu!"

"Itu sudah kupikirkan," jawab Ratu Pekat. "Tapi jika

dia tidak berada di sini, kekuatan kita masih kalah

tanding dengan kekuatan Siluman Tujuh Nyawa. Kalau

kita bisa memanfaatkan Tengkorak Terbang, maka

Siluman Tujuh Nyawa bisa kita gulung habis, dan negeri

manapun bisa kita tundukkan. Kita bisa mempunyai

wilayah jajahan yang luas dan luas sekali!"

"Ya," sahut Cempaka. "Tengkorak Terbang itu ibarat

barang yang dibuang sayang, tapi jika dirawat

membahayakan!"

"Kalau begitu, siapkan dulu pertempuran untuk

melawan Siluman Tujuh Nyawa. Setelah kita tundukkan

Siluman Tujuh Nyawa dan begundal-begundalnya, baru

kita kirim Tengkorak Terbang ke tempat yang amat jauh

dari sini!" kata Mata Elang lagi dengan penuh semangat.

Hal itu membuat Ratu Pekat termenung

mempertimbangkannya.

Seperti dikisahkan dalam episode "Utusan Siluman

Tujuh Nyawa", bahwa ada tokoh yang wajah dan

penampilannya serupa betul dengan Dadung Amuk.

Dadung Amuk adalah orang kepercayaan Siluman Tujuh

Nyawa yang ditugaskan membunuh Suto Sinting, si

Pendekar Mabuk itu, dan bertugas pula mencari Kitab

Pusaka Wedar Kesuma. Kitab itu adalah sebagai syarat

mas kawin untuk mempersunting Gusti Dyah

Sariningrum, orang yang dari dulu dicintai Siluman

Tujuh Nyawa, juga yang menjadi kekasihnya Suto

Sinting.

Ketika Dadung Amuk bertemu dengan Pendekar

Mabuk, ia berhasil dikelabuhi oleh Pendekar Mabuk,

dan segera menuju ke Pulau Hantu untuk mencari tokoh

sakti yang sesat bernama Mawar Hitam. Padahal Kitab

Wedar Kesuma adalah milik Nyai Betari Ayu, yang

merupakan kakak dari Dyah Sariningrum, penguasa Puri

Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Kitab itu sudah ada

di tangan Suto, dan perjalanan menuju Pulau Serindu

pun dilakukan bersama penunjuk jalan si Dewa Racun,

dan Singo Bodong diajaknya serta. Mulanya Pendekar

Mabuk ingin mengetahui apakah Singo Bodong adalah

Dadung Amuk, sehingga perlu mengawasi segala gerak-

gerik Singo Bodong dalam perjalanannya. Tetapi,

sebelum Suto memperoleh kepastian tentang perbedaan

atau kesamaan tersebut, perahunya pecah dihantam

ombak samudera. Singo Bodong pun terdampar di Pulau

Beliung.

Kehadiran Singo Bodong itulah yang membuat

Tengkorak Terbang dicurigai sebagai pemilik ilmu

'Lebur Samudera'. Karena baik Ratu Pekat maupun

penduduk Pulau Beliung menyangka Singo Bodong

adalah Dadung Amuk. Sedangkan Tengkorak Terbang

sendiri tidak tahu adanya ilmu 'Lebur Samudera'.

Bahkan mendengar dari gurunya pun belum pernah.

Karenanya ia tidak tahu kalau sedang dibicarakan oleh

Ratu Pekat, dan Cempaka Ungu.

Bahkan Tengkorak Terbang merasa takut membuat

Ratu Pekat marah jika ia menentang keputusan yang

dilontarkan oleh Cempaka Ungu. Karena itu, ia pun

cepat menyeret Singo Bodong ke alun-alun kecil, di sana

sudah tersedia tiang gantungan, untuk menjalankan

hukuman gantung bagi siapa pun yang menentang

kepemerintahan Ratu Pekat. Konon, tiang gantungan itu

telah merenggut lebih dari sepuluh nyawa, termasuk

nyawa para musuh yang menjadi tawanan.

Tiang gantungan itu berbentuk tiang gawang dengan

sebuah panggung kecil di atasnya. Seorang algojo

berselubung kain hitam di kepalanya, tanpa memakai

baju, dan bercelana hitam ketat, telah berdiri di atas

panggung kecil itu. Badannya besar dan berotot.

Singo Bodong menjadi semakin takut lagi melihat

algojo berselubung kain hitam di kepalanya, dengan

hanya bagian kedua mata, hidung, dan mulut saja yang

kelihatan dari luar. Melihat orang menyeramkan telah

siap di atas panggung gantungan. Singo Bodong

meronta-ronta saat dibawa ke sana.

"Jangan..! Jangan gantung aku, Paman...! Jangan!

Aku tidak bersalah! Aku orang baik-baik, Paman!

Oooh... Ibu...! Ibu tolong aku, Buuuuu...!"

Tengkorak Terbang walau berbadan kurus kerontang,

tapi tenaganya jauh lebih besar dari tenaga Singo

Bodong. Dengan sekali sentakan, tubuh besar itu

terlempar sampai membentur tepian panggung

gantungan.

Duuok...!

"Adduh...! Mati aku, Buuu...!" Singo Bodong

akhirnya menangis, ia ditangkap oleh kedua tangan

algojo, lalu segera diikat dengan kain kuat-kuat. Kedua

tangan Singo Bodong yang terikat ke belakang itu

membuat Singo Bodong tak lagi bisa bergerak, ia hanya

bisa meronta-ronta sambil berteriak memanggil ibunya

beberapa kali. Hal itu membuat Tengkorak Terbang

semakin menaruh curiga besar kepada Singo Bodong.

Tengkorak Terbang membatin, "Seperti itukah

Dadung Amuk? Secengeng itukah anak buah Siluman

Tujuh Nyawa? Sekecil itukah nyali orang yang dengan

hebatnya mampu membunuh Melati Hitam dan Kenanga

Merah? Rasa-rasanya aku seperti bukan melihat Dadung

Amuk!"

Keraguan itu membingungkan hati Tengkorak

Terbang, ia cepat melesat tinggalkan tempat itu, seakan

tak mau tanggung jawab jika ada kesalahan hukuman.

Niatnya untuk kabur dari arena penggantungan menjadi

terhalang karena datangnya rombongan Ratu Pekat

bersama Cempaka Ungu, Mata Elang, dan pengawal-

pengawal lainnya.

"Sudah kau gantung orang itu?!" tanya Ratu Pekat.

"Menunggu perintah selanjutnya dari Nyai Ratu,"

jawab Cakradanu.

"Sudah kubilang, keputusannya kuserahkan ke

tanganmu! Karena mulai saat ini, kau kuangkat menjadi

panglimaku."

"Apa...?!" Tengkorak Terbang terkejut. "Saya

diangkat menjadi panglima di Istana Cambuk Biru ini?!"

"Ya. Tadi aku lupa mengatakannya padamu!" jawab

Ratu Pekat.

Cempaka Ungu menambahkan kata, "Jabatan itu

sebagai hadiah dari ibuku atas keberhasilanmu

menangkap Dadung Amuk!"

Tengkorak Terbang kerutkan dahi melihat sikap

Cempaka Ungu tidak seketus tadi. Sekarang wajah

Cempaka Ungu kelihatan lebih ramah dari sebelumnya.

"Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak Terbang.

Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap

bersahabat. Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu

memandangnya dengan sikap angkuh, seakan

meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di

lingkungan para pejabat istana. Sekarang sikap angkuh

dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan

dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata,

"Sebagai seorang panglima yang baru saja diangkat,

kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang

mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang.

Kurasa tak ada jeleknya kau memutuskan apakah

hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau

punya kekuasaan sekarang ini!"

"Nyai Ratu," kata Tengkorak Terbang. "Penghargaan

ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas rasanya saya

menjadi panglima!"

"Siapa bilang tak pantas?!" senyum Ratu Pekat

tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat pantas

untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau

Beliung!"

"O, tidak, Nyai! Itu semakin tidak pantas untuk orang

seperti saya. Sebab...!"

"Jangan tolak kebaikanku ini, Cakradanu!" ucap Ratu

Pekat dengan nada wibawanya. Tengkorak Terbang tak

bisa menyanggah lagi. Karena di dalam otaknya

terbayang pukulan 'Renta Buana', yang jika Ratu Pekat

murka kembali, pukulan itu bisa mengakhiri masa

hidupnya dalam waktu yang amat singkat. Terus terang

saja, Tengkorak Terbang merasa takut menghadapi

murka sang Ratu.

"Baiklah jika memang itu putusan baik, Nyai Ratu!

Saya menerimanya," jawab Tengkorak Terbang dengan

hati masih diliputi tanda tanya yang besar.

"Sekarang aku ingin melihat tawanan kita itu!

Digantung ataupun tidak, tergantung keputusanmu. Dan

jika tidak, kau harus bisa berikan alasan kepada rakyat

yang telah menaruh dendam kesumat kepada Dadung

Amuk."

"Baik, Ratu...!"

Baru saja mereka bergegas melangkah mendekati

kerumunan rakyat, tiba-tiba terdengar suara pekikan

keras yang memberat. Pekikan itu datangnya dari arah

tiang gantungan. Tengkorak Terbang tersentak kaget dan

bergumam tegang.

"Celaka! Pasti petugas algojo itu telah melakukah

penggantungan tanpa perintah lagi!"

Tetapi, mengapa rakyat yang berkerumun di situ pun

bubar melarikan diri? Bukan hanya Tengkorak Terbang

yang heran, tapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu serta si

Mata Elang pun merasa heran. Maka, mereka bergegas

lebih cepat lagi menuju arena penggantungan.

Apa yang terjadi di sana ternyata sangat tak diduga.

Algojo telah tumbang dalam keadaan dadanya tertancap

anak panah. Singo Bodong masih berdiri berkalung tali

gantungan. Tapi tali itu segera putus ketika sebatang

anak panah berukuran pendek melesat dan memutuskan

tali penggantung itu. Tass...!

"Mata Elang, cepat bawa pergi tubuh Dadung Amuk

itu!" teriak Tengkorak Terbang, yang membuat si Mata

Elang cepat melakukan tugas.

*

* *

4


ALUN-ALUN menjadi sepi. Mereka yang tadinya

berkerumun dengan berkasak-kusuk kegirangan karena

ingin melihat kematian Dadung Amuk, sekarang

menjadi diam tanpa suara. Sebagian masuk ke dalam

rumah, sebagian lagi bersembunyi di balik pohon atau di

balik apa saja, ingin melihat kelanjutan dari hukuman

gantung itu. Padahal saat itu Singo Bodong sudah

dilarikan si Mata Elang. Tetapi karena di alun-alun

masih berdiri Ratu Pekat didampingi Cempaka Ungu,

dan di tengah alun-alun masih berdiri Tengkorak

Terbang, maka mereka masih berharap adanya kejutan-

kejutan berikutnya.

Tengkorak Terbang mencabut anak panah yang

menancap di dada algojo. Satu sentakan penuh

kemarahan membuat anak panah lepas dari tubuh kekar

itu. Tengkorak Terbang memperhatikan beberapa saat

anak panah itu, kemudian dibawa mendekati Ratu Pekat

dan ditunjukkan kepada sang Ratu sambil ia berkata,

"Panah pendek!"

"Hmmm... ya! Aku tahu pemilik panah pendek ini!

Kau tahu, Tengkorak Terbang?" tanya Ratu Pekat.

"Saya tahu, Nyai!"

"Lakukanlah tugasmu sebagai panglima!" Setelah

berkata begitu, Ratu Pekat segera tinggalkan tempat.

Cempaka Ungu mengiringinya dengan mata memandang

liar ke arah sekeliling. Siaga untuk penyerangan

mendadak. Sedangkan enam orang prajurit pengawalnya

pun cepat mengambil sikap mengurung Ratu Pekat

dengan memberikan jalan di bagian depannya. Dua

prajurit ada di bagian depan, tujuh langkah dari Ratu

Pekat.

Tengkorak Terbang layangkan pandangan matanya

ke sekeliling alun-alun. Tiap wajah tersembunyi

dipandanginya dengan seksama. Lalu, karena yang

dicarinya tak terlihat, ia pun berteriak keras,

"Dewa Racun...! Keluar kau dari persembunyianmu!"

Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa

senjata itu adalah milik Dewa Racun. Mereka

mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan

orang-orang Pulau Serindu, termasuk Dewa Racun dan

anak buah Dyah Sariningrum lainnya.

"Jangan sangka aku tidak mengenalimu, Kerdil!

Keluar kau!"

Tiba-tiba meluncur anak panah dari depan Tengkorak

Terbang. Zzlaaap...! Tangan kurus tanpa daging itu

segera berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu

ditangkap tepat di depan matanya.

Sebuah pohon berdaun rimbun segera menjadi

sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak

jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak

tangannya. Wuuugh...! Tenaga dalam itu melesat tanpa

sinar dan menghantam kerimbunan pohon.

Brusss...! Kraak...! Grusaaak...!

Dahan pohon terkena pukulan tenaga dalam dari jarak

jauh. Dahan sebesar paha Singo Bodong itu patah dan

tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat

gerakan manusia berpindah tempat.

Mendadak dari arah samping kiri Tengkorak Terbang

meluncur kembali sebatang anak panah dengan

kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih

seperti tadi.

Zlappp...!

Tebb...! Anak panah itu berhasil ditangkap kembali

oleh Tengkorak Terbang. Terlambat sedikit mengenai

lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan

menggunakan satu tangan meremas. Trakk...! Kemudian

dibuang dengan sentakkan menggeram.

Sebuah pohon rimbun kembali menjadi sasaran

pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu

menghentak ke pohon sebelah kirinya dan terdengar

suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk yang sangat

jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya

mengenai sasaran. Lawan pasti jatuh dari atas pohon, ia

menunggu sesaat.

Tetapi sesosok bayangan putih yang ditunggunya itu

justru muncul dari sebelah kanan. Suaranya terdengar

jelas menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.

"Aku di sini, Tengkorak Terbang!"

Cepat-cepat Tengkorak Terbang palingkan wajah.

Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang

bertubuh pendek kerdil, berpakaian dari bulu binatang

berwarna putih, celana pendeknya pun berwarna putih

bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan

di punggungnya tanpa tempat panah, tanpa busur panah

juga.

"Kudengar kau memanggil namaku, Tengkorak

Terbang!"

"Karena aku tahu kau memancing kemarahanku,

Dewa Racun!"

"Kau salah duga, Tengkorak Terbang!"

"Tidak. Aku tidak salah duga!" sentak Tengkorak

Terbang. "Aku kenal betul senjatamu itu, panah pendek!

Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"

"Justru aku keluar dari persembunyianku karena aku

melihat ada orang menggunakan senjataku!"

"Omong kosongi Kau bersekongkol dengan anak

buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"

"Salah!" sahut Dewa Racun. "Kau tidak tahu bahwa

aku telah kehilangan senjata saat perahuku pecah! Busur

dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua

teman yang bersamaku hilang tak kutahu di mana.

Hanya satu orang yang kutahu di mana letaknya!"

"Kau ingin cuci tangan dari persoalan ini, rupanya!"

"Terserah apa katamu, yang jelas...."

Belum selesai Dewa Racun bicara, datang anak panah

dari arah kiri Tengkorak Terbang. Zllappp...!

Kewaspadaan yang tinggi, kepekaan kulit yang

tinggi, membuat Tengkorak Terbang berkelebat ke

samping dengan tangan mengibas karena merasa adanya

bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak

panah berbulu putih di ekornya.

Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan

pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak

ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat

meluncurnya anak panah yang baru saja ditangkapnya

itu, adalah arah depan dari tempatnya berdiri tadi.

Sekarang arah itu menjadi sebelah kirinya, karena

Tengkorak Terbang berhadapan dengan Dewa Racun

yang muncul dari arah kanannya tadi.

"Bukankah ini anak panahmu, Dewa Racun?!"

"Ya. Benar. Tapi apakah kau melihat aku

memanahkannya?"

Tengkorak Terbang diam sambil menggeram. Anak

panah itu diremas dan patah menjadi dua bagian.

Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...!

"Jika bukan kau, lantas siapa yang

menggunakannya?"

"Mana aku tahu?"

"Pasti temanmu yang berjuluk si Cakar Jatayu!"

"Cakar Jatayu tidak ikut dalam perjalananku,

Tengkorak Terbang!" jawab Dewa Racun dengan lancar,

karena semalaman ia menghabiskan banyak ikan bakar

dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya,

sehingga bahasa gagapnya hilang, belum tumbuh lagi.

Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia akan

bicara dengan gagap lagi, karena memang begitulah

keanehan yang dimiliki Dewa Racun.

"Yang jelas, pemanahnya memihak dirimu, Dewa

Racun!"

"Mungkin juga begitu. Mungkin ia hanya ingin

membebaskan tawanan yang akan kau gantung itu,

Tengkorak Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu

tidak punya dosa apa pun kepada orang-orang Istana

Cambuk Biru, sehingga ia merasa perlu

membebaskannya!"

"Persetan dengan kesimpulanmu! Yang kutahu, panah

ini milikmu, dan kamulah yang harus bertanggung

jawab!"

Ekor mata Dewa Racun sempat melihat bayangan

jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di

sebelah kanan Tengkorak Terbang. Jadi pada waktu

pertama datangnya anak panah ke arah Tengkorak

Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang.

Tapi anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah

dari depan dan samping kiri Tengkorak Terbang.

Dewa Racun tahu, orang yang turun dan mengendap-

endap pergi itu membawa busur dan beberapa anak

panah miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena

ia tahu orang berbaju coklat dan bercelana putih itu tak

lain adalah Suto Sinting, yang telah terpisah olehnya

sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar

Mabuk yang menemukan busur dan anak panah itu.

Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih

tubuh Dewa Racun agar jangan terbawa ombak, tak

berhasil dan hanya bisa meraih busur dan anak panah

yang ada di punggung Dewa Racun.

Sebenarnya saat itu Dewa Racun telah menemukan

dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin

malam, ia ingin menemui kedua temannya itu, tapi

suasananya tidak mengizinkan. Bahkan ekor matanya

tadi juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap

menghadapi Tengkorak Terbang, sementara Pendekar

Mabuk berkelebat menuju ke istana. Pasti Pendekar

Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib

Singo Bodong ada dalam tanggung jawabnya.

Hanya saja, Dewa Racun merasa heran melihat

gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah

belakang Tengkorak Terbang, tapi bisa meluncur ke

sasaran dari arah depan Tengkorak Terbang, atau dari

arah kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara

pantulan, di mana panah dilepaskan ke depan,

membentur salah satu dahan atau benda lainnya dan

membalik dengan sama cepatnya ke arah lain. Sehingga.

Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali

dengan melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah

depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun

merasa tak mampu melakukan pemanahan seperti itu,

dan dia tak sangka bahwa Pendekar Mabuk mempunyai

cara sehebat itu.

Kepada Tengkorak Terbang, Dewa Racun berkata,

"Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah

itu milikku, lantas apa yang kau kehendaki dariku?"

"Kubawa kau menghadap kepada Ratu Pekat sebagai

tawananku!"

"Itu tak mudah, Tengkorak Terbang," Dewa Racun

tersenyum di balik wajah tuanya. "Kalau kau ingin

jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku

lebih dulu!"

"Seberapa sulit menundukkan orang kerdil seperti

kamu, ha?! Apakah kau tak sayang pada nyawamu kalau

sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini?!"

"Yang kusayangkan kalau nyawamu sendiri yang

minggat dari ragamu setelah mendapat satu jurus

pukulan dariku, Tengkorak Terbang!"

"Kecil-kecil bermulut lebar kau, hah?!" geram

Tengkorak Terbang. "Belum jera kau menderita pukulan

'Bayu Paksi'-ku?! Rasakan lagi kalau kau belum jera,

hiiaaah...!"

Tengkorak Terbang sentakkan kaki dan tubuhnya

meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak

yang sepuluh langkah itu bisa dicapainya dengan cepat,

dan pukulan 'Bayu Paksi' menghantam wajah Dewa

Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi

dan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hampir tak

bisa terlihat oleh mata orang biasa kecepatan pukulan

beruntun itu. Wuk wuk wuk...!

Tab tab tab tab tab...l

Bleggh...!

Pukulan 'Bayu Paksi' bisa ditangkis oleh tangan Dewa

Racun. Kalau dulu Dewa Racun terdesak menghadapi

pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu,

tapi sekarang semua pukulan dapat dilayani dengan

kecepatan tangkisannya. Bahkan yang terakhir Dewan

Racun sempat menyentakkan kedua telapak tangannya

ke dada Tengkorak Terbang. Sentakkan kedua telapak

tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke

belakang, dan jatuh berguling satu kali.

"Bangsat kau!" geram Tengkorak Terbang.

"Kuharap jangan kau teruskan niatmu menjadikan

aku tawananmu!" kata Dewa Racun yang sejak tadi

hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya,

ia melanjutkan kata-katanya,

"Kalau kau teruskan, kau akan mati. Jujur saja

kukatakan padamu, bahwa sekujur tubuhmu telah penuh

racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan

racun berbahaya ke dalam jantung dan paru-parumu,

Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau akan lumpuh!

Dan tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas

Tulang akan membuat seluruh tulangmu menjadi

keropos!"

"Persetan dengan bualanmu!" geram Tengkorak

Terbang, ia segera sentakkan kedua tangannya ke depan

dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya

merentang lebar dan merendah. Sentakan itu cukup kuat,

hingga menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam

jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!

Tapi Dewa Racun cepat sentakkan tangan kanannya

ke kiri dengan badan sedikit merendah dan meliuk ke

kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu

mengeluarkan gelombang hawa panas cukup besar.

Wuuuhg....!

Gelombang hawa panas bukan hanya membentur

pukulan tenaga dalam Tengkorak Terbang, melainkan

juga menyingkirkan dari jalur arah yang menuju ke

tubuh Dewa Racun. Breeebeeehg...!

Bouuhg...! Kedua pukulan itu beradu dan sama-sama

menghantam ke tanah samping. Tanah itu seketika

menjadi cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon

sebesar gajah. Tengkorak Terbang terkesiap melihat

tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasir

sedikit pun. Jika bukan tenaga yang amat besar, tak

mungkin membuat tanah cekung tanpa menyemburkan

percikan pasirnya.

"Hiaaat...!" tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke

depan dengan tubuh bagaikan terbang, kedua tangannya

siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.

Srepp...! Tubuh Dewa Racun berhasil disergap

dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat

itu juga tubuh kerdil itu melesat ke atas bagaikan belut

licin, dan bersalto di udara dengan menggunakan kepala

Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak.

Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak

Terbang terpaksa berguling di tanah berumput sebelum

jatuh tersungkur.

Wuug, wuug...!

Jleeg...! "

Dewa Racun sudah mendaratkan kakinya dengan

mantap, ia berdiri tanpa goyah sedikit pun. Matanya

memandang tajam pada Tengkorak Terbang, tangannya

menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.

Tengkorak Terbang berdiri dengan satu kaki berlutut

di tanah. Pandangan matanya mulai terasa berkunang-

kunang. Kepala pun terasa mulai memberat. Dipakai

menggeleng bagaikan kaku.

"Tengkorak Terbang, kuingatkan sekali lagi, jangan

nekat mau menangkapku sebagai tawanan! Kau telah

termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu

telah meresap masuk ke dalam otakmu dan sebentar lagi

akan membuatmu tak mampu mengangkat kepala!"

Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik

napasnya dalam-dalam. Terasa sakit dadanya untuk

bernapas. Berat sekali tarikan napas itu hingga ia

terpaksa busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri

dengan limbung.

"Percayalah dengan kata-kataku, Tengkorak Terbang!

Racun akibat pukulanku itu telah bekerja menyempitkan

jantungmu, juga mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan

racun Rengas Tulang telah mulai menggerogoti tulang-

belulangmu yang sebentar lagi akan membuatmu

keropos! Hanya aku yang bisa menawarkan racun-racun

itu, Cakradanu!"

"Kau memang jahanam!"

Kedua tangan Tengkorak Terbang terangkat naik

sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya

merenggang kaku dan melengkung ke bawah. Kedua

telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai terbakar dari

dalam.

Melihat hal itu, Dewa Racun cepat rentangkan kedua

tangannya ke samping kanan kiri dengan lurus, kedua

kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun

mengeluarkan asap kekuning-kuningan. Lalu, kedua

kakinya yang rapat itu ditekuk ke depan bagian lututnya.

Kedua tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua

telapak tangan yang menghadap ke depan mendekati

bagian dadanya.

"Kalau kau lepaskan pukulan 'Karang Iblis', aku juga

akan melepaskan pukulan 'Halilintar'-ku!" ancam Dewa

Racun.

"Baik! Kita adu pukulanmu dengan pukulanku, siapa

yang unggul. Salah satu dari kita pasti mati, atau

keduanya!"

"Aku tak keberatan!" balas Dewa Racun, siap

sentakkan kedua telapak tangan yang sudah berasap

kuning itu.

Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan

tombak berlari dan melompat ke pertengahan jarak

antara Dewa Racun dengan Tengkorak Terbang.

"Tahan...! Tahan...!" serunya dengan panik.

"Minggir kau, Pragulo!" teriak Tengkorak Terbang.

"Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke

istana! Ratu memanggilmu. Ada bahaya besar di istana!"

seru Pragulo.

Sesaat terpikir dalam otak Tengkorak Terbang

jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan

yang siap melancarkan pukulan 'Karang Iblis' itu

diturunkan. Tengkorak Terbang pejamkan mata sejenak

untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan

tadi. Dan di sisi lain, Dewa Racun pun redamkan ilmu

mautnya yang bernama 'Halilintar Racun Bumi' itu.

Tengkorak Terbang masih menyimpan dongkol

dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa

yang terjadi di istana, ha?!"

"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!" jawab

Pragulo.

"Aku harus cepat kembali, Tengkorak Terbang!"

Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari

kembali ke istana. Sementara itu, Tengkorak Terbang

palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru,

"Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita

lanjutkan pertarungan ini!"

"Aku siap menunggumu kapan saja, Tengkorak

Terbang!"

Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan

kakinya dan melesat bagaikan terbang. Namun dalam

jarak antara sepuluh langkah ia jatuh ke tanah dan

terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh lagi.

Ia kerahkan tenaganya untuk berdiri, baru mendapat

separo bagian sudah jatuh lagi.

Dewa Racun segera melesat mendekatinya, ia berdiri

di depan Tengkorak Terbang dan memandanginya

dengan senyum sinis, senyum kemenangan. Tengkorak

Terbang memandang dengan geram, karena ia tahu

kelumpuhannya itu akibat racun yang berhasil

dipukulkan ke tubuhnya oleh Dewa Racun.

"Apa yang kukatakan tadi bukan suatu gertakan

semata, Tengkorak Terbang!" kata Dewa Racun. "Kau

akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu

menjadi sebesar biji salak!"

"Dewa Racun....'" Tengkorak Terbang mengerang

dalam geram kemarahan yang tak mampu berbuat

banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai

terasa sakit di seluruh tulangnya.

"Buka mulutmu!" kata Dewa Racun memerintahkan

hal itu. Tengkorak Terbang tak mau buka mulut, ia

bahkan menggeletukkan giginya menahan luapan

amarah.

"Buka mulutmu dan kuberikan obat penawarnya!"

bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang masih

menatap dengan mata buas dan menggeletukkan gigi

menahan rasa sakit di sekujur tulangnya.

"Kau akan mati jika tak mau menelan obat penawarku

ini!"

*

* *

5


ISTANA Cambuk Biru dilanda bencana. Di sana-sini,

darah membanjir, memercik pada dinding, dan mayat

tergeletak tak berbentuk lagi wajahnya. Mayat para

prajurit pada umumnya pecah di bagian kepalanya,

seperti mendapat hantaman benda keras yang cukup

besar. Bahkan para penjaga di serambi istana yang

berjumlah lima orang itu, tergeletak semuanya bermandi

darah tanpa nyawa lagi. Lantai marmer hitam digenangi

darah mereka. Dinding bermarmer abu-abu pun terkena

percikan darah mereka.Dewa Racun melihat keadaan itu dari atas sebuah

pohon, tak begitu jauh jaraknya dari benteng istana, ia

terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata

menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hampir

satu persatu dari mayat yang ada di depan istana

dipandangi pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian

mirip Suto, atau Singo Bodong. Dewa Racun sedikit

lega. Berarti kedua temannya itu tidak menjadi korban.

Tapi bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam

istana? Sebab di serambi samping dekat jendela pun

terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki

mereka ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam

istana juga banyak mayat yang bermandi darah, pecah

kepalanya.

Bulu kuduk Dewa Racun berdiri, ia yakin Tengkorak

Terbang akan terpaku melihat pemandangan mengerikan

itu. Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman

sejak Dewa Racun membuka paksa mulut orang itu dan

memasukkan segelintir obat hitam mirip kotoran

kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa

Racun tidak membiarkan Tengkorak Terbang mati oleh

racunnya, sebab banyak saksi mata yang melihat

pertarungannya dengan Tengkorak Terbang. Sedangkan

Nyai Gusti Dyah Sariningrum telah berpesan berulang-

ulang, agar anak buahnya jangan membuat perselisihan

dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat

yang sudah diatur oleh Dyah Sariningrum, penguasa Puri

Gerbang Surgawi itu, yang membuat ia dan anak

buahnya harus menghindari perselisihan dengan orang

orang Pulau Beliung.

Melihat pemandangan mengerikan di mana darah

mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana,

Dewa Racun menjadi gelisah karena ia menemukan

suatu dugaan.

"Jangan-jangan Pendekar Mabuk yang melakukan

pembantaian seperti ini? Celaka kalau dia yang

melakukannya. Padahal dia calon suami Nyai Gusti,

sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum sudah wanti-

wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang

Pulau Beliung. Hmmm... kulihat Suto tadi memberi

isyarat untuk menyusup ke istana. Aku tahu, tujuannya

adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah

dengan melakukan pembantaian seperti ini?"

Zlabbb...! Crabb!

Sebuah anak panah menancap pada batang pohon,

tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa

Racun terjengkang jatuh dari pohon karena kagetnya.

Dan kini ia segera mencabut anak panah itu, yang

ternyata adalah miliknya sendiri, ia cepat pandangkan

matanya ke arah datangnya anak panah. Ternyata di

salah satu pohon tak jauh darinya telah bertengger

sesosok tubuh berpakaian coklat dan celana putih,

berikat pinggang merah sebagai tali pengikat tempat

anak panah. Tempat anak panah itu ada di dadanya,

menyilang ke kiri. Sedangkan di punggungnya

tersandang bambu bumbung tuak yang menyilang ke

arah kanan.

"Haram jadah! Si Suto sudah berada di sana!

Hmmm...! Sebaiknya aku segera mendekatinya!" pikir

Dewa Racun kegirangan.

Wuuut...! Dewa Racun melompat dari dahan ke

dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya

dia sudah berada dekat Suto Sinting.

"Maaf, aku hanya bisa selamatkan busur dan anak

panahmu waktu kita terlempar dari perahu!" Suto

menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada

Dewa Racun.

"Iya. Tapi kau gunakan anak panahku dengan ugal-

ugalan! Aku jarang lepaskan anak panah kalau tidak

benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang

berbulu putih tinggal dua?!"

"Aku tadi hanya ingin mengecohkan Tengkorak

Terbang dan membuat nyalinya ciut sebentar."

"Kau juga yang memanah tali gantungan Singo

Bodong?!"

"Ya. Tapi aku belum berhasil membawa keluar Singo

Bodong dari dalam istana!"

"Untung tak kau gunakan anak panah berbulu merah

ini!"

"Kenapa?

"Bisa meledak tali itu dan kepala Singo Bodong bisa

hancur seperti kepala mayat-mayat berserakan itu!"

"Kebetulan saja yang kuambil selalu yang berbulu

putih!" jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum, lalu

diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya

beberapa teguk.

"Suto, apakah bukan kau yang melakukan

pembantaian itu?"

"Bukan!" jawab Suto tegas. "Aku datang dalam

keadaan mayat sudah bergelimpangan di sana-sini. Aku

sendiri heran melihatnya."

"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut setelah

ia menyandang tempat anak panah dan busurnya di

punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam,

"Jika bukan kau, bukan aku, lantas siapa yang

melakukan pembantaian sebegitu kejinya? Apakah

Singo Bodong?"

"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkinkah Singo

Bodong memberontak dengan kekuatan Dadung

Amuk?!"

"Aku tak berani memberi jawaban. Makin lama

keberadaan Singo Bodong makin membuatku pusing

memikirkannya."

Pendekar Mabuk menenggak lagi tuaknya beberapa

kali, lalu ia ajukan tanya,

"Siapa sebenarnya mereka-mereka itu, Dewa Racun?

Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu, Singo

Bodong telah berada di tiang gantungan. Lalu aku segera

membebaskannya dari maut!"

"Singo Bodong mereka sangka Dadung Amuk.

Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung

Amuk pernah membuat kerusuhan di Pulau Beliung ini

dalam upayanya mencari Kitab Wedar Kesuma...," Dewa

Racun berhenti sejenak, alihkan percakapan, "Hei,

bagaimana dengan kitab itu, apa masih ada padamu?"

"Ada di punggungku, di balik pakaianku!"

"Syukurlah! Aku khawatir kitab itu hanyut. Hmmm.

Apakah kitab itu basah?"

"Kelihatannya kitab ini terbuat dari kulit yang anti

basah. Seperti dilapisi lilin setiap permukaannya. Aku

sudah memeriksanya begitu aku terdampar di pantai,

kemarin malam."

"Bagus. Aku ikut senang mendengarnya."

"Lalu, soal Pulau Beliung dan ratunya itu

bagaimana?"

"Hmmm... begini! Tengkorak Terbang menemukan

Singo Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa

menghadap kepada Ratu Pekat...."

"Itu sudah kupahami. Yang belum kupahami, siapa

Ratu Pekat itu?"

"Ratu Pekat adalah tokoh tua yang menguasai Pulau

Beliung ini. Dulu dia anak seorang tokoh sakti yang

bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama

itu."

"Ya. Dia lawan dari bibi guruku, si Bidadari Jalang.

Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau

Bangkai juga mempunyai murid yang bernama

Nagadipa, tempo hari bertemu denganku hendak

menuntut balas." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

"Ya. Benar. Tetapi, Iblis Pulau Bangkai lebih sayang

kepada murid lelakinya itu, sehingga Ratu Pekat minggat

dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini! Tapi

ia mencuri satu dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah

akhirnya ia berkuasa sebagai ratu penguasa Pulau

Beliung."

"Tapi, kulihat tadi sepertinya Tengkorak Terbang

sudah mengenal namamu. Apakah ada hubungan antara

orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang

Pulau Serindu?"

"Hubungan yang terjalin adalah permusuhan."

"Oh...?!" Pendekar Mabuk terkejut sedikit.

"Permusuhan bagaimana maksudmu?"

"Ratu Pekat ingin merebut Pulau Serindu. Mereka

pernah menyerang ke sana. Kami hampir terdesak

mundur. Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan

memihak kami. Ratu Pekat terusir pulang ke

kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang

Pulau Serindu, karena merasa tak mungkin bisa berhasil

selama Siluman Tujuh Nyawa berada di pihak kami.

Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa memanfaatkan

pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk

kesaktian di depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai

gustiku berhutang jasa pada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi

Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan

Siluman Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang

bikin persoalan dengan orang-orang Pulau Beliung ini,

supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak

menanam jasa lagi pada kami."

"Hmmm... begitu!" Suto manggut-manggut, lalu

mengambil bumbungnya dan menenggak tuaknya lagi.

Pada saat itu, terlihat oleh mereka kedatangan

Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan

sekeliling dengan tegang. Mata cekungnya terbuka lebar,

napasnya naik turun bagai ingin meledak dari dadanya.

Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari racun

maut yang nyaris mematikannya itu.

"Itu orang yang kau lawan tadi," kata Pendekar

Mabuk.

"Ya. Kuharap kau diamlah dulu. Aku akan menyadap

percakapan Tengkorak Terbang dengan Pragulo."

Suto diam, memandang pertemuan Tengkorak

Terbang dengan orang yang disebut Pragulo itu.

Sementara Dewa Racun tempelkan kedua jari

telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu matanya tetap

memandang kedua orang yang berbicara di depan

serambi istana.

"Mengapa bisa sampai begini, Pragulo?! Siapa yang

melakukannya, hah?! Siapa?!"

"Aku tak melihat siapa orangnya! Tapi menurut

pengakuan Damar Jati sebelum ia menghembuskan

napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di

dekatnya, tangan orang itu bergerak ke mana-mana

sambil melompat dengan cepat. Lalu, tiba-tiba beberapa

orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar

Jati segera menutup hidung karena mencium bau hangus.

Tapi sekujur kepalanya terasa panas, ia bertahan

memburu orang itu, tapi tak berhasil. Orang itu telah

membawa lari Cempaka Ungu, dan sekarang sedang

dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata Elang."

"Tawanan kita bagaimana?"

"Dia sudah dimasukkan dalam ruang bawah tanah

oleh si Mata Elang. Sekarang masih ada."

"Kau sendiri ada di mana waktu kejadian ini, hah?!"

"Aku... aku... aku sedang buang hajat di belakang

kamar mandi! Waktu aku datang kemari, keadaan sudah

menjadi seperti ini. Dan, aku mendapat cerita itu dari

Damar Jati, yang segera menghembuskan napas

terakhirnya."

"Edan semua!" geram Tengkorak Terbang. "Orang

satu istana dibantai habis! Setan mana yang bikin

perkara ini?!"

"Seb... sebaiknya, susul saja Ratu Pekat bersama si

Mata Elang. Dia lari ke arah barat!"

"Dia siapa?!" bentak Tengkorak Terbang.

"Orang yang mencuri Cempaka Ungu itu!" jawab

Pragulo dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan

Tengkorak Terbang melayang cepat menamparnya.

Plokk...!

Dewa Racun segera menceritakan percakapan yang

disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan

kata,

"Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan

tangan dan menimbulkan bau hangus, itu pertanda orang

tersebut menebarkan racun yang amat ganas. Bila

dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas

dan membuat hancur pembuluh darahnya khusus di

bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut pecah

kepalanya, bahkan ada yang sampai tak berbentuk lagi

wujudnya. Sedangkan bagian tubuh mereka tampak

masih utuh."

"Hmmm...! Ya, aku paham cara kerjanya. Tapi,

menurutmu siapa tokoh penebar racun yang begitu keji

itu?"

"Setahuku, racun itu adalah racun Angin Jantan."

"Nama yang cukup aneh," gumam Suto. Ia meneguk

tuaknya kembali.

"Hanya ada tiga orang yang memiliki racun Angin

Jantan, yaitu orang yang berjuluk si Darah Beku."

"Siapa itu Darah Beku?"

"Tokoh sakti di ujung tanah Tiongkok, kemudian

yang kedua adalah orang yang berjuluk Gagak Neraka."

"Siapa itu Gagak Neraka?" potong Pendekar Mabuk.

"Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Dan yang

ketiga...," Dewa Racun berhenti sejenak, menatap ke

arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran

Istana Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata

Dewa Racun, Suto segera mendesak dengan berbisik,

"Siapa yang ketiga?"

"Aku sendiri!' jawab Dewa Racun dengan tanpa

memandang Suto.

"Kau memiliki ilmu racun Angin Jantan...?!"

"Ya. Tapi bukan aku pelaku pembantaian berdarah

itu!"

"Jadi menurutmu siapa? Siapa pula yang menculik

Cempaka Ungu?"

"Tak mungkin orang itu adalah Darah Beku, sebab

dia tidak punya urusan dengan orang-orang Pulau

Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."

"Jadi menurutmu, orang yang mencuri anak Ratu

Pekat itu adalah Gagak Neraka?"

"Ya. Aku menduga dialah pelakunya."

"Mengapa hal itu ia lakukan?"

"Entah. Tapi bisa jadi karena ia cinta kepada

Cempaka Ungu!"

"Cinta?!" Suto Sinting tertawa pendek dan pelan.

"Bosan aku mendengar orang bercinta! Karena cintaku

sendiri belum tiba pada tujuannya."

"Itu hanya kemungkinan yang ada padaku, Suto. Tapi

untuk lebih jelasnya, kita susul saja mereka ke arah

barat!"

Tiga teguk tuak ditelannya lebih dulu, setelah itu

Pendekar Mabuk melesat pergi mengikuti Dewa Racun.

Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi

tertunda, karena rasa penasaran ingin mengetahui siapa

pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk Biru itu,

dan apa tujuan orang tersebut.

Di bagian barat pulau itu, terdapat sebuah bukit

karang tanpa tanaman sedikit pun kecuali lumut pada

tebingnya. Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang

yang bertonjolan di sana-sini, seperti patok-patok

makam raksasa. Di atas bukit karang itulah Ratu Pekat

dan si Mata Elang mengejar orang yang mencuri

Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka Ungu terkulai

tak jauh dari kaki seorang berpakaian abu-abu muda,

agak keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar

dengan hiasan kepala burung gagak di perutnya.

Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan

Singo Bodong. Di kedua pinggangnya terselip piringan

logam baja yang tipis separo lingkaran. Bagian yang

lurus dari piringan itu berbentuk rata, tapi punya lubang

besar untuk memasukkan keempat jarinya, sedangkan

bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu

menyerupai kipas yang terbuat dari baja. Besar

ukurannya sebesar kipas biasa. Warnanya putih

mengkilap.

Orang itulah yang berjuluk Gagak Neraka.

Rambutnya panjang berwarna hitam kelam sebatas

punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya

berwarna abu-abu juga. Usianya antara empat puluh

tahun, sehingga masih tampak tegar dan tegap. Kedua

pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari

kulit buaya.

Rupanya ia telah menotok jalan darah Cempaka

Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun.

Hanya matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan

tubuh terbaring lunglai.

Si Mata Elang tetap berdiri di samping Ratu Pekat

yang segera bicara kepada Gagak Neraka.

"Apa maksudmu menyerang kami?! Jangan bikin

persoalan dengan kami kalau kau ingin pulang tetap

membawa nyawamu!"

"Ratu Pekat! Kau yang bikin persoalan lebih dulu,

sehingga aku terpaksa bertindak. Putrimu yang tinggal

satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu, Ratu

Pekat!" kata Gagak Neraka dengan suara besar.

Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan

tak kenal ampun.

"Apa kesalahanku, Gagak Neraka?! Bukankah kau

yang bikin gara-gara dengan membantai habis anak

buahku dan menculik putriku, si Cempaka Ungu?!"

"Karena kau menawan orangku, maka aku bikin ulah

seperti itu!" sentak Gagak Neraka dengan mata tajam.

"O, jadi kau menghendaki Dadung Amuk yang

menjadi tawananku itu, Gagak Neraka?!"

"Ya! Lepaskan dia nanti kulepaskan putrimu ini!"

"Manusia licik dan pengecut!" sentak si Mata Elang

tiba-tiba.

"Tutup mulutmu, Mata Elang!" Gagak Neraka

menuding, dan tiba-tiba melesat sinar merah dari ujung

telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke

tubuh si Mata Elang.

Tapi dengan cepat, bola mata si Mata Elang itu

menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula

melesat dari kedua matanya. Zlasss...!

Crub, bummm...!

Kedua sinar merah itu beradu di udara, dan

menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka

sempat terguncang tubuhnya demikian pula si Mata

Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama berdiri di tempat

masing-masing dalam jarak delapan langkah.

Ratu Pekat serukan kata lagi, "Ketahuilah, Gagak

Neraka...! Temanmu Dadung Amuk telah banyak

menimbulkan korban di tempatku, gara-gara mencari

Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Sepantasnya kalau dia

kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari

pihakmu dulu yang membuat keonaran di pulauku ini,

Gagak Neraka!"

"Kalau kau menyerahkan kitab itu, maka kami tak

akan bikin keonaran apa pun!" debat Gagak Neraka

dengan senyum sinisnya.

"Kau salah alamat! Bukan di sini tempatnya mencari

Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Kau telah berbuat

ngawur, Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan

dari pihakmu!"

"Terserah apa katamu, Ratu Pekat! Yang jelas,

anakmu ini akan kujadikan pemuas gairah teman-teman

kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan

padaku!"

"Manusia haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan

tangan menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai

memancarkan murka yang hampir tak tertahan lagi.

"Serahkan Dadung Amuk itu kepadaku, atau kubawa

pergi putrimu ini!" ulang Gagak Neraka dalam

ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan

pukulan mautku ke kepala anakmu. Pasti pecah, Ratu

Pekat! Ha ha ha ha...!"

Si Mata Elang ingin menyerang, tapi ditahan oleh

Ratu Pekat demi keselamatan Cempaka Ungu. Bahkan

kedatangan Tengkorak Terbang pun segera dihadang

oleh Ratu Pekat agar tidak turun tangan secara gegabah.

Tetapi Tengkorak Terbang menggeram dan berkata,

"Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya

menyerangnya!"

*

* *

6



RATU Pekat bukan orang bodoh, ia tidak mau

korbankan anaknya yang tinggal satu-satunya itu demi

mempertahankan tawanannya. Sebab itu, Ratu Pekat

tetap melarang keinginan Tengkorak Terbang

menyerang Gagak Neraka. Salah-salah anaknya bisa jadi

korban.

"Bebaskan Dadung Amuk!" perintah Ratu Pekat.

Si Mata Elang dan Tengkorak Terbang sama-sama

lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang

berkata dalam bisik,

"Yakinkah keputusan Nyai itu benar?"

"Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."

"Mengapa bukan Tengkorak Terbang yang Nyai

percaya untuk mengatasi hal ini?!" Si Mata Elang makin

membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup

dekat. "Bukankah Tengkorak Terbang sudah memiliki

ilmu 'Lebur Samudera', yang telah membuat Dadung

Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya?! Biarkan

saja Tengkorak Terbang yang melancarkan pukulan

'Lebur Samudera' kepada Gagak Neraka. Biar orang itu

pun mengalami nasib seperti Dadung Amuk, Nyai!"

"Itu bisa diatur nanti, Mata Elang. Yang penting

sekarang selamatkan dulu anakku, setelah itu baru

Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Negara dengan

pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"

"O, begitu maksud, Nyai?"

"Ya. Dan sekarang, cepat ambil tawanan kita, tukar

dengan Cempaka Ungu!"

"Baik, Nyai Ratu!" kata si Mata Elang dengan penuh

hormat sebagai lambang kepatuhannya.

Pada salah satu sisi, di balik jajaran batu-batu karang

yang membentuk barisan mirip pagar berbunga itu,

terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata

manusia. Kedua manusia itu bersembunyi di sana

memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak

Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa lagi pengintai itu jika

bukan Dewa Racun dan Pendekar Mabuk, si murid

sinting Gila Tuak; Suto!

Dengan sedikit merendahkan badan, Suto masih

sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup

tiga kali teguk. Bumbung tuak kembali disandangnya di

punggung. Sementara itu, Dewa Racun tertawa dengan

mulut dibekap pakai tangan sendiri.

"Ada apa...?"

"Ratu Pekat menyangka Tengkorak Terbang

mempunyai ilmu 'Lebur Samudera'! Karena mereka

sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang

ilmunya telah hilang musnah karena pukulan 'Lebur

Samudera'. Hi hi hi hi...!"

"Apanya yang lucu?" Suto bahkan tampak bingung.

"Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka

tangkap itu Singo Bodong yang tidak punya ilmu apa-

apa."

"Siapa tahu dugaan mereka benar, bahwa Singo

Bodong itu memang Dadung Amuk."

"Tidak, tidak!" potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu

memikirkan hal itu, Suto, karena yang penting adalah

menyelamatkan dia; orang besar yang polos dan bodoh

itu, terlepas siapa dia sebenarnya, entah Singo Bodong

atau Dadung Amuk."

"Ya, begitu saja!" jawab Suto sambil mengangguk

tegas.

"Lalu, bagaimana? Apakah kita mau turun tangan

sekarang juga atau...?"

"Tunggu, sampai Singo Bodong diserahkan kepada

Gagak Neraka, baru kita rebut darinya. Dengan begitu,

kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang

Pulau Beliung ini. Yang kita serang adalah orangnya

Siluman Tujuh Nyawa."

"O, ya. Benar! Tepat sekali perhitunganmu!" kata

Dewa Racun sambil tunjukkan jempolnya tanda memuji.

"Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau

tak perlu ikut campur. Tapi awasi saja gerak-gerik si

Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka

bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan

terhadap siapa pun."

"Ya, ya...! Aku paham. Bahkan sekarang pun rasa-

rasanya aku perlu mengawasi si Mata Elang dalam

membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia

melakukan kelicikan terhadap diri Singo Bodong."

"Itu juga baik!" jawab Suto, kemudian dia biarkan

Dewa Racun bergegas pergi meninggalkannya. Pendekar

Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari

persembunyian yang lebih dekat lagi.

Entah apa saja yang dipercakapkan antara Ratu Pekat

dengan Gagak Neraka, Suto tak mendengar. Yang jelas

ia menunggu saatnya bergerak setelah Singo Bodong

diserahkan kepada Gagak Neraka.

Pada saat itu, Pendekar Mabuk berpikir, "Dari mana

Gagak Neraka tahu bahwa di pulau ini temannya si

Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung?

Apakah dia sudah lama bersembunyi di pulau ini?

Walaupun ternyata orang yang dianggap Dadung Amuk

itu bukan teman sebenarnya, tapi setidaknya ia melihat

dan tahu ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung

itu. Atau, barangkali memang Singo Bodong adalah

Dadung Amuk, dan hanya Gagak Neraka-lah yang tahu

persis siapa orang bertubuh tinggi besar berwajah angker

tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa Singo Bodong memang

Dadung Amuk, sebab Gagak Neraka sampai mau

menjemputnya kemari, dan mau bertindak sekeji itu

demi menyelamatkan temannya. Jika Singo Bodong

bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau

turun tangan sampai menggunakan pukulan 'Racun

Angin Jantan'?!"

Saat yang ditunggu tiba. Singo Bodong siap ditukar

dengan Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk menyiapkan

diri untuk bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu,

Gagak Neraka pun melirik kanan-kiri, memeriksa

keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena

penukaran yang gagal.

"Lepaskan Cempaka Ungu!" perintah Ratu Pekat.

Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia padaku,

dan kuserahkan Cempaka Ungu padamu!"

Ratu Pekat memandang penuh selidik. "Kalau kau

curang, kulabrak kau sampai di depan Siluman Tujuh

Nyawal Kuhancurkan semua orang-orangmu! Tentunya

aku tidak sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa

punya kekuatan lebih besar lagi dengan meminta

bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"

"Ha ha ha...! Percayalah pada Gagak Neraka, Ratu

Pekat! Kita bertukar tawanan secara ksatria! Kalau kau

curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"

"Baik!" jawab Ratu Pekat. Kemudian ia berikan

isyarat kepada si Mata Elang. Mata Elang pun segera

melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar

itu, hingga Singo Bodong berhenti ke depan hampir

jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong berhenti dalam

kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang,

Tengkorak Terbang, dan Ratu Pekat.

"Pergilah sana, Babi! Jangan buang-buang waktu!"

sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo

Bodong.

"Pergi... pergi ke mana?' Singo Bodong bingung,

kesan yang timbul ialah, bahwa ia tidak tahu masalah

apa-apa tentang penukaran tawanan itu.

Terdengar Gagak Neraka berseru, "Dadung Amuk,

cepatlah kemari!"

Singo Bodong memandang Gagak Neraka dengan

dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring-

miringkan sedikit untuk mengenali suara yang

memanggilnya itu.

"Cepat kemari, Dadung Amuk!" seru Gagak Neraka

tak sabar.

"Siapa... siapa orang itu, Tengkorak Terbang?" tanya

Singo Bodong kepada Tengkorak Terbang, karena ia

lebih akrab dengan nama tersebut. Dan hal itu membuat

Tengkorak Terbang serta yang lainnya merasa heran.

"Ternyata dia tidak mengenali teman sendiri," pikir

Tengkorak Terbang. "Tak mungkin Dadung Amuk

sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia

sudah ada temannya untuk melakukan penyerangan

terhadapku?"

Sementara itu, terdengar kasak-kusuk antara si Mata

Elang dengan Ratu Pekat. Sang Ratu berbisik,

"Lihat kehebatan ilmu 'Lebur Samudera'. Bukan saja

menghilangkan semua ilmu dan kesaktian lawan, tapi

juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai

Dadung Amuk tidak mengenali Gagak Neraka."

"Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Tengkorak

Terbang!" bisik si Mata Elang.

"Dadung Amuk!" panggil Gagak Neraka kepada

Singo Bodong. Tapi Singo Bodong hanya memandang

bingung pada keadaan sekeliling.

Tengkorak Terbang tak sabar. Ia segera mencekal

lengan Singo Bodong dan menariknya, membawa

mendekati Gagak Neraka. Dalam jarak dua langkah,

Tengkorak Terbang berhenti.

"Ambillah orang ini, dan akan kuambil Cempaka

Ungu!"

Gagak Neraka melompat maju, menyambar lengan

Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu.

Lalu, berkata kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan

bawalah pulang gadis itu! Aku sudah tidak

membutuhkannya lagi!"

Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh

Cempaka Ungu yang masih tertotok jalan darahnya itu,

lalu selekasnya tinggalkan tempat tersebut, bergabung

kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu

jari tengahnya ke bagian belakang telinga Cempaka

Ungu. Seketika itu, totokan jalan darah menjadi bebas

dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.

Terdengar Gagak Neraka tertawa sambil berkata,

"Aku tahu.... Aku tahu kau memang jago untuk hal ini,

Dadung Amuk! Sebaiknya mari kita tinggalkan pulau ini

dan jangan usik mereka lagi!"

"Kamu siapa?" terdengar pula suara Singo Bodong

bernada heran.

"Sudahlah, jangan main-main lagi!" kata Gagak

Neraka sambil menepuk-nepuk pundak Singo Bodong.

"Mari pulang, Sobat!"

"Pulang ke mana?!" Singo Bodong menolak tarikan

tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan dahi semakin tajam.

Saat itu pula dalam hati Suto berkata, "Kalau begitu,

dia memang bukan Dadung Amuk! Bukan! Kalau dia

Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti

dia akan serang balik kekuatan Ratu Pekat bersama-sama

Gagak Neraka! Bukankah Gagak Neraka hanya seorang

diri mampu membuat istana berlumur darah dalam

sekejap. Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin

habis keempat nyawa di pihak Ratu Pekat. Tapi

mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan

mendengar ajakan Gagak Neraka? Itu sudah pasti, sebab

Singo Bodong bukan Dadung Amuk!"

Semangat Pendekar Mabuk untuk selamatkan Singo

Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau

gegabah dalam bertindak. Karena pada saat itu, ia

melihat seberkas sinar merah keluar melesat dari

sepasang mata milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke

arah Gagak Neraka. Tetapi dengan cepat Gagak Neraka

sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan diri.

Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan

seketika itu pula batu karang sebesar dua kali tubuh

Singo Bodong itu pecah berantakan.

Duaaar...!

"Auuh...!" terdengar Singo Bodong mengaduh,

karena pecahan karang itu ada yang melesat dan

mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis

kesakitan sambil memegangi kaki.

"Dadung Amuk, serang mereka!" teriak Gagak

Neraka sambil melompat kembali dan sentakkan tangan

kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu

melepaskan pukulan bersinar putih. Melesat ke arah

tubuh si Mata Elang yang berpakaian serba merah.

Tapi, Mata Elang pun cepat sentakkan kaki dan

melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu,

Singo Bodong masih mengaduh-aduh dengan suara

tertahan. Tulang kering kakinya melepuh. Memar

membiru.

"Kau mau main curang, Ratu Pekat! Kau pikir aku

belum siap?!" seru Gagak Neraka.

Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka mencabut senjata

bergeriginya. Dua tangannya telah menggenggam

senjata lempengan baja putih. Kedua tangan itu bergerak

menyilang bolak-balik, dan cahaya kemilau dari baja

putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.

Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera

meluncurkan tubuhnya bagai melayang menuju ke arah

Singo Bodong. Tetapi, dua senjata bergerigi itu segera

digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.

Zrengngng...!

Gesekan dua logam itu menimbulkan nyala sinar

merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur

ke arah Tengkorak Terbang dengan sangat cepatnya.

Wuuuut...!

Hampir saja sinar itu mengenai pinggang Tengkorak

Terbang jika tidak segera dihantam oleh kibasan tangan

si Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda.

Sinar keduanya membentur dalam jarak satu depa dari

tubuh Tengkorak Terbang.

Blarrr...!

Kedua sinar yang berbenturan menimbulkan suara

berdentum keras. Dentuman itu membuat satu

gelombang tenaga yang menghentak begitu besarnya,

sehingga tubuh Tengkorak Terbang yang sedang

melayang itu terpental tak tentu arah dan jatuh dengan

punggung membentur salah satu dinding batu karang.

Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke

tanah dalam keadaan menahan napas. Orang akan

menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti ada yang

patah. Tapi nyatanya tidak. Cakradanu kembali tegak

dengan mata liarnya.

"Biadab orang itu!" geram Cempaka Ungu. Ia mau

bergerak, tapi tangan ibunya menghadang di depannya,

menahan gerakan selanjutnya.

"Aku ingin menghadapi orang itu, Bu!"

"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita

menjauh dulu. Biarkan Tengkorak Terbang dan si Mata

Elang yang menanganinya!"

"Dadung Amuk! Bantu aku menyerang mereka,

Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong.

Tetapi Singo Bodong justru melangkah mencari tempat

untuk berlindung dengan kaki pincang.

Si Mata Elang cepat gerakkan kedua tangannya

menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan.

Tapi Gagak Neraka melompat dan bersalto di udara.

Rupanya itu pancingan saja buat si Mata Elang. Dengan

cepat, dari sinar matanya melesat cahaya merah

membara.

Suuuut...!

Duaaar...!

Tubuh Gagak Neraka terpental. Sinar merah itu

ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang

melayang itu bagai terkena dorongan sangat kuat, hingga

tubuh itu terhempas dan jatuh di depan Tengkorak

Terbang.

Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata

cakranya, yang berbentuk gerigi juga tapi bertangkai

panjangnya satu hasta. Senjata cakra itu dikibaskan

seperti membabatkan pedang, dan meluncurlah api

warna-warni itu melesat menghantam tubuh Gagak

Neraka.

Zrengngng...! Dua senjata Gagak Neraka digesekkan

dengan cepat. Gesekan itu menimbulkan nyala api putih

menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang

cukup besar. Akibatnya, kekuatan tenaga dalam yang

meluncur dari senjata cakra itu tertahan oleh cahaya

putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya

membalik menyerang pemiliknya. Wuuus...!

Tengkorak Terbang segera sentakkan kaki dan

melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar

warna-warni itu menghantam batu karang di

belakangnya. Buubh...!

Batu karang putih itu tiba-tiba menjadi hitam dan

mengepulkan asap selintas. Asap lenyap, batu karang

hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa

pembakaran. Debu itu segera lenyap dihempaskan angin.

Singo Bodong terbengong-bengong. Pertarungan

hebat seperti inilah yang sejak dulu ingin ia saksikan.

Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan

tiada hentinya mengikuti kedahsyatan ilmu-ilmu mereka

dengan mulut melongo, lupa pada sakit di kakinya.

Sementara itu, mata Singo Bodong cepat membelalak

lebar ketika tubuh si Mata Elang melenting tinggi

dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang

menjejak telak tengkuk kepala Gagak Neraka yang

sedang menghadapi serangan Tengkorak Terbang.

Akibatnya, Gagak Neraka tersentak ke depan dan

berguling di bebatuan dengan menggunakan dua senjata

piringnya itu sebagai tumpuan di tanah. Dalam kejap

berikutnya tubuh itu sudah kembali tegak dan

mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.

Wuuut...! Brett...!

Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang

ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka

itu, menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan

Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu pun

robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke

dekat ketiak.

Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh

berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka

itu ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan

terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika bukan

karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka,

tak mungkin luka itu bergerak melebar.

Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak

Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut

pedangnya yang pendek itu dari sarungnya. Sreeet...!

"Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang.

Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh

Gagak Neraka dengan senjata di tangan kirinya. Pedang

itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak

Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat

sasaran empuk di betis Mata Elang, maka dengan cepat

ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit

Mata Elang. Brettt...!

"Aahk...!" Mata Elang memekik tertahan, ia segera

mengangkat pedangnya dan hendak ditebaskan dari atas

ke bawah. Tapi, lutut Gagak Neraka menghentak, dan

tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan

dua tangannya, disentakkan ke depan sambil membuka

ke kanan kiri.

Craaas...! Breet...!

"Aaahk...!" sekali lagi si Mata Elang terpekik dengan

suara tertahan. Dadanya robek karena jurus menebar dari

dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan dadanya

sampai ke pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun

bergerak sendiri makin melebar, seperti luka di betisnya

pula.

Tubuh si Mata Elang terhuyung ke belakang dengan

pedang masih di tangan dan diangkat ke atas, namun tak

pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh

dengan luka makin melebar, makin kelojotan tubuhnya

direnggut rasa sakit yang luar biasa. Demikian pula

halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat

menahan sakit.

"Dadung Amuk, cepat pergi...!" sentak Gagak Neraka

sambil masukkan dua senjata ke pinggang kanan-

kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan

itu, dan tiba-tiba ia sentakkan jarinya ke leher Singo

Bodong. Seketika itu Singo Bodong lemas bagaikan

cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka,

dipanggul dan dibawanya lari dalam satu lompatan

bertenaga ringan. Wuuust...!

Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk menghadang di

depan Gagak Neraka. Orang itu terkejut dan terhenti

langkahnya.

*

* *

7



BUKAN hanya Gagak Neraka yang terkejut, tetapi

Ratu Pekat dan Cempaka Ungu juga terkejut melihat

kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya.

Cempaka Ungu sempat berbisik kepada ibunya,

"Siapa dia, Ibu?"

"Entah. Baru kali ini aku melihatnya. Yang jelas dia

bukan orang Pulau Beliung."

"Ada di pihak siapa dia?"

"Lihat saja nanti!" jawab Ratu Pekat sambil tetap

memandang Suto.

Gagak Neraka segera menurunkan Singo Bodong.

Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh

waspada. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk segera

meneguk tuaknya sedikit, Gagak Neraka semakin

menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan

seolah-olah meremehkan lawan, membuat Gagak Neraka

menggeram sejenak dan segera bertanya,

"Siapa kau?! Begundal Ratu Pekat yang baru?!"

"Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas walau

bernada pelan. "Aku tak punya hubungan apa-apa

dengan mereka."

"Lalu mengapa kau menghadang langkahku, hah?

Mau cari mampus kamu?! Mau sumbangkan nyawa sia

sia untuk Ratu Pekat? Biar putrinya jatuh cinta padamu?

Iya?!"

"He he he...," Suto tertawa sedikit sumbang, kentara

tuaknya mulai mempengaruhi suaranya. "Tak perlu aku

membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan

jatuh dengan sendirinya!"

"Lalu, mau apa kau menghadangku, Setan!"

"O, namaku bukan Setan! Julukanku Pendekar

Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan! He he he...!"

Pendekar Mabuk tetap berdiri tegak. Tangan

kanannya menjinjing tali bumbung tuaknya. Bibirnya

tetap sunggingkan senyum, dan membuat dua

perempuan di bawah pohon itu bergetar hatinya.

Cempaka Ungu berbisik, "Siapa Pendekar Mabuk itu,

Ibu?"

"Entahlah. Tapi sepertinya Ibu pernah mendengar

julukan itu."

Gagak Neraka bergerak ke samping dua langkah,

mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka

hanya tiga langkah, ia menatap dengan pandangan asing

melihat wajah dan penampilan Suto.

Terdengar Pendekar Mabuk ucapkan kata, "Gagak

Neraka, pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa... mestinya

kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan

Tengkorak Terbang dan si Mata Elang!"

"Apa pedulimu?"

"O, aku hanya ingin mempersilakan kau pulang. Tapi

tolong orang bodoh yang kau totok jalan darahnya itu

tinggalkan saja di sini!"

Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan

omonganmu!" Lalu, lelaki berwajah lonjong dengan

dagu agak panjang itu melangkahi tubuh Singo Bodong.

Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak

mundur selangkah pun.

"Kalau kau menghalangi niatku membawa pulang

temanku, kau akan mati juga seperti yang lain, Pendekar

Mabuk!"

"O, belum tentu!" Suto sunggingkan senyum.

"Mungkin kau yang mati seperti mereka!"

"Kurobek mulut bocahmu! Hiaaah...!"

Wuuut...!

Tangan Gagak Neraka bergerak hendak mencakar

mulut Suto. Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang,

lalu mengayun ke samping dan tegak lagi. Gerakannya

mirip orang mabuk yang limbung akibat kebanyakan

tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat

Suto dikenal dengan nama Pendekar Mabuk. Jurus-

jurusnya bagaikan orang dipengaruhi racun tuak yang

memabukkan.

"Pendekar Mabuk! Kuharap jangan kau memancing

perkara denganku jika kau sudah tahu aku adalah

pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum

mendengar kabar kesaktiannya?"

"Sudah!" jawab Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak

memancing perkara. Aku hanya minta kau pergi tanpa

membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo

Bodong. Gerakan jarinya yang menuding itu ternyata

mempunyai kekuatan yang membuat pengaruh totokan

pada diri Singo Bodong terlepas. Singo Bodong segera

bangkit.

Melihat Singo Bodong terkejut dan ingin berteriak

"Suto...!" Pendekar Mabuk cepat hentakkan suaranya

kepada Singo Bodong,

"Diam kau!"

Singo Bodong hanya mengangguk-angguk dengan

penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan

terpincang-pincang. Ilmu 'Sentak Bidadari' telah

digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membuat Singo

Bodong tidak bicara apa pun dalam beberapa saat.

Akibatnya, Singo Bodong hanya bisa bengong

memperhatikan Suto yang berhadapan dalam jarak dekat

dengan Gagak Neraka.

Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak

Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi

ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh

Pendekar Mabuk melalui tudingan tangannya tadi.

Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan

bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak

jauh."

Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia

ajukan tanya kepada Suto Sinting,

"Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini?

Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"

"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah

Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya? Bawalah

pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung

Amuk, maka aku menahan niatmu untuk membawanya

pergi."

"Kau gila! Kau pikir mataku rabun?!"

"Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu

yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa membedakan

mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"

"Kuhancurkan mulutmu itu jika kau mencoba

mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah

Dadung Amuk! Hanya karena dia terdampar saja, maka

dia tidak membawa tambang saktinya, sehingga tidak

mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya,

suaranya, wajahnya dan...."

"Dan kesaktiannya apakah sama? Tidak! Dadung

Amuk mungkin orang sakti, setidaknya punya ilmu

kanuragan. Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting

menuding Singo Bodong lagi. "Kalau dia punya

kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti akan

melawan si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana

Cambuk Biru lainnya. Dia tidak akan tinggal diam,

apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang, tak

mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut

turun tangan! Pasti dia memberontak dan melawan saat

kau menotok jalan darahnya!"

"Kau pintar bersilat lidah rupanya!"

"Tidak juga. Aku hanya mengingatkan kau, bahwa

orang yang kau anggap Dadung Amuk itu sebenarnya

adalah Singo Bodong! Karena itulah dia tidak

mengenalimu!"

Sambil mata tetap layangkan pandang ke wajah

Pendekar Mabuk yang minum tuak seenaknya di

depannya, Gagak Neraka membatin sendiri di hatinya,

"Benarkah dia bukan Dadung Amuk? Ia memang tidak

mengenaliku, ia memang lemah dan tak mau

membantuku menyerang kedua lawan tadi. Tapi, seluruh

wujudnya adalah Dadung Amuk! Ah, kurasa sang ketua

lebih bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau

bukan. Aku harus membawanya menghadap sang

ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto,

"Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap

sang ketua!"

"Tidak perlu! Tinggalkan saja dia di sini bersamaku!"

"Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa mencabut

nyawamu sekarang juga, Pendekar Mabuk! Hiaaat...!"

Wuuut...!

Sebuah sodokan pangkal telapak tangan dihantamkan

ke dada Pendekar Mabuk. Pada waktu itu, Pendekar

Mabuk sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan

tangan kirinya menghantam dada Gagak Neraka juga,

sehingga dua pukulan itu sama-sama mengenai pada

sasarannya.

Plakkk...! Plakkk...!

Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak,

sedangkan murid sinting si Gila Tuak tetap di tempat.

Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat

hasil adu kekuatan pukulan yang sama-sama

menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di

dada Suto, sedangkan di dadanya sendiri tak membekas

warna merah sedikit pun.

"Minggirlah, Bocah Ingusan! Daripada nanti dadamu

kubuat jebol dengan pukulanku yang kedua. Baru satu

kali pukulan saja dadamu telah memerah begitu.

Lihatlah...!"

Suto memandang dadanya sendiri. Tapi ia tetap

sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan

dan berkata,

"Benar, dadaku merah karena pukulanmu!"

"Tentu. Dan dadaku tidak menjadi merah sedikit pun.

Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding

kekuatanku!"

"Dadamu memang tidak memerah, Gagak Neraka,

tapi bisakah kau melihat punggungmu?!"

Gagak Neraka terkesiap, lalu alisnya mengernyit, ia

merasakan ada rasa sakit di punggungnya. Seperti rasa

panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus,

seperti kain terbakar. Maka, cepat-cepat ia berusaha

menengok ke belakang, dan ternyata ada asap mengepul

di bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya, oh...

ternyata bolong karena hangus terbakar. Terbayang

dalam benak Gagak Neraka, pasti kulit punggungnya

menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa

sakit makin memanas di kulitnya.

Rasa panas itu merayap ke hati, dan membuat Gagak

Neraka makin menggeram jengkel, lalu segera ia

lontarkan kemarahannya.

"Bangsat kau, Bocah Ingusan! Terimalah pukulan

'Ombak Racun'-ku ini, hiaaah...!"

Kedua tangan Gagak Neraka menjambak tubuh Suto

dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu

cepat, hingga terdengar bunyi: wuuugh...!

Wuuugh...!

Tubuh Pendekar Mabuk hanya meliuk-liuk seperti

orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari

bentuk cakar itu tidak satu pun mengenai kulit tubuh

Pendekar Mabuk. Dengan cepat pula Suto

menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas

dalam sodokan yang kuat.

Duggh...!

"Eehhg...!" Gagak Neraka terdongak kepalanya,

dagunya yang panjang itu menjadi sasaran bumbung

tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan

tersebut. Kakinya melangkah ke belakang satu tindak.

Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik,

lalu menyodok bagian perut Gagak Neraka. Begggh...!

Sodokan kedua ini yang membuat tubuh Gagak

Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki

mengambang tanah. Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor

banteng. Terlempar cukup jauh, ada sepuluh langkah.

Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.

Breehhg...!

"Hooek...!" Darah kental hitam kemerahan keluar dari

mulut Gagak Neraka, ia jatuh berlutut dan terbungkuk-

bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari

mulutnya, Gagak Neraka mencoba untuk bangkit dengan

mata sayu dan wajah pucat pasi. Tapi agaknya ia tak

mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan

dan akhirnya jatuh lagi.

Singo Bodong terbengong-bengong melihat kejadian

itu. Mata melebar, mulut melompong mirip sapi

ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong

masih tak sadar dari kebengongannya. Karena menurut

penglihatannya, Suto menyodokkan bumbung tuaknya

tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa

bisa membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar

bisa tersentak terbang sejauh itu? Tentu saja jika tidak

disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin tubuh

Gagak Neraka jadi seperti itu.

"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan?! Kau mirip

sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata

Pendekar Mabuk.

"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar!

Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"

"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya,

dan ada hubungan apa denganmu!"

"Hei, Suto... lihat, orang itu mampu berdiri dan

melarikan diri dengan cepat!"

"Biarkan!" jawab Pendekar Mabuk melihat Gagak

Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia

menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau

itu. Tetapi, pada saat itu Suto melihat Cempaka Ungu

mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.

"Ratu, tahan dia!" seru Suto. "Gagak Neraka masih

punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan

kepada anak gadismu!"

"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu

keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan

menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak

kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara

yang biasa digunakan Ratu Pekat untuk memanggil

anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang

tenaga dalam dikirimkan melalui suaranya, yang bisa

membuat telinga anak itu sakit, lalu berhenti berlari.

Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya,

Cempaka Ungu selalu cemberut jika habis dipanggil

dengan cara seperti itu.

"Ibu mengapa melarangku mengejar si jahanam itu?!"

"Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"

"Mengapa Ibu mau disuruh dia?! Ibu penguasa di

sini!" sentak Cempaka Ungu dengan hati dongkol.

"Jangan salahkan Ibu, salahkanlah pemuda itu!"

Wajah ketus karena marah tak terlampiaskan itu

menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata,

"Lancang sekali mulutmu, berani memberi perintah

kepada ibuku! Tidak tahukah kau bahwa dia adalah

seorang Ratu yang dihormati di sini?!"

Suto tidak menjawab, sepertinya mengacuhkan kata-

kata Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk bahkan berkata

kepada Ratu Pekat,

"Dua orangmu dalam keadaan parah, Ratu. Lukanya

makin lebar. Kalau kau izinkan, mereka akan kubawa ke

istanamu!"

"Lakukanlah jika kau sanggup mengobatinya!"

Suto berpaling kepada Singo Bodong dan berkata,

"Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"

Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia

mengangkat orang yang paling ringan bebannya, yaitu

Tengkorak Terbang. Tubuh bertulang-belulang nyaris

tanpa daging itu jelas lebih enteng daripada si Mata

Elang.

Ketika Suto ingin mengangkat si Mata Elang yang

lukanya sudah hampir melingkari bagian dada sampai ke

punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang

membawanya!" Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang

setiap saat tampil sebagai pengawal sekaligus pemuas

gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat

tubuh si Mata Elang. Dengan ringan sekali ia

mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari

dengan tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi.

Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia

memandang Suto dengan angkuh. Suto tersenyum dan

ingin mengajaknya pergi bersama, tapi Cempaka Ungu

berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin

lebarkan senyum dan perdengarkan tawa rendahnya.

Alangkah terkejutnya Cempaka Ungu ketika tiba di

pintu gerbang, ternyata Suto sudah berdiri di depan pintu

gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.

"Gila sekali gerakannya. Tadi kutinggalkan dengan

kecepatan lari begitu tinggi, ternyata dia sudah sampai di

sini lebih dulu!"

Cempaka Ungu tidak menyapa sedikit pun ketika

melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang

wajah cemberut dan angkuh. Tetapi ketika ia hendak

menaiki tangga serambi istana, ia jadi terkejut lagi,

karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya,

seakan sengaja menunggunya lewat.

"Aku tidak tertarik dengan permainanmu!" ucap

Cempaka Ungu dengan sedikit sipitkan matanya. Dan

Suto hanya tertawa pelan.

Hanya dengan beberapa teguk tuak yang diminumkan

kepada Tengkorak Terbang dan si Mata Elang, luka-luka

itu segera mengering, walaupun tidak hilang dalam

sekejap waktu. Tetapi, racun yang merayap dan

mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal

menunggu luka itu kering beberapa waktu lagi.

"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau

perkenalkan dirimu yang telah menolongku," ujar Ratu

Pekat.

"Aku tidak menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya

ingin menyelamatkan temanku yang bernama Singo

Bodong itu!"

"Apakah dia bukan Dadung Amuk?"

"Bukan! Dia termasuk salah satu keajaiban alam!

Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara kembar,

tapi punya wajah dan potongan tubuh yang mirip dengan

orang lain, yaitu Dadung Amuk! Tapi, nasibnya tidak

cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan dendam

atau kemarahan orang yang merasa dirugikan oleh ulah

si Dadung Amuk!"

"Tadi dari mana Gagak Neraka bisa mengetahui dia

ada di sini? Dan membantai habis orang-orangku,

sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang

datang bersama Gagak Neraka!"

"Tidak begitu, Nyai!" tiba-tiba terdengar suara

seseorang dari arah luar. Orang itu berlari-lari kecil

dengan gerakan kerdilnya. Orang itu tak lain adalah

Dewa Racun.

Ratu Pekat terperanjat dan nyaris melemparkan

kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh

olehnya. Tetapi ketika ia dan anaknya ingin bergerak

menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan kata,

"Dia temanku!"

Mendengar kalimat itu Ratu Pekat dan anaknya

segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama

memandang wajah Suto, dan Suto pun hanya tersenyum

tenang, ia bahkan membuka bumbung tuaknya lagi, dan

menenggaknya beberapa teguk.

"Jadi kau orang Pulau Serindu?" tanya Ratu Pekat.

"Belum," jawab Suto. "Mungkin sebentar lagi aku

akan menjadi orang Pulau Serindu. Tapi yang jelas,

hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa

Racun. Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata-

katanya tadi." Suto memandang Dewa Racun dan

berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!"

"Kurasa di sini ada seorang mata-mata kiriman dari

Siluman Tujuh Nyawa!"

"Dari mana kau tahu?!" tanya Ratu Pekat kepada

Dewa Racun.

"Singo Bodong mirip Dadung Amuk. Singo Bodong

terdampar di pulau ini bersama aku, dan juga Pendekar

Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling

terpisah. Lalu, tiba-tiba Singo Bodong mau digantung,

karena disangka Dadung Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak

Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas

ada orang yang salah duga, menyangka Dadung Amuk

mau digantung, maka dia segera kirimkan berita kepada

Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin

dengan hubungan batin dia bicara kepada Siluman Tujuh

Nyawa. Lalu, Durmala Sanca itu mengirimkan Gagak

Neraka kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang-

orangmu yang ternyata adalah orang susupan yang

menjadi mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa?"

*

* *

8



SUTO Sinting, murid si Gila Tuak, membenarkan

dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang

memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum

gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke Pulau

Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin

Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan

dugaan Dewa Racun itu.

Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat,

Pendekar Mabuk sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat

tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena

pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa

Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu

Ratu Pekat membantah dengan suara keras.

"Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang

berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat

mulutmu, Kerdil!"

"Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan

menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang

Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu

sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.

Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan

pandangan kepada Dewa Racun. Anak gadisnya pun

tampak siap melakukan gerakan yang membahayakan

jika ibunya memberi perintah sewaktu-waktu. Pendekar

Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu

bentrokan tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu

Pekat Maka, cepat-cepat Suto mengambil alih

pembicaraan pada waktu itu,

"Sebaiknya tak perlu dipikirkan dulu hal itu. Agaknya

untuk membuktikan ada dan tidaknya pengkhianat di

dalam istana ini, dibutuhkan waktu untuk

membuktikannya. Dan... kami tidak punya banyak

waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan

padamu! Keperluanku hanya menolong Singo Bodong

saja. Tidak ikut campur dalam urusan kekuasaanmu di

pulau ini!"

Kata-kata itu ternyata memang meredakan

ketegangan tersebut. Ratu Pekat segera tarik napas

dalam-dalam, meredam gemuruh di dalam dadanya.

Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa

yang bisa kubantu untuk kalian?"

"Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan

perjalananku," jawab Suto Sinting.

"Aku akan siapkan," kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah

kalian berangkat sekarang juga?"

Cempaka Ungu segera angkat bicara, "Hanya

manusia bodoh yang mau mengawali perjalanan lautnya

pada petang hari!"

Entah kepada siapa kata-kata ketus itu ditujukan,

karena wajah cantik berkesan judes itu memandang ke

arah luar istana. Pendekar Mabuk hanya berkata kepada

Ratu Pekat.

"Agaknya memang kami harus berangkat petang ini

juga. Sebab kami tak punya saudara untuk menumpang

bermalam di pulau ini."

Ratu Pekat berkata. "Kurasa istanaku ini cukup luas

dan lebar. Ada dua kamar yang bisa kalian pakai, dan

dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang

datang dan bermalam di istanaku. Jika kau tidak

keberatan, kusuruh pelayanku menyiapkan dua kamar

itu!"

Tetapi Cempaka Ungu berkata, "Pelayan kita sudah

ikut mati terkena racun Angin Jantan, Ibu! Kalau

memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar

itu, biar dia sendiri yang membereskannya."

"Cempaka, tak boleh kau bicara begitu kepada sang

penolong kita."

"Aku tidak merasa ditolong olehnya?! Aku merasa

mampu menumbangkan Gagak Neraka! Hanya secara

kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak

Neraka, yaitu menyelamatkan si raksasa bodoh itu,

sehingga sepertinya dia ada di pihak kita!"

"Tutup mulutmu, Cempaka!" sentak ibunya dengan

wibawa. Cempaka Ungu pun tak berani bicara apa-apa

lagi, hanya cemberut dan mendengus kesal. Wajahnya

kembali dipalingkan ke luar.

"Gadis ini lucu," pikir Pendekar Mabuk saat itu.

"Sejak tadi ia bersikap bermusuhan padaku, tapi ia

bermaksud menahanku agar tidak lekas-lekas

meninggalkan pulau ini. Gadis seusia dia memang sering

bersikap aneh jika sedang punya maksud yang

tersembunyi di dalam hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja

ia bertingkah dengan pribadinya sendiri...!"

Malam direnggut sepi. Samar-samar suara ombak

terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru

membuat Pendekar Mabuk gelisah karena kecamuk di

dalam hatinya. Terbayang wajah yang muncul di alam

semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu

milik seorang perempuan cantik yang ternyata adik dari

Betari Ayu, yaitu Dyah Sariningrum.

Pendekar Mabuk bagai tak sabar lagi, ingin segera

bertemu dengan ratu penguasa Puri Gerbang Surgawi di

Pulau Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari

Pulau Beliung itu, Pendekar Mabuk tak tahu pasti. Tapi

Dewa Racun pasti mengetahuinya, karena memang ia

datang khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas

perintah nyai gustinya.

Di kamar itu, Pendekar Mabuk sendirian. Justru

dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur,

karena tak ada teman berbagi rasa. Sebab itulah

Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk ke kamar

Dewa Racun. Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia

habis melakukan semadi sebagai pengasah ilmu

ilmunya.

"Dia sudah tidur?" tanya Suto sambil menunjuk Singo

Bodong yang meringkuk di atas pembaringan empuk.

"Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar,"

jawab Dewa Racun, dan Suto tersenyum, ia ingat

kebiasaan aneh Singo Bodong, yaitu jika tidur

mendengkur dan jika mendengkur seisi rumah menjadi

bergetar.

"Singo Bodong!" panggil Pendekar Mabuk.

Singo Bodong bergegas bangun. "Kau membutuhkan

bantuanku, Pendekar Mabuk?"

"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar. Cari angin!

Kau tidur saja di kamarku sana! Lega dan lebih nyaman

tempatnya."

"Baik. Tapi, kapan kau ingin mengajarkan ilmu-

ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"

"Kalau sudah tiba waktunya!" jawab Suto sambil

tersenyum. Kemudian ia menepuk punggung Singo

Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke

kamar Suto.

"Kau ingin ikut jalan-jalan keluar, Dewa Racun?"

"Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah dulu, nanti aku

menyusul."

Di dalam kamar Pendekar Mabuk, Singo Bodong

merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari

tempat tidur yang ada di kamar sebelah tadi. Selimutnya

juga tebal dan lebar. Dua obor yang ada di satu sisi

dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan

lebih berkesan bagus segala perabotnya. Singo Bodong

tersenyum-senyum, akhirnya menguap sambil

menggeliatkan tubuhnya.

"Oohaaaaem...!"

Blapp...! Tiba-tiba kedua obor itu padam apinya.

Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi

gelap. Hanya terkena hembusan napas menguapnya saja,

kedua obor itu bisa padam apinya. Singo Bodong heran

setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-kali,

nyala api lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa

sekarang nyala dua obor berukuran besar itu bisa padam

dengan satu hembusan napasnya.

"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh

Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya yang masuk ke

tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan

menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba

dalam kegelapan menuju pembaringan. Begitu ia

temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.

"Jika benar Pendekar Mabuk menyalurkan salah satu

ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi,

oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya

nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang

ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"

Sekalipun selimut pembalut dingin sudah

membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum

terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah

membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala

api obor itu.

Sambil melangkah di pantai, Pendekar Mabuk

membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi

sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat

dia diseret ke sana-sini pada saat mau digantung. Jika dia

punya sedikit isi, paling tidak ia tidak menjadi bulan-

bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."

Gemuruh ombak tak begitu menderu. Itu pertanda tak

ada badai di tengah lautan. Suto berhenti memandang

lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari

harinya itu.

"Aku ingin memandang ke arah Pulau Serindu,"

pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai sini?

Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu,

sehingga aku tidak bisa menatap ke arah calon istriku;

Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."

Tiba-tiba Suto terpaksa harus melompat ke balik

bebatuan, ia melihat seorang prajurit melangkah dengan

terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu mendekati

sebuah batu tinggi, dan naik ke atasnya dengan satu kali

hentakkan kaki.

Prajurit itu melepaskan baju rompinya yang menjadi

seragam orang-orang istana. Seragam itu menunjukkan

jabatannya sebagai prajurit pengawal khusus yang

mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke mana-mana.

Menurut cerita Dewa Racun, Ratu Pekat selalu

didampingi enam prajurit pengawal yang menjaga

depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di samping itu

juga pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.

Melihat prajurit yang satu ini membuka baju

rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi

curiga dan semakin ingin tahu. Ia bergerak mendekat,

dari tempat bersembunyi yang satu pindah ke yang

satunya lagi. Makin dekat makin jelas wajah dan

potongan tubuh prajurit itu.

"Mau apa dia berdiri di atas batu itu?" pikir Pendekar

Mabuk dengan mata sedikit menyipit, memperjelas

penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan

yang aneh terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu.

Saat ia ada di atas, tombaknya diletakkan di dinding

batu. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menyambar

tombak itu, tapi untuk apa? Ia tak mau lakukan sesuatu

yang tanpa arti.

Prajurit itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya

ke samping kanan kiri dengan gerakan pelan dan

sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki

kirinya diangkat sampai telapak kakinya itu merapat di

samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu menjorok

maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang

bergerak pelan-pelan ke atas kepala.

Sampai di atas kepala, kedua tangan itu merapat,

tetapi hanya jari telunjuk dan ibu jarinya yang saling

bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di

antara pertemuan jari-jari itu. Tangan yang tegak lurus

ke atas itu tiba-tiba memancarkan sinar merah ke

kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling

bertemu itu. Sinar merah tersebut melesat tinggi sebesar

lidi, panjang hingga tak terbatas sampai di mana

ujungnya.

Angin laut berhembus, membawa suara yang terucap

dari mulut prajurit itu sampai ke telinga Pendekar

Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk bingung dengan

bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti

bahasa mantera sebuah ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar

Mabuk mendengar kalimat yang bisa dimengerti

bahasanya.

"Kekuatan melemah. Istana bebas terkuasai. Segera

tumbuhkan api membakar ilalangnya. Segera tumbuhkan

api membakar ilalangnya...."

Suto membatin, "Apa yang dimaksud kata-kata itu?

Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi

seseorang melalui kekuatan batinnya. O, dia punya tato

di bawah ketiak kirinya?"

Mata Suto bertambah menyipit untuk mempertegas

gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu.

Ternyata tato itu bergambar tengkorak manusia dengan

tujuh mata rantai yang mengelilingi bagian atas kepala

tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian bawah

tengkorak itu kosong tanpa tulisan atau gambar apa pun.

Suto membatin lagi, "Apa arti tato itu? Atau hanya

sebagai seni semata? Tengkorak...? Apakah dia punya

hubungan dengan Tengkorak Terbang? Lalu apa

maksudnya dia melakukan hal itu? Dia berhubungan

dengan seseorang dan seseorang itu adalah Tengkorak

Terbang?"

Prajurit itu cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa

merasa diintai oleh sepasang mata dari balik celah

bebatuan karang. Pendekar Mabuk pun bergegas

mengejarnya. Tapi di perjalanan ia berhenti dan

membatin,

"Tak perlu! Tak perlu kukejar, toh aku tahu ke mana

larinya. Pasti ke istana. Tapi... kenapa hatiku jadi tak

enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh prajurit

itu? Naluriku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi

di pulau ini. Entah apa wujudnya!"

Langkah Pendekar Mabuk santai-santai saja ketika

mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu

kejadian kecil yang menggelikan.

Diam-diam Cempaka Ungu rupanya tertarik kepada

Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat di depan mata

ibunya. Karena itu, Cempaka Ungu memanfaatkan

malam yang sepi, di mana penghuni istana sebagian

besar telah tertidur dengan nyenyaknya. Cempaka Ungu

menyusup masuk ke kamar Suto yang ternyata gelap itu.

"Kebetulan ia matikan lampunya!" pikir Cempaka

Ungu. Karena ia sering keluar-masuk di kamar itu, jadi

ia tahu betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan

gelap, ia bersuara membisik,

"Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk...! Sudah

tidurkah kau?"

Tak ada jawaban. Cempaka Ungu menduga Suto

sudah tertidur nyenyak. Dengan langkah sangat hati-hati

ia semakin mendekati ranjang. Di ranjang itu, Singo

Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap, dan

mendengar suara perempuan, Singo Bodong tak berani

bergerak sedikit pun. Ia sangat ketakutan.

"Pendekar Mabuk... bangunlah sebentar, aku ingin

bicara denganmu," seru Cempaka Ungu dalam bisik

mendesah, ia pegang kaki orang yang tidur di balik

selimut tebal itu. Ia remas beberapa saat dengan hati

berdebar-debar.

"Pendekar Mabuk, bangunlah sebentar. Sebentar saja.

Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi

siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar

Mabuk...."

Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam

selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan

itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat

hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap

kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis

dari mulutnya.

"Kakimu dingin sekali, Pendekar Mabuk... Boleh

kuhangatkan?"

Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya

meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir.

Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap

pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu

tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang

disangkanya Suto Sinting itu.

"Pendekar Mabuk, bisakah kau mendengar suaraku,

hmm...?! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu.

Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik

padamu. Aku tahu kau tersinggung dan marah padaku.

Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun untuk

memaafkan aku, Pendekar Mabuk...?"

Usapan-usapan tangan Cempaka Ungu semakin

lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau di

kening orang yang diusapnya, terasa menambah mekar

bunga-bunga di hatinya.

"Kumohon kau mau tinggal di sini sampai beberapa

waktu, Pendekar Mabuk. Jangan lekas-lekas pulang.

Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di

luaran, tapi sesungguhnya itu hanya suatu kedok saja.

Aku sangat kagum padamu, Pendekar Mabuk. Sungguh

kagum dengan jurus-jurusmu itu. Maukah kau

mengajariku untuk mempermainkan bumbung tuak? Oh,

ya... Ibu masih mempunyai simpanan tuak khusus untuk

para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk? Hmmm...

bagaimana kalau malam ini kita hangatkan diri dengan

minum tuak? Aku juga doyan minum tuak," Cempaka

Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap

kepala dan kening orang yang tidur meringkuk itu.

Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.

"Oh, kau mengeluarkan keringat dingin, Pendekar

Mabuk? Aha... itu tandanya kau takut menghadapiku.

Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak

untukmu. Kita minum bersama di kamar ini, tapi jangan

sampai ada yang tahu. Setuju?!"

Singo Bodong semakin tak bisa berucap kata apa pun.

Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan

mesra oleh seorang gadis cantik yang terbayang jelas

dalam ingatannya. Kecantikan itu pernah menimbulkan

rasa berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna

sejak ia tahu perempuan itu bernafsu untuk

membunuhnya.

Cempaka Ungu sadar bahwa orang yang dianggap

Pendekar Mabuk itu sebenarnya belum tidur. Jika sejak

tadi ia tidak mendapat jawaban dan tanggapan apa pun,

itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol

terhadap sikap ketusnya. Cempaka Ungu

memakluminya. Tapi ia yakin, setelah ia datang bersama

seguci tuak, pasti Pendekar Mabuk itu akan luluh dari

kedongkolan hatinya.

Cempaka Ungu keluar dari kamar dengan

mengendap-endap. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika

melihat Suto sedang melangkah menuju kamarnya dan

terkesiap juga memandang kemunculan seorang

perempuan dari dalam kamarnya,

"Cempaka...?" tegurnya dengan heran.

Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur

tubuhnya. Yang ada dalam otaknya adalah sebuah

pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang kuusap-usap

dengan mesra tadi? Aduh, mati aku!" Wajah pucat dan

sesekali semburat merah itu tak berani terlalu lama

berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Rasa malunya

begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu

cepat tinggalkan tempat dengan kepala menunduk malu.

Tetapi hati Suto menjadi resah dan curiga, ia segera

masuk ke kamarnya, karena menyangka telah terjadi

sesuatu terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa

Cempaka Ungu masih punya kebencian kepada Singo

Bodong dan menyangka Singo Bodong adalah adik

kembar Dadung Amuk. Pendekar Mabuk juga ingat

bahwa Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin

menggantung Singo Bodong.

Pintu kamar itu dibuka dengan kasar oleh Suto.

Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah

Cempaka Ungu yang ingin membunuh Singo Bodong.

Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras, "Singo...?!

Singo Bodong!!" Suara keras membangunkan Dewa

Racun yang hampir tertidur, ia segera melompat keluar

dari kamar dan menuju ke kamar sebelah. Dari pintu

yang terbuka, Dewa Racun berseru,

"Ada apa, Pendekar Mabuk...?!" Suara keras Dewa

Racun juga membangunkan Ratu Pekat yang segera

bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun

berseru,

"Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi, Pendekar

Mabuk...?!"

Kamar gelap. Pendekar Mabuk ada di dalamnya.

Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang

datang, ia diam saja, bagaikan kelu lidahnya tak mampu

berucap kata.

*

* *

9



PAGI yang cerah. Perahu sudah disiapkan oleh

orang-orangnya Ratu Pekat. Kalau saja Suto mau,

mereka sudah bisa bertolak dari Pulau Beliung di pagi

itu. Apalagi perahu yang disiapkan lebih besar dari

perahunya yang pecah dihantam ombak tempo hari.

Perbekalan pun disiapkan di dalam perahu itu, termasuk

dua guci tuak yang paling enak.

Tetapi, Pendekar Mabuk berkata lain kepada Ratu

Pekat, "Aku tidak jadi berangkat hari ini!"

Kata-kata itu tidak mengejutkan Ratu Pekat, tapi

membuat Dewa Racun dan Singo Bodong terperanjat.

Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya

Suto tidak peduli dengan sikap memandang mereka.

Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di

depannya, yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si

Mata Elang dan terakhir Tengkorak Terbang. Luka-luka

kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya

memulih berkat pengobatan sederhana yang punya

kekuatan besar. Hasil pengobatan itu membuat hati

orang-orangnya Ratu Pekat menjadi salut dan hormat

kepada Suto Sinting.

"Kalau boleh aku tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang

membuatmu menangguhkan keberangkatan kalian,

Pendekar Mabuk?"

"Apakah kau keberatan aku menunda

keberangkatanku?" Pendekar Mabuk ganti bertanya

kepada Ratu Pekat.

"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi aku ingin tahu.

Apakah karena persoalan tadi malam di kamarmu?"

"O, bukan karena itu! Itu hanya sebuah mimpi Singo

Bodong yang tiba-tiba menjadi ketakutan karena cahaya

api di dalam kamar padam dengan sendirinya."

Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang

sebenarnya terjadi. Hanya kepada Suto ia ceritakan

semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin

mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan

cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka

Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang

kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya,

atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang.

"Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Suto.

"Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui

simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman

Tujuh Nyawa itu?"

Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal

sekutunya Siluman Tujuh Nyawa selalu memakai

bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh

mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu

melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu

melambangkan tujuh nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu

membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia!

Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu,

Pendekar Mabuk, mengapa kau menanyakan lambang

tersebut?"

"Aku hanya ingin memastikan bahwa lambang

tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik

Tengkorak Terbang."

Tengkorak Terbang tertawa dengan suara

lengkingnya, "Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"

"Husy! Diam!" bentak Ratu Pekat dan tawa itu lenyap

seketika. Sepi bagaikan suara jangkrik terinjak kaki

manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada

Pendekar Mabuk,

"Tengkorak Terbang hanya sebuah julukan karena

kurusnya tubuh dia. Bukan semata-mata menjadi

lambang tersebut."

"Baiklah, jika begitu, kuingatkan sekali lagi padamu,

Ratu Pekat, bahwa apa yang pernah dikatakan Dewa

Racun kemarin itu memang benar."

"Soal apa?" Ratu Pekat kerutkan dahi.

"Salah satu dari orangmu adalah mata-matanya

Siluman Tujuh Nyawa!"

"Tidak mungkin! Orangku tidak punya jiwa

pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin

karena ingin menutup rasa malu bahwa ternyata ia

lengah dan kemasukan mata-mata tanpa diketahui sejak

kapan bercokolnya.

"Ratu Pekat, percayalah dengan pendapatku. Ada

pengkhianat di sini dan istanamu akan direbutnya, pulau

ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau

dibunuh, atau dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh

Nyawa."

"Jangan bicara seenakmu, Pendekar Mabuk! Apakah

kau bisa membuktikan siapa di antara kami yang

menjadi mata-mata?"

"Bisa!" jawab Suto, matanya melirik ke arah

Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto menuduh

Tengkorak Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap

Tengkorak Terbang sebagai panglima yang baru

diangkat kemarin siang itu. Hanya saja, lirikan mata

Suto diartikan lain oleh mereka. Mereka ikut-ikutan

memandang Tengkorak Terbang, sehingga yang

dipandang merasa sebagai pihak yang dituduh.

Berdiri seketika Tengkorak Terbang dengan kebuasan

mata cekungnya, ia berkata dengan suara cemprengnya,

"Hati-hati kau bicara, Pendekar Mabuk! Sekalipun

kau telah menyelamatkan lukaku, aku masih tega

membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku

bukan mata-mata!"

"Aku tidak menuduh kamu," jawab Suto dengan

tersenyum. "Kalau aku memandangmu, itu karena aku

ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di

Istana Cambuk Biru ini! Kau memang bukan mata-mata

yang kumaksud, Tengkorak Terbang."

"Lantas siapa orang yang kau maksud?" sentak

Tengkorak Terbang yang sudah telanjur dongkol

hatinya.

"Berapa sisa prajurit yang ada di sini?" tanya

Pendekar Mabuk kepada Tengkorak Terbang. "Lima

orang!"

"Kumpulkan dia dan aku bisa membedakan mana

yang mata-mata dan mana yang bukan!"

"Kerjakan!" perintah Ratu Pekat kepada Tengkorak

Terbang. Sang Ratu agak malu menerima kenyataan itu.

Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang

kebencian.

"Kalau benar salah satu prajuritku adalah orangnya

Siluman Tujuh Nyawa, maka hal itu adalah kelalaian

dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa

membedakan mana lawan dan mana yang bukan lawan."

Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata Elang dan

berkata dengan tegas.

"Jika terbukti ada yang menjadi mata-mata, pancung

Pragulo lebih dulu!"

"Baik!" jawab si Mata Elang dengan patuh.

Dewa Racun berkata, "Setahuku, Siluman Tujuh

Nyawa tidak pernah mengirim orangnya untuk

menyusup atau mengemban tugas khusus yang tanpa

ilmu tinggi. Jika benar ada mata-matanya di sini, berarti

sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu

tinggi!"

"Aku tahu!" kata Ratu Pekat tegas. "Tapi akan

kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa pun ilmunya, akan

kuhadapi sendiri dia!"

"Itu hal yang baik," kata Dewa Racun, "Sebab, orang-

orang yang disebar oleh Siluman Tujuh Nyawa adalah

orang-orang pilihan, yang sedikitnya punya ilmu

setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk.

Bisa jadi lebih tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang

yang kusebutkan tadi."

Ratu Pekat mau melanjutkan kata-katanya, tapi

Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat

prajurit. Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di

depan serambi.

"Mana Pragulo...?!" sentak Tengkorak Terbang

kepada salah seorang prajurit. Sebelum prajurit itu

menjawab, suara Pragulo telah menyahut dari samping

istana sambil berlari-lari.

"Ke mana saja kau?"

"Hmmm... anu, maaf. Sedang buang hajat di belakang

kamar mandi!"

Plakkk...! Tangan Tengkorak Terbang bergerak cepat

menampar pipi Pragulo.

Prajurit yang menjadi kepala bagian keprajuritan itu

hanya diam saja, menunduk, merasa bersalah. Kemudian

ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit

lainnya.

"Biar saya yang menangani, Ratu. Mohon izinmu!"

kata Suto.

"Memang harus kau yang menanganinya!" jawab

Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si Mata Elang dan

Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo

Bodong ada di sisi lain, agak jauh dari mereka.

Kepada para prajurit, Suto berkata, "Semua buka

baju! Aku akan memilih satu orang untuk kubekali

ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga

keamanan istana!"

Seorang prajurit berwajah bengis berkata dengan

angkuhnya.

"Apakah ilmumu cukup tinggi, sehingga kau berani

mau melatih kami, hah?!"

"Wiroto! Kerjakan apa saja perintahnya!" sentak

Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya

memandang keji kepada prajurit angkuh yang bernama

Wiroto itu.

Kini, kelima prajurit telah melepas rompi mereka

masing-masing. Wiroto hanya bisa melirik benci kepada

Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya

tersenyum-senyum saja. Bahkan dengan santainya ia

menenggak bumbung tuak yang sudah terisi kembali itu.

Glek glek glek...!

Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Suto

yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh

selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu

tampak menahan napas karena meredam nafsu

kemarahannya.

"Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar

Mabuk kepada Wiroto. Prajurit itu melangkah maju dua

tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak

dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan

tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku

di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat

menahannya atau tidak."

"Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu

kepada ibunya.

"Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab

sang Ibu.

Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke

atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan

tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga

Wiroto tampak merah mukanya sewaktu

mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan

kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh,

lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang

amat besar dan berat.

Akhirnya Wiroto menggeloyor jatuh, tapi buru-buru

ditangkap Pendekar Mabuk, dan tombak itu diambil oleh

Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu

menahan tombak itu dalam sepuluh hitungan. Pendekar

Mabuk geleng-geleng kepala,

"Payah," katanya meremehkan prajurit sombong itu.

Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke depan

dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan

Wiroto.

Pada saat kedua tangan Pragulo terangkat ke atas

untuk menyangga tombak, tiba-tiba Suto berkata kepada

Tengkorak Terbang,

"Lihat tato di bawah ketiaknya!"

Tengkorak Terbang terkesiap dan tegang wajahnya,

ia berseru sambil mencekal tangan Pragulo agar tetap

terangkat ke atas,

"Ratu, lihat tato di bawah ketiaknya! Ini lambang

Siluman Tujuh Nyawa!"

Beggg...!

Tiba-tiba Pragulo sentakkan gagang tombak ke

punggung Tengkorak Terbang. Saat itu, Ratu Pekat

segera berseru,

"Tangkap dia!"

Sebelum yang lain bergerak, Pragulo sudah lebih dulu

melenting di udara dan menjejak kepala salah seorang

prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri. Tengkorak

Terbang segera berteriak, "Kejar dia!"

Tapi Ratu Pekat berseru pula, 'Jangan! Biar aku yang

mengejarnya!"

Pragulo tak sadar telah terpancing oleh akal Pendekar

Mabuk, ia tak bisa menyangkal tuduhan lagi. Karenanya

ia lebih baik melarikan diri jika harus bertarung dengan

beberapa orang berilmu tinggi yang ada di situ.

Tetapi karena Ratu Pekat sendiri yang mengejarnya,

maka yang lain pun ikut mengejar, hanya beberapa

prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa,

Singo Bodong pun ikut lari karena ingin menyaksikan

pertarungan yang menurut dugaannya pasti akan seru,

sebab sang Ratu turun tangan sendiri.

Langkah Pragulo terhenti karena terhadang oleh

munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan

sulaman benang emasnya, dan mengenakan jubah putih

sutera. Perempuan itu menyandang cambuk pendek

berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya.

Perempuan itu tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.

"Biadab kau, Pragulo! Ternyata selama ini kaulah

racun di dalam istanaku!" geram Ratu Pekat.

"Kau telah kebobolan beberapa kali, Ratu Pekat! Kau

tidak tahu bahwa aku pun ikut ambil bagian membunuh

orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk,

juga pada saat kedatangan Gagak Neraka kemarin itu!

Ha ha ha ha...!"

"Jahanam kau! Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan

pukulan tenaga dalamnya lewat sentakan punggung

pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah

melesat ke arah Pragulo. Tapi orang itu cepat melompat

dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya melalui

kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.

Wuuugh...!

Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai tempat kosong,

tapi pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa

cahaya itu juga sempat ditahan oleh sentakan tangan kiri

Ratu Pekat yang melesat tinggi ke samping.

Begg...!

Ratu Pekat terjengkang jatuh ke belakang. Itu

pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga

dalam yang digunakan menghadangnya.

"Ibu...?!" teriak Cempaka Ungu sambil cepat

mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh

Tengkorak Terbang.

"Jangan! Aku yakin, Ratu bisa selesaikan sendiri

urusan itu! Beri kesempatan pada dia untuk

melampiaskan dendam dan murkanya!"

Hadir juga di situ Pendekar Mabuk dan Dewa Racun

bersama Singo Bodong yang terbengong-bengong. Si

Mata Elang hanya bersiap mengambil kesempatan

sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak. Cempaka Ungu

segera mendekati Suto, berbisik penuh kecemasan,

"Cepat turunlah! Jangan sampai Ibu celaka!"

"Biar saja! Ibumu ingin tunjukkan murkanya bagi

orang yang mencoba mengkhianatinya!"

"Tapi Ibu dalam keadaan sakit!" katanya sambil

mengguncang lengan Pendekar Mabuk.

"Ibumu pasti bisa mengatasinya sendiri!" jawab Suto

acuh tak acuh. Seakan membalas keangkuhan Cempaka

Ungu. Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah

sendiri, sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan

Pendekar Mabuk. Ketika Suto melirik, Cempaka Ungu

buru-buru melepaskan dengan rasa malu.

Pragulo tampak gesit dan lincah. Gerakannya begitu

cepat, sehingga tombak yang sejak tadi dijatuhkan di

tanah bisa diambilnya hanya dengan satu sentilan ibu jari

kaki. Tapp...! Tombak itu ada di tangannya, lalu diputar-

putar dengan cepat seperti ia memainkan toya. Gerakan

jurusnya cukup indah, enak dipandang mata. Suto

memuji gerakan indah jurus itu, yang mampu

merenggangkan kaki lurus ke tanah sambil memainkan

tombak berputar, bahkan menggelincir sendiri di

punggungnya yang membungkuk itu. Sambil

membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak

jauhnya ke atas, ke arah dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu

Pekat menghindar dengan satu kali sentakkan kaki,

tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.

Sambil bersalto rupanya Ratu Pekat cepat mencabut

cambuknya. Begitu mendarat di tanah dengan kaki

tegak, cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan.

Jaraknya tak menjangkau, tapi ujung cambuk itu

menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar.

Duarrr...!

Pragulo cepat sentakkan tombaknya ke tanah dan

tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak itu

dilemparkan dengan cepatnya ke tubuh Ratu Pekat.

Wuttt...! Jrubb...!

Tombak itu menancap di tanah karena Ratu Pekat

menghindar, sedangkan cahaya biru petir tadi

menghantam sebuah pohon yang membuat pohon itu

lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun.

Pragulo mendaratkan kakinya di tanah dengan sedikit

merendah. Lalu, kedua tangannya bergerak mengeras

dari samping pinggul naik ke atas pelan-pelan.

Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu

mengeluarkan asap kebiru-biruan. Dewa Racun cepat

berteriak,

"Minggir semua! Dia mau tebarkan Racun Pemunah

Bangkai! Minggir semuaaa...! Tutup hidung kaliaaan...!"

Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri

Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung

dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu

Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan

cambuk birunya lagi.

Duarrr...!

Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo.

Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh

itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas.

Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk

Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu

semakin penasaran.

"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari

kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun

Pemunah Bangkai akan menyebar!"

Wuuttt... wuttt...! Pendekar Mabuk bergerak cepat

menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh.

Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri

dengan gerakan berotot dan asap makin banyak

mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir

disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat

tenggak tuaknya dan melompat beberapa kali berjungkir

balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!

Pendekar Mabuk tiba di depan Pragulo. Tepat pada

saat itu Pragulo sentakkan kedua tangannya ke depan, ke

arah Pendekar Mabuk. Tapi segera Pendekar Mabuk

semburkan tuak dari dalam mulutnya itu. Brusss...!

"Aaaaahk...!" Pragulo memekik dengan tubuh

mengejang, kepala terdongak ke atas, mulut terbuka

lebar dan mata terpejam kuat. Pukulan Racun Pemunah

Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan

akibatnya tubuh Pragulo itu mulai menghitam. Lama-

lama kulit tubuhnya menjadi lumer, bau busuk menyebar

tajam. Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan bau

bangkai itu.

Dari kejauhan, semua yang tutup hidung hanya bisa

memandang dengan mata melotot melihat tubuh Pragulo

menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam

keadaan tetap melumer menjijikkan. Akhirnya tubuh

Pragulo tak berbentuk manusia lagi, melainkan

berbentuk cairan kental hitam yang baunya sangat

busuk.

Cempaka Ungu muntah-muntah seketika. Singo

Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai

punggung Dewa Racun. Tentu saja ia mendapat

tamparan Dewa Racun yang merasa jijik terkena

muntahan Singo Bodong.

Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya lagi, lalu

ia melompat dengan cepat dan tiba di dekat benda lumer

itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!

Bau bangkai itu mulai menipis. Angin pantai

membuatnya terbang, dan cepat menjadi hilang.

Sementara itu, Dewa Racun tertegun bengong melihat

apa yang dilakukan Suto tadi. Menyemburkan tuak

membuat bau busuk itu hilang, sudah merupakan hal

yang menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu,

bau bangkai itu tidak bisa hilang selama tujuh hari. Tapi

ternyata dengan semburan tuak bisa cepat lenyap.

"Luar biasa dia itu...?!" gumamnya dengan mulut

masih bau anyir ikan bakar.

"Terima kasih, Pendekar Mabuk. Sekali lagi kau telah

menyelamatkan aku!" kata Ratu Pekat kemudian.

"Karena aku punya pamrih," jawab Suto.

"Pamrih apa?!" tanya Cempaka Ungu.

"Sebuah perahu!" jawab Pendekar Mabuk dengan

senyum.

"Jadi, kau akan bertolak sekarang juga atau nanti

sore?" tanya si Mata Elang.

"Sedang kupertimbangkan kapan aku harus pergi dari

pulau ini."

"Rupanya ada hal yang meragukan dirimu?" tanya

Tengkorak Terbang.

"Terus terang saja, memang ada keraguan pada

diriku!"

"Keraguan apa?" tanya Ratu Pekat.

"Semalam kulihat Pragulo melakukan hubungan jarak

jauh dengan seseorang. Sepertinya dengan Siluman

Tujuh Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto

menunjuk arah batu itu. "Dia menyebut-nyebut istanamu

yang lemah."

"Kalau begitu, mereka akan datang menyerang pulau

ini?" kata Ratu Pekat dalam kecemasan.

"Mereka siapa, Ibu?"

"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"

"Menyerang kita? Kita yang lemah seperti ini akan

kedatangan mereka? Apakah kita mampu bertahan?!"

Si Mata Elang memandang Tengkorak Terbang, dan

Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata

Elang.

"Tak bisakah kau tinggal sesaat lagi, Pendekar

Mabuk?" tanya Tengkorak Terbang dengan nada

memohon.

"Ya, tinggallah beberapa hari lagi di sini," sahut Ratu

Pekat.

"Aku harus berunding dengan Dewa Racun dulu,"

kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka Ungu,

dan gadis itu menatap penuh harap. Sebuah harapan

untuk sebentuk perlindungan. Haruskah Suto menunda

lagi perjalanannya ke Pulau Serindu?


                       SELESAI


PENDEKAR MABUK

Ikuti kelanjutan cerita ini!!!

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:


PUSAKA TOMBAK MAUT


Share:

0 comments:

Posting Komentar