WARISAN LAKNAT
Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode 012 :
Warisan Laknat
SATU
Bola jagat belum sampai menapak kaki
langit sebelah barat. Namun menjelang tengah
hari tadi, puncak Bukit Selamangleng arah
timur Dusun Sumbersuko perjalanan setengah
hari dari Singasari, disaput kabut gelap
mencekam. Gumpalan awan hitam menggantung
tebal menutup lingkar terang lintasan bumi.
Warna langit pun berubah menjadi hitam kelam
menggidikkan. Angin berhembus kencang seakan
hendak meratakan kawasan mayapada. Sesaat
kemudian tampak seberkas sinar berkiblat
ditingkah suara gemuruh yang memecahkan
bongkahan awan hitam. Kejap lain gelantungan
awan porak-poranda taburkan curahan hujan
badai!
Di puncak Bukit Selamangleng, di atas
sebuah batu besar satu sosok tubuh tampak
berdiri tegak menantang badai. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Seluruh
raut wajahnya dipenuhi keriputan. Rambutnya
yang panjang dibiarkan jatuh bergerai menutup
sebagian wajah dan punggungnya. Sepasang
matanya besar dan mendelik angker menatap
hamparan langit yang menghitam. Kedua
tangannya merangkap rapat di depan dada.
Laki-laki ini mengenakan jubah besar dan
panjang sebatas mata kaki berwama hitam,
membuat sosoknya laksana tonggak hitam yang
terpacak di atas batu.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-
laki di atas batu buka rangkapan kedua
tangannya. Kepalanya tetap menengadah dengan
sepasang mata masih tidak lepas pandangi
kelamnya langit. Kejap lain tangannya
bergerak ke batik jubah hitamnya. Saat kedua
tangannya keluar lagi, tampaklah sebuah kitab
berwarna hitam.
Sepasang mata laki-laki ini perlahan
memejam. Kedua tangannya yang memegang kitab
bergerak lurus ke atas. Bibirnya yang sedari
tadi terkancing rapat membuka. Lalu
terdengarlah suaranya.
"Wahai dunia dan penghuninya! Saksikan
olehmu bahwa hari ini telah tercipta sebuah
karya! Kalian semua kelak akan tahu. Barang
siapa yang berhasil mempelajari karya ini,
dia akan menjadi seorang maha sakti! Dan
akulah orang pertama yang akan
membuktikannya!"
Ada keanehan. Meski saat itu gemuruh
badai lak-sana menyungkup keadaan, namun
suara laki-laki ini terdengar jelas! Dan
meski seluruh jubah dan anggota tubuhnya
basah kuyup dari rambut sampai kaki, tapi ki-
tab berwarna hitam itu tidak tersentuh
curahan air hujan!
Laki-laki di atas batu buka sepasang
matanya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba
kepalanya berpaling ke kiri. Saat lain kedua
tangannya bergerak cepat ke bawah. Ketika
kedua tangannya kembali merangkap di depan
dada, kitab hitam sudah tidak terlihat lagi!
"Hem.... Pembuktian maha karya dimulai.
Orang yang datang adalah manusia bernasib
buruk!" gumam si laki-laki di atas batu.
Kepalanya kembali mendongak dengan sepasang
mata memejam.
Baru saja kelopak mata si laki-laki di
atas batu memejam, di antara suara gemuruh
badai terdengar derap langkah-langkah kaki
kuda berpacu. Namun laksana direnggut tangan
setan, mendadak suara derapan kaki-kaki kuda
lenyap. Di lain saat dua bayangan berkelebat
mendaki bukit. Tahu-tahu di hadapan laki-laki
di atas batu tegak dua orang sejarak dua
tombak!
Orang di sebelah kanan mengenakan
pakaian warna putih-putih. Sementara orang di
sebelah kiri mengenakan pakaian hitam-hitam.
Kedua orang ini tidak dapat dikenali raut
mukanya karena masing-masing mengenakan
topeng yang membungkus seluruh kepalanya.
Untuk beberapa saat, kedua orang yang
baru datang arahkan kepala masing-masing
lurus pada laki-laki di atas batu. Kejap lain
orang yang berpakaian hitam-hitam membuat
gerakan. Kepalanya dipalingkan pada orang
berpakaian putih-putih. Pada saat yang sama,
orang yang berpakaian putih-putih menoleh ke
samping kanan.
Orang berpakaian hitam-hitam anggukkan
kepala. Sementara laki-laki di atas batu
tetap tengadah seolah tak pedulikan pada
kedatangan orang.
Secara berbarengan, tangan kedua orang
yang baru datang bergerak ke atas.
Settt! Settt!
Topeng penutup kepala masing-masing
orang terbuka. Kini tampaklah wajah kedua
orang itu. Orang berpakaian hitam-hitam
ternyata adalah seorang laki-laki berusia
kira-kira empat puluh lima tahun. Berkumis
tebal. Sepasang matanya tajam. Rambutnya
panjang sebahu. Sedang orang di sampingnya
ternyata adalah seorang perempuan berusia
kira-kira tiga puluh tahunan. Raut wajahnya
masih kelihatan cantik Hidungnya sedikit
mancung. Sepasang matanya bulat tajam. Ram-
butnya panjang dikuncir tinggi.
Setelah campakkan topeng masing-masing,
kedua orang ini serta merta menjura hormat.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam buka mulut.
"Ageng Barada... maaf kalau kedatangan
kami mengganggu. Kami datang membawa pesan!"
Laki-laki di atas batu tidak bergeming.
Kepalanya tetap mendongak dengan mulut
terkancing.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam
lirikkan mata pada perempuan di sampingnya.
Sementara yang dilirik luruskan pandangannya
pada laki-laki di atas batu.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam menarik
napas dalam. Lalu buka mulut lagi.
"Ageng Barada. Kami...."
"Katakan pesan apa yang kalian bawa!"
Laki-laki di atas batu yang dipanggil Ageng
Barada buka mulut me-motong ucapan laki-laki
berpakaian hitam-hitam.
Ucapan Ageng Barada membuat laki-laki
berpakaian hitam-hitam tersentak. Wajahnya
berubah. Untuk beberapa lama dia terdiam
dengan mulut sedikit ternganga. Sedang
perempuan di samping si laki-laki sipitkan
sedikit matanya. Namun meski perempuan ini
coba menahan rasa terkejutnya, perubahan
wajahnya tetap terlihat jelas.
"Kalian dengar ucapanku. Cepat katakan
pesan itu atau segera angkat kaki dari
hadapanku!" Ageng Barada berkata masih tanpa
memandang.
"Ageng Barada.... Aku adalah Bayumanik.
Di sebelahku ini Sawitri. Kami berdua adalah
utusan rahasia Panembahan Suro Agung...,"
kata laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan
suara bergetar.
Ageng Barada membuat gerakan. Perlahan
kepalanya berpajing lurus. Sepasang matanya
menatap pada masing-masing orang di
hadapannya. Biairnya menyeringai. Lalu angkat
bicara.
"Pesan yang kalian bawa. Lekas katakan!"
Laki-laki berpakaian hitam-hitam yang
memperkenalkan diri sebagai Bayumanik
bungkukkan sedikit tubuhnya yang basah kuyup.
Dengan suara masih bergetar ia berkata.
"Panembahan Suro Agung mengharapkan
kedatanganmu besok malam di tempat biasanya.
Dia hendak membicarakan perihal rencana
pengambil alihan kekuasaan. Situasi daerah
Singasari makin tidak karuan!"
Ageng Barada kernyitkan dahi. Sepasang
matanya memandang tajam pada Bayumanik dari
rambut hingga kaki.
"Kau jangan membuat cerita bohong!"
Bayumanik dan Sawitri terkesiap. Sejenak
kedua orang ini pandangi Ageng Barada. Lalu
saling pandang. Raut wajah keduanya jelas
makin ketakutan.
Setelah dapat kuasai diri, Bayumanik
kembali angkat bicara.
"Ageng Barada. Harap tidak berprasangka
buruk pada kami. Kedatangan kami benar-benar
atas suruhan Panembahan Suro Agung. Lagi pula
tak ada untungnya bagi kami berkata bohong
padamu! Kami tahu siapa kau sebenarnya!"
Ageng Barada menyeringai. Kepalanya
bergerak arahkan pandangan ke jurusan lain.
"Aku tahu kapan hams menemui Panembahan
Suro Agung! Dan kalian salah ucap kalau
mengatakan besok ma lam adalah waktu yang
ditentukan!"
"Ah.... Justru kedatangan kami kemari
karena ada perubahan perihal waktu pertemuan
itu!" Yang angkat bicara kali ini adalah
Sawitri.
Ketegangan pada raut wajah Bayumanik dan
Sawitri sedikit mereda begitu mendengar apa
yang menjadi pangkal sebab ucapan kasar Ageng
Barada.
"Hem.... Begitu? Lalu apa lagi
pesannya?!" tanya Ageng Barada.
"Hanya tentang perubahan pertemuan itu.
Tidak ada pesan lain," jawab Bayumanik.
Ageng Barada arahkan kembali
pandangannya pada kedua orang di hadapannya.
Namun cuma sekejap. Saat lain dia palingkan
kepalanya pada jurusan lain seraya berucap.
Aku berada jauh dari Singasari. Aku
ingin tahu apa yang kalian ketahui tentang
situasi di sana!"
"Kami tidak dapat mengatakan bagaimana
situasi sebenarnya karena suasana benar-benar
kacau. Bahkan kini kami tidak dapat
menentukan mana pihak kita dan mana pihak
lawan!"
Ageng Barada angguk-anggukkan kepala.
Bibir laki-laki ini sunggingkan senyum. Diam-
diam laki-laki ini membatin. "Situasi
beginilah yang kutunggu-tunggu. Gerakanku
akan lebih leluasa...."
Bayumanik menoleh pada Sawitri lalu
mengangguk. Sawitri membalas dengan anggukkan
kepala.
"Ageng Barada...," kata Bayumanik. "Kami
harus segera pergi!"
Ageng Barada berpaling. Namun sorot
matanya kali ini menghujam tajam pada
Sawitri, membuat perempuan ini tidak enak dan
menjadi salah tingkah.
"Kalau memang tidak ada yang perlu Ageng
Barada tanyakan lagi, kami mohon diri...,"
kata Sawitri dengan suara sedikit tersendat
dan tidak berani membalas tatapan Ageng
Barada.
Ageng Barada hanya mengangguk tanpa
berkata apa-apa. Sementara Bayumanik telah
bungkukkan tubuh lalu putar diri yang
kemudian diikuti oleh Sawitri.
Tunggu!" kata Ageng Barada menahan
gerakan Bayumanik dan Sawitri. Sebelum kedua
orang ini balik-kan tubuh kembali, Ageng
Barada telah lanjutkan ucapannya. "Aku titip
pesan pada kalian!"
Bayumanik dan Sawitri putar diri
menghadap Ageng Barada. Bayumanik menatap
lurus. Tapi Sawitri tampak arahkan
pandangannya pada jurusan lain meski
kepalanya menghadap Ageng Barada.
"Harap Ageng Barada katakan pesan yang
hendak disampaikan!"
Ageng Barada tampak sunggingkan senyum
sebelum akhirnya berkata.
"Pesan ini bukan untuk Panembahan Suro
Agung. Tapi untuk semua anak manusia!"
Dahi Bayumanik dan Sawitri mengernyit.
"Maksud Ageng...?" tanya Bayumanik.
"Aku pesan kematian!"
Tanpa sadar, kaki Bayumanik dan Sawitri
tampak tersurut. Mungkin masih belum mengerti
arah ucapan Ageng Barada, Bayumanik berkata.
"Aku belum mengerti maksud Ageng. Harap
Ageng suka menjelaskan!"
"Kematian adalah hal yang harus diterima
tanpa membutuhkan penjelasan! Karena
penjelasan apa pun tidak akan ada gunanya!"
Belum habis ucapan Ageng Barada, laki-
laki ini telah buka rangkapan kedua
tangannya. Kejap lain kedua tangannya
bergerak membuat gerakan mendorong ke depan.
Wuuttt! Wuuuuttt!
Dua gelombang dahsyat melabrak ganas ke
arah Bayumanik tanpa keluarkan suara.
Menangkap gelagat tidak baik, meski
sebelumnya tidak menduga sama sekali,
Bayumanik cepat berkelebat ke samping sambil
mendorongkan kedua tangannya. Sawitri tidak
tinggal diam. Perempuan ini segera pula
meloncat namun tanpa membuat gerakan apa-apa.
Dari kedua tangan Bayumanik melesat dua
rangkum angin laksana gelombang dahsyat.
"Hem.... Panembahan Suro Agung rupanya
pandai juga memilih utusan!" gumam Ageng
Barada. Laki-laki ini putar tubuhnya setengah
lingkaran. Tangan kirinya bergerak ke bawah.
Wesss!
Bummm!
Gelombang angin yang melesat dari kedua
tangan Bayumanik serta-merta buyar. Malah
sosok Bayumanik tampak terjajar dua langkah!
"Ageng Barada! Harap...."
"Sudah kukatakah, kematian tidak butuh
penjelasan!" potong Ageng Barada. Tangan
kanannya bergerak mendorong. Kejap lain
tangan kirinya membuat gerakan mengayun, lalu
ikut mendorong.
Meski Bayumanik masih sempat membuat
gerakan, tapi sebelum kedua tangannya sempat
mendorong, tubuhnya telah tersapu deras ke
belakang. Belum sampai laki-laki ini bisa
kuasai diri, gelombang susulan yang
menggebrak dari tangan kiri Ageng Barada
telah melabrak.
Bayumanik keluarkan seruan tertahan.
Namun laksana disentak setan, seruan
Bayumanik terputus. Tubuhnya jatuh
terjerembab di atas tanah becek dengan mulut
dan hidung keluarkan darah!
Sawitri keluarkan jeritan ketika
mengetahui apa yang menimpa Bayumanik.
Perempuan ini sama sekali tidak menduga jika
gebrakan Ageng Barada secepat itu bisa
membuat nyawa Bayumanik melayang. Lebih dari
itu, dia dibuat tidak mengerti dengan tingkah
Ageng Barada. Karena yang diketahuinya selama
ini, Ageng Barada adalah tangan kanan
Panembahan Suro Agung meski dia lebih banyak
bergerak secara diam-diam dan hanya beberapa
orang tertentu yang mengetahuinya.
"Ageng Barada! Kenapa semua ini kau
lakukan?! Kau mencurigai kami bukan orangnya
Panembahan Suro Agung?" tanya Sawitri setelah
dapat kuasai diri. Meski demikian, suara
perempuan ini masih terdengar gemetar.
Perempuan ini maklum kalau Bayumanik bisa
dibuat tak berkutik dalam dua gebrakan maka
dia sudah dapat memperhitungkan dirinya,
karena dia sadar kalau kepandaiannya tidak
berada di atas Bayumanik. Lebih dari itu dia
tahu siapa sebenarnya orang yang kini ada di
hadapannya.
Ageng Barada sunggingkan senyum.
Sepasang matanya menatap tajam.
"Saat ini bukan waktu yang baik untuk
menjawab pertanyaanmu! Hujan telah reda.
Kulihat kau basah kuyup kedinginan. Apa tidak
lebih baik kita menghangatkan tubuh?"
Walau Sawitri tahu ke mana arah ucapan
Ageng Barada, tapi perempuan ini tidak berani
bertindak sembrono. Sebaliknya diam-diam dia
berpikir cepat. "Apa pun yang hendak
dilakukan, kalau keadaan terpaksa apa boleh
buat. Yang penting aku bisa selamat dan dapat
mengatakan semua ini pada Panembahan Suro
Agung...."
Berpikir begitu, Sawitri maju satu
tindak. Lalu berkata dengan sedikit
sunggingkan senyum:
"Ageng Barada. Terima kasih kalau kau
masih memperhatikan diriku. Tapi aku harus
segera pergi. Panembahan Suro Agung tentu
sudah menunggu"
"Kau tak usah begitu mencemaskan
Panembahan Suro Agung...."
"Tapi aku adalah utusannya. Bagaimanapun
juga dia pasti menunggu kabar!"
Ageng Barada gelengkan kepala. "Dengar!
Sejak hari ini, Panembahan Suro Agung tidak
akan mendapat kabar apa-apa! Sejak saat ini
pula, Ageng Barada bukanlah orangnya
Panembahan Suro Agung!"
"Kau.... Kau hendak berkhianat?!"
Ageng Barada tertawa bergelak. "Terserah
hendak kau sebut apa! Yang jelas sejak hari
ini, Ageng Barada tidak berada di pihak mana
pun! Ageng Barada punya tangan untuk
menggenggam lebih dari apa yang kini
digenggam Panembahan Suro Agung!"
"Kau hendak mengambil...."
Ucapan Sawitri belum selesai, Ageng
Barada telah menukas. "Urusan kerajaan
bukanlah hal yang kuinginkan! Aku ingin lebih
dari itu!" "Maksudmu...?!"
"Aku ingin seluruh anak manusia berada
di bawah kekuasaanku! Mulai hari ini, aku
bukan lagi Ageng Barada. Tapi Datuk
Kematian!"
Sepasang mata Sawitri terlihat membesar.
Dada perempuan ini berdegup keras. Kedua
lututnya goyah. Namun perempuan ini tidak
hilang akal. Seraya tersenyum dia berkata.
"Ah, kalau hal itu benar aku sungguh
senang sekali. Sejak semula aku memang ingin
lepas dari Panembahan Suro Agung! Di bawah
genggaman Suro Agung aku tidak mendapatkan
apa yang kuinginkan, padahal apa yang harus
kulakukan membutuhkan taruhan nyawa!"
"Hem..... Kalau mau mengatakan, apa
sebenarnya yang kau inginkan?!"
Sawitri melangkah dua tindak ke depan.
Bibirnya kembali sunggingkan senyum.
"Sebagai perempuan memang tak mungkin
aku mengambil alih apa yang selama ini
digenggam Panembahan Suro Agung. Apalagi dia
bukanlah tandinganku. Tapi setidaknya sebagai
manusia biasa, aku menginginkan kehidupan
enak tanpa harus bersusah payah!"
Ageng Barada yang kini memaklumkan diri
sebagai Datuk Kematian tertawa panjang.
"Dasar perempuan! Selamanya tidak akan mau
menerirna apa adanya! Malah mungkin dia tak
akan segan menyerahkan tubuhnya demi
keinginannya tercapai!" kata Datuk Kematian
dalam hati.
"Ageng Barada. Kalau...."
"Ageng Barada telah terkubur! Aku adalah
Datuk Kematian!" potong Datuk Kematian
membuat Sawitri putuskan ucapannya.
Sawitri anggukkan kepala. Lalu buka
mulut lagi teruskan ucapannya.
"Datuk Kematian. Kalau kau masih
membutuhkan tenagaku, aku dengan suka rela
akan ikut bergabung denganmu!"
Walau Sawitri berucap begitu, sebenarnya
dalam hati perempuan ini berkata sendiri.
"Kalau kulawan, aku bukanlah tandingannya!
Padahal aku tidak ingin mengalami nasib sama
seperti Bayumanik! Laki-laki ini pasti tidak
akan membiarkan diriku hidup!"
Kalau diam-diam Sawitri membatin begitu,
Datuk Kematian diam-diam juga membatin. "Aku
tidak membutuhkan orang macam dia! Kalau dia
mau berkhianat hanya karena melihat temannya
menemui ajal, bukan tidak mungkin hal itu
akan kembali dilakukan jika mengalami
kejadian yang sama! Aku membutuhkan orang
yang benar-benar dapat kupercaya! Tapi aku
tidak akan melewatkan kesempatan ini! Sudah
lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh
perempuan...."
Sepasang mata Datuk Kematian memandang
aneh pada Sawitri. Karena saat itu pakaian
yang dikenakan si perempuan basah kuyup, maka
pakaian itu laksana melekat pada tubuhnya,
membuat lekukan dan cuatan dadanya yang
membusung kencang kelihatan jelas.
"Aku memang membutuhkan tenaga. Kalau
kau mau bergabung, itu sungguh suatu hal yang
menyenangkan"
"Sekarang apa yang harus kulakukan?!"
Datuk Kematian tidak menjawab pertanyaan
Sawitri. Sebaliknya laki-laki berjubah hitam
panjang sebatas mata kaki ini melesat ke
depan. Kejap lain sosoknya telah tegak satu
tindak di depan si perempuan. Sawitri berseru
kaget. Belum sempat perempuan ini bergerak
mundur, tangan kanan si Datuk telah bergerak
cepat ke arah bahunya.
Saat Datuk Kematian tarik pulang tangan
kanannya, Sawitri tercekat karena dia sudah
tidak bisa lagi gerakkan tubuhnya! Tubuhnya
tegang kaku. Hanya dadanya yang tampak
bergerak turun naik, membuat sepasang mata
Datuk Kematian makin membelalak.
"Datuk! Apa yang hendak kau lakukan?!"
kata Sawitri dengan suara bergetar. Perempuan
ini hanya dapat bicara tanpa bisa gerakkan
tubuh.
Sang Datuk tertawa panjang. "Bukankah
tadi kau menanyakan apa yang harus kau
lakukan? Untuk pertama kali inilah yang harus
kau lakukan untukku!"
Belum selesai ucapannya, Datuk Kematian
telah gerakkan kedua tangannya ke depan.
Kedua tangan itu sejenak membelai kedua pipi
si perempuan. Meski Sawitri tampak tersenyum,
tapi jelas senyum itu dipaksakan. Bahkan
dalam hati perempuan ini memaki panjang
pendek.
"Kau tentu membutuhkan kehangatan saat
ini! kata Datuk Kematian. Kedua tangannya
perlahan turun ke dada si perempuan.
Sawitri kerutkan kening. Dadanya makin
berdebar. Mulutnya kelihatan bergetar. Meski
dia tahu apa yang hendak dilakukan Datuk
Kematian, dan meskipun dia makin ketakutan
karena tidak mungkin dapat menghindar. Tetapi
perempuan ini masih juga mencoba berkata.
"Aku tidak akan menolak apa yang kau
inginkan, Datuk. Tapi apa tidak sebaiknya kau
biarkan diriku bisa bergerak? Bukankah itu
akan membuatmu lebih enak karena aku bisa
melayanimu?"
Datuk Kematian menyeringai. Lalu tertawa
pendek dan berucap.
"Aku lebih suka bercinta dengan
perempuan yang tidak bisa bergerak! Dan kalau
kau sudah pernah merasakan, tentu setiap
bermain cinta kau akan minta ditotok terlebih
dahulu!"
Kedua tangan sang Datuk bergerak ke
samping kiri kanan.
Brettt! Breettt!
Pakaian putih-putih bagian atas Sawitri
terbuka menganga, membuat payudaranya tidak
tertutup lagi. Sepasang mata Datuk Kematian
membeliak besar. Sedangkan Sawitri kelihatan
menggigit bibirnya dengan mata memejam rapat.
Datuk Kematian kembali gerakkan kedua
tangannya. Kali ini perlahan saja kedua
tangannya bergerak ke bawah. Kejap lain,
pakaian Sawitri melorot jatuh.
Bersamaan itu Datuk Kematian menyergap
ke depan. Diciuminya wajah si perempuan.
Sawitri hanya bisa mengerang dengan hati
menyumpah-nyumpah!
* * *
DUA
Datuk Kematian rapikan jubah panjangnya.
Lalu kepalanya mendongak ke atas. Hujan badai
telah lama reda. Malah rembulan tampak
menghiasi hamparan langit membuat lintasan
bumi sedikit terang.
Bibir Datuk Kematian tersenyum.
Kepalanya lalu berpaling ke kiri. Tampak
sosok polos Sawitri tak bergerak-gerak dengan
telentang. Wajah cantik perempuan ini berubah
kebiruan. Di hampir sekujur tubuhnya tampak
memar. Malah pada mulut dan hidungnya
terlihat gumpalan darah!
Sang Datuk alihkan pandangannya pada
sosok satunya yang bukan lain adalah mayat
Bayumanik. Namun hanya sekejap, di lain saat
laki-laki ini arahkan pandangannya jauh ke
bawah bukit.
"Dengan tidak munculnya kedua utusannya,
kuharap Panembahan Suro Agung akan jadi
gusar. Aku tetap akan menemuinya sesuai
perjanjian waktu lalu. Dan saat itu masih
kurang sepuluh hari di muka! Selang waktu itu
sudah cukup bagiku untuk membuat suasana
makin kacau! Dan jika tiba saatnya,
Panembahan Suro Agung akan tahu siapa
sebenarnya Ageng Barada!"
Datuk Kematian tertawa bergelak. Kejap
lain suara tawanya mendadak lenyap. Bersamaan
dengan itu sosoknya sudah tidak kelihatan
lagi di puncak Bukit Selamangleng!
Saat hampir menjelang di penghujung
malam, Datuk Kematian telah memasuki sebuah
kawasan hutan kecil. Laki-laki ini terus
berk?iebat cepat. Karena suasana masih
dibungkus kegelapan sementara sang Datuk
berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan
tubuhnya, maka sosoknya laksana setan
gentayangan yang sulit untuk ditangkap mata
biasa. Sosoknya hanya menyerupai bayangan
yang berkelebat melintasi semak belukar dan
jajaran pohon. Melihat gerakannya jelas kalau
laki-laki ini sudah tidak asing lagi dengan
daerah yang kini dilaluinya.
Ketika cahaya kekuningan mulai menapak
di lintasan langit sebelah timur, satu
bayangan putih berkelebat. Kejap lain
sosoknya melenting tinggi ke udara lalu duduk
di atas satu ranting dengan sepasang mata
menatap tak berkesip pada bayangan hitam yang
berkelebat di bawah sana.
Orang yang duduk di atas ranting adalah
seorang laki-laki berambut putih. Rambutnya
digelung tinggi ke atas. Dahinya sudah
dihiasi kerutan. Meski demikian, laki-laki
ini masih memancarkan ketampanan wajahnya.
Orang ini mengenakan jubah putih.
Walau laki-laki berjubah putih ini duduk
di atas sebuah ranting kecil, anehnya ranting
itu tidak bergeming sama sekali apalagi
patah. Menunjukkan bahwa siapa pun adanya
laki-laki berjubah putih, pastilah dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah dia
seolah tahu kalau saat itu ada seseorang
hendak menuju tempatnya!
Sejarak sepuluh tombak dari pohon di
mana laki-laki berjubah putih berada,
mendadak bayangan hitam yang bukan lain
adalah Datuk Kematian hentikan larinya. Laki-
laki dari Bukit Selamangleng ini rupanya
sadar saat itu ada orang lain di sekitarnya
meski dia belum dapat mengetahui di mana
beradanya orang itu.
Laki-laki berjubah putih di atas ranting
untuk beberapa saat pandangi orang berjubah
hitam di bawah sana. Sepasang matanya
menyipit lalu membesar.
"Ageng Barada.... Hampir dua belas tahun
aku tidak jumpa dengan dia sejak peristiwa
berdarah di Lembah Ngurawan. Hanya akhir-
akhir ini aku mendengar dia berada di
belakang Panembahan Suro Agung. Ada apa dia
datang kemari? Meneruskan urusan lama di Lem-
bah Ngurawan? Hem.... Sebenarnya aku sudah
melupakan peristiwa berdarah itu. Lagi pula
aku sudah memutuskan untuk menghindar dari
dunia keramaian dan kancah persilatan...."
Laki-laki berjubah putih menghela napas
panjang.
Di bawah sana, Datuk Kematian putar
kepalanya. Sepasang matanya liar mengawasi
berkeliling. Mungkin tak sabar karena dia
tidak dapat menangkap adanya orang sementara
dirinya yakin kalau di tempat itu ada orang
lain, dia buka mulut dan berteriak lantang.
"Tak usah berlaku pengecut sembunyikan
diri! Keluarlah Resi Kamahayanan!"
Laki-laki berjubah putih di atas ranting
kembali menarik napas dalam.
"Dia mengetahui aku berada di sini.
Tidak ada gunanya bagiku sembunyikan diri.
Urusan ini harus segera selesai. Jika tidak
kesalahpahaman ini akan berlanjut...."
"Dua belas tahun telah berlalu, Resi
Kamahayanan! Aku datang melanjutkan urusan
lama!" Datuk Kematian kembali berteriak
setelah ditunggu agak lama belum juga ada
tanda-tanda munculnya orang.
"Dugaanku tidak meleset...," gumam laki-
laki berjubah putih. Tapi sejauh ini orang di
atas ranting ini tidak juga membuat gerakan
apa-apa.
"Resi Kamahayanan! Kalau kau tak mau
unjuk diri, baiklah! Tapi jangan kira aku
berhampa tangan jika meninggalkan tempat
ini!" seru Datuk Kematian. Tangan kiri
kanannya bergerak ke belakang. Namun gerakan-
nya tertahan tatkala mendadak saja semak
belukar lima belas langkah dari samping kanan
Datuk Kematian bergerak. Kejap lain satu
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Satu sosok
tubuh telah tegak berdiri tujuh langkah di
hadapan sang Datuk!
Sepasang mata Datuk Kematian mendelik
angker memandang orang di hadapannya dari
atas sampai bawah. Orang ini ternyata laki-
laki berusia setengah baya mengenakan pakaian
biru gelap. Rambutnya pendek kelimis.
Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam.
"Jahanam betul! Ternyata bukan Resi
keparat itu! Siapa sebenarnya manusia ini?
Sepertinya aku belum pernah bertemu
dengannya. Tapi aku rasanya mengenali
wajahnya! Adakah kemunculannya di sini punya
tujuan sama denganku? Atau jangan-jangan
manusia ini telah membuat Resi keparat itu
tewas. Kalau demikian halnya, orang ini harus
bertanggung jawab karena dia telah memutuskan
dendamku pada Resi Kamahayanan!"
Datuk Kematian aiihkan pandangannya ke
jurusan lain. Mulutnya membuka keluarkan
bentakan.
"Aku hanya berkata sekali. Katakan siapa
dirimu! Apa yang sedang kau lakukan di sini!"
Laki-laki berpakaian biru gelap
menyeringai. Tangan kanannya bergerak
mengusap dada dan dagunya. Lalu berkata.
"Lain yang dicari tapi lain yang
didapat! Tapi kali ini aku mujur!"
Datuk Kematian berpaling. Sekali lagi
ditatapnya orang yang tegak di hadapannya
dengan lebih seksama. Namun mulut laki-laki
berjubah hitam panjang ini terkancing rapat.
Hanya hatinya yang terus bertanya-tanya siapa
adanya orang.
Laki-laki berpakaian biru gelap goyang-
goyangkan kepala. Lalu sepasang matanya
menatap dingin pada Datuk Kematian sebelum
akhirnya berkata.
"Perjalanan waktu rupanya telah
membuatmu jadi pelupa, Ageng Barada! Tapi aku
tidak akan begitu saja melupakan apa yang
pernah terjadi! Lebih dari itu, tidak akan
kubiarkan tanganmu berlumur darah Resi Kama-
hayanan! Darah Resi itu adalah hakku! Kau
dengar?!"
Walau Datuk Kematian sempat terkejut
mendapati orang mengetahui siapa dirinya,
namun laki-laki ini sunggingkan senyum
seringai. Sementara laki-laki berjubah putih
di atas ranting sesaat terkesiap melihat
kemunculan orang berpakaian biru gelap.
Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk
turun menemui Datuk Kematian. Namun
gerakannya tertahan tatkala mendadak saja ada
orang muncul.
"Sepuh Panjalu!" desis laki-laki
berjubah putih mengenali orang berpakaian
biru gelap. "Tidak kusangka sama sekali kalau
hari ini aku kedatangan dua orang tamu yang
hendak meneruskan urusan lama!" Laki-laki ini
gelengkan kepalanya.
"Kau tidak mau katakan siapa kau
sebenarnya. Mungkin kau ingin mampus tanpa
dikenali! Keinginanmu akan kuturuti!" Datuk
Kematian berkata seraya dongakkan sedikit
kepalanya.
"Kau salah ucap, Ageng Barada! Justru
aku akan mengatakan siapa diriku. Kasihan
kalau orang harus tewas tanpa mengetahui
siapa orang yang membunuhnya!"
Laki-laki berpakaian biru gelap tertawa
panjang, lalu lanjutkan ucapannya. "Sembilan
tahun silam, kejadiannya di Jurang
Kelampok...."
Datuk Kematian kerutkan kening. "Sepuh
Panjalu!" gumamnya.
"Syukur kau masih mengingatnya, Ageng
Barada!"
Tiba-tiba Datuk Kematian perdengarkan
tawa bergelak. Tapi tiba-tiba ia putuskan
gelakan tawanya. Tangan kirinya terangkat dan
menunjuk lurus ke arah orang.
"Rupanya nasib baik masih memihak padamu
saat itu, Sepuh Panjalu! Tapi nyatanya
nyawamu sudah ditakdirkan untukku! Lebih-
lebih lagi kau telah berani menyatakan darah
Resi keparat itu adalah hakmu!"
Mendengar kata-kata Datuk Kematian,
Sepuh Panjalu ganti tertawa sambil ikut-
ikutan dongakkan kepala.
"Bicara besarmu tidak berubah dari
dahulu, Ageng Barada! Tapi harus kau ingat.
Sepuh Panjalu yang di hadapanmu kini bukanlah
Sepuh Panjalu sembiian tahun silam!"
Datuk Kematian mendengus. "Kau juga
perlu tahu. Ageng Barada telah berkubur. Yang
ada di hadapanmu saat ini adalah Datuk
Kematian!"
Sepuh Panjalu makin keraskan gelakan
tawanya. Namun diam-diam laki-laki ini telah
salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Di lain pihak Datuk Kematian rupanya tidak
mau kecolongan. Secara diam-diam dia juga
telah kerahkan tenaga dalamnya, hingga
tatkala Sepuh Panjalu gerakkan kedua
tangannya, Datuk Kematian serentak berkelebat
tiga langkah ke samping seraya mendorong.
Dua gelombang angin dahsyat melesat
laksana gelombang prahara dari masing-masing
tangan orang. Kejap lain terdengar suara
dentuman keras mengguncang tempat itu.
Datuk Kematian tidak bergeser dari
tempatnya meski sesaat tubuhnya kelihatan
bergcyang. Hanya sepasang matanya yang tampak
sedikit menyipit dan kedua tangannya
bergetar. Di seberang sana, Sepuh Panjalu
kelihatan hampir saja tersapu. Namun laki-
laki ini cepat lipat gandakan tenaga dalamnya
hingga hanya tubuh bagian atasnya yang sempat
terdorong tapi kuda-kuda kakinya tidak
bergeming!
"Hem.... Kepandaian mereka ternyata maju
begitu pesat!" Laki-laki berjubah putih di
atas ranting bergumam. Sesaat laki-laki ini
harus kerahkan tenaga dalamnya untuk
mengatasi guncangan pada ranting yang
diduduki akibat bias bentroknya pukulan Datuk
Kematian dan Sepuh Panjalu.
Melihat kenyataan bahwa lawan tidak
bergeming, sudah cukup bagi Datuk Kematian
untuk mengetahui kalau lawan memang sudah
bukan orang yang dihadapinya pada sembiian
tahun yang lalu.
Datuk Kematian segera kerahkan kembali
tenaga dalamnya. Tanpa didahului ucapan,
sosoknya melesat ke arah Sepuh Panjalu. Laki-
laki berpakaian biru gelap ini tidak
menangkap berkelebatnya lawan. Yang
dilihatnya saat itu mendadak dua tangan telah
melabrak ganas mengarah pada kepala dan
perutnya!
Sepuh Panjalu cepat mundur satu langkah.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya
terangkat.
Bukkkk! Bukkkk!
Terdengar bentroknya dua tangan. Sosok
Sepuh Panjalu terdorong sampaitiga langkah ke
belakang. Kedua tangannya yang baru saja
memangkas pukulan Datuk Kematian tampak
menggembung merah dan bergetar keras. Malah
dadanya terasa sesak dan raut wajahnya
berubah pucat pasi. Di lain pihak, begitu
terjadi bentrok, Datuk Kematian cepat tarik
pulang kedua tangannya. Lalu melompat mundur
dengan paras pias. Kedua tangannya pun
kelihatan bergetar.
"Manusia satu ini harus cepat
kusingkirkan! Jika tidak rencanaku bisa
tertunda!" bisik Datuk Kematian dalam hati.
Tangan kiri kanannya bergerak mengusap da-
danya di mana tersimpan kitab berwarna hitam.
Sepuh Panjalu terkesiap. Sepasang
matanya membelalak besar. Dari tempatnya
berdiri, laki-laki ini melihat sosok Datuk
Kematian bergetar keras. Kejap lain tiba-tiba
seluruh anggota tubuh sang Datuk berubah
menjadi hitam!
"Ilmu apa yang dimiliki manusia itu?
Baru kali ini aku menyaksikannya! Jangan-
jangan...."
Belum sampai Sepuh Panjalu teruskan
membatin, kedua tangan Datuk Kematian yang
mengusap dadanya diturunkan. Anehnya
bersamaan dengan turunnya kedua tangan sang
Datuk, dari dadanya terdengar suara deruan
keras tanpa adanya sesuatu yang melesat.
Sebagai tokoh yang pernah malang
melintang dalam kancah persilatan, Sepuh
Panjalu telah dapat menangkap adanya bahaya.
Dia segera angkat kedua tangannya. Namun
gerakan kedua tangannya tiba-tiba tertahan.
Kejap lain sosoknya mencelat mental sampai
dua tombak dan jatuh bergedebukan di atas
tanah! Darah hitam tampak mengucur dari
mulutnya.
Sepuh Panjalu kerahkan segenap tenaga
dalamnya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia
bergerak bangkit.
"Hem.... Hasil ciptaanku ternyata hebat!
Tapi aku kurang puas kalau orang masih mampu
tegak sehabis terhantam! Atau ini karena dia
punya tenaga dalam luar biasa?" Datuk
Kematian terus pandangi Sepuh Panjalu. Meski
lawan terluka cukup parah begitu terhantam,
tapi raut wajah orang tua ini jelas masih
menunjukkan rasa kecewa.
Namun rasa kecewa sang Datuk ternyata
hanya sekejap. Kejap lain bibirnya tersenyum
tatkala melihat di seberang sana sosok Sepuh
Panjalu kembali terhuyung-huyung sebelum
akhirnya roboh kembali dan muntahkan darah
kehitaman.
Datuk Kematian tertawa pendek. Kaki
kanannya menghentak tanah. Saat lain sosoknya
melesat kearah robohnya Sepuh Panjalu. Tahu-
tahu laki-laki berjubah hitam panjang ini
telah tegak di samping Sepuh Panjalu dengan
kepala mendongak.
"Ternyata kau sia-siakan waktumu yang
sembiian tahun, Sepuh Panjalu!" seraya
berkata, masih tetap mendongak Datuk Kematian
jambak rambut Sepuh Panjalu. Saat bersamaan
kaki kirinya bergerak ke belakang. Lalu
diayun ke depan. Karena tendangan ini bukan
tendangan biasa, maka sekali terhantam, pasti
sosok Sepuh Panjalu akan mencelat mental
dengan nyawa putus apalagi Sepuh Panjalu
dalam keadaan luka dalam cukup parah.
Pada saat hantaman kaki kiri Datuk
Kematian sejengkal lagi mendarat dan
memutuskan nyawa Sepuh Panjalu, mendadak
terdengar deruan pelan. Hebatnya Datuk
Kematian merasakan adanya sebuah kekuatan
dahsyat yang menghalangi hingga bukan saja
hantaman kakinya tertahan namun sosoknya
terdorong ke belakang!
* * *
TIGA
Meski sudah dapat menduga kalau ada
orang yang ikut campur urusannya, tapi Datuk
Kematian seolah ingin segera menyelesaikan
urusannya dengan Sepuh Panjalu. Hingga dia
cepat kerahkan tenaga dalamnya. Lalu sekali
lagi kaki kirinya lakukan tendangan.
Tapi sang Datuk jadi terkesiap. Belum
sampai kaki kirinya bergerak lakukan
hantaman, deruan itu kembali terdengar. Kejap
lain bukan saja kaki kirinya laksana kaku,
tapi sosoknya tersurut sampai tiga langkah!
"Jahanam!" maki sang Datuk dengan suara
bergetar keras. Cepat dia berpaling ke kanan
dari mana suara deruan terdengar.
Datuk Kematian tegak dengan sosok
bergetar. Rahangnya menggembung, namun sesaat
kemudian bibir laki-laki berjubah hitam
panjang ini tersenyum.
"Akhirnya kau muncul juga Resi
Kamahayanan! Dan berarti aku benar-benar akan
tinggalkan tempat ini tanpa berhampa tangan!
Malah aku telah dapat tambahan satu orang!"
Di hadapan Datuk Kematian tampak tegak
bersedekap seorang laki-laki berusia lanjut
dengan rambut putih digelung tinggi ke atas.
Orang ini mengenakan jubah putih. Laki-laki
ini tidak lain adalah orang yang sedari tadi
duduk di atas ranting dan bukan lain adalah
seorang tokoh dunia persilatan yang sudah
tidak asing lagi bagi kalangan orang
persilatan yakni Resi Kamahayanan.
Pada beberapa puluh tahun silam, nama
Resi Kamahayanan sempat menjulang meski saat
itu suasana dalam keadaan kacau akibat perang
saudara di antara keturunan Raja-raja
Singasari Hal ini karena Resi Kamahayanan
selain tidak berpihak pada salah satu
golongan yang sedang terlibat perang, dia
juga tak segan-segan turut campur tangan jika
ada kerusuhan yang merugikan rakyat jelata.
Salah satunya adalah peristiwa berdarah
yang terjadi di Lembah Ngurawan. Saat itu
seorang tokoh berilmu tinggi bernama Ageng
Barada yang dikenal sebagai-tokoh hitam dan
momok rimba persilatan mengundang beberapa
tokoh persilatan dan di sana Ageng Barada
mentasbihkan diri sebagai penguasa tunggal
rimba persilatan dan memerintahkan semua
tokoh yang hadir untuk mengangkat sumpah dan
harus menjalankan semua perintahnya. Karena
di antara beberapa tokoh yang hadir ada yang
tidak setuju dengan gagasan Ageng Barada maka
terjadilah pembantaian besar-besaran. Malah
karena ingin melampiaskan kemarahan dan ingin
menunjukkan kekuasaannya, Ageng Barada tidak
segan-segan menghabisi rakyat jelata yang
tidak mengerti apa-apa. Saat itulah Resi
Kamahayanan turun tangan. Ageng Barada dapat
diatasi.
Lalu pada tahun berikutnya muncul pula
tokoh bernama Sepuh Panjalu. Seperti halnya
Ageng Barada, Sepuh Panjalu juga hendak
memaklumkan diri sebagai raja rimba
persilatan. Namun niatnya terhalang oleh Resi
Kamahayanan lagi.
Sejak peristiwa itu rimba persilatan
mereda, meski keadaan masih kacau akibat
perang saudara. Dan sejak itu pula Resi
Kamahayanan menghilang dari arena dunia
persilatan. Tidak seorang pun yang tahu kabar
tentang tokoh ini bahkan sampai nama Ageng
Barada kembali muncul ke permukaan meski kali
ini kemunculannya hanya diketahui oleh
kalangan tertentu dan berada di belakang
Panembahan Suro Agung yang diketahui ingin
mengambil alih kerajaan.
"Ageng Barada.... Harap maafkan diriku
kalau kau tersinggung karena aku menghalangi
niatmu...."
Datuk Kematian tersenyum sinis. Lalu
berkata dengan sepasang mata menatap tajam.
"Tanpa kusentuh pun anak manusia itu
akan mampus! Dan kini tiba giliranmu!"
Resi Kamahayanan tersenyum seraya
gelengkan kepala. "Ageng Barada. Meski
terlambat mungkin tak ada salahnya kalau aku
minta maaf atas kejadian pada dua belasntahun
yang lalu. Percayalah. Hal itu sudah
kulupakan dan aku sangat menyesal atas
peristiwa itu!"
Datuk Kematian tertawa pendek. "Buka
telingamu lebar-lebar! Yang ada di hadapanmu
saat ini bukan Ageng Barada, tapi Datuk
Kematian! Kau dengar?!"
Resi Kamahayanan anggukkan kepala. Dia
hendak buka mulut berucap, namun sebelum
suaranya terdengar, Datuk Kematian telah
mendahului berkata.
"Kedatanganku yang tertunda selama dua
belas tahun bukan untuk mendengarkan
permintaan maafmu! Tanpa minta maaf pun aku
akan melupakan peristiwa itu asal aku pulang
dengan membawa penggalan kepalamu!"
"Datuk Kematian... tidak adakah jalan
lain selain kekerasan untuk melupakan
kejadian itu? Kita sudah sama-sama tua.
Terlalu lucu kalau kita yang sudah tua-tua
ini harus menyelesaikan urusan dengan jalan
kekerasan. Lebih-lebih lagi aku sudah lama
undur diri dari dunia persilatan!"
Mendengar kata-kata Resi Kamahayanan,
Datuk Kematian tertawa terbahak.
"Kau rupanya lupa. Kejadian dua belas
tahun yang lalu adalah kekerasan. Jadi tak
ada yang dapat menyelesaikannya selain
kekerasan! Aku tak peduli kau telah undur
diri atau tidak. Bagiku urusan ini belum
selesai kalau salah satu di antara kita belum
berkalang tanah!"
"Menyesal sekali. Ternyata di antara
kita ada perbedaan...."
Datuk Kematian mendengus keras. "Itu
urusanmu! Urusanku membuatmu seperti anak
manusia bernasib jelek itu!" seraya berkata
tangan Datuk Kematian menunjuk pada sosok
Sepuh Panjalu.
Resi Kamahayanan terkejut. Bukan karena
ucapan sang Datuk melainkan karena melihat
Sepuh Panjalu. Ternyata laki-laki berpakaian
biru gelap ini telah kaku dengan sekujur
tubuh menghitam laksana dipanggang bara api!
"Tak kuduga jika ucapannya akan jadi
kenyataan. Orang ini benar-benar mengalami
kemajuan pesat. Dua belas tahun silam dia
belum memiliki ilmu yang bisa membuat orang
terkapar dalam beberapa gebrakan dengan tubuh
hangus. Dari mana dia mempelajari ilmu itu?
Selama ini aku belum pernah mendengar ada se-
orang tokoh yang menciptakan ilmu seganas
itu! Hem...." Resi Kamahayanan menarik napas
panjang.
"Kau sudah siap menyusul?!" kata Datuk
Kematian tanpa memandang.
"Perihal kematian aku sudah
mempersiapkan diri sejak lama. Tapi perihal
urusan di antara kita, aku sejak lama sudah
melupakannya! Kuharap kau mengerti dan
menghilangkan kesalahpahaman ini."
"Bagus kalau kau telah mempersiapkan
diri soal kematianmu sejak lama. Hari ini
persiapanmu berakhir!"
Habis berkata begitu, Datuk Kematian
berkelebat ke depan. Mungkin untuk menjajaki
kekuatan lawan yang pada beberapa puluh tahun
silam dapat mengalahkannya, Datuk Kematian
tidak segera keluarkan ilmu andalannya.
Sebaliknya dia hanya kerahkan setengah tenaga
dalamnya lalu menghantamkan kedua tangannya
ke arah kepala Resi Kamahayanan dari arah
samping kiri kanan.
Meski semula tidak ingin melayani Datuk
Kematian, namun Resi Kamahayanan tidak begitu
saja tinggal diam, apalagi dia menangkap
adanya bahaya jika Ageng Barada yang kini
memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian itu
dibiarkan. Ketika sang Datuk belum memiliki
ilmu andalan saja sudah menginginkan semua
orang persilatan tunduk padanya, apalagi jika
kini dia mempunyai ilmu andalan.
Berpikir sampai di situ, niat Resi
Kamahayanan akhirnya berubah. Laki-laki
berjubah putih ini segera angkat kedua
tangannya memangkas tangan Datuk Kematian.
Desss! Desssss!
Dua pasang tangan bertenaga dalam
bentrok di udara. Kejap lain keduanya sama
mundur dua tindak. Paras keduanya tampak
berubah. Dari bentrokan tadi masing-masing
orang sudah cukup mengetahui tingkat tenaga
lawan.
Mungkin sudah dapat menjajaki sampai di
mana kemampuan lawan, Datuk Kematian angkat
kedua tangannya. Laksana kilat kedua
tangannya serta-merta didorong ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin dahsyat melabrak
ganas dengan keluarkan suara menggidikkan.
Sesaat Resi Kamahayanan tampak agak terkejut.
Tapi di lain kejap ia sudah gerakkan kedua
tangannya.
Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi betemu di udara. Tempat itu laksana
dilanda gempa hebat. Disusul dengan
terdengarnya dua seruan lalu tampak dua sosok
tubuh sama mental.
Sosok Datuk Kematian tersapu satu
tombak. Punggung laki-laki berjubah panjang
hitam itu sempat meng-hantam sebatang pohon
lalu jatuh terduduk dengan sekujur tubuh
bergetar keras. Dia merasakan dadanya
berdenyut nyeri. Namun ia cepat kerahkan
tenaga dalam. Saat lain sosoknya bergerak
bangkit.
Di seberang, Resi Kamahayanan terlihat
terjengkang. Meski sejenak tadi dia berusaha
bertahan agar tidak terjengkang jatuh, namun
rupanya sia-sia. Raut muka laki-laki itu
berubah pucat pasi. Namun begitu dilihatnya
Datuk Kematian telah bangkit, dia cepat pula
sentakkan kedua tangannya ke atas tanah.
Sosoknya tegak kembali dengan sepasang mata
menatap tajam ke depan.
Di depan sana, Datuk Kematian mendongak.
Kedua tangannya terangkat ke arah dada. Lalu
mengusap dada di mana Kitab Hitam tersimpan
di baliknya. Bersamaan dengan itu sekujur
kulit tubuh sang Datuk berubah warna menjadi
hitam!
Tahu bagaimana kedahsyatan ilmu yang
hendak dilancarkan Datuk Kematian, Resi
Kamahayanan cepat berkelebat ke samping. Saat
kedua kakinya menginjak tanah, laki-laki ini
membuat gerakan berputar.
Sebongkah kabut tebal tampak melindungi
Resi Kamahayanan hingga sosoknya lenyap tidak
kelihatan. Di lain kejap dua sinar putih
melesat dari dalam bongkahan kabut keluarkan
deruan dahsyat memekak telinga.
Datuk Kematian sejenak beliakkan
sepasang matanya dengan kepala diluruskan.
Karena pada dua belas tahun silam pernah
bentrok dengan Resi Kamahayanan menjadikan
dirinya tahu bagaimana keganasan pukulan
lawan yang kini telah menggebrak ke arahnya.
Namun Datuk Kematian sekarang bukanlah
Ageng Barada pada dua belas tahun lampau yang
tidak berani menyambuti pukulan lawan malah
harus terluka karenanya. Datuk Kematian kini
bukan saja tenang-tenang menyambuti pukulan
lawan bahkan sambil terus mengusap-usap
dadanya, dia tertawa bergelak.
"Kau salah besar kalau menganggap
pukulanmu masih ampuh seperti dua belas tahun
silam, Resi Jahanam!"
Selesai berucap, kedua tangan Datuk
Kematian luruh ke bawah. Bersamaan dengan itu
terdengar suara deruan pelan. Tidak ada sinar
yang terlihat. Namun hebatnya dua sinar putih
yang melabraknya laksana terhantam kekuatan
luar biasa dahsyat. Saat lain dua sinar putih
yang dilancarkan Resi Kamahayanan dari dalam
bongkahan kabut bertabur ke udara keluarkan
suara meletup keras. Bukan hanya sampai di
situ, sesaat setelah dua sinar hancur
berantakan, bongkahan kabut yang melindungi
sang Resi tampak terdorong keras laksana
tersapu gelombang besar.
Datuk Kematian kembali tertawa bergelak.
Sementara bongkahan kabut yang membungkus
sosok Resi Kamahayanan terus tersapu ke
belakang. Namun sejauh ini bongkahan kabut
itu belum juga dapat terbongkar.
Melihat hal ini, Datuk Kematian putuskan
gelakan tawahya. Kedua tangannya kembali
mengusap dadanya. Kejap lain kembali
terdengar deruan pelan takkala kedua tangan
sang Datuk telah luruh ke bawah.
Di depan sana, tiba-tiba bongkahan kabut
tersibak. Samar-samar sosok Resi Kamahayanan
terlihat. Kedua tangannya yang tampak
merangkap di depan dada terbuka. Lalu
bergerak tertarik ke belakang. Tapi sebelum
kedua tangan itu lakukan gerakan berikutnya,
mendadak orang tua berjubah putih ini
tersentak. Kabut yang sudah tersibak
sekonyong-konyong meletup ambyar. Kejap lain
sosok sang Resi tersapu keras dan terjatuh
dua tombak dari tempatnya semula!
Darah kehitaman tampak keluar dari mulut
dan hidung Resi Kamahayanan. Gelungan
rambutnya lepas dan sebagian kelihatan
terpangkas laksana tersambar kobaran api.
Jubah putihnya hangus. Sosoknya bergetar
hebat. Sepasang matanya memejam rapat dengan
mulut keluarkan erangan panjang.
Datuk Kematian mendongak. Suara tawanya
kembali menggetarkan tempat itu. Puas
tertawa, laki-laki ini melangkah ke arah
jatuhnya sang Resi.
Satu langkah di samping Resi
Kamahayanan, Datuk Kematian hentikan langkah.
Sepasang matanya sesaat perhatikan sosok sang
Resi. Meski Resi Kamahayanan sudah tidak
bergerak-gerak lagi karena nyaris pingsan,
namun sang Datuk rupanya masih bersikap
waspada. Dia tidak berani langsung jongkok.
Sebaliknya dia angkat kaki kanannya. Lalu
diietakkan di atas dada sang Resi.
"Hem.... Hanya tinggal nunggu sang
pencabut nyawa!" kata Datuk Kematian seraya
tersenyum. "Sebenarnya bisa saja aku langsung
membuat nyawanya terputus. Tapi aku ingin dia
merasakan bagaimana nikmatnya sekarat!"
Selesai bergumam begitu, Datuk Kematian
tarik pulang kaki kanannya. Menatap sejurus
pada sosok sang Resi yang perlahan-lahan
berubah warna kehitaman. Saat lain sosoknya
berputar lalu seraya tertawa terbahak sosok
sang Datuk berkelebat tinggalkan tempat itu.
Hanya beberapa saat setelah berlalunya
Datuk Kematian, satu bayangan berkelebat.
Tahu-tahu bayangan ini telah tegak enam
langkah dari tempat terkaparnya Resi
Kamahayanan.
Dia adalah seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya
hitam tebal dibiarkan bergerai. Sepasang
matanya tajam dengan dada bidang.
Sejurus pemuda ini arahkan pandangannya
pada sosok yang tergeletak. Sepasang matanya
menyipit membesar. Kejap lain pemuda ini
melangkah satu tindak dengan pandangan tak
berkesip. Namun sekonyong-konyong dia
menghambur dengan berseru keras.
"Eyang Guru!"
Si pemuda memeluk sosok Resi Kamahayanan
dan mengguncangnya seraya berteriak
memanggil. Namun Resi Kamahayanan tidak
membuat gerakan apa-apa. Malah sepasang
matanya tetap memejam rapat dan darah hitam
makin banyak mengucur dari mulut dan
hidungnya.
Sang pemuda tempelkan telinganya pada
dada sang Resi. Lalu dia cepat tarik pulang
kepalanya. Saat lain kedua tapak tangannya
telah diietakkan pada dada sang Resi.
Sepasang matanya memejam.
Usaha sang pemuda rupanya tidak sia-sia.
Setelah beberapa saat, mendadak Resi
Kamahayanan membuat gerakan. Kedua tangannya
terangkat. Bersamaan dengan itu sepasang
kelopak matanya membuka.
"Eyang Guru! Siapa yang berbuat ini?"
Resi Kamahayanan gelengkan kepalanya
pelan. Mulutnya membuka hendak berkata. Si
pemuda menunggu. Tapi setelah sekian lama
tidak juga terdengar suara.
"Eyang.... Eyang harus katakan siapa
yang berbuat ini!" kata si pemuda.
Untuk kedua kalinya Resi Kamahayanan
gelengkan kepala. Lalu terdengarlah
ucapannya.
"Mara Sakti.... Ada yang lebih...
daripada... pertanyaanmu...," suara Resi
Kamahayanan tersendat. "Salurkan... tenaga
murnimu.... pada telapak tangan kiriku...."
Meski tidak mengerti apa maksud ucapan
gurunya, si pemuda yang dipanggil Mara Sakti
turuti ucapan sang Resi.
Begitu hawa murni Mara Sakti telah
tersalurkan lewat tapak tangan kirinya, Resi
Kamahayanan tampak sunggingkan senyum lalu
buka mulut.
"Pecahkan batu putih sepuluh langkah
dari pohon di sebelah utara gubuk kita.
Selamatkan apa yang nanti kau temukan di
sana. Jangan kau potong ucapanku, Mara
Sakti...," kata sang Resi begitu melihatsang
murid hendak buka mulut. "Waktuku mungkin
tinggai sedikit. Kau hanya perlu
mendengarkan...."
Mara Sakti akhirnya urungkan niat untuk
buka suara. Kepala pemuda ini lantas
mengangguk. Sesaat kemudian Resi Kamahayanan
buka mulut lagi.
"Ingat, Mara Sakti.... Kau hanya boleh
menyelamatkan apa yang nanti kau temukan.
Meski kau adalah satu-satunya muridku, namun
kau harus dapat menerima kenyataan ini. Apa
yang nanti kau temukan bukanlah sesuatu yang
boleh kau miliki. Kau hanya bertugas untuk
menjaganya sampai suatu waktu kelak ada orang
yang ditakdirkan untuk memilikinya...."
Untuk beberapa lama Resi Kamahayanan
hentikan ucapannya. Setelah menarik napas
panjang dia melanjutkan.
"Kalau kau nanti merasa sudah waktunya
menghadap Yang Maha Kuasa dan orang yang
ditentukan memiliki apa yang nanti kau
temukan belum muncul, kau harus serahkan
sesuatu itu pada orang yang kau percaya.
Namun di balik semua itu, kau tetap bertugas
menjaganya sampai nanti jatuh pada orang yang
berhak. Jika semua itu sudah kau laksanakan,
berarti tugasmu selesai...."
Kembali Resi Kamahayanan hentikan
ucapannya. Mungkin karena tidak kuasa menahan
keingintahuannya, apalagi setelah itu sang
guru tidak berkata lagi, Mara Sakti beranikan
diri angkat bicara.
"Semua pesan Eyang Guru akan kulakukan.
Tapi harap Eyang ceritakan apa yang
sebenarnya terjadi biar aku tidak merasa
gelap dengan semua ini. Apalagi Eyang telah
menugaskanku menjaga sesuatu itu sampai pada
orang yang nanti berhak...."
"Saat ini telah muncul seorang tokoh
yang tanpa kuduga sama sekali memiliki ilmu
luar biasa. Sebenarnya aku mungkin dapat
bertahan seandainya tenagaku tidak terkuras
masuk pada sesuatu yang nanti kau temukan.
Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa ber-
tahan. Namun mungkin inilah takdir yang harus
kuterima...."
"Harap Eyang mau mengatakan siapa orang
itu dan mengapa sampai berbuat keji pada
Eyang...."
"Soal siapa orangnya biarlah aku sendiri
yang tahu. Aku tak mau urusan ini berlanjut.
Cukup sampai aku saja! Untuk hal-hal lainnya
nanti bisa kau temukan di tempat yang kusebut
tadi...."
Mara Sakti menarik napas dalam. Pemuda
ini kelihatan sedikit kecewa dengan jawaban
eyang gurunya. Namun sebagai murid dia tidak
berani mendesak apalagi melihat keadaan sang
guru.
"Mara Sakti.... Pesan terakhirku. Kau
harus segera mencari tempat baru. Dan hindari
bentrok dengan siapa pun. Tugasmu adalah
menjaga apa yang nanti kau temukan...."
"Semua ucapan Eyang akan kukerjakan.
Sekarang apa yang harus kulakukan untuk
menyembuhkan luka-luka Eyang."
Resi Kamahayanan tersenyum seraya
gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu kau
lakukan, Mara Sakti. Jika kau laksanakan apa
yang kukatakan itu sudah lebih dari
cukup...."
Habis berkata begitu, Resi Kamahayanan
tarik tapak tangannya dari tangan Mara Sakti.
Bersamaan dengan itu sepasang matanya
memejam. Kejap lain hembusan napasnya
terputus!
Mara Sakti yang tidak menyangka
terkesiap. Dia buru-burutempelkan lagi tapak
tangannya pada telapak tangan kiri sang Resi.
Namun terlambat.
"Eyang.... Eyang.... Eyang...!" seru
Mara Sakti seraya guncang-guncang tubuh eyang
gurunya. Tapi sosok itu tidak lagi bergerak-
gerak. Malah sekujur tubuhnya kini telah
menghitam!
Seakan masih tidak percaya, pemuda ini
telungkupkan tubuh eyang gurunya lalu kedua
tangannya ditempelkan di punggungnya dan
salurkan hawa murni. Namun hingga keringat
membasahi sekujur tubuhnya, sosok Resi
Kamahayanan tidak juga mengalami perubahan.
Tetap tegang kaku!
Mara Sakti tarik pulang kedua tangannya
dengan menarik napas panjang dan dalam. Lalu
perlahan-lahan dia balikkan kembali tubuh
eyang gurunya. Sesaat kemudian dia telah
tegak dengan membopong sosok sang Resi.
"Eyang Guru.... Segala yang kau ucapkan
akan kulaksanakan meski sebenarnya aku ingin
membalas pada orang yang berbuat keji itu!"
gumam Mara Sakti lalu melangkah dengan
tabahkan hati dan menahan agar air matanya
tidak menetes.
Sejarak dua tombak, Mara Sakti hentikan
langkah. Sepasang matanya memperhatikan pada
sosok yang menggeletak yang bukan lain adalah
mayat Sepuh Panjalu.
"Jangan-jangan orang ini yang...." Mara
Sakti tidak lanjutkan gumamannya. Sekali lagi
dia perhatikan pada mayat Sepuh Panjalu.
"Ah.... Tidak mungkin dia! Apa yang
dialami orang ini hampir sama dengan yang
menimpa Eyang Guru. Berarti dia juga korban
orang yang berbuat pada Guru. Hem....
Seandainya Eyang memberitahukan padaku siapa
orangnya...."
Mara Sakti pandangi sosok mayat Resi
Kamahayanan yang berada di bopongannya. Lalu
gelengkan kepala sambil menarik napas dalam.
"Aku akan mengurus jenazah Eyang dahulu,
baru orang itu...."
Mara Sakti putar diri setengah lingkaran
lalu teruskan langkah.
* * *
EMPAT
MARA Sakti tegak di samping pohon di
dekat gubuk dengan sepasang mata memandang
lurus ke utara pada beberapa batu putih yang
tampak berjajar rapi.
"Hem.... Aku tidak menyangka kalau Eyang
Guru menyimpan sesuatu di salah satu batu
itu. Lebih tidak menyangka lagi kalau Eyang
harus secepat itu pergi. Tapi apa harus
dikata.... Semuanya sudah terjadi. Yang pasti
aku harus segera laksanakan pesan Eyang Guru...."
Mara Sakti palingkan kepala kekanan.
Kini sepasang matanya menatap pada dua
gundukan tanah merah. Setelah mengerjap
beberapa kali menahan gejolak dadanya, pemuda
ini melangkah ke arah utara pada beberapa
batu putih. Seraya melangkah pemuda ini
menghitung.
Tepat pada lang kanan kesepuluh, Mara
Sakti hentikan langkahnya. Di hadapannya
tampak satu batu putih agak besar. Mara Sakti
ulurkan kedua tangannya meraba permukaan batu
putih.
"Heran. Bagaimana mungkin Eyang
mengatakan sesuatu itu berada di dalam batu
ini. Padahal batu itu tidak tampak
rengkahan!"
Sekali lagi Mara Sakti meraba-raba
seraya per-hatikan lebih saksama. Tapi sejauh
ini sang pemuda memang tidak menemukan adanya
lobang atau rengkahan.
"Apa aku harus memecahnya?" pikir Mara
Sakti.
Setelah sekian lama tidak mendapatkan
jalan keluar, akhirnya dia memutuskan untuk
memecah batu putih itu. Dia angkat kedua
tangannya.
Prakkkk!
Karena pukulan itu bukan pukulan biasa,
maka sekali pukul batu itu langsung pecah.
Tapi ada keanehan, walau batu putih itu pecah
namun langsung membelah. Tidak ada pecahan
kecil-kecill
Mara Sakti tidak pedulikan keanehan itu
karena sepasang matanya membentur pada dua
benda berwarna kuning dan biru yang saling
bertumpuk. Di sebelahnya terdapat sebuah daun
lontar yang menggulung.
"Kitab!" seru Mara Sakti begitu dapat
mengenali dua benda kuning dan biru yang
bertumpuk.
Untuk beberapa lama Mara Sakti mengawasi
kedua benda yang bertumpuk yang tidak lain
memang dua kitab adanya. Dada pemuda ini
berdebar. Kedua tangannya bergetar. Mara
Sakti maju mendekat. Namun pemuda ini tidak
berani bertindak sembarangan. Rupanya dia
maklum bahwa bahaya bisa timbul dengan tidak
terduga.
Setelah kerahkan segenap tenaga
dalamnya, dia mengawasi keadaan di muka. Saat
lain kepalanya berputar dengan mata mengawasi
berkeliling. Begitu merasa tidak ada orang
lain, dia ulurkan kedua tangannya mengambil
daun lontar yang tergulung di sebelah dua
kitab yang bertumpuk.
Dengan tangan masih bergetar, daun
lontar diambil. Perlahan-lahan daun lontar
dibuka. Ternyata di dalamnya terdapat satu
butiran sebesar ibu jari berwarna merah.
Sesaat diperhatikannya butiran merah itu.
Lalu disimpannya ke balik pakaiannya.
Kemudian dia perhatikan daun lontar. Di situ
terdapat tulisan.
Kelak hanya anak manusia yang memiliki
Pedang Tumpul 131 yang berhak memiliki Kitab
Serat Biru dan Sundrik Cakra ini. Anak manu-
sia itu memiliki tanda angka 131 pada telapak
tangan kirinya serta gambar seorang tua
mengenakan sorban putih. Kelak jika anak
manusia itu muncul, terlebih dahulu serahkan
butiran merah ini.
Pada bagian bawah daun lontar juga
terdapat tulisan.
Siapa pun yang tidak berhak, jangan
coba-coba membuka. Dan sampaikan pesan ini
pada orang yang dipercaya kalau anak manusia
yang ditentukan belum juga muncul.
Setelah membaca berulang kali, Mara
Sakti masukkan daun iontar ke balik
pakaiannya. Lalu perlahan-lahan kedua
tangannya menjulur mengambil dua tumpukan
kitab berwarna kuning dan biru,
Sepasang mata Mara Sakti tak berkesip
perhatikan dua kitab yang dipegangnya dengan
tangan bergetar. Sesaat dada pemuda ini
dirasuki kebimbangan antara menuruti pesan
dan melanggarnya. Malah sejurus tangan
kanannya sudah bergerak hendak membuka kitab.
Namun tiba-tiba seakan-akan ada kekuatan dah-
syat yang menghalangi. Bukan saja membuat
tangan kanannya tertahan, tapi tubuhnya
berguncang!
Sadar akan apa yang hendak terjadi, Mara
Sakti urungkan niat. "Maafkan aku Eyang...,"
gumamnya seraya menoleh pada gundukan tanah
merah di sebelah kanan.
Setelah dapat kuasai diri, Mara Sakti
putar kepalanya kembali. Kejap lain kedua
kitab dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu
melangkah kearah gundukan tanah merah.
"Eyang Guru.... Semoga arwahmu tenang.
Aku akan laksanakan tugas yang kau
berikan...." Mara Sakti bungkukkan tubuh.
Lalu putar diri dan berkelebat ting-galkan
tempat itu.
* * *
Kita tinggalkan dahulu Mara Sakti yang
mengemban tugas dari eyang gurunya. Kita
ikuti lagi perjalanan dedengkot rimba
persilatan Ageng Barada yang kini telah
memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian.
Saat ini adalah hari kesembilan setelah
terbunuhnya Resi Kamahayanan di tangan Datuk
Kematian.
Matahari baru saja merambat dari titik
tengahnya. Pada lamping jurang sebelah
selatan Dusun Udan Awu, seorang laki-laki
berusia setengah baya berwajah garang
mengenakan pakaian lusuh tampak berulang kali
menghela napas panjang dan sesekali mengusap
wajahnya yang kelimis dengan kedua telapak
tangannya. Lalu sepasang matanya yang tajam
berputar liar ke sana kernari dan acap kali
terpentang besar perhatikan ke arah luar goa,
di dalam mana saat itu dia berada.
Mungkin karena suasana di luar goa tidak
begitu jelas, laki-laki ini beranjak
melangkah ke arah mulut goa. Kepalanya lalu
disorongkan melampaui mulut goa. Teriknya
sinar matahari segera menyambut, namun orang
ini tidak segera menarik pulang kepalanya.
Seba-liknya sepasang matanya dipentangkan
besar perhatikan keadaan di luar.
Setelah agak lama baru laki-laki ini
tarik kembali kepalanya masuk. Lalu putar
diri dan melangkah ke ba-gian tengah dalam
goa. Kedua bahunya tampak digerak-gerakkan.
Kedua telapak tangannya kembali mengusap
wajahnya. Sesaat kemudian dia melangkah
mondar-mandir dengan kedua tangan saling
meremas. Dari gerak-gerik laki-laki ini jelas
memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu
sesuatu atau setidaknya menanti kedatangan
orang.
"Bayumanik dan Sawitri tidak ada kabar
beritanya. Lalu dua utusan yang menyusul juga
tak menemukannya. Ada apa gerangan? Dan ke
mana dia menghilang? Saat ini adalah hari
perjanjian. Tapi mengapa dia belum juga
muncul?!" gumamnya seraya mengerling ke arah
mulut goa.
"Akan kutunggu hingga matahari
tenggelam. Kalau dia tidak muncul hari ini
pasti telah terjadi sesuatu! Hem...."
Laki-laki ini goyangkan kepala. Lalu
melangkah menuju bagian samping dinding goa.
Dia telah memutuskan untuk menunggu seraya
bersemadi.
Laki-laki ini duduk bersila menghadap
mulut goa. Perlahan sepasang matanya memejam.
Namun baru saja kelopak matanya mengatup,
tiba-tiba saja dia membuka kembali.
"Hem.... Ada orang menuju kemari. Mudah-
mudahan bukan orang lain!" desisnya sambil
pentangkan mata mengawasi keluar goa.
Laki-laki ini tidak menunggu lama untuk
buktikan ucapannya. Karena di lain kejap satu
bayangan hitam berkelebat di depan mulut goa.
Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di
dalam goa!
Rasa tegang dan cemas yang sejenak tadi
terbayang di wajah laki-laki di dalam goa
mengendor. Sejarak enam langkah dari
tempatnya, seorang laki-iaki berusia lanjut
tampak tegak dengan sedikit dongakkan kepala.
Laki-laki ini mengenakan jubah panjang
berwarna hitam sampai kedua mata kakinya.
Laki-laki setengah baya beranjak
bangkit. Memperhatikan pada orang yang baru
datang dan tidak lain adalah Datuk Kematian
lalu berkata.
"Syukur kau datang, Ageng Barada. Aku
sudah Cemas dan khawatir kau mendapat
halangan!"
"Panembahan Suro Agung!" kepala Datuk
Kematian bergerak menghadap laki-laki di
hadapannya. "Aku selalu menepati janji!"
"Benar! Tapi sebenarnya aku telah
merubah hari perjanjian kita...!"
Dahi Dewa Kematian berkerut. "Apa
maksudmu...?!"
"Apa sebelum ini kau tidak kedatangan
orang?!"
Sepasang mata Datuk Kematian menyipit.
"Selama aku menyendiri dan menunggu hari
perjanjian, tidak seorang pun menemuiku!"
"Hem.... Rupanya ada yang tidak beres!"
"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu!"
Laki-laki yang dipanggil dengan
Panembahan Suro Agung arahkan pandangan ke
jurusan lain lalu berucap.
"Setengah purnama yang lalu aku mengutus
dua orang untuk menemuimu! Aku bermaksud
mengajukan hari pertemuan kita. Namun kedua
orang utusan itu tidak ada kabar beritanya.
Malah orang yang kusuruh menyusul ke tempatmu
mengatakan kau tidak ada di tempat!"
Datuk Kematian tertawa perlahan. "Aku
sengaja pergi dari tempatku sebelum hari yang
ditentukan. Tapi kepergianku tiga hari yang
lalu. Jadi kalau benar dua utusanmu berangkat
setengah bulan yang lalu, pasti dia masih
sempat menemuiku! Nyatanya tidak seorang pun
yang muncul di tempatku!"
"Hem.... Itulah yang membuatku gusar,
Ageng Barada! Jangan-jangan utusan itu
berkhianat!"
Datuk Kematian geiengkan kepala. "Itu
tidak mungkin, Panembahan Suro!"
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?!"
"Kalau mereka berkhianat, mungkin tempat
ini telah dikepung musuh kita. Padahal aku
tidak melihat adanya orang di luar sana!"
"Lalu ke mana mereka?!"
"Tiga hari aku berkeliaran di luar. Tapi
itu sudah cukup bagiku menarik kesimpulan
kalau saat ini suasana benar-benar kacau!
Bukan tidak mungkin kedua orang itu
tersandung halangan Tapi kau tidak usah
cemas, dengan tidak adanya orang yang
mengetahui pertemuan ini, berarti kedua orang
itu masih dapat menyimpan rahasia!"
Panembahan Suro Agung anggukkan kepala.
"Tapi aku masih belum tenang, Ageng Barada!
Mungkin saja mereka bisa menyimpan rahasia
pertemuan ini, tapi tidak mustahil dia
membuka rahasia yang lain!"
"Hem,... Itukah sebabnya kau menyamar
dengan mengenakan pakaian dekil?!" tanya
Datuk Kematian seraya perhatikan pakaian yang
dikenakan Panembahan Suro Agung.
"Seperti ucapanmu, keadaan saat ini
benar-benar kacau. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak kuingin-an, terpaksa aku harus
menyamar begini rupa!"
"Hem.... Sekarang katakan apa
rencanamu!"
"Ageng Barada. Saat inilah waktu yang
kita tunggu-tunggu! Enam hari di muka kita
bergerak!"
"Secepat itu? Apakah semuanya sudah
siap?!"
"Sebenarnya waktu yang kita tentukan
semula bukan enam hari di muka. Tapi dengan
tidak munculnya kedua utusan yang menemuimu,
aku khawatir rencana ini bocor. Jadi harinya
kita rubah. Ini untuk menjaga hal di luar
dugaan kita! Mengenai persiapan, semuanya
beres. Dan kau yang nanti memimpin orang-
orang kalangan persilatan!"
"Soal pembagian kalau kita berhasil?!"
"Tetap seperti semula. Kau akan mendapat
jabatan tinggi! Lebih dari itu kau nanti
berhak mengurus tokoh-tokoh rimba
persilatan!"
Datuk Kematian tersenyum. Diam-diam
dalam hati laki-laki ini berkata. "Jangan
kira aku tidak mengetahui niat busukmu,
Panembahan Geblek! Kau hanya membutuhkan
tenagaku saat genting begini. Begitu
kekuasaan telah kau genggam, kau akan
singkirkan diriku, Hem.... Jangan kira aku
dapat kau langkahi!"
Kalau Datuk Kematian diam-diam membatin
begitu, ternyata Panembahan Suro Agung juga
berkata sendiri dalam hati. "Ageng Barada!
Saat ini bisa saja kau mabuk kepayang dengan
angan-anganmu! Tapi begitu kekuasaan berada
di tanganku, kau akan mendapat imbalan
setimpal. Kematian!"
"Apa ada hal-hal yang belum jelas?!"
tanya Panembahan Suro Agung setelah keduanya
sama-sama terdiam dengan pikiran masing
masing.
Datuk Kematian gelengkan kepala. "Kurasa
semuanya cukup jelas. Dan hal itu nanti bisa
kita bicarakan lagi, karena aku akan datang
sebelum enam hari di muka!"
"Baiklah! Aku harus segera pergi...."
Panembahan Suro Agung menatap sejurus
pada Ageng Barada alias Datuk Kematian. Kejap
lain laki-laki setengah baya ini telah
melangkah ke arah mulut goa.
Belum sampai Panembahan Suro Agung
berkelebat keluar goa, mendadak terdengar
suara desiran dahsyat. Laksana kilat
Panembahan Suro Agung balikkan tubuh. Laki-
laki ini terkesiap. Memandang ke depan, satu
gelombang angin luar biasa kencang telah
menggebrak kearahnya! Sementara di depan sana
Datuk Kematian tampak tegak dengan
perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.
"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" seru
Panembahan Suro Agung dengan suara keras.
Sepasang mata laki-laki ini mendelik angker.
Rahangnya mengembung besar. Pelipis kanan
kirinya bergerak-gerak.
Datuk Kematian tidak menjawab.
Sebaliknya dia perkeras tawanya. Di lain
pihak, Panembahan Suro Agung segera
berkelebat menghindar.
Brakkkk!
Goa itu bergetar. Dinding di samping
mulut goa berderak ambrol akibat pukulan yang
dilancarkan Datuk Kematian berhasil dihindari
Panembahan Suro Agung.
Panembahan Suro Agung angkat kedua
tangannya. "Ageng Barada! Kenapa kau
menginginkan kematianku, hah?!"
"Dengar Panembahan Suro Agung! Ageng
Barada telah tiada! Saat ini kau sedang
berhadapan dengan calon penguasa tunggal
rimba persilatan dan kerajaan! Aku adalah
Datuk Kematian!"
"Jahanam pengkhianat! Jangan-jangan kau
telah berbuat keji pada kedua utusanku!"
Datuk Kematian tertawa bergelak lebih
keras. "Lucu! Kau menyebutku pengkhianat!
Padahal bukankah kau yang merencanakan
pengkhianatan ini, hah?! Kau inginkan
kekuasan dan menarik beberapa orang untuk
membantumu mencapai tujuan! Orang macam kau
pantas menerima nasib seperti utusanmu!"
"Keparat! Tidak kusangka kalau kau
berani menggunting lipatanku!"
"Aku bukan orang bodoh seperti yang
selama ini kau duga, Suro Agung! Aku tahu
niat busukmu! Aku tahu siapa kau sebenarnya
dan apa rencanamu setelah tujuanmu tercapai!"
Mendengar ucapan Datuk Kematian, sesaat
Panembahan Suro Agung terdiam. Tapi kejap
lain laki-laki ini tertawa terbahak. "Bagus
kalau kau telah tahu rencanaku. Dan itu
berarti kau harus mampus sebelum waktunya!"
Habis berkata begitu, Panembahan Suro
Agung dorong kedua tangannya yang sedari tadi
sudah terangkat.
Datuk Kematian menyeringai. Laki-laki
berjubah hitam panjang ini tidak tinggai
diam. Kedua tangannya serentak diangkat lalu
dihantamkan memangkas.
Dua gelombang dahsyat bentrok. Untuk
kedua kalinya goa itu bergetar. Langit-
langitnya bertabur.
Baik Datuk Kematian maupun Panembahan
Suro Agung sama tersurut satu langkah ke
belakang. Paras keduanya berubah.
Mungkin karena tahu siapa yang dihadapi,
juga karena ingin segera selesaikan urusan,
begitu dapat kuasai diri Panembahan Suro
Agung selinapkan tangan kanannya ke balik
pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar,
tampak sebuah pedang bersarung berwarna
kuning keemasan.
Melihat Panembahan Suro Agung keluarkan
pedang, bukan membuat Datuk Kematian
terkejut. Sebaliknya laki-laki ini tertawa
seraya kacak pinggang.
"Kau boleh memiliki pedang mustika
beberapa biji, Suro Agung! Tapi sebelum kau
sempat menggunakannya, aku akan terlebih
dahulu memutus selembar nyawamu!"
"Kita lihat, apakah ucapanmu benar!"
sentak Panembahan Suro Agung. Laki-laki ini
sebenarnya tahu sampai di mana kekuatan sang
Datuk karena selama ini keduanya saling
bersahabat. Selain itu sebenarnya Panembahan
Suro Agung bukanlah orang sembarangan. Hanya
karena selama ini dia selalu tidak
menunjukkan kepandaiannya, orang menduga dia
hanya orang terpelajar yang mengabdi pada
salah seorang keturunan Raja Singasari yang
sedang berperang. Namun sebagai sahabat,
Datuk Kematian tahu siapa adanya Panembahan
Suro Agung. Kalau dahulu Datuk Kematian masih
harus berhitung untuk menghadapi sang Panem-
bahan, tidak halnya dengan saat ini.
"Kau salah omong, Suro Agung! Kau tidak
akan dapat melihat! Karena kau akan mampus
terlebih dahulu!"
Panembahan Suro Agung menggereng marah.
Gagang pedang ditarik. Tampaklah sebuah
pedang berwarna putih keperakan pancarkan
cahaya berkilat-kilat.
Panembahan Suro Agung angkat pedangnya.
Di seberang sana Datuk Kematian angkat kedua
tangannya sejajar dada. Lalu secepat kilat
ditarik ke belakang mengusap dadanya di mana
tersimpan kitab hitam yang baru selesai
diciptakan dan telah merenggut beberapa
korban.
Bersamaan dengan merangseknya sosok
Panembahan Suro Agung yang hendak babatkan
pedangnya, terdengar suara deruan pelan.
Panembahan Suro Agung tidak melihat
adanya gelombang satu sinar. Namun laki-laki
ini terkesiap. Sosoknya laksana dihantam
gelombang luar biasa dahsyat hingga bukan
saja sosoknya mental balik, tapi genggaman
pada pedangnya bergetar keras. Kejap lain
pedang di tangan Panembahan Suro Agung
terlepas, sementara sosoknya membentur
dinding ruangan goa sebelum akhirnya jatuh
terduduk dengan darah mengucur dari lobang
hidung dan mulutnya!
Datuk Kematian tertawa mengekeh.
"Ternyata ucapanku yang jadi kenyataan, Suro
Agung!"
Panembahan Suro Agung seakan tidak
percaya dengan apa yang dialaminya. Bahkan
dia seakan juga belum mempercayai apa yang
didengarnya dari mulut Datuk Kematian, hingga
laki-laki ini segera kerahkan segenap tenaga
dalamnya lalu bergerak bangkit.
Tahu apa yang pasti dialami Panembahan
Suro Agung, Datuk Kematian hanya memandang
tanpa membuat gerakan apa-apa. Sementara di
depan sana, sang Panembahan tampak terhuyung.
Untung di belakangnya dinding goa. Jika tidak
niscaya tubuhnya pasti akan roboh.
Dengan pegangi dadanya, Panembahan Suro
Agung sandarkan punggungnya pada dinding goa.
Lalu menatap pada Datuk Kematian. Dengan
bersusah payah, laki-laki ini angkat tangan
kirinya menunjuk.
"Kau...." Ternyata hanya itu suara yang
bisa terdengar dari mulut Panembahan Suro
Agung. Saat bersamaan, tangan kirinya laksana
disentak dan luruh ke bawah. Kejap lain
sosoknya ikut melorot jatuh dengan sekujur
tubuh berubah menjadi kehitaman!
Rupanya Panembahan Suro Agung tidak mau
begitu saja putus asa. Dia kembali hendak
kerahkan tenaga dalam. Namun sia-sia. Dia
mengerang. Tapi erang-annya mendadak
terputus!
Bersamaan dengan itu terdengar suara
tawa bergelak.
* * *
Sejak peristiwa hilangnya Panembahan
Suro Agung tanpa ada seorang pun yang
mengetahuinya, suasana disekitar daerah
Singasari makin tidak karuan. Bukan saja
peperangan makin berkobar tapi beberapa tokoh
dunia persilatan satu persatu hilang atau
kalau ditemukan sudah tidak bernapas lagi
dengan sekujur tubuh berubah laksana
dipanggang bara api hingga tak dapat dikenali
lagi.
Di lain pihak, Ageng Barada alias Datuk
Kematian terus menebar kematian di mana-mana.
Kalau pada awalnya laki-laki ini juga
menginginkan kekuasaan di kerajaan, bersama
berlalunya waktu dia rupanya merubah niat.
Menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal
rimba persilatan nyatanya lebih menarik
hatinya, karena dia berpikir dengan berhasil
menjadi penguasa dunia persilatan mau tidak
mau pihak kerajaan pun nanti pasti akan
tunduk padanya! Setidaknya dia akan bisa
mengatur jalannya kerajaan walau berada di
belakang.
Karena Datuk Kematian memiliki kitab
hitam yang luar biasa hebat, dalam waktu
singkat apa yang menjadi keinginannya
tercapai. Dia menjadi seorang tokoh yang
bukan saja berpengaruh di dalam lingkungan
para keturunan Raja-raja Singasari yang masih
berebut kekuasaan, dia juga muncul sebagai
tokoh rimba persilatan yang ditakuti.
Namun sebagai manusia biasa, Datuk
Kematian punya kelemahan. Yang paling tidak
bisa dia hilangkan adalah kesukaannya pada
perempuan. Karena dia tokoh yang ditakuti,
perempuan apa pun yang dikehendaki dapat
direngkuhnya. Bahkan dia tidak segan-segan
merampas istri orang dan memperkosanya.
Hingga pada satu saat dia benar-benar bertemu
dengan seorang perempuan muda yang selain
sulit ditaklukkan juga punya ambisi.
Sebenarnya bisa saja Datuk Kematian
berbuat kasar pada perempuan ini yang dikenal
dengan nama Ken Rakasiwi. Namun menghadapi
Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak bisa
berbuat banyak, karena sang Datuk benar-benar
menyintai Ken Rakasiwi. Di lain pihak, meski
Ken Rakasiwi tidak punya hati pada Datuk
Kematian namun karena dia berambisi menjadi
permaisuri salah seorang keturunan Raja-raja
Singasari, dia seolah memberi harapan pada
sang Datuk. Namun secara diam-diam dia juga
menjalin hubungan dengan salah seorang
keturunan Raja Singasari.
Ken Rakasiwi tahu kehebatan Datuk
Kematian. Dan sebagai perempuan muda yang
ambisi, dia tidak menyia-nyiakan sang Datuk.
Dia berencana mengambil kehebatan Datuk
Kematian.
Mungkin karena begitu cintanya pada Ken
Rakasiwi, Datuk Kematian tidak sembunyikan
pada perempuan yang berwajah cantik dan
bertubuh bahenol ini apa yang menjadikannya
sebagai tokoh luar biasa.
Sejak saat itulah Ken Rakasiwi mengatur
siasat bagaimana dapat merebut kitab hitam
yang ada di tangan Datuk Kematian. Hingga
pada suatu hari Ken Rakasiwi mengajak sang
Datuk ke satu tempat yang hanya mereka berdua
yang tahu. Ken Rakasiwi telah atur siasat
dengan matang.
Karena Ken Rakasiwi tahu kelemahan sang
Datuk, perempuan ini memanfaatkannya. Mereka
berdua bercumbu. Saat sang Datuk berada pada
puncak gelora, Ken Rakasiwi hujamkan sebuah
pedang kecil tepat pada punggungnya yang
langsung tembus pada ulu hatinya.
Datuk Kematian terperanjat. Meski dia
adalah seorang tokoh rimba persilatan yang
sukar dicari tandingannya, namun karena yang
menancap di punggungnya bukan pedang biasa
tapi sudah dibubuhi racun. maka laki-laki ini
tidak dapat berbuat banyak.
Namun Ken Rakasiwi akhirnya harus pulang
dengan kecewa, karena meski sudah terluka
parah, Datuk Kematian masih sempat menyambar
jubah hitam panjang nya di mana dia simpan
kitab hitam sebelum dia berlari masuk ke
sebuah jurang.
Pada tahun-tahun berikutnya akhirnya
ambisi Ken Rakasiwi tercapai. Dia
dipersunting oleh salah seorang keturunan
Raja Singasari yang pada akhirnya menjadi
penguasa. Ken Rakasiwi pun menjadi seorang
permaisuri. Meski demikian Ken Rakasiwi tidak
mengendurkan pencariannya pada Datuk
Kematian. Secara diam-diam perempuan yang
telah menjadi seorang permaisuri ini
melakukan pencarian di mana Datuk Kematian
menghilang ceburkan diri. Namun sejauh ini
segala usahanya tidak berhasil. Selain dia
hanya mengerti sedikit ilmu silat, dia juga
tidak berani memberitahukan urusannya pada
orang lain. Hingga hanya dialah satu-satunya
orang yang mengetahui di mana sebenarnya
menghilangnya Datuk Kematian.
LIMA
Matahari baru saja merambat dari samping
gunung. Di bawah sebuah pohon besar seorang
pemuda tampak menggeliat bangun. Usap wa-
jahnya dengan kedua telapak tangan lalu
memandang berkeliling sambil tersenyum
sendiri. Saat lain dia menghirup udara dalam-
dalam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
bergerak terangkat lagi. Bukan mengusap
wajahnya kembali namun memasukkan jari
kelingkingnya ke lobang telinga kanannya!
Kali ini senyumnya berubah menjadi ringisan
karena kegelian.
"Ke mana lagi aku harus bertanya? Sudah
beberapa purnama kulalui, namun tidak satu
pun orang yang tahu perihal yang kutanyakan!
Di lain pihak Orang Tua yang sebutkan diri
sebagai penjaga kitab tidak jelas mengatakan
di mana aku harus mendapatkan barang yang
dikatakannya! Dia hanya mengatakan bahwa
sebelum Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra
dibuat, telah muncul terlebih dahulu sebuah
kitab lain. Sialnya tanpa adanya
pemberitahuan yang jelas aku diberi tugas
untuk mencari dan sekaligus memusnahkannya!
Hm.... Apakah ilmu yang kuperoleh dari Kitab
Sundrik Cakra nantinya dapat memusnahkan
kitab itu?! Mungkin di sana nanti dapat
kulihat bagaimana dahsyatnya ilmu dari Kitab
Sundrik Cakra...! Lalu apa sebaiknya aku
menemui Eyang Guru Pendeta Sinting dahulu
untuk memberitahukan urusan ini? Ah....
Memang itu satu-satunya jalan. Siapa tahu dia
mengetahui apa yang kini harus kulakukan!"
gumam si pemuda yang bukan lain adalah Joko
Sableng.
Seperti diketahui, sewaktu membuka Kitab
Sundrik Cakra, Orang Tua yang dahulu muncul
sewaktu murid Pendeta Sinting membuka Kitab
Serat Biru menampakkan diri lagi. Orang Tua
ini lalu menceritakan bahwa sebenarnya selain
Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra masih ada
lagi sebuah kitab yang kini menjadi tugas
Joko untuk mencari dan memusnahkannya. (Lebih
jelasnya silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Karena si Orang Tua tidak dapat
menjelaskan di mana kitab satunya itu berada,
terpaksa Joko mencari tahu dengan bertanya ke
sana kemari. Namun sampai saat ini tidak satu
pun orang yang mengetahuinya, malah sebagian
besar dari yang ditanya mengatakan baru
pertama kali ini mendengar.
Setelah memutuskan hendak menemui eyang
gurunya Pendeta Sinting yang bertempat
tinggai di Jurang Tlatah Perak, akhirnya Joko
Sableng beranjak berdiri. Lalu melangkah
hendak tinggalkan tempat itu.
Namun baru melangkah lima belas tindak,
murid Pendeta Sinting hentikan langkah.
Sepasang alis matanya terangkat dengan mata
sedikit membeliak. Laksana dipantek,
kepalanya lurus menghadap ke arah timur.
Dari tempatnya berdiri, Joko melihat
kain putih panjang menggelantung di bawah
sebuah pohon yang tidak begitu besar. Kain
itu melambai-lambai ditiup angin. Bersamaan
itu terdengar deruan keras!
Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya
ke atas. Dia terbeliak makin besar. Di atas
pohon tampak menggelantung dua sosok tubuh.
Dua sosok tubuh ini saling tindih. Orang yang
sebelah atas lingkarkan sepasang kakinya pada
pinggang orang di bawahnya. Kedua tangannya
lurus ke atas berpegangan pada sebuah dahan.
Sedangkan orang yang di sebelah bawah hanya
memegangi kedua kaki orang yang melingkari
pinggangnya. Orang sebelah bawah ini laksana
menggendong orang yang berpegangan pada dahan
pohon.
Karena kedua orang yang saling
menggantung ini membelakangi, murid Pendeta
Sinting hanya bisa melihat bagian belakang
tubuh masing-masing orang. Orang yang sebelah
atas mengenakan pakaian putih panjang. Begitu
panjangnya pakaian yang dikenakan orang,
hingga pakaian bagian belakangnya menjulur ke
bawah dan melambai-lambai ditiup angin. Orang
ini memiliki rambut putih jarang sampai yang
kelihatan jelas hanya batok kepalanya!
Sementara orang yang menggendong di sebelah
bawah mengenakan pakaian warna biru.
Rambutnya juga sudah memutih. Perawakannya
tinggi kurus.
"Pakaian yang dikenakan serta
sikapnya...," gumam Joko seraya memandang tak
berkesip. "Sayang mereka membelakangi. Tapi
kalau melihat keadaan dan pakaiannya, aku
hampir bisa memastikan siapa mereka
adanya...."
Murid Pendeta Sinting hendak berkelebat
ke depan untuk dapat memastikan dugaannya.
Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba
orang di sebelah atas gerakkan bahunya. Kain
panjang bagian belakangnya berkelebat angker
keluarkan suara menderu keras. Kejap lain dua
sosok tubuh itu melayang turun seraya
hadapkan wajah pada Joko Sableng.
Kini Joko dapat melihat jelas wajah
kedua orang yang masih bergendongan itu.
Orang yang digendong ternyata adalah seorang
laki-laki berusia amat lanjut. Paras mukanya
hampir tidak ditutup daging sama sekali.
Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sepasang
matanya terpejam rapat, namun bibirnya
kelihatan bergerak-gerak ucapkan sesuatu yang
tidak dapat ditangkap dengan jelas. Sementara
orang yang menggendong adalah seorang laki
laki setengah baya berwajah cekung.
"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng!" Orang yang menggendong buka mulut.
Sementara orang tua yang digendong tetap
komat-kamit tanpa membuka matanya.
"Raja Tua Segala Dewa! Gulurawa!" seru
Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.
"Selamat bertemu lagi, Anak Muda...,"
kata laki-laki yang menggendong. Orang ini
hendak lanjutkan ucapannya, namun orang tua
yang digendong gerakkan tangan kanannya
mengetuk punggungnya membuat orang yang
menggendong urungkan niat.
Orang tua yang digendong buka kelopak
matanya yang sedari tadi terpejam rapat.
Mulutnya yang komat-kamit berhenti. Sejurus
orang tua ini menatap tak berkesip pada murid
Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.
"Rupanya Yang Maha Tinggi masih
menentukan kita untuk bersua lagi, Anak Muda.
Mau mengatakan hendak ke mana?"
"Aku bersyukur bisa bertemu lagi
denganmu, Raja Tua Segala Dewa. Aku dalam
perjalanan ke tempat Eyang Guruku Pendeta
Sinting...."
Orang tua yang dipanggil dengan Raja Tua
Segala Dewa dongakkan sedikit kepalanya.
"Kalau seorang murid hendak menghadap gurunya
hanya ada dua urusan yang pasti akan
dikemukakan. Pertama dia bertemu dengan
seorang gadis cantik dan minta sang guru
untuk melamarnya. Kedua, memiliki urusan
pelik yang tidak dapat diatasi. Aku berharap
yang pertamalah urusanmu hingga kau hendak
menemui Eyang Gurumu...."
Orang yang menggendong yang dipanggil
oleh Joko dengan Gulurawa tersenyum.
Sedangkan murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala lalu berucap.
"Menyesal, Raja Tua Segala Dewa. Justru
urusan kedualah yang kini kuhadapi!"
"Hem.... Terpaksa aku urungkan niat
untuk ucapkan selamat padamu, Pendekar
131...." Raja Tua Segala Dewa tersenyum lalu
lanjutkan ucapannya. "Setiap manusia memang
tidak akan lepas dari kesulitan, Anak Muda.
Apalagi kau sebagai orang persilatan!"
"Tapi urusan yang kuhadapi saat ini
rasanya begitu sulit!"
"Kau bisa berkata begitu karena kau
belum menemukan jalan keluarnya. Jika jalan
itu nanti kau temukan, kurasa tidak ada yang
tidak bisa diselesaikan."
Untuk kedua kalinya Pendekar 131
gelengkan kepala. "Aku sudah mencari jalan
keluar itu. Namun rasanya di mana-mana aku
menemui jalan buntu!"
"Kau keliru, Anak Muda. Bukan jalan
buntu, hanya kau belum menemukan jalan yang
benar!"
"Sepertinya jalan itu tak mungkin
kudapatkan. Segalanya serba gelap!"
Raja Tua Segala Dewa tersenyum sambil
gelengkan kepalanya perlahan. "Tidak baik
patah arang berputus asa, Anak Muda.
Percayalah jalan itu ada!"
"Tapi di mana? Aku telah beberapa
purnama mencari tahu. Hasilnya hanya sia-sia!
Hingga aku berpikir mungkin apa yang sedang
kucari tidak ada dan orang yang memberi tahu
padaku hanya mengarang cerita. Tapi apa
mungkin?!"
"Mau kau ceritakan apa urusanmu...?"
Murid Pendeta Sinting tidak berpikir
panjang lagi. Dia lalu menceritakan
pertemuannya dengan Orang Tua sewaktu membuka
kitab bersampul kuning Sundrik Cakra. Dia tak
segan menceritakan urusan itu pada Raja Tua
Segala Dewa karena selain dia telah tahu
siapa adanya orang tua itu, juga karena dia
mengharap bantuannya. (Mengenai siapa
Gulurawa dan Raja Tua Segala Dewa silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Gerbang Istana Hantu").
"Harap kau suka memberi sedikit
penerangan agar aku bisa segera selesaikan
urusan ini!" kata Joko setelah menuturkan
ceritanya.
"Kalau yang berkata begitu adalah Orang
Tua yang menyebut diri sebagai penjaga kitab,
aku menduga apa yang dikatakannya adalah
benar. Selain itu aku juga pernah mendengar
perihal itu...."
Paras wajah Pendekar 131 seketika
berubah. Dia segera melangkah mendekat lalu
berkata. "Raja Tua Segala Dewa. Harap sudi
beri tahu di mana kitab hitam itu!"
Sesaat Raja Tua Segala Dewa tidak segera
menjawab ucapan Joko. Sebaliknya dia
memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting.
Lalu arahkan pandangannya ke arah jurusan
lain seraya berkata pelan.
"Kau jangan girang dahulu, Pendekar 131.
Aku hanya pernah mendengar saja. Soal di mana
beradanya Kitab Hitam itu sama sekali aku
tidak mengetahuinya!"
Kembali paras Joko berubah murung. Malah
kali ini terdengar dia mengeluh. "Ah....
Lagi-lagi aku harus menemui kegelapan..."
"Masalahnya sekarang bukan kau menemui
kegelapan atau tidak, Anak Muda. Tapi ada
pepatah yang mengatakan barang hitam akan
lebih banyak diketahui oleh orang golongan
hitam pula!"
"Maksudmu...?!"
"Menilik nama kitab ini, jelas kitab itu
diciptakan oleh seorang beraliran hitam. Jadi
yang tahu jelas perihal kitab itu pasti
seorang tokoh beraliran hitam pula!"
"Lalu siapa kira-kira tokoh hitam yang
harus kutemui dan kira-kira mengetahui
perihal kitab itu?"
"Aku pernah mendengar nama seorang tokoh
hitam luar biasa jahat dan punya kepandaian
sangat tinggi. Dia hidup pada beberapa ratus
tahun silam...."
"Raja Tua...!" potong Joko. "Bagaimana
aku harus menemui orang yang hidup pada
ratusan tahun yang lalu. Apa mungkin dia
masih punya nyawa?!"
"Kau tidak boleh mencampuri urusan nyawa
orang, Anak Muda. Urusan satu itu mutlak
urusan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang kuasa
untuk memanjangkan usia makhluknya seberapa
Dia mau! Dan semua itu pasti ada tujuannya.
Yang Maha Kuasa tidak mungkin berbuat tanpa
ada tujuan.... Setidaknya di dalamnya
tersimpan hikmah meski kelihatannya
sepele...."
Mendengar ucapan Raja Tua Segala Dewa,
murid Pendeta Sinting terdiam. Raja Tua
Segala Dewa lanjutkan ucapannya. "Tokoh hitam
itu memang tidak lagi kedengaran kabar
beritanya. Namun tidak ada salahnya kalau kau
coba menemuinya. Siapa tahu apa yang diduga
orang selama ini meleset dan dia masih
hidup."
"Di mana aku harus menemuinya? Dan siapa
nama tokoh itu?"
"Kalangan rimba persilatan mengenalinya
dengan gelar Iblis Rangkap Jiwa. Hanya
tempatnya yang sulit ditemukan di mana...."
Pendekar 131 kerutkan dahi. "Mendengar
namanya, apakah dia benar-benar memiliki jiwa
rangkap?"
"Gelaran orang biasanya memang
mengisyaratkan tindak tanduk dan keadaannya.
Iblis Rangkap Jiwa memang bukan hanya sakti,
namun juga kebal terhadap segala pukulan!
Itulah makanya dia bergelar Iblis Rangkap
Jiwa. Dia seolah-olah memiliki nyawa
rangkap...."
"Sebagai orang golongan hitam, pasti dia
tidak akan begitu saja mau mengatakan di mana
Kitab Hitam itu. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan aku harus mengadu jiwa dengannya.
Apakah mungkin aku dapat menghadapinya?"
Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Dia
memang berilmu sangat tinggi serta tidak
mempan segala pukulan. Namun bukan berarti
dia tidak dapat dikalahkan! Asal kita
mengetahui kelemahannya!"
"Hem.... Lantas apakah kau tahu
kelemahannya?" tanya Joko dengan menatap
tajam. Murid Pendeta Sinting ini seolah tidak
sabar.
Untuk beberapa lama Raja Tua Segala Dewa
terdiam. Setelah menarik napas panjang dia
berkata.
"Tadi sudah kukatakan, barang hitam akan
lebih banyak diketahui oleh orang golongan
hitam pula...."
"Jadi aku harus menemui orang beraliran
hitam lain lagi yang mengetahui kelemahan
Iblis Rangkap Jiwa itu? Lalu yang ini siapa
lagi orangnya?!"
"Untuk menaiki tangga memang harus
dimulai dari bawah, Anak Muda. Maka yang baru
saja kau ucapkan adalah benar!"
"Lalu siapa orangnya yang mengetahui
kelemahan iblis itu?"
"Carilah seorang tokoh berjuluk Cucu
Dewa. Hanya tokoh satu ini lain. Meski dia
beraliran hitam, tapi tak jarang dia berpihak
pada orang golongan putih. Pikirannya sulit
ditebak. Hanya seperti halnya Iblis Rangkap
Jiwa, tempatnya tak bisa ditentukan di
mana...."
Sekian kalinya murid Pendeta Sinting
mengeluh. Bukan karena apa yang akan dihadapi
adalah urusan besar, namun dia khawatir ada
orang yang mendahului. Karena Orang Tua yang
menemuinya itu mengisyaratkan demikian.
Setelah terdiam untuk beberapa lama,
Joko berkata.
"Aku baru pertama kali dengar manusia
berjuluk Cucu Dewa. Agar memudahkan untuk
mencari, harap kau jelaskan bagaimana orang
itu!"
"Sayang, Anak Muda. Seperti halnya
dirimu. Aku hanya pernah dengar namanya dan
belum pernah ber-jumpa. Harap kau tidak
berputus asa untuk mencarinya. Karena hanya
dengan diketemukannya orang itu, jalan yang
kau lalui bisa berubah terang...."
Habis berkata begitu, Raja Tua Segala
Dewa gerakkan tangan kanan mengetuk punggung
Gulurawa. Seakan tahu isyarat yang diberi
tahu orang, tanpa berkata apa-apa lagi
Gulurawa anggukkan kepala lalu berkelebat.
"Kelak kalau kita jumpa lagi, kuharap
hal pertama yang kau hadapi, Anak Muda. Untuk
soal itu aku tentu akan banyak
mengetahuinya...."
Suara Raja Tua Segala Dewa masih
terdengar. Namun sosoknya yang digendong
sudah tidak kelihatan lagi!
"Cucu Dewa.... Hem.... Mencari orang
yang tidak tentu tempat dan bagaimana ciri-
ciri rupanya. Apakah mungkin bisa kutemukan?
Tapi hal ini harus kulakukan! Ah.... Apa
tidak sebaiknya aku mencari Dewa Orok dahulu?
Bukankah menurut Orang Tua itu, rahasia
beradanya Kitab Hitam ada pada mahkota
bersusun tiga yang dikatakan milik nenek
moyangnya? Tapi harus ke mana kucari orang
itu? Aduh.... Kedua-duanya sulit! Baru kali
ini aku harus menemui urusan yang begini
rumit."
Murid Pendeta Sinting melangkah seraya
terus bergumam sendiri dan tidak jarang
geleng-geleng kepala sambil hembuskan napas
panjang.
ENAM
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
hentikan kelebatannya. Kepalanya menghadap
lurus ke samping kanan. Telinganya
ditajamkan."Sudah beberapa hari tubuhku tidak
tersentuh air. Di arah sana kudengar suara
air mengucur...." Joko melangkah ke arah mana
telinganya menangkap suara air. Namun begitu
suara pancuran air agak jelas sekonyong-
konyong murid Pendeta Sinting ini hentikan
langkahnya. Kali ini bukan hanya suara
pancuran air yang tertangkap pendengarannya.
Namun juga suara orang menyanyi. Kalau suara
itu suara nyanyian seorang laki-laki, tentu
Joko tidak terkejut. Tapi yang didengar kali
ini adalah suara nyanyian seorang perempuan!
Dan datangnya berasal dari arah pancuran air!
"Hem.... Mungkin aku akan melihat
pemandangan mengasyikkan! Siapa tahu
perempuan itu sedang mandi, tidak berpakaian
dan orangnya berwajah cantik serta
bertubuh...." Joko tidak lanjutkan
gumamannya. Dia segera melangkah dengan
berjingkat-jingkat. Ternyata pancuran air itu
berada di sebuah dataran yang agak landai.
Sambil berpaling kiri kanan murid
Pendeta Sinting sibakkan sebagian semak yang
menghalangi pandangannya. Sepasang matanya
lurus memandang ke bawah di mana pancuran air
berada. Begitu semak belukar tersibak, murid
Pendeta Sinting ini hampir saja keluarkan
seruan tertahan.
Joko cepat tekap mulutnya rapat-rapat
meski bersamaan dengan itu sepasang matanya
membelalak besar tak berkesip.
"Benar-benar nasib mujur! Seorang
perempuan muda dan tentu berwajah cantik...,"
ucap Joko dalam hati lalu sibakkan semak
lebih lebar. Sepasang matanya makin
membelalak dengan dada mulai berdebar.
Di bawah sana, di samping sebuah
pancuran berair jernih tampak seorang gadis
tegak seraya bersenandung lantunkan nyanyian.
Bersamaan dengan itu tangan kanan kirinya
bergerak terangkat membuka rambutnya yang
dikuncir. Sesaat kemudian rambut si gadis
luruh bergerai. Rambut itu panjangnya sebatas
pinggang.
"Walauaku belum bisa melihat raut
wajahnya. Aku dapat menduga jika gadis itu
berwajah...."
Murid Pendeta Sinting putuskan
gumamannya. Sepasang matanya makin membesar.
Dadanya berdegup lebih keras. Si gadis di
samping air pancuran perlahan-lahan mulai
membuka pakaiannya yang berupa jubah berwarna
merah menyala.
Masih sambil terus bersenandung, si
gadis letak-kan jubah merahnya tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Kini tampak pakaian
ringkas berwarna putih tipis membungkus
tubuhnya. Kejap lain kedua tangannya ber-
gerak.
Dari tempatnya mengintai Joko sorongkan
kepalanya ke depan. Mulutnya sedikit terbuka
menganga. Di bawah sana si gadis telah buka
seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.
"Busyet! Benar-benar aduhai.... Putih
mulus dan padat, sayang masih
membelakangi...."
Masih tidak sadar kalau dirinya diintip
orang, si gadis tenang-tenang saja
bersenanduhg dan kini membasahi tubuh dengan
jongkok di bawah pancuran.
"Hem.... Tak lama lagi pasti akan
menghadap ke depan! Dan aku tak akan sia
siakan pemandangan luar biasa ini!"
Apa yang dipikir murid Pendeta Sinting
nyatanya tidak meleset. Si gadis perlahan-
lahan putar tubuhnya. Pendekar 131 menarik
napas dalam. Pijakan sepasang kakinya goyah.
Saat si gadis benar-benar telah putar
tubuh, mungkin tak kuasa lagi menahan
pemandangan yang membuat dadanya berdebar,
murid Pendeta Sinting tanpa sadar keluarkan
seruan tertahan!
"Busyet!" gumam Joko masih tidak sadar.
Dia cepat tekap mulutnya setelah menyadari
apa yang baru saja dilakukannya. Namun
terlambat, Seruan sempat didengar oleh si
gadis. Laksana kilat si gadis sambar pakai-
annya lalu mengenakan jubah merahnya. Kejap
lain dia lakukan gerakan mendorong ke arah
mana Joko mengintai!
Satu gelombang luar biasa keras
menyambar ke atas.
"Celaka! Nasibku jelek! Belum sempat
melihat pemandangan lebih bagus sudah
ketahuan!" desis Joko lalu cepat bergerak
hindarkan diri.
Meski murid Pendeta Sinting berhasil
menghindari pukulan si gadis namun nyatanya
dia harus bernasib sial. Karena serangan si
gadis menghantam tanah di bawahnya, membuat
tanah itu langsung berantakan. Pijakan kedua
kaki Pendekar 131 goyah. Dia cepat gerakkan
kedua tangannya menggapai semak belukar. Tapi
gerakannya terlambat. Sebelum kedua tangannya
berhasil menggapai semak belukar untuk
imbangi tubuh, tanah di mana dia berpijak
ikut berantakan. Hingga tak ampun lagi
sosoknya melorot.
Murid Pendeta Sinting tidak hilang akal.
Tahu bahwa dirinya akan terperosok jatuh ke
bawah, dia cepat hantamkan kedua tangannya ke
lamping tanah. Dengan begitu dia berpikir
tubuhnya akan tertahan meski harus
bergelantungan.
Namun di bawah sana si gadis berjubah
merah rupanya tidak tinggai diam, gadis ini
rupanya tahu apa yang terpikir dalam benak
Joko. Bersamaan dengan bergeraknya kedua
tangan Joko menghantam tanah bagian lamping,
si gadis kembali dorong kedua tangannya ke
atas.
Tanah di mana Joko hendak coba
menggelantung dengan hantamkan kedua
tangannya serta-merta buyar berantakan. Saat
bersamaan sosok murid Pendeta Sinting
meluncur ke bawah!
Pendekar 131 mengaduh lalu bergerak
bangkit. Namun satu kaki putih mulus telah
menekan dadanya membuat dia tidak mampu
bergerak lebih jauh. Dia hanya bisa
kernyitkan dahi sambil memandang ke atas!
Bukan pada wajah si orang yang menekankan
kaki ke dadanya, melainkan ke arah selonjoran
kaki yang menekan dadanya!
"Busyet! Benar-benar mulus...!" desisnya
dalam hati.
Orang yang menekankan kaki di dada sang
Pendekar kernyitkan kening seraya sipitkan
sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain
saat sepasang mata yang tidak lain milik
gadis berjubah merah menyala mendelik angker.
Saat berikutnya kedua tangan si gadis cepat
bergerak kelebatkan jubahnya untuk menutupi
pahanya yang terbuka!
"Pemuda gila! Kau cari petaka berani
mengintip orang mandi!"
Seraya berteriak, kaki si gadis menekan
lebih keras, membuat Joko megap-megap sulit
bernapas.
"Tunggu! Jangan... salah duga
dahulu...," ucap Joko dengan suara tersendat.
Si gadis menyeringai. Sepasang matanya
menatap lekat-lekat pada pemuda di bawahnya.
Sejenak sepasang mata itu membesar lalu
menyipit. Kedua alis matanya yang hitam
bergerak naik. Dahinya mengernyit.
Di lain pihak murid Pendeta Sinting
belalakkan sepasang matanya. Ternyata gadis
berjubah merah itu memiliki wajah cantik
jelita. Hidungnya mancung. Sepasang matanya
bulat tajam dengan kulit putih kekuningan.
Hanya murid Pendeta Sinting sedikit heran.
Meski tidak berkata-kata, mulut gadis ini
kelihatan bergerak-gerak laksana mengunyah
sesuatu!
Si gadis renggangkan sedikit kakinya
yang menekan dada Pendekar 131 membuat Joko
bernapas lega. Tapi kelegaan murid Pendeta
Sinting ini tidak lama, karena saat lain si
gadis tekankan lagi kakinya malah kali ini
lebih keras seraya membentak.
"Setan! Siapa kau?!"
Joko tidak segera menjawab pertanyaan si
gadis. Sebaliknya dia hanya gapai-gapaikan
tangannya menunjuk nunjuk pada kaki si gadis.
Seakan sadar akan isyarat orang, si
gadis kembali renggangkan tekanan kakinya.
Lalu kembali membentak.
"Kau dengar pertanyaanku, Setan! Lekas
jawab atau kubuat jebol dadamu!"
"Baik,Akan kujawab pertanyaanmu..," kata
Joko seraya menghela napas panjang.
"Lekas buka mulut jawab!" hardik si
gadis begitu mendapati Joko tidak segera buka
mulut menjawab.
"Galak benar!" gumam Joko dalam hati
lalu buka mulut. "Sabar. Semua apa yang nanti
kau tanyakan pasti kujawab dengan senang
hati. Tapi beri aku kesempatan untuk bernapas
dahulu. Tekanan kakimu membuat dadaku
sesak.... Dan akan lebih baik jika kau angkat
kakimu dari dadaku ini...."
"Pemuda Setan macam kau terlalu enak
jika tidak diberi pelajaran! Lekas jawab!"
bentak si gadis tanpa angkat kaki kanannya
dari dada Joko meski kaki itu sekarang tidak
menekan. Anehnya hal itu tidak membuat Joko
menjadi lega. Sebaliknya membuat murid
Pendeta Sinting terkesiap kaget. Betapa
tidak, ternyata Joko kini tidak bisa
menggerakkan anggota tubuhnya! Sekujur
tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan!
"Siapa gadis ini?! Dia melakukan totokan
tanpa aku menyadari kapan dia melakukannya!
Benar-benar sial nasibku! Belum sampai benar-
benar melihat barang indah sudah harus
menerima hal seperti ini!"
Si gadis angkat kaki kanannya ditarik
pulang. Lalu mendongak arahkan pandangannya
ke jurusan lain sambil berucap. "Kau tidak
mau jawab pertanyaanku Baiklah, tidak ada
untungnya bagiku mengetahui nama pemuda setan
sepertimu. Selamat tinggal!"
Si gadis berjubah merah rapikan
rambutnya yang hitam panjang dan dikuncir.
Lalu tenang-tenang saja dia melangkah menjauh
tinggalkan tempat itu.
"Celaka! Aku bisa mati kaku di sini.
Tempat begini sepi tak mungkin ada orang
lewat yang bisa menolongku membebaskan dari
totokan ini! Lagi pula totokan itu totokan
gila. Aku akan berusaha membuyarkan totokan
ini!" gumam Joko seraya pandangi langkah-
langkah si gadis.
Murid Pendeta Sinting diam-diam kerahkan
tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari
totokan yang dilakukan si gadis. Mendadak
Pendekar 131 terlengak. Meski dia baru saja
kerahkan tenaga dalam, dari tangan kanannya
terasa mengalir hawa hangat. Lalu anggota
tubuhnya membuat gerakan-gerakan halus. Kejap
lain dia telah dapat buyarkan totokan si
gadis.
"Hem.... Ada hawa yang mengalir dari
tangan kanan, jangan-jangan ini masih ada
kaitannya dengan ilmu yang kudapat dari Kitab
Sundrik Cakra...."
Joko pandangi punggung si gadis, "Akan
kukerjai dia...."
Murid Pendeta Sinting buka mulut.
"Hai! Tunggu...!" Joko berteriak tanpa
menggerak-kan tubuhnya. Dia berpura-pura
masih dalam keadaan tertotok.
Si gadis hentikan langkah tanpa
berpaling. Lalu terdengar suaranya.
"Aku butuh jawaban! Sekali lagi kau buka
mulut selain jawab pertanyaanku tadi, jangan
harap aku akan berhenti melangkah!"
Mendengar ancaman orang, Joko cepat buka
mulut menjawab.
"Aku Joko! Joko Sableng!"
Si gadis berjubah merah balikkan tubuh.
Sepasang matanya memandang, bukan pada murid
Pendeta Sinting namun ke arah jurusan lain.
Lalu berucap.
"Pemuda Setan! Mengapa kau berada di
sini? Kau mengikuti perjalananku? Siapa orang
yang menyuruhmu untuk menguntitku? Lekas
jawab!"
"Gawat! Urusannya mengapa jadi begini?
Benar-benar sial aku hari ini!"
Karena Joko tidak segera menjawab, gadis
berjubah merah menyala putar diri. Namun
sebelum kakinya melangkah, murid Pendeta
Sinting telah berteriak.
"Tunggu! Aku... aku tidak mengikuti
perjalananmu! Aku hanya kebetulan lewat sini!
Semula aku ingin mandi. Tapi secara tidak
sengaja aku memergokimu sedang...." Joko
tidak lanjutkan ucapannya.
"Teruskan keteranganmu!" sentak si
gadis.
"Walah.... Bagaimana ini? Apa aku harus
menceritakan apa yang dia sendiri lakukan?"
Mungkin khawatir si gadis berjubah merah
pergi kalau tidak dituruti kemauannya,
akhirnya Joko angkat bicara.
"Aku melihatmu sedang meiepas rambut,
lalu melepas jubah...." Kembali Joko hentikan
ucapannya, berharap sang gadis akan
menghentikan ucapannya. Namun dugaan Jcko
salah. Si gadis buka mulut.
"Teruskan!"
"Apa hendak dikata...," gumam Joko lalu
lanjutkan keterangannya. "Kau kulihat membuka
pakaian bagian dalam yang kau kenakan.
Setelah itu aku tidak melihatmu lagi. Aku
berpaling...."
Gadis berjubah merah luruskan kepala
menghadap murid Pendeta Sinting.
"Pemuda Setan sepertimu, mana mungkin
melakukan hal demikian?! Matamu melotot
melihatku. Betul?!"
"Sumpah! Aku menoleh pada arah lain!"
sambut Joko.
Di depan sana si gadis perdengarkan
suara tawa pendek. "Sumpah pemuda setan
macammu mana bisa dipercaya! Kau memelototi
tubuhku! Jawab dengan jujur atau...." Si
gadis hendak putar diri. Buru-buru murid
Pendeta Sinting bicara.
"Maaf. Memang benar. Tapi aku tidak
melotot. Mataku menyipit! Jadi aku hanya
samar-samar melihatmu!"
"Bagus! Kau harus menerima bayaran atas
kekurangajaranmu!"
"Tunggu! Aku tidak bermaksud berlaku
kurang ajar! Sebenarnya kau yang salah. Mandi
di tempat terbuka. Siapa pun orangnya pasti
tidak akan menyia-nyiakan. Untung aku
sipitkan mata, kalau orang lain tentu sudah
melotot!"
"Hem.... Kau pandai mengkambing hitamkan
orang! Pintar bersilat lidah!"
Habis berkata begitu, si gadis lakukan
gerakan. Tiba-tiba sosoknya melesat ke depan.
Kejap lain kakinya bergerak lakukan
tendangan. Meski murid Pendeta Sinting sudah
bisa bebaskan diri dari totokan, namun dia
tidak berusaha mengelak dari tendangan orang.
Malah dia pejamkan sepasang mata seraya buka
mulut bersiap perdengarkan seruan!
Namun yang terdengar selanjutnya
bukannya suara tubuh yang kena tendangan
melainkan suara tawa merdu, membuat Joko buka
kelopak matanya dan katupkan mulutnya.
Di sampingnya gadis berjubah merah
tertawa panjang, kaki kirinya tetap mengapung
di atas udara seolah siap lancarkan
tendangan. Sepasang matanya mendelik.
Anehnya, di mata murid Pendeta Sinting sikap
si gadis kelihatan makin membuat wajahnya
tampak cantik.
Mungkin menduga si gadis tak tega
lakukan tendangan, Joko sunggingkan senyum.
Lalu berkata.
"Kuharap kita hapus kesalahpahaman ini!
Kita bisa menjadi...."
Ucapan Joko hanya sampai di situ.
Laksana dipenggal setan, ucapannya terputus
tatkala mendadak kaki kiri si gadis yang
mengapung di udara bergerak.
Bukkkkk!
Sosok murid Pendeta Sinting mencelat
mental sampai dua tombak lalu jatuh
bergulingan dan berhenti di bawah pancuran
air! Hingga tanpa ampun lagi sekujur tubuhnya
basah kuyup.
Joko pura-pura kerahkan tenaga dalamnya,
saat lain dia gerak-gerakkan anggota
tubuhnya. Lalu, memandang sekilas pada gadis
berjubah merah. Melihat si gadis bisa
lancarkan totokan tanpa diketahui, Joko
merasa yakin si gadis bukanlah orang
sembarangan.
Dengan berpura-pura terhuyung huyung,
murid Pendeta Sinting bergerak bangkit.
Seraya pegangi lambungnya yang baru saja
terkena tendangan dia melangkah mendekati si
gadis.
"Kalau merasa bayarannya belum lunas,
aku siap menerima tambahan...," kata Joko
sambil hentikan langkah tiga tombak di
hadapan gadis berjubah merah.
"Dasar, Pemuda Setan! Kau pantas jadi
muridnya orang sinting!"
"Hem.... Selain berkepandaian tinggi,
cantik, juga sepertinya dia pandai menduga
orang! Jangan-jangan dia tahu kalau aku
muridnya Pendeta Sinting.... Tapi ah.... Itu
mungkin hanya kebetulan. Namun tidak ada
salahnya jika aku mengajukan pertanyaan pada
gadis ini perihal urusanku...."
Joko buka mulut hendak ajukan
pertanyaan. Namun sebelum suaranya terdengar,
gadis berjubah merah telah balikkan tubuh
lalu melangkah tanpa ucapkan sepatah kata.
"Tunggu! Sebenarnya kau hendak kemana?"
tanya Joko sambil melangkah satu tindak
mendekat.
"Apa pedulimu dengan kepergianku?!
Jangan-jangan kau memang disuruh orang untuk
mengikuti perjalananku!"
"Jangan terus menduga yang bukan-bukan!
Aku bukan suruhan orang! Aku bertanya siapa
tahu kita searah. Bukankah kita bisa jalan
bersama?"
"Aku tidak butuh teman! Apalagi teman
pemuda setan sepertimu!"
Joko hanya bisa angkat bahu sambil
gelengkan kepala. Lalu berkata.
"Hem.... Kalau kau tidak mau ditemani,
bagaimana kalau kau sebutkan siapa dirimu?"
Masih tidak berpaling, si gadis
menjawab.
"Sebenarnya aku enggan memberitahukan
padamu. Tapi... baiklah. Dengar baik-baik.
Namaku Putri Sableng...!"
Murid Pendeta Sinting surutkan langkah
saking tidak menduga. Keningnya berkerut
dengan sepasang mata tak berkesip perhatikan
bagian belakang tubuh si gadis. Joko tidak
tahu kalau sehabis menjawab, gadis berjubah
merah yang sebutkan diri Putri Sableng
menahan tawa!
"Hampir tak kupercaya. Dia bercanda
atau...."
"Ada lagi yang hendak kau tanyakan?!"
tanya Putri Sableng tetap membelakangi.
"Benar. Kalau kau tahu, pernahkah kau
mendengar seseorang yang berjuluk Cucu Dewa?"
Laksana disentak tangan setan, Putri
Sableng cepat putar tubuh menghadap murid
Pendeta Sinting. Sepasang matanya menatap
tajam pada Joko yang masih basah kuyup dari
rambut sampai kaki.
"Apa hubunganmu dengan orang yang baru
kau sebut?!"
"Ah. Rupanya kau kenal dengan orang itu!
Aku tidak heran, kau berilmu tinggi pasti
mengenalnya...," ucap Joko dengan paras
cerah.
Tapi murid Pendeta Sinting harus segera
menerima rasa kecewa.
* * *
TUJUH
Di depannya Putri Sableng gelengkan
kepala. "Kau keliru. Jangankan kenal. Dengar
namanya pun baru kali ini!"
Murid Pendeta Sinting sisir rambutnya
yang basah dengan jari-jari tangannya. Lalu
mempererat ikatan kepalanya sambil menghela
napas dalam. Setelah agak lama terdiam Joko
angkat bicara lagi.
"Kau tidak berdusta? Nada ucapanmu
sekilas tadi seperti memberi isyarat bahwa
kau kenal dengan Cucu Dewa...."
"Aku bukan Pemuda Setan sepertimu yang
suka bicara dusta!" kata Putri Sableng lalu
tertawa membuat murid Pendeta Sinting sedikit
dongkol. "Sudah...? Tidak ada yang perlu kau
ucapkan lagi?!"
Saking dongkolnya meski sudah menduga
tidak akan tahu, Joko ajukan juga pertanyaan.
"Apakah kau juga pertama ini dengar seseorang
yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"
"Kau salah lagi. Yang baru kau sebut
justru aku pernah mendengarnya dan tahu di
mana tempat tinggalnya!"
Jawaban Putri Sableng membuat untuk
kedua kalinya Joko tersurut. Wajahnya berubah
seketika. Tanpa sadar dia melompat ke depan
lalu berkata.
"Harap kau katakan di mana aku dapat
menemuinya!"
"Hem.... Itu soal mudah asal kau bisa
menjawab pertanyaanku!"
"Baik. Katakan apa yang hendak kau
tanyakan!"
"Apa perlumu menemui Iblis Rangkap
Jiwa?!"
Untuk beberapa Sama murid Pendeta
Sinting tidak segera menjawab pertanyaan si
gadis. Hatinya dibuncah kebimbangan. Dia baru
saja mengenal orang serta belum mengetahui
benar siapa adanya si gadis. Di lain pihak
dia membutuhkan keterangan.
"Masih ingin menemui Iblis Rangkap Jiwa
apa tidak?!" tanya Putri Sableng.
"Aku.... Aku mendapat pesan dari
seseorang untuk menyampaikan padanya!"
"Pesannya...?!" Putri Sableng mengejar.
"Aku tidak bisa mengatakannya
padamu...."
"Hem.... Begitu? Berarti aku juga tidak
dapat memberi keterangan padamu!"
"Sialan betul! Bagaimana sekarang? Apa
aku harus menerangkan padanya...?"
Setelah menimbang-nimbang pada akhirnya
murid Pendeta Sinting memutuskan mengatakan
apa tujuannya menemui Iblis Rangkap Jiwa
meski dia berusaha tidak menerangkan dengan
secara gamblang.
"Orang itu mengetahui tempat penyimpanan
benda pusaka yang dipesankan orang
padaku...."
"Benda pusaka. Hem.... Berupa apa benda
pusaka itu? Peta harta karun? Pedang atau
kitab?!"
Pendekar 131 tidak menduga kalau Putri
Sableng akan terus mengejar dengan pertanyaan
begitu rupa hingga untuk beberapa lama dia
terdiam.
"Hem.... Sebuah kitab. Namun aku kurang
yakin akan hal itu. Karena orang yeng
berpesan padaku adalah seorang saudagar kaya.
Justru aku punya keyakinan benda pusaka itu
berupa peta harta karun!"
"Hem.... Begitu? Satu lagi pertanyaanku.
Siapa orang yang menyuruhmu? Bukankah kau
tadi mengatakan atas suruhan orang?!"
"Waduh. Pertanyaanmu terlalu banyak!
Jangan-jangan kau tidak tahu akan orang yang
kucari dan hanya berniat mengorek
keteranganku!" kata Joko dengan nada agak
tinggi karena makin jengkel dengan pertanyaan
si gadis.
Putri Sableng tertawa panjang, membuat
murid Pendeta Sinting tambah geram. Namun dia
tidak bisa berbuat banyak karena saat itu dia
benar-benar membutuhkan keterangan orang.
"Aku tidak akan menarik ucapanku. Aku
tetap akan memberitahukan di mana orang yang
kau cari! Tapi jawab dulu pertanyaan
terakhirku tadi!"
"Terus terang aku sendiri tidak tahu
siapa nama orang yang menyuruhku! Aku hanya
tahu rupanya. Dia tidak sebutkan siapa
dirinya!" kata Joko berterus terang.
Mendengar jawaban Pendekar 131, Putri
Sableng makin perkeras suara tawanya. Puas
tertawa dia berkata.
"Rupanya kau laki-laki bodoh. Menurut
saja perintah orang meski tidak mengenal
siapa orang itu! Meski aku tidak yakin benar
dengan jawabanmu namun karena aku telah
berjanji, aku akan tetap mengatakan padamu!"
Putri Sableng hentikan ucapannya. Lalu mene-
ruskan.
"Buka telinga baik-baik karena aku tidak
akan mengulangi apa yang kuucapkan!"
Tanpa buka mulut, Joko pasang telinga
baik-baik. Sepasang matanya menatap tajam ke
dalam bola mata gadis di hadapannya. Yang
dipandang menahan tawa sebelum akhirnya buka
mulut berkata.
"Menurut apa yang kudengar, Iblis
Rangkap Jiwa bertempat tinggai tidak jauh
dari sini. Kau cukup berjalan kira-kira
seribu langkah. Di sana kau akan menemukan
gundukan tanah!" sambil berkata tangan Putri
Sableng menunjuk ke satu arah.
Murid Pendeta Sinting tidak mengikuti
tangan si gadis yang menunjuk arah.
Sebaliknya dia kerutkan dahi dengan pelipis
bergerak-gerak jelas menahan hawa marah.
"Kesabaran ada batasnya. Jangan terus
bercanda!"
"Hem.... Kau mengancam?!" tanya Putri
Sableng dengan mimik berubah.
Tidak mengancam. Namun harap kau
bersungguh-sungguh. Aku telah mengatakan
padamu apa adanya!"
"Apa kau kira aku tidak mengatakan apa
adanya, hah?!"
"Tapi jawabanmu tadi...."
"Memang itulah kenyataannya! Orang yang
kau cari sudah lama mati!"
"Sialan! Kenapa kau tidak mengatakannya
sedari tadi? Hem.... Aku kini makin yakin kau
hanya mengorek keteranganku! Karena menurut
sebagian orang Iblis Rangkap Jiwa masih
hidup!"
"Terserah. Yang kuketahui orang yang kau
cari telah lama mati! Kalau menurut sebagian
orang masih hidup, itu hak orang yang
mengatakannya!"
"Busyet! Jangan-jangan kau hanya
mengarang cerita"
Putri Sableng tidak angkat bicara lagi.
Sebaliknya gadis berjubah merah ini balikkan
tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jangan harap kau bisa lari sebelum
mengatakan siapa dirimu sebenarnya! Kau telah
mengarang cerita dusta padaku!" seru Joko
lalu ikut berkelebat mengejar, Namun
terlambat. Sosok Putri Sableng telah lenyap
laksana ditelan bumi. Anehnya meski sosoknya
telah tidak kelihatan, namun murid Pendeta
Sinting masih mendengar suaranya.
"Pemuda Setan! Aku telah mendapat
keterangan Itulah sebenarnya yang kucari-cari
selama ini! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Sialan betul! Ini pelajaran bagiku. Aku
tidak akan ulangi lagi tindakan konyol ini.
Dan aku harus cepat cari keterangan! Karena
sekarang bukan hanya aku saja yang mengetahui
urusan besar ini!"
* * *
Kita tinggalkan dahulu Pendekar 131.
Kita menuju ke satu tempat di kawasan Gunung
Semeru. Saat itu malam telah merambat jauh.
Namun karena bulan sedang purnama, lintasan
bumiterlihatterang benderang.
Satu sosok bayangan sulit ditangkap
pandangan mata biasa terlihat berkelebat
cepat menuju arah kawasan Gunung Semeru.
Bayangan itu menerabas jajaran pohon dan
semak belukar tinggi yang banyak tum-buh di
sekitar kawasan yang menuju gunung. Jajaran
pohon serta semak belukar itu sangat rimbun
malah hampir tidak ada jalan setapak yang
bisa dilalui. Namun sosok yang berkelebat
laksana tidak terhalang sama sekali. Sosoknya
menerabas seolah berlari di jalanan biasa.
Jelas siapa pun adanya sosok ini menunjukkan
dia memiliki kepandaian tinggi.
Ketika memasuki lamping gunung yang
hanya di-hiasi bongkahan-bongkahan batu
besar, bayangan tadi hentikan kelebatannya.
Dia tegak seraya rangkapkan kedua tangan di
atas salah satu bongkahan batu. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya
putih, raut wajahnya pucat. Mengenakan
pakaian putih panjang.
Sepasang mata orang tua ini sejurus
memandang berkeliling tanpa memutar kepala.
Saat lain sepasang matanya tak berkesip
menatap pada satu bongkahan batu di mana di
atasnya terlihat satu sosok tubuh sedang
duduk bersila. Meski tidak berkata-kata, raut
wajah orang tua ini sesaat tampak menunjukkan
kegembiraan. Mulutnya yang terkancing
sunggingkan senyum dengan kepala sedikit
mengangguk.
"Hem.... Nyatanya dia pantang putus asa.
Hampir lima purnama dia lalui dengan tabah.
Sebenarnya bukan sekarang saatnya aku berada
di sini. Tapi mimpiku selama tiga hari
berturut-turut kurasa bukan kembang tidur dan
impian biasa...." Orang tua yang rangkapkan
kedua tangan di atas dada berucap dalam hati
dengan mata masih tak berkesip pandangi sosok
yang duduk di atas bongkahan batu. Namun
tiba-tiba paras wajah si orang tua berubah.
"Kalau mimpiku hanya impian biasa, maka apa
yang telah dia lakukan selama lima purnama
ini akan sia-sia. Tapi apa boleh buat. Aku
harus memutus semadinya. Aku yakin mimpiku
ada artinya...."
Setelah menarik napas panjang, si orang
tua buka mulut.
"Gumara.... Kita harus bicara. Ada
sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau
putuskan semadimu...."
Orang yang duduk bersila di atas
bongkahan batu yang ternyata adalah seorang
pemuda berparas tampan, berdagu kokoh
bertubuh kekar tidak bergeming. Sepasang
matanya memejam rapat. Meski demikian suara
si orang tua yang berdiri tegak sedikit
banyak mengganggu kekhusukan semadinya. Malah
daun telinga sang pemuda di atas batu yang
dipanggil Gumara terlihat bergerak terangkat.
Mulutnya menggerimit bergetar. Sepasang
matanya yang terpejam bergerak-gerak meski
tetap tidak membuka. Saat lain gerakan-
gerakan halus pada anggota sang pemuda kem-
bali terhenti, pertanda dia telah dapat atasi
gangguan yang sejenak tadi sempat mengganggu.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena
orang tua yang tegak di atas batu sejarak
tujuh tombak dari tempat si pemuda bersila
kembali angkat bicara.
"Gumara.... Harap kau hentikan dahulu
semadimu! Ada sesuatu yang harus kita
bicarakan!"
Gumara tidak bergeming sedikit pun.
Sepasang matanya tetap memejam rapat. Jelas
kalau pemuda ini tenggelam dalam semadinya
meski hal itu baru dapat dilakukan setelah
menutup jalan pendengarannya.
Orang tua di atas batu kerahkan tenaga
dalam pada tenggorokan. Dia seakan tahu kalau
Gumara menutup jalan pendengarannya. Sesaat
kemudian dia buka mulut lagi. Kali ini suara
si orang tua terdengar lain. Tinggi
melengking jelas jika suara itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam untuk.
membongkar jalan pendengaran orang.
"Gumara! Aku datang membawa kabar baik
bagimu! Kita harus bicarakan hal ini!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara si
orang tua, tubuh Gumara kelihatan bergetar.
Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-
gerak pertanda apa yang dilakukan si orang
tua berhasil membongkar jalan pendengaran
Gumara. Malah pemuda ini merasakan kedua
telinganya laksana ditusuk dan mengiang
keras!
Namun Gumara tidak begitu saja segera
putuskan semadinya. Si pemuda mengira apa
yang didengarnya adalah gangguan yang biasa
menggoda. Namun bagaimanapun dia mencoba
menutup pendengaran dan pusatkan jalan
pikiran, dia tidak kuasa mengatasi. Gumara
sadar bahwa kali ini dia jelas tidak mungkin
bisa teruskan semadinya.
Seraya menggereng marah, Gumara buka
kelopak matanya. Kedua tangannya ditarik ke
belakang. Bersamaan dengan berputarnya tubuh
menghadap suara yang didengarnya, kedua
tangannya menghantam lepaskan pukulan!
Wuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin deras melesat ke
arah si orang tua yang tegak di atas
bongkahan batu. Namun orang tua yang diserang
sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya
semula hingga dua gelombang angin itu
menghantam bongkahan batu di mana tadi si
orang tua berdiri tegak.
Byaaaarr!
Bongkahan batu itu langsung hancur
berantakan semburatkan kepingan kecil-kecil.
Melihat pukulannya hanya menghantam
bongkahan batu, lebih-lebih tidak ada seorang
pun yang terlihat, Gumara naik pitam. Sekali
lagi dia kerahkan tenaga dalamnya. Kedua
telinganya dipertajam. Meski dia tidak
melihat orang namun dia sadar kalau di tempat
itu dia tidak berada sendirian.
Tiba-tiba bibir Gumara sunggingkan
senyum seringai, lalu membuka.
"Kau berani mengusikku. Kau akan tahu
akibatnya!"
Belum habis suara Gumara, tubuhnya yang
tetap dalam sikap duduk bersila berputar
laksana baling-baling. Kejap lain sosoknya
berhenti. Kedua tangannya yang telah dialiri
tenaga dalam diangkat, siap menghantam ke
satu arah.
"Gumara. Tahan pukulanmu!"
Gumara pentangkan sepasang matanya.
Mulutnya yang terbuka hendak ucapkan kata-
kata serta merta mengancing. Kedua tangannya
terangkat diluruhkan.
Di lain saat pemuda ini berdiri lalu
melesat dan tahu-tahu telah tegak di atas
bongkahan batu berseberangan sejarak tiga
langkah di hadapan orang tua berpakaian
putih. Pemuda ini bungkukkan sedikit
tubuhnya.
"Harap Guru katakan mengapa datang
sebelum waktu yang Guru tentukan!"
Meski dari nada bicaranya jelas kalau
orang tua di hadapan Gumara adalah gurunya,
namun nada ucapan itu seolah menegur.
Si orang tua tersenyum dan seolah
mengerti kenapa muridnya berucap begitu.
"Gumara.... Hal ini kulakukan karena ada satu
hal yang harus kita bicarakan! Aku
bermimpi..."
Belum selesai si orang tua lanjutkan
ucapannya, Gumara telah memotong. "Guru.
Adakah kerjaku selama lima purnama harus sia-
sia hanya karena sebuah mimpi?"
Lagi-lagi si orang tua tersenyum.
"Muridku.... Kurasa apa yang kau lakukan
tidak sia-sia. Kulihat pukulanmu bertambah
cepat. Daya pendengaranmu makin tajam..."
"Guru!" lagi-lagi Gumara memotong ucapan
gurunya. "Dengan buyarnya semadiku sebelum
waktu yang ditentukan berarti aku gagal
memiliki ilmu 'Pelebur Urat" yang kau katakan
itu! Itu juga berarti ilmuku tidak bertambah
dan aku tetap akan jadi pecundang dalam dunia
persilatan! Sementara pemuda bergelar
Pendekar Pedang Tumpul 131 telah mendapatkan
Kitab Serat Biru!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Rupanya
kau masih terpacak memikirkan pemuda berjuluk
Pedang Tumpul 131 yang mengalahkanmu di Pulau
Biru! Kau mungkin lupa, Gumara. Sebelum
keberangkatanmu dahulu aku sudah berpesan.
Kau harus dapat menerima kenyataan karena
sebuah kitab diciptakan kelak hanya
diperuntukkan untuk satu orang! Kau harus
belajar menerima takdir bahwa bukan kau yang
ditentukan untuk memiliki Kitab Serat
Biru.... Dan kuharap apa yang kau pelajari
juga tidak untuk merebut kitab itu! Kitab
Serat Biru tidak diperuntukkan bagimu, namun
mungkin kau masih berjodoh dengan kitab
satunya...."
Ketegangan wajah Gumara yang sedari tadi
terlihat mendadak berubah. Seraya bungkukkan
sedikit tubuhnya dia berkata.
"Jadi itukah hal penting yang hendak kau
bicarakan sampai harus membuyarkan semadiku?"
Si orang tua menjawab dengan anggukkan
kepalanya. Seakan tidak sabaran, Gumara
lanjutkan ucapannya. "Harap Guru terangkan
kitab apa itu dan di mana beradanya!"
"Tentang kitab apa, aku sendiri tidak
jelas mengetahuinya!"
Paras wajah Gumara kembali menegang.
"Adalah aneh kalau Guru mengatakan tahu
tentang sebuah kitab tapi tidak tahu kitab
apa! Jangan-jangan Guru hanya mendengar kabar
yang belum tentu kebenarannya!"
Si orang tua untuk kesekian kali nya
gelengkan kepala. "Gumara. Persoalan kitab
itu aku tidak mendengar dari mulut orang!
Itulah sebabnya aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu!"
"Lalu apakah dari mimpi yang kau katakan
tadi?" tanya Gumara menebak. Lalu lanjutkan
ucapannya dengan tertawa pendek. "Barang
pusaka yang didengar dari seorang tokoh dunia
persilatan saja masih disangsikan
kebenarannya, bagaimana mungkin hanya dari
sebuah mimpi hal itu bisa dibuktikan
kebenarannya?"
"Gumara. Menurutku, keterangan dari
orang, siapa pun dia adanya memang kadangkala
masih disangsikan kebenarannya. Tapi
keterangan dalam mimpi adalah sesuatu yang
gaib. Dan sering kali keterangan dalam mimpi
lebih dipercaya dari keterangan orang!
Apalagi mimpi itu tidak hanya sekali
melainkan berkali-kali! Kukira itu sebuah
isyarat kebenaran! Jika tidak, tidak sampai
aku datang ke sini sebelum waktu yang
kutentukan!"
Seolah masih tidak percaya dengan yang
dikatakan gurunya, Gumara angkat bicara lagi.
Namun kali ini dia seolah bicara pada dirinya
sendiri.
"Mimpi.... Yang kualami, aku hanya
memimpikan sesuatu yang selalu kupikirkan
sebelum tidur...."
"Kau jangan menganggap segala sesuatu
sama dengan apa yang kau alami, Gumara....
Dan juga perlu kau ketahui, pada terakhir
kalinya, aku dalam keadaan terjaga! Hal ini
terjadi mungkin karena aku semula beranggapan
sepertimu. Tapi.... Kalau kau tidak tertarik
sebaiknya aku tidak menceritakan padamu.
Hanya...."
"Guru. Semadiku telah sia-sia hanya
karena persoalan mimpi ini. Bagaimanapun
mimpimu, harap kau katakan padaku!" sahut
Gumara.
Untuk beberapa saat si orang tua
terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh.
Sesaat kemudian dia berkata.
"Aku merasa didatangi seseorang yang
tidak jelas raut wajahnya. Yang kulihat dia
mengenakan jubah panjang hitam sebatas mata
kaki. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya
menggerakkan kedua tangannya menyibakkan
jubah panjangnya. Saat itulah aku melihat se-
buah kitab berwarna hitam di dadanya. Setelah
itu dia balikkan tubuh dan seolah-olah
mencebur ke dalam sebuah tempat yang curam.
Tiga hari berturut-turut dia datang dengan
sikap yang sama. Pada yang terakhir kali aku
dalam keadaan terjaga. Orang itu menampakkan
diri lagi. Pada saat itu sebelum dia balikkan
tubuh aku beranikan diri bertanya di mana dia
berada. Dia tidak menjawab. Hanya setelah
sosoknya tidak kelihatan, aku mendengar dia
sebut-sebut namamu dan menyebut Bukit
Selamangleng...."
Gumara dengarkan penuturan gurunya
dengan saksama. Sementara si orang tua
palingkan kepala memandang pada sang murid
lalu berkata.
"Aku tidak memaksamu menyelidik. Tapi
adalah tindakan bodoh kalau kau menyia-
nyiakan hal ini!"
"Guru. Aku akan tetap berangkat
menyelidik. Bukan untuk mencari kitab itu,
namun semata-mata ingin buktikan bahwa mimpi
adalah bunga tidur!"
Mendengar ucapan muridnya, sang guru
bukannya marah melainkan sunggingkan senyum
dan berkata pelan.
"Hati seseorang tidak mudah diduga,
Gumara. Tapi aku berharap kau nanti akan
menemui kenyataan! Aku harus pergi sekarang!"
"Tunggu! Apa kau tahu di mana letak
Bukit Selamangleng?"
Gerakan sang guru tertahan. Masih dengan
tersenyum dia menjawab.
"Pergilah ke Dusun Sumbersuko. Tidak
jauh dari dusun itu kau akan melihat sebuah
bukit. Itulah Bukit Selamangleng.... Gumara!
Aku berpesan padamu kalau kau nanti menemukan
kenyataan, harap kau gunakan kitab itu untuk
kebaikan. Lupakan peristiwa di Pulau
Biru...!"
Habis berkata begitu, si orang tua
baiikkan tubuh lalu sosoknya berkelebat,
Gumara tengadahkan kepala. Mulutnya
menyeringai. "Peristiwa Pulau Biru selamanya
tidak akan kulupakan. Pendekar Pedang Tumpul
131 serta kawan-kawannya harus mampus
ditanganku! Aku hampir yakin, apa yang
dialami oleh Bayu Bajra adalah sebuah isyarat
benar!"
Gumara tertawa panjang. "Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng! Saat kematianmu
hanya tinggal tunggu waktu! Malaikat Penggali
Kubur akan datang menjemputmu!"
Gumara melesat tinggalkan kawasan
lamping Gunung Semeru masih dengan suara
bergelak keras. Pemuda ini bukan lain adalah
pemuda yang tidak berhasil mendapatkan Kitab
Serat Biru malah sempat dikalahkan Pendekar
131 di Pulau Biru, yakni pemuda yang bergelar
Malaikat Penggali Kubur murid seorang tokoh
bernama Bayu Bajra. (Lebih jelasnya tentang
Gumara alias Malaikat Penggali Kubur serta
gurunya silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode: "Malaikat Penggali Kubur").
* * *
DELAPAN
Pendekar 131 Joko Sableng melangkah
dengan benak dibuncah berbagai persoalan. Di
satu sisi dia mendapat keterangan dari Raja
Tua Segala Dewa harus mencari orang yang
berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa
yang tidak jelas di mana beradanya. Padahal
dari orang itulah Kitab Hitam dapat
ditemukan. Di lain pihak menurut keterangan
Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga
Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra, rahasia
di mana beradanya Kitab Hitam berada di
mahkota bersusun tiga yang kini diketahui
berada di tangan Dewa Orok. Padahal mencari
Dewa Orok mungkin sama halnya dengan mencari
satu jenis ikan tertentu di laut bebas.
Kalaupun dapat bertemu Dewa Orok belum tentu
pemuda bertangan buntung berwajah tampan itu
mau memberikan mahkota yang dikatakan sebagai
milik nenek moyangnya. Belum lagi dia telah
telanjur mengatakan urusannya pada gadis
berwajah cantik berjubah merah menyala yang
sebutkan diri sebagai Putri Sableng.
Pada satu tempat murid Pendeta Sinting
hentikan langkah. Mungkin karena telah, enak
saja dia selonjorkan kaki seraya bersandar
punggung pada sebuah gundukan tanah agak
tinggi. Tangan kirinya terangkat lalu jari
kelingkingnya dimasukkan ke tobang telinga.
Kejap lain dia telah meringis sendiri seakan-
akan melupakan urusan rumit yang dihadapi.
Namun ringisan geli murid Pendeta
Sinting mendadak terputus. Sepasang matanya
membeliak besar tak berkesip. Dadanya
berdegup keras. Jakunnya bergerak tak teratur
turun naik.
Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya
duduk menggelosoh tegak seorang perempuan
berwajah cantik meski usianya tidak muda.
Sosoknya bahenol dengan kulit putih. Sepasang
matanya bersinar. Hidungnya mencuat mancung
dengan bibir merah ranum. Dia mengenakan
pakaian tipis berwarna biru membuat cuatan
kedua payudaranya yang membusung besar ter-
lihat jelas. Pinggulnya padat ditingkah paha
yang terpampang karena pakaian bawahnya
sengaja disibakkan.
"Kapan munculnya perempuan itu? Ataukah
karena aku terlalu tenggelam dengan urusanku
hingga tidak mengetahui kedatangannya? Tapi
sepertinya aku pernah bertemu dengan
perempuan ini. Tapi di mana...?"
"Sepertinya kau sedang galau...." Si
perempuan. berpakaian biru menyapa seraya
sunggingkan bibirnya yang merah. Dia
melangkah mendekat. Pinggulnya kelihatan
bergoyang-goyang membuat mata Joko makin
terbelalak.
"Sepertinya aku mengenalmu...," gumam
Joko lalu bergerak bangkit.
Si perempuan terus melangkah. Tiga
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting, dia
hentikan langkah. Sepasang matanya memandang
pada Joko dari rambut hingga kaki. Mulutnya
membuka perdengarkan suara.
"Benar, Pendekar 131. Kita sudah saling
kenal. Kau ingat peristiwa di Pulau Biru
beberapa waktu yang silam?"
Murid Pendeta Sinting serentak surutkan
langkah. Namun sosoknya tertahan gundukan
tanah di mana dia tadi bersandar.
"Kau.!.. Ratu Pemikat!" seru Joko. Paras
wajah Pendekar 131 berubah seketika. Dadanya
bergemuruh. Teringat lagi bagaimana pada
beberapa tahun yang lalu perempuan di
hadapannya yang tidak lain adalah seorang
perempuan berparas cantik yang dikenal dengan
Ratu Pemikat mengejar dirinya hingga masuk ke
dalam Jurang Tlatah Perak. Namun gejolak
marah di dada murid Pendeta Sinting perlahan-
lahan sirna ketika Ratu Pemikat tunjukkan
wajah murung sembari berkata.
"Pendekar 131. Aku memang telah berbuat
kesalahan padamu. Untuk itulah aku sengaja
mencarimu. Aku ingin menebus dosa yang pernah
kulakukanl Hari ini aku bisa jumpa. Sekarang
aku pasrah. Lakukanlah apa yang kau mau...."
Ratu Pemikat tundukkan kepala. Kedua
tangannya saling meremas. Joko menarik napas
panjang. Mulutnya terkancing tidak ucapkan
sepatah kata.
"Aku telah berjanji. Kalau kau tidak
bersedia melakukan hukuman padaku, aku akan
melakukannya sendiri di hadapanmu!"
Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu
Pemikat terangkat ke atas. Kejap lain kedua
tangan itu menghantam kearah kepalanya
sendiri! Karena hantaman itu bukan hantaman
biasa, pasti sekali hantam kepala itu akan
retak. Apalagi Ratu Pemikat diketahui adalah
seorang yang punya kepandaian.
Sejengkal lagi kepala Ratu Pemikat
terhantam sendiri oleh kedua tangannya, dua
tangan lain tampak berkelebat membuat gerakan
kedua tangan Ratu Pemikat tertahan.
"Sudahlah.... Aku telah melupakan
peristiwa itu!"
Ratu Pemikat angkat kepalanya. Sepasang
matanya memandang tajam ke dalam bola mata
murid Pendeta Sinting yang baru saja menahan
gerakan kedua tangannya.
"Benar ucapanmu? Jangan hanya di mulut
tapi di hati masih menyimpan dendam
padaku...," kata Ratu Pemikat dengan suara
lirih.
Pendekar 131 tersenyum seraya gelengkan
kepala. "Kau memang berbuat kesalahan, tapi
tanpa hal itu mungkin aku tidak jadi begini!"
"Terima kasih kalau kau mau memaafkan
diriku. Kini hatiku tenteram...."
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat
pandang sekali lagi pada murid Pendeta
Sinting. Tanpa berkata apa-apa lagi perempuan
bertubuh bahenol ini putar diri. "Aku harus
segera pergi...."
Sesaat Pendekar 131 terdiam. Sepasang
matanya mendelik memandang pada pinggul Ratu
Pemikat yang kencang menantang.
"Hendak ke mana kau?" akhirnya Joko
bertanya setelah Ratu Pemikat melangkah lima
tindak. Namun matanya tidak juga beranjak
dari pinggul si perempuan.
"Berbulan-bulan aku mencarimu. Tujuanku
kau telah tahu. Sekarang semuanya sudah
selesai. Aku ingin mencari tempat untuk
tenangkan diri."
Ratu Pemikat baiikkan tubuh lalu
lanjutkan ucapannya. "Kau sendiri mau ke
mana? Kulihat wajahmu seperti cemas dan
bingung!"
Mungkin karena tidak mau bertindak
ceroboh seperti saat bertemu dengan gadis
berjubah merah, murid Pendeta Sinting
gelengkan kepala seraya tertawa.
"Aku bingung memikirkan bagaimana kita
mendadak bisa berjumpa lagi! Padahal
sebelumnya tidak terlintas hal ini akan
terjadi...."
Ratu Pemikat tersenyum. Dia lalu
melangkah kembali mendekat ke arah Joko. Kali
ini tampak Ratu Pemikat busungkan dadanya
yang besar, hingga sesaat membuat murid
Pendeta Sinting membeliak.
"Sebentar lagi matahari akan terbenam.
Apa kau masih akan tetap berada di sini?"
sambil berkata, kepala Ratu Pemikat
mendongak. Saat itu hamparan langit memang
mulai menguning pertanda sebentar lagi mata-
hari akan tenggelam.
Melihat Joko tidak menjawab
pertanyaannya, Ratu Pemikat arahkan kepala
pada murid Pendeta Sinting. "Sebagai tanda
persahabatan kita kembali, bagaimana kalau
kita jalan bersama mencari tempat yang lebih
baik?"
Bersamaan dengan selesainya ucapan Ratu
Pemikat, Joko merasakan dadanya sesak.
Sekilas pandangannya berubah menghitam
laksana ada kabut tipis yang menghalangi
pandangan matanya. Tapi cuma sekejap. Kejap
lain kembali seperti sediakala.
Pendekar 131 kerutkan kening. Belum
selesai berpikir apa yang baru saja terjadi,
Ratu Pemikat telah pegang lengannya. "Kau
tampak sangat letih. Kalau kau tidak mau
berjalan bersama, bagaimana kalau kau
kutemani di sini? Kau tak keberatan bukan?"
Bibir Ratu Pemikat sunggingkan senyum.
Matanya mengerling. Entah sengaja atau tidak
perempuan ini lalu tempelkan dadanya pada
lengan Joko membuat murid Pendeta Sinting
merasakan hangatnya dada sang Ratu.
Entah karena apa meski dalam hatinya
telah bermaksud menolak apa yang dikatakan
Ratu Pemikat tapi kepalanya sebaliknya
mengangguk. Malah kedua tangannya segera
bergerak merengkuh tubuh bahenol di
sampingnya dan kepalanya serentak menyorong
ke depan. Kejap lain diciuminya wajah Ratu
Pemikat.
Ratu Pemikat sejenak mengeluh perlahan.
Kedua tangannya merangkul tubuh Pendekar 131
yang terus menciumi wajah dan lehernya. Tapi
tiba-tiba Ratu Pemikat tarik kepalanya
menjauh. Bersamaan dengan itu dia berbisik.
"Ke mana sebenarnya tujuanmu, Pendekar?"
Walau hatinya tidak mau menjawab,
anehnya laksana ada satu kekuatan hebat yang
membuatnya buka mulut meski kepalanya terus
menyusup ke leher Ratu Pemikat. "Aku harus
menemui orang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis
Rangkap Jiwa."
"Kalau kau terlihat cemas dan tegang
tentu kau punya urusan sangat pehting dengan
manusia bergelar Cucu Dewa. dan Iblis Rangkap
Jiwa...," ujar Ratu Pemikat lalu dekatkan
wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-lahan
meraba bagian perut murid Pendeta Sinting.
"Lebih dari penting!" kata Joko seolah
tidak sadar. Malah dia seakan tidak merasa
bagaimana kedua tangan Ratu Pemikat meraba-
raba bagian perutnya. Yang dirasakan saat itu
adalah getaran-getaran halus kedua tangan
Ratu Pemikat yang membuat dadanya makin
berdebar dan gejolaknya makin menggelegak.
"Hem.... Urusan apakah sebenarnya?"
tanya Ratu Pemikat. Wajah perempuan ini
tampak berubah. Bukan karena Joko terus
menciuminya melainkan karena dia tidak
menemukan apa-apa di balik pakaian murid Pen-
deta Sinting.
"Heran. Di mana dia menyimpan kitab itu?
Apa mungkin kitab sakti disimpan di satu
tempat? Yang terasa cuma senjata
pedangnya...."
Masih laksana didorong kekuatan luar
biasa, Joko jawab pertanyaan Ratu Pemikat.
"Menurut seseorang ada sebuah Kitab Hitam
yang berisi ilmu luar biasa. Aku harus
menemukan dan memusnahkan kitab itu. Se-
mentara orang yang tahu beradanya Kitab Hitam
itu adalah orang yang bergelar Iblis Rangkap
Jiwa...."
Ratu Pemikat lingkarkan kembali kedua
tangannya ke pinggang murid Pendeta Sinting.
Lalu membelai punggungnya seraya berbisik.
"Lalu apa hubungannya dengan orang yang
kau sebut Cucu Dewa?"
"Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang
manusia sakti. Dia tidak mungkin begitu saja
mengatakan di mana beradanya Kitab Hitam.
Malah tidak mustahil dia akan membunuh siapa
saja yang menanyakan kitab itu. Hanya ada
satu orang yang mengetahui kelemahannya.
Dia adalah Cucu Dewa...."
Sepasang mata Ratu Pemikat membelalak.
Bibirnya tersenyum. "Kalau dia ditugaskan
mencari sekaligus memusnahkan kitab itu,
pasti kitab itu lebih hebat dari Kitab Serat
Biru. Hem.... Tak dapat Kitab Serat Biru
tidak apa-apa.... Tentu yang ini lebih
dahsyat.... Aku harus terus mengorek. Ilmu
'Penyalur Suara' dan rangsangan itu masih
cukup sebelum dia sadar...."
"Kau tahu di mana orang yang berjuluk
Cucu Dewa serta Iblis Rangkap Jiwa itu?"
tanya Ratu Pemikat Seraya angkat kedua
tangannya lalu sibakkan pakaian bagian
atasnya hingga sepasang payudaranya terlihat
jelas tanpa penutup. Sepasang mata murid
Pendeta Sinting mendelik seperti silau
melihat payudara putih besar dan padat.
Kepala Joko turun ke bawah. Namun begitu
sampai di belahan dada Ratu Pemikat,
perempuan ini tarik tubuhnya seraya berbisik
pelan. "Katakan dahulu di mana tempat Cucu
Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...!"
Seakan tidak sabaran, murid Pendeta
Sinting tarik kedua tangannya yang merangkul
pinggang Ratu Pemikat, hingga tak ampun lagi
tubuh Ratu Pemikat terdorong ke depan.
Dadanya tepat ke wajah murid Pendeta Sinting!
"Aku tidak tahu di mana adanya dua orang
itu! Justru itulah yang selama ini menjadi
pikiranku...," ujar Joko tekapkan wajahnya ke
dada Ratu Pemikat.
"Kau tidak berdusta?" tanya Ratu Pemikat
meski dia yakin Joko tidak bisa berkata dusta
sebab dia telah terbius ilmu 'Penyalur
Suara'.
"Aku bicara apa adanyal" jawab Joko lalu
kembali benamkan wajahnya.
"Hem.... Sebenarnya aku bisa saja
membunuhnya saat ini. Tapi aku tidak akan
melakukan hal itu. Aku akan membunuhnya
setelah dia berhasil mendapatkan Kitab Hitam
itu karena siapa tahu aku gagal menemukan
Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...," kata
Ratu Pemikat dalam hati. Perempuan ini angkat
tangan kirinya. Kejap lain tangan itu
bergerak mengelus tengkuk murid Pendeta
Sinting.
Bersamaan dengan itu Pendekar 131
rasakan kedua lututnya goyah. Kepalanya
laksana diputar-putar. Saat lain
pemandangannya menghitam. Ketika Ratu Pemikat
tarik pulang tangan kirinya, sosok Joko
melorot jatuh.
Ratu Pemikat tertawa panjang. Dengan
cepat dia bergerak jongkok. Lantas memeriksa
jalan pernapasan Joko. Setelah merasa pasti
bahwa Joko dalam keadaan tidak sadar maka
kedua tangannya membuka pakaian yang
dikenakan murid Pendeta Sinting.
Perempuan berwajah cantik bertubuh
bahenol itu menarik napas panjang. "Kitab itu
memang tidak dibawa. Tentu disimpan di satu
tempat. Hem.... Tapi aku tidak begitu kecewa.
Kitab Hitam pasti lebih hebat dari Kitab
Serat Biru...," kata Ratu Pemikat berujar
pada diri sendiri. Sepasang matanya
memandangi sekujurtubuh murid Pendeta
Sinting. Matanya lalu menumbuk pada Pedang
Tumpul 131. Tangannya bergerak menjulur, tapi
tiba-tiba diurungkan. "Sementara ini aku
harus menunjukkan sikap baik padanya. Lagi
pula dia tidak akan ingat apa yang dilakukan
dan diucapkan...."
Sekali lagi Ratu Pemikat menghela napas.
Lalu kedua tangannya kembali menjulur ke arah
sosok murid Pendeta Sinting. Bukan untuk
mengambil Pedang Tumpul 131 melainkan membuka
pakaiannya!
"Sebenarnya sayang menyia-nyiakan
kesempatan bagus ini. Dia seorang pemuda
tampan dan berotot. Tapi ilmu 'Penyalur
Suara' dan bius rangsangsn itu akan buyar
kalau aku ikut terangsang.... Sial betul
nasibku. Aku bisa membuat orang terangsang
dan mengucapkan apa yang kutanya tanpa sadar
tapi pantangannya aku harus tidak boleh
hanyut dalam rangsangan itu! Gila betul!
Padahal aku sudah hampir gila menahan
keinginan itu! Tapi ah.... Semuanya akan
segera selesai kalau aku telah mendapatkan
apa yang kuinginkan...."
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat
dekatkan wajahnya ke wajah murid Pendeta
Sinting. Bibir Joko diciumnya namun tubuh
perempuan cantik ini terlihat bergetar keras
coba menahan agar dirinya tidak terangsang!
Ratu Pemikat bergerak bangkit seraya
rapikan pakaiannya. Memandang sejurus pada
sosok murid Pendeta Sinting, lalu sembari
menarik napas panjang dia meninggalkan tempat
itu.
* * *
SEMBILAN
Ketika malam hampir berujung dan udara
dini hari dingin menusuk tulang, sosok murid
Pendeta Sinting yang tampak basah tersiram
embun dini hari terlihat bergerak menggeliat
Dari mulutnya terdengar keluhan pendek.
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya
membuka. Sejenak dia mengerjap. Setelah
terbiasa dengan suasana dia edarkan pandang-
annya berkeliling. Tidak ada orang lain di
situ.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" desis
Joko dengan kening berkerut seolah hendak
mengingat apa yang dialaminya. "Aku jumpa
dengan Ratu Pemikat lalu sepertinya aku
menciumi wajahnya. Setelah itu.... Aku tidak
ingat lagi!"
Murid Pendeta Sinting sekali lagi
arahkan pandangannya berkeliling. "Kemana
dia? Jangan-jangan dia sembunyi...." Joko
bergerak bangkit. Namun mendadak dia tercekat
dan buru-buru urungkan niat untuk bangkit
berdiri. Wajahnya kontan berubah merah padam.
Dadanya berdebar. "Apa yang kulakukan? Aku...
aku telanjang!"
Dengan dada masih dipenuhi berbagai
tanya dia cepat mengenakan pakaiannya. Kejap
lain dia berkelebat berkeliling di sekitar
tempat itu. Namun dia tidak menemukan Ratu
Pemikat.
"Astaga! Kenapa aku sampai berbuat...."
Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia duduk
terpekur seraya mengingat-ingat. Namun
bagaimanapun dia coba pusatkan pikiran untuk
mengingat, dia gagal.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan jika
suatu saat kelak jumpa dengannya? Namun
tampaknya dia benar-benar telah berubah.
Seandainya mau dia mudah saja mengambil
pedangku bahkan membunuhku! Tapi anehnya
mengapa aku tidak ingat apa-apa lagi? Apakah
karena...."
Sekonyong-konyong di tempat itu
terdengar suara orang tertawa bergelak. Joko
putuskan membatinnya. Laksana disentak setan
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara
tawa. "Jangan-jangan perbuatanku tadi diintip
orang! Wah, bisa celaka! Di mana mukaku mau
kutaruh? Sialan betul!'
Sejarak tiga tombak dari tempatnya
duduk, tampak satu sosok besar duduk
memunggungi. Kepalanya tidak kelihatan karena
orang ini sengaja sembunyikan kepalanya
dengan merunduk.
Murid Pendeta Sinting beranjak bangkit
lalu melangkah dengan sikap waspada. Karena
keadaan masih agak gelap, Joko tidak bisa
melihat warna pakaian orang. Yang jelas
terlihat orang itu bertubuh besar hingga
kalau tidak perdengarkan suara tawa, orang
pasti akan menduga sosok itu adalah bongkahan
batu.
Mungkin karena khawatir, Joko hentikan
langkah agak jauh lalu berkata.
"Dini hari begini, apa yang kau lakukan
di situ?" Pertanyaan murid Pendeta Sinting
jelas ingin menyelidik keberadaan orang. Dia
agaknya masih merasa waswas kalau orang itu
mengetahui apa yang diperbuatnya dengan Ratu
Pemikat.
Orang yang ditanya tidak segera
menjawab, sebaliknya tertawa panjang membuat
Joko tidak enak. Paras wajahnya sudah berubah
merah padam dan tegang.
"Kau manusia atau sebangsa hantu?" tanya
Joko karena sudah merasa kebingungan tak tahu
apa yang harus ditanyakan.
Kembali orang yang ditanya hanya
menjawab dengan kekehan tawa. Tapi sesaat
kemudian terdengar suaranya. Meski begitu
kepalanya masih dibenamkan.
"Mana ada hantu yang bisa tertawa
cekakakan? Dan biasanya hantu yang
menampakkan diri pada seorang pemuda adalah
hantu wanita cantik bertubuh sintal. Aku
memang sintal, tapi jauh dari cantik!" Habis
berkata, kembali orang ini tertawa bergelak.
Kaki murid Pendeta Sinting tersurut.
Sepasang matanya memandang tak berkesip.
Wajahnya makin me-negang. "Jangan-jangan dia
tahu apa yang baru saja kulakukan! Benar
benar sial!" ujarnya dalam hati lalu berkata.
"Kalau kau sebangsa manusia mengapa
takut tampakkan wajah?"
"Aku bukannya takut, tapi terus terang
aku merasa malu! Apa kau sudah selesai dengan
pekerjaanmu?"
Pertanyaan orang membuat Joko makin
penasaran. Cepat dia balik bertanya.
"Kau tahu aku melakukan pekerjaan apa?!"
"Aku malu mengatakannya! Jawab saja
selesai apa belum?!"
Mungkin untuk mempercepat urusan, Joko
buka mulut menjawab.
"Aku sudah selesai! Apa sekarang kau
masih merasa malu menunjukkan muka?"
Joko tidak tahu kapan orang itu baiikkan
tubuh. Yang jelas orang itu telah menghadap
ke arahnya dengan kepala sedikit didongakkan.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia
lanjut. Rambutnya putih di-sanggul ke atas.
Sepasang matanya hanya kelihatan putih,
pertanda jika orang tua ini buta. Pada
pinggangnya yang besar tampak melilit sebuah
ikat pinggang besar yang di tengahnya
terlihat sebuah benda berkilat berbentuk
bundar.
"Gendeng Panuntun!' seru Joko dengan
suara bergetar. Kakinya serentak tersurut
satu tindak. Raut mukanya makin tegang.
Mulutnya seketika mengancing rapat. Sepasang
matanya mendelik besar.
Orang bertubuh besar berikat pinggang
besar yang di bawah perutnya tampak sebuah
benda bundar berkilat yang tidak lain adalah
sebuah cermin gerakkan kedua tangannya
mengusap cerminnya lalu berkata.
"Syukur kau masih mengenaliku, Anak
Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."
Setelah agak lama terdiam dan dapat
kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah
maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan
raut wajahnya namun jelas wajahnya masih
menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini
dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya
yang bukan lain memang Gendeng Panuntun se-
orang tokoh rimba persilatan yang memiliki
ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan
menebak orang meski matanya buta.
"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata
Joko sengaja alihkan pembicaraan.
Gendeng Panuntun usap cerminnya.
Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu
berkata.
"Urusanmu adalah urusan besar, Joko.
Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa
memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa,
keteranganku pasti sama dengan apa yang
pernah kau dengar!"
Pendekar 131 sedikit merasa lega karena
Gendeng Panuntun segera menyambuti
pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu
berkata lagi.
"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit
keterangan yang kuperoleh!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya.
"Barang hitam layaknya kau tanyakan pada
orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam
meski tidak putih mulus!"
"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang
yang kini sedang kucari!"
"Hem.... Orang perempuan apa laki-laki?"
"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia
"Syukur kau masih mengenaliku, Anak
Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."
Setelah agak lama terdiam dan dapat
kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah
maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan
raut wajahnya namun jelas wajahnya masih
menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini
dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya
yang bukan lain memang Gendeng Panuntun se-
orang tokoh rimba persilatan yang memiliki
ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan
menebak orang meski matanya buta.
"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata
Joko sengaja alihkan pembicaraan.
Gendeng Panuntun usap cerminnya.
Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu
berkata.
"Urusanmu adalah urusan besar, Joko.
Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa
memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa,
keteranganku pasti sama dengan apa yang
pernah kau dengar!"
Pendekar 131 sedikit merasa lega karena
Gendeng Panuntun segera menyambuti
pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu
berkata lagi.
"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit
keterangan yang kuperoleh!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya.
"Barang hitam layaknya kau tanyakan pada
orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam
meski tidak putih mulus!"
"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang
yang kini sedang kucari!"
"Hem.... Orang perempuan apa laki-laki?"
"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia
bernama Cucu Dewa Menurut keterangan yang
kuperoleh, meski dia dari golongan hitam
namun kadangkala berpihak pada orang putih.
Jadi pasti kau dapat mengetahuinya!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya sebelum
akhirnya berkata.
"Aku melihat kuil di arah matahari
muncul. Di hadapannya terbentang hamparan air
bergelombang besar...." Gendeng Panuntun
hentikan ucapannya lalu hadapkan kepalanya
lurus ke arah Pendekar 131.
"Arah matahari muncul... berarti arah
timur. Bentangan air bergelombang besar....
Jangan-jangan aku harus menuju pantai sebelah
timur! Hem...." Joko berpikir apa yang baru
saja diucapkan Gendeng Panuntun.
"Hanya itu mungkin yang bisa kukatakan
padamu, Anak Muda! Soal apa maknanya tentu
kau sendiri yang mengartikannya!"
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun
bangkit. "Kalau kau sudah bisa menebak, lebih
cepat bergerak kukira lebih baik. Karena
kurasa saat ini bukan hanya kau saja yang
sedang menyelidik. Gadis cantik berjubah
merah serta perempuan bertubuh sintal juga
sedang mencari keterangan untuk ke sana. Lalu
ada seorang lagi...."
Wajah Joko kembali merah padam.
"Bagaimana mungkin Ratu Pemikat tahu urusan
ini? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa
padanya!" kata Joko dalam hati seraya
pandangi lekat-lekat paras Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau harus
waspada pada setiap orang! Di sebelah barat
sana kurasa ada sebuah sungai. Cepatlah kau
ke sana! Basuh mukamu berulang kali...."
"Kek! Aku tidak mengerti maksudmu...."
"Mendekatlah kemari...."
Meski dengan benak masih bertanya-tanya,
Joko lakukan apa yang dikatakan Gendeng
Panuntun.
"Bungkukkan sedikit tubuhmu dan hadapkan
wajahmu di cermin ini!" kata Gendeng Panuntun
begitu murid Pendeta Sinting telah tegak di
hadapannya.
Meski masih tidak mengerti dengan maksud
si orang tua, Joko bungkukkan tubuh dan
hadapkan wajahnya berkaca pada cermin yang
berada di perut Gendeng Panuntun. Meski saat
itu matahari belum muncul, anehnya Joko
dengan jelas dapat berkaca.
Begitu kaca bundar itu pantulkan
wajahnya, serentak Joko tercekat. Tampangnya
berubah. Laksana kilat kedua tangannya
bergerak mengusap beberapa warna merah yang
belepotan di wajahnya.
"Sial! Ini pasti pewarna di bibir Ratu
Pemikat!" gumam Joko seraya menarik wajahnya
dari hadapan cermin Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tertawa panjang.
"Kurasa masih belum cukup, Anak Muda. Tubuhmu
masih bau perempuan!"
Selesai berucap begitu kembali Gendeng
Panuntun tertawa panjang. Murid Pendeta
Sinting tarik bagian bawah pakaian atasnya
lalu diusap-usapkan pada wajahnya.
Mendadak suara tawa Gendeng Panuntun
terputus laksana direnggut setan. Pendekar
Pedang Tumpul 131 palingkan kepala. Ternyata
sosok Gendeng Panuntun tak ada lagi di tempat
itu. Joko arahkan kepalanya jauh ke sebelah
kanan. Samar-samar terlihat sosok Gendeng
Panuntun melangkah perlahan jauh di sebelah
depan sana.
Murid Pendeta Sinting mendongak. Di ufuk
sebelah timur cahaya kekuningan telah
menyemaraki hamparan langit.
"Daripada ditertawai orang, memang lebih
baik aku mencari sungai dan mandi! Syukur-
syukur kalau di sana kutemui lagi gadis
sedang mandi!"
* * *
SEPULUH
Hanya memerlukan perjalanan dua hari dua
malam Gumara alias Malaikat Penggali Kubur
sampai di Dusun Sumbersuko. Pemuda murid Bayu
Bajra ini segera teruskan perjalanan ke arah
timur, di mana dari Dusun Sumbersuko julangan
bukit yang diyakininya adalah Bukit
Selamangleng telah terlihat.
Namun begitu, Malaikat Penggali Kubur
tidak segera langsung menuju ke arah bukit.
Dia sadar, dalam urusan besar ini dia harus
bertindak waspada. Setiap langkah telah
diperhitungkan dengan matang. Dia sengaja
menempuh jalan berputar. Begitu berada di se-
belah utara bukit dan setelah menyiasati
keadaan, pemuda ini segera bergerak cepat
mendaki bukit.
Saat mendaki pun Malaikat Penggali Kubur
tetap waspada. Sesekali dia menyelinap ke
balik pohon dan ranggasan semak belukar.
Sepasang matanya liar memandang berkeliling
dan ke bawah. Setelah merasa aman baru dia
teruskan perjalanan mendaki.
Ketika sepasang kakinya menginjak puncak
bukit, dia cepat edarkan pandangannya
berkeliling. Kedua tangannya digerak-gerakkan
siap lakukan pukulan. Namun kedua tangannya
segera diluruhkan saat menyadari di puncak
bukit tidak ada orang lain.
Malaikat Penggali Kubur tidak begitu
langsung percaya dengan perasaannya. Dia
berkelebat mengitari puncak bukit. Sesekali
kepalanya mendongak menembusi rindang daun
pohon yang ada di situ.
Setelah agak lama dia memang tidak
menemukan orang, pemuda ini mondar-mandir di
puncak bukit dengan wajah membesi. Rahangnya
menggembung. Urat-urat lehernya bersembulan
keluar pertanda dadanya dirasuki hawa amarah.
"Keparat betul! Jangan-jangan ucapan
guru omong kosong belaka! Jangankan orang,
bekasnya pun tidak ada di tempat ini! Padahal
aku yakin ini Bukit Selamangleng! Dasar tua
bangka yang percaya pada mimpi!"
Meski dia menyumpah-nyumpah begitu,
namun sepasang matanya terus mengawasi
keadaan sekeliling. Malah tak jarang sepasang
kakinya menghentak-hentak di atas tanah
dengan harapan siapa tahu orang yang dicari
memiliki tindak tanduk aneh dengan bertempat
di dalam tanah.
Namun sejauh ini apa yang dilakukan
tidak membawa hasil, membuat wajahnya makin
membesi. "Jahanam! Gara-gara menuruti mimpi
gila, semadiku selama lima purnama sia-sia!
Atau jangan-jangan Guru hanya mengarang
cerita padahal sebenarnya dia tidak ingin aku
menguasai ilmu 'Pelebur Urat'! Sialan benar!
Aku telah ditipu! Akan ku...."
Laksana dicabut setan, Malaikat Penggali
Kubur putuskan gumamannya. Sepasang matanya
mendelik angker. Mulutnya menganga.
Sejarak tujuh langkah dari tempatnya
berdiri, sebuah batu agak besar terlihat
bergerak-gerak keluarkan suara berkeretakan.
Saat lain batu itu terangkat. Lalu tampaklah
sebuah tangan hitam. Namun bukan tangan itu
yang membuat Maiaikat Penggali Kubur makin
terbeliak. Ternyata terangkatnya batu besar
itu hanya dengan telunjuk!
Belum lenyap rasa kejutnya, telunjuk
yang menopang batu bergerak.
Blaarrr!
Batu itu serta merta hancur berantakan.
Sosok Malaikat Penggali Kubur tersurut satu
tindak. Tubuhnya bergetar. Belum sempat dia
kuasai diri, tanah pijakan-nya bergetar
keras.
Byaarrr!
Tanah di bawah mana tadi batu berada
muncrat ke udara. Puncak Bukit Selamangleng
laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Malaikat
Penggali Kubur ter-jengkang. Namun pemuda ini
tetap waspada. Dia tidak berani pejamkan
mata. Malah cepat salurkan tenaga dalam pada
kedua tangannya lalu bergerak bangkit.
Bersamaan dengan muncratnya tanah, satu
sosok tubuh melesat dari dalam tanah. Kejap
lain di hadapan Malaikat Penggali Kubur telah
tegak satu sosok tubuh seraya perdengarkan
tawa bergelak keras.
Tahu isyarat bahaya, Malaikat Penggali
Kubur cepat tutup pendengarannya dengan
salurkan hawa murni. Anehnya suara tawa orang
yang kini tegak di hadapannya tetap terngiang
keras menusuk gendang telinga! Pertanda siapa
pun adanya orang itu pasti memiliki tenaga
dalam luar biasa.
Mungkin tak dapat kuasai rasa sakit pada
pendengarannya, Malaikat Penggali Kubur
angkat kedua tangannya untuk menutup kedua
telinganya. Dan dengan beranikan diri, dia
menatap lekat-lekat pada orang yang tertawa.
Dia adalah seorang laki-laki berwajah
amat cekung. Malah raut wajahnya hanya
terdiri dari tulang-tulang tanpa daging.
Sepasang matanya besar menjorok keluar.
Mulutnya lebar dengan kepala tanpa ditumbuhi
rambut. Pakaiannya compang-camping dan
dilumuri bercak-bercak tanah.
"Apakah.... Siapakah kau?!" tanya
Malaikat Penggali Kubur dengan suara laksana
tercekat di tenggorokan.
Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur
putuskan tawanya. Sepasang matanya yang besar
berputar liar. Mulutnya membuka. Suara keras.
"Tak ada jawaban yang bakal kau peroleh
kecuali kematian!"
Habis berkata begitu, laki-laki yang
keluar dari dalam tanah bantingkan kaki
kanannya.
Malaikat Penggali Kubur tersentak.
Sosoknya langsung mencelat ke udara! Lalu
jatuh bergedebukan di atas tanah puncak bukit
dengart perdengarkan erangan pelan.
"Mimpi Bayu Bajra benar-benar terbukti!
Tapi kalau begini kenyataan yang kudapat
lebih baik aku tidak kemari! Ancaman manusia
ini tampaknya tidak main-main! Daripada mati
konyol, padahal dendamku pada Pendekar 131
belum lunas. Lebih baik...." Sepasang mata
Malaikat Penggali Kubur memandang
berkeliling. Diam-diam dia kerahkan segenap
ilmu peringan tubuhnnya. Kejap lain dia
bergerak bangkit lalu berkelebat menuruni
bukit.
"Kau kira dapat lolos dari kematian,
hah?!" kata laki-laki dari dalam tanah.
Tangan kanannya bergerak ke belakang.
Di depan sana sosok Malaikat Penggali
Kubur yang berkelebat hendak menuruni bukit
laksana ditarik kekuatan dahsyat. Sosoknya
kini berkelebat lebih cepat. Bukan turun ke
bawah melainkan ke tempat mana laki-laki dari
dalam tanah tegak berdiri.
Bukkkk!
Tubuh Malaikat Penggali Kubur terkapar
tepat di kaki laki-laki dari dalam tanah.
Tangan kiri laki-laki terangkat ke atas.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
terbelalak. Kalau bantingan kakinya mampu
membuat tubuhnya mencelat, Malaikat Penggali
Kubur bisa membayangkan bagaimana kalau
tangan laki-laki ini menghantam.
Berpikir sampai di situ akhirnya
Malaikat Penggali Kubur hanya bisa berteriak
seraya silangkan kedua tangannya di atas
kepala meski dia tidak percaya apa yang
dilakukan dapat menyelamatkan nyawanya.
"Aku kecewa menuruti mimpi gila itu!"
kata Malaikat Penggali Kubur dengan beliakkan
sepasang matanya menunggu kematian.
Mendadak laki-laki di atasnya tarik
pulang tangan kirinya yang tadi siap
lancarkan pukulan.
Dari balik kedua tangannya yang
menyilang, Malaikat Penggali Kubur kernyitkan
kening. Kalau tadi dia sudah merasa darahnya
laksana sirap dan nyawanya sudah pulang, kini
wajah si pemuda tampak berubah meski
ketegangan masih tergurat.
"Mengapa dia urungkan niat membunuhku?
Apa karena ucapanku tadi? Atau jangan-jangan
dia hanya menunda kematianku..."
"Katakan padaku, bagaimana mimpimu!"
Tiba-tiba laki-laki dari daiam tanah ajukan
tanya. Sepasang matanya yang besar tak
berkesip menatap.
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tertegun.
Seakan tidak percaya akan apa yang didengar,
untuk beberapa lama dia terdiam tidak segera
menjawab.
"Kau tidak tuli. Lekas jawab
pertanyaanku!" hardik si laki-laki.
"Aku.... Bukan aku yang bermimpi. Tapi
guruku!"
"Aku tanya bagaimana mimpi itu! Tidak
peduli setan atau manusia yang bermimpi!"
Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan
bergerak duduk. Lalu berkata. Suaranya
bergetar. Malah dia tidak berani membalas
pandangan orang.
"Dia bermimpi didatangi seorang berjubah
panjang sebatas mata kaki. Orang itu sebut-
sebut namaku dan sebut Bukit Selamangleng.
Setelah itu dia laksana mencebur ke satu
tempat yang dalam...."
"Hem.... Siapa namamu?!"
"Malaikat Penggali Kubur!"
Tulang laki-laki dari dalam tanah di
seluruh wajahnya bergerak-gerak. Sepasang
matanya makin melotot. "Kau jangan berkata
dusta!"
Seakan tahu apa yang dimaksud orang,
buru-buru Malaikat Penggali Kubur menyahut.
"Namaku sebenarnya Gumara...."
"Berdiri! Cepat!" sentak si laki-laki.
Gumara alias Malaikat Penggali Kubur
beringsut bangkit dengan tubuh masih
bergetar. Dadanya dibuncah dengan berbagai
tanya akan keanehan si laki-laki.
"Dengar, Gumara! Kau manusia beruntung.
Kaulah manusia yang dinantikan! Turunlah ke
bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah
jurang. Lakukan seperti yang terlihat dalam
mimpi!"
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
terbelalak. Hampir tak percaya dengan apa
yang didengar dia bergumam. "Aku...?!"
"Kalau kau bertanya lagi, jawabanmu
adalah kematian! Kau mengerti?!"
Malaikat Penggali Kubur anggukkan
kepala. Sebenarnya dia hendak bertanya siapa
adanya laki-laki di hadapannya. Namun ingat
akan ancaman orang pada akhirnya dia hanya
bisa pandangi laki-laki di depannya dengan
mulut terkancing.
"Kau tunggu apa lagi?!"
"Boleh aku tahu siapa kau...?!" akhirnya
Malaikat Penggali Kubur beranikan diri ajukan
tanya setelah ta-bahkan hati. Dia sengaja
ajukan tanya karena sebenarnya dia masih
sangsi dengan ucapan orang. Dia khawatir
kalau laki-laki itu hanya hendak
menjerumuskan dirinya. Karena ucapannya
mengisyaratkan bahwa dirinya harus terjun
masuk ke dalam jurang.
Sesaat sepasang mata laki-laki dari
dalam tanah mendelik. Namun saat lain
mulutnya membuka.
"Rimba persilatan menggelariku iblis
Rangkap Jiwa. Akulah gerbang yang harus
dilalui bagi orang yang ditentukan untuk
mewarisi Kitab Hitam itu! Mimpi dan namamu
telah menunjukkan bahwa kaulah orang yang
ditunggu!"
Mendengar ucapan laki-laki yang sebutkan
diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat
Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Bibirnya
sunggingkan senyum. Sepasang matanya
berbinar.
"Aku akan menuju tempat yang kau
tunjuk...," ucap Malaikat Penggaii Kubur lalu
pemuda murid Bayu Bajra ini melangkah
menuruni bukit.
Iblis Rangkap Jiwa pandangi sosok
Malaikat Penggali Kubur dengan senyum
seringai. Kepalanya mengangguk. Saat lain
sosoknya melesat dan hinggap di sebuah cabang
pohon dengan mata tak berkesip mengikuti
sosok Malaikat Penggali Kubur.
11
Malaikat Penggali Kubur tidak kesulitan
ke tempat yang ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa.
Dia menemukan sebuah jurang di sebelah utara
Bukit Selamangleng.
"Hem.... Kalau benar apa yang dikatakan
Iblis Rangkap Jiwa dan aku benar-benar
berhasil mendapatkan Kitab Hitam yang
dikatakannya, tak ada salahnya kelak dia
kujadikan sebagai pembantuku. Dia memiliki
kesaktian luar biasa. Kalau dia memiliki
kesaktian begitu dahsyat, pasti Kitab Hitam
itu lebih luar biasa lagi. Aku akan jadi raja
dunia persilatan!" gumam Malaikat Penggali
Kubur seraya hentikan langkah di bibir
jurang. Kepalanya memandang berkeliling. Lalu
melongok ke bawah.
Mendadak dia bergidik seraya tarik
pulang kepalanya. "Gila! Jurang ini bukan
hanya dalam namun juga banyak pohon merambat
di samping kanan kirinya. Apa mungkin aku
bisa selamat sampai di bawah? Atau apakah
mungkin Kitab Hitam itu tersimpan di bawah
sana...?"
Sesaat Malaikat Penggali Kubur dilanda
kebimbangan. Namun mengingat mimpi gurunya
serta ucapan Iblis Rangkap Jiwa, kembali
keberaniannya muncul. Namun ketika kepalanya
melongok lagi ke bawah, kembali kebimbangan
menyelimuti dadanya.
"Bagaimana sekarang? Ah.... Mimpi Guru
sedikit banyak telah jadi kenyataan. Jadi
tidak mungkin aku salah jalan.... Hanya
inilah satu-satunya jalan aku dapat menggapai
cita-citaku. Lebih dari itu hanya dengan ini
aku dapat melampiaskan dendam pada Pendekar
Pedang Tumpul 131!"
Ingat begitu tanpa berpikir panjang lagi
Gumara pejamkan sepasang matanya. Dia
kerahkan segenap tenaga dalamnya. Sekali
sentakkan kedua kakinya, sosoknya melayang
deras masuk ke dalam jurang!
Malaikat Penggali Kubur merasakan
tubuhnya menerabas ranting-ranting pohon yang
banyak tumbuh di lamping jurang. Tiba-tiba
tubuhnya menghantam benda keras dan bersamaan
itu luncuran tubuhnya terhenti. Pertanda
bahwa sebenarnya jurang itu tidak terialu da
lam. Hanya karena tertutup ranggasan ranting
serta pohon di lamping jurang membuat jurang
itu gelap laksana sangat curam.
Sambil mengeluh pendek, Malaikat
Penggali Kubur beranjak bangkit. Kalau dari
bagian atas jurang itu tampak gelap, tidak
demikian halnya dari bawah. Matahari masih
mampu menerabas rimbun dedaunan di lamping
jurang meski keadaan di bawah hanya samar-
samar namun ke mana mata memandang masih
terlihat jelas.
Di bagian bawah jurang itu ternyata
hamparan tanah lembab dan di sana-sini banyak
gundukan batu.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
segera mencari-cari. Baru saja kepalanya
berpaling. Langkahnya tersurut mundur. Di
atas salah satu batu terlihat satu sosok
tubuh. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
makin membeliak. Karena ternyata orang yang
duduk itu mengenakan jubah hitam! Sebagian
jubah itu menutup batu yang diduduki,
pertanda jelas seandainya orang itu berdiri,
maka jubah itu akan sampai betis atau mata
kakinya.
"Ah.... Impianku benar-benar akan jadi
kenyataan!" desis Malaikat Penggali Kubur.
Lalu perhatikan orang berjubah hitam di atas
batu dengan lebih saksama. Orang ini adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang
matanya terpejam rapat.
Malaikat Penggali Kubur melangkah
mendekat dengan dada berdebar dan mata tak
berkesip. Sejarak lima langkah dia hentikan
tindakannya. Dia menunggu beberapa saat
berharap orang berjubah hitam di atas batu
sedikit pun. Dengan tengkuk muiai merinding,
kembaii tangan Malaikat Penggali Kubur
menjulur ke kaki orang. Lalu menggoyang-
goyang.
Karena tetap tidak ada sambutan,
Malaikat Penggali Kubur keraskan goyangan
tangannya di kaki orang. Sesaat sosok tubuh
orang di atas batu bergoyang-goyang. Namun
tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur berseru
tegang. Sosok orang itu doyong ke kanan.
Kejap lain sosoknya jatuh ke bawah.
SELESAI
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
Segera ikuti kelanjutannya!!!
dalam episode :
TITAH DARI LIANG LAHAT
0 comments:
Posting Komentar