..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE WARISAN LAKNAT

JOKO SABLENG EPISODE WARISAN LAKNAT

WARISAN LAKNAT

Hak Cipta Dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Joko Sableng

Dalam Episode 012 :

Warisan Laknat



SATU


Bola jagat belum sampai menapak kaki 

langit sebelah barat. Namun menjelang tengah 

hari tadi, puncak Bukit Selamangleng arah 

timur Dusun Sumbersuko perjalanan setengah 

hari dari Singasari, disaput kabut gelap 

mencekam. Gumpalan awan hitam menggantung 

tebal menutup lingkar terang lintasan bumi. 

Warna langit pun berubah menjadi hitam kelam 

menggidikkan. Angin berhembus kencang seakan 

hendak meratakan kawasan mayapada. Sesaat 

kemudian tampak seberkas sinar berkiblat 

ditingkah suara gemuruh yang memecahkan 

bongkahan awan hitam. Kejap lain gelantungan 

awan porak-poranda taburkan curahan hujan 

badai!

Di puncak Bukit Selamangleng, di atas 

sebuah batu besar satu sosok tubuh tampak 

berdiri tegak menantang badai. Dia adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut. Seluruh 

raut wajahnya dipenuhi keriputan. Rambutnya 

yang panjang dibiarkan jatuh bergerai menutup 

sebagian wajah dan punggungnya. Sepasang 

matanya besar dan mendelik angker menatap 

hamparan langit yang menghitam. Kedua 

tangannya merangkap rapat di depan dada. 

Laki-laki ini mengenakan jubah besar dan 

panjang sebatas mata kaki berwama hitam, 

membuat sosoknya laksana tonggak hitam yang 

terpacak di atas batu.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-

laki di atas batu buka rangkapan kedua 

tangannya. Kepalanya tetap menengadah dengan


sepasang mata masih tidak lepas pandangi 

kelamnya langit. Kejap lain tangannya 

bergerak ke batik jubah hitamnya. Saat kedua 

tangannya keluar lagi, tampaklah sebuah kitab 

berwarna hitam.

Sepasang mata laki-laki ini perlahan 

memejam. Kedua tangannya yang memegang kitab 

bergerak lurus ke atas. Bibirnya yang sedari

tadi terkancing rapat membuka. Lalu 

terdengarlah suaranya.

"Wahai dunia dan penghuninya! Saksikan 

olehmu bahwa hari ini telah tercipta sebuah 

karya! Kalian semua kelak akan tahu. Barang 

siapa yang berhasil mempelajari karya ini, 

dia akan menjadi seorang maha sakti! Dan 

akulah orang pertama yang akan 

membuktikannya!"

Ada keanehan. Meski saat itu gemuruh 

badai lak-sana menyungkup keadaan, namun 

suara laki-laki ini terdengar jelas! Dan 

meski seluruh jubah dan anggota tubuhnya 

basah kuyup dari rambut sampai kaki, tapi ki-

tab berwarna hitam itu tidak tersentuh 

curahan air hujan!

Laki-laki di atas batu buka sepasang 

matanya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba 

kepalanya berpaling ke kiri. Saat lain kedua 

tangannya bergerak cepat ke bawah. Ketika 

kedua tangannya kembali merangkap di depan 

dada, kitab hitam sudah tidak terlihat lagi!

"Hem.... Pembuktian maha karya dimulai. 

Orang yang datang adalah manusia bernasib 

buruk!" gumam si laki-laki di atas batu. 

Kepalanya kembali mendongak dengan sepasang 

mata memejam.

Baru saja kelopak mata si laki-laki di


atas batu memejam, di antara suara gemuruh 

badai terdengar derap langkah-langkah kaki 

kuda berpacu. Namun laksana direnggut tangan 

setan, mendadak suara derapan kaki-kaki kuda 

lenyap. Di lain saat dua bayangan berkelebat 

mendaki bukit. Tahu-tahu di hadapan laki-laki 

di atas batu tegak dua orang sejarak dua 

tombak!

Orang di sebelah kanan mengenakan 

pakaian warna putih-putih. Sementara orang di 

sebelah kiri mengenakan pakaian hitam-hitam. 

Kedua orang ini tidak dapat dikenali raut 

mukanya karena masing-masing mengenakan 

topeng yang membungkus seluruh kepalanya.

Untuk beberapa saat, kedua orang yang 

baru datang arahkan kepala masing-masing 

lurus pada laki-laki di atas batu. Kejap lain 

orang yang berpakaian hitam-hitam membuat 

gerakan. Kepalanya dipalingkan pada orang 

berpakaian putih-putih. Pada saat yang sama, 

orang yang berpakaian putih-putih menoleh ke 

samping kanan.

Orang berpakaian hitam-hitam anggukkan 

kepala. Sementara laki-laki di atas batu 

tetap tengadah seolah tak pedulikan pada 

kedatangan orang.

Secara berbarengan, tangan kedua orang 

yang baru datang bergerak ke atas.

Settt! Settt!

Topeng penutup kepala masing-masing 

orang terbuka. Kini tampaklah wajah kedua 

orang itu. Orang berpakaian hitam-hitam 

ternyata adalah seorang laki-laki berusia 

kira-kira empat puluh lima tahun. Berkumis

tebal. Sepasang matanya tajam. Rambutnya 

panjang sebahu. Sedang orang di sampingnya


ternyata adalah seorang perempuan berusia 

kira-kira tiga puluh tahunan. Raut wajahnya 

masih kelihatan cantik Hidungnya sedikit 

mancung. Sepasang matanya bulat tajam. Ram-

butnya panjang dikuncir tinggi.

Setelah campakkan topeng masing-masing, 

kedua orang ini serta merta menjura hormat. 

Laki-laki berpakaian hitam-hitam buka mulut.

"Ageng Barada... maaf kalau kedatangan 

kami mengganggu. Kami datang membawa pesan!"

Laki-laki di atas batu tidak bergeming. 

Kepalanya tetap mendongak dengan mulut 

terkancing.

Laki-laki berpakaian hitam-hitam 

lirikkan mata pada perempuan di sampingnya. 

Sementara yang dilirik luruskan pandangannya 

pada laki-laki di atas batu.

Laki-laki berpakaian hitam-hitam menarik 

napas dalam. Lalu buka mulut lagi.

"Ageng Barada. Kami...."

"Katakan pesan apa yang kalian bawa!" 

Laki-laki di atas batu yang dipanggil Ageng 

Barada buka mulut me-motong ucapan laki-laki 

berpakaian hitam-hitam.

Ucapan Ageng Barada membuat laki-laki 

berpakaian hitam-hitam tersentak. Wajahnya 

berubah. Untuk beberapa lama dia terdiam 

dengan mulut sedikit ternganga. Sedang 

perempuan di samping si laki-laki sipitkan 

sedikit matanya. Namun meski perempuan ini 

coba menahan rasa terkejutnya, perubahan 

wajahnya tetap terlihat jelas.

"Kalian dengar ucapanku. Cepat katakan 

pesan itu atau segera angkat kaki dari 

hadapanku!" Ageng Barada berkata masih tanpa 

memandang.


"Ageng Barada.... Aku adalah Bayumanik. 

Di sebelahku ini Sawitri. Kami berdua adalah 

utusan rahasia Panembahan Suro Agung...," 

kata laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan 

suara bergetar.

Ageng Barada membuat gerakan. Perlahan 

kepalanya berpajing lurus. Sepasang matanya 

menatap pada masing-masing orang di 

hadapannya. Biairnya menyeringai. Lalu angkat

bicara.

"Pesan yang kalian bawa. Lekas katakan!"

Laki-laki berpakaian hitam-hitam yang 

memperkenalkan diri sebagai Bayumanik 

bungkukkan sedikit tubuhnya yang basah kuyup. 

Dengan suara masih bergetar ia berkata.

"Panembahan Suro Agung mengharapkan 

kedatanganmu besok malam di tempat biasanya. 

Dia hendak membicarakan perihal rencana 

pengambil alihan kekuasaan. Situasi daerah 

Singasari makin tidak karuan!"

Ageng Barada kernyitkan dahi. Sepasang 

matanya memandang tajam pada Bayumanik dari 

rambut hingga kaki.

"Kau jangan membuat cerita bohong!"

Bayumanik dan Sawitri terkesiap. Sejenak 

kedua orang ini pandangi Ageng Barada. Lalu 

saling pandang. Raut wajah keduanya jelas 

makin ketakutan.

Setelah dapat kuasai diri, Bayumanik 

kembali angkat bicara.

"Ageng Barada. Harap tidak berprasangka 

buruk pada kami. Kedatangan kami benar-benar 

atas suruhan Panembahan Suro Agung. Lagi pula 

tak ada untungnya bagi kami berkata bohong 

padamu! Kami tahu siapa kau sebenarnya!"

Ageng Barada menyeringai. Kepalanya


bergerak arahkan pandangan ke jurusan lain.

"Aku tahu kapan hams menemui Panembahan 

Suro Agung! Dan kalian salah ucap kalau 

mengatakan besok ma lam adalah waktu yang 

ditentukan!"

"Ah.... Justru kedatangan kami kemari 

karena ada perubahan perihal waktu pertemuan 

itu!" Yang angkat bicara kali ini adalah 

Sawitri.

Ketegangan pada raut wajah Bayumanik dan 

Sawitri sedikit mereda begitu mendengar apa 

yang menjadi pangkal sebab ucapan kasar Ageng 

Barada.

"Hem.... Begitu? Lalu apa lagi 

pesannya?!" tanya Ageng Barada.

"Hanya tentang perubahan pertemuan itu. 

Tidak ada pesan lain," jawab Bayumanik.

Ageng Barada arahkan kembali 

pandangannya pada kedua orang di hadapannya. 

Namun cuma sekejap. Saat lain dia palingkan

kepalanya pada jurusan lain seraya berucap.

Aku berada jauh dari Singasari. Aku 

ingin tahu apa yang kalian ketahui tentang 

situasi di sana!"

"Kami tidak dapat mengatakan bagaimana 

situasi sebenarnya karena suasana benar-benar 

kacau. Bahkan kini kami tidak dapat 

menentukan mana pihak kita dan mana pihak 

lawan!"

Ageng Barada angguk-anggukkan kepala. 

Bibir laki-laki ini sunggingkan senyum. Diam-

diam laki-laki ini membatin. "Situasi 

beginilah yang kutunggu-tunggu. Gerakanku 

akan lebih leluasa...."

Bayumanik menoleh pada Sawitri lalu 

mengangguk. Sawitri membalas dengan anggukkan


kepala.

"Ageng Barada...," kata Bayumanik. "Kami 

harus segera pergi!"

Ageng Barada berpaling. Namun sorot 

matanya kali ini menghujam tajam pada 

Sawitri, membuat perempuan ini tidak enak dan 

menjadi salah tingkah.

"Kalau memang tidak ada yang perlu Ageng 

Barada tanyakan lagi, kami mohon diri...," 

kata Sawitri dengan suara sedikit tersendat 

dan tidak berani membalas tatapan Ageng 

Barada.

Ageng Barada hanya mengangguk tanpa 

berkata apa-apa. Sementara Bayumanik telah 

bungkukkan tubuh lalu putar diri yang 

kemudian diikuti oleh Sawitri.

Tunggu!" kata Ageng Barada menahan 

gerakan Bayumanik dan Sawitri. Sebelum kedua 

orang ini balik-kan tubuh kembali, Ageng 

Barada telah lanjutkan ucapannya. "Aku titip 

pesan pada kalian!"

Bayumanik dan Sawitri putar diri 

menghadap Ageng Barada. Bayumanik menatap 

lurus. Tapi Sawitri tampak arahkan 

pandangannya pada jurusan lain meski 

kepalanya menghadap Ageng Barada.

"Harap Ageng Barada katakan pesan yang 

hendak disampaikan!"

Ageng Barada tampak sunggingkan senyum 

sebelum akhirnya berkata.

"Pesan ini bukan untuk Panembahan Suro 

Agung. Tapi untuk semua anak manusia!"

Dahi Bayumanik dan Sawitri mengernyit.

"Maksud Ageng...?" tanya Bayumanik.

"Aku pesan kematian!"

Tanpa sadar, kaki Bayumanik dan Sawitri


tampak tersurut. Mungkin masih belum mengerti 

arah ucapan Ageng Barada, Bayumanik berkata.

"Aku belum mengerti maksud Ageng. Harap 

Ageng suka menjelaskan!"

"Kematian adalah hal yang harus diterima 

tanpa membutuhkan penjelasan! Karena 

penjelasan apa pun tidak akan ada gunanya!"

Belum habis ucapan Ageng Barada, laki-

laki ini telah buka rangkapan kedua 

tangannya. Kejap lain kedua tangannya 

bergerak membuat gerakan mendorong ke depan.

Wuuttt! Wuuuuttt!

Dua gelombang dahsyat melabrak ganas ke 

arah Bayumanik tanpa keluarkan suara.

Menangkap gelagat tidak baik, meski 

sebelumnya tidak menduga sama sekali, 

Bayumanik cepat berkelebat ke samping sambil 

mendorongkan kedua tangannya. Sawitri tidak 

tinggal diam. Perempuan ini segera pula 

meloncat namun tanpa membuat gerakan apa-apa.

Dari kedua tangan Bayumanik melesat dua 

rangkum angin laksana gelombang dahsyat.

"Hem.... Panembahan Suro Agung rupanya 

pandai juga memilih utusan!" gumam Ageng 

Barada. Laki-laki ini putar tubuhnya setengah 

lingkaran. Tangan kirinya bergerak ke bawah.

Wesss!

Bummm!

Gelombang angin yang melesat dari kedua 

tangan Bayumanik serta-merta buyar. Malah 

sosok Bayumanik tampak terjajar dua langkah! 

"Ageng Barada! Harap...."

"Sudah kukatakah, kematian tidak butuh 

penjelasan!" potong Ageng Barada. Tangan 

kanannya bergerak mendorong. Kejap lain 

tangan kirinya membuat gerakan mengayun, lalu


ikut mendorong.

Meski Bayumanik masih sempat membuat 

gerakan, tapi sebelum kedua tangannya sempat 

mendorong, tubuhnya telah tersapu deras ke 

belakang. Belum sampai laki-laki ini bisa 

kuasai diri, gelombang susulan yang 

menggebrak dari tangan kiri Ageng Barada 

telah melabrak.

Bayumanik keluarkan seruan tertahan. 

Namun laksana disentak setan, seruan 

Bayumanik terputus. Tubuhnya jatuh 

terjerembab di atas tanah becek dengan mulut 

dan hidung keluarkan darah!

Sawitri keluarkan jeritan ketika 

mengetahui apa yang menimpa Bayumanik. 

Perempuan ini sama sekali tidak menduga jika 

gebrakan Ageng Barada secepat itu bisa 

membuat nyawa Bayumanik melayang. Lebih dari 

itu, dia dibuat tidak mengerti dengan tingkah 

Ageng Barada. Karena yang diketahuinya selama 

ini, Ageng Barada adalah tangan kanan 

Panembahan Suro Agung meski dia lebih banyak 

bergerak secara diam-diam dan hanya beberapa 

orang tertentu yang mengetahuinya.

"Ageng Barada! Kenapa semua ini kau 

lakukan?! Kau mencurigai kami bukan orangnya 

Panembahan Suro Agung?" tanya Sawitri setelah 

dapat kuasai diri. Meski demikian, suara 

perempuan ini masih terdengar gemetar. 

Perempuan ini maklum kalau Bayumanik bisa 

dibuat tak berkutik dalam dua gebrakan maka 

dia sudah dapat memperhitungkan dirinya, 

karena dia sadar kalau kepandaiannya tidak 

berada di atas Bayumanik. Lebih dari itu dia 

tahu siapa sebenarnya orang yang kini ada di 

hadapannya.


Ageng Barada sunggingkan senyum. 

Sepasang matanya menatap tajam.

"Saat ini bukan waktu yang baik untuk 

menjawab pertanyaanmu! Hujan telah reda. 

Kulihat kau basah kuyup kedinginan. Apa tidak 

lebih baik kita menghangatkan tubuh?"

Walau Sawitri tahu ke mana arah ucapan

Ageng Barada, tapi perempuan ini tidak berani 

bertindak sembrono. Sebaliknya diam-diam dia 

berpikir cepat. "Apa pun yang hendak 

dilakukan, kalau keadaan terpaksa apa boleh 

buat. Yang penting aku bisa selamat dan dapat 

mengatakan semua ini pada Panembahan Suro 

Agung...."

Berpikir begitu, Sawitri maju satu 

tindak. Lalu berkata dengan sedikit 

sunggingkan senyum:

"Ageng Barada. Terima kasih kalau kau 

masih memperhatikan diriku. Tapi aku harus 

segera pergi. Panembahan Suro Agung tentu 

sudah menunggu"

"Kau tak usah begitu mencemaskan 

Panembahan Suro Agung...."

"Tapi aku adalah utusannya. Bagaimanapun 

juga dia pasti menunggu kabar!"

Ageng Barada gelengkan kepala. "Dengar! 

Sejak hari ini, Panembahan Suro Agung tidak 

akan mendapat kabar apa-apa! Sejak saat ini 

pula, Ageng Barada bukanlah orangnya 

Panembahan Suro Agung!"

"Kau.... Kau hendak berkhianat?!"

Ageng Barada tertawa bergelak. "Terserah 

hendak kau sebut apa! Yang jelas sejak hari 

ini, Ageng Barada tidak berada di pihak mana 

pun! Ageng Barada punya tangan untuk 

menggenggam lebih dari apa yang kini


digenggam Panembahan Suro Agung!"

"Kau hendak mengambil...."

Ucapan Sawitri belum selesai, Ageng 

Barada telah menukas. "Urusan kerajaan 

bukanlah hal yang kuinginkan! Aku ingin lebih 

dari itu!" "Maksudmu...?!"

"Aku ingin seluruh anak manusia berada 

di bawah kekuasaanku! Mulai hari ini, aku 

bukan lagi Ageng Barada. Tapi Datuk 

Kematian!"

Sepasang mata Sawitri terlihat membesar. 

Dada perempuan ini berdegup keras. Kedua 

lututnya goyah. Namun perempuan ini tidak 

hilang akal. Seraya tersenyum dia berkata.

"Ah, kalau hal itu benar aku sungguh 

senang sekali. Sejak semula aku memang ingin 

lepas dari Panembahan Suro Agung! Di bawah 

genggaman Suro Agung aku tidak mendapatkan 

apa yang kuinginkan, padahal apa yang harus 

kulakukan membutuhkan taruhan nyawa!"

"Hem..... Kalau mau mengatakan, apa 

sebenarnya yang kau inginkan?!"

Sawitri melangkah dua tindak ke depan. 

Bibirnya kembali sunggingkan senyum.

"Sebagai perempuan memang tak mungkin 

aku mengambil alih apa yang selama ini 

digenggam Panembahan Suro Agung. Apalagi dia 

bukanlah tandinganku. Tapi setidaknya sebagai 

manusia biasa, aku menginginkan kehidupan 

enak tanpa harus bersusah payah!"

Ageng Barada yang kini memaklumkan diri 

sebagai Datuk Kematian tertawa panjang. 

"Dasar perempuan! Selamanya tidak akan mau 

menerirna apa adanya! Malah mungkin dia tak 

akan segan menyerahkan tubuhnya demi 

keinginannya tercapai!" kata Datuk Kematian


dalam hati.

"Ageng Barada. Kalau...."

"Ageng Barada telah terkubur! Aku adalah 

Datuk Kematian!" potong Datuk Kematian 

membuat Sawitri putuskan ucapannya.

Sawitri anggukkan kepala. Lalu buka 

mulut lagi teruskan ucapannya.

"Datuk Kematian. Kalau kau masih 

membutuhkan tenagaku, aku dengan suka rela 

akan ikut bergabung denganmu!"

Walau Sawitri berucap begitu, sebenarnya 

dalam hati perempuan ini berkata sendiri. 

"Kalau kulawan, aku bukanlah tandingannya! 

Padahal aku tidak ingin mengalami nasib sama 

seperti Bayumanik! Laki-laki ini pasti tidak 

akan membiarkan diriku hidup!"

Kalau diam-diam Sawitri membatin begitu, 

Datuk Kematian diam-diam juga membatin. "Aku 

tidak membutuhkan orang macam dia! Kalau dia 

mau berkhianat hanya karena melihat temannya 

menemui ajal, bukan tidak mungkin hal itu 

akan kembali dilakukan jika mengalami 

kejadian yang sama! Aku membutuhkan orang 

yang benar-benar dapat kupercaya! Tapi aku 

tidak akan melewatkan kesempatan ini! Sudah 

lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh 

perempuan...."

Sepasang mata Datuk Kematian memandang 

aneh pada Sawitri. Karena saat itu pakaian 

yang dikenakan si perempuan basah kuyup, maka 

pakaian itu laksana melekat pada tubuhnya, 

membuat lekukan dan cuatan dadanya yang 

membusung kencang kelihatan jelas.

"Aku memang membutuhkan tenaga. Kalau 

kau mau bergabung, itu sungguh suatu hal yang 

menyenangkan"


"Sekarang apa yang harus kulakukan?!"

Datuk Kematian tidak menjawab pertanyaan 

Sawitri. Sebaliknya laki-laki berjubah hitam 

panjang sebatas mata kaki ini melesat ke 

depan. Kejap lain sosoknya telah tegak satu 

tindak di depan si perempuan. Sawitri berseru 

kaget. Belum sempat perempuan ini bergerak 

mundur, tangan kanan si Datuk telah bergerak 

cepat ke arah bahunya.

Saat Datuk Kematian tarik pulang tangan 

kanannya, Sawitri tercekat karena dia sudah 

tidak bisa lagi gerakkan tubuhnya! Tubuhnya 

tegang kaku. Hanya dadanya yang tampak 

bergerak turun naik, membuat sepasang mata 

Datuk Kematian makin membelalak.

"Datuk! Apa yang hendak kau lakukan?!" 

kata Sawitri dengan suara bergetar. Perempuan 

ini hanya dapat bicara tanpa bisa gerakkan 

tubuh.

Sang Datuk tertawa panjang. "Bukankah 

tadi kau menanyakan apa yang harus kau 

lakukan? Untuk pertama kali inilah yang harus 

kau lakukan untukku!"

Belum selesai ucapannya, Datuk Kematian 

telah gerakkan kedua tangannya ke depan. 

Kedua tangan itu sejenak membelai kedua pipi 

si perempuan. Meski Sawitri tampak tersenyum, 

tapi jelas senyum itu dipaksakan. Bahkan 

dalam hati perempuan ini memaki panjang 

pendek.

"Kau tentu membutuhkan kehangatan saat 

ini! kata Datuk Kematian. Kedua tangannya 

perlahan turun ke dada si perempuan.

Sawitri kerutkan kening. Dadanya makin 

berdebar. Mulutnya kelihatan bergetar. Meski 

dia tahu apa yang hendak dilakukan Datuk


Kematian, dan meskipun dia makin ketakutan 

karena tidak mungkin dapat menghindar. Tetapi

perempuan ini masih juga mencoba berkata.

"Aku tidak akan menolak apa yang kau 

inginkan, Datuk. Tapi apa tidak sebaiknya kau 

biarkan diriku bisa bergerak? Bukankah itu 

akan membuatmu lebih enak karena aku bisa 

melayanimu?"

Datuk Kematian menyeringai. Lalu tertawa 

pendek dan berucap.

"Aku lebih suka bercinta dengan 

perempuan yang tidak bisa bergerak! Dan kalau 

kau sudah pernah merasakan, tentu setiap 

bermain cinta kau akan minta ditotok terlebih 

dahulu!"

Kedua tangan sang Datuk bergerak ke 

samping kiri kanan.

Brettt! Breettt!

Pakaian putih-putih bagian atas Sawitri 

terbuka menganga, membuat payudaranya tidak 

tertutup lagi. Sepasang mata Datuk Kematian 

membeliak besar. Sedangkan Sawitri kelihatan 

menggigit bibirnya dengan mata memejam rapat.

Datuk Kematian kembali gerakkan kedua 

tangannya. Kali ini perlahan saja kedua 

tangannya bergerak ke bawah. Kejap lain, 

pakaian Sawitri melorot jatuh.

Bersamaan itu Datuk Kematian menyergap 

ke depan. Diciuminya wajah si perempuan. 

Sawitri hanya bisa mengerang dengan hati 

menyumpah-nyumpah!

* * *


DUA


Datuk Kematian rapikan jubah panjangnya. 

Lalu kepalanya mendongak ke atas. Hujan badai 

telah lama reda. Malah rembulan tampak 

menghiasi hamparan langit membuat lintasan 

bumi sedikit terang.

Bibir Datuk Kematian tersenyum. 

Kepalanya lalu berpaling ke kiri. Tampak 

sosok polos Sawitri tak bergerak-gerak dengan 

telentang. Wajah cantik perempuan ini berubah

kebiruan. Di hampir sekujur tubuhnya tampak 

memar. Malah pada mulut dan hidungnya 

terlihat gumpalan darah!

Sang Datuk alihkan pandangannya pada 

sosok satunya yang bukan lain adalah mayat 

Bayumanik. Namun hanya sekejap, di lain saat 

laki-laki ini arahkan pandangannya jauh ke 

bawah bukit.

"Dengan tidak munculnya kedua utusannya, 

kuharap Panembahan Suro Agung akan jadi 

gusar. Aku tetap akan menemuinya sesuai 

perjanjian waktu lalu. Dan saat itu masih 

kurang sepuluh hari di muka! Selang waktu itu 

sudah cukup bagiku untuk membuat suasana 

makin kacau! Dan jika tiba saatnya, 

Panembahan Suro Agung akan tahu siapa 

sebenarnya Ageng Barada!"

Datuk Kematian tertawa bergelak. Kejap 

lain suara tawanya mendadak lenyap. Bersamaan 

dengan itu sosoknya sudah tidak kelihatan 

lagi di puncak Bukit Selamangleng!

Saat hampir menjelang di penghujung


malam, Datuk Kematian telah memasuki sebuah 

kawasan hutan kecil. Laki-laki ini terus 

berk?iebat cepat. Karena suasana masih 

dibungkus kegelapan sementara sang Datuk 

berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan 

tubuhnya, maka sosoknya laksana setan 

gentayangan yang sulit untuk ditangkap mata 

biasa. Sosoknya hanya menyerupai bayangan 

yang berkelebat melintasi semak belukar dan 

jajaran pohon. Melihat gerakannya jelas kalau 

laki-laki ini sudah tidak asing lagi dengan 

daerah yang kini dilaluinya.

Ketika cahaya kekuningan mulai menapak 

di lintasan langit sebelah timur, satu 

bayangan putih berkelebat. Kejap lain 

sosoknya melenting tinggi ke udara lalu duduk 

di atas satu ranting dengan sepasang mata 

menatap tak berkesip pada bayangan hitam yang 

berkelebat di bawah sana.

Orang yang duduk di atas ranting adalah 

seorang laki-laki berambut putih. Rambutnya 

digelung tinggi ke atas. Dahinya sudah 

dihiasi kerutan. Meski demikian, laki-laki 

ini masih memancarkan ketampanan wajahnya. 

Orang ini mengenakan jubah putih.

Walau laki-laki berjubah putih ini duduk 

di atas sebuah ranting kecil, anehnya ranting 

itu tidak bergeming sama sekali apalagi 

patah. Menunjukkan bahwa siapa pun adanya 

laki-laki berjubah putih, pastilah dia 

memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah dia 

seolah tahu kalau saat itu ada seseorang 

hendak menuju tempatnya!

Sejarak sepuluh tombak dari pohon di 

mana laki-laki berjubah putih berada, 

mendadak bayangan hitam yang bukan lain


adalah Datuk Kematian hentikan larinya. Laki-

laki dari Bukit Selamangleng ini rupanya 

sadar saat itu ada orang lain di sekitarnya 

meski dia belum dapat mengetahui di mana 

beradanya orang itu.

Laki-laki berjubah putih di atas ranting 

untuk beberapa saat pandangi orang berjubah 

hitam di bawah sana. Sepasang matanya 

menyipit lalu membesar.

"Ageng Barada.... Hampir dua belas tahun 

aku tidak jumpa dengan dia sejak peristiwa 

berdarah di Lembah Ngurawan. Hanya akhir-

akhir ini aku mendengar dia berada di 

belakang Panembahan Suro Agung. Ada apa dia 

datang kemari? Meneruskan urusan lama di Lem-

bah Ngurawan? Hem.... Sebenarnya aku sudah 

melupakan peristiwa berdarah itu. Lagi pula 

aku sudah memutuskan untuk menghindar dari 

dunia keramaian dan kancah persilatan...." 

Laki-laki berjubah putih menghela napas 

panjang.

Di bawah sana, Datuk Kematian putar 

kepalanya. Sepasang matanya liar mengawasi 

berkeliling. Mungkin tak sabar karena dia 

tidak dapat menangkap adanya orang sementara 

dirinya yakin kalau di tempat itu ada orang 

lain, dia buka mulut dan berteriak lantang.

"Tak usah berlaku pengecut sembunyikan 

diri! Keluarlah Resi Kamahayanan!"

Laki-laki berjubah putih di atas ranting 

kembali menarik napas dalam.

"Dia mengetahui aku berada di sini. 

Tidak ada gunanya bagiku sembunyikan diri. 

Urusan ini harus segera selesai. Jika tidak

kesalahpahaman ini akan berlanjut...."

"Dua belas tahun telah berlalu, Resi


Kamahayanan! Aku datang melanjutkan urusan 

lama!" Datuk Kematian kembali berteriak 

setelah ditunggu agak lama belum juga ada 

tanda-tanda munculnya orang.

"Dugaanku tidak meleset...," gumam laki-

laki berjubah putih. Tapi sejauh ini orang di 

atas ranting ini tidak juga membuat gerakan 

apa-apa.

"Resi Kamahayanan! Kalau kau tak mau 

unjuk diri, baiklah! Tapi jangan kira aku 

berhampa tangan jika meninggalkan tempat 

ini!" seru Datuk Kematian. Tangan kiri 

kanannya bergerak ke belakang. Namun gerakan-

nya tertahan tatkala mendadak saja semak 

belukar lima belas langkah dari samping kanan 

Datuk Kematian bergerak. Kejap lain satu 

bayangan berkelebat dan tahu-tahu Satu sosok 

tubuh telah tegak berdiri tujuh langkah di 

hadapan sang Datuk!

Sepasang mata Datuk Kematian mendelik 

angker memandang orang di hadapannya dari 

atas sampai bawah. Orang ini ternyata laki-

laki berusia setengah baya mengenakan pakaian 

biru gelap. Rambutnya pendek kelimis. 

Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam.

"Jahanam betul! Ternyata bukan Resi 

keparat itu! Siapa sebenarnya manusia ini? 

Sepertinya aku belum pernah bertemu 

dengannya. Tapi aku rasanya mengenali 

wajahnya! Adakah kemunculannya di sini punya 

tujuan sama denganku? Atau jangan-jangan 

manusia ini telah membuat Resi keparat itu 

tewas. Kalau demikian halnya, orang ini harus 

bertanggung jawab karena dia telah memutuskan 

dendamku pada Resi Kamahayanan!"

Datuk Kematian aiihkan pandangannya ke


jurusan lain. Mulutnya membuka keluarkan 

bentakan.

"Aku hanya berkata sekali. Katakan siapa 

dirimu! Apa yang sedang kau lakukan di sini!"

Laki-laki berpakaian biru gelap 

menyeringai. Tangan kanannya bergerak 

mengusap dada dan dagunya. Lalu berkata.

"Lain yang dicari tapi lain yang 

didapat! Tapi kali ini aku mujur!"

Datuk Kematian berpaling. Sekali lagi 

ditatapnya orang yang tegak di hadapannya 

dengan lebih seksama. Namun mulut laki-laki 

berjubah hitam panjang ini terkancing rapat. 

Hanya hatinya yang terus bertanya-tanya siapa 

adanya orang.

Laki-laki berpakaian biru gelap goyang-

goyangkan kepala. Lalu sepasang matanya 

menatap dingin pada Datuk Kematian sebelum 

akhirnya berkata.

"Perjalanan waktu rupanya telah 

membuatmu jadi pelupa, Ageng Barada! Tapi aku 

tidak akan begitu saja melupakan apa yang 

pernah terjadi! Lebih dari itu, tidak akan

kubiarkan tanganmu berlumur darah Resi Kama-

hayanan! Darah Resi itu adalah hakku! Kau 

dengar?!"

Walau Datuk Kematian sempat terkejut 

mendapati orang mengetahui siapa dirinya, 

namun laki-laki ini sunggingkan senyum 

seringai. Sementara laki-laki berjubah putih 

di atas ranting sesaat terkesiap melihat 

kemunculan orang berpakaian biru gelap. 

Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk 

turun menemui Datuk Kematian. Namun 

gerakannya tertahan tatkala mendadak saja ada 

orang muncul.


"Sepuh Panjalu!" desis laki-laki 

berjubah putih mengenali orang berpakaian 

biru gelap. "Tidak kusangka sama sekali kalau 

hari ini aku kedatangan dua orang tamu yang 

hendak meneruskan urusan lama!" Laki-laki ini 

gelengkan kepalanya.

"Kau tidak mau katakan siapa kau 

sebenarnya. Mungkin kau ingin mampus tanpa 

dikenali! Keinginanmu akan kuturuti!" Datuk 

Kematian berkata seraya dongakkan sedikit 

kepalanya.

"Kau salah ucap, Ageng Barada! Justru 

aku akan mengatakan siapa diriku. Kasihan 

kalau orang harus tewas tanpa mengetahui 

siapa orang yang membunuhnya!"

Laki-laki berpakaian biru gelap tertawa 

panjang, lalu lanjutkan ucapannya. "Sembilan 

tahun silam, kejadiannya di Jurang 

Kelampok...."

Datuk Kematian kerutkan kening. "Sepuh 

Panjalu!" gumamnya.

"Syukur kau masih mengingatnya, Ageng 

Barada!"

Tiba-tiba Datuk Kematian perdengarkan 

tawa bergelak. Tapi tiba-tiba ia putuskan 

gelakan tawanya. Tangan kirinya terangkat dan 

menunjuk lurus ke arah orang.

"Rupanya nasib baik masih memihak padamu 

saat itu, Sepuh Panjalu! Tapi nyatanya 

nyawamu sudah ditakdirkan untukku! Lebih-

lebih lagi kau telah berani menyatakan darah 

Resi keparat itu adalah hakmu!"

Mendengar kata-kata Datuk Kematian, 

Sepuh Panjalu ganti tertawa sambil ikut-

ikutan dongakkan kepala.

"Bicara besarmu tidak berubah dari


dahulu, Ageng Barada! Tapi harus kau ingat. 

Sepuh Panjalu yang di hadapanmu kini bukanlah 

Sepuh Panjalu sembiian tahun silam!"

Datuk Kematian mendengus. "Kau juga 

perlu tahu. Ageng Barada telah berkubur. Yang 

ada di hadapanmu saat ini adalah Datuk 

Kematian!"

Sepuh Panjalu makin keraskan gelakan 

tawanya. Namun diam-diam laki-laki ini telah 

salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Di lain pihak Datuk Kematian rupanya tidak

mau kecolongan. Secara diam-diam dia juga 

telah kerahkan tenaga dalamnya, hingga 

tatkala Sepuh Panjalu gerakkan kedua 

tangannya, Datuk Kematian serentak berkelebat 

tiga langkah ke samping seraya mendorong.

Dua gelombang angin dahsyat melesat 

laksana gelombang prahara dari masing-masing 

tangan orang. Kejap lain terdengar suara 

dentuman keras mengguncang tempat itu.

Datuk Kematian tidak bergeser dari 

tempatnya meski sesaat tubuhnya kelihatan 

bergcyang. Hanya sepasang matanya yang tampak 

sedikit menyipit dan kedua tangannya 

bergetar. Di seberang sana, Sepuh Panjalu 

kelihatan hampir saja tersapu. Namun laki-

laki ini cepat lipat gandakan tenaga dalamnya 

hingga hanya tubuh bagian atasnya yang sempat 

terdorong tapi kuda-kuda kakinya tidak 

bergeming!

"Hem.... Kepandaian mereka ternyata maju 

begitu pesat!" Laki-laki berjubah putih di 

atas ranting bergumam. Sesaat laki-laki ini 

harus kerahkan tenaga dalamnya untuk 

mengatasi guncangan pada ranting yang 

diduduki akibat bias bentroknya pukulan Datuk


Kematian dan Sepuh Panjalu.

Melihat kenyataan bahwa lawan tidak 

bergeming, sudah cukup bagi Datuk Kematian 

untuk mengetahui kalau lawan memang sudah 

bukan orang yang dihadapinya pada sembiian 

tahun yang lalu.

Datuk Kematian segera kerahkan kembali 

tenaga dalamnya. Tanpa didahului ucapan, 

sosoknya melesat ke arah Sepuh Panjalu. Laki-

laki berpakaian biru gelap ini tidak 

menangkap berkelebatnya lawan. Yang 

dilihatnya saat itu mendadak dua tangan telah 

melabrak ganas mengarah pada kepala dan 

perutnya!

Sepuh Panjalu cepat mundur satu langkah. 

Bersamaan dengan itu kedua tangannya 

terangkat.

Bukkkk! Bukkkk!

Terdengar bentroknya dua tangan. Sosok 

Sepuh Panjalu terdorong sampaitiga langkah ke 

belakang. Kedua tangannya yang baru saja 

memangkas pukulan Datuk Kematian tampak 

menggembung merah dan bergetar keras. Malah 

dadanya terasa sesak dan raut wajahnya 

berubah pucat pasi. Di lain pihak, begitu 

terjadi bentrok, Datuk Kematian cepat tarik 

pulang kedua tangannya. Lalu melompat mundur 

dengan paras pias. Kedua tangannya pun 

kelihatan bergetar.

"Manusia satu ini harus cepat 

kusingkirkan! Jika tidak rencanaku bisa 

tertunda!" bisik Datuk Kematian dalam hati. 

Tangan kiri kanannya bergerak mengusap da-

danya di mana tersimpan kitab berwarna hitam.

Sepuh Panjalu terkesiap. Sepasang 

matanya membelalak besar. Dari tempatnya


berdiri, laki-laki ini melihat sosok Datuk 

Kematian bergetar keras. Kejap lain tiba-tiba 

seluruh anggota tubuh sang Datuk berubah 

menjadi hitam!

"Ilmu apa yang dimiliki manusia itu? 

Baru kali ini aku menyaksikannya! Jangan-

jangan...."

Belum sampai Sepuh Panjalu teruskan 

membatin, kedua tangan Datuk Kematian yang 

mengusap dadanya diturunkan. Anehnya 

bersamaan dengan turunnya kedua tangan sang 

Datuk, dari dadanya terdengar suara deruan 

keras tanpa adanya sesuatu yang melesat.

Sebagai tokoh yang pernah malang 

melintang dalam kancah persilatan, Sepuh 

Panjalu telah dapat menangkap adanya bahaya. 

Dia segera angkat kedua tangannya. Namun 

gerakan kedua tangannya tiba-tiba tertahan. 

Kejap lain sosoknya mencelat mental sampai 

dua tombak dan jatuh bergedebukan di atas 

tanah! Darah hitam tampak mengucur dari 

mulutnya.

Sepuh Panjalu kerahkan segenap tenaga 

dalamnya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia 

bergerak bangkit.

"Hem.... Hasil ciptaanku ternyata hebat! 

Tapi aku kurang puas kalau orang masih mampu 

tegak sehabis terhantam! Atau ini karena dia 

punya tenaga dalam luar biasa?" Datuk 

Kematian terus pandangi Sepuh Panjalu. Meski 

lawan terluka cukup parah begitu terhantam, 

tapi raut wajah orang tua ini jelas masih 

menunjukkan rasa kecewa.

Namun rasa kecewa sang Datuk ternyata 

hanya sekejap. Kejap lain bibirnya tersenyum 

tatkala melihat di seberang sana sosok Sepuh


Panjalu kembali terhuyung-huyung sebelum 

akhirnya roboh kembali dan muntahkan darah 

kehitaman.

Datuk Kematian tertawa pendek. Kaki

kanannya menghentak tanah. Saat lain sosoknya 

melesat kearah robohnya Sepuh Panjalu. Tahu-

tahu laki-laki berjubah hitam panjang ini 

telah tegak di samping Sepuh Panjalu dengan 

kepala mendongak.

"Ternyata kau sia-siakan waktumu yang 

sembiian tahun, Sepuh Panjalu!" seraya 

berkata, masih tetap mendongak Datuk Kematian 

jambak rambut Sepuh Panjalu. Saat bersamaan 

kaki kirinya bergerak ke belakang. Lalu 

diayun ke depan. Karena tendangan ini bukan 

tendangan biasa, maka sekali terhantam, pasti 

sosok Sepuh Panjalu akan mencelat mental 

dengan nyawa putus apalagi Sepuh Panjalu 

dalam keadaan luka dalam cukup parah.

Pada saat hantaman kaki kiri Datuk 

Kematian sejengkal lagi mendarat dan 

memutuskan nyawa Sepuh Panjalu, mendadak 

terdengar deruan pelan. Hebatnya Datuk 

Kematian merasakan adanya sebuah kekuatan 

dahsyat yang menghalangi hingga bukan saja 

hantaman kakinya tertahan namun sosoknya 

terdorong ke belakang!

* * *


TIGA



Meski sudah dapat menduga kalau ada 

orang yang ikut campur urusannya, tapi Datuk 

Kematian seolah ingin segera menyelesaikan


urusannya dengan Sepuh Panjalu. Hingga dia 

cepat kerahkan tenaga dalamnya. Lalu sekali 

lagi kaki kirinya lakukan tendangan.

Tapi sang Datuk jadi terkesiap. Belum 

sampai kaki kirinya bergerak lakukan 

hantaman, deruan itu kembali terdengar. Kejap 

lain bukan saja kaki kirinya laksana kaku, 

tapi sosoknya tersurut sampai tiga langkah!

"Jahanam!" maki sang Datuk dengan suara 

bergetar keras. Cepat dia berpaling ke kanan 

dari mana suara deruan terdengar.

Datuk Kematian tegak dengan sosok 

bergetar. Rahangnya menggembung, namun sesaat 

kemudian bibir laki-laki berjubah hitam 

panjang ini tersenyum.

"Akhirnya kau muncul juga Resi 

Kamahayanan! Dan berarti aku benar-benar akan 

tinggalkan tempat ini tanpa berhampa tangan! 

Malah aku telah dapat tambahan satu orang!"

Di hadapan Datuk Kematian tampak tegak 

bersedekap seorang laki-laki berusia lanjut 

dengan rambut putih digelung tinggi ke atas. 

Orang ini mengenakan jubah putih. Laki-laki 

ini tidak lain adalah orang yang sedari tadi 

duduk di atas ranting dan bukan lain adalah 

seorang tokoh dunia persilatan yang sudah 

tidak asing lagi bagi kalangan orang 

persilatan yakni Resi Kamahayanan.

Pada beberapa puluh tahun silam, nama 

Resi Kamahayanan sempat menjulang meski saat 

itu suasana dalam keadaan kacau akibat perang 

saudara di antara keturunan Raja-raja 

Singasari Hal ini karena Resi Kamahayanan 

selain tidak berpihak pada salah satu 

golongan yang sedang terlibat perang, dia 

juga tak segan-segan turut campur tangan jika


ada kerusuhan yang merugikan rakyat jelata.

Salah satunya adalah peristiwa berdarah 

yang terjadi di Lembah Ngurawan. Saat itu 

seorang tokoh berilmu tinggi bernama Ageng 

Barada yang dikenal sebagai-tokoh hitam dan 

momok rimba persilatan mengundang beberapa 

tokoh persilatan dan di sana Ageng Barada 

mentasbihkan diri sebagai penguasa tunggal 

rimba persilatan dan memerintahkan semua 

tokoh yang hadir untuk mengangkat sumpah dan 

harus menjalankan semua perintahnya. Karena 

di antara beberapa tokoh yang hadir ada yang 

tidak setuju dengan gagasan Ageng Barada maka 

terjadilah pembantaian besar-besaran. Malah 

karena ingin melampiaskan kemarahan dan ingin 

menunjukkan kekuasaannya, Ageng Barada tidak 

segan-segan menghabisi rakyat jelata yang 

tidak mengerti apa-apa. Saat itulah Resi 

Kamahayanan turun tangan. Ageng Barada dapat 

diatasi.

Lalu pada tahun berikutnya muncul pula 

tokoh bernama Sepuh Panjalu. Seperti halnya 

Ageng Barada, Sepuh Panjalu juga hendak 

memaklumkan diri sebagai raja rimba 

persilatan. Namun niatnya terhalang oleh Resi 

Kamahayanan lagi. 

Sejak peristiwa itu rimba persilatan 

mereda, meski keadaan masih kacau akibat 

perang saudara. Dan sejak itu pula Resi 

Kamahayanan menghilang dari arena dunia 

persilatan. Tidak seorang pun yang tahu kabar 

tentang tokoh ini bahkan sampai nama Ageng 

Barada kembali muncul ke permukaan meski kali 

ini kemunculannya hanya diketahui oleh 

kalangan tertentu dan berada di belakang 

Panembahan Suro Agung yang diketahui ingin


mengambil alih kerajaan.

"Ageng Barada.... Harap maafkan diriku 

kalau kau tersinggung karena aku menghalangi 

niatmu...."

Datuk Kematian tersenyum sinis. Lalu 

berkata dengan sepasang mata menatap tajam.

"Tanpa kusentuh pun anak manusia itu 

akan mampus! Dan kini tiba giliranmu!"

Resi Kamahayanan tersenyum seraya 

gelengkan kepala. "Ageng Barada. Meski 

terlambat mungkin tak ada salahnya kalau aku 

minta maaf atas kejadian pada dua belasntahun 

yang lalu. Percayalah. Hal itu sudah 

kulupakan dan aku sangat menyesal atas 

peristiwa itu!"

Datuk Kematian tertawa pendek. "Buka 

telingamu lebar-lebar! Yang ada di hadapanmu 

saat ini bukan Ageng Barada, tapi Datuk 

Kematian! Kau dengar?!"

Resi Kamahayanan anggukkan kepala. Dia 

hendak buka mulut berucap, namun sebelum 

suaranya terdengar, Datuk Kematian telah 

mendahului berkata.

"Kedatanganku yang tertunda selama dua 

belas tahun bukan untuk mendengarkan 

permintaan maafmu! Tanpa minta maaf pun aku 

akan melupakan peristiwa itu asal aku pulang 

dengan membawa penggalan kepalamu!"

"Datuk Kematian... tidak adakah jalan 

lain selain kekerasan untuk melupakan 

kejadian itu? Kita sudah sama-sama tua. 

Terlalu lucu kalau kita yang sudah tua-tua 

ini harus menyelesaikan urusan dengan jalan 

kekerasan. Lebih-lebih lagi aku sudah lama 

undur diri dari dunia persilatan!"

Mendengar kata-kata Resi Kamahayanan,


Datuk Kematian tertawa terbahak.

"Kau rupanya lupa. Kejadian dua belas 

tahun yang lalu adalah kekerasan. Jadi tak 

ada yang dapat menyelesaikannya selain 

kekerasan! Aku tak peduli kau telah undur 

diri atau tidak. Bagiku urusan ini belum 

selesai kalau salah satu di antara kita belum

berkalang tanah!"

"Menyesal sekali. Ternyata di antara 

kita ada perbedaan...."

Datuk Kematian mendengus keras. "Itu 

urusanmu! Urusanku membuatmu seperti anak 

manusia bernasib jelek itu!" seraya berkata 

tangan Datuk Kematian menunjuk pada sosok 

Sepuh Panjalu.

Resi Kamahayanan terkejut. Bukan karena 

ucapan sang Datuk melainkan karena melihat 

Sepuh Panjalu. Ternyata laki-laki berpakaian 

biru gelap ini telah kaku dengan sekujur 

tubuh menghitam laksana dipanggang bara api!

"Tak kuduga jika ucapannya akan jadi 

kenyataan. Orang ini benar-benar mengalami 

kemajuan pesat. Dua belas tahun silam dia 

belum memiliki ilmu yang bisa membuat orang 

terkapar dalam beberapa gebrakan dengan tubuh 

hangus. Dari mana dia mempelajari ilmu itu? 

Selama ini aku belum pernah mendengar ada se-

orang tokoh yang menciptakan ilmu seganas 

itu! Hem...." Resi Kamahayanan menarik napas 

panjang.

"Kau sudah siap menyusul?!" kata Datuk 

Kematian tanpa memandang.

"Perihal kematian aku sudah 

mempersiapkan diri sejak lama. Tapi perihal 

urusan di antara kita, aku sejak lama sudah 

melupakannya! Kuharap kau mengerti dan


menghilangkan kesalahpahaman ini."

"Bagus kalau kau telah mempersiapkan 

diri soal kematianmu sejak lama. Hari ini 

persiapanmu berakhir!"

Habis berkata begitu, Datuk Kematian 

berkelebat ke depan. Mungkin untuk menjajaki 

kekuatan lawan yang pada beberapa puluh tahun 

silam dapat mengalahkannya, Datuk Kematian 

tidak segera keluarkan ilmu andalannya. 

Sebaliknya dia hanya kerahkan setengah tenaga 

dalamnya lalu menghantamkan kedua tangannya 

ke arah kepala Resi Kamahayanan dari arah 

samping kiri kanan.

Meski semula tidak ingin melayani Datuk 

Kematian, namun Resi Kamahayanan tidak begitu 

saja tinggal diam, apalagi dia menangkap 

adanya bahaya jika Ageng Barada yang kini 

memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian itu 

dibiarkan. Ketika sang Datuk belum memiliki

ilmu andalan saja sudah menginginkan semua 

orang persilatan tunduk padanya, apalagi jika 

kini dia mempunyai ilmu andalan.

Berpikir sampai di situ, niat Resi 

Kamahayanan akhirnya berubah. Laki-laki

berjubah putih ini segera angkat kedua 

tangannya memangkas tangan Datuk Kematian.

Desss! Desssss!

Dua pasang tangan bertenaga dalam 

bentrok di udara. Kejap lain keduanya sama 

mundur dua tindak. Paras keduanya tampak 

berubah. Dari bentrokan tadi masing-masing 

orang sudah cukup mengetahui tingkat tenaga 

lawan.

Mungkin sudah dapat menjajaki sampai di 

mana kemampuan lawan, Datuk Kematian angkat 

kedua tangannya. Laksana kilat kedua


tangannya serta-merta didorong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin dahsyat melabrak 

ganas dengan keluarkan suara menggidikkan. 

Sesaat Resi Kamahayanan tampak agak terkejut. 

Tapi di lain kejap ia sudah gerakkan kedua 

tangannya.

Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam 

tinggi betemu di udara. Tempat itu laksana 

dilanda gempa hebat. Disusul dengan 

terdengarnya dua seruan lalu tampak dua sosok 

tubuh sama mental.

Sosok Datuk Kematian tersapu satu 

tombak. Punggung laki-laki berjubah panjang 

hitam itu sempat meng-hantam sebatang pohon 

lalu jatuh terduduk dengan sekujur tubuh 

bergetar keras. Dia merasakan dadanya 

berdenyut nyeri. Namun ia cepat kerahkan 

tenaga dalam. Saat lain sosoknya bergerak 

bangkit.

Di seberang, Resi Kamahayanan terlihat 

terjengkang. Meski sejenak tadi dia berusaha 

bertahan agar tidak terjengkang jatuh, namun 

rupanya sia-sia. Raut muka laki-laki itu 

berubah pucat pasi. Namun begitu dilihatnya 

Datuk Kematian telah bangkit, dia cepat pula 

sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. 

Sosoknya tegak kembali dengan sepasang mata 

menatap tajam ke depan.

Di depan sana, Datuk Kematian mendongak. 

Kedua tangannya terangkat ke arah dada. Lalu 

mengusap dada di mana Kitab Hitam tersimpan 

di baliknya. Bersamaan dengan itu sekujur 

kulit tubuh sang Datuk berubah warna menjadi 

hitam!

Tahu bagaimana kedahsyatan ilmu yang


hendak dilancarkan Datuk Kematian, Resi 

Kamahayanan cepat berkelebat ke samping. Saat 

kedua kakinya menginjak tanah, laki-laki ini 

membuat gerakan berputar.

Sebongkah kabut tebal tampak melindungi 

Resi Kamahayanan hingga sosoknya lenyap tidak 

kelihatan. Di lain kejap dua sinar putih 

melesat dari dalam bongkahan kabut keluarkan 

deruan dahsyat memekak telinga.

Datuk Kematian sejenak beliakkan 

sepasang matanya dengan kepala diluruskan. 

Karena pada dua belas tahun silam pernah 

bentrok dengan Resi Kamahayanan menjadikan 

dirinya tahu bagaimana keganasan pukulan 

lawan yang kini telah menggebrak ke arahnya.

Namun Datuk Kematian sekarang bukanlah 

Ageng Barada pada dua belas tahun lampau yang 

tidak berani menyambuti pukulan lawan malah 

harus terluka karenanya. Datuk Kematian kini 

bukan saja tenang-tenang menyambuti pukulan 

lawan bahkan sambil terus mengusap-usap 

dadanya, dia tertawa bergelak.

"Kau salah besar kalau menganggap 

pukulanmu masih ampuh seperti dua belas tahun 

silam, Resi Jahanam!"

Selesai berucap, kedua tangan Datuk 

Kematian luruh ke bawah. Bersamaan dengan itu 

terdengar suara deruan pelan. Tidak ada sinar 

yang terlihat. Namun hebatnya dua sinar putih 

yang melabraknya laksana terhantam kekuatan 

luar biasa dahsyat. Saat lain dua sinar putih 

yang dilancarkan Resi Kamahayanan dari dalam 

bongkahan kabut bertabur ke udara keluarkan 

suara meletup keras. Bukan hanya sampai di 

situ, sesaat setelah dua sinar hancur 

berantakan, bongkahan kabut yang melindungi


sang Resi tampak terdorong keras laksana 

tersapu gelombang besar.

Datuk Kematian kembali tertawa bergelak. 

Sementara bongkahan kabut yang membungkus 

sosok Resi Kamahayanan terus tersapu ke 

belakang. Namun sejauh ini bongkahan kabut 

itu belum juga dapat terbongkar.

Melihat hal ini, Datuk Kematian putuskan 

gelakan tawahya. Kedua tangannya kembali 

mengusap dadanya. Kejap lain kembali 

terdengar deruan pelan takkala kedua tangan 

sang Datuk telah luruh ke bawah.

Di depan sana, tiba-tiba bongkahan kabut 

tersibak. Samar-samar sosok Resi Kamahayanan 

terlihat. Kedua tangannya yang tampak 

merangkap di depan dada terbuka. Lalu 

bergerak tertarik ke belakang. Tapi sebelum 

kedua tangan itu lakukan gerakan berikutnya, 

mendadak orang tua berjubah putih ini 

tersentak. Kabut yang sudah tersibak 

sekonyong-konyong meletup ambyar. Kejap lain 

sosok sang Resi tersapu keras dan terjatuh 

dua tombak dari tempatnya semula!

Darah kehitaman tampak keluar dari mulut 

dan hidung Resi Kamahayanan. Gelungan 

rambutnya lepas dan sebagian kelihatan 

terpangkas laksana tersambar kobaran api. 

Jubah putihnya hangus. Sosoknya bergetar 

hebat. Sepasang matanya memejam rapat dengan 

mulut keluarkan erangan panjang.

Datuk Kematian mendongak. Suara tawanya 

kembali menggetarkan tempat itu. Puas 

tertawa, laki-laki ini melangkah ke arah 

jatuhnya sang Resi.

Satu langkah di samping Resi 

Kamahayanan, Datuk Kematian hentikan langkah.


Sepasang matanya sesaat perhatikan sosok sang 

Resi. Meski Resi Kamahayanan sudah tidak 

bergerak-gerak lagi karena nyaris pingsan, 

namun sang Datuk rupanya masih bersikap 

waspada. Dia tidak berani langsung jongkok. 

Sebaliknya dia angkat kaki kanannya. Lalu 

diietakkan di atas dada sang Resi.

"Hem.... Hanya tinggal nunggu sang 

pencabut nyawa!" kata Datuk Kematian seraya 

tersenyum. "Sebenarnya bisa saja aku langsung 

membuat nyawanya terputus. Tapi aku ingin dia 

merasakan bagaimana nikmatnya sekarat!"

Selesai bergumam begitu, Datuk Kematian 

tarik pulang kaki kanannya. Menatap sejurus 

pada sosok sang Resi yang perlahan-lahan 

berubah warna kehitaman. Saat lain sosoknya 

berputar lalu seraya tertawa terbahak sosok 

sang Datuk berkelebat tinggalkan tempat itu.

Hanya beberapa saat setelah berlalunya 

Datuk Kematian, satu bayangan berkelebat. 

Tahu-tahu bayangan ini telah tegak enam 

langkah dari tempat terkaparnya Resi 

Kamahayanan.

Dia adalah seorang pemuda berwajah 

tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya 

hitam tebal dibiarkan bergerai. Sepasang 

matanya tajam dengan dada bidang.

Sejurus pemuda ini arahkan pandangannya 

pada sosok yang tergeletak. Sepasang matanya 

menyipit membesar. Kejap lain pemuda ini 

melangkah satu tindak dengan pandangan tak 

berkesip. Namun sekonyong-konyong dia 

menghambur dengan berseru keras.

"Eyang Guru!"

Si pemuda memeluk sosok Resi Kamahayanan 

dan mengguncangnya seraya berteriak


memanggil. Namun Resi Kamahayanan tidak 

membuat gerakan apa-apa. Malah sepasang 

matanya tetap memejam rapat dan darah hitam 

makin banyak mengucur dari mulut dan 

hidungnya.

Sang pemuda tempelkan telinganya pada 

dada sang Resi. Lalu dia cepat tarik pulang 

kepalanya. Saat lain kedua tapak tangannya 

telah diietakkan pada dada sang Resi. 

Sepasang matanya memejam.

Usaha sang pemuda rupanya tidak sia-sia. 

Setelah beberapa saat, mendadak Resi 

Kamahayanan membuat gerakan. Kedua tangannya 

terangkat. Bersamaan dengan itu sepasang 

kelopak matanya membuka.

"Eyang Guru! Siapa yang berbuat ini?"

Resi Kamahayanan gelengkan kepalanya 

pelan. Mulutnya membuka hendak berkata. Si 

pemuda menunggu. Tapi setelah sekian lama 

tidak juga terdengar suara.

"Eyang.... Eyang harus katakan siapa 

yang berbuat ini!" kata si pemuda.

Untuk kedua kalinya Resi Kamahayanan 

gelengkan kepala. Lalu terdengarlah 

ucapannya.

"Mara Sakti.... Ada yang lebih... 

daripada... pertanyaanmu...," suara Resi 

Kamahayanan tersendat. "Salurkan... tenaga 

murnimu.... pada telapak tangan kiriku...."

Meski tidak mengerti apa maksud ucapan 

gurunya, si pemuda yang dipanggil Mara Sakti 

turuti ucapan sang Resi.

Begitu hawa murni Mara Sakti telah 

tersalurkan lewat tapak tangan kirinya, Resi 

Kamahayanan tampak sunggingkan senyum lalu 

buka mulut.


"Pecahkan batu putih sepuluh langkah 

dari pohon di sebelah utara gubuk kita. 

Selamatkan apa yang nanti kau temukan di 

sana. Jangan kau potong ucapanku, Mara 

Sakti...," kata sang Resi begitu melihatsang 

murid hendak buka mulut. "Waktuku mungkin 

tinggai sedikit. Kau hanya perlu 

mendengarkan...."

Mara Sakti akhirnya urungkan niat untuk 

buka suara. Kepala pemuda ini lantas 

mengangguk. Sesaat kemudian Resi Kamahayanan 

buka mulut lagi.

"Ingat, Mara Sakti.... Kau hanya boleh 

menyelamatkan apa yang nanti kau temukan. 

Meski kau adalah satu-satunya muridku, namun 

kau harus dapat menerima kenyataan ini. Apa 

yang nanti kau temukan bukanlah sesuatu yang 

boleh kau miliki. Kau hanya bertugas untuk 

menjaganya sampai suatu waktu kelak ada orang 

yang ditakdirkan untuk memilikinya...."

Untuk beberapa lama Resi Kamahayanan 

hentikan ucapannya. Setelah menarik napas 

panjang dia melanjutkan.

"Kalau kau nanti merasa sudah waktunya 

menghadap Yang Maha Kuasa dan orang yang 

ditentukan memiliki apa yang nanti kau 

temukan belum muncul, kau harus serahkan 

sesuatu itu pada orang yang kau percaya. 

Namun di balik semua itu, kau tetap bertugas 

menjaganya sampai nanti jatuh pada orang yang 

berhak. Jika semua itu sudah kau laksanakan, 

berarti tugasmu selesai...."

Kembali Resi Kamahayanan hentikan 

ucapannya. Mungkin karena tidak kuasa menahan 

keingintahuannya, apalagi setelah itu sang 

guru tidak berkata lagi, Mara Sakti beranikan


diri angkat bicara.

"Semua pesan Eyang Guru akan kulakukan. 

Tapi harap Eyang ceritakan apa yang 

sebenarnya terjadi biar aku tidak merasa 

gelap dengan semua ini. Apalagi Eyang telah 

menugaskanku menjaga sesuatu itu sampai pada 

orang yang nanti berhak...."

"Saat ini telah muncul seorang tokoh 

yang tanpa kuduga sama sekali memiliki ilmu 

luar biasa. Sebenarnya aku mungkin dapat 

bertahan seandainya tenagaku tidak terkuras 

masuk pada sesuatu yang nanti kau temukan. 

Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa ber-

tahan. Namun mungkin inilah takdir yang harus 

kuterima...."

"Harap Eyang mau mengatakan siapa orang 

itu dan mengapa sampai berbuat keji pada 

Eyang...."

"Soal siapa orangnya biarlah aku sendiri 

yang tahu. Aku tak mau urusan ini berlanjut. 

Cukup sampai aku saja! Untuk hal-hal lainnya 

nanti bisa kau temukan di tempat yang kusebut 

tadi...."

Mara Sakti menarik napas dalam. Pemuda 

ini kelihatan sedikit kecewa dengan jawaban 

eyang gurunya. Namun sebagai murid dia tidak 

berani mendesak apalagi melihat keadaan sang 

guru.

"Mara Sakti.... Pesan terakhirku. Kau 

harus segera mencari tempat baru. Dan hindari 

bentrok dengan siapa pun. Tugasmu adalah 

menjaga apa yang nanti kau temukan...."

"Semua ucapan Eyang akan kukerjakan. 

Sekarang apa yang harus kulakukan untuk 

menyembuhkan luka-luka Eyang."

Resi Kamahayanan tersenyum seraya


gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu kau 

lakukan, Mara Sakti. Jika kau laksanakan apa 

yang kukatakan itu sudah lebih dari 

cukup...."

Habis berkata begitu, Resi Kamahayanan 

tarik tapak tangannya dari tangan Mara Sakti. 

Bersamaan dengan itu sepasang matanya 

memejam. Kejap lain hembusan napasnya 

terputus!

Mara Sakti yang tidak menyangka 

terkesiap. Dia buru-burutempelkan lagi tapak 

tangannya pada telapak tangan kiri sang Resi. 

Namun terlambat.

"Eyang.... Eyang.... Eyang...!" seru 

Mara Sakti seraya guncang-guncang tubuh eyang 

gurunya. Tapi sosok itu tidak lagi bergerak-

gerak. Malah sekujur tubuhnya kini telah 

menghitam!

Seakan masih tidak percaya, pemuda ini 

telungkupkan tubuh eyang gurunya lalu kedua 

tangannya ditempelkan di punggungnya dan 

salurkan hawa murni. Namun hingga keringat 

membasahi sekujur tubuhnya, sosok Resi 

Kamahayanan tidak juga mengalami perubahan. 

Tetap tegang kaku!

Mara Sakti tarik pulang kedua tangannya 

dengan menarik napas panjang dan dalam. Lalu 

perlahan-lahan dia balikkan kembali tubuh 

eyang gurunya. Sesaat kemudian dia telah 

tegak dengan membopong sosok sang Resi.

"Eyang Guru.... Segala yang kau ucapkan 

akan kulaksanakan meski sebenarnya aku ingin 

membalas pada orang yang berbuat keji itu!" 

gumam Mara Sakti lalu melangkah dengan 

tabahkan hati dan menahan agar air matanya 

tidak menetes.


Sejarak dua tombak, Mara Sakti hentikan 

langkah. Sepasang matanya memperhatikan pada 

sosok yang menggeletak yang bukan lain adalah 

mayat Sepuh Panjalu.

"Jangan-jangan orang ini yang...." Mara 

Sakti tidak lanjutkan gumamannya. Sekali lagi 

dia perhatikan pada mayat Sepuh Panjalu.

"Ah.... Tidak mungkin dia! Apa yang 

dialami orang ini hampir sama dengan yang 

menimpa Eyang Guru. Berarti dia juga korban 

orang yang berbuat pada Guru. Hem.... 

Seandainya Eyang memberitahukan padaku siapa 

orangnya...."

Mara Sakti pandangi sosok mayat Resi 

Kamahayanan yang berada di bopongannya. Lalu 

gelengkan kepala sambil menarik napas dalam.

"Aku akan mengurus jenazah Eyang dahulu, 

baru orang itu...."

Mara Sakti putar diri setengah lingkaran 

lalu teruskan langkah.

* * *


EMPAT



MARA Sakti tegak di samping pohon di 

dekat gubuk dengan sepasang mata memandang 

lurus ke utara pada beberapa batu putih yang 

tampak berjajar rapi.

"Hem.... Aku tidak menyangka kalau Eyang 

Guru menyimpan sesuatu di salah satu batu 

itu. Lebih tidak menyangka lagi kalau Eyang 

harus secepat itu pergi. Tapi apa harus 

dikata.... Semuanya sudah terjadi. Yang pasti 

aku harus segera laksanakan pesan Eyang Guru...."

Mara Sakti palingkan kepala kekanan. 

Kini sepasang matanya menatap pada dua 

gundukan tanah merah. Setelah mengerjap 

beberapa kali menahan gejolak dadanya, pemuda 

ini melangkah ke arah utara pada beberapa 

batu putih. Seraya melangkah pemuda ini 

menghitung.

Tepat pada lang kanan kesepuluh, Mara 

Sakti hentikan langkahnya. Di hadapannya 

tampak satu batu putih agak besar. Mara Sakti 

ulurkan kedua tangannya meraba permukaan batu 

putih.

"Heran. Bagaimana mungkin Eyang 

mengatakan sesuatu itu berada di dalam batu 

ini. Padahal batu itu tidak tampak 

rengkahan!"

Sekali lagi Mara Sakti meraba-raba 

seraya per-hatikan lebih saksama. Tapi sejauh 

ini sang pemuda memang tidak menemukan adanya 

lobang atau rengkahan.

"Apa aku harus memecahnya?" pikir Mara 

Sakti.

Setelah sekian lama tidak mendapatkan 

jalan keluar, akhirnya dia memutuskan untuk 

memecah batu putih itu. Dia angkat kedua 

tangannya.

Prakkkk!

Karena pukulan itu bukan pukulan biasa, 

maka sekali pukul batu itu langsung pecah. 

Tapi ada keanehan, walau batu putih itu pecah 

namun langsung membelah. Tidak ada pecahan 

kecil-kecill

Mara Sakti tidak pedulikan keanehan itu 

karena sepasang matanya membentur pada dua 

benda berwarna kuning dan biru yang saling


bertumpuk. Di sebelahnya terdapat sebuah daun 

lontar yang menggulung.

"Kitab!" seru Mara Sakti begitu dapat 

mengenali dua benda kuning dan biru yang 

bertumpuk.

Untuk beberapa lama Mara Sakti mengawasi 

kedua benda yang bertumpuk yang tidak lain 

memang dua kitab adanya. Dada pemuda ini 

berdebar. Kedua tangannya bergetar. Mara 

Sakti maju mendekat. Namun pemuda ini tidak 

berani bertindak sembarangan. Rupanya dia 

maklum bahwa bahaya bisa timbul dengan tidak 

terduga.

Setelah kerahkan segenap tenaga 

dalamnya, dia mengawasi keadaan di muka. Saat 

lain kepalanya berputar dengan mata mengawasi 

berkeliling. Begitu merasa tidak ada orang 

lain, dia ulurkan kedua tangannya mengambil 

daun lontar yang tergulung di sebelah dua 

kitab yang bertumpuk.

Dengan tangan masih bergetar, daun 

lontar diambil. Perlahan-lahan daun lontar 

dibuka. Ternyata di dalamnya terdapat satu 

butiran sebesar ibu jari berwarna merah. 

Sesaat diperhatikannya butiran merah itu. 

Lalu disimpannya ke balik pakaiannya. 

Kemudian dia perhatikan daun lontar. Di situ 

terdapat tulisan.

Kelak hanya anak manusia yang memiliki 

Pedang Tumpul 131 yang berhak memiliki Kitab 

Serat Biru dan Sundrik Cakra ini. Anak manu-

sia itu memiliki tanda angka 131 pada telapak 

tangan kirinya serta gambar seorang tua 

mengenakan sorban putih. Kelak jika anak 

manusia itu muncul, terlebih dahulu serahkan


butiran merah ini.

Pada bagian bawah daun lontar juga 

terdapat tulisan.

Siapa pun yang tidak berhak, jangan 

coba-coba membuka. Dan sampaikan pesan ini 

pada orang yang dipercaya kalau anak manusia 

yang ditentukan belum juga muncul.

Setelah membaca berulang kali, Mara 

Sakti masukkan daun iontar ke balik 

pakaiannya. Lalu perlahan-lahan kedua 

tangannya menjulur mengambil dua tumpukan 

kitab berwarna kuning dan biru,

Sepasang mata Mara Sakti tak berkesip 

perhatikan dua kitab yang dipegangnya dengan 

tangan bergetar. Sesaat dada pemuda ini 

dirasuki kebimbangan antara menuruti pesan 

dan melanggarnya. Malah sejurus tangan 

kanannya sudah bergerak hendak membuka kitab. 

Namun tiba-tiba seakan-akan ada kekuatan dah-

syat yang menghalangi. Bukan saja membuat 

tangan kanannya tertahan, tapi tubuhnya 

berguncang!

Sadar akan apa yang hendak terjadi, Mara 

Sakti urungkan niat. "Maafkan aku Eyang...," 

gumamnya seraya menoleh pada gundukan tanah 

merah di sebelah kanan.

Setelah dapat kuasai diri, Mara Sakti 

putar kepalanya kembali. Kejap lain kedua 

kitab dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu 

melangkah kearah gundukan tanah merah.

"Eyang Guru.... Semoga arwahmu tenang. 

Aku akan laksanakan tugas yang kau 

berikan...." Mara Sakti bungkukkan tubuh. 

Lalu putar diri dan berkelebat ting-galkan 

tempat itu.


* * *

Kita tinggalkan dahulu Mara Sakti yang 

mengemban tugas dari eyang gurunya. Kita 

ikuti lagi perjalanan dedengkot rimba 

persilatan Ageng Barada yang kini telah 

memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian.

Saat ini adalah hari kesembilan setelah 

terbunuhnya Resi Kamahayanan di tangan Datuk 

Kematian.

Matahari baru saja merambat dari titik 

tengahnya. Pada lamping jurang sebelah 

selatan Dusun Udan Awu, seorang laki-laki 

berusia setengah baya berwajah garang 

mengenakan pakaian lusuh tampak berulang kali 

menghela napas panjang dan sesekali mengusap 

wajahnya yang kelimis dengan kedua telapak 

tangannya. Lalu sepasang matanya yang tajam 

berputar liar ke sana kernari dan acap kali 

terpentang besar perhatikan ke arah luar goa, 

di dalam mana saat itu dia berada.

Mungkin karena suasana di luar goa tidak 

begitu jelas, laki-laki ini beranjak 

melangkah ke arah mulut goa. Kepalanya lalu 

disorongkan melampaui mulut goa. Teriknya 

sinar matahari segera menyambut, namun orang 

ini tidak segera menarik pulang kepalanya. 

Seba-liknya sepasang matanya dipentangkan 

besar perhatikan keadaan di luar.

Setelah agak lama baru laki-laki ini 

tarik kembali kepalanya masuk. Lalu putar 

diri dan melangkah ke ba-gian tengah dalam

goa. Kedua bahunya tampak digerak-gerakkan. 

Kedua telapak tangannya kembali mengusap 

wajahnya. Sesaat kemudian dia melangkah


mondar-mandir dengan kedua tangan saling 

meremas. Dari gerak-gerik laki-laki ini jelas 

memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu 

sesuatu atau setidaknya menanti kedatangan 

orang.

"Bayumanik dan Sawitri tidak ada kabar 

beritanya. Lalu dua utusan yang menyusul juga 

tak menemukannya. Ada apa gerangan? Dan ke 

mana dia menghilang? Saat ini adalah hari 

perjanjian. Tapi mengapa dia belum juga 

muncul?!" gumamnya seraya mengerling ke arah 

mulut goa.

"Akan kutunggu hingga matahari 

tenggelam. Kalau dia tidak muncul hari ini 

pasti telah terjadi sesuatu! Hem...."

Laki-laki ini goyangkan kepala. Lalu 

melangkah menuju bagian samping dinding goa. 

Dia telah memutuskan untuk menunggu seraya 

bersemadi.

Laki-laki ini duduk bersila menghadap 

mulut goa. Perlahan sepasang matanya memejam. 

Namun baru saja kelopak matanya mengatup, 

tiba-tiba saja dia membuka kembali.

"Hem.... Ada orang menuju kemari. Mudah-

mudahan bukan orang lain!" desisnya sambil 

pentangkan mata mengawasi keluar goa.

Laki-laki ini tidak menunggu lama untuk 

buktikan ucapannya. Karena di lain kejap satu 

bayangan hitam berkelebat di depan mulut goa. 

Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di 

dalam goa!

Rasa tegang dan cemas yang sejenak tadi 

terbayang di wajah laki-laki di dalam goa 

mengendor. Sejarak enam langkah dari 

tempatnya, seorang laki-iaki berusia lanjut 

tampak tegak dengan sedikit dongakkan kepala.


Laki-laki ini mengenakan jubah panjang 

berwarna hitam sampai kedua mata kakinya.

Laki-laki setengah baya beranjak 

bangkit. Memperhatikan pada orang yang baru 

datang dan tidak lain adalah Datuk Kematian 

lalu berkata.

"Syukur kau datang, Ageng Barada. Aku 

sudah Cemas dan khawatir kau mendapat 

halangan!"

"Panembahan Suro Agung!" kepala Datuk 

Kematian bergerak menghadap laki-laki di 

hadapannya. "Aku selalu menepati janji!"

"Benar! Tapi sebenarnya aku telah 

merubah hari perjanjian kita...!"

Dahi Dewa Kematian berkerut. "Apa 

maksudmu...?!"

"Apa sebelum ini kau tidak kedatangan 

orang?!"

Sepasang mata Datuk Kematian menyipit. 

"Selama aku menyendiri dan menunggu hari 

perjanjian, tidak seorang pun menemuiku!"

"Hem.... Rupanya ada yang tidak beres!"

"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu!"

Laki-laki yang dipanggil dengan 

Panembahan Suro Agung arahkan pandangan ke 

jurusan lain lalu berucap.

"Setengah purnama yang lalu aku mengutus 

dua orang untuk menemuimu! Aku bermaksud 

mengajukan hari pertemuan kita. Namun kedua 

orang utusan itu tidak ada kabar beritanya. 

Malah orang yang kusuruh menyusul ke tempatmu 

mengatakan kau tidak ada di tempat!"

Datuk Kematian tertawa perlahan. "Aku 

sengaja pergi dari tempatku sebelum hari yang 

ditentukan. Tapi kepergianku tiga hari yang 

lalu. Jadi kalau benar dua utusanmu berangkat


setengah bulan yang lalu, pasti dia masih 

sempat menemuiku! Nyatanya tidak seorang pun 

yang muncul di tempatku!"

"Hem.... Itulah yang membuatku gusar, 

Ageng Barada! Jangan-jangan utusan itu 

berkhianat!"

Datuk Kematian geiengkan kepala. "Itu 

tidak mungkin, Panembahan Suro!"

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?!"

"Kalau mereka berkhianat, mungkin tempat 

ini telah dikepung musuh kita. Padahal aku 

tidak melihat adanya orang di luar sana!"

"Lalu ke mana mereka?!"

"Tiga hari aku berkeliaran di luar. Tapi 

itu sudah cukup bagiku menarik kesimpulan 

kalau saat ini suasana benar-benar kacau! 

Bukan tidak mungkin kedua orang itu 

tersandung halangan Tapi kau tidak usah 

cemas, dengan tidak adanya orang yang 

mengetahui pertemuan ini, berarti kedua orang 

itu masih dapat menyimpan rahasia!"

Panembahan Suro Agung anggukkan kepala. 

"Tapi aku masih belum tenang, Ageng Barada! 

Mungkin saja mereka bisa menyimpan rahasia 

pertemuan ini, tapi tidak mustahil dia 

membuka rahasia yang lain!"

"Hem,... Itukah sebabnya kau menyamar 

dengan mengenakan pakaian dekil?!" tanya 

Datuk Kematian seraya perhatikan pakaian yang 

dikenakan Panembahan Suro Agung.

"Seperti ucapanmu, keadaan saat ini 

benar-benar kacau. Untuk menghindari hal-hal 

yang tidak kuingin-an, terpaksa aku harus 

menyamar begini rupa!"

"Hem.... Sekarang katakan apa 

rencanamu!"


"Ageng Barada. Saat inilah waktu yang 

kita tunggu-tunggu! Enam hari di muka kita 

bergerak!"

"Secepat itu? Apakah semuanya sudah 

siap?!"

"Sebenarnya waktu yang kita tentukan 

semula bukan enam hari di muka. Tapi dengan 

tidak munculnya kedua utusan yang menemuimu, 

aku khawatir rencana ini bocor. Jadi harinya 

kita rubah. Ini untuk menjaga hal di luar

dugaan kita! Mengenai persiapan, semuanya 

beres. Dan kau yang nanti memimpin orang-

orang kalangan persilatan!"

"Soal pembagian kalau kita berhasil?!"

"Tetap seperti semula. Kau akan mendapat 

jabatan tinggi! Lebih dari itu kau nanti 

berhak mengurus tokoh-tokoh rimba 

persilatan!"

Datuk Kematian tersenyum. Diam-diam 

dalam hati laki-laki ini berkata. "Jangan 

kira aku tidak mengetahui niat busukmu, 

Panembahan Geblek! Kau hanya membutuhkan 

tenagaku saat genting begini. Begitu 

kekuasaan telah kau genggam, kau akan 

singkirkan diriku, Hem.... Jangan kira aku 

dapat kau langkahi!"

Kalau Datuk Kematian diam-diam membatin 

begitu, ternyata Panembahan Suro Agung juga 

berkata sendiri dalam hati. "Ageng Barada! 

Saat ini bisa saja kau mabuk kepayang dengan 

angan-anganmu! Tapi begitu kekuasaan berada 

di tanganku, kau akan mendapat imbalan 

setimpal. Kematian!"

"Apa ada hal-hal yang belum jelas?!" 

tanya Panembahan Suro Agung setelah keduanya 

sama-sama terdiam dengan pikiran masing


masing.

Datuk Kematian gelengkan kepala. "Kurasa 

semuanya cukup jelas. Dan hal itu nanti bisa 

kita bicarakan lagi, karena aku akan datang 

sebelum enam hari di muka!"

"Baiklah! Aku harus segera pergi...."

Panembahan Suro Agung menatap sejurus 

pada Ageng Barada alias Datuk Kematian. Kejap 

lain laki-laki setengah baya ini telah 

melangkah ke arah mulut goa.

Belum sampai Panembahan Suro Agung 

berkelebat keluar goa, mendadak terdengar 

suara desiran dahsyat. Laksana kilat 

Panembahan Suro Agung balikkan tubuh. Laki-

laki ini terkesiap. Memandang ke depan, satu 

gelombang angin luar biasa kencang telah 

menggebrak kearahnya! Sementara di depan sana 

Datuk Kematian tampak tegak dengan 

perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.

"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" seru 

Panembahan Suro Agung dengan suara keras. 

Sepasang mata laki-laki ini mendelik angker. 

Rahangnya mengembung besar. Pelipis kanan 

kirinya bergerak-gerak.

Datuk Kematian tidak menjawab. 

Sebaliknya dia perkeras tawanya. Di lain 

pihak, Panembahan Suro Agung segera 

berkelebat menghindar.

Brakkkk!

Goa itu bergetar. Dinding di samping 

mulut goa berderak ambrol akibat pukulan yang 

dilancarkan Datuk Kematian berhasil dihindari 

Panembahan Suro Agung.

Panembahan Suro Agung angkat kedua 

tangannya. "Ageng Barada! Kenapa kau 

menginginkan kematianku, hah?!"


"Dengar Panembahan Suro Agung! Ageng 

Barada telah tiada! Saat ini kau sedang 

berhadapan dengan calon penguasa tunggal 

rimba persilatan dan kerajaan! Aku adalah 

Datuk Kematian!"

"Jahanam pengkhianat! Jangan-jangan kau 

telah berbuat keji pada kedua utusanku!"

Datuk Kematian tertawa bergelak lebih 

keras. "Lucu! Kau menyebutku pengkhianat! 

Padahal bukankah kau yang merencanakan 

pengkhianatan ini, hah?! Kau inginkan 

kekuasan dan menarik beberapa orang untuk 

membantumu mencapai tujuan! Orang macam kau 

pantas menerima nasib seperti utusanmu!"

"Keparat! Tidak kusangka kalau kau 

berani menggunting lipatanku!"

"Aku bukan orang bodoh seperti yang 

selama ini kau duga, Suro Agung! Aku tahu 

niat busukmu! Aku tahu siapa kau sebenarnya 

dan apa rencanamu setelah tujuanmu tercapai!"

Mendengar ucapan Datuk Kematian, sesaat 

Panembahan Suro Agung terdiam. Tapi kejap 

lain laki-laki ini tertawa terbahak. "Bagus 

kalau kau telah tahu rencanaku. Dan itu 

berarti kau harus mampus sebelum waktunya!"

Habis berkata begitu, Panembahan Suro 

Agung dorong kedua tangannya yang sedari tadi 

sudah terangkat.

Datuk Kematian menyeringai. Laki-laki 

berjubah hitam panjang ini tidak tinggai 

diam. Kedua tangannya serentak diangkat lalu 

dihantamkan memangkas.

Dua gelombang dahsyat bentrok. Untuk 

kedua kalinya goa itu bergetar. Langit-

langitnya bertabur.

Baik Datuk Kematian maupun Panembahan


Suro Agung sama tersurut satu langkah ke 

belakang. Paras keduanya berubah.

Mungkin karena tahu siapa yang dihadapi, 

juga karena ingin segera selesaikan urusan, 

begitu dapat kuasai diri Panembahan Suro 

Agung selinapkan tangan kanannya ke balik 

pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, 

tampak sebuah pedang bersarung berwarna 

kuning keemasan.

Melihat Panembahan Suro Agung keluarkan 

pedang, bukan membuat Datuk Kematian 

terkejut. Sebaliknya laki-laki ini tertawa 

seraya kacak pinggang.

"Kau boleh memiliki pedang mustika 

beberapa biji, Suro Agung! Tapi sebelum kau 

sempat menggunakannya, aku akan terlebih 

dahulu memutus selembar nyawamu!"

"Kita lihat, apakah ucapanmu benar!" 

sentak Panembahan Suro Agung. Laki-laki ini

sebenarnya tahu sampai di mana kekuatan sang 

Datuk karena selama ini keduanya saling 

bersahabat. Selain itu sebenarnya Panembahan 

Suro Agung bukanlah orang sembarangan. Hanya 

karena selama ini dia selalu tidak 

menunjukkan kepandaiannya, orang menduga dia

hanya orang terpelajar yang mengabdi pada 

salah seorang keturunan Raja Singasari yang 

sedang berperang. Namun sebagai sahabat, 

Datuk Kematian tahu siapa adanya Panembahan 

Suro Agung. Kalau dahulu Datuk Kematian masih 

harus berhitung untuk menghadapi sang Panem-

bahan, tidak halnya dengan saat ini.

"Kau salah omong, Suro Agung! Kau tidak 

akan dapat melihat! Karena kau akan mampus 

terlebih dahulu!"

Panembahan Suro Agung menggereng marah.


Gagang pedang ditarik. Tampaklah sebuah 

pedang berwarna putih keperakan pancarkan 

cahaya berkilat-kilat.

Panembahan Suro Agung angkat pedangnya. 

Di seberang sana Datuk Kematian angkat kedua 

tangannya sejajar dada. Lalu secepat kilat 

ditarik ke belakang mengusap dadanya di mana 

tersimpan kitab hitam yang baru selesai 

diciptakan dan telah merenggut beberapa 

korban.

Bersamaan dengan merangseknya sosok 

Panembahan Suro Agung yang hendak babatkan 

pedangnya, terdengar suara deruan pelan.

Panembahan Suro Agung tidak melihat 

adanya gelombang satu sinar. Namun laki-laki 

ini terkesiap. Sosoknya laksana dihantam 

gelombang luar biasa dahsyat hingga bukan 

saja sosoknya mental balik, tapi genggaman 

pada pedangnya bergetar keras. Kejap lain 

pedang di tangan Panembahan Suro Agung 

terlepas, sementara sosoknya membentur 

dinding ruangan goa sebelum akhirnya jatuh 

terduduk dengan darah mengucur dari lobang 

hidung dan mulutnya!

Datuk Kematian tertawa mengekeh. 

"Ternyata ucapanku yang jadi kenyataan, Suro 

Agung!"

Panembahan Suro Agung seakan tidak 

percaya dengan apa yang dialaminya. Bahkan 

dia seakan juga belum mempercayai apa yang 

didengarnya dari mulut Datuk Kematian, hingga 

laki-laki ini segera kerahkan segenap tenaga 

dalamnya lalu bergerak bangkit.

Tahu apa yang pasti dialami Panembahan 

Suro Agung, Datuk Kematian hanya memandang 

tanpa membuat gerakan apa-apa. Sementara di


depan sana, sang Panembahan tampak terhuyung. 

Untung di belakangnya dinding goa. Jika tidak 

niscaya tubuhnya pasti akan roboh.

Dengan pegangi dadanya, Panembahan Suro 

Agung sandarkan punggungnya pada dinding goa. 

Lalu menatap pada Datuk Kematian. Dengan 

bersusah payah, laki-laki ini angkat tangan 

kirinya menunjuk.

"Kau...." Ternyata hanya itu suara yang 

bisa terdengar dari mulut Panembahan Suro 

Agung. Saat bersamaan, tangan kirinya laksana 

disentak dan luruh ke bawah. Kejap lain 

sosoknya ikut melorot jatuh dengan sekujur 

tubuh berubah menjadi kehitaman!

Rupanya Panembahan Suro Agung tidak mau 

begitu saja putus asa. Dia kembali hendak 

kerahkan tenaga dalam. Namun sia-sia. Dia 

mengerang. Tapi erang-annya mendadak 

terputus!

Bersamaan dengan itu terdengar suara 

tawa bergelak.

* * *

Sejak peristiwa hilangnya Panembahan 

Suro Agung tanpa ada seorang pun yang 

mengetahuinya, suasana disekitar daerah 

Singasari makin tidak karuan. Bukan saja 

peperangan makin berkobar tapi beberapa tokoh 

dunia persilatan satu persatu hilang atau 

kalau ditemukan sudah tidak bernapas lagi 

dengan sekujur tubuh berubah laksana 

dipanggang bara api hingga tak dapat dikenali 

lagi.

Di lain pihak, Ageng Barada alias Datuk 

Kematian terus menebar kematian di mana-mana.


Kalau pada awalnya laki-laki ini juga 

menginginkan kekuasaan di kerajaan, bersama 

berlalunya waktu dia rupanya merubah niat. 

Menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal 

rimba persilatan nyatanya lebih menarik 

hatinya, karena dia berpikir dengan berhasil 

menjadi penguasa dunia persilatan mau tidak 

mau pihak kerajaan pun nanti pasti akan 

tunduk padanya! Setidaknya dia akan bisa 

mengatur jalannya kerajaan walau berada di 

belakang.

Karena Datuk Kematian memiliki kitab 

hitam yang luar biasa hebat, dalam waktu 

singkat apa yang menjadi keinginannya 

tercapai. Dia menjadi seorang tokoh yang 

bukan saja berpengaruh di dalam lingkungan 

para keturunan Raja-raja Singasari yang masih 

berebut kekuasaan, dia juga muncul sebagai 

tokoh rimba persilatan yang ditakuti.

Namun sebagai manusia biasa, Datuk 

Kematian punya kelemahan. Yang paling tidak 

bisa dia hilangkan adalah kesukaannya pada 

perempuan. Karena dia tokoh yang ditakuti,

perempuan apa pun yang dikehendaki dapat 

direngkuhnya. Bahkan dia tidak segan-segan 

merampas istri orang dan memperkosanya. 

Hingga pada satu saat dia benar-benar bertemu 

dengan seorang perempuan muda yang selain 

sulit ditaklukkan juga punya ambisi.

Sebenarnya bisa saja Datuk Kematian 

berbuat kasar pada perempuan ini yang dikenal 

dengan nama Ken Rakasiwi. Namun menghadapi 

Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak bisa 

berbuat banyak, karena sang Datuk benar-benar 

menyintai Ken Rakasiwi. Di lain pihak, meski 

Ken Rakasiwi tidak punya hati pada Datuk


Kematian namun karena dia berambisi menjadi 

permaisuri salah seorang keturunan Raja-raja 

Singasari, dia seolah memberi harapan pada 

sang Datuk. Namun secara diam-diam dia juga 

menjalin hubungan dengan salah seorang 

keturunan Raja Singasari.

Ken Rakasiwi tahu kehebatan Datuk 

Kematian. Dan sebagai perempuan muda yang 

ambisi, dia tidak menyia-nyiakan sang Datuk. 

Dia berencana mengambil kehebatan Datuk 

Kematian.

Mungkin karena begitu cintanya pada Ken 

Rakasiwi, Datuk Kematian tidak sembunyikan 

pada perempuan yang berwajah cantik dan 

bertubuh bahenol ini apa yang menjadikannya 

sebagai tokoh luar biasa.

Sejak saat itulah Ken Rakasiwi mengatur 

siasat bagaimana dapat merebut kitab hitam 

yang ada di tangan Datuk Kematian. Hingga 

pada suatu hari Ken Rakasiwi mengajak sang 

Datuk ke satu tempat yang hanya mereka berdua 

yang tahu. Ken Rakasiwi telah atur siasat 

dengan matang.

Karena Ken Rakasiwi tahu kelemahan sang 

Datuk, perempuan ini memanfaatkannya. Mereka 

berdua bercumbu. Saat sang Datuk berada pada 

puncak gelora, Ken Rakasiwi hujamkan sebuah 

pedang kecil tepat pada punggungnya yang 

langsung tembus pada ulu hatinya.

Datuk Kematian terperanjat. Meski dia 

adalah seorang tokoh rimba persilatan yang 

sukar dicari tandingannya, namun karena yang 

menancap di punggungnya bukan pedang biasa 

tapi sudah dibubuhi racun. maka laki-laki ini 

tidak dapat berbuat banyak.

Namun Ken Rakasiwi akhirnya harus pulang


dengan kecewa, karena meski sudah terluka 

parah, Datuk Kematian masih sempat menyambar

jubah hitam panjang nya di mana dia simpan 

kitab hitam sebelum dia berlari masuk ke 

sebuah jurang.

Pada tahun-tahun berikutnya akhirnya 

ambisi Ken Rakasiwi tercapai. Dia 

dipersunting oleh salah seorang keturunan 

Raja Singasari yang pada akhirnya menjadi 

penguasa. Ken Rakasiwi pun menjadi seorang 

permaisuri. Meski demikian Ken Rakasiwi tidak 

mengendurkan pencariannya pada Datuk 

Kematian. Secara diam-diam perempuan yang 

telah menjadi seorang permaisuri ini 

melakukan pencarian di mana Datuk Kematian 

menghilang ceburkan diri. Namun sejauh ini 

segala usahanya tidak berhasil. Selain dia 

hanya mengerti sedikit ilmu silat, dia juga 

tidak berani memberitahukan urusannya pada 

orang lain. Hingga hanya dialah satu-satunya 

orang yang mengetahui di mana sebenarnya 

menghilangnya Datuk Kematian.



LIMA



Matahari baru saja merambat dari samping 

gunung. Di bawah sebuah pohon besar seorang 

pemuda tampak menggeliat bangun. Usap wa-

jahnya dengan kedua telapak tangan lalu 

memandang berkeliling sambil tersenyum 

sendiri. Saat lain dia menghirup udara dalam-

dalam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya 

bergerak terangkat lagi. Bukan mengusap 

wajahnya kembali namun memasukkan jari


kelingkingnya ke lobang telinga kanannya! 

Kali ini senyumnya berubah menjadi ringisan 

karena kegelian.

"Ke mana lagi aku harus bertanya? Sudah 

beberapa purnama kulalui, namun tidak satu 

pun orang yang tahu perihal yang kutanyakan! 

Di lain pihak Orang Tua yang sebutkan diri 

sebagai penjaga kitab tidak jelas mengatakan 

di mana aku harus mendapatkan barang yang 

dikatakannya! Dia hanya mengatakan bahwa 

sebelum Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra 

dibuat, telah muncul terlebih dahulu sebuah 

kitab lain. Sialnya tanpa adanya 

pemberitahuan yang jelas aku diberi tugas 

untuk mencari dan sekaligus memusnahkannya! 

Hm.... Apakah ilmu yang kuperoleh dari Kitab 

Sundrik Cakra nantinya dapat memusnahkan 

kitab itu?! Mungkin di sana nanti dapat 

kulihat bagaimana dahsyatnya ilmu dari Kitab 

Sundrik Cakra...! Lalu apa sebaiknya aku 

menemui Eyang Guru Pendeta Sinting dahulu 

untuk memberitahukan urusan ini? Ah.... 

Memang itu satu-satunya jalan. Siapa tahu dia 

mengetahui apa yang kini harus kulakukan!" 

gumam si pemuda yang bukan lain adalah Joko 

Sableng.

Seperti diketahui, sewaktu membuka Kitab 

Sundrik Cakra, Orang Tua yang dahulu muncul 

sewaktu murid Pendeta Sinting membuka Kitab 

Serat Biru menampakkan diri lagi. Orang Tua 

ini lalu menceritakan bahwa sebenarnya selain 

Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra masih ada 

lagi sebuah kitab yang kini menjadi tugas 

Joko untuk mencari dan memusnahkannya. (Lebih 

jelasnya silakan baca serial Joko Sableng

dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").


Karena si Orang Tua tidak dapat 

menjelaskan di mana kitab satunya itu berada, 

terpaksa Joko mencari tahu dengan bertanya ke 

sana kemari. Namun sampai saat ini tidak satu 

pun orang yang mengetahuinya, malah sebagian 

besar dari yang ditanya mengatakan baru 

pertama kali ini mendengar.

Setelah memutuskan hendak menemui eyang 

gurunya Pendeta Sinting yang bertempat 

tinggai di Jurang Tlatah Perak, akhirnya Joko 

Sableng beranjak berdiri. Lalu melangkah 

hendak tinggalkan tempat itu.

Namun baru melangkah lima belas tindak, 

murid Pendeta Sinting hentikan langkah. 

Sepasang alis matanya terangkat dengan mata 

sedikit membeliak. Laksana dipantek, 

kepalanya lurus menghadap ke arah timur.

Dari tempatnya berdiri, Joko melihat

kain putih panjang menggelantung di bawah 

sebuah pohon yang tidak begitu besar. Kain 

itu melambai-lambai ditiup angin. Bersamaan 

itu terdengar deruan keras!

Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya 

ke atas. Dia terbeliak makin besar. Di atas 

pohon tampak menggelantung dua sosok tubuh. 

Dua sosok tubuh ini saling tindih. Orang yang 

sebelah atas lingkarkan sepasang kakinya pada 

pinggang orang di bawahnya. Kedua tangannya 

lurus ke atas berpegangan pada sebuah dahan. 

Sedangkan orang yang di sebelah bawah hanya 

memegangi kedua kaki orang yang melingkari 

pinggangnya. Orang sebelah bawah ini laksana 

menggendong orang yang berpegangan pada dahan 

pohon.

Karena kedua orang yang saling 

menggantung ini membelakangi, murid Pendeta


Sinting hanya bisa melihat bagian belakang 

tubuh masing-masing orang. Orang yang sebelah 

atas mengenakan pakaian putih panjang. Begitu 

panjangnya pakaian yang dikenakan orang, 

hingga pakaian bagian belakangnya menjulur ke 

bawah dan melambai-lambai ditiup angin. Orang 

ini memiliki rambut putih jarang sampai yang 

kelihatan jelas hanya batok kepalanya! 

Sementara orang yang menggendong di sebelah 

bawah mengenakan pakaian warna biru. 

Rambutnya juga sudah memutih. Perawakannya 

tinggi kurus.

"Pakaian yang dikenakan serta 

sikapnya...," gumam Joko seraya memandang tak 

berkesip. "Sayang mereka membelakangi. Tapi 

kalau melihat keadaan dan pakaiannya, aku 

hampir bisa memastikan siapa mereka 

adanya...."

Murid Pendeta Sinting hendak berkelebat 

ke depan untuk dapat memastikan dugaannya. 

Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba 

orang di sebelah atas gerakkan bahunya. Kain 

panjang bagian belakangnya berkelebat angker 

keluarkan suara menderu keras. Kejap lain dua 

sosok tubuh itu melayang turun seraya 

hadapkan wajah pada Joko Sableng.

Kini Joko dapat melihat jelas wajah 

kedua orang yang masih bergendongan itu. 

Orang yang digendong ternyata adalah seorang 

laki-laki berusia amat lanjut. Paras mukanya 

hampir tidak ditutup daging sama sekali. 

Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sepasang 

matanya terpejam rapat, namun bibirnya 

kelihatan bergerak-gerak ucapkan sesuatu yang 

tidak dapat ditangkap dengan jelas. Sementara 

orang yang menggendong adalah seorang laki


laki setengah baya berwajah cekung.

"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng!" Orang yang menggendong buka mulut. 

Sementara orang tua yang digendong tetap 

komat-kamit tanpa membuka matanya.

"Raja Tua Segala Dewa! Gulurawa!" seru 

Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.

"Selamat bertemu lagi, Anak Muda...," 

kata laki-laki yang menggendong. Orang ini 

hendak lanjutkan ucapannya, namun orang tua 

yang digendong gerakkan tangan kanannya 

mengetuk punggungnya membuat orang yang 

menggendong urungkan niat.

Orang tua yang digendong buka kelopak 

matanya yang sedari tadi terpejam rapat. 

Mulutnya yang komat-kamit berhenti. Sejurus 

orang tua ini menatap tak berkesip pada murid 

Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.

"Rupanya Yang Maha Tinggi masih 

menentukan kita untuk bersua lagi, Anak Muda. 

Mau mengatakan hendak ke mana?"

"Aku bersyukur bisa bertemu lagi 

denganmu, Raja Tua Segala Dewa. Aku dalam 

perjalanan ke tempat Eyang Guruku Pendeta 

Sinting...."

Orang tua yang dipanggil dengan Raja Tua 

Segala Dewa dongakkan sedikit kepalanya. 

"Kalau seorang murid hendak menghadap gurunya 

hanya ada dua urusan yang pasti akan 

dikemukakan. Pertama dia bertemu dengan 

seorang gadis cantik dan minta sang guru 

untuk melamarnya. Kedua, memiliki urusan 

pelik yang tidak dapat diatasi. Aku berharap 

yang pertamalah urusanmu hingga kau hendak 

menemui Eyang Gurumu...."

Orang yang menggendong yang dipanggil


oleh Joko dengan Gulurawa tersenyum. 

Sedangkan murid Pendeta Sinting gelengkan 

kepala lalu berucap.

"Menyesal, Raja Tua Segala Dewa. Justru 

urusan kedualah yang kini kuhadapi!"

"Hem.... Terpaksa aku urungkan niat 

untuk ucapkan selamat padamu, Pendekar 

131...." Raja Tua Segala Dewa tersenyum lalu 

lanjutkan ucapannya. "Setiap manusia memang 

tidak akan lepas dari kesulitan, Anak Muda. 

Apalagi kau sebagai orang persilatan!"

"Tapi urusan yang kuhadapi saat ini 

rasanya begitu sulit!"

"Kau bisa berkata begitu karena kau 

belum menemukan jalan keluarnya. Jika jalan 

itu nanti kau temukan, kurasa tidak ada yang 

tidak bisa diselesaikan."

Untuk kedua kalinya Pendekar 131 

gelengkan kepala. "Aku sudah mencari jalan 

keluar itu. Namun rasanya di mana-mana aku 

menemui jalan buntu!"

"Kau keliru, Anak Muda. Bukan jalan 

buntu, hanya kau belum menemukan jalan yang 

benar!"

"Sepertinya jalan itu tak mungkin 

kudapatkan. Segalanya serba gelap!"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum sambil 

gelengkan kepalanya perlahan. "Tidak baik

patah arang berputus asa, Anak Muda. 

Percayalah jalan itu ada!"

"Tapi di mana? Aku telah beberapa 

purnama mencari tahu. Hasilnya hanya sia-sia! 

Hingga aku berpikir mungkin apa yang sedang 

kucari tidak ada dan orang yang memberi tahu 

padaku hanya mengarang cerita. Tapi apa 

mungkin?!"


"Mau kau ceritakan apa urusanmu...?"

Murid Pendeta Sinting tidak berpikir 

panjang lagi. Dia lalu menceritakan 

pertemuannya dengan Orang Tua sewaktu membuka 

kitab bersampul kuning Sundrik Cakra. Dia tak 

segan menceritakan urusan itu pada Raja Tua 

Segala Dewa karena selain dia telah tahu 

siapa adanya orang tua itu, juga karena dia 

mengharap bantuannya. (Mengenai siapa 

Gulurawa dan Raja Tua Segala Dewa silakan 

baca serial Joko Sableng dalam episode : 

"Gerbang Istana Hantu").

"Harap kau suka memberi sedikit 

penerangan agar aku bisa segera selesaikan 

urusan ini!" kata Joko setelah menuturkan 

ceritanya.

"Kalau yang berkata begitu adalah Orang 

Tua yang menyebut diri sebagai penjaga kitab, 

aku menduga apa yang dikatakannya adalah 

benar. Selain itu aku juga pernah mendengar 

perihal itu...."

Paras wajah Pendekar 131 seketika 

berubah. Dia segera melangkah mendekat lalu 

berkata. "Raja Tua Segala Dewa. Harap sudi 

beri tahu di mana kitab hitam itu!"

Sesaat Raja Tua Segala Dewa tidak segera

menjawab ucapan Joko. Sebaliknya dia 

memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting. 

Lalu arahkan pandangannya ke arah jurusan 

lain seraya berkata pelan.

"Kau jangan girang dahulu, Pendekar 131. 

Aku hanya pernah mendengar saja. Soal di mana 

beradanya Kitab Hitam itu sama sekali aku 

tidak mengetahuinya!"

Kembali paras Joko berubah murung. Malah 

kali ini terdengar dia mengeluh. "Ah....


Lagi-lagi aku harus menemui kegelapan..."

"Masalahnya sekarang bukan kau menemui 

kegelapan atau tidak, Anak Muda. Tapi ada

pepatah yang mengatakan barang hitam akan 

lebih banyak diketahui oleh orang golongan 

hitam pula!"

"Maksudmu...?!"

"Menilik nama kitab ini, jelas kitab itu 

diciptakan oleh seorang beraliran hitam. Jadi 

yang tahu jelas perihal kitab itu pasti 

seorang tokoh beraliran hitam pula!"

"Lalu siapa kira-kira tokoh hitam yang 

harus kutemui dan kira-kira mengetahui 

perihal kitab itu?"

"Aku pernah mendengar nama seorang tokoh 

hitam luar biasa jahat dan punya kepandaian 

sangat tinggi. Dia hidup pada beberapa ratus 

tahun silam...."

"Raja Tua...!" potong Joko. "Bagaimana 

aku harus menemui orang yang hidup pada 

ratusan tahun yang lalu. Apa mungkin dia 

masih punya nyawa?!"

"Kau tidak boleh mencampuri urusan nyawa 

orang, Anak Muda. Urusan satu itu mutlak 

urusan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang kuasa 

untuk memanjangkan usia makhluknya seberapa 

Dia mau! Dan semua itu pasti ada tujuannya. 

Yang Maha Kuasa tidak mungkin berbuat tanpa 

ada tujuan.... Setidaknya di dalamnya 

tersimpan hikmah meski kelihatannya 

sepele...."

Mendengar ucapan Raja Tua Segala Dewa, 

murid Pendeta Sinting terdiam. Raja Tua 

Segala Dewa lanjutkan ucapannya. "Tokoh hitam 

itu memang tidak lagi kedengaran kabar 

beritanya. Namun tidak ada salahnya kalau kau


coba menemuinya. Siapa tahu apa yang diduga 

orang selama ini meleset dan dia masih 

hidup."

"Di mana aku harus menemuinya? Dan siapa 

nama tokoh itu?"

"Kalangan rimba persilatan mengenalinya 

dengan gelar Iblis Rangkap Jiwa. Hanya 

tempatnya yang sulit ditemukan di mana...."

Pendekar 131 kerutkan dahi. "Mendengar 

namanya, apakah dia benar-benar memiliki jiwa 

rangkap?"

"Gelaran orang biasanya memang 

mengisyaratkan tindak tanduk dan keadaannya. 

Iblis Rangkap Jiwa memang bukan hanya sakti, 

namun juga kebal terhadap segala pukulan! 

Itulah makanya dia bergelar Iblis Rangkap 

Jiwa. Dia seolah-olah memiliki nyawa 

rangkap...."

"Sebagai orang golongan hitam, pasti dia 

tidak akan begitu saja mau mengatakan di mana 

Kitab Hitam itu. Bahkan tidak tertutup 

kemungkinan aku harus mengadu jiwa dengannya. 

Apakah mungkin aku dapat menghadapinya?"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Dia 

memang berilmu sangat tinggi serta tidak 

mempan segala pukulan. Namun bukan berarti 

dia tidak dapat dikalahkan! Asal kita 

mengetahui kelemahannya!"

"Hem.... Lantas apakah kau tahu 

kelemahannya?" tanya Joko dengan menatap 

tajam. Murid Pendeta Sinting ini seolah tidak 

sabar.

Untuk beberapa lama Raja Tua Segala Dewa 

terdiam. Setelah menarik napas panjang dia 

berkata.

"Tadi sudah kukatakan, barang hitam akan


lebih banyak diketahui oleh orang golongan 

hitam pula...."

"Jadi aku harus menemui orang beraliran 

hitam lain lagi yang mengetahui kelemahan 

Iblis Rangkap Jiwa itu? Lalu yang ini siapa 

lagi orangnya?!"

"Untuk menaiki tangga memang harus 

dimulai dari bawah, Anak Muda. Maka yang baru 

saja kau ucapkan adalah benar!"

"Lalu siapa orangnya yang mengetahui 

kelemahan iblis itu?"

"Carilah seorang tokoh berjuluk Cucu 

Dewa. Hanya tokoh satu ini lain. Meski dia 

beraliran hitam, tapi tak jarang dia berpihak 

pada orang golongan putih. Pikirannya sulit 

ditebak. Hanya seperti halnya Iblis Rangkap 

Jiwa, tempatnya tak bisa ditentukan di 

mana...."

Sekian kalinya murid Pendeta Sinting 

mengeluh. Bukan karena apa yang akan dihadapi 

adalah urusan besar, namun dia khawatir ada 

orang yang mendahului. Karena Orang Tua yang 

menemuinya itu mengisyaratkan demikian.

Setelah terdiam untuk beberapa lama, 

Joko berkata.

"Aku baru pertama kali dengar manusia 

berjuluk Cucu Dewa. Agar memudahkan untuk 

mencari, harap kau jelaskan bagaimana orang 

itu!"

"Sayang, Anak Muda. Seperti halnya 

dirimu. Aku hanya pernah dengar namanya dan 

belum pernah ber-jumpa. Harap kau tidak 

berputus asa untuk mencarinya. Karena hanya 

dengan diketemukannya orang itu, jalan yang 

kau lalui bisa berubah terang...."

Habis berkata begitu, Raja Tua Segala


Dewa gerakkan tangan kanan mengetuk punggung 

Gulurawa. Seakan tahu isyarat yang diberi 

tahu orang, tanpa berkata apa-apa lagi 

Gulurawa anggukkan kepala lalu berkelebat.

"Kelak kalau kita jumpa lagi, kuharap 

hal pertama yang kau hadapi, Anak Muda. Untuk 

soal itu aku tentu akan banyak 

mengetahuinya...."

Suara Raja Tua Segala Dewa masih 

terdengar. Namun sosoknya yang digendong 

sudah tidak kelihatan lagi!

"Cucu Dewa.... Hem.... Mencari orang 

yang tidak tentu tempat dan bagaimana ciri-

ciri rupanya. Apakah mungkin bisa kutemukan? 

Tapi hal ini harus kulakukan! Ah.... Apa 

tidak sebaiknya aku mencari Dewa Orok dahulu? 

Bukankah menurut Orang Tua itu, rahasia 

beradanya Kitab Hitam ada pada mahkota 

bersusun tiga yang dikatakan milik nenek 

moyangnya? Tapi harus ke mana kucari orang 

itu? Aduh.... Kedua-duanya sulit! Baru kali 

ini aku harus menemui urusan yang begini 

rumit."

Murid Pendeta Sinting melangkah seraya 

terus bergumam sendiri dan tidak jarang 

geleng-geleng kepala sambil hembuskan napas 

panjang.



ENAM



Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng 

hentikan kelebatannya. Kepalanya menghadap 

lurus ke samping kanan. Telinganya 

ditajamkan."Sudah beberapa hari tubuhku tidak 

tersentuh air. Di arah sana kudengar suara 

air mengucur...." Joko melangkah ke arah mana 

telinganya menangkap suara air. Namun begitu 

suara pancuran air agak jelas sekonyong-

konyong murid Pendeta Sinting ini hentikan 

langkahnya. Kali ini bukan hanya suara 

pancuran air yang tertangkap pendengarannya. 

Namun juga suara orang menyanyi. Kalau suara 

itu suara nyanyian seorang laki-laki, tentu 

Joko tidak terkejut. Tapi yang didengar kali 

ini adalah suara nyanyian seorang perempuan! 

Dan datangnya berasal dari arah pancuran air!

"Hem.... Mungkin aku akan melihat 

pemandangan mengasyikkan! Siapa tahu 

perempuan itu sedang mandi, tidak berpakaian 

dan orangnya berwajah cantik serta 

bertubuh...." Joko tidak lanjutkan 

gumamannya. Dia segera melangkah dengan 

berjingkat-jingkat. Ternyata pancuran air itu 

berada di sebuah dataran yang agak landai.

Sambil berpaling kiri kanan murid 

Pendeta Sinting sibakkan sebagian semak yang 

menghalangi pandangannya. Sepasang matanya 

lurus memandang ke bawah di mana pancuran air 

berada. Begitu semak belukar tersibak, murid 

Pendeta Sinting ini hampir saja keluarkan 

seruan tertahan.

Joko cepat tekap mulutnya rapat-rapat 

meski bersamaan dengan itu sepasang matanya 

membelalak besar tak berkesip.

"Benar-benar nasib mujur! Seorang 

perempuan muda dan tentu berwajah cantik...," 

ucap Joko dalam hati lalu sibakkan semak 

lebih lebar. Sepasang matanya makin 

membelalak dengan dada mulai berdebar.


Di bawah sana, di samping sebuah 

pancuran berair jernih tampak seorang gadis 

tegak seraya bersenandung lantunkan nyanyian. 

Bersamaan dengan itu tangan kanan kirinya 

bergerak terangkat membuka rambutnya yang 

dikuncir. Sesaat kemudian rambut si gadis 

luruh bergerai. Rambut itu panjangnya sebatas 

pinggang.

"Walauaku belum bisa melihat raut 

wajahnya. Aku dapat menduga jika gadis itu 

berwajah...."

Murid Pendeta Sinting putuskan 

gumamannya. Sepasang matanya makin membesar. 

Dadanya berdegup lebih keras. Si gadis di 

samping air pancuran perlahan-lahan mulai 

membuka pakaiannya yang berupa jubah berwarna 

merah menyala.

Masih sambil terus bersenandung, si 

gadis letak-kan jubah merahnya tidak jauh 

dari tempatnya berdiri. Kini tampak pakaian 

ringkas berwarna putih tipis membungkus 

tubuhnya. Kejap lain kedua tangannya ber-

gerak.

Dari tempatnya mengintai Joko sorongkan 

kepalanya ke depan. Mulutnya sedikit terbuka 

menganga. Di bawah sana si gadis telah buka 

seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.

"Busyet! Benar-benar aduhai.... Putih 

mulus dan padat, sayang masih 

membelakangi...."

Masih tidak sadar kalau dirinya diintip 

orang, si gadis tenang-tenang saja 

bersenanduhg dan kini membasahi tubuh dengan 

jongkok di bawah pancuran.

"Hem.... Tak lama lagi pasti akan 

menghadap ke depan! Dan aku tak akan sia


siakan pemandangan luar biasa ini!"

Apa yang dipikir murid Pendeta Sinting 

nyatanya tidak meleset. Si gadis perlahan-

lahan putar tubuhnya. Pendekar 131 menarik 

napas dalam. Pijakan sepasang kakinya goyah.

Saat si gadis benar-benar telah putar 

tubuh, mungkin tak kuasa lagi menahan 

pemandangan yang membuat dadanya berdebar, 

murid Pendeta Sinting tanpa sadar keluarkan 

seruan tertahan!

"Busyet!" gumam Joko masih tidak sadar. 

Dia cepat tekap mulutnya setelah menyadari 

apa yang baru saja dilakukannya. Namun 

terlambat, Seruan sempat didengar oleh si 

gadis. Laksana kilat si gadis sambar pakai-

annya lalu mengenakan jubah merahnya. Kejap 

lain dia lakukan gerakan mendorong ke arah 

mana Joko mengintai!

Satu gelombang luar biasa keras 

menyambar ke atas.

"Celaka! Nasibku jelek! Belum sempat 

melihat pemandangan lebih bagus sudah 

ketahuan!" desis Joko lalu cepat bergerak 

hindarkan diri.

Meski murid Pendeta Sinting berhasil 

menghindari pukulan si gadis namun nyatanya 

dia harus bernasib sial. Karena serangan si 

gadis menghantam tanah di bawahnya, membuat 

tanah itu langsung berantakan. Pijakan kedua 

kaki Pendekar 131 goyah. Dia cepat gerakkan 

kedua tangannya menggapai semak belukar. Tapi 

gerakannya terlambat. Sebelum kedua tangannya 

berhasil menggapai semak belukar untuk 

imbangi tubuh, tanah di mana dia berpijak 

ikut berantakan. Hingga tak ampun lagi 

sosoknya melorot.


Murid Pendeta Sinting tidak hilang akal. 

Tahu bahwa dirinya akan terperosok jatuh ke 

bawah, dia cepat hantamkan kedua tangannya ke 

lamping tanah. Dengan begitu dia berpikir 

tubuhnya akan tertahan meski harus 

bergelantungan.

Namun di bawah sana si gadis berjubah 

merah rupanya tidak tinggai diam, gadis ini 

rupanya tahu apa yang terpikir dalam benak 

Joko. Bersamaan dengan bergeraknya kedua 

tangan Joko menghantam tanah bagian lamping, 

si gadis kembali dorong kedua tangannya ke 

atas.

Tanah di mana Joko hendak coba 

menggelantung dengan hantamkan kedua 

tangannya serta-merta buyar berantakan. Saat 

bersamaan sosok murid Pendeta Sinting 

meluncur ke bawah!

Pendekar 131 mengaduh lalu bergerak 

bangkit. Namun satu kaki putih mulus telah 

menekan dadanya membuat dia tidak mampu 

bergerak lebih jauh. Dia hanya bisa 

kernyitkan dahi sambil memandang ke atas! 

Bukan pada wajah si orang yang menekankan 

kaki ke dadanya, melainkan ke arah selonjoran 

kaki yang menekan dadanya!

"Busyet! Benar-benar mulus...!" desisnya 

dalam hati.

Orang yang menekankan kaki di dada sang 

Pendekar kernyitkan kening seraya sipitkan 

sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain 

saat sepasang mata yang tidak lain milik 

gadis berjubah merah menyala mendelik angker. 

Saat berikutnya kedua tangan si gadis cepat 

bergerak kelebatkan jubahnya untuk menutupi 

pahanya yang terbuka!


"Pemuda gila! Kau cari petaka berani 

mengintip orang mandi!"

Seraya berteriak, kaki si gadis menekan 

lebih keras, membuat Joko megap-megap sulit 

bernapas.

"Tunggu! Jangan... salah duga 

dahulu...," ucap Joko dengan suara tersendat.

Si gadis menyeringai. Sepasang matanya 

menatap lekat-lekat pada pemuda di bawahnya. 

Sejenak sepasang mata itu membesar lalu 

menyipit. Kedua alis matanya yang hitam 

bergerak naik. Dahinya mengernyit.

Di lain pihak murid Pendeta Sinting 

belalakkan sepasang matanya. Ternyata gadis 

berjubah merah itu memiliki wajah cantik 

jelita. Hidungnya mancung. Sepasang matanya 

bulat tajam dengan kulit putih kekuningan. 

Hanya murid Pendeta Sinting sedikit heran. 

Meski tidak berkata-kata, mulut gadis ini 

kelihatan bergerak-gerak laksana mengunyah 

sesuatu!

Si gadis renggangkan sedikit kakinya 

yang menekan dada Pendekar 131 membuat Joko 

bernapas lega. Tapi kelegaan murid Pendeta 

Sinting ini tidak lama, karena saat lain si 

gadis tekankan lagi kakinya malah kali ini 

lebih keras seraya membentak. 

"Setan! Siapa kau?!"

Joko tidak segera menjawab pertanyaan si 

gadis. Sebaliknya dia hanya gapai-gapaikan 

tangannya menunjuk nunjuk pada kaki si gadis.

Seakan sadar akan isyarat orang, si 

gadis kembali renggangkan tekanan kakinya. 

Lalu kembali membentak.

"Kau dengar pertanyaanku, Setan! Lekas 

jawab atau kubuat jebol dadamu!"


"Baik,Akan kujawab pertanyaanmu..," kata 

Joko seraya menghela napas panjang.

"Lekas buka mulut jawab!" hardik si 

gadis begitu mendapati Joko tidak segera buka 

mulut menjawab.

"Galak benar!" gumam Joko dalam hati 

lalu buka mulut. "Sabar. Semua apa yang nanti 

kau tanyakan pasti kujawab dengan senang 

hati. Tapi beri aku kesempatan untuk bernapas 

dahulu. Tekanan kakimu membuat dadaku 

sesak.... Dan akan lebih baik jika kau angkat 

kakimu dari dadaku ini...."

"Pemuda Setan macam kau terlalu enak 

jika tidak diberi pelajaran! Lekas jawab!" 

bentak si gadis tanpa angkat kaki kanannya 

dari dada Joko meski kaki itu sekarang tidak 

menekan. Anehnya hal itu tidak membuat Joko 

menjadi lega. Sebaliknya membuat murid 

Pendeta Sinting terkesiap kaget. Betapa 

tidak, ternyata Joko kini tidak bisa 

menggerakkan anggota tubuhnya! Sekujur 

tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan!

"Siapa gadis ini?! Dia melakukan totokan 

tanpa aku menyadari kapan dia melakukannya! 

Benar-benar sial nasibku! Belum sampai benar-

benar melihat barang indah sudah harus 

menerima hal seperti ini!"

Si gadis angkat kaki kanannya ditarik 

pulang. Lalu mendongak arahkan pandangannya 

ke jurusan lain sambil berucap. "Kau tidak 

mau jawab pertanyaanku Baiklah, tidak ada 

untungnya bagiku mengetahui nama pemuda setan 

sepertimu. Selamat tinggal!"

Si gadis berjubah merah rapikan 

rambutnya yang hitam panjang dan dikuncir. 

Lalu tenang-tenang saja dia melangkah menjauh


tinggalkan tempat itu.

"Celaka! Aku bisa mati kaku di sini. 

Tempat begini sepi tak mungkin ada orang 

lewat yang bisa menolongku membebaskan dari 

totokan ini! Lagi pula totokan itu totokan 

gila. Aku akan berusaha membuyarkan totokan 

ini!" gumam Joko seraya pandangi langkah-

langkah si gadis.

Murid Pendeta Sinting diam-diam kerahkan 

tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari 

totokan yang dilakukan si gadis. Mendadak 

Pendekar 131 terlengak. Meski dia baru saja 

kerahkan tenaga dalam, dari tangan kanannya 

terasa mengalir hawa hangat. Lalu anggota 

tubuhnya membuat gerakan-gerakan halus. Kejap 

lain dia telah dapat buyarkan totokan si 

gadis.

"Hem.... Ada hawa yang mengalir dari 

tangan kanan, jangan-jangan ini masih ada 

kaitannya dengan ilmu yang kudapat dari Kitab 

Sundrik Cakra...."

Joko pandangi punggung si gadis, "Akan 

kukerjai dia...."

Murid Pendeta Sinting buka mulut.

"Hai! Tunggu...!" Joko berteriak tanpa 

menggerak-kan tubuhnya. Dia berpura-pura 

masih dalam keadaan tertotok.

Si gadis hentikan langkah tanpa 

berpaling. Lalu terdengar suaranya.

"Aku butuh jawaban! Sekali lagi kau buka

mulut selain jawab pertanyaanku tadi, jangan 

harap aku akan berhenti melangkah!"

Mendengar ancaman orang, Joko cepat buka 

mulut menjawab.

"Aku Joko! Joko Sableng!" 

Si gadis berjubah merah balikkan tubuh.


Sepasang matanya memandang, bukan pada murid 

Pendeta Sinting namun ke arah jurusan lain. 

Lalu berucap.

"Pemuda Setan! Mengapa kau berada di 

sini? Kau mengikuti perjalananku? Siapa orang 

yang menyuruhmu untuk menguntitku? Lekas 

jawab!"

"Gawat! Urusannya mengapa jadi begini? 

Benar-benar sial aku hari ini!"

Karena Joko tidak segera menjawab, gadis 

berjubah merah menyala putar diri. Namun 

sebelum kakinya melangkah, murid Pendeta 

Sinting telah berteriak.

"Tunggu! Aku... aku tidak mengikuti 

perjalananmu! Aku hanya kebetulan lewat sini! 

Semula aku ingin mandi. Tapi secara tidak 

sengaja aku memergokimu sedang...." Joko 

tidak lanjutkan ucapannya.

"Teruskan keteranganmu!" sentak si 

gadis. 

"Walah.... Bagaimana ini? Apa aku harus 

menceritakan apa yang dia sendiri lakukan?"

Mungkin khawatir si gadis berjubah merah 

pergi kalau tidak dituruti kemauannya, 

akhirnya Joko angkat bicara.

"Aku melihatmu sedang meiepas rambut, 

lalu melepas jubah...." Kembali Joko hentikan 

ucapannya, berharap sang gadis akan 

menghentikan ucapannya. Namun dugaan Jcko 

salah. Si gadis buka mulut.

"Teruskan!"

"Apa hendak dikata...," gumam Joko lalu 

lanjutkan keterangannya. "Kau kulihat membuka 

pakaian bagian dalam yang kau kenakan. 

Setelah itu aku tidak melihatmu lagi. Aku 

berpaling...."


Gadis berjubah merah luruskan kepala 

menghadap murid Pendeta Sinting.

"Pemuda Setan sepertimu, mana mungkin 

melakukan hal demikian?! Matamu melotot 

melihatku. Betul?!"

"Sumpah! Aku menoleh pada arah lain!" 

sambut Joko.

Di depan sana si gadis perdengarkan 

suara tawa pendek. "Sumpah pemuda setan 

macammu mana bisa dipercaya! Kau memelototi 

tubuhku! Jawab dengan jujur atau...." Si 

gadis hendak putar diri. Buru-buru murid 

Pendeta Sinting bicara.

"Maaf. Memang benar. Tapi aku tidak 

melotot. Mataku menyipit! Jadi aku hanya 

samar-samar melihatmu!"

"Bagus! Kau harus menerima bayaran atas 

kekurangajaranmu!"

"Tunggu! Aku tidak bermaksud berlaku 

kurang ajar! Sebenarnya kau yang salah. Mandi 

di tempat terbuka. Siapa pun orangnya pasti 

tidak akan menyia-nyiakan. Untung aku 

sipitkan mata, kalau orang lain tentu sudah 

melotot!"

"Hem.... Kau pandai mengkambing hitamkan 

orang! Pintar bersilat lidah!"

Habis berkata begitu, si gadis lakukan 

gerakan. Tiba-tiba sosoknya melesat ke depan. 

Kejap lain kakinya bergerak lakukan 

tendangan. Meski murid Pendeta Sinting sudah 

bisa bebaskan diri dari totokan, namun dia 

tidak berusaha mengelak dari tendangan orang. 

Malah dia pejamkan sepasang mata seraya buka 

mulut bersiap perdengarkan seruan!

Namun yang terdengar selanjutnya 

bukannya suara tubuh yang kena tendangan


melainkan suara tawa merdu, membuat Joko buka 

kelopak matanya dan katupkan mulutnya.

Di sampingnya gadis berjubah merah 

tertawa panjang, kaki kirinya tetap mengapung 

di atas udara seolah siap lancarkan 

tendangan. Sepasang matanya mendelik. 

Anehnya, di mata murid Pendeta Sinting sikap 

si gadis kelihatan makin membuat wajahnya 

tampak cantik.

Mungkin menduga si gadis tak tega 

lakukan tendangan, Joko sunggingkan senyum. 

Lalu berkata.

"Kuharap kita hapus kesalahpahaman ini! 

Kita bisa menjadi...."

Ucapan Joko hanya sampai di situ. 

Laksana dipenggal setan, ucapannya terputus 

tatkala mendadak kaki kiri si gadis yang 

mengapung di udara bergerak.

Bukkkkk!

Sosok murid Pendeta Sinting mencelat 

mental sampai dua tombak lalu jatuh 

bergulingan dan berhenti di bawah pancuran 

air! Hingga tanpa ampun lagi sekujur tubuhnya 

basah kuyup.

Joko pura-pura kerahkan tenaga dalamnya, 

saat lain dia gerak-gerakkan anggota 

tubuhnya. Lalu, memandang sekilas pada gadis 

berjubah merah. Melihat si gadis bisa 

lancarkan totokan tanpa diketahui, Joko 

merasa yakin si gadis bukanlah orang 

sembarangan.

Dengan berpura-pura terhuyung huyung, 

murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. 

Seraya pegangi lambungnya yang baru saja 

terkena tendangan dia melangkah mendekati si 

gadis.


"Kalau merasa bayarannya belum lunas, 

aku siap menerima tambahan...," kata Joko 

sambil hentikan langkah tiga tombak di 

hadapan gadis berjubah merah.

"Dasar, Pemuda Setan! Kau pantas jadi 

muridnya orang sinting!"

"Hem.... Selain berkepandaian tinggi, 

cantik, juga sepertinya dia pandai menduga 

orang! Jangan-jangan dia tahu kalau aku 

muridnya Pendeta Sinting.... Tapi ah.... Itu 

mungkin hanya kebetulan. Namun tidak ada 

salahnya jika aku mengajukan pertanyaan pada 

gadis ini perihal urusanku...."

Joko buka mulut hendak ajukan 

pertanyaan. Namun sebelum suaranya terdengar, 

gadis berjubah merah telah balikkan tubuh 

lalu melangkah tanpa ucapkan sepatah kata.

"Tunggu! Sebenarnya kau hendak kemana?" 

tanya Joko sambil melangkah satu tindak 

mendekat.

"Apa pedulimu dengan kepergianku?! 

Jangan-jangan kau memang disuruh orang untuk 

mengikuti perjalananku!"

"Jangan terus menduga yang bukan-bukan! 

Aku bukan suruhan orang! Aku bertanya siapa 

tahu kita searah. Bukankah kita bisa jalan 

bersama?"

"Aku tidak butuh teman! Apalagi teman 

pemuda setan sepertimu!"

Joko hanya bisa angkat bahu sambil 

gelengkan kepala. Lalu berkata.

"Hem.... Kalau kau tidak mau ditemani, 

bagaimana kalau kau sebutkan siapa dirimu?"

Masih tidak berpaling, si gadis 

menjawab.

"Sebenarnya aku enggan memberitahukan


padamu. Tapi... baiklah. Dengar baik-baik. 

Namaku Putri Sableng...!"

Murid Pendeta Sinting surutkan langkah 

saking tidak menduga. Keningnya berkerut 

dengan sepasang mata tak berkesip perhatikan 

bagian belakang tubuh si gadis. Joko tidak 

tahu kalau sehabis menjawab, gadis berjubah 

merah yang sebutkan diri Putri Sableng 

menahan tawa!

"Hampir tak kupercaya. Dia bercanda 

atau...."

"Ada lagi yang hendak kau tanyakan?!" 

tanya Putri Sableng tetap membelakangi.

"Benar. Kalau kau tahu, pernahkah kau 

mendengar seseorang yang berjuluk Cucu Dewa?"

Laksana disentak tangan setan, Putri 

Sableng cepat putar tubuh menghadap murid 

Pendeta Sinting. Sepasang matanya menatap 

tajam pada Joko yang masih basah kuyup dari 

rambut sampai kaki.

"Apa hubunganmu dengan orang yang baru 

kau sebut?!"

"Ah. Rupanya kau kenal dengan orang itu! 

Aku tidak heran, kau berilmu tinggi pasti 

mengenalnya...," ucap Joko dengan paras 

cerah.

Tapi murid Pendeta Sinting harus segera 

menerima rasa kecewa.

* * *



TUJUH



Di depannya Putri Sableng gelengkan 

kepala. "Kau keliru. Jangankan kenal. Dengar 

namanya pun baru kali ini!"


Murid Pendeta Sinting sisir rambutnya 

yang basah dengan jari-jari tangannya. Lalu 

mempererat ikatan kepalanya sambil menghela 

napas dalam. Setelah agak lama terdiam Joko 

angkat bicara lagi.

"Kau tidak berdusta? Nada ucapanmu 

sekilas tadi seperti memberi isyarat bahwa 

kau kenal dengan Cucu Dewa...."

"Aku bukan Pemuda Setan sepertimu yang 

suka bicara dusta!" kata Putri Sableng lalu 

tertawa membuat murid Pendeta Sinting sedikit 

dongkol. "Sudah...? Tidak ada yang perlu kau 

ucapkan lagi?!"

Saking dongkolnya meski sudah menduga 

tidak akan tahu, Joko ajukan juga pertanyaan. 

"Apakah kau juga pertama ini dengar seseorang 

yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"

"Kau salah lagi. Yang baru kau sebut 

justru aku pernah mendengarnya dan tahu di 

mana tempat tinggalnya!"

Jawaban Putri Sableng membuat untuk 

kedua kalinya Joko tersurut. Wajahnya berubah 

seketika. Tanpa sadar dia melompat ke depan 

lalu berkata.

"Harap kau katakan di mana aku dapat 

menemuinya!"

"Hem.... Itu soal mudah asal kau bisa 

menjawab pertanyaanku!"

"Baik. Katakan apa yang hendak kau 

tanyakan!"

"Apa perlumu menemui Iblis Rangkap 

Jiwa?!"

Untuk beberapa Sama murid Pendeta 

Sinting tidak segera menjawab pertanyaan si 

gadis. Hatinya dibuncah kebimbangan. Dia baru 

saja mengenal orang serta belum mengetahui


benar siapa adanya si gadis. Di lain pihak 

dia membutuhkan keterangan.

"Masih ingin menemui Iblis Rangkap Jiwa 

apa tidak?!" tanya Putri Sableng.

"Aku.... Aku mendapat pesan dari 

seseorang untuk menyampaikan padanya!"

"Pesannya...?!" Putri Sableng mengejar.

"Aku tidak bisa mengatakannya 

padamu...."

"Hem.... Begitu? Berarti aku juga tidak 

dapat memberi keterangan padamu!"

"Sialan betul! Bagaimana sekarang? Apa 

aku harus menerangkan padanya...?"

Setelah menimbang-nimbang pada akhirnya 

murid Pendeta Sinting memutuskan mengatakan 

apa tujuannya menemui Iblis Rangkap Jiwa 

meski dia berusaha tidak menerangkan dengan 

secara gamblang.

"Orang itu mengetahui tempat penyimpanan 

benda pusaka yang dipesankan orang 

padaku...."

"Benda pusaka. Hem.... Berupa apa benda 

pusaka itu? Peta harta karun? Pedang atau 

kitab?!"

Pendekar 131 tidak menduga kalau Putri 

Sableng akan terus mengejar dengan pertanyaan 

begitu rupa hingga untuk beberapa lama dia 

terdiam.

"Hem.... Sebuah kitab. Namun aku kurang 

yakin akan hal itu. Karena orang yeng 

berpesan padaku adalah seorang saudagar kaya. 

Justru aku punya keyakinan benda pusaka itu 

berupa peta harta karun!"

"Hem.... Begitu? Satu lagi pertanyaanku. 

Siapa orang yang menyuruhmu? Bukankah kau 

tadi mengatakan atas suruhan orang?!"


"Waduh. Pertanyaanmu terlalu banyak! 

Jangan-jangan kau tidak tahu akan orang yang 

kucari dan hanya berniat mengorek 

keteranganku!" kata Joko dengan nada agak 

tinggi karena makin jengkel dengan pertanyaan 

si gadis.

Putri Sableng tertawa panjang, membuat

murid Pendeta Sinting tambah geram. Namun dia 

tidak bisa berbuat banyak karena saat itu dia 

benar-benar membutuhkan keterangan orang.

"Aku tidak akan menarik ucapanku. Aku 

tetap akan memberitahukan di mana orang yang 

kau cari! Tapi jawab dulu pertanyaan 

terakhirku tadi!"

"Terus terang aku sendiri tidak tahu 

siapa nama orang yang menyuruhku! Aku hanya 

tahu rupanya. Dia tidak sebutkan siapa 

dirinya!" kata Joko berterus terang.

Mendengar jawaban Pendekar 131, Putri 

Sableng makin perkeras suara tawanya. Puas 

tertawa dia berkata.

"Rupanya kau laki-laki bodoh. Menurut 

saja perintah orang meski tidak mengenal 

siapa orang itu! Meski aku tidak yakin benar 

dengan jawabanmu namun karena aku telah 

berjanji, aku akan tetap mengatakan padamu!" 

Putri Sableng hentikan ucapannya. Lalu mene-

ruskan. 

"Buka telinga baik-baik karena aku tidak 

akan mengulangi apa yang kuucapkan!"

Tanpa buka mulut, Joko pasang telinga 

baik-baik. Sepasang matanya menatap tajam ke 

dalam bola mata gadis di hadapannya. Yang 

dipandang menahan tawa sebelum akhirnya buka 

mulut berkata.

"Menurut apa yang kudengar, Iblis


Rangkap Jiwa bertempat tinggai tidak jauh 

dari sini. Kau cukup berjalan kira-kira 

seribu langkah. Di sana kau akan menemukan 

gundukan tanah!" sambil berkata tangan Putri 

Sableng menunjuk ke satu arah.

Murid Pendeta Sinting tidak mengikuti 

tangan si gadis yang menunjuk arah. 

Sebaliknya dia kerutkan dahi dengan pelipis 

bergerak-gerak jelas menahan hawa marah.

"Kesabaran ada batasnya. Jangan terus 

bercanda!"

"Hem.... Kau mengancam?!" tanya Putri 

Sableng dengan mimik berubah.

Tidak mengancam. Namun harap kau 

bersungguh-sungguh. Aku telah mengatakan 

padamu apa adanya!"

"Apa kau kira aku tidak mengatakan apa 

adanya, hah?!"

"Tapi jawabanmu tadi...."

"Memang itulah kenyataannya! Orang yang 

kau cari sudah lama mati!"

"Sialan! Kenapa kau tidak mengatakannya 

sedari tadi? Hem.... Aku kini makin yakin kau 

hanya mengorek keteranganku! Karena menurut 

sebagian orang Iblis Rangkap Jiwa masih 

hidup!"

"Terserah. Yang kuketahui orang yang kau 

cari telah lama mati! Kalau menurut sebagian 

orang masih hidup, itu hak orang yang 

mengatakannya!"

"Busyet! Jangan-jangan kau hanya 

mengarang cerita"

Putri Sableng tidak angkat bicara lagi. 

Sebaliknya gadis berjubah merah ini balikkan 

tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Jangan harap kau bisa lari sebelum


mengatakan siapa dirimu sebenarnya! Kau telah 

mengarang cerita dusta padaku!" seru Joko 

lalu ikut berkelebat mengejar, Namun 

terlambat. Sosok Putri Sableng telah lenyap 

laksana ditelan bumi. Anehnya meski sosoknya 

telah tidak kelihatan, namun murid Pendeta 

Sinting masih mendengar suaranya.

"Pemuda Setan! Aku telah mendapat 

keterangan Itulah sebenarnya yang kucari-cari 

selama ini! Hik.... Hik.... Hik...!"

"Sialan betul! Ini pelajaran bagiku. Aku 

tidak akan ulangi lagi tindakan konyol ini. 

Dan aku harus cepat cari keterangan! Karena 

sekarang bukan hanya aku saja yang mengetahui 

urusan besar ini!"

* * *

Kita tinggalkan dahulu Pendekar 131. 

Kita menuju ke satu tempat di kawasan Gunung 

Semeru. Saat itu malam telah merambat jauh. 

Namun karena bulan sedang purnama, lintasan 

bumiterlihatterang benderang.

Satu sosok bayangan sulit ditangkap 

pandangan mata biasa terlihat berkelebat 

cepat menuju arah kawasan Gunung Semeru. 

Bayangan itu menerabas jajaran pohon dan 

semak belukar tinggi yang banyak tum-buh di 

sekitar kawasan yang menuju gunung. Jajaran 

pohon serta semak belukar itu sangat rimbun 

malah hampir tidak ada jalan setapak yang 

bisa dilalui. Namun sosok yang berkelebat 

laksana tidak terhalang sama sekali. Sosoknya 

menerabas seolah berlari di jalanan biasa. 

Jelas siapa pun adanya sosok ini menunjukkan 

dia memiliki kepandaian tinggi.


Ketika memasuki lamping gunung yang 

hanya di-hiasi bongkahan-bongkahan batu 

besar, bayangan tadi hentikan kelebatannya. 

Dia tegak seraya rangkapkan kedua tangan di 

atas salah satu bongkahan batu. Dia adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya 

putih, raut wajahnya pucat. Mengenakan 

pakaian putih panjang.

Sepasang mata orang tua ini sejurus 

memandang berkeliling tanpa memutar kepala.

Saat lain sepasang matanya tak berkesip 

menatap pada satu bongkahan batu di mana di 

atasnya terlihat satu sosok tubuh sedang 

duduk bersila. Meski tidak berkata-kata, raut 

wajah orang tua ini sesaat tampak menunjukkan 

kegembiraan. Mulutnya yang terkancing 

sunggingkan senyum dengan kepala sedikit 

mengangguk.

"Hem.... Nyatanya dia pantang putus asa. 

Hampir lima purnama dia lalui dengan tabah. 

Sebenarnya bukan sekarang saatnya aku berada 

di sini. Tapi mimpiku selama tiga hari 

berturut-turut kurasa bukan kembang tidur dan 

impian biasa...." Orang tua yang rangkapkan 

kedua tangan di atas dada berucap dalam hati 

dengan mata masih tak berkesip pandangi sosok 

yang duduk di atas bongkahan batu. Namun 

tiba-tiba paras wajah si orang tua berubah. 

"Kalau mimpiku hanya impian biasa, maka apa 

yang telah dia lakukan selama lima purnama 

ini akan sia-sia. Tapi apa boleh buat. Aku 

harus memutus semadinya. Aku yakin mimpiku 

ada artinya...."

Setelah menarik napas panjang, si orang 

tua buka mulut.

"Gumara.... Kita harus bicara. Ada


sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau 

putuskan semadimu...."

Orang yang duduk bersila di atas 

bongkahan batu yang ternyata adalah seorang 

pemuda berparas tampan, berdagu kokoh 

bertubuh kekar tidak bergeming. Sepasang 

matanya memejam rapat. Meski demikian suara 

si orang tua yang berdiri tegak sedikit 

banyak mengganggu kekhusukan semadinya. Malah 

daun telinga sang pemuda di atas batu yang 

dipanggil Gumara terlihat bergerak terangkat. 

Mulutnya menggerimit bergetar. Sepasang 

matanya yang terpejam bergerak-gerak meski 

tetap tidak membuka. Saat lain gerakan-

gerakan halus pada anggota sang pemuda kem-

bali terhenti, pertanda dia telah dapat atasi 

gangguan yang sejenak tadi sempat mengganggu. 

Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena 

orang tua yang tegak di atas batu sejarak 

tujuh tombak dari tempat si pemuda bersila 

kembali angkat bicara.

"Gumara.... Harap kau hentikan dahulu 

semadimu! Ada sesuatu yang harus kita 

bicarakan!"

Gumara tidak bergeming sedikit pun. 

Sepasang matanya tetap memejam rapat. Jelas 

kalau pemuda ini tenggelam dalam semadinya 

meski hal itu baru dapat dilakukan setelah 

menutup jalan pendengarannya.

Orang tua di atas batu kerahkan tenaga 

dalam pada tenggorokan. Dia seakan tahu kalau 

Gumara menutup jalan pendengarannya. Sesaat 

kemudian dia buka mulut lagi. Kali ini suara 

si orang tua terdengar lain. Tinggi 

melengking jelas jika suara itu dikeluarkan 

dengan pengerahan tenaga dalam untuk.


membongkar jalan pendengaran orang.

"Gumara! Aku datang membawa kabar baik 

bagimu! Kita harus bicarakan hal ini!"

Bersamaan dengan terdengarnya suara si 

orang tua, tubuh Gumara kelihatan bergetar. 

Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-

gerak pertanda apa yang dilakukan si orang 

tua berhasil membongkar jalan pendengaran 

Gumara. Malah pemuda ini merasakan kedua 

telinganya laksana ditusuk dan mengiang 

keras!

Namun Gumara tidak begitu saja segera 

putuskan semadinya. Si pemuda mengira apa 

yang didengarnya adalah gangguan yang biasa 

menggoda. Namun bagaimanapun dia mencoba 

menutup pendengaran dan pusatkan jalan 

pikiran, dia tidak kuasa mengatasi. Gumara 

sadar bahwa kali ini dia jelas tidak mungkin 

bisa teruskan semadinya.

Seraya menggereng marah, Gumara buka 

kelopak matanya. Kedua tangannya ditarik ke 

belakang. Bersamaan dengan berputarnya tubuh 

menghadap suara yang didengarnya, kedua 

tangannya menghantam lepaskan pukulan! 

Wuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin deras melesat ke 

arah si orang tua yang tegak di atas 

bongkahan batu. Namun orang tua yang diserang 

sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya 

semula hingga dua gelombang angin itu 

menghantam bongkahan batu di mana tadi si 

orang tua berdiri tegak.

Byaaaarr!

Bongkahan batu itu langsung hancur 

berantakan semburatkan kepingan kecil-kecil.

Melihat pukulannya hanya menghantam


bongkahan batu, lebih-lebih tidak ada seorang 

pun yang terlihat, Gumara naik pitam. Sekali 

lagi dia kerahkan tenaga dalamnya. Kedua 

telinganya dipertajam. Meski dia tidak 

melihat orang namun dia sadar kalau di tempat 

itu dia tidak berada sendirian.

Tiba-tiba bibir Gumara sunggingkan 

senyum seringai, lalu membuka.

"Kau berani mengusikku. Kau akan tahu 

akibatnya!"

Belum habis suara Gumara, tubuhnya yang 

tetap dalam sikap duduk bersila berputar 

laksana baling-baling. Kejap lain sosoknya 

berhenti. Kedua tangannya yang telah dialiri 

tenaga dalam diangkat, siap menghantam ke 

satu arah.

"Gumara. Tahan pukulanmu!"

Gumara pentangkan sepasang matanya. 

Mulutnya yang terbuka hendak ucapkan kata-

kata serta merta mengancing. Kedua tangannya 

terangkat diluruhkan.

Di lain saat pemuda ini berdiri lalu 

melesat dan tahu-tahu telah tegak di atas 

bongkahan batu berseberangan sejarak tiga 

langkah di hadapan orang tua berpakaian 

putih. Pemuda ini bungkukkan sedikit 

tubuhnya.

"Harap Guru katakan mengapa datang 

sebelum waktu yang Guru tentukan!"

Meski dari nada bicaranya jelas kalau 

orang tua di hadapan Gumara adalah gurunya, 

namun nada ucapan itu seolah menegur.

Si orang tua tersenyum dan seolah 

mengerti kenapa muridnya berucap begitu. 

"Gumara.... Hal ini kulakukan karena ada satu 

hal yang harus kita bicarakan! Aku


bermimpi..."

Belum selesai si orang tua lanjutkan 

ucapannya, Gumara telah memotong. "Guru. 

Adakah kerjaku selama lima purnama harus sia-

sia hanya karena sebuah mimpi?"

Lagi-lagi si orang tua tersenyum. 

"Muridku.... Kurasa apa yang kau lakukan 

tidak sia-sia. Kulihat pukulanmu bertambah 

cepat. Daya pendengaranmu makin tajam..."

"Guru!" lagi-lagi Gumara memotong ucapan 

gurunya. "Dengan buyarnya semadiku sebelum 

waktu yang ditentukan berarti aku gagal 

memiliki ilmu 'Pelebur Urat" yang kau katakan 

itu! Itu juga berarti ilmuku tidak bertambah 

dan aku tetap akan jadi pecundang dalam dunia 

persilatan! Sementara pemuda bergelar 

Pendekar Pedang Tumpul 131 telah mendapatkan 

Kitab Serat Biru!"

Si orang tua gelengkan kepala. "Rupanya 

kau masih terpacak memikirkan pemuda berjuluk 

Pedang Tumpul 131 yang mengalahkanmu di Pulau 

Biru! Kau mungkin lupa, Gumara. Sebelum 

keberangkatanmu dahulu aku sudah berpesan. 

Kau harus dapat menerima kenyataan karena 

sebuah kitab diciptakan kelak hanya 

diperuntukkan untuk satu orang! Kau harus 

belajar menerima takdir bahwa bukan kau yang 

ditentukan untuk memiliki Kitab Serat 

Biru.... Dan kuharap apa yang kau pelajari 

juga tidak untuk merebut kitab itu! Kitab 

Serat Biru tidak diperuntukkan bagimu, namun 

mungkin kau masih berjodoh dengan kitab

satunya...."

Ketegangan wajah Gumara yang sedari tadi 

terlihat mendadak berubah. Seraya bungkukkan 

sedikit tubuhnya dia berkata.


"Jadi itukah hal penting yang hendak kau 

bicarakan sampai harus membuyarkan semadiku?"

Si orang tua menjawab dengan anggukkan

kepalanya. Seakan tidak sabaran, Gumara 

lanjutkan ucapannya. "Harap Guru terangkan 

kitab apa itu dan di mana beradanya!"

"Tentang kitab apa, aku sendiri tidak 

jelas mengetahuinya!"

Paras wajah Gumara kembali menegang. 

"Adalah aneh kalau Guru mengatakan tahu 

tentang sebuah kitab tapi tidak tahu kitab 

apa! Jangan-jangan Guru hanya mendengar kabar 

yang belum tentu kebenarannya!"

Si orang tua untuk kesekian kali nya 

gelengkan kepala. "Gumara. Persoalan kitab 

itu aku tidak mendengar dari mulut orang! 

Itulah sebabnya aku tidak bisa menjawab 

pertanyaanmu!"

"Lalu apakah dari mimpi yang kau katakan 

tadi?" tanya Gumara menebak. Lalu lanjutkan 

ucapannya dengan tertawa pendek. "Barang 

pusaka yang didengar dari seorang tokoh dunia 

persilatan saja masih disangsikan

kebenarannya, bagaimana mungkin hanya dari 

sebuah mimpi hal itu bisa dibuktikan 

kebenarannya?"

"Gumara. Menurutku, keterangan dari 

orang, siapa pun dia adanya memang kadangkala 

masih disangsikan kebenarannya. Tapi 

keterangan dalam mimpi adalah sesuatu yang 

gaib. Dan sering kali keterangan dalam mimpi 

lebih dipercaya dari keterangan orang! 

Apalagi mimpi itu tidak hanya sekali 

melainkan berkali-kali! Kukira itu sebuah 

isyarat kebenaran! Jika tidak, tidak sampai 

aku datang ke sini sebelum waktu yang


kutentukan!"

Seolah masih tidak percaya dengan yang 

dikatakan gurunya, Gumara angkat bicara lagi. 

Namun kali ini dia seolah bicara pada dirinya 

sendiri.

"Mimpi.... Yang kualami, aku hanya 

memimpikan sesuatu yang selalu kupikirkan 

sebelum tidur...."

"Kau jangan menganggap segala sesuatu 

sama dengan apa yang kau alami, Gumara.... 

Dan juga perlu kau ketahui, pada terakhir 

kalinya, aku dalam keadaan terjaga! Hal ini 

terjadi mungkin karena aku semula beranggapan 

sepertimu. Tapi.... Kalau kau tidak tertarik 

sebaiknya aku tidak menceritakan padamu. 

Hanya...."

"Guru. Semadiku telah sia-sia hanya 

karena persoalan mimpi ini. Bagaimanapun 

mimpimu, harap kau katakan padaku!" sahut 

Gumara.

Untuk beberapa saat si orang tua 

terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh. 

Sesaat kemudian dia berkata.

"Aku merasa didatangi seseorang yang 

tidak jelas raut wajahnya. Yang kulihat dia 

mengenakan jubah panjang hitam sebatas mata 

kaki. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya 

menggerakkan kedua tangannya menyibakkan 

jubah panjangnya. Saat itulah aku melihat se-

buah kitab berwarna hitam di dadanya. Setelah 

itu dia balikkan tubuh dan seolah-olah 

mencebur ke dalam sebuah tempat yang curam. 

Tiga hari berturut-turut dia datang dengan 

sikap yang sama. Pada yang terakhir kali aku 

dalam keadaan terjaga. Orang itu menampakkan 

diri lagi. Pada saat itu sebelum dia balikkan


tubuh aku beranikan diri bertanya di mana dia 

berada. Dia tidak menjawab. Hanya setelah 

sosoknya tidak kelihatan, aku mendengar dia 

sebut-sebut namamu dan menyebut Bukit 

Selamangleng...."

Gumara dengarkan penuturan gurunya 

dengan saksama. Sementara si orang tua 

palingkan kepala memandang pada sang murid 

lalu berkata.

"Aku tidak memaksamu menyelidik. Tapi 

adalah tindakan bodoh kalau kau menyia-

nyiakan hal ini!"

"Guru. Aku akan tetap berangkat 

menyelidik. Bukan untuk mencari kitab itu, 

namun semata-mata ingin buktikan bahwa mimpi 

adalah bunga tidur!"

Mendengar ucapan muridnya, sang guru 

bukannya marah melainkan sunggingkan senyum 

dan berkata pelan.

"Hati seseorang tidak mudah diduga, 

Gumara. Tapi aku berharap kau nanti akan 

menemui kenyataan! Aku harus pergi sekarang!"

"Tunggu! Apa kau tahu di mana letak 

Bukit Selamangleng?"

Gerakan sang guru tertahan. Masih dengan 

tersenyum dia menjawab.

"Pergilah ke Dusun Sumbersuko. Tidak 

jauh dari dusun itu kau akan melihat sebuah 

bukit. Itulah Bukit Selamangleng.... Gumara! 

Aku berpesan padamu kalau kau nanti menemukan 

kenyataan, harap kau gunakan kitab itu untuk 

kebaikan. Lupakan peristiwa di Pulau 

Biru...!"

Habis berkata begitu, si orang tua 

baiikkan tubuh lalu sosoknya berkelebat,

Gumara tengadahkan kepala. Mulutnya


menyeringai. "Peristiwa Pulau Biru selamanya 

tidak akan kulupakan. Pendekar Pedang Tumpul 

131 serta kawan-kawannya harus mampus 

ditanganku! Aku hampir yakin, apa yang 

dialami oleh Bayu Bajra adalah sebuah isyarat 

benar!"

Gumara tertawa panjang. "Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng! Saat kematianmu 

hanya tinggal tunggu waktu! Malaikat Penggali 

Kubur akan datang menjemputmu!"

Gumara melesat tinggalkan kawasan 

lamping Gunung Semeru masih dengan suara 

bergelak keras. Pemuda ini bukan lain adalah 

pemuda yang tidak berhasil mendapatkan Kitab 

Serat Biru malah sempat dikalahkan Pendekar 

131 di Pulau Biru, yakni pemuda yang bergelar 

Malaikat Penggali Kubur murid seorang tokoh 

bernama Bayu Bajra. (Lebih jelasnya tentang 

Gumara alias Malaikat Penggali Kubur serta 

gurunya silakan baca serial Joko Sableng 

dalam episode: "Malaikat Penggali Kubur").

* * *


DELAPAN



Pendekar 131 Joko Sableng melangkah 

dengan benak dibuncah berbagai persoalan. Di 

satu sisi dia mendapat keterangan dari Raja 

Tua Segala Dewa harus mencari orang yang 

berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa 

yang tidak jelas di mana beradanya. Padahal 

dari orang itulah Kitab Hitam dapat 

ditemukan. Di lain pihak menurut keterangan 

Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga

Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra, rahasia 

di mana beradanya Kitab Hitam berada di 

mahkota bersusun tiga yang kini diketahui 

berada di tangan Dewa Orok. Padahal mencari 

Dewa Orok mungkin sama halnya dengan mencari 

satu jenis ikan tertentu di laut bebas. 

Kalaupun dapat bertemu Dewa Orok belum tentu 

pemuda bertangan buntung berwajah tampan itu 

mau memberikan mahkota yang dikatakan sebagai 

milik nenek moyangnya. Belum lagi dia telah 

telanjur mengatakan urusannya pada gadis 

berwajah cantik berjubah merah menyala yang 

sebutkan diri sebagai Putri Sableng.

Pada satu tempat murid Pendeta Sinting 

hentikan langkah. Mungkin karena telah, enak 

saja dia selonjorkan kaki seraya bersandar 

punggung pada sebuah gundukan tanah agak 

tinggi. Tangan kirinya terangkat lalu jari 

kelingkingnya dimasukkan ke tobang telinga. 

Kejap lain dia telah meringis sendiri seakan-

akan melupakan urusan rumit yang dihadapi.

Namun ringisan geli murid Pendeta 

Sinting mendadak terputus. Sepasang matanya 

membeliak besar tak berkesip. Dadanya

berdegup keras. Jakunnya bergerak tak teratur 

turun naik.

Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya 

duduk menggelosoh tegak seorang perempuan 

berwajah cantik meski usianya tidak muda. 

Sosoknya bahenol dengan kulit putih. Sepasang 

matanya bersinar. Hidungnya mencuat mancung 

dengan bibir merah ranum. Dia mengenakan 

pakaian tipis berwarna biru membuat cuatan 

kedua payudaranya yang membusung besar ter-

lihat jelas. Pinggulnya padat ditingkah paha 

yang terpampang karena pakaian bawahnya


sengaja disibakkan.

"Kapan munculnya perempuan itu? Ataukah 

karena aku terlalu tenggelam dengan urusanku 

hingga tidak mengetahui kedatangannya? Tapi 

sepertinya aku pernah bertemu dengan 

perempuan ini. Tapi di mana...?"

"Sepertinya kau sedang galau...." Si 

perempuan. berpakaian biru menyapa seraya 

sunggingkan bibirnya yang merah. Dia 

melangkah mendekat. Pinggulnya kelihatan 

bergoyang-goyang membuat mata Joko makin 

terbelalak.

"Sepertinya aku mengenalmu...," gumam 

Joko lalu bergerak bangkit.

Si perempuan terus melangkah. Tiga 

langkah di hadapan murid Pendeta Sinting, dia 

hentikan langkah. Sepasang matanya memandang 

pada Joko dari rambut hingga kaki. Mulutnya 

membuka perdengarkan suara.

"Benar, Pendekar 131. Kita sudah saling 

kenal. Kau ingat peristiwa di Pulau Biru 

beberapa waktu yang silam?"

Murid Pendeta Sinting serentak surutkan 

langkah. Namun sosoknya tertahan gundukan 

tanah di mana dia tadi bersandar.

"Kau.!.. Ratu Pemikat!" seru Joko. Paras 

wajah Pendekar 131 berubah seketika. Dadanya 

bergemuruh. Teringat lagi bagaimana pada 

beberapa tahun yang lalu perempuan di 

hadapannya yang tidak lain adalah seorang 

perempuan berparas cantik yang dikenal dengan 

Ratu Pemikat mengejar dirinya hingga masuk ke 

dalam Jurang Tlatah Perak. Namun gejolak 

marah di dada murid Pendeta Sinting perlahan-

lahan sirna ketika Ratu Pemikat tunjukkan 

wajah murung sembari berkata.


"Pendekar 131. Aku memang telah berbuat 

kesalahan padamu. Untuk itulah aku sengaja 

mencarimu. Aku ingin menebus dosa yang pernah 

kulakukanl Hari ini aku bisa jumpa. Sekarang 

aku pasrah. Lakukanlah apa yang kau mau...."

Ratu Pemikat tundukkan kepala. Kedua 

tangannya saling meremas. Joko menarik napas 

panjang. Mulutnya terkancing tidak ucapkan 

sepatah kata.

"Aku telah berjanji. Kalau kau tidak 

bersedia melakukan hukuman padaku, aku akan 

melakukannya sendiri di hadapanmu!"

Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu 

Pemikat terangkat ke atas. Kejap lain kedua 

tangan itu menghantam kearah kepalanya 

sendiri! Karena hantaman itu bukan hantaman 

biasa, pasti sekali hantam kepala itu akan 

retak. Apalagi Ratu Pemikat diketahui adalah 

seorang yang punya kepandaian.

Sejengkal lagi kepala Ratu Pemikat 

terhantam sendiri oleh kedua tangannya, dua 

tangan lain tampak berkelebat membuat gerakan 

kedua tangan Ratu Pemikat tertahan.

"Sudahlah.... Aku telah melupakan 

peristiwa itu!"

Ratu Pemikat angkat kepalanya. Sepasang 

matanya memandang tajam ke dalam bola mata 

murid Pendeta Sinting yang baru saja menahan 

gerakan kedua tangannya.

"Benar ucapanmu? Jangan hanya di mulut 

tapi di hati masih menyimpan dendam 

padaku...," kata Ratu Pemikat dengan suara 

lirih.

Pendekar 131 tersenyum seraya gelengkan 

kepala. "Kau memang berbuat kesalahan, tapi 

tanpa hal itu mungkin aku tidak jadi begini!"


"Terima kasih kalau kau mau memaafkan 

diriku. Kini hatiku tenteram...."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat 

pandang sekali lagi pada murid Pendeta 

Sinting. Tanpa berkata apa-apa lagi perempuan 

bertubuh bahenol ini putar diri. "Aku harus 

segera pergi...."

Sesaat Pendekar 131 terdiam. Sepasang 

matanya mendelik memandang pada pinggul Ratu 

Pemikat yang kencang menantang.

"Hendak ke mana kau?" akhirnya Joko 

bertanya setelah Ratu Pemikat melangkah lima 

tindak. Namun matanya tidak juga beranjak 

dari pinggul si perempuan.

"Berbulan-bulan aku mencarimu. Tujuanku 

kau telah tahu. Sekarang semuanya sudah 

selesai. Aku ingin mencari tempat untuk 

tenangkan diri."

Ratu Pemikat baiikkan tubuh lalu 

lanjutkan ucapannya. "Kau sendiri mau ke 

mana? Kulihat wajahmu seperti cemas dan 

bingung!"

Mungkin karena tidak mau bertindak 

ceroboh seperti saat bertemu dengan gadis 

berjubah merah, murid Pendeta Sinting 

gelengkan kepala seraya tertawa.

"Aku bingung memikirkan bagaimana kita 

mendadak bisa berjumpa lagi! Padahal 

sebelumnya tidak terlintas hal ini akan 

terjadi...."

Ratu Pemikat tersenyum. Dia lalu 

melangkah kembali mendekat ke arah Joko. Kali 

ini tampak Ratu Pemikat busungkan dadanya 

yang besar, hingga sesaat membuat murid 

Pendeta Sinting membeliak.

"Sebentar lagi matahari akan terbenam.


Apa kau masih akan tetap berada di sini?" 

sambil berkata, kepala Ratu Pemikat 

mendongak. Saat itu hamparan langit memang 

mulai menguning pertanda sebentar lagi mata-

hari akan tenggelam.

Melihat Joko tidak menjawab 

pertanyaannya, Ratu Pemikat arahkan kepala 

pada murid Pendeta Sinting. "Sebagai tanda 

persahabatan kita kembali, bagaimana kalau 

kita jalan bersama mencari tempat yang lebih 

baik?"

Bersamaan dengan selesainya ucapan Ratu 

Pemikat, Joko merasakan dadanya sesak. 

Sekilas pandangannya berubah menghitam 

laksana ada kabut tipis yang menghalangi 

pandangan matanya. Tapi cuma sekejap. Kejap 

lain kembali seperti sediakala.

Pendekar 131 kerutkan kening. Belum 

selesai berpikir apa yang baru saja terjadi, 

Ratu Pemikat telah pegang lengannya. "Kau 

tampak sangat letih. Kalau kau tidak mau 

berjalan bersama, bagaimana kalau kau 

kutemani di sini? Kau tak keberatan bukan?" 

Bibir Ratu Pemikat sunggingkan senyum. 

Matanya mengerling. Entah sengaja atau tidak 

perempuan ini lalu tempelkan dadanya pada 

lengan Joko membuat murid Pendeta Sinting 

merasakan hangatnya dada sang Ratu.

Entah karena apa meski dalam hatinya 

telah bermaksud menolak apa yang dikatakan 

Ratu Pemikat tapi kepalanya sebaliknya 

mengangguk. Malah kedua tangannya segera 

bergerak merengkuh tubuh bahenol di 

sampingnya dan kepalanya serentak menyorong 

ke depan. Kejap lain diciuminya wajah Ratu 

Pemikat.


Ratu Pemikat sejenak mengeluh perlahan. 

Kedua tangannya merangkul tubuh Pendekar 131 

yang terus menciumi wajah dan lehernya. Tapi 

tiba-tiba Ratu Pemikat tarik kepalanya 

menjauh. Bersamaan dengan itu dia berbisik.

"Ke mana sebenarnya tujuanmu, Pendekar?"

Walau hatinya tidak mau menjawab, 

anehnya laksana ada satu kekuatan hebat yang 

membuatnya buka mulut meski kepalanya terus 

menyusup ke leher Ratu Pemikat. "Aku harus 

menemui orang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis 

Rangkap Jiwa."

"Kalau kau terlihat cemas dan tegang 

tentu kau punya urusan sangat pehting dengan 

manusia bergelar Cucu Dewa. dan Iblis Rangkap 

Jiwa...," ujar Ratu Pemikat lalu dekatkan 

wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-lahan 

meraba bagian perut murid Pendeta Sinting.

"Lebih dari penting!" kata Joko seolah 

tidak sadar. Malah dia seakan tidak merasa 

bagaimana kedua tangan Ratu Pemikat meraba-

raba bagian perutnya. Yang dirasakan saat itu 

adalah getaran-getaran halus kedua tangan 

Ratu Pemikat yang membuat dadanya makin 

berdebar dan gejolaknya makin menggelegak.

"Hem.... Urusan apakah sebenarnya?" 

tanya Ratu Pemikat. Wajah perempuan ini 

tampak berubah. Bukan karena Joko terus 

menciuminya melainkan karena dia tidak 

menemukan apa-apa di balik pakaian murid Pen-

deta Sinting.

"Heran. Di mana dia menyimpan kitab itu? 

Apa mungkin kitab sakti disimpan di satu 

tempat? Yang terasa cuma senjata 

pedangnya...."

Masih laksana didorong kekuatan luar


biasa, Joko jawab pertanyaan Ratu Pemikat. 

"Menurut seseorang ada sebuah Kitab Hitam 

yang berisi ilmu luar biasa. Aku harus 

menemukan dan memusnahkan kitab itu. Se-

mentara orang yang tahu beradanya Kitab Hitam 

itu adalah orang yang bergelar Iblis Rangkap 

Jiwa...."

Ratu Pemikat lingkarkan kembali kedua 

tangannya ke pinggang murid Pendeta Sinting. 

Lalu membelai punggungnya seraya berbisik.

"Lalu apa hubungannya dengan orang yang 

kau sebut Cucu Dewa?"

"Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang 

manusia sakti. Dia tidak mungkin begitu saja 

mengatakan di mana beradanya Kitab Hitam. 

Malah tidak mustahil dia akan membunuh siapa 

saja yang menanyakan kitab itu. Hanya ada 

satu orang yang mengetahui kelemahannya.

Dia adalah Cucu Dewa...."

Sepasang mata Ratu Pemikat membelalak. 

Bibirnya tersenyum. "Kalau dia ditugaskan 

mencari sekaligus memusnahkan kitab itu, 

pasti kitab itu lebih hebat dari Kitab Serat 

Biru. Hem.... Tak dapat Kitab Serat Biru 

tidak apa-apa.... Tentu yang ini lebih 

dahsyat.... Aku harus terus mengorek. Ilmu 

'Penyalur Suara' dan rangsangan itu masih 

cukup sebelum dia sadar...."

"Kau tahu di mana orang yang berjuluk 

Cucu Dewa serta Iblis Rangkap Jiwa itu?" 

tanya Ratu Pemikat Seraya angkat kedua 

tangannya lalu sibakkan pakaian bagian 

atasnya hingga sepasang payudaranya terlihat 

jelas tanpa penutup. Sepasang mata murid 

Pendeta Sinting mendelik seperti silau 

melihat payudara putih besar dan padat.


Kepala Joko turun ke bawah. Namun begitu 

sampai di belahan dada Ratu Pemikat, 

perempuan ini tarik tubuhnya seraya berbisik 

pelan. "Katakan dahulu di mana tempat Cucu 

Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...!"

Seakan tidak sabaran, murid Pendeta 

Sinting tarik kedua tangannya yang merangkul 

pinggang Ratu Pemikat, hingga tak ampun lagi 

tubuh Ratu Pemikat terdorong ke depan. 

Dadanya tepat ke wajah murid Pendeta Sinting!

"Aku tidak tahu di mana adanya dua orang 

itu! Justru itulah yang selama ini menjadi 

pikiranku...," ujar Joko tekapkan wajahnya ke 

dada Ratu Pemikat.

"Kau tidak berdusta?" tanya Ratu Pemikat 

meski dia yakin Joko tidak bisa berkata dusta 

sebab dia telah terbius ilmu 'Penyalur 

Suara'.

"Aku bicara apa adanyal" jawab Joko lalu 

kembali benamkan wajahnya.

"Hem.... Sebenarnya aku bisa saja 

membunuhnya saat ini. Tapi aku tidak akan 

melakukan hal itu. Aku akan membunuhnya 

setelah dia berhasil mendapatkan Kitab Hitam 

itu karena siapa tahu aku gagal menemukan 

Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...," kata 

Ratu Pemikat dalam hati. Perempuan ini angkat 

tangan kirinya. Kejap lain tangan itu 

bergerak mengelus tengkuk murid Pendeta 

Sinting.

Bersamaan dengan itu Pendekar 131 

rasakan kedua lututnya goyah. Kepalanya 

laksana diputar-putar. Saat lain 

pemandangannya menghitam. Ketika Ratu Pemikat 

tarik pulang tangan kirinya, sosok Joko 

melorot jatuh.


Ratu Pemikat tertawa panjang. Dengan 

cepat dia bergerak jongkok. Lantas memeriksa 

jalan pernapasan Joko. Setelah merasa pasti 

bahwa Joko dalam keadaan tidak sadar maka 

kedua tangannya membuka pakaian yang 

dikenakan murid Pendeta Sinting.

Perempuan berwajah cantik bertubuh 

bahenol itu menarik napas panjang. "Kitab itu 

memang tidak dibawa. Tentu disimpan di satu 

tempat. Hem.... Tapi aku tidak begitu kecewa. 

Kitab Hitam pasti lebih hebat dari Kitab 

Serat Biru...," kata Ratu Pemikat berujar 

pada diri sendiri. Sepasang matanya 

memandangi sekujurtubuh murid Pendeta 

Sinting. Matanya lalu menumbuk pada Pedang 

Tumpul 131. Tangannya bergerak menjulur, tapi 

tiba-tiba diurungkan. "Sementara ini aku 

harus menunjukkan sikap baik padanya. Lagi 

pula dia tidak akan ingat apa yang dilakukan 

dan diucapkan...."

Sekali lagi Ratu Pemikat menghela napas. 

Lalu kedua tangannya kembali menjulur ke arah 

sosok murid Pendeta Sinting. Bukan untuk 

mengambil Pedang Tumpul 131 melainkan membuka 

pakaiannya!

"Sebenarnya sayang menyia-nyiakan 

kesempatan bagus ini. Dia seorang pemuda 

tampan dan berotot. Tapi ilmu 'Penyalur 

Suara' dan bius rangsangsn itu akan buyar 

kalau aku ikut terangsang.... Sial betul 

nasibku. Aku bisa membuat orang terangsang 

dan mengucapkan apa yang kutanya tanpa sadar 

tapi pantangannya aku harus tidak boleh 

hanyut dalam rangsangan itu! Gila betul! 

Padahal aku sudah hampir gila menahan 

keinginan itu! Tapi ah.... Semuanya akan


segera selesai kalau aku telah mendapatkan 

apa yang kuinginkan...."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat 

dekatkan wajahnya ke wajah murid Pendeta 

Sinting. Bibir Joko diciumnya namun tubuh 

perempuan cantik ini terlihat bergetar keras 

coba menahan agar dirinya tidak terangsang!

Ratu Pemikat bergerak bangkit seraya 

rapikan pakaiannya. Memandang sejurus pada 

sosok murid Pendeta Sinting, lalu sembari 

menarik napas panjang dia meninggalkan tempat 

itu.

* * *


SEMBILAN



Ketika malam hampir berujung dan udara 

dini hari dingin menusuk tulang, sosok murid 

Pendeta Sinting yang tampak basah tersiram 

embun dini hari terlihat bergerak menggeliat 

Dari mulutnya terdengar keluhan pendek. 

Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya 

membuka. Sejenak dia mengerjap. Setelah 

terbiasa dengan suasana dia edarkan pandang-

annya berkeliling. Tidak ada orang lain di 

situ.

"Apa yang terjadi dengan diriku?" desis 

Joko dengan kening berkerut seolah hendak 

mengingat apa yang dialaminya. "Aku jumpa 

dengan Ratu Pemikat lalu sepertinya aku 

menciumi wajahnya. Setelah itu.... Aku tidak 

ingat lagi!"

Murid Pendeta Sinting sekali lagi 

arahkan pandangannya berkeliling. "Kemana


dia? Jangan-jangan dia sembunyi...." Joko 

bergerak bangkit. Namun mendadak dia tercekat 

dan buru-buru urungkan niat untuk bangkit 

berdiri. Wajahnya kontan berubah merah padam. 

Dadanya berdebar. "Apa yang kulakukan? Aku... 

aku telanjang!"

Dengan dada masih dipenuhi berbagai 

tanya dia cepat mengenakan pakaiannya. Kejap 

lain dia berkelebat berkeliling di sekitar 

tempat itu. Namun dia tidak menemukan Ratu 

Pemikat.

"Astaga! Kenapa aku sampai berbuat...." 

Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia duduk

terpekur seraya mengingat-ingat. Namun

bagaimanapun dia coba pusatkan pikiran untuk 

mengingat, dia gagal.

"Ah.... Apa yang harus kukatakan jika 

suatu saat kelak jumpa dengannya? Namun 

tampaknya dia benar-benar telah berubah. 

Seandainya mau dia mudah saja mengambil 

pedangku bahkan membunuhku! Tapi anehnya 

mengapa aku tidak ingat apa-apa lagi? Apakah 

karena...."

Sekonyong-konyong di tempat itu 

terdengar suara orang tertawa bergelak. Joko 

putuskan membatinnya. Laksana disentak setan 

kepalanya berpaling ke arah datangnya suara 

tawa. "Jangan-jangan perbuatanku tadi diintip 

orang! Wah, bisa celaka! Di mana mukaku mau 

kutaruh? Sialan betul!'

Sejarak tiga tombak dari tempatnya 

duduk, tampak satu sosok besar duduk 

memunggungi. Kepalanya tidak kelihatan karena 

orang ini sengaja sembunyikan kepalanya 

dengan merunduk.

Murid Pendeta Sinting beranjak bangkit


lalu melangkah dengan sikap waspada. Karena 

keadaan masih agak gelap, Joko tidak bisa 

melihat warna pakaian orang. Yang jelas 

terlihat orang itu bertubuh besar hingga 

kalau tidak perdengarkan suara tawa, orang 

pasti akan menduga sosok itu adalah bongkahan 

batu.

Mungkin karena khawatir, Joko hentikan 

langkah agak jauh lalu berkata.

"Dini hari begini, apa yang kau lakukan 

di situ?" Pertanyaan murid Pendeta Sinting 

jelas ingin menyelidik keberadaan orang. Dia 

agaknya masih merasa waswas kalau orang itu 

mengetahui apa yang diperbuatnya dengan Ratu 

Pemikat.

Orang yang ditanya tidak segera 

menjawab, sebaliknya tertawa panjang membuat 

Joko tidak enak. Paras wajahnya sudah berubah 

merah padam dan tegang.

"Kau manusia atau sebangsa hantu?" tanya 

Joko karena sudah merasa kebingungan tak tahu 

apa yang harus ditanyakan.

Kembali orang yang ditanya hanya 

menjawab dengan kekehan tawa. Tapi sesaat 

kemudian terdengar suaranya. Meski begitu 

kepalanya masih dibenamkan.

"Mana ada hantu yang bisa tertawa 

cekakakan? Dan biasanya hantu yang 

menampakkan diri pada seorang pemuda adalah 

hantu wanita cantik bertubuh sintal. Aku 

memang sintal, tapi jauh dari cantik!" Habis 

berkata, kembali orang ini tertawa bergelak.

Kaki murid Pendeta Sinting tersurut. 

Sepasang matanya memandang tak berkesip. 

Wajahnya makin me-negang. "Jangan-jangan dia 

tahu apa yang baru saja kulakukan! Benar


benar sial!" ujarnya dalam hati lalu berkata.

"Kalau kau sebangsa manusia mengapa 

takut tampakkan wajah?"

"Aku bukannya takut, tapi terus terang 

aku merasa malu! Apa kau sudah selesai dengan 

pekerjaanmu?"

Pertanyaan orang membuat Joko makin 

penasaran. Cepat dia balik bertanya.

"Kau tahu aku melakukan pekerjaan apa?!"

"Aku malu mengatakannya! Jawab saja 

selesai apa belum?!"

Mungkin untuk mempercepat urusan, Joko 

buka mulut menjawab.

"Aku sudah selesai! Apa sekarang kau 

masih merasa malu menunjukkan muka?"

Joko tidak tahu kapan orang itu baiikkan 

tubuh. Yang jelas orang itu telah menghadap 

ke arahnya dengan kepala sedikit didongakkan. 

Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia 

lanjut. Rambutnya putih di-sanggul ke atas. 

Sepasang matanya hanya kelihatan putih, 

pertanda jika orang tua ini buta. Pada 

pinggangnya yang besar tampak melilit sebuah 

ikat pinggang besar yang di tengahnya 

terlihat sebuah benda berkilat berbentuk 

bundar.

"Gendeng Panuntun!' seru Joko dengan 

suara bergetar. Kakinya serentak tersurut 

satu tindak. Raut mukanya makin tegang. 

Mulutnya seketika mengancing rapat. Sepasang 

matanya mendelik besar.

Orang bertubuh besar berikat pinggang 

besar yang di bawah perutnya tampak sebuah 

benda bundar berkilat yang tidak lain adalah 

sebuah cermin gerakkan kedua tangannya 

mengusap cerminnya lalu berkata.


"Syukur kau masih mengenaliku, Anak 

Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."

Setelah agak lama terdiam dan dapat 

kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah 

maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan 

raut wajahnya namun jelas wajahnya masih 

menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini 

dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya 

yang bukan lain memang Gendeng Panuntun se-

orang tokoh rimba persilatan yang memiliki 

ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan 

menebak orang meski matanya buta.

"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata 

Joko sengaja alihkan pembicaraan.

Gendeng Panuntun usap cerminnya. 

Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu 

berkata.

"Urusanmu adalah urusan besar, Joko. 

Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa 

memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa, 

keteranganku pasti sama dengan apa yang 

pernah kau dengar!"

Pendekar 131 sedikit merasa lega karena 

Gendeng Panuntun segera menyambuti 

pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu 

berkata lagi.

"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit 

keterangan yang kuperoleh!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya. 

"Barang hitam layaknya kau tanyakan pada 

orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam 

meski tidak putih mulus!"

"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang 

yang kini sedang kucari!"

"Hem.... Orang perempuan apa laki-laki?"

"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia


"Syukur kau masih mengenaliku, Anak 

Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."

Setelah agak lama terdiam dan dapat 

kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah 

maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan 

raut wajahnya namun jelas wajahnya masih 

menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini 

dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya 

yang bukan lain memang Gendeng Panuntun se-

orang tokoh rimba persilatan yang memiliki 

ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan 

menebak orang meski matanya buta.

"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata 

Joko sengaja alihkan pembicaraan.

Gendeng Panuntun usap cerminnya. 

Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu 

berkata.

"Urusanmu adalah urusan besar, Joko. 

Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa 

memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa, 

keteranganku pasti sama dengan apa yang 

pernah kau dengar!"

Pendekar 131 sedikit merasa lega karena 

Gendeng Panuntun segera menyambuti 

pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu 

berkata lagi.

"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit 

keterangan yang kuperoleh!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya. 

"Barang hitam layaknya kau tanyakan pada 

orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam 

meski tidak putih mulus!"

"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang 

yang kini sedang kucari!"

"Hem.... Orang perempuan apa laki-laki?"

"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia


bernama Cucu Dewa Menurut keterangan yang 

kuperoleh, meski dia dari golongan hitam 

namun kadangkala berpihak pada orang putih. 

Jadi pasti kau dapat mengetahuinya!"

Gendeng Panuntun usap cerminnya sebelum 

akhirnya berkata.

"Aku melihat kuil di arah matahari 

muncul. Di hadapannya terbentang hamparan air 

bergelombang besar...." Gendeng Panuntun 

hentikan ucapannya lalu hadapkan kepalanya 

lurus ke arah Pendekar 131.

"Arah matahari muncul... berarti arah 

timur. Bentangan air bergelombang besar.... 

Jangan-jangan aku harus menuju pantai sebelah 

timur! Hem...." Joko berpikir apa yang baru 

saja diucapkan Gendeng Panuntun.

"Hanya itu mungkin yang bisa kukatakan 

padamu, Anak Muda! Soal apa maknanya tentu 

kau sendiri yang mengartikannya!"

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun 

bangkit. "Kalau kau sudah bisa menebak, lebih

cepat bergerak kukira lebih baik. Karena 

kurasa saat ini bukan hanya kau saja yang 

sedang menyelidik. Gadis cantik berjubah 

merah serta perempuan bertubuh sintal juga 

sedang mencari keterangan untuk ke sana. Lalu 

ada seorang lagi...."

Wajah Joko kembali merah padam. 

"Bagaimana mungkin Ratu Pemikat tahu urusan 

ini? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa 

padanya!" kata Joko dalam hati seraya 

pandangi lekat-lekat paras Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau harus 

waspada pada setiap orang! Di sebelah barat 

sana kurasa ada sebuah sungai. Cepatlah kau 

ke sana! Basuh mukamu berulang kali...."


"Kek! Aku tidak mengerti maksudmu...."

"Mendekatlah kemari...."

Meski dengan benak masih bertanya-tanya, 

Joko lakukan apa yang dikatakan Gendeng 

Panuntun.

"Bungkukkan sedikit tubuhmu dan hadapkan 

wajahmu di cermin ini!" kata Gendeng Panuntun 

begitu murid Pendeta Sinting telah tegak di 

hadapannya.

Meski masih tidak mengerti dengan maksud 

si orang tua, Joko bungkukkan tubuh dan 

hadapkan wajahnya berkaca pada cermin yang 

berada di perut Gendeng Panuntun. Meski saat 

itu matahari belum muncul, anehnya Joko 

dengan jelas dapat berkaca.

Begitu kaca bundar itu pantulkan 

wajahnya, serentak Joko tercekat. Tampangnya 

berubah. Laksana kilat kedua tangannya 

bergerak mengusap beberapa warna merah yang 

belepotan di wajahnya.

"Sial! Ini pasti pewarna di bibir Ratu 

Pemikat!" gumam Joko seraya menarik wajahnya 

dari hadapan cermin Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tertawa panjang. 

"Kurasa masih belum cukup, Anak Muda. Tubuhmu 

masih bau perempuan!"

Selesai berucap begitu kembali Gendeng 

Panuntun tertawa panjang. Murid Pendeta 

Sinting tarik bagian bawah pakaian atasnya 

lalu diusap-usapkan pada wajahnya.

Mendadak suara tawa Gendeng Panuntun 

terputus laksana direnggut setan. Pendekar 

Pedang Tumpul 131 palingkan kepala. Ternyata 

sosok Gendeng Panuntun tak ada lagi di tempat 

itu. Joko arahkan kepalanya jauh ke sebelah 

kanan. Samar-samar terlihat sosok Gendeng


Panuntun melangkah perlahan jauh di sebelah 

depan sana.

Murid Pendeta Sinting mendongak. Di ufuk 

sebelah timur cahaya kekuningan telah 

menyemaraki hamparan langit.

"Daripada ditertawai orang, memang lebih 

baik aku mencari sungai dan mandi! Syukur-

syukur kalau di sana kutemui lagi gadis 

sedang mandi!"

* * *


SEPULUH



Hanya memerlukan perjalanan dua hari dua 

malam Gumara alias Malaikat Penggali Kubur 

sampai di Dusun Sumbersuko. Pemuda murid Bayu 

Bajra ini segera teruskan perjalanan ke arah 

timur, di mana dari Dusun Sumbersuko julangan 

bukit yang diyakininya adalah Bukit 

Selamangleng telah terlihat.

Namun begitu, Malaikat Penggali Kubur 

tidak segera langsung menuju ke arah bukit. 

Dia sadar, dalam urusan besar ini dia harus 

bertindak waspada. Setiap langkah telah 

diperhitungkan dengan matang. Dia sengaja 

menempuh jalan berputar. Begitu berada di se-

belah utara bukit dan setelah menyiasati 

keadaan, pemuda ini segera bergerak cepat 

mendaki bukit.

Saat mendaki pun Malaikat Penggali Kubur 

tetap waspada. Sesekali dia menyelinap ke 

balik pohon dan ranggasan semak belukar. 

Sepasang matanya liar memandang berkeliling 

dan ke bawah. Setelah merasa aman baru dia 

teruskan perjalanan mendaki.


Ketika sepasang kakinya menginjak puncak 

bukit, dia cepat edarkan pandangannya 

berkeliling. Kedua tangannya digerak-gerakkan 

siap lakukan pukulan. Namun kedua tangannya 

segera diluruhkan saat menyadari di puncak 

bukit tidak ada orang lain.

Malaikat Penggali Kubur tidak begitu 

langsung percaya dengan perasaannya. Dia 

berkelebat mengitari puncak bukit. Sesekali 

kepalanya mendongak menembusi rindang daun 

pohon yang ada di situ.

Setelah agak lama dia memang tidak 

menemukan orang, pemuda ini mondar-mandir di 

puncak bukit dengan wajah membesi. Rahangnya 

menggembung. Urat-urat lehernya bersembulan 

keluar pertanda dadanya dirasuki hawa amarah.

"Keparat betul! Jangan-jangan ucapan 

guru omong kosong belaka! Jangankan orang, 

bekasnya pun tidak ada di tempat ini! Padahal 

aku yakin ini Bukit Selamangleng! Dasar tua 

bangka yang percaya pada mimpi!"

Meski dia menyumpah-nyumpah begitu, 

namun sepasang matanya terus mengawasi 

keadaan sekeliling. Malah tak jarang sepasang 

kakinya menghentak-hentak di atas tanah 

dengan harapan siapa tahu orang yang dicari 

memiliki tindak tanduk aneh dengan bertempat 

di dalam tanah.

Namun sejauh ini apa yang dilakukan 

tidak membawa hasil, membuat wajahnya makin 

membesi. "Jahanam! Gara-gara menuruti mimpi 

gila, semadiku selama lima purnama sia-sia! 

Atau jangan-jangan Guru hanya mengarang 

cerita padahal sebenarnya dia tidak ingin aku 

menguasai ilmu 'Pelebur Urat'! Sialan benar! 

Aku telah ditipu! Akan ku...."


Laksana dicabut setan, Malaikat Penggali 

Kubur putuskan gumamannya. Sepasang matanya 

mendelik angker. Mulutnya menganga.

Sejarak tujuh langkah dari tempatnya 

berdiri, sebuah batu agak besar terlihat 

bergerak-gerak keluarkan suara berkeretakan. 

Saat lain batu itu terangkat. Lalu tampaklah 

sebuah tangan hitam. Namun bukan tangan itu 

yang membuat Maiaikat Penggali Kubur makin 

terbeliak. Ternyata terangkatnya batu besar 

itu hanya dengan telunjuk!

Belum lenyap rasa kejutnya, telunjuk 

yang menopang batu bergerak. 

Blaarrr!

Batu itu serta merta hancur berantakan. 

Sosok Malaikat Penggali Kubur tersurut satu 

tindak. Tubuhnya bergetar. Belum sempat dia 

kuasai diri, tanah pijakan-nya bergetar 

keras.

Byaarrr!

Tanah di bawah mana tadi batu berada 

muncrat ke udara. Puncak Bukit Selamangleng 

laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Malaikat 

Penggali Kubur ter-jengkang. Namun pemuda ini 

tetap waspada. Dia tidak berani pejamkan 

mata. Malah cepat salurkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya lalu bergerak bangkit.

Bersamaan dengan muncratnya tanah, satu 

sosok tubuh melesat dari dalam tanah. Kejap 

lain di hadapan Malaikat Penggali Kubur telah 

tegak satu sosok tubuh seraya perdengarkan 

tawa bergelak keras.

Tahu isyarat bahaya, Malaikat Penggali 

Kubur cepat tutup pendengarannya dengan 

salurkan hawa murni. Anehnya suara tawa orang 

yang kini tegak di hadapannya tetap terngiang


keras menusuk gendang telinga! Pertanda siapa 

pun adanya orang itu pasti memiliki tenaga 

dalam luar biasa.

Mungkin tak dapat kuasai rasa sakit pada 

pendengarannya, Malaikat Penggali Kubur 

angkat kedua tangannya untuk menutup kedua 

telinganya. Dan dengan beranikan diri, dia 

menatap lekat-lekat pada orang yang tertawa.

Dia adalah seorang laki-laki berwajah 

amat cekung. Malah raut wajahnya hanya 

terdiri dari tulang-tulang tanpa daging. 

Sepasang matanya besar menjorok keluar. 

Mulutnya lebar dengan kepala tanpa ditumbuhi 

rambut. Pakaiannya compang-camping dan 

dilumuri bercak-bercak tanah.

"Apakah.... Siapakah kau?!" tanya 

Malaikat Penggali Kubur dengan suara laksana 

tercekat di tenggorokan.

Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur 

putuskan tawanya. Sepasang matanya yang besar 

berputar liar. Mulutnya membuka. Suara keras.

"Tak ada jawaban yang bakal kau peroleh 

kecuali kematian!"

Habis berkata begitu, laki-laki yang 

keluar dari dalam tanah bantingkan kaki 

kanannya.

Malaikat Penggali Kubur tersentak. 

Sosoknya langsung mencelat ke udara! Lalu 

jatuh bergedebukan di atas tanah puncak bukit 

dengart perdengarkan erangan pelan.

"Mimpi Bayu Bajra benar-benar terbukti! 

Tapi kalau begini kenyataan yang kudapat 

lebih baik aku tidak kemari! Ancaman manusia 

ini tampaknya tidak main-main! Daripada mati 

konyol, padahal dendamku pada Pendekar 131 

belum lunas. Lebih baik...." Sepasang mata


Malaikat Penggali Kubur memandang 

berkeliling. Diam-diam dia kerahkan segenap 

ilmu peringan tubuhnnya. Kejap lain dia 

bergerak bangkit lalu berkelebat menuruni 

bukit.

"Kau kira dapat lolos dari kematian, 

hah?!" kata laki-laki dari dalam tanah. 

Tangan kanannya bergerak ke belakang.

Di depan sana sosok Malaikat Penggali 

Kubur yang berkelebat hendak menuruni bukit 

laksana ditarik kekuatan dahsyat. Sosoknya 

kini berkelebat lebih cepat. Bukan turun ke 

bawah melainkan ke tempat mana laki-laki dari 

dalam tanah tegak berdiri.

Bukkkk!

Tubuh Malaikat Penggali Kubur terkapar 

tepat di kaki laki-laki dari dalam tanah. 

Tangan kiri laki-laki terangkat ke atas. 

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur 

terbelalak. Kalau bantingan kakinya mampu 

membuat tubuhnya mencelat, Malaikat Penggali 

Kubur bisa membayangkan bagaimana kalau 

tangan laki-laki ini menghantam.

Berpikir sampai di situ akhirnya 

Malaikat Penggali Kubur hanya bisa berteriak 

seraya silangkan kedua tangannya di atas 

kepala meski dia tidak percaya apa yang 

dilakukan dapat menyelamatkan nyawanya.

"Aku kecewa menuruti mimpi gila itu!" 

kata Malaikat Penggali Kubur dengan beliakkan 

sepasang matanya menunggu kematian.

Mendadak laki-laki di atasnya tarik 

pulang tangan kirinya yang tadi siap 

lancarkan pukulan.

Dari balik kedua tangannya yang 

menyilang, Malaikat Penggali Kubur kernyitkan


kening. Kalau tadi dia sudah merasa darahnya 

laksana sirap dan nyawanya sudah pulang, kini

wajah si pemuda tampak berubah meski 

ketegangan masih tergurat.

"Mengapa dia urungkan niat membunuhku? 

Apa karena ucapanku tadi? Atau jangan-jangan 

dia hanya menunda kematianku..."

"Katakan padaku, bagaimana mimpimu!" 

Tiba-tiba laki-laki dari daiam tanah ajukan 

tanya. Sepasang matanya yang besar tak 

berkesip menatap.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tertegun. 

Seakan tidak percaya akan apa yang didengar, 

untuk beberapa lama dia terdiam tidak segera 

menjawab.

"Kau tidak tuli. Lekas jawab 

pertanyaanku!" hardik si laki-laki.

"Aku.... Bukan aku yang bermimpi. Tapi 

guruku!"

"Aku tanya bagaimana mimpi itu! Tidak 

peduli setan atau manusia yang bermimpi!"

Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan 

bergerak duduk. Lalu berkata. Suaranya 

bergetar. Malah dia tidak berani membalas 

pandangan orang.

"Dia bermimpi didatangi seorang berjubah 

panjang sebatas mata kaki. Orang itu sebut-

sebut namaku dan sebut Bukit Selamangleng. 

Setelah itu dia laksana mencebur ke satu 

tempat yang dalam...."

"Hem.... Siapa namamu?!"

"Malaikat Penggali Kubur!"

Tulang laki-laki dari dalam tanah di 

seluruh wajahnya bergerak-gerak. Sepasang 

matanya makin melotot. "Kau jangan berkata 

dusta!"


Seakan tahu apa yang dimaksud orang, 

buru-buru Malaikat Penggali Kubur menyahut. 

"Namaku sebenarnya Gumara...."

"Berdiri! Cepat!" sentak si laki-laki.

Gumara alias Malaikat Penggali Kubur 

beringsut bangkit dengan tubuh masih 

bergetar. Dadanya dibuncah dengan berbagai 

tanya akan keanehan si laki-laki.

"Dengar, Gumara! Kau manusia beruntung. 

Kaulah manusia yang dinantikan! Turunlah ke 

bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah 

jurang. Lakukan seperti yang terlihat dalam 

mimpi!"

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur 

terbelalak. Hampir tak percaya dengan apa 

yang didengar dia bergumam. "Aku...?!"

"Kalau kau bertanya lagi, jawabanmu 

adalah kematian! Kau mengerti?!"

Malaikat Penggali Kubur anggukkan 

kepala. Sebenarnya dia hendak bertanya siapa 

adanya laki-laki di hadapannya. Namun ingat 

akan ancaman orang pada akhirnya dia hanya 

bisa pandangi laki-laki di depannya dengan 

mulut terkancing.

"Kau tunggu apa lagi?!"

"Boleh aku tahu siapa kau...?!" akhirnya 

Malaikat Penggali Kubur beranikan diri ajukan 

tanya setelah ta-bahkan hati. Dia sengaja 

ajukan tanya karena sebenarnya dia masih 

sangsi dengan ucapan orang. Dia khawatir 

kalau laki-laki itu hanya hendak 

menjerumuskan dirinya. Karena ucapannya 

mengisyaratkan bahwa dirinya harus terjun 

masuk ke dalam jurang.

Sesaat sepasang mata laki-laki dari 

dalam tanah mendelik. Namun saat lain


mulutnya membuka.

"Rimba persilatan menggelariku iblis 

Rangkap Jiwa. Akulah gerbang yang harus 

dilalui bagi orang yang ditentukan untuk 

mewarisi Kitab Hitam itu! Mimpi dan namamu 

telah menunjukkan bahwa kaulah orang yang 

ditunggu!"

Mendengar ucapan laki-laki yang sebutkan 

diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat 

Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Bibirnya 

sunggingkan senyum. Sepasang matanya 

berbinar.

"Aku akan menuju tempat yang kau 

tunjuk...," ucap Malaikat Penggaii Kubur lalu 

pemuda murid Bayu Bajra ini melangkah 

menuruni bukit.

Iblis Rangkap Jiwa pandangi sosok 

Malaikat Penggali Kubur dengan senyum 

seringai. Kepalanya mengangguk. Saat lain 

sosoknya melesat dan hinggap di sebuah cabang 

pohon dengan mata tak berkesip mengikuti 

sosok Malaikat Penggali Kubur.

11

Malaikat Penggali Kubur tidak kesulitan 

ke tempat yang ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa. 

Dia menemukan sebuah jurang di sebelah utara 

Bukit Selamangleng.

"Hem.... Kalau benar apa yang dikatakan 

Iblis Rangkap Jiwa dan aku benar-benar 

berhasil mendapatkan Kitab Hitam yang 

dikatakannya, tak ada salahnya kelak dia 

kujadikan sebagai pembantuku. Dia memiliki 

kesaktian luar biasa. Kalau dia memiliki 

kesaktian begitu dahsyat, pasti Kitab Hitam


itu lebih luar biasa lagi. Aku akan jadi raja 

dunia persilatan!" gumam Malaikat Penggali 

Kubur seraya hentikan langkah di bibir 

jurang. Kepalanya memandang berkeliling. Lalu 

melongok ke bawah.

Mendadak dia bergidik seraya tarik 

pulang kepalanya. "Gila! Jurang ini bukan 

hanya dalam namun juga banyak pohon merambat 

di samping kanan kirinya. Apa mungkin aku 

bisa selamat sampai di bawah? Atau apakah 

mungkin Kitab Hitam itu tersimpan di bawah 

sana...?"

Sesaat Malaikat Penggali Kubur dilanda

kebimbangan. Namun mengingat mimpi gurunya 

serta ucapan Iblis Rangkap Jiwa, kembali 

keberaniannya muncul. Namun ketika kepalanya 

melongok lagi ke bawah, kembali kebimbangan 

menyelimuti dadanya.

"Bagaimana sekarang? Ah.... Mimpi Guru 

sedikit banyak telah jadi kenyataan. Jadi 

tidak mungkin aku salah jalan.... Hanya 

inilah satu-satunya jalan aku dapat menggapai 

cita-citaku. Lebih dari itu hanya dengan ini 

aku dapat melampiaskan dendam pada Pendekar 

Pedang Tumpul 131!"

Ingat begitu tanpa berpikir panjang lagi 

Gumara pejamkan sepasang matanya. Dia 

kerahkan segenap tenaga dalamnya. Sekali 

sentakkan kedua kakinya, sosoknya melayang 

deras masuk ke dalam jurang!

Malaikat Penggali Kubur merasakan 

tubuhnya menerabas ranting-ranting pohon yang 

banyak tumbuh di lamping jurang. Tiba-tiba 

tubuhnya menghantam benda keras dan bersamaan 

itu luncuran tubuhnya terhenti. Pertanda 

bahwa sebenarnya jurang itu tidak terialu da


lam. Hanya karena tertutup ranggasan ranting 

serta pohon di lamping jurang membuat jurang 

itu gelap laksana sangat curam.

Sambil mengeluh pendek, Malaikat 

Penggali Kubur beranjak bangkit. Kalau dari 

bagian atas jurang itu tampak gelap, tidak 

demikian halnya dari bawah. Matahari masih 

mampu menerabas rimbun dedaunan di lamping 

jurang meski keadaan di bawah hanya samar-

samar namun ke mana mata memandang masih 

terlihat jelas.

Di bagian bawah jurang itu ternyata 

hamparan tanah lembab dan di sana-sini banyak 

gundukan batu.

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur 

segera mencari-cari. Baru saja kepalanya 

berpaling. Langkahnya tersurut mundur. Di 

atas salah satu batu terlihat satu sosok 

tubuh. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur 

makin membeliak. Karena ternyata orang yang 

duduk itu mengenakan jubah hitam! Sebagian 

jubah itu menutup batu yang diduduki, 

pertanda jelas seandainya orang itu berdiri, 

maka jubah itu akan sampai betis atau mata 

kakinya.

"Ah.... Impianku benar-benar akan jadi 

kenyataan!" desis Malaikat Penggali Kubur. 

Lalu perhatikan orang berjubah hitam di atas 

batu dengan lebih saksama. Orang ini adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang 

matanya terpejam rapat.

Malaikat Penggali Kubur melangkah 

mendekat dengan dada berdebar dan mata tak 

berkesip. Sejarak lima langkah dia hentikan 

tindakannya. Dia menunggu beberapa saat 

berharap orang berjubah hitam di atas batu


sedikit pun. Dengan tengkuk muiai merinding, 

kembaii tangan Malaikat Penggali Kubur 

menjulur ke kaki orang. Lalu menggoyang-

goyang.

Karena tetap tidak ada sambutan, 

Malaikat Penggali Kubur keraskan goyangan 

tangannya di kaki orang. Sesaat sosok tubuh 

orang di atas batu bergoyang-goyang. Namun 

tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur berseru 

tegang. Sosok orang itu doyong ke kanan. 

Kejap lain sosoknya jatuh ke bawah.


                       SELESAI


PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131

JOKO SABLENG



Segera ikuti kelanjutannya!!!

dalam episode :

TITAH DARI LIANG LAHAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar