Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Pengarang:
Zhaenal Fanani
SATU
MALAIKAT Penggali Kubur tersurut satu tindak
dengan sepasang mata mendelik tak berkesip dan mu-
lut menganga namun tak perdengarkan suara. Paras-
nya berubah dengan tengkuk dingin.
Untuk beberapa saat dia hanya dapat pandangi so-
sok berjubah hitam yang kini melingkar tak bergerak-
gerak dua langkah di hadapannya. Dadanya berdebar
keras. Sekujur tubuhnya bergetar.
"Siapa manusia ini?!" tanya Malaikat Penggali Ku-
bur dalam hati setelah dapat kuasai rasa kejutnya.
"Berjubah hitam panjang.... Jangan-jangan manusia
ini yang dilihat dalam mimpi Guru. Tapi... dia sudah
tewas!" sekali lagi Malaikat Penggali Kubur pandangi
sosok berjubah hitam yang tadi duduk bersila di atas
batu dan kini melingkar di atas tanah.
"Ada keanehan...," desis Malaikat Penggali Kubur
dengan kepala berputar dan sepasang mata pandangi
berkeliling sebelum akhirnya kembali ke sosok tak ber-
gerak di hadapannya. "Jubah dan sekujur tubuhnya
sudah berlumut. Berarti dia sudah lama mati! Tapi aku
tidak membaui bau bangkai. Anggota tubuhnya pun
tidak rusak.... Mimpi Guru benar-benar bukan hanya
kembang tidur! Dan petunjuk orang yang menamakan
Iblis Rangkap Jiwa benar adanya.... Jadi manusia in-
ilah yang kucari!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan
kepala dengan bibir tersenyum. "Guru mengatakan
orang ini membuka jubahnya di bagian dada. Lalu
tampak sebuah kitab... Pemuda murid Bayu Bajra In-
gat akan ucapan gurunya beberapa saat yang lalu.
Ingat akan hal Itu, cepat Malaikat Penggali Kubur
melangkah satu tindak lalu Jongkok dengan kedua
tangan bergerak ka arah Jubah bagian atas orang tua
yang melingkar tak bergerak. Namun gerakan kedua
tangan Malaikat Penggali Kubur tertahan. Dahinya
berkerut dengan mata menatap tajam. Bukan meman-
dang pada sosok dl hadapannya melainkan pada ba-
gian samping batu di mana tadi orang tua berjubah
duduk.
Waktu orang tua berjubah hitam panjang tadi du-
duk dl atas batu, bagian samping batu memang tidak
kelihatan karena tertutup jubah hitamnya yang pan-
jang. Setelah orang tua itu jatuh, kini tampaklah ba-
gian samping batu itu.
Ternyata di bagian samping batu itu ada rangkaian
tulisan. Sesaat Malaikat Penggali Kubur perhatikan
rangkaian tulisan itu dengan mata menyipit. Karena
ternyata rangkaian tulisan itu ditulis dengan darah!
Malaikat Penggali Kubur pandangi rangkaian tuli-
san lalu beralih pada sosok di hadapannya. Kejap lain
dia arahkan kembali pandangannya pada rangkaian,
tulisan lalu membaca dengan mulut bergetar.
Pesan bagi anak manusia yang menemukan diriku.
Kau akan mendapatkan sebuah karya luar biasa
dahsyat dalam tubuhku.
Setelah kau dapatkan karya itu, angkat mayatku
dua belas langkah dari tempat ini ke jurusan kanan.
“Karya.... Pasti yang dimaksud adalah...." Malaikat
Penggali Kubur tidak lanjutkan gumaman nya. Seba-
liknya dia segera arahkan pandangannya pada sosok
orang tua berjubah. Kedua tangannya segera bergerak
membuka kancing bagian atas jubah orang.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membe-
sar. Di balik jubah hitam orang yang telah tersingkap,
tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Namun sang
pemuda tidak segera gerakkan tangan untuk mengam-
bil. Sebaliknya memperhatikan sekitar Kitab Hitam
yang terikat di dada orang. .
Di sekitar dada orang tua itu terlihat bercak-bercak
darah mengering. Malah sebagian ada di sampul kitab.
"Heran.... Mulut dan hidungnya tidak mengucur-
kan darah. Demikian pula telinganya. Dari mana darah
itu?” Malaikat Penggali Kubur sibakkan Jubah hitam
orang ke bawah. Namun dia tidak menemukan luka
yang mengucurkan darah.
"Ah.... itu urusan nanti. Yang penting aku telah
menemukan kitab Itu.... Dan aku harus lakukan apa
yang tertera di batu itu. Pasti orang tua ini yang menu-
lis!"
Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur menyentuh
kitab yang terikat di dada orang. Ada hawa dingin
tatkala kedua tangannya menyentuh sampul kitab.
Dengan kedua tangan bergetar. Malaikat Penggali Ku-
bur segera tarik kitab Itu.
Dengan tangan masih bergetar murid Bayu Bajra
ini segera memeriksa kitab bersampul hitam. Pada
sampulnya tidak ada tulisan. Dia coba membuka. Na-
mun dia tersentak kaget. Ternyata bagaimanapun dia
berusaha membuka, lembaran kitab itu laksana leng-
ket dan tidak bisa dibuka.
"Bagaimana aku mempelajari isinya kalau tidak bi-
sa dibuka? Jangan-jangan ini kitab palsu! Tapi.... "Ma-
laikat Penggali Kubur perhatikan lebih seksama lagi.
Karena pada sampulnya ada bercak-bercak darah dan
menduga di balik bercak darah ada tulisan, tangan
kanannya segera mengusap-usap sampul kitab hilang-
kan bercak-bercak darah.
Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar deruan
perlahan. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Menduga
ada orang lain yang lancarkan pukulan, dia cepat seli-
napkan Kitab Hitam ke balik pakaiannya.
Karena sewaktu mengusap sampul kitab mengha-
dap ke atas, mendadak saat itu juga ranggasan daun
dan ranting-ranting yang banyak tumbuh di bagian
lamping jurang laksana dilanda gelombang dahsyat.
Kejap lain Malaikat Penggali Kubur menyaksikan lamp-
ing Jurang bersih rata. Yang terlihat kini adalah serpi-
han-serpihan daun dan ranting yang sejenak bertabur
sebelum akhirnya tersapu angin.
"Aneh.... Apa yang terjadi? Jelas tidak ada orang
yang lancarkan pukulan. Sewaktu aku mengusap
sampul kitab ini tiba-tiba terdengar deruan, lalu ada
gelombang tidak terlihat yang menyapu rata daun dan
ranting di atas sana! Jangan-jangan inilah kedahsya-
tan kitab yang kutemukan! Tapi aku belum percaya
kalau tidak membuktikannya sendiri!"
Malaikat Penggali Kubur putar diri setengah lingka-
ran. Kedua tangannya bergerak mengusap sampul ki-
tab di balik pakaiannya. Saat itu juga terdengar de-
ruan pelan. Tidak ada gelombang angin yang terlihat.
Namun, bersamaan dengan itu batu-batu di hadapan-
nya serta jajaran pohon yang ada laksana disapu ke-
kuatan luar biasa dahsyat.
Batu-batu itu langsung pecah berantakan. Jajaran
pohon berderak tumbang dan langsung menghitam
laksana dipanggang bara api.
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah
tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun se-
saat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pe-
lan.
"Hem.... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa ha-
rus mempelajari isinya.... Benar-benar luar biasa!
Rimba persilatan akan segera guncang. Dan cita-citaku
menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi du-
nia persilatan akan berada di genggamanku!"
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah
tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun se-
saat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pe-
lan.
"Hem.... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa
harus mempelajari isinya... Benar-benar luar biasa!
Rimba persilatan akan segera guncang! Dan cita-citaku
menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi du-
nia persilatan akan berada di genggamanku!"
Malaikat Penggali Kubur tengadah. Terbayang
wajah Pendekar 131 di pelupuk matanya. Mulutnya
menyunggingkan senyum aneh. Lalu berseru. "langkah
mu tidak akan panjang lagi, Pendekar! Kau hanya
tinggal tunggu saat-saat kematian!"
Malaikat Penggali Kubur rapikan letak Kitab
Hitam di balik pakaiannya. Lalu putar diri lagi meng-
hadap sosok orang tua berjubah hitam yang masih me-
lingkar di atas tanah. Saat itulah sepasang matanya
melihat sesuatu menyembul di bawah mana tadi Kitab
hitam berada di dada orang.
Malaikat Penggali Kubur jongkok seraya
memperhatikan. Dia ulurkan tangan mengusap sesua-
tu yang menyembul karena di bagian dada orang ba-
nyak bercak darah.
"Ujung senjata!" desis Malaikat Penggali Kubur
seraya tarik pulang tangannya. "Jadi darah itu karena
senjata yang melukai dadanya...,"
Malaikat Penggali Kubur lepas jubah hitam orang.
Lalu membalikkan tubuhnya. Dia tersentak kaget. Pa-
da bagian punggung orang tua itu tampak menancap
sebuah gagang pedang. Melihat hanya gagangnya yang
kelihatan sementara di bagian dada orang hanya me-
nyembul sedikit jelas kalau pedang itu merupakan pe-
dang kecil.
"Pedang ini menancap dari belakang, pasti ini dila-
kukan orang lain. Jadi orang tua itu tewas terbunuh!
Hem,... Aku harus segera lakukan apa yang tertulis di
batu itu. Bagaimanapun juga orang tua ini telah me-
wariskan sesuatu luar biasa padaku!"
Malaikat Penggali Kubur kenakan kembali jubah
sosok orang tua itu. Lalu perlahan-lahan dia angkat
dan melangkah menghadap ke kanan lalu melangkah
dengan menghitung.
Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, dia
berhenti. Di hadapannya kini tampak sebuah tanah
berlobang sedalam satu setengah tombak berbentuk
persegi panjang sepanjang dua tombak dan lebarnya
satu tombak. Di samping tanah berlobang terlihat
gundukan tanah.
"Benar-benar luar biasa orang ini. Dia telah
siapkan liang lahat untuk dirinya!"
Seakan tahu apa yang harus dilakukan, Malai
kat Penggali Kubur perlahan-lahan melompat turun
memasuki lobang persegi panjang. Perlahan-lahan pu-
la diletakkan sosok orang tua di atas tanah berbentuk
liang lahat itu. Sejenak dia pandangi tubuh si orang
tua. Lalu memandang sekeliling. Saat itulah matanya
melihat dinding tanah di bagian samping laksana dite-
kan-tekan tangan hingga membentuk sebuah tulisan!
Dengan sedikit belalakkan sepasang matanya,
Malaikat Penggali Kubur mulai membaca tulisan di
dinding tanah.
“Terima kasih kau telah lakukan apa yang
kuinginkan, Siapa pun kau adanya, kau kini bukanlah
manusia seperti sebelum kau berhasil menemukanku.
Kau telah menemukan kitab luar biasa sakti. Tapi ada
beberapa hal yang harus kau lakukan. Kau harus me-
musnahkan seluruh anak keturunan bekas seorang
permaisuri bernama Ken Rakasiwi. Kau harus singkir-
kan tokoh-tokoh rimba persilatan hingga kau menjadi
manusia tanpa tanding seperti cita-citaku! Untuk men-
getahui seluruh anak turunan Ken Rakasiwi, pergilah ke
sebuah kuil di pantai timur. Sementara ini kau harus
menyamar. Kalau semuanya sudah jelas, tiba saatnya
bagimu lakukan tugas!
Datuk Kematian
Malaikat Penggali Kubur mengulang dua kali tuli-
san di dinding tanah Liang lahat Lalu berpaling pada
wajah orang tua di hadapannya.
"Datuk Kematian.... Aku akan laksanakan tugas-
mu! Sosok Malaikat Penggali Kubur sedikit membung-
kuk. Kejap lain dia mendongak. Sekali membuat gera-
kan, sosoknya telah berada di atas Liang Lahat.
Sejurus dia arahkan pandangannya berkeliling.
“Aku merasakan perubahan pada diriku. Gerakanku
amat ringan. Hem.... ini pasti karena kitab ini!" gu-
mamnya sambil kedua tangan menyentuh kitab di ba-
lik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya bergerak
menimbun lobang Liang Lahat dengan tanah yang
menggunduk di sekitar liang lahat.
Begitu lobang liang lahat tertutup Malaikat Pengga-
li Kubur menarik napas panjang. Lalu putar diri dan
melangkah ke tempat di mana dia tadi terjatuh.
Kepala Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Ju-
rang ini tidak terlalu dalam. Tapi karena di samping-
nya tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dibuat pegan-
gan terpaksa aku harus naik dengan caraku sendiri...."
Malaikat Penggali Kubur melangkah ke arah samp-
ing jurang. Kembali kepalanya tengadah. Kejap lain dia
sentakkan kedua kakinya ke tanah. Sosoknya melent-
ing ke atas sampai dua tombak. Sebelum tubuhnya
melayang turun lagi, kedua tangan dan kakinya berge-
rak menghantam tanah di samping jurang.
Sebenarnya semula Malaikat Penggali Kubur mera-
sa bimbang akan apa yang hendak dilakukan. Namun
karena percaya pada kitab di balik pakaiannya dia lalu
mencoba.
Bagian lamping jurang adalah tanah gembur kare-
na hanya ditumbuhi pohon-pohon kecil. Sekali sentuh
tanahnya pasti longsor. Hal inilah yang semula menja-
dikan Malaikat Penggali Kubur merasa was-was.
Namun begitu kedua tangan dan kaki Malaikat
Penggali Kubur bergerak menghantam tanah di lamp-
ing jurang untuk menahan agar tubuhnya tidak jatuh,
pemuda ini jadi terkejut sendiri.
Meski kedua tangan dan kakinya kini masuk ke
dalam tanah di lamping jurang hingga tubuhnya
menggantung, tanah di lamping jurang tidak longsor!
Malaikat Penggali Kubur tidak menunggu terlalu
lama. Dia segera tarik pulang kedua tangannya. Se-
mentara kedua kakinya masih masuk ke tanah lamp-
ing jurang. Kedua tangannya lalu diangkat ke atas dan
kembali di hujamkan masuk ke tanah. Kejap lain se-
pasang kakinya ditarik. Lalu diangkat ke atas. Dengan
cara begitu, pada akhirnya Malaikat Penggali Kubur
sampai di bibir jurang.
Ketika bibir jurang telah terlihat, Malaikat Penggali
Kubur gerakkan tangan dan kakinya bersamaan. So-
soknya melenting ke udara melalui bibir jurang.
Wuuuutt
Malaikat Penggali Kubur terkesiap kaget. Begitu
sosoknya melampaui bibir jurang ada satu gelombang
angin menyambar deras ke arahnya. Kalau murid
Bayu Bajra yang kini telah mendapat Kitab Hitam cip-
taan Ageng Barada alias Datuk Kematian tidak segera
gerakkan bahunya, niscaya tubuhnya akan terhantam
gelombang yang tiba-tiba menyambar.
Sebagai pemuda yang bertahun-tahun digembleng
Bayu Bajra, seorang tokoh rimba persilatan yang cu-
kup disegani, Malaikat Penggali Kubur sadar kalau ada
orang lain di tempat itu. Lebih-lebih kini daya penden-
garannya makin tajam karena kitab di balik pakaian-
nya.
Gelombang yang lolos menghantam Malaikat Peng-
gali Kubur terus menerabas sebelum akhirnya meng-
hantam bibir jurang di seberang sana. Di lain pihak,
Malaikat Penggali Kubur cepat putar diri dan berpal-
ing. Sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya
mengembung dengan pelipis bergerak-gerak. Namun
rasa kaget lebih tampak di wajah si pemuda dari pada
rasa geram karena diserang mendadak!
***
DUA
Di hadapan Malaikat Penggali Kubur sejarak sepu-
luh langkah tegak seorang laki-laki yang raut wajahnya
hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditum-
buhi rambut. Sepasang matanya besar menjorok ke-
luar. Laki-laki ini mengenakan pakaian compang-
camping yang dibercaki tanah. Laki-laki yang bukan
lain adalah Iblis Rangkap Jiwa ini sunggingkan se-
nyum seringai. Saat lain kepalanya mendongak. Tangan kanannya bergerak ke depan membuat sikap se-
perti orang meminta. Lalu terdengar suaranya mem-
bentak keras.
"Serahkan Kitab Hitam itu padaku!" Sesaat Malai-
kat Penggali Kubur tercekat. Namun ingat akan kitab
di balik pakaiannya, pemuda murid Bayu Bajra ini ter-
tawa pendek. Dalam hati dia berkata.
"Aneh. Dia yang menunjukkan di mana tempat be-
radanya kitab ini, tapi kenapa dia tiba-tiba hendak
meminta dariku? Dia memiliki kepandaian sangat ting-
gi. Tentunya tidak sulit baginya untuk mengambilnya
sendiri ke dalam jurang. Apalagi dia telah tahu tem-
patnya...."
Seperti diketahui, Gumara alias Malaikat Penggali
Kubur dibangunkan gurunya dari semadi. Gurunya la-
lu menceritakan tentang mimpinya. Malaikat Penggali
Kubur lalu melakukan perjalanan. Di puncak Bukit
Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur berjumpa den-
gan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis
Rangkap Jiwa. Dari laki-laki inilah Malaikat Penggali
Kubur mendapat petunjuk di mana adanya Kitab Hi-
tam. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam
episode: "Warisan Laknat").
Selagi Malaikat Penggali Kubur membatin, Iblis
Rangkap Jiwa perdengarkan suara tawa panjang. Lalu
dia berkata.
"Kau kuberi waktu menimbang. Namun kau hanya.
punya dua pilihan! Pertama. Serahkan Kitab Hitam
dan kau bisa pulang dengan membawa nyawa. Kedua.
Aku mengambil sendiri kitab itu dengan caraku na-
mun sekalian dengan nyawamu!"
Mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat
Penggali Kubur balik perdengarkan tawa panjang. Ma-
lah kini kedua tangannya berkacak pinggang.
Waktu jumpa di puncak Bukit Selamangleng, Ma-
laikat Penggali Kubur memang kecut menghadapi Iblis
Rangkap Jiwa. Malah murid Bayu Bajra ini sempat pa-
srah tewas di tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun kini
Malaikat Penggali Kubur telah membekal kitab dah-
syat.
Dia yakin, bagaimanapun kehebatan ilmu Iblis
Rangkap Jiwa, dia pasti akan tersapu pukulan tak ter-
lihat dari Kitab Hitam. Kepercayaan inilah yang mem-
buat Malaikat Penggali Kubur tidak merasa jera den-
gan ancaman orang.
Di lain pihak, meski Iblis Rangkap Jiwa belum
mengetahui benar bagaimana kedahsyatan Kitab Hi-
tam, namun dari gerakan Malaikat Penggali Kubur
yang telah dapat meloloskan diri dari pukulannya saat
keluar dari bibir jurang membuat laki-laki ini tidak
mau bertindak ayal. Dia jelas telah menangkap adanya
perubahan pada pemuda di hadapannya. Apalagi kini
Malaikat Penggali Kubur berani tertawa panjang sambil
berkacak pinggang. Padahal beberapa saat yang lalu,
pemuda dapat dibuat jatuh bergedebukan hanya den-
gan sentakan kedua kakinya!
Malaikat Penggali Kubur luruskan kepalanya me-
mandang tajam ke dalam bola mata besar Iblis Rang-
kap Jiwa. Setelah menyeringai dia berkata.
"Kau telah menimbang ucapanmu, Manusia Iblis?!
Dengar baik-baik! Kalau kau tawarkan dua pilihan pa-
daku, aku hanya punya satu jalan untukmu!. Ikut ber-
gabung denganku atau mampus saat ini juga!"
Walau merasa terkejut dengan ucapan Malaikat
Penggali Kubur namun Iblis Rangkap Jiwa malah per-
keras suara tawanya. Kejap lain dia berkata.
"Jangan membuat aku berubah pikiran! Atau kau
lebih suka serahkan kitab itu beserta nyawamu sekalian?!"
"Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?!" tanya
Malaikat Penggali Kubur seraya palingkan kepala me-
mandang pada jurusan lain.
Iblis Rangkap Jiwa puaskan tertawa dahulu sebe-
lum berujar.
"Kalau tidak tahu siapa kau, tidak mungkin aku
tunjukkan di mana kitab itu berada!"
"Hem.... Rupanya pengetahuanmu luas juga!" sa-
hut Malaikat Penggali Kubur masih tanpa berpaling.
"Aku tahu banyak siapa kau lebih dari dirimu! Kau
murid tunggal seorang anak manusia bernama Bayu
Bajra! Kau mempunyai dendam berkarat pada anak
manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng dan kawan-kawannya! Lebih dari itu kau
punya lima pusaran rambut di kepala!"
Laksana disentak setan, kepala Malaikat Penggali
Kubur berpaling. Matanya tetapi Iblis Rangkap Jiwa
dari atas hingga bawah. Diam-diam dalam hati ia ber-
kata heran. "Bagaimana dia tahu aku memiliki lima
pusaran rambut di kepala? Padahal...."
Belum sampai Malaikat Penggali Kubur lanjutkan
kata hatinya, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut lagi.
"Kau terkejut. Pertanda ucapanku benar!"
Malaikat Penggali Kubur tidak menyahut. "Orang
ini aneh. Dia punya ilmu tinggi dan tahu dl mana kitab
berada. Namun dia tidak berusaha mengambil sendiri,
malah menunjukkan padaku. Dia juga tahu aku punya
lima pusaran rambut dl kepala padahal aku baru men-
genalnya!. Aku harus tahu semua keanehan ini!"
Berpikir begitu Malaikat Penggali Kubur lalu berka-
ta.
"Aku akan berikan apa yang kau minta. Tapi jawab
dulu pertanyaanku!"
Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak sambil geleng-
gelengkan kepala. "Dengan atau tanpa syarat pun ki-
tab itu harus kau berikan padaku! Tapi aku masih
berbaik hati padamu. Kau mau tanya apa?!"
"Kau punya kepandaian tinggi. Kau juga tahu di
mana Kitab Hitam berada. Kenapa kau tidak mengam-
bilnya sendiri? Lalu dari mana kau tahu aku memiliki
pusaran rambut sebanyak lima buah?!"
"Sebenarnya pertanyaan orang bodoh! Tapi tak
apalah, apa yang menjadi pertanyaanmu akan kuja-
wab!" kata Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek
membuat paras wajah Malaikat Penggali Kubur merah
padam. Namun pemuda ini coba menindih perasaan-
nya.
"Sebuah kitab sakti diciptakan hanya ditentukan
untuk satu orang meski banyak orang berusaha mere-
butnya! Dari semadi yang kulakukan beberapa tahun,
kuketahui bahwa anak manusia yang memiliki pusa-
ran rambut berjumlah lima buah yang dapat mengam-
bil Kitab Hitam itu. Aku juga tahu bahwa anak manu-
sia bernama Gumara yang memiliki pusaran rambut
berjumlah lima!" sejenak Iblis Rangkap Jiwa hentikan
keterangannya. Sementara di hadapannya Malaikat
Penggali Kubur dengarkan dengan saksama.
"Aku memang memiliki kepandaian tinggi dan tahu
di mana beradanya Kitab Hitam itu. Tapi aku bukan
manusia bodoh. Karena bagaimanapun ketinggian il-
mu orang, selain anak manusia yang memiliki pusaran
rambut lima buah maka segala usahanya untuk men-
gambil kitab itu akan sia-sia! Malah dia akan menda-
pat celaka!"
"Mengapa kau percaya saat aku mengatakan na-
maku Gumara padahal kita baru pertama kali berte-
mu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur setelah Iblis
Rangkap Jiwa hentikan keterangannya.
"Saat mengatakan kau dalam keadaan terjepit akan
mampus!. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin
orang berkata dusta! Lebih dari pada itu, kau datang
tepat seperti perhitunganku! Jelas?!"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Kau
masih inginkan kitab itu?!"
"Lagi-lagi pertanyaan bodoh yang kau ucapkan!"
sahut Iblis Rangkap Jiwa. "Ratusan tahun aku me-
nunggu! Hanya manusia kerdil otak yang sia-siakan
kesempatan yang ditunggu selama itu!" Ucapan Iblis
Rangkap Jiwa memang benar adanya. Karena sebe-
narnya orang ini adalah seorang dedengkot rimba per-
silatan yang sudah dikenal kalangan dunia persilatan
pada ratusan tahun yang silam.
Mendengar kata-kata Iblis Rangkap Jiwa, mungkin
karena menduga ucapan Iblis Rangkap Jiwa hanya
mengada-ada, Malaikat Penggali Kubur bukannya naik
pitam meski dadanya bergemuruh. Sebaliknya dia ter-
tawa pendek dan berkata.
"Kalau kau menginginkannya, harap kau suka
mengambilnya sendiri! Kitab Hitam memang berada
padaku! Tapi harus kau ingat. Seperti ucapanmu, se-
buah kitab sakti diciptakan hanya untuk satu orang!
Dan kau telah tahu bahwa aku, Malaikat Penggali Ku-
bur yang ditentukan berjodoh memilikinya!"
"Hem.... Jadi kau telah bergelar Malaikat Penggali
Kubur! Bagus, itu satu isyarat bahwa kau telah meng-
gali kuburmu sendiri!"
"Dengar, Manusia Iblis!" hardik Malaikat Penggali
Kubur. "Gumara telah lama menyandang gelar Malai-
kat Penggali Kubur!"
"Kau boleh menyandang gelar apa pun dan sejak
kapan pun! Tapi jangan harap Iblis Rangkap Jiwa akan
takut mendengarnya!" Habis berkata begitu, Iblis
Rangkap Jiwa tertawa bergelak.
"Terserah kau takut apa tidak dengan gelaranku.
Yang pasti kau kini sedang berhadapan dengan manu-
sia yang telah berjodoh dengan Kitab Hitam!"
"Ternyata kau bukan hanya tolol tapi juga tuli. Aku
tadi berkata, anak manusia yang memiliki lima buah
pusaran rambut yang dapat mengambil kitab itu! Jadi
kau hanya dapat mengambil kitab itu dan bukan be-
rarti kau yang ditentukan mewarisi kitab itu!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa kembali
gerakkan tangan kanan membuat sikap meminta. "Ki-
tab itu! Serahkan baik-baik padaku!"
"Tuanmu ini telah menyuruhmu mengambilnya
sendiri! Perlu ku ulangi lagi?!"
"Baik! Akan kuambil beserta nyawamu sekalian!"
sentak Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu so-
soknya laksana kilat berkelebat ke arah Malaikat
Penggali Kubur.
Belum sempat Malaikat Penggali Kubur membuat
gerakan, kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah me-
nyambar ke arah kepalanya dengan keluarkan suara
berdesir keras! Pertanda sambaran itu telah dialiri te-
naga dalam kuat.
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap,
namun pemuda ini tidak tinggal diam. Dia cepat ang-
kat kedua tangannya. Karena sadar siapa adanya
orang yang dihadapi. meski dia telah membekal Kitab
Hitam namun dia tidak berani bertindak ayal. Hampir
segenap tenaga dalamnya dikerahkan.
Desss!
Dua pasang tangan beradu keras. Sosok Malaikat
Penggali Kubur laksana tersapu gelombang luar biasa
dahsyat hingga tubuhnya terdorong deras ke belakang.
Kedua tangannya bergetar dan tampak menggembung
merah. Paras wajahnya berubah pucat. Di hadapan-
nya, Iblis Rangkap Jiwa tidak bergeming sama sekali
malah bibirnya tersenyum menyeringai lalu tertawa
bergelak.
"Kau hanya ditakdirkan sebagai manusia yang da-
pat mengambil kitab itu. Dan akulah orang yang berjo-
doh memilikinya! Tapi semuanya sudah terlambat! Aku
bukan hanya inginkan kitab itu, namun sekalian den-
gan nyawamu!"
Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Mulut-
nya terkancing rapat. Sejurus dia perhatikan kedua
tangannya. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Ke-
dua tangannya diangkat tinggi.
Iblis Rangkap Jiwa hadapi serangan dengan kedua
tangan berkacak pinggang. Dia hanya pandangi lawan
tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah bersamaan
dengan itu dia perdengarkan suara tawa ngakak!
Bukkkk! Bukkkk!
Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telak
menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kepala gun-
dul laki-laki Ini hanya tersentak ke atas. Sementara
Malaikat Penggali Kubur cepat tarik pulang kedua tan-
gannya dengan kaki mundur dua tindak.
Jahanam! Manusia ini ternyata kebal terhadap pu-
kulan!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan rahang
mengembung. Tanpa menunggu lama dia kepalkan ke-
dua tangannya dan sekonyong-konyong dipukulkan ke
depan.
Dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tam-
pak melesat cahaya terang sekejap. Kejap lain terden-
gar deruan dahsyat lalu menggebrak gelombang angin
luar biasa dahsyat. Inilah pertanda kalau murid Bayu
Bajra ini telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'.
Melihat ganasnya pukulan yang kini menggebrak
ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa bukannya mundur dan
membuat gerakan memangkas serangan lawan. Seba-
liknya dia perkeras gelakan tawanya, lalu menyong-
song pukulan lawan dengan maju satu tindak dan tan-
gan masih kacak pinggang!
Desssss!
Pukulan sakti Telaga Surya' yang dilepas Malaikat
Penggali Kubur telak menggebrak sosok Iblis Rangkap
Jiwa. Sesaat tubuh laki-laki berkepala gundul ini
goyah, saat lain sosoknya laksana dihempas gelom-
bang dan terdorong ke belakang sampai satu tombak.
Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung lalu doyong
hendak roboh.
Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum. Ma-
lah dia hendak perdengarkan suara tawa. Namun be-
lum sampai suara tawanya terdengar, senyumnya pu-
tus laksana direnggut setan! Sepasang matanya men-
delik besar dengan mulut menganga. Di hadapannya
Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan aneh.
Begitu sosoknya yang terhantam pukulan sakti
'Telaga Surya' hendak jatuh terjerembab, Iblis Rangkap
Jiwa angkat kaki kanannya lalu diputar. Laksana dita-
han satu kekuatan, mendadak tubuh Iblis Rangkap
Jiwa terhenti. Kaki kanannya yang diangkat serta-
merta dihentakkan di atas tanah,
Tanah di tempat itu bergetar keras. Namun bukan
hal itu yang membuat Malaikat Penggali Kubur bela-
lakkan sepasang matanya. Bersamaan dengan berge-
raknya kaki Iblis Rangkap Jiwa, sosoknya melesat ke
depan dengan tangan dan kaki bergerak masing-
masing lakukan pukulan!
Rupanya Malaikat Penggali Kubur maklum bahaya
sedang mengancam jiwanya. Secepat kilat dia melom-
pat ke belakang. Bersamaan dengan menjejaknya kaki
di atas tanah, kedua tangannya bergerak mengusap ke
bagian perut di mana tersimpan Kitab Hitam.
Terdengar suara deruan perlahan. Mungkin belum
mengetahui bagaimana kedahsyatan kitab ciptaan Da-
tuk Kematian apalagi hanya terdengar deruan perla-
han tanpa terlihatnya cahaya atau gelombang yang
menyambar, Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakannya.
Namun mendadak Iblis Rangkap Jiwa berseru ter-
tahan. Sosoknya laksana ditahan gelombang luar biasa
dahsyat. Belum tahu apa yang terjadi, sosoknya tersa-
pu deras sebelum akhirnya jatuh menekuk di atas ta-
nah dengan mulut kucurkan darah kehitaman. Jelas
kalau laki-laki ini telah terluka dalam.'
Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi
sekujur tubuhnya. Dia serasa masih tak percaya den-
gan apa yang dialaminya. Karena selama malang me-
lintang dalam rimba persilatan sampai dirinya menga-
singkan diri, hanya beberapa orang yang dapat mem-
buat dirinya jatuh di atas tanah.
Kini menghadapi seorang pemuda yang beberapa
saat yang lalu sudah pasrah menunggu kematian di
tangannya, dirinya bukan hanya dibuat jatuh mene-
kuk di atas tanah namun juga telah melukai bagian
dalam tubuhnya! Namun laki-laki ini segera sadar. Hal
ini mungkin masih ada hubungannya dengan kitab
yang ada di tangan si pemuda. Merasa yakin akan hal
itu, keinginannya untuk merebut kitab itu semakin
menggebu. Dia segera kerahkan tenaga dalamnya un-
tuk cepat bergerak bangkit.
Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tercekat sendiri.
Belum sampai dia kerahkan kembali tenaga dalamnya
untuk lakukan serangan, tiba-tiba kedua kakinya
goyah. Meski Iblis Rangkap Jiwa telah kerahkan tenaga
luar dalamnya, namun sia-sia. Kini bukan hanya sepa-
sang kakinya yang goyah, namun sekujur tubuhnya
bergetar keras. Kejap lain sosoknya limbung sebelum
akhirnya jatuh lagi di atas tanah dengan mulut kelua-
rkan seruan tertahan.
Malaikat Penggali Kubur yang sejurus tadi sempat
terlengak melihat lawan masih bisa bergerak bangkit,
buka mulut perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Dengan tangan berkacak pinggang dia melangkah ke
arah jatuhnya Iblis Rangkap Jiwa.
Iblis Rangkap Jiwa sekuat tenaga kerahkan tenaga
dalamnya. Baru saja kedua tangannya teraliri tenaga
dalam. Tiba-tiba orang ini berseru dengan mata men-
delik. Kedua tangannya bergetar keras. Bukan siap la-
kukan pukulan, melainkan orang ini rasakan kedua
tangannya laksana dipanggang bara api!
Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah dua tin-
dak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa. "Hem.... Manusia
Iblis ini kurasa memiliki tenaga luar biasa kuat. Kalau
tidak, mungkin tubuhnya sudah tak berkutik lagi! Aku
tak ingin dia mampus. Aku butuh tenaga orang macam
dial Meski Kitab Hitam telah berada di tanganku, tapi
yang kuhadapi di depan sana bukan satu orang. Aku
percaya kitab ini mampu membuat musuhku tewas
termasuk Pendekar 131, namun kalau tangan orang
lain bisa, kenapa aku bersusah payah?!"
Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur
maju lagi satu tindak. Tengkuk Iblis Rangkap Jiwa te-
rasa dingin. Laki-laki ini buka mulut dengan kepala
diangkat. Namun sebelum suaranya terdengar, kaki
Malaikat Penggali Kubur telah bergerak lakukan ten-
dangan!
Bukkkk!
Sosok iblis Rangkap Jiwa mencelat mental sejauh
satu tombak dan terjengkang di atas tanah dengan
mulut makin banyak kucurkan darah. Malah kini dari
lobang hidungnya juga keluar darah kehitaman!
Iblis Rangkap Jiwa bertahan sekuat tenaga. Perla-
han-lahan dia bergerak bangkit. Namun belum sampai
duduk, satu kaki telah mendorong tubuhnya hingga
sosoknya kembali terjengkang! Kejap lain Malaikat
Penggali Kubur telah gerakkan tubuh sedikit mem-
bungkuk. Tangan kanannya bergerak.
Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Dia
masih coba menghindar namun gerakan tangan Malai-
kat Penggali Kubur lebih cepat. Hingga saat itu juga Ib-
lis Rangkap Jiwa rasakan sekujur anggota tubuhnya
tegang kaku tidak bisa digerakkan!
"Membuat nyawamu putus, bagiku semudah ke-
dipkan mata! Tapi aku ingin melihat bagaimana orang
sekarat! Ha... ha... ha...!" ujar Malaikat Penggali Kubur
dengan dongakkan kepala tanpa memandang.
"Kitab itu sungguh luar biasa dahsyat! Aku harus
tetap hidup dan merebut kitab itu!" Diam-diam Iblis
Rangkap Jiwa membatin. Laki-laki ini buka mulut
meski tanpa bisa gerakkan tubuh karena telah ditotok.
"Harap bebaskan diriku! Apa pun yang kau perin-
tahkan, aku akan melakukannya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Kepalanya
berpaling mendelik angker menatap pada iblis Rang-
kap Jiwa. Ucapan manusia iblis sepertimu mana bisa
dipercaya! Kau dengar tadi ucapanku? Aku ingin meli-
hat bagaimana manusia sekarat!"
“Kau telah memiliki kitab sakti. Kau lihat sendiri,
aku pun tak sanggup melawanmu! Kalau aku tidak
melakukan apa yang kau perintahkan, bukankah tidak
sulit bagimu membunuhku? Lagi pula, kau memendam dendam pada beberapa orang. Dengan bantua-
nku, mungkin semuanya akan lebih cepat selesai!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak menden-
gar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku kini memiliki ke-
kuatan untuk melampiaskan dendam ku!"
"Ucapanmu benar! Tapi kau jangan lupa. Kurasa di
antara musuhmu terdapat beberapa orang yang
mungkin tidak bisa kau kalahkan!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur mengembung be-
sar. Urat lehernya terlihat menggurat Jelas. Sepasang
matanya mendelik makin angker. Pelipis kiri kanannya
bergerak-gerak. Saat lain terdengar suaranya memben-
tak keras.
"Kau tahu apa tentang musuh-musuhku, hah?!
Dan siapa orang yang tidak dapat kukalahkan?! Kitab
sakti telah ada di tanganku! Kau yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi saja dapat kubuat sekarat!"
Meski sudah tidak bisa membuat gerakan dan
hanya dapat buka mulut bersuara, Iblis Rangkap Jiwa
perdengarkan tawa pelan lalu berkata.
"Segala sesuatu ada kelemahannya! Kudengar mu-
suh besarmu Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan
hanya memiliki kitab sakti, namun juga dikelilingi be-
berapa orang yang bukan saja memiliki kepandaian
tinggi namun juga memiliki ilmu aneh! Aku tak dapat
mengatakan siapa dia orangnya tapi aku merasakan
hal itu!"
Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Penggali
Kubur terdiam. Namun saat lain dia telah tertawa ber-
gelak dan berujar.
"Kau tak dapat mengatakan siapa orangnya. Ba-
gaimana mungkin kau tahu orang itu memiliki Ilmu
aneh bahkan tak bisa kukalahkan?!*
"Dunia kita adalah dunia persilatan. Dunia yang
kadang kala tidak masuk di akal namun terjadi. Seka-
rang coba kau terka berapa kira-kira umurku?"
Meski sejenak Malaikat Penggali Kubur enggan
menjawab, namun akhirnya dia angkat bicara. "Dela-
pan puluh tahun! Dan itu usia manusia yang pantas
masuk Liang kubur!"
Mendengar jawaban Malaikat Penggali Kubur, Iblis
Rangkap Jiwa tidak menampakkan raut marah. Seba-
liknya dia tertawa perlahan lalu berkata.
"Perkiraanmu salah jauh. Aku berumur tiga kali li-
pat dari yang kau katakan! Dan nyatanya aku belum
pantas masuk Liang kubur! Inilah salah satu kalau
dunia kita adalah dunia yang kadang kala tidak masuk
akal!"
Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok tak berge-
rak di hadapannya. Sebelum pemuda Ini buka mulut,
Iblis Rangkap Jiwa telah lanjutkan ucapannya. "Aku
telah malang melintang dalam dunia persilatan pada
sezaman nenekmu. Jadi aku lebih banyak tahu dunia
persilatan lebih dari yang kau ketahui!"
"Hem.... Lalu apakah kau merasa mampu mengha-
dapi orang yang kau kira memiliki ilmu aneh itu?!"
Mendengar pertanyaan Malaikat Penggali Kubur,
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Namun je-
las wajahnya berubah. Dia merasa Malaikat Penggali
Kubur tidak akan teruskan niat membunuhnya.
Setelah agak lama, baru Iblis Rangkap Jiwa buka
mulut lagi.
"Aku telah pengalaman menghadapi beberapa
orang tokoh. Jadi sedikit banyak aku dapat memperhi-
tungkan orang yang kuhadapi!”
“Ucapanmu bisa dipercaya?!"
Semua akan kau lihat nanti. Aku memang dari go-
longan sesat, dan aku memiliki tugas memusnahkan
semua orang golongan putih. Bukankah musuh-
musuhmu Juga dari golongan Itu? Jadi sebenarnya ki-
ta memiliki musuh yang sama!"
"Hem.... Begitu? Baiklah. Kau akan kubebaskan.
Tapi ingat! Sekali kau bertindak di luar yang kuperin-
tahkan, nyawamu tidak kuampuni lagi!"
Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Peng-
gali Kubur bergerak bebaskan totokan yang disarang-
kan pada Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu Iblis Rangkap
Jiwa telah dapat gerakkan anggota tubuhnya meski
sangat lemah karena banyaknya darah yang keluar da-
ri mulut dan hidungnya. Seperti diketahui, Iblis Rang-
kap Jiwa bukan hanya dikenal sebagai dedengkot rim-
ba persilatan yang telah berusia ratusan tahun. Na-
mun dia juga dikenal sebagai tokoh yang berkepan-
daian sangat tinggi dan kebal segala pukulan. Hingga
meski gelombang dahsyat tidak kelihatan yang keluar
dari kitab di balik dada Malaikat Penggali Kubur
menghantamnya, Iblis Rangkap Jiwa masih bisa berta-
han dan tidak berubah hitam kulit tubuhnya meski
mengalami luka agak parah. Dari sini pun bisa diduga
betapa kuat sesungguhnya pertahanan tubuh iblis
Rangkap Jiwa.
"Kau kuperintahkan untuk kembali ke puncak Bu-
kit Selamangleng! Tetaplah di sana sampai aku datang!
Ingat! Bunuh semua manusia yang datang ke bukit
itu!"
Sejenak Iblis Rangkap Jiwa pandangi Malaikat
Penggali Kubur dengan wajah tidak mengerti. Rupanya
Malaikat Penggali Kubur dapat menangkap apa yang
ada di benak iblis Rangkap Jiwa. Seraya sunggingkan
senyum seringai dia berkata,
"Nyawamu ada di tanganku! Kau hanya perlu ja-
lankan perintahku tanpa harus bertanya! Kau den
gar?!"
Meski dalam hati menyumpah-nyumpah, akhirnya
Iblis Rangkap Jiwa hanya anggukkan kepala. Sementa-
ra Malaikat Penggali Kubur tertawa perlahan dan di-
am-diam dalam hati berkata. "Lambat laun kabar ten-
tang kitab ini pasti akan tersiar! Dan akan banyak
manusia yang menuju Bukit Selamangleng. Tugas ma-
nusia Iblis inilah yang mengurusnya!"
Kalau Malaikat Penggali Kubur diam-diam memba-
tin begitu, diam-diam Iblis Rangkap Jiwa juga berkata
sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku lebih suka mengi-
kuti ke mana anak manusia itu pergi. Dengan demi-
kian aku lebih banyak punya kesempatan untuk me-
rebut kitab itu! Tapi apa boleh buat. Sementara ini aku
harus lakukan apa yang diucapkan! Kabar kitab itu
sebentar lagi pasti akan tersiar! Dan akan banyak ma-
nusia yang menuju puncak Bukit Selamangleng. Den-
gan membunuh mereka satu persatu, orang yang men-
ginginkan kitab itu akan berkurang! Dan akan tiba
saatnya bagiku merebutnya!"
Malaikat Penggali Kubur putar diri. "Satu hal yang
harus kau ingat! Kalau Pendekar 131 menuju puncak
bukit, jangan buat mampus! Tunda nyawanya sampai
aku datang!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur ter-
tawa panjang. Ketika suara tawanya sirna, Iblis Rang-
kap Jiwa sudah tidak melihat lagi sosok si pemuda. Ib-
lis Rangkap Jiwa menoleh ke arah selatan. Samar-
samar terlihat Malaikat Penggali Kubur telah berada di
tikungan kaki bukit dan sekejap kemudian lenyap.
"Hem.... Bukan hanya berubah menjadi manusia
sakti, tapi gerakan tubuhnya sudah hampir sulit diiku-
ti pandangan mata biasa! Aku harus mencari akal un-
tuk merebut kitab sakti itu!”
Iblis Rangkap Jiwa bergerak bangkit. Terbungkuk-
bungkuk dia melangkah menuju puncak Bukit Sela-
mangleng.
***
TIGA
PENDEKAR 131 tegak di balik sebatang pohon ke-
lapa dengan sepasang mata tak berkesip memandang
ke depan. Sudah agak lama murid Pendeta Sinting ini
berada di situ. Namun sejauh Ini dia hanya meman-
dang tanpa membuat gerakan apa-apa.
"Jangan-jangan kuil itu tidak berpenghuni! Tidak
kulihat batang hidungnya orang di sana! Padahal aku
yakin kuil itulah yang dikatakan Gendeng Panuntun....
Hem.... Tak ada kepastian sebelum aku menyaksikan
sendiri ke sana!"
Walau telah berkata begitu, namun Joko tidak se-
gera beranjak keluar dari balik pohon kelapa. Sebalik-
nya memandang lebih seksama.
Sejarak sepuluh tombak dari tempatnya, terlihat
sebuah kuil agak besar yang menghadap hamparan
laut.
Setelah berpikir, akhirnya murid Pendeta Sinting
memutuskan untuk keluar dari tempatnya mengintai.
Namun gerakannya tertahan. Dan buru-buru dia ra-
patkan tubuhnya ke batangan pohon kelapa dengan
sepasang mata makin mendelik ke arah kuil. Meski
saat itu suasana sudah agak gelap karena matahari
sudah berada di bentangan kaki langit sebelah barat
dan hendak tenggelam, namun dari arah tempatnya
tegak, murid Pendeta Sinting meski samar-samar ma-
sih menangkap adanya satu sosok berkelebat keluar dari kuil.
"Aku harus tahu siapa adanya sosok itu!" Pendekar
131 segera berkelebat keluar dan berlari menyusul
orang yang baru saja keluar dari kuil. Namun terlam-
bat.
Bayangan yang baru saja keluar dari kuil telah le-
nyap laksana ditelan bumi. Murid Pendeta Sinting
hanya dapat mengenali bayangan itu mengenakan pa-
kaian berupa Jubah merah menyala.
"Astaga!" Joko tegak dengan tubuh bergetar. "Jan-
gan-Jangan orang tadi adalah gadis berjubah merah
yang kutemui sedang mandi beberapa hari yang lalu!
Celaka kalau dia telah memperoleh keterangan!"
Seperti dituturkan dalam episode : "Warisan Lak-
nat", Joko sempat berjumpa dengan seorang gadis ber-
jubah merah dan sempat mengatakan apa yang jadi
urusannya pada gadis itu.
"Dari mana dia tahu kuil itu tempat tinggal Cucu
Dewa?! Apa dia juga pernah jumpa dengan Gendeng
Panuntun dan menanyakan tempat tinggalnya Cucu
Dewa?!"
Seperti yang dituturkan dalam episode : "Warisan
Laknat", murid Pendeta Sinting sempat bertemu den-
gan Gendeng Panuntun. Dari orang yang memiliki ke-
pandaian aneh ini, Joko mengetahui tempat tinggalnya
Cucu Dewa yang menurut Raja Tua Segala Dewa ada-
lah orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa
yang dikatakannya mengetahui di mana beradanya Ki-
tab Hitam.
Pendekar 131 cepat putar diri. Lalu berkelebat
kembali menuju arah kuil. Dia tegak sepuluh langkah
di depan kuil dengan mata tak berkesip memperhati-
kan sekeliling, Saat lain mulutnya telah terbuka. Na-
mun belum sampai ada suara yang terdengar, satu
bayangan berkelebat dari dalam kuil dan tahu-tahu se-
jarak lima langkah dart tempatnya telah berdiri satu
sosok tubuh!
Pendekar 131 pentangkan sepasang matanya.
Orang di hadapannya ternyata adalah seorang laki-laki
bertubuh pendek. Sosoknya gempal. Kepalanya besar
ditumbuhi rambut lebat hitam dikelabang dua. Sepa-
sang matanya sipit dengan hidung besar. Dia menge-
nakan pakaian berwarna hitam. Tangan kanannya
bergerak-gerak mainkan dua butiran batu hitam yang
dilempar-lemparkan ke atas. Meski tahu ada orang te-
gak dl hadapannya, namun dia seolah acuh malah ti-
dak memandang!
Murid Pendeta Sinting mendehem berharap agar
orang berpaling. Tapi walau dia telah berkali-kali men-
dehem malah sempat agak dikeraskan, orang bertubuh
pendek di hadapannya tetap mainkan batu hitam se-
besar ibu jarl tanpa pedulikan kehadiran orang!
Pendekar 131 jerengkan sepasang matanya. Siap
angkat bicara. Tapi mendadak orang di hadapannya te-
lah mendahului buka mulut.
"Siapa kau?!" Orang ini perdengarkan suara tanpa
memandang. Dia tetap mainkan dua butiran batu hi-
tam, malah sejenak kemudian dia putar tubuh seten-
gah lingkaran!
"Bukankah yang berdiri di hadapanku ini adalah
Cucu Dewa?" tanya Joko lalu ikut-ikutan putar diri se-
tengah lingkaran hingga keduanya saling memunggun-
gi.
Orang bertubuh pendek tidak segera menjawab,
membuat Joko melirik ke belakang. Saat itulah tiba-
tiba orang di belakangnya membuat gerakan dengan
gelengkan kepalanya.
Wuuuttl
Rambut hitam yang dikelabang dua berkelebat
angker keluarkan suara menderu keras.
Pendekar 131 kancingkan mulut rapat-rapat. Sece-
pat kilat dia merunduk lalu melompat dan putar diri
menghadap orang.
"Aku tanya siapa kau!" Orang bertubuh pendek
kembali perdengarkan suara membentak. Bersamaan
dengan itu sosoknya berputar. Sepasang matanya yang
sipit mementang besar. Tangan kanannya tetap me-
mainkan batu hitam dilempar-lemparkan ke atas se-
tinggi dadanya saling bersimpangan dengan batu sa-
tunya.
"Aku Joko...!”
"Hem.... Joko apa? Joko Kendil? Joko Loro? Joko
Tingkir?!”
"Joko Sableng!"
"Nama buruk!" sahut orang bertubuh pendek sam-
bil tertawa pelan. "Apa tujuanmu berada di sekitar ru-
mahku? Sejak tadi kau sembunyi-sembunyi mengintai!
Apa yang kau cari, hah?!"
"Hem.... Dia telah tahu kalau aku berada di sini
sudah agak lama!" kata Joko dalam hati lalu berkata.
"Apa benar kau yang disebut orang Cucu Dewa?!"
"Aku tanya apa yang kau cari di sini!" sentak orang
bertubuh pendek dengan mata makin dlpentangkan
besar.
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu buka
mulut.
"Aku mencari orang bernama Cucu Dewa!"
Orang di hadapan Joko sipitkan sepasang ma-
tanya, Diam-diam orang ini berkata sendiri dalam hati.
'Sudah dua orang tak diundang mendadak muncul!"
"Apa tujuanmu mencari Cucu Dewa?!"
Karena tak mau dijebak orang yang baru dikenal
apalagi orang itu belum katakan siapa dirinya, Joko
gelengkan kepala seraya berkata pelan.
"Aku tak bisa mengatakan sebelum aku jumpa
dengan orang yang kucari!"
"Hem.... Begitu? Kalau demikian, lekas angkat kaki
dari hadapanku!"
"Aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu
dengan orang yang kucari!" jawab Joko sambil mena-
tap orang di hadapannya lekat-lekat.
Yang dipandang balas memandang hingga untuk
beberapa saat kedua orang Ini saling bentrok mata.
Saat lain orang bertubuh pendek berpaling lalu berka-
ta. "Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?!"
"Gendeng Panuntun!"
Orang di hadapan Pendekar 131 telengkan kepa-
lanya. Parasnya berubah.
"Kau mengenalnya?!" tanya murid Pendeta Sinting
begitu melihat perubahan pada raut wajah orang.
"Aku tidak kenal! Hanya aku pernah dengar na-
manya! Apa hubunganmu dengan Gendeng Panun-
tun?!"
"Dia sahabatku!"
"Kenapa dia menunjukkan tempat ini padamu?!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku tak
bisa mengatakan pada orang yang belum kuketahui
siapa namanya! Harap maafkan!"
Orang bertubuh pendek di hadapan Joko bergu-
mam tak jelas. Kejap lain dia buka mulut "Akulah
orang yang kau cari! Katakan apa tujuanmu sekarang!"
Pendekar 131 tidak segera menjawab. Sebaliknya
memandang orang dengan tatapan menyelidik.
"Sayang aku tak mengetahui apa ciri-ciri orang yang
kucari. Namun kalau dia berada di sini, bukan tak
mungkin memang dia orang yang kucari...."
"Kau tak mau jawab pertanyaanku...?" hanya itu
yang diucapkan orang. Sesaat lain orang pendek ini te-
lah putar tubuh lalu melangkah.
"Tunggu!"
Orang bertubuh pendek yang menyatakan diri se-
bagai orang yang dicari Joko yang berarti adalah Cucu
Dewa hentikan langkah tanpa berkata.
Joko melangkah mendekat. Lalu angkat bicara.
"Dalam dunia persilatan ada seorang tokoh bergelar Ib-
lis Rangkap Jiwa. Menurut yang kudengar dia memiliki
kesaktian luar biasa...."
"Pasti pertanyaanmu sama dengan pertanyaan
orang yang datang mendahuluimu! Tapi teruskan!" tu-
kas Cucu Dewa.
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. "Pasti yang
dimaksud adalah gadis berjubah merah yang sebutkan
diri bernama Putri Sableng itu! Benar-benar celaka ka-
lau orang ini telah memberi petunjuk pada gadis itu!"
pikir Joko dalam hati lalu teruskan ucapannya.
"Turut penjelasan orang yang kupercaya, hanya
kaulah satu-satunya orang yang tahu kelemahan Iblis
Rangkap Jiwa! Harap kau mau katakan kelemahan
orang itu!"
"Kalau kau ingin tahu kelemahan orang, berarti
kau punya niat jahat!"
"Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud
buruk! Ini semata-mata hanya untuk berjaga-jaga!"
"Kenapa kau ingin mengetahui kelemahannya?!"
"Dia mengetahui tentang beradanya sebuah kitab
sakti. Padahal kalau kitab itu sampai berada di tangan
orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba per-
silatan akan celaka! Iblis Rangkap Jiwa mungkin saja
tidak mau mengatakan dl mana beradanya kitab sakti,
malah mungkin akan berbuat yang tidak-tidak! Aku
hanya menginginkan keterangan darinya di mana be-
radanya kitab itu!"
"Kau ingin mewarisi kitab itu?!" tanya Cucu Dewa.
Murid Pendeta Sinting tertawa pendek seraya geleng-
kan kepala. "Justru sebaliknya. Aku akan memusnah-
kan kitab itu!"
"Hem.... Kalau tujuanmu begitu, baiklah! Tapi jika
nantinya kau bertindak lebih dari sekadar mencari ke-
terangan tentang beradanya kitab itu, dosanya kau
tanggung sendiri! Setuju?!"
Murid Pendeta Sinting hanya anggukkan kepala.
Sementara Cucu Dewa balikkan tubuh lalu berkata.
"Mendekatlah kemari!"
Pendekar 131 terlihat bimbang. Seakan tahu apa
yang ada dalam benak Joko, Cucu Dewa berujar. "Hal
ini adalah urusan pribadi orang yang hanya kalangan
tertentu boleh mengetahuinya! Aku tak mau menang-
gung dosa jika ada orang lain yang mendengarnya!"
Murid Pendeta Sinting putar kepalanya dengan ma-
ta mendelik memandang sekitar. Belum sampai dia
berkata, Cucu Dewa telah berkata mendahului.
"Di sekitar sini memang tidak ada orang! Tapi ba-
gaimanapun juga aku harus berhati-hati! Ini me-
nyangkut hidup mati seseorang!"
Mendengar ucapan Cucu Dewa, Joko segera me-
langkah mendekat.
"Dekatkan telingamu ke mulutku!" kata Cucu De-
wa.
"Busyet! Jangan-jangan orang ini...."
Belum sampai Joko teruskan kata hatinya, Cucu
Dewa telah berujar. "Jangan bikin aku merubah niat!"
Mendengar ancaman orang, murid Pendeta Sinting ce-
pat lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa. Telinganya didekatkan pada mulut orang.
Cucu Dewa bergumam pelan. Kejap lain orang ber-
tubuh cebol ini tarik pulang kepalanya dari telinga Jo-
ko. Bersamaan dengan itu murid Pendeta Sinting tam-
pak melengak. Sepasang matanya membelalak dengan
mulut menganga.
"Apakah dia tidak bercanda?!" bisik Joko lalu ang-
kat kepalanya dengan senyum ditahan. Kejap lain dia
luruskan kepalanya menghadap Cucu Dewa.
"Kedengarannya tak mungkin! Tapi kenyataannya
memang demikian!" ujar Cucu Dewa sambil terse-
nyum.
Habis berkata begitu, Cucu Dewa gerakkan kedua
kakinya memutar. Namun gerakan orang ini tertahan
tatkala Joko menahan dengan berseru.
"Masih ada yang perlu kutanyakan padamu!" Cucu
Dewa kernyitkan dahi. "Kalau tidak mengingat kau sa-
habatnya Gendeng Panuntun, sudah ku usir kau sejak
tadi! Lekas katakan!"
"Aku tadi melihat seorang gadis keluar dari kuil.
Apakah dia muridmu? Atau barangkali Istrimu?!"
"Kau jangan berpura-pura!" kata Cucu Dewa masih
tetap membelakangi.
"Aku tidak mengerti maksudmu!"
"Bagaimana ini? Dia tadi bilang kau adalah keka-
sihnya! Malah dia sempat titip salam untukmu! Dia
sudah memastikan bahwa kau akan ke sini!"
Pendekar 131 tercengang mendengar ucapan Cucu
Dewa. "Celaka!" gumamnya lalu melompat ke hadapan
Cucu Dewa dan berkata.
"Apakah dia tadi juga menanyakan seperti yang ku-
tanyakan padamu? Apakah kau juga memberi keteran-
gan padanya?!'
"Aku tidak bisa menolak permintaan orang. Apalagi
yang meminta keterangan adalah seorang gadis berwa-
jah cantik!"
"Benar-benar celaka!"
"Hai! Kau ini bicara apa?! Apa yang celaka? Apa
gadismu Itu kecelakaan? Kau memang harus bertang-
gung jawab jika itu terjadi! Tapi tak ada ruginya men-
gawini gadis cantik macam dia!"
"Ini bukan masalah untung atau rugi! Aku bukan
kekasih gadis itu! Aku baru saja mengenainya! Aku ha-
rus segera menyusul!"
"Terserah. Itu urusanmu! Kau susul boleh, tidak
juga silakan! Kau katakan dia bukan kekasihmu, tak
ada yang melarang! Kau akui dia kekasihmu, aku Juga
tidak akan merebut! Hanya...." Cucu Dewa tidak lan-
jutkan ucapannya membuat Joko langsung menyahut.
“Hanya apa?!"
"Kalau kau benar-benar tidak suka padanya, aku
tidak keberatan mengambilnya sebagai kekasih!"
Murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang ma-
tanya namun kejap lain dia perdengarkan tawa pan-
jang. Begitu tawanya berhenti, Joko Jadi terkesiap
sendiri. Sosok Cucu Dewa sudah tak kelihatan di tem-
pat itu!
"Ke mana dia? Padahal aku masih perlu keterangan
di mana beradanya Iblis Rangkap Jiwa.... Aku akan
masuk kuil. Pasti dia lenyap menuju ke sana!"
Murid Pendeta Sinting melangkah. Namun tiba-tiba
dia hentikan langkahnya. Sepasang matanya tak ber-
kesip memandang ke tempat di mana tadi Cucu Dewa
tegak berdiri.
Di atas tanah yang bercampur pasir, terlihat tuli-
san yang tidak begitu jelas namun masih bisa dibaca.
Pergilah ke Bukit Selamangleng. Di sana akan kau
temui orang yang kau cari.
"Hem.... Dia seolah tahu apa yang hendak kuta-
nyakan!"
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke
arah kuil. Kejap lain dia balikkan tubuh dan berkele-
bat tinggalkan tempat itu,
*
* *
EMPAT
MATAHARI baru saja tenggelam saat satu sosok
bayangan berkelebat laksana dikejar setan mendaki
Bukit Selamangleng. Dalam beberapa saat saja bayan-
gan ini telah hampir mencapai puncak bukit yang saat
itu tampak sunyi namun terang benderang karena ca-
haya sang rembulan telah memancar dari sebelah ti-
mur.
Bayangan ini untuk sesaat hentikan larinya. Kepa-
lanya bergerak berputar lalu tengadah lurus mengha-
dap puncak bukit. Ternyata dia adalah seorang gadis
mengenakan jubah merah menyala. Paras wajahnya
cantik. Sepasang matanya bulat dengan rambut hitam
lebat dikuncir tinggi. Meski gadis ini tampak tidak bu-
ka mulut, namun mulutnya yang merah ranum terlihat
bergerak-gerak seolah mengunyah sesuatu.
"Sepi! Tidak kulihat adanya gerakan orang! Di ma-
na manusia yang katanya bergelar Iblis Rangkap Jiwa
itu? Jangan-jangan Setan Jelek pemuda sedeng itu
hanya mengarang cerita! Tapi keterangan Cucu De-
wa...." Gadis berjubah merah mendadak sunggingkan
senyum. Ketegangan yang sejenak tadi terlihat di wa-
jahnya lenyap. "Hampir tidak ku percaya ucapan Cucu
Dewa. Tapi mungkinkah seorang tokoh macam dia
memberi keterangan dusta? Hem.... Aku ingin segera
buktikan keterangan orang itu!"
Gadis berjubah merah yang saat berjumpa dengan
Pendekar Pedang Tumpul 131 beberapa waktu yang la-
lu sebutkan diri dengan Putri Sableng teruskan keleba-
tannya ke puncak bukit. (Tentang pertemuan gadis ini
dengan murid Pendeta Sinting baca serial Joko Sab-
leng dalam episode : "Warisan Laknat").
Baru saja Putri Sableng injakkan sepasang kakinya
di puncak bukit, tiba-tiba terdengar deruan dahsyat.
Kejap lain satu gelombang luar biasa ganas menyam-
bar ke arah si gadis.
Karena telah waspada, Putri Sableng cepat berge-
rak menghindar dengan sentakkan kedua kakinya. So-
soknya berkelebat ke samping. Sambaran angin yang
melabrak lewat satu jengkal di samping pundaknya!
Lolos dari serangan gelap, Putri Sableng cepat pu-
tar diri dengan kedua tangan diangkat dan sepasang
mata terpentang besar. Namun gadis ini terkesiap sen-
diri. Dia tidak melihat siapa-siapa!
Mungkin karena tidak sabar dan maklum kalau dia
tidak berada sendirian di tempat itu, gadis ini buka
mulut membentak.
"Mengapa tidak perlihatkan diri?!"
Belum lenyap suara Putri Sableng mendadak dari
sebuah tanah yang agak menggunduk terdengar suara
orang tertawa panjang. Namun laksana direnggut se-
tan, suara tawa itu tiba-tiba terputus. Bersamaan den-
gan itu tanah yang menggunduk bergerak-gerak. Kejap
lain tanah itu muncrat ke udara lalu tampaklah satu
sosok tubuh!
Putri Sableng jerengkan sepasang matanya makin
besar. Gerakan-gerakan mulutnya makin keras Namun
sejauh ini dia tidak buka mulut bicara. Dia hanya per
hatikan orang yang baru muncul.
Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berke-
pala gundul dengan mata besar menjorok keluar. Dia
mengenakan pakaian compang-camping yang dibercaki
tanah. Paras wajahnya hampir tidak tertutup daging.
Laki-laki yang muncul dan bukan lain adalah Iblis
Rangkap Jiwa adanya pentangkan mata besar-besar.
Lalu tersenyum dan buka mulut.
"Tidak kuduga kalau malam-malam dingin begini
aku kedatangan seorang bidadari! Sungguh sebuah re-
jeki besar! Gadis cantik nan jelita. Siapa namamu?"
"Melihat tampangnya. pasti inilah manusia bergelar
Iblis Rangkap Jiwa itu! Tampangnya boleh juga, hik...
hik... hik...!" Gadis berjubah merah tertawa sendiri da-
lam hati. Lalu angkat bicara sambil tersenyum.
"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang te-
gak di hadapanku ini adalah seorang tokoh besar yang
dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar angker
Iblis Rangkap Jiwa?"
Cuping hidung Iblis Rangkap Jiwa tampak men-
gembang. Bibirnya makin lebar perlihatkan senyum.
Seraya melangkah mendekat dia berkata.
"Apa yang kau katakan tidak salah, Anak Cantik!
Sekarang aku tanya padamu, siapa namamu? Dan bu-
kankah kau datang ke tempat ini tidak karena terse-
sat?"
Gadis berjubah merah balas tersenyum. Seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya dia berujar pelan.
"Aku diberi nama orang tuaku Putri Sableng! Pa-
dahal aku tidak sableng! Hik.... Hik.... Hik... Aku sam-
pai ke tempat ini memang tidak tersesat!"
Iblis Rangkap Jiwa sudah menebak apa jawaban
sang gadis. Dari gerakan si gadis yang dapat hindar-
kan diri dari pukulannya, malah iblis Rangkap Jiwa
sudah dapat meraba apa tujuan si gadis. Meski begitu,
laki-laki berkepala gundul ini ajukan tanya.
"Kalau tidak tersesat, barangkali kau punya mak-
sud?!"
"Jauh berjalan tentu punya maksud! Hik.... Hik....
Hik...!"
"Mau katakan apa maksudmu, Anak Cantik?!"
"Bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu. Hal
itu membuatku ingin jumpa!"
"Hanya itu tujuanmu datang ke sini?!" tanya Iblis
Rangkap Jiwa dengan kening yang hampir tak ter-
bungkus daging bergerak mengernyit meski bibirnya
masih sunggingkan senyum.
Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku selalu penasaran jika mendengar cerita orang.
Hal itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku
memberikan nama Sableng! Aku jarang pulang hanya
karena ingin jumpa dengan orang yang ceritanya per-
nah kudengar!”
"Kau sekarang telah jumpa denganku. Apa yang
sekarang akan kau lakukan?”
Putri Sableng putar tubuhnya sedikit. Lalu enak
saja dia menjawab.
"Pulang!"
Habis berkata begitu, gadis berjubah merah ini te-
ruskan putaran tubuhnya lalu melangkah sambil te-
ruskan ucapannya, "Selamat malam! Mudah-mudahan
kalau ada saat yang baik aku ingin berkunjung ke sini
lagi!"
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan gerakan tu-
buh si gadis. Kejap lain sosoknya berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak di hadapan Putri Sableng dengan si-
kap menghadang.
"Suasana telah gelap! Jalanan tentu sunyi! Apa tidak sebaiknya kalau pulang menunggu hari terang?!"
Gadis berjubah merah tertawa cekikikan. "Kau Ini
lucu! Suasana terang benderang begini kau katakan
gelap! Atau kau memang suka bercanda!"
Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Ah....
Mungkin karena kedatanganmu aku jadi salah ucap!"
ujarnya lalu luruskan kepalanya dengan mata me-
mandang tak berkesip.
Putri Sableng tertawa lalu menyisi dan teruskan
langkahnya tanpa berkata. Namun langkah gadis ini
tertahan. Karena mendadak Iblis Rangkap Jiwa mem-
buat gerakan sekali lagi dan tahu-tahu sosoknya telah
tegak dua tindak dl hadapan Putri Sableng dengan ma-
ta membeliak ke arah dadanya.
Dipandangi begitu rupa, gadis berjubah merah ti-
dak merasa Jengah, sebaliknya malah tertawa cekiki-
kan hingga dadanya yang membusung bergerak-gerak
turun naik membuat sepasang mata Iblis Rangkap Ji-
wa makin terpentang.
"Aku melihat sikapmu berubah! Apa sebenarnya
yang kau inginkan?!*
Iblis Rangkap Jiwa tertawa pelan lalu berkata den-
gan suara bergetar.
'Baru saat ini aku melihat gadis cantik sepertimu!
Bagaimana kalau malam ini kita habiskan berdua di
sini?!"
"Sebenarnya tawaran bagus...."
Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah. Namun
cuma sekejap, saat lain raut wajahnya jelas mem-
bayangkan perasaan kecewa ketika Putri Sableng ber-
kata. "Jangan bergembira dahulu. Tawaranmu me-
mang bagus. Namun karena saat ini masih ada yang
harus kulakukan, dengan menyesal aku tak dapat
memenuhi permintaanmu! Mungkin lain kali kita bisa
bersenang-senang...."
"Apa kau ingin menemui seseorang?"
"Dari mana kau tahu?" Putri Sableng balik ajukan
tanya dengan bibir tersenyum. Malah sepasang ma-
tanya tampak mengerling.
"Bukankah kau tadi mengatakan selalu penasaran
dengan cerita orang?"
"Ah...." Putri Sableng mengeluh pendek lalu berka-
ta. "Tebakanmu benar. Aku memang hendak menemui
seseorang!"
"Mau katakan padaku siapa orang yang hendak
kau temui?!"
"Aku tak dapat mengatakannya padamu! Ini uru-
san yang hanya orang tertentu yang mengetahuinya!
Karena...."
Ucapan Putri Sableng terputus tatkala tiba-tiba Ib-
lis Rangkap Jiwa gelengkan kepalanya sambil berkata
menukas. "Tidak ada urusan di dunia ini yang luput
dari mata Iblis Rangkap Jiwa!"
Gadis berjubah merah unjukkan tampang terkejut.
Belum sampai gadis ini buka mulut dan rasa kejutnya
lenyap, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut. "Coba
katakan siapa orang yang hendak kau temui! Aku pasti
sudah dapat menebak apa urusannya!"
Putri Sableng gelengkan kepalanya. "Aku tetap tak
bisa mengatakan padamu. Hanya mungkin kau nanti
bisa menebak siapa orangnya kalau kau mengetahui
apa urusannya...."
"Hem.... Coba katakan apa urusan itu!"
Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sepa-
sang matanya memandang tajam pada laki-laki di ha-
dapannya. Sejenak kemudian dia alihkan pandangan-
nya kejurusan lain. Sementara Iblis Rangkap Jiwa me-
nunggu. Sepasang matanya tak beranjak turun naik
memandang ke arah leher, bibir, dan dada si gadis.
"Menurut cerita yang sempat kudengar, dalam rim-
ba persilatan ada sebuah kitab sakti! Aku tak tahu apa
nama kitab itu! Yang pasti sampai sekarang kitab itu
ada...," Putri Sableng tak meneruskan keterangannya.
Sebaliknya dia memandang iblis Rangkap Jiwa.
Di hadapannya, kening Iblis Rangkap Jiwa men-
gernyit. Namun wajahnya sama sekali tidak mem-
bayangkan rasa terkejut. Malah seraya terus pandangi
dada Putri Sableng, dia berujar. "Teruskan keteran-
ganmu”
"Di mana beradanya kitab sakti itu, hanya orang
yang hendak kutemui yang tahu.... Terus terang, aku
tidak punya niat apa-apa pada kitab itu. Aku hanya
ingin buktikan benar tidaknya cerita yang kudengar!”
Iblis Rangkap Jiwa angkat kepalanya. Memandang
tajam pada kedua bola mata si gadis. Seraya terse-
nyum dia berkata.
"Hem.... Apa yang kau maksud Kitab Hitam?!" Putri
Sableng kembali unjukkan tampang terkejut. Malah
sepasang kakinya tersurut dua tindak ke belakang. Di
hadapannya Iblis Rangkap Jiwa tertawa keras. "Sudah
kukatakan, tidak ada urusan di dunia yang luput dari
mataku! Melihat perubahan sikapmu, aku bisa mene-
bak kalau apa yang kukatakan benar!"
"Aku tidak menduga kalau kau tahu urusan ini!
Padahal menurut cerita yang kudengar, hanya orang
yang akan kutemui yang tahu urusan kitab itu!"
"Sekarang kau tahu bahwa aku mengetahui urusan
kitab itu. Apakah kau masih ingin menemui orang
yang kau katakan itu?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa
sambil gerakkan tangan kanannya memegang tangan
Putri Sableng.
Putri Sableng tidak coba menghindar, Malah dia
diam saja tatkala tangan Iblis Rangkap Jiwa meremas
tangannya. Hal ini membuat laki-laki berkepala gundul
Ini makin berani. Dia gerakkan tangan kirinya. Namun
sebelum tangannya sempat menyentuh, Putri Sableng
tepiskan tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa lalu mun-
dur sambil berkata.
"Meski kau tahu urusan kitab itu, aku tetap akan
menemui orang yang kukatakan. Kecuali jika kau...."
"Aku akan mengatakan di mana beradanya kitab
itu!" potong Iblis Rangkap Jiwa. Sambil berkata begitu
tangan kanannya kembali bergerak. Namun terlambat.
Karena Putri Sableng telah bergerak mundur.
"Aku masih sangsi apakah ucapanmu benar! Dan
apakah kitab yang kau katakan itu kitab yang ku
maksud!"
Mendengar ucapan Putri Sableng, Iblis Rangkap
Jiwa dongakkan kepala.
"Dengar, Anak Cantik! Di dunia ini hanya ada satu
kitab sakti. Kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh
besar masa Kerajaan Singasari...."
"Kalau kitab itu benar-benar ada dan memang se-
buah kitab sakti, mengapa kau tidak tertarik dengan
kitab itu? Padahal kau tahu di mana beradanya kitab
itu!"
"Kau Jangan menduga aku mengarang cerita bo-
hong, kata Iblis Rangkap Jiwa menangkap nada uca-
pan si gadis yang sepertinya tidak percaya.
"Kitab itu betul-betul ada! Kalau aku tidak berusa-
ha memilikinya padahal aku tahu dl mana kitab itu,
karena aku merasa sudah tua! Aku sudah tidak terta-
rik dengan segala macam kitab! Kalau kau mengingin-
kan kitab itu, aku akan tunjukkan padamu! Tapi...!”
"Kau minta imbalan? Berapa kau minta?!" tanya
Putri Sableng begitu Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya.
"Bukan imbalan harta yang kuinginkan, Anak Can-
tik!!”
"Lalu imbalan apa yang kau inginkan?!" tanya Putri
Sableng meski dia tahu apa sebenarnya yang menjadi
keinginan laki-laki berkepala gundul itu.
Iblis Rangkap Jiwa luruskan kepala dengan sepa-
sang mata memandang tajam. Lalu tanpa buka mulut
lagi tangan kanannya menunjuk tepat ke arah tubuh
Putri Sableng.
Walau sudah menduga apa kehendak Iblis Rang-
kap Jiwa, namun begitu si laki-laki benar-benar me-
nunjuk, gadis berjubah merah itu sempat membela-
lakkan sepasang matanya. Dan belum sempat Putri
Sableng lakukan apa-apa, Iblis Rangkap Jiwa sudah
gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tepat di
hadapan si gadis dengan kedua tangan mengembang
siap memeluk. Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tersen-
tak. Ketika kedua tangannya bergerak memeluk, gadis
berjubah merah sudah tidak ada di hadapannya lagi!
"Hik.... Hik.... Hik...! Urusan bersenang-senang soal
mudah! Tapi aku tidak mau kau bohongi!" terdengar
suara Putri Sableng. Gadis ini telah tegak sejarak lima
langkah di samping Iblis Rangkap Jiwa.
Dengan mata mendelik angker, Iblis Rangkap Jiwa
berpaling. "Aku tidak berbohong padamu! Kitab itu be-
nar-benar ada!"
"Bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat-
nya sendiri?! Hik... Hik.... Hik...! Kau baru memperoleh
yang kau inginkan kalau aku benar-benar sudah
membuktikan benar tidaknya keteranganmu!"
"Keparat! Gadis ini cerdik juga! Tapi jangan harap
bisa lolos dari tanganku!" maki Iblis Rangkap Jiwa da-
lam hati. Lalu berkata.
"Kitab itu adalah sebuah kitab sakti! Dan sebenar-
nya terlalu murah jika hanya ditukar dengan tubuh-
mu!"
"Terserah! Yang pasti aku baru menuruti keingi-
nanmu bersenang-senang jika aku sudah buktikan ke-
teranganmu! Kalau kau tidak mau, masih ada orang
lain yang mau memberitahukan padaku! Hik....
Hik....Hik….!"
Masih dengan tertawa cekikikan, gadis berjubah
merah melangkah seakan hendak tinggalkan puncak
Bukit Selamangleng.
"Tunggu!" tahan Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng
hentikan langkahnya. "Waktu ku sangat terbatas. Ha-
rap segera beri keputusan!" katanya saat ditunggu
agak lama Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka suara.
"Kalau waktumu terbatas, sebaliknya aku sudah
tak sabar!"
"Hai! Apa maksudmu?!" tanya Putri Sableng.
Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak membuat gadis
berjubah merah harus kerahkan tenaga dalamnya un-
tuk menutup jalan pendengarannya.
"Aku tak peduli kau ingin buktikan keteranganku
lebih dahulu atau tidak. Yang pasti, sekarang juga kau
harus melayaniku! Sudah puluhan tahun aku tidak
menikmati dekapan seorang perempuan!"
Merasa gadis berjubah merah tidak mungkin me-
nyerah begitu saja, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat lalu
dengan kerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tan-
gannya bergerak hendak merengkuh tubuh Putri Sab-
leng.
Namun Iblis Rangkap Jiwa terlengak. Putri Sableng
bukannya bergerak selamatkan diri melainkan tetap
tegak tanpa membuat gerakan apa-apa malah terse-
nyum dan pejamkan sepasang matanya!
Iblis Rangkap Jiwa tertegun. Tapi cuma sesaat.
Saat lain kedua tangannya teruskan gerakannya. Sea-
kan tak sabar, begitu tubuh si gadis telah masuk da-
lam rengkuhannya, kepalanya cepat didorong ke depan
mencium wajah Putri Sableng. Namun gerakan kepala
Iblis Rangkap Jiwa tertahan. Karena sesaat lagi kepa-
lanya menyentuh wajah si gadis, gadis ini gerakkan
kedua tangannya.
Buukkk!
Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang memeluk
tubuh Putri Sableng terlepas. Kejap lain sosoknya
mencelat sampai dua tombak. Putri Sableng tidak sia-
siakan kesempatan. Begitu tubuh Iblis Rangkap Jiwa
terhuyung hendak roboh, si gadis melesat ke depan.
Kaki kanannya terangkat membuat satu tendangan ke
arah dada.
Sejengkal lagi tendangan gadis berjubah merah te-
lak menghantam dada Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba Ib-
lis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya seolah
hendak lindungi kepala dan dadanya dari tendangan
orang.
Bersamaan dengan itu mendadak Putri Sableng ke-
luarkan seruan tertahan karena terjadi hal yang sung-
guh di luar dugaannya!
*
* *
LIMA
WALAU gerakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa
seolah hanya untuk lindungi dada dan kepala dari
tendangan kaki gadis berjubah merah, namun saat itu
juga Putri Sableng rasakan ada satu gelombang luar
biasa dahsyat yang bukan saja mampu membuat ten-
dangannya tertahan, namun juga dapat membuat tu-
buhnya terdorong deras sampai satu tombak ke bela-
kang!
Putri Sableng tegak dengan sepasang kaki bergetar
dan mata terpentang besar tak berkesip. Mulutnya
yang bergerak-gerak terhenti seketika. "Melihat begitu
dahsyat kepandaiannya, mungkinkah keterangan Cu-
cu Dewa akan terbukti? Kalau tidak, benar-benar cela-
ka nasibku!" diam-diam si gadis merasa bimbang.
Di seberang sana, begitu sosok Putri Sableng men-
celat karena bias gerakan kedua tangannya, Iblis
Rangkap Jiwa segera bergerak bangkit. Seakan tidak
rasakan pukulan yang baru saja bersarang di dadanya,
laki-laki ini melangkah ke arah Putri Sableng dengan
bibir sunggingkan senyum seringai dingin.
"Aku berniat baik padamu! Tapi nyatanya kau yang
membuat urusan!" Iblis Rangkap Jiwa hentikan uca-
pannya sejenak. Memandang lurus ke arah si gadis se-
belum akhirnya melanjutkan. "Namun aku masih ber-
baik hati padamu! Kau bersedia melayaniku dengan
baik-baik, maka aku masih akan tunjukkan di mana
beradanya kitab itu padamu! Jika tidak, bukan saja
kau tidak akan mengetahui beradanya kitab itu, tapi
juga kau tidak akan turun dari puncak bukit Ini untuk
selama-lamanya!"
Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Se-
mentara Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah dua tin-
dak di hadapannya.
"Aku menunggu keputusanmu!"
Karena Putri Sableng tidak juga buka suara, Iblis
Rangkap Jiwa palingkan kepala seraya berkata.
"Hem.... Mungkin kau menunggu aku yang memberi keputusan?!"
Gadis berjubah merah tidak mengangguk atau
menggeleng juga tidak buka mulut, membuat Iblis
Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya.
"Baiklah. Aku kini yang memutuskan! Dengar baik-
baik! Kau harus melayaniku dan tidak akan mendapat
imbalan apa-apa dariku!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa bergerak.
Tangan kanannya merentang dengan kaki kiri meng-
hentak tanah. Namun sebelum tangan dan kaki Iblis
Rangkap Jiwa bergerak, Putri Sableng telah dorong ke-
dua tangannya.
Wuuuuttt!
Tidak terdengar deruan suara gelombang, Tapi saat
itu juga satu gelombang dahsyat melabrak ganas den-
gan membawa angin berputar-putar!
Iblis Rangkap Jiwa tidak berusaha membuat gera-
kan menghindar meski tahu si gadis telah mendahului
lancarkan pukulan, Laki-laki ini teruskan gerakannya
hingga bersamaan dengan itu terdengar suara berde-
bam. Kejap lain puncak Bukit Selamangleng bergetar
hebat. Lalu dari tangan kanannya melesat satu gelom-
bang dahsyat memangkas gelombang yang keluar dari
kedua tangan si gadis.
Bummmmm!
Terdengar ledakan dahsyat. Angin berputar-putar
dari dorongan kedua tangan Putri Sableng seketika
hancur ambyar dan semburat ke udara. Sosok gadis
ini terlempar deras sampai dua tombak sebelum ak-
hirnya jatuh terjengkang dengan tubuh bergetar keras
dan kedua tangan kaku laksana tak bisa digerakkan!
Di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa hanya
bergoyang-goyang sebentar lalu laksana didorong ke-
kuatan luar biasa, sosoknya melesat ke arah Putri
Sableng dengan perdengarkan suara tawa ngakak.
Maklum bahaya yang sedang mengancam, gadis
berjubah merah tidak tinggal diam. Dia cepat kerahkan
segenap tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Lalu
berguling di atas tanah. Kedua tangannya bergerak le-
paskan pukulan.
Iblis Rangkap Jiwa putuskan tawanya. Namun laki-
laki ini tidak urungkan kelebatan tubuhnya. Hanya
bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak la-
kukan pukulan.
Wuuuust
Gelombang yang datang ke arah Iblis Rangkap Jiwa
tersapu amblas. Putri Sableng berseru tertahan. Gadis
ini cepat rapatkan tubuhnya di atas tanah untuk
menghindar dari gelombang yang kini menggebrak dari
kelebatan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun tak
urung sosok gadis berjubah merah masih tersapu
hingga mencelat mental dan kembali jatuh terjengkang
dengan mulut keluarkan darah!
"Celaka! Bagaimana kalau dia benar-benar laksa-
nakan niatnya? Apa boleh buat. Satu-satunya jalan se-
lamatkan diri adalah lakukan keterangan Cucu Dewa,
meski aku sendiri tidak yakin benar!" gumam si gadis
lalu dengan cepat dia kerahkan sisa tenaga dalamnya.
Terhuyung-huyung dia bangkit. Lalu balikkan tubuh.
Di seberang Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan sepa-
sang mata mendelik perhatikan gerakan gadis berju-
bah merah. Tulang keningnya bergerak-gerak dan bola
matanya berputar liar tatkala mengetahui apa yang di-
lakukan si gadis.
Dengan gigit bibirnya, Putri Sableng perlahan-
lahan menarik bagian bawah jubah merahnya.
Iblis Rangkap Jiwa makin mendelik saat Putri Sab-
leng terus menarik bagian bawah jubahnya ke atas
hingga kini betisnya yang putih mulus dan kencang
terlihat jelas.
Ha.... Ha...u Ha...! Rupanya kau menginginkan
permainan asyik!" ujar Iblis Rangkap Jiwa membuat
Putri Sableng sesaat hentikan gerakan tangannya.
Putri Sableng mendongak. "Sialan benar! Apa aku
akan teruskan hal ini? Tapi.... Tidak ada jalan lain!"
Putri Sableng gerakkan kembali tangannya yang
menarik jubah bagian bawahnya hingga kini pahanya
yang putih mulus dan padat terpampang jelas! Mem-
buat Iblis Rangkap Jiwa makin perkeras suara ta-
wanya.
"Benar-benar luar biasa! Putih mulus dan padat!"
seru Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng tidak hiraukan
ucapan orang. Dia terus tarik bagian bawah jubahnya.
Namun gadis ini menjadi bimbang.
"Sialan! Mengapa dia masih terus tertawa ngakak?
Padahal seharusnya dia sudah terkejut dan...."
"Diintip marah-marah, tapi kini dipertontonkan
pada orang! Dasar gadis sableng!"
Satu suara tiba-tiba terdengar membuat gadis ber-
jubah merah putuskan membatin dan cepat-cepat le-
paskan jubahnya yang sudah tersingkap hampir sam-
pai pantatnya! Dia maklum jika suara yang baru ter-
dengar bukan suara Iblis Rangkap Jiwa. Dengan wajah
merah padam dia segera berputar.
Iblis Rangkap Jiwa sendiri tampak terkesiap. Dia
sadar, kalau tiba-tiba ada orang lain muncul tanpa dia
bisa mengetahuinya, jelas siapa pun adanya orang
pasti memiliki tingkat kepandaian yang tidak rendah.
Dengan sepasang mata mendelik angker, laki-laki
berkepala gundul ini cepat putar diri menghadap
sumber suara yang baru terdengar.
"Jahanam! Siapa kau?!" bentak iblis Rangkap Jiwa.
Orang yang dibentak tengadahkan kepala lalu tertawa
panjang. Puas tertawa dia berujar tanpa memandang
pada orang yang membentak atau pada gadis berjubah
merah yang tegak dengan sepasang mata membesar
dan mulut komat-kamit.
"Kau hari ini bernasib mujur, Orang Tua! Bisa me-
lihat paha putih mulus milik seorang gadis cantik! Ba-
gaimana kalau nasib mujur itu kita bagi sama?"
"Keparat! Kalau kau tidak lekas sebutkan diri, ti-
dak sulit bagiku membuat tubuhmu terlempar ke da-
sar bukit!” iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya.
Orang yang diancam luruskan kepala menghadap
Iblis Rangkap Jiwa. Ternyata dia adalah seorang pe-
muda berpakaian putih-putih. Rambutnya gondrong
sedikit acak-acakan? dengan Ikat kepala berwarna pu-
tih.
Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang
Tumpul 13V menatap sejurus pada Iblis Rangkap Jiwa,
lalu berpaling pada gadis berjubah merah. Mulut mu-
rid Pendeta Sinting tersenyum. Putri Sableng buang
muka dengan muka merah padam.
"Hem.... Pasti ini manusianya yang berjuluk Iblis
Rangkap Jiwa! Dan gadis itu telah lakukan apa yang
diucapkan Cucu Dewa, tapi kenapa tidak ada penga-
ruhnya? Jangan-jangan Cucu Dewa memang bercan-
da!" membatin Pendekar 131.
"Keparat! Kau benar-benar tidak bias dikasih hati!"
hardik Iblis Rangkap Jiwa.
"Sabar, Orang Tua! Aku datang ke sini tidak men-
cari urusan denganmu.... Kedatanganku kemari untuk
menyusul kekasihku itu! Harap maafkan kalau keka-
sihku itu bertindak kurang ajar padamu! Dia itu anak
sableng!"
Sepasang mata besar milik Iblis Rangkap Jiwa menyipit. "Siapa percaya kalau gadis itu kekasihmu! Ka-
laupun benar, perlu kau ketahui, Bocah! Sejak malam
ini rela tidak rela dia harus kau serahkan padaku! Dan
lekas menyingkir dari sini!"
Mungkin untuk meyakinkan, murid Pendeta Sint-
ing menyahut.
"Kalau hanya itu permintaanmu, aku tidak kebera-
tan! Kurasa aku masih bisa mencari gadis lain yang
cantik dan tidak sableng! Namun sebelumnya aku ha-
rus tahu dahulu siapa nama orang yang meminta ke-
kasihku! Kau tidak keberatan bukan sebutkan nama?!"
"Yang bicara ini adalah Iblis Rangkap Jiwa!"
Pendekar 131 perdengarkan tawa pendek. Semen-
tara Putri Sableng terlihat pasang tampang cemberut
dan menggumam tak jelas.
"Orang tua! Jangan mengada-ada! Nama Iblis
Rangkap Jiwa memang pernah kudengar namun me-
nurut kabar, orang itu telah mati pada ratusan tahun
yang lalu! Jadi harap Jangan berkata dusta padaku
karena...."
Kini ganti Iblis Rangkap Jiwa yang perdengarkan
tawa hingga Joko putuskan ucapannya.
"Dalam rimba persilatan, kabar burung memang ti-
dak asing lagi, Bocah...! Sekarang terserah padamu
mau percaya atau tidak! Yang jelas akulah manu-
sianya yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa!"
"Masalahnya sekarang bukan percaya atau tidak!
Yang jelas manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa menge-
tahui sebuah rahasia!" kata Joko dengan mata men-
gerling pada Putri Sableng.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Iblis
Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai. Diam-
diam lelaki itu berkata dalam hati. "Hem.... Rupanya
saat ini kabar tentang kitab itu sudah tersiar luas! Jahanam betul! Kalau aku tidak bisa segera merebut dari
tangan keparat yang menggelari diri dengan Malaikat
Penggali Kubur itu, hidupku hanya akan menjadi ba-
han tanya jawab orang!"
"Anak muda! Aku tahu apa yang kau maksud den-
gan rahasia! Tapi sebelum kusebutkan rahasia itu, ka-
takan dahulu siapa kaul"
"Aku Joko.... Joko Sableng!"
Iblis Rangkap Jiwa sedikit tersentak dengan mata
terpentang
"Hm.... Jadi ini manusianya yang bergelar Pende-
kar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng...," Iblis Rang-
kap Jiwa luruskan pandangan pada Putri Sableng.
"Hem.... Yang gadis Putri Sableng yang pemuda Jo-
ko Sableng. Jangan-jangan dua orang ini bukan sepa-
sang kekasih, melainkan saudara seperguruan.... Tapi
apa peduliku? Aku memang punya tugas untuk me-
ringkus Pendekar 131, tapi itu bisa ditunda. Sekarang
aku menginginkan gadis itu malam ini!"
Habis membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa beru-
jar. "Bukankah yang kau maksud rahasia adalah se-
buah kitab sakti?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab ucapan
orang, sebaliknya dia bungkukkan tubuh menjura se-
raya berkata.
"Sungguh tak kuduga kalau aku dapat jumpa den-
gan seorang tokoh rimba persilatan yang namanya te-
tap dikenang orang meski sudah berlalu beberapa ra-
tus yang lalu...."
Melihat tingkah Joko, Iblis Rangkap Jiwa tertawa
bergelak. Namun mendadak suara tawanya diputus.
Kejap lain dia perdengarkan bentakan keras.
"Kau telah tahu siapa yang kau hadapi saat ini!
Jangan bertindak bodoh tidak turuti ucapanku! Lekas
minggat dari hadapanku!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala, "Keteran-
ganmu belum cukup kuat membuktikan kalau kau
adalah Iblis Rangkap Jiwa. Karena iblis Rangkap Jiwa
bukan hanya mengetahui rahasia tentang kitab itu me-
lainkan juga mengetahui dimana beradanya kitab itu!
Bagaimana? Apa kau tahu di mana beradanya kitab
itu?!"
Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa kontan mende-
lik besar. Melihat gelagat tidak baik, murid Pendeta
Sinting segera tersenyum lalu berkata.
"Jangan salah menduga! Aku hanya ingin buktikan
kalau aku benar-benar jumpa dengan tokoh Iblis
Rangkap Jiwa! Tidak ada maksud lain! Lagi pula imba-
lan yang kuberikan padamu seorang gadis yang bukan
hanya berwajah cantik, tapi juga bertubuh bagus ber-
kulit mulus! Jika kau benar-benar Iblis Rangkap Jiwa,
rasanya aku tidak punya beban apa-apa menyerah-
kannya padamu!"
Mendengar ucapan Pendekar 131, Putri Sableng
menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah seolah tak
sabar, gadis berjubah merah ini segera angkat bicara.
"Jaga ucapanmu, Pemuda Setan!"
Joko tidak hiraukan ucapan Putri Sableng, seba-
liknya memandang pada Iblis Rangkap Jiwa dan ber-
kata.
"Bagaimana? Kau mau buktikan padaku?!"
Iblis Rangkap Jiwa kancingkan mulut tidak men-
jawab. Namun begitu Joko hendak ajukan tanya lagi,
dia buka mulut membentak.
"Aku akan menunjukkan di mana beradanya kitab
itu, tapi kau harus rasakan dahulu bagaimana enak-
nya mati muda!"
Murid Pendeta Sinting unjukkan tampang terkesiap. "Walah, bagaimana bisa begini? Bukankah aku
telah relakan gadisku untuk kau miliki? Mengapa se-
karang sepertinya kau inginkan nyawaku? Kau tidak
sedang bercanda?"
"Aku tahu kapan saat bercanda! Lagi pula tidak
ada gunanya bercanda dengan manusia macam kau!"
"Tunggu! Kalau begitu aku juga menarik gadisku!"
Tanpa hiraukan orang yang saat itu memandang
angker padanya, murid Pendeta Sinting melangkah ke
arah Putri Sableng yang saat itu memandang dengan
mulut bergerak-gerak.
"Jangan bergerak dari tempatmu! Sekali kau me-
langkah, selembar nyawamu putus!" hardik Iblis Rang-
kap Jiwa seraya acungkan tangan kanannya.
Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya berpal-
ing. Mendadak sepasang kakinya tersurut mundur.
Laksana kilat, sosok Iblis Rangkap Jiwa bergerak satu
kali. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan hi-
dungnya dengan kedua tangan lakukan pukulan ke
arah kepala!
Wuuuutt!
Dua gelombang dahsyat telah menyambar menda-
hului kedua tangan. Kalau Joko tidak cepat melompat
selamatkan diri, niscaya kepalanya akan langsung re-
tak terkena hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Ji-
wa yang mendadak saja sudah berkelebat laksana sal-
ing susul menyusul dengan gelombang yang menyam-
bar.
Mendapati hantaman kedua tangannya tidak men-
genai sasaran, tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa tam-
pak mengembung. Tulang pelipisnya bergerak-gerak.
Sementara Joko cepat kerahkan tenaga dalamnya pada
kedua tangannya.
"Ucapan Raja Tua Segala Dewa benar! Manusia satu ini memiliki kepandaian luar biasa, Aku akan celaka
sendiri kalau.,.."
Gumaman murid Pendeta Sinting terputus. Di de-
pan sana Iblis Rangkap Jiwa hentakkan sepasang ka-
kinya di atas tanah. Terdengar suara berdebam keras.
Saat bersamaan puncak Bukit Selamangleng laksana
dilanda gempa dahsyat. Joko dan gadis berjubah me-
rah rasakan tubuh masing-masing laksana disentak-
kan kekuatan dari bawah hingga saat itu juga tubuh
keduanya terlontar ke udara!
Selagi tubuh kedua orang itu di atas udara, Iblis
Rangkap Jiwa ayunkan kedua tangannya lalu didorong
ke atas.
Melihat gerakan orang, Joko cepat gerakkan kedua
tangannya lancarkan pukulan. Saat itu juga tampak
menyambar seberkas sinar semburat kan warna kun-
ing dengan membawa gelombang berhawa luar biasa
panas. Tanda murid Pendeta Sinting telah lepaskan
pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.
Melihat Joko lepaskan pukulan, Putri Sableng yang
meski tidak mendapat serangan kedua tangan Iblis
Rangkap Jiwa cepat pula dorong kedua tangannya ke
bawah. Hingga saat itu juga dari tangannya melesat
dua gelombang membawa angin berputar-putar dah-
syat.
Mendapati dua serangan dari dua jurusan, tidak
membuat Iblis Rangkap Jiwa terkejut. Sebaliknya dia
hadapi serangan orang dengan senyum seringai. lalu
tarik tangan kirinya. Kini tangan kanan didorong ke
arah murid Pendeta Sinting sementara tangan kiri ke
arah Putri Sableng.
Terdengar dua kali dentuman keras. Sinar kuning
dari kedua tangan Pendekar 131 dan gelombang dah-
syat berputar-putar dari kedua tangan Putri Sableng
bertabur di udara ciptakan lidah api. Bersamaan den-
gan itu sosok murid Pendeta Sinting tersapu dan balik
terlontar lebih tinggi ke udara. Begitu juga sosok gadis
berjubah merah.
Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terdengar ber-
seru tertahan. Sosoknya terhuyung-huyung. Namun
belum sampai jatuh terjerembab di atas tanah laki-laki
ini gerakkan bahunya dua kali berturut-turut. Kejap
lain sosoknya terhenti.
Meski bentrok nya pukulan Iblis Rangkap Jiwa
dengan pukulan Joko dan Putri Sableng sempat mem-
buat sosok laki-laki berkepala gundul ini terhuyung-
huyung, namun wajahnya hanya berubah sejenak.
Saat lain dia perdengarkan tawa bergelak seraya arah-
kan pandangannya pada sosok murid Pendeta Sinting
dan Putri Sableng yang baru saja injakkan kaki di atas
tanah.
Baik paras' Joko maupun Putri Sableng tampak be-
rubah. Malah kedua tangan masing-masing orang ter-
lihat bergetar keras.
Murid Pendeta Sinting melirik pada Putri Sableng.
Lalu mata kirinya mengerdip. Joko memberi isyarat
agar keduanya bergabung untuk hadapi Iblis Rangkap
Jiwa karena Joko sadar, orang yang dihadapi saat ini
bukan lawan sembarangan. Namun isyarat mata Joko
ditangkap lain oleh si gadis. Gadis berjubah merah ini
mendelik sambil buang muka dan bergumam
"Dasar Setan Jelek! Keadaan sudah begini masih
juga bermain mata!"
Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang
tatkala melihat isyaratnya ditangkap lain oleh Putri
Sableng. "Apa boleh buat! Aku harus pergunakan ilmu
yang baru saja ku peroleh...."
Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalamnya pada tangan kirinya. Saat itu
juga tangan kirinya berubah warna menjadi biru, In-
ilah tanda kalau dia telah siap hendak lancarkan Ilmu
pukulan 'Serai Biru’.
"Hem.... Keluarkan semua ilmu milikmu, bocah!”
ujar Iblis Rangkap Jiwa lalu melangkah dua tindak ke
depan seakan hendak menyongsong pukulan yang
akan dilepas murid Pendeta Sinting,
"Menurut Raja Tua Segala Dewa manusia ini kebal
pukulan! Apa dia tidak mempan dengan pukulan 'Serat
Biru'?!" '
Pendekar 131 cepat tarik tangan kirinya. Lalu dido-
rong ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat se-
rat-serat laksana benang berwarna biru terang.
Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa sesaat terbeliak.
Laki-laki ini rupanya maklum kalau pukulan yang kini
menggebrak ke arahnya tidak boleh dianggap remeh.
Laki-laki yang semula hendak menyongsong pukulan
lawan dengan unjukkan dadanya ini mundur dua tin-
dak. Lalu kedua tangannya bergerak.
Wuuutt! Wuuutt!
Terdengar deruan keras. Lalu dua gelombang luar
biasa dahsyat melesat ke arah murid Pendeta Sinting
memangkas serat-serat biru.
Melihat hal itu, Putri Sableng tak sia-siakan ke-
sempatan. Gadis berjubah merah ini cepat kerahkan
tenaga dalamnya lalu lepaskan pukulan ke arah Iblis
Rangkap Jiwa.
Iblis Rangkap Jiwa berseru keras. "Jahanam! Bera-
ninya kau bertindak pengecut hendak membokongku!"
Putri Sableng tanggapi seruan orang dengan terta-
wa cekikikan. Malah dia lipat gandakan tenaga dalam
nya lalu dorong tangannya sambil menyusuli pukulan-
nya.
Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena begitu akan
lepaskan pukulan memangkas serangan Putri Sableng,
gelombang yang dilepaskan ke arah Joko laksana di-
bungkus dan dililit benang hingga bukan saja dalam
waktu sekejap tertahan di udara namun juga segera
ambyar semburat kian kemari! Malah dengan aneh, se-
rat-serat yang baru saja membuyarkan pukulannya
menerabas melabrak ke arahnya!
Iblis Rangkap Jiwa terlihat bimbang. Kalau dia
memangkas pukulan Putri Sableng, jelas serat-serat
biru terang akan melabrak dirinya. Kalau dia memang-
kas serat-serat biru, pukulan yang dilancarkan Putri
Sableng pasti akan telak menghantam tubuhnya.
Meski Iblis Rangkap Jiwa merasa segala pukulan yang
mengenal dirinya tidak akan terasa, namun lambat
laun pertahanannya akan jebol apalagi pukulan yang
melabraknya bukan lagi pukulan yang bisa dianggap
sepele.
Belum sampai iblis Rangkap Jiwa membuat putu-
san, serat-serat biru laksana benang telah dua langkah
di depannya, sementara gelombang pukulan Putri Sab-
leng satu tombak di belakangnya.
Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya lalu
cepat pukulkan kedua tangannya ke depan tepat saat
serat-serat biru di depannya.
Desss! Desss! Dessss! Desssss! Serat-serat biru
laksana benang terputus lalu bertabur ke udara. Di
depan sana sosok murid Pendeta Sinting terhuyung-
huyung lalu jatuh terduduk dengan muka pias. Iblis
Rangkap Jiwa sendiri langsung terdorong ke belakang.
Namun gerakan tubuh laki-laki ini tertahan karena
bersamaan dengan terdorongnya tubuh ke belakang,
pukulan Putri Sableng datang menggebrak dari bela-
kang. Bukkk! Desss!
Tak pelak lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa terdorong
ke depan. Kejap lain sosoknya tersungkur jatuh te-
lungkup!
Melihat Iblis Rangkap Jiwa roboh, meski masih me-
rasakan sakit pada sekujur tubuhnya, Joko cepat
bangkit lalu hendak berkelebat. Namun Putri Sableng
angkat tangan kanannya memberi isyarat agar Joko
urungkan niat.
Mungkin masih merasa jengkel dengan isyaratnya
tadi yang ditangkap lain oleh Putri Sableng, Joko tidak
hiraukan isyarat si gadis. Dia teruskan langkahnya ke
arah robohnya Iblis Rangkap Jiwa.
Baru saja murid Pendeta Sinting melangkah tiga
tindak, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan
dengan gulingkan tubuhnya. Saat bersamaan kedua
tangannya bergerak lepaskan pukulan.
Meski murid Pendeta Sinting sudah waspada na-
mun dia jadi terlengak. Karena baru saja kedua tan-
gannya bergerak, gelombang yang menyambar keluar
dari kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah melabrak
ganas!
"Pemuda setan geblek!" terdengar seruan dari Putri
Sableng. Bersamaan dengan itu kedua tangannya ber-
gerak lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Desss!
Karena Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pukulan
si gadis, maka dengan telak pukulan Putri Sableng
menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa
hanya berseru tertahan tanpa bayangan rasa sakit,
namun tak urung juga tubuhnya terlontar sampai satu
tombak. Hal ini membuat pukulannya yang dilancar-
kan pada Pendekar 131 melenceng meski masih sempat menerabas pundak.
Pendekar 131 tersapu dan terhuyung-huyung. Pa-
kaian bagian pundaknya robek menganga dan hangus.
Belum sempat Joko membuat gerakan untuk menahan
tubuhnya, satu sosok tubuh sudah tegak di belakang-
nya hingga huyungan tubuhnya terhenti.
Menduga bahwa yang menahan gerakan tubuhnya
Putri Sableng apalagi tatkala dilihatnya gadis berjubah
merah Itu tidak ada lagi di tempatnya semula, tanpa
berpaling lagi murid Pendeta Sinting berkata.
"Terima kasih kau selamatkan aku! Kita sekarang
bersahabat! Kalau suatu saat aku mengintipmu mandi,
kuharap kau tidak marah-marah lagi!"
Tidak terdengar sahutan. Namun karena sosok di
belakangnya masih tegak meski tidak terlalu rapat,
Joko kembali berujar.
"Kita mendapat keterangan sama dari Cucu Dewa.
Kulihat kau tadi telah coba lakukan, namun nyatanya
tidak berpengaruh! Malah mata manusia iblis itu ma-
kin mendelik melihat pantatmu yang putih padat dan
besar! Jangan-jangan Cucu Dewa membohongi kita...,
Dia bersekongkol dengan manusia Iblis itu agar mem-
perlihatkan pantat bagusmu padanya!"
Belum terdengar sahutan. Malah bersamaan den-
gan itu terdengar suara orang tertawa cekikikan terta-
han dari arah sebelahnya, membuat Joko terkesiap.
Joko maklum kalau di tempat itu sekarang bukan
hanya ada Putri Sableng namun ada orang lain lagi!
Murid Pendeta Sinting cepat putar diri. Sepasang
matanya kontan melotot besar dengan mulut mengan-
ga tanpa keluarkan suara!
*
* *
ENAM
SEJARAK lima langkah dari tempatnya berdiri, ter-
lihat Putri Sableng tegak dengan tertawa tertahan. Ke-
pala gadis berjubah merah ini mendongak dengan ba-
hu berguncang-guncang. Sementara tepat di depannya
terlihat tegak seorang laki-laki bertubuh pendek be-
rambut panjang lebat hitam yang dikelabang dua.
Orang ini tersenyum tanpa berkata apa-apa.
"Cucu Dewa!" seru Joko dengan suara seakan ter-
cekat di tenggorokan.
Laki-laki bertubuh pendek dengan rambut dikela-
bang dua dan bukan lain adalah Cucu Dewa angguk-
kan kepala lalu berujar.
"Kau masih ingin mengintipku mandi?"
Paras wajah Joko berubah merah padam. Dia ber-
paling pada Putri Sableng namun sebelum dia sempat
buka mulut, si gadis telah mendahului.
"Mengapa tidak kau jawab pertanyaan orang?!"
Belum ada suara jawaban yang terdengar, menda-
dak dari arah depan terdengar deruan luar biasa dah-
syat. Lalu terlihat gelombang kabut berwarna hitam
pekat menyungkup tempat itu!
"Pejamkan mata. Cepat menyingkir!" terdengar Cu-
cu Dewa berteriak.
Bersamaan itu Cucu Dewa gerakkan kedua tan-
gannya mendorong tubuh murid Pendeta Sinting hing-
ga terdorong sampai dua tombak. Kejap lain laki-laki
ini berkelebat ke samping. Putri Sableng tidak tinggal
diam. Tanpa berpikir panjang lagi dia cepat melompat.
Kabut hitam yang datang bergelombang menyapu
tanah di mana Joko, Cucu Dewa, dan Putri Sableng
tadi berada. Lalu di depan sana tampak dua batang
pohon berderak tumbang!
Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja kirimkan puku-
lan tampak mendengus keras melihat pukulannya ti-
dak mengenal sasaran. Orang ini cepat putar sepasang
matanya. Di depan sana terlihat Cucu Dewa berbisik
pada Joko. Kejap lain keduanya berkelebat ke arah te-
gaknya Putri Sableng.
Baru saja ketiganya berkumpul dan belum sempat
ada yang buka mulut, dari arah depan kembali meng-
hampar gelombang kabut hitam pekat.
"Menyingkir berpencar! Tapi lekas bersatu lagi!" bi-
sik Cucu Dewa lalu mendahului berkelebat. Joko sege-
ra menyusul dengan berkelebat mengambil arah ke
samping kanan. Saat bersamaan Putri Sableng melom-
pat ke arah berlawanan dengan murid Pendeta Sinting.
Untuk kedua kalinya puncak Bukit Selamangleng
dilanggar gelombang luar biasa dahsyat. Pohon-pohon
yang ada di puncak bukit itu rata tersapu tumbang.
Tanahnya muncrat ke udara.
Melihat hal itu, Joko angkat kedua tangannya. Dia
berpikir kalau hal itu tidak dihentikan, bukan tak
mungkin akan membahayakan. Namun baru saja ke-
dua tangannya berubah warna, Cucu Dewa telah ber-
teriak.
"Tahan seranganmu! Percuma kau buang-buang
tenaga! Bagaimanapun kehebatan ilmu yang kau mili-
ki, tetap saja tidak akan bisa melukainya!"
Joko berpaling. Karena saat itu dilihatnya Cucu
Dewa melambai, murid Pendeta Sinting cepat berkele-
bat mendekat Pada saat bersamaan Putri Sableng juga
berkelebat.
"Cepat lakukan apa yang pernah kukatakan pada
kalian berdua!" kata Cucu Dewa.
Murid Pendeta Sinting pandangi Cucu Dewa dengan kening mengernyit. Di sebelahnya Putri Sableng
mendelik lalu bergumam. "Aku tak mau lakukan itu!"
Terserah kalau kalian tak mau lakukan apa yang
kukatakan! Tapi jangan harap kalian bisa lolos dari
tempat ini dengan selamat!"
"Biar dia saja yang melakukan!" kata Putri Sableng.
Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak bias! Kalian
berdua harus melakukannya sama-sama. Jika hanya ,
salah satu, tidak ada artinya!"
Mendengar ucapan Cucu Dewa, Putri Sableng ter-
lengak. "Sialan! Mengapa dia tidak mengatakan hal itu
waktu aku meminta keterangan beberapa waktu lalu?
Kalau tahu begitu, tidak sudi aku datang ke tempat
ini!"
Kalau Putri Sableng membatin begitu, Joko diam-
diam juga berkata dalam hati. "Hem... makanya walau
gadis itu telah lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa
tapi tidak ada pengaruhnya! Tidak sangka kalau hal
itu harus dilakukan bersama-sama...."
"Bagaimana kalau yang lakukan pemuda sedeng
itu dengan kau?!" tanya Putri Sableng pada Cucu De-
wa.
Kembali Cucu Dewa gelengkan kepalanya. "Selain
aku tidak ikut punya kepentingan dengan urusan ka-
lian, percuma kalau aku yang melakukannya! Karena
hal itu harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan pe-
rempuan!"
"Aturan gendeng!" ujar Putri Sableng.
"Terserah kau katakan apa! Yang jelas kalau kalian
ingin selamat hanya itu satu-satunya jalan!"
"Apa boleh buat! Kita harus melakukannya!" kata
murid Pendeta Sinting.
"Enak saja bicara! Kau bicara begitu karena kau
ingin lihat pantatku!" sahut Putri Sableng.
"Aku sudah lihat bukan hanya pantatmu! Tapi...."
"Sudah! Tidak ada gunanya saling tunjuk! Kalian
harus cepat bertindak. Kalau tidak, bersiaplah mene-
rima kematian!" tukas Cucu Dewa.
'Apa tidak ada cara lain? Atau kita gabungkan pu-
kulan?!" Joko masih memberi usul.
"Sudah kukatakan, tak ada satu pun kekuatan
yang dapat melukainya! Kalaupun ada itu mungkin
hanya terdapat pada kitab yang kalian cari! Dan apa
yang hendak kalian lakukan hanya membuat dirinya
tak bisa kerahkan tenaga dalamnya selama setengah
hari! Cepat lakukan! Lihat dia sudah gerakkan kedua
tangannya!"
Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Di depan
sana Iblis Rangkap Jiwa sudah angkat kedua tangan-
nya Malah kini kaki kanannya ikut diangkat.
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh memung-
gungi Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya memegan-
gi pinggang kiri kanan.
"Kuminta kau lakukan apa yang dikatakan orang
tua ini!" kata Joko seraya memandang pada Putri Sab-
leng.
Putri Sableng tak menyahut. Wajah gadis ini tam-
pak merah padam. Dia memandang silih berganti pada
Joko dan Cucu Dewa.
Seakan tahu apa yang terpikir dalam hati orang,
Cucu Dewa berkata. "Jangan khawatir kalau aku akan
melihat! Aku akan pejamkan mata dan berbalik!"
Bersamaan dengan itu Cucu Dewa pejamkan sepa-
sang matanya lalu putar diri berbalik.
Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah hentakkan
kaki kanannya hingga terdengar suara berdebam ke-
ras.
"Kau juga harus pejamkan mata!" kata Putri Sableng seraya mendelik pada murid Pendeta Sinting.
Tanpa buka mulut lagi, Pendekar 131 pejamkan
sepasang matanya. Bersamaan dengan Itu, Putri Sab-
leng angkat jubah merahnya bagian bawah. Di sebe-
lahnya, Joko sudah tarik celananya sedikit ke bawah.
Iblis Rangkap Jiwa pentangkan sepasang matanya
besar-besar. Di hadapannya terlihat dua pantat milik
murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng! Namun hal
itu tidak membuat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat
untuk lakukan serangan. Malah kini seraya-tertawa
bergelak dia gerakkan kedua tangannya lepaskan pu-
kulan.
Namun mendadak iblis Rangkap Jiwa tercekat. Da-
ri kedua tangannya tidak terdengar gelombang yang
menyambar. Malah kejap lain laki-laki ini rasakan se-
kujur tubuhnya lunglai! Seluruh kekuatannya laksana
disedot kekuatan yang tidak tampak!
"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku? Kekua-
tanku musnah!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan
dengan itu sosoknya goyang. Kedua kakinya menekuk
sebelum akhirnya roboh ke tanah.
"Bagaimana? Apa sudah selesai?!" tanya Putri Sab-
leng.
"Mana aku tahu? Kau menyuruhku pejamkan ma-
ta!" sahut Joko lalu buka sedikit matanya. Namun dia
buru-buru pejamkan matanya lagi saat dilihatnya Putri
Sableng mendelik ke arahnya!
Tugas kalian selesai!" tiba-tiba terdengar suara Cu-
cu Dewa.
Putri Sableng cepat lepaskan bagian bawah jubah
merahnya yang diangkat. Saat bersamaan murid Pen-
deta Sinting tarik ke atas celananya. Serentak kedua-
nya balikkan tubuh.
"Hampir tak kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" gumam Joko dengan mata memandang ke arah Ib-
lis Rangkap Jiwa yang menggelosor di atas tanah.
Meski laki-laki ini terlihat coba kerahkan tenaga da-
lamnya, namun sia-sia!
"Cucu Dewa! Terima kasih...!" ujar Joko.
Cucu Dewa hanya memandang tanpa buka mulut.
Laki-laki bertubuh cebol ini melangkah lalu berkata.
"Selanjutnya urusan kalian! Tapi ingat. Jangan ka-
lian bertindak di luar batas karena orang itu dalam
keadaan tidak berdaya! Seluruh kekuatannya musnah!
Kalau kalian bertindak di luar batas, aku tidak ikut
tanggung jawab! Dan ingat. Kekuatannya akan pulih
kembali dalam waktu kira-kira setengah hari...."
Habis berkata begitu, Cucu Dewa lanjutkan me-
langkah. "Selamat malam...."
Baik murid Pendeta Sinting maupun Putri Sableng
hendak menahan kepergian Cucu Dewa, namun ter-
lambat. Cucu Dewa telah gerakkan tubuh. Kejap lain,
sosoknya berkelebat menuruni bukit.
Pendekar 131 berpaling pada Putri Sableng. Na-
mun murid Pendeta Sinting tersentak. Belum sampai
dia buka mulut, si gadis telah berkelebat dan tahu-
tahu sosoknya telah tegak di samping Iblis Rangkap
Jiwa yang roboh di atas tanah.
"Apa gadis sableng itu menginginkan kitab itu? Ce-
laka kalau tindakannya tidak dicegah!" Joko serentak
berkelebat.
"Ini urusanku! Harap kau tidak ikut campur!" kata
Joko begitu tegak di samping Putri Sableng.
Putri Sableng menoleh. Sepasang matanya mende-
lik. "Enak saja buka mulut! Tanpa aku, apa kau kira
bisa lakukan ini, hah? Aku juga punya kepentingan!
Aku telah ikut merasa andil!"
"Keparat! Jahanam! Apa yang kalian lakukan padaku?! Kalian akan menyesal seumur-umur berani
membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa!" teriak
Iblis Rangkap Jiwa dengan suara bergetar pertanda
menindih hawa amarah.
Baik Joko maupun Putri Sableng tidak hiraukan
teriakan Iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya kedua orang
ini untuk beberapa saat saling adu pandang tanpa ada
yang buka mulut.
"Gadis sableng! Kuperingatkan padamu! Jangan
berani melangkahi urusan ini!" kata Joko sambil maju
satu tindak.
Putri Sableng tertawa pelan. Lalu sambil berkacak
pinggang dia berkata.
"Kalau aku berani, kau mau apa?!"
Mendapat tantangan begitu rupa, murid Pendeta
Sinting tampak terlengak. Rahangnya sedikit mengem-
bang. Namun dia coba menahan lalu berkata. Sua-
ranya terdengar parau keras.
"Kau akan menyesal dan kecewa!"
Mendengar ucapan Joko, gadis berjubah merah
bukannya takut. Gadis ini malah perkeras tawanya.
"Semua telah kuperhitungkan! Jadi harap kau buang
jauh-jauh dugaanmu itu, Pemuda Setan!"
Habis berkata begitu, tenang-tenang saja Putri
Sableng maju satu tindak. Sesaat ditatapnya sosok Ib-
lis Rangkap Jiwa. Lalu berkata.
"Hidup matimu ada di tanganku! Kalau kau men-
jawab Jujur pertanyaanku, selembar nyawamu utuh!
Kalau tidak...," Putri Sableng tidak lanjutkan ucapan-
nya. Sebaliknya gadis Ini tertawa cekikikan sambil bo-
lak-balikkan telapak tangannya.
"Jahanam! Jangan harap kau mendapat keteran-
gan apa-apa dariku!"
"Hem.... Begitu? Aku ingin lihat sampai di mana
kebenaran ucapanmu!"
"Tahan!" teriak murid Pendeta Sinting saat melihat
Putri Sableng angkat tangan kanannya seolah hendak
lakukan pukulan.
Putri Sableng melirik. "Kau mau apa?!"
"Jangan bertindak di luar batas! Aku membutuh-
kan orang itu! Aku tidak main-main!'
"Sialan! Apa kau kira aku tidak membutuhkan-
nya?! Dan apa kau kira aku ini main-main? Hah...?!"
"Kau benar-benar tidak bisa diberi hati!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Jangan bicara ngaco! Siapa
minta hati?!"
"Kalau saja bukan seorang gadis, sudah sejak tadi
ku bungkam mulutnya...!" kata Joko dalam hati. Lalu
berkata.
"Kau tahu perihal kitab itu dari mulutku, jadi ha-
rap kau...."
Ucapan murid Pendeta Sinting belum selesai, Putri
Sableng telah menukas. "Jangan merasa pandai, pe-
muda Geblek! Sebelum kau mengatakan perihal kitab
itu padaku, jauh sebelumnya aku sudah tahu!"
"Siapa percaya pada ucapanmu! Kau pintar mem-
balik masalah!"
"Aku tak butuh kepercayaanmu! Yang jelas aku te-
lah sampai di sini dan jumpa dengan manusia iblis ini!
Apa itu belum cukup sebagai bukti kalau aku juga ta-
hu urusan kitab itu?!"
"Tapi itu karena kau mendengar dariku!" sahut Jo-
ko dengan suara makin keras.
"Aku tak peduli dari mana aku tahu! Sekarang aku
tanya padamu. Apa maumu?!" kata Putri Sableng se-
raya mendongakkan sedikit kepalanya.
"Aku membutuhkan keterangan dari orang itu!"
"Apa kau kira jauh-jauh aku datang kemari tidak
membutuhkan keterangannya?! Kau kira aku pergi ke
sini hanya untuk memperlihatkan pantat?!"
"Hem.... Kalau ku ladeni, urusan ini tidak akan se-
gera selesai! Lebih baik aku menunggu saja! Begitu
manusia Iblis itu memberi keterangan, aku akan men-
dahuluinya!" ujar Joko dalam hati. Lalu tanpa berkata
apa-apa lagi murid Pendeta Sinting mundur dua lang-
kah.
"Bagus! Berarti kau tahu siapa yang kau hadapi!
Hik.... Hik…Hik...!"
Mendengar ucapan Putri Sableng sebenarnya mu-
rid Pendeta Sinting sudah tidak bisa menahan sabar.
Tapi setelah memikir panjang akhirnya dia hanya me-
mandang dengan mulut terkancing.
Melihat sikap Joko, Putri Sableng arahkan pan-
dangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata
membentak.
"Keselamatan jiwamu hanya tergantung pada satu
pertanyaanku!"
Iblis Rangkap Jiwa merasa tengkuknya dingin.
Namun laki-laki ini coba sembunyikan rasa takutnya
dengan menyeringai lalu berkata.
"Kau tetap tidak akan mendapat jawaban apa-apa
dariku!”
"Hik….Hik....Hik...! Berarti kau telah menginginkan
tanah kuburan!"
"Itu lebih baik bagiku daripada menjawab perta-
nyaanmu!”
Bersamaan selesainya ucapan Iblis Rangkap Jiwa,
Putri Sableng angkat kedua tangannya. Saat lain dia
gerakkan lurus menukik.
Bummm!
Puncak bukit bergetar. Tanah sejarak satu jengkal
di samping Iblis Rangkap Jiwa bertabur ke udara
membentuk lobang menganga! Putri Sableng memang
arahkan pukulannya pada tanah di samping si laki-
laki berkepala gundul ini.
"Jangan kau kira aku takut dengan gertakanmu!
Aku yakin, kau tidak akan membunuhku! Ha.... Ha....
Ha...l"
Putri Sableng terkesiap mendengar ucapan Iblis
Rangkap Jiwa. Tanpa berkata lagi gadis berjubah me-
rah ini angkat kaki kirinya lalu ditekankan pada kaki
kanan Iblis Rangkap Jiwa.
"Kau salah ucap! Aku tak segan-segan mencabut
nyawamu!"
"Itu tak akan kau lakukan!" jawab Iblis Rangkap
Jiwa.
Putri Sableng perkeras tekanan kakinya. "Katakan.
Di mana beradanya kitab itu!"
Iblis Rangkap Jiwa meringis sambil gelengkan ke-
pala. "Kau tak akan mendengar jawaban dariku!"
Plaaakk! Plaaakk!
Dua tangan kiri kanan Putri Sableng bergerak. Ke-
pala Iblis Rangkap Jiwa terlihat tersentak ke kiri lalu
ke kanan dengan keras.
"Katakan! Di mana kitab itu!" sentak Putri Sableng
sambil angkat kedua tangannya kembali.
Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa kembali ge-
lengkan kepala. "Seribu kali kau ulangi pertanyaanmu,
kau tetap tidak akan mendapat jawaban!"
"Berarti kau benar-benar ingin mampus!"
"Kau tidak akan lakukan itu!" ujar Iblis Rangkap
Jiwa sambil tertawa pendek.
"Hem.... Kau salah duga! Dengar baik-baik! Seka-
rang aku tidak lagi membutuhkan kitab itu! Aku ingin
selembar nyawamu!"
"Kau mudah melakukannya! Lekas lakukan keinginanmu!" kata Iblis Rangkap Jiwa tanpa tunjukkan ra-
sa ngeri. Laki-laki ini merasa yakin jika kedua orang di
hadapannya tidak akan lakukan ancamannya sebelum
mendapatkan jawaban tentang di mana beradanya Ki-
tab Hitam.
Sepasang mata Putri Sableng tampak berkilat-kilat.
Mulutnya terkancing rapat. Mungkin karena tak sabar
dengan sikap Iblis Rangkap Jiwa, gadis ini angkat ke-
dua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya terlihat berge-
tar keras. Tanda dia telah kerahkan segenap tenaga
dalamnya.
Dl bawahnya meski merasa ngeri, Iblis Rangkap
Jiwa pandangi kedua tangan si gadis. Mendadak sepa-
sang mata laki-laki ini memejam. Tanpa sadar, terden-
gar seruan dari mulutnya ketika tiba-tiba Putri Sab-
leng gerakkan kedua tangannya.
Murid Pendeta Sinting yang sedari tadi hanya meli-
hat, buka mulut. Namun belum sampai terdengar sua-
ranya, Putri Sableng tiba-tiba tarik pulang kedua tan-
gannya saat kedua tangan itu sejengkal hendak meng-
hantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kejap lain gadis
berjubah merah ini berkelebat ke belakang dan tegak
di samping murid Pendeta Sinting.
"Sekarang giliranmu membuat mulutnya terbuka!"
kata Putri Sableng tanpa memandang pada Joko.
Murid Pendeta Sinting angkat bahunya lalu me-
langkah mendekati Iblis Rangkap Jiwa. "Hem.... Meng-
hadapi laki-laki begini, aku tahu bagaimana” kata Joko
dalam hati.
Begitu dekat dengan Iblis Rangkap Jiwa, tanpa
berkata sepatah kata pun, Joko langsung gerakkan
tangan kiri kanannya ke bagian bawah pakaian Iblis
Rangkap Jiwa hingga pakaian compang-camping laki-
laki berkepala gundul itu robek menganga di bawah
pusar.
Iblis Rangkap Jiwa tersentak dan buru-buru ge-
rakkan kedua tangannya untuk menutupi aurat ba-
wahnya yang tidak tertutup lagi. Di seberang sana Pu-
tri Sableng terdengar berseru lalu cepat-cepat pejam-
kan sepasang matanya dan berbalik. Namun kejap
kemudian terdengar cekikikan tawanya!
"Apa yang hendak dilakukan, Setan Jelek itu? Ingin
menunjukkan padaku punya manusia iblis itu? Hik....
Hik.... Hik...!" ujar Putri Sableng dalam hati lalu tanpa
balikkan tubuh dia berseru.
"Apa kau ingin beradu besar? Atau hanya ingin
mencocokkan?!"
"Dasar sableng!" gumam Joko tanpa menjawab se-
ruan Putri Sableng.
"Jahanam! Apa maumu?!" sentak Iblis Rangkap Ji-
wa.
Murid Pendeta Sinting tertawa dahulu sebelum
menjawab,
"Aku sekarang tidak menginginkan kitab itu! Me-
nurut cerita yang kudengar, aurat bawahmu lebih
memiliki daya kesaktian dibanding kitab itu! Jadi aku
sekarang menginginkan milikmu!"
Murid Pendeta Sinting pandangi sejurus Iblis
Rangkap Jiwa yang tercekat dan mengkerut seraya pe-
gangi aurat bawahnya.
Di belakang sana, kembali Putri Sableng berseru,
tetap membelakangi Joko dan Iblis Rangkap Jiwa.
"Hai...! Dari mana kau tahu barangnya memiliki
kesaktian lebih daripada kitab?!"
"Kau tak usah banyak tanya! Kalau kau suka, kau
nanti akan kuberi separo! Terserah mau kau buat
apa!" jawab murid Pendeta Sinting seenaknya.
Habis berkata begitu, Joko bergerak jongkok. Ke
dua tangannya diangkat. Iblis Rangkap Jiwa makin
meringkuk. Mendadak laki-laki ini berseru tertahan
tatkala tiba-tiba kedua tangan Joko sudah bergerak ke
bahunya. Saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa tersentak.
Karena dia sudah tidak dapat lagi gerakkan anggota
tubuhnya!
Murid Pendeta Sinting tidak pedulikan perubahan
wajah orang yang makin membayangkan ketakutan.
Sebaliknya dia teruskan gerakkan kedua tangannya ke
arah bagian bawah perut Iblis Rangkap Jiwa.
Sejengkal lagi kedua tangan murid Pendeta Sinting
menyentuh kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang di-
gunakan menutup bagian bawah auratnya, laki-laki
berkepala gundul ini berteriak.
"Jahanam! Hentikan! Akan kukatakan di mana ki-
tab Itu!!”
"Hem.... Manusia Iblis harus dimuslihati iblis!" kata
Joko dalam hati lalu tarik pulang kedua tangannya.
"Katakan! Di mana kitab itu berada!"
"Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada
sebuah jurang. Di dalam jurang itulah beradanya kitab
itu!"
"Ucapanmu bisa dipercaya?!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab. Dia hanya
memandang dengan mata berkilat-kilat. Melihat sikap
orang, murid Pendeta Sinting dapat menebak kalau
ucapan Iblis Rangkap Jiwa tidak berdusta. Namun dia
tidak berani bertindak sembrono.
Sambil ulurkan kedua tangannya kembali ke de-
pan, murid Pendeta Sinting ajukan tanya lagi.
"Di mana kitab itu?!"
"Kau tidak tuli! Aku telah jawab pertanyaanmu!"
Joko tidak tarik pulang kedua tangannya. Kedua
tangannya terus bergerak. Kejap lain kedua tangan Ib
lis Rangkap Jiwa terlihat bergerak ke samping mengi-
kuti gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting,
membuat aurat bawah laki-laki ini terbuka.
Iblis Rangkap Jiwa berteriak menyumpah-
nyumpah. Sementara Joko tertawa pelan lalu berkata.
"Ulangi lagi jawabanmu!"
Dengan suara keras bergetar Iblis Rangkap Jiwa
ulangi lagi jawabannya. Bersamaan dengan itu, murid
Pendeta Sinting gerakkan kedua tangannya ke atas ta-
nah. Sosoknya bangkit. Kejap lain sosoknya berkelebat
menuruni bukit
Karena sengaja berkelebat mengambil arah di sebe-
lah belakang Putri Sableng, gadis berjubah merah ini
tidak tahu. Gadis ini baru buka mulut setelah agak
lama dia tidak lagi mendengar suara Joko atau Iblis
Rangkap Jiwa.
"Hal...! Jangan percaya dahulu dengan jawaban-
nya! Siapa tahu hendak menjerumuskan! Kalau me-
mang barangnya lebih sakti, apakah tidak lebih baik
kita urungkan mencari kitab itu?! Hik.... Hik.... Hik...!
Meski mungkin aku merasa geli, tapi lama kelamaan
juga terbiasa...."
Tidak ada suara yang menyahut, membuat hati Pu-
tri Sableng tidak enak. Namun dia tidak segera berani
berpaling. Malah dia kembali bertanya.
"Hai...! Apa kau masih di situ? Apakah barangnya
sudah kau ambil?!"
Karena tidak ada jawaban, perlahan-lahan Putri
Sableng angkat kedua tangannya menutupi wajahnya.
Lalu seraya tertawa cekikikan dia putar tubuh.
Dari balik kedua telapak tangannya, sepasang ma-
ta Putri Sableng perlahan-lahan membuka. Tawa ceki-
kikannya mendadak terputus. Seakan tak sadar dia
segera tarik kedua tangannya dari wajahnya.
"Sialan! Pemuda Setan itu telah mendahuluiku!"
seru Putri Sableng. Lalu gadis Ini cepat balikkan tubuh
tidak tahan melihat aurat bawah Iblis Rangkap Jiwa
yang terbuka.
Di sebelah depan, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki
tidak karuan. Namun begitu melihat Putri Sableng
hendak berkelebat turun bukit, laki-laki itu berteriak.
"Harap kau suka membebaskan aku dari totokan
jahanam ini!"
Putri Sableng hentikan langkah. Tanpa balikkan
tubuh dia berujar.
"Sebenarnya aku mau saja membebaskanmu. Tapi
kau tutup dahulu barangmu! Aku silau karenanya!
Hik.... Hik.... Hik...!"
"Bagaimana aku akan menutup, kalau bergerak sa-
ja tidak bisa?! Kau bisa lakukan dengan pejamkan ma-
ta...."
"Ah.... Aku takut. Kalau aku pejamkan mata, jan-
gan-jangan tanganku salah pegang! Kau yang enak,
tapi aku.... Hik.... Hik.... Hik...!"
"Aku mohon.... Jika kau bebaskan aku, kau akan
mendapat imbalan pantas!”
"Sayang aku tidak tertarik dengan imbalanmu! Ha-
rap kau suka bersabar menunggu Dewi Penolong....
Siapa tahu malam purnama ini ada bidadari kayangan
yang tertarik karena melihatmu tidak mengenakan ce-
lana? Hik;... Hik.... Hik...!" seraya terus tertawa cekiki-
kan, Putri Sableng berkelebat menuruni bukit.
"Jahanam! Kalian akan menyesal tidak membu-
nuhku saat ini!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki ini
lalu pejamkan sepasang matanya dan mengatur per-
napasan.
***
TUJUH
KITA tinggalkan Pendekar 131 dan Putri Sableng
yang sedang menuju jurang menuruti keterangan Iblis
Rangkap Jiwa. Kita kembali mengikuti perjalanan Ma-
laikat Penggali Kubur setelah mendapatkan Kitab Hi-
tam dari tubuh seorang tokoh hitam yang pernah hi-
dup semasa Raja-raja Singasari yakni Ageng Barada
alias Datuk Kematian.
Saat itu matahari baru saja naik dari kaki langit.
Satu sosok tubuh terlihat melangkah pelan menuju
arah pantai di sebelah timur. Orang ini sesekali henti-
kan langkah lalu kepalanya yang mengenakan caping
lebar bergerak memutar. Karena caping yang dikena-
kan lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepa-
lanya, tidak jelas benar ke arah mana sepasang ma-
tanya memandang. Orang ini adalah seorang laki-laki
mengenakan pakaian hitam-hitam. Paras wajahnya ke-
lihatan samar-samar, karena separonya hampir tertu-
tup dengan caping lebarnya. Melihat cara jalannya
yang sedikit terbungkuk-bungkuk dan sesekali berhen-
ti, orang mungkin akan menduga jika laki-laki ini telah
berusia lanjut. Apalagi di tangan kanannya terlihat se-
buah tongkat kayu yang digunakan topangan tubuh-
nya saat melangkah.
Ketika matahari makin tinggi dan langkah kakinya
memasuki kawasan pantai, laki-laki bercaping lebar ini
kembali hentikan langkah. Kepalanya lurus mengha-
dap ke timur. Lalu berpaling agak ke kanan. Untuk
beberapa saat lamanya kepala laki-laki ini tidak berge-
rak. Hanya sesaat kemudian terdengar gumaman nya
yang tidak jelas.
Laki-laki bercaping ketukkan tongkatnya di atas
tanah bercampur pasir. Lalu teruskan langkah. Dia
baru hentikan langkah saat jaraknya kira-kira sepuluh
tombak dari sebuah bangunan kuil yang menghadap
hamparan laut.
Untuk beberapa lama laki-laki bercaping tegak
dengan kepala lurus menghadap kuil. Kejap lain kepa-
lanya berputar. Setelah bergumam pelan dia lanjutkan
langkah. Lalu berhenti sepuluh langkah di hadapan
kuil. Namun kali ini kepalanya tidak menghadap kuil,
sebaliknya lurus ke arah hamparan laut. Malah tak
lama kemudian dia bergerak duduk. Tongkat di tangan
kanannya ditekankan masuk di atas tanah, Meski ge-
rakan menekan tangan orang terlihat pelan, anehnya
tongkat kayu itu kontan amblas masuk hampir seten-
gahnya ke dalam tanah!
"Suasana panas menyengat. Kalau sudi silakan
masuk ke tempatku...," satu suara tiba-tiba terdengar.
Laki-laki bercaping sedikit terkejut. Namun kejap
lain terdengar dia tertawa mengekeh dan menjawab.
"Terima kasih.... Orang tua sepertiku ini memerlu-
kan sinar matahari...," seraya berkata, laki-laki bercap-
ing putar kepalanya sedikit ke arah datangnya suara
yang mendadak terdengar. Namun sejauh itu laki-laki
ini tidak angkat kepalanya, hingga orang yang baru sa-
ja mempersilakan masuk dan kini tegak di belakang
laki-laki bercaping tampak kerutkan dahi.
Laki-laki bercaping menduga hanya akan melihat
bagian bawah tubuh orang setidaknya hanya sampai
pinggang karena terhalang oleh caping lebarnya yang
dimasukkan terlalu dalam pada kepalanya.
Namun untuk kedua kalinya laki-laki bercaping
sedikit terkejut. Meski terhalang oleh caping lebarnya,
laki-laki ini dapat melihat sekujur tubuh orang dari
kaki sampai rambut! Karena orang di hadapannya kini
bertubuh cebol!
Namun seperti halnya pertama kali mendapat tegu-
ran orang, meski merasa terkejut, tapi laki-laki bercap-
ing lebar coba mengatasi dengan tertawa pelan. Di lain
kejap kepalanya berputar lagi dan kini menghadap
hamparan laut.
"Orang tua!" kata orang di belakang laki-laki ber-
caping yang tidak lain adalah Cucu Dewa. "Kalau boleh
bertanya, apakah kau sengaja mencari sinar matahari
atau ada punya maksud lain?"
Laki-laki bercaping lebar terdengar batuk-batuk
beberapa kali sebelum akhirnya berkata.
"Kalau juga boleh bertanya, kenapa kau tanya begi-
tu?"
"Selama ini, orang yang berada di sekitar kuil bu-
kannya datang tanpa punya maksud...."
Laki-laki bercaping lebar untuk kedua kalinya pu-
tar kepala menghadap Cucu Dewa. Untuk beberapa
saat sepasang matanya yang terlindung memperhati-
kan sosok cebol di hadapannya. Saat lain kepala orang
ini bergerak menggeleng. Bersamaan dengan itu ter-
dengar gumaman nya.
"Aku tak tahu bagaimana harus menjawab perta-
nyaanmu.!"
"Maksudmu...?!" tanya Cucu Dewa. "Aku datang ke
tempat ini memang punya tujuan. Tapi aku sekarang
jadi ragu. Kalau orang tua sepertiku tidak tahu, ba-
gaimana mungkin orang seusiamu tahu apa yang hen-
dak kutanyakan....”
Cucu Dewa tampak sunggingkan senyum meski
keningnya mengernyit. "Orang tua. Usia orang bukan-
lah ukuran bahwa orang yang lebih tua lebih tahu dari
pada orang yang muda!"
"Ah.... Benar juga kata-katamu. Tapi mungkin yang
hendak kutanyakan urusannya lain. Orang yang lebih
tua akan lebih tahu daripada yang muda.... Tapi tidak
ada salahnya aku bertanya. Siapa tahu kau dapat
membantu...."
"Tunggu dulu! Sebelum kau ajukan tanya, boleh
aku tahu siapa dirimu?"
Untuk sesaat laki-laki bercaping lebar tidak segera
menjawab. Rupanya hal ini ditangkap oleh Cucu Dewa
hingga laki-laki bertubuh pendek ini segera berkata.
"Kalau kau tak mau katakan siapa dirimu, aku ti-
dak memaksa.... Aku akan tetap membantumu seda-
pat yang bisa kulakukan...."
"Terima kasih.... Aku tak mau mengatakan bukan-
nya apa. Tentu namaku tidak ada artinya bagimu. Aku
hanyalah laki-laki tua yang tinggal menunggu saat-
saat kematian. Namun sebelum ajal menjemput, ada
sesuatu yang masih menjadi ganjalan pikiranku....
Seandainya kau nanti dapat menghilangkan ganjalan
ini, rasanya aku mati sekarang pun tak apa...."
"Ah.... Mendengar nada ucapanmu, rasanya aku
bakal tidak dapat memberi keterangan yang akan kau
minta...," ujar Cucu Dewa.
"Hem.... Kalau kau merasa bimbang begitu, me-
mang lebih baik aku tidak katakan padamu! Karena
aku sendiri sebelumnya sudah menduga bahwa jawa-
ban yang akan ku peroleh sama seperti jawaban orang-
orang yang kutanya sebelumnya...."
"Jadi, selama ini kau telah bertanya pada beberapa
orang..
"Hampir separo dari usiaku kuhabiskan untuk
mencari jawaban...."
Kembali dahi Cucu Dewa berkerut. Setelah agak
lama terdiam, akhirnya laki-laki bertubuh pendek ini
berkata.
"Aku jadi ingin tahu apa yang menjadi ganjalan pi-
kiranmu. Tapi sebelumnya aku minta maaf kalau nanti
tidak bisa memberi keterangan...."
"Aku sudah terbiasa tidak memperoleh jawaban.
Jadi tidak usah minta maaf. Kau bersedia mendengar
pertanyaanku saja, aku sudah berterima kasih...," kata
laki-laki bercaping lebar dengan suara pelan, Sebelum
Cucu Dewa buka mulut lagi, laki-laki ini telah lan-
jutkan ucapannya.
"Untuk mengenangmu, boleh aku tahu siapa kau
adanya?"
Cucu Dewa gelengkan kepala, "Bukan aku memba-
las karena kau tadi tak sebutkan diri, Tapi bukankah
lebih baik kita tidak saling tahu nama, asal sama sal-
ing mengerti?"
Laki-laki bercaping tertawa agak keras. Lain ang-
guk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia ber-
kata.
“Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku,
sebenarnya keluargaku masih ada keturunan Raja-raja
Singasari. Malah orang tuaku pernah sebutkan sebuah
nama yang sampai sekarang tetap kuingat.....”
Laki-laki bercaping hentikan ucapannya, Dia seo-
lah sengaja memberi kesempatan pada Cucu Dewa un-
tuk bicara. Namun Cucu Dewa tidak angkat bicara.
Laki-laki ini justru sedikit pentangkan sepasang ma-
tanya yang sipit perhatikan laki-laki yang duduk di
hadapannya.
Laki-laki bercaping arahkan kepalanya sedikit ke
samping, hingga meski raut wajahnya tidak jelas keli-
hatan, tapi Cucu Dewa masih bisa melihat bagian ba-
wah paras orang.
"Aneh.... Keadaan tubuhnya seperti orang tua betu-
lan. Tapi kulit wajahnya tidak mengeriput. Giginya
utuh.... Rahangnya kokoh.... Tapi apa peduliku? Uru-
san yang hendak ditanyakan rupanya bukan masalah
nyawa orang seperti sepasang anak muda sableng
itu.... Hem.... Dia katakan dirinya masih keturunan
Raja-raja Singasari. Apa dia tahu kalau...."
Cucu Dewa putuskan membatin saat laki-laki ber-
caping kembali angkat bicara.
"Orang tuaku pernah sebut-sebut nama Ken Raka-
siwi!"
Cucu Dewa tak bisa lagi sembunyikan rasa kejut-
nya. Sepasang matanya membelalak. Laki-laki bercap-
ing tertawa perlahan lalu teruskan bicara.
"Aku baru kali ini melihat orang yang kutanya
sempat terkejut. Berarti apa yang selama ini menjadi
ganjalan pikiranku akan terjawab...."
"Orang ini tidak memandang ke arahku. Bagaima-
na dia tahu kalau aku merasa terkejut?" kata Cucu
Dewa dalam hati. Namun karena menduga urusan
yang ditanyakan orang tidak ada hubungannya dengan
nyawa orang, meski sedikit merasa tidak enak, laki-
laki bertubuh pendek ini tidak berprasangka lebih
jauh. Malah dia segera buka mulut.
"Lalu apa yang hendak kau tanyakan?"
"Aku bukannya ingin tunjukkan bahwa diriku ma-
sih ada hubungan darah dengan raja, tapi setidak-
tidaknya aku ingin tahu bagaimana silsilah keluarga-
ku. Karena selama ini orang tuaku tidak pernah mem-
beri jawaban! Lebih dari itu, aku ingin menjalin hu-
bungan dengan sanak familiku jika itu masih ada dan
mereka mengakui. Tapi sekali lagi, jangan berprasang-
ka. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari pihak ke-
luargaku jika masih ada. Semata-mata hanya ingin
menyambung darah yang terputus...."
Setelah merenung agak lama, akhirnya Cucu Dewa
berkata.
"Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang
nama yang kau sebut...."
"Ah.... Tidak banyak pun tak apa. Setidaknya aku
sedikit mendapat keterangan. Karena orang yang ku-
tanya selama ini, jangankan tahu sedikit. Dengar na-
manya pun baru saat aku ajukan tanya!"
"Menurut cerita yang kudengar...." Cucu Dewa mu-
lai memberi keterangan. "Pada masa kekacauan ketu-
runan Raja-raja Singasari, salah seorang keturunan
raja memang memegang kekuasaan. Sri Baginda ini la-
lu mempersunting seorang gadis berparas cantik ber-
nama Ken Rakasiwi. Tidak banyak orang yang tahu
asal-usul Ken Rakasiwi. Kalangan keluarga Sri Bagin-
da dan orang-orang baru mengenalnya setelah Ken
Rakasiwi dipersunting dan pada akhirnya menjadi
permaisuri. Ken Rakasiwi mempunyai beberapa orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Namun
pada akhirnya diketahui kalau anak laki-laki itu dipe-
roleh dari benih seorang abdi Sri Baginda. Ken Raka-
siwi akhirnya diusir dari Istana. Dia pergi membawa
serta anak laki-lakinya."
Sejenak Cucu Dewa hentikan keterangannya. Lalu
setelah agak lama dia melanjutkan. "Setelah itu tidak
diketahui lagi bagaimana kabar beritanya. Hanya ke-
mudian terjadi huru-hara di istana yang ternyata dida-
langi oleh anak laki-laki Ken Rakasiwi. Huru-hara itu
bukan untuk merebut kekuasaan, sebaliknya ternyata
hanya untuk mengambil benda pusaka kerajaan. Hu-
ru-hara itu akhirnya dapat dipadamkan dan benda pu-
saka bisa diselamatkan. Setelah itu kabar berita ten-
tang anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak terdengar la-
gi...."
Lagi-lagi Cucu Dewa hentikan penuturan ceritanya.
Malah laki-laki bertubuh cebol ini ikut-ikutan duduk
dengan sepasang mata memandang lekat-lekat ke arah
laki-laki bercaping.
Melihat tingkah Cucu Dewa, laki-laki bercaping se-
gera palingkan kepalanya. Mungkin tidak mau sing-
gung perasaan orang, Cucu Dewa akhirnya juga alih-
kan pandangan pada jurusan lain seraya teruskan ke-
terangannya.
"Namun barang pusaka kerajaan nyatanya masih
menjadi incaran orang. Terbukti beberapa tahun ke-
mudian, kembali terjadi huru-hara besar. Anehnya kali
ini dilakukan oleh seorang gadis berwajah cantik yang
kemudian dikenal dengan nama Maharani. Entah ka-
rena tingginya ilmu si gadis atau kurang ketatnya pen-
jagaan. Maharani berhasil menerobos masuk bangu-
nan tempat penyimpanan benda pusaka. Pada esok
harinya terjadilah kegemparan. Benda pusaka kera-
jaan hilang lenyap! Demikian pula Maharani.... Hanya
itu yang kuketahui, Orang Tua...."
"Lalu bagaimana dengan keturunan Ken Rakasiwi
dari beberapa anak perempuannya?" tanya laki-laki
bercaping.
"Karena suasana saat itu kacau balau, apalagi se-
telah lenyapnya benda pusaka kerajaan, tidak ada
orang yang tahu persis bagaimana akhirnya keturunan
Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya.
Hanya entah benar apa tidak, sekarang ini ada seorang
yang masih anak keturunan Ken Rakasiwi dari salah
seorang anak perempuannya...."
"Ah.... Kalau begitu aku masih bisa sambung hu-
bungan darah yang putus ini. Siapa orang itu?" tanya
laki-laki bercaping.
"Tak tahu jelas siapa nama sebenarnya. Hanya dia
dikenal dengan Dewa Orok!"
"Tempat tinggalnya?" tanya laki-laki bercaping ma-
sih tanpa memandang.
Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak ada orang
yang tahu di mana dia bertempat tinggal..."
Laki-laki bercaping anggukkan kepala. "Tak apa.
Aku sudah berterima kasih banyak atas keterangan-
mu. Kalau sudah tahu namanya, mungkin tidak sulit
untuk mencari. Hem.... Satu lagi pertanyaanku...."
Sambil berkata, laki-laki bercaping arahkan kepa-
lanya pada Cucu Dewa hingga untuk sesaat keduanya
saling berpandangan. Kini agak jelas Cucu Dewa dapat
melihat paras wajah orang meski hanya sebatas bagian
bawah matanya.
"Benda pusaka apa yang lenyap bersama Mahara-
ni?"
"Dua buah kitab...."
Kening di balik caping si laki-laki bergerak men-
gernyit. Kejap lain mulutnya kembali membuka ajukan
pertanyaan.
"Kalau pusaka kerajaan, pasti berupa kitab sakti.
Apa kau pernah dengar siapa pencipta dua kitab itu?"
"Entah betul apa tidak, dua kitab itu hasil karya
seorang tokoh besar yang bernama Resi Kamahaya-
nan!"
"Hem.... Apa kau juga pernah dengar cerita tentang
sebuah kitab yang juga diciptakan masa Ken Rakasiwi
itu?"
"Aku tidak pernah mendengarnya...," jawab Cucu
Dewa dengan tengadahkan sedikit kepalanya. Diam-
diam dalam hati laki-laki bertubuh pendek Ini berkata.
"Jangan-jangan pertanyaannya akan terus ngelantur
dan menjurus pada orang di Bukit Selamangleng
itu...."
Rupanya dugaan Cucu Dewa tidak jadi kenyataan.
Karena bersamaan dengan itu, laki-laki bercaping ber-
gerak bangkit.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas semua ke-
teranganmu. Sayang untuk saat ini aku tidak memba-
wa apa-apa. Lain kali pasti aku akan datang...."
Cucu Dewa ikut bangkit. Dia gelengkan kepala se-
raya tertawa dan berkata.
"Seandainya kau datang lagi membawa segunung
emas, maaf kalau aku tidak akan menerimanya. Yang
kuminta, kau mau lakukan tidak lebih dari apa yang
kau katakana!”
Laki-laki bercaping berpaling. "Maksudmu,...?"
"Kau minta keterangan untuk menyambung darah
yang terputus. Hal itulah yang membuatku mau berce-
rita padamu. Tapi jika nantinya kau bertindak di luar
itu, aku...." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya.
Hanya kepalanya yang bergerak menggeleng beberapa
kali.
"Kau tidak usah meragukan kata-kataku...," kata
laki-laki bercaping sambil sunggingkan senyum aneh.
"Kuharap hal itulah kenyataannya nanti...!” ujar
Cucu Dewa.
Ucapan Cucu Dewa membuat langkah laki-laki
bercaping yang hendak bergerak melangkah tertahan.
Dia menyahut namun tanpa palingkan kepala.
"Nada ucapanmu sepertinya meragukan kata-
kataku!"
Cucu Dewa tertawa pendek. "Aku selalu berpra-
sangka baik pada setiap orang. Kalau tidak, mana
mungkin aku memberi keterangan padamu?"
"Ah.... Aku lupa. Apakah anak laki-laki Ken Raka-
siwi tidak punya keturunan?"
Tidak terdengar suara jawaban. Laki-laki bercaping
menunggu karena menduga orang yang ditanya masih
mengingat. Namun begitu agak lama masih juga tidak
terdengar suara jawaban, laki-laki bercaping berpaling.
Laki-laki bercaping terkesiap. Laki-laki bertubuh
pendek sudah tidak terlihat lagi di belakangnya!
"Hem.... Ternyata dia bukan orang sembarangan.
Tapi kalau keterangannya lain dengan kenyataan, aku
tidak peduli siapa dia adanya!" gumam laki-laki ber-
caping lalu melangkah. Kira-kira lima belas langkah,
laki-laki Ini berhenti. Kepalanya berputar pelan. Kejap
lain dia gerakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat
cepat laksana dikejar setan.
Pada satu tempat sepi agak jauh dari kuil, laki-laki
bercaping hentikan larinya. Setelah putar kepala, tan-
gan kanannya bergerak ke atas. Caping lebar yang me-
lindungi kepala dan sebagian atas wajahnya diangkat.
Kini tampak jelaslah wajah laki-laki ini. Ternyata
dia adalah seorang pemuda berwajah tampan bermata
tajam. Rahangnya kokoh. Pemuda ini ternyata tidak
lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur. Se-
perti diketahui, di dalam liang lahat, Malaikat Penggali
Kubur menemukan tulisan yang mengharuskan di-
rinya mencari anak turunan Ken Rakasiwi untuk di-
musnahkan. Menurut tulisan ini dia harus mencari se-
seorang di kuil pantai timur.
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur campakkan
caping lebarnya. Namun baru saja caping lebar itu
hancur menghantam tanah, kepala pemuda ini berpal-
ing ke arah samping laksana disentak setan. Bahkan
bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat. Rupanya
pemuda murid Bayu Bajra yang telah membekal Kitab
Hitam ini maklum kalau ada orang mengawasi gerak-
geriknya.
Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur terlambat
Dia hanya sekilas melihat satu sosok bayangan berke
lebat keluar dari balik pohon lalu lenyap di depan sa-
na. Meski hanya sempat melihat bayangan orang, na-
mun Malaikat Penggali Kubur masih dapat mengenali.
'Hem.,.. Manusia cebol itu berani menguntit lang-
kahku! Tunggulah! Tanpa kau ikuti aku akan datang
menjemputmu jika keteranganmu dusta!” Malaikat
Penggali Kubur awasi sejenak ke mana lenyapnya
bayangan yang tak berhasil dikejar namun bisa dike-
nali tadi. Kejap lain pemuda ini tersenyum aneh lalu
berkelebat teruskan larinya.
*
* *
DELAPAN
PENDEKAR 131 tegak di bibir jurang dengan mata
mengawasi berkeliling. Sepasang matanya mendadak
menyipit.
"Aku melihat bekas-bekas pukulan. Tanda di tem-
pat ini telah terjadi sesuatu.... Tanahnya Berantakan.
Bibir jurang di seberang hancur berantakan. Lamping
jurang terabas rata.... Siapa yang baru saja bentrok di
tempat ini?" Murid Pendeta Sinting terdiam untuk be-
berapa lama sementara sepasang matanya terus me-
meriksa lebih seksama
"Melihat bekas-bekasnya, jelas siapa pun adanya
orang yang baru bentrok, mereka memiliki kepandaian
tinggi...!” gumam sang Pendekar. Mendadak parasnya
berubah. "Jangan-jangan aku didahului orang dan ki-
tab itu.... Aku harus segera turun ke bawah jurang!
Melihat hal ini rasanya ucapan manusia iblis itu tidak
berdusta! Tapi.... Dia tahu di mana kitab itu berada.
Tempatnya tidak jauh lagi. Mengapa ia tidak mengambil kitab itu? Atau jangan-jangan dia telah mengambil-
nya?! Ah.... Mengapa aku tidak memeriksanya tadi?
Kembali ke sana jelas tidak mungkin! Tapi.... Mana bi-
sa semua itu terjawab kalau aku belum buktikan sen-
diri...?!!”
Murid Pendeta Sinting longokkan kepala ke bawah
jurang. "Hem.... Tidak terlalu dalam...!”
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko segera kerahkan
tenaga dalamnya. Saat lain sosoknya melesat masuk
ke dalam Jurang.
Setelah membuat gerakan berputar empat kali di
lamping jurang, murid Pendeta Sinting mendarat di
bagian bawah jurang.
"Hem.... Di sini juga seperti telah terjadi bentrok....
Hanya saja mungkin dilakukan satu orang...„ Ah. Jadi
betul-betul telah ada orang mendahuluiku! Jangan-
jangan manusia Iblis itu.... Tapi aku harus menyelidik
dahulu...."
Pendekar 131 melangkah berputar. Tiba-tiba dia
hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya meli-
hat tulisan di bagian samping batu. Tulisan yang ditu-
lis dengan darah itu dibacanya beberapa kali. Lalu
tanpa pikir panjang lagi dia melangkah ke arah kanan
dengan menghitung.
Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, mu-
rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Sepertinya se-
buah makam. Anehnya tampak seperti makam baru!"
Untuk beberapa lama Joko perhatikan gundukan
tanah mirip sebuah makam itu. "Siapa orang yang me-
nulis di samping batu itu? Mana orangnya? Karya....
Apakah yang dimaksud dengan karya adalah kitab itu?
Jelas. Orang yang mendahului datang di sini telah la-
kukan apa yang tertulis pada samping batu itu. Tapi
siapa? Iblis Rangkap Jiwa? Orang lain...? Bagaimana
sekarang...? Apa aku harus melihat siapa adanya
orang yang seperti baru dikubur ini?"
Beberapa lama murid Pendeta Sinting tegak di
samping makam dengan dada dibuncah berbagai per-
tanyaan. Sesaat kemudian dia jongkok perhatikan ma-
kam lebih seksama. Kedua tangannya bergerak. Na-
mun kejap lain ditarik pulang lagi. Kebimbangan jelas
terbayang di wajah dan sikapnya.
"Jangan-jangan ini perbuatan orang yang hendak
menjerumuskan! Ah.... Urusan Ini ternyata tidak lebih
mudah dari urusan Kitab Serat Biru dan Sundrik Ca-
kra beberapa waktu yang lalu...."
Ketika terus merenung begitu, tiba-tiba telinganya
menangkap ada suara desiran dari jurang. Cepat Joko
bergerak bangkit. Belum sampai bergerak lebih jauh,
mendadak satu sosok tubuh telah tegak lima langkah
dari tempatnya berada.
"Anak sableng sialan!" maki Joko dalam hati begitu
mengenali siapa adanya orang. Dia lantas berpaling
kembali arahkan pandangannya ke makam,
Orang yang baru datang dan bukan lain Putri Sab-
leng tertawa tertahan lalu melangkah satu tindak dan
berkata.
"Rupanya kau cerdik juga.... Dengan caramu, ak-
hirnya apa yang kau cari bisa kau temukan!"
"Bukan hanya itu. Kau juga dapat melihat peman-
dangan asyiiikk!" sahut Joko seenaknya namun jelas
nada ucapannya bercampur jengkel.
Putri Sableng sahuti ucapan Joko dengan tertawa
cekikikan. Tapi laksana direnggut setan mendadak su-
ara tawa cekikikan si gadis terputus membuat Joko
berpaling.
Raut wajah murid Pendeta Sinting berubah. Di ha-
dapannya terlihat Putri Sableng kancingkan mulut.
Sepasang matanya mendelik angker. Dan tangan ka-
nannya menjulur. Saat bersamaan tiba-tiba mulutnya
terbuka.
"Mana kitab itu! Serahkan padaku!"
Karena beberapa kali sudah dibuat jengkel dengan
tingkah gadis berjubah merah ini, mendengar dan me-
lihat sikapnya kontan rahang Joko menggembung. Pa-
ras wajahnya membesi dengan sepasang mata balik
mendelik.
"Jangan bicara sembarangan! Aku sudah lama me-
nahan sabar!"
Putri Sableng rupanya tidak ambil peduli dengan
nada bicara murid Pendeta Sinting yang mengancam.
Sebaliknya dia tetap bersikap seperti semula dan ber-
kata.
"Kitab itu! Mana?!"
Mungkin sudah tidak dapat menindih hawa ama-
rahnya, Joko angkat tangan kirinya. Di hadapannya
Putri Sableng tidak membuat gerakan apa-apa. Hanya
sepasang matanya yang menusuk tajam pada bola ma-
ta murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 menghela napas dalam lalu perla-
han-lahan turunkan tangan kirinya.
"Mengapa tidak jadi kau lakukan?!" tanya Putri
Sableng seraya tersenyum mengejek.
Meski dadanya makin bergemuruh, namun Joko
akhirnya hanya bisa menghela napas lalu melangkah
dengan melewati sisi si gadis.
Putri Sableng sejurus lamanya memandang namun
begitu murid Pendeta Sinting sudah berada di bela-
kangnya, gadis ini berkata.
"Kau dengar ucapanku! Serahkan kitab itu atau...?'
Ucapan Putri Sableng terputus tatkala di bela-
kangnya terdengar suara berdebam keras. Saat Putri
Sableng berbalik, terlihat hamburan tanah Ke udara.
Rupanya saking jengkelnya, kemarahan Joko dilam-
piaskan dengan hentakkan kaki kanannya ke atas ta-
nah hingga tanahnya muncrat ke udara.
Muncratan tanah belum sirna, Joko telah balikkan
tubuh lalu berkata membentak. "Aku tidak menemu-
kan kitab itu!. Kalaupun kutemukan jangan harap kau
akan memilikinya!"
"Laki-laki yang marah di hadapan perempuan bi-
asanya menyembunyikan sesuatu atau setidaknya
menutupi sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Hik....
Hik.... Hik...!"
"Kau benar-benar gadis menyebalkan! Lihat tulisan
itu!" kata Joko sembari menunjuk ke arah batu yang
bertulisan darah.
Putri Sableng arahkan kepala mengikuti arah yang
ditunjuk tangan murid Pendeta Sinting. Karena gadis
berjubah merah ini berada di dekat makam, dia tidak
bisa melihat tulisan yang ada di bagian samping batu.
"Tulisan? Tulisan apa?! Aku tidak melihat tulisan!"
"Kau memang tidak akan melihat tulisan kalau
nongkrong di situ! Lihat dari sebelah sana!" kata Joko
sambil menunjuk tempat di mana tadi dia bisa melihat
tulisan di bagian samping batu.
Mungkin karena penasaran apalagi dilihatnya uca-
pan murid Pendeta Sinting tidak main-main, Putri Sab-
leng segera berkelebat.
Begitu tegak di depan batu, sepasang mata gadis
ini mendelik. Seakan masih tidak percaya dengan pan-
dangan matanya, dia melangkah makin mendekat. Mu-
lutnya terlihat berkemik membaca. Saat lain sepasang
matanya memandang pada murid Pendeta Sinting.
Yang dipandang berpaling lalu berkata. Suaranya
masih menunjukkan rasa geram. "Kau masih meminta
kitab dariku?!"
Putri Sableng tidak menjawab, Sebaliknya gadis ini
segera melangkah seraya menghitung tindakannya. Ke-
tika mulutnya berhenti menghitung, sosoknya tepat
berada di sebelah gundukan tanah makam.
"Ada yang tidak beres! Kita telah kedahuluan
orang!" ujar Putri Sableng setelah agak lama terdiam.
"Bukan kita, tapi aku!" sahut Joko dengan suara
dingin.
"Terserah padamu. Yang jelas bukan hanya kau sa-
ja yang menginginkan kitab itu dan ternyata telah ke-
dahuluan orang!"
"Ini gara-gara kau!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini gan-
ti Putri Sableng yang dadanya bergemuruh. Sepasang
matanya terpentang. Saat lain dia membentak.
"Jangan sembarangan menuduh orang!"
"Aku tidak menuduh. Tapi siapa tahu kau telah
mengatakan urusan kitab ini pada orang lain?!" seraya
berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh.
Putri Sableng pandangi sekujur tubuh murid Pen-
deta Sinting dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bi-
birnya tersenyum dingin lalu berkata.
“Meski aku gadis sableng, aku tahu mana urusan
penting mana urusan sepele! Atau jangan-jangan kau
yang kelepasan omong bicara sama seorang gadis can-
tik bertubuh bagus misalnya?!"
Ucapan Putri Sableng membuat murid Pendeta
Sinting sejurus terdiam. Malah dia terlihat tengadah-
kan kepala dengan kening berkerut. "Hem.... Aku me-
mang pernah jumpa dengan gadis bertubuh bagus
berwajah cantik, Ratu Pemikat! Tapi aku rasanya tidak
mengatakan urusan kitab ini padanya.... Malah kalau
tidak salah aku telah berbuat kurang ajar padanya!
Tak mungkin dia yang mendahului datang ke tempat
ini. Lalu siapa?!"
Selagi murid Pendeta Sinting mengingat begitu, Pu-
tri Sableng berujar. Namun kali ini suaranya agak me-
rendah.
"Melihat tulisan itu serta menghubungkannya den-
gan adanya makam ini, jelas kitab itu sudah di tangan
orang! Apa yang sekarang kita lakukan?!"
"Sejak semula aku tidak mengajakmu ikut serta
dalam urusan ini! Terserah apa yang akan kau laku-
kan! Aku akan lakukan apa yang kumau! Tapi Ingat.
Aku tidak mau lagi melihat tampangmu!”
Putri Sableng bukannya tambah marah mendengar
ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berjubah merah
ini justru tertawa cekikikan lalu berujar.
"Tampangku memang jelek, tapi aku juga tidak su-
di selalu kau ikuti!"
"Setan! Siapa yang mengikutimu?!*
Kembali Putri Sableng tertawa cekikikan dahulu
sebelum perdengarkan jawaban.
"Jangan kau kira aku tidak tahu, kau selalu ada di
bokongku! Bukankah kau berada di belakangku dan
sempat mengejarku saat di kuil dekat pantai itu? La-
lu... kau ikuti aku ke puncak ini! Hik.... Hik.... Hik...!
Harap kau tidak merasa malu mengakuinya!”
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan
dari mulut murid Pendeta Sinting, Putri Sableng berke-
lebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada tepat di
lamping jurang.
Putri Sableng tengadahkan kepala. Tubuhnya ber-
gerak hendak berkelebat naik, namun mendadak gadis
ini tahan gerakannya. Kepalanya cepat berpaling. Mu-
lutnya membuka perdengarkan bentakan.
"Dasar, Pemuda Setan! Sudah kukatakan, aku tak
sudi kau ikuti!"
Murid Pendeta Sinting yang kini telah tegak tiga
langkah di belakangnya terkejut. Belum hilang rasa ke-
jutnya, si gadis telah membentak lagi.
"Awas kalau kau ikuti aku!"
"Aku juga akan ke sana!" kata Joko seraya menun-
juk ke atas.
"Aku tak mau tahu kau hendak ke mana! Yang je-
las, aku muak melihat kau berada di belakangku! Kau
dengar?!"
"Gadis ini benar-benar memusingkan kepala! Se-
benarnya aku senang mendapat teman cantik seperti
dia. Tapi kalau dia juga menginginkan kitab itu apa ar-
tinya? Padahal aku harus memusnahkan kitab itu! Ba-
gaimana baiknya...? Apa dia kuajak menyelidik kitab
itu sambil kujelaskan duduk masalahnya.... Siapa ta-
hu dia mau mengerti malah bisa membantuku...?"
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting
berkata.
"Apa kau tahu kitab apa sebenarnya yang sedang
kau cari itu?!"
"Jawabannya kau sudah tahu! Tak perlu bertanya!"
jawab Putri Sableng ketus.
"Yang ku maksud, sebenarnya kitab itu adalah se-
buah kitab sakti yang sangat berbahaya kalau sampai
jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Rimba
persilatan akan mengalami bencana! Jadi tujuanku
mencari kitab Itu tidak untuk memilikinya namun un-
tuk memusnahkannya!"
"Persetan kau hendak memilikinya atau memus-
nahkannya. Aku punya maksud lain dengan kitab Itu!
Jawaban Putri Sableng masih terdengar ketus.
"Maksudmu...?" tanya Joko pula.
"Jangan harap kau akan dengar Jawaban pertanyaanmu itu!"
Joko menghela napas panjang. Murid Pendeta Sint-
ing ini coba menahan kemarahan yang kembali men-
dera dadanya mendengar Jawaban Putri Sableng. Di
hadapannya, melihat sikap murid Pendeta Sinting, Pu-
tri Sableng menahan tawa.
"Pendekar 131! Kau pikirkan sesuatu?!"
Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Bukan ka-
rena pertanyaan Putri Sableng sebaliknya karena
mendapati si gadis tahu siapa dirinya!
"Bagaimana dia tahu? Apakah dari bentrokan den-
gan Iblis Rangkap Jiwa?"
Mendapati keterkejutan pada Joko, Putri Sableng
perkeras tawanya. Lalu berkata dengan senyum-
senyum.
"Aku lebih tahu luar dalam dirimu daripada kau
sendiri! Kau murid tunggal seorang kakek gendeng
bergelar Pendeta Sinting. Sebelum ini kau terlibat uru-
san dengan gadis-gadis cantik di antaranya Dewi Seri-
bu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, Saraswati Juga to-
koh-tokoh edan seperti Iblis Ompong dan saudara-
saudaranya! Kau juga pernah bercumbu dengan gadis
bahenol bergelar Ratu Pemikat.... Hik.... Hik.... Hik...!
Kalau kau pernah mengintipku mandi, aku pernah me-
lihat bagaimana kau ditelanjangi gadis bertubuh bahe-
nol Ratu Pemikat Itu.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Saking kagetnya, sepasang kaki murid Pendeta
Sinting tersurut dua tindak! Mulutnya menganga den-
gan sepasang mata terpentang besar-besar!
Ketika sadar dari rasa kejutnya, Putri Sableng su-
dah tidak tampak lagi di hadapannya!
"Busyet betul! Betul-betul busyet! Siapa sebenar-
nya gadis sableng itu? Dia benar-benar mengetahui
luar dalam diriku! Aku masih bingung dengan urusan
Kitab Hitam, kini ditambah lagi dengan pertanyaan
edan mengenai gadis itu!"
Untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting mon-
dar-mandir.
"Ah.... Peduli setan siapa sebenarnya gadis itu! Aku
harus cepat balik ke puncak bukit. Siapa tahu sebe-
narnya manusia iblis itu yang telah mengambil kitab!
Dia tahu beradanya kitab itu dan tidak sulit menda-
patkannya!"
*
* *
SEMBILAN
Setelah ditinggal sendirian di puncak bukit oleh
murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng dalam kea-
daan tertotok dan tubuh bagian bawah terbuka, Iblis
Rangkap Jiwa memaki panjang pendek. Namun setelah
sadar bahwa hal itu tidak ada artinya, kakek ini sege-
ra pejamkan mata dan mengatur jalan pernapasan.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang to-
koh berilmu tinggi dan para kalangan persilatan pada
zamannya telah mengetahui kalau kakek ini mampu
menahan segala pukulan yang menghantam tubuhnya.
Namun begitu, ada satu hal yang tidak diketahui oleh
si kakek. Dia memiliki kelemahan yang selain jarang
diketahui orang, juga mungkin orang tidak akan men-
duga.
Kelemahan kakek ini jika melihat pantat seorang
laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka se-
genap kesaktiannya akan lenyap selama setengah hari.
"Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi
menimpa diriku! Kesaktianku mendadak lenyap begitu
melihat bokong! Padahal saat perempuan muda itu
perlihatkan bokongnya pertama kali, aku tidak menga-
lami apa-apa. Tapi setelah melihat bokong dua orang,
kesaktianku sirna. Benar-benar jahanam! Hem....
Orang yang menyuruh dan memberi isyarat adalah
seorang bertubuh cebol berambut kepang dua.... Tak
salah! Dia adalah Cucu Dewa! Mengapa si cebol itu
bersekongkol dengan dua manusia itu? Bukankah se-
lama ini si cebol itu berada di pihak golongan hitam...?
Apakah ini muslihatnya karena berambisi memiliki Ki-
tab Hitam itu? Dia sungkan padaku lalu mencari ke-
lemahanku dan bersekongkol dengan orang! Hem....
Dia telah membuat langkah keliru terhadap Iblis
Rangkap Jiwa!"
Raut wajah angker Iblis Rangkap Jiwa tercenung.
Namun begitu masih tersirat seberkas perasaan lega
pada wajahnya.
"Meski samar-samar, aku tadi masih sempat men-
dengar si cebol itu berkata kalau kesaktianku ini
hanya lenyap selama setengah hari! Berarti kesaktian-
ku masih bisa pulih kembali! Kalau hanya lenyap se-
tengah hari, mungkin akan lebih cepat dari waktu itu
kalau aku kerahkan tenaga...."
Berpikir begitu, perlahan-lahan Iblis Rangkap Jiwa
kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Sebenarnya ke-
saktian Iblis Rangkap Jiwa tidak lenyap musnah. Ka-
kek ini hanya tidak dapat pergunakan kesaktiannya
selama setengah hari. Namun jika dia kerahkan tenaga
dalamnya, sedikit banyak kesaktiannya akan muncul
meski masih sangat jauh jika dibanding dengan kea-
daan biasanya.
Karena Iblis Rangkap Jiwa memiliki tingkat kepan-
daian tinggi, setelah agak tama pusatkan tenaga, perlahan-lahan kedua tangannya terlihat bergerak-gerak.
Lalu kakinya melejang membujur. Jelas kalau kakek
ini perlahan-lahan telah mampu buyarkan totokan
yang disarangkan murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Aku berhasil..," gumam Iblis Rangkap Jiwa
seraya buka kelopak matanya. Lalu kembali pusatkan
pikiran dan tenaga. Sesaat kemudian kakek ini telah
dapat gerakkan sekujur anggota tubuhnya meski ma-
sih sangat lemah.
Namun lama kelamaan, Iblis Rangkap Jiwa mulai
dapat kuasai diri. Dan begitu merasa kuat, kakek ini
bergerak bangkit. Dia coba mencari serpihan kainnya
yang sempat tersabet tangan murid Pendeta Sinting
hingga aurat bawahnya terbuka. Namun kakek ini
memaki saat melihat kain serpihannya tidak mungkin
lagi dapat digunakan untuk menutup auratnya.
"Anak manusia itu telah mempermalukan aku!
Nyawanya akan kukejar meski ke ujung langit dan ma-
suk ke Liang bumi!"
Iblis Rangkap Jiwa perlahan-lahan melangkah ke
arah utara. Sepasang matanya memandang jauh ke
bawah.
"Hem.... Mereka hanya akan menemukan angin!
Tapi aku harus segera sembunyi! Mereka pasti akan
segera kembali ke sini! Saat ini tidak mungkin bagiku
melawan mereka! Selain kesaktianku belum kembali,
mereka telah mengetahui bagaimana cara mengalah-
kanku! Setan betul! Tapi.... Aku tetap akan membalas
semua ini! Aku tahu bagaimana caranya! Aku punya
seribu satu cara!",
Iblis Rangkap Jiwa balikkan tubuh. Namun tiba-
tiba dia urungkan gerakan langkahnya. "Ke mana aku
sekarang sembunyi? Lari dari bukit ini dan mencari
tempat lain? Kalau sewaktu-waktu manusia bergelar
Malaikat Penggali Kubur balik kemari bagaimana? Pa-
dahal aku harus merebut Kitab Hitam itu dari tangan-
nya. Mencari sendiri di luaran sana tentu sangat sulit!
Apalagi dia seorang pemuda! Hem.... Kalau dia berkata
hendak balik ke sini, mengapa aku harus mencari
tempat lain? Sampai kapan pun aku akan menung-
gunya! Hanya untuk sementara ini aku akan menying-
kir dahulu...."
Iblis Rangkap Jiwa gerakkan langkah kakinya. Tak
berapa lama kemudian sosoknya terlihat menuruni
bukit dan lenyap di kerapatan semak dan pohon.
*
* *
Begitu tubuhnya melewati bibir jurang, Putri Sab-
leng tegak sebentar sambil tengadahkan kepala ke
arah puncak bukit.
"Iblis Rangkap Jiwa...!" desis si gadis. "Keteran-
ganmu tentang di mana beradanya kitab itu betul. Ma-
nusia sepertimu tidak mungkin sia-siakan kesempa-
tan! Jadi pasti kaulah yang telah mengambil kitab itu!
Hem.... Aku harus segera kembali ke puncak bukit.
Menurut Cucu Dewa, orang itu akan kehilangan ke-
saktian selama setengah hari. Lagi pula dia masih ter-
totok. Pasti dia masih tergeletak tak bergerak di sana!"
Putri Sableng hendak berkelebat. Tapi mendadak
gerakannya tertahan. Bahu gadis cantik ini bergun-
cang menahan tawa. Namun tak urung suara cekiki-
kannya masih terdengar. "Bagaimana aku harus me-
meriksanya? Barangnya tidak tertutup! Bagaimana ka-
lau tanganku nanti salah ambil?" Suara cekikikannya
makin keras.
"Ah.... Peduli! Terpaksa aku tidak akan pejamkan
mata daripada salah sambil dan menyentuh barang ti-
dak karuan!"
Masih dengan perdengarkan tawa cekikikan, Putri
Sableng berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. Da-
lam waktu tidak lama, sosok Putri Sableng telah ham-
pir mencapai puncak bukit. Sebelum tubuhnya benar-
benar berada di puncak bukit, gadis ini putuskan ce-
kikikannya lalu berseru keras.
“Iblis Rangkap Jiwa! Kali ini jangan kau kira dapat
berkata dusta padaku lagi! Serahkan kitab itu padaku!
Aku tahu, kau telah mengambil kitab itu! Jika tidak
kau akan..."
Seruan Putri Sableng terputus. Sosoknya yang kini
telah berada di puncak bukit tegak dengan sedikit ber-
getar. Mulutnya kontan terkancing.
Setelah kuasai rasa terkejutnya, gadis berjubah
merah ini silangkan sepasang matanya berkeliling. “Ke
mana minggatnya manusia itu? Bukankah waktunya
belum sampai setengah hari? Apakah dia berhasil pu-
lihkan kesaktiannya dan membuyarkan totokan Pe-
muda Setan itu? Hem.... Keterangan Cucu Dewa tidak
mungkin bohong. Kalaupun dia berhasil lepaskan to-
tokan, kesaktiannya tentu belum bisa pulih benar.
Hem.... Dia pasti masih ada di sekitar sini!"
Tanpa menunggu lama, Putri Sableng berkelebat
mengitari puncak bukit. Namun meski telah berputar
dua kali dengan mata liar nyalang, sosok Iblis Rangkap
Jiwa tidak ditemukan!
"Tidak kuduga kalau secepat itu dia bisa bebaskan
diri….. Tapi aku masih tidak percaya kalau dia mampu
kembalikan kesaktiannya. Karena dia tidak menunggu
di sini.... Tentu dia belum jauh...."
Putri Sableng memandang sekali lagi dengan putar
kepalanya berkeliling. Kejap lain sosoknya berkelebat
menuruni bukit. Namun mendadak satu suara teguran
menahan gerakannya.
"Mengapa kau lepaskan manusia itu?!"
Meski tanpa berpaling ke arah datangnya suara te-
guran, Putri Sableng sudah bisa menebak siapa
adanya orang. Namun tak urung gadis ini putar kepa-
lanya. Sejarak sepuluh langkah tegak Pendekar 131
dengan arahkan pandangannya pada jurusan lain.
"Ternyata kau masih mengikutiku!"
Murid Pendeta Sinting tidak berpaling. Mulutnya
menyeringai.
"Tanpa imbalan pantas, tak mungkin kau be-
baskan manusia itu! Sekarang berikan imbalan itu pa-
daku!"
"Kau bisa memintanya di liang akhirat!"
"Hem.... Kau benar-benar ingin dikasari!" sentak
murid Pendeta Sinting. "Atau sebenarnya kau berkom-
plot dengan manusia itu?!"
"Yang kutahu, manusia iblis hanya bersekongkol
dengan yang namanya iblis! Apa kau kira aku ini Iblis,
hah?!" Putri Sableng balas membentak.
"Keadaan tubuhmu memang cantik malah aku
pernah melihatmu tidak mengenakan pakaian dan
memang mirip manusia biasa. Tapi kadangkala manu-
sia biasa berhati melebihi Iblis!"
Tampang Putri Sableng langsung berubah. "Ternya-
ta bukan matamu saja yang bertindak tidak pada tem-
patnya! Mulutmu pun bisa bicara ngelantur tak ka-
ruan!"
"Hem.... Sekarang tak usah banyak mulut. Kau
mau serahkan kitab itu atau tidak?!" tanya Joko lalu
memandang tajam.
"Buka telingamu lebar-lebar! Aku sampai di tempat
ini sudah tidak menemukan manusia itu! Ini menunjukkan totokanmu tidak ada apa-apanya! Padahal kau
telah digelari orang sebagai Pendekar! Belum lagi ka-
tanya kau sudah berhasil membekal Kitab Serat Biru
dan kitab bersampul kuning! Jangan-jangan kau yang
bersekongkol dengan manusia iblis itu! Kau hanya
berpura-pura menotoknya lalu membuat perjanjian!"
"Gila! Gadis ini benar-benar mengetahui diriku...,"
kata Joko dalam hati.
Belum sampai murid Pendeta Sinting ucapkan se-
patah kata. Putri Sableng telah nyerocos lagi. "Kau ber-
tanggung jawab atas kejadian ini Jika sampai terjadi
apa-apa di luaran sana!"
"Bagaimana bisa begitu? Kalaupun memang terjadi
apa-apa, kita berdua yang bertanggung jawab!" sahut
Pendekar 131.
"Hem.... Kau mau libatkan orang lain yang tidak
tahu apa-apa?!"
"Kau tahu segalanya! Termasuk tahu luar dalam
diriku!"
"Kau Juga tahu diriku...!" Putri Sableng tak mau
kalah.
Pendekar 131 gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku
memang tahu dirimu serta namamu. Tapi aku tidak
tahu siapa kau sebenarnya! Kalau boleh tahu, siapa
kau sebenarnya...?!" Pada nada ucapannya yang te-
rakhir, Joko terdengar rendahkan suaranya.
"Mengapa hal itu baru kau tanyakan sekarang?"
"Karena sekarang kita harus bersahabat! Kita sa-
ma-sama punya tanggung jawab!"
"Hem.... Begitu? Tidak ada hal lain?"
"Maksudmu...?!"
"Kau mengajak bersahabat hanya karena kau ter-
tarik padaku?"
Pendekar 131 tertawa. "Kuakui kau memang cantik. Tapi untuk sekarang aku hanya sebatas menga-
gumi kecantikanmu. Tidak ada rasa tertarik sama se-
kali!"
"Kebetulan! Meski kau tampan, tapi aku merasa
muak melihat tampangmu! Hik.... Hik.... Hik...! Kalau
Sudah begini persahabatan bisa langgeng! Karena ka-
dangkala persahabatan bisa rusak bila kedua orang-
nya sudah saling jatuh cinta apalagi cintanya karam di
tengah jalan.... Sekarang apa rencanamu?"
"Kita terus menyelidik! Aku masih ragu, jangan-
jangan jurang yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa me-
nyimpan kitab itu hanya buatannya manusia Iblis itu
sendiri untuk mengelabui orang. Sementara dia sendiri
tidak tahu di mana beradanya kitab itu! Kita harus
menemui seseorang yang kuyakin punya rahasia di
mana sebenarnya kitab itu berada!"
"Siapa orangnya?" tanya Putri Sableng.
"Nanti akan kuceritakan sambil jalan...."
"Ah, rupanya kau masih menaruh curiga padaku!
Padahal kau telah mengajak bersahabat!" kata Putri
Sableng pula.
"Bukan karena itu. Kita harus cepat bertindak.
Siapa tahu, kalau memang melarikan diri manusia itu
belum jauh dari sini!"
Habis berkata begitu, Joko anggukkan kepala
memberi isyarat untuk segera turun bukit. Putri Sab-
leng balas anggukkan kepala lalu mendahului melang-
kah menuruni bukit. Murid Pendeta Sinting jalan di
belakangnya.
"Aku punya permintaan kalau benar-benar kau
ajak menyelidiki" kata Putri Sableng seraya terus me-
nurun!
“Katakan permintaanmu...."
"Kulitku termasuk kulit aneh. Kalau terkena sinar
matahari akan mengelupas! Jadi aku hanya bisa me-
nyertaimu menyelidik pada malam hari! Dan bisa siang
hari tapi hanya waktu-waktu tertentu...."
"Aneh.... Apa kau keturunan hantu? Hanya hantu
yang keluar malam hari! Lalu kapan selesainya urusan
ini kalau kita menyelidik menunggu malam tiba?"
"Kau tak usah ragu! Kau terus menyelidik. Kau
hanya perlu memberitahukan di mana malam nanti
berjumpa! Aku pasti sudah nongkrong di sana! Pa-
ham...?"
"Heran.... Bagaimana bisa begin!?"
"Jangankan kau, aku sendiri heran dengan diriku
sendiri! Maka dari itu... sambil menyelidik kita cari
seorang tabib yang bisa sembuhkan penyakit anehku
Ini. Kau tidak keberatan bukan?"
"Selain itu, apa kau masih punya penyakit aneh
lainnya?"
"Betul!"
Murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sepasang
matanya memandang pada sosok bagian belakang
orang di hadapannya.
"Sayang. Cantik-cantik tapi banyak penyakit aneh-
nya...," desis Joko lalu berkata. "Apa penyakit anehmu
yang lain?"
"Aku tak suka mendengar laki-laki bicara dan ber-
tanya terlalu banyak!"
Habis berkata begitu, Putri Sableng terus berlari
menuruni bukit.
"Dasar orang berpenyakitan aneh! Ucapannya pun
aneh-aneh...," kata murid Pendeta Sinting lalu berlari
kembali menyusul Putri Sableng yang telah Jauh di
depan sana.
***
SEPULUH
SATU bayangan hitam berlari laksana angin. Da-
lam beberapa saat bayangan itu telah nampak berkele-
bat mendaki bukit. Padahal sejenak tadi bayangannya
masih jauh di sekitar kaki bukit. Dan tidak sampai be-
rapa lama, bayangan ini tahu-tahu sudah tegak di
puncak Bukit Selamangleng.
Bayangan ini ternyata seorang pemuda berparas
tampan dan keras. Rahangnya kokoh dengan sepasang
mata tajam. Rambutnya hitam lebat. Dia mengenakan
pakaian berwarna hitam-hitam.
Begitu injakkan sepasang kakinya di tanah puncak
bukit, kepala pemuda ini laksana disentak setan ber-
putar dengan mata menyelidik. Saat itu di penghujung
malam dan samar-samar lintasan langit telah disem-
burati warna kekuningan bias sinar matahari yang se-
bentar lagi akan unjuk diri.
"Jahanam itu ke mana? Padahal belum lama aku
tinggalkan puncak bukit ini! Jahanam itu telah ingkari
ucapannya tidak lakukan perintahku! Dia mencari
mampus berani berdusta pada Malaikat Penggali Ku-
bur!"
Pemuda berpakaian hitam yang ternyata tidak lain
adalah Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Kelopak matanya perlahan
memejam. Telinganya bergerak-gerak. Sikapnya jelas
kalau pemuda ini tengah pusatkan pikiran.
Tiba-tiba mulut Malaikat Penggali Kubur membu-
ka. Bersamaan itu terdengar suara bentakannya.
"Cepat keluar dari tempatmu! Atau kau ingin
mampus tanpa dikenali!" Malaikat Penggali Kubur le-
paskan rangkapan kedua tangannya. Seraya putar tu-
buh kedua tangannya bergerak.
"Tahan!" satu suara tiba-tiba terdengar.
Malaikat Penggali Kubur buka matanya. Rahang-
nya mengembung besar dan terangkat
Dari balik salah satu pohon, muncul satu sosok
tubuh dan perlahan-lahan melangkah ke arah Malai-
kat Penggali Kubur. Dia adalah seorang laki-laki ber-
kepala gundul dengan sepasang mata besar menjorok
keluar. Hampir seluruh raut wajahnya tidak tertutup
daging.
Laki-laki berkepala gundul yang bukan lain adalah
Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah tujuh tindak di-
hadapan Malaikat Penggali Kubur.
"Hem.... Pakaian yang dikenakan berganti. Mencuri
di mana bangsat ini? Atau dia mengambil pakaian
orang yang jadi korbannya?" Malaikat Penggali Kubur
membatin seraya memperhatikan sosok Iblis Rangkap
Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa saat itu mengenakan pakaian
berwarna putih bersih.
"Apakah kau telah mendapat korban?!" Malaikat
Penggali Kubur ajukan tanya.
Iblis Rangkap Jiwa sejurus memandang pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Kepalanya bergerak menggeleng.
"Selama sepeninggalmu belum ada manusia yang kesi-
ni! Aku mendapat pakaian ini di dusun terdekat...,"
ujar Iblis Rangkap Jiwa seolah tahu apa yang terpikir
dalam benak Malaikat Penggali Kubur.
"Tidak kusangka kalau secepat ini dia kembali!
Hem.... Ada apa ini?!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa
merasakan satu keanehan. Dia menyangka masih la-
ma waktunya Malaikat Penggali Kubur kembali ke
puncak Bukit Selamangleng. Apalagi dia telah mem-
bekal kitab sakti. "
Sebenarnya Malaikat Penggali Kubur sendiri semu-
la memutuskan untuk tidak kembali dulu ke puncak
Bukit Selamangleng. Namun begitu menuruti pesan
yang tertulis di dinding Liang lahat dan bertemu serta
mendengar keterangan Cucu Dewa dia berubah piki-
ran. Dia kini harus mencari orang yang bergelar Dewa
Orok. Sebagai orang yang belum lama terjun dalam
kancah rimba persilatan, dia baru kali ini mendengar
nama Dewa Orok. Padahal seperti keterangan Cucu
Dewa, keturunan Ken Rakasiwi yang diketahuinya ma-
sih hidup adalah Dewa Orok. Dan menuruti pesan dari
Datuk Kematian yang sempat dibacanya di liang lahat,
dia harus memusnahkan semua anak keturunan Ken
Rakasiwi, Mau tak mau dia harus mencari Dewa Orok,
Setelah berpikir panjang dia teringat pada Iblis
Rangkap Jiwa. Dia ingat kalau Iblis Rangkap Jiwa per-
nah mengatakan kalau usianya tiga kali lipat delapan
puluh tahun. Lebih dari itu, Iblis Rangkap Jiwa menge-
tahui banyak tentang dirinya juga dunia persilatan pa-
dahal menurut ucapannya, Iblis Rangkap Jiwa sudah
ratusan tahun menunggu. Menelusuri perangai Iblis
Rangkap Jiwa begitu, Malaikat Penggali Kubur mendu-
ga mungkin manusia berkepala gundul itu tahu ten-
tang Dewa Orok. Berpikir begitu, Malaikat Penggali
Kubur lalu kembali ke puncak Bukit Selamangleng.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya
mengitari puncak bukit. Mendadak dahinya berkerut.
Namun sebelum dia buka mulut ajukan tanya, Iblis
Rangkap Jiwa telah mendahului buka suara.
"Lawan yang hendak kuhadapi sekarang mungkin
ilmunya sudah meningkat. Aku tidak boleh berdiam di-
ri. Aku harus berlatih. Jadi porak-porandanya tempat
ini karena pukulanku waktu berlatih...."
Malaikat Penggali Kubur mengangguk. "Sejauh kau
tidak bertindak mencelakai diriku, peduli setan apa
yang kau lakukan!" katanya dalam hati. Lalu berkata."Aku gembira melihat kau masih berusaha berlatih
diri. Aku memang butuh manusia sepertimu sebagai
pembantu! Dan kedatanganku saat ini tidak lain ada-
lah memberi perintah padamu...!"
"Aku telah berjanji untuk lakukan apa yang kau
perintahkan...," ujar Iblis Rangkap Jiwa meski dalam
hati dia memaki habis-habisan. "Manusia Jahanam ini
telah berlaku melampaui batas! Sekarang dia boleh
memerintahku! Tapi hanya sementara! Tak lama lagi,
dia akan kujadikan tumbalku! Tunggulah...!"
"Aku tanya padamu. Dengar baik-baik! Karena aku
hanya akan bicara sekali. Pernah kau dengar seseo-
rang bernama Dewa Orok?!"
Tulang kening Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak.
Kepalanya yang gundul tengadah seakan berpikir. Ma-
laikat Penggali Kubur perhatikan sikap Iblis Rangkap
Jiwa dengan saksama. "Apa yang ada dalam benak
manusia bangsat ini...?!"
Iblis Rangkap Jiwa diam-diam membatin. "Ada apa
manusia jahanam itu mencari Dewa Orok? Kudengar
selama ini makhluk bergelar Dewa Orok tidak, ada
keistimewaannya! Kalaupun ada itu hanyalah tingkah-
nya yang mirip bayi!"
"Telingamu sudah dengar pertanyaan. Kenapa ti-
dak lekas jawab?!" Malaikat Penggali Kubur memben-
tak karena Iblis Rangkap Jiwa tidak cepat buka suara.
"Aku memang pernah dengar nama orang yang kau
sebut! Ada apa dengan dirinya?"
"Jahanam! Kau tidak layak ajukan tanya padaku!
Dengar saja ucapanku dan lakukan perintahku!
Kau dengar?!"
Iblis Rangkap Jiwa menjawab dengan anggukan
kepala. Di hadapannya Malaikat Penggali Kubur me-
nyeringai lalu tertawa bergelak sebelum akhirnya berkata.
"Kau tahu di mana Dewa Orok bertempat tinggal?!"
"Sebagai orang persilatan, sulit menentukan di
mana dia! Lag! pula aku tidak pernah tanya-tanya di
mana tempat tinggalnya...."
"Kau pernah bertemu dengannya?!" Malaikat Peng-
gali Kubur kembali ajukan tanya.
"Pernah. Tapi aku sudah lupa kapan dan di mana!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. "Bagus!
Berarti kau tidak akan salah cabut nyawa orang! Seka-
rang pergilah ke pantai timur. Temui seorang bertubuh
pendek berambut kelabang di kepang dua...."
"Cucu Dewa!" seru Iblis Rangkap Jiwa memotong
ucapan Malaikat Penggali Kubur.
"Ah.... Rupanya kau juga telah mengenal manusia
cebol itu! Pengetahuanmu benar-benar luas. Untuk ini
kelak kau akan mendapat hadiah dariku...," ujar Ma-
laikat Penggali Kubur.
Mendengar kata-kata Malaikat Penggali Kubur, wa-
jah Iblis Rangkap Jiwa bukannya membayangkan rasa
gembira. Justru raut wajah laki-laki ini sulit dibayang-
kan.
"Kuteruskan ucapanku. Temui Cucu Dewa! Tanya
padanya di mana tempat tinggalnya Dewa Orok. Tugas
selanjutnya cabut satu-satunya nyawa milik Dewa
Orok! Setelah itu kembali temui Cucu Dewa. Terserah
mau kau apakan orang itu. Yang jelas, aku tak ingin
lagi melihat tampangnya!"
Urusan dengan Cucu Dewa, tanpa mendapat tugas
dari Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah diper-
hitungkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun tidak de-
mikian halnya dengan Dewa Orok. Iblis Rangkap Jiwa
sebenarnya ingin tahu apa sebabnya Malaikat Penggali
Kubur menginginkan nyawa orang itu. Namun keingin
tahuannya ditahan demi mengingat ucapan Malaikat
Penggali Kubur tadi.
"Kau telah dengar perintahku. Sekarang lakukan!"
"Tapi...," ucapan Iblis Rangkap Jiwa laksana terce-
kat dl tenggorokan.
"Ada yang hendak kau ucapkan?! Katakan cepat!"
sentak Malaikat Penggali Kubur.
"Aku rasanya sulit menghadapi Cucu Dewa untuk
saat sekarang ini...."
Mendengar pernyataan Iblis Rangkap Jiwa, mele-
daklah suara tawa Malaikat Penggali Kubur.
"Aku tak mau tahu apa kesulitanmu! Kau manusia
iblis! Tentu punya cara-cara seperti iblis! Yang jelas,
kau harus temui orang itu karena kuduga dia satu-
satunya orang yang tahu di mana Dewa Orok berada!
Ingat, nyawamu ada dalam genggamanku. Aku hanya
ingin nyawa Dewa Orok! Kalau kau gaga!, gantinya
adalah nyawamu sendiri!"
"Kalau saja aku tidak menginginkan kitab di tan-
gannya, tidak akan kulakukan pekerjaan tolol ini. Cu-
cu Dewa telah tahu kelemahanku. Hem.... Apa boleh
buat...." Iblis Rangkap Jiwa berkata pada diri sendiri.
"Hanya itu yang harus kulakukan?!" akhirnya Iblis
Rangkap Jiwa ajukan tanya.
"Hem.... Rupanya kau minta tugas tambahan? Tapi
untuk sementara kau lakukan apa yang kukatakan ta-
di. Setelah itu tunggu aku di puncak bukit ini!"
"Hem.... Inilah yang kutunggu! Sambil berjalan aku
menyusun rencana!" ujar Iblis Rangkap Jiwa dalam
hati. "Pertemuan nanti kuharap pertemuan terakhir
dengannya! Aku harus berhasil merebut kitab itu!"
Raut wajah Iblis Rangkap Jiwa sejenak cerah. Tapi
cuma sekejap. Di lain kejap dia termenung. "Lalu sam-
pai kapan aku menunggu di sini?"
Iblis Rangkap Jiwa lalu tanyakan hal itu pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tertawa
panjang mendengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa.
“Kau tak perlu tahu kapan aku kembali ke sini.
Kau harus tetap menunggu aku. Kalaupun aku tidak
muncul di sini hingga tubuhmu lapuk, itu berarti na-
sib buruk bagimu! Ha.... Ha.... Ha….“
Suara tawa Malaikat Penggali Kubur menggema ke
seantero Bukit Selamangleng. Tapi mendadak Malaikat
Penggali Kubur putuskan tawanya. Saat lain terdengar
bentakannya.
"Apa lagi yang kau tunggu, hah?!"
Iblis Rangkap Jiwa memandang sejurus. Tanpa
berkata-kata lagi dia lalu berkelebat menuruni bukit
diiringi tawa ngakak Malaikat Penggali Kubur.
*
* *
SEBELAS
RUANGAN tidak terlalu besar itu tampak redup.
Selain saat itu sudah menjelang senja, ruangan itu ti-
dak memiliki jendela. Dinding sekeliling berupa batu
padas hitam. Demikian pula atap langit-langitnya.
Di dalam ruangan redup itu, terlihat dua orang du-
duk berhadap-hadapan. Tapi ada keanehan pada ke-
dua orang ini. Yang sebelah kanan tampak melempar-
lemparkan dua batu kecil dengan tangan kanannya di
depan dada silih berganti. Orang sebelah kiri tampak
kembungkan mulut lalu meniup. Terdengar suara
duutt! Duuutt! beberapa kali. Bersamaan itu sebuah
benda bulat mencuat dari mulutnya dan berputar putar mengapung di udara. Tatkala orang Ini membuat
gerakan menyedot, bundaran itu balik lagi melesat
masuk ke dalam mulutnya!
Orang sebelah kanan yang mainkan batu dilempar-
lemparkan silih berganti adalah seorang laki-laki ber-
wajah bulat bermata sipit. Hidungnya besar. Rambut-
nya hitam lebat dikelabang dua. Laki-laki ini bukan
lain adalah orang yang dikenal dengan Cucu Dewa.
Sementara di hadapan Cucu Dewa, adalah seorang
laki-laki muda berwajah tampan. Tapi dia tidak memi-
liki kedua tangan. Pemuda ini terus mainkan bunda-
ran keluar masuk dalam mulutnya. Bundaran itu ada-
lah sebuah karet mirip dot bayi. Pemuda bertangan
buntung ini tidak lain adalah pemuda yang dikenal
dengan gelar Dewa Orok. (Untuk lebih jelasnya men-
genal pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng da-
lam episode: "Tabir Asmara Hitam").
Untuk beberapa saat kedua orang ini sama tengge-
lam dalam mainannya sendiri-sendiri. Namun tak lama
kemudian orang yang di sebelah kanan hentikan lem-
paran-lemparan batunya. Mulutnya yang sedari tadi
terkancing membuka. "Orok.... Aku merasa gembira
kau kembali dengan membawa mahkota bersusun tiga
itu! Tapi sayangnya semua itu diiringi dengan kejadian
yang membuat hatiku tidak enak...."
Dewa Orok kembungkan mulut lalu meniup. Bun-
daran karet di mulutnya mencuat keluar lalu menga-
pung di udara. Bersamaan dengan itu terdengar sua-
ranya.
"Guru.... Mau katakan apa sebenarnya yang terjadi
hingga membuat hatimu merasa tidak enak...?"
"Beberapa hari yang lalu datang ke sini seorang ga-
dis yang sebutkan diri dengan Putri Sableng. Dia ber-
wajah cantik jelita dan aku yakin dia bukan orang
sembarangan. Lalu bersamaan dengan gadis itu mun-
cul pula seorang pemuda berwajah tampan yang se-
butkan nama Joko Sableng...."
"Ah.... Kalau yang perempuan aku tidak mengena-
linya. Yang pemuda kalau mendengar namanya pasti-
lah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131!" Dewa Orok memotong ucapan Cucu De-
wa.
"Hem.... Aku juga sudah menduga ke arah sana!
Herannya kedua orang anak itu sepertinya mengetahui
jelas tentang sebuah kitab yang pernah kuceritakan
padamu!"
"Maksud Guru, Kitab Hitam itu?!"
Cucu Dewa anggukkan kepala. Lalu orang bertu-
buh pendek ini ceritakan peristiwa yang terjadi.
"Jadi kedua orang itu sekarang telah menemukan
kitab itu?!" kata Dewa Orok dengan mata mendelik
terkejut.
Cucu Dewa gelengkan kepala. "Aku belum bisa
memastikan. Karena manusia bergelar Iblis Rangkap
Jiwa itu bukan tidak mungkin telah mengambilnya ter-
lebih dahulu! Hanya kalau betul, kenapa kedua orang
itu masih mampu melawannya? Padahal Kitab Hitam
memiliki keanehan luar biasa.... Kalaupun Iblis Rang-
kap Jiwa hilang kesaktiannya, mungkin dengan Kitab
Hitam itu masih bias menundukkan kedua orang mu-
da itu. Tapi kenyataannya tidak demikian.... Itulah
yang membuatku masih ragu!"
Sejenak Cucu Dewa hentikan ucapannya, lalu me-
lanjutkan. "Kau harus tahu, aku menyuruhmu menca-
ri mahkota itu selain karena mahkota itu milik nenek
moyangmu. Juga di dalamnya ada sebuah rahasia....
Tapi dengan munculnya peristiwa di Bukit Selaman-
gleng, rahasia itu tidak ada gunanya lagi. Tapi kau tak
perlu kecewa. Bagaimanapun juga kau telah dapatkan
kembali barang warisan nenek moyangmu...."
"Jadi mahkota itu menyimpan rahasia tentang Ki-
tab Hitam itu?"
Cucu Dewa anggukkan kepalanya lagi. Lalu angkat
bicara.
"Tapi sesungguhnya yang membuatku tak enak
adalah datangnya seorang laki-laki yang kutahu dia
menyamar sebagai orang tua. Dia menanyakan tentang
asal-usul Ken Rakasiwi dan anak turunannya, Aku
mengatakan terus terang padanya karena dia menga-
takan masih keturunan Raja-raja Singasari dan ber-
niat menyambung darah yang terputus. Tapi nada
ucapan selanjutnya membuatku curiga. Dia punya
maksud lain... ”
Baru saja Dewa Orok hendak buka Mulut, tangan
Cucu Dewa terangkat membuat Dewa Orok urungkan
"Rupanya kita akan kedatangan tamu lagi...," ujar
Cucu Dewa setengah berbisik..”
Dewa Orok kempiskan mulut menyedot. Bundaran
Karet yang terapung di udara melesat masuk ke dalam
mulutnya. Bersamaan dengan itu mendadak terdengar
suara keras membahana.
"Cucu Dewa! Kematian telah menunggumu di luar!
Cepat keluarlah!"
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar