..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE TITAH DARI LIANG LAHAT

JOKO SABLENG EPISODE TITAH DARI LIANG LAHAT

Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Pengarang:

Zhaenal Fanani



SATU


MALAIKAT Penggali Kubur tersurut satu tindak

dengan sepasang mata mendelik tak berkesip dan mu-

lut menganga namun tak perdengarkan suara. Paras-

nya berubah dengan tengkuk dingin.

Untuk beberapa saat dia hanya dapat pandangi so-

sok berjubah hitam yang kini melingkar tak bergerak-

gerak dua langkah di hadapannya. Dadanya berdebar 

keras. Sekujur tubuhnya bergetar.

"Siapa manusia ini?!" tanya Malaikat Penggali Ku-

bur dalam hati setelah dapat kuasai rasa kejutnya. 

"Berjubah hitam panjang.... Jangan-jangan manusia 

ini yang dilihat dalam mimpi Guru. Tapi... dia sudah 

tewas!" sekali lagi Malaikat Penggali Kubur pandangi 

sosok berjubah hitam yang tadi duduk bersila di atas 

batu dan kini melingkar di atas tanah.

"Ada keanehan...," desis Malaikat Penggali Kubur 

dengan kepala berputar dan sepasang mata pandangi

berkeliling sebelum akhirnya kembali ke sosok tak ber-

gerak di hadapannya. "Jubah dan sekujur tubuhnya 

sudah berlumut. Berarti dia sudah lama mati! Tapi aku 

tidak membaui bau bangkai. Anggota tubuhnya pun 

tidak rusak.... Mimpi Guru benar-benar bukan hanya 

kembang tidur! Dan petunjuk orang yang menamakan 

Iblis Rangkap Jiwa benar adanya.... Jadi manusia in-

ilah yang kucari!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan 

kepala dengan bibir tersenyum. "Guru mengatakan 

orang ini membuka jubahnya di bagian dada. Lalu 

tampak sebuah kitab... Pemuda murid Bayu Bajra In-

gat akan ucapan gurunya beberapa saat yang lalu.

Ingat akan hal Itu, cepat Malaikat Penggali Kubur 

melangkah satu tindak lalu Jongkok dengan kedua


tangan bergerak ka arah Jubah bagian atas orang tua 

yang melingkar tak bergerak. Namun gerakan kedua 

tangan Malaikat Penggali Kubur tertahan. Dahinya 

berkerut dengan mata menatap tajam. Bukan meman-

dang pada sosok dl hadapannya melainkan pada ba-

gian samping batu di mana tadi orang tua berjubah 

duduk.

Waktu orang tua berjubah hitam panjang tadi du-

duk dl atas batu, bagian samping batu memang tidak 

kelihatan karena tertutup jubah hitamnya yang pan-

jang. Setelah orang tua itu jatuh, kini tampaklah ba-

gian samping batu itu.

Ternyata di bagian samping batu itu ada rangkaian 

tulisan. Sesaat Malaikat Penggali Kubur perhatikan 

rangkaian tulisan itu dengan mata menyipit. Karena 

ternyata rangkaian tulisan itu ditulis dengan darah!

Malaikat Penggali Kubur pandangi rangkaian tuli-

san lalu beralih pada sosok di hadapannya. Kejap lain 

dia arahkan kembali pandangannya pada rangkaian, 

tulisan lalu membaca dengan mulut bergetar.

Pesan bagi anak manusia yang menemukan diriku. 

Kau akan mendapatkan sebuah karya luar biasa 

dahsyat dalam tubuhku. 

Setelah kau dapatkan karya itu, angkat mayatku 

dua belas langkah dari tempat ini ke jurusan kanan.

“Karya.... Pasti yang dimaksud adalah...." Malaikat 

Penggali Kubur tidak lanjutkan gumaman nya. Seba-

liknya dia segera arahkan pandangannya pada sosok 

orang tua berjubah. Kedua tangannya segera bergerak

membuka kancing bagian atas jubah orang.

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membe-

sar. Di balik jubah hitam orang yang telah tersingkap,


tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Namun sang 

pemuda tidak segera gerakkan tangan untuk mengam-

bil. Sebaliknya memperhatikan sekitar Kitab Hitam 

yang terikat di dada orang. .

Di sekitar dada orang tua itu terlihat bercak-bercak 

darah mengering. Malah sebagian ada di sampul kitab.

"Heran.... Mulut dan hidungnya tidak mengucur-

kan darah. Demikian pula telinganya. Dari mana darah 

itu?” Malaikat Penggali Kubur sibakkan Jubah hitam 

orang ke bawah. Namun dia tidak menemukan luka 

yang mengucurkan darah.

"Ah.... itu urusan nanti. Yang penting aku telah 

menemukan kitab Itu.... Dan aku harus lakukan apa 

yang tertera di batu itu. Pasti orang tua ini yang menu-

lis!"

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur menyentuh 

kitab yang terikat di dada orang. Ada hawa dingin 

tatkala kedua tangannya menyentuh sampul kitab. 

Dengan kedua tangan bergetar. Malaikat Penggali Ku-

bur segera tarik kitab Itu.

Dengan tangan masih bergetar murid Bayu Bajra 

ini segera memeriksa kitab bersampul hitam. Pada 

sampulnya tidak ada tulisan. Dia coba membuka. Na-

mun dia tersentak kaget. Ternyata bagaimanapun dia 

berusaha membuka, lembaran kitab itu laksana leng-

ket dan tidak bisa dibuka.

"Bagaimana aku mempelajari isinya kalau tidak bi-

sa dibuka? Jangan-jangan ini kitab palsu! Tapi.... "Ma-

laikat Penggali Kubur perhatikan lebih seksama lagi. 

Karena pada sampulnya ada bercak-bercak darah dan

menduga di balik bercak darah ada tulisan, tangan 

kanannya segera mengusap-usap sampul kitab hilang-

kan bercak-bercak darah.

Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar deruan


perlahan. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Menduga 

ada orang lain yang lancarkan pukulan, dia cepat seli-

napkan Kitab Hitam ke balik pakaiannya.

Karena sewaktu mengusap sampul kitab mengha-

dap ke atas, mendadak saat itu juga ranggasan daun 

dan ranting-ranting yang banyak tumbuh di bagian 

lamping jurang laksana dilanda gelombang dahsyat. 

Kejap lain Malaikat Penggali Kubur menyaksikan lamp-

ing Jurang bersih rata. Yang terlihat kini adalah serpi-

han-serpihan daun dan ranting yang sejenak bertabur 

sebelum akhirnya tersapu angin.

"Aneh.... Apa yang terjadi? Jelas tidak ada orang 

yang lancarkan pukulan. Sewaktu aku mengusap 

sampul kitab ini tiba-tiba terdengar deruan, lalu ada 

gelombang tidak terlihat yang menyapu rata daun dan 

ranting di atas sana! Jangan-jangan inilah kedahsya-

tan kitab yang kutemukan! Tapi aku belum percaya 

kalau tidak membuktikannya sendiri!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri setengah lingka-

ran. Kedua tangannya bergerak mengusap sampul ki-

tab di balik pakaiannya. Saat itu juga terdengar de-

ruan pelan. Tidak ada gelombang angin yang terlihat.

Namun, bersamaan dengan itu batu-batu di hadapan-

nya serta jajaran pohon yang ada laksana disapu ke-

kuatan luar biasa dahsyat.

Batu-batu itu langsung pecah berantakan. Jajaran 

pohon berderak tumbang dan langsung menghitam

laksana dipanggang bara api.

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah 

tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun se-

saat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pe-

lan.

"Hem.... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa ha-

rus mempelajari isinya.... Benar-benar luar biasa!


Rimba persilatan akan segera guncang. Dan cita-citaku 

menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi du-

nia persilatan akan berada di genggamanku!"

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah

tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun se-

saat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pe-

lan.

"Hem.... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa

harus mempelajari isinya... Benar-benar luar biasa! 

Rimba persilatan akan segera guncang! Dan cita-citaku 

menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi du-

nia persilatan akan berada di genggamanku!"

Malaikat Penggali Kubur tengadah. Terbayang

wajah Pendekar 131 di pelupuk matanya. Mulutnya 

menyunggingkan senyum aneh. Lalu berseru. "langkah 

mu tidak akan panjang lagi, Pendekar! Kau hanya 

tinggal tunggu saat-saat kematian!"

Malaikat Penggali Kubur rapikan letak Kitab

Hitam di balik pakaiannya. Lalu putar diri lagi meng-

hadap sosok orang tua berjubah hitam yang masih me-

lingkar di atas tanah. Saat itulah sepasang matanya 

melihat sesuatu menyembul di bawah mana tadi Kitab 

hitam berada di dada orang.

Malaikat Penggali Kubur jongkok seraya

memperhatikan. Dia ulurkan tangan mengusap sesua-

tu yang menyembul karena di bagian dada orang ba-

nyak bercak darah.

"Ujung senjata!" desis Malaikat Penggali Kubur

seraya tarik pulang tangannya. "Jadi darah itu karena 

senjata yang melukai dadanya...,"

Malaikat Penggali Kubur lepas jubah hitam orang.

Lalu membalikkan tubuhnya. Dia tersentak kaget. Pa-

da bagian punggung orang tua itu tampak menancap 

sebuah gagang pedang. Melihat hanya gagangnya yang


kelihatan sementara di bagian dada orang hanya me-

nyembul sedikit jelas kalau pedang itu merupakan pe-

dang kecil.

"Pedang ini menancap dari belakang, pasti ini dila-

kukan orang lain. Jadi orang tua itu tewas terbunuh!

Hem,... Aku harus segera lakukan apa yang tertulis di 

batu itu. Bagaimanapun juga orang tua ini telah me-

wariskan sesuatu luar biasa padaku!"

Malaikat Penggali Kubur kenakan kembali jubah 

sosok orang tua itu. Lalu perlahan-lahan dia angkat

dan melangkah menghadap ke kanan lalu melangkah 

dengan menghitung.

Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, dia

berhenti. Di hadapannya kini tampak sebuah tanah 

berlobang sedalam satu setengah tombak berbentuk 

persegi panjang sepanjang dua tombak dan lebarnya 

satu tombak. Di samping tanah berlobang terlihat 

gundukan tanah.

"Benar-benar luar biasa orang ini. Dia telah

siapkan liang lahat untuk dirinya!"

Seakan tahu apa yang harus dilakukan, Malai

kat Penggali Kubur perlahan-lahan melompat turun 

memasuki lobang persegi panjang. Perlahan-lahan pu-

la diletakkan sosok orang tua di atas tanah berbentuk 

liang lahat itu. Sejenak dia pandangi tubuh si orang 

tua. Lalu memandang sekeliling. Saat itulah matanya 

melihat dinding tanah di bagian samping laksana dite-

kan-tekan tangan hingga membentuk sebuah tulisan!

Dengan sedikit belalakkan sepasang matanya, 

Malaikat Penggali Kubur mulai membaca tulisan di 

dinding tanah.

“Terima kasih kau telah lakukan apa yang

kuinginkan, Siapa pun kau adanya, kau kini bukanlah


manusia seperti sebelum kau berhasil menemukanku. 

Kau telah menemukan kitab luar biasa sakti. Tapi ada 

beberapa hal yang harus kau lakukan. Kau harus me-

musnahkan seluruh anak keturunan bekas seorang 

permaisuri bernama Ken Rakasiwi. Kau harus singkir-

kan tokoh-tokoh rimba persilatan hingga kau menjadi 

manusia tanpa tanding seperti cita-citaku! Untuk men-

getahui seluruh anak turunan Ken Rakasiwi, pergilah ke 

sebuah kuil di pantai timur. Sementara ini kau harus 

menyamar. Kalau semuanya sudah jelas, tiba saatnya 

bagimu lakukan tugas!

 Datuk Kematian

Malaikat Penggali Kubur mengulang dua kali tuli-

san di dinding tanah Liang lahat Lalu berpaling pada 

wajah orang tua di hadapannya.

"Datuk Kematian.... Aku akan laksanakan tugas-

mu! Sosok Malaikat Penggali Kubur sedikit membung-

kuk. Kejap lain dia mendongak. Sekali membuat gera-

kan, sosoknya telah berada di atas Liang Lahat.

Sejurus dia arahkan pandangannya berkeliling. 

“Aku merasakan perubahan pada diriku. Gerakanku 

amat ringan. Hem.... ini pasti karena kitab ini!" gu-

mamnya sambil kedua tangan menyentuh kitab di ba-

lik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya bergerak 

menimbun lobang Liang Lahat dengan tanah yang 

menggunduk di sekitar liang lahat.

Begitu lobang liang lahat tertutup Malaikat Pengga-

li Kubur menarik napas panjang. Lalu putar diri dan 

melangkah ke tempat di mana dia tadi terjatuh.

Kepala Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Ju-

rang ini tidak terlalu dalam. Tapi karena di samping-

nya tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dibuat pegan-

gan terpaksa aku harus naik dengan caraku sendiri...."


Malaikat Penggali Kubur melangkah ke arah samp-

ing jurang. Kembali kepalanya tengadah. Kejap lain dia 

sentakkan kedua kakinya ke tanah. Sosoknya melent-

ing ke atas sampai dua tombak. Sebelum tubuhnya 

melayang turun lagi, kedua tangan dan kakinya berge-

rak menghantam tanah di samping jurang.

Sebenarnya semula Malaikat Penggali Kubur mera-

sa bimbang akan apa yang hendak dilakukan. Namun 

karena percaya pada kitab di balik pakaiannya dia lalu 

mencoba.

Bagian lamping jurang adalah tanah gembur kare-

na hanya ditumbuhi pohon-pohon kecil. Sekali sentuh 

tanahnya pasti longsor. Hal inilah yang semula menja-

dikan Malaikat Penggali Kubur merasa was-was.

Namun begitu kedua tangan dan kaki Malaikat

Penggali Kubur bergerak menghantam tanah di lamp-

ing jurang untuk menahan agar tubuhnya tidak jatuh, 

pemuda ini jadi terkejut sendiri.

Meski kedua tangan dan kakinya kini masuk ke 

dalam tanah di lamping jurang hingga tubuhnya 

menggantung, tanah di lamping jurang tidak longsor!

Malaikat Penggali Kubur tidak menunggu terlalu 

lama. Dia segera tarik pulang kedua tangannya. Se-

mentara kedua kakinya masih masuk ke tanah lamp-

ing jurang. Kedua tangannya lalu diangkat ke atas dan

kembali di hujamkan masuk ke tanah. Kejap lain se-

pasang kakinya ditarik. Lalu diangkat ke atas. Dengan 

cara begitu, pada akhirnya Malaikat Penggali Kubur 

sampai di bibir jurang.

Ketika bibir jurang telah terlihat, Malaikat Penggali

Kubur gerakkan tangan dan kakinya bersamaan. So-

soknya melenting ke udara melalui bibir jurang. 

Wuuuutt

Malaikat Penggali Kubur terkesiap kaget. Begitu


sosoknya melampaui bibir jurang ada satu gelombang 

angin menyambar deras ke arahnya. Kalau murid 

Bayu Bajra yang kini telah mendapat Kitab Hitam cip-

taan Ageng Barada alias Datuk Kematian tidak segera 

gerakkan bahunya, niscaya tubuhnya akan terhantam 

gelombang yang tiba-tiba menyambar.

Sebagai pemuda yang bertahun-tahun digembleng 

Bayu Bajra, seorang tokoh rimba persilatan yang cu-

kup disegani, Malaikat Penggali Kubur sadar kalau ada

orang lain di tempat itu. Lebih-lebih kini daya penden-

garannya makin tajam karena kitab di balik pakaian-

nya.

Gelombang yang lolos menghantam Malaikat Peng-

gali Kubur terus menerabas sebelum akhirnya meng-

hantam bibir jurang di seberang sana. Di lain pihak, 

Malaikat Penggali Kubur cepat putar diri dan berpal-

ing. Sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya 

mengembung dengan pelipis bergerak-gerak. Namun 

rasa kaget lebih tampak di wajah si pemuda dari pada 

rasa geram karena diserang mendadak!

***


DUA



Di hadapan Malaikat Penggali Kubur sejarak sepu-

luh langkah tegak seorang laki-laki yang raut wajahnya 

hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditum-

buhi rambut. Sepasang matanya besar menjorok ke-

luar. Laki-laki ini mengenakan pakaian compang-

camping yang dibercaki tanah. Laki-laki yang bukan 

lain adalah Iblis Rangkap Jiwa ini sunggingkan se-

nyum seringai. Saat lain kepalanya mendongak. Tangan kanannya bergerak ke depan membuat sikap se-

perti orang meminta. Lalu terdengar suaranya mem-

bentak keras.

"Serahkan Kitab Hitam itu padaku!" Sesaat Malai-

kat Penggali Kubur tercekat. Namun ingat akan kitab 

di balik pakaiannya, pemuda murid Bayu Bajra ini ter-

tawa pendek. Dalam hati dia berkata.

"Aneh. Dia yang menunjukkan di mana tempat be-

radanya kitab ini, tapi kenapa dia tiba-tiba hendak 

meminta dariku? Dia memiliki kepandaian sangat ting-

gi. Tentunya tidak sulit baginya untuk mengambilnya 

sendiri ke dalam jurang. Apalagi dia telah tahu tem-

patnya...."

Seperti diketahui, Gumara alias Malaikat Penggali 

Kubur dibangunkan gurunya dari semadi. Gurunya la-

lu menceritakan tentang mimpinya. Malaikat Penggali 

Kubur lalu melakukan perjalanan. Di puncak Bukit 

Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur berjumpa den-

gan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis 

Rangkap Jiwa. Dari laki-laki inilah Malaikat Penggali 

Kubur mendapat petunjuk di mana adanya Kitab Hi-

tam. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam 

episode: "Warisan Laknat").

Selagi Malaikat Penggali Kubur membatin, Iblis 

Rangkap Jiwa perdengarkan suara tawa panjang. Lalu 

dia berkata.

"Kau kuberi waktu menimbang. Namun kau hanya. 

punya dua pilihan! Pertama. Serahkan Kitab Hitam 

dan kau bisa pulang dengan membawa nyawa. Kedua. 

Aku mengambil sendiri kitab itu dengan caraku na-

mun sekalian dengan nyawamu!"

Mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat 

Penggali Kubur balik perdengarkan tawa panjang. Ma-

lah kini kedua tangannya berkacak pinggang.


Waktu jumpa di puncak Bukit Selamangleng, Ma-

laikat Penggali Kubur memang kecut menghadapi Iblis

Rangkap Jiwa. Malah murid Bayu Bajra ini sempat pa-

srah tewas di tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun kini 

Malaikat Penggali Kubur telah membekal kitab dah-

syat.

Dia yakin, bagaimanapun kehebatan ilmu Iblis 

Rangkap Jiwa, dia pasti akan tersapu pukulan tak ter-

lihat dari Kitab Hitam. Kepercayaan inilah yang mem-

buat Malaikat Penggali Kubur tidak merasa jera den-

gan ancaman orang.

Di lain pihak, meski Iblis Rangkap Jiwa belum 

mengetahui benar bagaimana kedahsyatan Kitab Hi-

tam, namun dari gerakan Malaikat Penggali Kubur 

yang telah dapat meloloskan diri dari pukulannya saat 

keluar dari bibir jurang membuat laki-laki ini tidak 

mau bertindak ayal. Dia jelas telah menangkap adanya 

perubahan pada pemuda di hadapannya. Apalagi kini 

Malaikat Penggali Kubur berani tertawa panjang sambil 

berkacak pinggang. Padahal beberapa saat yang lalu,

pemuda dapat dibuat jatuh bergedebukan hanya den-

gan sentakan kedua kakinya!

Malaikat Penggali Kubur luruskan kepalanya me-

mandang tajam ke dalam bola mata besar Iblis Rang-

kap Jiwa. Setelah menyeringai dia berkata.

"Kau telah menimbang ucapanmu, Manusia Iblis?! 

Dengar baik-baik! Kalau kau tawarkan dua pilihan pa-

daku, aku hanya punya satu jalan untukmu!. Ikut ber-

gabung denganku atau mampus saat ini juga!"

Walau merasa terkejut dengan ucapan Malaikat 

Penggali Kubur namun Iblis Rangkap Jiwa malah per-

keras suara tawanya. Kejap lain dia berkata.

"Jangan membuat aku berubah pikiran! Atau kau 

lebih suka serahkan kitab itu beserta nyawamu sekalian?!"

"Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?!" tanya 

Malaikat Penggali Kubur seraya palingkan kepala me-

mandang pada jurusan lain.

Iblis Rangkap Jiwa puaskan tertawa dahulu sebe-

lum berujar.

"Kalau tidak tahu siapa kau, tidak mungkin aku 

tunjukkan di mana kitab itu berada!"

"Hem.... Rupanya pengetahuanmu luas juga!" sa-

hut Malaikat Penggali Kubur masih tanpa berpaling.

"Aku tahu banyak siapa kau lebih dari dirimu! Kau 

murid tunggal seorang anak manusia bernama Bayu 

Bajra! Kau mempunyai dendam berkarat pada anak 

manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng dan kawan-kawannya! Lebih dari itu kau 

punya lima pusaran rambut di kepala!" 

Laksana disentak setan, kepala Malaikat Penggali

Kubur berpaling. Matanya tetapi Iblis Rangkap Jiwa 

dari atas hingga bawah. Diam-diam dalam hati ia ber-

kata heran. "Bagaimana dia tahu aku memiliki lima 

pusaran rambut di kepala? Padahal...."

Belum sampai Malaikat Penggali Kubur lanjutkan 

kata hatinya, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut lagi. 

"Kau terkejut. Pertanda ucapanku benar!"

Malaikat Penggali Kubur tidak menyahut. "Orang 

ini aneh. Dia punya ilmu tinggi dan tahu dl mana kitab 

berada. Namun dia tidak berusaha mengambil sendiri, 

malah menunjukkan padaku. Dia juga tahu aku punya 

lima pusaran rambut dl kepala padahal aku baru men-

genalnya!. Aku harus tahu semua keanehan ini!"

Berpikir begitu Malaikat Penggali Kubur lalu berka-

ta.

"Aku akan berikan apa yang kau minta. Tapi jawab 

dulu pertanyaanku!"


Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak sambil geleng-

gelengkan kepala. "Dengan atau tanpa syarat pun ki-

tab itu harus kau berikan padaku! Tapi aku masih 

berbaik hati padamu. Kau mau tanya apa?!"

"Kau punya kepandaian tinggi. Kau juga tahu di

mana Kitab Hitam berada. Kenapa kau tidak mengam-

bilnya sendiri? Lalu dari mana kau tahu aku memiliki

pusaran rambut sebanyak lima buah?!"

"Sebenarnya pertanyaan orang bodoh! Tapi tak 

apalah, apa yang menjadi pertanyaanmu akan kuja-

wab!" kata Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek 

membuat paras wajah Malaikat Penggali Kubur merah 

padam. Namun pemuda ini coba menindih perasaan-

nya.

"Sebuah kitab sakti diciptakan hanya ditentukan

untuk satu orang meski banyak orang berusaha mere-

butnya! Dari semadi yang kulakukan beberapa tahun, 

kuketahui bahwa anak manusia yang memiliki pusa-

ran rambut berjumlah lima buah yang dapat mengam-

bil Kitab Hitam itu. Aku juga tahu bahwa anak manu-

sia bernama Gumara yang memiliki pusaran rambut 

berjumlah lima!" sejenak Iblis Rangkap Jiwa hentikan 

keterangannya. Sementara di hadapannya Malaikat 

Penggali Kubur dengarkan dengan saksama.

"Aku memang memiliki kepandaian tinggi dan tahu 

di mana beradanya Kitab Hitam itu. Tapi aku bukan 

manusia bodoh. Karena bagaimanapun ketinggian il-

mu orang, selain anak manusia yang memiliki pusaran 

rambut lima buah maka segala usahanya untuk men-

gambil kitab itu akan sia-sia! Malah dia akan menda-

pat celaka!"

"Mengapa kau percaya saat aku mengatakan na-

maku Gumara padahal kita baru pertama kali berte-

mu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur setelah Iblis


Rangkap Jiwa hentikan keterangannya.

"Saat mengatakan kau dalam keadaan terjepit akan 

mampus!. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin 

orang berkata dusta! Lebih dari pada itu, kau datang 

tepat seperti perhitunganku! Jelas?!"

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Kau 

masih inginkan kitab itu?!"

"Lagi-lagi pertanyaan bodoh yang kau ucapkan!" 

sahut Iblis Rangkap Jiwa. "Ratusan tahun aku me-

nunggu! Hanya manusia kerdil otak yang sia-siakan 

kesempatan yang ditunggu selama itu!" Ucapan Iblis 

Rangkap Jiwa memang benar adanya. Karena sebe-

narnya orang ini adalah seorang dedengkot rimba per-

silatan yang sudah dikenal kalangan dunia persilatan 

pada ratusan tahun yang silam.

Mendengar kata-kata Iblis Rangkap Jiwa, mungkin 

karena menduga ucapan Iblis Rangkap Jiwa hanya 

mengada-ada, Malaikat Penggali Kubur bukannya naik 

pitam meski dadanya bergemuruh. Sebaliknya dia ter-

tawa pendek dan berkata.

"Kalau kau menginginkannya, harap kau suka 

mengambilnya sendiri! Kitab Hitam memang berada 

padaku! Tapi harus kau ingat. Seperti ucapanmu, se-

buah kitab sakti diciptakan hanya untuk satu orang! 

Dan kau telah tahu bahwa aku, Malaikat Penggali Ku-

bur yang ditentukan berjodoh memilikinya!"

"Hem.... Jadi kau telah bergelar Malaikat Penggali 

Kubur! Bagus, itu satu isyarat bahwa kau telah meng-

gali kuburmu sendiri!"

"Dengar, Manusia Iblis!" hardik Malaikat Penggali 

Kubur. "Gumara telah lama menyandang gelar Malai-

kat Penggali Kubur!"

"Kau boleh menyandang gelar apa pun dan sejak 

kapan pun! Tapi jangan harap Iblis Rangkap Jiwa akan


takut mendengarnya!" Habis berkata begitu, Iblis 

Rangkap Jiwa tertawa bergelak.

"Terserah kau takut apa tidak dengan gelaranku. 

Yang pasti kau kini sedang berhadapan dengan manu-

sia yang telah berjodoh dengan Kitab Hitam!"

"Ternyata kau bukan hanya tolol tapi juga tuli. Aku 

tadi berkata, anak manusia yang memiliki lima buah 

pusaran rambut yang dapat mengambil kitab itu! Jadi 

kau hanya dapat mengambil kitab itu dan bukan be-

rarti kau yang ditentukan mewarisi kitab itu!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa kembali

gerakkan tangan kanan membuat sikap meminta. "Ki-

tab itu! Serahkan baik-baik padaku!"

"Tuanmu ini telah menyuruhmu mengambilnya 

sendiri! Perlu ku ulangi lagi?!"

"Baik! Akan kuambil beserta nyawamu sekalian!" 

sentak Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu so-

soknya laksana kilat berkelebat ke arah Malaikat 

Penggali Kubur.

Belum sempat Malaikat Penggali Kubur membuat 

gerakan, kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah me-

nyambar ke arah kepalanya dengan keluarkan suara 

berdesir keras! Pertanda sambaran itu telah dialiri te-

naga dalam kuat.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap, 

namun pemuda ini tidak tinggal diam. Dia cepat ang-

kat kedua tangannya. Karena sadar siapa adanya 

orang yang dihadapi. meski dia telah membekal Kitab 

Hitam namun dia tidak berani bertindak ayal. Hampir 

segenap tenaga dalamnya dikerahkan.

Desss!

Dua pasang tangan beradu keras. Sosok Malaikat 

Penggali Kubur laksana tersapu gelombang luar biasa 

dahsyat hingga tubuhnya terdorong deras ke belakang.


Kedua tangannya bergetar dan tampak menggembung 

merah. Paras wajahnya berubah pucat. Di hadapan-

nya, Iblis Rangkap Jiwa tidak bergeming sama sekali

malah bibirnya tersenyum menyeringai lalu tertawa 

bergelak.

"Kau hanya ditakdirkan sebagai manusia yang da-

pat mengambil kitab itu. Dan akulah orang yang berjo-

doh memilikinya! Tapi semuanya sudah terlambat! Aku 

bukan hanya inginkan kitab itu, namun sekalian den-

gan nyawamu!"

Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Mulut-

nya terkancing rapat. Sejurus dia perhatikan kedua 

tangannya. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Ke-

dua tangannya diangkat tinggi.

Iblis Rangkap Jiwa hadapi serangan dengan kedua 

tangan berkacak pinggang. Dia hanya pandangi lawan 

tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah bersamaan 

dengan itu dia perdengarkan suara tawa ngakak!

Bukkkk! Bukkkk!

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telak 

menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kepala gun-

dul laki-laki Ini hanya tersentak ke atas. Sementara 

Malaikat Penggali Kubur cepat tarik pulang kedua tan-

gannya dengan kaki mundur dua tindak.

Jahanam! Manusia ini ternyata kebal terhadap pu-

kulan!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan rahang 

mengembung. Tanpa menunggu lama dia kepalkan ke-

dua tangannya dan sekonyong-konyong dipukulkan ke 

depan.

Dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tam-

pak melesat cahaya terang sekejap. Kejap lain terden-

gar deruan dahsyat lalu menggebrak gelombang angin 

luar biasa dahsyat. Inilah pertanda kalau murid Bayu 

Bajra ini telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'.


Melihat ganasnya pukulan yang kini menggebrak 

ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa bukannya mundur dan 

membuat gerakan memangkas serangan lawan. Seba-

liknya dia perkeras gelakan tawanya, lalu menyong-

song pukulan lawan dengan maju satu tindak dan tan-

gan masih kacak pinggang!

Desssss!

Pukulan sakti Telaga Surya' yang dilepas Malaikat 

Penggali Kubur telak menggebrak sosok Iblis Rangkap 

Jiwa. Sesaat tubuh laki-laki berkepala gundul ini 

goyah, saat lain sosoknya laksana dihempas gelom-

bang dan terdorong ke belakang sampai satu tombak. 

Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung lalu doyong 

hendak roboh.

Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum. Ma-

lah dia hendak perdengarkan suara tawa. Namun be-

lum sampai suara tawanya terdengar, senyumnya pu-

tus laksana direnggut setan! Sepasang matanya men-

delik besar dengan mulut menganga. Di hadapannya 

Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan aneh.

Begitu sosoknya yang terhantam pukulan sakti 

'Telaga Surya' hendak jatuh terjerembab, Iblis Rangkap 

Jiwa angkat kaki kanannya lalu diputar. Laksana dita-

han satu kekuatan, mendadak tubuh Iblis Rangkap 

Jiwa terhenti. Kaki kanannya yang diangkat serta-

merta dihentakkan di atas tanah,

Tanah di tempat itu bergetar keras. Namun bukan 

hal itu yang membuat Malaikat Penggali Kubur bela-

lakkan sepasang matanya. Bersamaan dengan berge-

raknya kaki Iblis Rangkap Jiwa, sosoknya melesat ke 

depan dengan tangan dan kaki bergerak masing-

masing lakukan pukulan!

Rupanya Malaikat Penggali Kubur maklum bahaya


sedang mengancam jiwanya. Secepat kilat dia melom-

pat ke belakang. Bersamaan dengan menjejaknya kaki 

di atas tanah, kedua tangannya bergerak mengusap ke 

bagian perut di mana tersimpan Kitab Hitam.

Terdengar suara deruan perlahan. Mungkin belum 

mengetahui bagaimana kedahsyatan kitab ciptaan Da-

tuk Kematian apalagi hanya terdengar deruan perla-

han tanpa terlihatnya cahaya atau gelombang yang 

menyambar, Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakannya.

Namun mendadak Iblis Rangkap Jiwa berseru ter-

tahan. Sosoknya laksana ditahan gelombang luar biasa 

dahsyat. Belum tahu apa yang terjadi, sosoknya tersa-

pu deras sebelum akhirnya jatuh menekuk di atas ta-

nah dengan mulut kucurkan darah kehitaman. Jelas 

kalau laki-laki ini telah terluka dalam.'

Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi

sekujur tubuhnya. Dia serasa masih tak percaya den-

gan apa yang dialaminya. Karena selama malang me-

lintang dalam rimba persilatan sampai dirinya menga-

singkan diri, hanya beberapa orang yang dapat mem-

buat dirinya jatuh di atas tanah.

Kini menghadapi seorang pemuda yang beberapa 

saat yang lalu sudah pasrah menunggu kematian di

tangannya, dirinya bukan hanya dibuat jatuh mene-

kuk di atas tanah namun juga telah melukai bagian 

dalam tubuhnya! Namun laki-laki ini segera sadar. Hal

ini mungkin masih ada hubungannya dengan kitab 

yang ada di tangan si pemuda. Merasa yakin akan hal

itu, keinginannya untuk merebut kitab itu semakin 

menggebu. Dia segera kerahkan tenaga dalamnya un-

tuk cepat bergerak bangkit.

Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tercekat sendiri. 

Belum sampai dia kerahkan kembali tenaga dalamnya 

untuk lakukan serangan, tiba-tiba kedua kakinya


goyah. Meski Iblis Rangkap Jiwa telah kerahkan tenaga 

luar dalamnya, namun sia-sia. Kini bukan hanya sepa-

sang kakinya yang goyah, namun sekujur tubuhnya 

bergetar keras. Kejap lain sosoknya limbung sebelum 

akhirnya jatuh lagi di atas tanah dengan mulut kelua-

rkan seruan tertahan.

Malaikat Penggali Kubur yang sejurus tadi sempat 

terlengak melihat lawan masih bisa bergerak bangkit, 

buka mulut perdengarkan tawa mengekeh panjang. 

Dengan tangan berkacak pinggang dia melangkah ke 

arah jatuhnya Iblis Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa sekuat tenaga kerahkan tenaga 

dalamnya. Baru saja kedua tangannya teraliri tenaga 

dalam. Tiba-tiba orang ini berseru dengan mata men-

delik. Kedua tangannya bergetar keras. Bukan siap la-

kukan pukulan, melainkan orang ini rasakan kedua 

tangannya laksana dipanggang bara api!

Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah dua tin-

dak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa. "Hem.... Manusia 

Iblis ini kurasa memiliki tenaga luar biasa kuat. Kalau 

tidak, mungkin tubuhnya sudah tak berkutik lagi! Aku 

tak ingin dia mampus. Aku butuh tenaga orang macam 

dial Meski Kitab Hitam telah berada di tanganku, tapi 

yang kuhadapi di depan sana bukan satu orang. Aku 

percaya kitab ini mampu membuat musuhku tewas 

termasuk Pendekar 131, namun kalau tangan orang 

lain bisa, kenapa aku bersusah payah?!"

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur 

maju lagi satu tindak. Tengkuk Iblis Rangkap Jiwa te-

rasa dingin. Laki-laki ini buka mulut dengan kepala 

diangkat. Namun sebelum suaranya terdengar, kaki 

Malaikat Penggali Kubur telah bergerak lakukan ten-

dangan!

Bukkkk!


Sosok iblis Rangkap Jiwa mencelat mental sejauh 

satu tombak dan terjengkang di atas tanah dengan 

mulut makin banyak kucurkan darah. Malah kini dari 

lobang hidungnya juga keluar darah kehitaman!

Iblis Rangkap Jiwa bertahan sekuat tenaga. Perla-

han-lahan dia bergerak bangkit. Namun belum sampai 

duduk, satu kaki telah mendorong tubuhnya hingga 

sosoknya kembali terjengkang! Kejap lain Malaikat 

Penggali Kubur telah gerakkan tubuh sedikit mem-

bungkuk. Tangan kanannya bergerak.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Dia 

masih coba menghindar namun gerakan tangan Malai-

kat Penggali Kubur lebih cepat. Hingga saat itu juga Ib-

lis Rangkap Jiwa rasakan sekujur anggota tubuhnya 

tegang kaku tidak bisa digerakkan!

"Membuat nyawamu putus, bagiku semudah ke-

dipkan mata! Tapi aku ingin melihat bagaimana orang 

sekarat! Ha... ha... ha...!" ujar Malaikat Penggali Kubur 

dengan dongakkan kepala tanpa memandang.

"Kitab itu sungguh luar biasa dahsyat! Aku harus 

tetap hidup dan merebut kitab itu!" Diam-diam Iblis 

Rangkap Jiwa membatin. Laki-laki ini buka mulut 

meski tanpa bisa gerakkan tubuh karena telah ditotok.

"Harap bebaskan diriku! Apa pun yang kau perin-

tahkan, aku akan melakukannya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Kepalanya 

berpaling mendelik angker menatap pada iblis Rang-

kap Jiwa. Ucapan manusia iblis sepertimu mana bisa 

dipercaya! Kau dengar tadi ucapanku? Aku ingin meli-

hat bagaimana manusia sekarat!" 

“Kau telah memiliki kitab sakti. Kau lihat sendiri, 

aku pun tak sanggup melawanmu! Kalau aku tidak 

melakukan apa yang kau perintahkan, bukankah tidak 

sulit bagimu membunuhku? Lagi pula, kau memendam dendam pada beberapa orang. Dengan bantua-

nku, mungkin semuanya akan lebih cepat selesai!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak menden-

gar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku kini memiliki ke-

kuatan untuk melampiaskan dendam ku!"

"Ucapanmu benar! Tapi kau jangan lupa. Kurasa di

antara musuhmu terdapat beberapa orang yang 

mungkin tidak bisa kau kalahkan!"

Rahang Malaikat Penggali Kubur mengembung be-

sar. Urat lehernya terlihat menggurat Jelas. Sepasang 

matanya mendelik makin angker. Pelipis kiri kanannya 

bergerak-gerak. Saat lain terdengar suaranya memben-

tak keras.

"Kau tahu apa tentang musuh-musuhku, hah?! 

Dan siapa orang yang tidak dapat kukalahkan?! Kitab 

sakti telah ada di tanganku! Kau yang memiliki ilmu 

kepandaian tinggi saja dapat kubuat sekarat!"

Meski sudah tidak bisa membuat gerakan dan 

hanya dapat buka mulut bersuara, Iblis Rangkap Jiwa 

perdengarkan tawa pelan lalu berkata.

"Segala sesuatu ada kelemahannya! Kudengar mu-

suh besarmu Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan 

hanya memiliki kitab sakti, namun juga dikelilingi be-

berapa orang yang bukan saja memiliki kepandaian 

tinggi namun juga memiliki ilmu aneh! Aku tak dapat 

mengatakan siapa dia orangnya tapi aku merasakan 

hal itu!"

Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Penggali

Kubur terdiam. Namun saat lain dia telah tertawa ber-

gelak dan berujar.

"Kau tak dapat mengatakan siapa orangnya. Ba-

gaimana mungkin kau tahu orang itu memiliki Ilmu 

aneh bahkan tak bisa kukalahkan?!*

"Dunia kita adalah dunia persilatan. Dunia yang


kadang kala tidak masuk di akal namun terjadi. Seka-

rang coba kau terka berapa kira-kira umurku?"

Meski sejenak Malaikat Penggali Kubur enggan 

menjawab, namun akhirnya dia angkat bicara. "Dela-

pan puluh tahun! Dan itu usia manusia yang pantas 

masuk Liang kubur!"

Mendengar jawaban Malaikat Penggali Kubur, Iblis 

Rangkap Jiwa tidak menampakkan raut marah. Seba-

liknya dia tertawa perlahan lalu berkata.

"Perkiraanmu salah jauh. Aku berumur tiga kali li-

pat dari yang kau katakan! Dan nyatanya aku belum 

pantas masuk Liang kubur! Inilah salah satu kalau 

dunia kita adalah dunia yang kadang kala tidak masuk 

akal!"

Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok tak berge-

rak di hadapannya. Sebelum pemuda Ini buka mulut, 

Iblis Rangkap Jiwa telah lanjutkan ucapannya. "Aku 

telah malang melintang dalam dunia persilatan pada 

sezaman nenekmu. Jadi aku lebih banyak tahu dunia 

persilatan lebih dari yang kau ketahui!"

"Hem.... Lalu apakah kau merasa mampu mengha-

dapi orang yang kau kira memiliki ilmu aneh itu?!"

Mendengar pertanyaan Malaikat Penggali Kubur, 

Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Namun je-

las wajahnya berubah. Dia merasa Malaikat Penggali 

Kubur tidak akan teruskan niat membunuhnya.

Setelah agak lama, baru Iblis Rangkap Jiwa buka 

mulut lagi.

"Aku telah pengalaman menghadapi beberapa 

orang tokoh. Jadi sedikit banyak aku dapat memperhi-

tungkan orang yang kuhadapi!”

“Ucapanmu bisa dipercaya?!"

Semua akan kau lihat nanti. Aku memang dari go-

longan sesat, dan aku memiliki tugas memusnahkan


semua orang golongan putih. Bukankah musuh-

musuhmu Juga dari golongan Itu? Jadi sebenarnya ki-

ta memiliki musuh yang sama!"

"Hem.... Begitu? Baiklah. Kau akan kubebaskan. 

Tapi ingat! Sekali kau bertindak di luar yang kuperin-

tahkan, nyawamu tidak kuampuni lagi!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Peng-

gali Kubur bergerak bebaskan totokan yang disarang-

kan pada Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu Iblis Rangkap 

Jiwa telah dapat gerakkan anggota tubuhnya meski 

sangat lemah karena banyaknya darah yang keluar da-

ri mulut dan hidungnya. Seperti diketahui, Iblis Rang-

kap Jiwa bukan hanya dikenal sebagai dedengkot rim-

ba persilatan yang telah berusia ratusan tahun. Na-

mun dia juga dikenal sebagai tokoh yang berkepan-

daian sangat tinggi dan kebal segala pukulan. Hingga 

meski gelombang dahsyat tidak kelihatan yang keluar 

dari kitab di balik dada Malaikat Penggali Kubur 

menghantamnya, Iblis Rangkap Jiwa masih bisa berta-

han dan tidak berubah hitam kulit tubuhnya meski 

mengalami luka agak parah. Dari sini pun bisa diduga 

betapa kuat sesungguhnya pertahanan tubuh iblis 

Rangkap Jiwa.

"Kau kuperintahkan untuk kembali ke puncak Bu-

kit Selamangleng! Tetaplah di sana sampai aku datang! 

Ingat! Bunuh semua manusia yang datang ke bukit 

itu!"

Sejenak Iblis Rangkap Jiwa pandangi Malaikat 

Penggali Kubur dengan wajah tidak mengerti. Rupanya 

Malaikat Penggali Kubur dapat menangkap apa yang 

ada di benak iblis Rangkap Jiwa. Seraya sunggingkan 

senyum seringai dia berkata,

"Nyawamu ada di tanganku! Kau hanya perlu ja-

lankan perintahku tanpa harus bertanya! Kau den


gar?!"

Meski dalam hati menyumpah-nyumpah, akhirnya

Iblis Rangkap Jiwa hanya anggukkan kepala. Sementa-

ra Malaikat Penggali Kubur tertawa perlahan dan di-

am-diam dalam hati berkata. "Lambat laun kabar ten-

tang kitab ini pasti akan tersiar! Dan akan banyak 

manusia yang menuju Bukit Selamangleng. Tugas ma-

nusia Iblis inilah yang mengurusnya!"

Kalau Malaikat Penggali Kubur diam-diam memba-

tin begitu, diam-diam Iblis Rangkap Jiwa juga berkata 

sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku lebih suka mengi-

kuti ke mana anak manusia itu pergi. Dengan demi-

kian aku lebih banyak punya kesempatan untuk me-

rebut kitab itu! Tapi apa boleh buat. Sementara ini aku 

harus lakukan apa yang diucapkan! Kabar kitab itu 

sebentar lagi pasti akan tersiar! Dan akan banyak ma-

nusia yang menuju puncak Bukit Selamangleng. Den-

gan membunuh mereka satu persatu, orang yang men-

ginginkan kitab itu akan berkurang! Dan akan tiba 

saatnya bagiku merebutnya!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri. "Satu hal yang 

harus kau ingat! Kalau Pendekar 131 menuju puncak 

bukit, jangan buat mampus! Tunda nyawanya sampai 

aku datang!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur ter-

tawa panjang. Ketika suara tawanya sirna, Iblis Rang-

kap Jiwa sudah tidak melihat lagi sosok si pemuda. Ib-

lis Rangkap Jiwa menoleh ke arah selatan. Samar-

samar terlihat Malaikat Penggali Kubur telah berada di 

tikungan kaki bukit dan sekejap kemudian lenyap.

"Hem.... Bukan hanya berubah menjadi manusia 

sakti, tapi gerakan tubuhnya sudah hampir sulit diiku-

ti pandangan mata biasa! Aku harus mencari akal un-

tuk merebut kitab sakti itu!”


Iblis Rangkap Jiwa bergerak bangkit. Terbungkuk-

bungkuk dia melangkah menuju puncak Bukit Sela-

mangleng.

***


TIGA



PENDEKAR 131 tegak di balik sebatang pohon ke-

lapa dengan sepasang mata tak berkesip memandang 

ke depan. Sudah agak lama murid Pendeta Sinting ini 

berada di situ. Namun sejauh Ini dia hanya meman-

dang tanpa membuat gerakan apa-apa.

"Jangan-jangan kuil itu tidak berpenghuni! Tidak 

kulihat batang hidungnya orang di sana! Padahal aku 

yakin kuil itulah yang dikatakan Gendeng Panuntun.... 

Hem.... Tak ada kepastian sebelum aku menyaksikan 

sendiri ke sana!"

Walau telah berkata begitu, namun Joko tidak se-

gera beranjak keluar dari balik pohon kelapa. Sebalik-

nya memandang lebih seksama.

Sejarak sepuluh tombak dari tempatnya, terlihat 

sebuah kuil agak besar yang menghadap hamparan 

laut.

Setelah berpikir, akhirnya murid Pendeta Sinting 

memutuskan untuk keluar dari tempatnya mengintai. 

Namun gerakannya tertahan. Dan buru-buru dia ra-

patkan tubuhnya ke batangan pohon kelapa dengan 

sepasang mata makin mendelik ke arah kuil. Meski 

saat itu suasana sudah agak gelap karena matahari

sudah berada di bentangan kaki langit sebelah barat 

dan hendak tenggelam, namun dari arah tempatnya 

tegak, murid Pendeta Sinting meski samar-samar ma-

sih menangkap adanya satu sosok berkelebat keluar dari kuil.

"Aku harus tahu siapa adanya sosok itu!" Pendekar 

131 segera berkelebat keluar dan berlari menyusul 

orang yang baru saja keluar dari kuil. Namun terlam-

bat.

Bayangan yang baru saja keluar dari kuil telah le-

nyap laksana ditelan bumi. Murid Pendeta Sinting 

hanya dapat mengenali bayangan itu mengenakan pa-

kaian berupa Jubah merah menyala.

"Astaga!" Joko tegak dengan tubuh bergetar. "Jan-

gan-Jangan orang tadi adalah gadis berjubah merah 

yang kutemui sedang mandi beberapa hari yang lalu! 

Celaka kalau dia telah memperoleh keterangan!"

Seperti dituturkan dalam episode : "Warisan Lak-

nat", Joko sempat berjumpa dengan seorang gadis ber-

jubah merah dan sempat mengatakan apa yang jadi 

urusannya pada gadis itu.

"Dari mana dia tahu kuil itu tempat tinggal Cucu 

Dewa?! Apa dia juga pernah jumpa dengan Gendeng 

Panuntun dan menanyakan tempat tinggalnya Cucu 

Dewa?!"

Seperti yang dituturkan dalam episode : "Warisan 

Laknat", murid Pendeta Sinting sempat bertemu den-

gan Gendeng Panuntun. Dari orang yang memiliki ke-

pandaian aneh ini, Joko mengetahui tempat tinggalnya 

Cucu Dewa yang menurut Raja Tua Segala Dewa ada-

lah orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa 

yang dikatakannya mengetahui di mana beradanya Ki-

tab Hitam.

Pendekar 131 cepat putar diri. Lalu berkelebat 

kembali menuju arah kuil. Dia tegak sepuluh langkah 

di depan kuil dengan mata tak berkesip memperhati-

kan sekeliling, Saat lain mulutnya telah terbuka. Na-

mun belum sampai ada suara yang terdengar, satu


bayangan berkelebat dari dalam kuil dan tahu-tahu se-

jarak lima langkah dart tempatnya telah berdiri satu 

sosok tubuh!

Pendekar 131 pentangkan sepasang matanya.

Orang di hadapannya ternyata adalah seorang laki-laki 

bertubuh pendek. Sosoknya gempal. Kepalanya besar

ditumbuhi rambut lebat hitam dikelabang dua. Sepa-

sang matanya sipit dengan hidung besar. Dia menge-

nakan pakaian berwarna hitam. Tangan kanannya 

bergerak-gerak mainkan dua butiran batu hitam yang 

dilempar-lemparkan ke atas. Meski tahu ada orang te-

gak dl hadapannya, namun dia seolah acuh malah ti-

dak memandang!

Murid Pendeta Sinting mendehem berharap agar 

orang berpaling. Tapi walau dia telah berkali-kali men-

dehem malah sempat agak dikeraskan, orang bertubuh 

pendek di hadapannya tetap mainkan batu hitam se-

besar ibu jarl tanpa pedulikan kehadiran orang!

Pendekar 131 jerengkan sepasang matanya. Siap 

angkat bicara. Tapi mendadak orang di hadapannya te-

lah mendahului buka mulut.

"Siapa kau?!" Orang ini perdengarkan suara tanpa 

memandang. Dia tetap mainkan dua butiran batu hi-

tam, malah sejenak kemudian dia putar tubuh seten-

gah lingkaran!

"Bukankah yang berdiri di hadapanku ini adalah 

Cucu Dewa?" tanya Joko lalu ikut-ikutan putar diri se-

tengah lingkaran hingga keduanya saling memunggun-

gi.

Orang bertubuh pendek tidak segera menjawab, 

membuat Joko melirik ke belakang. Saat itulah tiba-

tiba orang di belakangnya membuat gerakan dengan 

gelengkan kepalanya.

Wuuuttl


Rambut hitam yang dikelabang dua berkelebat 

angker keluarkan suara menderu keras.

Pendekar 131 kancingkan mulut rapat-rapat. Sece-

pat kilat dia merunduk lalu melompat dan putar diri

menghadap orang.

"Aku tanya siapa kau!" Orang bertubuh pendek 

kembali perdengarkan suara membentak. Bersamaan 

dengan itu sosoknya berputar. Sepasang matanya yang 

sipit mementang besar. Tangan kanannya tetap me-

mainkan batu hitam dilempar-lemparkan ke atas se-

tinggi dadanya saling bersimpangan dengan batu sa-

tunya.

"Aku Joko...!”

"Hem.... Joko apa? Joko Kendil? Joko Loro? Joko 

Tingkir?!”

"Joko Sableng!"

"Nama buruk!" sahut orang bertubuh pendek sam-

bil tertawa pelan. "Apa tujuanmu berada di sekitar ru-

mahku? Sejak tadi kau sembunyi-sembunyi mengintai! 

Apa yang kau cari, hah?!"

"Hem.... Dia telah tahu kalau aku berada di sini 

sudah agak lama!" kata Joko dalam hati lalu berkata.

"Apa benar kau yang disebut orang Cucu Dewa?!"

"Aku tanya apa yang kau cari di sini!" sentak orang 

bertubuh pendek dengan mata makin dlpentangkan 

besar.

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu buka 

mulut.

"Aku mencari orang bernama Cucu Dewa!"

Orang di hadapan Joko sipitkan sepasang ma-

tanya, Diam-diam orang ini berkata sendiri dalam hati. 

'Sudah dua orang tak diundang mendadak muncul!"

"Apa tujuanmu mencari Cucu Dewa?!"

Karena tak mau dijebak orang yang baru dikenal


apalagi orang itu belum katakan siapa dirinya, Joko 

gelengkan kepala seraya berkata pelan.

"Aku tak bisa mengatakan sebelum aku jumpa 

dengan orang yang kucari!"

"Hem.... Begitu? Kalau demikian, lekas angkat kaki 

dari hadapanku!"

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu 

dengan orang yang kucari!" jawab Joko sambil mena-

tap orang di hadapannya lekat-lekat.

Yang dipandang balas memandang hingga untuk 

beberapa saat kedua orang Ini saling bentrok mata. 

Saat lain orang bertubuh pendek berpaling lalu berka-

ta. "Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?!"

"Gendeng Panuntun!"

Orang di hadapan Pendekar 131 telengkan kepa-

lanya. Parasnya berubah.

"Kau mengenalnya?!" tanya murid Pendeta Sinting 

begitu melihat perubahan pada raut wajah orang.

"Aku tidak kenal! Hanya aku pernah dengar na-

manya! Apa hubunganmu dengan Gendeng Panun-

tun?!"

"Dia sahabatku!"

"Kenapa dia menunjukkan tempat ini padamu?!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku tak 

bisa mengatakan pada orang yang belum kuketahui

siapa namanya! Harap maafkan!"

Orang bertubuh pendek di hadapan Joko bergu-

mam tak jelas. Kejap lain dia buka mulut "Akulah 

orang yang kau cari! Katakan apa tujuanmu sekarang!"

Pendekar 131 tidak segera menjawab. Sebaliknya

memandang orang dengan tatapan menyelidik. 

"Sayang aku tak mengetahui apa ciri-ciri orang yang 

kucari. Namun kalau dia berada di sini, bukan tak 

mungkin memang dia orang yang kucari...."


"Kau tak mau jawab pertanyaanku...?" hanya itu 

yang diucapkan orang. Sesaat lain orang pendek ini te-

lah putar tubuh lalu melangkah.

"Tunggu!" 

Orang bertubuh pendek yang menyatakan diri se-

bagai orang yang dicari Joko yang berarti adalah Cucu 

Dewa hentikan langkah tanpa berkata.

Joko melangkah mendekat. Lalu angkat bicara. 

"Dalam dunia persilatan ada seorang tokoh bergelar Ib-

lis Rangkap Jiwa. Menurut yang kudengar dia memiliki 

kesaktian luar biasa...."

"Pasti pertanyaanmu sama dengan pertanyaan 

orang yang datang mendahuluimu! Tapi teruskan!" tu-

kas Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. "Pasti yang 

dimaksud adalah gadis berjubah merah yang sebutkan 

diri bernama Putri Sableng itu! Benar-benar celaka ka-

lau orang ini telah memberi petunjuk pada gadis itu!" 

pikir Joko dalam hati lalu teruskan ucapannya.

"Turut penjelasan orang yang kupercaya, hanya 

kaulah satu-satunya orang yang tahu kelemahan Iblis 

Rangkap Jiwa! Harap kau mau katakan kelemahan 

orang itu!"

"Kalau kau ingin tahu kelemahan orang, berarti 

kau punya niat jahat!"

"Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud 

buruk! Ini semata-mata hanya untuk berjaga-jaga!"

"Kenapa kau ingin mengetahui kelemahannya?!"

"Dia mengetahui tentang beradanya sebuah kitab 

sakti. Padahal kalau kitab itu sampai berada di tangan 

orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba per-

silatan akan celaka! Iblis Rangkap Jiwa mungkin saja

tidak mau mengatakan dl mana beradanya kitab sakti,


malah mungkin akan berbuat yang tidak-tidak! Aku 

hanya menginginkan keterangan darinya di mana be-

radanya kitab itu!"

"Kau ingin mewarisi kitab itu?!" tanya Cucu Dewa. 

Murid Pendeta Sinting tertawa pendek seraya geleng-

kan kepala. "Justru sebaliknya. Aku akan memusnah-

kan kitab itu!"

"Hem.... Kalau tujuanmu begitu, baiklah! Tapi jika 

nantinya kau bertindak lebih dari sekadar mencari ke-

terangan tentang beradanya kitab itu, dosanya kau

tanggung sendiri! Setuju?!"

Murid Pendeta Sinting hanya anggukkan kepala. 

Sementara Cucu Dewa balikkan tubuh lalu berkata. 

"Mendekatlah kemari!"

Pendekar 131 terlihat bimbang. Seakan tahu apa 

yang ada dalam benak Joko, Cucu Dewa berujar. "Hal 

ini adalah urusan pribadi orang yang hanya kalangan 

tertentu boleh mengetahuinya! Aku tak mau menang-

gung dosa jika ada orang lain yang mendengarnya!"

Murid Pendeta Sinting putar kepalanya dengan ma-

ta mendelik memandang sekitar. Belum sampai dia 

berkata, Cucu Dewa telah berkata mendahului.

"Di sekitar sini memang tidak ada orang! Tapi ba-

gaimanapun juga aku harus berhati-hati! Ini me-

nyangkut hidup mati seseorang!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Joko segera me-

langkah mendekat.

"Dekatkan telingamu ke mulutku!" kata Cucu De-

wa.

"Busyet! Jangan-jangan orang ini...."

Belum sampai Joko teruskan kata hatinya, Cucu

Dewa telah berujar. "Jangan bikin aku merubah niat!" 

Mendengar ancaman orang, murid Pendeta Sinting ce-

pat lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa. Telinganya didekatkan pada mulut orang.

Cucu Dewa bergumam pelan. Kejap lain orang ber-

tubuh cebol ini tarik pulang kepalanya dari telinga Jo-

ko. Bersamaan dengan itu murid Pendeta Sinting tam-

pak melengak. Sepasang matanya membelalak dengan 

mulut menganga.

"Apakah dia tidak bercanda?!" bisik Joko lalu ang-

kat kepalanya dengan senyum ditahan. Kejap lain dia 

luruskan kepalanya menghadap Cucu Dewa.

"Kedengarannya tak mungkin! Tapi kenyataannya 

memang demikian!" ujar Cucu Dewa sambil terse-

nyum.

Habis berkata begitu, Cucu Dewa gerakkan kedua 

kakinya memutar. Namun gerakan orang ini tertahan 

tatkala Joko menahan dengan berseru.

"Masih ada yang perlu kutanyakan padamu!" Cucu 

Dewa kernyitkan dahi. "Kalau tidak mengingat kau sa-

habatnya Gendeng Panuntun, sudah ku usir kau sejak 

tadi! Lekas katakan!"

"Aku tadi melihat seorang gadis keluar dari kuil. 

Apakah dia muridmu? Atau barangkali Istrimu?!"

"Kau jangan berpura-pura!" kata Cucu Dewa masih 

tetap membelakangi.

"Aku tidak mengerti maksudmu!" 

"Bagaimana ini? Dia tadi bilang kau adalah keka-

sihnya! Malah dia sempat titip salam untukmu! Dia 

sudah memastikan bahwa kau akan ke sini!"

Pendekar 131 tercengang mendengar ucapan Cucu 

Dewa. "Celaka!" gumamnya lalu melompat ke hadapan 

Cucu Dewa dan berkata.

"Apakah dia tadi juga menanyakan seperti yang ku-

tanyakan padamu? Apakah kau juga memberi keteran-

gan padanya?!'

"Aku tidak bisa menolak permintaan orang. Apalagi


yang meminta keterangan adalah seorang gadis berwa-

jah cantik!"

"Benar-benar celaka!"

"Hai! Kau ini bicara apa?! Apa yang celaka? Apa 

gadismu Itu kecelakaan? Kau memang harus bertang-

gung jawab jika itu terjadi! Tapi tak ada ruginya men-

gawini gadis cantik macam dia!"

"Ini bukan masalah untung atau rugi! Aku bukan 

kekasih gadis itu! Aku baru saja mengenainya! Aku ha-

rus segera menyusul!" 

"Terserah. Itu urusanmu! Kau susul boleh, tidak 

juga silakan! Kau katakan dia bukan kekasihmu, tak 

ada yang melarang! Kau akui dia kekasihmu, aku Juga 

tidak akan merebut! Hanya...." Cucu Dewa tidak lan-

jutkan ucapannya membuat Joko langsung menyahut.

“Hanya apa?!"

"Kalau kau benar-benar tidak suka padanya, aku 

tidak keberatan mengambilnya sebagai kekasih!"

Murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang ma-

tanya namun kejap lain dia perdengarkan tawa pan-

jang. Begitu tawanya berhenti, Joko Jadi terkesiap 

sendiri. Sosok Cucu Dewa sudah tak kelihatan di tem-

pat itu!

"Ke mana dia? Padahal aku masih perlu keterangan 

di mana beradanya Iblis Rangkap Jiwa.... Aku akan 

masuk kuil. Pasti dia lenyap menuju ke sana!"

Murid Pendeta Sinting melangkah. Namun tiba-tiba 

dia hentikan langkahnya. Sepasang matanya tak ber-

kesip memandang ke tempat di mana tadi Cucu Dewa 

tegak berdiri.

Di atas tanah yang bercampur pasir, terlihat tuli-

san yang tidak begitu jelas namun masih bisa dibaca.

Pergilah ke Bukit Selamangleng. Di sana akan kau 

temui orang yang kau cari.


"Hem.... Dia seolah tahu apa yang hendak kuta-

nyakan!"

Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke 

arah kuil. Kejap lain dia balikkan tubuh dan berkele-

bat tinggalkan tempat itu,

*

* *

EMPAT



MATAHARI baru saja tenggelam saat satu sosok 

bayangan berkelebat laksana dikejar setan mendaki

Bukit Selamangleng. Dalam beberapa saat saja bayan-

gan ini telah hampir mencapai puncak bukit yang saat 

itu tampak sunyi namun terang benderang karena ca-

haya sang rembulan telah memancar dari sebelah ti-

mur.

Bayangan ini untuk sesaat hentikan larinya. Kepa-

lanya bergerak berputar lalu tengadah lurus mengha-

dap puncak bukit. Ternyata dia adalah seorang gadis 

mengenakan jubah merah menyala. Paras wajahnya 

cantik. Sepasang matanya bulat dengan rambut hitam 

lebat dikuncir tinggi. Meski gadis ini tampak tidak bu-

ka mulut, namun mulutnya yang merah ranum terlihat 

bergerak-gerak seolah mengunyah sesuatu.

"Sepi! Tidak kulihat adanya gerakan orang! Di ma-

na manusia yang katanya bergelar Iblis Rangkap Jiwa 

itu? Jangan-jangan Setan Jelek pemuda sedeng itu 

hanya mengarang cerita! Tapi keterangan Cucu De-

wa...." Gadis berjubah merah mendadak sunggingkan 

senyum. Ketegangan yang sejenak tadi terlihat di wa-

jahnya lenyap. "Hampir tidak ku percaya ucapan Cucu 

Dewa. Tapi mungkinkah seorang tokoh macam dia


memberi keterangan dusta? Hem.... Aku ingin segera 

buktikan keterangan orang itu!"

Gadis berjubah merah yang saat berjumpa dengan 

Pendekar Pedang Tumpul 131 beberapa waktu yang la-

lu sebutkan diri dengan Putri Sableng teruskan keleba-

tannya ke puncak bukit. (Tentang pertemuan gadis ini 

dengan murid Pendeta Sinting baca serial Joko Sab-

leng dalam episode : "Warisan Laknat").

Baru saja Putri Sableng injakkan sepasang kakinya 

di puncak bukit, tiba-tiba terdengar deruan dahsyat. 

Kejap lain satu gelombang luar biasa ganas menyam-

bar ke arah si gadis.

Karena telah waspada, Putri Sableng cepat berge-

rak menghindar dengan sentakkan kedua kakinya. So-

soknya berkelebat ke samping. Sambaran angin yang 

melabrak lewat satu jengkal di samping pundaknya!

Lolos dari serangan gelap, Putri Sableng cepat pu-

tar diri dengan kedua tangan diangkat dan sepasang 

mata terpentang besar. Namun gadis ini terkesiap sen-

diri. Dia tidak melihat siapa-siapa!

Mungkin karena tidak sabar dan maklum kalau dia 

tidak berada sendirian di tempat itu, gadis ini buka 

mulut membentak.

"Mengapa tidak perlihatkan diri?!"

Belum lenyap suara Putri Sableng mendadak dari 

sebuah tanah yang agak menggunduk terdengar suara 

orang tertawa panjang. Namun laksana direnggut se-

tan, suara tawa itu tiba-tiba terputus. Bersamaan den-

gan itu tanah yang menggunduk bergerak-gerak. Kejap 

lain tanah itu muncrat ke udara lalu tampaklah satu 

sosok tubuh!

Putri Sableng jerengkan sepasang matanya makin 

besar. Gerakan-gerakan mulutnya makin keras Namun 

sejauh ini dia tidak buka mulut bicara. Dia hanya per


hatikan orang yang baru muncul.

Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berke-

pala gundul dengan mata besar menjorok keluar. Dia

mengenakan pakaian compang-camping yang dibercaki 

tanah. Paras wajahnya hampir tidak tertutup daging.

Laki-laki yang muncul dan bukan lain adalah Iblis 

Rangkap Jiwa adanya pentangkan mata besar-besar. 

Lalu tersenyum dan buka mulut.

"Tidak kuduga kalau malam-malam dingin begini

aku kedatangan seorang bidadari! Sungguh sebuah re-

jeki besar! Gadis cantik nan jelita. Siapa namamu?"

"Melihat tampangnya. pasti inilah manusia bergelar 

Iblis Rangkap Jiwa itu! Tampangnya boleh juga, hik... 

hik... hik...!" Gadis berjubah merah tertawa sendiri da-

lam hati. Lalu angkat bicara sambil tersenyum.

"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang te-

gak di hadapanku ini adalah seorang tokoh besar yang 

dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar angker 

Iblis Rangkap Jiwa?"

Cuping hidung Iblis Rangkap Jiwa tampak men-

gembang. Bibirnya makin lebar perlihatkan senyum. 

Seraya melangkah mendekat dia berkata.

"Apa yang kau katakan tidak salah, Anak Cantik! 

Sekarang aku tanya padamu, siapa namamu? Dan bu-

kankah kau datang ke tempat ini tidak karena terse-

sat?"

Gadis berjubah merah balas tersenyum. Seraya 

bungkukkan sedikit tubuhnya dia berujar pelan.

"Aku diberi nama orang tuaku Putri Sableng! Pa-

dahal aku tidak sableng! Hik.... Hik.... Hik... Aku sam-

pai ke tempat ini memang tidak tersesat!"

Iblis Rangkap Jiwa sudah menebak apa jawaban 

sang gadis. Dari gerakan si gadis yang dapat hindar-

kan diri dari pukulannya, malah iblis Rangkap Jiwa


sudah dapat meraba apa tujuan si gadis. Meski begitu, 

laki-laki berkepala gundul ini ajukan tanya.

"Kalau tidak tersesat, barangkali kau punya mak-

sud?!"

"Jauh berjalan tentu punya maksud! Hik.... Hik.... 

Hik...!"

"Mau katakan apa maksudmu, Anak Cantik?!" 

"Bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu. Hal 

itu membuatku ingin jumpa!"

"Hanya itu tujuanmu datang ke sini?!" tanya Iblis 

Rangkap Jiwa dengan kening yang hampir tak ter-

bungkus daging bergerak mengernyit meski bibirnya 

masih sunggingkan senyum.

Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala. 

"Aku selalu penasaran jika mendengar cerita orang. 

Hal itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku 

memberikan nama Sableng! Aku jarang pulang hanya 

karena ingin jumpa dengan orang yang ceritanya per-

nah kudengar!”

"Kau sekarang telah jumpa denganku. Apa yang 

sekarang akan kau lakukan?”

Putri Sableng putar tubuhnya sedikit. Lalu enak 

saja dia menjawab.

"Pulang!"

Habis berkata begitu, gadis berjubah merah ini te-

ruskan putaran tubuhnya lalu melangkah sambil te-

ruskan ucapannya, "Selamat malam! Mudah-mudahan 

kalau ada saat yang baik aku ingin berkunjung ke sini

lagi!"

Sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan gerakan tu-

buh si gadis. Kejap lain sosoknya berkelebat dan tahu-

tahu telah tegak di hadapan Putri Sableng dengan si-

kap menghadang.

"Suasana telah gelap! Jalanan tentu sunyi! Apa tidak sebaiknya kalau pulang menunggu hari terang?!"

Gadis berjubah merah tertawa cekikikan. "Kau Ini 

lucu! Suasana terang benderang begini kau katakan 

gelap! Atau kau memang suka bercanda!"

Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Ah.... 

Mungkin karena kedatanganmu aku jadi salah ucap!" 

ujarnya lalu luruskan kepalanya dengan mata me-

mandang tak berkesip.

Putri Sableng tertawa lalu menyisi dan teruskan 

langkahnya tanpa berkata. Namun langkah gadis ini

tertahan. Karena mendadak Iblis Rangkap Jiwa mem-

buat gerakan sekali lagi dan tahu-tahu sosoknya telah 

tegak dua tindak dl hadapan Putri Sableng dengan ma-

ta membeliak ke arah dadanya.

Dipandangi begitu rupa, gadis berjubah merah ti-

dak merasa Jengah, sebaliknya malah tertawa cekiki-

kan hingga dadanya yang membusung bergerak-gerak 

turun naik membuat sepasang mata Iblis Rangkap Ji-

wa makin terpentang.

"Aku melihat sikapmu berubah! Apa sebenarnya 

yang kau inginkan?!*

Iblis Rangkap Jiwa tertawa pelan lalu berkata den-

gan suara bergetar.

'Baru saat ini aku melihat gadis cantik sepertimu!

Bagaimana kalau malam ini kita habiskan berdua di 

sini?!"

"Sebenarnya tawaran bagus...."

Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah. Namun 

cuma sekejap, saat lain raut wajahnya jelas mem-

bayangkan perasaan kecewa ketika Putri Sableng ber-

kata. "Jangan bergembira dahulu. Tawaranmu me-

mang bagus. Namun karena saat ini masih ada yang 

harus kulakukan, dengan menyesal aku tak dapat 

memenuhi permintaanmu! Mungkin lain kali kita bisa


bersenang-senang...."

"Apa kau ingin menemui seseorang?"

"Dari mana kau tahu?" Putri Sableng balik ajukan 

tanya dengan bibir tersenyum. Malah sepasang ma-

tanya tampak mengerling.

"Bukankah kau tadi mengatakan selalu penasaran 

dengan cerita orang?"

"Ah...." Putri Sableng mengeluh pendek lalu berka-

ta. "Tebakanmu benar. Aku memang hendak menemui 

seseorang!"

"Mau katakan padaku siapa orang yang hendak 

kau temui?!"

"Aku tak dapat mengatakannya padamu! Ini uru-

san yang hanya orang tertentu yang mengetahuinya!

Karena...."

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala tiba-tiba Ib-

lis Rangkap Jiwa gelengkan kepalanya sambil berkata 

menukas. "Tidak ada urusan di dunia ini yang luput 

dari mata Iblis Rangkap Jiwa!"

Gadis berjubah merah unjukkan tampang terkejut. 

Belum sampai gadis ini buka mulut dan rasa kejutnya 

lenyap, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut. "Coba 

katakan siapa orang yang hendak kau temui! Aku pasti 

sudah dapat menebak apa urusannya!"

Putri Sableng gelengkan kepalanya. "Aku tetap tak 

bisa mengatakan padamu. Hanya mungkin kau nanti 

bisa menebak siapa orangnya kalau kau mengetahui 

apa urusannya...."

"Hem.... Coba katakan apa urusan itu!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sepa-

sang matanya memandang tajam pada laki-laki di ha-

dapannya. Sejenak kemudian dia alihkan pandangan-

nya kejurusan lain. Sementara Iblis Rangkap Jiwa me-

nunggu. Sepasang matanya tak beranjak turun naik


memandang ke arah leher, bibir, dan dada si gadis.

"Menurut cerita yang sempat kudengar, dalam rim-

ba persilatan ada sebuah kitab sakti! Aku tak tahu apa 

nama kitab itu! Yang pasti sampai sekarang kitab itu 

ada...," Putri Sableng tak meneruskan keterangannya. 

Sebaliknya dia memandang iblis Rangkap Jiwa.

Di hadapannya, kening Iblis Rangkap Jiwa men-

gernyit. Namun wajahnya sama sekali tidak mem-

bayangkan rasa terkejut. Malah seraya terus pandangi

dada Putri Sableng, dia berujar. "Teruskan keteran-

ganmu”

"Di mana beradanya kitab sakti itu, hanya orang 

yang hendak kutemui yang tahu.... Terus terang, aku 

tidak punya niat apa-apa pada kitab itu. Aku hanya 

ingin buktikan benar tidaknya cerita yang kudengar!”

Iblis Rangkap Jiwa angkat kepalanya. Memandang 

tajam pada kedua bola mata si gadis. Seraya terse-

nyum dia berkata.

"Hem.... Apa yang kau maksud Kitab Hitam?!" Putri 

Sableng kembali unjukkan tampang terkejut. Malah 

sepasang kakinya tersurut dua tindak ke belakang. Di 

hadapannya Iblis Rangkap Jiwa tertawa keras. "Sudah 

kukatakan, tidak ada urusan di dunia yang luput dari 

mataku! Melihat perubahan sikapmu, aku bisa mene-

bak kalau apa yang kukatakan benar!"

"Aku tidak menduga kalau kau tahu urusan ini!

Padahal menurut cerita yang kudengar, hanya orang 

yang akan kutemui yang tahu urusan kitab itu!"

"Sekarang kau tahu bahwa aku mengetahui urusan 

kitab itu. Apakah kau masih ingin menemui orang

yang kau katakan itu?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa 

sambil gerakkan tangan kanannya memegang tangan 

Putri Sableng.

Putri Sableng tidak coba menghindar, Malah dia


diam saja tatkala tangan Iblis Rangkap Jiwa meremas 

tangannya. Hal ini membuat laki-laki berkepala gundul 

Ini makin berani. Dia gerakkan tangan kirinya. Namun 

sebelum tangannya sempat menyentuh, Putri Sableng 

tepiskan tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa lalu mun-

dur sambil berkata.

"Meski kau tahu urusan kitab itu, aku tetap akan 

menemui orang yang kukatakan. Kecuali jika kau...."

"Aku akan mengatakan di mana beradanya kitab 

itu!" potong Iblis Rangkap Jiwa. Sambil berkata begitu 

tangan kanannya kembali bergerak. Namun terlambat. 

Karena Putri Sableng telah bergerak mundur.

"Aku masih sangsi apakah ucapanmu benar! Dan 

apakah kitab yang kau katakan itu kitab yang ku 

maksud!"

Mendengar ucapan Putri Sableng, Iblis Rangkap 

Jiwa dongakkan kepala.

"Dengar, Anak Cantik! Di dunia ini hanya ada satu 

kitab sakti. Kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh 

besar masa Kerajaan Singasari...."

"Kalau kitab itu benar-benar ada dan memang se-

buah kitab sakti, mengapa kau tidak tertarik dengan 

kitab itu? Padahal kau tahu di mana beradanya kitab 

itu!"

"Kau Jangan menduga aku mengarang cerita bo-

hong, kata Iblis Rangkap Jiwa menangkap nada uca-

pan si gadis yang sepertinya tidak percaya. 

"Kitab itu betul-betul ada! Kalau aku tidak berusa-

ha memilikinya padahal aku tahu dl mana kitab itu, 

karena aku merasa sudah tua! Aku sudah tidak terta-

rik dengan segala macam kitab! Kalau kau mengingin-

kan kitab itu, aku akan tunjukkan padamu! Tapi...!”

"Kau minta imbalan? Berapa kau minta?!" tanya 

Putri Sableng begitu Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya.

"Bukan imbalan harta yang kuinginkan, Anak Can-

tik!!”

"Lalu imbalan apa yang kau inginkan?!" tanya Putri

Sableng meski dia tahu apa sebenarnya yang menjadi 

keinginan laki-laki berkepala gundul itu.

Iblis Rangkap Jiwa luruskan kepala dengan sepa-

sang mata memandang tajam. Lalu tanpa buka mulut 

lagi tangan kanannya menunjuk tepat ke arah tubuh 

Putri Sableng.

Walau sudah menduga apa kehendak Iblis Rang-

kap Jiwa, namun begitu si laki-laki benar-benar me-

nunjuk, gadis berjubah merah itu sempat membela-

lakkan sepasang matanya. Dan belum sempat Putri 

Sableng lakukan apa-apa, Iblis Rangkap Jiwa sudah 

gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tepat di 

hadapan si gadis dengan kedua tangan mengembang 

siap memeluk. Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tersen-

tak. Ketika kedua tangannya bergerak memeluk, gadis 

berjubah merah sudah tidak ada di hadapannya lagi!

"Hik.... Hik.... Hik...! Urusan bersenang-senang soal 

mudah! Tapi aku tidak mau kau bohongi!" terdengar 

suara Putri Sableng. Gadis ini telah tegak sejarak lima 

langkah di samping Iblis Rangkap Jiwa.

Dengan mata mendelik angker, Iblis Rangkap Jiwa 

berpaling. "Aku tidak berbohong padamu! Kitab itu be-

nar-benar ada!"

"Bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat-

nya sendiri?! Hik... Hik.... Hik...! Kau baru memperoleh 

yang kau inginkan kalau aku benar-benar sudah 

membuktikan benar tidaknya keteranganmu!"

"Keparat! Gadis ini cerdik juga! Tapi jangan harap 

bisa lolos dari tanganku!" maki Iblis Rangkap Jiwa da-

lam hati. Lalu berkata.


"Kitab itu adalah sebuah kitab sakti! Dan sebenar-

nya terlalu murah jika hanya ditukar dengan tubuh-

mu!"

"Terserah! Yang pasti aku baru menuruti keingi-

nanmu bersenang-senang jika aku sudah buktikan ke-

teranganmu! Kalau kau tidak mau, masih ada orang 

lain yang mau memberitahukan padaku! Hik.... 

Hik....Hik….!"

Masih dengan tertawa cekikikan, gadis berjubah 

merah melangkah seakan hendak tinggalkan puncak 

Bukit Selamangleng.

"Tunggu!" tahan Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng 

hentikan langkahnya. "Waktu ku sangat terbatas. Ha-

rap segera beri keputusan!" katanya saat ditunggu 

agak lama Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka suara.

"Kalau waktumu terbatas, sebaliknya aku sudah 

tak sabar!"

"Hai! Apa maksudmu?!" tanya Putri Sableng.

Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak membuat gadis 

berjubah merah harus kerahkan tenaga dalamnya un-

tuk menutup jalan pendengarannya.

"Aku tak peduli kau ingin buktikan keteranganku

lebih dahulu atau tidak. Yang pasti, sekarang juga kau 

harus melayaniku! Sudah puluhan tahun aku tidak 

menikmati dekapan seorang perempuan!"

Merasa gadis berjubah merah tidak mungkin me-

nyerah begitu saja, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat lalu 

dengan kerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tan-

gannya bergerak hendak merengkuh tubuh Putri Sab-

leng.

Namun Iblis Rangkap Jiwa terlengak. Putri Sableng 

bukannya bergerak selamatkan diri melainkan tetap 

tegak tanpa membuat gerakan apa-apa malah terse-

nyum dan pejamkan sepasang matanya!


Iblis Rangkap Jiwa tertegun. Tapi cuma sesaat. 

Saat lain kedua tangannya teruskan gerakannya. Sea-

kan tak sabar, begitu tubuh si gadis telah masuk da-

lam rengkuhannya, kepalanya cepat didorong ke depan 

mencium wajah Putri Sableng. Namun gerakan kepala 

Iblis Rangkap Jiwa tertahan. Karena sesaat lagi kepa-

lanya menyentuh wajah si gadis, gadis ini gerakkan 

kedua tangannya.

Buukkk!

Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang memeluk 

tubuh Putri Sableng terlepas. Kejap lain sosoknya 

mencelat sampai dua tombak. Putri Sableng tidak sia-

siakan kesempatan. Begitu tubuh Iblis Rangkap Jiwa 

terhuyung hendak roboh, si gadis melesat ke depan. 

Kaki kanannya terangkat membuat satu tendangan ke 

arah dada.

Sejengkal lagi tendangan gadis berjubah merah te-

lak menghantam dada Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba Ib-

lis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya seolah 

hendak lindungi kepala dan dadanya dari tendangan 

orang.

Bersamaan dengan itu mendadak Putri Sableng ke-

luarkan seruan tertahan karena terjadi hal yang sung-

guh di luar dugaannya!

*

* *

LIMA



WALAU gerakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa 

seolah hanya untuk lindungi dada dan kepala dari 

tendangan kaki gadis berjubah merah, namun saat itu


juga Putri Sableng rasakan ada satu gelombang luar 

biasa dahsyat yang bukan saja mampu membuat ten-

dangannya tertahan, namun juga dapat membuat tu-

buhnya terdorong deras sampai satu tombak ke bela-

kang!

Putri Sableng tegak dengan sepasang kaki bergetar 

dan mata terpentang besar tak berkesip. Mulutnya 

yang bergerak-gerak terhenti seketika. "Melihat begitu 

dahsyat kepandaiannya, mungkinkah keterangan Cu-

cu Dewa akan terbukti? Kalau tidak, benar-benar cela-

ka nasibku!" diam-diam si gadis merasa bimbang.

Di seberang sana, begitu sosok Putri Sableng men-

celat karena bias gerakan kedua tangannya, Iblis 

Rangkap Jiwa segera bergerak bangkit. Seakan tidak 

rasakan pukulan yang baru saja bersarang di dadanya, 

laki-laki ini melangkah ke arah Putri Sableng dengan 

bibir sunggingkan senyum seringai dingin.

"Aku berniat baik padamu! Tapi nyatanya kau yang 

membuat urusan!" Iblis Rangkap Jiwa hentikan uca-

pannya sejenak. Memandang lurus ke arah si gadis se-

belum akhirnya melanjutkan. "Namun aku masih ber-

baik hati padamu! Kau bersedia melayaniku dengan 

baik-baik, maka aku masih akan tunjukkan di mana 

beradanya kitab itu padamu! Jika tidak, bukan saja 

kau tidak akan mengetahui beradanya kitab itu, tapi 

juga kau tidak akan turun dari puncak bukit Ini untuk 

selama-lamanya!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Se-

mentara Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah dua tin-

dak di hadapannya.

"Aku menunggu keputusanmu!"

Karena Putri Sableng tidak juga buka suara, Iblis 

Rangkap Jiwa palingkan kepala seraya berkata.

"Hem.... Mungkin kau menunggu aku yang memberi keputusan?!"

Gadis berjubah merah tidak mengangguk atau 

menggeleng juga tidak buka mulut, membuat Iblis 

Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya.

"Baiklah. Aku kini yang memutuskan! Dengar baik-

baik! Kau harus melayaniku dan tidak akan mendapat 

imbalan apa-apa dariku!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa bergerak. 

Tangan kanannya merentang dengan kaki kiri meng-

hentak tanah. Namun sebelum tangan dan kaki Iblis 

Rangkap Jiwa bergerak, Putri Sableng telah dorong ke-

dua tangannya.

Wuuuuttt!

Tidak terdengar deruan suara gelombang, Tapi saat 

itu juga satu gelombang dahsyat melabrak ganas den-

gan membawa angin berputar-putar!

Iblis Rangkap Jiwa tidak berusaha membuat gera-

kan menghindar meski tahu si gadis telah mendahului 

lancarkan pukulan, Laki-laki ini teruskan gerakannya 

hingga bersamaan dengan itu terdengar suara berde-

bam. Kejap lain puncak Bukit Selamangleng bergetar 

hebat. Lalu dari tangan kanannya melesat satu gelom-

bang dahsyat memangkas gelombang yang keluar dari 

kedua tangan si gadis.

Bummmmm!

Terdengar ledakan dahsyat. Angin berputar-putar 

dari dorongan kedua tangan Putri Sableng seketika 

hancur ambyar dan semburat ke udara. Sosok gadis 

ini terlempar deras sampai dua tombak sebelum ak-

hirnya jatuh terjengkang dengan tubuh bergetar keras 

dan kedua tangan kaku laksana tak bisa digerakkan!

Di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa hanya 

bergoyang-goyang sebentar lalu laksana didorong ke-

kuatan luar biasa, sosoknya melesat ke arah Putri


Sableng dengan perdengarkan suara tawa ngakak.

Maklum bahaya yang sedang mengancam, gadis 

berjubah merah tidak tinggal diam. Dia cepat kerahkan 

segenap tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Lalu 

berguling di atas tanah. Kedua tangannya bergerak le-

paskan pukulan.

Iblis Rangkap Jiwa putuskan tawanya. Namun laki-

laki ini tidak urungkan kelebatan tubuhnya. Hanya 

bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak la-

kukan pukulan.

Wuuuust

Gelombang yang datang ke arah Iblis Rangkap Jiwa 

tersapu amblas. Putri Sableng berseru tertahan. Gadis 

ini cepat rapatkan tubuhnya di atas tanah untuk 

menghindar dari gelombang yang kini menggebrak dari 

kelebatan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun tak 

urung sosok gadis berjubah merah masih tersapu 

hingga mencelat mental dan kembali jatuh terjengkang 

dengan mulut keluarkan darah!

"Celaka! Bagaimana kalau dia benar-benar laksa-

nakan niatnya? Apa boleh buat. Satu-satunya jalan se-

lamatkan diri adalah lakukan keterangan Cucu Dewa, 

meski aku sendiri tidak yakin benar!" gumam si gadis 

lalu dengan cepat dia kerahkan sisa tenaga dalamnya. 

Terhuyung-huyung dia bangkit. Lalu balikkan tubuh.

Di seberang Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan sepa-

sang mata mendelik perhatikan gerakan gadis berju-

bah merah. Tulang keningnya bergerak-gerak dan bola 

matanya berputar liar tatkala mengetahui apa yang di-

lakukan si gadis.

Dengan gigit bibirnya, Putri Sableng perlahan-

lahan menarik bagian bawah jubah merahnya.

Iblis Rangkap Jiwa makin mendelik saat Putri Sab-

leng terus menarik bagian bawah jubahnya ke atas


hingga kini betisnya yang putih mulus dan kencang 

terlihat jelas.

Ha.... Ha...u Ha...! Rupanya kau menginginkan 

permainan asyik!" ujar Iblis Rangkap Jiwa membuat 

Putri Sableng sesaat hentikan gerakan tangannya.

Putri Sableng mendongak. "Sialan benar! Apa aku

akan teruskan hal ini? Tapi.... Tidak ada jalan lain!"

Putri Sableng gerakkan kembali tangannya yang 

menarik jubah bagian bawahnya hingga kini pahanya 

yang putih mulus dan padat terpampang jelas! Mem-

buat Iblis Rangkap Jiwa makin perkeras suara ta-

wanya.

"Benar-benar luar biasa! Putih mulus dan padat!" 

seru Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng tidak hiraukan 

ucapan orang. Dia terus tarik bagian bawah jubahnya. 

Namun gadis ini menjadi bimbang.

"Sialan! Mengapa dia masih terus tertawa ngakak? 

Padahal seharusnya dia sudah terkejut dan...."

"Diintip marah-marah, tapi kini dipertontonkan 

pada orang! Dasar gadis sableng!"

Satu suara tiba-tiba terdengar membuat gadis ber-

jubah merah putuskan membatin dan cepat-cepat le-

paskan jubahnya yang sudah tersingkap hampir sam-

pai pantatnya! Dia maklum jika suara yang baru ter-

dengar bukan suara Iblis Rangkap Jiwa. Dengan wajah 

merah padam dia segera berputar.

Iblis Rangkap Jiwa sendiri tampak terkesiap. Dia 

sadar, kalau tiba-tiba ada orang lain muncul tanpa dia 

bisa mengetahuinya, jelas siapa pun adanya orang 

pasti memiliki tingkat kepandaian yang tidak rendah.

Dengan sepasang mata mendelik angker, laki-laki 

berkepala gundul ini cepat putar diri menghadap 

sumber suara yang baru terdengar.

"Jahanam! Siapa kau?!" bentak iblis Rangkap Jiwa.


Orang yang dibentak tengadahkan kepala lalu tertawa 

panjang. Puas tertawa dia berujar tanpa memandang 

pada orang yang membentak atau pada gadis berjubah 

merah yang tegak dengan sepasang mata membesar 

dan mulut komat-kamit.

"Kau hari ini bernasib mujur, Orang Tua! Bisa me-

lihat paha putih mulus milik seorang gadis cantik! Ba-

gaimana kalau nasib mujur itu kita bagi sama?"

"Keparat! Kalau kau tidak lekas sebutkan diri, ti-

dak sulit bagiku membuat tubuhmu terlempar ke da-

sar bukit!” iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya.

Orang yang diancam luruskan kepala menghadap 

Iblis Rangkap Jiwa. Ternyata dia adalah seorang pe-

muda berpakaian putih-putih. Rambutnya gondrong 

sedikit acak-acakan? dengan Ikat kepala berwarna pu-

tih.

Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang 

Tumpul 13V menatap sejurus pada Iblis Rangkap Jiwa, 

lalu berpaling pada gadis berjubah merah. Mulut mu-

rid Pendeta Sinting tersenyum. Putri Sableng buang 

muka dengan muka merah padam.

"Hem.... Pasti ini manusianya yang berjuluk Iblis 

Rangkap Jiwa! Dan gadis itu telah lakukan apa yang 

diucapkan Cucu Dewa, tapi kenapa tidak ada penga-

ruhnya? Jangan-jangan Cucu Dewa memang bercan-

da!" membatin Pendekar 131.

"Keparat! Kau benar-benar tidak bias dikasih hati!" 

hardik Iblis Rangkap Jiwa.

"Sabar, Orang Tua! Aku datang ke sini tidak men-

cari urusan denganmu.... Kedatanganku kemari untuk 

menyusul kekasihku itu! Harap maafkan kalau keka-

sihku itu bertindak kurang ajar padamu! Dia itu anak 

sableng!"

Sepasang mata besar milik Iblis Rangkap Jiwa menyipit. "Siapa percaya kalau gadis itu kekasihmu! Ka-

laupun benar, perlu kau ketahui, Bocah! Sejak malam 

ini rela tidak rela dia harus kau serahkan padaku! Dan 

lekas menyingkir dari sini!"

Mungkin untuk meyakinkan, murid Pendeta Sint-

ing menyahut.

"Kalau hanya itu permintaanmu, aku tidak kebera-

tan! Kurasa aku masih bisa mencari gadis lain yang 

cantik dan tidak sableng! Namun sebelumnya aku ha-

rus tahu dahulu siapa nama orang yang meminta ke-

kasihku! Kau tidak keberatan bukan sebutkan nama?!"

"Yang bicara ini adalah Iblis Rangkap Jiwa!"

Pendekar 131 perdengarkan tawa pendek. Semen-

tara Putri Sableng terlihat pasang tampang cemberut 

dan menggumam tak jelas.

"Orang tua! Jangan mengada-ada! Nama Iblis 

Rangkap Jiwa memang pernah kudengar namun me-

nurut kabar, orang itu telah mati pada ratusan tahun 

yang lalu! Jadi harap Jangan berkata dusta padaku 

karena...."

Kini ganti Iblis Rangkap Jiwa yang perdengarkan 

tawa hingga Joko putuskan ucapannya.

"Dalam rimba persilatan, kabar burung memang ti-

dak asing lagi, Bocah...! Sekarang terserah padamu 

mau percaya atau tidak! Yang jelas akulah manu-

sianya yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa!"

"Masalahnya sekarang bukan percaya atau tidak! 

Yang jelas manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa menge-

tahui sebuah rahasia!" kata Joko dengan mata men-

gerling pada Putri Sableng.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Iblis 

Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai. Diam-

diam lelaki itu berkata dalam hati. "Hem.... Rupanya 

saat ini kabar tentang kitab itu sudah tersiar luas! Jahanam betul! Kalau aku tidak bisa segera merebut dari 

tangan keparat yang menggelari diri dengan Malaikat 

Penggali Kubur itu, hidupku hanya akan menjadi ba-

han tanya jawab orang!"

"Anak muda! Aku tahu apa yang kau maksud den-

gan rahasia! Tapi sebelum kusebutkan rahasia itu, ka-

takan dahulu siapa kaul"

"Aku Joko.... Joko Sableng!"

Iblis Rangkap Jiwa sedikit tersentak dengan mata 

terpentang

"Hm.... Jadi ini manusianya yang bergelar Pende-

kar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng...," Iblis Rang-

kap Jiwa luruskan pandangan pada Putri Sableng.

"Hem.... Yang gadis Putri Sableng yang pemuda Jo-

ko Sableng. Jangan-jangan dua orang ini bukan sepa-

sang kekasih, melainkan saudara seperguruan.... Tapi 

apa peduliku? Aku memang punya tugas untuk me-

ringkus Pendekar 131, tapi itu bisa ditunda. Sekarang 

aku menginginkan gadis itu malam ini!"

Habis membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa beru-

jar. "Bukankah yang kau maksud rahasia adalah se-

buah kitab sakti?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab ucapan 

orang, sebaliknya dia bungkukkan tubuh menjura se-

raya berkata.

"Sungguh tak kuduga kalau aku dapat jumpa den-

gan seorang tokoh rimba persilatan yang namanya te-

tap dikenang orang meski sudah berlalu beberapa ra-

tus yang lalu...."

Melihat tingkah Joko, Iblis Rangkap Jiwa tertawa 

bergelak. Namun mendadak suara tawanya diputus. 

Kejap lain dia perdengarkan bentakan keras.

"Kau telah tahu siapa yang kau hadapi saat ini! 

Jangan bertindak bodoh tidak turuti ucapanku! Lekas


minggat dari hadapanku!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala, "Keteran-

ganmu belum cukup kuat membuktikan kalau kau 

adalah Iblis Rangkap Jiwa. Karena iblis Rangkap Jiwa 

bukan hanya mengetahui rahasia tentang kitab itu me-

lainkan juga mengetahui dimana beradanya kitab itu! 

Bagaimana? Apa kau tahu di mana beradanya kitab 

itu?!"

Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa kontan mende-

lik besar. Melihat gelagat tidak baik, murid Pendeta 

Sinting segera tersenyum lalu berkata.

"Jangan salah menduga! Aku hanya ingin buktikan 

kalau aku benar-benar jumpa dengan tokoh Iblis 

Rangkap Jiwa! Tidak ada maksud lain! Lagi pula imba-

lan yang kuberikan padamu seorang gadis yang bukan

hanya berwajah cantik, tapi juga bertubuh bagus ber-

kulit mulus! Jika kau benar-benar Iblis Rangkap Jiwa, 

rasanya aku tidak punya beban apa-apa menyerah-

kannya padamu!"

Mendengar ucapan Pendekar 131, Putri Sableng 

menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah seolah tak 

sabar, gadis berjubah merah ini segera angkat bicara.

"Jaga ucapanmu, Pemuda Setan!"

Joko tidak hiraukan ucapan Putri Sableng, seba-

liknya memandang pada Iblis Rangkap Jiwa dan ber-

kata.

"Bagaimana? Kau mau buktikan padaku?!"

Iblis Rangkap Jiwa kancingkan mulut tidak men-

jawab. Namun begitu Joko hendak ajukan tanya lagi, 

dia buka mulut membentak.

"Aku akan menunjukkan di mana beradanya kitab 

itu, tapi kau harus rasakan dahulu bagaimana enak-

nya mati muda!"

Murid Pendeta Sinting unjukkan tampang terkesiap. "Walah, bagaimana bisa begini? Bukankah aku 

telah relakan gadisku untuk kau miliki? Mengapa se-

karang sepertinya kau inginkan nyawaku? Kau tidak 

sedang bercanda?"

"Aku tahu kapan saat bercanda! Lagi pula tidak 

ada gunanya bercanda dengan manusia macam kau!"

"Tunggu! Kalau begitu aku juga menarik gadisku!"

Tanpa hiraukan orang yang saat itu memandang 

angker padanya, murid Pendeta Sinting melangkah ke 

arah Putri Sableng yang saat itu memandang dengan 

mulut bergerak-gerak.

"Jangan bergerak dari tempatmu! Sekali kau me-

langkah, selembar nyawamu putus!" hardik Iblis Rang-

kap Jiwa seraya acungkan tangan kanannya.

Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya berpal-

ing. Mendadak sepasang kakinya tersurut mundur. 

Laksana kilat, sosok Iblis Rangkap Jiwa bergerak satu 

kali. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan hi-

dungnya dengan kedua tangan lakukan pukulan ke 

arah kepala!

Wuuuutt!

Dua gelombang dahsyat telah menyambar menda-

hului kedua tangan. Kalau Joko tidak cepat melompat 

selamatkan diri, niscaya kepalanya akan langsung re-

tak terkena hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Ji-

wa yang mendadak saja sudah berkelebat laksana sal-

ing susul menyusul dengan gelombang yang menyam-

bar.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak men-

genai sasaran, tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa tam-

pak mengembung. Tulang pelipisnya bergerak-gerak. 

Sementara Joko cepat kerahkan tenaga dalamnya pada 

kedua tangannya.

"Ucapan Raja Tua Segala Dewa benar! Manusia satu ini memiliki kepandaian luar biasa, Aku akan celaka 

sendiri kalau.,.."

Gumaman murid Pendeta Sinting terputus. Di de-

pan sana Iblis Rangkap Jiwa hentakkan sepasang ka-

kinya di atas tanah. Terdengar suara berdebam keras. 

Saat bersamaan puncak Bukit Selamangleng laksana 

dilanda gempa dahsyat. Joko dan gadis berjubah me-

rah rasakan tubuh masing-masing laksana disentak-

kan kekuatan dari bawah hingga saat itu juga tubuh 

keduanya terlontar ke udara!

Selagi tubuh kedua orang itu di atas udara, Iblis

Rangkap Jiwa ayunkan kedua tangannya lalu didorong 

ke atas.

Melihat gerakan orang, Joko cepat gerakkan kedua 

tangannya lancarkan pukulan. Saat itu juga tampak 

menyambar seberkas sinar semburat kan warna kun-

ing dengan membawa gelombang berhawa luar biasa 

panas. Tanda murid Pendeta Sinting telah lepaskan 

pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.

Melihat Joko lepaskan pukulan, Putri Sableng yang 

meski tidak mendapat serangan kedua tangan Iblis 

Rangkap Jiwa cepat pula dorong kedua tangannya ke 

bawah. Hingga saat itu juga dari tangannya melesat 

dua gelombang membawa angin berputar-putar dah-

syat.

Mendapati dua serangan dari dua jurusan, tidak 

membuat Iblis Rangkap Jiwa terkejut. Sebaliknya dia 

hadapi serangan orang dengan senyum seringai. lalu 

tarik tangan kirinya. Kini tangan kanan didorong ke 

arah murid Pendeta Sinting sementara tangan kiri ke 

arah Putri Sableng.

Terdengar dua kali dentuman keras. Sinar kuning 

dari kedua tangan Pendekar 131 dan gelombang dah-

syat berputar-putar dari kedua tangan Putri Sableng


bertabur di udara ciptakan lidah api. Bersamaan den-

gan itu sosok murid Pendeta Sinting tersapu dan balik 

terlontar lebih tinggi ke udara. Begitu juga sosok gadis 

berjubah merah.

Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terdengar ber-

seru tertahan. Sosoknya terhuyung-huyung. Namun 

belum sampai jatuh terjerembab di atas tanah laki-laki 

ini gerakkan bahunya dua kali berturut-turut. Kejap 

lain sosoknya terhenti.

Meski bentrok nya pukulan Iblis Rangkap Jiwa 

dengan pukulan Joko dan Putri Sableng sempat mem-

buat sosok laki-laki berkepala gundul ini terhuyung-

huyung, namun wajahnya hanya berubah sejenak. 

Saat lain dia perdengarkan tawa bergelak seraya arah-

kan pandangannya pada sosok murid Pendeta Sinting 

dan Putri Sableng yang baru saja injakkan kaki di atas 

tanah.

Baik paras' Joko maupun Putri Sableng tampak be-

rubah. Malah kedua tangan masing-masing orang ter-

lihat bergetar keras.

Murid Pendeta Sinting melirik pada Putri Sableng. 

Lalu mata kirinya mengerdip. Joko memberi isyarat

agar keduanya bergabung untuk hadapi Iblis Rangkap 

Jiwa karena Joko sadar, orang yang dihadapi saat ini 

bukan lawan sembarangan. Namun isyarat mata Joko 

ditangkap lain oleh si gadis. Gadis berjubah merah ini 

mendelik sambil buang muka dan bergumam

"Dasar Setan Jelek! Keadaan sudah begini masih 

juga bermain mata!"

Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang 

tatkala melihat isyaratnya ditangkap lain oleh Putri

Sableng. "Apa boleh buat! Aku harus pergunakan ilmu 

yang baru saja ku peroleh...."

Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalamnya pada tangan kirinya. Saat itu 

juga tangan kirinya berubah warna menjadi biru, In-

ilah tanda kalau dia telah siap hendak lancarkan Ilmu 

pukulan 'Serai Biru’.

"Hem.... Keluarkan semua ilmu milikmu, bocah!”

ujar Iblis Rangkap Jiwa lalu melangkah dua tindak ke 

depan seakan hendak menyongsong pukulan yang 

akan dilepas murid Pendeta Sinting,

"Menurut Raja Tua Segala Dewa manusia ini kebal 

pukulan! Apa dia tidak mempan dengan pukulan 'Serat 

Biru'?!" '

Pendekar 131 cepat tarik tangan kirinya. Lalu dido-

rong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat se-

rat-serat laksana benang berwarna biru terang.

Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa sesaat terbeliak. 

Laki-laki ini rupanya maklum kalau pukulan yang kini 

menggebrak ke arahnya tidak boleh dianggap remeh. 

Laki-laki yang semula hendak menyongsong pukulan 

lawan dengan unjukkan dadanya ini mundur dua tin-

dak. Lalu kedua tangannya bergerak.

Wuuutt! Wuuutt!

Terdengar deruan keras. Lalu dua gelombang luar 

biasa dahsyat melesat ke arah murid Pendeta Sinting 

memangkas serat-serat biru.

Melihat hal itu, Putri Sableng tak sia-siakan ke-

sempatan. Gadis berjubah merah ini cepat kerahkan 

tenaga dalamnya lalu lepaskan pukulan ke arah Iblis 

Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa berseru keras. "Jahanam! Bera-

ninya kau bertindak pengecut hendak membokongku!"

Putri Sableng tanggapi seruan orang dengan terta-

wa cekikikan. Malah dia lipat gandakan tenaga dalam


nya lalu dorong tangannya sambil menyusuli pukulan-

nya.

Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena begitu akan 

lepaskan pukulan memangkas serangan Putri Sableng, 

gelombang yang dilepaskan ke arah Joko laksana di-

bungkus dan dililit benang hingga bukan saja dalam

waktu sekejap tertahan di udara namun juga segera 

ambyar semburat kian kemari! Malah dengan aneh, se-

rat-serat yang baru saja membuyarkan pukulannya 

menerabas melabrak ke arahnya!

Iblis Rangkap Jiwa terlihat bimbang. Kalau dia 

memangkas pukulan Putri Sableng, jelas serat-serat 

biru terang akan melabrak dirinya. Kalau dia memang-

kas serat-serat biru, pukulan yang dilancarkan Putri 

Sableng pasti akan telak menghantam tubuhnya. 

Meski Iblis Rangkap Jiwa merasa segala pukulan yang 

mengenal dirinya tidak akan terasa, namun lambat 

laun pertahanannya akan jebol apalagi pukulan yang 

melabraknya bukan lagi pukulan yang bisa dianggap 

sepele.

Belum sampai iblis Rangkap Jiwa membuat putu-

san, serat-serat biru laksana benang telah dua langkah 

di depannya, sementara gelombang pukulan Putri Sab-

leng satu tombak di belakangnya.

Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya lalu 

cepat pukulkan kedua tangannya ke depan tepat saat 

serat-serat biru di depannya.

Desss! Desss! Dessss! Desssss! Serat-serat biru 

laksana benang terputus lalu bertabur ke udara. Di

depan sana sosok murid Pendeta Sinting terhuyung-

huyung lalu jatuh terduduk dengan muka pias. Iblis 

Rangkap Jiwa sendiri langsung terdorong ke belakang. 

Namun gerakan tubuh laki-laki ini tertahan karena 

bersamaan dengan terdorongnya tubuh ke belakang,


pukulan Putri Sableng datang menggebrak dari bela-

kang. Bukkk! Desss!

Tak pelak lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa terdorong

ke depan. Kejap lain sosoknya tersungkur jatuh te-

lungkup!

Melihat Iblis Rangkap Jiwa roboh, meski masih me-

rasakan sakit pada sekujur tubuhnya, Joko cepat 

bangkit lalu hendak berkelebat. Namun Putri Sableng 

angkat tangan kanannya memberi isyarat agar Joko 

urungkan niat.

Mungkin masih merasa jengkel dengan isyaratnya 

tadi yang ditangkap lain oleh Putri Sableng, Joko tidak 

hiraukan isyarat si gadis. Dia teruskan langkahnya ke 

arah robohnya Iblis Rangkap Jiwa.

Baru saja murid Pendeta Sinting melangkah tiga 

tindak, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan 

dengan gulingkan tubuhnya. Saat bersamaan kedua 

tangannya bergerak lepaskan pukulan.

Meski murid Pendeta Sinting sudah waspada na-

mun dia jadi terlengak. Karena baru saja kedua tan-

gannya bergerak, gelombang yang menyambar keluar 

dari kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah melabrak 

ganas!

"Pemuda setan geblek!" terdengar seruan dari Putri

Sableng. Bersamaan dengan itu kedua tangannya ber-

gerak lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa.

Desss!

Karena Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pukulan 

si gadis, maka dengan telak pukulan Putri Sableng 

menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa 

hanya berseru tertahan tanpa bayangan rasa sakit, 

namun tak urung juga tubuhnya terlontar sampai satu 

tombak. Hal ini membuat pukulannya yang dilancar-

kan pada Pendekar 131 melenceng meski masih sempat menerabas pundak.

Pendekar 131 tersapu dan terhuyung-huyung. Pa-

kaian bagian pundaknya robek menganga dan hangus. 

Belum sempat Joko membuat gerakan untuk menahan 

tubuhnya, satu sosok tubuh sudah tegak di belakang-

nya hingga huyungan tubuhnya terhenti.

Menduga bahwa yang menahan gerakan tubuhnya 

Putri Sableng apalagi tatkala dilihatnya gadis berjubah 

merah Itu tidak ada lagi di tempatnya semula, tanpa 

berpaling lagi murid Pendeta Sinting berkata.

"Terima kasih kau selamatkan aku! Kita sekarang 

bersahabat! Kalau suatu saat aku mengintipmu mandi, 

kuharap kau tidak marah-marah lagi!"

Tidak terdengar sahutan. Namun karena sosok di 

belakangnya masih tegak meski tidak terlalu rapat, 

Joko kembali berujar.

"Kita mendapat keterangan sama dari Cucu Dewa. 

Kulihat kau tadi telah coba lakukan, namun nyatanya 

tidak berpengaruh! Malah mata manusia iblis itu ma-

kin mendelik melihat pantatmu yang putih padat dan 

besar! Jangan-jangan Cucu Dewa membohongi kita..., 

Dia bersekongkol dengan manusia Iblis itu agar mem-

perlihatkan pantat bagusmu padanya!"

Belum terdengar sahutan. Malah bersamaan den-

gan itu terdengar suara orang tertawa cekikikan terta-

han dari arah sebelahnya, membuat Joko terkesiap. 

Joko maklum kalau di tempat itu sekarang bukan 

hanya ada Putri Sableng namun ada orang lain lagi!

Murid Pendeta Sinting cepat putar diri. Sepasang 

matanya kontan melotot besar dengan mulut mengan-

ga tanpa keluarkan suara!

*

* *


ENAM


SEJARAK lima langkah dari tempatnya berdiri, ter-

lihat Putri Sableng tegak dengan tertawa tertahan. Ke-

pala gadis berjubah merah ini mendongak dengan ba-

hu berguncang-guncang. Sementara tepat di depannya 

terlihat tegak seorang laki-laki bertubuh pendek be-

rambut panjang lebat hitam yang dikelabang dua. 

Orang ini tersenyum tanpa berkata apa-apa.

"Cucu Dewa!" seru Joko dengan suara seakan ter-

cekat di tenggorokan.

Laki-laki bertubuh pendek dengan rambut dikela-

bang dua dan bukan lain adalah Cucu Dewa angguk-

kan kepala lalu berujar.

"Kau masih ingin mengintipku mandi?"

Paras wajah Joko berubah merah padam. Dia ber-

paling pada Putri Sableng namun sebelum dia sempat 

buka mulut, si gadis telah mendahului.

"Mengapa tidak kau jawab pertanyaan orang?!"

Belum ada suara jawaban yang terdengar, menda-

dak dari arah depan terdengar deruan luar biasa dah-

syat. Lalu terlihat gelombang kabut berwarna hitam 

pekat menyungkup tempat itu!

"Pejamkan mata. Cepat menyingkir!" terdengar Cu-

cu Dewa berteriak.

Bersamaan itu Cucu Dewa gerakkan kedua tan-

gannya mendorong tubuh murid Pendeta Sinting hing-

ga terdorong sampai dua tombak. Kejap lain laki-laki 

ini berkelebat ke samping. Putri Sableng tidak tinggal 

diam. Tanpa berpikir panjang lagi dia cepat melompat.

Kabut hitam yang datang bergelombang menyapu 

tanah di mana Joko, Cucu Dewa, dan Putri Sableng

tadi berada. Lalu di depan sana tampak dua batang


pohon berderak tumbang!

Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja kirimkan puku-

lan tampak mendengus keras melihat pukulannya ti-

dak mengenal sasaran. Orang ini cepat putar sepasang 

matanya. Di depan sana terlihat Cucu Dewa berbisik 

pada Joko. Kejap lain keduanya berkelebat ke arah te-

gaknya Putri Sableng.

Baru saja ketiganya berkumpul dan belum sempat 

ada yang buka mulut, dari arah depan kembali meng-

hampar gelombang kabut hitam pekat.

"Menyingkir berpencar! Tapi lekas bersatu lagi!" bi-

sik Cucu Dewa lalu mendahului berkelebat. Joko sege-

ra menyusul dengan berkelebat mengambil arah ke 

samping kanan. Saat bersamaan Putri Sableng melom-

pat ke arah berlawanan dengan murid Pendeta Sinting.

Untuk kedua kalinya puncak Bukit Selamangleng 

dilanggar gelombang luar biasa dahsyat. Pohon-pohon 

yang ada di puncak bukit itu rata tersapu tumbang. 

Tanahnya muncrat ke udara.

Melihat hal itu, Joko angkat kedua tangannya. Dia 

berpikir kalau hal itu tidak dihentikan, bukan tak 

mungkin akan membahayakan. Namun baru saja ke-

dua tangannya berubah warna, Cucu Dewa telah ber-

teriak.

"Tahan seranganmu! Percuma kau buang-buang 

tenaga! Bagaimanapun kehebatan ilmu yang kau mili-

ki, tetap saja tidak akan bisa melukainya!"

Joko berpaling. Karena saat itu dilihatnya Cucu

Dewa melambai, murid Pendeta Sinting cepat berkele-

bat mendekat Pada saat bersamaan Putri Sableng juga 

berkelebat.

"Cepat lakukan apa yang pernah kukatakan pada 

kalian berdua!" kata Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting pandangi Cucu Dewa dengan kening mengernyit. Di sebelahnya Putri Sableng 

mendelik lalu bergumam. "Aku tak mau lakukan itu!"

Terserah kalau kalian tak mau lakukan apa yang 

kukatakan! Tapi jangan harap kalian bisa lolos dari 

tempat ini dengan selamat!"

"Biar dia saja yang melakukan!" kata Putri Sableng.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak bias! Kalian 

berdua harus melakukannya sama-sama. Jika hanya , 

salah satu, tidak ada artinya!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Putri Sableng ter-

lengak. "Sialan! Mengapa dia tidak mengatakan hal itu 

waktu aku meminta keterangan beberapa waktu lalu? 

Kalau tahu begitu, tidak sudi aku datang ke tempat 

ini!"

Kalau Putri Sableng membatin begitu, Joko diam-

diam juga berkata dalam hati. "Hem... makanya walau 

gadis itu telah lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa 

tapi tidak ada pengaruhnya! Tidak sangka kalau hal 

itu harus dilakukan bersama-sama...."

"Bagaimana kalau yang lakukan pemuda sedeng 

itu dengan kau?!" tanya Putri Sableng pada Cucu De-

wa.

Kembali Cucu Dewa gelengkan kepalanya. "Selain 

aku tidak ikut punya kepentingan dengan urusan ka-

lian, percuma kalau aku yang melakukannya! Karena 

hal itu harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan pe-

rempuan!"

"Aturan gendeng!" ujar Putri Sableng.

"Terserah kau katakan apa! Yang jelas kalau kalian 

ingin selamat hanya itu satu-satunya jalan!"

"Apa boleh buat! Kita harus melakukannya!" kata 

murid Pendeta Sinting.

"Enak saja bicara! Kau bicara begitu karena kau 

ingin lihat pantatku!" sahut Putri Sableng.


"Aku sudah lihat bukan hanya pantatmu! Tapi...."

"Sudah! Tidak ada gunanya saling tunjuk! Kalian 

harus cepat bertindak. Kalau tidak, bersiaplah mene-

rima kematian!" tukas Cucu Dewa.

'Apa tidak ada cara lain? Atau kita gabungkan pu-

kulan?!" Joko masih memberi usul.

"Sudah kukatakan, tak ada satu pun kekuatan 

yang dapat melukainya! Kalaupun ada itu mungkin 

hanya terdapat pada kitab yang kalian cari! Dan apa 

yang hendak kalian lakukan hanya membuat dirinya 

tak bisa kerahkan tenaga dalamnya selama setengah 

hari! Cepat lakukan! Lihat dia sudah gerakkan kedua 

tangannya!"

Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Di depan 

sana Iblis Rangkap Jiwa sudah angkat kedua tangan-

nya Malah kini kaki kanannya ikut diangkat.

Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh memung-

gungi Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya memegan-

gi pinggang kiri kanan.

"Kuminta kau lakukan apa yang dikatakan orang 

tua ini!" kata Joko seraya memandang pada Putri Sab-

leng.

Putri Sableng tak menyahut. Wajah gadis ini tam-

pak merah padam. Dia memandang silih berganti pada 

Joko dan Cucu Dewa.

Seakan tahu apa yang terpikir dalam hati orang, 

Cucu Dewa berkata. "Jangan khawatir kalau aku akan 

melihat! Aku akan pejamkan mata dan berbalik!"

Bersamaan dengan itu Cucu Dewa pejamkan sepa-

sang matanya lalu putar diri berbalik.

Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah hentakkan 

kaki kanannya hingga terdengar suara berdebam ke-

ras.

"Kau juga harus pejamkan mata!" kata Putri Sableng seraya mendelik pada murid Pendeta Sinting.

Tanpa buka mulut lagi, Pendekar 131 pejamkan 

sepasang matanya. Bersamaan dengan Itu, Putri Sab-

leng angkat jubah merahnya bagian bawah. Di sebe-

lahnya, Joko sudah tarik celananya sedikit ke bawah.

Iblis Rangkap Jiwa pentangkan sepasang matanya 

besar-besar. Di hadapannya terlihat dua pantat milik 

murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng! Namun hal 

itu tidak membuat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat 

untuk lakukan serangan. Malah kini seraya-tertawa 

bergelak dia gerakkan kedua tangannya lepaskan pu-

kulan.

Namun mendadak iblis Rangkap Jiwa tercekat. Da-

ri kedua tangannya tidak terdengar gelombang yang 

menyambar. Malah kejap lain laki-laki ini rasakan se-

kujur tubuhnya lunglai! Seluruh kekuatannya laksana 

disedot kekuatan yang tidak tampak!

"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku? Kekua-

tanku musnah!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan 

dengan itu sosoknya goyang. Kedua kakinya menekuk 

sebelum akhirnya roboh ke tanah.

"Bagaimana? Apa sudah selesai?!" tanya Putri Sab-

leng.

"Mana aku tahu? Kau menyuruhku pejamkan ma-

ta!" sahut Joko lalu buka sedikit matanya. Namun dia 

buru-buru pejamkan matanya lagi saat dilihatnya Putri

Sableng mendelik ke arahnya!

Tugas kalian selesai!" tiba-tiba terdengar suara Cu-

cu Dewa.

Putri Sableng cepat lepaskan bagian bawah jubah 

merahnya yang diangkat. Saat bersamaan murid Pen-

deta Sinting tarik ke atas celananya. Serentak kedua-

nya balikkan tubuh.

"Hampir tak kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" gumam Joko dengan mata memandang ke arah Ib-

lis Rangkap Jiwa yang menggelosor di atas tanah. 

Meski laki-laki ini terlihat coba kerahkan tenaga da-

lamnya, namun sia-sia!

"Cucu Dewa! Terima kasih...!" ujar Joko.

Cucu Dewa hanya memandang tanpa buka mulut. 

Laki-laki bertubuh cebol ini melangkah lalu berkata.

"Selanjutnya urusan kalian! Tapi ingat. Jangan ka-

lian bertindak di luar batas karena orang itu dalam 

keadaan tidak berdaya! Seluruh kekuatannya musnah! 

Kalau kalian bertindak di luar batas, aku tidak ikut 

tanggung jawab! Dan ingat. Kekuatannya akan pulih 

kembali dalam waktu kira-kira setengah hari...."

Habis berkata begitu, Cucu Dewa lanjutkan me-

langkah. "Selamat malam...."

Baik murid Pendeta Sinting maupun Putri Sableng 

hendak menahan kepergian Cucu Dewa, namun ter-

lambat. Cucu Dewa telah gerakkan tubuh. Kejap lain, 

sosoknya berkelebat menuruni bukit.

Pendekar 131 berpaling pada Putri Sableng. Na-

mun murid Pendeta Sinting tersentak. Belum sampai 

dia buka mulut, si gadis telah berkelebat dan tahu-

tahu sosoknya telah tegak di samping Iblis Rangkap 

Jiwa yang roboh di atas tanah.

"Apa gadis sableng itu menginginkan kitab itu? Ce-

laka kalau tindakannya tidak dicegah!" Joko serentak 

berkelebat.

"Ini urusanku! Harap kau tidak ikut campur!" kata 

Joko begitu tegak di samping Putri Sableng.

Putri Sableng menoleh. Sepasang matanya mende-

lik. "Enak saja buka mulut! Tanpa aku, apa kau kira 

bisa lakukan ini, hah? Aku juga punya kepentingan! 

Aku telah ikut merasa andil!"

"Keparat! Jahanam! Apa yang kalian lakukan padaku?! Kalian akan menyesal seumur-umur berani 

membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa!" teriak 

Iblis Rangkap Jiwa dengan suara bergetar pertanda 

menindih hawa amarah.

Baik Joko maupun Putri Sableng tidak hiraukan 

teriakan Iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya kedua orang 

ini untuk beberapa saat saling adu pandang tanpa ada 

yang buka mulut.

"Gadis sableng! Kuperingatkan padamu! Jangan 

berani melangkahi urusan ini!" kata Joko sambil maju 

satu tindak.

Putri Sableng tertawa pelan. Lalu sambil berkacak 

pinggang dia berkata.

"Kalau aku berani, kau mau apa?!"

Mendapat tantangan begitu rupa, murid Pendeta 

Sinting tampak terlengak. Rahangnya sedikit mengem-

bang. Namun dia coba menahan lalu berkata. Sua-

ranya terdengar parau keras.

"Kau akan menyesal dan kecewa!"

Mendengar ucapan Joko, gadis berjubah merah

bukannya takut. Gadis ini malah perkeras tawanya. 

"Semua telah kuperhitungkan! Jadi harap kau buang 

jauh-jauh dugaanmu itu, Pemuda Setan!"

Habis berkata begitu, tenang-tenang saja Putri

Sableng maju satu tindak. Sesaat ditatapnya sosok Ib-

lis Rangkap Jiwa. Lalu berkata.

"Hidup matimu ada di tanganku! Kalau kau men-

jawab Jujur pertanyaanku, selembar nyawamu utuh! 

Kalau tidak...," Putri Sableng tidak lanjutkan ucapan-

nya. Sebaliknya gadis Ini tertawa cekikikan sambil bo-

lak-balikkan telapak tangannya.

"Jahanam! Jangan harap kau mendapat keteran-

gan apa-apa dariku!"

"Hem.... Begitu? Aku ingin lihat sampai di mana


kebenaran ucapanmu!"

"Tahan!" teriak murid Pendeta Sinting saat melihat 

Putri Sableng angkat tangan kanannya seolah hendak 

lakukan pukulan.

Putri Sableng melirik. "Kau mau apa?!"

"Jangan bertindak di luar batas! Aku membutuh-

kan orang itu! Aku tidak main-main!'

"Sialan! Apa kau kira aku tidak membutuhkan-

nya?! Dan apa kau kira aku ini main-main? Hah...?!"

"Kau benar-benar tidak bisa diberi hati!"

"Hik.... Hik.... Hik...! Jangan bicara ngaco! Siapa 

minta hati?!"

"Kalau saja bukan seorang gadis, sudah sejak tadi 

ku bungkam mulutnya...!" kata Joko dalam hati. Lalu 

berkata.

"Kau tahu perihal kitab itu dari mulutku, jadi ha-

rap kau...."

Ucapan murid Pendeta Sinting belum selesai, Putri

Sableng telah menukas. "Jangan merasa pandai, pe-

muda Geblek! Sebelum kau mengatakan perihal kitab 

itu padaku, jauh sebelumnya aku sudah tahu!"

"Siapa percaya pada ucapanmu! Kau pintar mem-

balik masalah!"

"Aku tak butuh kepercayaanmu! Yang jelas aku te-

lah sampai di sini dan jumpa dengan manusia iblis ini! 

Apa itu belum cukup sebagai bukti kalau aku juga ta-

hu urusan kitab itu?!"

"Tapi itu karena kau mendengar dariku!" sahut Jo-

ko dengan suara makin keras.

"Aku tak peduli dari mana aku tahu! Sekarang aku 

tanya padamu. Apa maumu?!" kata Putri Sableng se-

raya mendongakkan sedikit kepalanya.

"Aku membutuhkan keterangan dari orang itu!" 

"Apa kau kira jauh-jauh aku datang kemari tidak


membutuhkan keterangannya?! Kau kira aku pergi ke 

sini hanya untuk memperlihatkan pantat?!"

"Hem.... Kalau ku ladeni, urusan ini tidak akan se-

gera selesai! Lebih baik aku menunggu saja! Begitu 

manusia Iblis itu memberi keterangan, aku akan men-

dahuluinya!" ujar Joko dalam hati. Lalu tanpa berkata 

apa-apa lagi murid Pendeta Sinting mundur dua lang-

kah.

"Bagus! Berarti kau tahu siapa yang kau hadapi! 

Hik.... Hik…Hik...!"

Mendengar ucapan Putri Sableng sebenarnya mu-

rid Pendeta Sinting sudah tidak bisa menahan sabar. 

Tapi setelah memikir panjang akhirnya dia hanya me-

mandang dengan mulut terkancing.

Melihat sikap Joko, Putri Sableng arahkan pan-

dangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata 

membentak.

"Keselamatan jiwamu hanya tergantung pada satu 

pertanyaanku!"

Iblis Rangkap Jiwa merasa tengkuknya dingin. 

Namun laki-laki ini coba sembunyikan rasa takutnya 

dengan menyeringai lalu berkata.

"Kau tetap tidak akan mendapat jawaban apa-apa 

dariku!”

"Hik….Hik....Hik...! Berarti kau telah menginginkan

tanah kuburan!"

"Itu lebih baik bagiku daripada menjawab perta-

nyaanmu!”

Bersamaan selesainya ucapan Iblis Rangkap Jiwa, 

Putri Sableng angkat kedua tangannya. Saat lain dia 

gerakkan lurus menukik.

Bummm!

Puncak bukit bergetar. Tanah sejarak satu jengkal 

di samping Iblis Rangkap Jiwa bertabur ke udara


membentuk lobang menganga! Putri Sableng memang 

arahkan pukulannya pada tanah di samping si laki-

laki berkepala gundul ini.

"Jangan kau kira aku takut dengan gertakanmu! 

Aku yakin, kau tidak akan membunuhku! Ha.... Ha.... 

Ha...l"

Putri Sableng terkesiap mendengar ucapan Iblis 

Rangkap Jiwa. Tanpa berkata lagi gadis berjubah me-

rah ini angkat kaki kirinya lalu ditekankan pada kaki 

kanan Iblis Rangkap Jiwa.

"Kau salah ucap! Aku tak segan-segan mencabut 

nyawamu!"

"Itu tak akan kau lakukan!" jawab Iblis Rangkap 

Jiwa.

Putri Sableng perkeras tekanan kakinya. "Katakan. 

Di mana beradanya kitab itu!"

Iblis Rangkap Jiwa meringis sambil gelengkan ke-

pala. "Kau tak akan mendengar jawaban dariku!"

Plaaakk! Plaaakk!

Dua tangan kiri kanan Putri Sableng bergerak. Ke-

pala Iblis Rangkap Jiwa terlihat tersentak ke kiri lalu 

ke kanan dengan keras.

"Katakan! Di mana kitab itu!" sentak Putri Sableng 

sambil angkat kedua tangannya kembali.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa kembali ge-

lengkan kepala. "Seribu kali kau ulangi pertanyaanmu, 

kau tetap tidak akan mendapat jawaban!"

"Berarti kau benar-benar ingin mampus!"

"Kau tidak akan lakukan itu!" ujar Iblis Rangkap 

Jiwa sambil tertawa pendek.

"Hem.... Kau salah duga! Dengar baik-baik! Seka-

rang aku tidak lagi membutuhkan kitab itu! Aku ingin 

selembar nyawamu!"

"Kau mudah melakukannya! Lekas lakukan keinginanmu!" kata Iblis Rangkap Jiwa tanpa tunjukkan ra-

sa ngeri. Laki-laki ini merasa yakin jika kedua orang di 

hadapannya tidak akan lakukan ancamannya sebelum 

mendapatkan jawaban tentang di mana beradanya Ki-

tab Hitam.

Sepasang mata Putri Sableng tampak berkilat-kilat. 

Mulutnya terkancing rapat. Mungkin karena tak sabar 

dengan sikap Iblis Rangkap Jiwa, gadis ini angkat ke-

dua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya terlihat berge-

tar keras. Tanda dia telah kerahkan segenap tenaga 

dalamnya.

Dl bawahnya meski merasa ngeri, Iblis Rangkap

Jiwa pandangi kedua tangan si gadis. Mendadak sepa-

sang mata laki-laki ini memejam. Tanpa sadar, terden-

gar seruan dari mulutnya ketika tiba-tiba Putri Sab-

leng gerakkan kedua tangannya.

Murid Pendeta Sinting yang sedari tadi hanya meli-

hat, buka mulut. Namun belum sampai terdengar sua-

ranya, Putri Sableng tiba-tiba tarik pulang kedua tan-

gannya saat kedua tangan itu sejengkal hendak meng-

hantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kejap lain gadis 

berjubah merah ini berkelebat ke belakang dan tegak 

di samping murid Pendeta Sinting.

"Sekarang giliranmu membuat mulutnya terbuka!" 

kata Putri Sableng tanpa memandang pada Joko.

Murid Pendeta Sinting angkat bahunya lalu me-

langkah mendekati Iblis Rangkap Jiwa. "Hem.... Meng-

hadapi laki-laki begini, aku tahu bagaimana” kata Joko 

dalam hati.

Begitu dekat dengan Iblis Rangkap Jiwa, tanpa 

berkata sepatah kata pun, Joko langsung gerakkan 

tangan kiri kanannya ke bagian bawah pakaian Iblis 

Rangkap Jiwa hingga pakaian compang-camping laki-

laki berkepala gundul itu robek menganga di bawah


pusar.

Iblis Rangkap Jiwa tersentak dan buru-buru ge-

rakkan kedua tangannya untuk menutupi aurat ba-

wahnya yang tidak tertutup lagi. Di seberang sana Pu-

tri Sableng terdengar berseru lalu cepat-cepat pejam-

kan sepasang matanya dan berbalik. Namun kejap 

kemudian terdengar cekikikan tawanya!

"Apa yang hendak dilakukan, Setan Jelek itu? Ingin 

menunjukkan padaku punya manusia iblis itu? Hik.... 

Hik.... Hik...!" ujar Putri Sableng dalam hati lalu tanpa

balikkan tubuh dia berseru.

"Apa kau ingin beradu besar? Atau hanya ingin 

mencocokkan?!"

"Dasar sableng!" gumam Joko tanpa menjawab se-

ruan Putri Sableng.

"Jahanam! Apa maumu?!" sentak Iblis Rangkap Ji-

wa.

Murid Pendeta Sinting tertawa dahulu sebelum 

menjawab,

"Aku sekarang tidak menginginkan kitab itu! Me-

nurut cerita yang kudengar, aurat bawahmu lebih 

memiliki daya kesaktian dibanding kitab itu! Jadi aku 

sekarang menginginkan milikmu!"

Murid Pendeta Sinting pandangi sejurus Iblis 

Rangkap Jiwa yang tercekat dan mengkerut seraya pe-

gangi aurat bawahnya.

Di belakang sana, kembali Putri Sableng berseru, 

tetap membelakangi Joko dan Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai...! Dari mana kau tahu barangnya memiliki 

kesaktian lebih daripada kitab?!"

"Kau tak usah banyak tanya! Kalau kau suka, kau 

nanti akan kuberi separo! Terserah mau kau buat 

apa!" jawab murid Pendeta Sinting seenaknya.

Habis berkata begitu, Joko bergerak jongkok. Ke


dua tangannya diangkat. Iblis Rangkap Jiwa makin 

meringkuk. Mendadak laki-laki ini berseru tertahan 

tatkala tiba-tiba kedua tangan Joko sudah bergerak ke 

bahunya. Saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa tersentak. 

Karena dia sudah tidak dapat lagi gerakkan anggota 

tubuhnya!

Murid Pendeta Sinting tidak pedulikan perubahan 

wajah orang yang makin membayangkan ketakutan. 

Sebaliknya dia teruskan gerakkan kedua tangannya ke

arah bagian bawah perut Iblis Rangkap Jiwa.

Sejengkal lagi kedua tangan murid Pendeta Sinting 

menyentuh kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang di-

gunakan menutup bagian bawah auratnya, laki-laki 

berkepala gundul ini berteriak.

"Jahanam! Hentikan! Akan kukatakan di mana ki-

tab Itu!!”

"Hem.... Manusia Iblis harus dimuslihati iblis!" kata 

Joko dalam hati lalu tarik pulang kedua tangannya.

"Katakan! Di mana kitab itu berada!"

"Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada 

sebuah jurang. Di dalam jurang itulah beradanya kitab 

itu!"

"Ucapanmu bisa dipercaya?!"

Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab. Dia hanya 

memandang dengan mata berkilat-kilat. Melihat sikap 

orang, murid Pendeta Sinting dapat menebak kalau 

ucapan Iblis Rangkap Jiwa tidak berdusta. Namun dia 

tidak berani bertindak sembrono.

Sambil ulurkan kedua tangannya kembali ke de-

pan, murid Pendeta Sinting ajukan tanya lagi.

"Di mana kitab itu?!"

"Kau tidak tuli! Aku telah jawab pertanyaanmu!"

Joko tidak tarik pulang kedua tangannya. Kedua 

tangannya terus bergerak. Kejap lain kedua tangan Ib


lis Rangkap Jiwa terlihat bergerak ke samping mengi-

kuti gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting, 

membuat aurat bawah laki-laki ini terbuka.

Iblis Rangkap Jiwa berteriak menyumpah-

nyumpah. Sementara Joko tertawa pelan lalu berkata.

"Ulangi lagi jawabanmu!"

Dengan suara keras bergetar Iblis Rangkap Jiwa 

ulangi lagi jawabannya. Bersamaan dengan itu, murid 

Pendeta Sinting gerakkan kedua tangannya ke atas ta-

nah. Sosoknya bangkit. Kejap lain sosoknya berkelebat 

menuruni bukit

Karena sengaja berkelebat mengambil arah di sebe-

lah belakang Putri Sableng, gadis berjubah merah ini 

tidak tahu. Gadis ini baru buka mulut setelah agak 

lama dia tidak lagi mendengar suara Joko atau Iblis 

Rangkap Jiwa.

"Hal...! Jangan percaya dahulu dengan jawaban-

nya! Siapa tahu hendak menjerumuskan! Kalau me-

mang barangnya lebih sakti, apakah tidak lebih baik 

kita urungkan mencari kitab itu?! Hik.... Hik.... Hik...! 

Meski mungkin aku merasa geli, tapi lama kelamaan 

juga terbiasa...."

Tidak ada suara yang menyahut, membuat hati Pu-

tri Sableng tidak enak. Namun dia tidak segera berani 

berpaling. Malah dia kembali bertanya.

"Hai...! Apa kau masih di situ? Apakah barangnya 

sudah kau ambil?!"

Karena tidak ada jawaban, perlahan-lahan Putri 

Sableng angkat kedua tangannya menutupi wajahnya. 

Lalu seraya tertawa cekikikan dia putar tubuh.

Dari balik kedua telapak tangannya, sepasang ma-

ta Putri Sableng perlahan-lahan membuka. Tawa ceki-

kikannya mendadak terputus. Seakan tak sadar dia 

segera tarik kedua tangannya dari wajahnya.


"Sialan! Pemuda Setan itu telah mendahuluiku!" 

seru Putri Sableng. Lalu gadis Ini cepat balikkan tubuh 

tidak tahan melihat aurat bawah Iblis Rangkap Jiwa 

yang terbuka.

Di sebelah depan, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki 

tidak karuan. Namun begitu melihat Putri Sableng 

hendak berkelebat turun bukit, laki-laki itu berteriak.

"Harap kau suka membebaskan aku dari totokan 

jahanam ini!"

Putri Sableng hentikan langkah. Tanpa balikkan 

tubuh dia berujar.

"Sebenarnya aku mau saja membebaskanmu. Tapi 

kau tutup dahulu barangmu! Aku silau karenanya! 

Hik.... Hik.... Hik...!"

"Bagaimana aku akan menutup, kalau bergerak sa-

ja tidak bisa?! Kau bisa lakukan dengan pejamkan ma-

ta...."

"Ah.... Aku takut. Kalau aku pejamkan mata, jan-

gan-jangan tanganku salah pegang! Kau yang enak, 

tapi aku.... Hik.... Hik.... Hik...!"

"Aku mohon.... Jika kau bebaskan aku, kau akan 

mendapat imbalan pantas!”

"Sayang aku tidak tertarik dengan imbalanmu! Ha-

rap kau suka bersabar menunggu Dewi Penolong.... 

Siapa tahu malam purnama ini ada bidadari kayangan 

yang tertarik karena melihatmu tidak mengenakan ce-

lana? Hik;... Hik.... Hik...!" seraya terus tertawa cekiki-

kan, Putri Sableng berkelebat menuruni bukit.

"Jahanam! Kalian akan menyesal tidak membu-

nuhku saat ini!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki ini 

lalu pejamkan sepasang matanya dan mengatur per-

napasan.

***


TUJUH


KITA tinggalkan Pendekar 131 dan Putri Sableng

yang sedang menuju jurang menuruti keterangan Iblis 

Rangkap Jiwa. Kita kembali mengikuti perjalanan Ma-

laikat Penggali Kubur setelah mendapatkan Kitab Hi-

tam dari tubuh seorang tokoh hitam yang pernah hi-

dup semasa Raja-raja Singasari yakni Ageng Barada 

alias Datuk Kematian.

Saat itu matahari baru saja naik dari kaki langit. 

Satu sosok tubuh terlihat melangkah pelan menuju 

arah pantai di sebelah timur. Orang ini sesekali henti-

kan langkah lalu kepalanya yang mengenakan caping 

lebar bergerak memutar. Karena caping yang dikena-

kan lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepa-

lanya, tidak jelas benar ke arah mana sepasang ma-

tanya memandang. Orang ini adalah seorang laki-laki 

mengenakan pakaian hitam-hitam. Paras wajahnya ke-

lihatan samar-samar, karena separonya hampir tertu-

tup dengan caping lebarnya. Melihat cara jalannya 

yang sedikit terbungkuk-bungkuk dan sesekali berhen-

ti, orang mungkin akan menduga jika laki-laki ini telah 

berusia lanjut. Apalagi di tangan kanannya terlihat se-

buah tongkat kayu yang digunakan topangan tubuh-

nya saat melangkah.

Ketika matahari makin tinggi dan langkah kakinya 

memasuki kawasan pantai, laki-laki bercaping lebar ini 

kembali hentikan langkah. Kepalanya lurus mengha-

dap ke timur. Lalu berpaling agak ke kanan. Untuk 

beberapa saat lamanya kepala laki-laki ini tidak berge-

rak. Hanya sesaat kemudian terdengar gumaman nya

yang tidak jelas.

Laki-laki bercaping ketukkan tongkatnya di atas


tanah bercampur pasir. Lalu teruskan langkah. Dia 

baru hentikan langkah saat jaraknya kira-kira sepuluh 

tombak dari sebuah bangunan kuil yang menghadap 

hamparan laut.

Untuk beberapa lama laki-laki bercaping tegak 

dengan kepala lurus menghadap kuil. Kejap lain kepa-

lanya berputar. Setelah bergumam pelan dia lanjutkan 

langkah. Lalu berhenti sepuluh langkah di hadapan 

kuil. Namun kali ini kepalanya tidak menghadap kuil, 

sebaliknya lurus ke arah hamparan laut. Malah tak 

lama kemudian dia bergerak duduk. Tongkat di tangan 

kanannya ditekankan masuk di atas tanah, Meski ge-

rakan menekan tangan orang terlihat pelan, anehnya 

tongkat kayu itu kontan amblas masuk hampir seten-

gahnya ke dalam tanah!

"Suasana panas menyengat. Kalau sudi silakan 

masuk ke tempatku...," satu suara tiba-tiba terdengar.

Laki-laki bercaping sedikit terkejut. Namun kejap 

lain terdengar dia tertawa mengekeh dan menjawab.

"Terima kasih.... Orang tua sepertiku ini memerlu-

kan sinar matahari...," seraya berkata, laki-laki bercap-

ing putar kepalanya sedikit ke arah datangnya suara 

yang mendadak terdengar. Namun sejauh itu laki-laki 

ini tidak angkat kepalanya, hingga orang yang baru sa-

ja mempersilakan masuk dan kini tegak di belakang 

laki-laki bercaping tampak kerutkan dahi.

Laki-laki bercaping menduga hanya akan melihat 

bagian bawah tubuh orang setidaknya hanya sampai 

pinggang karena terhalang oleh caping lebarnya yang 

dimasukkan terlalu dalam pada kepalanya.

Namun untuk kedua kalinya laki-laki bercaping

sedikit terkejut. Meski terhalang oleh caping lebarnya, 

laki-laki ini dapat melihat sekujur tubuh orang dari 

kaki sampai rambut! Karena orang di hadapannya kini


bertubuh cebol!

Namun seperti halnya pertama kali mendapat tegu-

ran orang, meski merasa terkejut, tapi laki-laki bercap-

ing lebar coba mengatasi dengan tertawa pelan. Di lain 

kejap kepalanya berputar lagi dan kini menghadap 

hamparan laut.

"Orang tua!" kata orang di belakang laki-laki ber-

caping yang tidak lain adalah Cucu Dewa. "Kalau boleh 

bertanya, apakah kau sengaja mencari sinar matahari 

atau ada punya maksud lain?"

Laki-laki bercaping lebar terdengar batuk-batuk 

beberapa kali sebelum akhirnya berkata.

"Kalau juga boleh bertanya, kenapa kau tanya begi-

tu?"

"Selama ini, orang yang berada di sekitar kuil bu-

kannya datang tanpa punya maksud...."

Laki-laki bercaping lebar untuk kedua kalinya pu-

tar kepala menghadap Cucu Dewa. Untuk beberapa 

saat sepasang matanya yang terlindung memperhati-

kan sosok cebol di hadapannya. Saat lain kepala orang 

ini bergerak menggeleng. Bersamaan dengan itu ter-

dengar gumaman nya.

"Aku tak tahu bagaimana harus menjawab perta-

nyaanmu.!"

"Maksudmu...?!" tanya Cucu Dewa. "Aku datang ke 

tempat ini memang punya tujuan. Tapi aku sekarang 

jadi ragu. Kalau orang tua sepertiku tidak tahu, ba-

gaimana mungkin orang seusiamu tahu apa yang hen-

dak kutanyakan....”

Cucu Dewa tampak sunggingkan senyum meski 

keningnya mengernyit. "Orang tua. Usia orang bukan-

lah ukuran bahwa orang yang lebih tua lebih tahu dari 

pada orang yang muda!"

"Ah.... Benar juga kata-katamu. Tapi mungkin yang


hendak kutanyakan urusannya lain. Orang yang lebih 

tua akan lebih tahu daripada yang muda.... Tapi tidak 

ada salahnya aku bertanya. Siapa tahu kau dapat 

membantu...."

"Tunggu dulu! Sebelum kau ajukan tanya, boleh 

aku tahu siapa dirimu?"

Untuk sesaat laki-laki bercaping lebar tidak segera 

menjawab. Rupanya hal ini ditangkap oleh Cucu Dewa 

hingga laki-laki bertubuh pendek ini segera berkata.

"Kalau kau tak mau katakan siapa dirimu, aku ti-

dak memaksa.... Aku akan tetap membantumu seda-

pat yang bisa kulakukan...."

"Terima kasih.... Aku tak mau mengatakan bukan-

nya apa. Tentu namaku tidak ada artinya bagimu. Aku 

hanyalah laki-laki tua yang tinggal menunggu saat-

saat kematian. Namun sebelum ajal menjemput, ada 

sesuatu yang masih menjadi ganjalan pikiranku.... 

Seandainya kau nanti dapat menghilangkan ganjalan 

ini, rasanya aku mati sekarang pun tak apa...."

"Ah.... Mendengar nada ucapanmu, rasanya aku 

bakal tidak dapat memberi keterangan yang akan kau 

minta...," ujar Cucu Dewa.

"Hem.... Kalau kau merasa bimbang begitu, me-

mang lebih baik aku tidak katakan padamu! Karena 

aku sendiri sebelumnya sudah menduga bahwa jawa-

ban yang akan ku peroleh sama seperti jawaban orang-

orang yang kutanya sebelumnya...."

"Jadi, selama ini kau telah bertanya pada beberapa 

orang..

"Hampir separo dari usiaku kuhabiskan untuk 

mencari jawaban...."

Kembali dahi Cucu Dewa berkerut. Setelah agak 

lama terdiam, akhirnya laki-laki bertubuh pendek ini 

berkata.


"Aku jadi ingin tahu apa yang menjadi ganjalan pi-

kiranmu. Tapi sebelumnya aku minta maaf kalau nanti 

tidak bisa memberi keterangan...."

"Aku sudah terbiasa tidak memperoleh jawaban. 

Jadi tidak usah minta maaf. Kau bersedia mendengar 

pertanyaanku saja, aku sudah berterima kasih...," kata 

laki-laki bercaping lebar dengan suara pelan, Sebelum 

Cucu Dewa buka mulut lagi, laki-laki ini telah lan-

jutkan ucapannya.

"Untuk mengenangmu, boleh aku tahu siapa kau

adanya?"

Cucu Dewa gelengkan kepala, "Bukan aku memba-

las karena kau tadi tak sebutkan diri, Tapi bukankah 

lebih baik kita tidak saling tahu nama, asal sama sal-

ing mengerti?"

Laki-laki bercaping tertawa agak keras. Lain ang-

guk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia ber-

kata.

“Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku, 

sebenarnya keluargaku masih ada keturunan Raja-raja

Singasari. Malah orang tuaku pernah sebutkan sebuah

nama yang sampai sekarang tetap kuingat.....”

Laki-laki bercaping hentikan ucapannya, Dia seo-

lah sengaja memberi kesempatan pada Cucu Dewa un-

tuk bicara. Namun Cucu Dewa tidak angkat bicara. 

Laki-laki ini justru sedikit pentangkan sepasang ma-

tanya yang sipit perhatikan laki-laki yang duduk di 

hadapannya.

Laki-laki bercaping arahkan kepalanya sedikit ke 

samping, hingga meski raut wajahnya tidak jelas keli-

hatan, tapi Cucu Dewa masih bisa melihat bagian ba-

wah paras orang.

"Aneh.... Keadaan tubuhnya seperti orang tua betu-

lan. Tapi kulit wajahnya tidak mengeriput. Giginya


utuh.... Rahangnya kokoh.... Tapi apa peduliku? Uru-

san yang hendak ditanyakan rupanya bukan masalah 

nyawa orang seperti sepasang anak muda sableng 

itu.... Hem.... Dia katakan dirinya masih keturunan 

Raja-raja Singasari. Apa dia tahu kalau...."

Cucu Dewa putuskan membatin saat laki-laki ber-

caping kembali angkat bicara.

"Orang tuaku pernah sebut-sebut nama Ken Raka-

siwi!"

Cucu Dewa tak bisa lagi sembunyikan rasa kejut-

nya. Sepasang matanya membelalak. Laki-laki bercap-

ing tertawa perlahan lalu teruskan bicara.

"Aku baru kali ini melihat orang yang kutanya 

sempat terkejut. Berarti apa yang selama ini menjadi 

ganjalan pikiranku akan terjawab...."

"Orang ini tidak memandang ke arahku. Bagaima-

na dia tahu kalau aku merasa terkejut?" kata Cucu 

Dewa dalam hati. Namun karena menduga urusan 

yang ditanyakan orang tidak ada hubungannya dengan 

nyawa orang, meski sedikit merasa tidak enak, laki-

laki bertubuh pendek ini tidak berprasangka lebih 

jauh. Malah dia segera buka mulut.

"Lalu apa yang hendak kau tanyakan?"

"Aku bukannya ingin tunjukkan bahwa diriku ma-

sih ada hubungan darah dengan raja, tapi setidak-

tidaknya aku ingin tahu bagaimana silsilah keluarga-

ku. Karena selama ini orang tuaku tidak pernah mem-

beri jawaban! Lebih dari itu, aku ingin menjalin hu-

bungan dengan sanak familiku jika itu masih ada dan 

mereka mengakui. Tapi sekali lagi, jangan berprasang-

ka. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari pihak ke-

luargaku jika masih ada. Semata-mata hanya ingin 

menyambung darah yang terputus...."

Setelah merenung agak lama, akhirnya Cucu Dewa


berkata.

"Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang 

nama yang kau sebut...."

"Ah.... Tidak banyak pun tak apa. Setidaknya aku 

sedikit mendapat keterangan. Karena orang yang ku-

tanya selama ini, jangankan tahu sedikit. Dengar na-

manya pun baru saat aku ajukan tanya!"

"Menurut cerita yang kudengar...." Cucu Dewa mu-

lai memberi keterangan. "Pada masa kekacauan ketu-

runan Raja-raja Singasari, salah seorang keturunan 

raja memang memegang kekuasaan. Sri Baginda ini la-

lu mempersunting seorang gadis berparas cantik ber-

nama Ken Rakasiwi. Tidak banyak orang yang tahu 

asal-usul Ken Rakasiwi. Kalangan keluarga Sri Bagin-

da dan orang-orang baru mengenalnya setelah Ken 

Rakasiwi dipersunting dan pada akhirnya menjadi

permaisuri. Ken Rakasiwi mempunyai beberapa orang 

anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Namun 

pada akhirnya diketahui kalau anak laki-laki itu dipe-

roleh dari benih seorang abdi Sri Baginda. Ken Raka-

siwi akhirnya diusir dari Istana. Dia pergi membawa 

serta anak laki-lakinya."

Sejenak Cucu Dewa hentikan keterangannya. Lalu 

setelah agak lama dia melanjutkan. "Setelah itu tidak 

diketahui lagi bagaimana kabar beritanya. Hanya ke-

mudian terjadi huru-hara di istana yang ternyata dida-

langi oleh anak laki-laki Ken Rakasiwi. Huru-hara itu 

bukan untuk merebut kekuasaan, sebaliknya ternyata 

hanya untuk mengambil benda pusaka kerajaan. Hu-

ru-hara itu akhirnya dapat dipadamkan dan benda pu-

saka bisa diselamatkan. Setelah itu kabar berita ten-

tang anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak terdengar la-

gi...."

Lagi-lagi Cucu Dewa hentikan penuturan ceritanya.


Malah laki-laki bertubuh cebol ini ikut-ikutan duduk 

dengan sepasang mata memandang lekat-lekat ke arah 

laki-laki bercaping.

Melihat tingkah Cucu Dewa, laki-laki bercaping se-

gera palingkan kepalanya. Mungkin tidak mau sing-

gung perasaan orang, Cucu Dewa akhirnya juga alih-

kan pandangan pada jurusan lain seraya teruskan ke-

terangannya.

"Namun barang pusaka kerajaan nyatanya masih 

menjadi incaran orang. Terbukti beberapa tahun ke-

mudian, kembali terjadi huru-hara besar. Anehnya kali

ini dilakukan oleh seorang gadis berwajah cantik yang 

kemudian dikenal dengan nama Maharani. Entah ka-

rena tingginya ilmu si gadis atau kurang ketatnya pen-

jagaan. Maharani berhasil menerobos masuk bangu-

nan tempat penyimpanan benda pusaka. Pada esok 

harinya terjadilah kegemparan. Benda pusaka kera-

jaan hilang lenyap! Demikian pula Maharani.... Hanya 

itu yang kuketahui, Orang Tua...."

"Lalu bagaimana dengan keturunan Ken Rakasiwi 

dari beberapa anak perempuannya?" tanya laki-laki 

bercaping.

"Karena suasana saat itu kacau balau, apalagi se-

telah lenyapnya benda pusaka kerajaan, tidak ada 

orang yang tahu persis bagaimana akhirnya keturunan 

Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya. 

Hanya entah benar apa tidak, sekarang ini ada seorang 

yang masih anak keturunan Ken Rakasiwi dari salah 

seorang anak perempuannya...."

"Ah.... Kalau begitu aku masih bisa sambung hu-

bungan darah yang putus ini. Siapa orang itu?" tanya 

laki-laki bercaping.

"Tak tahu jelas siapa nama sebenarnya. Hanya dia 

dikenal dengan Dewa Orok!"


"Tempat tinggalnya?" tanya laki-laki bercaping ma-

sih tanpa memandang.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak ada orang 

yang tahu di mana dia bertempat tinggal..."

Laki-laki bercaping anggukkan kepala. "Tak apa. 

Aku sudah berterima kasih banyak atas keterangan-

mu. Kalau sudah tahu namanya, mungkin tidak sulit

untuk mencari. Hem.... Satu lagi pertanyaanku...."

Sambil berkata, laki-laki bercaping arahkan kepa-

lanya pada Cucu Dewa hingga untuk sesaat keduanya 

saling berpandangan. Kini agak jelas Cucu Dewa dapat 

melihat paras wajah orang meski hanya sebatas bagian 

bawah matanya.

"Benda pusaka apa yang lenyap bersama Mahara-

ni?"

"Dua buah kitab...."

Kening di balik caping si laki-laki bergerak men-

gernyit. Kejap lain mulutnya kembali membuka ajukan 

pertanyaan.

"Kalau pusaka kerajaan, pasti berupa kitab sakti. 

Apa kau pernah dengar siapa pencipta dua kitab itu?"

"Entah betul apa tidak, dua kitab itu hasil karya 

seorang tokoh besar yang bernama Resi Kamahaya-

nan!"

"Hem.... Apa kau juga pernah dengar cerita tentang 

sebuah kitab yang juga diciptakan masa Ken Rakasiwi 

itu?"

"Aku tidak pernah mendengarnya...," jawab Cucu 

Dewa dengan tengadahkan sedikit kepalanya. Diam-

diam dalam hati laki-laki bertubuh pendek Ini berkata. 

"Jangan-jangan pertanyaannya akan terus ngelantur 

dan menjurus pada orang di Bukit Selamangleng 

itu...."

 Rupanya dugaan Cucu Dewa tidak jadi kenyataan.


Karena bersamaan dengan itu, laki-laki bercaping ber-

gerak bangkit.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas semua ke-

teranganmu. Sayang untuk saat ini aku tidak memba-

wa apa-apa. Lain kali pasti aku akan datang...."

Cucu Dewa ikut bangkit. Dia gelengkan kepala se-

raya tertawa dan berkata.

"Seandainya kau datang lagi membawa segunung 

emas, maaf kalau aku tidak akan menerimanya. Yang 

kuminta, kau mau lakukan tidak lebih dari apa yang 

kau katakana!”

Laki-laki bercaping berpaling. "Maksudmu,...?" 

"Kau minta keterangan untuk menyambung darah 

yang terputus. Hal itulah yang membuatku mau berce-

rita padamu. Tapi jika nantinya kau bertindak di luar 

itu, aku...." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya. 

Hanya kepalanya yang bergerak menggeleng beberapa 

kali.

"Kau tidak usah meragukan kata-kataku...," kata 

laki-laki bercaping sambil sunggingkan senyum aneh.

"Kuharap hal itulah kenyataannya nanti...!” ujar 

Cucu Dewa.

Ucapan Cucu Dewa membuat langkah laki-laki 

bercaping yang hendak bergerak melangkah tertahan. 

Dia menyahut namun tanpa palingkan kepala.

"Nada ucapanmu sepertinya meragukan kata-

kataku!"

Cucu Dewa tertawa pendek. "Aku selalu berpra-

sangka baik pada setiap orang. Kalau tidak, mana 

mungkin aku memberi keterangan padamu?"

"Ah.... Aku lupa. Apakah anak laki-laki Ken Raka-

siwi tidak punya keturunan?"

Tidak terdengar suara jawaban. Laki-laki bercaping 

menunggu karena menduga orang yang ditanya masih


mengingat. Namun begitu agak lama masih juga tidak 

terdengar suara jawaban, laki-laki bercaping berpaling.

Laki-laki bercaping terkesiap. Laki-laki bertubuh 

pendek sudah tidak terlihat lagi di belakangnya!

"Hem.... Ternyata dia bukan orang sembarangan. 

Tapi kalau keterangannya lain dengan kenyataan, aku 

tidak peduli siapa dia adanya!" gumam laki-laki ber-

caping lalu melangkah. Kira-kira lima belas langkah, 

laki-laki Ini berhenti. Kepalanya berputar pelan. Kejap 

lain dia gerakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat 

cepat laksana dikejar setan.

Pada satu tempat sepi agak jauh dari kuil, laki-laki 

bercaping hentikan larinya. Setelah putar kepala, tan-

gan kanannya bergerak ke atas. Caping lebar yang me-

lindungi kepala dan sebagian atas wajahnya diangkat.

Kini tampak jelaslah wajah laki-laki ini. Ternyata 

dia adalah seorang pemuda berwajah tampan bermata 

tajam. Rahangnya kokoh. Pemuda ini ternyata tidak 

lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur. Se-

perti diketahui, di dalam liang lahat, Malaikat Penggali 

Kubur menemukan tulisan yang mengharuskan di-

rinya mencari anak turunan Ken Rakasiwi untuk di-

musnahkan. Menurut tulisan ini dia harus mencari se-

seorang di kuil pantai timur.

Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur campakkan 

caping lebarnya. Namun baru saja caping lebar itu 

hancur menghantam tanah, kepala pemuda ini berpal-

ing ke arah samping laksana disentak setan. Bahkan 

bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat. Rupanya 

pemuda murid Bayu Bajra yang telah membekal Kitab 

Hitam ini maklum kalau ada orang mengawasi gerak-

geriknya.

Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur terlambat 

Dia hanya sekilas melihat satu sosok bayangan berke


lebat keluar dari balik pohon lalu lenyap di depan sa-

na. Meski hanya sempat melihat bayangan orang, na-

mun Malaikat Penggali Kubur masih dapat mengenali.

'Hem.,.. Manusia cebol itu berani menguntit lang-

kahku! Tunggulah! Tanpa kau ikuti aku akan datang 

menjemputmu jika keteranganmu dusta!” Malaikat 

Penggali Kubur awasi sejenak ke mana lenyapnya 

bayangan yang tak berhasil dikejar namun bisa dike-

nali tadi. Kejap lain pemuda ini tersenyum aneh lalu 

berkelebat teruskan larinya.

*

* *

DELAPAN



PENDEKAR 131 tegak di bibir jurang dengan mata 

mengawasi berkeliling. Sepasang matanya mendadak 

menyipit.

"Aku melihat bekas-bekas pukulan. Tanda di tem-

pat ini telah terjadi sesuatu.... Tanahnya Berantakan. 

Bibir jurang di seberang hancur berantakan. Lamping 

jurang terabas rata.... Siapa yang baru saja bentrok di

tempat ini?" Murid Pendeta Sinting terdiam untuk be-

berapa lama sementara sepasang matanya terus me-

meriksa lebih seksama

"Melihat bekas-bekasnya, jelas siapa pun adanya 

orang yang baru bentrok, mereka memiliki kepandaian 

tinggi...!” gumam sang Pendekar. Mendadak parasnya 

berubah. "Jangan-jangan aku didahului orang dan ki-

tab itu.... Aku harus segera turun ke bawah jurang!

Melihat hal ini rasanya ucapan manusia iblis itu tidak 

berdusta! Tapi.... Dia tahu di mana kitab itu berada. 

Tempatnya tidak jauh lagi. Mengapa ia tidak mengambil kitab itu? Atau jangan-jangan dia telah mengambil-

nya?! Ah.... Mengapa aku tidak memeriksanya tadi? 

Kembali ke sana jelas tidak mungkin! Tapi.... Mana bi-

sa semua itu terjawab kalau aku belum buktikan sen-

diri...?!!”

Murid Pendeta Sinting longokkan kepala ke bawah 

jurang. "Hem.... Tidak terlalu dalam...!”

Tanpa berpikir panjang lagi, Joko segera kerahkan 

tenaga dalamnya. Saat lain sosoknya melesat masuk 

ke dalam Jurang. 

Setelah membuat gerakan berputar empat kali di

lamping jurang, murid Pendeta Sinting mendarat di 

bagian bawah jurang.

"Hem.... Di sini juga seperti telah terjadi bentrok.... 

Hanya saja mungkin dilakukan satu orang...„ Ah. Jadi 

betul-betul telah ada orang mendahuluiku! Jangan-

jangan manusia Iblis itu.... Tapi aku harus menyelidik 

dahulu...."

Pendekar 131 melangkah berputar. Tiba-tiba dia 

hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya meli-

hat tulisan di bagian samping batu. Tulisan yang ditu-

lis dengan darah itu dibacanya beberapa kali. Lalu 

tanpa pikir panjang lagi dia melangkah ke arah kanan 

dengan menghitung.

Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, mu-

rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Sepertinya se-

buah makam. Anehnya tampak seperti makam baru!"

Untuk beberapa lama Joko perhatikan gundukan 

tanah mirip sebuah makam itu. "Siapa orang yang me-

nulis di samping batu itu? Mana orangnya? Karya.... 

Apakah yang dimaksud dengan karya adalah kitab itu? 

Jelas. Orang yang mendahului datang di sini telah la-

kukan apa yang tertulis pada samping batu itu. Tapi 

siapa? Iblis Rangkap Jiwa? Orang lain...? Bagaimana


sekarang...? Apa aku harus melihat siapa adanya 

orang yang seperti baru dikubur ini?"

Beberapa lama murid Pendeta Sinting tegak di

samping makam dengan dada dibuncah berbagai per-

tanyaan. Sesaat kemudian dia jongkok perhatikan ma-

kam lebih seksama. Kedua tangannya bergerak. Na-

mun kejap lain ditarik pulang lagi. Kebimbangan jelas 

terbayang di wajah dan sikapnya.

"Jangan-jangan ini perbuatan orang yang hendak 

menjerumuskan! Ah.... Urusan Ini ternyata tidak lebih

mudah dari urusan Kitab Serat Biru dan Sundrik Ca-

kra beberapa waktu yang lalu...."

Ketika terus merenung begitu, tiba-tiba telinganya 

menangkap ada suara desiran dari jurang. Cepat Joko 

bergerak bangkit. Belum sampai bergerak lebih jauh, 

mendadak satu sosok tubuh telah tegak lima langkah 

dari tempatnya berada.

"Anak sableng sialan!" maki Joko dalam hati begitu 

mengenali siapa adanya orang. Dia lantas berpaling 

kembali arahkan pandangannya ke makam,

Orang yang baru datang dan bukan lain Putri Sab-

leng tertawa tertahan lalu melangkah satu tindak dan 

berkata.

"Rupanya kau cerdik juga.... Dengan caramu, ak-

hirnya apa yang kau cari bisa kau temukan!"

"Bukan hanya itu. Kau juga dapat melihat peman-

dangan asyiiikk!" sahut Joko seenaknya namun jelas 

nada ucapannya bercampur jengkel.

Putri Sableng sahuti ucapan Joko dengan tertawa 

cekikikan. Tapi laksana direnggut setan mendadak su-

ara tawa cekikikan si gadis terputus membuat Joko 

berpaling.

Raut wajah murid Pendeta Sinting berubah. Di ha-

dapannya terlihat Putri Sableng kancingkan mulut.


Sepasang matanya mendelik angker. Dan tangan ka-

nannya menjulur. Saat bersamaan tiba-tiba mulutnya 

terbuka.

"Mana kitab itu! Serahkan padaku!"

Karena beberapa kali sudah dibuat jengkel dengan 

tingkah gadis berjubah merah ini, mendengar dan me-

lihat sikapnya kontan rahang Joko menggembung. Pa-

ras wajahnya membesi dengan sepasang mata balik

mendelik.

"Jangan bicara sembarangan! Aku sudah lama me-

nahan sabar!"

Putri Sableng rupanya tidak ambil peduli dengan 

nada bicara murid Pendeta Sinting yang mengancam. 

Sebaliknya dia tetap bersikap seperti semula dan ber-

kata.

"Kitab itu! Mana?!"

Mungkin sudah tidak dapat menindih hawa ama-

rahnya, Joko angkat tangan kirinya. Di hadapannya 

Putri Sableng tidak membuat gerakan apa-apa. Hanya 

sepasang matanya yang menusuk tajam pada bola ma-

ta murid Pendeta Sinting.

Pendekar 131 menghela napas dalam lalu perla-

han-lahan turunkan tangan kirinya.

"Mengapa tidak jadi kau lakukan?!" tanya Putri

Sableng seraya tersenyum mengejek.

Meski dadanya makin bergemuruh, namun Joko 

akhirnya hanya bisa menghela napas lalu melangkah 

dengan melewati sisi si gadis.

Putri Sableng sejurus lamanya memandang namun 

begitu murid Pendeta Sinting sudah berada di bela-

kangnya, gadis ini berkata.

"Kau dengar ucapanku! Serahkan kitab itu atau...?'

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala di bela-

kangnya terdengar suara berdebam keras. Saat Putri


Sableng berbalik, terlihat hamburan tanah Ke udara. 

Rupanya saking jengkelnya, kemarahan Joko dilam-

piaskan dengan hentakkan kaki kanannya ke atas ta-

nah hingga tanahnya muncrat ke udara.

Muncratan tanah belum sirna, Joko telah balikkan 

tubuh lalu berkata membentak. "Aku tidak menemu-

kan kitab itu!. Kalaupun kutemukan jangan harap kau 

akan memilikinya!"

"Laki-laki yang marah di hadapan perempuan bi-

asanya menyembunyikan sesuatu atau setidaknya 

menutupi sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Hik.... 

Hik.... Hik...!"

"Kau benar-benar gadis menyebalkan! Lihat tulisan 

itu!" kata Joko sembari menunjuk ke arah batu yang 

bertulisan darah.

Putri Sableng arahkan kepala mengikuti arah yang 

ditunjuk tangan murid Pendeta Sinting. Karena gadis 

berjubah merah ini berada di dekat makam, dia tidak 

bisa melihat tulisan yang ada di bagian samping batu.

"Tulisan? Tulisan apa?! Aku tidak melihat tulisan!"

"Kau memang tidak akan melihat tulisan kalau 

nongkrong di situ! Lihat dari sebelah sana!" kata Joko 

sambil menunjuk tempat di mana tadi dia bisa melihat 

tulisan di bagian samping batu.

Mungkin karena penasaran apalagi dilihatnya uca-

pan murid Pendeta Sinting tidak main-main, Putri Sab-

leng segera berkelebat.

Begitu tegak di depan batu, sepasang mata gadis 

ini mendelik. Seakan masih tidak percaya dengan pan-

dangan matanya, dia melangkah makin mendekat. Mu-

lutnya terlihat berkemik membaca. Saat lain sepasang 

matanya memandang pada murid Pendeta Sinting.

Yang dipandang berpaling lalu berkata. Suaranya 

masih menunjukkan rasa geram. "Kau masih meminta


kitab dariku?!"

Putri Sableng tidak menjawab, Sebaliknya gadis ini 

segera melangkah seraya menghitung tindakannya. Ke-

tika mulutnya berhenti menghitung, sosoknya tepat 

berada di sebelah gundukan tanah makam. 

"Ada yang tidak beres! Kita telah kedahuluan

orang!" ujar Putri Sableng setelah agak lama terdiam.

"Bukan kita, tapi aku!" sahut Joko dengan suara 

dingin. 

"Terserah padamu. Yang jelas bukan hanya kau sa-

ja yang menginginkan kitab itu dan ternyata telah ke-

dahuluan orang!"

"Ini gara-gara kau!"

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini gan-

ti Putri Sableng yang dadanya bergemuruh. Sepasang 

matanya terpentang. Saat lain dia membentak.

"Jangan sembarangan menuduh orang!"

"Aku tidak menuduh. Tapi siapa tahu kau telah 

mengatakan urusan kitab ini pada orang lain?!" seraya 

berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh.

Putri Sableng pandangi sekujur tubuh murid Pen-

deta Sinting dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bi-

birnya tersenyum dingin lalu berkata.

“Meski aku gadis sableng, aku tahu mana urusan 

penting mana urusan sepele! Atau jangan-jangan kau 

yang kelepasan omong bicara sama seorang gadis can-

tik bertubuh bagus misalnya?!"

Ucapan Putri Sableng membuat murid Pendeta 

Sinting sejurus terdiam. Malah dia terlihat tengadah-

kan kepala dengan kening berkerut. "Hem.... Aku me-

mang pernah jumpa dengan gadis bertubuh bagus 

berwajah cantik, Ratu Pemikat! Tapi aku rasanya tidak 

mengatakan urusan kitab ini padanya.... Malah kalau 

tidak salah aku telah berbuat kurang ajar padanya!


Tak mungkin dia yang mendahului datang ke tempat 

ini. Lalu siapa?!"

Selagi murid Pendeta Sinting mengingat begitu, Pu-

tri Sableng berujar. Namun kali ini suaranya agak me-

rendah. 

"Melihat tulisan itu serta menghubungkannya den-

gan adanya makam ini, jelas kitab itu sudah di tangan 

orang! Apa yang sekarang kita lakukan?!"

"Sejak semula aku tidak mengajakmu ikut serta 

dalam urusan ini! Terserah apa yang akan kau laku-

kan! Aku akan lakukan apa yang kumau! Tapi Ingat. 

Aku tidak mau lagi melihat tampangmu!”

Putri Sableng bukannya tambah marah mendengar 

ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berjubah merah 

ini justru tertawa cekikikan lalu berujar.

"Tampangku memang jelek, tapi aku juga tidak su-

di selalu kau ikuti!"

"Setan! Siapa yang mengikutimu?!*

Kembali Putri Sableng tertawa cekikikan dahulu 

sebelum perdengarkan jawaban.

"Jangan kau kira aku tidak tahu, kau selalu ada di

bokongku! Bukankah kau berada di belakangku dan 

sempat mengejarku saat di kuil dekat pantai itu? La-

lu... kau ikuti aku ke puncak ini! Hik.... Hik.... Hik...! 

Harap kau tidak merasa malu mengakuinya!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan 

dari mulut murid Pendeta Sinting, Putri Sableng berke-

lebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada tepat di

lamping jurang.

Putri Sableng tengadahkan kepala. Tubuhnya ber-

gerak hendak berkelebat naik, namun mendadak gadis 

ini tahan gerakannya. Kepalanya cepat berpaling. Mu-

lutnya membuka perdengarkan bentakan.

"Dasar, Pemuda Setan! Sudah kukatakan, aku tak


sudi kau ikuti!"

Murid Pendeta Sinting yang kini telah tegak tiga 

langkah di belakangnya terkejut. Belum hilang rasa ke-

jutnya, si gadis telah membentak lagi.

"Awas kalau kau ikuti aku!"

"Aku juga akan ke sana!" kata Joko seraya menun-

juk ke atas.

"Aku tak mau tahu kau hendak ke mana! Yang je-

las, aku muak melihat kau berada di belakangku! Kau 

dengar?!"

"Gadis ini benar-benar memusingkan kepala! Se-

benarnya aku senang mendapat teman cantik seperti

dia. Tapi kalau dia juga menginginkan kitab itu apa ar-

tinya? Padahal aku harus memusnahkan kitab itu! Ba-

gaimana baiknya...? Apa dia kuajak menyelidik kitab 

itu sambil kujelaskan duduk masalahnya.... Siapa ta-

hu dia mau mengerti malah bisa membantuku...?"

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting

berkata.

"Apa kau tahu kitab apa sebenarnya yang sedang 

kau cari itu?!"

"Jawabannya kau sudah tahu! Tak perlu bertanya!" 

jawab Putri Sableng ketus.

"Yang ku maksud, sebenarnya kitab itu adalah se-

buah kitab sakti yang sangat berbahaya kalau sampai 

jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Rimba 

persilatan akan mengalami bencana! Jadi tujuanku 

mencari kitab Itu tidak untuk memilikinya namun un-

tuk memusnahkannya!"

"Persetan kau hendak memilikinya atau memus-

nahkannya. Aku punya maksud lain dengan kitab Itu! 

Jawaban Putri Sableng masih terdengar ketus.

"Maksudmu...?" tanya Joko pula. 

"Jangan harap kau akan dengar Jawaban pertanyaanmu itu!"

Joko menghela napas panjang. Murid Pendeta Sint-

ing ini coba menahan kemarahan yang kembali men-

dera dadanya mendengar Jawaban Putri Sableng. Di 

hadapannya, melihat sikap murid Pendeta Sinting, Pu-

tri Sableng menahan tawa.

"Pendekar 131! Kau pikirkan sesuatu?!"

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Bukan ka-

rena pertanyaan Putri Sableng sebaliknya karena 

mendapati si gadis tahu siapa dirinya!

"Bagaimana dia tahu? Apakah dari bentrokan den-

gan Iblis Rangkap Jiwa?"

Mendapati keterkejutan pada Joko, Putri Sableng 

perkeras tawanya. Lalu berkata dengan senyum-

senyum.

"Aku lebih tahu luar dalam dirimu daripada kau 

sendiri! Kau murid tunggal seorang kakek gendeng 

bergelar Pendeta Sinting. Sebelum ini kau terlibat uru-

san dengan gadis-gadis cantik di antaranya Dewi Seri-

bu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, Saraswati Juga to-

koh-tokoh edan seperti Iblis Ompong dan saudara-

saudaranya! Kau juga pernah bercumbu dengan gadis 

bahenol bergelar Ratu Pemikat.... Hik.... Hik.... Hik...! 

Kalau kau pernah mengintipku mandi, aku pernah me-

lihat bagaimana kau ditelanjangi gadis bertubuh bahe-

nol Ratu Pemikat Itu.... Hik.... Hik.... Hik...!"

Saking kagetnya, sepasang kaki murid Pendeta 

Sinting tersurut dua tindak! Mulutnya menganga den-

gan sepasang mata terpentang besar-besar!

Ketika sadar dari rasa kejutnya, Putri Sableng su-

dah tidak tampak lagi di hadapannya!

"Busyet betul! Betul-betul busyet! Siapa sebenar-

nya gadis sableng itu? Dia benar-benar mengetahui

luar dalam diriku! Aku masih bingung dengan urusan


Kitab Hitam, kini ditambah lagi dengan pertanyaan 

edan mengenai gadis itu!"

Untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting mon-

dar-mandir.

"Ah.... Peduli setan siapa sebenarnya gadis itu! Aku 

harus cepat balik ke puncak bukit. Siapa tahu sebe-

narnya manusia iblis itu yang telah mengambil kitab! 

Dia tahu beradanya kitab itu dan tidak sulit menda-

patkannya!"

*

* *

SEMBILAN



Setelah ditinggal sendirian di puncak bukit oleh 

murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng dalam kea-

daan tertotok dan tubuh bagian bawah terbuka, Iblis 

Rangkap Jiwa memaki panjang pendek. Namun setelah 

sadar bahwa hal itu tidak ada artinya, kakek ini sege-

ra pejamkan mata dan mengatur jalan pernapasan.

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang to-

koh berilmu tinggi dan para kalangan persilatan pada 

zamannya telah mengetahui kalau kakek ini mampu 

menahan segala pukulan yang menghantam tubuhnya. 

Namun begitu, ada satu hal yang tidak diketahui oleh 

si kakek. Dia memiliki kelemahan yang selain jarang 

diketahui orang, juga mungkin orang tidak akan men-

duga. 

Kelemahan kakek ini jika melihat pantat seorang 

laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka se-

genap kesaktiannya akan lenyap selama setengah hari. 

"Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi

menimpa diriku! Kesaktianku mendadak lenyap begitu 

melihat bokong! Padahal saat perempuan muda itu 

perlihatkan bokongnya pertama kali, aku tidak menga-

lami apa-apa. Tapi setelah melihat bokong dua orang, 

kesaktianku sirna. Benar-benar jahanam! Hem.... 

Orang yang menyuruh dan memberi isyarat adalah 

seorang bertubuh cebol berambut kepang dua.... Tak 

salah! Dia adalah Cucu Dewa! Mengapa si cebol itu 

bersekongkol dengan dua manusia itu? Bukankah se-

lama ini si cebol itu berada di pihak golongan hitam...? 

Apakah ini muslihatnya karena berambisi memiliki Ki-

tab Hitam itu? Dia sungkan padaku lalu mencari ke-

lemahanku dan bersekongkol dengan orang! Hem.... 

Dia telah membuat langkah keliru terhadap Iblis 

Rangkap Jiwa!"

Raut wajah angker Iblis Rangkap Jiwa tercenung. 

Namun begitu masih tersirat seberkas perasaan lega 

pada wajahnya.

"Meski samar-samar, aku tadi masih sempat men-

dengar si cebol itu berkata kalau kesaktianku ini 

hanya lenyap selama setengah hari! Berarti kesaktian-

ku masih bisa pulih kembali! Kalau hanya lenyap se-

tengah hari, mungkin akan lebih cepat dari waktu itu 

kalau aku kerahkan tenaga...."

Berpikir begitu, perlahan-lahan Iblis Rangkap Jiwa 

kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Sebenarnya ke-

saktian Iblis Rangkap Jiwa tidak lenyap musnah. Ka-

kek ini hanya tidak dapat pergunakan kesaktiannya 

selama setengah hari. Namun jika dia kerahkan tenaga 

dalamnya, sedikit banyak kesaktiannya akan muncul 

meski masih sangat jauh jika dibanding dengan kea-

daan biasanya.

Karena Iblis Rangkap Jiwa memiliki tingkat kepan-

daian tinggi, setelah agak tama pusatkan tenaga, perlahan-lahan kedua tangannya terlihat bergerak-gerak. 

Lalu kakinya melejang membujur. Jelas kalau kakek 

ini perlahan-lahan telah mampu buyarkan totokan 

yang disarangkan murid Pendeta Sinting.

"Hem.... Aku berhasil..," gumam Iblis Rangkap Jiwa 

seraya buka kelopak matanya. Lalu kembali pusatkan 

pikiran dan tenaga. Sesaat kemudian kakek ini telah 

dapat gerakkan sekujur anggota tubuhnya meski ma-

sih sangat lemah.

Namun lama kelamaan, Iblis Rangkap Jiwa mulai

dapat kuasai diri. Dan begitu merasa kuat, kakek ini 

bergerak bangkit. Dia coba mencari serpihan kainnya 

yang sempat tersabet tangan murid Pendeta Sinting 

hingga aurat bawahnya terbuka. Namun kakek ini 

memaki saat melihat kain serpihannya tidak mungkin 

lagi dapat digunakan untuk menutup auratnya.

"Anak manusia itu telah mempermalukan aku!

Nyawanya akan kukejar meski ke ujung langit dan ma-

suk ke Liang bumi!"

Iblis Rangkap Jiwa perlahan-lahan melangkah ke 

arah utara. Sepasang matanya memandang jauh ke 

bawah.

"Hem.... Mereka hanya akan menemukan angin! 

Tapi aku harus segera sembunyi! Mereka pasti akan 

segera kembali ke sini! Saat ini tidak mungkin bagiku 

melawan mereka! Selain kesaktianku belum kembali, 

mereka telah mengetahui bagaimana cara mengalah-

kanku! Setan betul! Tapi.... Aku tetap akan membalas 

semua ini! Aku tahu bagaimana caranya! Aku punya 

seribu satu cara!",

Iblis Rangkap Jiwa balikkan tubuh. Namun tiba-

tiba dia urungkan gerakan langkahnya. "Ke mana aku 

sekarang sembunyi? Lari dari bukit ini dan mencari 

tempat lain? Kalau sewaktu-waktu manusia bergelar


Malaikat Penggali Kubur balik kemari bagaimana? Pa-

dahal aku harus merebut Kitab Hitam itu dari tangan-

nya. Mencari sendiri di luaran sana tentu sangat sulit!

Apalagi dia seorang pemuda! Hem.... Kalau dia berkata 

hendak balik ke sini, mengapa aku harus mencari 

tempat lain? Sampai kapan pun aku akan menung-

gunya! Hanya untuk sementara ini aku akan menying-

kir dahulu...."

Iblis Rangkap Jiwa gerakkan langkah kakinya. Tak 

berapa lama kemudian sosoknya terlihat menuruni

bukit dan lenyap di kerapatan semak dan pohon.

* *

Begitu tubuhnya melewati bibir jurang, Putri Sab-

leng tegak sebentar sambil tengadahkan kepala ke 

arah puncak bukit.

"Iblis Rangkap Jiwa...!" desis si gadis. "Keteran-

ganmu tentang di mana beradanya kitab itu betul. Ma-

nusia sepertimu tidak mungkin sia-siakan kesempa-

tan! Jadi pasti kaulah yang telah mengambil kitab itu! 

Hem.... Aku harus segera kembali ke puncak bukit. 

Menurut Cucu Dewa, orang itu akan kehilangan ke-

saktian selama setengah hari. Lagi pula dia masih ter-

totok. Pasti dia masih tergeletak tak bergerak di sana!"

Putri Sableng hendak berkelebat. Tapi mendadak 

gerakannya tertahan. Bahu gadis cantik ini bergun-

cang menahan tawa. Namun tak urung suara cekiki-

kannya masih terdengar. "Bagaimana aku harus me-

meriksanya? Barangnya tidak tertutup! Bagaimana ka-

lau tanganku nanti salah ambil?" Suara cekikikannya 

makin keras.

"Ah.... Peduli! Terpaksa aku tidak akan pejamkan


mata daripada salah sambil dan menyentuh barang ti-

dak karuan!"

Masih dengan perdengarkan tawa cekikikan, Putri 

Sableng berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. Da-

lam waktu tidak lama, sosok Putri Sableng telah ham-

pir mencapai puncak bukit. Sebelum tubuhnya benar-

benar berada di puncak bukit, gadis ini putuskan ce-

kikikannya lalu berseru keras.

“Iblis Rangkap Jiwa! Kali ini jangan kau kira dapat 

berkata dusta padaku lagi! Serahkan kitab itu padaku! 

Aku tahu, kau telah mengambil kitab itu! Jika tidak 

kau akan..."

Seruan Putri Sableng terputus. Sosoknya yang kini 

telah berada di puncak bukit tegak dengan sedikit ber-

getar. Mulutnya kontan terkancing.

Setelah kuasai rasa terkejutnya, gadis berjubah 

merah ini silangkan sepasang matanya berkeliling. “Ke 

mana minggatnya manusia itu? Bukankah waktunya 

belum sampai setengah hari? Apakah dia berhasil pu-

lihkan kesaktiannya dan membuyarkan totokan Pe-

muda Setan itu? Hem.... Keterangan Cucu Dewa tidak 

mungkin bohong. Kalaupun dia berhasil lepaskan to-

tokan, kesaktiannya tentu belum bisa pulih benar. 

Hem.... Dia pasti masih ada di sekitar sini!"

Tanpa menunggu lama, Putri Sableng berkelebat 

mengitari puncak bukit. Namun meski telah berputar 

dua kali dengan mata liar nyalang, sosok Iblis Rangkap 

Jiwa tidak ditemukan!

"Tidak kuduga kalau secepat itu dia bisa bebaskan

diri….. Tapi aku masih tidak percaya kalau dia mampu

kembalikan kesaktiannya. Karena dia tidak menunggu 

di sini.... Tentu dia belum jauh...." 

Putri Sableng memandang sekali lagi dengan putar 

kepalanya berkeliling. Kejap lain sosoknya berkelebat


menuruni bukit. Namun mendadak satu suara teguran 

menahan gerakannya.

"Mengapa kau lepaskan manusia itu?!"

Meski tanpa berpaling ke arah datangnya suara te-

guran, Putri Sableng sudah bisa menebak siapa 

adanya orang. Namun tak urung gadis ini putar kepa-

lanya. Sejarak sepuluh langkah tegak Pendekar 131 

dengan arahkan pandangannya pada jurusan lain.

"Ternyata kau masih mengikutiku!"

Murid Pendeta Sinting tidak berpaling. Mulutnya 

menyeringai.

"Tanpa imbalan pantas, tak mungkin kau be-

baskan manusia itu! Sekarang berikan imbalan itu pa-

daku!"

"Kau bisa memintanya di liang akhirat!"

"Hem.... Kau benar-benar ingin dikasari!" sentak 

murid Pendeta Sinting. "Atau sebenarnya kau berkom-

plot dengan manusia itu?!"

"Yang kutahu, manusia iblis hanya bersekongkol 

dengan yang namanya iblis! Apa kau kira aku ini Iblis, 

hah?!" Putri Sableng balas membentak.

"Keadaan tubuhmu memang cantik malah aku 

pernah melihatmu tidak mengenakan pakaian dan 

memang mirip manusia biasa. Tapi kadangkala manu-

sia biasa berhati melebihi Iblis!"

Tampang Putri Sableng langsung berubah. "Ternya-

ta bukan matamu saja yang bertindak tidak pada tem-

patnya! Mulutmu pun bisa bicara ngelantur tak ka-

ruan!"

"Hem.... Sekarang tak usah banyak mulut. Kau 

mau serahkan kitab itu atau tidak?!" tanya Joko lalu 

memandang tajam.

"Buka telingamu lebar-lebar! Aku sampai di tempat 

ini sudah tidak menemukan manusia itu! Ini menunjukkan totokanmu tidak ada apa-apanya! Padahal kau 

telah digelari orang sebagai Pendekar! Belum lagi ka-

tanya kau sudah berhasil membekal Kitab Serat Biru 

dan kitab bersampul kuning! Jangan-jangan kau yang 

bersekongkol dengan manusia iblis itu! Kau hanya 

berpura-pura menotoknya lalu membuat perjanjian!"

"Gila! Gadis ini benar-benar mengetahui diriku...," 

kata Joko dalam hati.

Belum sampai murid Pendeta Sinting ucapkan se-

patah kata. Putri Sableng telah nyerocos lagi. "Kau ber-

tanggung jawab atas kejadian ini Jika sampai terjadi 

apa-apa di luaran sana!"

"Bagaimana bisa begitu? Kalaupun memang terjadi 

apa-apa, kita berdua yang bertanggung jawab!" sahut 

Pendekar 131.

"Hem.... Kau mau libatkan orang lain yang tidak 

tahu apa-apa?!"

"Kau tahu segalanya! Termasuk tahu luar dalam 

diriku!"

"Kau Juga tahu diriku...!" Putri Sableng tak mau 

kalah.

Pendekar 131 gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku 

memang tahu dirimu serta namamu. Tapi aku tidak 

tahu siapa kau sebenarnya! Kalau boleh tahu, siapa 

kau sebenarnya...?!" Pada nada ucapannya yang te-

rakhir, Joko terdengar rendahkan suaranya.

"Mengapa hal itu baru kau tanyakan sekarang?"

"Karena sekarang kita harus bersahabat! Kita sa-

ma-sama punya tanggung jawab!"

"Hem.... Begitu? Tidak ada hal lain?" 

"Maksudmu...?!"

"Kau mengajak bersahabat hanya karena kau ter-

tarik padaku?"

Pendekar 131 tertawa. "Kuakui kau memang cantik. Tapi untuk sekarang aku hanya sebatas menga-

gumi kecantikanmu. Tidak ada rasa tertarik sama se-

kali!"

"Kebetulan! Meski kau tampan, tapi aku merasa 

muak melihat tampangmu! Hik.... Hik.... Hik...! Kalau 

Sudah begini persahabatan bisa langgeng! Karena ka-

dangkala persahabatan bisa rusak bila kedua orang-

nya sudah saling jatuh cinta apalagi cintanya karam di 

tengah jalan.... Sekarang apa rencanamu?"

"Kita terus menyelidik! Aku masih ragu, jangan-

jangan jurang yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa me-

nyimpan kitab itu hanya buatannya manusia Iblis itu 

sendiri untuk mengelabui orang. Sementara dia sendiri 

tidak tahu di mana beradanya kitab itu! Kita harus 

menemui seseorang yang kuyakin punya rahasia di

mana sebenarnya kitab itu berada!"

"Siapa orangnya?" tanya Putri Sableng.

"Nanti akan kuceritakan sambil jalan...."

"Ah, rupanya kau masih menaruh curiga padaku!

Padahal kau telah mengajak bersahabat!" kata Putri

Sableng pula.

"Bukan karena itu. Kita harus cepat bertindak. 

Siapa tahu, kalau memang melarikan diri manusia itu 

belum jauh dari sini!"

Habis berkata begitu, Joko anggukkan kepala 

memberi isyarat untuk segera turun bukit. Putri Sab-

leng balas anggukkan kepala lalu mendahului melang-

kah menuruni bukit. Murid Pendeta Sinting jalan di 

belakangnya.

"Aku punya permintaan kalau benar-benar kau 

ajak menyelidiki" kata Putri Sableng seraya terus me-

nurun!

“Katakan permintaanmu...."

"Kulitku termasuk kulit aneh. Kalau terkena sinar


matahari akan mengelupas! Jadi aku hanya bisa me-

nyertaimu menyelidik pada malam hari! Dan bisa siang 

hari tapi hanya waktu-waktu tertentu...."

"Aneh.... Apa kau keturunan hantu? Hanya hantu 

yang keluar malam hari! Lalu kapan selesainya urusan

ini kalau kita menyelidik menunggu malam tiba?"

"Kau tak usah ragu! Kau terus menyelidik. Kau 

hanya perlu memberitahukan di mana malam nanti 

berjumpa! Aku pasti sudah nongkrong di sana! Pa-

ham...?"

"Heran.... Bagaimana bisa begin!?"

"Jangankan kau, aku sendiri heran dengan diriku 

sendiri! Maka dari itu... sambil menyelidik kita cari 

seorang tabib yang bisa sembuhkan penyakit anehku 

Ini. Kau tidak keberatan bukan?"

"Selain itu, apa kau masih punya penyakit aneh 

lainnya?"

"Betul!"

Murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sepasang 

matanya memandang pada sosok bagian belakang 

orang di hadapannya.

"Sayang. Cantik-cantik tapi banyak penyakit aneh-

nya...," desis Joko lalu berkata. "Apa penyakit anehmu 

yang lain?"

"Aku tak suka mendengar laki-laki bicara dan ber-

tanya terlalu banyak!"

Habis berkata begitu, Putri Sableng terus berlari

menuruni bukit.

"Dasar orang berpenyakitan aneh! Ucapannya pun 

aneh-aneh...," kata murid Pendeta Sinting lalu berlari 

kembali menyusul Putri Sableng yang telah Jauh di 

depan sana.

***


SEPULUH


SATU bayangan hitam berlari laksana angin. Da-

lam beberapa saat bayangan itu telah nampak berkele-

bat mendaki bukit. Padahal sejenak tadi bayangannya 

masih jauh di sekitar kaki bukit. Dan tidak sampai be-

rapa lama, bayangan ini tahu-tahu sudah tegak di 

puncak Bukit Selamangleng.

Bayangan ini ternyata seorang pemuda berparas 

tampan dan keras. Rahangnya kokoh dengan sepasang 

mata tajam. Rambutnya hitam lebat. Dia mengenakan 

pakaian berwarna hitam-hitam.

Begitu injakkan sepasang kakinya di tanah puncak 

bukit, kepala pemuda ini laksana disentak setan ber-

putar dengan mata menyelidik. Saat itu di penghujung 

malam dan samar-samar lintasan langit telah disem-

burati warna kekuningan bias sinar matahari yang se-

bentar lagi akan unjuk diri.

"Jahanam itu ke mana? Padahal belum lama aku 

tinggalkan puncak bukit ini! Jahanam itu telah ingkari 

ucapannya tidak lakukan perintahku! Dia mencari 

mampus berani berdusta pada Malaikat Penggali Ku-

bur!"

Pemuda berpakaian hitam yang ternyata tidak lain 

adalah Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada. Kelopak matanya perlahan 

memejam. Telinganya bergerak-gerak. Sikapnya jelas 

kalau pemuda ini tengah pusatkan pikiran.

Tiba-tiba mulut Malaikat Penggali Kubur membu-

ka. Bersamaan itu terdengar suara bentakannya.

"Cepat keluar dari tempatmu! Atau kau ingin 

mampus tanpa dikenali!" Malaikat Penggali Kubur le-

paskan rangkapan kedua tangannya. Seraya putar tu-

buh kedua tangannya bergerak.


"Tahan!" satu suara tiba-tiba terdengar.

Malaikat Penggali Kubur buka matanya. Rahang-

nya mengembung besar dan terangkat

Dari balik salah satu pohon, muncul satu sosok 

tubuh dan perlahan-lahan melangkah ke arah Malai-

kat Penggali Kubur. Dia adalah seorang laki-laki ber-

kepala gundul dengan sepasang mata besar menjorok 

keluar. Hampir seluruh raut wajahnya tidak tertutup 

daging.

Laki-laki berkepala gundul yang bukan lain adalah 

Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah tujuh tindak di-

hadapan Malaikat Penggali Kubur.

"Hem.... Pakaian yang dikenakan berganti. Mencuri 

di mana bangsat ini? Atau dia mengambil pakaian 

orang yang jadi korbannya?" Malaikat Penggali Kubur 

membatin seraya memperhatikan sosok Iblis Rangkap 

Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa saat itu mengenakan pakaian 

berwarna putih bersih.

"Apakah kau telah mendapat korban?!" Malaikat 

Penggali Kubur ajukan tanya.

Iblis Rangkap Jiwa sejurus memandang pada Ma-

laikat Penggali Kubur. Kepalanya bergerak menggeleng. 

"Selama sepeninggalmu belum ada manusia yang kesi-

ni! Aku mendapat pakaian ini di dusun terdekat...," 

ujar Iblis Rangkap Jiwa seolah tahu apa yang terpikir 

dalam benak Malaikat Penggali Kubur.

"Tidak kusangka kalau secepat ini dia kembali! 

Hem.... Ada apa ini?!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa 

merasakan satu keanehan. Dia menyangka masih la-

ma waktunya Malaikat Penggali Kubur kembali ke 

puncak Bukit Selamangleng. Apalagi dia telah mem-

bekal kitab sakti. "

Sebenarnya Malaikat Penggali Kubur sendiri semu-

la memutuskan untuk tidak kembali dulu ke puncak


Bukit Selamangleng. Namun begitu menuruti pesan 

yang tertulis di dinding Liang lahat dan bertemu serta 

mendengar keterangan Cucu Dewa dia berubah piki-

ran. Dia kini harus mencari orang yang bergelar Dewa 

Orok. Sebagai orang yang belum lama terjun dalam 

kancah rimba persilatan, dia baru kali ini mendengar 

nama Dewa Orok. Padahal seperti keterangan Cucu 

Dewa, keturunan Ken Rakasiwi yang diketahuinya ma-

sih hidup adalah Dewa Orok. Dan menuruti pesan dari 

Datuk Kematian yang sempat dibacanya di liang lahat, 

dia harus memusnahkan semua anak keturunan Ken 

Rakasiwi, Mau tak mau dia harus mencari Dewa Orok,

Setelah berpikir panjang dia teringat pada Iblis 

Rangkap Jiwa. Dia ingat kalau Iblis Rangkap Jiwa per-

nah mengatakan kalau usianya tiga kali lipat delapan 

puluh tahun. Lebih dari itu, Iblis Rangkap Jiwa menge-

tahui banyak tentang dirinya juga dunia persilatan pa-

dahal menurut ucapannya, Iblis Rangkap Jiwa sudah 

ratusan tahun menunggu. Menelusuri perangai Iblis 

Rangkap Jiwa begitu, Malaikat Penggali Kubur mendu-

ga mungkin manusia berkepala gundul itu tahu ten-

tang Dewa Orok. Berpikir begitu, Malaikat Penggali 

Kubur lalu kembali ke puncak Bukit Selamangleng.

Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya 

mengitari puncak bukit. Mendadak dahinya berkerut. 

Namun sebelum dia buka mulut ajukan tanya, Iblis 

Rangkap Jiwa telah mendahului buka suara.

"Lawan yang hendak kuhadapi sekarang mungkin

ilmunya sudah meningkat. Aku tidak boleh berdiam di-

ri. Aku harus berlatih. Jadi porak-porandanya tempat 

ini karena pukulanku waktu berlatih...."

Malaikat Penggali Kubur mengangguk. "Sejauh kau 

tidak bertindak mencelakai diriku, peduli setan apa 

yang kau lakukan!" katanya dalam hati. Lalu berkata."Aku gembira melihat kau masih berusaha berlatih 

diri. Aku memang butuh manusia sepertimu sebagai

pembantu! Dan kedatanganku saat ini tidak lain ada-

lah memberi perintah padamu...!"

"Aku telah berjanji untuk lakukan apa yang kau 

perintahkan...," ujar Iblis Rangkap Jiwa meski dalam 

hati dia memaki habis-habisan. "Manusia Jahanam ini 

telah berlaku melampaui batas! Sekarang dia boleh 

memerintahku! Tapi hanya sementara! Tak lama lagi, 

dia akan kujadikan tumbalku! Tunggulah...!"

"Aku tanya padamu. Dengar baik-baik! Karena aku 

hanya akan bicara sekali. Pernah kau dengar seseo-

rang bernama Dewa Orok?!"

Tulang kening Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. 

Kepalanya yang gundul tengadah seakan berpikir. Ma-

laikat Penggali Kubur perhatikan sikap Iblis Rangkap 

Jiwa dengan saksama. "Apa yang ada dalam benak 

manusia bangsat ini...?!"

Iblis Rangkap Jiwa diam-diam membatin. "Ada apa 

manusia jahanam itu mencari Dewa Orok? Kudengar 

selama ini makhluk bergelar Dewa Orok tidak, ada 

keistimewaannya! Kalaupun ada itu hanyalah tingkah-

nya yang mirip bayi!"

"Telingamu sudah dengar pertanyaan. Kenapa ti-

dak lekas jawab?!" Malaikat Penggali Kubur memben-

tak karena Iblis Rangkap Jiwa tidak cepat buka suara.

"Aku memang pernah dengar nama orang yang kau 

sebut! Ada apa dengan dirinya?"

"Jahanam! Kau tidak layak ajukan tanya padaku!

Dengar saja ucapanku dan lakukan perintahku! 

Kau dengar?!" 

Iblis Rangkap Jiwa menjawab dengan anggukan 

kepala. Di hadapannya Malaikat Penggali Kubur me-

nyeringai lalu tertawa bergelak sebelum akhirnya berkata.

"Kau tahu di mana Dewa Orok bertempat tinggal?!"

"Sebagai orang persilatan, sulit menentukan di 

mana dia! Lag! pula aku tidak pernah tanya-tanya di 

mana tempat tinggalnya...."

"Kau pernah bertemu dengannya?!" Malaikat Peng-

gali Kubur kembali ajukan tanya.

"Pernah. Tapi aku sudah lupa kapan dan di mana!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. "Bagus! 

Berarti kau tidak akan salah cabut nyawa orang! Seka-

rang pergilah ke pantai timur. Temui seorang bertubuh 

pendek berambut kelabang di kepang dua...."

"Cucu Dewa!" seru Iblis Rangkap Jiwa memotong 

ucapan Malaikat Penggali Kubur.

"Ah.... Rupanya kau juga telah mengenal manusia 

cebol itu! Pengetahuanmu benar-benar luas. Untuk ini 

kelak kau akan mendapat hadiah dariku...," ujar Ma-

laikat Penggali Kubur.

Mendengar kata-kata Malaikat Penggali Kubur, wa-

jah Iblis Rangkap Jiwa bukannya membayangkan rasa 

gembira. Justru raut wajah laki-laki ini sulit dibayang-

kan.

"Kuteruskan ucapanku. Temui Cucu Dewa! Tanya 

padanya di mana tempat tinggalnya Dewa Orok. Tugas 

selanjutnya cabut satu-satunya nyawa milik Dewa 

Orok! Setelah itu kembali temui Cucu Dewa. Terserah 

mau kau apakan orang itu. Yang jelas, aku tak ingin 

lagi melihat tampangnya!"

Urusan dengan Cucu Dewa, tanpa mendapat tugas

dari Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah diper-

hitungkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun tidak de-

mikian halnya dengan Dewa Orok. Iblis Rangkap Jiwa 

sebenarnya ingin tahu apa sebabnya Malaikat Penggali 

Kubur menginginkan nyawa orang itu. Namun keingin


tahuannya ditahan demi mengingat ucapan Malaikat 

Penggali Kubur tadi.

"Kau telah dengar perintahku. Sekarang lakukan!"

"Tapi...," ucapan Iblis Rangkap Jiwa laksana terce-

kat dl tenggorokan.

"Ada yang hendak kau ucapkan?! Katakan cepat!" 

sentak Malaikat Penggali Kubur.

"Aku rasanya sulit menghadapi Cucu Dewa untuk 

saat sekarang ini...."

Mendengar pernyataan Iblis Rangkap Jiwa, mele-

daklah suara tawa Malaikat Penggali Kubur.

"Aku tak mau tahu apa kesulitanmu! Kau manusia 

iblis! Tentu punya cara-cara seperti iblis! Yang jelas,

kau harus temui orang itu karena kuduga dia satu-

satunya orang yang tahu di mana Dewa Orok berada! 

Ingat, nyawamu ada dalam genggamanku. Aku hanya 

ingin nyawa Dewa Orok! Kalau kau gaga!, gantinya 

adalah nyawamu sendiri!"

"Kalau saja aku tidak menginginkan kitab di tan-

gannya, tidak akan kulakukan pekerjaan tolol ini. Cu-

cu Dewa telah tahu kelemahanku. Hem.... Apa boleh 

buat...." Iblis Rangkap Jiwa berkata pada diri sendiri.

"Hanya itu yang harus kulakukan?!" akhirnya Iblis 

Rangkap Jiwa ajukan tanya.

"Hem.... Rupanya kau minta tugas tambahan? Tapi

untuk sementara kau lakukan apa yang kukatakan ta-

di. Setelah itu tunggu aku di puncak bukit ini!"

"Hem.... Inilah yang kutunggu! Sambil berjalan aku 

menyusun rencana!" ujar Iblis Rangkap Jiwa dalam 

hati. "Pertemuan nanti kuharap pertemuan terakhir 

dengannya! Aku harus berhasil merebut kitab itu!" 

Raut wajah Iblis Rangkap Jiwa sejenak cerah. Tapi 

cuma sekejap. Di lain kejap dia termenung. "Lalu sam-

pai kapan aku menunggu di sini?"


Iblis Rangkap Jiwa lalu tanyakan hal itu pada Ma-

laikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tertawa 

panjang mendengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa.

“Kau tak perlu tahu kapan aku kembali ke sini. 

Kau harus tetap menunggu aku. Kalaupun aku tidak 

muncul di sini hingga tubuhmu lapuk, itu berarti na-

sib buruk bagimu! Ha.... Ha.... Ha….“

Suara tawa Malaikat Penggali Kubur menggema ke 

seantero Bukit Selamangleng. Tapi mendadak Malaikat 

Penggali Kubur putuskan tawanya. Saat lain terdengar 

bentakannya.

"Apa lagi yang kau tunggu, hah?!"

Iblis Rangkap Jiwa memandang sejurus. Tanpa 

berkata-kata lagi dia lalu berkelebat menuruni bukit 

diiringi tawa ngakak Malaikat Penggali Kubur.

*

* *

SEBELAS



RUANGAN tidak terlalu besar itu tampak redup. 

Selain saat itu sudah menjelang senja, ruangan itu ti-

dak memiliki jendela. Dinding sekeliling berupa batu 

padas hitam. Demikian pula atap langit-langitnya.

Di dalam ruangan redup itu, terlihat dua orang du-

duk berhadap-hadapan. Tapi ada keanehan pada ke-

dua orang ini. Yang sebelah kanan tampak melempar-

lemparkan dua batu kecil dengan tangan kanannya di

depan dada silih berganti. Orang sebelah kiri tampak 

kembungkan mulut lalu meniup. Terdengar suara

duutt! Duuutt! beberapa kali. Bersamaan itu sebuah 

benda bulat mencuat dari mulutnya dan berputar putar mengapung di udara. Tatkala orang Ini membuat 

gerakan menyedot, bundaran itu balik lagi melesat 

masuk ke dalam mulutnya!

Orang sebelah kanan yang mainkan batu dilempar-

lemparkan silih berganti adalah seorang laki-laki ber-

wajah bulat bermata sipit. Hidungnya besar. Rambut-

nya hitam lebat dikelabang dua. Laki-laki ini bukan 

lain adalah orang yang dikenal dengan Cucu Dewa.

Sementara di hadapan Cucu Dewa, adalah seorang 

laki-laki muda berwajah tampan. Tapi dia tidak memi-

liki kedua tangan. Pemuda ini terus mainkan bunda-

ran keluar masuk dalam mulutnya. Bundaran itu ada-

lah sebuah karet mirip dot bayi. Pemuda bertangan 

buntung ini tidak lain adalah pemuda yang dikenal 

dengan gelar Dewa Orok. (Untuk lebih jelasnya men-

genal pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng da-

lam episode: "Tabir Asmara Hitam").

Untuk beberapa saat kedua orang ini sama tengge-

lam dalam mainannya sendiri-sendiri. Namun tak lama 

kemudian orang yang di sebelah kanan hentikan lem-

paran-lemparan batunya. Mulutnya yang sedari tadi 

terkancing membuka. "Orok.... Aku merasa gembira 

kau kembali dengan membawa mahkota bersusun tiga 

itu! Tapi sayangnya semua itu diiringi dengan kejadian 

yang membuat hatiku tidak enak...."

Dewa Orok kembungkan mulut lalu meniup. Bun-

daran karet di mulutnya mencuat keluar lalu menga-

pung di udara. Bersamaan dengan itu terdengar sua-

ranya.

"Guru.... Mau katakan apa sebenarnya yang terjadi 

hingga membuat hatimu merasa tidak enak...?"

"Beberapa hari yang lalu datang ke sini seorang ga-

dis yang sebutkan diri dengan Putri Sableng. Dia ber-

wajah cantik jelita dan aku yakin dia bukan orang


sembarangan. Lalu bersamaan dengan gadis itu mun-

cul pula seorang pemuda berwajah tampan yang se-

butkan nama Joko Sableng...."

"Ah.... Kalau yang perempuan aku tidak mengena-

linya. Yang pemuda kalau mendengar namanya pasti-

lah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang 

Tumpul 131!" Dewa Orok memotong ucapan Cucu De-

wa.

"Hem.... Aku juga sudah menduga ke arah sana! 

Herannya kedua orang anak itu sepertinya mengetahui 

jelas tentang sebuah kitab yang pernah kuceritakan 

padamu!"

"Maksud Guru, Kitab Hitam itu?!"

Cucu Dewa anggukkan kepala. Lalu orang bertu-

buh pendek ini ceritakan peristiwa yang terjadi.

"Jadi kedua orang itu sekarang telah menemukan 

kitab itu?!" kata Dewa Orok dengan mata mendelik 

terkejut.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Aku belum bisa 

memastikan. Karena manusia bergelar Iblis Rangkap 

Jiwa itu bukan tidak mungkin telah mengambilnya ter-

lebih dahulu! Hanya kalau betul, kenapa kedua orang 

itu masih mampu melawannya? Padahal Kitab Hitam 

memiliki keanehan luar biasa.... Kalaupun Iblis Rang-

kap Jiwa hilang kesaktiannya, mungkin dengan Kitab 

Hitam itu masih bias menundukkan kedua orang mu-

da itu. Tapi kenyataannya tidak demikian.... Itulah 

yang membuatku masih ragu!"

Sejenak Cucu Dewa hentikan ucapannya, lalu me-

lanjutkan. "Kau harus tahu, aku menyuruhmu menca-

ri mahkota itu selain karena mahkota itu milik nenek 

moyangmu. Juga di dalamnya ada sebuah rahasia.... 

Tapi dengan munculnya peristiwa di Bukit Selaman-

gleng, rahasia itu tidak ada gunanya lagi. Tapi kau tak


perlu kecewa. Bagaimanapun juga kau telah dapatkan 

kembali barang warisan nenek moyangmu...."

"Jadi mahkota itu menyimpan rahasia tentang Ki-

tab Hitam itu?"

Cucu Dewa anggukkan kepalanya lagi. Lalu angkat 

bicara.

"Tapi sesungguhnya yang membuatku tak enak 

adalah datangnya seorang laki-laki yang kutahu dia 

menyamar sebagai orang tua. Dia menanyakan tentang 

asal-usul Ken Rakasiwi dan anak turunannya, Aku 

mengatakan terus terang padanya karena dia menga-

takan masih keturunan Raja-raja Singasari dan ber-

niat menyambung darah yang terputus. Tapi nada 

ucapan selanjutnya membuatku curiga. Dia punya 

maksud lain... ”

Baru saja Dewa Orok hendak buka Mulut, tangan 

Cucu Dewa terangkat membuat Dewa Orok urungkan

"Rupanya kita akan kedatangan tamu lagi...," ujar 

Cucu Dewa setengah berbisik..”

Dewa Orok kempiskan mulut menyedot. Bundaran 

Karet yang terapung di udara melesat masuk ke dalam 

mulutnya. Bersamaan dengan itu mendadak terdengar 

suara keras membahana.

"Cucu Dewa! Kematian telah menunggumu di luar! 

Cepat keluarlah!"



                               SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar