..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE MISTERI TENGKORAK BERDARAH

JOKO SABLENG EPISODE MISTERI TENGKORAK BERDARAH

MISTERI TENGKORAK BERDARAH

Hak Cipta Dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Joko Sableng

Dalam Episode :

Misteri Tengkorak Berdarah



SATU


Sosok berjubah hitam besar dan 

panjang, serta wajahnya ditutup dengan 

cadar hitam itu berlari laksana angin. 

Namun demikian sesekali kepala orang ini 

berpaling ke belakang, jelas jika dia 

dihantui suatu kebimbangan.

Sosok berjubah dan bercadar hitam 

yang tidak lain adalah Dewi Siluman 

berlari tanpa bisa pusatkan perhatian. 

Pikirannya tertuju pada Ki Buyut Pagar 

Alam. Sebenarnya perempuan ini enggan 

tinggalkan tempat terjadinya bentrok. 

Tapi begitu maklum bahwa orang berjubah 

abu-abu terusan, ilmu kepandaiannya 

berada di atasnya malah tidak berada di 

bawah Ki Buyut Pagar Alam, anak Daeng 

Upas ini cepat berfikir dua kali. Apalagi 

ketika didengarnya TengKorak Berdarah 

mengatakan tidak akan membiarkan hidup 

keturunan atau kerabat Daeng Upas. 

(Seperti diceritakan pada episode 

sebelumnya: "Jejak Darah Masa Lalu").

Terjadilah bentrok antara Dewi 

Siluman dan KI Buyut Pagar Alam dengan 

Tengkorak Berdarah Namun kepandaian 

kedua orang itu rupanya masih berada di


bawah Tengkorak Berdarah, malah pada 

akhirnya, Ki Buyut Pagar Alam 

menyarankan agar Dewi Siluman segera 

tinggalkan tempat terjadinya bentrok 

untuk selamatkan diri.

Kalau aku ikut tewas di tangan 

manusia hahanam ini maksud tujuannya 

akan tercapai! Hem....Bagaimanapun juga 

aku harus selamatkan diri meski terasa 

berat meninggalkan Ki Buyut. Dengan 

begitu, aku masih punya kesempatan 

mendalami kepandaian dan memburu Kitab 

Serat Biru yang ada d tangan Pendekar 

131.... Setelah itu aku akan menuntut 

balas" batin Dewi Siluman saat itu. Lalu 

ketika K Buyut Pagar Alam berteriak 

menyuruhnya berlari sambil lepaskan 

pukulan, anak Daeng Upas ini melesat 

tinggalkan tempat itu.

Pada satu tempat yang rindang, Dewi 

Siluman hentikan larinya. Lalu duduk 

bersandar pada sebatang pohon.

"Ibu telah terbunuh. Apakah Ki Buyut 

akan menyusul?! Murid-muridku pun malah 

telah terlebih dahulu tewas. Ada yang 

hidup tapi bertindak bodoh hingga sampai 

lupa diri!" gumam Dewi Silumai mengingat 

pada kejadian beberapa waktu lalu Pulau 

Biru. Seperti diketahui, waktu terjadi 

kegegeran di Pulau Biru, kedua muridnya


Wulandari dan Ayi Laksmi akhirnya harus 

menemui ajal di tangan Dewi Seribu Bunga. 

Satu-satunya murid yang masih hidup

adalah Sitoresmi. Namun gadis itu telah 

berbalik arah. Seperti diketahui, 

Sitoresmi yang mendapat tugas memburu 

rahasia Kitab Serat Biru pada akhirnya 

jatuh hati pada Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng hingga dia lupa tugasnya 

malah beberapa kali membantu sang 

Pendekar. (Lebih jelasnya silakan baca 

serial Joko Sableng dalam episode 

"Neraka Pulau Biru").

"Ah.... Jika Ki Buyut tak bisa 

bertahan, berarti aku akan hidup 

sebatang kara. Hem.... Aku sekarang 

yakin, manusia jahanam berjubah abu-abu 

itulah yang membunuh Ibu! Ibu.... Belum 

sempat kau katakan siapa ayahku, 

ternyata kau telah pergi. Pada siapa 

kelak aku harus bertanya? Kau tak pernah 

mau mengatakan siapa orang yang tahu 

tentang ayahku.... Malang benar 

nasibku!"

Dewi Siluman sesenggukan. Lalu 

tarik kedua kakinya menekuk ke atas. 

Wajah bercadar yang sepasang matanya 

keluarkan air mata itu segera ditekapkan 

rapat pada kedua tangannya. Kedua 

tangannya melingkar pada kedua kakinya.


Beberapa saat berlalu. Dewi Siluman 

tidak tahu berapa lama dia menangis 

sesenggukan dan bicara sendiri dengan 

tekapkan wajahnya yang bercadar pada 

kedua pahanya seperti itu.

Anak Daeng Upas ini baru putuskan 

sesenggukan nya saat menyadari bahwa di 

tempat itu sekarang dia tidak lagi berada 

sendirian:

Menangkap ada yang tidak beres di 

tempat itu, kepala Dewi Siluman yang 

merapat pada pahanya pun bergerak

terangkat. Dari mulut perempuan ini 

terdengar seruan kaget. Serentak dia 

bangkit berdiri bersandar pada batang 

pohon di belakangnya. Sepasang matanya 

yang sembab berubah berkilat. Wajah di 

balik cadarnya berubah antara khawatir 

dan geram.

“Keparat ini tau-tau muncul 

disini!! Kapan datangnya? Apakah dia 

mendengar ucapanku tadi?!"

Di hadapan Dewi Siluman hanya 

sejarak lima langkah terlihat seorang 

kakek tegak dengan kepala tengadah 

seolah memandangi rindangnya dedaunan 

yang mampu menghadang sengatan sinar 

matahari. Namun sebenarnya orang ini 

tidak sedang menatapi rindangnya hijau 

dedaunan. Kedua mata orang ini hanya


tampak putihnya saja menunjukkan bahwa 

orang ini tidak bisa melihat alias buta. 

Sedang tangan kanannya tidak henti 

mengusap-usap sebuah cermin bulat pada 

pangkal ikat pinggangnya yang besar 

didepan perutnya yang menggelendot 

lebar.

Begitu Dewi Siluman habis membatin 

dan belum sempat buka mulut keluarkan 

suara, kakek bermata buta yang bukan lain 

adalah Gendeng Panuntun luruskan kepala 

menghadap sang Dewi. Sepasang matanya 

yang putih mengerjap. Lalu terdengar 

suaranya.

"Harap maafkan diri tua ini jika 

mengejutkanmu...." i

Dewi Siluman tidak menyahut. Hanya 

diam-diam dia terus membatin. "Ada perlu 

apa orang ini? Kalau dia berniat 

buruk.... Tapi tak mungkin. Seandainya 

dia mau, tentu dia telah lakukan waktu 

aku tidak menyadari kedatangannya! Namun 

bagaimanapun juga dia punya silang 

sengketa denganku! Urusan Kitab Serat 

Biru gagal karena ulahnya juga!"

"Anak gadis. Aku ikut bersedih 

dengan apa yang terjadi menimpa 

dirimu.... Tapi aku akan lebih bersedih 

lagi kalaul kau tidak mengikuti saranku 

nanti. Untuk hal itulah aku


mendatangimu! Aku tidak tahu apakah 

ibumu pernah cerita apa tidak. Tapi tak 

ada jeleknya kalau aku memberitahukan 

padamu...." Gendeng Panuntun sengaja 

hentikan ucapannya memberi kesempatan 

pada Dewi Siluman untuk buka suara. Tapi 

sejauh ini tampaknya Dewi Siluman masih 

belum buka mulut hingga akhirnya Gendeng 

Panuntun lanjutkan kata-katanya.

"Sebenarnya di antara kita masih ada 

pertalian saudara meski bukan satu 

kandung. Ibumu Daeng Upas adalah kakak 

seperguruanku. Hanya karena tedikit 

kesalahpahaman akhirnya hubungan jadi 

retak. Tapi percayalah. Aku masih 

menganggap ibumu saudaraku, termasuk kau 

juga!"

Dewi Siluman tertawa pendek. Untuk 

pertama kalinya dia buka mulut 

perdengarkan suara.

"Kau menganggap ibuku masih saudara 

itu urusanmu! Aku tidak peduli! Hanya 

perlu kau ketahui, aku menghitungmu 

sebagai musuh besar yang layak dilempar 

ke dunia lain!"

Gendeng Panuntun tertawa panjang 

mendengar tahutan Dewi Siluman. Sambil 

terus usap-usap cermin bulatnya kakek 

bermata buta ini berkata.


"Kalau kau menghitung musuh besar, 

aku juga tidak ambil peduli. Aku tetap 

menghitungmu sebagai saudara Karena 

anggapan itulah aku datang menemuimu

memberi saran agar semua kesalahpahaman 

lenyap lebih-lebih kau bisa terhindar

dari kemalangan berlarut-larut!"

Dewi Siluman mendengus. Lalu 

membentak "Kau tahu apa tentang 

diriku?!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepala 

seraya terus tertawa. "Kau memang lebih 

tahu dirimu dari pada aku. Tapi pada satu 

sisi, aku tahu apa yang tidak kau 

ketahui! Maaf, jangan kira aku meramal! 

Aku hanya punya firasat...."

Entah karena apa, tiba-tiba Dewi 

Siluman sipitkan mata lalu membatin.

"Menurut yang kudengar, manusia 

satu ini memang punya kehebatan 

tersendiri. Aku akan tanya perihal Ki 

Buyut...." Lalu anak Daeng Upas ini 

berkata.

"Kemalangan apa sebenarnya yang kau 

katakan tadi, Katakan padaku!"

Gendeng Panuntun terdiam beberapa 

sebelum akhirnya berkata.

"Sebelumnya aku ikut bela sungkawa. 

Tapi harap kau bertahan menerima suratan 

ini...." Gendeng Panuntun menghela napas


panjang dahulu. Sementara dada Dewi 

Siluman berdebar. Perempuan ini rupanya 

bisa menebak arah ucapan si kakek, dia 

tidak keluarkan suara.

"Anak cantik. Untuk sementara ini 

kuharap kau pergi. Ke mana kau hendak 

menuju terserah penting kau jangan 

melibatkan diri dalam rimba persilatan! 

Carilah orang yang bisa kau buat untuk 

berlindung, karena kau sekarang sudah 

tidak memiliki sapa-siapa lagi! Yang 

ku...."

"Kau maksud adik ibuku yang bernama 

Ki Buyut Pagar Alam telah terbunuh, 

begitu?!" tukas Dewi Siluman memotong 

ucapan Gendeng Panuntun.

"Begitulah dugaanku...," jawab si 

kakek pelan. "Aku ikut bersedih...."

Tubuh Dewi Siluman gemetar. Tapi 

akhirnya dia hanya dapat menarik napas 

mengeluh.

"Ibumu menurut penglihatanku juga 

telah mendahului pamanmu itu. Demikian 

juga ayahmu...."

Kali ini Dewi Siluman tersentak dan 

berseru tertahan mendengar ucapan 

terakhir Gendeng Panuntun. Perempuan ini 

cepat berkata.

"Katakan siapa sebenarnya ayahku?!" 

"Ayahmu sebenarnya adalah seorang tokoh


yang dalam dunia persilatan lebih 

dikenal dengan Datuk Besar. Sudah 

beberapa tahun aku tidak mendengar kabar 

beritanya sampai kuketahui tiba-tiba dia

telah meninggal...."

"Datuk Besar.... Aku pernah dengar 

nama itu. Tapi aku benar-benar tidak 

menduga kalau dia adalah ayahku! Hem.... 

Apakah dia juga terbunuh di tangan 

Siluman berjubah abu-abu itu seperti 

ucapan ancamannya?!"

Membatin begitu lalu Dewi Siluman 

berujar. Kau tahu ayahku meninggal. 

Kenapa dia meninggal? Sakit atau dibunuh 

orang? Di mana dia beradanya?l"

"Sebab pangkal kematian ayahmu 

tidak kuketahui. Sebelumnya dia 

bertempat tinggal pada satu tempat 

sunyi. Tapi percuma kau mencarinya. 

Kukira ibumu telah mengurus jenazahnya 

jauh dari tempat tinggalnya semula"

Dewi Siluman menarik napas dalam. 

Gendeng Panuntun mendongak. "Anak gadis 

cantik.... Sekarang jalan terbaik bagimu 

adalah cari orang tempat berlindung. Kau 

tidak bisa hidup sendirian terus 

menerus. Aku tahu, di balik kain cadarmu, 

tersembunyi satu wajah cantik. Hanya 

laki-laki bodoh yang tidak merasa 

tertarik."


Meski dalam keadaan dibuncah 

berbagai perasaan, mendengar ucapan 

Gendeng Panuntun mau tak mau wajah di 

balik cadar hitam sang Dewi tampak 

berubah memerah.

"Anak cantik. Terus terang saja. 

Yang kumaksud tadi adalah kuharap kau 

segera kawin...."

Dewi Siluman tercengang. Tidak 

menduga kalau arah ucapan Gendeng 

Panuntun ke arah sana. Namun 

ketercengangan anak Daeng Upas ini hanya 

sekejap. Saat lain justru dia tertawa.

"Mengapa kau tertawa? Apakah 

ucapanku lucu?!"

"Bukan hanya lucu. Tapi kau telah 

bicara lancang" sahut Dewi Siluman. "Aku 

tahu bagaimana mendapat kebahagiaan 

tanpa harus turuti ucapanmu"

"Ah.... Kau berkata begitu karena 

kau belum merasakan bagaimana nikmatnya 

berkeluarga! Kalau kau tahu, mungkin kau 

merasa menyesal tidak sedari dulu 

kawin...! Jika kau belum percnya, coba 

tanya pada orang-orang yang telah 

berpasangan!"

"Orang tua! Kau telah bicara 

ngelantur dan terlalu jauh urusi 

persoalanku! Dan perlu kau ketahui, aku 

tidak akan kawin sebelum tanganku dapat


memutus batang leher orang yang berbuat 

keji pada Ibu serta Ki Buyut!"

"Aku tahu. Tapi kuharap kau juga mau 

dengar saranku yang tadi. Percayalah, 

lebih baik kau berubah pikiran...."

Lalu tanpa hiraukan orang yang mulai 

jengkel, Gendeng Panuntun tertawa 

bergelak. Lalu balikkan tubuh dan 

melangkah meninggalkan Dewi Siluman yang 

tegak dengan mata mendelik. Perempuan 

ini sebenarnya hendak berkelebat 

menyusul, karena dia teringat akan 

kejadian di Pulau Biru. Tapi mendadak 

anak Daeng Upas ini batalkan niat ketika 

dilihatnya di depan sana Gendeng 

Panuntun hentikan langkah. Lalu

kepalanya mendongak seakan pandangi 

rimbun dedaunan. Saat lain terdengar 

orang ini berkata.

"Urusan telah selesai. Kita segera 

pergi...."

"Aneh.... Orang buta itu apa telah 

gila hingga bicara sendiri? Atau...." 

Dewi Siluman tidak lanjutkan gumamannya. 

Sebaliknya dia terkesiap takkala 

sepasang matanya tiba-tiba menangkap 

satu sosok tubuh melayang turun dari 

pohon besar berdahan rindang di atas 

dimana Gendeng Panuntun berada.


"Astaga! Dia bersama orang 

lain...," desis sang Dewi. Perempuan 

bercadar dan berjubah hitam ini segera 

berkelebat untuk mengetahui siapa adanya 

orang yang baru melayang turun.

Tapi belum sempat Dewi Siluman 

melesat, Gendeng Panuntun telah 

berkelebat bersama orang yang baru 

melayang dari atas pohon. Anak Daeng Upas 

ini hanya bisa melihat jubah merah 

menyala yang dikenakan orang, lalu 

mendengar suara tawa cekikikan yang 

jelas menunjukkan kalau orang yang baru 

saja turun mengenakan jubah warna merah 

menyala adalah seorang perempuan!

Sepeninggal Gendeng Panuntun, Dewi 

Siluman duduk bersimpuh dengan kedua 

tangan dikatupkan pada wajahnya yang 

tertutup cadar hitam. Bahu perempuan ini 

terlihat berguncang dan terdengar isakan 

tangisnya.

Beberapa saat berlalu. Setelah 

dapat menguasai perasaan, Dewi Siluman 

turunkan kedua tangannya dari wajah. 

Kepalanya lalu mendongak. Meski dia 

merasa jengkel dengan ucapan-ucapan 

Gendeng Panuntun namun mau tak mau 

hatinya terusik juga menyimak kembali 

ucapan orang tua bertubuh besar gemrot

itu.


"Apa yang harus kulakukan sekarang? 

Menuruti ucapan orang buta itu?!" Mulut 

di balik cadarnya tersenyum malah 

terdengar keluarkan suara tawa perlahan.

"Kawin! Hem.... Rasanya sampai saat 

ini belum ada seorang laki-laki yang 

menarik hatiku. Tapi mengapa kadang kala 

wajah pemuda itu tak bisa kulupakan? 

Padahal dendamku padanya setinggi 

langit! Pemuda itu memang tampan hingga 

Sitoresmi sampai berani berkhianat. Tapi 

ah.... Mengapa aku jadi memikirkan

pemuda yang seharusnya kubunuh? Sialan 

betul!"

Dewi Siluman memaki sendiri sambil 

kepalkan kedua tangannya. "Aku tidak 

akan kawin sebelum semua urusan ini 

selesai tuntas!" Perempuan berjubah 

serta bercadar hitam ini arahkan 

pandangannya ke jurusan mana tadi 

Gendeng Panuntun berkelebat pergi.

"Perempuan berjubah merah bukan 

lain pasti sinenek sialan bergelar Ratu

Malam itu. Kalau mereka berdua pergi 

bersama dan sepertinya terburu-buru 

pasti ada masalah penting. Aku harus 

menyelidik. Jangan-jangan ini masih ada 

hubungannya dengan pumuda sableng itu!"

Dewi Siluman bangkit. Setelah 

edarkan pandangannya berkeliling dia


berkelebat ke arah mana si Gendeng 

Panuntun dan perempuan berjubah merah 

menyala yang tidak lain memang Ratu Malam 

adanya berkelebat pergi.

***

Kita tinggalkan dahulu Dewi Siluman 

yang di buncah berbagai perasaan begitu 

mendengar keterangan Gendeng Panuntun. 

Kita kembali sejenak pada Prabarini 

serta Puspa Ratri. Seperti diketahui, 

sebelum terjadi bentrok lebih jauh 

antara Puspa Ratri dengan Saraswati, 

mendadak muncul Prabarini yang kemudian 

mengajak anaknya tinggalkan tempat 

perkelahian.

Pada satu tempat agak sepi, 

Prabarini hentikan larinya. Setelah 

memandang berkeliling, perempuan ini 

duduk di atas tanah. Puspa Ratri yang 

berlari di belakangnya segera pula 

berhenti lalu duduk di hadapan ibunya.

Untuk beberapa saat Prabarini 

memandangi wajah anaknya. Dia menghela 

napas panjang. Wajah dan sikapnya jelas 

membayangkan rasa tidak enak di hati. 

Setelah agak lama Prabarini alihkan 

pandangannya ke jurusan lain sambil 

berkata.


"Puspa.... Ibu harap kau nanti tidak 

salah paham. Ini kukatakan dahulu karena 

apa yang hendak kita bicarakan 

menyangkut pemuda yang pernah kita 

tolong beberapa waktu lalu...."

Puspa Ratri hanya pandangi ibunya 

tanpa buka mulut. Paras gadis cantik ini

tampak murung malah sepertinya dia 

enggan untuk bicara.

"Puspa.... Ibu tahu. Kau menyukai 

pemuda itu. Tapi rasanya tidak pantas 

jika kau sampai adu mulut sampai hendak 

saling bunuh! Kau seorang perempuan. 

Laki-laki akan besar kepala kalau dibela 

mati-matian begitu rupa. Dan hal itu 

justru kelak akan menjadi bumerang 

bagimu".

Sebenarnya Puspa Ratri enggan 

menyahut ucapan ibunya. Namun mungkin 

karena ingin membela diri, akhirnya 

gadis ini berkata.

"Aku tidak akan bertindak kasar 

kalau tidak melihat gadis itu berlaku 

licik hendak mencelakai! Apalagi dia 

bersekongkol dengan orang lain untuk 

merampas benda yang kurasa sangat 

berharga sekali".

"Kau hanya dituntun perasaan 

cemburu, Puspa Ratri”.


"Ibu...! Kalau gadis itu terus 

terang dan berlaku baik-baik, aku tidak 

akan ambil peduli. Mungkin memang sudah

berjodoh. Tapi dia berlaku pura-pura! 

Malah kurasa Joko sebelumnya tidak 

mengetahui kalau pemuda berkumis tipis 

berpakaian hitam-hitam itu adalah 

seorang gadis. Kalau dia tidak mau 

bertemu orang dan menyamar, pasti di 

balik semua itu punya tujuan tertentu. 

Dan tujuannya pasti jahat!!"

Air muka Prabarini sejenak berubah-

Sambil sunggingkan senyum dia berujar.

"Kau menyindirku...?"

"Aku tidak menyindir Ibu yang selalu 

menyaru dengan mengenakan bedak tebal 

agar tidak dikenal. Hanya biasanya orang 

menyamar tak mau dikenal, punya tujuan 

tidak baik!"

Kembali Prabarini tersenyum 

mendengar ucapan anaknya. Lalu berkata.

"Bagaimana kau bisa berpendapat 

begitu?"

"Kalau tujuan kita baik, mengapa 

kita takut tunjukkan wajah asli? 

Kebaikan tidak perlu 

ditutup-tutupi...."

"Ucapanmu benar. Tapi kau jangan 

samakan semua orang yang menyamar punya


tujuan jahat. Tindakan boleh sama, tapi 

tujuan pasti berbeda!"

Mungkin karena selama ini ibunya 

tidak mau jelaskan apa sebenarnya yang 

menjadi tujuannya menyamar, lagi pula 

karena masih tidak suka dengan tindakan 

ibunya, Puspa Ratri akhirnya berkata

lagi.

"Orang melihat bukan pada hati yang 

tidak kelihatan. Tapi pada tindakan! Apa 

pun alasan Ibu, orang pasti menduga 

tujuan Ibu menyamar adalah tidak baik!"

"Anakku.... Untuk sementara ini aku 

memang harus menerima penilaian itu! 

Tapi kelak semua akan tahu bahwa aku 

punya tujuan baik...."

"Kelak kapan, Ibu...?" tanya Puspa 

Ratri.

"Aku tak dapat menentukan kapan 

waktunya. Namun jelas hal itu akan 

terjadi!"

"Selama ini Ibu selalu berkata 

begitu. Bukan hanya dalam urusan ini 

saja. Tapi juga soal keterangan yang 

menyangkut Ayah...."

Prabarini tampak menghefa napas. 

"Anakku.... lihatlah! Kuharap kau 

bersabar. Kuharap juga kau tidak terlalu 

jauh berprasangka pada gadis berpakaian

hitam-hitam itu...."


Puspa Ratri tatap wajah ibunya 

lekat-lekat. Sedang matanya memandang 

tajam pada bola mata ibunya. Lalu 

terdengar ucapannya.

"Ibu rasanya selalu membela gadis 

itu!"

"Aku tidak membela. Aku hanya ingin 

mendudukkan urusan agar nantinya tidak 

berlarut-larut. Kau tentu masih ingat 

ucapanku tempo hari. Kau kuminta jauhi 

pemuda itu. Karena aku sudah tahu karena

ada gadis lain yang telah menyukainya! 

Aku khawatir terjadi apa-apa. Ternyata 

apa yang kukhawatirkan benar-benar 

terjadi.... Aku menyesal mengapa tempo

hari tidak mengatakan terus terang 

padamu apa sebabnya aku mengharap agar 

kau menjauhi pemuda itu...."

"Ibu.... Ibu tidak usah merasa 

menyesal. Aku tidak apa-apa kalau pemuda 

itu sudah punya pilihan! Yang tidak 

kusukai adalah sikap gadis itu! Ibu tahu 

nanti bagaimana akhirnya pemuda itu 

sampai mendapat celaka!"

"Itu dua hal yang berbeda, Puspa...! 

Bila seseorang mencintai, maka tidak 

mungkin orang itu menginginkan celaka 

pada orang yang dicintai!"

"Menuruti ucapan Ibu, berarti gadis 

itu hanya pura-pura menyintai pemuda


itu!" kata Puspa Ratri. Suaranya agak 

meninggi.

"Tidak semudah itu menduga isi hati 

orang, Anakku...."

"Tapi setidaknya bisa dilihat dari 

sikapnya bukan?!"

Prabarini gelengkan kepala. "Sikap 

orang belum bisa dijadikan pertimbangan. 

Kadang kala orang bersikap karena 

terpaksa!"

"Tapi sikap gadis itu kurasa bukan 

karena terpaksa! Dia telah rencanakan 

matang sebelumnya Kalau tidak bagaimana 

mungkin kemunculannya hampir bersamaan 

dengan Tengkorak Berdarah? Mereka berdua 

tentu bersekongkol!"

Prabarini tersentak mendengar 

ucapan anaknya. Diam-diam dalam hati dia 

membatin. "Anak ini dari tadi menyatakan 

jika Saraswati bersekongkol dengan orang 

lain. Tak kusangka kalau yang dimaksud 

adalah Tengkorak Berdarah! Hemmm.... 

Jangan-jangan.... Lasmini"

"Puspa.... Coba ceritakan apa 

sebenarnya yang tadi terjadi!"

Setelah memandang ibunya sesaat, 

Puspa Ratri lalu menceritakan tentang 

pertemuannya dengan Pendekar 131 hingga 

akhirnya murid Pendeta Sinting terhantam 

pukulan dan tendangan Tengkorak Berdarah


setelah memberikan kitab bersampul 

kuning dan mahkota bersusun tiga.

Untuk kedua kalinya Prabarini 

terkesiap. Malah perempuan ini sempat 

terlonjak saking kagetnya. "Aku yakin. 

Dia adalah Lasmini! Malapetaka akan 

makin merajalela kalau urusan ini tidak 

segera diatasi. Kitab itu.... Bagaimana 

bisa begitu mudah diberi tahu pada orang? 

Anak itu terlalu sembrono! Kitab itu 

harus segera diselamatkan...."

"Kau yakin orang itu adalah 

Tengkorak Berdarah?"

"Joko sempat berbincang dengan 

orang itu! Mereka tampaknya sudah saling 

kenal. Tapi tak tahunya...."

Ucapan Puspa Ratri belum selesai, 

Prabarini telah memotong.

"Bagaimana ciri-ciri orang yang kau 

katakan Tengkorak Berdarah itu?!"

"Sekujur tubuhnya tertutup jubah 

terusan warna abu-abu. Pada dadanya 

terlihat gambar sebuah tengkorak...."

"Kau bisa menebak orang itu 

laki-laki atau perempuan?!" Prabarini 

terus ajukan tanya untuk meyakinkan 

dugaannya.

"Karena wajah bahkan seluruh 

anggota tubuhnya tertutup, aku tidak 

bisa menentukan laki perempuannya. Hanya


dari suaranya, jelas kalau dia adalah 

seorang laki-laki".

"Apakah dia juga mengenal gadis 

berpakaian hitam yang saat itu juga ada 

di situ?"

"Aku berani mengatakan mereka 

sekongkol karena rupanya mereka seperti 

sudah saling mengenal!"

"Hah...? Bagaimana ini? Apakah 

mungkin Lasmini telah mengenali 

Saraswati? Kalau betul rencanaku akan 

gagal!" kembali Prabarini berkutat 

dengan kata hatinya.

"Kenapa Ibu begitu penasaran. Ibu 

mengenal orang yang bergelar Tengkorak 

Berdarah itu?!" tanya Puspa Ratri merasa 

curiga dengan pertanyaan ibunya 

lebih-lebih pada perubahan wajahnya.

Untuk beberapa saat Prabarini tidak 

jawab pertanyaan anaknya. Mungkin karena 

tak mau membuat anaknya jadi curiga, 

akhirnya Prabarini menjawab.

"Kalangan rimba persilatan kini 

sedang dilanda kegemparan. Hal itu 

dihubung-hubungkan orang dengan 

Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu. 

Karena selama ini orang hanya tahu nama

Tengkorak Berdarah, tanpa satu pun orang 

yang mengetahui bagaimana orangnya. Jadi 

kalau kau bertemu dengan orang yang


bergelar Tengkorak Berdarah, tentu aku 

ingin meyakinkan. Aku pernah sedikit 

dengar tentang orang itu...."

"Hem.... Apakah sama dengan orang 

yang kukatakan?!"

"Sama persis tidak. Hanya 

mirip...," ujar Prabarini.

Puspa Ratri kerutkan dahi. Sepasang 

matanya mengarah pada jurusan lain.

"Mendengar keteranganmu, jangan 

jangan ada dua Tengkorak Berdarah!"

"Anak ini pandai menduga.... Tapi 

biarlah untuk sementara ini dia hanya 

menduga-duga dahulu. Dan aku harus 

segera lakukan sesuatu...."

Berpikir begitu, Prabarini bergerak 

bangkit. Memandang lekat-Iekat pada 

anaknya lalu berkata.

"Puspa.... Kuharap untuk sementara 

ini kau tidak ke mana-mana dahulu sebelum 

aku datang. Kalau sampai dalam dua hari 

di depan aku tidak datang. Kuminta kau 

datang ke sekitar Istana Hantu. Tapi 

ingat, kau harus bertindak 

hati-hati...!"

Puspa Ratri tampak terkejut. Dia 

ikut bergerak bangkit. Lalu bertanya.

"Ada apa sebenarnya, Ibu...?!"

"Saat ini bukan saat yang baik untuk 

bercerita. Kelak kau akan tahu sendiri.


Kau ingat pesanku baik-baik. Dan jaga 

dirimu baik-baik!"

Puspa Ratri hendak mengatakan 

sesuatu. Namun sebelum suaranya 

terdengar, Prabarini telah mendahului 

bicara.

"Kau juga jangan membuat urusan baru 

dengan gadis itu sebelum dua hari di 

depan!"

Selesai berkata begitu, perempuan 

yang selama ini selalu sembunyikan wajah 

aslinya dengan bedak tebal ini putar 

diri. Kejap lain sosoknya berkelebat 

tinggalkan Puspa Ratri yang memandangnya 

dengan hati dibuncah berbagai tanya.

***



DUA



Suasana di penghujung malam 

menjelang dini hari itu diselimuti hawa 

dingin menembus tulang dan kepekatan 

kabut. Kemana mata memandang yang 

terlihat hanyalah lamunan warna putih

yang membungkus apa saja di lingkaran 

bumi.Laksana dikejar setan, satu sosok 

bayangan yang seluruh anggota tubuhnya


tertutup jubah terusan warna abu-abu 

dari kaki sampai rambut itu berkelebat 

cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah 

berada jauh dari tempatnya semula di satu 

lereng bukit.

Pada satu tempat, orang ini hentikan 

larinya. Kepalanya di balik jubah 

abu-abu terusan bergerak memutar, lalu 

tengadah seolah menembusi kepekatan 

kabut.

"Saat ini adalah hari yang 

ditentukan Prabarini. .Jahanam betul! 

Kalau saja dia tidak menggantung urusan 

dengan mengaitkan Saraswati, sudah sejak 

malam itu kuakhiri hidupnya! Hem.... 

Apakah benar perempuan itu mengetahui 

keberadaan anakku? Apa ini bukan tipu 

muslihat?"

Orang berjubah terusan abu-abu yang 

tidak lain adalah Tengkorak Berdarah 

adanya tiba-tiba tertawa. "Walau aku 

belum sempat mempelajari kitab bersampul 

kuning ini, tapi kedua tanganku masih 

mampu mengakhiri hidup Prabarini jika 

dia berani bertindak tolol 

memuslihatiku!"

Tangan kanan orang ini terlihat 

bergerak meraba perutnya. Dia lalu 

menghela napas panjang. "Sebenarnya aku 

ingin segera mempelajari kitab ini, tapi


aku belum tenang jika tidak buktikan 

ucapan Prabarini!"

Setelah bergumam sendiri, akhirnya 

dia berkelebat teruskan larinya menuju 

arah barat. Bersamaan dengan itu 

perlahan-lahan sang surya 

memperlihatkan diri menggantikan malam 

dan menyapu lamunan kabut.

Ketika matahari merayap semakin 

mendekati titik tengah, Tengkorak 

Berdarah hentikan larinya. Dia putar 

kepala di balik jubah terusan abu-abunya 

ke sekeliling tempat di mana saat ini dia 

berada. Ternyata dia berada pada satu 

tempat yang banyak ditumbuhi pohon 

besar. Dan di sebelah depan sana terlihat 

satu bangunan mirip sebuah istana yang 

pintu gerbangnya terbuka.

"Hem.... Perempuan itu belum 

kelihatan batang hidungnya! 

Jangan-jangan dia tidak muncul di tempat 

ini! Tapi aku akan menunggu...," desis 

Tengkorak Berdarah. Lalu berkelebat dan 

berlindung di balik satu batang pohon.

Seperti dituturkan dalam episode : 

"Jejak Darah Masa Lalu", Prabarini 

meminta Tengkorak Berdarah datang 

menemuinya di sebuah pancuran di sebelah 

timur Kampung Pandan. Di situ Prabarini 

membuka penyamarannya. Perempuan ibu


Puspa Ratri ini pun akhirnya dapat 

menduga siapa adanya orang yang lain 

mengenakan jubah abu-abu terusan dan 

selalu memaklumkan diri sebagai 

Tengkorak Berdarah. Dia ternyata adalah 

Lasmini, istri pertama suami Prabarini. 

Saat itu sebenarnya Lasmini alias 

Tengkorak Berdarah yang telah menimbun 

benci itu hendak melampiaskan dendam 

hatinya. Namun niatnya diurungkan karena 

Prabarini menyebut-nyebut nama

Saraswati yang ternyata adalah anak 

perempuan tunggal Lasmini yang selama 

ini dicarinya. Di tempat itu juga 

Prabarini hendak mengantarkan Lasmini 

untuk menemui anaknya tapi dia minta 

syarat agar Tengkorak Berdarah membuka 

penyamarannya dan berkata jujur. Namun 

Lasmini menolak. Pada akhirnya Prabarini 

memberi waktu tiga hari di depan pada 

Lasmini agar menemuinya di halaman Is-

tana Hantu. Tengkorak Berdarah alias 

Lasmini sebenarnya enggan memenuhi 

permintaan Prabarini, apalagi setelah 

dia mendapatkan kitab bersampul kuning 

serta mahkota bersusun tiga dari tangan 

Pendekar 131 Joko Sableng. Namun karena 

pertemuan ini ada sangkut pautnya dengan 

anak perempuannya yang selama ini 

dicari-cari, akhirnya Lasmini


memutuskan untuk memenuhi permintaan 

Prabarini meski dia belum sempat 

mempelajari kitab bersampul kuning yang 

baru didapatnya.

Baru saja sosok Tengkorak Berdarah 

lenyap berlindung di balik pohon, 

kesunyian di sekitar halaman Istana 

Hantu mendadak dipecah oleh suara orang 

mendehem.

Tengkorak Berdarah tersentak kaget. 

Dia memaklumi jika di tempat itu kini ada 

orang lain. Kepala di balik jubah terusan 

abu-abunya bergerak cepat ke arah sumber 

suara. Namun karena di sekitar tempat itu 

banyak jajaran pohon besar, orang ini 

tidak menangkap adanya seseorang!

"Keparat! Apakah dia perempuan 

laknat itu?! Atau orang lain?!" desis 

Tengkorak Berdarah. Karena ditunggu agak 

lama tidak terdengar lagi suara orang dan 

tidak ada tanda-tanda akan munculnya 

seseorang, sementara dia sadar di tempat 

itu ada orang, Tengkorak Berdarah 

salurkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Lalu berteriak garang.

"Orang bersembunyi! Mengapa berlaku 

pengecut tidak tunjukkan tampang?!"

Tidak terdengar suara sahutan atau 

muncuinya seseorang, membuat Tengkorak


Berdarah mulai geram. Orang ini untuk 

kedua kalinya berteriak.

"Aku tahu kau berada di sekitar 

tempat ini! Siapa pun kau adanya 

tunjukkan dirimu!"

Terdengar orang berdehem. Lalu 

disusul dengan suara. "Aku memenuhi 

permintaanmu! Kuharap kau juga segera 

keluar dari balik pohon!"

Suara orang belum selesai, satu 

sosok bayangan berkelebat dari balik 

salah satu pohon, lalu tegak di tempat 

agak terbuka. Sementara kepala Tengkorak 

Berdarah mengikuti tubuh yang baru saja 

berkelebat dan kini telah berada di 

tempat terbuka sejarak kira- kira 

sepuluh tombak dari tempatnya. Orang ini 

ternyata perempuan berpakaian warna 

putih. Rambutnya yang telah bertabur 

warna putih digelung. Walau usianya 

tidak muda tapi sekali lihat orang dapat

menduga jika saat mudanya perempuan ini 

berwajah cantik.

Prabarini!" bisik Tengkorak 

Berdarah mengenali siapa adanya orang 

yang kini tegak di seberang nya. Namun 

dia tidak segera keluar dari tempat 

bersembunyinya. Orang ini masih merasa 

khawatir jika ada orang lain lagi di 

tempat itu. Hingga setelah memandang


sejurus ke arah perempuan yang bukan lain 

memang Prabarini, kepala Tengkorak 

Berdarah bergerak ke kanan kiri.

"Aku telah menuruti permintaanmu. 

Mengapa kau masih tidak mau muncul?!" 

Prabarini buka mulut sambil arahkan 

pandangannya ke pohon di mana Tengkorak

Berdarah berlindung sembunyikan diri.

Tengkorak Berdarah mendengus. 

Sekali berkelebat, sosoknya telah 

berdiri empat tombak di hadapan

Prabarini. Lalu terdengar dia berujar.

"Aku datang memenuhi perjanjian!"

Prabarini pandang lekat-lekat pada 

sosok Tengkorak Berdarah. "Hem.... Dia 

masih menyarukan suaranya mirip suara 

laki-laki!"

"Waktuku sangat terbatas! Beberapa 

urusan lain menungguku! Bicara langsung 

saja. Mana Saraswati" kata Tengkorak 

Berdarah jelas menunjukkan rasa tidak 

sabar.

"Kuharap kau bersabar sedikit, 

Lasmini! Ada beberapa peristiwa yang 

membuat pertemuan ini jadi berubah di 

luar rencana."

"Setan! Kau jangan mimpi bisa 

membohongiku dengan segala macam alasan! 

Dan harap mulutmu tidak menyebut siapa


namaku! Kau dengar?!" bentak Tengkorak 

Berdarah.

Prabarini anggukkan kepala. "Tidak 

susah menuruti perkataanmu. Tapi jangan 

kau bersalah duga aku membohongimu 

dengan alasan! Sesuatu yang tidak 

terduga benar-benar terjadi! Tapi aku 

masih percaya, urusan ini akan selesai 

asal kau mau sedikit bersabar!"

"Kalau saja urusan ini tidak ada 

sangkut pautnya dengan Saraswati, 

tanganku sudah tak sabar ingin segera 

mengakhiri napasmu!" desis Tengkorak 

Berdarah sambil tengadah. "Lalu sampai 

kapan aku harus menunggu, hah?! Dan 

urusan apa yang menghambat sampai 

pertemuan ini jadi berlarut-larut?!"

"Urusan itu kau yang membuat. Kau 

secara tak terduga berhasil mendapatkan 

sebuah kitab dari seorang pemuda! Itulah 

yang membuat urusan ini jadi berubah di 

luar rencana!"

Sepasang kaki di balik jubah abu-abu 

terusan tersurut satu tindak. Meski 

sekujur tubuh orang ini tertutup, namun 

jelas jika dia tidak dapat sembunyikan 

rasa kagetnya.

"Jahanam! Bagaimana perempuan ini 

tahu aku memperoleh kitab itu?!" kata 

Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu


membentak. "Apa hubunganmu dengan pemuda 

itu?! Kekasih gelapmu?!"

Prabarini tertawa perlahan sambil 

geleng-gelengkan kepala. "Dalam hidupku 

hanya ada satu laki-laki. Aku pun sudah 

punya anak perempuan yang menginjak 

dewasa. Kurasa tidak pantas jika aku 

masih memiliki hubungan dengan 

laki-laki, apalagi dia seorang pemuda!"

"Hem.... Begitu? Lalu kenapa urusan 

pemuda jadi menghambat urusan kita?!"

"Pemuda itu ada kaitannya dengan apa 

yang hendak kita selesaikan!"

Jawaban Prabarini membuat dada 

Tengkorak Berdarah berdebar. Dia coba 

menduga arah ucapan Prabarini. 

"Beberapa kali aku berternu dengan 

pemuda itu sampai secara tak terduga dia 

menyerahkan kitab bersampul kuning dan 

mahkota bersusun tiga. Pada beberapa 

kali pertemuan dia selalu bersama-sama

seorang gadis. Jangan-jangan gadis 

itu.... Dan pemuda itu adalah laki-laki 

yang pernah dikatakan Prabarini 

sebagai...." Dada Tengkorak Berdarah 

makin berdebar. Dia teringat akan ucapan 

Prabarini ketika bertemu di sebelah 

timur Kampung Pandan tiga bulan yang 

lalu.


"Prabarini! Katakan terus terang. 

Apa kaitannya pomuda itu dalam urusan 

kita!"

"Tanpa munculnya orang yang kita 

kehendaki, percuma mengatakan kaitannya 

dengan urusan kita. Jadi kuharap kau mau 

mengerti dan bersabar barang sedikit!"

Rupanya Tengkorak Berdarah mulai 

agak geram karena Prabarini tidak mau 

menuruti permintaannya. Dia arahkan 

kepalanya lurus menghadap Prabarini. 

Lalu berkata.

"Aku tak pernah punya urusan dengan 

pemuda itu! Jika ada itu adalah urusan di 

luar urusan kita! Maka jangan 

mengait-ngaitkan urusan orang lain ke 

dalam urusan kita!"

"Ucapanmu benar! Tapi apa hendak 

dikata. Ketentuan suratan mengharuskan 

kita menerima kenyataan ini! Dan justru 

pemuda itulah yang membuatku memintamu 

membuka diri!"

"Urusan jahanam! Kenapa urusan ini 

jadi mengait-ngaitkan orang lain?!" 

desis Tengkorak Berdarah tak habis 

mengerti. Dadanya makin diselimuti 

beberapa duga dan tanya, membuatnya 

makin tak sabar dan makin jengkel. Namun 

dia masih coba menahan diri. Lalu dia 

sentakkan kepalanya ke jurusan lain.


Saat itulah satu bayangan berkelebat 

cepat dan kejap lain lenyap laksana 

ditelan bumi.

"Ada orang.... Aku tidak bisa 

mengenali tapi aku bisa memastikan dia 

seorang perempuan!" bisik Tengkorak 

Berdarah dalam hati. Lalu kembali 

ha-apkan kepalanya ke arah Prabarini.

"Kalau kau mengundang orang lain 

selain aku, lekas suruh keluar orang itu! 

Jangan sampai aku salah turunkan tangan 

maut padanya!"

Prabarini menghela napas. Lalu 

putar sedikit tubuhnya ke kanan.

"Kau tak usah sembunyikan diri! 

Kedatanganmu memang kutunggu...," kata 

Prabarini. Rupanya perempuan ini sudah 

tahu jika baru saja ada orang berkelebat 

dan tiba-tiba lenyap sembunyikan diri.

Dia juga sudah dapat mengenali siapa 

adanya orang itu.

Begitu Prabarini selesai berucap, 

satu bayangan hijau berkelebat lalu

tahu-tahu sejarak delapan langkah di 

samping kanan Prabarini telah tegak 

seorang perempuan berbaju hijau.

"Gadis itu!" seru Tengkorak 

Berdarah tidak menyangka jika orang yang 

baru muncul adalah seorang gadis 

berparas cantik mengenakan baju hijau


yang beberapa kali sempat ditemuinya. 

Malah terakhir ditemuinya, gadis berbaju 

hijau yang tidak lain adalah Puspa Ratri 

ada bersama Pendekar 131 dan sedang 

terlibat adu mulut dengan seorang gadis 

berpakaian hitam-hitam yang selama ini 

selalu mengenakan kumis tipis menyamar 

sebagai seorang pemuda. (Tentang 

pertemuan ini siiakan baca serial Joko 

Sableng dalam episode : "Jejak Darah Masa 

Lalu").

Untuk beberapa lama kepala 

Tengkorak Berdarah memperhatikan Puspa 

Ratri lalu beralih pada Prabarini. 

"Kalau gadis itu kau tunggu, apakah dia 

ada sangkut pautnya dengan urusan kita?! 

Dan siapa sebenarnya dia?l" tanya 

Tengkorak Berdarah meski sedikit banyak 

telah menduga siapa adanya si gadis. 

Karena sekali lihat jelas ada kesamaan 

raut wajah Prabarini dengan gadis yang 

baru muncul.

"Dia adalah salah seorang yang harus 

jadi saksi pertemuan ini! Dia adalah 

anakku. Namanya Puspa Ratri," kata 

Prabarini, lalu berpaling pada Puspa 

Ratri dan berkata.

"Puspa Ratri. Beri hormat 

padanya...."


Puspa Ratri tidak segera melakukan 

apa yang dikatakan ibunya. Sebaliknya 

gadis ini menatap tajam pada Tengkorak 

Berdarah dengan tenggorokan turun naik 

menindih gejolak dalam dadanya. Bahkan 

sebenarnya gadis ini sejak muncul dan 

tahu siapa adanya orang berjubah abu-abu 

terusan, dia hendak meloncat lepaskan 

satu tendangan. Seperti diketahui, Puspa 

Ratri sempat mengetahui bagaimana orang 

berjubah abu-abu terusan menghantam Pen-

dekar 131 saat mengembalikan kitab 

bersampul kuning dan mahkota bersusun 

tiga.

"Puspa.... Kau dengar ucapanku!" 

ujar Prabarini begitu melihat Puspa 

Ratri masih tegak dengan mata nyalang 

memandang ke arah Tengkorak Berdarah.

Puspa Ratri menoleh pada ibunya. 

"Ibu! Orang inilah yang berlaku pengecut 

merampas milik orang! Tidak pantas orang 

macam dia diberi penghormatan!"

"Aku tahu. Tapi kau harus dapat 

memilah urusan. Masalah peristiwa tempo 

hari dengan urusan sekarang adalah dua 

hal yang berbeda!"

Entah karena masih merasa geram 

dengan tindakan Tengkorak Berdarah 

beberapa hari berselang, Puspa Ratri 

belum juga melakukan apa yang dikatakan


Ibunya. Dia masih tegak dengan bibir 

tersenyum dingin. Meski demikian 

sebenarnya diam-diam Puspa Ratri juga 

membatin. "Apa maksud Ibu menyuruhku 

datang ke tempat ini? Ada masalah apa 

sebenarnya antara Ibu dengan orang ini? 

Kalau tidak salah lihat ini adalah 

pertemuan kedua kalinya antara ibu

dengan orang ini! Pasti ada urusan 

penting...."

Seperti diketahui, Prabarini 

berpesan agar Puspa Ratri datang ke 

sekitar Istana Hantu kalau dia tidak

datang menemuinya dalam dua hari di muka. 

Ketika itu Puspa Ratri dibuncah dengan 

beberapa pertanyaan sepeninggal ibunya. 

Dan begitu ditungu selama dua hari ibunya 

tidak muncul, Puspa Ratri merasa tidak 

enak. Dia segera mengadakan perjalanan 

menuruti pesan ibunya menuju Istana 

Hantu.

Di lain pihak, begitu mendengar 

pengakuan Prabarini tentang siapa adanya 

Puspa Ratri serta mengetahui sikap si 

gadis, Tengkorak Berdarah perdengarkan 

dengusan keras. Lalu berkata.

"Prabarini! Aku tak butuh 

penghormatan dari nnakmu! Dan kau jangan 

menyesal jika nanti mulutnya kurobek


kalau dia berani berkata kurang ajar!" 

Prabarini tertawa perlahan. 

"Kau harus dapat memaklumi sikap

seorang anak muda. Dia akan selalu 

mendahulukan hawa marah daripada pikiran 

jernih Harap kau tidak ikut terseret 

mengikuti sikapnya...."

Tengkorak Berdarah terdiam beberapa 

lama sebelum akhirnya berkata keras.

"Sekarang katakan apa maumu dengan 

pertemuan ini! Kulihat orang yang kau 

janjikan tidak muncul menampakkan diri. 

Mungkin kau sengaja menyangkut pautkan 

dia hanya agar aku datang memenuhi 

permintaan sementara kau sendiri dan 

anakmu punya maksud lain! Kuperingatkan, 

jangan sekali-kali coba memuslihatiku.

Tapi bukan berarti itu sebagai jaminan!"

"Maksudmu?!" tanya Prabarini.

"Selesai atau tidak urusan ini, kau 

tetap harus lenyap dari muka bumi!"

"Hai… Jaga mulutmu!" teriak Puspa 

Ratri.

Tengkorak Berdarah angkat tangan 

kirinya menunjuk lurus ke arah Puspa 

Ratri, sedang kepalanya tetap menghadap 

Prabarini.

"Kau! Kliau ikut-ikutan buka mulut 

bicara tak karuan, tak ada beban buat


tanganku untuk mengantarmu sekalian ke 

liang lahat!"

Puspa Ratri tampaknya tidak bisa 

lagi menahan gejolak hatinya. Sesaat 

setelah Tengkorak Berdarah bicara, gadis 

ini cepat angkat kedua tangannya hendak 

lepaskan satu pukulan.

Puspa! Tahan!" seru Prabarini 

seraya melompat dan mencekal kedua 

tangan anaknya. 

"Jangan kau menambah urusan yang 

belum dimulai" bisiknya sambil turunkan 

kedua tangan Puspa Ratri.

Prabarini memandang pada Tengkorak 

Berdarah. Mulutnya membuka hendak 

bicara, tapi saat lain perempuan ini 

katupkan lagi mulutnya. Sikapnya malah

menunjukkan kebimbangan hati.

"Bagaimana sekarang? Gadis itu 

tampaknya tidak akan muncul. Dan pemuda 

itu aku tak tahu dimana dia sekarang 

berada! Apakah aku harus menunda lagi 

urusan ini? Ini gara-gara kejadian yang 

tidak kuperhitungkan itu. Hingga aku 

gagal menemui pemuda dan gadis itu karena 

harus menemui Lasmini! Hem.... Kini 

semuanya berjalan di luar rencana!"

Baru saja Prabarini membatin 

begitu, Tengkorak Berdarah telah 

membentak.


"Kau bungkam tidak jawab 

pertanyaanku. Berarti kalian berdua 

memang telah punya niat buruk 

mangundangku ke tempat ini! Tapi kalian 

akan menyesal karena kalian secara tak 

sengaja mengundang maut!"

Belum sampai Prabarini buka mulut 

ucapkan kata-kata, sekonyong-konyong di 

tempat itu terdengar suara. 

Duutt!! Duuttt!! berulang kali. 

Kejap lain terdengar suara orang 

berkata.

"Maut biasanya datang tanpa 

undangan, kecuali bagi orang yang 

sengaja membuat silang sengketa dan 

keras kepala!"

Bersamaan terdengarnya suara, 

sebuah benda yang ternyata adatah 

bundaran karet mirip dot bayi melayang 

dan mengapung di udara tak jauh dari 

tempat tegaknya Tengkorak Berdarah. 

Kejap lain satu sosok tubuh berkelebat 

dan tahu-tahu di tempa itu tegak seorang 

pemuda dengan kepala di bawa kaki di 

atas!

* * *


TIGA


DEWA Orok". Terdengar Tengkorak 

Berdarah mendesis mendapati siapa adanya 

si pemuda. Untuk beberapa saat lamanya 

dia perhatikan si pemuda mulai dari ujung 

kaki sampai kepala yang dibuat tumpuan 

tubuh orang. Lalu kepala di balik jubah 

abu-abunya bergerak menghadap 

Prabarini. 

"Hem.... Ternyata perempuan ini 

mengundang banyak manusia ke tempat ini! 

Apa dikira aku takut?!"

Prabarini sendiri tampak terkejut 

dengan kemunculan si pemuda yang bukan 

lain memang Dewa Orok adanya. 

"Bagaimana pemuda ini tiba-tiba 

muncul ditempat ini? Nada ucapannya 

menunjukkan jika kemunculannya tidak 

secara kebetulan! Ada perkara apa antara 

pemuda ini dengan Lasmini? Ah.... 

Kehadirannya akan menambah suasana jadi 

kacau! Bagaimana sekarang?"

Puspa Ratri meski terlihat tidak 

begitu terkejut namun kemunculan Dewa 

Orok makin membuat hatinya dipenuhi 

beberapa pertanyaan.


"Untuk apa Ibu mengundang orang ini? 

Aku jadi bingung sendiri tentang urusan 

ini!"

Selagi masing-masing orang di 

tempat itu dbuncah dengan pikiran 

masing-masing, tiba-tiba Dewa Orok 

membuat gerakan sekali. 

Wutttt! 

Kini si pemuda ini tegak dengan 

kepala di atas kaki di bawah Tapi dia 

tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari

kakinya. Saat lain mulutnya menyedot. 

Bundaran ka-ret yang mengapung di udara 

laksana ditarik ke be-lakang dan melesat 

masuk ke mulut Dewa Orok.

"Prabarini!" kata Tengkorak 

Berdarah. "Masih ada lagi yang 

ditunggu?!"

Prabarini menghela napas panjang. 

Ucapan Tengkorak Berdarah jelas 

mengisyaratkan seolah-olah Prabarini 

sengaja mengundang kemunculan Dewa Orok. 

Hal ini membuat Prabarini merasa tidak 

enak. Dia lalu berkata.

"Harap kau tidak salah sangka. Aku 

tidak mengundang orang itu untuk datang 

kemari!"

Tengkorak Berdarah mendengus keras. 

"Begitu?! Hem.... Kalau ucapanmu benar,


kuharap kau mengusir manusia tak 

diundang itu".

"Pemuda tak dikenal! Kami punya 

urusan yang harus diselesaikan tanpa 

adanya orang lain! Harap kau sudi 

mendengarkan dan segera tinggalkan 

tempat ini!" kata Prabarini. Dia berkata 

bukan karena menuruti perintah Lasmini 

alias orang yang selama ini memaklumkan 

diri sebagai Tengkorak Berdarah, namun 

semata-mata karena dia tak ingin 

urusannya jadi berantakan dengan 

hadirnya orang yang tidak ada 

hubungannya.

Dewa Orok memandang silih berganti 

pada Prabarini dan Tengkorak Berdarah. 

Lalu semburkan bundaran karet di 

mulutnya. Begitu bundaran karet mencuat

dan mengapung di depan wajahnya, pemuda

bertangan buntung ini buka mulut 

berkata.

"Seperti kematian, aku datang 

memang tanpa undangan. Dan seperti angin 

topan, aku tidak akan tinggalkan tempat 

ini dengan berhampa tangan!"

Prabarini kerutkan kening. Seraya 

perhatikan Dewa Orok lebih saksama dia 

berkata. "Aku tidak mangerti apa maksud 

ucapanmu! Harap katakan terus terang!"


"Kedatanganku bukan tanpa maksud. 

Tapi urusanku hanya dengan orang 

berjubah abu-abu yang sembunyikan wajah 

itu. Aku minta maaf kalau mongganggu 

sedikit urusanmu!" ujar Dewa Orok sambil 

tersenyum pada Prabarini. Pemuda ini 

lalu berpaling pada Tengkorak Berdarah 

dan teruskan bicara.

"Kalau kau ingin urusan di sini 

tidak terhambat, lekas serahkan barangku 

yang ada padamu!"

Tengkorak Berdarah terkesiap kaget. 

Dia sama sekali tidak menduga dengan 

ucapan Dewa Orok. Diam-diam dia 

membatin. 

"Jangan-jangan jahanam Ini tahu 

perihal kitab dan mahkota bersusun tiga 

itu! Sialan betul! Bagaimana banyak 

orang tahu jika kedua benda itu ada 

padaku?!"

Meski Tengkorak Berdarah tahu akan 

barang yang diminta Dewa Orok, namun dia 

tak mau tunjukkan kalau barang itu ada di 

tangannya. Setelah berpikir agak lama 

dia perdengarkan suara.

"Kita memang sempat berjumpa. Tapi 

adalah aneh kalau kau sekarang minta 

sesuatu padaku. Kurasa waktu jumpa 

dahulu kau tidak memberikan apa-apa 

padaku!”


Dewa Orok tertawa bergelak. “Tempo 

hari aku memang tidak memberikan apa-apa 

padamu, tapi kau menerima barang milikku 

dari tangan orang lain!"

"Hem.... Dugaanku tidak meleset. 

Pasti kitab dan mahkota itu yang 

dimaksud!” pikir Tengkorak Berdarah. 

Lalu berujar.

"Coba katakan benda apa yang kau 

minta! Dan katakan pula dari tangan siapa 

aku menerimanya. Jangan coba berani 

mengarang cerita!"

Tak perlu kukatakan dari siapa kau 

menerima barang itu. Yang pasti benda itu 

ada padamu. Benda itu berupa mahkota 

bersusun tiga berwarna kuning!"

Walau sebelumnya sudah menduga, 

namun begitu telinganya mendengar 

sendiri, tak urung Tengkorak Berdarah 

terkejut. Tapi hal itu membuat orang 

berjubah abu-abu terusan ini berpikir 

lain. "Selama ini kudengar Dewa Orok 

adalah seorang tokoh yang disegani meski 

jarang tampakkan diri. Kalau dia memburu 

mahkota bersusun tiga ini, tentu benda 

ini selain berharga mahal juga tak 

tertutup kemungkinan merupakan sebuah 

senjata yang memiliki kehebatan! Hem.... 

Apalagi benda ini ditemukan bersama 

sebuah kitab!"


Berpikir sampai di situ, akhirnya 

Tengkorak Berdarah berkata;

"Kau tidak mau katakan siapa orang 

yang memberikan benda itu padaku! Dan 

buka telingamu lebar-lebar. Aku tidak 

punya benda yang kau minta itu, baru kali 

ini aku mendengar benda yang baru kau 

sebut! Kau mengerti?!"

Mendengar ucapan Tengkorak 

Berdarah, sesaat Dewa Orok terlihat 

bimbang. Sementara Puspa Ratri tampak 

kernyitkan kening. Gadis ini sudah buka 

mulut hendak berkata, namun Prabarini 

buru-buru pelototkan mata lalu berbisik.

"Jangan ikut campur agar urusan 

tidak tertunda! biarkan mereka 

menyelesaikan urusannya sendiri!"

"Tapi...."

Belum sampai Puspa Ratri lanjutkan 

ucapan, Prabarini telah gelengkan kepala 

dan menukas. "Aku tahu. Pemuda itu 

meminta pada orang yang tepat! tapi kita 

harus berhati-hati. Kita belum kenal

betul siapa sebenarnya pemuda bertangan 

buntung itu! bukan tak mungkin dia salah 

seorang yang memburu benda itu lantas 

mengaku benda itu miliknya!"

Kedua anak dan ibu ini lalu arahkan 

pandangannya pada Dewa Orok. Karena saat 

itu si pemuda tertawa bergelak.


"Dewa Orok!" teriak Tengkorak 

Berdarah memutus gelakan tawa si pemuda. 

"Kau tidak tuli, Apalagi yang kau tunggu 

di sini, hah?! Apakah kau menunggu diusir 

dengan tubuh tanpa nyawa?!"

"Tadi sudah kukatakan, aku datang 

seperti sebuah kematian, dan pergi 

bagaikan angin topan! Mana mungkin aku 

berlalu begitu saja?!"

"Berarti kau cari mampus!" hardik 

Tengkorak Berdarah.

"Kau salah! Aku cari benda milikku, 

tidak cari mampus! Dan aku pasti tidak 

salah meminta padamu!"

Tengkorak Berdarah ganti tertawa. 

"Kau memang tidak salah meminta padaku 

kalau yang kau minta adalah kematian!"

Habis berkata begitu, Tengkorak 

Berdarah angkat kedua tangannya. 

Sementara Dewa Orok tampak pentangkan 

mata dengan mulut komat-kamit.

"Celaka!! Urusan akan makin 

berantakan kalau kedua orang ini tidak 

dicegah!" gumam Prabarini. Perempuan ini 

lalu berteriak.

"Tahan serangan!"

Tengkorak Berdarah urungkan niat 

lepaskan pukulan namun kedua tangannya 

tetap berada di atas. Sedangkan Dewa Orok


berpaling pada Prabarini dengan mulut 

terkancing tanpa ucapkan sepatah kata.

"Harap kau suka menunggu jika punya 

urusan dengan sahabatku itu!" ujar 

Prabarini pada Dewa Orok.

Dewa Orok memandang lekat-lekat 

Prabarini. Sejenak kemudian dia 

anggukkan kepala dan berucap. "Baiklah! 

Aku akan menunggu sampai urusanmu 

selesai!"

Habis berkata begitu, Dewa Orok 

kempotkan mulut menyedot. Bundaran karet 

yang mengapung melesat masuk ke dalam 

mulutnya. Dia lalu cepat balikkan tubuh 

dan melangkah berjingkat-jingkat kearah

sebatang pohon. Sejarak tiga langkah 

dari batang pohon, pemuda bertangan 

buntung ini jejakkan kedua tumitnya ke 

tanah. Tubuhnya melenting dua lombak ke 

udara. Kejap lain sosoknya telah bersan-

dar pada batang pohon dengan kaki di atas 

kepala dibawah!

"Prabarini!" kata Tengkorak 

Berdarah. "Aku tak mau ada orang lain 

mendengar urusan kita! Suruh pemuda itu 

enyah dari sini!"

"Aku tak berhak mengusirnya! Lagi 

pula kurasa dia tidak akan ikut campur 

urusan kita!"


"Jika begitu kau tak ingin urusan 

ini selesai!"

"Maksudmu...?'

Belum sampai Tengkorak Berdarah 

perdengarkan suara jawaban, mendadak 

satu bayangan tampak berlari. Dalam 

sesaat saja bayangan itu telah berada 

tidak jauh dari tempat Dewa Orok berada.

Orang ini sebenarnya hendak 

teruskan larinya, namun langkahnya 

tertahan ketika tiba-tiba Dewa Orok 

gerakkan sepasang kakinya ke samping 

seolah menghalangi jalan orang.

"Kau datang di belakangku. Harap 

antri dan jangan membuat ulah dahulu!" 

kata Dewa Orok setelah semburkan 

bundaran karet di mulutnya.

Orang yang baru muncul sesaat 

pandangi gerakan sepasang kaki Dewa Orok 

yang terayun-ayun di udara menghalangi 

langkah dan pandangannya.

"Dewa Orok!" gumam orang yang 

larinya terha-lang.

"Harap turuti ucapanku. Jangan 

bergerak dari tempatmu dan sabarkan hati 

jika melihat sesuatu yang mengejutkan!" 

ujar Dewa Orok lalu gerakkan sepasang 

kakinya kembali tegak ke atas 

berselonjor pada batang pohon.


Begitu pandangan orang tidak 

terhalang, mendadak orang yang baru 

muncul di belakang Dewa Orok pentangkan 

matanya melihat ke depan. Kejap lain 

orang ini berkelebat. Namun lagi-lagi 

gerakannya tertahan karena Dewa Orok 

kembali rentangkan sepasang kakinya.

"Sudah kubilang. Harap antri tunggu 

giliran!"

"Aku tak bisa menunggu!" sentak 

orang di belakang Dewa Orok.

Puspa Ratri, Prabarini, serta 

Tengkorak Berdarah serentak gerakkan 

kepala masing-masing kearah datangnya 

suara orang membentak.

"Joko Sableng!" seru Puspa Ratri 

dengan wajah berseri. Gadis ini hendak 

melangkah ke arah orang yang baru saja 

muncul dan bukan lain memang Pendekar 131 

Joko Sableng. Namun Prabarini cepat 

rentangkan tangan kanannya halangi jalan 

Puspa Ratri seraya berbisik.

"Sekarang bukan saat yang baik untuk 

berbasa-basi!"

Sepasang mata Puspa Ratri 

membelalak pandangi bagian samping kanan 

wajah ibunya. Tenggorokannya turun naik. 

Namun sebelum mulutnya terbuka ucapkan 

kata-kata, Prabarini telah lanjutkan 

ucapannya.


"Jangan ikuti perasaan!"

Puspa Ratri kancingkan mulut 

rapat-rapat. Pandangannya beralih pada 

Pendekar 131 yang memandang dengan mata 

berkilat pada Tengkorak Berdarah.

Sementara Prabarini sejenak menatap pada 

murid Pendeta Sinting lalu arahkan 

pandangannya ke jurusan lain. Diam-diam 

ibu Puspa Ratri ini membatin.

"Syukur pemuda ini muncul! Urusan 

akan jadi beres! Tapi.... Bagaimana jika 

Saraswati tidak menampakkan diri?!"

Tengkorak Berdarah adalah orang 

yang paling terkejut dengan munculnya 

murid Pendeta Sinting.

Bersamaan dengan berpalingnya 

kepala, sepasang kaki di balik jubah 

abu-abu terusan tersurut satu tindak.

"Jahanam! Ternyata manusia satu itu 

belum tewas. Bagaimana dia bisa selamat 

dari pukulanku?!" ujar Tengkorak 

Berdarah dalam hati. 

"Urusan dengan perempuan laknat itu 

belum dimulai, sudah datang lagi urusan 

lebih besar. Aku bisa saja meladeni 

mereka satu persatu, tapi jika mereka 

maju bersama?!" Diam-diam orang ini 

menjadi tegang sendiri karena sebelumnya 

dia telah mengetahui sampai di mana 

tingkat kepandaian Pendekar 131. Dan


walau dia belum sempat mengetahui 

kepandaian Dewa Orok, namun setidaknya 

dia dapat mengukur, sebab selama ini dia 

banyak mendengar tentang pemuda 

bertangan buntung itu.

Tengkorak Berdarah arahkan 

kepalanya menghadap Prabarini. 

"Jangan-jangan perempuan sinting ini 

yang mengatur semua pertemuan ini! 

Sialan betul! Kalau tahu begini, 

menyesal aku tidak mempelajari dahulu 

kitab yang kuperoleh! Namun aku...."

"Langkahmu tidak akan jauh dari 

tanganku!" teriak Pendekar 131 seraya 

menunjuk pada Tengkorak Berdarah, 

memutus kata hati orang berjubah abu-abu 

terusan ini.

Meski wajahnya tidak kelihatan, 

namun gerakan kepala dan tangan 

Tengkorak Berdarah mengisyaratkan jika 

orang ini sesaat tampak tegang mendengar 

ucapan murid Pendeta Sinting. Hingga 

untuk beberapa lama dia tidak 

perdengarkan suara. Tapi begitu orang 

ini dapat kuasai diri, dia segera 

perdengarkan dengusan keras lalu tertawa 

pendek seraya berujar.

"Kau masih beruntung karena 

tanganku masih mangampuni selembar 

nyawamu. Tapi jika saat ini kau bicara


kurang ajar tanganku tidak akan lagi 

memberi ampun!"

Ucapan Tengkorak Berdarah beium 

selesai, murid Pendeta Sinting sudah 

berkelebat. Sepasang kaki Dewa Orok yang 

hendak bergerak menghalangi cepat 

didorong. Lalu tegak enam langkah di 

hadapan Tengkorak Berdarah.

"Aku bicara cuma satu kali! Serahkan 

kembali kitab bersampul kuning itu!" 

ujar murid Pendeta Sinting dengan suara 

keras. Tangan kanannya mengulur ke depan 

membuat sikap meminta. Kelima jari-jari

tangannya digerak-gerakkan. Meski 

bibirnya tersenyum namun senyum seringai 

dan dingin.

Tengkorak Berdarah kembali 

perdengarkan dengusan keras. "Aku akan 

mengembalikan kitab itu, namun mungkin 

kitab itu sudah tidak ada artinya bagimu. 

Tanganku akan terlebih dahulu 

mengantarmu ke neraka sebelum tanganmu 

sempat menerimanya!"

Bersamaan dengan selesainya ucapan, 

kedua tangan Tengkorak Berdarah iaksana 

kilat bergerak ke atas. Saat lain

tiba-tiba menyentak ke depan lepaskan 

pukulan jarak jauh!

***


EMPAT


Satu gelombang angin luar biasa 

dahsyat menderu ganas ke arah murid 

Pendeta Sinting. Puspa Ratri terkesiap 

kaget. Raut wajahnya tegang dan dadanya 

didera rasa gelisah dan khawatir akan 

keselamatan sang Pendekar. Di 

sebelahnya, Prabarini tersentak. Dia 

sama sekali tidak menduga secepat itu 

Tengkorak Berdarah lepaskan pukulan.

"Urusan kitab tidak sepenting 

urusan yang sedang kuhadapi. Aku tidak 

mau salah satu terluka sebelum urusanku 

menjadi jelas!" membatin Prabarini. Maka 

perempuan ini segera sentakkan kedua 

tangannya.

Wuuttt! Wuuttt!

Terdengar satu deruan keras. Kejap 

lain satu gelombang angin berkiblat 

memangkas pukulan Tengkorak Berdarah.

Di seberang depan, begitu Tengkorak 

Berdarah lepaskan pukulan, murid Pendeta 

Sinting tak tinggal diam. Seraya 

salurkan tenaga dalam pada dada kerahkan 

jurus 'Sukma Es' untuk lindungi diri, 

kedua tangannya serta-merta diangkat 

lalu didorong ke depan.


Meski murid Pendeta Sinting tidak 

langsung lepaskan pukulan andalan, namun 

karena dalam dirinya telah terpendam 

tenaga dalam si kakek dalam kuil, maka 

begitu kedua tangannya bergerak 

mendorong, melesat satu gelombang bukan 

hanya membawa angin dahsyat luar biasa, 

namun juga mengeluarkan suara 

menggidikkan.

Di tempat agak jauh, Dewa Orok yang 

tegak berselonjor kaki ke atas tampak 

bingung. Pemuda ini rupanya maklum kalau 

Tengkorak Berdarah dalam keadaan 

terjepit, karena pukulannya harus 

menghadang dua pukulan sekaligus. Walau 

dia menduga Tengkorak Berdarah mampu 

menahan tapi setidak-tidaknya dia tidak 

akan bisa selamatkan diri dari cedera. 

Padahal dirinya masih membutuhkan 

mahkota dari tangan Tengkorak Berdarah. 

Pemuda ini khawatir kalau Tengkorak 

Berdarah menyimpan mahkota bersusun tiga 

di satu tempat dan dia akan kesulitan 

mengorek keterangan jika sampai 

Tengkorak Berdarah benar-benar 

mengalami cedera apalagi sampai tewas.

Berpikir sampai ke sana, begitu 

melihat Prabarini dan Pendekar 131 

sama-sama lepaskan pukulan menghadang 

pukulan Tengkorak Berdarah, pemuda


bertangan buntung ini segera hentakkan 

sepasang kakinya ke batangan pohon di 

mana dia berselonjor. Bersamaan dengan 

itu, sosoknya mencelat balik ke depan. 

Masih di atas udara cepat sekali tubuhnya 

membuat gerakan jungkir balik satu kali. 

Begitu sepasang kakinya hendak menjejak 

tanah, pemuda ini gerakkan tubuhnya ke 

belakang. Kejap lain disentakkan ke 

depan. 

Wetttt!!!

Dari dada pemuda bertangan buntung 

ini melesat gemuruh gelombang angin 

deras menjajari pukulan Tengkorak 

Berdarah untuk menghadang dua pukulan 

yang tengah melabrak.

Tengkorak Berdarah keluarkan 

gerengan marah. Dia sama sekali tidak 

menyangka kalau Prabarini akan 

ikut-ikutan menghadang pukulannya. Na-

mun orang ini sedikit merasa lega karena 

melihat Dewa Orok membantu dirinya meski 

dia tidak mengetahui kenapa tiba-tiba 

Dewa Orok berlaku begitu. Namun dia masih 

tidak berani berlaku ayal. Dia maklum 

gabungan pukulan Prabarini dan Pendekar 

131 bukan hanya akan mampu menahan 

pukulannya namun tidak mustahil akan 

membuat dirinya terjengkang roboh. Dalam 

keadaan seperti itu maka kitab bersampul


kuning serta mahkota bersusun tiga hanya 

akan lewat di tangannya dan kembali akan 

jadi milik orang lain. Berpikir begitu, 

serta-merta dia lipat gandakan tenaga 

dalamnya lalu kembali kedua tangannya 

bergerak menyusuli pukulannya.

Di lain pihak, melihat Tengkorak 

Berdarah lakukan pukulan susulan 

sementara dari arah samping Dewa Orok 

ikut membantu, Prabarini dan Pendekar 

131 segera pula lipat gandakan tenaga 

dalam masing-masing. Lalu hampir 

berbarengan, kedua orang Ini lepaskan 

lagi satu pukulan. Dewa Orok tercekat 

sendiri melihat pukulan-pukulan yang 

kini menderu di udara. Dia sebenarnya 

hendak ikut kirimkan pukulan susulan. 

Tapi gerakannya terlambat. Sebelum 

tubuhnya bergerak ke depan menyentak, 

terdengar ledakan dahsyat.

Bummm! Bummm!

Suara ledakan belum lenyap, kejap 

lain kembali tempat itu dibuncah ledakan 

lagi lebih dahsyat ketika pukulan 

susulan masing-masing orang bentrok di 

udara. Tanah di tempat itu bergetar keras 

dan bertaburan ke udara. Di depan sana 

terlihat pijaran api laksana letusan 

gunung.


Tatkala terjadi ledakan, Puspa 

Ratri adalah orang pertama yang terlihat 

mencelat. Walau gadis ini punya 

kecepatan luar biasa dalam gerakannya, 

namun karena pukulan-pukulan yang 

bentrok dilepas oleh orang-orang yang 

bertenaga dalam tinggi, maka meski dia 

sempat berkelebat terlebih dahulu namun 

tak urung sosoknya masih tidak mampu me-

nahan bias bentroknya beberapa pukulan. 

Hingga kelebatannya tersapu dan sosoknya 

mencelat lalu terguling di atas tanah.

Hampir bersamaan dengan mencelatnya 

sosok Puspa Ratri, sosok Dewa Orok mental 

tersapu. Sebenarnya pemuda ini tidak 

akan sampai langsung mental begitu 

terjadi bentrok pukulan. Namun karena 

saat itu dia hendak ikut lepaskan pukulan 

susulan, maka dia tidak mampu imbangi 

diri. Hingga saat itu juga sosoknya 

mental sampai dua tombak lalu jatuh 

terduduk sebelum tubuhnya menghantam 

satu batang pohon. Pemuda ini sejenak 

geleng-gelengkan kepala mengatasi rasa 

pening pada kepalanya. Raut wajahnya 

yang tampan berubah pucat. Tubuhnya 

gemetar. Mulutnya yang selalu 

menyedot-nyedot bundaran karet tampak 

bergerak makin keras. Hingga saat itu


terdengar suara duuttt! Duuttt! berulang 

kali.

Tiba-tiba Dewa Orok putuskan 

sedotannya. Wajahnya yang pucat 

mengernyit. Lalu dia semburkan bundaran 

karet di mulutnya. Bundaran karet itu 

mencuat mengapung di depan wajahnya. 

Untuk beberapa saat si pemuda perhatikan 

bundaran karetnya. Sepasang matanya 

mendelik. Ternyata bundaran karet itu 

telah dilapis warna merah. Jelas jika 

pemuda ini telah terluka bagian dalam.

Di bagian lain, begitu terdengar 

ledakan kedua, sosok Pendekar 131 

terpental sampai tiga tombak ke 

belakang. Murid Pendeta Sinting cepat 

membuat gerakan bergulingan di tanah. 

Lalu pada gulingan keempat dia sentakkan 

kedua tangannya di atas tanah. Tubuhnya 

serentak bangkit berdiri. Sosoknya untuk 

beberapa saat tergontai-gontai malah 

hampir saja terjengkang jika dia tidak 

segera melompat lalu melayang turun 

dengan kedua kaki tegak di atas tanah.

Walau sebelumnya telah salurkan 

jurus ‘Sukma Es’ untuk lindungi diri 

namun karena bentrok pukulan itu dilepas 

orang-orang bertenaga dalam tinggi, mau 

tak mau beberapa saat murid Pendeta 

Sinting masih merasakan sesak pada


dadanya. Wajahnya pun berubah. Kedua 

tangannya laksana tegang kaku.

Tak jauh dari tempat murid Pendeta 

Sinting, Prabarini tampak megap-megap. 

Sosoknya bersandar pada batang pohon 

dengan mata terpejam dan dada turun naik. 

Kedua tangannya menelikung ke belakang 

merangkul batangan pohon untuk imbangi 

diri agar tubuhnya tidak melorot jatuh. 

Mulutnya komat-kamit. Dan segaris warna 

merah tampak di sudut bibirnya.

Di seberang, meski sempat dibantu 

Dewa Orok namun bentroknya pukulan 

susulan yang tidak sempat dibantu Dewa 

Orok membuat sosok Tengkorak Berdarah 

terpelanting deras ke belakang. Lalu 

jatuh terkapar tak bergerak. Namun hanya 

sekejap. Saat lain terdengar orang ini 

membentak garang. Sosoknya kembali ke 

udara lalu terhuyung-huyung tegak dengan 

kedua tangan dan kaki bergeletaran. Dari 

jubah terusan abu-abunya di bagian wajah 

terlihat merembes warna merah.

Bentroknya pukulan-pukulan 

bertenaga dalam tadi jelas telah membuat 

masing-masing orang mengalami cedera 

bagian dalam. Hingga begitu suara 

ledakan lenyap, tempat itu dibungkus 

keheningan. Tidak seorang pun yang buka 

mulut keluarkan ucapan. Tidak ada yang


membuat gerakan. Masing-masing orang 

pusatkan perhatian pada diri 

masing-masing untuk mengatasi cedera, 

termasuk Puspa

Ratri meski gadis ini tidak secara 

langsung terlibat dalam bentrokan 

pukulan.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba 

murid Pendeta Sinting yang terlebih 

dahulu dapat kuasai diri karena 

sebelumnya telah lindungi diri dengan 

jurus 'Sukma Es', segera berkelebat ke 

arah Tengkorak Berdarah.

Tanpa berkata sepatah kata, murid 

Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan 

membuat gerakan meminta. Hanya kepala 

tampak mengangguk dengan bibir tersenyum 

dingin.

Melihat hal ini Dewa Orok tak 

tinggal diam. Setelah menyedot masuk 

bundaran karetnya dia berkelebat. Dan 

tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga 

langkah di samping murid Pendeta Sinting 

menghadap Tengkorak Berdarah. Tanpa 

berpaling pada Pendekar 131 pemuda 

bertangan buntung ini semburkan bundaran 

karetnya lalu berkata.

"Mahkota itu. Serahkan kembali 

padaku!"


Pendekar 131 yang sejenak tadi 

tampak hendak mengibaskan tangan 

khawatir kalau Dewa Orok melakukan 

serangan, cepat urungkan niat dan 

kembali memandang tajam ke arah 

Tengkorak Berdarah.

"Pemuda bertangan buntung ini sulit 

ditebak apa maksudnya. Tadi dia 

sepertinya membantuku, sekarang 

ikut-ikutan hendak memaksaku! Keparat!" 

maki orang berjubah abu-abu terusan 

dalam hati. Tapi sejauh ini dia belum 

perdengarkan suara atau memberikan apa 

yang diminta dua orang di hadapannya. 

Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah 

perdengarkan suara tawa panjang. Puas 

tertawa dia berkata.

"Kalian sia-sia saja. Aku memilih di 

antara kita bertiga tidak ada yang 

memiliki dua benda itu! Kita akan mati 

bersama-sama! Ha.... Ha.... Ha...!"

Mendengar ucapan Tengkorak 

Berdarah, Pendekar 131 menyeringai. 

Sementara Dewa Orok senyum-senyum lalu 

melirik pada murid Pendeta Sinting dan 

berujar.

"Orang muda. Bagaimana? Apa kau 

setuju berjalan ke neraka bersama orang 

ini?"


"Apa enaknya jalan-jalan bersama 

orang yang tidak jelas juntrungan 

wajahnya? Apa lagi mendengar suaranya 

dia adalah seorang laki-laki. Kalau 

laki-laki normal tidak jadi masalah. 

Yang ku khawatirkan laki-laki ini 

seorang kakek yang suka pemuda-pemuda! 

Bagaimana kalau kau saja yang 

menemaninya jalan-jalan?" ujar Joko lalu 

tertawa bergelak.

"Ah. Sayang. Sebenarnya aku 

tertarik dengan tawaran jalan-jalan yang 

langka ini apalagi ditemani dengan kakek 

yang suka pemuda-pemuda. Hanya aku tidak 

punya waktu banyak.... Bagaimana kalau 

kita nanti minta cerita saja pada orang 

ini tentang perjalanannya ke neraka 

itu?!" sahut Dewa Orok lalu ikut tertawa.

"Jika begitu, keputusan kuubah!

Kalian berdua akan berjalan bersama ke 

neraka tanpa aku!" teriak Tengkorak 

Berdarah dengan suara bergetar.

Baik Pendekar 131 maupun Dewa Orok 

masih teruskan gelakan tawanya mendengar 

ucapan Tengkorak Berdarah. Namun tidak 

demikian halnya dengan Prabarini. 

Perempuan ini tampak gelisah.

"Aku tak bisa berdiam diri! 

Orang-orang itu sepertinya sudah 

sama-sama nekat hendak saling bunuh


untuk meminta dan mempertahankan kitab 

serta mahkota itu!"

Sementara itu melihat dua pemuda di 

hadapannya terus tertawa, Tengkorak 

Berdarah menggerung keras. Saat lain 

kedua tangannya terangkat.

"Jangan mimpi kalian bisa 

mendapatkan apa yang kalian minta!" 

teriaknya lalu melompat ke arah Dewa Orok 

sambil kirimkan satu tendangan. Semen-

tara kedua tangannya yang terangkat 

berkelebat menghantam ke arah Pendekar 

131 yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok.

Dewa Orok cepat lorotkan tubuh 

hingga punggungnya sejajar tanah. Pada 

saat bersamaan kedua kakinya terangkat 

ke atas memangkas tendangan maut 

Tengkorak Berdarah.

Bukkk!

Dua kaki beradu keras di udara. 

Sosok Tengkorak Berdarah tampak 

bergoyang-goyang. Hal ini membuat 

hantaman kedua tangannya yang mengarah 

pada Pendekar 131 melenceng. Padahal 

saat itu murid Pendeta Sinting telah pula 

lepaskan satu jotosan.

Tengkorak Berdarah tampak kalang 

kabut. Karena Dewa Orok teruskan gerakan 

kakinya mencari sasaran, hingga mau tak 

mau Tengkorak Berdarah harus meladeni


kalau tidak mau terkena tendangan pemuda 

bertangan buntung ini. Di lain pihak dia 

harus hindarkan diri dari jotosan murid 

Pendeta Sinting!

Karena gerakan kaki Dewa Orok begitu 

gencar, akhirnya Tengkorak Berdarah 

memutuskan untuk menghadang dahulu 

tendangan si pemuda, sementara kedua 

tangannya dipalangkan di depan kepala 

untuk lindungi diri. Namun perhitungan 

orang berjubah abu-abu ini meleset. 

Karena ternyata gerakan kaki Dewa Orok 

hanya untuk memecah perhatiannya agar 

Pendekar 131 bisa leluasa lepaskan 

pukulan.

"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah 

begitu menyadari apa yang dilakukan Dewa 

Orok. Tapi kesadaran orang ini 

terlambat. Karena bersamaan dengan itu 

satu tangan murid Pendeta Sinting telah 

menderu ke arah kepalanya!

Sejengkal lagi kepala di balik jubah 

abu-abu terusan itu terhantam, satu 

tangan mendorong tubuh murid Pendeta 

Sinting, hingga bukan saja pukulannya 

melesat jauh dari sasaran kepala orang, 

namun tubuhnya sempat terjajar satu 

tindak ke samping.

Joko Sableng cepat berpaling. 

Sepasang matanya menatap tak berkesip


pada Prabarini yang kini tegak tiga 

langkah di sampingnya dan baru saja 

mendorong tubuhnya hingga pukulannya 

melenceng.

Di lain pihak, Dewa Orok segera 

bergulingan lalu bangkit dengan bertumpu 

pada kedua ibu jari kakinya empat langkah 

di samping Pendekar 131.

Meski wajah pemuda bertangan 

buntung ini tampak berubah karena

kakinya tadi sempat memangkas tendangan 

Tengkorak Berdarah, namun begitu melihat 

Prabarini yang baru saja selamatkan 

Tengkorak Berdarah, si pemuda tersenyum 

lalu arahkan pandangannya pada murid 

Pendeta Sinting sambil berujar.

"Rupanya tempat kita akan diganti 

dengan nenek cantik itu. Bagaimana...? 

Apakah kau setuju, Orang Muda?!"

"Ah.... Kakek berjubah abu-abu itu 

bagus sekali nasibnya! Ada nenek cantik 

yang suka rela hendak menemaninya 

jalan-jalan ke neraka. Tentu aku setuju! 

Hitung-hitung memberi kesempatan orang 

tua menikmati kebahagiaan!" jawab murid 

Pendeta Sinting sambil senyum-senyum.

Sepasang mata Prabarini mendelik 

besar mendengar ucapan Dewa Orok serta 

Pendekar 131. Di sebelah belakang, Puspa


Ratri memandang tajam pada murid Pendeta 

Sinting sambil bergumam tidak Jelas.

Sementara Tengkorak Berdarah 

diam-diam merasa heran dengan sikap 

Prabarini. Pertahan-lahan rasa 

curiganya kalau pertemuan ini diatur 

Prabarini lenyap. Namun dendamnya yang 

sudah berkarat membuatnya tidak 

tergoyah. 

"Jangan harap perbuatanmu ini akan 

membuatku melupakan apa yang pernah kau 

lakukan pada beberapa tahun silam! 

Jangan mimpi! Aku tetap akan 

membunuhmu!" ujar Tengkorak Berdarah 

dalam hati. 

"Orang-orang muda" kata Prabarini 

seraya arahkan pandangannya silih 

berganti pada Dewa Orok dan murid Pendeta

Sinting. "Jangan bicara kurang ajar tak 

tahu aturan! Kalian berdua kuharap 

menyingkir dahulu! Jangan berani buka 

mulut ikut campur!"

"Mana bisa begitu?!" ujar Joko

Sableng.

"Betul. Mana bisa begitu?!" timpal 

Dewa Orok ikut-ikutan.

"Dengar! Aku tidak akan campur 

tangan urusan kitab dan mahkota! Aku ada 

urusan lain! Jadi jangan menduga yang 

bukan-bukan!"


Habis berkata begitu, Prabarini 

berpaling pada Tengkorak Berdarah. Namun 

tiba-tiba perempuan ini kancingkan mulut

urungkan niat berucap. Sebaliknya 

matanya membesar melihat jauh ke depan ke 

arah jajaran batang pohon. Kejap lain dia 

buka mulut berkata.

"Harap tidak sembunyikan diri!"

Semua orang di tempat itu sama 

mengernyit. Saat lain semua kepala 

bergerak ke arah mana pandangan

Prabarini memandang!

***



LIMA



Dari balik satu batang pohon besar 

sejarak sepuluh tombak dari tempat 

Prabarini tegak, terdengar gumaman 

orang. Namun untuk beberapa saat lamanya 

belum ada tanda-tanda adanya orang yang 

keluar tampakkan diri.

Sementara dari balik lindungan 

batang pohon, satu sosok yang baru saja 

berkelebat dan sempat ditangkap oleh 

pandangan Prabarini diam-diam merasa 

cemas dan khawatir. "Aku melihat Joko ada


di antara beberapa orang. Orang berjubah 

abu-abu itu juga ada di sana. Lalu gadis 

berbaju hijau itu.... Ada apa gerangan? 

Sayang, sudah hampir tiga hari ini Ayah 

tidak bisa kuketahui di mana beradanya! 

Apakah orang berjubah abu-abu itu...?! 

Ah.... Semua ini membuatku jadi pusing 

memikirkannya. Perempuan itu sudah tahu 

aku berada di sini! Kurasa tidak ada 

gunanya lagi bersembunyi...." Lalu orang 

ini memandang berkeliling. Setelah 

menarik napas panjang orang ini 

melangkah keluar dari balik pohon.

Seraya melangkah sepasang mata 

orang ini memandang pada satu persatu 

orang yang ada di tempat itu. Prabarini 

tersenyum dan menghela napas lega. Puspa 

Ratri mendelik angker dengan bibir 

tersenyum dingin. Dewa Orok hanya 

memandang sekilas lalu arahkan 

pandangannya ke jurusan lain, demikian 

pula Tengkorak Berdarah. Yang paling 

tampak terkejut adalah murid Pendeta 

Sinting. Seraya memandang tak berkesip, 

Joko bergumam. 

"Raka Pradesa!"

Seorang pemuda berkumis tipis 

mengenakan pakaian warna hitam-hitam 

kini tegak sepuluh tombak di samping 

Prabarini dan Tengkorak Berdarah.


"Gadis itu masih menyamar sebagai 

seorang pemuda!" desis Puspa Ratri 

kesal. Matanya makin membelalak 

memandangi pemuda berkumis tipis yang 

bukan lain adalah Saraswati yang selama 

ini masih mengenakan kumis palsu hingga 

mirip seorang pemuda. "Beberapa hari 

berselang dia bisa lolos karena 

kemunculan Ibu! Mumpung sekarang ada 

orang berjubah abu-abu, dia tidak akan 

bisa lagi mungkir! Gadis itu pasti 

bersekongkol dengan orang berjubah 

abu-abu ini! Kini saatnya harus 

kubuktikan di hadapan Joko dan Ibu siapa 

dia sebenarnya!"

Berpikir begitu, Puspa Ratri segera 

melompat lalu tegak tujuh langkah di 

hadapan Raka Pradesa alias Saraswati. 

Begitu kakinya menginjak tanah, gadis 

ini segera buka mulut dengan suara 

lantang.

"Hari ini kau tak akan bisa mungkir 

lagi! Kaulah biang kerok kejadian 

beberapa hari berselang!" 

"Puspa Ratri! Jangan...."

Puspa Ratri berpaling pada Joko 

Sableng yang baru saja buka mulut. Dan 

menukas ucapan murid Pendeta Sinting 

dengan mata memandang tajam.


"Joko Jangan tertipu dengan ucapan 

dan tingkah seorang Gadis yang menyamar 

sebagai pemuda berkumis tipis itu bukan 

manusia baik-baik yang bisa dijadikan 

sahabat! Di balik semua ucapan dan 

tingkahnya dia menyimpan niat busuk! Kau 

pasti masih ingat kejadian tiga hari 

berselang. Kitab dan mahkota lenyap 

disambar orang karena uahnya! Jadi sudah 

layak manusia macam dia disingkirkan

Buang rasa bimbang dan keraguanmu kalau 

kau tak ingin tertipu lebih jauh!"

Raka Pradesa menyeringai. Sepasang 

matanya memperhatikan Puspa Ratri 

lekat-lekat yang kin telah berpaling dan 

memandang ke arah Raka Pradesa.

Untuk beberapa saat kedua orang ini 

saling perang pandang. Tiba-tiba Raka 

Pradesa angkat tangan kanannya. Kumis 

tipis palsunya ditanggalkan lalu 

dicampakkan di atas tanah. Ikatan pada 

rambutnya dilepas. Lalu kepalanya 

digoyang-goyang hingga saat itu juga 

rambutnya lepas tergerai ke bahu dan 

punggungnya.

Kini berubahlah sosok Raka Pradesa 

menjadi seorang gadis muda berparas 

cantik bermata bulat berambut panjang. 

Tangan kanannya yang baru saja 

menanggalkan kumis dan ikatan rambutnya


terus bergerak dan kini diluruskan 

menunjuk ke arah Puspa Ratri.

"Gadis berbaju hijau! Jaga mulutmu! 

Ucapanmu hanya berdasar pada rasa 

cemburu gila! Kau ingin cari muka di 

depan orang! Apakah dengan caramu itu kau 

kira cukup untuk mengalihkan perhatian 

orang dan menyingkirkan aku?!" Saraswati 

tertawa pendek. Dia rupanya tidak 

memberi kesempatan pada Puspa Ratri 

untuk buka mulut menyahut. Karena sesaat 

kemudian dia telah lanjutkan ucapannya.

"Aku tidak terima kau tuduh! Meski 

kau tidak sendirian, jangan kira aku 

takut!"

Merasa ditantang, Puspa Ratri cepat 

berpaling pada ibunya dan berujar.

"Harap tidak ikut campur! Ini urusan 

sendiri!" Lalu pandangannya beralih pada 

Dewa Orok, murid Pendeta Sinting, serta 

Tengkorak Berdarah. "Kuharap kalian juga 

tidak ikut-ikutan!"

Habis berkata begitu, Puspa Ratri 

arahkan pandangannya pada Saraswati.

"Kau telah dengar ucapanku! Kau tak 

usah khawatir ada orang membantuku! Kita 

selesaikan urusan tempo hari satu lawan 

satu!"

Mendengar ucapan Puspa Ratri, Dewa 

Orok melirik pada Pendekar 131 lalu


berbisik. "Orang muda! Meski aku tidak 

tahu apa urusan sebenarnya, namun aku 

dapat menduga kaulah yang menjadi 

pangkal sebab. Kau harus lakukan 

sesuatu! Kalau tidak, kau akan menyesal! 

Kau tidak akan memperoleh salah satu di 

antara dua dara cantik itu! Kalau mereka 

saling mengalah, untuk yang ini aku 

bersedia kau beri yang mana saja...."

Joko balas meiirik dengan pandangan 

tajam. "Jangan bergurau untuk urusan 

yang satu ini! Ini urusan sulit!"

Dewa Orok tertawa bergelak membuat 

semua kepala berpaling ke arahnya. Dewa 

Orok tidak pedulikan semua mata yang 

memandang padanya. Dia buka mulut.

"Siapa yang bergurau, Orang Muda! 

Aku ber-sungguh-sungguh! Aku menawarkan 

diri untuk menerima siapa saja yang nanti 

kau berikan padaku di antara keduanya! 

Tapi dengan syarat!"

Murid Pendeta Sintiny mendelik. 

"Jangan bicara sembarangan! Lagi pula 

siapa mau di antara keduanya padamu? 

Apalagi kau pasang syarat! Apa kau 

kira...."

Suara Pendekar 131 diputus oleh 

gelakan tawa Dewa Orok. "Jangan keburu 

marah-marah, Orang Muda! Aku belum 

katakan apa syaratku!"


Dewa Orok hentikan ucapannya. 

Memandang satu persatu silih berganti 

pada Puspa Ratri dan Saraswati. Lalu 

lanjutkan ucapannya. "Aku mau menerima 

salah satu kalau di antara mereka mau! 

Kalau mereka tidak mau, apa susahnya 

menarik tawaranku?! Ha.... Ha.... Ha...! 

Tapi percayalah, di antara mereka atau 

kedua-keduanya pasti mau denganku!"

"Dewa Orok!" teriak Puspa Ratri 

dengan suara keras pertanda marah. 

"Jangan bicara ngelantur! Siapa mau 

denganmu?!"

"Orang cantik! Aku hanya tawarkan 

diri! Kalau kau tidak mau itu terserah. 

Aku tidak merasa rugi dengan 

penolakanmu. Masih banyak gadis yang mau 

menerimaku. Ha.... Ha... Ha...!" sambi! 

terus tertawa Dewa Orok berpaling pada 

Saraswati. "Kau bagaimana? Juga menolak 

kehadiranku di sisimu?!"

Saraswati tidak mengangguk juga 

tidak menggeleng. Mulutnya pun tidak 

ucapkan kata-kata. Hanya sepasang 

matanya tampak memandang tak berkesip 

pada Dewa Orok lalu berkata dalam hati. 

"Orang aneh...."

Ketika Dewa Orok sedang berbincang 

dengan Puspa Ratri dan Saraswati, 

diam-diam murid Pendeta Sinting


berpikir. "Pangkal sebab utama semua ini 

adalah orang berjubah abu-abu itu! Aku 

harus segera dapat mengetahui siapa dia 

sebenarnya. Lebih dari itu kitab 

bersampul kuning harus kudapatkan 

kembali! Setelah itu urusan gadis-gadis 

ini mudah diselesaikan!"

Murid Pendeta Sinting lalu berbisik 

pada Dewa Orok. "Kau ajak kedua gadis itu 

terus bercakap-cakap Aku akan 

mcnyelesaikan urusan dengan orang 

berjubah abu-abu! Setelah itu nanti kita 

atur urusan kedua gadis itu. Kalau 

nantinya mereka mau, kau bisa membawa 

keduanya sekaligus! Aku yang nenek-nenek 

itu tidak apa-apa!"

Belum sampai Dewa Orok menyahuti 

ucapan Pendekar 131, Joko telah 

berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah. 

Khawatir kalau Prabarini ikut campur 

lagi, seraya melompat, Joko berteriak.

"Nenek cantik! Kau tak usah cemas. 

Aku hanya membutuhkan kitab darinya! 

Setelah itu kau boleh memilikinya!"

Kedua tangan murid Pendeta Sinting 

langsung lepaskan pukulan ke arah kepala 

dan perut Tengkorak Berdarah. Saat itu 

sebenarnya Prabarini tidak akan tinggal 

diam. Namun setelah berpikir sekali 

lagi, apalagi setelah mendengar ucapan


Joko walau ucapannya sedikit membuatnya 

marah, akhirnya dia memutuskan untuk 

berdiam diri. Dia lalu melangkah

mendekati Puspa Ratri.

Sementara mendapat serangan 

mendadak, Tengkorak Berdarah yang sedari 

tadi ikut larut dalam suasana di tempat 

itu, segera mundur dua tindak. Tangan 

kirinya diangkat lalu dibabatkan ke 

samping memangkas tangan Joko yang 

menghantam ke arah kepalanya. Pada saat 

yang sama, kaki kanan di balik jubah 

abu-abunya tergerak terangkat melabrak 

tangan Joko yang berkelebat ke arah 

perutnya. 

Bukkk! Bukkk!

Tubuh Joko terjajar balik dua 

langkah. Sedangkan Tengkorak Berdarah 

terhuyung-huyung karena saat terjadinya 

bentrok orang ini hanya bertumpu pada 

kaki kirinya.

Melihat hal demikian, Joko tak 

sia-siakan kesempatan. Murid Pendeta 

Sinting ini segera kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya siapkan pukulan 

sakti 'Lembur Kuning'. Saat itu juga 

kedua tangannya berubah warna. Tempat 

itu pun disem-burati cahaya berwarna 

kekuningan. Kejap lain Joko sentakkan 

kedua tangannya ke depan.


Wuuutt! Wuuutt!

Cahaya kekuningan melesat membawa 

serta suara gemuruh dahsyat dan hawa 

panas.

"Celaka kalau sampai pemuda itu 

arahkan pukulannya pada tubuh Lasmini!" 

desis Prabarini ketika berpaling dan 

melihat apa yang sedang terjadi. Dewa 

Orok tersenyum-senyum. Sementara Puspa 

Ratri dan Saraswati hanya memandang 

dengan mulut terkancing.

"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah 

seraya cepat kuasai diri lalu sentakkan 

kedua tangannya ke depan.

Bummm!

Satu ledakan keras mengguncang 

tempat itu membuat tanah pijakan semua 

orang di tempat itu bergetar dahsyat, 

bahkan Saraswati dan Puspa Ratri 

terlihat bergoyang-goyang keras hendak 

jatuh.

Melihat keadaan seperti itu, 

Prabarini cepat berpaling pada anaknya 

lalu pegang bahunya menahan. Sementara 

Dewa Orok cepat melompat ke arah 

Saraswati dan tegak menempelkan 

punggungnya pada punggung gadis 

berpakaian hitam-hitam ini. Anehnya 

bersamaan dengan menempelnya punggung


Dewa Orok, goyangan tubuh Saraswati 

terhenti seketika.

"Orang cantik! Kau tidak 

apa-apa...?!"

Saraswati terkejut. Dia berpaling 

ke belakang. "Aku.... Aku tidak 

apa-apa!" jawab Saraswati dengan raut 

merah tersipu-sipu. Lalu tarik tubuhnya 

dari punggung Dewa Orok. Namun gadis ini 

terkesiap. Dia gaga! menarik tubuhnya!

"Kuasai diri dahulu! Jangan keburu 

marah-marah!" bisik Dewa Orok. Saraswati 

maklum akan ucapan orang. Karena saat itu 

sepasang kakinya memang masih terasa 

bergetar meski sosok atasnya diam tak 

bergerak.

Setelah agak lama, baru Dewa Orok 

tarik tubuhnya lalu balikkan tubuh tegak 

menjajari Saraswati. Sepasang matanya 

menatap bundaran karetnya yang mengapung 

di udara dan tampak berputar-putar 

karena bias bentroknya pukulan.

Pada saat itu semua telinga orang 

mendengar suara bergedebukan. Semua 

kepala bergerak berpaling.

"Joko!" seru Puspa Ratri dan 

Saraswati hampir berbarengan melihat 

sosok murid Pendeta Sinting jatuh 

terduduk dengan tubuh bergetar dan wajah 

pucat pasi dan dada bergerak keras turun


naik. Kedua gadis ini hendak berkelebat, 

namun sebelum keduanya bergerak, Joko 

telah bangkit berdiri dan memandang ke 

arah Tengkorak Berdarah yang saat itu 

terkapar dengan jubah terusannya bagian 

wajah telah berubah warna merah.

"Mudah-mudahan dia kuat bertahan. 

Karena aku telah berjanji pada nenek itu

untuk tidak mencelakainya! Sayang dia 

salah perhitungan! Sebenarnya aku tadi 

tidak langsung mengarahkan pukulan 

'Lembur Kuning' ke arahnya. Namun dia 

salah duga dan menangkis...," gumam 

murid Pendeta Sinting. Lalu tanpa 

keluarkan ucapan lagi, sosoknya 

berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah 

yang sedang terkapar.

Melihat hal ini, Dewa Orok tak 

tinggal diam. Bersamaan dengan 

melesatnya Pendekar 131, pemuda 

bertangan buntung ini berkelebat juga ke 

arah Tengkorak Berdarah.

"Tahan!" seru Prabarini khawatir 

akan apa yang hendak dilakukan Pendekar 

131 dan Dewa Orok. Namun seruannya seakan 

tidak terdengar oleh kedua orang itu. 

Keduanya teruskan kelebatan tubuh 

masing-masing.

Tengkorak Berdarah tampak terkejut. 

Kepala di balik jubah abu-abunya


menyentak. Namun kejap lain orang ini 

perdengarkan tawa panjang dan berkata.

"Bagus! Kita akan mati 

bersama-sama!"

Selesai berucap begitu, Tengkorak 

Berdarah angkat kedua tangannya lalu 

disentakkan ke arah murid Pendeta 

Sinting dan Dewa Orok yang terus 

berkelebat ke arahnya. Satu gelombang 

angin luar biasa dahsyat menyambar ke 

depan.

"Awas!" teriak Joko memperingatkan 

Dewa Orok. Lalu murid Pendeta Sinting ini 

jatuhkan diri bergulingan di atas tanah. 

Sambaran angin dahsyat lewat di atas 

kepalanya. Di lain pihak, Dewa Orok 

gerakkan bahunya. Sosoknya laksana 

disentak dari bawah. Tubuhnya melenting 

tiga tombak ke udara. Sambaran angin yang 

melesat ganas dari kedua tangan 

Tengkorak Berdarah menggebrak tempat 

kosong di bawah sosok Dewa Orok. Selamat 

dari serangan, Dewa Orok membuat gerakan 

jungkir balik dua kali. Kejap lain 

sosoknya telah tegak dengan kaki di atas 

kepala di bawah di samping kepala 

Tengkorak Berdarah!

Tengkorak Berdarah menggerung 

keras. Kedua tangannya serta-merta 

lepaskan pukulan ke arah wajah Dewa Orok.


Tapi gerakan keiebat tangannya 

terlambat. Satu totokan bersarang di 

bawah ketiaknya. Seketika itu juga 

sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa 

digerakkan.

"Bangsat keparat! Siapa berlaku

pengecut?I" teriak Tengkorak Berdarah 

dengan kedua tangan tetap mengapung di 

udara.

Terdengar suara tawa dari arah 

samping. "Apa hendak dikata. Kau keras 

kepala mengajak orang jalan-jalan ke 

neraka!"

"Jahanam! Keparat!" rutuk Tengkorak 

Berdarah seraya arahkan pandangannya ke 

samping, di mana saat itu tampak Pendekar 

131 bangkit setelah lakukan totokan.

Murid Pendeta Sinting memandang 

sejurus ke arah Tengkorak Berdarah lalu 

melirik pada Dewa Orok dan berujar.

"Bagaimana enaknya sekarang?!"

"Bagaimana terserah kau saja! Yang 

penting sekarang kuminta tolong padamu 

untuk ambilkan barangku! Tak pantas 

rasanya harus meraba-raba dengan kaki!"

"Jangan berani menyentuh tubuhku!" 

teriak Tengkorak Berdarah.

Joko tersenyum. Lalu melangkah satu 

tindak. "Kita sama laki-!akinya. Jangan 

khawatir. Untuk apa menyentuh-nyentuh


tubuhmu! Bukankah apa yang kau miliki 

tidak jauh beda dengan punya pemuda 

terjungkir itu?!" kata Joko lalu 

jongkok. Kedua tangannya bergerak ke 

arah tubuh Tengkorak Berdarah.

"Hai! Harap ambil yang kau butuhkan 

saja! Jangan berani bertindak lain!" 

Mendadak Prabarini berteriak. Perempuan 

ini jelas khawatir kalau tangan Joko 

meraba bagian atas tubuh Tengkorak 

Berdarah.

Joko sejenak memandang ke arah 

Prabarini. Keningnya berkerut. "Aneh. 

Mengapa nenek itu berkata begitu? Orang 

ini tadi juga seakan terkejut dan 

melarangku menyentuh tubuhnya! 

Jangan-jangan...." Joko tidak lanjutkan 

ucapannya karena saat itu Dewa Orok 

berujar.

"Orang muda! Tunggu apa lagi? 

Urusanmu yang satu belum selesai! Jadi 

jangan membuang-buang waktu!"

Joko teruskan kedua tangannya ke 

pinggang orang berjubah abu-abu terusan. 

Lalu melebar ke arah perutnya. Sementara 

Tengkorak Berdarah terus berteriak.

Saat kedua tangannya merasakan satu 

sembulan benda di perut Tengkorak 

Berdarah, Joko hentikan rabaannya. 

"Hem.... Jubah ini terusan tanpa kancing


bagian depan. Kalau langsung kulepas 

semuanya, bagaimana kalau dia tidak 

mengenakan pakaian dalam?!"

Murid Pendeta Sinting berpikir 

sejenak. Sementara Prabarini memandang 

tidak berkesip. Pandangan perempuan ini 

jelas membayangkan rasa gelisah dan 

cemas. Maiah mulutnya tampak komat-kamit 

hendak ucapkan sesuatu. Saat itulah 

tiba-tiba kedua tangan Joko yang masih 

menempel di perut orang menyentak keras 

ke atas.

Breetttt!

Jubah abu-abu terusan yang 

dikenakan Tengkorak Berdarah robek 

menganga bagian perut. Lalu tampaklah 

sebuah kitab bersampu! kuning dan sebuah 

mahkota yang juga berwarna kuning. 

Dengan hati-hati Joko mengambi! kitab 

serta mahkota itu. Sedangkan Tengkorak 

Berdarah terus memaki makin keras. Namun 

percuma saja karena dia hanya bisa 

keluarkan suara tanpa bisa gerakkan 

tubuh.

Untuk beberapa lama murid Pendeta 

Sinting memperhatikan kitab bersampul

kuning serta mahkota bersusun tiga di 

tangannya.

"Hem.... Kurasa masih asli...," 

gumam Joko lalu bangkit dan melangkah ke


arah Dewa Orok. Dewa Orok bergerak satu 

kali. Kejap lain pemuda bertangan 

buntung ini telah tegak dengan kepala di 

atas kaki di bawah.

"Aku harus memeriksanya dahulu! 

Jangan-jangan telah dipalsukan! Tolong 

dekatkan padaku!" kata Dewa Orok sambil 

julurkan kepalanya ke depan ketika Joko 

perlihatkan mahkota bersusun tiga.

"Hem.... Untung belum berubah!" 

ujar Dewa Orok. "Tolong sekali lagi. 

Masukkan mahkota itu ke balik pakaianku! 

Tapi awas. Jangan berani meraba-raba! 

Bukan apa. Aku geli"

Joko mendengus pelan. "Lagi pula 

siapa mau meraba-raba tubuhmu!" kata 

Joko dengan suara tinggi. Namun dia 

turuti permintaan Dewa Orok memasukkan 

mahkota bersusun tiga ke balik 

pakaiannya setelah menyimpan kitab 

bersampul kuning ke balik bajunya.

"Urusan telah selesai! Biarkan 

orang ini diurus oleh nenek itu! Kita 

pergi sekarang!" ujar Joko pada Dewa 

Orok.

"Kalian berdua akan menyesal kalau 

tidak membunuhku sekarang!" teriak 

Tengkorak Berdarah saking jengkelnya 

karena tidak bisa berbuat apa-apa.


"Sebenarnya aku mau saja menuruti 

permintaanmu. Tapi sayang aku tadi telah 

berjanji pada nenek cantik itu!" ujar 

Joko Sableng lalu balikkan tubuh.

"Tunggu!" tahan Dewa Orok sambil 

melompat menjajari Joko dan berbisik. 

"Urusanmu belum selesai Orang Muda,

Gadis-gadis itu...."

Murid Pendeta Sinting gelengkan 

kepala. "Bukankah tadi sudah kukatakan 

bahwa jika urusan dengan orang berjubah 

abu-abu selesai, kedua gadis itu boleh 

kau bawa! Jadi sekarang kau yang punya 

urusan dengan mereka! Aku harus pergi!"

Habis berkata begitu, Pendekar 131 

berkelebat tinggalkan tempat itu.

Melihat ha! ini, Prabarini segera 

berteriak lantang. Namun sebelum 

suaranya keluar, satu suara berat telah 

terdengar mendahului.

"Pendekar Pedang Tumpu! 131! Harap 

jangan pergi dulu! Kita harus bicara!"

Murid Pendeta Sinting tarik pulang 

tubuhnya yang sudah siap berkelebat.

"Aneh.... Telingaku rasanya 

mengenali suara orang yang baru saja 

bicara!" gumam Joko lalu berpaling pada 

datangnya suara. Bersamaan dengan itu 

Dewa Orok yang masih tegak memikirkan 

ucapan Joko ikut-ikutan berpaling.


Demikian pula Prabarini, Puspa Ratri, 

dan Saraswati. Tengkorak Berdarah yang 

masih terkapar dengan tertotok setelah 

susah payah bisa gerakkan kepalanya 

menghadap ke arah mana orang sama-sama 

berpaling. Meski orang berjubah abu-abu 

ini adalah orang terakhir yang hadapkan 

kepala, namun jelas dialah orang pertama 

yang terlihat paling terkejut. Malah 

dari mulutnya terdengar seruan tertahan.

Sementara di seberang, Puspa Ratri 

membelalak. Saraswati surutkan langkah 

satu tindak. Dewa Orok kembung kempiskan 

mulut menyedot-nyedot bundaran karetnya 

yang sejenak tadi ditarik masuk setelah 

sekian lama mengapung di udara. Di 

sebelah Dewa Orok, Pendekar 131 

pentangkan sepasang matanya dengan mulut 

bergumam. Yang terlihat tenang adalah 

Prabarini.

Dewa Orok sejenak gelengkan kepala. 

Bundaran karetnya disemburkan keluar. 

Lalu mulutnya terbuka. 

"Aneh.... Jangan-jangan orang itu 

bukan manusia biasa! Tapi hantu jejadian 

yang bisa merubah tubuhnya jadi banyak! 

Kau lihat! Orang yang tegak itu baik 

tinggi dan pakaian jubah yang dikenakan 

sama persis dengan orang yang terkapar 

itu! Kembarannya atau bagaimana?!"


"Hem.... Benar dugaan Gendeng 

Panuntun. Ada dua Tengkorak Berdarah! 

Mungkin yang baru datang itu adalah 

Tengkorak Berdarah yang sempat membuatku 

jatuh masuk ke dalam ruangan dalam tanah! 

Tapi.... Aku belum bisa memastikan yang 

mana sebenarnya penghuni Istana Hantu. 

Semuanya sama persis!" kata Joko dalam 

hati.

Selagi belum ada yang buka mulut 

bicara, orang yang menahan kepergian 

murid Pendeta Sinting gerakkan tubuh. 

Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga 

langkah di samping Saraswati!

***


ENAM



Dia adalah seseorang yang anggota 

tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki 

ditutup dengan jubah besar berwarna 

abu-abu. Kalau orang melihat, tidak ada 

bedanya antara orang yang kini tegak di 

samping Saraswati dengan orang yang kini 

terkapar tegang tak bisa bergerak karena 

ditotok oleh murid Pendeta Sinting.


Untuk beberapa saat orang berjubah 

abu-abu di samping Saraswati hadapkan 

kepalanya ke arah orang yang terkapar. 

Lalu beralih pada Saraswati. Saraswati 

sendiri tampak bimbang. Dia gerakkan 

kepalanya bolak-balik memandang ke arah 

orang di sampingnya lalu ke arah orang 

yang terkapar.

"Yang mana ayahku?! Bagaimana bisa 

begini?!" gumam Saraswati tak habis 

mengerti.

Selagi Saraswati dilanda 

kebimbangan, tiba-tiba orang berjubah 

abu-abu di sampingnya berbisik. 

"Saraswati.... Bebaskan orang yang 

tertotok itu!" Saraswati kernyitkan 

kening. 

"Apakah kau...." Ucapan si gadis 

belum selesai, orang di sampingnya 

anggukkan kepala sambil berbisik lagi. 

"Anakku.... Lekas lakukan apa yang 

kukatakan!"

Meski hatinya masih disamaki 

berbagai tanya, akhirnya Saraswati 

melangkah ke arah orang berjubah abu-abu 

terusan yang masih terkapar tegang.

"Kau mau apa?! Jangan berani berbuat 

yang tidak-tidak! Kau kelak akan 

menyesal!" teriak Tengkorak Berdarah


dengan suara keras meski dirinya tak bisa 

gerakkan anggota tubuhnya.

Saraswati hentikan langkah. 

Sepasang matanya menatap tajam tak 

berkesip. Dadanya bergerak turun naik 

pertanda gadis ini merasa jengkel dengan 

ucapan orang itu.

Merasa dirinya dipandang begitu 

rupa oleh Saraswati, Tengkorak Berdarah 

makin geram. Dia kembali perdengarkan 

suara keras.

"Kau dengar ucapanku! Jangan berani 

berlaku bodoh jika tak ingin menyesal 

kelak!"

"Bukan aku yang bodoh! Tapi kau yang 

berlaku picik! Terlalu buruk menduga 

setiap orang!" teriak Saraswati tak bisa 

menahan kesal mendengar ucapan orang. 

Habis berkata begitu, gadis ini balikkan 

tubuh lalu melangkah ke tempatnya 

semula.

Baru melangkah tiga tindak, orang 

berjubah abu-abu yang baru datang telah 

perdengarkan suara. 

"Jangan pedulikan ucapannya. 

Lakukan saja apa yang kukatakan!"

"Aku tak mau! Orang macam dia tidak 

pantas ditolong!" jawab Saraswati lalu 

teruskan langkah.


"Aku pun tak minta tolong!" sahut 

Tengkorak Berdarah.

"Wah.... Mungkin dia mau kalau kau 

yang menolong, Orang Muda! Bukankah dia 

lebih menyukai pemuda daripada gadis?" 

Orang yang keluarkan suara adalah Dewa 

Orok.

"Mana bisa begitu? Mungkin dia 

menginginkan kau yang melakukannya! 

Bukankah caramu pasti lain daripada yang 

lain?!" sahut Joko sementara 

pandangannya terus tak beranjak dari 

orang yang tegak di samping Saraswati.

Belum sampai ucapan murid Pendeta 

Sinting selesai, mendadak Prabarini 

telah berkelebat dan tahu-tahu sudah 

tegak di samping sosok Tengkorak 

Berdarah yang masih terkapai. Prabarini 

langsung jongkok dan berbisik peian.

"Lasmini! Harap kau tidak keras 

kepala. Ini saat yang baik untuk membuka 

apa yang kukatakan padamu tempo hari! Aku 

akan membebaskanmu dari totokan. Jangan 

berprasangka jelek. Kalau mau, bukankah 

pemuda itu bisa berbuat apa saja 

terhadapmu?"

"Aku tidak memintamu membebaskan 

diriku dari totokan pemuda gila itu! Aku 

tak akan...."


Prabarini gelengkan kepala. 

"Terserah kau minta atau tidak. Tapi aku 

punya keharusan untuk membe-

baskanmu...."

Tengkorak Berdarah mendengus. "Ini 

kau lakukan hanya agar aku melupakan 

perbuatanmu di masa lalu? Jangan 

berharap! Untuk ucapkan terima kasih pun 

jangan mimpi kau akan mendengarnya dari 

mulutku!"

"Tidak ada maksud seperti yang kau 

katakan, Lasmini! Aku pun tak mengharap 

ucapan terima kasih darimu! Semua ini 

kulakukan agar urusan kita hanya 

berhenti sampai pada kita berdua...," 

ujar Prabarini pelan.

"Dari kemarin kau katakan begitu! 

Tapi nyatanya kau menipuku dengan 

mengundang beberapa orang!"

"Aku tidak mengundang mereka! 

Mungkin ini suatu berkah bagi kita karena 

dengan munculnya orang-orang di tempat 

ini, urusan di antara kita jadi tuntas!"

"Urusan kita tidak akan tuntas 

sebelum salah satu di antara kita menemui 

ajal!"

"Ah.... Terserah padamulah. Yang 

pasti aku su-ah melupakan kisah masa 

lalu...."


Habis berkata begitu, Prabarini 

gerakkan tangan menekan pada bagian 

bawah ketiak Tengkorak Berdarah.

Merasa dirinya bisa gerakkan tubuh, 

laksana terbang, Tengkorak Berdarah 

serentak bangkit berdiri. Tanpa diduga 

sama sekali oleh Prabarini tangan kanan 

Tengkorak Berdarah berkelebat lepaskan 

satu pukulan. 

Bukkk!

Prabarini terpental satu tombak dan 

jatuh terjengkang.

"Ibu!" teriak Puspa Ratri 

menghambur pada Prabarini. Lalu menolong 

perompuan itu bangkit berdiri. Prabarini

tersenyum seraya mengusap dadanya yang 

baru saja terhantam tangan Tengkorak 

Berdarah. 

"Tidak apa-apa, Anakku...."

"Jahanam tak tahu budi! Kubunuh 

kau!" teriak Puspa Ratri seraya 

memandang tajam pada Tengkorak Berdarah. 

Gadis ini seperti kalap, lalu berkelebat 

hendak lepaskan tendangan ke arah 

Tengkorak Berdarah.

"Puspa.... Sudahlah. Ada urusan 

lebih penting yang harus segera 

diselesaikan!" ujar Prabarini sambil 

pegangi lengan anaknya.


"Puspa...." Tiba-tiba orang 

berjubah abu-abu yang tegak di samping 

Saraswati perdengarkan suara mengikuti 

ucapan Prabarini. Kepala di balik jubah 

abu-abunya menghadap lurus ke arah Puspa 

Ratri yang tegak di samping ibunya.

"Prabarini.... Puspa Ratri.... 

Ah.... Kuharap kalian...." Orang 

berjubah abu-abu ini tidak lanjutkan 

gumamannya karena saat itu tiba-tiba 

Prabarini telah buka mulut. Wajahnya 

dihadapkan ke arah orang yang tegak di 

samping Saraswati. 

"Orang berjubah abu-abu! Harap kau 

suka buka penyamaranmu!"

Orang di samping Saraswati sejenak 

arahkan kepalanya ke arah Tengkorak 

Berdarah yang baru saja tegak. Lalu 

menghadap pada satu persatu orang di 

tempat itu.

Saraswati berpaling. Setelah merasa 

yakin bahwa orang berjubah abu-abu 

terusan di sampingnya adalah ayahnya, 

gadis ini berbisik.

"Ayah.... Siapa perempuan itu?"

Orang yang ditanya tidak menjawab. 

Sebaliknya orang ini angkat kedua 

tangannya ke atas kepala. Kejap lain 

kedua tangannya menyibak ke kanan kiri.

Brettt! Brettt!


Jubah terusan abu-abu bagian kepala 

orang di samping Saraswati robek 

membelah di bagian kepala. Orang ini 

teruskan sibakkan tangannya hingga 

robekan itu terus menjalar ke bawah.

Semua mata orang di tempat itu sama 

mementang memperhatikan. Mereka 

mula-mula melihat rambut putih. Lalu

sepasang mata yang sayu ditingkah alis 

mata yang juga telah memutih. Kemudian 

tampaklah sebuah hidung agak mancung dan 

kumis lebat putih. Di bawahnya terlihat 

satu bibir yang sedang tersenyum. Namun 

jelas senyum itu penuh misteri.

"Dugaanku tidak salah ..." gumam 

Prabarini begitu dapat melihat seluruh 

wajah orang yang tadi tertutup jubah 

abu-abu terusan.

"Ibu! Siapa laki-laki itu? 

Sepertinya kau mengenali betul!" kata 

Puspa Ratri pelan.

"Sebentar lagi kau akan 

mengetahuinyal" jawa" Prabarini tanpa 

menoleh.

"Panjer Wenyi!" Tiba-tiba Tengkorak 

Berdara alias Lasmini berteriak. Laksana 

hendak terbang, orang berjubah abu-abu 

yang bagian perutnya robek akibat 

sentakan tangan Pendekar 131 ini 

berkelebat. Namun langkahnya tertahan


karena bersamaan dengan itu Prabarini 

telah melompat dan tegak menghadang.

"Jangan perturutkan hati! Buang 

dulu rasa dendam! Saatnya telah tiba bagi 

kita untuk saling membuka diri!"

"Jahanam! Untuk apa membuka diri! 

Semuanya sudah jelas!" seru Tengkorak 

Berdarah.

"Bagimu memang sudah jelas! Tapi 

tidak bagi orang lain!"

"Apa pedulinya orang lain, hah?! 

Jahanam itu harus mati di tanganku! 

Termasuk juga kau dan anakmu"

"Orang lain memang tidak akan 

peduli! Tapi di sini ada orang yang harus 

kau pedulikan! Lebih-lebih orang itu 

butuh kejelasan yang selama ini 

dicari-cari! Jangan buat dia merana 

sepanjang hidupnya!"

"Apa maksud ucapanmu?!"

"Kau masih ingat ucapanku tempo 

hari. Bukalah dahulu penutup wajahmu!"

"Kau telah dengar ucapanku tempo 

hari. Sekali aku bilang tidak, tidak!"

"Berarti kau memperpanjang duka 

rana darah dagingmu!"

Ucapan Prabarini membuat Tengkorak 

Berdarah terdiam beberapa lama.

"Saraswati.... Apakah anakku berada 

di sini?" ujar Tengkorak Berdarah pada


akhirnya dengan suara bergetar. Suara 

orang ini hampir-hampir tidak terdengar.

"Sudan bertahun-tahun dia 

mencarimu! Apakah kau masih akan 

sembunyikan wajah?!" ujar Prabarini 

dengan anggukkan kepala dan tersenyum. 

Namun sepasang mata perempuan ini tampak 

berkaca-kaca.

Tengkorak Berdarah hadapkan 

kepalanya ke arah Saraswati. Dada orang 

ini berdebar. "Apakah dia...?"

Entah karena apa tiba-tiba kedua 

tangan Tengkorak Berdarah bergerak ke 

atas. 

Brettt! Breett!

Seketika jubahterusan bagian wajah 

dan kepala Tengkorak Berdarah robek 

menganga. Sepasang mata murid Pendeta 

Sinting dan Dewa Orok yang sedari tadi 

hanya diam mendengarkan, membelalak 

besar-besar. Namun bersamaan dengan itu, 

Dewa Orok berujar.

"Orang muda. Kau tidak beruntung 

hari ini! Kalau kau tadi sedikit nakal 

mau meraba-raba ke atas perut orang, 

pasti kau akan menemukan sesuatu yang 

lain!"

Joko tidak menyahut. Dia hanya 

pandangi orang di seberang depan dengan 

berkata dalam hati. "Hem.... Makanya dia


tadi marah-marah saat aku hendak meraba 

tubuhnya! Tak tahunya dia adalah 

seorang...." Joko geleng-geleng kepala. 

Namun tiba-tiba murid Pendeta Sinting 

hentikan gerakan kepalanya yang 

menggeleng. Kini kepalanya silih 

berganti menghadap ke arah Saraswati dan 

Tengkorak Berdarah yang baru saja 

membuka penutup wajahnya.

"Heran.... Wajah keduanya...."

"Hampir sama!" sahut Dewa Orok 

menyahuti ucapan murid Pendeta Sinting.

Ucapan Dewa Orok memang benar, 

karena begitu Tengkorak Berdarah membuka 

penutup wajah-nya maka tampaklah satu 

wajah seorang perempuan yang hampir 

sebaya dengan Prabarini. Sama halnya 

saperti Prabarini, meski sudah tidak 

muda lagi tapi masih kelihatan cantik. 

Lebih dari itu, raut wajah perempuan ini 

hampir mirip dengan Saraswati!

"Terima kasih kau mau membuka 

diri...," kata Prabarini dengan suara 

bergetar. Perempuan ini segera putar 

diri menghadap Saraswati. Namun dia 

tidak segera angkat bicara meski 

mulutnya telah membuka.

"Ada apa ini? Mengapa semua orang 

memandangku demikian rupa?!" pikir


Saraswati melihat semua mata tertuju ke 

arahnya.

Belum sampai Saraswati mendapat 

jawaban atas pertanyaan hatinya, 

Prabarini berujar.

"Panjer Wengi! Kau harus jelaskan 

semua ini!"

Orang di samping Saraswati yang 

dipanggii Panjer Wengi menghela napas 

panjang. Semua mata kini tertuju pada 

laki-laki berusia lanjut namun masih 

membayangkan ketampanan ini. Mulut semua 

orang sama terkancing hingga suasana 

jadi hening.

"Prabarini...," gumam orang tua 

yang dipanggii Panjer Wengi. "Sebelumnya 

kuharap kau mau memaafkan aku. 

Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan 

seperti ini. Tapi karena aku harus 

melakukan sesuatu yang lebih penting, 

terpaksa aku harus berdiam diri, bahkan 

untuk beberapa tahun lamanya aku harus 

sembunyikan diri di balik bangunan. Pra-

barini.... Mungkin aku adalah seorang 

laki-laki yang pantas menerima caci maki 

karena aku harus menanyakan padamu 

tentang anak kita...."

Sejenak Panjer Wengi hentikan 

ucapannya. Matanya kini terarah pada


Puspa Ratri. Gadis yang dipandang tampak 

sipitkan mata dengan dada berdebar.

"Prabarini.... Adakah anak gadis di 

sampingmu adalah Puspa Ratri anak kita?"

Prabarini tidak menjawab. Sepasang 

mata perempuan ini telah menitikkan air 

mata. Kepalanya bergerak menoleh pada 

Puspa Ratri yang saat itu juga sedang 

berpaling ke arahnya

"Ibu...," kata Puspa Ratri seraya 

melompat mendekat ke arah Prabarini. 

Namun begitu tegak di samping ibunya, 

Puspa Ratri tidak kuasa buka mulut 

lanjutkan ucapan.

"Puspa...," bisik Prabarini dengan 

suara bergetar. Bahunya berguncang 

menahan isak. "Dia adalah orang yang 

selama ini kau tanyakan, Anakku.... 

Bagaimanapun tindakannya selama ini, 

kuharap kau mau mengerti, Dia adalah 

ayahmu...."

Puspa Ratri tegak dengan kaki 

bergetar. Sepasang matanya membeliak 

menatap ke arah Panjer Wengi. Saat itulah 

tiba-tiba Panjer Wengi melompat dan 

tegak dua tindak di depan Puspa Ratri 

dengan kedua tangan mengembang.

"Anakku.... Harap maafkan ayahmu 

yang selama ini tidak...." Panjer Wengi 

hanya bisa berucap sampai di situ.


Setelah itu yang terdengar hanyalah 

gumaman tidak jelas karena suaranya 

laksana tersumbat di tenggorokan. 

Sementara gadis di hadapan Panjer Wengi 

masih tampak tegak tak bergeming. Puspa 

Ratri seolah masih tidak percaya dengan 

apa yang baru saja didengar dan kini ada 

di hadapannya.

"Anakku.... Memang sudah tidak 

pantas diriku kau sebut sebagai...," 

belum sampai Panjer Wengi teruskan 

ucapannya, mendadak Puspa Ratri telah 

menghambur lalu dirangkulnya tubuh orang 

yang tegak di hadapannya. Gadis ini tidak 

kuasa lagi berkata. Hanya isakannya yang 

terdengar.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba 

seraya masih merangkul Puspa Ratri, 

kepala Panjer Wengi berpaling pada 

Saraswati yang sejak tadi tampak bingung 

tak tahu harus berbuat apa, malah hampir 

tidak percaya dengan kejadian di depan 

matanya.

Panjer Wengi lambaikan tangannya ke 

arah Saraswati. Gadis ini sejenak masih 

terlihat bimbang. Namun akhirnya dia 

melangkah juga mendekati Panjer Wengi.

"Anakku...," bisik Panjer Wengi. 

"Puspa Ratri adalah saudaramu lain ibu. 

Kuharap kau...." Lagi-lagi Panjer Wengi


tidak kuasa teruskan ucapannya. 

Sementara sepasang mata Saraswati tak 

berkesip memandang ke arah Puspa Ratri 

yang masih rebahkan wajah di dada Panjer 

Wengi.

"Puspa Ratri.... Saraswati.... 

Kalau selama ini di antara kalian ada 

ganjalan. kuharap mulai saat ini semua 

itu kalian lenyapkan!" kata Prabarini 

yang ternyata telah tegak di samping 

Saraswati.

Puspa Ratri angkat kepalanya. Lalu 

memandang pada Saraswati. Untuk beberapa 

saat kedua gadis ini saling 

berpandangan. Dada masing-masing gadis 

ini dilanda berbagai perasaan.

Tiba-tiba Puspa Ratri lepaskan 

pelukannya pada tubuh Panjer Wengi. Lalu 

melangkah satu tindak ke arah Saraswati. 

Pada saat yang sama Saraswati juga 

melangkah maju. Kejap lain kedua gadis 

ini telah saling berpelukan dengan erat.

"Saraswati.... Maafkan kalau selama 

ini aku menuduhmu yang bukan-bukan.... 

Maafkan diriku yang selalu berkata kasar 

padamu...," ujar Puspa Ratri disela 

isakannya.

"Tidak.... Akulah yang harus minta 

maaf. Aku terlalu keras kepala tidak mau 

menerima kenyataan!"


"Sudahlah.... Tidak ada yang perlu 

dimaafkan. Kalian berdua tidak ada yang 

bersalah. Yang tua-tua inilah sebenarnya 

pangkal dari semua ini hingga di antara 

kalian berdua tidak saling mengenal...," 

kata Panjer Wengi. Lalu balikkan tubuh 

hendak merangkul Prabarini. Namun 

perempuan ini segera menghindar sambil 

berkata pelan.

"Panjer Wengi jangan kau buat 

suasana hati orang tambah panas. Masih 

ada yang harus kau jelaskan pada 

Saraswati...."

Panjer Wengi arahkan pandangannya 

pada Lasmini yang tegak dengan wajah 

merah padam dan dada berdebar tak karuan. 

Perempuan yang selama ini memaklumkan 

diri sebagai Tengkorak Berdarah ini 

sudah bisa menebak siapa adanya gadis 

berpakaian hitam-hitam yang masih 

berpelukan dengan Puspa Ratri. Malah 

begitu Saraswati memeluk Puspa Ratri, 

perempuan ini laksana hendak menghambur 

ke depan. Namun melihat Prabarini dan 

Panjer Wengi yang bukan lain adalah

suaminya sendiri berada dekat di situ, 

Lasmini menahan diri.

"Saraswati...," kata Panjer Wengi 

pelan. "Kau telah menemukan saudaramu.


Sekarang jangan biarkan dia berdiri 

sendirian di sana...."

Saraswati lepaskan pelukannya pada 

Puspa Ratri. Lalu memandang ke arah mana 

Panjer Wengi memandang. 

"Perempuan itu.... Perempuan yang 

selama ini mengenakan jubah seperti 

Ayah. Apakah dia...." Saraswati 

berpaling pada Panjer Wengi. Belum 

sempat dia utarakan apa yang ada dalam 

hatinya, Panjer Wengi telah mendahului 

berucap.

"Mendekatlah ke sana. Ajaklah dia 

kemari...."

"Ayah.... Apakah dia...."

"Saraswati.... Dialah ibumu...," 

sahut Prabarini.

Mulut Saraswati terkancing. 

Isakannya seketika terhenti. Sepasang 

matanya kembali memandang ke arah 

Lasmini lalu beralih pada Panjer Wengi 

seolah ingin penjelasan.

"Betul, Saraswati. Dialah 

ibumu...," kata Panjer Wengi dengan 

suara hampir tak terdengar.

Bersamaan selesainya ucapan Panjer 

Wengi, laksana hendak terbang, Saraswati 

berlari ke arah Lasmini. Lasmini tak 

dapat menahan debaran dadanya. Seketika


tangisnya meledak. Kejap lain dia 

melompat menyongsong Saraswati.

"Ibu...." Suara Saraswati 

tersendat. Kedua tangannya langsung 

memeluk tubuh Lasmini yang telah 

menyongsongnya dengan pelukan erat. 

Gadis ini kembali terisak. Sementara 

Lasmini tak berkata apa-apa saking 

larutnya. Perempuan ini hanya memeluk 

anaknya erat-erat sambil menciumi wajah 

dan mengusap-usap rambutnya dengan air 

mata berderai.

Untuk beberapa saat semua mata orang 

tertuju pada ibu dan anak yang saling 

berpelukan dan bertangisan itu.

"Ibu.... Mulai saat ini kuharap Ibu 

mau hidup bersama. Jangan kita berpisah 

lagi...," bisik Saraswati setelah dapat 

kuasai din.

"Anakku.... Terlalu berat derita

yang kurasakan. Sudah terlalu lama aku 

menahan duka ini.... Ini semua gara-gara 

ulah seorang perempuan. Kalau tidak, tak 

mungin kita berpisah...."

"Ibu.... Lupakanlah semua yang 

pernah terjadi...."

"Mengucapkan memang mudah, Anakku. 

Tapi tahukah kau, betapa aku harus hidup 

merana bahkan sampai tidak mengenalimu! 

Tidak, Anakku. Orang yang membuat kita


sengsara begini harus mendapat balasan 

setimpal!"

"ibu.... Jangan mencabut sesuatu 

yang baru kudapat! Bertahun lamanya aku 

mendambakan kebahagiaan. Apakah Ibu tega 

memutuskan begitu saja?"

"Kau jangan salah paham, Anakku. 

Justru kebahagiaan itu akan lebih terasa 

kalau dapat melenyapkan orang yang 

selama ini membuat kita berpisah!"

"Semua kejadian berpangkal pada 

diriku! Kini kau berhak lakukan apa saja 

padaku!" Mendadak satu suara menyahuti 

ucapan Lasmini.

Saraswati dan Lasmini berpaling. 

Sejarak tiga langkah di samping mereka 

berdua, Panjer Wengi tegak dengan kepala 

tengadah.

Saraswati rasakan kedua tangan 

Lasmini yang masih memeluknya bergetar 

keras. Dadanya bergerak cepat turun 

naik. Sepasang matanya mendelik angker 

memandangi Panjer Wengi. Kejap lain 

Lasmini lepaskan pelukannya pada 

Saraswati, lalu sambil menyeringai dia 

menghadap Panjer Wengi.

"Panjer Wengi! Kau memang berhak 

menerima imbalan setimpal. Tapi bukan 

hanya kau satu-satunya yang harus 

menerimanya! Perempuan liar itu juga


pantas merasakannya!" kata Lasmini 

dengan suara keras sambil arahkan 

telunjuknya pada Prabarini. Suara 

Lasmini kini terdengar asli. Tidak 

seperti selama ini yang selalu sarukan 

suaranya mirip seorang laki-laki.

"Lasmini.... Jangan salahkan orang 

lain. Akulah pangkal semuanya!"

Lasmini mendengus. "Dalam keadaan 

begini kau masih juga membelanya!" lalu 

perempuan ini angkat kedua tangannya.

"Ibu...!" seru Saraswati sambil 

pegangi kedua tangan Lasmini. "Apakah 

tidak ada ampun bagi satu kesalahan?"

"Kesalahannya sudah setinggi 

langit! Tidak ada pengampunan selain 

nyawanya terputus!"

"Saraswati. Ucapan ibumu benar. 

Mungkin hanya itulah satu-satunya 

penebusan yang harus kuterima. Dan aku 

ikhlas menerimanya. Karena selimut 

rahasia kini telah terungkap. Aku telah 

menemukan anakku dan kau Saraswati telah 

tahu siapa ibumu.... Yang kuharap, 

setelah kepergianku nanti, kalian bisa 

hidup rukun dan melenyapkan segala 

ganjalan...."

"Tidak semudah itu semuanya akan 

jadi selesai, Panjer Wengi! Aku telah 

bulat hati untuk melenyapkan semua orang


yang pernah membuatku merana!" kata 

Lasmini. Bara dendam pada dada perempuan 

ini rupanya belum dapat digoyahkan.

Saat itulah tiba-tiba Prabarini 

berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di 

hadapan Lasmini. Perempuan ini 

sunggingkan senyum lalu berkata.

"Lasmini.... Aku telah berjanji 

padamu. Jika semua urusan ini jadi jelas, 

aku akan pasrah padamu. Sekarang kurasa 

semuanya sudah terungkap jelas. Aku 

tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang 

lakukanlah apa yang kau mau!"

Ucapan polos Prabarini membuat 

Lasmini tergagap dan terdiam untuk 

beberapa lama. Sementara itu mendengar 

apa yang dikatakan ibunya, Puspa Ratri 

segera melompat dan kini tegak di samping 

ibunya. Diam-diam dalam hati gadis ini 

berkata. "Aku tidak akan membiarkan

orang itu lakukan apa saja pada Ibu!"

Tiba-tiba Lasmini tertawa panjang. 

Lalu berkata. "Prabarini! Sebelumnya aku 

memang ingin membunuh dengan tanganku 

sendiri. Tapi sekarang ku ubah. Aku ingin 

melihatmu mampus dengan tanganmu 

sendiri!"

"Ibu!" ujar Saraswati. "Mengapa Ibu 

tega mengatakan begitu? Apakah...."


"Saraswati. Dengarlah. Perempuan 

itulah yang membuat kita berpisah. 

Perempuan itu tega memutus kebahagiaan 

kita hingga kita harus menanggung duka 

sengsara. Kurasa apa yang kuminta masih 

jauh di bawah penderitaan yang kita alami 

akibat perbuatannya!"

"Ibu.... Semua itu sudah berlalu. 

Jerih payahnya untuk mempertemukan kita 

kurasa jauh lebih besar dibanding dengan 

apa yang pernah dilakukannya!"

"Saraswati. Kau tidak tahu apa-apa 

dalam hal ini. Aku yang merasakan! Aku 

yang mengalami!"

"Ibu! Baikiah. Anggap memang itu 

satu kesalahan yang tidak berampun. Tapi 

sekali ini aku mewakilinya untuk meminta 

maaf padamu! Kalau kau hendak turunkan 

tangan maut, jangan lakukan padanya! 

Bunuhlah aku.... Atau Ibu ingin aku 

lakukan sendiri?"

Habis berkata begitu, sambil 

menangis berurai air mata, Saraswati 

angkat kedua tangannya ke samping kanan 

kiri kepalanya. Tanpa diduga semua 

orang, tiba-tiba orang berpakaian 

hitam-hitam ini hantamkan kedua 

tangannya ke arah kepalanya sendiri!

Lasmini terkesiap kaget. Perempuan 

ini cepat bergerak menangkap kedua


tangan Saraswati sebelum tangan itu 

sempat menghantam kepala. Lasmini lalu 

memeluk Saraswati dan kembali kedua 

orang ini sama bertangisan.

Setelah agak lama, Lasmini berujar 

sambil renggangkan pelukannya.

"Saraswati.... Untuk sementara aku 

harus pergi dahulu. Jagalah dirimu 

baik-baik...."

"Ibu...."

"Saraswati.... Untuk kali ini 

jangan kau tanyakan ke mana aku akan 

pergi. Percayalah. Tak lama kita akan 

berkumpul lagi dan hidup bersama...," 

kata Lasmini sambil membelai rambut 

anaknya. Lalu putar diri menghadap ke 

arah Prabarini.

"Prabarini! Kau masih beruntung 

hari ini. Kalau saja tidak ada anakku, 

aku tak akan segan-segan membunuhmu! 

Termasuk juga kau Panjer Wengi! Tapi 

kalian jangan merasa lega dahulu. 

Keputusanku tetap tidak akan berubah! 

Kalian berdua masih harus mampus di 

tanganku!"

Habis berkata begitu, Lasmini 

meludah lalu berkelebat tinggalkan 

tempat itu.

"Ibu!" teriak Saraswati. Namun 

Lasmini seakan tak hiraukan panggilan


anaknya. Perempuan ini terus berkelebat 

dan lenyap di balik jajaran pohon. Semua 

orang tidak tahu, jika seraya berkelebat 

pergi air mata makin banyak mengalir dari 

sepasang mata perempuan yang selama ini 

mengaku sebagai Tengkorak Berdarah dan 

sebenarnya adalah istri pertama Panjer 

Wengi, laki-laki yang selama ini 

menghuni Istana Hantu.

Sesaat setelah Lasmini pergi, 

tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Kejap 

lain tampak dua orang telah tegak di 

tempat itu!

***


TUJUH



Ratu Malam! Gendeng Panuntun!" 

Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan 

mulut melihat apa yang sedang terjadi di 

seberang depan, adalah orang yang 

pertama kali berteriak begitu mengenali 

siapa adanya dua orang yang baru muncul. 

Murid Pendeta Sinting ini cepat 

berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan 

kedua orang yang bukan lain memang Ratu 

Malam dan Gendeng Panuntun adanya.


Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah 

Joko. Mulutnya yang selalu mainkan 

gumpalan tembakau hitam komat-kamit. 

Kejap lain nenek berambut putih sebatas 

tengkuk dan mengenakan jubah warna merah 

menyala ini berkata.

"Kelakuanmu tidak berubah, Setan 

Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan 

dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau 

akan terus begitu, hah?!"

Murid Pendeta Sinting tidak segera 

menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik 

sebentar ke arah Puspa Ratri dan 

Saraswati yang wajahnya tampak berubah. 

Lalu cepat membungkuk memberi 

penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng 

Panuntun yang tampak tegak dengan kepala 

tengadah dan tangan kanan usap-usap 

cermin bulat yang ada di depan perutnya. 

Kakek gendut ini berpaling sejurus pada 

Ratu Malam lalu buka mulut.

"Kau juga tidak berubah! Selalu 

marah-marah tak ada juntrung. Sampai 

kau tak sadar di mana saat ini berada dan 

siapa saja orang-orang yang ada di 

sekitarmu!"

Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, 

cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan 

mata mendelik. Ketika sepasang matanya 

menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek


ini tampak terkesiap malah kedua pasang 

kakinya tersurut satu tindak.

Namun keterkejutan nenek berjubah 

merah ini hanya sesaat. Saat lain 

tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya 

komat-kamit. Sementara kedua tangannya 

mengusap-usap sepasang matanya.

"Hampir tak dapat kupercaya! Tapi 

rasanya benar-benar dia!" gumamnya lalu 

berpaling pada Gendeng Panuntun. Kakek 

ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak 

dilanda kebimbangan. Sebaliknya si kakek 

bertubuh besar ini melangkah perlahan ke 

arah Panjer Wengi. Sejarak enam langkah 

dia berhenti. Lalu menjura hormat.

"Eyang Guru.... Terimalah salam 

hormatku...."

Mengetahui apa yang dilakukan 

Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat 

melompat lalu ikut-ikutan menjura pada 

Panjer Wengi sambil berkata.

"Eyang Guru.... Mohon dimaafkan. 

Aku sama sekali tidak menduga...."

Joko tercenung dengan mata 

mendelik. Sementara Puspa Ratri dan 

Saraswati saling pandang tidak mengerti. 

Hanya Prabarini yang kelihatan 

tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok 

yang berdiri agak jauh tampak mengernyit 

lalu menyedot bundaran karet mulutnya


hingga perdengarkan suara duuutt! 

Duuuttt! berulang kali.

“Tidak kusangka sama sekali kalau 

orang tua yang kuyakin adalah penghuni 

Istana Hantu itu adalah guru mereka.

Lebih-lebih tidak kukira jika kedua 

gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus 

mengucapkan terima kasih padanya...," 

kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar 

dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta 

Sinting cepat memberi penghormatan.

"Orang tua. Terima kasih atas semua 

yang telah kau lakukan padaku.... Dan 

harap maafkan kalau selama ini aku punya 

prasangka buruk dan pernah berbuat 

kurang ajar padamu...."

Panjer Wengi menghela napas 

panjang. Sepasang matanya yang sudah 

sayu pandangi ketiga orang di 

hadapannya. "Sekar Mayang dan kau 

Rawadan, aku gembira melihat kalian 

berdua masih sehat-sehat saja. Lebih 

dari itu, aku merasa senang karena kalian 

berdua selama ini mau membantu pemuda itu 

serta menjalankan pesan yang pernah 

kukatakan!"

Orang yang disebut dengan Sekar 

Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu 

Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar Mayang


dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam 

dan Gendeng Panuntun.

Ratu Malam angkat kepalanya 

pandangi Panjer Wengi yang tidak lain 

adalah gurunya. "Eyang Guru.... Terus 

terang, aku tadi masih bimbang. Karena 

selama ini kami duga Guru telah 

tiada...."

Panjer Wengi tersenyum. "Satu tugas 

telah mengharuskanku bertindak 

demikian, Sekar Mayang."

Habis berkata begitu, kepala Panjer 

Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu 

berkata.

"Anak muda. Kau juga tak perlu

minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah 

mewajibkan aku bertindak seperti yang 

kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab 

yang sekarang ada di tanganmu 

sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri! 

Dan dengan telah berhasilnya kau miliki 

kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini 

segala urusan rimba persilatan ada pada 

pundakmu!"

Beberapa saat Panjer Wengi diam. 

Lalu arahkan pandangannya pada Ratu 

Malam dan Gendeng Panuntun, "Sekar 

Mayang, Rawadan. Aku harus pergi 

sekarang...."


Panjer Wengi putar diri menghadap 

Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di 

samping nya.

Eyang Guru.... Ada satu hal yang 

ingin kutanyakan padamu!" kata Ratu 

Malam menahan gerakan Panjer Wengi.

"Katakanlah, Sekar Mayang...."

"Sejak peristiwa terbukanya Istana 

Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap 

tidak ada beritanya. Sementara orang 

menduga kalau ketiganya...."

"Sekar Mayang...," potong Panjer 

Wengi. "Tentang ketiga saudaramu itu 

panjang ceritanya. Aku tidak bisa 

menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti 

minta cerita pada mereka. Tak lama lagi 

kau akan menemuinya...."

Panjer Wengi teruskan putaran 

tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan 

Saraswati. "Anak-anakku.... Kita cari 

tempat yang baik untuk 

berbincang-bincang dari hati ke hati 

agar semua ganjalan yang masih ada bisa 

sirna."

Puspa Ratri dan Saraswati saling 

pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis 

ini lantas berpaling pada murid Pendeta 

Sinting. Dada keduanya sama berdebar. 

Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena 

keduanya ternyata masih saudara satu


ayah lain ibu. Sementara hati keduanya 

sudah sama-sama menyukai Pendekar131.

"Bagaimana ini? Mungkinkah aku 

harus berebut dengan Puspa Ratri, 

saudaraku sendiri? Tapi aku tak dapat 

mendustai diri sendiri. Aku menyintai 

pemuda itu" kata Saraswati dalam hati. Di 

lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga 

membatin. 

"Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi 

haruskah semuanya kutebus dengan duka 

yang lain? Akankah harus kulepas pemuda 

itu? Padahal aku.... Ah.... Apakah yang 

harus kukatakan pada Saraswati? Apa yang 

harus kulakukan?!"

Apa yang saat itu melanda pada hati 

masing-masing gadis rupanya dapat 

ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini 

mendehem, membuat Puspa Ratri dan 

Saraswati paling kan wajah ke arahnya.

"Puspa, Saraswati. Kalian berdua 

membutuhkan waktu agak panjang untuk 

memutuskan apa yang harus kalian 

lakukan. Kalian butuh saling terbuka. 

Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil 

keputusan dengan dilandasi perasaan 

cemburu".

Paras wajah Puspa Ratri dan 

Saraswati sama bersemu merah. Prabarini


melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu 

berkata pelan.

"Apa yang dikatakan ayahmu benar. 

Kau ikutlah dia agar bisa berbincang 

lebih tenang...."

"Ibu.... Kita harus bersama-sama!" 

ujar Puspa Ratri.

Prabarini gelengkan kepala sambil 

tersenyum. "Kau telah bertemu dan tahu 

siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk 

bersama dengannya agar kau tahu banyak 

siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara 

ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau 

pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap 

kau mau mengerti...."

Habis berkata begitu, Prabarini 

mencium wajah anaknya. "Jaga dirimu 

baik-baik. Ambillah keputusan tanpa 

adanya penyesalan di kemudian hari." 

Perempuan ini lantas memandang pada 

Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis 

ini dipegangnya. 

"Saraswati.... Kau harus dapat 

menerima kenyataan ini. Lebih dari itu 

kau harus bisa memahami apa yang 

dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga 

minta maaf padamu atas kejadian semua 

ini...."

Tanpa menunggu sahutan dari 

Saraswati. Prabarini berpaling pada


Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka 

mulut bicara. Namun dia tampak 

ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan 

ini hanya memandang ke dalam bola mata 

sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa 

berkata apa-apa lagi dia berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

Puspa Ratri hendak mengejar, namun 

Panjer Wengi cepat berucap. "Anakku.... 

Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak 

lama lagi kita pasti akan bertemu lagi. 

Sekarang kita harus pergi...."

Panjer Wengi melangkah lalu 

berhenti di antara Puspa Ratri dan 

Saraswati. Kedua tangannya memegang satu 

persatu lengan Puspa Ratri dan Saras-

wati. Lantas menariknya perlahan untuk 

mengajak keduanya pergi dari tempat itu.

Puspa Ratri dan Saraswati sejurus 

sama arahkan pandangannya pada murid 

Pendeta Sinting. Saat lain keduanya 

saling berpandangan. Wajah keduanya sama 

berubah merah. Tanpa buka mulut lagi, 

keduanya ialu melangkah mengikuti Panjer 

Wengi.

"Setan Jelek!" kata Ratu Malam 

begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri 

dan Saraswati pergi. "Kau jangan berani 

macam-macam pada gadis-gadis itu!"


"Kau jangan terlalu menduga yang 

tidak-tidak, Nenek" Yang menyahut adalah 

Gendeng Panuntun.

"Diam kau! Aku bicara dengan Setan 

Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai 

terjadi apa-apa nantinya pada 

gadis-gadis itu, tak urung kita juga 

hanya akan mendapat getahnya! Padahal 

Setan Jelek ini yang makan nangkanya!"

"Ratu Malam...," ujar Joko seraya 

tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku 

tahu siapa diriku dan siapa gadis-gadis 

itu!"

"Hem.... Bagus kalau kau sadar 

begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari 

apa yang kau ucapkan, aku tak segan 

memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini 

telah mendapatkan kitab sakti!" kata 

Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di 

mana tadi Dewa Orok berada.

"Hem.... Ke mana minggatnya temanmu 

tadi?!"

Pendekar 131 memandang ke tempat 

Dewa Orok berada. Ternyata pemuda 

bertangan buntung itu memang tak ada lagi 

di tempatnya semula.

Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131 

mencari-cari tiba-tiba terdengar satu 

debuman keras. Serentak Ratu Malam dan


murid Pendeta Sinting berpaling ke arah 

datangnya suara debuman.

"Pintu Istana Hantu...," gumam Joko 

seraya mendelik memandang jauh ke depan 

ke arah Istana Hantu. Dari tempatnya 

berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko 

melihat pintu Istana Hantu telah 

menutup.

Tapi kali ini bukan tertutupnya 

gerbang pintu Istana Hantu yang membuat 

kedua orang ini terus pentangkan mata 

masing-masing. Melainkan dari depan 

gerbang pintu yang baru keluarkan 

debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh 

melangkah ke tempat mereka berada!

***


DELAPAN



Orang paling kanan adalah seorang 

kakek berambut putih disanggul ke atas. 

Seraya melangkah kakek ini dongakkan 

sedikit kepalanya dengan mulut terbuka 

menganga! Di sebelahnya terlihat seorang

perempuan berambut panjang bergerai. la 

mengenakan jubah putih panjang. Ada 

keanehan pada perempuan ini. Wajahnya


terlihat samar-samar karena dari atas 

kepalanya tampak curahan rintik-rintik

air yang tiada putus-putusnya Meski 

demikian, baik jubah maupun sekujur 

tubuhnya tidak basah! Sementara orang 

yang paling kiri adalah seorang 

laki-laki berusia agak lanjut. Rambutnya 

yang putih dibiarkan bergerai.

Tiba-tiba kakek yang berada di 

sebelah paling kanan yang terus membuka 

mulut dan bukan lain adalah Iblis Ompong 

angkat tangan kanannya memberi isyarat 

agar kedua orang di sampingnya dan tidak 

lain adalah Dewi Es dan saudara 

seperguruannya Dewa Sukma, hentikan 

langkah.

"Iblis Ompong, Dewi Es, Dewa Sukma!" 

seru murid Pendeta Sinting begitu 

mengenali siapa adanya ketiga orang yang 

baru saja melangkah keluar dari pintu 

Istana Hantu.

Sementara Ratu Malam memandang 

dengan pelototkan sepasang matanya yang 

sipit. Gendeng Panuntun tengadah dengan 

matanya yang putih mengerjap dan tangan 

kanan mengusap cermin bulatnya.

"Wah, ternyata masih ada sumur di 

ladang dan kita bisa menumpang mandi. 

He.... He.... He.... Ternyata kita masih


sama berumur panjang dan bisa berjumpa 

lagi!" Mendadak Iblis Ompong berkata

"Hem.... Kalau ingin menumpang 

mandi jangan di sumur, lebih baik di 

kali. Kukira kalian semua telah terkubur 

hingga putus harapan untuk bersua lagi!" 

Gendeng Panuntun menyahut.

"Biduk melaju deras diterpa 

gelombang. Angin bertiup kencang ke arah 

timur. Kalau Yang Maha Penyayang 

masih...."

"Sudah! Sudah!" tukas Ratu Malam 

memotong ucapan Iblis Ompong. "Kalian 

tua-tua masih juga bicara tak ujung 

pangkal!" Nenek berjubah merah menyala 

ini pasang tampang cemberut. Sepasang 

matanya menatap tajam pada Iblis Ompong 

yang masih menganga lalu buka mulut lagi.

"Lantika! Sekarang ceritakan ke 

mana kalian menghilang selama ini! 

Kalian sepertinya tak tahu bagaimana aku 

kalian buat bingung!" ucap Ratu Malam 

seraya sebut nama asli Iblis Ompong.

Iblis Ompong tertawa bergelak 

dahulu sebelum akhirnya berkata.

"Sekar Mayang. Harap kau tidak 

terbawa marah dahulu. Untuk pertanyaanmu 

ada yang lebih layak menjawab!" kata 

Iblis Ompong lalu seraya masih buka


mulut, dia berpaling pada Dewa Sukma. 

Yang dilirik angkat bahu lalu berujar. 

"Dengarlah. Semenjak kita pulang 

dari Pulau Biru, aku menangkap isyarat 

akan adanya sesuatu yang bakal terjadi! 

Untuk menjaga segala hal yang bakal 

menimpa rimba persilatan, secara 

diam-diam aku mengajak Iblis Ompong dan 

Dewi Es untuk menyelidik. Karena pangkal 

semua yang bakal terjadi kuduga ada di 

Istana Hantu, maka kita bertiga langsung 

menuju Istana Hantu. Namun apa yang kami 

temukan adalah di luar dugaan! Kami 

bertiga gagal memasuki Istana Hantu, 

malah kami harus menderita luka-luka dan 

pingsan. Ketika kami sadar, ternyata 

kami telah berada di sebuah ruangan. Di 

sanalah akhirnya kami bertemu dengan 

penghuni Istana Hantu. Kukira kau telah 

tahu, siapa sebenarnya penghuni Istana 

Hantu itu!"

"Hem.... Lalu kenapa kalian tidak 

minta untuk keluar?" tanya Ratu Malam.

"Itu sudah kulakukan. Tapi Eyang 

Guru tidak mengizinkan! Dia bilang kami 

harus menunggu!"

"Tapi seharusnya kalian bisa 

beralasan, agar aku tidak 

terombang-ambing! Kalian bisa


enak-enakan, sementara aku ke sana 

kemari bertanya-tanya!"

"Kau tahu bagaimana sifat Eyang 

Guru!" ujar Dewa Sukma sambil arahkan 

matanya pada murid Pendeta Sinting.

"Sudahlah, Sekar Mayang. Semuanya 

sudah berlalu.... Tidak ada gunanya 

memperdebatkan yang telah terjadi. Kini 

semuanya sudah jelas," sahut Gendeng 

Panuntun lalu orang bermata putih ini 

arahkan wajahnya berpaling pada Pendekar 

131.

"Anak muda! Kau tadi telah dengar 

apa yang diucapkan Eyang Guru kami. Kini 

semuanya tergantung padamu. Kami semua 

harus pergi..."

"Betul! Kau juga harus ingat-ingat 

pesanku tadi! Kalau ingin gadis, cari 

saja yang lain! Jangan berani menggoda 

kedua gadis putri Eyang Guru!" ucap Ratu 

Malam lalu tanpa berpaling pada murid 

Pendeta Sinting nenek ini melangkah ke 

arah Iblis Ompong.

"Wah. Nasib anak itu beruntung 

sekali. Selain mendapat kitab sakti juga 

diperebutkan anak-anak gadis!" kata 

Iblis Ompong lalu balikkan tubuh.

"Itulah manusia sekarang! Jangankan 

gadisnya, nenek-neneknya pun tidak lagi 

merasa malu berebut seorang kakek!"


Menyahut Gendeng Panuntun lalu seraya 

tertawa bergelak orang ini melangkah 

mendekati Iblis Ompong.

Ratu Malam hentikan langkah. 

Memandang silih berganti pada Iblis 

Ompong dan Gendeng Panuntun. Air mukanya 

berubah. Mulutnya yang selalu mainkan 

gumpalan tembakau hitam terhenti 

seketika.

"Huh! Enak saja kalian bicara! Kelak 

kalian akan buktikan bahwa bukan 

perempuan yang berebut makhluk 

laki-laki. Tapi sebaliknya laki-lakilah 

yang akan setengah mati berebut manusia 

perempuan!"

Murid Pendeta Sinting yang sedari 

tadi hanya diam tiba-tiba melompat ke 

depan. Sambil menjura dia berkata.

"Untuk kesekian kalinya aku 

mengucapkan terima kasih atas segala 

bantuan kalian semua! Aku akan selalu 

mengingat pesan dan ucapan-ucapan 

kalian!"

Mendengar ucapan murid Pendeta 

Sinting, Ratu Malam balikkan tubuh. 

Sepasang matanya mendelik.

"Kau tidak cukup hanya mengingat! 

Tapi harus kau jalankan!"

Pendekar 131 hanya anggukkan kepala 

tanpa berkata apa-apa. Ratu Malam


balikkan tubuh kembali lalu melangkah 

mendahului Iblis Ompong yang masih tegak 

membelakangi. Sesaat kemudian Gendeng 

Panuntun juga teruskan langkah. Kejap 

kemudian Dewi Es dan Dewa Sukma juga sama 

putar diri. Lalu melangkah menyusul Ratu 

Malam dan Gendeng Panuntun. Yang 

terakhir bergerak adalah Iblis Ompong.

Sebenarnya Joko ingin menanyakan 

keadaan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. 

Seperti diketahui, sejak peristiwa di 

Pulau Biru, Dewi Seribu Bunga dibawa oleh 

Dewi Es sementara Sitoresmi diambil 

Gendeng Panuntun. Namun karena khawatir 

Ratu Malam akan marah-marah, akhirnya 

Joko urungkan niat meski dengan demikian 

kerinduannya pada kedua gadis itu makin 

bertambah.

"Ah.... Suatu hari kelak aku akan 

menanyakan perihal dua gadis itu!" gumam 

Joko seraya pandangi kelima orang 

saudara seperguruan itu yang terus 

melangkah hingga akhirnya lenyap di 

depan sana.

"Sekarang aku harus segera 

mempelajari kitab ini, bukan tidak 

mungkin akan banyak orang yang 

menginginkannya."

Berpikir begitu, murid Pendeta 

Sinting laksana dikejar setan


gentayangan berkelebat ke arah timur. 

Namun pemuda dari Dusun Kampung Anyar dan 

beberapa tahun sempat digembleng di 

dalam Jurang Tlatah Perak oleh dedengkot 

rimba persilatan Pendeta Sinting ini 

berlaku cerdik. Dia tahu bahwa dirinya 

kini membawa sebuah benda sakti yang jika 

sampai jatuh ke tangan orang tidak 

bertanggung jawab maka rimba persilatan 

akan mengalami malapetaka. Dia 

berkelebat ke arah timur namun jika ada 

tikungan jalan dia segera menelikung dan 

seakan-akan teruskan larinya mengikuti 

arah jalan yang menelikung. Tapi di 

tengah jalan dia berbelok lagi dan 

berlari lebih cepat menuju lurus jurusan 

timur.

Ketika hari mulai gelap, dan saat 

memasuki sebuah pesisir pantai baru dia 

memperlambat larinya. Dia lalu melangkah

ke arah beberapa gugusan batu karang. 

Setelah melewati beberapa gugusan batu 

karang, akhirnya dia hentikan langkah 

pada satu gugusan batu karang paling 

tinggi yang menghadap laut.

"Hem.... Tempat ini sepertinya 

belum ada yang mengendus sejak 

kutinggalkan beberapa waktu lalu," ujar 

murid Pendeta Sinting dalam hati. Tapi 

sekali lagi dia tidak mau bertindak ayal.


Meski merasa yakin tidak ada orang yang 

berada di tempat itu, dia sekali lagi 

arahkan pandangannya berputar dengan 

mata dipentang lebar-lebar.

Setelah benar-benar merasa yakin 

tak ada orang lain, Pendekar 131 lesatkan 

diri ke gugusan batu paling tinggi. 

Ternyata di situ ada sebuah batu karang 

yang membentuk lobang di bagian 

depannya.

Meski kini telah tegak di depan batu 

karang yang membentuk goa dan beberapa 

waktu yang lalu digunakan sebagai tempat 

bersemadi sebagai rangkaian dari apa 

yang ada dalam Kitab Serat Biru, tapi 

murid Pendeta Sinting tidak segera 

masuk. Dia tegak sebentar lalu longokkan 

kepala ke dalam batu karang yang 

membentuk goa. Sejenak kegelapan 

menyambut pandangan matanya. Namun 

setelah ia mulai agak terbiasa, dia 

sedikit banyak bisa menyiasati keadaan 

dalam goa.

Setelah menghela napas panjang dan 

meraba perut dan pinggangnya di mana 

tersimpan kitab bersampul kuning dan 

Pedang Tumpul 131, dia melangkah 

perlahan memasuki goa. Lalu mengitari 

bagian dalam goa untuk meyakinkan bahwa 

dia berada sendirian di tempat itu.


Tak berselang lama, akhirnya murid 

Pendeta Sinting duduk dengan bersandar 

punggung menghadap pada mulut goa. Saat 

itulah dia baru menyadari bahwa dia telah 

melupakan sesuatu.

"Bagaimana aku harus membuka kitab 

ini kalau keadaannya gelap begini? Apa 

aku harus menunggu sampai pagi datang dan 

menghabiskan waktu malam ini untuk 

istirahat? Tapi aku tak sabar ingin 

segera membukanya! Namun dalam keadaan 

gelap begini apa mungkin?!"

Setelah tidak menemukan jalan 

keluar, akhirnya murid Pendeta Sinting 

memutuskan menunggu sampai datangnya 

pagi. Namun meski demikian 

keingintahuannya pada kitab bersampul 

kuning itu tidak dapat ditahan. Akhirnya 

meski keadaan gelap, dia keluarkan kitab 

dari balik pakaiannya. Kedua tangannya 

sesaat tampak bergetar. Lalu 

perlahan-lahan kitab bersampul kuning 

yang tulisan luarnya sudah tidak bisa 

dibaca lagi itu didekatkan ke depan 

matanya.

Saat itulah tiba-tiba murid Pendeta 

Sinting rasakan sambaran angin dari arah 

samping!

Menangkap gelagat tidak beres, 

apalagi datangnya sambaran angin dari


arah samping sementara dia tidak 

menangkap adanya orang yang memasuki 

goa, yang menunjukkan bahwa ada orang 

sebelum dia memasuki goa itu, cepat dia 

selinapkan kitab bersampul kuning ke 

balik pakaiannya lalu berpaling ke 

samping kanan seraya membentak.

"Siapa?!"

Tak ada suara jawaban. Murid Pendeta 

Sinting pentang mata besar-besar. Dia 

tidak melihat adanya seseorang, membuat 

mau tak mau tengkuknya dingin. Saat 

itulah kembali dia rasakan desiran 

sambaran angin. Kali ini datangnya dari 

samping kiri.

Laksana kilat, Joko cepat putar 

kepala. Namun dia jadi tersentak 

sendiri. Matanya yang dijerengkan 

lebar-lebar masih tidak menangkap ada 

orang!

"Jangan berani bergurau! Tunjukkan 

tampangmu!" Tak sabar murid Pendeta 

Sinting kembali membentak dengan kedua 

tangan telah siap lepaskan pukulan.

Belum juga ada tanda-tanda adanya 

orang atau terdengarnya suara jawaban.

"Aku yakin aku tidak sendirian di 

tempat ini! Aku harus menyelidik!" gumam 

Joko lalu bangkit.


"Tetap di tempatmu, Anak Muda!" 

Mendadak terdengar suara. Joko 

terkesiap. Bukan saja terkejut namun 

juga karena dia tidak dapat menentukan 

sumber arah datangnya suara yang baru 

saja terdengar.

Joko tidak kehilangan akal. Dengan 

tetap duduk dia segera putar tubuhnya. 

Namun hingga putaran ketiga, dia tetap 

tidak dapat menangkap adanya orang!

Selagi dia kebingungan, tiba-tiba 

menyeruak asap putih dari luar lobang 

goa. Asap putih itu cepat bergerak lalu 

berputar-putar di hadapan Joko. Belum 

sampai Joko membuat gerakan atau buka mu-

lut, asap putih lenyap. Kini di 

hadapannya telah tegak seorang kakek 

mengenakar pakaian jubah putih panjang.

"Selamat bertemu kembali, Joko...."

Murid Pendeta Sinting angkat 

kepalanya pandangi wajah orang yang 

tegak di hadapannya.

"Astaga! Bukankah kakek ini orang 

yang kutemui takkala aku mempelajari 

Kitab Serat Biru dan bersemadi di sini?”

Mengenali siapa adanya Orang Tua di 

hadapannya, murid Pendeta Sinting segera 

menjura dalam-dalam. (Mengenai Orang Tua 

ini silakan baca serial Joko Sableng 

dalam episode : "Gerbang Istana Hantu").


"Joko.... Yang Maha Kuasa telah 

mempertemukan kita kembali. Aku hanya 

perlu menceritakan perihal dua kitab 

yang telah kau miliki dan memberitahukan 

beberapa hal. Harap dengarkan 

baik-baik...," kata Orang Tua seraya 

hentikan ucapannya sejenak sebelum 

akhirnya melanjutkan.

"Sebelum kau berhasil mendapatkan 

kitab bersampul kuning itu tentunya kau 

telah mengalami rangkaian kejadian yang 

mungkin belum kau mengerti. Sebenarnya 

kedua kitab itu diciptakan oleh seorang 

sakti pada masa Kerajaan Singasari. 

Mungkin karena begitu hebatnya isi kedua 

kitab itu, pada akhirnya kedua kitab itu 

menjadi barang pusaka kerajaan yang 

tidak sembarang orang dapat menyentuh 

apalagi membuka dan memilikinya.

Namun di atas semua itu, kuasa serta 

takdir Yang Mana Tinggi tidak bisa 

dihadang oleh siapa pun juga. Seorang 

gadis berparas cantik bernama Maharani, 

yang diambil murid oleh salah seorang 

putra mahkota yang dibuang karena 

diketahui hasil hubungan gelap sang 

Permaisuri dengan seorang abdi kerajaan, 

berhasil menerobos penjagaan bangunan 

tempat penyimpanan barang pusaka 

kerajaan setelah berhasil mengelabui


gurunya sendiri yang juga adalah putra 

mahkota yang terbuang serta membunuh 

beberapa orang bekas kepercayaan 

kerajaan yang mengetahui seluk beluk 

kedua kitab itu. Tapi ambisi Maharani 

akhirnya kandas akibat sumpah pada 

gurunya.

Dia terjebak dalam ruangan rahasia 

dan terjerumus ke dalam lobang bawah 

tanah. Tapi sebelum dia terjerumus

masuk, Maharani masih sempat menyambar 

kitab bersampul kuning. Selain itu 

sebelumnya Maharani telah membekal pula 

sebuah mahkota bersusun tiga warisan 

dari sang Permaisuri yang diberikan pada 

putra mahkota yang terbuang.

Sementara kitab bersampul biru yang 

tidak lain adalah Kitab Serat Biru, 

berhasil diselamatkan oleh seorang tokoh 

kerajaan bernama Gandung Sedayu. Namun 

meski berhasil menyelamatkan Kitab Serat 

Biru, Gandung Sedayu terluka dalam cukup 

parah. Untung saat itu muncul seorang 

penyelamat. Dia adalah guruku sendiri. 

Pada akhirnya nyawa Gandung Sedayu tak 

tertolong. Sementara Kitab Serat Biru 

pada akhirnya diserahkan padaku oleh 

mendiang guruku. Tapi aku hanya mendapat 

tugas untuk menjaga kitab itu hingga


nanti sampai pada orang yang paling 

berhak memilikinya.

Namun usia manusia terbatas. 

Sebelum orang yang berhak memiliki kitab 

itu muncul, aku telah meninggal. Tapi 

sebelum itu aku sudah berpesan pada 

seorang yang kuangkat sebagai muridku 

agar kelak memberikan kitab itu pada 

orang yang memiliki ciri-ciri tertentu. 

Aku juga berpesan kalau sampai menginjak 

lanjut usia dan orang yang ditentukan 

belum juga muncul, kuharap dia 

menyerahkan kitab itu pada orang yang 

dipercaya.

Pada akhirnya muridku menyerahkan 

Kitab Serat Biru pada muridnya yang 

terpercaya. Muridnya ini akhirnya 

menyerahkan kitab itu pada muridnya 

bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Di lain 

pihak, melalui sebuah mimpi seorang anak 

manusia bernama Panjer Wengi yang saat 

itu menjadi seorang tokoh golongan putih 

yang disegani berhasil mengetahui seluk 

beluk kedua kitab itu. Dia juga berhasil 

mengetahui jalan menuju Pulau Biru di 

mana Ki Ageng Mangir Jayalaya berada.

Mungkin karena takut akan rahasia 

besar itu tercium orang lain, akhirnya 

Panjer Wengi membuat peta dan dibagikan 

pada kelima muridnya. Dia berpesan pada


kelima muridnya untuk memberikan 

lembaran-lembaran peta itu pada anak 

manusia yang punya ciri-ciri khusus. 

Setelah memberikan pesan dan lembaran 

peta pada kelima muridnya, Panjer Wengi 

sengaja menghilang dari kancah rimba 

persilatan.

Dia lalu bertempat tinggal 

sembunyikan diri di bangunan tua bekas 

bangunan tempat penyimpanan benda-benda 

pusaka kerajaan yang dikenal orang 

dengan Istana Hantu. Dia mengetahui 

bahwa di dasar bangunan itu masih 

tersimpan kitab bersampul kuning serta 

mahkota bersusun tiga. Dia lalu dikenal 

orang dengan julukan Tengkorak Berdarah. 

Untuk selanjutnya mungkin kau telah tahu 

jalan ceritanya...," kata si Orang Tua 

mengakhiri ucapannya.

Joko mendengarkan kisah yang 

dituturkan orang dengan saksama. 

Sementara si Orang Tua menghela napas 

sejenak. Lalu buka mulut kembali.

"Joko.... Kedua kitab itu kini telah 

kau miliki, karena memang kaulah anak 

manusia yang ditentukan berjodoh dengan 

kedua kitab itu. Namun ada satu hal yang 

harus kau ketahui. Setiap langkah baik 

pasti telah didahului oleh satu langkah 

jelek. Tidak beda dengan terciptanya


kedua kitab itu. Karena kedua kitab itu 

diciptakan setelah adanya seorang sakti 

berhaluan hitam yang berhasil 

menciptakan sebuah kitab maha sakti 

tiada tanding. Kitab hitam ini dicip-

takan selangkah lebih awal dari kedua 

kitab itu. Namun semenjak terciptanya 

kedua kitab itu, kitab hitam seakan 

lenyap tiada berita. Tidak seorang pun 

yang mengetahui di mana beradanya. Namun 

yang pasti kitab hitam itu masih ada. Aku 

mendapat firasat, bahwa kitab hitam itu 

akan segera ditemukan orang. Ini adalah 

satu hal yang sangat membahayakan bagi 

kelangsungan kedamaian umat manusia. Aku 

tidak tahu pasti, apakah kedua kitab itu 

bisa mengalahkan kitab hitam itu atau 

tidak." Orang itu sejurus menghela napas 

panjang. Lalu meneruskan.

"Joko.... Tugasmu yang terutama 

adalah menjaga kelangsungan kedamaian 

umat manusia. Sementara hal itu tidak 

akan terwujud selagi kitab hitam itu 

masih ada. Kitab hitam itu adalah ancaman 

berbahaya. Setelah kau selesai 

mempelajari kitab bersampul kuning, kau 

harus segera mencari kitab hitam itu. 

Bukan untuk dipelajari namun untuk 

dimusnahkan!"


"Kalau itu demi umat manusia, aku 

akan mencari dan memusnahkannya. Tapi 

dapatkah memberiku barang sedikit 

petunjuk tentang kitab hitam itu?" Joko 

angkat bicara untuk pertama kalinya.

"Inilah hal yang selama ini tidak 

diketahui dan diduga orang. Petunjuk 

beradanya kitab hitam itu berada pada 

mahkota bersusun tiga warisan sang 

Permaisuri yang sempat dibawa Maharani 

dan ikut terjerumus ke dalam bawah 

tanah!"

Murid Pendeta Sinting tersentak. 

"Bagaimana ini? Mahkota itu kini telah 

berada di tangan Dewa Orok. 

Jangan-jangan orang itu mengetahui 

rahasia yang tersimpan pada mahkota itu 

lalu mengarang cerita...." Joko 

sebenarnya hendak mengungkapkan apa yang 

di batinnya. Namun sebelum dia buka 

mulut, Orang Tua di hadapannya telah 

mendahului berkata.

"Kau tentu punya cara bagaimana 

mendapatkan mahkota itu dan sekaligus 

menyelamatkan rimba persilatan. 

Sekarang aku harus pergi...."

Orang Tua di hadapan murid Pendeta 

Sinting angkat tangan kanannya lalu 

disentakkan perlahan saja ke atas. Dari 

tangan kanannya melesat satu cahaya


terang. Cahaya itu bergerak lurus ke 

atas. Anehnya meski si Orang Tua telah 

tarik pulang tangan kanannya, cahaya itu 

tetap bersinar hingga ruangan goa 

sedikit terang.

Bersamaan dengan tertariknya tangan 

kanan si Orang Tua, perlahan-lahan sosok 

si Orang Tua laksana dibungkus asap

putih. Kejap lain sosoknya lenyap. Joko 

hanya dapat melihat meliuknya asap putih 

menyeruak keluar dari ruangan goa!

Pendekar 131 baru sadar, lalu 

buru-buru menjura hormat. "Terima kasih 

atas segala petunjukmu...

"Jangan buang-buang waktu. Lekas 

kau pelajari apa yang ada pada kitab 

itu!" Terdengar suara yang Joko tidak 

dapat menentukan dari mana sumbernya. 

Namun murid Pendeta Sinting merasa hafal 

betul dengan suara yang baru saja 

terdengar.

Pendekar 131 segera keluarkan 

kembali kitab bersampul kuning dari 

balik pakaiannya. Karena di ruangan itu 

kini ada cahaya, maka Joko kini dapat 

melihat dengan jelas.

Dengan dada sedikit berdebar dan 

tangan gemetar, Joko cepat letakkan 

kitab bersampul kuning pada pangkuannya. 

Perlahan-lahan lalu dibukanya sampul


kitab itu. Pada halaman pertama hanya 

tertera tulisan agak besar berbunyi. 

"Kitab Sundrik Cakra."

Joko lalu membuka halaman kedua. Di 

situ tertera tulisan.

Kitab ini hanya diperuntukkan bagi 

anak manusia yang telah memperoleh isi 

pada Kitab Serat Biru.

Murid Pendeta Sinting menghela 

napas dalam. Dadanya makin berdebar. Dia 

lalu membuka halaman ketiga yang 

ternyata halaman yang terakhir. Di situ 

hanya ada gambar tiga jari. Jari 

telunjuk, jari tengah, dan jari manis. 

Tidak ada tulisan atau petunjuk lain, 

membuat Joko kerutkan dahi berpikir.

"Jangan-jangan ini sama dengan apa 

yang ada pada Kitab Serat Biru. Aku hanya 

menempelkan jari-jariku pada gambar 

ini...." ujar Joko dalam hati ingat apa 

yang pernah didapat pada Kitab Serat 

Biru.

Joko perhatikan gambar tiga jari itu 

lekat-lekat. "Hem.... Jari telunjuk 

berada pada sebelah kiri, berarti ini 

tangan kanan!"

Tanpa menunggu lama, Joko segera 

angkat tangan kanannya. Jari telunjuk, 

jari tengah, dan jari manis segera 

dipentangkan menurut gambar yang


tertera. Lalu perlahan-lahan diletakkan 

di atas gambar.

Bersamaan dengan menempelnya ketiga 

jari tangan kanan murid Pendeta Sinting 

pada gambar, Joko merasakan hawa dingin 

menusuk masuk lewat ketiga jari-jarinya. 

Kejap lain tubuhnya berguncang keras. 

Namun saat lain hawa dingin itu sirna. 

Guncangan tubuhnya pun terhenti. Dan 

perlahan-lahan dari kitab bersampul 

kuning itu mengepul asap. Ketika asap 

lenyap, tangan Joko tampak menggantung 

di udara. Kitab Sundrik Cakra lenyap 

tiada bekas sama sekali!

Murid Pendeta Sinting tidak terlaiu 

terkejut dengan kejadian ini karena hal 

itu pernah terjadi saat dia mempelajari 

dan membuka Kitab Serat Biru. Yang 

membuatnya sedikit tersendat adalah 

bersamaan dengan sirnanya Kitab Sundrik 

Cakra, sinar cahaya yang menerangi 

ruangan goa yang berasal dari sentakan 

tangan si Orang Tua ikut redup seketika 

hingga ruangan goa kembali digenggam 

kegelapan.

"Aku akan mencoba apa kehebatan isi 

kitab tadi...."

Murid Pendeta Sinting salurkan 

tenaga dalam pada tangan kanannya. 

Sejenak dia merasakan hawa dingin pada


ketiga jari tangan kanannya. Ketika 

tangan itu disentakkan ke depan, melesat 

tiga larik cahaya kuning sebesar jari 

tangan. Kejap lain terdengar ledakan 

dahsyat. Saking tidak menduga, murid 

Pendeta Sinting sempat terlonjak 

sendiri.

Batu karang di sebelah depan hancur 

berantakan. Ruangan goa di mana Joko 

berada bergetar laksana diguncang gempa 

hebat. Disusul dengan longsornya dinding 

ruangan goa sebelah samping, lalu 

merembet ke tengah. Langit-langit 

ruangan pun berhamburan. Hingga ruangan 

goa itu dibuncah beberapa derakan suara 

bergemuruh.

"Celaka! Aku bisa terkubur di sini 

kalau tidak segera menyingkir!"

Secepat kilat, Joko bangkit lalu 

berkelebat keluar ruangan goa. Pada saat 

bersamaan terdengar suara letupan 

beberapa kali. Ketika Joko menoleh, 

gugusan batu karang yang membentuk 

ruangan goa itu ambruk!

"Sialan! Terpaksa malam ini aku 

harus tidur di tempat terbuka!" gumam 

Joko lalu melangkah mencari gugusan batu 

yang agak rata. Pada sebuah gugusan batu 

agak rata yang menghadap laut murid 

Pendeta Sinting duduk bersila seraya


sandarkan punggung pada gugusan batu 

karang di belakangnya. Dia lalu 

rangkapkan kedua tangan dengan menarik 

napas panjang coba pusatkan pikiran. 

Anehnya yang muncul adalah bayangan 

wajah cantik Dewi Seribu Bunga. Begitu 

dia dapat menepis raut wajah gadis itu, 

muncul paras Sitoresmi! Murid Pendeta 

Sinting coba lenyapkan bayangan paras 

Sitoresmi. Namun kini muncul sosok Puspa 

Ratri.

Pada akhirnya Pendekar 131 Joko 

Sableng buka kelopak matanya. Anehnya 

kini terlihat jelas bayangan Saraswati 

di depan matanya!

Murid Pendeta Sinting hanya bisa 

geleng-geleng kepala sambil bergumam 

tidak jelas. Anehnya lagi, begitu

bayangan Saraswati sirna yang muncul 

kini adalah raut wajah Ratu Malam disusul 

dengan Iblis Ompong yang tegak dengan 

pantat menungging dan mulut terbuka 

menganga.

"Sialan betul! Daripada melihat 

yang tua-tua lebih baik kubayangkan saja 

gadis-gadis tadi!" ujar Joko lalu 

kembali katupkan kelopak matanya. Dia 

tersentak, karena bagaimanapun dia coba 

mengingat wajah-wajah Dewi Seribu Bunga, 

Sitoresmi, Puspa Ratri, maupun Saraswati


tidak satu pun dari raut wajah 

gadis-gadis itu muncul! Justru yang 

terbayang adalah Iblis Ompong!



                           SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar