Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode :
Misteri Tengkorak Berdarah
SATU
Sosok berjubah hitam besar dan
panjang, serta wajahnya ditutup dengan
cadar hitam itu berlari laksana angin.
Namun demikian sesekali kepala orang ini
berpaling ke belakang, jelas jika dia
dihantui suatu kebimbangan.
Sosok berjubah dan bercadar hitam
yang tidak lain adalah Dewi Siluman
berlari tanpa bisa pusatkan perhatian.
Pikirannya tertuju pada Ki Buyut Pagar
Alam. Sebenarnya perempuan ini enggan
tinggalkan tempat terjadinya bentrok.
Tapi begitu maklum bahwa orang berjubah
abu-abu terusan, ilmu kepandaiannya
berada di atasnya malah tidak berada di
bawah Ki Buyut Pagar Alam, anak Daeng
Upas ini cepat berfikir dua kali. Apalagi
ketika didengarnya TengKorak Berdarah
mengatakan tidak akan membiarkan hidup
keturunan atau kerabat Daeng Upas.
(Seperti diceritakan pada episode
sebelumnya: "Jejak Darah Masa Lalu").
Terjadilah bentrok antara Dewi
Siluman dan KI Buyut Pagar Alam dengan
Tengkorak Berdarah Namun kepandaian
kedua orang itu rupanya masih berada di
bawah Tengkorak Berdarah, malah pada
akhirnya, Ki Buyut Pagar Alam
menyarankan agar Dewi Siluman segera
tinggalkan tempat terjadinya bentrok
untuk selamatkan diri.
Kalau aku ikut tewas di tangan
manusia hahanam ini maksud tujuannya
akan tercapai! Hem....Bagaimanapun juga
aku harus selamatkan diri meski terasa
berat meninggalkan Ki Buyut. Dengan
begitu, aku masih punya kesempatan
mendalami kepandaian dan memburu Kitab
Serat Biru yang ada d tangan Pendekar
131.... Setelah itu aku akan menuntut
balas" batin Dewi Siluman saat itu. Lalu
ketika K Buyut Pagar Alam berteriak
menyuruhnya berlari sambil lepaskan
pukulan, anak Daeng Upas ini melesat
tinggalkan tempat itu.
Pada satu tempat yang rindang, Dewi
Siluman hentikan larinya. Lalu duduk
bersandar pada sebatang pohon.
"Ibu telah terbunuh. Apakah Ki Buyut
akan menyusul?! Murid-muridku pun malah
telah terlebih dahulu tewas. Ada yang
hidup tapi bertindak bodoh hingga sampai
lupa diri!" gumam Dewi Silumai mengingat
pada kejadian beberapa waktu lalu Pulau
Biru. Seperti diketahui, waktu terjadi
kegegeran di Pulau Biru, kedua muridnya
Wulandari dan Ayi Laksmi akhirnya harus
menemui ajal di tangan Dewi Seribu Bunga.
Satu-satunya murid yang masih hidup
adalah Sitoresmi. Namun gadis itu telah
berbalik arah. Seperti diketahui,
Sitoresmi yang mendapat tugas memburu
rahasia Kitab Serat Biru pada akhirnya
jatuh hati pada Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng hingga dia lupa tugasnya
malah beberapa kali membantu sang
Pendekar. (Lebih jelasnya silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode
"Neraka Pulau Biru").
"Ah.... Jika Ki Buyut tak bisa
bertahan, berarti aku akan hidup
sebatang kara. Hem.... Aku sekarang
yakin, manusia jahanam berjubah abu-abu
itulah yang membunuh Ibu! Ibu.... Belum
sempat kau katakan siapa ayahku,
ternyata kau telah pergi. Pada siapa
kelak aku harus bertanya? Kau tak pernah
mau mengatakan siapa orang yang tahu
tentang ayahku.... Malang benar
nasibku!"
Dewi Siluman sesenggukan. Lalu
tarik kedua kakinya menekuk ke atas.
Wajah bercadar yang sepasang matanya
keluarkan air mata itu segera ditekapkan
rapat pada kedua tangannya. Kedua
tangannya melingkar pada kedua kakinya.
Beberapa saat berlalu. Dewi Siluman
tidak tahu berapa lama dia menangis
sesenggukan dan bicara sendiri dengan
tekapkan wajahnya yang bercadar pada
kedua pahanya seperti itu.
Anak Daeng Upas ini baru putuskan
sesenggukan nya saat menyadari bahwa di
tempat itu sekarang dia tidak lagi berada
sendirian:
Menangkap ada yang tidak beres di
tempat itu, kepala Dewi Siluman yang
merapat pada pahanya pun bergerak
terangkat. Dari mulut perempuan ini
terdengar seruan kaget. Serentak dia
bangkit berdiri bersandar pada batang
pohon di belakangnya. Sepasang matanya
yang sembab berubah berkilat. Wajah di
balik cadarnya berubah antara khawatir
dan geram.
“Keparat ini tau-tau muncul
disini!! Kapan datangnya? Apakah dia
mendengar ucapanku tadi?!"
Di hadapan Dewi Siluman hanya
sejarak lima langkah terlihat seorang
kakek tegak dengan kepala tengadah
seolah memandangi rindangnya dedaunan
yang mampu menghadang sengatan sinar
matahari. Namun sebenarnya orang ini
tidak sedang menatapi rindangnya hijau
dedaunan. Kedua mata orang ini hanya
tampak putihnya saja menunjukkan bahwa
orang ini tidak bisa melihat alias buta.
Sedang tangan kanannya tidak henti
mengusap-usap sebuah cermin bulat pada
pangkal ikat pinggangnya yang besar
didepan perutnya yang menggelendot
lebar.
Begitu Dewi Siluman habis membatin
dan belum sempat buka mulut keluarkan
suara, kakek bermata buta yang bukan lain
adalah Gendeng Panuntun luruskan kepala
menghadap sang Dewi. Sepasang matanya
yang putih mengerjap. Lalu terdengar
suaranya.
"Harap maafkan diri tua ini jika
mengejutkanmu...." i
Dewi Siluman tidak menyahut. Hanya
diam-diam dia terus membatin. "Ada perlu
apa orang ini? Kalau dia berniat
buruk.... Tapi tak mungkin. Seandainya
dia mau, tentu dia telah lakukan waktu
aku tidak menyadari kedatangannya! Namun
bagaimanapun juga dia punya silang
sengketa denganku! Urusan Kitab Serat
Biru gagal karena ulahnya juga!"
"Anak gadis. Aku ikut bersedih
dengan apa yang terjadi menimpa
dirimu.... Tapi aku akan lebih bersedih
lagi kalaul kau tidak mengikuti saranku
nanti. Untuk hal itulah aku
mendatangimu! Aku tidak tahu apakah
ibumu pernah cerita apa tidak. Tapi tak
ada jeleknya kalau aku memberitahukan
padamu...." Gendeng Panuntun sengaja
hentikan ucapannya memberi kesempatan
pada Dewi Siluman untuk buka suara. Tapi
sejauh ini tampaknya Dewi Siluman masih
belum buka mulut hingga akhirnya Gendeng
Panuntun lanjutkan kata-katanya.
"Sebenarnya di antara kita masih ada
pertalian saudara meski bukan satu
kandung. Ibumu Daeng Upas adalah kakak
seperguruanku. Hanya karena tedikit
kesalahpahaman akhirnya hubungan jadi
retak. Tapi percayalah. Aku masih
menganggap ibumu saudaraku, termasuk kau
juga!"
Dewi Siluman tertawa pendek. Untuk
pertama kalinya dia buka mulut
perdengarkan suara.
"Kau menganggap ibuku masih saudara
itu urusanmu! Aku tidak peduli! Hanya
perlu kau ketahui, aku menghitungmu
sebagai musuh besar yang layak dilempar
ke dunia lain!"
Gendeng Panuntun tertawa panjang
mendengar tahutan Dewi Siluman. Sambil
terus usap-usap cermin bulatnya kakek
bermata buta ini berkata.
"Kalau kau menghitung musuh besar,
aku juga tidak ambil peduli. Aku tetap
menghitungmu sebagai saudara Karena
anggapan itulah aku datang menemuimu
memberi saran agar semua kesalahpahaman
lenyap lebih-lebih kau bisa terhindar
dari kemalangan berlarut-larut!"
Dewi Siluman mendengus. Lalu
membentak "Kau tahu apa tentang
diriku?!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala
seraya terus tertawa. "Kau memang lebih
tahu dirimu dari pada aku. Tapi pada satu
sisi, aku tahu apa yang tidak kau
ketahui! Maaf, jangan kira aku meramal!
Aku hanya punya firasat...."
Entah karena apa, tiba-tiba Dewi
Siluman sipitkan mata lalu membatin.
"Menurut yang kudengar, manusia
satu ini memang punya kehebatan
tersendiri. Aku akan tanya perihal Ki
Buyut...." Lalu anak Daeng Upas ini
berkata.
"Kemalangan apa sebenarnya yang kau
katakan tadi, Katakan padaku!"
Gendeng Panuntun terdiam beberapa
sebelum akhirnya berkata.
"Sebelumnya aku ikut bela sungkawa.
Tapi harap kau bertahan menerima suratan
ini...." Gendeng Panuntun menghela napas
panjang dahulu. Sementara dada Dewi
Siluman berdebar. Perempuan ini rupanya
bisa menebak arah ucapan si kakek, dia
tidak keluarkan suara.
"Anak cantik. Untuk sementara ini
kuharap kau pergi. Ke mana kau hendak
menuju terserah penting kau jangan
melibatkan diri dalam rimba persilatan!
Carilah orang yang bisa kau buat untuk
berlindung, karena kau sekarang sudah
tidak memiliki sapa-siapa lagi! Yang
ku...."
"Kau maksud adik ibuku yang bernama
Ki Buyut Pagar Alam telah terbunuh,
begitu?!" tukas Dewi Siluman memotong
ucapan Gendeng Panuntun.
"Begitulah dugaanku...," jawab si
kakek pelan. "Aku ikut bersedih...."
Tubuh Dewi Siluman gemetar. Tapi
akhirnya dia hanya dapat menarik napas
mengeluh.
"Ibumu menurut penglihatanku juga
telah mendahului pamanmu itu. Demikian
juga ayahmu...."
Kali ini Dewi Siluman tersentak dan
berseru tertahan mendengar ucapan
terakhir Gendeng Panuntun. Perempuan ini
cepat berkata.
"Katakan siapa sebenarnya ayahku?!"
"Ayahmu sebenarnya adalah seorang tokoh
yang dalam dunia persilatan lebih
dikenal dengan Datuk Besar. Sudah
beberapa tahun aku tidak mendengar kabar
beritanya sampai kuketahui tiba-tiba dia
telah meninggal...."
"Datuk Besar.... Aku pernah dengar
nama itu. Tapi aku benar-benar tidak
menduga kalau dia adalah ayahku! Hem....
Apakah dia juga terbunuh di tangan
Siluman berjubah abu-abu itu seperti
ucapan ancamannya?!"
Membatin begitu lalu Dewi Siluman
berujar. Kau tahu ayahku meninggal.
Kenapa dia meninggal? Sakit atau dibunuh
orang? Di mana dia beradanya?l"
"Sebab pangkal kematian ayahmu
tidak kuketahui. Sebelumnya dia
bertempat tinggal pada satu tempat
sunyi. Tapi percuma kau mencarinya.
Kukira ibumu telah mengurus jenazahnya
jauh dari tempat tinggalnya semula"
Dewi Siluman menarik napas dalam.
Gendeng Panuntun mendongak. "Anak gadis
cantik.... Sekarang jalan terbaik bagimu
adalah cari orang tempat berlindung. Kau
tidak bisa hidup sendirian terus
menerus. Aku tahu, di balik kain cadarmu,
tersembunyi satu wajah cantik. Hanya
laki-laki bodoh yang tidak merasa
tertarik."
Meski dalam keadaan dibuncah
berbagai perasaan, mendengar ucapan
Gendeng Panuntun mau tak mau wajah di
balik cadar hitam sang Dewi tampak
berubah memerah.
"Anak cantik. Terus terang saja.
Yang kumaksud tadi adalah kuharap kau
segera kawin...."
Dewi Siluman tercengang. Tidak
menduga kalau arah ucapan Gendeng
Panuntun ke arah sana. Namun
ketercengangan anak Daeng Upas ini hanya
sekejap. Saat lain justru dia tertawa.
"Mengapa kau tertawa? Apakah
ucapanku lucu?!"
"Bukan hanya lucu. Tapi kau telah
bicara lancang" sahut Dewi Siluman. "Aku
tahu bagaimana mendapat kebahagiaan
tanpa harus turuti ucapanmu"
"Ah.... Kau berkata begitu karena
kau belum merasakan bagaimana nikmatnya
berkeluarga! Kalau kau tahu, mungkin kau
merasa menyesal tidak sedari dulu
kawin...! Jika kau belum percnya, coba
tanya pada orang-orang yang telah
berpasangan!"
"Orang tua! Kau telah bicara
ngelantur dan terlalu jauh urusi
persoalanku! Dan perlu kau ketahui, aku
tidak akan kawin sebelum tanganku dapat
memutus batang leher orang yang berbuat
keji pada Ibu serta Ki Buyut!"
"Aku tahu. Tapi kuharap kau juga mau
dengar saranku yang tadi. Percayalah,
lebih baik kau berubah pikiran...."
Lalu tanpa hiraukan orang yang mulai
jengkel, Gendeng Panuntun tertawa
bergelak. Lalu balikkan tubuh dan
melangkah meninggalkan Dewi Siluman yang
tegak dengan mata mendelik. Perempuan
ini sebenarnya hendak berkelebat
menyusul, karena dia teringat akan
kejadian di Pulau Biru. Tapi mendadak
anak Daeng Upas ini batalkan niat ketika
dilihatnya di depan sana Gendeng
Panuntun hentikan langkah. Lalu
kepalanya mendongak seakan pandangi
rimbun dedaunan. Saat lain terdengar
orang ini berkata.
"Urusan telah selesai. Kita segera
pergi...."
"Aneh.... Orang buta itu apa telah
gila hingga bicara sendiri? Atau...."
Dewi Siluman tidak lanjutkan gumamannya.
Sebaliknya dia terkesiap takkala
sepasang matanya tiba-tiba menangkap
satu sosok tubuh melayang turun dari
pohon besar berdahan rindang di atas
dimana Gendeng Panuntun berada.
"Astaga! Dia bersama orang
lain...," desis sang Dewi. Perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini segera
berkelebat untuk mengetahui siapa adanya
orang yang baru melayang turun.
Tapi belum sempat Dewi Siluman
melesat, Gendeng Panuntun telah
berkelebat bersama orang yang baru
melayang dari atas pohon. Anak Daeng Upas
ini hanya bisa melihat jubah merah
menyala yang dikenakan orang, lalu
mendengar suara tawa cekikikan yang
jelas menunjukkan kalau orang yang baru
saja turun mengenakan jubah warna merah
menyala adalah seorang perempuan!
Sepeninggal Gendeng Panuntun, Dewi
Siluman duduk bersimpuh dengan kedua
tangan dikatupkan pada wajahnya yang
tertutup cadar hitam. Bahu perempuan ini
terlihat berguncang dan terdengar isakan
tangisnya.
Beberapa saat berlalu. Setelah
dapat menguasai perasaan, Dewi Siluman
turunkan kedua tangannya dari wajah.
Kepalanya lalu mendongak. Meski dia
merasa jengkel dengan ucapan-ucapan
Gendeng Panuntun namun mau tak mau
hatinya terusik juga menyimak kembali
ucapan orang tua bertubuh besar gemrot
itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menuruti ucapan orang buta itu?!" Mulut
di balik cadarnya tersenyum malah
terdengar keluarkan suara tawa perlahan.
"Kawin! Hem.... Rasanya sampai saat
ini belum ada seorang laki-laki yang
menarik hatiku. Tapi mengapa kadang kala
wajah pemuda itu tak bisa kulupakan?
Padahal dendamku padanya setinggi
langit! Pemuda itu memang tampan hingga
Sitoresmi sampai berani berkhianat. Tapi
ah.... Mengapa aku jadi memikirkan
pemuda yang seharusnya kubunuh? Sialan
betul!"
Dewi Siluman memaki sendiri sambil
kepalkan kedua tangannya. "Aku tidak
akan kawin sebelum semua urusan ini
selesai tuntas!" Perempuan berjubah
serta bercadar hitam ini arahkan
pandangannya ke jurusan mana tadi
Gendeng Panuntun berkelebat pergi.
"Perempuan berjubah merah bukan
lain pasti sinenek sialan bergelar Ratu
Malam itu. Kalau mereka berdua pergi
bersama dan sepertinya terburu-buru
pasti ada masalah penting. Aku harus
menyelidik. Jangan-jangan ini masih ada
hubungannya dengan pumuda sableng itu!"
Dewi Siluman bangkit. Setelah
edarkan pandangannya berkeliling dia
berkelebat ke arah mana si Gendeng
Panuntun dan perempuan berjubah merah
menyala yang tidak lain memang Ratu Malam
adanya berkelebat pergi.
***
Kita tinggalkan dahulu Dewi Siluman
yang di buncah berbagai perasaan begitu
mendengar keterangan Gendeng Panuntun.
Kita kembali sejenak pada Prabarini
serta Puspa Ratri. Seperti diketahui,
sebelum terjadi bentrok lebih jauh
antara Puspa Ratri dengan Saraswati,
mendadak muncul Prabarini yang kemudian
mengajak anaknya tinggalkan tempat
perkelahian.
Pada satu tempat agak sepi,
Prabarini hentikan larinya. Setelah
memandang berkeliling, perempuan ini
duduk di atas tanah. Puspa Ratri yang
berlari di belakangnya segera pula
berhenti lalu duduk di hadapan ibunya.
Untuk beberapa saat Prabarini
memandangi wajah anaknya. Dia menghela
napas panjang. Wajah dan sikapnya jelas
membayangkan rasa tidak enak di hati.
Setelah agak lama Prabarini alihkan
pandangannya ke jurusan lain sambil
berkata.
"Puspa.... Ibu harap kau nanti tidak
salah paham. Ini kukatakan dahulu karena
apa yang hendak kita bicarakan
menyangkut pemuda yang pernah kita
tolong beberapa waktu lalu...."
Puspa Ratri hanya pandangi ibunya
tanpa buka mulut. Paras gadis cantik ini
tampak murung malah sepertinya dia
enggan untuk bicara.
"Puspa.... Ibu tahu. Kau menyukai
pemuda itu. Tapi rasanya tidak pantas
jika kau sampai adu mulut sampai hendak
saling bunuh! Kau seorang perempuan.
Laki-laki akan besar kepala kalau dibela
mati-matian begitu rupa. Dan hal itu
justru kelak akan menjadi bumerang
bagimu".
Sebenarnya Puspa Ratri enggan
menyahut ucapan ibunya. Namun mungkin
karena ingin membela diri, akhirnya
gadis ini berkata.
"Aku tidak akan bertindak kasar
kalau tidak melihat gadis itu berlaku
licik hendak mencelakai! Apalagi dia
bersekongkol dengan orang lain untuk
merampas benda yang kurasa sangat
berharga sekali".
"Kau hanya dituntun perasaan
cemburu, Puspa Ratri”.
"Ibu...! Kalau gadis itu terus
terang dan berlaku baik-baik, aku tidak
akan ambil peduli. Mungkin memang sudah
berjodoh. Tapi dia berlaku pura-pura!
Malah kurasa Joko sebelumnya tidak
mengetahui kalau pemuda berkumis tipis
berpakaian hitam-hitam itu adalah
seorang gadis. Kalau dia tidak mau
bertemu orang dan menyamar, pasti di
balik semua itu punya tujuan tertentu.
Dan tujuannya pasti jahat!!"
Air muka Prabarini sejenak berubah-
Sambil sunggingkan senyum dia berujar.
"Kau menyindirku...?"
"Aku tidak menyindir Ibu yang selalu
menyaru dengan mengenakan bedak tebal
agar tidak dikenal. Hanya biasanya orang
menyamar tak mau dikenal, punya tujuan
tidak baik!"
Kembali Prabarini tersenyum
mendengar ucapan anaknya. Lalu berkata.
"Bagaimana kau bisa berpendapat
begitu?"
"Kalau tujuan kita baik, mengapa
kita takut tunjukkan wajah asli?
Kebaikan tidak perlu
ditutup-tutupi...."
"Ucapanmu benar. Tapi kau jangan
samakan semua orang yang menyamar punya
tujuan jahat. Tindakan boleh sama, tapi
tujuan pasti berbeda!"
Mungkin karena selama ini ibunya
tidak mau jelaskan apa sebenarnya yang
menjadi tujuannya menyamar, lagi pula
karena masih tidak suka dengan tindakan
ibunya, Puspa Ratri akhirnya berkata
lagi.
"Orang melihat bukan pada hati yang
tidak kelihatan. Tapi pada tindakan! Apa
pun alasan Ibu, orang pasti menduga
tujuan Ibu menyamar adalah tidak baik!"
"Anakku.... Untuk sementara ini aku
memang harus menerima penilaian itu!
Tapi kelak semua akan tahu bahwa aku
punya tujuan baik...."
"Kelak kapan, Ibu...?" tanya Puspa
Ratri.
"Aku tak dapat menentukan kapan
waktunya. Namun jelas hal itu akan
terjadi!"
"Selama ini Ibu selalu berkata
begitu. Bukan hanya dalam urusan ini
saja. Tapi juga soal keterangan yang
menyangkut Ayah...."
Prabarini tampak menghefa napas.
"Anakku.... lihatlah! Kuharap kau
bersabar. Kuharap juga kau tidak terlalu
jauh berprasangka pada gadis berpakaian
hitam-hitam itu...."
Puspa Ratri tatap wajah ibunya
lekat-lekat. Sedang matanya memandang
tajam pada bola mata ibunya. Lalu
terdengar ucapannya.
"Ibu rasanya selalu membela gadis
itu!"
"Aku tidak membela. Aku hanya ingin
mendudukkan urusan agar nantinya tidak
berlarut-larut. Kau tentu masih ingat
ucapanku tempo hari. Kau kuminta jauhi
pemuda itu. Karena aku sudah tahu karena
ada gadis lain yang telah menyukainya!
Aku khawatir terjadi apa-apa. Ternyata
apa yang kukhawatirkan benar-benar
terjadi.... Aku menyesal mengapa tempo
hari tidak mengatakan terus terang
padamu apa sebabnya aku mengharap agar
kau menjauhi pemuda itu...."
"Ibu.... Ibu tidak usah merasa
menyesal. Aku tidak apa-apa kalau pemuda
itu sudah punya pilihan! Yang tidak
kusukai adalah sikap gadis itu! Ibu tahu
nanti bagaimana akhirnya pemuda itu
sampai mendapat celaka!"
"Itu dua hal yang berbeda, Puspa...!
Bila seseorang mencintai, maka tidak
mungkin orang itu menginginkan celaka
pada orang yang dicintai!"
"Menuruti ucapan Ibu, berarti gadis
itu hanya pura-pura menyintai pemuda
itu!" kata Puspa Ratri. Suaranya agak
meninggi.
"Tidak semudah itu menduga isi hati
orang, Anakku...."
"Tapi setidaknya bisa dilihat dari
sikapnya bukan?!"
Prabarini gelengkan kepala. "Sikap
orang belum bisa dijadikan pertimbangan.
Kadang kala orang bersikap karena
terpaksa!"
"Tapi sikap gadis itu kurasa bukan
karena terpaksa! Dia telah rencanakan
matang sebelumnya Kalau tidak bagaimana
mungkin kemunculannya hampir bersamaan
dengan Tengkorak Berdarah? Mereka berdua
tentu bersekongkol!"
Prabarini tersentak mendengar
ucapan anaknya. Diam-diam dalam hati dia
membatin. "Anak ini dari tadi menyatakan
jika Saraswati bersekongkol dengan orang
lain. Tak kusangka kalau yang dimaksud
adalah Tengkorak Berdarah! Hemmm....
Jangan-jangan.... Lasmini"
"Puspa.... Coba ceritakan apa
sebenarnya yang tadi terjadi!"
Setelah memandang ibunya sesaat,
Puspa Ratri lalu menceritakan tentang
pertemuannya dengan Pendekar 131 hingga
akhirnya murid Pendeta Sinting terhantam
pukulan dan tendangan Tengkorak Berdarah
setelah memberikan kitab bersampul
kuning dan mahkota bersusun tiga.
Untuk kedua kalinya Prabarini
terkesiap. Malah perempuan ini sempat
terlonjak saking kagetnya. "Aku yakin.
Dia adalah Lasmini! Malapetaka akan
makin merajalela kalau urusan ini tidak
segera diatasi. Kitab itu.... Bagaimana
bisa begitu mudah diberi tahu pada orang?
Anak itu terlalu sembrono! Kitab itu
harus segera diselamatkan...."
"Kau yakin orang itu adalah
Tengkorak Berdarah?"
"Joko sempat berbincang dengan
orang itu! Mereka tampaknya sudah saling
kenal. Tapi tak tahunya...."
Ucapan Puspa Ratri belum selesai,
Prabarini telah memotong.
"Bagaimana ciri-ciri orang yang kau
katakan Tengkorak Berdarah itu?!"
"Sekujur tubuhnya tertutup jubah
terusan warna abu-abu. Pada dadanya
terlihat gambar sebuah tengkorak...."
"Kau bisa menebak orang itu
laki-laki atau perempuan?!" Prabarini
terus ajukan tanya untuk meyakinkan
dugaannya.
"Karena wajah bahkan seluruh
anggota tubuhnya tertutup, aku tidak
bisa menentukan laki perempuannya. Hanya
dari suaranya, jelas kalau dia adalah
seorang laki-laki".
"Apakah dia juga mengenal gadis
berpakaian hitam yang saat itu juga ada
di situ?"
"Aku berani mengatakan mereka
sekongkol karena rupanya mereka seperti
sudah saling mengenal!"
"Hah...? Bagaimana ini? Apakah
mungkin Lasmini telah mengenali
Saraswati? Kalau betul rencanaku akan
gagal!" kembali Prabarini berkutat
dengan kata hatinya.
"Kenapa Ibu begitu penasaran. Ibu
mengenal orang yang bergelar Tengkorak
Berdarah itu?!" tanya Puspa Ratri merasa
curiga dengan pertanyaan ibunya
lebih-lebih pada perubahan wajahnya.
Untuk beberapa saat Prabarini tidak
jawab pertanyaan anaknya. Mungkin karena
tak mau membuat anaknya jadi curiga,
akhirnya Prabarini menjawab.
"Kalangan rimba persilatan kini
sedang dilanda kegemparan. Hal itu
dihubung-hubungkan orang dengan
Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu.
Karena selama ini orang hanya tahu nama
Tengkorak Berdarah, tanpa satu pun orang
yang mengetahui bagaimana orangnya. Jadi
kalau kau bertemu dengan orang yang
bergelar Tengkorak Berdarah, tentu aku
ingin meyakinkan. Aku pernah sedikit
dengar tentang orang itu...."
"Hem.... Apakah sama dengan orang
yang kukatakan?!"
"Sama persis tidak. Hanya
mirip...," ujar Prabarini.
Puspa Ratri kerutkan dahi. Sepasang
matanya mengarah pada jurusan lain.
"Mendengar keteranganmu, jangan
jangan ada dua Tengkorak Berdarah!"
"Anak ini pandai menduga.... Tapi
biarlah untuk sementara ini dia hanya
menduga-duga dahulu. Dan aku harus
segera lakukan sesuatu...."
Berpikir begitu, Prabarini bergerak
bangkit. Memandang lekat-Iekat pada
anaknya lalu berkata.
"Puspa.... Kuharap untuk sementara
ini kau tidak ke mana-mana dahulu sebelum
aku datang. Kalau sampai dalam dua hari
di depan aku tidak datang. Kuminta kau
datang ke sekitar Istana Hantu. Tapi
ingat, kau harus bertindak
hati-hati...!"
Puspa Ratri tampak terkejut. Dia
ikut bergerak bangkit. Lalu bertanya.
"Ada apa sebenarnya, Ibu...?!"
"Saat ini bukan saat yang baik untuk
bercerita. Kelak kau akan tahu sendiri.
Kau ingat pesanku baik-baik. Dan jaga
dirimu baik-baik!"
Puspa Ratri hendak mengatakan
sesuatu. Namun sebelum suaranya
terdengar, Prabarini telah mendahului
bicara.
"Kau juga jangan membuat urusan baru
dengan gadis itu sebelum dua hari di
depan!"
Selesai berkata begitu, perempuan
yang selama ini selalu sembunyikan wajah
aslinya dengan bedak tebal ini putar
diri. Kejap lain sosoknya berkelebat
tinggalkan Puspa Ratri yang memandangnya
dengan hati dibuncah berbagai tanya.
***
DUA
Suasana di penghujung malam
menjelang dini hari itu diselimuti hawa
dingin menembus tulang dan kepekatan
kabut. Kemana mata memandang yang
terlihat hanyalah lamunan warna putih
yang membungkus apa saja di lingkaran
bumi.Laksana dikejar setan, satu sosok
bayangan yang seluruh anggota tubuhnya
tertutup jubah terusan warna abu-abu
dari kaki sampai rambut itu berkelebat
cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah
berada jauh dari tempatnya semula di satu
lereng bukit.
Pada satu tempat, orang ini hentikan
larinya. Kepalanya di balik jubah
abu-abu terusan bergerak memutar, lalu
tengadah seolah menembusi kepekatan
kabut.
"Saat ini adalah hari yang
ditentukan Prabarini. .Jahanam betul!
Kalau saja dia tidak menggantung urusan
dengan mengaitkan Saraswati, sudah sejak
malam itu kuakhiri hidupnya! Hem....
Apakah benar perempuan itu mengetahui
keberadaan anakku? Apa ini bukan tipu
muslihat?"
Orang berjubah terusan abu-abu yang
tidak lain adalah Tengkorak Berdarah
adanya tiba-tiba tertawa. "Walau aku
belum sempat mempelajari kitab bersampul
kuning ini, tapi kedua tanganku masih
mampu mengakhiri hidup Prabarini jika
dia berani bertindak tolol
memuslihatiku!"
Tangan kanan orang ini terlihat
bergerak meraba perutnya. Dia lalu
menghela napas panjang. "Sebenarnya aku
ingin segera mempelajari kitab ini, tapi
aku belum tenang jika tidak buktikan
ucapan Prabarini!"
Setelah bergumam sendiri, akhirnya
dia berkelebat teruskan larinya menuju
arah barat. Bersamaan dengan itu
perlahan-lahan sang surya
memperlihatkan diri menggantikan malam
dan menyapu lamunan kabut.
Ketika matahari merayap semakin
mendekati titik tengah, Tengkorak
Berdarah hentikan larinya. Dia putar
kepala di balik jubah terusan abu-abunya
ke sekeliling tempat di mana saat ini dia
berada. Ternyata dia berada pada satu
tempat yang banyak ditumbuhi pohon
besar. Dan di sebelah depan sana terlihat
satu bangunan mirip sebuah istana yang
pintu gerbangnya terbuka.
"Hem.... Perempuan itu belum
kelihatan batang hidungnya!
Jangan-jangan dia tidak muncul di tempat
ini! Tapi aku akan menunggu...," desis
Tengkorak Berdarah. Lalu berkelebat dan
berlindung di balik satu batang pohon.
Seperti dituturkan dalam episode :
"Jejak Darah Masa Lalu", Prabarini
meminta Tengkorak Berdarah datang
menemuinya di sebuah pancuran di sebelah
timur Kampung Pandan. Di situ Prabarini
membuka penyamarannya. Perempuan ibu
Puspa Ratri ini pun akhirnya dapat
menduga siapa adanya orang yang lain
mengenakan jubah abu-abu terusan dan
selalu memaklumkan diri sebagai
Tengkorak Berdarah. Dia ternyata adalah
Lasmini, istri pertama suami Prabarini.
Saat itu sebenarnya Lasmini alias
Tengkorak Berdarah yang telah menimbun
benci itu hendak melampiaskan dendam
hatinya. Namun niatnya diurungkan karena
Prabarini menyebut-nyebut nama
Saraswati yang ternyata adalah anak
perempuan tunggal Lasmini yang selama
ini dicarinya. Di tempat itu juga
Prabarini hendak mengantarkan Lasmini
untuk menemui anaknya tapi dia minta
syarat agar Tengkorak Berdarah membuka
penyamarannya dan berkata jujur. Namun
Lasmini menolak. Pada akhirnya Prabarini
memberi waktu tiga hari di depan pada
Lasmini agar menemuinya di halaman Is-
tana Hantu. Tengkorak Berdarah alias
Lasmini sebenarnya enggan memenuhi
permintaan Prabarini, apalagi setelah
dia mendapatkan kitab bersampul kuning
serta mahkota bersusun tiga dari tangan
Pendekar 131 Joko Sableng. Namun karena
pertemuan ini ada sangkut pautnya dengan
anak perempuannya yang selama ini
dicari-cari, akhirnya Lasmini
memutuskan untuk memenuhi permintaan
Prabarini meski dia belum sempat
mempelajari kitab bersampul kuning yang
baru didapatnya.
Baru saja sosok Tengkorak Berdarah
lenyap berlindung di balik pohon,
kesunyian di sekitar halaman Istana
Hantu mendadak dipecah oleh suara orang
mendehem.
Tengkorak Berdarah tersentak kaget.
Dia memaklumi jika di tempat itu kini ada
orang lain. Kepala di balik jubah terusan
abu-abunya bergerak cepat ke arah sumber
suara. Namun karena di sekitar tempat itu
banyak jajaran pohon besar, orang ini
tidak menangkap adanya seseorang!
"Keparat! Apakah dia perempuan
laknat itu?! Atau orang lain?!" desis
Tengkorak Berdarah. Karena ditunggu agak
lama tidak terdengar lagi suara orang dan
tidak ada tanda-tanda akan munculnya
seseorang, sementara dia sadar di tempat
itu ada orang, Tengkorak Berdarah
salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Lalu berteriak garang.
"Orang bersembunyi! Mengapa berlaku
pengecut tidak tunjukkan tampang?!"
Tidak terdengar suara sahutan atau
muncuinya seseorang, membuat Tengkorak
Berdarah mulai geram. Orang ini untuk
kedua kalinya berteriak.
"Aku tahu kau berada di sekitar
tempat ini! Siapa pun kau adanya
tunjukkan dirimu!"
Terdengar orang berdehem. Lalu
disusul dengan suara. "Aku memenuhi
permintaanmu! Kuharap kau juga segera
keluar dari balik pohon!"
Suara orang belum selesai, satu
sosok bayangan berkelebat dari balik
salah satu pohon, lalu tegak di tempat
agak terbuka. Sementara kepala Tengkorak
Berdarah mengikuti tubuh yang baru saja
berkelebat dan kini telah berada di
tempat terbuka sejarak kira- kira
sepuluh tombak dari tempatnya. Orang ini
ternyata perempuan berpakaian warna
putih. Rambutnya yang telah bertabur
warna putih digelung. Walau usianya
tidak muda tapi sekali lihat orang dapat
menduga jika saat mudanya perempuan ini
berwajah cantik.
Prabarini!" bisik Tengkorak
Berdarah mengenali siapa adanya orang
yang kini tegak di seberang nya. Namun
dia tidak segera keluar dari tempat
bersembunyinya. Orang ini masih merasa
khawatir jika ada orang lain lagi di
tempat itu. Hingga setelah memandang
sejurus ke arah perempuan yang bukan lain
memang Prabarini, kepala Tengkorak
Berdarah bergerak ke kanan kiri.
"Aku telah menuruti permintaanmu.
Mengapa kau masih tidak mau muncul?!"
Prabarini buka mulut sambil arahkan
pandangannya ke pohon di mana Tengkorak
Berdarah berlindung sembunyikan diri.
Tengkorak Berdarah mendengus.
Sekali berkelebat, sosoknya telah
berdiri empat tombak di hadapan
Prabarini. Lalu terdengar dia berujar.
"Aku datang memenuhi perjanjian!"
Prabarini pandang lekat-lekat pada
sosok Tengkorak Berdarah. "Hem.... Dia
masih menyarukan suaranya mirip suara
laki-laki!"
"Waktuku sangat terbatas! Beberapa
urusan lain menungguku! Bicara langsung
saja. Mana Saraswati" kata Tengkorak
Berdarah jelas menunjukkan rasa tidak
sabar.
"Kuharap kau bersabar sedikit,
Lasmini! Ada beberapa peristiwa yang
membuat pertemuan ini jadi berubah di
luar rencana."
"Setan! Kau jangan mimpi bisa
membohongiku dengan segala macam alasan!
Dan harap mulutmu tidak menyebut siapa
namaku! Kau dengar?!" bentak Tengkorak
Berdarah.
Prabarini anggukkan kepala. "Tidak
susah menuruti perkataanmu. Tapi jangan
kau bersalah duga aku membohongimu
dengan alasan! Sesuatu yang tidak
terduga benar-benar terjadi! Tapi aku
masih percaya, urusan ini akan selesai
asal kau mau sedikit bersabar!"
"Kalau saja urusan ini tidak ada
sangkut pautnya dengan Saraswati,
tanganku sudah tak sabar ingin segera
mengakhiri napasmu!" desis Tengkorak
Berdarah sambil tengadah. "Lalu sampai
kapan aku harus menunggu, hah?! Dan
urusan apa yang menghambat sampai
pertemuan ini jadi berlarut-larut?!"
"Urusan itu kau yang membuat. Kau
secara tak terduga berhasil mendapatkan
sebuah kitab dari seorang pemuda! Itulah
yang membuat urusan ini jadi berubah di
luar rencana!"
Sepasang kaki di balik jubah abu-abu
terusan tersurut satu tindak. Meski
sekujur tubuh orang ini tertutup, namun
jelas jika dia tidak dapat sembunyikan
rasa kagetnya.
"Jahanam! Bagaimana perempuan ini
tahu aku memperoleh kitab itu?!" kata
Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu
membentak. "Apa hubunganmu dengan pemuda
itu?! Kekasih gelapmu?!"
Prabarini tertawa perlahan sambil
geleng-gelengkan kepala. "Dalam hidupku
hanya ada satu laki-laki. Aku pun sudah
punya anak perempuan yang menginjak
dewasa. Kurasa tidak pantas jika aku
masih memiliki hubungan dengan
laki-laki, apalagi dia seorang pemuda!"
"Hem.... Begitu? Lalu kenapa urusan
pemuda jadi menghambat urusan kita?!"
"Pemuda itu ada kaitannya dengan apa
yang hendak kita selesaikan!"
Jawaban Prabarini membuat dada
Tengkorak Berdarah berdebar. Dia coba
menduga arah ucapan Prabarini.
"Beberapa kali aku berternu dengan
pemuda itu sampai secara tak terduga dia
menyerahkan kitab bersampul kuning dan
mahkota bersusun tiga. Pada beberapa
kali pertemuan dia selalu bersama-sama
seorang gadis. Jangan-jangan gadis
itu.... Dan pemuda itu adalah laki-laki
yang pernah dikatakan Prabarini
sebagai...." Dada Tengkorak Berdarah
makin berdebar. Dia teringat akan ucapan
Prabarini ketika bertemu di sebelah
timur Kampung Pandan tiga bulan yang
lalu.
"Prabarini! Katakan terus terang.
Apa kaitannya pomuda itu dalam urusan
kita!"
"Tanpa munculnya orang yang kita
kehendaki, percuma mengatakan kaitannya
dengan urusan kita. Jadi kuharap kau mau
mengerti dan bersabar barang sedikit!"
Rupanya Tengkorak Berdarah mulai
agak geram karena Prabarini tidak mau
menuruti permintaannya. Dia arahkan
kepalanya lurus menghadap Prabarini.
Lalu berkata.
"Aku tak pernah punya urusan dengan
pemuda itu! Jika ada itu adalah urusan di
luar urusan kita! Maka jangan
mengait-ngaitkan urusan orang lain ke
dalam urusan kita!"
"Ucapanmu benar! Tapi apa hendak
dikata. Ketentuan suratan mengharuskan
kita menerima kenyataan ini! Dan justru
pemuda itulah yang membuatku memintamu
membuka diri!"
"Urusan jahanam! Kenapa urusan ini
jadi mengait-ngaitkan orang lain?!"
desis Tengkorak Berdarah tak habis
mengerti. Dadanya makin diselimuti
beberapa duga dan tanya, membuatnya
makin tak sabar dan makin jengkel. Namun
dia masih coba menahan diri. Lalu dia
sentakkan kepalanya ke jurusan lain.
Saat itulah satu bayangan berkelebat
cepat dan kejap lain lenyap laksana
ditelan bumi.
"Ada orang.... Aku tidak bisa
mengenali tapi aku bisa memastikan dia
seorang perempuan!" bisik Tengkorak
Berdarah dalam hati. Lalu kembali
ha-apkan kepalanya ke arah Prabarini.
"Kalau kau mengundang orang lain
selain aku, lekas suruh keluar orang itu!
Jangan sampai aku salah turunkan tangan
maut padanya!"
Prabarini menghela napas. Lalu
putar sedikit tubuhnya ke kanan.
"Kau tak usah sembunyikan diri!
Kedatanganmu memang kutunggu...," kata
Prabarini. Rupanya perempuan ini sudah
tahu jika baru saja ada orang berkelebat
dan tiba-tiba lenyap sembunyikan diri.
Dia juga sudah dapat mengenali siapa
adanya orang itu.
Begitu Prabarini selesai berucap,
satu bayangan hijau berkelebat lalu
tahu-tahu sejarak delapan langkah di
samping kanan Prabarini telah tegak
seorang perempuan berbaju hijau.
"Gadis itu!" seru Tengkorak
Berdarah tidak menyangka jika orang yang
baru muncul adalah seorang gadis
berparas cantik mengenakan baju hijau
yang beberapa kali sempat ditemuinya.
Malah terakhir ditemuinya, gadis berbaju
hijau yang tidak lain adalah Puspa Ratri
ada bersama Pendekar 131 dan sedang
terlibat adu mulut dengan seorang gadis
berpakaian hitam-hitam yang selama ini
selalu mengenakan kumis tipis menyamar
sebagai seorang pemuda. (Tentang
pertemuan ini siiakan baca serial Joko
Sableng dalam episode : "Jejak Darah Masa
Lalu").
Untuk beberapa lama kepala
Tengkorak Berdarah memperhatikan Puspa
Ratri lalu beralih pada Prabarini.
"Kalau gadis itu kau tunggu, apakah dia
ada sangkut pautnya dengan urusan kita?!
Dan siapa sebenarnya dia?l" tanya
Tengkorak Berdarah meski sedikit banyak
telah menduga siapa adanya si gadis.
Karena sekali lihat jelas ada kesamaan
raut wajah Prabarini dengan gadis yang
baru muncul.
"Dia adalah salah seorang yang harus
jadi saksi pertemuan ini! Dia adalah
anakku. Namanya Puspa Ratri," kata
Prabarini, lalu berpaling pada Puspa
Ratri dan berkata.
"Puspa Ratri. Beri hormat
padanya...."
Puspa Ratri tidak segera melakukan
apa yang dikatakan ibunya. Sebaliknya
gadis ini menatap tajam pada Tengkorak
Berdarah dengan tenggorokan turun naik
menindih gejolak dalam dadanya. Bahkan
sebenarnya gadis ini sejak muncul dan
tahu siapa adanya orang berjubah abu-abu
terusan, dia hendak meloncat lepaskan
satu tendangan. Seperti diketahui, Puspa
Ratri sempat mengetahui bagaimana orang
berjubah abu-abu terusan menghantam Pen-
dekar 131 saat mengembalikan kitab
bersampul kuning dan mahkota bersusun
tiga.
"Puspa.... Kau dengar ucapanku!"
ujar Prabarini begitu melihat Puspa
Ratri masih tegak dengan mata nyalang
memandang ke arah Tengkorak Berdarah.
Puspa Ratri menoleh pada ibunya.
"Ibu! Orang inilah yang berlaku pengecut
merampas milik orang! Tidak pantas orang
macam dia diberi penghormatan!"
"Aku tahu. Tapi kau harus dapat
memilah urusan. Masalah peristiwa tempo
hari dengan urusan sekarang adalah dua
hal yang berbeda!"
Entah karena masih merasa geram
dengan tindakan Tengkorak Berdarah
beberapa hari berselang, Puspa Ratri
belum juga melakukan apa yang dikatakan
Ibunya. Dia masih tegak dengan bibir
tersenyum dingin. Meski demikian
sebenarnya diam-diam Puspa Ratri juga
membatin. "Apa maksud Ibu menyuruhku
datang ke tempat ini? Ada masalah apa
sebenarnya antara Ibu dengan orang ini?
Kalau tidak salah lihat ini adalah
pertemuan kedua kalinya antara ibu
dengan orang ini! Pasti ada urusan
penting...."
Seperti diketahui, Prabarini
berpesan agar Puspa Ratri datang ke
sekitar Istana Hantu kalau dia tidak
datang menemuinya dalam dua hari di muka.
Ketika itu Puspa Ratri dibuncah dengan
beberapa pertanyaan sepeninggal ibunya.
Dan begitu ditungu selama dua hari ibunya
tidak muncul, Puspa Ratri merasa tidak
enak. Dia segera mengadakan perjalanan
menuruti pesan ibunya menuju Istana
Hantu.
Di lain pihak, begitu mendengar
pengakuan Prabarini tentang siapa adanya
Puspa Ratri serta mengetahui sikap si
gadis, Tengkorak Berdarah perdengarkan
dengusan keras. Lalu berkata.
"Prabarini! Aku tak butuh
penghormatan dari nnakmu! Dan kau jangan
menyesal jika nanti mulutnya kurobek
kalau dia berani berkata kurang ajar!"
Prabarini tertawa perlahan.
"Kau harus dapat memaklumi sikap
seorang anak muda. Dia akan selalu
mendahulukan hawa marah daripada pikiran
jernih Harap kau tidak ikut terseret
mengikuti sikapnya...."
Tengkorak Berdarah terdiam beberapa
lama sebelum akhirnya berkata keras.
"Sekarang katakan apa maumu dengan
pertemuan ini! Kulihat orang yang kau
janjikan tidak muncul menampakkan diri.
Mungkin kau sengaja menyangkut pautkan
dia hanya agar aku datang memenuhi
permintaan sementara kau sendiri dan
anakmu punya maksud lain! Kuperingatkan,
jangan sekali-kali coba memuslihatiku.
Tapi bukan berarti itu sebagai jaminan!"
"Maksudmu?!" tanya Prabarini.
"Selesai atau tidak urusan ini, kau
tetap harus lenyap dari muka bumi!"
"Hai… Jaga mulutmu!" teriak Puspa
Ratri.
Tengkorak Berdarah angkat tangan
kirinya menunjuk lurus ke arah Puspa
Ratri, sedang kepalanya tetap menghadap
Prabarini.
"Kau! Kliau ikut-ikutan buka mulut
bicara tak karuan, tak ada beban buat
tanganku untuk mengantarmu sekalian ke
liang lahat!"
Puspa Ratri tampaknya tidak bisa
lagi menahan gejolak hatinya. Sesaat
setelah Tengkorak Berdarah bicara, gadis
ini cepat angkat kedua tangannya hendak
lepaskan satu pukulan.
Puspa! Tahan!" seru Prabarini
seraya melompat dan mencekal kedua
tangan anaknya.
"Jangan kau menambah urusan yang
belum dimulai" bisiknya sambil turunkan
kedua tangan Puspa Ratri.
Prabarini memandang pada Tengkorak
Berdarah. Mulutnya membuka hendak
bicara, tapi saat lain perempuan ini
katupkan lagi mulutnya. Sikapnya malah
menunjukkan kebimbangan hati.
"Bagaimana sekarang? Gadis itu
tampaknya tidak akan muncul. Dan pemuda
itu aku tak tahu dimana dia sekarang
berada! Apakah aku harus menunda lagi
urusan ini? Ini gara-gara kejadian yang
tidak kuperhitungkan itu. Hingga aku
gagal menemui pemuda dan gadis itu karena
harus menemui Lasmini! Hem.... Kini
semuanya berjalan di luar rencana!"
Baru saja Prabarini membatin
begitu, Tengkorak Berdarah telah
membentak.
"Kau bungkam tidak jawab
pertanyaanku. Berarti kalian berdua
memang telah punya niat buruk
mangundangku ke tempat ini! Tapi kalian
akan menyesal karena kalian secara tak
sengaja mengundang maut!"
Belum sampai Prabarini buka mulut
ucapkan kata-kata, sekonyong-konyong di
tempat itu terdengar suara.
Duutt!! Duuttt!! berulang kali.
Kejap lain terdengar suara orang
berkata.
"Maut biasanya datang tanpa
undangan, kecuali bagi orang yang
sengaja membuat silang sengketa dan
keras kepala!"
Bersamaan terdengarnya suara,
sebuah benda yang ternyata adatah
bundaran karet mirip dot bayi melayang
dan mengapung di udara tak jauh dari
tempat tegaknya Tengkorak Berdarah.
Kejap lain satu sosok tubuh berkelebat
dan tahu-tahu di tempa itu tegak seorang
pemuda dengan kepala di bawa kaki di
atas!
* * *
TIGA
DEWA Orok". Terdengar Tengkorak
Berdarah mendesis mendapati siapa adanya
si pemuda. Untuk beberapa saat lamanya
dia perhatikan si pemuda mulai dari ujung
kaki sampai kepala yang dibuat tumpuan
tubuh orang. Lalu kepala di balik jubah
abu-abunya bergerak menghadap
Prabarini.
"Hem.... Ternyata perempuan ini
mengundang banyak manusia ke tempat ini!
Apa dikira aku takut?!"
Prabarini sendiri tampak terkejut
dengan kemunculan si pemuda yang bukan
lain memang Dewa Orok adanya.
"Bagaimana pemuda ini tiba-tiba
muncul ditempat ini? Nada ucapannya
menunjukkan jika kemunculannya tidak
secara kebetulan! Ada perkara apa antara
pemuda ini dengan Lasmini? Ah....
Kehadirannya akan menambah suasana jadi
kacau! Bagaimana sekarang?"
Puspa Ratri meski terlihat tidak
begitu terkejut namun kemunculan Dewa
Orok makin membuat hatinya dipenuhi
beberapa pertanyaan.
"Untuk apa Ibu mengundang orang ini?
Aku jadi bingung sendiri tentang urusan
ini!"
Selagi masing-masing orang di
tempat itu dbuncah dengan pikiran
masing-masing, tiba-tiba Dewa Orok
membuat gerakan sekali.
Wutttt!
Kini si pemuda ini tegak dengan
kepala di atas kaki di bawah Tapi dia
tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari
kakinya. Saat lain mulutnya menyedot.
Bundaran ka-ret yang mengapung di udara
laksana ditarik ke be-lakang dan melesat
masuk ke mulut Dewa Orok.
"Prabarini!" kata Tengkorak
Berdarah. "Masih ada lagi yang
ditunggu?!"
Prabarini menghela napas panjang.
Ucapan Tengkorak Berdarah jelas
mengisyaratkan seolah-olah Prabarini
sengaja mengundang kemunculan Dewa Orok.
Hal ini membuat Prabarini merasa tidak
enak. Dia lalu berkata.
"Harap kau tidak salah sangka. Aku
tidak mengundang orang itu untuk datang
kemari!"
Tengkorak Berdarah mendengus keras.
"Begitu?! Hem.... Kalau ucapanmu benar,
kuharap kau mengusir manusia tak
diundang itu".
"Pemuda tak dikenal! Kami punya
urusan yang harus diselesaikan tanpa
adanya orang lain! Harap kau sudi
mendengarkan dan segera tinggalkan
tempat ini!" kata Prabarini. Dia berkata
bukan karena menuruti perintah Lasmini
alias orang yang selama ini memaklumkan
diri sebagai Tengkorak Berdarah, namun
semata-mata karena dia tak ingin
urusannya jadi berantakan dengan
hadirnya orang yang tidak ada
hubungannya.
Dewa Orok memandang silih berganti
pada Prabarini dan Tengkorak Berdarah.
Lalu semburkan bundaran karet di
mulutnya. Begitu bundaran karet mencuat
dan mengapung di depan wajahnya, pemuda
bertangan buntung ini buka mulut
berkata.
"Seperti kematian, aku datang
memang tanpa undangan. Dan seperti angin
topan, aku tidak akan tinggalkan tempat
ini dengan berhampa tangan!"
Prabarini kerutkan kening. Seraya
perhatikan Dewa Orok lebih saksama dia
berkata. "Aku tidak mangerti apa maksud
ucapanmu! Harap katakan terus terang!"
"Kedatanganku bukan tanpa maksud.
Tapi urusanku hanya dengan orang
berjubah abu-abu yang sembunyikan wajah
itu. Aku minta maaf kalau mongganggu
sedikit urusanmu!" ujar Dewa Orok sambil
tersenyum pada Prabarini. Pemuda ini
lalu berpaling pada Tengkorak Berdarah
dan teruskan bicara.
"Kalau kau ingin urusan di sini
tidak terhambat, lekas serahkan barangku
yang ada padamu!"
Tengkorak Berdarah terkesiap kaget.
Dia sama sekali tidak menduga dengan
ucapan Dewa Orok. Diam-diam dia
membatin.
"Jangan-jangan jahanam Ini tahu
perihal kitab dan mahkota bersusun tiga
itu! Sialan betul! Bagaimana banyak
orang tahu jika kedua benda itu ada
padaku?!"
Meski Tengkorak Berdarah tahu akan
barang yang diminta Dewa Orok, namun dia
tak mau tunjukkan kalau barang itu ada di
tangannya. Setelah berpikir agak lama
dia perdengarkan suara.
"Kita memang sempat berjumpa. Tapi
adalah aneh kalau kau sekarang minta
sesuatu padaku. Kurasa waktu jumpa
dahulu kau tidak memberikan apa-apa
padaku!”
Dewa Orok tertawa bergelak. “Tempo
hari aku memang tidak memberikan apa-apa
padamu, tapi kau menerima barang milikku
dari tangan orang lain!"
"Hem.... Dugaanku tidak meleset.
Pasti kitab dan mahkota itu yang
dimaksud!” pikir Tengkorak Berdarah.
Lalu berujar.
"Coba katakan benda apa yang kau
minta! Dan katakan pula dari tangan siapa
aku menerimanya. Jangan coba berani
mengarang cerita!"
Tak perlu kukatakan dari siapa kau
menerima barang itu. Yang pasti benda itu
ada padamu. Benda itu berupa mahkota
bersusun tiga berwarna kuning!"
Walau sebelumnya sudah menduga,
namun begitu telinganya mendengar
sendiri, tak urung Tengkorak Berdarah
terkejut. Tapi hal itu membuat orang
berjubah abu-abu terusan ini berpikir
lain. "Selama ini kudengar Dewa Orok
adalah seorang tokoh yang disegani meski
jarang tampakkan diri. Kalau dia memburu
mahkota bersusun tiga ini, tentu benda
ini selain berharga mahal juga tak
tertutup kemungkinan merupakan sebuah
senjata yang memiliki kehebatan! Hem....
Apalagi benda ini ditemukan bersama
sebuah kitab!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya
Tengkorak Berdarah berkata;
"Kau tidak mau katakan siapa orang
yang memberikan benda itu padaku! Dan
buka telingamu lebar-lebar. Aku tidak
punya benda yang kau minta itu, baru kali
ini aku mendengar benda yang baru kau
sebut! Kau mengerti?!"
Mendengar ucapan Tengkorak
Berdarah, sesaat Dewa Orok terlihat
bimbang. Sementara Puspa Ratri tampak
kernyitkan kening. Gadis ini sudah buka
mulut hendak berkata, namun Prabarini
buru-buru pelototkan mata lalu berbisik.
"Jangan ikut campur agar urusan
tidak tertunda! biarkan mereka
menyelesaikan urusannya sendiri!"
"Tapi...."
Belum sampai Puspa Ratri lanjutkan
ucapan, Prabarini telah gelengkan kepala
dan menukas. "Aku tahu. Pemuda itu
meminta pada orang yang tepat! tapi kita
harus berhati-hati. Kita belum kenal
betul siapa sebenarnya pemuda bertangan
buntung itu! bukan tak mungkin dia salah
seorang yang memburu benda itu lantas
mengaku benda itu miliknya!"
Kedua anak dan ibu ini lalu arahkan
pandangannya pada Dewa Orok. Karena saat
itu si pemuda tertawa bergelak.
"Dewa Orok!" teriak Tengkorak
Berdarah memutus gelakan tawa si pemuda.
"Kau tidak tuli, Apalagi yang kau tunggu
di sini, hah?! Apakah kau menunggu diusir
dengan tubuh tanpa nyawa?!"
"Tadi sudah kukatakan, aku datang
seperti sebuah kematian, dan pergi
bagaikan angin topan! Mana mungkin aku
berlalu begitu saja?!"
"Berarti kau cari mampus!" hardik
Tengkorak Berdarah.
"Kau salah! Aku cari benda milikku,
tidak cari mampus! Dan aku pasti tidak
salah meminta padamu!"
Tengkorak Berdarah ganti tertawa.
"Kau memang tidak salah meminta padaku
kalau yang kau minta adalah kematian!"
Habis berkata begitu, Tengkorak
Berdarah angkat kedua tangannya.
Sementara Dewa Orok tampak pentangkan
mata dengan mulut komat-kamit.
"Celaka!! Urusan akan makin
berantakan kalau kedua orang ini tidak
dicegah!" gumam Prabarini. Perempuan ini
lalu berteriak.
"Tahan serangan!"
Tengkorak Berdarah urungkan niat
lepaskan pukulan namun kedua tangannya
tetap berada di atas. Sedangkan Dewa Orok
berpaling pada Prabarini dengan mulut
terkancing tanpa ucapkan sepatah kata.
"Harap kau suka menunggu jika punya
urusan dengan sahabatku itu!" ujar
Prabarini pada Dewa Orok.
Dewa Orok memandang lekat-lekat
Prabarini. Sejenak kemudian dia
anggukkan kepala dan berucap. "Baiklah!
Aku akan menunggu sampai urusanmu
selesai!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok
kempotkan mulut menyedot. Bundaran karet
yang mengapung melesat masuk ke dalam
mulutnya. Dia lalu cepat balikkan tubuh
dan melangkah berjingkat-jingkat kearah
sebatang pohon. Sejarak tiga langkah
dari batang pohon, pemuda bertangan
buntung ini jejakkan kedua tumitnya ke
tanah. Tubuhnya melenting dua lombak ke
udara. Kejap lain sosoknya telah bersan-
dar pada batang pohon dengan kaki di atas
kepala dibawah!
"Prabarini!" kata Tengkorak
Berdarah. "Aku tak mau ada orang lain
mendengar urusan kita! Suruh pemuda itu
enyah dari sini!"
"Aku tak berhak mengusirnya! Lagi
pula kurasa dia tidak akan ikut campur
urusan kita!"
"Jika begitu kau tak ingin urusan
ini selesai!"
"Maksudmu...?'
Belum sampai Tengkorak Berdarah
perdengarkan suara jawaban, mendadak
satu bayangan tampak berlari. Dalam
sesaat saja bayangan itu telah berada
tidak jauh dari tempat Dewa Orok berada.
Orang ini sebenarnya hendak
teruskan larinya, namun langkahnya
tertahan ketika tiba-tiba Dewa Orok
gerakkan sepasang kakinya ke samping
seolah menghalangi jalan orang.
"Kau datang di belakangku. Harap
antri dan jangan membuat ulah dahulu!"
kata Dewa Orok setelah semburkan
bundaran karet di mulutnya.
Orang yang baru muncul sesaat
pandangi gerakan sepasang kaki Dewa Orok
yang terayun-ayun di udara menghalangi
langkah dan pandangannya.
"Dewa Orok!" gumam orang yang
larinya terha-lang.
"Harap turuti ucapanku. Jangan
bergerak dari tempatmu dan sabarkan hati
jika melihat sesuatu yang mengejutkan!"
ujar Dewa Orok lalu gerakkan sepasang
kakinya kembali tegak ke atas
berselonjor pada batang pohon.
Begitu pandangan orang tidak
terhalang, mendadak orang yang baru
muncul di belakang Dewa Orok pentangkan
matanya melihat ke depan. Kejap lain
orang ini berkelebat. Namun lagi-lagi
gerakannya tertahan karena Dewa Orok
kembali rentangkan sepasang kakinya.
"Sudah kubilang. Harap antri tunggu
giliran!"
"Aku tak bisa menunggu!" sentak
orang di belakang Dewa Orok.
Puspa Ratri, Prabarini, serta
Tengkorak Berdarah serentak gerakkan
kepala masing-masing kearah datangnya
suara orang membentak.
"Joko Sableng!" seru Puspa Ratri
dengan wajah berseri. Gadis ini hendak
melangkah ke arah orang yang baru saja
muncul dan bukan lain memang Pendekar 131
Joko Sableng. Namun Prabarini cepat
rentangkan tangan kanannya halangi jalan
Puspa Ratri seraya berbisik.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk
berbasa-basi!"
Sepasang mata Puspa Ratri
membelalak pandangi bagian samping kanan
wajah ibunya. Tenggorokannya turun naik.
Namun sebelum mulutnya terbuka ucapkan
kata-kata, Prabarini telah lanjutkan
ucapannya.
"Jangan ikuti perasaan!"
Puspa Ratri kancingkan mulut
rapat-rapat. Pandangannya beralih pada
Pendekar 131 yang memandang dengan mata
berkilat pada Tengkorak Berdarah.
Sementara Prabarini sejenak menatap pada
murid Pendeta Sinting lalu arahkan
pandangannya ke jurusan lain. Diam-diam
ibu Puspa Ratri ini membatin.
"Syukur pemuda ini muncul! Urusan
akan jadi beres! Tapi.... Bagaimana jika
Saraswati tidak menampakkan diri?!"
Tengkorak Berdarah adalah orang
yang paling terkejut dengan munculnya
murid Pendeta Sinting.
Bersamaan dengan berpalingnya
kepala, sepasang kaki di balik jubah
abu-abu terusan tersurut satu tindak.
"Jahanam! Ternyata manusia satu itu
belum tewas. Bagaimana dia bisa selamat
dari pukulanku?!" ujar Tengkorak
Berdarah dalam hati.
"Urusan dengan perempuan laknat itu
belum dimulai, sudah datang lagi urusan
lebih besar. Aku bisa saja meladeni
mereka satu persatu, tapi jika mereka
maju bersama?!" Diam-diam orang ini
menjadi tegang sendiri karena sebelumnya
dia telah mengetahui sampai di mana
tingkat kepandaian Pendekar 131. Dan
walau dia belum sempat mengetahui
kepandaian Dewa Orok, namun setidaknya
dia dapat mengukur, sebab selama ini dia
banyak mendengar tentang pemuda
bertangan buntung itu.
Tengkorak Berdarah arahkan
kepalanya menghadap Prabarini.
"Jangan-jangan perempuan sinting ini
yang mengatur semua pertemuan ini!
Sialan betul! Kalau tahu begini,
menyesal aku tidak mempelajari dahulu
kitab yang kuperoleh! Namun aku...."
"Langkahmu tidak akan jauh dari
tanganku!" teriak Pendekar 131 seraya
menunjuk pada Tengkorak Berdarah,
memutus kata hati orang berjubah abu-abu
terusan ini.
Meski wajahnya tidak kelihatan,
namun gerakan kepala dan tangan
Tengkorak Berdarah mengisyaratkan jika
orang ini sesaat tampak tegang mendengar
ucapan murid Pendeta Sinting. Hingga
untuk beberapa lama dia tidak
perdengarkan suara. Tapi begitu orang
ini dapat kuasai diri, dia segera
perdengarkan dengusan keras lalu tertawa
pendek seraya berujar.
"Kau masih beruntung karena
tanganku masih mangampuni selembar
nyawamu. Tapi jika saat ini kau bicara
kurang ajar tanganku tidak akan lagi
memberi ampun!"
Ucapan Tengkorak Berdarah beium
selesai, murid Pendeta Sinting sudah
berkelebat. Sepasang kaki Dewa Orok yang
hendak bergerak menghalangi cepat
didorong. Lalu tegak enam langkah di
hadapan Tengkorak Berdarah.
"Aku bicara cuma satu kali! Serahkan
kembali kitab bersampul kuning itu!"
ujar murid Pendeta Sinting dengan suara
keras. Tangan kanannya mengulur ke depan
membuat sikap meminta. Kelima jari-jari
tangannya digerak-gerakkan. Meski
bibirnya tersenyum namun senyum seringai
dan dingin.
Tengkorak Berdarah kembali
perdengarkan dengusan keras. "Aku akan
mengembalikan kitab itu, namun mungkin
kitab itu sudah tidak ada artinya bagimu.
Tanganku akan terlebih dahulu
mengantarmu ke neraka sebelum tanganmu
sempat menerimanya!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan,
kedua tangan Tengkorak Berdarah iaksana
kilat bergerak ke atas. Saat lain
tiba-tiba menyentak ke depan lepaskan
pukulan jarak jauh!
***
EMPAT
Satu gelombang angin luar biasa
dahsyat menderu ganas ke arah murid
Pendeta Sinting. Puspa Ratri terkesiap
kaget. Raut wajahnya tegang dan dadanya
didera rasa gelisah dan khawatir akan
keselamatan sang Pendekar. Di
sebelahnya, Prabarini tersentak. Dia
sama sekali tidak menduga secepat itu
Tengkorak Berdarah lepaskan pukulan.
"Urusan kitab tidak sepenting
urusan yang sedang kuhadapi. Aku tidak
mau salah satu terluka sebelum urusanku
menjadi jelas!" membatin Prabarini. Maka
perempuan ini segera sentakkan kedua
tangannya.
Wuuttt! Wuuttt!
Terdengar satu deruan keras. Kejap
lain satu gelombang angin berkiblat
memangkas pukulan Tengkorak Berdarah.
Di seberang depan, begitu Tengkorak
Berdarah lepaskan pukulan, murid Pendeta
Sinting tak tinggal diam. Seraya
salurkan tenaga dalam pada dada kerahkan
jurus 'Sukma Es' untuk lindungi diri,
kedua tangannya serta-merta diangkat
lalu didorong ke depan.
Meski murid Pendeta Sinting tidak
langsung lepaskan pukulan andalan, namun
karena dalam dirinya telah terpendam
tenaga dalam si kakek dalam kuil, maka
begitu kedua tangannya bergerak
mendorong, melesat satu gelombang bukan
hanya membawa angin dahsyat luar biasa,
namun juga mengeluarkan suara
menggidikkan.
Di tempat agak jauh, Dewa Orok yang
tegak berselonjor kaki ke atas tampak
bingung. Pemuda ini rupanya maklum kalau
Tengkorak Berdarah dalam keadaan
terjepit, karena pukulannya harus
menghadang dua pukulan sekaligus. Walau
dia menduga Tengkorak Berdarah mampu
menahan tapi setidak-tidaknya dia tidak
akan bisa selamatkan diri dari cedera.
Padahal dirinya masih membutuhkan
mahkota dari tangan Tengkorak Berdarah.
Pemuda ini khawatir kalau Tengkorak
Berdarah menyimpan mahkota bersusun tiga
di satu tempat dan dia akan kesulitan
mengorek keterangan jika sampai
Tengkorak Berdarah benar-benar
mengalami cedera apalagi sampai tewas.
Berpikir sampai ke sana, begitu
melihat Prabarini dan Pendekar 131
sama-sama lepaskan pukulan menghadang
pukulan Tengkorak Berdarah, pemuda
bertangan buntung ini segera hentakkan
sepasang kakinya ke batangan pohon di
mana dia berselonjor. Bersamaan dengan
itu, sosoknya mencelat balik ke depan.
Masih di atas udara cepat sekali tubuhnya
membuat gerakan jungkir balik satu kali.
Begitu sepasang kakinya hendak menjejak
tanah, pemuda ini gerakkan tubuhnya ke
belakang. Kejap lain disentakkan ke
depan.
Wetttt!!!
Dari dada pemuda bertangan buntung
ini melesat gemuruh gelombang angin
deras menjajari pukulan Tengkorak
Berdarah untuk menghadang dua pukulan
yang tengah melabrak.
Tengkorak Berdarah keluarkan
gerengan marah. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau Prabarini akan
ikut-ikutan menghadang pukulannya. Na-
mun orang ini sedikit merasa lega karena
melihat Dewa Orok membantu dirinya meski
dia tidak mengetahui kenapa tiba-tiba
Dewa Orok berlaku begitu. Namun dia masih
tidak berani berlaku ayal. Dia maklum
gabungan pukulan Prabarini dan Pendekar
131 bukan hanya akan mampu menahan
pukulannya namun tidak mustahil akan
membuat dirinya terjengkang roboh. Dalam
keadaan seperti itu maka kitab bersampul
kuning serta mahkota bersusun tiga hanya
akan lewat di tangannya dan kembali akan
jadi milik orang lain. Berpikir begitu,
serta-merta dia lipat gandakan tenaga
dalamnya lalu kembali kedua tangannya
bergerak menyusuli pukulannya.
Di lain pihak, melihat Tengkorak
Berdarah lakukan pukulan susulan
sementara dari arah samping Dewa Orok
ikut membantu, Prabarini dan Pendekar
131 segera pula lipat gandakan tenaga
dalam masing-masing. Lalu hampir
berbarengan, kedua orang Ini lepaskan
lagi satu pukulan. Dewa Orok tercekat
sendiri melihat pukulan-pukulan yang
kini menderu di udara. Dia sebenarnya
hendak ikut kirimkan pukulan susulan.
Tapi gerakannya terlambat. Sebelum
tubuhnya bergerak ke depan menyentak,
terdengar ledakan dahsyat.
Bummm! Bummm!
Suara ledakan belum lenyap, kejap
lain kembali tempat itu dibuncah ledakan
lagi lebih dahsyat ketika pukulan
susulan masing-masing orang bentrok di
udara. Tanah di tempat itu bergetar keras
dan bertaburan ke udara. Di depan sana
terlihat pijaran api laksana letusan
gunung.
Tatkala terjadi ledakan, Puspa
Ratri adalah orang pertama yang terlihat
mencelat. Walau gadis ini punya
kecepatan luar biasa dalam gerakannya,
namun karena pukulan-pukulan yang
bentrok dilepas oleh orang-orang yang
bertenaga dalam tinggi, maka meski dia
sempat berkelebat terlebih dahulu namun
tak urung sosoknya masih tidak mampu me-
nahan bias bentroknya beberapa pukulan.
Hingga kelebatannya tersapu dan sosoknya
mencelat lalu terguling di atas tanah.
Hampir bersamaan dengan mencelatnya
sosok Puspa Ratri, sosok Dewa Orok mental
tersapu. Sebenarnya pemuda ini tidak
akan sampai langsung mental begitu
terjadi bentrok pukulan. Namun karena
saat itu dia hendak ikut lepaskan pukulan
susulan, maka dia tidak mampu imbangi
diri. Hingga saat itu juga sosoknya
mental sampai dua tombak lalu jatuh
terduduk sebelum tubuhnya menghantam
satu batang pohon. Pemuda ini sejenak
geleng-gelengkan kepala mengatasi rasa
pening pada kepalanya. Raut wajahnya
yang tampan berubah pucat. Tubuhnya
gemetar. Mulutnya yang selalu
menyedot-nyedot bundaran karet tampak
bergerak makin keras. Hingga saat itu
terdengar suara duuttt! Duuttt! berulang
kali.
Tiba-tiba Dewa Orok putuskan
sedotannya. Wajahnya yang pucat
mengernyit. Lalu dia semburkan bundaran
karet di mulutnya. Bundaran karet itu
mencuat mengapung di depan wajahnya.
Untuk beberapa saat si pemuda perhatikan
bundaran karetnya. Sepasang matanya
mendelik. Ternyata bundaran karet itu
telah dilapis warna merah. Jelas jika
pemuda ini telah terluka bagian dalam.
Di bagian lain, begitu terdengar
ledakan kedua, sosok Pendekar 131
terpental sampai tiga tombak ke
belakang. Murid Pendeta Sinting cepat
membuat gerakan bergulingan di tanah.
Lalu pada gulingan keempat dia sentakkan
kedua tangannya di atas tanah. Tubuhnya
serentak bangkit berdiri. Sosoknya untuk
beberapa saat tergontai-gontai malah
hampir saja terjengkang jika dia tidak
segera melompat lalu melayang turun
dengan kedua kaki tegak di atas tanah.
Walau sebelumnya telah salurkan
jurus ‘Sukma Es’ untuk lindungi diri
namun karena bentrok pukulan itu dilepas
orang-orang bertenaga dalam tinggi, mau
tak mau beberapa saat murid Pendeta
Sinting masih merasakan sesak pada
dadanya. Wajahnya pun berubah. Kedua
tangannya laksana tegang kaku.
Tak jauh dari tempat murid Pendeta
Sinting, Prabarini tampak megap-megap.
Sosoknya bersandar pada batang pohon
dengan mata terpejam dan dada turun naik.
Kedua tangannya menelikung ke belakang
merangkul batangan pohon untuk imbangi
diri agar tubuhnya tidak melorot jatuh.
Mulutnya komat-kamit. Dan segaris warna
merah tampak di sudut bibirnya.
Di seberang, meski sempat dibantu
Dewa Orok namun bentroknya pukulan
susulan yang tidak sempat dibantu Dewa
Orok membuat sosok Tengkorak Berdarah
terpelanting deras ke belakang. Lalu
jatuh terkapar tak bergerak. Namun hanya
sekejap. Saat lain terdengar orang ini
membentak garang. Sosoknya kembali ke
udara lalu terhuyung-huyung tegak dengan
kedua tangan dan kaki bergeletaran. Dari
jubah terusan abu-abunya di bagian wajah
terlihat merembes warna merah.
Bentroknya pukulan-pukulan
bertenaga dalam tadi jelas telah membuat
masing-masing orang mengalami cedera
bagian dalam. Hingga begitu suara
ledakan lenyap, tempat itu dibungkus
keheningan. Tidak seorang pun yang buka
mulut keluarkan ucapan. Tidak ada yang
membuat gerakan. Masing-masing orang
pusatkan perhatian pada diri
masing-masing untuk mengatasi cedera,
termasuk Puspa
Ratri meski gadis ini tidak secara
langsung terlibat dalam bentrokan
pukulan.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
murid Pendeta Sinting yang terlebih
dahulu dapat kuasai diri karena
sebelumnya telah lindungi diri dengan
jurus 'Sukma Es', segera berkelebat ke
arah Tengkorak Berdarah.
Tanpa berkata sepatah kata, murid
Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan
membuat gerakan meminta. Hanya kepala
tampak mengangguk dengan bibir tersenyum
dingin.
Melihat hal ini Dewa Orok tak
tinggal diam. Setelah menyedot masuk
bundaran karetnya dia berkelebat. Dan
tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga
langkah di samping murid Pendeta Sinting
menghadap Tengkorak Berdarah. Tanpa
berpaling pada Pendekar 131 pemuda
bertangan buntung ini semburkan bundaran
karetnya lalu berkata.
"Mahkota itu. Serahkan kembali
padaku!"
Pendekar 131 yang sejenak tadi
tampak hendak mengibaskan tangan
khawatir kalau Dewa Orok melakukan
serangan, cepat urungkan niat dan
kembali memandang tajam ke arah
Tengkorak Berdarah.
"Pemuda bertangan buntung ini sulit
ditebak apa maksudnya. Tadi dia
sepertinya membantuku, sekarang
ikut-ikutan hendak memaksaku! Keparat!"
maki orang berjubah abu-abu terusan
dalam hati. Tapi sejauh ini dia belum
perdengarkan suara atau memberikan apa
yang diminta dua orang di hadapannya.
Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah
perdengarkan suara tawa panjang. Puas
tertawa dia berkata.
"Kalian sia-sia saja. Aku memilih di
antara kita bertiga tidak ada yang
memiliki dua benda itu! Kita akan mati
bersama-sama! Ha.... Ha.... Ha...!"
Mendengar ucapan Tengkorak
Berdarah, Pendekar 131 menyeringai.
Sementara Dewa Orok senyum-senyum lalu
melirik pada murid Pendeta Sinting dan
berujar.
"Orang muda. Bagaimana? Apa kau
setuju berjalan ke neraka bersama orang
ini?"
"Apa enaknya jalan-jalan bersama
orang yang tidak jelas juntrungan
wajahnya? Apa lagi mendengar suaranya
dia adalah seorang laki-laki. Kalau
laki-laki normal tidak jadi masalah.
Yang ku khawatirkan laki-laki ini
seorang kakek yang suka pemuda-pemuda!
Bagaimana kalau kau saja yang
menemaninya jalan-jalan?" ujar Joko lalu
tertawa bergelak.
"Ah. Sayang. Sebenarnya aku
tertarik dengan tawaran jalan-jalan yang
langka ini apalagi ditemani dengan kakek
yang suka pemuda-pemuda. Hanya aku tidak
punya waktu banyak.... Bagaimana kalau
kita nanti minta cerita saja pada orang
ini tentang perjalanannya ke neraka
itu?!" sahut Dewa Orok lalu ikut tertawa.
"Jika begitu, keputusan kuubah!
Kalian berdua akan berjalan bersama ke
neraka tanpa aku!" teriak Tengkorak
Berdarah dengan suara bergetar.
Baik Pendekar 131 maupun Dewa Orok
masih teruskan gelakan tawanya mendengar
ucapan Tengkorak Berdarah. Namun tidak
demikian halnya dengan Prabarini.
Perempuan ini tampak gelisah.
"Aku tak bisa berdiam diri!
Orang-orang itu sepertinya sudah
sama-sama nekat hendak saling bunuh
untuk meminta dan mempertahankan kitab
serta mahkota itu!"
Sementara itu melihat dua pemuda di
hadapannya terus tertawa, Tengkorak
Berdarah menggerung keras. Saat lain
kedua tangannya terangkat.
"Jangan mimpi kalian bisa
mendapatkan apa yang kalian minta!"
teriaknya lalu melompat ke arah Dewa Orok
sambil kirimkan satu tendangan. Semen-
tara kedua tangannya yang terangkat
berkelebat menghantam ke arah Pendekar
131 yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok.
Dewa Orok cepat lorotkan tubuh
hingga punggungnya sejajar tanah. Pada
saat bersamaan kedua kakinya terangkat
ke atas memangkas tendangan maut
Tengkorak Berdarah.
Bukkk!
Dua kaki beradu keras di udara.
Sosok Tengkorak Berdarah tampak
bergoyang-goyang. Hal ini membuat
hantaman kedua tangannya yang mengarah
pada Pendekar 131 melenceng. Padahal
saat itu murid Pendeta Sinting telah pula
lepaskan satu jotosan.
Tengkorak Berdarah tampak kalang
kabut. Karena Dewa Orok teruskan gerakan
kakinya mencari sasaran, hingga mau tak
mau Tengkorak Berdarah harus meladeni
kalau tidak mau terkena tendangan pemuda
bertangan buntung ini. Di lain pihak dia
harus hindarkan diri dari jotosan murid
Pendeta Sinting!
Karena gerakan kaki Dewa Orok begitu
gencar, akhirnya Tengkorak Berdarah
memutuskan untuk menghadang dahulu
tendangan si pemuda, sementara kedua
tangannya dipalangkan di depan kepala
untuk lindungi diri. Namun perhitungan
orang berjubah abu-abu ini meleset.
Karena ternyata gerakan kaki Dewa Orok
hanya untuk memecah perhatiannya agar
Pendekar 131 bisa leluasa lepaskan
pukulan.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah
begitu menyadari apa yang dilakukan Dewa
Orok. Tapi kesadaran orang ini
terlambat. Karena bersamaan dengan itu
satu tangan murid Pendeta Sinting telah
menderu ke arah kepalanya!
Sejengkal lagi kepala di balik jubah
abu-abu terusan itu terhantam, satu
tangan mendorong tubuh murid Pendeta
Sinting, hingga bukan saja pukulannya
melesat jauh dari sasaran kepala orang,
namun tubuhnya sempat terjajar satu
tindak ke samping.
Joko Sableng cepat berpaling.
Sepasang matanya menatap tak berkesip
pada Prabarini yang kini tegak tiga
langkah di sampingnya dan baru saja
mendorong tubuhnya hingga pukulannya
melenceng.
Di lain pihak, Dewa Orok segera
bergulingan lalu bangkit dengan bertumpu
pada kedua ibu jari kakinya empat langkah
di samping Pendekar 131.
Meski wajah pemuda bertangan
buntung ini tampak berubah karena
kakinya tadi sempat memangkas tendangan
Tengkorak Berdarah, namun begitu melihat
Prabarini yang baru saja selamatkan
Tengkorak Berdarah, si pemuda tersenyum
lalu arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting sambil berujar.
"Rupanya tempat kita akan diganti
dengan nenek cantik itu. Bagaimana...?
Apakah kau setuju, Orang Muda?!"
"Ah.... Kakek berjubah abu-abu itu
bagus sekali nasibnya! Ada nenek cantik
yang suka rela hendak menemaninya
jalan-jalan ke neraka. Tentu aku setuju!
Hitung-hitung memberi kesempatan orang
tua menikmati kebahagiaan!" jawab murid
Pendeta Sinting sambil senyum-senyum.
Sepasang mata Prabarini mendelik
besar mendengar ucapan Dewa Orok serta
Pendekar 131. Di sebelah belakang, Puspa
Ratri memandang tajam pada murid Pendeta
Sinting sambil bergumam tidak Jelas.
Sementara Tengkorak Berdarah
diam-diam merasa heran dengan sikap
Prabarini. Pertahan-lahan rasa
curiganya kalau pertemuan ini diatur
Prabarini lenyap. Namun dendamnya yang
sudah berkarat membuatnya tidak
tergoyah.
"Jangan harap perbuatanmu ini akan
membuatku melupakan apa yang pernah kau
lakukan pada beberapa tahun silam!
Jangan mimpi! Aku tetap akan
membunuhmu!" ujar Tengkorak Berdarah
dalam hati.
"Orang-orang muda" kata Prabarini
seraya arahkan pandangannya silih
berganti pada Dewa Orok dan murid Pendeta
Sinting. "Jangan bicara kurang ajar tak
tahu aturan! Kalian berdua kuharap
menyingkir dahulu! Jangan berani buka
mulut ikut campur!"
"Mana bisa begitu?!" ujar Joko
Sableng.
"Betul. Mana bisa begitu?!" timpal
Dewa Orok ikut-ikutan.
"Dengar! Aku tidak akan campur
tangan urusan kitab dan mahkota! Aku ada
urusan lain! Jadi jangan menduga yang
bukan-bukan!"
Habis berkata begitu, Prabarini
berpaling pada Tengkorak Berdarah. Namun
tiba-tiba perempuan ini kancingkan mulut
urungkan niat berucap. Sebaliknya
matanya membesar melihat jauh ke depan ke
arah jajaran batang pohon. Kejap lain dia
buka mulut berkata.
"Harap tidak sembunyikan diri!"
Semua orang di tempat itu sama
mengernyit. Saat lain semua kepala
bergerak ke arah mana pandangan
Prabarini memandang!
***
LIMA
Dari balik satu batang pohon besar
sejarak sepuluh tombak dari tempat
Prabarini tegak, terdengar gumaman
orang. Namun untuk beberapa saat lamanya
belum ada tanda-tanda adanya orang yang
keluar tampakkan diri.
Sementara dari balik lindungan
batang pohon, satu sosok yang baru saja
berkelebat dan sempat ditangkap oleh
pandangan Prabarini diam-diam merasa
cemas dan khawatir. "Aku melihat Joko ada
di antara beberapa orang. Orang berjubah
abu-abu itu juga ada di sana. Lalu gadis
berbaju hijau itu.... Ada apa gerangan?
Sayang, sudah hampir tiga hari ini Ayah
tidak bisa kuketahui di mana beradanya!
Apakah orang berjubah abu-abu itu...?!
Ah.... Semua ini membuatku jadi pusing
memikirkannya. Perempuan itu sudah tahu
aku berada di sini! Kurasa tidak ada
gunanya lagi bersembunyi...." Lalu orang
ini memandang berkeliling. Setelah
menarik napas panjang orang ini
melangkah keluar dari balik pohon.
Seraya melangkah sepasang mata
orang ini memandang pada satu persatu
orang yang ada di tempat itu. Prabarini
tersenyum dan menghela napas lega. Puspa
Ratri mendelik angker dengan bibir
tersenyum dingin. Dewa Orok hanya
memandang sekilas lalu arahkan
pandangannya ke jurusan lain, demikian
pula Tengkorak Berdarah. Yang paling
tampak terkejut adalah murid Pendeta
Sinting. Seraya memandang tak berkesip,
Joko bergumam.
"Raka Pradesa!"
Seorang pemuda berkumis tipis
mengenakan pakaian warna hitam-hitam
kini tegak sepuluh tombak di samping
Prabarini dan Tengkorak Berdarah.
"Gadis itu masih menyamar sebagai
seorang pemuda!" desis Puspa Ratri
kesal. Matanya makin membelalak
memandangi pemuda berkumis tipis yang
bukan lain adalah Saraswati yang selama
ini masih mengenakan kumis palsu hingga
mirip seorang pemuda. "Beberapa hari
berselang dia bisa lolos karena
kemunculan Ibu! Mumpung sekarang ada
orang berjubah abu-abu, dia tidak akan
bisa lagi mungkir! Gadis itu pasti
bersekongkol dengan orang berjubah
abu-abu ini! Kini saatnya harus
kubuktikan di hadapan Joko dan Ibu siapa
dia sebenarnya!"
Berpikir begitu, Puspa Ratri segera
melompat lalu tegak tujuh langkah di
hadapan Raka Pradesa alias Saraswati.
Begitu kakinya menginjak tanah, gadis
ini segera buka mulut dengan suara
lantang.
"Hari ini kau tak akan bisa mungkir
lagi! Kaulah biang kerok kejadian
beberapa hari berselang!"
"Puspa Ratri! Jangan...."
Puspa Ratri berpaling pada Joko
Sableng yang baru saja buka mulut. Dan
menukas ucapan murid Pendeta Sinting
dengan mata memandang tajam.
"Joko Jangan tertipu dengan ucapan
dan tingkah seorang Gadis yang menyamar
sebagai pemuda berkumis tipis itu bukan
manusia baik-baik yang bisa dijadikan
sahabat! Di balik semua ucapan dan
tingkahnya dia menyimpan niat busuk! Kau
pasti masih ingat kejadian tiga hari
berselang. Kitab dan mahkota lenyap
disambar orang karena uahnya! Jadi sudah
layak manusia macam dia disingkirkan
Buang rasa bimbang dan keraguanmu kalau
kau tak ingin tertipu lebih jauh!"
Raka Pradesa menyeringai. Sepasang
matanya memperhatikan Puspa Ratri
lekat-lekat yang kin telah berpaling dan
memandang ke arah Raka Pradesa.
Untuk beberapa saat kedua orang ini
saling perang pandang. Tiba-tiba Raka
Pradesa angkat tangan kanannya. Kumis
tipis palsunya ditanggalkan lalu
dicampakkan di atas tanah. Ikatan pada
rambutnya dilepas. Lalu kepalanya
digoyang-goyang hingga saat itu juga
rambutnya lepas tergerai ke bahu dan
punggungnya.
Kini berubahlah sosok Raka Pradesa
menjadi seorang gadis muda berparas
cantik bermata bulat berambut panjang.
Tangan kanannya yang baru saja
menanggalkan kumis dan ikatan rambutnya
terus bergerak dan kini diluruskan
menunjuk ke arah Puspa Ratri.
"Gadis berbaju hijau! Jaga mulutmu!
Ucapanmu hanya berdasar pada rasa
cemburu gila! Kau ingin cari muka di
depan orang! Apakah dengan caramu itu kau
kira cukup untuk mengalihkan perhatian
orang dan menyingkirkan aku?!" Saraswati
tertawa pendek. Dia rupanya tidak
memberi kesempatan pada Puspa Ratri
untuk buka mulut menyahut. Karena sesaat
kemudian dia telah lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak terima kau tuduh! Meski
kau tidak sendirian, jangan kira aku
takut!"
Merasa ditantang, Puspa Ratri cepat
berpaling pada ibunya dan berujar.
"Harap tidak ikut campur! Ini urusan
sendiri!" Lalu pandangannya beralih pada
Dewa Orok, murid Pendeta Sinting, serta
Tengkorak Berdarah. "Kuharap kalian juga
tidak ikut-ikutan!"
Habis berkata begitu, Puspa Ratri
arahkan pandangannya pada Saraswati.
"Kau telah dengar ucapanku! Kau tak
usah khawatir ada orang membantuku! Kita
selesaikan urusan tempo hari satu lawan
satu!"
Mendengar ucapan Puspa Ratri, Dewa
Orok melirik pada Pendekar 131 lalu
berbisik. "Orang muda! Meski aku tidak
tahu apa urusan sebenarnya, namun aku
dapat menduga kaulah yang menjadi
pangkal sebab. Kau harus lakukan
sesuatu! Kalau tidak, kau akan menyesal!
Kau tidak akan memperoleh salah satu di
antara dua dara cantik itu! Kalau mereka
saling mengalah, untuk yang ini aku
bersedia kau beri yang mana saja...."
Joko balas meiirik dengan pandangan
tajam. "Jangan bergurau untuk urusan
yang satu ini! Ini urusan sulit!"
Dewa Orok tertawa bergelak membuat
semua kepala berpaling ke arahnya. Dewa
Orok tidak pedulikan semua mata yang
memandang padanya. Dia buka mulut.
"Siapa yang bergurau, Orang Muda!
Aku ber-sungguh-sungguh! Aku menawarkan
diri untuk menerima siapa saja yang nanti
kau berikan padaku di antara keduanya!
Tapi dengan syarat!"
Murid Pendeta Sintiny mendelik.
"Jangan bicara sembarangan! Lagi pula
siapa mau di antara keduanya padamu?
Apalagi kau pasang syarat! Apa kau
kira...."
Suara Pendekar 131 diputus oleh
gelakan tawa Dewa Orok. "Jangan keburu
marah-marah, Orang Muda! Aku belum
katakan apa syaratku!"
Dewa Orok hentikan ucapannya.
Memandang satu persatu silih berganti
pada Puspa Ratri dan Saraswati. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Aku mau menerima
salah satu kalau di antara mereka mau!
Kalau mereka tidak mau, apa susahnya
menarik tawaranku?! Ha.... Ha.... Ha...!
Tapi percayalah, di antara mereka atau
kedua-keduanya pasti mau denganku!"
"Dewa Orok!" teriak Puspa Ratri
dengan suara keras pertanda marah.
"Jangan bicara ngelantur! Siapa mau
denganmu?!"
"Orang cantik! Aku hanya tawarkan
diri! Kalau kau tidak mau itu terserah.
Aku tidak merasa rugi dengan
penolakanmu. Masih banyak gadis yang mau
menerimaku. Ha.... Ha... Ha...!" sambi!
terus tertawa Dewa Orok berpaling pada
Saraswati. "Kau bagaimana? Juga menolak
kehadiranku di sisimu?!"
Saraswati tidak mengangguk juga
tidak menggeleng. Mulutnya pun tidak
ucapkan kata-kata. Hanya sepasang
matanya tampak memandang tak berkesip
pada Dewa Orok lalu berkata dalam hati.
"Orang aneh...."
Ketika Dewa Orok sedang berbincang
dengan Puspa Ratri dan Saraswati,
diam-diam murid Pendeta Sinting
berpikir. "Pangkal sebab utama semua ini
adalah orang berjubah abu-abu itu! Aku
harus segera dapat mengetahui siapa dia
sebenarnya. Lebih dari itu kitab
bersampul kuning harus kudapatkan
kembali! Setelah itu urusan gadis-gadis
ini mudah diselesaikan!"
Murid Pendeta Sinting lalu berbisik
pada Dewa Orok. "Kau ajak kedua gadis itu
terus bercakap-cakap Aku akan
mcnyelesaikan urusan dengan orang
berjubah abu-abu! Setelah itu nanti kita
atur urusan kedua gadis itu. Kalau
nantinya mereka mau, kau bisa membawa
keduanya sekaligus! Aku yang nenek-nenek
itu tidak apa-apa!"
Belum sampai Dewa Orok menyahuti
ucapan Pendekar 131, Joko telah
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah.
Khawatir kalau Prabarini ikut campur
lagi, seraya melompat, Joko berteriak.
"Nenek cantik! Kau tak usah cemas.
Aku hanya membutuhkan kitab darinya!
Setelah itu kau boleh memilikinya!"
Kedua tangan murid Pendeta Sinting
langsung lepaskan pukulan ke arah kepala
dan perut Tengkorak Berdarah. Saat itu
sebenarnya Prabarini tidak akan tinggal
diam. Namun setelah berpikir sekali
lagi, apalagi setelah mendengar ucapan
Joko walau ucapannya sedikit membuatnya
marah, akhirnya dia memutuskan untuk
berdiam diri. Dia lalu melangkah
mendekati Puspa Ratri.
Sementara mendapat serangan
mendadak, Tengkorak Berdarah yang sedari
tadi ikut larut dalam suasana di tempat
itu, segera mundur dua tindak. Tangan
kirinya diangkat lalu dibabatkan ke
samping memangkas tangan Joko yang
menghantam ke arah kepalanya. Pada saat
yang sama, kaki kanan di balik jubah
abu-abunya tergerak terangkat melabrak
tangan Joko yang berkelebat ke arah
perutnya.
Bukkk! Bukkk!
Tubuh Joko terjajar balik dua
langkah. Sedangkan Tengkorak Berdarah
terhuyung-huyung karena saat terjadinya
bentrok orang ini hanya bertumpu pada
kaki kirinya.
Melihat hal demikian, Joko tak
sia-siakan kesempatan. Murid Pendeta
Sinting ini segera kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya siapkan pukulan
sakti 'Lembur Kuning'. Saat itu juga
kedua tangannya berubah warna. Tempat
itu pun disem-burati cahaya berwarna
kekuningan. Kejap lain Joko sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Cahaya kekuningan melesat membawa
serta suara gemuruh dahsyat dan hawa
panas.
"Celaka kalau sampai pemuda itu
arahkan pukulannya pada tubuh Lasmini!"
desis Prabarini ketika berpaling dan
melihat apa yang sedang terjadi. Dewa
Orok tersenyum-senyum. Sementara Puspa
Ratri dan Saraswati hanya memandang
dengan mulut terkancing.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah
seraya cepat kuasai diri lalu sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Bummm!
Satu ledakan keras mengguncang
tempat itu membuat tanah pijakan semua
orang di tempat itu bergetar dahsyat,
bahkan Saraswati dan Puspa Ratri
terlihat bergoyang-goyang keras hendak
jatuh.
Melihat keadaan seperti itu,
Prabarini cepat berpaling pada anaknya
lalu pegang bahunya menahan. Sementara
Dewa Orok cepat melompat ke arah
Saraswati dan tegak menempelkan
punggungnya pada punggung gadis
berpakaian hitam-hitam ini. Anehnya
bersamaan dengan menempelnya punggung
Dewa Orok, goyangan tubuh Saraswati
terhenti seketika.
"Orang cantik! Kau tidak
apa-apa...?!"
Saraswati terkejut. Dia berpaling
ke belakang. "Aku.... Aku tidak
apa-apa!" jawab Saraswati dengan raut
merah tersipu-sipu. Lalu tarik tubuhnya
dari punggung Dewa Orok. Namun gadis ini
terkesiap. Dia gaga! menarik tubuhnya!
"Kuasai diri dahulu! Jangan keburu
marah-marah!" bisik Dewa Orok. Saraswati
maklum akan ucapan orang. Karena saat itu
sepasang kakinya memang masih terasa
bergetar meski sosok atasnya diam tak
bergerak.
Setelah agak lama, baru Dewa Orok
tarik tubuhnya lalu balikkan tubuh tegak
menjajari Saraswati. Sepasang matanya
menatap bundaran karetnya yang mengapung
di udara dan tampak berputar-putar
karena bias bentroknya pukulan.
Pada saat itu semua telinga orang
mendengar suara bergedebukan. Semua
kepala bergerak berpaling.
"Joko!" seru Puspa Ratri dan
Saraswati hampir berbarengan melihat
sosok murid Pendeta Sinting jatuh
terduduk dengan tubuh bergetar dan wajah
pucat pasi dan dada bergerak keras turun
naik. Kedua gadis ini hendak berkelebat,
namun sebelum keduanya bergerak, Joko
telah bangkit berdiri dan memandang ke
arah Tengkorak Berdarah yang saat itu
terkapar dengan jubah terusannya bagian
wajah telah berubah warna merah.
"Mudah-mudahan dia kuat bertahan.
Karena aku telah berjanji pada nenek itu
untuk tidak mencelakainya! Sayang dia
salah perhitungan! Sebenarnya aku tadi
tidak langsung mengarahkan pukulan
'Lembur Kuning' ke arahnya. Namun dia
salah duga dan menangkis...," gumam
murid Pendeta Sinting. Lalu tanpa
keluarkan ucapan lagi, sosoknya
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah
yang sedang terkapar.
Melihat hal ini, Dewa Orok tak
tinggal diam. Bersamaan dengan
melesatnya Pendekar 131, pemuda
bertangan buntung ini berkelebat juga ke
arah Tengkorak Berdarah.
"Tahan!" seru Prabarini khawatir
akan apa yang hendak dilakukan Pendekar
131 dan Dewa Orok. Namun seruannya seakan
tidak terdengar oleh kedua orang itu.
Keduanya teruskan kelebatan tubuh
masing-masing.
Tengkorak Berdarah tampak terkejut.
Kepala di balik jubah abu-abunya
menyentak. Namun kejap lain orang ini
perdengarkan tawa panjang dan berkata.
"Bagus! Kita akan mati
bersama-sama!"
Selesai berucap begitu, Tengkorak
Berdarah angkat kedua tangannya lalu
disentakkan ke arah murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang terus
berkelebat ke arahnya. Satu gelombang
angin luar biasa dahsyat menyambar ke
depan.
"Awas!" teriak Joko memperingatkan
Dewa Orok. Lalu murid Pendeta Sinting ini
jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Sambaran angin dahsyat lewat di atas
kepalanya. Di lain pihak, Dewa Orok
gerakkan bahunya. Sosoknya laksana
disentak dari bawah. Tubuhnya melenting
tiga tombak ke udara. Sambaran angin yang
melesat ganas dari kedua tangan
Tengkorak Berdarah menggebrak tempat
kosong di bawah sosok Dewa Orok. Selamat
dari serangan, Dewa Orok membuat gerakan
jungkir balik dua kali. Kejap lain
sosoknya telah tegak dengan kaki di atas
kepala di bawah di samping kepala
Tengkorak Berdarah!
Tengkorak Berdarah menggerung
keras. Kedua tangannya serta-merta
lepaskan pukulan ke arah wajah Dewa Orok.
Tapi gerakan keiebat tangannya
terlambat. Satu totokan bersarang di
bawah ketiaknya. Seketika itu juga
sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa
digerakkan.
"Bangsat keparat! Siapa berlaku
pengecut?I" teriak Tengkorak Berdarah
dengan kedua tangan tetap mengapung di
udara.
Terdengar suara tawa dari arah
samping. "Apa hendak dikata. Kau keras
kepala mengajak orang jalan-jalan ke
neraka!"
"Jahanam! Keparat!" rutuk Tengkorak
Berdarah seraya arahkan pandangannya ke
samping, di mana saat itu tampak Pendekar
131 bangkit setelah lakukan totokan.
Murid Pendeta Sinting memandang
sejurus ke arah Tengkorak Berdarah lalu
melirik pada Dewa Orok dan berujar.
"Bagaimana enaknya sekarang?!"
"Bagaimana terserah kau saja! Yang
penting sekarang kuminta tolong padamu
untuk ambilkan barangku! Tak pantas
rasanya harus meraba-raba dengan kaki!"
"Jangan berani menyentuh tubuhku!"
teriak Tengkorak Berdarah.
Joko tersenyum. Lalu melangkah satu
tindak. "Kita sama laki-!akinya. Jangan
khawatir. Untuk apa menyentuh-nyentuh
tubuhmu! Bukankah apa yang kau miliki
tidak jauh beda dengan punya pemuda
terjungkir itu?!" kata Joko lalu
jongkok. Kedua tangannya bergerak ke
arah tubuh Tengkorak Berdarah.
"Hai! Harap ambil yang kau butuhkan
saja! Jangan berani bertindak lain!"
Mendadak Prabarini berteriak. Perempuan
ini jelas khawatir kalau tangan Joko
meraba bagian atas tubuh Tengkorak
Berdarah.
Joko sejenak memandang ke arah
Prabarini. Keningnya berkerut. "Aneh.
Mengapa nenek itu berkata begitu? Orang
ini tadi juga seakan terkejut dan
melarangku menyentuh tubuhnya!
Jangan-jangan...." Joko tidak lanjutkan
ucapannya karena saat itu Dewa Orok
berujar.
"Orang muda! Tunggu apa lagi?
Urusanmu yang satu belum selesai! Jadi
jangan membuang-buang waktu!"
Joko teruskan kedua tangannya ke
pinggang orang berjubah abu-abu terusan.
Lalu melebar ke arah perutnya. Sementara
Tengkorak Berdarah terus berteriak.
Saat kedua tangannya merasakan satu
sembulan benda di perut Tengkorak
Berdarah, Joko hentikan rabaannya.
"Hem.... Jubah ini terusan tanpa kancing
bagian depan. Kalau langsung kulepas
semuanya, bagaimana kalau dia tidak
mengenakan pakaian dalam?!"
Murid Pendeta Sinting berpikir
sejenak. Sementara Prabarini memandang
tidak berkesip. Pandangan perempuan ini
jelas membayangkan rasa gelisah dan
cemas. Maiah mulutnya tampak komat-kamit
hendak ucapkan sesuatu. Saat itulah
tiba-tiba kedua tangan Joko yang masih
menempel di perut orang menyentak keras
ke atas.
Breetttt!
Jubah abu-abu terusan yang
dikenakan Tengkorak Berdarah robek
menganga bagian perut. Lalu tampaklah
sebuah kitab bersampu! kuning dan sebuah
mahkota yang juga berwarna kuning.
Dengan hati-hati Joko mengambi! kitab
serta mahkota itu. Sedangkan Tengkorak
Berdarah terus memaki makin keras. Namun
percuma saja karena dia hanya bisa
keluarkan suara tanpa bisa gerakkan
tubuh.
Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting memperhatikan kitab bersampul
kuning serta mahkota bersusun tiga di
tangannya.
"Hem.... Kurasa masih asli...,"
gumam Joko lalu bangkit dan melangkah ke
arah Dewa Orok. Dewa Orok bergerak satu
kali. Kejap lain pemuda bertangan
buntung ini telah tegak dengan kepala di
atas kaki di bawah.
"Aku harus memeriksanya dahulu!
Jangan-jangan telah dipalsukan! Tolong
dekatkan padaku!" kata Dewa Orok sambil
julurkan kepalanya ke depan ketika Joko
perlihatkan mahkota bersusun tiga.
"Hem.... Untung belum berubah!"
ujar Dewa Orok. "Tolong sekali lagi.
Masukkan mahkota itu ke balik pakaianku!
Tapi awas. Jangan berani meraba-raba!
Bukan apa. Aku geli"
Joko mendengus pelan. "Lagi pula
siapa mau meraba-raba tubuhmu!" kata
Joko dengan suara tinggi. Namun dia
turuti permintaan Dewa Orok memasukkan
mahkota bersusun tiga ke balik
pakaiannya setelah menyimpan kitab
bersampul kuning ke balik bajunya.
"Urusan telah selesai! Biarkan
orang ini diurus oleh nenek itu! Kita
pergi sekarang!" ujar Joko pada Dewa
Orok.
"Kalian berdua akan menyesal kalau
tidak membunuhku sekarang!" teriak
Tengkorak Berdarah saking jengkelnya
karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebenarnya aku mau saja menuruti
permintaanmu. Tapi sayang aku tadi telah
berjanji pada nenek cantik itu!" ujar
Joko Sableng lalu balikkan tubuh.
"Tunggu!" tahan Dewa Orok sambil
melompat menjajari Joko dan berbisik.
"Urusanmu belum selesai Orang Muda,
Gadis-gadis itu...."
Murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala. "Bukankah tadi sudah kukatakan
bahwa jika urusan dengan orang berjubah
abu-abu selesai, kedua gadis itu boleh
kau bawa! Jadi sekarang kau yang punya
urusan dengan mereka! Aku harus pergi!"
Habis berkata begitu, Pendekar 131
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Melihat ha! ini, Prabarini segera
berteriak lantang. Namun sebelum
suaranya keluar, satu suara berat telah
terdengar mendahului.
"Pendekar Pedang Tumpu! 131! Harap
jangan pergi dulu! Kita harus bicara!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang
tubuhnya yang sudah siap berkelebat.
"Aneh.... Telingaku rasanya
mengenali suara orang yang baru saja
bicara!" gumam Joko lalu berpaling pada
datangnya suara. Bersamaan dengan itu
Dewa Orok yang masih tegak memikirkan
ucapan Joko ikut-ikutan berpaling.
Demikian pula Prabarini, Puspa Ratri,
dan Saraswati. Tengkorak Berdarah yang
masih terkapar dengan tertotok setelah
susah payah bisa gerakkan kepalanya
menghadap ke arah mana orang sama-sama
berpaling. Meski orang berjubah abu-abu
ini adalah orang terakhir yang hadapkan
kepala, namun jelas dialah orang pertama
yang terlihat paling terkejut. Malah
dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Sementara di seberang, Puspa Ratri
membelalak. Saraswati surutkan langkah
satu tindak. Dewa Orok kembung kempiskan
mulut menyedot-nyedot bundaran karetnya
yang sejenak tadi ditarik masuk setelah
sekian lama mengapung di udara. Di
sebelah Dewa Orok, Pendekar 131
pentangkan sepasang matanya dengan mulut
bergumam. Yang terlihat tenang adalah
Prabarini.
Dewa Orok sejenak gelengkan kepala.
Bundaran karetnya disemburkan keluar.
Lalu mulutnya terbuka.
"Aneh.... Jangan-jangan orang itu
bukan manusia biasa! Tapi hantu jejadian
yang bisa merubah tubuhnya jadi banyak!
Kau lihat! Orang yang tegak itu baik
tinggi dan pakaian jubah yang dikenakan
sama persis dengan orang yang terkapar
itu! Kembarannya atau bagaimana?!"
"Hem.... Benar dugaan Gendeng
Panuntun. Ada dua Tengkorak Berdarah!
Mungkin yang baru datang itu adalah
Tengkorak Berdarah yang sempat membuatku
jatuh masuk ke dalam ruangan dalam tanah!
Tapi.... Aku belum bisa memastikan yang
mana sebenarnya penghuni Istana Hantu.
Semuanya sama persis!" kata Joko dalam
hati.
Selagi belum ada yang buka mulut
bicara, orang yang menahan kepergian
murid Pendeta Sinting gerakkan tubuh.
Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga
langkah di samping Saraswati!
***
ENAM
Dia adalah seseorang yang anggota
tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki
ditutup dengan jubah besar berwarna
abu-abu. Kalau orang melihat, tidak ada
bedanya antara orang yang kini tegak di
samping Saraswati dengan orang yang kini
terkapar tegang tak bisa bergerak karena
ditotok oleh murid Pendeta Sinting.
Untuk beberapa saat orang berjubah
abu-abu di samping Saraswati hadapkan
kepalanya ke arah orang yang terkapar.
Lalu beralih pada Saraswati. Saraswati
sendiri tampak bimbang. Dia gerakkan
kepalanya bolak-balik memandang ke arah
orang di sampingnya lalu ke arah orang
yang terkapar.
"Yang mana ayahku?! Bagaimana bisa
begini?!" gumam Saraswati tak habis
mengerti.
Selagi Saraswati dilanda
kebimbangan, tiba-tiba orang berjubah
abu-abu di sampingnya berbisik.
"Saraswati.... Bebaskan orang yang
tertotok itu!" Saraswati kernyitkan
kening.
"Apakah kau...." Ucapan si gadis
belum selesai, orang di sampingnya
anggukkan kepala sambil berbisik lagi.
"Anakku.... Lekas lakukan apa yang
kukatakan!"
Meski hatinya masih disamaki
berbagai tanya, akhirnya Saraswati
melangkah ke arah orang berjubah abu-abu
terusan yang masih terkapar tegang.
"Kau mau apa?! Jangan berani berbuat
yang tidak-tidak! Kau kelak akan
menyesal!" teriak Tengkorak Berdarah
dengan suara keras meski dirinya tak bisa
gerakkan anggota tubuhnya.
Saraswati hentikan langkah.
Sepasang matanya menatap tajam tak
berkesip. Dadanya bergerak turun naik
pertanda gadis ini merasa jengkel dengan
ucapan orang itu.
Merasa dirinya dipandang begitu
rupa oleh Saraswati, Tengkorak Berdarah
makin geram. Dia kembali perdengarkan
suara keras.
"Kau dengar ucapanku! Jangan berani
berlaku bodoh jika tak ingin menyesal
kelak!"
"Bukan aku yang bodoh! Tapi kau yang
berlaku picik! Terlalu buruk menduga
setiap orang!" teriak Saraswati tak bisa
menahan kesal mendengar ucapan orang.
Habis berkata begitu, gadis ini balikkan
tubuh lalu melangkah ke tempatnya
semula.
Baru melangkah tiga tindak, orang
berjubah abu-abu yang baru datang telah
perdengarkan suara.
"Jangan pedulikan ucapannya.
Lakukan saja apa yang kukatakan!"
"Aku tak mau! Orang macam dia tidak
pantas ditolong!" jawab Saraswati lalu
teruskan langkah.
"Aku pun tak minta tolong!" sahut
Tengkorak Berdarah.
"Wah.... Mungkin dia mau kalau kau
yang menolong, Orang Muda! Bukankah dia
lebih menyukai pemuda daripada gadis?"
Orang yang keluarkan suara adalah Dewa
Orok.
"Mana bisa begitu? Mungkin dia
menginginkan kau yang melakukannya!
Bukankah caramu pasti lain daripada yang
lain?!" sahut Joko sementara
pandangannya terus tak beranjak dari
orang yang tegak di samping Saraswati.
Belum sampai ucapan murid Pendeta
Sinting selesai, mendadak Prabarini
telah berkelebat dan tahu-tahu sudah
tegak di samping sosok Tengkorak
Berdarah yang masih terkapai. Prabarini
langsung jongkok dan berbisik peian.
"Lasmini! Harap kau tidak keras
kepala. Ini saat yang baik untuk membuka
apa yang kukatakan padamu tempo hari! Aku
akan membebaskanmu dari totokan. Jangan
berprasangka jelek. Kalau mau, bukankah
pemuda itu bisa berbuat apa saja
terhadapmu?"
"Aku tidak memintamu membebaskan
diriku dari totokan pemuda gila itu! Aku
tak akan...."
Prabarini gelengkan kepala.
"Terserah kau minta atau tidak. Tapi aku
punya keharusan untuk membe-
baskanmu...."
Tengkorak Berdarah mendengus. "Ini
kau lakukan hanya agar aku melupakan
perbuatanmu di masa lalu? Jangan
berharap! Untuk ucapkan terima kasih pun
jangan mimpi kau akan mendengarnya dari
mulutku!"
"Tidak ada maksud seperti yang kau
katakan, Lasmini! Aku pun tak mengharap
ucapan terima kasih darimu! Semua ini
kulakukan agar urusan kita hanya
berhenti sampai pada kita berdua...,"
ujar Prabarini pelan.
"Dari kemarin kau katakan begitu!
Tapi nyatanya kau menipuku dengan
mengundang beberapa orang!"
"Aku tidak mengundang mereka!
Mungkin ini suatu berkah bagi kita karena
dengan munculnya orang-orang di tempat
ini, urusan di antara kita jadi tuntas!"
"Urusan kita tidak akan tuntas
sebelum salah satu di antara kita menemui
ajal!"
"Ah.... Terserah padamulah. Yang
pasti aku su-ah melupakan kisah masa
lalu...."
Habis berkata begitu, Prabarini
gerakkan tangan menekan pada bagian
bawah ketiak Tengkorak Berdarah.
Merasa dirinya bisa gerakkan tubuh,
laksana terbang, Tengkorak Berdarah
serentak bangkit berdiri. Tanpa diduga
sama sekali oleh Prabarini tangan kanan
Tengkorak Berdarah berkelebat lepaskan
satu pukulan.
Bukkk!
Prabarini terpental satu tombak dan
jatuh terjengkang.
"Ibu!" teriak Puspa Ratri
menghambur pada Prabarini. Lalu menolong
perompuan itu bangkit berdiri. Prabarini
tersenyum seraya mengusap dadanya yang
baru saja terhantam tangan Tengkorak
Berdarah.
"Tidak apa-apa, Anakku...."
"Jahanam tak tahu budi! Kubunuh
kau!" teriak Puspa Ratri seraya
memandang tajam pada Tengkorak Berdarah.
Gadis ini seperti kalap, lalu berkelebat
hendak lepaskan tendangan ke arah
Tengkorak Berdarah.
"Puspa.... Sudahlah. Ada urusan
lebih penting yang harus segera
diselesaikan!" ujar Prabarini sambil
pegangi lengan anaknya.
"Puspa...." Tiba-tiba orang
berjubah abu-abu yang tegak di samping
Saraswati perdengarkan suara mengikuti
ucapan Prabarini. Kepala di balik jubah
abu-abunya menghadap lurus ke arah Puspa
Ratri yang tegak di samping ibunya.
"Prabarini.... Puspa Ratri....
Ah.... Kuharap kalian...." Orang
berjubah abu-abu ini tidak lanjutkan
gumamannya karena saat itu tiba-tiba
Prabarini telah buka mulut. Wajahnya
dihadapkan ke arah orang yang tegak di
samping Saraswati.
"Orang berjubah abu-abu! Harap kau
suka buka penyamaranmu!"
Orang di samping Saraswati sejenak
arahkan kepalanya ke arah Tengkorak
Berdarah yang baru saja tegak. Lalu
menghadap pada satu persatu orang di
tempat itu.
Saraswati berpaling. Setelah merasa
yakin bahwa orang berjubah abu-abu
terusan di sampingnya adalah ayahnya,
gadis ini berbisik.
"Ayah.... Siapa perempuan itu?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Sebaliknya orang ini angkat kedua
tangannya ke atas kepala. Kejap lain
kedua tangannya menyibak ke kanan kiri.
Brettt! Brettt!
Jubah terusan abu-abu bagian kepala
orang di samping Saraswati robek
membelah di bagian kepala. Orang ini
teruskan sibakkan tangannya hingga
robekan itu terus menjalar ke bawah.
Semua mata orang di tempat itu sama
mementang memperhatikan. Mereka
mula-mula melihat rambut putih. Lalu
sepasang mata yang sayu ditingkah alis
mata yang juga telah memutih. Kemudian
tampaklah sebuah hidung agak mancung dan
kumis lebat putih. Di bawahnya terlihat
satu bibir yang sedang tersenyum. Namun
jelas senyum itu penuh misteri.
"Dugaanku tidak salah ..." gumam
Prabarini begitu dapat melihat seluruh
wajah orang yang tadi tertutup jubah
abu-abu terusan.
"Ibu! Siapa laki-laki itu?
Sepertinya kau mengenali betul!" kata
Puspa Ratri pelan.
"Sebentar lagi kau akan
mengetahuinyal" jawa" Prabarini tanpa
menoleh.
"Panjer Wenyi!" Tiba-tiba Tengkorak
Berdara alias Lasmini berteriak. Laksana
hendak terbang, orang berjubah abu-abu
yang bagian perutnya robek akibat
sentakan tangan Pendekar 131 ini
berkelebat. Namun langkahnya tertahan
karena bersamaan dengan itu Prabarini
telah melompat dan tegak menghadang.
"Jangan perturutkan hati! Buang
dulu rasa dendam! Saatnya telah tiba bagi
kita untuk saling membuka diri!"
"Jahanam! Untuk apa membuka diri!
Semuanya sudah jelas!" seru Tengkorak
Berdarah.
"Bagimu memang sudah jelas! Tapi
tidak bagi orang lain!"
"Apa pedulinya orang lain, hah?!
Jahanam itu harus mati di tanganku!
Termasuk juga kau dan anakmu"
"Orang lain memang tidak akan
peduli! Tapi di sini ada orang yang harus
kau pedulikan! Lebih-lebih orang itu
butuh kejelasan yang selama ini
dicari-cari! Jangan buat dia merana
sepanjang hidupnya!"
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Kau masih ingat ucapanku tempo
hari. Bukalah dahulu penutup wajahmu!"
"Kau telah dengar ucapanku tempo
hari. Sekali aku bilang tidak, tidak!"
"Berarti kau memperpanjang duka
rana darah dagingmu!"
Ucapan Prabarini membuat Tengkorak
Berdarah terdiam beberapa lama.
"Saraswati.... Apakah anakku berada
di sini?" ujar Tengkorak Berdarah pada
akhirnya dengan suara bergetar. Suara
orang ini hampir-hampir tidak terdengar.
"Sudan bertahun-tahun dia
mencarimu! Apakah kau masih akan
sembunyikan wajah?!" ujar Prabarini
dengan anggukkan kepala dan tersenyum.
Namun sepasang mata perempuan ini tampak
berkaca-kaca.
Tengkorak Berdarah hadapkan
kepalanya ke arah Saraswati. Dada orang
ini berdebar. "Apakah dia...?"
Entah karena apa tiba-tiba kedua
tangan Tengkorak Berdarah bergerak ke
atas.
Brettt! Breett!
Seketika jubahterusan bagian wajah
dan kepala Tengkorak Berdarah robek
menganga. Sepasang mata murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang sedari tadi
hanya diam mendengarkan, membelalak
besar-besar. Namun bersamaan dengan itu,
Dewa Orok berujar.
"Orang muda. Kau tidak beruntung
hari ini! Kalau kau tadi sedikit nakal
mau meraba-raba ke atas perut orang,
pasti kau akan menemukan sesuatu yang
lain!"
Joko tidak menyahut. Dia hanya
pandangi orang di seberang depan dengan
berkata dalam hati. "Hem.... Makanya dia
tadi marah-marah saat aku hendak meraba
tubuhnya! Tak tahunya dia adalah
seorang...." Joko geleng-geleng kepala.
Namun tiba-tiba murid Pendeta Sinting
hentikan gerakan kepalanya yang
menggeleng. Kini kepalanya silih
berganti menghadap ke arah Saraswati dan
Tengkorak Berdarah yang baru saja
membuka penutup wajahnya.
"Heran.... Wajah keduanya...."
"Hampir sama!" sahut Dewa Orok
menyahuti ucapan murid Pendeta Sinting.
Ucapan Dewa Orok memang benar,
karena begitu Tengkorak Berdarah membuka
penutup wajah-nya maka tampaklah satu
wajah seorang perempuan yang hampir
sebaya dengan Prabarini. Sama halnya
saperti Prabarini, meski sudah tidak
muda lagi tapi masih kelihatan cantik.
Lebih dari itu, raut wajah perempuan ini
hampir mirip dengan Saraswati!
"Terima kasih kau mau membuka
diri...," kata Prabarini dengan suara
bergetar. Perempuan ini segera putar
diri menghadap Saraswati. Namun dia
tidak segera angkat bicara meski
mulutnya telah membuka.
"Ada apa ini? Mengapa semua orang
memandangku demikian rupa?!" pikir
Saraswati melihat semua mata tertuju ke
arahnya.
Belum sampai Saraswati mendapat
jawaban atas pertanyaan hatinya,
Prabarini berujar.
"Panjer Wengi! Kau harus jelaskan
semua ini!"
Orang di samping Saraswati yang
dipanggii Panjer Wengi menghela napas
panjang. Semua mata kini tertuju pada
laki-laki berusia lanjut namun masih
membayangkan ketampanan ini. Mulut semua
orang sama terkancing hingga suasana
jadi hening.
"Prabarini...," gumam orang tua
yang dipanggii Panjer Wengi. "Sebelumnya
kuharap kau mau memaafkan aku.
Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan
seperti ini. Tapi karena aku harus
melakukan sesuatu yang lebih penting,
terpaksa aku harus berdiam diri, bahkan
untuk beberapa tahun lamanya aku harus
sembunyikan diri di balik bangunan. Pra-
barini.... Mungkin aku adalah seorang
laki-laki yang pantas menerima caci maki
karena aku harus menanyakan padamu
tentang anak kita...."
Sejenak Panjer Wengi hentikan
ucapannya. Matanya kini terarah pada
Puspa Ratri. Gadis yang dipandang tampak
sipitkan mata dengan dada berdebar.
"Prabarini.... Adakah anak gadis di
sampingmu adalah Puspa Ratri anak kita?"
Prabarini tidak menjawab. Sepasang
mata perempuan ini telah menitikkan air
mata. Kepalanya bergerak menoleh pada
Puspa Ratri yang saat itu juga sedang
berpaling ke arahnya
"Ibu...," kata Puspa Ratri seraya
melompat mendekat ke arah Prabarini.
Namun begitu tegak di samping ibunya,
Puspa Ratri tidak kuasa buka mulut
lanjutkan ucapan.
"Puspa...," bisik Prabarini dengan
suara bergetar. Bahunya berguncang
menahan isak. "Dia adalah orang yang
selama ini kau tanyakan, Anakku....
Bagaimanapun tindakannya selama ini,
kuharap kau mau mengerti, Dia adalah
ayahmu...."
Puspa Ratri tegak dengan kaki
bergetar. Sepasang matanya membeliak
menatap ke arah Panjer Wengi. Saat itulah
tiba-tiba Panjer Wengi melompat dan
tegak dua tindak di depan Puspa Ratri
dengan kedua tangan mengembang.
"Anakku.... Harap maafkan ayahmu
yang selama ini tidak...." Panjer Wengi
hanya bisa berucap sampai di situ.
Setelah itu yang terdengar hanyalah
gumaman tidak jelas karena suaranya
laksana tersumbat di tenggorokan.
Sementara gadis di hadapan Panjer Wengi
masih tampak tegak tak bergeming. Puspa
Ratri seolah masih tidak percaya dengan
apa yang baru saja didengar dan kini ada
di hadapannya.
"Anakku.... Memang sudah tidak
pantas diriku kau sebut sebagai...,"
belum sampai Panjer Wengi teruskan
ucapannya, mendadak Puspa Ratri telah
menghambur lalu dirangkulnya tubuh orang
yang tegak di hadapannya. Gadis ini tidak
kuasa lagi berkata. Hanya isakannya yang
terdengar.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
seraya masih merangkul Puspa Ratri,
kepala Panjer Wengi berpaling pada
Saraswati yang sejak tadi tampak bingung
tak tahu harus berbuat apa, malah hampir
tidak percaya dengan kejadian di depan
matanya.
Panjer Wengi lambaikan tangannya ke
arah Saraswati. Gadis ini sejenak masih
terlihat bimbang. Namun akhirnya dia
melangkah juga mendekati Panjer Wengi.
"Anakku...," bisik Panjer Wengi.
"Puspa Ratri adalah saudaramu lain ibu.
Kuharap kau...." Lagi-lagi Panjer Wengi
tidak kuasa teruskan ucapannya.
Sementara sepasang mata Saraswati tak
berkesip memandang ke arah Puspa Ratri
yang masih rebahkan wajah di dada Panjer
Wengi.
"Puspa Ratri.... Saraswati....
Kalau selama ini di antara kalian ada
ganjalan. kuharap mulai saat ini semua
itu kalian lenyapkan!" kata Prabarini
yang ternyata telah tegak di samping
Saraswati.
Puspa Ratri angkat kepalanya. Lalu
memandang pada Saraswati. Untuk beberapa
saat kedua gadis ini saling
berpandangan. Dada masing-masing gadis
ini dilanda berbagai perasaan.
Tiba-tiba Puspa Ratri lepaskan
pelukannya pada tubuh Panjer Wengi. Lalu
melangkah satu tindak ke arah Saraswati.
Pada saat yang sama Saraswati juga
melangkah maju. Kejap lain kedua gadis
ini telah saling berpelukan dengan erat.
"Saraswati.... Maafkan kalau selama
ini aku menuduhmu yang bukan-bukan....
Maafkan diriku yang selalu berkata kasar
padamu...," ujar Puspa Ratri disela
isakannya.
"Tidak.... Akulah yang harus minta
maaf. Aku terlalu keras kepala tidak mau
menerima kenyataan!"
"Sudahlah.... Tidak ada yang perlu
dimaafkan. Kalian berdua tidak ada yang
bersalah. Yang tua-tua inilah sebenarnya
pangkal dari semua ini hingga di antara
kalian berdua tidak saling mengenal...,"
kata Panjer Wengi. Lalu balikkan tubuh
hendak merangkul Prabarini. Namun
perempuan ini segera menghindar sambil
berkata pelan.
"Panjer Wengi jangan kau buat
suasana hati orang tambah panas. Masih
ada yang harus kau jelaskan pada
Saraswati...."
Panjer Wengi arahkan pandangannya
pada Lasmini yang tegak dengan wajah
merah padam dan dada berdebar tak karuan.
Perempuan yang selama ini memaklumkan
diri sebagai Tengkorak Berdarah ini
sudah bisa menebak siapa adanya gadis
berpakaian hitam-hitam yang masih
berpelukan dengan Puspa Ratri. Malah
begitu Saraswati memeluk Puspa Ratri,
perempuan ini laksana hendak menghambur
ke depan. Namun melihat Prabarini dan
Panjer Wengi yang bukan lain adalah
suaminya sendiri berada dekat di situ,
Lasmini menahan diri.
"Saraswati...," kata Panjer Wengi
pelan. "Kau telah menemukan saudaramu.
Sekarang jangan biarkan dia berdiri
sendirian di sana...."
Saraswati lepaskan pelukannya pada
Puspa Ratri. Lalu memandang ke arah mana
Panjer Wengi memandang.
"Perempuan itu.... Perempuan yang
selama ini mengenakan jubah seperti
Ayah. Apakah dia...." Saraswati
berpaling pada Panjer Wengi. Belum
sempat dia utarakan apa yang ada dalam
hatinya, Panjer Wengi telah mendahului
berucap.
"Mendekatlah ke sana. Ajaklah dia
kemari...."
"Ayah.... Apakah dia...."
"Saraswati.... Dialah ibumu...,"
sahut Prabarini.
Mulut Saraswati terkancing.
Isakannya seketika terhenti. Sepasang
matanya kembali memandang ke arah
Lasmini lalu beralih pada Panjer Wengi
seolah ingin penjelasan.
"Betul, Saraswati. Dialah
ibumu...," kata Panjer Wengi dengan
suara hampir tak terdengar.
Bersamaan selesainya ucapan Panjer
Wengi, laksana hendak terbang, Saraswati
berlari ke arah Lasmini. Lasmini tak
dapat menahan debaran dadanya. Seketika
tangisnya meledak. Kejap lain dia
melompat menyongsong Saraswati.
"Ibu...." Suara Saraswati
tersendat. Kedua tangannya langsung
memeluk tubuh Lasmini yang telah
menyongsongnya dengan pelukan erat.
Gadis ini kembali terisak. Sementara
Lasmini tak berkata apa-apa saking
larutnya. Perempuan ini hanya memeluk
anaknya erat-erat sambil menciumi wajah
dan mengusap-usap rambutnya dengan air
mata berderai.
Untuk beberapa saat semua mata orang
tertuju pada ibu dan anak yang saling
berpelukan dan bertangisan itu.
"Ibu.... Mulai saat ini kuharap Ibu
mau hidup bersama. Jangan kita berpisah
lagi...," bisik Saraswati setelah dapat
kuasai din.
"Anakku.... Terlalu berat derita
yang kurasakan. Sudah terlalu lama aku
menahan duka ini.... Ini semua gara-gara
ulah seorang perempuan. Kalau tidak, tak
mungin kita berpisah...."
"Ibu.... Lupakanlah semua yang
pernah terjadi...."
"Mengucapkan memang mudah, Anakku.
Tapi tahukah kau, betapa aku harus hidup
merana bahkan sampai tidak mengenalimu!
Tidak, Anakku. Orang yang membuat kita
sengsara begini harus mendapat balasan
setimpal!"
"ibu.... Jangan mencabut sesuatu
yang baru kudapat! Bertahun lamanya aku
mendambakan kebahagiaan. Apakah Ibu tega
memutuskan begitu saja?"
"Kau jangan salah paham, Anakku.
Justru kebahagiaan itu akan lebih terasa
kalau dapat melenyapkan orang yang
selama ini membuat kita berpisah!"
"Semua kejadian berpangkal pada
diriku! Kini kau berhak lakukan apa saja
padaku!" Mendadak satu suara menyahuti
ucapan Lasmini.
Saraswati dan Lasmini berpaling.
Sejarak tiga langkah di samping mereka
berdua, Panjer Wengi tegak dengan kepala
tengadah.
Saraswati rasakan kedua tangan
Lasmini yang masih memeluknya bergetar
keras. Dadanya bergerak cepat turun
naik. Sepasang matanya mendelik angker
memandangi Panjer Wengi. Kejap lain
Lasmini lepaskan pelukannya pada
Saraswati, lalu sambil menyeringai dia
menghadap Panjer Wengi.
"Panjer Wengi! Kau memang berhak
menerima imbalan setimpal. Tapi bukan
hanya kau satu-satunya yang harus
menerimanya! Perempuan liar itu juga
pantas merasakannya!" kata Lasmini
dengan suara keras sambil arahkan
telunjuknya pada Prabarini. Suara
Lasmini kini terdengar asli. Tidak
seperti selama ini yang selalu sarukan
suaranya mirip seorang laki-laki.
"Lasmini.... Jangan salahkan orang
lain. Akulah pangkal semuanya!"
Lasmini mendengus. "Dalam keadaan
begini kau masih juga membelanya!" lalu
perempuan ini angkat kedua tangannya.
"Ibu...!" seru Saraswati sambil
pegangi kedua tangan Lasmini. "Apakah
tidak ada ampun bagi satu kesalahan?"
"Kesalahannya sudah setinggi
langit! Tidak ada pengampunan selain
nyawanya terputus!"
"Saraswati. Ucapan ibumu benar.
Mungkin hanya itulah satu-satunya
penebusan yang harus kuterima. Dan aku
ikhlas menerimanya. Karena selimut
rahasia kini telah terungkap. Aku telah
menemukan anakku dan kau Saraswati telah
tahu siapa ibumu.... Yang kuharap,
setelah kepergianku nanti, kalian bisa
hidup rukun dan melenyapkan segala
ganjalan...."
"Tidak semudah itu semuanya akan
jadi selesai, Panjer Wengi! Aku telah
bulat hati untuk melenyapkan semua orang
yang pernah membuatku merana!" kata
Lasmini. Bara dendam pada dada perempuan
ini rupanya belum dapat digoyahkan.
Saat itulah tiba-tiba Prabarini
berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di
hadapan Lasmini. Perempuan ini
sunggingkan senyum lalu berkata.
"Lasmini.... Aku telah berjanji
padamu. Jika semua urusan ini jadi jelas,
aku akan pasrah padamu. Sekarang kurasa
semuanya sudah terungkap jelas. Aku
tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang
lakukanlah apa yang kau mau!"
Ucapan polos Prabarini membuat
Lasmini tergagap dan terdiam untuk
beberapa lama. Sementara itu mendengar
apa yang dikatakan ibunya, Puspa Ratri
segera melompat dan kini tegak di samping
ibunya. Diam-diam dalam hati gadis ini
berkata. "Aku tidak akan membiarkan
orang itu lakukan apa saja pada Ibu!"
Tiba-tiba Lasmini tertawa panjang.
Lalu berkata. "Prabarini! Sebelumnya aku
memang ingin membunuh dengan tanganku
sendiri. Tapi sekarang ku ubah. Aku ingin
melihatmu mampus dengan tanganmu
sendiri!"
"Ibu!" ujar Saraswati. "Mengapa Ibu
tega mengatakan begitu? Apakah...."
"Saraswati. Dengarlah. Perempuan
itulah yang membuat kita berpisah.
Perempuan itu tega memutus kebahagiaan
kita hingga kita harus menanggung duka
sengsara. Kurasa apa yang kuminta masih
jauh di bawah penderitaan yang kita alami
akibat perbuatannya!"
"Ibu.... Semua itu sudah berlalu.
Jerih payahnya untuk mempertemukan kita
kurasa jauh lebih besar dibanding dengan
apa yang pernah dilakukannya!"
"Saraswati. Kau tidak tahu apa-apa
dalam hal ini. Aku yang merasakan! Aku
yang mengalami!"
"Ibu! Baikiah. Anggap memang itu
satu kesalahan yang tidak berampun. Tapi
sekali ini aku mewakilinya untuk meminta
maaf padamu! Kalau kau hendak turunkan
tangan maut, jangan lakukan padanya!
Bunuhlah aku.... Atau Ibu ingin aku
lakukan sendiri?"
Habis berkata begitu, sambil
menangis berurai air mata, Saraswati
angkat kedua tangannya ke samping kanan
kiri kepalanya. Tanpa diduga semua
orang, tiba-tiba orang berpakaian
hitam-hitam ini hantamkan kedua
tangannya ke arah kepalanya sendiri!
Lasmini terkesiap kaget. Perempuan
ini cepat bergerak menangkap kedua
tangan Saraswati sebelum tangan itu
sempat menghantam kepala. Lasmini lalu
memeluk Saraswati dan kembali kedua
orang ini sama bertangisan.
Setelah agak lama, Lasmini berujar
sambil renggangkan pelukannya.
"Saraswati.... Untuk sementara aku
harus pergi dahulu. Jagalah dirimu
baik-baik...."
"Ibu...."
"Saraswati.... Untuk kali ini
jangan kau tanyakan ke mana aku akan
pergi. Percayalah. Tak lama kita akan
berkumpul lagi dan hidup bersama...,"
kata Lasmini sambil membelai rambut
anaknya. Lalu putar diri menghadap ke
arah Prabarini.
"Prabarini! Kau masih beruntung
hari ini. Kalau saja tidak ada anakku,
aku tak akan segan-segan membunuhmu!
Termasuk juga kau Panjer Wengi! Tapi
kalian jangan merasa lega dahulu.
Keputusanku tetap tidak akan berubah!
Kalian berdua masih harus mampus di
tanganku!"
Habis berkata begitu, Lasmini
meludah lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu.
"Ibu!" teriak Saraswati. Namun
Lasmini seakan tak hiraukan panggilan
anaknya. Perempuan ini terus berkelebat
dan lenyap di balik jajaran pohon. Semua
orang tidak tahu, jika seraya berkelebat
pergi air mata makin banyak mengalir dari
sepasang mata perempuan yang selama ini
mengaku sebagai Tengkorak Berdarah dan
sebenarnya adalah istri pertama Panjer
Wengi, laki-laki yang selama ini
menghuni Istana Hantu.
Sesaat setelah Lasmini pergi,
tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Kejap
lain tampak dua orang telah tegak di
tempat itu!
***
TUJUH
Ratu Malam! Gendeng Panuntun!"
Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan
mulut melihat apa yang sedang terjadi di
seberang depan, adalah orang yang
pertama kali berteriak begitu mengenali
siapa adanya dua orang yang baru muncul.
Murid Pendeta Sinting ini cepat
berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan
kedua orang yang bukan lain memang Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun adanya.
Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah
Joko. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam komat-kamit.
Kejap lain nenek berambut putih sebatas
tengkuk dan mengenakan jubah warna merah
menyala ini berkata.
"Kelakuanmu tidak berubah, Setan
Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan
dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau
akan terus begitu, hah?!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera
menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik
sebentar ke arah Puspa Ratri dan
Saraswati yang wajahnya tampak berubah.
Lalu cepat membungkuk memberi
penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng
Panuntun yang tampak tegak dengan kepala
tengadah dan tangan kanan usap-usap
cermin bulat yang ada di depan perutnya.
Kakek gendut ini berpaling sejurus pada
Ratu Malam lalu buka mulut.
"Kau juga tidak berubah! Selalu
marah-marah tak ada juntrung. Sampai
kau tak sadar di mana saat ini berada dan
siapa saja orang-orang yang ada di
sekitarmu!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun,
cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan
mata mendelik. Ketika sepasang matanya
menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek
ini tampak terkesiap malah kedua pasang
kakinya tersurut satu tindak.
Namun keterkejutan nenek berjubah
merah ini hanya sesaat. Saat lain
tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya
komat-kamit. Sementara kedua tangannya
mengusap-usap sepasang matanya.
"Hampir tak dapat kupercaya! Tapi
rasanya benar-benar dia!" gumamnya lalu
berpaling pada Gendeng Panuntun. Kakek
ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak
dilanda kebimbangan. Sebaliknya si kakek
bertubuh besar ini melangkah perlahan ke
arah Panjer Wengi. Sejarak enam langkah
dia berhenti. Lalu menjura hormat.
"Eyang Guru.... Terimalah salam
hormatku...."
Mengetahui apa yang dilakukan
Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat
melompat lalu ikut-ikutan menjura pada
Panjer Wengi sambil berkata.
"Eyang Guru.... Mohon dimaafkan.
Aku sama sekali tidak menduga...."
Joko tercenung dengan mata
mendelik. Sementara Puspa Ratri dan
Saraswati saling pandang tidak mengerti.
Hanya Prabarini yang kelihatan
tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok
yang berdiri agak jauh tampak mengernyit
lalu menyedot bundaran karet mulutnya
hingga perdengarkan suara duuutt!
Duuuttt! berulang kali.
“Tidak kusangka sama sekali kalau
orang tua yang kuyakin adalah penghuni
Istana Hantu itu adalah guru mereka.
Lebih-lebih tidak kukira jika kedua
gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus
mengucapkan terima kasih padanya...,"
kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar
dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta
Sinting cepat memberi penghormatan.
"Orang tua. Terima kasih atas semua
yang telah kau lakukan padaku.... Dan
harap maafkan kalau selama ini aku punya
prasangka buruk dan pernah berbuat
kurang ajar padamu...."
Panjer Wengi menghela napas
panjang. Sepasang matanya yang sudah
sayu pandangi ketiga orang di
hadapannya. "Sekar Mayang dan kau
Rawadan, aku gembira melihat kalian
berdua masih sehat-sehat saja. Lebih
dari itu, aku merasa senang karena kalian
berdua selama ini mau membantu pemuda itu
serta menjalankan pesan yang pernah
kukatakan!"
Orang yang disebut dengan Sekar
Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar Mayang
dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam
dan Gendeng Panuntun.
Ratu Malam angkat kepalanya
pandangi Panjer Wengi yang tidak lain
adalah gurunya. "Eyang Guru.... Terus
terang, aku tadi masih bimbang. Karena
selama ini kami duga Guru telah
tiada...."
Panjer Wengi tersenyum. "Satu tugas
telah mengharuskanku bertindak
demikian, Sekar Mayang."
Habis berkata begitu, kepala Panjer
Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu
berkata.
"Anak muda. Kau juga tak perlu
minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah
mewajibkan aku bertindak seperti yang
kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab
yang sekarang ada di tanganmu
sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri!
Dan dengan telah berhasilnya kau miliki
kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini
segala urusan rimba persilatan ada pada
pundakmu!"
Beberapa saat Panjer Wengi diam.
Lalu arahkan pandangannya pada Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun, "Sekar
Mayang, Rawadan. Aku harus pergi
sekarang...."
Panjer Wengi putar diri menghadap
Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di
samping nya.
Eyang Guru.... Ada satu hal yang
ingin kutanyakan padamu!" kata Ratu
Malam menahan gerakan Panjer Wengi.
"Katakanlah, Sekar Mayang...."
"Sejak peristiwa terbukanya Istana
Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap
tidak ada beritanya. Sementara orang
menduga kalau ketiganya...."
"Sekar Mayang...," potong Panjer
Wengi. "Tentang ketiga saudaramu itu
panjang ceritanya. Aku tidak bisa
menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti
minta cerita pada mereka. Tak lama lagi
kau akan menemuinya...."
Panjer Wengi teruskan putaran
tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan
Saraswati. "Anak-anakku.... Kita cari
tempat yang baik untuk
berbincang-bincang dari hati ke hati
agar semua ganjalan yang masih ada bisa
sirna."
Puspa Ratri dan Saraswati saling
pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis
ini lantas berpaling pada murid Pendeta
Sinting. Dada keduanya sama berdebar.
Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena
keduanya ternyata masih saudara satu
ayah lain ibu. Sementara hati keduanya
sudah sama-sama menyukai Pendekar131.
"Bagaimana ini? Mungkinkah aku
harus berebut dengan Puspa Ratri,
saudaraku sendiri? Tapi aku tak dapat
mendustai diri sendiri. Aku menyintai
pemuda itu" kata Saraswati dalam hati. Di
lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga
membatin.
"Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi
haruskah semuanya kutebus dengan duka
yang lain? Akankah harus kulepas pemuda
itu? Padahal aku.... Ah.... Apakah yang
harus kukatakan pada Saraswati? Apa yang
harus kulakukan?!"
Apa yang saat itu melanda pada hati
masing-masing gadis rupanya dapat
ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini
mendehem, membuat Puspa Ratri dan
Saraswati paling kan wajah ke arahnya.
"Puspa, Saraswati. Kalian berdua
membutuhkan waktu agak panjang untuk
memutuskan apa yang harus kalian
lakukan. Kalian butuh saling terbuka.
Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil
keputusan dengan dilandasi perasaan
cemburu".
Paras wajah Puspa Ratri dan
Saraswati sama bersemu merah. Prabarini
melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu
berkata pelan.
"Apa yang dikatakan ayahmu benar.
Kau ikutlah dia agar bisa berbincang
lebih tenang...."
"Ibu.... Kita harus bersama-sama!"
ujar Puspa Ratri.
Prabarini gelengkan kepala sambil
tersenyum. "Kau telah bertemu dan tahu
siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk
bersama dengannya agar kau tahu banyak
siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara
ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau
pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap
kau mau mengerti...."
Habis berkata begitu, Prabarini
mencium wajah anaknya. "Jaga dirimu
baik-baik. Ambillah keputusan tanpa
adanya penyesalan di kemudian hari."
Perempuan ini lantas memandang pada
Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis
ini dipegangnya.
"Saraswati.... Kau harus dapat
menerima kenyataan ini. Lebih dari itu
kau harus bisa memahami apa yang
dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga
minta maaf padamu atas kejadian semua
ini...."
Tanpa menunggu sahutan dari
Saraswati. Prabarini berpaling pada
Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka
mulut bicara. Namun dia tampak
ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan
ini hanya memandang ke dalam bola mata
sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri hendak mengejar, namun
Panjer Wengi cepat berucap. "Anakku....
Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak
lama lagi kita pasti akan bertemu lagi.
Sekarang kita harus pergi...."
Panjer Wengi melangkah lalu
berhenti di antara Puspa Ratri dan
Saraswati. Kedua tangannya memegang satu
persatu lengan Puspa Ratri dan Saras-
wati. Lantas menariknya perlahan untuk
mengajak keduanya pergi dari tempat itu.
Puspa Ratri dan Saraswati sejurus
sama arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting. Saat lain keduanya
saling berpandangan. Wajah keduanya sama
berubah merah. Tanpa buka mulut lagi,
keduanya ialu melangkah mengikuti Panjer
Wengi.
"Setan Jelek!" kata Ratu Malam
begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri
dan Saraswati pergi. "Kau jangan berani
macam-macam pada gadis-gadis itu!"
"Kau jangan terlalu menduga yang
tidak-tidak, Nenek" Yang menyahut adalah
Gendeng Panuntun.
"Diam kau! Aku bicara dengan Setan
Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai
terjadi apa-apa nantinya pada
gadis-gadis itu, tak urung kita juga
hanya akan mendapat getahnya! Padahal
Setan Jelek ini yang makan nangkanya!"
"Ratu Malam...," ujar Joko seraya
tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku
tahu siapa diriku dan siapa gadis-gadis
itu!"
"Hem.... Bagus kalau kau sadar
begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari
apa yang kau ucapkan, aku tak segan
memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini
telah mendapatkan kitab sakti!" kata
Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di
mana tadi Dewa Orok berada.
"Hem.... Ke mana minggatnya temanmu
tadi?!"
Pendekar 131 memandang ke tempat
Dewa Orok berada. Ternyata pemuda
bertangan buntung itu memang tak ada lagi
di tempatnya semula.
Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131
mencari-cari tiba-tiba terdengar satu
debuman keras. Serentak Ratu Malam dan
murid Pendeta Sinting berpaling ke arah
datangnya suara debuman.
"Pintu Istana Hantu...," gumam Joko
seraya mendelik memandang jauh ke depan
ke arah Istana Hantu. Dari tempatnya
berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko
melihat pintu Istana Hantu telah
menutup.
Tapi kali ini bukan tertutupnya
gerbang pintu Istana Hantu yang membuat
kedua orang ini terus pentangkan mata
masing-masing. Melainkan dari depan
gerbang pintu yang baru keluarkan
debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh
melangkah ke tempat mereka berada!
***
DELAPAN
Orang paling kanan adalah seorang
kakek berambut putih disanggul ke atas.
Seraya melangkah kakek ini dongakkan
sedikit kepalanya dengan mulut terbuka
menganga! Di sebelahnya terlihat seorang
perempuan berambut panjang bergerai. la
mengenakan jubah putih panjang. Ada
keanehan pada perempuan ini. Wajahnya
terlihat samar-samar karena dari atas
kepalanya tampak curahan rintik-rintik
air yang tiada putus-putusnya Meski
demikian, baik jubah maupun sekujur
tubuhnya tidak basah! Sementara orang
yang paling kiri adalah seorang
laki-laki berusia agak lanjut. Rambutnya
yang putih dibiarkan bergerai.
Tiba-tiba kakek yang berada di
sebelah paling kanan yang terus membuka
mulut dan bukan lain adalah Iblis Ompong
angkat tangan kanannya memberi isyarat
agar kedua orang di sampingnya dan tidak
lain adalah Dewi Es dan saudara
seperguruannya Dewa Sukma, hentikan
langkah.
"Iblis Ompong, Dewi Es, Dewa Sukma!"
seru murid Pendeta Sinting begitu
mengenali siapa adanya ketiga orang yang
baru saja melangkah keluar dari pintu
Istana Hantu.
Sementara Ratu Malam memandang
dengan pelototkan sepasang matanya yang
sipit. Gendeng Panuntun tengadah dengan
matanya yang putih mengerjap dan tangan
kanan mengusap cermin bulatnya.
"Wah, ternyata masih ada sumur di
ladang dan kita bisa menumpang mandi.
He.... He.... He.... Ternyata kita masih
sama berumur panjang dan bisa berjumpa
lagi!" Mendadak Iblis Ompong berkata
"Hem.... Kalau ingin menumpang
mandi jangan di sumur, lebih baik di
kali. Kukira kalian semua telah terkubur
hingga putus harapan untuk bersua lagi!"
Gendeng Panuntun menyahut.
"Biduk melaju deras diterpa
gelombang. Angin bertiup kencang ke arah
timur. Kalau Yang Maha Penyayang
masih...."
"Sudah! Sudah!" tukas Ratu Malam
memotong ucapan Iblis Ompong. "Kalian
tua-tua masih juga bicara tak ujung
pangkal!" Nenek berjubah merah menyala
ini pasang tampang cemberut. Sepasang
matanya menatap tajam pada Iblis Ompong
yang masih menganga lalu buka mulut lagi.
"Lantika! Sekarang ceritakan ke
mana kalian menghilang selama ini!
Kalian sepertinya tak tahu bagaimana aku
kalian buat bingung!" ucap Ratu Malam
seraya sebut nama asli Iblis Ompong.
Iblis Ompong tertawa bergelak
dahulu sebelum akhirnya berkata.
"Sekar Mayang. Harap kau tidak
terbawa marah dahulu. Untuk pertanyaanmu
ada yang lebih layak menjawab!" kata
Iblis Ompong lalu seraya masih buka
mulut, dia berpaling pada Dewa Sukma.
Yang dilirik angkat bahu lalu berujar.
"Dengarlah. Semenjak kita pulang
dari Pulau Biru, aku menangkap isyarat
akan adanya sesuatu yang bakal terjadi!
Untuk menjaga segala hal yang bakal
menimpa rimba persilatan, secara
diam-diam aku mengajak Iblis Ompong dan
Dewi Es untuk menyelidik. Karena pangkal
semua yang bakal terjadi kuduga ada di
Istana Hantu, maka kita bertiga langsung
menuju Istana Hantu. Namun apa yang kami
temukan adalah di luar dugaan! Kami
bertiga gagal memasuki Istana Hantu,
malah kami harus menderita luka-luka dan
pingsan. Ketika kami sadar, ternyata
kami telah berada di sebuah ruangan. Di
sanalah akhirnya kami bertemu dengan
penghuni Istana Hantu. Kukira kau telah
tahu, siapa sebenarnya penghuni Istana
Hantu itu!"
"Hem.... Lalu kenapa kalian tidak
minta untuk keluar?" tanya Ratu Malam.
"Itu sudah kulakukan. Tapi Eyang
Guru tidak mengizinkan! Dia bilang kami
harus menunggu!"
"Tapi seharusnya kalian bisa
beralasan, agar aku tidak
terombang-ambing! Kalian bisa
enak-enakan, sementara aku ke sana
kemari bertanya-tanya!"
"Kau tahu bagaimana sifat Eyang
Guru!" ujar Dewa Sukma sambil arahkan
matanya pada murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah, Sekar Mayang. Semuanya
sudah berlalu.... Tidak ada gunanya
memperdebatkan yang telah terjadi. Kini
semuanya sudah jelas," sahut Gendeng
Panuntun lalu orang bermata putih ini
arahkan wajahnya berpaling pada Pendekar
131.
"Anak muda! Kau tadi telah dengar
apa yang diucapkan Eyang Guru kami. Kini
semuanya tergantung padamu. Kami semua
harus pergi..."
"Betul! Kau juga harus ingat-ingat
pesanku tadi! Kalau ingin gadis, cari
saja yang lain! Jangan berani menggoda
kedua gadis putri Eyang Guru!" ucap Ratu
Malam lalu tanpa berpaling pada murid
Pendeta Sinting nenek ini melangkah ke
arah Iblis Ompong.
"Wah. Nasib anak itu beruntung
sekali. Selain mendapat kitab sakti juga
diperebutkan anak-anak gadis!" kata
Iblis Ompong lalu balikkan tubuh.
"Itulah manusia sekarang! Jangankan
gadisnya, nenek-neneknya pun tidak lagi
merasa malu berebut seorang kakek!"
Menyahut Gendeng Panuntun lalu seraya
tertawa bergelak orang ini melangkah
mendekati Iblis Ompong.
Ratu Malam hentikan langkah.
Memandang silih berganti pada Iblis
Ompong dan Gendeng Panuntun. Air mukanya
berubah. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam terhenti
seketika.
"Huh! Enak saja kalian bicara! Kelak
kalian akan buktikan bahwa bukan
perempuan yang berebut makhluk
laki-laki. Tapi sebaliknya laki-lakilah
yang akan setengah mati berebut manusia
perempuan!"
Murid Pendeta Sinting yang sedari
tadi hanya diam tiba-tiba melompat ke
depan. Sambil menjura dia berkata.
"Untuk kesekian kalinya aku
mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan kalian semua! Aku akan selalu
mengingat pesan dan ucapan-ucapan
kalian!"
Mendengar ucapan murid Pendeta
Sinting, Ratu Malam balikkan tubuh.
Sepasang matanya mendelik.
"Kau tidak cukup hanya mengingat!
Tapi harus kau jalankan!"
Pendekar 131 hanya anggukkan kepala
tanpa berkata apa-apa. Ratu Malam
balikkan tubuh kembali lalu melangkah
mendahului Iblis Ompong yang masih tegak
membelakangi. Sesaat kemudian Gendeng
Panuntun juga teruskan langkah. Kejap
kemudian Dewi Es dan Dewa Sukma juga sama
putar diri. Lalu melangkah menyusul Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun. Yang
terakhir bergerak adalah Iblis Ompong.
Sebenarnya Joko ingin menanyakan
keadaan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi.
Seperti diketahui, sejak peristiwa di
Pulau Biru, Dewi Seribu Bunga dibawa oleh
Dewi Es sementara Sitoresmi diambil
Gendeng Panuntun. Namun karena khawatir
Ratu Malam akan marah-marah, akhirnya
Joko urungkan niat meski dengan demikian
kerinduannya pada kedua gadis itu makin
bertambah.
"Ah.... Suatu hari kelak aku akan
menanyakan perihal dua gadis itu!" gumam
Joko seraya pandangi kelima orang
saudara seperguruan itu yang terus
melangkah hingga akhirnya lenyap di
depan sana.
"Sekarang aku harus segera
mempelajari kitab ini, bukan tidak
mungkin akan banyak orang yang
menginginkannya."
Berpikir begitu, murid Pendeta
Sinting laksana dikejar setan
gentayangan berkelebat ke arah timur.
Namun pemuda dari Dusun Kampung Anyar dan
beberapa tahun sempat digembleng di
dalam Jurang Tlatah Perak oleh dedengkot
rimba persilatan Pendeta Sinting ini
berlaku cerdik. Dia tahu bahwa dirinya
kini membawa sebuah benda sakti yang jika
sampai jatuh ke tangan orang tidak
bertanggung jawab maka rimba persilatan
akan mengalami malapetaka. Dia
berkelebat ke arah timur namun jika ada
tikungan jalan dia segera menelikung dan
seakan-akan teruskan larinya mengikuti
arah jalan yang menelikung. Tapi di
tengah jalan dia berbelok lagi dan
berlari lebih cepat menuju lurus jurusan
timur.
Ketika hari mulai gelap, dan saat
memasuki sebuah pesisir pantai baru dia
memperlambat larinya. Dia lalu melangkah
ke arah beberapa gugusan batu karang.
Setelah melewati beberapa gugusan batu
karang, akhirnya dia hentikan langkah
pada satu gugusan batu karang paling
tinggi yang menghadap laut.
"Hem.... Tempat ini sepertinya
belum ada yang mengendus sejak
kutinggalkan beberapa waktu lalu," ujar
murid Pendeta Sinting dalam hati. Tapi
sekali lagi dia tidak mau bertindak ayal.
Meski merasa yakin tidak ada orang yang
berada di tempat itu, dia sekali lagi
arahkan pandangannya berputar dengan
mata dipentang lebar-lebar.
Setelah benar-benar merasa yakin
tak ada orang lain, Pendekar 131 lesatkan
diri ke gugusan batu paling tinggi.
Ternyata di situ ada sebuah batu karang
yang membentuk lobang di bagian
depannya.
Meski kini telah tegak di depan batu
karang yang membentuk goa dan beberapa
waktu yang lalu digunakan sebagai tempat
bersemadi sebagai rangkaian dari apa
yang ada dalam Kitab Serat Biru, tapi
murid Pendeta Sinting tidak segera
masuk. Dia tegak sebentar lalu longokkan
kepala ke dalam batu karang yang
membentuk goa. Sejenak kegelapan
menyambut pandangan matanya. Namun
setelah ia mulai agak terbiasa, dia
sedikit banyak bisa menyiasati keadaan
dalam goa.
Setelah menghela napas panjang dan
meraba perut dan pinggangnya di mana
tersimpan kitab bersampul kuning dan
Pedang Tumpul 131, dia melangkah
perlahan memasuki goa. Lalu mengitari
bagian dalam goa untuk meyakinkan bahwa
dia berada sendirian di tempat itu.
Tak berselang lama, akhirnya murid
Pendeta Sinting duduk dengan bersandar
punggung menghadap pada mulut goa. Saat
itulah dia baru menyadari bahwa dia telah
melupakan sesuatu.
"Bagaimana aku harus membuka kitab
ini kalau keadaannya gelap begini? Apa
aku harus menunggu sampai pagi datang dan
menghabiskan waktu malam ini untuk
istirahat? Tapi aku tak sabar ingin
segera membukanya! Namun dalam keadaan
gelap begini apa mungkin?!"
Setelah tidak menemukan jalan
keluar, akhirnya murid Pendeta Sinting
memutuskan menunggu sampai datangnya
pagi. Namun meski demikian
keingintahuannya pada kitab bersampul
kuning itu tidak dapat ditahan. Akhirnya
meski keadaan gelap, dia keluarkan kitab
dari balik pakaiannya. Kedua tangannya
sesaat tampak bergetar. Lalu
perlahan-lahan kitab bersampul kuning
yang tulisan luarnya sudah tidak bisa
dibaca lagi itu didekatkan ke depan
matanya.
Saat itulah tiba-tiba murid Pendeta
Sinting rasakan sambaran angin dari arah
samping!
Menangkap gelagat tidak beres,
apalagi datangnya sambaran angin dari
arah samping sementara dia tidak
menangkap adanya orang yang memasuki
goa, yang menunjukkan bahwa ada orang
sebelum dia memasuki goa itu, cepat dia
selinapkan kitab bersampul kuning ke
balik pakaiannya lalu berpaling ke
samping kanan seraya membentak.
"Siapa?!"
Tak ada suara jawaban. Murid Pendeta
Sinting pentang mata besar-besar. Dia
tidak melihat adanya seseorang, membuat
mau tak mau tengkuknya dingin. Saat
itulah kembali dia rasakan desiran
sambaran angin. Kali ini datangnya dari
samping kiri.
Laksana kilat, Joko cepat putar
kepala. Namun dia jadi tersentak
sendiri. Matanya yang dijerengkan
lebar-lebar masih tidak menangkap ada
orang!
"Jangan berani bergurau! Tunjukkan
tampangmu!" Tak sabar murid Pendeta
Sinting kembali membentak dengan kedua
tangan telah siap lepaskan pukulan.
Belum juga ada tanda-tanda adanya
orang atau terdengarnya suara jawaban.
"Aku yakin aku tidak sendirian di
tempat ini! Aku harus menyelidik!" gumam
Joko lalu bangkit.
"Tetap di tempatmu, Anak Muda!"
Mendadak terdengar suara. Joko
terkesiap. Bukan saja terkejut namun
juga karena dia tidak dapat menentukan
sumber arah datangnya suara yang baru
saja terdengar.
Joko tidak kehilangan akal. Dengan
tetap duduk dia segera putar tubuhnya.
Namun hingga putaran ketiga, dia tetap
tidak dapat menangkap adanya orang!
Selagi dia kebingungan, tiba-tiba
menyeruak asap putih dari luar lobang
goa. Asap putih itu cepat bergerak lalu
berputar-putar di hadapan Joko. Belum
sampai Joko membuat gerakan atau buka mu-
lut, asap putih lenyap. Kini di
hadapannya telah tegak seorang kakek
mengenakar pakaian jubah putih panjang.
"Selamat bertemu kembali, Joko...."
Murid Pendeta Sinting angkat
kepalanya pandangi wajah orang yang
tegak di hadapannya.
"Astaga! Bukankah kakek ini orang
yang kutemui takkala aku mempelajari
Kitab Serat Biru dan bersemadi di sini?”
Mengenali siapa adanya Orang Tua di
hadapannya, murid Pendeta Sinting segera
menjura dalam-dalam. (Mengenai Orang Tua
ini silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode : "Gerbang Istana Hantu").
"Joko.... Yang Maha Kuasa telah
mempertemukan kita kembali. Aku hanya
perlu menceritakan perihal dua kitab
yang telah kau miliki dan memberitahukan
beberapa hal. Harap dengarkan
baik-baik...," kata Orang Tua seraya
hentikan ucapannya sejenak sebelum
akhirnya melanjutkan.
"Sebelum kau berhasil mendapatkan
kitab bersampul kuning itu tentunya kau
telah mengalami rangkaian kejadian yang
mungkin belum kau mengerti. Sebenarnya
kedua kitab itu diciptakan oleh seorang
sakti pada masa Kerajaan Singasari.
Mungkin karena begitu hebatnya isi kedua
kitab itu, pada akhirnya kedua kitab itu
menjadi barang pusaka kerajaan yang
tidak sembarang orang dapat menyentuh
apalagi membuka dan memilikinya.
Namun di atas semua itu, kuasa serta
takdir Yang Mana Tinggi tidak bisa
dihadang oleh siapa pun juga. Seorang
gadis berparas cantik bernama Maharani,
yang diambil murid oleh salah seorang
putra mahkota yang dibuang karena
diketahui hasil hubungan gelap sang
Permaisuri dengan seorang abdi kerajaan,
berhasil menerobos penjagaan bangunan
tempat penyimpanan barang pusaka
kerajaan setelah berhasil mengelabui
gurunya sendiri yang juga adalah putra
mahkota yang terbuang serta membunuh
beberapa orang bekas kepercayaan
kerajaan yang mengetahui seluk beluk
kedua kitab itu. Tapi ambisi Maharani
akhirnya kandas akibat sumpah pada
gurunya.
Dia terjebak dalam ruangan rahasia
dan terjerumus ke dalam lobang bawah
tanah. Tapi sebelum dia terjerumus
masuk, Maharani masih sempat menyambar
kitab bersampul kuning. Selain itu
sebelumnya Maharani telah membekal pula
sebuah mahkota bersusun tiga warisan
dari sang Permaisuri yang diberikan pada
putra mahkota yang terbuang.
Sementara kitab bersampul biru yang
tidak lain adalah Kitab Serat Biru,
berhasil diselamatkan oleh seorang tokoh
kerajaan bernama Gandung Sedayu. Namun
meski berhasil menyelamatkan Kitab Serat
Biru, Gandung Sedayu terluka dalam cukup
parah. Untung saat itu muncul seorang
penyelamat. Dia adalah guruku sendiri.
Pada akhirnya nyawa Gandung Sedayu tak
tertolong. Sementara Kitab Serat Biru
pada akhirnya diserahkan padaku oleh
mendiang guruku. Tapi aku hanya mendapat
tugas untuk menjaga kitab itu hingga
nanti sampai pada orang yang paling
berhak memilikinya.
Namun usia manusia terbatas.
Sebelum orang yang berhak memiliki kitab
itu muncul, aku telah meninggal. Tapi
sebelum itu aku sudah berpesan pada
seorang yang kuangkat sebagai muridku
agar kelak memberikan kitab itu pada
orang yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Aku juga berpesan kalau sampai menginjak
lanjut usia dan orang yang ditentukan
belum juga muncul, kuharap dia
menyerahkan kitab itu pada orang yang
dipercaya.
Pada akhirnya muridku menyerahkan
Kitab Serat Biru pada muridnya yang
terpercaya. Muridnya ini akhirnya
menyerahkan kitab itu pada muridnya
bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Di lain
pihak, melalui sebuah mimpi seorang anak
manusia bernama Panjer Wengi yang saat
itu menjadi seorang tokoh golongan putih
yang disegani berhasil mengetahui seluk
beluk kedua kitab itu. Dia juga berhasil
mengetahui jalan menuju Pulau Biru di
mana Ki Ageng Mangir Jayalaya berada.
Mungkin karena takut akan rahasia
besar itu tercium orang lain, akhirnya
Panjer Wengi membuat peta dan dibagikan
pada kelima muridnya. Dia berpesan pada
kelima muridnya untuk memberikan
lembaran-lembaran peta itu pada anak
manusia yang punya ciri-ciri khusus.
Setelah memberikan pesan dan lembaran
peta pada kelima muridnya, Panjer Wengi
sengaja menghilang dari kancah rimba
persilatan.
Dia lalu bertempat tinggal
sembunyikan diri di bangunan tua bekas
bangunan tempat penyimpanan benda-benda
pusaka kerajaan yang dikenal orang
dengan Istana Hantu. Dia mengetahui
bahwa di dasar bangunan itu masih
tersimpan kitab bersampul kuning serta
mahkota bersusun tiga. Dia lalu dikenal
orang dengan julukan Tengkorak Berdarah.
Untuk selanjutnya mungkin kau telah tahu
jalan ceritanya...," kata si Orang Tua
mengakhiri ucapannya.
Joko mendengarkan kisah yang
dituturkan orang dengan saksama.
Sementara si Orang Tua menghela napas
sejenak. Lalu buka mulut kembali.
"Joko.... Kedua kitab itu kini telah
kau miliki, karena memang kaulah anak
manusia yang ditentukan berjodoh dengan
kedua kitab itu. Namun ada satu hal yang
harus kau ketahui. Setiap langkah baik
pasti telah didahului oleh satu langkah
jelek. Tidak beda dengan terciptanya
kedua kitab itu. Karena kedua kitab itu
diciptakan setelah adanya seorang sakti
berhaluan hitam yang berhasil
menciptakan sebuah kitab maha sakti
tiada tanding. Kitab hitam ini dicip-
takan selangkah lebih awal dari kedua
kitab itu. Namun semenjak terciptanya
kedua kitab itu, kitab hitam seakan
lenyap tiada berita. Tidak seorang pun
yang mengetahui di mana beradanya. Namun
yang pasti kitab hitam itu masih ada. Aku
mendapat firasat, bahwa kitab hitam itu
akan segera ditemukan orang. Ini adalah
satu hal yang sangat membahayakan bagi
kelangsungan kedamaian umat manusia. Aku
tidak tahu pasti, apakah kedua kitab itu
bisa mengalahkan kitab hitam itu atau
tidak." Orang itu sejurus menghela napas
panjang. Lalu meneruskan.
"Joko.... Tugasmu yang terutama
adalah menjaga kelangsungan kedamaian
umat manusia. Sementara hal itu tidak
akan terwujud selagi kitab hitam itu
masih ada. Kitab hitam itu adalah ancaman
berbahaya. Setelah kau selesai
mempelajari kitab bersampul kuning, kau
harus segera mencari kitab hitam itu.
Bukan untuk dipelajari namun untuk
dimusnahkan!"
"Kalau itu demi umat manusia, aku
akan mencari dan memusnahkannya. Tapi
dapatkah memberiku barang sedikit
petunjuk tentang kitab hitam itu?" Joko
angkat bicara untuk pertama kalinya.
"Inilah hal yang selama ini tidak
diketahui dan diduga orang. Petunjuk
beradanya kitab hitam itu berada pada
mahkota bersusun tiga warisan sang
Permaisuri yang sempat dibawa Maharani
dan ikut terjerumus ke dalam bawah
tanah!"
Murid Pendeta Sinting tersentak.
"Bagaimana ini? Mahkota itu kini telah
berada di tangan Dewa Orok.
Jangan-jangan orang itu mengetahui
rahasia yang tersimpan pada mahkota itu
lalu mengarang cerita...." Joko
sebenarnya hendak mengungkapkan apa yang
di batinnya. Namun sebelum dia buka
mulut, Orang Tua di hadapannya telah
mendahului berkata.
"Kau tentu punya cara bagaimana
mendapatkan mahkota itu dan sekaligus
menyelamatkan rimba persilatan.
Sekarang aku harus pergi...."
Orang Tua di hadapan murid Pendeta
Sinting angkat tangan kanannya lalu
disentakkan perlahan saja ke atas. Dari
tangan kanannya melesat satu cahaya
terang. Cahaya itu bergerak lurus ke
atas. Anehnya meski si Orang Tua telah
tarik pulang tangan kanannya, cahaya itu
tetap bersinar hingga ruangan goa
sedikit terang.
Bersamaan dengan tertariknya tangan
kanan si Orang Tua, perlahan-lahan sosok
si Orang Tua laksana dibungkus asap
putih. Kejap lain sosoknya lenyap. Joko
hanya dapat melihat meliuknya asap putih
menyeruak keluar dari ruangan goa!
Pendekar 131 baru sadar, lalu
buru-buru menjura hormat. "Terima kasih
atas segala petunjukmu...
"Jangan buang-buang waktu. Lekas
kau pelajari apa yang ada pada kitab
itu!" Terdengar suara yang Joko tidak
dapat menentukan dari mana sumbernya.
Namun murid Pendeta Sinting merasa hafal
betul dengan suara yang baru saja
terdengar.
Pendekar 131 segera keluarkan
kembali kitab bersampul kuning dari
balik pakaiannya. Karena di ruangan itu
kini ada cahaya, maka Joko kini dapat
melihat dengan jelas.
Dengan dada sedikit berdebar dan
tangan gemetar, Joko cepat letakkan
kitab bersampul kuning pada pangkuannya.
Perlahan-lahan lalu dibukanya sampul
kitab itu. Pada halaman pertama hanya
tertera tulisan agak besar berbunyi.
"Kitab Sundrik Cakra."
Joko lalu membuka halaman kedua. Di
situ tertera tulisan.
Kitab ini hanya diperuntukkan bagi
anak manusia yang telah memperoleh isi
pada Kitab Serat Biru.
Murid Pendeta Sinting menghela
napas dalam. Dadanya makin berdebar. Dia
lalu membuka halaman ketiga yang
ternyata halaman yang terakhir. Di situ
hanya ada gambar tiga jari. Jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Tidak ada tulisan atau petunjuk lain,
membuat Joko kerutkan dahi berpikir.
"Jangan-jangan ini sama dengan apa
yang ada pada Kitab Serat Biru. Aku hanya
menempelkan jari-jariku pada gambar
ini...." ujar Joko dalam hati ingat apa
yang pernah didapat pada Kitab Serat
Biru.
Joko perhatikan gambar tiga jari itu
lekat-lekat. "Hem.... Jari telunjuk
berada pada sebelah kiri, berarti ini
tangan kanan!"
Tanpa menunggu lama, Joko segera
angkat tangan kanannya. Jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis segera
dipentangkan menurut gambar yang
tertera. Lalu perlahan-lahan diletakkan
di atas gambar.
Bersamaan dengan menempelnya ketiga
jari tangan kanan murid Pendeta Sinting
pada gambar, Joko merasakan hawa dingin
menusuk masuk lewat ketiga jari-jarinya.
Kejap lain tubuhnya berguncang keras.
Namun saat lain hawa dingin itu sirna.
Guncangan tubuhnya pun terhenti. Dan
perlahan-lahan dari kitab bersampul
kuning itu mengepul asap. Ketika asap
lenyap, tangan Joko tampak menggantung
di udara. Kitab Sundrik Cakra lenyap
tiada bekas sama sekali!
Murid Pendeta Sinting tidak terlaiu
terkejut dengan kejadian ini karena hal
itu pernah terjadi saat dia mempelajari
dan membuka Kitab Serat Biru. Yang
membuatnya sedikit tersendat adalah
bersamaan dengan sirnanya Kitab Sundrik
Cakra, sinar cahaya yang menerangi
ruangan goa yang berasal dari sentakan
tangan si Orang Tua ikut redup seketika
hingga ruangan goa kembali digenggam
kegelapan.
"Aku akan mencoba apa kehebatan isi
kitab tadi...."
Murid Pendeta Sinting salurkan
tenaga dalam pada tangan kanannya.
Sejenak dia merasakan hawa dingin pada
ketiga jari tangan kanannya. Ketika
tangan itu disentakkan ke depan, melesat
tiga larik cahaya kuning sebesar jari
tangan. Kejap lain terdengar ledakan
dahsyat. Saking tidak menduga, murid
Pendeta Sinting sempat terlonjak
sendiri.
Batu karang di sebelah depan hancur
berantakan. Ruangan goa di mana Joko
berada bergetar laksana diguncang gempa
hebat. Disusul dengan longsornya dinding
ruangan goa sebelah samping, lalu
merembet ke tengah. Langit-langit
ruangan pun berhamburan. Hingga ruangan
goa itu dibuncah beberapa derakan suara
bergemuruh.
"Celaka! Aku bisa terkubur di sini
kalau tidak segera menyingkir!"
Secepat kilat, Joko bangkit lalu
berkelebat keluar ruangan goa. Pada saat
bersamaan terdengar suara letupan
beberapa kali. Ketika Joko menoleh,
gugusan batu karang yang membentuk
ruangan goa itu ambruk!
"Sialan! Terpaksa malam ini aku
harus tidur di tempat terbuka!" gumam
Joko lalu melangkah mencari gugusan batu
yang agak rata. Pada sebuah gugusan batu
agak rata yang menghadap laut murid
Pendeta Sinting duduk bersila seraya
sandarkan punggung pada gugusan batu
karang di belakangnya. Dia lalu
rangkapkan kedua tangan dengan menarik
napas panjang coba pusatkan pikiran.
Anehnya yang muncul adalah bayangan
wajah cantik Dewi Seribu Bunga. Begitu
dia dapat menepis raut wajah gadis itu,
muncul paras Sitoresmi! Murid Pendeta
Sinting coba lenyapkan bayangan paras
Sitoresmi. Namun kini muncul sosok Puspa
Ratri.
Pada akhirnya Pendekar 131 Joko
Sableng buka kelopak matanya. Anehnya
kini terlihat jelas bayangan Saraswati
di depan matanya!
Murid Pendeta Sinting hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil bergumam
tidak jelas. Anehnya lagi, begitu
bayangan Saraswati sirna yang muncul
kini adalah raut wajah Ratu Malam disusul
dengan Iblis Ompong yang tegak dengan
pantat menungging dan mulut terbuka
menganga.
"Sialan betul! Daripada melihat
yang tua-tua lebih baik kubayangkan saja
gadis-gadis tadi!" ujar Joko lalu
kembali katupkan kelopak matanya. Dia
tersentak, karena bagaimanapun dia coba
mengingat wajah-wajah Dewi Seribu Bunga,
Sitoresmi, Puspa Ratri, maupun Saraswati
tidak satu pun dari raut wajah
gadis-gadis itu muncul! Justru yang
terbayang adalah Iblis Ompong!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar