SATU
NENEK berwajah angker itu lari laksana dikejar
setan. Namun mendadak dia menghentikan larinya
dan secepat kilat putar diri lalu berlari balik dari mana
dia tadi datang.
Sejarak delapan tombak, si nenek kembali
hentikan larinya. Kepalanya sedikit didongakkan.
Kedua tangannya bergerak merangkap di depan
dada. Tanpa putar pandangan mulutnya membuka
perdengarkan bentakan keras.
"Setan sekalipun kau adanya, kenapa pengecut
mengikutiku secara sembunyi?!"
Tak ada suara sahutan atau adanya gerakan tanda
akan munculnya seseorang.
SI nenek yang ternyata mengenakan pakaian
panjang warna coklat dan tangan kanan
menggenggam sebuah tusuk konde besar berwarna
hitam dan tidak lain adalah Nl Luh Padml adanya
tersenyum dingin. Masih tanpa gerakkan kepala,
mulutnya kembali angkat bicara membentak.
"Setiap orang selalu berusaha ingin dikenali
meskipun sudah berkalang tanah. Apakah kau justru
tak ingin dikenali walau nyawa masih di tubuhmu,
hah?!"
Sesaat Ni Luh Padml menunggu masih tanpa
membuat gerakan apa-apa. Meski begitu, nenek ini
maklum kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Malah
dia tahu kalau orang yang diyakininya selalu
mengikuti ke mana dia berlari tidak jauh dari
tempatnya berdiri.
Apa yang diyakini si nenek tidak jauh meleset.
Karena hanya sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya
berdiri, satu sosok tubuh tampak mendekam sama
rata dengan tanah di balik rimbun semak belukar
dengan kepala menghadap ke arahnya,
"Aku akan bicara sekail lagi. Keluar atau kau
mampus tanpa dikenali!"
Seraya berkata membentak, si nenek luruskan
kepalanya yang berambut putih. Saat bersamaan
rangkapan kedua tangannya dilepas. Tangan kir;
diangkat tinggi, tangan kanan yang menggenggam
tusuk kode besar ditarik sedikit ke belakang. Kejap
lain tangan kirinya bergerak.
Wuuuttt!
Satu gelombang angin deras menggebrak ke arah
semak belukar di mana orang mendekam sembunyi.
Semak belukar terabas rata dan langsung
bertaburan ke udara. Namun tidak terlihat adanya
gerakan orang yang berkelebat membuat gerakan
memangkas pukulan si nenek atau menghindar
selamatkan diri.
Sesaat Ni Luh Padml tampak slpltkan sepasang
matanya yang melotot besar. Keningnya mengernyit.
"Heran. Aku yakin orang yang mengikutiku sembunyi
di balik semak belukar yang terkena pukulanku. Aku
tidak melihat dia menangkis atau bergerak
menghindar. Tapi kenapa suaranya tidak
kudengar...?! Apa dia langsung mampus?!"
Selagi si nenek tengah membatin, satu suara
terdengar.
"Kau salah duga, Nek! Aku tidak mengikutimu.
Mungkin kita hanya satu arah meski lain tujuan...."
NI Luh Padmi bukan saja tersentak kaget, tapi
laksana terbang dia berkelebat ke arah datangnya
suara.
Nl Luh Padmi tegak dengan mata terpentang dan
mulut mendengus. Tapi diam-diam dia sebenarnya
juga merasa heran. Dia tidak melihat adanya gerakan
orang, tapi bukan saja pukulannya tidak mengenai
sasaran orang yang diyakininya bersembunyi di balik
semak belukar, namun di hadapannya kini tampak
duduk seorang kakek bertubuh besar mengenakan
pakaian gombrong berwarna hijau yang seolah acuh
dan sepasang matanya terpejam rapat. Kakek ini
mengenakan sebuah Ikat pinggang besar yang pada
bagian perutnya terlihat cermin bulat.
Rasa heran Ni Luh Padmi telah cukup membuat
nenek Ini sadar bahwa kakek di hadapannya bukan
manusia sembarangan. Namun merasa dirinya selalu
diikuti, si nenek menjadi curiga.
Seperti diketahui, setelah bertemu dengan
Pendekar 131 dan tidak mendapatkan keterangan
apa-apa, Ni Luh Padmi berkelebat mengejar ke arah
mana murid Pendeta Sinting berkelebat. Tapi nenek
ini pada akhirnya kehilangan jejak. Hingga dia hanya
berlari menuruti kehendak kakinya. Namun diam-
diam si nenek jadi curiga saat dia merasa ada
seseorang yang selalu mengikuti ke mana dia berlari.
"Hem.... Mustahil kalau dia mengatakan searah
denganku. Aku mengambil jalan semauku. Tapi dia
selalu menguntitku! Pasti ada sesuatu...." Ni Luh
Padmi membatin. Lalu membentak.
"Aku tanya. Ke mana sebenarnya tujuanmu?!"
Kakek bertubuh besar dan bukan !ain adalah Gen-
deng Panuntun buka sepasang matanya. Di depan
sana N i Luh Padmi terperanjat.
"Matanya berwarna putih. Berarti dia buta! Tapi....
Dia tahu ke mana arah jalanku. Dia juga tahu aku
seorang perempuan tua!"
"Nek.... Ke mana tujuanku bukanlah satu hal
penting. Yang jelas tujuanku tidak mencari seseorang
yang belum kutahu di mana tempat tinggalnya...."
Ni Luh Padmi makin beliakkan sepasang matanya.
"Astaga! Dia bukan saja tahu ke mana arahku, tapi
Juga tahu apa yang menjadi tujuanku! Kukira ini
bukan satu kebetulan. Atau jangan-jangan dia
seorang peramal.... Hem.... Kalau betul, tak ada
salahnya aku tanya di mana beradanya orang yang
tengah kucari...."
Berpikir begitu, Ni Luh Padmi lalu buka mulut.
"Ucapanmu membuatku menduga kau adalah
seorang peramal. Benar?!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Untuk
kedua kalinya kau salah duga, Nek.... Aku bukanlah
seorang peramal!"
"Tapi ucapanmu seolah kau tahu apa yang kini
tengah kualami!"
"Ah.... Begitu? Jadi kau mencari orang yang belum
kau ketahui di mana tempat tinggalnya?!"
"Betul!"
"Hem.... Kau mau dengar ucapanku?" tanya
Gendeng Panuntun.
Sebenarnya Ni Luh Padmi enggan untuk
mendengarkan ucapan orang. Namun setelah berpikir
agak panjang, akhirnya nenek ini berucap.
"Apa yang hendak kau katakan?!"
"Kalau aku jadi kau, aku akan urungkan niat...."
Ni Luh Padmi tegak dengan tubuh sedikit bergetar.
Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. "Kau!"
bentaknya dengan suara membahana. Tangan kirinya
menunjuk lurus ke arah wajah Gendeng Panuntun.
"Jangan berani menghalangiku! Siapa pun kau
adanya!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku tidak
punya maksud menghalanglmu. Aku hanya berucap
seandalnya...."
Tapi maksudmu menghalangiku bukan?!"
"Aku tidak punya maksud apa-apa dengan
ucapanku. Kau hanya perlu mendengarkan. Itu pun
kalau kau mau. Jika tidak, jangan diambil hati...."
Untuk beberapa lama, baik NI Luh Padmi maupun
Gendeng Panuntun sama-sama diam. Si nenek
pandangi sosok orang dengan hati bertanya-tanya.
Sementara Gendeng Panuntun dongakkan kepalanya.
Lalu bergerak jangkit. Tangan kanannya mengusap
cermin. Lalu berkata.
"Perjalanan membawa dendam hanya akan
mendatangkan bencana. Apalagi usia telah
menginjak senja. Apa tidak lebih ba'k melupakan apa
yang pernah terjadi walau kadangkala hal itu
memerlukan kesadaran tinggi?"
"Manusia ini benar-benar tahu apa yang sedang
dan hendak kulakukan! Tapi aku tak akan menabah
niat! Apa pun yang akan terjadi pantang bagiku
surutkan langkah!" Ni Luh Padmi berkata dalam hati.
Lalu berucap.
"Sayang sekali. Aku bukanlah orang yang dapat
begitu saja melupakan apa yang pernah terjadi!
Bahkan dalam perjalananku ini, aku telah siap
menerima apa yang akan terjadi!"
Gendeng Panuntun terlihat perdengarkan tawa
pendek mendengar ucapan Ni Luh Padmi. "Orang bisa
saja berkata siap menerima apa yang akan terjadi.
Tapi sesungguhnya itu semua hanya dalam bentuk
kata ka-
ta. Dalam hati kecil, justru yang ada adalah
kebalikan dari kata-kata itu! Kalaupun orang terus
melakukan niatnya, sebenarnya orang itu hanya
bermain untung-untungan!"
"Kata-katamu mungkin berlaku untuk orang lain.
Bukan bagiku! Kau tahu, bukan satu dua tahun aku
memiliki dendam ini! Bukan dua tiga tahun aku
berjalan mencari tahu! Seandainya kau jadi aku,
apakah kau akan pulang balik dengan membawa
dendam yang semakin membara?!"
"Tidak ada sesuatu yang dapat diselesaikan
dengan dendam membara! Karena itu, tanpa
mengandaikan diriku, kau akan bisa jawab sendiri
pertanyaanmu jika kau mau sedikit berlapang dada
meredakan kobaran amarahmu...."
"Jangankan kau, seribu orang sepertimu tak akan
dapat merubah apa yang menjadi tujuanku! Jadi
jangan terlalu banyak bicara tentang urusan
dendamku! Kau dengar?!"
"Baiklah.... Sekarang aku ingin tahu jawabanmu
seandainya aku katakan kau tidak akan bisa lakukan
dendammu. Malah tidak tertutup kemungkinan kau
akan berurusan dengan orang yang sebelumnya tidak
pernah terlintas dalam benakmu! Apa jawabmu...?"
Ni Luh Padmi bukannya menjawab dengan kata-
kata melainkan dengan tertawa mengekeh panjang.
"Kau memang bisa menebak tepat apa yang tengah
dan akan kulakukan! Tapi kau sudah bicara ngelantur
kalau hal itu kau tanyakan padaku!"
"Hem.... Berarti kau belum siap menghadapi apa
yang akan terjadi!"
Ni Luh Padmi makin perkeras kekehan tawanya
seraya berkata.
"Semua manusia akan menemui ajal! Kalau orang
takut mati, itu adalah manusia tolol yang otaknya
perlu dicuci! Dan aku bukan bangsa manusia seperti
itu!"
"Aku tidak bicara soal kematian! Yang kukatakan
adalah jalan yang akan menuju kematian! Dan hal itu
mungkin masih akan kau lewati!"
"Hem.... Kau kudengar selalu menakut-nakutlku.
Apa sebenarnya yang kau mau?! Dan siapa kau
sebenarnya?!"
"Kau selalu salah duga. Aku tidak menakut-nakuti.
Semata-mata aku hanya berkata seandalnya! Dan
jangan IUr>.t, seandainya yang sejak tadi kukatakan,
untuk urusanmu ini tidak mustahil akan terjadi!"
"Hem.... Jadi menurut ramalanmu, aku akan
menemui kesulitan dalam urusanku ini. Begitu?!" "Aku
tidak meramal...."
"Kalau kau mengatakan apa yang akan terjadi
pada diriku sebelum hal itu benar-benar terjadi, lalu
itu kau namakan apa, hah?!" sentak Ni Luh Padmi.
"Ah.... Terserah kau sajalah hendak kau sebut apa.
Tapi yang jelas aku tadi mengatakan seandainya...."
"Tapi nada ucapanmu seolah mengatakan hal itu
akan benar-benar terjadi!"
Kail Ini ganti Gendeng Panuntun yang
perdengarkan tawa panjang seraya berkata. "Hati-
hati, Nek. Perasaan dan firasat seorang perempuan
kadangkala akan jadi kenyataan...."
"Persetan! Dalam perjalananku ini telah hilang
segala macam perasaan dan firasat!"
"Ah.... Kau masih juga berpura-pura.... Tapi itu
semua urusanmu. Hanya sekali lagi kukatakan,
seandainya aku jadi kau, aku akan pulang saja ke
seberang daripada harus berurusan dengan orang-
orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan urusan perjalananmu...."
"Sialan benar! Dia juga tahu kalau aku datang dari
seberang! Jangan-jangan ucapannya...." Diam-diam Ni
Luh Padmi menjadi tidak enak dan gelisah. Dadanya
berdebar. Namun nenek ini segera dapat
tenteramkan diri. Malah setelah berpikir agak
panjang, dia berkata.
"Kau telah mengenaliku meski aku yakin kita
belum pernah jumpa. Apakah kau juga tahu di mana
tempat tinggalnya seorang tokoh yang oleh kalangan
orang rimba persilatan dikenal dengan gelar Pendeta
Sinting?"
Gendeng Panuntun usap cermin bulat dengan
telapak tangan kanannya. Seraya menggeleng dia
berujar.
"Kau bertanya pada orang yang salah. Aku bukan
dari kalangan orang persilatan. Jadi aku tidak tahu di
mana orang yang kau tanyakan! Malah kalau tidak
salah dengar, baru kali ini aku dengar nama orang
yang baru saja kau sebut!"
"Dia dapat hindarkan diri dari pukulanku tanpa aku
mengetahuinya. Dia pun mengenaliku walau tidak
pernah jumpa. Bohong kaiau dia mengatakan tidak
mengenal Pendeta Sinting!" gumam Ni Luh Padmi
dalam hati. Nenek ini terlihat hendak mengucapkan
apa yang ada dalam hatinya. Namun mendadak
diurungkan. "Jangan-jangan dia mencuri dengar
pembicaraanku dengan murid Pendeta Sinting,
lalu...." Si nenek tidak lanjutkan membatin.
Sebaliknya buka muiut membentak.
"Peramal busuk! Kau mencuri dengar
pembicaraanku dengan murid Pendeta Sinting! Laiu
kau purapura menjadi seorang peramal! Bajingan
kurang ajar!"
"Sejak tadi sudah kukatakan aku bukanlah
peramal. Apalagi pura-pura jadi peramal. Lebih-lebih
aku tidak pernah mencuri dengar pembicaraanmu
dengan orang yang kau katakan sebagai murid
Pendeta Sinting...."
"Hem.... Lalu kenapa kau mengikutiku? Apa hanya
hendak mengatakan ramalan busukmu itu?!"
"Tadi juga sudan kukatakan, aku tidak
mengikutimu. Itu sen.us mungkin hanya perasaanmu
saja, karena saat ini kau tengah melakukan
pekerjaan yang membutuhkan sikap hati-hati. Maka
kau selalu menaruh curiga pada setiap orang. Bahkan
orang yang mengambil jalan searah... jadi aku
maklum kalau kau menuduhku...."
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun
bungkukkan sedikit tubuhnya. Lalu kerjapkan
sepasang matanya yang buta dan melangkah.
"Aku ingin kebenaran ucapannya kalau dia
memang bukan dari kalangan orang rimba
persilatan!" desis NI Luh Padmi. Tangan kirinya ditarik
ke belakang dan sekonyong-konyong disentakkan ke
arah Gendeng Panuntun.
Belum sampai tangan kiri si nenek menyentak,
Gendeng Panuntun telah buka suara sambil teruskan
langkah.
"Tak ada sesuatu yang bakal selesai kalau jurinya
adalah kekerasan...."
NI Luh Padmi tidak hiraukan ucapan orang. Nenek
ini teruskan sentakannya hingga baru saja ucapan
Gendeng Panuntun selesai, satu gelombang angin
dahsyat telah melesat siap menyapu sosok si kakek!
Gendeng Panuntun mendongak. Saat bersamaan
tumitnya menghentak di atas tanah. Meski hentakan
itu terlihat sangat pelan, tapi saat itu juga sosok
besarnya melesat.
--oo0dw0oo--
DUA
NI Luh Padmi tersentak. Bukan saja pukulannya
tidak menghantam sasaran. Namun sosok Gendeng
Panuntun tahu-tahu sudah berada jauh di depan
sana! Dan seolah tidak ada sesuatu yang baru saja
terjadi, kakek Ini teruskan langkah dengan kepala
tetap sedikit mendongak.
Merasa dipandang remeh orang, Ni Luh Padml
naik pitam. Didahului bentakan keras, kedua
tangannya bergerak. Tangan kiri lepaskan pukulan
jarak jauh, tangan kanan lepaskan tusuk konde
hitamnya!
Gelombang luar biasa dahsyat dan tusuk konde
besar melesat angker ke arah Gendeng Panuntun.
Tapi seolah tidak sedang dalam bahaya, Gendeng
Panuntun masih enak-enak melangkah tanpa
membuat gerakan sama sekali untuk menangkis atau
menghindar, membuat si nenek mendesis dengan
tersenyum dingin.
Begitu gelombang angin dan tusuk konde lima
jengkal lagi menerjang telak, Gendeng Panuntun
balikkan tubuh. Tangan kanannya mengusap cermin
bulat pada perutnya.
Satu cahaya putih berkilat tampak melesat keluar.
Saat lain terdengar ledakan. Gelombang angin yang
keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi laksana disapu
gelombang besar dan semburat berantakan ke udara.
Tusuk konde besar milik si nenek sesaat terlihat
tertahan di udara. Namun bersamaan dengan
terdengarnya ledakan, tusuk konde hitam itu mental
balik, malah kini lurus ke arah si nenek!
Ni Luh Padmi melengak dan buru-buru berkelebat
ke samping untuk hindarkan diri. Begitu selamat dari
tusukan kondenya sendiri, belum sampai kedua
kakinya menginjak tanah, laksana terbang nenek
berwajah angker itu meiesat seraya gerakkan tangan
kanan membuat gerakan menarik.
Tusuk konde hitam yang baru saja lewat berputar
haluan lalu menderu pelan ke arah tangan kanan Ni
Luh Padmi.
"Pertunjukan hebat!" satu suara memuji terdengar.
"Suaranya jelas suara orang laki-laki. Tapi aku
yakin bukan suara orang buta tadi!" Ni Luh Padmi
cepat sentakkan kepalanya ke arah sumber suara
yang baru saja terdengar.
Tidak jauh dari tempatnya, si nenek melihat
seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam
dengan sebuah tongkat kayu di tangan. Laki-laki ini
tidak bisa dikenali wajahnya dengan jelas karena dia
mengenakan caping lebar yang dikenakan agak
dalam pada kepalanya. Hingga yang kelihatan hanya
bagian bawah wajahnya.
Meski si nenek tampak terkejut dengan
kemunculan orang, tapi dia hanya sejurus
memandang. Saat lain kepalanya berpaling.
Sepasang matanya mendelik tak berkesip. Mulutnya
mendesis. "Keparat! Ke mana peramal busuk tadi...?
Dia bukan saja orang kalangan dunia persilatan. Tapi
kuyakin dia adalah seorang tokoh di tanah Jawa ini!
Apakah dia benar-benar orang yang mengambil jalan
searah denganku? Tapi... dari ucapan-ucapannya, dia
bukan hanya orang yang mengambil jalan searah
denganku! Ada maksud lain dia membuntutiku.... Tapi
apa maksudnya? Aku tidak mengenalnya! Aku tidak
punya urusan dengannya! Aku harus mengikutinya...."
Ni Luh Padmi segera berkelebat. Namun gerakan
si nenek tertahan tatkala terdengar suara.
"Kita belum sempat berkenalan. Mengapa buru-
buru hendak pergi?!"
Ni Luh Padmi berpaling pada laki-laki bercaping
lebar dengan tatapan dingin. Mulutnya terkancing
rapat tidak sambuti ucapan orang. Namun hanya
sekejap. DI lain saat mulutnya membuka
perdengarkan bentakan keras.
"Siapa kau?!"
"Ah. Ucapan perkenalanmu kasar! Apa karena
masih...."
Ucapan laki-laki bercaping lebar belum selesai, Ni
Luh Padmi sudah menukas dengan bentakan. "Aku
tanya siapa kau! Jangan banyak bicara!'
Laki-laki bercaping lebar terdiam. Tongkat di
tangan kanannya diangkat. Ujung tongkat kayu
ditusukkan pada ujung caping lebarnya. Sepasang
mata laki-laki Ini sejurus memandang sosok si nenek.
Lalu tongkat kayunya diturunkan kembali, hingga
kembali wajahnya yang baru saja hampir terlihat jelas
tertutup lagi caping lebar. Tak lama kemudian
mulutnya bergerak membuka.
"Aku seorang pengelana pembawa amanat maut!"
Si nenek cibirkan mulut lalu tertawa panjang. Puas
tertawa dia berujar.
"Sayang.... Kau bukan orang yang kucari!"
Habis berujar begitu, si nenek kembali hendak
berkelebat. Tapi laki-laki bercaping bergerak
mendahului dan tahu-tahu telah tegak dengan sikap
menghadang di hadapannya.
"Aku memang bukan orang yang kau cari! Tapi
amanat mautku berlaku pada siapa saja, termasuk
kau!"
"Orang gila!" desis si nenek. Lalu menghardik. "Kau
salah besar kalau masukkan diriku dalam amanat
mautmu! Sebelum kau laksanakan amanat gilamu,
nyawamu akan putus!"
Kini balik laki-laki bercaping lebar yang tertawa
bergelak panjang.
Tidak seorang pun akan lolos dari amanat yang
kuemban!"
"Hem.... Begitu?! Kau tahu sedang bicara dengan
siapa?!" tanya Ni Luh Padmi dengan busungkan dada
dan rangkapkan tangan.
"Amanat mautku tidak peduli siapa adanya orang!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi sudah kesal melihat
sikap laki-laki bercaping lebar apalagi dengan
kemunculannya, mau tak mau niatnya mengejar
Gendeng Panuntun jadi terhalang. Namun mendengar
ucapan si laki-laki bercaping, nenek Ini jadi
penasaran. Dia menduga apa yang tengah dilakukan
si laki-laki bercaping tidak jauh dari apa yang kini
tengah dilakukan.
"Kalau boleh tahu, siapa yang memberimu amanat
begitu angker?!"
"Itu pertanyaan yang tidak akan terjawab! Malah
jika kau tanyakan hal itu sekali lagi, jawabannya
adalah maut dua kali!"
"Hebat! Apakah orang akan dijawab maut tiga kali
jika tanya siapa namamu?!" sambil ajukan tanya, si
nenek tampak sunggingkan senyum mengejek.
"Kau salah! Justru aku akan senang hati katakan
siapa diriku!"
Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar
angkat tangan kirinya. Caping lebar yang menutupi
sebagian wajah dan kepalanya diangkat.
Dari bagian belakang laki-laki bercaping tampak
tergerai rambut panjang hitam sebatas bahu. Lalu si
nenek melihat wajah seorang pemuda tampan
bermata tajam berahang kokoh. Bibir yang tersenyum
aneh dan hidung sedikit mancung.
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" kata si pemuda.
Mungkin melihat usia orang, Ni Luh Padmi yang
sejenak tadi masih merasa sedikit khawatir, kini
pandangi orang dengan sikap sebelah mata. Malah
begitu mendengar si pemuda yang tidak lain memang
Malaikat Penggali Kubur adanya sebutkan diri, dia
tertawa panjang.
"Sayang sekali.... Pemuda tampan sepertimu
hanya jadi tukang gaii kubur.... Apa tidak ada kerja
lain yang sesuai?! Pantas kau tadi mengatakan orang
pengelana yang membawa amanat maut dan amanat
mautmu itu berlaku bagi siapa saja. Tidak tahunya
kalau kau seorang penggali kuburan...."
Malaikat Penggali Kubur campakkan caping
lebarnya. Sepasang matanya menatap tajam dengan
rahang mengembang.
"Dengar, Nenek Peot! Aku memang seorang
penggali kubur. Tapi bukan sembarang orang yang
kumasukkan dalam lobang galian kuburku!"
"Oh.... Jadi siapa saja yang akan kau masukkan?!"
tanya si nenek masih dengan nada mengejek.
Malaikat Penggali Kubur mendengus dahulu
sebelum menjawab.
"Siapa saja yang kumau! Bahkan tidak tertutup
kemungkinan dirimu!"
"Mengapa kau juga menginginkan diriku? Apa ada
hal istimewa padaku?!"
"Di hadapanku, kau bukanlah berarti apa-apa! Kau
juga tidak memiliki keistimewaan! Kalaupun aku
inginkan kau, semata-mata karena kau dari kalangan
rimba persilatan!"
"Hem.... Jadi kau hanya menggali kubur bagi orang
kalangan persilatan?"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Tidak
salah! Mereka memang telah kusiapkan tanah untuk
kuburan!'
"Nada bicaramu sepertinya kau ingin jadi raja di
dunia persilatan!" ujar Ni Luh Padmi.
"Sejak saat ini Malaikat Penggali Kubur sudah jadi
raja dunia persilatan!"
Kali ini Ni Luh Padmi perdengarkan tawa sangat
keras. "Gelarmu masih baru saja kudengar. Tapi kau
telah memaklumkan diri sebagai raja dunia
persilatan! Apa kau tidak salah ucap? Atau barangkali
jangan-jangan telingaku yang salah dengar...."
"Aku tidak salah ucap! Telingamu juga tidak salah
dengar! Malaikat Penggali Kubur adalah raja dunia
persilatan!"
"Mimpimu terlalu tinggi, Anak Muda! Kusarankan
kau untuk tidak tidur terlalu sore! Lebih dari itu, kau
harus tahu siapa yang sedang kau hadapi! Jika itu
kau lakukan, matamu akan terbuka dan mulutmu
tidak akan bicara ngelantur!"
"Kau terlalu berani bicara tinggi di hadapanku!
Sebelum kusiapkan lobang kuburmu, kau mau
katakan siapa dirimu?!"
"Agar matamu terbuka, aku tak segan jawab apa
yang kau minta. Dengar baik-baik! Aku adalah Ni Luh
Padmi!"
"Hem.... Mendengar namamu, sepertinya kau
datang dari seberang timur! Datang dari jauh tentu
ada sesuatu yang kau cari!"
"Itu* urusanku! Yang jelas harap kau tahu, rimba
persilatan tidak hanya terbatas di tanah Jawa. Jadi
untuk menjadi raja rimba persiiatan, setidaknya kau
harus tahu, di luar sana masih banyak rimba
persilatan yang harus kau lewati!"
"Aku punya kaki dan tangan untuk melewatinya!"
sahut Malaikat Penggali Kubur.
"Hem.... Kau kira cukup dengan kaki dan tangan
untuk melewatinya?!"
"Aku punya kekuatan! Tapi kalau menghadapimu,
kukira aku hanya perlu tangan satu!"
Ni Luh Padmi tampak tegak dengan tubuh sedikit
bergetar. "Hem.... Hampir berpuiuh tahun aku
meninggalkan tanah Jawa. Apakah waktu sesingkat
itu telah dapat melahirkan tokoh-tokoh luar biasa?
Atau beberapa puluh tahun lalu mereka tidak
menampakkan diri? Sudah tiga orang yang kutemui.
Pertama murid Pendeta Sinting. Kedua laki-laki buta
peramal itu! Walau belum benar-benar bentrok, tapi
kuyakin kedua orang tadi memiliki ilmu tidak rendah!
Apakah orang ketiga ini juga memiliki ilmu? Bicaranya
sangat tinggi! Apa demikian pula bekal yang
dimilikinya?!"
Selagi Ni Luh Padmi membatin, Malaikat Penggali
Kubur tiba-tiba perdengarkan bentakan. "Siapa yang
kau cari di tanah Jawa ini?!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi tidak mau menjawab
pertanyaan Malaikat Penggali Kubur. Tapi setelah
berpikir sejenak, akhirnya si nenek berkata juga.
"Kau kenal dengan Pendeta Sinting?!"
"Apa hubunganmu dengan orang itu?!" Malaikat
Penggali Kubur malah balik bertanya.
"Aku tanya. Apa kau kenal Pendeta Sinting?!" Ni
Luh Padmi kembali ajukan tanya.
"Dia adalah salah satu manusia yang lobang
kuburnya telah kusiapkan! Malah untuk dia dan
muridnya, sengaja kusiapkan lobang khusus!"
"Kau sepertinya punya dendam pada keduanya...."
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Bukan
hanya pada keduanya. Namun para sahabat-
sahabatnya juga telah kusiapkan lobang kubur lain
daripada yang lain!"
Malaikat Penggali Kubur sengaja berkata begitu
karena masih menduga kalau Ni Luh Padmi punya
hubungan sahabat dengan Pendeta Sinting.
"Kau tahu di mana tempat tinggalnya Pendeta
Sinting?"
"Apa hubunganmu dengan manusia sinting itu?!"
"Lebih dari apa yang kau katakan! Kalau kau telah
siapkan lobang kubur untuknya, aku telah siapkan
tangan untuk mencabut nyawanya!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Kau tahu siapa orang itu?!"
"Aku tak akan jauh datang bila tidak tahu siapa
orang yang akan kuhadapi!"
"Hem.... Berarti bekalmu sudah cukup!"
"Tidak hanya cukup. Tapi lebih!"
"Saat aku datang, tampaknya kau sedang
mengalami pengalaman tidak enak. Apa sebenarnya
yang tengah terjadi saat itu?!"
"Peramal busuk itu...," desis Ni Luh Padmi dalam
hati. Lalu bertanya. "Kau kenal seorang peramal
buta?!"
Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Namun
saat lain pemuda murid Bayu Bajra ini tertawa.
"Duniaku bukan dunia ramal meramal!"
"Berarti pengetahuanmu masih dangkal! Kalau
begitu, bagaimana kau akan jadi raja rimba
persilatan?!"
"Jahanam! Apa maksudmu?!"
"Orang yang baru kukatakan bukan hanya sekadar
seorang peramal biasa! Tapi kuyakin dia adalah
seorang tokoh yang ilmunya tidak dapat dipandang
remeh!"
"Hem.... Menghadapi seorang peramal saja kau
terlihat kalang kabut. Bagaimana kau akan
menghadapi Pendeta Sinting?!"
Kini ganti Ni Luh Padmi yang pasang tampang
berang. Tapi mungkin karena tidak Ingin membuat
masalah dengan orang lain sebelum urusannya
sendiri selesai, si nenek menindih rasa geramnya.
Lalu tanpa memandang dan berkata apa-apa lagi, dia
melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek sambil
berkata.
"Kau kira pertemuan ini hanya akan berakhir
begitu saja?!"
Laksana disentak setan, Ni Luh Padmi cepat putar
tubuh menghadap Malaikat Penggali Kubur. "Lalu apa
yang kau minta dari akhir pertemuan ini, nah?"
"Aku telah maklumkan diri sebagai raja dunia
persilatan! Tapi tidak cukup bagimu hanya mengakui
saja! Lebih dari itu...."
"Selama hidup, aku tidak pernah dan tidak akan
pernah mengakui seseorang sebagai raja dunia
persilatan!" tukas NI Luh Padmi memotong ucapan
Malaikat Penggali Kubur.
"Begitu?! Kau telah perhitungkan ucapanmu?!"
"Hanya manusia dungu yang melakukan
perjalanan jauh tanpa perhitungan!"
"Bagus! Berarti kau telah perhitungkan kalau
berhadapan denganku!"
"Anak muda! Sebenarnya kau tidak termasuk
dalam hitunganku. Tapi jika kau memaksakan diri,
jangan kira aku segan menghadapi apa yang kau
mau!"
--oo0dw0oo--
TIGA
MUNGKIN untuk menjajaki orang, habis berkata Ni
Luh Padmi langsung gerakkan tangan kirinya.
Di lain pihak, karena telah membekal Kitab Hitam,
Malaikat Penggali Kubur hanya memandang sebelah
mata pada orang. Hingga meski si nenek telah
kirimkan serangan, dia belum terlihat membuat
gerakan.
Sikap Malaikat Penggali Kubur membuat Ni Luh
Padml makin tampak berang. Hingga belum sampai
pukulan tangan kirinya menggebrak sasaran,
tubuhnya telah melesat ke arah si pemuda dengan
tangan kiri lakukan pukulan ke arah kepala!
Sementara tangan kanan yang menggenggam tusuk
konde tetap berada di depan dada.
Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur baru
membuat gerakan begitu angin pukulan yang melesat
dari tangan kiri si nenek dua jengkal lagi
menghantam tubuhnya.
Dengan hanya memindah sepasang kakinya satu
tindak, angin pukulan dari Ni Luh Padmi melesat
lewat menggebrak tempat kosong. Namun Malaikat
Penggali Kubur tidak bisa tinggal diam lagi, karena
begitu pukulan jarak jauh si nenek lewat, Ni Luh
Padmi telah datang dengan tangan kiri berkelebat
angker.
Kali ini Malaikat Penggaii Kubur tidak hindari
pukulan lawan. Sebaliknya iangsung angkat tangan
kanannya.
Bukkkk!
Terdengar benturan keras. Entah karena saling
memandang remeh pada orang, begitu tangan
mereka beradu bentrok, keduanya sama tersentak.
Tapi karena sama-sama tidak mau perlihatkan
tampang kaget, mereka berdua cepat sembunyikan
perasaan dengan tersenyum.
'Tampaknya dia memang membekal ilmu.... Kalau
dia punya dendam pada Pendeta Sinting, aku bisa
memanfaatkannya!" Malaikat Penggali Kubur
membatin. DJ lain pihak, diam-diam Ni Luh Padmi
juga berkata dalam hati. "Tak kusangka kalau dalam
waktu beberapa puluh tahun, telah muncul orang-
orang yang berilmu tidak rendah! Aku harus lebih
berhati-hati! Tidak mustahil ilmu Pendeta Sinting
telah jauh meningkat daripada waktu lalu!"
Setelah berpikir sejurus, Ni Luh Padmi kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Sadar kalau
lawan yang dihadapi membekal ilmu, dia lipat
gandakan tenaga dalamnya. Di lain pihak, Malaikat
Penggali Kubur juga tidak mau bertindak ayal. Dia
maklum kalau si nenek benar-benar telah siapkan diri
dalam melakukan perjalanan ini. Maka dia cepat pula
kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.
Kejap lain, hampir secara bersamaan Malaikat
Penggali Kubur dan Ni Luh Padmi sama berkelebat ke
depan. Tangan masing-masing bergerak.
Desss! Desss!
Di atas udara, sosok kedua orang ini tampak
mencelat mental. Kedua tangan masing-masing orang
laksana dihempaskan hingga pulang baiik ke
belakang. Namun Ni Luh Padmi tidak mau dipandang
remeh. Belum sampai sosoknya menginjak tanah, dia
kembali berkelebat. Mungkin kat-ena kedua
tangannya masih terasa ngilu, kini seraya berkelebat,
kedua kakinya membuat gerakan menerjang di udara.
Melihat apa yang gilakukan si nenek, Malaikat
Penggali Kubur tidak may berdiam diri. Sosoknya yang
terlebih dahulu menginjak tanah segera pula melesat
ke udara dengan kaki diangkat.
Desss! Desss! Deesssi Deess!
Terdengar benturan keras beberapa kali di udara.
Tubuh masing-masing orang sama terdorong ke
belakang. Tapi karena sudah memperhitungkan
segalanya, begitu sosoknya tersapu, n; Luh Padmi
cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. La)u
didahului bentakan keras, si nenek melesat kembali
ke depan. DI depan sana, Malaikat Penggali Kubur
gerakkan kedua bahunya. Saat itu juga sosoknya
melesat menghadang si nenek dengan kaki
menendang
Untuk beberapa saat terdengar kembali beberapa
kali benturan keras saat Sepasang kaki si nenek
saling menendang dengan sepasang kaki Malaikat
Penggali Kubur. Dan suara benturan baru berhenti
ketika sosok keduanya sama terpelanting ke
belakang lalu sama-sama jatuh terduduk di a|as
tanah.
Ni Luh padmi seger$ pe|ototkan mata meneliti
tangan dan kakinya. Wajahnya berubah pucat pasi. Di
seberang sana, Malaikat Penggali Kubur berbuat
sama. Namun pemuda murij Bayu Bajra ini cepat
bangkit berdiri. Kedua tangannya berkacak pinggang
dengan bibir suciggingkan senyu^ seringai.
Melihat lawan telah {egak malah berkacak
pinggang, Ni Luh Padmi mer%ngiUS keras lalu
bangkit. Tangan kanannya yang menggenggam tusuk
konde besar ditarik ke belakang.
"Aku akan membiarkan dia hidup...," desis
Malaikat Penggali Kubur sambil perhatikan gerakan si
nenek.
Ni Luh Padmi tidak menunggu lama. Nenek ini
tampaknya ingin segera selesaikan urusan. Pada
mulanya dia memang tidak berniat membuat urusan
terlalu jauh. Namun melihat si pemuda tidak main
main, niatnya seketika berubah.
"Sebenarnya kita bisa bekerja sama, Anak Muda!
Tapi semuanya sudah terlambat!" teriak Ni Luh
Padmi. Belum sampai suaranya selesai, sosoknya
melompat ke depan. Tangan kiri kanannya bergerak.
Tangan kiri kirimkan pukulan jarak jauh mengandung
tenaga dalam tinggi, tangan kanan lepaskan tusuk
kondenya.
Entah karena menginginkan si nenek tetap hidup,
Malaikat Penggali Kubur tidak langsung memangkas
serangan lawan dengan arah lurus. Karena jika hal itu
dilakukan dan si nenek gagal membendung
serangannya, maka tak ampun lagi nyawa si nenek
tidak akan tertolong.
Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur
cepat melompat ke arah samping kanan. Selain untuk
selamatkan diri dari gelombang angin yang keluar
dari tangan kiri Ni Luh Padmi, juga untuk menjaga
agar pukulan yang hendak dilepas tidak langsung
menghantam telak ke arah si nenek.
Gelombang angin memang menggebrak udara
kosong. Tapi tidak demikian halnya dengan tusuk
konde besar. Begitu Malaikat Penggali Kubur
melompat, Ni Luh Padmi gerakkan tangan kanannya
ke arah mana si pemuda melompat. Tusuk konde
yang tadi melesat iu-rus mendadak berbelok dan kini
lurus ke arah Malaikat Penggali Kubur!
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap.
Sementara Ni Luh Padmi terlihat sunggingkan
senyum. Malah nenek ini perdengarkan tawa
perlahan tatkala Malaikat Penggali Kubur hanya
gerakkan tangan mengusap bagian perutnya. Bahkan
si nenek terlihat tertawa mengekeh panjang tatkala
begitu tangan kanan Malaikat Penggali Kubur
mengusap bagian perutnya, tidak terlihat adanya
gelombang angin. Justru yang terdengar hanyalah
suara deruan pelan.
Namun di lain saat mendadak suara tawa NI Luh
Padmi terputus. Sepasang matanya mendelik angker
tanpa berkesip. Karena laksana dilanda gelombang
luar biasa dahsyat, tusuk konde hitam milik si nenek
yang menderu ke arah Malaikat Penggali Kubur
berputar di udara lalu sekonyong-konyong mental
balik!
Untung Malaikat Penggali Kubur telah melompat
dan berada di sebelah samping Ni Luh Padml. Jika
tidak, mungkin saja mentalan balik tusuk konde
hitam akan lurus ke arah si nenek. Namun meski si
nenek tidak berada lurus dengan tegaknya Malaikat
Penggali Kubur, tak urung juga gelombang dahsyat
yang tidak terlihat sempat menyapu tubuh si nenek.
Hingga begitu tusuk konde mental balik, sosok si
nenek terseret beberapa tindak ke belakang. -
Ni Luh Padmi tersentak. Cepat dia kerahkan
tenaga dalamnya untuk kuasai diri agar tidak jatuh.
Begitu dapat kuasai diri, nenek ini angkat tangannya
membuat gerakan menarik.
Tapi si nenek terlihat melengak. Meski dia sudah
lipat gandakan tenaga dalamnya untuk menarik tusuk
konde hitamnya yang mental balik, namun tusuk
konde Itu terus menderu cepat. Tusuk konde baru
terhenti tatkala menghantam sebuah batu.
Brrakkk!
Batu agak besar itu langsung pecah berantakan.
Tusuk konde luruh ke atas tanah.
Mungkin takut Malaikat Penggali Kubur akan
berkelebat mengambil tusuk kondenya, laksana
terbang Ni Luh Padmi cepat melesat. Tangan
kanannya menyambar tusuk konde yang tergeletak di
atas tanah.
Namun untuk kesekian kalinya si nenek terkesiap.
Tangan kanannya yang memegang tusuk konde
terasa panas bukan alang kepalang. Malah saat itu
juga Ni Luh Padmi segera lepaskan tusuk kondenya
kembali.
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. Lalu
ikut melesat dan tegak sepuluh langkah di samping si
nenek.
"Kalau mau, tidak sulit tanganku membuat
tubuhmu seperti tusuk kondemu! Tapi kali ini
nasibmu masih baik...!"
Dengan masih sembunyikan rasa kaget, Ni Luh
Padmi berpaling pada Malaikat Penggali Kubur. Untuk
beberapa lama nenek ini pandangi orang dengan
paras tidak habis mengerti.
"Pemuda ini sungguh tidak kusangka sama sekail!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau dia
sengaja tidak lakukan serangan lagi, mungkin dia ada
maksud lain...."
Malaikat Penggali Kubur melangkah dua tindak.
"Kau telah dengar ucapanku kalau kali ini nasibmu
masih baik. Tapi jangan merasa senang dahulu....
Nasib baikmu masih tergantung!'
Meski sudah maklum siapa adanya orang yang kini
dihadapi namun si nenek tidak begitu saja tunjukkan
tampang pasrah. Dengan alihkan pandangannya ke
jurusan lain, dia membentak.
"Tergantung apa?!"
"Meski aku sudah yakin tidak ada orang yang
dapat menandingiku, namun aku masih perlu orang
seperti-mu!"
"Perjalananku tidak untuk bekerja sama
denganmu!"
"Nasib orang biasanya lain dengan apa yang
direncanakan! Kau memang tidak mengadakan
perjalanan untuk bekerja sama denganku. Tapi nasib
telah berkehendak lain. Bukan saja kau harus bekerja
sama denganku, tapi kau mulai saat ini harus siap
lakukan apa yang kuperintahkan!"
Karena tidak menduga akan ucapan Malaikat
Penggali Kubur, si nenek terlihat surutkan langkah ke
belakang satu tindak. Mendadak dia teringat akan
ucapan Gendeng Panuntun beberapa saat yang lalu.
"Astaga! Jangan-jangan ucapan peramal buta itu
akan menjadi kenyataan. Aku akan berurusan dengan
orang yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam
benakku?"
Selagi Ni Luh Padmi membatin begitu, Malaikat
Penggali Kubur angkat bicara. "Kau tak usah berpikir
dua kali! Ini satu keharusan! Kalau tidak...." Malaikat
Penggali Kubur tidak lanjutkan ucapannya.
Sebaliknya pemuda murid Bayu Bajra ini tersenyum
aneh sambil angkat tangan kanannya ke atas perut.
Seakan tahu apa yang hendak dilakukan Malaikat
Penggali Kubur, Ni Luh Padmi cepat-cepat berkata.
"Tunggu!"
"Aku tak mau dengar alasan apa pun! Sekarang
aku perintahkan kau berlutut dan bersumpah akan
lakukan apa yang kuperintahkan!"
Tampang Ni Luh Padmi berubah merah padam.
Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Tubuhnya
bergetar. Namun sebelum nenek ini sempat
perdengarkan suara, Malaikat Penggali Kubur telah
membentak.
"Cepat laksanakan apa yang kukatakan!"
Ni Luh Padmi pandangi Malaikat Penggali Kubur
dengan mata melotot. Baru kali ini selama hidupnya
dia dihina orang begitu rupa. Hingga meski merasa
dalam keadaan terjepit, namun si nenek tidak
langsung begitu saja lakukan apa yang dikatakan
Malaikat Penggali Kubur. Sebaliknya dia kerahkan
tenaga dalam dan bertekad hendak mengadu jiwa
daripada harus melakukan apa yang diperintahkan
orang.
Melihat si nenek tetap tegak, Malaikat Penggali
Kubur menyeringai. Lalu berujar dengan suara keras.
"Aku tidak punya waktu banyak! Cepat berlutut!"
NI Luh Padmi sejenak masih tetap tegak. Namun
sesaat kemudian, dia bergerak lakukan apa yang
dikatakan Malaikat Penggali Kubur. Tapi laksana kilat
tangan kanannya menyambar tusuk kondenya yang
tergeletak di atas tanah.
Rupanya apa yang terpendam dalam pikiran Ni
Luh Padmi sudah dibaca oleh Malaikat Penggali
Kubur. Hingga sebelum si nenek sempat menyentuh
tusuk kondenya, Malaikat Penggali Kubur sudah
keluarkan sentakan.
"Sekali kau bergerak menyentuh tusuk konde, ke-
putusanku berubah!"
Gerakan tangan kanan Ni Luh Padmi tertahan.
Malaikat Penggali Kubur memandang dengan senyum
dingin. Tiba-tiba pemuda ini bergerak satu kali. Tahu-
tahu sosoknya telah melesat ke arah si nenek. Belum
sempat si nenek lakukan gerakan apa-apa satu
tendangan telah menghantam tubuhnya!
Bukkkk!
Ni Luh Padmi berseru tertahan. Sosoknya
terpelanting dan terkapar sama rata dengan tanah.
Belum sampai Ni Luh Padmi membuat gerakan
bangkit, satu telapak kaki telah berkelebat. Si nenek
tersentak. Karena tahu-tahu tubuhnya tak dapat
digerakkan karena dadanya telah ditekan kaki kiri
Malaikat Penggali Kubur!
"Katakan apa yang kau minta!" hardik Malaikat
Penggali Kubur.
Ni Luh Padmi hanya memandang dengan mulut
terkancing. Yang terlintas dalam benaknya bukan apa
yang kini tengah dihadapi, melainkan dia teringat
akan semua ucapan Gendeng Panuntun.
"Apakah aku harus lakukan apa yang dikatakan
pemuda ini, lalu urungkan niat mencari Pendeta
Sinting? Tapi.... Bukankah berarti dendamku tidak
terlaksana?!"
"Baik! Kau tidak jawab tanyaku. Berarti aku bisa
semauku hendak berbuat apa padamu!" seraya
berkata, Malaikat Penggaii Kubur angkat tangan
kanan kirinya.
"Tahan! Aku.... Aku akan lakukan apa yang kau
katakan!" seru Ni Luh Padmi dengan suara tersendat
dan bergetar. Nenek ini tampaknya sudah maklum
apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur.
Dia juga sadar, manusia seperti Malaikat Penggali
Kubur tidak akan bicara main-main.
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kedua
tangannya diturunkan ke pinggang. Lalu kaki kirinya
yang menginjak dada si nenek disentakkan ke
samping.
Seraya berkacak pinggang, Malaikat Penggali
Kubur membentak. "Cepat berlutut!"
Dengan tubuh bergetar menahan gejolak amarah,
perlahan-lahan Ni Luh Padmi bangkit duduk. Lalu
bungkukkan tubuh membuat sikap seperti orang
menghadap penguasa kerajaan.
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Tetap
dengan sikapmu sampai aku selesai bicara!"
sentaknya saat dilihat Ni Luh Padmi hendak tarik
tubuhnya ke atas.
Entah karena merasa perlakuan Malaikat Penggali
Kubur sudah sangat terlalu, Ni Luh Padmi tidak
pedulikan ucapan si pemuda. Dia tetap angkat
tubuhnya ke atas.
Namun si nenek tidak dapat lakukan gerakannya
lebih lanjut. Karena tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur
sudah sapukan kaki kanannya ke tengkuknya. Hingga
bukan saja membuat gerakan tubuh si nenek
tertahan, tapi juga laksana dihempaskan, tubuh
bagian atas Ni Luh Padmi tersentak deras ke depan
dan menghantam tanah!
"Jangan kau sia-siakan kesempatan yang
kuberikan! Namun jangan coba-coba berani merubah
kesempatan itu! Kau dengar?!"
Karena masih merasa sakit pada kepalanya yang
baru saja menghantam tanah, ditambah dengan rasa
geram yang makin mendera dadanya, Ni Luh Padmi
tidak menjawab. Dia hanya angkat sedikit kepalanya
dari tanah dengan mata melirik tajam.
"Aku tanya. Apa kau masih inginkan nyawa
Pendeta Sinting?!" tanya Malaikat Penggali Kubur
tanpa memandang.
"Apa pedulimu?!" ujar Ni Luh Padmi.
Mendengar jawaban si nenek, Malaikat Penggali
Kubur bukannya tampak geram meski nada suara Ni
Luh Padmi terdengar setengah mengejek. Sebaliknya
Malaikat Penggali Kubur malah teruskan gelakan
tawanya lalu berkata.
"Dengar! Karena dendammu itulah, kau kuberi
kesempatan hidup!"
"Hem.... Kau akan memperalatku?!" tanya Ni Luh
Padmi.
"Jahanam! Sekali lagi kau bertanya, kau akan
menyesal! Hidup matimu sekarang ini ada di
tanganku!"
Malaikat Penggali Kubur bukan hanya bicara.
Namun kaki kanannya ikut serta berkelebat.
Bukkk!
Ni Luh Padmi terjengkang jungkir balik lalu
terkapar di atas tanah dengan bibir keluarkan darah.
"Dengar, Tua Bangka! Sebelum purnama ini akan
ada satu pertemuan! Kau kuberi kesempatan untuk
laksanakan dendammu!"
Meski merasa berang dengan tindakan Malaikat
Penggali Kubur, namun begitu mendengar ucapan si
pemuda, Ni Luh Padmi bangkit duduk. Sesaat dia
pandangi Malaikat Penggali Kubur.
"Sebenarnya kedua tanganku mampu berbuat apa
yang kau lakukan! Tapi tak enak rasanya kalau tidak
membagi darah manusia-manusia macam Pendeta
Sinting dengan sahabat yang melakukan perjalanan
jauh sepertimu!"
"Di mana pertemuan itu?!"
"Kau tak usah bertanya kapan dan di mana! Yang
harus kau lakukan saat ini adalah pergi ke sebuah
bukit di sebelah timur Sumber Suko. Tunggu sampai
aku datang ke sana!"
"Hem.... Aku masih meragukan kata-katanya. Tapi
tak ada salahnya untuk sementara ini aku lakukan
apa yang diucapkan...," batin Ni Luh Padmi. "Sambil
menunggu masih ada waktu bagiku lakukan apa yang
terbaik...."
Berpikir begitu, akhirnya Ni Luh Padmi berucap.
"Baik! Ucapanmu akan kulakukan!"
"Kuyakin orang ini akan lakukan perintahku.
Karena kulihat dendam dalam dadanya begitu
berkobar! Apalagi mendengar ucapannya, dia
mendapat kesulitan mencari Pendeta Sinting...."
Diam-diam Malaikat Penggali Kubur juga membatin.
"Berarti aku harus mencari akal agar pertemuan nanti
bukan hanya Pendekar 131 yang muncul, tapi juga
Pendeta Sinting dan teman-temannya! Dengan begitu,
sekali ada pertemuan, seluruh manusia golongan
putih akan habis! Aku punya kekuatan. Aku juga
punya beberapa orang budak! Ha.... Ha.... Ha...!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa sendiri dalam hati,
lalu berkata.
"Tua bangka! Ingat baik-baik. Kalau kau berani
bertindak macam-macam sebelum pertemuan itu
berlangsung, apalagi kau berani putar haluan...."
Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya untuk
perdengarkan tawa dahulu sebelum akhirnya
lanjutkan ucapannya. "Bukan saja dendammu tidak
akan terbalas. Tapi umurmu hanya terbatas sampai
purnama depan!"
Untuk menutupi apa yang sebenarnya ada dalam
benaknya, Ni Luh Padmi tertawa pelan lalu berkata.
"Dendam dalam diriku tidak akan punah sebelum
tuntas. Untuk laksanakan dendam ini apa pun akan
kulakukan! Jangankan hanya menunggu
kedatanganmu selama satu purnama. Berapa
purnama pun waktu yang kau janjikan, aku tetap
akan menanti!"
"Bagi Malaikat Penggali Kubur, kata-kata bukanlah
satu hal yang memiliki makna! Kau bisa saja berkata
begitu namun hatimu berkata lain! Namun Malaikat
Penggali Kubur bukanlah manusia yang bisa kau buat
main-main! Camkan itu!"
Habis berkata begitu, tanpa pedulikan si nenek
yang hendak buka mulut berkata, Malaikat Penggali
Kubur telah balikkan tubuh. Dan seakan tahu kalau
Ni Luh Padmi akan berkata, dia mendahului.
"Di puncak bukit yang kukatakan, kau akan
bertemu dahulu dengan beberapa budakku'. Kau
hanya perlu memperkenalkan diri sebagai budakku!
Kau tak perlu khawatir. Salah satu budakku ada yang
berjenis laki-laki. Aku yakin dia tak akan membuatmu
kesepian walau berada di puncak bukit sepi! Kaitan
kuberi kebebasan berbuat apa saja!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi akan memaki, tapi
sebelum makiannya terdengar, Malaikat Penggali
Kubur sudah berkelebat lenyap dengan meninggalkan
suara tawa panjang.
--oo0dw0oo--
EMPAT
KITA tinggalkan dahulu Malaikat Penggali Kubur
dan Ni Luh Padmi yang sama berkelebat pergi dengan
tujuan masing-masing. Kita kembali pada murid
Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng.
Seperti diketahui, begitu sadar dari pingsannya,
mendadak di hadapan murid Pendeta Sinting telah
tegak Ni Luh Padmi. Kedua orang ini sempat perang
mulut dan bentrok pukulan. Namun Joko tidak mau
meladeni si nenek yang rupanya sedang melakukan
perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting (Untuk
jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Muslihat Sang Ratu").
Joko terus berlari. Pada satu tempat dia berhenti.
Khawatir kalau si nenek mengikuti, murid Pendeta
Sinting ini putar kepalanya dahulu berkeliling sebelum
menghentikan larinya. Begitu yakin tidak diikuti, dia
berhenti.
"Silang sengketa apa sebenarnya yang terjadi
antara nenek itu dengan Eyang Guru? Melihat nada
bicaranya, nenek itu tidak main-main! Mengapa Eyang
tidak pernah bercerita padaku? Sebenarnya aku
harus beri tahukan ini pada Eyang, tapi rasanya hal
itu tidak mungkin dapat kulakukan dalam beberapa
hari ini. Penyelidikanku belum mendapatkan titik
terang. Padahal aku harus segera tahu siapa
sebenarnya yang telah mendapatkan Kitab Hitam itu!
Kalau aku sampai terlambat mengetahui, dan kitab
itu ternyata jatuh pada manusia yang tidak
bertanggung jawab, maka tak bisa kubayangkan apa
yang akan terjadi! Sayang.... Aku tidak sempat
menanyakan pada Gendeng Panuntun...."
Selagi murid Pendeta Sinting tengah membatin
sendirian, mendadak terdengar suara orang tertawa
mengekeh panjang.
Meski Joko tahu kalau suara tawa itu bukan tawa
si nenek, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, dia
harus berlaku hati-hati. Maka laksana terbang, murid
Pendeta Sinting berkelebat hendak sembunyi.
Tapi Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri. Belum
sempat tubuhnya berkelebat, satu deruan terdengar.
Saat lain bukan hanya gerakannya tertahan, tapi
tubuhnya laksana terlanggar sapuan gelombang
dahsyat hingga kalau tidak cepat berkelebat
menghindar, niscaya tubuhnya tersapu jatuh!
"Jangkrik! Siapa lagi manusia ini? Tanpa ada hujan
angin tiba-tiba menganggapku sebagai musuh!" Joko
cepat balikkan tubuh.
Suara kekehan tawa terputus. Namun kejap lain
terdengar lagi suara orang tertawa bergelak. Kali ini
justru datangnya dari bagian belakang Joko,
membuat murid Pendeta Sinting sadar, kalau orang
yang mendadak muncul tidak datang sendirian!
Sejenak Joko memandang ke depan. Demi tidak
melihat adanya siapa-siapa, dia putar diri menghadap
orang yang diyakininya baru saja perdengarkan tawa.
Sesaat Joko pentangkan mata. Di depan sana dia
melihat satu sosok tubuh yang tidak bisa dikenali
wajahnya karena orang ini mengenakan topeng kulit
berwarna hitam. Bukan itu saja, orang ini juga
mengenakan pakaian yang menutupi sekujur anggota
tubuhnya dari rambut sampai kaki.
"Jelas baru saja kudengar suara tawa orang yang
berbeda! Pertanda ada orang lain selain dia! Tapi di
mana? Atau jangan-jangan dia bisa merubah tawa
menjadi berlainan kedengarannya? Tapi sumber
suara tadi berlainan tempat. Atau jangan-jangan
orang ini mampu memindahkan suara?!"
Baru saja Pendekar 131 membatin begitu, dari
arah belakangnya dia merasakan deruan angin pelan.
Anehnya pada saat bersamaan tanah di sekitar
tempat Itu laksana disapu angin topan. Hingga untuk
beberapa lama tempat itu menjadi agak gelap
tertutup hamburan tanah.
Maklum akan adanya bahaya, murid Pendeta
Sinting secepat kilat hentakkan kedua kakinya.
Sosoknya berkelebat ke samping. Begitu kakinya
menginjak tanah, kedua matanya dipentangkan
menembusi kegelapan tanah yang bertaburan.
Ternyata dugaan Joko tidak jauh meleset. Di depan
sana, di samping sosok yang sekujur tubuhnya
tertutup dan mengenakan topeng kulit warna hitam,
tegak satu sosok tubuh yang sekujur anggota
tubuhnya dari rambut hingga kaki juga tertutup
pakaian. Raut wajahnya tidak dapat dikenali karena
dia juga mengenakan topeng dari kulit berwarna
merah.
Tatkala taburan tanah lenyap, dua sosok yang
mengenakan topeng warna hitam dan merah sama
gerakkan kepala masing-masing ke samping kiri
kanan. Keduanya seolah saling berpandangan. Saat
lain, laksana sudah sepakat, kedua orang ini
perdengarkan tawa bergelak membahana. Namun
cuma sekejap. Di lain saat kedua orang ini sama
putuskan tawa masing-masing. Lalu kepala mereka
berpaling menghadap ke arah murid Pendeta Sinting.
"Jauh berjalan nyatanya niat kesampaian. Jauh
melangkah nyatanya tujuan tinggal selangkah...."
Orang yang bertopeng merah berujar.
"Benar. Tak diduga tak disangka. Apa yang kita cari
ternyata lain dengan apa yang kita dengar. Dia bukan
barang sulit dan langka! Ha.... Ha.... Ha...!" Orang yang
mengenakan topeng hitam menyahut.
Murid Pendeta Sinting sesaat simak baik-baik
ucapan kedua orang bertopeng. "Nada bicara mereka
sepertinya sengaja mencariku! Hem.... Siapa mereka?
Sayang mereka sembunyikan wajah di balik topeng....
Apa aku harus meladeni mereka?" pikir Joko. Setelah
berpikir agak panjang, akhirnya dia memutuskan
untuk tidak meladeni kedua orang bertopeng. Hingga
tanpa berkata-kata !agi, murid Pendeta Sinting putar
diri setengah lingkaran lalu berkelebat.
Namun sebelum benar-benar berkelebat, orang
bertopeng hitam bergerak terlebih dahulu dan tahu-
tahu sosoknya telah tegak dengan sikap menghadang
di hadapan murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 masih tidak hiraukan orang yang
tegak menghadang. Dia hanya memandang sejurus.
Lalu menyisi tiga langkah dan hendak teruskan niat
untuk berkelebat. Tapi lagi-lagi belum sampai benar-
benar berkelebat, orang bertopeng merah telah
mendahului dan kini tegak di hadapan Joko.
"Tak kan lari gunung dikejar. Tapi mengapa ada
manusia yang terbirit-birit meski tidak dikejar?!"
Orang bertopeng hitam angkat bicara lalu tertawa.
Orang bertopeng merah tidak tinggal diam. Dia
cepat menyahut.
"Mungkin dikira kita sebangsa jin gentayangan.
Padahal kalau dia tahu siapa kita gerangan, hik....
Hlk.... Hik.... Tak mungkin dia berlaku seperti bidadari
kayangan. Yang terkencing-kencing melihat pemuda
korengan!"
Karena sudah memutuskan untuk tidak meladeni
orang, Joko cepat membentak dengan harapan kedua
orang bertopeng segera berlalu.
"Aku punya urusan sangat penting. Jangan coba
berani mencari penyakit!"
Mendengar ancaman Joko, kedua orang bertopeng
sama-sama palingkan kepala seakan saling
berpandangan. Kejap lain untuk kedua kalinya kedua
orang 'ni serentak sama perdengarkan tawa ngakak.
"Kau dengar, Topeng Merah! Dikira kedatangan
kita semata-mata cari penyakit!"
Orang bertopeng merah putuskan suara tawanya.
"Aku maklum, Topeng Hitam! Orang hendak mampus
biasanya memang bicara tidak pada tempatnya! Laut
disangka langit. Datang membawa maut dikira
muncul cari penyakit!"
"Kalian telah dengar kalau aku ada urusan
penting...."
"Kau juga telah dengar aku datang bukan cari
penyakit!" Orang bertopeng hitam menyahut sebelum
murid Pendeta Sinting sempat teruskan ucapannya.
"Justru kami datang membawa maut!" timpal
orang bertopeng merah.
Murid Pendeta Sinting pandangi kedua orang di
hadapannya dengan paras membesi. "Hem.... Nada
bicara dan tampang-tampang kalian menunjukkan
kalau kalian bukan orang baik-baik! Jika kalian
datang membawa maut, kalian sebenarnya
mendatangi orang yang keliru! Kalian pasti tahu, satu
orang mungkin hanya akan membuat satu kesalahan.
Dua orang tidak tertutup kemungkinan akan
menimbulkan lebih dari dua kesalahan! Itulah
sekarang yang kalian lakukan!"
"Kau pandai juga memberi nasihat! Apa kau juga
tahu, satu orang biasanya termakan dua orang?!" ujar
orang bertopeng hitam lalu anggukkan kepalanya
pada orang bertopeng merah.
Murid Pendeta Sinting tidak jawab pertanyaan
orang. Sebaliknya dia cepat membentak.
"Kuingatkan! J angan kalian berani bergerak dari
tempat kalian! Aku tidak bicara main-main!"
Habis membentak, Joko enak saja balikkan tubuh.
Lalu melangkah. Namun baru mendapat empat
langkah, dsr: arah belakang terdengar suara deruan
keras.
Karena Joko sudah waspada, dia cepat balikkan
tubuh kembali. Kedua tangannya bergerak
mendorong ke depan.
Wuuttt! Wuuuutt!
Dua deruan angin deras menghampar ke depan
membawa gelombang panas. Tapi murid Pendeta
Sinting sempat jadi terkesiap. Dugaannya jauh
meleset. Karena deruan angin yang baru saja
terdengar dan dikira serangan yang dilakukan oleh
orang bertopeng ternyata bukan gelombang serangan
yang ditujukan padanya, melainkan ke atas udara.
Sementara dua orang bertopeng yang memang
arahkan tangan masing-masing ke atas udara hingga
timbulkan suara deruan keras jadi terpana dan
sejurus saling berhadapan satu sama lain. Namun di
kejap lain kedua orang ini sama berkelebat ke
samping kiri kanan.
Gelombang angin yang keluar dari kedua tangan
Joko melesat melabrak udara kosong.
"Topeng Hitam! Manusia itu ternyata bukan hanya
serakah hendak menggigit sebelum punya gigi, tapi
sudah berkokok sebelum bertaji!" kata si topeng
merah. Seolah tanpa sengaja tangan kanannya
bergerak berkelebat ke depan.
"Manusia macam itu memang pantas mendapat
imbalan wajar! Dunia akan jadi tak karuan jika biang
kerok macam dia diberi kesempatan lebih lama
menikmati indahnya dunia!" kata orang bertopeng
hitam. Tangan kirinya menyentak ke depan.
Dua hamparan angin deras melesat cepat ke arah
murid Pendeta Sinting dari tangan kanan orang
bertopeng merah dan tangan kiri si topeng hitam.
"Mereka pandai memancing gara-gara!" gumam
Joko lalu buru-buru melompat ke belakang dengan
tubuh digeser ke samping kanan.
Dua hamparan angin amblas lewat lima jengkal di
samping tubuh murid Pendeta Sinting. Namun dia tak
bisa bernapas lagi. Karena begitu hamparan angin
lewat, dua bayangan berkelebat. Tahu-tahu di depan
kepala Joko menyapu dua kaki, dari arah samping kiri
kanan!
Begitu cepatnya sapuan kedua kaki itu, hingga
tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk bergerak
selamatkan diri selain harus menangkis sapuan kaki
orang dengan angkat kedua tangannya.
Bukkkk! Bukkkk!
Sosok murid Pendeta Sinting tampak terjajar
sampai satu tombak. Kedua tangannya yang baru
saja bentrok dengan kaki kiri dan kaki kanan si
topeng merah dan si topeng hitam mental kembali
langsung menghantam tubuhnya sendiri. Hingga
sosoknya mencelat terhuyung-huyung.
SI topeng merah dan hitam rupanya tidak mau
memberi kesempatan. Selagi melihat Joko belum
dapat kuasai diri, keduanya berkelebat menyusul. Kali
ini bukan hanya kaki kiri dan kanan mereka yang
lancarkan tendangan, melainkan tangan kanan dan
kiri mereka berkelebat kirimkan pukulan!
Pendekar 131 tersentak kaget. Kalau tadi dia
rnasih tidak begitu yakin dengan ucapan orang,
namun kini dia maklum kalau kedua orang di
hadapannya benar-benar hendak mengakhiri
hidupnya Karena dia tahu, pukulan yang kini tengah
dilancarkan si topeng merah dan hitam mengandung
tenaga dalam tinggi.
Dengan salurkan tenaga dalam pada kedua
tangan, murid Pendeta Sinting menyongsong
kelebatan orang. Dia sengaja melesat dahulu ke
udara agar tubuhnya berada di atas tubuh orang
bertopeng merah dan hitam. Dengan begitu sambil
bisa lancarkan pukulan memangkas pukulan tangan
kiri dan kanan orang, sekaligus dapat selamatkan diri
dari sapuan kaki kanan kiri lawan.
Tapi perhitungan Joko tampaknya sudah terbaca
lawan. Hingga satu tombak lagi tubuh mereka beradu
di udara dengan tangan saling bentrok memukul, tiba
tiba si topeng merah dan hitam membuat gerakan
jungkir balik satu kali di udara. Kejap lain sosok
keduanya melesat ke udara lebih tinggi dari tubuh
murid Pendeta Sinting.
Joko terkesiap. Kini tidak mungkin lagi baginya
membuat gerakan untuk dapat berada di atas tubuh
lawan. Karena begitu jungkir balik satu kali, laksana
anak panah, si topeng merah dan hitam melesat ke
depan seolah tidak beri kesempatan pada Joko untuk
melakukan gerakan selain harus cepat menangkis
kaki kiri kanan mereka. Sementara tangan kiri kanan
mereka akan dengan leluasa (akukan pukulan ke
arah kepala murid Pendeta Sinting.
Menangkap isyarat bahaya, Joko tidak mau
bertindak ayal. Niat semula yang hendak
menyongsong pukulan lawan dengan saling adu
pukulan jarak dekat diurungkan. Karena jika hal itu
dilakukan, maka mau tak mau dia harus berhadapan
dengan kaki orang, sementara pukulan tangan lawan
tidak mungkin lagi dapat dihindarkan.
Dengan cepat Joko tarik kedua tangannya yang
hendak memukul sedikit ke belakang. Lalu serta-
merta didorong ke depan. Hingga saat itu juga dua
gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ke
arah si topeng merah dan hitam yang melaju deras ke
arahnya.
Meski raut wajah kedua orang itu tidak dapat
dilihat, namun sikap keduanya jelas menunjukkan
kalau keduanya melengak kaget melihat apa yang
dilakukan murid Pendeta Sinting. Namun perubahan
sikap si topeng merah dan hitam cuma sekejap. Di
saat lain kedua orang ini sama-sama tarik kedua
tangan masing-masing ke belakang. Lalu secara
serentak keduanya lepaskan pukulan jarak jauh!
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar laksana hendak
membongkar tempat itu. Jilatan api tampak berpijar
melesat ke udara. Baik tubuh murid Pendeta Sinting
maupun tubuh si topeng merah dan hitam terlihat
mencelat di udara.
Karena harus menghadapi dua tenaga dalam,
maka tak ampun lagi sosok murid Pendeta Sinting
mencelat lebih jauh dari lawan. Malah untuk sesaat
tubuhnya sempat terputar di udara, lalu terbanting
dan menukik deras ke bawah. Sementara si topeng
merah dan hitam meski sempat mencelat di udara,
tapi segera dapat kuasai diri dan mendarat di atas
tanah dengan kaki tegak. Sedang di depan sana Joko
terhuyung-huyung. Untung dia cepat hentakkan kaki
kanannya hingga meski tubuhnya sempat terputar,
namun sosoknya selamat dari roboh menghempas
tanah.
"Katakan siapa kalian?! Apa maksud kalian
dengan semua ini?!" sentak Joko begitu dapat kuasai
diri. Meski begitu dia tidak dapat sembunyikan paras
wajahnya yang berubah pucat pasi.
Pada bentrok pertama kali, murid Pendeta Sinting
belum merasa yakin benar akan ketinggian dan
kekuatan tenaga dalam lawan, karena saat itu tenaga
yang mereka pergunakan masih belum seberapa.
Tapi begitu bentrok kedua terjadi, Joko sadar kalau
kedua orang di hadapannya bukan lawan yang bisa
dianggap remeh. Untuk itulah Joko ingin tahu maksud
orang karena selain tampangnya tidak dapat dikenali,
kedua orang bertopeng itu benar-benar inginkan
jiwanya.
Mendengar pertanyaan murid Pendeta Sinting,
kedua orang bertopeng bukannya segera menjawab,
melainkan tertawa bersahut-sahutan. Puas tertawa, si
topeng hitam angkat bicara sambil hadapkan
wajahnya ke arah si topeng merah.
"Dia tanya siapa kita dan apa maksud kita.
Bagaimana menurutmu?"
Si topeng merah dongakkah kepala. "Serahkan
Jawaban itu padaku!" katanya. Lalu dengan tetap
tengadah dia lanjutkan ucapannya. "Dengar, Anak
Muda! Siapa kami berdua kelak kau akan
mengetahuinya! Tentang maksud kami.... Ringan saja.
Kami inginkan nyawamu!"
"Hem.... Rasanya kita belum saling kenal.
Tampang-tampang seperti kalian baru kali ini
kujumpai. Jangan-jangan kalian suruhan orang!"
SI topeng merah kembali perdengarkan tawa. "Kau
salah sangka! Jusiru kita sudah sangat kenal. Kau
tidak percaya?"
Murid Pendeta Sinting tidak segera jawab
pertanyaan orang. Dia hanya memandang silih
berganti pada wajah orang yang tertutup topeng
seolah ingin mengetahui siapa pemilik wajah di balik
topeng.
Si topeng merah tidak menunggu lama. Seakan
tahu kalau orang yang ditatapnya tidak akan
menjawab, dia lanjutkan ucapannya.
"Anak muda! Bukankah kau anak manusia
bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131 ?! Kau anak manusia yang punya rezeki
besar karena telah mendapatkan dua kitab sakti,
meski sebelumnya kau harus melewati perjalanan
berat di Pulau Biru. Kau juga orang yang sempat
memasuki Istana Hantu. Lebih dari itu malah kau
sempat terlibat cinta segitiga dengan kedua anak
gadis tokoh misterius si Tengkorak Berdarah! Kau
juga sempat dijodohkan dengan seorang gadis cantik
jelita bergelar Ratu Maiam. Sayangnya kau menolak.
Aku tahu.... Mungkin saat itu kau belum tahu benar
siapa adanya Ratu Malam. Kalau kau tahu, mungkin
kau tidak akan menolak perjodohan itu! Ha.... Ha....
Ha...! Satu lagi, kau adalah murid tunggal seorang
manusia gendeng berjuluk Pendeta Sinting...."
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata
terpentang dan mulut terkancing rapat. Dia tengadah
seolah mengingat. Namun hingga agak lama, dia
rupanya gagal mengetahui siapa adanya orang.
Hingga pada akhirnya dia berucap.
"Kau mengenalku dengan baik! Berarti kita
mungkin memang sudah saling kenal! Tapi mengapa
kau takut tunjukkan tampang?!"
Si topeng merah tertawa panjang. "Kau salah
bicara! Bukannya kami takut tunjukkan tampang!
Kalau kami mengenakan topeng, karena kami
memang sudah biasa mengenakannya!"
"Hem.... Begitu? Lalu mengapa kalian inginkan
jiwaku?!"
"Itu tidak perlu jawaban!"
"Siapa orang yang menyuruh kalian?!" tanya Joko
seraya arahkan pandangan pada si topeng hitam
yang kini terlihat jongkok.
"Kau kenal manusia gendeng dari Jurang Tlatah
Perak?!"
--oo0dw0oo--
LIMA
DAHI Pendekar 131 mengernyit dengan
pandangan terpentang besar. "Orang ini bagaimana?
Dia tahu kalau aku murid Pendeta Sinting. Tapi
mengapa dia menanyakan manusia dari Jurang
Tlatah Perak?! Jangan-jangan orang ini tidak tahu
siapa sebenarnya Pendeta Sinting...." Diam-diam Joko
berpikir.
Seperti diketahui, Pendeta Sinting yang bukan lain
adalah Eyang Guru Joko Sa >leng adalah seorang
tokoh yang berdiam diri di Jurang Tiatah Perak. (Untuk
lebih jelasnya tentang Pendeta Sinting, silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode : "Pesanggrahan
Keramat").
"Kau dengar. Mengapa tidak jawab?!" bentak si
topeng merah. Tanpa menunggu jawaban lagi, si
topeng merah kembali ajukan tanya.
"Kau kenal manusia gendeng itu? Hah...?!"
"Dia yang menyuruh kalian?!" Joko balik ajukan
tanya.
Si topeng merah tertawa panjang. Tapi hingga
suara tawanya ienyap, orang ini tidak lagi
perdengarkan suara menjawab.
"Kau jangan bicara mengumbar fitnah!" hardik
Joko begitu mendapati orang tidak memberi jawaban.
"Siapa mengumbar fitnah?!" kata si topeng merah.
"Kau tak percaya kalau kami orang-orang
suruhannya?!" ,
"Kau terlalu mengada-ada!"
"Terserah! Yang jelas dia dikenal sebagai manusia
gendeng. Kau tahu bukan bagaimana sikap orang
gendeng?! Dia tidak akan ambil peduli dengan siapa
saja! Termasuk pada siapa dia menyuruh dan siapa
orang yang harus dibunuhnya!"
"Tak mungkin.... Tak mungkin!" desis Joko
perlahan dengan alihkan pandangan ke jurusan lain.
"Apanya yang tidak mungkin? Dengar, Anak Muda!
Di dunia ini semuanya serba mungkin! Aku tahu,
manusia gendeng penghuni Jurang Tlatah Perak itu
adalah gurumu. Tapi seperti kataku tadi, di dunia ini
semuanya serba mungkin. Jadi jangan melasa heran
kalau orang yang selama ini kau anggap sebagai guru
tiba-tiba saja menyuruh orang untuk mengambil
selembar nyawamu! Apalagi dia dikenal sebagai
manusia sinting!"
"Hem.... Begitu?! Kalau memang dia yang
menyuruh kalian, harap kalian tidak ikut campur
urusan ini. Biar aku yang menemuinya dan selesaikan
urusan ini!"
"Tidak semudah itu urusan ini akan selesai! Kami
berdua telah dibayar mahal untuk menyelesaikannya!
Dan ingat, begitu kau berhasil menemuinya, maka
nyawa kami berdua sebagai imbalannya!"
"Itu risiko kalian! Yang pasti, aku harus
membuktikan ucapanmu! Jangan-jangan kalian
berdua suruhan orang lain, lalu menebar fitnah
dengan mengatakan bahwa gurukulah yang
menyuruh!"
"Silakan kau berkata apa pun! Yang jelas kau tidak
akan kami biarkan lewat begitu saja!"
Habis berkata begitu, si topeng merah telah
berkelebat ke depan. Sejarak tujuh langkah dari
tempat Joko, serta-merta dia putar tubuh
membelakangi, membuat murid Pendeta Sinting
kerutkan dahi. Namun keheranan Joko lenyap
seketika. Karena begitu putar tubuh membelakangi,
si topeng merah gerakkan kedua tangannya
menyentak ke belakang. Wuuttt: Wuuttt!
Dua bongkahan awan putih menggelinding
laksana roda pedati dengan membawa gelombang
luar biasa dahsyat!
Sadar kalau bongkahan awan putih bukan pukulan
sembarangan, Joko tidak mau berlaku sembrono.
Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya.
Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi
kekuningan. Pertanda murid Pendeta Sinting siap
akan lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Dengan gerakkan langkah satu tindak ke samping
kanan, kedua tangan Joko mendorong ke depan.
Satu sinar kuning mencorong melesat dengan
membawa gelombang luar biasa dahsyat serta hawa
panas menyengat.
Blaaarrr!
Dua bongkahan aWan putih ambyar berkeping.
Sinar kuning semburat. Sosok murid Pendeta Sinting
tampak terhuyung-huyung ke belakang dengan paras
berubah. Malah kejap lain kedua kakinya goyah. Dan
tak lama kemudian sosoknya menekuk jatuh.
Di depan sana, karena tegak membelakangi,
sosok si topeng merah terlihat terdorong ke depan.
Lalu sosoknya terhuyung hendak jatuh. Namun
sebelum kedua kakinya menekuk, orang ini cepat
sentakkan tubuh bagian atasnya. Serta-merta
kepalanya menghujam deras ke bawah. Namun
sejengkal lagi kepalanya menghujam tanah, kedua
tangannya menjulur ke bawah.
Hingga kepalanya tertahan sejengkal berada di
atas tanah dengan kedua tangan menopang
tubuhnya. Orang ini berhenti dengan posisi
menungging!
Melihat sikap orang, murid Pendeta Sinting
tampak sipitkan sepasang matanya. "Jangan-jangan
dia adalah...."
Joko tidak lanjutkan kata hatinya, karena
bersamaan dengan itu mendadak si topeng merah
hentakkan sepasang tangannya yang berada di atas
tanah. Sosoknya kini melesat ke belakang dengan
posisi masih tetap menungging.
Joko cepat bergerak bangkit. Namun belum
sempat gerakkan kedua tangannya, sepasang kaki si
topeng merah telah melesat serentak ke arah kedua
bahu kiri kanannya.
Bukkk! Bukkk!
Murid Pendeta Sinting berseru tertahan. Untuk
kedua kalinya tubuhnya terhuyung lalu jatuh
tertunduk. Sementara di depannya si topeng merah
terlihat tetap topang tubuhnya dengan kedua tangan
di atas tanah dan kedua kaki di atas udara.
"Persetan dia atau bukan! Kalau dia memang
inginkan nyawaku, aku harus bertahan! Malah apa
pun akan kulakukan! Aku harus cepat selesaikan
orang ini! Tugas di depan masih banyak!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 131 cepat
kerahkan kembali tenaga dalam pada kedua
tangannya dan siap lancarkan pukulan 'Lembur
Kuning'.
Tapi sebelum kedua tangan Joko sempat
mendorong, si topeng merah telah angkat kedua
tangannya lalu disentakkan. Sosoknya melesat ke
belakang. Kedua kakinya bergerak melebar ke
samping kiri kanan.
Namun setengah depa lagi di depan tubuh Joko,
mendadak si topeng merah gerakkan kedua kakinya
menutup kembali membuat gerakan menggunting.
Kepalanya berada sejengkal di atas tanah dengan
kedua tangan menopang tubuhnya bersltekan di atas
tanah.
Murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Kedua
tangannya cepat diangkat ke atas untuk memangkas
kedua kaki lawan yang menggunting ke arah
kepalanya.
Bukkk! Bukkk!
Kedua kaki si topeng merah terkembang mental
ke samping kiri kanan. Sosoknya bergetar keras.
Kejap lain kedua tangannya yang menopang tubuh
bergoyang-goyang.
Di belakangnya, tubuh murid Pendeta Sinting
tampak terseret sampai satu tombak. Namun kali ini
dia tidak mau menunggu. Di dahului bentakan keras,
kedua tangannya mendorong ke depan lepaskan
pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Entah tidak menduga atau disengaja, walau tahu
kalau saat itu satu sinar kuning melesat disertai
gelombang luar biasa dahsyat dan membawa hawa
panas, namun si topeng merah tidak membuat
gerakan apa-apa! Malah dia tampak dongakkan
kepala menghadap ke arah si topeng hitam.
"Dasar tolol! Apa kau ingin mampus?!" satu suara
terdengar. Lalu satu sinar kuning melesat. Gelombang
angin keras menghampar. Udara berubah panas.
Pendekar 131 terkesiap. "Lembur Kuning!"
desisnya mengenali pukulan yang kini mengarah
memangkas pada pukulannya dan ternyata dilepas
oleh si topeng hitam.
Bummm!
Terdengar dentuman membahana. Pukulan sakti
'Lembur Kuning' yang dilepas murid Pendeta Sinting
semburat ambyar ke udara tatkala bentrok dengan
pukulan yang dilepas si topeng hitam. Tanah di
tempat itu bergetar keras laksana dilanda gempa.
Sosok murid Pendeta Sinting terjengkang lalu
terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan
darah. Sementara si topeng merah yang berada dekat
dengan terjadinya bentrokan tampak tersapu
mencelat sebelum akhirnya terjerembab di atas
tanah.
Si topeng hitam sendiri terlihat terdorong ke
belakang. Namun orang ini segera bisa kuasai diri.
Sebelum tubuhnya sempat terjatuh, dia berkelebat ke
samping. Lalu kedua kakinya menghentak tanah.
Bersamaan dengan itu sosoknya berhenti. Namun
cuma sekejap. Di lain saat si topeng hitam ini
gerakkan bahu kanan kirinya. Sosoknya melesat ke
depan.
Melihat hal itu, dengan sisa tenaga dalamnya, Joko
bergerak bangkit. Lalu tenaga dalamnya dikerahkan
pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kiri Joko
berubah menjadi biru. Inilah pertanda kalau dia
siapkan pukulan 'Serat Biru'.
Tapi mendadak Joko urungkan niat. Dia cepat
berkelebat hindarkan diri. Tapi si topeng hitam
tampaknya tidak urungkan niat. Dia berkelebat
mengejar ke arah mana Joko selamatkan diri.
Karena tak ada jalan lain, sementara di lain pihak
dia tampak ragu-ragu untuk lepaskan pukulan,
akhirnya murid Pendeta Sinting hanya angkat kedua
tangannya untuk menangkis pukulan orang yang
mengarah pada kepalanya.
Desss! Desss!
Joko langsung tersuruk di atas tanah dengan
mulut makin banyak keluarkan darah. Sementara si
topeng hitam cepat bisa bergerak bangkit setelah
tubuhnya hampir saja terjatuh.
"Orang ini lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Siapa dia sebenarnya?" Diam-diam Joko membatin.
Lalu perlahan-lahan bangkit duduk. Sepasang
matanya perhatikan orang bertopeng hitam dengan
seksama.
Adakah dalam rimba persilatan seorang yang
memiliki pukulan 'Lembur Kuning' selain Eyang
Guru?" Joko terus membatin. Sementara di depan
sana si topeng hitam terlihat palingkan kepala pada si
topeng merah. Kejap lain keduanya sama melompat.
Tahu-tahu mereka telah tegak hanya sejarak lima
langkah di hadapan Joko.
"Siapa kalian sebenarnya?! Jangan sampai aku
salah turunkan tangan membunuh orang!" sentak
Joko.
"Kau tadi telah dengar, bahwa kelak kau akan tahu
siapa kami! Itu akan kau ketahui begitu nyawamu
berada di tengah tenggorokan!" Yang jawab adalah
orang bertopeng hitam.
"Apa hubunganmu dengan Pendeta Sinting hingga
kau memiliki pukulan 'Lembur Kuning'?!"
Orang bertopeng hitam tertawa panjang seraya
berkata.
"Aku adalah orang suruhan gurumu! Sebelum kami
berangkat, kami telah ajukan syarat. Dia harus
berikan padaku pukulan andalannya! Kau paham?!"
Untuk kesekian kaEinya murid Pendeta Sinting
terlihat ragu-ragu. "Tidak mungkin! Mereka pasti
berkata dusta! Tapi.... Ah.... Aku jadi bingung. Si
topeng merah sepertinya aku mengenali pukulan dan
sikapnya. Demikian pula dengan yang bertopeng
hitam. Sayang.... Mereka sengaja sembunyikan wajah
di balik topeng!"
Di depan sana, orang bertopeng merah dongakkan
kepala. Lalu berujar.
"Anak muda! Rupanya kau salah memiliih guru!
Dan tentu kau harus berani terima akibatnya!"
Habis berkata begitu, orang bertopeng merah
angkat kedua tangannya. Sementara orang bertopeng
hitam tidak perdengarkan suara. Tapi pada saat
bersamaan dia juga serentak angkat kedua
tangannya.
"Tunggu! Kuperingatkan pada kalian. Biar urusan
ini kuselesaikan dengan guruku sendiri! Kanan
jangan memaksaku untuk bertindak lebih jauh!"
teriak Joko.
Kedua orang bertopeng menyambuti ucapan
murir9 Pendeta Sinting hanya dengan gelakan tawa.
Namun mendadak secara berbarengan keduanya
putuskan tawanya masing-masing. Keduanya seolah
tidak hiraukan ancaman Joko. Tangan kanan kiri
orang terus bergerak dan siap lepaskan pukulan.
"Mereka tampaknya memang inginkan nyawaku.
Apa boleh buat. Kalau aku ragu-ragu pasti nyawaku
tidak akan bisa diselamatkan!"
Berpikir begitu, akhirnya Joko kerahkan kembali
tenaga dalamnya pada tangan kiri. Mendadak tangan
kirinya berubah berwarna biru.
"Pukulan "Serat Biru'! Apa hebatnya?'" orang
bertopeng merah berujar.
"Hem.... Dia benar-benar mengetahui semuanya!"
kata Joko dalam hati. Dada murid Pendeta Sinting
mulai dilanda gejolak mendengar ejekan orang.
Seraya angkat tangan kiri, sementara tangan kanan
ditarik ke belakang, dia berkata membentak.
"Aku telah memberi peringatan! Jangan menyesal
dengan keputusan yang kalian ambil!"
"Peringatanmu hanya karena kau takut
menghadapi kami!" sahut orang bertopeng hitam.
Mendengar sahutan orang, Pendekar 131
tampaknya hilang kesabaran. Tanpa berkata-kata lagi
kedua tangannya bergerak mendahului gerakan
tangan kedua orang bertopeng'
Wuuuttl Wuuuttt!
Dari tangan kanan murid Pendeta Sinting melesat
satu gelombang luar biasa dahsyat. Sementara dari
tangan kirinya melesat sinar biru laksana benang
yang memanjang. Tanda dia telah lepaskan pukulan
'Serat Biru'.
Sesaat kedua orang bertopeng terlihat saling
berpaling. Namun bersamaan dengan itu keduanya
sama-s- ma sentakkan kedua tangan masing-masing.
Dari tangan masing-masing orang menderu
gelombang angin laksana hempasan ombak.
Bummm! Bummm!
Terdengar dua kali dentuman keras. Pukulan yang
keluar dari tangan kanan murid Pendeta Sinting
langsung berantakan tatkala bentrok dengan pukulan
yang melesat dari kedua tangan si topeng merah.
Namun tidak demikian halnya dengan serat-serat biru
berkilat yang melesat ke arah si topeng hitam. Meski
serat biru berkilat yang memanjang laksana benang
sesaat tertahan di udara dan perdengarkan
dentuman keras ketika bentrok dengan pukulan si
topeng hitam, namun serat-serat biru laksana benang
itu terus melesat, membuat si topeng hitam angkat
kembali kedua tangannya lalu serta-merta
disentakkan.
Namun lesatan serat-serat biru telah mendahului.
Hingga bukan saja membuat orang bertopeng hitam
tersentak, namun tubuhnya tegang karena serat-serat
biru melilit sekujur tubuhnya. Hal ini membuat
tubuhnya tidak ikut tersapu akibat bentroknya
pukulan-pukulan yang baru saja terjadi.
Sementara sosok orang bertopeng merah mental
sampai satu setengah tombak ke belakang. Di
seberang, sosok murid Pendeta Sinting terpelanting
lalu jatuh terkapar. Tapi merasa bahaya masih
mengancam, murid Pendeta Sinting tidak mau
bertindak ayal. Dia cepat bergerak bangkit. Sejenak
tubuhnya terlihat terhuyung-huyung. Namun dia
segera dapat kuasai diri meski harus menahan rasa
sakit bukan alang kepalang yang mendera sekujur
tubuhnya.
Di depan sana, si topeng hitam yang terlilit serat-
serat biru tampak gerak-gerakkan kedua tangannya.
Saat bersamaan kedua kakinya menghentak tanah.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting tampak
mendelik. Sosok orang bertopeng hitam tiba-tiba
melesat ke udara. Saat itulah terdengar suara
letupan. Serat-serat, biru yang tadi melilit tubuh orang
menjerat udaia kosong!
Sosok orang bertopeng hitam membuat gerakan
jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya hampir
menjejak tanah, sekonyong-konyong orang ini
gerakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuuutt!
Tempat itu mendadak berubah semburat warna
kuning. Bersamaan dengan itu satu gelombang luar
biasa dahsyat menggebrak ke arah Joko dengan
membawa hawa panas menyengat.
"Dia bisa selamatkan diri dari pukulan 'Serat Biru'!
Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas juga luar biasa!
Apakah aku harus pergunakan pukulan 'Sundrik
Cakra?!" sesaat Joko berpikir.
Tapi karena orang telah iepaskan pukulan, mau
tak mau Joko tidak dapat berpikir panjang. Hingga
mungkin karena tidak mau celaka, akhirnya Joko
putuskan untuk melepas pukulan 'Sundrik Cakra'.
Murid Pendeta Sinting tarik tangan kanannya yang
jari telunjuk, jari tengah serta jari manisnya
diluruskan, sementara ibu jari dan jari kelingking
ditekuk saling bertemu, tanda dia hendak lepaskan
pukulan 'Sundrik Cakra'.
Seolah tahu bahaya, orang bertopeng merah
segera melesat ke depan !alu tegak di samping orang
bertopeng hitam seraya berbisik.
“Kita harus menyingkir!"
Mungkin karena suaranya terlalu pelan atau pura-
pura tidak mendengar, orang bertopeng hitam
berseru tanpa berpaling. "Apa katamu?!"
"Dasar gendeng!" desis orang bertopeng merah.
Lalu kembali berbisik.
"Kita harus menyingkir! Kurasa untuk yang kail ini
kita tidak akan bisa menahan!"
"Apa katamu?!" lagi-lagi orang bertopeng hitam
berteriak. Kais ini dengan palingkan kepala.
Orang bertopeng merah tidak lagi buka mulut
perdengarkan suara jawaban. Sebaliknya dia
sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu
bersamaan itu sosoknya melesat ke samping. Dan
enak saja dia dorong tubuh orang bertopeng hitam.
Karena dorongan itu bukan dorongan biasa, kejap
itu juga sosok orang bertopeng hitam mencelat
mental sampai tiga tombak lalu terhampar di atas
tanah.
Saat itulah terdengar dua kali ledakan keras.
Pukulan yang dilepas baik oleh orang bertopeng
merah dan hitam bertabur ke udara. Tempat itu
porak-poranda. Di atas udara terlihat sinar kuning
berkiblat. Untung, kedua orang bertopeng telah tidak
di tempatnya semula. Jika tidak, tak urung keduanya
akan tersapu sinar kuning yang dilepas Joko dan baru
saja membongkar dua pukulan orang bertopeng.
Meski dua pukulan lawan sempat tertahan dan
terbongkar oleh pukulan 'Sundrik Cakra' yang dilepas
murid Pendeta Sinting, namun bias dari pukulan itu
masih tidak bisa dihindari oleh Joko, hingga begitu
terdengar ledakan, tubuhnya terjajar empat langkah
ke belakang dengan kedua tangan bergetar keras.
Paras wajahnya makin pias. Sementara darah yang
keluar dari mulutnya semakin banyak.
Dengan kerahkan hawa murni, Joko cepat
berpaling. Kedua orang bertopeng sudah terlihat
tegak saling berjajar.
"Kalian tak akan selamat! Tapi aku masih memberi
kesempatan kalau kalian buka topeng'." teriak Joko
mengancam. Joko berani mengancam karena dia
tahu kalau nyali kedua Orang bertopeng sudah
menciut demi melihat pukulan 'Sundrik Cakra' yang
baru saja dilepas.
Sesaat kedua orang bertopeng saling pandang. Si
topeng merah tampak anggukkan kepala. Namun
orang bertopeng hitam baias dengan gelengkan
kepala. Lalu berbisik. "Bukan sekarang saatnya...."
Mungkin tidak mendengar, atau karena hendak
lakukan apa yang diperbuat orang bertopeng hitam
tadi, si topeng merah berteriak.
"Apa katamu?!"
"Dasar sontoloyo!" maki orang bertopeng hitam.
Lalu kembali berbisik.
"Bukan sekarang saatnya membuka topeng!"
"Tapi keadaan tidak menguntungkan kalau kita
tidak buka topeng! Lihat pakaianmu!"
Meski sudah tahu, namun orang bertopeng hitam
tetap tundukkan sedikit kepalanya melihat
pakaiannya. Ternyata pakaian yang dikenakan orang
ini telah robek melingkar di beberapa tempat. Ini
adaiah karena lilitan serat biru yang sempat melilit
tubuhnya.
"Aku tidak akan buka topeng!" bisik orang
bertopeng hitam.
"Bagus! Kalian cari mampus!" hardik Joko. Lalu
untuk meyakinkan orang jika dia tidak berkata main-
main, dia angkat kedua tangannya lalu ditarik ke
belakang. Murid Pendeta Sinting sengaja kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangan kiri kanannya. Saat
itu juga tangan kanannya berubah semburatkan
warna kuning sementara tangan kirinya berwarna
biru. Dia seolah hendak lepaskan pukulan 'Sundrik
Cakra' dan 'Serat Biru'.
"Bagaimana?! Aku tak mau menanggung risiko!"
kata orang bertopeng merah. Sejenak dia
memandang pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih
pada orang bertopeng hitam.
Tiba-tiba orang bertopeng merah angkat tangan
kirinya. Saat sejajar dengan kepalanya, dia
menyentak.
Brettt!
Topeng dari kulit berwarna merah lepas. Kini
tampaklah seraut wajah tua seorang laki-laki.
Sepasang matanya lebar. Hidungnya agak besar.
Sementara mulutnya terbuka menganga. Orang ini
lalu angkat tangan kanannya. Begitu berada di atas
kepala, mendadak tangan kanannya bergerak.
Breeett!
Pakaian yang menutup bagian kepalanya lepas ke
bawah hingga lehernya terbuka. Ternyata laki-laki Ini
tidak memiliki leher! Kepalanya yang berambut putih
seolah nongol di antara kedua bahunya!
"Sontoloyo!" seru orang bertopeng hitam begitu
mengetahui apa yang dilakukan orang yang tadi
mengenakan topeng merah.
"Kau membuat kesalahan!" kata orang bertopeng
hitam sambil hentakkan kedua kakinya. Meski
tampangnya tidak terlihat, tapi nada suaranya jelas
menunjukkan kalau dia marah.
"Jangan bicara tak karuan! Kaiaupun kau tidak
buka topengmu, aku akan katakan siapa kau
sebenarnya!" sahut orang yang wajahnya sudah
kelihatan. Lalu orang ini tertawa bergelak. Anehnya
meski suaranya telah lenyap, tapi mulutnya masih
terbuka menganga!
"Sialan benar! Kalau tahu nyalimu begini rupa,
menyesal aku mengajakmu!" ujar orang bertopeng
hitam. Lalu orang ini angkat kedua tangannya.
Brettt! Brettt!
Topeng hitam dan pakaian yang menutup kepala
orang terenggut lepas. Kini tampaklah wajah seorang
laki-laki berusia lanjut berambut putih digelung ke
atas. Wajahnya telah mengeriput dengan sepasang
mata besar.
Sejenak orang yang tadi mengenakan topeng
hitam memandang dengan mata mendelik angker ke
arah orang yang tadi mengenakan topeng merah.
"Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga ciut nyrli!"
kata orang yang tadi mengenakan topeng merah. Lalu
palingkan kepaia ke arah murid Pendeta Sinting.
Orang yang tadi mengenakan topeng hitam meng-
gerendeng panjang pendek. Tapi kejap kemudian dia
ikut palingkan kepalanya menghadap Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang
matanya. Seolah tak percaya, sesaat dia kerjapkan
mat? lalu dibeliakkan. Tiba-tiba dia berseru.
"Kakek Iblis Ompong! Eyang Guru!" laksana
terbang, Joko berkelebat ke depan lalu berlutut
seraya berkata.
"Harap maafkan tindakanku tadi...."
Orang yang tadi mengenakan topeng merah dan
tidak lain memang Iblis Ompong adanya buka
mulutnya lebar-lebar tanpa keluarkan suara.
Sementara orang yang tadi mengenakan topeng
hitam dan tidak lain adalah Pendeta Sinting adanya
mendelik- sambil perhatikan sosok muridnya.
"Kek! Eyang Guru.... Sebenarnya aku tadi sudah
bimbang. Tapi karena kalian seakan bersungguh-
sungguh, keraguanku lenyap.... Jadi harap kalian
berdua mengerti tindakanku...."
Tidak ada sahutan yang terdengar. Namun Joko
lanjutkan ucapannya dengan kepala menunduk dan
kaki berlutut.
"Eyang.... Ada sesuatu yang harus kutanyakan
padamu...."
Joko menunggu sahutan. Namun hingga agak
lama menunggu tidak juga terdengar sahutan suara,
Joko perlahan-lahan angkat kepalanya dengan tubuh
sedikit bergetar dan dada berdebar. Dia khawatir apa
yang tadi telah dilakukan membuat gurunya marah
hingga tak mau menyahut ucapannya.
"Astaga!" Pendekar 131 tersentak kaget. Ternyata
baik Iblis Ompong maupun Pendeta Sinting sudah
tidak kelihatan lagi batang hidungnya!
--oo0dw0oo--
ENAM
PENDEKAR 131 Joko Sableng pentangkan mata
lalu edarkan pandangan berkeliling. "Ke mana
mereka berdua? Dasar orang-orang aneh.... Padahal
ada sesuatu yang harus kusampaikan pada Eyang
Guru masalah nenek yang katakan diri sebagai Ni Luh
Padmi.... Hem.... Kalau mereka benar-benar pergi dari
sini mereka pasti belum jauh...."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting tajamkan
telinga. Lalu secepat kilat dia putar diri dan
berkelebat. Tapi baru saja sosoknya bergerak,
mendadak satu suara terdengar.
"Untuk apa kita masih main sembunyi-sembunyi?
Kau dengar tadi, muridmu akan menanyakan
sesuatu?"
"Sontoloyo! Kau selalu saja merusak rencanaku!"
terdengar suara sahutan dengan nada keras.
Joko urungkan niat. Kembali dia putar diri
menghadap ke arah suara-suara yang baru saja
terdengar. Dia hendak melangkah mendekat. Dia
yakin suara-suara tadi terdengar dari balik pohon
besar sejarak lima belas langkah di hadapannya.
Namun langkahan kaki Joko tertahan. Karena
bersamaan dengan itu satu sosok tubuh berkelebat
keluar dari balik pohon dan tahu-tahu teiah tegak di
hadapan Joko dengan kedua tangan berkacak
pinggang dan mulut terbuka lebar. Orang ini adalah
Iblis Ompong.
Joko bungkukkan sedikit tubuhnya menjura
hormat. Mungkin takut kalau orang akan berkelebat
pergi tanpa diketahui, Joko sengaja bungkukkan
tubuh dengan kepala sedikit terangkat. Dengan
begitu dia masih dapat melihat ke mana orang
berkelebat.
"Kek...! Harap kau tidak sakit hati dengan apa yang
tadi terjadi...."
Iblis Ompong dongakkan kepala. Karena orang tua
ini tidak punya leher, maka bersamaan dengan
gerakan kepalanya yang mendongak, bahunya
tampak sedikit terangkat.
"Semuanya sudah berakhir. Untuk apa selalu
dipikir! Lagi pula semua itu bukanlah rencanaku.
Gurumu-lah yang punya tingkah laku!" ujar Iblis
Ompong.
"Sialan! Enak saja kau bicara!" satu suara
menyambut! dari balik pohon. Belum habis suara
orang, satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di
samping Iblis Ompong. Dia bukan lain adalah Pendeta
Sinting. Sepasang matanya mendelik pada Iblis
Ompong. Tapi di lain saat orang tua guru Pendekar
131 ini perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Sekali lagi Joko bungkukkan tubuh menjura
hormat ke arah Pendeta Sinting. Entah karena
menduga eyang gurunya masih memendam perasaan
dongkol karena kejadian yang tadi berlangsung, kali
ini Joko tidak berani angkat kepala memandang.
"Sontoloyo!" kata Pendeta Sinting pada Joko. "Apa
yang hendak kau tanyakan?!"
Perlahan-lahan Joko angkat kepalanya. Melirik
sesaat pada eyang gurunya lalu berkata.
"Eyang.... Sebelumnya aku akan mengatakan
padamu bahwa tugas yang selama ini kuemban, telah
ku-selesaikan dengan baik! Kedua kitab itu telah
dapat ku-selamatkan...."
"Aku sudah tahu! Malah siapa saja gadis-gadismu
aku juga tahu!" sahut Pendeta Sinting.
Tampang muka Joko Sableng berubah merah
padam. Dia melirik pada Iblis Ompong. Yang dilirik
tetap mendongak namun kejap lain buka suara.
"Kau jangan menuduhku yang bukan-bukan. Aku
tidak pernah cerita pada gurumu yang tidak karuan!
Meski gurumu selalu bertanya mengorek keterangan!
Kalau tidak percaya silakan kau ajukan pertanyaan!"
Pendekar 131 alihkan lirikannya pada Pendeta
Sinting. Yang dilirik kali ini tengah memandang tajam
ke arahnya.
"Pada siapa aku memperoleh cerita bukan urusan
kalian berdua! Sekarang aku ingin dengar apa yang
hendak kau tanyakan!"
Niat semula Joko yang hendak ceritakan tentang
perjalanannya selama ini diurungkan. Dari nada
bicara eyang gurunya, Joko telah mengetahui kalau
gurunya sedikit banyak telah tahu apa yang selama
ini terjadi. Hingga pada akhirnya dia ajukan tanya
tentang nenek yang dijumpainya dan mengatakan
mencari Pendeta Sinting.
"Eyang.... Apa kau mengenal seorang nenek cantik
bernama Ni Luh Padmi?"
Belum sampai Pendeta Sinting menjawab, Iblis
Ompong sudah perdengarkan ledakan tawa sambil
berkata.
"Di mana-mana air memang akan selalu mengalir
ke bawah. Kalau gurunya dahulu kala sudah terlibat
dengan perempuan, bagaimana mungkin muridnya
akan terbebas dari nu.khluk perempuan?!"
"Sialan! Jangan kau mempermalukan aku!" hardik
Pendeta Sinting seraya arahkan pandangannya pada
Iblis Ompong.
"Bukan maksud hati membuatmu malu. Apalagi
kejadian itu sudah berlalu! Aku hanya ambil
pelajaran. Ternyata iseng main dengan perempuan,
kelak di hari tua akan timbulkan urusan! Bahkan
orang yang tidak tahu menahu harus ikut
menanggung beban!"
Pendeta Sinting tidak pedulikan ucapan Iblis
Ompong meski matanya melirik ke arah orang tua
yang tidak punya leher dan mulutnya selalu terbuka
menganga itu. Sebaliknya dia cepat bertanya.
"Kapan dan di mana kau bertemu dengan
perempuan itu? Apa yang dikatakan padamu? Jawab
dengan jelas dan ceritakan semuanya! Jangan
sampai ada satu kejadian atau kata-katanya yang kau
sembunyikan!"
Mendengar ucapan Pendeta Sinting, kembali Iblis
Ompong tertawa bergelak.
"Apa nenek itu tetap jelita? Mengenakan polesan
bibir warna apa? Apa pakaian yang dikenakan tjpis
menggoda? Dan apakah dia juga titip salam manis
untuk gurumu?!"
Karena jengkel dan tidak bisa berbuat banyak
pada Iblis Ompong, akhirnya setelah melotot pada
Iblis Ompong, Pendeta Sinting melompat ke arah
muridnya dan berbisik.
"Jangan hiraukan ucapan manusia edan itu! Jawab
saja pertanyaanku tadi!"
"Tapi harap kau ulangi lagi pertanyaanmu.
Pertanyaanmu tadi terlalu banyak. Aku jadi tidak ingat
semuanya...," ujar Joko seraya arahkan
pandangannya pada Sblis Ompong dengan bibir
sunggingkan senyum.
"Sontoloyo! Kau rupanya mau ikut-ikutan berbuat
edan seperti Iblis tak bergigi itu!" hardik Pendeta
Sinting dengan suara ditekan, membuat suaranya
terdengar parau dan lucu. Hal ini membikin Iblis
Ompong perkeras suara gelakan tawanya. Lalu
berucap.
"Cinta kadangkala membikin orang mabuk
kepayang. Tapi jangan iupa, mempermainkan cinta
bisa membuat jiwa melayang! Cinta sering kali
membuat orang gentayangan. Tapi tak sedikit yang
membikin manusia sempoyongan. Karena putus dan
khianat cinta tak jarang menimbulkan dendam
berkepanjangan!"
"Kakek itu benar ucapannya...," gumam Joko.
"Sontoloyo! Apa kau bilang? Ucapannya mana yang
kau anggap benar?!" sentak Pendeta Sinting. "Sudah
kukatakan, jangan hiraukan ucapan manusia edan
itu! Sekarang jawab. Di mana dan kapan kau bertemu
dengan perempuan yang kau katakan nenek cantik
itu?!"
"Aku bertemu dengannya pada satu tempat kira-
kira setengah hari perjalanan dari sini! Pertemuan itu
baru saja terjadi!"
"Hem.... Apa yang dikatakan padamu?!" tanya
Pendeta Sinting dengan mata memandang pada Iblis
Ompong yang tegak dengan masih mendongak dan
mulut terbuka menganga!
"Nenek itu menanyakan padaku di mana kau
berada...."
"Hanya itu?!"
Joko gelengkan kepala. "Dia juga mengatakan
antara kau dengannya bukan hanya ada silang
sengketa. Melainkan ada urusan besar yang tidak
akan selesai sebelum kau menemui ajal di
tangannya...."
Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Lalu
angkat bicara masih dengan suara ditekan. "Kau
bilang apa padanya?!"
"Aku mengatakan tidak tahu di mana kau
berada...."
Pendeta Sinting tersenyum seraya anggukkan
kepala. "Bagus. Lalu apa katanya ketika mendengar
ucapanmu?!"
"Dia tidak heran kalau seorang murid melindungi
gurunya. Yang membuatnya aneh justru adalah kalau
seorang murid tidak mengetahui di mana gurunya
berada! Dia mengatakan telah mengadakan
perjalanan jauh. Dan tak akan sia-siakan setiap
kesempatan!"
Paras wajah Pendeta Sinting berubah agaktegang.
"Tunggu! Dari mana dia tahu kau adalah muridku?!"
"Itulah yang sampai saat ini membuatku heran! Dia
dengan tepat bisa menebakku! Padahal baru kali itu
aku jumpa dengannya...."
"Mengapa saat itu kau tidak mengatakan saja
sebagai murid Iblis Ompong itu misalnya?!"
"Percuma aku berkata bohong! Lagi pula
sebenarnya aku ingin tahu apa yang menjadi
maksudnya mencarimu...."
"Dasar sontoloyo! Kau selalu saja ingin tahu
urusan orang tua!"
"Maaf, Eyang Guru.... Bukan maksudku begitu.
Sebagai murid setidaknya aku ingin tahu. Siapa duga
kalau aku dapat menyelesaikan masalah?"
"Oh.... Begitu? Lalu apakah kau akhirnya dapat
selesaikan masalah itu?! Dapat? He...?!"
Joko tidak berani menyahut ucapan gurunya. Dia
hanya memandang. Bukan pada Pendeta Sinting,
melainkan pada Iblis Ompong.
Karena muridnya tidak menjawab, Pendeta Sinting
lanjutkan ucapannya. "Kau tahu, Sontoloyo! Dengan
tindakanmu itu, kau telah ikut libatkan diri dalam
urusan Inil Padahal aku telah punya rencana untuk
tidak libatkan siapa pun juga!"
"Tapi, Eyang...» Dengan tahu persoalannya,
setidaknya aku bisa memberikan keterangan
sekaligus dapat memberitahukan padamu kalau ada
seorang nenek cantik mencarimu...."
"Sudah.... Sudah! Sekarang katakan padaku apa
saja yang sempat diucapkan! Jangan sembunyikan
sesuatu, hingga kalau kelak aku jumpa dengannya,
aku bisa cepat selesaikan urusan!"
Joko Sableng angkat alis kedua matanya. "Dia
tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya kudengar dia
sempat bergumam kalau dia rindu padamu dan ingin
segera bertemu.... Aneh juga ya...? Di balik dendam
ternyata tersimpan rindu...."
Meski Joko perdengarkan suara sangat pelan, tapi
tak urung terdengar juga oleh Iblis Ompong. Hingga
sebelum Pendeta Sinting sempat buka mulut, iblis
Ompong sudah mendahului.
"Kau tak usah merasa heran dan aneh, Sontoloyo!
Cinta memang begitu adanya. Di dalamnya ada rindu,
jengkel, sayang, geram. Itulah makanya ada istilah
rindu dendam. He.... He.... He...l"
“Eyang..." bisik Joko begitu Iblis Ompong selesai
dengan ucapannya. "Apa sebenarnya yang terjadi
antara kau dengan nenek itu?! Kobaran dendam
pada tiadanya rupanya begitu membara! Apa
memang betul dugaan kakek ompong itu? Kau
pernah terlibat main cinta dengan nenek cantik itu?!"
Sesaat Pendeta Sinting pandangi muridnya dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu menghardik.
"Kau jangan ikut-ikutan urusan orang tua inll Dan
ingat. Jangan sekali-kali kau campur tangan!"
Mungkin karena sudah tidak tahan menahan rasa
dongkol, Pendeta Sinting menghardik dengan suara
agak keras.
"Dalam urusan cinta, kehadiran orang ketiga
memang akan membikin panjang cerita! Jadi kau
harus mengerti, Anak Muda! Kalaupun kau masih
tidak bisa mengerti, kau berpura-puralah...." Iblis
Ompong tidak lanjutkan ucapannya, karena saat itu
Pendeta Sinting sentakkan kepalanya berpaling
dengan mata makin membellak.
Anehnya, sesaat kemudian bukan hardikan keras
yang teri igar dari mulut Pendeta Sinting, melainkan
suara tawa bergelak. Lalu berkata.
"Kita harus cepat pergi...." Selesai berkata begitu,
Pendeta Sinting akan berkelebat.
"Tunggu!" teriak Joko menahan gerakan eyang
gurunya. "Masih ada sesuatu yang harus
kuberitahukan!"
"Apakah masih berhubungan dengan nenek cantik
itu?!" Yang angkat bicara adalah Iblis Ompong.
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala dengan
mata memandang silih berganti pada Iblis Ompong
dan Pendeta Sinting.
"Apa yang hendak kau beri tahukan?!" kali Ini
Pendeta Sinting yang buka suara.
"Di dalam rimba persilatan ternyata masih ada
sebuah kitab sakti...." Lalu Joko menceritakan perihal
Kitab Hitam dan perjalanannya selama ini.
Baik Pendeta Sinting maupun Iblis Ompong
sejenak sama tersentak begitu mendengar
keterangan Joko. Setelah terdiam agak lama,
akhirnya Iblis Ompong yang buka suara terlebih
dahulu.
"Masalah gadis cantik yang kau sebut sebagai
Putri Sableng itu. Apakah dia tidak pernah sebut-
sebut namaku...? Setidaknya mengatakan pernah
bertemu denganku...?!"
Joko menahan tawa. Tapi tidak demikian dengan
Pendeta Sinting. Orang tua penghuni Jurang Tlatah
Perak ini sudah terpingkal-pingkal.
"Itulah kalau orang tidak mau berkaca! Dikira
setiap gadis mengenalnya!"
Iblis Ompong tidak mau diam begitu saja. Dia
cepat menyahut.
"Maaf. Bukannya aku bicara mengada-ada. Kalau
dengar keterangannya, aku merasa pernah
mengenalnya! Dan aku punya firasat, dugaanku tidak
akan sesat! Malah aku berani memastikan kalau
gadis itu tetap mengenangku, meski wajahku
bukanlah termasuk tampang laki-laki yang mudah
laku!"
Iblis Ompong sejenak hentikan ucapannya. Dan
begitu dilihatnya Joko Sableng dan Pendeta Sinting
diam dan satunya lagi tetap terpingkal-pingkal, Iblis
Ompong lanjutkan ucapannya.
"Namun meski aku begitu banyak mengenal
perempuan dan gadis cantik, aku tidak pernah
membuat ulah yang pada akhirnya akan munculkan
masalah!"
Tahu kalau ucapan Iblis Ompong menyindir
Pendeta Sinting, orang tua ini putuskan pingkalan
tawanya. Lalu berkata dengan suara keras.
"Kita sama-sama punya pekerjaan. Jadi kau jangan
harapkan bantuan tenagaku. Urusan Kitab Hitam
terserah padamu! Sementara kau jangan campur
tangan urusanku! Kau paham?!"
Joko hanya bisa anggukkan kepala sambil berkata.
"Dapat jumpa denganmu sudah membuatku tenang.
Hanya ada satu yang masih mengganjal...."
"Setan! Kau masih juga membuatku penasaran!"
bentak Pendeta Sinting. Tapi tak urung orang tua ini
ajukan juga pertanyaan. "Apa yang masih mengganjal
di hatimu?!"
"Kau belum mengatakan ada silang sengketa apa
antara kau dengan nenek itu?!"
Mungkin saking jengkelnya mendengar pertanyaan
Joko, Pendeta Sinting angkat kaki kiri kanannya lalu
dihentakkan, hingga membuat tanah di tempat itu
bergetar.
"Kau dengar, Sontoloyo! Itu urusanku! Yang jelas
jangan sampai kau buat keributan dengannya lagi!"
"Bahkan kalau bisa kau harus pandai merayunya!
Dan kalau kau sempat jumpa dengan nenek itu lagi,
sampaikan salam dan peluk cium padanya...." Yang
menimpali adalah Iblis Ompong.
"Setan! Setan! Setan! Kalian berdua setan semua!"
teriak Pendeta Sinting tak tahan lagi menindih
perasaan.
Habis memaki begitu, Pendeta Sinting berkelebat.
Iblis Ompong sejurus luruskan pandangannya ke arah
Joko. Lalu berteriak.
"Hai.... Tunggu! Jangan kau tinggalkan daku!"
Meski Pendeta Sinting teruskan kelebatannya, tapi
orang tua penghuni Jurang Tlatah Perak ini masih
sempat berujar.
"Mengajakmu ikut serta dalam urusan ini
bukannya akan menyelesaikan masalah, tapi akan
menambah keruh persoalan!"
"Kau dengar, Anak Muda! Kalau yang diurus
perempuan, dia seakan tak sabaran dan
meninggalkan aku seenaknya saja! Tapi kalau yang
diurus masalah lain, gurumu mengajakku sampai
bersimbah airmata.... Yah, dasar orang sinting...."
Belum sampai ucapannya selesai, Iblis Ompong
sudah berkelebat menyusul Pendeta Sinting.
Sementara Joko hanya dapat pandangi kedua orang
tua itu seraya gelengkan kepala.
--oo0dw0oo--
TUJUH
YAKIN kalau Malaikat Penggali Kubur tidak berkata
dusta, Ni Luh Padmi mendaki puncak Bukit
Selamangleng dengan mengambil jalan memutar
tanpa melewati jalan yang sudah ada. Hal ini memang
membutuhkan waktu agak lama dan tak jarang harus
menerabas ranggasan semak berduri. Tapi si nenek
telah memperhitungkan segalanya. Kalau Malaikat
Penggali Kubur bukan manusia baik-baik, orang-orang
yang disebut sebagai budak-budaknya dan
menurutnya berada di di Bukit Selamangleng, tentu
tidak jauh dari Malaikat Penggali Kubur. Inilah yang
membuat NI Luh Padmi bersikap hati-hati dan
memutuskan untuk mengambil jalan memutar yang
orang tidak mungkin menduganya.
Seperti diketahui, Ni Luh Padmi yang mengadakan
perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting pada
akhirnya jumpa dengan Malaikat Penggali Kubur.
Saat terjadi bentrok, Ni Luh Padmi sempat terjepit
dan tak berdaya. Malaikat Penggali Kubur tidak sia-
siakan kesempatan. Ni Luh Padml harus menerima
syarat Malaikat Penggali Kubur kalau nyawanya ingin
selamat. Karena masih menyimpan dendam yang
belum kesampaian, akhirnya Ni Luh Padmi menerima
apa yang dikatakan Malaikat Penggali Kubur.
Begitu kira-kira sepuluh tombak lagi mencapai
puncak bukit, Ni Luh Padmi sengaja hentikan
langkah. Kepalanya berpaling ke kiri kanan dan ke
bawah. Lalu tengadah ke arah puncak bukit.
"Masih tidak ada tanda-tanda akan munculnya
seseorang...," desis si nenek. "Puncak bukit juga
tampak sepi.... Jangan-jangan pemuda itu berdusta!
Tapi.... Belum tenang hatiku kalau tidak
membuktikannya sendiri...."
Seraya terus waspada, Ni Luh Padmi akhirnya
terus melangkah mendaki ke arah puncak bukit. Pada
satu tempat yang dirasa aman dan pandangannya
bisa mengawasi sekitar puncak bukit, si nenek
kembali hentikan langkahnya. Sepasang matanya
melotot memperhatikan.
"Benar-benar sepi.... Atau jangan-jangan orang
yang dikatakan sebagai budak-budaknya sengaja
bersembunyi?"
Untuk beberapa saat Ni Luh Padmi masih tegak di
tempatnya. Sesaat kemudian baru terlihat si nenek
melangkah ke samping. Tangan kanannya bergerak.
Trakkk!
Satu potongan dahan kayu telah berada di
tangannya. Dengan sedikit kerahkan tenaga dalam,
potongan kayu dilemparkan ke arah puncak bukit.
Cleeep!
Potongan dahan kayu menancap tepat di tengah
puncak bukit. Si nenek menunggu dengan mata tak
berkesip. Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda
akan munculnya seseorang.
"Hem.... Puncak bukit ini benar-benar kosong...,"
gumamnya lalu laksana terbang, si nenek cepat
berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di puncak
bukit dengan kedua tangan terkembang. Tusuk konde
warna hitamnya diputar-putar perdengarkan deruan
keras. Sikapnya jelas kalau si nenek siap
menyongsong kalau ada seseorang yang lancarkan
pukulan.
Namun hingga dua kali memutar tubuh dengan
mata mengedar berkeliling, si nenek tidak melihat
adanya orang. "Sialan! Pemuda itu menipuku!" maki si
nenek.
Tapi meski sudah bergumam begitu, Ni Luh Padmi
tidak juga luruskan kedua tangannya. Malah sekali
lagi dia pentangkan mata lalu berteriak.
"Siapa pun adanya penghuni bukit ini, harap
tunjukkan diri! Aku datang membawa pesan
seseorang!"
Tidak ada suara sahutan, membuat Ni Luh Padmi
sipitkan mata lalu kembali berteriak. Namun kali ini
juga tidak ada suara yang menyahut atau munculnya
seseorang.
"Hem.... Bagaimana sekarang? Bukit ini kosong....
Apakah aku harus menunggu hingga pemuda itu
muncul? Satu purnama bukanlah waktu yang
pendek.... Tapi daripada harus mencari yang tiada
hasil, lebih baik aku menunggu! Siapa tahu janji
pemuda itu benar?!"
Setelah memutuskan begitu, Ni Luh Padmi
melangkah ke arah satu pohon agak besar. Saat lain
nenek ini telah duduk bersandar.
Mungkin karena lelah setelah berhari-hari
mengadakan perjalanan ke tempat di mana kini dia
berada, Ni Luh Padmi tampak segera tertidur. Tapi
rupanya si nenek tidak dapat lanjutkan istirahat.
Karena baru saja kepalanya teleng ke bahu dan
sepasang matanya terpejam, dua bayangan terlihat
berkelebat mendaki Bukit Selamangleng.
Hanya sesaat lagi kedua bayangan itu mencapai
puncak bukit, orang di sebelah kanan tiba-tiba angkat
tangan kirinya. Serentak keduanya hentikan lari
masing-masing.
"Ada apa?!" tanya orang di sebelah kiri yang
ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik
berusia kira-kira tiga puluh,tahun. Dia mengenakan
pakaian ketat tipis berwarna biru yang bagian
dadanya dibuat rendah hingga sepasang payudaranya
yang kencang membusung mencuat menggoda.
Hidungnya mancung dengan bibir merah. Pinggulnya
besar dan padat. Perempuan ini tidak lain adalah
Ratu Pemikat
"Ada seseorang sengaja cari mampus datang ke
tempat ini!" jawab orang di sebelah kanan yang tadi
angkat tangan kirinya memberi isyarat agar mereka
hentikan kelebatan. Dia adalah seorang laki-laki yang
wajahnya hampir tidak tertutup daging. Sepasang
matanya melotot besar. Laki-laki ini bukan lain adalah
iblis Rangkap Jiwa.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap
Jiwa memutuskan untuk mengejar Pendekar 131 ke
kuil di pantai timur seperti apa yang dikatakan Dewa
Orok. Namun begitu keduanya sampai di tempat
tujuan, mereka berdua tidak menemukan siapa-siapa.
Hingga dengan membawa perasaan marah, keduanya
kembali.
Pada mulanya Ratu Pemikat bersikeras hendak
menuju tempat di mana Dewa Orok mereka tanam di
dalam tanah. Namun Iblis Rangkap Jiwa tidak setuju
dengan usul Ratu Pemikat. Kedua orang ini hampir
saja bentrok. Namun begitu Ratu Pemikat sadar siapa
adanya orang yang baru dihadapi, akhirnya
perempuan bertubuh bahenol ini mengalah dan
menuruti usul iblis Rangkap Jiwa yang menginginkan
kembali dulu ke Bukit Selamangleng.
Iblis Rangkap Jiwa sengaja mengajak Ratu
Pemikat ke Bukit Selamangleng dengan maksud
tersendiri. Karena selama ini Ratu Pemikat hanya
memberikan janji akan bersenang-senang tanpa ada
buktinya. Kalaupun Ratu Pemikat mau itu pun dalam
keadaan terpaksa dan terbatas.
"Hem.... Pasti dia punya maksud mencari tahu
tentang Kitab Hitam...," desis Ratu Pemikat seraya
arahkan pandangan ke puncak bukit.
"Tapi bukan Kitab Hitam yang dia dapatkan!
Melainkan nasib buruk!" kata Iblis Rangkap Jiwa. "Kau
tunggu di sini. Aku akan menyelidik siapa manusia itu
adanya!"
Tanpa menunggu jawaban Ratu Pemikat,. Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat ke puncak bukit. Saat lain
sosoknya telah tegak di hadapan Ni Luh Padmi.
"Siapa pun adanya manusia ini, dia harus cepat
menyingkir! Dengan munculnya dia, aku tidak akan
bisa bersenang-senang!" membatin Iblis Rangkap
Jiwa seraya pentangkan mata perhatikan sosok Ni
Luh Padmi yang tampak masih duduk bersandar
dengan sepasang mata mengatup dan kepala teleng
ke bahu.
Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai.
"Sayang dia tua bangka peot. Jika tidak, mungkin
dapat kupakai bergantian.... Orang tua macam dia,
tidak kubutuhkan!"
Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kanannya.
Namun sebelum tangannya sempat lancarkan
pukulan, Ni Luh Padmi bergerak mendahului. Nenek
ini laksana kilat bergerak bangkit. Tangan kirinya
berkelebat kirimkan pukulan.
Wuuttt!
Satu gelombang angin deras menghampar ke arah
Iblis Rangkap Jiwa, membuat laki-laki berkepala
gundul ini sesaat jadi tersentak. Namun cepat-cepat
melompat ke samping seraya memangkas pukulan si
nenek.
Terdengar letupan. Namun karena keduanya
hanya sedikit kerahkan tenaga daiam yang dimiliki,
sosok keduanya tampak tidak bergeming sedikit pun!
Namun begitu, bentrok pukulan keduanya telah
membuat masing-masing orang jadi maklum kalau
orang yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah.
"Hem.... Adakah ini sosoknya yang dikatakan
pemuda Malaikat Penggali Kubur sebagai
budaknya?!" kata Ni Luh Padmi dalam hati dengan
mata membesar memandang tajam pada Iblis
Rangkap Jiwa.
Melihat keangkeran tampang Iblis Rangkap Jiwa,
sesaat Ni Luh Padmi terkesiap. Apalagi dia sadar
kalau orang di hadapannya mempunyai tingkat
kepandaian yang tinggi. Hal itu diketahuinya bukan
saja dari bentroknya pukulan yang baru saja terjadi,
namun sejak semula, si nenek sebenarnya sudah
mengetahui kalau ada orang yang berkelebat
mendaki puncak bukit.
Namun sejauh ini Ni Luh Padmi pura-pura tidak
mengetahui kedatangan orang. Dia terus berpura-
pura tertidur untuk mengetahui apa yang hendak
dilakukan orang. Tapi si nenek sama sekali tidak
menduga kalau secepat itu orang yang diketahuinya
mendaki puncak bukit sampai di hadapannya. Dia
juga tidak tahu, berapa orang yang mendaki puncak
bukit. Yang jelas diketahui, hanya ada orang yang
sedang berkelebat menuju puncak bukit.
"Kau manusia tidak beruntung, Nenek Peot! Bukan
Kitab Hitam yang akan kau peroleh, melainkan nasib
malang!" bentak Iblis Rangkap Jiwa langsung ke
persoalan. Laki-laki ini sengaja berterus terang,
karena dia pikir, tidak ada yang bisa diperoleh dari
seorang nenek seperti Ni Luh Padmi.
Di lain pihak, mendengar ucapan Iblis Rangkap
Jiwa, Ni Luh Padmi tampak kerutkan dahi. "Dia sebut-
sebut sebuah kitab, apakah di sini tersimpan sebuah
kitab? Tapi mengapa Malaikat Penggali Kubur
menunjukkan tempat ini padaku? Apa maksudnya?
Jangan-jangan pemuda itu punya maksud di balik
ucapannya yang mengatakan aku harus
menunggunya di sinil Lalu siapa orang ini?!"
Ni Luh Padmi sejenak memperhatikan sekali lagi.
Lalu buka suara.
"Siapa kau?!" Si nenek sengaja balas membentak
karena tidak mau dipandang sebelah mata di
hadapan orang.
Iblis Rangkap Jiwa kembali menyeringai dengan
alihkan pandangan ke jurusan lain. Saat kemudian
laki-laki ini perdengarkan tawa terbahak seraya
berkata membentak.
"Karena kau nenek bernasib malang, aku akan
katakan siapa diriku!" sejenak Iblis Rangkap Jiwa
hentikan bentakannya, lalu lanjutkan. "Aku adalah
Iblis Rangkap Jiwa!"
"Aku Ni Luh Padmi!" tanpa diminta, si nenek
perkenalkan diri. Lalu teruskan ucapannya. "Mengapa
kau menduga aku datang untuk memperoleh sebuah
kitab?! Apa di sini memang tersimpan sebuah kitab?!"
Iblis Rangkap Jiwa tertawa panjang mendengar
pertanyaan Ni Luh Padmi.
"Kau jangan berpura-pura, Tua Bangka! Aku tidak
peduli siapa kau! Aku juga tidak peduli kau berpura-
pura atau tidak! Yang jelas, kedatanganmu di sini
telah mengganggu ketenanganku!"
"Ucapannya memberi petunjuk kalau dia penghuni
puncak bukit Ini! Tapi mengapa urusan yang
dikatakannya sebuah kitab? Bukan urusan yang ada
hubungannya dengan pemuda itu atau si jahanam
Pendeta Sinting?!"
Setelah berpikir agak panjang, akhirnya Ni Luh
Padmi berujar dengan suara sedikit direndahkan.
"Kalau kedatanganku memang mengganggu kete-
nanganmu, aku akan pergi.... Tapi sebelumnya aku
katakan. Aku tidak tahu menahu perihal Kitab Hitam
yang kau katakan!"
"Persetan dengan ucapanmu! Lagi pula mana ada
pencuri yang mengaku jika ketahuan?! Ha.... Ha....
Ha...!"
"Aku tak memaksamu untuk percaya atau tidak!
Tapi aku masih akan mengatakan satu hal lagi. Kau
mengenal seorang pemuda bernama Malaikat
Penggali Kubur?!"
Meski Iblis Rangkap Jiwa coba sembunyikan rasa
kejutnya, tapi hal itu tidak lepas dari pandangan Ni
Luh Padmi. Hingga sambil ganti tertawa pendek, si
nenek berujar.
"Kau mengenalnya bukan?!"
"Dia yang menyuruhmu datang ke tempat ini?!"
Iblis Rangkap Jiwa balik ajukan tanya.
"Aku datang dari jauh tidak untuk menjadi'suruhan
orang! Kalau aku sampai muncul di sini, semata-mata
karena ada urusan dengan pemuda itu!"
"Urusan apa?!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Sebaliknya
kini alihkan pandangan ke jurusan lain seperti yang
dilakukan Iblis Rangkap Jiwa tadi. Setelah agak lama,
si nenek akhirnya buka mulut.
"Apa urusanku, apa pedulimu? Yang pasti
kedatanganku bukan ada hubungannya dengan Kitab
Hitam! Kau dengar?! Urusan kitab, bagiku adalah
urusan kecil! Aku punya urusan besar lebih dari
sekadar sebuah kitab!"
"Apa kau menduga pemuda itu akan datang ke
tempat ini?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa menyelidik.
Dada laki-laki ini sebenarnya tidak enak begitu tahu
kalau si nenek mengenal Malaikat Penggali Kubur.
Sementara Ni Luh Padmi cepat berpikir begitu
mengetahui kalau Iblis Rangkap Jiwa tambah tegang.
"Aku tidak hanya menduga. Tapi aku yakin kalau
Malaikat Penggali Kubur akan datang ke tempat ini!"
ujar NI Luh Padmi setelah berpikir agak lama.
Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa makin berubah
tegang. Sepasang matanya mendelik pandangi raut Ni
Luh Padmi.
"Kapan dia akan datang?!"
"Hem.... Orang ini tambah tampak ketakutan! Aku
hampir yakin jika dia adalah budak Malaikat Penggali
Kubur. Tapi mengapa dia ketakutan tatkala
kukatakan pemuda itu akan datang?! Aku harus bisa
mengetahuinya...."
Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Kepalanya berputar lalu berkata. "Aku
tidak akan katakan padamu kapan dia akan datang
sebelum kau jawab beberapa pertanyaanku!"
Ketegangan di wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah
menjadi bersitan kemarahan. Tulang pelipis kanan
kirinya bergerak-gerak. Rahangnya mengembang.
Tapi sebenarnya dalam hati, laki-laki ini makin tidak
enak. Karena jika tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur
muncul, dan dia belum dapat melakukan apa yang
dikatakan si pemuda, maka keselamatan jiwanya
terancam. Malah apa yang selama ini direncanakan
bisa jadi berantakan. Ingat akan hal itu, membuat
Iblis Rangkap Jiwa teringat pada Ratu Pemikat.
"Kalau saja tidak turuti ucapan dan usul
perempuan itu, tentu kepala Dewa Orok sudah
tertancap di -puncak bukit ini! Dan rencanaku akan
berjalan dengan lancar! Tapi kini semuanya jadi tidak
karuan! Jahanam betul! Mengapa aku turuti usul
perempuan itu? Apa yang akan kukatakan nanti kalau
si keparat Malaikat Penggali Kubur benar-benar
datang? Apa mungkin dia percaya apa yang
kukatakan...? Sialan! Apa sebaiknya aku sekarang ke
tempat di mana Dewa Orok berada?!"
Seperti dituturkan dalam episode Muslihat Sang
Ratu, dalam satu kesempatan, Ratu Pemikat dan Iblis
Rangkap Jiwa berjumpa dengan Dewa Orok, orang
yang menuruti perintah Malaikat Penggali Kubur
harus dimusnahkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun
setelah Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil
membuat Dewa Orok tidak berdaya, Ratu Pemikat
memberi usul, agar Iblis Rangkap Jiwa menunda
dahulu urusannya dengan Dewa Orok. Dan akhirnya
mereka hanya menanam tubuh Dewa Orok pada satu
tempat setelah Dewa Orok memberi keterangan di
mana Pendekar 131 berada.
Ni Luh Padmi beberapa saat pandangi Iblis
Rangkap Jiwa yang mendadak tercenung memikirkan
sesuatu. Nenek ini anggukkan kepala lalu berkata.
"Jawab! Bukankah kau orangnya Malaikat Penggali
Kubur?! Dan termasuk dalam sekutunya?!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pertanyaan si
nenek. Ni Luh Padmi tidak menampakkan tampang
marah. Karena dari ucapan dan sikap orang, si nenek
hampir merasa yakin kalau dugaannya tidak meleset.
"Apa Malaikat Penggali Kubur pernah sebut-sebut
nama seorang tokoh bergelar Pendeta Sinting?!"
untuk kedua kalinya Ni Luh Padmi ajukan tanya.
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya tengadah.
"Apa kalianmu dengan Pendeta Sinting?!"
"Kau mengenalnya?!" Ni Luh Padmi balik ajukan
tanya.
"Tak seorang'pun dalam kalangan orang persilatan
yang tidak kukenal!"
Ni Luh Padmi unjukkan tampang gembira. Seraya
melangkah satu tindak ke depan, nenek ini berkata
sambil tersenyum.
"Akan kukatakan padamu kapan datangnya
Malaikat Penggali Kubur, namun kau harus katakan
dahulu di mana Pendeta Sinting berada!"
Iblis Rangkap Jiwa tertawa pendek. "Sayang....
Meski aku kenal siapa saja orang kalangan rimba
persilatan, tapi tidak pernah peduli di mana mereka
berada!"
Tampang gembira Ni Luh Padmi seketika lenyap.
Namun si nenek tidak begitu saja percaya dengan
keterangan Iblis Rangkap Jiwa. Dia lalu bertanya.
"Kau benar-benar tidak ingin tahu kapan
munculnya Malaikat Penggali Kubur?!"
Mungkin sudah punya rencana sendiri jika
sewaktu-waktu Malaikat Penggali Kubur muncul, Iblis
Rangkap Jiwa enak saja menjawab. "Persetan kapan
dia muncul! Sekarang kau yang harus beri keterangan
padaku kalau kau ingin selamat turun dari puncak
bukit ini!"
Ni Luh Padmi tersentak kaget. Bukan karena
ancaman Iblis Rangkap Jiwa, melainkan karena
perubahan pada nada ucapan laki-laki itu. Kalau
semula Iblis Rangkap Jiwa begitu ingin tahu kapan
datangnya Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba kini
sepertinya tidak peduli.
Belum hilang rasa heran Ni Luh Padmi, mendadak
satu suara terdengar.
"Bukan hanya padamu dia harus beri keterangan!
Dia juga harus jawab apa yang kutanyakan!"
Satu bayangan berkelebat. Ni Luh Padmi serenta*
berpaling. Sementara Iblis Rangkap Jiwa tetap tegak
tanpa membuat gerakan apa-apa.
--oo0d0oo--
DELAPAN
DARI tempatnya berdiri, si nenek melihat seorang
perempuan berwajah jelita bertubuh bahenol
mengenakan pakaian tipis ketat warna biru.
Perempuan yang bukan lain adalah Ratu Pemikat ini
untuk beberapa saat memandang tajam ke arah Ni
Luh Padmi. Sementara yang dipandang balas
menatap. Hingga untuk sesaat kedua perempuan itu
saling perang pandang.
"Laki-laki itu tidak terkejut dengan kedatangan
orang. Pasti perempuan ini temannya dan juga pasti
sekutu Malaikat Penggali Kubur!" duga Ni Luh Padmi
dalam hati. Di lain pihak Ratu Pemikat yang
sebenarnya sudah mencuri dengar pembicaraan,
diam-diam juga membatin. "Pendeta Sinting adalah
guru Pendekar 131. Ada urusan apa perempuan ini
menanyakan Pendeta Sinting? Dia sahabatnya...?
Atau bekas gendaknya di masa muda?"
Ratu Pemikat melirik sesaat pada Iblis Rangkap
Jiwa. Lalu arahkan kembali pandangannya pada Ni
Luh Padmi dengan bibir tersenyum dan berkata
dengan suara rendah.
"Nek.... Mau katakan padaku untuk apa kau
menanyakan Pendeta Sinting?"
Mendengar pertanyaan Ratu Pemikat yang
bertanya dengan suara rendah dan wajah ramah, Ni
Luh Padmi yang semula tampak pasang tampang
angker, kini beruoah sikap,
"Perempuan cantik...," kata si nenek. "Kau
tampaknya juga mengenal orang sinting Itu. Betul?!"
Ratu Pemikat jawab dengan anggukan kepalanya.
Namun hal itu belum membuat Ni Luh Padmi
bergembira. Dia khawatir kalau jawaban yang akan
diberikan Ratu Pemikat sama dengan jawaban yang
dikatakan Iblis Rangkap Jiwa. Namun karena
tujuannya memang mencari Pendeta Sinting, pada
akhirnya Ni Luh Padmi ajukan pertanyaan pula.
"Kau sudah lama mengenalnya?"
"Waktu bukanlah menjadi ukuran seseorang tahu
betul orang yang dikenalnya. Bukankah begitu,
Nek...?!"
"Benar. Tapi dengan mengenal orang dalam waktu
lama, setidaknya dia akan tahu betul sampai hal yang
sekecil-kecilnya...."
Ratu Pemikat tertawa pelan mendengar ucapan Ni
Luh Padmi. "Nek.... Kau sahabat Pendeta Sinting?!"
Paras wajah Ni Luh Padmi seketika berubah.
Bibirnya menyeringai. Untuk beberapa saat nenek ini
tidak menjawab. Tapi perubahan wajah orang telah
cukup membuat Ratu Pemikat dapat menebak kalau
ada sesuatu yang tidak enak antara Pendeta Sinting
dengan si nenek.
"Nek.... Aku tahu di mana beradanya Pendeta
Sinting. Hanya...."
Seakan tidak sabar, belum sampai Ratu Pemikat
lanjutkan ucapannya, Ni Luh Padmi telah menukas.
"Di mana dia berada?!"
"Katakan dahulu apa hubunganmu dengan
Pendeta Sinting!"
Sep&cang mata Ni Luh Padmi memandang tajam.
"Manusia sinting itu harus mampus di tanganku!"
Senyum Ratu Pemikat tambah melebar. Otaknya
berpikir cepat. "Ini merupakan kesempatan...,"
batinnya lalu berkata.
"Ternyata kau datang di tempat yang benar, Nek!"
"Apa maksudmu?!"
"Aku dan sahabatku Iblis Rangkap Jiwa memang
tidak tahu di mana Pendeta Sinting berada, tapi kami
sekarang tengah mempersiapkan sebuah
pertemuan!"
"Aku tidak butuh pertemuan. Yang kubutuhkan
keterangan beradanya Pendeta Sinting!" sahut Ni Luh
Padmi dengan suara agak tinggi.
"Dengar, Nek. Kau tak usah bersusah payah
mencari keterangan di mana beradanya Pendeta
Sinting. Karena dia akan hadir dalam pertemuan itu!"
"Bagaimana kau bisa memastikan dia akan
hadir?!"
"Itu urusan kami. Hanya, untuk urusan itu kami
juga akan mengharapkan bantuanmu!"
"Apa pun akan kulakukan kalau itu untuk
kedatangan Pendeta Sinting!"
"Bagus! Berarti kita sekarang saling bersahabat
bersekutu, dan tentu akan saling membantu...," ujar
Ratu Pemikat seraya arahkan pandangannya pada
Iblis Rangkap Jiwa. "Kuharap kalian bisa lupakan
kesalahpahaman tadi!"
Iblis Rangkap Jiwa rupanya tidak setuju dengan
ucapan Ratu Pemikat karena dengan hadirnya Ni Luh
Padmi, jelas dia akan tambah sulit berbuat macam-
macam pada Ratu Pemikat meski hal itu bisa saja
dilakukannya. Di lain pihak, Ratu Pemikat langsung
gembira dengan bergabungnya Ni Luh Padmi. Selain
akan memudahkan rencananya sendiri, setidaknya
dengan bergabungnya si nenek, iblis Rangkap Jiwa
akan berkurang kesempatan dan geraknya.
"Aku masih meragukan ucapan perempuan tua
itu!" kata Iblis Rangkap Jiwa dengan memandang
dingin pada Ni Luh Padmi.
Tubuh Ni Luh Padmi tampak sedikit bergetar
pertanda menindih gejolak hawa amarah. Melihat hal
ini, Ratu Pemikat cepat bertindak.
"Ibiis Rangkap Jiwa! Kau tak perlu meragukan
nenek ini. Kalau dia sampai di tempat ini dan
mengenal Malaikat Penggali Kubur, tentu
kedatangannya turuti ucapan Malaikat Penggali
Kubur dan sekaligus dia telah dipilih menjadi sekutu
kita. Bukan begitu, Nek...?!"
"Hem.... Semula aku memang enggan turuti
ucapan pemuda gila itu. Tapi setelah kupikir, tidak
ada salahnya memang datang ke tempat yang
ditunjuknya!"
Ratu Pemikat kembali memandang pada iblis
Rangkap Jiwa. "Apakah kau masih meragukannya?!"
"Tapi urusannya di luar apa yang menjadi rencana
kita!" iblis Rangkap Jiwa masih mencoba beralasan.
Batu Pemikat gelengkan kepala sambil tertawa
pendek. "Rencana kita bukan hanya mempertemuka
Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131! Tapi kala
p«i lu orang-orang golongan hitam dan putih!"
"Gila! Bagaimana urusannya sampai sejauh itu?!"
desis Iblis Rangkap Jiwa. Diam-diam sebenarnya laki-
laki berkepala gundul ini merasa tidak enak. Karena
dengan muncul dan bertemunya beberapa tokoh,
rencananya merebut Kitab Hitam dari tangan
Malaikat Penggali Kubur akan bertambah rumit
Karena bukan mustahJ keberadaan kitab itu akan
banyak diketahui orang. Dan hal itu akan membuat
banyak orang memburu Malaikat Penggali Kubur.
"Iblis Rangkap Jiwa...! Kau masih ingat ucapan
sekali berlayar dua tiga pulau terlampaui?! Kalau
pertemuan mendatang banyak dihadiri beberapa
tokoh, bukankah itu akan menguntungkan kita?!"
"Benar ucapanmu, Perempuan Cantik!" sahut Ni
Luh Padmi. "Tapi bagaimana caranya untuk
menghadirkan tokoh-tokoh itu, terutama Pendeta
Sinting?!"
"Itu akan kita bicarakan nanti!"
Iblis Rangkap Jiwa berpaling pada Ni Luh Padmi.
Tatapannya seolah masih ragukan keberadaan orang.
Hingga pada akhirnya dia bertanya.
"Kau mengatakan tahu tempat ini dari Malaikat
Penggali Kubur. Kau juga mengatakan tahu kapan
pemuda Itu akan muncul di sini! Agar kebimbanganku
lenyap, coba katakan kapan pemuda itu akan
datang!"
Ni Luh Padmi tersenyum. "Dia tidak mengatakan
pasti kapan akan datang. Yang jelas, dia pasti datang
dalam satu purnama ini!"
"Sialan! Kalau hal itu aku sudah tahu lebih
dahulu!" maki iblis Rangkap Jiwa. "Berarti kita belum
bjsa memastikan kapan datangnya pemuda bangsat
itu!" lanjut Iblis Rangkap Jiwa sambil arahkan
pandangannya pada Ratu Pemikat. "Kita harus cepat
selesaikan manusia buntung yang kita tanam!"
"Mengapa kau masih mengkhawatirkan pemuda
buntung itu? Tanpa kita lihat, aku bisa memastikan
kalau dia sudah tewas!"
"Kita bukan membutuhkan ucapan! Tapi bukti!
Satu bukti akan lebih berarti daripada seribu kata-
kata! Dan aku membutuhkan kepaia Dewa Orok
sebagai bukti!"
"Hem.... Kalau itu kemauanmu, aku akan turuti!
Tapi sebaiknya kita menunggu petang. Dengan begitu
perjalanan kita akan lebih aman...," ujar Ratu
Pemikat.
Mendengar ucapan Ratu Pemikat, Iblis Rangkap
Jiwa tertawa. "Apa yang kau takutkan?!"
"Sudah sering kukatakan, aku punya senjata yang
kau tidak miliki. Jadi jangan kira aku takut
menghadapi siapa saja! Hanya urusan kita kali ini
harus kita perhitungkan dengan masak-masak!"
Tanpa menunggu sambutan Iblis Rangkap Jiwa,
Ratu Pemikat melompat ke arah Ni Luh Padmi. "Kita
harus bicara sambil menunggu hari gelap...."
Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan Ni Luh Padmi,
tangan Ratu Pemikat bergerak menggaet tangan si
nenek. Mungkin karena membenarkan ucapan Ratu
Pemikat, begitu perempuan bertubuh bahenol itu
menarik tangannya, Ni Luh Padmi menurut saja tanpa
berkata sepatah kata.
Melihat kepergian Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi,
Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Semula dia
hendak lakukan apa yang jadi rencananya yakni
langsung menuju tempat Dewa Orok saat itu juga
tanpa menunggu datangnya gelap. Namun begitu
teringat pertemuannya dengan Dewa Orok, Pendekar
131, dan Ratu Malam, juga pertemuannya dengan
Pendekar 131 dan Putri Sableng, laki-laki berkepala
gundul ini jadi berpikir dua kali.
"Tanpa adanya orang yang membantu, jelas aku
akan mengalami kegagalan lagi!" desisnya dalam
hati.
Di lain pihak, sebenarnya Ratu Pemikat juga
merasa khawatir kalau Iblis Rangkap Jiwa teruskan
niatnya saat itu juga. Karena tidak tertutup
kemungkinan Iblis Rangkap Jiwa akan menemui
halangan. Jika itu terjadi, semua yang ada dalam
benaknya akan jadi berantakan.
Berpikir sampai di situ, seraya melangkah mencari
tempat yang bisa digunakan untuk berbincang-
bincang, Ratu Pemikat menoleh pada Iblis Rangkap
Jiwa yang saat itu juga tengah memandang ke
arahnya.
"Nek.... Aku akan bicara dengan Iblis Rangkap Jiwa
dahulu...," ujar Ratu Pemikat seraya melangkah
mendekati Iblis Rangkap Jiwa.
"Percayalah...," Kata Ratu Pemikat begitu dekat
dengan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku sebenarnya sangat
mengkhawatirkan keselamatanmu.... Jadi jangan kau
punya prasangka yang bukan-bukan. Lagi pula jangan
kira kehadiran nenek Itu akan mengganggu
keberadaan kita. Kau dan aku pasti akan bisa
mencari kesempatan untuk bersenang-senang...."
Ratu Pemikat sunggingkan senyum sambil anggukkan
kepala.
Meski dalam hati Iblis Rangkap Jiwa jadi berbunga-
bunga, namun dia tidak mau tunjukkan wajah
gembira. Sebaliknya dia pasang tampang enggan dan
berkata.
"Tanpa adanya nenek itu kau selalu saja membuat
janji! Bagaimana hal itu akan terbukti dengan adanya
tua bangka itu?!"
"Kau ingin melakukannya sekarang?!" tantang
Ratu Pemikat.
Iblis Rangkap Jiwa jadi terkesiap mendengar kata-
kata Ratu Pemikat, membuat laki-laki ini jadi salah
tingkah.
"Aku akan buktikan bahwa kehadiran nenek itu
tidak akan mengganggu kita...," lanjut Ratu Pemikat
seraya melangkah lebih dekat. Perempuan berwajah
cantik ini sunggingkan senyum dengan mata sebelah
dikedipkan. Padanya sengaja dibusungkan.
Di seberang sana, Ni Luh Padmi tampak mendelik
tak berkesip. "Edan! Apa yang akan dilakukan
perempuan itu? Apa yang tampak di matanya?
Seorang pemuda tampan? Sayang.... Wajah secantik
itu dijual begitu murah.... Kasihan betul...," gumam si
nenek dengan masih memandang ke arah Ratu
Pemikat yang makin mendekat ke arah Iblis Rangkap
Jiwa.
Mendadak Ni Luh Padmi sentakkan kepalanya
menghadap jurusan lain tatkala di depan sana
dilihatnya Ratu Pemikat pegang kedua tangan Iblis
Rangkap Jiwa lalu angkat wajahnya mendekat ke
wajah Iblis Rangkap Jiwa.
Mungkin masih tidak percaya dengan apa yang
diperbuat Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa masih
tampak tegak tanpa membuat gerakan. Namun
begitu wajah sang Ratu telah menempel pada
wajahnya, laki-laki berkepala gundul ini tersentak.
"Jangan lakukan di sini...," bisik Iblis Rangkap Jiwa
dengan suara bergetar seraya arahkan
pandangannya pada Ni Luh Padmi. "Kita nanti bisa
cari tempat yang aman dari pandangan mata orang
lain...."
Meski Ratu Pemikat tarik pulang wajahnya dengan
sedikit memberengut, tapi sebenarnya perempuan ini
bersorak dalam hati, karena muslihatnya berhasil.
"Kalau begitu kau setuju dengan usulku untuk
menunda pergi setelah hari gelap?!" tanya Ratu
Pemikat.
"Hem.... Sebenarnya aku...."
Ucapan Iblis Rangkap Jiwa belum selesai, Ratu
Pemikat telah memotong.
"Percayalah! Dewa Crok berada pada tempat yang
sulit ditemukan orang. Lagi pula apa yang bisa
diperbuatnya dalam keadaan tertanam dan
tertotok?!"
' "Aku takut ada hal di luar perhitungan.... Kalau itu
sampai terjadi, apa yang harus kulakukan untuk
mem-pertanggungjawcbkan nyawaku? Malaikat
Penggali Kubur tidak mungkin begitu saja percaya.:.."
"Kau harus percaya pada diri sendiri! Kalau tidak,
bagaimana mungkin rencana kita selanjutnya akan
berhasil?!"
Iblis Rangkap Jiwa menghela napas dalam dan
panjang. Laki-laki Ini sebenarnya masih dilanda
kebimbangan. Entah apa yang menyebabkan, yang
jelas, dia merasa tidak enak.
Melihat Iblis Rangkap Jiwa masih tunjukkan
tampang ragu-ragu, Ratu Pemikat mulai agak jengkel.
Seraya putar diri dia berkata.
"Kalau kau bersikeras hendak pergi sekarang,
terserah!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat melangkah
kembali ke arah Ni Luh Padmi yang tegak dengan
memandang jauh-ke jurusan lain.
Iblis Rangkap Jiwa sekali lagi menghela napas.
Kejap lain laki-laki ini melompat lalu melangkah di
belakang Ratu Pemikat.
Tanpa berpaling, Ratu Pemikat telah tahu apa
yang diperbuat Iblis Rangkap Jiwa. Hingga sambil
terus melangkah, bibir perempuan ini sunggingkan
senyum. Lalu berujar.
"Waktunya masih cukup untuk berbincang-
bincang.... Dan kuharap kau tidak berlaku kasar pada
nenek itu! Siapa pun dia adanya, kita butuh
tenaganya! Malah kalau kau mau, aku tak keberatan
kau juga bersenang-senang dengannya...."
"Siapa sudi dengan tua bangka begitu?!"
Ratu Pemikat tertawa. "Aku tadi mengatakan,
kalau kau mau. Siapa tahu kau masih punya selera
dengan nenek-nenek...?"
"Sialan!" maki Iblis Rangkap Jiwa sambil percepat
langkah.
--oo0dw0oo--
SEMBILAN
KITA tinggalkan dahulu Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat, dan Ni Luh Padmi. Kita kembali dahulu pada
Dewa Orok. Seperti diketahui, pada satu tempat
mendadak Dewa Orok berjumpa dengan Iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat. Pada akhirnya Dewa
Orok tidak mampu melawan Iblis Rangkap Jiwa dan
Ratu Pemikat. Namun pemuda bertangan buntung Ini
masih bernasib baik, karena saat itu Ratu Pemikat
bersikeras memberi, usul agar Iblis Rangkap Jiwa
tunda urusannya dengan Dewa Orok. .
Pada mulanya Iblis Rangkap Jiwa memang tidak
setuju dengan usul Ratu Pemikat, karena dengan
tewasnya Dewa Orok, urusannya dengan Malaikat
Peng-. gali Kubur bisa lancar. Namun Ratu Pemikat
merayu dan memikatnya, hingga pada akhirnya Iblis
Rangkap Jiwa mau tak mau turuti usul Ratu Pemikat.
Dewa Orok mereka tanam dalam tanah dalam
keadaan tertotok.
Sesaat setelah kepergian Iblis Rangkap Jiwa dan
Ratu Pemikat, Dewa Orok coba kerahkan tenaga
dalam untuk bebaskan diri. Namun hingga wajahnya
basah kuyup oleh keringat dan napasnya megap-
megap, dia tidak juga berhasil bebaskan diri dari
totokan yang disarangkan Iblis Rangkap Jiwa.
"Aduh.... Mungkinkah begini akhir dari hidupku...?
Mampus tanpa diketahui orang malah dalam
keadaan tertanam dan tertotok...," desis Dewa Orok
dengan menghela napas panjang. Sepasang matanya
mengerjap beberapa kali, sementara mulutnya yang
tidak lagi mengulum bundaran karetnya karena
dibawa pergi Ratu Pemikat, tampak komat-kamit.
"Kalau memang harus begini nasib baikku, apa
boleh buat...." Pada akhirnya entah karena sudah
kehabisan akal dan tenaga, pemuda bertangan
buntung ini terlihat pasrah. Dia pejamkan sepasang
matanya lalu menarik napas dalam-dalam. Dja
pusatkan pikiran seolah pasrah menyongsong hari
kematian.
Namun kepasrahan Dewa Orok tampaknya tidak
berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian
telinganya mendengar suara derap ladam langkah-
langkah kaki kuda.
Laksana dibeliakkan tangan setan, sepasang mata
Dewa Orok kontan membuka. Wajahnya berubah bersitkan harapan. "Langkah-langkah kuda itu menuju ke
tempat Ini.... Mudah-mudahan penunggangnya
melihatku...."
Seolah lupa pada keadaan dirinya yang tertanam
dan tak bisa gerakkan anggota tubuhnya, Dewa Orok
angkat kepalanya melongok ke atas. Tapi begitu
sadar, pemuda ini menggumam tak jelas. Dan pada
akhirnya hanya dapat arahkan pandangan ke satu
arah di mana dia menghadap. Tapi kembali dia
bergumam kecewa. Tanah Ini berbatu. Sementara
yang terlihat dari tubuhku hanya kepala dan leher....
Apa mungkin orang yang lewat bisa melihatku?!"
Untuk kesekian kalinya Dewa Orok menghela
napas panjang. "Ah.... Bukankah aku masih bisa
berteriak?!"
Berpikir begitu, bibir Dewa Orok tampak sung-
gingkan senyum. Dia menunggu sampai suara
derapan langkah kaki kuda dekati Lalu buka mulut
hendak berteriak.
Tapi mendadak Dewa Orok urungkan niat. Dahinya
mengernyit dengan mulut masih terbuka menganga.
"Bagaimana kalau yang datang perempuan cantik
serta laki-laki gundul ltu?l Kalau mereka yang muncul,
tentu nasibku tidak akan lebih baik.... Apa sebaiknya
aku diam dan pura-pura mati? Tapi....”
Dewa Orok terlihat bimbang antara berteriak dan
diam pura-pura mati. Tapi setelah berpikir panjang,
akhirnya pemuda ini memutuskan untuk berteriak.
Dia tampaknya sudah pasrah. Kalau yang muncul
Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat, dia siap
menghadapi nasib. Tapi kalau yang muncul bukan
kedua orang itu, maka setidaknya nasibnya bisa
berubah.
"Hai...! Aku di sini! Lihatlah kemari!" teriak Dewa
Orok begitu yakin orang berkuda lewat tidak jauh dari
tempatnya berada.
Karena derapan langkah kaki-kaki kuda terus
melaju, pertanda si penunggang tidak mendengar
teriakannya, Dewa Orok kembali buka mulut
berteriak.
"Hai...! Aku di sini! Tolong!"
Dewa Orok sejenak menunggu berharap derapan
langkah kaki kuda berbelok ke arahnya. Namun
rupanya pemuda ini harus menerima kecewa. Karena
bukannya derapan itu mendekat ke arahnya,,
melainkan terus melaju menjauh.
Dewa Orok tidak putus asa, karena hal itu
menunjukkan kalau si penunggang kuda bukanlah
Iblis Rangkap Jiwa atau Ratu Pemikat. Hingga dia
kembali buka suara berteriak.
Namun hingga suaranya serak parau, derapan
langkah kaki-kaki kuda terus melaju menjauh malah
tak lama kemudian hilang lenyap di kejauhan.
"Aduh.,.. Benar-benar jelek nian takdirku...,1*
gumam Dewa Orok sambil mengeluh. Kembali
pemuda Ini pejamkan sepasang matanya coba
pusatkan pSkiran.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" Tiba-tiba satu
suara terdengar membuat Dewa Orok tersentak dan
pe angkati mata lebar-lebar.
Seakan tidak percaya, untuk sesaat sepasang
mata pemuda bertangan buntung ini mengerjap
beberapa kail. Lalu mementang makin besar.
Dari tempatnya tertanam, si pemuda melihat
seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan
cadar putih. Yang terlihat dari wajah perempuan
ini.hanya sepasang matanya yang bersinar tajam.
Rambutnya berwarna putih dan dibiarkan tergerai ke
pundaknya. Perempuan Ini juga mengenakan pakaian
warna putih.
"Bidadari dari kayangan...," desis Dewa Orok.
"Meski rambutnya berwarna putih, tapi melihat sinar
mata dan bentuk tubuhnya, Jelas menunjukkan kalau
dia adalah seorang gadis muda...."
"Harap kau tidak keberatan menolongku keluar
dari tempat ini...," kata Dewa Orok setelah
sungglngkan senyum.
Sepasang mata dari wajah perempuan bercadar
putih sedikit menyipit Lalu terdengarlah suaranya.
"Harap kau sudi katakan siapa dirimu...."
"Kau boleh panggil sesuka hatimu. Yang jelas aku
bukan orang jahat da orang yang tidak tahu
membalas budi!"
SI perempuan bercadar putih perdengarkan tawa
perlahan. "Apakah menurutmu tindakan terpuji jika
sebuah pertolongan mengharap balas budi?"
"Hem.... Apakah kalau orang dalam keadaan
sepertlku patut tidak balas budi jika mendapat
pertolongan?" Dewa Orok balik ajukan tanya.
"Mengapa kau berkata begitu?!"
"Kau lihat...," ujar Dewa Orok. "Tempat ini sangat
sepi. Hanya sebuah keberuntungan dan kalau bukan
orang tersesat jalan, rasanya tidak mungkin orang
lewat apalagi memberikan pertolongan.... Jadi sudah
menjadi kewajiban bagiku membalas budi kalau kau
benar-benar mau memberi uluran tangan...."
Perempuan bercadar putih tidak menyahut lagi.
Sebaliknya dia gerakkan tubuh memutar diri lalu
melangkah.
"Tunggu! Kau tega melihatku begini?!" seru Dewa
Orok.
Si perempuan bercadar putih menjawab tanpa
balikkan tubuh.
"Kau tak akan mendapat pertolongan dariku kalau
kau masih menghubungkan dengan balas budi!"
"Maksudmu...?!" tanya Dewa Orok dengan dahi
berkerut tidak mengerti.
"Aku akan menolongmu. Tapi lupakan segala baias
budil"
"Ah.... Benar-benar orang aneh!" kata Dewa Orok
daiam hati. Lalu berkata. "Kalau Itu maumu, rasanya
tidak sulit memenuhinya...."
Perempuan berambut dan bercadar putih putar diri
kembali menghadap Dewa Orok. Lalu tanpa berkata-
kata lagi dia melangkah menghampiri Dewa Orok.
Satu langkah di hadapan Dewa Orok, si
perempuan bercadar putih hentikan tangkah.
Sepasang kakinya bergerak menghentak pelan ke
tanah di sekitar tertanamnya tubuh Dewa Orok.
Dewa Orok pandangi gerakan orang dengan mulut
terkancing. Namun mendadak mulutnya
perdengarkan suara seruan kaget tatkala tiba-tiba
sepasang kaki perempuan bercadar putih
menghentak keras.
Byuuurrr!
Tanah di sekitar tertanamnya tubuh Dewa Orok
serta-merta bertabur ke udara. Begitu tanah telah
luruh kembali, tampak lobang menganga di sekitar
tertanamnya Dewa Orok. Malah kini sekujur tubuh
pemuda bertangan buntung itu telah kelihatan jelas.
Karena begitu hentakkan kaki, si perempuan
bercadar putih langsung balikkan tubuh. Orang Ini
tidak tahu kalau selain tidak memiliki tangan juga
Dewa Orok tidak bisa gerakkan tubuhnya yang
tertotok.
"Hai...! Pertolonganmu belum selesai!" seru Dewa
Orok begitu melihat perempuan bercadar telah putar
diri dan malah hendak melangkah tinggalkan tempat
itu.
"Jangan manjai Kau tinggal melompat ke atas dan
pergi!" sahut si perempuan bercadar putih tanpa ber-
psllng.
"Ah.... Jangan salah sangka. Bukannya aku manja.
Yang sebenarnya aku sulit melakukan apa yang kau
katakan meski hal Itu rasanya mudah...!"
Dengan pandangan heran, si perempuan bercadar
putih balikkan tubuh. Lalu memperhatikan tubuh
Dewa Orok.
Sepasang mata di wajah perempuan bercadar
putih sesaat membesar. "Tangannya buntung! Tapi
rasanya tidak sulit baginya kalau hanya sekadar
melompat..," pikir si perempuan lalu katakan apa
yang ada dalam pikirannya.
Dewa Orok komat-kamit sebelum berkata. "Ada
tangan seseorang yang membuatku tidak bisa
bergerak!"
Sfekall lagi perhatikan, tampaknya sudah dapat
meyakinkan si perempuan kalau ucapan Dewa Orok
tidak mengada-ada. Hingga tanpa berkata lagi, dra
tekuk kedua kakinya berjongkok. Saat bersamaan
tangan kanannya berkelebat ke beberapa bagian
tubuh si pemuda.
Dewa Orok mengerjap. Dan merasa ada kelainan
pada anggota tubuhnya, pemuda Ini coba gerakkan
kepalanya menggeleng.
"Tc ".,J8 kasih...," ujar Dewa Orok lalu sekali sen-
takkan kaki kanannya, sosoknya melesat keluar dari
dalam tanah.
"Meski kau tidak harapkan balas budi, tapi sekali
lagi aku menawarkan diri untuk...."
Belum sampai Dewa Orok lanjutkan ucapannya, si
perempuan bercadar putih telah menukas' malah
suaranya terdengar agak tinggi.
"Simpan semua ucapanmu! Ada yang lebih berhak
menerima terima kasih dan tawaranmu!"
Habis berkata menukas begitu, perempuan
bercadar putih berkelebat akan pergi. Tapi Dewa Orok
lelah mendahului berkelebat dan tahu-tahu telah
tegak di hadapan si perempuan. Tapi sebelum si
pemuda sempat buka mulut, si perempuan telah
mendahului.
"Anggap di antara kita tidak pernah jumpa!"
"Itu tidak sulit. Tapi kuharap kau tidak keberatan
mengatakan siapa dirimu! Malah kalau kau sudi, aku
sangat berterima kasih jika kau mau mengatakan
juga dari mana asalmu, hendak pergi ke mana, dan
punya tujuan apa...."
Mendengar cerocosan Dewa Orok, perempuan
bercadar putih perdengarkan tawa panjang. Lalu
berujar.
"Kau bi? a memanggilku sesuka hatimu! Kau juga
boleh menebak dari mana asalku, akan pergi ke
mana bahkan kau juga boleh menduga apa
tujuanku!"
"Jawaban hebat!" puji Dewa Orok dengan kening
berkerut. Tapi pemuda itu tidak mau begitu saja
menyerah untuk mengetahui siapa adanya orang
yang te-iah selamatkan dirinya.
"Kalau aku mengatakan diriku sebenarnya, apakah
kau mau juga mengatakan sepertfku?"
"Aku telah berkata anggap di antara kita tidak
pernah jumpa!"
"Tapi kita pernah jumpa bahkan kau telah
menolongku!" sahut Dewa Orok.
"Anggap itu sebuah mimpi yang akan lenyap begitu
bangun dari tidur!"
"Aduh.... Repot menghadapi orang macam ini!
Bagaimana aku harus berbuat agar dia mau
mengatakan siapa dirinya?"'membatin Dewa Orok
seraya menatap tak berkesip seakan ingin
mengetahui wajah di balik cadar putih milik si
perempuan.
Entah-karena sudah kehabisan akal, akhirnya
Dewa Orok berkata.
"Kau tahu. Dengan tindakanmu ini, bukannya
membuatku enak. Sebaliknya hai itu menambah
beban hatiku!"
"Itu tidak akan terjadi kalau kau anggap
pertemuan Ini tidak pernah ada apalagi terjadi!"
"Tapi...." Hanya itu yang terdengar dari muiut Dewa
Orok karena bersamaan dengan itu si perempuan
telah balikkan tubuh sambil berujar.
"Baiklati. Kalau kau memaksa, anggap kita pernah
jumpa hanya harap kau mengenalku apa adanya
seperti yang kau lihat! Aku sekarang harus pergi...."
"Tunggui" tahan Dewa Orok seakan masih
penasaran. Dan enak saja pemuda bertangan
buntung ini berkata.
"Bagaimana kalau kau kusebut saja Joko
Sableng...? Setuju?!"
Ucapan Dewa Orok bukan saja membuat gerakan
si perempuan bercadar putih urungkan kelebatannya,
tapi lakf * ;<i disentak setan, tubuhnya berputar
menghadap Dewa. Orok dengan mata memandang
tajam.
Seolah tidak peduli dengan pandangan orang,
Dewa Orok senyum-senyum dan berkata.
"Aku' pasti tidak salah memilihkan nama buatmu!
Nama bagus dan tentu kau setuju...,"
Perempuan bercadar tidak menyahut Hanya
sepasang matanya yang terus memandang pada
pemuda di hadapannya dari rambut sampai kaki.
"Ah.... Kalau kau tidak setuju dengan nama tadi,
aku masih punya nama bagus untukmu. Yang ini pasti
kau setuju dan menyukainya...," ujar Dewa Orok
begitu mendapati si perempuan tidak memberi
sambutan malah memandang dengan aneh.
Untuk kali ini, si perempuan bercadar masih juga
belum memberi sahutan. Dewa Orok tidak pedulikan
tatapan orang meski dalam hati dibuncah tanda
tanya. Pemuda ini malah alihkan pandangan lalu
berucap. "Bagaimana kalau kau kusebut Dewa
Orok...?!" Perempuan bercadar putih terdengar
menggumam
tak jelas. Sepasang matanya menyipit. Sikapnya
jelas menunjukkan kalau dia hendak ajukan tanya.
Namun justru yang kemudian terlihat, dia balikkan
tubuh. Dan sekali bergerak, sosoknya berkelebat
tinggalkan tempat Itu.
Dewa Orok cepat berpaling. Namun mulutnya
hanya sempat terbuka menganga tanpa
perdengarkan suara demi melihat perempuan
bercadar putih telah berada jauh di depan sana dan
kejap kemudian lenyap di antara batu-batuan.
Dewa Orok berniat hendak menyusul. Namun
diurungkan tatkala tiba-tiba terdengar suara derapan
langkah-langkah kaki kuda yang makin lama makin
jauh sebelum akhirnya lenyap.
--oo0dw0oo--
SEPULUH
SATU pemandangan aneh terlihat di kawasan yang
menuju Bukit Selamangleng. Satu sosok tubuh
melangkah berlenggang seraya bernyanyi-nyanyi kecil.
Kedua tangannya bergerak-gerak pu lang balik
laksana orang sedang menari. Sementara pinggulnya
digoyang-goyangkan sedikit ke samping kiri kanan.
Orang ini mengenakan pakaian panjang milik seorang
perempuan. Rambutnya yang panjang digelung tinggi
ke atas. Sementara wajahnya diberi bedak putih tebal
dengan bibir diberi pemerah menyala. Pada atas dan
bawah matanya tampak membersit pewarna hitam.
Sedang pada lehernya melingkar sebuah kalung dari
bunga meiati berwarna putih yang diuntai. Dari sikap
dan cara berpakaiannya menunjukkan kalau orang ini
adalah perempuan meski kalau diperhatikan lebih
seksama maka dugaan orang akan meleset. Karena
pada lehernya terlihat jakun yang jelas menandakan
kalau dia adalah seorang laki-laki.
Laki-laki berperangai perempuan ini terus meleng-
gak-lenggok dengan mulut tak henti-hentinya
dendangkan nyanyian. Sementara sepasang matanya
sesekali melirik ke kiri kanan dan tak jarang pula
tengadah memandang ke arah puncak bukit.
"Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di
gelap malam. Kelelawar sayapnya hitam. Tanda hari
segera malam. Kelelawar burungnya hitam. Burung
hitam, burungnya...." Laki-laki berperangai perempuan
tiba-tiba putuskan nyanyiannya. Lalu nyengir sendiri.
"Hampir saja kelewatan! Kenapa mulutku
demikian tak tahu diri...," ujarnya lalu tengadah
memandang langit. Nyanyian orang ini tidak salah.
Karena saat itu hamparan langit memang dihiasi
gerombolan kelelawar yang berbondong-bondong
untuk kembali pada esok harinya. Sinar terang sang
matahari mulai memudar digantikan kegelapan
malam.
Laki-laki berperangai perempuan alihkan
pandangannya ke arah puncak bukit. Untuk beberapa
saat dia tak berkesip pandangi hamparan rimbun
pepohonan yang mulai berubah warna.
Si laki-laki berperangai perempuan teruskan lang-
kahan kakinya. Namun kali Ini dia sengaja menyanyi
tanpa suara yang jelas. Sementara sepasang
matanya tidak lagi memandang ke puncak bukit,
melainkan ke jalanan setapak yang menuju Bukit
Selamangleng.
Namun langkahan kaki orang ini tertahan, karena
tiba-tiba dari lamping bukit berkelebat tiga bayangan
dan tahu-tahu telah tegak di hadapan laki-laki
berperangai perempuan..
Sejenak laki-laki berperangai perempuan melirik
pada satu persatu orang di hadapannya dengan
tampang terkejut. Tapi kejap lain telah alihkan
pandangan ke jurusan lain. Tanpa berkata dia
teruskan langkah dengan dendangkan nyanyian dan
tangan bergerak-gerak. Sementara pinggulnya
digoyang-goyangkan me-lenggak-lenggok. Tapi kalau
diperhatikan lebih seksama, sebenarnya sambil
melangkah berlenggang, sepasang mata orang Ini
melirik tajam pada ketiga orang yang tegak di
hadapannya.
DI lain pihak, ketiga orang yang muncul dari
puncak bukit sama-sama kerutkan dahi masing-
masing dengan mata sama mendeiik.
Orang paling kanan adalah seorang perempuan
berusia lanjut mengenakan pakaian panjang warna
co-klat. Kedua tangannya merangkap di depan dada.
Tangan kiri mengepal sementara tangan kanan
menggenggam sebuah tusuk konde besar berwarna
hitam. Sedang orang di sebelah tengah adalah
seorang perempuan berparas cantik berusia tiga
puiuhan tahun mengenakan pakaian tipis ketat warna
biru yang bagian dadanya dibikin rendah hingga
cuatan sepasang payudaranya mencuat jelas.
Rambutnya hitam bergerai dengan bibir merah.
Sementara orang paling kiri adalah seorang laki-laki
tua yang wajahnya tinggal tulang-belulang hampir
tidak tertutup daging sama sekali. Kepalanya gundul,
sepasang matanya melotot.
Orang paling kanan yang bukan lain adalah Ni Luh
Padmi berpaling pada perempuan di sebelahnya yang
tidak ialn adalah Ratu Pemikat. Saat bersamaan Ratu
Pemikat menoleh pada laki-laki berkepala gundul di
sebelahnya yang bukan lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa.
Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa memandang tak
berkeslp pada orang laki-laki yang menyanyi dan
melangkah di hadapannya.
"Akan ke mana kau?!" mendadak iblis Rangkap
Jiwa membentak.
Laki-laki berperangai perempuan tidak hiraukan
bentakan orang. Dia terus melangkah, malah
berpaling pun tidak, membuat Iblis Rangkap Jiwa
kembali perdengarkan bentakan keras.
"Hai! Kau akan ke mana?!"
Laki-laki berperangai perempuan berpaiing. Dia
memandang sekilas seraya berkata dengan suara
serak mirip suara seorang perempuan.
"Kau bertanya padaku...?" Sambil bertanya kedua
tangan orang ini menunjuk pada Iblis Rangkap Jiwa
dengan gemulai laiu menunjuk pada dirinya sendiri.
"Jahanam! Siapa lagi yang kutanya kalau bukan
kau?!"
"Ooooo...." Laki-laki berperangai perempuan mon-
congkan mulut.
"Jawab!" kembali terdengar bentakan. Yang
perdengarkan bentakan kail ini Ratu Pemikat. .
Laki-laki berperangai perempuan alihkan
pandangannya pada Ratu Pemikat dan untuk
beberapa saat pandangi perempuan berparas cantik
Ini dengan bibir tersenyum.
"Kau menyuruhku menjawab pertanyaannya?"
sahut laki-laki berperangai perempuan. Kali ini tangan
kanannya menunjuk pada Ratu Pemikat lalu beralih,
pada Iblis Rangkap Jiwa.
"Orang gila macam dia tak perlu diladeni!" Yang
buka mulut kali ini adalah Ni Luh Padml.
Laki-laki berperangai perempuan arahkan
pandangannya pada Ni Luh Padmi lalu berujar seraya
tetap tersenyum.
"Kau berkata untuk siapa?! Dia?! Atau dia?!"
sambil bertanya tangannya gemulai menunjuk pada
Ni Luh Padmi, lalu pada Ratu Pemikat dan terakhir
pada Iblis Rangkap Jiwa.
Ketiga orang di hadapan laki-laki berperangai
perempuan serentak saling berpandangan satu sama
lain. Dan seolah direnggut setan, berbarengan
mereka menoleh pada orang di hadapannya yang
enak saja teruskan langkah.
"Gerak-geriknya mencurigakan!" bisik Ratu
Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepala tanpa
menoleh. Tapi tidak demikian halnya si nenek.
Perempuan berusia lanjut ini gelengkan kepala
sambii berbisik.
"Aku tidak menangkap sesuatu yang
mencurigakan pada dirinya. Kupikir dia adalah orang
gila yang tersesat jalan! Lebih baik tak usah diiadeni
dan kita lanjutkan perjalanan!"
"Tak mungkin ada orang gila tersesat sampai
daerah ini! Kau lihat sendiri. Matanya selalu
mengarah ke puncak bukit. Sepertinya ada sesuatu
yang dicarinya di sana!" sahut Iblis Rangkap Jiwa.
"Benar! Dan lihat! Langkahnya menuju jalan
setapak yang mengarah puncak bukit!" timpal Ratu
Pemikat.
"Ah.... Kalian hanya terlalu khawatir, hingga punya
perasaan yang tidak tidak! Kalaupun dia hendak ke puncak bukit, apa peduli kita?!" Ni Luh Padmi
memberi alasan.
"Puhcak Bukit Selamangleng telah kujadikan
tempat yang siapa pun juga tak akan kubiarkan ke
sana!" —ujar Iblis Rangkap Jiwa dengan suara agak
keras. "Aku harus tahu hendak ke mana dia!
Maksudnya apa dan siapa dia sebenarnya!" ,
Habis, berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa
melompat dan tegak menghadang di hadapan laki-
laki berperangai perempuan yang serentak hentikan
langkahnya.
Ratu Pemikat yang juga punya perasaan sama
dengan Iblis Rangkap Jiwa tidak tinggal diam. Dia
cepat pula berkelebat dan tegak di samping Iblis
Rangkap Jiwa.
Sementara Ni Luh Padmi meski pada awalnya
tidak sepaham dengan Ratu Pemikat dan Iblis
Rangkap Jiwa, namun dia merasa tldakenak
membiarkan kedua orang sahabatnya bertindak
tanpa dia Ikut serta. Hingga pada akhirnya nenek ini
juga berkelebat dan berdiri di sebelah Ratu Pemikat.
"Orang gila! Aku tak akan mengulangi lagi
pertanyaanku! Dengar. Akan ke mana kau? Dan siapa
kau sebenarnya?!" Iblis Rangkap Jiwa menghardik.
Laki-laki berperangai perempuan sentakkan
kepalanya sedikit ke belakang dengan tangan kanan
melambai di atas bahu. Lalu berkata.
"Perasaanku mengatakan puncak bukit itu
menyimpan sesuatu. Jadi aku akan menuju ke mana
perasaanku membawa! Sedangkan aku kalian bisa
memanggil Lumba-lumba...."
"Tak salah! Dia bukan orang gila yang tersesat
jalan. Melainkan punya tujuan tertentu datang ke
puncak bukit!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
"Ada yang tidak beres dengan orang itu!" timpal
Ratu Pemikat.
"Tapi aku belum menangkap sampai sejauh itu!
Mungkin ucapannya hanya kebetulan! Biar aku yang
coba bertanya!" Yang buka suara adalah Ni Luh
Padml. Tanpa menunggu sahutan Ratu Pemikat dan
Iblis Rangkap Jiwa, si nenek telah maju satu tindak
dan berkata.
"Sesuatu apa yang tersimpan di puncak bukit itu?!"
"Perasaanku mengatakan, sesuatu itu adalah hal
luar biasa yang siapa pun juga pasti
menginginkannya...," jawab laki-laki berperangai
perempuan yang sebutkan diri dengan Lumba-lumba.
Habis menjawab, Lumba-lumba pentangkan
sedikit matanya pandangi si nenek. Orang ini
sebenarnya hendak lanjutkan ucapannya tapi
tertunda karena mendadak Ratu Pemikat telah
menyela.
"Rupanya perasaanmu kuat. Apakah...."
Ucapan Ratu Pemikat belum selesai, kali Ini
Lumba-lumba yang ganti menyela. "Ah.... Kau pandai
memuji. Tapi begitulah adanya. Yang Maha Kuasa
telah memberiku anugerah perasaan di atas rata-rata
orang...."
Seperti halnya tadi, seraya berkata Lumba-lumba
terus gerakkan kedua tangannya lemah gemulai di
atas pundaknya.
"Siapa percaya ucapan orang gila sepertimu!"
gumam Ratu Pemikat seraya mencibir.
Lumba-lumba memandang sejurus pada Ratu
Pemikat lalu mendongak. "Kau boleh percaya boleh
juga tidak. Yang pasti perasaanku bisa mengatakan
siapa kau, Perempuan Cantik...."
Ratu Pemikat tertawa panjang. Namun perempuan
bertubuh sintal Ini segera hentikan tawanya tatkala
Lumba-lumba berujar sambil terus mendongak.
"Apa kau ingin tahu apa yang dikatakan
perasaanku tentang kau?"
Ratu Pemikat tegak dengan mulut terkancing.
Sementara Lumba-lumba ganti tertawa lalu berkata.
Kali ini kedua tangannya merangkap di depan dada
seperti yang diperbuat Ni Luh Padmi.
"Perasaanku mengatakan, kau adalah seorang
perempuan yang dikenal dengan dua gelar. Pada
mulanya kau berjuluk Dewi Asmara. Berganti tahun
kau ganti gelar menjadi Ratu Pemikat...."
Mendengar ucapan Lumba-lumba, bukan hanya
Ratu Pemikat yang terlihat terkesiap. Iblis Rangkap
Jiwa dan Ni Luh Padmi tak kalah terkejutnya.
Lumba-lumba seolah tidak pedulikan keterkejutan
orang. Dia lanjutkan ucapannya. "Kau pernah
bersekongkol dengan seorang laki-laki bergelar Hantu
Makam Setan, Merak Kawung, dan lain sebagainya.
Kau pernah terlibat bentrok dengan beberapa tokoh
di Pulau Biru. Dan...."
"Cukup!" hardik Ratu Pemikat memotong ucapan
Lumba-lumba. Perempuan ini merasa tidak enak. Dia
khawatir kalau orang di hadapannya tahu apa yang
kini ada dalam benaknya.
Lumba-lumba luruskan kepalanya dengan bibir
tersenyum. Namun pandangannya kail Ini bukan ke
arah Ratu Pemikat yang tampak terkejut bercampur
heran, tapi pada Iblis Rangkap Jiwa. Hanya saja iaki-
lakl berperangai perempuan ini cuma sejurus
memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Saat lain dia
dongakkan lagi kepalanya dan buka mulut.
"Menurut perasaanku, kau adalah orang tua yang
bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Meski terdengar
mustahil, karena usiamu panjang. Kalau dihitung-
hitung, usiamu sekarang menginjak dua ratus tahun
lebih. Pada sisa usiamu terakhir ini kau habiskan di
puncak bukit untuk menunggu sesuatu. Kau pernah
terlibat bentrok dengan seorang pemuda bergelar
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan
Dewa Orok dari lain sebagainya, termasuk di
dalamnya seorang nenek berjuluk Ratu Malam.
Perasaanku juga mengatakan...."
"Kau teruskan ucapanmu, lidahmu akan kulepas!"
bentak Iblis Rangkap Jiwa. Seperti halnya Ratu
Pemikat, sebenarnya diam-diam laki-laki berkepala
gundul jnl merasa waswas kalau Lumba-lumba
mengatakan apa yang jadi rencananya. ,
Seperti diketahui, sebenarnya Ratu Pemikat dan
Iblis Rangkap Jiwa punya rencana sendiri-sendiri
dalam benaknya. Kalaupun untuk sementara ini
mereka berdua bersatu, itu hanya karena apa yang
akan mereka maksud tidak jauh berbeda dan saling
berhubungan. Lebih dari itu, mereka berdua juga
dalam cengkeraman Malaikat Penggali Kubur.
Mendengar hardikan Iblis Rangkap Jiwa, Lumba-
lumba tunjukkan tampang terkejut. Namun di lain
kejap, orang ini senyum-senyum dan arahkan
pandangannya pada Ni Luh Padmi yang untuk
beberapa saat tadi simak ucapan Lumba-lumba
dengan mata menyipit dan dahi berkerut.
"Nek.... Untukmu, perasaanku mengatakan, kau
adalah seorang perempuan datang dari jauh. Kau
muncul di tanah Jawa mencari seorang kakek tua
bergelar Pendeta Sinting. Namamu sendiri adalah Ni
Luh Padmi...."
"Kau tahu di mana beradanya Pendeta Sinting?!"
Tak sabar NI Luh Padmi segera menyahut ajukan
tanya mendapati Lumba-lumba dapat menebak
dengan tepat pada dirinya.
Lumba-lumba gerakkan tangan kanannya ke atas
bahu lalu seolah lakukan pukulan dia berkata.
"Perasaanku mengatakan, kau punya silang
sengketa dengan Pendeta Sinting. Kalau aku sampai
mengatakan di mana beradanya orang sinting yang
kau cari itu, berarti aku akan ikut terlibat dalam
urusanmu. Padahal aku tidak mau terlibat dengan
siapa pun juga! Apalagi dalam urusan dendam dan
sengketa.... Aku hanya Ingin tenggelam berenang
dengan perasaanku.
Tanpa harus terlibat dengan orang lain, apalagi
dari kalangan orang-orang persilatan sepertirhu dan
dua sahabatmu itu! Tapi kau masih punya
kesempatan, Nek! Kalau kau benar-benar Ingin tahu
di mana beradanya orang yang kau cari, perasaanku
mengatakan, perempuan cantik di sebelahmu
mengetahui tempat di mana beradanya orang yang
kau cari! Bukankah begitu, Perempuan Cantik...?"
Pada akhir kata-katanya, Lumba-lumba arahkan
pandangannya pada Ratu Pemikat dengan
anggukkan kepalanya. ?
Ni Luh Padmi berpaling pada Ratu Pemikat.
Mungkin tidak mau dirinya akan dituduh berdusta
karena Ratu Pemikat mengatakan tidak tahu di mana
beradanya Pendeta Sinting pada Ni Luh Padmi saat
keduanya berjumpa di puncak bukit, perempuan
bertubuh bahe-nol berwajah cantik ini cepat menoleh
pada si nenek dan berkata.
"Jangan percaya dengan ucapannya! Dia dusta!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat memandang
tajam pada Lumba-lumba lalu membentak.
"Kau jangan bicara membuat fitnah!"
Lumba-lumba tidak tunjukkan rasa kaget.
Sebaliknya dia tetap tersenyum lalu kembali
melangkah dengan jalan menyisi sambil berkata.
"Ah.... Semua Ku terserah kalian. Aku hanya
mengatakan apa yang ada, dalam perasaanku. Soal
benar tidaknya, kalian pasti mengetahuinya...."
Namun rupanya Lumba-lumba tidak akan dapat
lanjutkan langkahan kakinya karena bersamaan itu,
Iblis Rangkap Jiwa sudah melompat menghadang
tepat tiga langkah di hadapannya. Hanya kali ini Iblis
Rangkap Jiwa bukannya unjuk tampang marah
melainkan tersenyum meski wajahnya tetap terlihat
angker.
"Lumba-lumba.... Hem.... Sepertinya baru kali Ini
aku mendengar nama itu. Tapi adalah satu ha! yang
aneh kalau dia tahu seluk-beluk diriku dan kedua
orang itu dengan benar dan tepat. Jangan-jangan dia
seorang perama! yang baru muncul dan belum
banyak dikena! orang...."
Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa akhirnya buka
mulut bertanya.
"Lumba-lumba.... Aku tahu pasti, yang kau maksud
sesuatu luar biasa di puncak bukit itu adalah sebuah
kitab. Benar?!"
"Ah.... Kau rupanya punya perasaan sepertiku.
Hanya perasaanku mengatakah dengan pasti kalau
kitab itu sudah berpindah dari tempatnya semula!
Bagaimana menurut perasaanmu?!." Lumba-lumba
balik ajukan tanya.
Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepala. Kejap lain
dia kembali ajukan tanya. "Apa yang kau katakan
menurut perasaanmu memang tepat. Tapi apakah
perasaanmu juga bisa mengatakan siapa sebenarnya
kelak yang berjodoh dengan kitab itu?"
Lumba-lumba kembali rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Kepalanya mendongak.
Bahkan kali ini sepasang matanya terpejam dengan
dahi berkerut.
Baik Iblis Rangkap Jiwa maupun Ratu Pemikat dan
Ni Luh Padmi tidak ada yang buka suara. Mata
mereka bertiga memandang tajam pada Lumba-
lumba seolah memberi kesempatan pada orang
untuk pusatkan pikiran..
Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tampak
sedikit tegang dengan hati sama berdebar. Di lain
pihak Ni Luh Padmi tampak biasa-biasa saja. Hal ini
dapat dimaklumi karena sebenarnya baik Ratu
Pemikat maupun Iblis Rangkap Jiwa memang
menginginkan Kitab Hitam. Sementara Ni Luh Padmi
sama sekali tidak menginginkannya malah dia tidak
tahu betul seluk-beluk urusan Kitab Hitam. Yang
selalu menjadi pikiran si nenek adalah bagaimana
mengetahui di mana beradanya Pendeta Sinting,
malah kalau bisa sebelum masa penantian selama
satu purnama dengan Malaikat Penggali Kubur. •
Beberapa saat berlalu.. Tiba-tiba Lumba-lumba
mengeluh tinggi seraya buka perlahan-lahan
sepasang kelopak matanya. Memandang satu
persatu pada ketiga orang di hadapannya sebelum
akhirnya menjawab.
"Selama maiang melintang dengan berenang
perasaan, tampaknya kali ini aku harus mengalami
kegagalan....".
Iblis Rangkap Jiwa buka mulut.
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Aku gagal mengetahui siapa kelak yang berjodoh
memiliki Kitab Hitam itu...."
iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Di
sebelahnya Ratu Pemikat mencibir sambi! tertawa
pendek. Hanya Ni Luh Padmi yang tetap bersikap
seperti semula.
"Tapi masih ada harapan! Perasaanku
mengatakan, aku dapat mengetahui siapa kelak yang
berjodoh asalkan aku tahu siapa kini yang memegang
Kitab Hitam itu...."
Seakan-akan dikomando, berbarengan iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat menjawab.
"Malaikat Penggali Kubur!"
Kalau Ni Luh Padmi sedari tadi biasa-biasa saja,
begitu mendengar jawaban Iblis Rangkap Jiwa dan
Ratu Pemikat, nenek ini serta-merta berpaling dengan
raut kaget. Dia ingat pertemuannya dengan Malaikat
Penggaii Kubur beberapa hari yang lalu.
"Hem.... Jadi pemuda itulah yang telah memegang
kitab yang selalu dibicarakan mereka.... Pasti kitab
itulah yang membuat pemuda bergelar Malaikat
Penggali Kubur itu begitu sakti.... Kalau saja aku
dapat merebut dan memiliki kitab itu...."
Diam-diam dalam benak Ni Luh Padmi telah
terber-sit keinginan memiliki Kitab Hitam juga setelah
merasa yakin kalau kehebatan Malaikat Penggali
Kubur karena telah memiliki Kitab Hitam. "Hem....
Untuk sementara ini lebih baik aku menunggu sampai
jumpa dengan Malaikat Penggali Kubur dan menanti
saat pertemuan yang telah diatur. Dengan begitu aku
masih punya kesempatan. Selain dapat membalas
dendam pada Pendeta Sinting, sekaligus siapa tahu
aku bisa memiliki Kitab Hitam;..."
--oo0dw0oo--
SEBELAS
MESKI Ni Luh Padmi adalah orang yang pertama
kautunjukkan rasa terkejut, namun Lumba-lumba tak
kalah tersentaknya. Malah saking terkejutnya, orang
laki-laki berperangai perempuan Ini sempat surutkan
kaki satu tindak dengan mata mendelik dan
rangkapan kedua tangannya lepas!
Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat sedikit kaget
melihat perubahan sikap Lumba-lumba. Dada mereka
berdua dibuncah dengan berbagai tanya. Keduanya
serentak perhatikan orang lebih seksama.
Di lain pihak, melihat dirinya diperhatikan
sedemikian rupa, Lumba-lumba tampaknya cepat
sadar. Orang ini segera tengadah dan mendadak
perdengarkan suara tawa keras membahana. Kedua
tangannya kembal! digerakkan lemah gemulai ke
depan ke belakang. Bukan hanya sampai di situ,
mungkin untuk alihkan perhatian orang, Lumba-
lumba goyang-goyang pinggulnya!
"Gila! Ada apa dengan orang Ini?!" desis Iblis
Rangkap Jiwa.
"Sahabat sekalian.... Dengar! Kalau benar Kitab
Hitam itu kini dimiliki Malaikat Penggali Kubur,
perasaanku mengatakan...." Lumba-lumba sengaja
tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya melirik
ke depan.
DI seberang depan, baik Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat dan Ni Luh Padmi termangu menunggu
dengan dada berdebar. Rupanya siasat yang
dilakukan Lumba-lumba mengena. Karena perhatian
orang kini beralih. Bukannya perhatikan pada dirinya
melainkan termangu menunggu lanjutan ucapannya.
Melihat ha! itu, Lumba-lumba segera buka mulut
lanjutkan bicara.
"Sahabat sekalian.... Perasaanku mengatakan,
Kitab Hitam itu kelak akan berjodoh dengan dua
orang!" Lumba-lumba luruskan kepala dan
memandang silih berganti pada Iblis Rangkap Jiwa
dan Ratu Pemikat.
"Kalian berdua orang beruntung. Karena kalau tak
ada aral melintang... kalian berdualah yang kelak
berjo-doh dengan kitab itu...."
Habis berkata begitu, Lumba-lumba alihkan
pandangannya pada Ni Luh Padmi yang terlihat tak
senang dengan ucapannya. Seraya tersenyum Lumba-
lumba berujar.
"Nek.... Kau tak perlu gelisah. Perasaanku
mengatakan, walau kau tidak beruntung dengan
Kitab Hitam, namun kelak kau akan memperoleh
sebuah hal luar biasa yang tak kalah saktinya dengan
Kitab Hitam.... Hal apa itu, aku tidak bisa
mengatakannya di sini...."
Meski Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat
tampak berubah senang, namun Iblis Rangkap Jiwa
merasakan satu keanehan. Dia segera bertanya.
"Lumba-lumba. Kau bicara yang benar! Bagaimana
mungkin sebuah kitab bisa berjodoh dengan dua
orang?!"
Lumba-lumba perdengarkan tawa dahulu sebelum
akhirnya menjawab.
"Kau tak usah merasa aneh apalagi heran. Kitab
Hitam adalah sebuah kitab sakti. Sebuah kitab sakti
akan membuat keanehan yang jauh dari dugaan
mang.... Soal bagaimana nanti caranya, kelak kalian
berdua akan tahu sendiril Hanya kalau aku boleh
meminta, kuharap kalian berdua jangan saling
berebut kitab M. Selain tidak ada artinya,
bagaimanapun juga kalian berdua kelak yang akan
mendapatkannya.. "
"Mustahil! Mustahil apa yang dikatakannya! Se-
aneh-anehnya kitab sakti, hanya seorang yang akan
berjodoh memilikinya!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
"Hem.... Ucapan Iblis Rangkap Jiwa benar. Satu hal
yang mustahil kalau satu kitab berjodoh dengan dua
orang! Jangan-jangan orang ini sengaja menebar
fitnah dengan maksud tertentu. Tapi.... Mengapa
semua ucapannya tepat...? Mungkinkah sebeium ini
dia mencari tahu dahulu lalu.... Tapi.... Mengapa dia
berada di sini tepat bersamaan denganku yang
hendak lakukan rencana? Sepertinya dia tahu kapan
harus datang ke tempat ini dan bertemu...."
Entah karena tahu apa yang ada dalam benak
orang, tanpa menunggu lebih lama lagi, Lumba-lumba
berkata sambi! hendak teruskan langkah.
"Mungkin kalian masih ragu-ragu dengan apa yang
baru kukatakan. Namun kelak kalian akan tahu,
bahwa apa yang dikatakan perasaanku benar
adanya.... Sekarang aku harus pergi...."
Lumba-lumba melangkah tanpa berpaling lagi
pada ketiga orang di hadapannya. Sementara Iblis
Rangkap Jiwa cepat berpaling pada Ratu Pemikat
seraya berbisik.
"Aku curiga padanya.... Selain itu dia tahu siapa
kita adanya. Bukan tidak mungkin dia tahu apa
rencana kita. ini sangat membahayakan bagi
tindakan kita selanjutnya! Siapa pun dia adanya,
harus kita singkirkan!"
Tanpa menunda lagi, Iblis Rangkap Jiwa melompat
dan tegak di hadapan Lumba-lumba dengan kedua
tangan terangkat. Sepasang matanya tidak
memandang ke arah Lumba-lumba melainkan pada
jurusan lain sambil membentak.
"Kau bisa menuju puncak bukit. Tapi tinggalkan
dulu nyawamu di sini!"
"Hai.... Apa yang akan kau lakukan padaku?
Bukankah di antara kita tidak ada silang sengketa?"
"Benar!" jawab Ratu Pemikat. Tapi kau telah berani
mengatakan yang tidak-tidak! Itu berarti kau telah
ikut campur urusan kami. Dan kau perlu tahu. Siapa
pun adanya orang yang campur tangan urusan kami,
maka hanya satu pilihan baginya! Mampus!"
"Ah.... Itu peraturan rimba persilatan.... Padahal
aku bukanlah orang dari kalangan rimba persilatan!"
ujar Lumba-lumba dengan tampang ketakutan.
-Ratu Pemikat tertawa pendek. "Peraturan kami
tidak menentukan dari mana orang yang Ikut campur!
Setan sekalipun akan menerima pilihan sama!"
"Hem.... Kalau begitu aku tidak akan lanjutkan
mendaki puncak bukit.... Harap kalian mencabut
pilihan yang harus kuterima...."
Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepala. "Ke mana
pun kau akan pergi, bukan jadi jaminan kau bisa
selamat dari pilihan yang kami berikan!"
Belum selesai ucapan Iblis Rangkap Jiwa, laki-laki
berkepala gundu! ini telah gerakkan tangan
kanannya. Mungkin masih menduga kalau orang di
hadapannya tidak memiliki kepandaian, dia sengaja
lancarkan pukulan hanya dengan sedikit kerahkan
tenaga dalam.
Wuuttt!
Satu deruan angin terdengar. Baik Iblis Rangkap
Jiwa maupun Ratu Pemikat memandang dengan
diam-diam sama kerahkan tenaga dalam. Meski
mereka berdua menduga kalau Lumba-lumba tidak
memiliki kepandaian, tapi keduanya tidak berani
bertindak ceroboh. Lain halnya dengan Ni Luh Padmi.
Meski sedari tadi banyak diam, namun nenek ini
punya firasat lain dengan apa yang diduga iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemlkat. Hingga si nenek
sama sekali tidak kerahkan tenaga dalam, karena dia
menduga Lumba-lumba memiliki kepandaian. tapi
rupanya dugaan Ni Luh Padmi meleset. Karena meski
deruan angin telah terdengar dan satu gelombang
menghampar ke arah Lumba-lumba, laki-laki
berperangai perempuan ini tidak membuat gerakan
apa-apa! Hingga mau tak mau gelombang angin
menyapu sosoknya.
Walau gelombang angin tidak begitu besar, namun
karena dilancarkan oleh seorang yang memiliki
tenaga dalam kuat, tak urung membuat sosok
Lumba-lumba tersapu deras sampai satu tombak ke
belakang dan terkapar d! atas tanah.
Lumba-lumba mengeluh tinggi. Kedua tangannya
bergerak gemulai mengelus bahunya yang baru saja
tersambar pukulan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu perlahan-
lahan bangkit.
Seraya merapikan sanggulan rambut dan pakaian
yang dikenakannya, Lumba-lumba buka mulut.
"Sungguh kalian tega menjatuhkan tangan kasar
pada orang yang tidak berdaya sepertiku...." Kedua
tangan Lumba-lumba terangkat sejajar dengan
wajahnya. Mendadak orang ini perdengarkan
tangisan sambi! usap-usapkan kedua tangannya pada
sepasang matanya.
Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Sementara
Ratu Pemikat tersenyum dingin. Kedua orang ini
seolah tidak hiraukan rengekan orang. Malah Iblis
Rangkap Jiwa terlihat paling tidak sabar. Karena
begitu mendengar tangisan Lumba-lumba, tangan
kanannya yun§ masih berada di udara berkelebat
kirimkan pukulan!
Meski N! Luh Padmi bukan orang baik-baik, tapi
melihat apa yang hendak dilakukan Iblis Rangkap
Jiwa, nenek ini tidak bisa diam begitu saja. Tangan
kanannya diangkat hendak memangkas pukulan Iblis
Rangkap Jiwa.
Sementara di seberang depan sana, seolah tidak
menyadari bahaya, Lumba-lumba tetap usap-usap
sepasang matanya dengan kedua tangan sambi!
perdengarkan tangis. Bahkan tangisnya makin keras!
Satu tombak lagi gelombang angin yang
dilancarkan Iblis Rangkap Jiwa menyapu sosok
Lumba-lumba, Ni Luh Padmi gerakkan tangan
kanannya lakukan pemangkasan pukulan.
Saat itulah mendadak terdengar satu suara.
"Jangan sangka aku libatkan diri, aku hanya tidak
tega mendengar suara tangisan;..!"
Satu sosok tubuh berkelebat. Bersamaan dengan
itu tampak dua kilatan cahaya berkiblat.
Dua letupan kecil terdengar berturut-turut.
Gelombang angin yang dilancarkan Iblis Rangkap
Jiwa, dan gelombang angin yang melesat dari tangan
kanan Ni Luh Padmi yang hendak memangkas
pukulan iblis Rangkap Jiwa serta-merta buyar
berantakan. Malah sosok Iblis Rangkap Jiwa dan Ni
Luh Padmi teriihat tersu-rut satu tindak!
Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh
Padmi serentak sama paiingkan kepala. Di lain pihak,
Lum-ba~iumba seolah tidak peduli dengan apa yang
baru saja terjadi. Orang ini terus saja perdengarkan
tangisan, malah begitu terdengar letupan, Lumba-
lumba tekuk kedua kakinya hingga jatuh terduduk!
Sesaat Lumba-lumba gerakkan kedua tangannya
pulang foalsk ke kir! kanan usap-usap sepasang
matanya. Lalu mendadak kedua tangannya
dikembangkan tepat di wajahnya. Dari sela jari-jari
tangannya sepasang matanya melirik.
Lalu terdengar suaranya di sela suara' tangisnya.
"Mataku tidak buta.... Tapi apa benar yang
kulihat?) Ada kakek-kakek yang masih suka dandan
bawa cermin ke sana kemari? Padahal.... Padahal
kulihat sepasang matanya putih! Bagaimana dia
melihat wajahnya di cermin?!"
Lumba-lumba rapatkan jari-jari tangannya. Suara
tangisnya diputus. Saat lain terdengar ledakan
tawanya!
Dari seberang terdengar gumaman. Lalu disusul
suara orang tertawa pelan. Tap! suara tawa itu makin
lama makin keras. Hingga tempat yang sejenak tadi
di-buncah suara tangisan Lumba-lumba berubah
menjadi buncahan suara tawa panjang bersahut-sahutan!
SELESAI
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
Segera ikuti lanjutan kisah ini! dalam episode:
BIDADARI CADAR PUTIH
0 comments:
Posting Komentar