..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE UTUSAN IBLIS

Joko Sableng Episode Utusan Iblis

 SATU


NENEK berwajah angker itu lari laksana dikejar 

setan. Namun mendadak dia menghentikan larinya 

dan secepat kilat putar diri lalu berlari balik dari mana 

dia tadi datang. 

Sejarak delapan tombak, si nenek kembali 

hentikan larinya. Kepalanya sedikit didongakkan. 

Kedua tangannya bergerak merangkap di depan 

dada. Tanpa putar pandangan mulutnya membuka 

perdengarkan bentakan keras. 

"Setan sekalipun kau adanya, kenapa pengecut 

mengikutiku secara sembunyi?!" 

Tak ada suara sahutan atau adanya gerakan tanda 

akan munculnya seseorang. 

SI nenek yang ternyata mengenakan pakaian 

panjang warna coklat dan tangan kanan 

menggenggam sebuah tusuk konde besar berwarna 

hitam dan tidak lain adalah Nl Luh Padml adanya 

tersenyum dingin. Masih tanpa gerakkan kepala, 

mulutnya kembali angkat bicara membentak. 

"Setiap orang selalu berusaha ingin dikenali 

meskipun sudah berkalang tanah. Apakah kau justru 

tak ingin dikenali walau nyawa masih di tubuhmu, 

hah?!" 

Sesaat Ni Luh Padml menunggu masih tanpa 

membuat gerakan apa-apa. Meski begitu, nenek ini 

maklum kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Malah 

dia tahu kalau orang yang diyakininya selalu 

mengikuti ke mana dia berlari tidak jauh dari 

tempatnya berdiri.


Apa yang diyakini si nenek tidak jauh meleset. 

Karena hanya sejarak sepuluh langkah dari 

tempatnya 

berdiri, satu sosok tubuh tampak mendekam sama 

rata dengan tanah di balik rimbun semak belukar 

dengan kepala menghadap ke arahnya, 

"Aku akan bicara sekail lagi. Keluar atau kau 

mampus tanpa dikenali!" 

Seraya berkata membentak, si nenek luruskan 

kepalanya yang berambut putih. Saat bersamaan 

rangkapan kedua tangannya dilepas. Tangan kir; 

diangkat tinggi, tangan kanan yang menggenggam 

tusuk kode besar ditarik sedikit ke belakang. Kejap 

lain tangan kirinya bergerak. 

Wuuuttt! 

Satu gelombang angin deras menggebrak ke arah 

semak belukar di mana orang mendekam sembunyi. 

Semak belukar terabas rata dan langsung 

bertaburan ke udara. Namun tidak terlihat adanya 

gerakan orang yang berkelebat membuat gerakan 

memangkas pukulan si nenek atau menghindar 

selamatkan diri. 

Sesaat Ni Luh Padml tampak slpltkan sepasang 

matanya yang melotot besar. Keningnya mengernyit. 

"Heran. Aku yakin orang yang mengikutiku sembunyi 

di balik semak belukar yang terkena pukulanku. Aku 

tidak melihat dia menangkis atau bergerak 

menghindar. Tapi kenapa suaranya tidak 

kudengar...?! Apa dia langsung mampus?!" 

Selagi si nenek tengah membatin, satu suara


terdengar. 

"Kau salah duga, Nek! Aku tidak mengikutimu. 

Mungkin kita hanya satu arah meski lain tujuan...." 

NI Luh Padmi bukan saja tersentak kaget, tapi 

laksana terbang dia berkelebat ke arah datangnya 

suara. 

Nl Luh Padmi tegak dengan mata terpentang dan 

mulut mendengus. Tapi diam-diam dia sebenarnya 

juga merasa heran. Dia tidak melihat adanya gerakan 

orang, tapi bukan saja pukulannya tidak mengenai 

sasaran orang yang diyakininya bersembunyi di balik 

semak belukar, namun di hadapannya kini tampak 

duduk seorang kakek bertubuh besar mengenakan 

pakaian gombrong berwarna hijau yang seolah acuh 

dan sepasang matanya terpejam rapat. Kakek ini 

mengenakan sebuah Ikat pinggang besar yang pada 

bagian perutnya terlihat cermin bulat. 

Rasa heran Ni Luh Padmi telah cukup membuat 

nenek Ini sadar bahwa kakek di hadapannya bukan 

manusia sembarangan. Namun merasa dirinya selalu 

diikuti, si nenek menjadi curiga. 

Seperti diketahui, setelah bertemu dengan 

Pendekar 131 dan tidak mendapatkan keterangan 

apa-apa, Ni Luh Padmi berkelebat mengejar ke arah 

mana murid Pendeta Sinting berkelebat. Tapi nenek 

ini pada akhirnya kehilangan jejak. Hingga dia hanya 

berlari menuruti kehendak kakinya. Namun diam-

diam si nenek jadi curiga saat dia merasa ada 

seseorang yang selalu mengikuti ke mana dia berlari. 

"Hem.... Mustahil kalau dia mengatakan searah 

denganku. Aku mengambil jalan semauku. Tapi dia


selalu menguntitku! Pasti ada sesuatu...." Ni Luh 

Padmi membatin. Lalu membentak. 

"Aku tanya. Ke mana sebenarnya tujuanmu?!" 

Kakek bertubuh besar dan bukan !ain adalah Gen-

deng Panuntun buka sepasang matanya. Di depan 

sana N i Luh Padmi terperanjat. 

"Matanya berwarna putih. Berarti dia buta! Tapi.... 

Dia tahu ke mana arah jalanku. Dia juga tahu aku 

seorang perempuan tua!" 

"Nek.... Ke mana tujuanku bukanlah satu hal 

penting. Yang jelas tujuanku tidak mencari seseorang 

yang belum kutahu di mana tempat tinggalnya...." 

Ni Luh Padmi makin beliakkan sepasang matanya. 

"Astaga! Dia bukan saja tahu ke mana arahku, tapi 

Juga tahu apa yang menjadi tujuanku! Kukira ini 

bukan satu kebetulan. Atau jangan-jangan dia 

seorang peramal.... Hem.... Kalau betul, tak ada 

salahnya aku tanya di mana beradanya orang yang 

tengah kucari...." 

Berpikir begitu, Ni Luh Padmi lalu buka mulut. 

"Ucapanmu membuatku menduga kau adalah 

seorang peramal. Benar?!" 

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Untuk 

kedua kalinya kau salah duga, Nek.... Aku bukanlah 

seorang peramal!" 

"Tapi ucapanmu seolah kau tahu apa yang kini 

tengah kualami!" 

"Ah.... Begitu? Jadi kau mencari orang yang belum 

kau ketahui di mana tempat tinggalnya?!"


"Betul!" 

"Hem.... Kau mau dengar ucapanku?" tanya 

Gendeng Panuntun. 

Sebenarnya Ni Luh Padmi enggan untuk 

mendengarkan ucapan orang. Namun setelah berpikir 

agak panjang, akhirnya nenek ini berucap. 

"Apa yang hendak kau katakan?!" 

"Kalau aku jadi kau, aku akan urungkan niat...." 

Ni Luh Padmi tegak dengan tubuh sedikit bergetar. 

Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. "Kau!" 

bentaknya dengan suara membahana. Tangan kirinya 

menunjuk lurus ke arah wajah Gendeng Panuntun. 

"Jangan berani menghalangiku! Siapa pun kau 

adanya!" 

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku tidak 

punya maksud menghalanglmu. Aku hanya berucap 

seandalnya...." 

Tapi maksudmu menghalangiku bukan?!" 

"Aku tidak punya maksud apa-apa dengan 

ucapanku. Kau hanya perlu mendengarkan. Itu pun 

kalau kau mau. Jika tidak, jangan diambil hati...." 

Untuk beberapa lama, baik NI Luh Padmi maupun 

Gendeng Panuntun sama-sama diam. Si nenek 

pandangi sosok orang dengan hati bertanya-tanya. 

Sementara Gendeng Panuntun dongakkan kepalanya. 

Lalu bergerak jangkit. Tangan kanannya mengusap 

cermin. Lalu berkata. 

"Perjalanan membawa dendam hanya akan 

mendatangkan bencana. Apalagi usia telah


menginjak senja. Apa tidak lebih ba'k melupakan apa 

yang pernah terjadi walau kadangkala hal itu 

memerlukan kesadaran tinggi?" 

"Manusia ini benar-benar tahu apa yang sedang 

dan hendak kulakukan! Tapi aku tak akan menabah 

niat! Apa pun yang akan terjadi pantang bagiku 

surutkan langkah!" Ni Luh Padmi berkata dalam hati. 

Lalu berucap. 

"Sayang sekali. Aku bukanlah orang yang dapat 

begitu saja melupakan apa yang pernah terjadi! 

Bahkan dalam perjalananku ini, aku telah siap 

menerima apa yang akan terjadi!" 

Gendeng Panuntun terlihat perdengarkan tawa 

pendek mendengar ucapan Ni Luh Padmi. "Orang bisa 

saja berkata siap menerima apa yang akan terjadi. 

Tapi sesungguhnya itu semua hanya dalam bentuk 

kata ka-

ta. Dalam hati kecil, justru yang ada adalah 

kebalikan dari kata-kata itu! Kalaupun orang terus 

melakukan niatnya, sebenarnya orang itu hanya 

bermain untung-untungan!" 

"Kata-katamu mungkin berlaku untuk orang lain. 

Bukan bagiku! Kau tahu, bukan satu dua tahun aku 

memiliki dendam ini! Bukan dua tiga tahun aku 

berjalan mencari tahu! Seandainya kau jadi aku, 

apakah kau akan pulang balik dengan membawa 

dendam yang semakin membara?!" 

"Tidak ada sesuatu yang dapat diselesaikan 

dengan dendam membara! Karena itu, tanpa 

mengandaikan diriku, kau akan bisa jawab sendiri 

pertanyaanmu jika kau mau sedikit berlapang dada


meredakan kobaran amarahmu...." 

"Jangankan kau, seribu orang sepertimu tak akan 

dapat merubah apa yang menjadi tujuanku! Jadi 

jangan terlalu banyak bicara tentang urusan 

dendamku! Kau dengar?!" 

"Baiklah.... Sekarang aku ingin tahu jawabanmu 

seandainya aku katakan kau tidak akan bisa lakukan 

dendammu. Malah tidak tertutup kemungkinan kau 

akan berurusan dengan orang yang sebelumnya tidak 

pernah terlintas dalam benakmu! Apa jawabmu...?" 

Ni Luh Padmi bukannya menjawab dengan kata-

kata melainkan dengan tertawa mengekeh panjang. 

"Kau memang bisa menebak tepat apa yang tengah 

dan akan kulakukan! Tapi kau sudah bicara ngelantur 

kalau hal itu kau tanyakan padaku!" 

"Hem.... Berarti kau belum siap menghadapi apa 

yang akan terjadi!" 

Ni Luh Padmi makin perkeras kekehan tawanya 

seraya berkata. 

"Semua manusia akan menemui ajal! Kalau orang 

takut mati, itu adalah manusia tolol yang otaknya 

perlu dicuci! Dan aku bukan bangsa manusia seperti 

itu!" 

"Aku tidak bicara soal kematian! Yang kukatakan 

adalah jalan yang akan menuju kematian! Dan hal itu 

mungkin masih akan kau lewati!" 

"Hem.... Kau kudengar selalu menakut-nakutlku. 

Apa sebenarnya yang kau mau?! Dan siapa kau 

sebenarnya?!"


"Kau selalu salah duga. Aku tidak menakut-nakuti. 

Semata-mata aku hanya berkata seandalnya! Dan 

jangan IUr>.t, seandainya yang sejak tadi kukatakan, 

untuk urusanmu ini tidak mustahil akan terjadi!" 

"Hem.... Jadi menurut ramalanmu, aku akan 

menemui kesulitan dalam urusanku ini. Begitu?!" "Aku 

tidak meramal...." 

"Kalau kau mengatakan apa yang akan terjadi 

pada diriku sebelum hal itu benar-benar terjadi, lalu 

itu kau namakan apa, hah?!" sentak Ni Luh Padmi. 

"Ah.... Terserah kau sajalah hendak kau sebut apa. 

Tapi yang jelas aku tadi mengatakan seandainya...." 

"Tapi nada ucapanmu seolah mengatakan hal itu 

akan benar-benar terjadi!" 

Kail Ini ganti Gendeng Panuntun yang 

perdengarkan tawa panjang seraya berkata. "Hati-

hati, Nek. Perasaan dan firasat seorang perempuan 

kadangkala akan jadi kenyataan...." 

"Persetan! Dalam perjalananku ini telah hilang 

segala macam perasaan dan firasat!" 

"Ah.... Kau masih juga berpura-pura.... Tapi itu 

semua urusanmu. Hanya sekali lagi kukatakan, 

seandainya aku jadi kau, aku akan pulang saja ke 

seberang daripada harus berurusan dengan orang-

orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya 

dengan urusan perjalananmu...." 

"Sialan benar! Dia juga tahu kalau aku datang dari 

seberang! Jangan-jangan ucapannya...." Diam-diam Ni 

Luh Padmi menjadi tidak enak dan gelisah. Dadanya 

berdebar. Namun nenek ini segera dapat


tenteramkan diri. Malah setelah berpikir agak 

panjang, dia berkata. 

"Kau telah mengenaliku meski aku yakin kita 

belum pernah jumpa. Apakah kau juga tahu di mana 

tempat tinggalnya seorang tokoh yang oleh kalangan 

orang rimba persilatan dikenal dengan gelar Pendeta 

Sinting?" 

Gendeng Panuntun usap cermin bulat dengan 

telapak tangan kanannya. Seraya menggeleng dia 

berujar. 

"Kau bertanya pada orang yang salah. Aku bukan 

dari kalangan orang persilatan. Jadi aku tidak tahu di 

mana orang yang kau tanyakan! Malah kalau tidak 

salah dengar, baru kali ini aku dengar nama orang 

yang baru saja kau sebut!" 

"Dia dapat hindarkan diri dari pukulanku tanpa aku 

mengetahuinya. Dia pun mengenaliku walau tidak 

pernah jumpa. Bohong kaiau dia mengatakan tidak 

mengenal Pendeta Sinting!" gumam Ni Luh Padmi 

dalam hati. Nenek ini terlihat hendak mengucapkan 

apa yang ada dalam hatinya. Namun mendadak 

diurungkan. "Jangan-jangan dia mencuri dengar 

pembicaraanku dengan murid Pendeta Sinting, 

lalu...." Si nenek tidak lanjutkan membatin. 

Sebaliknya buka muiut membentak. 

"Peramal busuk! Kau mencuri dengar 

pembicaraanku dengan murid Pendeta Sinting! Laiu 

kau purapura menjadi seorang peramal! Bajingan 

kurang ajar!" 

"Sejak tadi sudah kukatakan aku bukanlah 

peramal. Apalagi pura-pura jadi peramal. Lebih-lebih


aku tidak pernah mencuri dengar pembicaraanmu 

dengan orang yang kau katakan sebagai murid 

Pendeta Sinting...." 

"Hem.... Lalu kenapa kau mengikutiku? Apa hanya 

hendak mengatakan ramalan busukmu itu?!" 

"Tadi juga sudan kukatakan, aku tidak 

mengikutimu. Itu sen.us mungkin hanya perasaanmu 

saja, karena saat ini kau tengah melakukan 

pekerjaan yang membutuhkan sikap hati-hati. Maka 

kau selalu menaruh curiga pada setiap orang. Bahkan 

orang yang mengambil jalan searah... jadi aku 

maklum kalau kau menuduhku...." 

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun 

bungkukkan sedikit tubuhnya. Lalu kerjapkan 

sepasang matanya yang buta dan melangkah. 

"Aku ingin kebenaran ucapannya kalau dia 

memang bukan dari kalangan orang rimba 

persilatan!" desis NI Luh Padmi. Tangan kirinya ditarik 

ke belakang dan sekonyong-konyong disentakkan ke 

arah Gendeng Panuntun. 

Belum sampai tangan kiri si nenek menyentak, 

Gendeng Panuntun telah buka suara sambil teruskan 

langkah. 

"Tak ada sesuatu yang bakal selesai kalau jurinya 

adalah kekerasan...." 

NI Luh Padmi tidak hiraukan ucapan orang. Nenek 

ini teruskan sentakannya hingga baru saja ucapan 

Gendeng Panuntun selesai, satu gelombang angin 

dahsyat telah melesat siap menyapu sosok si kakek! 

Gendeng Panuntun mendongak. Saat bersamaan


tumitnya menghentak di atas tanah. Meski hentakan 

itu terlihat sangat pelan, tapi saat itu juga sosok 

besarnya melesat. 


--oo0dw0oo-- 


DUA 



NI Luh Padmi tersentak. Bukan saja pukulannya 

tidak menghantam sasaran. Namun sosok Gendeng 

Panuntun tahu-tahu sudah berada jauh di depan 

sana! Dan seolah tidak ada sesuatu yang baru saja 

terjadi, kakek Ini teruskan langkah dengan kepala 

tetap sedikit mendongak. 

Merasa dipandang remeh orang, Ni Luh Padml 

naik pitam. Didahului bentakan keras, kedua 

tangannya bergerak. Tangan kiri lepaskan pukulan 

jarak jauh, tangan kanan lepaskan tusuk konde 

hitamnya! 

Gelombang luar biasa dahsyat dan tusuk konde 

besar melesat angker ke arah Gendeng Panuntun. 

Tapi seolah tidak sedang dalam bahaya, Gendeng 

Panuntun masih enak-enak melangkah tanpa 

membuat gerakan sama sekali untuk menangkis atau 

menghindar, membuat si nenek mendesis dengan 

tersenyum dingin. 

Begitu gelombang angin dan tusuk konde lima 

jengkal lagi menerjang telak, Gendeng Panuntun 

balikkan tubuh. Tangan kanannya mengusap cermin 

bulat pada perutnya. 

Satu cahaya putih berkilat tampak melesat keluar. 

Saat lain terdengar ledakan. Gelombang angin yang 

keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi laksana disapu


gelombang besar dan semburat berantakan ke udara. 

Tusuk konde besar milik si nenek sesaat terlihat 

tertahan di udara. Namun bersamaan dengan 

terdengarnya ledakan, tusuk konde hitam itu mental 

balik, malah kini lurus ke arah si nenek! 

Ni Luh Padmi melengak dan buru-buru berkelebat 

ke samping untuk hindarkan diri. Begitu selamat dari 

tusukan kondenya sendiri, belum sampai kedua 

kakinya menginjak tanah, laksana terbang nenek 

berwajah angker itu meiesat seraya gerakkan tangan 

kanan membuat gerakan menarik. 

Tusuk konde hitam yang baru saja lewat berputar 

haluan lalu menderu pelan ke arah tangan kanan Ni 

Luh Padmi. 

"Pertunjukan hebat!" satu suara memuji terdengar. 

"Suaranya jelas suara orang laki-laki. Tapi aku 

yakin bukan suara orang buta tadi!" Ni Luh Padmi 

cepat sentakkan kepalanya ke arah sumber suara 

yang baru saja terdengar. 

Tidak jauh dari tempatnya, si nenek melihat 

seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam 

dengan sebuah tongkat kayu di tangan. Laki-laki ini 

tidak bisa dikenali wajahnya dengan jelas karena dia 

mengenakan caping lebar yang dikenakan agak 

dalam pada kepalanya. Hingga yang kelihatan hanya 

bagian bawah wajahnya. 

Meski si nenek tampak terkejut dengan 

kemunculan orang, tapi dia hanya sejurus 

memandang. Saat lain kepalanya berpaling. 

Sepasang matanya mendelik tak berkesip. Mulutnya 

mendesis. "Keparat! Ke mana peramal busuk tadi...?


Dia bukan saja orang kalangan dunia persilatan. Tapi 

kuyakin dia adalah seorang tokoh di tanah Jawa ini! 

Apakah dia benar-benar orang yang mengambil jalan 

searah denganku? Tapi... dari ucapan-ucapannya, dia 

bukan hanya orang yang mengambil jalan searah 

denganku! Ada maksud lain dia membuntutiku.... Tapi 

apa maksudnya? Aku tidak mengenalnya! Aku tidak 

punya urusan dengannya! Aku harus mengikutinya...." 

Ni Luh Padmi segera berkelebat. Namun gerakan 

si nenek tertahan tatkala terdengar suara. 

"Kita belum sempat berkenalan. Mengapa buru-

buru hendak pergi?!" 

Ni Luh Padmi berpaling pada laki-laki bercaping 

lebar dengan tatapan dingin. Mulutnya terkancing 

rapat tidak sambuti ucapan orang. Namun hanya 

sekejap. DI lain saat mulutnya membuka 

perdengarkan bentakan keras. 

"Siapa kau?!" 

"Ah. Ucapan perkenalanmu kasar! Apa karena 

masih...." 

Ucapan laki-laki bercaping lebar belum selesai, Ni 

Luh Padmi sudah menukas dengan bentakan. "Aku 

tanya siapa kau! Jangan banyak bicara!' 

Laki-laki bercaping lebar terdiam. Tongkat di 

tangan kanannya diangkat. Ujung tongkat kayu 

ditusukkan pada ujung caping lebarnya. Sepasang 

mata laki-laki Ini sejurus memandang sosok si nenek. 

Lalu tongkat kayunya diturunkan kembali, hingga 

kembali wajahnya yang baru saja hampir terlihat jelas 

tertutup lagi caping lebar. Tak lama kemudian


mulutnya bergerak membuka. 

"Aku seorang pengelana pembawa amanat maut!" 

Si nenek cibirkan mulut lalu tertawa panjang. Puas 

tertawa dia berujar. 

"Sayang.... Kau bukan orang yang kucari!" 

Habis berujar begitu, si nenek kembali hendak 

berkelebat. Tapi laki-laki bercaping bergerak 

mendahului dan tahu-tahu telah tegak dengan sikap 

menghadang di hadapannya. 

"Aku memang bukan orang yang kau cari! Tapi 

amanat mautku berlaku pada siapa saja, termasuk 

kau!" 

"Orang gila!" desis si nenek. Lalu menghardik. "Kau 

salah besar kalau masukkan diriku dalam amanat 

mautmu! Sebelum kau laksanakan amanat gilamu, 

nyawamu akan putus!" 

Kini balik laki-laki bercaping lebar yang tertawa 

bergelak panjang. 

Tidak seorang pun akan lolos dari amanat yang 

kuemban!" 

"Hem.... Begitu?! Kau tahu sedang bicara dengan 

siapa?!" tanya Ni Luh Padmi dengan busungkan dada 

dan rangkapkan tangan. 

"Amanat mautku tidak peduli siapa adanya orang!" 

Sebenarnya Ni Luh Padmi sudah kesal melihat 

sikap laki-laki bercaping lebar apalagi dengan 

kemunculannya, mau tak mau niatnya mengejar 

Gendeng Panuntun jadi terhalang. Namun mendengar


ucapan si laki-laki bercaping, nenek Ini jadi 

penasaran. Dia menduga apa yang tengah dilakukan 

si laki-laki bercaping tidak jauh dari apa yang kini 

tengah dilakukan. 

"Kalau boleh tahu, siapa yang memberimu amanat 

begitu angker?!" 

"Itu pertanyaan yang tidak akan terjawab! Malah 

jika kau tanyakan hal itu sekali lagi, jawabannya 

adalah maut dua kali!" 

"Hebat! Apakah orang akan dijawab maut tiga kali 

jika tanya siapa namamu?!" sambil ajukan tanya, si 

nenek tampak sunggingkan senyum mengejek. 

"Kau salah! Justru aku akan senang hati katakan 

siapa diriku!" 

Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar 

angkat tangan kirinya. Caping lebar yang menutupi 

sebagian wajah dan kepalanya diangkat. 

Dari bagian belakang laki-laki bercaping tampak 

tergerai rambut panjang hitam sebatas bahu. Lalu si 

nenek melihat wajah seorang pemuda tampan 

bermata tajam berahang kokoh. Bibir yang tersenyum 

aneh dan hidung sedikit mancung. 

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" kata si pemuda. 

Mungkin melihat usia orang, Ni Luh Padmi yang 

sejenak tadi masih merasa sedikit khawatir, kini 

pandangi orang dengan sikap sebelah mata. Malah 

begitu mendengar si pemuda yang tidak lain memang 

Malaikat Penggali Kubur adanya sebutkan diri, dia 

tertawa panjang.


"Sayang sekali.... Pemuda tampan sepertimu 

hanya jadi tukang gaii kubur.... Apa tidak ada kerja 

lain yang sesuai?! Pantas kau tadi mengatakan orang 

pengelana yang membawa amanat maut dan amanat 

mautmu itu berlaku bagi siapa saja. Tidak tahunya 

kalau kau seorang penggali kuburan...." 

Malaikat Penggali Kubur campakkan caping 

lebarnya. Sepasang matanya menatap tajam dengan 

rahang mengembang. 

"Dengar, Nenek Peot! Aku memang seorang 

penggali kubur. Tapi bukan sembarang orang yang 

kumasukkan dalam lobang galian kuburku!" 

"Oh.... Jadi siapa saja yang akan kau masukkan?!" 

tanya si nenek masih dengan nada mengejek. 

Malaikat Penggali Kubur mendengus dahulu 

sebelum menjawab. 

"Siapa saja yang kumau! Bahkan tidak tertutup 

kemungkinan dirimu!" 

"Mengapa kau juga menginginkan diriku? Apa ada 

hal istimewa padaku?!" 

"Di hadapanku, kau bukanlah berarti apa-apa! Kau 

juga tidak memiliki keistimewaan! Kalaupun aku 

inginkan kau, semata-mata karena kau dari kalangan 

rimba persilatan!" 

"Hem.... Jadi kau hanya menggali kubur bagi orang 

kalangan persilatan?" 

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Tidak 

salah! Mereka memang telah kusiapkan tanah untuk 

kuburan!'


"Nada bicaramu sepertinya kau ingin jadi raja di 

dunia persilatan!" ujar Ni Luh Padmi. 

"Sejak saat ini Malaikat Penggali Kubur sudah jadi 

raja dunia persilatan!" 

Kali ini Ni Luh Padmi perdengarkan tawa sangat 

keras. "Gelarmu masih baru saja kudengar. Tapi kau 

telah memaklumkan diri sebagai raja dunia 

persilatan! Apa kau tidak salah ucap? Atau barangkali 

jangan-jangan telingaku yang salah dengar...." 

"Aku tidak salah ucap! Telingamu juga tidak salah 

dengar! Malaikat Penggali Kubur adalah raja dunia 

persilatan!" 

"Mimpimu terlalu tinggi, Anak Muda! Kusarankan 

kau untuk tidak tidur terlalu sore! Lebih dari itu, kau 

harus tahu siapa yang sedang kau hadapi! Jika itu 

kau lakukan, matamu akan terbuka dan mulutmu 

tidak akan bicara ngelantur!" 

"Kau terlalu berani bicara tinggi di hadapanku! 

Sebelum kusiapkan lobang kuburmu, kau mau 

katakan siapa dirimu?!" 

"Agar matamu terbuka, aku tak segan jawab apa 

yang kau minta. Dengar baik-baik! Aku adalah Ni Luh 

Padmi!" 

"Hem.... Mendengar namamu, sepertinya kau 

datang dari seberang timur! Datang dari jauh tentu 

ada sesuatu yang kau cari!" 

"Itu* urusanku! Yang jelas harap kau tahu, rimba 

persilatan tidak hanya terbatas di tanah Jawa. Jadi 

untuk menjadi raja rimba persiiatan, setidaknya kau 

harus tahu, di luar sana masih banyak rimba


persilatan yang harus kau lewati!" 

"Aku punya kaki dan tangan untuk melewatinya!" 

sahut Malaikat Penggali Kubur. 

"Hem.... Kau kira cukup dengan kaki dan tangan 

untuk melewatinya?!" 

"Aku punya kekuatan! Tapi kalau menghadapimu, 

kukira aku hanya perlu tangan satu!" 

Ni Luh Padmi tampak tegak dengan tubuh sedikit 

bergetar. "Hem.... Hampir berpuiuh tahun aku 

meninggalkan tanah Jawa. Apakah waktu sesingkat 

itu telah dapat melahirkan tokoh-tokoh luar biasa? 

Atau beberapa puluh tahun lalu mereka tidak 

menampakkan diri? Sudah tiga orang yang kutemui. 

Pertama murid Pendeta Sinting. Kedua laki-laki buta 

peramal itu! Walau belum benar-benar bentrok, tapi 

kuyakin kedua orang tadi memiliki ilmu tidak rendah! 

Apakah orang ketiga ini juga memiliki ilmu? Bicaranya 

sangat tinggi! Apa demikian pula bekal yang 

dimilikinya?!" 

Selagi Ni Luh Padmi membatin, Malaikat Penggali 

Kubur tiba-tiba perdengarkan bentakan. "Siapa yang 

kau cari di tanah Jawa ini?!" 

Sebenarnya Ni Luh Padmi tidak mau menjawab 

pertanyaan Malaikat Penggali Kubur. Tapi setelah 

berpikir sejenak, akhirnya si nenek berkata juga. 

"Kau kenal dengan Pendeta Sinting?!" 

"Apa hubunganmu dengan orang itu?!" Malaikat 

Penggali Kubur malah balik bertanya. 

"Aku tanya. Apa kau kenal Pendeta Sinting?!" Ni


Luh Padmi kembali ajukan tanya. 

"Dia adalah salah satu manusia yang lobang 

kuburnya telah kusiapkan! Malah untuk dia dan 

muridnya, sengaja kusiapkan lobang khusus!" 

"Kau sepertinya punya dendam pada keduanya...." 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Bukan 

hanya pada keduanya. Namun para sahabat-

sahabatnya juga telah kusiapkan lobang kubur lain 

daripada yang lain!" 

Malaikat Penggali Kubur sengaja berkata begitu 

karena masih menduga kalau Ni Luh Padmi punya 

hubungan sahabat dengan Pendeta Sinting. 

"Kau tahu di mana tempat tinggalnya Pendeta 

Sinting?" 

"Apa hubunganmu dengan manusia sinting itu?!" 

"Lebih dari apa yang kau katakan! Kalau kau telah 

siapkan lobang kubur untuknya, aku telah siapkan 

tangan untuk mencabut nyawanya!" 

"Ha.... Ha.... Ha...! Kau tahu siapa orang itu?!" 

"Aku tak akan jauh datang bila tidak tahu siapa 

orang yang akan kuhadapi!" 

"Hem.... Berarti bekalmu sudah cukup!" 

"Tidak hanya cukup. Tapi lebih!" 

"Saat aku datang, tampaknya kau sedang 

mengalami pengalaman tidak enak. Apa sebenarnya 

yang tengah terjadi saat itu?!" 

"Peramal busuk itu...," desis Ni Luh Padmi dalam


hati. Lalu bertanya. "Kau kenal seorang peramal 

buta?!" 

Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Namun 

saat lain pemuda murid Bayu Bajra ini tertawa. 

"Duniaku bukan dunia ramal meramal!" 

"Berarti pengetahuanmu masih dangkal! Kalau 

begitu, bagaimana kau akan jadi raja rimba 

persilatan?!" 

"Jahanam! Apa maksudmu?!" 

"Orang yang baru kukatakan bukan hanya sekadar 

seorang peramal biasa! Tapi kuyakin dia adalah 

seorang tokoh yang ilmunya tidak dapat dipandang 

remeh!" 

"Hem.... Menghadapi seorang peramal saja kau 

terlihat kalang kabut. Bagaimana kau akan 

menghadapi Pendeta Sinting?!" 

Kini ganti Ni Luh Padmi yang pasang tampang 

berang. Tapi mungkin karena tidak Ingin membuat 

masalah dengan orang lain sebelum urusannya 

sendiri selesai, si nenek menindih rasa geramnya. 

Lalu tanpa memandang dan berkata apa-apa lagi, dia 

melangkah hendak tinggalkan tempat itu. 

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek sambil 

berkata. 

"Kau kira pertemuan ini hanya akan berakhir 

begitu saja?!" 

Laksana disentak setan, Ni Luh Padmi cepat putar 

tubuh menghadap Malaikat Penggali Kubur. "Lalu apa 

yang kau minta dari akhir pertemuan ini, nah?"


"Aku telah maklumkan diri sebagai raja dunia 

persilatan! Tapi tidak cukup bagimu hanya mengakui 

saja! Lebih dari itu...." 

"Selama hidup, aku tidak pernah dan tidak akan 

pernah mengakui seseorang sebagai raja dunia 

persilatan!" tukas NI Luh Padmi memotong ucapan 

Malaikat Penggali Kubur. 

"Begitu?! Kau telah perhitungkan ucapanmu?!" 

"Hanya manusia dungu yang melakukan 

perjalanan jauh tanpa perhitungan!" 

"Bagus! Berarti kau telah perhitungkan kalau 

berhadapan denganku!" 

"Anak muda! Sebenarnya kau tidak termasuk 

dalam hitunganku. Tapi jika kau memaksakan diri, 

jangan kira aku segan menghadapi apa yang kau 

mau!"

 

--oo0dw0oo-- 


TIGA 


MUNGKIN untuk menjajaki orang, habis berkata Ni 

Luh Padmi langsung gerakkan tangan kirinya. 

Di lain pihak, karena telah membekal Kitab Hitam, 

Malaikat Penggali Kubur hanya memandang sebelah 

mata pada orang. Hingga meski si nenek telah 

kirimkan serangan, dia belum terlihat membuat 

gerakan. 

Sikap Malaikat Penggali Kubur membuat Ni Luh 

Padml makin tampak berang. Hingga belum sampai 

pukulan tangan kirinya menggebrak sasaran, 

tubuhnya telah melesat ke arah si pemuda dengan


tangan kiri lakukan pukulan ke arah kepala! 

Sementara tangan kanan yang menggenggam tusuk 

konde tetap berada di depan dada. 

Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur baru 

membuat gerakan begitu angin pukulan yang melesat 

dari tangan kiri si nenek dua jengkal lagi 

menghantam tubuhnya. 

Dengan hanya memindah sepasang kakinya satu 

tindak, angin pukulan dari Ni Luh Padmi melesat 

lewat menggebrak tempat kosong. Namun Malaikat 

Penggali Kubur tidak bisa tinggal diam lagi, karena 

begitu pukulan jarak jauh si nenek lewat, Ni Luh 

Padmi telah datang dengan tangan kiri berkelebat 

angker. 

Kali ini Malaikat Penggaii Kubur tidak hindari 

pukulan lawan. Sebaliknya iangsung angkat tangan 

kanannya. 

Bukkkk! 

Terdengar benturan keras. Entah karena saling 

memandang remeh pada orang, begitu tangan 

mereka beradu bentrok, keduanya sama tersentak. 

Tapi karena sama-sama tidak mau perlihatkan 

tampang kaget, mereka berdua cepat sembunyikan 

perasaan dengan tersenyum. 

'Tampaknya dia memang membekal ilmu.... Kalau 

dia punya dendam pada Pendeta Sinting, aku bisa 

memanfaatkannya!" Malaikat Penggali Kubur 

membatin. DJ lain pihak, diam-diam Ni Luh Padmi 

juga berkata dalam hati. "Tak kusangka kalau dalam 

waktu beberapa puluh tahun, telah muncul orang-

orang yang berilmu tidak rendah! Aku harus lebih


berhati-hati! Tidak mustahil ilmu Pendeta Sinting 

telah jauh meningkat daripada waktu lalu!" 

Setelah berpikir sejurus, Ni Luh Padmi kerahkan 

tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Sadar kalau 

lawan yang dihadapi membekal ilmu, dia lipat 

gandakan tenaga dalamnya. Di lain pihak, Malaikat 

Penggali Kubur juga tidak mau bertindak ayal. Dia 

maklum kalau si nenek benar-benar telah siapkan diri 

dalam melakukan perjalanan ini. Maka dia cepat pula 

kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya. 

Kejap lain, hampir secara bersamaan Malaikat 

Penggali Kubur dan Ni Luh Padmi sama berkelebat ke 

depan. Tangan masing-masing bergerak. 

Desss! Desss! 

Di atas udara, sosok kedua orang ini tampak 

mencelat mental. Kedua tangan masing-masing orang 

laksana dihempaskan hingga pulang baiik ke 

belakang. Namun Ni Luh Padmi tidak mau dipandang 

remeh. Belum sampai sosoknya menginjak tanah, dia 

kembali berkelebat. Mungkin kat-ena kedua 

tangannya masih terasa ngilu, kini seraya berkelebat, 

kedua kakinya membuat gerakan menerjang di udara. 

Melihat apa yang gilakukan si nenek, Malaikat 

Penggali Kubur tidak may berdiam diri. Sosoknya yang 

terlebih dahulu menginjak tanah segera pula melesat 

ke udara dengan kaki diangkat. 

Desss! Desss! Deesssi Deess! 

Terdengar benturan keras beberapa kali di udara. 

Tubuh masing-masing orang sama terdorong ke 

belakang. Tapi karena sudah memperhitungkan


segalanya, begitu sosoknya tersapu, n; Luh Padmi 

cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. La)u 

didahului bentakan keras, si nenek melesat kembali 

ke depan. DI depan sana, Malaikat Penggali Kubur 

gerakkan kedua bahunya. Saat itu juga sosoknya 

melesat menghadang si nenek dengan kaki 

menendang 

Untuk beberapa saat terdengar kembali beberapa 

kali benturan keras saat Sepasang kaki si nenek 

saling menendang dengan sepasang kaki Malaikat 

Penggali Kubur. Dan suara benturan baru berhenti 

ketika sosok keduanya sama terpelanting ke 

belakang lalu sama-sama jatuh terduduk di a|as 

tanah. 

Ni Luh padmi seger$ pe|ototkan mata meneliti 

tangan dan kakinya. Wajahnya berubah pucat pasi. Di 

seberang sana, Malaikat Penggali Kubur berbuat 

sama. Namun pemuda murij Bayu Bajra ini cepat 

bangkit berdiri. Kedua tangannya berkacak pinggang 

dengan bibir suciggingkan senyu^ seringai. 

Melihat lawan telah {egak malah berkacak 

pinggang, Ni Luh Padmi mer%ngiUS keras lalu 

bangkit. Tangan kanannya yang menggenggam tusuk 

konde besar ditarik ke belakang. 

"Aku akan membiarkan dia hidup...," desis 

Malaikat Penggali Kubur sambil perhatikan gerakan si 

nenek. 

Ni Luh Padmi tidak menunggu lama. Nenek ini 

tampaknya ingin segera selesaikan urusan. Pada 

mulanya dia memang tidak berniat membuat urusan 

terlalu jauh. Namun melihat si pemuda tidak main


main, niatnya seketika berubah. 

"Sebenarnya kita bisa bekerja sama, Anak Muda! 

Tapi semuanya sudah terlambat!" teriak Ni Luh 

Padmi. Belum sampai suaranya selesai, sosoknya 

melompat ke depan. Tangan kiri kanannya bergerak. 

Tangan kiri kirimkan pukulan jarak jauh mengandung 

tenaga dalam tinggi, tangan kanan lepaskan tusuk 

kondenya. 

Entah karena menginginkan si nenek tetap hidup, 

Malaikat Penggali Kubur tidak langsung memangkas 

serangan lawan dengan arah lurus. Karena jika hal itu 

dilakukan dan si nenek gagal membendung 

serangannya, maka tak ampun lagi nyawa si nenek 

tidak akan tertolong. 

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur 

cepat melompat ke arah samping kanan. Selain untuk 

selamatkan diri dari gelombang angin yang keluar 

dari tangan kiri Ni Luh Padmi, juga untuk menjaga 

agar pukulan yang hendak dilepas tidak langsung 

menghantam telak ke arah si nenek. 

Gelombang angin memang menggebrak udara 

kosong. Tapi tidak demikian halnya dengan tusuk 

konde besar. Begitu Malaikat Penggali Kubur 

melompat, Ni Luh Padmi gerakkan tangan kanannya 

ke arah mana si pemuda melompat. Tusuk konde 

yang tadi melesat iu-rus mendadak berbelok dan kini 

lurus ke arah Malaikat Penggali Kubur! 

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap. 

Sementara Ni Luh Padmi terlihat sunggingkan 

senyum. Malah nenek ini perdengarkan tawa 

perlahan tatkala Malaikat Penggali Kubur hanya


gerakkan tangan mengusap bagian perutnya. Bahkan 

si nenek terlihat tertawa mengekeh panjang tatkala 

begitu tangan kanan Malaikat Penggali Kubur 

mengusap bagian perutnya, tidak terlihat adanya 

gelombang angin. Justru yang terdengar hanyalah 

suara deruan pelan. 

Namun di lain saat mendadak suara tawa NI Luh 

Padmi terputus. Sepasang matanya mendelik angker 

tanpa berkesip. Karena laksana dilanda gelombang 

luar biasa dahsyat, tusuk konde hitam milik si nenek 

yang menderu ke arah Malaikat Penggali Kubur 

berputar di udara lalu sekonyong-konyong mental 

balik! 

Untung Malaikat Penggali Kubur telah melompat 

dan berada di sebelah samping Ni Luh Padml. Jika 

tidak, mungkin saja mentalan balik tusuk konde 

hitam akan lurus ke arah si nenek. Namun meski si 

nenek tidak berada lurus dengan tegaknya Malaikat 

Penggali Kubur, tak urung juga gelombang dahsyat 

yang tidak terlihat sempat menyapu tubuh si nenek. 

Hingga begitu tusuk konde mental balik, sosok si 

nenek terseret beberapa tindak ke belakang. - 

Ni Luh Padmi tersentak. Cepat dia kerahkan 

tenaga dalamnya untuk kuasai diri agar tidak jatuh. 

Begitu dapat kuasai diri, nenek ini angkat tangannya 

membuat gerakan menarik. 

Tapi si nenek terlihat melengak. Meski dia sudah 

lipat gandakan tenaga dalamnya untuk menarik tusuk 

konde hitamnya yang mental balik, namun tusuk 

konde Itu terus menderu cepat. Tusuk konde baru 

terhenti tatkala menghantam sebuah batu.


Brrakkk! 

Batu agak besar itu langsung pecah berantakan. 

Tusuk konde luruh ke atas tanah. 

Mungkin takut Malaikat Penggali Kubur akan 

berkelebat mengambil tusuk kondenya, laksana 

terbang Ni Luh Padmi cepat melesat. Tangan 

kanannya menyambar tusuk konde yang tergeletak di 

atas tanah. 

Namun untuk kesekian kalinya si nenek terkesiap. 

Tangan kanannya yang memegang tusuk konde 

terasa panas bukan alang kepalang. Malah saat itu 

juga Ni Luh Padmi segera lepaskan tusuk kondenya 

kembali. 

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. Lalu 

ikut melesat dan tegak sepuluh langkah di samping si 

nenek. 

"Kalau mau, tidak sulit tanganku membuat 

tubuhmu seperti tusuk kondemu! Tapi kali ini 

nasibmu masih baik...!" 

Dengan masih sembunyikan rasa kaget, Ni Luh 

Padmi berpaling pada Malaikat Penggali Kubur. Untuk 

beberapa lama nenek ini pandangi orang dengan 

paras tidak habis mengerti. 

"Pemuda ini sungguh tidak kusangka sama sekail! 

Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau dia 

sengaja tidak lakukan serangan lagi, mungkin dia ada 

maksud lain...." 

Malaikat Penggali Kubur melangkah dua tindak. 

"Kau telah dengar ucapanku kalau kali ini nasibmu 

masih baik. Tapi jangan merasa senang dahulu....


Nasib baikmu masih tergantung!' 

Meski sudah maklum siapa adanya orang yang kini 

dihadapi namun si nenek tidak begitu saja tunjukkan 

tampang pasrah. Dengan alihkan pandangannya ke 

jurusan lain, dia membentak. 

"Tergantung apa?!" 

"Meski aku sudah yakin tidak ada orang yang 

dapat menandingiku, namun aku masih perlu orang 

seperti-mu!" 

"Perjalananku tidak untuk bekerja sama 

denganmu!" 

"Nasib orang biasanya lain dengan apa yang 

direncanakan! Kau memang tidak mengadakan 

perjalanan untuk bekerja sama denganku. Tapi nasib 

telah berkehendak lain. Bukan saja kau harus bekerja 

sama denganku, tapi kau mulai saat ini harus siap 

lakukan apa yang kuperintahkan!" 

Karena tidak menduga akan ucapan Malaikat 

Penggali Kubur, si nenek terlihat surutkan langkah ke 

belakang satu tindak. Mendadak dia teringat akan 

ucapan Gendeng Panuntun beberapa saat yang lalu. 

"Astaga! Jangan-jangan ucapan peramal buta itu 

akan menjadi kenyataan. Aku akan berurusan dengan 

orang yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam 

benakku?" 

Selagi Ni Luh Padmi membatin begitu, Malaikat 

Penggali Kubur angkat bicara. "Kau tak usah berpikir 

dua kali! Ini satu keharusan! Kalau tidak...." Malaikat 

Penggali Kubur tidak lanjutkan ucapannya. 

Sebaliknya pemuda murid Bayu Bajra ini tersenyum


aneh sambil angkat tangan kanannya ke atas perut. 

Seakan tahu apa yang hendak dilakukan Malaikat 

Penggali Kubur, Ni Luh Padmi cepat-cepat berkata. 

"Tunggu!" 

"Aku tak mau dengar alasan apa pun! Sekarang 

aku perintahkan kau berlutut dan bersumpah akan 

lakukan apa yang kuperintahkan!" 

Tampang Ni Luh Padmi berubah merah padam. 

Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Tubuhnya 

bergetar. Namun sebelum nenek ini sempat 

perdengarkan suara, Malaikat Penggali Kubur telah 

membentak. 

"Cepat laksanakan apa yang kukatakan!" 

Ni Luh Padmi pandangi Malaikat Penggali Kubur 

dengan mata melotot. Baru kali ini selama hidupnya 

dia dihina orang begitu rupa. Hingga meski merasa 

dalam keadaan terjepit, namun si nenek tidak 

langsung begitu saja lakukan apa yang dikatakan 

Malaikat Penggali Kubur. Sebaliknya dia kerahkan 

tenaga dalam dan bertekad hendak mengadu jiwa 

daripada harus melakukan apa yang diperintahkan 

orang. 

Melihat si nenek tetap tegak, Malaikat Penggali 

Kubur menyeringai. Lalu berujar dengan suara keras. 

"Aku tidak punya waktu banyak! Cepat berlutut!" 

NI Luh Padmi sejenak masih tetap tegak. Namun 

sesaat kemudian, dia bergerak lakukan apa yang 

dikatakan Malaikat Penggali Kubur. Tapi laksana kilat 

tangan kanannya menyambar tusuk kondenya yang


tergeletak di atas tanah. 

Rupanya apa yang terpendam dalam pikiran Ni 

Luh Padmi sudah dibaca oleh Malaikat Penggali 

Kubur. Hingga sebelum si nenek sempat menyentuh 

tusuk kondenya, Malaikat Penggali Kubur sudah 

keluarkan sentakan. 

"Sekali kau bergerak menyentuh tusuk konde, ke-

putusanku berubah!" 

Gerakan tangan kanan Ni Luh Padmi tertahan. 

Malaikat Penggali Kubur memandang dengan senyum 

dingin. Tiba-tiba pemuda ini bergerak satu kali. Tahu-

tahu sosoknya telah melesat ke arah si nenek. Belum 

sempat si nenek lakukan gerakan apa-apa satu 

tendangan telah menghantam tubuhnya! 

Bukkkk! 

Ni Luh Padmi berseru tertahan. Sosoknya 

terpelanting dan terkapar sama rata dengan tanah. 

Belum sampai Ni Luh Padmi membuat gerakan 

bangkit, satu telapak kaki telah berkelebat. Si nenek 

tersentak. Karena tahu-tahu tubuhnya tak dapat 

digerakkan karena dadanya telah ditekan kaki kiri 

Malaikat Penggali Kubur! 

"Katakan apa yang kau minta!" hardik Malaikat 

Penggali Kubur. 

Ni Luh Padmi hanya memandang dengan mulut 

terkancing. Yang terlintas dalam benaknya bukan apa 

yang kini tengah dihadapi, melainkan dia teringat 

akan semua ucapan Gendeng Panuntun. 

"Apakah aku harus lakukan apa yang dikatakan


pemuda ini, lalu urungkan niat mencari Pendeta 

Sinting? Tapi.... Bukankah berarti dendamku tidak 

terlaksana?!" 

"Baik! Kau tidak jawab tanyaku. Berarti aku bisa 

semauku hendak berbuat apa padamu!" seraya 

berkata, Malaikat Penggaii Kubur angkat tangan 

kanan kirinya. 

"Tahan! Aku.... Aku akan lakukan apa yang kau 

katakan!" seru Ni Luh Padmi dengan suara tersendat 

dan bergetar. Nenek ini tampaknya sudah maklum 

apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur. 

Dia juga sadar, manusia seperti Malaikat Penggali 

Kubur tidak akan bicara main-main. 

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kedua 

tangannya diturunkan ke pinggang. Lalu kaki kirinya 

yang menginjak dada si nenek disentakkan ke 

samping. 

Seraya berkacak pinggang, Malaikat Penggali 

Kubur membentak. "Cepat berlutut!" 

Dengan tubuh bergetar menahan gejolak amarah, 

perlahan-lahan Ni Luh Padmi bangkit duduk. Lalu 

bungkukkan tubuh membuat sikap seperti orang 

menghadap penguasa kerajaan. 

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Tetap 

dengan sikapmu sampai aku selesai bicara!" 

sentaknya saat dilihat Ni Luh Padmi hendak tarik 

tubuhnya ke atas. 

Entah karena merasa perlakuan Malaikat Penggali 

Kubur sudah sangat terlalu, Ni Luh Padmi tidak 

pedulikan ucapan si pemuda. Dia tetap angkat


tubuhnya ke atas. 

Namun si nenek tidak dapat lakukan gerakannya 

lebih lanjut. Karena tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur 

sudah sapukan kaki kanannya ke tengkuknya. Hingga 

bukan saja membuat gerakan tubuh si nenek 

tertahan, tapi juga laksana dihempaskan, tubuh 

bagian atas Ni Luh Padmi tersentak deras ke depan 

dan menghantam tanah! 

"Jangan kau sia-siakan kesempatan yang 

kuberikan! Namun jangan coba-coba berani merubah 

kesempatan itu! Kau dengar?!" 

Karena masih merasa sakit pada kepalanya yang 

baru saja menghantam tanah, ditambah dengan rasa 

geram yang makin mendera dadanya, Ni Luh Padmi 

tidak menjawab. Dia hanya angkat sedikit kepalanya 

dari tanah dengan mata melirik tajam. 

"Aku tanya. Apa kau masih inginkan nyawa 

Pendeta Sinting?!" tanya Malaikat Penggali Kubur 

tanpa memandang. 

"Apa pedulimu?!" ujar Ni Luh Padmi. 

Mendengar jawaban si nenek, Malaikat Penggali 

Kubur bukannya tampak geram meski nada suara Ni 

Luh Padmi terdengar setengah mengejek. Sebaliknya 

Malaikat Penggali Kubur malah teruskan gelakan 

tawanya lalu berkata. 

"Dengar! Karena dendammu itulah, kau kuberi 

kesempatan hidup!" 

"Hem.... Kau akan memperalatku?!" tanya Ni Luh 

Padmi.


"Jahanam! Sekali lagi kau bertanya, kau akan 

menyesal! Hidup matimu sekarang ini ada di 

tanganku!" 

Malaikat Penggali Kubur bukan hanya bicara. 

Namun kaki kanannya ikut serta berkelebat. 

Bukkk! 

Ni Luh Padmi terjengkang jungkir balik lalu 

terkapar di atas tanah dengan bibir keluarkan darah. 

"Dengar, Tua Bangka! Sebelum purnama ini akan 

ada satu pertemuan! Kau kuberi kesempatan untuk 

laksanakan dendammu!" 

Meski merasa berang dengan tindakan Malaikat 

Penggali Kubur, namun begitu mendengar ucapan si 

pemuda, Ni Luh Padmi bangkit duduk. Sesaat dia 

pandangi Malaikat Penggali Kubur. 

"Sebenarnya kedua tanganku mampu berbuat apa 

yang kau lakukan! Tapi tak enak rasanya kalau tidak 

membagi darah manusia-manusia macam Pendeta 

Sinting dengan sahabat yang melakukan perjalanan 

jauh sepertimu!" 

"Di mana pertemuan itu?!" 

"Kau tak usah bertanya kapan dan di mana! Yang 

harus kau lakukan saat ini adalah pergi ke sebuah 

bukit di sebelah timur Sumber Suko. Tunggu sampai 

aku datang ke sana!" 

"Hem.... Aku masih meragukan kata-katanya. Tapi 

tak ada salahnya untuk sementara ini aku lakukan 

apa yang diucapkan...," batin Ni Luh Padmi. "Sambil 

menunggu masih ada waktu bagiku lakukan apa yang


terbaik...." 

Berpikir begitu, akhirnya Ni Luh Padmi berucap. 

"Baik! Ucapanmu akan kulakukan!" 

"Kuyakin orang ini akan lakukan perintahku. 

Karena kulihat dendam dalam dadanya begitu 

berkobar! Apalagi mendengar ucapannya, dia 

mendapat kesulitan mencari Pendeta Sinting...." 

Diam-diam Malaikat Penggali Kubur juga membatin. 

"Berarti aku harus mencari akal agar pertemuan nanti 

bukan hanya Pendekar 131 yang muncul, tapi juga 

Pendeta Sinting dan teman-temannya! Dengan begitu, 

sekali ada pertemuan, seluruh manusia golongan 

putih akan habis! Aku punya kekuatan. Aku juga 

punya beberapa orang budak! Ha.... Ha.... Ha...!" 

Malaikat Penggali Kubur tertawa sendiri dalam hati, 

lalu berkata. 

"Tua bangka! Ingat baik-baik. Kalau kau berani 

bertindak macam-macam sebelum pertemuan itu 

berlangsung, apalagi kau berani putar haluan...." 

Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya untuk 

perdengarkan tawa dahulu sebelum akhirnya 

lanjutkan ucapannya. "Bukan saja dendammu tidak 

akan terbalas. Tapi umurmu hanya terbatas sampai 

purnama depan!" 

Untuk menutupi apa yang sebenarnya ada dalam 

benaknya, Ni Luh Padmi tertawa pelan lalu berkata. 

"Dendam dalam diriku tidak akan punah sebelum 

tuntas. Untuk laksanakan dendam ini apa pun akan 

kulakukan! Jangankan hanya menunggu 

kedatanganmu selama satu purnama. Berapa 

purnama pun waktu yang kau janjikan, aku tetap


akan menanti!" 

"Bagi Malaikat Penggali Kubur, kata-kata bukanlah 

satu hal yang memiliki makna! Kau bisa saja berkata 

begitu namun hatimu berkata lain! Namun Malaikat 

Penggali Kubur bukanlah manusia yang bisa kau buat 

main-main! Camkan itu!" 

Habis berkata begitu, tanpa pedulikan si nenek 

yang hendak buka mulut berkata, Malaikat Penggali 

Kubur telah balikkan tubuh. Dan seakan tahu kalau 

Ni Luh Padmi akan berkata, dia mendahului. 

"Di puncak bukit yang kukatakan, kau akan 

bertemu dahulu dengan beberapa budakku'. Kau 

hanya perlu memperkenalkan diri sebagai budakku! 

Kau tak perlu khawatir. Salah satu budakku ada yang 

berjenis laki-laki. Aku yakin dia tak akan membuatmu 

kesepian walau berada di puncak bukit sepi! Kaitan 

kuberi kebebasan berbuat apa saja!" 

Sebenarnya Ni Luh Padmi akan memaki, tapi 

sebelum makiannya terdengar, Malaikat Penggali 

Kubur sudah berkelebat lenyap dengan meninggalkan 

suara tawa panjang. 


--oo0dw0oo--

 

EMPAT 


KITA tinggalkan dahulu Malaikat Penggali Kubur 

dan Ni Luh Padmi yang sama berkelebat pergi dengan 

tujuan masing-masing. Kita kembali pada murid 

Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng. 

Seperti diketahui, begitu sadar dari pingsannya, 

mendadak di hadapan murid Pendeta Sinting telah


tegak Ni Luh Padmi. Kedua orang ini sempat perang 

mulut dan bentrok pukulan. Namun Joko tidak mau 

meladeni si nenek yang rupanya sedang melakukan 

perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting (Untuk 

jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode : 

"Muslihat Sang Ratu"). 

Joko terus berlari. Pada satu tempat dia berhenti. 

Khawatir kalau si nenek mengikuti, murid Pendeta 

Sinting ini putar kepalanya dahulu berkeliling sebelum 

menghentikan larinya. Begitu yakin tidak diikuti, dia 

berhenti. 

"Silang sengketa apa sebenarnya yang terjadi 

antara nenek itu dengan Eyang Guru? Melihat nada 

bicaranya, nenek itu tidak main-main! Mengapa Eyang 

tidak pernah bercerita padaku? Sebenarnya aku 

harus beri tahukan ini pada Eyang, tapi rasanya hal 

itu tidak mungkin dapat kulakukan dalam beberapa 

hari ini. Penyelidikanku belum mendapatkan titik 

terang. Padahal aku harus segera tahu siapa 

sebenarnya yang telah mendapatkan Kitab Hitam itu! 

Kalau aku sampai terlambat mengetahui, dan kitab 

itu ternyata jatuh pada manusia yang tidak 

bertanggung jawab, maka tak bisa kubayangkan apa 

yang akan terjadi! Sayang.... Aku tidak sempat 

menanyakan pada Gendeng Panuntun...." 

Selagi murid Pendeta Sinting tengah membatin 

sendirian, mendadak terdengar suara orang tertawa 

mengekeh panjang. 

Meski Joko tahu kalau suara tawa itu bukan tawa 

si nenek, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, dia 

harus berlaku hati-hati. Maka laksana terbang, murid 

Pendeta Sinting berkelebat hendak sembunyi.


Tapi Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri. Belum 

sempat tubuhnya berkelebat, satu deruan terdengar. 

Saat lain bukan hanya gerakannya tertahan, tapi 

tubuhnya laksana terlanggar sapuan gelombang 

dahsyat hingga kalau tidak cepat berkelebat 

menghindar, niscaya tubuhnya tersapu jatuh! 

"Jangkrik! Siapa lagi manusia ini? Tanpa ada hujan 

angin tiba-tiba menganggapku sebagai musuh!" Joko 

cepat balikkan tubuh. 

Suara kekehan tawa terputus. Namun kejap lain 

terdengar lagi suara orang tertawa bergelak. Kali ini 

justru datangnya dari bagian belakang Joko, 

membuat murid Pendeta Sinting sadar, kalau orang 

yang mendadak muncul tidak datang sendirian! 

Sejenak Joko memandang ke depan. Demi tidak 

melihat adanya siapa-siapa, dia putar diri menghadap 

orang yang diyakininya baru saja perdengarkan tawa. 

Sesaat Joko pentangkan mata. Di depan sana dia 

melihat satu sosok tubuh yang tidak bisa dikenali 

wajahnya karena orang ini mengenakan topeng kulit 

berwarna hitam. Bukan itu saja, orang ini juga 

mengenakan pakaian yang menutupi sekujur anggota 

tubuhnya dari rambut sampai kaki. 

"Jelas baru saja kudengar suara tawa orang yang 

berbeda! Pertanda ada orang lain selain dia! Tapi di 

mana? Atau jangan-jangan dia bisa merubah tawa 

menjadi berlainan kedengarannya? Tapi sumber 

suara tadi berlainan tempat. Atau jangan-jangan 

orang ini mampu memindahkan suara?!" 

Baru saja Pendekar 131 membatin begitu, dari 

arah belakangnya dia merasakan deruan angin pelan.


Anehnya pada saat bersamaan tanah di sekitar 

tempat Itu laksana disapu angin topan. Hingga untuk 

beberapa lama tempat itu menjadi agak gelap 

tertutup hamburan tanah. 

Maklum akan adanya bahaya, murid Pendeta 

Sinting secepat kilat hentakkan kedua kakinya. 

Sosoknya berkelebat ke samping. Begitu kakinya 

menginjak tanah, kedua matanya dipentangkan 

menembusi kegelapan tanah yang bertaburan. 

Ternyata dugaan Joko tidak jauh meleset. Di depan 

sana, di samping sosok yang sekujur tubuhnya 

tertutup dan mengenakan topeng kulit warna hitam, 

tegak satu sosok tubuh yang sekujur anggota 

tubuhnya dari rambut hingga kaki juga tertutup 

pakaian. Raut wajahnya tidak dapat dikenali karena 

dia juga mengenakan topeng dari kulit berwarna 

merah. 

Tatkala taburan tanah lenyap, dua sosok yang 

mengenakan topeng warna hitam dan merah sama 

gerakkan kepala masing-masing ke samping kiri 

kanan. Keduanya seolah saling berpandangan. Saat 

lain, laksana sudah sepakat, kedua orang ini 

perdengarkan tawa bergelak membahana. Namun 

cuma sekejap. Di lain saat kedua orang ini sama 

putuskan tawa masing-masing. Lalu kepala mereka 

berpaling menghadap ke arah murid Pendeta Sinting. 

"Jauh berjalan nyatanya niat kesampaian. Jauh 

melangkah nyatanya tujuan tinggal selangkah...." 

Orang yang bertopeng merah berujar. 

"Benar. Tak diduga tak disangka. Apa yang kita cari 

ternyata lain dengan apa yang kita dengar. Dia bukan


barang sulit dan langka! Ha.... Ha.... Ha...!" Orang yang 

mengenakan topeng hitam menyahut. 

Murid Pendeta Sinting sesaat simak baik-baik 

ucapan kedua orang bertopeng. "Nada bicara mereka 

sepertinya sengaja mencariku! Hem.... Siapa mereka? 

Sayang mereka sembunyikan wajah di balik topeng.... 

Apa aku harus meladeni mereka?" pikir Joko. Setelah 

berpikir agak panjang, akhirnya dia memutuskan 

untuk tidak meladeni kedua orang bertopeng. Hingga 

tanpa berkata-kata !agi, murid Pendeta Sinting putar 

diri setengah lingkaran lalu berkelebat. 

Namun sebelum benar-benar berkelebat, orang 

bertopeng hitam bergerak terlebih dahulu dan tahu-

tahu sosoknya telah tegak dengan sikap menghadang 

di hadapan murid Pendeta Sinting. 

Pendekar 131 masih tidak hiraukan orang yang 

tegak menghadang. Dia hanya memandang sejurus. 

Lalu menyisi tiga langkah dan hendak teruskan niat 

untuk berkelebat. Tapi lagi-lagi belum sampai benar-

benar berkelebat, orang bertopeng merah telah 

mendahului dan kini tegak di hadapan Joko. 

"Tak kan lari gunung dikejar. Tapi mengapa ada 

manusia yang terbirit-birit meski tidak dikejar?!" 

Orang bertopeng hitam angkat bicara lalu tertawa. 

Orang bertopeng merah tidak tinggal diam. Dia 

cepat menyahut. 

"Mungkin dikira kita sebangsa jin gentayangan. 

Padahal kalau dia tahu siapa kita gerangan, hik.... 

Hlk.... Hik.... Tak mungkin dia berlaku seperti bidadari 

kayangan. Yang terkencing-kencing melihat pemuda 

korengan!"


Karena sudah memutuskan untuk tidak meladeni 

orang, Joko cepat membentak dengan harapan kedua 

orang bertopeng segera berlalu. 

"Aku punya urusan sangat penting. Jangan coba 

berani mencari penyakit!" 

Mendengar ancaman Joko, kedua orang bertopeng 

sama-sama palingkan kepala seakan saling 

berpandangan. Kejap lain untuk kedua kalinya kedua 

orang 'ni serentak sama perdengarkan tawa ngakak. 

"Kau dengar, Topeng Merah! Dikira kedatangan 

kita semata-mata cari penyakit!" 

Orang bertopeng merah putuskan suara tawanya. 

"Aku maklum, Topeng Hitam! Orang hendak mampus 

biasanya memang bicara tidak pada tempatnya! Laut 

disangka langit. Datang membawa maut dikira 

muncul cari penyakit!" 

"Kalian telah dengar kalau aku ada urusan 

penting...." 

"Kau juga telah dengar aku datang bukan cari 

penyakit!" Orang bertopeng hitam menyahut sebelum 

murid Pendeta Sinting sempat teruskan ucapannya. 

"Justru kami datang membawa maut!" timpal 

orang bertopeng merah. 

Murid Pendeta Sinting pandangi kedua orang di 

hadapannya dengan paras membesi. "Hem.... Nada 

bicara dan tampang-tampang kalian menunjukkan 

kalau kalian bukan orang baik-baik! Jika kalian 

datang membawa maut, kalian sebenarnya 

mendatangi orang yang keliru! Kalian pasti tahu, satu 

orang mungkin hanya akan membuat satu kesalahan.


Dua orang tidak tertutup kemungkinan akan 

menimbulkan lebih dari dua kesalahan! Itulah 

sekarang yang kalian lakukan!" 

"Kau pandai juga memberi nasihat! Apa kau juga 

tahu, satu orang biasanya termakan dua orang?!" ujar 

orang bertopeng hitam lalu anggukkan kepalanya 

pada orang bertopeng merah. 

Murid Pendeta Sinting tidak jawab pertanyaan 

orang. Sebaliknya dia cepat membentak. 

"Kuingatkan! J angan kalian berani bergerak dari 

tempat kalian! Aku tidak bicara main-main!" 

Habis membentak, Joko enak saja balikkan tubuh. 

Lalu melangkah. Namun baru mendapat empat 

langkah, dsr: arah belakang terdengar suara deruan 

keras. 

Karena Joko sudah waspada, dia cepat balikkan 

tubuh kembali. Kedua tangannya bergerak 

mendorong ke depan. 

Wuuttt! Wuuuutt! 

Dua deruan angin deras menghampar ke depan 

membawa gelombang panas. Tapi murid Pendeta 

Sinting sempat jadi terkesiap. Dugaannya jauh 

meleset. Karena deruan angin yang baru saja 

terdengar dan dikira serangan yang dilakukan oleh 

orang bertopeng ternyata bukan gelombang serangan 

yang ditujukan padanya, melainkan ke atas udara. 

Sementara dua orang bertopeng yang memang 

arahkan tangan masing-masing ke atas udara hingga 

timbulkan suara deruan keras jadi terpana dan 

sejurus saling berhadapan satu sama lain. Namun di


kejap lain kedua orang ini sama berkelebat ke 

samping kiri kanan. 

Gelombang angin yang keluar dari kedua tangan 

Joko melesat melabrak udara kosong. 

"Topeng Hitam! Manusia itu ternyata bukan hanya 

serakah hendak menggigit sebelum punya gigi, tapi 

sudah berkokok sebelum bertaji!" kata si topeng 

merah. Seolah tanpa sengaja tangan kanannya 

bergerak berkelebat ke depan. 

"Manusia macam itu memang pantas mendapat 

imbalan wajar! Dunia akan jadi tak karuan jika biang 

kerok macam dia diberi kesempatan lebih lama 

menikmati indahnya dunia!" kata orang bertopeng 

hitam. Tangan kirinya menyentak ke depan. 

Dua hamparan angin deras melesat cepat ke arah 

murid Pendeta Sinting dari tangan kanan orang 

bertopeng merah dan tangan kiri si topeng hitam. 

"Mereka pandai memancing gara-gara!" gumam 

Joko lalu buru-buru melompat ke belakang dengan 

tubuh digeser ke samping kanan. 

Dua hamparan angin amblas lewat lima jengkal di 

samping tubuh murid Pendeta Sinting. Namun dia tak 

bisa bernapas lagi. Karena begitu hamparan angin 

lewat, dua bayangan berkelebat. Tahu-tahu di depan 

kepala Joko menyapu dua kaki, dari arah samping kiri 

kanan! 

Begitu cepatnya sapuan kedua kaki itu, hingga 

tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk bergerak 

selamatkan diri selain harus menangkis sapuan kaki 

orang dengan angkat kedua tangannya.


Bukkkk! Bukkkk! 

Sosok murid Pendeta Sinting tampak terjajar 

sampai satu tombak. Kedua tangannya yang baru 

saja bentrok dengan kaki kiri dan kaki kanan si 

topeng merah dan si topeng hitam mental kembali 

langsung menghantam tubuhnya sendiri. Hingga 

sosoknya mencelat terhuyung-huyung. 

SI topeng merah dan hitam rupanya tidak mau 

memberi kesempatan. Selagi melihat Joko belum 

dapat kuasai diri, keduanya berkelebat menyusul. Kali 

ini bukan hanya kaki kiri dan kanan mereka yang 

lancarkan tendangan, melainkan tangan kanan dan 

kiri mereka berkelebat kirimkan pukulan! 

Pendekar 131 tersentak kaget. Kalau tadi dia 

rnasih tidak begitu yakin dengan ucapan orang, 

namun kini dia maklum kalau kedua orang di 

hadapannya benar-benar hendak mengakhiri 

hidupnya Karena dia tahu, pukulan yang kini tengah 

dilancarkan si topeng merah dan hitam mengandung 

tenaga dalam tinggi. 

Dengan salurkan tenaga dalam pada kedua 

tangan, murid Pendeta Sinting menyongsong 

kelebatan orang. Dia sengaja melesat dahulu ke 

udara agar tubuhnya berada di atas tubuh orang 

bertopeng merah dan hitam. Dengan begitu sambil 

bisa lancarkan pukulan memangkas pukulan tangan 

kiri dan kanan orang, sekaligus dapat selamatkan diri 

dari sapuan kaki kanan kiri lawan. 

Tapi perhitungan Joko tampaknya sudah terbaca 

lawan. Hingga satu tombak lagi tubuh mereka beradu 

di udara dengan tangan saling bentrok memukul, tiba


tiba si topeng merah dan hitam membuat gerakan 

jungkir balik satu kali di udara. Kejap lain sosok 

keduanya melesat ke udara lebih tinggi dari tubuh 

murid Pendeta Sinting. 

Joko terkesiap. Kini tidak mungkin lagi baginya 

membuat gerakan untuk dapat berada di atas tubuh 

lawan. Karena begitu jungkir balik satu kali, laksana 

anak panah, si topeng merah dan hitam melesat ke 

depan seolah tidak beri kesempatan pada Joko untuk 

melakukan gerakan selain harus cepat menangkis 

kaki kiri kanan mereka. Sementara tangan kiri kanan 

mereka akan dengan leluasa (akukan pukulan ke 

arah kepala murid Pendeta Sinting. 

Menangkap isyarat bahaya, Joko tidak mau 

bertindak ayal. Niat semula yang hendak 

menyongsong pukulan lawan dengan saling adu 

pukulan jarak dekat diurungkan. Karena jika hal itu 

dilakukan, maka mau tak mau dia harus berhadapan 

dengan kaki orang, sementara pukulan tangan lawan 

tidak mungkin lagi dapat dihindarkan. 

Dengan cepat Joko tarik kedua tangannya yang 

hendak memukul sedikit ke belakang. Lalu serta-

merta didorong ke depan. Hingga saat itu juga dua 

gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ke 

arah si topeng merah dan hitam yang melaju deras ke 

arahnya. 

Meski raut wajah kedua orang itu tidak dapat 

dilihat, namun sikap keduanya jelas menunjukkan 

kalau keduanya melengak kaget melihat apa yang 

dilakukan murid Pendeta Sinting. Namun perubahan 

sikap si topeng merah dan hitam cuma sekejap. Di 

saat lain kedua orang ini sama-sama tarik kedua


tangan masing-masing ke belakang. Lalu secara 

serentak keduanya lepaskan pukulan jarak jauh! 

Bummm! Bummm! 

Dua ledakan keras terdengar laksana hendak 

membongkar tempat itu. Jilatan api tampak berpijar 

melesat ke udara. Baik tubuh murid Pendeta Sinting 

maupun tubuh si topeng merah dan hitam terlihat 

mencelat di udara. 

Karena harus menghadapi dua tenaga dalam, 

maka tak ampun lagi sosok murid Pendeta Sinting 

mencelat lebih jauh dari lawan. Malah untuk sesaat 

tubuhnya sempat terputar di udara, lalu terbanting 

dan menukik deras ke bawah. Sementara si topeng 

merah dan hitam meski sempat mencelat di udara, 

tapi segera dapat kuasai diri dan mendarat di atas 

tanah dengan kaki tegak. Sedang di depan sana Joko 

terhuyung-huyung. Untung dia cepat hentakkan kaki 

kanannya hingga meski tubuhnya sempat terputar, 

namun sosoknya selamat dari roboh menghempas 

tanah. 

"Katakan siapa kalian?! Apa maksud kalian 

dengan semua ini?!" sentak Joko begitu dapat kuasai 

diri. Meski begitu dia tidak dapat sembunyikan paras 

wajahnya yang berubah pucat pasi. 

Pada bentrok pertama kali, murid Pendeta Sinting 

belum merasa yakin benar akan ketinggian dan 

kekuatan tenaga dalam lawan, karena saat itu tenaga 

yang mereka pergunakan masih belum seberapa. 

Tapi begitu bentrok kedua terjadi, Joko sadar kalau 

kedua orang di hadapannya bukan lawan yang bisa 

dianggap remeh. Untuk itulah Joko ingin tahu maksud


orang karena selain tampangnya tidak dapat dikenali, 

kedua orang bertopeng itu benar-benar inginkan 

jiwanya. 

Mendengar pertanyaan murid Pendeta Sinting, 

kedua orang bertopeng bukannya segera menjawab, 

melainkan tertawa bersahut-sahutan. Puas tertawa, si 

topeng hitam angkat bicara sambil hadapkan 

wajahnya ke arah si topeng merah. 

"Dia tanya siapa kita dan apa maksud kita. 

Bagaimana menurutmu?" 

Si topeng merah dongakkah kepala. "Serahkan 

Jawaban itu padaku!" katanya. Lalu dengan tetap 

tengadah dia lanjutkan ucapannya. "Dengar, Anak 

Muda! Siapa kami berdua kelak kau akan 

mengetahuinya! Tentang maksud kami.... Ringan saja. 

Kami inginkan nyawamu!" 

"Hem.... Rasanya kita belum saling kenal. 

Tampang-tampang seperti kalian baru kali ini 

kujumpai. Jangan-jangan kalian suruhan orang!" 

SI topeng merah kembali perdengarkan tawa. "Kau 

salah sangka! Jusiru kita sudah sangat kenal. Kau 

tidak percaya?" 

Murid Pendeta Sinting tidak segera jawab 

pertanyaan orang. Dia hanya memandang silih 

berganti pada wajah orang yang tertutup topeng 

seolah ingin mengetahui siapa pemilik wajah di balik 

topeng. 

Si topeng merah tidak menunggu lama. Seakan 

tahu kalau orang yang ditatapnya tidak akan 

menjawab, dia lanjutkan ucapannya.


"Anak muda! Bukankah kau anak manusia 

bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang 

Tumpul 131 ?! Kau anak manusia yang punya rezeki 

besar karena telah mendapatkan dua kitab sakti, 

meski sebelumnya kau harus melewati perjalanan 

berat di Pulau Biru. Kau juga orang yang sempat 

memasuki Istana Hantu. Lebih dari itu malah kau 

sempat terlibat cinta segitiga dengan kedua anak 

gadis tokoh misterius si Tengkorak Berdarah! Kau 

juga sempat dijodohkan dengan seorang gadis cantik 

jelita bergelar Ratu Maiam. Sayangnya kau menolak. 

Aku tahu.... Mungkin saat itu kau belum tahu benar 

siapa adanya Ratu Malam. Kalau kau tahu, mungkin 

kau tidak akan menolak perjodohan itu! Ha.... Ha.... 

Ha...! Satu lagi, kau adalah murid tunggal seorang 

manusia gendeng berjuluk Pendeta Sinting...." 

Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata 

terpentang dan mulut terkancing rapat. Dia tengadah 

seolah mengingat. Namun hingga agak lama, dia 

rupanya gagal mengetahui siapa adanya orang. 

Hingga pada akhirnya dia berucap. 

"Kau mengenalku dengan baik! Berarti kita 

mungkin memang sudah saling kenal! Tapi mengapa 

kau takut tunjukkan tampang?!" 

Si topeng merah tertawa panjang. "Kau salah 

bicara! Bukannya kami takut tunjukkan tampang! 

Kalau kami mengenakan topeng, karena kami 

memang sudah biasa mengenakannya!" 

"Hem.... Begitu? Lalu mengapa kalian inginkan 

jiwaku?!" 

"Itu tidak perlu jawaban!"


"Siapa orang yang menyuruh kalian?!" tanya Joko 

seraya arahkan pandangan pada si topeng hitam 

yang kini terlihat jongkok. 

"Kau kenal manusia gendeng dari Jurang Tlatah 

Perak?!" 


--oo0dw0oo-- 


LIMA 



DAHI Pendekar 131 mengernyit dengan 

pandangan terpentang besar. "Orang ini bagaimana? 

Dia tahu kalau aku murid Pendeta Sinting. Tapi 

mengapa dia menanyakan manusia dari Jurang 

Tlatah Perak?! Jangan-jangan orang ini tidak tahu 

siapa sebenarnya Pendeta Sinting...." Diam-diam Joko 

berpikir. 

Seperti diketahui, Pendeta Sinting yang bukan lain 

adalah Eyang Guru Joko Sa >leng adalah seorang 

tokoh yang berdiam diri di Jurang Tiatah Perak. (Untuk 

lebih jelasnya tentang Pendeta Sinting, silakan baca 

serial Joko Sableng dalam episode : "Pesanggrahan 

Keramat"). 

"Kau dengar. Mengapa tidak jawab?!" bentak si 

topeng merah. Tanpa menunggu jawaban lagi, si 

topeng merah kembali ajukan tanya. 

"Kau kenal manusia gendeng itu? Hah...?!" 

"Dia yang menyuruh kalian?!" Joko balik ajukan 

tanya. 

Si topeng merah tertawa panjang. Tapi hingga 

suara tawanya ienyap, orang ini tidak lagi 

perdengarkan suara menjawab.


"Kau jangan bicara mengumbar fitnah!" hardik 

Joko begitu mendapati orang tidak memberi jawaban. 

"Siapa mengumbar fitnah?!" kata si topeng merah. 

"Kau tak percaya kalau kami orang-orang 

suruhannya?!" , 

"Kau terlalu mengada-ada!" 

"Terserah! Yang jelas dia dikenal sebagai manusia 

gendeng. Kau tahu bukan bagaimana sikap orang 

gendeng?! Dia tidak akan ambil peduli dengan siapa 

saja! Termasuk pada siapa dia menyuruh dan siapa 

orang yang harus dibunuhnya!" 

"Tak mungkin.... Tak mungkin!" desis Joko 

perlahan dengan alihkan pandangan ke jurusan lain. 

"Apanya yang tidak mungkin? Dengar, Anak Muda! 

Di dunia ini semuanya serba mungkin! Aku tahu, 

manusia gendeng penghuni Jurang Tlatah Perak itu 

adalah gurumu. Tapi seperti kataku tadi, di dunia ini 

semuanya serba mungkin. Jadi jangan melasa heran 

kalau orang yang selama ini kau anggap sebagai guru 

tiba-tiba saja menyuruh orang untuk mengambil 

selembar nyawamu! Apalagi dia dikenal sebagai 

manusia sinting!" 

"Hem.... Begitu?! Kalau memang dia yang 

menyuruh kalian, harap kalian tidak ikut campur 

urusan ini. Biar aku yang menemuinya dan selesaikan 

urusan ini!" 

"Tidak semudah itu urusan ini akan selesai! Kami 

berdua telah dibayar mahal untuk menyelesaikannya! 

Dan ingat, begitu kau berhasil menemuinya, maka 

nyawa kami berdua sebagai imbalannya!"


"Itu risiko kalian! Yang pasti, aku harus 

membuktikan ucapanmu! Jangan-jangan kalian 

berdua suruhan orang lain, lalu menebar fitnah 

dengan mengatakan bahwa gurukulah yang 

menyuruh!" 

"Silakan kau berkata apa pun! Yang jelas kau tidak 

akan kami biarkan lewat begitu saja!" 

Habis berkata begitu, si topeng merah telah 

berkelebat ke depan. Sejarak tujuh langkah dari 

tempat Joko, serta-merta dia putar tubuh 

membelakangi, membuat murid Pendeta Sinting 

kerutkan dahi. Namun keheranan Joko lenyap 

seketika. Karena begitu putar tubuh membelakangi, 

si topeng merah gerakkan kedua tangannya 

menyentak ke belakang. Wuuttt: Wuuttt! 

Dua bongkahan awan putih menggelinding 

laksana roda pedati dengan membawa gelombang 

luar biasa dahsyat! 

Sadar kalau bongkahan awan putih bukan pukulan 

sembarangan, Joko tidak mau berlaku sembrono. 

Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya. 

Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi 

kekuningan. Pertanda murid Pendeta Sinting siap 

akan lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. 

Dengan gerakkan langkah satu tindak ke samping 

kanan, kedua tangan Joko mendorong ke depan. 

Satu sinar kuning mencorong melesat dengan 

membawa gelombang luar biasa dahsyat serta hawa 

panas menyengat.


Blaaarrr! 

Dua bongkahan aWan putih ambyar berkeping. 

Sinar kuning semburat. Sosok murid Pendeta Sinting 

tampak terhuyung-huyung ke belakang dengan paras 

berubah. Malah kejap lain kedua kakinya goyah. Dan 

tak lama kemudian sosoknya menekuk jatuh. 

Di depan sana, karena tegak membelakangi, 

sosok si topeng merah terlihat terdorong ke depan. 

Lalu sosoknya terhuyung hendak jatuh. Namun 

sebelum kedua kakinya menekuk, orang ini cepat 

sentakkan tubuh bagian atasnya. Serta-merta 

kepalanya menghujam deras ke bawah. Namun 

sejengkal lagi kepalanya menghujam tanah, kedua 

tangannya menjulur ke bawah. 

Hingga kepalanya tertahan sejengkal berada di 

atas tanah dengan kedua tangan menopang 

tubuhnya. Orang ini berhenti dengan posisi 

menungging! 

Melihat sikap orang, murid Pendeta Sinting 

tampak sipitkan sepasang matanya. "Jangan-jangan 

dia adalah...." 

Joko tidak lanjutkan kata hatinya, karena 

bersamaan dengan itu mendadak si topeng merah 

hentakkan sepasang tangannya yang berada di atas 

tanah. Sosoknya kini melesat ke belakang dengan 

posisi masih tetap menungging. 

Joko cepat bergerak bangkit. Namun belum 

sempat gerakkan kedua tangannya, sepasang kaki si 

topeng merah telah melesat serentak ke arah kedua 

bahu kiri kanannya.


Bukkk! Bukkk! 

Murid Pendeta Sinting berseru tertahan. Untuk 

kedua kalinya tubuhnya terhuyung lalu jatuh 

tertunduk. Sementara di depannya si topeng merah 

terlihat tetap topang tubuhnya dengan kedua tangan 

di atas tanah dan kedua kaki di atas udara. 

"Persetan dia atau bukan! Kalau dia memang 

inginkan nyawaku, aku harus bertahan! Malah apa 

pun akan kulakukan! Aku harus cepat selesaikan 

orang ini! Tugas di depan masih banyak!" 

Berpikir sampai di situ, Pendekar 131 cepat 

kerahkan kembali tenaga dalam pada kedua 

tangannya dan siap lancarkan pukulan 'Lembur 

Kuning'. 

Tapi sebelum kedua tangan Joko sempat 

mendorong, si topeng merah telah angkat kedua 

tangannya lalu disentakkan. Sosoknya melesat ke 

belakang. Kedua kakinya bergerak melebar ke 

samping kiri kanan. 

Namun setengah depa lagi di depan tubuh Joko, 

mendadak si topeng merah gerakkan kedua kakinya 

menutup kembali membuat gerakan menggunting. 

Kepalanya berada sejengkal di atas tanah dengan 

kedua tangan menopang tubuhnya bersltekan di atas 

tanah. 

Murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Kedua 

tangannya cepat diangkat ke atas untuk memangkas 

kedua kaki lawan yang menggunting ke arah 

kepalanya. 

Bukkk! Bukkk!


Kedua kaki si topeng merah terkembang mental 

ke samping kiri kanan. Sosoknya bergetar keras. 

Kejap lain kedua tangannya yang menopang tubuh 

bergoyang-goyang. 

Di belakangnya, tubuh murid Pendeta Sinting 

tampak terseret sampai satu tombak. Namun kali ini 

dia tidak mau menunggu. Di dahului bentakan keras, 

kedua tangannya mendorong ke depan lepaskan 

pukulan sakti 'Lembur Kuning'. 

Entah tidak menduga atau disengaja, walau tahu 

kalau saat itu satu sinar kuning melesat disertai 

gelombang luar biasa dahsyat dan membawa hawa 

panas, namun si topeng merah tidak membuat 

gerakan apa-apa! Malah dia tampak dongakkan 

kepala menghadap ke arah si topeng hitam. 

"Dasar tolol! Apa kau ingin mampus?!" satu suara 

terdengar. Lalu satu sinar kuning melesat. Gelombang 

angin keras menghampar. Udara berubah panas. 

Pendekar 131 terkesiap. "Lembur Kuning!" 

desisnya mengenali pukulan yang kini mengarah 

memangkas pada pukulannya dan ternyata dilepas 

oleh si topeng hitam. 

Bummm! 

Terdengar dentuman membahana. Pukulan sakti 

'Lembur Kuning' yang dilepas murid Pendeta Sinting 

semburat ambyar ke udara tatkala bentrok dengan 

pukulan yang dilepas si topeng hitam. Tanah di 

tempat itu bergetar keras laksana dilanda gempa. 

Sosok murid Pendeta Sinting terjengkang lalu 

terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan


darah. Sementara si topeng merah yang berada dekat 

dengan terjadinya bentrokan tampak tersapu 

mencelat sebelum akhirnya terjerembab di atas 

tanah. 

Si topeng hitam sendiri terlihat terdorong ke 

belakang. Namun orang ini segera bisa kuasai diri. 

Sebelum tubuhnya sempat terjatuh, dia berkelebat ke 

samping. Lalu kedua kakinya menghentak tanah. 

Bersamaan dengan itu sosoknya berhenti. Namun 

cuma sekejap. Di lain saat si topeng hitam ini 

gerakkan bahu kanan kirinya. Sosoknya melesat ke 

depan. 

Melihat hal itu, dengan sisa tenaga dalamnya, Joko 

bergerak bangkit. Lalu tenaga dalamnya dikerahkan 

pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kiri Joko 

berubah menjadi biru. Inilah pertanda kalau dia 

siapkan pukulan 'Serat Biru'. 

Tapi mendadak Joko urungkan niat. Dia cepat 

berkelebat hindarkan diri. Tapi si topeng hitam 

tampaknya tidak urungkan niat. Dia berkelebat 

mengejar ke arah mana Joko selamatkan diri. 

Karena tak ada jalan lain, sementara di lain pihak 

dia tampak ragu-ragu untuk lepaskan pukulan, 

akhirnya murid Pendeta Sinting hanya angkat kedua 

tangannya untuk menangkis pukulan orang yang 

mengarah pada kepalanya. 

Desss! Desss! 

Joko langsung tersuruk di atas tanah dengan 

mulut makin banyak keluarkan darah. Sementara si 

topeng hitam cepat bisa bergerak bangkit setelah 

tubuhnya hampir saja terjatuh.


"Orang ini lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. 

Siapa dia sebenarnya?" Diam-diam Joko membatin. 

Lalu perlahan-lahan bangkit duduk. Sepasang 

matanya perhatikan orang bertopeng hitam dengan 

seksama. 

Adakah dalam rimba persilatan seorang yang 

memiliki pukulan 'Lembur Kuning' selain Eyang 

Guru?" Joko terus membatin. Sementara di depan 

sana si topeng hitam terlihat palingkan kepala pada si 

topeng merah. Kejap lain keduanya sama melompat. 

Tahu-tahu mereka telah tegak hanya sejarak lima 

langkah di hadapan Joko. 

"Siapa kalian sebenarnya?! Jangan sampai aku 

salah turunkan tangan membunuh orang!" sentak 

Joko. 

"Kau tadi telah dengar, bahwa kelak kau akan tahu 

siapa kami! Itu akan kau ketahui begitu nyawamu 

berada di tengah tenggorokan!" Yang jawab adalah 

orang bertopeng hitam. 

"Apa hubunganmu dengan Pendeta Sinting hingga 

kau memiliki pukulan 'Lembur Kuning'?!" 

Orang bertopeng hitam tertawa panjang seraya 

berkata. 

"Aku adalah orang suruhan gurumu! Sebelum kami 

berangkat, kami telah ajukan syarat. Dia harus 

berikan padaku pukulan andalannya! Kau paham?!" 

Untuk kesekian kaEinya murid Pendeta Sinting 

terlihat ragu-ragu. "Tidak mungkin! Mereka pasti 

berkata dusta! Tapi.... Ah.... Aku jadi bingung. Si 

topeng merah sepertinya aku mengenali pukulan dan


sikapnya. Demikian pula dengan yang bertopeng 

hitam. Sayang.... Mereka sengaja sembunyikan wajah 

di balik topeng!" 

Di depan sana, orang bertopeng merah dongakkan 

kepala. Lalu berujar. 

"Anak muda! Rupanya kau salah memiliih guru! 

Dan tentu kau harus berani terima akibatnya!" 

Habis berkata begitu, orang bertopeng merah 

angkat kedua tangannya. Sementara orang bertopeng 

hitam tidak perdengarkan suara. Tapi pada saat 

bersamaan dia juga serentak angkat kedua 

tangannya. 

"Tunggu! Kuperingatkan pada kalian. Biar urusan 

ini kuselesaikan dengan guruku sendiri! Kanan 

jangan memaksaku untuk bertindak lebih jauh!" 

teriak Joko. 

Kedua orang bertopeng menyambuti ucapan 

murir9 Pendeta Sinting hanya dengan gelakan tawa. 

Namun mendadak secara berbarengan keduanya 

putuskan tawanya masing-masing. Keduanya seolah 

tidak hiraukan ancaman Joko. Tangan kanan kiri 

orang terus bergerak dan siap lepaskan pukulan. 

"Mereka tampaknya memang inginkan nyawaku. 

Apa boleh buat. Kalau aku ragu-ragu pasti nyawaku 

tidak akan bisa diselamatkan!" 

Berpikir begitu, akhirnya Joko kerahkan kembali 

tenaga dalamnya pada tangan kiri. Mendadak tangan 

kirinya berubah berwarna biru. 

"Pukulan "Serat Biru'! Apa hebatnya?'" orang 

bertopeng merah berujar.


"Hem.... Dia benar-benar mengetahui semuanya!" 

kata Joko dalam hati. Dada murid Pendeta Sinting 

mulai dilanda gejolak mendengar ejekan orang. 

Seraya angkat tangan kiri, sementara tangan kanan 

ditarik ke belakang, dia berkata membentak. 

"Aku telah memberi peringatan! Jangan menyesal 

dengan keputusan yang kalian ambil!" 

"Peringatanmu hanya karena kau takut 

menghadapi kami!" sahut orang bertopeng hitam. 

Mendengar sahutan orang, Pendekar 131 

tampaknya hilang kesabaran. Tanpa berkata-kata lagi 

kedua tangannya bergerak mendahului gerakan 

tangan kedua orang bertopeng' 

Wuuuttl Wuuuttt! 

Dari tangan kanan murid Pendeta Sinting melesat 

satu gelombang luar biasa dahsyat. Sementara dari 

tangan kirinya melesat sinar biru laksana benang 

yang memanjang. Tanda dia telah lepaskan pukulan 

'Serat Biru'. 

Sesaat kedua orang bertopeng terlihat saling 

berpaling. Namun bersamaan dengan itu keduanya 

sama-s- ma sentakkan kedua tangan masing-masing. 

Dari tangan masing-masing orang menderu 

gelombang angin laksana hempasan ombak. 

Bummm! Bummm! 

Terdengar dua kali dentuman keras. Pukulan yang 

keluar dari tangan kanan murid Pendeta Sinting 

langsung berantakan tatkala bentrok dengan pukulan 

yang melesat dari kedua tangan si topeng merah.


Namun tidak demikian halnya dengan serat-serat biru 

berkilat yang melesat ke arah si topeng hitam. Meski 

serat biru berkilat yang memanjang laksana benang 

sesaat tertahan di udara dan perdengarkan 

dentuman keras ketika bentrok dengan pukulan si 

topeng hitam, namun serat-serat biru laksana benang 

itu terus melesat, membuat si topeng hitam angkat 

kembali kedua tangannya lalu serta-merta 

disentakkan. 

Namun lesatan serat-serat biru telah mendahului. 

Hingga bukan saja membuat orang bertopeng hitam 

tersentak, namun tubuhnya tegang karena serat-serat 

biru melilit sekujur tubuhnya. Hal ini membuat 

tubuhnya tidak ikut tersapu akibat bentroknya 

pukulan-pukulan yang baru saja terjadi. 

Sementara sosok orang bertopeng merah mental 

sampai satu setengah tombak ke belakang. Di 

seberang, sosok murid Pendeta Sinting terpelanting 

lalu jatuh terkapar. Tapi merasa bahaya masih 

mengancam, murid Pendeta Sinting tidak mau 

bertindak ayal. Dia cepat bergerak bangkit. Sejenak 

tubuhnya terlihat terhuyung-huyung. Namun dia 

segera dapat kuasai diri meski harus menahan rasa 

sakit bukan alang kepalang yang mendera sekujur 

tubuhnya. 

Di depan sana, si topeng hitam yang terlilit serat-

serat biru tampak gerak-gerakkan kedua tangannya. 

Saat bersamaan kedua kakinya menghentak tanah. 

Sepasang mata murid Pendeta Sinting tampak 

mendelik. Sosok orang bertopeng hitam tiba-tiba 

melesat ke udara. Saat itulah terdengar suara 

letupan. Serat-serat, biru yang tadi melilit tubuh orang


menjerat udaia kosong! 

Sosok orang bertopeng hitam membuat gerakan 

jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya hampir 

menjejak tanah, sekonyong-konyong orang ini 

gerakkan kedua tangannya. 

Wuutt! Wuuutt! 

Tempat itu mendadak berubah semburat warna 

kuning. Bersamaan dengan itu satu gelombang luar 

biasa dahsyat menggebrak ke arah Joko dengan 

membawa hawa panas menyengat. 

"Dia bisa selamatkan diri dari pukulan 'Serat Biru'! 

Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas juga luar biasa! 

Apakah aku harus pergunakan pukulan 'Sundrik 

Cakra?!" sesaat Joko berpikir. 

Tapi karena orang telah iepaskan pukulan, mau 

tak mau Joko tidak dapat berpikir panjang. Hingga 

mungkin karena tidak mau celaka, akhirnya Joko 

putuskan untuk melepas pukulan 'Sundrik Cakra'. 

Murid Pendeta Sinting tarik tangan kanannya yang 

jari telunjuk, jari tengah serta jari manisnya 

diluruskan, sementara ibu jari dan jari kelingking 

ditekuk saling bertemu, tanda dia hendak lepaskan 

pukulan 'Sundrik Cakra'. 

Seolah tahu bahaya, orang bertopeng merah 

segera melesat ke depan !alu tegak di samping orang 

bertopeng hitam seraya berbisik. 

“Kita harus menyingkir!" 

Mungkin karena suaranya terlalu pelan atau pura-

pura tidak mendengar, orang bertopeng hitam


berseru tanpa berpaling. "Apa katamu?!" 

"Dasar gendeng!" desis orang bertopeng merah. 

Lalu kembali berbisik. 

"Kita harus menyingkir! Kurasa untuk yang kail ini 

kita tidak akan bisa menahan!" 

"Apa katamu?!" lagi-lagi orang bertopeng hitam 

berteriak. Kais ini dengan palingkan kepala. 

Orang bertopeng merah tidak lagi buka mulut 

perdengarkan suara jawaban. Sebaliknya dia 

sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu 

bersamaan itu sosoknya melesat ke samping. Dan 

enak saja dia dorong tubuh orang bertopeng hitam. 

Karena dorongan itu bukan dorongan biasa, kejap 

itu juga sosok orang bertopeng hitam mencelat 

mental sampai tiga tombak lalu terhampar di atas 

tanah. 

Saat itulah terdengar dua kali ledakan keras. 

Pukulan yang dilepas baik oleh orang bertopeng 

merah dan hitam bertabur ke udara. Tempat itu 

porak-poranda. Di atas udara terlihat sinar kuning 

berkiblat. Untung, kedua orang bertopeng telah tidak 

di tempatnya semula. Jika tidak, tak urung keduanya 

akan tersapu sinar kuning yang dilepas Joko dan baru 

saja membongkar dua pukulan orang bertopeng. 

Meski dua pukulan lawan sempat tertahan dan 

terbongkar oleh pukulan 'Sundrik Cakra' yang dilepas 

murid Pendeta Sinting, namun bias dari pukulan itu 

masih tidak bisa dihindari oleh Joko, hingga begitu 

terdengar ledakan, tubuhnya terjajar empat langkah 

ke belakang dengan kedua tangan bergetar keras.


Paras wajahnya makin pias. Sementara darah yang 

keluar dari mulutnya semakin banyak. 

Dengan kerahkan hawa murni, Joko cepat 

berpaling. Kedua orang bertopeng sudah terlihat 

tegak saling berjajar. 

"Kalian tak akan selamat! Tapi aku masih memberi 

kesempatan kalau kalian buka topeng'." teriak Joko 

mengancam. Joko berani mengancam karena dia 

tahu kalau nyali kedua Orang bertopeng sudah 

menciut demi melihat pukulan 'Sundrik Cakra' yang 

baru saja dilepas. 

Sesaat kedua orang bertopeng saling pandang. Si 

topeng merah tampak anggukkan kepala. Namun 

orang bertopeng hitam baias dengan gelengkan 

kepala. Lalu berbisik. "Bukan sekarang saatnya...." 

Mungkin tidak mendengar, atau karena hendak 

lakukan apa yang diperbuat orang bertopeng hitam 

tadi, si topeng merah berteriak. 

"Apa katamu?!" 

"Dasar sontoloyo!" maki orang bertopeng hitam. 

Lalu kembali berbisik. 

"Bukan sekarang saatnya membuka topeng!" 

"Tapi keadaan tidak menguntungkan kalau kita 

tidak buka topeng! Lihat pakaianmu!" 

Meski sudah tahu, namun orang bertopeng hitam 

tetap tundukkan sedikit kepalanya melihat 

pakaiannya. Ternyata pakaian yang dikenakan orang 

ini telah robek melingkar di beberapa tempat. Ini 

adaiah karena lilitan serat biru yang sempat melilit


tubuhnya. 

"Aku tidak akan buka topeng!" bisik orang 

bertopeng hitam. 

"Bagus! Kalian cari mampus!" hardik Joko. Lalu 

untuk meyakinkan orang jika dia tidak berkata main-

main, dia angkat kedua tangannya lalu ditarik ke 

belakang. Murid Pendeta Sinting sengaja kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangan kiri kanannya. Saat 

itu juga tangan kanannya berubah semburatkan 

warna kuning sementara tangan kirinya berwarna 

biru. Dia seolah hendak lepaskan pukulan 'Sundrik 

Cakra' dan 'Serat Biru'. 

"Bagaimana?! Aku tak mau menanggung risiko!" 

kata orang bertopeng merah. Sejenak dia 

memandang pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih 

pada orang bertopeng hitam. 

Tiba-tiba orang bertopeng merah angkat tangan 

kirinya. Saat sejajar dengan kepalanya, dia 

menyentak. 

Brettt! 

Topeng dari kulit berwarna merah lepas. Kini 

tampaklah seraut wajah tua seorang laki-laki. 

Sepasang matanya lebar. Hidungnya agak besar. 

Sementara mulutnya terbuka menganga. Orang ini 

lalu angkat tangan kanannya. Begitu berada di atas 

kepala, mendadak tangan kanannya bergerak. 

Breeett! 

Pakaian yang menutup bagian kepalanya lepas ke 

bawah hingga lehernya terbuka. Ternyata laki-laki Ini 

tidak memiliki leher! Kepalanya yang berambut putih


seolah nongol di antara kedua bahunya! 

"Sontoloyo!" seru orang bertopeng hitam begitu 

mengetahui apa yang dilakukan orang yang tadi 

mengenakan topeng merah. 

"Kau membuat kesalahan!" kata orang bertopeng 

hitam sambil hentakkan kedua kakinya. Meski 

tampangnya tidak terlihat, tapi nada suaranya jelas 

menunjukkan kalau dia marah. 

"Jangan bicara tak karuan! Kaiaupun kau tidak 

buka topengmu, aku akan katakan siapa kau 

sebenarnya!" sahut orang yang wajahnya sudah 

kelihatan. Lalu orang ini tertawa bergelak. Anehnya 

meski suaranya telah lenyap, tapi mulutnya masih 

terbuka menganga! 

"Sialan benar! Kalau tahu nyalimu begini rupa, 

menyesal aku mengajakmu!" ujar orang bertopeng 

hitam. Lalu orang ini angkat kedua tangannya. 

Brettt! Brettt! 

Topeng hitam dan pakaian yang menutup kepala 

orang terenggut lepas. Kini tampaklah wajah seorang 

laki-laki berusia lanjut berambut putih digelung ke 

atas. Wajahnya telah mengeriput dengan sepasang 

mata besar. 

Sejenak orang yang tadi mengenakan topeng 

hitam memandang dengan mata mendelik angker ke 

arah orang yang tadi mengenakan topeng merah. 

"Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga ciut nyrli!" 

kata orang yang tadi mengenakan topeng merah. Lalu 

palingkan kepaia ke arah murid Pendeta Sinting.


Orang yang tadi mengenakan topeng hitam meng-

gerendeng panjang pendek. Tapi kejap kemudian dia 

ikut palingkan kepalanya menghadap Pendekar 131. 

Murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang 

matanya. Seolah tak percaya, sesaat dia kerjapkan 

mat? lalu dibeliakkan. Tiba-tiba dia berseru. 

"Kakek Iblis Ompong! Eyang Guru!" laksana 

terbang, Joko berkelebat ke depan lalu berlutut 

seraya berkata. 

"Harap maafkan tindakanku tadi...." 

Orang yang tadi mengenakan topeng merah dan 

tidak lain memang Iblis Ompong adanya buka 

mulutnya lebar-lebar tanpa keluarkan suara. 

Sementara orang yang tadi mengenakan topeng 

hitam dan tidak lain adalah Pendeta Sinting adanya 

mendelik- sambil perhatikan sosok muridnya. 

"Kek! Eyang Guru.... Sebenarnya aku tadi sudah 

bimbang. Tapi karena kalian seakan bersungguh-

sungguh, keraguanku lenyap.... Jadi harap kalian 

berdua mengerti tindakanku...." 

Tidak ada sahutan yang terdengar. Namun Joko 

lanjutkan ucapannya dengan kepala menunduk dan 

kaki berlutut. 

"Eyang.... Ada sesuatu yang harus kutanyakan 

padamu...." 

Joko menunggu sahutan. Namun hingga agak 

lama menunggu tidak juga terdengar sahutan suara, 

Joko perlahan-lahan angkat kepalanya dengan tubuh 

sedikit bergetar dan dada berdebar. Dia khawatir apa 

yang tadi telah dilakukan membuat gurunya marah


hingga tak mau menyahut ucapannya. 

"Astaga!" Pendekar 131 tersentak kaget. Ternyata 

baik Iblis Ompong maupun Pendeta Sinting sudah 

tidak kelihatan lagi batang hidungnya! 


--oo0dw0oo-- 


ENAM 



PENDEKAR 131 Joko Sableng pentangkan mata 

lalu edarkan pandangan berkeliling. "Ke mana 

mereka berdua? Dasar orang-orang aneh.... Padahal 

ada sesuatu yang harus kusampaikan pada Eyang 

Guru masalah nenek yang katakan diri sebagai Ni Luh 

Padmi.... Hem.... Kalau mereka benar-benar pergi dari 

sini mereka pasti belum jauh...." 

Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting tajamkan 

telinga. Lalu secepat kilat dia putar diri dan 

berkelebat. Tapi baru saja sosoknya bergerak, 

mendadak satu suara terdengar. 

"Untuk apa kita masih main sembunyi-sembunyi? 

Kau dengar tadi, muridmu akan menanyakan 

sesuatu?" 

"Sontoloyo! Kau selalu saja merusak rencanaku!" 

terdengar suara sahutan dengan nada keras. 

Joko urungkan niat. Kembali dia putar diri 

menghadap ke arah suara-suara yang baru saja 

terdengar. Dia hendak melangkah mendekat. Dia 

yakin suara-suara tadi terdengar dari balik pohon 

besar sejarak lima belas langkah di hadapannya. 

Namun langkahan kaki Joko tertahan. Karena 

bersamaan dengan itu satu sosok tubuh berkelebat


keluar dari balik pohon dan tahu-tahu teiah tegak di 

hadapan Joko dengan kedua tangan berkacak 

pinggang dan mulut terbuka lebar. Orang ini adalah 

Iblis Ompong. 

Joko bungkukkan sedikit tubuhnya menjura 

hormat. Mungkin takut kalau orang akan berkelebat 

pergi tanpa diketahui, Joko sengaja bungkukkan 

tubuh dengan kepala sedikit terangkat. Dengan 

begitu dia masih dapat melihat ke mana orang 

berkelebat. 

"Kek...! Harap kau tidak sakit hati dengan apa yang 

tadi terjadi...." 

Iblis Ompong dongakkan kepala. Karena orang tua 

ini tidak punya leher, maka bersamaan dengan 

gerakan kepalanya yang mendongak, bahunya 

tampak sedikit terangkat. 

"Semuanya sudah berakhir. Untuk apa selalu 

dipikir! Lagi pula semua itu bukanlah rencanaku. 

Gurumu-lah yang punya tingkah laku!" ujar Iblis 

Ompong. 

"Sialan! Enak saja kau bicara!" satu suara 

menyambut! dari balik pohon. Belum habis suara 

orang, satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di 

samping Iblis Ompong. Dia bukan lain adalah Pendeta 

Sinting. Sepasang matanya mendelik pada Iblis 

Ompong. Tapi di lain saat orang tua guru Pendekar 

131 ini perdengarkan tawa mengekeh panjang. 

Sekali lagi Joko bungkukkan tubuh menjura 

hormat ke arah Pendeta Sinting. Entah karena 

menduga eyang gurunya masih memendam perasaan 

dongkol karena kejadian yang tadi berlangsung, kali


ini Joko tidak berani angkat kepala memandang. 

"Sontoloyo!" kata Pendeta Sinting pada Joko. "Apa 

yang hendak kau tanyakan?!" 

Perlahan-lahan Joko angkat kepalanya. Melirik 

sesaat pada eyang gurunya lalu berkata. 

"Eyang.... Sebelumnya aku akan mengatakan 

padamu bahwa tugas yang selama ini kuemban, telah 

ku-selesaikan dengan baik! Kedua kitab itu telah 

dapat ku-selamatkan...." 

"Aku sudah tahu! Malah siapa saja gadis-gadismu 

aku juga tahu!" sahut Pendeta Sinting. 

Tampang muka Joko Sableng berubah merah 

padam. Dia melirik pada Iblis Ompong. Yang dilirik 

tetap mendongak namun kejap lain buka suara. 

"Kau jangan menuduhku yang bukan-bukan. Aku 

tidak pernah cerita pada gurumu yang tidak karuan! 

Meski gurumu selalu bertanya mengorek keterangan! 

Kalau tidak percaya silakan kau ajukan pertanyaan!" 

Pendekar 131 alihkan lirikannya pada Pendeta 

Sinting. Yang dilirik kali ini tengah memandang tajam 

ke arahnya. 

"Pada siapa aku memperoleh cerita bukan urusan 

kalian berdua! Sekarang aku ingin dengar apa yang 

hendak kau tanyakan!" 

Niat semula Joko yang hendak ceritakan tentang 

perjalanannya selama ini diurungkan. Dari nada 

bicara eyang gurunya, Joko telah mengetahui kalau 

gurunya sedikit banyak telah tahu apa yang selama 

ini terjadi. Hingga pada akhirnya dia ajukan tanya


tentang nenek yang dijumpainya dan mengatakan 

mencari Pendeta Sinting. 

"Eyang.... Apa kau mengenal seorang nenek cantik 

bernama Ni Luh Padmi?" 

Belum sampai Pendeta Sinting menjawab, Iblis 

Ompong sudah perdengarkan ledakan tawa sambil 

berkata. 

"Di mana-mana air memang akan selalu mengalir 

ke bawah. Kalau gurunya dahulu kala sudah terlibat 

dengan perempuan, bagaimana mungkin muridnya 

akan terbebas dari nu.khluk perempuan?!" 

"Sialan! Jangan kau mempermalukan aku!" hardik 

Pendeta Sinting seraya arahkan pandangannya pada 

Iblis Ompong. 

"Bukan maksud hati membuatmu malu. Apalagi 

kejadian itu sudah berlalu! Aku hanya ambil 

pelajaran. Ternyata iseng main dengan perempuan, 

kelak di hari tua akan timbulkan urusan! Bahkan 

orang yang tidak tahu menahu harus ikut 

menanggung beban!" 

Pendeta Sinting tidak pedulikan ucapan Iblis 

Ompong meski matanya melirik ke arah orang tua 

yang tidak punya leher dan mulutnya selalu terbuka 

menganga itu. Sebaliknya dia cepat bertanya. 

"Kapan dan di mana kau bertemu dengan 

perempuan itu? Apa yang dikatakan padamu? Jawab 

dengan jelas dan ceritakan semuanya! Jangan 

sampai ada satu kejadian atau kata-katanya yang kau 

sembunyikan!" 

Mendengar ucapan Pendeta Sinting, kembali Iblis


Ompong tertawa bergelak. 

"Apa nenek itu tetap jelita? Mengenakan polesan 

bibir warna apa? Apa pakaian yang dikenakan tjpis 

menggoda? Dan apakah dia juga titip salam manis 

untuk gurumu?!" 

Karena jengkel dan tidak bisa berbuat banyak 

pada Iblis Ompong, akhirnya setelah melotot pada 

Iblis Ompong, Pendeta Sinting melompat ke arah 

muridnya dan berbisik. 

"Jangan hiraukan ucapan manusia edan itu! Jawab 

saja pertanyaanku tadi!" 

"Tapi harap kau ulangi lagi pertanyaanmu. 

Pertanyaanmu tadi terlalu banyak. Aku jadi tidak ingat 

semuanya...," ujar Joko seraya arahkan 

pandangannya pada Sblis Ompong dengan bibir 

sunggingkan senyum. 

"Sontoloyo! Kau rupanya mau ikut-ikutan berbuat 

edan seperti Iblis tak bergigi itu!" hardik Pendeta 

Sinting dengan suara ditekan, membuat suaranya 

terdengar parau dan lucu. Hal ini membikin Iblis 

Ompong perkeras suara gelakan tawanya. Lalu 

berucap. 

"Cinta kadangkala membikin orang mabuk 

kepayang. Tapi jangan iupa, mempermainkan cinta 

bisa membuat jiwa melayang! Cinta sering kali 

membuat orang gentayangan. Tapi tak sedikit yang 

membikin manusia sempoyongan. Karena putus dan 

khianat cinta tak jarang menimbulkan dendam 

berkepanjangan!" 

"Kakek itu benar ucapannya...," gumam Joko.


"Sontoloyo! Apa kau bilang? Ucapannya mana yang 

kau anggap benar?!" sentak Pendeta Sinting. "Sudah 

kukatakan, jangan hiraukan ucapan manusia edan 

itu! Sekarang jawab. Di mana dan kapan kau bertemu 

dengan perempuan yang kau katakan nenek cantik 

itu?!" 

"Aku bertemu dengannya pada satu tempat kira-

kira setengah hari perjalanan dari sini! Pertemuan itu 

baru saja terjadi!" 

"Hem.... Apa yang dikatakan padamu?!" tanya 

Pendeta Sinting dengan mata memandang pada Iblis 

Ompong yang tegak dengan masih mendongak dan 

mulut terbuka menganga! 

"Nenek itu menanyakan padaku di mana kau 

berada...." 

"Hanya itu?!" 

Joko gelengkan kepala. "Dia juga mengatakan 

antara kau dengannya bukan hanya ada silang 

sengketa. Melainkan ada urusan besar yang tidak 

akan selesai sebelum kau menemui ajal di 

tangannya...." 

Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Lalu 

angkat bicara masih dengan suara ditekan. "Kau 

bilang apa padanya?!" 

"Aku mengatakan tidak tahu di mana kau 

berada...." 

Pendeta Sinting tersenyum seraya anggukkan 

kepala. "Bagus. Lalu apa katanya ketika mendengar 

ucapanmu?!"


"Dia tidak heran kalau seorang murid melindungi 

gurunya. Yang membuatnya aneh justru adalah kalau 

seorang murid tidak mengetahui di mana gurunya 

berada! Dia mengatakan telah mengadakan 

perjalanan jauh. Dan tak akan sia-siakan setiap 

kesempatan!" 

Paras wajah Pendeta Sinting berubah agaktegang. 

"Tunggu! Dari mana dia tahu kau adalah muridku?!" 

"Itulah yang sampai saat ini membuatku heran! Dia 

dengan tepat bisa menebakku! Padahal baru kali itu 

aku jumpa dengannya...." 

"Mengapa saat itu kau tidak mengatakan saja 

sebagai murid Iblis Ompong itu misalnya?!" 

"Percuma aku berkata bohong! Lagi pula 

sebenarnya aku ingin tahu apa yang menjadi 

maksudnya mencarimu...." 

"Dasar sontoloyo! Kau selalu saja ingin tahu 

urusan orang tua!" 

"Maaf, Eyang Guru.... Bukan maksudku begitu. 

Sebagai murid setidaknya aku ingin tahu. Siapa duga 

kalau aku dapat menyelesaikan masalah?" 

"Oh.... Begitu? Lalu apakah kau akhirnya dapat 

selesaikan masalah itu?! Dapat? He...?!" 

Joko tidak berani menyahut ucapan gurunya. Dia 

hanya memandang. Bukan pada Pendeta Sinting, 

melainkan pada Iblis Ompong. 

Karena muridnya tidak menjawab, Pendeta Sinting 

lanjutkan ucapannya. "Kau tahu, Sontoloyo! Dengan 

tindakanmu itu, kau telah ikut libatkan diri dalam


urusan Inil Padahal aku telah punya rencana untuk 

tidak libatkan siapa pun juga!" 

"Tapi, Eyang...» Dengan tahu persoalannya, 

setidaknya aku bisa memberikan keterangan 

sekaligus dapat memberitahukan padamu kalau ada 

seorang nenek cantik mencarimu...." 

"Sudah.... Sudah! Sekarang katakan padaku apa 

saja yang sempat diucapkan! Jangan sembunyikan 

sesuatu, hingga kalau kelak aku jumpa dengannya, 

aku bisa cepat selesaikan urusan!" 

Joko Sableng angkat alis kedua matanya. "Dia 

tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya kudengar dia 

sempat bergumam kalau dia rindu padamu dan ingin 

segera bertemu.... Aneh juga ya...? Di balik dendam 

ternyata tersimpan rindu...." 

Meski Joko perdengarkan suara sangat pelan, tapi 

tak urung terdengar juga oleh Iblis Ompong. Hingga 

sebelum Pendeta Sinting sempat buka mulut, iblis 

Ompong sudah mendahului. 

"Kau tak usah merasa heran dan aneh, Sontoloyo! 

Cinta memang begitu adanya. Di dalamnya ada rindu, 

jengkel, sayang, geram. Itulah makanya ada istilah 

rindu dendam. He.... He.... He...l" 

“Eyang..." bisik Joko begitu Iblis Ompong selesai 

dengan ucapannya. "Apa sebenarnya yang terjadi 

antara kau dengan nenek itu?! Kobaran dendam 

pada tiadanya rupanya begitu membara! Apa 

memang betul dugaan kakek ompong itu? Kau 

pernah terlibat main cinta dengan nenek cantik itu?!" 

Sesaat Pendeta Sinting pandangi muridnya dari


ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu menghardik. 

"Kau jangan ikut-ikutan urusan orang tua inll Dan 

ingat. Jangan sekali-kali kau campur tangan!" 

Mungkin karena sudah tidak tahan menahan rasa 

dongkol, Pendeta Sinting menghardik dengan suara 

agak keras. 

"Dalam urusan cinta, kehadiran orang ketiga 

memang akan membikin panjang cerita! Jadi kau 

harus mengerti, Anak Muda! Kalaupun kau masih 

tidak bisa mengerti, kau berpura-puralah...." Iblis 

Ompong tidak lanjutkan ucapannya, karena saat itu 

Pendeta Sinting sentakkan kepalanya berpaling 

dengan mata makin membellak. 

Anehnya, sesaat kemudian bukan hardikan keras 

yang teri igar dari mulut Pendeta Sinting, melainkan 

suara tawa bergelak. Lalu berkata. 

"Kita harus cepat pergi...." Selesai berkata begitu, 

Pendeta Sinting akan berkelebat. 

"Tunggu!" teriak Joko menahan gerakan eyang 

gurunya. "Masih ada sesuatu yang harus 

kuberitahukan!" 

"Apakah masih berhubungan dengan nenek cantik 

itu?!" Yang angkat bicara adalah Iblis Ompong. 

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala dengan 

mata memandang silih berganti pada Iblis Ompong 

dan Pendeta Sinting. 

"Apa yang hendak kau beri tahukan?!" kali Ini 

Pendeta Sinting yang buka suara. 

"Di dalam rimba persilatan ternyata masih ada


sebuah kitab sakti...." Lalu Joko menceritakan perihal 

Kitab Hitam dan perjalanannya selama ini. 

Baik Pendeta Sinting maupun Iblis Ompong 

sejenak sama tersentak begitu mendengar 

keterangan Joko. Setelah terdiam agak lama, 

akhirnya Iblis Ompong yang buka suara terlebih 

dahulu. 

"Masalah gadis cantik yang kau sebut sebagai 

Putri Sableng itu. Apakah dia tidak pernah sebut-

sebut namaku...? Setidaknya mengatakan pernah 

bertemu denganku...?!" 

Joko menahan tawa. Tapi tidak demikian dengan 

Pendeta Sinting. Orang tua penghuni Jurang Tlatah 

Perak ini sudah terpingkal-pingkal. 

"Itulah kalau orang tidak mau berkaca! Dikira 

setiap gadis mengenalnya!" 

Iblis Ompong tidak mau diam begitu saja. Dia 

cepat menyahut. 

"Maaf. Bukannya aku bicara mengada-ada. Kalau 

dengar keterangannya, aku merasa pernah 

mengenalnya! Dan aku punya firasat, dugaanku tidak 

akan sesat! Malah aku berani memastikan kalau 

gadis itu tetap mengenangku, meski wajahku 

bukanlah termasuk tampang laki-laki yang mudah 

laku!" 

Iblis Ompong sejenak hentikan ucapannya. Dan 

begitu dilihatnya Joko Sableng dan Pendeta Sinting 

diam dan satunya lagi tetap terpingkal-pingkal, Iblis 

Ompong lanjutkan ucapannya. 

"Namun meski aku begitu banyak mengenal


perempuan dan gadis cantik, aku tidak pernah 

membuat ulah yang pada akhirnya akan munculkan 

masalah!" 

Tahu kalau ucapan Iblis Ompong menyindir 

Pendeta Sinting, orang tua ini putuskan pingkalan 

tawanya. Lalu berkata dengan suara keras. 

"Kita sama-sama punya pekerjaan. Jadi kau jangan 

harapkan bantuan tenagaku. Urusan Kitab Hitam 

terserah padamu! Sementara kau jangan campur 

tangan urusanku! Kau paham?!" 

Joko hanya bisa anggukkan kepala sambil berkata. 

"Dapat jumpa denganmu sudah membuatku tenang. 

Hanya ada satu yang masih mengganjal...." 

"Setan! Kau masih juga membuatku penasaran!" 

bentak Pendeta Sinting. Tapi tak urung orang tua ini 

ajukan juga pertanyaan. "Apa yang masih mengganjal 

di hatimu?!" 

"Kau belum mengatakan ada silang sengketa apa 

antara kau dengan nenek itu?!" 

Mungkin saking jengkelnya mendengar pertanyaan 

Joko, Pendeta Sinting angkat kaki kiri kanannya lalu 

dihentakkan, hingga membuat tanah di tempat itu 

bergetar. 

"Kau dengar, Sontoloyo! Itu urusanku! Yang jelas 

jangan sampai kau buat keributan dengannya lagi!" 

"Bahkan kalau bisa kau harus pandai merayunya! 

Dan kalau kau sempat jumpa dengan nenek itu lagi, 

sampaikan salam dan peluk cium padanya...." Yang 

menimpali adalah Iblis Ompong.


"Setan! Setan! Setan! Kalian berdua setan semua!" 

teriak Pendeta Sinting tak tahan lagi menindih 

perasaan. 

Habis memaki begitu, Pendeta Sinting berkelebat. 

Iblis Ompong sejurus luruskan pandangannya ke arah 

Joko. Lalu berteriak. 

"Hai.... Tunggu! Jangan kau tinggalkan daku!" 

Meski Pendeta Sinting teruskan kelebatannya, tapi 

orang tua penghuni Jurang Tlatah Perak ini masih 

sempat berujar. 

"Mengajakmu ikut serta dalam urusan ini 

bukannya akan menyelesaikan masalah, tapi akan 

menambah keruh persoalan!" 

"Kau dengar, Anak Muda! Kalau yang diurus 

perempuan, dia seakan tak sabaran dan 

meninggalkan aku seenaknya saja! Tapi kalau yang 

diurus masalah lain, gurumu mengajakku sampai 

bersimbah airmata.... Yah, dasar orang sinting...." 

Belum sampai ucapannya selesai, Iblis Ompong 

sudah berkelebat menyusul Pendeta Sinting. 

Sementara Joko hanya dapat pandangi kedua orang 

tua itu seraya gelengkan kepala. 


--oo0dw0oo-- 


TUJUH 



YAKIN kalau Malaikat Penggali Kubur tidak berkata 

dusta, Ni Luh Padmi mendaki puncak Bukit 

Selamangleng dengan mengambil jalan memutar 

tanpa melewati jalan yang sudah ada. Hal ini memang 

membutuhkan waktu agak lama dan tak jarang harus


menerabas ranggasan semak berduri. Tapi si nenek 

telah memperhitungkan segalanya. Kalau Malaikat 

Penggali Kubur bukan manusia baik-baik, orang-orang 

yang disebut sebagai budak-budaknya dan 

menurutnya berada di di Bukit Selamangleng, tentu 

tidak jauh dari Malaikat Penggali Kubur. Inilah yang 

membuat NI Luh Padmi bersikap hati-hati dan 

memutuskan untuk mengambil jalan memutar yang 

orang tidak mungkin menduganya. 

Seperti diketahui, Ni Luh Padmi yang mengadakan 

perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting pada 

akhirnya jumpa dengan Malaikat Penggali Kubur. 

Saat terjadi bentrok, Ni Luh Padmi sempat terjepit 

dan tak berdaya. Malaikat Penggali Kubur tidak sia-

siakan kesempatan. Ni Luh Padml harus menerima 

syarat Malaikat Penggali Kubur kalau nyawanya ingin 

selamat. Karena masih menyimpan dendam yang 

belum kesampaian, akhirnya Ni Luh Padmi menerima 

apa yang dikatakan Malaikat Penggali Kubur. 

Begitu kira-kira sepuluh tombak lagi mencapai 

puncak bukit, Ni Luh Padmi sengaja hentikan 

langkah. Kepalanya berpaling ke kiri kanan dan ke 

bawah. Lalu tengadah ke arah puncak bukit. 

"Masih tidak ada tanda-tanda akan munculnya 

seseorang...," desis si nenek. "Puncak bukit juga 

tampak sepi.... Jangan-jangan pemuda itu berdusta! 

Tapi.... Belum tenang hatiku kalau tidak 

membuktikannya sendiri...." 

Seraya terus waspada, Ni Luh Padmi akhirnya 

terus melangkah mendaki ke arah puncak bukit. Pada 

satu tempat yang dirasa aman dan pandangannya 

bisa mengawasi sekitar puncak bukit, si nenek


kembali hentikan langkahnya. Sepasang matanya 

melotot memperhatikan. 

"Benar-benar sepi.... Atau jangan-jangan orang 

yang dikatakan sebagai budak-budaknya sengaja 

bersembunyi?" 

Untuk beberapa saat Ni Luh Padmi masih tegak di 

tempatnya. Sesaat kemudian baru terlihat si nenek 

melangkah ke samping. Tangan kanannya bergerak. 

Trakkk! 

Satu potongan dahan kayu telah berada di 

tangannya. Dengan sedikit kerahkan tenaga dalam, 

potongan kayu dilemparkan ke arah puncak bukit. 

Cleeep! 

Potongan dahan kayu menancap tepat di tengah 

puncak bukit. Si nenek menunggu dengan mata tak 

berkesip. Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda 

akan munculnya seseorang. 

"Hem.... Puncak bukit ini benar-benar kosong...," 

gumamnya lalu laksana terbang, si nenek cepat 

berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di puncak 

bukit dengan kedua tangan terkembang. Tusuk konde 

warna hitamnya diputar-putar perdengarkan deruan 

keras. Sikapnya jelas kalau si nenek siap 

menyongsong kalau ada seseorang yang lancarkan 

pukulan. 

Namun hingga dua kali memutar tubuh dengan 

mata mengedar berkeliling, si nenek tidak melihat 

adanya orang. "Sialan! Pemuda itu menipuku!" maki si 

nenek.


Tapi meski sudah bergumam begitu, Ni Luh Padmi 

tidak juga luruskan kedua tangannya. Malah sekali 

lagi dia pentangkan mata lalu berteriak. 

"Siapa pun adanya penghuni bukit ini, harap 

tunjukkan diri! Aku datang membawa pesan 

seseorang!" 

Tidak ada suara sahutan, membuat Ni Luh Padmi 

sipitkan mata lalu kembali berteriak. Namun kali ini 

juga tidak ada suara yang menyahut atau munculnya 

seseorang. 

"Hem.... Bagaimana sekarang? Bukit ini kosong.... 

Apakah aku harus menunggu hingga pemuda itu 

muncul? Satu purnama bukanlah waktu yang 

pendek.... Tapi daripada harus mencari yang tiada 

hasil, lebih baik aku menunggu! Siapa tahu janji 

pemuda itu benar?!" 

Setelah memutuskan begitu, Ni Luh Padmi 

melangkah ke arah satu pohon agak besar. Saat lain 

nenek ini telah duduk bersandar. 

Mungkin karena lelah setelah berhari-hari 

mengadakan perjalanan ke tempat di mana kini dia 

berada, Ni Luh Padmi tampak segera tertidur. Tapi 

rupanya si nenek tidak dapat lanjutkan istirahat. 

Karena baru saja kepalanya teleng ke bahu dan 

sepasang matanya terpejam, dua bayangan terlihat 

berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. 

Hanya sesaat lagi kedua bayangan itu mencapai 

puncak bukit, orang di sebelah kanan tiba-tiba angkat 

tangan kirinya. Serentak keduanya hentikan lari 

masing-masing.


"Ada apa?!" tanya orang di sebelah kiri yang 

ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik 

berusia kira-kira tiga puluh,tahun. Dia mengenakan 

pakaian ketat tipis berwarna biru yang bagian 

dadanya dibuat rendah hingga sepasang payudaranya 

yang kencang membusung mencuat menggoda. 

Hidungnya mancung dengan bibir merah. Pinggulnya 

besar dan padat. Perempuan ini tidak lain adalah 

Ratu Pemikat 

"Ada seseorang sengaja cari mampus datang ke 

tempat ini!" jawab orang di sebelah kanan yang tadi 

angkat tangan kirinya memberi isyarat agar mereka 

hentikan kelebatan. Dia adalah seorang laki-laki yang 

wajahnya hampir tidak tertutup daging. Sepasang 

matanya melotot besar. Laki-laki ini bukan lain adalah 

iblis Rangkap Jiwa. 

Seperti diketahui, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap 

Jiwa memutuskan untuk mengejar Pendekar 131 ke 

kuil di pantai timur seperti apa yang dikatakan Dewa 

Orok. Namun begitu keduanya sampai di tempat 

tujuan, mereka berdua tidak menemukan siapa-siapa. 

Hingga dengan membawa perasaan marah, keduanya 

kembali. 

Pada mulanya Ratu Pemikat bersikeras hendak 

menuju tempat di mana Dewa Orok mereka tanam di 

dalam tanah. Namun Iblis Rangkap Jiwa tidak setuju 

dengan usul Ratu Pemikat. Kedua orang ini hampir 

saja bentrok. Namun begitu Ratu Pemikat sadar siapa 

adanya orang yang baru dihadapi, akhirnya 

perempuan bertubuh bahenol ini mengalah dan 

menuruti usul iblis Rangkap Jiwa yang menginginkan 

kembali dulu ke Bukit Selamangleng.


Iblis Rangkap Jiwa sengaja mengajak Ratu 

Pemikat ke Bukit Selamangleng dengan maksud 

tersendiri. Karena selama ini Ratu Pemikat hanya 

memberikan janji akan bersenang-senang tanpa ada 

buktinya. Kalaupun Ratu Pemikat mau itu pun dalam 

keadaan terpaksa dan terbatas. 

"Hem.... Pasti dia punya maksud mencari tahu 

tentang Kitab Hitam...," desis Ratu Pemikat seraya 

arahkan pandangan ke puncak bukit. 

"Tapi bukan Kitab Hitam yang dia dapatkan! 

Melainkan nasib buruk!" kata Iblis Rangkap Jiwa. "Kau 

tunggu di sini. Aku akan menyelidik siapa manusia itu 

adanya!" 

Tanpa menunggu jawaban Ratu Pemikat,. Iblis 

Rangkap Jiwa berkelebat ke puncak bukit. Saat lain 

sosoknya telah tegak di hadapan Ni Luh Padmi. 

"Siapa pun adanya manusia ini, dia harus cepat 

menyingkir! Dengan munculnya dia, aku tidak akan 

bisa bersenang-senang!" membatin Iblis Rangkap 

Jiwa seraya pentangkan mata perhatikan sosok Ni 

Luh Padmi yang tampak masih duduk bersandar 

dengan sepasang mata mengatup dan kepala teleng 

ke bahu. 

Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai. 

"Sayang dia tua bangka peot. Jika tidak, mungkin 

dapat kupakai bergantian.... Orang tua macam dia, 

tidak kubutuhkan!" 

Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kanannya. 

Namun sebelum tangannya sempat lancarkan 

pukulan, Ni Luh Padmi bergerak mendahului. Nenek 

ini laksana kilat bergerak bangkit. Tangan kirinya


berkelebat kirimkan pukulan. 

Wuuttt! 

Satu gelombang angin deras menghampar ke arah 

Iblis Rangkap Jiwa, membuat laki-laki berkepala 

gundul ini sesaat jadi tersentak. Namun cepat-cepat 

melompat ke samping seraya memangkas pukulan si 

nenek. 

Terdengar letupan. Namun karena keduanya 

hanya sedikit kerahkan tenaga daiam yang dimiliki, 

sosok keduanya tampak tidak bergeming sedikit pun! 

Namun begitu, bentrok pukulan keduanya telah 

membuat masing-masing orang jadi maklum kalau 

orang yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah. 

"Hem.... Adakah ini sosoknya yang dikatakan 

pemuda Malaikat Penggali Kubur sebagai 

budaknya?!" kata Ni Luh Padmi dalam hati dengan 

mata membesar memandang tajam pada Iblis 

Rangkap Jiwa. 

Melihat keangkeran tampang Iblis Rangkap Jiwa, 

sesaat Ni Luh Padmi terkesiap. Apalagi dia sadar 

kalau orang di hadapannya mempunyai tingkat 

kepandaian yang tinggi. Hal itu diketahuinya bukan 

saja dari bentroknya pukulan yang baru saja terjadi, 

namun sejak semula, si nenek sebenarnya sudah 

mengetahui kalau ada orang yang berkelebat 

mendaki puncak bukit. 

Namun sejauh ini Ni Luh Padmi pura-pura tidak 

mengetahui kedatangan orang. Dia terus berpura-

pura tertidur untuk mengetahui apa yang hendak 

dilakukan orang. Tapi si nenek sama sekali tidak


menduga kalau secepat itu orang yang diketahuinya 

mendaki puncak bukit sampai di hadapannya. Dia 

juga tidak tahu, berapa orang yang mendaki puncak 

bukit. Yang jelas diketahui, hanya ada orang yang 

sedang berkelebat menuju puncak bukit. 

"Kau manusia tidak beruntung, Nenek Peot! Bukan 

Kitab Hitam yang akan kau peroleh, melainkan nasib 

malang!" bentak Iblis Rangkap Jiwa langsung ke 

persoalan. Laki-laki ini sengaja berterus terang, 

karena dia pikir, tidak ada yang bisa diperoleh dari 

seorang nenek seperti Ni Luh Padmi. 

Di lain pihak, mendengar ucapan Iblis Rangkap 

Jiwa, Ni Luh Padmi tampak kerutkan dahi. "Dia sebut-

sebut sebuah kitab, apakah di sini tersimpan sebuah 

kitab? Tapi mengapa Malaikat Penggali Kubur 

menunjukkan tempat ini padaku? Apa maksudnya? 

Jangan-jangan pemuda itu punya maksud di balik 

ucapannya yang mengatakan aku harus 

menunggunya di sinil Lalu siapa orang ini?!" 

Ni Luh Padmi sejenak memperhatikan sekali lagi. 

Lalu buka suara. 

"Siapa kau?!" Si nenek sengaja balas membentak 

karena tidak mau dipandang sebelah mata di 

hadapan orang. 

Iblis Rangkap Jiwa kembali menyeringai dengan 

alihkan pandangan ke jurusan lain. Saat kemudian 

laki-laki ini perdengarkan tawa terbahak seraya 

berkata membentak. 

"Karena kau nenek bernasib malang, aku akan 

katakan siapa diriku!" sejenak Iblis Rangkap Jiwa 

hentikan bentakannya, lalu lanjutkan. "Aku adalah


Iblis Rangkap Jiwa!" 

"Aku Ni Luh Padmi!" tanpa diminta, si nenek 

perkenalkan diri. Lalu teruskan ucapannya. "Mengapa 

kau menduga aku datang untuk memperoleh sebuah 

kitab?! Apa di sini memang tersimpan sebuah kitab?!" 

Iblis Rangkap Jiwa tertawa panjang mendengar 

pertanyaan Ni Luh Padmi. 

"Kau jangan berpura-pura, Tua Bangka! Aku tidak 

peduli siapa kau! Aku juga tidak peduli kau berpura-

pura atau tidak! Yang jelas, kedatanganmu di sini 

telah mengganggu ketenanganku!" 

"Ucapannya memberi petunjuk kalau dia penghuni 

puncak bukit Ini! Tapi mengapa urusan yang 

dikatakannya sebuah kitab? Bukan urusan yang ada 

hubungannya dengan pemuda itu atau si jahanam 

Pendeta Sinting?!" 

Setelah berpikir agak panjang, akhirnya Ni Luh 

Padmi berujar dengan suara sedikit direndahkan. 

"Kalau kedatanganku memang mengganggu kete-

nanganmu, aku akan pergi.... Tapi sebelumnya aku 

katakan. Aku tidak tahu menahu perihal Kitab Hitam 

yang kau katakan!" 

"Persetan dengan ucapanmu! Lagi pula mana ada 

pencuri yang mengaku jika ketahuan?! Ha.... Ha.... 

Ha...!" 

"Aku tak memaksamu untuk percaya atau tidak! 

Tapi aku masih akan mengatakan satu hal lagi. Kau 

mengenal seorang pemuda bernama Malaikat 

Penggali Kubur?!"


Meski Iblis Rangkap Jiwa coba sembunyikan rasa 

kejutnya, tapi hal itu tidak lepas dari pandangan Ni 

Luh Padmi. Hingga sambil ganti tertawa pendek, si 

nenek berujar. 

"Kau mengenalnya bukan?!" 

"Dia yang menyuruhmu datang ke tempat ini?!" 

Iblis Rangkap Jiwa balik ajukan tanya. 

"Aku datang dari jauh tidak untuk menjadi'suruhan 

orang! Kalau aku sampai muncul di sini, semata-mata 

karena ada urusan dengan pemuda itu!" 

"Urusan apa?!" 

Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Sebaliknya 

kini alihkan pandangan ke jurusan lain seperti yang 

dilakukan Iblis Rangkap Jiwa tadi. Setelah agak lama, 

si nenek akhirnya buka mulut. 

"Apa urusanku, apa pedulimu? Yang pasti 

kedatanganku bukan ada hubungannya dengan Kitab 

Hitam! Kau dengar?! Urusan kitab, bagiku adalah 

urusan kecil! Aku punya urusan besar lebih dari 

sekadar sebuah kitab!" 

"Apa kau menduga pemuda itu akan datang ke 

tempat ini?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa menyelidik. 

Dada laki-laki ini sebenarnya tidak enak begitu tahu 

kalau si nenek mengenal Malaikat Penggali Kubur. 

Sementara Ni Luh Padmi cepat berpikir begitu 

mengetahui kalau Iblis Rangkap Jiwa tambah tegang. 

"Aku tidak hanya menduga. Tapi aku yakin kalau 

Malaikat Penggali Kubur akan datang ke tempat ini!" 

ujar NI Luh Padmi setelah berpikir agak lama.


Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa makin berubah 

tegang. Sepasang matanya mendelik pandangi raut Ni 

Luh Padmi. 

"Kapan dia akan datang?!" 

"Hem.... Orang ini tambah tampak ketakutan! Aku 

hampir yakin jika dia adalah budak Malaikat Penggali 

Kubur. Tapi mengapa dia ketakutan tatkala 

kukatakan pemuda itu akan datang?! Aku harus bisa 

mengetahuinya...." 

Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di 

depan dada. Kepalanya berputar lalu berkata. "Aku 

tidak akan katakan padamu kapan dia akan datang 

sebelum kau jawab beberapa pertanyaanku!" 

Ketegangan di wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah 

menjadi bersitan kemarahan. Tulang pelipis kanan 

kirinya bergerak-gerak. Rahangnya mengembang. 

Tapi sebenarnya dalam hati, laki-laki ini makin tidak 

enak. Karena jika tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur 

muncul, dan dia belum dapat melakukan apa yang 

dikatakan si pemuda, maka keselamatan jiwanya 

terancam. Malah apa yang selama ini direncanakan 

bisa jadi berantakan. Ingat akan hal itu, membuat 

Iblis Rangkap Jiwa teringat pada Ratu Pemikat. 

"Kalau saja tidak turuti ucapan dan usul 

perempuan itu, tentu kepala Dewa Orok sudah 

tertancap di -puncak bukit ini! Dan rencanaku akan 

berjalan dengan lancar! Tapi kini semuanya jadi tidak 

karuan! Jahanam betul! Mengapa aku turuti usul 

perempuan itu? Apa yang akan kukatakan nanti kalau 

si keparat Malaikat Penggali Kubur benar-benar 

datang? Apa mungkin dia percaya apa yang


kukatakan...? Sialan! Apa sebaiknya aku sekarang ke 

tempat di mana Dewa Orok berada?!" 

Seperti dituturkan dalam episode Muslihat Sang 

Ratu, dalam satu kesempatan, Ratu Pemikat dan Iblis 

Rangkap Jiwa berjumpa dengan Dewa Orok, orang 

yang menuruti perintah Malaikat Penggali Kubur 

harus dimusnahkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun 

setelah Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil 

membuat Dewa Orok tidak berdaya, Ratu Pemikat 

memberi usul, agar Iblis Rangkap Jiwa menunda 

dahulu urusannya dengan Dewa Orok. Dan akhirnya 

mereka hanya menanam tubuh Dewa Orok pada satu 

tempat setelah Dewa Orok memberi keterangan di 

mana Pendekar 131 berada. 

Ni Luh Padmi beberapa saat pandangi Iblis 

Rangkap Jiwa yang mendadak tercenung memikirkan 

sesuatu. Nenek ini anggukkan kepala lalu berkata. 

"Jawab! Bukankah kau orangnya Malaikat Penggali 

Kubur?! Dan termasuk dalam sekutunya?!" 

Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pertanyaan si 

nenek. Ni Luh Padmi tidak menampakkan tampang 

marah. Karena dari ucapan dan sikap orang, si nenek 

hampir merasa yakin kalau dugaannya tidak meleset. 

"Apa Malaikat Penggali Kubur pernah sebut-sebut 

nama seorang tokoh bergelar Pendeta Sinting?!" 

untuk kedua kalinya Ni Luh Padmi ajukan tanya. 

Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya tengadah. 

"Apa kalianmu dengan Pendeta Sinting?!" 

"Kau mengenalnya?!" Ni Luh Padmi balik ajukan 

tanya.



"Tak seorang'pun dalam kalangan orang persilatan 

yang tidak kukenal!" 

Ni Luh Padmi unjukkan tampang gembira. Seraya 

melangkah satu tindak ke depan, nenek ini berkata 

sambil tersenyum. 

"Akan kukatakan padamu kapan datangnya 

Malaikat Penggali Kubur, namun kau harus katakan 

dahulu di mana Pendeta Sinting berada!" 

Iblis Rangkap Jiwa tertawa pendek. "Sayang.... 

Meski aku kenal siapa saja orang kalangan rimba 

persilatan, tapi tidak pernah peduli di mana mereka 

berada!" 

Tampang gembira Ni Luh Padmi seketika lenyap. 

Namun si nenek tidak begitu saja percaya dengan 

keterangan Iblis Rangkap Jiwa. Dia lalu bertanya. 

"Kau benar-benar tidak ingin tahu kapan 

munculnya Malaikat Penggali Kubur?!" 

Mungkin sudah punya rencana sendiri jika 

sewaktu-waktu Malaikat Penggali Kubur muncul, Iblis 

Rangkap Jiwa enak saja menjawab. "Persetan kapan 

dia muncul! Sekarang kau yang harus beri keterangan 

padaku kalau kau ingin selamat turun dari puncak 

bukit ini!" 

Ni Luh Padmi tersentak kaget. Bukan karena 

ancaman Iblis Rangkap Jiwa, melainkan karena 

perubahan pada nada ucapan laki-laki itu. Kalau 

semula Iblis Rangkap Jiwa begitu ingin tahu kapan 

datangnya Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba kini 

sepertinya tidak peduli. 

Belum hilang rasa heran Ni Luh Padmi, mendadak


satu suara terdengar. 

"Bukan hanya padamu dia harus beri keterangan! 

Dia juga harus jawab apa yang kutanyakan!" 

Satu bayangan berkelebat. Ni Luh Padmi serenta* 

berpaling. Sementara Iblis Rangkap Jiwa tetap tegak 

tanpa membuat gerakan apa-apa. 


--oo0d0oo-- 


DELAPAN


 

DARI tempatnya berdiri, si nenek melihat seorang 

perempuan berwajah jelita bertubuh bahenol 

mengenakan pakaian tipis ketat warna biru. 

Perempuan yang bukan lain adalah Ratu Pemikat ini 

untuk beberapa saat memandang tajam ke arah Ni 

Luh Padmi. Sementara yang dipandang balas 

menatap. Hingga untuk sesaat kedua perempuan itu 

saling perang pandang. 

"Laki-laki itu tidak terkejut dengan kedatangan 

orang. Pasti perempuan ini temannya dan juga pasti 

sekutu Malaikat Penggali Kubur!" duga Ni Luh Padmi 

dalam hati. Di lain pihak Ratu Pemikat yang 

sebenarnya sudah mencuri dengar pembicaraan, 

diam-diam juga membatin. "Pendeta Sinting adalah 

guru Pendekar 131. Ada urusan apa perempuan ini 

menanyakan Pendeta Sinting? Dia sahabatnya...? 

Atau bekas gendaknya di masa muda?" 

Ratu Pemikat melirik sesaat pada Iblis Rangkap 

Jiwa. Lalu arahkan kembali pandangannya pada Ni 

Luh Padmi dengan bibir tersenyum dan berkata 

dengan suara rendah. 

"Nek.... Mau katakan padaku untuk apa kau


menanyakan Pendeta Sinting?" 

Mendengar pertanyaan Ratu Pemikat yang 

bertanya dengan suara rendah dan wajah ramah, Ni 

Luh Padmi yang semula tampak pasang tampang 

angker, kini beruoah sikap, 

"Perempuan cantik...," kata si nenek. "Kau 

tampaknya juga mengenal orang sinting Itu. Betul?!" 

Ratu Pemikat jawab dengan anggukan kepalanya. 

Namun hal itu belum membuat Ni Luh Padmi 

bergembira. Dia khawatir kalau jawaban yang akan 

diberikan Ratu Pemikat sama dengan jawaban yang 

dikatakan Iblis Rangkap Jiwa. Namun karena 

tujuannya memang mencari Pendeta Sinting, pada 

akhirnya Ni Luh Padmi ajukan pertanyaan pula. 

"Kau sudah lama mengenalnya?" 

"Waktu bukanlah menjadi ukuran seseorang tahu 

betul orang yang dikenalnya. Bukankah begitu, 

Nek...?!" 

"Benar. Tapi dengan mengenal orang dalam waktu 

lama, setidaknya dia akan tahu betul sampai hal yang 

sekecil-kecilnya...." 

Ratu Pemikat tertawa pelan mendengar ucapan Ni 

Luh Padmi. "Nek.... Kau sahabat Pendeta Sinting?!" 

Paras wajah Ni Luh Padmi seketika berubah. 

Bibirnya menyeringai. Untuk beberapa saat nenek ini 

tidak menjawab. Tapi perubahan wajah orang telah 

cukup membuat Ratu Pemikat dapat menebak kalau 

ada sesuatu yang tidak enak antara Pendeta Sinting 

dengan si nenek.


"Nek.... Aku tahu di mana beradanya Pendeta 

Sinting. Hanya...." 

Seakan tidak sabar, belum sampai Ratu Pemikat 

lanjutkan ucapannya, Ni Luh Padmi telah menukas. 

"Di mana dia berada?!" 

"Katakan dahulu apa hubunganmu dengan 

Pendeta Sinting!" 

Sep&cang mata Ni Luh Padmi memandang tajam. 

"Manusia sinting itu harus mampus di tanganku!" 

Senyum Ratu Pemikat tambah melebar. Otaknya 

berpikir cepat. "Ini merupakan kesempatan...," 

batinnya lalu berkata. 

"Ternyata kau datang di tempat yang benar, Nek!" 

"Apa maksudmu?!" 

"Aku dan sahabatku Iblis Rangkap Jiwa memang 

tidak tahu di mana Pendeta Sinting berada, tapi kami 

sekarang tengah mempersiapkan sebuah 

pertemuan!" 

"Aku tidak butuh pertemuan. Yang kubutuhkan 

keterangan beradanya Pendeta Sinting!" sahut Ni Luh 

Padmi dengan suara agak tinggi. 

"Dengar, Nek. Kau tak usah bersusah payah 

mencari keterangan di mana beradanya Pendeta 

Sinting. Karena dia akan hadir dalam pertemuan itu!" 

"Bagaimana kau bisa memastikan dia akan 

hadir?!" 

"Itu urusan kami. Hanya, untuk urusan itu kami 

juga akan mengharapkan bantuanmu!"


"Apa pun akan kulakukan kalau itu untuk 

kedatangan Pendeta Sinting!" 

"Bagus! Berarti kita sekarang saling bersahabat 

bersekutu, dan tentu akan saling membantu...," ujar 

Ratu Pemikat seraya arahkan pandangannya pada 

Iblis Rangkap Jiwa. "Kuharap kalian bisa lupakan 

kesalahpahaman tadi!" 

Iblis Rangkap Jiwa rupanya tidak setuju dengan 

ucapan Ratu Pemikat karena dengan hadirnya Ni Luh 

Padmi, jelas dia akan tambah sulit berbuat macam-

macam pada Ratu Pemikat meski hal itu bisa saja 

dilakukannya. Di lain pihak, Ratu Pemikat langsung 

gembira dengan bergabungnya Ni Luh Padmi. Selain 

akan memudahkan rencananya sendiri, setidaknya 

dengan bergabungnya si nenek, iblis Rangkap Jiwa 

akan berkurang kesempatan dan geraknya. 

"Aku masih meragukan ucapan perempuan tua 

itu!" kata Iblis Rangkap Jiwa dengan memandang 

dingin pada Ni Luh Padmi. 

Tubuh Ni Luh Padmi tampak sedikit bergetar 

pertanda menindih gejolak hawa amarah. Melihat hal 

ini, Ratu Pemikat cepat bertindak. 

"Ibiis Rangkap Jiwa! Kau tak perlu meragukan 

nenek ini. Kalau dia sampai di tempat ini dan 

mengenal Malaikat Penggali Kubur, tentu 

kedatangannya turuti ucapan Malaikat Penggali 

Kubur dan sekaligus dia telah dipilih menjadi sekutu 

kita. Bukan begitu, Nek...?!" 

"Hem.... Semula aku memang enggan turuti 

ucapan pemuda gila itu. Tapi setelah kupikir, tidak 

ada salahnya memang datang ke tempat yang


ditunjuknya!" 

Ratu Pemikat kembali memandang pada iblis 

Rangkap Jiwa. "Apakah kau masih meragukannya?!" 

"Tapi urusannya di luar apa yang menjadi rencana 

kita!" iblis Rangkap Jiwa masih mencoba beralasan. 

Batu Pemikat gelengkan kepala sambil tertawa 

pendek. "Rencana kita bukan hanya mempertemuka 

Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131! Tapi kala 

p«i lu orang-orang golongan hitam dan putih!" 

"Gila! Bagaimana urusannya sampai sejauh itu?!" 

desis Iblis Rangkap Jiwa. Diam-diam sebenarnya laki-

laki berkepala gundul ini merasa tidak enak. Karena 

dengan muncul dan bertemunya beberapa tokoh, 

rencananya merebut Kitab Hitam dari tangan 

Malaikat Penggali Kubur akan bertambah rumit 

Karena bukan mustahJ keberadaan kitab itu akan 

banyak diketahui orang. Dan hal itu akan membuat 

banyak orang memburu Malaikat Penggali Kubur. 

"Iblis Rangkap Jiwa...! Kau masih ingat ucapan 

sekali berlayar dua tiga pulau terlampaui?! Kalau 

pertemuan mendatang banyak dihadiri beberapa 

tokoh, bukankah itu akan menguntungkan kita?!" 

"Benar ucapanmu, Perempuan Cantik!" sahut Ni 

Luh Padmi. "Tapi bagaimana caranya untuk 

menghadirkan tokoh-tokoh itu, terutama Pendeta 

Sinting?!" 

"Itu akan kita bicarakan nanti!" 

Iblis Rangkap Jiwa berpaling pada Ni Luh Padmi. 

Tatapannya seolah masih ragukan keberadaan orang. 

Hingga pada akhirnya dia bertanya.


"Kau mengatakan tahu tempat ini dari Malaikat 

Penggali Kubur. Kau juga mengatakan tahu kapan 

pemuda Itu akan muncul di sini! Agar kebimbanganku 

lenyap, coba katakan kapan pemuda itu akan 

datang!" 

Ni Luh Padmi tersenyum. "Dia tidak mengatakan 

pasti kapan akan datang. Yang jelas, dia pasti datang 

dalam satu purnama ini!" 

"Sialan! Kalau hal itu aku sudah tahu lebih 

dahulu!" maki iblis Rangkap Jiwa. "Berarti kita belum 

bjsa memastikan kapan datangnya pemuda bangsat 

itu!" lanjut Iblis Rangkap Jiwa sambil arahkan 

pandangannya pada Ratu Pemikat. "Kita harus cepat 

selesaikan manusia buntung yang kita tanam!" 

"Mengapa kau masih mengkhawatirkan pemuda 

buntung itu? Tanpa kita lihat, aku bisa memastikan 

kalau dia sudah tewas!" 

"Kita bukan membutuhkan ucapan! Tapi bukti! 

Satu bukti akan lebih berarti daripada seribu kata-

kata! Dan aku membutuhkan kepaia Dewa Orok 

sebagai bukti!" 

"Hem.... Kalau itu kemauanmu, aku akan turuti! 

Tapi sebaiknya kita menunggu petang. Dengan begitu 

perjalanan kita akan lebih aman...," ujar Ratu 

Pemikat. 

Mendengar ucapan Ratu Pemikat, Iblis Rangkap 

Jiwa tertawa. "Apa yang kau takutkan?!" 

"Sudah sering kukatakan, aku punya senjata yang 

kau tidak miliki. Jadi jangan kira aku takut 

menghadapi siapa saja! Hanya urusan kita kali ini


harus kita perhitungkan dengan masak-masak!" 

Tanpa menunggu sambutan Iblis Rangkap Jiwa, 

Ratu Pemikat melompat ke arah Ni Luh Padmi. "Kita 

harus bicara sambil menunggu hari gelap...." 

Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan Ni Luh Padmi, 

tangan Ratu Pemikat bergerak menggaet tangan si 

nenek. Mungkin karena membenarkan ucapan Ratu 

Pemikat, begitu perempuan bertubuh bahenol itu 

menarik tangannya, Ni Luh Padmi menurut saja tanpa 

berkata sepatah kata. 

Melihat kepergian Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi, 

Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Semula dia 

hendak lakukan apa yang jadi rencananya yakni 

langsung menuju tempat Dewa Orok saat itu juga 

tanpa menunggu datangnya gelap. Namun begitu 

teringat pertemuannya dengan Dewa Orok, Pendekar 

131, dan Ratu Malam, juga pertemuannya dengan 

Pendekar 131 dan Putri Sableng, laki-laki berkepala 

gundul ini jadi berpikir dua kali. 

"Tanpa adanya orang yang membantu, jelas aku 

akan mengalami kegagalan lagi!" desisnya dalam 

hati. 

Di lain pihak, sebenarnya Ratu Pemikat juga 

merasa khawatir kalau Iblis Rangkap Jiwa teruskan 

niatnya saat itu juga. Karena tidak tertutup 

kemungkinan Iblis Rangkap Jiwa akan menemui 

halangan. Jika itu terjadi, semua yang ada dalam 

benaknya akan jadi berantakan. 

Berpikir sampai di situ, seraya melangkah mencari 

tempat yang bisa digunakan untuk berbincang-

bincang, Ratu Pemikat menoleh pada Iblis Rangkap


Jiwa yang saat itu juga tengah memandang ke 

arahnya. 

"Nek.... Aku akan bicara dengan Iblis Rangkap Jiwa 

dahulu...," ujar Ratu Pemikat seraya melangkah 

mendekati Iblis Rangkap Jiwa. 

"Percayalah...," Kata Ratu Pemikat begitu dekat 

dengan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku sebenarnya sangat 

mengkhawatirkan keselamatanmu.... Jadi jangan kau 

punya prasangka yang bukan-bukan. Lagi pula jangan 

kira kehadiran nenek Itu akan mengganggu 

keberadaan kita. Kau dan aku pasti akan bisa 

mencari kesempatan untuk bersenang-senang...." 

Ratu Pemikat sunggingkan senyum sambil anggukkan 

kepala. 

Meski dalam hati Iblis Rangkap Jiwa jadi berbunga-

bunga, namun dia tidak mau tunjukkan wajah 

gembira. Sebaliknya dia pasang tampang enggan dan 

berkata. 

"Tanpa adanya nenek itu kau selalu saja membuat 

janji! Bagaimana hal itu akan terbukti dengan adanya 

tua bangka itu?!" 

"Kau ingin melakukannya sekarang?!" tantang 

Ratu Pemikat. 

Iblis Rangkap Jiwa jadi terkesiap mendengar kata-

kata Ratu Pemikat, membuat laki-laki ini jadi salah 

tingkah. 

"Aku akan buktikan bahwa kehadiran nenek itu 

tidak akan mengganggu kita...," lanjut Ratu Pemikat 

seraya melangkah lebih dekat. Perempuan berwajah 

cantik ini sunggingkan senyum dengan mata sebelah


dikedipkan. Padanya sengaja dibusungkan. 

Di seberang sana, Ni Luh Padmi tampak mendelik 

tak berkesip. "Edan! Apa yang akan dilakukan 

perempuan itu? Apa yang tampak di matanya? 

Seorang pemuda tampan? Sayang.... Wajah secantik 

itu dijual begitu murah.... Kasihan betul...," gumam si 

nenek dengan masih memandang ke arah Ratu 

Pemikat yang makin mendekat ke arah Iblis Rangkap 

Jiwa. 

Mendadak Ni Luh Padmi sentakkan kepalanya 

menghadap jurusan lain tatkala di depan sana 

dilihatnya Ratu Pemikat pegang kedua tangan Iblis 

Rangkap Jiwa lalu angkat wajahnya mendekat ke 

wajah Iblis Rangkap Jiwa. 

Mungkin masih tidak percaya dengan apa yang 

diperbuat Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa masih 

tampak tegak tanpa membuat gerakan. Namun 

begitu wajah sang Ratu telah menempel pada 

wajahnya, laki-laki berkepala gundul ini tersentak. 

"Jangan lakukan di sini...," bisik Iblis Rangkap Jiwa 

dengan suara bergetar seraya arahkan 

pandangannya pada Ni Luh Padmi. "Kita nanti bisa 

cari tempat yang aman dari pandangan mata orang 

lain...." 

Meski Ratu Pemikat tarik pulang wajahnya dengan 

sedikit memberengut, tapi sebenarnya perempuan ini 

bersorak dalam hati, karena muslihatnya berhasil. 

"Kalau begitu kau setuju dengan usulku untuk 

menunda pergi setelah hari gelap?!" tanya Ratu 

Pemikat.


"Hem.... Sebenarnya aku...." 

Ucapan Iblis Rangkap Jiwa belum selesai, Ratu 

Pemikat telah memotong. 

"Percayalah! Dewa Crok berada pada tempat yang 

sulit ditemukan orang. Lagi pula apa yang bisa 

diperbuatnya dalam keadaan tertanam dan 

tertotok?!" 

' "Aku takut ada hal di luar perhitungan.... Kalau itu 

sampai terjadi, apa yang harus kulakukan untuk 

mem-pertanggungjawcbkan nyawaku? Malaikat 

Penggali Kubur tidak mungkin begitu saja percaya.:.." 

"Kau harus percaya pada diri sendiri! Kalau tidak, 

bagaimana mungkin rencana kita selanjutnya akan 

berhasil?!" 

Iblis Rangkap Jiwa menghela napas dalam dan 

panjang. Laki-laki Ini sebenarnya masih dilanda 

kebimbangan. Entah apa yang menyebabkan, yang 

jelas, dia merasa tidak enak. 

Melihat Iblis Rangkap Jiwa masih tunjukkan 

tampang ragu-ragu, Ratu Pemikat mulai agak jengkel. 

Seraya putar diri dia berkata. 

"Kalau kau bersikeras hendak pergi sekarang, 

terserah!" 

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat melangkah 

kembali ke arah Ni Luh Padmi yang tegak dengan 

memandang jauh-ke jurusan lain. 

Iblis Rangkap Jiwa sekali lagi menghela napas. 

Kejap lain laki-laki ini melompat lalu melangkah di 

belakang Ratu Pemikat.


Tanpa berpaling, Ratu Pemikat telah tahu apa 

yang diperbuat Iblis Rangkap Jiwa. Hingga sambil 

terus melangkah, bibir perempuan ini sunggingkan 

senyum. Lalu berujar. 

"Waktunya masih cukup untuk berbincang-

bincang.... Dan kuharap kau tidak berlaku kasar pada 

nenek itu! Siapa pun dia adanya, kita butuh 

tenaganya! Malah kalau kau mau, aku tak keberatan 

kau juga bersenang-senang dengannya...." 

"Siapa sudi dengan tua bangka begitu?!" 

Ratu Pemikat tertawa. "Aku tadi mengatakan, 

kalau kau mau. Siapa tahu kau masih punya selera 

dengan nenek-nenek...?" 

"Sialan!" maki Iblis Rangkap Jiwa sambil percepat 

langkah. 


--oo0dw0oo-- 


SEMBILAN 



KITA tinggalkan dahulu Iblis Rangkap Jiwa, Ratu 

Pemikat, dan Ni Luh Padmi. Kita kembali dahulu pada 

Dewa Orok. Seperti diketahui, pada satu tempat 

mendadak Dewa Orok berjumpa dengan Iblis 

Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat. Pada akhirnya Dewa 

Orok tidak mampu melawan Iblis Rangkap Jiwa dan 

Ratu Pemikat. Namun pemuda bertangan buntung Ini 

masih bernasib baik, karena saat itu Ratu Pemikat 

bersikeras memberi, usul agar Iblis Rangkap Jiwa 

tunda urusannya dengan Dewa Orok. . 

Pada mulanya Iblis Rangkap Jiwa memang tidak 

setuju dengan usul Ratu Pemikat, karena dengan 

tewasnya Dewa Orok, urusannya dengan Malaikat


Peng-. gali Kubur bisa lancar. Namun Ratu Pemikat 

merayu dan memikatnya, hingga pada akhirnya Iblis 

Rangkap Jiwa mau tak mau turuti usul Ratu Pemikat. 

Dewa Orok mereka tanam dalam tanah dalam 

keadaan tertotok. 

Sesaat setelah kepergian Iblis Rangkap Jiwa dan 

Ratu Pemikat, Dewa Orok coba kerahkan tenaga 

dalam untuk bebaskan diri. Namun hingga wajahnya 

basah kuyup oleh keringat dan napasnya megap-

megap, dia tidak juga berhasil bebaskan diri dari 

totokan yang disarangkan Iblis Rangkap Jiwa. 

"Aduh.... Mungkinkah begini akhir dari hidupku...? 

Mampus tanpa diketahui orang malah dalam 

keadaan tertanam dan tertotok...," desis Dewa Orok 

dengan menghela napas panjang. Sepasang matanya 

mengerjap beberapa kali, sementara mulutnya yang 

tidak lagi mengulum bundaran karetnya karena 

dibawa pergi Ratu Pemikat, tampak komat-kamit. 

"Kalau memang harus begini nasib baikku, apa 

boleh buat...." Pada akhirnya entah karena sudah 

kehabisan akal dan tenaga, pemuda bertangan 

buntung ini terlihat pasrah. Dia pejamkan sepasang 

matanya lalu menarik napas dalam-dalam. Dja 

pusatkan pikiran seolah pasrah menyongsong hari 

kematian. 

Namun kepasrahan Dewa Orok tampaknya tidak 

berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian 

telinganya mendengar suara derap ladam langkah-

langkah kaki kuda. 

Laksana dibeliakkan tangan setan, sepasang mata 

Dewa Orok kontan membuka. Wajahnya berubah bersitkan harapan. "Langkah-langkah kuda itu menuju ke 

tempat Ini.... Mudah-mudahan penunggangnya 

melihatku...." 

Seolah lupa pada keadaan dirinya yang tertanam 

dan tak bisa gerakkan anggota tubuhnya, Dewa Orok 

angkat kepalanya melongok ke atas. Tapi begitu 

sadar, pemuda ini menggumam tak jelas. Dan pada 

akhirnya hanya dapat arahkan pandangan ke satu 

arah di mana dia menghadap. Tapi kembali dia 

bergumam kecewa. Tanah Ini berbatu. Sementara 

yang terlihat dari tubuhku hanya kepala dan leher.... 

Apa mungkin orang yang lewat bisa melihatku?!" 

Untuk kesekian kalinya Dewa Orok menghela 

napas panjang. "Ah.... Bukankah aku masih bisa 

berteriak?!" 

Berpikir begitu, bibir Dewa Orok tampak sung-

gingkan senyum. Dia menunggu sampai suara 

derapan langkah kaki kuda dekati Lalu buka mulut 

hendak berteriak. 

Tapi mendadak Dewa Orok urungkan niat. Dahinya 

mengernyit dengan mulut masih terbuka menganga. 

"Bagaimana kalau yang datang perempuan cantik 

serta laki-laki gundul ltu?l Kalau mereka yang muncul, 

tentu nasibku tidak akan lebih baik.... Apa sebaiknya 

aku diam dan pura-pura mati? Tapi....” 

Dewa Orok terlihat bimbang antara berteriak dan 

diam pura-pura mati. Tapi setelah berpikir panjang, 

akhirnya pemuda ini memutuskan untuk berteriak. 

Dia tampaknya sudah pasrah. Kalau yang muncul 

Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat, dia siap 

menghadapi nasib. Tapi kalau yang muncul bukan


kedua orang itu, maka setidaknya nasibnya bisa 

berubah. 

"Hai...! Aku di sini! Lihatlah kemari!" teriak Dewa 

Orok begitu yakin orang berkuda lewat tidak jauh dari 

tempatnya berada. 

Karena derapan langkah kaki-kaki kuda terus 

melaju, pertanda si penunggang tidak mendengar 

teriakannya, Dewa Orok kembali buka mulut 

berteriak. 

"Hai...! Aku di sini! Tolong!" 

Dewa Orok sejenak menunggu berharap derapan 

langkah kaki kuda berbelok ke arahnya. Namun 

rupanya pemuda ini harus menerima kecewa. Karena 

bukannya derapan itu mendekat ke arahnya,, 

melainkan terus melaju menjauh. 

Dewa Orok tidak putus asa, karena hal itu 

menunjukkan kalau si penunggang kuda bukanlah 

Iblis Rangkap Jiwa atau Ratu Pemikat. Hingga dia 

kembali buka suara berteriak. 

Namun hingga suaranya serak parau, derapan 

langkah kaki-kaki kuda terus melaju menjauh malah 

tak lama kemudian hilang lenyap di kejauhan. 

"Aduh.,.. Benar-benar jelek nian takdirku...,1* 

gumam Dewa Orok sambil mengeluh. Kembali 

pemuda Ini pejamkan sepasang matanya coba 

pusatkan pSkiran. 

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Tiba-tiba satu 

suara terdengar membuat Dewa Orok tersentak dan 

pe angkati mata lebar-lebar.


Seakan tidak percaya, untuk sesaat sepasang 

mata pemuda bertangan buntung ini mengerjap 

beberapa kail. Lalu mementang makin besar. 

Dari tempatnya tertanam, si pemuda melihat 

seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan 

cadar putih. Yang terlihat dari wajah perempuan 

ini.hanya sepasang matanya yang bersinar tajam. 

Rambutnya berwarna putih dan dibiarkan tergerai ke 

pundaknya. Perempuan Ini juga mengenakan pakaian 

warna putih. 

"Bidadari dari kayangan...," desis Dewa Orok. 

"Meski rambutnya berwarna putih, tapi melihat sinar 

mata dan bentuk tubuhnya, Jelas menunjukkan kalau 

dia adalah seorang gadis muda...." 

"Harap kau tidak keberatan menolongku keluar 

dari tempat ini...," kata Dewa Orok setelah 

sungglngkan senyum. 

Sepasang mata dari wajah perempuan bercadar 

putih sedikit menyipit Lalu terdengarlah suaranya. 

"Harap kau sudi katakan siapa dirimu...." 

"Kau boleh panggil sesuka hatimu. Yang jelas aku 

bukan orang jahat da orang yang tidak tahu 

membalas budi!" 

SI perempuan bercadar putih perdengarkan tawa 

perlahan. "Apakah menurutmu tindakan terpuji jika 

sebuah pertolongan mengharap balas budi?" 

"Hem.... Apakah kalau orang dalam keadaan 

sepertlku patut tidak balas budi jika mendapat 

pertolongan?" Dewa Orok balik ajukan tanya.


"Mengapa kau berkata begitu?!" 

"Kau lihat...," ujar Dewa Orok. "Tempat ini sangat 

sepi. Hanya sebuah keberuntungan dan kalau bukan 

orang tersesat jalan, rasanya tidak mungkin orang 

lewat apalagi memberikan pertolongan.... Jadi sudah 

menjadi kewajiban bagiku membalas budi kalau kau 

benar-benar mau memberi uluran tangan...." 

Perempuan bercadar putih tidak menyahut lagi. 

Sebaliknya dia gerakkan tubuh memutar diri lalu 

melangkah. 

"Tunggu! Kau tega melihatku begini?!" seru Dewa 

Orok. 

Si perempuan bercadar putih menjawab tanpa 

balikkan tubuh. 

"Kau tak akan mendapat pertolongan dariku kalau 

kau masih menghubungkan dengan balas budi!" 

"Maksudmu...?!" tanya Dewa Orok dengan dahi 

berkerut tidak mengerti. 

"Aku akan menolongmu. Tapi lupakan segala baias 

budil" 

"Ah.... Benar-benar orang aneh!" kata Dewa Orok 

daiam hati. Lalu berkata. "Kalau Itu maumu, rasanya 

tidak sulit memenuhinya...." 

Perempuan berambut dan bercadar putih putar diri 

kembali menghadap Dewa Orok. Lalu tanpa berkata-

kata lagi dia melangkah menghampiri Dewa Orok. 

Satu langkah di hadapan Dewa Orok, si 

perempuan bercadar putih hentikan tangkah. 

Sepasang kakinya bergerak menghentak pelan ke


tanah di sekitar tertanamnya tubuh Dewa Orok. 

Dewa Orok pandangi gerakan orang dengan mulut 

terkancing. Namun mendadak mulutnya 

perdengarkan suara seruan kaget tatkala tiba-tiba 

sepasang kaki perempuan bercadar putih 

menghentak keras. 

Byuuurrr! 

Tanah di sekitar tertanamnya tubuh Dewa Orok 

serta-merta bertabur ke udara. Begitu tanah telah 

luruh kembali, tampak lobang menganga di sekitar 

tertanamnya Dewa Orok. Malah kini sekujur tubuh 

pemuda bertangan buntung itu telah kelihatan jelas. 

Karena begitu hentakkan kaki, si perempuan 

bercadar putih langsung balikkan tubuh. Orang Ini 

tidak tahu kalau selain tidak memiliki tangan juga 

Dewa Orok tidak bisa gerakkan tubuhnya yang 

tertotok. 

"Hai...! Pertolonganmu belum selesai!" seru Dewa 

Orok begitu melihat perempuan bercadar telah putar 

diri dan malah hendak melangkah tinggalkan tempat 

itu. 

"Jangan manjai Kau tinggal melompat ke atas dan 

pergi!" sahut si perempuan bercadar putih tanpa ber-

psllng. 

"Ah.... Jangan salah sangka. Bukannya aku manja. 

Yang sebenarnya aku sulit melakukan apa yang kau 

katakan meski hal Itu rasanya mudah...!" 

Dengan pandangan heran, si perempuan bercadar 

putih balikkan tubuh. Lalu memperhatikan tubuh 

Dewa Orok.


Sepasang mata di wajah perempuan bercadar 

putih sesaat membesar. "Tangannya buntung! Tapi 

rasanya tidak sulit baginya kalau hanya sekadar 

melompat..," pikir si perempuan lalu katakan apa 

yang ada dalam pikirannya. 

Dewa Orok komat-kamit sebelum berkata. "Ada 

tangan seseorang yang membuatku tidak bisa 

bergerak!" 

Sfekall lagi perhatikan, tampaknya sudah dapat 

meyakinkan si perempuan kalau ucapan Dewa Orok 

tidak mengada-ada. Hingga tanpa berkata lagi, dra 

tekuk kedua kakinya berjongkok. Saat bersamaan 

tangan kanannya berkelebat ke beberapa bagian 

tubuh si pemuda. 

Dewa Orok mengerjap. Dan merasa ada kelainan 

pada anggota tubuhnya, pemuda Ini coba gerakkan 

kepalanya menggeleng. 

"Tc ".,J8 kasih...," ujar Dewa Orok lalu sekali sen-

takkan kaki kanannya, sosoknya melesat keluar dari 

dalam tanah. 

"Meski kau tidak harapkan balas budi, tapi sekali 

lagi aku menawarkan diri untuk...." 

Belum sampai Dewa Orok lanjutkan ucapannya, si 

perempuan bercadar putih telah menukas' malah 

suaranya terdengar agak tinggi. 

"Simpan semua ucapanmu! Ada yang lebih berhak 

menerima terima kasih dan tawaranmu!" 

Habis berkata menukas begitu, perempuan 

bercadar putih berkelebat akan pergi. Tapi Dewa Orok 

lelah mendahului berkelebat dan tahu-tahu telah


tegak di hadapan si perempuan. Tapi sebelum si 

pemuda sempat buka mulut, si perempuan telah 

mendahului. 

"Anggap di antara kita tidak pernah jumpa!" 

"Itu tidak sulit. Tapi kuharap kau tidak keberatan 

mengatakan siapa dirimu! Malah kalau kau sudi, aku 

sangat berterima kasih jika kau mau mengatakan 

juga dari mana asalmu, hendak pergi ke mana, dan 

punya tujuan apa...." 

Mendengar cerocosan Dewa Orok, perempuan 

bercadar putih perdengarkan tawa panjang. Lalu 

berujar. 

"Kau bi? a memanggilku sesuka hatimu! Kau juga 

boleh menebak dari mana asalku, akan pergi ke 

mana bahkan kau juga boleh menduga apa 

tujuanku!" 

"Jawaban hebat!" puji Dewa Orok dengan kening 

berkerut. Tapi pemuda itu tidak mau begitu saja 

menyerah untuk mengetahui siapa adanya orang 

yang te-iah selamatkan dirinya. 

"Kalau aku mengatakan diriku sebenarnya, apakah 

kau mau juga mengatakan sepertfku?" 

"Aku telah berkata anggap di antara kita tidak 

pernah jumpa!" 

"Tapi kita pernah jumpa bahkan kau telah 

menolongku!" sahut Dewa Orok. 

"Anggap itu sebuah mimpi yang akan lenyap begitu 

bangun dari tidur!" 

"Aduh.... Repot menghadapi orang macam ini!


Bagaimana aku harus berbuat agar dia mau 

mengatakan siapa dirinya?"'membatin Dewa Orok 

seraya menatap tak berkesip seakan ingin 

mengetahui wajah di balik cadar putih milik si 

perempuan. 

Entah-karena sudah kehabisan akal, akhirnya 

Dewa Orok berkata. 

"Kau tahu. Dengan tindakanmu ini, bukannya 

membuatku enak. Sebaliknya hai itu menambah 

beban hatiku!" 

"Itu tidak akan terjadi kalau kau anggap 

pertemuan Ini tidak pernah ada apalagi terjadi!" 

"Tapi...." Hanya itu yang terdengar dari muiut Dewa 

Orok karena bersamaan dengan itu si perempuan 

telah balikkan tubuh sambil berujar. 

"Baiklati. Kalau kau memaksa, anggap kita pernah 

jumpa hanya harap kau mengenalku apa adanya 

seperti yang kau lihat! Aku sekarang harus pergi...." 

"Tunggui" tahan Dewa Orok seakan masih 

penasaran. Dan enak saja pemuda bertangan 

buntung ini berkata. 

"Bagaimana kalau kau kusebut saja Joko 

Sableng...? Setuju?!" 

Ucapan Dewa Orok bukan saja membuat gerakan 

si perempuan bercadar putih urungkan kelebatannya, 

tapi lakf * ;<i disentak setan, tubuhnya berputar 

menghadap Dewa. Orok dengan mata memandang 

tajam. 

Seolah tidak peduli dengan pandangan orang,


Dewa Orok senyum-senyum dan berkata. 

"Aku' pasti tidak salah memilihkan nama buatmu! 

Nama bagus dan tentu kau setuju...," 

Perempuan bercadar tidak menyahut Hanya 

sepasang matanya yang terus memandang pada 

pemuda di hadapannya dari rambut sampai kaki. 

"Ah.... Kalau kau tidak setuju dengan nama tadi, 

aku masih punya nama bagus untukmu. Yang ini pasti 

kau setuju dan menyukainya...," ujar Dewa Orok 

begitu mendapati si perempuan tidak memberi 

sambutan malah memandang dengan aneh. 

Untuk kali ini, si perempuan bercadar masih juga 

belum memberi sahutan. Dewa Orok tidak pedulikan 

tatapan orang meski dalam hati dibuncah tanda 

tanya. Pemuda ini malah alihkan pandangan lalu 

berucap. "Bagaimana kalau kau kusebut Dewa 

Orok...?!" Perempuan bercadar putih terdengar 

menggumam 

tak jelas. Sepasang matanya menyipit. Sikapnya 

jelas menunjukkan kalau dia hendak ajukan tanya. 

Namun justru yang kemudian terlihat, dia balikkan 

tubuh. Dan sekali bergerak, sosoknya berkelebat 

tinggalkan tempat Itu. 

Dewa Orok cepat berpaling. Namun mulutnya 

hanya sempat terbuka menganga tanpa 

perdengarkan suara demi melihat perempuan 

bercadar putih telah berada jauh di depan sana dan 

kejap kemudian lenyap di antara batu-batuan. 

Dewa Orok berniat hendak menyusul. Namun 

diurungkan tatkala tiba-tiba terdengar suara derapan


langkah-langkah kaki kuda yang makin lama makin 

jauh sebelum akhirnya lenyap. 


--oo0dw0oo-- 


SEPULUH 



SATU pemandangan aneh terlihat di kawasan yang 

menuju Bukit Selamangleng. Satu sosok tubuh 

melangkah berlenggang seraya bernyanyi-nyanyi kecil. 

Kedua tangannya bergerak-gerak pu lang balik 

laksana orang sedang menari. Sementara pinggulnya 

digoyang-goyangkan sedikit ke samping kiri kanan. 

Orang ini mengenakan pakaian panjang milik seorang 

perempuan. Rambutnya yang panjang digelung tinggi 

ke atas. Sementara wajahnya diberi bedak putih tebal 

dengan bibir diberi pemerah menyala. Pada atas dan 

bawah matanya tampak membersit pewarna hitam. 

Sedang pada lehernya melingkar sebuah kalung dari 

bunga meiati berwarna putih yang diuntai. Dari sikap 

dan cara berpakaiannya menunjukkan kalau orang ini 

adalah perempuan meski kalau diperhatikan lebih 

seksama maka dugaan orang akan meleset. Karena 

pada lehernya terlihat jakun yang jelas menandakan 

kalau dia adalah seorang laki-laki. 

Laki-laki berperangai perempuan ini terus meleng-

gak-lenggok dengan mulut tak henti-hentinya 

dendangkan nyanyian. Sementara sepasang matanya 

sesekali melirik ke kiri kanan dan tak jarang pula 

tengadah memandang ke arah puncak bukit. 

"Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di 

gelap malam. Kelelawar sayapnya hitam. Tanda hari 

segera malam. Kelelawar burungnya hitam. Burung 

hitam, burungnya...." Laki-laki berperangai perempuan


tiba-tiba putuskan nyanyiannya. Lalu nyengir sendiri. 

"Hampir saja kelewatan! Kenapa mulutku 

demikian tak tahu diri...," ujarnya lalu tengadah 

memandang langit. Nyanyian orang ini tidak salah. 

Karena saat itu hamparan langit memang dihiasi 

gerombolan kelelawar yang berbondong-bondong 

untuk kembali pada esok harinya. Sinar terang sang 

matahari mulai memudar digantikan kegelapan 

malam. 

Laki-laki berperangai perempuan alihkan 

pandangannya ke arah puncak bukit. Untuk beberapa 

saat dia tak berkesip pandangi hamparan rimbun 

pepohonan yang mulai berubah warna. 

Si laki-laki berperangai perempuan teruskan lang-

kahan kakinya. Namun kali Ini dia sengaja menyanyi 

tanpa suara yang jelas. Sementara sepasang 

matanya tidak lagi memandang ke puncak bukit, 

melainkan ke jalanan setapak yang menuju Bukit 

Selamangleng. 

Namun langkahan kaki orang ini tertahan, karena 

tiba-tiba dari lamping bukit berkelebat tiga bayangan 

dan tahu-tahu telah tegak di hadapan laki-laki 

berperangai perempuan.. 

Sejenak laki-laki berperangai perempuan melirik 

pada satu persatu orang di hadapannya dengan 

tampang terkejut. Tapi kejap lain telah alihkan 

pandangan ke jurusan lain. Tanpa berkata dia 

teruskan langkah dengan dendangkan nyanyian dan 

tangan bergerak-gerak. Sementara pinggulnya 

digoyang-goyangkan me-lenggak-lenggok. Tapi kalau 

diperhatikan lebih seksama, sebenarnya sambil


melangkah berlenggang, sepasang mata orang Ini 

melirik tajam pada ketiga orang yang tegak di 

hadapannya. 

DI lain pihak, ketiga orang yang muncul dari 

puncak bukit sama-sama kerutkan dahi masing-

masing dengan mata sama mendeiik. 

Orang paling kanan adalah seorang perempuan 

berusia lanjut mengenakan pakaian panjang warna 

co-klat. Kedua tangannya merangkap di depan dada. 

Tangan kiri mengepal sementara tangan kanan 

menggenggam sebuah tusuk konde besar berwarna 

hitam. Sedang orang di sebelah tengah adalah 

seorang perempuan berparas cantik berusia tiga 

puiuhan tahun mengenakan pakaian tipis ketat warna 

biru yang bagian dadanya dibikin rendah hingga 

cuatan sepasang payudaranya mencuat jelas. 

Rambutnya hitam bergerai dengan bibir merah. 

Sementara orang paling kiri adalah seorang laki-laki 

tua yang wajahnya tinggal tulang-belulang hampir 

tidak tertutup daging sama sekali. Kepalanya gundul, 

sepasang matanya melotot. 

Orang paling kanan yang bukan lain adalah Ni Luh 

Padmi berpaling pada perempuan di sebelahnya yang 

tidak ialn adalah Ratu Pemikat. Saat bersamaan Ratu 

Pemikat menoleh pada laki-laki berkepala gundul di 

sebelahnya yang bukan lain adalah Iblis Rangkap 

Jiwa. 

Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa memandang tak 

berkeslp pada orang laki-laki yang menyanyi dan 

melangkah di hadapannya. 

"Akan ke mana kau?!" mendadak iblis Rangkap


Jiwa membentak. 

Laki-laki berperangai perempuan tidak hiraukan 

bentakan orang. Dia terus melangkah, malah 

berpaling pun tidak, membuat Iblis Rangkap Jiwa 

kembali perdengarkan bentakan keras. 

"Hai! Kau akan ke mana?!" 

Laki-laki berperangai perempuan berpaiing. Dia 

memandang sekilas seraya berkata dengan suara 

serak mirip suara seorang perempuan. 

"Kau bertanya padaku...?" Sambil bertanya kedua 

tangan orang ini menunjuk pada Iblis Rangkap Jiwa 

dengan gemulai laiu menunjuk pada dirinya sendiri. 

"Jahanam! Siapa lagi yang kutanya kalau bukan 

kau?!" 

"Ooooo...." Laki-laki berperangai perempuan mon-

congkan mulut. 

"Jawab!" kembali terdengar bentakan. Yang 

perdengarkan bentakan kail ini Ratu Pemikat. . 

Laki-laki berperangai perempuan alihkan 

pandangannya pada Ratu Pemikat dan untuk 

beberapa saat pandangi perempuan berparas cantik 

Ini dengan bibir tersenyum. 

"Kau menyuruhku menjawab pertanyaannya?" 

sahut laki-laki berperangai perempuan. Kali ini tangan 

kanannya menunjuk pada Ratu Pemikat lalu beralih, 

pada Iblis Rangkap Jiwa. 

"Orang gila macam dia tak perlu diladeni!" Yang 

buka mulut kali ini adalah Ni Luh Padml.


Laki-laki berperangai perempuan arahkan 

pandangannya pada Ni Luh Padmi lalu berujar seraya 

tetap tersenyum. 

"Kau berkata untuk siapa?! Dia?! Atau dia?!" 

sambil bertanya tangannya gemulai menunjuk pada 

Ni Luh Padmi, lalu pada Ratu Pemikat dan terakhir 

pada Iblis Rangkap Jiwa. 

Ketiga orang di hadapan laki-laki berperangai 

perempuan serentak saling berpandangan satu sama 

lain. Dan seolah direnggut setan, berbarengan 

mereka menoleh pada orang di hadapannya yang 

enak saja teruskan langkah. 

"Gerak-geriknya mencurigakan!" bisik Ratu 

Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepala tanpa 

menoleh. Tapi tidak demikian halnya si nenek. 

Perempuan berusia lanjut ini gelengkan kepala 

sambii berbisik. 

"Aku tidak menangkap sesuatu yang 

mencurigakan pada dirinya. Kupikir dia adalah orang 

gila yang tersesat jalan! Lebih baik tak usah diiadeni 

dan kita lanjutkan perjalanan!" 

"Tak mungkin ada orang gila tersesat sampai 

daerah ini! Kau lihat sendiri. Matanya selalu 

mengarah ke puncak bukit. Sepertinya ada sesuatu 

yang dicarinya di sana!" sahut Iblis Rangkap Jiwa. 

"Benar! Dan lihat! Langkahnya menuju jalan 

setapak yang mengarah puncak bukit!" timpal Ratu 

Pemikat. 

"Ah.... Kalian hanya terlalu khawatir, hingga punya 

perasaan yang tidak tidak! Kalaupun dia hendak ke puncak bukit, apa peduli kita?!" Ni Luh Padmi 

memberi alasan. 

"Puhcak Bukit Selamangleng telah kujadikan 

tempat yang siapa pun juga tak akan kubiarkan ke 

sana!" —ujar Iblis Rangkap Jiwa dengan suara agak 

keras. "Aku harus tahu hendak ke mana dia! 

Maksudnya apa dan siapa dia sebenarnya!" , 

Habis, berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa 

melompat dan tegak menghadang di hadapan laki-

laki berperangai perempuan yang serentak hentikan 

langkahnya. 

Ratu Pemikat yang juga punya perasaan sama 

dengan Iblis Rangkap Jiwa tidak tinggal diam. Dia 

cepat pula berkelebat dan tegak di samping Iblis 

Rangkap Jiwa. 

Sementara Ni Luh Padmi meski pada awalnya 

tidak sepaham dengan Ratu Pemikat dan Iblis 

Rangkap Jiwa, namun dia merasa tldakenak 

membiarkan kedua orang sahabatnya bertindak 

tanpa dia Ikut serta. Hingga pada akhirnya nenek ini 

juga berkelebat dan berdiri di sebelah Ratu Pemikat. 

"Orang gila! Aku tak akan mengulangi lagi 

pertanyaanku! Dengar. Akan ke mana kau? Dan siapa 

kau sebenarnya?!" Iblis Rangkap Jiwa menghardik. 

Laki-laki berperangai perempuan sentakkan 

kepalanya sedikit ke belakang dengan tangan kanan 

melambai di atas bahu. Lalu berkata. 

"Perasaanku mengatakan puncak bukit itu 

menyimpan sesuatu. Jadi aku akan menuju ke mana 

perasaanku membawa! Sedangkan aku kalian bisa


memanggil Lumba-lumba...." 

"Tak salah! Dia bukan orang gila yang tersesat 

jalan. Melainkan punya tujuan tertentu datang ke 

puncak bukit!" desis Iblis Rangkap Jiwa. 

"Ada yang tidak beres dengan orang itu!" timpal 

Ratu Pemikat. 

"Tapi aku belum menangkap sampai sejauh itu! 

Mungkin ucapannya hanya kebetulan! Biar aku yang 

coba bertanya!" Yang buka suara adalah Ni Luh 

Padml. Tanpa menunggu sahutan Ratu Pemikat dan 

Iblis Rangkap Jiwa, si nenek telah maju satu tindak 

dan berkata. 

"Sesuatu apa yang tersimpan di puncak bukit itu?!" 

"Perasaanku mengatakan, sesuatu itu adalah hal 

luar biasa yang siapa pun juga pasti 

menginginkannya...," jawab laki-laki berperangai 

perempuan yang sebutkan diri dengan Lumba-lumba. 

Habis menjawab, Lumba-lumba pentangkan 

sedikit matanya pandangi si nenek. Orang ini 

sebenarnya hendak lanjutkan ucapannya tapi 

tertunda karena mendadak Ratu Pemikat telah 

menyela. 

"Rupanya perasaanmu kuat. Apakah...." 

Ucapan Ratu Pemikat belum selesai, kali Ini 

Lumba-lumba yang ganti menyela. "Ah.... Kau pandai 

memuji. Tapi begitulah adanya. Yang Maha Kuasa 

telah memberiku anugerah perasaan di atas rata-rata 

orang...." 

Seperti halnya tadi, seraya berkata Lumba-lumba


terus gerakkan kedua tangannya lemah gemulai di 

atas pundaknya. 

"Siapa percaya ucapan orang gila sepertimu!" 

gumam Ratu Pemikat seraya mencibir. 

Lumba-lumba memandang sejurus pada Ratu 

Pemikat lalu mendongak. "Kau boleh percaya boleh 

juga tidak. Yang pasti perasaanku bisa mengatakan 

siapa kau, Perempuan Cantik...." 

Ratu Pemikat tertawa panjang. Namun perempuan 

bertubuh sintal Ini segera hentikan tawanya tatkala 

Lumba-lumba berujar sambil terus mendongak. 

"Apa kau ingin tahu apa yang dikatakan 

perasaanku tentang kau?" 

Ratu Pemikat tegak dengan mulut terkancing. 

Sementara Lumba-lumba ganti tertawa lalu berkata. 

Kali ini kedua tangannya merangkap di depan dada 

seperti yang diperbuat Ni Luh Padmi. 

"Perasaanku mengatakan, kau adalah seorang 

perempuan yang dikenal dengan dua gelar. Pada 

mulanya kau berjuluk Dewi Asmara. Berganti tahun 

kau ganti gelar menjadi Ratu Pemikat...." 

Mendengar ucapan Lumba-lumba, bukan hanya 

Ratu Pemikat yang terlihat terkesiap. Iblis Rangkap 

Jiwa dan Ni Luh Padmi tak kalah terkejutnya. 

Lumba-lumba seolah tidak pedulikan keterkejutan 

orang. Dia lanjutkan ucapannya. "Kau pernah 

bersekongkol dengan seorang laki-laki bergelar Hantu 

Makam Setan, Merak Kawung, dan lain sebagainya. 

Kau pernah terlibat bentrok dengan beberapa tokoh 

di Pulau Biru. Dan...."


"Cukup!" hardik Ratu Pemikat memotong ucapan 

Lumba-lumba. Perempuan ini merasa tidak enak. Dia 

khawatir kalau orang di hadapannya tahu apa yang 

kini ada dalam benaknya. 

Lumba-lumba luruskan kepalanya dengan bibir 

tersenyum. Namun pandangannya kail Ini bukan ke 

arah Ratu Pemikat yang tampak terkejut bercampur 

heran, tapi pada Iblis Rangkap Jiwa. Hanya saja iaki-

lakl berperangai perempuan ini cuma sejurus 

memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Saat lain dia 

dongakkan lagi kepalanya dan buka mulut. 

"Menurut perasaanku, kau adalah orang tua yang 

bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Meski terdengar 

mustahil, karena usiamu panjang. Kalau dihitung-

hitung, usiamu sekarang menginjak dua ratus tahun 

lebih. Pada sisa usiamu terakhir ini kau habiskan di 

puncak bukit untuk menunggu sesuatu. Kau pernah 

terlibat bentrok dengan seorang pemuda bergelar 

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan 

Dewa Orok dari lain sebagainya, termasuk di 

dalamnya seorang nenek berjuluk Ratu Malam. 

Perasaanku juga mengatakan...." 

"Kau teruskan ucapanmu, lidahmu akan kulepas!" 

bentak Iblis Rangkap Jiwa. Seperti halnya Ratu 

Pemikat, sebenarnya diam-diam laki-laki berkepala 

gundul jnl merasa waswas kalau Lumba-lumba 

mengatakan apa yang jadi rencananya. , 

Seperti diketahui, sebenarnya Ratu Pemikat dan 

Iblis Rangkap Jiwa punya rencana sendiri-sendiri 

dalam benaknya. Kalaupun untuk sementara ini 

mereka berdua bersatu, itu hanya karena apa yang 

akan mereka maksud tidak jauh berbeda dan saling


berhubungan. Lebih dari itu, mereka berdua juga 

dalam cengkeraman Malaikat Penggali Kubur. 

Mendengar hardikan Iblis Rangkap Jiwa, Lumba-

lumba tunjukkan tampang terkejut. Namun di lain 

kejap, orang ini senyum-senyum dan arahkan 

pandangannya pada Ni Luh Padmi yang untuk 

beberapa saat tadi simak ucapan Lumba-lumba 

dengan mata menyipit dan dahi berkerut. 

"Nek.... Untukmu, perasaanku mengatakan, kau 

adalah seorang perempuan datang dari jauh. Kau 

muncul di tanah Jawa mencari seorang kakek tua 

bergelar Pendeta Sinting. Namamu sendiri adalah Ni 

Luh Padmi...." 

"Kau tahu di mana beradanya Pendeta Sinting?!" 

Tak sabar NI Luh Padmi segera menyahut ajukan 

tanya mendapati Lumba-lumba dapat menebak 

dengan tepat pada dirinya. 

Lumba-lumba gerakkan tangan kanannya ke atas 

bahu lalu seolah lakukan pukulan dia berkata. 

"Perasaanku mengatakan, kau punya silang 

sengketa dengan Pendeta Sinting. Kalau aku sampai 

mengatakan di mana beradanya orang sinting yang 

kau cari itu, berarti aku akan ikut terlibat dalam 

urusanmu. Padahal aku tidak mau terlibat dengan 

siapa pun juga! Apalagi dalam urusan dendam dan 

sengketa.... Aku hanya Ingin tenggelam berenang 

dengan perasaanku. 

Tanpa harus terlibat dengan orang lain, apalagi 

dari kalangan orang-orang persilatan sepertirhu dan 

dua sahabatmu itu! Tapi kau masih punya 

kesempatan, Nek! Kalau kau benar-benar Ingin tahu


di mana beradanya orang yang kau cari, perasaanku 

mengatakan, perempuan cantik di sebelahmu 

mengetahui tempat di mana beradanya orang yang 

kau cari! Bukankah begitu, Perempuan Cantik...?" 

Pada akhir kata-katanya, Lumba-lumba arahkan 

pandangannya pada Ratu Pemikat dengan 

anggukkan kepalanya. ? 

Ni Luh Padmi berpaling pada Ratu Pemikat. 

Mungkin tidak mau dirinya akan dituduh berdusta 

karena Ratu Pemikat mengatakan tidak tahu di mana 

beradanya Pendeta Sinting pada Ni Luh Padmi saat 

keduanya berjumpa di puncak bukit, perempuan 

bertubuh bahe-nol berwajah cantik ini cepat menoleh 

pada si nenek dan berkata. 

"Jangan percaya dengan ucapannya! Dia dusta!" 

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat memandang 

tajam pada Lumba-lumba lalu membentak. 

"Kau jangan bicara membuat fitnah!" 

Lumba-lumba tidak tunjukkan rasa kaget. 

Sebaliknya dia tetap tersenyum lalu kembali 

melangkah dengan jalan menyisi sambil berkata. 

"Ah.... Semua Ku terserah kalian. Aku hanya 

mengatakan apa yang ada, dalam perasaanku. Soal 

benar tidaknya, kalian pasti mengetahuinya...." 

Namun rupanya Lumba-lumba tidak akan dapat 

lanjutkan langkahan kakinya karena bersamaan itu, 

Iblis Rangkap Jiwa sudah melompat menghadang 

tepat tiga langkah di hadapannya. Hanya kali ini Iblis 

Rangkap Jiwa bukannya unjuk tampang marah 

melainkan tersenyum meski wajahnya tetap terlihat


angker. 

"Lumba-lumba.... Hem.... Sepertinya baru kali Ini 

aku mendengar nama itu. Tapi adalah satu ha! yang 

aneh kalau dia tahu seluk-beluk diriku dan kedua 

orang itu dengan benar dan tepat. Jangan-jangan dia 

seorang perama! yang baru muncul dan belum 

banyak dikena! orang...." 

Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa akhirnya buka 

mulut bertanya. 

"Lumba-lumba.... Aku tahu pasti, yang kau maksud 

sesuatu luar biasa di puncak bukit itu adalah sebuah 

kitab. Benar?!" 

"Ah.... Kau rupanya punya perasaan sepertiku. 

Hanya perasaanku mengatakah dengan pasti kalau 

kitab itu sudah berpindah dari tempatnya semula! 

Bagaimana menurut perasaanmu?!." Lumba-lumba 

balik ajukan tanya. 

Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepala. Kejap lain 

dia kembali ajukan tanya. "Apa yang kau katakan 

menurut perasaanmu memang tepat. Tapi apakah 

perasaanmu juga bisa mengatakan siapa sebenarnya 

kelak yang berjodoh dengan kitab itu?" 

Lumba-lumba kembali rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada. Kepalanya mendongak. 

Bahkan kali ini sepasang matanya terpejam dengan 

dahi berkerut. 

Baik Iblis Rangkap Jiwa maupun Ratu Pemikat dan 

Ni Luh Padmi tidak ada yang buka suara. Mata 

mereka bertiga memandang tajam pada Lumba-

lumba seolah memberi kesempatan pada orang


untuk pusatkan pikiran.. 

Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tampak 

sedikit tegang dengan hati sama berdebar. Di lain 

pihak Ni Luh Padmi tampak biasa-biasa saja. Hal ini 

dapat dimaklumi karena sebenarnya baik Ratu 

Pemikat maupun Iblis Rangkap Jiwa memang 

menginginkan Kitab Hitam. Sementara Ni Luh Padmi 

sama sekali tidak menginginkannya malah dia tidak 

tahu betul seluk-beluk urusan Kitab Hitam. Yang 

selalu menjadi pikiran si nenek adalah bagaimana 

mengetahui di mana beradanya Pendeta Sinting, 

malah kalau bisa sebelum masa penantian selama 

satu purnama dengan Malaikat Penggali Kubur. • 

Beberapa saat berlalu.. Tiba-tiba Lumba-lumba 

mengeluh tinggi seraya buka perlahan-lahan 

sepasang kelopak matanya. Memandang satu 

persatu pada ketiga orang di hadapannya sebelum 

akhirnya menjawab. 

"Selama maiang melintang dengan berenang 

perasaan, tampaknya kali ini aku harus mengalami 

kegagalan....". 

Iblis Rangkap Jiwa buka mulut. 

"Apa maksud ucapanmu?!" 

"Aku gagal mengetahui siapa kelak yang berjodoh 

memiliki Kitab Hitam itu...." 

iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Di 

sebelahnya Ratu Pemikat mencibir sambi! tertawa 

pendek. Hanya Ni Luh Padmi yang tetap bersikap 

seperti semula. 

"Tapi masih ada harapan! Perasaanku


mengatakan, aku dapat mengetahui siapa kelak yang 

berjodoh asalkan aku tahu siapa kini yang memegang 

Kitab Hitam itu...." 

Seakan-akan dikomando, berbarengan iblis 

Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat menjawab. 

"Malaikat Penggali Kubur!" 

Kalau Ni Luh Padmi sedari tadi biasa-biasa saja, 

begitu mendengar jawaban Iblis Rangkap Jiwa dan 

Ratu Pemikat, nenek ini serta-merta berpaling dengan 

raut kaget. Dia ingat pertemuannya dengan Malaikat 

Penggaii Kubur beberapa hari yang lalu. 

"Hem.... Jadi pemuda itulah yang telah memegang 

kitab yang selalu dibicarakan mereka.... Pasti kitab 

itulah yang membuat pemuda bergelar Malaikat 

Penggali Kubur itu begitu sakti.... Kalau saja aku 

dapat merebut dan memiliki kitab itu...." 

Diam-diam dalam benak Ni Luh Padmi telah 

terber-sit keinginan memiliki Kitab Hitam juga setelah 

merasa yakin kalau kehebatan Malaikat Penggali 

Kubur karena telah memiliki Kitab Hitam. "Hem.... 

Untuk sementara ini lebih baik aku menunggu sampai 

jumpa dengan Malaikat Penggali Kubur dan menanti 

saat pertemuan yang telah diatur. Dengan begitu aku 

masih punya kesempatan. Selain dapat membalas 

dendam pada Pendeta Sinting, sekaligus siapa tahu 

aku bisa memiliki Kitab Hitam;..." 


--oo0dw0oo-- 


SEBELAS 



MESKI Ni Luh Padmi adalah orang yang pertama 

kautunjukkan rasa terkejut, namun Lumba-lumba tak


kalah tersentaknya. Malah saking terkejutnya, orang 

laki-laki berperangai perempuan Ini sempat surutkan 

kaki satu tindak dengan mata mendelik dan 

rangkapan kedua tangannya lepas! 

Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat sedikit kaget 

melihat perubahan sikap Lumba-lumba. Dada mereka 

berdua dibuncah dengan berbagai tanya. Keduanya 

serentak perhatikan orang lebih seksama. 

Di lain pihak, melihat dirinya diperhatikan 

sedemikian rupa, Lumba-lumba tampaknya cepat 

sadar. Orang ini segera tengadah dan mendadak 

perdengarkan suara tawa keras membahana. Kedua 

tangannya kembal! digerakkan lemah gemulai ke 

depan ke belakang. Bukan hanya sampai di situ, 

mungkin untuk alihkan perhatian orang, Lumba-

lumba goyang-goyang pinggulnya! 

"Gila! Ada apa dengan orang Ini?!" desis Iblis 

Rangkap Jiwa. 

"Sahabat sekalian.... Dengar! Kalau benar Kitab 

Hitam itu kini dimiliki Malaikat Penggali Kubur, 

perasaanku mengatakan...." Lumba-lumba sengaja 

tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya melirik 

ke depan. 

DI seberang depan, baik Iblis Rangkap Jiwa, Ratu 

Pemikat dan Ni Luh Padmi termangu menunggu 

dengan dada berdebar. Rupanya siasat yang 

dilakukan Lumba-lumba mengena. Karena perhatian 

orang kini beralih. Bukannya perhatikan pada dirinya 

melainkan termangu menunggu lanjutan ucapannya. 

Melihat ha! itu, Lumba-lumba segera buka mulut 

lanjutkan bicara.


"Sahabat sekalian.... Perasaanku mengatakan, 

Kitab Hitam itu kelak akan berjodoh dengan dua 

orang!" Lumba-lumba luruskan kepala dan 

memandang silih berganti pada Iblis Rangkap Jiwa 

dan Ratu Pemikat. 

"Kalian berdua orang beruntung. Karena kalau tak 

ada aral melintang... kalian berdualah yang kelak 

berjo-doh dengan kitab itu...." 

Habis berkata begitu, Lumba-lumba alihkan 

pandangannya pada Ni Luh Padmi yang terlihat tak 

senang dengan ucapannya. Seraya tersenyum Lumba-

lumba berujar. 

"Nek.... Kau tak perlu gelisah. Perasaanku 

mengatakan, walau kau tidak beruntung dengan 

Kitab Hitam, namun kelak kau akan memperoleh 

sebuah hal luar biasa yang tak kalah saktinya dengan 

Kitab Hitam.... Hal apa itu, aku tidak bisa 

mengatakannya di sini...." 

Meski Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat 

tampak berubah senang, namun Iblis Rangkap Jiwa 

merasakan satu keanehan. Dia segera bertanya. 

"Lumba-lumba. Kau bicara yang benar! Bagaimana 

mungkin sebuah kitab bisa berjodoh dengan dua 

orang?!" 

Lumba-lumba perdengarkan tawa dahulu sebelum 

akhirnya menjawab. 

"Kau tak usah merasa aneh apalagi heran. Kitab 

Hitam adalah sebuah kitab sakti. Sebuah kitab sakti 

akan membuat keanehan yang jauh dari dugaan 

mang.... Soal bagaimana nanti caranya, kelak kalian


berdua akan tahu sendiril Hanya kalau aku boleh 

meminta, kuharap kalian berdua jangan saling 

berebut kitab M. Selain tidak ada artinya, 

bagaimanapun juga kalian berdua kelak yang akan 

mendapatkannya.. " 

"Mustahil! Mustahil apa yang dikatakannya! Se-

aneh-anehnya kitab sakti, hanya seorang yang akan 

berjodoh memilikinya!" desis Iblis Rangkap Jiwa. 

"Hem.... Ucapan Iblis Rangkap Jiwa benar. Satu hal 

yang mustahil kalau satu kitab berjodoh dengan dua 

orang! Jangan-jangan orang ini sengaja menebar 

fitnah dengan maksud tertentu. Tapi.... Mengapa 

semua ucapannya tepat...? Mungkinkah sebeium ini 

dia mencari tahu dahulu lalu.... Tapi.... Mengapa dia 

berada di sini tepat bersamaan denganku yang 

hendak lakukan rencana? Sepertinya dia tahu kapan 

harus datang ke tempat ini dan bertemu...." 

Entah karena tahu apa yang ada dalam benak 

orang, tanpa menunggu lebih lama lagi, Lumba-lumba 

berkata sambi! hendak teruskan langkah. 

"Mungkin kalian masih ragu-ragu dengan apa yang 

baru kukatakan. Namun kelak kalian akan tahu, 

bahwa apa yang dikatakan perasaanku benar 

adanya.... Sekarang aku harus pergi...." 

Lumba-lumba melangkah tanpa berpaling lagi 

pada ketiga orang di hadapannya. Sementara Iblis 

Rangkap Jiwa cepat berpaling pada Ratu Pemikat 

seraya berbisik. 

"Aku curiga padanya.... Selain itu dia tahu siapa 

kita adanya. Bukan tidak mungkin dia tahu apa 

rencana kita. ini sangat membahayakan bagi


tindakan kita selanjutnya! Siapa pun dia adanya, 

harus kita singkirkan!" 

Tanpa menunda lagi, Iblis Rangkap Jiwa melompat 

dan tegak di hadapan Lumba-lumba dengan kedua 

tangan terangkat. Sepasang matanya tidak 

memandang ke arah Lumba-lumba melainkan pada 

jurusan lain sambil membentak. 

"Kau bisa menuju puncak bukit. Tapi tinggalkan 

dulu nyawamu di sini!" 

"Hai.... Apa yang akan kau lakukan padaku? 

Bukankah di antara kita tidak ada silang sengketa?" 

"Benar!" jawab Ratu Pemikat. Tapi kau telah berani 

mengatakan yang tidak-tidak! Itu berarti kau telah 

ikut campur urusan kami. Dan kau perlu tahu. Siapa 

pun adanya orang yang campur tangan urusan kami, 

maka hanya satu pilihan baginya! Mampus!" 

"Ah.... Itu peraturan rimba persilatan.... Padahal 

aku bukanlah orang dari kalangan rimba persilatan!" 

ujar Lumba-lumba dengan tampang ketakutan. 

-Ratu Pemikat tertawa pendek. "Peraturan kami 

tidak menentukan dari mana orang yang Ikut campur! 

Setan sekalipun akan menerima pilihan sama!" 

"Hem.... Kalau begitu aku tidak akan lanjutkan 

mendaki puncak bukit.... Harap kalian mencabut 

pilihan yang harus kuterima...." 

Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepala. "Ke mana 

pun kau akan pergi, bukan jadi jaminan kau bisa 

selamat dari pilihan yang kami berikan!" 

Belum selesai ucapan Iblis Rangkap Jiwa, laki-laki


berkepala gundu! ini telah gerakkan tangan 

kanannya. Mungkin masih menduga kalau orang di 

hadapannya tidak memiliki kepandaian, dia sengaja 

lancarkan pukulan hanya dengan sedikit kerahkan 

tenaga dalam. 

Wuuttt! 

Satu deruan angin terdengar. Baik Iblis Rangkap 

Jiwa maupun Ratu Pemikat memandang dengan 

diam-diam sama kerahkan tenaga dalam. Meski 

mereka berdua menduga kalau Lumba-lumba tidak 

memiliki kepandaian, tapi keduanya tidak berani 

bertindak ceroboh. Lain halnya dengan Ni Luh Padmi. 

Meski sedari tadi banyak diam, namun nenek ini 

punya firasat lain dengan apa yang diduga iblis 

Rangkap Jiwa dan Ratu Pemlkat. Hingga si nenek 

sama sekali tidak kerahkan tenaga dalam, karena dia 

menduga Lumba-lumba memiliki kepandaian. tapi 

rupanya dugaan Ni Luh Padmi meleset. Karena meski 

deruan angin telah terdengar dan satu gelombang 

menghampar ke arah Lumba-lumba, laki-laki 

berperangai perempuan ini tidak membuat gerakan 

apa-apa! Hingga mau tak mau gelombang angin 

menyapu sosoknya. 

Walau gelombang angin tidak begitu besar, namun 

karena dilancarkan oleh seorang yang memiliki 

tenaga dalam kuat, tak urung membuat sosok 

Lumba-lumba tersapu deras sampai satu tombak ke 

belakang dan terkapar d! atas tanah. 

Lumba-lumba mengeluh tinggi. Kedua tangannya 

bergerak gemulai mengelus bahunya yang baru saja 

tersambar pukulan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu perlahan-

lahan bangkit.


Seraya merapikan sanggulan rambut dan pakaian 

yang dikenakannya, Lumba-lumba buka mulut. 

"Sungguh kalian tega menjatuhkan tangan kasar 

pada orang yang tidak berdaya sepertiku...." Kedua 

tangan Lumba-lumba terangkat sejajar dengan 

wajahnya. Mendadak orang ini perdengarkan 

tangisan sambi! usap-usapkan kedua tangannya pada 

sepasang matanya. 

Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. Sementara 

Ratu Pemikat tersenyum dingin. Kedua orang ini 

seolah tidak hiraukan rengekan orang. Malah Iblis 

Rangkap Jiwa terlihat paling tidak sabar. Karena 

begitu mendengar tangisan Lumba-lumba, tangan 

kanannya yun§ masih berada di udara berkelebat 

kirimkan pukulan! 

Meski N! Luh Padmi bukan orang baik-baik, tapi 

melihat apa yang hendak dilakukan Iblis Rangkap 

Jiwa, nenek ini tidak bisa diam begitu saja. Tangan 

kanannya diangkat hendak memangkas pukulan Iblis 

Rangkap Jiwa. 

Sementara di seberang depan sana, seolah tidak 

menyadari bahaya, Lumba-lumba tetap usap-usap 

sepasang matanya dengan kedua tangan sambi! 

perdengarkan tangis. Bahkan tangisnya makin keras! 

Satu tombak lagi gelombang angin yang 

dilancarkan Iblis Rangkap Jiwa menyapu sosok 

Lumba-lumba, Ni Luh Padmi gerakkan tangan 

kanannya lakukan pemangkasan pukulan. 

Saat itulah mendadak terdengar satu suara. 

"Jangan sangka aku libatkan diri, aku hanya tidak


tega mendengar suara tangisan;..!" 

Satu sosok tubuh berkelebat. Bersamaan dengan 

itu tampak dua kilatan cahaya berkiblat. 

Dua letupan kecil terdengar berturut-turut. 

Gelombang angin yang dilancarkan Iblis Rangkap 

Jiwa, dan gelombang angin yang melesat dari tangan 

kanan Ni Luh Padmi yang hendak memangkas 

pukulan iblis Rangkap Jiwa serta-merta buyar 

berantakan. Malah sosok Iblis Rangkap Jiwa dan Ni 

Luh Padmi teriihat tersu-rut satu tindak! 

Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh 

Padmi serentak sama paiingkan kepala. Di lain pihak, 

Lum-ba~iumba seolah tidak peduli dengan apa yang 

baru saja terjadi. Orang ini terus saja perdengarkan 

tangisan, malah begitu terdengar letupan, Lumba-

lumba tekuk kedua kakinya hingga jatuh terduduk! 

Sesaat Lumba-lumba gerakkan kedua tangannya 

pulang foalsk ke kir! kanan usap-usap sepasang 

matanya. Lalu mendadak kedua tangannya 

dikembangkan tepat di wajahnya. Dari sela jari-jari 

tangannya sepasang matanya melirik. 

Lalu terdengar suaranya di sela suara' tangisnya. 

"Mataku tidak buta.... Tapi apa benar yang 

kulihat?) Ada kakek-kakek yang masih suka dandan 

bawa cermin ke sana kemari? Padahal.... Padahal 

kulihat sepasang matanya putih! Bagaimana dia 

melihat wajahnya di cermin?!" 

Lumba-lumba rapatkan jari-jari tangannya. Suara 

tangisnya diputus. Saat lain terdengar ledakan 

tawanya!


Dari seberang terdengar gumaman. Lalu disusul 

suara orang tertawa pelan. Tap! suara tawa itu makin 

lama makin keras. Hingga tempat yang sejenak tadi 

di-buncah suara tangisan Lumba-lumba berubah 

menjadi buncahan suara tawa panjang bersahut-sahutan! 



                            SELESAI


PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131 

JOKO SABLENG 

Segera ikuti lanjutan kisah ini! dalam episode: 

BIDADARI CADAR PUTIH


Share:

0 comments:

Posting Komentar