Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lin-
dungan undang-undang
Joko Sableng telah Terdaftar pada Dept. Kehakiman
R.I. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 012875
Pengarang:
ZHAENAL FANANI
SATU
DARI tempatnya tegak, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat serta Ni Luh Padmi sama-sama melihat satu
sosok tubuh yang bukan saja membuat Ratu Pemikat
surutkan langkah satu tindak, namun membuat pe-
rempuan bertubuh sintal ini tekap mulutnya agar se-
ruan kagetnya tidak terdengar.
Walau Ratu Pemikat adalah orang yang paling
tampak terkejut, tapi Ni Luh Padmi tak kalah kaget-
nya. Nenek ini pentangkan mata dengan mulut ter-
kancing. Lalu memandang silih berganti pada Lumba-
lumba dan orang yang baru muncul dengan dada di-
buncah berbagai duga dan tanya. "Apa hubungan pe-
muda bernama Lumba-lumba dengan orang itu? Apa-
kah orang itu selalu mengikuti langkahku sejak perte-
muan beberapa hari yang lalu? Atau adakah kehadi-
rannya di sini hanya satu kebetulan?! Tapi.... Bukan-
kah ucapan-ucapan kedua orang itu hampir mirip?
Mereka berdua seakan tahu siapa adanya orang meski
baru bertemu sekali! Malah ucapan orang itu menjadi
kenyataan.... Jangan-jangan mereka berdua memang
dua sahabat."
Yang bersikap tenang-tenang saja adalah Iblis
Rangkap Jiwa meski sepasang matanya mendelik ang-
ker dengan tubuh sedikit bergetar menindih hawa
amarah menghadapi pukulannya dengan mudah di-
pangkas orang. Namun tiba-tiba paras wajah Iblis
Rangkap Jiwa berubah setelah sesaat melihat seksama
siapa adanya orang yang baru saja membuat pukulan-
nya tersapu amblas. Tulang dahi laki-laki berkepala
gundul Ini bergerak-gerak.
"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan orang ini ada-
lah Hem .. Tapi ciri orang belum menjamin dialah
orangnya! Lagi pula baru kali ini aku jumpa. Siapa ta-
hu apa yang selama ini kudengar lain dengan kenya-
taan!"
Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa cepat buka mu-
lut perdengarkan bentakan.
"Orang tak dikenal! Cepat sebutkan diri!"
Mendengar bentakan Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pe-
mikat. dan Ni Luh Padmi serentak sama berpaling pa-
danya. Kedua orang perempuan ini sama merasa sedi-
kit heran.
"Apakah dia tidak mengenalnya? Padahal orang itu
rasanya sudah tidak asing lagi bagi kalangan rimba
persilatan! Ratu Pemikat membatin. Di lain pihak Ni
Luh Padmi diam-diam juga berkata sendiri dalam hati.
"Kudengar Iblis Rangkap Jiwa berusia hampir dua ra-
tus lebih. Tapi mengapa tidak mengenal orang itu?!"
Di seberang sana, orang yang baru muncul henti-
kan suara tawanya. Namun dia tak segera menjawab
bentakan Iblis Rangkap Jiwa. Malah seolah tak men-
dengarkan bentakan orang, orang ini yang ternyata
seorang kakek bertubuh besar mengenakan pakaian
gombrong warna hijau dengan rambut disanggul dan
sepasang matanya berwarna putih yang tidak lain ada-
lah Gendeng Panuntun adanya hadapkan wajah ke
arah Lumba-lumba. Tangan kanannya sejurus mengu-
sap cermin bulat yang ada di depan perutnya.
"Sahabat muda! Apa yang tengah kau lakukan di
sini?! Mataku memang putih, tapi itu tidak menghe-
rankan. Yang aneh kudengar kau menangis lalu terta-
wa! Apa yang baru kau tangisi, apa pula yang mem-
buatmu tertawa?!" Bertanya Gendeng Panuntun lalu
tengadah seolah menunggu jawaban orang.
Lumba-lumba putuskan tawanya. Tapi pemuda
berperangai perempuan ini tidak segera buka mulut
menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya
buka kesepuluh jari tangannya yang diletakkan di de-
pan wajah. Kejap lain bukannya dia mengintip wajah
Gendeng Panuntun, melainkan mengintip paras wajah
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. Lalu kedua tangan-
nya dirapatkan dan digerakkan pulang balik mengusap
sepasang matanya yang tidak mengeluarkan air mata!
"Kita lanjutkan saja perjalanan kita...!" mendadak
Ratu Pemikat ajukan usul dengan suara pelan.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Malah berpal-
ing pun tidak. Laki-laki berkepala gundul Ini tegak
dengan mata tak berkesip pandangi Gendeng Panun-
tun dan Lumba-lumba.
Seperti diketahui, ketika Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat, dan Ni Luh Padmi turun dari puncak bukit
hendak lakukan rencana yang mereka susun, menda-
dak di bawah bukit ketiganya berjumpa dengan seo-
rang pemuda berperangai perempuan dan sebutkan di-
ri de-dengan nama Lumba-lumba.
Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, serta Ni Luh
Padmi sempat terkesima mendapati Lumba-lumba da-
pat mengetahui satu persatu siapa diri mereka adanya
dengan tepat dan benar. Sejak awal, Iblis Rangkap Ji-
wa dan Ratu Pemikat sudah menaruh curiga pada
Lumba-lumba. Tapi tidak demikian halnya dengan Ni
Luh Padmi. Nenek ini semula tidak menaruh curiga
apa-apa pada Lumba-lumba. Kalaupun pada akhirnya
dia merasa curiga justru setelah mendengar perbin-
cangan Lumba-lumba. Meski begitu rasa curiga si ne-
nek tidak sedalam rasa curiga Iblis Rangkap Jiwa dan
Ratu Pemikat.
Pada akhirnya, Iblis Rangkap Jiwa yang tidak sa-
bar melihat sikap lumba-lumba segera lancarkan se-
rangan. Sementara Ni Luh Padmi segera pula sentak
kan tangan kanan untuk memangkas pukulan Iblis
Rangkap Jiwa yang mengarah pada Lumba-lumba, ka-
rena Ni Luh Padmi merasa tidak ada gunanya meladeni
dan membuat urusan dengan pemuda berperangai pe-
rempuan itu. Saat itulah mendadak muncul Gendeng
Panuntun yang langsung dapat mementalkan sekali-
gus membuyarkan pukulan Iblis Rangkap Jiwa yang
mengarah pada Lumba-lumba serta pukulan tangan
kanan Ni Luh Padmi yang hendak memangkas puku-
lan Iblis Rangkap Jiwa.
Ni Luh Padmi segera arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat begitu mendengar usul perempuan ber-
tubuh bahenol ini. "Heran.... Bukankah dia tadi yang
bersikeras hendak membunuh pemuda bernama Lum-
ba-lumba itu?! Tapi mengapa dengan kemunculan ma-
nusia buta itu niatnya mendadak berubah?! Ada yang
tidak beres! Wajah perempuan itu juga tampak beru-
bah membayangkan rasa takut, ada apa ini?! Apakah
antara dia dengan manusia buta itu ada ganjalan?!"
Sementara di seberang depan sana, begitu Gendeng
Panuntun tidak mendengar adanya sahutan jawaban
dari Lumba-lumba, kakek bermata buta ini perdengar-
kan tawa perlahan sebelum akhirnya berujar.
"Sahabat muda! Apa kubilang. Inilah akibat kalau
kau tidak turuti ucapan orang tua! Bukankah sudah
kukatakan, jangan lancang berjalan sendiri! Akhirnya
bukan saja kau tersesat jalan, malah menangis tertawa
di hadapan orang!"
Lumba-lumba sejenak hentikan usapan-usapan
kedua tangannya pada sepasang matanya. Kepalanya
bergerak menoleh ke arah Gendeng Panuntun. Sejurus
sepasang mata Lumba-lumba membulat besar. Tapi
cuma sekejap. Saat lain kepalanya kembali meman-
dang ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya kembali mengusap-usap sepasang matanya pulang balik.
Saat itu juga kembali terdengar tangisnya. Namun tak
lama kemudian terdengar ucapannya di sela suara
tangisnya.
"Maaf, Sahabat Tua! Aku tidak menyangka kalau
akan begini ceritanya! Padahal aku tidak berbuat hal
yang memalukan! Aku hanya berniat jalan-jalan.... Tak
ada maksud lain! Herannya orang-orang di sana itu ti-
ba-tiba hendak membunuhku! Apa salahku...?! Apa
dosaku...?!"
"Sahabat muda. Ini bukan tempat dan waktu yang
layak untuk membicarakan urusan salah dan dosa!
Karena aku merasa orang yang ada di depan sana itu
tidak kenal yang namanya salah dan dosa. Padahal se-
harusnya mereka maklum, putusnya nyawamu bukan
jalan yang bisa menyelesaikan urusan yang sedang
mereka hadapi...."
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun dan Lum-
ba-lumba, Iblis Rangkap Jiwa segera berpaling pada
Ratu Pemikat yang baru saja memberi usul dan belum
sempat dijawabnya.
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pandangi raut wajah Ra-
tu Pemikat. "Wajahnya berubah. Sikapnya lain.
Hem...." batin Iblis Rangkap Jiwa lalu bertanya. "Kau
mengenal manusia buta itu?"
"Dialah Gendeng Panuntun! Kita harus cepat lan-
jutkan perjalanan! Jangan ladeni orang itu! Jika tidak,
rencana yang sudah kita atur akan berantakan!"
Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandangannya pada
Gendeng Panuntun. "Dugaanku tidak meleset" katanya
dalam hati. Tapi mungkin karena selama ini hanya
mendengar nama Gendeng Panuntun tanpa sekali pun
pernah bertemu muka, maka laki-laki berkepala gun-
dul ini Memperdengarkan tawa perlahan seraya berka
ta.
"Apa yang bisa diperbuat manusia buta itu pada ki-
ta!?”
"Kita tak perlu berdebat di sini! Nanti akan kuceri-
takan!" sahut Ratu Pemikat hendak berkelebat.
Sepertinya kau sangat ketakutan sekali dengan
manusia buta itu! Aku jadi penasaran!" desis Iblis
Rangkap Jiwa.
Ucapan Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan Ratu
Pemikat tertahan. Perempuan ini urungkan niat dan
berkata. "Dengar! Aku tahu benar siapa adanya Gen-
deng Panuntun! Walau kau memiliki kepandaian ting-
gi, aku masih ragu apakah kau mampu menghada-
pinya!"
Meski dadanya panas mendengar ucapan Ratu Pe-
mikat, namun saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa terse-
nyum dan berkata.
"Ucapanmu membuatku ingin membuktikan kebe-
narannya!"
Iblis Rangkap Jiwa serta-merta gerakkan kedua
tangannya terangkat ke atas. Karena maklum dari tin-
dakan Gendeng Panuntun yang sanggup memangkas
pukulannya dan pukulan Ni Luh Padmi, Iblis Rangkap
Jiwa langsung kerahkan setengah dari tenaga dalam
yang dimilikinya.
Namun sebelum kedua tangannya benar-benar
lancarkan pukulan, Ratu Pemikat telah melompat dan
tegak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa sambil melotot ta-
jam dan berucap.
"Kalau kau benar-benar ingin buktikan ucapanku,
silakan! Tapi aku tidak akan ikut campur tangan! Aku
akan teruskan langkah sesuai rencana kita!"
Tidak menunggu sambutan dari Iblis Rangkap Ji-
wa, Ratu Pemikat menoleh pada Ni Luh Padmi yang
sedari tadi diam dan hanya simak percakapan Iblis
Rangkap Jiwa dengan Ratu Pemikat.
"Kau bagaimana, Nek?! Ikut nasihatku atau hen-
dak ikut-ikutan campur tangan urusan tak berguna
ini?!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab pertanyaan
orang. Nenek ini sebenarnya masih dilanda kebimban-
gan. Di satu sisi dia ingin menuruti usul Ratu Pemikat,
namun di sisi lain dia ingin tahu lebih banyak soal
Gendeng Panuntun. Karena si nenek telah buktikan
kebenaran ucapan Gendeng Panuntun pada perte-
muannya beberapa hari berselang. Dia juga ingin tahu
lebih dalam soal Kitab Hitam. Kemunculan Gendeng
Panuntun di sekitar Bukit Selamangleng bukan tidak
mungkin masih ada hubungannya dengan kitab itu.
Meski dari mulut Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemi-
kat, si nenek telah tahu jika Kitab Hitam telah dimiliki
Malaikat Penggali Kubur.
Begitu ditunggu agak lama, Ni Luh Padmi belum
juga memberi jawaban, Ratu Pemikat berujar.
"Baik! Aku telah beri peringatan! Kalian jangan
menyesal kalau terjadi apa-apa!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat berkelebat.
"Tunggu!" tahan Ni Luh Padmi. "Aku tidak bermak-
sud ikut campur tangan urusan ini! Malah dengan
pemuda perempuan itu sejak tadi aku enggan meli-
batkan diri! Tapi...."
"Pengecut busuk!" Iblis Rangkap Jiwa membentak
memotong ucapan Ni Luh Padmi dengan sentakkan
kepalanya menghadap si nenek. Sepasang matanya
membeliak besar-besar seolah hendak loncat keluar
dari rongganya. "Kau bicara enggan terlibat! Nyatanya
kau telah memotong pukulanku! Apa sebenarnya yang
ada dalam benakmu?!"
"Aku tak ingin urusan kita tertunda hanya gara-
gara pemuda perempuan itu! Siapa tahu dia salah seo-
rang utusan yang tengah menyelidik?! Kalau kita terli-
bat, apalagi sampai membunuhnya, langkah kita se-
lanjutnya tidak akan mulus!"
Iblis Rangkap Jiwa menyeringai dingin. "Alasanmu
tidak masuk akal! Kau lihat sendiri. Mungkinkah pe-
muda macam dia seorang utusan?! Apalagi tugas yang
diemban nya pasti berhubungan dengan dunia persila-
tan! Seharusnya dia membekal ilmu! Tapi kau tahu
sendiri, pemuda perempuan itu bukannya membekal
ilmu, melainkan membekal mata untuk menangis!"
"Kau jangan memandang orang dari apa yang terli-
hat di depan mata!" ucap Ni Luh Padmi membela diri.
Nenek ini masih berpegang teguh pada dugaannya jika
Lumba-lumba menyimpan ilmu walau saat Iblis Rang-
kap Jiwa lancarkan pukulan dia tidak membuat gera-
kan menangkis atau berkelebat selamatkan diri.
"Hem.... Jadi kau mengira pemuda itu membekal
ilmu? Ilmu apa...?!" Iblis Rangkap Jiwa tertawa berge-
lak. Namun tiba-tiba dia renggut lenyap suara ta-
wanya. Saat lain dia telah membentak. "Katakan den-
gan jujur. Siapa kau sebenarnya?!"
Ni Luh Padmi terkesiap dengan pertanyaan Iblis
Rangkap Jiwa. "Apa maksud ucapanmu?.'"
"Kau seolah mengenal pemuda perempuan itu! Kau
juga memotong pukulan yang kulancarkan padanya!
Jangan-jangan kau sendiri utusan yang sedang menye-
lidik itu...! Dan dia adalah gendakmu yang menyusul!"
Tampang Ni Luh Padmi seketika berubah merah
padam. Rahangnya terangkat dengan mata membela-
lak. Malah sempat menyeruak seruan tertahan dari
mulutnya saking terkejutnya mendengar ucapan Iblis
Rangkap Jiwa.
"Kau jangan menuduh tidak karuan!" bentak Ni
Luh Padmi tak kalah kerasnya. Mungkin agar tidak di-
kira ciut nyalinya, si nenek angkat juga kedua tangan-
nya. Malah nenek bertampang angker ini maju satu
tindak.
Iblis Rangkap Jiwa tak tinggal diam. Dia ikut ber-
gerak maju satu tindak. Mata masing-masing orang
berperang pandang.
Mendapati Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi
hendak saling lancarkan pukulan, Ratu Pemikat yang
hendak berkelebat pergi urungkan niat. "Bagaimana-
pun juga aku masih butuh tenaga mereka! Silakan me-
reka hendak saling bunuh asalkan urusan ini telah se-
lesai!" Ratu Pemikat membatin, lalu berkata.
"Kita telah bersahabat! Tidak ada gunanya saling
serang! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita. Ke-
lak urusan dengan Lumba-lumba dan manusia buta
itu pasti akan kita lanjutkan! Dia berdua tidak akan
bisa lari jauh dari mata kita!"
Seolah tak sabar, habis berkata Ratu Pemikat me-
lompat ke arah Ni Luh Padmi seraya berbisik. "Jangan
masukkan di hati apa yang baru diucapkan! Kita cepat
tinggalkan tempat ini!"
Ratu Pemikat tarik kedua tangan si nenek hingga
luruh ke bawah. Meski kedua tangannya sudah luruh,
namun sepasang mata si nenek ini tidak juga beranjak
dari sepasang bola mata Iblis Rangkap Jiwa. Jelas ka-
lau dadanya masih panas dan darahnya menggelegak.
"Nek… Ada yang akan kukatakan padamu...," ujar
Ratu Pemikat sambil menarik Ni Luh Padmi menjauh.
"Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan!" ja-
wab si nenek. Meski tubuhnya ikut seretan tangan Ra-
tu Pemikat, tapi kepala nenek ini tetap berpaling pada
Iblis Rangkap Jiwa yang tetap tegak di tempatnya den
gan mata juga sedang memandang ke arahnya.
"Aku pernah sekali jumpa dengan manusia buta
itu! Bahkan aku sempat bicara banyak dengannya!"
lanjut Ni Luh Padmi. "Anehnya, semua ucapannya be-
nar dan jadi kenyataan!"
Ratu Pemikat anggukkan kepala. "Syukur kalau
kau telah tahu. Dengan begitu aku yakin kau akan
ikuti saranku...."
"Sebenarnya aku tidak akan ikut saranmu! Aku
masih hendak menanyakan sesuatu padanya!"
"Nek! Tunda dahulu rencanamu! Sekarang bukan-
lah saat yang baik untuk ajukan tanya! Percayalah, ke-
lak kau akan jumpa lagi dengannya!"
Ni Luh Padmi sentakkan kepalanya memandang
pada Ratu Pemikat. Cekalan tangan Ratu Pemikat pa-
da lengannya ditepiskan. Si nenek hentikan langkah
seraya berkata.
"Bagaimana kau bisa memastikan begitu?!"
"Dia salah seorang yang hendak kita undang untuk
menghadiri pertemuan yang kita susun...."
"Tapi mengapa kau tidak mengatakan namanya
waktu berunding tadi...?!"
Ratu Pemikat terdiam. "Apakah aku harus berterus
terang?" katanya dalam hati. Setelah terdiam agak la-
ma akhirnya Ratu Pemikat berkata juga.
"Aku tadinya merasa khawatir kalau Gendeng Pa-
nuntun hadir, urusan jadi berantakan tidak karuan!
Kau tahu, selain pandai mengatakan apa yang hendak
terjadi, dia juga berilmu sangat tinggi! Aku khawatir
apa yang jadi tujuanmu dan maksudku akan terhalang
gara-gara kemunculannya pada pertemuan kita nanti!"
"Apakah dia sahabat Pendeta Sinting keparat itu?!"
"Aku tidak tahu persis. Yang jelas, selama ini Gen-
deng Panuntun bersahabat dengan Pendekar 131! Pa
dahal Pendekar 131 adalah murid Pendeta Sinting! Ti-
dak tertutup kemungkinan terjalin juga persahabatan
antara Gendeng Panuntun dengan Pendeta Sinting!"
"Aku tidak peduli! Siapa pun yang menghalangi
tindakanku, akan kulumat sekalian!"
"Itu memang yang harus kau lakukan. Tapi...."
Ucapan Ratu Pemikat terputus karena di belakang sa-
na tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Manusia buta! Kau telah ikut campur urusan Iblis
Rangkap Jiwa! Itu adalah hal bodoh yang kau laku-
kan!"
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi sama berpaling ke
arah Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki berkepala gundul ini
ternyata telah melompat dan kini tegak hanya sejarak
lima langkah di hadapan Gendeng Panuntun dengan
kedua tangan siap kirimkan pukulan.
"Aku sudah bilang. Bukannya aku ikut campur
tangan. Aku hanya tidak tega mendengar suara tangi-
san...," enak saja Gendeng Panuntun menjawab. "Ka-
lau itu kau anggap sebagai tindakan bodoh, harap
maafkan tindakanku tadi...."
Iblis Rangkap Jiwa tertawa mengekeh. "Itu adalah
tindakan bodoh kedua kalinya yang kau lakukan!"
"Bagaimana bisa begitu?!" tanya Gendeng Panun-
tun sambil arahkan wajahnya menghadap Ni Luh
Padmi dan Ratu Pemikat.
“Jawabannya akan kau lihat sendiri!" hardik Iblis
Rangkap Jiwa. Saat itu juga sosoknya berkelebat ke
depan Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman
ke arah kepala Gendeng Panuntun.
"Celaka! Manusia iblis itu benar-benar cari gara-
gara!!" gumam Ratu Pemikat. "Aku percaya Iblis Rang-
kap Jiwa memiliki kepandaian tinggi yang sulit dicari
tandingannya. Tapi yang dihadapinya kali ini orang
aneh. Selain berilmu tidak lebih rendah dari Iblis
Rangkap Jiwa, dia juga memiliki ilmu yang jarang di-
miliki orang lain..,."
"Bagaimana kau begitu tahu betul dengan manusia
bermata buta itu?!" tanya Ni Luh Padmi meski dirinya
sedikit banyak telah tahu pada pertemuannya bebera-
pa hari berselang.
"Kita lihat saja nanti...," ucap Ratu Pemikat seraya
terus perhatikan tindakan Iblis Rangkap Jiwa.
Di depan sana, sesaat Gendeng Panuntun tidak
membuat gerakan apa-apa. Kakek bermata buta ini
seolah tenang-tenang saja menghadapi pukulan yang
kini mengarah pada kepalanya dan dilakukan oleh seo-
rang tokoh yang memiliki ilmu tinggi.
Sejengkal lagi kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa
menghentak kepala Gendeng Panuntun, tiba-tiba si
kakek membuat gerakan luar biasa hebat yang tidak
diduga sama sekali oleh orang yang saat itu tengah
melihat.
***
DUA
GENDENG Panuntun bukannya gerakkan kepala
yang kini terancam pukulan kedua tangan Iblis Rang-
kap Jiwa untuk menghindar, justru kakek bermata bu-
ta ini sentakkan kepalanya ke arah kiri songsong tan-
gan kiri Iblis Rangkap Jiwa. Bukkkk!
Gerakan tidak terduga yang dilakukan Gendeng
Panuntun membuat hantaman tangan kiri Iblis Rang-
kap Jiwa terpotong di tengah jalan sebelum mengenai
sasaran. Hal ini sangat berpengaruh sekali pada Iblis
Rangkap Jiwa. Karena sebenarnya sebuah pukulan
akan lenyap kekuatannya jika pukulan itu dipotong
terlebih dahulu sebelum mengenai sasaran. Apalagi ji-
ka pukulan itu dilancarkan oleh anggota badan yang
saling berkaitan.
Begitu halnya yang terjadi pada Iblis Rangkap Jiwa.
Hingga begitu kepala Gendeng Panuntun menyong-
song, tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa terpental ke bela-
kang. Tangan kanannya yang saat itu juga tengah lan-
carkan pukulan memang masih berkelebat angker.
Namun pentalan tangan kirinya yang di songsong ke-
pala Gendeng Panuntun membuat sosoknya sedikit
tertarik ke belakang. Hingga sambaran tangan kanan-
nya mau tak mau ikut juga tertarik ke belakang. Ini
menjadikan tangan kanannya hanya menyambar uda-
ra kosong sejengkal di depan wajah Gendeng Panun-
tun!
Iblis Rangkap Jiwa hanya sesaat terkesiap. Di ke-
jap lain sosoknya telah kembali melesat ke depan. Kali
Ini rupanya dia tidak mau membuat kesalahan yang
sama. Hingga jarak setengah depa, dia telah lancarkan
pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi!
Satu gelombang dahsyat membawa kabut hitam
menderu cepat kearah Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tampak kerjapkan sepasang
Matanya yang putih. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya bergerak mengusap cermin di depan perut-
nya sambil tarik tubuh atasnya ke belakang, hingga
cermin bulatnya menghadap lurus ke atas. Wuuuss!
Dari cermin bulat di depan perut Gendeng Panun-
tun berkiblat satu cahaya putih. Pada saat yang sama
mendadak deruan gelombang kabut hitam sentakan
kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa seolah tertahan di
udara. Lalu laksana kilat terdorong lurus keatas men-
gikuti lesatan cahaya putih yang mencuat dari cermin
bulat Gendeng Panuntun!
Blaar! Blaarrr!
Kira-kira sepuluh tombak di atas udara, gelombang
kabut hitam yang terdorong cahaya putih keluarkan
suara ledakan dua kali berturut-turut. Gelombang ka-
but hitam dan cahaya putih ambyar bertabur dan le-
nyap di udara.
Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terlihat terjajar
sampai tiga langkah. Sepasang mata laki-laki berkepa-
la gundul ini mendelik angker mendapati apa yang ba-
ru saja terjadi. Sementara di seberang sana, Gendeng
Panuntun hanya bergoyang-goyang.
"Sobatku Iblis Rangkap Jiwa.... Percuma urusan
tak berguna ini kita teruskan. Kurasa masih ada sesu-
atu lebih penting yang harus kau lakukan! Bukankah
begitu...?"
Sambil ajukan tanya, wajah Gendeng Panuntun
bergerak menghadap ke arah Ratu Pemikat dan Ni Luh
Padmi.
"Orang buta itu telah tahu rencana kita!" desis Ra-
tu Pemikat. "Kalau kita tidak segera meninggalkan
tempat ini, kita akan mendapat celaka!"
Sebenarnya apa yang diucapkan Ratu Pemikat jauh
dari apa yang terpendam dalam benaknya. Karena se-
benarnya perempuan ini khawatir kalau apa yang ten-
gah direncanakan dengan diam-diam diketahui dan
dibeberkan Gendeng Panuntun di hadapan Iblis Rang-
kap Jiwa dan Ni Luh Padmi. Kalau hal itu benar-benar
jadi kenyataan, maka hilanglah apa yang menjadi im-
piannya.
Ni Luh Padmi kembali dibuncah rasa bimbang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Ucapan perem-
puan ini ada benarnya! Tapi sebenarnya ada yang per-
lu kutanyakan pada laki-laki buta itu!"
"Ratu Pemikat...l Bukankah lebih baik kita selesai-
kan laki-laki buta itu sekarang juga? Dengan begitu
pada pertemuan kelak apa yang akan kita kerjakan ti-
dak terlalu berat!"
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Dia bukan tan-
dingan kita! Ada seseorang yang mungkin bisa mela-
wannya! Itu pun tidak kujamin orang itu bakal bisa
mengalahkannya! Tapi kita masih punya waktu ba-
nyak. Selang waktu itu akan kita rencanakan bagai-
mana cara melumpuhkan Gendeng Panuntun!"
"Hem.... Yang kau maksud Malaikat Penggali Ku-
bur?!"
"Benar! Pemuda itu kini membekal Kitab Hitam
yang memiliki kekuatan luar biasa dahsyat! Malah de-
mikian hebatnya kitab itu, hingga kita bertiga harus
bertekuk lutut dan jadi pembantunya!"
Kepala NI Luh Padmi mengangguk. Bukan setuju
dengan ucapan Ratu Pemikat melainkan membatin.
"Jadi kitab itu benar-benar luar biasa! Sebaiknya aku
tidak buat urusan dengan orang lain dahulu sebelum
Kitab Hitam berada di tanganku..
Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi buka suara.
"Lalu bagaimana dengan Iblis Rangkap Jiwa? Apa-
kah akan kita tinggal sendirian di sini?!"
"Itulah yang saat ini sedang ku pikirkan! Sebenar-
nya aku tidak ingin melihat dia celaka sebelum perte-
muan itu berlangsung!"
Mendengar ucapan Ratu Pemikat membuat Ni Luh
Padmi perdengarkan suara tawa perlahan. "Kau
mengkhawatirkan jiwanya. Apakah kau benar-benar
tertarik padanya?!"
Tampang Ratu Pemikat sesaat tampak merah. Na-
mun saat lain perempuan ini balik perdengarkan tawa
sambil berucap.
"Aku masih sanggup menggaet pemuda tampan!
Kalau aku begitu khawatir dengan keselamatan Iblis
Rangkap Jiwa semata-mata hanya karena tenaganya
kubutuhkan saat pertemuan nanti! Jika semuanya su-
dah selesai, kedua tanganku pun tak segan mencabut
nyawanya!"
"Hai...! Ternyata kau memendam ganjalan juga
dengan manusia gundul itu!" seru Ni Luh Padmi men-
dengar keterus terangan Ratu Pemikat.
"Aku terpaksa berterus terang padamu, Nek! Tapi
kalau hal itu kau bocorkan pada Iblis Rangkap Jiwa,
aku pun tak keberatan membuatmu berkalang tanah!"
Kini berbalik raut muka Ni Luh Padmi yang jadi
merah padam menindih gejolak amarah mendengar
ucapan Ratu Pemikat. Namun teringat akan keadaan
dirinya dan juga urusan Kitab Hitam, nenek ini coba
menindih hawa kemarahannya.
"Kalian berbisik-bisik apa?!" mendadak satu suara
mengejutkan Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. Kedua
perempuan ini segera berpaling ke arah datangnya su-
ara yang ternyata keluar dari mulut Gendeng Panun-
tun.
"Cepat ajak temanmu ini untuk pergi dari sini!"
Gendeng Panuntun lanjutkan ucapannya.
Belum sampai ada yang buka suara atau membuat
gerakan lakukan ucapan Gendeng Panuntun, menda-
dak terdengar bentakan keras.
"Aku tak akan pergi tanpa nyawamu putus!" Yang
keluarkan bentakan bukan lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa.
Habis membentak, Iblis Rangkap Jiwa hentakkan
kedua kakinya. Sosoknya melesat laksana terbang ke
arah Gendeng Panuntun. Kedua tangannya serentak
lancarkan pukulan jarak jauh. Dan seolah ingin bukti
kan ucapannya, laki-laki berkepala gundul itu te-
ruskan kelebatannya dengan kedua kaki membuat ge-
rakan menendang.
Gendeng Panuntun tengadah sambil menggumam
tak jelas. Tangan kanannya kembali bergerak mengu-
sap cermin bulatnya. Namun, tiba-tiba kakek bermata
buta ini urungkan niat. Tangan kanannya ditarik pu-
lang dan disentakkan ke tanah. Wuuttt...! Sosok be-
sarnya melesat ke belakang. Saat itulah mendadak sa-
tu sinar kuning berkelebat membawa gelombang dah-
syat dan hawa luar biasa panas!
"Aku rasanya pernah mengenali pukulan yang baru
saja dilancarkan pemuda yang sebutkan diri sebagai
Lumba-lumba itu!" gumam Ratu Pemikat begitu ma-
tanya melihat bagaimana pemuda berperangai perem-
puan yang sebutkan diri Lumba-lumba tarik kedua
tangannya dan sepasang matanya dan mendorong ke
arah gelombang kabut hitam yang tengah dilancarkan
Iblis Rangkap Jiwa pada Gendeng Panuntun.
Ni Luh Padmi kernyitkan dahi. "Apa kau bilang?
Kau pernah mengenali pukulan itu?!"
"Betul! Tapi...." Ratu Pemikat tidak lanjutkan uca-
pannya di mulut. Dia hanya membatin. "Apakah dua
orang bisa memiliki pukulan sama?! Atau jangan-
jangan dia!"
Ni Luh Padmi sendiri seolah tidak menunggu jawa-
ban Ratu Pemikat. Karena dia sendiri tampaknya se-
dang mengingat-ingat. "Hem.... Rasanya aku juga per-
nah bertemu dengan orang yang memiliki pukulan sa-
ma dengan yang dilancarkan pemuda perempuan itu!
Astaga...! Bukankah pukulan itu pernah dilancarkan
oleh pemuda geblek murid Pendeta Sinting pada bebe-
rapa hari yang lalu? Bagaimana ini? Apakah dia juga
muridnya Pendeta Sinting?!"
Blammm!
Di depan sana mendadak terdengar ledakan keras
membuat tanah di sekitar tempat itu berguncang. Ge-
lombang hitam berlesatan ke sana kemari bentrok
dengan sinar kuning yang memang dilancarkan oleh
Lumba-lumba.
Iblis Rangkap Jiwa jadi naik pitam. Apalagi kini
mengetahui kalau orang yang diduga tidak memiliki
kepandaian apa-apa, tiba-tiba mampu memangkas
pukulannya. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. La-
lu teruskan kelebatannya. Bukan mengarah pada
Gendeng Panuntun yang telah berkelebat ke belakang
hindarkan diri, namun lurus ke arah Lumba-lumba
yang masih duduk berlutut.
"Hai...! Apa yang kau...." Hanya itu ucapan yang
sempat terlontar dari mulut Lumba-lumba, karena
saat itu tendangan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa te-
lah ada di depan hidungnya!
Karena tak ada waktu lagi untuk menghindar, pada
akhirnya Lumba-lumba harus menangkis tendangan
orang dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar suara bentrokan dua kali. Namun rupa-
nya Lumba-lumba tertipu, karena tendangan kedua
kaki Iblis Rangkap Jiwa hanya merupakan tipuan be-
laka. Serangan yang sesungguhnya justru melesat dari
kedua tangannya saat tendangannya ditangkis Lumba-
lumba!
Lumba-lumba tampak melengak kaget melihat ba-
gaimana kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa berkelebat
laksana kilat menyambar ke arah kepalanya.
"Mati aku!" teriak Lumba-lumba. Meski kedua tan-
gannya yang baru saja bentrok dengan tendangan Iblis
Rangkap Jiwa cepat diangkat, namun sudah sangat
terlambat untuk memangkas pukulan kedua tangan
Iblis Rangkap Jiwa.
Saat itulah mendadak Gendeng Panuntun goyang
kan pantatnya. Satu cahaya putih melesat dari cermin
bulatnya.
Karena terlalu bernafsu untuk membunuh Lumba-
lumba, Iblis Rangkap Jiwa tidak menyadari kalau saat
itu cahaya yang melesat dari cermin Gendeng Panun-
tun sedang berkelebat. Lelaki berkepala gundul ini ba-
ru sadar tatkala kedua tangannya terasa panas luar
biasa dan kejap lain tangannya mental balik ke bela-
kang!
Saat yang sangat terbatas itu tidak disia-siakan
olah Lumba-lumba. Kedua tangannya yang tadi hen-
dak memangkas pukulan Iblis Rangkap Jiwa segera
didorong ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
"Jahanam!" maki Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangan
dan sosoknya hendak bergerak. Namun kali ini dia
yang terlambat. Hingga sebelum laki-laki ini sempat
membuat gerakan apa-apa, tubuhnya mencelat tersa-
pu gelombang yang keluar dari dorongan kedua tangan
Lumba-lumba.
"Dugaanku tidak jauh meleset! Lumba-lumba me-
miliki ilmu...," ujar Ni Luh Padmi perlahan dengan
pandangi sosok Iblis Rangkap Jiwa yang tampak ter-
kapar di atas tanah dengan mulut keluarkan cairan
darah.
Ratu Pemikat terkesima. Wajahnya berubah pucat.
Kalau menghadapi Gendeng Panuntun sendirian saja
dia sudah menduga tak bakal sanggup, bagaimana
mungkin menghadapi Gendeng Panuntun dan seorang
pemuda perempuan yang ternyata memiliki ilmu yang
tidak bisa dipandang sepele.
Berpikir sampai ke sana, Ratu Pemikat kembali
menarik kedua tangan Ni Luh Padmi. "Nek! Kau masih
sayang jiwamu? Kau masih inginkan nyawa Pendeta
Sinting?!"
Pertanyaan beruntun Ratu Pemikat membuat dahi
Ni Luh Padmi berkerut. Namun sebelum si nenek ta-
nyakan maksud ucapan Ratu Pemikat, perempuan
bertubuh sintal ini telah jawab sendiri ucapannya.
"Kau hanya akan sia-siakan nyawa kalau tetap be-
rada di sini! Dan itu berarti bara dendammu tidak
akan berlanjut!"
"Lalu apakah kau tidak mengkhawatirkan Iblis
Rangkap Jiwa lagi?!"
"Dia telah lakukan apa yang dia maul Berarti din
juga siap menanggung akibatnya! Aku tak akan pedu-
likan lagi jiwanya kalau hal itu akan korbankan nya-
waku sendiri!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat lepaskan ceka-
lannya pada tangan Ni Luh Padmi. Saat lain tanpa bu-
ka suara lagi, Ratu Pemikat berkelebat tinggalkan tem-
pat itu.
Ni Luh Padmi menoleh pulang balik ke arah berke-
lebatnya Ratu Pemikat dan ke arah sosok Iblis Rang-
kap Jiwa yang masih terkapar di atas tanah. "Hem....
Benar juga ucapan perempuan itu! Jalanku masih
panjang, aku juga tidak mau korbankan nyawa dengan
sia-sia!"
Si nenek kini hadapkan wajahnya pada Lumba-
lumba dan Gendeng Panuntun. Lumba-lumba tampak
bangkit lalu usap-usap sepasang matanya meski jelas
tidak ada air mata yang menetes. Di sebelah belakang,
Gendeng Panuntun tampak tengadahkan kepala lalu
melangkah menghampiri Lumba-lumba. Anehnya, se-
raya melangkah, wajah si kakek menghadap lurus ke
arah Ni Luh Padmi, membuat si nenek berdebar-debar.
"Nek.... Selamat jumpa lagi...," ujar Gendeng Pa-
nuntun begitu dekat dengan Lumba-lumba. "Bagaima-
na kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja...."
"Sahabat tua.... Terima kasih kau telah memberi
bantuan padaku hingga nyawaku tetap tak kurang su-
atu apa!" kata Lumba-lumba. Seperti halnya Gendeng
Panuntun, Lumba-lumba berucap dengan wajah
menghadap lurus ke arah Ni Luh Padmi, membuat si
nenek makin tambah tidak enak perasaan.
"Sahabat tua! Kau tampaknya mengenal nenek
cantik itu! Siapa gerangan dia...? Ucapanmu menun-
jukkan bahwa kau sudah sering kali jumpa dengan-
nya. Apakah dia salah seorang sahabatmu?!"
"Lebih dari sekadar sahabat...," ujar Gendeng Pa-
nuntun.
"Jadi dia kekasihmu...?!" sahut Lumba-lumba.
"Lebih dari sekadar kekasih...."
"Waduh.... Jadi apamu dia?!" kata Lumba-lumba
sudah tak bisa berpikir lagi.
"Dia bukan apa-apaku...!" jawab Gendeng Panun-
tun membuat Lumba-lumba jadi makin bingung.
"Hem.... Dikatakan sahabat, lebih. Disebut kekasih,
lebih. Ditanya apanya, bukan apa-apanya!" gumam
Lumba-lumba. "Ah.... Ucapanmu menjadikan aku bin-
gung!"
"Sahabat muda! Kau tak usah bingung. Begitulah
memang .kenyataannya. Bukankah begitu, Nek?!" kata
Gendeng Panuntun jawab gumaman Lumba-lumba se-
kaligus ajukan persetujuan pada Ni Luh Padmi.
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya putar diri
lalu berkelebat.
"Nek...!" seru Gendeng Panuntun. "Kalau kau ma-
sih mau turutkan kataku, kau masih punya waktu dan
kesempatan!"
Ni Luh Padmi gerakkan tubuh memutar dan
urungkan niat berkelebat. Sejurus matanya meman-
dang pada Lumba-lumba dan Gendeng Panuntun.
"Meski ucapanmu tepat, jangan harap aku akan
urungkan niat!"
"Hem.... Karena kau tertarik juga dengan kitab
itu?" tanya Gendeng Panuntun. Kakek ini perdengar-
kan tawa dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. "Jika
aku jadi kau, pengalaman akan kujadikan pelajaran
berharga.
Saat ini kau telah terjerat, namun kau masih
punya kesempatan untuk bebaskan diri.... Dan kukira
itulah satu-satunya jalan terbaik yang harus kau tem-
puh!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, niat semu-
la Ni Luh Padmi yang hendak menanyakan perihal Ki-
tab Hitam jadi terlupa karena dadanya mulai dirasuki
hawa kemarahan. Hingga si nenek segera membentak
dengan suara keras.
"Kau jangan coba-coba mengguruiku! Aku punya
seribu satu jalan! Dan aku tahu bagaimana bebaskan
diri sekaligus tanpa sia-siakan kesempatan!"
"Nek.... Kalau aku jadi dirimu, aku akan urungkan
niat. Karena selain hanya akan datangkan beban lebih
parah, juga hanya akan sia-siakan nyawa...."
"Betul!" sahut Lumba-lumba yang sejurus tadi
hanya diam mendengarkan. "Kalau perlu, kau cepat-
cepat saja cari pendamping hidup jika belum punya
pen-damping! Dengan begitu, sisa-sisa hari tuamu bisa
terisi dengan keindahan. Apalagi yang jadi pendam-
pingmu adalah seorang pemuda! Aku yakin, dengan
modal kecantikanmu, tidak sulit bagimu menggaet hati
seorang pemuda! Tapi ingat, aku tidak coba menggurui
mu. Ini semua karena...."
"Percuma kalian bicara!" kata Ni Luh Padmi menu-
kas ucapan Lumba-lumba. Paras wajah nenek ini telah
berubah merah padam. Mulutnya sunggingkan se-
nyum seringai. "Aku tak akan urungkan langkah walau
satu tindak! Aku juga tidak akan mundur meski harus
berhadapan dengan setan sekali pun! Dan kalau kalian
berdua manusia-manusia yang ingin bukti, datanglah
ke Kedung Ombo pada purnama depan!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi pentangkan
sepasang matanya. Tangan kanannya yang menggeng-
gam tusuk konde besar berwarna hitam bergerak men-
garah lurus pada Gendeng Panuntun dan Lumba-
lumba.
"Kau Dan kaul Akan buktikan sendiri. benar tidak-
nya semua ucapan kalian dan ucapanku!"
Tanpa menunggu sahutan lagi dari mulut Gendeng
Panuntun maupun Lumba-lumba, Ni Luh Padmi ber-
kelebat. Namun sebelum benar-benar berkelebat ting-
galkan tempat itu, mata si nenek sempat melirik seki-
las pada Iblis Rangkap Jiwa yang ternyata telah bang-
kit terbungkuk-bungkuk seraya usap darah yang men-
galir dari mulutnya.
Sesaat setelah sosok Ni Luh Padmi lenyap, menda-
dak tempat itu dibuncah dengan suara bentakan ke-
ras.
"Kalian boleh maju bersama-sama! Kalian boleh
memilih bagian mana dari tubuhku yang kalian sukai!
Ha.... Ha.... Ha...!"
Gendeng Panuntun tidak bergeming dari tempat-
nya bahkan tidak gerakkan wajah menghadap ke arah
sumber datangnya bentakan yang tidak lain diperden-
garkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Lain halnya dengan
Lumba-lumba. Begitu terdengar bentakan, kepala pe-
muda berperangai perempuan ini langsung bergerak
cepat menghadap ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Paras wajah Lumba-lumba tampak berubah den-
gan kedua tangan bergerak pulang batik gemulai ke
depan ke belakang pertanda kalau dadanya sedang di-
landa gelisah.
"Sahabat muda!" kata Gendeng Panuntun. "Kita
harus tinggalkan tempat ini. Kurasa percuma saja kita
ladeni ucapan manusia itu! Kita hanya akan sia-siakan
tenaga!"
"Tapi.... Dia tidak akan berdiam diri...," ujar Lum-
ba-lumba. Sepasang matanya terus perhatikan Iblis
Hang kap Jiwa yang mulai tampak melangkah perla-
han.
Gendeng Panuntun sesaat terdiam. Tapi di kejap
lain kakek bermata putih ini goyangkan pantatnya dua
kali berturut-turut.
Dua cahaya putih melesat laksana kilat yang me-
nyambar ke arah hamparan tanah di depan sana. Ta-
nah langsung bertabur ke udara sebelum keluarkan
debuman membahana dan akibatkan getaran keras
laksana ada gempa hebat.
Iblis Rangkap Jiwa sekonyong-konyong hentikan
langkah. Namun mungkin untuk buktikan ucapannya,
laki-laki berkepala gundul ini sengaja tidak membuat
gerakan apa-apa. Malah dengan sunggingkan senyum
dingin, dia pentangkan kedua tangannya di atas ping-
gang kiri kanan dengan kedua kaki terkembang seakan
menyongsong pukulan orang!
Di lain pihak, begitu dua kilatan cahaya putih ber-
kiblat ke depan, Gendeng Panuntun berujar pelan. "Ki-
ta pergi sekarang!"
Lumba-lumba yang sejenak tampak terkesiap den-
gan apa yang baru saja dilakukan Gendeng Panuntun
cepat berpaling. Tapi pemuda itu tersentak. Sosok
Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap dari tem-
patnya semula.
"Memang sudah saatnya aku harus pergi.... Seo-
rang diri menghadapi manusia iblis itu hanya akan da-
tangkan malapetaka!" gumam Lumba-lumba. Lalu pu-
tar diri dan serta-merta jejakkan kaki berkelebat.
Di seberang sana, begitu dua cahaya putih meng-
gebrak tanah dua jengkal di hadapan Iblis Rangkap
Jiwa, laki-laki berkepala gundul ini perdengarkan tawa
bergelak panjang. Namun tiba-tiba dia renggutkan su-
ara tawanya. Tulang dahinya bergerak dengan rahang
terangkat. Saat lain kedua kakinya bergerak silih ber-
ganti terangkat dan menghentak ke atas tanah.
"Jahanam! Mereka menipuku! Menipuku!" teriak
Iblis Rangkap Jiwa begitu sadar apa yang baru saja di-
lakukan lawan dari arah seberang sana.
Pada awalnya Iblis Rangkap Jiwa memang perden-
garkan tawa bergelak panjang begitu mendapati puku-
lan yang dilancarkan Gendeng Panuntun hanya meng-
gebrak tanah dua jengkal di depannya. Namun begitu
maklum bahwa pukulan itu memang sengaja dilancar-
kan ke tanah di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa naik
pitam. Namun semuanya sudah terlambat. Karena ke-
tika hamburan tanah sirna, sosok Gendeng Panuntun
dan Lumba-lumba sudah tidak terlihat lagi!
Iblis Rangkap Jiwa sejenak memandang liar berke-
liling. "Hem.... Aku tak dapat menentukan ke mana
kedua laki-laki itu pergi. Yang pasti aku dapat menen-
tukan ke mana kedua perempuan itu minggat! Aku ha-
rus segera menyusul!"
Dengan hentakkan sekali lagi kaki kanannya sak-
ing jengkel, Iblis Rangkap Jiwa berlari cepat. Yang ter-
tinggal hanyalah hamburan tanah ke udara akibat
hentakan kakinya!
****
TIGA
MESKI merasa yakin kalau arah yang diambil satu
jurusan dengan Gendeng Panuntun, dan walau sudah
kerahkan segenap tenaga luar dan dalam yang dimili-
kinya, namun Lumba-lumba merasa heran. Bukan sa-
ja dia tidak berhasil menyusul Gendeng Panuntun,
namun dia menemui kegagalan menangkap kelebatan
sosok kakek bermata putih itu. Hingga mungkin mera-
sa tak ada gunanya memaksakan diri, akhirnya pemu-
da berperangai perempuan ini hentikan larinya.
Lumba-lumba putar kepalanya berkeliling lalu
mendongak. Saat itu dia tidak tahu sedang berada di
daerah mana. Yang diketahui jelas, saat itu suasana
sudah gelap dan beberapa kerlip bintang sudah meng-
hampar di pelataran langit.
"Malaikat Penggali Kubur...," desis Lumba-lumba
seraya tetap mendongak. "Tidak disangka sama sekali
kalau pemuda itu yang akhirnya mendapatkan Kitab
Hitam.... Kurasa ucapan Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu
Pemikat tidak dusta! Tapi bagaimana pemuda itu tahu
seluk beluk kitab itu...? Ah. Itu sudah terjadi! Tak ada
gunanya dipikirkan lagi! Yang masih menjadi tanda
tanya, bagaimana Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa,
dan nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi bisa ber-
gabung jadi satu?! Lalu ucapan Ni Luh Padmi tentang
undangannya ke Kedung Ombo pada purnama depan.
Ada apa sebenarnya ini?! Undangan itu tentu bukan
main-main! Sebenarnya aku hendak menanyakan pe-
rihal undangan itu pada Gendeng Panuntun. Tapi ka-
kek itu rupanya sedang tidak mau ditanyai! Buktinya
dia lenyap tanpa bekas laksana ditelan bumi... Hem....
Titik terang telah kudapat! Aku harus segera bergerak!"
Lumba-lumba angkat kedua tangannya. Kali ini ge-
rakan kedua tangannya tidak lagi lemah gemulai. Tapi
mendadak gerakan kedua tangan Lumba-lumba terta-
han di udara. Kejap lain pemuda berperangai perem-
puan ini sunggingkan senyum dan terus gerakkan ke-
dua tangannya. Namun gerakan kedua tangannya
kembali berubah lemah gemulai. Malah kali ini tampak
sengaja dipulang-balikkan ke depan ke belakang den-
gan pantat sedikit digoyang-goyang. Bersamaan itu da-
ri mulutnya terdengar suara nyanyian.
"Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di ge-
lap malam. Kelelawar sayapnya hitam. Tanda hari be-
ranjak malam. Kelelawar bulunya hitam. Sama hitam
dengan bulu...."
"Hik.... Hik.... Hik...!" satu suara cekikikan tiba-tiba
terdengar, membuat Lumba-lumba kontan hentikan
nyanyian. Anehnya begitu Lumba-lumba putuskan
nyanyiannya, suara tawa cekikikan juga diputus!
Belum sampai Lumba-lumba gerakkan kepala ber-
paling. Satu sosok tubuh berkelebat. Dan di hadapan
Lumba-lumba tahu-tahu telah tegak satu sosok tubuh
dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata tak
berkesip menusuk tajam.
Lumba-lumba teruskan gerakan kedua tangannya
pulang balik ke depan dengan lemah gemulai dan pan-
tat bergoyang-goyang. Pemuda ini hanya sekilas me-
mandang ke arah orang yang tahu-tahu muncul yang
ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik
jelita dengan hidung sedikit mancung dan rambut di-
kuncir tinggi. Gadis ini mengenakan jubah warna me-
rah menyala.
Di depan sana, si gadis berjubah merah dan tidak
lain adalah Putri Sableng adanya pentangkan sepasang
matanya. Wajahnya jelas membayangkan kegeraman.
Entah apa yang membuat gadis itu tiba-tiba merasa
geram. Yang pasti dan aneh, justru kejap lain gadis
berjubah merah ini perdengarkan tawa cekikikan pan-
jang. Tapi cuma sejurus. Saat lain Putri Sableng reng-
gutkan suara tawanya, dan terdengarlah suara benta-
kannya.
"Mengapa kau tidak menepati janji?"
Sepasang mata Lumba-lumba mengerjap berulang
kali. Malah kini kedua tangannya bergerak mengusap-
usap sepasang matanya lalu dibeliakkan lebar-lebar
dengan tangan kiri kanan menarik kulit di bawah mata
kiri kanannya!
"Apakah dia telah tahu...?!" Diam-diam Lumba-
lumba membatin. Pemuda ini unjukkan tampang ke-
heranan lalu buka mulut.
"Rasanya kita...."
"Jangan pura-pura pakai rasanya segala!" bentak
Putri Sableng memutus ucapan Lumba-lumba. Mem-
buat pemuda berperangai perempuan ini kancingkan
mulut rapat.
"Ayo jawab! Mengapa kau tidak tepati janji?!"
"Aku tidak pernah mengucapkan janji apa-apa pa-
damu! Kita baru kali ini jumpa! Jangan kau mengada-
ada cari urusan!" Lumba-lumba balas membentak
dengan tak kalah kerasnya.
"Hem.... Begitu?!"
"Betul begitu!" jawab Lumba-lumba. Mendengar
sahutan Lumba-lumba, bukannya membuat Putri Sab-
leng tambah dongkol, sebaliknya gadis berjubah merah
ini malah tertawa panjang seraya diam-diam memba-
tin. "Kau masih juga tak mau mengaku! Baik...."
"Limba-limba! Aku tanya padamu. Jika kau jawab
jujur, kau akan selamat. Kalau tidak, aku akan te-
ruskan urusan Iblis Rangkap Jiwa yang tertunda! Kau
paham?!"
Meski unjukkan rasa heran, namun saat lain ju-
stru Lumba-lumba buka mulut seraya tertawa pendek.
"Aku Lumba-lumba! Bukan Limba-limba! Kau bicara
pada orang yang salah! Jadi maaf saja aku tidak bisa
melayanimu!"
"Hem.... Begitu...?!"
"Benar. Begitu!" sahut Lumba-lumba sebelum Putri
Sableng sempat teruskan ucapannya. "Kalau kau cari
Limba-limba, aku bisa menunjukkan di mana dia be-
rada!"
"Sialan! Peduli setan kau Limba-limba atau Lumba-
lumba! Yang pasti aku yakin kaulah orang yang harus
jawab pertanyaanku!"
"Hem.... Begitu?!" tanya Lumba-lumba.
"Ya! Begitu!" jawab Putri Sableng menirukan sahu-
tan Lumba-lumba. "Di mana beradanya seorang pe-
muda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng?!"
"Ah.... Kalau itu yang kau tanyakan aku akan men-
jawab. Tapi harap katakan dahulu siapa gerangan kau
adanya!"
"Aku murid Pendeta Sinting! Tugasku membawa
hidup atau mati pemuda itu!"
"Hemm.... Aku tanya siapa namamu! Bukan tanya
kau murid siapa!"
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" Kata Putri Sableng.
Tangan kanan gadis berparas cantik ini menunjuk da-
danya. "Aku telah membekal Kitab Hitam! Jangan kau
berani berucap dusta jika tidak ingin mati konyol! Kau
dengar dan mengerti?!"
"Jangkrik.... Jangan-jangan dia telah tahu diriku
dan sempat melihat apa yang tadi terjadi di bawah bu-
kit...," ujar Lumba-lumba dalam hati. "Hem.... Tak ada
gunanya lagi samaranku ini...."
Lumba-lumba tidak menyahut ucapan Putri Sab-
leng yang sebutkan diri sebagai Malaikat Penggali Ku-
bur. Sebaliknya dia balikkan tubuh. Tangan kanan ki-
rinya bergerak terangkat melepas gelungan rambutnya
yang tinggi. Tangannya kemudian bergerak sigap me-
lepas kancing-kancing pakaian perempuan panjang
yang dikenakannya. Saat lain Lumba-lumba gerakkan
kedua tangannya. Pakaian panjang perempuan yang
dikenakannya melorot jatuh. Di balik pakaian panjang
itu kini tampaklah satu sosok tubuh kekar berbalut
pakaian putih-putih dengan rambut sedikit panjang
acak-acakan.
Lumba-lumba ambil pakaian panjang yang tergele-
tak di bawahnya seraya meloncat. Dan masih tetap
memunggungi Putri Sableng, Lumba-lumba gerakkan
tangannya yang memegang pakaian pada wajahnya.
Sementara di belakang sana, Putri Sableng mengawasi
tindakan Lumba-lumba dengan tawa tertahan.
Lumba-lumba tidak menunggu lama. Kejap lain ju-
ga dia bergerak balikkan tubuh. Di hadapan Putri Sab-
leng kini tegak seorang pemuda berparas tampan men-
genakan pakaian putih-putih. Rambut agak acak-
acakan sebatas bahu. Tangan kanannya terangkat
dengan jari kelingking masuk ke lobang telinga!
"Kau hendak teruskan tugasmu membawaku hidup
atau mati menghadap Pendeta Sinting?!" tanya Lumba-
lumba yang kini telah tanggalkan pakaian panjangnya
dan berubah menjadi seorang pemuda tampan dan
bukan lain adalah Pendekar 131.
Putri Sableng tidak menjawab. Sebaliknya dia aju-
kan tanya.
"Mengapa kau tidak tepati janjimu untuk menung-
guku dl tempat yang telah kita tentukan? Kenapa,
he?!"
"Pada awalnya aku menunggumu. Namun sesuatu
telah merubah niatku! Dan selanjutnya kau kurasa te-
lah tahu apa yang terjadi!"
"Jangan bicara ngawur! Siapa tahu apa yang telah
terjadi?!"
"Hem.... Bukankah kau telah tahu kalau Kitab Hi-
tam nyatanya telah jatuh ke tangan Malaikat Penggali
Kubur? Itu pertanda jelas kalau selama ini kau selalu
mengikuti ke mana aku pergi!"
Putri Sableng tertawa panjang. "Kau masih juga bi-
cara tak karuan! Siapa selalu mengikuti ke mana kau
pergi?! Aku tahu hal itu justru dari orang lain!"
"Coba katakan siapa orang itu?!"
Putri Sableng gelengkan kepala. "Itu tidak penting!
Yang jelas kita sekarang sudah tahu di mana gerangan
adanya kitab itu! Aku sekarang tanya padamu. Apa
yang ada dalam benakmu begitu tahu kitab itu telah
jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur?!"
Pendekar 131 terdiam sesaat mendengar perta-
nyaan Putri Sableng. Tapi sesaat kemudian, murid
Pendeta Sinting ini gelengkan kepala sambil berucap.
"Aku belum tahu apa yang harus kulakukan sekarang!
Yang jelas, aku telah mendapat undangan dari seorang
nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi. Aku menduga
undangan itu masih ada hubungannya dengan Kitab
Hitam dan Malaikat Penggali Kubur!"
"Dugaan harus punya alasan. Apa alasanmu sam-
pai menduga kalau undangan nenek itu ada hubun-
gannya dengan Malaikat Penggali Kubur?!"
"Pada pertemuan pertama kali, nenek itu jelas ti-
dak tahu urusan Kitab Hitam. Dia datang dari jauh jelas bertujuan hanya untuk mencari guruku! Tapi pada
pertemuan kedua kalinya, ada keanehan. Dia telah
bergabung dengan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Ji-
wa! Dari ucapan-ucapannya, jelas terbayang kalau dia
sekarang paham benar tentang kitab itu dan tidak ter-
tutup kemungkinan dia juga menginginkan kitab itu!"
Putri Sableng sejenak mendengarkan dengan sek-
sama. Namun tiba-tiba gadis cantik ini palingkan ke-
pala dengan tangan kiri terangkat. Kejap lain dia ber-
kelebat.
Joko terpaksa palingkan kepala dengan dahi berke-
rut. Saat itulah dari seberang terdengar suara benta-
kan Putri Sableng.
"Lancang benar kau berani mencuri dengar pembi-
caraan orang! Cepat keluar!"
Maklum akan apa yang hendak terjadi, laksana
terbang, murid Pendeta Sinting berkelebat dan tegak
dua langkah di samping Putri Sableng dengan mata
liar terpentang memandang berkeliling.
Karena ditunggu agak lama tidak juga muncul se-
seorang, Joko sorongkan kepala seraya berbisik.
"Kau yakin kalau memang ada orang di sekitar
tempat ini?!"
Putri Sableng bukannya menjawab dengan buka
suara, melainkan angkat tangan kanan kirinya. Lalu di
sentakkan ke arah di sebelah kanannya.'
"Waduh.... Tahan!" terdengar suara seruan dari
arah mana tangan kanan kiri Putri Sableng hendak
lancarkan pukulan. Lalu dari arah kegelapan di balik
satu batang pohon muncul satu sosok tubuh yang me-
langkah terbungkuk-bungkuk.
Ketegangan di wajah murid Pendeta Sinting sirna
seketika. Di sebelahnya Putri Sableng turunkan kedua
tangannya dengan sepasang mata memperhatikan tajam pada sosok yang baru muncul.
"Siapa kau?! Jawab cepat!" bentak Putri Sableng.
"Putri.... Jangan...." Ucapan Joko terputus. Karena
bersamaan itu Putri Sableng putar diri menghadap lalu
membentak keras.
"Ini urusanku! Jangan ikut bicara!"
"Betul! Ini urusanku! Jangan ikut bicara!" menda-
dak orang yang baru muncul berkata seperti apa yang
diucapkan Putri Sableng, membuat gadis berjubah me-
rah Ini berpaling dengan mata membelalak dan mulut
terkancing.
Orang yang baru muncul dari kegelapan meman-
dang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih
pada Putri Sableng. Untuk beberapa lama orang ini
memandangi si gadis dengan geleng-gelengkan kepala
dan mulut menguncup.
"Kalau kau tidak menjawab dan main-main, jangan
menyesal!" hardik Putri Sableng. Kembali gadis ini
angkat kedua tangannya.
Di depan sana, orang yang baru muncul dan ter-
nyata adalah seorang pemuda berparas tampan sung-
gingkan senyum. Sosok bagian atas tubuhnya bergerak
sedikit membungkuk membuat sikap menjura. Pemu-
da yang ternyata tidak memiliki tangan ini lalu gerak-
gerak-kan kedua bahunya seraya berkata.
"Bukannya aku tidak mau menjawab dan bukan-
nya pula aku main-main.... Aku hanya masih terkesi-
ma, bagaimana sahabatku itu bisa menggaetmu?! Pa-
dahal kalau dibanding dengan wajahku, siapa pun
akan mengatakan aku lebih tampan! Apa ini karena
nasibku yang kurang beruntung?!"
"Nasibmu bukan saja kurang beruntung! Tapi je-
lek!" sahut Putri Sableng.
"Hai.... Apa kau bilang? Nasibku bukan saja ku
rang beruntung, tapi jelek? Bagaimana bisa begitu?!"
"Karena kau tidak cepat jawab pertanyaanku!" ben-
tak Putri Sableng.
"Waduh.... Baik, baik, baik! Aku akan jawab perta-
nyaanmu.... Apa tadi yang kau tanyakan?!"
"Dewa Orok! Cepat jawab! Jangan terus bergurau!"
Teriak murid Pendeta Sinting sambil melangkah hen-
dak mendekat. Namun langkah kaki Joko tertahan ka-
rena saat itu Putri Sableng melompat dan tegak me-
munggungi di hadapannya dengan mulut perdengar-
kan suara bentakan.
"Kau telah dengar ucapanku! Jangan berani ikut
campur! Ini urusanku!"
"Gadis cantik...!" kata pemuda bertangan buntung
yang tidak lain memang Dewa Orok adanya. "Aku....
Aku.... Aku.... Aku adalah...."
"Dia adalah Dewa Orok!" sahut murid Pendeta Sint-
ing seakan tak sabar melihat Dewa Orok tidak segera
sebutkan diri.
"Ah.... Betul!" ujar Dewa Orok timpali ucapan Pen-
dekar131.
Putri Sableng unjukkan tampang angker dengan
mata tak berkesip pandangi Dewa Orok dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Dia adalah sahabatku...," Joko lanjutkan ucapan-
nya lalu menyisi dan melompat ke hadapan Dewa Orok
Sejurus murid Pendeta Sinting perhatikan Dewa
Orok "Ada yang tidak beres dengan dirinya...," gumam
Joko lalu bertanya.
"Kulihat tampangmu kali ini lain. Adakah ini me-
mang kau sengaja?!"
Dewa Orok gerakkan kepala ke atas ke bawah pan-
dangi dirinya sendiri. "Heran. Bagaimana kau bisa bi-
lang tampangku lain?! Coba lihat sekali lagi! Jangan
jangan pandanganmu yang sekarang jadi lain!,"
Murid Pendeta Sinting turuti ucapan Dewa Orok.
Sepasang matanya dibeliakkan pandangi sekujur tu-
buh pemuda di hadapannya. Sementara mendapati
orang menuruti ucapannya, Dewa Orok sejurus tegak
dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu dia miringkan
tubuh ke kanan kiri. Kejap lain dia balikkan tubuh
dengan bahu digoyang-goyang.
"Bagaimana?! Ada yang berubah...?!" tanya Dewa
Orok sambil terus tegak membalik.
Joko tidak menjawab, membuat Dewa Orok kemba-
li putar tubuhnya menghadap murid Pendeta Sinting
sambil terus senyum-senyum.
"Mana dotmu?!" tanya Pendekar 131.
Senyum di bibir Dewa Orok pupus. Tampangnya
seketika berubah. Malah tanpa buka mulut lagi, pe-
muda bertangan buntung ini melangkah perlahan
hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu! Hendak ke mana kau?!" tahan Joko se-
raya melompat dan tegak menghadang di depan Dewa
Orok.
Dewa Orok gelengkan kepalanya perlahan. "Aku
tak tahu harus pergi ke mana.... Yang pasti aku akan
mencari barang yang kau tanyakan tadi!"
"Hem.... Apakah dotmu diambil orang?!"
Dewa Orok anggukkan kepala dengan wajah tam-
bah murung. Dia kembali hendak melangkah, tapi ge-
rakannya tertahan tatkala Putri Sableng ikut melompat
lalu tegak di samping Joko seraya buka mulut.
"Kulihat wajahmu sangat murung. Apakah begitu
berharganya dotmu itu?!"
Dewa Orok arahkan pandangannya pada Putri Sab-
leng. "Kau pernah bersuami?!"
Pertanyaan Dewa Orok membuat Putri Sableng
memberengut. Dewa Orok tidak pedulikan perubahan
tampang si gadis. Malah dia lanjutkan pertanyaannya.
"Kau pernah punya seorang kekasih?!"
"Dia belum pernah bersuami. Dan kurasa dia juga
belum punya seorang kekasih!" Yang memberi jawaban
adalah murid Pendeta Sinting.
"Sayang.... Jika begitu aku tidak bisa menjawab
pertanyaannya!" kata Dewa Orok sambil arahkan pan-
dangannya pada jurusan lain.
"Apa hubungan hilangnya dotmu dengan gadis ini
pernah bersuami atau punya seorang kekasih?!" tanya
Joko masih penasaran dengan jawaban Dewa Orok.
"Bagaimana kalau seorang istri ditinggal sang sua-
mi. Bagaimana perasaan seseorang yang ditinggal ke-
kasih hati yang dicintainya. itulah perasaanku saat ini!
Itulah harga hilangnya dotku pada diriku...."
"Tapi bukankah kau masih bisa cari dot lain?!" ujar
Joko.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Dot lain memang
banyak dan tak sulit mencarinya! Tapi apakah kau te-
ga meninggalkan istri atau seorang kekasih untuk cari
istri dan kekasih baru, walau hal itu tidak sulit?!"
Murid Pendeta Sinting angkat bahu. "Lalu apakah
kau tahu siapa orangnya yang mengambil dotmu?"
"Seorang perempuan berparas cantik bertubuh sin-
tal berdada montok berpinggul besar bertutur ramah
berkulit putih berhidung mancung berbibir merah
bermata bulat bergelar Ratu Pemikat!" kata Dewa Orok
nyerocos hingga begitu ucapannya selesai, mulutnya
megap-megap.
Putri Sableng dan murid Pendeta Sinting sama te-
gak dengan kaki laksana dipacak dan wajah berubah
tegang.
"Bagaimana kau bisa terpikat dengan perempuan
Itu hingga dotmu pun tak bisa kau pertahankan?!"
tanya murid Pendeta Sinting.
"Ceritanya panjang. Nanti kalau ada waktu akan
kuceritakan pada kalian! Sekarang aku harus pergi
dahulu....""
Dewa Orok kembali melangkah. Namun baru saja
mendapat empat langkah, pemuda bertangan buntung
ini berpaling dan berkata.
"Kalau kalian sempat bertemu dengan perempuan
cantik itu, harap kalian tidak melibatkan diri! Sampai-
kan saja salamku padanya!"
"Kalau kau tidak sempat bertemu dengan perem-
puan cantik itu, datanglah pada purnama depan ke
Kedung Ombo!" seru Joko karena Dewa Orok sudah
melangkah agak jauh.
Langkah kaki Dewa Orok terhenti. "Ini sebuah un-
dangan untukku?!" kata Dewa Orok tanpa berpaling.
"Terserah hendak kau katakan apa. Yang pasti fi-
rasatku mengatakan perempuan berparas cantik ber-
tubuh sintal berdada montok berpinggul besar bertu-
tur ramah berkulit putih berhidung mancung bermata
bulat bergelar Ratu Pemikat itu akan ada di sana!"
"Ah.... Terima kasih. Tapi kemungkinan besar aku
tidak bisa menghadiri undangan itu...."
"Kau percaya bisa bertemu Ratu Pemikat sebelum
purnama depan?!" tanya Joko.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Aku tidak bisa me-
mastikan! Tapi sampai kapan pun aku akan menca-
rinya!"
Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya meski
saat itu dia berada tegak membelakangi orang, hingga
pemuda bertangan buntung ini terlihat menunggangi
murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng. Saat lain ba-
hunya bergerak. Sosoknya berkelebat lenyap ditelan
kegelapan di depan sana.
Sesaat setelah sosok Dewa Orok lenyap, murid
Pendeta Sinting berujar tanpa berpaling. "Menurutmu,
apakah ucapan Dewa Orok tidak berdusta?!"
Tidak terdengar suara jawaban. Joko tidak peduli,
dia terus lanjutkan ucapannya. "Menurutmu, untuk
apa Ratu Pemikat mengambil dot milik Dewa Orok?!"
Karena tidak juga terdengar suara jawaban, murid
Pendeta Sinting palingkan wajah. Dia tersentak sendi-
ri. Ternyata Putri Sableng sudah tidak ada lagi di tem-
pat itu!
"Dasar sableng! Pergi tidak bilang-bilang...," gu-
mam murid Pendeta Sinting seraya putar kepalanya
berkeliling.
Saat itulah sepasang matanya menangkap keleba-
tan satu sosok tubuh. Menduga jika orang itu adalah
Putri Sableng, Joko cepat berkelebat.
"Tunggu!"
Orang yang berkelebat tidak pedulikan teriakan
Joko. Malah makin percepat kelebatannya dan men-
gambil arah sama dengan Dewa Orok.
"Bukan.... Bukan gadis sableng itu!" desis Joko be-
gitu dapat menangkap agak jelas sosok yang berkele-
bat cepat di depan sana.
Murid Pendeta Sinting lipat gandakan ilmu perin-
gan tubuhnya agar dapat berkelebat menyusul. Tapi
karena keadaan gelap dan Joko tidak mengetahui dae-
rah sekitar tempat itu, pada akhirnya Joko kehilangan
jejak. Namun dia masih dapat memastikan kalau orang
yang berkelebat seakan menyusul Dewa Orok adalah
orang perempuan yang mengenakan pakaian putih
panjang.
***
EMPAT
TATKALA malam hampir berujung dan memasuki
satu kawasan dataran berbatu, Ratu Pemikat memper-
lambat larinya. Di sebelah belakang, Ni Luh Padmi
yang berkelebat menyusul ikut perlambat larinya.
Pada satu tempat, mendadak sontak Ratu Pemikat
hentikan larinya dengan tangan kiri terangkat memberi
isyarat pada Ni Luh Padmi. Meski tak tahu ada apa,
tapi si nenek hentikan juga larinya dan tegak dua
langkah di belakang Ratu Pemikat.
"Celaka!" Tiba-tiba Ratu Pemikat keluarkan suara
dengan mata mementang besar memandang tak berke-
sip pada satu arah.
NI Luh Padmi kerutkan dahi lalu melompat dan te-
gak sejajar dengan Ratu Pemikat. Sesaat nenek yang
tangannya menggenggam tusuk konde besar berwarna
hitam ini berpaling ke arah Ratu Pemikat. Lalu meno-
leh ke arah jurusan mana Ratu Pemikat kini sedang
memandang.
Sejarak enam langkah dari tempatnya berdiri, NI
Luh Padmi melihat sebuah lobang menganga di atas
tanah yang di bagian samping kanan kirinya tampak
batu-batu besar. Di sekitar lobang, terlihat hamburan
tanah malah sebagian menutup permukaan batu-batu
yang ada di kanan kiri lobang.
"Rasanya bukan perbuatan tangan manusia sem-
barangan! Dan waktunya belum lama berselang!" gu-
mam si nenek.
"Benar!" sahut Ratu Pemikat tanpa berpaling. "Tapi
bagaimana dia bias melakukan ini?”
“Menurut ceritamu di puncak bukit, apakah di sini
tempatnya pemuda buntung itu kau tanam?!" tanya Ni
Luh Padmi.
Ratu Pemikat tidak jawab pertanyaan si nenek. Pe-
rempuan bertubuh sintal ini melangkah mendekati lo-
bang. Lalu memperhatikan berkeliling. "Mustahil!"
"Apanya yang mustahil?!" ujar Ni Luh Padmi sete-
lah kini melangkah dan berdiri di samping Ratu Pemi-
kat.
"Kau lihat. Daerah ini jauh dari keramaian. Lobang
ini juga tidak terlihat kalau tidak dari jarak jauh. Lebih
dari itu, pemuda bertangan buntung itu ku tanam da-
lam keadaan tertotok! Apakah tidak mustahil jika pe-
muda itu bisa lolos?!"
"Hem.... Bukankah kau tadi setuju dengan uca-
panku kalau ini bukan perbuatan manusia sembaran-
gan?! Aku yakin, bukan pemuda buntung itu yang me-
lakukannya. Ada tangan lain yang lakukan ini!"
"Keparat! Siapa bangsat yang lakukan ini?!" teriak
Ratu Pemikat. Saking jengkelnya, kaki kanannya dis-
entakkan ke tanah hingga tanah itu membentuk lo-
bang dan salah satu batu di kanan lobang tampak ber-
getar.
Getaran batu belum berhenti, mendadak satu so-
sok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di salah satu batu
di sebelah kiri lobang tegak seseorang.
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi cepat angkat tan-
gan masing-masing. Namun begitu melihat siapa
adanya orang yang tegak di atas batu, serta-merta ke-
dua perempuan ini sama-sama luruhkan tangan mas-
ing-masing. Ni Luh Padmi angkat kepalanya sejenak
memandang orang di atas batu, lalu alihkan pandan-
gan ke jurusan lain. Namun tidak demikian halnya
dengan Ratu Pemikat. Perempuan ini buru-buru alih-
kan pandangan dengan wajah berubah.
"Mana anjing buntung itu?!" tanya orang di atas
batu yang ternyata bukan lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa.
Saat di atas puncak Bukit Selamangleng, Iblis
Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi me-
mang sepakat untuk menuju tempat di mana Iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat menanam tubuh De-
wa Orok. Mereka ingin buktikan ucapan Ratu Pemikat
yang menduga jika Dewa Orok pasti sudah mampus.
Atau kalaupun masih bertahan hidup, mereka akan
memberi imbalan setimpal pada pemuda bertangan
buntung itu, karena Dewa Orok telah memberikan ke-
terangan palsu pada Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pe-
mikat. Dewa Orok mengatakan kalau Pendekar 131 be-
rada di sebuah kuil di pantai timur. Namun saat Iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat sampai di tempat
yang dikatakannya, kedua orang ini tidak menemukan
orang yang dicari.
Namun perjalanan mereka bertiga rupanya terha-
lang. Karena di bawah bukit, mereka sempat berjumpa
dengan seorang pemuda berperangai perempuan yang
sebutkan diri Lumba-lumba yang ternyata adalah mu-
rid Pendeta Sinting yang sedang menyamar.
Saat Iblis Rangkap Jiwa hendak menghabisi Lum-
ba-lumba, mendadak muncul Gendeng Panuntun. Ra-
tu Pemikat yang telah maklum dan paham benar siapa
adanya Gendeng Panuntun segera saja berkelebat per-
gi. Ni Luh Padmi sejenak masih sempat berbincang
malah si nenek masih utarakan undangannya pada
purnama depan. Sementara Iblis Rangkap Jiwa masih
hendak teruskan niatnya, namun Gendeng Panuntun
dan Lumba-lumba keburu pergi.
Karena sudah sepakat, maka tak sulit bagi Iblis
Rangkap jiwa menduga ke mana Ratu Pemikat dan Ni
Luh Padmi berkelebat mendahului. Hingga begitu Ratu
Pemikat dan Ni Luh Padmi baru saja sampai di kawa-
san batu di mana tadinya Dewa Orok ditanam, Iblis
Rangkap Jiwa sudah pula muncul di tempat itu.
Begitu mendapati Dewa Orok tidak tampak batang
hidungnya, malah tempat di mana pemuda bertangan
buntung itu ditanam terlihat porak-poranda, Iblis
Rangkap Jiwa naik pitam. Karena dengan lolosnya De-
wa Orok, urusannya dengan Malaikat Penggali Kubur
akan tambah sulit.
"Jahanam! Mengapa tidak buka mulut menjawab!
Mana anjing buntung itu?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa
dengan mata melotot pada Ratu Pemikat.
Meski merasa bersalah dalam urusan ini, namun
mendapati dirinya dibentak begitu rupa, Ratu Pemikat
tidak tinggal diam. Perempuan bertubuh bahenol ini
angkat kepalanya pandangi Iblis Rangkap Jiwa yang
berkacak pinggang di atas batu.
"Matamu tidak buta! Apa kau lihat aku membawa
anjing buntung itu?!" kata Ratu Pemikat dengan suara
tak kalah kerasnya.
"Hem...." Iblis Rangkap Jiwa menyeringai sambil
arahkan pandangannya ke tempat bekas lobang di
mana tadi Dewa Orok ditanam. Lalu beralih pada Ratu
Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya. Te-
lunjuknya lurus mengarah pada Ratu Pemikat. "Kau...!
Ini gara-gara ulahmu yang memberi usul agar kau me-
nunda urusan dengan anjing buntung itu! Sekarang
kau lihat apa yang terjadi! Bukan saja dugaanmu me-
leset, tapi anjing buntung itu telah lolos dan pasti da-
lam keadaan hidup!" Iblis Rangkap Jiwa sejurus henti-
kan ucapannya. Kepalanya bergerak alihkan pandan-
gan, "Kau harus bertanggung jawab!"
Ratu Pemikat sesaat terdiam mendengar ucapan
Iblis Rangkap Jiwa. Ucapan Iblis Rangkap Jiwa memang tidak salah. Karena Ratu Pemikat yang memberi
usul agar urusan dengan Dewa Orok sementara waktu
ditunda.
Namun Ratu Pemikat tidak mau begitu saja dis-
alahkan. Perempuan berparas cantik ini segera angkat
bicara.
"Enak saja kau alihkan tanggung jawab pada orang
lain! Saat itu aku memang yang memberi usul! Tapi
kau setuju! Kalau tidak, mengapa kau biarkan anjing
buntung itu tetap hidup, padahal membunuhnya saat
itu semudah meludah ke tanah!"
"Keparat! Kau mulai pintar putar balik masalah!"
Ratu Pemikat tertawa pendek meski diam-diam da-
da perempuan ini dibuncah perasaan gundah dan geli-
sah. Bagaimanapun juga Iblis Rangkap Jiwa bukanlah
tandingannya. Kalau laki-laki berkepala gundul ini ti-
dak segera reda hawa amarahnya, tidak tertutup ke-
mungkinan nyawanya sendiri yang akan jadi korban.
Karena dia tahu, dengan lolosnya Dewa Orok dari tan-
gan Iblis Rangkap Jiwa, nyawa laki-laki ini berada di
ujung tanduk. Karena tugas utama yang harus dija-
lankan adalah membunuh Dewa Orok. Jika gagal, si
pemberi perintah yang bukan lain adalah Malaikat
Penggali Kubur tidak akan mengampuni nyawa Iblis
Rangkap Jiwa. (Tentang urusan Malaikat Penggali Ku-
bur dengan Iblis Rangkap Jiwa silakan baca serial Jo-
ko Sableng dalam episode : "Warisan Laknat").
"Iblis Rangkap Jiwa...!" ujar Ratu Pemikat. "Semua
sudah terjadi. Kau marah sampai langit terangkat dan
laut terkikis, tak akan ada gunanya! Yang penting se-
karang, bagaimana usaha kita untuk menemukan
kembali pemuda bertangan buntung itu!"
"Enak saja kau buka mulut! Kau tahu, tinggal sisa
berapa hari purnama depan? Apakah kau bisa memastikan dapat menemukan pemuda buntung itu sebelum
purnama? Padahal masih banyak yang harus kita la-
kukan! Dan kau juga tahu, jika sampai purnama de-
pan aku tidak dapat selesaikan urusan dengan anjing
buntung itu, maka...." Iblis Rangkap Jiwa tidak lan-
jutkan ucapannya. Kaki kanannya bergerak. Braakkk!
Batu di mana dia tengah berdiri tegak hancur be-
rantakan. Sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah melompat
terlebih dahulu sebelum batu itu hancur terkena hen-
takan kakinya. Dia kini tegak di atas batu sebelah ka-
nan lobang.
"Keparat benar! Kalau sudah begini, apa yang ha-
rus kulakukan?!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Sepasang
matanya kembali memandang pada Ratu Pemikat. Ge-
jolak hawa amarahnya kini timbul kembali. "Gara-gara
perempuan sundal itu, urusanku jadi berantakan!
Hemmm.... Dia harus bertanggung jawab!"
"Ratu Pemikat! Untuk sementara rencana yang kita
susun di puncak bukit terpaksa kita batalkan!"
Ratu Pemikat sentakkan kepala berpaling pada Ib-
lis Rangkap Jiwa. "Urusan dengan anjing buntung itu
adalah urusan kecil! Ada urusan lebih besar yang ha-
rus kita lakukan! Apakah kau akan korbankan urusan
besar hanya demi urusan dengan pemuda bertangan
buntung itu?!"
"Setan! Dengar! Urusan dengan anjing buntung itu
lebih besar bagiku dibanding urusan pertemuan pada
purnama depan! Karena itulah, nyawamu tidak akan
kulepas kalau sampai urusan dengan anjing buntung
itu tidak segera selesai!"
Walau dadanya makin dibuncah dengan rasa geli-
sah dan gundah, namun Ratu Pemikat tak mau un-
jukkan tampang ketakutan. Dia tengadahkan kepala
sambil berujar.
"Lalu apa rencanamu sekarang?!"
"Aku tak punya rencana apa-apa! Yang pasti, kau
harus dapat temukan kembali manusia buntung itu!
Hidup atau mati! Dan harus kau temukan sebelum
purnama depan! Kalau kau gagal, nyawamu sebagai
gantinya!"
Ni Luh Padmi yang sedari tadi diam mendengarkan
maju satu tindak. Kepalanya berpaling pada Iblis
Rangkap Jiwa, lalu beralih pada Ratu Pemikat. Mulut-
nya terbuka perdengarkan suara.
"Menurutku.... Apa tidak lebih baik kita teruskan
rencana sambil kita cari jejak pemuda bertangan bun-
tung itu! Dengan begitu, tujuan kita masing-masing ti-
dak sampai terbengkalai! Sisa waktu sampai purnama
depan memang tidak lama, namun kurasa masih cu-
kup untuk mengambil keputusan yang tepat!"
Iblis Rangkap Jiwa menoleh pada si nenek. "Kau
tahu apa urusan ini?!"
Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di de-
pan dada. Kepalanya menggeleng. "Aku memang tak
tahu persis. Namun setidaknya aku bisa meraba. Bu-
kankah dengan lolosnya pemuda bertangan buntung
itu, jiwamu terancam oleh Malaikat Penggali Kubur?"
Ni Luh Padmi tidak menunggu sahutan Iblis Rang-
kap Jiwa. Seraya alihkan pandangannya pada jurusan
lain, si nenek lanjutkan ucapannya. "Menuruti cerita
kalian berdua, saat ini kurasa urusan dengan Pende-
kar 131 lebih utama bagi Malaikat Penggali Kubur dari
pada urusan dengan pemuda bertangan buntung itu!"
Ni Luh Padmi berpaling pada Ratu Pemikat.
"Ratu Pemikat! Sesuai rencana, kau pergi ke arah
Timur. Namun kau punya tugas ganda. Selain rencana
yang kita sepakati, kau juga punya tugas mencari dan
menemukan pemuda bertangan buntung itu. Kalau
pun tidak berhasil kau temukan, kau harus atur ba-
gaimana caranya Malaikat Penggali Kubur bisa mene-
rima apa yang telah terjadi! Ingat, bagaimanapun ting-
ginya ilmu yang dimiliki Malaikat Penggali Kubur, tidak
mungkin dia bisa hadapi beberapa orang tokoh yang
hendak kita hadirkan pada malam purnama nanti!
Percayalah. Setidaknya Malaikat Penggali Kubur masih
butuh tenaga tambahan! Dan dia tidak akan bertindak
bodoh membunuh Iblis Rangkap Jiwa hanya karena lo-
losnya pemuda buntung itu!"
Mendapati ada benarnya ucapan si nenek, hawa
kemarahan Iblis Rangkap Jiwa sedikit mereda. Namun
laki-laki ini masih belum merasa tenang karena Ratu
Pemikat belum menyahut ucapan Ni Luh Padmi.
Sementara di lain pihak, mendengar ucapan Ni Luh
Padmi, Ratu Pemikat merasa sedikit lega apalagi tatka-
la dilirik nya Iblis Rangkap Jiwa tunjukkan tampang
setuju dengan ucapan si nenek. Namun diam-diam pe-
rempuan cantik ini masih merasa ada ganjalan. Kare-
na kalau dia gagal menemukan Dewa Orok dan harus
mempertanggung jawabkan di hadapan Malaikat Peng-
gali Kubur, dia tahu apa yang harus diterima.
"Pemuda itu memang tampan dan kekar.... Tapi dia
memperlakukan aku laksana pelacur! Hem.... Apa bo-
leh buat.... Dari pada harus cari urusan baru, ucapan
nenek itu layak kuikuti...."
Membatin begitu, setelah cukup lama tidak ada
yang buka suara, Ratu Pemikat memecah kesunyian.
"Baik! Urusan dengan pemuda bertangan buntung di
hadapan Malaikat Penggali Kubur serahkan padaku!
Sekarang kita teruskan rencana kita semula!"
"Hem.... Tapi jika kau memutar balik lidah di ha-
dapan Malaikat Penggali Kubur, nyawamu lah yang
pertama kali ku cabut sebelum pertemuan purnama
depan nanti berlangsung!" ancam Iblis Rangkap Jiwa.
Ratu Pemikat seakan tidak mendengar ancaman
Iblis Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada
Ni Luh Padmi. "Nek.... Kau ke arah barat. Dua hari se-
belum purnama, kita jumpa di puncak Bukit Selaman-
gleng!"
Tanpa menunggu jawaban orang, Ratu Pemikat
berkelebat tinggalkan tempat itu. Ni Luh Padmi sesaat
mengawasi kelebatan Ratu Pemikat. Tanpa berpaling
pada Iblis Rangkap Jiwa, si nenek berujar. "Kau ke
arah selatan! Dan kita jumpa di tempat yang kita ten-
tukan! Bukit Selamangleng dua hari sebelum purna-
ma!"
Seperti halnya Ratu Pemikat, tanpa menunggu ja-
waban orang, Ni Luh Padmi segera berkelebat tinggal-
kan tempat itu mengambil jurusan berlawanan dengan
Ratu Pemikat.
Berada sendirian, Iblis Rangkap Jiwa sejenak tam-
pak menarik napas panjang. Walau telah mendapat
kepastian dari Ratu Pemikat soal urusannya dengan
Dewa Orok, namun laki-laki ini tampaknya belum bisa
lenyapkan rasa gelisah.
"Apakah mungkin Malaikat Penggali Kubur bisa
menerima? Kalau tidak, bagaimana nanti dengan diri-
ku? Ah.... Ini gara-gara aku begitu mudah percaya
rayuan perempuan itu! Kalau tidak, aku tidak akan
harus bingung begini rupa! Tapi semua sudah telanjur!
Kalaupun Malaikat Penggali Kubur tidak bisa meneri-
ma, apa harus dikata! Beratus tahun aku menunggu!
Aku tak mau penantian ku sia-sia! Malaikat Penggali
Kubur boleh berilmu tinggi dengan membekal Kitab Hi-
tam. Tapi aku tidak akan undur satu langkah! Kitab
Hitam harus dapat kurebut! Purnama depan tidak la-
ma lagi, sambil berjalan ke arah selatan, cukup bagiku
merencanakan apa yang harus kuperbuat sebelum
purnama berlangsung! Bahkan kalau bisa, Kitab Hitam
harus sudah berada di tanganku sebelum purnama
nanti!"
Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum. Kaki ka-
nannya bergerak sekali. Laksana terbang sosoknya
berkelebat melewati dataran berbatu yang mulai terang
karena bias sang surya telah muncul di hamparan lan-
git sebelah timur.
***
LIMA
KITA tinggalkan dahulu Iblis Rangkap Jiwa yang
menuju arah selatan seperti apa yang sebelumnya
menjadi kesepakatan antara dia, Ratu Pemikat, dan Ni
Luh Padmi. Juga kita tinggalkan Ni Luh Padmi yang
berkelebat ke arah barat. Kita ikuti kelebatan Ratu
Pemikat yang menuju arah timur.
Kira-kira seratus tombak dari kawasan dataran
berbatu, Ratu Pemikat hentikan larinya. Saat itu sua-
sana mulai terang. Ratu Pemikat dapatkan dirinya di
sebuah pinggiran danau luas. Pemandangan di tempat
itu sangat indah. Sejauh mata memandang, tampak
alur berwarna hijau jajaran pohon dan tumbuhan yang
melingkari danau.
Tapi pemandangan itu tidak membuat Ratu Pemi-
kat tertarik. Pikirannya masih kacau dan gelisah. Se-
raya tegak, sesekali perempuan ini menghela napas da-
lam dan panjang. "Apa yang harus kulakukan seka-
rang?! Menuruti kesepakatan pergi ke arah timur men-
cari jejak Pendekar 131? Ataukah aku harus tunda
dahulu ke arah timur dan menemui Malaikat Penggali
Kubur dahulu?"
Ratu Pemikat memandang ke arah tengah danau
yang berair jernih. Lama perempuan ini tegak mema-
tung. Tapi beberapa saat kemudian, kepalanya tenga-
dah.
"Sebaiknya aku menemui Malaikat Penggali Kubur
dahulu!" Ratu Pemikat bergumam memutuskan. "Den-
gan jelasnya urusan Dewa Orok di mata Malaikat
Penggali Kubur, setidaknya pertemuan pada purnama
nanti tidak akan ada hal lain yang mengganjal! Aku
tahu bagaimana mengatakan urusan Dewa Orok den-
gan Iblis Rangkap Jiwa pada Malaikat Penggali Kubur!
Dan Kurasa dia masih berada di tempat yang dulu....
Aku tahu apa resikonya menemui dia...." Dada perem-
puan Ini bergerak turun naik dengan cepat.
"Sayang.... Seandainya dia berlaku sedikit lembut,
aku akan melayaninya dengan senang hati.... Tapi da-
ripada harus dijamah laki-laki keparat gundul itu, le-
bih baik aku pasrah dengan pemuda itu, meski dia
bersikap kasar...."
Ratu Pemikat putar diri setengah lingkaran. Kejap
lain perempuan ini telah berkelebat cepat.
Saat matahari mulai condong ke arah barat, dan
ketika memasuki kawasan sepi yang ditumbuhi rang-
gasan semak belukar tinggi, Ratu Pemikat sedikit
memperlambat larinya. Dan perempuan ini baru henti-
kan langkahan kakinya saat sejarak delapan tombak di
hadapannya tampak sebuah goa agak besar.
"Mudah-mudahan dia masih berada di sini...," Ratu
Pemikat arahkan pandangannya berkeliling sebelum
akhirnya memandang tak berkesip pada goa di depan
sana.
"Dia tak pernah mengatakan akan berada di mana
sebelum purnama mendatang. Tapi tempat ini adalah
terakhir kalinya dia ada bersamaku! Di tempat ini dia
memperlakukan diriku laksana binatang rendah!" Ratu
Pemikat berkata sendiri dalam hati. Ingat akan keja-
dian beberapa waktu yang lalu mau tak mau membuat
tengkuk perempuan bertubuh bahenol ini merinding.
"Apa dia akan berbuat sama?! Ah…. Semua sudah
ku putuskan! Apa yang nanti terjadi, aku harus siap!
Ini adalah kesempatan bagiku. Kalau sampai aku tidak
bisa menemuinya, aku bakal mendapat celaka...!
Memperturutkan kata hati, ingin rasanya aku lang-
sung membunuhnya saat dia lengah. Tapi selama Ki-
tab Hitam masih berada di tangannya, apakah mung-
kin hal itu bias kulakukan? Aku pernah mencobanya.
Tapi…. Bukan saja mengalami kegagalan, tapi mem-
buat dia memperlakukan aku seperti barang mainan
tak berguna! Hem.... Aku harus dapat akal"
Ratu Pemikat sipitkan sepasang matanya dengan
dahi berkerut. Jelas kalau perempuan ini tengah me-
mikirkan sesuatu.
Namun belum sampai Ratu Pemikat dapat mene-
mukan apa yang harus dilakukan, satu suara terden-
gar.
"Hem.... Kau datang pada saat yang tepat! Berhari-
hari aku sepi sendiri!"
Satu sosok tubuh berkelebat keluar dari dalam
goa. Dan tahu-tahu di hadapan Ratu Pemikat telah te-
gak seorang pemuda berwajah tampan mengenakan
pakaian hitam. Sepasang matanya berkilat tajam. Ra-
hangnya kokoh. Rambutnya panjang hitam lebat.
"Malaikat Penggali Kubur!" desis Ratu Pemikat
mengenali si pemuda. Perempuan ini tersentak ketika
dia sadar kalau belum mendapatkan jalan apa yang
harus diperbuatnya, apalagi begitu mendengar ucapan
si pemuda yang bukan lain memang Malaikat Penggali
Kubur adanya. Namun dalam keadaan begitu, Ratu
Pemikat masih bisa merasa agak lega karena pada ak-
hirnya dia dapat bertemu dengan Malaikat Penggali
Kubur.
Malaikat Penggali Kubur pandangi sekujur tubuh
perempuan di hadapannya dengan mata terpentang
besar dan bibir sunggingkan senyum aneh. Yang di-
pandang hanya sekilas balas memandang sebelum ak-
hirnya alihkan pandangan ke mulut goa dengan mulut
terkancing.
“Sebelum kau hangat hari-hari sepi ku, aku ingin
tanya kau datang menemuiku jauh sebelum hari yang
ku tentukan! Pasti kau membawa kabar! Katakan pa-
daku!"
"Sesuai perkataan mu, aku bertemu dengan Iblis
Rangkap Jiwa. Dan tak lama kemudian muncul nenek
bernama Ni Luh Padmi...." Sejenak Ratu Pemikat hen-
tikan keterangannya.
Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Lanjutkan
keteranganmu! Katakan apa yang kau lakukan bersa-
ma Iblis Rangkap Jiwa sebelum jumpa dengan nenek
tua bangka itu! Karena selang waktunya beberapa ha-
ri! Apa kalian habiskan bersenang-senang berdua atau
ada hal lain yang kalian kerjakan!"
Tampang Ratu Pemikat berubah merah padam.
Namun sadar dengan siapa kali ini berhadapan, Ratu
Pemikat coba menindih perasaan lalu berkata.
"Kami berdua berhasil menemukan seorang pemu-
da bertangan buntung bergelar Dewa Orok! Menurut
yang kudengar dari iblis Rangkap Jiwa, kau menu-
gaskan laki-laki itu untuk membunuh Dewa Orok! Be-
tul?!"
"Jangan ajukan tanya! Teruskan saja keterangan
mu!" sentak Malaikat Penggali Kubur tetap dengan ke-
pala tengadah.
"Aku dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil melumpuh-
kan Dewa Orok! Pemuda buntung itu kami tanam da-
lam keadaan tertotok pada satu tempat yang kami ya-
kin tak mungkin diketahui orang!"
"Kalian tidak membunuh Dewa Orok yang kau ka-
takan pemuda buntung itu?!"
Ratu Pemikat sesaat terdiam. Malaikat Penggali
Kubur gerakkan kepala menghadap Ratu Pemikat.
"Walau kami tidak membunuhnya, tapi kami yakin.
pemuda itu akan mampus! Dewa Orok kami tanam da-
lam keadaan tertotok di tempat sepi! Bagaimanapun
tinggi ilmu yang dimiliki, dia...."
"Jahanam! Kalian bertindak sembrono!" bentak Ma-
laikat Penggali Kubur memotong keterangan Ratu Pe-
mikat. "Dia memang tidak akan bisa lolos, tapi kalau
ada tangan lain yang menyelamatkannya?!"
Dada Ratu Pemikat bergetar keras. Kepalanya ter-
sentak laksana digaet tangan setan. Namun perem-
puan ini cepat sadar. Dia buru-buru tutupi rasa kejut-
nya dengan gelengkan kepala sambil cepat menyahut.
"Meski sebenarnya aku tidak terlibat secara lang-
sung urusan ini, namun aku tahu siapa Dewa Orok!
Jadi kau tak usah khawatir! Aku dan Iblis Rangkap
Jiwa telah memperhitungkan semuanya! Perhitungan
kami tidak mungkin meleset!"
"Apa yang kalian perhitungkan?!"
"Dia tidak akan bertahan sampai satu hari!"
"Hem.... Begitu?! Apa kalian juga sudah berhitung,
bagaimana kalau tangan penyelamat itu datang begitu
kalian pergi?!"
"Sudah kubilang. Tempat itu rasanya sulit dijang-
kau kaki manusia! Belum lagi kawasannya berbatu!
Dan waktu kami tinggalkan, hari sudah menjelang ma-
lam!" ujar Ratu Pemikat dengan dada makin gelisah
meski bibirnya sunggingkan senyum.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap
lekat-lekat pada Ratu Pemikat dengan mulut terkanc-
ing rapat. Di pihak lain, dipandangi begitu rupa, pe-
rempuan bertubuh sintal jadi makin tidak enak. Malah
diam-diam tengkuknya tambah dingin. "Apa yang dipi-
kirkannya?!" membatin Ratu Pemikat. "Dia seolah tahu
apa yang telah terjadi.... Apakah dia sebenarnya te-
lah...."
"Ratu Pemikat!" kata Malaikat Penggali Kubur me-
mutus kata hati Ratu Pemikat. "Kata-kata bukanlah
sesuatu yang bermakna bagi Malaikat Penggali Kubur!
Aku tak peduli kau sudah berhitung berapa kali ten-
tang urusan Dewa Orok. Tapi ada sesuatu yang lebih
daripada itu! Tunjukkan bukti kalau kalian telah me-
lumpuhkan manusia itu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur membuat dada
Ratu Pemikat mereda. Karena sebenarnya ucapan itu-
lah yang ditunggu-tunggu. Hingga begitu Malaikat
Penggali Kubur selesai dengan ucapannya, tangan ka-
nan Ratu Pemikat bergerak menyelinap ke balik pa-
kaiannya. Saat tangan itu kembali ditarik, tampaklah
sebuah bundaran karet mirip dot bayi.
Karena selama ini Malaikat Penggali Kubur belum
pernah bertemu dengan Dewa Orok, membuat pemuda
itu sempat beliakkan mata melihat apa yang ada di
tangan kanan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat melangkah maju. Bundaran karet se-
gera diulurkan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun
perempuan ini merasa sedikit heran. Malaikat Penggali
Kubur bukannya merasa gembira dan segera mengam-
bil bundaran karet, sebaliknya memandang Ratu Pemikat dengan rahang sedikit mengembung.
"Kau jangan bercanda! Apa hubungan bundaran
karet rongsokan itu dengan Dewa Orok?!" bentak Ma-
laikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat mengernyit. "Bagaimana ini? Apa
benda ini belum membuatnya merasa yakin?!"
"Kau belum jawab! Apa hubungan benda itu den-
gan Dewa Orok?!" untuk kedua kalinya Malaikat Peng-
gali Kubur membentak. Malah kali ini sambil sentak-
kan tangan kanannya ke bawah. Hingga saat itu juga
terdengar deruan keras.
"Ah, jangan-jangan dia belum pernah jumpa den-
gan Dewa Orok! Buktinya dia tidak tahu benda ini...,"
akhirnya Ratu Pemikat dapat menarik kesimpulan. La-
lu seraya tersenyum, dia angkat bicara.
"Kau belum pernah bertemu dengan Dewa Orok...?"
Malaikat Penggali Kubur tidak buka mulut menja-
wab. Hal ini membuat Ratu Pemikat tambah yakin
akan kebenaran kesimpulannya. Hingga tanpa me-
nunggu Malaikat Penggali Kubur buka mulut, dia ber-
kata.
"Dewa Orok adalah seorang pemuda berparas tam-
pan. Dia tidak memiliki tangan alias buntung. Lebih
dari itu, dia selalu mengulum bundaran karet mirip
dot bayi. Itulah sebabnya mengapa dia bergelar Dewa
Orok! Kau paham sekarang...?"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Tangan ka-
nannya bergerak ke depan. Tahu-tahu bundaran karut
telah berada di tangannya.
Untuk beberapa saat Malaikat Penggali Kubur per-
hatikan bundaran karet di tangannya. Kejap lain dia
selinapkan bundaran karet ke balik pakaiannya.
"Sekarang aku ingin dengar bagaimana dengan tu-
gasmu!"
"Semua berjalan sesuai rencana yang kususul den-
gan iblis Rangkap Jiwa! Kau tinggal menunggu! Dua
hari sebelum hari pertemuan berlangsung, kau akan
mendapat kabar!"
Wajah Malaikat Penggali Kubur berubah menyi-
ratkan kegembiraan. "Bagus! Kapan pertemuan itu
akan berlangsung?”
“Seperti ucapanmu, pertemuan itu akan berlang-
sung pada purnama ini!"
Mungkin saking gembiranya, Malaikat Penggali
Kubur melompat ke depan. Tangan kanannya mencek-
al lengan Ratu Pemikat. "Kau telah bertemu dengan
Pendekar 131?!"
Meski tampak gemetar, tapi Ratu Pemikat akhirnya
menjawab juga dengan suara dibuat tegar. "Itu telah
menjadi tugas yang harus kulakukan! Kau tak perlu
banyak bertanya dahulu. Yang jelas, purnama depan,
kau akan bertemu dengan Pendekar 131! Malah tidak
tertutup kemungkinan akan hadir pula beberapa tokoh
golongan putih!"
Malaikat Penggali Kubur lepaskan cekalannya pada
lengan Ratu Pemikat. Kepalanya mendongak. Lalu ter-
dengar suara tawanya menggembor keras membahana.
"Bagus! Bagus! Tidak salah aku memilihmu sebagai
pembantuku! Apa yang telah kau lakukan adalah se-
buah pekerjaan luar biasa!" kata Malaikat Penggali
Kubur begitu suara tawanya lenyap. Pemuda murid
Bayu Baja ini kembali arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat. Lalu bertanya. "Apa hanya untuk mem-
beritahukan kabar gembira itu kau datang jauh sebe-
lum waktunya?! Atau ada hal lain yang ingin kau sam-
paikan?!"
"Seperti kukatakan tadi, beberapa hari setelah per-
temuanku dengan Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba muncul seorang nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi...."
Ratu Pemikat menatap tajam dahulu pada Malaikat
Penggali Kubur sebelum melanjutkan. "Urusan pur-
nama depan bukan urusan kecil. Aku tak mau usaha-
ku berantakan! Aku harus hati-hati. Termasuk pada
nenek itu. Apakah benar dia salah seorang yang juga
kau beri tugas?!"
"Aku senang mendengar ucapanmu. Berarti kau
orang yang tidak mudah percaya! Tapi perihal nenek
itu, kau tak usah menduga yang tidak-tidak! Dia me-
mang salah seorang yang kubebani tugas!"
Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangan. "Tapi
kalau dia bertindak macam-macam, kau kuberi kebe-
basan untuk membuatnya mampus terlebih dahulu!
Bukan hanya tua bangka itu saja. Kau juga kuberi ke-
wenangan untuk membunuh Iblis Rangkap Jiwa kalau
kau rasa itu perlu!"
"Hem.... Manusia ini benar-benar licik! Dia ingin
mencabut nyawa orang tanpa harus banyak bersusah
payah!" membatin Ratu Pemikat. Lalu tersenyum dan
berkata.
"Menurutku.... Tenaga kedua orang itu masih kau
butuhkan! Kehadiran beberapa tokoh lain pada pur-
nama depan tidak bisa dipandang enteng....!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur mendadak te-
rangkat mengembung. Pelipis kanan kirinya bergerak
gerak. Tangan kanannya terangkat mengepal. Saat
bersamaan, mulutnya semburkan ucapan keras.
"Kitab Hitam telah berada di tanganku! Berarti ke-
kuatan dunia ada dalam genggamanku! Tanpa seorang
pembantu pun, tanganku sanggup mengalirkan darah
meski darah setan sekali pun!"
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur yang men-
gepal bergerak membuka keluarkan suara berkeretekan. Perlahan-lahan pemuda ini tarik sedikit tangan-
nya ke perut. Lalu bergerak mengusap-usap. Saat ber-
samaan tubuhnya membalik memunggungi mulut goa.
Terdengar deruan pelan tanpa adanya cahaya atau
sinar yang berkiblat. Tidak juga terlihat adanya sam-
baran gelombang dahsyat. Namun saat itu juga rang-
gasan semak belukar laksana disapu gelombang luar
biasa dahsyat.
Semak belukar terabas rata hingga tanah di ba-
wahnya ikut tersapu bertaburan ke udara. Beberapa
pohon berderak dan langsung tumbang lalu ikut tersa-
pu ke udara menjadi serpihan-serpihan! Tanah di tem-
pat itu bergetar hebat laksana dilanda gelombang gem-
pa! Malah di belakang sana, mulut goa longsor. Bah-
kan Ratu Pemikat harus kerahkan tenaga dalam kua-
sai diri agar sosoknya tidak terhuyung-huyung!
Malaikat Penggali Kubur putar diri menghadap Ra-
tu Pemikat. "Apa yang baru kau lihat akan dialami be-
berapa orang yang hadir purnama depan?"
"Hem.... Kitab itu benar-benar luar biasa...," kata
Ratu Pemikat dalam hati. "Seandainya kitab itu...."
"Masih ada yang hendak kau utarakan?!" tanya
Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat tidak segera buka mulut. Perempuan
Ini sepertinya masih terkesima dengan apa yang baru
saja disaksikan. Malaikat Penggali Kubur tersenyum
aneh.
"Kalau memang tidak ada hal lain yang akan kau
utarakan, rasanya sudah saatnya kau menghangatkan
tubuhku!"
Ratu Pemikat tersadar. Dia hendak melompat
mundur. Namun tangan Malaikat Penggali Kubur ber-
gerak mendahului. Hingga belum sampai Ratu Pemikat
membuat gerakan, kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur sudah melingkar erat pada pinggangnya. Saat
bersamaan, wajah pemuda itu sudah bergerak merun-
duk ke leher putih jenjangnya. Sejenak Ratu Pemikat
terlibat meronta hendak lepaskan diri. Namun begitu
wajah Malaikat Penggali Kubur terus ke bawah dan
menelusup ke belahan dadanya, mau tak mau mem-
buat perempuan bertubuh sintal ini menggeliat dan
mulai dilanda gejolak.
Apalagi pada saat yang sama, kedua tangan Malai-
kat Penggali Kubur sudah pula merambat ke pinggul.
Hingga pada akhirnya Ratu Pemikat hanya diam pa-
srah. Malah tak lama kemudian dari mulutnya terden-
gar desahan panjang dengan mata setengah terpejam.
Kedua tangannya pun mulai bergerak melingkar pada
tengkuk si pemuda!
Ratu Pemikat lupa bahwa dirinya punya ilmu
'Penyalur Suara' dan rangsangan yang dapat membuat
orang tenggelam dalam gejolak dan mengatakan apa
yang ditanyakannya. Bahkan Ratu Pemikat tidak ingat
apa rencananya semula yang akan dilakukan kalau
Malaikat Penggali Kubur terlena dalam gejolak naf-
sunya!
Untuk beberapa lama, kedua orang itu tenggelam
dalam gejolak masing-masing. Malaikat Penggali Kubur
terus telusuri anggota tubuh di pelukannya dengan
mata berkilat-kilat dan dada naik turun keras. Semen-
tara Ratu Pemikat mulai membalas seraya mendesah
panjang.
Tiba-tiba kedua tangan Malaikat Penggali Kubur
bergerak sekali. Ratu Pemikat tersentak kaget. Karena
perempuan ini rasakan tubuhnya melayang ke udara
Dan belum tahu apa yang akan dilakukan orang, tiba-
tiba terdengar Malaikat Penggali Kubur tertawa berge-
lak. Lalu berkata.
"Ada tempat yang lebih bagus! Dan kau pasti tidak
akan lupa tempat itu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur belum selesai,
pemuda murid Bayu Bajra ini telah melesat ke atas
menyongsong tubuh Ratu Pemikat. Saat turun kembali
ke tanah, sosok Ratu Pemikat telah telentang dalam
tadahan kedua tangannya!
Malaikat Penggali Kubur sorongkan kepala men-
cium bibir Ratu Pemikat. Lalu seraya terus berpagu-
tan, dia melangkah ke arah mulut goa.
Baru saja kaki kanan Malaikat Penggali Kubur me-
lewati mulut goa, mendadak terdengar suara orang ba-
tuk-batuk kecil beberapa kali.. Jelas kalau suara batuk
itu dibuat-buat.
Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan kaki ki-
rinya yang hendak melewati mulut goa. Wajahnya dita-
rik dari wajah Ratu Pemikat. Dan laksana disambar ge-
lombang, kepala si pemuda menyentak berpaling ke
belakang.
Sesaat sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
membesar. Hawa amarah yang sesaat terpancar dari
raut wajahnya sirna. Bibirnya kini sunggingkan se-
nyum. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangan-
nya yang membawa sosok Ratu Pemikat disentakkan
ke depan.
Karena tidak tahu apa yang dilakukan orang dan
tidak menyangka, Ratu Pemikat hanya diam saja. Yang
ada dalam pikiran perempuan itu, Malaikat Penggali
Kubur hanya akan berbuat sama seperti di luar tadi.
Namun hingga sosoknya hampir terjerembab di atas
tanah dan Malaikat Penggali Kubur tidak membuat ge-
rakan apa-apa untuk menahan, Ratu Pemikat baru
tersadar. Namun terlambat. Sebelum dia membuat ge-
rakan untuk selamatkan diri dari menghantam lantai
goa. sosoknya telah terkapar!
Sambil berseru tertahan, Ratu Pemikat cepat ber-
gerak bangkit. Namun sepasang matanya tidak lagi
melihat Malaikat Penggali Kubur.
Dengan terus menyumpah habis-habisan, Ratu
Pemikat melangkah ke mulut goa. Sepasang mata pe-
rempuan ini menyipit dengan dahi berkerut. Di luar
sana terlihat Malaikat Penggali Kubur melangkah per-
lahan mendekati seorang laki-laki berusia lanjut yang
tegak dengan kepala berpaling pada jurusan lain.
***
ENAM
St JARAK delapan langkah di hadapan orang, Ma-
laikat Penggali Kubur hentikan langkah. Sesaat kepala
pemuda ini menatap lurus ke arah orang di hadapan-
nya yang masih tampak tegak dengan mata meman-
dang pada jurusan lain.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya
ke jurusan mana orang di hadapannya memandang.
Lalu pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat
itu juga terdengar suaranya. "Guru...!"
Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur yang
ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut be-
rambut putih panjang digeraikan menutupi bahu dan
sebagian punggungnya sesaat menghela napas pan-
jang. Kakek yang wajahnya telah dihias beberapa keri-
put dan bermata sayu serta mengenakan pakaian pu-
tih ini lalu gerakkan kepala sedikit. Sepasang matanya
yang sayu melirik. Mulutnya membuka.
"Gumara.... Bersyukur kau masih mengenaliku...."
Malaikat Penggali Kubur luruskan tubuh. Wajah-
nya berubah merah padam. Ucapan kakek berpakaian
putih yang dipanggilnya guru membuat dadanya tidak
enak. Namun Malaikat Penggali Kubur coba tutupi pe-
rasaan dengan sunggingkan senyum dan berkata.
"Guru... sama sekali tidak kuduga kalau kau mun-
cul di sini!"
Kakek berpakaian putih yang bukan lain memang
guru Malaikat Penggali Kubur yang dalam rimba persi-
latan dikenal dengan nama Bayu Bajra luruskan kepa-
la menghadap Malaikat Penggali Kubur.
"Gumara...! Kuharap kemunculanku yang katamu
tidak kau duga sama sekali tidak mengganggumu.. .
kata sang guru dengan sebut nama asli Malaikat Peng-
gali Kubur yang memang bernama Gumara. (Tentang
Malaikat Penggali Kubur baca serial Joko Sableng da-
lam episode : "Malaikat Penggali Kubur").
Ucapan Bayu Bajra makin membuat Malaikat
Penggali Kubur sesak dadanya. Dia sebenarnya ingin
berpaling ke arah mulut goa. Namun gerakannya ter-
tahan ketika Bayu Bajra telah menyambung ucapan-
nya.
"Kalau kemunculanku mengganggu, kutunggu kau
di...."
Belum sampai sang guru lanjutkan ucapannya,
Malaikat Penggali Kubur telah memotong. "Guru...! Ke-
datanganmu pasti dengan satu keperluan! Apa pun
akan kusingkirkan untuk menghormatimu!"
Bayu Bajra memandang lurus melewati pundak
Malaikat Penggali Kubur ke arah mulut goa di mana
Ratu Pemikat tampak berdiri tegak.
Malaikat Penggali Kubur gerakkan kepala berputar
dan ikut memandang ke mulut goa. Tapi cuma seje-
nak. Kejap lain pemuda ini telah hadapkan kembali
wajahnya ke arah sang guru.
"Guru.... Dia hanya lah seorang sahabat! Dan ku-
harap kau tidak menaruh...."
Bayu Bajra angkat tangan kanannya membuat Ma-
laikat Penggali Kubur putuskan ucapan. Sang guru
anggukkan kepala perlahan.
"Gumara.... Jangan kau berprasangka yang bukan-
bukan padaku. Kau sudah dewasa. Dan kukira kau
masih ingat pada ucapanku sebelum kau kulepas un-
tuk mengetahui dunia luar!"
Malaikat Penggali Kubur kancingkan mulut tidak
menyahut Bayu Bajra alihkan pandangannya pada
sang murid,
Untuk beberapa lama guru dan murid ini saling
pandang dengan mulut sama terkancing namun hati
sama-sama berkata sendiri. Bayu Bajra tampak meng-
hela napas dengan berkata sendiri dalam hati.
"Sifatnya tidak juga berubah. Kalau dia tampak
hormat, mungkin hanya karena memandang aku per-
nah mengajarinya ilmu. Tapi.... Untuk apa hal itu ku-
sesali? Aku sudah memutuskan untuk mengangkatnya
sebagai murid. Bahkan aku juga telah memutuskan
untuk memberitahukan tentang mimpiku padanya....
Apa dia benar-benar telah mendapatkan apa yang ku
impikan itu? Lalu mengapa dia tidak muncul mene-
muiku...? Aku khawatir anak ini berpijak pada jalan
yang salah.... Tindak-tanduknya mengungkapkan sea-
kan kekhawatiranku tidak jauh meleset. Hem...."
Di lain pihak, diam-diam Malaikat Penggali Kubur
juga sedang membatin. "Apa dia telah tahu kalau aku
telah mendapatkan Kitab Hitam? Bagaimana dia tiba-
tiba bisa muncul di sini? Hem.... Hari ini aku tidak
bernasib baik! Bagaimanapun juga dia pasti punya
prasangka buruk padaku! Sialan betul! Gara-gara perempuan itu.... Tapi apa hubungannya? Dia sudah
mengatakan kalau aku sudah dewasa dan berhak me-
nentukan jalan sendiri dan masa depan!"
"Gumara...," kata Bayu Bajra pada akhirnya sete-
lah agak lama keduanya saling berdiam diri. "Meski
kau telah kulepas, namun sesungguhnya aku tetap
mengkhawatirkan dirimu. Kau tahu, siang malam aku
selalu memikirkanmu. Apalagi setelah kepergianmu te-
rakhir
kali untuk membuktikan benar tidaknya apa yang
pernah menjadi mimpiku.... Kalau kau tak merasa ke-
beratan, mau kau ceritakan bagaimana dengan semua
yang kau lakukan selama ini...?"
"Terima kasih kalau kau memang terus mengkha-
watirkan aku, Guru! Tapi mulai saat ini kuharap kau
hilangkan rasa khawatir itu! Dan lebih dari itu aku ju-
ga berterima kasih padamu. Karena ternyata mimpimu
bukan hanya sekadar kembang tidur!" Lalu Malaikat
Penggali Kubur menceritakan tentang perjalanannya
hingga sampai mendapatkan Kitab Hitam. Namun ten-
tu saja Malaikat Penggali Kubur tak bodoh untuk men-
ceritakan semuanya dengan apa adanya. Dia sengaja
menyimpan apa yang dirasa kurang baik. (Lebih jelas-
nya tentang perjalanan Malaikat Penggali Kubur, sila-
kan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Warisan
Laknat").
Bayu Bajra angguk-anggukkan kepala begitu Ma-
laikat Penggali Kubur mengakhiri ceritanya. "Hem....
Aku merasa bersyukur mendengar ceritamu. Tapi ada
yang lebih penting yang hendak kukatakan padamu,
Gumara!"
Malaikat Penggali Kubur sesaat tampak terkesiap.
Dadanya berdebar keras. Dadanya dibuncah dengan
berbagai duga dan tanya.
"Gumara.... Kau tak usah terlalu tegang begitu ru-
pa! Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kau harus
mensyukuri apa yang telah kau peroleh. Kitab itu bu-
kan benda sembarangan meski aku belum melihatnya.
Dan membawa benda seperti itu bukanlah hal yang
enak. Karena siapa pun juga mungkin ingin memili-
kinya! Untuk itulah kau harus berhati-hati! Bukan sa-
ja berhati-hati menjaga barang berharga itu, namun
kau harus lebih hati-hati mempergunakannya! Karena
sebagian manusia ada yang berhati-hati menjaga ba-
rang berharga, namun tidak berhati-hati mempergu-
nakannya! Kau paham maksudku bukan...."
Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Kete-
gangan di wajahnya perlahan-lahan sirna. "Guru....
Aku akan memperhatikan ucapanmu!"
Bayu Bajra tersenyum lebar. Sepasang matanya
kembali beralih memandang kearah mulut goa. Namun
kali ini si kakek sudah tidak lagi melihat Ratu Pemikat.
"Gumara.... Hatiku kini sudah bisa tenang. Dan
kuharap kau tidak merubah ketenangan hatiku sam-
pai nanti aku menutup mata! Kau tahu...? Apa yang
selalu kuminta adalah hidup tenang sampai akhir
hayat...."
"Hem.... Ucapan-ucapannya seolah dia tahu apa
sesungguhnya yang terjadi! Apa dia punya firasat aku
akan mengusik ketenangannya? Apa dikira aku masih
hendak merepotkan dirinya? Hem.... Dia tidak tahu.
Dengan membekal Kitab Hitam, aku tidak butuh lagi
uluran tangannya! Kitab Hitam mampu mengatasi se-
galanya!" Malaikat Penggali Kubur membatin dalam
hati. Lalu berujar.
"Guru tak usah cemas dan gelisah. Sejak saat ini,
muridmu tidak akan lagi mengusik ketenanganmu! Ti-
dak akan merepotkanmu!"
Mendengar ucapan Gumara alias Malaikat Penggali
Kubur, sang guru tertawa pelan sambil gelengkan ke-
pala. "Kau jangan salah menangkap kata-kataku, Gu-
mara.... Aku maklum. Dengan membekal kitab sakti,
kau pasti tidak butuh bantuan. Tapi bukan itu mak-
sudku. Aku akan menjadi tidak tenang kalau kau ma-
sih sembunyikan sesuatu di balik semua ceritamu ta-
di...."
"Jadi Guru masih menduga aku bercerita tidak ju-
jur?! Masih menyangka aku tidak berterus terang den-
gan apa yang telah kujalani?!"
Kembali Bayu Bajra gelengkan kepala. Masih sam-
bil tersenyum kakek ini berkata. "Gumara.... Kau satu
satunya muridku. Adalah tidak pada tempatnya kalau
aku tidak percaya pada semua ceritamu. Tapi jangan
kau berharap aku bisa menjawab apa yang baru saja
kau tanyakan. Karena jawabannya ada pada dirimu
sendiri...."
Habis berkata begitu, Bayu Bajra dongakkan kepa-
la. Dan tanpa pedulikan Malaikat Penggali Kubur yang
hendak buka mulut, si kakek berkata.
"Gumara.... Mungkin sudah saatnya aku harus
meninggalkanmu! Aku dan kau tentu masih punya se-
suatu yang harus dilakukan!" Bayu Bajra putar diri.
"Guru...! Ada sesuatu yang harus kuberitahukan
padamu!" seru Malaikat Penggali Kubur menahan ge-
rakan gurunya. Dan tanpa menunggu pertanyaan sang
guru, Malaikat Penggali Kubur sudah lanjutkan uca-
pannya.
"Pada purnama depan, ada satu pertemuan besar!
Kuharap Guru bisa hadir!"
Bayu Bajra berpaling. "Gumara.... Sejak mengang-
katmu menjadi murid, aku sudah mengambil keputu-
san untuk mengundurkan diri dari segala hal yang ada
kaitannya dengan dunia persilatan! Dan tentu belum
lenyap dari ingatanmu apa yang baru kuucapkan tadi.
Aku ingin hidup tenang sampai menutup mata...."
"Tapi.... Kurasa ini adalah pertemuan yang akan
membuatmu lebih tenang!"
Bayu Bajra gelengkan kepala. "Dalam sejarah rim-
ba persilatan, tak ada sebuah pertemuan yang telah di
atur lebih dahulu yang tidak berakhir dengan aliran
darah! itu sudah menjadi kepastian, Gumara! Jadi jan-
gan berharap banyak aku bisa hadir nantinya! Bahkan
kalau kau mau turuti nasihatku, urungkan niatmu
untuk ikut terlibat dalam pertemuan itu!"
Malaikat Penggali Kubur pandangi gurunya berla-
ma-lama tanpa ucapkan sepatah kata. Yang dipandan-
gi anggukkan kepala lalu berujar.
"Gumara.... Firasatku mengatakan, kitab yang ada
padamu adalah sebuah kitab sakti yang sulit dicari
tandingannya. Dengan begitu, tanpa kau unjuk diri da-
lam pertemuan itu, kuyakin kau masih akan menjadi
orang yang disegani. Apalagi kalau kau tidak salah
menggunakannya!"
Habis berkata begitu, Bayu Bajra luruskan kepala
ke depan. "Muridku.... Dalam keadaan seperti saat ini,
siapa pun juga yang menjadi dirimu pasti ingin unjuk
diri agar diakui! Tapi percayalah. Keinginan yang
menggoda dan menggiurkan itu sesungguhnya awal
dari sebuah malapetaka! Dan sebenarnya, hal seperti
itulah yang membuatku selalu gelisah dan tidak te-
nang.... Tapi sudahlah.... Semuanya terserah padamu.
Kau pasti bisa memilih mana jalan yang terbaik dan
patut kau lakukan! Aku harus pergi...."
Malaikat Penggali Kubur pandangi kelebatan gu-
runya dengan mulut terkancing. Namun begitu sosok
Bayu Bajra lenyap, pemuda ini mendengus keras sambil hentakkan kaki kanannya.
"Persetan dengan segala ucapannya! Kitab Hitam
telah berada di tangan! Impian sudah di depan mata!
Hanya manusia tolol yang lepaskan hasil setelah dicari
bertahun-tahun! Dan aku bukan manusia tolol!"
"Siapa dia?!" satu suara merdu terdengar.
Tanpa berpaling, Malaikat Penggali Kubur tahu
siapa adanya orang. Dan tanpa gerakkan kepala pula
dia menjawab. "Orang tua tolol yang bicara sok pintar!"
Orang yang tadi perdengarkan suara dan bukan
lain adalah Ratu Pemikat, perdengarkan tawa perla-
han. "Kau akan ikuti yang dikatakannya?!"
"Aku tak akan bisa tidur nyenyak selama Pendekar
131 keparat itu masih bisa bernapas! Aku tak akan
dapat makan enak selagi manusia bermata buta Gen-
deng Panuntun itu masih bisa buka mulut dan berja-
lan di atas bumi! Aku tak akan bisa melangkah tenang
sebelum amanat maut dari Liang lahat kutuntaskan!
Dan lebih baik mampus daripada hidup tanpa bisa
menggenggam dunia persilatan!"
"Kitab sakti telah berada di tanganmu. Apa yang
kau inginkan pasti akan berhasil! Hem.... Kalau boleh
tanya, jikalau semua rencanamu berhasil, apa perta-
ma-tama yang akan kau lakukan?!"
Malaikat Penggali Kubur tidak menjawab. Dia putar
tubuh. Dipandanginya sosok bahenol di hadapannya
dengan bibir tersenyum. Lalu masih tanpa buka suara,
sosoknya berkelebat dengan tangan bergerak.
Ratu Pemikat menjerit. Namun laksana direnggut
setan, jeritannya terputus. Karena saat itu juga Malai-
kat Penggali Kubur telah menyambar tubuhnya dengan
mulut menutup rapat ke mulut si perempuan.
***
TUJUH
MATAHARI baru saja merangkak ketika tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak bersahut-sahutan dari
tengah kawasan semak belukar yang ditumbuhi ilalang
merangas tinggi dan jajaran pohon rindang Namun ada
sedikit keanehan. Suara gelakan tawa Itu terdengar
dari tengah kawasan semak belukar, tapi dalam seke-
jap, laksana disapu gelombang dahsyat, suara gelakan
tawa telah jauh berada di ujung kawasan yang berba-
tasan dengan jalan menuju sebuah dusun. Lalu ilalang
tepat di ujung kawasan tampak bergerak menyibak di
dua tempat. Saat lain, muncullah dua sosok tubuh!
Meski jelas masih dapat dikenali kalau kedua
orang yang baru muncul adalah dua orang laki-laki,
namun orang tidak akan dapat mengenali siapa geran-
gan mereka adanya. Karena dua orang laki-laki ini sa-
ma membedaki raut wajah masing-masing dengan
arang hitam. Malah rambut masing-masing orang juga
diberi arang sebagian hingga rambutnya yang panjang
awut-awutan berwarna dua. Hitam dan sebagian putih.
Dari wajah keduanya yang tampak putih hanyalah ba-
gian kiri kanan bola mata! Keduanya mengenakan pa-
kaian putih-putih.
Orang sebelah kanan melangkah terbungkuk-
bungkuk dengan tongkat di tangan kiri. Sementara
orang di sebelah kiri melangkah tersaruk-saruk. Aneh-
nya, orang di sebelah kiri ini melangkah dengan mun-
dur! Kepalanya tengadah sedangkan kedua tangannya
berputar-putar ke belakang ke depan.
Sekonyong-konyong orang yang melangkah mun-
dur hentikan gelakan tawanya. Saat bersamaan, ka-
kinya juga terhenti. Orang yang melangkah terbung-
kuk-bungkuk dan memegang tongkat mendadak juga
hentikan langkah. Gelakannya serta-merta diputus pu-
la.
Orang yang melangkah mundur gerakkan tangan
kirinya lurus ke arah orang yang memegang tongkat
Saat bersamaan, orang yang memegang tongkat angkat
tongkatnya dan ditunjukkan lurus ke arah orang yang
tadi melangkah mundur.
Sepi sejenak. Namun saat lain serentak kedua
orang ini sama buka mulut perdengarkan tawa terba-
hak-bahak dengan tangan kiri dan tongkat menunjuk
pada wajah orang di hadapannya masing-masing! Lalu
masih dengan terbahak-bahak keduanya teruskan
langkah! Yang satu terbungkuk-bungkuk dengan tong-
kat menunjuk pada wajah orang, sementara satunya
tersaruk-saruk mundur dengan tangan kiri juga me-
nunjuk pada wajah orang.
Kira-kira lima belas tombak, kedua orang aneh itu
hentikan langkah masing-masing. Masih dengan tun-
jukkan tangan kiri ke wajah orang di hadapannya,
orang yang melangkah mundur buka suara.
"Tahu begini yang harus kuperbuat, menyesal aku
ikut terlibat! Mengerti harus begini yang kuhadapi, tak
mungkin aku mau menyanggupi!"
Mendengar ucapan orang yang bernada menyesal,
orang yang memegang tongkat luruskan tubuh. Den-
gan tongkat masih lurus menunjuk orang dia angkat
bicara.
"Kuperingatkan kau! Sekali lagi kau berkata me-
nyesal, aku tak segan membuat langkahmu tinggal se-
jengkal!"
Mendengar ancaman orang, orang yang tadi me-
langkah mundur tertawa panjang. "Inilah dunia aneh
orang gila Sudah ditolong tapi masih bicara ancaman
segala! Kalau tidak memandang sahabat. Sudah kemarin kemarin aku minggat!"
"Aku tahu...," ujar orang yang memegang tongkat.
"Kau tak akan meninggalkanku meski berucap begitu.
Karena kau menyimpan udang di balik batu!"
Warna putih pada sebagian mata orang yang tadi
melangkah mundur tampak bergerak-gerak dan kelo-
pak matanya mementang, pertanda jika orang ini se-
dang melotot angker. Mulutnya komat-kamit sejenak.
Lalu terdengar suaranya keras.
"Sialan kau! Sudah mati-matian aku berusaha
membantu. Tapi nyatanya kau bicara menuduh tak
menentu! Coba katakan, udang apa yang kusimpan di
balik batu! Agar hati ini tidak terus dihantui perasaan
ini dan itu! Kalau kau tidak dapat beri jawaban, saat
ini juga aku tega meninggalkanmu sendirian!"
Orang yang memegang tongkat putar tongkat di
tangannya ke udara berputar satu kali. Terdengar sua-
ra desingan halus. Rambut orang yang tadi melangkah
mundur tampak berkibar-kibar laksana diterpa angin
kencang.
"Hem.... Jadi kau ingin aku membongkar apa da-
lam benakmu?!" Orang yang memegang tongkat terta-
wa dahulu sebelum meneruskan. "Apa kau nanti tidak
akan merasa malu bila benar-benar kukatakan? Harap
hal itu kau pikirkan!"
"Aku bukan orang gila seperti dugaan orang terha-
dapmu! Kalau akhir-akhir ini aku berbuat gila-gilaan
seperti ini, itu hanya karena kasihan padamu! Jadi
jangan menasihatiku dengan bermacam dalih! Itu akan
menambah dadaku jadi mendidih!"
Orang yang memegang tongkat buka kelopak sepa-
sang matanya besar-besar. Mulutnya bergerak mem-
buka. Namun saat lain, mendadak orang ini katupkan
mulut rapat-rapat. Di hadapannya, orang yang tadi
melangkah mundur mendongak dengan mulut komat-
kamit menggumam tak jelas.
"Ada pencuri!" mendesis orang yang memegang
tongkat.
"Betul! Ada pencuri! Dia ada di sebelah kiri! Tidak
jauh dari tempat kita berdiri! Dia sengaja sembunyikan
diri. Apa sebenarnya yang dia cari?!" menyahut orang
yang tadi melangkah mundur.
"Hai! Bukan satu, tapi dua orang!" orang yang me-
megang tongkat kembali mendesis. Kini kepalanya
ikut-ikutan tengadah. Tongkat di tangan kirinya di-
angkat menunjuk ke langit.
"Walah.... Betul! Dua orang! Satunya lagi ada jauh
di belakang! Aku mencium wanginya aroma kembang!
Pasti satunya itu orang yang selalu diibaratkan dicari
oleh kumbang! Dan kalau tindakannya menyimpang,
orang selalu menyebutnya jalang!"
"Perempuan!" kata orang yang memegang tongkat.
'Tidak salah!" sahut orang yang tadi melangkah
mundur. "Tapi yang ada di dekat kita berbau bengka-
rung. Pasti dia jenis orang yang punya burung! Hik
Hik.... Hik...! Suruh dia unjuk muka. Agar nanti tidak
terjadi malapetaka! Karena kita ini utusan dari neraka.
Meski kita tidak gampang jatuhkan murka!"
Orang yang pegang tongkat hujamkan tongkat di
tangannya ke tanah. Meski terlihat pelan, tapi saat itu
juga sekitar tempat itu terasa bergetar!
"Anak manusia! Kau telah dengar ucapan. Cepat
keluar!"
Terdengar deheman. Lalu ilalang di sebelah kiri
orang bertongkat bergerak-gerak. Dan terlihatlah satu
sosok tubuh muncul dari ranggasan ilalang.
Orang yang tadi melangkah mundur dan orang
yang pegang tongkat terus tengadahkan kepala masing-masing seolah tidak pedulikan kemunculan orang
yang kini telah tegak berdiri sejarak lima langkah di
samping mereka.
"Bagus! Sebut nama, gelar, asal, serta alasan!" kata
orang yang tadi melangkah mundur.
Orang yang baru keluar dari ranggasan ilalang se-
saat kerjapkan mata pandangi satu persatu orang di
sampingnya dengan mulut menguncup dan mata ter-
beliak.
Orang yang pegang tongkat angkat tongkatnya dan
ditunjukkan pada orang yang baru muncul dengan ke-
pala tetap tengadah memandang langit.
"Nama, gelar, asal, dan alasan! Katakan cepat!"
"Hem.... Yang kalian tanyakan nama asli? Nama
palsu? Nama asal-asalan?'." bertanya orang yang baru
muncul seraya ikut-ikutan mendongak.
Orang yang tadi melangkah mundur balikkan tu-
buh. Lalu mundur mendekati orang yang memegang
tongkat dengan kepala tetap tengadah. Begitu tegak
terjajar, orang ini berujar.
"Yang enak mana? Nama asli, nama palsu atau
nama asal-asalan?!"
Orang pemegang tongkat mendengus pelan "Se-
butkan nama asli, gelar asli, asal asli, serta alasan as-
li!"
"Ah.... Ah.... Sayang kalau itu yang kalian tanya-
kan...."
"Sayang bagaimana?!" hardik orang yang tadi me-
langkah mundur,
"Aku tidak punya nama asli, gelar asli, asal asli,
dan alasan asli! Untuk semua yang kalian tanyakan,
aku hanya punya yang asal-asalan! Bagaimana?!"
"Jangan bicara sembarangan!" membentak orang
pemegang tongkat.
"Siapa bicara sembarangan?!" sahut orang yang ba-
ru muncul.
"Jangan berani berucap dusta!" Kali ini yang mem-
bentak orang yang tadi melangkah mundur.
"Siapa berucap dusta?!" jawab Orang yang baru
muncul.
Orang yang tadi melangkah mundur gerakkan ke-
palanya sedikit ke kanan namun masih tetap dalam
posisi tengadah. Lalu berbisik.
"Bagaimana ini? Apa kau yakin orang di hadapan
kita itu manusia betulan?! Aku khawatir kalau manu-
sia itu manusia asal-asalan!"
"Jangan kau bicara asal-asalan! Kuyakin dia ma-
nusia betulan!"
"Kalau begitu, urus dia! Aku akan urus yang ber-
bau kembang!" ujar orang yang tadi melangkah mun-
dur. Dia cepat gerakkan kaki untuk melangkah mun-
dur. Namun gerakannya tertahan oleh tongkat orang
yang saat itu juga dilintangkan menghalangi.
"Kita sudah sepakat. Semua urusan kita hadapi
bersama-sama! Jadi jangan kau mau enak sendiri!
Urusan orang di hadapan kita, kita selesaikan dahulu.
Lalu baru kita beralih pada urusan satunya!"
Orang yang tadi melangkah mundur perdengarkan
suara keluhan. Lalu enak saja dia letakkan pantatnya
pada tongkat orang yang menghalangi gerakan ka-
kinya. Lalu kakinya diangkat ongkang-ongkang.
Orang yang pegang tongkat seakan tidak merasa,
bahkan tongkatnya sama sekali tidak bergeming meski
diduduki orang sambil ongkang-ongkang.
Orang yang pegang tongkat yang diduduki orang
yang tadi melangkah mundur angkat tangan kanannya
menunjuk pada orang di hadapannya. "Kau tak mau
katakan nama asli, gelar asli, asal asli, dan alasan asli.
Aku tanya, suaramu kedengarannya menunjukkan
kau seorang laki-laki. Apa kau memang laki-laki?!"
"Hem.... Benar! Aku laki-laki asli!"
"Dari sentuhan, aku biasanya bisa menebak. Coba
kau ulurkan tanganmu!"
Orang yang diperintah sesaat pandangi orang den-
gan senyum seringai. Lalu tiba-tiba terdengar suara
bentakannya.
"Kalian jangan menghina!"
"Apa kau bilang? Siapa menghina?! Aku hanya in-
gin tahu keaslianmu dengan menyentuh tanganmu!"
Hening beberapa saat. Lalu orang yang duduk ong-
kang-ongkang kaki di atas tongkat berseru memecah
kebisuan. "Bagaimana menurutmu? Apa dia laki-laki
asli?!"
"Hem.... Rupanya kita kali ini berhadapan dengan
laki-laki tidak asli!"
"Ucapanmu masih bernada bimbang!"
"Bagaimana tidak bimbang. Dia masih belum ulur-
kan tangan!"
"Kalian manusia-manusia gila yang tidak punya
perasaan! Bagaimana aku harus ulurkan tangan?! Aku
tidak memiliki tangan!"
Kepala masing-masing orang yang wajahnya dibe-
daki arang tebal hitam sama-sama bergerak saling
menghadap meski masih dengan mendongak.
"Lalu apa kau punya kaki?!" tanya si pemegang
tongkat.
"Kedua kakiku utuh!"
"Burungmu juga masih utuh?!" Yang ajukan tanya
adalah si orang yang melangkah mundur.
"Edan!" maki orang yang ditanya. Namun orang ini
tidak tunjukkan tampang marah. Malah seraya sung-
gingkan senyum, dia melangkah ke arah ranggasan ilalang. Kakinya bergerak menyambar. Saat kakinya ba-
lik, pada masing-masing jepitan jari kakinya tampak
sebuah ilalang.
Orang yang pada kanan kiri kakinya menjepit ila-
lang yang ternyata adalah seorang pemuda berparas
tampan dan memang tidak memiliki tangan alias bun-
tung ini sekali lagi membuat gerakan. Tahu-tahu so-
soknya telah berada sejarak dua langkah di hadapan
kedua orang yang wajahnya dibedaki arang hitam. Bu-
kan hanya itu saja, ternyata pemuda bertangan bun-
tung ini kini telah tegak dengan kedua kaki di atas dan
kepala di bawah!
Si pemuda bertangan buntung gerakkan kaki kiri
nya. Ilalang yang ada pada jepitan kakinya diarahkan
pada lobang telinga orang yang duduk di atas tongkat
"Sialan! Hentikan! Aku geli! Urusan belum selesai
kau sudah ajak bercanda!" kata orang yang duduk di
atas tongkat menduga kalau yang lakukan adalah
orang yang memegang tongkat.
"Tutup mulutmu! Siapa mengajak kau bercanda?!"
ujar si pemegang tongkat.
Pemuda bertangan buntung arahkan kaki kanan-
nya pada si pemegang tongkat. Lalu ilalang yang ada
pada Jepitan jari kaki kanannya diarahkan pada lo-
bang telinga orang.
Karena sudah agak dongkol dituduh dan juga ka-
rena tersentak kaget, si pemegang tongkat ganti me-
maki sambil tarik tongkatnya yang diduduki orang.
"Sialan kau! Tua bangka masih juga main-main se-
perti anak-anak!"
Karena ditarik tanpa terlebih dahulu berkata, mau
tak mau orang yang duduk di atas tongkatnya terke-
siap. Sosoknya meluncur jatuh ke bawah. Namun se-
jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba
kedua kaki orang ini bergerak lurus ke depan. Saat
bersamaan, sekonyong-konyong luncuran sosoknya
terhenti sejengkal di atas tanah dengan kaki berselon-
jor ke depan!
Saat itulah, karena sosoknya kini berada di bawah,
dan kepalanya tengadah, orang ini bisa melihat apa
yang dilakukan si pemuda bertangan buntung. Aneh-
nya orang ini bukannya marah atas tindakan si pemu-
da, melainkan segera perdengarkan ledakan tawa ke-
ras membahana!
"Sialan! Permainanmu tidak lucu! Mengapa kau
tertawa?!" hardik orang pemegang tongkat dengan ke-
pala masih tetap tengadah.
"Apa dunia ini sudah terbalik? Atau mataku yang
salah tangkap?!" ujar orang yang tadi melangkah
mundur.
"Kau bicara apa?!" tanya orang pemegang tongkat.
"Langit tetap di atas, berarti dunia tidak terbalik!"
"Tapi aku melihat burung orang itu terbalik! Betul!
Terbalik menghadap ke atas! Lain dengan punya kita
berdua! Aneh.... Coba kau lorotkan tubuhmu ke ba-
wah!"
Si pemegang tongkat turuti ucapan orang. Perla-
han-lahan dia lorotkan tubuh hingga duduk menggelo-
soh. Tiba-tiba orang ini berseru.
"Walah.... Ucapanmu benar! Ada orang punya bu-
rung terbalik menghadap ke atas! Bagus juga ya...?l"
Si pemuda bertangan buntung dan bukan lain De-
wa Orok adanya, bergerak satu kali. Wuttt! Kini sosok-
nya telah tegak dengan kaki di bawah kepala di atas.
"Hai.... Lihat! Burungnya bisa berputar-putar!" te-
riak orang yang tadi melangkah mundur.
'Ah.... Bukan berputar-putar, tapi jungkir balik!"
ujar si pemegang tongkat.
"Aneh.... Aneh.... Aneh...," gumam orang yang tadi
melangkah mundur.
"Benar. Aneh.... Aneh.... Aneh...," timpal si peme-
gang tongkat. Sambil terus tengadah, kedua orang
berwajah hitam ini gelengkan kepala masing-masing.
"Hai! Mengapa kita dibuat terlena dengan burung
orang yang bisa jungkir balik. Bukankah kita punya
urusan?!" kata orang yang tadi melangkah mundur Se-
cepat kilat orang ini sentakkan kedua kakinya yang se-
lonjor di atas udara ke tanah. Kejap lain sosoknya te-
lah tegak dengan kepala lurus ke depan. Di samping-
nya, si pemegang tongkat juga gerakkan tangan kiri
yang memegang tongkat. Tubuhnya terangkat tegak
Untuk beberapa saat kedua orang berwajah hitam
tatapi pemuda di hadapannya dengan seksama. Di se-
berang depan, Dewa Orok balas memandang silih ber-
ganti pada dua orang di hadapannya.
"Mengapa kau sembunyi-sembunyi ikuti kami?!"
Tiba-tiba orang pemegang tongkat sudah keluarkan
bentakan
"Itu urusanku! Yang pasti, aku tidak mengikuti ka-
lian! Dan yang lebih pasti lagi, aku mencari seseorang!"
kata Dewa Orok.
Kedua orang berwajah hitam saling pandang se-
saat. "Siapa yang kau cari?!" tanya orang yang tadi me-
langkah mundur.
"Itu urusanku! Yang pasti bukan kalian! Dan yang
lebih pasti lagi, harap kalian jangan mencari masalah
denganku!"
Kedua orang berwajah hitam kembali saling pan-
dang. Lalu sama anggukkan kepala masing-masing. Si
pemegang tongkat buka mulut.
"Hari ini kau bernasib mujur, Bocah Sontoloyo! Ka-
rena alasanmu masuk akal!"
"Dan yang pasti, urusan kita hampir sama!. Menca-
ri seseorang!" timpal orang yang tadi melangkah mun-
dur. "Lebih pasti lagi, bukan kau orang yang kami ca-
ri!"
Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya mem-
buat gerakan seperti orang menjura hormat. "Terima
kasih kalian mau mengerti! Aku harus segera pergi...."
Kedua orang berwajah hitam tidak ada yang me-
nyahut. Mereka berdua hanya melihat pada si pemuda.
Dewa Orok sunggingkan senyum, lalu anggukkan ke-
pala dan balikkan tubuh. Namun untuk beberapa saat
pemuda itu tidak juga segera pergi.
"Kau menunggu temanmu itu?!" tanya si pemegang
tongkat.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Boleh aku tahu, sia-
pa orang yang kalian cari?!"
"Itu urusan kami! Jangan banyak bertanya-tanya!"
jawab si pemegang tongkat.
Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang. Sekali la-
gi dia buka mulut bertanya.
"Orang yang kalian cari dari kalangan persilatan?!"
"Kau dengar, itu urusan kami!" hardik si pemegang
tongkat.
Lagi-lagi Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang
yang mulai agak jengkel. Dia kembali buka mulut.
"Aku dengar berita, pada purnama depan akan ada sa-
tu pertemuan besar di Kedung Ombo! Kalau orang
yang kalian cari dari kalangan orang persilatan, datang
sajalah kalian ke tempat yang kukatakan tadi! Siapa
tahu orang yang kalian cari muncul di sana!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok berkelebat pergi.
Sementara kedua orang berwajah hitam kembali saling
berpandangan.
"Aku mengenalnya!" kata orang pemegang tongkat.
"Aku juga!" sahut orang yang tadi melangkah mun-
dur.
"Sepertinya ucapan pemuda itu tidak mengada
ada!" kata si pemegang tongkat.
"Kau terlalu banyak pertimbangan! Jujur atau ti-
dak, yang penting kita buktikan saja nanti! Sekarang
kita masih punya urusan dengan si kembang yang tadi
berada agak jauh di belakang bukan?!"
Si pemegang tongkat angkat tangan kanannya "Kau
cari arah sana, aku dari arah sini!"
Belum selesai ucapan si pemegang tongkat, orang
yang tadi melangkah mundur sudah berkelebat. Hing-
ga mau tak mau membuat orang pemegang tongkat se-
gera pula ikut berkelebat mengambil arah berlawanan
sambil mengomel.
"Dasar tua bangka tak tahu diri! Kalau urusannya
dengan perempuan, sudah menyelonong pergi tanpa
diperintah"
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah ilalang
meranggas muncul sosok orang yang tadi melangkah
mundur. Dia melangkah mundur dengan kepala ten-
gadah. Mulutnya komat-kamit menggumam tak jelas.
Dan tak lama kemudian, dari arah mana tadi si
orang yang melangkah mundur keluar, muncul sosok
yang membawa tongkat. Orang ini melangkah ter-
bungkuk-bungkuk.
"Kita kehilangan buruan!" ujar orang yang melang-
kah mundur seraya hentikan langkah.
Orang yang memegang tongkat tidak sambuti uca-
pan orang. Dia terus melangkah terbungkuk-bungkuk.
Begitu dekat dengan orang satunya, dia berhenti dan
berkata.
"Persetan dengan perempuan yang hilang itu! Ka-
rena aku yakin dia bukan orang yang kita cari!"
"Setan! Bagaimana kau bisa bilang begitu?!"
"Karena kalau memang dia, tidak mungkin dia lari!
Sebab sesungguhnya bukan kita yang mencari dia, ta-
pi aku yang dicarinya!"
"Hem.... Tapi apakah kau menduga dia akan mun-
cul pada pertemuan purnama depan seperti ucapan
pemuda bertangan buntung tadi?!"
Si pemegang tongkat sejurus tatapi orang di hada-
pannya. "Kita tak perlu banyak berpraduga. Yang pent-
ing, kita buktikan saja nanti!"
"Kalau dia tidak muncul?!" tanya orang yang tadi
melangkah mundur.
"Kau hanya akan buang-buang pikiran kalau men-
duga-duga sesuatu yang belum terjadi!"
Entah merasa dongkol dengan sahutan orang,
orang yang melangkah mundur kibaskan tangan ka-
nan kirinya. Lalu berucap.
"Tapi perlu kau ingat! Aku menemanimu berbuat
gila-gilaan ini hanya sampai purnama depan. Setelah
itu silakan kau berbuat gila-gilaan sendiri!"
Mendengar ucapan orang, si pemegang tongkat en-
teng saja menyahut.
"Kau rupanya lupa. Tanpa aku berbuat gila-gilaan
begini, orang sudah menuduh dan menduga aku orang
gila dan sinting! Dan perlu juga kau ingat! Aku juga ti-
dak butuh tenagamu setelah purnama nanti!"
Habis berkata begitu, si pemegang tongkat gerak-
kan kakinya. Sosoknya pun mulai bergerak melangkah
terbungkuk-bungkuk.
Orang yang tadi melangkah mundur sesaat bergu-
mam, namun saat lain kakinya juga bergerak mundur.
Saat itu juga sosoknya tersaruk-saruk mundur berja-
jar dengan si pemegang tongkat.
Namun ada sedikit keanehan, meski keduanya
tampak melangkah terbungkuk-bungkuk pelan serta
satunya tersaruk-saruk mundur, dalam sesaat saja so-
sok keduanya sudah berada jauh di depan sana. Dan
tak lama kemudian, terdengar kembali suara tawa ber-
gelak bersahut-sahutan membuncah seantero kawasan
yang banyak diranggasi ilalang serta semak belukar
Itu!
***
DELAPAN
AGAK Jauh dari kawasan yang ditumbuhi rangga-
san di mana dirinya sempat bertemu dengan dua orang
laki-laki berwajah hitam bedakan arang, Dewa Orok
memperlambat larinya. Kepalanya berputar dengan
mata liar memandang berkeliling. Pada satu tempat
yang banyak ditumbuhi beberapa pohon besar ber-
daun kering, tiba-tiba pemuda bertangan buntung ini
jejakkan kedua kakinya keras-keras ke atas tanah.
Laksana terbang, sosok Dewa Orok melesat ke sa-
lah satu pohon dan tahu-tahu sosoknya telah mengge-
lantung pada salah satu dahan di kerapatan rindang
dedaunan. Kedua kakinya di atas sementara kepalanya
di bawah. Orang yang tidak memperhatikan dengan
seksama, pasti tidak menyangka kalau yang mengge-
lantung itu adalah manusia adanya. Selain tubuhnya
sengaja dirapatkan ke batang pohon, rimbun dedau-
nan membantu dari pandangan orang.
Sesaat sepasang mata Dewa Orok mengerjap. Lalu
terpejam rapat. "Hem.... Sudah sejak dari kawasan
berbatu tempat aku ditanam orang, aku merasakan
ada seseorang yang selalu mengikutiku! Dan aku makin yakin setelah mendengar ucapan dua orang berwa-
jah setan hitam itu.... Hem.... Dua orang berwajah hi-
tam.... Siapa mereka adanya? Sikap dan gerak-
geriknya sepertinya mereka telah mengenaliku! Siapa
yang mereka cari? Rupanya bukan aku saja yang ber-
jalan mencari seseorang.... Lalu siapa pula yang selalu
mengikuti perjalananku ini? Kedua orang berwajah hi-
tam kudengar sebut-sebut kata perempuan.... Apa
memang orang di belakangku itu perempuan? Tapi....
Tak mungkin dia perempuan! Untuk apa seorang pe-
rempuan mengikutiku? Aku pemuda yang tidak utuh
lagi.... Tapi jangan-jangan dia...."
Dewa Orok tidak lanjutkan gumaman nya. Sepa-
sang matanya dibuka lalu memperhatikan sekeliling di
bawah sana. Mendadak sepasang matanya membesar
tak berkesip memandang pada satu jurusan.
"Sekarang ketahuan siapa adanya orang yang sela-
lu mengikutiku! Mudah-mudahan benar dugaan kedua
orang berwajah setan tadi. Seorang perempuan...," de-
sis Dewa Orok berkata pada diri sendiri. Bibirnya ter-
senyum. Sepasang matanya makin dibeliakkan.
Nun jauh pada jurusan mana Dewa Orok meman-
dang, samar-samar terlihat satu sosok tubuh melang-
kah perlahan-lahan. Tiba-tiba orang itu hentikan lang-
kah. Kepalanya memandang lurus ke depan. Saat yang
sama kedua kakinya membuat gerakan. Mendadak so-
soknya berkelebat laksana angin. Dan belum sempat
Dewa Orok dapat menduga siapa adanya orang, tepat
di bawah mana dia berada tahu-tahu telah tegak se-
seorang.
Dewa Orok sipitkan mata. Raut wajahnya berubah
seketika. Entah tanpa sadar, dari mulutnya terdengar
gumaman. "Dugaan kedua orang berwajah setan keli-
ru! Dia bukan seorang perempuan! Tapi aku harus
menemuinya...."
Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Orok melun-
cur turun sambil jungkir balik satu kali. Saat menda-
rat si pemuda telah tegak di hadapan orang dengan
kepala di atas kaki di bawah.
Dewa Orok bungkukkan tubuh menjura. "Guru…
Orang di hadapan Dewa Orok ternyata adalah seo-
rang laki-laki bertubuh pendek berambut hitam lebat.
Mukanya bulat dengan hidung agak besar. Tangan ka-
nannya mempermainkan dua buah batu hitam yang
dilempar-lemparkan silih berganti ke udara.
Orang bertubuh pendek yang dipanggil Guru oleh
Dewa Orok dan tidak lain memang guru si pemuda
adanya yakni orang yang dikenal dengan gelar Cucu
Dewa memandang sekilas pada si murid. Dua buah ba-
tu yang dilempar lemparkan serta-merta ditangkap, la-
lu mulutnya dibuka. Dan enak saja dua buah batu tadi
disentakkan masuk ke dalam mulutnya!
"Aku memahami kesulitan apa yang kau alami se-
karang! Dengan pindahnya dotmu ke tangan orang
lain, maka semua kekuatan ilmu silatmu musnah! Kau
hanya dapat kerahkan ilmu peringan tubuh!"
Dewa Orok angkat kepalanya memandang pada
Cucu Dewa dengan mulut terkancing. Namun jelas ka-
lau raut wajahnya menggambarkan jika ucapan yang
baru saja didengar adalah benar adanya.
Cucu Dewa menghela napas dalam. "Dalam hal ini,
aku tak dapat membantu banyak. Satu-satunya jalan,
kau harus dapatkan dotmu kembali! Siapa orang yang
mengambilnya?!"
"Seorang perempuan cantik bergelar Ratu Pemi-
kat...," ujar Dewa Orok dengan wajah murung.
"Ah.... Perempuan! Cantik lagi!" gumam Cucu Dewa
dengan gelengkan kepala perlahan. "Bagaimana sampai perempuan itu tahu?! Kau dirayunya? Atau jangan-
jangan sengaja kau gadaikan dotmu dengan imbalan
tertentu!"
Dewa Orok kini yang gelengkan kepala. "Dot itu
adalah nyawaku! Tak akan kugadai walau diberi imba-
lan apa pun!"
"Hem.... Lalu bagaimana bisa lepas dari mulut-
mu?!"
Dewa Orok lalu ceritakan bagaimana sampai bun-
daran karet mirip dot bayi miliknya jatuh ke tangan
Ratu Pemikat. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode : "Muslihat Sang Ratu").
"Tidak kuduga sama sekali kalau rahasia besar
tentang kitab itu begitu cepat meluas...," desis Cucu
Dewa begitu mendengar penuturan sang murid. "Sial-
nya, dalam keadaan seperti ini, kau harus mendapat
kenyataan pahit! Dotmu hilang diambil orang.... Pa-
dahal kau adalah orang yang, setidaknya punya hak
pada kitab itu!"
Cucu Dewa arahkan pandangannya menerawang
jauh. Lalu mulutnya kembali membuka. "Mendengar
semua penuturanmu. aku hampir yakin kalau kitab
itu kini telah jatuh ketangan orang.... Celaka! Benar-
benar celaka!"
Cucu Dewa alihkan pandangan pada sang murid.
"Sebelum mendengar penuturanmu, aku memang me-
nyarankan kau harus dapatkan dotmu! Tapi kini kura-
sa hal itu sangat berbahaya bagimu! Apalagi nyawamu
diincar orang! Sebaiknya untuk sementara ini kau ber-
lindung pada satu tempat yang aman. Dan begitu kea-
daan reda, kau bisa mulai menyelidik mencari kemba-
li!"
"Guru.... Bukannya aku tidak setuju dengan sa-
ranmu. Tapi kurasa hal itu nanti akan lebih mempersulit diriku!"
"Kau punya alasan dengan ungkapanmu?" "Menu-
rut seorang sahabat, pada purnama depan, akan ada
sebuah pertemuan besar di Kedung Ombo! Aku khawa-
tir, Ratu Pemikat akan muncul di sana. Dan kalau
nantinya terjadi apa-apa di sana, lalu katakanlah Ratu
Pemikat tewas, apakah itu tidak akan menambah ke-
sulitan bagiku? Beruntung kalau dia bawa dotku. Ka-
lau dia sebelumnya menyimpan pada satu tempat dan
mendahului tewas, apa yang bisa kulakukan?!"
"Hem.... Ucapanmu sepertinya memberiku gamba-
ran akan terjadi huru-hara besar!"
"Firasat dan hubungan beberapa kejadian akhir-
akhir ini membuatku berkesimpulan demikian! Apalagi
kini muncul beberapa orang yang belum pernah ku-
kenal malah mereka sengaja tidak ingin dikenali! Sifat
dan tindakannya aneh-aneh namun aku yakin mereka
bukan orang yang memiliki kepandaian rendah!"
"Lalu apakah kau ingin hadir pula di sana?!" tanya
Cucu Dewa setelah agak lama keduanya saling membi-
su.
"Aku terpaksa akan muncul di sana kalau sampai
purnama ini Ratu Pemikat tidak berhasil kutemu-
kan.... Tapi tujuanku semata-mata hanya untuk men-
gambil dotku! Lain tidak!"
"Kalau itu jalan yang kau anggap baik, terserah!
Tapi bagaimanapun juga kau harus lebih berhati-hati!
Hindari terlibat urusan baru dengan orang lain...."
Ucapan terakhir Cucu Dewa mengingatkan si pe-
muda akan keyakinannya pada orang yang selalu
mengikuti langkahnya semenjak dari kawasan di mana
dia ditanam oleh Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa.
Hingga Dewa Orok buru-buru melompat mendekat ke
arah gurunya seraya berbisik.
"Guru.... Apakah Guru selalu mengikutiku selama
ini?!"
"Aneh.... Untuk apa aku mengikutimu?!"
"Jadi...." Dewa Orok tidak lanjutkan ucapannya.
Kepalanya berputar dengan mata memandang berkelil-
ing.
Cucu Dewa tampak tenang-tenang saja meski me-
lihat muridnya gelisah. Malah dengan rangkapkan ke-
dua tangan di muka dada, orang bertubuh pendek ini
berujar.
"Kau mencari perempuan itu?!" Putaran kepala
Dewa Orok seketika berhenti. "Kau tahu...?!"
"Tidak sebanyak yang kau ketahui. Tapi mungkin
cukup membuatmu tidak gelisah dan cemas!" kata Cu-
cu Dewa seraya tersenyum. Lalu mendahului berucap
sebelum Dewa Orok ajukan tanya.
"Dia bukan orang yang ingin cari urusan dengan-
mu! Malah kurasa dia seperti akan melindungimu!
Sayang...."
"Sayang bagaimana?!" tanya Dewa Orok cepat begi-
tu Cucu Dewa tidak segera lanjutkan ucapannya.
"Dia telah pergi ke jurusan sana!" Cucu Dewa lu-
ruskan tangannya menunjuk pada satu arah.
"Bagaimana kau tahu dia tidak ingin cari urusan
denganku?!"
“Aku sempat berbincang-bincang dengannya.
Sayang cuma sekejap! Tapi hal itu telah membuatku
gembira..."
"Apakah karena dia muda dan cantik? Tubuhnya
bagus?!"
"Tubuhnya bagus, benar! Kalau muda dan berpa-
ras cantik aku tidak bisa memastikan! Namun bukan
itu yang membuatku gembira seperti yang tadi kuka-
takan Aku gembira karena dari ucapan-ucapannya,
aku merasa dia mengharap sesuatu darimu! Dari itu-
lah mengapa dia selalu mengikutimu!"
Dewa Orok serta-merta tertawa panjang. Cucu De-
wa pandangi muridnya dengan mata mendelik. Lalu
berbicara dengan suara agak keras, membuat sang
murid putuskan tawanya seketika.
"Kau jangan mengira Yang Maha Kuasa tidak me-
limpahkan kasih dan sayangnya pada hati seseorang
untuk memberi sebentuk perasaan padamu! Kau me-
mang cacat, namun itu bukanlah satu penghalang bagi
seseorang untuk berbagi kasih denganmu kalau Yang
Maha di Atas sana telah menentukan!"
"Tapi.... Perbincangan yang hanya sekejap, belum
bisa dijadikan jaminan kalau dugaanmu benar. Apalagi
ini berhubungan dengan perasaan perempuan. Yang
menurut orang-orang tua dahulu sulit sekali dijajaki....
Tapi, itu urusan nanti. Yang sekarang ingin kuketahui,
bagaimana guru bisa mengatakan tubuhnya bagus be-
nar! Tapi muda dan berparas cantik tidak bisa memas-
tikan!"
"Sekujur tubuhnya dibalut pakaian putih panjang
dan jelas membentuk bagus! Namun ternyata bukan
hanya tubuhnya yang dibungkus, tapi seluruh wajah-
nya juga diberi cadar putih dan hanya menyisakan ke-
dua matanya. Itulah yang membuatku kesulitan me-
mastikan muda dan paras cantiknya!"
Dewa Orok tegak dengan tubuh sedikit bergetar.
"Dugaanku tidak keliru.... Ternyata memang perem-
puan itu...," gumamnya pelan.
"Hem.... Jadi kau telah mengenalnya?!"
"Dialah yang telah menolongku dan perbuatan Ra-
tu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa! Hanya aku merasa
menyesal...."
"Menyesal bagaimana?!"
tidak mau sebutkan nama!"
"Itulah satu kenyataan bahwa apa yang dilakukan-
nya tanpa pamrih! Dan kurasa sulit dicari orang seper-
ti dia pada saat-saat seperti sekarang ini! Aku berha-
rap apa yang menjadi dugaanku tidak salah...."
Cucu Dewa tampak dongakkan kepala setelah ber-
kata. Lalu melanjutkan. "Semula aku ingin mengajak-
mu. Tapi mendengar semua ucapanmu tadi, terpaksa
aku harus pergi sendirian. Kalau kapan-kapan kau
jumpa lagi dengan perempuan bercadar putih itu, to-
long sampaikan salam hormatku padanya.... Dan ka-
takan juga, kalau tidak keberatan, aku akan memang-
gilnya dengan Bidadari Cadar Putih! Nama bagus, bu-
kan?"
Tanpa menunggu sambutan dari sang murid, Cucu
Dewa telah berkelebat tinggalkan tempat itu dengan
pandangan penuh tanda tanya dari Dewa Orok.
***
SEMBILAN
APA yang dikatakan Cucu Dewa benar adanya. Ka-
rena laki-laki bertubuh pendek Ini memang sempat
jumpa dengan perempuan yang mengenakan pakaian
putih dan seluruh wajahnya ditutup pula dengan ca-
dar yang juga berwarna putih. Perempuan ini tidak
lain memang orang yang menolong Dewa Orok dari
tindakan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa yang
menanam tubuh pemuda bertangan buntung itu da-
lam tanah dengan keadaan tertotok.
Entah apa yang dirasakan si perempuan bercadar
putih, namun begitu Dewa Orok sempat sebut-sebut
nama Joko, ada getaran aneh di dadanya. Hingga
meski ia mengatakan harus pergi setelah memberi per-
tolongan, namun sebenarnya dia tidak begitu saja ber-
lalu. Dia coba mengelabui Dewa Orok dengan hentak-
kan kuda tunggangannya keras-keras, hingga kuda
tunggangannya itu berlari kencang. Padahal sebenar-
nya si perempuan bercadar sendiri tidak pergi jauh da-
ri tempat di mana tadi dia menolong Dewa Orok.
Secara diam-diam, si perempuan bercadar putih la-
lu mengikuti ke mana Dewa Orok melangkah. Dan pe-
rempuan bercadar putih ini sempat terkesiap tatkala
tiba-tiba mendapati Dewa Orok jumpa dengan Joko.
Dadanya berdebar keras. Kalau menuruti kata hati, in-
gin rasanya dia tunjukkan diri. Namun ada sesuatu
yang membuatnya bertahan untuk terus sembunyi
meski dengan hati makin bergejolak. Selain itu, ada
hal lain yang membuat dia bertahan sembunyi yakni
karena saat itu ada seorang gadis muda berparas can-
tik jelita mengenakan jubah merah menyala di samp-
ing Joko Sableng.
Begitu Dewa Orok berkelebat pergi meninggalkan
murid Pendeta Sinting dan perempuan muda menge-
nakan jubah merah, si perempuan bercadar kembali
dilanda perasaan bimbang. Malah karena tenggelam
dalam kebimbangan, hampir saja Joko memergokinya
kalau dia tidak keburu berkelebat. Dan untung suasa-
na gelap menolongnya. Hingga meski Joko sempat
mengejar, namun dia pada akhirnya bisa meloloskan
diri dan terus mengikuti langkah Dewa Orok.
Pada awalnya, begitu si perempuan bercadar putih
bisa lolos dari kejaran Joko Sableng, sebenarnya dia
ingin sekali berbalik dan mengikuti murid Pendeta
Sinting. Dada perempuan ini kembali dibuncah rasa
ragu dan bimbang. Namun ingat akan dirinya dan ga-
dis muda yang ada di samping Joko, pada akhirnya dia
memutuskan untuk mengikuti Dewa Orok. (Tentang
pertemuan Dewa Orok dengan Joko Sableng silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : "Sekutu Ib-
lis").
Si perempuan bercadar putih tidak tahu mengapa
dia memutuskan mengikuti langkah Dewa Orok. Dia
hanya memperturutkan perasaan. Dan begitu mema-
suki kawasan yang banyak ditumbuhi ilalang dan
ranggasan semak belukar, dia menangkap suara tawa
orang bersahut-sahutan. Dia sengaja tidak teruskan
langkah untuk mengikuti Dewa Orok yang terus berlari
seakan mengejar suara orang yang tertawa di tengah
kawasan ranggasan semak belukar. Lalu dia menang-
kap bentakan-bentakan yang memberi pertanda jika
Dewa Orok telah berhadapan dengan orang yang tadi
perdengarkan tawa yang bukan lain adalah dua orang
laki-laki yang wajahnya diberi bedak arang hitam
Saat dia menyimak ucapan-ucapan orang dari jauh
tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di
hadapan perempuan bercadar putih telah tegak seo-
rang laki-laki bertubuh pendek yang tidak lain adalah
Cucu Dewa.
Perempuan bercadar putih sempat terkesiap den-
gan kemunculan Cucu Dewa. Namun karena tidak
mau orang tahu apa yang sedang dilakukannya, si pe-
rempuan bercadar putih segera saja hendak berkelebat
pergi tanpa bicara sepatah kata.
"Kuharap kau tidak menaruh curiga padaku! Aku
tidak akan mempersoalkan apa yang sedang kau laku-
kan di sini. Aku hanya kebetulan lewat...," ujar Cucu
Dewa membuat gerakan si perempuan bercadar putih
tertahan.
Sepasang bola mata si perempuan bercadar putih
sesaat perhatikan orang di hadapannya. Tapi sejauh
ini dia belum juga perdengarkan suara hingga Cucu
Dewa kembali berucap.
"Apa kau juga sedang kebetulan lewat...?'
Si perempuan bercadar menjawab dengan angguk-
kan kepala. Sementara Cucu Dewa coba pandangi si
perempuan seolah ingin mengetahui siapa adanya
orang.
"Boleh aku tahu. Hendak ke mana kau?!"
Si perempuan bercadar putih tidak segera menja-
wab. Dan seakan tahu apa yang ada dalam benak
orang, Cucu Dewa cepat-cepat sambungi ucapannya.
"Sekali lagi kau tak usah menaruh curiga! Aku ber-
tanya semata-mata hanya ingin tahu. Barangkali kita
satu arah jalan...."
Si perempuan bercadar putih masih juga kancing-
kan mulut tidak perdengarkan suara. Cucu Dewa tidak
tinggal diam. Dia kembali buka mulut.
"Kau tampaknya sedang dalam keadaan bimbang.
Tubuhmu di sini, tapi pikiranmu berada jauh….
Pandangan matamu mengatakan hal itu! Benar?!"
Pancingan Cucu Dewa kali ini tampaknya memba-
wa hasil. Karena si perempuan bercadar putih segera
perdengarkan suara sahutan.
"Kau rupanya pandai juga menebak orang dari ma-
tanya.... Mau sebutkan nama?"
Cucu Dewa tertawa perlahan. "Apalah artinya se-
buah nama. Lagi pula dengan keadaanmu begitu, kau
pasti juga tidak ingin untuk dikenali! Betul bukan?!
Dari itulah maka percuma saja aku sebutkan nama,
karena kau tidak akan perkenalkan diri!"
Mendengar ucapan Cucu Dewa, si perempuan ber-
cadar putih mulai perdengarkan tawa meski ditahan.
"Harap maafkan. Ini kulakukan bukan karena aku ti-
dak mau dikenali. Tapi ada sesuatu yang mengha-
ruskan aku begini! Dan ini kulakukan bukan karena
ada hubungannya dengan orang lain, tapi semata-
mata berkaitan dengan diriku sendiri...."
"Aku maklum...," ujar Cucu Dewa. "Kadang kala
seseorang memang dituntut untuk melakukan sesuatu
yang membuat orang merasa curiga! Hem.... Sekarang
apakah kau mau mengatakan hendak ke mana?!" kata
Cucu Dewa mengalihkan pembicaraan.
Entah apa yang menyebabkan si perempuan berte-
rus terang. Yang jelas perempuan bercadar putih sege-
ra menyahut.
"Sebenarnya aku tak tahu akan ke mana...."
Cucu Dewa arahkan pandangan pada jurusan di-
mana terdengar suara-suara bentakan.
"Kau mengikuti pemuda bertangan buntung itu?!"
"Aku hanya menuruti perasaan...."
"Kau mengenal pemuda itu?!"
Si perempuan bercadar putih gelengkan kepala,
membuat Cucu Dewa sedikit kerutkan dahi sebelum
akhirnya berkata pula.
"Apa yang dikatakan perasaanmu hingga kau men-
gikutinya?!"
"Aku tak tahu. Yang jelas aku menduga dia mem-
butuhkan orang lain...."
"Mau ikuti saranku...?!" tanya Cucu Dewa sambil
menatap ke bola mata si perempuan. Meski nada bica-
ranya ajukan tanya, namun laki-laki bertubuh pendek
Ini tidak menunggu orang jawab pertanyaannya, kare-
na saat itu juga dia telah menjawab ucapannya sendiri.
"Tinggalkan pemuda itu.... Kau perlu waktu untuk
berpikir lama. Jangan tanya kenapa aku mengatakan
demikian. Mungkin satu hari nanti kau akan temukan
jawabannya sendiri...."
"Sepertinya kau mengenal pemuda itu!" kata pe-
rempuan bercadar putih.
"Dari saranku tadi, kurasa tak perlu lagi aku men-
gatakan mengenal atau tidak pemuda itu...." Cucu De-
wa tiba-tiba arahkan pandangannya pada arah mana
bentakan-bentakan jauh di depan sana terdengar. Ber-
samaan itu mendadak bentakan-bentakan di depan
sana tidak lagi terdengar.
"Aku mencium adanya bahaya.... Aku harus segera
pergi...."
Cucu Dewa berpaling. Laki-laki bertubuh pendek
Ini tersentak. Ternyata si perempuan bercadar putih
sudah tidak ada lagi di tempatnya.
"Muridku.... Mudah-mudahan perempuan tadi ada-
lah karunia Yang Maha Pengasih untukmu...," desis
Cucu Dewa seraya mendongak memandang langit.
Saat bersamaan kakinya bergerak. Sosoknya berkele-
bat lenyap di antara ranggasan semak belukar dan ila-
lang.
* * *
Berlari sejarak seratus tombak dari tempatnya se-
mula, perempuan bercadar putih berhenti. Kepalanya
sejenak berpaling ke kiri kanan. Ternyata dia menda-
patkan diri sudah berada di luar kawasan semak belu-
kar dan ilalang di mana tadi dia sempat berjumpa den-
gan Cucu Dewa.
Perempuan bercadar putih melangkah lalu duduk
di bawah sebuah pohon. Perlahan-lahan kepalanya di
sandarkan pada batangan pohon di belakangnya den-
gan sedikit di tengadahkan. Sepasang matanya yang
merupakan satu-satunya anggota wajahnya yang terlihat tampak memandang jauh bahkan melampaui rin-
dang dedaunan pohon di mana dia berada.
"Apa sebenarnya yang kucari dalam perjalananku
ini? Mengapa aku tidak dapat berdamai dengan hati-
ku? Aku tahu.... Sejak jumpa pertama dahulu aku me-
rasakan keanehan dalam diriku, tapi saat itu aku ma-
sih punya harapan, meski untuk mencapai harapan
itu harus ku langkahi beberapa halangan. Aku tak ta-
hu.... Mengapa aku begitu berani ambil risiko, walau
untuk itu nyawaku lah yang harus kujadikan jami-
nan....
Ah, itu saat-saat yang berlalu! Kini tidak mungkin
lagi aku menggantungkan harapan meski beberapa ha-
langan telah pula berlalu. Aku bukan lagi yang dulu.
Dan kurasa dia pun demikian juga.... Tapi menga-
pa aku tidak dapat melupakannya? Padahal aku tahu,
semuanya akan berakhir dengan perasaan kecewa ka-
lau kupaksakan! Aku sadar.... Mungkin dia diciptakan
bukan untukku. Dia seorang pemuda tampan dan
punya ilmu. Namanya juga dikenal dan harum. Tak
heran jika banyak gadis yang coba mendekati dan
mengerumuninya...."
Perempuan bercadar putih katupkan sepasang ma-
tanya dengan menghela napas dalam. "Gadis berjubah
merah.... Dia memang cantik jelita. Mereka berdua
tampak serasi dan pantas berdampingan.... Tapi,
mungkinkah gadis berjubah merah itu tidak punya
maksud apa-apa?! Dari pembicaraan orang-orang yang
sempat kudengar, aku merasa ada hal besar yang hen-
dak terjadi! Apalagi pembicaraan yang menyebut-
nyebut malam purnama.... Jangan-jangan gadis berju-
bah merah itu...."
Tiba-tiba perempuan bercadar putih tertawa sendi-
ri. "Masih pantaskah aku menaruh rasa cemburu pada
gadis yang berada di sampingnya? Tapi.... Aku tidak
bisa menipu diri sendiri. Sepenggal hatiku telah terba-
wa olehnya sejak jumpa pertama itu! Dan apa pun
yang terjadi nanti, aku akan tetap meletakkan hatiku
padanya meski aku sadar, dia tidak mungkin tergapai
oleh tanganku.... Kedua tanganku sudah terlalu lemah
untuk menggapainya. Sementara banyak tangan lentik
dan kuat yang melingkari dirinya!"
Si perempuan bercadar putih kembali buka kelo-
pak matanya. Untuk kesekian kalinya dua pasang bola
mata itu menerawang jauh memandang langit. "Hem....
Cinta kadang bukan harus dengan memiliki. Lebih dari
itu, cinta adalah milik siapa saja. Termasuk diriku
yang mungkin tidak layak lagi.... Hem.... Saat ini aku
hampir merasa yakin kalau dia sedang menghadapi sa-
tu urusan besar!"
Si perempuan bercadar putih terlihat angkat tan-
gan kanannya lalu menghitung. "Purnama tinggal
sembilan hari lagi.... Apa sebenarnya yang akan terja-
di? Aku harus...." Perempuan bercadar putih serentak
bangkit. Sesaat dia tampak hendak berkelebat. Namun
satu perasaan yang muncul tiba-tiba membuat gera-
kannya tertahan. la tampak bimbang.
Tanpa sadar sepasang mata perempuan bercadar
putih memandang berkeliling. Anehnya yang terlihat
olehnya saat itu adalah kabut putih tipis yang pada
saat lain mendadak membentuk sosok-sosok gadis
muda berparas jelita!
Perempuan bercadar putih kerjapkan mata beru-
lang kali. Lalu menarik napas panjang. "Aku terlalu di
hantui perasaan sendiri.... Aku harus dapat menerima
kenyataan.... Aku tidak pantas lag! mengharapkan
nya, tapi aku memang tidak mengharap imbalan apa-
apa! Aku hanya ingin dia tahu, kalau di hatiku masih
ada sebentuk perasaan yang tak mungkin dapat kule-
nyapkan sampai kapan pun! Dan demi perasaan itu,
aku rela berbuat apa saja...."
Kini kebimbangan dalam pandangan dan sikap pe-
rempuan bercadar putih sirna. Dia kembali hendak
berkelebat. Namun kembali dia urungkan. Bukan ka-
rena munculnya perasaan, melainkan sepasang ma-
tanya menangkap satu sosok tubuh yang berlari cepat
jauh di depan sana.
"Dalam situasi seperti saat ini, siapa pun juga per-
lu mendapatkan kecurigaan!" gumam perempuan ber-
cadar putih. Tanpa menunggu lama lagi, dia segera
berlari ke arah mana tadi matanya menangkap seseo-
rang.
Tapi pada satu tempat, si perempuan bercadar pu-
tih kehilangan jejak orang yang diikuti. Karena dia be-
lum tahu siapa adanya orang yang diikuti, juga karena
dia tidak mau diketahui, maka si perempuan tidak be-
rani bertindak tanpa perhitungan. Dengan sigap dia
segera berkelebat lalu mendekam di balik dua batu
yang saling berdekatan hingga bukan saja membuat
sosoknya tidak kelihatan, namun dengan leluasa dia
dapat melihat apa yang ada di hadapannya dari celah
batu.
Baru saja perempuan bercadar putih mendekam
sembunyi, matanya menangkap satu sosok tubuh hen-
tikan larinya dan tegak tidak jauh dari batu di mana
dia mendekam. Sepasang mata perempuan bercadar
sesaat memperhatikan tak berkesip pada orang yang
tegak dengan kepala sedikit disorongkan ke depan
seakan ingin memperjelas penglihatannya.
Mendadak dua bola mata perempuan bercadar pu-
tih terbeliak besar-besar saat orang yang tegak tak
jauh dari tempatnya sembunyi putar diri. Dia adalah
seorang perempuan berwajah cantik. Mengenakan pa-
kaian biru tipis yang di bagian dadanya dibuat rendah
seolah ingin menunjukkan lembah belahan payuda-
ranya yang membusung kencang. Bibirnya merah dan
tampak sunggingkan senyum.
"Bukankah dia...: Ratu Pemikat!" gumam perem-
puan bercadar putih. Mungkin karena tersentak kaget
mengenali adanya orang yang tegak, hampir saja dari
mulut di balik cadarnya menyeruak suara seruan. Un-
tung si perempuan cepat sadar apa yang kini sedang
dilakukannya.
Buru-buru si perempuan bercadar putih lebih run-
dukkan kepala dan tubuh. "Aku yakin. Perempuan ini
bukan orang yang berkelebat kukejar. Karena dia
muncul dari arah belakangku.... Kalau dia orang yang
kukejar, pasti dia sekarang tahu aku berada di sini!
Dan rupanya dia juga sedang mengejar orang.... Tentu
orang yang berkelebat tadi...." Diam-diam perempuan
bercadar putih simpulkan peristiwa yang baru saja ter-
jadi.
Baru saja si perempuan bercadar membatin, tiba-
tiba satu suara terdengar.
"Mengapa diam di situ? Kau mengejarku, bukan?!"
Perempuan bercadar laksana sirap darahnya. Jelas
kalau suara yang baru terdengar adalah suara perem-
puan. Dadanya mulai sesak. Dan merasa orang sudah
tahu keberadaannya, dia cepat angkat kepala. Namun
kepala orang ini sesaat diam laksana dipacak. Sepa-
sang matanya membesar memperhatikan dari celah
batu.
"Astaga! Bukan dia yang bersuara!" gumam perem-
puan bercadar putih dalam hati. Lalu perhatikan sosok
perempuan berwajah cantik berpakaian biru tipis yang
bukan lain memang Ratu Pemikat adanya.
Saat itu Ratu Pemikat tampak tidak memandang ke
arah batu di mana perempuan bercadar putih mende-
kam. Tapi ke satu jurusan dari mana tadi suara tegu-
ran terdengar. Inilah yang membuat perempuan berca-
dar putih tahu kalau suara teguran bukan keluar dari
mulut Ratu Pemikat dan ditujukan padanya. Melain-
kan justru dari orang lain dan ditujukan pada Ratu
Pemikat.
Sepasang mata perempuan bercadar putih kini be-
ralih ke arah mana saat itu Ratu Pemikat juga sedang
memandang. Untuk kesekian kalinya bola mata si pe-
rempuan putih membelalak, malah kali ini kalau tidak
segera takupkan telapak tangan ke mulut, niscaya ke-
beradaannya akan diketahui orang!
Dari celah batu, si perempuan bercadar putih me-
lihat seseorang yang membuat dadanya berdebar ke-
ras. Malah kalau tidak ingat keberadaan dirinya, sege-
ra saja ia hendak melompat keluar dan menghambur.
"Tak kusangka.... Suaranya tadi suara perempuan.
Nyatanya dia.... Rupanya dia tahu sedang diikuti
orang. Atau Jangan-jangan keduanya pura-pura saling
kejar padahal keduanya sudah saling sepakat untuk
bertemu di sini...?!"
Perempuan bercadar putih menghela napas dalam.
Sepasang matanya yang tadi memandang besar-besar,
kini berubah sayu. Kegembiraan yang sesaat terpancar
dari matanya mendadak lenyap laksana direnggut se-
tan.
"Ah.... Nyatanya kau telah tahu kalau kukejar...."
Ratu Pemikat buka suara seraya melangkah mendekati
orang yang tegak di depan sana. Seorang pemuda ber-
wajah tampan mengenakan pakaian putih-putih den-
gan rambut panjang sedikit acak-acakan. Pada kepa-
lanya melingkar satu ikat kepala yang juga berwarna
putih. Pemuda ini tegak memandang pada orang yang
mendatanginya dengan mulut sunggingkan senyum
serta tangan kiri terangkat dan jari kelingking masuk
ke lobang telinganya!
"Ah.... Dugaanku rupanya tidak meleset. Sikap dan
sambutannya menandakan mereka berdua sepertinya
sengaja bertemu di sini.... Tapi mengapa ini bisa terja-
di...? Bukankah mereka pernah...." Si perempuan ber-
cadar putih gelengkan kepalanya perlahan dengan ma-
ta terus memandang ke depan lewat celah batu.
"Hem.... Bisa saja mereka sekarang sudah berbai-
kan! Dan tidak tertutup kemungkinan pula mereka se-
dang terlibat cinta! Ah.... Kenapa aku terus dihantui
hal-hal itu? Peduli dia terlibat asmara dengan siapa sa-
ja. Aku hanya ingin dia tahu, kalau aku...." Perempuan
bercadar putih putuskan kata hatinya. Karena saat itu
pemuda berpakaian putih-putih dan tidak lain adalah
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng angkat bi-
cara. Kali ini jelas kalau suaranya suara laki-laki.
"Jauh mengejarku, pasti ada sesuatu yang hendak
kau sampaikan...."
Ratu Pemikat hentikan langkah hanya sejarak tiga
tombak dari murid Pendeta Sinting. Perempuan bertu-
buh bahenol ini sesaat tampak sunggingkan senyum
seraya geliatkan tubuh, hingga pinggulnya yang men-
cuat kencang dan besar terlihat menggoda.
"Kau tentunya ingat akan pertemuan kita beberapa
waktu yang lalu.... Kau tahu, sampai saat ini aku tidak
bisa melupakan peristiwa itu! Aku selalu teringat pada
belaianmu.... Sentuhan-sentuhan tanganmu yang
nakal.... Rengkuhan dan cumbuanmu.... Aku...."
Murid Pendeta Sinting tarik jari tangan kirinya dan
lobang telinga, lalu dilintangkan ke mulut. Kepalanya
berputar dengan mata liar memandang berkeliling.
Ratu Pemikat tersenyum dengan sebelah mata
mengerdip. "Kau tak usah khawatir. Di sini hanya ada
kita berdua. Seperti saat kita bertemu beberapa waktu
yang lalu! Kurasa kau tentu masih mengingatnya...."
Joko tidak menyambuti ucapan Ratu Pemikat Dia
tetap memandang berkeliling dengan dada berdebar.
Jelas wajahnya membayangkan ketakutan. Sementara
di balik batu, dada perempuan bercadar laksana mele-
dak. Sepasang matanya serentak memejam rapat!
Ucapan Ratu Pemikat laksana ledakan petir didada
dan telinganya.
Pada awalnya perempuan bercadar putih masih bi-
as kuasai diri mendengar ucapan Ratu Pemikat. Dia
menduga itu hanya ucapan perempuan yang tinda-
kannya sudah banyak diketahui orang kalangan rimba
persilatan. Dia juga menyangka ucapan Ratu Pemikat
hanya mengada-ada. Karena yang diketahuinya selama
ini, antara Ratu Pemikat dan Joko Sableng ada satu
ganjalan besar yang tidak mungkin begitu mudah dile-
nyapkan. Kalaupun ganjalan itu sudah sirna, adalah
terlalu cepat bagi mereka berdua jika sampai melaku-
kan sesuatu yang tidak senonoh!
Tapi begitu melihat Joko tidak membantah ucapan
Ratu Pemikat malah lintangkan jari di mulut pertanda
jelas kalau dia tidak mau orang lain mendengar, si pe-
rempuan bercadar putih seakan tidak tahan lagi. Dia
sudah hendak keluar dari balik batu. Lalu mengelua-
rkan apa yang ada dalam benaknya!
Tapi satu perasaan tiba-tiba muncul yang mem-
buat perempuan bercadar putih segera bisa kuasai diri
meski tubuhnya masih terlihat bergetar.
"Aku tidak berhak melarangnya berbuat apa pun
dan dengan perempuan mana pun.... Aku sekarang
bukan lagi yang dulu yang setidaknya masih punya
bekal untuk berharap! Yang kumiliki sekarang tinggal
sekeping hati. Hanya sekeping hati inilah yang akan
kuberikan padanya tanpa aku harus berharap sesuatu
meski hanya ucapan harapan...."
Perempuan bercadar coba tabahkan hati. Lalu per-
lahan-lahan kelopak matanya dibuka lagi dan dengan
perlahan-lahan pula diarahkan pada jurusan mana
Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting berdiri ber-
hadapan.
Sementara di depan sana, untuk beberapa lama
Pendekar 131 memandang lekat-lekat pada Ratu Pe-
mikat. "Aku memang tidak lupa, pernah bersama pe-
rempuan ini pada beberapa waktu yang lalu. Tapi apa-
kah waktu itu aku memang sempat berbuat melam-
paui batas terhadapnya...? Saat itu seluruh pakaianku
memang terlepas. Tapi anehnya.... Mengapa aku tidak
bisa mengingat apa sebenarnya yang telah terjadi...?
Apa karena saat itu aku begitu tenggelam...?!" Murid
Pendeta Sinting gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku harus hati-hati dengan perempuan ini! Aku
masih tidak tahu pasti apa sebenarnya yang ada dalam
pikirannya! Waktu pertama kali jumpa setelah peristi-
wa di Pulau Biru, dia menyatakan penyesalannya.
Bahkan aku lantas terlibat cumbu rayu dengannya.
Saat aku tersadar, perempuan ini telah tidak ada. He-
rannya dia tidak menyentuh pedangku. Padahal kalau
dia mau, tidak sulit baginya mengambil dan memba-
wanya pergi. Bahkan kalau dia menginginkan nyawa-
ku, rasanya tidak ada halangan baginya untuk berbuat
semaunya...." (Tentang pertemuan Ratu Pemikat den-
gan Pendekar 131, baca serial Joko Sableng dalam epi-
sode: "Warisan Laknat").
"Yang ku herankan, saat kujumpai lagi dia telah
bergabung dengan Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh
Padmi. Malah dari Dewa Orok, kudengar dia juga telah
mengambil dot pemuda itu! Dia juga telah tahu kalau
Kitab Hitam jatuh ke tangan Malaikat Penggali Ku-
bur...!"
Seperti diketahui, saat Pendekar 131 menyamar
sebagai pemuda berperangai perempuan dan memper-
kenalkan diri sebagai Lumba-lumba untuk menyelidik,
murid Pendeta Sinting berjumpa dengan Ratu Pemikat,
Iblis Rangkap Jiwa, serta Ni Luh Padmi di bawah Bukit
Selamangleng.
Hemm ... Aku yakin di balik tindakannya selama
ini, dia punya satu maksud tertentu! Bahkan perte-
muan purnama depan mungkin saja adalah renca-
nanya. Kalau dia tahu betul jika Malaikat Penggali Ku-
bur telah mendapatkan Kitab Hitam, jangan-jangan
pertemuan nanti masih ada kaitannya dengan Malai-
kat Penggali Kubur.... Hem...."
"Kau memikirkan sesuatu? Atau sedang menge-
nang apa yang pernah kita lakukan?!" Ratu Pemikat
buka suara setelah agak lama murid Pendeta Sinting
hanya terlihat tercenung tanpa buka suara.
Pendekar 131 sunggingkan senyum. "Terus terang.
Aku memang tidak bisa melupakan peristiwa itu....
Sayang, setelah itu kau pergi begitu saja tanpa mem-
beri tahu. Aku berusaha mencarimu. Tapi...."
"Aku sekarang ada di hadapanmu...," potong Ratu
Pemikat dengan busungkan dada. "Kalau kau masih
ingin...." Ratu Pemikat menyela dengan tertawa nyar-
ing merdu. Lalu lanjutkan. "Kau ingin sekarang...?!"
Tangan kanan kiri Ratu Pemikat terangkat. Lalu
mulai membuka kancing pakaiannya. Joko angkat
tangan kanannya sambil gerak-gerakkan ke kiri kanan.
Namun Ratu Pemikat tidak pedulikan gerakan tangan
Joko yang memberi isyarat agar orang tidak lanjutkan
tindakannya. Malah sambil tersenyum-senyum, Ratu
Pemikat melangkah satu tindak.
Meski tangan kanannya memberi isyarat agar Ratu
Pemikat tidak lanjutkan tindakannya, namun begitu
perempuan ini luruhkan kembali kedua tangannya,
dan di hadapannya terpampang jelas dua payudara
putih kencang yang bergerak turun naik menggoda,
mau tak mau membuat murid Pendeta Sinting pen-
tangkan mata besar-besar!
Dari celah batu di belakang sana, meski Ratu Pe-
mikat tegak membelakangi batu, namun gerakan dan
pandangan mata murid Pendeta Sinting telah cukup
membuat si perempuan bercadar putih maklum apa
yang ada di depan hidung Pendekar 131.
"Dasar perempuan jalang...," desis perempuan ber-
cadar putih seraya menarik napas panjang. Perempuan
ini tabahkan hati untuk tetap arahkan pandangannya
ke depan meski dadanya makin bergelora antara
muak, cemburu, dan geram.
"Ratu...," terdengar suara murid Pendeta Sinting.
Kali ini suaranya terdengar agak bergetar parau. "Aku
mencarimu bukan untuk mengulangi peristiwa yang
lalu.... Aku... aku ingin menanyakan sesuatu pada-
mu...."
Ratu Pemikat tidak coba menutupi dadanya yang
terbuka. Malah dia sengaja menarik napas panjang
hingga dadanya tampak makin membusung. "Kau in-
gin bersenang-senang dahulu atau ingin aku jawab
pertanyaanmu dahulu?! Atau kau ingin aku menjawab
sambil kita bersenang-senang seperti dulu...?!"
"Terus terang. Setelah pertemuan kita beberapa
waktu itu, aku pergi ke satu tempat. Dan ketika aku
kemarin bertemu seorang sahabat...."
"Jangan terlalu banyak berbasa-basi! Bukankah
yang hendak kau katakan masih ada hubungannya
dengan sebuah kitab?!" tukas Ratu Pemikat.
"Ah.... Betul!" kata Joko dengan mimik terperanjat.
Ratu Pemikat sesaat memperhatikan perubahan
pada wajah murid Pendeta Sinting dengan bibir terse-
nyum. “Pandai Juga kau membuat sandiwara wa-
jah...," gumamnya dalam hati. "Kau tidak tahu. Semua
yang ada dalam otakmu sudah ku bongkar saat kita
jumpa dahulu! Hik.... Hik.... Hik...! Membunuhmu saat
ini tidak sulit bagiku. Tapi itu tak akan kulakukan!
Dengan membunuhmu, berarti aku berhadapan lang-
sung dengan Malaikat Penggali Kubur. Pemuda kepa-
rat itu terlalu sulit ku taklukkan! Aku ingin kau yang
berhadapan dengan Malaikat Penggali Kubur. Kuyakin,
kau masih mampu menghadapi Malaikat Penggali Ku-
bur. Setelah Kitab Hitam berada di tanganmu, saat itu-
lah kematianmu tiba...."
Setelah diam sesaat, Ratu Pemikat lalu buka mu-
lut.
"Aku memang telah mendengar ada sebuah kitab
sakti. Tapi benar tidaknya kabar itu aku tidak tahu
pasti. Yang jelas, saat ini telah muncul beberapa orang
yang namanya pernah disegani dalam kancah dunia
persilatan! Mereka sengaja hendak mencari kitab itu
atau tidak, aku juga tidak tahu banyak! Apa kau men-
ginginkan kitab itu juga?!"
"Kalau kau saja berpendapat tidak tahu pasti, apa
gunanya aku bersusah payah?"
"Aku juga mendengar kalau pada purnama ini akan
ada satu pertemuan besar di Kedung Ombo...."
"Hem.... Akhirnya dia mengatakan juga perihal per-
temuan itu...," membatin Joko.
Ratu Pemikat masih dengan tersenyum lanjutkan
ucapannya. "Aku punya firasat, pertemuan itu ada kaitannya dengan kitab sakti yang dibicarakan orang. Ka-
lau kau ingin tahu benar tidaknya kitab itu, tidak ada
salahnya kau hadir di sana purnama ini...."
"Kau akan hadir nanti...?!" tanya Pendekar 131.
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Aku sudah bosan
dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia persi-
latan. Pengalaman di Pulau Biru telah membuatku
berhitung diri. Tapi kalau kau mengajakku, aku tidak
keberatan...."
"Seperti halnya dirimu, aku juga sudah muak den-
gan hal-hal yang berhubungan dengan rimba persila-
tan. Itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau
kau berminat silakan kau datang sendiri saja. Aku ti-
dak tertarik!"
Masih dengan senyum Ratu Pemikat anggukkan
kepala. "Ah.... Kalau orang sepertimu tidak tertarik,
untuk apa aku berminat?" katanya meski diam-diam
dalam hati dia berkata sendiri. "Kau menutupi apa se-
benarnya yang ada dalam hatimu. Aku percaya kau
pasti akan datang.... Kitab Hitam adalah sebagai tu-
gasmu untuk memusnahkannya! Dan kau pasti tidak
akan sia-siakan kesempatan...."
"Seperti juga ucapanmu," kata Ratu Pemikat me-
nyambungi ucapannya. "Hal yang berhubungan den-
gan rimba persilatan hanya akan mendatangkan mala-
petaka. Bahkan sia-siakan waktu dan nyawa. Padahal
ada hal lebih menarik yang bisa diperbuat dan tidak
mendatangkan malapetaka, malah mendatangkan ke-
nikmatan. Juga tidak perlu harus menunggu sampai
bulan purnama, tapi sekarang juga bisa...."
Habis berkata, Ratu Pemikat tengadahkan kepa-
lanya sedikit seolah ingin tunjukkan lehernya yang jen-
jang dan putih. Dari mulutnya terdengar suara desa-
han panjang.
"Pendekar 131.... Apalagi yang kau tunggu? Aku te-
lah menjawab apa yang kau tanyakan. Sekarang saat-
nya kita bersenang-senang seperti dulu, bukan...?"
Murid Pendeta Sinting tergagap meski sepasang
matanya tetap mementang tak berkesip. Dan pemuda
dari dusun Kampung Anyar ini tersedak tatkala men-
dadak Ratu Pemikat telah maju dan kedua tangannya
langsung melingkar ke tengkuknya!
***
SEPULUH
SEPASANG mata dari celah batu milik perempuan
bercadar putih bergerak memejam seketika. Dari mu-
lut di balik cadar putihnya terdengar gumaman tidak
jelas. Saat yang sama, kepala bercadar putih ini berge-
rak berpaling. Lalu terdengar desisan.
"Apa yang harus kulakukan? Membiarkan perbua-
tan kotor ini terus berlangsung di depan mataku? Me-
reka memang berhak melakukan apa saja! Tapi aku
juga punya hak untuk membela perasaan!"
Sosok perempuan bercadar putih bergetar keras.
Malah perlahan-lahan orang ini terlihat hendak berge-
rak bangkit. Namun tiba-tiba sosoknya kembali diam
dan terlihat kembali merunduk. Saat bersamaan ter-
dengar helaan napas panjang.
"Ah.... Untuk apa kau harus perturutkan pera-
saan? Aku tahu perasaannya padaku! Tapi itu dahu-
lu.... Sekarang mungkin bisa saja berubah setelah ta-
hu diriku.... Lalu apakah aku harus diam dengan se-
mua ini? Berapa lama aku selalu merindukan untuk
bertemu dan membagi cerita dengannya. Aku telah
berjalan jauh untuk mencarinya. Tapi begitu kutemu-
kan, dirinya selalu berada dengan seorang perempuan
cantik! Apa memang nasibku harus begini...? Sean-
dainya Yang Maha Tinggi memperkenankan aku untuk
memilih, aku memilih buta mata! Atau haruskah ke-
dua mataku kubuat buta sendiri? Biar sepenggal hati
ini tidak terjamah perasaan kotor? Biar sepenggal hati
ini tetap putih bersih?"
Perlahan-lahan sambil terus merunduk, kedua
tangan perempuan bercadar terangkat lalu menutupi
kedua mata dan wajahnya yang tertutup cadar. Saat
yang sama, dari sela jari-jari tangan si perempuan
tampak merembes cairan bening!
Sementara di depan sana, Ratu Pemikat tarik ke-
dua tangannya yang melingkar di tengkuk Pendekar
131. Hingga mau tak mau kepala Joko bergerak terta-
rik ke depan dan tepat menumbuk dua payudara putih
sang Ratu.
Meski murid Pendeta Sinting pada mulanya beru-
saha agar tidak tergoda, namun begitu wajahnya tepat
bersentuhan dengan payudara sang Ratu, darah pe-
muda ini menggelegak. Wajahnya terasa panas. Tu-
buhnya sedikit bergetar.
"Aku kali ini tidak membutuhkan lagi ilmu
'Penyaluran Suara'! Tidak ada yang perlu kukorek dari
mulut-nya!" Diam-diam Ratu Pemikat membatin.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat, memiliki ilmu
yang bisa membuat orang terangsang dan tenggelam
dalam gejolak. Lalu orang itu akan menjawab semua
pertanyaannya tanpa sadar. Hal ini pernah diperbuat
Ratu Pemikat pada murid Pendeta Sinting saat mereka
bertemu pertama kalinya setelah peristiwa di Pulau Bi-
ru.
Merasa si pemuda mulai dilanda gejolak, Ratu Pemikat tidak sia-siakan kesempatan. Dia mulai mengge-
liat dengan perdengarkan desahan. Sementara kedua
tangannya terus menekankan wajah Joko ke dadanya.
"Dasar manusia-manusia binatang! Bercinta pun
tak kenal tempat dan waktu!"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras. Saat ber-
samaan, satu deruan keras terdengar. Dan kejap lain,
satu gelombang luar biasa dahsyat menghampar!
Pendekar 131 dan Ratu Pemikat sama tersentak.
Kepala murid Pendeta Sinting yang masih bersentuhan
dengan dada Ratu Pemikat ditarik ke belakang. DI pi-
hak lain, Ratu Pemikat cepat pula lepaskan lingkaran
kedua tangannya di tengkuk Joko. Hampir berbaren-
gan kedua orang ini meloncat ke belakang.
Gelombang menghantam tempat kosong di mana
tadi murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat berpelu-
kan mesra.
Laksana disentak setan, kepala Ratu Pemikat ber-
paling. Dari mulutnya terdengar bentakan keras.
"Keparat! Kau cari mampus berani mengganggu ke-
senangan orang!"
Kedua tangan Ratu Pemikat bergerak menyentak.
Gelombang angin laksana topan prahara melesat ke
satu jurusan di mana terlihat satu sosok tubuh tegak
berdiri dengan kedua tangan merangkap di depan da-
da.
"Ha.... Ha.... Ha...! Aku bukan saja akan meng-
ganggu kesenangan mu, Perempuan Cabul! Tapi seka-
ligus mencabut kesenangan mu selama-lamanya!"
Kedua tangan orang yang baru perdengarkan tawa
dan suara bergerak. Satu gelombang kembali meng-
hampar memangkas gelombang yang melesat dari Ratu
Pemikat.
Bummm!
Terdengar ledakan keras. Tempat itu sesaat ber-
guncang. Sosok Ratu Pemikat tampak bergoyang-
goyang. Namun kejap lain terdiam setelah perempuan
Ini kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Semen-
tara di depan sana, sosok orang yang baru saja me-
mangkas pukulan Ratu Pemikat tetap diam tak ber-
geming. Malah kedua tangannya kini kembali merang-
kap di depan dada.
Murid Pendeta Sinting sesaat tidak angkat kepa-
lanya. Dadanya disesaki berbagai perasaan. Malu,
khawatir, dan gelisah. Wajahnya tampak merah pa-
dam. Dia coba menduga-duga siapa adanya orang. Ka-
rena hatinya membisikkan kalau dia pernah menden-
gar suara orang. Itulah yang menyebabkan dia belum
berani memandang siapa adanya orang.
Sementara Ratu Pemikat segera beliakkan mata
memandang tajam pada orang di seberang. Mendadak
raut wajah Ratu Pemikat berubah. Mulutnya bergetar.
Malah kalau tidak jaga diri, niscaya kakinya akan ber-
gerak tersurut!
Orang di seberang kembali perdengarkan tawa. La-
lu berkata.
"Ratu Pemikat! Matamu masih mengenaliku bu-
kan?!" Tanpa menunggu jawaban, orang ini sentakkan
kepalanya ke arah Pendekar 131 Joko Sableng. "Pen-
dekar 131! Mengapa masih malu-malu? Angkat batok
kepalamu. Lihat siapa yang datang hendak mencabut
selembar nyawamu?!"
Walau dengan muka masih merah padam, namun
mendengar ucapan orang, dada pemuda ini mulai pa-
nas. Dia angkat kepalanya. ,
Dari tempatnya tegak, murid Pendeta Sinting meli-
hat satu sosok tubuh yang tidak dapat dikenali wajah-
nya karena wajah orang ini tertutup kain cadar berwarna hitam. Orang ini juga mengenakan jubah pan-
jang hitam sebatas lutut. Rambutnya berwarna pirang
keemasan bergerai menutupi sebagian pundak dan
kain cadarnya.
"Dewi Siluman!" desis Joko dengan mata terpen-
tang besar.
Kalau Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting ter-
sentak kaget, perempuan bercadar putih yang segera
saja turunkan tangannya dari wajah begitu terdengar
bentakan orang, tak kalah kagetnya. Sepasang ma-
tanya yang basah dan sembab sesaat tampak menger-
jap beberapa kali. Lalu memandang tajam ke depan.
"Dewi Siluman!" gumamnya mengenali siapa
adanya orang yang berjubah panjang hitam dan men-
genakan cadar yang juga berwarna hitam.
"Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di sini? Bu-
kankah selama ini kabar beritanya tidak terdengar la-
gi? Ah.... Agaknya keadaan akan gawat! Mudah-
mudahan Joko segera dapat memutuskan pilihan apa
yang terbaik harus dilakukan...." Si perempuan berca-
dar putih berkata pelan. Dia lalu makin rundukkan
tubuh hingga sejajar dengan tanah. Namun sepasang
matanya lebih seksama memperhatikan.
Orang berjubah panjang hitam dan bercadar hitam
yang bukan lain memang Dewi Siluman, untuk kese-
kian kalinya tertawa panjang. Namun kali ini tiba-tiba
tawanya mendadak diputus. Kepalanya bergerak silih
berganti menghadap Ratu Pemikat dan murid Pendeta
Sinting yang masih sama tegak dengan mulut terkanc-
ing.
"Kau, Perempuan Cabul! Dan kau, Pendekar Ja-
lang! Kalian kuberi kesempatan untuk lanjutkan per-
mainan! Tapi ingat! Ini permainan terakhir kalian ber-
dua! Setelah itu kalian berdua harus suka rela serahkan nyawa masing-masing!"
Ratu Pemikat angkat kedua tangannya kancingkan
pakaiannya yang terbuka. Dia sempat melirik sesaat
pada murid Pendeta Sinting. Lalu memandang dingin
pada Dewi Siluman.
"Kuperingatkan kau!" ujar Ratu Pemikat sambil lu-
ruskan tangan menunjuk pada Dewi Siluman. "Jaga
mulut usilmu! Dan cepat menyingkir dari sini!"
Dewi Siluman tertawa lagi. "Kau malu permainan-
mu dilihat orang? Dasar manusia-manusia binatang!
Buka mata kalian besar-besar! Sudah sejak tadi per-
mainan kalian dilihat orang! Karena kalian sudah
tenggelam dalam nafsu kotor, kalian pasti tidak mera-
sa! Ha.... Ha.... Ha!”
Baik Ratu Pemikat maupun Pendekar 131 serentak
sama putar kepala berkeliling. Kalau Ratu Pemikat ti-
dak tampakkan wajah berubah, tidak demikian halnya
dengan Joko. Dada pemuda ini makin tidak enak. Rasa
gelisah makin melanda. Dia khawatir kalau orang yang
dimaksud Dewi Siluman adalah orang yang telah dike-
nalnya. Namun murid Pendeta Sinting agak lega tatka-
la sepasang matanya tidak melihat orang lain di tem-
pat itu.
Tapi rasa lega Joko tidak lama. Dewi Siluman
arahkan kepala pada sebuah batu yang saling bersebe-
lahan. Dia sesaat tidak buka mulut. Ratu Pemikat dan
murid Pendeta Sinting sama-sama gerakkan kepala ke
arah mana kepala Dewi Siluman kini menghadap. Da-
da Joko makin berdebar ketika Dewi Siluman perden-
garkan suara.
"Orang di balik batu! Mengapa kau malu perli-
hatkan diri?! Padahal kau tidak malu mengintip
orang?!"
Semua orang di situ mendengar suara orang bergumam. Joko makin pentangkan mata. Sementara Ra-
tu Pemikat memandang dengan sinis.
"Apa kau ingin aku memaksamu tunjukkan tam-
pang?!" Dewi Siluman membentak ketika orang di balik
batu hanya perdengarkan gumaman tanpa unjuk diri.
Dewi Siluman buka rangkapan kedua tangannya.
Namun belum sampai bergerak lebih jauh, dari balik
batu perlahan-lahan terlihat orang bangkit berdiri den-
gan tubuh memunggungi ke arah semua orang yang
kini memandang ke arahnya.
Murid Pendeta Sinting sesaat tengadah menduga
duga siapa adanya orang yang mengenakan pakaian
putih panjang dan tegak memunggungi di antara dua
batu itu. Sementara Ratu Pemikat hanya memandang
sekilas. Bibir perempuan bertubuh bahenol ini menye-
ringai. "Jahanam! Dia mencuri dengar pembicaraanku!
Dia juga telah berlaku kurang ajar sengaja mengintip
ku!" Dada Ratu Pemikat dilanda perasaan geram. Mu-
lutnya seketika membuka.
"Tunjukkan tampangmu! Katakan siapa kau?!"
Dewi Siluman perdengarkan tawa pendek menden-
gar bentakan Ratu Pemikat. Lalu arahkan kepala pada
Ratu Pemikat. "Soal siapa dia, itu urusan nanti! Itu
pun kalau mungkin!"
Tanpa palingkan muka menghadap Dewi Siluman,
Ratu Pemikat berkata.
"Siluman geblek! Giliranmu akan tiba! Sekarang bi-
ar kuselesaikan perempuan keparat itu!"
"Siapa perempuan berpakaian putih itu? Apa dia
mengenaliku...? Ah.... Mengapa urusannya jadi begini
tidak karuan?! Kalau dia memang kukenal, dan me-
mang sudah sejak tadi berada di situ.... Waduh, cela-
ka" Diam-diam murid Pendeta Sinting terus berkata
pada dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang sekarang
harus dilakukan. Hingga untuk beberapa lama dia
hanya tegak termangu!
Di lain pihak, seolah tidak sabar melihat orang ma-
sih juga tidak mau balikkan tubuh tunjukkan muka,
Ratu Pemikat bergerak melompat.
Namun Dewi Siluman tidak tinggal diam. Sebelum
Ratu Pemikat sempat bergerak. Dia sentakkan tangan
kirinya, membuat gerakan Ratu Pemikat tertahan oleh
gelombang yang menderu dan menghampar di depan-
nya
“Perempuan cabul! Aku tidak akan tunggu giliran!
Dia hanya perempuan tukang intip tidak berguna!"
Sebenarnya Ratu Pemikat hendak alihkan perha-
tian Dewi Siluman pada murid Pendeta Sinting dan dia
hendak menghadapi orang berpakaian putih panjang.
Karena perempuan berwajah cantik ini maklum siapa
adanya Dewi Siluman. Dan sesungguhnya pada awal-
nya Ratu Pemikat merasa sedikit kecut dengan ke-
munculan Dewi Siluman. Namun karena di samping-
nya ada murid Pendeta Sinting dan yakin kalau Joko
tidak akan diam kalau Dewi Siluman berbuat yang ti-
dak-tidak, maka perlahan-lahan rasa kecut Ratu Pe-
mikat sirna. Bahkan kini dia merasa yakin. Hingga be-
gitu mendengar ucapan Dewi Siluman, Ratu Pemikat
berpaling.
"Apa maumu sekarang?!"
"Aku masih memberimu waktu untuk bermain-
main terakhir kalinya dengan Pendekar Jalang itu!
Hik.... Hik.... Hik...! Aku ingin lihat bagaimana permai-
nan kalian!"
"Ratu Pemikat...." Sebaiknya kita hindari pertum-
pahan darah! Untuk memecah perhatiannya, kau per-
gilah ke utara, dan aku akan ke selatan!" bisik Joko.
"Tapi ucapan perempuan itu tak bisa didiamkan!"
"Untuk apa pedulikan ucapan orang? Bukankah
kau masih punya urusan lain?!"
Dahi Ratu Pemikat berkerut. Dia berpaling me-
mandang murid Pendeta Sinting dengan berbagai du-
gaan.
"Heran. Kau sepertinya tahu lebih banyak tentang
diriku daripada aku! Coba katakan apa urusan lain
yang katamu masih kupunya?!"
"Ah. Kau salah duga. Kau pasti lebih banyak tahu
tentang dirimu daripada aku. Jadi bagaimana mungkin
aku bisa katakan urusan apa itu! Bagaimana? Kau ke
utara aku ke selatan! Cepat, jangan terlalu dipikir pan-
jang!"
"Mungkinkah dia tahu? Atau ucapannya hanya ke-
betulan? Ah.... Peduli setan! Tapi ucapannya memang
ada benarnya. Aku harus menghindar.... Urusan besar
masih belum selesai!" membatin Ratu Pemikat. Lalu
kerdipkan mata memberi isyarat.
Namun di depan sana, Dewi Siluman rupanya da-
pat menangkap apa yang hendak dilakukan Ratu Pe-
mikat dan Pendekar 131. Hingga bersamaan dengan
kerdipan mata Ratu Pemikat dan sebelum keduanya
bergerak, Dewi Siluman telah berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak menghadang jalan Ratu Pemikat den-
gan tangan merangkap di depan dada.
"Kalian tidak mau menggunakan waktu yang kube-
rikan? Apa kalian tidak menyesal karena permainan
terakhir kalian terpenggal di tengah jalan?! Atau ba-
rangkali kalian hendak cari tempat yang berpeman-
dangan indah? Coba katakan di mana?! Aku akan sa-
bar menanti! Hik.... Hik.... Hik...!"
Bukan hanya sampai di situ, kalau tadi Dewi Silu-
man sempat membentak pada orang berpakaian putih
panjang di dekat batu, kini Dewi Siluman arahkan kepala pada perempuan berpakaian putih itu yang masih
tegak memunggungi dan berkata.
"Perempuan berpakaian putih di dekat batu! Ba-
gaimana dengan kau? Apakah kau masih juga ingin
melihat bagaimana permainan terakhir manusia-
manusia ini?! Mereka tampaknya ingin mencari tempat
lain yang indah! Apa kau ikut serta?!"
Perempuan yang diajak bicara perlahan-lahan ber-
gerak putar tubuh. Kini murid Pendeta Sinting bisa
bernapas lega meski wajahnya tetap merah padam. Ka-
rena dia yakin betul baru pertama kali ini berjumpa
dengan orang yang kini telah hadapkan wajah ke
arahnya. Namun begitu masih ada pertanyaan yang
belum juga bisa dijawab sendiri, dan malah membuat-
nya curiga.
"Mum.... Perempuan berbaju putih itu juga sembu-
nyikan wajah di balik cadar! Jangan-jangan dia teman
Dewi Siluman!"
Perempuan bercadar putih sesaat hadapkan wa-
jahnya lurus ke arah murid Pendeta Sinting. "Aku me-
lihatnya dalam keadaan bimbang. Dia tidak dapat me-
mutuskan apa yang harus diperbuat untuk lepas dari
urusan Ini! Padahal aku tahu pasti, urusan di depan
sana begitu penting baginya! Hem...."
"Dewi Siluman!" Perempuan bercadar putih per-
dengarkan suara. "Kau memberiku undangan bagus!
Sayang, aku tidak punya kesempatan lagi.... Dan ha-
rap kau ketahui, aku bukannya tukang intip! Aku te-
lah berada di sini sebelum mereka muncul...."
Cadar hitam Dewi Siluman tampak bergerak-gerak.
Perempuan yang pernah terlibat bentrok dengan peris-
tiwa di Pulau Biru ini sesaat terkejut mendapati orang
mengenali dirinya.
"Hem.... Dia tahu namaku. Berarti setidaknya dia
orang yang kukenal! Tapi rasanya.... aku belum pernah
bertemu dengannya!"
"Rupanya kau telah mengenalku!" kata Dewi Silu-
man dengan suara agak garang. "Katakan siapa kau?!"
Perempuan bercadar putih gerakkan kepala meng-
geleng. "Aku tidak ingin melihat orang terkejut... Lagi
pula di antara kita tidak ada hubungan atau silang
sengketa apa-apa. Jadi bukankah lebih baik kau tidak
mengenaliku...?"
"Baik! Aku tak akan memaksa tahu siapa kau
adanya! Tapi ingat! Jangan kau berani melangkah dari
tempatmu!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman berpaling lagi
ke arah Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting.
"Kalian telah sia-siakan tawaranku! Dengar. Tawa-
ranku ku ubah jadi perintah!" bentak Dewi Siluman.
Kepalanya kini menghadap ke arah Pendekar 131.
"Pendekar 1311 Serahkan Pedang Tumpul 131 sebagai
ganti nyawamu! Serahkan juga kedua kitab di tan-
ganmu sebagai tebusan jiwa perempuan sundal mu
itu!"
Meski hatinya panas mendengar ucapan Dewi Si-
luman, namun karena tidak ingin membuat keributan
dan urusan baru, murid Pendeta Sinting menekan ge-
jolak hatinya. Malah dia buru-buru berseru ketika dili-
hatnya Ratu Pemikat angkat kedua tangannya hendak
lepaskan pukulan.
"Tahan! Tidak seharusnya urusan kecil ini disele-
saikan dengan saling pukul"
"Bagus!" ujar Dewi Siluman sambil tertawa pan-
jang. "Ternyata kau seorang pendekar yang tahu har-
kat perempuan, meski perempuan cabul!" Kepala Dewi
Siluman bergerak menghadap Ratu Pemikat. "Kau pe-
rempuan beruntung! Pendekar mu rela menebus jiwa
mu dengan barang yang ku kehendaki!"
Kepala Dewi Siluman kini tengadah. Rangkapan
kedua tangannya dibuka lalu sama diulurkan ke de-
pan membuat sikap meminta.
"Berikan tebusan itu!"
Murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat saling
pandang. Sebenarnya Ratu Pemikat sudah tidak saba-
ran dan ingin menggebuk perempuan bercadar dan
berjubah hitam di depannya itu. Namun Joko geleng-
kan kepala hingga perempuan berparas cantik itu mau
tak mau tahan niatnya.
Pendekar 131 kedipkan mata memberi isyarat pada
Ratu Pemikat. Sesaat Ratu Pemikat terlihat ragu-ragu,
namun begitu melihat Joko anggukkan kepala, Ratu
Pemikat berkelebat. Saat yang sama, murid Pendeta
Sinting juga gerakkan tubuh berkelebat.
Namun sebelum kedua orang ini benar-benar ber-
kelebat, satu sosok tubuh mendahului berkelebat lak-
sana angin. Dan saat itu juga satu gelombang dahsyat
menghampar.
Orang yang berkelebat mendahului gerakan Ratu
Pemikat dan Pendekar 131 bukanlah Dewi Siluman
meski jelas pukulan yang dilancarkannya melesat de-
ras ke arah murid Pendeta Sinting!
mu dengan barang yang ku kehendaki!"
Kepala Dewi Siluman kini tengadah. Rangkapan
kedua tangannya dibuka lalu sama diulurkan ke de-
pan membuat sikap meminta.
"Berikan tebusan itu!"
Murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat saling
pandang. Sebenarnya Ratu Pemikat sudah tidak saba-
ran dan ingin menggebuk perempuan bercadar dan
berjubah hitam di depannya itu. Namun Joko geleng-
kan kepala hingga perempuan berparas cantik itu mau
tak mau tahan niatnya.
Pendekar 131 kedipkan mata memberi isyarat pada
Ratu Pemikat. Sesaat Ratu Pemikat terlihat ragu-ragu,
namun begitu melihat Joko anggukkan kepala, Ratu
Pemikat berkelebat. Saat yang sama, murid Pendeta
Sinting juga gerakkan tubuh berkelebat.
Namun sebelum kedua orang ini benar-benar ber-
kelebat, satu sosok tubuh mendahului berkelebat lak-
sana angin. Dan saat itu juga satu gelombang dahsyat
menghampar.
Orang yang berkelebat mendahului gerakan Ratu
Pemikat dan Pendekar 131 bukanlah Dewi Siluman
meski jelas pukulan yang dilancarkannya melesat de-
ras ke arah murid Pendeta Sinting!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar