SATU
DI dalam ruangan kuil Dewa Orok dan Cucu Dewa
sejenak saling lontar pandang. Saat lain kedua guru dan
murid ini bergerak bangkit. Cucu Dewa memberi isyarat
dengan anggukan kepala. Lalu berkelebat dan lenyap di
balik satu-satunya pintu dari batu hitam tidak jauh dari
tempatnya tadi duduk. Dewa Orok sendiri kempiskan
mulut lalu perlahan-lahan melangkah melalui pintu di
mana tadi Cucu Dewa berkelebat lenyap.
Seperti dituturkan dalam episode: "Titah dari Liang
Lahat", ketika Cucu Dewa dan Dewa Orok tengah ber-
bincang-bincang mendadak terdengar satu teriakan
membahana dari arah luar.
'Cucu Dewa! Aku datang menjemput nyawamu!
Keluarlah!"
Untuk kedua kalinya kembali terdengar suara te-
riakan keras. Yang keluarkan teriakan ternyata adalah
seorang laki-laki mengenakan pakaian putih. Sepa-
sang matanya besar menjorok keluar seolah hendak
mencelat dari rongganya. Wajahnya hampir-hampir ti-
dak terhias daging sama sekali. Kepalanya tidak ditum-
buhi rambut Orang ini tidak lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa.
Seperti juga dituturkan dalam episode : 'Titah dari
Liang Lahat", begitu dapat bebaskan diri dari totokan
Pendekar 131 dan kesaktiannya pulih, iblis Rangkap
Jiwa kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Namun
dia terkejut saat mendadak muncul Malaikat Penggali
Kubur yang baru saja memperoleh Kitab Hitam. Iblis
Rangkap Jiwa sama sekali tidak menduga kalau secepat
Itu Malaikat Penggali Kubur kembali ke puncak Bu-
kit Selamangleng meski pemuda ini memang mengata-
kan akan kembali ke puncak bukit itu. Kembalinya Ma-
laikat Penggali Kubur menemui Iblis Rangkap Jiwa ter-
nyata memberi tugas pada laki-laki berkepala gundul
itu untuk mencari Dewa Orok dan membunuhnya. Se-
kaligus juga membunuh Cucu Dewa, dari mana Malai-
kat Penggali Kubur memperoleh keterangan tentang
asal-usul dan anak keturunan Ken Rakasiwi, orang-
orang yang harus dimusnahkan seperti yang tertulis
dalam dinding tanah liang lahat di mana Datuk Kema-
tian minta dikuburkan.
Karena dua kali teriakannya tidak mendapat sa-
hutan, Iblis Rangkap Jiwa kembali buka mulut.
"Percuma kau sembunyi, jahanam Cucu Dewa! Ke
lobang semut pun kau tidak akan.lolos dari tanganku!'
Selesai berucap begitu, Iblis Rangkap Jiwa sentak-
kan sedikit kepalanya tengadah ke atas. Saat lain terde-
ngarlah gelakan tawanya. Karena tawa itu bukan tawa
sembarangan, melainkan telah dialiri dengan penge-
rahan tenaga dalam, maka tempat itu untuk beberapa
saat laksana dibuncah suara geledek yang menggidik-
kan!
Tapi laksana dicabut tangan setan, Iblis Rangkap
Jiwa putuskan gelakan tawanya saat dia merasakan
ada semilir angin lewat pundaknya. Sebagai orang
yang memiliki daya tangkap luar biasa apalagi dia ber-
ada di sekitar tempat orang yang dicari, laki-laki yang
mengaku berusia lebih dari dua ratus tahun ini maklum
kalau ada orang!
Tanpa buka mulut lagi Iblis Rargkap Jiwa luruskan
kepalanya. Laksana terbang dia berkelebat ke sam-
ping kanan Tanpa berpaling rupanya Iblis Rangkap
Jiwa sudah dapat menentukan di mana adanya orang
itu!
Begitu berkelebat ke samping kanan, seraya ang-
kat kedua tangannya Iblis Rangkap Jiwa berpaling. Na-
mun kedua tangannya yang terangkat mendadak ter-
tahan tatkala dari tempatnya berdiri sepasang matanya
bukan melihat Cucu Dewa melainkan seorang pemuda
berwajah tampan yang tidak memiliki tangan dan mulut-
nya mainkan bundaran karet. Saat si pemuda bertangan buntung kempiskan mulut seolah menyedot, ter-
dengarlah suara duuuttl Duuttt! Duuuutt! Lalu bunda-
ran karet mencuat ke depan dan mengapung di udara.
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata per-
hatikan dengan saksama ke bagian bawah orang di ha-
dapannya, karena ternyata si pemuda yang tidak lain
adalah Dewa Orok tegak dengan, kaki bersila di atas
dan kepala di bawah!
"Dewa Orok!" terdengar desisan Iblis Rangkap Ji-
wa. Raut wajah orang ini seketika berubah. Ada kegem-
biraan dan keheranan terpancar dari pandangan laki-
laki berkepala gundul ini.
"Hem.... Nyatanya aku tak perlu mengorek mulut
Cucu Dewa untuk minta keterangan orang yang kucari!
Orang ini ternyata datang sendiri! Tapi... Mengapa
orang ini berada di sini? Apa hubungannya dengan
Cucu Dewa jahanam itu? Sahabatnya? Atau keber-
adaannya di sini untuk menemui Cucu Dewa? Hem....
Dia mungkin belum tahu apa tujuanku, sebaiknya aku
tanya pada dia dahulu...." iblis Rangkap Jiwa membatin.
Lalu sambil sunggingkan senyum dia berkata.
"Tidak disangka kalau selang waktu telah memper-
temukan kita kembaii! Kuharap kau tidak lupa dengan
diriku!"
Sepasang mata Dewa Orok mengerjap beberapa
kali. Saat lain pemuda bertangan buntung ini gerakkan
kedua kakinya yang bersila di udara. Wuuuutt! Kini
Dewa Orok telah tegak dengan bertumpu pada kedua
ibu jari kakinya Sementara bundaran karet terlihat te-
tap mengapung sejengkal di atas tanah
Dewa Orok sodorkan kepalanya ke depan seakan
hendak mengamati tampang orang di hadapannya.
Yang dipandang pasang tampang dengan bibir terse-
nyum, lalu angguk-anggukkan kepalanya yang gundul.
Dewa Orok tarik pulang kepalanya dengan sepa-
sang mata menyipit. Bersamaan dengan itu kepalanya
bergerak menggeleng-geleng.
"Sepertinya aku tidak pernah jumpa denganmu!
Jadi harap jangan marah kalau aku tanya siapa diri-
mu?!" Dewa Orok buka suara.
"Aku maklum kalau kau mengatakan begitu. Per-
temuan kita memang telah lama sekaii Sebelum aku
jawab pertanyaanmu, aku tanya. Bukankah kau Dewa
Orok?!" kata Iblis Rangkap Jiwa meski dia yakin orang
di hadapannya adalah Dewa Orok.
"Aku maklum kau bertanya begitu!" Dewa Orok
ikut-ikutan berkata seperti ucapan iblis Rangkap Jiwa.
"Sebelum aku jawab pertanyaanmu, kuharap kau jawab
dulu pertanyaanku...!"
Meski mulai agak jengkel mendengar ucapan si
pemuda yang Ikut-ikutan bicara mirip ucapannya, na-
mun akhirnva iblis Rangkap Jiwa jawab pertanyaan
orang
"Aku Iblis Rangkap Jiwa! Kau juga sebutkan diri!"
“Aku Iblis Rangkap Nyawa!" ujar Dewa Orok. mem-
buat Iblis Rangkap Jiwa beliakkan sepasang matanya
makin besar. Diam-diam laki-laki gundul ini membatin.
"Bagaimna ini? Aku yakin manusia ini Dewa Orok. Tapi
mengapa dia mengaku iblis Rangkap Nyawa. Apakah
itu gelaran yang baru disandangnya?!"
Menduga begitu, iblis Rangkap Jiwa akhirnya ber-
kata lagi.
"Gelaran barumu bagus! Pasti kau telah mendapat
ilmu luar biasa hingga bergelar begitu! Kalau kita ber-
gabung, tentu akan membuat rimba persilatan geger!
Yang satu Iblis Rangkap Jiwa, satunya lagi Iblis Rang-
kap Nyawa! Ha.... Ha... Ha...!
"Ha ... Ha.. Ha.. !" Dewa Orok Ikut-Ikutan tertawa
Hingga tempat Itu seketika dlbuncah dengan tawa ber-
gelak-gelak
'Diam!" Mendadak Iblis Rangkap Jiwa membentak
tatkala mendapati Dewa Orok terus tertawa bergelak
meski dia sudah hentikan tawanya.
Laksana disambar setan. Dewa Oiok putuskan ge-
lakan tawanya. Kini mulutnya terkancing rapat. Namun
kejap kemudian mulutnya membuka, bukan perdengar-
kan suara melainkan membuat gerakan menyedot:
Bundaran karet yang terapung sejengkal di atas tanah
bergerak-gerak lalu melesat masuk ke mulutnya!
"Dewa Orok! Jangan...."
"Aku Iblis Rangkap Nyawa!" tukas Dewa Orok de-
ngan mulut masih mainkan bundaran karet diputar-pu-
tar ke atas ke bawah
"Aku tak peduli siapa kau!" sentak Iblis Rangkap
Jiwa.
Dewa Orok pasang tampang terkejut. Mulutnya
meniup. Bundaran karet melesat keluar lalu menga-
pung di depan wajahnya. Kejap lain dia berkata.
"Aku juga tak peduli siapa kau!"
Dada Iblis Rangkap Jiwa laksana meledak men-
dengar ucapan Dewa Orok. Tapi laki-laki ini coba me-
nindih hawa amarahnya. Dia yakin benar kalau pemuda
bertangan buntung di hadapannya adalah Dewa Orok.
Namun keberadaannya di sekitar kuil tempat tinggai
Cucu Dewa yang membuat Iblis Rangkap Jiwa tidak
berani segera laksanakan tugas yang diperintah Malai-
kat Penggali Kubur untuk membunuh Dewa Orok. Laki-
laki ini sebenarnya masih ingin meyakinkan bahwa di
sekitar tempat itu tidak ada orang perempuan.
Kejadian di puncak Bukit Selamangleng yang
membuat kesaktiannya musnah membuat iblis Rang-
kap Jiwa tidak berani berbuat gegabah. Karena kalau
dia sampai gagal lakukan perintah Malaikat Penggali
Kubur, apa yang menjadi cita-citanya hanya impian be-
laka. (Tentang peristiwa musnahnya kesaktian Iblis
Rangkap Jiwa silakan baca dalam episode : "Titah dari
Liang Lahat").
"Iblis Rangkap Nyawa!" kata Iblis Rangkap Jiwa.
"Jauh sampai di tempat ini pasti kau hendak bertemu
dengan Cucu Dewa. Benar?!"
"Iblis Rangkap Jiwa!" ucap Dewa Orok masih meni-
rukan seperti ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Jauh datang
ke tempat ini dan mendengar teriakanmu tadi, tentu kau
hendak bertemu Cucu Dewa. Benar?!"
"Jahanam! Sekali lagi kau timkan ucapanku, rang-
kap berapa pun nyawamu, bukan pekerjaan sulit ba-
giku mencabut beberapa nyawamu itu! Lekas jawab!"
"Aneh.... Kau tadi mengajakku bergabung agar rim-
ba persilatan geger! Sekarang kau malah hendak cabut
rangkapan nyawaku! Bagaimana?!'”
"Jangan banyak mulut! Jawab. Kau hendak mene-
mui Cucu Dewa, bukan?!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Jangan banyak...." Dewa Orok putuskan ucapan-
nya yang hendak berkata seperti ucapan Iblis Rangkap
Jiwa. Lalu tundukkan wajah sembunyikan senyumnya.
Sesaat kemudian dia angkat wajah lalu berkata.
"Aku memang hendak bertemu dengannya!"
'Apa urusanmu dengan Cucu Dewa?l' tanya lblis
Rangkap Jiwa
"Karena gelarku Iblis Rangkap Nyawa, tentu urus-
anku adalah nyawa!'
Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya perla-
han. Tangannya bergerak mengusap dagunya, lalu ber-
ujar.
"Cucu Dewa bukan orang sembarangan. Apa kau
datang sendirian?!"
"Cucu Dewa memang bukan orang sembarangan.
Tapi.aku tak butuh teman kalau hanya untuk cabut satu
nyawanya!"
Mungkin untuk buktikan ucapan Dewa Orok yang
mengisyaratkan bahwa dia datang seorang diri, Iblis
Rangkap Jiwa putar kepalanya berkeliling dengan mata
menyelidik.
'Kau mencari seseorang?!" tanya Dewa Orok.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Malah begitu
kepalanya lurus ke arah Dewa Orok, sepasang matanya
mendelik angker. "Aku memang tidak menangkap ada-
nya orang lain di tempat ini. Hem.... Manusia buntung
ini harus kuselesaikan dahulu..." Saat lain dia mem-
bentak.
"Dengar! Kau tak akan cabut nyawa Cucu Dewa
jahanam itu. Karena sebelum kau cabut nyawanya, nya-
wamu akan kucabut dahulu!"
Dewa Orok terkesiap. "Kau ini bagaimana? Meng-
apa kau inginkan nyawaku? Kau tahu? Meski aku ber-
gelar Iblis Rangkap Nyawa, kau tidak bisa rangkapkan
nyawaku yang telah kau cabut masuk ke jiwamu!"
"Peduli setan! Yang jelas kau harus mampusl* har-
dik Iblis Rangkap Jiwa.
"Peduli setan!" ucap Dewa Orok ikut-ikutan. "Yang
jelas aku tidak mau mampus!"
"Bagus! Kita lihat, Iblis mana yang mampus!" Iblis
Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya.
"Bagus! Kita lihat, iblis mana yang tidak mampus!"
kata Dewa Orok lalu membuat gerakan menyedot pada
mulutnya. Bundaran karet melesat masuk ke mulutnya.
Bersamaan dengan itu Iblis Rangkap Jiwa berke-
lebat ke depan. Kelebatan sosoknya timbulkan suara
berdesir keras. Kejap lain kedua tangan laki-laki gundul
ini telah lakukan gerakan menghantam dari arah kiri
kanan kepala Dewa Orok!
Karena sudah waspada dan sebelumnya telah tahu
siapa adanya orang yang dihadapi, sebelum kedua
tangan Iblis Rangkap Jiwa rrenghantam rengkah kepa-
lanya, pemuda bertangan buntung ini membuat gerak-
an salto satu kali. Begitu kakinya di udara, sepasang
kakinya bergerak ke samping kiri kanan.
Bukkkkk! Bukkkkk!
Sepasang tangan Iblis Rangkap Jiwa beradu keras
dengan sepasang kaki Dewa Orok. Saat bersamaan,
sosok Dewa Orok terjajar ke belakang. Kakinya yang
masih berada di atas udara tampak bergetar hebat. Ma-
lah saat lain kaki itu tampak doyong serentak ke arah
kiri.
Namun gerakan kaki Dewa Orok mendadak terhen-
ti tiga jengkal di atas tanah. Bersamaan dengan itu bahu
Dewa Orok membuat gerakan dua kali. Wuutt! Wuuutt!
Bagian tubuh atas Dewa Orok yang berada di bawah
terangkat. Kejap lain pemuda ini telah tegak di atas ibu
jari kakinya. Namun begitu, paras wajahnya tetap beru-
bah.
Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa menyeringai.
Walau sosoknya tidak bergeming dari tempatnya, tapi
jelas parasnya membayangkan rasa hampir tidak per-
caya.
"Hem.... Kekuatannya terletak pada kakinyal Tapi
untuk apa aku memikirkan itu? Dia tidak mungkin bisa
menghindar kalau kuhantam dengan pukulan Jarak Ja-
uhi batin Iblis Rangkap Jiwa..
Dengan cepat Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga
dalamnya. Namun belum sampai dia membuat gerakan
apa-apa, di depan sana Dewa Orok tarik tubuhnya ke
belakang. Lalu serta-merta dihentakkan kembali ke depan.
Beettt!
Dari dada Dewa Orok melesat bongkahan awan putih
yang keluarkan suara luar biasa keras menusuk gendang
telinga. Kejap kemudian tanah di depan Dewa Orok
bertabur muncrat ke udara tersapu bongkahan awan
putih yang lewat. Tanah di tempat itu pun bergetar
laksana dilanda gelombang dahsyat.
Melihat serangan yang datang, Iblis Rangkap Jiwa
bukannya cepat membuat gerakan untuk memangkas.
Sebaliknya laki-laki ini perdengarkan suara tawa
bergelak. Lalu tegak menyongsong pukulan orang
dengan kedua tangan kacak pinggang!
Dessss!
Sosok Iblis Rangkap Jiwa mencelat mental terlanggar
bongkahan awan putih. Lalu terpuruk di atas tanah tak
bergerak-gerak lagi! Namun cuma sekejap. Di lain saat
sosok Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan. Kedua
tangannya menghentak di atas tanah. Tubuhnya
seketika bangkit berdiri.
Untuk sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan dirinya.
Sementara di depan sana sepasang mata Dewa Orok
membelalak. Iblis Rangkap Jiwa tidak mengalami cedera
sama sekali! Hanya dadanya yang sedikit bergetar
karena terhantam bongkahan awan putih.
"Kau telah lihat. Aku memiliki jiwa rangkap hingga
aku bisa bangun lagi. Sekarang aku mau lihat, apakah
kau pantas menyandang gelar Iblis Rangkap Nyawal"
Tengkuk Dewa Orok berubah dingin. Gerakan mu-
lutnya yang menyedot-nyedot bundaran karet mirip dot
bayi bertambah keras hingga saat itu juga terdengar
suara duutt! Duuuttt! Duuttt! beberapa kali.
Iblis Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya. Di
seberang sana, Dewa Orok tampak sipitkan sepasang
matanya. Sadar bahaya akan mengancam dirinya, meski dia tidak yakin dapat memangkas pukulan iblis Rang-
kap Jiwa, namun pemuda ini tidak diam begitu saja.
Tubuhnya segera ditarik ke belakang. Sepasang mata-
nya memejam. Jelas kalau pemuda ini coba kerahkan
segenap tenaga dalamnya.
Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai.
Kedua tangannya bergerak. Namun gerakan kedua ta-
ngan laki-laki gundul ini tertahan di udara tatkala men-
dadak terdengar suara tawa!
Baik Dewa Orok maupun Iblis Rangkap Jiwa tidak
dapat menentukan siapa adanya orang. Yang pasti bagi
mereka, siapa pun orangnya yang perdengarkan suara,
jelas jika suara tawa itu adalah suara perempuan!
*
* *
DUA
KEPARAT! Siapa perempuan yang tertawa ini?
Jangan-jangan gadis sableng di puncak bukit tempo hari!
Celaka kalau benar-benar dia! Tapi tidak tenang hatiku
sebelum tahu sendiri!" Kepala Iblis Rangkap Jiwa
berpaling ke arah datangnya suara tawa.
Di sebelah depan, perlahan-lahan Dewa Orok buka
kelopak matanya. Dengan dahi berkerut dia juga meno-
leh ke arah datangnya suara tawa.
Kira-kira delapan tombak dari tempatnya berdiri, Iblis
Rangkap Jiwa melihat sesosok tubuh tegak dengan
kedua tangan saling meremas. Orang ini mengenakan
pakaian warna hitam yang disambung-sambung hingga
panjang ke bawah membuat tubuh bagian bawahnya
tidak kelihatan. Orang ini juga mengenakan cadar
menutupi wajahnya. Hingga dari anggota tubuhnya yang
kelihatan hanyalah sepasang matanya serta uraian
rambutnya yang hitam dan lebat.
Ketegangan di paras wajah Iblis Rangkap Jiwa mereda
demi melihat sosok tubuh orang. Dia menghela napas
panjang. Diam-diam dia membatin. "Untung bukan gadis
sableng berjubah merah itu! Siapa orang ini? Temannya
manusia buntung itu...? Tapi dia juga seperti terkejut,
berarti bukan temannya...."
Baru saja Iblis Rangkap Jiwa membatin begitu, orang
yang mengenakan pakaian hitam disambung-sambung
hingga menjulai ke bawah membuat gerakan satu kali.
Sosoknya melesat dan tegak tiga langkah disamping
Dewa Orok.
Orang ini sesaat memandang pada Dewa Orok.
Yang dipandang mendelik seolah ingin mengetahui sia-
pa adanya orang. Namun karena sekujur tubuh orang
tertutup, Dewa Orok tidak bisa memastikan.
Di seberang sana, Iblis Rangkap Jiwa beliakkan
sepasang matanya yang besar, memandang tak berkesip
silih berganti pada Dewa Orok dan orang yang baru
muncul.
Setelah yakin bahwa orang yang datang bukan orang
yang pernah ditemuinya di puncak Bukit Selamangleng,
Iblis Rangkap Jiwa buka mulut langsung membentak.
"Orang tak dikenal! Kuperintahkan kau tinggalkan
tempat ini!"
Orang bercadar dan berpakaian sambung-sambung
perdengarkan suara tawa cekikikan. Lalu berkata.
"Bahagia rasanya hari ini bisa jumpa dengan seorang
tokoh maha sakti bergelar Iblis Rangkap Jiwa.... Tapi
sayang rupanya kau tidak menyukai kedatanganku di
tempat ini....” Orang ini lantas berpaling pada Dewa Orok
dan lanjutkan ucapannya. "Orang muda. Apakah kau
juga tidak menyukai kedatanganku di sini?"
Iblis Rangkap Jiwa terlihat sedikit terkejut mendapati
orang telah tahu siapa dirinya. Sementara Dewa Orok
meski.terkejut namun segera semburkan bundaran
karetnya hingga mengapung di depannya. Kejap lain
terdengarlah ucapannya.
"Bahagia rasanya hari ini bisa jumpa denganmu.
Sayang aku tidak bisa melihat raut wajahmu.”
"Ah.... Senang sekali aku mendengar jawabanmu.
Berarti kau menyukai kehadiranku di sini meski kita
belum saling kenai...."
"Ah.... Aku juga senang sekali mendengar ucapanmu.
Berarti kau "
Ucapan Dewa Orok yang ikut-ikutan bicara orang
belum selesai, Iblis Rangkap Jiwa telah memotong.
“Orang tak dikenal! Siapa kau?!"
“Namaku Orang Tak Dikenal!" jawab orang yang
baru muncul. Kembali orang ini berpaling pada Dewa
Orok dan bertanya.
“Orang muda. Kau sendiri siapa...?!"
“Namaku Orang Terkenal!" jawab Dewa Orok se-
anaknya lalu tersenyum dan lanjutkan kata-katanya.
“itu kalau di daerah barat. Kalau di daerah timur orang
memanggilku Iblis Rangkap Nyawa. Di daerah selatan
aku dikenal dengan Iblis Tanah Arak. Di daerah utara
aku digelari orang Iblis Tangan Dua!"
Orang di samping Dewa Orok terbawa cekikikan.
“Wah.... Gelarmu banyak serta angker-angker. Ini daerah
mana?"
"Ini daerah timur. Maka, kau boleh memanggilku
Iblis Rangkap Nyawa!" *
“Mendengar gelarmu itu, apakah kau masih sau-
dara Iblis Rangkap Jiwa itu?!"
"Benar! Dia adalah adikku paling bungsu! Kakaknya
dia bernama Iblis Rangkap Iblis!" kata Dewa Orok lalu
tertawa cekikikan seperti halnya orang di sampingnya
tadi.
"Wah.... Jadi kalian keluarga Iblis.... Lalu ciri-cirinya
adikmu yang bernama Iblis Rangkap Iblis itu bagaimana?
Apa aneh dan angker mirip kalian berdua ini?!"
Dewa Orok gelengkan kepala. "Sebaliknya dia se-
pertimu. Seorang perempuan. Wajahnya cantik. Tubuh-
nya membentuk bagus. Dadanya besar, pinggulnya pa-
dat. Hanya sayang...." Dewa Orok tidak lanjutkan ucap-
annya, membuat orang di sampingnya cepat menyahut
seolah penasaran ingin tahu.
"Sayang bagaimana?!"
"Dia tidak pernah mengenakan rangkapan di balik
pakaiannya!"
Mendengar keterangan Dewa Orok, orang di sam-
pingnya tertawa melengking. Dewa Orok tidak tinggal
diam. Dia ikut-ikutan tertawa melengking.
Tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Sepa-
sang matanya membelalak laksana hendak meloncat
keluar, "iblis jahanam! Keparat! Kalian berdua akan
mampus!"
Orang di samping Dewa Orok putuskan lengkingan
tawanya. Lalu bertanya.
"Kenapa adik bungsumu marah-marah? Apa kare-
na kau mengatakan adikmu satunya tidak pernah me-
ngenakan rangkapan di balik pakaiannya tadi?!"
Dewa Orok ikut putuskan lengkingan tawanya lalu
menjawab.
"Kurasa bukan itu masalahnya meski masih ada
hubungannya!"
"Hem.... Lalu apa masalahnya?!"
"Dia menyuruhku mencarikan rangkapan pakaian
dalam untuk kakak perempuannya itu! Tapi aku meno-
lak. Ke mana aku harus cari rangkapan pakaian dalam
seorang perempuan? Kalaupun dapat, adik perempu-
anku itu pasti menolak! Karena dia akan terus garuk-
garuk jika mengenakan rangkapan pakaian dalam! Ti-
dak tahu kalau pakaian dalam itu bekas milikmu...."
Seraya tertawa cekikikan, orang di samping Dewa
Orok berkata.
"Sebenarnya aku.mau saja memberikan pakaian
dalamku pada adik perempuanmu itu! Dan aku dapat
memastikan adikmu tidak akan garuk-garuk Jika meng-
enakan rangkapan pakaian dalam bekas milikku. Hanya
sayang...."
“Sayang bagaimana...?!" tanya Dewa Orok cepat.
Hari ini aku tidak mengenakan rangkapan pakaian
dalam. Maaf, bukannya aku berbohong, kalau tidak
percaya kau boleh melihatnya!"
"Jahanam Jangan-jangan perempuan ini juga tahu
kelemahanku! Atau ucapannya itu tanpa sengaja...?"
Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa gelisah. Dadanya ber-
debar-debar.
Kegelisahan Iblis Rangkap Jiwa makin terlihat tat-
kala di depan sana dilihat orang di samping Dewa Orok
gerakkan kedua tangannya seolah hendak menyingkap
pakaian hitam sambung-sambungannya.
Mungkin karena terlalu ketakutan akibat kejadian
di puncak Bukit Selamangleng tempo hari, padahal ke-
saktiannya baru musnah jika melihat pantat laki-laki
dan perempuan bersamaan, maka tanpa sengaja Iblis
Rangkap Jiwa berteriak.
"Tahan!"
Dewa Orok dan orang di sampingnya sama-sama
berpaling. Dahi Dewa Orok tampak mengernyit. Se-
pasang mata orang di sampingnya mengerjap beberapa
kali.' .
"Apa yang akan kau lakukan?!" bentak iblis Rangkap
Jiwa.
"Kakakmu ini ingin tahu kalau aku benar-benar tidak
mengenakan rangkapan pakaian dalam! Apakah kau
juga ingin melihatnya?!"
"Jahanam! Dia bukan kakakku! Aku juga tak ingin lihat
bagian dalam tubuhmu!"
Orang di samping Dewa Orok menoleh pada Dewa
Orok. "Kau Ini bagaimana? Kau bilang dia adikmu. Tapi
mengapa dia tak mengakui kau kakaknya?"
"Kau tak usah heran, itulah keluarga iblis! Dia tak
mau mengakui saudara di depan orang...! Padahal kalau
ada kesulitan masih minta bantuan!'
“Sebagai saudaranya, kau sedikit banyak tentu tahu.
Apakah dia memang tidak suka melihat bagian dalam
tubuh perempuan?! Padahal selama ini banyak orang
tergila-gila ingin tahu bagian dafam tubuhku. Apalagi
pantatku yang besar ini.... Hik.... Hik...!" sambil tertawa
orang ini usap-usap pantatnya.
Wajah Iblis Rangkap Jiwa makin tegang. Sebaliknya
Dewa Orok tidak menyahut. Sementara orang di
sampingnya segera meloncat mendekati Dewa Orok.
"Rupanya saudaramu tidak mau diberi rezeki. Kaulah
yang akan mendapat rezeki dapat melihat punyaku!” kata
orang berpakaian hitam sambung-sambung lalu kedua
tangannya bergerak seolah hendak buka pakaiannya.
"He.... Nanti lakukan apa yang kuucapkan! Jangan
membantah...," bisik orang di samping Dewa Orok.
Belum sampai Dewa Orok dapat mengerti maksud
ucapan orang dan belum sampai orang itu buka kancing
pakaiannya, terdengar Iblis Rangkap Jiwa membentak.
"Kalian manusia-manusia keparat!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan, kedua tangan
Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Kejap lain satu ge-
lombang luar biasa dahsyat membawa kabut hitam me-
lesat.
Orang di samping Dewa Orok segera dorong tubuh
Dewa Orok seraya berbisik.
“Jangan dilawan. Menyingkir saja!"
Dewa Orok terjajar tiga langkah. Dan meski belum
tahu maksud ucapan orang, pemuda bertangan bun-
tung Ini cepat berkelebat menghindar selamatkan diri.
Bersamaan Itu, orang berpakaian hitam sambung-sam
bung juga melesat selamatkan diri.
Gelombang dan kabut hitam menggebrak keras.
Namun karena Dewa Orok dan orang berpakaian hitam
sambung-sambung telah melesat mendahului, serangan
Iblis Rangkap Jiwa hanya melanggar tempat kosong.
Lalu menghantam bagian samping kuil hingga timbulkan
suara berderak keras.
Bagian samping kuil langsung ambrol dan bangun-
annya bergetar keras. Tanah berpasir di sekitar kuil tersapu muncrat.
Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan tubuh bergetar.
Sepasang matanya menyengat tajam perhatikan sosok
Dewa Orok dan orang berpakaian hitam sambung-sam-
bung. Kedua tangannya kembali terangkat. Tubuhnya
bergerak memutar menghadap Dewa Orok. Dewa Orok
memandang ke depan. Bukan pada Iblis Rangkap Jiwa
melainkan pada bundaran karet yang tampak berputar-
putar keras di udara karena tersambar pukulan Iblis
Rangkap Jiwa.
"Dotku...!" seru Dewa Orok.
Orang berpakaian hitam sambung-sambung yang
melesat berlawanan arah dengan Dewa Orok terdengar
bergumam. Saat lain sosoknya melesat dan tahu-tahu
telah tegak di samping Dewa Orok.
"Jangan hiraukan dotmu dahulu! Kau dalam bahaya!
Lihat ke depan!"
Dewa Orok turuti ucapan orang. Seketika wajahnya
berubah. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah tarik
kedua tangannya ke belakang dan siap lancarkan pu-
kulan.
"Jangan dilawan. Percuma! Balikkan saja tubuhmu
memunggungi dia!" kata orang di sampingnya.
"Jangan dilawan bagaimana? Percuma bagaimana?
Aku bisa celaka!"
"Ikuti saja ucapanku! Balikkan tubuhmu! Lorotkan
sedikit celanamu!"
“Aneh...! Bagaimana aku bisa lorotkan celana? Ta-
nganku buntung!"
"Kalau begitu biar aku yang melakukan! Balikkan
tubuhmu!" kata orang di sampingnya. Karena Dewa
Orok masih tak lakukan yang dikatakan orang, orang
berpakaian hitam sambung-sambung melangkah satu
tindak. Tangannya bergerak balikkan tubuh Dewa
Orok. Kejap lain tangannya lorotkan celana Dewa Orok
sedikit hingga bagian pantatnya terlihat.
Meski tidak mengerti maksud orang, Dewa Orok
diam saja. Malah saat itu juga bahunya berguncang
menahan tawa.
"Rupanya kau ingin melihatku mampus dengan
pantat terbuka!" ujar Dewa Orok. Secara diam-diam De-
wVi Orok kerahkan tenaga dalamnya. Dia sudah siap
berkelebat kalau Iblis Rangkap Jiwa lakukan pukulan.
Begitu pantat Dewa Orok sedikit terlihat, orang
berpakaian hitam sambung-sambung melompat men-
jajari Dewa Orok. Kedua tangannya bergerak ke bela-
kang membuat isyarat laksana orang hendak sing-
kirkan pakaian bawahnya.
Di belakang sana, Iblis Rangkap Jiwa pelototkan
mata. Sikap orang di depan sana bukan hanya membuat
laki-laki ini urungkan niat lancarkan pukulan melainkan
juga membuatnya gemetar dan langsung balikan tubuh.
Orang di samping Dewa Orok gerakkan kepalanya
berpaling. Lalu berbisik.
“Adikmu benar-benar tak mau rezeki. Dia bukan hanya
picingkan matanya melainkan balikkan tubuh!"
Dewa Orok putar diri ingin buktikan ucapan orang.
Ketika ucapan orang benar, pemuda bertangan buntung
ini tertawa terpingkal-pingkal. Lalu berbisik dalam hati
"Mengapa bisa jadi begini?"
Dewa Orok hendak tanyakan apa yang ada dalam
hatinya pada orang berpakaian hitam sambung-
sambung. Namun sebelum ucapannya terdengar, orang
disampingnya telah balikkan tubuh lalu berteriak.
"Jangan kau sentuh pantatku! Lihat saja cukup!
Besar bukan?!" selesai berteriak, orang ini menoleh pada
Dewa Orok lalu memberi isyarat dengan anggukkan
kepalanya.
Seakan tahu isyarat orang, Dewa Orok langsung
buka mulut menyahut.
"Aduh besar sekali.... Padat berisi dan hitam legam!
Mananya gatal kakiku ingin mengusapnya...!"
"Hei...! Jangan kau teruskan kakimu! Aku geli!"
kata orang di samping Dewa Orok sambil tahan
tawanya.
Dewa Orok tidak tinggal diam. Dia segera menyahut.
“Kau diam sajalah! Salahmu sendiri kenapa pantat
bagus begitu ditunjukkan di depan orang! Aku jadi tak
sabaran!"
“Hai...!" kembali orang di samping Dewa Orok ber-
teriak. "Dotmu.... Bikin aku tambah geli!"
"Aduh.... Aku sampai lupa. Sebentar akan kulepas
dulu dotku! Bagaimana sekarang...?! Apa masih geli...?!"
Di depan sana, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki
sendiri. Lalu tanpa berpaling lagi dia berkelebat ting-
galkan tempat itu.
Begitu sosok Iblis Rangkap Jiwa tidak kelihatan,
Dewa Orok kuncupkan mulut lalu menyedot bundaran
karetnya hingga masuk ke mulutnya. Lalu berpaling pada
orang di sampingnya. Sebelum dia berkata, orang di
sampingnya gerakkan kedua tangannya singkapkan
pakaian sambungan bawahnya.
Dewa Orok sudah siap pejamkan mata. Namun
diurungkan tatkala perlahan-lahan yang terlihat di balik
pakaian bawah orang bukan sepasang betis mulus, me-
lainkan dua batangan kayu sebesar betis!
Kira-kira satu setengah depa ke atas lagi, barulah
terlihat sepasang telapak kaki besar yang tegak di atas
ujung kayu.
Orang di samping Dewa Orok sentakkan kedua tangannya.
Bretttt!
Pakaian hitam sambung-sambung melorot jatuh.
Kini tampaklah satu sosok tubuh pendek tegak di atau
ujung kayu!
Orang bertubuh pendek di atas ujung batangan kayu
angkat tangan kanannya sentakkan cadar hitam yang
menutupi wajahnya.
Tampaklah raut wajah seorang iaki-laki berhidung
agak besar bermata sipit. Bentuk wajahnya bulat besar.
Dia bukan lain adalah Cucu Dewa!
"Guru...!" seru Dewa Orok. "Penyamaran dan ilmu
memindah suaramu hebat! Bagaimana dia bisa ngacir
begitu saja?"
“Tempat Ini kurang aman lagi! Kita harus pergi dari
Sini” kata Cucu Dewa. Lalu meloncat dari ujung kayu.
Seraya memberi isyarat dia berkelebat. Tanpa buka mu-
lut Dewa Orok menyusul.
* *
TIGA
SATU sosok tubuh terlihat duduk ongkang-ongkang
kaki di atas batu padas di pinggir sebuah telaga berair
jernih. Orang ini sesekali bergumam sendiri lalu meringis.
Tak lama kemudian dia perdengarkan dendang nyanyian
seraya gerak-gerakkan kakinya. Namun tak iama
kemudian dia putuskan dendang nyanyiannya.
Kepalanya berputar. Sepasang matanya sedikit
dibeliakkan memandang ke arah mana kepalanya
berputar. Sikapnya jelas membayangkan hatinya gelisah.
Dan kegelisahan itu makin terpancar jelas saat
kepalanya tengadah melihat hamparan langit yang telah
menghitam karena sudah agak lama matahari terbenam.
"Menyesal aku bersedia mengajaknya dalam urusan
ini! Bukannya urusan cepat selesai, tapi malah mem-
buatku bingung sendiri! Belum lagi harus menunggu
seperti ini! Kalau saja bukan seorang,..."
Orang di atas batu padas putuskan gumamannya.
Kepalanya berpaling ke samping kanan. Sepasang ma-
tanya mendelik memperhatikan Tapi dia tidak menang-
kap siapa-siapa.
“Kau telah lam menunggu?!" Tiba-tiba terdengar
satu suara.
Orang di atas batu padas putar kepetenya ke kiri.
Dari balik samping batu besar muncul itu sosok tubuh.
Ternyata ia adalah seorang gadis berparas jeliae de-
ngan rambut panjang dikuncir. Sepasang matanya ba-
gus. Bibinya merah ranum, bentuk tubuhnya agak ting-
gi. Dia mengenakan jubah merah menyala
Gadis berjubah merah melangkah perlahan men-
dekati orang yang duduk di atas batu padas yang ter
nyata adalah seorang pemuda berwajah tampan me-
ngenakan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala berwarna putih.
"Kita berangkat sekarang?!" tanya si gadis begitu
dekat dengan si pemuda.
Si pemuda tidak segera buka mulut menjawab.
sebaliknya memandang tajam pada si gadis. "Hem....
gadis ini benar-benar jelita, melihat gadis cantik begini
membuatku teringat pada Dewi Seribu Bunga dan Sito-
resmi. Juga kedua gadis anak tokoh bergelar Tengko-
rak Berdarah.... Puspa Ratri dan Saraswati... Bagai-
mana mereka sekarang? Kaiau urusan ini selesai, aku
akan mencari mereka...."
"Kau melamun? Ingat seseorang...?!" tanya gadis
berjubah merah.
Yang ditanya angkat bahu. La!u gelengkan kepala.
'Kecantikanmu membuatku tidak ingat siapa-siapa lagi....
Bahkan aku lupa pada diriku'"
Dipuji begitu, gadis berjubah merah bukannya pa-
lingkan wajah untuk sembunyikan rona merah di pipi-
nya, melainkan tertawa cekikikan. Lalu berkata.
"Sayang kau terlambat mengucapkan itu!"
Si pemuda turun dari atas batu padas. "Maksudmu
kau telah punya seorang kekasih?!"
Si gadis palingkan kepalanya. "Pacarku memang
banyak. Tapi aku belum punya kekasih!"
Si pemuda memandang dengan dahi mengernyit.
“Lalu mengapa kau katakan ucapanku terlambat?"
"Karena aku sudahsering mendengarnya dari pe-
muda sebelum kau! Hik.... Hik ... Hik '. Kau sendiri
bagaimana? Apa sudah punya kekasih ?”
"Hem.... Dia pura-pura tanya atau betulan? Dia tahu
banyak tentang diriku...," membatin si pemuda. Lalu
berkata.
"Seperti halnya dirimu, aku juga punya banyak ke-
nalan gadis-gadis, tapi sejauh ini aku belum punya seorang kekasih...."
"Betul?!" tanya si gadis dengan mimik sungguh-
sungguh.
"Sumpah mati!" Si pemuda pasang tampang tak
kalah sungguh-sungguhnya.
"Bagaimana kalau kau kukenalkan dengan saha-
batku? Aku percaya kau pasti akan tertarik dan kalian
nanti tentu akan jadi pasangan kekasih yang sepadan!"
"Jangkrik! Sahabatnya yang ditawarkan! Padahal
aku...."
"Bagaimana? Kau setuju? Sahabatku itu cantik.
Atau kalau kau tak suka aku masih punya beberapa sa-
habat lagi...," kata si gadis memutus kata hati si pe-
muda.
"Coba katakan siapa saja sahabatmu itu!"
'Hem.... Ada yang bernama Sekar Jali-jali, Kembang
Banteng Ketaton, ada juga yang bergelar Dewi Asap
Gantung, Dewi Kabut Berarak, Ratu Langit Tanpa Bumi,
Ratu Sarnudera Tanpa Air serta masih banyak...."
Mendengar nama-nama yang disebut gadis berjubah
merah, si pemuda mendelik. Tapi cibirnya tersenyum.
Saat lain ia berkata.
"Nama dan gelar sahabatmu hebat-hebat. Pasti
mereka cantik-cantik! Tapi sayang aku tidak tertarik
pada salah satunya,.,!” .
*Ah sayang.... Tapi aku masih punya seorang kenalan
lagi. Yang ini pasti kau tertarik walau hanya dengar
namanya saja...."
"Hem.... Katakan siapa...!"
"Namanya sendiri dia tak pernah mau katakan padaku
Dia selalu perkenalkan diri dengan Ratu Malam...”
Laksana disengat, sepasang kaki si pemuda tersurut
satu tindak. Wajahnya langsung berubah. Namun cuma
sesaat. Di saat lain tawanya meledak!
"Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu? Hah...?!" Si
gadis membentak.
"Kau tahu. Aku kenal Ratu Malam! Nenek tua yang
selalu komat-kamit mengunyah tembakau hitam dan
ceriwis itu bukan?!"
Tampang gadis berjubah merah berubah. "Ah....
ternyata kau sudah kenal...."
"Siapa tidak kenal nenek itu! Selain terkenal ceriwis,
dia Juga dikenal sering gonta-ganti kekasih! Hem.... Apa
tidak ada lagi yang lebih tua dari dia?!"
Gadis berjubah merah tidak menjawab. Si pemuda
gelengkan kepala lalu berucap. "Aku menolak semua
nama yang kau tawarkan! Bagaimana kalau sekarang
aku yang tawarkan nama pemuda padamu? Siapa tahu
salah satunya menarik hatimu?!"
Si gadis meringis, lalu berujar.
"Aku tak tertarik. Mungkin yang hendak kau sodorkan
padaku gurumu sendiri si Pendeta Sinting itu! Atau
temanmu si Iblis Ompong!"
"Edan! Dari mana dia tahu aku hendak tawarkan
mereka?!" kata si pemuda dalam hati. Dia hendak angkat
bicara, namun si gadis telah memotong.
“Kau hendak mengajakku menyelidik atau hendak
mengatur perjodohan?!"
“Ah... Benar ucapanmu. Kita berangkat sekarang!”
kata si pemuda lalu mendahului melangkah.
"Ke mana. tujuan kita? Kau mengatakan hendak
menemui seseorang. Siapa? Di mana?!" tanya si gadis
membuat si pemuda hentikan langkahnya.
"Dia bergelar Dewa Orok! Di mananya itu yang
membuat kepalaku masih pusing memikirkannya!"
"Dasar sableng! Kalau tidak tahu di mana adanya
orang, lalu ke mana kau akan berangkat?! Percuma aku
menunggu-nunggu malam datang kalau begini jadinya
Gadis berjubah merah cemberut: Kaki kanannya
dihentakkan keras-keras di atas tanah pinggiran telaga.
Tanah itu langsung longsor dan di bawah sana air telaga
terlihat muncrat.
"Aku tanya. Mengapa kau ingin menemui orang
bergelar Dewa Orok itu?" tanya si gadis masih dengan
tampang cemberut.
"Apakah aku harus bercerita terus terang padanya?
Apa dia bisa dipercaya...?" Si pemuda diam-diam
membatin. Setelah merenung agak. lama akhirnya dia
berkata.
"Menurut orang yang kupercaya, dia memiliki rahasia
yang bisa mengungkap di mana sebenarnya Kitab Hitam
itu berada!"
"Bagaimana kalau akhirnya terbukti tempat itu sama
dengan yang ditunjukkan si manusia Iblis di puncak bukit
itu? Bukankah perjalanan kita sia-sia?!"
Si pemuda garuk-garuk lobang telinganya. "Apa kau
yakin jurang di sebelah bukit itu memang tempat Kitab
Hitam?!"
"Melihat tanda tandanya aku hampir yakin. Hanya kita
terlambat datang dan seseorang telah mendahului kita!"
“Kau juga punya keyakinan kalau Kitab Hitam itu
sebenarnya telah diambil oleh Iblis Rangkap Jiwa itu?”
."Mendengar ceritamu tempo hari, aku menduga
begitu. Namun ada kejanggalan! Kalau Iblis Rangkap
Jiwa benar-benar telah mengambil kitab itu, mengapa dia
masih berada di puncak bukit? Padahal jika seseorang
telah mendapatkan barang yang dicari, seharusnya dia
cepat tinggalkan tempat itu! Dia seharusnya maklum,
bagaimanapun juga kabar tentang Kitab Hitam itu lambat
laun akan tersebar dalam rimba persilatan. Dengan
begitu jiwanya akan terancam setiap saat!"
"Aku sekarang makin bingung.... Aku khawatir dugaanmu benar. Ada orang lain yang mengambil kitab
itu! Lalu siapa...?!"
Untuk beberapa saat kedua orang ini sama terdiam
dengan pikiran masing-masing. Saat itulah mendadak
sebuah benda bulat sebesar kepalan tangan melayang
dan jatuh di tengah air telaga. Air telaga bergolak mun-
crat. Anehnya walau benda itu melayang pelan, akibat
muncratannya laksana ditimpa benda besar! Malah wa-
lau gadis berjubah merah dan si pemuda cepat meng-
hindar, muncratan air telaga tak urung mengenai mere-
ka berdua! Hingga keduanya basah!
"Sialan! Siapa berani main air di tengah malam begini?
Jelas ini bukan tidak disengaja! Ada anak manusia di
sekitar tempat ini!" kata si gadis lalu putar kepalanya.
Si pemuda tidak menyahut ucapan si gadis. Namun
melihat putaran kepalanya serta matanya yang jelalatan
memandang berkeliling, dia membenarkan ucapan si
gadis.
“Kau ke sana! Aku akan ke sana!" kata si pemuda
sambil arahkan telunjuk jari tangannya ke arah ber-
lawanan.
Kejap lain kedua orang ini te!ah berkelebat mengambil
arah berlawanan. Sang pemuda ambil arah kiri, si gadis
arah kanan. Tak berapa lama kemudian si pemuda
sudah muncul di tempatnya semula dengan mata
nyalang. Dia tidak menemukan siapa-siapa.
"Aku yakin. Lemparan tadi dilakukan seseorang!
Lemparan itu bukan lemparan biasa! Hem.... Ke mana
gadis sableng itu? Apa dia menemukan orang? Tapi
mengapa suaranya tidak terdengar?!”
Si pemuda berpaling ke arah mana tadi si gadis
berkelebat. Dia menunggu sesaat. Karena tidak ada
tanda-tanda orang akan muncul dari arah itu, tak sabar
si pemuda berteriak. "Putri Sableng! Di mana kau? Apa
kau menemukan seseorang?!"
Tidak terdengar suara jawaban. Si pemuda mulai
tampak gelisah. Untuk kedua kalinya dia berteriak.
"Putri Sableng! Kau di mana?!"
Karena masih tidak ada suara jawaban, si pemuda
berkelebat ke arah mana tadi gadis berjubah merah
yang bukan lain adalah Putri Sableng berkelebat. Na-
mun si pemuda serta-merta tahan gerakannya tatkala
mendadak terdengar suara tawa cekikikan.
"Dasar gadis kurang ajar! Bikin dada orang deg-
degan saja! Kalau tidak cantik mungkin sudah tidak
kupedulikan!"
"Eh.... Ada yang tidak beres!" wajah si pemuda
kembali berubah tegang dan gelisah tatkala tiba-tiba
suara tawa cekikikan terputus laksana dibetot setan.
Tanpa herpikir panjang lagi, si pemuda berkelebat
Pada satu tempat tidak jauh dari pinggiran telaga
si pemuda hentikan larinya dengan sepasang mata
mendelik dan dahi mengernyit. Sejarak lima langkah di
hadapannya Putri Sableng tegak dengan kedua tangan
ditangkapkan di depan dada. Sepasang matanya mem-
buka memejam.
“Hei! Apa yang kau lakukan di sini?!" kata si pemuda
"Monyet raksasa!" kata Putri Sableng sambil tunjuk
ke satu arah.
Si pemuda arahkan pandangannya pada arah yang
ditunjuk Putri Sableng. Pada satu tempat di bawah
sebatang pohon, tampak satu sosok besar duduk ber-
sandar punggung.
"Jangan-jangan dia!" gumam si pemuda setelah
agak lama memperhatikan.
"Hai! Rupanya kau kenal monyet besar itu?!" tanya
Putri Sableng.
"Jaga bicaramu!" kata si pemuda dengan suara
agak keras. Kejap lain sosoknya melompat dan tegak
tiga langkah di hadapan sosok besar di bawah pohon.
"Benar. Rupanya dia...!" desis si pemuda lalu per-
hatikan sekali lagi pada sosok di hadapannya.
Sosok besar itu ternyata adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Rambutnya panjang putih disanggul
tinggi. Laki-laki mengenakan pakaian gombrong besar
berwarna hijau. Pada perutnya tampak melingkar satu
Ikat pinggang besar yang di bagian depan perutnya ter-
dapat sebuah cermin bulat. Kedua mata orang ini me-
mejam rapat.
"Gendeng Panuntun!" seru si pemuda lalu me-
langkah mendekat.
"Hai! Kau pandai juga memberi nama monyet besar itu
dengan Gendeng Panuntun. Apa dia gendeng betulan?l"
Putri Sableng berteriak.
Si pemuda hanya gelengkan kepala tanpa me-
nyambuti teriakan Putri Sableng. Sementara begitu ti-
dak mendapat sahutan, kembali Putri Sableng ber-
teriak.
"Monyet besar yang kau beri nama Gendeng Paruntun
itu berjenis laki-laki atau perempuan? Kulihat dia
membawa cermin. Apa dia jenis monyet yang suka
dandan? Hik.... Hik.... Hik...I Nyatanya bukan manusia
saja yang ingin bergaya. Monyet sekarang pun mulai
bisa pasang aksi! Apa dia bisa tari Topeng Monyet?!"
"Gadis sableng! Jangan bicara ngelantur tak karuan!
Dia bukan monyet. Dia sahabatku! Kemarilah!"
"Apa?! Dia bukan monyet? Kalau bentuk seperti itu
kau bilang bukan monyet, lalu bentuk monyet betulan
bagaimana?! Hik.... Hik.... Hik...!"
Si pemuda hanya bisa gelengkan kepalanya berulang
kali. "Mengajak gadis seperti dia nyatanya makin tambah
merusak suasana!" gumamnya lalu menjura hormat
pada sosok di hadapannya yang tidak lain Gendeng
Panuntun adanya.
"Sobatku, Gendeng Panuntun. Harap maafkan ucapan
sahabatku Itu!"
Gendeng Panuntun buka kelopak sepasang matanya.
Bola matanya yang putih sejenak mengerjap. Lalu
terdengarlah ucapannya.
"Anak muda.... Tak usah gelisah. Aku tidak apa-apa
dikatakan monyet. Karena saat seperti sekarang ini,
monyet kadang-kadang lebih manusia daripada makhluk
yang bernama manusia! Aku gembira bisa jumpa kau
lagi! Hem.... Siapa gadis cantik yang bersamamu itu?
Kekasih...? Teman biasa...? Hati-hati, Anak Muda! Kalau
dua orang berlainan jenis berada di tempat sepi begini,
apalagi dekat telaga, orang ketiganya adalah nafsu! Aku
percaya kau bisa menahan. Tapi temanmu itu?"
Meski ucapan manusia bermata putih pertanda dia
buta ini perlahan, namun masih terdengar oleh Putri
Sableng. Paras gadis ini seketika berubah merah padam.
Namun justru yang selanjutnya terdengar adalah tawa
cekikikannya. Kejap lain gadis ini berkelebat dan tegak di
sebelah si pemuda.
Si pemuda berpaling, lalu sorongkan kepalanya
berbisik.
"Harap jangan bicara tak karuanl Dia sahabat baikku.
Kita sekarang butuh keterangan darinya!"
Putri Sableng sesaat perhatikan Gendeng Panuntun
Lalu balik berbisik.
'Kulihat matanya buta. Bagaimana kau mau minta
keterangan padanya? Hik.... Hik.... Hik...! Jangan-jangan
kau salah ucap! Atau barangkali pendengaranku yang
keliru?!"
“Kau Ini aneh. Kau banyak mengenal tokoh-tokoh
rimba persilatan. Tapi nyatanya kau tidak tahu
kehebatan orang satu persatu!" bisik si pemuda.
"Jangan salah sangka. Aku mengenal mereka lewat
cerita. Jadi bagaimana aku tahu kehebatan mereka
Hik.... Hik.... Hik...! Orang buta ini tadi kau beri nama
siapa?!"
"Bukan aku yang memberi nama. Sejak dulu namanya
sudah Gendeng Panuntun!"
"Kalau kau dengar saranku, jangan minta keterangan
padanya! Namanya saja Gendeng. Apa keterangannya
nanti tidak malah lebih gendeng? Apalagi dia orang buta"
Meski si pemuda mulai tampak jengkel, namun
akhirnya dia berkata lirih.
"Tapi yang ini lain!"
“Lain bagaimana? Orang buta ya begitu itu matanya!
Kalaupun dia beda dari orang buta lainnya, Itu hanya
pada cermin bulatnya itu! Kau pernah tahu bagaimana
kalau dia berkaca?!"
Mungkin tak dapat lagi menahan rasa jengkel, si
pemuda mendelik dan berbisik.
"Harap kau tidak usil! Jangan ikut bicara! Kalau kau
Ikut-ikutan nimbrung dan suasana kacau, kau nanti
yang bertanggung jawab!"
"Hai.... Apa dia suka bikin kacau?!"
"Kau benar-benar gadis sableng!" sentak si pemuda.
"Tapi kau juga Joko Sableng!" si gadis balik
membentak, membuat si pemuda yang tidak lain adalah
murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng mendelik dengan dada menindih rasa
jengkel.
"Hem.... Kalian ini berebut apa?" ujar Gendeng
Panuntun.
Sebelum Joko buka mulut menjawab, Putri Sableng
telah mendahului.
"Kata temanku ini, meski kau telah kakek-kakek
dan matamu tidak bisa melihat, tapi kau termasuk kakek-
kakek sableng! Apa betul?!"
"Hem.... Aku mencium bau tembakau! Adakah di
antara kailan berdua yang membawa tembakau?!" kata
Gendeng Panuntun alihkan pembicaraan.
"Apa kubilang! Orang buta biasanya suka sok tahu!
Kau dengar. Mana di antara kita yang membawa tem-
bakau?!" bisik Putri Sableng lalu tertawa tertahan.
Murid Pendeta Sinting dekap mulut Putri Sableng
dengan tangan kanannya. Lalu maju satu langkah tepat
di hadapan si gadis hingga pandangan si gadis terha-
langi "Terus-terusan melayanimu bisa-bisa urusan tak
kunjung selesai!" kata Joko lalu memandang pada Gen-
deng Panuntun dan berkata.
"Kita lupakan dahulu urusan tembakau! Aku sekarang
perlu keteranganmul"
"Aku hanya bisa memberimu satu keterangan. Kitab
yang kau cari telah menjadi milik orang! Dia adalah
seorang pemuda sebaya denganmu. Tanpa kau cari
kelak dia akan mencarimu! Berhati-hatilah mengha-
dapinya. Kitab di tangannya mengandung kekuatan luar
biasa dahsyat...."
Untuk sesaat murid Pendeta Sinting jadi terdiam
tergugu. Kepalanya silih berganti memandang pada
Gendeng Panuntun lalu pada Putri Sableng yang kini
telah maju dan tegak di sampingnya.
Gendeng Panuntun perlahan-lahan bangkit. Kepa-
lanya menghadap bergantian pada Joko dan Putri Sa-
leng. Lalu tanpa buka suara lagi, kakek bertubuh
besar Ini melangkah.
"Kek! Tunggu!" tahan Joko. "Siapa kira-kira pemuda
Itu?!"
'Saatnya nanti kau akan tahu! Silakan teruskan
bersenang-senang. Seandainya saja perempuan cantik
itu mau tunjukkan diri, aku mau menemani kalian
bersenang-senang di sini! Sayang dia tak mau tunjukkan
diri.... Padahal kecantikannya tidak kalah dengan gadis
berjubah merah kawanmu itu...."
Ucapan Gendeng Panuntun membuat murid Pendeta
Sinting kerutkan dahi. Sebaliknya Putri Sableng tampak
tenang-tenang saja. Malah mulutnya membuat gerakan
mencibir.
"Monyet besar minta diri...” ujar Gendeng Panuntun.
Lalu sekali bergerak, tubuhnya telah berkelebat dan saat
Joko dan Putri Sableng berpaling, sosok Gendeng
Panuntun sudah melangkah jauh di depan sana. Kejap
lain hanya kilatan-kilatan cahaya putih yang keluar dari
cermin bulat si kakek yang terlihat sebelum akhirnya
sirna.
"Ucapan kakek itu mengisyaratkan ada orang di
sekitar tempat ini!" bisik Joko setelah Gendeng Panuntun
lenyap.
"Apa perlunya menuruti ucapan orang gendeng! Lebih
baik kita mencari tahu benar tidaknya ucapannya yang
mengatakan Kitab Hitam telah jatuh pada seorang
pemuda!' sahut Putri Sableng.
"Itu benar! Tapi kita harus juga tahu siapa adanya
perempuan cantik yang dikatakan Gendeng Panuntun."
"Kalau itu maumu, silakan cari! Aku akan menunggu di
sini!" ujar Putri Sableng dengan siratkan ketidak-
senangan.
"Kau cemburu karena orang itu dikatakan cantik?!"
Putri Sableng menatap pada murid Pendeta Sinting.
Lalu tertawa cekikikan.
"Pantaskah pemuda sableng sepertimu mendapat
rasa cemburu? Hik.... Hik.... Hik...! Jangankan hanya
mencari, kau berpelukan di hadapanku pun aku tidak
akan cemburu!"
"Busyet! Dia benar-benar tidak ada rasa sama sekali
padaku! Akan kubuktikan nanti ucapannya! Biasanya
seorang perempuan pandai menutupi perasaannya!"
Habis membatin begitu, murid Pendeta Sinting ber-
kelebat. Bersamaan dengan itu sejarak lima tombak dari
tempatnya Putri Sableng dan Joko tadi berada, satu
sosok tubuh yang sedari tadi mengendap-endap mem-
buat gerakan.
"Jangan bergerak dari tempatmu!" teriak Joko lalu
arahkan pandangannya pada sosok tubuh yang mulai
membuat gerakan seakan hendak berkelebat. Tapi
orang yang diteriaki tidak hiraukan ucapan Joko Se-
baliknya langsung berkelebat cepat.
"Hai! Tunggu!" Joko kembali berteriak. Lalu lipat
gandakan ilmu peringan tubuh dan menyusul pada sosok
yang berkelebat. Karena keadaan gelap dan murid
Pendeta Sinting tidak mengetahui daerah di sekitar
tempat Itu, pada akhirnya Joko kehilangan jejak.
"Ucapan Gendeng Panuntun benar. Melihat sosoknya
dia adalah seorang perempuan! Tapi mengapa dia
mencuri dengar pembicaraan Ini?" Joko terus berkata
sendiri dalam hati seraya melangkah ke arah di mana
Putri Sableng menunggu.
Krakkk!
Terdengar ranting diinjak orang. Joko cepat berpaling
lalu berkelebat ke arah tempat terdengarnya suara.
“Jangan harap kau bisa lolos! Tetap di tempatmu atau
kuhantam!" ancam murid Pendeta Sinting berharap agar
orang tidak berkelebat pergi.
Rupanya ancaman Joko berpengaruh. Karena murid
Pendeta Sinting tidak melihat adanya sosok yang
berkebat.
Pendekar 131 hentikan langkah. Sepasang matanya
menembusi kegelapan. Nalurinya mengatakan di situ ada
orang. Murid Pendeta Sinting tidak berani berniat ayal.
Dengan kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya
dia berteriak.
"Keluarlah dari tempatmu!"
Tidak ada sahutan atau sosok yang terlihat.
“Kau dengar ucapanku! Keluarlah!" kembali murid
Pndeta Sinting berteriak.
"Aku malu.... Aku takut...." Terdengar suara jawaban
halus seorang perempuan.
"Kau tidak malu mencuri dengar pembicaraan oangl
Kau tidak takut mengintip orang! Mengapa sekarang kau
baru malu? Keluarlah!" seru Joko.
“Aku malu.... Aku takut...." Kembali terdengar suara.
“Jangkrik! Jangan-jangan ini hantu perempuan....'
Tengkuk murid Pendeta Sinting jadi merinding. "Makhluk
bangsa hantu tidak mempan pukulan. Tapi Gendeng
Panuntun mengatakan seorang perempuan. Bukan
hantu!"
Ingat akan ucapan Gendeng Panuntun, kembali Joko
berseru.
"Kau tak usah malu. Tak perlu takut!"
'Kau tidak akan menghantamku, bukan?!" kata suara
perempuan tadi.
"Aku hanya perlu tahu siapa kau dan apa tujuanmu!"
"Baiklah kalau hanya itu maumu...," kata suara pe-
rempuan. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda
munculnya seseorang, membuat Joko hendak berteriak
lagi dan mulai jengkel.
Namun belum sampai suaranya terdengar, perlahan-
lahan semak belukar tujuh langkah di samping
murid Pendeta Sinting bergerak-gerak. Murid Pendeta
Sinting menunggu dengan mata terpentang. Meski dia
tidak angkat tangannya, namun diam-diam telah kerahkan tenaga dalam.
Semak belukar bergerak menyibak. Lalu tampaklah
satu sosok tubuh!
Murid Pendeta Sinting makin pentangkan matanya.
Rahangnya mengambung dengan mulut komat-kamit.
Saat lain terdengar dia memaki-maki lalu hentakkan
kaki.
Bersamaan dengan itu satu sosok tubuh yang baru
keluar dari arah semak belukar buka mulut. Bukan
perdengarkan suara, melainkan tertawa cekikikan! Ter-
nyata orang ini adalah seorang perempuan muda ber-
paras cantik mengenakan jubah merah dan bukan lain
adalah Putri Sableng.
“Kau bercanda tidak ada juntrungan!" maki Joko
seraya balikkan tubuh.
“Siapa bercanda? Aku juga mencari perempuan itu
tapi juga kehilangan jejak! Hik.... Hik.... Hik...!"
“Tapi caramu! Mengapa berbuat begitu?!"
“Salahmu sendiri. Kau terlalu terbawa perasaan!"
Putri Sableng seenaknya saja.
“Kepalaku bisa pecah kalau terus-terusan bersa-
mamu” kata murid Pendeta Sinting lalu berkelebat.
“Tunggu!" seru Putri Sableng seraya ikut berkelebat,.
“Ingat, sekali lagi kau bercanda tidak pada tempatnya
aku tak akan berhubungan lagi denganmu!" ancam Joko
begitu Putri Sableng berlari di sampingnya.
Yang diancam tidak menyahut. Dia hanya tersenyum-senyum.
EMPAT
LAKI-LAKI mengenakan pakaian hitam-hitam yang raut
wajahnya sukar dikenali karena tertutup oleh sebagian
caping lebarnya itu melangkah pelan-pelan dengan tubuh
sedikit terbungkuk.
Pada satu tempat mendadak dia hentikan langkahnya.
Sejurus kepalanya menghadap lurus ke depan. Lalu
kembali tertunduk. Bersamaan itu kakinya kembali
melangkah.
"Hem.... Ada orang dari sebelah depan...," gumam si
laki-laki bercaping lebar seraya terus melangkah dengan
kepala menunduk hingga raut wajahnya makin sulit
dikenali.
Baru saja enam langkah, dari arah depan sana tampak
satu sosok tubuh berkelebat cepat. Laki-laki bercaping
lebar angkat kepalanya. Mungkin pandangannya
terhalangi, tangan kanannya bergerak. Caping lebar
bagian depan sedikit terangkat.
"Hem.... Rasanya aku pernah jumpa dengan orang
ini?" desis laki-laki bercaping lalu tarik pulang tangan
kanannya hingga caping lebarnya kembali menutup
sebagian raut wajahnya.
Sementara orang yang berlari dari arah depan seakan
tidak hiraukan si laki-laki. Dia terus berkelebat dan
melewati laki-laki bercaping tanpa berpaling.
"Tampaknya kau terburu-buru. Apa ada urusan sangat
penting?" si laki-laki bercaping perdengarkan suara
begitu sosok yang berkelebat dari arah depan
melewatinya.
Mendengar ucapan orang, sosok yang berkelebat
berhenti. Lalu tanpa berpaling dia berkata.
“Ada atau tidak ada urusan apa pedulimu?!" Iaki-laki
bercaping putar diri. Kepalanya sedikit ditengadahkan
agar pandangan matanya tidak terhalang bagian depan
capingnya.
“Hem.... Bentuk tubuhnya boleh juga! Aku yakin
memang pernah menjumpainya.... Tapi di mana?" Laki-
laki bercaping lebar berpikir sejenak mengingat-ingat.
Sesaat kemudian dia terlihat angguk-anggukkan kepa-
lanya. Lalu berkata sambil tundukkan kepala.
“Memang tak ada pedulinya! Tapi siapa tahu aku bisa
membantu?"
Orang di hadapan laki-laki bercaping perdengarkan
dengusan pelan. Lalu berujar. Suaranya jelas bernada
meremehkan.
“Orang sepertimu, apa yang bisa kau lakukan
untukku?”
“Aku tadi bilang, siapa tahu.... Semuanya nanti
bergantung urusan dan imbalan. Kalau cocok mengapa
tidak...?"
“Hem... Begitu? Siapa kau...?!"
Laki-laki bercaping perdengarkan suara tawa pelan
“soal aku, itu urusan belakangan! Yang jelas aku tahu
siapa kau adanya...."
Orang di hadapan laki-laki bercaping lebar balikan
tubuh menghadap. Ternyata dia adalah seorang
perempuan berwajah cantik meski usianya tidak muda.
Mengenakan pakaian warna biru ketat dan tipis. Pada
bagian dadanya dibuat rendah hingga sembulan
sepasang payudaranya yang membusung padat terlihat
jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata
lentik dan hidung sedikit mancung. Bibirnya merah
membentuk bagus.
Si perempuan berpakaian biru sesaat perhatikan
orang di hadapannya dengan sepasang mata tak
berkesip. Namun karena laki-laki di depannya sengaja
masukkan capingnya dalam-dalam pada kepalanya, si
perempuan tidak bisa mengenali dengan jelas paras wa-
jah orang. Yang tampak adalah bagian hidung ke bawah.
Si perempuan buka mulut. Tapi si laki-laki bercaping
sudah mendahului berkata. "Bukankah kau Ratu
Pemikat...?!"
Perempuan di hadapan laki-laki bercaping yang
memang Ratu Pemikat adanya kerutkan dahi. Diam-
diam dia berkata dalam hati. "Melihat potongannya
memang mirip seorang kakek-kakek. Tapi bagian ba-
wah wajahnya jelas menunjukkan kalau usianya masih
muda.... Siapa dia? Kalau dia mengenalku, pasti dia dari
kalangan orang persilatan. Hem.... Tak ada salahnya
memang sedikit bertanya jawab dengannya. Siapa tahu
dia mengetahui urusan yang sedang kuhadapi! Ucapan
Gendeng Panuntun di dekat telaga malam itu membuat
ku kembali agak bingung. Dia mengatakan Kitab Hitam
telah dimiliki orang. Herannya orang itu masih sebaya
dengan Pendekar 131. Berarti kitab itu telah jatuh ke
tangan seorang pemuda! Sayangnya dia tidak menga-
takan siapa adanya pemuda yang telah memiliki Kitab
Hitam itu! Padahal aku yakin Gendeng Panuntun tahu
siapa pemuda itu. Dan ucapannya pasti benar! Kalau
saja Gendeng Panuntun mudah ditaklukkan, aku akan
mengorek keterangan dari mulutnya.... Untungnya ma-
lam itu aku selamat dari kejaran Pendekar 131 dan ga-
dis berjubah merah. Kalau tidak...."
“Kurasa urusanmu sangat penting. Kulihat kau
melamun dan bergumam sendiri!" Laki-laki bercaping
lebar putuskan kata hati Ratu Pemikat.
"Ah.... Urusanku tidaklah begitu penting! Dan aku
bersyukur kau telah mengenaliku...," kata Ratu Pemikat.
“Hem.,.. Aku juga bersyukur kalau urusanmu tidak
penting, berarti kau tidak memerlukan bantuan orang
lain. Hanya kalau sudi, mau jawab tanyaku...?!
Ratu Pemikat tertawa panjang. "Kau ini aneh. Kau tadi
yang tawarkan bantuan. Sekarang kau yang hendak
bertanya!"
:Tapi pertanyaanku mungkin masih ada hubungannya
denganmul"
Ratu Pemikat kembali pandangi orang dengan lebih
seksama. "Rupanya dia tahu banyak dengan diriku “
katanya dalam hati. Lalu berkata.
“Sebenarnya aku tak mau jawab pertanyaanmu, tapii
akan kudengar dahulu apa yang akan kau tanyakan “
“Bagaimana akhir dari peristiwa di Pulau Biru?!" tanya
laki-laki bercaping.
Sepasang kaki Ratu Pemikat tampak bergerak
mundur setengah tindak. Pertanyaan orang membuat
hatinya tidak enak dan berdebar-debar.
“Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ratu Pemikat setelah
dapat kuasai diri.
"Itu urusan mudah dan bisa ditangguhkan...."
“Hem.... Peristiwa di Pulau Biru hanya beberapa orang
yang tahu. Kalau dia sampai tahu peristiwa itu, jangan-
jangan dia salah satu orang yang ada di sana sewaktu
peristiwa itu! Tapi siapa...."
Mungkin tak bisa memperoleh jawaban, akhirnya
Main Pemikat bertanya.
"Apa kau salah seorang yang hadir di Pulau Biru ltu?!"
Laki-laki bercaping tidak menjawab. Sebaliknya dia
malahh ajukan tanya lagi.
“Bagaimana kau bisa selamat dari Pulau Biru?!"
"Aku tahu bagaimana caranya lolos! Dan aku tak
tahu bagaimana kelanjutan peristiwa itu! Yang jelas,
Kitab Serat Biru telah jatuh ke tangan...."
"Pendekar 131!" sahut laki-laki bercaping.
"Hem.... Kau ternyata banyak tahu juga. Apa kau
juga sudah tahu kalau sebuah kitab lagi jatuh juga ke
tangannya?!"
"Kudengar dia memang telah mendapat sebuah kitab
dengan adanya peristiwa Tengkorak Berdarah!" kata laki-
laki bercaping.
"Ah.... Melihat kau tahu banyak seluk beluk orang-
orang rimba persilatan, pasti kau seorang tokoh dunia
persilatan. Mendengar kau tahu tentang Pendekar 131
jangan-jangan kau masih sahabatnya...."
Bibir laki-laki bercaping sunggingkan senyum aneh.
"Benar! Aku memang sahabatnya. Seorang sahabat
yang akan mengantar nyawanya masuk liang lahat”
Paras wajah Ratu Pemikat tampak berubah. Namun
diam-diam perempuan bertubuh bahenol berwajah
cantik ini merasa lega. "Kalau dia tahu banyak, tentu
orang ini memiliki kepandaian tinggi! Lebih dari itu dia
rupanya punya dendam...."
"Kau punya urusan silang sengketa dengan pemuda
itu?!" tanya Ratu Pemikat.
"Bukan hanya dengan dia! Siapa pun yang coba-
coba menjamahnya berarti berani berurusan denganku.
Karena dia telah memotong dendamku!"
Mendengar ucapan laki-laki bercaping, Ratu Pemikat
tersenyum. "Apa kau siap menghadapinya? Dengan
kedua kitab sakti di tangannya, Pendekar 131 bukan
manusia yang mudah dikalahkan...."
Rahang laki-laki bercaping terlihat terangkat.
Tubuhnya sedikit bergetar. "Berapa pun kitab di
tangannya, bukan menjadi hal yang membuatku takuti
Aku hanya kekuatan untuk membunuhnya sebanyak
nyawa yang dia miliki!"
'Hem.... Aku akan terus memancingnya.... Mudah-
mudahan ini ada hubungannya dengan Kitab Hitam...,"
Ratu Pemikat membatin lalu berkata.
"Siapa pun boleh berkata seperti apa yang kau kakatakan. Tapi menurut apa yang pernah kudengar, ke-
kuatan apa pun yang dimiliki orang dia tak akan bisa
mengalahkan Pendekar 131 kecuali...." Ratu Pemikat
sengaja memutus ucapannya.
Laki-laki bercaping tidak menyahut. Dia hanya
tersenyum. Ratu Pemikat sejurus memandang lalu
lanjutkan ucapannya. "Kecuali kalau orang itu membekal
sebuah kitab sakti!"
Laki-laki bercaping masih tetap kancingkan mulut.
Malah sejenak kemudian kepalanya berpaling sedikit ke
samping kanan.
"Apa kau telah membekal kitab sakti itu?!"
“Aku lebih tahu bagaimana cara membunuh Pendekar
131!"
Ratu Pemikat tertawa panjang hingga dadanya ber-
guncang. "Kau boleh memiliki seribu satu cara. Tapi ja-
ngan harap kau bisa lampiaskan dendammu!"
Kini laki-laki bercaping yang perdengarkan tawa
panjang bergelak. "Dengar, Ratu Pemikat! Aku hanya
punya satu cara untuk membunuh Pendekar 131!"
"Mau tunjukkan bagaimana caramu itu?!"
Laki-laki bercaping tidak menjawab. Namun
bersamaan Itu sosoknya bergerak memutar
memunggungi Ratu Pemikat. Tangan kanannya bergerak
setinggi dada lalu mengusap dadanya.
Terdengar deruan perlahan. Ratu Pemikat tampak
sunggingkan senyum mengejek. Karena bersamaan
dengan terdengarnya suara deruan, tidak terlihat adanya
gelombang atau sinar yang melesat. Namun senyum
Ratu Pemikat terputus. Kepalanya tersentak memandang
ke depan dengan mata melotot.
Di depan sana, laksana dihantam kekuatan luar biasa
dahsyat, pohon yang tegak berjajar langsung berderak
tumbang dan mencelat mental sampai dua tombak
dengan berubah jadi serpihan hitam tatkala kembali
bertabur di atas tanah! Tanah di sekitar pohon yang
mental porak-poranda dan semburat membubung ke
udara!
"Luar biasa. Bagaimana dia keluarkan ilmu tadi.
Kulihat dia hanya gerakkan tangan kanan.... Tapi apakah
mungkin dia dapat mengalahkan Pendekar 131?" Ratu
Pemikat pandangi bagian belakang sosok laki-laki
bercaping.
Laki-laki bercaping sendiri terdengar mendengus
pelan. Lalu balikkan tubuh. Sesaat kepalanya
menghadap lurus pada Ratu Pemikat. Bersamaan itu
kedua tangannya bergerak ke atas. Perlahan-lahan
kedua tangannya membuka kancing pakaiannya.
Sepasang mata Ratu Pemikat terbelalak besar-besar
tatkala bagian atas pakaian laki-laki bercaping lebar
terbuka.
"Sebuah kitab!" desis Ratu Pemikat. "Apakah itu Kitab
Hitam yang tengah dicari Pendekar 131? Warnanya
memang hitam. Tapi apa benar itu Kitab Hitam?!"
Sambil tersenyum aneh, laki-laki bercaping lebar
kancingkan kembali pakaiannya. "Apa kau kira Pendekar
131 masih sanggup pertahankan nyawanya?!"
"Aku baru bisa memastikan jawaban kalau kau jawab
dulu pertanyaanku. Apakah kitab itu Kitab Hitam?!”
“Dari warnanya kurasa kau tidak usah ajukan tanya”
ujar laki-laki bercaping.
“Hem ... Warna bisa sama, tapi kadang kala isinya
berbeda! Aku tanya lagi. Apa kau pernah mengenal
serang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"
“Hem.... Perempuan ini rupanya tahu hubungan kitab
ini dengan iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa telah
menjadi budakku. Aku ingin perempuan ini jadi budakku
sekaligus gundikku...," membatin laki-laki bercaping.
Lalu berkata.
“Aku bukan hanya mengenal Iblis Rangkap Jiwa, tapi
dia adalah pembantuku! Termasuk seorang tokoh lagi
yang bergelar Cucu Dewa!"
Ratu Pemikat tampak sedikit terlonjak mendengar
jawaban laki-laki bercaping. "Dia telah mengenal tokoh-
tokoh yang ada hubungannya dengan Kitab Hitam.
Berarti kitab di dadanya itu Kitab Hitam! Hem.... Aku
harus dapat merebutnya...."
Setelah berpikir begitu Ratu Pemikat tampak
tengadahkan sedikit kepalanya hingga lehernya yang
panjang dan putih terlihat.
“Kau rupanya seorang yang beruntung. Kurasa kau
kini dapat membalaskan dendammu pada Pendekar
131. Tapi kuharap kau memberiku kesempatan....seperti
halnya kau, aku juga punya dendam pada dia!"
“Aku sudah katakan, siapa pun yang berani
menjamah pendekar 131 berarti berani menghadapiku!"
“Aku tahu. Aku tidak menginginkan nyawa Pendekar
131 kalau kau telah menginginkannya. Tapi setidaknya
aku dapat melunaskan sakit hati ini!"
Laki-laki bercaping lebar tertawa bergelak panjang
mendengar ucapan Ratu Pemikat. "Kau tadi mengatakan
tidak ada orang yang bisa mengalahkan Pendekar 131
kecuali orang itu berbekal kitab sakti. Sekarang aku
tanya padamu. Apa kau juga telah membekal kitab
sakti?!"
Mendengar pertanyaan laki-laki bercaping, Ratu
Pemikat tampak terkejut. Perempuan ini lalu gelengkan
kepala dan berujar. "Hal itulah yang membuatku pusing!
Aku tak membekal apa-apa, padahal dadaku penuh
dengan bara dendam! Seandainya kau mau baik hati
padaku, aku mau juga jadi pembantumu!"
"Berbaik hati bagaimana maksudmu?!" tanya laki-laki
bercaping.
"Sisakan sedikit nyawanya untukkul"
"Hem.... Urusan itu mudah, asal imbalannya pantas!"
"Asal ucapanmu benar, imbalan apa yang kau minta
akan kuturuti!" kata Ratu Pemikat dengan sedikit
busungkan dadanya. Perempuan ini tampaknya maklum
ke mana arah ucapan laki-laki bercaping.
Ratu Pemikat maju satu langkah. "Selain itu, aku juga
ingin tahu siapa kau sebenarnya...."
Tanpa buka suara, laki-laki bercaping gerakkan tangan
kanan. Perlahan-lahan caping lebarnya diangkat tinggi-
tinggi ke atas, hingga kini tampak jelaslah wajahnya.
Sesaat Ratu Pemikat perhatikan wajah orang dengan
mata tak berkesip. Dahinya berkerut. "Aku yakin pernah
bertemu dengan pemuda ini! Tapi aku lupa dimana! Ah....
Bukankah dia tadi sebut-sebut peristiwa Pulau Biru?
Astaga! Kalau tidak salah bukankah dia pemuda yang
ikut hadir di Pulau Biru yang bergelar Malaikat Penggali
Kubur?!" (Tentang peristiwa di Pulau Biru, silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: "Neraka Pulau Biru").
Laki-laki yang tadi mengenakan caping lebar dan tak
lain adalah Malaikat Penggali Kubur sunggingkan
senyum aneh. Sepasang matanya menatap tajam
belahan dada Ratu Pemikat.
“Kau telah tahu siapa diriku! Apa ada syarat lagi yang
hendak kau ajukan?!" tanya Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat tidak menjawab, sebaliknya ajukan
tanya balik.
“Imbalan apa yang kau inginkan dariku?"
Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan satu kali
tahu-tahu sosoknya telah tegak di depan Ratu Pemikat.
“Aku Inginkan dirimu!" kata Malaikat Penggali Kubur
pada saat yang sama, kedua tangan pemuda murid Bayu
Bajra Ini telah bergerak ke depan merengkuh sosok
Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat tidak berusaha menolak. Malah dia
sengaja tengadahkan kepala dengan mata sedikit
dipejamkan dan bibir sedikit membuka perdengarkan ke-
luhan pendek. Namun perempuan ini segera menjerit
kecil tatkala Malaikat Penggali Kubur menggigit lehernya.
Sikap dan jeritan kecil Ratu Pemikat membuat Ma-
laikat Penggali Kubur makin bergelora. Dengan tak sabar
kedua tangannya bergerak lepaskan kancing pakaian
Ratu Pemikat. Kejap lain sepasang mata pemuda itu ter-
pentang besar tatkala melihat dua buah payudara putih
padat. Malaikat Penggali Kubur cepat tekapkan
wajahnya ke dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat tampak pejamkan sepasang matanya.
Perlahan-lahan dia menggeliat sambil tarik kedua
lengannya ke atas. Kedua tangannya lalu bergerak
mengusap tengkuk Malaikat Penggali Kubur. Mendadak
Ratu Pemikat membuat gerakan menggeliat sekali lagi.
Bersamaan dengan itu laksana kilat kedua tangannya
terangkat ke atas dan langsung dihujamkan bagian
bawah ketiak Malaikat Penggali Kubur lakukan sebuah
Totokan.
Seujung jari lagi totokan Ratu Pemikat bersarang di
bagian bawah ketiak Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba
perempuan ini berseru tertahan. Sekuat tenaga dia
teruskan totokannya namun sia-sia. Malah di lain saat
tubuhnya tegang kaku!
Malaikat Penggali Kubur tarik pulang kepalannya dari
dada Ratu Pemikat. Sepasang matanya berkiiat-kilat.
Rahangnya mengembung besar. Dari hidungnnya keluar
dengusan keras.
"Jangan harap bisa mengelabuiku, Perempuan
Sundal! Kau salah besar jika menduga Malaikat
Penggali Kubur tidak tahu apa yang ada dalam
benakmu!'
Ratu Pemikat rasakan nyawanya melayang. Paras
wajahnya laksana tidak berdarah. Sepasang matanya
mendelik besar membayangkan rasa takut. Dengan
suara bergetar akhirnya dia berkata.
"Kuharap kau memberi ampun padaku. Beri ke-
sempatan padaku sampai aku dapat membalas sakti
hati ini pada Pendekar 131. Apa yang kau katakan akan
kulakukan...."
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Turutkan
hati, aku bisa saja membuatmu mampus saat ini. Tapi,
Aku masih memberi ampun padamu. Tapi ingat! Ini
hanya berlaku satu kali! Sekali lagi kau membuat tin
dakan bodoh, tubuhmu akan kukuliti dahulu sebelum
mampus! Kau dengar?!"
"Aku dengar...."
"Bagus! Kau telah berkata akan lakukan apa yang
kukatakan. Dengar apa yang kukatakan! Kau harus
menyelidiki di mana Pendekar 131. Atur satu pertemuan
denganku! Kau Juga harus hubungi beberapa orang
yang akan kusebutkan nanti. Jangan sekali-kali jamah
dua kitab di tangan Pendekar 131!"
Meski dalam hati masih ragu akan dapat lakukan yang
dikatakan Malaikat Penggali Kubur, namun karena
jiwanya dalam keadaan tidak berdaya, terpaksa Ratu
Pemikat! berkata.
“Aku akan berusaha lakukan semua itu...."
.”Jahanam! Jangan berusaha! Kau harus berhasil!
keselamatan nyawamu tergantung berhasilnya tugasmu
atau tidak! Soal caranya aku tak mau tahu. Dan aku
yakin kau lebih tahu urusan itu!"
“Tugas ini adalah tugas berat. Harap kau memberiku
waktu agak panjang...," ujar Ratu Pemikat dengan rasa
masih tampak ketakutan.
“Aku yang atur semua ini! Jangan membantah! Kau
harus berhasil mengatur pertemuan pada bulan purnama
depan! Kau masih punya waktu satu purnama!"
“Baiklah.... Sekarang bebaskan aku...," pinta Ratu
Pemikat.
“Kata-kataku belum selesai!" bentak Malaikat Penggali
Kubur. "Tiga hari di depan kau harus pergi ke puncak
Bukit Selamangleng! Temui Iblis Rangkap Jiwa. Kalau
tugas yang kuberikan padanya gagal, tugas itu juga
menjadi tugas kalian berdua!"
Paras wajah Ratu Pemikat membayangkan ketakutan
Dengan suara tambah gemetar dia berkata.
“Bagaimana aku harus menemuinya? Aku tidak kenal
dengannya! Kalau dia tidak percaya?!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Itu
urusanmu! Kalau kau sampai tewas di tangan manusia
iblis Itu, berarti nyawamu memang ditakdirkan di tangan
Iblis Rangkap Jiwa!"
Ratu Pemikat menggumam tak jelas. Sementara
sepasang mata Malaikat Penggali Kubur beralih
pandangi sepasang payudara Ratu Pemikat yang
terbuka. Dada pemuda ini kembali bergemuruh.
Malaikat Penggali Kubur maju satu langkah. Tanpa
buka mulut, kedua tangannya bergerak.
Breettt!
Pakaian Ratu Pemikat robek hingga bagian dada
sampai perutnya terbuka. Ratu Pemikat coba kerahkan
tenaga dalam untuk bebaskan diri. Namun tak berhasil.
Sementara Malaikat Penggali Kubur perdengarkan tawa
pelan bahkan hampir tidak terdengar karena tenggelam
dalam suara dengusan napasnya.
Malaikat Penggali Kubur putar kepalanya sejenak.
Lalu berujar.
"Aku tahu tempat yang enak untuk bersuka ria....
Ha.... Ha.... Ha...! Dua hari dua malam kau harus layani
aku dulu! Setelah itu kau boleh pergi lakukan yang ku-
katakan...!"
"Aku sudah katakan akan lakukan apa yang kau
katakan. Berapa pun malam yang kau inginkan aku
akan melayanimu! Tapi bebaskan aku dahulu...."
Plaaakk!
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Ratu Pemikat
hingga kepala perempuan bertubuh bahenol itu tersentak
sedikit ke samping.
"Jangan berani memberi perintah pada Malaikat
Penggali Kubur! Aku ingin bersuka ria dengan caraku
sendiri!"
Ratu Pemikat gigit bibirnya yang kucurkan darah.
Dalam hati perempuan ini memaki-maki. "Kelak kau akan
rasakan pembalasanku, Jahanam! Sekarang kau
menang dan bisa lakukan apa yang kau inginkan...."
Malaikat Penggali Kubur sorongkan wajahnya ke dada
Ratu Pemikat. Namun cuma sekejap. Di lain saat kedua
tangannya bergerak. Tahu-tahu sosok Ratu Pemikat
telah berada di atas pundak kirinya.
Malaikat Penggali Kubur putar diri. Lalu berkelebat
dengan tertawa bergelak. Bersamaan dengan berkebat-
nya tubuh, tangan kanannya bergerak ke atas. Ratu
Pemikat tidak berani buka mulut meski hatinya terus
menyumpah-nyumpah, karena tangan Malaikat Penggali
Kubur menarik pakaiannya hingga robek disana-sini.
Ketika memasuki sebuah goa sepi, tidak selembar
kain pun yang tersisa menutupi sosok Ratu Pemikat!
LIMA
PENDEKAR 131 melangkah berjingkat seraya masuk-
kan jari kelingking ke lobang telinganya. Sepasang
matanya terpejam membuka. Kepalanya sedikit tengleng
ke kanan.
"Begitu gadis sableng itu minggat, rasanya hilang
beban di dada inil Jalan bersama gadis cantik bukannya
gembira yang kudapat, melainkan perasaan khawatir dan
dongkol! Tahu begini jadinya, aku tidak akan
mengajaknya dalam urusan pelik ini! Tapi bagaimana
hendak dikata. Semuanya sudah telanjur.... Siapa se-
benarnya gadis sableng itu. Setiap kali kutanya, dia se-
lalu mengalihkan pembicaraan seolah tak Ingin diketahui
siapa dirinya. Hanya aku menduga, dia bukan gadis yang
punya niat jahat meski selama ini dia tak mengatakan
apa maksudnya ikut-ikutan menyelidik Kitab Hitam....
Mudah-mudahan dugaanku tidak meleset. Tapi kalaupun
meleset, apa artinya? Kitab Hitam menurut Gendeng
Panuntun sudah didapat oleh seorang pemuda! Hem....
Bagaimanapun juga aku harus segera mencari siapa
pemuda yang berhasil mendapatkan kitab itu!"
Murid Pendeta Sinting hentikan langkahnya saat di
depan sana terlihat sebuah kedai makan agak besar.
Tangannya yang terangkat segera bergerak dan kini
mengusap perutnya. Sambil bergumam dia teruskan
langkah menuju arah kedai.
Belum sampai langkahnya menginjak halaman kedai,
mendadak dia berhenti. Sepasang matanya mendelik
dengan dahi berkerut.
Dari arah sebelah kedai terlihat seorang pemuda
berwaJah tampan melangkah. Yang menarik perhatian,
pemuda ini tidak memiliki kedua tangan alias buntung
dan pada mulutnya tampak sebuah bundaran karet
yang dikulum.
Pemuda bertangan buntung ini sejurus memandang
pada murid Pendeta Sinting yang tegak di sebelah depan
sana. Namun cuma sekejap. Seolah tak acuh dia
berpaling lalu teruskan langkahnya menuju halaman
kedai.
Tepat di pintu masuk kedai, si pemuda bertangan
buntung hentikan langkahnya. Memandang sejenak ke
dalam kedai. Seorang berusia lanjut tampak longokkan
kepala dari dalam kedai, lalu mengangguk dengan bibir
tersenyum.
Si pemuda tidak balas anggukan orang yang rupanya
adalah pemilik kedai. Melainkan putar diri lalu teruskan
langkah menjauh!
"Ah.... Kenapa aku bodoh betul! Orang tak punya
tangan begitu aku harapkan makan di sini! Bagaimana ia
akan menyuap nasi...?" Orang tua pemilik kedai
gelengkan kepala lalu hendak melangkah masuk. Namun
langkahnya tertahan tatkala dilihatnya seorang pemuda
lain lewat dan tegak di pintu kedai.
Lagi-lagi orang tua pemilik kedai anggukkan kepala
dengan pasang senyum. Tapi orang tua ini kembali
gelengkan kepala tatkala orang muda yang diharapkan
masuk kedainya hanya memandang lalu melangkah
pergi!
"Kalau yang tadi aku maklum. Tapi pemuda yang
barusan kulihat memiliki kedua tangan utuh. Pasti dia
tidak berbekal uang? Dasar pemuda bengal. Hanya bisa
jual tampang tapi kartong kosong!" Orang tua pemilik
kedai mengomel sendiri !alu berpaling. Mendadak
orang tua ini terperanjat.
"Ke mana pemuda itu tadi?!" Penasaran karena
pemuda yang baru tegak di depan pintu kedainya telah
lenyap, orang tua ini segera bergegas ke halaman kedai.
Sepasang matanya yang kelabu dipelototkan besar-
besar memandang ke jurusan timur arah mana dilihatnya
si pemuda bertangan buntung dan pemuda satunya
melangkah pergi. Namun orang tua ini tidak melihat
siapa-siapal
"Heran.... Keduanya lenyap laksana ditelan bumi!
Jangan-jangan-kedua pemuda itu hantu... tapi...."
Orang tua pemilik kedai tengadahkan kepala. "Apa
mungkin hantu keluar di siang bolong begini? Ah.
Jangan-jangan manusia jadi-jadian!" Orang tua ini rasa-
kan tengkuknya dingin. Kedua kakinya gemetar. Tanpa
pikir panjang iagi dia segera bergegas dan masuk kedai
dengan tubuh sedikit menggigil.
Pendekar 131 terus berkelebat. "Aku yakin dia tadi
Dewa Orok! Dan aku juga percaya dia tadi telah melihat-
ku! Yang kuherankan mengapa dia seolah tidak menge-
naliku? Dan rupanya dia maklum kalau kuikuti! Dia
langsung lari begitu saja laksana melihat setan!"
Sampai di tempat agak sepi, murid Pendeta Sinting
hentikan larinya. Dia mendengar suara duutt! Duttt! be-
berapa kali. Dia cepat berpaling ke kanan dari arah mana
suara terdengar.
Sekali lompat, murid Pendeta Sinting telah tegak
sepuluh langkah di hadapan pemuda bertangan buntung
yang mulutnya membuat gerakan menyedot hingga
terdengar suara duuuttt! Duuuttt! Duuuttt!
"Mengapa kau mengikutiku, Anak Muda?! Apa ada
yang aneh?!" si pemuda bertangan buntung yang tidak
lain adakah Dewa Orok adanya telah buka mulut setelah
semburkan bundaran karet di mulutnya. Bundaran karet
mirip dot bayi itu mengapung berputar-putar di udara.
“Aku mencarimu! Ada hal penting yang harus kau
ketahui!" ujar murid Pendeta Sinting lalu melangkah
mendekat.
“Tetap di tempatmu, Anak Muda!" sentak Dewa Orok.
"Jangan berani bergerak langkahkan kaki!"
“Aneh.... Kita sudah saling kenal dan bersahabat!
Malah aku telah berbaik hati padamu memberikan
apa...."
Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting selesai,
Dewa Orok telah memotong.
"Aneh.... Kapan kita saling berkenalan dan bersa-
habat? Apa yang pernah kau berikan padaku?! Jangan
berani berkata telah menanam budi pada orang!"
"Aku Joko! Joko Sableng...! Kau lupa?!" kata murid
Pendeta Sinting seraya tunjuk dadanya sendiri.
"Aku tidak tanya namamu! Aku tanya kapan kita
berkenalan. Apa yang pernah kau berikan padaku?!"
'Kau ingat peristiwa Tengkorak Berdarah?! Di sana
aku memberikan sebuah mahkota bersusun tiga
padamu!"
"Jangan sembarangan bicara! Itu barang milikku!"
"Benar. Tapi aku yang telah menemukan dan mem-
berikannya padamu!"
"Ah...." Dewa Orok berseru seraya gelengkan kepala
seolah orang baru Ingat. Murid Pendeta Sinting
tersenyum lalu melangkah maju
"Kubilang tetap di tempatmu!" Mendadak Dewa Orok
perdengarkan bentakan membuat Joko hentikan kakinya
mengapung di atas udara
"Apa yang hendak kau beritahukan padaku" Dewa
Orok bertanya.
Mungkin agak mulai jengkeI melihat sikap orang, kaki
yang terapung hendak melangkah dihentakkan keras.
Dengan sepasang mata sedikit dlpentangkan murid
Pendeta Sinting berkata dengan suara agak keras.
"Di dalam mahkota bersusun tiga itu ada sebuah
rahasia besar!"
"Sebagai pemilik barang, aku lebih tahu darimu! Aku
tanya padamu, apa kau telah mendapatkan kitab Itu?!"
"Hem.... Berarti orang ini telah mengetahui rahasia
kitab yang tersimpan di mahkota miliknya! Gendeng Pa-
nuntun mengatakan kitab Itu telah jatuh ke tangan se-
orang pemuda. Sementara pemuda ini telah mengeta-
huinya terlebih dahulu dari mahkota yang dikatakan
miliknya. Jangan-jangan dia yang telah mendapatkan
kitab itu...."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera berujar.
"Kau teiah mengetahui rahasia itu sebelum aku.
Mengapa kau tanya aku?!"
Dewa Orok sunggingkan senyum. "Kau telah men-
dahuluiku mengetahui di mana beradanya mahkota dan
kitab bersampul kuning! Siapa tahu kau juga telah men-
dahulu! mengambil kitab itu?! Bukankah kau telah sam-
pai puncak Bukit Selamangleng?! Lebih dari itu kau telah
mengalahkan Iblis Rangkap Jiwa yang pasti telah
tunjukkan di mana kitab itu berada"
Pendekar 131 terkejut mendapati Dewa Orok tahu apa
yang telah terjadi. Hal itu menambah kuat dugaannya
kalau Dewa Orok telah berhasil mendapatkan kitab itu.
"Dewa Orok! Aku memang telah sampai tempat yang
ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa. Tapi ada seseorang yang
mendahuluiku! Sementara kau tahu rahasia dalam
mahkota...." Pendekar 131 hentikan sejenak ucapannya
seraya berpaling. Lalu melanjutkan. "Kuharap kau rela
memberikannya padaku! Jangan salah sangka, aku tidak
ingin memilikinya. Kitab itu harus dimusnahkan!”
“Pendekar 131! Aku memang mengetahui rahasia
dalam mahkota. Tapi aku terlambat! Sementara kau telah
mendahului ke puncak Bukit Selamangleng...." Seperti
halnya sikap murid Pendeta Sinting, Dewa Orok sejenak
hentikan ucapannya. Lalu ikut-ikutan berpaling. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Kau musnahkan atau tidak itu
urusanmu! Karena apa yang hendak kau musnahkan ada
di tanganmu!"
"Kau pandai memutar balik urusan!" sentak murid
Pendeta Sinting.
"Kau pandai memutar balik lidah!" Dewa Orok balas
menghardik.
"Aku yang akan memutar balik kepala kalian berdua!"
Satu suara sekonyong-konyong menyahut. Bersamaan
dengan itu satu sosok tubuh berkelebat dan tegak
sepuluh langkah di samping kiri kanan Pendekar 131 dan
Dewa Orok. Orang yang baru muncul ini langsung
perdengarkan tawa bergelak-gelak.
“Iblis Rangkap Jiwa!" seru Pendekar 131 dengan
suara tercekat. "Bagaimana ini? Di sini tidak mungkin
ada seorang perempuan! Kalaupun ada belum tentu mau
melakukan seperti apa yang dilakukan Putri Sableng di
puncak Bukit Selamangleng...." Diam-diam murid
Pendeta Sinting membatin.
Di depan sana, Dewa Orok juga tak kalah kagetnya.
Apa yang ada dalam pikirannya tak jauh berbeda dengan
apa yang sedang dipikirkan murid Pendeta Sinting.
Seolah tahu apa yang ada dalam benak kedua orang
di hadapannya, orang yang baru muncul yang ternyata
adalah seorang laki-laki yang raut wajahnya hampir tidak
tertutup daging, berkepala gundul, dan bukan lain adalah
Iblis Rangkap Jiwa adanya putuskan tawanya.
"Aku sudah berputar tiga kali di tempat ini! Jangan
harap kalian akan menemukan yang namanya
perempuan! Ha.... Ha.... Ha...! Nasibku baik hari ini.
Dicari satu-satu yang kudapat dua sekaligus!"
Baik murid Pendeta Sinting maupun Dewa Orok
sejurus saling pandang. Kalau Dewa Orok mengetahui
bahwa Pendekar 131 pernah membuat Iblis Rangkap
Jiwa tak berkutik dari Cucu Dewa, maka sebaliknya
Pendekar 131 baru mengetahui kalau Dewa Orok me-
ngetahui kelemahan Iblis Rangkap Jiwa dari ucapan
yang barusan dikatakan Iblis Rangkap Jiwa. Namun
apalah artinya mengetahui kelemahan orang tanpa bisa
melakukannya?
"Iblis Rangkap Jiwa!" kata murid Pendeta Sinting.
"Kurasa kau telah tahu kalau aku tidak mendapatkan
kitab itu! Dengan begitu di antara kita rasanya tidak ada
urusan lagi!"
"Iblis Rangkap Jiwa!" Dewa Orok ikut-ikutan angkat
bicara. "Kurasa kau juga telah tahu kalau aku tidak nim-
brung urusan kitab! Dengan begitu aneh rasanya kalau
kau tiba-tiba terus mencari-cariku!"
Mendengar ucapan kedua orang itu, Iblis Rangkap
Jiwa keraskan gelakan tawanya. Tangan kanannya di-
angkat ditunjukkan lurus ke arah murid Pendeta Sinting.
"Kau memang bernasib sial karena tidak mene-
mukan kitab itu! Tapi jangan kira urusan di antara kita
tidak ada lagi!"
Habis berkata begitu, tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa
bergerak dan berhenti tatkala tepat menunjuk lurus ke
arah Dewa Orok.
"Dan kau! Memang tidak ikut nimbrung urusan kitab
sialan itu! Tapi jangan merasa aneh kalau aku tetap akan
mencarimu sampai kapan dan di mana pun!"
"Hem.... Ucapannya mengisyaratkan dia telah tahu
siapa adanya orang yang mendapatkan kitab itu! Dan
yang pasti itu bukan Dewa Orok...." Murid Pendeta
Sinting menduga-duga ucapan Iblis Rangkap Jiwa.
Kalau murid Pendeta Sinting menduga-duga dalam
hati, diam-diam pula Dewa Orok membatin. "Nyatanya
Pendekar 131 bukan orang yang mendapatkan kitab itu
meski telah tahu tempatnya! Jadi ada yang tidak beres
kalau manusia ini terus-terusan mencariku...."
"Iblis Rangkap Jiwa!" kembali murid Pendeta Sinting
buka suara. "Kalau bukan urusan kitab, lalu urusan apa
lagi? Apa peristiwa di puncak bukit itu masih membuatmu
jengkel? Seharusnya kau berterima kasih. Kalau tidak
ada aku, mana mungkin kau bisa menikmati pantat
bagus, putih, besar, dan padat berisi...?!"
"Iblis Rangkap Jiwa!" kali ini yang buka suara Dewa
orok. "Aku akan tetap merasa aneh kalau kau tetap akan
mencariku sampai kapan dan di mana pun! Apa peristiwa
di depan kuil itu masih membekas di dadamu?
Seharusnya kau juga mengucapkan terima kasih padaku
meski tempo hari kau tidak berkenan melihatnya. Karena
yang kau dapatkan bukan seperti di puncak bukit.
Melainkan besar, hitam legam, dan kendor!"
Habis berkata begitu Dewa Orok tampak tertawa. Di
depan sana tawa murid Pendeta Sinting sudah meledak
lebih dahulu.
Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan tubuh bergetar.
Sepasang matanya yang melotot besar makin
terpentang. Tulang rahangnya bergerak terangkat.
"Agar kalian tidak bertanya-tanya di alam kubur nanti,
dengar!" bentak Iblis Rangkap Jiwa lalu arahkan
pandangannya pada Dewa Orok. "Nyawamu tidak akan
kusisakan!" Iblis Rangkap Jiwa lalu arahkan
pandangannya pada murid Pendeta Sinting. "Dan kau
masih sedikit beruntung. Karena aku hanya butuh
setengah nyawamu!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa mendongak.
"Satu setengah nyawa kalian adalah tebusan dari
nyawaku! Lebih dari itu, satu setengah nyawa kalian
kelak akan kutukar dengan Kitab Hitam itu! Ha.... Ha....
Ha...!"
Kembali Dewa Orok dan Pendekar 131 saling
pandang. Kejap lain Dewa Orok telah perdengarkan
suara.
"Ternyata nasibmu lebih baik, Anak Muda! Dia hanya
butuh setengah nyawamu! Padahal siapa pun tahu kalau
nyawaku lebih baik dari nyawamu! Apa ini karena aku
hanya bisa memperlihatkan pantat yang besar, hitam
legam, dan kendor?"
"Ah.... Kau keliru, Teman Muda!" sahut murid Pendeta
Sinting. "Kalau dia ingin setengah nyawaku berarti aku
harus merasakan sakit dulu yang bukan alang kepalang.
Lebih enak kau. Langsung mati tak merasakan apa-apa
lagi! Jangan-jangan ini karena sahabat kita bergelar Iblis
Rangkap Jiwa itu memang lebih suka melihat yang
besar, hitam gosong, dan kendor!"
Meski murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok tampak
tersenyum-senyum, namun sebenarnya dada masing-
masing orang ini merasa gelisah. Mereka sama maklum
kafeu Iblis Rangkep Jiwva adalah tokoh yang punya
kesaktian luar biasa. Dan walau keduanya tahu
bagaimana memusnahkan kesaktian Iblis Rangkap Jlwa,
namun rasanya sulit mendapatkan perempuan di tempat
seperti sekarang ini. f
Sementara itu, begitu mendengar ucapan-ucapan
Pendekar 131 dan Dewa Orok, iblis Rangkap Jiwa
menggereng keras. Kedua tangannya serta-merta di
angkat. Kejap lain kedua tangannya bergerak lepaskan
pukulan. Tangan kanan mengarah pada murid Pendeta
Sinting, tangan kiri lurus ke arah Dewa Orok!
* *
ENAM
PENDEKAR 131 dan Dewa Orok sejenak saling
berpandangan. Namun belum sempat ada yang buka
mulut, dua gelombang luar biasa dahsyat telah
menggebrak ke arah keduanya!
Meski telah tahu bahwa tidak ada gunanya
memangkas pukulan yang dilancarkan Iblis Rangkap
Jiwa, namun kalau tidak berusaha bertahan maka pasti
akan mengalami nasib lebih buruk lagi.
Berpikir begitu, Joko cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya
telah berubah berwarna kuning pertanda murid Pendeta
Sinting telah siap lancarkan pukulan 'Lembur Kuning', Di
lain pihak, Dewa Orok tidak tinggal diam. Pemuda
bertangan buntung murid Cucu Dewa ini tarik tubuh
bagian atasnya sedikit ke belakang. Saat lain tubuhnya
disentakkan ke depan.
Untuk sesaat cuaca menjadi semburat kekuningan.
Lalu terlihat cahaya kuning melesat dengan membawa
gelombang dahsyat dan hawa luar biasa panas.
Bersamaan itu dari tubuh Dewa Orok bagian atas
melesat kabut putih.
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras mengguncang tempat itu. Sinar
kuning yang melesat keluar dari tangan Joko semburat
ke udara lalu bertabur setelah membuat lidah api. Pada
saat yang sama, bongkahan kabut putih dari dada Dewa
Orok berhamburan.
Sosok Pendekar 131 mencelat sampai satu setengah
tombak. Untung murid Pendeta Sinting ini segera
sentakkan kedua tangannya untuk imbangi diri, hingga
meski sesaat sempat terhuyung-huyung namun tidak
sampai roboh. Wajahnya berubah pucat pasi. Kedua
tangannya tampak bergetar.
Di seberang, Dewa Orok juga terlihat tersapu akibat
bentroknya pukulan yang keluar dari dadanya dengan
pukulan Iblis Rangkap Jiwa. Sosoknya terputar lalu
melesat jauh ke belakang. Namun sebelum tubuhnya
terjerembab di atas tanah, pemuda bertangan buntung ini
gerakkan kedua kakinya seakan berselonjor ke atas.
Saat lain kedua kakinya membuat gerakan bersila di
udara dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Dengan
menggoyang kedua bahunya, sosoknya jungkir balik.
Lalu mendarat di atas tanah dengan duduk bersila.
Meski mulut Dewa Orok tampak sunggingkan senyum,
namun pemuda bertangan buntung ini tidak dapat
sembunyikan rasa sakit. Parasnya pias dengan dada
bergerak-gerak keras. Sepasang matanya sedikit
menyipit dengan kedua alis mata terangkat.
Walau iblis Rangkap Jiwa dikenal kalangan rimba
persilatan sebagai tokoh yang berkepandaian tinggi
dan kebal terhadap pukulan, namun mendapat pukulan
secara bersamaan dari murid Pendeta Sinting dan Dewa
Orok, tak urung sosoknya tergeret sampai satu tombak
dan terhuyung-huyung. Namun kejap lain laki-laki
berkepala gundul ini telah tegak dengari mulut perde-
ngarkan suara tawa bergelak.
"Kalian manusia-manusia bernasib malang berani
membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa! Ha....
Ha.... Ha...!"
Meski masih merasakan sakit, Dewa Orok segera
buka mulut menyahut.
"Kau manusia bernasib malang berani membuat
urusan dengan Dewa Orok! Ha.... Ha.... Ha...!" Dewa
Orok teruskan tawanya seraya mengerling pada murid
pendeta Sinting. Lalu edarkan pandangannya berkeliling.
Diam-diam pemuda ini didera perasaan gelisah dan
cemas.
"Celaka! Di tempat begini tidak mungkin ada seorang
perempuan! Dan tak mungkin dia dapat dikelabui lagi
seperti tempo hari!"
Seperti halnya Dewa Orok, diam-diam Pendekar 131
juga merasa gelisah dan waswas. Dia maklum Iblis
Rangkap Jiwa tidak dapat dikalahkan hanya dengan
mengandalkan pukulan.
"Apa yang harus kulakukan? Waktu di puncak Bukit
Selamangleng beberapa waktu lalu, pukulan 'Serat Biru'
tidak membuat dirinya cedera! Hem.... Meski menurut
beberapa orang manusia iblis ini kebal pukulan tapi akan
kucoba dengan pukulan yang kudapat dari Kitab Sundrik
Cakra...." Pendekar 131 segera alirkan tenaga dalam
pada tangan kanan. Jari telunjuk, jari tengah serta jari
manis diluruskan. Sementara ibu jari serta jari kelingking
ditekuk ke depan saling bertemu.
Melihat apa yang dilakukan Joko, Dewa Orok
kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang hendak dilakukan
orang, pemuda bertangan buntung ini segera kerahkan
tenaga dalamnya kembali. Sepasang matanya
dipejamkan. Lalu perlahan-lahan tubuh bagian atasnya
ditarik ke belakang hingga tubuhnya hampir sejajar
dengan tanah.
Mendapati kedua orang di hadapannya membuat
gerakan, Iblis Rangkap Jiwa perkeras gelakan tawanya.
Namun laksana dirobek setan, mendadak dia putuskan
tawanya. Mulutnya menyeringai dengan sepasang mata
mendelik angker. Kedua tangannya berkacak pinggang.
"Kalian boleh pilih sebelah mana yang kalian sukai"
Dewa Orok buka kelopak matanya. Mulutnya
membuka angkat bicara. ,
"Kau telah memberikan pilihan pada kami. Meski aku
tidak memiliki tangan, tapi aku tidak tertarik dengan
kedua tanganmu. Justru aku lebih suka pada senjata
bawahmu! Dengan punya dua senjata, tanpa tangan pun
pasti akan banyak perempuan yang tergila-gila padaku!
Lebih dari itu, aku bisa main-main dengan dua
perempuan sekaligus! Ha.... Ha.... Ha...! Pasti rasanya
asyik...l"
Pendekar 131 tidak sahuti ucapan Dewa Orok.
Sebaliknya dia cepat dorong tangan kanannya.
Wuuuttt!
Tiga larik sinar kuning melesat keluarkan suara deruan
keras. Tanah di depan sana terlihat bertabur tersapu ke
udara. Di sebelah samping, Dewa Orok segera
sentakkan tubuhnya ke atas.
Wuuutttt!
Tampak gelombang dahsyat menyembur dari dada
Dewa Orok disertai melesatnya bongkahan kabut.
Iblis Rangkap Jiwa pandangi pukulan yang mengarah
padanya dengan tatapan dingin. Orang ini tidak terlihat
membuat gerakan. Malah sesaat kemudian mulutnya
membuka perdengarkan suara tawa!
Desss! Desss!
Gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa terputus. Bersamaan
itu sosoknya tersapu hingga empat tombak ke belakang
sebelum akhirnya jatuh terbanting di atas tanah. Pakaian
yang dikenakannya tampak robek menganga di sana-
sini. Darah mengucur deras dari sudut bibirnya.
Tubuhnya diam tak bergerak.
Namun sesaat kemudian, laki-laki berkepala gundul
ini membuat gerakan. Kedua tangannya menyentak di
atas tanah. Sosoknya bergerak bangkit. Sepasang
matanya mendelik angker pandangi silih berganti pada
Pendekar 131 dan Dewa Orok.
Walau Iblis Rangkap Jiwa dapat tegak kembali, namun
jelas kalau laki-laki ini tidak dapat sembunyikan rasa sakit
yang mendera tubuhnya. Hal Ini membuatnya terheran-
heran.
"Keparat benar! Selama malang melintang beratus-
ratus tahun dalam dunia persilatan, baru kali ini aku
menemukan manusia yang pukulannya membuat dadaku
seolah hendak jebol! Aku harus segera membereskan
kedua manusia itu! Jika tidak, urusan dengan Malaikat
Penggali Kubur akan tertunda! Lebih dari itu aku bisa
celaka sendiri kalau terus-terusan meladeninya!"
Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya. Serta-
merta kedua tangannya diangkat ke atas.
Di seberang depan sana, Pendekar 131 dan Dewa
Orok sama pentangkan mata masing-masing dengan
mulut terkancing.
"Pukulan 'Sundrik Cakra' hanya membuat mulutnya
berdarah! Hem.... Aku akan coba gabungkan pukulan
'Serat Biru' dengan 'Sundrik Cakra'!" kata Joko dalam
hati. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya.
Di sebelah samping, mungkin merasa tidak ada
gunanya lagi lancarkan pukulan, Dewa Orok hanya
memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan' kedua tangannya. Pada
saat yang sama murid Pendeta Sinting dorong kedua
tangannya hendak lancarkan gabungan pukulan 'Serat
Biru' dengan 'Sundrik Cakra'.
Namun belum sampai kedua orang ini lancarkan
pukulan masing-masing, satu bayangan berkelebat.
"Tahan serangan!"
Murid Pendeta Sinting urungkan niat tanpa berpaling.
DI depan sana Iblis Rangkap Jiwa terlihat melengak
kaget malah sepasang kakinya tersurut satu tindak.
Seakan disentak tangan setan, kepalanya cepat
berpaling dengan paras berubah.
Dewa Orok sendiri terlihat belalakkan sepasang
matanya. Bibirnya sunggingkan senyum. Kejap lain pe-
muda bertangan buntung Ini berkelebat dan tahu-tahu
telah tegak sejarak tiga langkah di samping orang yang
berseru.
"Jahanam! Siapa makhluk perempuan ini?!" desis Iblis
Rangkap Jiwa dengan mata tak berkesip pandangi orang
yang baru datang.
Yang dipandang sunggingkan senyum. Sepasang
matanya menatap tajam. Bukan ke arah Dewa Orok atau
lblis Rangkap Jiwa, melainkan pada Pendekar 131.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut. Raut
wajahnya telah mengeriput. Kelopak matanya besar
dengan bola mata sipit. Rambutnya putih sebatas
tengkuk. Nenek ini mengenakan jubah panjang warna
merah menyala. Pada mulutnya tampak segumpal
tembakau berwarna hitam yang bergerak-gerak seiring
gerakan mulutnya.
Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya seraya buka
suara.
"Selamat jumpa lagi, teman lama.... Kuharap
keadaanmu baik-baik saja. Dan mudah-mudahan kau
tidak lupa denganku...."
Nenek berjubah merah menyala palingkan kepala
menghadap Dewa Orok. Sepasang matanya membesar.
Lalu terdengarlah suara tawa cekikikannya.
"Heran. Kurasa baru kali ini kita bertemu muka. Adalah
satu hal aneh kalau tiba-tiba kau menyebutku teman
lama.... Hik.... Hik.... Hik...l Harap kau tidak kecewa kalau
aku bukan saja lupa padamu, tetapi juga tidak
mengenalmu!"
Dewa Orok angkat kepalanya. Dahinya mengernyit
dengan mulut bergumam tak jelas. "Nenek ini pura-pura
lupa atau bagaimana? Aku masih ingat benar pertemuan
dengannya! Atau mungkinkah pandangan mataku yang
keliru?!" Dewa Orok kerjapkan sepasang matanya. Lalu
kepalanya disorongkan ke depan.
"Benar! Memang nenek ini yang sempat kutemui
beberapa waktu lalu.... Rambut dan tembakau di
mulutnya masih kuingat betul!" kata Dewa Orok dalam
hati lalu seraya masfh sunggingkan senyum, dia berkata.
"Nek! Bukankah kau Ratu Malam...?! Kita pernah
jumpa di depan Istana Hantu!"
Nenek berjubah merah pasang tampang angker.
Namun justru kejap kemudian yang terdengar adalah
suara tawa cekikikannya lagi, membuat Dewa Orok ge-
lengkan kepala. Tapi pemuda bertangan buntung ini se-
gera hentikan gelengan kepalanya. Saat lain dia ikut-
ikutan perdengarkan tawa cekikikan!
Pendekar 131 menoleh. Sejurus sepasang matanya
memandang tajam ke arah nenek berjubah merah yang
tidak lain memang Ratu Malam adanya.
"Nek...! Kalau kau lupa dengan temanku itu, kuharap
kau tidak lupa denganku...!" ucap Joko lalu menjura.
Ratu Malam hadapkan wajahnya pada murid Pendeta
Sinting. "Harapanmu sia-sia, Anak Muda! Seperti halnya
pemuda bertangan buntung itu, kurasa aku baru
pertama? kali jumpa denganmu...!" Ratu Malam
berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa lalu teruskan
ucapannya.
"Kalau aengan yang satu ini, tentu aku masih ingat
benar! Bukankah kau yang dikena! Iblis Rangkap Jiwa?!"
Meski hatinya tidak enak mendapati orang telah
mengenali dirinya, namun Iblis Rangkap Jiwa segera
menyahut.
"Syukur kau telah mengenaliku.... Kalau tidak ke-
beratan, harap sudi sebutkan diri!"
Ratu Malam tertawa dahulu sebelum menyahut.
“Pertemuan kita memang sudah lama sekali. Jadi aku
maklum kalau kau lupa denganku! Hik.... Hik.... Hik...!"
Ratu Malam arahkan pandangannya ke jurusan lain.
Ialu lanjutkan kata-katanya. 'Sebelum kujawab tanyamu,
aku tanya dahulu. Kau ingin aku sebutkan diri untuk
suatu apa bagaimana?!"
Iblis Rangkap Jiwa menatap dingin. "Pendekar 131
mengenalnya dengan Ratu Malam.... Hem.... Aku
memang pernah dengar nama itu dalam rimba persilatan.
tapi apa maksud pertanyaannya...?" Diam-diam laki-laki
berkepala gundul ini membatin. Lalu buka mulut.
"Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu!"
"Aku punya sebutan banyak! Untuk siang hari aku
punya gelar lain dengan malam hari. Demikian juga untuk
petang dan dini hari! Kau ingin aku sebutkan satu
persatu atau bagaimana? Atau kau hanya ingin aku
sebutkan nama yang biasa kusandang di semua sua-
sana?!"
Mungkin mulai dongkol dengan ucapan Ratu Malam,
Iblis Rangkap Jiwa cepat menyahut dengan suara keras.
"Terserah kau hendak sebutkan yang mana! Aku
hanya ingin kau sebutkan diri!"
Ratu Malam mainkan gumpalan tembakau hitam di
mulutnya sejenak. Lalu menjawab.
"Karena kau menyerahkan padaku, agar tidak terlalu
panjang lebar, aku akan sebutkan diri nama yang biasa
kupakai di semua suasana. Aku biasa dipanggil Ken
Dedes!"
Tawa cekikikan Dewa Orok berubah menjadi ledakan
tawa. Di seberang samping murid Pendeta Sinting coba
menahan tawa, tapi tak urung suara tawanya meledak
juga. Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tampak kancingkan
mulut dengan mata makin membeliak.
Ratu Malam memandang silih berganti pada Pendekar
131 dan Dewa Orok.
"Kenapa kalian tertawa, hah?! Apa yang kalian anggap
lucu?!"
"Harap Ken Dedes tidak salah sangka! Tidak ada yang
lucu. Hanya aku merasa heran, mengapa nama kita bisa
mirip?!" Yang buka suara adalah murid Pendeta Sinting.
"Betul! Ken Dedes harap tidak salah duga. Kami
tertawa bukan karena ada yang lucu! Hal ini semata-
mata karena aku juga merasa aneh, mengapa nama kita
betul-betul hampir sama...!" sahut Dewa Orok.
"Kalian berdua jangan main-main! Siapa nama-nama
kalian hingga kalian berani sebutkan nama hampir sama
denganku, hah?!" hardik Ratu Malam.
"Untuk semua suasana orang biasa memanggilku Ken
Jaka!" jawab Joko.
Dewa Orok tidak tinggal diam. Pemuda Ini segera pula
menyahuti. "Sementara untuk semua daerah, aku biasa
dikenal dengan Ken Arok...!"
Mendengar murid Pendata Sinting dan Dewa Orok
sebutkan nama, Ratu Malam komat-kamitkan mulut.
Lalu tertawa cekikikan hingga bahunya berguncang
keras. Di sebelah depan sana, Iblis Rangkap Jiwa
bantingkari kaki hingga keluarkan suara berdebam.
Tanah di bawahnya langsung semburat bertabur.
"Jahanam! Aku tak peduli siapa kalian! Yang jelas
Kalian harus mampus bersama!"
Iblis Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya tinggi-
tinggi. Tubuhnya terlihat bergetar keras pertanda dia tak
dapat lagi menahan gejolak amarah.
"Tunggu!" tahan Ratu Malam seraya hentikan tawanya.
Nenek ini melangkah empat tindak ke depan. Lalu
lorotkan sedikit tubuhnya dengan kedua tangan berjarak
mengangkat bagian bawah jubahnya sedikit membuat
gerakan seperti orang memberi hormat.
"Kuharap kau tidak merasa tersinggung. Aku me-
ngatakan yang sebenarnya. Ken Dedes memang nama
yang sering kukatakan pada orang-orang untuk semua
suasana.... Entah kalau kedua orang itu...!" Jari telunjuk
Ratu Malam bergerak menunjuk pada murid Pendeta
Mnting dan Dewa Orok.
"Aku juga mengatakan yang sebenarnya!" sahut
Pendekar 131.
"Aku juga!" timpal Dewa Orok, lalu ikut-ikutan membuat
gerakan seperti yang dilakukan oleh Ratu Malam. Hanya
kalau Ratu Malam angkat sedikit bagian bawah jubahnya
dengan kedua tangan, Dewa Orok angkat kaki kanannya
untuk sibakkan celana kirinya. Lalu angkat kaki kirinya
untuk sibakkan sedikit celana kaki kanannya!
Melihat gerakan yang dilakukan Ratu Malam, diam-
diam Iblis Rangkap Jiwa rasakan dadanya berdebar.
“Jangan-jangan perempuan tua ini tahu kelemahanku....
Bangsat benar! Siapa yang telah menebarkan semua ini
hingga orang yang baru saja kujumpa seakan sudah tahu
kelemahanku?!"
"Terima kasih kau mau mengerti...," kata Ratu Malarn
melihat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat kirimkan
serangan, bahkan terlihat tercenung. Seraya berkata
begitu, Ratu Malam kembali membuat gerakan hormat
sambil singsingkan jubah merahnya sedikit agak tinggi.
Dewa Orok tidak berdiam diri. Dia segera pula
menyahut. "Aku juga mengucapkan terima kasih...."
Lalu ikut-ikutan membuat gerakan menghormat dengan
singsingkan celana kanan kiri silih berganti dengan
kakinya.
Seakan tahu apa yang ada dalam benak Iblis Rangkap
Jiwa, murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya ke
arah pinggang.
Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Dia seakan maklum apa
yang hendak dilakukan oleh orang-orang di hadapannya.
Dengan suara bergetar keras dia membentak.
"Ken Dedes! Siapa pun kau adanya, kuharap kau segera
tinggalkan tempat ini!"
Ratu Malam gelengkan kepala. "Sayang.... Ken Dedes
tidak pernah mau menurut perintah orang! Harap kau
tidak kecewa.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. "Baik. Tapi
kuharap kau tidak ikut campur urusanku dengan kedua
manusia itu!"
Lagi-lagi Ratu Malam gelengkan kepala. "Sayang....
Selama ini Ken Dedes tidak pernah mau menerima
syarat orang.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Mungkin karena tertawa cekikikan sementara kedua
tangannya masih memegangi bagian bawah jubahnya,
maka singkapan jubahnya makin tertarik ke atas,
membuat Iblis Rangkap Jiwa makin terbeliak.
"Jahanam! Perempuan ini jangan-jangan memang
telah tahu...! Tapi aku belum yakin benar kalau tidak
menyaksikan sendiri! Siapa tahu hal itu dilakukan secara
tidak sengaja...." ,
Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa cepat angkat!
Kedua tangannya kembali. Lalu membentak. "Kau tidak
mau turuti ucapanku...."
Belum sampai ucapan Iblis Rangkap Jiwa selesai,
Ratu Malam telah menukas. "Sayang.... Aku tidak mau
dengar segala macam bentuk ancaman! Hik.... Hik....
Hik...!"
Mendengar ucapan Ratu Malam dan mungkin karena
belum merasa yakin kalau si nenek tahu kelemahannya,
Iblis Rangkap Jiwa tarik kedua tangannya ke belakang
siap lancarkan pukulan.
"Hai.... Kau tidak main-main?!" seru Ratu Malam
dengan pasang tampang seperti orang ketakutan. Malah
dengan mimik seolah ngeri, nenek ini balikkan tubuh
dengan kedua tangan tetap pegangi bagian bawah
jubahnya.
Melihat gerakan Ratu Malam, Dewa Orok cepat ikut-
ikutan putar diri membelakangi Iblis Rangkap Jiwa
dengan kaki kanan diangkat dan digaetkan pada ujung
Celana kaki kirinya seolah membuat gerakan seperti
orang hendak melorotkan celana.
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Lalu ba-
likkan tubuh dengan kedua tangan siap seolah hendak
menarik celananya ke bawah.
Iblis Rangkap Jiwa pandangi punggung ketiga orang
di hadapannya dengan kaki bergetar. Sepasang matanya
membeiiak. Dalam hati laki-laki ini memaki panjang
pendek.
"Manusia-manusia keparat! Kalian boleh mengetahui
kelemahanku, namun aku akan meninggalkan sesuatu
yang pantas untuk kalian!"
Iblis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya lan-
carkan pukulan!
Dua gelombang hitam luar biasa dahsyat menderu
ke arah Pendekar 131, Ratu Malam, serta Dewa Orok.
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata
memandang ke arah tiga orang di hadapan sana, lalu
sentakkan kedua kakinya dan berkelebat pergi.
*
* *
TUJUH
GERAKAN kedua tangan Ratu Malam yang hendak
singkapkan bagian bawah jubah merahnya tertahan.
Demikian juga gerakan kaki Dewa Orok serta kedua
tangan murid Pendeta Sinting yang hendak tarik
celananya.
"Cepat menyingkir!" teriak Pendekar 131 sambil
sentakkan kedua tangannya ke belakang. Lalu
berkelebat menghindar.
Ratu Malam dan Dewa Orok sejenak saling berpaling.
Namun baru saja kedua kepala mereka bergerak,
gelombang hitam telah menerjang.
"Celaka!" desis murid Pendeta Sinting. Tanpa pikir
pamjang lagi dia segera berkelebat ke arah Ratu Malam.
Brukkk!
Tubuh Ratu Malam tertubruk hingga tubuhnya dan
tubuh murid Pendeta Sinting terhuyung ke samping ke
arah Dewa Orok.
Brukkk!
Sosok Ratu Malam dan Pendekar 131 kini menubruk
sosok Dewa Orok. Saat itulah pukulan Iblis Rangkap
Jiwa datang menggebrak. Hingga tak ampun lagi tubuh
ketiga orang ini mental dengan saling bergandengan.
Sosok Pendekar 131 dan Dewa Orok terlihat berputar
di udara. Sementara sosok Ratu Malam hanya melayang
tanpa bergerak, karena sosoknya tertahan tubuh murid
Pendeta Sinting dan Dewa Orok.
Bukkk! Bukkk! Bukkkk!
Tubuh murid Pendeta Sinting menghantam tanah
terlebih dahulu dengan posisi telentang. Disusul dengan
tubuh Ratu Malam yang melayang jatuh tengkurap di
atas tubuh Pendekar 131. Sesaat kemudian tubuh Dewa
Orok terhempas dan tepat menindih tubuh Ratu Malam
dengan telungkup!
"Sialan! Kenapa kau menindihku?!" seru Ratu Malam.
Sikunya bergerak ke atas.
"Sialan! Kenapa kau menuduhku?!" teriak Dewa Orok.
Namun sebelum ucapannya selesai, sosoknya telah
melayang ke udara terkena hantaman siku Ratu Malam.
Ratu Malam tertawa cekikikan. Tapi mendadak tawa
cekikikannya terputus. Bersamaan dengan itu sosoknya
ikut melayang ke udara dengan kaki terjungkal ke atas.
Pendekar 131 buka kelopak matanya. Meski la masih
merasakan sakit pada bahu kanannya, namun tak urung
dia perdengarkan suara tawa bergelak. Karena di atas
sana terlihat Dewa Orok melayang dengan kaki
menggaet jubah Ratu Malam bagian bawah hingga
nenek itu ikut melayang dengan kaki di atas kepala di
bawah!
Ratu Malam menggerendeng panjang pendek. Sekali
bergerak tubuhnya berputar. Kedua kakinya lakukan
tendangan ke arah kaki Dewa Orok yang menggaet
bagian bawah jubahnya.
Desss!
Tubuh Dewa Orok terbanting di udara. Gaetan kaki
pada jubah Ratu Maiam lepas. Sosoknya melayang
jatuh. Namun begitu tubuhnya berada di bawah tubuh
Ratu Malam, kaki pemuda ini kembali bergerak
menggaet jubah bagian depan si nenek, hingga mau tak
mau keduanya melayang jatuh bersamaan!
Bukkk! Bukkkk!
Tubuh Dewa Orok jatuh terlebih dahulu dengan ter-
Ientang. Disusul dengan tubuh Ratu Malam yang teng-
kurap di atas tubuh Dewa Orok!
"Sialan! Kenapa kau menindih bahkan menciumku?!"
seru Dewa Orok seraya gerakkan kepalanya ke kiri
kanan hindarkan diri dari wajah Ratu Malam.
Ratu Malam angkat tubuhnya. Sepasang matanya
mendelik tak berkesip memandang ke arah bola mata
Dewa Orok. Mulutnya komat-kamit hingga tembakau
hitamnya tampak keluar masuk.
"Sialan! Kau yang sengaja minta supaya dapat di
cium!" teriak Ratu Malam. Tangan kiri kanannya diangkat
ke samping. Lalu dihantamkan ke arah kepala Dewa
Orok.
Karena tertindih tubuh Ratu Malam serta tidak punya
tangan, maka Dewa Orok hanya bisa memandang tanpa
bisa bergerak menghindar atau menangkis.
Murid Pendeta Sinting hendak berteriak menahan
grakan kedua tangan Ratu Malam. Namun sebelum
suaranya terdengar satu suara mendahului.
"Nek! Di bawahmu ada pemuda tak memiliki kedua
tangan. Mengapa kau masih tega hendak memecahkan
kepalanya?"
Ratu Malam tak hiraukan ucapan orang. Kedua
tangannya terus bergerak menghantam ke arah kepala
Dawa Orok. Sejengkal lagi kedua tangan Ratu Malam
m«nggebrak kepala Dewa Orok, mendadak satu caha-
ya putih berkiblat.
Gerakan kedua tangan Ratu Malam tertahan, malah
kajap lain kedua tangan nenek ini terlihat mental balik
ke samping. Bersamaan itu sosoknya laksana disapu
gelombang dan mencelat dari atas tubuh Dewa Orok.
"Kurang ajar! Siapa berani turun tangan ikut urus-
anku?!" teriak Ratu Malam lalu berpaling.
Sejarak lima belas langkah dari tempatnya, Ratu
Malam melihat seorang laki-laki bertubuh besar meng-
enakan pakaian gombrong warna hijau. Pada perutnya
terlihat melingkar satu ikat pinggang besar yang bagian
depannya terdapat sebuah cermin bulat. sepasang mata
laki-laki ini berwarna putih dan memandang ke atas
dengan bibir tersenyum.
Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Di seberang
sana, Dewa Orok juga menggeliat lalu bangkit duduk.
Kedua orang ini sama arahkan pandangannya pada laki-
laki berpakaian hijau gombrong yang tidak lain adalah
Gendeng Panuntun.
"Ke mana gerangan minggatnya Iblis Rangkap Jiwa?!"
Pendekar 131 dan Dewa Orok sama membatin karena
Iblis Rangkap Jiwa memang sudah meninggalkan tempat
itu tanpa sepengetahuan Joko dan Dewa Orok.
Baik Joko maupun Dewa Orok sama-sama hendak
buka mulut, namun Gendeng Panuntun telah
mendahului.
"Kalian jangan bergerak dahulu! Kalian masih dalam
keadaan terluka"
Baru saja ucapan Gendeng Panuntun selesai, Pen-
dekar 131 rasakan dadanya sesak. Kedua tarfgan dan
kakinya bergetar. Kejap lain dia melorot jatuh. Di sebe-
rang sana, Dewa Orok terlihat megap-megap. Lalu mu
lutnya menguncup membuat gerakan menyedot.
Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di udara
melesat dan masuk ke dalam mulutnya. Pada saat
bersamaan, tubuhnya terjajar rata dengan tanah
Ratu Malam sedikit sipitkan sepasang matanya. Lalu
berpaling pada murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok.
Namun baru saja menoleh dan belum sempat buka
suara, sosoknya melorot jatuh!
"Himpun tenaga murni. Salurkan pada dada kalian!"
kata Gendeng Panuntun. f
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan
tubuhnya ke arah Ratu Malam. Pantatnya digoyang
sedikit. Satu cahaya putih melesat ke arah Ratu Malam.
Kejap lain Gendeng Panuntun hadapkan tubuhnya ke
arah murid Pendeta Sinting. Pantatnya digoyang. Dari
cermin bulat di depan perutnya melesat satu cahaya
putih. Lalu sekali lagi pantatnya digoyang dan diarahkan
pada Dewa Orok.
Ratu Malam, Pendekar 131, serta Dewa Orok rasakan
hawa dingin merasuki sekujur tubuhnya. Namun
berrsamaan dengan itu, masing-masing orang rasakan
kepalanya berputar-putar. Saat lain ketiganya tidak ingat
apa-apa lagi. |>
Gendeng Panuntun melangkah ke arah Ratu Malam.
Tangan kirinya bergerak mengambil tubuh si nenek lalu
diletakkan di atas pundak kirinya. Sejenak Gendeng
Panuntun tengadah, lalu menghampiri Dewa Orok.
Begitu dekat, tangan kanannya bergerak. Tahu-tahu
sosok Dewa Orok telah berada di pundak kanannya.
Gendeng Panuntun hadapkan wajah ke arah sosok
murid Pendeta Sinting, namun cuma sekilas. Kejap lain
dia melangkah perlahan tinggalkan tempat itu dengan
tangan kiri kanan terangkat memegangi punggung ma-
sing-masing orang yang ada di pundaknya.
Beberapa saat berlalu. Mendadak murid Pendeta
Sinting membuat gerakan menggeliat. Lalu sepasang
matanya terbuka.
"Apa yang telah terjadi?"
Murid Pendeta Sinting bangkit duduk. Lalu edarkan
pandangan berkeliling. Dia tersentak. Bukan saja karena
dia tidak menemukan Ratu Malam, Dewa Orok, serta
Gendeng Panuntun, melainkan sepuluh langkah di
hadapannya tampak tegak seorang perempuan berusia
lanjut. Rambutnya putih dengan seluruh wajah
mengeriput. Sepasang matanya melotot besar dengan
bibir tersenyum dingin. Kedua tangannya merangkap di
depan dada. Tangan kanannya terlihat memegang
sebuah tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini me
ngenakan pakaian panjang berwarna coklat.
Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Baru saja
tegak, nenek di hadapannya telah membentak.
"Jawab dengan jujur! Bukankah kau anak manusia
yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sa-
bleng?!"
Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-
nya dari kaki sampai rambut dengan dahi berkerut.
"Kau punya telinga! Lekas bicara jawab tanyaku!”
bentak si nenek.
"Kau ini siapa, Nek?!"
Sambil bertanya diam-diam Joko terus membatin.
"Kemana sebenarnya Gendeng Panuntun, Ratu Malam,
dan Dewa Orok?! Dari mana nenek ini tiba-tiba muncul?!
Apakah dia sempat jumpa dengan mereka?! Atau
jangan-jangan...."
Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan kata hatinya
karena si nenek telah menyahut pertanyaannya.
"Nanti ada saatnya kau tahu siapa diriku! Saat
sekarang kau harus jawab dulu tanyaku!"
"Sikapnya tidak bersahabat. Aku tak mau buat
urusan!" kata Joko dalam hati lalu berkata. "Aku memang
Joko Sableng!"
Si nenek melangkah dua tindak dengan kedua tangan
masih merangkap di depan dada. "Bagus! Berarti kau
murid manusia jahanam Pendeta Sinting! Betul?!"
Joko tidak segera menjawab. Melainkan balikkan
tubuh lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
"Namamu memang telah dikenal dalam rimba per-
silatan. Namun jangan kira langkahmu bisa berlanjut
sebelum kau tuntas jawab pertanyaanku!" kata si nenek
lalu gerakkan kaki kanannya menyapu ke depan. -
Wuuttt!
Terdengar deruan keras. Lalu satu angin dahsyat
melesat ke depan.
Murid Pendeta Sinting cepat melompat selamatkan diri
lalu putar diri. Tapi belum sempat Joko angkat bicara, si
nenek telah mendahului.
"Di mana gurumu berada?!"
"Katakan dulu siapa kau dan mengapa tanya-tanya
guruku Pendeta Sinting?!".
Nenek berpakaian coklat menyeringai. Dengan
arahkan pandangan ke jurusan lain dia menjawab.
"Namamu boleh menjulang setinggi langit. Namun
sebelum kau mengenal banyak tokoh dunia persilatan,
jangan anggap dirimu di atas!" Si nenek arahkan pan-
dangannya pada murid Pendeta Sinting lalu lanjutkan
ucapannya. "Aku Ni Luh Padmi! Takdir telah menuntunku
untuk meneruskan urusanku dengan gurumu yang belum
selesai!"
"Hem...: Kau punya silang sengketa dengan guruku?!"
Nenek yang sebutkan diri dengan Ni Luh Padmi ter-
tawa pelan. "Urusanku lebih dari sekadar silang seng-
keta! Dan urusan ini tidak akan terputus sebelum gurumu
menemui ajal di tanganku!"
Joko pandangi orang dengan gelengkan kepala. Lalu
tanpa berkata sepatah kata dia balikkan tubuh.
"Di mana gurumu berada?!" Ni Luh Padmi menghardik.
Tanpa berpaling murid Pendeta Sinting berkata.
"Kau yang punya urusan. Aku tidak mau terlibat di da-
lamnya! Lebih dari itu karena aku sendiri tidak tahu di
mana guruku berada!"
"Hem.... Begitu? Dengar, Orang Muda! Aku datang
dari jauh! Selama puluhan tahun pula aku mencari tahui
Jadi jangan kira aku akan sia-siakan satu kesempatan
lolos dari tanganku! Kau mengerti maksudku bukan?"
"Tapi aku tidak tahu di mana guruku berada!"
Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Satu hal biasa kalau
seorang murid lindungi gurunya! Tapi adalah kenyataan
aneh jika seorang murid tidak tahu di mana gurunya
mendekam! Kau hanya perlu katakan di mana, maka
umurmu akan kuperpanjang. Jika tidak...." Si nenek tidak
lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia bergerak satu kali.
Tahu-tahu tubuhnya telah tegak di hadapan murid
Pendeta Sinting dengan kaki terkembang dan kedua
tangan masih merangkap di depan dada.
"Aku tidak akan tawarkan pilihan! Dan kau tidak punya
hak memilih! Kau hanya punya hak jawab tanyaku!"
"Aku telah menjawab tanyamu!"
"Benar! Tapi kau berdusta!"
"Terserah! Yang pasti aku telah menjawab!" ucap
murid Pendeta Sinting lalu putar diri membelakangi NI
Luh Padmi. Dan enak saja Joko melangkah.
"Kau ternyata memilih jalan salah, Orang Muda!"
kata Ni Luh Padmi. Lalu kedua tangannya merentang.
Kejap lain tangan kanannya yang menggenggam tusuk
konde besar bergerak.
Wuuttt!
Tusuk konde besar berwarna hitam melesat keluarkan
suara menderu keras.
Murid Pendeta Sinting yang teiah waspada sedari tadi
cepat berkelebat ke samping. Seraya putar diri kedua
tangannya membuat gerakan mendorong.
Satu gelombang menghampar ke depan. Namun Joko
terperanjat. Tusuk konde yang terlanggar gelombang
pukulannya laksana punya kekuatan luar biasa, bukan
hanya mampu menahan gelombang dari kedua tangan
Joko, melainkan melesat ke arahnya semakin cepat!
"Busyet! Orang ini punya senjata luar biasa!" desis
Joko lalu cepat berkelebat seraya dorongkan kembali
kedua tangannya ke arah tusuk konde.
Di depan sana, Ni Luh Padmi tertawa sambil gerakkan
tangan kanannya. Tusuk konde yang berada di atas
udara bergerak ke atas hindarkan diri dari gelombang
yang untuk kedua kalinya melesat keluar dari tangan
murid Pendeta Sinting.
Begitu lepas dari gelombang, tusuk konde menukik
deras mengarah pada Pendekar 131!
Joko cepat kerahkah tenaga dalam pada kedua
tangannya. Saat lain kedua tangannya berubah menjadi
berwarna kekuningan, pertanda dia siap lancarkan pu-
kulan 'Lembur Kuning'.
Ni Luh Padmi perkeras tawanya. Namun diam-diam
nenek ini lipat gandakan tenaga dalam pada tangan ka-
nannya. Bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan
Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning', Ni Luh Padmi
membuat gerakan menghantam ke depan.
Gerakan menukik tusuk konde semakin deras dan
keluarkan suara makin keras. Sepuluh jengkal lagi
tusukan konde menghantam, dari kedua tangan
Pendekar 131 melesat dua sinar kuning disertai
gelombang dahsyat membawa hawa luar biasa panas.
Tusuk konde tertahan di udara, lalu tersapu dan
mencelat balik ke arah Ni Luh Padmi!
Baru setengah jalan, Ni Luh Padmi keluarkan
bentakan garang. Sosoknya melesat ke depan. Tusuk
konde ditangkap dan serta-merta disentakkan ke arah
murid Pendeta Sinting.
Untuk kedua kalinya tusuk konde menderu ganas.
Bersamaan dengan itu Ni Luh Padmi teruskan kele-
batan tubuhnya. Sepasang kakinya membuat gerakan
lakukan sapuan ke depan.
Joko cepat selinapkan tangan kanannya ke balik
pakaiannya. Ketika ditarik kembali, tampaklah sebuah
pedang bersarung dan bergagang warna hijau, tangan
kiri cepat menarik sarung pedang, maka terlihatlah se-
buah pedang tumpul berwarna kuning bertuliskan angka
131.
Joko gerakkan tangan kanan babatkan pedangnya.
Terdengar suara deruan dahsyat. Pada saat bersamaan
murid Pendeta Sinting angkat kaki kanannya.
Tranggg!
Tusuk konde bentrok dengan pedang di tangan Joko
perdengarkan suara keras dan semburatkan lidah api.
Tangan kanan Joko tampak mental ke belakang Tusuk
konde Ni Luh Padmi mencelat balik. Saat itulah sapuan
sepasang kaki si nenek bertemu dengan kaki kanan
Joko.
Bukkkkk!
Sosok Ni Luh Padmi terjajar tiga langkah ke belakang.
Di hadapannya, sosok murid Pendeta Sinting terhuyung-
huyung.
Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Lalu membuat gerakan laksana orang menarik dengan
sentakkan tangannya ke depan. Tusuk konde yang
mental terhenti di udara. Di saat lain tusuk konde itu
melesat kembali ke arah tangan si nenek. Dan enak saja
Ni Luh Padmi tangkap tusuk kondenya.
Sejenak nenek ini tengadahkan kepala meneliti tusuk
kondenya. Sepasang matanya tampak mendelik. Tangan
kanannya bergetar.
"Jahanam! Tangan kananku laksana dipanggang! Anak
manusia itu harus cepat kubereskan! Tapi aku tak mau
dia mati! Keterangannya kuperlukan!"
Ni Luh Padmi gerakkan tangan kiri. Namun baru
setengah jalan, satu gelombang dahsyat menghampar.
Si nenek berseru berang. Kalau dia teruskan gerakkan
tangan kiri, maka sebelum gelombang sempat keluar,
hamparan gelombang dari Joko pasti akan terlebih
dahulu menyapunya!
Maklum akan hal itu, si nenek tidak mau ambi! resiko.
Karena satu-satunya jalan untuk selamatkan diri dari
gelombang adalah berkelebat, maka tanpa pikir panjang
lagi, nenek ini hentakkan kaki kanan kirinya. Tubuhnya
melesat ke samping. Gelombang yang menghampar
lewat dua jengkal di samping tubuhnya.
Begitu sepasang kakinya menginjak tanah kembali,
tangan kiri kanannya bergerak. Namun gerakan kedua
tangan nenek Ini tertahan. Sepasang matanya
membeiiak angker dengan rahang mengembung. Karena
ternyata dia tinggal sendirian di tempat itu!
*
* *
DELAPAN
PUNCAK Bukit Selamangleng masih tertutup kabut
dini hari. Di balik sebuah batangan pohon, satu sosok
tubuh tampak duduk bersila dengan kedua tangan
bersilangan di depan dada. Orang ini tidak sedang
bersemadi. Karena sepasang matanya yang besar
terlihat mendelik seakan menembusi kegelapan kabut.
Hembusan napasnya tidak teratur. Malah sesekali
kepalanya tengadah dengan pandangan menerawang.
"Bangsat benar! Apakah nasibku harus begini malang!
Beratus tahun aku habiskan waktu untuk menunggu.
Tapi begitu saatnya tiba, bukan hasil yang kudapati!
Jahanam! Keparat! Siapa sebenarnya yang menebarkan
berita hingga semua orang tahu kelemahanku! ini akan
membuat rencanaku berantakan! Malaikat Penggali
Kubur akan lebih semena-mena memperalat diriku!
Sialan benar! Aku harus cari jalan lain! Kitab Hitam harus
cepat kurebut dari tangan Malaikat Penggali Kubur!"
Orang yang berkata sendirian dan bukan lain adalah
Iblis Rangkap Jiwa adanya menghela napas dalam.
Seperti diketahui, saat bertemu dengan Ratu Malam,
Pendekar 131, dan Dewa Orok, ketiga orang ini seakan
tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa, hingga laki-laki
berkepala gundul ini gagal laksanakan maksudnya.
Meski begitu dia masih sempat kirimkan pukulan
sebelum berkelebat pergi.
"Tak mungkin aku merebut kitab Mu dengan jalan
kekerasan. Dengan Kitab Hitam di tangannya, Malaikat
Penggali Kubur jadi manusia yang sukar ditaklukkan.
Meringkus dan menghabisi Dewa Orok pun bukan lagi
pekerjaan mudah! Aku harus dapatkan siasat lain!" Iblis
Rangkap Jiwa luruskan kepala. Untuk sekian kalinya
laki-laki berusia ratusan tahun ini menghela napas dalam
dan panjang. Jeias kalau dadanya dibuncah dengan
berbagai hal sulit.
"Malaikat Penggali Kubur tidak dapat kutentukan
kapan datangnya ke tempat ini! Bisa saja setahun lagi
atau mendadak muncul hari ini juga! Hem...."
Mungkin belum dapat menemukan apa yang harus
diperbuat, Iblis Rangkap Jiwa akhirnya bergerak bangkit.
Namun mendadak laki-laki ini urungkan niat. Malah dia
bungkukkan sedikit tubuhnya dan makin rapatkan ke
batangan pohon. Bersamaan dengan itu kepalanya
berpaling ke bawah dengan sepasang mata liar berputar.
"Telingaku menangkap gerakan orang mendaki
puncak bukit! Jangan-jangan Malaikat Penggali Kubur!
Celaka kalau benar-benar dia!" Iblis Rangkap Jiwa makin
beliakkan sepasang matanya dengan paras berubah
dan tubuh bergetar.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu terlalu lama. Satu
sosok tubuh terlihat berkelebat dan tahu-tahu tegak tidak
jauh dari pohon di mana Iblis Rangkap Jiwa mendekam
sembunyi.
Untuk sesaat Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang
dengan mata tak berkesip. Meski orang ini tegak mem-
belakangi pohon, dan iblis Rangkap Jiwa belum me-
ngenali siapa adanya orang, namun ketegangan pada
paras wajah laki-laki berkepala gundul ini lenyap.
"Seorang perempuan!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
Namun sejauh ini dia belum beranjak dari tempatnya.
Dia hanya pandangi bagian belakang tubuh orang
dengan sepasang mata agak menyipit.
Di depan sana, orang yang baru muncul putar kepala
dengan mata menyelidik. Dia adalah seorang perempuan
berwajah cantik jelita meski usianya tidak muda.
Rambutnya hitam lebat digeraikan menutupi punggung
dan sebagian wajahnya. Sepasang matanya bulat tajam.
Hidungnya sedikit mancung ditingkah bibir merah ranum.
Dadanya membusung padat dengan pinggul besar.
Perempuan ini mengenakan pakaian warna biru tipis
yang bagian dadanya dibuat rendah, hingga dadanya
yang padat tampak mencuat menantang.
"Malaikat Penggali Kubur mengatakan orang itu ada di
bukit ini! Dan aku yakin Inilah tempat yang dikatakannya!
Tapi tak kulihat adanya orang di tempat ini!Apakah
Malaikat Penggali Kubur salah mengatakan? Atau aku
yang salah tempat?" Perempuan berbaju biru bergumam
sendiri seraya terus memandang berkeliling.
Mungkin merasa kurang yakin, si perempuan
melangkah memutari puncak bukit dan berhenti lagi di
tempatnya semula. Dia menarik napas. Lalu kembali
bergumam sendiri. "Aku harus menemui Malaikat Peng-
gali Kubur kembali....' Si perempuan melangkah hendak
menuruni puncak bukit.
Namun satu suara teguran membuat langkah si
perempuan tertahan.'
"Kau mencari sesuatu?!"
Belum sampai si perempuan berpaling ke arah
datangnya suara. Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja
perdengarkan suaira telah berkelebat keluar dari balik
pohon den tegak sejarak tiga langkah di belakang si
perempuan.
Si perempuan putar tubuh. Sepasang matanya yang
bulat tajam memperhatikan orang di hadapannya dengan
mata mendelik. Yang dipandang balas menatap. Bukan
ke arah mata orang, melainkan pada leher dan turun
pada dada lalu pada pinggul.
"Adakah ini manusianya yang kucari?” desis si pe-
rempuan dalam hati. Lalu angkat bicara.
"Apakah yang ada di hadapanku ini seorang yang
dikenal dengan julukan Iblis Rangkap Jiwa?!"
"Di dunia ini hanya ada satu iblis Rangkap Jiwa.
Dan yang tegak di hadapanmu adalah orangnya!"
"Tak kusangka kalau orang yang baru kutemui se-
kaligus harus kuajak bekerja sama adalah begini ma-
camnya! Tapi apa boleh buat! Ini harus kulakukan demi
tercapainya cita-citaku...." Diam-diam si perempuan
membatin.
"Kau menebak tepat diriku. Apakah kau datang
sengaja mencariku?!" Iblis Rangkap Jiwa ajukan tanya
dengan bibir sunggingkan senyum.
Si perempuan tidak segera menjawab. Kepalanya
berpaling ke samping dengan menghela napas dalam,
membuat dadanya tampak makin membusung kencang.
Sepasang mata iblis Rangkap Jiwa tambah membelalak.
Dadanya bergerak tidak teratur dan jakunnya turun naik.
"Datang dari tempat jauh, aku memang sengaja
mencarimu!" kata si perempuan setelah agak lama ber-
diam diri. Lalu arahkan kembali pandangannya pada
Iblis Rangkap Jiwa dan sekali lagi perhatikan orang dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
"Hem.... Apakah tujuannya untuk mengetahui Kitab
Hitam seperti beberapa orang sebelum ini? Atau punya
tujuan lain...? Hem.... Apa pun tujuan perempuan ini,
aku tak akan sia ajakan kesempatan...." Iblis Rangkap
Jiwa berkata dalam hati. Lalu angkat bicara.
"Kalau kau datang dari tempat jauh dan sengaja
mencariku, pasti kau punya maksudi"
Si perempuan tertawa perlahan. "Kau mengenal
seorang pemuda bergelar Malaikat Penggali Kubur?!"
Iblis Rangkap Jiwa tampak terkesiap. Paras wajahnya
berubah tegang dengan tulang dahi bergerak
mengernyit. Sesaat laki-laki ini terdiam.
Sementara melihat perubahan pada orang di ha-
dapannya, si perempuan tersenyum meski diam-diam
dalam hati penuh dengan tanda tanya. "Orang ini tampak
menunjukkan wajah ketakutan ketika kusebut nama
Malaikat Penggali Kubur. Hem.... Ada apa ini?"
"Apa hubunganmu dengan Malaikat Penggali
Kubur?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa setelah dapat kuasai
diri.
Si perempuan berbaju biru gelengkan kepala masih
dengan bibir sunggingkan senyum. "Apa hubunganku
tak perlu kau tahu. Tapi perubahan wajahmu
menunjukkan kau mengenali Malaikat Penggali Kubur!
Aku tanya. Kau menerima tugas dari Malaikat Penggali
Kubur?!"
Paras Iblis Rangkap Jiwa makin tegang. Dia tidak
menjawab pertanyaan si perempuan, sebaliknya hanya
memandang.
"Hem Seandainya Kitab Hitam belum jatuh ke
tangan Malaikat Penggali Kubur, tentu lebih mudah me-
naklukkan orang macam begini! Sayang, orang ini kute-
mui setelah Kitab Hitam jatuh ke tangan pemuda keparat
itu! Tapi aku masih punya kesempatan...," membatin si
perempuan. "Menurut Pendekar 131, orang ini memiliki
kepandaian sangat tinggi! Setidaknya hal itu bisa
kumanfaatkan...."
Si perempuan maju satu tindak. "Pada mulanya aku
Memang punya maksudi Namun sesuatu telah membuat
maksudku berubah! Aku tahu, kau mengerti seluk-beluk
tentang sebuah kitab sakti. Namun rupanya kaubukan
manusia yang beruntung karena tidak mendapatkan kitab
itu! Hem.... Apakah kau masih inginkan kitab itu?!"
Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang lebih saksama.
"Perempuan ini telah tahu banyak tentang diriku dan
kitab itu! Jangan-jangan dia memang sahabat Malaikat
Penggali Kubur! Tapi apa maksud ucapannya...?"
Setelah membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa berkata.
"Tidak ada seorang pun yang tidak inginkan kitab itu!
Dan meski diriku belum beruntung, tapi akan tiba saatnya
kitab itu jadi milikku!"
Si perempuan berbaju biru tertawa. "Cita-cita tidak
akan tercapai kalau tidak ada tindakan dan usaha!
Apakah kau sudah mempunyai satu rencana?!"
"Itu urusanku!"
"Benar! Tapi dalam urusan satu ini, tanpa bantuan
orang lain, semua rencanamu hanya sia-sia!"
"Itu juga urusanku!"
"Betul! Tapi adalah tindakan bodoh kalau sudah tahu
usaha sia-sia tapi tetap kau laksanakan!"
"Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" hardik Iblis
Rangkap Jiwa.
Yang dibentak sunggingkan senyum. "Aku memang
bukan orang yang banyak dikenal dalam dunia
persilatan. Namun setidaknya aku juga punya kemam-
puan untuk menggenggam rimba persilatan!"
Mendengar ucapan si perempuan, Iblis Rangkap Jiwa
pandangi wajah orang dari atas hingga bawah. Kejap lain
tawanya meledak.
"Bagaimana mungkin, orang yang namanya belum
begitu banyak dikenal dunia persilatan akan mampu
menggenggam rimba persilatanl Kau terlalu tinggi ber-
angan-angan, Anak Manis...!"
Si perempuan menunggu sampai tawa Iblis Rangkap
Jiwa lenyap. Begitu laki-laki berkepala gundul Ini
hentikan gelakan tawanya, si perempuan angkat bicara.
"Kepandaian tinggi bukan satu-satunya alat untuk
menggenggam dunia persilatan! Ada hal lain yang lebih
dari itu! Buktinya, meski kau memiliki kepandaian tinggi,
namun untuk memiliki sebuah kitab, kau tidak berhasil!
Bahkan kau harus menjadi budak orang lain!"
Tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa mengembang
Sepasang matanya mendelik angker. "Dengar! Semua
ini hanya sementara! Dan ini adalah salah satu renca-
naku!"
Si perempuan kini ganti perdengarkan tawa bergelak
panjang. Lalu berkata dengan sedikit tengadahkan
kepalanya.
"Ingat. Urusan yang kau hadapi tidak ada istilah
sementara! Sekali kau menjadi budak orang, selamanya
kau akan jadi budak! Kau mempunyai satu rencana, tapi
di lain pihak, tuati besarmu menyimpan seribu rencana!"
"Keparat! Kau tahu apa tentang aku, nah?!"
"Kaiau kau mendengar ucapanku sejak tadi, kau
tentu tak akan ucapkan pertanyaan itu! Aku tahu siapa
kau bahkan siapa yang telah mendapatkan kitab sakti
itu!"
"Berarti kau harus mampus!"
"Kau membutuhkan diriku tiaiam urusanmu!"
Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kanannya seraya
mengepal. "Tanganku masih memiliki kekuatan! Aku
memang membutuhkan dirimu. Bukan dalam urusanku.
Tetapi dalam hai bersenang-senang denganku! Ha....
Ha.... Ha...!"
Si perempuan ikut tertawa. "Urusan bersenang-
senang, bukan kau saja yang membutuhkan. Aku juga
menginginkannya...."
Ucapan si perempuan membuat Iblis Rangkap Jiwa
terkesiap. Tanpa sengaja kakinya bergerak melangkah
dua tindak dengan kedua tangan mengembang.
Di depannya, si perempuan beraju biru surutkan
langkah Masih dengan sunggingkan senyum dia berkata.
"Keinginanmu bisa saja kita lakukan di mana dan
kapan saja! Itu pekerjaan mudah.... Tapi sebenarnya
ada pekerjaan sulit yang harus segera kita lakukan! Pe-
kerjaan ini harus kita perhitungkan matang kalau kita
tidak ingin mati terlalu cepat!"
"Kau mengajakku bersekongkol untuk merebut kitab
itu! Benar?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa dengan tersenyum
dingin. j
"Urusan kitab bukanlah satu-satunya tujuanku!"
"Hem.... Lalu apa tujuanmu sebenarnya?!"
"Aku inginkan nyawa Pendekar 131 dan Malaikat
Penggali Kubur dan aku ingin nyawa kedua manusia
keparat itu putus tanpa aku harus ikut turun tangan"
"Satu keinginan yang mustahil!"
Si perempuan gelengkan kepala. Sambil tertawa
perlahan dia berucap.
"Aku punya cara tersendiri untuk laksanakan ke-
inginanku. Dan aku yakin perhitungan caraku tidak
akan meleset!"
"Hem.... Mau katakan apa caramu?!"
"Aku dikenal dengan gelar Ratu Pemikat. Dengan
cara itulah aku akan mempertemukan mereka berdua.
Aku tahu, di antara mereka berdua terdapat silang
sengketa dan dendam! Dari pertemuan mereka, kita
bisa mendapatkan hasil tanpa harus turun tangan"
. "Hem.... Ada benarnya juga ucapan perempuan ini!"
kata Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. Laki-laki ini hendak
berkata. Tapi si perempuan yang bukan lain adalah Ratu
Pemikat adanya telah lanjutkan ucapannya.
"Tapi untuk mempertemukan mereka, bukanlah hal
mudah. Aku butuh orang sepertimu! Karena ticak tertutup
kemungkinan ada orang lain yang ikut campur dan harus
dihadapi dengan jalan kekerasan! Untuk Itulah aku
menawarkan padamu untuk bergabung denganku! Kita
memang punya tujuan berlainan, tapi orang yang kita
hadapi adalah sama!"
"Baik! Kita bergabung. Tapi kalau di balik rencanamu
kau menyimpan satu rencana lain, kau akan menyesal!"
Ratu Pemikat arahkan pandangannya ke jurusan lain.
"Kau tidak memiliki apa-apa yang dapat diambil
keuntungannya. Kalau ada, itu hanyalah karena kau juga
punya dendam pada Malaikat Penggali Kubur! Jika tidak,
mungkin aku tadah cari orang lain...."
Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah dalam hati.
Sementara Ratu Pemikat putar tubuhnya sambil berkata.
"Aku tak punya waktu banyak! Aku ingin cepat dengar
keputusanmu tanpa ancaman!'
Karena ditunggu agak lama Iblis Rangkap Jiwa tidak
segera buka suara memberi jawaban, Ratu Pemikat
melangkah.
"Tunggu!"
Ratu Pemikat teruskan langkah tanpa hiraukan
teriakan Iblis Rangkap Jiwa, membuat laki-laki ini segera
berkelebat lalu tegak menghadang di hadapan Ratu
Pemikat.
"Syaratmu kuterima! Tapi...."
Ratu Pemikat hentikan langkah. Menatap sejurus pada
Iblis Rangkap Jiwa. Seakan tahu apa lanjutan kata-kata
yang hendak diucapkan orang, dia berkata.
"Urusan senang-senang pasti akan kita lakukan! Tapi
bukan di sini tempatnya!"
Hahis berkata begitu, Ratu Pemikat berkelebat me-
nuruni bukit. Iblis Rangkap Jiwa putar diri. Seakan tak
sabar dia hentakkan sepasang kakinya lalu menyusul
turun puncak Bukit Selamangleng yang mulai terang
karena sinar matahari telah unjuk diri.
* *
SEMBILAN
PADA satu tempat, Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu
Pemikat hentikan larinya masing-masing. Iblis Rangkap
Jiwa putar kepalanya dengan sepasang mata menyelidik
berkeliling. Di sebelahnya Ratu Pemikat hanya edarkan
pandangannya sejurus lalu berpaling pada Iblis Rangkap
Jiwa.
"Kau tidak lupa bahwa di tempat inilah kau terakhir
jumpa dengan Pendekar 131 ?!"
Tanpa memandang pada Ratu Pemikat, iblis Rangkap
Jiwa menyahut. Suaranya keras karena agak jengkel.
ingatanku masih normai. Seiang waktunya belum
lama! Dan malah aku yakin mereka sempat terkena pu-
kulanku! Dan kau bisa lihat bekas-bekas di tempat ini!"
seraya berkata, tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa menunjuk
pada beberapa tempat yang tampak porak-poranda
akibat pukulan.
'Hem.... Tapi...."
Belum sampai Ratu Pemikat selesaikan ucapannya,
Iblis Rangkap Jiwa telah menukas. "Tak ada gunanya
kita berdebat! Terserah kau percaya apa tidak! Yang
jelas, di tempat inilah aku jumpa dengan Pendekar 131 !"
"Hem.... Laiu ke mana kira-kira mereka?!"
Iblis Rangkap Jiwa berpaling memandang pada Ratu
Pemikat. "Kalau aku tahu, tak mungkin aku banyak
bicara lagi!"
"Tapi setidaknya kau bisa menduga!"
"Aku berlari ke arah timur dan sempat menunggu
beberapa saat di suatu tempat. Tapi mereka tidak
mengejarku!"
Begitu mendengar jawaban iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat edarkan matanya berkeliling dengan meneliti
agak saksama. Lalu matanya berhenti pada sosok iblis
Rangkap Jiwa.
"Kita ke arah barat!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu Iblis Rangkap
Jiwa buka suara, Ratu Pemikat berkelebat, Iblis
Rangkap Jiwa masih termangu sejenak. Namun di kejap
lain dia berlari ke arah yang diambil Ratu Pemikat.
Saat matahari mulai condong ke arah barat, Ratu
Pemikat berhenti. Tangan kanannya diangkat, Iblis
Rangkap Jiwa serta-merta hentikan larinya dengan se-
pasang mata menatap tajam pada sang Ratu.
"Kuharap kau menunggu di sini! Aku akan memberi
isyarat kapan saatnya kau harus keluar!"
Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan Iblis Rangkap
Jiwa, Ratu Pemikat telah berkelebat.
"Jahanam! Dia seakan tidak memberiku kesempatan!
Tapi.... Aku masih punya waktu banyak untuk dapat
menikmati tubuhnya! Hem.... Aku memang menangkap
adanya seseorang tidak jauh dari tempat ini! Memang
sebaiknya aku menunggu. Dengan begitu, aku dapat
mengetahui lebih dahulu siapa yang akan kuhadapi!"
kata iblis Rangkap Jiwa dalam hati seraya memandang
ke arah sosok Ratu Pemikat yang berkelebat dan lenyap
di tikungan di depan sana.
Apa yang ditangkap oleh Iblis Rangkap Jiwa dan
sebelumnya sudah pula ditangkap Ratu Pemikat benar
adanya. Baru saja Ratu Pemikat berkelebat sejarak dua
puluh tombak, sepasang matanya membentur pada
satu sosok tubuh yang duduk bersila di lamping sebuah
tanah yang agak menggugus.
Untuk beberapa saat Ratu Pemikat pandangi orang
dengan dahi berkerut. "Seorang pemuda berparas tam-
pan.... Sayang, tidak memiliki tangan! Siapa dia? Tapi
siapa pun dia adanya, sikap dan tindakannya yang
bersemadi menunjukkan kalau dia dari kalangan orang
persilatan...."
Ratu Pemikat melangkah mendekat. Kira-kira tujuh
langkah di hadapan orang yang duduk bersila dan tam-
pak bersemadi dengan sepasang mata terpejam, pe-
rempuan berparas cantik dan bertubuh bahenol ini ber-
henti. Sekali lagi ditatapinya orang yang duduk dengan
lebih saksama.
Saat itulah mendadak orang yang duduk bersila
kempotkan kedua pipinya lalu meniup. Bundaran karet
yang sedari tadi tampak di mulutnya melesat dan meng-
apung di udara.
Mungkin karena sama sekali tidak menduga dan juga
karena menyangka orang lakukan serangan, Ratu
Pemikat berseru tertahan. Sosoknya melompat ke sam-
ping. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Orang yang duduk bersila dan bukan lain adalah
Dewa Orok adanya buka kelopak matanya.
Meski sepasang matanya memandang pada Ratu
Pemikat, namun apa yang ada dalam benak si pemuda
adalah lain. "Heran. Bagaimana aku tahu-tahu berada
di sini? Ke mana Pendekar 131 dan Ratu Malam serta
manusia buta itu?!"
Seperti diketahui, begitu tersambar pukulan Iblis
Rangkap Jiwa, Dewa Orok sempat terkapar. Lalu mun-
cullah Gendeng Panuntun. Dewa Orok tidak tahu apa
yang kemudian terjadi, karena begitu kerahkan tenaga
murni seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun dan
satu cahaya putih berkiblat ke arahnya, dia merasakan
pandangannya menghitam. Yang sempat dirasakannya
saat itu adalah tubuhnya melayang dalam pundak orang.
Saat dia buka kelopak matanya, yang dia tahu dia sudah
berada di tempat lain.
Dewa Orok kerjapkan sepasang matanya. Dan tahu
apa yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, pemuda
bertangan buntung ini cepat buka mulut.
"Kukira kita masih belum kenal. Adakah perkenalan ini
harus didahului dengan satu pukulan?!"
Ratu Pemikat urungkan niat. Perlahan-lahan kedua
tangannya ditarik kembali ke bawah. Lalu melompat lagi
ke tempatnya semula.
Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, perem-
puan ini segera berkata.
"Kita memang belum kenal! Jadi katakan siapa kau
sebenarnya?!"
Dewa Orok pandangi orang dengan bibir sunggingkan
senyum.
"Aku telah katakan lebih dahulu kalau kita belum
saling kenal! Jadi harap kau katakan dahulu siapa kau
sebenarnya!"
Mendengar orang yang ditanya malah balik ajukan
tanya, Ratu Pemikat kelihatan belalakkan sepasang
matanya. Kalau perturutkan hati, mungkin perempuan
ini sudah tidak sabaran. Namun mengingat saat ini dia
tengah menjalankan satu urusan besar yang selain
harus bertindak hati-hati dan waspada seperti men-
jauhi silang sengketa baru dengan orang lain, maka
Ratu Pemikat coba menindih perasaan. Seraya ter-
senyum dia berkata menjawab.
"Aku digelari orang Ratu Pemikat!"
"Ah...." Dewa Orok perdengarkan keluhan. "Gelar yang
sesuai dengan orangnya.... Cantik, bertubuh bagus dan
memang memikat.... Tapi apakah...."
"Sekarang katakan siapa kau sebenarnya!" Ratu
Pemikat menukas ucapan Dewa Orok.
“Heem.. Aku digelari orang Pendekar 131" ucap Dewa
Orok seenaknya malah sambil alihkan pandangannya.
Ratu Pemikat semakin beliakkan sepasang matanya.
Diam-diam dalam hati perempuan Ini membatin.
"Dia perkenalkan diri dengan menggunakan nama Pen-
dekar 1311 Pasti dia mengenal Pendekar 131! Hem....
Apa dikira aku tidak kenal dengan Pendekar 131?!"
Ratu Pemikat masih coba menahan perasaan meski
makin tambah dongkol. Malah dengan maju satu tindak
dan kembangkan senyum dia angkat bicara.
"Senang jumpa dengan seorang tokoh yang namanya
banyak dikenal dunia persilatan.... Berada di tempat
begini sendirian apa kau menunggu seseorang?"
"Ucapanmu tidak salah! Sayang, lain yang ditunggu
lain pula yang muncul! Tapi aku bersyukur.... Yang
muncul seorang perempuan yang memikat! Lewat di
tempat begini sendirian, apa kau tengah mencari sese-
orang?!"
"Dugaanmu benar! Sayang, lain yang dicari lain pula
yang ditemui! Tapi aku bersyukur... yang kutemui
seorang pemuda tampan dan sudah dikenal orang de-
ngan nama menjulang!" Ratu Pemikat ikut-ikutan tirukan
ucapan Dewa Orok.
Dewa Orok bergerak bangkit. Mulutnya membuat
gerakan menyedot. Bundaran karet yang mengapung di
udara melesat masuk ke dalam mulutnya. Sejenak
pemuda bertangan buntung ini kempotkan kedua pipinya.
Terdengar suara duut! Duuttt! Duuttt! Saat berikutnya
Dewa Orok anggukkan kepala. Lalu tanpa berkata lagi
dia putar tubuh setengah lingkaran. Kejap lain dia
melangkah meninggalkan tempat itu.
"Boleh aku tahu. Hendak ke mana kau?!" teriak Ratu
Pemikat.
Dewa Orok hentikan langkahnya. "Kau bukan orang
yang kutunggu! Jadi harap tidak kecewa kalau aku tidak
bisa jawab pertanyaanmu!"
"Hem.... Begitu? Boleh aku tahu siapa orang yang kau
tunggu?!"
Masih tanpa putar tubuh menghadap Ratu Pemikat,
Dewa Orok menyahut.
"Sebenarnya aku bisa katakan siapa saja padamu.
Tapi aku tidak mau Berkata dusta padamu. Jadi terus
terang aku juga merasa menyesal tidak bisa jawab lagi
pertanyaanmu! Malah kalau tidak keberatan, bisa kata-
kan padaku siapa orang yang tengah kau cari?!"
Dengan menyeringai karena tidak dapat kuasai
perasaan, Ratu Pemikat menjawab dengan suara keras.
"Kau! Kaulah orang yang kucari!"
Dengan agak terkejut, Dewa Orok balikkan tubuh.
Sesaat dipandanginya Ratu Pemikat. Namun saat lain
sepasang mata pemuda ini terpejam seraya berkata.
"Heran. Kau tadi mengatakan lain yang dicari lain pula
yang ditemui. Bukankah itu berarti bahwa bukan aku
orang yang tengah kau cari?! Lagi pula perempuan
cantik sepertimu mengapa mencari pemuda seperti ku?
Aku tidak memiliki kedua tangan. Pasti kau nanti akan
menyesal seumur-umur!"
"Dengar! Aku memang tidak butuh pemuda tidak
memiliki tangan sepertimu!"
"Kalau begitu, aku bisa pergi...," ucap Dewa Orok
dengan suara agak mendesis karena mulutnya tertutup
oleh bundaran karet. Masih dengan sepasang mata
terpejam, pemuda ini kembali balikkan tubuh.
Namun sebelum kaki Dewa Orok bergerak melangkah,
Ratu Pemikat telah angkat bicara.
"Kau bisa pergi, tapi tinggalkan keterangan padakul"
Dewa Orok gelengkan kepala. "Dari pemuda sepertiku,
keterangan apa yang bisa kuberikan padamu?!"
"Di mana beradanya Pendekar 131?!"
Sesaat Dewa Orok tampak terkejut. Sepasang ma-
tanya kontan membuka dengan mulut komat-kamit.
Saat lain dia meniup. Bundaran karet mencuat ke udara.
"Kau benar-benar mencariku?!"
"Aku mencari Pendekar 131! Bukan kau!"
"Tapi aku adalah...."
"Aku tahu luar dalam siapa Pendekar 131! Jadi jangan
banyak mulut bicara tak karuan!" hardik Ratu Pemikat.
"Ah.... Kau tentu salah lihat! Atau jangan-jangan kau
telah dikelabui orang...."
Mungkin tidak sabar, Ratu Pemikat meloncat ke depan
dan tegak sejarak empat langkah di depan Dewa Orok.
"Aku tidak dapat dikelabui orang! Apalagi orang
sepertimu!"
"Aku juga tidak dapat dikelabui orang! Apalagi orang
cantik sepertimu!" Dewa Orok mulai ikut-ikutan bicara
seperti ucapan Ratu Pemikat.
"Persetan dengan ucapanmu! Kau mengaku-ngaku
sebagai Pendekar 131, berarti kau kenal Pendekar 131.
Dan tentu kau tahu di mana dia!*1
"Kalau kau bisa mengatakan persetan dengan
ucapanku. Jangan menyesal kalau aku juga bisa me-
ngatakan persetan dengan pertanyaan dan dugaanmu!"
"Siapa menduga!" sentak Ratu Pemikat,
'Siapa menduga?" tanya Dewa Orok sambil tertawa
mengekeh. "Kau jelas telah tahu kalau di sini hanya kita
berdua! Kau tadi mengatakan aku tahu di mana orang
yang tengah kau cari dan menurutmu bernama sepertiku!
Bukankah itu sebuah dugaan?!"
"Hem.... Kau pintar bicara!"
Dewa Orok gelengkan kepala. "Sebagai orang yang
bergelar Ratu Pemikat, pasti kau lebih pintar bicara
daripada aku! Dan aku khawatir, jangan-jangan kau...."
Dewa Orok tidak lanjutkan ucapannya.
"Jangan-jangan apa, hah?!" sahut Ratu Pemikat.
"Semua pembicaraanmu tadi hanya untuk
memikatku...."
Tampang Ratu Pemikat berubah merah padam.
Perempuan ini sudah tidak dapat lagi menindih pera-
sannya. Tubuhnya tampak bergetar.
"Dengar! Aku tak peduli siapa kau sebenarnya!
Tapi jika kau tidak mengatakan di mana Pendekar 131,
aku tak segan membuatmu tidak hidup juga tidak mati!
Kau dengar?!"
"Aku dengar, Ratu.... Tapi harap kau dengar juga.
Aku memang sejak lama sudah tidak peduli orang me-
mandangku siapa! Yang jelas aku adalah Pendekar
131!"
"Bagus! Rupanya kau lebih suka hidup tidak mati
juga tidak!"
Belum habis kata-kata Ratu Pemikat, perempuan
ini sudah berkelebat ke depan. Kedua tangannya di-
angkat tinggi Bersamaan dengan itu kaki kanannya
bergerak menendang dengan menyamping
Dewa Orok sedot bundaran karet masuk ke dalam
mulutnya, pemuda melakukan gerakan satu kali. Kejap
lain sepasang kakinya telah berada di atas udara
sementara kepalanya berada di bawah.
Begitu sepasang tangan Ratu Pemikat dan
tendangan kaki kanannya menggebrak, Dewa Orok tekuk
kedua kakinya lalu serentak disentakkan lurus ke depan.
Bukkkkk!
Terdengar seruan tertahan dari mulut Ratu Pemikat.
Kedua tangannya mental deras ke samping. Sosoknya
terhuyung beberapa tindak ke belakang. Malah kaki
kanannya yang menendang sudah tersapu terlebih
dahulu sebelum mencapai sasaran!
Pada mulanya Ratu Pemikat hanya memandang
sebelah mata pada Dewa Orok hingga saat lakukan
pukulan dan tendangan, perempuan ini hanya sedikit
kerahkan tenaga dalamnya. Dia lebih andalkan tenaga
luar.
"Keparat! Siapa pemuda ini?" Ratu Pemikat per-
hatikan orang di hadapannya dengan rahang mengem-
bang. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Kali ini dia tidak mau bertindak ayal.
Bentrok yang baru saja terjadi membuat dirinya maklum
kalau orang yang dihadapi bukan orang yang bisa
dipandang sebelah mata.
Sementara di depan sana, Dewa Orok tetap tegak
dengan bertumpu pada kepalanya. Malah pemuda ini
tampak sunggingkan senyum lalu buka mulut.
"Ratu.... Kau telah temui orang yang tengah kau cari.
Harap katakan apa tujuanmu mencariku “
Ratu Pemikat tidak menjawab pertanyaan itu dan
mengeluarkan dengusan keras. Saat bersamaan dengan
sosoknya berkelebat ke depan. Kedua tangannya
menyambar ke arah selangkangan Dewa Orok
Dewa Orok pejamkan sepasang matanya. Kedua
kakinya sambil ditekuk dengan lutut disilangkan tepat
di depan selangkangan.
Bukkk!
Untuk kedua kalinya kedua tangan Ratu Pemikat
bentrok dengan kedua kaki Dewa Orok. Meski Ratu
Pemikat telah kerahkan tenaga dalamnya dua kali lipat
dari yang semula, namun tak urung juga sosoknya ter-
lihat surut satu tindak. Tapi sebelum sosoknya terseret
lebih jauh, perempuan berparas cantik ini cepat sen-
takkan tubuhnya ke bawah. Saat bersamaan sosoknya
terhenti lalu kedua kakinya laksana kilat menggebrak
lurus ke arah kepala Dewa Orok!
Dewa Orok buka kelopak matanya. Sesaat matanya
mendelik. Dengan perdengarkan seruan, pemuda ber-
tangan buntung ini tarik kepalanya ke belakang. Ber-
samaan itu kedua kakinya diluruskan lalu dihempaskan
ke depan.
Seeett!
Gerakan sepasang kaki Ratu Pemikat tertahan.
Perempuan in; tampak menjerit Karena sepasang kaki
Dewa Orok menjepit pinggulnya!
"Kurang ajar!" Kedua tangan Ratu Pernikat bergerak
menghantam punggung Dewa Orok yang kini setengah
tegak di atas tubuhnya dengan posisi membelakangi.
Bukan hanya sampai di situ. Ratu Pemikat serentak juga
gerakkan kedua kakinya ke atas menghantam ke arah
dada lawan.
Mendapat serangan dari depan dan belakang, Dewa
Orok tampak terkesiap. Namun pemuda ini tidak hilang
akal. Sejengkal lagi kedua tangan dan kaki Ratu Pemikat
menghantam telak punggung dan dadanya, dia gerakkan
tubuhnya ke samping dengan kedua kaki menggapit
pinggul Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat menggeram. Kedua tangannya dige-
rakkan berbelok mengikuti arah gerakan tubuh Dewa
Orok. Pada saat yang sama, kaki kirinya juga bergerak
searah gerakan dada Dewa Orok.
Namun lagi-lagi Ratu Pemikat mendengus marah.
Karena Dewa Orok telah terlebih dahulu menggerakkan
tubuhnya dengan cepat ke samping kanan. Hingga baik
kedua tangan dan kaki Ratu Pemikat hanya menghantam
tempat kosong!
Mungkin merasa dipermainkan orang, dengari lipat
gandakan tenaga dalamnya, Ratu Pemikat tekuk kedua
tangan dan kakinya. Kejap kemudian siku serta lututnya
menghantam sekaligus ke arah kaki dan perut Dewa
Orok.
Dewa Orok tidak tinggal diam. Laksana disentakkan
tangan setan, pemuda ini angkat tubuhnya sedikit ke
atas. Lalu serta-merta pantatnya didorong ke belakang.
Bukkk! Bukkk!
Kedua siku Ratu Pemikat menghantam telak kaki
Dewa Orok hingga jepitan kakinya pada pinggul sang
Ratu lepas. Namun bersamaan dengan itu pantat Dewa
Orok menghantam tepat wajah Ratu Pemikat membuat
perempuan ini terjengkang telentang di atas tanah.
Sementara Dewa Orok jatuh terduduk di atasnya dengan
kedua kaki merentang di atas bahu kiri dan kanan Ratu
Pemikat.
"Bangsat keparat!" teriak Ratu Pemikat. Kedua ta-
ngannya cepat bergerak menggaet kedua kaki Dewa
Orok. Kedua kakinya pun segera menghentak tanah.
Saat lain sosoknya bergerak bangkit.
Karena kedua kaki Dewa Orok berada di atas bahu
Ratu Pemikat, maka tubuh Dewa Orok tampak terangkat
ke atas. Melihat hal demikian, Ratu Pemikat tidak sia-
siakan kesempatan. Kaki kanannya cepat dihantamkan
ke belakang. Namun terlambat. Karena Dewa Orok telah
terlebih dahulu tubrukkan tubuhnya ke arah paha kaki kiri
Ratu Pemikat yang dibuat sebagai tumpuan tubuhnya.
Dessss!
Ratu Pemikat menjerit tinggi. Sosoknya terhuyung-
huyung. Dewa Orok tarik tubuhnya ke depan, lalu
kembali ditubrukkan ke arah paha Ratu Pemikat.
Dessss!
Kedua kaki Ratu Pemikat menekuk. Lalu perempuan
ini jatuh terduduk. Dewa Orok cepat angkat tubuhnya ke
atas. Laiu kedua kakinya yang masih dipegang Ratu
Pemikat dilorotkan ke bawah, hingga tubuh pemuda
bertangan buntung ini nongkrong di atas tengkuk Ratu
Pemikat.
"Kalau begini rasanya tidak hidup tidak mati, aku ingin
seumur-umur begini saja!" ujar Dewa Orok seraya
kempotkan pipinya menyedot hingga saat itu juga ter
dengar suara duutt! Duutt! beberapa kali.
Ratu Pemikat memaki dengan kedua tangan lepaskan
gaetannya pada kedua kaki Dewa Orok. Serta-merta
kedua tangannya bergerak menghantam ke atas.
Namun sebelum kedua tangan Ratu Pemikat meng-
hantam, satu gelombang luar biasa dahsyat meng-
gebrak!
*
* *
SEPULUH
MESKI Ratu Pemikat adalah orang yang paling terkejut
karena baginya tidak mungkin dapat hindarkan diri selagi
tubuh Dewa Orok masih nongkrong di tengkuknya,
namun Dewa Orok juga tampak tak kalah terkejut.
Namun pemuda ini cepat berpikir. Kejap lain kedua
kakinya yang teiah lepas dari gaetan Ratu Pemikat ditarik
ke atas menggaet lengan si perempuan yang tengah
terangkat.
Dewa Orok kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh bagian
alasnya disentakkan ke atas. Bersamaan dengan itu
tubuhnya terangkat. Karena kedua kakinya menggaet
kedua lengan Ratu Pemikat, maka tak urung sosok Ratu
Pemikat juga ikut terangkat.
Lima jengkal lagi gelombang dahsyat melanggar, Dewa
Orok gerakkan kedua kakinya ke arah lambung kiri kanan
Ratu Pemikat. Dengan sedikit sentakkan kaki, sosoknya
melesat.
Di lain pihak, Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua
kakinya. Sosoknya berkelebat. Tapi kelebatan tubuh
Ratu Pemikat bersamaan dengan datangnya gelombang,
hingga meski tubuhnya selamat, namun tak urung kaki
kanannya masih juga tersambar gelombang. Tak ampun
lagi tubuhnya sempat terbanting di udara sebelum
akhirnya jatuh terkapar.
Dewa Orok cepat balikkan tubuh. Bersamaan dengan
itu Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangannya.
Sosoknya bergerak duduk. Sejenak perempuan ini
meneliti bagian kakinya. Parasnya seketika berubah.
Karena kaki kanannya tampak mengembung hitam dan
terasa panas luar biasa.
"Bangsat siapa yang berani lakukan serangan dari
belakang ini?!" Laksana disentak setan, kepalanya cepat
berpaling ke belakang dari mana gelombang yang
sempat menghajar kaki kanannya datang.
Kali ini meski Ratu Pemikat sempat terkesiap, tapi
yang terlihat paling tersentak kaget adalah Dewa Orok.
Kedua orang ini melihat seorang laki-laki berkepala
gundu! tegak dengan kedua tangan mengembang ke
belakang dan bibir sunggingkan senyum dingin.
"Sialan! Mengapa kau menyerangku?!" seru Ratu
Pemikat dengan suara keras bergetar.
"Betul! Sialan! Mengapa dia juga menyerangku?”
Dewa Orok ikut-ikutan memaki meski raut wajahnya tak
dapat sembunyikan rasa khawatir.
Laki-laki berkepala gundul dan bukan lain adalah Iblis
Rangkap Jiwa adanya tanggapi makian orang dengan
mulut terkancing. Namun tubuhnya terlihat sedikit
bergetar tanda laki-laki ini telah dilanda amarah.
Iblis Rangkap Jiwa memandang pada Dewa Orok
dengan tampang beringas.
"Kali ini kau tak akan lolos, Jahanam'" teriaknya
sambil kerahkan tenaga dalam.
"Astaga! Jadi Iblis Rangkap Jiwa telah mengenal
pemuda itu! jangan-jangan pemuda itu salah satu orang
yang diceritakan bersama-sama Pendekar 131! Jadi dia
adalah Dewa Orok...." Ratu Pemikat membatin dalam
hati seraya pandangi Dewa Orok. Lalu berpaling lagi
pada iblis Rangkap Jiwa.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah sejak tadi
mengintai dan mendengar adu muiut antara Dewa Orok
dan Ratu Pemikat. Namun sejauh ini dia belum berani
unjuk diri. Dia masih khawatir kalau Pendekar 131 dan
Ratu Malam ada di sekitar tempat ini, karena pada
pertemuan kemarin Dewa Orok memang bersama-sama
dengan Pendekar 131 dan Ratu Malam.
Begitu ditunggu agak lama dan yakin kalau tidak ada
orang lain di sekitar tempat itu, Iblis Rangkap Jiwa
segera kirimkan pukulan saat Ratu Pemikat hendak
lakukan pukulan ke arah Dewa Orok yang tengah
nongkrong di atas tengkuknya.
Sementara melihat siapa adanya orang, Dewa Orok
terlihat gelisah. Untuk beberapa saat dia tampak
tercenung berpikir. "Di sini memang ada seorang
perempuan. Tapi tak mungkin dia mau kuajak bekerja
sama. Bagaimana sekarang...?!"
Selagi Dewa Orok tengah berpikir, Ratu Pemikat telah
bangkit berdiri meski sesaat tampak terhuyung-huyung.
"Kau bernasib malang! Di tempat ini tidak ada lagi
orang yang dapat membantumu, Jahanam! Dan
nyawamu seperti pernah kukatakan adalah telah diperun-
tukkan untukku sebagai imbalan!" kata Iblis Rangkap
Jiwa lalu angkat kedua tangannya.
"Tunggu!" tahan Ratu Pemikat.
“Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan seruan Ratu
Pemikat. Kedua tangannya terus diangkat tinggi-tinggi ke
atas. Maklum akan apa yang hendak dilakukan iblis
Rangkap Jiwa dan yakin jika Iblis Rangkap Jiwa tidak
main-main dengan ucapannya, Ratu Pemikat cepat ber-
kelebat ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Ratu Pemikat angkat tangannya menahan kedua
tangan Iblis Rangkap Jiwa yang hendak kirimkan pukulan
ke arah Dewa Orok.
"Jangan bikin dia mampus! Keterangannya kita
butuhkan! Menurut ucapan-ucapannya dan ceritamu, aku
hampir yakin kalau dia tahu di mana Pendekar 131!
Kalau dia sampai mampus, pencarian kita tambah sukar”
"Tapi dia harus mampus di tanganku! Kalau tidak,
urusan dengan Malaikat Penggali Kubur tidak cepat se-
lesai!" sahut Iblis Rangkap Jiwa dengan mata terus
pandangi Dewa Orok. Laki-laki berkepala gundul ini
seakan tidak mau lagi kehilangan orang yang harus di-
bunuh seperti yang diperintahkan Malaikat Penggali
Kubur.
"Dia memang harus mampus! Tapi bukan untuk saat
sekarang! Setelah dia beri keterangan, nyawanya
terserah padamu!"
Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepala. "Jejak
Pendekar 131 dapat kita cari! Tapi kalau aku kehilangan
jejak manusia buntung itu, urusanku akan jadi be-
rantakan! Bahkan nyawaku tidak dapat kuselamatkan!"
"Urusanmu dengan MalaiKat Penggali Kubur nanti
bisa kita atur lagi.... Bukankah tujuan utamamu kitab itu?
Dengan keterangan dari pemuda bertangan buntung itu,
kita akan tahu di mana Pendekar 131. Kalau kita berhasil
mempertemukan Pendekar 131 dengan Malaikat
Penggali Kubur, urusan kitab sakti itu akan juga selesai!
Bukankah begitu?"
"Tapi urusanku dengan Malaikat Penggali Kubur lain!
Nyawaku tergantung pada nyawa pemuda itu!"
Ratu Pemikat tertawa perlahan. "Urusar Malaikat
Penggali Kubur dengan Pendekar 131 kurasa lebih ber-
arti bagi Malaikat Penggali Kubur dibanding urusan
nyawa pemuda buntung itu dan kau!"
"Tapi...."
"Nyawanya hanya kita tahan sementara sampai dia
beri keterangan! Malah mungkin Malaikat Penggali Kubur
tentu dapat mengerti apa yang kita lakukan jika dia kelak
tahu!" potong Ratu Pemikat lalu lepaskan kedua
tangannya pada kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.
"Bikin dia tidak berdaya!"
Sesaat Iblis, Rangkap Jiwa terdiam. Namun saat lain
kepalanya mengangguk. Bersamaan dengan itu kedua
tangannya bergerak lakukan pukulan. Namun tenaga
dalam yang dikerahkan sudah jauh berkurang dari apa
yang hendak dilakukan semula
Di depan sana Dewa Orok tampak tarik sedikit
tubuhnya ke belakang. Pemuda itu maklum akan tingkat
ilmu Iblis Rangkap Jiwa. Hingga dia tak berani bertindak
sembarangan.
Ketika gelombang angin dahsyat melesat dari kedua
tangan iblis Rangkap Jiwa, Dewa Orok cepat sentakkan
tubuhnya ke depan.
Wuuttt!
Gelombang kabut putih menghampar dan dada
Dewa Orok memangkas gelombang angin yang keluar
dari kedua tangan iblis Rangkap Jiwa.
Karena Iblis Rangkap Jiwa hanya kerahkan sedikit
tenaga dalamnya, sementara Dewa Orok kerahkan se-.
genap tenaga dalamnya, maka begitu kedua pukulan
mereka bentrok di udara, sosok iblis Rangkap Jiwa
tampak mencelat mental sampai satu setengah tombak
ke belakang. Di lain pihak, sosok Dewa Orok hanya
terseret beberapa langkah. Meski demikian, paras
pemuda bertangan buntung ini tampak berubah.
Dadanya bergetar keras. Malah kedua pijakan kakinya
sedikit menekuk.
Sementara sosok Iblis Rangkap Jiwa tampak jatuh
terkapar di atas tanah. Namun karena laki-laki ini dikenal
sebagai tokoh berilmu tinggi yang tahan pukul, maka
begitu sosoknya terkapar di atas tanah, dia cepat
bergerak bangkit. Kejap kemudian dia berkelebat dan
tahu-tahu telah tegak di hadapan Dewa Orok dengan
senyum seringai.
"Wah.... Benar-benar celaka kali ini!" desis Dewa Orok.
Wajahnya tegang dengan mulut komat-kamit. Namun
kali ini bundaran karet pada mulutnya tidak perdengarkan
suara.
"Hem.... Manusia ini benar-benar luar biasa! Dia
memang tidak mempan pukulan! Aku harus dapat me-
manfaatkan tenaganya...."'Diam-diam Ratu Pemikat
membatin. "Dia tampaknya melakukan apa yang ku-
ucapkan.... Dengan begitu apa yang kurencanakan
akan segera menjadi kenyataan...." ,
Habis membatin begitu, Ratu Pemikat ikut berkelebat,
dan tegak di samping Iblis Rangkap Jiwa. Sejurus dia
memandang pada Dewa Orok, lalu beralih pada Iblis
Rangkap Jiwa. Bibirnya sunggingkan senyum. Kepa-
lanya bergerak mendekat. Dia lalu berbisik.
"Buat dia tidak berkutik! Setelah itu kita bersenang-
senang...."
Iblis Rangkap Jiwa tersenyum. Dipandanginya dada
dan pinggul Ratu Pemikat. "Tidak sulit lakukan apa yang
kau minta...," bisiknya.
"Kalian berbisik-bisik apa...?!" teriak Dewa Orok.
Pemuda ini sengaja mencari bahan pembicaraan untuk
mengulur waktu sambil berpikir untuk dapat selamatkan
diri, karena dia sadar tidak ada gunanya melayani Iblis
Rangkap Jiwa yang tahan terhadap pukulan. Malah hal
Itu akan membuatnya celaka sendiri.'
Mendengar teriakan Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa
sentakkan kepalanya menghadap. Sepasang matanya
berkilat. Seakan tahu apa yang ada dalam benak Dewa
Orok, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak lalu berkata.
"Jangan harap kau bisa memancingku untuk berdebat
Ha.... Ha...!"
Gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa belum lenyap, kedua
tangannya telah lakukan pukulan ke arah Dewa Orok.
Mungkin takut kalau Iblis Rangkap Jiwa hanya
kerahkan sedikit tenaga dalamnya, Ratu Pemikat segera
pula lakukan pukulan. Yang diarah adalah bagian kaki
Dewa Orok.
"Benar-benar akan tamat riwayatku...," gumam Dewa
Orok. Namun meski sudah merasa maklum tak ada
artinya lagi memangkas pukulan kedua orang di ha-
dapannya, pemuda bertangan buntung ini tidak mau
berdiam diri. Tubuhnya cepat disentakkan ke belakang
lalu dihempaskan ke depan.
Pukulan dari Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat
tampak semburat kian kemari. Namun karena harus
bentrok dengan dua pukulan, mau tak mau sosok Dewa
Orok tampak mencelat deras ke beiakang meski di depan
sana Ratu Pemikat dan iblis Rangkap Jiwa juga terlihat
mental.
Kali ini rupanya Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak
sabaran lagi, apalagi setelah mendapat janji dari Ratu
Pemikat. Hingga begitu tubuhnya mental ke belakang,
dia cepat kuasai diri lalu sekonyong-konyong melesat
balik ke arah Dewa Orok yang masih terhuyung-huyung.
Belum sampai Dewa Orok tegak kuasai diri, ten-
dangan sepasang kaki Iblis Rangkap Jiwa telah berke-
lebat angker ke arah kakinya!
Dewa Orok masih tidak tinggal diam. Kaki kanannya
diangkat.
Bukkkk!
Tubuh Dewa Orok terputar. Saat itulah Ratu Pemikat
melabrak dengan lakukan tendangan.
Bukkk!
Putaran tubuh Dewa Orok semakin kencang. Dan
belum sempat Dewa Orok hentikan diri, kaki kiri Iblis
Rangkap Jiwa telah pula menggebrak!
Dewa Orok mengeluh tinggi hingga bundaran karet
di mulutnya melesat keluar dan mengapung di udara.
Bersamaan dengan itu putaran tubuhnya berbalik arah!
Ratu Pemikat bergerak lagi. Namun Iblis Rangkap
Jiwa telah mendahului gerakkan tangan kanannya. Serta-
merta putaran tubuh Dewa Orok terhenti! Malah pemuda
ini tidak bisa gerakkan lagi anggota tubuhnya!
Ratu Pemikat urungkan niat. Matanya melirik pada
Iblis Rangkap Jiwa.
"Sialan! Dia mendahului gerakanku.... Berarti dia
akan menagih janji yang tadi kuucapkan..." Ratu Pemikat
membatin. "Seandainya aku tadi berhasil mendahului,
aku masih bisa membuat alasan! Tapi sekarang...."
"Aku telah lakukan apa yang kau minta! Apa acara
kita bisa segera dimulai sekarang juga?!" Iblis Rangkap
Jiwa berkata dengan sunggingkan senyum.
Ratu Pemikat sempat tersentak. Namun perempuan ini
tidak mau menunjukkan keterkejutannya. Dia balas
memandang dengan bibir mengembang senyum.
"Janjiku akan selalu kutepati.... Tapi kita harus minta
keterangan dahulu dari pemuda itu! Bukankah acara kita
akan lebih tenang kalau kita sudah tahu di mana
beradanya orang yang kita cari...?"
Tampang Iblis Rangkap Jiwa berubah. Jelas laki-laki
ini tampak dongkol dengan ucapan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat tahu apa yang harus dilakukan
menghadapi orang macam Iblis Rangkap Jiwa.
Tanpa buka suara lagi, Ratu Pemikat melangkah
mendekati Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya me-
ngembang dengan dada dibusungkan. Mulutnya
setengah dibuka. Lalu seraya sipitkan sedikit matanya,
kedua tangannya dilingkarkan pada tengkuk Iblis Rang-
kap Jiwa. Bersamaan itu, kepalanya didorong ke depan.
Iblis Rangkap Jiwa yang semula hanya diam dengan
mulut terkancing rapat cepat kembangkan kedua
tangannya lalu dilingkarkan pada pinggang Ratu
Pemikat. Saat bersamaan kepalanya bergerak
menyambut wajah sang Ratu yang mendekat ke
wajahnya.
Untuk beberapa saat kedua orang ini tenggelam
dalam peluk cium mesra. Malah kedua tangan Iblis
Rangkap Jiwa sudah bergerak dari lingkaran pinggang
Ratu Pemikat dan kini merambat ke arah dadanya.
Di depan sana, Dewa Orok yang tegang tak bisa
bergerak karena tertotok Iblis Rangkap Jiwa hanya me-
mandang melongo dengan mata membelalak.
' Busyetl Dadaku jadi ikut berdebar-debar! Mereka
sungguh tega hati berbuat begitu di depan mataku! Apa
dikira aku sudah tidak punya keinginan...? Sialan betul!"
kata Dewa Orok dalam hati. Dia lalu alihkan pandangan-
nya pada jurusan lain. Saat itulah sepasang matanya
melihat bundaran karatnya yang masih mengapung di
udara.
Entah untuk menaik perhatian orang atau secara tidak
sengaja, Dewa Orok berteriak.
"Dotku.... Mana dotku.... Tolong ambilkan!"
Mungkin karena sudah tenggelam dalam kemesraan,
baik Ratu Pemikat maupun Iblis Rangkap Jiwa tidak
hiraukan teriakan Dewa Orok, membuat pemuda ini
kembali berteriak. Tapi meski teriakan Dewa Orok begitu
keras, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa tetap
teruskan peluk ciumnya.
"Setan! Mereka pura-pura tidak atau...." Dewa Orok
kerjapkan sepasang matanya. Saat lain dia coba
kerahkan tenaga dalamnya. Lalu mulutnya menguncup.
Wuuuutt!
Dari mulut Dewa Orok melesat angin tidak begitu
keras. Namun anehnya mampu membuat pakaian Ratu
Pemikat tersingkap.
Menduga yang lakukan singkapkan pakaiannya
adalah tangan iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat cepat
tarik wajahnya. Kedua tangannya bergerak ke belakang
untuk tutup pakaiannya yang terbuka. Namun perem
puan ini jadi terkesiap. Karena bagaimanapun dia coba
tutupkan pakaiannya, pakaiannya tetap berkibar-kibar
terbuka!
Sementara Iblis Rangkap Jiwa yang tahu akan
tindakan Dewa Orok, segera lepaskan rabaannya pada
dada Ratu Pemikat. "Jahanam itu mengganggu kese-
nangan orang!" desisnya. Serta-merta sosoknya mele-
sat ke arah Dewa Orok. Saat lain tangan kanan kirinya
bergerak terangkat.
"Tunggu!" teriak Ratu Pemikat. "Biar dia aku yang
mengurus!"
Entah karena sudah tidak dapat lagi menahan gejolak
amarahnya karena kesenangannya terganggu, Iblis
Rangkap Jiwa tidak pedulikan lagi teriakan Ratu Pemikat.
Kedua tangannya terus bergerak lakukan hantaman ke
arah kepala Dewa Orok.
Di hadapannya, Dewa Orok hanya dapat buka mu-
lutnya tanpa keluarkan suara. Malah bersamaan
dengan itu sepasang matanya terpejam rapat. Pemuda
ini seakan sudah pasrah.
"Celaka kalau dia benar-benar lakukan itu!" gumam
dengan tercekat. Sosoknya berkelebat. Lalu mendorong
Dewa Orok hingga sosoknya jatuh tersungkur di atas
tanah. Tapi hal itu menyelamatkannya dari hantaman
kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.
"Dotku... Dotku...!" seru Dewa Orok begitu buka
kelopak matanya serta melihat dirinya selamat dari
hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.
Plaaakk! Plaaakk!
Kepala Dewa Orok sedikit tersentak ke samping kiri
kanan terkena tamparan kedua tangan Ratu Pemikat.
"Manusia edan! Dot bulukan begitu rasanya lebih
berharga dari nyawanya!" desis Ratu Pemikat. Serta-
merta perempuan ini melompat. Tangan kanannya me-
nyambar bundaran karet milik Dewa Orok yang mengapung di udara.
Melihat hai itu, Dewa Orok yang terkapar di atas
tanah segera berteriak. "Kalau kau sampai merusak
dotku, kau tak akan mendapat keterangan apa-apa
dariku!"
Ratu Pemikat pandangi Dewa Orok dengan senyum
dingin. Laiu melangkah ke arah Dewa Orok. Namun
langkah perempuan ini tertahan karena iblis Rangkap
Jiwa telah tegak di hadapannya dengan kedua tangan
mengembang.
"Acara bisa kita lanjutkan nanti!" ucap Ratu Pemikat
seraya tepis kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun
mungkin agar tidak membuat Iblis Rangkap Jiwa
tersinggung, Ratu Pemikat sorongkan wajahnya dan
mencium wajah iblis Rangkap Jiwa.
Iblis Rangkap Jiwa kembali hendak lingkarkan kedua
tangannya. Namun sebelum sempat menyentuh
pinggang Ratu Pemikat, perempuan bertubuh bahenol
ini telah berkelebat ke arah Dewa Orok.
Tanpa berkata lagi, Ratu Pemikat angkat tubuh Dewa
Orok lalu diletakkan di atas pundaknya. Kejap laindia
berkelebat.
***
SEBELAS
MEMASUKI sebuah kawasan dataran berbatu, Ratu
Pemikat mulai memperlambat larinya. Lalu enak saja
tubuh Dewa Orok disentakkan hingga jatuh menghantam
salah satu gundukan batu, membuat keningnya
berdarah.
"Dotku! Berikan padaku...!" ujar Dewa Orok dengan
mengerjap beberapa kali dan meringis.
“Bukan hanya dot, tapi nyawamu akan kuselamatkan
jika kau mengatakan di mana Pendekar 131!" Ratu
Pemikat membentak.
"Nyawanya milikku, tidak akan kubiarkan siapa pun
selamatkan nyawanya sekali pun setan!" Yang.berteriak
menyahut adalah Iblis Rangkap Jiwa yang kini telah
tegak di belakang Ratu Pemikat.
'Dasar manusia tolol!" desis Ratu Pemikat dalam hati.
Perempuan ini segera berpaling pada Iblis Rangkap
Jiwa. Lalu memberi isyarat dengan kerdipkan sebelah
matanya. Kejap lain, tanpa menunggu Iblis Rangkap Jiwa
buka rrtuiut, Ratu Pemikat telah menoleh kembali
menghadap Dewa Orok.
"Membunuhmu saat ini, tidak lebih sulit dari kerjapkan
mata! Tapi aku akan membuatmu mati perlahan-lahan
kalau kau tetap keras kepala!"
"Baiklah...," ujar Dewa Orok pada akhirnya setelah
beberapa saat terdiam.
"Bagus! Kau telah memiiih jaian yang benar!" kata
Ratu Pemikat seraya tersenyum. "Sekarang katakanlah!"
"Pergilah ke pantai timur. Di sana ada sebuah kuil!"
"Ucapanmu bisa dipercaya?!"
Dewa Orok kancingkan mulut tidak menjawabnya
pandangannya kini beralih pada iblis Rangkap Jiwa.
Yang dipandang menyeringai lalu berkata.
"Di pantai timur memang ada sebuah kuil! Aku tahu
tempatnya!"
Iblis Rangkap Jiwa sengaja berkata karena sebe-
narnya laki-laki ini ingin segera urusan dengan Dewa
Orok cepat selesai dan bisa bersenang-senang kem-
bali dengan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat palingkan kepala pada Iblis Rangkap
Jiwa. "Tapi apakah benar orang yang kita cari pergi ke
sana?!"
"Pendekar 131 adalah sahabat pemuda buntung
itu! Sedangkan aku pernah menemukannya di kuil Itu!
Jadi benar kemungkinan orang yang kita cari memang
pergi ke sana!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa melang-
kah dan berhenti di samping Ratu Pemikat. "Urusanmu
dengan dirinya sudah selesai! Sekarang biar aku sele-
saikan urusanku dengannya!"
Ratu Pemikat mendebat lalu berbisik. "Harap tahan
dahulu urusanmu. Tidak tertutup kemungkinan ucapan
pemuda itu dusta...!"
"Keparat! Rencana busuk apa yang ada dalam be-
nakmu?!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
"Kau masih terlalu menaruh curiga padaku! Dengar.
Dia kita buat tidak bisa ke mana-mana sebelum kita
buktikan kebenarannya ucapannya! Dia adalah sahabat
Pendekar 131. Dengan tidak munculnya dia, setidaknya
Pendekar 131 akan mencari! Apalagi dia berkata
menunggu seseorang. Besar kemungkinan yang
ditunggu adalah Pendekar 131!"
'Benar atau tidak ucapannya, Pendekar 131 atau
bukan orang yang ditunggu, tak ada hubungannya
denganku, sedang jelas aku harus membawa penggalan
kepalanya “
"Kau salah besar! Justru di sinilah hubunganmu
dengan urusan kitab itu!"
"Aku tak mengerti maksudmu!'' kata Iblis Rangkap
Jiwa masih dengan suara keras.
"Di sini bukan tempat yang baik untuk menerangkan!
Harap kau tidak terlalu berburuk sangka padaku....Untuk
sementara ini biar aku urus pemuda itu!"
Setelah tersenyum pada Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat mendadak hentakkan kedua tangannya di atas
tanah. Tanah itu langsung muncrat bertabur ke udara
tinggalkan lobang menganga.
Ratu Pemikat angkat kedua tangannya. Serta-merta
disentakkan pada lobang yang menganga.
Untuk kedua kalinya dari lobang yang telah menganga
terlihat hamburan tanah, membuat lobang di atas tanah
makin besar dan dalam.
Belum sampai hamburan tanah lenyap, Ratu Pemikat
telah berkelebat ke arah Dewa Orok. Dengan enak saja
perempuan ini cekal kaki kanan Dewa Orok lalu
diseretnya mendekati lobang yang menganga.
Begitu tepat di hadapan lobang, Ratu Pemikat sen-
takkan cekatannya pada kaki Dewa Orok. Maka tak
ampun lagi tubuh Dewa Orok jatuh ke dalam lobang.
"Gila! Apa yang skan kau lakukan padaku?! Bu-
kankah aku telah katakan apa yang kau tanyakan?!" seru
Dewa Orok. Tubuh pemuda ini sekarang tidak kelihatan
lagi. Yang terlihat di atas tanah adalah bagian leher dan
kepalanya!
Ratu Pemikat tidak menyahut ucapan Dewa Orok.
Sebaliknya perempuan ini cepat gerakkan kakinya me-
nutup lobang dengan tanah yang a ia di sekitarnya.'
Begitu tubuh Dewa Orok telah tertanam dalam tanah
dan hanya menyisakan Leher dan kepalanya. Ratu
Pemikat angkat bicara.
"Pertama kali jumpa sudah kukatakan padamu bahwa
aku tidak mudah dikelabui orang sepertimu! Selamat
tinggal!"
Ratu Pemikat putar tubuh. Lalu melompat ke arah Iblis
Rangkap Jiwa yang sedari tadi hanya memandang apa
yang dilakukan Ratu Pemikat.
"Kita segera menuju pantai timur!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut juga tidak membuat
gerakan apa-apa.
"Kau tak perlu khawatir. Kalaupun kita terlambat
datang ke tempat ini lagi, mungkin nyawanya sudah
putus!"
"Kalau ada orang yang menolong?!" Iblis Rangkap
Jiwa akhirnya buka mulut.
"Tempat ini sepi. Kalanpun ada yang lewat, kebanya-
kan adalah binatang buas. Lain daripada itu, kalau tidak
lewat di sekitar lobang itu, tidak mungkin orang dapat
melihatnya, karena di sekitar tempat ini banyak batu-batu
besar!"
"Tapi dia masih bisa berteriak!"
Ratu Pemikat sunggingkan senyum. "Sengaja jalan
suaranya tidak kututup. Tapi kau tak perlu cemas, sekuat
apa pun tenaga yang dimiliki, tidak mungkin dia kuasa
berteriak terus menerus sehari semalam!"
Sebenarnya iblis Rangkap Jiwa masih hendak angkat
bicara. Namun sebelum suaranya terdengar, Ratu
Pemikat telah menarik tangannya hingga mau tak mau
sosok iblis Rangkap Jiwa ikut bergerak.
"Tunggu!" teriak Dewa Orok. "Dotku! Kembalikan
dahulu dotku!"
Tapi Ratu Pemikat seolah tidak mendengar teriakan
Dewa Orok. Dia terus berkelebat sambil menarik tangan
Iblis Rangkap Jiwa.
"Dotku! Dotku! Wsna dotku!" Dewa Orok terus ber-
teriak meski sosok Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa
sudah tidak kelihatan lagi!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar