..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

Joko Sableng Episode Muslihat Sang Ratu

JOKO SABLENG EPISODE MUSLIHAT SANG RATU

 SATU


DI dalam ruangan kuil Dewa Orok dan Cucu Dewa

sejenak saling lontar pandang. Saat lain kedua guru dan 

murid ini bergerak bangkit. Cucu Dewa memberi isyarat


dengan anggukan kepala. Lalu berkelebat dan lenyap di 

balik satu-satunya pintu dari batu hitam tidak jauh dari 

tempatnya tadi duduk. Dewa Orok sendiri kempiskan 

mulut lalu perlahan-lahan melangkah melalui pintu di 

mana tadi Cucu Dewa berkelebat lenyap.

 Seperti dituturkan dalam episode: "Titah dari Liang

Lahat", ketika Cucu Dewa dan Dewa Orok tengah ber-

bincang-bincang mendadak terdengar satu teriakan

membahana dari arah luar.

 'Cucu Dewa! Aku datang menjemput nyawamu!

Keluarlah!"

 Untuk kedua kalinya kembali terdengar suara te-

riakan keras. Yang keluarkan teriakan ternyata adalah

seorang laki-laki mengenakan pakaian putih. Sepa-

sang matanya besar menjorok keluar seolah hendak

mencelat dari rongganya. Wajahnya hampir-hampir ti-

dak terhias daging sama sekali. Kepalanya tidak ditum-

buhi rambut Orang ini tidak lain adalah Iblis Rangkap

Jiwa.

 Seperti juga dituturkan dalam episode : 'Titah dari

Liang Lahat", begitu dapat bebaskan diri dari totokan

Pendekar 131 dan kesaktiannya pulih, iblis Rangkap

Jiwa kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Namun

dia terkejut saat mendadak muncul Malaikat Penggali

Kubur yang baru saja memperoleh Kitab Hitam. Iblis

Rangkap Jiwa sama sekali tidak menduga kalau secepat 

Itu Malaikat Penggali Kubur kembali ke puncak Bu-

kit Selamangleng meski pemuda ini memang mengata-

kan akan kembali ke puncak bukit itu. Kembalinya Ma-

laikat Penggali Kubur menemui Iblis Rangkap Jiwa ter-

nyata memberi tugas pada laki-laki berkepala gundul

itu untuk mencari Dewa Orok dan membunuhnya. Se-

kaligus juga membunuh Cucu Dewa, dari mana Malai-

kat Penggali Kubur memperoleh keterangan tentang


asal-usul dan anak keturunan Ken Rakasiwi, orang-

orang yang harus dimusnahkan seperti yang tertulis

dalam dinding tanah liang lahat di mana Datuk Kema-

tian minta dikuburkan.

 Karena dua kali teriakannya tidak mendapat sa-

hutan, Iblis Rangkap Jiwa kembali buka mulut.

 "Percuma kau sembunyi, jahanam Cucu Dewa! Ke

lobang semut pun kau tidak akan.lolos dari tanganku!'

 Selesai berucap begitu, Iblis Rangkap Jiwa sentak-

kan sedikit kepalanya tengadah ke atas. Saat lain terde-

ngarlah gelakan tawanya. Karena tawa itu bukan tawa

sembarangan, melainkan telah dialiri dengan penge-

rahan tenaga dalam, maka tempat itu untuk beberapa

saat laksana dibuncah suara geledek yang menggidik-

kan!

 Tapi laksana dicabut tangan setan, Iblis Rangkap

Jiwa putuskan gelakan tawanya saat dia merasakan

ada semilir angin lewat pundaknya. Sebagai orang

yang memiliki daya tangkap luar biasa apalagi dia ber-

ada di sekitar tempat orang yang dicari, laki-laki yang

mengaku berusia lebih dari dua ratus tahun ini maklum

kalau ada orang!

 Tanpa buka mulut lagi Iblis Rargkap Jiwa luruskan

kepalanya. Laksana terbang dia berkelebat ke sam-

ping kanan Tanpa berpaling rupanya Iblis Rangkap

Jiwa sudah dapat menentukan di mana adanya orang

itu!

 Begitu berkelebat ke samping kanan, seraya ang-

kat kedua tangannya Iblis Rangkap Jiwa berpaling. Na-

mun kedua tangannya yang terangkat mendadak ter-

tahan tatkala dari tempatnya berdiri sepasang matanya

bukan melihat Cucu Dewa melainkan seorang pemuda

berwajah tampan yang tidak memiliki tangan dan mulut-

nya mainkan bundaran karet. Saat si pemuda bertangan buntung kempiskan mulut seolah menyedot, ter-

dengarlah suara duuuttl Duuttt! Duuuutt! Lalu bunda-

ran karet mencuat ke depan dan mengapung di udara.

 Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata per-

hatikan dengan saksama ke bagian bawah orang di ha-

dapannya, karena ternyata si pemuda yang tidak lain

adalah Dewa Orok tegak dengan, kaki bersila di atas

dan kepala di bawah!

 "Dewa Orok!" terdengar desisan Iblis Rangkap Ji-

wa. Raut wajah orang ini seketika berubah. Ada kegem-

biraan dan keheranan terpancar dari pandangan laki-

laki berkepala gundul ini.

 "Hem.... Nyatanya aku tak perlu mengorek mulut

Cucu Dewa untuk minta keterangan orang yang kucari!

Orang ini ternyata datang sendiri! Tapi... Mengapa

orang ini berada di sini? Apa hubungannya dengan

Cucu Dewa jahanam itu? Sahabatnya? Atau keber-

adaannya di sini untuk menemui Cucu Dewa? Hem....

Dia mungkin belum tahu apa tujuanku, sebaiknya aku

tanya pada dia dahulu...." iblis Rangkap Jiwa membatin.

Lalu sambil sunggingkan senyum dia berkata.

 "Tidak disangka kalau selang waktu telah memper-

temukan kita kembaii! Kuharap kau tidak lupa dengan

diriku!"

 Sepasang mata Dewa Orok mengerjap beberapa

kali. Saat lain pemuda bertangan buntung ini gerakkan

kedua kakinya yang bersila di udara. Wuuuutt! Kini

Dewa Orok telah tegak dengan bertumpu pada kedua

ibu jari kakinya Sementara bundaran karet terlihat te-

tap mengapung sejengkal di atas tanah

 Dewa Orok sodorkan kepalanya ke depan seakan

hendak mengamati tampang orang di hadapannya.

Yang dipandang pasang tampang dengan bibir terse-

nyum, lalu angguk-anggukkan kepalanya yang gundul.


Dewa Orok tarik pulang kepalanya dengan sepa-

sang mata menyipit. Bersamaan dengan itu kepalanya

bergerak menggeleng-geleng.

 "Sepertinya aku tidak pernah jumpa denganmu!

Jadi harap jangan marah kalau aku tanya siapa diri-

mu?!" Dewa Orok buka suara.

 "Aku maklum kalau kau mengatakan begitu. Per-

temuan kita memang telah lama sekaii Sebelum aku

jawab pertanyaanmu, aku tanya. Bukankah kau Dewa

Orok?!" kata Iblis Rangkap Jiwa meski dia yakin orang

di hadapannya adalah Dewa Orok.

 "Aku maklum kau bertanya begitu!" Dewa Orok

ikut-ikutan berkata seperti ucapan iblis Rangkap Jiwa.

"Sebelum aku jawab pertanyaanmu, kuharap kau jawab

dulu pertanyaanku...!"

 Meski mulai agak jengkel mendengar ucapan si

pemuda yang Ikut-ikutan bicara mirip ucapannya, na-

mun akhirnva iblis Rangkap Jiwa jawab pertanyaan

orang

 "Aku Iblis Rangkap Jiwa! Kau juga sebutkan diri!"

 “Aku Iblis Rangkap Nyawa!" ujar Dewa Orok. mem-

buat Iblis Rangkap Jiwa beliakkan sepasang matanya

makin besar. Diam-diam laki-laki gundul ini membatin.

"Bagaimna ini? Aku yakin manusia ini Dewa Orok. Tapi

mengapa dia mengaku iblis Rangkap Nyawa. Apakah

itu gelaran yang baru disandangnya?!"

 Menduga begitu, iblis Rangkap Jiwa akhirnya ber-

kata lagi.

 "Gelaran barumu bagus! Pasti kau telah mendapat

ilmu luar biasa hingga bergelar begitu! Kalau kita ber-

gabung, tentu akan membuat rimba persilatan geger!

Yang satu Iblis Rangkap Jiwa, satunya lagi Iblis Rang-

kap Nyawa! Ha.... Ha... Ha...!

 "Ha ... Ha.. Ha.. !" Dewa Orok Ikut-Ikutan tertawa


Hingga tempat Itu seketika dlbuncah dengan tawa ber-

gelak-gelak

 'Diam!" Mendadak Iblis Rangkap Jiwa membentak

tatkala mendapati Dewa Orok terus tertawa bergelak

meski dia sudah hentikan tawanya.

 Laksana disambar setan. Dewa Oiok putuskan ge-

lakan tawanya. Kini mulutnya terkancing rapat. Namun

kejap kemudian mulutnya membuka, bukan perdengar-

kan suara melainkan membuat gerakan menyedot:

Bundaran karet yang terapung sejengkal di atas tanah

bergerak-gerak lalu melesat masuk ke mulutnya!

 "Dewa Orok! Jangan...."

 "Aku Iblis Rangkap Nyawa!" tukas Dewa Orok de-

ngan mulut masih mainkan bundaran karet diputar-pu-

tar ke atas ke bawah

 "Aku tak peduli siapa kau!" sentak Iblis Rangkap

Jiwa.

 Dewa Orok pasang tampang terkejut. Mulutnya

meniup. Bundaran karet melesat keluar lalu menga-

pung di depan wajahnya. Kejap lain dia berkata.

 "Aku juga tak peduli siapa kau!"

 Dada Iblis Rangkap Jiwa laksana meledak men-

dengar ucapan Dewa Orok. Tapi laki-laki ini coba me-

nindih hawa amarahnya. Dia yakin benar kalau pemuda

bertangan buntung di hadapannya adalah Dewa Orok.

Namun keberadaannya di sekitar kuil tempat tinggai

Cucu Dewa yang membuat Iblis Rangkap Jiwa tidak

berani segera laksanakan tugas yang diperintah Malai-

kat Penggali Kubur untuk membunuh Dewa Orok. Laki-

laki ini sebenarnya masih ingin meyakinkan bahwa di

sekitar tempat itu tidak ada orang perempuan.

 Kejadian di puncak Bukit Selamangleng yang

membuat kesaktiannya musnah membuat iblis Rang-

kap Jiwa tidak berani berbuat gegabah. Karena kalau


dia sampai gagal lakukan perintah Malaikat Penggali

Kubur, apa yang menjadi cita-citanya hanya impian be-

laka. (Tentang peristiwa musnahnya kesaktian Iblis

Rangkap Jiwa silakan baca dalam episode : "Titah dari

Liang Lahat").

 "Iblis Rangkap Nyawa!" kata Iblis Rangkap Jiwa.

"Jauh sampai di tempat ini pasti kau hendak bertemu

dengan Cucu Dewa. Benar?!"

 "Iblis Rangkap Jiwa!" ucap Dewa Orok masih meni-

rukan seperti ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Jauh datang

ke tempat ini dan mendengar teriakanmu tadi, tentu kau

hendak bertemu Cucu Dewa. Benar?!"

 "Jahanam! Sekali lagi kau timkan ucapanku, rang-

kap berapa pun nyawamu, bukan pekerjaan sulit ba-

giku mencabut beberapa nyawamu itu! Lekas jawab!"

 "Aneh.... Kau tadi mengajakku bergabung agar rim-

ba persilatan geger! Sekarang kau malah hendak cabut

rangkapan nyawaku! Bagaimana?!'”

 "Jangan banyak mulut! Jawab. Kau hendak mene-

mui Cucu Dewa, bukan?!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.

 "Jangan banyak...." Dewa Orok putuskan ucapan-

nya yang hendak berkata seperti ucapan Iblis Rangkap

Jiwa. Lalu tundukkan wajah sembunyikan senyumnya.

Sesaat kemudian dia angkat wajah lalu berkata.

 "Aku memang hendak bertemu dengannya!"

 'Apa urusanmu dengan Cucu Dewa?l' tanya lblis

Rangkap Jiwa

 "Karena gelarku Iblis Rangkap Nyawa, tentu urus-

anku adalah nyawa!'

 Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya perla-

han. Tangannya bergerak mengusap dagunya, lalu ber-

ujar.

 "Cucu Dewa bukan orang sembarangan. Apa kau

datang sendirian?!"


"Cucu Dewa memang bukan orang sembarangan.

Tapi.aku tak butuh teman kalau hanya untuk cabut satu

nyawanya!"

 Mungkin untuk buktikan ucapan Dewa Orok yang

mengisyaratkan bahwa dia datang seorang diri, Iblis

Rangkap Jiwa putar kepalanya berkeliling dengan mata

menyelidik.

 'Kau mencari seseorang?!" tanya Dewa Orok.

 Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Malah begitu

kepalanya lurus ke arah Dewa Orok, sepasang matanya

mendelik angker. "Aku memang tidak menangkap ada-

nya orang lain di tempat ini. Hem.... Manusia buntung

ini harus kuselesaikan dahulu..." Saat lain dia mem-

bentak.

 "Dengar! Kau tak akan cabut nyawa Cucu Dewa

jahanam itu. Karena sebelum kau cabut nyawanya, nya-

wamu akan kucabut dahulu!"

 Dewa Orok terkesiap. "Kau ini bagaimana? Meng-

apa kau inginkan nyawaku? Kau tahu? Meski aku ber-

gelar Iblis Rangkap Nyawa, kau tidak bisa rangkapkan

nyawaku yang telah kau cabut masuk ke jiwamu!"

 "Peduli setan! Yang jelas kau harus mampusl* har-

dik Iblis Rangkap Jiwa.

 "Peduli setan!" ucap Dewa Orok ikut-ikutan. "Yang

jelas aku tidak mau mampus!"

 "Bagus! Kita lihat, Iblis mana yang mampus!" Iblis

Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya.

 "Bagus! Kita lihat, iblis mana yang tidak mampus!"

kata Dewa Orok lalu membuat gerakan menyedot pada

mulutnya. Bundaran karet melesat masuk ke mulutnya.

 Bersamaan dengan itu Iblis Rangkap Jiwa berke-

lebat ke depan. Kelebatan sosoknya timbulkan suara

berdesir keras. Kejap lain kedua tangan laki-laki gundul

ini telah lakukan gerakan menghantam dari arah kiri


kanan kepala Dewa Orok!

 Karena sudah waspada dan sebelumnya telah tahu

siapa adanya orang yang dihadapi, sebelum kedua

tangan Iblis Rangkap Jiwa rrenghantam rengkah kepa-

lanya, pemuda bertangan buntung ini membuat gerak-

an salto satu kali. Begitu kakinya di udara, sepasang

kakinya bergerak ke samping kiri kanan.

 Bukkkkk! Bukkkkk!

 Sepasang tangan Iblis Rangkap Jiwa beradu keras

dengan sepasang kaki Dewa Orok. Saat bersamaan,

sosok Dewa Orok terjajar ke belakang. Kakinya yang

masih berada di atas udara tampak bergetar hebat. Ma-

lah saat lain kaki itu tampak doyong serentak ke arah

kiri.

 Namun gerakan kaki Dewa Orok mendadak terhen-

ti tiga jengkal di atas tanah. Bersamaan dengan itu bahu

Dewa Orok membuat gerakan dua kali. Wuutt! Wuuutt!

Bagian tubuh atas Dewa Orok yang berada di bawah

terangkat. Kejap lain pemuda ini telah tegak di atas ibu

jari kakinya. Namun begitu, paras wajahnya tetap beru-

bah.

 Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa menyeringai.

Walau sosoknya tidak bergeming dari tempatnya, tapi

jelas parasnya membayangkan rasa hampir tidak per-

caya.

 "Hem.... Kekuatannya terletak pada kakinyal Tapi

untuk apa aku memikirkan itu? Dia tidak mungkin bisa

menghindar kalau kuhantam dengan pukulan Jarak Ja-

uhi batin Iblis Rangkap Jiwa..

 Dengan cepat Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga

dalamnya. Namun belum sampai dia membuat gerakan

apa-apa, di depan sana Dewa Orok tarik tubuhnya ke

belakang. Lalu serta-merta dihentakkan kembali ke depan.


Beettt!

 Dari dada Dewa Orok melesat bongkahan awan putih 

yang keluarkan suara luar biasa keras menusuk gendang 

telinga. Kejap kemudian tanah di depan Dewa Orok 

bertabur muncrat ke udara tersapu bongkahan awan 

putih yang lewat. Tanah di tempat itu pun bergetar

laksana dilanda gelombang dahsyat.

 Melihat serangan yang datang, Iblis Rangkap Jiwa

bukannya cepat membuat gerakan untuk memangkas.

Sebaliknya laki-laki ini perdengarkan suara tawa 

bergelak. Lalu tegak menyongsong pukulan orang 

dengan kedua tangan kacak pinggang!

 Dessss!

 Sosok Iblis Rangkap Jiwa mencelat mental terlanggar 

bongkahan awan putih. Lalu terpuruk di atas tanah tak 

bergerak-gerak lagi! Namun cuma sekejap. Di lain saat 

sosok Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan. Kedua 

tangannya menghentak di atas tanah. Tubuhnya

seketika bangkit berdiri.

 Untuk sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan dirinya. 

Sementara di depan sana sepasang mata Dewa Orok 

membelalak. Iblis Rangkap Jiwa tidak mengalami cedera 

sama sekali! Hanya dadanya yang sedikit bergetar 

karena terhantam bongkahan awan putih.

 "Kau telah lihat. Aku memiliki jiwa rangkap hingga

aku bisa bangun lagi. Sekarang aku mau lihat, apakah

kau pantas menyandang gelar Iblis Rangkap Nyawal"

 Tengkuk Dewa Orok berubah dingin. Gerakan mu-

lutnya yang menyedot-nyedot bundaran karet mirip dot

bayi bertambah keras hingga saat itu juga terdengar

suara duutt! Duuuttt! Duuttt! beberapa kali.

 Iblis Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya. Di

seberang sana, Dewa Orok tampak sipitkan sepasang

matanya. Sadar bahaya akan mengancam dirinya, meski dia tidak yakin dapat memangkas pukulan iblis Rang-

kap Jiwa, namun pemuda ini tidak diam begitu saja.

Tubuhnya segera ditarik ke belakang. Sepasang mata-

nya memejam. Jelas kalau pemuda ini coba kerahkan

segenap tenaga dalamnya.

 Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai.

Kedua tangannya bergerak. Namun gerakan kedua ta-

ngan laki-laki gundul ini tertahan di udara tatkala men-

dadak terdengar suara tawa!

 Baik Dewa Orok maupun Iblis Rangkap Jiwa tidak

dapat menentukan siapa adanya orang. Yang pasti bagi

mereka, siapa pun orangnya yang perdengarkan suara,

jelas jika suara tawa itu adalah suara perempuan!

*

* *


DUA



KEPARAT! Siapa perempuan yang tertawa ini? 

Jangan-jangan gadis sableng di puncak bukit tempo hari! 

Celaka kalau benar-benar dia! Tapi tidak tenang hatiku 

sebelum tahu sendiri!" Kepala Iblis Rangkap Jiwa 

berpaling ke arah datangnya suara tawa.

 Di sebelah depan, perlahan-lahan Dewa Orok buka

kelopak matanya. Dengan dahi berkerut dia juga meno-

leh ke arah datangnya suara tawa.

 Kira-kira delapan tombak dari tempatnya berdiri, Iblis 

Rangkap Jiwa melihat sesosok tubuh tegak dengan 

kedua tangan saling meremas. Orang ini mengenakan 

pakaian warna hitam yang disambung-sambung hingga 

panjang ke bawah membuat tubuh bagian bawahnya 

tidak kelihatan. Orang ini juga mengenakan cadar 

menutupi wajahnya. Hingga dari anggota tubuhnya yang 

kelihatan hanyalah sepasang matanya serta uraian 

rambutnya yang hitam dan lebat.

 Ketegangan di paras wajah Iblis Rangkap Jiwa mereda 

demi melihat sosok tubuh orang. Dia menghela napas 

panjang. Diam-diam dia membatin. "Untung bukan gadis 

sableng berjubah merah itu! Siapa orang ini? Temannya 

manusia buntung itu...? Tapi dia juga seperti terkejut, 

berarti bukan temannya...."

 Baru saja Iblis Rangkap Jiwa membatin begitu, orang 

yang mengenakan pakaian hitam disambung-sambung 

hingga menjulai ke bawah membuat gerakan satu kali. 

Sosoknya melesat dan tegak tiga langkah disamping 

Dewa Orok.

 Orang ini sesaat memandang pada Dewa Orok.

Yang dipandang mendelik seolah ingin mengetahui sia-

pa adanya orang. Namun karena sekujur tubuh orang

tertutup, Dewa Orok tidak bisa memastikan.


Di seberang sana, Iblis Rangkap Jiwa beliakkan

sepasang matanya yang besar, memandang tak berkesip 

silih berganti pada Dewa Orok dan orang yang baru

muncul.

 Setelah yakin bahwa orang yang datang bukan orang 

yang pernah ditemuinya di puncak Bukit Selamangleng, 

Iblis Rangkap Jiwa buka mulut langsung membentak.

 "Orang tak dikenal! Kuperintahkan kau tinggalkan

tempat ini!"

 Orang bercadar dan berpakaian sambung-sambung 

perdengarkan suara tawa cekikikan. Lalu berkata.

 "Bahagia rasanya hari ini bisa jumpa dengan seorang 

tokoh maha sakti bergelar Iblis Rangkap Jiwa.... Tapi 

sayang rupanya kau tidak menyukai kedatanganku di 

tempat ini....” Orang ini lantas berpaling pada Dewa Orok 

dan lanjutkan ucapannya. "Orang muda. Apakah kau 

juga tidak menyukai kedatanganku di sini?"

 Iblis Rangkap Jiwa terlihat sedikit terkejut mendapati 

orang telah tahu siapa dirinya. Sementara Dewa Orok 

meski.terkejut namun segera semburkan bundaran 

karetnya hingga mengapung di depannya. Kejap lain

terdengarlah ucapannya.

 "Bahagia rasanya hari ini bisa jumpa denganmu.

Sayang aku tidak bisa melihat raut wajahmu.”

 "Ah.... Senang sekali aku mendengar jawabanmu.

Berarti kau menyukai kehadiranku di sini meski kita 

belum saling kenai...."

 "Ah.... Aku juga senang sekali mendengar ucapanmu. 

Berarti kau "

 Ucapan Dewa Orok yang ikut-ikutan bicara orang

belum selesai, Iblis Rangkap Jiwa telah memotong.

“Orang tak dikenal! Siapa kau?!"

 “Namaku Orang Tak Dikenal!" jawab orang yang

baru muncul. Kembali orang ini berpaling pada Dewa


Orok dan bertanya.

 “Orang muda. Kau sendiri siapa...?!"

 “Namaku Orang Terkenal!" jawab Dewa Orok se-

anaknya lalu tersenyum dan lanjutkan kata-katanya.

“itu kalau di daerah barat. Kalau di daerah timur orang

memanggilku Iblis Rangkap Nyawa. Di daerah selatan

aku dikenal dengan Iblis Tanah Arak. Di daerah utara

aku digelari orang Iblis Tangan Dua!"

 Orang di samping Dewa Orok terbawa cekikikan.

“Wah.... Gelarmu banyak serta angker-angker. Ini daerah 

mana?"

 "Ini daerah timur. Maka, kau boleh memanggilku

Iblis Rangkap Nyawa!" *

 “Mendengar gelarmu itu, apakah kau masih sau-

dara Iblis Rangkap Jiwa itu?!"

 "Benar! Dia adalah adikku paling bungsu! Kakaknya 

dia bernama Iblis Rangkap Iblis!" kata Dewa Orok lalu 

tertawa cekikikan seperti halnya orang di sampingnya 

tadi.

 "Wah.... Jadi kalian keluarga Iblis.... Lalu ciri-cirinya 

adikmu yang bernama Iblis Rangkap Iblis itu bagaimana? 

Apa aneh dan angker mirip kalian berdua ini?!"

 Dewa Orok gelengkan kepala. "Sebaliknya dia se-

pertimu. Seorang perempuan. Wajahnya cantik. Tubuh-

nya membentuk bagus. Dadanya besar, pinggulnya pa-

dat. Hanya sayang...." Dewa Orok tidak lanjutkan ucap-

annya, membuat orang di sampingnya cepat menyahut

seolah penasaran ingin tahu.

 "Sayang bagaimana?!"

 "Dia tidak pernah mengenakan rangkapan di balik

pakaiannya!"

 Mendengar keterangan Dewa Orok, orang di sam-

pingnya tertawa melengking. Dewa Orok tidak tinggal

diam. Dia ikut-ikutan tertawa melengking.


Tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Sepa-

sang matanya membelalak laksana hendak meloncat

keluar, "iblis jahanam! Keparat! Kalian berdua akan

mampus!" 

 Orang di samping Dewa Orok putuskan lengkingan

tawanya. Lalu bertanya.

 "Kenapa adik bungsumu marah-marah? Apa kare-

na kau mengatakan adikmu satunya tidak pernah me-

ngenakan rangkapan di balik pakaiannya tadi?!"

 Dewa Orok ikut putuskan lengkingan tawanya lalu

menjawab.

 "Kurasa bukan itu masalahnya meski masih ada

hubungannya!"

 "Hem.... Lalu apa masalahnya?!"

 "Dia menyuruhku mencarikan rangkapan pakaian

dalam untuk kakak perempuannya itu! Tapi aku meno-

lak. Ke mana aku harus cari rangkapan pakaian dalam

seorang perempuan? Kalaupun dapat, adik perempu-

anku itu pasti menolak! Karena dia akan terus garuk-

garuk jika mengenakan rangkapan pakaian dalam! Ti-

dak tahu kalau pakaian dalam itu bekas milikmu...."

 Seraya tertawa cekikikan, orang di samping Dewa

Orok berkata.

 "Sebenarnya aku.mau saja memberikan pakaian

dalamku pada adik perempuanmu itu! Dan aku dapat

memastikan adikmu tidak akan garuk-garuk Jika meng-

enakan rangkapan pakaian dalam bekas milikku. Hanya 

sayang...."

 “Sayang bagaimana...?!" tanya Dewa Orok cepat.

 Hari ini aku tidak mengenakan rangkapan pakaian

dalam. Maaf, bukannya aku berbohong, kalau tidak

percaya kau boleh melihatnya!"

 "Jahanam Jangan-jangan perempuan ini juga tahu

kelemahanku! Atau ucapannya itu tanpa sengaja...?"


Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa gelisah. Dadanya ber-

debar-debar.

 Kegelisahan Iblis Rangkap Jiwa makin terlihat tat-

kala di depan sana dilihat orang di samping Dewa Orok

gerakkan kedua tangannya seolah hendak menyingkap

pakaian hitam sambung-sambungannya.

 Mungkin karena terlalu ketakutan akibat kejadian

di puncak Bukit Selamangleng tempo hari, padahal ke-

saktiannya baru musnah jika melihat pantat laki-laki

dan perempuan bersamaan, maka tanpa sengaja Iblis

Rangkap Jiwa berteriak.

 "Tahan!"

 Dewa Orok dan orang di sampingnya sama-sama

berpaling. Dahi Dewa Orok tampak mengernyit. Se-

pasang mata orang di sampingnya mengerjap beberapa 

kali.' .

 "Apa yang akan kau lakukan?!" bentak iblis Rangkap 

Jiwa.

 "Kakakmu ini ingin tahu kalau aku benar-benar tidak 

mengenakan rangkapan pakaian dalam! Apakah kau 

juga ingin melihatnya?!"

 "Jahanam! Dia bukan kakakku! Aku juga tak ingin lihat 

bagian dalam tubuhmu!"

 Orang di samping Dewa Orok menoleh pada Dewa

Orok. "Kau Ini bagaimana? Kau bilang dia adikmu. Tapi

mengapa dia tak mengakui kau kakaknya?"

 "Kau tak usah heran, itulah keluarga iblis! Dia tak

mau mengakui saudara di depan orang...! Padahal kalau 

ada kesulitan masih minta bantuan!'

 “Sebagai saudaranya, kau sedikit banyak tentu tahu. 

Apakah dia memang tidak suka melihat bagian dalam 

tubuh perempuan?! Padahal selama ini banyak orang 

tergila-gila ingin tahu bagian dafam tubuhku. Apalagi 

pantatku yang besar ini.... Hik.... Hik...!" sambil tertawa


orang ini usap-usap pantatnya.

 Wajah Iblis Rangkap Jiwa makin tegang. Sebaliknya 

Dewa Orok tidak menyahut. Sementara orang di

sampingnya segera meloncat mendekati Dewa Orok.

 "Rupanya saudaramu tidak mau diberi rezeki. Kaulah 

yang akan mendapat rezeki dapat melihat punyaku!” kata 

orang berpakaian hitam sambung-sambung lalu kedua 

tangannya bergerak seolah hendak buka pakaiannya.

 "He.... Nanti lakukan apa yang kuucapkan! Jangan

membantah...," bisik orang di samping Dewa Orok.

 Belum sampai Dewa Orok dapat mengerti maksud

ucapan orang dan belum sampai orang itu buka kancing 

pakaiannya, terdengar Iblis Rangkap Jiwa membentak.

 "Kalian manusia-manusia keparat!”

 Bersamaan dengan selesainya ucapan, kedua tangan 

Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Kejap lain satu ge-

lombang luar biasa dahsyat membawa kabut hitam me-

lesat.

 Orang di samping Dewa Orok segera dorong tubuh

Dewa Orok seraya berbisik.

 “Jangan dilawan. Menyingkir saja!"

 Dewa Orok terjajar tiga langkah. Dan meski belum

tahu maksud ucapan orang, pemuda bertangan bun-

tung Ini cepat berkelebat menghindar selamatkan diri.

Bersamaan Itu, orang berpakaian hitam sambung-sam

bung juga melesat selamatkan diri.

 Gelombang dan kabut hitam menggebrak keras.

Namun karena Dewa Orok dan orang berpakaian hitam

sambung-sambung telah melesat mendahului, serangan 

Iblis Rangkap Jiwa hanya melanggar tempat kosong. 

Lalu menghantam bagian samping kuil hingga timbulkan 

suara berderak keras.

 Bagian samping kuil langsung ambrol dan bangun-

annya bergetar keras. Tanah berpasir di sekitar kuil tersapu muncrat.

 Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan tubuh bergetar.

Sepasang matanya menyengat tajam perhatikan sosok

Dewa Orok dan orang berpakaian hitam sambung-sam-

bung. Kedua tangannya kembali terangkat. Tubuhnya

bergerak memutar menghadap Dewa Orok. Dewa Orok

memandang ke depan. Bukan pada Iblis Rangkap Jiwa

melainkan pada bundaran karet yang tampak berputar-

putar keras di udara karena tersambar pukulan Iblis

Rangkap Jiwa.

 "Dotku...!" seru Dewa Orok.

 Orang berpakaian hitam sambung-sambung yang

melesat berlawanan arah dengan Dewa Orok terdengar

bergumam. Saat lain sosoknya melesat dan tahu-tahu

telah tegak di samping Dewa Orok.

 "Jangan hiraukan dotmu dahulu! Kau dalam bahaya! 

Lihat ke depan!"

 Dewa Orok turuti ucapan orang. Seketika wajahnya

berubah. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah tarik

kedua tangannya ke belakang dan siap lancarkan pu-

kulan.

 "Jangan dilawan. Percuma! Balikkan saja tubuhmu

memunggungi dia!" kata orang di sampingnya.

 "Jangan dilawan bagaimana? Percuma bagaimana? 

Aku bisa celaka!"

 "Ikuti saja ucapanku! Balikkan tubuhmu! Lorotkan

sedikit celanamu!"

 “Aneh...! Bagaimana aku bisa lorotkan celana? Ta-

nganku buntung!"

 "Kalau begitu biar aku yang melakukan! Balikkan

tubuhmu!" kata orang di sampingnya. Karena Dewa

Orok masih tak lakukan yang dikatakan orang, orang

berpakaian hitam sambung-sambung melangkah satu

tindak. Tangannya bergerak balikkan tubuh Dewa


Orok. Kejap lain tangannya lorotkan celana Dewa Orok

sedikit hingga bagian pantatnya terlihat.

 Meski tidak mengerti maksud orang, Dewa Orok

diam saja. Malah saat itu juga bahunya berguncang

menahan tawa.

 "Rupanya kau ingin melihatku mampus dengan

pantat terbuka!" ujar Dewa Orok. Secara diam-diam De-

wVi Orok kerahkan tenaga dalamnya. Dia sudah siap

berkelebat kalau Iblis Rangkap Jiwa lakukan pukulan.

 Begitu pantat Dewa Orok sedikit terlihat, orang

berpakaian hitam sambung-sambung melompat men-

jajari Dewa Orok. Kedua tangannya bergerak ke bela-

kang membuat isyarat laksana orang hendak sing-

kirkan pakaian bawahnya.

 Di belakang sana, Iblis Rangkap Jiwa pelototkan

mata. Sikap orang di depan sana bukan hanya membuat 

laki-laki ini urungkan niat lancarkan pukulan melainkan 

juga membuatnya gemetar dan langsung balikan tubuh.

 Orang di samping Dewa Orok gerakkan kepalanya

berpaling. Lalu berbisik.

 “Adikmu benar-benar tak mau rezeki. Dia bukan hanya 

picingkan matanya melainkan balikkan tubuh!"

 Dewa Orok putar diri ingin buktikan ucapan orang.

Ketika ucapan orang benar, pemuda bertangan buntung 

ini tertawa terpingkal-pingkal. Lalu berbisik dalam hati 

"Mengapa bisa jadi begini?"

 Dewa Orok hendak tanyakan apa yang ada dalam

hatinya pada orang berpakaian hitam sambung-

sambung. Namun sebelum ucapannya terdengar, orang 

disampingnya telah balikkan tubuh lalu berteriak.

 "Jangan kau sentuh pantatku! Lihat saja cukup!

Besar bukan?!" selesai berteriak, orang ini menoleh pada 

Dewa Orok lalu memberi isyarat dengan anggukkan

kepalanya.


Seakan tahu isyarat orang, Dewa Orok langsung

buka mulut menyahut.

 "Aduh besar sekali.... Padat berisi dan hitam legam!

Mananya gatal kakiku ingin mengusapnya...!"

 "Hei...! Jangan kau teruskan kakimu! Aku geli!"

kata orang di samping Dewa Orok sambil tahan 

tawanya.

 Dewa Orok tidak tinggal diam. Dia segera menyahut.

 “Kau diam sajalah! Salahmu sendiri kenapa pantat

bagus begitu ditunjukkan di depan orang! Aku jadi tak

sabaran!"

 “Hai...!" kembali orang di samping Dewa Orok ber-

teriak. "Dotmu.... Bikin aku tambah geli!" 

 "Aduh.... Aku sampai lupa. Sebentar akan kulepas

dulu dotku! Bagaimana sekarang...?! Apa masih geli...?!"

 Di depan sana, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki

sendiri. Lalu tanpa berpaling lagi dia berkelebat ting-

galkan tempat itu.

 Begitu sosok Iblis Rangkap Jiwa tidak kelihatan,

Dewa Orok kuncupkan mulut lalu menyedot bundaran

karetnya hingga masuk ke mulutnya. Lalu berpaling pada 

orang di sampingnya. Sebelum dia berkata, orang di

sampingnya gerakkan kedua tangannya singkapkan

pakaian sambungan bawahnya.

 Dewa Orok sudah siap pejamkan mata. Namun

diurungkan tatkala perlahan-lahan yang terlihat di balik

pakaian bawah orang bukan sepasang betis mulus, me-

lainkan dua batangan kayu sebesar betis!

 Kira-kira satu setengah depa ke atas lagi, barulah

terlihat sepasang telapak kaki besar yang tegak di atas

ujung kayu.

 Orang di samping Dewa Orok sentakkan kedua tangannya.

 Bretttt!


Pakaian hitam sambung-sambung melorot jatuh.

Kini tampaklah satu sosok tubuh pendek tegak di atau

ujung kayu!

 Orang bertubuh pendek di atas ujung batangan kayu 

angkat tangan kanannya sentakkan cadar hitam yang 

menutupi wajahnya.

 Tampaklah raut wajah seorang iaki-laki berhidung

agak besar bermata sipit. Bentuk wajahnya bulat besar.

Dia bukan lain adalah Cucu Dewa!

 "Guru...!" seru Dewa Orok. "Penyamaran dan ilmu

memindah suaramu hebat! Bagaimana dia bisa ngacir

begitu saja?"

 “Tempat Ini kurang aman lagi! Kita harus pergi dari

Sini” kata Cucu Dewa. Lalu meloncat dari ujung kayu.

Seraya memberi isyarat dia berkelebat. Tanpa buka mu-

lut Dewa Orok menyusul.

* *


TIGA


SATU sosok tubuh terlihat duduk ongkang-ongkang 

kaki di atas batu padas di pinggir sebuah telaga berair 

jernih. Orang ini sesekali bergumam sendiri lalu meringis. 

Tak lama kemudian dia perdengarkan dendang nyanyian 

seraya gerak-gerakkan kakinya. Namun tak iama 

kemudian dia putuskan dendang nyanyiannya. 

Kepalanya berputar. Sepasang matanya sedikit 

dibeliakkan memandang ke arah mana kepalanya 

berputar. Sikapnya jelas membayangkan hatinya gelisah. 

Dan kegelisahan itu makin terpancar jelas saat 

kepalanya tengadah melihat hamparan langit yang telah 

menghitam karena sudah agak lama matahari terbenam.

 "Menyesal aku bersedia mengajaknya dalam urusan 

ini! Bukannya urusan cepat selesai, tapi malah mem-

buatku bingung sendiri! Belum lagi harus menunggu

seperti ini! Kalau saja bukan seorang,..."

 Orang di atas batu padas putuskan gumamannya.

Kepalanya berpaling ke samping kanan. Sepasang ma-

tanya mendelik memperhatikan Tapi dia tidak menang-

kap siapa-siapa.

 “Kau telah lam menunggu?!" Tiba-tiba terdengar

satu suara.

 Orang di atas batu padas putar kepetenya ke kiri.

Dari balik samping batu besar muncul itu sosok tubuh.

Ternyata ia adalah seorang gadis berparas jeliae de-

ngan rambut panjang dikuncir. Sepasang matanya ba-

gus. Bibinya merah ranum, bentuk tubuhnya agak ting-

gi. Dia mengenakan jubah merah menyala

 Gadis berjubah merah melangkah perlahan men-

dekati orang yang duduk di atas batu padas yang ter

nyata adalah seorang pemuda berwajah tampan me-

ngenakan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan dibalut ikat kepala berwarna putih.

 "Kita berangkat sekarang?!" tanya si gadis begitu

dekat dengan si pemuda.

 Si pemuda tidak segera buka mulut menjawab.

sebaliknya memandang tajam pada si gadis. "Hem....

gadis ini benar-benar jelita, melihat gadis cantik begini

membuatku teringat pada Dewi Seribu Bunga dan Sito-

resmi. Juga kedua gadis anak tokoh bergelar Tengko-

rak Berdarah.... Puspa Ratri dan Saraswati... Bagai-

mana mereka sekarang? Kaiau urusan ini selesai, aku

akan mencari mereka...."

 "Kau melamun? Ingat seseorang...?!" tanya gadis

berjubah merah.

 Yang ditanya angkat bahu. La!u gelengkan kepala.

'Kecantikanmu membuatku tidak ingat siapa-siapa lagi.... 

Bahkan aku lupa pada diriku'"

 Dipuji begitu, gadis berjubah merah bukannya pa-

lingkan wajah untuk sembunyikan rona merah di pipi-

nya, melainkan tertawa cekikikan. Lalu berkata.

 "Sayang kau terlambat mengucapkan itu!"

 Si pemuda turun dari atas batu padas. "Maksudmu

kau telah punya seorang kekasih?!"

 Si gadis palingkan kepalanya. "Pacarku memang

banyak. Tapi aku belum punya kekasih!"

 Si pemuda memandang dengan dahi mengernyit.

“Lalu mengapa kau katakan ucapanku terlambat?"

 "Karena aku sudahsering mendengarnya dari pe-

muda sebelum kau! Hik.... Hik ... Hik '. Kau sendiri

bagaimana? Apa sudah punya kekasih ?”

 "Hem.... Dia pura-pura tanya atau betulan? Dia tahu 

banyak tentang diriku...," membatin si pemuda. Lalu 

berkata.

 "Seperti halnya dirimu, aku juga punya banyak ke-

nalan gadis-gadis, tapi sejauh ini aku belum punya seorang kekasih...."

 "Betul?!" tanya si gadis dengan mimik sungguh-

sungguh.

 "Sumpah mati!" Si pemuda pasang tampang tak

kalah sungguh-sungguhnya.

 "Bagaimana kalau kau kukenalkan dengan saha-

batku? Aku percaya kau pasti akan tertarik dan kalian

nanti tentu akan jadi pasangan kekasih yang sepadan!"

 "Jangkrik! Sahabatnya yang ditawarkan! Padahal

aku...."

 "Bagaimana? Kau setuju? Sahabatku itu cantik.

Atau kalau kau tak suka aku masih punya beberapa sa-

habat lagi...," kata si gadis memutus kata hati si pe-

muda.

 "Coba katakan siapa saja sahabatmu itu!"

 'Hem.... Ada yang bernama Sekar Jali-jali, Kembang 

Banteng Ketaton, ada juga yang bergelar Dewi Asap 

Gantung, Dewi Kabut Berarak, Ratu Langit Tanpa Bumi, 

Ratu Sarnudera Tanpa Air serta masih banyak...."

 Mendengar nama-nama yang disebut gadis berjubah 

merah, si pemuda mendelik. Tapi cibirnya tersenyum. 

Saat lain ia berkata.

 "Nama dan gelar sahabatmu hebat-hebat. Pasti

mereka cantik-cantik! Tapi sayang aku tidak tertarik

pada salah satunya,.,!” .

 *Ah sayang.... Tapi aku masih punya seorang kenalan 

lagi. Yang ini pasti kau tertarik walau hanya dengar 

namanya saja...."

 "Hem.... Katakan siapa...!"

 "Namanya sendiri dia tak pernah mau katakan padaku 

Dia selalu perkenalkan diri dengan Ratu Malam...”

 Laksana disengat, sepasang kaki si pemuda tersurut 

satu tindak. Wajahnya langsung berubah. Namun cuma 

sesaat. Di saat lain tawanya meledak!


"Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu? Hah...?!" Si

gadis membentak.

 "Kau tahu. Aku kenal Ratu Malam! Nenek tua yang

selalu komat-kamit mengunyah tembakau hitam dan

ceriwis itu bukan?!"

 Tampang gadis berjubah merah berubah. "Ah....

ternyata kau sudah kenal...."

 "Siapa tidak kenal nenek itu! Selain terkenal ceriwis, 

dia Juga dikenal sering gonta-ganti kekasih! Hem.... Apa 

tidak ada lagi yang lebih tua dari dia?!"

 Gadis berjubah merah tidak menjawab. Si pemuda

gelengkan kepala lalu berucap. "Aku menolak semua

nama yang kau tawarkan! Bagaimana kalau sekarang

aku yang tawarkan nama pemuda padamu? Siapa tahu

salah satunya menarik hatimu?!"

 Si gadis meringis, lalu berujar.

 "Aku tak tertarik. Mungkin yang hendak kau sodorkan 

padaku gurumu sendiri si Pendeta Sinting itu! Atau

temanmu si Iblis Ompong!"

 "Edan! Dari mana dia tahu aku hendak tawarkan

mereka?!" kata si pemuda dalam hati. Dia hendak angkat 

bicara, namun si gadis telah memotong.

 “Kau hendak mengajakku menyelidik atau hendak

mengatur perjodohan?!"

 “Ah... Benar ucapanmu. Kita berangkat sekarang!”

kata si pemuda lalu mendahului melangkah.

 "Ke mana. tujuan kita? Kau mengatakan hendak

menemui seseorang. Siapa? Di mana?!" tanya si gadis

membuat si pemuda hentikan langkahnya.

 "Dia bergelar Dewa Orok! Di mananya itu yang

membuat kepalaku masih pusing memikirkannya!"

 "Dasar sableng! Kalau tidak tahu di mana adanya

orang, lalu ke mana kau akan berangkat?! Percuma aku

menunggu-nunggu malam datang kalau begini jadinya


Gadis berjubah merah cemberut: Kaki kanannya

dihentakkan keras-keras di atas tanah pinggiran telaga. 

Tanah itu langsung longsor dan di bawah sana air telaga 

terlihat muncrat.

 "Aku tanya. Mengapa kau ingin menemui orang

bergelar Dewa Orok itu?" tanya si gadis masih dengan

tampang cemberut.

 "Apakah aku harus bercerita terus terang padanya? 

Apa dia bisa dipercaya...?" Si pemuda diam-diam

membatin. Setelah merenung agak. lama akhirnya dia

berkata.

 "Menurut orang yang kupercaya, dia memiliki rahasia 

yang bisa mengungkap di mana sebenarnya Kitab Hitam 

itu berada!"

 "Bagaimana kalau akhirnya terbukti tempat itu sama 

dengan yang ditunjukkan si manusia Iblis di puncak bukit 

itu? Bukankah perjalanan kita sia-sia?!"

 Si pemuda garuk-garuk lobang telinganya. "Apa kau 

yakin jurang di sebelah bukit itu memang tempat Kitab 

Hitam?!" 

 "Melihat tanda tandanya aku hampir yakin. Hanya kita 

terlambat datang dan seseorang telah mendahului kita!"

 “Kau juga punya keyakinan kalau Kitab Hitam itu

sebenarnya telah diambil oleh Iblis Rangkap Jiwa itu?”

 ."Mendengar ceritamu tempo hari, aku menduga

begitu. Namun ada kejanggalan! Kalau Iblis Rangkap

Jiwa benar-benar telah mengambil kitab itu, mengapa dia

masih berada di puncak bukit? Padahal jika seseorang 

telah mendapatkan barang yang dicari, seharusnya dia 

cepat tinggalkan tempat itu! Dia seharusnya maklum, 

bagaimanapun juga kabar tentang Kitab Hitam itu lambat 

laun akan tersebar dalam rimba persilatan. Dengan 

begitu jiwanya akan terancam setiap saat!"

 "Aku sekarang makin bingung.... Aku khawatir dugaanmu benar. Ada orang lain yang mengambil kitab

itu! Lalu siapa...?!"

 Untuk beberapa saat kedua orang ini sama terdiam

dengan pikiran masing-masing. Saat itulah mendadak

sebuah benda bulat sebesar kepalan tangan melayang

dan jatuh di tengah air telaga. Air telaga bergolak mun-

crat. Anehnya walau benda itu melayang pelan, akibat

muncratannya laksana ditimpa benda besar! Malah wa-

lau gadis berjubah merah dan si pemuda cepat meng-

hindar, muncratan air telaga tak urung mengenai mere-

ka berdua! Hingga keduanya basah!

 "Sialan! Siapa berani main air di tengah malam begini? 

Jelas ini bukan tidak disengaja! Ada anak manusia di 

sekitar tempat ini!" kata si gadis lalu putar kepalanya.

 Si pemuda tidak menyahut ucapan si gadis. Namun

melihat putaran kepalanya serta matanya yang jelalatan

memandang berkeliling, dia membenarkan ucapan si

gadis.

 “Kau ke sana! Aku akan ke sana!" kata si pemuda

sambil arahkan telunjuk jari tangannya ke arah ber-

lawanan.

 Kejap lain kedua orang ini te!ah berkelebat mengambil

arah berlawanan. Sang pemuda ambil arah kiri, si gadis

arah kanan. Tak berapa lama kemudian si pemuda 

sudah muncul di tempatnya semula dengan mata 

nyalang. Dia tidak menemukan siapa-siapa.

 "Aku yakin. Lemparan tadi dilakukan seseorang!

Lemparan itu bukan lemparan biasa! Hem.... Ke mana

gadis sableng itu? Apa dia menemukan orang? Tapi

mengapa suaranya tidak terdengar?!”

 Si pemuda berpaling ke arah mana tadi si gadis

berkelebat. Dia menunggu sesaat. Karena tidak ada

tanda-tanda orang akan muncul dari arah itu, tak sabar

si pemuda berteriak. "Putri Sableng! Di mana kau? Apa


kau menemukan seseorang?!"

 Tidak terdengar suara jawaban. Si pemuda mulai

tampak gelisah. Untuk kedua kalinya dia berteriak.

"Putri Sableng! Kau di mana?!"

 Karena masih tidak ada suara jawaban, si pemuda

berkelebat ke arah mana tadi gadis berjubah merah

yang bukan lain adalah Putri Sableng berkelebat. Na-

mun si pemuda serta-merta tahan gerakannya tatkala

mendadak terdengar suara tawa cekikikan.

 "Dasar gadis kurang ajar! Bikin dada orang deg-

degan saja! Kalau tidak cantik mungkin sudah tidak

kupedulikan!"

 "Eh.... Ada yang tidak beres!" wajah si pemuda

kembali berubah tegang dan gelisah tatkala tiba-tiba

suara tawa cekikikan terputus laksana dibetot setan.

Tanpa herpikir panjang lagi, si pemuda berkelebat

 Pada satu tempat tidak jauh dari pinggiran telaga

si pemuda hentikan larinya dengan sepasang mata

mendelik dan dahi mengernyit. Sejarak lima langkah di

hadapannya Putri Sableng tegak dengan kedua tangan

ditangkapkan di depan dada. Sepasang matanya mem-

buka memejam.

 “Hei! Apa yang kau lakukan di sini?!" kata si pemuda

 "Monyet raksasa!" kata Putri Sableng sambil tunjuk

ke satu arah.

 Si pemuda arahkan pandangannya pada arah yang

ditunjuk Putri Sableng. Pada satu tempat di bawah

sebatang pohon, tampak satu sosok besar duduk ber-

sandar punggung.

 "Jangan-jangan dia!" gumam si pemuda setelah

agak lama memperhatikan.

 "Hai! Rupanya kau kenal monyet besar itu?!" tanya

Putri Sableng.

 "Jaga bicaramu!" kata si pemuda dengan suara


agak keras. Kejap lain sosoknya melompat dan tegak

tiga langkah di hadapan sosok besar di bawah pohon.

 "Benar. Rupanya dia...!" desis si pemuda lalu per-

hatikan sekali lagi pada sosok di hadapannya.

 Sosok besar itu ternyata adalah seorang laki-laki

berusia lanjut. Rambutnya panjang putih disanggul

tinggi. Laki-laki mengenakan pakaian gombrong besar

berwarna hijau. Pada perutnya tampak melingkar satu

Ikat pinggang besar yang di bagian depan perutnya ter-

dapat sebuah cermin bulat. Kedua mata orang ini me-

mejam rapat.

 "Gendeng Panuntun!" seru si pemuda lalu me-

langkah mendekat.

 "Hai! Kau pandai juga memberi nama monyet besar itu 

dengan Gendeng Panuntun. Apa dia gendeng betulan?l" 

Putri Sableng berteriak.

 Si pemuda hanya gelengkan kepala tanpa me-

nyambuti teriakan Putri Sableng. Sementara begitu ti-

dak mendapat sahutan, kembali Putri Sableng ber-

teriak.

 "Monyet besar yang kau beri nama Gendeng Paruntun

itu berjenis laki-laki atau perempuan? Kulihat dia 

membawa cermin. Apa dia jenis monyet yang suka

dandan? Hik.... Hik.... Hik...I Nyatanya bukan manusia

saja yang ingin bergaya. Monyet sekarang pun mulai

bisa pasang aksi! Apa dia bisa tari Topeng Monyet?!"

 "Gadis sableng! Jangan bicara ngelantur tak karuan! 

Dia bukan monyet. Dia sahabatku! Kemarilah!"

 "Apa?! Dia bukan monyet? Kalau bentuk seperti itu

kau bilang bukan monyet, lalu bentuk monyet betulan

bagaimana?! Hik.... Hik.... Hik...!"

 Si pemuda hanya bisa gelengkan kepalanya berulang 

kali. "Mengajak gadis seperti dia nyatanya makin tambah 

merusak suasana!" gumamnya lalu menjura hormat


pada sosok di hadapannya yang tidak lain Gendeng 

Panuntun adanya.

 "Sobatku, Gendeng Panuntun. Harap maafkan ucapan 

sahabatku Itu!"

 Gendeng Panuntun buka kelopak sepasang matanya. 

Bola matanya yang putih sejenak mengerjap. Lalu 

terdengarlah ucapannya.

 "Anak muda.... Tak usah gelisah. Aku tidak apa-apa

dikatakan monyet. Karena saat seperti sekarang ini,

monyet kadang-kadang lebih manusia daripada makhluk 

yang bernama manusia! Aku gembira bisa jumpa kau 

lagi! Hem.... Siapa gadis cantik yang bersamamu itu? 

Kekasih...? Teman biasa...? Hati-hati, Anak Muda! Kalau 

dua orang berlainan jenis berada di tempat sepi begini, 

apalagi dekat telaga, orang ketiganya adalah nafsu! Aku 

percaya kau bisa menahan. Tapi temanmu itu?"

 Meski ucapan manusia bermata putih pertanda dia

buta ini perlahan, namun masih terdengar oleh Putri

Sableng. Paras gadis ini seketika berubah merah padam. 

Namun justru yang selanjutnya terdengar adalah tawa 

cekikikannya. Kejap lain gadis ini berkelebat dan tegak di 

sebelah si pemuda.

 Si pemuda berpaling, lalu sorongkan kepalanya

berbisik.

 "Harap jangan bicara tak karuanl Dia sahabat baikku.

Kita sekarang butuh keterangan darinya!"

 Putri Sableng sesaat perhatikan Gendeng Panuntun

Lalu balik berbisik.

 'Kulihat matanya buta. Bagaimana kau mau minta

keterangan padanya? Hik.... Hik.... Hik...! Jangan-jangan 

kau salah ucap! Atau barangkali pendengaranku yang

keliru?!"

 “Kau Ini aneh. Kau banyak mengenal tokoh-tokoh

rimba persilatan. Tapi nyatanya kau tidak tahu


kehebatan orang satu persatu!" bisik si pemuda.

 "Jangan salah sangka. Aku mengenal mereka lewat 

cerita. Jadi bagaimana aku tahu kehebatan mereka 

Hik.... Hik.... Hik...! Orang buta ini tadi kau beri nama 

siapa?!"

 "Bukan aku yang memberi nama. Sejak dulu namanya 

sudah Gendeng Panuntun!"

 "Kalau kau dengar saranku, jangan minta keterangan 

padanya! Namanya saja Gendeng. Apa keterangannya 

nanti tidak malah lebih gendeng? Apalagi dia orang buta"

 Meski si pemuda mulai tampak jengkel, namun

akhirnya dia berkata lirih.

 "Tapi yang ini lain!"

 “Lain bagaimana? Orang buta ya begitu itu matanya! 

Kalaupun dia beda dari orang buta lainnya, Itu hanya 

pada cermin bulatnya itu! Kau pernah tahu bagaimana 

kalau dia berkaca?!"

 Mungkin tak dapat lagi menahan rasa jengkel, si

pemuda mendelik dan berbisik.

 "Harap kau tidak usil! Jangan ikut bicara! Kalau kau

Ikut-ikutan nimbrung dan suasana kacau, kau nanti

yang bertanggung jawab!"

 "Hai.... Apa dia suka bikin kacau?!"

 "Kau benar-benar gadis sableng!" sentak si pemuda.

 "Tapi kau juga Joko Sableng!" si gadis balik 

membentak, membuat si pemuda yang tidak lain adalah

murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131

Joko Sableng mendelik dengan dada menindih rasa

jengkel.

 "Hem.... Kalian ini berebut apa?" ujar Gendeng

Panuntun.

 Sebelum Joko buka mulut menjawab, Putri Sableng 

telah mendahului.

 "Kata temanku ini, meski kau telah kakek-kakek


dan matamu tidak bisa melihat, tapi kau termasuk kakek-

kakek sableng! Apa betul?!"

 "Hem.... Aku mencium bau tembakau! Adakah di

antara kailan berdua yang membawa tembakau?!" kata

Gendeng Panuntun alihkan pembicaraan.

 "Apa kubilang! Orang buta biasanya suka sok tahu!

Kau dengar. Mana di antara kita yang membawa tem-

bakau?!" bisik Putri Sableng lalu tertawa tertahan.

 Murid Pendeta Sinting dekap mulut Putri Sableng

dengan tangan kanannya. Lalu maju satu langkah tepat

di hadapan si gadis hingga pandangan si gadis terha-

langi "Terus-terusan melayanimu bisa-bisa urusan tak

kunjung selesai!" kata Joko lalu memandang pada Gen-

deng Panuntun dan berkata.

 "Kita lupakan dahulu urusan tembakau! Aku sekarang 

perlu keteranganmul"

 "Aku hanya bisa memberimu satu keterangan. Kitab 

yang kau cari telah menjadi milik orang! Dia adalah

seorang pemuda sebaya denganmu. Tanpa kau cari

kelak dia akan mencarimu! Berhati-hatilah mengha-

dapinya. Kitab di tangannya mengandung kekuatan luar 

biasa dahsyat...."

 Untuk sesaat murid Pendeta Sinting jadi terdiam

tergugu. Kepalanya silih berganti memandang pada

Gendeng Panuntun lalu pada Putri Sableng yang kini

telah maju dan tegak di sampingnya.

 Gendeng Panuntun perlahan-lahan bangkit. Kepa-

lanya menghadap bergantian pada Joko dan Putri Sa-

leng. Lalu tanpa buka suara lagi, kakek bertubuh

besar Ini melangkah.

 "Kek! Tunggu!" tahan Joko. "Siapa kira-kira pemuda 

Itu?!"

 'Saatnya nanti kau akan tahu! Silakan teruskan

bersenang-senang. Seandainya saja perempuan cantik


itu mau tunjukkan diri, aku mau menemani kalian

bersenang-senang di sini! Sayang dia tak mau tunjukkan 

diri.... Padahal kecantikannya tidak kalah dengan gadis 

berjubah merah kawanmu itu...."

 Ucapan Gendeng Panuntun membuat murid Pendeta 

Sinting kerutkan dahi. Sebaliknya Putri Sableng tampak 

tenang-tenang saja. Malah mulutnya membuat gerakan 

mencibir.

 "Monyet besar minta diri...” ujar Gendeng Panuntun. 

Lalu sekali bergerak, tubuhnya telah berkelebat dan saat 

Joko dan Putri Sableng berpaling, sosok Gendeng 

Panuntun sudah melangkah jauh di depan sana. Kejap 

lain hanya kilatan-kilatan cahaya putih yang keluar dari 

cermin bulat si kakek yang terlihat sebelum akhirnya 

sirna.

 "Ucapan kakek itu mengisyaratkan ada orang di

sekitar tempat ini!" bisik Joko setelah Gendeng Panuntun 

lenyap.

 "Apa perlunya menuruti ucapan orang gendeng! Lebih 

baik kita mencari tahu benar tidaknya ucapannya yang 

mengatakan Kitab Hitam telah jatuh pada seorang

pemuda!' sahut Putri Sableng.

 "Itu benar! Tapi kita harus juga tahu siapa adanya

perempuan cantik yang dikatakan Gendeng Panuntun."

 "Kalau itu maumu, silakan cari! Aku akan menunggu di 

sini!" ujar Putri Sableng dengan siratkan ketidak-

senangan.

 "Kau cemburu karena orang itu dikatakan cantik?!"

 Putri Sableng menatap pada murid Pendeta Sinting. 

Lalu tertawa cekikikan.

 "Pantaskah pemuda sableng sepertimu mendapat

rasa cemburu? Hik.... Hik.... Hik...! Jangankan hanya

mencari, kau berpelukan di hadapanku pun aku tidak

akan cemburu!"


"Busyet! Dia benar-benar tidak ada rasa sama sekali 

padaku! Akan kubuktikan nanti ucapannya! Biasanya 

seorang perempuan pandai menutupi perasaannya!"

 Habis membatin begitu, murid Pendeta Sinting ber-

kelebat. Bersamaan dengan itu sejarak lima tombak dari 

tempatnya Putri Sableng dan Joko tadi berada, satu

sosok tubuh yang sedari tadi mengendap-endap mem-

buat gerakan.

 "Jangan bergerak dari tempatmu!" teriak Joko lalu

arahkan pandangannya pada sosok tubuh yang mulai

membuat gerakan seakan hendak berkelebat. Tapi

orang yang diteriaki tidak hiraukan ucapan Joko Se-

baliknya langsung berkelebat cepat.

 "Hai! Tunggu!" Joko kembali berteriak. Lalu lipat

gandakan ilmu peringan tubuh dan menyusul pada sosok

yang berkelebat. Karena keadaan gelap dan murid 

Pendeta Sinting tidak mengetahui daerah di sekitar

tempat Itu, pada akhirnya Joko kehilangan jejak.

 "Ucapan Gendeng Panuntun benar. Melihat sosoknya 

dia adalah seorang perempuan! Tapi mengapa dia

mencuri dengar pembicaraan Ini?" Joko terus berkata

sendiri dalam hati seraya melangkah ke arah di mana

Putri Sableng menunggu.

 Krakkk!

 Terdengar ranting diinjak orang. Joko cepat berpaling 

lalu berkelebat ke arah tempat terdengarnya suara.

 “Jangan harap kau bisa lolos! Tetap di tempatmu atau 

kuhantam!" ancam murid Pendeta Sinting berharap agar 

orang tidak berkelebat pergi.

 Rupanya ancaman Joko berpengaruh. Karena murid

Pendeta Sinting tidak melihat adanya sosok yang

berkebat.

 Pendekar 131 hentikan langkah. Sepasang matanya 

menembusi kegelapan. Nalurinya mengatakan di situ ada


orang. Murid Pendeta Sinting tidak berani berniat ayal. 

Dengan kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya 

dia berteriak.

 "Keluarlah dari tempatmu!"

 Tidak ada sahutan atau sosok yang terlihat.

 “Kau dengar ucapanku! Keluarlah!" kembali murid

Pndeta Sinting berteriak.

 "Aku malu.... Aku takut...." Terdengar suara jawaban 

halus seorang perempuan.

 "Kau tidak malu mencuri dengar pembicaraan oangl 

Kau tidak takut mengintip orang! Mengapa sekarang kau 

baru malu? Keluarlah!" seru Joko.

 “Aku malu.... Aku takut...." Kembali terdengar suara.

 “Jangkrik! Jangan-jangan ini hantu perempuan....'

Tengkuk murid Pendeta Sinting jadi merinding. "Makhluk 

bangsa hantu tidak mempan pukulan. Tapi Gendeng 

Panuntun mengatakan seorang perempuan. Bukan 

hantu!"

 Ingat akan ucapan Gendeng Panuntun, kembali Joko 

berseru.

 "Kau tak usah malu. Tak perlu takut!"

 'Kau tidak akan menghantamku, bukan?!" kata suara 

perempuan tadi.

 "Aku hanya perlu tahu siapa kau dan apa tujuanmu!"

 "Baiklah kalau hanya itu maumu...," kata suara pe-

rempuan. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda

munculnya seseorang, membuat Joko hendak berteriak 

lagi dan mulai jengkel.

 Namun belum sampai suaranya terdengar, perlahan-

lahan semak belukar tujuh langkah di samping

murid Pendeta Sinting bergerak-gerak. Murid Pendeta

Sinting menunggu dengan mata terpentang. Meski dia

tidak angkat tangannya, namun diam-diam telah kerahkan tenaga dalam.


Semak belukar bergerak menyibak. Lalu tampaklah 

satu sosok tubuh!

 Murid Pendeta Sinting makin pentangkan matanya.

Rahangnya mengambung dengan mulut komat-kamit.

Saat lain terdengar dia memaki-maki lalu hentakkan

kaki.

 Bersamaan dengan itu satu sosok tubuh yang baru

keluar dari arah semak belukar buka mulut. Bukan

perdengarkan suara, melainkan tertawa cekikikan! Ter-

nyata orang ini adalah seorang perempuan muda ber-

paras cantik mengenakan jubah merah dan bukan lain

adalah Putri Sableng.

 “Kau bercanda tidak ada juntrungan!" maki Joko

seraya balikkan tubuh.

 “Siapa bercanda? Aku juga mencari perempuan itu 

tapi juga kehilangan jejak! Hik.... Hik.... Hik...!"

 “Tapi caramu! Mengapa berbuat begitu?!"

 “Salahmu sendiri. Kau terlalu terbawa perasaan!"

Putri Sableng seenaknya saja.

 “Kepalaku bisa pecah kalau terus-terusan bersa-

mamu” kata murid Pendeta Sinting lalu berkelebat.

 “Tunggu!" seru Putri Sableng seraya ikut berkelebat,.

 “Ingat, sekali lagi kau bercanda tidak pada tempatnya

aku tak akan berhubungan lagi denganmu!" ancam Joko 

begitu Putri Sableng berlari di sampingnya.

 Yang diancam tidak menyahut. Dia hanya tersenyum-senyum.


EMPAT


LAKI-LAKI mengenakan pakaian hitam-hitam yang raut 

wajahnya sukar dikenali karena tertutup oleh sebagian 

caping lebarnya itu melangkah pelan-pelan dengan tubuh 

sedikit terbungkuk.

 Pada satu tempat mendadak dia hentikan langkahnya. 

Sejurus kepalanya menghadap lurus ke depan. Lalu 

kembali tertunduk. Bersamaan itu kakinya kembali

melangkah.

 "Hem.... Ada orang dari sebelah depan...," gumam si

laki-laki bercaping lebar seraya terus melangkah dengan 

kepala menunduk hingga raut wajahnya makin sulit 

dikenali.

 Baru saja enam langkah, dari arah depan sana tampak 

satu sosok tubuh berkelebat cepat. Laki-laki bercaping 

lebar angkat kepalanya. Mungkin pandangannya 

terhalangi, tangan kanannya bergerak. Caping lebar 

bagian depan sedikit terangkat.

 "Hem.... Rasanya aku pernah jumpa dengan orang

ini?" desis laki-laki bercaping lalu tarik pulang tangan

kanannya hingga caping lebarnya kembali menutup

sebagian raut wajahnya.

 Sementara orang yang berlari dari arah depan seakan 

tidak hiraukan si laki-laki. Dia terus berkelebat dan 

melewati laki-laki bercaping tanpa berpaling.

 "Tampaknya kau terburu-buru. Apa ada urusan sangat 

penting?" si laki-laki bercaping perdengarkan suara 

begitu sosok yang berkelebat dari arah depan 

melewatinya.

 Mendengar ucapan orang, sosok yang berkelebat

berhenti. Lalu tanpa berpaling dia berkata.

 “Ada atau tidak ada urusan apa pedulimu?!" Iaki-laki

bercaping putar diri. Kepalanya sedikit ditengadahkan


agar pandangan matanya tidak terhalang bagian depan 

capingnya.

 “Hem.... Bentuk tubuhnya boleh juga! Aku yakin

memang pernah menjumpainya.... Tapi di mana?" Laki-

laki bercaping lebar berpikir sejenak mengingat-ingat.

 Sesaat kemudian dia terlihat angguk-anggukkan kepa-

lanya. Lalu berkata sambil tundukkan kepala.

 “Memang tak ada pedulinya! Tapi siapa tahu aku bisa 

membantu?"

 Orang di hadapan laki-laki bercaping perdengarkan 

dengusan pelan. Lalu berujar. Suaranya jelas bernada 

meremehkan.

 “Orang sepertimu, apa yang bisa kau lakukan 

untukku?”

 “Aku tadi bilang, siapa tahu.... Semuanya nanti

bergantung urusan dan imbalan. Kalau cocok mengapa

tidak...?"

 “Hem... Begitu? Siapa kau...?!"

 Laki-laki bercaping perdengarkan suara tawa pelan 

“soal aku, itu urusan belakangan! Yang jelas aku tahu 

siapa kau adanya...."

 Orang di hadapan laki-laki bercaping lebar balikan

tubuh menghadap. Ternyata dia adalah seorang

perempuan berwajah cantik meski usianya tidak muda.

Mengenakan pakaian warna biru ketat dan tipis. Pada

bagian dadanya dibuat rendah hingga sembulan 

sepasang payudaranya yang membusung padat terlihat 

jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata

lentik dan hidung sedikit mancung. Bibirnya merah

membentuk bagus.

 Si perempuan berpakaian biru sesaat perhatikan

orang di hadapannya dengan sepasang mata tak 

berkesip. Namun karena laki-laki di depannya sengaja 

masukkan capingnya dalam-dalam pada kepalanya, si


perempuan tidak bisa mengenali dengan jelas paras wa-

jah orang. Yang tampak adalah bagian hidung ke bawah.

 Si perempuan buka mulut. Tapi si laki-laki bercaping 

sudah mendahului berkata. "Bukankah kau Ratu

Pemikat...?!"

 Perempuan di hadapan laki-laki bercaping yang

memang Ratu Pemikat adanya kerutkan dahi. Diam-

diam dia berkata dalam hati. "Melihat potongannya

memang mirip seorang kakek-kakek. Tapi bagian ba-

wah wajahnya jelas menunjukkan kalau usianya masih

muda.... Siapa dia? Kalau dia mengenalku, pasti dia dari

kalangan orang persilatan. Hem.... Tak ada salahnya

memang sedikit bertanya jawab dengannya. Siapa tahu

dia mengetahui urusan yang sedang kuhadapi! Ucapan

Gendeng Panuntun di dekat telaga malam itu membuat

ku kembali agak bingung. Dia mengatakan Kitab Hitam

telah dimiliki orang. Herannya orang itu masih sebaya

dengan Pendekar 131. Berarti kitab itu telah jatuh ke

tangan seorang pemuda! Sayangnya dia tidak menga-

takan siapa adanya pemuda yang telah memiliki Kitab

Hitam itu! Padahal aku yakin Gendeng Panuntun tahu

siapa pemuda itu. Dan ucapannya pasti benar! Kalau

saja Gendeng Panuntun mudah ditaklukkan, aku akan

mengorek keterangan dari mulutnya.... Untungnya ma-

lam itu aku selamat dari kejaran Pendekar 131 dan ga-

dis berjubah merah. Kalau tidak...."

 “Kurasa urusanmu sangat penting. Kulihat kau 

melamun dan bergumam sendiri!" Laki-laki bercaping 

lebar putuskan kata hati Ratu Pemikat.

 "Ah.... Urusanku tidaklah begitu penting! Dan aku

bersyukur kau telah mengenaliku...," kata Ratu Pemikat.

 “Hem.,.. Aku juga bersyukur kalau urusanmu tidak

penting, berarti kau tidak memerlukan bantuan orang

lain. Hanya kalau sudi, mau jawab tanyaku...?!


Ratu Pemikat tertawa panjang. "Kau ini aneh. Kau tadi

yang tawarkan bantuan. Sekarang kau yang hendak

bertanya!"

 :Tapi pertanyaanku mungkin masih ada hubungannya 

denganmul"

 Ratu Pemikat kembali pandangi orang dengan lebih 

seksama. "Rupanya dia tahu banyak dengan diriku “ 

katanya dalam hati. Lalu berkata.

 “Sebenarnya aku tak mau jawab pertanyaanmu, tapii 

akan kudengar dahulu apa yang akan kau tanyakan “

 “Bagaimana akhir dari peristiwa di Pulau Biru?!" tanya

laki-laki bercaping.

 Sepasang kaki Ratu Pemikat tampak bergerak

mundur setengah tindak. Pertanyaan orang membuat

hatinya tidak enak dan berdebar-debar.

 “Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ratu Pemikat setelah 

dapat kuasai diri.

 "Itu urusan mudah dan bisa ditangguhkan...."

 “Hem.... Peristiwa di Pulau Biru hanya beberapa orang

yang tahu. Kalau dia sampai tahu peristiwa itu, jangan-

jangan dia salah satu orang yang ada di sana sewaktu

peristiwa itu! Tapi siapa...."

 Mungkin tak bisa memperoleh jawaban, akhirnya

Main Pemikat bertanya.

 "Apa kau salah seorang yang hadir di Pulau Biru ltu?!"

 Laki-laki bercaping tidak menjawab. Sebaliknya dia

malahh ajukan tanya lagi.

 “Bagaimana kau bisa selamat dari Pulau Biru?!"

 "Aku tahu bagaimana caranya lolos! Dan aku tak

tahu bagaimana kelanjutan peristiwa itu! Yang jelas,

Kitab Serat Biru telah jatuh ke tangan...."

 "Pendekar 131!" sahut laki-laki bercaping.

 "Hem.... Kau ternyata banyak tahu juga. Apa kau

juga sudah tahu kalau sebuah kitab lagi jatuh juga ke


tangannya?!"

 "Kudengar dia memang telah mendapat sebuah kitab 

dengan adanya peristiwa Tengkorak Berdarah!" kata laki-

laki bercaping.

 "Ah.... Melihat kau tahu banyak seluk beluk orang-

orang rimba persilatan, pasti kau seorang tokoh dunia

persilatan. Mendengar kau tahu tentang Pendekar 131

jangan-jangan kau masih sahabatnya...."

 Bibir laki-laki bercaping sunggingkan senyum aneh. 

"Benar! Aku memang sahabatnya. Seorang sahabat 

yang akan mengantar nyawanya masuk liang lahat”

 Paras wajah Ratu Pemikat tampak berubah. Namun

diam-diam perempuan bertubuh bahenol berwajah

cantik ini merasa lega. "Kalau dia tahu banyak, tentu

orang ini memiliki kepandaian tinggi! Lebih dari itu dia

rupanya punya dendam...."

 "Kau punya urusan silang sengketa dengan pemuda 

itu?!" tanya Ratu Pemikat.

 "Bukan hanya dengan dia! Siapa pun yang coba-

coba menjamahnya berarti berani berurusan denganku. 

Karena dia telah memotong dendamku!"

 Mendengar ucapan laki-laki bercaping, Ratu Pemikat 

tersenyum. "Apa kau siap menghadapinya? Dengan

kedua kitab sakti di tangannya, Pendekar 131 bukan

manusia yang mudah dikalahkan...."

 Rahang laki-laki bercaping terlihat terangkat. 

Tubuhnya sedikit bergetar. "Berapa pun kitab di 

tangannya, bukan menjadi hal yang membuatku takuti 

Aku hanya kekuatan untuk membunuhnya sebanyak 

nyawa yang dia miliki!"

 'Hem.... Aku akan terus memancingnya.... Mudah-

 mudahan ini ada hubungannya dengan Kitab Hitam...,"

Ratu Pemikat membatin lalu berkata.

 "Siapa pun boleh berkata seperti apa yang kau kakatakan. Tapi menurut apa yang pernah kudengar, ke-

kuatan apa pun yang dimiliki orang dia tak akan bisa

mengalahkan Pendekar 131 kecuali...." Ratu Pemikat

sengaja memutus ucapannya.

 Laki-laki bercaping tidak menyahut. Dia hanya 

tersenyum. Ratu Pemikat sejurus memandang lalu 

lanjutkan ucapannya. "Kecuali kalau orang itu membekal

sebuah kitab sakti!"

 Laki-laki bercaping masih tetap kancingkan mulut. 

Malah sejenak kemudian kepalanya berpaling sedikit ke 

samping kanan.

 "Apa kau telah membekal kitab sakti itu?!"

 “Aku lebih tahu bagaimana cara membunuh Pendekar

131!"

 Ratu Pemikat tertawa panjang hingga dadanya ber-

guncang. "Kau boleh memiliki seribu satu cara. Tapi ja-

ngan harap kau bisa lampiaskan dendammu!"

 Kini laki-laki bercaping yang perdengarkan tawa

panjang bergelak. "Dengar, Ratu Pemikat! Aku hanya

punya satu cara untuk membunuh Pendekar 131!"

 "Mau tunjukkan bagaimana caramu itu?!"

 Laki-laki bercaping tidak menjawab. Namun 

bersamaan Itu sosoknya bergerak memutar 

memunggungi Ratu Pemikat. Tangan kanannya bergerak 

setinggi dada lalu mengusap dadanya.

 Terdengar deruan perlahan. Ratu Pemikat tampak

sunggingkan senyum mengejek. Karena bersamaan

dengan terdengarnya suara deruan, tidak terlihat adanya 

gelombang atau sinar yang melesat. Namun senyum 

Ratu Pemikat terputus. Kepalanya tersentak memandang 

ke depan dengan mata melotot.

 Di depan sana, laksana dihantam kekuatan luar biasa 

dahsyat, pohon yang tegak berjajar langsung berderak 

tumbang dan mencelat mental sampai dua tombak


dengan berubah jadi serpihan hitam tatkala kembali 

bertabur di atas tanah! Tanah di sekitar pohon yang 

mental porak-poranda dan semburat membubung ke 

udara!

 "Luar biasa. Bagaimana dia keluarkan ilmu tadi.

Kulihat dia hanya gerakkan tangan kanan.... Tapi apakah 

mungkin dia dapat mengalahkan Pendekar 131?" Ratu 

Pemikat pandangi bagian belakang sosok laki-laki

bercaping.

 Laki-laki bercaping sendiri terdengar mendengus

pelan. Lalu balikkan tubuh. Sesaat kepalanya 

menghadap lurus pada Ratu Pemikat. Bersamaan itu 

kedua tangannya bergerak ke atas. Perlahan-lahan 

kedua tangannya membuka kancing pakaiannya.

 Sepasang mata Ratu Pemikat terbelalak besar-besar 

tatkala bagian atas pakaian laki-laki bercaping lebar 

terbuka.

 "Sebuah kitab!" desis Ratu Pemikat. "Apakah itu Kitab 

Hitam yang tengah dicari Pendekar 131? Warnanya 

memang hitam. Tapi apa benar itu Kitab Hitam?!"

 Sambil tersenyum aneh, laki-laki bercaping lebar

kancingkan kembali pakaiannya. "Apa kau kira Pendekar 

131 masih sanggup pertahankan nyawanya?!"

 "Aku baru bisa memastikan jawaban kalau kau jawab 

dulu pertanyaanku. Apakah kitab itu Kitab Hitam?!”

 “Dari warnanya kurasa kau tidak usah ajukan tanya”

ujar laki-laki bercaping.

 “Hem ... Warna bisa sama, tapi kadang kala isinya

berbeda! Aku tanya lagi. Apa kau pernah mengenal 

serang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"

 “Hem.... Perempuan ini rupanya tahu hubungan kitab 

ini dengan iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa telah

menjadi budakku. Aku ingin perempuan ini jadi budakku

sekaligus gundikku...," membatin laki-laki bercaping.


Lalu berkata.

 “Aku bukan hanya mengenal Iblis Rangkap Jiwa, tapi 

dia adalah pembantuku! Termasuk seorang tokoh lagi 

yang bergelar Cucu Dewa!"

 Ratu Pemikat tampak sedikit terlonjak mendengar

jawaban laki-laki bercaping. "Dia telah mengenal tokoh-

tokoh yang ada hubungannya dengan Kitab Hitam. 

Berarti kitab di dadanya itu Kitab Hitam! Hem.... Aku 

harus dapat merebutnya...."

 Setelah berpikir begitu Ratu Pemikat tampak 

tengadahkan sedikit kepalanya hingga lehernya yang

panjang dan putih terlihat.

 “Kau rupanya seorang yang beruntung. Kurasa kau

kini dapat membalaskan dendammu pada Pendekar

131. Tapi kuharap kau memberiku kesempatan....seperti

halnya kau, aku juga punya dendam pada dia!"

 “Aku sudah katakan, siapa pun yang berani 

menjamah pendekar 131 berarti berani menghadapiku!"

 “Aku tahu. Aku tidak menginginkan nyawa Pendekar

131 kalau kau telah menginginkannya. Tapi setidaknya 

aku dapat melunaskan sakit hati ini!"

 Laki-laki bercaping lebar tertawa bergelak panjang

mendengar ucapan Ratu Pemikat. "Kau tadi mengatakan 

tidak ada orang yang bisa mengalahkan Pendekar 131 

kecuali orang itu berbekal kitab sakti. Sekarang aku 

tanya padamu. Apa kau juga telah membekal kitab 

sakti?!"

 Mendengar pertanyaan laki-laki bercaping, Ratu

Pemikat tampak terkejut. Perempuan ini lalu gelengkan

kepala dan berujar. "Hal itulah yang membuatku pusing! 

Aku tak membekal apa-apa, padahal dadaku penuh 

dengan bara dendam! Seandainya kau mau baik hati 

padaku, aku mau juga jadi pembantumu!"

 "Berbaik hati bagaimana maksudmu?!" tanya laki-laki


bercaping.

 "Sisakan sedikit nyawanya untukkul"

 "Hem.... Urusan itu mudah, asal imbalannya pantas!"

 "Asal ucapanmu benar, imbalan apa yang kau minta

akan kuturuti!" kata Ratu Pemikat dengan sedikit 

busungkan dadanya. Perempuan ini tampaknya maklum

ke mana arah ucapan laki-laki bercaping.

 Ratu Pemikat maju satu langkah. "Selain itu, aku juga 

ingin tahu siapa kau sebenarnya...."

 Tanpa buka suara, laki-laki bercaping gerakkan tangan

kanan. Perlahan-lahan caping lebarnya diangkat tinggi-

tinggi ke atas, hingga kini tampak jelaslah wajahnya.

 Sesaat Ratu Pemikat perhatikan wajah orang dengan 

mata tak berkesip. Dahinya berkerut. "Aku yakin pernah 

bertemu dengan pemuda ini! Tapi aku lupa dimana! Ah.... 

Bukankah dia tadi sebut-sebut peristiwa Pulau Biru? 

Astaga! Kalau tidak salah bukankah dia pemuda yang 

ikut hadir di Pulau Biru yang bergelar Malaikat Penggali 

Kubur?!" (Tentang peristiwa di Pulau Biru, silakan baca 

serial Joko Sableng dalam episode: "Neraka Pulau Biru").

 Laki-laki yang tadi mengenakan caping lebar dan tak

lain adalah Malaikat Penggali Kubur sunggingkan 

senyum aneh. Sepasang matanya menatap tajam

belahan dada Ratu Pemikat.

 “Kau telah tahu siapa diriku! Apa ada syarat lagi yang 

hendak kau ajukan?!" tanya Malaikat Penggali Kubur.

 Ratu Pemikat tidak menjawab, sebaliknya ajukan

tanya balik.

 “Imbalan apa yang kau inginkan dariku?"

 Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan satu kali 

tahu-tahu sosoknya telah tegak di depan Ratu Pemikat.

 “Aku Inginkan dirimu!" kata Malaikat Penggali Kubur 

pada saat yang sama, kedua tangan pemuda murid Bayu 

Bajra Ini telah bergerak ke depan merengkuh sosok


Ratu Pemikat.

 Ratu Pemikat tidak berusaha menolak. Malah dia

sengaja tengadahkan kepala dengan mata sedikit 

dipejamkan dan bibir sedikit membuka perdengarkan ke-

luhan pendek. Namun perempuan ini segera menjerit

kecil tatkala Malaikat Penggali Kubur menggigit lehernya.

 Sikap dan jeritan kecil Ratu Pemikat membuat Ma-

laikat Penggali Kubur makin bergelora. Dengan tak sabar 

kedua tangannya bergerak lepaskan kancing pakaian 

Ratu Pemikat. Kejap lain sepasang mata pemuda itu ter-

pentang besar tatkala melihat dua buah payudara putih

padat. Malaikat Penggali Kubur cepat tekapkan

wajahnya ke dada Ratu Pemikat.

 Ratu Pemikat tampak pejamkan sepasang matanya. 

Perlahan-lahan dia menggeliat sambil tarik kedua

lengannya ke atas. Kedua tangannya lalu bergerak

mengusap tengkuk Malaikat Penggali Kubur. Mendadak

Ratu Pemikat membuat gerakan menggeliat sekali lagi. 

Bersamaan dengan itu laksana kilat kedua tangannya 

terangkat ke atas dan langsung dihujamkan bagian 

bawah ketiak Malaikat Penggali Kubur lakukan sebuah

Totokan.

 Seujung jari lagi totokan Ratu Pemikat bersarang di 

bagian bawah ketiak Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba 

perempuan ini berseru tertahan. Sekuat tenaga dia 

teruskan totokannya namun sia-sia. Malah di lain saat

tubuhnya tegang kaku!

 Malaikat Penggali Kubur tarik pulang kepalannya dari 

dada Ratu Pemikat. Sepasang matanya berkiiat-kilat. 

Rahangnya mengembung besar. Dari hidungnnya keluar 

dengusan keras.

 "Jangan harap bisa mengelabuiku, Perempuan

Sundal! Kau salah besar jika menduga Malaikat 

Penggali Kubur tidak tahu apa yang ada dalam


benakmu!'

 Ratu Pemikat rasakan nyawanya melayang. Paras

wajahnya laksana tidak berdarah. Sepasang matanya

mendelik besar membayangkan rasa takut. Dengan

suara bergetar akhirnya dia berkata.

 "Kuharap kau memberi ampun padaku. Beri ke-

sempatan padaku sampai aku dapat membalas sakti

hati ini pada Pendekar 131. Apa yang kau katakan akan

kulakukan...."

 Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Turutkan

hati, aku bisa saja membuatmu mampus saat ini. Tapi,

Aku masih memberi ampun padamu. Tapi ingat! Ini

hanya berlaku satu kali! Sekali lagi kau membuat tin

dakan bodoh, tubuhmu akan kukuliti dahulu sebelum

mampus! Kau dengar?!"

 "Aku dengar...."

 "Bagus! Kau telah berkata akan lakukan apa yang

kukatakan. Dengar apa yang kukatakan! Kau harus 

menyelidiki di mana Pendekar 131. Atur satu pertemuan

denganku! Kau Juga harus hubungi beberapa orang 

yang akan kusebutkan nanti. Jangan sekali-kali jamah

dua kitab di tangan Pendekar 131!"

 Meski dalam hati masih ragu akan dapat lakukan yang 

dikatakan Malaikat Penggali Kubur, namun karena 

jiwanya dalam keadaan tidak berdaya, terpaksa Ratu

Pemikat! berkata.

 “Aku akan berusaha lakukan semua itu...."

 .”Jahanam! Jangan berusaha! Kau harus berhasil!

keselamatan nyawamu tergantung berhasilnya tugasmu 

atau tidak! Soal caranya aku tak mau tahu. Dan aku

yakin kau lebih tahu urusan itu!"

 “Tugas ini adalah tugas berat. Harap kau memberiku 

waktu agak panjang...," ujar Ratu Pemikat dengan rasa 

masih tampak ketakutan.


“Aku yang atur semua ini! Jangan membantah! Kau

harus berhasil mengatur pertemuan pada bulan purnama

depan! Kau masih punya waktu satu purnama!"

 “Baiklah.... Sekarang bebaskan aku...," pinta Ratu

Pemikat.

 “Kata-kataku belum selesai!" bentak Malaikat Penggali 

Kubur. "Tiga hari di depan kau harus pergi ke puncak 

Bukit Selamangleng! Temui Iblis Rangkap Jiwa. Kalau 

tugas yang kuberikan padanya gagal, tugas itu juga 

menjadi tugas kalian berdua!"

 Paras wajah Ratu Pemikat membayangkan ketakutan 

Dengan suara tambah gemetar dia berkata.

 “Bagaimana aku harus menemuinya? Aku tidak kenal 

dengannya! Kalau dia tidak percaya?!"

 Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Itu

urusanmu! Kalau kau sampai tewas di tangan manusia

iblis Itu, berarti nyawamu memang ditakdirkan di tangan 

Iblis Rangkap Jiwa!"

 Ratu Pemikat menggumam tak jelas. Sementara

sepasang mata Malaikat Penggali Kubur beralih 

pandangi sepasang payudara Ratu Pemikat yang 

terbuka. Dada pemuda ini kembali bergemuruh.

 Malaikat Penggali Kubur maju satu langkah. Tanpa

buka mulut, kedua tangannya bergerak.

 Breettt!

 Pakaian Ratu Pemikat robek hingga bagian dada

sampai perutnya terbuka. Ratu Pemikat coba kerahkan

tenaga dalam untuk bebaskan diri. Namun tak berhasil.

Sementara Malaikat Penggali Kubur perdengarkan tawa 

pelan bahkan hampir tidak terdengar karena tenggelam 

dalam suara dengusan napasnya.

 Malaikat Penggali Kubur putar kepalanya sejenak.

Lalu berujar.

 "Aku tahu tempat yang enak untuk bersuka ria....


Ha.... Ha.... Ha...! Dua hari dua malam kau harus layani

aku dulu! Setelah itu kau boleh pergi lakukan yang ku-

katakan...!"

 "Aku sudah katakan akan lakukan apa yang kau

katakan. Berapa pun malam yang kau inginkan aku

akan melayanimu! Tapi bebaskan aku dahulu...."

 Plaaakk!

 Satu tamparan mendarat di pipi kanan Ratu Pemikat 

hingga kepala perempuan bertubuh bahenol itu tersentak 

sedikit ke samping.

 "Jangan berani memberi perintah pada Malaikat

Penggali Kubur! Aku ingin bersuka ria dengan caraku

sendiri!"

 Ratu Pemikat gigit bibirnya yang kucurkan darah.

Dalam hati perempuan ini memaki-maki. "Kelak kau akan 

rasakan pembalasanku, Jahanam! Sekarang kau

menang dan bisa lakukan apa yang kau inginkan...."

 Malaikat Penggali Kubur sorongkan wajahnya ke dada

Ratu Pemikat. Namun cuma sekejap. Di lain saat kedua

tangannya bergerak. Tahu-tahu sosok Ratu Pemikat 

telah berada di atas pundak kirinya.

 Malaikat Penggali Kubur putar diri. Lalu berkelebat

dengan tertawa bergelak. Bersamaan dengan berkebat-

nya tubuh, tangan kanannya bergerak ke atas. Ratu 

Pemikat tidak berani buka mulut meski hatinya terus

menyumpah-nyumpah, karena tangan Malaikat Penggali 

Kubur menarik pakaiannya hingga robek disana-sini.

 Ketika memasuki sebuah goa sepi, tidak selembar

kain pun yang tersisa menutupi sosok Ratu Pemikat!



LIMA


PENDEKAR 131 melangkah berjingkat seraya masuk-

kan jari kelingking ke lobang telinganya. Sepasang 

matanya terpejam membuka. Kepalanya sedikit tengleng 

ke kanan.

 "Begitu gadis sableng itu minggat, rasanya hilang

beban di dada inil Jalan bersama gadis cantik bukannya 

gembira yang kudapat, melainkan perasaan khawatir dan 

dongkol! Tahu begini jadinya, aku tidak akan

mengajaknya dalam urusan pelik ini! Tapi bagaimana

hendak dikata. Semuanya sudah telanjur.... Siapa se-

benarnya gadis sableng itu. Setiap kali kutanya, dia se-

lalu mengalihkan pembicaraan seolah tak Ingin diketahui 

siapa dirinya. Hanya aku menduga, dia bukan gadis yang 

punya niat jahat meski selama ini dia tak mengatakan 

apa maksudnya ikut-ikutan menyelidik Kitab Hitam.... 

Mudah-mudahan dugaanku tidak meleset. Tapi kalaupun 

meleset, apa artinya? Kitab Hitam menurut Gendeng 

Panuntun sudah didapat oleh seorang pemuda! Hem.... 

Bagaimanapun juga aku harus segera mencari siapa 

pemuda yang berhasil mendapatkan kitab itu!"

 Murid Pendeta Sinting hentikan langkahnya saat di

depan sana terlihat sebuah kedai makan agak besar.

Tangannya yang terangkat segera bergerak dan kini

mengusap perutnya. Sambil bergumam dia teruskan

langkah menuju arah kedai.

 Belum sampai langkahnya menginjak halaman kedai, 

mendadak dia berhenti. Sepasang matanya mendelik 

dengan dahi berkerut.

 Dari arah sebelah kedai terlihat seorang pemuda

berwaJah tampan melangkah. Yang menarik perhatian,

pemuda ini tidak memiliki kedua tangan alias buntung 

dan pada mulutnya tampak sebuah bundaran karet


yang dikulum.

 Pemuda bertangan buntung ini sejurus memandang 

pada murid Pendeta Sinting yang tegak di sebelah depan 

sana. Namun cuma sekejap. Seolah tak acuh dia

berpaling lalu teruskan langkahnya menuju halaman

kedai.

 Tepat di pintu masuk kedai, si pemuda bertangan

buntung hentikan langkahnya. Memandang sejenak ke

dalam kedai. Seorang berusia lanjut tampak longokkan

kepala dari dalam kedai, lalu mengangguk dengan bibir

tersenyum.

 Si pemuda tidak balas anggukan orang yang rupanya 

adalah pemilik kedai. Melainkan putar diri lalu teruskan 

langkah menjauh!

 "Ah.... Kenapa aku bodoh betul! Orang tak punya

tangan begitu aku harapkan makan di sini! Bagaimana ia 

akan menyuap nasi...?" Orang tua pemilik kedai

gelengkan kepala lalu hendak melangkah masuk. Namun 

langkahnya tertahan tatkala dilihatnya seorang pemuda 

lain lewat dan tegak di pintu kedai.

 Lagi-lagi orang tua pemilik kedai anggukkan kepala 

dengan pasang senyum. Tapi orang tua ini kembali

gelengkan kepala tatkala orang muda yang diharapkan

masuk kedainya hanya memandang lalu melangkah

pergi!

 "Kalau yang tadi aku maklum. Tapi pemuda yang

barusan kulihat memiliki kedua tangan utuh. Pasti dia

tidak berbekal uang? Dasar pemuda bengal. Hanya bisa

jual tampang tapi kartong kosong!" Orang tua pemilik

kedai mengomel sendiri !alu berpaling. Mendadak

orang tua ini terperanjat.

 "Ke mana pemuda itu tadi?!" Penasaran karena

pemuda yang baru tegak di depan pintu kedainya telah

lenyap, orang tua ini segera bergegas ke halaman kedai.


Sepasang matanya yang kelabu dipelototkan besar-

besar memandang ke jurusan timur arah mana dilihatnya 

si pemuda bertangan buntung dan pemuda satunya 

melangkah pergi. Namun orang tua ini tidak melihat 

siapa-siapal

 "Heran.... Keduanya lenyap laksana ditelan bumi!

Jangan-jangan-kedua pemuda itu hantu... tapi...."

Orang tua pemilik kedai tengadahkan kepala. "Apa

mungkin hantu keluar di siang bolong begini? Ah.

Jangan-jangan manusia jadi-jadian!" Orang tua ini rasa-

kan tengkuknya dingin. Kedua kakinya gemetar. Tanpa

pikir panjang iagi dia segera bergegas dan masuk kedai

dengan tubuh sedikit menggigil.

 Pendekar 131 terus berkelebat. "Aku yakin dia tadi

Dewa Orok! Dan aku juga percaya dia tadi telah melihat-

ku! Yang kuherankan mengapa dia seolah tidak menge-

naliku? Dan rupanya dia maklum kalau kuikuti! Dia

langsung lari begitu saja laksana melihat setan!"

 Sampai di tempat agak sepi, murid Pendeta Sinting

hentikan larinya. Dia mendengar suara duutt! Duttt! be-

berapa kali. Dia cepat berpaling ke kanan dari arah mana 

suara terdengar.

 Sekali lompat, murid Pendeta Sinting telah tegak

sepuluh langkah di hadapan pemuda bertangan buntung 

yang mulutnya membuat gerakan menyedot hingga 

terdengar suara duuuttt! Duuuttt! Duuuttt!

 "Mengapa kau mengikutiku, Anak Muda?! Apa ada

yang aneh?!" si pemuda bertangan buntung yang tidak

lain adakah Dewa Orok adanya telah buka mulut setelah

semburkan bundaran karet di mulutnya. Bundaran karet 

mirip dot bayi itu mengapung berputar-putar di udara.

 “Aku mencarimu! Ada hal penting yang harus kau

 ketahui!" ujar murid Pendeta Sinting lalu melangkah

mendekat.


“Tetap di tempatmu, Anak Muda!" sentak Dewa Orok. 

"Jangan berani bergerak langkahkan kaki!"

 “Aneh.... Kita sudah saling kenal dan bersahabat! 

Malah aku telah berbaik hati padamu memberikan

apa...."

 Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting selesai, 

Dewa Orok telah memotong.

 "Aneh.... Kapan kita saling berkenalan dan bersa-

habat? Apa yang pernah kau berikan padaku?! Jangan

berani berkata telah menanam budi pada orang!"

 "Aku Joko! Joko Sableng...! Kau lupa?!" kata murid

Pendeta Sinting seraya tunjuk dadanya sendiri.

 "Aku tidak tanya namamu! Aku tanya kapan kita

berkenalan. Apa yang pernah kau berikan padaku?!"

 'Kau ingat peristiwa Tengkorak Berdarah?! Di sana

aku memberikan sebuah mahkota bersusun tiga 

padamu!"

 "Jangan sembarangan bicara! Itu barang milikku!"

 "Benar. Tapi aku yang telah menemukan dan mem-

berikannya padamu!"

 "Ah...." Dewa Orok berseru seraya gelengkan kepala 

seolah orang baru Ingat. Murid Pendeta Sinting

tersenyum lalu melangkah maju

 "Kubilang tetap di tempatmu!" Mendadak Dewa Orok

perdengarkan bentakan membuat Joko hentikan kakinya 

mengapung di atas udara

 "Apa yang hendak kau beritahukan padaku" Dewa

Orok bertanya.

 Mungkin agak mulai jengkeI melihat sikap orang, kaki 

yang terapung hendak melangkah dihentakkan keras. 

Dengan sepasang mata sedikit dlpentangkan murid 

Pendeta Sinting berkata dengan suara agak keras.

 "Di dalam mahkota bersusun tiga itu ada sebuah

rahasia besar!"


"Sebagai pemilik barang, aku lebih tahu darimu! Aku 

tanya padamu, apa kau telah mendapatkan kitab Itu?!"

 "Hem.... Berarti orang ini telah mengetahui rahasia

kitab yang tersimpan di mahkota miliknya! Gendeng Pa-

nuntun mengatakan kitab Itu telah jatuh ke tangan se-

orang pemuda. Sementara pemuda ini telah mengeta-

huinya terlebih dahulu dari mahkota yang dikatakan

miliknya. Jangan-jangan dia yang telah mendapatkan

kitab itu...."

 Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera berujar.

 "Kau teiah mengetahui rahasia itu sebelum aku.

Mengapa kau tanya aku?!"

 Dewa Orok sunggingkan senyum. "Kau telah men-

dahuluiku mengetahui di mana beradanya mahkota dan

kitab bersampul kuning! Siapa tahu kau juga telah men-

dahulu! mengambil kitab itu?! Bukankah kau telah sam-

pai puncak Bukit Selamangleng?! Lebih dari itu kau telah 

mengalahkan Iblis Rangkap Jiwa yang pasti telah

tunjukkan di mana kitab itu berada"

 Pendekar 131 terkejut mendapati Dewa Orok tahu apa 

yang telah terjadi. Hal itu menambah kuat dugaannya 

kalau Dewa Orok telah berhasil mendapatkan kitab itu.

 "Dewa Orok! Aku memang telah sampai tempat yang 

ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa. Tapi ada seseorang yang

mendahuluiku! Sementara kau tahu rahasia dalam

mahkota...." Pendekar 131 hentikan sejenak ucapannya

seraya berpaling. Lalu melanjutkan. "Kuharap kau rela 

memberikannya padaku! Jangan salah sangka, aku tidak 

ingin memilikinya. Kitab itu harus dimusnahkan!”

 “Pendekar 131! Aku memang mengetahui rahasia

dalam mahkota. Tapi aku terlambat! Sementara kau telah 

mendahului ke puncak Bukit Selamangleng...." Seperti

halnya sikap murid Pendeta Sinting, Dewa Orok sejenak 

hentikan ucapannya. Lalu ikut-ikutan berpaling. Lalu


lanjutkan ucapannya. "Kau musnahkan atau tidak itu

urusanmu! Karena apa yang hendak kau musnahkan ada 

di tanganmu!"

 "Kau pandai memutar balik urusan!" sentak murid

Pendeta Sinting.

 "Kau pandai memutar balik lidah!" Dewa Orok balas

 menghardik.

 "Aku yang akan memutar balik kepala kalian berdua!" 

Satu suara sekonyong-konyong menyahut. Bersamaan 

dengan itu satu sosok tubuh berkelebat dan tegak 

sepuluh langkah di samping kiri kanan Pendekar 131 dan 

Dewa Orok. Orang yang baru muncul ini langsung 

perdengarkan tawa bergelak-gelak.

 “Iblis Rangkap Jiwa!" seru Pendekar 131 dengan

suara tercekat. "Bagaimana ini? Di sini tidak mungkin

ada seorang perempuan! Kalaupun ada belum tentu mau 

melakukan seperti apa yang dilakukan Putri Sableng di 

puncak Bukit Selamangleng...." Diam-diam murid 

Pendeta Sinting membatin.

 Di depan sana, Dewa Orok juga tak kalah kagetnya. 

Apa yang ada dalam pikirannya tak jauh berbeda dengan 

apa yang sedang dipikirkan murid Pendeta Sinting.

 Seolah tahu apa yang ada dalam benak kedua orang 

di hadapannya, orang yang baru muncul yang ternyata 

adalah seorang laki-laki yang raut wajahnya hampir tidak 

tertutup daging, berkepala gundul, dan bukan lain adalah 

Iblis Rangkap Jiwa adanya putuskan tawanya.

 "Aku sudah berputar tiga kali di tempat ini! Jangan 

harap kalian akan menemukan yang namanya 

perempuan! Ha.... Ha.... Ha...! Nasibku baik hari ini. 

Dicari satu-satu yang kudapat dua sekaligus!"

 Baik murid Pendeta Sinting maupun Dewa Orok 

sejurus saling pandang. Kalau Dewa Orok mengetahui 

bahwa Pendekar 131 pernah membuat Iblis Rangkap


Jiwa tak berkutik dari Cucu Dewa, maka sebaliknya 

Pendekar 131 baru mengetahui kalau Dewa Orok me-

ngetahui kelemahan Iblis Rangkap Jiwa dari ucapan 

yang barusan dikatakan Iblis Rangkap Jiwa. Namun 

apalah artinya mengetahui kelemahan orang tanpa bisa 

melakukannya?

 "Iblis Rangkap Jiwa!" kata murid Pendeta Sinting. 

"Kurasa kau telah tahu kalau aku tidak mendapatkan 

kitab itu! Dengan begitu di antara kita rasanya tidak ada 

urusan lagi!"

 "Iblis Rangkap Jiwa!" Dewa Orok ikut-ikutan angkat 

bicara. "Kurasa kau juga telah tahu kalau aku tidak nim-

brung urusan kitab! Dengan begitu aneh rasanya kalau 

kau tiba-tiba terus mencari-cariku!"

 Mendengar ucapan kedua orang itu, Iblis Rangkap 

Jiwa keraskan gelakan tawanya. Tangan kanannya di-

angkat ditunjukkan lurus ke arah murid Pendeta Sinting.

 "Kau memang bernasib sial karena tidak mene-

mukan kitab itu! Tapi jangan kira urusan di antara kita 

tidak ada lagi!"

 Habis berkata begitu, tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa 

bergerak dan berhenti tatkala tepat menunjuk lurus ke 

arah Dewa Orok.

 "Dan kau! Memang tidak ikut nimbrung urusan kitab

sialan itu! Tapi jangan merasa aneh kalau aku tetap akan 

mencarimu sampai kapan dan di mana pun!"

 "Hem.... Ucapannya mengisyaratkan dia telah tahu

siapa adanya orang yang mendapatkan kitab itu! Dan

yang pasti itu bukan Dewa Orok...." Murid Pendeta 

Sinting menduga-duga ucapan Iblis Rangkap Jiwa.

 Kalau murid Pendeta Sinting menduga-duga dalam

hati, diam-diam pula Dewa Orok membatin. "Nyatanya

Pendekar 131 bukan orang yang mendapatkan kitab itu

meski telah tahu tempatnya! Jadi ada yang tidak beres


kalau manusia ini terus-terusan mencariku...."

 "Iblis Rangkap Jiwa!" kembali murid Pendeta Sinting 

buka suara. "Kalau bukan urusan kitab, lalu urusan apa 

lagi? Apa peristiwa di puncak bukit itu masih membuatmu 

jengkel? Seharusnya kau berterima kasih. Kalau tidak 

ada aku, mana mungkin kau bisa menikmati pantat 

bagus, putih, besar, dan padat berisi...?!"

 "Iblis Rangkap Jiwa!" kali ini yang buka suara Dewa

orok. "Aku akan tetap merasa aneh kalau kau tetap akan 

mencariku sampai kapan dan di mana pun! Apa peristiwa 

di depan kuil itu masih membekas di dadamu?

Seharusnya kau juga mengucapkan terima kasih padaku 

meski tempo hari kau tidak berkenan melihatnya. Karena 

yang kau dapatkan bukan seperti di puncak bukit. 

Melainkan besar, hitam legam, dan kendor!"

 Habis berkata begitu Dewa Orok tampak tertawa. Di 

depan sana tawa murid Pendeta Sinting sudah meledak 

lebih dahulu.

 Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan tubuh bergetar.

Sepasang matanya yang melotot besar makin 

terpentang. Tulang rahangnya bergerak terangkat.

 "Agar kalian tidak bertanya-tanya di alam kubur nanti, 

dengar!" bentak Iblis Rangkap Jiwa lalu arahkan

pandangannya pada Dewa Orok. "Nyawamu tidak akan

kusisakan!" Iblis Rangkap Jiwa lalu arahkan 

pandangannya pada murid Pendeta Sinting. "Dan kau 

masih sedikit beruntung. Karena aku hanya butuh 

setengah nyawamu!"

 Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa mendongak. 

"Satu setengah nyawa kalian adalah tebusan dari

nyawaku! Lebih dari itu, satu setengah nyawa kalian

kelak akan kutukar dengan Kitab Hitam itu! Ha.... Ha....

Ha...!"

 Kembali Dewa Orok dan Pendekar 131 saling


pandang. Kejap lain Dewa Orok telah perdengarkan 

suara.

 "Ternyata nasibmu lebih baik, Anak Muda! Dia hanya 

butuh setengah nyawamu! Padahal siapa pun tahu kalau 

nyawaku lebih baik dari nyawamu! Apa ini karena aku 

hanya bisa memperlihatkan pantat yang besar, hitam 

legam, dan kendor?"

 "Ah.... Kau keliru, Teman Muda!" sahut murid Pendeta 

Sinting. "Kalau dia ingin setengah nyawaku berarti aku 

harus merasakan sakit dulu yang bukan alang kepalang. 

Lebih enak kau. Langsung mati tak merasakan apa-apa 

lagi! Jangan-jangan ini karena sahabat kita bergelar Iblis

Rangkap Jiwa itu memang lebih suka melihat yang 

besar, hitam gosong, dan kendor!"

 Meski murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok tampak 

tersenyum-senyum, namun sebenarnya dada masing-

masing orang ini merasa gelisah. Mereka sama maklum 

kafeu Iblis Rangkep Jiwva adalah tokoh yang punya 

kesaktian luar biasa. Dan walau keduanya tahu

bagaimana memusnahkan kesaktian Iblis Rangkap Jlwa, 

namun rasanya sulit mendapatkan perempuan di tempat 

seperti sekarang ini. f

 Sementara itu, begitu mendengar ucapan-ucapan

Pendekar 131 dan Dewa Orok, iblis Rangkap Jiwa 

menggereng keras. Kedua tangannya serta-merta di 

angkat. Kejap lain kedua tangannya bergerak lepaskan

pukulan. Tangan kanan mengarah pada murid Pendeta

Sinting, tangan kiri lurus ke arah Dewa Orok!

* *


ENAM


PENDEKAR 131 dan Dewa Orok sejenak saling 

berpandangan. Namun belum sempat ada yang buka 

mulut, dua gelombang luar biasa dahsyat telah 

menggebrak ke arah keduanya!

 Meski telah tahu bahwa tidak ada gunanya 

memangkas pukulan yang dilancarkan Iblis Rangkap 

Jiwa, namun kalau tidak berusaha bertahan maka pasti 

akan mengalami nasib lebih buruk lagi.

 Berpikir begitu, Joko cepat kerahkan tenaga dalam

pada kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya 

telah berubah berwarna kuning pertanda murid Pendeta

Sinting telah siap lancarkan pukulan 'Lembur Kuning', Di 

lain pihak, Dewa Orok tidak tinggal diam. Pemuda

bertangan buntung murid Cucu Dewa ini tarik tubuh 

bagian atasnya sedikit ke belakang. Saat lain tubuhnya 

disentakkan ke depan.

 Untuk sesaat cuaca menjadi semburat kekuningan. 

Lalu terlihat cahaya kuning melesat dengan membawa 

gelombang dahsyat dan hawa luar biasa panas.

Bersamaan itu dari tubuh Dewa Orok bagian atas 

melesat kabut putih.

 Bummm! Bummm!

 Dua ledakan keras mengguncang tempat itu. Sinar

kuning yang melesat keluar dari tangan Joko semburat

ke udara lalu bertabur setelah membuat lidah api. Pada

saat yang sama, bongkahan kabut putih dari dada Dewa

Orok berhamburan.

 Sosok Pendekar 131 mencelat sampai satu setengah 

tombak. Untung murid Pendeta Sinting ini segera

sentakkan kedua tangannya untuk imbangi diri, hingga

meski sesaat sempat terhuyung-huyung namun tidak

sampai roboh. Wajahnya berubah pucat pasi. Kedua


tangannya tampak bergetar.

 Di seberang, Dewa Orok juga terlihat tersapu akibat 

bentroknya pukulan yang keluar dari dadanya dengan 

pukulan Iblis Rangkap Jiwa. Sosoknya terputar lalu 

melesat jauh ke belakang. Namun sebelum tubuhnya 

terjerembab di atas tanah, pemuda bertangan buntung ini 

gerakkan kedua kakinya seakan berselonjor ke atas. 

Saat lain kedua kakinya membuat gerakan bersila di 

udara dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Dengan 

menggoyang kedua bahunya, sosoknya jungkir balik. 

Lalu mendarat di atas tanah dengan duduk bersila.

 Meski mulut Dewa Orok tampak sunggingkan senyum, 

namun pemuda bertangan buntung ini tidak dapat 

sembunyikan rasa sakit. Parasnya pias dengan dada

bergerak-gerak keras. Sepasang matanya sedikit

menyipit dengan kedua alis mata terangkat.

 Walau iblis Rangkap Jiwa dikenal kalangan rimba

persilatan sebagai tokoh yang berkepandaian tinggi

dan kebal terhadap pukulan, namun mendapat pukulan

secara bersamaan dari murid Pendeta Sinting dan Dewa 

Orok, tak urung sosoknya tergeret sampai satu tombak 

dan terhuyung-huyung. Namun kejap lain laki-laki

berkepala gundul ini telah tegak dengari mulut perde-

ngarkan suara tawa bergelak.

 "Kalian manusia-manusia bernasib malang berani

membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa! Ha....

Ha.... Ha...!"

 Meski masih merasakan sakit, Dewa Orok segera

buka mulut menyahut.

 "Kau manusia bernasib malang berani membuat

urusan dengan Dewa Orok! Ha.... Ha.... Ha...!" Dewa 

Orok teruskan tawanya seraya mengerling pada murid

pendeta Sinting. Lalu edarkan pandangannya berkeliling. 

Diam-diam pemuda ini didera perasaan gelisah dan


cemas.

 "Celaka! Di tempat begini tidak mungkin ada seorang 

perempuan! Dan tak mungkin dia dapat dikelabui lagi 

seperti tempo hari!"

 Seperti halnya Dewa Orok, diam-diam Pendekar 131 

juga merasa gelisah dan waswas. Dia maklum Iblis 

Rangkap Jiwa tidak dapat dikalahkan hanya dengan 

mengandalkan pukulan.

 "Apa yang harus kulakukan? Waktu di puncak Bukit 

Selamangleng beberapa waktu lalu, pukulan 'Serat Biru' 

tidak membuat dirinya cedera! Hem.... Meski menurut 

beberapa orang manusia iblis ini kebal pukulan tapi akan 

kucoba dengan pukulan yang kudapat dari Kitab Sundrik 

Cakra...." Pendekar 131 segera alirkan tenaga dalam 

pada tangan kanan. Jari telunjuk, jari tengah serta jari 

manis diluruskan. Sementara ibu jari serta jari kelingking 

ditekuk ke depan saling bertemu.

 Melihat apa yang dilakukan Joko, Dewa Orok 

kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang hendak dilakukan 

orang, pemuda bertangan buntung ini segera kerahkan 

tenaga dalamnya kembali. Sepasang matanya 

dipejamkan. Lalu perlahan-lahan tubuh bagian atasnya 

ditarik ke belakang hingga tubuhnya hampir sejajar 

dengan tanah.

 Mendapati kedua orang di hadapannya membuat 

gerakan, Iblis Rangkap Jiwa perkeras gelakan tawanya. 

Namun laksana dirobek setan, mendadak dia putuskan 

tawanya. Mulutnya menyeringai dengan sepasang mata 

mendelik angker. Kedua tangannya berkacak pinggang.

 "Kalian boleh pilih sebelah mana yang kalian sukai"

 Dewa Orok buka kelopak matanya. Mulutnya 

membuka angkat bicara. ,

 "Kau telah memberikan pilihan pada kami. Meski aku 

tidak memiliki tangan, tapi aku tidak tertarik dengan


kedua tanganmu. Justru aku lebih suka pada senjata

bawahmu! Dengan punya dua senjata, tanpa tangan pun

pasti akan banyak perempuan yang tergila-gila padaku!

Lebih dari itu, aku bisa main-main dengan dua

perempuan sekaligus! Ha.... Ha.... Ha...! Pasti rasanya

asyik...l"

 Pendekar 131 tidak sahuti ucapan Dewa Orok. 

Sebaliknya dia cepat dorong tangan kanannya.

 Wuuuttt!

 Tiga larik sinar kuning melesat keluarkan suara deruan 

keras. Tanah di depan sana terlihat bertabur tersapu ke 

udara. Di sebelah samping, Dewa Orok segera

sentakkan tubuhnya ke atas.

 Wuuutttt!

 Tampak gelombang dahsyat menyembur dari dada

Dewa Orok disertai melesatnya bongkahan kabut.

 Iblis Rangkap Jiwa pandangi pukulan yang mengarah 

padanya dengan tatapan dingin. Orang ini tidak terlihat 

membuat gerakan. Malah sesaat kemudian mulutnya 

membuka perdengarkan suara tawa!

 Desss! Desss!

 Gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa terputus. Bersamaan 

itu sosoknya tersapu hingga empat tombak ke belakang 

sebelum akhirnya jatuh terbanting di atas tanah. Pakaian 

yang dikenakannya tampak robek menganga di sana-

sini. Darah mengucur deras dari sudut bibirnya. 

Tubuhnya diam tak bergerak.

 Namun sesaat kemudian, laki-laki berkepala gundul 

ini membuat gerakan. Kedua tangannya menyentak di 

atas tanah. Sosoknya bergerak bangkit. Sepasang

matanya mendelik angker pandangi silih berganti pada

Pendekar 131 dan Dewa Orok.

 Walau Iblis Rangkap Jiwa dapat tegak kembali, namun 

jelas kalau laki-laki ini tidak dapat sembunyikan rasa sakit


yang mendera tubuhnya. Hal Ini membuatnya terheran-

heran.

 "Keparat benar! Selama malang melintang beratus-

ratus tahun dalam dunia persilatan, baru kali ini aku

menemukan manusia yang pukulannya membuat dadaku 

seolah hendak jebol! Aku harus segera membereskan 

kedua manusia itu! Jika tidak, urusan dengan Malaikat 

Penggali Kubur akan tertunda! Lebih dari itu aku bisa 

celaka sendiri kalau terus-terusan meladeninya!"

 Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya. Serta-

merta kedua tangannya diangkat ke atas.

 Di seberang depan sana, Pendekar 131 dan Dewa

Orok sama pentangkan mata masing-masing dengan

mulut terkancing.

 "Pukulan 'Sundrik Cakra' hanya membuat mulutnya 

berdarah! Hem.... Aku akan coba gabungkan pukulan 

'Serat Biru' dengan 'Sundrik Cakra'!" kata Joko dalam 

hati. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya.

 Di sebelah samping, mungkin merasa tidak ada 

gunanya lagi lancarkan pukulan, Dewa Orok hanya 

memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.

 Iblis Rangkap Jiwa sentakkan' kedua tangannya. Pada 

saat yang sama murid Pendeta Sinting dorong kedua 

tangannya hendak lancarkan gabungan pukulan 'Serat 

Biru' dengan 'Sundrik Cakra'.

 Namun belum sampai kedua orang ini lancarkan

pukulan masing-masing, satu bayangan berkelebat.

 "Tahan serangan!"

 Murid Pendeta Sinting urungkan niat tanpa berpaling. 

DI depan sana Iblis Rangkap Jiwa terlihat melengak 

kaget malah sepasang kakinya tersurut satu tindak. 

Seakan disentak tangan setan, kepalanya cepat

berpaling dengan paras berubah.


Dewa Orok sendiri terlihat belalakkan sepasang

matanya. Bibirnya sunggingkan senyum. Kejap lain pe-

muda bertangan buntung Ini berkelebat dan tahu-tahu

telah tegak sejarak tiga langkah di samping orang yang

berseru.

 "Jahanam! Siapa makhluk perempuan ini?!" desis Iblis 

Rangkap Jiwa dengan mata tak berkesip pandangi orang 

yang baru datang.

 Yang dipandang sunggingkan senyum. Sepasang

matanya menatap tajam. Bukan ke arah Dewa Orok atau

lblis Rangkap Jiwa, melainkan pada Pendekar 131.

 Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut. Raut 

wajahnya telah mengeriput. Kelopak matanya besar

dengan bola mata sipit. Rambutnya putih sebatas 

tengkuk. Nenek ini mengenakan jubah panjang warna 

merah menyala. Pada mulutnya tampak segumpal 

tembakau berwarna hitam yang bergerak-gerak seiring

gerakan mulutnya.

 Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya seraya buka 

suara.

 "Selamat jumpa lagi, teman lama.... Kuharap 

keadaanmu baik-baik saja. Dan mudah-mudahan kau 

tidak lupa denganku...."

 Nenek berjubah merah menyala palingkan kepala

menghadap Dewa Orok. Sepasang matanya membesar.

Lalu terdengarlah suara tawa cekikikannya.

 "Heran. Kurasa baru kali ini kita bertemu muka. Adalah 

satu hal aneh kalau tiba-tiba kau menyebutku teman 

lama.... Hik.... Hik.... Hik...l Harap kau tidak kecewa kalau 

aku bukan saja lupa padamu, tetapi juga tidak

mengenalmu!"

 Dewa Orok angkat kepalanya. Dahinya mengernyit

dengan mulut bergumam tak jelas. "Nenek ini pura-pura

lupa atau bagaimana? Aku masih ingat benar pertemuan


dengannya! Atau mungkinkah pandangan mataku yang 

keliru?!" Dewa Orok kerjapkan sepasang matanya. Lalu 

kepalanya disorongkan ke depan.

 "Benar! Memang nenek ini yang sempat kutemui

beberapa waktu lalu.... Rambut dan tembakau di 

mulutnya masih kuingat betul!" kata Dewa Orok dalam 

hati lalu seraya masfh sunggingkan senyum, dia berkata.

 "Nek! Bukankah kau Ratu Malam...?! Kita pernah 

jumpa di depan Istana Hantu!"

 Nenek berjubah merah pasang tampang angker.

Namun justru kejap kemudian yang terdengar adalah

suara tawa cekikikannya lagi, membuat Dewa Orok ge-

lengkan kepala. Tapi pemuda bertangan buntung ini se-

gera hentikan gelengan kepalanya. Saat lain dia ikut-

ikutan perdengarkan tawa cekikikan!

 Pendekar 131 menoleh. Sejurus sepasang matanya 

memandang tajam ke arah nenek berjubah merah yang 

tidak lain memang Ratu Malam adanya.

 "Nek...! Kalau kau lupa dengan temanku itu, kuharap 

kau tidak lupa denganku...!" ucap Joko lalu menjura.

 Ratu Malam hadapkan wajahnya pada murid Pendeta 

Sinting. "Harapanmu sia-sia, Anak Muda! Seperti halnya 

pemuda bertangan buntung itu, kurasa aku baru

pertama? kali jumpa denganmu...!" Ratu Malam 

berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa lalu teruskan 

ucapannya.

 "Kalau aengan yang satu ini, tentu aku masih ingat

benar! Bukankah kau yang dikena! Iblis Rangkap Jiwa?!"

 Meski hatinya tidak enak mendapati orang telah

mengenali dirinya, namun Iblis Rangkap Jiwa segera

menyahut.

 "Syukur kau telah mengenaliku.... Kalau tidak ke-

beratan, harap sudi sebutkan diri!"

 Ratu Malam tertawa dahulu sebelum menyahut.


“Pertemuan kita memang sudah lama sekali. Jadi aku

maklum kalau kau lupa denganku! Hik.... Hik.... Hik...!"

Ratu Malam arahkan pandangannya ke jurusan lain.

Ialu lanjutkan kata-katanya. 'Sebelum kujawab tanyamu, 

aku tanya dahulu. Kau ingin aku sebutkan diri untuk 

suatu apa bagaimana?!"

 Iblis Rangkap Jiwa menatap dingin. "Pendekar 131

mengenalnya dengan Ratu Malam.... Hem.... Aku 

memang pernah dengar nama itu dalam rimba persilatan.

tapi apa maksud pertanyaannya...?" Diam-diam laki-laki

berkepala gundul ini membatin. Lalu buka mulut.

 "Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu!"

 "Aku punya sebutan banyak! Untuk siang hari aku

punya gelar lain dengan malam hari. Demikian juga untuk 

petang dan dini hari! Kau ingin aku sebutkan satu

persatu atau bagaimana? Atau kau hanya ingin aku

sebutkan nama yang biasa kusandang di semua sua-

sana?!"

 Mungkin mulai dongkol dengan ucapan Ratu Malam, 

Iblis Rangkap Jiwa cepat menyahut dengan suara keras.

 "Terserah kau hendak sebutkan yang mana! Aku

hanya ingin kau sebutkan diri!"

 Ratu Malam mainkan gumpalan tembakau hitam di

mulutnya sejenak. Lalu menjawab.

 "Karena kau menyerahkan padaku, agar tidak terlalu 

panjang lebar, aku akan sebutkan diri nama yang biasa 

kupakai di semua suasana. Aku biasa dipanggil Ken 

Dedes!"

 Tawa cekikikan Dewa Orok berubah menjadi ledakan 

tawa. Di seberang samping murid Pendeta Sinting coba 

menahan tawa, tapi tak urung suara tawanya meledak 

juga. Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tampak kancingkan 

mulut dengan mata makin membeliak.

 Ratu Malam memandang silih berganti pada Pendekar


131 dan Dewa Orok.

 "Kenapa kalian tertawa, hah?! Apa yang kalian anggap 

lucu?!"

 "Harap Ken Dedes tidak salah sangka! Tidak ada yang 

lucu. Hanya aku merasa heran, mengapa nama kita bisa 

mirip?!" Yang buka suara adalah murid Pendeta Sinting.

 "Betul! Ken Dedes harap tidak salah duga. Kami

tertawa bukan karena ada yang lucu! Hal ini semata-

mata karena aku juga merasa aneh, mengapa nama kita

betul-betul hampir sama...!" sahut Dewa Orok.

 "Kalian berdua jangan main-main! Siapa nama-nama 

kalian hingga kalian berani sebutkan nama hampir sama 

denganku, hah?!" hardik Ratu Malam.

 "Untuk semua suasana orang biasa memanggilku Ken 

Jaka!" jawab Joko.

 Dewa Orok tidak tinggal diam. Pemuda Ini segera pula 

menyahuti. "Sementara untuk semua daerah, aku biasa 

dikenal dengan Ken Arok...!"

 Mendengar murid Pendata Sinting dan Dewa Orok

sebutkan nama, Ratu Malam komat-kamitkan mulut.

Lalu tertawa cekikikan hingga bahunya berguncang 

keras. Di sebelah depan sana, Iblis Rangkap Jiwa 

bantingkari kaki hingga keluarkan suara berdebam. 

Tanah di bawahnya langsung semburat bertabur.

 "Jahanam! Aku tak peduli siapa kalian! Yang jelas

Kalian harus mampus bersama!"

 Iblis Rangkap Jiwa angkat kedua tangannya tinggi-

tinggi. Tubuhnya terlihat bergetar keras pertanda dia tak 

dapat lagi menahan gejolak amarah.

 "Tunggu!" tahan Ratu Malam seraya hentikan tawanya. 

Nenek ini melangkah empat tindak ke depan. Lalu

lorotkan sedikit tubuhnya dengan kedua tangan berjarak 

mengangkat bagian bawah jubahnya sedikit membuat 

gerakan seperti orang memberi hormat.


"Kuharap kau tidak merasa tersinggung. Aku me-

ngatakan yang sebenarnya. Ken Dedes memang nama

yang sering kukatakan pada orang-orang untuk semua

suasana.... Entah kalau kedua orang itu...!" Jari telunjuk

Ratu Malam bergerak menunjuk pada murid Pendeta

Mnting dan Dewa Orok.

 "Aku juga mengatakan yang sebenarnya!" sahut

Pendekar 131.

 "Aku juga!" timpal Dewa Orok, lalu ikut-ikutan membuat 

gerakan seperti yang dilakukan oleh Ratu Malam. Hanya 

kalau Ratu Malam angkat sedikit bagian bawah jubahnya 

dengan kedua tangan, Dewa Orok angkat kaki kanannya 

untuk sibakkan celana kirinya. Lalu angkat kaki kirinya 

untuk sibakkan sedikit celana kaki kanannya!

 Melihat gerakan yang dilakukan Ratu Malam, diam-

diam Iblis Rangkap Jiwa rasakan dadanya berdebar.

“Jangan-jangan perempuan tua ini tahu kelemahanku.... 

Bangsat benar! Siapa yang telah menebarkan semua ini 

hingga orang yang baru saja kujumpa seakan sudah tahu 

kelemahanku?!"

 "Terima kasih kau mau mengerti...," kata Ratu Malarn 

melihat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat kirimkan

serangan, bahkan terlihat tercenung. Seraya berkata

begitu, Ratu Malam kembali membuat gerakan hormat

sambil singsingkan jubah merahnya sedikit agak tinggi.

 Dewa Orok tidak berdiam diri. Dia segera pula

menyahut. "Aku juga mengucapkan terima kasih...."

Lalu ikut-ikutan membuat gerakan menghormat dengan

singsingkan celana kanan kiri silih berganti dengan

kakinya.

 Seakan tahu apa yang ada dalam benak Iblis Rangkap 

Jiwa, murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya ke 

arah pinggang.

 Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Dia seakan maklum apa


yang hendak dilakukan oleh orang-orang di hadapannya. 

Dengan suara bergetar keras dia membentak.

"Ken Dedes! Siapa pun kau adanya, kuharap kau segera 

tinggalkan tempat ini!"

 Ratu Malam gelengkan kepala. "Sayang.... Ken Dedes 

tidak pernah mau menurut perintah orang! Harap kau 

tidak kecewa.... Hik.... Hik.... Hik...!"

 Iblis Rangkap Jiwa mendengus keras. "Baik. Tapi

kuharap kau tidak ikut campur urusanku dengan kedua

manusia itu!"

 Lagi-lagi Ratu Malam gelengkan kepala. "Sayang.... 

Selama ini Ken Dedes tidak pernah mau menerima 

syarat orang.... Hik.... Hik.... Hik...!"

 Mungkin karena tertawa cekikikan sementara kedua 

tangannya masih memegangi bagian bawah jubahnya, 

maka singkapan jubahnya makin tertarik ke atas,

membuat Iblis Rangkap Jiwa makin terbeliak. 

 "Jahanam! Perempuan ini jangan-jangan memang

telah tahu...! Tapi aku belum yakin benar kalau tidak

menyaksikan sendiri! Siapa tahu hal itu dilakukan secara 

tidak sengaja...." ,

 Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa cepat angkat! 

Kedua tangannya kembali. Lalu membentak. "Kau tidak

mau turuti ucapanku...."

 Belum sampai ucapan Iblis Rangkap Jiwa selesai, 

Ratu Malam telah menukas. "Sayang.... Aku tidak mau 

dengar segala macam bentuk ancaman! Hik.... Hik....

Hik...!"

 Mendengar ucapan Ratu Malam dan mungkin karena 

belum merasa yakin kalau si nenek tahu kelemahannya, 

Iblis Rangkap Jiwa tarik kedua tangannya ke belakang 

siap lancarkan pukulan.

 "Hai.... Kau tidak main-main?!" seru Ratu Malam

dengan pasang tampang seperti orang ketakutan. Malah


dengan mimik seolah ngeri, nenek ini balikkan tubuh 

dengan kedua tangan tetap pegangi bagian bawah

jubahnya.

 Melihat gerakan Ratu Malam, Dewa Orok cepat ikut-

ikutan putar diri membelakangi Iblis Rangkap Jiwa

dengan kaki kanan diangkat dan digaetkan pada ujung

Celana kaki kirinya seolah membuat gerakan seperti 

orang hendak melorotkan celana.

 Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Lalu ba-

likkan tubuh dengan kedua tangan siap seolah hendak 

menarik celananya ke bawah.

 Iblis Rangkap Jiwa pandangi punggung ketiga orang 

di hadapannya dengan kaki bergetar. Sepasang matanya 

membeiiak. Dalam hati laki-laki ini memaki panjang 

pendek. 

 "Manusia-manusia keparat! Kalian boleh mengetahui 

kelemahanku, namun aku akan meninggalkan sesuatu

yang pantas untuk kalian!"

 Iblis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya lan-

carkan pukulan!

 Dua gelombang hitam luar biasa dahsyat menderu

ke arah Pendekar 131, Ratu Malam, serta Dewa Orok.

 Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata

memandang ke arah tiga orang di hadapan sana, lalu

sentakkan kedua kakinya dan berkelebat pergi.

*

* *



TUJUH


GERAKAN kedua tangan Ratu Malam yang hendak 

singkapkan bagian bawah jubah merahnya tertahan. 

Demikian juga gerakan kaki Dewa Orok serta kedua 

tangan murid Pendeta Sinting yang hendak tarik 

celananya.

 "Cepat menyingkir!" teriak Pendekar 131 sambil

sentakkan kedua tangannya ke belakang. Lalu 

berkelebat menghindar.

 Ratu Malam dan Dewa Orok sejenak saling berpaling. 

Namun baru saja kedua kepala mereka bergerak,

gelombang hitam telah menerjang.

 "Celaka!" desis murid Pendeta Sinting. Tanpa pikir

pamjang lagi dia segera berkelebat ke arah Ratu Malam.

 Brukkk!

 Tubuh Ratu Malam tertubruk hingga tubuhnya dan

tubuh murid Pendeta Sinting terhuyung ke samping ke

arah Dewa Orok.

 Brukkk!

 Sosok Ratu Malam dan Pendekar 131 kini menubruk 

sosok Dewa Orok. Saat itulah pukulan Iblis Rangkap 

Jiwa datang menggebrak. Hingga tak ampun lagi tubuh 

ketiga orang ini mental dengan saling bergandengan.

 Sosok Pendekar 131 dan Dewa Orok terlihat berputar 

di udara. Sementara sosok Ratu Malam hanya melayang 

tanpa bergerak, karena sosoknya tertahan tubuh murid 

Pendeta Sinting dan Dewa Orok.

 Bukkk! Bukkk! Bukkkk!

 Tubuh murid Pendeta Sinting menghantam tanah

terlebih dahulu dengan posisi telentang. Disusul dengan 

tubuh Ratu Malam yang melayang jatuh tengkurap di 

atas tubuh Pendekar 131. Sesaat kemudian tubuh Dewa 

Orok terhempas dan tepat menindih tubuh Ratu Malam


dengan telungkup!

 "Sialan! Kenapa kau menindihku?!" seru Ratu Malam. 

Sikunya bergerak ke atas.

 "Sialan! Kenapa kau menuduhku?!" teriak Dewa Orok. 

Namun sebelum ucapannya selesai, sosoknya telah 

melayang ke udara terkena hantaman siku Ratu Malam.

 Ratu Malam tertawa cekikikan. Tapi mendadak tawa 

cekikikannya terputus. Bersamaan dengan itu sosoknya 

ikut melayang ke udara dengan kaki terjungkal ke atas.

 Pendekar 131 buka kelopak matanya. Meski la masih 

merasakan sakit pada bahu kanannya, namun tak urung 

dia perdengarkan suara tawa bergelak. Karena di atas 

sana terlihat Dewa Orok melayang dengan kaki 

menggaet jubah Ratu Malam bagian bawah hingga 

nenek itu ikut melayang dengan kaki di atas kepala di 

bawah!

 Ratu Malam menggerendeng panjang pendek. Sekali 

bergerak tubuhnya berputar. Kedua kakinya lakukan 

tendangan ke arah kaki Dewa Orok yang menggaet

bagian bawah jubahnya.

 Desss!

 Tubuh Dewa Orok terbanting di udara. Gaetan kaki

pada jubah Ratu Maiam lepas. Sosoknya melayang 

jatuh. Namun begitu tubuhnya berada di bawah tubuh

Ratu Malam, kaki pemuda ini kembali bergerak 

menggaet jubah bagian depan si nenek, hingga mau tak 

mau keduanya melayang jatuh bersamaan!

 Bukkk! Bukkkk!

 Tubuh Dewa Orok jatuh terlebih dahulu dengan ter-

Ientang. Disusul dengan tubuh Ratu Malam yang teng-

kurap di atas tubuh Dewa Orok!

 "Sialan! Kenapa kau menindih bahkan menciumku?!" 

seru Dewa Orok seraya gerakkan kepalanya ke kiri 

kanan hindarkan diri dari wajah Ratu Malam.


Ratu Malam angkat tubuhnya. Sepasang matanya

mendelik tak berkesip memandang ke arah bola mata

Dewa Orok. Mulutnya komat-kamit hingga tembakau

hitamnya tampak keluar masuk.

 "Sialan! Kau yang sengaja minta supaya dapat di

cium!" teriak Ratu Malam. Tangan kiri kanannya diangkat 

ke samping. Lalu dihantamkan ke arah kepala Dewa 

Orok.

 Karena tertindih tubuh Ratu Malam serta tidak punya 

tangan, maka Dewa Orok hanya bisa memandang tanpa 

bisa bergerak menghindar atau menangkis.

 Murid Pendeta Sinting hendak berteriak menahan

grakan kedua tangan Ratu Malam. Namun sebelum

suaranya terdengar satu suara mendahului.

 "Nek! Di bawahmu ada pemuda tak memiliki kedua

tangan. Mengapa kau masih tega hendak memecahkan

kepalanya?"

 Ratu Malam tak hiraukan ucapan orang. Kedua

tangannya terus bergerak menghantam ke arah kepala

Dawa Orok. Sejengkal lagi kedua tangan Ratu Malam

m«nggebrak kepala Dewa Orok, mendadak satu caha-

ya putih berkiblat.

 Gerakan kedua tangan Ratu Malam tertahan, malah

kajap lain kedua tangan nenek ini terlihat mental balik

ke samping. Bersamaan itu sosoknya laksana disapu

gelombang dan mencelat dari atas tubuh Dewa Orok.

 "Kurang ajar! Siapa berani turun tangan ikut urus-

anku?!" teriak Ratu Malam lalu berpaling.

 Sejarak lima belas langkah dari tempatnya, Ratu

Malam melihat seorang laki-laki bertubuh besar meng-

enakan pakaian gombrong warna hijau. Pada perutnya 

terlihat melingkar satu ikat pinggang besar yang bagian 

depannya terdapat sebuah cermin bulat. sepasang mata 

laki-laki ini berwarna putih dan memandang ke atas


dengan bibir tersenyum.

 Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Di seberang 

sana, Dewa Orok juga menggeliat lalu bangkit duduk. 

Kedua orang ini sama arahkan pandangannya pada laki-

laki berpakaian hijau gombrong yang tidak lain adalah 

Gendeng Panuntun.

 "Ke mana gerangan minggatnya Iblis Rangkap Jiwa?!" 

Pendekar 131 dan Dewa Orok sama membatin karena 

Iblis Rangkap Jiwa memang sudah meninggalkan tempat 

itu tanpa sepengetahuan Joko dan Dewa Orok.

 Baik Joko maupun Dewa Orok sama-sama hendak

buka mulut, namun Gendeng Panuntun telah 

mendahului.

 "Kalian jangan bergerak dahulu! Kalian masih dalam 

keadaan terluka"

 Baru saja ucapan Gendeng Panuntun selesai, Pen-

dekar 131 rasakan dadanya sesak. Kedua tarfgan dan

kakinya bergetar. Kejap lain dia melorot jatuh. Di sebe-

rang sana, Dewa Orok terlihat megap-megap. Lalu mu

lutnya menguncup membuat gerakan menyedot.

 Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di udara 

melesat dan masuk ke dalam mulutnya. Pada saat 

bersamaan, tubuhnya terjajar rata dengan tanah

 Ratu Malam sedikit sipitkan sepasang matanya. Lalu 

berpaling pada murid Pendeta Sinting dan Dewa Orok. 

Namun baru saja menoleh dan belum sempat buka 

suara, sosoknya melorot jatuh!

 "Himpun tenaga murni. Salurkan pada dada kalian!" 

kata Gendeng Panuntun. f

 Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan

tubuhnya ke arah Ratu Malam. Pantatnya digoyang 

sedikit. Satu cahaya putih melesat ke arah Ratu Malam.

Kejap lain Gendeng Panuntun hadapkan tubuhnya ke

arah murid Pendeta Sinting. Pantatnya digoyang. Dari


cermin bulat di depan perutnya melesat satu cahaya

putih. Lalu sekali lagi pantatnya digoyang dan diarahkan 

pada Dewa Orok.

 Ratu Malam, Pendekar 131, serta Dewa Orok rasakan 

hawa dingin merasuki sekujur tubuhnya. Namun 

berrsamaan dengan itu, masing-masing orang rasakan 

kepalanya berputar-putar. Saat lain ketiganya tidak ingat 

apa-apa lagi. |>

 Gendeng Panuntun melangkah ke arah Ratu Malam. 

Tangan kirinya bergerak mengambil tubuh si nenek lalu 

diletakkan di atas pundak kirinya. Sejenak Gendeng 

Panuntun tengadah, lalu menghampiri Dewa Orok. 

Begitu dekat, tangan kanannya bergerak. Tahu-tahu 

sosok Dewa Orok telah berada di pundak kanannya.

 Gendeng Panuntun hadapkan wajah ke arah sosok

murid Pendeta Sinting, namun cuma sekilas. Kejap lain

dia melangkah perlahan tinggalkan tempat itu dengan

tangan kiri kanan terangkat memegangi punggung ma-

sing-masing orang yang ada di pundaknya.

 Beberapa saat berlalu. Mendadak murid Pendeta

Sinting membuat gerakan menggeliat. Lalu sepasang

matanya terbuka.

 "Apa yang telah terjadi?"

 Murid Pendeta Sinting bangkit duduk. Lalu edarkan 

pandangan berkeliling. Dia tersentak. Bukan saja karena 

dia tidak menemukan Ratu Malam, Dewa Orok, serta 

Gendeng Panuntun, melainkan sepuluh langkah di 

hadapannya tampak tegak seorang perempuan berusia 

lanjut. Rambutnya putih dengan seluruh wajah 

mengeriput. Sepasang matanya melotot besar dengan 

bibir tersenyum dingin. Kedua tangannya merangkap di

depan dada. Tangan kanannya terlihat memegang 

sebuah tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini me

ngenakan pakaian panjang berwarna coklat.


Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Baru saja

tegak, nenek di hadapannya telah membentak.

 "Jawab dengan jujur! Bukankah kau anak manusia

yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sa-

bleng?!"

 Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-

nya dari kaki sampai rambut dengan dahi berkerut.

 "Kau punya telinga! Lekas bicara jawab tanyaku!”

bentak si nenek.

 "Kau ini siapa, Nek?!"

 Sambil bertanya diam-diam Joko terus membatin.

"Kemana sebenarnya Gendeng Panuntun, Ratu Malam, 

dan Dewa Orok?! Dari mana nenek ini tiba-tiba muncul?! 

Apakah dia sempat jumpa dengan mereka?! Atau 

jangan-jangan...."

 Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan kata hatinya

karena si nenek telah menyahut pertanyaannya.

 "Nanti ada saatnya kau tahu siapa diriku! Saat 

sekarang kau harus jawab dulu tanyaku!"

 "Sikapnya tidak bersahabat. Aku tak mau buat

urusan!" kata Joko dalam hati lalu berkata. "Aku memang 

Joko Sableng!"

 Si nenek melangkah dua tindak dengan kedua tangan 

masih merangkap di depan dada. "Bagus! Berarti kau 

murid manusia jahanam Pendeta Sinting! Betul?!"

 Joko tidak segera menjawab. Melainkan balikkan

tubuh lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

 "Namamu memang telah dikenal dalam rimba per-

silatan. Namun jangan kira langkahmu bisa berlanjut

sebelum kau tuntas jawab pertanyaanku!" kata si nenek

lalu gerakkan kaki kanannya menyapu ke depan. -

 Wuuttt!

 Terdengar deruan keras. Lalu satu angin dahsyat

 melesat ke depan.


Murid Pendeta Sinting cepat melompat selamatkan diri 

lalu putar diri. Tapi belum sempat Joko angkat bicara, si 

nenek telah mendahului.

 "Di mana gurumu berada?!"

 "Katakan dulu siapa kau dan mengapa tanya-tanya

guruku Pendeta Sinting?!".

 Nenek berpakaian coklat menyeringai. Dengan 

arahkan pandangan ke jurusan lain dia menjawab.

 "Namamu boleh menjulang setinggi langit. Namun

sebelum kau mengenal banyak tokoh dunia persilatan,

jangan anggap dirimu di atas!" Si nenek arahkan pan-

dangannya pada murid Pendeta Sinting lalu lanjutkan

ucapannya. "Aku Ni Luh Padmi! Takdir telah menuntunku 

untuk meneruskan urusanku dengan gurumu yang belum 

selesai!"

 "Hem...: Kau punya silang sengketa dengan guruku?!"

 Nenek yang sebutkan diri dengan Ni Luh Padmi ter-

tawa pelan. "Urusanku lebih dari sekadar silang seng-

keta! Dan urusan ini tidak akan terputus sebelum gurumu 

menemui ajal di tanganku!"

 Joko pandangi orang dengan gelengkan kepala. Lalu 

tanpa berkata sepatah kata dia balikkan tubuh.

 "Di mana gurumu berada?!" Ni Luh Padmi menghardik.

 Tanpa berpaling murid Pendeta Sinting berkata.

"Kau yang punya urusan. Aku tidak mau terlibat di da-

lamnya! Lebih dari itu karena aku sendiri tidak tahu di

mana guruku berada!"

 "Hem.... Begitu? Dengar, Orang Muda! Aku datang

dari jauh! Selama puluhan tahun pula aku mencari tahui

Jadi jangan kira aku akan sia-siakan satu kesempatan

lolos dari tanganku! Kau mengerti maksudku bukan?"

 "Tapi aku tidak tahu di mana guruku berada!"

 Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Satu hal biasa kalau 

seorang murid lindungi gurunya! Tapi adalah kenyataan


aneh jika seorang murid tidak tahu di mana gurunya 

mendekam! Kau hanya perlu katakan di mana, maka 

umurmu akan kuperpanjang. Jika tidak...." Si nenek tidak 

lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia bergerak satu kali. 

Tahu-tahu tubuhnya telah tegak di hadapan murid 

Pendeta Sinting dengan kaki terkembang dan kedua 

tangan masih merangkap di depan dada.

 "Aku tidak akan tawarkan pilihan! Dan kau tidak punya 

hak memilih! Kau hanya punya hak jawab tanyaku!"

 "Aku telah menjawab tanyamu!"

 "Benar! Tapi kau berdusta!"

 "Terserah! Yang pasti aku telah menjawab!" ucap

murid Pendeta Sinting lalu putar diri membelakangi NI

Luh Padmi. Dan enak saja Joko melangkah.

 "Kau ternyata memilih jalan salah, Orang Muda!"

kata Ni Luh Padmi. Lalu kedua tangannya merentang.

Kejap lain tangan kanannya yang menggenggam tusuk

konde besar bergerak.

 Wuuttt!

 Tusuk konde besar berwarna hitam melesat keluarkan 

suara menderu keras.

 Murid Pendeta Sinting yang teiah waspada sedari tadi 

cepat berkelebat ke samping. Seraya putar diri kedua 

tangannya membuat gerakan mendorong.

 Satu gelombang menghampar ke depan. Namun Joko 

terperanjat. Tusuk konde yang terlanggar gelombang 

pukulannya laksana punya kekuatan luar biasa, bukan 

hanya mampu menahan gelombang dari kedua tangan 

Joko, melainkan melesat ke arahnya semakin cepat!

 "Busyet! Orang ini punya senjata luar biasa!" desis

Joko lalu cepat berkelebat seraya dorongkan kembali

kedua tangannya ke arah tusuk konde.

 Di depan sana, Ni Luh Padmi tertawa sambil gerakkan 

tangan kanannya. Tusuk konde yang berada di atas


udara bergerak ke atas hindarkan diri dari gelombang

yang untuk kedua kalinya melesat keluar dari tangan 

murid Pendeta Sinting.

 Begitu lepas dari gelombang, tusuk konde menukik 

deras mengarah pada Pendekar 131!

 Joko cepat kerahkah tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Saat lain kedua tangannya berubah menjadi 

berwarna kekuningan, pertanda dia siap lancarkan pu-

kulan 'Lembur Kuning'.

 Ni Luh Padmi perkeras tawanya. Namun diam-diam

nenek ini lipat gandakan tenaga dalam pada tangan ka-

nannya. Bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan 

Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning', Ni Luh Padmi 

membuat gerakan menghantam ke depan.

 Gerakan menukik tusuk konde semakin deras dan

keluarkan suara makin keras. Sepuluh jengkal lagi 

tusukan konde menghantam, dari kedua tangan 

Pendekar 131 melesat dua sinar kuning disertai 

gelombang dahsyat membawa hawa luar biasa panas.

 Tusuk konde tertahan di udara, lalu tersapu dan

mencelat balik ke arah Ni Luh Padmi!

 Baru setengah jalan, Ni Luh Padmi keluarkan 

bentakan garang. Sosoknya melesat ke depan. Tusuk 

konde ditangkap dan serta-merta disentakkan ke arah 

murid Pendeta Sinting.

 Untuk kedua kalinya tusuk konde menderu ganas.

Bersamaan dengan itu Ni Luh Padmi teruskan kele-

batan tubuhnya. Sepasang kakinya membuat gerakan

lakukan sapuan ke depan.

 Joko cepat selinapkan tangan kanannya ke balik

pakaiannya. Ketika ditarik kembali, tampaklah sebuah

pedang bersarung dan bergagang warna hijau, tangan

kiri cepat menarik sarung pedang, maka terlihatlah se-

buah pedang tumpul berwarna kuning bertuliskan angka


131.

 Joko gerakkan tangan kanan babatkan pedangnya. 

Terdengar suara deruan dahsyat. Pada saat bersamaan 

murid Pendeta Sinting angkat kaki kanannya.

 Tranggg!

 Tusuk konde bentrok dengan pedang di tangan Joko 

perdengarkan suara keras dan semburatkan lidah api. 

Tangan kanan Joko tampak mental ke belakang Tusuk 

konde Ni Luh Padmi mencelat balik. Saat itulah sapuan 

sepasang kaki si nenek bertemu dengan kaki kanan 

Joko.

 Bukkkkk!

 Sosok Ni Luh Padmi terjajar tiga langkah ke belakang. 

Di hadapannya, sosok murid Pendeta Sinting terhuyung-

huyung.

 Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. 

Lalu membuat gerakan laksana orang menarik dengan 

sentakkan tangannya ke depan. Tusuk konde yang 

mental terhenti di udara. Di saat lain tusuk konde itu 

melesat kembali ke arah tangan si nenek. Dan enak saja 

Ni Luh Padmi tangkap tusuk kondenya.

 Sejenak nenek ini tengadahkan kepala meneliti tusuk 

kondenya. Sepasang matanya tampak mendelik. Tangan 

kanannya bergetar.

 "Jahanam! Tangan kananku laksana dipanggang! Anak 

manusia itu harus cepat kubereskan! Tapi aku tak mau 

dia mati! Keterangannya kuperlukan!"

 Ni Luh Padmi gerakkan tangan kiri. Namun baru

setengah jalan, satu gelombang dahsyat menghampar.

 Si nenek berseru berang. Kalau dia teruskan gerakkan 

tangan kiri, maka sebelum gelombang sempat keluar, 

hamparan gelombang dari Joko pasti akan terlebih 

dahulu menyapunya!

 Maklum akan hal itu, si nenek tidak mau ambi! resiko.


Karena satu-satunya jalan untuk selamatkan diri dari 

gelombang adalah berkelebat, maka tanpa pikir panjang 

lagi, nenek ini hentakkan kaki kanan kirinya. Tubuhnya 

melesat ke samping. Gelombang yang menghampar 

lewat dua jengkal di samping tubuhnya.

 Begitu sepasang kakinya menginjak tanah kembali, 

tangan kiri kanannya bergerak. Namun gerakan kedua 

tangan nenek Ini tertahan. Sepasang matanya

membeiiak angker dengan rahang mengembung. Karena 

ternyata dia tinggal sendirian di tempat itu!

*

* *


DELAPAN


PUNCAK Bukit Selamangleng masih tertutup kabut 

dini hari. Di balik sebuah batangan pohon, satu sosok 

tubuh tampak duduk bersila dengan kedua tangan 

bersilangan di depan dada. Orang ini tidak sedang 

bersemadi. Karena sepasang matanya yang besar 

terlihat mendelik seakan menembusi kegelapan kabut. 

Hembusan napasnya tidak teratur. Malah sesekali 

kepalanya tengadah dengan pandangan menerawang.

 "Bangsat benar! Apakah nasibku harus begini malang! 

Beratus tahun aku habiskan waktu untuk menunggu. 

Tapi begitu saatnya tiba, bukan hasil yang kudapati! 

Jahanam! Keparat! Siapa sebenarnya yang menebarkan 

berita hingga semua orang tahu kelemahanku! ini akan 

membuat rencanaku berantakan! Malaikat Penggali 

Kubur akan lebih semena-mena memperalat diriku! 

Sialan benar! Aku harus cari jalan lain! Kitab Hitam harus 

cepat kurebut dari tangan Malaikat Penggali Kubur!"

 Orang yang berkata sendirian dan bukan lain adalah 

Iblis Rangkap Jiwa adanya menghela napas dalam.

Seperti diketahui, saat bertemu dengan Ratu Malam,

Pendekar 131, dan Dewa Orok, ketiga orang ini seakan

tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa, hingga laki-laki

berkepala gundul ini gagal laksanakan maksudnya.

Meski begitu dia masih sempat kirimkan pukulan 

sebelum berkelebat pergi.

 "Tak mungkin aku merebut kitab Mu dengan jalan

kekerasan. Dengan Kitab Hitam di tangannya, Malaikat

Penggali Kubur jadi manusia yang sukar ditaklukkan.

Meringkus dan menghabisi Dewa Orok pun bukan lagi

pekerjaan mudah! Aku harus dapatkan siasat lain!" Iblis

Rangkap Jiwa luruskan kepala. Untuk sekian kalinya

laki-laki berusia ratusan tahun ini menghela napas dalam


dan panjang. Jeias kalau dadanya dibuncah dengan 

berbagai hal sulit.

 "Malaikat Penggali Kubur tidak dapat kutentukan

kapan datangnya ke tempat ini! Bisa saja setahun lagi

atau mendadak muncul hari ini juga! Hem...."

 Mungkin belum dapat menemukan apa yang harus

diperbuat, Iblis Rangkap Jiwa akhirnya bergerak bangkit. 

Namun mendadak laki-laki ini urungkan niat. Malah dia 

bungkukkan sedikit tubuhnya dan makin rapatkan ke 

batangan pohon. Bersamaan dengan itu kepalanya

berpaling ke bawah dengan sepasang mata liar berputar.

 "Telingaku menangkap gerakan orang mendaki

puncak bukit! Jangan-jangan Malaikat Penggali Kubur!

Celaka kalau benar-benar dia!" Iblis Rangkap Jiwa makin 

beliakkan sepasang matanya dengan paras berubah 

dan tubuh bergetar.

 Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu terlalu lama. Satu 

sosok tubuh terlihat berkelebat dan tahu-tahu tegak tidak 

jauh dari pohon di mana Iblis Rangkap Jiwa mendekam 

sembunyi.

 Untuk sesaat Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang

dengan mata tak berkesip. Meski orang ini tegak mem-

belakangi pohon, dan iblis Rangkap Jiwa belum me-

ngenali siapa adanya orang, namun ketegangan pada

paras wajah laki-laki berkepala gundul ini lenyap.

 "Seorang perempuan!" desis Iblis Rangkap Jiwa.

Namun sejauh ini dia belum beranjak dari tempatnya.

Dia hanya pandangi bagian belakang tubuh orang 

dengan sepasang mata agak menyipit.

 Di depan sana, orang yang baru muncul putar kepala 

dengan mata menyelidik. Dia adalah seorang perempuan 

berwajah cantik jelita meski usianya tidak muda. 

Rambutnya hitam lebat digeraikan menutupi punggung 

dan sebagian wajahnya. Sepasang matanya bulat tajam.


Hidungnya sedikit mancung ditingkah bibir merah ranum. 

Dadanya membusung padat dengan pinggul besar. 

Perempuan ini mengenakan pakaian warna biru tipis 

yang bagian dadanya dibuat rendah, hingga dadanya 

yang padat tampak mencuat menantang.

 "Malaikat Penggali Kubur mengatakan orang itu ada di 

bukit ini! Dan aku yakin Inilah tempat yang dikatakannya! 

Tapi tak kulihat adanya orang di tempat ini!Apakah

Malaikat Penggali Kubur salah mengatakan? Atau aku 

yang salah tempat?" Perempuan berbaju biru bergumam 

sendiri seraya terus memandang berkeliling.

 Mungkin merasa kurang yakin, si perempuan 

melangkah memutari puncak bukit dan berhenti lagi di

tempatnya semula. Dia menarik napas. Lalu kembali

bergumam sendiri. "Aku harus menemui Malaikat Peng-

gali Kubur kembali....' Si perempuan melangkah hendak 

menuruni puncak bukit.

 Namun satu suara teguran membuat langkah si

perempuan tertahan.'

 "Kau mencari sesuatu?!"

 Belum sampai si perempuan berpaling ke arah

datangnya suara. Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja

perdengarkan suaira telah berkelebat keluar dari balik

pohon den tegak sejarak tiga langkah di belakang si

perempuan.

 Si perempuan putar tubuh. Sepasang matanya yang 

bulat tajam memperhatikan orang di hadapannya dengan 

mata mendelik. Yang dipandang balas menatap. Bukan 

ke arah mata orang, melainkan pada leher dan turun 

pada dada lalu pada pinggul.

 "Adakah ini manusianya yang kucari?” desis si pe-

rempuan dalam hati. Lalu angkat bicara.

 "Apakah yang ada di hadapanku ini seorang yang

dikenal dengan julukan Iblis Rangkap Jiwa?!"


"Di dunia ini hanya ada satu iblis Rangkap Jiwa.

Dan yang tegak di hadapanmu adalah orangnya!"

 "Tak kusangka kalau orang yang baru kutemui se-

kaligus harus kuajak bekerja sama adalah begini ma-

camnya! Tapi apa boleh buat! Ini harus kulakukan demi

tercapainya cita-citaku...." Diam-diam si perempuan

membatin.

 "Kau menebak tepat diriku. Apakah kau datang

sengaja mencariku?!" Iblis Rangkap Jiwa ajukan tanya

dengan bibir sunggingkan senyum.

 Si perempuan tidak segera menjawab. Kepalanya

berpaling ke samping dengan menghela napas dalam,

membuat dadanya tampak makin membusung kencang. 

Sepasang mata iblis Rangkap Jiwa tambah membelalak. 

Dadanya bergerak tidak teratur dan jakunnya turun naik.

 "Datang dari tempat jauh, aku memang sengaja

mencarimu!" kata si perempuan setelah agak lama ber-

diam diri. Lalu arahkan kembali pandangannya pada

Iblis Rangkap Jiwa dan sekali lagi perhatikan orang dari

ujung kepala sampai ujung kaki.

 "Hem.... Apakah tujuannya untuk mengetahui Kitab

Hitam seperti beberapa orang sebelum ini? Atau punya

tujuan lain...? Hem.... Apa pun tujuan perempuan ini,

aku tak akan sia ajakan kesempatan...." Iblis Rangkap

Jiwa berkata dalam hati. Lalu angkat bicara.

 "Kalau kau datang dari tempat jauh dan sengaja

mencariku, pasti kau punya maksudi"

 Si perempuan tertawa perlahan. "Kau mengenal

seorang pemuda bergelar Malaikat Penggali Kubur?!"

 Iblis Rangkap Jiwa tampak terkesiap. Paras wajahnya 

berubah tegang dengan tulang dahi bergerak 

mengernyit. Sesaat laki-laki ini terdiam.

 Sementara melihat perubahan pada orang di ha-

dapannya, si perempuan tersenyum meski diam-diam


dalam hati penuh dengan tanda tanya. "Orang ini tampak 

menunjukkan wajah ketakutan ketika kusebut nama 

Malaikat Penggali Kubur. Hem.... Ada apa ini?"

 "Apa hubunganmu dengan Malaikat Penggali 

Kubur?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa setelah dapat kuasai

diri.

 Si perempuan berbaju biru gelengkan kepala masih 

dengan bibir sunggingkan senyum. "Apa hubunganku 

tak perlu kau tahu. Tapi perubahan wajahmu 

menunjukkan kau mengenali Malaikat Penggali Kubur!

Aku tanya. Kau menerima tugas dari Malaikat Penggali

Kubur?!"

 Paras Iblis Rangkap Jiwa makin tegang. Dia tidak

menjawab pertanyaan si perempuan, sebaliknya hanya

memandang.

 "Hem Seandainya Kitab Hitam belum jatuh ke

tangan Malaikat Penggali Kubur, tentu lebih mudah me-

naklukkan orang macam begini! Sayang, orang ini kute-

mui setelah Kitab Hitam jatuh ke tangan pemuda keparat 

itu! Tapi aku masih punya kesempatan...," membatin si

perempuan. "Menurut Pendekar 131, orang ini memiliki 

kepandaian sangat tinggi! Setidaknya hal itu bisa

kumanfaatkan...."

 Si perempuan maju satu tindak. "Pada mulanya aku

Memang punya maksudi Namun sesuatu telah membuat 

maksudku berubah! Aku tahu, kau mengerti seluk-beluk 

tentang sebuah kitab sakti. Namun rupanya kaubukan 

manusia yang beruntung karena tidak mendapatkan kitab 

itu! Hem.... Apakah kau masih inginkan kitab itu?!"

 Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang lebih saksama.

"Perempuan ini telah tahu banyak tentang diriku dan

kitab itu! Jangan-jangan dia memang sahabat Malaikat

Penggali Kubur! Tapi apa maksud ucapannya...?"

 Setelah membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa berkata.


"Tidak ada seorang pun yang tidak inginkan kitab itu! 

Dan meski diriku belum beruntung, tapi akan tiba saatnya 

kitab itu jadi milikku!"

 Si perempuan berbaju biru tertawa. "Cita-cita tidak

akan tercapai kalau tidak ada tindakan dan usaha!

Apakah kau sudah mempunyai satu rencana?!"

 "Itu urusanku!"

 "Benar! Tapi dalam urusan satu ini, tanpa bantuan

orang lain, semua rencanamu hanya sia-sia!"

 "Itu juga urusanku!"

 "Betul! Tapi adalah tindakan bodoh kalau sudah tahu 

usaha sia-sia tapi tetap kau laksanakan!"

 "Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" hardik Iblis

Rangkap Jiwa.

 Yang dibentak sunggingkan senyum. "Aku memang 

bukan orang yang banyak dikenal dalam dunia

persilatan. Namun setidaknya aku juga punya kemam-

puan untuk menggenggam rimba persilatan!"

 Mendengar ucapan si perempuan, Iblis Rangkap Jiwa 

pandangi wajah orang dari atas hingga bawah. Kejap lain 

tawanya meledak.

 "Bagaimana mungkin, orang yang namanya belum

begitu banyak dikenal dunia persilatan akan mampu

menggenggam rimba persilatanl Kau terlalu tinggi ber-

angan-angan, Anak Manis...!"

 Si perempuan menunggu sampai tawa Iblis Rangkap 

Jiwa lenyap. Begitu laki-laki berkepala gundul Ini

hentikan gelakan tawanya, si perempuan angkat bicara.

 "Kepandaian tinggi bukan satu-satunya alat untuk

menggenggam dunia persilatan! Ada hal lain yang lebih

dari itu! Buktinya, meski kau memiliki kepandaian tinggi, 

namun untuk memiliki sebuah kitab, kau tidak berhasil! 

Bahkan kau harus menjadi budak orang lain!"

 Tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa mengembang


Sepasang matanya mendelik angker. "Dengar! Semua

ini hanya sementara! Dan ini adalah salah satu renca-

naku!"

 Si perempuan kini ganti perdengarkan tawa bergelak 

panjang. Lalu berkata dengan sedikit tengadahkan

kepalanya.

 "Ingat. Urusan yang kau hadapi tidak ada istilah

sementara! Sekali kau menjadi budak orang, selamanya 

kau akan jadi budak! Kau mempunyai satu rencana, tapi 

di lain pihak, tuati besarmu menyimpan seribu rencana!"

 "Keparat! Kau tahu apa tentang aku, nah?!"

 "Kaiau kau mendengar ucapanku sejak tadi, kau

tentu tak akan ucapkan pertanyaan itu! Aku tahu siapa

kau bahkan siapa yang telah mendapatkan kitab sakti

itu!"

 "Berarti kau harus mampus!"

 "Kau membutuhkan diriku tiaiam urusanmu!"

 Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kanannya seraya

mengepal. "Tanganku masih memiliki kekuatan! Aku

memang membutuhkan dirimu. Bukan dalam urusanku.

Tetapi dalam hai bersenang-senang denganku! Ha....

Ha.... Ha...!"

 Si perempuan ikut tertawa. "Urusan bersenang-

senang, bukan kau saja yang membutuhkan. Aku juga

menginginkannya...."

 Ucapan si perempuan membuat Iblis Rangkap Jiwa

terkesiap. Tanpa sengaja kakinya bergerak melangkah

dua tindak dengan kedua tangan mengembang.

 Di depannya, si perempuan beraju biru surutkan

langkah Masih dengan sunggingkan senyum dia berkata.

 "Keinginanmu bisa saja kita lakukan di mana dan

kapan saja! Itu pekerjaan mudah.... Tapi sebenarnya

ada pekerjaan sulit yang harus segera kita lakukan! Pe-

kerjaan ini harus kita perhitungkan matang kalau kita


tidak ingin mati terlalu cepat!"

 "Kau mengajakku bersekongkol untuk merebut kitab 

itu! Benar?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa dengan tersenyum 

dingin. j

 "Urusan kitab bukanlah satu-satunya tujuanku!" 

 "Hem.... Lalu apa tujuanmu sebenarnya?!" 

 "Aku inginkan nyawa Pendekar 131 dan Malaikat 

Penggali Kubur dan aku ingin nyawa kedua manusia 

keparat itu putus tanpa aku harus ikut turun tangan"

 "Satu keinginan yang mustahil!"

 Si perempuan gelengkan kepala. Sambil tertawa

perlahan dia berucap.

 "Aku punya cara tersendiri untuk laksanakan ke-

inginanku. Dan aku yakin perhitungan caraku tidak

akan meleset!"

 "Hem.... Mau katakan apa caramu?!"

 "Aku dikenal dengan gelar Ratu Pemikat. Dengan

cara itulah aku akan mempertemukan mereka berdua.

Aku tahu, di antara mereka berdua terdapat silang

sengketa dan dendam! Dari pertemuan mereka, kita

bisa mendapatkan hasil tanpa harus turun tangan"

 . "Hem.... Ada benarnya juga ucapan perempuan ini!" 

kata Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. Laki-laki ini hendak 

berkata. Tapi si perempuan yang bukan lain adalah Ratu 

Pemikat adanya telah lanjutkan ucapannya.

 "Tapi untuk mempertemukan mereka, bukanlah hal

mudah. Aku butuh orang sepertimu! Karena ticak tertutup 

kemungkinan ada orang lain yang ikut campur dan harus 

dihadapi dengan jalan kekerasan! Untuk Itulah aku 

menawarkan padamu untuk bergabung denganku! Kita 

memang punya tujuan berlainan, tapi orang yang kita 

hadapi adalah sama!"

 "Baik! Kita bergabung. Tapi kalau di balik rencanamu 

kau menyimpan satu rencana lain, kau akan menyesal!"


Ratu Pemikat arahkan pandangannya ke jurusan lain. 

"Kau tidak memiliki apa-apa yang dapat diambil

keuntungannya. Kalau ada, itu hanyalah karena kau juga 

punya dendam pada Malaikat Penggali Kubur! Jika tidak, 

mungkin aku tadah cari orang lain...."

 Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah dalam hati. 

Sementara Ratu Pemikat putar tubuhnya sambil berkata.

 "Aku tak punya waktu banyak! Aku ingin cepat dengar 

keputusanmu tanpa ancaman!'

 Karena ditunggu agak lama Iblis Rangkap Jiwa tidak 

segera buka suara memberi jawaban, Ratu Pemikat 

melangkah.

 "Tunggu!"

 Ratu Pemikat teruskan langkah tanpa hiraukan 

teriakan Iblis Rangkap Jiwa, membuat laki-laki ini segera

berkelebat lalu tegak menghadang di hadapan Ratu

Pemikat.

 "Syaratmu kuterima! Tapi...."

 Ratu Pemikat hentikan langkah. Menatap sejurus pada 

Iblis Rangkap Jiwa. Seakan tahu apa lanjutan kata-kata 

yang hendak diucapkan orang, dia berkata.

 "Urusan senang-senang pasti akan kita lakukan! Tapi 

bukan di sini tempatnya!"

 Hahis berkata begitu, Ratu Pemikat berkelebat me-

nuruni bukit. Iblis Rangkap Jiwa putar diri. Seakan tak

sabar dia hentakkan sepasang kakinya lalu menyusul

turun puncak Bukit Selamangleng yang mulai terang

karena sinar matahari telah unjuk diri.

* *



SEMBILAN


PADA satu tempat, Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu

Pemikat hentikan larinya masing-masing. Iblis Rangkap 

Jiwa putar kepalanya dengan sepasang mata menyelidik 

berkeliling. Di sebelahnya Ratu Pemikat hanya edarkan 

pandangannya sejurus lalu berpaling pada Iblis Rangkap 

Jiwa.

 "Kau tidak lupa bahwa di tempat inilah kau terakhir

jumpa dengan Pendekar 131 ?!"

 Tanpa memandang pada Ratu Pemikat, iblis Rangkap 

Jiwa menyahut. Suaranya keras karena agak jengkel.

 ingatanku masih normai. Seiang waktunya belum

lama! Dan malah aku yakin mereka sempat terkena pu-

kulanku! Dan kau bisa lihat bekas-bekas di tempat ini!"

seraya berkata, tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa menunjuk 

pada beberapa tempat yang tampak porak-poranda

akibat pukulan.

 'Hem.... Tapi...."

 Belum sampai Ratu Pemikat selesaikan ucapannya, 

Iblis Rangkap Jiwa telah menukas. "Tak ada gunanya 

kita berdebat! Terserah kau percaya apa tidak! Yang 

jelas, di tempat inilah aku jumpa dengan Pendekar 131 !"

 "Hem.... Laiu ke mana kira-kira mereka?!"

 Iblis Rangkap Jiwa berpaling memandang pada Ratu 

Pemikat. "Kalau aku tahu, tak mungkin aku banyak

bicara lagi!"

 "Tapi setidaknya kau bisa menduga!"

 "Aku berlari ke arah timur dan sempat menunggu

beberapa saat di suatu tempat. Tapi mereka tidak 

mengejarku!"

 Begitu mendengar jawaban iblis Rangkap Jiwa, Ratu 

Pemikat edarkan matanya berkeliling dengan meneliti 

agak saksama. Lalu matanya berhenti pada sosok iblis


Rangkap Jiwa.

 "Kita ke arah barat!"

 Habis berkata begitu, tanpa menunggu Iblis Rangkap 

Jiwa buka suara, Ratu Pemikat berkelebat, Iblis

Rangkap Jiwa masih termangu sejenak. Namun di kejap 

lain dia berlari ke arah yang diambil Ratu Pemikat.

 Saat matahari mulai condong ke arah barat, Ratu

Pemikat berhenti. Tangan kanannya diangkat, Iblis

Rangkap Jiwa serta-merta hentikan larinya dengan se-

pasang mata menatap tajam pada sang Ratu.

 "Kuharap kau menunggu di sini! Aku akan memberi

isyarat kapan saatnya kau harus keluar!"

 Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan Iblis Rangkap

Jiwa, Ratu Pemikat telah berkelebat.

 "Jahanam! Dia seakan tidak memberiku kesempatan! 

Tapi.... Aku masih punya waktu banyak untuk dapat 

menikmati tubuhnya! Hem.... Aku memang menangkap 

adanya seseorang tidak jauh dari tempat ini! Memang 

sebaiknya aku menunggu. Dengan begitu, aku dapat 

mengetahui lebih dahulu siapa yang akan kuhadapi!" 

kata iblis Rangkap Jiwa dalam hati seraya memandang 

ke arah sosok Ratu Pemikat yang berkelebat dan lenyap 

di tikungan di depan sana.

 Apa yang ditangkap oleh Iblis Rangkap Jiwa dan

sebelumnya sudah pula ditangkap Ratu Pemikat benar

adanya. Baru saja Ratu Pemikat berkelebat sejarak dua

puluh tombak, sepasang matanya membentur pada

satu sosok tubuh yang duduk bersila di lamping sebuah 

tanah yang agak menggugus.

 Untuk beberapa saat Ratu Pemikat pandangi orang

dengan dahi berkerut. "Seorang pemuda berparas tam-

pan.... Sayang, tidak memiliki tangan! Siapa dia? Tapi

siapa pun dia adanya, sikap dan tindakannya yang

bersemadi menunjukkan kalau dia dari kalangan orang


persilatan...."

 Ratu Pemikat melangkah mendekat. Kira-kira tujuh

langkah di hadapan orang yang duduk bersila dan tam-

pak bersemadi dengan sepasang mata terpejam, pe-

rempuan berparas cantik dan bertubuh bahenol ini ber-

henti. Sekali lagi ditatapinya orang yang duduk dengan

lebih saksama.

 Saat itulah mendadak orang yang duduk bersila

kempotkan kedua pipinya lalu meniup. Bundaran karet

yang sedari tadi tampak di mulutnya melesat dan meng-

apung di udara.

 Mungkin karena sama sekali tidak menduga dan juga 

karena menyangka orang lakukan serangan, Ratu

Pemikat berseru tertahan. Sosoknya melompat ke sam-

ping. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.

 Orang yang duduk bersila dan bukan lain adalah

Dewa Orok adanya buka kelopak matanya.

 Meski sepasang matanya memandang pada Ratu

Pemikat, namun apa yang ada dalam benak si pemuda

adalah lain. "Heran. Bagaimana aku tahu-tahu berada

di sini? Ke mana Pendekar 131 dan Ratu Malam serta

manusia buta itu?!"

 Seperti diketahui, begitu tersambar pukulan Iblis

Rangkap Jiwa, Dewa Orok sempat terkapar. Lalu mun-

cullah Gendeng Panuntun. Dewa Orok tidak tahu apa

yang kemudian terjadi, karena begitu kerahkan tenaga

murni seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun dan

satu cahaya putih berkiblat ke arahnya, dia merasakan

pandangannya menghitam. Yang sempat dirasakannya

saat itu adalah tubuhnya melayang dalam pundak orang. 

Saat dia buka kelopak matanya, yang dia tahu dia sudah 

berada di tempat lain.

 Dewa Orok kerjapkan sepasang matanya. Dan tahu

apa yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, pemuda


bertangan buntung ini cepat buka mulut.

 "Kukira kita masih belum kenal. Adakah perkenalan ini 

harus didahului dengan satu pukulan?!"

 Ratu Pemikat urungkan niat. Perlahan-lahan kedua

tangannya ditarik kembali ke bawah. Lalu melompat lagi 

ke tempatnya semula.

 Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, perem-

puan ini segera berkata.

 "Kita memang belum kenal! Jadi katakan siapa kau

sebenarnya?!"

 Dewa Orok pandangi orang dengan bibir sunggingkan 

senyum.

 "Aku telah katakan lebih dahulu kalau kita belum

saling kenal! Jadi harap kau katakan dahulu siapa kau

sebenarnya!"

 Mendengar orang yang ditanya malah balik ajukan

tanya, Ratu Pemikat kelihatan belalakkan sepasang

matanya. Kalau perturutkan hati, mungkin perempuan

ini sudah tidak sabaran. Namun mengingat saat ini dia

tengah menjalankan satu urusan besar yang selain

harus bertindak hati-hati dan waspada seperti men-

jauhi silang sengketa baru dengan orang lain, maka

Ratu Pemikat coba menindih perasaan. Seraya ter-

senyum dia berkata menjawab.

 "Aku digelari orang Ratu Pemikat!"

 "Ah...." Dewa Orok perdengarkan keluhan. "Gelar yang

sesuai dengan orangnya.... Cantik, bertubuh bagus dan 

memang memikat.... Tapi apakah...."

 "Sekarang katakan siapa kau sebenarnya!" Ratu

Pemikat menukas ucapan Dewa Orok.

 “Heem.. Aku digelari orang Pendekar 131" ucap Dewa 

Orok seenaknya malah sambil alihkan pandangannya.

 Ratu Pemikat semakin beliakkan sepasang matanya. 

Diam-diam dalam hati perempuan Ini membatin.


"Dia perkenalkan diri dengan menggunakan nama Pen-

dekar 1311 Pasti dia mengenal Pendekar 131! Hem....

Apa dikira aku tidak kenal dengan Pendekar 131?!"

 Ratu Pemikat masih coba menahan perasaan meski 

makin tambah dongkol. Malah dengan maju satu tindak 

dan kembangkan senyum dia angkat bicara.

 "Senang jumpa dengan seorang tokoh yang namanya 

banyak dikenal dunia persilatan.... Berada di tempat 

begini sendirian apa kau menunggu seseorang?"

 "Ucapanmu tidak salah! Sayang, lain yang ditunggu 

lain pula yang muncul! Tapi aku bersyukur.... Yang 

muncul seorang perempuan yang memikat! Lewat di 

tempat begini sendirian, apa kau tengah mencari sese-

orang?!"

 "Dugaanmu benar! Sayang, lain yang dicari lain pula 

yang ditemui! Tapi aku bersyukur... yang kutemui 

seorang pemuda tampan dan sudah dikenal orang de-

ngan nama menjulang!" Ratu Pemikat ikut-ikutan tirukan 

ucapan Dewa Orok.

 Dewa Orok bergerak bangkit. Mulutnya membuat 

gerakan menyedot. Bundaran karet yang mengapung di 

udara melesat masuk ke dalam mulutnya. Sejenak 

pemuda bertangan buntung ini kempotkan kedua pipinya. 

Terdengar suara duut! Duuttt! Duuttt! Saat berikutnya 

Dewa Orok anggukkan kepala. Lalu tanpa berkata lagi 

dia putar tubuh setengah lingkaran. Kejap lain dia 

melangkah meninggalkan tempat itu.

 "Boleh aku tahu. Hendak ke mana kau?!" teriak Ratu 

Pemikat.

 Dewa Orok hentikan langkahnya. "Kau bukan orang 

yang kutunggu! Jadi harap tidak kecewa kalau aku tidak 

bisa jawab pertanyaanmu!"

 "Hem.... Begitu? Boleh aku tahu siapa orang yang kau 

tunggu?!"


Masih tanpa putar tubuh menghadap Ratu Pemikat,

Dewa Orok menyahut.

 "Sebenarnya aku bisa katakan siapa saja padamu.

Tapi aku tidak mau Berkata dusta padamu. Jadi terus

terang aku juga merasa menyesal tidak bisa jawab lagi

pertanyaanmu! Malah kalau tidak keberatan, bisa kata-

kan padaku siapa orang yang tengah kau cari?!"

 Dengan menyeringai karena tidak dapat kuasai

perasaan, Ratu Pemikat menjawab dengan suara keras.

 "Kau! Kaulah orang yang kucari!"

 Dengan agak terkejut, Dewa Orok balikkan tubuh.

Sesaat dipandanginya Ratu Pemikat. Namun saat lain

sepasang mata pemuda ini terpejam seraya berkata.

 "Heran. Kau tadi mengatakan lain yang dicari lain pula 

yang ditemui. Bukankah itu berarti bahwa bukan aku 

orang yang tengah kau cari?! Lagi pula perempuan

cantik sepertimu mengapa mencari pemuda seperti ku?

Aku tidak memiliki kedua tangan. Pasti kau nanti akan

menyesal seumur-umur!"

 "Dengar! Aku memang tidak butuh pemuda tidak

memiliki tangan sepertimu!"

 "Kalau begitu, aku bisa pergi...," ucap Dewa Orok

dengan suara agak mendesis karena mulutnya tertutup

oleh bundaran karet. Masih dengan sepasang mata

terpejam, pemuda ini kembali balikkan tubuh.

 Namun sebelum kaki Dewa Orok bergerak melangkah, 

Ratu Pemikat telah angkat bicara.

 "Kau bisa pergi, tapi tinggalkan keterangan padakul"

 Dewa Orok gelengkan kepala. "Dari pemuda sepertiku, 

keterangan apa yang bisa kuberikan padamu?!"

 "Di mana beradanya Pendekar 131?!"

 Sesaat Dewa Orok tampak terkejut. Sepasang ma-

tanya kontan membuka dengan mulut komat-kamit.

Saat lain dia meniup. Bundaran karet mencuat ke udara.


"Kau benar-benar mencariku?!"

 "Aku mencari Pendekar 131! Bukan kau!"

 "Tapi aku adalah...."

 "Aku tahu luar dalam siapa Pendekar 131! Jadi jangan 

banyak mulut bicara tak karuan!" hardik Ratu Pemikat.

 "Ah.... Kau tentu salah lihat! Atau jangan-jangan kau 

telah dikelabui orang...."

 Mungkin tidak sabar, Ratu Pemikat meloncat ke depan 

dan tegak sejarak empat langkah di depan Dewa Orok.

 "Aku tidak dapat dikelabui orang! Apalagi orang

sepertimu!"

 "Aku juga tidak dapat dikelabui orang! Apalagi orang 

cantik sepertimu!" Dewa Orok mulai ikut-ikutan bicara 

seperti ucapan Ratu Pemikat.

 "Persetan dengan ucapanmu! Kau mengaku-ngaku 

sebagai Pendekar 131, berarti kau kenal Pendekar 131. 

Dan tentu kau tahu di mana dia!*1

 "Kalau kau bisa mengatakan persetan dengan

ucapanku. Jangan menyesal kalau aku juga bisa me-

ngatakan persetan dengan pertanyaan dan dugaanmu!"

 "Siapa menduga!" sentak Ratu Pemikat,

 'Siapa menduga?" tanya Dewa Orok sambil tertawa

mengekeh. "Kau jelas telah tahu kalau di sini hanya kita

berdua! Kau tadi mengatakan aku tahu di mana orang

yang tengah kau cari dan menurutmu bernama sepertiku! 

Bukankah itu sebuah dugaan?!"

 "Hem.... Kau pintar bicara!"

 Dewa Orok gelengkan kepala. "Sebagai orang yang 

bergelar Ratu Pemikat, pasti kau lebih pintar bicara 

daripada aku! Dan aku khawatir, jangan-jangan kau...." 

Dewa Orok tidak lanjutkan ucapannya.

 "Jangan-jangan apa, hah?!" sahut Ratu Pemikat.

 "Semua pembicaraanmu tadi hanya untuk 

memikatku...."


Tampang Ratu Pemikat berubah merah padam.

Perempuan ini sudah tidak dapat lagi menindih pera-

sannya. Tubuhnya tampak bergetar.

 "Dengar! Aku tak peduli siapa kau sebenarnya!

Tapi jika kau tidak mengatakan di mana Pendekar 131,

aku tak segan membuatmu tidak hidup juga tidak mati!

Kau dengar?!"

 "Aku dengar, Ratu.... Tapi harap kau dengar juga.

Aku memang sejak lama sudah tidak peduli orang me-

mandangku siapa! Yang jelas aku adalah Pendekar

131!"

 "Bagus! Rupanya kau lebih suka hidup tidak mati

juga tidak!"

 Belum habis kata-kata Ratu Pemikat, perempuan

ini sudah berkelebat ke depan. Kedua tangannya di-

angkat tinggi Bersamaan dengan itu kaki kanannya

bergerak menendang dengan menyamping

 Dewa Orok sedot bundaran karet masuk ke dalam 

mulutnya, pemuda melakukan gerakan satu kali. Kejap 

lain sepasang kakinya telah berada di atas udara 

sementara kepalanya berada di bawah.

 Begitu sepasang tangan Ratu Pemikat dan 

tendangan kaki kanannya menggebrak, Dewa Orok tekuk 

kedua kakinya lalu serentak disentakkan lurus ke depan.

 Bukkkkk!

 Terdengar seruan tertahan dari mulut Ratu Pemikat. 

Kedua tangannya mental deras ke samping. Sosoknya 

terhuyung beberapa tindak ke belakang. Malah kaki 

kanannya yang menendang sudah tersapu terlebih 

dahulu sebelum mencapai sasaran!

 Pada mulanya Ratu Pemikat hanya memandang 

sebelah mata pada Dewa Orok hingga saat lakukan 

pukulan dan tendangan, perempuan ini hanya sedikit 

kerahkan tenaga dalamnya. Dia lebih andalkan tenaga


luar.

 "Keparat! Siapa pemuda ini?" Ratu Pemikat per-

hatikan orang di hadapannya dengan rahang mengem-

bang. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya. Kali ini dia tidak mau bertindak ayal.

 Bentrok yang baru saja terjadi membuat dirinya maklum 

kalau orang yang dihadapi bukan orang yang bisa 

dipandang sebelah mata.

 Sementara di depan sana, Dewa Orok tetap tegak 

dengan bertumpu pada kepalanya. Malah pemuda ini 

tampak sunggingkan senyum lalu buka mulut.

 "Ratu.... Kau telah temui orang yang tengah kau cari. 

Harap katakan apa tujuanmu mencariku “

 Ratu Pemikat tidak menjawab pertanyaan itu dan 

mengeluarkan dengusan keras. Saat bersamaan dengan

sosoknya berkelebat ke depan. Kedua tangannya

menyambar ke arah selangkangan Dewa Orok

 Dewa Orok pejamkan sepasang matanya. Kedua

kakinya sambil ditekuk dengan lutut disilangkan tepat

di depan selangkangan.

 Bukkk!

 Untuk kedua kalinya kedua tangan Ratu Pemikat

bentrok dengan kedua kaki Dewa Orok. Meski Ratu

Pemikat telah kerahkan tenaga dalamnya dua kali lipat

dari yang semula, namun tak urung juga sosoknya ter-

lihat surut satu tindak. Tapi sebelum sosoknya terseret

lebih jauh, perempuan berparas cantik ini cepat sen-

takkan tubuhnya ke bawah. Saat bersamaan sosoknya

terhenti lalu kedua kakinya laksana kilat menggebrak

lurus ke arah kepala Dewa Orok!

 Dewa Orok buka kelopak matanya. Sesaat matanya

mendelik. Dengan perdengarkan seruan, pemuda ber-

tangan buntung ini tarik kepalanya ke belakang. Ber-

samaan itu kedua kakinya diluruskan lalu dihempaskan


ke depan.

 Seeett!

 Gerakan sepasang kaki Ratu Pemikat tertahan.

Perempuan in; tampak menjerit Karena sepasang kaki

Dewa Orok menjepit pinggulnya!

 "Kurang ajar!" Kedua tangan Ratu Pernikat bergerak 

menghantam punggung Dewa Orok yang kini setengah 

tegak di atas tubuhnya dengan posisi membelakangi. 

Bukan hanya sampai di situ. Ratu Pemikat serentak juga 

gerakkan kedua kakinya ke atas menghantam ke arah 

dada lawan.

 Mendapat serangan dari depan dan belakang, Dewa 

Orok tampak terkesiap. Namun pemuda ini tidak hilang 

akal. Sejengkal lagi kedua tangan dan kaki Ratu Pemikat 

menghantam telak punggung dan dadanya, dia gerakkan 

tubuhnya ke samping dengan kedua kaki menggapit 

pinggul Ratu Pemikat.

 Ratu Pemikat menggeram. Kedua tangannya dige-

rakkan berbelok mengikuti arah gerakan tubuh Dewa

Orok. Pada saat yang sama, kaki kirinya juga bergerak 

searah gerakan dada Dewa Orok.

 Namun lagi-lagi Ratu Pemikat mendengus marah. 

Karena Dewa Orok telah terlebih dahulu menggerakkan 

tubuhnya dengan cepat ke samping kanan. Hingga baik 

kedua tangan dan kaki Ratu Pemikat hanya menghantam 

tempat kosong!

 Mungkin merasa dipermainkan orang, dengari lipat 

gandakan tenaga dalamnya, Ratu Pemikat tekuk kedua 

tangan dan kakinya. Kejap kemudian siku serta lututnya

menghantam sekaligus ke arah kaki dan perut Dewa 

Orok.

 Dewa Orok tidak tinggal diam. Laksana disentakkan 

tangan setan, pemuda ini angkat tubuhnya sedikit ke 

atas. Lalu serta-merta pantatnya didorong ke belakang.


Bukkk! Bukkk!

 Kedua siku Ratu Pemikat menghantam telak kaki 

Dewa Orok hingga jepitan kakinya pada pinggul sang

Ratu lepas. Namun bersamaan dengan itu pantat Dewa 

Orok menghantam tepat wajah Ratu Pemikat membuat

perempuan ini terjengkang telentang di atas tanah.

Sementara Dewa Orok jatuh terduduk di atasnya dengan 

kedua kaki merentang di atas bahu kiri dan kanan Ratu 

Pemikat.

 "Bangsat keparat!" teriak Ratu Pemikat. Kedua ta-

ngannya cepat bergerak menggaet kedua kaki Dewa 

Orok. Kedua kakinya pun segera menghentak tanah. 

Saat lain sosoknya bergerak bangkit.

 Karena kedua kaki Dewa Orok berada di atas bahu

Ratu Pemikat, maka tubuh Dewa Orok tampak terangkat

ke atas. Melihat hal demikian, Ratu Pemikat tidak sia-

siakan kesempatan. Kaki kanannya cepat dihantamkan

ke belakang. Namun terlambat. Karena Dewa Orok telah 

terlebih dahulu tubrukkan tubuhnya ke arah paha kaki kiri 

Ratu Pemikat yang dibuat sebagai tumpuan tubuhnya.

 Dessss!

 Ratu Pemikat menjerit tinggi. Sosoknya terhuyung-

huyung. Dewa Orok tarik tubuhnya ke depan, lalu 

kembali ditubrukkan ke arah paha Ratu Pemikat.

 Dessss!

 Kedua kaki Ratu Pemikat menekuk. Lalu perempuan 

ini jatuh terduduk. Dewa Orok cepat angkat tubuhnya ke

atas. Laiu kedua kakinya yang masih dipegang Ratu 

Pemikat dilorotkan ke bawah, hingga tubuh pemuda 

bertangan buntung ini nongkrong di atas tengkuk Ratu 

Pemikat.

 "Kalau begini rasanya tidak hidup tidak mati, aku ingin 

seumur-umur begini saja!" ujar Dewa Orok seraya

kempotkan pipinya menyedot hingga saat itu juga ter


dengar suara duutt! Duutt! beberapa kali.

 Ratu Pemikat memaki dengan kedua tangan lepaskan 

gaetannya pada kedua kaki Dewa Orok. Serta-merta 

kedua tangannya bergerak menghantam ke atas.

 Namun sebelum kedua tangan Ratu Pemikat meng-

hantam, satu gelombang luar biasa dahsyat meng-

gebrak!

*

* *


SEPULUH


MESKI Ratu Pemikat adalah orang yang paling terkejut 

karena baginya tidak mungkin dapat hindarkan diri selagi 

tubuh Dewa Orok masih nongkrong di tengkuknya, 

namun Dewa Orok juga tampak tak kalah terkejut. 

Namun pemuda ini cepat berpikir. Kejap lain kedua 

kakinya yang teiah lepas dari gaetan Ratu Pemikat ditarik 

ke atas menggaet lengan si perempuan yang tengah 

terangkat.

 Dewa Orok kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh bagian 

alasnya disentakkan ke atas. Bersamaan dengan itu 

tubuhnya terangkat. Karena kedua kakinya menggaet 

kedua lengan Ratu Pemikat, maka tak urung sosok Ratu 

Pemikat juga ikut terangkat.

 Lima jengkal lagi gelombang dahsyat melanggar, Dewa 

Orok gerakkan kedua kakinya ke arah lambung kiri kanan 

Ratu Pemikat. Dengan sedikit sentakkan kaki, sosoknya 

melesat.

 Di lain pihak, Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua

kakinya. Sosoknya berkelebat. Tapi kelebatan tubuh

Ratu Pemikat bersamaan dengan datangnya gelombang, 

hingga meski tubuhnya selamat, namun tak urung kaki

kanannya masih juga tersambar gelombang. Tak ampun 

lagi tubuhnya sempat terbanting di udara sebelum 

akhirnya jatuh terkapar.

 Dewa Orok cepat balikkan tubuh. Bersamaan dengan 

itu Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangannya. 

Sosoknya bergerak duduk. Sejenak perempuan ini

meneliti bagian kakinya. Parasnya seketika berubah.

Karena kaki kanannya tampak mengembung hitam dan

terasa panas luar biasa.

 "Bangsat siapa yang berani lakukan serangan dari

belakang ini?!" Laksana disentak setan, kepalanya cepat


berpaling ke belakang dari mana gelombang yang

sempat menghajar kaki kanannya datang.

 Kali ini meski Ratu Pemikat sempat terkesiap, tapi

yang terlihat paling tersentak kaget adalah Dewa Orok.

Kedua orang ini melihat seorang laki-laki berkepala

gundu! tegak dengan kedua tangan mengembang ke

belakang dan bibir sunggingkan senyum dingin.

 "Sialan! Mengapa kau menyerangku?!" seru Ratu

Pemikat dengan suara keras bergetar.

 "Betul! Sialan! Mengapa dia juga menyerangku?”

Dewa Orok ikut-ikutan memaki meski raut wajahnya tak

dapat sembunyikan rasa khawatir.

 Laki-laki berkepala gundul dan bukan lain adalah Iblis 

Rangkap Jiwa adanya tanggapi makian orang dengan 

mulut terkancing. Namun tubuhnya terlihat sedikit

bergetar tanda laki-laki ini telah dilanda amarah.

 Iblis Rangkap Jiwa memandang pada Dewa Orok

dengan tampang beringas.

 "Kali ini kau tak akan lolos, Jahanam'" teriaknya

sambil kerahkan tenaga dalam.

 "Astaga! Jadi Iblis Rangkap Jiwa telah mengenal

pemuda itu! jangan-jangan pemuda itu salah satu orang 

yang diceritakan bersama-sama Pendekar 131! Jadi dia 

adalah Dewa Orok...." Ratu Pemikat membatin dalam 

hati seraya pandangi Dewa Orok. Lalu berpaling lagi 

pada iblis Rangkap Jiwa.

 Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah sejak tadi

mengintai dan mendengar adu muiut antara Dewa Orok

dan Ratu Pemikat. Namun sejauh ini dia belum berani

unjuk diri. Dia masih khawatir kalau Pendekar 131 dan

Ratu Malam ada di sekitar tempat ini, karena pada

pertemuan kemarin Dewa Orok memang bersama-sama 

dengan Pendekar 131 dan Ratu Malam.

 Begitu ditunggu agak lama dan yakin kalau tidak ada


orang lain di sekitar tempat itu, Iblis Rangkap Jiwa

segera kirimkan pukulan saat Ratu Pemikat hendak 

lakukan pukulan ke arah Dewa Orok yang tengah 

nongkrong di atas tengkuknya.

 Sementara melihat siapa adanya orang, Dewa Orok 

terlihat gelisah. Untuk beberapa saat dia tampak 

tercenung berpikir. "Di sini memang ada seorang 

perempuan. Tapi tak mungkin dia mau kuajak bekerja 

sama. Bagaimana sekarang...?!"

 Selagi Dewa Orok tengah berpikir, Ratu Pemikat telah 

bangkit berdiri meski sesaat tampak terhuyung-huyung.

 "Kau bernasib malang! Di tempat ini tidak ada lagi 

orang yang dapat membantumu, Jahanam! Dan 

nyawamu seperti pernah kukatakan adalah telah diperun-

tukkan untukku sebagai imbalan!" kata Iblis Rangkap 

Jiwa lalu angkat kedua tangannya.

 "Tunggu!" tahan Ratu Pemikat.

 “Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan seruan Ratu

Pemikat. Kedua tangannya terus diangkat tinggi-tinggi ke 

atas. Maklum akan apa yang hendak dilakukan iblis 

Rangkap Jiwa dan yakin jika Iblis Rangkap Jiwa tidak 

main-main dengan ucapannya, Ratu Pemikat cepat ber-

kelebat ke arah Iblis Rangkap Jiwa.

 Ratu Pemikat angkat tangannya menahan kedua 

tangan Iblis Rangkap Jiwa yang hendak kirimkan pukulan 

ke arah Dewa Orok.

 "Jangan bikin dia mampus! Keterangannya kita

butuhkan! Menurut ucapan-ucapannya dan ceritamu, aku 

hampir yakin kalau dia tahu di mana Pendekar 131! 

Kalau dia sampai mampus, pencarian kita tambah sukar”

 "Tapi dia harus mampus di tanganku! Kalau tidak,

urusan dengan Malaikat Penggali Kubur tidak cepat se-

lesai!" sahut Iblis Rangkap Jiwa dengan mata terus

pandangi Dewa Orok. Laki-laki berkepala gundul ini


seakan tidak mau lagi kehilangan orang yang harus di-

bunuh seperti yang diperintahkan Malaikat Penggali

Kubur.

 "Dia memang harus mampus! Tapi bukan untuk saat 

sekarang! Setelah dia beri keterangan, nyawanya

terserah padamu!"

 Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepala. "Jejak

Pendekar 131 dapat kita cari! Tapi kalau aku kehilangan 

jejak manusia buntung itu, urusanku akan jadi be-

rantakan! Bahkan nyawaku tidak dapat kuselamatkan!"

 "Urusanmu dengan MalaiKat Penggali Kubur nanti

bisa kita atur lagi.... Bukankah tujuan utamamu kitab itu? 

Dengan keterangan dari pemuda bertangan buntung itu, 

kita akan tahu di mana Pendekar 131. Kalau kita berhasil 

mempertemukan Pendekar 131 dengan Malaikat 

Penggali Kubur, urusan kitab sakti itu akan juga selesai! 

Bukankah begitu?"

 "Tapi urusanku dengan Malaikat Penggali Kubur lain! 

Nyawaku tergantung pada nyawa pemuda itu!"

 Ratu Pemikat tertawa perlahan. "Urusar Malaikat

Penggali Kubur dengan Pendekar 131 kurasa lebih ber-

arti bagi Malaikat Penggali Kubur dibanding urusan

nyawa pemuda buntung itu dan kau!"

 "Tapi...."

 "Nyawanya hanya kita tahan sementara sampai dia

beri keterangan! Malah mungkin Malaikat Penggali Kubur 

tentu dapat mengerti apa yang kita lakukan jika dia kelak 

tahu!" potong Ratu Pemikat lalu lepaskan kedua

tangannya pada kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.

 "Bikin dia tidak berdaya!"

 Sesaat Iblis, Rangkap Jiwa terdiam. Namun saat lain 

kepalanya mengangguk. Bersamaan dengan itu kedua 

tangannya bergerak lakukan pukulan. Namun tenaga 

dalam yang dikerahkan sudah jauh berkurang dari apa


yang hendak dilakukan semula

 Di depan sana Dewa Orok tampak tarik sedikit

tubuhnya ke belakang. Pemuda itu maklum akan tingkat

ilmu Iblis Rangkap Jiwa. Hingga dia tak berani bertindak 

sembarangan.

 Ketika gelombang angin dahsyat melesat dari kedua 

tangan iblis Rangkap Jiwa, Dewa Orok cepat sentakkan 

tubuhnya ke depan.

 Wuuttt!

 Gelombang kabut putih menghampar dan dada 

Dewa Orok memangkas gelombang angin yang keluar 

dari kedua tangan iblis Rangkap Jiwa.

 Karena Iblis Rangkap Jiwa hanya kerahkan sedikit 

tenaga dalamnya, sementara Dewa Orok kerahkan se-.

genap tenaga dalamnya, maka begitu kedua pukulan

mereka bentrok di udara, sosok iblis Rangkap Jiwa

tampak mencelat mental sampai satu setengah tombak

ke belakang. Di lain pihak, sosok Dewa Orok hanya

terseret beberapa langkah. Meski demikian, paras 

pemuda bertangan buntung ini tampak berubah. 

Dadanya bergetar keras. Malah kedua pijakan kakinya 

sedikit menekuk.

 Sementara sosok Iblis Rangkap Jiwa tampak jatuh

terkapar di atas tanah. Namun karena laki-laki ini dikenal 

sebagai tokoh berilmu tinggi yang tahan pukul, maka 

begitu sosoknya terkapar di atas tanah, dia cepat

bergerak bangkit. Kejap kemudian dia berkelebat dan

tahu-tahu telah tegak di hadapan Dewa Orok dengan

senyum seringai.

 "Wah.... Benar-benar celaka kali ini!" desis Dewa Orok. 

Wajahnya tegang dengan mulut komat-kamit. Namun 

kali ini bundaran karet pada mulutnya tidak perdengarkan 

suara.

 "Hem.... Manusia ini benar-benar luar biasa! Dia


memang tidak mempan pukulan! Aku harus dapat me-

manfaatkan tenaganya...."'Diam-diam Ratu Pemikat

membatin. "Dia tampaknya melakukan apa yang ku-

ucapkan.... Dengan begitu apa yang kurencanakan

akan segera menjadi kenyataan...." ,

 Habis membatin begitu, Ratu Pemikat ikut berkelebat, 

dan tegak di samping Iblis Rangkap Jiwa. Sejurus dia 

memandang pada Dewa Orok, lalu beralih pada Iblis

Rangkap Jiwa. Bibirnya sunggingkan senyum. Kepa-

lanya bergerak mendekat. Dia lalu berbisik.

 "Buat dia tidak berkutik! Setelah itu kita bersenang-

senang...."

 Iblis Rangkap Jiwa tersenyum. Dipandanginya dada 

dan pinggul Ratu Pemikat. "Tidak sulit lakukan apa yang 

kau minta...," bisiknya.

 "Kalian berbisik-bisik apa...?!" teriak Dewa Orok.

Pemuda ini sengaja mencari bahan pembicaraan untuk

mengulur waktu sambil berpikir untuk dapat selamatkan 

diri, karena dia sadar tidak ada gunanya melayani Iblis 

Rangkap Jiwa yang tahan terhadap pukulan. Malah hal 

Itu akan membuatnya celaka sendiri.'

 Mendengar teriakan Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa 

sentakkan kepalanya menghadap. Sepasang matanya 

berkilat. Seakan tahu apa yang ada dalam benak Dewa 

Orok, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak lalu berkata.

 "Jangan harap kau bisa memancingku untuk berdebat 

Ha.... Ha...!"

 Gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa belum lenyap, kedua 

tangannya telah lakukan pukulan ke arah Dewa Orok.

 Mungkin takut kalau Iblis Rangkap Jiwa hanya

kerahkan sedikit tenaga dalamnya, Ratu Pemikat segera 

pula lakukan pukulan. Yang diarah adalah bagian kaki 

Dewa Orok.

 "Benar-benar akan tamat riwayatku...," gumam Dewa


Orok. Namun meski sudah merasa maklum tak ada

artinya lagi memangkas pukulan kedua orang di ha-

dapannya, pemuda bertangan buntung ini tidak mau

berdiam diri. Tubuhnya cepat disentakkan ke belakang

lalu dihempaskan ke depan.

 Pukulan dari Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat

tampak semburat kian kemari. Namun karena harus

bentrok dengan dua pukulan, mau tak mau sosok Dewa

Orok tampak mencelat deras ke beiakang meski di depan 

sana Ratu Pemikat dan iblis Rangkap Jiwa juga terlihat 

mental.

 Kali ini rupanya Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak

sabaran lagi, apalagi setelah mendapat janji dari Ratu

Pemikat. Hingga begitu tubuhnya mental ke belakang,

dia cepat kuasai diri lalu sekonyong-konyong melesat

balik ke arah Dewa Orok yang masih terhuyung-huyung.

 Belum sampai Dewa Orok tegak kuasai diri, ten-

dangan sepasang kaki Iblis Rangkap Jiwa telah berke-

lebat angker ke arah kakinya!

 Dewa Orok masih tidak tinggal diam. Kaki kanannya 

diangkat.

 Bukkkk!

 Tubuh Dewa Orok terputar. Saat itulah Ratu Pemikat 

melabrak dengan lakukan tendangan.

 Bukkk!

 Putaran tubuh Dewa Orok semakin kencang. Dan

belum sempat Dewa Orok hentikan diri, kaki kiri Iblis

Rangkap Jiwa telah pula menggebrak!

 Dewa Orok mengeluh tinggi hingga bundaran karet

di mulutnya melesat keluar dan mengapung di udara.

Bersamaan dengan itu putaran tubuhnya berbalik arah!

 Ratu Pemikat bergerak lagi. Namun Iblis Rangkap 

Jiwa telah mendahului gerakkan tangan kanannya. Serta-

merta putaran tubuh Dewa Orok terhenti! Malah pemuda


ini tidak bisa gerakkan lagi anggota tubuhnya!

 Ratu Pemikat urungkan niat. Matanya melirik pada

Iblis Rangkap Jiwa.

 "Sialan! Dia mendahului gerakanku.... Berarti dia

akan menagih janji yang tadi kuucapkan..." Ratu Pemikat 

membatin. "Seandainya aku tadi berhasil mendahului, 

aku masih bisa membuat alasan! Tapi sekarang...."

 "Aku telah lakukan apa yang kau minta! Apa acara

kita bisa segera dimulai sekarang juga?!" Iblis Rangkap

Jiwa berkata dengan sunggingkan senyum.

 Ratu Pemikat sempat tersentak. Namun perempuan ini 

tidak mau menunjukkan keterkejutannya. Dia balas 

memandang dengan bibir mengembang senyum.

 "Janjiku akan selalu kutepati.... Tapi kita harus minta

keterangan dahulu dari pemuda itu! Bukankah acara kita 

akan lebih tenang kalau kita sudah tahu di mana 

beradanya orang yang kita cari...?"

 Tampang Iblis Rangkap Jiwa berubah. Jelas laki-laki 

ini tampak dongkol dengan ucapan Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat tahu apa yang harus dilakukan 

menghadapi orang macam Iblis Rangkap Jiwa.

 Tanpa buka suara lagi, Ratu Pemikat melangkah

mendekati Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya me-

ngembang dengan dada dibusungkan. Mulutnya 

setengah dibuka. Lalu seraya sipitkan sedikit matanya, 

kedua tangannya dilingkarkan pada tengkuk Iblis Rang-

kap Jiwa. Bersamaan itu, kepalanya didorong ke depan.

 Iblis Rangkap Jiwa yang semula hanya diam dengan 

mulut terkancing rapat cepat kembangkan kedua

tangannya lalu dilingkarkan pada pinggang Ratu 

Pemikat. Saat bersamaan kepalanya bergerak 

menyambut wajah sang Ratu yang mendekat ke 

wajahnya.

 Untuk beberapa saat kedua orang ini tenggelam


dalam peluk cium mesra. Malah kedua tangan Iblis

Rangkap Jiwa sudah bergerak dari lingkaran pinggang

Ratu Pemikat dan kini merambat ke arah dadanya.

 Di depan sana, Dewa Orok yang tegang tak bisa

bergerak karena tertotok Iblis Rangkap Jiwa hanya me-

mandang melongo dengan mata membelalak.

 ' Busyetl Dadaku jadi ikut berdebar-debar! Mereka

sungguh tega hati berbuat begitu di depan mataku! Apa

dikira aku sudah tidak punya keinginan...? Sialan betul!" 

kata Dewa Orok dalam hati. Dia lalu alihkan pandangan-

nya pada jurusan lain. Saat itulah sepasang matanya 

melihat bundaran karatnya yang masih mengapung di 

udara.

 Entah untuk menaik perhatian orang atau secara tidak 

sengaja, Dewa Orok berteriak.

 "Dotku.... Mana dotku.... Tolong ambilkan!"

 Mungkin karena sudah tenggelam dalam kemesraan, 

baik Ratu Pemikat maupun Iblis Rangkap Jiwa tidak 

hiraukan teriakan Dewa Orok, membuat pemuda ini

kembali berteriak. Tapi meski teriakan Dewa Orok begitu 

keras, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa tetap

teruskan peluk ciumnya.

 "Setan! Mereka pura-pura tidak atau...." Dewa Orok 

kerjapkan sepasang matanya. Saat lain dia coba 

kerahkan tenaga dalamnya. Lalu mulutnya menguncup.

 Wuuuutt!

 Dari mulut Dewa Orok melesat angin tidak begitu

keras. Namun anehnya mampu membuat pakaian Ratu

Pemikat tersingkap.

 Menduga yang lakukan singkapkan pakaiannya

adalah tangan iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat cepat

tarik wajahnya. Kedua tangannya bergerak ke belakang

untuk tutup pakaiannya yang terbuka. Namun perem

puan ini jadi terkesiap. Karena bagaimanapun dia coba


tutupkan pakaiannya, pakaiannya tetap berkibar-kibar

terbuka!

 Sementara Iblis Rangkap Jiwa yang tahu akan

tindakan Dewa Orok, segera lepaskan rabaannya pada

dada Ratu Pemikat. "Jahanam itu mengganggu kese-

nangan orang!" desisnya. Serta-merta sosoknya mele-

sat ke arah Dewa Orok. Saat lain tangan kanan kirinya

bergerak terangkat.

 "Tunggu!" teriak Ratu Pemikat. "Biar dia aku yang

mengurus!"

 Entah karena sudah tidak dapat lagi menahan gejolak 

amarahnya karena kesenangannya terganggu, Iblis

Rangkap Jiwa tidak pedulikan lagi teriakan Ratu Pemikat. 

Kedua tangannya terus bergerak lakukan hantaman ke 

arah kepala Dewa Orok. 

 Di hadapannya, Dewa Orok hanya dapat buka mu-

lutnya tanpa keluarkan suara. Malah bersamaan 

dengan itu sepasang matanya terpejam rapat. Pemuda 

ini seakan sudah pasrah.

 "Celaka kalau dia benar-benar lakukan itu!" gumam

dengan tercekat. Sosoknya berkelebat. Lalu mendorong

Dewa Orok hingga sosoknya jatuh tersungkur di atas 

tanah. Tapi hal itu menyelamatkannya dari hantaman 

kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.

 "Dotku... Dotku...!" seru Dewa Orok begitu buka

kelopak matanya serta melihat dirinya selamat dari

hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.

 Plaaakk! Plaaakk!

 Kepala Dewa Orok sedikit tersentak ke samping kiri 

kanan terkena tamparan kedua tangan Ratu Pemikat.

 "Manusia edan! Dot bulukan begitu rasanya lebih

berharga dari nyawanya!" desis Ratu Pemikat. Serta-

merta perempuan ini melompat. Tangan kanannya me-

nyambar bundaran karet milik Dewa Orok yang mengapung di udara.

 Melihat hai itu, Dewa Orok yang terkapar di atas

tanah segera berteriak. "Kalau kau sampai merusak

dotku, kau tak akan mendapat keterangan apa-apa

dariku!"

 Ratu Pemikat pandangi Dewa Orok dengan senyum 

dingin. Laiu melangkah ke arah Dewa Orok. Namun 

langkah perempuan ini tertahan karena iblis Rangkap 

Jiwa telah tegak di hadapannya dengan kedua tangan 

mengembang.

 "Acara bisa kita lanjutkan nanti!" ucap Ratu Pemikat 

seraya tepis kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun 

mungkin agar tidak membuat Iblis Rangkap Jiwa 

tersinggung, Ratu Pemikat sorongkan wajahnya dan 

mencium wajah iblis Rangkap Jiwa.

 Iblis Rangkap Jiwa kembali hendak lingkarkan kedua 

tangannya. Namun sebelum sempat menyentuh

pinggang Ratu Pemikat, perempuan bertubuh bahenol

ini telah berkelebat ke arah Dewa Orok.

 Tanpa berkata lagi, Ratu Pemikat angkat tubuh Dewa 

Orok lalu diletakkan di atas pundaknya. Kejap laindia 

berkelebat.

***


SEBELAS



MEMASUKI sebuah kawasan dataran berbatu, Ratu 

Pemikat mulai memperlambat larinya. Lalu enak saja 

tubuh Dewa Orok disentakkan hingga jatuh menghantam 

salah satu gundukan batu, membuat keningnya 

berdarah.

 "Dotku! Berikan padaku...!" ujar Dewa Orok dengan

mengerjap beberapa kali dan meringis.

 “Bukan hanya dot, tapi nyawamu akan kuselamatkan 

jika kau mengatakan di mana Pendekar 131!" Ratu

Pemikat membentak.

 "Nyawanya milikku, tidak akan kubiarkan siapa pun

selamatkan nyawanya sekali pun setan!" Yang.berteriak 

menyahut adalah Iblis Rangkap Jiwa yang kini telah 

tegak di belakang Ratu Pemikat.

 'Dasar manusia tolol!" desis Ratu Pemikat dalam hati. 

Perempuan ini segera berpaling pada Iblis Rangkap 

Jiwa. Lalu memberi isyarat dengan kerdipkan sebelah 

matanya. Kejap lain, tanpa menunggu Iblis Rangkap Jiwa 

buka rrtuiut, Ratu Pemikat telah menoleh kembali

menghadap Dewa Orok.

 "Membunuhmu saat ini, tidak lebih sulit dari kerjapkan 

mata! Tapi aku akan membuatmu mati perlahan-lahan 

kalau kau tetap keras kepala!"

 "Baiklah...," ujar Dewa Orok pada akhirnya setelah

beberapa saat terdiam.

 "Bagus! Kau telah memiiih jaian yang benar!" kata

Ratu Pemikat seraya tersenyum. "Sekarang katakanlah!"

 "Pergilah ke pantai timur. Di sana ada sebuah kuil!"

 "Ucapanmu bisa dipercaya?!"

 Dewa Orok kancingkan mulut tidak menjawabnya 

pandangannya kini beralih pada iblis Rangkap Jiwa. 

Yang dipandang menyeringai lalu berkata.


"Di pantai timur memang ada sebuah kuil! Aku tahu

tempatnya!"

 Iblis Rangkap Jiwa sengaja berkata karena sebe-

narnya laki-laki ini ingin segera urusan dengan Dewa

Orok cepat selesai dan bisa bersenang-senang kem-

bali dengan Ratu Pemikat.

 Ratu Pemikat palingkan kepala pada Iblis Rangkap

Jiwa. "Tapi apakah benar orang yang kita cari pergi ke

sana?!"

 "Pendekar 131 adalah sahabat pemuda buntung

itu! Sedangkan aku pernah menemukannya di kuil Itu!

Jadi benar kemungkinan orang yang kita cari memang

pergi ke sana!"

 Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa melang-

kah dan berhenti di samping Ratu Pemikat. "Urusanmu

dengan dirinya sudah selesai! Sekarang biar aku sele-

saikan urusanku dengannya!"

 Ratu Pemikat mendebat lalu berbisik. "Harap tahan

dahulu urusanmu. Tidak tertutup kemungkinan ucapan

pemuda itu dusta...!"

 "Keparat! Rencana busuk apa yang ada dalam be-

nakmu?!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.

 "Kau masih terlalu menaruh curiga padaku! Dengar. 

Dia kita buat tidak bisa ke mana-mana sebelum kita 

buktikan kebenarannya ucapannya! Dia adalah sahabat 

Pendekar 131. Dengan tidak munculnya dia, setidaknya 

Pendekar 131 akan mencari! Apalagi dia berkata 

menunggu seseorang. Besar kemungkinan yang

ditunggu adalah Pendekar 131!"

 'Benar atau tidak ucapannya, Pendekar 131 atau

bukan orang yang ditunggu, tak ada hubungannya 

denganku, sedang jelas aku harus membawa penggalan 

kepalanya “


"Kau salah besar! Justru di sinilah hubunganmu

dengan urusan kitab itu!"

 "Aku tak mengerti maksudmu!'' kata Iblis Rangkap

Jiwa masih dengan suara keras.

 "Di sini bukan tempat yang baik untuk menerangkan! 

Harap kau tidak terlalu berburuk sangka padaku....Untuk 

sementara ini biar aku urus pemuda itu!"

 Setelah tersenyum pada Iblis Rangkap Jiwa, Ratu

Pemikat mendadak hentakkan kedua tangannya di atas

tanah. Tanah itu langsung muncrat bertabur ke udara

tinggalkan lobang menganga.

 Ratu Pemikat angkat kedua tangannya. Serta-merta 

disentakkan pada lobang yang menganga.

 Untuk kedua kalinya dari lobang yang telah menganga 

terlihat hamburan tanah, membuat lobang di atas tanah 

makin besar dan dalam.

 Belum sampai hamburan tanah lenyap, Ratu Pemikat 

telah berkelebat ke arah Dewa Orok. Dengan enak saja 

perempuan ini cekal kaki kanan Dewa Orok lalu 

diseretnya mendekati lobang yang menganga.

 Begitu tepat di hadapan lobang, Ratu Pemikat sen-

takkan cekatannya pada kaki Dewa Orok. Maka tak 

ampun lagi tubuh Dewa Orok jatuh ke dalam lobang.

 "Gila! Apa yang skan kau lakukan padaku?! Bu-

kankah aku telah katakan apa yang kau tanyakan?!" seru

Dewa Orok. Tubuh pemuda ini sekarang tidak kelihatan 

lagi. Yang terlihat di atas tanah adalah bagian leher dan 

kepalanya!

 Ratu Pemikat tidak menyahut ucapan Dewa Orok. 

Sebaliknya perempuan ini cepat gerakkan kakinya me-

nutup lobang dengan tanah yang a ia di sekitarnya.'

 Begitu tubuh Dewa Orok telah tertanam dalam tanah 

dan hanya menyisakan Leher dan kepalanya. Ratu


Pemikat angkat bicara.

 "Pertama kali jumpa sudah kukatakan padamu bahwa 

aku tidak mudah dikelabui orang sepertimu! Selamat 

tinggal!"

 Ratu Pemikat putar tubuh. Lalu melompat ke arah Iblis 

Rangkap Jiwa yang sedari tadi hanya memandang apa 

yang dilakukan Ratu Pemikat.

 "Kita segera menuju pantai timur!"

 Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut juga tidak membuat 

gerakan apa-apa.

 "Kau tak perlu khawatir. Kalaupun kita terlambat

datang ke tempat ini lagi, mungkin nyawanya sudah

putus!"

 "Kalau ada orang yang menolong?!" Iblis Rangkap

Jiwa akhirnya buka mulut.

 "Tempat ini sepi. Kalanpun ada yang lewat, kebanya-

kan adalah binatang buas. Lain daripada itu, kalau tidak 

lewat di sekitar lobang itu, tidak mungkin orang dapat 

melihatnya, karena di sekitar tempat ini banyak batu-batu 

besar!"

 "Tapi dia masih bisa berteriak!"

 Ratu Pemikat sunggingkan senyum. "Sengaja jalan

suaranya tidak kututup. Tapi kau tak perlu cemas, sekuat 

apa pun tenaga yang dimiliki, tidak mungkin dia kuasa 

berteriak terus menerus sehari semalam!"

 Sebenarnya iblis Rangkap Jiwa masih hendak angkat 

bicara. Namun sebelum suaranya terdengar, Ratu

Pemikat telah menarik tangannya hingga mau tak mau

sosok iblis Rangkap Jiwa ikut bergerak.

 "Tunggu!" teriak Dewa Orok. "Dotku! Kembalikan

dahulu dotku!"

Tapi Ratu Pemikat seolah tidak mendengar teriakan 

Dewa Orok. Dia terus berkelebat sambil menarik tangan 

Iblis Rangkap Jiwa.


"Dotku! Dotku! Wsna dotku!" Dewa Orok terus ber-

teriak meski sosok Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa 

sudah tidak kelihatan lagi!



                               SELESAI









Share:

0 comments:

Posting Komentar