..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 06 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE TABIR PETA SHAOLIN

JOKO SABLENG EPISODE TABIR PETA SHAOULIN

 SATU



PUNCAK Bukit Toyongga laksana dibungkam ta-

ngan setan. Tidak ada yang buka suara atau membuat 

gerakan. Hanya ada beberapa mata yang saling lontar 

dengan pandangan curiga. Lalu tampak wajah-wajah 

tegang.

Seperti diketahui, di puncak Bukit Toyongga telah 

berkumpul Yang Mulia Baginda Ku Nang, Panglima 

Muda Lie, dan putrinya Mei Hua. Lalu Bayangan Tan-

pa Wajah, Ratu Selendang Asmara, dan murid tunggal-

nya Dewi Bunga Asmara. Di seberang lain tampak 

Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Pendekar 

Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Di seberang kanan 

terlihat Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan, 

dan perempuan bercadar hitam.

Saat itu Hantu Pesolek yang memegang kantong pu-

tih berisi separo peta wasiat memperhatikan silih ber-

ganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Guru Be-

sar Liang San. Kedua orang ini memegang sebuah ge-

lang agak besar yang bentuk dan warnanya sama.

“Bagaimana ini bisa terjadi?!” Hantu Pesolek mem-

batin lalu berkipas-kipas. Rambutnya berkibar-kibar. 

Bibirnya yang merah sunggingkan senyum.

“Kalau ada dua benda sama bentuk dan warnanya, 

tentu salah satunya palsu! Berarti ada yang tak beres 

dengan kedua orang itu!” Diam-diam murid Pendeta 

Sinting juga membatin.

“Hantu Pesolek!” mendadak Baginda Ku Nang buka 

suara. “Serahkan kantong itu padaku! Separo peta wa-

siat telah berada di tanganku!”

“Serahkan padaku!” Guru Besar Liang San menya-

hut. “Akulah yang memegang separo peta wasiat itu!”


Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi 

ke udara tunjukkan gelang agak besar.

“Aku memang berjanji akan serahkan kantong beri-

si separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki 

separonya lagi. Tapi tidak kusangka kalau ada dua 

orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya 

lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang 

berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Se-

mentara aku tidak mau memberikan pada orang yang 

memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memi-

liki peta asli!”

Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling 

pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan 

gelang di tangan lainnya.

“Baginda Ku Nang!” Guru Besar Liang San angkat 

bicara dahulu. “Jangan kau mempersulit diri dengan 

tunjukkan barang palsu!”

Sang Baginda tersenyum dingin. “Kau yang mem-

persulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang 

palsu!”

Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya 

berkata. “Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah 

Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di 

mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!”

“Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengeta-

huanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh 

yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-

diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Gu-

ru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok un-

tuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang 

mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa 

memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau la-

kukan?!” Sang Baginda hentikan ucapannya sambil 

tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan.


Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi 

ke udara tunjukkan gelang agak besar.

“Aku memang berjanji akan serahkan kantong beri-

si separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki 

separonya lagi. Tapi tidak kusangka kalau ada dua 

orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya 

lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang 

berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Se-

mentara aku tidak mau memberikan pada orang yang 

memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memi-

liki peta asli!”

Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling 

pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan 

gelang di tangan lainnya.

“Baginda Ku Nang!” Guru Besar Liang San angkat 

bicara dahulu. “Jangan kau mempersulit diri dengan 

tunjukkan barang palsu!”

Sang Baginda tersenyum dingin. “Kau yang mem-

persulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang 

palsu!”

Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya 

berkata. “Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah 

Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di 

mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!”

“Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengeta-

huanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh 

yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-

diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Gu-

ru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok un-

tuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang 

mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa 

memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau la-

kukan?!” Sang Baginda hentikan ucapannya sambil 

tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan.


“Tidak, Guru Besar! Aku telah menghitung apa 

langkahmu selanjutnya! Aku telah memalsukan isi ge-

lang itu lalu kuserahkan padamu dan kita simpan ber-

sama-sama di satu tempat....”

Ucapan Baginda Ku Nang membuat semua orang di 

puncak Bukit Toyongga jadi melengak kaget.

“Tidak mungkin! Mataku tak bisa ditipu! Ini gelang 

yang asli!” desis Guru Besar Liang San seraya tarik pu-

lang tangan kanannya dari atas udara. Gelang di tan-

gannya disentakkan mendekat pada wajahnya.

“Apanya yang tak mungkin?! Kau tentu masih ingat, 

Guru Besar!” Berkata sang Baginda. “Gelang yang kita 

ambil dari Perguruan Shaolin berada di tanganku se-

lama tiga hari tiga malam. Tiga hari sudah terlalu cu-

kup bagiku untuk membuat yang sama tapi palsu! 

Ha.... Ha.... Ha...!”

“Aku tidak percaya!” dengus Guru Besar Liang San.

“Jika demikian, mengapa tidak kau buktikan saja?!”

“Benar! Aku memang butuh bukti siapa pemegang 

separo peta yang asli! Aku tak mau salah memberi!” 

Hantu Pesolek menimpali ucapan Baginda Ku Nang.

Guru Besar Liang San sengatkan pandang matanya 

pada sang Baginda. Tanpa buka suara lagi tangan kiri 

kanannya segera pegang erat-erat gelang baja. Lalu di-

tarik. Gelang baja putus tanggal menjadi dua! Lalu ter-

lihat sebuah gulungan kain di dalam batangan gelang 

yang telah putus.

Tampang Guru Besar Liang San berubah makin te-

gang. Kedua tangannya bergetar. Meski di dalam ba-

tangan gelang terlihat gulungan kain berwarna putih, 

namun putusnya gelang membuat dada laki-laki ber-

kepala gundul ini berdebar-debar tidak enak. “Kalau 

gelang ini asli, tidak mungkin putus begitu saja.... 

Jangan-jangan gelang ini memang telah dipalsukan!”


Walau telah menduga begitu, namun seolah ingin 

yakinkan diri, perlahan-lahan Guru Besar Liang San 

ambil gulungan kain putih dari batangan gelang. “Ka-

lau peta ini palsu, kainnya akan robek jika kutarik!” 

kata Guru Besar Liang San dalam hati. Saat lain kedua 

tangannya telah pegang bagian ujung gulungan kain.

Brettt!

Sekali sentak, gulungan kain berwarna putih telah 

robek menjadi dua bagian!

“Peta ini benar-benar yang palsu!” desis Guru Besar 

Liang San. Tanpa memeriksa lagi, tanggalan gelang 

dan robekan kain di tangan kiri kanannya dicampak-

kan ke tanah. Patahan gelang langsung masuk amblas 

lenyap ke dalam tanah!

“Kau telah menipuku!” teriak Guru Besar Liang San 

seraya tunjukkan tangan kiri ke arah batok kepala 

Yang Mulia Baginda Ku Nang.

Yang ditunjuk tertawa panjang. “Manusia yang be-

rani korbankan nyawa saudara serta mengkhianati 

perguruannya bukan hanya layak ditipu, tapi sudah 

tidak pantas berada di atas bumi!”

Rahang Guru Besar Liang San mengembung besar. 

Sosoknya berguncang keras. Sekali membuat gerakan, 

sosoknya telah melesat ke arah Baginda Ku Nang den-

gan kedua tangan siap lepaskan pukulan!

Namun sebelum Guru Besar Liang San bertindak 

lebih jauh, Hantu Pesolek sudah bergerak mengha-

dang.

Bukkk! Bukkkk!

Terdengar benturan keras. Kelebatan sosok Guru 

Besar Liang San terhenti dengan kedua tangan terpen-

tal ke udara. Di depannya Hantu Pesolek tegak dengan 

kipas bergoyang-goyang.

Walau parasnya yang elok berubah, namun dengan


bibir tersenyum, Hantu Pesolek berkata.

“Apa pun yang telah kau lakukan, kau gagal mem-

buktikan jika kau pemegang peta yang asli! Harap kau 

sadar! Dan untuk keselamatanmu, kusarankan agar 

segera tinggalkan tempat ini!”

Saking marahnya tanpa pikir panjang lagi Guru Be-

sar Liang San cepat melompat ke depan. Hampir se-

paro tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangan.

Lalu menghantam ke arah kepala Hantu Pesolek yang 

telah halangi niatnya.

Hantu Pesolek angkat tangan kirinya. Kipas di tan-

gan kanannya disentakkan menyongsong.

Bukkkkk!

Praakkk!

Benturan keras terdengar lagi kala tangan kanan 

Guru Besar Liang San bentrok dengan tangan kiri 

Hantu Pesolek. Disusul dengan terdengarnya benda 

patah.

Tubuh Guru Besar Liang San dan Hantu Pesolek 

tersurut dua langkah. Tangan kiri kanan Guru Besar 

Liang San langsung bengkak merah. Di lain pihak ki-

pas di tangan kanan Hantu Pesolek patah jadi tiga ba-

gian!

Hantu Pesolek cepat tarik pulang tangan kanannya. 

Tiba-tiba dia menghantam.

Wuuttt!

Kipas yang telah patah jadi tiga melesat laksana 

anak panah ke arah tiga bagian tubuh Guru Besar 

Liang San!

Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. 

Meski yang menggebrak ke arahnya hanyalah patahan 

kipas, namun patahan itu telah dimuati tenaga dalam 

dahsyat. Hingga begitu tiga patahan kipas berkelebat, 

Guru Besar Liang San lepaskan pukulan jarak jauh se


raya membuat gerakan jungkir balik di atas udara.

Dua gelombang keras menderu. Dua patahan kipas 

berhasil disapu mental. Namun Guru Besar Liang San 

gagal menghalangi satu patahan lainnya. Hingga tanpa 

ampun lagi patahan satu itu terus menerabas.

Guru Besar Liang San berseru tertahan tatkala me-

layang turun dan mendapati patahan kipas telah me-

nancap di pundak kanannya dan kucurkan darah!

Orang nomor satu di Perguruan Shaolin ini cepat to-

tok daerah sekitar di mana patahan kipas menancap. 

Lalu sekali sentak, patahan kipas telah tercabut dan 

disentakkan kembali. Bukan ke arah Hantu Pesolek, 

melainkan ke arah Baginda Ku Nang!

Sang Baginda yang telah waspada tekuk kaki ka-

nannya. Tangan kirinya berkelebat. Satu gelombang 

dahsyat berkiblat.

Wuusss!

Patahan kipas berlumur darah yang baru saja me-

nancap di pundak kanan Guru Besar Liang San tersa-

pu amblas dan langsung berantakan di udara!

Begitu menghadang lesatan kipas, Baginda Ku Nang 

terus berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak di hada-

pan Hantu Pesolek dengan tangan meminta dan berka-

ta.

“Kau sudah tahu mana yang asli dan mana yang 

palsu! Jangan kau ingkar dengan ucapan janjimu! Se-

rahkan separonya lagi padaku!”

Meski masih merasakan nyeri pada lengannya aki-

bat bentrok dengan Guru Besar Liang San, Hantu Pe-

solek gerak-gerakkan kedua tangannya seolah melam-

bai. Lalu angkat suara.

“Aku tidak akan ingkar janji! Tapi kalau Guru Besar 

Liang San telah memegang peta palsu, bukan tak 

mungkin di tanganmu juga palsu! Dan tidak mustahil


pula masih ada orang di tempat ini yang punya peta 

palsu juga! Padahal aku butuh orang yang memegang 

peta asli!”

“Aduh.... Bagaimana ini?! Jangan-jangan aku yang 

tertipu!” Tiba-tiba terdengar suara seruan mengeluh. 

Yang berseru ternyata Dewa Cadas Pangeran.

Orang yang pertama kali berpaling adalah Dewa 

Asap Kayangan yang berada tidak jauh di sampingnya.

“Hem.... Begitu?! Ucapanmu menunjukkan satu hal. 

Kau juga memegang peta!” Berkata Dewa Asap Kayan-

gan seraya kepulkan asap dari pipa di mulutnya.

Dewa Cadas Pangeran masukkan tangan kanan ke 

balik pakaiannya. Semua orang di tempat itu mendelik 

memperhatikan dengan hati sama menduga-duga. Tapi 

saat lain terdengar beberapa gumaman ketika tangan 

kanan Dewa Cadas Pangeran ditarik keluar dan ter-

nyata tidak memegang apa-apa!

“Sontoloyo! Kukira dia punya gelang juga!” gumam 

Pendekar 131 lalu arahkan pandang matanya pada 

Hantu Pesolek. Saat bersamaan, kepala semua orang 

di tempat itu juga segera berpaling.

Saat itulah, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan 

suara lagi.

“Sahabatku Dewa Asap Kayangan...! Coba kau lihat, 

apakah ini juga palsu?”

Serta-merta semua kepala di tempat itu kembali 

bergerak ke arah Dewa Cadas Pangeran. Semua mata 

tampak membeliak memperhatikan tak berkedip pada 

sebuah gelang baja di tangan kiri Dewa Cadas Pange-

ran! Gelang itu sama persis dengan gelang yang ada di 

tangan Baginda Ku Nang dan gelang yang tadi patah di 

tangan Guru Besar Liang San!

“Ucapanku benar, bukan?!” ujar Hantu Pesolek. Wa-

lau pemuda berkebaya ini sempat unjukkan muka terkejut, namun segera tersenyum meski dalam hati dia 

berkata. “Urusan di tempat ini ternyata tidak se-

mudah yang kuduga! Bagaimana aku bisa memastikan 

mana yang benar-benar asli?! Dan tidak tertutup ke-

mungkinan masih ada orang yang memegang gelang 

seperti itu!” Sepasang mata Hantu Pesolek menyapu 

berkeliling seolah ingin tahu siapa saja yang masih 

memegang gelang seperti yang kini berada di tangan 

kiri Dewa Cadas Pangeran.

Di lain pihak, Baginda Ku Nang juga membatin. 

“Sialan betul! Bagaimana ini bisa terjadi?! Jangan-

jangan gelang di tanganku ini juga palsu! Tapi tak 

mungkin! Aku langsung menerimanya malam itu dari

tangan Guru Besar Liang San di Perguruan Shaolin....”

Meski telah membatin begitu, namun Yang Mulia 

Baginda Ku Nang masih didera perasaan bimbang dan 

gelisah.

“Bagaimana...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran sam-

bil gerak-gerakkan gelang di tangan kirinya ditunjuk-

kan pada Dewa Asap Kayangan.

Dewa Asap Kayangan semburkan asap pipanya pa-

da gelang di tangan Dewa Cadas Pangeran. Untuk be-

berapa saat gelang itu terbuntal asap putih.

“Meski aku tidak membukanya, aku bisa mengata-

kan satu hal. Gelang berisi peta di tanganmu adalah 

asli!” kata Dewa Asap Kayangan.

Belum habis ucapan Dewa Asap Kayangan, Dewa 

Cadas Pangeran telah tarik pulang tangan kirinya. Se-

kali gerak, tangan kirinya telah menyelinap dan gelang 

baja tidak terlihat lagi!

“Aku harus segera tahu mana yang asli dan mana 

yang palsu! Jika tidak, urusan di tempat ini akan ber-

larut-larut!”

Membatin begitu, Hantu Pesolek segera angkat bicara.

“Baginda...! Kalau kau tidak ingin kedatanganmu 

sia-sia, lekas perlihatkan kalau gelang di tanganmu 

adalah yang asli!”

Sang Baginda terdiam. Sikapnya tampak ragu-ragu. 

Saat itulah Dewa Cadas Pangeran berucap.

“Mendiang Guru Besar Pu Yi adalah sahabat baik-

ku. Sahabatku itu bukanlah orang yang mudah di-

kibuli, apalagi dikhianati.... Sebelum terjadinya peris-

tiwa berdarah di Perguruan Shaolin, dia telah menye-

rahkan gelang padaku! Jadi gelang yang lenyap saat 

peristiwa terjadi adalah gelang palsu....”

Habis berucap begitu, Dewa Cadas Pangeran mem-

buat gerakan berkelebat dan tegak di depan Hantu Pe-

solek. Batu di depan wajahnya bergerak-gerak. Namun 

masih sanggup menutupi mukanya.

“Sahabatku Hantu Pesolek.... Aku tidak minta kau 

serahkan kantong putih di tanganmu padaku. Karena 

kalau gelang berisi separo peta wasiat saja bisa dipal-

sukan, kurasa tidak sulit juga memalsukan kantong 

putih seperti yang ada padamu....”

Tampang Hantu Pesolek berubah sesaat. “Hem.... 

Jangan-jangan dia tahu...,” desisnya dalam hati. Lalu 

berkata seraya tersenyum.

“Ucapanmu benar! Memang tidak sukar memalsu-

kan kantong seperti yang ada padaku. Tapi aku yakin 

di tempat ini tidak ada yang memiliki kantong putih 

seperti yang ada padaku!” Mata Hantu Pesolek menya-

pu berkeliling.

Dan begitu ditunggu agak lama tidak ada yang buka 

suara menyahut atau memperlihatkan sesuatu, kete-

gangan di wajah Hantu Pesolek sirna. Dia tengadah 

dengan mulut hendak angkat bicara.

Tapi sebelum suaranya terdengar, satu suara telah


mendahului.

“Aku ingin mengatakan satu hal. Aku memiliki kan-

tong putih!”

Semua orang berpaling pada Dewa Asap Putih yang 

baru saja perdengarkan suara. Tapi yang tampak pal-

ing heran dan terkejut besar adalah Pendekar 131 Jo-

ko Sableng.

“Busyet! Bagaimana urusan ini bisa ruwet begini 

rupa?! Belum tuntas urusan gelang mana yang palsu 

dan yang asli, sekarang ada dua kantong! Aku pernah 

memegangnya.... Tapi aku tak bisa menentukan mana 

yang dulu ada di tanganku! Lagi pula aku tidak yakin 

benar kalau Dewa Cadas Pangeran telah diberi gelang 

oleh Guru Besar Pu Yi. Kalau betul, Guru Besar Pu Yi 

pasti memberitakan padaku saat bertemu dahulu!” Jo-

ko berpikir. Matanya terus pandangi tangan kanan 

Dewa Asap Kayangan yang ternyata telah memegang 

sebuah kantong putih yang bentuk dan warnanya sa-

ma persis dengan kantong putih di tangan Hantu Peso-

lek.

Selagi murid Pendeta Sinting berpikir, mendadak 

Dewa Asap Kayangan melangkah ke arah Joko. Dia 

berhenti enam langkah di depan Joko. Tangan kanan-

nya yang memegang kantong putih diluruskan pada 

Pendekar 131 dan berkata.

“Anak muda.... Kau tak perlu mungkir! Kau pernah 

memegang kantong putih asli yang berisi separo peta 

wasiat! Sekarang kau harus berkata benar serta mau 

tunjukkan mana kantong putih yang asli dan mana 

yang palsu!”

Meski merasa yakin di tangan Hantu Pesolek adalah 

yang asli karena kantong itu diambil dari dirinya, na-

mun Pendekar 131 tidak mau berterus terang. Dia 

anggukkan kepala lalu berkata.


“Aku memang pernah memegang kantong putih!

Jadi aku tahu mana yang asli dan mana yang palsu....” 

Joko berpaling pada Hantu Pesolek. Lalu lanjutkan 

ucapan.

“Hantu Pesolek.... Kau mengambil kantong itu dari 

tanganku! Harap kau tidak kecewa kalau kukatakan 

jika kantong itu telah kupalsukan! Dan kantong yang 

asli kutitipkan pada Kakek sahabatku itu!” Tangan ka-

nan murid Pendeta Sinting menunjuk pada Dewa Asap 

Kayangan.


DUA



SAKING kagetnya, hampir saja kaki Hantu Pesolek 

tersurut ke belakang. Tampangnya mirip seperti waktu 

Guru Besar Liang San tahu kalau gelang di tangannya 

adalah palsu. “Apakah benar ucapan pemuda asing 

itu?!” Hantu Pesolek gelisah dengan dada berdebar. 

Dan entah karena apa, tangan kirinya segera menyeli-

nap ke balik pakaiannya. Lalu ditarik keluar lagi den-

gan menghela napas panjang.

“Tampangmu menunjukkan kau tidak percaya...,” 

ujar Joko seraya tertawa. “Itu boleh saja dan urusan-

mu! Tapi agar kau lebih yakin, tidak ada salahnya ka-

lau kau buka kantong itu!”

“Betul! Agar semuanya jadi jelas! Dan tidak ada 

yang merasa dirugikan di tempat ini!” Menyahut Dewa 

Cadas Pangeran.

“Kau yang buka kantong dahulu!” kata Hantu Peso-

lek pada Dewa Asap Kayangan.

Dewa Asap Kayangan geleng kepala. “Kau yang per-

tama kali tunjukkan kantong! Kau juga yang harus 

buka terlebih dahulu!”

“Benar! Yang menunjukkan pertama harus juga 

membuka dahulu! Dengan begitu, kuharap Yang Mulia 

Baginda Ku Nang sudi membuka gelang di tangan-

nya.... Bukannya aku ingin menjatuhkan. Ini semua 

demi jelasnya urusan!” Dewa Cadas Pangeran timpali 

kata-kata Dewa Asap Kayangan.

Baik Hantu Pesolek maupun Baginda Ku Nang sa-

ma tegak diam tidak membuat gerakan atau sambuti 

ucapan orang.

“Hantu Pesolek! Kau tadi berani meminta Guru Be-

sar Liang San untuk membuktikan keaslian benda di 

tangannya. Sekarang mengapa kau sendiri terlihat ta-

kut untuk membuktikan keaslian benda di tangan-

mu?!” Joko berucap.

“Siapa takut?!” sentak Hantu Pesolek panas men-

dengar ucapan murid Pendeta Sinting. Diangkat tan-

gannya yang memegang kantong. “Terus terang saja.... 

Kantong yang kalian lihat ini adalah palsu!” Hantu Pe-

solek campakkan kantong di tangannya. Lalu lan-

jutkan ucapan.

“Aku tahu bagaimana watak orang dunia persilatan. 

Untuk itulah aku terpaksa melakukan ini!”

“Jahanam! Kau berani berkata dusta dan menipu!” 

Baginda Ku Nang berteriak. Kalau saja Panglima Muda 

Lie tidak segera mencegah, tentu sang Baginda sudah 

berkelebat dan lepaskan pukulan.

Sementara Hantu Pesolek tampak tenang-tenang 

saja. Malah saat lain dia berkata.

“Hantu Pesolek tidak akan pernah berkata dusta 

atau menipu!”

Tangan kanan Hantu Pesolek menyelinap ke balik 

pakaiannya. Lalu tampaklah sebuah kantong putih 

yang baik warna dan bentuknya sama persis dengan 

kantong yang baru saja dicampakkan serta kantong


yang berada di tangan kanan Dewa Asap Kayangan.

“Busyet! Hampir saja aku terkecoh!” kata Joko da-

lam hati. Lalu memandang ke arah Dewa Asap Kayan-

gan. Belum sampai orang tua yang selalu mengisap pi-

pa buka suara, Hantu Pesolek telah angkat bicara.

“Dewa Asap Kayangan! Sekarang giliranmu membu-

ka kantong! Karena aku telah turuti permintaanmu!”

“Bagaimana bisa begitu?! Kau harus paham satu 

hal. Misteri kantong di tanganmu belum tersingkap. 

Bukan tidak mungkin kau masih memiliki kantong 

lain. Setelah semua kantongmu kau ungkap, baru tiba 

giliranku! Kalau kau tidak mau, aku tidak sudi mem-

buka kantongku! Yang jelas, pemuda sahabatku itu te-

lah mengatakan kantongkulah yang asli....”

Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berpal-

ing pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata.

“Sahabatku Dewa Cadas Pangeran. Sudah saatnya 

kita tinggalkan tempat ini. Kita sama-sama memegang 

peta yang asli. Untuk apa lagi kita berada di sini?! Bu-

kankah kehadiranmu di tempat ini hanya untuk men-

getahui siapa sebenarnya yang memegang separo dari 

peta wasiat di tanganmu?!”

“Ah.... Benar juga! Tapi agar perjalanan kita lebih 

asyik, apakah tidak kita pilih saja salah seorang pe-

rempuan di antara yang hadir di tempat ini? Kau bawa 

satu aku bawa satu...!”

“Usulan hebat!” ujar Dewa Asap Kayangan. Orang 

tua ini arahkan pandang matanya berkeliling pada sa-

tu persatu perempuan di tempat itu. Saat lain dia ang-

kat tangan kanannya yang memegang kantong lalu 

menunjuk ke arah perempuan bercadar hitam yang 

tadi tegak tidak jauh dari tempatnya!

“Aku pilih dia!”

Sepasang mata perempuan bercadar hitam langsung mendelik angker. Namun dia tidak sambuti sikap 

Dewa Asap Kayangan.

Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran putar tubuh-

nya setengah lingkaran dan berhenti tepat menghadap 

Ratu Selendang Asmara yang tegak berdampingan 

dengan murid tunggalnya Dewi Bunga Asmara! Tangan 

kanannya menunjuk lurus ke arah si nenek dan beru-

jar keras.

“Selera manusia memang beda. Dan harap kau ti-

dak keberatan kalau aku jatuhkan pilihan pada nenek 

cantik itu, sahabatku Dewa Asap Kayangan....”

Dewa Asap Kayangan tertawa bergelak. “Aku tidak 

boleh menghalangi pilihan orang, apalagi kau adalah 

sahabatku! Hanya saja, kalau aku boleh mengatakan 

satu hal. Apa tidak lebih baik yang muda saja?! Perja-

lanan yang kita tempuh bukan perjalanan pendek. Di-

butuhkan tenaga dan tubuh yang kuat!”

“Di sini memang banyak perempuan muda dan can-

tik. Tapi aku masih yakin, nenek itu mampu meng-

iringi perjalanan kita!”

“Keparat! Siapa sudi pergi bersamamu?!” Ratu Se-

lendang Asmara berteriak marah. “Lagi pula aku tidak 

percaya gelang di tanganmu adalah yang asli!”

“Nek.... Kurasa perjalanan ini tidak ada kaitannya 

dengan peta itu.... Kita melakukan perjalanan berse-

nang-senang....” Dewa Asap Kayangan menyahut.

Habis berkata begitu, orang tua yang selalu meng-

isap pipa ini melangkah ke arah perempuan bercadar 

hitam. Sementara Dewa Cadas Pangeran tenang-

tenang juga bergerak ke arah Ratu Selendang Asmara!

“Kita selesaikan dulu urusan peta itu!” Hampir ber-

samaan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang berseru.

Laksana dikomando, Dewa Asap Kayangan dan De-

wa Cadas Pangeran hentikan langkah masing-masing.


“Bagaimana enaknya?!” bisik Dewa Asap Kayangan.

“Sekarang kau pilih saja. Kau berat peta itu atau 

berat jalan bersenang-senang ini?!” Dewa Cadas Pan-

geran menjawab.

“Kalau kau pilih yang mana?!” Dewa Asap Kayangan 

balik bertanya.

Dewa Cadas Pangeran berpikir sesaat. Lalu bergu-

mam keras.

“Usia kita telah di ambang kubur. Meski di tangan 

kita ada peta wasiat, apa gunanya?! Kita tidak bisa 

mengambil apa-apa dari peta wasiat itu! Lain halnya 

kalau kita pilih melakukan kesempatan bagus seperti 

sekarang ini?!”

“Hem.... Begitu?! Lalu apa yang harus kita laku-

kan?!”

Dewa Cadas Pangeran tidak menjawab. Sebaliknya 

memutar tubuh menghadap Pendekar 131. Lalu me-

lakukan hal yang sama sekali tidak diduga oleh semua 

orang di tempat itu!

Tangan kiri Dewa Cadas Pangeran yang memegang 

gelang baja berkelebat lemparkan gelang baja pada 

murid Pendeta Sinting!

Belum habis rasa kejut semua orang di puncak bu-

kit, tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ikut-ikutan lempar-

kan kantong putih yang ada di tangan kanannya!

Karena terkesima dan tidak menduga, apa pun yang 

dilakukan orang di tempat itu, sudah sangat terlambat 

untuk melakukan hadangan menyambar gelang baja 

dan kantong putih yang kini tengah melesat ke arah 

murid Pendeta Sinting!

Di lain pihak, tanpa menunggu lama lagi, Joko se-

gera berkelebat. Kedua tangannya menyambar gelang 

baja dan kantong putih.

“Anak muda.... Kantong itu kukembalikan padamu.


Dan sampai di sini saja pertemuan kita! Sampaikan 

salamku untuk gadis cantik yang jalan bersama kita 

kemarin....” Dewa Asap Kayangan berkata seraya ha-

dapkan wajahnya pada Dewi Bunga Asmara.

Paras Dewi Bunga Asmara bersemu merah. Namun 

Ratu Selendang Asmara tampak cemberut dan pasang 

tampang angker. Nenek ini segera berbisik pada mu-

ridnya.

“Bang Sun Giok! Aku tak suka kau menjalin hubu-

ngan dengan pemuda itu! Aku tak suka! Kau dengar?!”

Dengan melirik pada Pendekar 131, Bang Sun Giok 

alias Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala.

“Bagus! Tapi ingat! Sekali aku melihat atau telinga-

ku dengar kau bersama pemuda itu, kau akan tahu 

akibatnya!” kata Ratu Selendang Asmara pula.

“Anak muda....” Kini Dewa Cadas Pangeran yang 

angkat bicara. “Gelang itu kuserahkan padamu! Uru-

san selanjutnya kau yang punya! Tapi sebelum aku 

angkat kaki dari sini, boleh aku tahu sesuatu?!”

Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala dengan 

pandangi gelang dan kantong di tangan kanan kirinya.

“Sikap gadis cantik yang tegak di samping nenek 

itu, serta pandang matamu menunjukkan kalian me-

nyimpan sesuatu. Kau naksir padanya?!”

Pendekar 131 tergagu tak bisa menjawab. Di lain 

pihak, Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah 

dengan dada berdebar. Namun diam-diam gadis muda 

berparas cantik ini pasang telinga baik-baik ingin den-

gar jawaban murid Pendeta Sinting.

Di lain tempat, Mei Hua yang berada di samping 

ayahnya, Panglima Muda Lie tegak mematung dengan

dada berguncang. Diam-diam gadis yang menyukai 

Joko ini coba menahan perasaan dan menunggu de-

ngan alihkan pandangan ke jurusan lain.


“Aku telah melihat sendiri bagaimana pemuda itu 

bermesraan dengan gadis murid Ratu Selendang As-

mara.... Tapi mengapa aku masih saja tidak kuasa un-

tuk membencinya?!” Mei Hua membatin.

Kalau sikap Mei Hua tampak gelisah, di lain tempat, 

perempuan bercadar hitam juga terlihat resah begitu 

mendengar pertanyaan Dewa Cadas Pangeran yang ti-

dak segera dijawab oleh murid Pendeta Sinting. Dia 

lontarkan pandangan pada Joko lalu beralih ke arah 

Dewi Bunga Asmara. Dia menghela napas panjang be-

berapa kali seolah tidak sadar menunggu Joko buka 

mulut.

“Anak muda.... Aku sudah ajukan tanya. Kau tadi 

sudah anggukkan kepala. Mengapa kau tidak segera 

memberi jawaban?!” Dewa Cadas Pangeran berkata.

“Sialan benar! Bagaimana aku harus menjawabnya 

di depan banyak orang begini rupa?! Sementara aku 

merasa Mei Hua amat cemburu pada Dewi Bunga As-

mara! Dan Bidadari Bulan Emas tampaknya juga tidak 

suka! Hem....” Pendekar 131 Joko Sableng digelayuti 

berbagai perasaan. Hingga meski Dewa Cadas Pange-

ran telah bertanya lagi, namun dia belum juga buka 

mulut memberi jawaban.

“Anak muda.... Aku perlu jawabanmu! Kau tak usah 

malu-malu. Jika kau memang mencintainya, aku ber-

sedia melamar! Soalnya sebentar lagi aku akan berja-

lan-jalan dengan gurunya....”

“Kek! Ajukanlah seribu pertanyaan. Aku dengan se-

nang hati akan menjawab sebagai imbalan atas kese-

diaanmu memberikan gelang ini. Tapi jangan kau ber-

tanya yang ada hubungannya dengan urusan cinta....”

“Aku tahu.... Kau takut dengan nenek cantik ini!” 

Yang bicara Dewa Asap Kayangan. “Kau tak usah ta-

kut, Anak Muda.... Kalau sahabatku Dewa Cadas Pangeran bersedia melamar untukmu, aku menawarkan 

diri untuk merayu gurunya.... Kau tahu beres saja!”

“Kek! Aku ucapkan terima kasih atas pemberianmu 

dan tawaranmu. Hanya saja, urusan yang dikatakan 

Kakek Dewa Cadas Pangeran biarlah kuselesaikan 

sendiri....”

“Kau telah dengar jawabannya!” kata Dewa Asap 

Kayangan pada Dewa Cadas Pangeran. “Apa lagi yang 

kita tunggu?!”

Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepala. Batu pu-

tih yang selalu menutupi wajahnya bergerak-gerak. La-

lu orang ini memberi isyarat. Saat berikutnya Dewa 

Cadas Pangeran bergerak langkahkan kaki ke arah Ra-

tu Selendang Asmara. Sementara Dewa Asap Kayangan 

melangkah ke arah perempuan bercadar seraya ber-

siul-siul.

Baru saja Dewa Cadas Pangeran melangkah lima 

tindak, tiba-tiba Ratu Selendang Asmara telah angkat 

kedua tangannya lalu dihantamkan pada Dewa Cadas 

Pangeran, lepaskan pukulan jarak jauh.

“Mati aku!” seru Dewa Cadas Pangeran. Meski dia 

masih punya kesempatan untuk menghadang pukulan 

si nenek, tapi orang ini tidak berusaha menghadang 

pukulan yang menggebrak ke arahnya. Dia hanya te-

gak mematung seolah pasrah!

Setengah depa lagi gelombang pukulan Ratu Se-

lendang Asmara menghantam telak sosok Dewa Cadas 

Pangeran dan orang ini belum juga membuat gerakan, 

Dewa Asap Kayangan berseru.

“Usiamu memang telah mendekati liang kubur. Tapi 

tidak seharusnya kau sia-siakan begini rupa!”

Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Cadas Pange-

ran telah diseretnya lima langkah. Saat lain Dewa Asap 

Kayangan kembungkan mulut lalu menyembur.


Wuusss!

Terdengar deruan dahsyat. Gulungan asap putih 

berkiblat cepat lalu menghadang gelombang pukulan 

Ratu Selendang Asmara.

Blammm!

Bukit Toyongga bergetar. Sosok Ratu Selendang As-

mara terhuyung-huyung. Untung Dewi Bunga Asmara 

segera bertindak palangkan kedua tangannya di bela-

kang tubuh si nenek. Jika tidak, sosoknya pasti ter-

jengkang jatuh!

Di lain pihak, sosok Dewa Asap Kayangan bergerak 

pulang balik ke samping kiri kanan.

“Hai! Mengapa kau menari sendirian?!” Dewa Cadas 

Pangeran berseru. Lalu tenang-tenang saja mendekati 

Dewa Asap Kayangan. Sekali cekal, gerakan sosok De-

wa Asap Kayangan terhenti.

“Tampaknya kita gagal melakukan perjalanan ber-

senang-senang ini! Tapi tak ada salahnya kita me-

nunggu. Siapa tahu hati nenek cantik itu berubah!” 

kata Dewa Cadas Pangeran lalu menuntun Dewa Asap 

Kayangan.

“Perempuan bercadar hitam yang kau pilih itu tam-

paknya tidak merasa keberatan. Kita tunggu di dekat-

nya sampai hati nenek yang kupilih itu mencair!” Dewa 

Cadas Pangeran berkata lagi seraya arahkan langkah-

nya berbelok pada perempuan bercadar hitam.

“Hem.... Begitu?! Kau perlu tahu satu hal, Saha-

batku! Inilah akibatnya kalau kau salah memilih! Lain 

hari, kuharap kau pandai-pandai memandang sebelum 

jatuhkan pilihan!” Berkata Dewa Asap Kayangan sam-

bil menurut saja dibimbing Dewa Cadas Pangeran ke 

arah perempuan bercadar hitam.


TIGA


MUNGKINKAH yang ada di tanganku ini berisi peta 

wasiat yang asli?” Joko bertanya sendiri dalam hati 

sambil melirik pada tangan kanan kirinya yang meme-

gang gelang baja dan kantong putih.

Karena yang pernah berada di tangannya adalah 

kantong putih, Joko lebih perhatikan kantong putih 

yang ada di tangan kanannya.

“Sulit menentukan apakah kantong ini yang pernah 

berada di tanganku.... Bentuk dan warnanya sama!” 

Dia lalu arahkan pandangannya pada tangan kanan 

Hantu Pesolek yang juga memegang kantong putih.

“Hem.... Bagaimanapun juga aku masih yakin jika 

kantong di tangan Hantu Pesolek itulah yang asli!” 

Saat lain murid Pendeta Sinting ini memandang pada 

Yang Mulia Baginda Ku Nang yang memegang gelang 

baja.

“Kalau melihat gelang yang tadi ada di tangan Guru 

Besar Liang San adalah palsu, mungkin ucapan Ba-

ginda Ku Nang itu benar! Jadi gelang baja di tangan-

nya yang asli! Tapi.... Aku harus dapat menggunakan 

apa yang ada di tanganku ini untuk mendapatkan 

yang asli! Dua kakek itu memberikan gelang dan kan-

tong pasti dengan maksud tertentu! Aku harus dapat 

menggunakannya!”

Habis membatin begitu, Pendekar 131 memandang 

pada Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran 

yang telah tegak tidak jauh dari perempuan bercadar 

hitam. Lalu angkat bicara.

“Kakek berdua! Sekali lagi kuucapkan terima ka-

sih!” Joko menjura hormat. “Apakah kalian masih me-

nunggu nenek cantik itu?!”


“Ini urusanmu!” kata Dewa Asap Kayangan pada 

Dewa Cadas Pangeran. “Kau yang harus menjawab-

nya!”

“Anak muda.... Aku memang akan bersabar me-

nunggu! Menghadapi orang tua beda dengan mengha-

dapi orang muda! Harus perlahan-lahan dan sedapat 

mungkin lipat gandakan rayuan. Karena sebagai orang 

tua, tentu telah banyak makan asam garam pengala-

man, hingga tidak mudah untuk membuatnya percaya! 

Tapi kalau sudah percaya, kau mungkin tak bisa mem-

bayangkan dan kau pasti akan memilih orang tua se-

bagai pendamping hidup! Bukan gadis-gadis muda 

yang bukan saja mudah bertekuk lutut pada rayuan 

tapi juga masih berpindah hati pada orang lain....”

Tampang Ratu Selendang Asmara yang merasa ter-

sindir oleh ucapan Dewa Cadas Pangeran tampak me-

rah mengetam. Kalau saja dia tidak sadar tengah ber-

hadapan dengan siapa dan Dewi Bunga Asmara tidak 

cepat mencegah, pasti nenek ini telah melesat dan 

menggebuk Dewa Cadas Pangeran.

“Kalau begitu, kuucapkan selamat tinggal. Aku ha-

rus pergi dahulu!” kata Joko seraya selinapkan gelang 

baja dan kantong putih ke balik pakaiannya. Sebe-

narnya ucapan ini dikatakan murid Pendeta Sinting 

agar semua tahu bahwa dia bersungguh-sungguh akan 

pergi, meski sebenarnya ucapan itu hanya tipu musli-

hat.

“Soal lamaran itu bagaimana?!” tanya Dewa Cadas 

Pangeran.

“Juga soal rayu merayu nenek itu bagaimana?!” 

Dewa Asap Kayangan menimpali.

“Itu bisa kita bicarakan nanti kalau kita bertemu 

lagi...! Kuucapkan selamat bersenang-senang!”

Selagi Joko dan Dewa Cadas Pangeran serta Dewa


Asap Kayangan berbincang, Hantu Bulan Emas yang 

tegak tidak jauh dari muridnya Bidadari Bulan Emas 

berbisik.

“Menurutmu, mana yang asli?! Yang ada di tangan 

si pemuda atau yang ada di tangan Hantu Pesolek dan 

Baginda Ku Nang?!”

Yang ditanya geleng kepala. “Aku memang telah me-

nyelidik. Tapi yang kudapat cuma keterangan ciri-ciri 

di mana peta wasiat itu tersimpan. Anehnya, semua ci-

ri-ciri itu ada pada gelang baja dan kantong baik yang 

ada di tangan pemuda itu maupun yang ada di tangan 

Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang!”

Hantu Bulan Emas menghela napas panjang. “Tidak 

kuduga kalau terjadi hal seperti ini! Tapi aku hampir 

yakin yang asli berada di tangan pemuda itu!”

“Mengapa Guru menduga begitu?!” tanya Bidadari 

Bulan Emas.

“Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan 

bukanlah tokoh sembarangan. Tidak mungkin mereka 

berdua menyimpan barang palsu!”

“Tapi mengapa mereka memberikan pada pemuda 

itu?! Bukankah peta wasiat itu benda yang berharga?!”

“Itulah keanehan mereka! Mereka akan memberikan 

apa saja pada orang yang dikehendaki meski apa yang 

diberikan adalah benda berharga!”

Hantu Bulan Emas pandangi murid Pendeta Sin-

ting. “Aku harus melakukan sesuatu!”

“Tunggu!” tahan Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan 

Emas berpaling. Sekilas pandang dia sudah dapat 

membaca apa yang ada dalam benak muridnya.

“Kau tertarik pada pemuda itu?!” tanya Hantu Bu-

lan Emas.

Raut wajah Bidadari Bulan Emas berubah. Meski 

perempuan cantik ini tidak memberi jawaban, sangGuru tampaknya maklum. Dia segera berbisik.

“Peta wasiat itu lebih berharga dari tubuhnya! Kau 

harus ingat itu!”

“Tapi kita dapat menyelesaikannya dengan baik-

baik.... Harap serahkan urusan ini padaku!”

Hantu Bulan Emas geleng kepala. “Kau sudah ku-

serahi urusan ini. Namun buktinya kau gagal!”

“Kegagalanku karena ada pihak lain yang ikut cam-

pur! Lagi pula saat itu dia belum memegang peta wa-

siat!”

“Itu bukan alasan tepat! Yang jelas kau gagal mem-

bawa peta wasiat itu!”

“Guru.... Kumohon padamu kali ini... Serahkan 

urusan ini padaku! Aku berjanji akan membawa peta 

wasiat itu untukmu....”

“Hem.... Lalu apa yang akan kau lakukan?!”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi kali ini 

aku yakin bisa mendapatkannya.... Percayalah!” rajuk 

Bidadari Bulan Emas dengan wajah memelas.

Namun Hantu Bulan Emas seolah tidak pedulikan 

kecemasan muridnya. Dia gelengkan kepala dan berbi-

sik lagi.

“Aku akan selesaikan urusan dengan pemuda itu 

secara baik-baik. Tapi jika gagal, aku tahu apa jalan 

yang terbaik!”

“Guru...,” kata Bidadari Bulan Emas seraya cekal 

lengan tangan Hantu Bulan Emas. Namun sebelum si 

murid berkata lagi, sang Guru telah mendahului. “Aku 

tahu kau tertarik padanya. Namun itu bukan halangan 

bagiku! Dan kalau kau ikut campur urusan ini, aku 

tak segan-segan membunuhmu!”

Hantu Bulan Emas tepiskan cekalan tangan Bida-

dari Bulan Emas. Lalu sekali melompat, sosoknya te-

lah tegak menghadang di depan Pendekar 131!


Di pihak lain, karena masih yakin gelang di tangan 

Yang Mulia Baginda Ku Nang adalah yang asli juga ka-

rena pengkhianatan yang dilakukan sang Baginda, be-

gitu Hantu Bulan Emas berkelebat menghadang murid 

Pendeta Sinting, Guru Besar Liang San tidak sia-sia-

kan kesempatan. Laki-laki berkepala gundul ini laksa-

na terbang melompat ke arah Baginda Ku Nang.

“Aku minta kau serahkan gelang itu padaku secara 

baik-baik seperti saat aku memberikannya padamu, 

Yang Mulia!” kata Guru Besar Liang San.

Panglima Muda Lie akan bergerak maju. Namun 

sang Baginda palangkan tangan mencegah. Sang Ba-

ginda maju satu tindak. Dengan senyum dingin dia 

berkata.

“Guru Besar! Urusan di antara kita kuanggap sele-

sai begitu kau memberikan gelang ini setelah kau dan 

aku bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan 

Maha Guru Besar Su Beng Siok!”

“Di antara kita tidak ada perjanjian begitu!” sentak 

Guru Besar Liang San.

“Hem.... Jadi kau pikir aku bersedia membantumu 

tanpa imbalan. Begitu...? Kau kira aku mau kau ajak 

bersekongkol dengan suka rela, begitu?!” Sang Baginda 

tertawa pendek. Lalu gelengkan kepala dan lanjutkan 

ucapan.

“Seharusnya kau bersyukur aku tidak minta imba-

lan nyawamu sekalian, Guru Besar! Sebab imbalan ge-

lang ini saja rasanya masih kurang! Apalagi ternyata 

kau telah berani berkhianat!”

“Kau yang licik! Kau yang berkhianat terlebih dahu-

lu!”

“Aku tidak bodoh, Guru Besar! Kalau kau berani 

bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha 

Guru Besar Su Beng Siok yang keduanya adalah sau


dara dan gurumu, tentu kau tak segan-segan pula ber-

sekongkol dengan orang lain untuk membunuhku! 

Apalagi kita berdua sama pegang rahasia!”

“Kau yang mengajakku bersekongkol! Bukan aku!”

“Itu bukan masalah! Yang jelas kau telah berse-

kongkol membunuh saudara dan gurumu!”

Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan kema-

rahan. Dia cepat melompat. Tangan kirinya menghan-

tam ke arah kepala sang Baginda, tangan kanan berke-

lebat menyambar ke arah gelang yang ada di tangan 

sang Baginda.

Walau masih terbetik rasa ragu akan gelang baja 

yang berada di tangannya, Baginda Ku Nang tidak be-

gitu saja mendiamkan gerakan Guru Besar Liang San 

yang coba merebut gelang baja dari tangannya.

Dengan kecepatan luar biasa, sang Baginda selinap-

kan gelang baja ke balik pakaiannya. Lalu rundukkan 

kepala dan menghadang hantaman lawan dengan ang-

kat kedua tangannya.

Bukkk! Bukkkk!

Dua pasang tangan bentrok di udara perdengarkan 

benturan keras. Paras masing-masing orang langsung 

berubah dan kaki mereka sama tersurut dua langkah.

Guru Besar Liang San pandangi sang Baginda de-

ngan sorot mata menyengat. Dia segera lipat gandakan 

tenaga dalam, karena dia sadar yang dihadapi bukan 

saja seorang penguasa tanah Tibet, melainkan bekas

seorang tokoh dunia persilatan yang pernah memimpin 

perguruan silat.

Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya lalu 

ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipe-

jamkan. Di seberang, Baginda Ku Nang tidak tinggal 

diam. Dia juga maklum siapa lawan yang dihadapi. 

Hingga bukan saja dia segera lipat gandakan tenaga


dalam, namun segera berkelebat mendahului.

Setengah jalan, sang Baginda tampak sedikit terke-

jut melihat Guru Besar Liang San tidak membuat ge-

rakan. Padahal dia yakin, Guru Besar Liang San tahu 

dirinya telah berkelebat hendak menghantam.

Meski merasa aneh dengan sikap Guru Besar Liang 

San, namun akhirnya Baginda Ku Nang tidak ambil 

peduli. Dengan tingkatkan kewaspadaan, dia teruskan 

kelebatan. Dan begitu tepat berada di depan Guru Be-

sar Liang San, kedua tangannya segera lepaskan pu-

kulan ke arah dada!

Karena Guru Besar Liang San tidak juga membuat 

gerakan untuk menghadang pukulan lawan, tanpa 

ampun lagi kedua tangan Baginda Ku Nang mengge-

brak.

Bukkk! Bukkkk!

Terdengar seruan tertahan. Anehnya, bukan dari 

mulut Guru Besar Liang San yang dadanya terhantam 

kedua tangan Baginda Ku Nang, melainkan dari mulut 

sang Baginda sendiri! Malah saat itu juga kedua tan-

gan sang Baginda langsung mencelat mental dan so-

soknya tersurut mundur tiga langkah!

Bukan hanya sang Baginda yang terkejut, tapi 

hampir semua orang yang berada di puncak bukit 

sempat terkesima. Sebagian dari mereka memang tahu 

jika Guru Besar Liang San sanggup menahan pukulan. 

Tapi mereka tidak menduga kalau dia mampu mena-

han gebrakan Baginda Ku Nang.

Mungkin merasa malu dan telanjur berterus terang 

tentang apa yang telah terjadi, Baginda Ku Nang tidak 

mau bertindak tanggung-tanggung. Malah dia telah 

bertekad untuk membunuh semua orang yang hadir di 

puncak Bukit Toyongga. Jika tidak, bukan saja kedu-

dukannya yang akan terancam, namun hal itu akan


menanamkan benih dendam pada dunia persilatan 

dan pada akhirnya akan timbul bentrok antara pihak 

kerajaan dan kalangan persilatan.

Baginda Ku Nang kerahkan segenap tenaga dalam 

dan luarnya. Lalu melangkah dua tindak.

“Kau boleh memilih bagian mana yang kau suka!” 

kata Guru Besar Liang San sambil tertawa panjang 

tanpa coba membuka mata.

Dada Baginda Ku Nang laksana terbakar. Saat lain 

kedua tangannya bergerak. Bukan langsung lepaskan 

hantaman, melainkan bergerak menotok berpindah-

pindah ke bagian tertentu dari sosok Guru Besar Liang 

San.

Guru Besar Liang San keraskan kekehan tawanya 

seraya berucap. “Kau boleh mencari titik kelemahan-

ku. Tapi jangan mimpi kau bisa menemukannya! Ha.... 

Ha.... Ha...!”

Baginda Ku Nang tidak ambil peduli dengan ucapan 

Guru Besar Liang San. Dia teruskan gerakan menotok 

mencari titik lemah orang. Karena dia yakin, titik le-

mah itu pasti ada.

Namun begitu hampir sekujur tubuh Guru Besar 

Liang San telah dicari dan ternyata tidak ditemukan di 

mana titik lemahnya, perlahan-lahan dada Baginda Ku 

Nang mulai dibayangi perasaan kecut dan gundah.

Walau sepasang matanya terpejam, tampaknya Gu-

ru Besar Liang San bisa membaca apa yang tengah 

melanda orang. Kesempatan inilah yang sesungguhnya 

ditunggu-tunggu. Karena begitu seseorang mulai re-

sah, maka kewaspadaannya akan berkurang.

Guru Besar Liang San mendadak putuskan tawa-

nya. Saat yang sama, hampir tidak bisa dilihat dengan 

pandangan mata biasa, kedua tangan Guru Besar Li-

ang San berkelebat!


Walau Yang Mulia Baginda Ku Nang masih sempat 

gerakkan kedua tangan untuk menghadang, tapi kalah 

cepat dengan kelebatan kedua tangan Guru Besar 

Liang San.

Bukkk! Bukkkk!

Sosok Baginda Ku Nang terpental dengan mulut 

semburkan darah kehitaman. Hebatnya meski sosok-

nya melayang di udara dalam keadaan terluka dalam 

cukup parah, namun penguasa Tibet ini masih mampu 

membuat gerakan jungkir balik di udara lalu melayang 

turun dengan kaki terlebih dahulu. Hanya saja karena 

telah terluka cukup dalam, begitu kakinya menginjak

tanah, sosoknya langsung goyah lalu jatuh terduduk!

Panglima Muda Lie sempat terkejut. Bukan karena 

melihat sosok sang Baginda yang terpental dan jatuh 

di atas tanah, melainkan mendapati sang Baginda ma-

sih bertahan meski terkena hantaman telak Guru Be-

sar Liang San! Padahal sang Panglima mengharapkan 

sang Baginda langsung tewas!


EMPAT



PADA mulanya, Panglima Muda Lie memang dengan 

suka rela mengabdikan diri pada kerajaan. Hingga ak-

hirnya laki-laki ini menjadi tangan kanan Baginda Ku 

Nang. Namun begitu melihat siapa saja yang muncul di 

puncak Bukit Toyongga dan tahu rahasia yang telah 

dilakukan sang Baginda, mendadak timbul niat dan 

harapan lain di benak Panglima Muda Lie.

“Ini kesempatan emas bagiku. Kalau dia tewas, aku-

lah yang akan menggantikan kedudukannyal Aku akan 

menjadi raja penguasa tanah Tibet!” Panglima Muda 

Lie berkata dalam hati seraya memperhatikan sosok

sang Baginda yang kini terduduk dengan mata terpe-

jam dan tubuh bergetar keras. Tanda orang ini kerah-

kan tenaga untuk kuasai diri.

Sementara itu, mendapati apa yang terjadi pada 

sang Baginda, perempuan bercadar hitam tampak ter-

kesiap kaget. Sepasang kakinya tersurut. Entah sadar 

atau tidak, dia perdengarkan desisan.

“Heran.... Seharusnya Panglima Muda Lie tidak di-

am begitu saja! Kalaupun dia tidak sempat menolong, 

seharusnya dia membantunya ketika tubuh sang Ba-

ginda melayang jatuh di udara!”

“Hem.... Suaramu menunjukkan kau mengkhawa-

tirkan sang Baginda! Pasti kau punya hubungan de-

ngan Baginda itu.... Setidaknya kau kenal baik de-

ngannya...!” Dewa Cadas Pangeran yang duduk ber-

dampingan dengan Dewa Asap Kayangan tidak jauh 

dari perempuan bercadar buka suara.

Perempuan bercadar kaget. Namun dia tidak ber-

usaha palingkan kepala ke arah orang di sampingnya. 

Matanya tak berkesip terus memperhatikan silih ber-

ganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Panglima 

Muda Lie.

“Hem.... Kau menduga begitu?!” sambut Dewa Asap 

Kayangan. “Jika benar dan seandainya aku jadi pe-

rempuan bercadar hitam itu, aku akan lakukan satu 

hal!”

“Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Dewa Cadas 

Pangeran.

“Aku akan cepat membantunya!”

“Mengapa begitu?!”

“Aku mencium bau tak enak. Bau sebuah pengkhi-

anatan!”

Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Pengkhianatan itu 

sudah berlangsung. Mengapa kau baru merasakan


baunya sekarang?!”

“Pengkhianatan yang satu memang telah terjadi. 

Tapi kali ini mungkin akan terjadi pengkhianatan 

lain....”

“Kau bisa menjelaskan lebih rinci?!” tanya Dewa 

Cadas Pangeran.

Dewa Asap Kayangan gelengkan kepala. “Bukan 

penjelasan rinci yang harus didengarkan. Tapi tinda-

kan cepat yang harus segera dilakukan!”

“Pembicaraan mereka membuat hatiku tidak 

enak...,” Perempuan bercadar hitam membatin. “Tinda-

kan mereka aneh-aneh. Dan tampaknya dia bisa mem-

baca sikap orang.... Jangan-jangan mereka tahu siapa 

diriku! Tapi.... Ah, apa peduliku?! Aku memang harus 

segera lakukan sesuatu untuk membantunya!”

Perempuan bercadar hitam melirik sesaat pada dua 

kakek di sampingnya, lalu membuat gerakan berkele-

bat ke arah Yang Mulia Baginda Ku Nang.

Tapi baru saja sosok perempuan bercadar bergerak, 

di depan sana, Panglima Muda Lie sudah melesat ke 

arah sang Baginda dan langsung jongkok di hadapan 

penguasa tanah Tibet itu yang masih pejamkan mata 

kerahkan tenaga dalam.

Guru Besar Liang San yang tadi juga akan berkele-

bat susuli pukulannya segera urungkan niat. Di lain 

pihak, perempuan bercadar hitam juga batalkan kele-

batan sambil menghela napas lega.

Namun kelegaan perempuan bercadar hitam cuma 

sekejap. Di lain saat sepasang matanya mendelik. Dia 

coba berteriak, namun suaranya laksana tersumbat di 

tenggorokan.

Sementara semua orang di tempat itu tak kalah ka-

getnya. Namun mereka tidak coba membuat gerakan. 

Hanya Joko yang sempat berseru.


“Tahan!” Hanya itu yang bisa dilakukan murid Pen-

deta Sinting, karena selain dirinya dihadang Hantu Bu-

lan Emas, apa pun yang akan dilakukan tidak mung-

kin bisa membantu.

“Kau!” Itulah satu-satunya suara yang terdengar da-

ri mulut Yang Mulia Baginda Ku Nang saat sepasang 

matanya terbuka demi merasakan ada seseorang yang 

di dekatnya. Sang Baginda sempat anggukkan kepala 

dan tersenyum melihat siapa yang ada di depannya.

Tapi anggukan kepala sang Baginda terhenti seketi-

ka. Senyumnya pupus laksana disabet setan. Sepa-

sang matanya membelalak memperhatikan tangan ka-

nan orang kepercayaannya, Panglima Muda Lie, yang 

ayunkan sebilah pisau pendek berkilat ke arah dada-

nya!

Bruusss!

Luka dalam yang diderita membuat Yang Mulia Ba-

ginda Ku Nang terlalu lamban untuk membuat ge-

rakan. Hingga tanpa ampun lagi pisau pendek di tan-

gan Panglima Muda Lie leluasa menembus dadanya!

Darah segar muncrat dan sebagian memerciki wa-

jah Panglima Muda Lie. Sosok sang Baginda langsung 

terguling roboh dengan tangan menunjuk-nunjuk pada 

sang Panglima. Dia berusaha buka mulut. Namun 

meski mulutnya terbuka menganga, tidak ada suara 

yang terdengar. Malah saat lain tangannya terkulai 

dan nyawanya melayang!

Walau pada mulanya hanya menginginkan tewas-

nya Baginda Ku Nang agar bisa menggantikan kedudu-

kannya sebagai Penguasa Tibet, namun begitu sang 

Baginda benar-benar tewas, kini bukan kedudukannya 

saja yang diincar, tapi juga gelang yang ada di balik 

pakaiannya, meski sang Panglima belum tahu persis 

mana yang asli dan mana yang palsu. Hingga hampir


bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Baginda, Pan-

glima Muda Lie segera melompat.

Tewasnya sang Baginda membuat Guru Besar Liang 

San sunggingkan senyum. Namun begitu melihat gela-

gat tidak baik dari gerakan Panglima Muda Lie, laki-

laki berkepala gundul ini tidak berpangku tangan. Dia 

segera berkelebat pula. Namun gerakannya didahului 

oleh perempuan bercadar hitam yang tahu-tahu sudah 

tegak tidak jauh dari Panglima Muda Lie!

“Jahanam pengkhianat!” teriak perempuan bercadar 

hitam. Tangan kiri kanannya berkelebat menghantam.

Keserakahan membuat Panglima Muda Lie tidak hi-

raukan pukulan yang dilepas perempuan bercadar hi-

tam. Laki-laki yang dulu pernah menjadi orang keper-

cayaan sang Baginda ini teruskan niat untuk me-

ngambil gelang baja dari balik pakaian sang Baginda.

Bersamaan dengan tergenggamnya gelang di tangan 

sang Panglima, dua hantaman perempuan bercadar hi-

tam sampai.

Bukkk! Bukkkk!

Panglima Muda Lie berseru tertahan. Sosoknya ter-

jungkal jatuh menyongsong tanah. Dia merasakan 

punggungnya laksana dihantam kayu besar hingga 

dadanya berdenyut sakit dan sukar bernapas. Namun 

sang Panglima tidak hendak lepaskan gelang yang te-

lah berada di tangannya. Dia pegang erat-erat gelang 

itu lalu bergerak bangkit.

Namun belum sampai tubuhnya benar-benar ber-

diri, satu bayangan berkelebat. Dua tangan menyam-

bar ganas perdengarkan deruan dahsyat, tanda han-

taman kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam cu-

kup tinggi.

Panglima Muda Lie papasi kelebatan kedua tangan 

dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya memegang gelang baja. Hal ini membuat dia hanya bisa 

menghadang kelebatan satu tangan sementara keleba-

tan tangan lainnya tidak bisa dibendung.

Bukkkk!

Panglima Muda Lie mencelat mental lalu terjeng-

kang roboh dengan mulut mengembung dan sembur-

kan darah. Laki-laki ini cepat palingkan kepala. Seja-

rak lima langkah, terlihat Guru Besar Liang San tegak 

dengan tersenyum dingin.

“Nyawamu di ujung tanduk! Membunuhmu semu-

dah membalik telapak tangan! Tapi aku masih bermu-

rah hati jika kau serahkan gelang itu secara baik-

baik!” berkata Guru Besar Liang San yang baru saja 

membuat sosok sang Panglima terjengkang roboh dan 

muntahkan darah.

Panglima Muda Lie menyeringai. Tanpa buka suara, 

dia bergerak bangkit. Namun baru saja bergerak, so-

soknya kembali jatuh! Dari mulutnya kembali muntah-

kan darah.

“Waktumu tidak banyak! Kau harus segera tentu-

kan pilihan!” kembali Guru Besar Liang San angkat bi-

cara.

Karena Panglima Muda Lie tidak memberi jawaban 

atau membuat tanda-tanda akan serahkan gelang baja 

di tangannya, Guru Besar Liang San habis kesabaran. 

Dia melangkah mendekati dengan pandangan garang.

“Nyawanya untukku!” Mendadak perempuan berca-

dar hitam berseru. Perempuan ini segera pula melang-

kah ke arah Panglima Muda Lie.

Tapi baru saja mendapat dua tindak, satu sosok tu-

buh melesat dan tegak membelakangi sang Panglima 

menghadap perempuan bercadar hitam.

“Mei Hua!” desis perempuan bercadar hitam.

Sosok yang tegak membelakangi sang Panglima bukan lain memang Mei Hua. Putri Panglima Muda Lie. 

Gadis cantik ini sebenarnya juga merasa terkejut den-

gan tindakan yang dilakukan ayahnya. Dia pada mu-

lanya menduga kalau ayahnya akan membantu sang 

Baginda. Bukan membunuhnya. Dia juga sebenarnya

tak suka dengan tindakan ayahnya. Namun se-bagai 

anak, dia tidak akan tinggal diam melihat ayah-nya di-

bunuh orang di depan matanya meski ayahnya telah 

melakukan perbuatan tidak terpuji.

“Mei Hua! Kau sadar apa yang kau lakukan?!” ber-

tanya perempuan bercadar hitam.

Mei Hua terkesiap kaget. Bukan saja karena men-

dapati si perempuan bercadar hitam telah mengenali 

dirinya, namun telinganya terasa tidak asing dengan 

suara si perempuan bercadar hitam.

“Aku kenal dengan suaranya! Tapi mungkinkah 

dia?!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu angkat suara.

“Siapa kau sebenarnya?!”

“Saatnya nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang 

menyingkirlah!”

Mei Hua gelengkan kepala. “Ayahku memang telah 

bertindak tidak terpuji. Dia memang pantas mendapat 

hukuman! Tapi bukan kau yang harus melakukan-

nya!”

“Di atas jagat raya ini, akulah satu-satunya orang 

yang paling berhak atas selembar nyawa ayahmu!”

Mei Hua tampak bimbang. “Jangan-jangan memang 

dia! Tapi bukan mustahil pula orang lain.... Suara bisa 

sama, namun wajah belum tentu tidak beda!”

“Apa hubunganmu dengan Baginda?!” bertanya Mei 

Hua.

“Belum saatnya kau tahu! Yang jelas akulah orang 

yang paling berhak memiliki selembar nyawa jahanam 

ayahmu!”


Walau merasa panas dengan ucapan perempuan 

bercadar hitam, namun Mei Hua masih menahan diri 

apalagi dia sadar ayahnya memang telah melakukan 

hal tidak baik.

“Kau menginginkan gelang itu?!” Mei Hua coba alih-

kan perhatian orang. “Aku bisa mengambilkan untuk-

mu!”

“Aku menginginkan nyawa keparat ayahmu! Me-

nyingkirlah atau kau akan ikut tewas bersamanya!” Pe-

rempuan bercadar hitam membentak. Sepasang mata-

nya berkilat merah.

Mei Hua geleng kepala. “Aku tahu siapa yang paling 

berhak atas hidup mati ayahku setelah kejadian ini! 

Aku akan membawanya menghadap orang itu! Dan 

aku tidak akan menghalangi apa yang akan dilaku-

kannya!”

“Setan! Telingamu telah dengar! Akulah orang yang 

paling berhak!”

Selagi kedua orang ini berdebat, Guru Besar Liang 

San mendengarkan beberapa lama. Saat lain dia terus-

kan langkah mendekati Panglima Muda Lie.

“Guru Besar Liang San! Tetap di tempatmu! Setelah 

kuselesaikan urusan nyawa dengan panglima jahanam 

itu, tiba giliranmu untuk selesaikan urusan dengan-

ku!” Perempuan bercadar hitam membentak garang.

“Aku tak punya urusan denganmu! Juga dengan 

nyawa Panglima itu! Urusanku adalah gelang di tan-

gannya!” kata Guru Besar Liang San tanpa meman-

dang pada perempuan bercadar hitam.

“Kau salah besar, Guru Besar! Kau punya urusan 

denganku yang harus diselesaikan sekarang juga! Un-

tuk itulah kau harus menunggu tiba gilirannya!”

“Hem.... Tampaknya kau menginginkan gelang itu 

pula!” desis Guru Besar Liang San.


Perempuan bercadar hitam gelengkan kepala. “Ge-

lang itu tidak berarti apa-apa bagiku! Kaulah yang 

memulai meski jahanam Panglima itu yang meng-

akhiri!”

Ucapan perempuan bercadar hitam membuat Mei 

Hua berdebar tidak enak. Dia memperhatikan cadar 

hitam yang menutupi wajah perempuan di hadapan-

nya seolah tembusi kain cadar itu agar bisa meyakin-

kan dugaannya.

Perempuan bercadar hitam memandang silih ber-

ganti pada Mei Hua dan Guru Besar Liang San. Terak-

hir kali matanya menumbuk pada sosok Panglima Mu-

da Lie. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah.

Mei Hua segera palangkan tangannya. Lalu berkata.

“Aku tidak akan membiarkanmu melangkah sebe-

lum kau jelaskan siapa dirimu sebenarnya!”

“Sebelum kuturuti kemauanmu, aku ingin tanya. 

Kau tidak akan ingkari ucapanmu untuk menyerahkan 

nyawa ayahmu pada orang yang paling berhak?!” ber-

tanya perempuan bercadar hitam.

Meski terasa berat, akhirnya Mei Hua anggukkan 

kepala. Sementara Panglima Muda Lie merasakan ku-

duknya dingin. Dia tahu sifat putrinya yang selalu te-

guh memegang janji dan berani menghadang kesulitan 

jika yang dibela adalah kebenaran.

“Bagus! Aku akan turuti permintaanmu!” kata pe-

rempuan bercadar hitam. Kedua tangannya diangkat 

ke atas.

Semua orang di puncak Bukit Toyongga terdiam. 

Puncak bukit itu disentak kesunyian bercampur kete-

gangan. Semua mata tertuju pada kedua tangan pe-

rempuan bercadar hitam.

Bretttt!

Sekali kedua tangan perempuan bercadar hitam


bergerak, cadar penutup wajahnya robek lepas!


LIMA



SIAO Ling Ling!” desis Mei Hua mengenali wajah pe-

rempuan yang tadi tertutup cadar hitam. “Dugaanku 

tidak jauh meleset! Sekarang apa yang harus kulaku-

kan?! Apakah aku harus serahkan ayah padanya?! Ta-

pi....”

“Mei Hua! Sekarang kau sudah tahu. Menyingkir-

lah!” bentak perempuan yang tadi wajahnya tertutup 

cadar hitam dan ternyata tidak lain adalah Siao Ling 

Ling. Putri Yang Mulia Baginda Ku Nang!

Mei Hua menghela napas panjang. Dadanya dibun-

cah dengan berbagai perasaan. Di satu sisi dia ter-

panggil untuk menyerahkan ayahnya karena Panglima 

Muda Lie telah melakukan kesalahan besar. Namun di 

sisi lain, bagaimanapun juga besarnya kesalahan yang 

dilakukan si ayah, sebagai anak dia masih tidak tega.

“Woww.... Kau pandai juga memilih!” Tiba-tiba ter-

dengar orang bersuara. Yang berucap ternyata Dewa 

Cadas Pangeran.

“Hem.... Tampaknya kau baru tahu, Sahabatku!” 

sambut Dewa Asap Kayangan. “Sekilas pandang, jika 

urusan perempuan aku tidak akan terkecoh meski wa-

jahnya tertutup seribu kain cadar! Bahkan bukan itu 

saja. Selain aku pandai memilih, pilihanku pasti bukan 

orang sembarangan!”

“Maksudmu...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.

“Kau tidak kenal dengan perempuan yang tadi wa-

jahnya tertutup cadar dan ternyata adalah gadis ber-

paras aduhai itu?!”

Batu putih yang ada di depan wajah Dewa Cadas


Pangeran dan selalu menutupi dari pandangan orang 

itu bergerak-gerak tanda kepala di belakangnya berge-

rak menggeleng. “Bagaimana aku kenal dengan gadis 

muda dan aduhai macam dia?! Siapa dia?!”

“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku.... Gadis itu 

bukan hanya cantik jelita, tapi dia juga adalah putri 

Yang Mulia Baginda Ku Nang....”

Hanya Dewa Cadas Pangeran dan Pendekar 131 

yang tampak terlengak mendengar jawaban Dewa Asap 

Kayangan. Karena semua orang di tempat itu memang 

sudah tahu siapa sebenarnya Siao Ling Ling.

“Astaga! Benarkah ucapan Kakek itu...?!” desis mu-

rid Pendeta Sinting.

“Kau jangan mengada-ada!” Dewa Cadas Pangeran 

berseru seakan tidak percaya dengan keterangan Dewa 

Asap Kayangan.

“Ini bukan urusan main-main! Mana mungkin aku 

berani mengada-ada mengarang cerita?!” sahut Dewa 

Asap Kayangan.

Di depan sana, Siao Ling Ling berpaling pada Guru 

Besar Liang San dan berkata lantang.

“Guru Besar Liang San! Kau yang memberi jalan 

atas kematian ayahku! Terserah kau katakan antara 

kita ada urusan atau tidak. Yang pasti kau pantas me-

nerima imbalan atas tindakanmu!”

“Ayahmu berkhianat!” kata Guru Besar Liang San.

“Urusan ini tidak ada hubungannya dengan khianat 

atau tidak! Yang jelas kau ikut andil atas kematian 

ayahku!”

“Hem.... Jadi dia benar-benar putri Baginda.... Jadi 

inikah jawabannya mengapa Mei Hua dan Siao Ling 

Ling tidak mau bicara di depanku saat bertemu tempo 

hari...?!” Pendekar 131 jadi ingat akan pertemuannya 

dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling pada beberapa hari


yang lalu, di mana kedua gadis itu tidak mau bicara di 

hadapan Joko. Sebaliknya mereka memilih tempat 

lain.

Siao Ling Ling arahkan pandang matanya pada so-

sok mayat sang Baginda. Dia coba bertahan meski ka-

kinya sudah tidak sabar untuk melompat dan meme-

luk mayat ayahandanya. Dan melihat bagaimana sosok 

ayahandanya, hawa kemarahan gadis ini me-muncak. 

Laksana terbang dia segera berkelebat melewati sosok 

Mei Hua dan tegak dua langkah di samping Panglima 

Muda Lie.

Mei Hua cepat balikkan tubuh. Dia memang mem-

biarkan Siao Ling Ling berkelebat melewatinya karena 

saat Ku dia tengah dirundung kegalauan untuk me-

nentukan sikap. Namun begitu Siao Ling Ling lewat, 

dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan 

Siao Ling Ling melakukan tindakan pembalasan atas 

kematian ayahnya.

Di pihak lain, Guru Besar Liang San tidak tinggal 

diam begitu saja melihat tindakan Siao Ling Ling. Dia 

masih menduga kalau si gadis ingin juga memiliki ge-

lang baja di tangan Panglima Muda Lie. Hingga begitu 

Siao Ling Ling berkelebat, laki-laki berkepala gundul 

ini ikut pula berkelebat dan tegak tidak jauh dari sosok 

sang Panglima yang sudah tegang kaku karena keta-

kutan.

Tampaknya Pendekar 131 menangkap gelagat apa 

yang hendak dilakukan Guru Besar Liang San. Apalagi 

Joko merasa yakin, gelang yang kini di tangan sang 

Panglima adalah yang asli. Maka dia segera ikut me-

lesat ke arah sang Panglima.

Tapi Hantu Bulan Emas yang yakin gelang dan kan-

tong di tangan Joko adalah yang asli, tidak membiar-

kan Joko berlalu. Sebelum Joko sempat bergerak lebih


jauh, dia cepat melompat dan tegak menghadang.

“Kau boleh mengambil gelang di tangan Panglima 

itu! Tapi serahkan dulu gelang dan kantong yang ada 

di tanganmu padaku!”

Hantu Bulan Emas bukan hanya berkata. Bersa-

maan dengan terdengarnya ucapan, sosoknya melom-

pat lalu tangannya lepas pukulan!

Wuuttt! Wuuuutt!

Pendekar 131 rasakan sambaran angin keras me-

ngarah pada kepala dan dadanya.

Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dia 

cepat papasi hantaman tangan bertenaga dalam tinggi 

itu dengan angkat kedua tangannya.

Bukkk! Bukkkk!

Hantu Bulan Emas tersurut dua tindak dengan so-

sok bergoyang-goyang. Lengan tangannya terasa ngilu. 

Paras wajahnya berubah. Di hadapannya, Pendekar 

131 mundur satu langkah. Dia meringis kesakitan se-

raya kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja 

bentrok dengan kedua tangan Hantu Bulan Emas.

“Aku harus segera selesaikan anak ini! Jika tidak, 

bukan tak mungkin ada orang yang mengambil keun-

tungan!”

Membatin begitu, Hantu Bulan Emas segera tekuk 

kedua kakinya. Sosoknya melorot jatuh dan langsung 

membuat sikap duduk bersila dengan kedua tangan 

bersedekap di depan dada. Kepalanya ditengadahkan 

menatap rembulan. Mulutnya berkemik.

Tiba-tiba dari tato bergambar bulan sabit yang ber-

ada di tengah kedua alis mata Hantu Bulan Emas pan-

carkan sinar terang bercahaya. Kejap lain sekujur tu-

buhnya pun ikut bercahaya. Hebatnya cahaya itu 

membentuk garis lurus mengarah pada sinar rembu-

lan di hamparan langit sana!


“Jurus ke delapan dari ‘Delapan Gerbang Rembu-

lan’!” teriak Dewa Asap Kayangan.

“Astaga! Guru benar-benar hendak membunuhnya!” 

desis Bidadari Bulan Emas. Parasnya gelisah dan bim-

bang. “Mungkinkah Pendekar 131 mampu bertahan 

dari jurus tertinggi pukulan ‘Delapan Gerbang Rembu-

lan’?!” Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memper-

hatikan Joko. “Guru tidak boleh membunuhnya! Aku 

harus lakukan sesuatu!”

Ternyata bukan hanya Bidadari Bulan Emas yang 

resah. Raut wajah Dewi Bunga Asmara juga berubah. 

Kekhawatiran jelas membayang. Diam-diam gadis can-

tik murid Ratu Selendang Asmara ini juga kerahkan 

segenap tenaga dalamnya. Dia bertekad akan memban-

tu Joko meski Ratu Selendang Asmara akan marah be-

sar.

Joko sendiri tampak terkejut. Sementara cahaya 

yang lurus ke arah sinar rembulan dari tubuh Hantu 

Bulan Emas makin lama makin terang dan bertambah 

besar.

“Sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Aku melihat 

satu cahaya terang. Siapa gerangan yang membawa 

obor ke tempat ini?!” Dewa Cadas Pangeran bertanya. 

Batu putih di depan wajahnya bergerak ke atas tanda 

kepalanya tengadah.

“Hem.... Kau kira itu cahaya obor?! Kau perlu tahu 

satu hal, Sahabatku.... Itulah cahaya bias pukulan 

tingkat tertinggi ‘Delapan Gerbang Rembulan’!”

“Celaka!” Dewa Cadas Pangeran terkesiap. “Kude-

ngar hanya ada satu pukulan yang mampu memben-

dungnya.... Dan kudengar pula, hanya ada satu manu-

sia pula yang memiliki pukulan itu....”

“Pasangan rembulan adalah matahari.... Benar atau 

tidaknya, hanya itu yang kuketahui!” sambut Dewa


Asap Kayangan.

“Hem.... Ucapan mereka sepertinya memberi isyarat 

padaku.... Jadi aku harus menghadapinya dengan pu-

kulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’ yang telah diajar-

kan Bu Beng La Ma.” Joko membatin. Lalu buru-buru 

duduk bersila dengan kedua tangan disatukan. Kedua 

jari telunjuk dan ibu jari dibuka lalu ditemukan satu 

sama lain membentuk bundaran.

Tiba-tiba dari bundaran tangan murid Pendeta Sint-

ing berkiblat satu cahaya putih berkilau membentuk 

bundaran.

“Ada apa lagi ini?!” Dewa Cadas Pangeran kembali 

ajukan tanya.

“Yang kudengar, ini adalah bias pukulan tingkat 

tertinggi dari ‘Sembilan Gerbang Matahari’....” Dewa 

Asap Kayangan menyahut.

Semua orang di tempat itu jadi tercekat kaget. Ma-

lah Mei Hua, Siao Ling Ling sempat palingkan kepala. 

Mereka yang berada di puncak bukit sama menduga 

ada hubungan apa antara Pendekar 131 dengan Bu 

Beng La Ma. Karena selama ini mereka tahu, hanya Bu 

Beng La Ma yang memiliki pukulan ‘Sembilan Gerbang 

Matahari’.

Namun yang paling tampak terkejut adalah Bidadari 

Bulan Emas. Kalau tadi dia mencemaskan keselama-

tan Pendekar 131, kini berbalik mengkhawatirkan ke-

selamatan gurunya.

“Mampukah pukulan ‘Delapan Gerbang Rembulan’ 

menghadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’? 

Selama ini yang dicemaskan Guru adalah jika meng-

hadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’.... Apa 

sebaiknya yang kulakukan?! Di satu sisi aku tidak in-

gin Pendekar 131 terluka. Di pihak lain, aku juga tak 

mengharapkan Guru terancam keselamatannya.... Me


ngapa ini harus terjadi?! Seandainya Guru mau turuti 

ucapanku, bentrok ini mungkin bisa dihindarkan!”

Selagi Bidadari Bulan Emas tercekat tegang melihat 

apa yang ada di hadapannya, mendadak Ratu Selen-

dang Asmara melesat ke arah Bayangan Tanpa Wajah 

yang sedari tadi hanya diam terpaku melihat apa yang 

terjadi di puncak bukit.

“Kau yakin yang ada di tangan pemuda itu adalah 

benda yang asli?!” Ratu Selendang Asmara langsung 

ajukan tanya dengan suara ditekan.

“Aku tak bisa memastikan! Kalau benar di tangan 

pemuda itu yang asli, mengapa Guru Besar Liang San 

masih tertarik dengan gelang yang kini ada di tangan 

Panglima Muda Lie?! Dan kalau yang di tangan pemu-

da itu bukan yang asli, mengapa Hantu Bulan Emas

bersedia pertaruhkan nyawa?! Aku tidak menduga ka-

lau akan begini jadinya!”

“Kau harus cepat tentukan pilihan!” Ratu Selendang 

Asmara berkata lagi.

“Maksudmu?!”

“Kita yang bersusah payah mengatur pertemuan di 

tempat ini. Kita harus mendapatkan imbalan atas jerih 

payah kita! Kau harus menentukan mana menurutmu 

yang asli. Lalu kita rebut bersama-sama!”

Bayangan Tanpa Wajah berpikir sesaat. Lalu berbi-

sik.

“Aku menduga yang asli di tangan pemuda asing 

itu!”

“Mengapa kau menduga begitu?!”

“Kau lihat dan kau dengar ucapan Dewa Asap Ka-

yangan tadi. Kukira dia benar! Pemuda asing itu me-

nitipkan kantongnya pada Dewa Asap Kayangan. Se-

mentara aku lebih percaya pada Dewa Cadas Pangeran 

daripada terhadap Baginda Ku Nang...!”


“Bagaimana dengan kantong yang ada di tangan 

Hantu Pesolek?!” tanya si nenek.

“Dia tadi telah tunjukkan bahwa kantong perta-

manya adalah palsu! Ini satu petunjuk kalau dia tidak 

bisa dipercaya! Dan mungkin sekali dia memiliki bebe-

rapa kantong dan pasti semuanya juga palsu!”

“Hem.... Kalau begitu, ini kesempatan baik bagi ki-

ta!”

“Kesempatan baik bagaimana?!”

“Kau lihat pemuda itu tengah persiapkan pukulan 

yang kalau tak salah adalah pukulan tingkat tertinggi 

‘Sembilan Gerbang Matahari’ untuk menghadapi puku-

lan ‘Delapan Gerbang Rembulan’ milik Hantu Bulan 

Emas. Akibat bentrok itu mungkin akan sangat hebat 

Saat itulah kita harus segera bertindak mengambil ge-

lang dan kantong itu!”

Bayangan Tanpa Wajah sapukan pandangannya 

berkeliling. “Dua gadis cantik itu mungkin masih terle-

na dengan urusan mereka. Demikian juga dengan 

Guru Besar Liang San...,” bisik Bayangan Tanpa Wajah 

seraya arahkan pandangannya pada Mei Hua, Siao 

Ling Ling, dan Guru Besar Liang San.

“Sementara Bidadari Bulan Emas mungkin akan re-

pot membantu gurunya! Sekarang kita hanya perlu 

menghadang Hantu Pesolek! Apakah muridmu mampu 

membendung gerakan Hantu Pesolek jika bentrok itu 

telah terjadi?! Sebab hanya dia satu-satunya yang ber-

diri bebas. Bukan mustahil hantu berdandan itu ten-

gah menunggu kesempatan pula untuk mengambil ge-

lang dan kantong dari tangan pemuda asing itu!”

Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. “Bang 

Sun Giok memang tidak akan mampu berhadapan 

dengan Hantu Pesolek. Tapi kalau cuma menghadang, 

kurasa dia tidak akan menemui kesulitan...!”


“Hem.... Bagus! Sekarang kau perintahkan murid-

mu untuk bersiap-siap. Dan begitu bentrok terjadi, ki-

ta segera bertindak!”

Ratu Selendang Asmara anggukkan kepalanya se-

kali lagi. Dia segera berkelebat ke arah muridnya, Bang 

Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara. Namun mendadak 

si nenek urungkan niatnya tatkala tiba-tiba sepasang 

matanya melihat pada sosok Dewa Cadas Pangeran 

dan Dewa Asap Kayangan yang sama duduk berdam-

pingan di seberang sana.

“Bagaimana dengan kedua orang itu?!” Ratu Selen-

dang Asmara bertanya.

“Kau tak usah khawatirkan mereka. Mereka tidak 

tertarik dengan gelang dan kantong itu!”

Sebenarnya Ratu Selendang Asmara tidak setuju 

dengan jawaban Bayangan Tanpa Wajah. Namun ka-

rena khawatir bentrok antara Pendekar 131 dan Hantu 

Bulan Emas akan segera terjadi, dia buru-buru me-

lompat ke arah Dewi Bunga Asmara.

“Dengar, Giok! Begitu bentrok terjadi, kau harus 

segera menghadang gerakan Hantu Pesolek!”

Dewi Bunga Asmara kernyitkan dahi. “Mengapa be-

gitu?!”

“Kau tak usah banyak tanya! Yang jelas Hantu Pe-

solek menunggu kesempatan. Kau harus bisa menga-

lihkan perhatiannya!”

“Guru sendiri?!” tanya Dewi Bunga Asmara ingin 

tahu apa yang baru dibicarakan gurunya dengan 

Bayangan Tanpa Wajah.

“Kau hanya perlu lakukan ucapanku! Aku tahu apa 

yang harus kulakukan!”

“Bagaimana ini?! Padahal aku sudah siap memban-

tu pemuda itu dan siap pula menerima risiko jika Guru 

tumpahkan marahnya padaku!” Dewi Bunga Asmara


membatin.

“Aku perlu ketegasanmu, Giok!” Ratu Selendang 

Asmara membentak karena diliriknya si murid tampak 

gelisah dan bimbang.

Setelah berpikir sesaat, Dewi Bunga Asmara ang-

gukkan kepala dan berkata.

“Aku akan lakukan perintahmu!”

“Bagus! Tapi ingat. Kau hanya perlu menghadang 

gerakannya untuk mengalihkan perhatian! Jangan se-

kali-kali kau gegabah meneruskan hadangan dengan 

lepaskan pukulan!”

Baru saja Ratu Selendang Asmara berucap begitu, 

mendadak puncak Bukit Toyongga bergetar keras. Se-

mua kepala berpaling pada Hantu Bulan Emas dan 

Pendekar 131. Saat itu Hantu Bulan Emas telah lu-

ruskan kepalanya menghadap murid Pendeta Sinting. 

Sepasang matanya mendelik besar. Sosoknya laksana 

lenyap ditelan cahaya. Di lain pihak, pancaran cahaya 

putih yang terpencar dari bundaran kedua tangan Jo-

ko makin besar dan tebarkan hawa panas luar biasa.

Mendadak Hantu Bulan Emas perdengarkan benta-

kan keras menggelegar. Saat lain kedua tangannya 

bergerak mendorong ke depan.

Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas melesat ge-

lombang cahaya kekuningan seperti cahaya bulan 

purnama. Terdengar suara bergemuruh dahsyat. Geta-

ran di puncak bukit makin keras. Tanah yang terlewati 

cahaya langsung muncrat semburat dan membentuk 

kubangan parit!

Pendekar 131 segera pula dorong kedua tangannya. 

Satu gelombang cahaya putih berkilau langsung ber-

kiblat. Tanah yang terlewati rengkah dan berubah 

menjadi hitam laksana tanah dipanggang bara! Deruan 

hebat mengguncang, hingga puncak Bukit Toyongga


seperti dilanda gempa dahsyat.

Cahaya kekuningan dan cahaya putih bertemu di 

udara. Anehnya tidak terdengar suara ledakan. Namun 

baik sosok Hantu Bulan Emas maupun sosok Pende-

kar 131 tampak berguncang-guncang.

Hantu Bulan Emas lipat gandakan tenaga dorong-

nya. Cahaya putih terdorong ke belakang oleh cahaya 

kekuningan. Dan kini kedua cahaya itu menggebrak ke 

arah murid Pendeta Sinting!

Joko cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kembali 

mendorong kedua tangannya. Lesatan dua cahaya ter-

henti. Bahkan saat lain dua cahaya itu kini melesat 

cepat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun begitu Han-

tu Bulan Emas tambah tenaga dorongannya dua ca-

haya itu berbalik lagi.

Untuk beberapa saat terjadi saling dorong hingga 

dua cahaya itu terus bergerak. Hal ini membuat tanah 

di puncak bukit porak-poranda dan bertaburan sem-

burat serta berubah warna menjadi hitam kelam.

Sosok Hantu Bulan Emas dan Pendekar 131 telah 

basah kuyup dan bergetar keras. Malah kejap lain so-

sok keduanya terangkat ke udara! Namun begitu sosok 

mereka terangkat, mendadak sosok Hantu Bulan Emas 

terdorong keras ke belakang!


ENAM



BLAMMM!

Ledakan keras terdengar. Dua gelombang cahaya 

putih dan kekuningan melesat muncrat ke angkasa te-

barkan pijaran-pijaran. Lamping puncak Bukit Toyo-

ngga longsor di beberapa bagian. Beberapa jajaran po-

hon yang berada tidak jauh dari lamping bukit perdengarkan derakan lalu tumbang karena tanahnya ter-

jungkat. Saat lain terdengar beberapa seruan tegang 

dan tertahan.

Sosok Hantu Bulan Emas terdorong makin deras ke 

belakang sebelum akhirnya jatuh terjerembab. Pakaian 

yang dikenakan hangus terbakar. Cahaya yang tadi 

memancar dari tubuhnya langsung redup. Parasnya 

pucat pasi. Saat lain dari mulutnya semburkan darah. 

Namun guru Bidadari Bulan Emas ini berusaha segera 

bangkit. Walau berhasil, tapi cuma sekejap. Kejap lain 

sosoknya kembali melorot jatuh dengan mulut meng-

embung dan untuk kedua kalinya memuntahkan da-

rah. Ini jelas menunjukkan kalau dia terluka dalam 

cukup parah!

Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting tersen-

tak ke belakang sebelum akhirnya jatuh terjengkang 

dan perlahan-lahan dari sudut bibirnya lelehkan da-

rah. Dia merasakan dadanya sulit dibuat bernapas dan 

kedua tangannya tegang kaku.

Saat itulah tiba-tiba Ratu Selendang Asmara berke-

lebat ke arah Pendekar 131. Namun tampaknya si ne-

nek tidak menduga jika Hantu Pesolek yang sudah bi-

sa membaca gelagat bergerak mendahului. Pemuda 

berkebaya ini melesat ke depan. Bukan ke arah Pende-

kar 131 yang baru saja jatuh terjengkang, melainkan 

ke arah Ratu Selendang Asmara!

Gerakan Hantu Pesolek membuat Dewi Bunga As-

mara urungkan niat untuk lakukan penghadangan. 

Hingga akhirnya dia hanya tegak menunggu dengan 

mata cemas pada sosok Pendekar 131. Kalau saja dia 

tidak ingat akan ucapan Ratu Selendang Asmara, dia 

pasti sudah terbang melompat ke arah Joko.

Ratu Selendang Asmara sendiri tampak terlengak. 

Tapi dia tak mau membuang waktu. Hingga begitu melihat Hantu Pesolek melesat ke arahnya, si nenek lang-

sung menyongsong seraya lepaskan pukulan.

Hantu Pesolek sambuti pukulan si nenek dengan 

hantamkan pula kedua tangannya. Bukan hanya sam-

pai di situ. Begitu kedua tangannya berkelebat, masih 

melayang di atas udara, kedua kakinya menggebrak 

lepaskan tendangan!

Ratu Selendang Asmara tak tinggal diam. Begitu 

kedua tangannya hampir berbenturan dengan tangan 

Hantu Pesolek, kedua kakinya langsung dihantamkan 

memapasi tendangan lawan.

Bukkkk! Bukkkkk!

Bukkkk! Bukkkkk!

Sosok Ratu Selendang Asmara terpental di udara la-

lu melayang deras ke bawah dengan mulut perdengar-

kan seruan tegang.

Tapi setengah depa lagi sosoknya jatuh menghan-

tam tanah, mendadak tangan kanan si nenek berge-

rak. Terdengar deruan dahsyat, lalu tampak benda hi-

tam berkelebat di udara. Saat yang sama tiba-tiba ge-

rakan tubuh si nenek membal balik ke udara! Lalu te-

gak dengan kedua tangan berkacak pinggang sementa-

ra kakinya berpijak pada sebuah selendang hitam yang 

kini berubah kaku laksana papan kayu! Sepa-sang 

matanya berkilat merah membelalak mengawasi gera-

kan Hantu Pesolek dengan seringai garang.

Di pihak lain, meski sebelumnya telah mengatur 

rencana dengan Ratu Selendang Asmara, namun begi-

tu bentrok terjadi, ternyata Bayangan Tanpa Wajah ti-

dak membuat gerakan apa-apa!

Ratu Selendang Asmara tidak sadar jika Bayangan 

Tanpa Wajah sebenarnya hanya berpura-pura untuk 

setuju usul si nenek. Dan diam-diam dalam hati dia 

berkata.


“Aku tidak akan berlaku bodoh untuk ikut-ikutan 

bentrok! Aku akan menunggu sampai semua orang ter-

luka!”

Karena sudah punya rencana sendiri itulah, Bayan-

gan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan saat terja-

dinya bentrok antara Hantu Bulan Emas dengan Pen-

dekar 131. Malah dia sunggingkan senyum ketika 

mendapati Hantu Pesolek berkelebat ke arah Ratu Se-

lendang Asmara dan akhirnya terlibat saling lepaskan 

pukulan.

Ratu Selendang Asmara sendiri sempat melirik ke 

arah Bayangan Tanpa Wajah dari atas selendang hi-

tamnya di mana dia kini tegak berdiri. Namun sejauh 

ini si nenek masih juga belum bisa membaca apa yang 

direncanakan Bayangan Tanpa Wajah. Si nenek masih 

menduga jika tidak bergeraknya Bayangan Tanpa Wa-

jah karena keburu didahului oleh gerakan Hantu Peso-

lek.

Sementara itu Hantu Pesolek tampak tegak di atas 

tanah dengan wajah pias. Tapi tokoh yang wajahnya 

masih sangat muda dan tampan meski usianya sudah 

hampir delapan puluh tahun ini cepat kuasai diri. Saat 

lain sosoknya melesat ke udara. Tangan kiri kanannya 

bergerak menghantam ke arah selendang hitam yang 

dibuat pijakan Ratu Selendang Asmara.

Ratu Selendang Asmara tersenyum dingin. Kedua 

kakinya segera dihentakkan ke arah selendang yang 

dipijaknya.

Wuuttt!

Selendang hitam berkelebat menyambar ganas me-

nyergap ke arah sosok Hantu Pesolek.

Hantu Pesolek terkesiap. Lesatan tubuhnya laksana 

ditahan kekuatan gelombang dahsyat. Hingga saat lain 

tubuhnya terdorong ke bawah!


Ratu Selendang Asmara membuat gerakan jungkir 

balik di udara. Tangan kanannya kembali berkelebat. 

Selendang hitam di tangan kanannya menderu ganas 

mengejar Hantu Pesolek.

Hantu Pesolek tidak mau berlaku sembrono. Dia 

hantamkan kedua tangannya ke arah selendang lepas 

pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, lalu me-

lesat ke samping.

Selendang hitam milik si nenek berkelebat mental. 

Namun sekali Ratu Selendang Asmara sentakkan tan-

gan kanan, selendang hitam sudah menyambar lagi ke 

arah mana Hantu Pesolek berkelebat menghindar!

“Hem.... Tampaknya aku tidak punya kesempatan 

untuk lepaskan pukulan kalau selendang jahanam itu 

masih berada di tangannya! Aku harus dapat melum-

puhkan si penggerak selendang itu!” Hantu Pesolek 

berpikir. Lalu berkelebat ke sana kemari hingga sosok-

nya laksana bayang-bayang.

Ratu Selendang Asmara tidak berdiam diri. Begitu 

mendapati Hantu Pesolek melesat menghindari keleba-

tan selendangnya, nenek ini gerakkan tangan kanan-

nya kian kemari. Hingga selendang hitamnya juga ber-

kelebat. Bukan saja perdengarkan deruan dan gelom-

bang yang sanggup membuat mental apa saja yang 

menghadang, namun selendang itu juga laksana le-

nyap dan hanya merupakan bayang-bayang hitam.

Hebatnya, selendang itu laksana punya mata. Hingga 

terus mengejar ke mana sosok Hantu Pesolek berkele-

bat. Sementara sosok Ratu Selendang Asmara terus 

berputar-putar di atas udara.

Pada satu kesempatan, mendadak Hantu Pesolek 

hantamkan kedua tangannya menghadang gelombang 

dan kelebatkan selendang.

Wuutt! Wuuuutt!


Selendang hitam menderu mental ke udara. Namun 

saat lain telah menyambar lagi ketika tangan kanan 

Ratu Selendang Asmara bergerak.

Saat selendang hitam mental tersapu gelombang 

yang datang dari kedua tangan Hantu Pesolek, tokoh 

yang mengenakan kebaya ini langsung berkelebat ke 

udara.

Bukkk!

Hantu Pesolek menghantam tangan kanan Ratu Se-

lendang Asmara. Si nenek berseru tertahan. Selendang 

hitam berkelebat menderu akibat sentakan tangan si 

nenek yang terhantam.

Hantu Pesolek tidak membuang kesempatan. Selagi 

Ratu Selendang Asmara berpaling, Hantu Pesolek han-

tamkan kaki kanannya seraya membuat gerakan jung-

kir balik. Karena tidak menduga, terlambat bagi Ratu 

Selendang Asmara untuk menghadang tendangan kaki 

Hantu Pesolek yang mengarah pada pergelangan tan-

gan kanannya.

Bukkkk!

Untuk kedua kalinya Ratu Selendang Asmara per-

dengarkan seruan tegang. Selendang hitamnya terle-

pas. Lalu melayang deras di udara.

Sebelum Ratu Selendang Asmara sempat membuat 

gerakan untuk berkelebat menyambar selendangnya, 

Hantu Pesolek telah hantamkan kedua tangannya ke 

arah selendang si nenek.

Selendang hitam Ratu Selendang Asmara menderu 

keras lalu tersapu amblas ke bawah bukit.

Si nenek berteriak marah. Dia batalkan niat untuk 

mengejar selendangnya. Sebaliknya belokkan arah 

menuju sosok Hantu Pesolek yang melayang turun. 

Kedua tangannya langsung bergerak lepaskan pukulan 

bertenaga dalam tinggi.


Dua gelombang hitam melesat lalu membesar dan 

menggebrak ke arah Hantu Pesolek. Hantu Pesolek 

memandang sekilas pada gelombang yang mengarah 

padanya. Dan begitu sepasang kakinya menginjak ta-

nah, orang ini langsung membuat gerakan berguli-

ngan. Saat lain kedua tangannya mendorong ke atas.

Bummmm!

Gelombang yang berhasil dihindari Hantu Pesolek 

menghantam tanah perdengarkan ledakan keras. Ber-

samaan itu terdengar deruan dahsyat. Satu gelombang 

luar biasa besar menggebrak lurus ke arah Ratu Se-

lendang Asmara.

Walau berhasil berkelit dari gelombang pukulan 

Hantu Pesolek, namun sambaran gelombang itu masih 

mampu membuat sosok Ratu Selendang Asmara terpe-

lanting jungkir balik di atas udara dan akhirnya me-

layang ke bawah tanpa bisa membuat gerakan lagi.

Bukkkk!

Sosok Ratu Selendang Asmara jatuh menghantam 

tanah. Belum sempat dia bergerak bangkit, mendadak 

satu tendangan telah menggebrak di depan hidungnya!

Bukkk!

Ratu Selendang Asmara menjerit. Dadanya laksana 

dibongkar batangan kayu besar hingga bukan saja 

membuat sosoknya terpental, namun mulutnya juga 

muntahkan darah!

Dewi Bunga Asmara sempat terkesiap. Sejak tadi 

dia sebenarnya ingin segera membantu. Namun karena 

gerakan Ratu Selendang Asmara dan Hantu Pesolek 

begitu cepat, gadis cantik ini menunggu kesempatan 

sampai dapat ruang. Karena dia sendiri khawatir akan 

salah jatuhkan tangan.

Dan begitu mendapati gurunya terjengkang roboh 

dengan mulut semburkan darah, Dewi Bunga Asmara


buru-buru melesat.

Tapi Hantu Pesolek tak mau buang kesempatan. 

Kedua tangannya bergerak. Tangan kiri menghantam 

ke arah Dewi Bunga Asmara, sementara tangan kanan 

lepas pukulan ke arah Ratu Selendang Asmara.

Gerakan tubuh Dewi Bunga Asmara terhenti. Saat 

lain gadis ini putar tubuh lalu hantamkan kedua tan-

gannya.

Terdengar letupan. Sosok Dewi Bunga Asmara ter-

sentak mundur beberapa tindak. Wajahnya berubah. 

Kedua tangannya bergetar. Sementara di seberang sa-

na, Hantu Pesolek tetap tegak tak bergeming. Malah 

sunggingkan senyum tatkala melihat gelombang puku-

lannya yang mengarah pada Ratu Selendang Asmara 

tidak lagi mendapat hadangan si nenek karena nenek 

ini sudah terluka cukup parah. Hingga meski sekali-

pun dia membuat gerakan menghadang pukulan, hal 

itu tidak akan membantu banyak. Dan tentu gera-

kannya sudah sangat terlambat.

Wuusss!

Untuk kesekian kalinya sosok Ratu Selendang As-

mara mencelat mental. Namun kali ini disertai lengkin-

gan tinggi dan tiba-tiba terputus laksana dirobek tan-

gan setan. Saat lain sosoknya melayang lunglai ke ba-

wah dengan teteskan darah!

Jeritan terputus Ratu Selendang Asmara membuat 

Dewi Bunga Asmara batalkan niatnya yang hendak le-

paskan pukulan ke arah Hantu Pesolek. Dia cepat pu-

tar diri lalu berkelebat menyongsong sosok gurunya.

“Guru...!” Dewi Bunga Asmara berteriak tinggi 

tatkala meletakkan sosok gurunya di atas tanah dan 

mendapati nyawanya sudah melayang!

Kemarahan Dewi Bunga Asmara tak bisa ditahan 

lagi. Kematian gurunya membuat dia lupa akan siapa


yang tengah dihadapi. Dia nekat hendak berjibaku de-

ngan Hantu Pesolek untuk membayar nyawa gurunya. 

Hingga gadis muda ini langsung beranjak bangkit den-

gan kedua tangan terangkat ke atas siap lepas puku-

lan.

“Nyawamu terlarang buat setan sekalipun!” teriak 

Dewi Bunga Asmara. Kedua tangannya berkelebat le-

paskan pukulan.

Hantu Pesolek tersenyum. Pemuda berkebaya ini 

bukannya menghadang gelombang pukulan Dewi Bun-

ga Asmara, sebaliknya berkelebat menyongsong Seten-

gah jalan, baru kedua tangannya bergerak!

Dari gelombang yang menggebrak dari tangan mas-

ing-masing orang, sudah bisa ditebak jika Dewi Bunga 

Asmara tidak akan bisa membendung bias bentroknya 

pukulan.

“Aku sudah kehilangan perempuan yang kupilih.... 

Aku tak mau kehilangan muridnya juga! Siapa tahu 

muridnya mau menggantikan gurunya!”

Mendadak terdengar orang bersuara. Lalu dari arah 

mana Dewa Cadas Pangeran berada terlihat satu ge-

lombang menderu ke arah gelombang yang baru saja 

menggebrak dari kedua tangan Hantu Pesolek.

Blammm!

Sosok Hantu Pesolek tersentak mundur dua lang-

kah. Sementara sosok Dewi Bunga Asmara langsung 

terguling roboh.

“Jahanam! Ada tangan yang ikut campur!” sentak 

Hantu Pesolek. Sosoknya langsung berputar meng-

hadap Dewa Cadas Pangeran yang masih duduk de-

ngan pundak bergerak-gerak. Sementara batu putih di 

depan wajahnya berguncang keras!



TUJUH


HANTU Pesolek sudah tahu siapa gerangan yang 

menghadang pukulannya. Dia sudah siapkan pukulan. 

Namun begitu ekor matanya menangkap sosok Pende-

kar 131 yang sudah bangkit, pemuda berkebaya ini 

urungkan niat. Dia sentakkan tubuhnya berputar 

menghadap murid Pendeta Sinting. Saat lain sosoknya 

melesat.

Meski masih merasakan kepalanya berkunang-ku-

nang dan dadanya berdenyut nyeri serta anggota tu-

buhnya tegang kaku, Joko cepat membuat gerakan 

berkelebat.

Joko tidak berusaha untuk menghadang Hantu Pe-

solek dengan menyongsong kelebatannya, karena dia 

sudah pernah mengalami dan akibatnya fatal. Kantong 

putih berisi peta wasiat pemberian Guru Besar Pu Yi 

lenyap diambil Hantu Pesolek. Maka kali ini dia tidak 

mau mengulangi kesalahannya.

Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting 

berkelebat menyingkir. Hantu Pesolek melesat menge-

jar ke mana Joko menghindar.

Joko tidak menunggu sampai tubuh Hantu Pesolek 

mendekat dan beradu tangan. Begitu masih sepuluh 

langkah lagi sosok Hantu Pesolek sampai, Pendekar 

131 sudah sentakkan kedua tangannya.

Wuuttt! Wuuutt!

Dua gelombang dahsyat berkiblat. Hantu Pesolek 

terpaksa hentikan gerakan berkelebatnya dan serta-

merta dorongkan kedua tangannya.

Bummmm!

Bentrok gelombang pukulan terjadi. Sosok Hantu 

Pesolek terdorong keras di udara lalu melayang turun.


Tubuh Hantu Pesolek tampak terhuyung-huyung. Ka-

rena dia memapak pukulan waktu berada di udara. 

Sementara sosok Pendekar 131 hanya tersentak-

sentak maju mundur.

“Serahkan kantong dan gelang itu padaku!” Hantu 

Pesolek angkat suara.

“Hem.... Tampaknya dia masih belum percaya den-

gan kantong di tangannya! Dia termakan ucapanku 

dan sikap Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap 

Kayangan. Aku akan coba tawar menawar....” Joko 

membatin dalam hati. Lalu berkata.

“Kau sudah memiliki kantong. Untuk apa kau minta 

kantong yang ada padaku?!”

“Jangan bertanya! Turuti saja perintahku!”

“Kita sama-sama punya kantong. Bagaimana kalau 

kita bertukar?!”

“Aku minta kau serahkan kantong dan gelang itu 

padaku! Aku tidak minta....”

Belum selesai ucapan Hantu Pesolek, Joko sudah 

menukas.

“Kalau kau tidak mau bertukar, bagaimana kalau 

kau serahkan saja kantong di tanganmu padaku?! Bu-

kankah kantong itu dahulu kau ambil dari tanganku?!”

Hantu Pesolek tidak sambuti ucapan murid Pendeta 

Sinting dengan angkat suara. Melainkan langsung me-

lompat ke depan sambil lepaskan pukulan.

Joko tidak mau bertindak main-main apalagi dia 

yakin kantong di tangan Hantu Pesolek adalah kantong 

yang asli. Maka dia segera siapkan pukulan sakti 

‘Lembur Kuning’. Hingga saat itu juga kedua tangan-

nya pancarkan sinar kekuningan. Dan saat Joko sen-

takkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat ber-

kiblat disertai sinar warna kuning yang semburkan 

hawa panas menyengat.


Blaamr!

Kembali terdengar ledakan keras. Sosok Hantu Pe-

solek tersapu ke belakang hingga beberapa langkah. 

Namun pemuda berkebaya ini masih bisa kuasai diri 

tidak sampai jatuh terjengkang meski parasnya beru-

bah dan sosoknya bergetar keras.

Hantu Pesolek cepat lipat gandakan tenaga dalam, 

karena dia tadi tidak menduga jika akan dihadang 

dengan pukulan dahsyat, hingga sosoknya sempat ter-

sapu.

Namun Hantu Pesolek tidak segera membuka puku-

lan, karena tiba-tiba dia merasakan mulutnya asin dan 

perutnya mual. Dia coba bertahan, tapi gagal hingga 

saat itu juga mulutnya mengembung sebelum akhirnya 

perdengarkan batuk muntahkan darah!

“Jahanam keparat!” maki Hantu Pesolek mengutuki 

dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak menduga 

kalau bentrokan pukulan itu akan membuatnya terlu-

ka dalam.

Di lain pihak, karena sudah terluka akibat bentrok 

dengan Hantu Bulan Emas, bentrokan yang baru saja 

terjadi membuat dadanya makin sesak dan mulutnya 

megap-megap. Namun sejauh ini dia tidak mengalami 

luka dalam, karena pukulan yang dilepas Hantu Peso-

lek masih kalah dibanding pukulan yang dilepaskan 

Joko.

Hantu Pesolek rangkapkan kedua tangannya di atas 

kening. Lalu kedua kakinya ditekuk dan duduk di atas 

tanah.

“Apa pun yang dilakukan orang itu, pasti dia akan 

lepaskan pukulan andalannya!” Joko membatin. Lalu 

ikut-ikutan duduk di atas tanah dengan kedua tangan 

ditarik ke belakang. Saat itu juga telapak tangan kiri 

murid Pendeta Sinting berubah menjadi kebiruan. In


ilah tanda kalau dia tengah siapkan pukulan sakti ‘Se-

rat Biru’!

Hantu Pesolek sentakkan kedua tangannya sejajar 

dengan dada. Lalu dihantamkan ke depan.

Tidak ada suara deru yang terdengar. Gelombang 

pun tidak kelihatan. Tapi saat itu juga murid Pendeta 

Sinting rasakan sapuan angin gelombang luar biasa 

dahsyat. Hingga kalau dia tidak segera sentakkan ke-

dua tangannya niscaya sosoknya akan segera terpen-

tal!

Wuuutt! Wuutt!

Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru lak-

sana benang.

Hantu Pesolek tertawa panjang, membuat semua 

kepala berpaling. Namun tiba-tiba pemuda berkebaya 

itu putuskan tawanya. Saat lain pemuda ini melaku-

kan tindakan hebat. Sosoknya melesat laksana terbang 

ke arah Pendekar 131 menerabas serat-serat biru! He-

batnya, meski serat-serat biru itu bukan serat-serat 

biasa, namun Hantu Pesolek sepertinya tidak merasa-

kan apa-apa!

Murid Pendeta Sinting melengak. Kuduknya jadi 

dingin mendapati pukulan ‘Serat Biru’-nya bukan saja 

tidak mampu menghantam Hantu Pesolek, namun pu-

kulan itu laksana tidak punya kehebatan sama sekali. 

Hingga sosok Hantu Pesolek enak saja menerabas dan 

tidak merasakan apa-apa!

“Menyingkiiiiir!” Tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ber-

teriak.

Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 131 sentakkan 

kedua kakinya ke atas tanah. Sosoknya berkelebat ke 

samping hindari gerakan sosok Hantu Pesolek. Tapi 

Joko jadi terkejut. Karena baru saja berkelebat ke 

samping, Hantu Pesolek sudah berada tiga langkah di


depannya!

“Menyingkirrrrrrr!” Lagi-lagi terdengar teriakan. Kali 

ini diperdengarkan Dewa Cadas Pangeran.

Joko cepat turunkan kedua tangannya yang hendak 

lepaskan pukulan lagi ke arah Hantu Pesolek. Lalu 

berkelebat lagi menghindar. Tapi baru saja melesat, 

Hantu Pesolek sudah pula berada tidak jauh di hada-

pannya!

“Pukullllll!” Hampir berbarengan Dewa Cadas Pan-

geran dan Dewa Asap Kayangan berseru.

Meski masih dilanda keheranan, namun Joko sege-

ra angkat kedua tangannya dan langsung dihantam-

kan pada Hantu Pesolek.

Hantu Pesolek sempat perdengarkan teriakan ma-

rah. Lalu papasi kedua tangan Joko dengan sentakkan 

kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Sosok Hantu Pesolek langsung terdorong keras di 

udara. Kedua tangannya mental balik. Lalu jatuh ter-

jengkang di atas tanah dengan mulut semburkan da-

rah.

“Heran.... Bagaimana bisa begini?! Padahal pukul-

anku tadi pukulan biasa! Hanya mengandalkan tenaga 

dalam pada kedua tangan!” Joko membatin sambil pe-

gangi kedua tangannya yang terasa ngilu dan men-

gembung merah.

Hantu Pesolek menoleh pada Dewa Cadas Pangeran 

dan Dewa Asap Kayangan seraya pegangi dadanya. Se-

pasang matanya mendelik angker. “Dari mana mereka 

tahu kelemahanku?! Aku tak bisa terus berada di tem-

pat ini! Aku bisa celaka!”

Habis membatin begitu, Hantu Pesolek berteriak 

lantang.

“Dewa Cadas Pangeran! Dewa Asap Kayangan dan


kau pemuda asing! Malam ganda sepuluh ini jadi saksi 

urusan antara kita! Kalian boleh sembunyi sampai 

ujung bumi, di bawah tanah di atas langit! Tapi kalian 

kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai uru-

san kita selesaikan!”

Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek telah ber-

kelebat.

“Kau boleh pergi sampai ujung dunia, sampai ke da-

lam tanah dan sampai ke atas langit! Tapi serahkan 

dahulu kantong di tanganmu! Itu kantongku!” Joko 

berteriak lalu melompat dan berdiri menghadang.

“Kawanku Hantu Pesolek...,” kata Dewa Asap Ka-

yangan. “Turuti saja permintaan kawan kita itu! Uru-

san nanti kita selesaikan kelak di kemudian hari!”

“Kami tahu kelemahanmu!” Dewa Cadas Pangeran 

menyabut. “Kalau kau masih ingin selesaikan urusan 

kelak kemudian hari, turuti apa yang diminta pemuda 

kawan kita itu! Jika tidak, berarti urusan itu akan kita 

selesaikan malam ini juga!”

Tengkuk Hantu Pesolek jadi merinding. “Daripada 

nyawaku melayang dengan membawa dendam tak ter-

balas, lebih baik kuturuti saja permintaannya! Dengan 

begitu aku masih punya kesempatan untuk memba-

las!”

Tanpa buka suara, tangan Hantu Pesolek menyeli-

nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik ke-

luar dan disentakkan, kantong putih melayang ter-

campak di atas tanah!

“Kantong itu adalah titipan nyawa kalian! Kelak aku 

akan mengambilnya lagi beserta nyawa kalian!” seru 

Hantu Pesolek. Sekali membuat gerakan sosoknya ber-

kelebat menuruni Bukit Toyongga.

“Jangan mimpi kau bisa lari!” Tiba-tiba Dewi Bunga 

Asmara membentak garang. Namun sebelum sosoknya


sempat berkelebat mengejar Hantu Pesolek, Dewa Ca-

das Pangeran telah berkata.

“Gadis cantik.... Sakit hati memang belum tuntas. 

Tapi kau harus sadar. Lagi pula kelak mungkin kau 

masih bisa berjumpa dengannya lagi. Kau tak usah 

mencarinya, karena dia akan datang mencariku. Kau 

cukup bersamaku kalau ingin bertemu dengannya la-

gi....”

Walau kemarahannya masih membuncah akibat 

kematian gurunya di tangan Hantu Pesolek, namun 

ucapan Dewa Cadas Pangeran masih membuat Dewi 

Bunga Asmara berpikir. Hingga dia batalkan niat un-

tuk mengejar Hantu Pesolek. Sebaliknya segera me-

langkah ke arah sosok mayat Ratu Selendang Asmara.

Di lain pihak, begitu Hantu Pesolek berlalu, murid 

Pendeta Sinting segera melompat mengambil kantong 

putih yang tercampak di tanah.

Namun baru saja tangan kanan Pendekar 131 men-

julur ke bawah, satu deruan dahsyat menghampar. 

Gelombang pukulan menggebrak diiringi semburatnya 

asap hitam.

Murid Pendeta Sinting sempat berseru kaget. Dia 

urungkan niat untuk mengambil kantong di tanah. Se-

lain karena tiba-tiba pemandangan menjadi hitam pe-

kat, dia harus cepat menghadang pukulan yang da-

tang.

Joko cepat putar tubuh. Bersamaan itu kedua tan-

gannya bergerak menyentak.

Wuutt! Wuuuutt!

Sinar kuning berkiblat disertai suara gemuruh luar 

biasa dan hawa panas menyengat. Inilah tanda kalau 

Joko lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kali ini Joko 

memang tidak segan-segan lepaskan pukulan andalan, 

karena dia maklum bukan saja nyawanya yang harus


diselamatkan, namun kantong di atas tanah juga tidak 

boleh lepas ke tangan orang lain.

Untuk kesekian kalinya puncak bukit dibuncah le-

dakan keras. Asap hitam langsung semburat berenta-

kan. Saat bersamaan satu sosok hitam terpental men-

celat lalu terjengkang di atas tanah.

Joko sendiri tampak terhuyung-huyung sebelum 

akhirnya jatuh terduduk. Ketika dia luruskan kepala-

nya ke depan, di seberang sana sosok hitam yang telah 

terjengkang bergerak bangkit. Ternyata orang ini ada-

lah Bayangan Tanpa Wajah.

Bayangan Tanpa Wajah sendiri langsung kerahkan 

telaga dalamnya. Seolah tidak mau memberi kesempa-

tan, dia sudah berkelebat ke depan sebelum Pendekar 

131 bergerak bangkit.

Mungkin menduga lawan telah terluka cukup parah 

setelah bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu 

Pesolek, Bayangan Tanpa Wajah terus melesat ke de-

pan. Dan tahu-tahu kaki kanannya sudah lepas ten-

dangan ke arah kepala Joko sementara tangan kiri ka-

nannya lepaskan hantaman ke arah perut.

Joko sentakkan tubuhnya ke belakang. Kakinya di-

angkat tinggi-tinggi seolah membuat gerakan bersalto.

Bukkkk! Buukk!

Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan seruan te-

gang tertahan. Sosoknya terbanting ke samping dan ja-

tuh menghantam tanah. Di lain pihak, kedua kaki Jo-

ko yang terangkat ke atas langsung mental ke bawah 

dan menggebrak tanah hingga perdengarkan debuman 

keras dan membuat lobang menganga!

Terhuyung-huyung Bayangan Tanpa Wajah beran-

jak bangkit. Saat lain laki-laki berkulit hitam legam ini 

takupkan kedua tangannya sejajar dada. Kejap itu juga 

terlihat bayangan hitam seolah-olah keluar dari sosok


tubuh Bayangan Tanpa Wajah. Hingga yang terlihat 

sekarang adalah dua sosok tubuh.

Karena sudah pernah bentrok dengan Bayangan 

Tanpa Wajah, Joko tahu persis apa yang hendak dila-

kukan Bayangan Tanpa Wajah. Hingga begitu dari so-

sok tubuh Bayangan Tanpa Wajah akan keluar lagi sa-

tu bayangan hitam, murid Pendeta Sinting segera le-

paskan pukulan ‘Lembur Kuning’ ke arah sosok 

Bayangan Tanpa Wajah.

Bayangan Tanpa Wajah terlengak. Terlambat bagi-

nya membuat gerakan menghadang atau menghindar. 

Hingga tanpa ampun lagi sosok Bayangan Tanpa Wa-

jah tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum 

akhirnya terkapar di atas tanah dengan pakaian terba-

kar dan mulut muntahkan darah. Laki-laki ini sempat 

mengejang beberapa saat sebelum akhirnya diam tak 

bergerak-gerak lagi.



DELAPAN



PENDEKAR 131 melangkah terhuyung-huyung me-

ngambil kantong yang tergeletak di atas tanah. Saat 

itulah terdengar suara sesenggukan. Joko berpaling.

Terlihat Bidadari Bulan Emas tengah tengkurap di 

atas tubuh Hantu Bulan Emas dengan bahu bergun-

cang dan terisak.

“Bidadari...,” kata murid Pendeta Sinting seraya me-

langkah mendekati. “Maafkan aku. Aku tidak bermak-

sud....”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan....” Bidadari Bulan 

Emas sudah menyahut dengan suara tersendat dan 

angkat kepalanya memandang ke arah Joko.

“Tapi kematian gurumu karena bentrok dengan

ku....”

“Mungkin ini sudah takdir! Lagi pula aku sudah 

memperingatkan sebelumnya...,” kata Bidadari Bulan 

Emas lalu pandangi wajah Hantu Bulan Emas.

Pendekar 131 lebih mendekat, lalu jongkok di sam-

ping Bidadari Bulan Emas. Namun sebelum benar-

benar jongkok, sang Bidadari sudah angkat suara.

“Pendekar 131.... Harap tidak menambah urusan di 

tempat ini.... Aku tidak ingin terjadi urusan dengan 

gadis-gadis itu...!” Bidadari Bulan Emas arahkan pan-

dangannya pada Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan 

Siao Ling Ling.

“Bidadari....”

Belum sampai Joko teruskan ucapan, Bidadari Bu-

lan Emas sudah gerakkan kepala seraya memotong 

ucapan Joko.

“Sudahlah.... Tinggalkan aku! Biarkan aku berdua 

dengan guruku pada saat terakhir ini....”

“Bidadari.... Kau jangan salah duga...,” ujar Joko 

tanpa beranjak dari samping Bidadari Bulan Emas.

“Pendekar 131.... Mata dan perasaanku tidak bisa 

menipu. Aku tahu bagaimana perasaan gadis-gadis itu 

padamu. Maka dari itu jangan mempersulit diri dengan 

membakar perasaan mereka. Hal itu nantinya bukan 

saja membuat dirimu ditimpa urusan, namun aku juga 

akan ikut makan getahnya.... Kuharap kau mau men-

jauh dari sisiku walau sebenarnya aku sangat senang 

berada berdampingan denganmu....”

Dada Joko jadi berdebar mendengar ucapan Bida-

dari Bulan Emas. Dia menghela napas panjang. “Jan-

gan-jangan dia juga.... Ah. Mungkin ini hanya duga-

anku saja...! Tapi ucapannya....”

Selagi Joko membatin begitu, tiba-tiba dari depan 

sana terdengar orang membentak.


“Kuperingatkan kau agar menyingkir dan me-

nunggu hingga tiba giliranmu!”

Yang perdengarkan bentakan ternyata Siao Ling 

Ling. Seraya membentak keras, dia memandang tajam 

pada Guru Besar Liang San.

“Aku memang akan menunggu giliran! Tapi aku te-

gak di sini tidak ada hubungannya dengan kematian 

ayahmu!”

“Lalu...?!” kembali Siao Ling Ling membentak.

“Gelang di tangan Panglima itu adalah benda pe-

ninggalan leluhur Shaolin. Aku harus menyelamatkan-

nya dari tangan orang lain!”

“Baik! Tapi tunggulah sampai aku membayar nyawa 

ayahku! Setelah itu persetan dengan urusan gelang 

Ku!”

“Kau kira aku tidak tahu apa yang ada di balik uca-

panmu, hah?! Kau sebenarnya menginginkan gelang 

itu juga!”

“Buka telingamu lebar-lebar, Guru Besar! Nyawa 

ayahku tidak bisa ditukar dengan seribu gelang seperti 

Ku! Aku hanya menginginkan nyawanya!”

“Kau tidak akan bertindak khianat seperti ayah-

mu?!” tanya Guru Besar Liang San membuat paras wa-

jah Siao Ling Ling merah mengelam dan pelipisnya 

bergerak-gerak.

“Kau sadar dengan ucapanmu, Guru Besar?! Kau 

juga adalah pengkhianat! Bahkan kau adalah pembu-

nuh saudara dan gurumu sendiri!”

Guru Besar Liang San terdiam. Kesempatan itu di-

gunakan oleh Siao Ling Ling untuk segera maju dan 

hantamkan kedua tangannya ke arah Panglima Muda 

Lie.

Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat ge-

rakan. Namun sepasang matanya terus memperhati


kan tangan sang Panglima yang memegang gelang ba-

ja.

Sang Panglima sendiri coba bergerak mundur de-

ngan seret tubuhnya. Namun luka yang dideritanya 

membuat gerakannya amat lamban. Hingga baru saja 

tubuhnya bergerak mundur, kedua tangan Siao Ling 

Ling sudah satu depa menghantam di depan dadanya!

Satu jengkal lagi dada Panglima Muda Lie pecah 

terhantam kedua tangan Siao Ling Ling, mendadak sa-

tu gelombang berkiblat. Siao Ling Ling tersurut mun-

dur dua langkah. Saat lain putri Baginda Ku Nang ini 

balikkan tubuh.

Tujuh langkah di depannya Mei Hua tegak dengan 

kedua tangan masih berada di atas udara.

“Ternyata kau ingkar janji!” hardik Siao Ling Ling.

Mei Hua gelengkan kepala. “Aku tidak ingkar janji. 

Hanya saja kuharap kau berbaik hati padaku...!”

“Berbaik hati apa?!”

“Urusan ini biar kuselesaikan sendiri! Kalau kau in-

ginkan gelang itu, silakan ambil, tapi jangan sentuh 

tubuhnya! Aku yang akan menjatuhkan hukuman atas 

tindakannya!”

Siao Ling Ling tertawa pendek. “Aku juga adalah 

seorang anak. Aku tidak percaya dengan ucapanmu! 

Mana ada seorang anak akan jatuhkan hukuman pada 

ayahnya?!”

“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku men-

junjung tinggi kebenaran! Siapa yang salah harus di-

hukum meski dia adalah ayahku!”

“Berkata memang mudah!”

“Terserah kau mau bilang apa! Yang pasti aku tidak 

akan biarkan siapa saja yang menyentuh tubuhnya!”

“Bagus! Berarti kau ingin mampus sekalian bersa-

ma pengkhianat itu!”


Belum selesai ucapannya, Siao Ling Ling sudah me-

lompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat le-

paskan jotosan ke arah kepala Mei Hua.

Mei Hua cepat rundukkan kepala, lalu hantamkan 

kedua tangannya ke arah kelebatan kedua tangan Siao 

Ling Ling.

Bukk! Buuukk!

Dua gadis ini sama perdengarkan seruan. Tubuh 

masing-masing tersurut mundur beberapa langkah. 

Paras keduanya sama berubah. Saat itulah Guru Besar 

Liang San melompat. Tangan kanannya berkelebat 

menyambar gelang baja di tangan Panglima Muda Lie.

Panglima Muda Lie sengaja membiarkan gelang baja 

di tangannya disambar Guru Besar Liang San. Namun 

bersamaan dengan itu tangan satunya yang sedari tadi 

siap, berkelebat.

Bruuss!

Guru Besar Liang San terlempar mundur dengan 

tangan kiri pegangi lambungnya yang kucurkan darah. 

Sementara tangan kanannya yang telah memegang ge-

lang segera menyelinap ke balik pakaiannya simpan 

gelang baja yang baru saja disambar dari tangan Pan-

glima Muda Lie.

Guru Besar Liang San perhatikan sosok Panglima 

Muda Lie beberapa saat. Lalu cepat gerakkan tangan 

kanan ke arah lambungnya yang ternyata telah tertan-

cap sebilah pisau pendek. Dia menotok sekitar pisau 

yang menancap. Kejap lain tangan kirinya bergerak 

cabut pisau. Dan sekali membuat gerakan, sosoknya 

telah mengudara. Tangan kirinya berkelebat.

Wuutt!

Pisau berlumuran darah yang tadi menancap di 

lambung Guru Besar Liang San menderu cepat ke arah 

Panglima Muda Lie yang tampak tercekat tegang. Sekalipun laki-laki bekas kepercayaan Baginda ini berusa-

ha mengelak, tapi tak urung lesatan pisau ini lebih ce-

pat datangnya.

Bruss!

Panglima Muda Lie perdengarkan jeritan tinggi. Dari 

bagian dadanya muncrat kucuran darah. Beberapa 

saat kedua tangan sang Panglima coba cabut pisau mi-

liknya sendiri yang tadi dilemparkan dan menancap di 

lambung Guru Besar Liang San. Namun gerakan ke-

dua tangannya terhenti di tengah jalan. Lalu luruh 

lunglai dengan napas terhenti!

Pendekar 131 yang tadi sempat tegak hendak me-

lompat segera diurungkan. Karena apa pun gerakan 

yang dilakukan, tidak akan dapat menghadang lesatan 

pisau yang disentakkan Guru Besar Liang San.

Di lain pihak, jeritan Panglima Muda Lie membuat 

Mei Hua dan Siao Ling Ling berpaling. Serta-merta Mei 

Hua melompat ke arah sang Panglima. Tapi cuma se-

saat, saat lain gadis cantik ini segera sentakkan tubuh 

menghadap Guru Besar Liang San. Saat yang sama, 

Siao Ling Ling juga putar tubuh ke arah Guru Besar 

Liang San.

Laksana dikomando, Mei Hua dan Siao Ling Ling 

sama melompat ke arah Guru Besar Liang San. Lalu 

tegak berjajar tiga langkah di depan laki-laki berkepala 

gundul itu.

“Kau telah merampas hakku atas nyawanya! Berarti 

kau yang harus menggantikannya!” Siao Ling Ling 

angkat suara dengan setengah membentak.

“Kau harus bayar nyawanya!” Mei Hua berteriak se-

tengah menjerit dengan suara tersendat.

Habis berteriak begitu, kedua gadis yang sama ber-

paras cantik itu maju dua langkah. Tangan mereka 

berkelebatan menghantam Guru Besar Liang San.


Terdengar beberapa kali benturan keras. Namun 

meski tidak membuat gerakan apa-apa, sosok Guru 

Besar Uang San tidak bergeming dari tempatnya!

Mendapati hal demikian, Mei Hua jadi kalap. Lak-

sana orang kesetanan dia kerahkan segenap tenaga 

dalam yang dimiliki, lalu menghantam lagi ke arah 

Guru Besar Liang San. Di lain pihak, Siao Ling Ling 

tak tinggal diam. Dia juga himpun segenap tenaga da-

lamnya. Lalu membabi buta menghantam ke sekujur 

tubuh Guru Besar Liang San.

Guru Besar Liang San tetap diam. Tangan kanan-

nya disedekapkan di depan dada sementara tangan kiri 

memegangi lambungnya.

Beberapa saat berlalu. Mungkin karena kehabisan 

tenaga begitu Guru Besar Liang San hentakkan pun-

daknya, kedua tangan Mei Hua dan Siao Ling Ling 

mental ke udara. Lalu sosok kedua gadis itu terjeng-

kang roboh.

Mei Hua dan Siao Ling Ling tidak ambil peduli, me-

reka segera bangkit. Tapi mereka tersentak kaget. Me-

reka bukan saja tidak mampu bergerak bangkit, tapi 

mereka merasakan tubuhnya tegang kaku tak bisa di-

gerakkan!”

“Pukulan ‘Inti Tanpa Raga’!” berseru Dewa Asap Ka-

yangan mengenali apa yang baru saja dilakukan Guru 

Besar Liang San pada Mei Hua dan Siao Ling Ling 

hingga kedua gadis itu tidak bisa bergerak dan bersua-

ra.

“Kalian anak-anak manusia pengkhianat! Kalian 

pantas untuk menyusul sekalian ke alam kubur!” 

Guru Besar Liang San mendesis. Sekali membuat ge-

rakan, tangan kanan kirinya bergerak lepaskan puku-

lan ke arah Mei Hua dan Siao Ling Ling yang sudah 

tak berdaya.


“Tahan!” Pendekar 131 berteriak seraya sentakkan 

kedua tangannya.

Kedua tangan Guru Besar Liang San tersentak ke 

udara. Hingga meski dari kedua tangannya menderu 

gelombang dahsyat, namun sasarannya adalah udara 

kosong di atas sana.

Guru Besar Liang San berpaling. Pendekar 131 te-

lah tegak lima langkah di hadapannya dengan kem-

bangkan senyum meski dadanya masih terasa nyeri 

akibat bentrok dengan Hantu Pesolek dan Hantu Bu-

lan Emas.

Guru Besar Liang San melangkah maju dua tindak.

“Gelang dan dua kantong itu!” kata Guru Besar 

Liang San sambil menunjuk ke arah tubuh Joko. “Se-

rahkan semuanya padaku!”

“Guru Besar.... Seharusnya kau yang serahkan ge-

lang itu padaku!” sambut Joko.

“Pemuda asing! Benda-benda ini adalah milik Per-

guruan Shaolin! Kau tidak pantas memilikinya!”

“Guru Besar Pu Yi telah memberi mandat padaku!”

“Perguruan Shaolin bukan punya Pu Yi. Dia juga 

bukan satu-satunya manusia yang berhak untuk 

memberi perintah!”

“Aku tak tahu urusan itu! Yang jelas aku jalankan 

perintah!”

“Hem.... Kau sudah tidak rindu lagi kampung hala-

manmu?!” tanya Guru Besar Liang San.

“Aku percaya jika masih bisa pulang....”

“Kau memang bisa pulang, Anak Muda! Bahkan aku 

bersedia mengantar.... Tapi kau akan pulang tanpa ge-

lang dan kedua kantong itu!”

“Kau salah, Guru Besar! Justru aku akan pulang 

dengan membawa serta gelang yang ada padamu...!”

“Aku ingin buktikan ucapanmu!” hardik Guru Besar


Liang San. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-

nya langsung berkelebat lepas pukulan.

Bukkkl Bukkk!

Terdengar benturan kala Joko angkat kedua tan-

gannya menghadang. Kedua kaki murid Pendeta Sin-

ting sempat goyah. Namun dia cepat kerahkan tenaga 

dalam dan kini mendahului melompat seraya ganti le-

paskan pukulan.

Bukkl Bukkk!

Kedua tangan Pendekar 131 telak menghantam da-

da Guru Besar Liang San. Tapi meski Guru Besar 

Liang San tidak menghadang pukulan Joko dan tidak 

coba menghindar, sosoknya tidak bergeming sama se-

kali.

“Aku penasaran! Apakah dia sanggup bertahan dari 

pukulanku!” kata Joko dalam hati. Dia kembali lipat 

gandakan tenaga dalam lalu maju dan mulai menghan-

tam bertubi-tubi ke arah sosok Guru Besar Liang San.

Namun hingga Joko kelelahan sendiri dan tena-

ganya habis, sosok Guru Besar Liang San tidak berge-

rak sedikit pun!

Pendekar 131 mundur empat langkah. Dia telah 

siap lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kedua tan-

gannya sudah berubah warna.

Di depan, Guru Besar Liang San tersenyum. Tidak 

tampak ketakutan pada raut wajahnya meski dia tadi 

telah tahu bagaimana pukulan yang dilepas Joko saat 

bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Peso-

lek. Malah laki-laki berkepala gundul ini berujar.

“Ternyata kau dilahirkan untuk mampus di tanah 

orang! Bahkan kau mampus saat berhadapan dengan 

lawan yang tidak membuat gerakan apa-apa!”

Dada Pendekar 131 jadi panas mendengar ucapan 

Guru Besar Liang San. Tanpa menyambut ucapan


orang, dia melompat.

Namun sebelum kedua tangan murid Pendeta Sin-

ting sempat lepaskan pukulan, mendadak satu suara 

terdengar.

“Anak muda! Serahkan urusan dia padaku!”

Satu sosok tubuh berkelebat. Joko batalkan niat la-

lu menoleh. Guru Besar Liang San lirikkan ekor matanya.


SEMBILAN



DADA Guru Besar Liang San berdebar tidak enak. 

Seketika dia sentakkan kepala berpaling. Serta-merta 

tubuhnya laksana didorong kekuatan dahsyat hingga 

kedua kakinya tersurut satu tindak dengan mata 

membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang di-

lihatnya.

“Dari pakaian dan sikapnya, jelas orang ini dari Per-

guruan Shaolin!” Joko membatin ketika matanya meli-

hat seorang laki-laki berkepala gundul mengena-kan 

pakaian warna kuning panjang yang di bagian pun-

daknya dililit kain berwarna merah. Paras wajah orang 

ini hampir mirip dengan Guru Besar Liang San. Dia te-

gak dengan kedua tangan menakup di depan dada dan 

kepala sedikit ditundukkan.

“Amitaba....” Dewa Asap Kayangan angkat bicara. 

“Bahagia sekali bisa jumpa denganmu lagi, Guru Besar 

Wu Wen She....”

“Amitaba....” Dewa Cadas Pangeran menyahut. “Aku 

hampir tak percaya jika kau yang muncul di tempat 

ini! Kabar yang sampai di telingaku, kau lenyap begitu 

saja tanpa ada berita....”

“Amitaba....” Laki-laki yang baru muncul dan kini

tegak tidak jauh dari Pendekar 131 buka mulut seraya 

putar diri menghadap Dewa Asap Kayangan dan Dewa 

Cadas Pangeran. “Tuhan masih memberkatiku hingga 

aku bisa berada di tempat ini. Kuucapkan terima kasih 

atas bantuan sahabat berdua....”

“Guru Besar Wu Wen She....” Joko bergumam. Lalu 

tatapi laki-laki yang baru muncul dan bukan lain ada-

lah Guru Besar Wu Wen She dari ujung kepala sampai 

ujung kaki.

Baru saja Joko bergumam begitu, Guru Besar Wu 

Wen She berkata.

“Anak muda.... Aku juga mengucapkan terima kasih 

atas segala jerih payahmu selama ini. Dan kalau kau 

tak keberatan, urusan dengan Guru Besar Liang San 

harap diberikan padaku....”

“Amitaba....” Joko ikut-ikutan takupkan kedua tan-

gan di depan dada lalu tundukkan kepalanya sedikit. 

“Aku tak keberatan urusan ini kau selesaikan.... Ta-

pi....”

“Aku tahu,” potong Guru Besar Wu Wen She yang 

bukan lain adalah adik Guru Besar Liang San yang le-

nyap begitu saja saat terjadi peristiwa berdarah di Per-

guruan Shaolin beberapa waktu yang lalu.

“Kau tak usah khawatir. Aku tidak akan ikut cam-

pur urusan yang ada kaitannya dengan peta wasiat mi-

lik Shaolin. Aku hanya ingin mendudukkan masalah 

yang ada hubungannya dengan peristiwa berdarah di 

Perguruan Shaolin....”

“Wu Wen She!” Tiba-tiba Guru Besar Liang San me-

nyahut. “Kau datang terlambat! Kau datang di tempat 

yang salah! Kalau kau ingin menyelesaikan urusan 

Perguruan Shaolin, kita selesaikan urusan itu di Kuil 

Shaolin!”

Guru Besar Wu Wen She geleng kepala. “Semua


yang ada di tempat ini serta urusannya masih berkai-

tan dengan Perguruan Shaolin. Jadi tak ada salahnya 

kalau urusan itu kita selesaikan di tempat ini!”

“Hem.... Aku ingin tahu bagaimana penyelesaian 

yang kau inginkan!”

“Aku telah berada di sekitar tempat ini sebelum kau 

muncul! Aku tahu apa yang kalian bicarakan! Tapi aku 

ingin tahu jawaban dari mulutmu sendiri! Benar kau 

bersekongkol dengan pihak kerajaan dalam peristiwa 

tewasnya kakak Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Be-

sar Su Beng Siok?!”

“Kau bertanya pada orang yang salah!”

Guru Besar Wu Wen She kernyitkan kening. “Me-

nurutmu, pada siapa aku harus bertanya?!”

Guru Besar Liang San tertawa. “Sebentar lagi kau 

akan bertemu dengan orang yang bisa menjawab per-

tanyaanmu! Kau tak usah khawatir. Aku yang akan 

mengantarmu!”

Tampaknya Guru Besar Wu Wen She masih belum 

bisa menangkap arah pembicaraan Guru Besar Liang 

San. Hingga dia berujar.

“Sepertinya aku tidak menemukan orang lain yang 

bisa menjawab pertanyaanku...!”

Guru Besar Liang San tersenyum sambil gelengkan 

kepala. “Kau kali ini salah ucap. Kau akan menemu-

kan orang yang paling tepat untuk menjawab perta-

nyaanmu. Sekaligus kau akan bertemu dengan sauda-

ra-mu!”

Guru Besar Wu Wen She terhenyak. “Amitaba.... 

Jadi yang kau maksud....”

Belum sampai Guru Besar Wu Wen She lanjutkan 

ucapan, Guru Besar Liang San sudah menukas.

“Tidak ada orang yang paling tepat untuk menjawab 

pertanyaanmu selain Pu Yi dan Maha Guru Besar Su

Beng Siok. Jadi aku akan mengantarmu menemui me-

reka!”

Guru Besar Wu Wen She menghela napas panjang. 

“Aku ingin dengar jawaban darimu!”

“Kau sudah dengar jawabanku!”

“Kau tidak mau berterus terang. Berarti kau me-

mang terlibat dalam peristiwa berdarah itu!”

“Jawaban pastinya bisa kau tanyakan sesaat lagi!”

Habis berucap begitu, Guru Besar Liang San sudah 

kelebatkan kedua tangannya seraya melompat.

Guru Besar Wu Wen She bukannya membuat ge-

rakan menghadang, melainkan melompat menghindar. 

Lalu berkata.

“Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah! 

Aku ingin kau mempertanggungjawabkan perbuatan-

mu di hadapan Perguruan Shaolin!”

“Sekarang ini akulah pemimpin Perguruan Shaolin. 

Aku yang menentukan siapa yang harus bertanggung 

jawab di depan Perguruan Shaolin!”

Guru Besar Wu Wen She tidak sempat lagi untuk 

buka suara. Karena sekonyong-konyong Guru Besar 

Liang San sudah berkelebat ke arah mana Guru Besar 

Wu Wen She berdiri tegak.

Mungkin karena punya dugaan kalau Guru Besar 

Wu Wen She akan berkelebat menghindar, begitu me-

layang di udara, Guru Besar Liang San sudah lepaskan 

pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

“Amitaba....” Guru Besar Wu Wen She buka mulut. 

Tapi laki-laki itu tidak berusaha menghindar hingga 

gelombang dahsyat yang menggebrak dari kedua tan-

gan Guru Besar Liang San berkiblat tanpa halangan ke 

arah tubuhnya!

“Aneh.... Mengapa dia seakan pasrah?!” gumam 

Pendekar 131 lalu sentakkan kedua tangannya.

Bummm!

Sosok Guru Besar Liang San terdorong ke samping. 

Sementara Pendekar 131 tersurut ke belakang.

Dengan menahan rasa sakit, murid Pendeta Sinting 

segera mendekati Guru Besar Wu Wen She. Lalu berbi-

sik.

“Bukannya aku menggurui. Tapi kalau begini ca-

ranya, urusan Perguruan Shaolin tidak akan selesai!”

Guru Besar Wu Wen She tersenyum. “Urusan justru 

tidak akan selesai kalau kekerasan dilawan dengan 

kekerasan!”

“Tapi itu bunuh diri!”

“Tidak, Anak Muda.... Menurut perhitungan manu-

sia hal itu memang bunuh diri. Tapi tidak demikian 

dengan perhitungan Yang Di Atas Sana....”

“Aku jadi tak mengerti...,” gumam murid Pendeta 

Sinting.

“Anak muda.... Memang diperlukan waktu untuk 

mengerti hal semacam itu....”

Baru saja Guru Besar Wu Wen She berucap begitu, 

tiba-tiba Guru Besar Liang San sudah melompat dan 

tegak di hadapan Pendekar 131.

“Anak muda.... Karena aku tidak bisa melawannya, 

kuharap kau mau menolongku...!” Guru Besar Wu 

Wen She berbisik.

“Dia memiliki ilmu yang membuatnya tahan segala 

pukulan!” Joko menyahut.

“Aku tahu di mana titik lemahnya. Aku akan me-

ngatakannya padamu. Tapi kuharap kau nanti tidak 

bertindak lebih jauh. Dia masih punya tugas untuk 

mempertanggungjawabkan tindakannya selama ini di 

depan Perguruan Shaolin.”

Joko anggukkan kepala. Guru Besar Wu Wen She 

melirik pada Guru Besar Liang San. Lalu berbisik.

Totok beberapa titik putih di kepalanya. Hindari 

bentrok langsung dengan cara berhadapan, karena dia 

memiliki ilmu ‘Inti Tanpa Raga’ yang dapat melakukan 

totokan dari jarak jauh tanpa harus melakukan ge-

rakan!”

“Apa yang kalian bicarakan, hah?!” bentak Guru

Besar Liang San dengan dada berdebar.

Yang dibentak tidak ada yang menyahut. Sebaliknya 

Guru Besar Wu Wen She segera berkelebat lalu tegak 

tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap 

Kayangan.

Guru Besar Liang San sudah berniat akan me-

ngejar, tapi Joko sudah menghadang dan langsung 

membuat gerakan berputar. Tangan kiri kanannya 

berkelebat ke arah kepala Guru Besar Liang San.

Guru Besar Liang San sempat terkesiap dengan ge-

rakan murid Pendeta Sinting. Dia cepat rundukkan 

kepalanya dan disentakkan ke belakang. Saat yang 

sama kedua tangannya segera berkelebat menahan ge-

rakan kedua tangan Joko.

Joko batalkan niat. Dia buru-buru tarik pulang tan-

gannya, lalu berkelebat memutar lagi, membuat Guru 

Besar Liang San ikut sentakkan tubuhnya memutar. 

Laki-laki berkepala gundul ini mulai curiga dengan ge-

rakan Joko, hingga begitu memutar, dia segera le-

paskan pukulan jarak jauh meski Joko tidak berada 

jauh darinya.

Wuutt! Wuuutt!

Pendekar 131 lorotkan tubuh hingga sejajar tanah, 

lalu melompat ke belakang sosok Garu Besar Liang 

San. Gelombang yang tadi menderu ke arah Joko, 

menggebrak udara kosong dan menerabas beberapa 

ujung jajaran pohon di lamping bukit. Ujung jajaran 

pohon langsung patah dan tersapu amblas.


Kecurigaan Guru Besar Liang San membuatnya ti-

dak mau bertindak ayal. Begitu mendapati pukulannya 

lolos menghajar sasaran, dia segera membuat gerakan 

bersalto ke belakang seolah tahu kalau Joko tengah 

kelebatkan kedua tangannya mengincar bagian kepa-

lanya.

Bukkkl Bukkk!

Gerakan salto Guru Besar Liang San membuat ke-

palanya selamat dari kelebatan tangan Joko. Tapi tan-

gan itu masih mampu menghajar wajah Guru Besar 

Liang San. Namun saat itu juga kedua kaki Guru Be-

sar Liang San menggebrak ke arah dada Pendekar 131.

Joko berseru kesakitan. Sosoknya terhuyung ke be-

lakang hingga beberapa langkah. Di lain pihak, Guru 

Besar Liang San teruskan saltonya meski kepalanya 

sempat tersentak ke bawah akibat pukulan tangan Jo-

ko yang menghantam wajahnya. Hebatnya, meski pu-

kulan tangan Joko telah dialiri tenaga dalam kuat, 

Guru Besar Liang San seolah tidak merasakan apa-

apa! Malah dia segera tegak dan siap melompat!

Joko tidak mau didahului. Begitu tahu Guru Besar 

Liang San siap melompat, dia melesat dahulu ke de-

pan. Setengah jalan dia segera hentakkan kakinya ke 

udara. Sosoknya melenting tinggi ke udara.

Guru Besar Liang San yang sudah menyergap ke 

depan hendak menyongsong segera hentikan serga-

pannya. Dia tengadah mengikuti gerakan lawan. Begitu 

melihat Joko melayang turun, dia bukannya segera 

menyambut dengan hantamkan tangannya ke atas, 

melainkan hentakkan kaki. Sosoknya membal seten-

gah tombak, saat lain dia tekuk tubuhnya dan me-

layang turun dengan kepala di bawah kaki di atas.

Begitu setengah depa lagi kepalanya sampai di atas 

tanah, mendadak kedua tangannya disentakkan menghantam tanah.

Sosok Guru Besar Liang San mental lagi ke atas. 

Namun kali ini dengan kepala berada di bawah semen-

tara kaki di atas!

Pendekar 131 yang masih melayang turun berpikir 

cepat. Kejap lain dia jungkir balik di udara, lalu han-

tamkan kakinya ke arah kaki Guru Besar Liang San.

Bukkl Bukk!

Tubuh murid Pendeta Sinting terbanting di udara. 

Sementara sosok Guru Besar Liang San tersentak ke 

atas, hingga bagian atas tubuhnya yang berada di ba-

wah terangkat.

Kesempatan ini tidak disia-siakan Joko. Meski ma-

tanya sudah berkunang-kunang dia masih mampu me-

lihat gerakan tubuh Guru Besar Liang San. Hingga be-

gitu bagian atas tubuh Guru Besar Liang San terang-

kat, dia cepat kelebatkan kedua tangannya.

Guru Besar Liang San terkesiap. Namun dalam 

keadaan terjepit begitu rupa, dia masih bisa gerakkan 

kedua pundaknya!

“Mundur!” Guru Besar Wu Wen She berteriak mem-

peringatkan, tahu jika Guru Besar Liang San tengah 

lepas pukulan ‘Inti Tanpa Raga’.

Namun Joko tidak hiraukan teriakan orang, karena 

dia yakin kali ini tangannya tidak akan meleset meng-

hajar sasaran. Dia terus menghantam.

Bukkk! Bukkk!

Pendekar 131 berhasil sarangkan gebukan pada ke-

pala Guru Besar Liang San tepat pada bagian beberapa 

titik putih di kepalanya.

Guru Besar Liang San berteriak. Saat yang sama 

sosoknya melayang ke bawah tanpa membuat gerakan 

apa-apa meski sepertinya orang ini masih mampu un-

tuk menghindar dari benturan dengan tanah di bawahnya.

Bukkk!

Sosok besar Guru Besar Liang San terkapar di atas 

tanah tanpa bisa bergerak lagi meski sepasang mata-

nya masih terbuka nyalang memperhatikan tubuh mu-

rid Pendeta Sinting yang juga melayang ke bawah tan-

pa membuat gerakan apa-apa hingga tubuhnya ter-

jengkang menghantam tanah.

“Busyet! Sekujur tubuhku tegang tak bisa digerak-

kan!” gumam Joko dalam hati seraya memandang 

khawatir pada Guru Besar Liang San. “Celaka kalau 

dia masih mampu bangkit!”

Mungkin karena khawatir, Joko coba kerahkan te-

naga dalam. Namun walau dia telah berusaha, tubuh-

nya tetap tegang kaku tak bisa digerakkan!

Joko makin cemas, tapi kecemasannya perlahan-

lahan sirna tatkala tahu Guru Besar Liang San juga te-

tap diam di atas tanah tanpa membuat gerakan.

Saat itulah Guru Besar Wu Wen She melangkah ke 

arah murid Pendeta Sinting, sementara Dewa Cadas 

Pangeran bergerak ke arah Dewi Bunga Asmara, dan 

Dewa Asap Kayangan menyusul mendekati Mei Hua 

dan Siao Ling Ling yang masih terkapar di atas tanah 

tanpa bisa bergerak akibat pukulan ‘Inti Tanpa Raga’ 

yang dilepas Guru Besar Liang San.



SEPULUH



AMITABA.... Terima kasih, Anak Muda!” kata Guru 

Besar Wu Wen She seraya takupkan kedua tangan di 

depan dada lalu bergerak jongkok. Kedua tangannya 

segera ditarik dari dada.

“Maafkan, Anak Muda...,” ujar Guru Besar Wu Wen

She. Kedua tangannya segera bergerak ke arah ubun-

ubun dan pusar murid Pendeta Sinting dengan jari 

tengah dan jari telunjuk ditekuk.

Pendekar 131 berseru tertahan. Dia merasakan ba-

tok kepalanya seakan pecah dan perutnya ditimpa ba-

tangan besi, hingga perutnya terdorong deras ke bela-

kang. Namun bersamaan dengan itu, dia bisa gerakkan 

anggota tubuhnya!

Di lain pihak, Dewa Asap Kayangan yang telah be-

rada dekat dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling segera 

pula lakukan seperti yang diperbuat Guru Besar Wu 

Wen She pada murid Pendeta Sinting.

“Terima kasih....” Hampir berbarengan Mei Hua dan 

Siao Ling Ling berucap. Namun bersamaan itu pula 

mereka segera saling pandang.

“Aku tahu bagaimana perasaan kalian. Namun ka-

lian harus tahu satu hal. Masih ada sesuatu yang ha-

rus segera kalian lakukan. Dan tidak ada gunanya 

urusan ini diperpanjang. Kematian adalah satu takdir 

yang tidak bisa dihindari oleh makhluk yang bernyawa 

meski sebenarnya kita tidak menginginkan!”

Ucapan Dewa Asap Kayangan tampaknya membuat 

Mei Hua dan Siao Ling Ling sadar meski dalam hati 

keduanya masih menyimpan ganjalan. Siao Ling Ling 

segera berpaling pada sosok mayat ayahandanya. Saat 

lain gadis ini segera menghambur lalu memeluki sosok 

mayat Baginda Ku Nang dengan sesenggukan.

Mei Hua sendiri sempat menoleh pada sosok mayat 

ayahnya. Tapi begitu matanya melihat Guru Besar 

Liang San yang diam tak bergerak di atas tanah karena 

kepalanya tertotok tangan Pendekar 131, gadis cantik 

ini tak mampu menahan diri. Laksana terbang dia ber-

kelebat dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San 

dengan tubuh bergetar dan mata berkilat.


Tapi sebelum Mei Hua buka suara atau membuat 

gerakan, Guru Besar Wu Wen She sudah angkat bica-

ra.

“Putri Panglima.... Kuharap kau tabahkan hati.... 

Kuharap pula kau mau menolongku dengan membiar-

kan dirinya....”

“Dia telah membunuh ayahku!” saking marahnya 

Mei Hua membentak.

“Itu benar.... Tapi tidak seharusnya dia dibunuh ka-

rena membunuh ayahmu. Biarkan dia membayar per-

buatannya dengan bertobat! Lagi pula masih ada se-

suatu yang harus dijelaskannya pada Perguruan Shao-

lin....”

“Terlalu enak dia diberi kesempatan seperti itu! Bu-

kan tak mungkin dia bukannya bertobat, tapi melaku-

kan tindakan yang lebih bengis!”

“Kita tidak boleh memastikan apa yang belum terja-

di! Lagi pula aku bisa menjamin kalau dia tidak akan 

berbuat yang lebih bengis....”

“Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?!”

“Jika nantinya dia dinyatakan bersalah oleh Per-

guruan Shaolin, dia harus menjalankan pertobatan di 

satu tempat yang mustahil baginya untuk bisa keluar!”

“Di mataku dia sudah jelas bersalah! Aku tak mau 

mengikuti peraturan Shaolin!” Mei Hua melangkah ma-

ju.

“Maafkan aku.... Aku tidak memaksamu untuk 

mengikuti peraturan Shaolin. Aku hanya mengatakan 

apa yang nantinya harus dijalani orang yang bersalah!”

“Dia harus membayar padaku dengan nyawanya!”

“Gadis cantik.... Mati bukan berarti menyelesaikan 

masalah! Bukan aku membela diri. Tapi dengan kema-

tiannya, aku masih harus menanggung beban menja-

wab teka-teki apa yang sebenarnya terjadi saat peristi


wa berdarah di Perguruan Shaolin. Kuharap kau mau 

mengerti dan sekali lagi memaafkan aku jika kau ang-

gap hal ini adalah satu paksaan demi kepentinganku!”

Mei Hua terdiam beberapa saat. Matanya terus 

pandangi sosok Guru Besar Liang San dengan mende-

lik tak berkesip.

“Mei Hua....” Joko ikut angkat bicara seraya me-

langkah mendekati. “Bukannya aku ikut campur ma-

salahmu. Tapi kurasa benar apa yang dikatakan Guru 

Besar Wu Wen She....”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Mei Hua 

berpaling. Sepasang matanya menatap tajam pada bola 

mata Joko. Entah apa yang dipikirkan gadis cantik pu-

tri Panglima Muda Lie ini, yang jelas tanpa buka mulut 

lagi dia arahkan pandang matanya ke jurusan lain lalu 

melangkah gontai ke arah sosok mayat ayahnya. Kejap 

lain terdengar gadis ini menangis keras seraya tengku-

rap di atas sosok mayat Panglima Muda Lie.

Sementara itu, di tempat mana Dewi Bunga Asmara 

duduk bersimpuh di samping mayat Ratu Selendang 

Asmara, Dewa Cadas Pangeran terlihat duduk bersila 

lalu angkat bicara pelan.

“Kesedihan memang tidak bisa kita hindari. Tapi ka-

lau kita terus tenggelam dalam kesedihan, apa yang 

akan kita dapatkan?!”

Perlahan Dewi Bunga Asmara menoleh. Namun dia 

hanya memandang tanpa buka suara.

“Aku tadi bercanda ketika mengatakan hendak me-

ngajak jalan-jalan gurumu.... Tapi aku sekarang tidak 

main-main jika menawarkan padamu untuk kuajak 

serta bersamaku....”

Sepasang mata Dewi Bunga Asmara membesar. Wa-

lau wajahnya tertutup batu putih dan tidak bisa meli-

hat gadis di dekatnya, namun Dewa Cadas Pangeran


seolah tahu gelagat. Sebelum si gadis angkat bicara, 

Dewa Cadas Pangeran sudah berkata lagi.

“Jangan kau terlalu berprasangka. Aku tidak punya 

niat jelek kalau menawarkan padamu untuk ikut ber-

samaku. Hal ini kukatakan karena aku tahu kau seka-

rang sebatangkara.... Tidak ada salahnya kalau kita 

hidup bersama seperti dulu kau hidup bersama Ratu 

Selendang Asmara....”

Dewi Bunga Asmara menghela napas panjang. Dia 

paham apa maksud sebenarnya Dewa Cadas Pangeran. 

Tapi dia tidak mau terburu-buru mengambil keputu-

san. Apalagi ketika ingat kedatangannya ke puncak 

Bukit Toyongga adalah untuk mempertemukan Pende-

kar 131 dengan gurunya.

“Aku bukan tidak mau ikut bersamamu!” Akhirnya 

Dewi Bunga Asmara berkata setelah agak lama ter-

diam. “Ada sesuatu yang harus kuselesaikan!”

Dewi Bunga Asmara tidak mau berterus terang den-

gan apa sebenarnya yang tengah menjadi pikirannya.

“Hem.... Kau ingin selesaikan urusan dengan pe-

muda tampan itu?!”

Paras Dewi Bunga Asmara langsung berubah. Bah-

kan dia segera berpaling jauh ke depan dengan dada 

berdebar.

“Aku ingin selesaikan soal kematian guruku!” kata 

Dewi Bunga Asmara.

Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Aku memang tidak 

pandai menduga. Tapi firasatku mengatakan apa yang 

baru kau katakan bukanlah hal yang akan segera kau 

lakukan!”

Dewi Bunga Asmara berpaling lagi. Dia ingin sekali 

melihat bagaimana tampang Dewa Cadas Pangeran. 

Namun hingga beberapa kali Dewi Bunga Asmara pu-

lang balikkan kepalanya ke samping, dia gagal memenuhi keinginannya. Karena bersamaan dengan itu De-

wa Cadas Pangeran gerakkan kepala seolah mengikuti 

gerakan kepala Dewi Bunga Asmara, hingga batu putih 

di depan wajahnya terus bergerak menutupi.

“Dewi.... Aku bersedia menunggumu sampai kau se-

lesaikan urusanmu dengan pemuda di depan sana 

itu...! Kalau kau malu mengatakan padanya, aku juga 

bersedia membantu untuk mengatakannya!”

Tanpa menunggu sambutan Dewi Bunga Asmara, 

Dewa Cadas Pangeran bergerak bangkit lalu melang-

kah ke arah pendekar 131.

“Tunggu!” Dewi Bunga Asmara menahan sambil me-

langkah mengejar dan berkata. “Biar aku yang menga-

takannya sendiri!”

Dewa Cadas Pangeran hentikan langkahnya, lalu 

berbalik dan melangkah lagi ke arah mana sosok 

mayat Ratu Selendang Asmara berada. Dewi Bunga 

Asmara mengikuti dari belakang dengan wajah berse-

mu merah.

“Kau yakin mampu mengatakan urusanmu dengan 

pemuda itu!” Dewa Cadas Pangeran bertanya seraya 

bungkukkan sedikit tubuhnya di samping mayat Ratu 

Selendang Asmara. Sekali membuat gerakan sosok 

mayat Ratu Selendang Asmara telah berada di pang-

kuan kedua tangannya.

“Akan kau bawa ke mana?!” Dewi Bunga Asmara 

berseru agak keras.

“Bagi orang mati, sudah ditentukan di mana tem-

patnya! Sekarang aku akan menunggumu....”

Dewi Bunga Asmara tergagu diam. Dia dilanda ke-

bingungan. Di satu sisi dia memang ingin bicara den-

gan murid Pendeta Sinting, namun di sisi lain dia ke-

bingungan bagaimana memulai. Karena di situ ada Mei 

Hua. Sementara dari gelagat dan sikapnya, Dewi Bunga Asmara tahu bagaimana perasaan Mei Hua pada 

Pendekar 131.

“Kau butuh bantuanku?!” Dewa Cadas Pangeran 

bertanya.

Dewi Bunga Asmara tekan perasaan. Lalu buka mu-

lut, tapi bukannya menjawab pertanyaan orang.

“Kita harus segera menguburkan mayat Guru....”

“Kau tidak kecewa...?!”

Dewi Bunga Asmara lagi-lagi tidak menjawab perta-

nyaan Dewa Cadas Pangeran, sebaliknya segera me-

langkah mendahului tinggalkan puncak bukit.

Dewa Cadas Pangeran tidak lagi angkat bicara. Dia 

segera pula melangkah di belakang Dewi Bunga Asma-

ra. Namun begitu hendak menuruni bukit, Dewa Ca-

das Pangeran berteriak.

“Pendekar 131! Setelah urusanmu nanti selesai, kau 

harus segera menemuiku! Soal di mana kau bisa ber-

temu denganku, tanyalah pada sahabatku Dewa Asap 

Kayangan! Kau tak usah bertanya. Yang pasti kau 

punya janji dengan gadis cantik muridku ini! Kalau 

kau tak berani datang sendirian, kau boleh ajak serta 

sahabatku itu! Bahkan aku lebih suka kalau dia kau 

angkat sebagai orangtua untuk sekaligus melamar mu-

ridku!”

Dewi Bunga Asmara sentakkan kepalanya berpaling 

pada Dewa Cadas Pangeran. Air mukanya sulit dilukis-

kan. Antara malu, senang, dan geram, hingga dia tidak 

kuasa lagi untuk buka mulut, meski dia ingin sekali 

berkata.

Di seberang sana, Pendekar 131 menoleh. Bukan-

nya memandang pada Dewa Cadas Pangeran yang te-

gak dengan membopong mayat Ratu Selendang Asma-

ra, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi 

Bunga Asmara yang saat itu juga tengah memandangnya.

Jika saja saat itu tidak ada orang lain yang men-

dengar, tentu Dewi Bunga Asmara akan terus tegak 

sambil menunggu jawaban Joko. Di lain pihak, jika sa-

ja di tempat itu tidak ada Mei Hua, Bidadari Bulan 

Emas, dan Siao Ling Ling, pasti murid Pendeta Sinting 

sudah berkelebat dan coba menjelaskan.

“Dewi.... Percayalah! Dia pasti akan datang mene-

muiku! Kau nanti bisa habiskan waktu ngobrol bersa-

manya.... Sekarang kita harus cepat menguburkan 

mayat gurumu!”

Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat Dewi Bun-

ga Asmara tersadar. Dia menghela napas panjang. La-

lu dengan kaki berat dia berbalik setelah tersenyum 

pada Pendekar 131. Saat lain kedua orang ini teruskan 

langkah menuruni Bukit Toyongga.



SEBELAS



PENDEKAR 131.... kurasa sudah waktunya kau se-

lesaikan tugas yang kau emban.” Guru Besar Wu Wen 

She berkata membuat murid Pendeta Sinting berpal-

ing.

Setelah terdiam sejenak Joko angkat bicara. “Guru 

Besar.... Karena tugas itu bukan hakku lagi. Peta wa-

siat adalah milik Perguruan Shaolin...!”

Habis berkata begitu, kedua tangan Joko menyeli-

nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik ke-

luar, di tangan kanannya terlihat satu kantong putih 

dan gelang baja. Sementara di tangan kirinya tampak 

satu kantong putih.

“Guru Besar...,” kata Joko seraya ulurkan tangan 

kapannya yang memegang kantong putih dan gelang

baja. “Kantong dan gelang ini pemberian Dewa Cadas 

Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Aku tak tahu apa 

isinya!” Joko hentikan ucapannya seraya melirik pada 

Dewa Asap Kayangan. Saat lain dia ulurkan tangan ki-

rinya yang memegang kantong putih. “Ini adalah kan-

tong yang tadi berada di tangan Hantu Pesolek. Aku 

masih yakin, kantong inilah yang diambilnya dari-ku 

beberapa hari yang lalu....”

“Anak muda....” Dewa Asap Kayangan berucap. 

“Kantong dan gelang pemberianku dan pemberian De-

wa Cadas Pangeran adalah palsu!”

Mendengar ucapan Dewa Asap Kayangan, Joko se-

gera luruhkan kantong dan gelang di tangan kanannya 

hingga jatuh di atas tanah. Lalu berkata.

“Aku tidak bisa menduga, tapi dari apa yang telah 

terjadi, kupikir gelang yang ada di Guru Besar Liang 

San adalah yang asli!” Kantong putih di tangan kirinya 

yang tadi diambil dari tangan Hantu Pesolek dipindah 

ke tangan kanan, lalu dijulurkan pada Guru Besar Wu 

Wen She.

Guru Besar Wu Wen She gelang kepala. “Kau yang 

mendapat tugas! Aku tidak berani menerima!”

“Tapi ini adalah milik Perguruan Shaolin!”

“Benar. Tapi kau telah mendapat tugas dari Kakak 

Guru Besar Pu Yi. Berarti urusannya tidak lagi ada 

kaitannya dengan Perguruan Shaolin...!”

“Kalau terus bicara, urusan ini akan ruwet. Apalagi 

menghadapi orang macam dia!” kata Joko dalam hati. 

Tanpa buka mulut lagi Joko melangkah mendekati 

Guru Besar Liang San.

Karena tidak dapat menggerakkan tubuhnya, Guru 

Besar Liang San tidak berusaha buka mulut meski da-

lam hati memaki habis-habisan saat Pendekar 131 

jongkok di sampingnya lalu gerakkan tangan kiri kebalik pakaiannya mengambil gelang baja.

Murid Pendeta Sinting memperhatikan gelang yang 

baru diambilnya dari balik pakaian Guru Besar Liang 

San. Lalu putar diri dan mendekati Guru Besar Wu 

Wen She. Kedua tangannya diulurkan ke depan.

“Gelang dan kantong ini kuserahkan padamu. Teri-

malah!”

Guru Besar Wu Wen She tersenyum seraya geleng-

kan kepala. “Aku tidak berani menerimanya.... Bukan 

karena apa, aku tak mau peristiwa yang sama akan 

terjadi menimpa Perguruan Shaolin jika peta wasiat itu 

masih tersimpan di Perguruan Shaolin....” Habis berka-

ta begitu Guru Besar Wu Wen She tengadah melihat 

bulan yang sudah tersuruk di bagian langit sebelah ti-

mur. Lalu berkata.

“Pendekar 131.... Malam hampir saja berujung. Peta 

wasiat itu tidak akan ada artinya lagi jika belum dis-

atukan hingga pagi hari nanti datang. Sekarang aku 

harus segera pergi. Sekali lagi kuucapkan terima kasih 

padamu... Juga pada sahabat Dewa Asap Kayangan...” 

Guru Besar Wu Wen She putar tubuhnya seraya men-

jura hormat pada Pendekar 131 dan Dewa Asap 

Kayangan.

Tanpa menunggu sambutan orang, Guru Besar Wu 

Wen She mendekati sosok Guru Besar Liang San. Dan 

tanpa buka mulut, Guru Besar Wu Wen She segera 

mengangkat tubuh Guru Besar Liang San ke atas 

pundak kirinya.

“Amitaba...,” kata Guru Besar Wu Wen She sambil 

takupkan kedua tangannya di depan dada dan tun-

dukkan sedikit kepalanya. “Selamat tinggal, Sahabat-

sahabat sekalian.... Kalau ada waktu luang, aku akan 

senang jika kalian mau singgah ke Perguruan Shaolin.”

Guru Besar Wu Wen She anggukkan kepala seraya


tersenyum. Dan sekali dia membuat gerakan, sosoknya 

berkelebat lalu lenyap turun dari puncak Bukit Toyo-

ngga.

“Anak muda.... Aku juga harus segera pergi!” Dewa 

Asap Kayangan berkata seraya hendak melangkah.

“Kek! Tunggu!”

Tanpa berpaling Dewa Asap Kayangan buka suara. 

“Kalau kau ingin memenuhi janji pada gadis cantik 

yang tadi bersama Dewa Cadas Pangeran, datanglah ke 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Aku menung-

gumu di sana dan siap mengantarmu melamar gadis 

itu!”

Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berke-

lebat seraya perdengarkan tawa bergelak panjang hing-

ga Mei Hua dan Siao Ling Ling kaget dan berpaling. Di 

lain tempat, Bidadari Bulan Emas yang ternyata sudah 

berdiri dengan membopong sosok mayat gurunya dan 

hendak melangkah tinggalkan puncak bukit juga me-

noleh.

Karena yang masih tegak di tempat itu adalah Pen-

dekar 131, Mei Hua, Bidadari Bulan Emas, dan Siao 

Ling Ling sama arahkan pandang mata masing-masing 

pada Joko.

Dipandangi orang begitu rupa, murid Pendeta Sin-

ting jadi serba salah. Ingin berkata tak tahu apa yang 

harus dikatakan dan canggung untuk memulai, ingin 

segera pergi tapi dia masih ingin bicara dengan Mei 

Hua untuk menjelaskan agar nantinya tidak lagi terja-

di salah paham antara gadis itu dengan Dewi Bunga 

Asmara. Hingga akhirnya Joko hanya diam dan me-

mandang silih berganti pada Mei Hua, Siao Ling Ling, 

serta Bidadari Bulan Emas.

Di lain pihak, diam-diam antara Mei Hua, Siao Ling 

Ling, dan Bidadari Bulan Emas sama lontar pandangan.

“Seandainya tidak ada orang lain.... Tapi pantaskah 

aku berkata terus terang padanya? Ah.... Mengapa aku 

harus memikirkan soal itu? Bukankah gadis murid Ra-

tu Selendang Asmara adalah kekasihnya bahkan Dewa 

Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan telah sepa-

kat untuk mempertemukan mereka?!” Diam-diam Mei 

Hua membatin. Lalu membungkuk dan mengangkat 

mayat ayahnya.

Sebelum melangkah tinggalkan puncak bukit, Mei 

Hua masih sempat arahkan pandangannya pada Pen-

dekar 131. Jelas mulutnya terbuka hendak bicara, 

namun tiada sepatah kata pun yang terdengar hingga 

gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini melangkah 

perlahan meninggalkan puncak Bukit Toyongga.

Pendekar 131 kuatkan hati untuk angkat bicara. 

Namun yang terdengar hanya gumamannya yang tidak 

jelas hingga akhirnya sosok Mei Hua turun dari pun-

cak bukit. Semua orang di tempat itu tidak tahu, keti-

ka mulai melangkah turun, Mei Hua segera berkelebat 

dengan perdengarkan isakan tangis!

Begitu sosok Mei Hua lenyap dari puncak bukit, Bi-

dadari Bulan Emas tersenyum pada Pendekar 131. Di-

am-diam murid Hantu Bulan Emas ini berkata dalam 

hati. “Aku tak mungkin mengharapkan dirinya.... Ba-

nyak gadis muda dan cantik yang mengharapkan diri-

nya! Ah.... Mengapa semua ini harus terjadi?!”

Habis membatin begitu, Bidadari Bulan Emas ang-

gukkan kepala ke arah Joko lalu tanpa berkata-kata 

lagi dia melangkah meninggalkan puncak bukit.

“Bidadari! Tunggu!” Akhirnya Joko berhasil juga 

angkat suara.

Bidadari Bulan Emas berpaling. Dia menghela na-

pas panjang. Saat bersamaan kepalanya menggeleng.


“Bidadari....” Hanya itu suara yang terdengar dari 

mulut murid Pendeta Sinting dan tidak dilanjutkan, 

karena di seberang sana Bidadari Bulan Emas sudah 

berkelebat menuruni puncak bukit.

Pendekar 131 menghela napas. Saat itulah dia me-

nangkap gerakan Siao Ling Ling yang melangkah hen-

dak tinggalkan puncak bukit.

“Hem.... Apa yang harus kukatakan padanya?! Lagi 

pula pantaskah aku bicara dalam keadaan dia bela-

sungkawa begini rupa?!”

Karena terus bergelut dengan pikirannya sendiri, 

Joko baru tersadar saat kaki Siao Ling Ling yang mem-

bopong tubuh mayat Baginda Ku Nang mulai menu-

runi bukit, hingga ketika dia akan buka mulut, sosok 

Siao Ling Ling sudah tidak kelihatan lagi.

“Ah.... Aku masih punya waktu untuk menjelaskan 

pada mereka....” Akhirnya Joko bergumam untuk me-

nenangkan dirinya yang dibuncah dengan berbagai pi-

kiran yang tak bisa dipecahkannya. Dan saat itulah 

pandangannya membentur pada bulan di bagian timur 

langit.

“Malam ganda sepuluh hampir saja lewat! Aku ha-

rus segera membuka peta wasiat ini!” Joko duduk di 

atas tanah. Sesaat dia pandangi kantong dan gelang 

baja di tangannya.

Setelah menghela napas berulang kali, perlahan-

lahan tangan kanannya meletakkan kantong putih di 

atas pangkuannya. Kini kedua tangannya memegang 

gelang baja. Dengan tangan bergetar, Joko segera me-

narik gelang itu dari kedua sisi.

Gelang baja terbelah. Lalu tampaklah gulungan 

kain putih di atas batangan gelang. Dengan hati-hati 

Joko menarik gulungan kain dari batangan gelang. La-

lu dibuka perlahan-lahan. Ternyata gulungan kain pu


tih itu kosong.

Kain putih diletakkan di atas pangkuannya. Kini dia 

mengambil kantong putih dan membukanya. Ternyata 

kantong itu juga berisi gulungan kain yang mirip sekali 

dengan gulungan kain di batangan gelang. Kain ini ju-

ga kosong.

“Menurut Bu Beng La Ma, peta itu baru tertera jika

kain ini dihadapkan pada rembulan....”

Pendekar 131 segera sambung kain yang tadi bera-

da di batangan gelang dan kain yang diambilnya dari 

kantong putih. Lalu dengan kedua tangannya, kain pu-

tih itu direntangkan di depan wajahnya tepat mengha-

dap sinar bulan.

Ada satu keanehan. Tiba-tiba sinar rembulan lak-

sana ditutup awan hingga untuk beberapa saat suasa-

na jadi gelap gulita. Namun cuma sekejap. Di lain saat 

suasana kembali terang. Joko merasakan kain yang di-

rentangkan laksana didorong kekuatan dahsyat. Tapi 

juga sekejap. Tatkala suasana terang, kekuatan yang 

seolah mendorong rentangan kain di tangannya le-

nyap.

Joko arahkan pandangannya pada rentangan kain. 

Matanya membelalak. Pada rentangan kain itu seka-

rang tertera goresan-goresan warna hitam membentuk 

gambar peta! Di salah satu gambar peta terlihat bun-

daran agak besar. Di tengah bundaran terlihat gambar 

sebuah peti yang tepat di tengahnya menancap sebilah 

pedang.

Perlahan-lahan Joko turunkan kedua tangannya. 

Lalu pandangi gambar peta di rentangan kain. “Hm.... 

Dari gencarnya beberapa tokoh yang menginginkan pe-

ta ini, jelas pedang ini bukan pedang sembarangan! 

Sementara isi peti itu bukan tak mungkin adalah harta 

karun....” Joko bergumam menduga-duga gambar dalam bundaran peta.

“Sayang, aku belum paham benar daerah yang ter-

gambar di peta. Aku butuh seseorang untuk bertanya. 

Mungkin Dewa Cadas Pangeran atau Dewa Asap Ka-

yangan bisa memberi penjelasan.”

Habis membatin begitu, Joko lipat kain di tangan-

nya. Lalu perlahan-lahan memasukkannya ke balik 

pakaiannya. Saat lain ia bergerak bangkit dan sapukan 

pandangannya berkeliling. Saat itulah samar-samar 

terlihat bias cahaya warna kekuningan di ufuk timur, 

tanda sebentar lagi matahari akan segera muncul.

Pendekar 131 menghela napas panjang. Di pelupuk 

matanya tergambar paras Mei Hua, Siao Ling Ling, Bi-

dadari Bulan Emas, dan terakhir Dewi Bunga Asmara. 

Namun saat lain terbayang raut wajah Pendeta Sinting.

“Kapan aku bisa pulang?!” Tiba-tiba Joko teringat 

tengah berada di mana saat itu. Dia menghela napas 

sekali lagi, lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan 

puncak Bukit Toyongga yang telah ditelan kesunyian.



                      SELESAI



Segera menyusul:


ISTANA LIMA BIDADARI


Share:

0 comments:

Posting Komentar