SATU
PUNCAK Bukit Toyongga laksana dibungkam ta-
ngan setan. Tidak ada yang buka suara atau membuat
gerakan. Hanya ada beberapa mata yang saling lontar
dengan pandangan curiga. Lalu tampak wajah-wajah
tegang.
Seperti diketahui, di puncak Bukit Toyongga telah
berkumpul Yang Mulia Baginda Ku Nang, Panglima
Muda Lie, dan putrinya Mei Hua. Lalu Bayangan Tan-
pa Wajah, Ratu Selendang Asmara, dan murid tunggal-
nya Dewi Bunga Asmara. Di seberang lain tampak
Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Pendekar
Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Di seberang kanan
terlihat Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan,
dan perempuan bercadar hitam.
Saat itu Hantu Pesolek yang memegang kantong pu-
tih berisi separo peta wasiat memperhatikan silih ber-
ganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Guru Be-
sar Liang San. Kedua orang ini memegang sebuah ge-
lang agak besar yang bentuk dan warnanya sama.
“Bagaimana ini bisa terjadi?!” Hantu Pesolek mem-
batin lalu berkipas-kipas. Rambutnya berkibar-kibar.
Bibirnya yang merah sunggingkan senyum.
“Kalau ada dua benda sama bentuk dan warnanya,
tentu salah satunya palsu! Berarti ada yang tak beres
dengan kedua orang itu!” Diam-diam murid Pendeta
Sinting juga membatin.
“Hantu Pesolek!” mendadak Baginda Ku Nang buka
suara. “Serahkan kantong itu padaku! Separo peta wa-
siat telah berada di tanganku!”
“Serahkan padaku!” Guru Besar Liang San menya-
hut. “Akulah yang memegang separo peta wasiat itu!”
Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi
ke udara tunjukkan gelang agak besar.
“Aku memang berjanji akan serahkan kantong beri-
si separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki
separonya lagi. Tapi tidak kusangka kalau ada dua
orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya
lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang
berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Se-
mentara aku tidak mau memberikan pada orang yang
memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memi-
liki peta asli!”
Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling
pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan
gelang di tangan lainnya.
“Baginda Ku Nang!” Guru Besar Liang San angkat
bicara dahulu. “Jangan kau mempersulit diri dengan
tunjukkan barang palsu!”
Sang Baginda tersenyum dingin. “Kau yang mem-
persulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang
palsu!”
Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya
berkata. “Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah
Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di
mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!”
“Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengeta-
huanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh
yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-
diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Gu-
ru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok un-
tuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang
mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa
memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau la-
kukan?!” Sang Baginda hentikan ucapannya sambil
tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan.
Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi
ke udara tunjukkan gelang agak besar.
“Aku memang berjanji akan serahkan kantong beri-
si separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki
separonya lagi. Tapi tidak kusangka kalau ada dua
orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya
lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang
berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Se-
mentara aku tidak mau memberikan pada orang yang
memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memi-
liki peta asli!”
Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling
pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan
gelang di tangan lainnya.
“Baginda Ku Nang!” Guru Besar Liang San angkat
bicara dahulu. “Jangan kau mempersulit diri dengan
tunjukkan barang palsu!”
Sang Baginda tersenyum dingin. “Kau yang mem-
persulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang
palsu!”
Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya
berkata. “Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah
Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di
mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!”
“Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengeta-
huanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh
yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-
diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Gu-
ru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok un-
tuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang
mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa
memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau la-
kukan?!” Sang Baginda hentikan ucapannya sambil
tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan.
“Tidak, Guru Besar! Aku telah menghitung apa
langkahmu selanjutnya! Aku telah memalsukan isi ge-
lang itu lalu kuserahkan padamu dan kita simpan ber-
sama-sama di satu tempat....”
Ucapan Baginda Ku Nang membuat semua orang di
puncak Bukit Toyongga jadi melengak kaget.
“Tidak mungkin! Mataku tak bisa ditipu! Ini gelang
yang asli!” desis Guru Besar Liang San seraya tarik pu-
lang tangan kanannya dari atas udara. Gelang di tan-
gannya disentakkan mendekat pada wajahnya.
“Apanya yang tak mungkin?! Kau tentu masih ingat,
Guru Besar!” Berkata sang Baginda. “Gelang yang kita
ambil dari Perguruan Shaolin berada di tanganku se-
lama tiga hari tiga malam. Tiga hari sudah terlalu cu-
kup bagiku untuk membuat yang sama tapi palsu!
Ha.... Ha.... Ha...!”
“Aku tidak percaya!” dengus Guru Besar Liang San.
“Jika demikian, mengapa tidak kau buktikan saja?!”
“Benar! Aku memang butuh bukti siapa pemegang
separo peta yang asli! Aku tak mau salah memberi!”
Hantu Pesolek menimpali ucapan Baginda Ku Nang.
Guru Besar Liang San sengatkan pandang matanya
pada sang Baginda. Tanpa buka suara lagi tangan kiri
kanannya segera pegang erat-erat gelang baja. Lalu di-
tarik. Gelang baja putus tanggal menjadi dua! Lalu ter-
lihat sebuah gulungan kain di dalam batangan gelang
yang telah putus.
Tampang Guru Besar Liang San berubah makin te-
gang. Kedua tangannya bergetar. Meski di dalam ba-
tangan gelang terlihat gulungan kain berwarna putih,
namun putusnya gelang membuat dada laki-laki ber-
kepala gundul ini berdebar-debar tidak enak. “Kalau
gelang ini asli, tidak mungkin putus begitu saja....
Jangan-jangan gelang ini memang telah dipalsukan!”
Walau telah menduga begitu, namun seolah ingin
yakinkan diri, perlahan-lahan Guru Besar Liang San
ambil gulungan kain putih dari batangan gelang. “Ka-
lau peta ini palsu, kainnya akan robek jika kutarik!”
kata Guru Besar Liang San dalam hati. Saat lain kedua
tangannya telah pegang bagian ujung gulungan kain.
Brettt!
Sekali sentak, gulungan kain berwarna putih telah
robek menjadi dua bagian!
“Peta ini benar-benar yang palsu!” desis Guru Besar
Liang San. Tanpa memeriksa lagi, tanggalan gelang
dan robekan kain di tangan kiri kanannya dicampak-
kan ke tanah. Patahan gelang langsung masuk amblas
lenyap ke dalam tanah!
“Kau telah menipuku!” teriak Guru Besar Liang San
seraya tunjukkan tangan kiri ke arah batok kepala
Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Yang ditunjuk tertawa panjang. “Manusia yang be-
rani korbankan nyawa saudara serta mengkhianati
perguruannya bukan hanya layak ditipu, tapi sudah
tidak pantas berada di atas bumi!”
Rahang Guru Besar Liang San mengembung besar.
Sosoknya berguncang keras. Sekali membuat gerakan,
sosoknya telah melesat ke arah Baginda Ku Nang den-
gan kedua tangan siap lepaskan pukulan!
Namun sebelum Guru Besar Liang San bertindak
lebih jauh, Hantu Pesolek sudah bergerak mengha-
dang.
Bukkk! Bukkkk!
Terdengar benturan keras. Kelebatan sosok Guru
Besar Liang San terhenti dengan kedua tangan terpen-
tal ke udara. Di depannya Hantu Pesolek tegak dengan
kipas bergoyang-goyang.
Walau parasnya yang elok berubah, namun dengan
bibir tersenyum, Hantu Pesolek berkata.
“Apa pun yang telah kau lakukan, kau gagal mem-
buktikan jika kau pemegang peta yang asli! Harap kau
sadar! Dan untuk keselamatanmu, kusarankan agar
segera tinggalkan tempat ini!”
Saking marahnya tanpa pikir panjang lagi Guru Be-
sar Liang San cepat melompat ke depan. Hampir se-
paro tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangan.
Lalu menghantam ke arah kepala Hantu Pesolek yang
telah halangi niatnya.
Hantu Pesolek angkat tangan kirinya. Kipas di tan-
gan kanannya disentakkan menyongsong.
Bukkkkk!
Praakkk!
Benturan keras terdengar lagi kala tangan kanan
Guru Besar Liang San bentrok dengan tangan kiri
Hantu Pesolek. Disusul dengan terdengarnya benda
patah.
Tubuh Guru Besar Liang San dan Hantu Pesolek
tersurut dua langkah. Tangan kiri kanan Guru Besar
Liang San langsung bengkak merah. Di lain pihak ki-
pas di tangan kanan Hantu Pesolek patah jadi tiga ba-
gian!
Hantu Pesolek cepat tarik pulang tangan kanannya.
Tiba-tiba dia menghantam.
Wuuttt!
Kipas yang telah patah jadi tiga melesat laksana
anak panah ke arah tiga bagian tubuh Guru Besar
Liang San!
Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal.
Meski yang menggebrak ke arahnya hanyalah patahan
kipas, namun patahan itu telah dimuati tenaga dalam
dahsyat. Hingga begitu tiga patahan kipas berkelebat,
Guru Besar Liang San lepaskan pukulan jarak jauh se
raya membuat gerakan jungkir balik di atas udara.
Dua gelombang keras menderu. Dua patahan kipas
berhasil disapu mental. Namun Guru Besar Liang San
gagal menghalangi satu patahan lainnya. Hingga tanpa
ampun lagi patahan satu itu terus menerabas.
Guru Besar Liang San berseru tertahan tatkala me-
layang turun dan mendapati patahan kipas telah me-
nancap di pundak kanannya dan kucurkan darah!
Orang nomor satu di Perguruan Shaolin ini cepat to-
tok daerah sekitar di mana patahan kipas menancap.
Lalu sekali sentak, patahan kipas telah tercabut dan
disentakkan kembali. Bukan ke arah Hantu Pesolek,
melainkan ke arah Baginda Ku Nang!
Sang Baginda yang telah waspada tekuk kaki ka-
nannya. Tangan kirinya berkelebat. Satu gelombang
dahsyat berkiblat.
Wuusss!
Patahan kipas berlumur darah yang baru saja me-
nancap di pundak kanan Guru Besar Liang San tersa-
pu amblas dan langsung berantakan di udara!
Begitu menghadang lesatan kipas, Baginda Ku Nang
terus berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak di hada-
pan Hantu Pesolek dengan tangan meminta dan berka-
ta.
“Kau sudah tahu mana yang asli dan mana yang
palsu! Jangan kau ingkar dengan ucapan janjimu! Se-
rahkan separonya lagi padaku!”
Meski masih merasakan nyeri pada lengannya aki-
bat bentrok dengan Guru Besar Liang San, Hantu Pe-
solek gerak-gerakkan kedua tangannya seolah melam-
bai. Lalu angkat suara.
“Aku tidak akan ingkar janji! Tapi kalau Guru Besar
Liang San telah memegang peta palsu, bukan tak
mungkin di tanganmu juga palsu! Dan tidak mustahil
pula masih ada orang di tempat ini yang punya peta
palsu juga! Padahal aku butuh orang yang memegang
peta asli!”
“Aduh.... Bagaimana ini?! Jangan-jangan aku yang
tertipu!” Tiba-tiba terdengar suara seruan mengeluh.
Yang berseru ternyata Dewa Cadas Pangeran.
Orang yang pertama kali berpaling adalah Dewa
Asap Kayangan yang berada tidak jauh di sampingnya.
“Hem.... Begitu?! Ucapanmu menunjukkan satu hal.
Kau juga memegang peta!” Berkata Dewa Asap Kayan-
gan seraya kepulkan asap dari pipa di mulutnya.
Dewa Cadas Pangeran masukkan tangan kanan ke
balik pakaiannya. Semua orang di tempat itu mendelik
memperhatikan dengan hati sama menduga-duga. Tapi
saat lain terdengar beberapa gumaman ketika tangan
kanan Dewa Cadas Pangeran ditarik keluar dan ter-
nyata tidak memegang apa-apa!
“Sontoloyo! Kukira dia punya gelang juga!” gumam
Pendekar 131 lalu arahkan pandang matanya pada
Hantu Pesolek. Saat bersamaan, kepala semua orang
di tempat itu juga segera berpaling.
Saat itulah, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan
suara lagi.
“Sahabatku Dewa Asap Kayangan...! Coba kau lihat,
apakah ini juga palsu?”
Serta-merta semua kepala di tempat itu kembali
bergerak ke arah Dewa Cadas Pangeran. Semua mata
tampak membeliak memperhatikan tak berkedip pada
sebuah gelang baja di tangan kiri Dewa Cadas Pange-
ran! Gelang itu sama persis dengan gelang yang ada di
tangan Baginda Ku Nang dan gelang yang tadi patah di
tangan Guru Besar Liang San!
“Ucapanku benar, bukan?!” ujar Hantu Pesolek. Wa-
lau pemuda berkebaya ini sempat unjukkan muka terkejut, namun segera tersenyum meski dalam hati dia
berkata. “Urusan di tempat ini ternyata tidak se-
mudah yang kuduga! Bagaimana aku bisa memastikan
mana yang benar-benar asli?! Dan tidak tertutup ke-
mungkinan masih ada orang yang memegang gelang
seperti itu!” Sepasang mata Hantu Pesolek menyapu
berkeliling seolah ingin tahu siapa saja yang masih
memegang gelang seperti yang kini berada di tangan
kiri Dewa Cadas Pangeran.
Di lain pihak, Baginda Ku Nang juga membatin.
“Sialan betul! Bagaimana ini bisa terjadi?! Jangan-
jangan gelang di tanganku ini juga palsu! Tapi tak
mungkin! Aku langsung menerimanya malam itu dari
tangan Guru Besar Liang San di Perguruan Shaolin....”
Meski telah membatin begitu, namun Yang Mulia
Baginda Ku Nang masih didera perasaan bimbang dan
gelisah.
“Bagaimana...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran sam-
bil gerak-gerakkan gelang di tangan kirinya ditunjuk-
kan pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan semburkan asap pipanya pa-
da gelang di tangan Dewa Cadas Pangeran. Untuk be-
berapa saat gelang itu terbuntal asap putih.
“Meski aku tidak membukanya, aku bisa mengata-
kan satu hal. Gelang berisi peta di tanganmu adalah
asli!” kata Dewa Asap Kayangan.
Belum habis ucapan Dewa Asap Kayangan, Dewa
Cadas Pangeran telah tarik pulang tangan kirinya. Se-
kali gerak, tangan kirinya telah menyelinap dan gelang
baja tidak terlihat lagi!
“Aku harus segera tahu mana yang asli dan mana
yang palsu! Jika tidak, urusan di tempat ini akan ber-
larut-larut!”
Membatin begitu, Hantu Pesolek segera angkat bicara.
“Baginda...! Kalau kau tidak ingin kedatanganmu
sia-sia, lekas perlihatkan kalau gelang di tanganmu
adalah yang asli!”
Sang Baginda terdiam. Sikapnya tampak ragu-ragu.
Saat itulah Dewa Cadas Pangeran berucap.
“Mendiang Guru Besar Pu Yi adalah sahabat baik-
ku. Sahabatku itu bukanlah orang yang mudah di-
kibuli, apalagi dikhianati.... Sebelum terjadinya peris-
tiwa berdarah di Perguruan Shaolin, dia telah menye-
rahkan gelang padaku! Jadi gelang yang lenyap saat
peristiwa terjadi adalah gelang palsu....”
Habis berucap begitu, Dewa Cadas Pangeran mem-
buat gerakan berkelebat dan tegak di depan Hantu Pe-
solek. Batu di depan wajahnya bergerak-gerak. Namun
masih sanggup menutupi mukanya.
“Sahabatku Hantu Pesolek.... Aku tidak minta kau
serahkan kantong putih di tanganmu padaku. Karena
kalau gelang berisi separo peta wasiat saja bisa dipal-
sukan, kurasa tidak sulit juga memalsukan kantong
putih seperti yang ada padamu....”
Tampang Hantu Pesolek berubah sesaat. “Hem....
Jangan-jangan dia tahu...,” desisnya dalam hati. Lalu
berkata seraya tersenyum.
“Ucapanmu benar! Memang tidak sukar memalsu-
kan kantong seperti yang ada padaku. Tapi aku yakin
di tempat ini tidak ada yang memiliki kantong putih
seperti yang ada padaku!” Mata Hantu Pesolek menya-
pu berkeliling.
Dan begitu ditunggu agak lama tidak ada yang buka
suara menyahut atau memperlihatkan sesuatu, kete-
gangan di wajah Hantu Pesolek sirna. Dia tengadah
dengan mulut hendak angkat bicara.
Tapi sebelum suaranya terdengar, satu suara telah
mendahului.
“Aku ingin mengatakan satu hal. Aku memiliki kan-
tong putih!”
Semua orang berpaling pada Dewa Asap Putih yang
baru saja perdengarkan suara. Tapi yang tampak pal-
ing heran dan terkejut besar adalah Pendekar 131 Jo-
ko Sableng.
“Busyet! Bagaimana urusan ini bisa ruwet begini
rupa?! Belum tuntas urusan gelang mana yang palsu
dan yang asli, sekarang ada dua kantong! Aku pernah
memegangnya.... Tapi aku tak bisa menentukan mana
yang dulu ada di tanganku! Lagi pula aku tidak yakin
benar kalau Dewa Cadas Pangeran telah diberi gelang
oleh Guru Besar Pu Yi. Kalau betul, Guru Besar Pu Yi
pasti memberitakan padaku saat bertemu dahulu!” Jo-
ko berpikir. Matanya terus pandangi tangan kanan
Dewa Asap Kayangan yang ternyata telah memegang
sebuah kantong putih yang bentuk dan warnanya sa-
ma persis dengan kantong putih di tangan Hantu Peso-
lek.
Selagi murid Pendeta Sinting berpikir, mendadak
Dewa Asap Kayangan melangkah ke arah Joko. Dia
berhenti enam langkah di depan Joko. Tangan kanan-
nya yang memegang kantong putih diluruskan pada
Pendekar 131 dan berkata.
“Anak muda.... Kau tak perlu mungkir! Kau pernah
memegang kantong putih asli yang berisi separo peta
wasiat! Sekarang kau harus berkata benar serta mau
tunjukkan mana kantong putih yang asli dan mana
yang palsu!”
Meski merasa yakin di tangan Hantu Pesolek adalah
yang asli karena kantong itu diambil dari dirinya, na-
mun Pendekar 131 tidak mau berterus terang. Dia
anggukkan kepala lalu berkata.
“Aku memang pernah memegang kantong putih!
Jadi aku tahu mana yang asli dan mana yang palsu....”
Joko berpaling pada Hantu Pesolek. Lalu lanjutkan
ucapan.
“Hantu Pesolek.... Kau mengambil kantong itu dari
tanganku! Harap kau tidak kecewa kalau kukatakan
jika kantong itu telah kupalsukan! Dan kantong yang
asli kutitipkan pada Kakek sahabatku itu!” Tangan ka-
nan murid Pendeta Sinting menunjuk pada Dewa Asap
Kayangan.
DUA
SAKING kagetnya, hampir saja kaki Hantu Pesolek
tersurut ke belakang. Tampangnya mirip seperti waktu
Guru Besar Liang San tahu kalau gelang di tangannya
adalah palsu. “Apakah benar ucapan pemuda asing
itu?!” Hantu Pesolek gelisah dengan dada berdebar.
Dan entah karena apa, tangan kirinya segera menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Lalu ditarik keluar lagi den-
gan menghela napas panjang.
“Tampangmu menunjukkan kau tidak percaya...,”
ujar Joko seraya tertawa. “Itu boleh saja dan urusan-
mu! Tapi agar kau lebih yakin, tidak ada salahnya ka-
lau kau buka kantong itu!”
“Betul! Agar semuanya jadi jelas! Dan tidak ada
yang merasa dirugikan di tempat ini!” Menyahut Dewa
Cadas Pangeran.
“Kau yang buka kantong dahulu!” kata Hantu Peso-
lek pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan geleng kepala. “Kau yang per-
tama kali tunjukkan kantong! Kau juga yang harus
buka terlebih dahulu!”
“Benar! Yang menunjukkan pertama harus juga
membuka dahulu! Dengan begitu, kuharap Yang Mulia
Baginda Ku Nang sudi membuka gelang di tangan-
nya.... Bukannya aku ingin menjatuhkan. Ini semua
demi jelasnya urusan!” Dewa Cadas Pangeran timpali
kata-kata Dewa Asap Kayangan.
Baik Hantu Pesolek maupun Baginda Ku Nang sa-
ma tegak diam tidak membuat gerakan atau sambuti
ucapan orang.
“Hantu Pesolek! Kau tadi berani meminta Guru Be-
sar Liang San untuk membuktikan keaslian benda di
tangannya. Sekarang mengapa kau sendiri terlihat ta-
kut untuk membuktikan keaslian benda di tangan-
mu?!” Joko berucap.
“Siapa takut?!” sentak Hantu Pesolek panas men-
dengar ucapan murid Pendeta Sinting. Diangkat tan-
gannya yang memegang kantong. “Terus terang saja....
Kantong yang kalian lihat ini adalah palsu!” Hantu Pe-
solek campakkan kantong di tangannya. Lalu lan-
jutkan ucapan.
“Aku tahu bagaimana watak orang dunia persilatan.
Untuk itulah aku terpaksa melakukan ini!”
“Jahanam! Kau berani berkata dusta dan menipu!”
Baginda Ku Nang berteriak. Kalau saja Panglima Muda
Lie tidak segera mencegah, tentu sang Baginda sudah
berkelebat dan lepaskan pukulan.
Sementara Hantu Pesolek tampak tenang-tenang
saja. Malah saat lain dia berkata.
“Hantu Pesolek tidak akan pernah berkata dusta
atau menipu!”
Tangan kanan Hantu Pesolek menyelinap ke balik
pakaiannya. Lalu tampaklah sebuah kantong putih
yang baik warna dan bentuknya sama persis dengan
kantong yang baru saja dicampakkan serta kantong
yang berada di tangan kanan Dewa Asap Kayangan.
“Busyet! Hampir saja aku terkecoh!” kata Joko da-
lam hati. Lalu memandang ke arah Dewa Asap Kayan-
gan. Belum sampai orang tua yang selalu mengisap pi-
pa buka suara, Hantu Pesolek telah angkat bicara.
“Dewa Asap Kayangan! Sekarang giliranmu membu-
ka kantong! Karena aku telah turuti permintaanmu!”
“Bagaimana bisa begitu?! Kau harus paham satu
hal. Misteri kantong di tanganmu belum tersingkap.
Bukan tidak mungkin kau masih memiliki kantong
lain. Setelah semua kantongmu kau ungkap, baru tiba
giliranku! Kalau kau tidak mau, aku tidak sudi mem-
buka kantongku! Yang jelas, pemuda sahabatku itu te-
lah mengatakan kantongkulah yang asli....”
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berpal-
ing pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata.
“Sahabatku Dewa Cadas Pangeran. Sudah saatnya
kita tinggalkan tempat ini. Kita sama-sama memegang
peta yang asli. Untuk apa lagi kita berada di sini?! Bu-
kankah kehadiranmu di tempat ini hanya untuk men-
getahui siapa sebenarnya yang memegang separo dari
peta wasiat di tanganmu?!”
“Ah.... Benar juga! Tapi agar perjalanan kita lebih
asyik, apakah tidak kita pilih saja salah seorang pe-
rempuan di antara yang hadir di tempat ini? Kau bawa
satu aku bawa satu...!”
“Usulan hebat!” ujar Dewa Asap Kayangan. Orang
tua ini arahkan pandang matanya berkeliling pada sa-
tu persatu perempuan di tempat itu. Saat lain dia ang-
kat tangan kanannya yang memegang kantong lalu
menunjuk ke arah perempuan bercadar hitam yang
tadi tegak tidak jauh dari tempatnya!
“Aku pilih dia!”
Sepasang mata perempuan bercadar hitam langsung mendelik angker. Namun dia tidak sambuti sikap
Dewa Asap Kayangan.
Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran putar tubuh-
nya setengah lingkaran dan berhenti tepat menghadap
Ratu Selendang Asmara yang tegak berdampingan
dengan murid tunggalnya Dewi Bunga Asmara! Tangan
kanannya menunjuk lurus ke arah si nenek dan beru-
jar keras.
“Selera manusia memang beda. Dan harap kau ti-
dak keberatan kalau aku jatuhkan pilihan pada nenek
cantik itu, sahabatku Dewa Asap Kayangan....”
Dewa Asap Kayangan tertawa bergelak. “Aku tidak
boleh menghalangi pilihan orang, apalagi kau adalah
sahabatku! Hanya saja, kalau aku boleh mengatakan
satu hal. Apa tidak lebih baik yang muda saja?! Perja-
lanan yang kita tempuh bukan perjalanan pendek. Di-
butuhkan tenaga dan tubuh yang kuat!”
“Di sini memang banyak perempuan muda dan can-
tik. Tapi aku masih yakin, nenek itu mampu meng-
iringi perjalanan kita!”
“Keparat! Siapa sudi pergi bersamamu?!” Ratu Se-
lendang Asmara berteriak marah. “Lagi pula aku tidak
percaya gelang di tanganmu adalah yang asli!”
“Nek.... Kurasa perjalanan ini tidak ada kaitannya
dengan peta itu.... Kita melakukan perjalanan berse-
nang-senang....” Dewa Asap Kayangan menyahut.
Habis berkata begitu, orang tua yang selalu meng-
isap pipa ini melangkah ke arah perempuan bercadar
hitam. Sementara Dewa Cadas Pangeran tenang-
tenang juga bergerak ke arah Ratu Selendang Asmara!
“Kita selesaikan dulu urusan peta itu!” Hampir ber-
samaan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang berseru.
Laksana dikomando, Dewa Asap Kayangan dan De-
wa Cadas Pangeran hentikan langkah masing-masing.
“Bagaimana enaknya?!” bisik Dewa Asap Kayangan.
“Sekarang kau pilih saja. Kau berat peta itu atau
berat jalan bersenang-senang ini?!” Dewa Cadas Pan-
geran menjawab.
“Kalau kau pilih yang mana?!” Dewa Asap Kayangan
balik bertanya.
Dewa Cadas Pangeran berpikir sesaat. Lalu bergu-
mam keras.
“Usia kita telah di ambang kubur. Meski di tangan
kita ada peta wasiat, apa gunanya?! Kita tidak bisa
mengambil apa-apa dari peta wasiat itu! Lain halnya
kalau kita pilih melakukan kesempatan bagus seperti
sekarang ini?!”
“Hem.... Begitu?! Lalu apa yang harus kita laku-
kan?!”
Dewa Cadas Pangeran tidak menjawab. Sebaliknya
memutar tubuh menghadap Pendekar 131. Lalu me-
lakukan hal yang sama sekali tidak diduga oleh semua
orang di tempat itu!
Tangan kiri Dewa Cadas Pangeran yang memegang
gelang baja berkelebat lemparkan gelang baja pada
murid Pendeta Sinting!
Belum habis rasa kejut semua orang di puncak bu-
kit, tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ikut-ikutan lempar-
kan kantong putih yang ada di tangan kanannya!
Karena terkesima dan tidak menduga, apa pun yang
dilakukan orang di tempat itu, sudah sangat terlambat
untuk melakukan hadangan menyambar gelang baja
dan kantong putih yang kini tengah melesat ke arah
murid Pendeta Sinting!
Di lain pihak, tanpa menunggu lama lagi, Joko se-
gera berkelebat. Kedua tangannya menyambar gelang
baja dan kantong putih.
“Anak muda.... Kantong itu kukembalikan padamu.
Dan sampai di sini saja pertemuan kita! Sampaikan
salamku untuk gadis cantik yang jalan bersama kita
kemarin....” Dewa Asap Kayangan berkata seraya ha-
dapkan wajahnya pada Dewi Bunga Asmara.
Paras Dewi Bunga Asmara bersemu merah. Namun
Ratu Selendang Asmara tampak cemberut dan pasang
tampang angker. Nenek ini segera berbisik pada mu-
ridnya.
“Bang Sun Giok! Aku tak suka kau menjalin hubu-
ngan dengan pemuda itu! Aku tak suka! Kau dengar?!”
Dengan melirik pada Pendekar 131, Bang Sun Giok
alias Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala.
“Bagus! Tapi ingat! Sekali aku melihat atau telinga-
ku dengar kau bersama pemuda itu, kau akan tahu
akibatnya!” kata Ratu Selendang Asmara pula.
“Anak muda....” Kini Dewa Cadas Pangeran yang
angkat bicara. “Gelang itu kuserahkan padamu! Uru-
san selanjutnya kau yang punya! Tapi sebelum aku
angkat kaki dari sini, boleh aku tahu sesuatu?!”
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala dengan
pandangi gelang dan kantong di tangan kanan kirinya.
“Sikap gadis cantik yang tegak di samping nenek
itu, serta pandang matamu menunjukkan kalian me-
nyimpan sesuatu. Kau naksir padanya?!”
Pendekar 131 tergagu tak bisa menjawab. Di lain
pihak, Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah
dengan dada berdebar. Namun diam-diam gadis muda
berparas cantik ini pasang telinga baik-baik ingin den-
gar jawaban murid Pendeta Sinting.
Di lain tempat, Mei Hua yang berada di samping
ayahnya, Panglima Muda Lie tegak mematung dengan
dada berguncang. Diam-diam gadis yang menyukai
Joko ini coba menahan perasaan dan menunggu de-
ngan alihkan pandangan ke jurusan lain.
“Aku telah melihat sendiri bagaimana pemuda itu
bermesraan dengan gadis murid Ratu Selendang As-
mara.... Tapi mengapa aku masih saja tidak kuasa un-
tuk membencinya?!” Mei Hua membatin.
Kalau sikap Mei Hua tampak gelisah, di lain tempat,
perempuan bercadar hitam juga terlihat resah begitu
mendengar pertanyaan Dewa Cadas Pangeran yang ti-
dak segera dijawab oleh murid Pendeta Sinting. Dia
lontarkan pandangan pada Joko lalu beralih ke arah
Dewi Bunga Asmara. Dia menghela napas panjang be-
berapa kali seolah tidak sadar menunggu Joko buka
mulut.
“Anak muda.... Aku sudah ajukan tanya. Kau tadi
sudah anggukkan kepala. Mengapa kau tidak segera
memberi jawaban?!” Dewa Cadas Pangeran berkata.
“Sialan benar! Bagaimana aku harus menjawabnya
di depan banyak orang begini rupa?! Sementara aku
merasa Mei Hua amat cemburu pada Dewi Bunga As-
mara! Dan Bidadari Bulan Emas tampaknya juga tidak
suka! Hem....” Pendekar 131 Joko Sableng digelayuti
berbagai perasaan. Hingga meski Dewa Cadas Pange-
ran telah bertanya lagi, namun dia belum juga buka
mulut memberi jawaban.
“Anak muda.... Aku perlu jawabanmu! Kau tak usah
malu-malu. Jika kau memang mencintainya, aku ber-
sedia melamar! Soalnya sebentar lagi aku akan berja-
lan-jalan dengan gurunya....”
“Kek! Ajukanlah seribu pertanyaan. Aku dengan se-
nang hati akan menjawab sebagai imbalan atas kese-
diaanmu memberikan gelang ini. Tapi jangan kau ber-
tanya yang ada hubungannya dengan urusan cinta....”
“Aku tahu.... Kau takut dengan nenek cantik ini!”
Yang bicara Dewa Asap Kayangan. “Kau tak usah ta-
kut, Anak Muda.... Kalau sahabatku Dewa Cadas Pangeran bersedia melamar untukmu, aku menawarkan
diri untuk merayu gurunya.... Kau tahu beres saja!”
“Kek! Aku ucapkan terima kasih atas pemberianmu
dan tawaranmu. Hanya saja, urusan yang dikatakan
Kakek Dewa Cadas Pangeran biarlah kuselesaikan
sendiri....”
“Kau telah dengar jawabannya!” kata Dewa Asap
Kayangan pada Dewa Cadas Pangeran. “Apa lagi yang
kita tunggu?!”
Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepala. Batu pu-
tih yang selalu menutupi wajahnya bergerak-gerak. La-
lu orang ini memberi isyarat. Saat berikutnya Dewa
Cadas Pangeran bergerak langkahkan kaki ke arah Ra-
tu Selendang Asmara. Sementara Dewa Asap Kayangan
melangkah ke arah perempuan bercadar seraya ber-
siul-siul.
Baru saja Dewa Cadas Pangeran melangkah lima
tindak, tiba-tiba Ratu Selendang Asmara telah angkat
kedua tangannya lalu dihantamkan pada Dewa Cadas
Pangeran, lepaskan pukulan jarak jauh.
“Mati aku!” seru Dewa Cadas Pangeran. Meski dia
masih punya kesempatan untuk menghadang pukulan
si nenek, tapi orang ini tidak berusaha menghadang
pukulan yang menggebrak ke arahnya. Dia hanya te-
gak mematung seolah pasrah!
Setengah depa lagi gelombang pukulan Ratu Se-
lendang Asmara menghantam telak sosok Dewa Cadas
Pangeran dan orang ini belum juga membuat gerakan,
Dewa Asap Kayangan berseru.
“Usiamu memang telah mendekati liang kubur. Tapi
tidak seharusnya kau sia-siakan begini rupa!”
Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Cadas Pange-
ran telah diseretnya lima langkah. Saat lain Dewa Asap
Kayangan kembungkan mulut lalu menyembur.
Wuusss!
Terdengar deruan dahsyat. Gulungan asap putih
berkiblat cepat lalu menghadang gelombang pukulan
Ratu Selendang Asmara.
Blammm!
Bukit Toyongga bergetar. Sosok Ratu Selendang As-
mara terhuyung-huyung. Untung Dewi Bunga Asmara
segera bertindak palangkan kedua tangannya di bela-
kang tubuh si nenek. Jika tidak, sosoknya pasti ter-
jengkang jatuh!
Di lain pihak, sosok Dewa Asap Kayangan bergerak
pulang balik ke samping kiri kanan.
“Hai! Mengapa kau menari sendirian?!” Dewa Cadas
Pangeran berseru. Lalu tenang-tenang saja mendekati
Dewa Asap Kayangan. Sekali cekal, gerakan sosok De-
wa Asap Kayangan terhenti.
“Tampaknya kita gagal melakukan perjalanan ber-
senang-senang ini! Tapi tak ada salahnya kita me-
nunggu. Siapa tahu hati nenek cantik itu berubah!”
kata Dewa Cadas Pangeran lalu menuntun Dewa Asap
Kayangan.
“Perempuan bercadar hitam yang kau pilih itu tam-
paknya tidak merasa keberatan. Kita tunggu di dekat-
nya sampai hati nenek yang kupilih itu mencair!” Dewa
Cadas Pangeran berkata lagi seraya arahkan langkah-
nya berbelok pada perempuan bercadar hitam.
“Hem.... Begitu?! Kau perlu tahu satu hal, Saha-
batku! Inilah akibatnya kalau kau salah memilih! Lain
hari, kuharap kau pandai-pandai memandang sebelum
jatuhkan pilihan!” Berkata Dewa Asap Kayangan sam-
bil menurut saja dibimbing Dewa Cadas Pangeran ke
arah perempuan bercadar hitam.
TIGA
MUNGKINKAH yang ada di tanganku ini berisi peta
wasiat yang asli?” Joko bertanya sendiri dalam hati
sambil melirik pada tangan kanan kirinya yang meme-
gang gelang baja dan kantong putih.
Karena yang pernah berada di tangannya adalah
kantong putih, Joko lebih perhatikan kantong putih
yang ada di tangan kanannya.
“Sulit menentukan apakah kantong ini yang pernah
berada di tanganku.... Bentuk dan warnanya sama!”
Dia lalu arahkan pandangannya pada tangan kanan
Hantu Pesolek yang juga memegang kantong putih.
“Hem.... Bagaimanapun juga aku masih yakin jika
kantong di tangan Hantu Pesolek itulah yang asli!”
Saat lain murid Pendeta Sinting ini memandang pada
Yang Mulia Baginda Ku Nang yang memegang gelang
baja.
“Kalau melihat gelang yang tadi ada di tangan Guru
Besar Liang San adalah palsu, mungkin ucapan Ba-
ginda Ku Nang itu benar! Jadi gelang baja di tangan-
nya yang asli! Tapi.... Aku harus dapat menggunakan
apa yang ada di tanganku ini untuk mendapatkan
yang asli! Dua kakek itu memberikan gelang dan kan-
tong pasti dengan maksud tertentu! Aku harus dapat
menggunakannya!”
Habis membatin begitu, Pendekar 131 memandang
pada Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran
yang telah tegak tidak jauh dari perempuan bercadar
hitam. Lalu angkat bicara.
“Kakek berdua! Sekali lagi kuucapkan terima ka-
sih!” Joko menjura hormat. “Apakah kalian masih me-
nunggu nenek cantik itu?!”
“Ini urusanmu!” kata Dewa Asap Kayangan pada
Dewa Cadas Pangeran. “Kau yang harus menjawab-
nya!”
“Anak muda.... Aku memang akan bersabar me-
nunggu! Menghadapi orang tua beda dengan mengha-
dapi orang muda! Harus perlahan-lahan dan sedapat
mungkin lipat gandakan rayuan. Karena sebagai orang
tua, tentu telah banyak makan asam garam pengala-
man, hingga tidak mudah untuk membuatnya percaya!
Tapi kalau sudah percaya, kau mungkin tak bisa mem-
bayangkan dan kau pasti akan memilih orang tua se-
bagai pendamping hidup! Bukan gadis-gadis muda
yang bukan saja mudah bertekuk lutut pada rayuan
tapi juga masih berpindah hati pada orang lain....”
Tampang Ratu Selendang Asmara yang merasa ter-
sindir oleh ucapan Dewa Cadas Pangeran tampak me-
rah mengetam. Kalau saja dia tidak sadar tengah ber-
hadapan dengan siapa dan Dewi Bunga Asmara tidak
cepat mencegah, pasti nenek ini telah melesat dan
menggebuk Dewa Cadas Pangeran.
“Kalau begitu, kuucapkan selamat tinggal. Aku ha-
rus pergi dahulu!” kata Joko seraya selinapkan gelang
baja dan kantong putih ke balik pakaiannya. Sebe-
narnya ucapan ini dikatakan murid Pendeta Sinting
agar semua tahu bahwa dia bersungguh-sungguh akan
pergi, meski sebenarnya ucapan itu hanya tipu musli-
hat.
“Soal lamaran itu bagaimana?!” tanya Dewa Cadas
Pangeran.
“Juga soal rayu merayu nenek itu bagaimana?!”
Dewa Asap Kayangan menimpali.
“Itu bisa kita bicarakan nanti kalau kita bertemu
lagi...! Kuucapkan selamat bersenang-senang!”
Selagi Joko dan Dewa Cadas Pangeran serta Dewa
Asap Kayangan berbincang, Hantu Bulan Emas yang
tegak tidak jauh dari muridnya Bidadari Bulan Emas
berbisik.
“Menurutmu, mana yang asli?! Yang ada di tangan
si pemuda atau yang ada di tangan Hantu Pesolek dan
Baginda Ku Nang?!”
Yang ditanya geleng kepala. “Aku memang telah me-
nyelidik. Tapi yang kudapat cuma keterangan ciri-ciri
di mana peta wasiat itu tersimpan. Anehnya, semua ci-
ri-ciri itu ada pada gelang baja dan kantong baik yang
ada di tangan pemuda itu maupun yang ada di tangan
Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang!”
Hantu Bulan Emas menghela napas panjang. “Tidak
kuduga kalau terjadi hal seperti ini! Tapi aku hampir
yakin yang asli berada di tangan pemuda itu!”
“Mengapa Guru menduga begitu?!” tanya Bidadari
Bulan Emas.
“Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan
bukanlah tokoh sembarangan. Tidak mungkin mereka
berdua menyimpan barang palsu!”
“Tapi mengapa mereka memberikan pada pemuda
itu?! Bukankah peta wasiat itu benda yang berharga?!”
“Itulah keanehan mereka! Mereka akan memberikan
apa saja pada orang yang dikehendaki meski apa yang
diberikan adalah benda berharga!”
Hantu Bulan Emas pandangi murid Pendeta Sin-
ting. “Aku harus melakukan sesuatu!”
“Tunggu!” tahan Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan
Emas berpaling. Sekilas pandang dia sudah dapat
membaca apa yang ada dalam benak muridnya.
“Kau tertarik pada pemuda itu?!” tanya Hantu Bu-
lan Emas.
Raut wajah Bidadari Bulan Emas berubah. Meski
perempuan cantik ini tidak memberi jawaban, sangGuru tampaknya maklum. Dia segera berbisik.
“Peta wasiat itu lebih berharga dari tubuhnya! Kau
harus ingat itu!”
“Tapi kita dapat menyelesaikannya dengan baik-
baik.... Harap serahkan urusan ini padaku!”
Hantu Bulan Emas geleng kepala. “Kau sudah ku-
serahi urusan ini. Namun buktinya kau gagal!”
“Kegagalanku karena ada pihak lain yang ikut cam-
pur! Lagi pula saat itu dia belum memegang peta wa-
siat!”
“Itu bukan alasan tepat! Yang jelas kau gagal mem-
bawa peta wasiat itu!”
“Guru.... Kumohon padamu kali ini... Serahkan
urusan ini padaku! Aku berjanji akan membawa peta
wasiat itu untukmu....”
“Hem.... Lalu apa yang akan kau lakukan?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi kali ini
aku yakin bisa mendapatkannya.... Percayalah!” rajuk
Bidadari Bulan Emas dengan wajah memelas.
Namun Hantu Bulan Emas seolah tidak pedulikan
kecemasan muridnya. Dia gelengkan kepala dan berbi-
sik lagi.
“Aku akan selesaikan urusan dengan pemuda itu
secara baik-baik. Tapi jika gagal, aku tahu apa jalan
yang terbaik!”
“Guru...,” kata Bidadari Bulan Emas seraya cekal
lengan tangan Hantu Bulan Emas. Namun sebelum si
murid berkata lagi, sang Guru telah mendahului. “Aku
tahu kau tertarik padanya. Namun itu bukan halangan
bagiku! Dan kalau kau ikut campur urusan ini, aku
tak segan-segan membunuhmu!”
Hantu Bulan Emas tepiskan cekalan tangan Bida-
dari Bulan Emas. Lalu sekali melompat, sosoknya te-
lah tegak menghadang di depan Pendekar 131!
Di pihak lain, karena masih yakin gelang di tangan
Yang Mulia Baginda Ku Nang adalah yang asli juga ka-
rena pengkhianatan yang dilakukan sang Baginda, be-
gitu Hantu Bulan Emas berkelebat menghadang murid
Pendeta Sinting, Guru Besar Liang San tidak sia-sia-
kan kesempatan. Laki-laki berkepala gundul ini laksa-
na terbang melompat ke arah Baginda Ku Nang.
“Aku minta kau serahkan gelang itu padaku secara
baik-baik seperti saat aku memberikannya padamu,
Yang Mulia!” kata Guru Besar Liang San.
Panglima Muda Lie akan bergerak maju. Namun
sang Baginda palangkan tangan mencegah. Sang Ba-
ginda maju satu tindak. Dengan senyum dingin dia
berkata.
“Guru Besar! Urusan di antara kita kuanggap sele-
sai begitu kau memberikan gelang ini setelah kau dan
aku bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan
Maha Guru Besar Su Beng Siok!”
“Di antara kita tidak ada perjanjian begitu!” sentak
Guru Besar Liang San.
“Hem.... Jadi kau pikir aku bersedia membantumu
tanpa imbalan. Begitu...? Kau kira aku mau kau ajak
bersekongkol dengan suka rela, begitu?!” Sang Baginda
tertawa pendek. Lalu gelengkan kepala dan lanjutkan
ucapan.
“Seharusnya kau bersyukur aku tidak minta imba-
lan nyawamu sekalian, Guru Besar! Sebab imbalan ge-
lang ini saja rasanya masih kurang! Apalagi ternyata
kau telah berani berkhianat!”
“Kau yang licik! Kau yang berkhianat terlebih dahu-
lu!”
“Aku tidak bodoh, Guru Besar! Kalau kau berani
bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha
Guru Besar Su Beng Siok yang keduanya adalah sau
dara dan gurumu, tentu kau tak segan-segan pula ber-
sekongkol dengan orang lain untuk membunuhku!
Apalagi kita berdua sama pegang rahasia!”
“Kau yang mengajakku bersekongkol! Bukan aku!”
“Itu bukan masalah! Yang jelas kau telah berse-
kongkol membunuh saudara dan gurumu!”
Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan kema-
rahan. Dia cepat melompat. Tangan kirinya menghan-
tam ke arah kepala sang Baginda, tangan kanan berke-
lebat menyambar ke arah gelang yang ada di tangan
sang Baginda.
Walau masih terbetik rasa ragu akan gelang baja
yang berada di tangannya, Baginda Ku Nang tidak be-
gitu saja mendiamkan gerakan Guru Besar Liang San
yang coba merebut gelang baja dari tangannya.
Dengan kecepatan luar biasa, sang Baginda selinap-
kan gelang baja ke balik pakaiannya. Lalu rundukkan
kepala dan menghadang hantaman lawan dengan ang-
kat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkkk!
Dua pasang tangan bentrok di udara perdengarkan
benturan keras. Paras masing-masing orang langsung
berubah dan kaki mereka sama tersurut dua langkah.
Guru Besar Liang San pandangi sang Baginda de-
ngan sorot mata menyengat. Dia segera lipat gandakan
tenaga dalam, karena dia sadar yang dihadapi bukan
saja seorang penguasa tanah Tibet, melainkan bekas
seorang tokoh dunia persilatan yang pernah memimpin
perguruan silat.
Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya lalu
ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipe-
jamkan. Di seberang, Baginda Ku Nang tidak tinggal
diam. Dia juga maklum siapa lawan yang dihadapi.
Hingga bukan saja dia segera lipat gandakan tenaga
dalam, namun segera berkelebat mendahului.
Setengah jalan, sang Baginda tampak sedikit terke-
jut melihat Guru Besar Liang San tidak membuat ge-
rakan. Padahal dia yakin, Guru Besar Liang San tahu
dirinya telah berkelebat hendak menghantam.
Meski merasa aneh dengan sikap Guru Besar Liang
San, namun akhirnya Baginda Ku Nang tidak ambil
peduli. Dengan tingkatkan kewaspadaan, dia teruskan
kelebatan. Dan begitu tepat berada di depan Guru Be-
sar Liang San, kedua tangannya segera lepaskan pu-
kulan ke arah dada!
Karena Guru Besar Liang San tidak juga membuat
gerakan untuk menghadang pukulan lawan, tanpa
ampun lagi kedua tangan Baginda Ku Nang mengge-
brak.
Bukkk! Bukkkk!
Terdengar seruan tertahan. Anehnya, bukan dari
mulut Guru Besar Liang San yang dadanya terhantam
kedua tangan Baginda Ku Nang, melainkan dari mulut
sang Baginda sendiri! Malah saat itu juga kedua tan-
gan sang Baginda langsung mencelat mental dan so-
soknya tersurut mundur tiga langkah!
Bukan hanya sang Baginda yang terkejut, tapi
hampir semua orang yang berada di puncak bukit
sempat terkesima. Sebagian dari mereka memang tahu
jika Guru Besar Liang San sanggup menahan pukulan.
Tapi mereka tidak menduga kalau dia mampu mena-
han gebrakan Baginda Ku Nang.
Mungkin merasa malu dan telanjur berterus terang
tentang apa yang telah terjadi, Baginda Ku Nang tidak
mau bertindak tanggung-tanggung. Malah dia telah
bertekad untuk membunuh semua orang yang hadir di
puncak Bukit Toyongga. Jika tidak, bukan saja kedu-
dukannya yang akan terancam, namun hal itu akan
menanamkan benih dendam pada dunia persilatan
dan pada akhirnya akan timbul bentrok antara pihak
kerajaan dan kalangan persilatan.
Baginda Ku Nang kerahkan segenap tenaga dalam
dan luarnya. Lalu melangkah dua tindak.
“Kau boleh memilih bagian mana yang kau suka!”
kata Guru Besar Liang San sambil tertawa panjang
tanpa coba membuka mata.
Dada Baginda Ku Nang laksana terbakar. Saat lain
kedua tangannya bergerak. Bukan langsung lepaskan
hantaman, melainkan bergerak menotok berpindah-
pindah ke bagian tertentu dari sosok Guru Besar Liang
San.
Guru Besar Liang San keraskan kekehan tawanya
seraya berucap. “Kau boleh mencari titik kelemahan-
ku. Tapi jangan mimpi kau bisa menemukannya! Ha....
Ha.... Ha...!”
Baginda Ku Nang tidak ambil peduli dengan ucapan
Guru Besar Liang San. Dia teruskan gerakan menotok
mencari titik lemah orang. Karena dia yakin, titik le-
mah itu pasti ada.
Namun begitu hampir sekujur tubuh Guru Besar
Liang San telah dicari dan ternyata tidak ditemukan di
mana titik lemahnya, perlahan-lahan dada Baginda Ku
Nang mulai dibayangi perasaan kecut dan gundah.
Walau sepasang matanya terpejam, tampaknya Gu-
ru Besar Liang San bisa membaca apa yang tengah
melanda orang. Kesempatan inilah yang sesungguhnya
ditunggu-tunggu. Karena begitu seseorang mulai re-
sah, maka kewaspadaannya akan berkurang.
Guru Besar Liang San mendadak putuskan tawa-
nya. Saat yang sama, hampir tidak bisa dilihat dengan
pandangan mata biasa, kedua tangan Guru Besar Li-
ang San berkelebat!
Walau Yang Mulia Baginda Ku Nang masih sempat
gerakkan kedua tangan untuk menghadang, tapi kalah
cepat dengan kelebatan kedua tangan Guru Besar
Liang San.
Bukkk! Bukkkk!
Sosok Baginda Ku Nang terpental dengan mulut
semburkan darah kehitaman. Hebatnya meski sosok-
nya melayang di udara dalam keadaan terluka dalam
cukup parah, namun penguasa Tibet ini masih mampu
membuat gerakan jungkir balik di udara lalu melayang
turun dengan kaki terlebih dahulu. Hanya saja karena
telah terluka cukup dalam, begitu kakinya menginjak
tanah, sosoknya langsung goyah lalu jatuh terduduk!
Panglima Muda Lie sempat terkejut. Bukan karena
melihat sosok sang Baginda yang terpental dan jatuh
di atas tanah, melainkan mendapati sang Baginda ma-
sih bertahan meski terkena hantaman telak Guru Be-
sar Liang San! Padahal sang Panglima mengharapkan
sang Baginda langsung tewas!
EMPAT
PADA mulanya, Panglima Muda Lie memang dengan
suka rela mengabdikan diri pada kerajaan. Hingga ak-
hirnya laki-laki ini menjadi tangan kanan Baginda Ku
Nang. Namun begitu melihat siapa saja yang muncul di
puncak Bukit Toyongga dan tahu rahasia yang telah
dilakukan sang Baginda, mendadak timbul niat dan
harapan lain di benak Panglima Muda Lie.
“Ini kesempatan emas bagiku. Kalau dia tewas, aku-
lah yang akan menggantikan kedudukannyal Aku akan
menjadi raja penguasa tanah Tibet!” Panglima Muda
Lie berkata dalam hati seraya memperhatikan sosok
sang Baginda yang kini terduduk dengan mata terpe-
jam dan tubuh bergetar keras. Tanda orang ini kerah-
kan tenaga untuk kuasai diri.
Sementara itu, mendapati apa yang terjadi pada
sang Baginda, perempuan bercadar hitam tampak ter-
kesiap kaget. Sepasang kakinya tersurut. Entah sadar
atau tidak, dia perdengarkan desisan.
“Heran.... Seharusnya Panglima Muda Lie tidak di-
am begitu saja! Kalaupun dia tidak sempat menolong,
seharusnya dia membantunya ketika tubuh sang Ba-
ginda melayang jatuh di udara!”
“Hem.... Suaramu menunjukkan kau mengkhawa-
tirkan sang Baginda! Pasti kau punya hubungan de-
ngan Baginda itu.... Setidaknya kau kenal baik de-
ngannya...!” Dewa Cadas Pangeran yang duduk ber-
dampingan dengan Dewa Asap Kayangan tidak jauh
dari perempuan bercadar buka suara.
Perempuan bercadar kaget. Namun dia tidak ber-
usaha palingkan kepala ke arah orang di sampingnya.
Matanya tak berkesip terus memperhatikan silih ber-
ganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Panglima
Muda Lie.
“Hem.... Kau menduga begitu?!” sambut Dewa Asap
Kayangan. “Jika benar dan seandainya aku jadi pe-
rempuan bercadar hitam itu, aku akan lakukan satu
hal!”
“Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Dewa Cadas
Pangeran.
“Aku akan cepat membantunya!”
“Mengapa begitu?!”
“Aku mencium bau tak enak. Bau sebuah pengkhi-
anatan!”
Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Pengkhianatan itu
sudah berlangsung. Mengapa kau baru merasakan
baunya sekarang?!”
“Pengkhianatan yang satu memang telah terjadi.
Tapi kali ini mungkin akan terjadi pengkhianatan
lain....”
“Kau bisa menjelaskan lebih rinci?!” tanya Dewa
Cadas Pangeran.
Dewa Asap Kayangan gelengkan kepala. “Bukan
penjelasan rinci yang harus didengarkan. Tapi tinda-
kan cepat yang harus segera dilakukan!”
“Pembicaraan mereka membuat hatiku tidak
enak...,” Perempuan bercadar hitam membatin. “Tinda-
kan mereka aneh-aneh. Dan tampaknya dia bisa mem-
baca sikap orang.... Jangan-jangan mereka tahu siapa
diriku! Tapi.... Ah, apa peduliku?! Aku memang harus
segera lakukan sesuatu untuk membantunya!”
Perempuan bercadar hitam melirik sesaat pada dua
kakek di sampingnya, lalu membuat gerakan berkele-
bat ke arah Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Tapi baru saja sosok perempuan bercadar bergerak,
di depan sana, Panglima Muda Lie sudah melesat ke
arah sang Baginda dan langsung jongkok di hadapan
penguasa tanah Tibet itu yang masih pejamkan mata
kerahkan tenaga dalam.
Guru Besar Liang San yang tadi juga akan berkele-
bat susuli pukulannya segera urungkan niat. Di lain
pihak, perempuan bercadar hitam juga batalkan kele-
batan sambil menghela napas lega.
Namun kelegaan perempuan bercadar hitam cuma
sekejap. Di lain saat sepasang matanya mendelik. Dia
coba berteriak, namun suaranya laksana tersumbat di
tenggorokan.
Sementara semua orang di tempat itu tak kalah ka-
getnya. Namun mereka tidak coba membuat gerakan.
Hanya Joko yang sempat berseru.
“Tahan!” Hanya itu yang bisa dilakukan murid Pen-
deta Sinting, karena selain dirinya dihadang Hantu Bu-
lan Emas, apa pun yang akan dilakukan tidak mung-
kin bisa membantu.
“Kau!” Itulah satu-satunya suara yang terdengar da-
ri mulut Yang Mulia Baginda Ku Nang saat sepasang
matanya terbuka demi merasakan ada seseorang yang
di dekatnya. Sang Baginda sempat anggukkan kepala
dan tersenyum melihat siapa yang ada di depannya.
Tapi anggukan kepala sang Baginda terhenti seketi-
ka. Senyumnya pupus laksana disabet setan. Sepa-
sang matanya membelalak memperhatikan tangan ka-
nan orang kepercayaannya, Panglima Muda Lie, yang
ayunkan sebilah pisau pendek berkilat ke arah dada-
nya!
Bruusss!
Luka dalam yang diderita membuat Yang Mulia Ba-
ginda Ku Nang terlalu lamban untuk membuat ge-
rakan. Hingga tanpa ampun lagi pisau pendek di tan-
gan Panglima Muda Lie leluasa menembus dadanya!
Darah segar muncrat dan sebagian memerciki wa-
jah Panglima Muda Lie. Sosok sang Baginda langsung
terguling roboh dengan tangan menunjuk-nunjuk pada
sang Panglima. Dia berusaha buka mulut. Namun
meski mulutnya terbuka menganga, tidak ada suara
yang terdengar. Malah saat lain tangannya terkulai
dan nyawanya melayang!
Walau pada mulanya hanya menginginkan tewas-
nya Baginda Ku Nang agar bisa menggantikan kedudu-
kannya sebagai Penguasa Tibet, namun begitu sang
Baginda benar-benar tewas, kini bukan kedudukannya
saja yang diincar, tapi juga gelang yang ada di balik
pakaiannya, meski sang Panglima belum tahu persis
mana yang asli dan mana yang palsu. Hingga hampir
bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Baginda, Pan-
glima Muda Lie segera melompat.
Tewasnya sang Baginda membuat Guru Besar Liang
San sunggingkan senyum. Namun begitu melihat gela-
gat tidak baik dari gerakan Panglima Muda Lie, laki-
laki berkepala gundul ini tidak berpangku tangan. Dia
segera berkelebat pula. Namun gerakannya didahului
oleh perempuan bercadar hitam yang tahu-tahu sudah
tegak tidak jauh dari Panglima Muda Lie!
“Jahanam pengkhianat!” teriak perempuan bercadar
hitam. Tangan kiri kanannya berkelebat menghantam.
Keserakahan membuat Panglima Muda Lie tidak hi-
raukan pukulan yang dilepas perempuan bercadar hi-
tam. Laki-laki yang dulu pernah menjadi orang keper-
cayaan sang Baginda ini teruskan niat untuk me-
ngambil gelang baja dari balik pakaian sang Baginda.
Bersamaan dengan tergenggamnya gelang di tangan
sang Panglima, dua hantaman perempuan bercadar hi-
tam sampai.
Bukkk! Bukkkk!
Panglima Muda Lie berseru tertahan. Sosoknya ter-
jungkal jatuh menyongsong tanah. Dia merasakan
punggungnya laksana dihantam kayu besar hingga
dadanya berdenyut sakit dan sukar bernapas. Namun
sang Panglima tidak hendak lepaskan gelang yang te-
lah berada di tangannya. Dia pegang erat-erat gelang
itu lalu bergerak bangkit.
Namun belum sampai tubuhnya benar-benar ber-
diri, satu bayangan berkelebat. Dua tangan menyam-
bar ganas perdengarkan deruan dahsyat, tanda han-
taman kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam cu-
kup tinggi.
Panglima Muda Lie papasi kelebatan kedua tangan
dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya memegang gelang baja. Hal ini membuat dia hanya bisa
menghadang kelebatan satu tangan sementara keleba-
tan tangan lainnya tidak bisa dibendung.
Bukkkk!
Panglima Muda Lie mencelat mental lalu terjeng-
kang roboh dengan mulut mengembung dan sembur-
kan darah. Laki-laki ini cepat palingkan kepala. Seja-
rak lima langkah, terlihat Guru Besar Liang San tegak
dengan tersenyum dingin.
“Nyawamu di ujung tanduk! Membunuhmu semu-
dah membalik telapak tangan! Tapi aku masih bermu-
rah hati jika kau serahkan gelang itu secara baik-
baik!” berkata Guru Besar Liang San yang baru saja
membuat sosok sang Panglima terjengkang roboh dan
muntahkan darah.
Panglima Muda Lie menyeringai. Tanpa buka suara,
dia bergerak bangkit. Namun baru saja bergerak, so-
soknya kembali jatuh! Dari mulutnya kembali muntah-
kan darah.
“Waktumu tidak banyak! Kau harus segera tentu-
kan pilihan!” kembali Guru Besar Liang San angkat bi-
cara.
Karena Panglima Muda Lie tidak memberi jawaban
atau membuat tanda-tanda akan serahkan gelang baja
di tangannya, Guru Besar Liang San habis kesabaran.
Dia melangkah mendekati dengan pandangan garang.
“Nyawanya untukku!” Mendadak perempuan berca-
dar hitam berseru. Perempuan ini segera pula melang-
kah ke arah Panglima Muda Lie.
Tapi baru saja mendapat dua tindak, satu sosok tu-
buh melesat dan tegak membelakangi sang Panglima
menghadap perempuan bercadar hitam.
“Mei Hua!” desis perempuan bercadar hitam.
Sosok yang tegak membelakangi sang Panglima bukan lain memang Mei Hua. Putri Panglima Muda Lie.
Gadis cantik ini sebenarnya juga merasa terkejut den-
gan tindakan yang dilakukan ayahnya. Dia pada mu-
lanya menduga kalau ayahnya akan membantu sang
Baginda. Bukan membunuhnya. Dia juga sebenarnya
tak suka dengan tindakan ayahnya. Namun se-bagai
anak, dia tidak akan tinggal diam melihat ayah-nya di-
bunuh orang di depan matanya meski ayahnya telah
melakukan perbuatan tidak terpuji.
“Mei Hua! Kau sadar apa yang kau lakukan?!” ber-
tanya perempuan bercadar hitam.
Mei Hua terkesiap kaget. Bukan saja karena men-
dapati si perempuan bercadar hitam telah mengenali
dirinya, namun telinganya terasa tidak asing dengan
suara si perempuan bercadar hitam.
“Aku kenal dengan suaranya! Tapi mungkinkah
dia?!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu angkat suara.
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Saatnya nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang
menyingkirlah!”
Mei Hua gelengkan kepala. “Ayahku memang telah
bertindak tidak terpuji. Dia memang pantas mendapat
hukuman! Tapi bukan kau yang harus melakukan-
nya!”
“Di atas jagat raya ini, akulah satu-satunya orang
yang paling berhak atas selembar nyawa ayahmu!”
Mei Hua tampak bimbang. “Jangan-jangan memang
dia! Tapi bukan mustahil pula orang lain.... Suara bisa
sama, namun wajah belum tentu tidak beda!”
“Apa hubunganmu dengan Baginda?!” bertanya Mei
Hua.
“Belum saatnya kau tahu! Yang jelas akulah orang
yang paling berhak memiliki selembar nyawa jahanam
ayahmu!”
Walau merasa panas dengan ucapan perempuan
bercadar hitam, namun Mei Hua masih menahan diri
apalagi dia sadar ayahnya memang telah melakukan
hal tidak baik.
“Kau menginginkan gelang itu?!” Mei Hua coba alih-
kan perhatian orang. “Aku bisa mengambilkan untuk-
mu!”
“Aku menginginkan nyawa keparat ayahmu! Me-
nyingkirlah atau kau akan ikut tewas bersamanya!” Pe-
rempuan bercadar hitam membentak. Sepasang mata-
nya berkilat merah.
Mei Hua geleng kepala. “Aku tahu siapa yang paling
berhak atas hidup mati ayahku setelah kejadian ini!
Aku akan membawanya menghadap orang itu! Dan
aku tidak akan menghalangi apa yang akan dilaku-
kannya!”
“Setan! Telingamu telah dengar! Akulah orang yang
paling berhak!”
Selagi kedua orang ini berdebat, Guru Besar Liang
San mendengarkan beberapa lama. Saat lain dia terus-
kan langkah mendekati Panglima Muda Lie.
“Guru Besar Liang San! Tetap di tempatmu! Setelah
kuselesaikan urusan nyawa dengan panglima jahanam
itu, tiba giliranmu untuk selesaikan urusan dengan-
ku!” Perempuan bercadar hitam membentak garang.
“Aku tak punya urusan denganmu! Juga dengan
nyawa Panglima itu! Urusanku adalah gelang di tan-
gannya!” kata Guru Besar Liang San tanpa meman-
dang pada perempuan bercadar hitam.
“Kau salah besar, Guru Besar! Kau punya urusan
denganku yang harus diselesaikan sekarang juga! Un-
tuk itulah kau harus menunggu tiba gilirannya!”
“Hem.... Tampaknya kau menginginkan gelang itu
pula!” desis Guru Besar Liang San.
Perempuan bercadar hitam gelengkan kepala. “Ge-
lang itu tidak berarti apa-apa bagiku! Kaulah yang
memulai meski jahanam Panglima itu yang meng-
akhiri!”
Ucapan perempuan bercadar hitam membuat Mei
Hua berdebar tidak enak. Dia memperhatikan cadar
hitam yang menutupi wajah perempuan di hadapan-
nya seolah tembusi kain cadar itu agar bisa meyakin-
kan dugaannya.
Perempuan bercadar hitam memandang silih ber-
ganti pada Mei Hua dan Guru Besar Liang San. Terak-
hir kali matanya menumbuk pada sosok Panglima Mu-
da Lie. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah.
Mei Hua segera palangkan tangannya. Lalu berkata.
“Aku tidak akan membiarkanmu melangkah sebe-
lum kau jelaskan siapa dirimu sebenarnya!”
“Sebelum kuturuti kemauanmu, aku ingin tanya.
Kau tidak akan ingkari ucapanmu untuk menyerahkan
nyawa ayahmu pada orang yang paling berhak?!” ber-
tanya perempuan bercadar hitam.
Meski terasa berat, akhirnya Mei Hua anggukkan
kepala. Sementara Panglima Muda Lie merasakan ku-
duknya dingin. Dia tahu sifat putrinya yang selalu te-
guh memegang janji dan berani menghadang kesulitan
jika yang dibela adalah kebenaran.
“Bagus! Aku akan turuti permintaanmu!” kata pe-
rempuan bercadar hitam. Kedua tangannya diangkat
ke atas.
Semua orang di puncak Bukit Toyongga terdiam.
Puncak bukit itu disentak kesunyian bercampur kete-
gangan. Semua mata tertuju pada kedua tangan pe-
rempuan bercadar hitam.
Bretttt!
Sekali kedua tangan perempuan bercadar hitam
bergerak, cadar penutup wajahnya robek lepas!
LIMA
SIAO Ling Ling!” desis Mei Hua mengenali wajah pe-
rempuan yang tadi tertutup cadar hitam. “Dugaanku
tidak jauh meleset! Sekarang apa yang harus kulaku-
kan?! Apakah aku harus serahkan ayah padanya?! Ta-
pi....”
“Mei Hua! Sekarang kau sudah tahu. Menyingkir-
lah!” bentak perempuan yang tadi wajahnya tertutup
cadar hitam dan ternyata tidak lain adalah Siao Ling
Ling. Putri Yang Mulia Baginda Ku Nang!
Mei Hua menghela napas panjang. Dadanya dibun-
cah dengan berbagai perasaan. Di satu sisi dia ter-
panggil untuk menyerahkan ayahnya karena Panglima
Muda Lie telah melakukan kesalahan besar. Namun di
sisi lain, bagaimanapun juga besarnya kesalahan yang
dilakukan si ayah, sebagai anak dia masih tidak tega.
“Woww.... Kau pandai juga memilih!” Tiba-tiba ter-
dengar orang bersuara. Yang berucap ternyata Dewa
Cadas Pangeran.
“Hem.... Tampaknya kau baru tahu, Sahabatku!”
sambut Dewa Asap Kayangan. “Sekilas pandang, jika
urusan perempuan aku tidak akan terkecoh meski wa-
jahnya tertutup seribu kain cadar! Bahkan bukan itu
saja. Selain aku pandai memilih, pilihanku pasti bukan
orang sembarangan!”
“Maksudmu...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.
“Kau tidak kenal dengan perempuan yang tadi wa-
jahnya tertutup cadar dan ternyata adalah gadis ber-
paras aduhai itu?!”
Batu putih yang ada di depan wajah Dewa Cadas
Pangeran dan selalu menutupi dari pandangan orang
itu bergerak-gerak tanda kepala di belakangnya berge-
rak menggeleng. “Bagaimana aku kenal dengan gadis
muda dan aduhai macam dia?! Siapa dia?!”
“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku.... Gadis itu
bukan hanya cantik jelita, tapi dia juga adalah putri
Yang Mulia Baginda Ku Nang....”
Hanya Dewa Cadas Pangeran dan Pendekar 131
yang tampak terlengak mendengar jawaban Dewa Asap
Kayangan. Karena semua orang di tempat itu memang
sudah tahu siapa sebenarnya Siao Ling Ling.
“Astaga! Benarkah ucapan Kakek itu...?!” desis mu-
rid Pendeta Sinting.
“Kau jangan mengada-ada!” Dewa Cadas Pangeran
berseru seakan tidak percaya dengan keterangan Dewa
Asap Kayangan.
“Ini bukan urusan main-main! Mana mungkin aku
berani mengada-ada mengarang cerita?!” sahut Dewa
Asap Kayangan.
Di depan sana, Siao Ling Ling berpaling pada Guru
Besar Liang San dan berkata lantang.
“Guru Besar Liang San! Kau yang memberi jalan
atas kematian ayahku! Terserah kau katakan antara
kita ada urusan atau tidak. Yang pasti kau pantas me-
nerima imbalan atas tindakanmu!”
“Ayahmu berkhianat!” kata Guru Besar Liang San.
“Urusan ini tidak ada hubungannya dengan khianat
atau tidak! Yang jelas kau ikut andil atas kematian
ayahku!”
“Hem.... Jadi dia benar-benar putri Baginda.... Jadi
inikah jawabannya mengapa Mei Hua dan Siao Ling
Ling tidak mau bicara di depanku saat bertemu tempo
hari...?!” Pendekar 131 jadi ingat akan pertemuannya
dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling pada beberapa hari
yang lalu, di mana kedua gadis itu tidak mau bicara di
hadapan Joko. Sebaliknya mereka memilih tempat
lain.
Siao Ling Ling arahkan pandang matanya pada so-
sok mayat sang Baginda. Dia coba bertahan meski ka-
kinya sudah tidak sabar untuk melompat dan meme-
luk mayat ayahandanya. Dan melihat bagaimana sosok
ayahandanya, hawa kemarahan gadis ini me-muncak.
Laksana terbang dia segera berkelebat melewati sosok
Mei Hua dan tegak dua langkah di samping Panglima
Muda Lie.
Mei Hua cepat balikkan tubuh. Dia memang mem-
biarkan Siao Ling Ling berkelebat melewatinya karena
saat Ku dia tengah dirundung kegalauan untuk me-
nentukan sikap. Namun begitu Siao Ling Ling lewat,
dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan
Siao Ling Ling melakukan tindakan pembalasan atas
kematian ayahnya.
Di pihak lain, Guru Besar Liang San tidak tinggal
diam begitu saja melihat tindakan Siao Ling Ling. Dia
masih menduga kalau si gadis ingin juga memiliki ge-
lang baja di tangan Panglima Muda Lie. Hingga begitu
Siao Ling Ling berkelebat, laki-laki berkepala gundul
ini ikut pula berkelebat dan tegak tidak jauh dari sosok
sang Panglima yang sudah tegang kaku karena keta-
kutan.
Tampaknya Pendekar 131 menangkap gelagat apa
yang hendak dilakukan Guru Besar Liang San. Apalagi
Joko merasa yakin, gelang yang kini di tangan sang
Panglima adalah yang asli. Maka dia segera ikut me-
lesat ke arah sang Panglima.
Tapi Hantu Bulan Emas yang yakin gelang dan kan-
tong di tangan Joko adalah yang asli, tidak membiar-
kan Joko berlalu. Sebelum Joko sempat bergerak lebih
jauh, dia cepat melompat dan tegak menghadang.
“Kau boleh mengambil gelang di tangan Panglima
itu! Tapi serahkan dulu gelang dan kantong yang ada
di tanganmu padaku!”
Hantu Bulan Emas bukan hanya berkata. Bersa-
maan dengan terdengarnya ucapan, sosoknya melom-
pat lalu tangannya lepas pukulan!
Wuuttt! Wuuuutt!
Pendekar 131 rasakan sambaran angin keras me-
ngarah pada kepala dan dadanya.
Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dia
cepat papasi hantaman tangan bertenaga dalam tinggi
itu dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkkk!
Hantu Bulan Emas tersurut dua tindak dengan so-
sok bergoyang-goyang. Lengan tangannya terasa ngilu.
Paras wajahnya berubah. Di hadapannya, Pendekar
131 mundur satu langkah. Dia meringis kesakitan se-
raya kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja
bentrok dengan kedua tangan Hantu Bulan Emas.
“Aku harus segera selesaikan anak ini! Jika tidak,
bukan tak mungkin ada orang yang mengambil keun-
tungan!”
Membatin begitu, Hantu Bulan Emas segera tekuk
kedua kakinya. Sosoknya melorot jatuh dan langsung
membuat sikap duduk bersila dengan kedua tangan
bersedekap di depan dada. Kepalanya ditengadahkan
menatap rembulan. Mulutnya berkemik.
Tiba-tiba dari tato bergambar bulan sabit yang ber-
ada di tengah kedua alis mata Hantu Bulan Emas pan-
carkan sinar terang bercahaya. Kejap lain sekujur tu-
buhnya pun ikut bercahaya. Hebatnya cahaya itu
membentuk garis lurus mengarah pada sinar rembu-
lan di hamparan langit sana!
“Jurus ke delapan dari ‘Delapan Gerbang Rembu-
lan’!” teriak Dewa Asap Kayangan.
“Astaga! Guru benar-benar hendak membunuhnya!”
desis Bidadari Bulan Emas. Parasnya gelisah dan bim-
bang. “Mungkinkah Pendekar 131 mampu bertahan
dari jurus tertinggi pukulan ‘Delapan Gerbang Rembu-
lan’?!” Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memper-
hatikan Joko. “Guru tidak boleh membunuhnya! Aku
harus lakukan sesuatu!”
Ternyata bukan hanya Bidadari Bulan Emas yang
resah. Raut wajah Dewi Bunga Asmara juga berubah.
Kekhawatiran jelas membayang. Diam-diam gadis can-
tik murid Ratu Selendang Asmara ini juga kerahkan
segenap tenaga dalamnya. Dia bertekad akan memban-
tu Joko meski Ratu Selendang Asmara akan marah be-
sar.
Joko sendiri tampak terkejut. Sementara cahaya
yang lurus ke arah sinar rembulan dari tubuh Hantu
Bulan Emas makin lama makin terang dan bertambah
besar.
“Sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Aku melihat
satu cahaya terang. Siapa gerangan yang membawa
obor ke tempat ini?!” Dewa Cadas Pangeran bertanya.
Batu putih di depan wajahnya bergerak ke atas tanda
kepalanya tengadah.
“Hem.... Kau kira itu cahaya obor?! Kau perlu tahu
satu hal, Sahabatku.... Itulah cahaya bias pukulan
tingkat tertinggi ‘Delapan Gerbang Rembulan’!”
“Celaka!” Dewa Cadas Pangeran terkesiap. “Kude-
ngar hanya ada satu pukulan yang mampu memben-
dungnya.... Dan kudengar pula, hanya ada satu manu-
sia pula yang memiliki pukulan itu....”
“Pasangan rembulan adalah matahari.... Benar atau
tidaknya, hanya itu yang kuketahui!” sambut Dewa
Asap Kayangan.
“Hem.... Ucapan mereka sepertinya memberi isyarat
padaku.... Jadi aku harus menghadapinya dengan pu-
kulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’ yang telah diajar-
kan Bu Beng La Ma.” Joko membatin. Lalu buru-buru
duduk bersila dengan kedua tangan disatukan. Kedua
jari telunjuk dan ibu jari dibuka lalu ditemukan satu
sama lain membentuk bundaran.
Tiba-tiba dari bundaran tangan murid Pendeta Sint-
ing berkiblat satu cahaya putih berkilau membentuk
bundaran.
“Ada apa lagi ini?!” Dewa Cadas Pangeran kembali
ajukan tanya.
“Yang kudengar, ini adalah bias pukulan tingkat
tertinggi dari ‘Sembilan Gerbang Matahari’....” Dewa
Asap Kayangan menyahut.
Semua orang di tempat itu jadi tercekat kaget. Ma-
lah Mei Hua, Siao Ling Ling sempat palingkan kepala.
Mereka yang berada di puncak bukit sama menduga
ada hubungan apa antara Pendekar 131 dengan Bu
Beng La Ma. Karena selama ini mereka tahu, hanya Bu
Beng La Ma yang memiliki pukulan ‘Sembilan Gerbang
Matahari’.
Namun yang paling tampak terkejut adalah Bidadari
Bulan Emas. Kalau tadi dia mencemaskan keselama-
tan Pendekar 131, kini berbalik mengkhawatirkan ke-
selamatan gurunya.
“Mampukah pukulan ‘Delapan Gerbang Rembulan’
menghadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’?
Selama ini yang dicemaskan Guru adalah jika meng-
hadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’.... Apa
sebaiknya yang kulakukan?! Di satu sisi aku tidak in-
gin Pendekar 131 terluka. Di pihak lain, aku juga tak
mengharapkan Guru terancam keselamatannya.... Me
ngapa ini harus terjadi?! Seandainya Guru mau turuti
ucapanku, bentrok ini mungkin bisa dihindarkan!”
Selagi Bidadari Bulan Emas tercekat tegang melihat
apa yang ada di hadapannya, mendadak Ratu Selen-
dang Asmara melesat ke arah Bayangan Tanpa Wajah
yang sedari tadi hanya diam terpaku melihat apa yang
terjadi di puncak bukit.
“Kau yakin yang ada di tangan pemuda itu adalah
benda yang asli?!” Ratu Selendang Asmara langsung
ajukan tanya dengan suara ditekan.
“Aku tak bisa memastikan! Kalau benar di tangan
pemuda itu yang asli, mengapa Guru Besar Liang San
masih tertarik dengan gelang yang kini ada di tangan
Panglima Muda Lie?! Dan kalau yang di tangan pemu-
da itu bukan yang asli, mengapa Hantu Bulan Emas
bersedia pertaruhkan nyawa?! Aku tidak menduga ka-
lau akan begini jadinya!”
“Kau harus cepat tentukan pilihan!” Ratu Selendang
Asmara berkata lagi.
“Maksudmu?!”
“Kita yang bersusah payah mengatur pertemuan di
tempat ini. Kita harus mendapatkan imbalan atas jerih
payah kita! Kau harus menentukan mana menurutmu
yang asli. Lalu kita rebut bersama-sama!”
Bayangan Tanpa Wajah berpikir sesaat. Lalu berbi-
sik.
“Aku menduga yang asli di tangan pemuda asing
itu!”
“Mengapa kau menduga begitu?!”
“Kau lihat dan kau dengar ucapan Dewa Asap Ka-
yangan tadi. Kukira dia benar! Pemuda asing itu me-
nitipkan kantongnya pada Dewa Asap Kayangan. Se-
mentara aku lebih percaya pada Dewa Cadas Pangeran
daripada terhadap Baginda Ku Nang...!”
“Bagaimana dengan kantong yang ada di tangan
Hantu Pesolek?!” tanya si nenek.
“Dia tadi telah tunjukkan bahwa kantong perta-
manya adalah palsu! Ini satu petunjuk kalau dia tidak
bisa dipercaya! Dan mungkin sekali dia memiliki bebe-
rapa kantong dan pasti semuanya juga palsu!”
“Hem.... Kalau begitu, ini kesempatan baik bagi ki-
ta!”
“Kesempatan baik bagaimana?!”
“Kau lihat pemuda itu tengah persiapkan pukulan
yang kalau tak salah adalah pukulan tingkat tertinggi
‘Sembilan Gerbang Matahari’ untuk menghadapi puku-
lan ‘Delapan Gerbang Rembulan’ milik Hantu Bulan
Emas. Akibat bentrok itu mungkin akan sangat hebat
Saat itulah kita harus segera bertindak mengambil ge-
lang dan kantong itu!”
Bayangan Tanpa Wajah sapukan pandangannya
berkeliling. “Dua gadis cantik itu mungkin masih terle-
na dengan urusan mereka. Demikian juga dengan
Guru Besar Liang San...,” bisik Bayangan Tanpa Wajah
seraya arahkan pandangannya pada Mei Hua, Siao
Ling Ling, dan Guru Besar Liang San.
“Sementara Bidadari Bulan Emas mungkin akan re-
pot membantu gurunya! Sekarang kita hanya perlu
menghadang Hantu Pesolek! Apakah muridmu mampu
membendung gerakan Hantu Pesolek jika bentrok itu
telah terjadi?! Sebab hanya dia satu-satunya yang ber-
diri bebas. Bukan mustahil hantu berdandan itu ten-
gah menunggu kesempatan pula untuk mengambil ge-
lang dan kantong dari tangan pemuda asing itu!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. “Bang
Sun Giok memang tidak akan mampu berhadapan
dengan Hantu Pesolek. Tapi kalau cuma menghadang,
kurasa dia tidak akan menemui kesulitan...!”
“Hem.... Bagus! Sekarang kau perintahkan murid-
mu untuk bersiap-siap. Dan begitu bentrok terjadi, ki-
ta segera bertindak!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepalanya se-
kali lagi. Dia segera berkelebat ke arah muridnya, Bang
Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara. Namun mendadak
si nenek urungkan niatnya tatkala tiba-tiba sepasang
matanya melihat pada sosok Dewa Cadas Pangeran
dan Dewa Asap Kayangan yang sama duduk berdam-
pingan di seberang sana.
“Bagaimana dengan kedua orang itu?!” Ratu Selen-
dang Asmara bertanya.
“Kau tak usah khawatirkan mereka. Mereka tidak
tertarik dengan gelang dan kantong itu!”
Sebenarnya Ratu Selendang Asmara tidak setuju
dengan jawaban Bayangan Tanpa Wajah. Namun ka-
rena khawatir bentrok antara Pendekar 131 dan Hantu
Bulan Emas akan segera terjadi, dia buru-buru me-
lompat ke arah Dewi Bunga Asmara.
“Dengar, Giok! Begitu bentrok terjadi, kau harus
segera menghadang gerakan Hantu Pesolek!”
Dewi Bunga Asmara kernyitkan dahi. “Mengapa be-
gitu?!”
“Kau tak usah banyak tanya! Yang jelas Hantu Pe-
solek menunggu kesempatan. Kau harus bisa menga-
lihkan perhatiannya!”
“Guru sendiri?!” tanya Dewi Bunga Asmara ingin
tahu apa yang baru dibicarakan gurunya dengan
Bayangan Tanpa Wajah.
“Kau hanya perlu lakukan ucapanku! Aku tahu apa
yang harus kulakukan!”
“Bagaimana ini?! Padahal aku sudah siap memban-
tu pemuda itu dan siap pula menerima risiko jika Guru
tumpahkan marahnya padaku!” Dewi Bunga Asmara
membatin.
“Aku perlu ketegasanmu, Giok!” Ratu Selendang
Asmara membentak karena diliriknya si murid tampak
gelisah dan bimbang.
Setelah berpikir sesaat, Dewi Bunga Asmara ang-
gukkan kepala dan berkata.
“Aku akan lakukan perintahmu!”
“Bagus! Tapi ingat. Kau hanya perlu menghadang
gerakannya untuk mengalihkan perhatian! Jangan se-
kali-kali kau gegabah meneruskan hadangan dengan
lepaskan pukulan!”
Baru saja Ratu Selendang Asmara berucap begitu,
mendadak puncak Bukit Toyongga bergetar keras. Se-
mua kepala berpaling pada Hantu Bulan Emas dan
Pendekar 131. Saat itu Hantu Bulan Emas telah lu-
ruskan kepalanya menghadap murid Pendeta Sinting.
Sepasang matanya mendelik besar. Sosoknya laksana
lenyap ditelan cahaya. Di lain pihak, pancaran cahaya
putih yang terpencar dari bundaran kedua tangan Jo-
ko makin besar dan tebarkan hawa panas luar biasa.
Mendadak Hantu Bulan Emas perdengarkan benta-
kan keras menggelegar. Saat lain kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan.
Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas melesat ge-
lombang cahaya kekuningan seperti cahaya bulan
purnama. Terdengar suara bergemuruh dahsyat. Geta-
ran di puncak bukit makin keras. Tanah yang terlewati
cahaya langsung muncrat semburat dan membentuk
kubangan parit!
Pendekar 131 segera pula dorong kedua tangannya.
Satu gelombang cahaya putih berkilau langsung ber-
kiblat. Tanah yang terlewati rengkah dan berubah
menjadi hitam laksana tanah dipanggang bara! Deruan
hebat mengguncang, hingga puncak Bukit Toyongga
seperti dilanda gempa dahsyat.
Cahaya kekuningan dan cahaya putih bertemu di
udara. Anehnya tidak terdengar suara ledakan. Namun
baik sosok Hantu Bulan Emas maupun sosok Pende-
kar 131 tampak berguncang-guncang.
Hantu Bulan Emas lipat gandakan tenaga dorong-
nya. Cahaya putih terdorong ke belakang oleh cahaya
kekuningan. Dan kini kedua cahaya itu menggebrak ke
arah murid Pendeta Sinting!
Joko cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kembali
mendorong kedua tangannya. Lesatan dua cahaya ter-
henti. Bahkan saat lain dua cahaya itu kini melesat
cepat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun begitu Han-
tu Bulan Emas tambah tenaga dorongannya dua ca-
haya itu berbalik lagi.
Untuk beberapa saat terjadi saling dorong hingga
dua cahaya itu terus bergerak. Hal ini membuat tanah
di puncak bukit porak-poranda dan bertaburan sem-
burat serta berubah warna menjadi hitam kelam.
Sosok Hantu Bulan Emas dan Pendekar 131 telah
basah kuyup dan bergetar keras. Malah kejap lain so-
sok keduanya terangkat ke udara! Namun begitu sosok
mereka terangkat, mendadak sosok Hantu Bulan Emas
terdorong keras ke belakang!
ENAM
BLAMMM!
Ledakan keras terdengar. Dua gelombang cahaya
putih dan kekuningan melesat muncrat ke angkasa te-
barkan pijaran-pijaran. Lamping puncak Bukit Toyo-
ngga longsor di beberapa bagian. Beberapa jajaran po-
hon yang berada tidak jauh dari lamping bukit perdengarkan derakan lalu tumbang karena tanahnya ter-
jungkat. Saat lain terdengar beberapa seruan tegang
dan tertahan.
Sosok Hantu Bulan Emas terdorong makin deras ke
belakang sebelum akhirnya jatuh terjerembab. Pakaian
yang dikenakan hangus terbakar. Cahaya yang tadi
memancar dari tubuhnya langsung redup. Parasnya
pucat pasi. Saat lain dari mulutnya semburkan darah.
Namun guru Bidadari Bulan Emas ini berusaha segera
bangkit. Walau berhasil, tapi cuma sekejap. Kejap lain
sosoknya kembali melorot jatuh dengan mulut meng-
embung dan untuk kedua kalinya memuntahkan da-
rah. Ini jelas menunjukkan kalau dia terluka dalam
cukup parah!
Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting tersen-
tak ke belakang sebelum akhirnya jatuh terjengkang
dan perlahan-lahan dari sudut bibirnya lelehkan da-
rah. Dia merasakan dadanya sulit dibuat bernapas dan
kedua tangannya tegang kaku.
Saat itulah tiba-tiba Ratu Selendang Asmara berke-
lebat ke arah Pendekar 131. Namun tampaknya si ne-
nek tidak menduga jika Hantu Pesolek yang sudah bi-
sa membaca gelagat bergerak mendahului. Pemuda
berkebaya ini melesat ke depan. Bukan ke arah Pende-
kar 131 yang baru saja jatuh terjengkang, melainkan
ke arah Ratu Selendang Asmara!
Gerakan Hantu Pesolek membuat Dewi Bunga As-
mara urungkan niat untuk lakukan penghadangan.
Hingga akhirnya dia hanya tegak menunggu dengan
mata cemas pada sosok Pendekar 131. Kalau saja dia
tidak ingat akan ucapan Ratu Selendang Asmara, dia
pasti sudah terbang melompat ke arah Joko.
Ratu Selendang Asmara sendiri tampak terlengak.
Tapi dia tak mau membuang waktu. Hingga begitu melihat Hantu Pesolek melesat ke arahnya, si nenek lang-
sung menyongsong seraya lepaskan pukulan.
Hantu Pesolek sambuti pukulan si nenek dengan
hantamkan pula kedua tangannya. Bukan hanya sam-
pai di situ. Begitu kedua tangannya berkelebat, masih
melayang di atas udara, kedua kakinya menggebrak
lepaskan tendangan!
Ratu Selendang Asmara tak tinggal diam. Begitu
kedua tangannya hampir berbenturan dengan tangan
Hantu Pesolek, kedua kakinya langsung dihantamkan
memapasi tendangan lawan.
Bukkkk! Bukkkkk!
Bukkkk! Bukkkkk!
Sosok Ratu Selendang Asmara terpental di udara la-
lu melayang deras ke bawah dengan mulut perdengar-
kan seruan tegang.
Tapi setengah depa lagi sosoknya jatuh menghan-
tam tanah, mendadak tangan kanan si nenek berge-
rak. Terdengar deruan dahsyat, lalu tampak benda hi-
tam berkelebat di udara. Saat yang sama tiba-tiba ge-
rakan tubuh si nenek membal balik ke udara! Lalu te-
gak dengan kedua tangan berkacak pinggang sementa-
ra kakinya berpijak pada sebuah selendang hitam yang
kini berubah kaku laksana papan kayu! Sepa-sang
matanya berkilat merah membelalak mengawasi gera-
kan Hantu Pesolek dengan seringai garang.
Di pihak lain, meski sebelumnya telah mengatur
rencana dengan Ratu Selendang Asmara, namun begi-
tu bentrok terjadi, ternyata Bayangan Tanpa Wajah ti-
dak membuat gerakan apa-apa!
Ratu Selendang Asmara tidak sadar jika Bayangan
Tanpa Wajah sebenarnya hanya berpura-pura untuk
setuju usul si nenek. Dan diam-diam dalam hati dia
berkata.
“Aku tidak akan berlaku bodoh untuk ikut-ikutan
bentrok! Aku akan menunggu sampai semua orang ter-
luka!”
Karena sudah punya rencana sendiri itulah, Bayan-
gan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan saat terja-
dinya bentrok antara Hantu Bulan Emas dengan Pen-
dekar 131. Malah dia sunggingkan senyum ketika
mendapati Hantu Pesolek berkelebat ke arah Ratu Se-
lendang Asmara dan akhirnya terlibat saling lepaskan
pukulan.
Ratu Selendang Asmara sendiri sempat melirik ke
arah Bayangan Tanpa Wajah dari atas selendang hi-
tamnya di mana dia kini tegak berdiri. Namun sejauh
ini si nenek masih juga belum bisa membaca apa yang
direncanakan Bayangan Tanpa Wajah. Si nenek masih
menduga jika tidak bergeraknya Bayangan Tanpa Wa-
jah karena keburu didahului oleh gerakan Hantu Peso-
lek.
Sementara itu Hantu Pesolek tampak tegak di atas
tanah dengan wajah pias. Tapi tokoh yang wajahnya
masih sangat muda dan tampan meski usianya sudah
hampir delapan puluh tahun ini cepat kuasai diri. Saat
lain sosoknya melesat ke udara. Tangan kiri kanannya
bergerak menghantam ke arah selendang hitam yang
dibuat pijakan Ratu Selendang Asmara.
Ratu Selendang Asmara tersenyum dingin. Kedua
kakinya segera dihentakkan ke arah selendang yang
dipijaknya.
Wuuttt!
Selendang hitam berkelebat menyambar ganas me-
nyergap ke arah sosok Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek terkesiap. Lesatan tubuhnya laksana
ditahan kekuatan gelombang dahsyat. Hingga saat lain
tubuhnya terdorong ke bawah!
Ratu Selendang Asmara membuat gerakan jungkir
balik di udara. Tangan kanannya kembali berkelebat.
Selendang hitam di tangan kanannya menderu ganas
mengejar Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek tidak mau berlaku sembrono. Dia
hantamkan kedua tangannya ke arah selendang lepas
pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, lalu me-
lesat ke samping.
Selendang hitam milik si nenek berkelebat mental.
Namun sekali Ratu Selendang Asmara sentakkan tan-
gan kanan, selendang hitam sudah menyambar lagi ke
arah mana Hantu Pesolek berkelebat menghindar!
“Hem.... Tampaknya aku tidak punya kesempatan
untuk lepaskan pukulan kalau selendang jahanam itu
masih berada di tangannya! Aku harus dapat melum-
puhkan si penggerak selendang itu!” Hantu Pesolek
berpikir. Lalu berkelebat ke sana kemari hingga sosok-
nya laksana bayang-bayang.
Ratu Selendang Asmara tidak berdiam diri. Begitu
mendapati Hantu Pesolek melesat menghindari keleba-
tan selendangnya, nenek ini gerakkan tangan kanan-
nya kian kemari. Hingga selendang hitamnya juga ber-
kelebat. Bukan saja perdengarkan deruan dan gelom-
bang yang sanggup membuat mental apa saja yang
menghadang, namun selendang itu juga laksana le-
nyap dan hanya merupakan bayang-bayang hitam.
Hebatnya, selendang itu laksana punya mata. Hingga
terus mengejar ke mana sosok Hantu Pesolek berkele-
bat. Sementara sosok Ratu Selendang Asmara terus
berputar-putar di atas udara.
Pada satu kesempatan, mendadak Hantu Pesolek
hantamkan kedua tangannya menghadang gelombang
dan kelebatkan selendang.
Wuutt! Wuuuutt!
Selendang hitam menderu mental ke udara. Namun
saat lain telah menyambar lagi ketika tangan kanan
Ratu Selendang Asmara bergerak.
Saat selendang hitam mental tersapu gelombang
yang datang dari kedua tangan Hantu Pesolek, tokoh
yang mengenakan kebaya ini langsung berkelebat ke
udara.
Bukkk!
Hantu Pesolek menghantam tangan kanan Ratu Se-
lendang Asmara. Si nenek berseru tertahan. Selendang
hitam berkelebat menderu akibat sentakan tangan si
nenek yang terhantam.
Hantu Pesolek tidak membuang kesempatan. Selagi
Ratu Selendang Asmara berpaling, Hantu Pesolek han-
tamkan kaki kanannya seraya membuat gerakan jung-
kir balik. Karena tidak menduga, terlambat bagi Ratu
Selendang Asmara untuk menghadang tendangan kaki
Hantu Pesolek yang mengarah pada pergelangan tan-
gan kanannya.
Bukkkk!
Untuk kedua kalinya Ratu Selendang Asmara per-
dengarkan seruan tegang. Selendang hitamnya terle-
pas. Lalu melayang deras di udara.
Sebelum Ratu Selendang Asmara sempat membuat
gerakan untuk berkelebat menyambar selendangnya,
Hantu Pesolek telah hantamkan kedua tangannya ke
arah selendang si nenek.
Selendang hitam Ratu Selendang Asmara menderu
keras lalu tersapu amblas ke bawah bukit.
Si nenek berteriak marah. Dia batalkan niat untuk
mengejar selendangnya. Sebaliknya belokkan arah
menuju sosok Hantu Pesolek yang melayang turun.
Kedua tangannya langsung bergerak lepaskan pukulan
bertenaga dalam tinggi.
Dua gelombang hitam melesat lalu membesar dan
menggebrak ke arah Hantu Pesolek. Hantu Pesolek
memandang sekilas pada gelombang yang mengarah
padanya. Dan begitu sepasang kakinya menginjak ta-
nah, orang ini langsung membuat gerakan berguli-
ngan. Saat lain kedua tangannya mendorong ke atas.
Bummmm!
Gelombang yang berhasil dihindari Hantu Pesolek
menghantam tanah perdengarkan ledakan keras. Ber-
samaan itu terdengar deruan dahsyat. Satu gelombang
luar biasa besar menggebrak lurus ke arah Ratu Se-
lendang Asmara.
Walau berhasil berkelit dari gelombang pukulan
Hantu Pesolek, namun sambaran gelombang itu masih
mampu membuat sosok Ratu Selendang Asmara terpe-
lanting jungkir balik di atas udara dan akhirnya me-
layang ke bawah tanpa bisa membuat gerakan lagi.
Bukkkk!
Sosok Ratu Selendang Asmara jatuh menghantam
tanah. Belum sempat dia bergerak bangkit, mendadak
satu tendangan telah menggebrak di depan hidungnya!
Bukkk!
Ratu Selendang Asmara menjerit. Dadanya laksana
dibongkar batangan kayu besar hingga bukan saja
membuat sosoknya terpental, namun mulutnya juga
muntahkan darah!
Dewi Bunga Asmara sempat terkesiap. Sejak tadi
dia sebenarnya ingin segera membantu. Namun karena
gerakan Ratu Selendang Asmara dan Hantu Pesolek
begitu cepat, gadis cantik ini menunggu kesempatan
sampai dapat ruang. Karena dia sendiri khawatir akan
salah jatuhkan tangan.
Dan begitu mendapati gurunya terjengkang roboh
dengan mulut semburkan darah, Dewi Bunga Asmara
buru-buru melesat.
Tapi Hantu Pesolek tak mau buang kesempatan.
Kedua tangannya bergerak. Tangan kiri menghantam
ke arah Dewi Bunga Asmara, sementara tangan kanan
lepas pukulan ke arah Ratu Selendang Asmara.
Gerakan tubuh Dewi Bunga Asmara terhenti. Saat
lain gadis ini putar tubuh lalu hantamkan kedua tan-
gannya.
Terdengar letupan. Sosok Dewi Bunga Asmara ter-
sentak mundur beberapa tindak. Wajahnya berubah.
Kedua tangannya bergetar. Sementara di seberang sa-
na, Hantu Pesolek tetap tegak tak bergeming. Malah
sunggingkan senyum tatkala melihat gelombang puku-
lannya yang mengarah pada Ratu Selendang Asmara
tidak lagi mendapat hadangan si nenek karena nenek
ini sudah terluka cukup parah. Hingga meski sekali-
pun dia membuat gerakan menghadang pukulan, hal
itu tidak akan membantu banyak. Dan tentu gera-
kannya sudah sangat terlambat.
Wuusss!
Untuk kesekian kalinya sosok Ratu Selendang As-
mara mencelat mental. Namun kali ini disertai lengkin-
gan tinggi dan tiba-tiba terputus laksana dirobek tan-
gan setan. Saat lain sosoknya melayang lunglai ke ba-
wah dengan teteskan darah!
Jeritan terputus Ratu Selendang Asmara membuat
Dewi Bunga Asmara batalkan niatnya yang hendak le-
paskan pukulan ke arah Hantu Pesolek. Dia cepat pu-
tar diri lalu berkelebat menyongsong sosok gurunya.
“Guru...!” Dewi Bunga Asmara berteriak tinggi
tatkala meletakkan sosok gurunya di atas tanah dan
mendapati nyawanya sudah melayang!
Kemarahan Dewi Bunga Asmara tak bisa ditahan
lagi. Kematian gurunya membuat dia lupa akan siapa
yang tengah dihadapi. Dia nekat hendak berjibaku de-
ngan Hantu Pesolek untuk membayar nyawa gurunya.
Hingga gadis muda ini langsung beranjak bangkit den-
gan kedua tangan terangkat ke atas siap lepas puku-
lan.
“Nyawamu terlarang buat setan sekalipun!” teriak
Dewi Bunga Asmara. Kedua tangannya berkelebat le-
paskan pukulan.
Hantu Pesolek tersenyum. Pemuda berkebaya ini
bukannya menghadang gelombang pukulan Dewi Bun-
ga Asmara, sebaliknya berkelebat menyongsong Seten-
gah jalan, baru kedua tangannya bergerak!
Dari gelombang yang menggebrak dari tangan mas-
ing-masing orang, sudah bisa ditebak jika Dewi Bunga
Asmara tidak akan bisa membendung bias bentroknya
pukulan.
“Aku sudah kehilangan perempuan yang kupilih....
Aku tak mau kehilangan muridnya juga! Siapa tahu
muridnya mau menggantikan gurunya!”
Mendadak terdengar orang bersuara. Lalu dari arah
mana Dewa Cadas Pangeran berada terlihat satu ge-
lombang menderu ke arah gelombang yang baru saja
menggebrak dari kedua tangan Hantu Pesolek.
Blammm!
Sosok Hantu Pesolek tersentak mundur dua lang-
kah. Sementara sosok Dewi Bunga Asmara langsung
terguling roboh.
“Jahanam! Ada tangan yang ikut campur!” sentak
Hantu Pesolek. Sosoknya langsung berputar meng-
hadap Dewa Cadas Pangeran yang masih duduk de-
ngan pundak bergerak-gerak. Sementara batu putih di
depan wajahnya berguncang keras!
TUJUH
HANTU Pesolek sudah tahu siapa gerangan yang
menghadang pukulannya. Dia sudah siapkan pukulan.
Namun begitu ekor matanya menangkap sosok Pende-
kar 131 yang sudah bangkit, pemuda berkebaya ini
urungkan niat. Dia sentakkan tubuhnya berputar
menghadap murid Pendeta Sinting. Saat lain sosoknya
melesat.
Meski masih merasakan kepalanya berkunang-ku-
nang dan dadanya berdenyut nyeri serta anggota tu-
buhnya tegang kaku, Joko cepat membuat gerakan
berkelebat.
Joko tidak berusaha untuk menghadang Hantu Pe-
solek dengan menyongsong kelebatannya, karena dia
sudah pernah mengalami dan akibatnya fatal. Kantong
putih berisi peta wasiat pemberian Guru Besar Pu Yi
lenyap diambil Hantu Pesolek. Maka kali ini dia tidak
mau mengulangi kesalahannya.
Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting
berkelebat menyingkir. Hantu Pesolek melesat menge-
jar ke mana Joko menghindar.
Joko tidak menunggu sampai tubuh Hantu Pesolek
mendekat dan beradu tangan. Begitu masih sepuluh
langkah lagi sosok Hantu Pesolek sampai, Pendekar
131 sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang dahsyat berkiblat. Hantu Pesolek
terpaksa hentikan gerakan berkelebatnya dan serta-
merta dorongkan kedua tangannya.
Bummmm!
Bentrok gelombang pukulan terjadi. Sosok Hantu
Pesolek terdorong keras di udara lalu melayang turun.
Tubuh Hantu Pesolek tampak terhuyung-huyung. Ka-
rena dia memapak pukulan waktu berada di udara.
Sementara sosok Pendekar 131 hanya tersentak-
sentak maju mundur.
“Serahkan kantong dan gelang itu padaku!” Hantu
Pesolek angkat suara.
“Hem.... Tampaknya dia masih belum percaya den-
gan kantong di tangannya! Dia termakan ucapanku
dan sikap Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap
Kayangan. Aku akan coba tawar menawar....” Joko
membatin dalam hati. Lalu berkata.
“Kau sudah memiliki kantong. Untuk apa kau minta
kantong yang ada padaku?!”
“Jangan bertanya! Turuti saja perintahku!”
“Kita sama-sama punya kantong. Bagaimana kalau
kita bertukar?!”
“Aku minta kau serahkan kantong dan gelang itu
padaku! Aku tidak minta....”
Belum selesai ucapan Hantu Pesolek, Joko sudah
menukas.
“Kalau kau tidak mau bertukar, bagaimana kalau
kau serahkan saja kantong di tanganmu padaku?! Bu-
kankah kantong itu dahulu kau ambil dari tanganku?!”
Hantu Pesolek tidak sambuti ucapan murid Pendeta
Sinting dengan angkat suara. Melainkan langsung me-
lompat ke depan sambil lepaskan pukulan.
Joko tidak mau bertindak main-main apalagi dia
yakin kantong di tangan Hantu Pesolek adalah kantong
yang asli. Maka dia segera siapkan pukulan sakti
‘Lembur Kuning’. Hingga saat itu juga kedua tangan-
nya pancarkan sinar kekuningan. Dan saat Joko sen-
takkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat ber-
kiblat disertai sinar warna kuning yang semburkan
hawa panas menyengat.
Blaamr!
Kembali terdengar ledakan keras. Sosok Hantu Pe-
solek tersapu ke belakang hingga beberapa langkah.
Namun pemuda berkebaya ini masih bisa kuasai diri
tidak sampai jatuh terjengkang meski parasnya beru-
bah dan sosoknya bergetar keras.
Hantu Pesolek cepat lipat gandakan tenaga dalam,
karena dia tadi tidak menduga jika akan dihadang
dengan pukulan dahsyat, hingga sosoknya sempat ter-
sapu.
Namun Hantu Pesolek tidak segera membuka puku-
lan, karena tiba-tiba dia merasakan mulutnya asin dan
perutnya mual. Dia coba bertahan, tapi gagal hingga
saat itu juga mulutnya mengembung sebelum akhirnya
perdengarkan batuk muntahkan darah!
“Jahanam keparat!” maki Hantu Pesolek mengutuki
dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak menduga
kalau bentrokan pukulan itu akan membuatnya terlu-
ka dalam.
Di lain pihak, karena sudah terluka akibat bentrok
dengan Hantu Bulan Emas, bentrokan yang baru saja
terjadi membuat dadanya makin sesak dan mulutnya
megap-megap. Namun sejauh ini dia tidak mengalami
luka dalam, karena pukulan yang dilepas Hantu Peso-
lek masih kalah dibanding pukulan yang dilepaskan
Joko.
Hantu Pesolek rangkapkan kedua tangannya di atas
kening. Lalu kedua kakinya ditekuk dan duduk di atas
tanah.
“Apa pun yang dilakukan orang itu, pasti dia akan
lepaskan pukulan andalannya!” Joko membatin. Lalu
ikut-ikutan duduk di atas tanah dengan kedua tangan
ditarik ke belakang. Saat itu juga telapak tangan kiri
murid Pendeta Sinting berubah menjadi kebiruan. In
ilah tanda kalau dia tengah siapkan pukulan sakti ‘Se-
rat Biru’!
Hantu Pesolek sentakkan kedua tangannya sejajar
dengan dada. Lalu dihantamkan ke depan.
Tidak ada suara deru yang terdengar. Gelombang
pun tidak kelihatan. Tapi saat itu juga murid Pendeta
Sinting rasakan sapuan angin gelombang luar biasa
dahsyat. Hingga kalau dia tidak segera sentakkan ke-
dua tangannya niscaya sosoknya akan segera terpen-
tal!
Wuuutt! Wuutt!
Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru lak-
sana benang.
Hantu Pesolek tertawa panjang, membuat semua
kepala berpaling. Namun tiba-tiba pemuda berkebaya
itu putuskan tawanya. Saat lain pemuda ini melaku-
kan tindakan hebat. Sosoknya melesat laksana terbang
ke arah Pendekar 131 menerabas serat-serat biru! He-
batnya, meski serat-serat biru itu bukan serat-serat
biasa, namun Hantu Pesolek sepertinya tidak merasa-
kan apa-apa!
Murid Pendeta Sinting melengak. Kuduknya jadi
dingin mendapati pukulan ‘Serat Biru’-nya bukan saja
tidak mampu menghantam Hantu Pesolek, namun pu-
kulan itu laksana tidak punya kehebatan sama sekali.
Hingga sosok Hantu Pesolek enak saja menerabas dan
tidak merasakan apa-apa!
“Menyingkiiiiir!” Tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ber-
teriak.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 131 sentakkan
kedua kakinya ke atas tanah. Sosoknya berkelebat ke
samping hindari gerakan sosok Hantu Pesolek. Tapi
Joko jadi terkejut. Karena baru saja berkelebat ke
samping, Hantu Pesolek sudah berada tiga langkah di
depannya!
“Menyingkirrrrrrr!” Lagi-lagi terdengar teriakan. Kali
ini diperdengarkan Dewa Cadas Pangeran.
Joko cepat turunkan kedua tangannya yang hendak
lepaskan pukulan lagi ke arah Hantu Pesolek. Lalu
berkelebat lagi menghindar. Tapi baru saja melesat,
Hantu Pesolek sudah pula berada tidak jauh di hada-
pannya!
“Pukullllll!” Hampir berbarengan Dewa Cadas Pan-
geran dan Dewa Asap Kayangan berseru.
Meski masih dilanda keheranan, namun Joko sege-
ra angkat kedua tangannya dan langsung dihantam-
kan pada Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek sempat perdengarkan teriakan ma-
rah. Lalu papasi kedua tangan Joko dengan sentakkan
kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Hantu Pesolek langsung terdorong keras di
udara. Kedua tangannya mental balik. Lalu jatuh ter-
jengkang di atas tanah dengan mulut semburkan da-
rah.
“Heran.... Bagaimana bisa begini?! Padahal pukul-
anku tadi pukulan biasa! Hanya mengandalkan tenaga
dalam pada kedua tangan!” Joko membatin sambil pe-
gangi kedua tangannya yang terasa ngilu dan men-
gembung merah.
Hantu Pesolek menoleh pada Dewa Cadas Pangeran
dan Dewa Asap Kayangan seraya pegangi dadanya. Se-
pasang matanya mendelik angker. “Dari mana mereka
tahu kelemahanku?! Aku tak bisa terus berada di tem-
pat ini! Aku bisa celaka!”
Habis membatin begitu, Hantu Pesolek berteriak
lantang.
“Dewa Cadas Pangeran! Dewa Asap Kayangan dan
kau pemuda asing! Malam ganda sepuluh ini jadi saksi
urusan antara kita! Kalian boleh sembunyi sampai
ujung bumi, di bawah tanah di atas langit! Tapi kalian
kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai uru-
san kita selesaikan!”
Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek telah ber-
kelebat.
“Kau boleh pergi sampai ujung dunia, sampai ke da-
lam tanah dan sampai ke atas langit! Tapi serahkan
dahulu kantong di tanganmu! Itu kantongku!” Joko
berteriak lalu melompat dan berdiri menghadang.
“Kawanku Hantu Pesolek...,” kata Dewa Asap Ka-
yangan. “Turuti saja permintaan kawan kita itu! Uru-
san nanti kita selesaikan kelak di kemudian hari!”
“Kami tahu kelemahanmu!” Dewa Cadas Pangeran
menyabut. “Kalau kau masih ingin selesaikan urusan
kelak kemudian hari, turuti apa yang diminta pemuda
kawan kita itu! Jika tidak, berarti urusan itu akan kita
selesaikan malam ini juga!”
Tengkuk Hantu Pesolek jadi merinding. “Daripada
nyawaku melayang dengan membawa dendam tak ter-
balas, lebih baik kuturuti saja permintaannya! Dengan
begitu aku masih punya kesempatan untuk memba-
las!”
Tanpa buka suara, tangan Hantu Pesolek menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik ke-
luar dan disentakkan, kantong putih melayang ter-
campak di atas tanah!
“Kantong itu adalah titipan nyawa kalian! Kelak aku
akan mengambilnya lagi beserta nyawa kalian!” seru
Hantu Pesolek. Sekali membuat gerakan sosoknya ber-
kelebat menuruni Bukit Toyongga.
“Jangan mimpi kau bisa lari!” Tiba-tiba Dewi Bunga
Asmara membentak garang. Namun sebelum sosoknya
sempat berkelebat mengejar Hantu Pesolek, Dewa Ca-
das Pangeran telah berkata.
“Gadis cantik.... Sakit hati memang belum tuntas.
Tapi kau harus sadar. Lagi pula kelak mungkin kau
masih bisa berjumpa dengannya lagi. Kau tak usah
mencarinya, karena dia akan datang mencariku. Kau
cukup bersamaku kalau ingin bertemu dengannya la-
gi....”
Walau kemarahannya masih membuncah akibat
kematian gurunya di tangan Hantu Pesolek, namun
ucapan Dewa Cadas Pangeran masih membuat Dewi
Bunga Asmara berpikir. Hingga dia batalkan niat un-
tuk mengejar Hantu Pesolek. Sebaliknya segera me-
langkah ke arah sosok mayat Ratu Selendang Asmara.
Di lain pihak, begitu Hantu Pesolek berlalu, murid
Pendeta Sinting segera melompat mengambil kantong
putih yang tercampak di tanah.
Namun baru saja tangan kanan Pendekar 131 men-
julur ke bawah, satu deruan dahsyat menghampar.
Gelombang pukulan menggebrak diiringi semburatnya
asap hitam.
Murid Pendeta Sinting sempat berseru kaget. Dia
urungkan niat untuk mengambil kantong di tanah. Se-
lain karena tiba-tiba pemandangan menjadi hitam pe-
kat, dia harus cepat menghadang pukulan yang da-
tang.
Joko cepat putar tubuh. Bersamaan itu kedua tan-
gannya bergerak menyentak.
Wuutt! Wuuuutt!
Sinar kuning berkiblat disertai suara gemuruh luar
biasa dan hawa panas menyengat. Inilah tanda kalau
Joko lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kali ini Joko
memang tidak segan-segan lepaskan pukulan andalan,
karena dia maklum bukan saja nyawanya yang harus
diselamatkan, namun kantong di atas tanah juga tidak
boleh lepas ke tangan orang lain.
Untuk kesekian kalinya puncak bukit dibuncah le-
dakan keras. Asap hitam langsung semburat berenta-
kan. Saat bersamaan satu sosok hitam terpental men-
celat lalu terjengkang di atas tanah.
Joko sendiri tampak terhuyung-huyung sebelum
akhirnya jatuh terduduk. Ketika dia luruskan kepala-
nya ke depan, di seberang sana sosok hitam yang telah
terjengkang bergerak bangkit. Ternyata orang ini ada-
lah Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah sendiri langsung kerahkan
telaga dalamnya. Seolah tidak mau memberi kesempa-
tan, dia sudah berkelebat ke depan sebelum Pendekar
131 bergerak bangkit.
Mungkin menduga lawan telah terluka cukup parah
setelah bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu
Pesolek, Bayangan Tanpa Wajah terus melesat ke de-
pan. Dan tahu-tahu kaki kanannya sudah lepas ten-
dangan ke arah kepala Joko sementara tangan kiri ka-
nannya lepaskan hantaman ke arah perut.
Joko sentakkan tubuhnya ke belakang. Kakinya di-
angkat tinggi-tinggi seolah membuat gerakan bersalto.
Bukkkk! Buukk!
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan seruan te-
gang tertahan. Sosoknya terbanting ke samping dan ja-
tuh menghantam tanah. Di lain pihak, kedua kaki Jo-
ko yang terangkat ke atas langsung mental ke bawah
dan menggebrak tanah hingga perdengarkan debuman
keras dan membuat lobang menganga!
Terhuyung-huyung Bayangan Tanpa Wajah beran-
jak bangkit. Saat lain laki-laki berkulit hitam legam ini
takupkan kedua tangannya sejajar dada. Kejap itu juga
terlihat bayangan hitam seolah-olah keluar dari sosok
tubuh Bayangan Tanpa Wajah. Hingga yang terlihat
sekarang adalah dua sosok tubuh.
Karena sudah pernah bentrok dengan Bayangan
Tanpa Wajah, Joko tahu persis apa yang hendak dila-
kukan Bayangan Tanpa Wajah. Hingga begitu dari so-
sok tubuh Bayangan Tanpa Wajah akan keluar lagi sa-
tu bayangan hitam, murid Pendeta Sinting segera le-
paskan pukulan ‘Lembur Kuning’ ke arah sosok
Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah terlengak. Terlambat bagi-
nya membuat gerakan menghadang atau menghindar.
Hingga tanpa ampun lagi sosok Bayangan Tanpa Wa-
jah tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum
akhirnya terkapar di atas tanah dengan pakaian terba-
kar dan mulut muntahkan darah. Laki-laki ini sempat
mengejang beberapa saat sebelum akhirnya diam tak
bergerak-gerak lagi.
DELAPAN
PENDEKAR 131 melangkah terhuyung-huyung me-
ngambil kantong yang tergeletak di atas tanah. Saat
itulah terdengar suara sesenggukan. Joko berpaling.
Terlihat Bidadari Bulan Emas tengah tengkurap di
atas tubuh Hantu Bulan Emas dengan bahu bergun-
cang dan terisak.
“Bidadari...,” kata murid Pendeta Sinting seraya me-
langkah mendekati. “Maafkan aku. Aku tidak bermak-
sud....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan....” Bidadari Bulan
Emas sudah menyahut dengan suara tersendat dan
angkat kepalanya memandang ke arah Joko.
“Tapi kematian gurumu karena bentrok dengan
ku....”
“Mungkin ini sudah takdir! Lagi pula aku sudah
memperingatkan sebelumnya...,” kata Bidadari Bulan
Emas lalu pandangi wajah Hantu Bulan Emas.
Pendekar 131 lebih mendekat, lalu jongkok di sam-
ping Bidadari Bulan Emas. Namun sebelum benar-
benar jongkok, sang Bidadari sudah angkat suara.
“Pendekar 131.... Harap tidak menambah urusan di
tempat ini.... Aku tidak ingin terjadi urusan dengan
gadis-gadis itu...!” Bidadari Bulan Emas arahkan pan-
dangannya pada Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan
Siao Ling Ling.
“Bidadari....”
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Bidadari Bu-
lan Emas sudah gerakkan kepala seraya memotong
ucapan Joko.
“Sudahlah.... Tinggalkan aku! Biarkan aku berdua
dengan guruku pada saat terakhir ini....”
“Bidadari.... Kau jangan salah duga...,” ujar Joko
tanpa beranjak dari samping Bidadari Bulan Emas.
“Pendekar 131.... Mata dan perasaanku tidak bisa
menipu. Aku tahu bagaimana perasaan gadis-gadis itu
padamu. Maka dari itu jangan mempersulit diri dengan
membakar perasaan mereka. Hal itu nantinya bukan
saja membuat dirimu ditimpa urusan, namun aku juga
akan ikut makan getahnya.... Kuharap kau mau men-
jauh dari sisiku walau sebenarnya aku sangat senang
berada berdampingan denganmu....”
Dada Joko jadi berdebar mendengar ucapan Bida-
dari Bulan Emas. Dia menghela napas panjang. “Jan-
gan-jangan dia juga.... Ah. Mungkin ini hanya duga-
anku saja...! Tapi ucapannya....”
Selagi Joko membatin begitu, tiba-tiba dari depan
sana terdengar orang membentak.
“Kuperingatkan kau agar menyingkir dan me-
nunggu hingga tiba giliranmu!”
Yang perdengarkan bentakan ternyata Siao Ling
Ling. Seraya membentak keras, dia memandang tajam
pada Guru Besar Liang San.
“Aku memang akan menunggu giliran! Tapi aku te-
gak di sini tidak ada hubungannya dengan kematian
ayahmu!”
“Lalu...?!” kembali Siao Ling Ling membentak.
“Gelang di tangan Panglima itu adalah benda pe-
ninggalan leluhur Shaolin. Aku harus menyelamatkan-
nya dari tangan orang lain!”
“Baik! Tapi tunggulah sampai aku membayar nyawa
ayahku! Setelah itu persetan dengan urusan gelang
Ku!”
“Kau kira aku tidak tahu apa yang ada di balik uca-
panmu, hah?! Kau sebenarnya menginginkan gelang
itu juga!”
“Buka telingamu lebar-lebar, Guru Besar! Nyawa
ayahku tidak bisa ditukar dengan seribu gelang seperti
Ku! Aku hanya menginginkan nyawanya!”
“Kau tidak akan bertindak khianat seperti ayah-
mu?!” tanya Guru Besar Liang San membuat paras wa-
jah Siao Ling Ling merah mengelam dan pelipisnya
bergerak-gerak.
“Kau sadar dengan ucapanmu, Guru Besar?! Kau
juga adalah pengkhianat! Bahkan kau adalah pembu-
nuh saudara dan gurumu sendiri!”
Guru Besar Liang San terdiam. Kesempatan itu di-
gunakan oleh Siao Ling Ling untuk segera maju dan
hantamkan kedua tangannya ke arah Panglima Muda
Lie.
Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat ge-
rakan. Namun sepasang matanya terus memperhati
kan tangan sang Panglima yang memegang gelang ba-
ja.
Sang Panglima sendiri coba bergerak mundur de-
ngan seret tubuhnya. Namun luka yang dideritanya
membuat gerakannya amat lamban. Hingga baru saja
tubuhnya bergerak mundur, kedua tangan Siao Ling
Ling sudah satu depa menghantam di depan dadanya!
Satu jengkal lagi dada Panglima Muda Lie pecah
terhantam kedua tangan Siao Ling Ling, mendadak sa-
tu gelombang berkiblat. Siao Ling Ling tersurut mun-
dur dua langkah. Saat lain putri Baginda Ku Nang ini
balikkan tubuh.
Tujuh langkah di depannya Mei Hua tegak dengan
kedua tangan masih berada di atas udara.
“Ternyata kau ingkar janji!” hardik Siao Ling Ling.
Mei Hua gelengkan kepala. “Aku tidak ingkar janji.
Hanya saja kuharap kau berbaik hati padaku...!”
“Berbaik hati apa?!”
“Urusan ini biar kuselesaikan sendiri! Kalau kau in-
ginkan gelang itu, silakan ambil, tapi jangan sentuh
tubuhnya! Aku yang akan menjatuhkan hukuman atas
tindakannya!”
Siao Ling Ling tertawa pendek. “Aku juga adalah
seorang anak. Aku tidak percaya dengan ucapanmu!
Mana ada seorang anak akan jatuhkan hukuman pada
ayahnya?!”
“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku men-
junjung tinggi kebenaran! Siapa yang salah harus di-
hukum meski dia adalah ayahku!”
“Berkata memang mudah!”
“Terserah kau mau bilang apa! Yang pasti aku tidak
akan biarkan siapa saja yang menyentuh tubuhnya!”
“Bagus! Berarti kau ingin mampus sekalian bersa-
ma pengkhianat itu!”
Belum selesai ucapannya, Siao Ling Ling sudah me-
lompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat le-
paskan jotosan ke arah kepala Mei Hua.
Mei Hua cepat rundukkan kepala, lalu hantamkan
kedua tangannya ke arah kelebatan kedua tangan Siao
Ling Ling.
Bukk! Buuukk!
Dua gadis ini sama perdengarkan seruan. Tubuh
masing-masing tersurut mundur beberapa langkah.
Paras keduanya sama berubah. Saat itulah Guru Besar
Liang San melompat. Tangan kanannya berkelebat
menyambar gelang baja di tangan Panglima Muda Lie.
Panglima Muda Lie sengaja membiarkan gelang baja
di tangannya disambar Guru Besar Liang San. Namun
bersamaan dengan itu tangan satunya yang sedari tadi
siap, berkelebat.
Bruuss!
Guru Besar Liang San terlempar mundur dengan
tangan kiri pegangi lambungnya yang kucurkan darah.
Sementara tangan kanannya yang telah memegang ge-
lang segera menyelinap ke balik pakaiannya simpan
gelang baja yang baru saja disambar dari tangan Pan-
glima Muda Lie.
Guru Besar Liang San perhatikan sosok Panglima
Muda Lie beberapa saat. Lalu cepat gerakkan tangan
kanan ke arah lambungnya yang ternyata telah tertan-
cap sebilah pisau pendek. Dia menotok sekitar pisau
yang menancap. Kejap lain tangan kirinya bergerak
cabut pisau. Dan sekali membuat gerakan, sosoknya
telah mengudara. Tangan kirinya berkelebat.
Wuutt!
Pisau berlumuran darah yang tadi menancap di
lambung Guru Besar Liang San menderu cepat ke arah
Panglima Muda Lie yang tampak tercekat tegang. Sekalipun laki-laki bekas kepercayaan Baginda ini berusa-
ha mengelak, tapi tak urung lesatan pisau ini lebih ce-
pat datangnya.
Bruss!
Panglima Muda Lie perdengarkan jeritan tinggi. Dari
bagian dadanya muncrat kucuran darah. Beberapa
saat kedua tangan sang Panglima coba cabut pisau mi-
liknya sendiri yang tadi dilemparkan dan menancap di
lambung Guru Besar Liang San. Namun gerakan ke-
dua tangannya terhenti di tengah jalan. Lalu luruh
lunglai dengan napas terhenti!
Pendekar 131 yang tadi sempat tegak hendak me-
lompat segera diurungkan. Karena apa pun gerakan
yang dilakukan, tidak akan dapat menghadang lesatan
pisau yang disentakkan Guru Besar Liang San.
Di lain pihak, jeritan Panglima Muda Lie membuat
Mei Hua dan Siao Ling Ling berpaling. Serta-merta Mei
Hua melompat ke arah sang Panglima. Tapi cuma se-
saat, saat lain gadis cantik ini segera sentakkan tubuh
menghadap Guru Besar Liang San. Saat yang sama,
Siao Ling Ling juga putar tubuh ke arah Guru Besar
Liang San.
Laksana dikomando, Mei Hua dan Siao Ling Ling
sama melompat ke arah Guru Besar Liang San. Lalu
tegak berjajar tiga langkah di depan laki-laki berkepala
gundul itu.
“Kau telah merampas hakku atas nyawanya! Berarti
kau yang harus menggantikannya!” Siao Ling Ling
angkat suara dengan setengah membentak.
“Kau harus bayar nyawanya!” Mei Hua berteriak se-
tengah menjerit dengan suara tersendat.
Habis berteriak begitu, kedua gadis yang sama ber-
paras cantik itu maju dua langkah. Tangan mereka
berkelebatan menghantam Guru Besar Liang San.
Terdengar beberapa kali benturan keras. Namun
meski tidak membuat gerakan apa-apa, sosok Guru
Besar Uang San tidak bergeming dari tempatnya!
Mendapati hal demikian, Mei Hua jadi kalap. Lak-
sana orang kesetanan dia kerahkan segenap tenaga
dalam yang dimiliki, lalu menghantam lagi ke arah
Guru Besar Liang San. Di lain pihak, Siao Ling Ling
tak tinggal diam. Dia juga himpun segenap tenaga da-
lamnya. Lalu membabi buta menghantam ke sekujur
tubuh Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tetap diam. Tangan kanan-
nya disedekapkan di depan dada sementara tangan kiri
memegangi lambungnya.
Beberapa saat berlalu. Mungkin karena kehabisan
tenaga begitu Guru Besar Liang San hentakkan pun-
daknya, kedua tangan Mei Hua dan Siao Ling Ling
mental ke udara. Lalu sosok kedua gadis itu terjeng-
kang roboh.
Mei Hua dan Siao Ling Ling tidak ambil peduli, me-
reka segera bangkit. Tapi mereka tersentak kaget. Me-
reka bukan saja tidak mampu bergerak bangkit, tapi
mereka merasakan tubuhnya tegang kaku tak bisa di-
gerakkan!”
“Pukulan ‘Inti Tanpa Raga’!” berseru Dewa Asap Ka-
yangan mengenali apa yang baru saja dilakukan Guru
Besar Liang San pada Mei Hua dan Siao Ling Ling
hingga kedua gadis itu tidak bisa bergerak dan bersua-
ra.
“Kalian anak-anak manusia pengkhianat! Kalian
pantas untuk menyusul sekalian ke alam kubur!”
Guru Besar Liang San mendesis. Sekali membuat ge-
rakan, tangan kanan kirinya bergerak lepaskan puku-
lan ke arah Mei Hua dan Siao Ling Ling yang sudah
tak berdaya.
“Tahan!” Pendekar 131 berteriak seraya sentakkan
kedua tangannya.
Kedua tangan Guru Besar Liang San tersentak ke
udara. Hingga meski dari kedua tangannya menderu
gelombang dahsyat, namun sasarannya adalah udara
kosong di atas sana.
Guru Besar Liang San berpaling. Pendekar 131 te-
lah tegak lima langkah di hadapannya dengan kem-
bangkan senyum meski dadanya masih terasa nyeri
akibat bentrok dengan Hantu Pesolek dan Hantu Bu-
lan Emas.
Guru Besar Liang San melangkah maju dua tindak.
“Gelang dan dua kantong itu!” kata Guru Besar
Liang San sambil menunjuk ke arah tubuh Joko. “Se-
rahkan semuanya padaku!”
“Guru Besar.... Seharusnya kau yang serahkan ge-
lang itu padaku!” sambut Joko.
“Pemuda asing! Benda-benda ini adalah milik Per-
guruan Shaolin! Kau tidak pantas memilikinya!”
“Guru Besar Pu Yi telah memberi mandat padaku!”
“Perguruan Shaolin bukan punya Pu Yi. Dia juga
bukan satu-satunya manusia yang berhak untuk
memberi perintah!”
“Aku tak tahu urusan itu! Yang jelas aku jalankan
perintah!”
“Hem.... Kau sudah tidak rindu lagi kampung hala-
manmu?!” tanya Guru Besar Liang San.
“Aku percaya jika masih bisa pulang....”
“Kau memang bisa pulang, Anak Muda! Bahkan aku
bersedia mengantar.... Tapi kau akan pulang tanpa ge-
lang dan kedua kantong itu!”
“Kau salah, Guru Besar! Justru aku akan pulang
dengan membawa serta gelang yang ada padamu...!”
“Aku ingin buktikan ucapanmu!” hardik Guru Besar
Liang San. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-
nya langsung berkelebat lepas pukulan.
Bukkkl Bukkk!
Terdengar benturan kala Joko angkat kedua tan-
gannya menghadang. Kedua kaki murid Pendeta Sin-
ting sempat goyah. Namun dia cepat kerahkan tenaga
dalam dan kini mendahului melompat seraya ganti le-
paskan pukulan.
Bukkl Bukkk!
Kedua tangan Pendekar 131 telak menghantam da-
da Guru Besar Liang San. Tapi meski Guru Besar
Liang San tidak menghadang pukulan Joko dan tidak
coba menghindar, sosoknya tidak bergeming sama se-
kali.
“Aku penasaran! Apakah dia sanggup bertahan dari
pukulanku!” kata Joko dalam hati. Dia kembali lipat
gandakan tenaga dalam lalu maju dan mulai menghan-
tam bertubi-tubi ke arah sosok Guru Besar Liang San.
Namun hingga Joko kelelahan sendiri dan tena-
ganya habis, sosok Guru Besar Liang San tidak berge-
rak sedikit pun!
Pendekar 131 mundur empat langkah. Dia telah
siap lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kedua tan-
gannya sudah berubah warna.
Di depan, Guru Besar Liang San tersenyum. Tidak
tampak ketakutan pada raut wajahnya meski dia tadi
telah tahu bagaimana pukulan yang dilepas Joko saat
bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Peso-
lek. Malah laki-laki berkepala gundul ini berujar.
“Ternyata kau dilahirkan untuk mampus di tanah
orang! Bahkan kau mampus saat berhadapan dengan
lawan yang tidak membuat gerakan apa-apa!”
Dada Pendekar 131 jadi panas mendengar ucapan
Guru Besar Liang San. Tanpa menyambut ucapan
orang, dia melompat.
Namun sebelum kedua tangan murid Pendeta Sin-
ting sempat lepaskan pukulan, mendadak satu suara
terdengar.
“Anak muda! Serahkan urusan dia padaku!”
Satu sosok tubuh berkelebat. Joko batalkan niat la-
lu menoleh. Guru Besar Liang San lirikkan ekor matanya.
SEMBILAN
DADA Guru Besar Liang San berdebar tidak enak.
Seketika dia sentakkan kepala berpaling. Serta-merta
tubuhnya laksana didorong kekuatan dahsyat hingga
kedua kakinya tersurut satu tindak dengan mata
membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang di-
lihatnya.
“Dari pakaian dan sikapnya, jelas orang ini dari Per-
guruan Shaolin!” Joko membatin ketika matanya meli-
hat seorang laki-laki berkepala gundul mengena-kan
pakaian warna kuning panjang yang di bagian pun-
daknya dililit kain berwarna merah. Paras wajah orang
ini hampir mirip dengan Guru Besar Liang San. Dia te-
gak dengan kedua tangan menakup di depan dada dan
kepala sedikit ditundukkan.
“Amitaba....” Dewa Asap Kayangan angkat bicara.
“Bahagia sekali bisa jumpa denganmu lagi, Guru Besar
Wu Wen She....”
“Amitaba....” Dewa Cadas Pangeran menyahut. “Aku
hampir tak percaya jika kau yang muncul di tempat
ini! Kabar yang sampai di telingaku, kau lenyap begitu
saja tanpa ada berita....”
“Amitaba....” Laki-laki yang baru muncul dan kini
tegak tidak jauh dari Pendekar 131 buka mulut seraya
putar diri menghadap Dewa Asap Kayangan dan Dewa
Cadas Pangeran. “Tuhan masih memberkatiku hingga
aku bisa berada di tempat ini. Kuucapkan terima kasih
atas bantuan sahabat berdua....”
“Guru Besar Wu Wen She....” Joko bergumam. Lalu
tatapi laki-laki yang baru muncul dan bukan lain ada-
lah Guru Besar Wu Wen She dari ujung kepala sampai
ujung kaki.
Baru saja Joko bergumam begitu, Guru Besar Wu
Wen She berkata.
“Anak muda.... Aku juga mengucapkan terima kasih
atas segala jerih payahmu selama ini. Dan kalau kau
tak keberatan, urusan dengan Guru Besar Liang San
harap diberikan padaku....”
“Amitaba....” Joko ikut-ikutan takupkan kedua tan-
gan di depan dada lalu tundukkan kepalanya sedikit.
“Aku tak keberatan urusan ini kau selesaikan.... Ta-
pi....”
“Aku tahu,” potong Guru Besar Wu Wen She yang
bukan lain adalah adik Guru Besar Liang San yang le-
nyap begitu saja saat terjadi peristiwa berdarah di Per-
guruan Shaolin beberapa waktu yang lalu.
“Kau tak usah khawatir. Aku tidak akan ikut cam-
pur urusan yang ada kaitannya dengan peta wasiat mi-
lik Shaolin. Aku hanya ingin mendudukkan masalah
yang ada hubungannya dengan peristiwa berdarah di
Perguruan Shaolin....”
“Wu Wen She!” Tiba-tiba Guru Besar Liang San me-
nyahut. “Kau datang terlambat! Kau datang di tempat
yang salah! Kalau kau ingin menyelesaikan urusan
Perguruan Shaolin, kita selesaikan urusan itu di Kuil
Shaolin!”
Guru Besar Wu Wen She geleng kepala. “Semua
yang ada di tempat ini serta urusannya masih berkai-
tan dengan Perguruan Shaolin. Jadi tak ada salahnya
kalau urusan itu kita selesaikan di tempat ini!”
“Hem.... Aku ingin tahu bagaimana penyelesaian
yang kau inginkan!”
“Aku telah berada di sekitar tempat ini sebelum kau
muncul! Aku tahu apa yang kalian bicarakan! Tapi aku
ingin tahu jawaban dari mulutmu sendiri! Benar kau
bersekongkol dengan pihak kerajaan dalam peristiwa
tewasnya kakak Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Be-
sar Su Beng Siok?!”
“Kau bertanya pada orang yang salah!”
Guru Besar Wu Wen She kernyitkan kening. “Me-
nurutmu, pada siapa aku harus bertanya?!”
Guru Besar Liang San tertawa. “Sebentar lagi kau
akan bertemu dengan orang yang bisa menjawab per-
tanyaanmu! Kau tak usah khawatir. Aku yang akan
mengantarmu!”
Tampaknya Guru Besar Wu Wen She masih belum
bisa menangkap arah pembicaraan Guru Besar Liang
San. Hingga dia berujar.
“Sepertinya aku tidak menemukan orang lain yang
bisa menjawab pertanyaanku...!”
Guru Besar Liang San tersenyum sambil gelengkan
kepala. “Kau kali ini salah ucap. Kau akan menemu-
kan orang yang paling tepat untuk menjawab perta-
nyaanmu. Sekaligus kau akan bertemu dengan sauda-
ra-mu!”
Guru Besar Wu Wen She terhenyak. “Amitaba....
Jadi yang kau maksud....”
Belum sampai Guru Besar Wu Wen She lanjutkan
ucapan, Guru Besar Liang San sudah menukas.
“Tidak ada orang yang paling tepat untuk menjawab
pertanyaanmu selain Pu Yi dan Maha Guru Besar Su
Beng Siok. Jadi aku akan mengantarmu menemui me-
reka!”
Guru Besar Wu Wen She menghela napas panjang.
“Aku ingin dengar jawaban darimu!”
“Kau sudah dengar jawabanku!”
“Kau tidak mau berterus terang. Berarti kau me-
mang terlibat dalam peristiwa berdarah itu!”
“Jawaban pastinya bisa kau tanyakan sesaat lagi!”
Habis berucap begitu, Guru Besar Liang San sudah
kelebatkan kedua tangannya seraya melompat.
Guru Besar Wu Wen She bukannya membuat ge-
rakan menghadang, melainkan melompat menghindar.
Lalu berkata.
“Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah!
Aku ingin kau mempertanggungjawabkan perbuatan-
mu di hadapan Perguruan Shaolin!”
“Sekarang ini akulah pemimpin Perguruan Shaolin.
Aku yang menentukan siapa yang harus bertanggung
jawab di depan Perguruan Shaolin!”
Guru Besar Wu Wen She tidak sempat lagi untuk
buka suara. Karena sekonyong-konyong Guru Besar
Liang San sudah berkelebat ke arah mana Guru Besar
Wu Wen She berdiri tegak.
Mungkin karena punya dugaan kalau Guru Besar
Wu Wen She akan berkelebat menghindar, begitu me-
layang di udara, Guru Besar Liang San sudah lepaskan
pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
“Amitaba....” Guru Besar Wu Wen She buka mulut.
Tapi laki-laki itu tidak berusaha menghindar hingga
gelombang dahsyat yang menggebrak dari kedua tan-
gan Guru Besar Liang San berkiblat tanpa halangan ke
arah tubuhnya!
“Aneh.... Mengapa dia seakan pasrah?!” gumam
Pendekar 131 lalu sentakkan kedua tangannya.
Bummm!
Sosok Guru Besar Liang San terdorong ke samping.
Sementara Pendekar 131 tersurut ke belakang.
Dengan menahan rasa sakit, murid Pendeta Sinting
segera mendekati Guru Besar Wu Wen She. Lalu berbi-
sik.
“Bukannya aku menggurui. Tapi kalau begini ca-
ranya, urusan Perguruan Shaolin tidak akan selesai!”
Guru Besar Wu Wen She tersenyum. “Urusan justru
tidak akan selesai kalau kekerasan dilawan dengan
kekerasan!”
“Tapi itu bunuh diri!”
“Tidak, Anak Muda.... Menurut perhitungan manu-
sia hal itu memang bunuh diri. Tapi tidak demikian
dengan perhitungan Yang Di Atas Sana....”
“Aku jadi tak mengerti...,” gumam murid Pendeta
Sinting.
“Anak muda.... Memang diperlukan waktu untuk
mengerti hal semacam itu....”
Baru saja Guru Besar Wu Wen She berucap begitu,
tiba-tiba Guru Besar Liang San sudah melompat dan
tegak di hadapan Pendekar 131.
“Anak muda.... Karena aku tidak bisa melawannya,
kuharap kau mau menolongku...!” Guru Besar Wu
Wen She berbisik.
“Dia memiliki ilmu yang membuatnya tahan segala
pukulan!” Joko menyahut.
“Aku tahu di mana titik lemahnya. Aku akan me-
ngatakannya padamu. Tapi kuharap kau nanti tidak
bertindak lebih jauh. Dia masih punya tugas untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya selama ini di
depan Perguruan Shaolin.”
Joko anggukkan kepala. Guru Besar Wu Wen She
melirik pada Guru Besar Liang San. Lalu berbisik.
Totok beberapa titik putih di kepalanya. Hindari
bentrok langsung dengan cara berhadapan, karena dia
memiliki ilmu ‘Inti Tanpa Raga’ yang dapat melakukan
totokan dari jarak jauh tanpa harus melakukan ge-
rakan!”
“Apa yang kalian bicarakan, hah?!” bentak Guru
Besar Liang San dengan dada berdebar.
Yang dibentak tidak ada yang menyahut. Sebaliknya
Guru Besar Wu Wen She segera berkelebat lalu tegak
tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap
Kayangan.
Guru Besar Liang San sudah berniat akan me-
ngejar, tapi Joko sudah menghadang dan langsung
membuat gerakan berputar. Tangan kiri kanannya
berkelebat ke arah kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San sempat terkesiap dengan ge-
rakan murid Pendeta Sinting. Dia cepat rundukkan
kepalanya dan disentakkan ke belakang. Saat yang
sama kedua tangannya segera berkelebat menahan ge-
rakan kedua tangan Joko.
Joko batalkan niat. Dia buru-buru tarik pulang tan-
gannya, lalu berkelebat memutar lagi, membuat Guru
Besar Liang San ikut sentakkan tubuhnya memutar.
Laki-laki berkepala gundul ini mulai curiga dengan ge-
rakan Joko, hingga begitu memutar, dia segera le-
paskan pukulan jarak jauh meski Joko tidak berada
jauh darinya.
Wuutt! Wuuutt!
Pendekar 131 lorotkan tubuh hingga sejajar tanah,
lalu melompat ke belakang sosok Garu Besar Liang
San. Gelombang yang tadi menderu ke arah Joko,
menggebrak udara kosong dan menerabas beberapa
ujung jajaran pohon di lamping bukit. Ujung jajaran
pohon langsung patah dan tersapu amblas.
Kecurigaan Guru Besar Liang San membuatnya ti-
dak mau bertindak ayal. Begitu mendapati pukulannya
lolos menghajar sasaran, dia segera membuat gerakan
bersalto ke belakang seolah tahu kalau Joko tengah
kelebatkan kedua tangannya mengincar bagian kepa-
lanya.
Bukkkl Bukkk!
Gerakan salto Guru Besar Liang San membuat ke-
palanya selamat dari kelebatan tangan Joko. Tapi tan-
gan itu masih mampu menghajar wajah Guru Besar
Liang San. Namun saat itu juga kedua kaki Guru Be-
sar Liang San menggebrak ke arah dada Pendekar 131.
Joko berseru kesakitan. Sosoknya terhuyung ke be-
lakang hingga beberapa langkah. Di lain pihak, Guru
Besar Liang San teruskan saltonya meski kepalanya
sempat tersentak ke bawah akibat pukulan tangan Jo-
ko yang menghantam wajahnya. Hebatnya, meski pu-
kulan tangan Joko telah dialiri tenaga dalam kuat,
Guru Besar Liang San seolah tidak merasakan apa-
apa! Malah dia segera tegak dan siap melompat!
Joko tidak mau didahului. Begitu tahu Guru Besar
Liang San siap melompat, dia melesat dahulu ke de-
pan. Setengah jalan dia segera hentakkan kakinya ke
udara. Sosoknya melenting tinggi ke udara.
Guru Besar Liang San yang sudah menyergap ke
depan hendak menyongsong segera hentikan serga-
pannya. Dia tengadah mengikuti gerakan lawan. Begitu
melihat Joko melayang turun, dia bukannya segera
menyambut dengan hantamkan tangannya ke atas,
melainkan hentakkan kaki. Sosoknya membal seten-
gah tombak, saat lain dia tekuk tubuhnya dan me-
layang turun dengan kepala di bawah kaki di atas.
Begitu setengah depa lagi kepalanya sampai di atas
tanah, mendadak kedua tangannya disentakkan menghantam tanah.
Sosok Guru Besar Liang San mental lagi ke atas.
Namun kali ini dengan kepala berada di bawah semen-
tara kaki di atas!
Pendekar 131 yang masih melayang turun berpikir
cepat. Kejap lain dia jungkir balik di udara, lalu han-
tamkan kakinya ke arah kaki Guru Besar Liang San.
Bukkl Bukk!
Tubuh murid Pendeta Sinting terbanting di udara.
Sementara sosok Guru Besar Liang San tersentak ke
atas, hingga bagian atas tubuhnya yang berada di ba-
wah terangkat.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Joko. Meski ma-
tanya sudah berkunang-kunang dia masih mampu me-
lihat gerakan tubuh Guru Besar Liang San. Hingga be-
gitu bagian atas tubuh Guru Besar Liang San terang-
kat, dia cepat kelebatkan kedua tangannya.
Guru Besar Liang San terkesiap. Namun dalam
keadaan terjepit begitu rupa, dia masih bisa gerakkan
kedua pundaknya!
“Mundur!” Guru Besar Wu Wen She berteriak mem-
peringatkan, tahu jika Guru Besar Liang San tengah
lepas pukulan ‘Inti Tanpa Raga’.
Namun Joko tidak hiraukan teriakan orang, karena
dia yakin kali ini tangannya tidak akan meleset meng-
hajar sasaran. Dia terus menghantam.
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 131 berhasil sarangkan gebukan pada ke-
pala Guru Besar Liang San tepat pada bagian beberapa
titik putih di kepalanya.
Guru Besar Liang San berteriak. Saat yang sama
sosoknya melayang ke bawah tanpa membuat gerakan
apa-apa meski sepertinya orang ini masih mampu un-
tuk menghindar dari benturan dengan tanah di bawahnya.
Bukkk!
Sosok besar Guru Besar Liang San terkapar di atas
tanah tanpa bisa bergerak lagi meski sepasang mata-
nya masih terbuka nyalang memperhatikan tubuh mu-
rid Pendeta Sinting yang juga melayang ke bawah tan-
pa membuat gerakan apa-apa hingga tubuhnya ter-
jengkang menghantam tanah.
“Busyet! Sekujur tubuhku tegang tak bisa digerak-
kan!” gumam Joko dalam hati seraya memandang
khawatir pada Guru Besar Liang San. “Celaka kalau
dia masih mampu bangkit!”
Mungkin karena khawatir, Joko coba kerahkan te-
naga dalam. Namun walau dia telah berusaha, tubuh-
nya tetap tegang kaku tak bisa digerakkan!
Joko makin cemas, tapi kecemasannya perlahan-
lahan sirna tatkala tahu Guru Besar Liang San juga te-
tap diam di atas tanah tanpa membuat gerakan.
Saat itulah Guru Besar Wu Wen She melangkah ke
arah murid Pendeta Sinting, sementara Dewa Cadas
Pangeran bergerak ke arah Dewi Bunga Asmara, dan
Dewa Asap Kayangan menyusul mendekati Mei Hua
dan Siao Ling Ling yang masih terkapar di atas tanah
tanpa bisa bergerak akibat pukulan ‘Inti Tanpa Raga’
yang dilepas Guru Besar Liang San.
SEPULUH
AMITABA.... Terima kasih, Anak Muda!” kata Guru
Besar Wu Wen She seraya takupkan kedua tangan di
depan dada lalu bergerak jongkok. Kedua tangannya
segera ditarik dari dada.
“Maafkan, Anak Muda...,” ujar Guru Besar Wu Wen
She. Kedua tangannya segera bergerak ke arah ubun-
ubun dan pusar murid Pendeta Sinting dengan jari
tengah dan jari telunjuk ditekuk.
Pendekar 131 berseru tertahan. Dia merasakan ba-
tok kepalanya seakan pecah dan perutnya ditimpa ba-
tangan besi, hingga perutnya terdorong deras ke bela-
kang. Namun bersamaan dengan itu, dia bisa gerakkan
anggota tubuhnya!
Di lain pihak, Dewa Asap Kayangan yang telah be-
rada dekat dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling segera
pula lakukan seperti yang diperbuat Guru Besar Wu
Wen She pada murid Pendeta Sinting.
“Terima kasih....” Hampir berbarengan Mei Hua dan
Siao Ling Ling berucap. Namun bersamaan itu pula
mereka segera saling pandang.
“Aku tahu bagaimana perasaan kalian. Namun ka-
lian harus tahu satu hal. Masih ada sesuatu yang ha-
rus segera kalian lakukan. Dan tidak ada gunanya
urusan ini diperpanjang. Kematian adalah satu takdir
yang tidak bisa dihindari oleh makhluk yang bernyawa
meski sebenarnya kita tidak menginginkan!”
Ucapan Dewa Asap Kayangan tampaknya membuat
Mei Hua dan Siao Ling Ling sadar meski dalam hati
keduanya masih menyimpan ganjalan. Siao Ling Ling
segera berpaling pada sosok mayat ayahandanya. Saat
lain gadis ini segera menghambur lalu memeluki sosok
mayat Baginda Ku Nang dengan sesenggukan.
Mei Hua sendiri sempat menoleh pada sosok mayat
ayahnya. Tapi begitu matanya melihat Guru Besar
Liang San yang diam tak bergerak di atas tanah karena
kepalanya tertotok tangan Pendekar 131, gadis cantik
ini tak mampu menahan diri. Laksana terbang dia ber-
kelebat dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San
dengan tubuh bergetar dan mata berkilat.
Tapi sebelum Mei Hua buka suara atau membuat
gerakan, Guru Besar Wu Wen She sudah angkat bica-
ra.
“Putri Panglima.... Kuharap kau tabahkan hati....
Kuharap pula kau mau menolongku dengan membiar-
kan dirinya....”
“Dia telah membunuh ayahku!” saking marahnya
Mei Hua membentak.
“Itu benar.... Tapi tidak seharusnya dia dibunuh ka-
rena membunuh ayahmu. Biarkan dia membayar per-
buatannya dengan bertobat! Lagi pula masih ada se-
suatu yang harus dijelaskannya pada Perguruan Shao-
lin....”
“Terlalu enak dia diberi kesempatan seperti itu! Bu-
kan tak mungkin dia bukannya bertobat, tapi melaku-
kan tindakan yang lebih bengis!”
“Kita tidak boleh memastikan apa yang belum terja-
di! Lagi pula aku bisa menjamin kalau dia tidak akan
berbuat yang lebih bengis....”
“Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?!”
“Jika nantinya dia dinyatakan bersalah oleh Per-
guruan Shaolin, dia harus menjalankan pertobatan di
satu tempat yang mustahil baginya untuk bisa keluar!”
“Di mataku dia sudah jelas bersalah! Aku tak mau
mengikuti peraturan Shaolin!” Mei Hua melangkah ma-
ju.
“Maafkan aku.... Aku tidak memaksamu untuk
mengikuti peraturan Shaolin. Aku hanya mengatakan
apa yang nantinya harus dijalani orang yang bersalah!”
“Dia harus membayar padaku dengan nyawanya!”
“Gadis cantik.... Mati bukan berarti menyelesaikan
masalah! Bukan aku membela diri. Tapi dengan kema-
tiannya, aku masih harus menanggung beban menja-
wab teka-teki apa yang sebenarnya terjadi saat peristi
wa berdarah di Perguruan Shaolin. Kuharap kau mau
mengerti dan sekali lagi memaafkan aku jika kau ang-
gap hal ini adalah satu paksaan demi kepentinganku!”
Mei Hua terdiam beberapa saat. Matanya terus
pandangi sosok Guru Besar Liang San dengan mende-
lik tak berkesip.
“Mei Hua....” Joko ikut angkat bicara seraya me-
langkah mendekati. “Bukannya aku ikut campur ma-
salahmu. Tapi kurasa benar apa yang dikatakan Guru
Besar Wu Wen She....”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Mei Hua
berpaling. Sepasang matanya menatap tajam pada bola
mata Joko. Entah apa yang dipikirkan gadis cantik pu-
tri Panglima Muda Lie ini, yang jelas tanpa buka mulut
lagi dia arahkan pandang matanya ke jurusan lain lalu
melangkah gontai ke arah sosok mayat ayahnya. Kejap
lain terdengar gadis ini menangis keras seraya tengku-
rap di atas sosok mayat Panglima Muda Lie.
Sementara itu, di tempat mana Dewi Bunga Asmara
duduk bersimpuh di samping mayat Ratu Selendang
Asmara, Dewa Cadas Pangeran terlihat duduk bersila
lalu angkat bicara pelan.
“Kesedihan memang tidak bisa kita hindari. Tapi ka-
lau kita terus tenggelam dalam kesedihan, apa yang
akan kita dapatkan?!”
Perlahan Dewi Bunga Asmara menoleh. Namun dia
hanya memandang tanpa buka suara.
“Aku tadi bercanda ketika mengatakan hendak me-
ngajak jalan-jalan gurumu.... Tapi aku sekarang tidak
main-main jika menawarkan padamu untuk kuajak
serta bersamaku....”
Sepasang mata Dewi Bunga Asmara membesar. Wa-
lau wajahnya tertutup batu putih dan tidak bisa meli-
hat gadis di dekatnya, namun Dewa Cadas Pangeran
seolah tahu gelagat. Sebelum si gadis angkat bicara,
Dewa Cadas Pangeran sudah berkata lagi.
“Jangan kau terlalu berprasangka. Aku tidak punya
niat jelek kalau menawarkan padamu untuk ikut ber-
samaku. Hal ini kukatakan karena aku tahu kau seka-
rang sebatangkara.... Tidak ada salahnya kalau kita
hidup bersama seperti dulu kau hidup bersama Ratu
Selendang Asmara....”
Dewi Bunga Asmara menghela napas panjang. Dia
paham apa maksud sebenarnya Dewa Cadas Pangeran.
Tapi dia tidak mau terburu-buru mengambil keputu-
san. Apalagi ketika ingat kedatangannya ke puncak
Bukit Toyongga adalah untuk mempertemukan Pende-
kar 131 dengan gurunya.
“Aku bukan tidak mau ikut bersamamu!” Akhirnya
Dewi Bunga Asmara berkata setelah agak lama ter-
diam. “Ada sesuatu yang harus kuselesaikan!”
Dewi Bunga Asmara tidak mau berterus terang den-
gan apa sebenarnya yang tengah menjadi pikirannya.
“Hem.... Kau ingin selesaikan urusan dengan pe-
muda tampan itu?!”
Paras Dewi Bunga Asmara langsung berubah. Bah-
kan dia segera berpaling jauh ke depan dengan dada
berdebar.
“Aku ingin selesaikan soal kematian guruku!” kata
Dewi Bunga Asmara.
Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Aku memang tidak
pandai menduga. Tapi firasatku mengatakan apa yang
baru kau katakan bukanlah hal yang akan segera kau
lakukan!”
Dewi Bunga Asmara berpaling lagi. Dia ingin sekali
melihat bagaimana tampang Dewa Cadas Pangeran.
Namun hingga beberapa kali Dewi Bunga Asmara pu-
lang balikkan kepalanya ke samping, dia gagal memenuhi keinginannya. Karena bersamaan dengan itu De-
wa Cadas Pangeran gerakkan kepala seolah mengikuti
gerakan kepala Dewi Bunga Asmara, hingga batu putih
di depan wajahnya terus bergerak menutupi.
“Dewi.... Aku bersedia menunggumu sampai kau se-
lesaikan urusanmu dengan pemuda di depan sana
itu...! Kalau kau malu mengatakan padanya, aku juga
bersedia membantu untuk mengatakannya!”
Tanpa menunggu sambutan Dewi Bunga Asmara,
Dewa Cadas Pangeran bergerak bangkit lalu melang-
kah ke arah pendekar 131.
“Tunggu!” Dewi Bunga Asmara menahan sambil me-
langkah mengejar dan berkata. “Biar aku yang menga-
takannya sendiri!”
Dewa Cadas Pangeran hentikan langkahnya, lalu
berbalik dan melangkah lagi ke arah mana sosok
mayat Ratu Selendang Asmara berada. Dewi Bunga
Asmara mengikuti dari belakang dengan wajah berse-
mu merah.
“Kau yakin mampu mengatakan urusanmu dengan
pemuda itu!” Dewa Cadas Pangeran bertanya seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya di samping mayat Ratu
Selendang Asmara. Sekali membuat gerakan sosok
mayat Ratu Selendang Asmara telah berada di pang-
kuan kedua tangannya.
“Akan kau bawa ke mana?!” Dewi Bunga Asmara
berseru agak keras.
“Bagi orang mati, sudah ditentukan di mana tem-
patnya! Sekarang aku akan menunggumu....”
Dewi Bunga Asmara tergagu diam. Dia dilanda ke-
bingungan. Di satu sisi dia memang ingin bicara den-
gan murid Pendeta Sinting, namun di sisi lain dia ke-
bingungan bagaimana memulai. Karena di situ ada Mei
Hua. Sementara dari gelagat dan sikapnya, Dewi Bunga Asmara tahu bagaimana perasaan Mei Hua pada
Pendekar 131.
“Kau butuh bantuanku?!” Dewa Cadas Pangeran
bertanya.
Dewi Bunga Asmara tekan perasaan. Lalu buka mu-
lut, tapi bukannya menjawab pertanyaan orang.
“Kita harus segera menguburkan mayat Guru....”
“Kau tidak kecewa...?!”
Dewi Bunga Asmara lagi-lagi tidak menjawab perta-
nyaan Dewa Cadas Pangeran, sebaliknya segera me-
langkah mendahului tinggalkan puncak bukit.
Dewa Cadas Pangeran tidak lagi angkat bicara. Dia
segera pula melangkah di belakang Dewi Bunga Asma-
ra. Namun begitu hendak menuruni bukit, Dewa Ca-
das Pangeran berteriak.
“Pendekar 131! Setelah urusanmu nanti selesai, kau
harus segera menemuiku! Soal di mana kau bisa ber-
temu denganku, tanyalah pada sahabatku Dewa Asap
Kayangan! Kau tak usah bertanya. Yang pasti kau
punya janji dengan gadis cantik muridku ini! Kalau
kau tak berani datang sendirian, kau boleh ajak serta
sahabatku itu! Bahkan aku lebih suka kalau dia kau
angkat sebagai orangtua untuk sekaligus melamar mu-
ridku!”
Dewi Bunga Asmara sentakkan kepalanya berpaling
pada Dewa Cadas Pangeran. Air mukanya sulit dilukis-
kan. Antara malu, senang, dan geram, hingga dia tidak
kuasa lagi untuk buka mulut, meski dia ingin sekali
berkata.
Di seberang sana, Pendekar 131 menoleh. Bukan-
nya memandang pada Dewa Cadas Pangeran yang te-
gak dengan membopong mayat Ratu Selendang Asma-
ra, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi
Bunga Asmara yang saat itu juga tengah memandangnya.
Jika saja saat itu tidak ada orang lain yang men-
dengar, tentu Dewi Bunga Asmara akan terus tegak
sambil menunggu jawaban Joko. Di lain pihak, jika sa-
ja di tempat itu tidak ada Mei Hua, Bidadari Bulan
Emas, dan Siao Ling Ling, pasti murid Pendeta Sinting
sudah berkelebat dan coba menjelaskan.
“Dewi.... Percayalah! Dia pasti akan datang mene-
muiku! Kau nanti bisa habiskan waktu ngobrol bersa-
manya.... Sekarang kita harus cepat menguburkan
mayat gurumu!”
Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat Dewi Bun-
ga Asmara tersadar. Dia menghela napas panjang. La-
lu dengan kaki berat dia berbalik setelah tersenyum
pada Pendekar 131. Saat lain kedua orang ini teruskan
langkah menuruni Bukit Toyongga.
SEBELAS
PENDEKAR 131.... kurasa sudah waktunya kau se-
lesaikan tugas yang kau emban.” Guru Besar Wu Wen
She berkata membuat murid Pendeta Sinting berpal-
ing.
Setelah terdiam sejenak Joko angkat bicara. “Guru
Besar.... Karena tugas itu bukan hakku lagi. Peta wa-
siat adalah milik Perguruan Shaolin...!”
Habis berkata begitu, kedua tangan Joko menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik ke-
luar, di tangan kanannya terlihat satu kantong putih
dan gelang baja. Sementara di tangan kirinya tampak
satu kantong putih.
“Guru Besar...,” kata Joko seraya ulurkan tangan
kapannya yang memegang kantong putih dan gelang
baja. “Kantong dan gelang ini pemberian Dewa Cadas
Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Aku tak tahu apa
isinya!” Joko hentikan ucapannya seraya melirik pada
Dewa Asap Kayangan. Saat lain dia ulurkan tangan ki-
rinya yang memegang kantong putih. “Ini adalah kan-
tong yang tadi berada di tangan Hantu Pesolek. Aku
masih yakin, kantong inilah yang diambilnya dari-ku
beberapa hari yang lalu....”
“Anak muda....” Dewa Asap Kayangan berucap.
“Kantong dan gelang pemberianku dan pemberian De-
wa Cadas Pangeran adalah palsu!”
Mendengar ucapan Dewa Asap Kayangan, Joko se-
gera luruhkan kantong dan gelang di tangan kanannya
hingga jatuh di atas tanah. Lalu berkata.
“Aku tidak bisa menduga, tapi dari apa yang telah
terjadi, kupikir gelang yang ada di Guru Besar Liang
San adalah yang asli!” Kantong putih di tangan kirinya
yang tadi diambil dari tangan Hantu Pesolek dipindah
ke tangan kanan, lalu dijulurkan pada Guru Besar Wu
Wen She.
Guru Besar Wu Wen She gelang kepala. “Kau yang
mendapat tugas! Aku tidak berani menerima!”
“Tapi ini adalah milik Perguruan Shaolin!”
“Benar. Tapi kau telah mendapat tugas dari Kakak
Guru Besar Pu Yi. Berarti urusannya tidak lagi ada
kaitannya dengan Perguruan Shaolin...!”
“Kalau terus bicara, urusan ini akan ruwet. Apalagi
menghadapi orang macam dia!” kata Joko dalam hati.
Tanpa buka mulut lagi Joko melangkah mendekati
Guru Besar Liang San.
Karena tidak dapat menggerakkan tubuhnya, Guru
Besar Liang San tidak berusaha buka mulut meski da-
lam hati memaki habis-habisan saat Pendekar 131
jongkok di sampingnya lalu gerakkan tangan kiri kebalik pakaiannya mengambil gelang baja.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan gelang yang
baru diambilnya dari balik pakaian Guru Besar Liang
San. Lalu putar diri dan mendekati Guru Besar Wu
Wen She. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
“Gelang dan kantong ini kuserahkan padamu. Teri-
malah!”
Guru Besar Wu Wen She tersenyum seraya geleng-
kan kepala. “Aku tidak berani menerimanya.... Bukan
karena apa, aku tak mau peristiwa yang sama akan
terjadi menimpa Perguruan Shaolin jika peta wasiat itu
masih tersimpan di Perguruan Shaolin....” Habis berka-
ta begitu Guru Besar Wu Wen She tengadah melihat
bulan yang sudah tersuruk di bagian langit sebelah ti-
mur. Lalu berkata.
“Pendekar 131.... Malam hampir saja berujung. Peta
wasiat itu tidak akan ada artinya lagi jika belum dis-
atukan hingga pagi hari nanti datang. Sekarang aku
harus segera pergi. Sekali lagi kuucapkan terima kasih
padamu... Juga pada sahabat Dewa Asap Kayangan...”
Guru Besar Wu Wen She putar tubuhnya seraya men-
jura hormat pada Pendekar 131 dan Dewa Asap
Kayangan.
Tanpa menunggu sambutan orang, Guru Besar Wu
Wen She mendekati sosok Guru Besar Liang San. Dan
tanpa buka mulut, Guru Besar Wu Wen She segera
mengangkat tubuh Guru Besar Liang San ke atas
pundak kirinya.
“Amitaba...,” kata Guru Besar Wu Wen She sambil
takupkan kedua tangannya di depan dada dan tun-
dukkan sedikit kepalanya. “Selamat tinggal, Sahabat-
sahabat sekalian.... Kalau ada waktu luang, aku akan
senang jika kalian mau singgah ke Perguruan Shaolin.”
Guru Besar Wu Wen She anggukkan kepala seraya
tersenyum. Dan sekali dia membuat gerakan, sosoknya
berkelebat lalu lenyap turun dari puncak Bukit Toyo-
ngga.
“Anak muda.... Aku juga harus segera pergi!” Dewa
Asap Kayangan berkata seraya hendak melangkah.
“Kek! Tunggu!”
Tanpa berpaling Dewa Asap Kayangan buka suara.
“Kalau kau ingin memenuhi janji pada gadis cantik
yang tadi bersama Dewa Cadas Pangeran, datanglah ke
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Aku menung-
gumu di sana dan siap mengantarmu melamar gadis
itu!”
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berke-
lebat seraya perdengarkan tawa bergelak panjang hing-
ga Mei Hua dan Siao Ling Ling kaget dan berpaling. Di
lain tempat, Bidadari Bulan Emas yang ternyata sudah
berdiri dengan membopong sosok mayat gurunya dan
hendak melangkah tinggalkan puncak bukit juga me-
noleh.
Karena yang masih tegak di tempat itu adalah Pen-
dekar 131, Mei Hua, Bidadari Bulan Emas, dan Siao
Ling Ling sama arahkan pandang mata masing-masing
pada Joko.
Dipandangi orang begitu rupa, murid Pendeta Sin-
ting jadi serba salah. Ingin berkata tak tahu apa yang
harus dikatakan dan canggung untuk memulai, ingin
segera pergi tapi dia masih ingin bicara dengan Mei
Hua untuk menjelaskan agar nantinya tidak lagi terja-
di salah paham antara gadis itu dengan Dewi Bunga
Asmara. Hingga akhirnya Joko hanya diam dan me-
mandang silih berganti pada Mei Hua, Siao Ling Ling,
serta Bidadari Bulan Emas.
Di lain pihak, diam-diam antara Mei Hua, Siao Ling
Ling, dan Bidadari Bulan Emas sama lontar pandangan.
“Seandainya tidak ada orang lain.... Tapi pantaskah
aku berkata terus terang padanya? Ah.... Mengapa aku
harus memikirkan soal itu? Bukankah gadis murid Ra-
tu Selendang Asmara adalah kekasihnya bahkan Dewa
Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan telah sepa-
kat untuk mempertemukan mereka?!” Diam-diam Mei
Hua membatin. Lalu membungkuk dan mengangkat
mayat ayahnya.
Sebelum melangkah tinggalkan puncak bukit, Mei
Hua masih sempat arahkan pandangannya pada Pen-
dekar 131. Jelas mulutnya terbuka hendak bicara,
namun tiada sepatah kata pun yang terdengar hingga
gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini melangkah
perlahan meninggalkan puncak Bukit Toyongga.
Pendekar 131 kuatkan hati untuk angkat bicara.
Namun yang terdengar hanya gumamannya yang tidak
jelas hingga akhirnya sosok Mei Hua turun dari pun-
cak bukit. Semua orang di tempat itu tidak tahu, keti-
ka mulai melangkah turun, Mei Hua segera berkelebat
dengan perdengarkan isakan tangis!
Begitu sosok Mei Hua lenyap dari puncak bukit, Bi-
dadari Bulan Emas tersenyum pada Pendekar 131. Di-
am-diam murid Hantu Bulan Emas ini berkata dalam
hati. “Aku tak mungkin mengharapkan dirinya.... Ba-
nyak gadis muda dan cantik yang mengharapkan diri-
nya! Ah.... Mengapa semua ini harus terjadi?!”
Habis membatin begitu, Bidadari Bulan Emas ang-
gukkan kepala ke arah Joko lalu tanpa berkata-kata
lagi dia melangkah meninggalkan puncak bukit.
“Bidadari! Tunggu!” Akhirnya Joko berhasil juga
angkat suara.
Bidadari Bulan Emas berpaling. Dia menghela na-
pas panjang. Saat bersamaan kepalanya menggeleng.
“Bidadari....” Hanya itu suara yang terdengar dari
mulut murid Pendeta Sinting dan tidak dilanjutkan,
karena di seberang sana Bidadari Bulan Emas sudah
berkelebat menuruni puncak bukit.
Pendekar 131 menghela napas. Saat itulah dia me-
nangkap gerakan Siao Ling Ling yang melangkah hen-
dak tinggalkan puncak bukit.
“Hem.... Apa yang harus kukatakan padanya?! Lagi
pula pantaskah aku bicara dalam keadaan dia bela-
sungkawa begini rupa?!”
Karena terus bergelut dengan pikirannya sendiri,
Joko baru tersadar saat kaki Siao Ling Ling yang mem-
bopong tubuh mayat Baginda Ku Nang mulai menu-
runi bukit, hingga ketika dia akan buka mulut, sosok
Siao Ling Ling sudah tidak kelihatan lagi.
“Ah.... Aku masih punya waktu untuk menjelaskan
pada mereka....” Akhirnya Joko bergumam untuk me-
nenangkan dirinya yang dibuncah dengan berbagai pi-
kiran yang tak bisa dipecahkannya. Dan saat itulah
pandangannya membentur pada bulan di bagian timur
langit.
“Malam ganda sepuluh hampir saja lewat! Aku ha-
rus segera membuka peta wasiat ini!” Joko duduk di
atas tanah. Sesaat dia pandangi kantong dan gelang
baja di tangannya.
Setelah menghela napas berulang kali, perlahan-
lahan tangan kanannya meletakkan kantong putih di
atas pangkuannya. Kini kedua tangannya memegang
gelang baja. Dengan tangan bergetar, Joko segera me-
narik gelang itu dari kedua sisi.
Gelang baja terbelah. Lalu tampaklah gulungan
kain putih di atas batangan gelang. Dengan hati-hati
Joko menarik gulungan kain dari batangan gelang. La-
lu dibuka perlahan-lahan. Ternyata gulungan kain pu
tih itu kosong.
Kain putih diletakkan di atas pangkuannya. Kini dia
mengambil kantong putih dan membukanya. Ternyata
kantong itu juga berisi gulungan kain yang mirip sekali
dengan gulungan kain di batangan gelang. Kain ini ju-
ga kosong.
“Menurut Bu Beng La Ma, peta itu baru tertera jika
kain ini dihadapkan pada rembulan....”
Pendekar 131 segera sambung kain yang tadi bera-
da di batangan gelang dan kain yang diambilnya dari
kantong putih. Lalu dengan kedua tangannya, kain pu-
tih itu direntangkan di depan wajahnya tepat mengha-
dap sinar bulan.
Ada satu keanehan. Tiba-tiba sinar rembulan lak-
sana ditutup awan hingga untuk beberapa saat suasa-
na jadi gelap gulita. Namun cuma sekejap. Di lain saat
suasana kembali terang. Joko merasakan kain yang di-
rentangkan laksana didorong kekuatan dahsyat. Tapi
juga sekejap. Tatkala suasana terang, kekuatan yang
seolah mendorong rentangan kain di tangannya le-
nyap.
Joko arahkan pandangannya pada rentangan kain.
Matanya membelalak. Pada rentangan kain itu seka-
rang tertera goresan-goresan warna hitam membentuk
gambar peta! Di salah satu gambar peta terlihat bun-
daran agak besar. Di tengah bundaran terlihat gambar
sebuah peti yang tepat di tengahnya menancap sebilah
pedang.
Perlahan-lahan Joko turunkan kedua tangannya.
Lalu pandangi gambar peta di rentangan kain. “Hm....
Dari gencarnya beberapa tokoh yang menginginkan pe-
ta ini, jelas pedang ini bukan pedang sembarangan!
Sementara isi peti itu bukan tak mungkin adalah harta
karun....” Joko bergumam menduga-duga gambar dalam bundaran peta.
“Sayang, aku belum paham benar daerah yang ter-
gambar di peta. Aku butuh seseorang untuk bertanya.
Mungkin Dewa Cadas Pangeran atau Dewa Asap Ka-
yangan bisa memberi penjelasan.”
Habis membatin begitu, Joko lipat kain di tangan-
nya. Lalu perlahan-lahan memasukkannya ke balik
pakaiannya. Saat lain ia bergerak bangkit dan sapukan
pandangannya berkeliling. Saat itulah samar-samar
terlihat bias cahaya warna kekuningan di ufuk timur,
tanda sebentar lagi matahari akan segera muncul.
Pendekar 131 menghela napas panjang. Di pelupuk
matanya tergambar paras Mei Hua, Siao Ling Ling, Bi-
dadari Bulan Emas, dan terakhir Dewi Bunga Asmara.
Namun saat lain terbayang raut wajah Pendeta Sinting.
“Kapan aku bisa pulang?!” Tiba-tiba Joko teringat
tengah berada di mana saat itu. Dia menghela napas
sekali lagi, lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan
puncak Bukit Toyongga yang telah ditelan kesunyian.
SELESAI
Segera menyusul:
ISTANA LIMA BIDADARI
0 comments:
Posting Komentar