..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 06 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE DEWI BUNGA ASMARA

JOKO SABLENG EPISODE DEWI BUNGA ASMARA

SATU


PENDEKAR 131 Joko Sableng, Guru Besar Liang 

San, dan Bidadari Bulan Emas tidak melihat siapa-

siapa meski baru saja telinga masing-masing menden-

gar suara dua orang. Suara seorang laki-laki dan pe-

rempuan. Bahkan sekalipun mereka telah putar pan-

dangan masing-masing sekali lagi dengan mata dipen-

tang besar-besar. Sementara Dewa Cadas Pangeran ti-

dak acuhkan ucapan yang baru saja terdengar. Orang 

tua yang wajahnya tertutup batu putih ini terus lang-

kah-kan kaki mendekati Bidadari Bulan Emas!

Seperti dituturkan dalam episode: “Dewa Cadas 

Pangeran”, ketika Pendekar 131 akan menyelidik ke 

Perguruan Shaolin, mendadak muncul Guru Besar 

Liang San. Setelah terjadi pembicaraan, keduanya ta-

hu siapa orang yang ada di hadapannya. Tapi ketika 

Guru Besar Liang San bersikeras meminta peta wasiat 

pada murid Pendeta Sinting dan terjadi bentrok, mun-

cullah Bidadari Bulan Emas. Dengan pesona tubuh-

nya, Bidadari Bulan Emas coba menggoda Joko.

Untuk mengalihkan perhatian Guru Besar Liang 

San, Joko pura-pura tertarik dengan Bidadari Bulan 

Emas. Kedua orang ini akhirnya hendak pergi. Guru 

Besar Liang San tidak membiarkan begitu saja. Namun 

belum sampai Guru Besar Liang San berbuat sesuatu, 

muncul Dewa Cadas Pangeran. Dewa Cadas Pangeran 

minta agar Joko memberikan kesempatan padanya un-

tuk dapat membawa pergi Bidadari Bulan Emas. Kare-

na merasa yakin Dewa Cadas Pangeran tahu apa yang 

tengah dihadapi dan maklum apa yang tersirat di balik 

ucapan Dewa Cadas Pangeran, akhirnya Joko meng-

izinkan Dewa Cadas Pangeran untuk membawa pergi


Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas terkejut 

besar. Sementara Guru Besar Liang San sama paling-

kan kepala dengan raut membayangkan rasa kaget. 

Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tampak tenang-

tenang saja, malah orang ini gerakkan kaki mendekati 

Bidadari Bulan Emas.

“Aneh! Dari gerakan kepala Guru Besar Liang San 

dan Bidadari Bulan Emas, jelas kalau suara dua orang 

tadi benar-benar ada! Tapi mana manusianya?!” Pen-

dekar 131 kernyitkan kening. Ekor matanya melirik 

pada Dewa Cadas Pangeran yang bergerak ke arah Bi-

dadari Bulan Emas. “Jangan-jangan suara tadi diper-

dengarkan orang tua ini! Bukankah kalau dia perde-

ngarkan suara, orang tidak akan tahu karena muka-

nya tertutup batu putih?! Tapi suara tadi jelas ber-

sumber dari arah seberang lain! Atau mungkinkah dia 

pergunakan ilmu memindahkan suara?!”

Kalau murid Pendeta Sinting bertanya-tanya ten-

tang siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan 

suara, tidak demikian halnya dengan Bidadari Bulan 

Emas. Walau dia juga menduga-duga, namun perhati-

annya justru tertuju pada gerakan Dewa Cadas Pange-

ran. Hingga begitu kepalanya berpaling dan tak me-

lihat siapa-siapa, perempuan bertubuh sintal mulus 

dan berparas cantik ini cepat alihkan pandang mata-

nya pada Dewa Cadas Pangeran.

“Celaka kalau dia memang hendak mengajakku 

pergi! Ini bisa merusak rencanaku pada Pendekar 131 

Joko Sableng! Padahal siasatku hampir saja berjalan 

lancar! Jahanam betul! Menurut yang kudengar, orang 

tua itu berilmu tinggi dan memiliki keanehan.... Apa 

yang harus kulakukan sekarang?!” Bidadari Bulan E-

mas membatin dengan wajah makin tegang dan dada 

berdebar.


Sementara di lain pihak, Guru Besar Liang San te-

gak dengan tampang geram. Apalagi kala sepasang ma-

tanya tidak menemukan sosok orang yang suaranya 

baru saja terdengar.

“Keparat! Urusan satu belum juga tuntas, sudah 

ada lagi penghalang yang muncul!” Orang tua berke-

pala gundul dan sekarang menjadi Pimpinan Pergu-

ruan Shaolin ini tidak pedulikan gerakan Dewa Cadas 

Pangeran. Dia menoleh pada Pendekar 131 begitu se-

pasang matanya tidak melihat sosok orang yang baru 

saja perdengarkan suara.

Saat itulah, kembali tempat itu dipecah dengan ter-

dengarnya suara. “Aku telah berkata! Telingamu telah 

mendengar! Kalau kau teruskan langkah, berarti kau 

menjemput kematian!” Semua orang di tempat itu tahu 

kalau suara yang baru terdengar adalah suara seorang 

laki-laki. Semua juga tahu jika suara teguran itu ditu-

jukan pada Dewa Cadas Pangeran. Karena dialah satu-

satunya orang yang bergerak melangkah mendekati 

Bidadari Bulan Emas.

Belum sampai ada yang gerakkan kepala, suara lain 

menyahut. “Perintah telah diperdengarkan! Kalau ingin 

nyawa selamat, turuti perintah kami!” Suara ini adalah 

suara perempuan.

Tahu kalau ucapan orang ditujukan padanya, Dewa 

Cadas Pangeran hentikan tindakan. Namun orang tua 

ini tidak berusaha gerakkan kepala ke sumber suara 

meski hampir bersamaan Pendekar, Guru Besar Liang 

San, dan Bidadari Bulan Emas berpaling ke arah dari 

mana suara terdengar! Ketiga orang ini melihat satu 

sosok bayangan berkelebat. Kejap lain di depan sana 

telah tegak satu sosok tubuh!

Guru Besar Liang San, Pendekar, dan Bidadari Bu-

lan Emas tegak di tempat masing-masing dengan mata


mendelik dan mulut sama terkancing. Mereka melihat 

seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, hi-

dungnya mancung. Rambutnya hitam lebat dibiarkan 

bergerai. Tapi bukan karena ketampanan wajah orang 

yang membuat Guru Besar Liang San, Joko, dan Bida-

dari Bulan Emas pentangkan mata. Ternyata, meski 

sosok yang muncul adalah seorang pemuda, bibir pe-

muda ini diberi warna merah menyala! Pipi kanan kiri-

nya yang berkulit putih juga disaput dengan pewarna 

merah muda. Bahkan dia juga mengenakan pakaian 

panjang mirip kebaya milik seorang perempuan! Tan-

gan kirinya disilangkan di depan dadanya yang men-

cuat kencang, sementara tangan kanannya bergerak 

pulang balik lemah gemulai mempermainkan sebuah 

kipas.

Melihat tampang orang yang baru muncul, perla-

han-lahan ketegangan di wajah Joko lenyap. Bibirnya 

sunggingkan senyum meski dalam hati dia berkata. 

“Dari lagak dan tampangnya, pasti suara dua orang 

tadi diperdengarkan oleh pemuda satu ini!”

Sementara demi melihat munculnya si pemuda, 

Guru Besar Liang San mendengus. Dia memperhatikan 

agak lama. Lalu edarkan pandangan berkeliling.

“Apakah dua suara tadi diucapkan oleh pemuda 

ini?! Ataukah ada orang lain?! Aku belum pernah me-

lihat pemuda ini.... Jangan-jangan kemunculannya 

bersamaan dengan....”

Belum sampai Guru Besar Liang San teruskan kata 

hatinya, murid Pendeta Sinting telah angkat suara.

“Boleh kami tahu siapa kau adanya?! Dan apakah 

kau yang mengucapkan perintah tadi?!”

Yang ditanya tidak menjawab. Dia sapukan pan-

dang matanya pada Guru Besar Liang San, lalu ke 

arah Bidadari Bulan Emas dan Dewa Cadas Pangeran.


Terakhir si pemuda hujamkan matanya pada Pende-

kar. Untuk beberapa saat sepasang matanya meneliti 

dari kaki sampai kepala.

Dipandangi orang begitu rupa, Joko makin lebarkan 

senyum meski dalam hati dia terus membatin. “Apa-

kah perangai orang macam dia di negeri ini sama de-

ngan di tanah Jawa?! Yang kudengar, orang seperti dia 

lebih suka sama laki-laki! Hem.... Seandainya dia be-

nar-benar seorang perempuan, sungguh sayang kalau 

dilewatkan berlalu begitu saja.... Kulitnya putih, bibir-

nya merah menggoda. Rambutnya panjang bergerai. 

Dadanya....”

“Apa yang kau lihat?! Mengapa senyam-senyum?!” 

Mendadak si pemuda yang mengenakan kebaya perde-

ngarkan suara. Suaranya keras menggelegar dan jelas 

suaranya adalah suara seorang laki-laki. Tangan ka-

nannya yang bergerak pulang balik berkipas dihenti-

kan. Sepasang matanya dibeliakkan menusuk tajam ke 

dalam bola mata murid Pendeta Sinting.

Belum sempat Joko buka mulut, si pemuda telah 

sambungi ucapannya. “Dari apa yang kudengar dan 

kulihat, kau adalah pemuda asing dari seberang laut 

bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Benar?!”

Selain Dewa Cadas Pangeran, semua yang ada di 

tempat itu sempat terkejut. Karena suara si pemuda 

kali ini jelas suara milik seorang perempuan! Tapi yang 

paling tampak kaget adalah murid Pendeta Sinting 

demi mendapati si pemuda telah tahu siapa dirinya.

“Dugaannya tepat! Berarti dia telah lama berada di 

sekitar tempat ini dan mendengar pembicaraanku de-

ngan Guru Besar Liang San, Bidadari Bulan Emas, 

serta Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dalam hati. 

Namun Joko tidak mau tunjukkan rasa kaget. Dia te-

tap sunggingkan senyum lalu berucap.


“Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kau dengar 

dan kau lihat di tempat ini. Kalau kau ingin penjela-

san, kita pergi dari sini!”

Ucapan Joko membuat Bidadari Bulan Emas ber-

paling. “Celaka! Apakah dia telah tahu rencanaku?! 

Tadi dia memberikan kesempatan yang kuberikan pa-

da Dewa Cadas Pangeran, sekarang dia mengajak pergi 

pemuda yang baru datang itu! Ini tidak boleh terjadi!

Siapa tahu pemuda banci itu juga tahu urusan peta 

wasiat!”

Membatin begitu, tanpa memandang pada pemuda 

yang mengenakan kebaya, Bidadari Bulan Emas ang-

kat bicara.

“Pemuda berkebaya! Harap katakan saja apa mak-

sud kedatanganmu!”

Yang ditanya lagi-lagi tidak segera menjawab. Seba-

liknya dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata 

dengan tangan kanan kembali bergerak pulang balik 

berkipas-kipas.

“Perempuan cantik! Hari ini aku mendapat rejeki 

besar. Maksud pertama kedatanganku tadi sebenarnya 

tertarik dengan pemuda asing bergelar Pendekar 131 

Joko Sableng itu. Sebelum aku utarakan apa maksud-

ku, ternyata Pendekar 131 telah tahu.... Malah kau de-

ngar sendiri dia mengajakku pergi dari sini!” Suara si 

pemuda kali ini adalah suara milik seorang perem-

puan.

Tanpa menunggu sambutan Bidadari Bulan Emas, 

si pemuda berkebaya berpaling sesaat pada Bidadari 

Bulan Emas. Bibirnya yang merah sunggingkan se-

nyum. Lalu kepalanya menoleh pada Joko. Sebelah 

matanya dikedipkan lalu berkata. Suaranya masih se-

perti suara perempuan.

“Pendekar.... Aku memang ingin banyak penjelasan


darimu. Dan kurasa tempat ini memang kurang enak 

kalau dibuat menjelaskan. Apalagi ada yang lebih ku-

inginkan darimu daripada sebuah penjelasan!” Si pe-

muda hentikan ucapannya sejenak. Dada Joko jadi 

berdebar. Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan 

Emas tegak dengan mata saling lontar pandang. Kedua 

orang ini tampaknya telah dapat menangkap apa tu-

juan kata-kata si pemuda berkebaya.

Si pemuda berkebaya sapukan pandangannya se-

kali lagi. Saat bersamaan terdengar dia tertawa pen-

dek. Lalu berkata.

“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan! Aku 

belum selesai dengan ucapanku. Yang kuinginkan le-

bih bukanlah ada hubungannya dengan peta wasiat!” 

Si pemuda lontarkan pandang matanya pada Pende-

kar. Lalu lanjutkan ucapan. “Dia seorang pemuda tam-

pan.... Tanpa kujelaskan lebih lanjut, kurasa kalian 

tahu apa maksudku!” Si pemuda tertawa cekikikan. 

Kipas di tangan kanannya ditutupkan pada mulutnya. 

Sementara sebelah matanya berkedip-kedip.

“Busyet! Ternyata di sini dan di tanah Jawa tidak 

ada bedanya!” gumam Pendekar 131 dengan kecut. Se-

nyumnya yang dari tadi terus tersungging mendadak 

pupus.

“Kita pergi sekarang, Pendekar?! Aku tahu tempat 

yang aman untuk menjelaskan dan bersenang-se-

nang!” Si pemuda berkebaya berujar dengan perde-

ngarkan suara perempuan. Saat lain dia melangkah ke 

arah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum 

dan kembali berkipas-kipas.

Namun belum sampai bergerak lebih jauh, Bidadari 

Bulan Emas membentak.

“Siapa pun kau adanya, jangan kira gampang me-

motong langkah orang!”


Si pemuda berkebaya hentikan langkah. “Pemuda 

tampan itu telah melepasmu untuk diberikan pada 

orang tua yang malu-malu tunjukkan wajah itu! Jadi 

sekarang dia bebas menentukan langkah! Dan seperti 

kau dengar tadi, dia mengajakku pergi dari sini! Apa-

kah aku salah kalau menuruti kemauannya?! Lagi pu-

la sejak pertama aku memang tertarik padanya! Baru 

kali ini aku menemukan pemuda imut-imut seperti

dia... Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau saja tergoda, apa-

kah keliru jika aku juga tergiur?! Padahal di balik se-

mua ini, aku tidak punya keinginan lain! Berbeda de-

nganmu.... Kurasa di balik ketergodaanmu, kau punya 

keinginan lain!”

Paras wajah Bidadari Bulan Emas merah padam. 

Sementara si pemuda berkebaya tersenyum lagi lalu 

teruskan langkah. Namun baru mendapat tiga tindak, 

terdengar bentakan keras.

“Ingat! Penentu hidup matimu adalah gerakan ke-

dua kakimu! Sekali lagi kau gerakkan kaki maju, itu 

adalah akhir hidupmu!” Yang perdengarkan bentakan 

adalah Guru Besar Liang San.

Untuk kedua kalinya si pemuda berkebaya hentikan 

langkah. Kepalanya berpaling pada Guru Besar Liang 

San. Kipas di tangan kanannya disentakkan. Seketika 

kipas itu menutup. Saat lain kedua tangannya disatu-

kan di depan dadanya yang membusung kencang. Tu-

buh bagian atasnya sedikit dibungkukkan. Lalu ter-

dengar ucapannya.

“Amitaba.... Kalau aku boleh bertanya. Apakah Per-

guruan Shaolin mengajarkan gerakan kaki maju ada-

lah akhir hidup seseorang?!”

“Jangan bicara soal ajaran di tempat ini!” sahut 

Guru Besar Liang San.

“Kalau begitu, jangan keluarkan ucapan aneh di


tempat ini!” Si pemuda berkebaya menimpali.

“Hem.... Jika demikian, berarti aku sekarang bisa 

lanjutkan acaraku?!” Dewa Cadas Pangeran yang sejak 

tadi diam, perdengarkan suara.

Karena tidak ada yang buka mulut menjawab, Dewa 

Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Lalu kakinya 

bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas.

Bidadari Bulan Emas karuan saja jadi tercekat. Se-

mentara pemuda berkebaya rundukkan kepala sekali 

lagi. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka. 

Saat berikutnya dia tidak acuhkan peringatan Guru 

Besar Liang San. Kakinya bergerak melangkah.

Mungkin tak dapat menahan rasa geram, apalagi 

dengan ucapan si pemuda berkebaya, Guru Besar 

Liang San angkat kedua tangannya.

Bidadari Bulan Emas melirik. Perempuan setengah 

baya berparas cantik ini berpikir cepat. Kejap lain dia 

berkelebat ke arah Joko yang tegak tidak jauh dari 

tempatnya.

Pendekar 131 terkesiap. Terlambat baginya untuk 

membuat gerakan. Hingga belum sempat dia tahu apa 

yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, sosoknya 

telah melesat dalam dekapan si perempuan yang me-

nyambarnya dan berkelebat tinggalkan tempat itu!

Tahu apa yang terjadi, Guru Besar Liang San u-

rungkan niat kelebatkan tangan ke arah pemuda ber-

kebaya. Dia cepat putar diri menghadap ke arah mana 

Bidadari Bulan Emas berkelebat. Tangan kiri kanan-

nya bergerak lepaskan pukulan.

“Amitaba.... Mengapa kau hendak mencelakai 

orang yang mengajakku pergi?!” Si pemuda berkebaya 

berteriak melengking. Kipas di tangan kanannya disen-

takkan memotong pukulan tangan Guru Besar Liang 

San.


Di lain pihak, Dewa Cadas Pangeran dongakkan ke-

pala. “Ini kesempatan baik di akhir usiaku.... Berse-

nang-senang dengan perempuan cantik! Dia tak boleh 

lari begitu saja!” serunya. Kejap lain kepalanya ditarik 

ke belakang lalu disentakkan ke depan! Batu putih di 

ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya me-

lenting deras ke udara. Bersamaan itu satu gelombang 

luar biasa dahsyat berkiblat!

***

DUA



BUMMM!

Terdengar ledakan keras saat gelombang angin pu-

kulan Guru Besar Liang San dipotong gerakan kipas si 

pemuda berkebaya yang juga lesatkan satu gelombang 

hebat.

Sementara hampir bersamaan dengan terdengarnya 

ledakan, sosok Bidadari Bulan Emas tampak limbung 

tersapu gelombang yang menyambar keluar dari gera-

kan batu putih yang selalu menutupi wajah Dewa Ca-

das Pangeran.

Bidadari Bulan Emas cepat kerahkan tenaga dalam. 

Tapi belum sampai berbuat sesuatu, dia merasakan 

tubuhnya mencelat! Namun perempuan ini tidak hen-

dak lepaskan dekapannya pada sosok murid Pendeta 

Sinting. Hingga saat lain kedua orang ini tampak jatuh 

bertindihan di atas tanah! Bidadari Bulan Emas ber-

ada di bawah sementara Joko jatuh di atas tubuhnya.

Kalau tadi Joko berusaha lepaskan diri dari deka-

pan Bidadari Bulan Emas, tapi begitu merasakan ge-

lombang menyambar, kedua tangannya segera meling-

kar pada tubuh sang Bidadari. Dan begitu merasakan


sosoknya jatuh di atas sosok Bidadari Bulan Emas, en-

tah karena khawatir akan mendapat pukulan lagi, Jo-

ko cepat benamkan kepalanya ke atas dada Bidadari 

Bulan Emas. Sementara kedua tangannya makin di-

kencangkan merangkul tubuh si perempuan.

Di lain pihak, karena tak mau dirinya dihantam lagi 

sementara dia tidak bisa bergerak karena tertindih so-

sok murid Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas ber-

usaha lepaskan diri. Namun Joko makin kencangkan 

lingkaran kedua tangannya serta makin benamkan ke-

palanya menindih dada Bidadari Bulan Emas, mem-

buat si perempuan berseru.

“Bukan sekarang saatnya bersenang-senang, Pen-

dekar!”

Joko seolah tidak mendengarkan seruan orang. Ma-

lah dia makin eratkan lingkaran kedua tangannya 

hingga Bidadari Bulan Emas tampak megap-megap tak 

bisa bernapas!

Di seberang samping, melihat gelombang pukulan-

nya dipotong si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang 

San tak bisa lagi menindih gemuruh kobaran amarah. 

Namun Guru Besar Liang San kini jadi maklum. Gera-

kan si pemuda berkebaya yang memotong pukulannya 

dan sempat membuat sosoknya bergetar satu tanda ji-

ka si pemuda berkebaya tidak bisa dilihat sebelah ma-

ta. Hingga begitu terdengar ledakan, Guru Besar Liang 

San cepat lipat gandakan tenaga dalam. Kedua tan-

gannya cepat ditakupkan di depan dada. Namun begi-

tu melirik dan melihat apa yang terjadi pada Bidadari 

Bulan Emas dan Pendekar, dia membatin.

“Hem.... Perempuan itu bisa berbuat hal di luar du-

gaan jika keadaannya terus begitu! Tanpa diketahui 

orang, mungkin saja kedua tangannya bergerak me-

nyelinap dan mengambil peta wasiat itu!”


Berpikir begitu, Guru Besar Liang San sapukan 

pandang matanya pada si pemuda berkebaya dan De-

wa Cadas Pangeran. Saat lain tiba-tiba laki-laki ber-

kepala gundul ini berkelebat ke arah Bidadari Bulan 

Emas dan murid Pendeta Sinting yang masih bertindi-

han di atas tanah.

Bidadari Bulan Emas terkesiap kaget melihat gera-

kan sosok Guru Besar Liang San. Sementara si pemu-

da berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran tidak mem-

buat gerakan atau perdengarkan suara meski kedua-

nya melihat gerakan Guru Besar Liang San. Hal ini 

makin membuat Bidadari Bulan Emas jadi tercekat.

“Pendekar! Lepaskan tanganmu!” Bidadari Bulan 

Emas berbisik dengan suara tersendat.

Tapi Joko seolah tidak mendengar. Dia hanya ge-

rakkan kepala ke arah samping. Dan begitu melihat 

kelebatan sosok Guru Besar Liang San, dia cepat be-

namkan kembali kepalanya pada dada Bidadari Bulan

Emas seolah ngeri. Saat bersamaan kedua tangannya 

makin kencang memeluk tubuh Bidadari Bulan Emas.

Bidadari Bulan Emas tak mau menanggung risiko. 

Kaki kanan kirinya ditekuk lalu dihantamkan ke atas.

Bukkk! Bukkk!

Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Pelu-

kan tangannya pada sosok Bidadari Bulan Emas seke-

tika lepas. Saat lain sosok tubuh bagian bawahnya 

mencelat ke udara. Bidadari Bulan Emas sentakkan 

kedua tangannya yang kini sudah bisa bergerak bebas 

ke arah bahu kiri kanan Joko.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya terdengar seruan dari mulut 

murid Pendeta Sinting. Sosoknya melenting ke udara.

Guru Besar Liang San pentangkan mata melihat 

pada kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Dan begitu


matanya tidak melihat apa-apa pada kedua tangan si 

perempuan, laki-laki berkepala gundul ini lipat ganda-

kan tenaga dalamnya. Saat berikutnya dia teruskan 

kelebatan menyongsong sosok Pendekar 131 yang kini 

meluncur deras ke bawah. Kedua tangannya bergerak 

menyambar. Bukannya lepaskan pukulan, tapi sengaja 

menyahut ke arah pinggang kanan kiri Joko.

Rupanya Bidadari Bulan Emas bisa menangkap ge-

lagat. Hingga begitu Guru Besar Liang San teruskan 

kelebatan dan gerakkan kedua tangannya, perempuan 

bertubuh sintal ini gulingkan tubuhnya dua kali. Saat 

lain dia gerakkan kedua tangannya memotong gerakan 

Guru Besar Liang San.

Si pemuda berkebaya tampaknya tidak diam begitu 

saja demi melihat luncuran tubuh murid Pendeta Sin-

ting. Kipas di tangan kanannya segera disentakkan. 

Satu gelombang dahsyat kembali melesat.

Guru Besar Liang San cepat rundukkan kepala be-

gitu rasakan sambaran gelombang dari arah belakang. 

Dan dia cepat putar kedua tangannya ketika tahu Bi-

dadari Bulan Emas memotong gerakannya. Lalu kedua 

tangannya disentakkan ke arah Bidadari Bulan Emas.

Bummm!

Untuk kedua kalinya tempat itu diguncang dengan 

suara ledakan ketika gelombang yang keluar dari ke-

dua tangan Bidadari Bulan Emas bentrok dengan ge-

lombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.

Saat bersamaan, Joko kembali perdengarkan se-

ruan tatkala rasakan tubuhnya mencelat tersapu ge-

lombang yang melesat dari kipas pemuda berkebaya. 

Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari jangkauan 

Guru Besar Liang San. Dan untuk kesekian kalinya 

tempat itu dibuncah seruan tertahan dari mulut murid 

Pendeta Sinting ketika sosoknya jatuh terjengkang di


atas tanah.

Di lain pihak, begitu ledakan terdengar, sosok Guru 

Besar Liang San tampak bergetar. Kelebatannya ter-

henti. Sepasang matanya menyengat tajam pada sosok 

Bidadari Bulan Emas yang bergerak bangkit setelah 

bergulingan di atas tanah.

Guru Besar Liang San tidak menunggu lama. Begitu 

Bidadari Bulan Emas bergerak tegak, dia melesat de-

ngan kedua tangan berkelebat.

“Amitaba.... Dia calon pengantinku di mana aku bi-

sa mereguk kenikmatan pada akhir usiaku! Harap 

Guru Besar Liang San mau mengerti.... Kalau dia sam-

pai cedera, aku tak tahu ke mana lagi harus mencari 

penggantinya!”

Habis berkata begitu, Dewa Cadas Pangeran gerak-

kan kepalanya. Batu putih di depan wajahnya bergerak 

menyambar ke atas udara. Saat bersamaan satu ge-

lombang angin melesat ke arah Guru Besar Liang San.

Guru Besar Liang San putar diri di atas udara. Na-

mun orang ini tidak mau berlaku ayal, apalagi dia te-

lah menangkap gerakan kedua tangan Bidadari Bulan 

Emas. Hingga untuk menjaga diri dari pukulan Bida-

dari Bulan Emas selagi dirinya akan menghadang ge-

lombang yang menyambar ke arahnya, tangan kirinya 

bergerak lepaskan pukulan terlebih dahulu pada Bida-

dari Bulan Emas, sementara tangan kanannya berge-

rak lepaskan pukulan menghadang gelombang dari 

Dewa Cadas Pangeran.

Terdengar dua ledakan berturut-turut. Karena ha-

rus menahan dua gempuran, sosok Guru Besar Liang 

San tampak mencelat di atas udara. Sementara sosok 

Bidadari Bulan Emas terhuyung dua tindak ke bela-

kang. Namun Bidadari Bulan Emas kali ini tidak sia-

siakan kesempatan, apalagi tahu jika Dewa Cadas Pa


ngeran tidak akan membiarkan dirinya cedera oleh 

pukulan Guru Besar Liang San.

Bidadari Bulan Emas kerahkan hampir setengah

dari tenaga dalamnya. Lalu melompat mengejar ke a-

rah Guru Besar Liang San. Kedua tangannya diangkat.

Guru Besar Liang San mendarat di atas tanah de-

ngan kaki sedikit bergetar. Sepasang matanya dipen-

tang besar melihat pada gerakan sosok Bidadari Bulan 

Emas. Namun laki-laki berkepala gundul ini tidak 

membuat gerakan apa-apa meski tahu kedua tangan 

Bidadari Bulan Emas hendak lepaskan pukulan ke 

arahnya. Sebaliknya ia sunggingkan senyum lalu sepa-

sang matanya dipejamkan. Kedua tangannya diangkat 

ditakupkan di depan dada.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras tatkala kedua tangan Bi-

dadari Bulan Emas menghantam telak dada Guru Be-

sar Liang San.

Namun Bidadari Bulan Emas tampak terkesiap ka-

get. Sosok Guru Besar Liang San tidak bergeming dari 

tempatnya! Malah sepasang kakinya amblas masuk ke 

dalam tanah sebatas mata kaki!

Bidadari Bulan Emas mundur dua tindak. Sepasang 

matanya dibeliakkan seolah tidak percaya. Saat lain 

kembali kedua tangan perempuan ini bergerak.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya dada Guru Besar Liang San 

perdengarkan benturan keras akibat hantaman kedua 

tangan Bidadari Bulan Emas. Namun sosok Guru Be-

sar Liang San lagi-lagi tidak bergeming. Malah kedua 

tangan Bidadari Bulan Emas terpental balik ke bela-

kang!

Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang. 

Dia perhatikan sekali lagi sosok Guru Besar Liang San


dari kaki sampai kepala. Saat lain dia bergerak maju. 

Kedua tangannya bergerak cepat menghantam ke ba-

gian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San.

“Kau tak akan bisa menemukan di mana letak kele-

mahanku!” Guru Besar Liang San berucap tanpa buka 

kelopak matanya. Sosoknya pulang balik ke depan ke 

belakang akibat hantaman-hantaman kedua tangan 

Bidadari Bulan Emas yang coba mencari titik lemah 

Guru Besar Liang San. Namun sejauh ini sosok tubuh 

Guru Besar Liang San tetap tidak bergerak dari tem-

patnya!

Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan Guru 

Besar Liang San. Dia yakin ada bagian titik lemah dari 

laki-laki berkepala gundul ini. Hingga dia teruskan 

hantamannya ke bagian tertentu dari tubuh Guru Be-

sar Liang San.

“Cukup!” Mendadak Guru Besar Liang San berte-

riak. Kedua tangannya berkelebat. Karena tidak men-

duga, apa pun yang akan dilakukan Bidadari Bulan E-

mas, terlambat bagi perempuan ini untuk mengha-

dang kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bukkk! Bukkk!

Bidadari Bulan Emas menjerit. Sosoknya mental ke 

belakang. Di atas udara, dari mulutnya tampak me-

nyembur kucuran darah. Saat lain sosoknya terban-

ting di atas udara sebelum akhirnya meluncur ke ba-

wah.

Belum sampai sosok Bidadari Bulan Emas terje-

rembab di atas tanah, satu sosok tubuh berkelebat. 

Satu benda putih meluncur. Sosok Bidadari Bulan 

Emas tertahan di udara oleh benda putih yang ternya-

ta adalah batu putih di ujung tambang milik Dewa Ca-

das Pa-ngeran.

Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala melihat


sosok Bidadari Bulan Emas yang tertahan oleh batu 

putihnya. Namun cuma sekejap. Saat lain orang tua ini 

gerakkan kepalanya. Tambang pengikat batu putih 

bergerak ke belakang. Sosok Bidadari Bulan Emas me-

luncur lagi ke bawah. Namun kali ini kedua tangan 

Dewa Cadas Pangeran telah menantinya!

***

TIGA



SI PEMUDA berkebaya sesaat tadi terkejut melihat 

hantaman-hantaman kedua tangan Bidadari Bulan 

Emas seakan tidak dirasa oleh Guru Besar Liang San. 

Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Pen-

dekar 131 yang bergerak bangkit di seberang sana. 

Dan ketika Dewa Cadas Pangeran berkelebat menye-

lamatkan Bidadari Bulan Emas, dia segera melesat ke 

arah Joko.

“Untuk sementara sebaiknya aku pergi dari sini!” 

gumam Joko. Dia pandangi gerakan pemuda berke-

baya dan tidak membuat gerakan apa-apa.

“Pendekar! Akan kutunjukkan tempat yang baik un-

tuk bicara!” kata pemuda berkebaya seraya teruskan 

lesatannya. Kejap lain kedua tangannya telah me-

nyambar sosok murid Pendeta Sinting lalu berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

Pendekar 131 memang tidak berusaha untuk le-

paskan diri dari sambaran tangan si pemuda berke-

baya. Dia berpikir akan lebih enak menghadapi pemu-

da ber-kebaya daripada harus berhadapan dengan 

Guru Besar Liang San, Dewa Cadas Pangeran, dan Bi-

dadari Bulan Emas.

“Aku akan menurut saja ke mana dia membawaku


pergi. Namun aku harus segera bisa meloloskan diri 

dan kembali mengikuti jejak Guru Besar Liang San!” 

kata Joko dalam hati sembari melirik pada pemuda 

berkebaya yang melesat dengan membawa tubuhnya.

Mendapati apa yang dilakukan si pemuda berke-

baya, Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Dida-

hului bentakan keras, sosoknya berkelebat mengejar. 

Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran tertawa panjang, 

lalu melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu 

de-ngan membopong sosok Bidadari Bulan Emas.

Takut kehilangan jejak, Guru Besar Liang San ke-

rahkan hampir segenap ilmu peringan tubuhnya. 

Hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menang-

kap arah kelebatan si pemuda berkebaya. Saat itu juga 

Guru Besar Liang San sentakkan kedua tangannya le-

pas pukulan jarak jauh!

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang ganas semburat menghantam ke 

arah pemuda berkebaya.

“Pendekar.... Kita cari selamat sendiri-sendiri!” bisik 

pemuda berkebaya. Kedua tangannya bergerak. Sosok 

murid Pendeta Sinting lepas mencelat. Saat bersamaan 

dia balikkan tubuh lalu kedua tangannya diangkat. Ki-

pas di tangan kanannya disentakkan membuka lalu di-

kibaskan. Sementara tangan kirinya berkelebat meng-

hantam dengan telapak terbuka.

Werrr! Wuuutt!

Terdengar deruan keras. Dua gelombang menyam-

bar susul menyusul menghadang gelombang dari ke-

dua tangan Guru Besar Liang San.

Bummmm! Bummmm!

Dua ledakan keras terdengar mengguncang tempat 

itu. Sesaat pemandangan tertutup semburatan tanah. 

Sosok Guru Besar Liang San tampak terhuyung


huyung. Wajahnya berubah pucat pasi. Di seberang, si 

pemuda berkebaya terlihat limbung. Namun pemuda 

berbibir merah dan mengenakan pakaian milik perem-

puan ini cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia 

kembali berkelebat. Bukan untuk menghantam balik 

ke arah Guru Besar Liang San, tapi tinggalkan tempat 

itu!

Guru Besar Liang San masih melihat kelebatan si 

pemuda. Sebenarnya dia hendak mengejar, namun ke-

tika pandangannya menumbuk pada sosok murid Pen-

deta Sinting, dia urungkan niat. Sebaliknya dia segera 

melesat ke arah Pendekar.

“Busyet! Mengapa dia lari?! Jangan-jangan pemuda 

tadi kambratnya Guru Besar Liang San! Mereka senga-

ja bersekongkol dan pura-pura bermusuhan agar da-

pat mengalihkan perhatian orang dan membawaku ke 

tempat ini!” Joko bergumam sendiri seraya edarkan 

pandangan. Sosok pemuda berkebaya memang telah 

tidak kelihatan lagi.

“Aku tidak akan ulangi ucapan! Kau telah tahu se-

muanya!” Guru Besar Liang San angkat suara. Kedua 

tangannya diulurkan ke depan. “Serahkan peta wasiat 

itu!”

“Aku juga tidak akan ulangi keterangan! Kau telah 

mendengar semuanya!” jawab Joko.

Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah tidak sa-

bar. Namun orang ini tampaknya masih coba menahan 

diri. Apalagi dia tahu pemuda di hadapannya telah ku-

asai ilmu Sembilan Gerbang Matahari, ilmu yang dimi-

liki salah satu tokoh ternama di dataran Tibet.

“Anak Muda.... Kalau boleh aku tahu, mengapa kau 

bersikeras menyimpan peta wasiat itu? Padahal kau 

tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya di tanganmu!”

Pendekar 131 tidak buka mulut menjawab. Guru


Besar Liang San tersenyum, lalu teruskan ucapannya.

“Kalau kau ingin imbalan, katakan saja apa imbalan 

yang kau minta! Aku bahkan bisa memberimu lebih 

dari apa yang dijanjikan Bidadari Bulan Emas!”

“Hem.... Benar kau akan memberikan imbalan yang 

kuminta?!” tanya murid Pendeta Sinting.

Guru Besar Liang San tarik pulang kedua tangan-

nya dengan bibir tersenyum. Kepalanya mengangguk.

Murid Pendeta Sinting memperhatikan sesaat. Lalu 

berkata. “Aku ingin separo lagi dari peta wasiat itu!”

Guru Besar Liang San tegak dengan tampang terke-

jut. Sepasang matanya mendelik besar. Untuk bebera-

pa lama lelaki berkepala gundul ini kancingkan mulut.

“Bagaimana?! Imbalan yang kuminta tidak susah, 

bukan?!” ujar Joko seraya ikut-ikutan sunggingkan se-

nyum.

“Hem.... Baiklah! Tapi aku minta kau tunjukkan du-

lu peta wasiat yang ada di tanganmu! Karena kau tadi 

mengatakan peta wasiat itu telah kau berikan pada 

Guru Besar Pu Yi!”

Kini ganti Pendekar 131 yang terkesiap mendengar 

jawaban Guru Besar Liang San. Dia sama sekali tidak 

menduga akan mendapat jawaban demikian. Karena 

dia tadi merasa yakin jika Guru Besar Liang San tidak 

akan kabulkan permintaannya.

“Aku tidak mau dibodohi orang.... Siapa tahu kau 

memang benar-benar telah berikan peta wasiat itu pa-

da orang lain!” Guru Besar Liang San sambungi uca-

pannya dengan tetap sunggingkan senyum. “Barang 

yang kau minta sekarang kubawa!” Tangan kanan 

Guru Besar Liang San bergerak menyelinap ke balik 

selempang kain merah di pundaknya. “Tunjukkan peta 

wasiat itu, dan kau akan segera mendapatkan apa 

yang kau minta....”


“Hem.... Meski dia berkata hendak memberikan apa 

yang kuminta, tapi aku tidak percaya dengan janjinya! 

Namun tidak ada salahnya aku ingin melihat kebena-

ran ucapannya sekaligus melihat separo dari peta wa-

siat itu!” Joko membatin. Perlahan-lahan dia juga seli-

napkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.

Tiba-tiba paras wajah Pendekar 131 berubah. Dia 

hentikan sejenak gerakan tangan kanannya. Kening-

nya berkerut. Saat lain kembali tangannya bergerak di 

balik pakaiannya. Sementara di seberang sana, Guru 

Besar Liang San memperhatikan dengan seksama. Di-

am-diam orang ini telah siapkan tenaga dalam pada 

kedua tangannya dan siap melesat ke depan.

“Celaka! Kantong itu tidak ada! Ke mana?! Tak 

mungkin jatuh....”

“Bagaimana, Anak Muda?! Aku hanya ingin melihat 

dulu. Tidak susah, bukan?!” tanya Guru Besar Liang 

San seolah menirukan ucapan Joko tadi.

Joko tidak hiraukan pertanyaan orang. Kini tangan 

kirinya ikut digerakkan menyelinap ke balik pakaian-

nya. Namun hingga pakaiannya kedodoran, Joko tidak 

menemukan apa yang dicari.

“Kantong itu benar-benar lenyap!” gumam Joko se-

raya hentikan gerakan kedua tangannya. “Astaga! Ja-

ngan-jangan ini ulah pemuda berkebaya itu!” Tanpa 

sadar kepala Joko berpaling ke arah mana tadi si pe-

muda berkelebat pergi.

“Hem.... Dia lari begitu saja. Padahal sebelumnya 

hendak mengajakku pergi.... Ini satu petunjuk kalau 

dia yang mengambil kantong itu saat membawa tubuh-

ku berlari! Sialan betul!”

“Anak muda.... Bagaimana?! Kau merasa keberatan 

dengan usulku?!” Guru Besar Liang San kembali aju-

kan tanya. Tangan kanannya dikeluarkan lagi dari balik selempang kain merahnya.

Joko berpaling. Matanya melihat ke arah tangan ka-

nan Guru Besar Liang San. Ternyata tangan kanan itu 

tetap kosong. “Hem.... Jangan-jangan pertanyaan dan 

usulnya tadi hanya untuk meyakinkan kalau apa yang 

diminta sudah tidak ada di tanganku! Jadi benar dia 

bersekongkol dengan pemuda berkebaya itu!”

Berpikir begitu, tanpa buka mulut menjawab perta-

nyaan orang, Pendekar 131 segera berkelebat ke arah 

mana tadi pemuda berkebaya melesat pergi.

Namun Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. 

Sebelum Joko bergerak lebih jauh, dia telah ikut ber-

kelebat dan tegak menghadang.

“Anak muda! Aku telah memberimu beberapa jalan. 

Namun tampaknya kau keras kepala! Mungkin jalan 

kematian yang kau inginkan!” Tangan kiri kanan Guru 

Besar Lang San terangkat.

“Peta wasiat itu lenyap dari tanganku! Pemuda tadi 

telah mengambilnya!”

Guru Besar Liang San kernyitkan dahi. Namun saat 

lain dia perdengarkan tawa panjang. “Kau jangan ber-

kata dusta padaku, Anak Muda!”

“Guru Besar Liang San! Kau boleh percaya atau ti-

dak! Yang jelas pemuda temanmu itu telah mengam-

bilnya!”

“Aku tidak kenal pemuda itu! Kau jangan berkata 

mengada-ada! Mungkin kau yang berteman dengan 

pemuda itu!”

Murid Pendeta Sinting tidak acuhkan kata-kata 

Guru Besar Liang San, dia kembali arahkan pandang 

matanya ke jurusan mana si pemuda berkebaya berke-

lebat.

“Dia pasti belum jauh dari tempat ini! Aku harus 

mendapatkan kembali peta wasiat itu!”


Membatin begitu, dia cepat kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya di-

sentakkan ke depan lepaskan pukulan. Bukan lang-

sung mengarah pada Guru Besar Liang San, tapi se-

ngaja dihantamkan pada tanah dua tindak di hadapan 

Guru Besar Liang San.

Guru Besar Liang San sempat terkejut. Karena me-

ngira pukulan ditujukan ke arahnya, kedua tangannya 

segera pula dikelebatkan lepaskan pukulan hadangan.

Blaarrr!

Tanah di hadapan Guru Besar Liang San langsung 

membubung ke udara menutupi pemandangan. Dan 

mungkin tahu gelagat, begitu terdengar ledakan keras 

akibat bentroknya pukulan, Guru Besar Liang San ce-

pat berkelebat menerobos hamburan tanah. Namun 

ternyata Joko sudah tak kehilangan lagi batang hi-

dungnya!

Guru Besar Liang San tegak dengan sosok bergetar 

keras. Kedua tangannya mendelik besar memperhati-

kan berkeliling.

“Bagaimana ini bisa terjadi?! Mungkinkah peta wa-

siat itu benar-benar jatuh ke tangan pemuda berke-

baya itu?! Dari sikapnya, kedua orang tadi memang ti-

dak saling kenal....”

Guru Besar Liang San arahkan pandangannya ke 

jurusan si pemuda berkelebat pergi. “Kalau ucapannya 

benar, berarti anak muda asing itu mengejar pemuda 

berkebaya. Mereka tidak boleh lolos dari tanganku!”

Guru Besar Liang San mendongak sesaat. Entah 

apa yang dipikirkannya. Yang jelas kepalanya tampak 

bergerak mengangguk sejenak. Kejap lain dia berkele-

bat mengambil arah ke mana tadi si pemuda berke-

baya berlari tinggalkan tempat itu.

***

EMPAT



DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat laksana 

dikejar setan. Jarak keduanya kira-kira lima belas 

langkah. Meski tampak dikejar, namun sosok yang be-

rada di depan tidak berusaha menyelinap atau mem-

percepat larinya. Sementara sosok yang berada di bela-

kang, meski tampak mengejar namun tidak berusaha 

memperpendek jarak. Hanya saja dia terus memperha-

ti-kan seolah tidak mau kehilangan orang di hadapan-

nya.

Pada satu tempat sepi, sosok yang berada di depan 

memperlambat larinya. Saat lain dia berhenti dan lang-

sung putar diri. Sosok yang berada di belakang ikut 

berhenti dan tegak memandang ke depan.

Sosok yang tadi berada di depan ternyata adalah 

seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pa-

kaian warna merah. Rambutnya panjang digeraikan 

menutup sebagian pundak kanan kirinya. Matanya bu-

lat dengan hidung mancung dan bibir merah. Semen-

tara sosok yang tadi berada di belakang dan kini tegak 

memandang ke arah gadis berbaju merah ternyata juga 

seorang gadis berwajah cantik. Dia mengenakan pa-

kaian warna merah muda. Rambutnya diberi pita war-

na merah muda pula.

Untuk beberapa lama kedua gadis cantik ini sama 

lempar pandang tanpa ada yang buka mulut. Namun 

pandang mata mereka jelas membayangkan rasa tidak 

senang.

“Siao Ling Ling.... Aku telah turuti permintaanmu! 

Harap segera utarakan apa yang akan kau bicarakan!” 

Gadis berbaju merah muda angkat bicara.

Gadis jelita berpakaian merah yang dipanggil Siao


Ling Ling alihkan pandangan.

“Mei Hua.... Kita telah saling kenal bahkan bersa-

habat! Kuharap pembicaraan kita nanti tidak membuat 

putusnya persahabatan kita!” Siao Ling Ling buka mu-

lut. Gadis berbaju merah muda yang ternyata bukan 

lain adalah Mei Hua ikut alihkan pandang matanya ke 

jurusan lain. (Tentang Siao Ling Ling dan Mei Hua, si-

lakan baca serial Joko Sableng dalam episode: “Dewa 

Cadas Pangeran”).

“Siao Ling Ling.... Harap tidak terlalu jauh men-

duga! Kurasa persahabatan lebih dari segalanya...,” 

ujar Mei Hua.

“Dari sikapmu, ternyata kau sudah kenal dengan 

pemuda asing itu! Benar?!” Siao Ling Ling ajukan 

tanya.

Yang ditanya tidak segera buka mulut. Dia arahkan 

kembali pandang matanya pada Siao Ling Ling. “Aku 

memang telah mengenalnya. Tapi harap tidak punya 

prasangka yang bukan-bukan....”

Seperti diketahui, ketika hendak menyelidik ke Kuil 

Shaolin, Pendekar 131 bertemu dengan Siao Ling Ling. 

Namun belum sampai kedua orang ini bicara lebih 

jauh, muncullah Mei Hua. Baik Siao Ling Ling maupun 

Mei Hua tampak sama terkejut. Tapi Siao Ling Ling ke-

lihatan lebih kaget demi mendapati Joko telah men-

genal Mei Hua. Mei Hua sendiri tampak curiga de-ngan 

Siao Ling Ling. Hingga dia hendak mengajaknya bicara. 

Namun Siao Ling Ling tidak mau bicara di hadapan 

Joko hingga akhirnya kedua gadis ini setuju untuk 

mencari tempat.

“Aku tidak punya perangkap.... Aku hanya merasa 

heran. Bukankah kau telah tahu siapa pemuda asing 

itu?!” Siao Ling Ling menyahut. 

Mei Hua tersenyum meski tampak dipaksakan.


“Aku tahu betul siapa dia! Dia adalah seorang pemuda 

asing yang kini menjadi buruan kerajaan bahkan bebe-

rapa tokoh dunia persilatan negeri ini!”

“Hem.... Kau tahu apa akibatnya jika berhubungan 

dengan seorang buruan kerajaan?!”

“Siao Ling Ling! Harap kau tidak campur adukkan 

urusan kerajaan dengan rasa persahabatan! Siapa pun 

adanya pemuda asing itu, yang jelas aku hanya bersa-

habat!”

Siao Ling Ling tertawa perlahan. “Mei Hua.... Kau 

harus tahu siapa dirimu dan siapa pemuda asing itu! 

Jika hal itu diketahui orang kerajaan, kau tentu bisa 

bayangkan akibatnya!”

“Kau mengancamku?!” tanya Mei Hua dengan suara 

ketus.

Siao Ling Ling gelang kepala. “Aku hanya mempe-

ringatkan! Ini demi kebaikanmu!”

“Siao Ling Ling! Aku tahu mana yang terbaik untuk-

ku!”

“Hem.... Dari ucapanmu, kuduga dia tidak hanya 

se-kadar sebagai sahabat. Namun kau telah jatuh cin-

ta padanya!”

Paras muka Mei Hua seketika berubah merah pa-

dam. “Kau telah lancang menduga! Sekarang aku ingin 

tahu apa maksudmu sebenarnya mengajakku bicara!”

“Kau ini aneh.... Bukankah tadi kau yang lebih da-

hulu hendak mengajakku bicara saat berada di depan 

pemuda asing itu?! Mengapa sekarang kau berbalik 

kata?! Seharusnya aku yang bertanya, apa yang hen-

dak kau bicarakan denganku?!”

“Mengapa kau ingin tahu siapa sebenarnya pemuda 

asing itu?!” tanya Mei Hua.

“Hem.... Berarti dia telah mendengar pembicara-

anku dengan pemuda asing itu! Jadi mungkin dia telah


berada di sekitar tempat itu ketika aku menemukan 

pemuda asing itu! Hem.... Apa benar antara keduanya 

telah terjalin hubungan tertentu?! Tapi secepat itu-

kah?! Bukankah pemuda asing itu baru saja muncul di 

negeri ini?! Ataukah ini hanya siasatnya saja untuk 

mendapatkan sesuatu yang selama ini diburu oleh pi-

hak kerajaan dan tokoh rimba persilatan negeri ini?!” 

Siao Ling Ling menduga-duga dalam hati.

Karena Siao Ling Ling tidak segera angkat suara, 

Mei Hua kembali berucap.

“Kau menginginkan sesuatu darinya?! Atau kau ter-

tarik padanya?!”

Pertanyaan Mei Hua membuat tampang Siao Ling 

Ling berubah. Namun gadis berbaju merah ini segera 

perdengarkan suara tawa dan berkata.

“Mei Hua! Kalau aku memberi ingat padamu, mung-

kinkah aku melakukan hal yang akibatnya kita berdua 

sudah tahu?!”

“Mulut bisa saja bicara, tapi hati orang sukar di-

duga!”

“Nada ucapanmu menunjukkan kau cemburu pada-

ku!” kata Siao Ling Ling dengan keraskan suara tawa-

nya. “Tapi perlu kau dengar! Aku masih bisa melihat 

siapa diriku dan siapa pemuda asing itu!”

“Hem.... Jika demikian, apakah kau akan memberi-

tahukan urusan ini pada pihak kerajaan?!”

“Aku masih melihatmu sebagai sahabat! Tapi kalau 

kau tidak hiraukan peringatanku, aku tahu apa yang 

harus kulakukan!”

Mei Hua memandang tajam pada Siao Ling Ling. 

Saat lain dia balikkan tubuh seraya berkata. “Masih 

ada yang akan kau utarakan?!”

“Kita sama tahu siapa kita sebenarnya! Aku akan 

menutup urusan ini jika kau melakukan peringatanku!


Jauhi pemuda itu dan jangan turut campur urusan ke-

rajaan!”

“Kau telah ikut campur urusan pribadiku! Terserah 

apa yang akan kau lakukan. Yang jelas aku tidak bu-

tuh peringatanmu! Selamat tinggal!”

Mei Hua gerakkan tubuh berkelebat. Namun Siao 

Ling Ling segera berteriak.

“Tunggu!”

Mei Hua batalkan niat. Namun dia tidak balikkan 

tubuh saat berucap.

“Jangan berkata lagi jika itu masih ada kaitannya 

dengan pemuda asing itu!”

Siao Ling Ling hendak buka mulut. Namun belum 

sampai suaranya terdengar, ekor matanya menangkap 

kelebatan satu sosok bayangan ke arahnya. Dia cepat 

berpaling. Di lain pihak, Mei Hua juga segera menoleh.

Walau sama terkejut, tapi Mei Hua tidak bisa me-

nyembunyikan perasaannya. Malah saat itu juga dia 

segera berkelebat ke samping, di mana tahu-tahu telah 

tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki 

setengah baya mengenakan pakaian kebesaran kera-

jaan. Pancaran wajahnya dingin. Alis matanya tebal se-

dikit mencuat ke atas di bagian ujung sampingnya. 

Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata ki-

rinya terlihat tahi lalat agak besar.

“Ayah...,” Mei Hua berkata dengan mata menyelidik 

ke dalam bola mata laki-laki yang tegak di hadapan-

nya. Diam-diam gadis ini merasa khawatir. “Apakah 

dia tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling 

Ling...?!”

Laki-laki di hadapan Mei Hua anggukkan kepalanya 

sejenak. Lalu berpaling pada Siao Ling Ling. Dia bung-

kukkan tubuh hormat seraya berkata.

“Tuan Putri.... Harap maafkan jika kehadiranku mengejutkanmu.... Aku sama sekali tidak menduga kalau 

Tuan Putri berada di sini....”

Siao Ling Ling tersenyum. Dia melirik sesaat pada 

Mei Hua sebelum berkata pelan. “Panglima Muda Lie.... 

Aku juga kebetulan berada di sini. Secara tidak senga-

ja aku bertemu dengan putrimu.... Kau tengah menca-

rinya?!”

Laki-laki di hadapan Mei Hua yang ternyata ayah 

gadis cantik berbaju merah muda itu dan tidak lain 

ternyata Panglima Muda Lie, tidak menjawab pertanya-

an Siao Ling Ling. Sebaliknya dia berkata.

“Tuan Putri.... Saat ini keadaan tidak aman. Se-

baiknya Tuan Putri tidak keluar tanpa pengawalan.... 

Jika Yang Mulia Baginda tahu....”

Belum sampai Panglima Muda Lie teruskan ucapan, 

Siao Ling Ling segera menukas.

“Panglima Muda Lie.... Terima kasih atas peringa-

tanmu. Namun tentunya peringatan ini bukan berlaku 

untukku saja, bukan?! Sebagai putri seorang pang-

lima, Mei Hua juga sebaiknya tidak keluar tanpa pe-

ngawal....” Mata Siao Ling Ling melirik pada Mei Hua. 

“Aku harus pergi....”

“Tuan Putri!” seru Panglima Muda Lie. Laki-laki ini 

hendak mendekat. Tapi sebelum melangkah, Siao Ling 

Ling telah berucap.

“Panglima.... Putrimu lebih membutuhkan penga-

walan.... Dan kuharap pertemuan kita kali ini cukup 

untuk kita bertiga saja yang tahu....”

Habis berkata begitu, Siao Ling Ling berkelebat 

tinggalkan tempat itu. Panglima Muda Lie memandang 

sesaat lalu berpaling pada Mei Hua.

“Mei Hua.... Ada apa sebenarnya?! Harap kau tidak 

membuat masalah! Kau pasti tahu akibatnya jika bikin 

urusan dengan putri penguasa negeri ini!”


“Ayah.... Aku tahu....”

“Hem.... Lalu ada apa sebenarnya?! Dari ucapan 

Tuan Putri tadi, tampaknya ada sesuatu di antara ka-

lian!”

Mei Hua terdiam beberapa saat. “Dari pertanyaan-

nya, berarti dia tidak tahu apa yang kubicarakan de-

ngan Siao Ling Ling....” Mei Hua membatin. Lalu buka 

mulut.

“Ayah.... Seperti Ayah dengar tadi, dia hanya mem-

beri ingat agar aku tidak keluar tanpa pengawalan!”

“Hem.... Benar?!”

“Tidak ada gunanya berkata dusta pada Ayah!”

Panglima Muda Lie memandang beberapa lama pa-

da putrinya. “Anakku.... Kuharap kau mengerti siapa 

kita. Dan kalaupun ada masalah antara kau dengan 

Tuan Putri Siao, kau harus mengalah! Dan satu hal la-

gi, jangan kau keluar tanpa adanya orang yang me-

ngawal!”

“Ayah.... Rasanya aku tidak pantas kalau kau sa-

makan dengan Putri Siao. Sebagai putri raja, dia me-

mang sudah selayaknya mendapat pengawal! Sementa-

ra aku hanya anak seorang panglima! Lagi pula aku 

sudah dewasa dan bisa menjaga diri!”

“Mei Hua.... Aku tidak menyamakan kedudukanmu 

dengan Tuan Putri Siao. Namun sebaiknya kau meng-

gunakan kesempatan yang diberikan pihak kerajaan. 

Apalagi saat ini keadaan tidak begitu aman.... Aku per-

caya kau bisa menjaga diri. Tapi perlu kau tahu, saat 

ini banyak kejadian yang mengakibatkan munculnya 

beberapa orang berilmu tinggi. Aku tak mau kau akan 

dijadikan batu loncatan bagi orang yang punya tujuan 

tertentu!”

“Ayah.... Apakah yang kau maksud ada kaitannya 

dengan kejadian di biara Perguruan Shaolin?”


“Mei Hua.... Seharusnya kau tidak perlu tahu uru-

san ini. Namun agar kau berhati-hati, terpaksa aku 

memberitahukan padamu.”

“Jadi betul dugaanku?!”

Panglima Muda Lie anggukkan kepala. “Sejak keja-

dian di Perguruan Shaolin, keadaan memang tidak 

aman lagi! Menurut beberapa penyelidik pihak kera-

jaan, sekarang ini telah muncul beberapa tokoh yang 

tidak dikenal bahkan ada pula tokoh yang sudah di-

kabarkan tewas, ternyata muncul lagi!”

Paras wajah Mei Hua tampak sedikit berubah. Dia 

alihkan pandang matanya jauh ke depan sana. Aneh-

nya, yang muncul perlahan-lahan di depan sana ada-

lah sosok Pendekar 131 Joko Sableng!

Mei Hua cepat angkat kedua tangannya dan diusap-

kan pada kelopak matanya. Dia terdengar menggumam 

tak jelas, membuat Panglima Muda Lie berpaling.

“Kau memikirkan sesuatu, Anakku?!” 

Mungkin takut sikapnya ditangkap sang ayah, Mei 

Hua tidak berpaling saat berucap. “Ayah.... Kalau be-

nar banyak beberapa tokoh yang muncul, pasti ada se-

suatu yang luar biasa! Dan selama ini menurut A-yah, 

bukankah pihak kerajaan tidak pernah ikut campur 

masalah dunia persilatan?!”

Panglima Muda Lie tidak segera menyahut. Dia 

dongakkan kepala. Lalu saat lain dia putar pandangan 

berkeliling sebelum akhirnya berkata.

“Pada dasarnya, pihak kerajaan memang tidak akan 

pernah ikut campur urusan dunia persilatan. Namun 

karena urusan yang timbul saat ini adalah urusan 

yang sangat penting, terpaksa pihak kerajaan ikut tu-

run tangan meski hal itu dilakukan dengan secara di-

am-diam!”

“Hem.... Saatnya aku mengorek keterangan lebih jelas!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu berkata.

“Ayah.... Boleh aku tahu, urusan apakah sebenar-

nya?!”

Sekali lagi kepala Panglima Muda Lie berputar da-

hulu sebelum berkata.

“Menurut keterangan yang bisa dipercaya, Pergu-

ruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat! Sebenar-

nya, sudah banyak tokoh yang coba mengambilnya da-

ri Perguruan Shaolin. Namun usaha itu selalu gagal 

hingga sampai terjadinya peristiwa berdarah di pergu-

ruan itu beberapa waktu yang lalu....”

“Dalam peristiwa berdarah itu, apakah pihak kera-

jaan juga terlibat?!”

“Hem.... Aku tidak boleh berterus terang padanya 

meski dia anakku! Ini adalah rahasia kerajaan!” Pang-

lima Muda Lie membatin seraya tertawa dan berkata.

“Mei Hua.... Kau jangan salah paham. Kalaupun pi-

hak kerajaan ikut campur dalam urusan Perguruan 

Shaolin, bukan berarti pihak kerajaan terlibat dalam 

peristiwa berdarah itu! Kau tahu.... Begitu peristiwa 

terjadi, salah seorang guru besar di perguruan itu le-

nyap meloloskan diri dan tidak ada kabar beritanya 

hingga sekarang! Ini satu petunjuk kalau peristiwa itu 

terjadi akibat perselisihan di dalam tubuh Perguruan 

Shaolin sendiri!”

“Guru besar itu lenyap dengan membawa peta wa-

siat?!” tanya Mei Hua.

“Sampai sekarang belum jelas! Dan untuk itulah pi-

hak kerajaan terpaksa turun tangan. Hal ini dilaku-

kan agar tidak terus terjadi saling pertumpahan darah! 

Sebab hal itu bisa digunakan pihak tertentu untuk 

mengusik keamanan pihak kerajaan!”

“Aku juga mendengar tentang munculnya seorang 

pemuda asing. Apakah....”


Belum sampai Mei Hua lanjutkan ucapannya, Pang-

lima Muda Lie telah menukas.

“Tampaknya kau sudah terlalu banyak tahu urusan 

ini! Siapa yang memberi keterangan?!”

Mei Hua tertawa pendek. “Ayah.... Urusan ini seka-

rang sudah menjadi buah bibir di mana-mana! Bahkan 

aku mendapat keterangan pemuda asing itu sekarang 

menjadi orang buruan kerajaan! Hal ini bagiku sangat 

aneh.... Apalah artinya seorang pemuda asing hingga 

harus diburu begitu rupa?!”

“Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!” Pang-

lima Muda Lie tampak kebingungan. Mei Hua arahkan 

pandang matanya pada sang ayah.

“Ayah.... Apakah benar, pemuda asing itu membawa 

peta wasiat?!”

Panglima Muda Lie terkesiap. Untuk beberapa lama 

dia terdiam. Mei Hua tengadahkan kepala dan sam-

bungi ucapannya.

“Ayah.... Ayah tak usah berdusta padaku! Aku 

hanya sekadar ingin tahu....”

“Pemuda itu memang membawa peta wasiat!” A-

khirnya Panglima Muda Lie berterus terang setelah 

berpikir agak lama.

“Aneh.... Ayah tadi mengatakan peta wasiat itu be-

rada di Perguruan Shaolin. Lalu bagaimana seorang 

pemuda asing bisa membawa peta wasiat?!”

“Mei Hua.... Aku akan menceritakan padamu. Tapi

kuharap ini adalah satu-satunya rahasia kerajaan 

yang kau dengar!” Panglima Muda Lie sekali lagi putar 

pandangan berkeliling sebelum lanjutkan ucapan.

“Sebenarnya peta wasiat itu dipecah menjadi dua 

bagian. Separo disimpan dalam Perguruan Shaolin, se-

paronya lagi disimpan di satu tempat rahasia. Hal ini 

mungkin untuk menjaga keamanannya. Dan beberapa


waktu yang lalu, seorang kepercayaan dari Perguruan 

Shaolin diberi tugas untuk mengambil separo dari peta 

wasiat itu yang disimpan di lain tempat. Hal ini dila-

kukan karena menurut yang kudengar, peta wasiat itu 

baru bisa dilihat pada bulan ini!” Panglima Muda Lie 

hentikan keterangan sejenak. Setelah memandang ke 

arah putrinya, dia melanjutkan.

“Rupanya kepergian orang kepercayaan shaolin da-

pat dicium beberapa orang yang telah memperhitung-

kan! Mereka menghadang dan meminta separo dari pe-

ta wasiat itu! Tapi orang shaolin itu memilih mati dari-

pada menyerahkan peta wasiat pada orang yang tidak 

berhak! Terjadilah bentrokan dahsyat. Orang keper-

cayaan shaolin itu akhirnya terluka parah. Namun dia 

berhasil melarikan diri menyeberang laut! Dan ternyata 

diselamatkan oleh pemuda asing itu! Sejak itu orang 

kepercayaan shaolin tidak diketahui ke mana rimba-

nya! Karena pemuda asing itu yang menyelamatkan, 

pasti peta wasiat itu berada di tangannya!”

“Hem.... Tapi mengapa pihak kerajaan ikut membu-

runya?! Bukankah kalau pemuda itu kini yang mem-

bawa peta wasiat, itu adalah urusan Perguruan Shao-

lin?!”

“Benar! Tapi dengan kemunculannya, keamanan 

kerajaan jadi kacau! Dan kalaupun pihak kerajaan 

memburunya, itu untuk mengembalikan peta wasiat 

pada pihak yang berhak. Dengan demikian, keamanan

bisa terjaga!”

“Ayah....”

“Mei Hua....” Panglima Muda Lie sudah memotong 

sebelum Mei Hua lanjutkan ucapan. “Kuharap kau ti-

dak terlalu ingin tahu urusan ini! Selain tidak ada arti-

nya bagimu, ini adalah rahasia kerajaan! Aku masih 

punya tugas yang harus kuselesaikan! Aku akan mengantarmu pulang!”

Sebenarnya Mei Hua masih ingin buka mulut. Na-

mun Panglima Muda Lie sudah ulurkan tangan kanan-

nya. Saat lain dia telah menggandeng putrinya dan me-

langkah meninggalkan tempat itu.

***

LIMA



LINGKARAN malam telah menguak hamparan bumi. 

Udara dingin mulai menusuk menggantikan suasana 

sengatan sang matahari. Dan perlahan-lahan sang 

rembulan muncul.

Satu sosok bayangan tampak berkelebat melintas 

dataran sepi, lalu berhenti tidak jauh dari hamparan 

ilalang tinggi. Beberapa saat sosok ini putar kepala 

dengan mata dipentang besar. Lalu dongakkan kepala 

melihat bundaran sang rembulan. Paras wajah orang 

ini tiba-tiba berubah. Ada bayang kekecewaan dan ke-

sal di raut mukanya.

“Bulan sudah tidak utuh lagi! Malam ini adalah ma-

lam kesembilan belas! Berarti waktuku tinggal satu ha-

ri lagi! Sementara jejak pemuda berkebaya itu tidak bi-

sa kudapatkan! Sialan betul! Tampaknya peta wasiat 

itu tidak bisa kuraih....”

Orang yang bergumam itu alihkan pandang mata-

nya dari sinar bulan. Kini pandangannya jauh menelu-

suri kegelapan malam.

“Kalau aku tidak bisa mendapatkan peta wasiat itu, 

orang lain pun tidak boleh mendapatkannya! Aku ha-

rus mengambil separo dari peta wasiat yang tersim-

pan.... Siapa tahu pemuda berkebaya itu adalah kaki 

tangan pihak kerajaan! Aku menangkap tanda-tanda

buruk pada sikap Yang Mulia Baginda Ku Nang....”

Setelah berpikir begitu, orang ini yang ternyata ada-

lah seorang laki-laki berkepala gundul, mengenakan 

pakaian kuning panjang yang di pundaknya menye-

lempang kain merah dan bukan lain adalah Guru Be-

sar Liang San, segera berkelebat.

Begitu mencapai sebuah aliran sungai kecil, Guru 

Besar Liang San hentikan larinya. Dia tegak dengan 

kepala mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Ke-

dua tangannya ditakupkan di depan dada. Kejap lain 

dia putar kepala dengan mata tembusi pekatnya sua-

sana.

Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San terus 

memperhatikan sekeliling. Setelah yakin suasana a-

man, dia berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak 

di dekat sebuah gundukan batu padas.

Guru Besar Liang San putar pandangan sekali lagi 

sebelum akhirnya jongkok. Dengan cepat tangan kiri-

nya bergerak ditempelkan pada batu padas. Namun o-

rang ini tidak segera melakukan sesuatu. Dia berhenti 

agak lama Paras mukanya tampak tegang. Malah tan-

gan kiri kanannya bergetar. Sepasang matanya mende-

lik.

“Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan!” gumam-

nya dalam hati dengan dada berdegup keras. Saat lain 

tangan kirinya digerakkan. Batu padas terangkat.

Guru Besar Liang San menghela napas kala mata-

nya melihat sebuah kotak kulit di bawah batu padas 

yang terangkat. Saat bersamaan bibirnya sunggingkan 

senyum. Lalu dengan cepat tangan kanannya bergerak. 

Kotak kulit diambil, lalu tangan kirinya kembali dige-

rakkan. Batu padas kembali bergerak menutup.

Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San mem-

perhatikan kotak kulit di tangannya. Setelah putar kepala, tangan kanannya kembali bergerak kotak kulit. 

Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San menghela 

napas ketika pandang matanya menumbuk sebuah ge-

lang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran gelang itu 

sebesar jari telunjuk berwarna keputihan. Di bawah 

gelang terlihat kain beludru berwarna merah.

Guru Besar Liang San ambil gelang di dalam kotak 

kulit. Ditimang-timang sesaat dengan tangan tetap ber-

getar sebelum akhirnya dimasukkan ke balik pakai-

annya. Kotak kulit ditutup lagi. Tangan kiri kembali 

mengangkat batu padas, lalu kotak kulit yang telah 

kosong diletakkan kembali seperti semula.

Setelah batu padas tertutup lagi, Guru Besar Liang 

San beranjak bangkit. Tanpa putar kepala, dia segera 

berkelebat.

“Malam baru saja menjelang. Mengapa buru-buru 

pergi?!” Mendadak satu suara terdengar.

Kejut Guru Besar Liang San bukan alang kepalang. 

Darahnya laksana sirap. Dan laksana disentak setan, 

kepalanya segera berpaling. Dia urungkan niat berke-

lebat. Tenaga dalamnya cepat dialihkan pada kedua 

tangannya. Sepasang matanya dibeliakkan. Namun se-

jauh ini Guru Besar Liang San belum melihat siapa-

siapa, membuat tubuhnya bergetar dan wajahnya te-

gang.

“Siapa pun adanya orang ini, dia harus mampus!” 

gumam Guru Besar Liang San.

Baru saja dia bergumam, satu sosok tubuh melesat 

dan tahu-tahu sejarak sepuluh langkah di hadapannya 

telah duduk bersila satu sosok tubuh!

Dia adalah seorang kakek mengenakan jubah warna 

putih tanpa leher. Paras wajahnya agak bulat dengan 

mata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan diling-

karkan melilit pada lehernya. Pada daun telinga kiri


nya tampak menggantung sebuah anting-anting agak 

besar. Kakek ini hanya memiliki tangan dan kaki sebe-

lah kiri.

Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San picing-

kan mata. Saat lain mulutnya perdengarkan guma-

man. “Tiyang Pengembara Agung!”

Kakek di depan sana dan bukan lain memang 

Tiyang Pengembara Agung, tersenyum lalu angkat sua-

ra.

“Amitaba.... Selamat malam dan selamat berjumpa 

Guru Besar Liang San.... Kuharap kau tidak terkejut 

dengan keberadaanku di sini. Lebih-lebih harap tidak 

menduga yang bukan-bukan....”

Untuk menutup rasa curiga orang, Guru Besar 

Liang San angkat kedua tangannya di depan dada se-

raya berkata.

“Amitaba.... Tidak sangka kalau malam ini kita bisa 

bertemu. Namun sayang.... Malam ini aku tidak punya 

waktu banyak. Aku harus segera pergi. Namun kalau 

ada yang hendak kau katakan, aku senang untuk 

mendengarkannya....”

“Ah.... Memang sayang kalau kau tidak punya wak-

tu banyak! Padahal karena lama tidak bertemu, aku 

ingin berbincang lama denganmu....”

“Tiyang Pengembara Agung.... Kalau kau ingin ber-

bincang, kau bisa datang ke tempatku. Dan memang 

ada beberapa hal yang ingin kubicarakan de-

nganmu....” Guru Besar Liang San arahkan pandang 

matanya jauh melewati pundak Tiyang Pengembara A-

gung sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Aku me-

nunggumu di tempatku empat hari di depan! Sekarang 

aku harus pergi!”

“Malam ini kau sangat lain dari biasanya.... Pasti 

ada sesuatu. Sebagai sahabat, kau tak keberatan mengatakannya padaku? Siapa tahu aku....”

Belum sampai ucapan Tiyang Pengembara Agung 

selesai, Guru Besar Liang San telah memotong dengan 

suara agak keras dan bergetar.

“Harap maafkan! Kau telah dengar aku tidak punya 

waktu banyak! Lagi pula aku tidak punya satu masa-

lah apa pun! Kalaupun ada yang ingin kubicarakan 

denganmu itu ada hubungannya dengan Perguruan 

Shaolin. Dan rasanya kurang pantas membicarakan 

soal shaolin di tempat ini!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan 

Tiyang Pengembara Agung, Guru Besar Liang San ber-

kelebat tinggalkan tempat itu.

Tiyang Pengembara Agung tidak berusaha men-

cegah kepergian Guru Besar Liang San. Hanya saja, 

bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar 

Liang San, Tiyang Pengembara Agung angkat bicara.

“Guru Besar.... Manusia telah berencana dan ber-

tindak. Namun jarang manusia yang tahu, bahwa uru-

san rencana dan tindakan tidak terlampau sederhana 

seperti prasangka manusia!”

Sebenarnya Guru Besar Liang San ingin berhenti 

karena dia menangkap gelagat di balik ucapan Tiyang 

Pengembara Agung. Namun karena tak mau kebera-

daannya di tempat itu diketahui orang lain lagi, dia te-

ruskan kelebatannya meski dalam hati dia mulai di-

buncah dengan kegelisahan.

Seperti diketahui, begitu berhasil mendapatkan ko-

tak kulit berisi separo peta wasiat dengan bantuan Ba-

ginda Ku Nang, Guru Besar Liang San dan Yang Mulia 

Baginda Ku Nang sepakat untuk menyimpan kotak ku-

lit di satu tempat yang hanya mereka berdua yang ta-

hu. Dan mereka berdua berjanji tidak akan me-

ngambil kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari ke


duanya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sab-

leng dalam episode: “Kuil Atap Langit”).

***

Sementara itu di lain tempat, dua sosok tubuh tam-

pak tegak berdiri dengan sesekali kepala mereka ber-

paling ke kiri kanan dan ke belakang. Saat lain mereka 

saling lontar pandang. Tapi mulut masing-masing 

orang ini sama terkancing.

“Tampaknya orang yang kita tunggu tidak akan 

muncul!” Akhirnya orang yang sebelah kanan angkat 

suara karena sudah tidak sabar. Paras wajahnya pun 

membayangkan rasa jengkel dan tidak senang. Dia 

adalah seorang nenek berambut putih mengenakan 

pakaian panjang warna hitam. Sepasang matanya sipit 

tanpa ditingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya 

tampak menyelempang selendang warna hitam pan-

jang menjulai menyapu tanah. Nenek ini tidak lain 

adalah Li Muk Cin atau yang lebih dikenal dengan ge-

laran Ratu Selendang Asmara.

“Kuharap kau bersabar! Ini urusan penting! Tak 

mungkin dia tidak muncul!” orang sebelah kiri menya-

hut tanpa menoleh. Dia adalah orang laki-laki menge-

nakan pakaian warna hitam panjang sebatas lutut. 

Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut 

wajahnya telah dipenuhi kerutan tanda dia telah beru-

sia lanjut. Parasnya agak bulat dengan mata sipit. 

Kumis dan jenggotnya lebar serta hitam. Dan ternyata 

bukan hanya pakaian, rambut, dan kumis serta jeng-

gotnya yang hitam, sekujur tubuh kulit laki-laki ini ju-

ga berwarna hitam legam. Hingga yang kelihatan putih 

hanyalah larikan kecil pada sepasang matanya! Laki-

laki ini bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah.

“Urusan penting itu sekarang tidak ada artinya lagi!


Dan rasanya percuma kita menunggunya! Ini hanya 

akan mendatangkan masalah baru!” Ratu Selendang 

Asmara kembali angkat suara.

“Kita memang gagal mendapatkan peta wasiat itu! 

Tapi bagaimanapun juga aku harus mengatakannya! 

Dengan begitu aku bisa lepas beban dan bebas bertin-

dak tanpa bayang-bayang kekhawatiran!”

“Kalau dia nanti meminta tebusan atas kegagalan-

mu ini?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

Bayangan Tanpa Wajah tertawa dahulu sebelum 

menjawab. “Aku tidak punya perjanjian apa-apa jika 

gagal!”

Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah ganti 

Ratu Selendang Asmara yang tertawa dahulu sebelum 

menyahut.

“Kau sadar siapa orang yang akan kau hadapi?!”

Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. “Dia memang 

seorang raja penguasa negeri ini! Tapi aku tidak akan 

tinggal diam kalau dia meminta sesuatu yang sebe-

lumnya tidak ada sepakat!”

Suara Bayangan Tanpa Wajah belum habis, tiba-

tiba satu sosok tubuh berkelebat. Ratu Selendang As-

mara dan Bayangan Tanpa Wajah melihat seorang laki-

laki berusia lima puluh tahunan. Kumis dan jenggot-

nya panjang serta lebat dan telah berwarna putih. 

Rambutnya yang juga telah putih dan panjang digerai-

kan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir 

agak tinggi. Kedua alisnya mata mencuat ke atas. Se-

mentara sepasang matanya tajam.

“Yang Mulia Baginda....” Bayangan Tanpa Wajah 

bungkukkan sedikit tubuhnya. Sementara ekor mata-

nya melirik pada Ratu Selendang Asmara. Laki-laki 

berwajah hitam ini tegang sesaat begitu melihat si ne-

nek tetap diam dan tak membuat gerakan apa-apa!


“Jahanam! Dia bisa bikin masalah!” ujar Bayangan 

Tanpa Wajah melihat sikap acuh Ratu Selendang As-

mara. Dia segera berbisik. “Kuharap kau tidak memu-

lai suatu urusan dengan tanpa memberi hormat atas 

kedatangannya! Kau tahu bukan siapa yang kini di 

hadapan kita?!”

“Aku tahu siapa dia! Dia adalah Baginda Ku Nang! 

Tapi aku tidak bisa memberi hormat pada pihak kera-

jaan! Aku orang rimba persilatan! Dan pihak kerajaan 

ada di luar jalur dunia persilatan!” Ratu Selendang As-

mara balas berbisik.

Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bayan-

gan Tanpa Wajah menggebuk muka si nenek. Namun 

karena tahu keadaan, dia coba menahan diri dan ber-

kata.

“Ucapanmu benar! Namun kuharap saat ini kau sa-

dar, apa yang menjadi urusan masih ada hubungan-

nya dengan dunia persilatan! Kau lihat.... Dia tidak 

mengenakan pakaian kebesaran seorang raja. Berarti 

malam ini dia sebagai salah satu dari kaum dunia per-

silatan!”

“Aku tidak suka basa-basi.... Dan aku memang ti-

dak ingin dihormati!” Tiba-tiba orang yang baru mun-

cul dan ternyata adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang 

buka mulut. Dia memandang sesaat pada Ratu Selen-

dang Asmara dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu 

alihkan pandang matanya pada Bayangan Tanpa Wa-

jah.

“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah...,” kata Baginda 

Ku Nang. “Kita dahulu sepakat tanpa kehadiran orang 

lain! Dan kuharap kesepakatan itu masih berlaku!”

Merasa ucapan Baginda Ku Nang ditujukan pada-

nya, Ratu Selendang Asmara tengadahkan kepala se-

dikit dan berkata.


“Aku tak bermaksud ikut campur! Kalaupun aku 

berada di sini, itu karena dipaksa!”

Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan 

Tanpa Wajah dengan mata mendelik angker. Tanpa 

menunggu orang buka suara, nenek ini melangkah 

menjauh.

“Sahabat.... Kulihat wajahmu tidak ceria....” Bagin-

da Ku Nang berkata dengan mata memandang ke arah 

Ratu Selendang Asmara yang terus melangkah.

“Maafkan, Yang Mulia.... Kami gagal mendapatkan 

peta wasiat dan menangkap pemuda asing itu!”

Baginda Ku Nang tertawa. “Air mukamu telah mem-

beri jawaban sebelum kau berkata! Dan aku maklum 

atas kegagalanmu meski aku sedikit merasa kecewa!”

“Pemuda asing itu bukan saja berilmu tinggi, na-

mun ada beberapa orang....”

“Bukan itu yang membuatku kecewa!” Baginda Ku 

Nang memotong seraya gelengkan kepala. “Namun ke-

hadiranmu yang tidak seorang diri! Padahal kau tahu, 

urusan ini akan menjadi bumerang bagi kerajaan jika 

ada orang lain yang mencium!”

“Harap maafkan kami, Yang Mulia! Aku diharuskan 

mencari seorang teman dalam menyelesaikan urusan 

ini. Dan Yang Mulia tidak usah khawatir, Ratu Selen-

dang Asmara telah berjanji tidak akan membocorkan 

keterlibatan pihak kerajaan dalam urusan satu ini....”

“Hem.... Mudah-mudahan ucapanmu benar!” ujar 

Baginda Ku Nang meski dalam hati dia membatin. “Dia 

telah menambah pekerjaan! Seharusnya hanya satu 

orang yang kubunuh. Kini bertambah satu lagi! Tapi 

untuk sementara ini mereka berdua akan kubiarkan 

hidup dahulu! Tenaga mereka masih kubutuhkan. Se-

telah semuanya beres.... Kematian adalah imbalan 

yang pantas bagi mereka berdua!”


“Sahabatku Bayangan Tanpa Wajah.... Aku berte-

rima kasih padamu atas jerih payahmu meski tidak 

mendatangkan hasil. Namun kuharap kegagalan ini 

bukan menjadi jalan putusnya hubungan kita....”

“Maksud Yang Mulia?!”

“Aku ingin kau bersama Ratu Selendang Asmara te-

rus melakukan pemburuan! Dan berhasil atau tidak, 

esok malam, kalian kutunggu di Bukit Toyongga!”

“Yang Mulia....” Hanya itu yang sempat terucap dari 

mulut Bayangan Tanpa Wajah. Karena saat yang sama 

Baginda Ku Nang telah menukas.

“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Walau kalian 

nanti gagal, namun aku tetap akan memberi imbalan 

atas apa yang telah kalian lakukan! Dan satu hal lagi, 

sebarkan berita kalau akan ada pertemuan besar di 

Bukit Toyongga pada besok malam! Sebarkan kabar 

kalau pertemuan besar itu ada hubungannya dengan 

peta wasiat!”

“Yang Mulia....”

Lagi-lagi belum sampai Bayangan Tanpa Wajah te-

ruskan ucapan, Baginda Ku Nang telah menyahut.

“Sahabatku.... Aku tahu. Peta wasiat itu kini berada 

di tangan dua orang.... Salah seorang pasti membutuh-

kan satunya! Dan kedua-duanya pasti tidak akan me-

nyia-nyiakan kesempatan ini! Selanjutnya pasti kau 

sudah bisa menebak!”

Bayangan Tanpa Wajah menatap sejenak pada Ba-

ginda Ku Nang. Entah apa yang dipikirkan, yang jelas 

laki-laki berwajah hitam ini sunggingkan senyum den-

gan kepala mengangguk.

Baginda Ku Nang dongakkan kepala memandang 

bulan. “Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Aku tak in-

gin menyita waktumu. Sebab waktumu hanya malam 

ini sampai besok petang!”


Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang balikkan tu-

buh dan berkelebat tinggalkan tempat itu setelah meli-

rik sesaat pada Ratu Selendang Asmara yang tegak di 

seberang sana.

Sesaat setelah sosok Baginda Ku Nang tidak keli-

hatan, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat ke arah Ratu 

Selendang Asmara.

“Aku tak mau turut campur lagi! Aku tahu siasat 

apa yang akan dilakukannya!”

“Jangan bodoh! Ini kesempatan bagi kita! Aku juga 

tahu apa yang terpikir dalam benaknya! Tapi kita juga 

orang yang tidak mudah dikelabui, bukan?!”

“Apa maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

“Dia boleh punya siasat. Namun kita juga punya 

rencana! Kita akan pura-pura mengikuti perintahnya 

dengan menyebar berita. Dan begitu saat pertemuan 

berlangsung, kita tunjukkan siapa kita!”

“Dia tidak mungkin datang sendiri!”

“Jangan kau lupa! Ini masalah rahasia kerajaan! 

Kalaupun dia tidak datang sendiri, mungkin hanya be-

berapa orang yang dibawa! Dia tidak mungkin berani 

ambil risiko dengan mengerahkan prajurit!”

Ratu Selendang Asmara tersenyum. “Hem.... Berarti 

dia membuat lobang sendiri atas kuburnya!”

“Dan kita bisa menangguk keuntungan atas lobang 

itu!” sahut Bayangan Tanpa Wajah seraya tertawa ber-

gelak panjang.

“Tapi bagaimana mungkin kita bisa sebarkan berita 

itu? Bukankah waktu kita hanya sedikit?!”

Masih dengan tertawa Bayangan Tanpa Wajah ber-

kata. “Kita buat undangan untuk beberapa tokoh yang 

masih ada kaitannya dengan urusan ini! Setelah itu ki-

ta tinggal menunggu seraya membuat rencana!”

Habis berkata begitu, masih tertawa ngakak, Baya

ngan Tanpa Wajah berkelebat yang kemudian diikuti 

Ratu Selendang Asmara yang juga ikut-ikutan tertawa 

panjang.

***

ENAM



PENDEKAR 131 duduk menggelosoh di bawah seba-

tang pohon dengan tampang lusuh. Beberapa kali ta-

ngan kiri kanannya bergerak pulang balik menggaruk 

rambutnya yang acak-acakan. Dan sesekali tangan 

kanannya dibuka ditadangkan di atas kening mengha-

dang silaunya matahari yang baru saja muncul dari 

lintasan kaki langit di sebelah timur.

“Tampaknya tidak saja nasibku yang jelek hingga 

terdampar di negeri orang.... Malah pesanan orang 

yang sudah ada di tangan lenyap pula disambar orang! 

Belum lagi di sini harus bertemu dengan beberapa o-

rang aneh dan tindakannya sukar diduga! Tahu begini 

akibatnya.... Aku pilih tinggal di kampung halaman 

sendiri. Di sana aku masih bisa melihat Putri Kayan-

gan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa....”

“Kasmaran memang aneh.... Meski telah menyebe-

rang laut, namun tak juga hilang dari kelopak mata!” 

Satu suara mendadak terdengar membuat Joko pu-

tuskan gumaman.

Meski terkejut, namun murid Pendeta Sinting tidak 

segera palingkan kepala. Diam-diam dia membatin. 

“Siapa pun dia adanya, aku tak akan melayani! Keda-

tangannya mungkin hanya akan mempersulit urusan! 

Anehnya.... Mengapa dia seolah tahu kalau aku tengah 

melamunkan....”

Belum lagi Joko sempat lanjutkan kata hatinya,

terdengar lagi suara.

“Harinya telah tiba. Kalau manusia masih juga teng-

gelam pada ketidakpastian, bukan hanya sia-sia perja-

lanan jauh, tapi malapetaka akan datang!”

Ucapan orang membuat Pendekar 131 palingkan 

kepala. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut. 

Paras wajahnya lonjong. Rambutnya putih dan pan-

jang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada 

mulutnya yang mungil terdapat satu pipa cangklong 

yang terus menerus kepulkan asap. Dia mengenakan 

celana pendek warna putih kusam, pakaian atasnya 

berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelem-

pang sebuah ikat pinggang besar yang dihias beberapa 

pipa. Anehnya, setiap mulut orang ini kepulkan asap 

dari pipa di mulutnya, semua pipa yang menggantung 

pada ikat pinggang di pundaknya ikut semburkan a-

sap! Hingga begitu asap mengepul, wajah orang ini 

hanya terlihat samar-samar.

“Lagi-lagi orang aneh! Pasti membawa masalah ba-

ru! Tapi dia tahu kalau aku telah menyeberangi laut!

Dia juga sebut-sebut harinya telah tiba! Hari ini me-

mang hari ganda sepuluh.... Apakah ini masih ada hu-

bungannya dengan peta wasiat itu?! Tapi apa yang bisa 

dia lakukan untukku?!”

Orang tua di depan sana kembali isap pipanya. Saat 

lain sosoknya terlihat samar-samar karena tertutup 

asap yang menyembur dari semua pipa yang ada pada 

ikat pinggang di pundaknya. Joko menunggu orang be-

rucap lagi. Namun hingga agak lama, orang tua itu ti-

dak perdengarkan suara. Bahkan dia mulai bergerak 

melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

Beberapa saat Pendekar 131 tampak bimbang. 

“Ah.... Tak ada salahnya kalau aku bertanya!” Akhir-

nya Joko memutuskan seraya beranjak bangkit dan


angkat suara.

“Orang tua! Pasti kau seorang peramal!”

Orang tua di depan sana hentikan langkah. Dia je-

rengkan matanya yang besar menatap angker pada 

murid Pendeta Sinting. Joko merinding dengan sen-

yum dipaksakan.

Mendadak orang tua di hadapan Joko tertawa ber-

gelak panjang. Murid Pendeta Sinting pupuskan sen-

yum dengan dahi berkerut. “Aneh.... Apakah ucapanku 

ada yang lucu?!” Joko pentangkan mata beberapa saat. 

Kerutan di keningnya makin membersit tatkala men-

dapati pipa di mulut orang tidak bergeming sama seka-

li meski orangnya tertawa ngakak!

“Dari sikapnya, jelas dia bukan orang sembarang-

an!”

Baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba orang tua 

itu putuskan gelakan tawanya. Sepasang matanya 

kembali menusuk tak berkesip pada Joko. Namun se-

jauh ini dia belum perdengarkan suara meski Joko 

mencoba diam untuk memberi kesempatan.

“Orang tua! Benarkah kau seorang peramal?!” Kare-

na tak sabar akhirnya Joko kembali ajukan tanya.

“Hem.... Peramal?! Bagaimana kau bisa menduga 

begitu, hah?!” Orang tua di hadapan Joko perdengar-

kan bentakan.

“Ucapanmu tadi, Kek!” sahut Joko. “Kau seolah da-

pat membaca pikiran orang.... Kau juga seakan tahu 

apa yang tengah dilakukan orang!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-

da! Ucapanku tadi tidak ada sangkut pautnya dengan 

dirimu! Apa yang kuucapkan adalah apa yang tengah 

kualami!”

“Hem.... Kalau ucapannya benar, apakah mungkin?! 

Dia tadi sebut-sebut tentang kasmaran! Apakah mungkin orang seusia dia masih juga kasmaran?! Dan kalau 

juga benar, berarti dia bukan asli orang negeri ini! Ka-

rena dia tadi juga sebut-sebut tentang menyeberang 

laut!” Joko membatin. Lalu seraya menahan tawa dia 

berkata.

“Kek! Kau tengah kasmaran?!”

“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”

“Sialan! Mengapa dia balik bertanya?!” kata Joko 

dalam hati. Dia memperhatikan orang sesaat sebelum 

akhirnya berkata.

“Kek! Bukankah kau mengatakan apa yang kau 

ucapkan adalah apa yang tengah kau alami! Sementa-

ra kau tadi sebut-sebut soal kasmaran! Berarti kau se-

karang tengah jatuh cinta!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak 

Muda! Perihal cinta tidak boleh diutarakan pada orang 

lain! Itu porno! Kau tahu porno, bukan?!”

“Hem.... Baiklah! Kalau membicarakan cinta kau 

anggap porno, aku akan membicarakan hal satunya 

lagi! Kau bukan asli orang negeri ini, bukan?!”

“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”

Meski mulai agak jengkel dengan ucapan orang, na-

mun akhirnya Joko berkata juga. “Kek! Bukankah kau 

tadi sebut-sebut tentang menyeberang laut?!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak 

Muda! Tabu membicarakan asal usul orang! Apalagi 

pada orang yang belum dikenal!”

“Aku Joko Sableng!”

“Hem.... Begitu?!”

“Kau sendiri siapa, Kek?”

“Jangan tanya soal nama, Anak Muda! Itu tidak 

pantas! Kau tahu, nama kadang-kadang bisa membuat 

orang lupa diri!”

“Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggil


mu?!”

“Aku tidak menyuruhmu untuk memanggilku!”

“Tepat dugaanku!” gumam Joko dengan geleng ke-

pala. “Percuma melayani orang seperti dia!” Joko balik-

kan tubuh. “Tapi mengapa dia tadi sebut-sebut hari-

nya telah tiba! Pasti ini masih ada hubungannya de-

ngan peta wasiat itu!” Joko kembali putar diri meng-

hadap orang.

“Kek! Kau tadi sebut-sebut harinya telah tiba! Mau 

kau memberi penjelasan padaku?!”

“Hem.... Mengapa kau menduga ucapan itu perlu 

penjelasan?!”

“Busyet benar! Aku bisa terjebak sendiri bila terus 

bicara dengan orang ini! Lebih baik aku pergi saja da-

ripada menambah pusing kepala!”

Meski Joko telah berpikir begitu, entah karena apa 

dia tidak segera bergerak tinggalkan tempat itu. Malah 

dia pandangi orang tua di hadapannya dengan lebih 

seksama.

“Anak muda.... Aku tidak bisa memberi penjelasan 

apa-apa! Karena sebenarnya aku pun tak mengerti 

dengan ucapanku tadi!”

“Hem.... Begitu?!” Joko ikut-ikutan apa yang tadi 

dikatakan orang.

Orang tua di hadapan murid Pendeta Sinting ang-

gukkan kepala. “Aku tadi berkata karena membaca 

ini!” Tangan kanan si orang tua bergerak ke salah satu 

pipa di ikat pinggang yang ada di pundaknya. Pipa itu 

dicabut lalu diletakkan di sebelah pipa yang ada di 

mulutnya. Saat lain dia meniup.

Wuuttt!

Dari lobang pipa melesat keluar gulungan kecil ber-

warna hijau kecoklatan. Joko sempat tersentak kaget. 

Karena gulungan itu meluncur deras ke arahnya dengan perdengarkan deruan keras.

Mungkin karena khawatir, Joko tidak berusaha me-

nangkap. Dia gerakkan kaki ke kanan menghindar 

hingga gulungan itu jatuh di sebelahnya. Sementara 

kepalanya bergerak mengikuti arah jatuhnya gulun-

gan.

Saat gulungan berada di atas tanah, gulungan itu 

membuka. Ternyata gulungan itu adalah sehelai daun.

Joko picingkan mata. Karena saat gulungan terbu-

ka, terlihat tulisan:

Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga. Peta wasiat 

akan disatukan.

Joko ulangi membaca tulisan beberapa kali. Dada-

nya berdebar. Kejap lain dia arahkan pandang mata-

nya pada si orang tua. Namun sebelum dia buka mu-

lut, si orang tua telah mendahului.

“Joko! Jangan ajukan tanya. Percuma saja, karena 

aku juga tidak mengerti apa tujuannya! Yang ku tahu, 

hari ganda sepuluh adalah malam nanti! Itulah sebab-

nya mengapa aku tadi bicara harinya telah tiba!”

“Kek! Dari mana kau mendapatkan ini?!”

“Aku tidak pernah bertanya nama seseorang! Kare-

na menurutku itu tidak pantas! Apalagi aku bukanlah 

orang daerah sini!”

“Apakah tulisan ini bisa dipercaya?!” tanya Joko da-

lam hati. Sekali lagi Joko pandangi tulisan yang tertera 

di daun. Lalu memandang pada si kakek.

“Ini bukan buatanmu, bukan?!”

“Hem.... Mengapa kau bisa menduga begitu?!”

“Aku bertanya, Kek!”

Si kakek tertawa panjang. Tapi dua pipa di mulut-

nya tidak juga bergeming. “Anak Muda.... Kau telah dengar bahwa aku tidak mengerti! Itulah sebabnya kuka-

takan aku tidak bisa memberi penjelasan apa-apa! Jadi 

kau salah duga kalau mengira aku yang membuatnya!”

“Kek! Kau pernah dengar tentang peta wasiat?!”

“Kau boleh percaya boleh tidak! Kata-kata itu pun 

baru saat ini aku membaca dan mendengarnya! Aku 

tidak tahu apa itu peta wasiat! Yang ku tahu tongkat 

wasiat!”

“Tongkat wasiat?!” Joko bergumam mengulangi 

ucapan si kakek.

“Benar! Tongkat wasiat! Kalau itu aku tahu betul 

dan mengenalnya sampai ke ujung-ujungnya!”

“Apakah itu sebuah tongkat sakti?!”

“Lebih seribu kali sakti! Karena dengan perantara 

tongkat itu muncul yang namanya anak manusia! Dan 

tanpa adanya tongkat itu, laki-laki tidak akan ada arti-

nya!”

“Kek! Kalau tongkat itu aku juga punya!”

“Hem.... Begitu?! Syukurlah.... Mudah-mudahan 

kau bisa mempergunakannya dengan baik!”

“Kau tidak tahu peta wasiat! Sekarang, kau tahu di 

mana Bukit Toyongga?!”

Yang ditanya gelengkan kepala. Joko menghela na-

pas. Lalu berkata lagi.

“Kek! Terima kasih atas pemberitahuanmu ini!” Jo-

ko anggukkan kepala dengan mata melirik. Saat lain 

dia putar diri hendak tinggalkan tempat itu.

“Tunggu! Kau hendak ke mana?!”

Joko terdiam beberapa lama. Si kakek membuat ge-

rakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di 

samping murid Pendeta Sinting.

“Anak muda! Seperti halnya dirimu, aku adalah o-

rang asing! Tidak keberatan bukan kalau kau kute-

mani?!”


“Kek! Aku....”

“Aku tidak peduli ke mana kau pergi! Aku juga tidak 

akan tanya ke mana kau akan pergi dan apa tujuan-

mu! Yang pasti aku ikut!”

“Orang seperti ini bisa menghadang rencana kalau 

kemauannya tidak dituruti! Lagi pula siapa tahu dia 

nanti bisa membantu!”

Berpikir begitu, akhirnya Joko anggukkan kepala 

seraya berkata.

“Baiklah, Kek! Kita jalan bersama....” Joko melang-

kah dahulu. Si kakek tertawa, lalu melangkah di bela-

kang Pendekar.

***

TUJUH



ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, be-

gitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa me-

noleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah 

di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh-

nya. Kejap lain dia berkelebat.

Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya 

dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang 

dilirik tampak enak-enakan melangkah dengan isap 

dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari 

sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua 

orang ini mulai jauh.

“Hem.... Apa sebaiknya kutinggal saja? Tidak mung-

kin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!” 

Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke de-

pan.

“Mengapa berhenti, Anak Muda?! Ada sesuatu yang 

menarik perhatianmu?!”

Pendekar 131 tersentak dan berpaling. “Aneh.... Dia 

baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu 

sudah ada di sini!”

Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya, 

Joko segera menyahut.

“Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku?!”

“Hem.... Mengapa kau masih sangsikan diriku?! Kau 

merasa keberatan?!”

“Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi 

mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak 

akan merasa menyesal? Bukankah saat ini kau lagi 

kasmaran?”

Si kakek tertawa bergelak. “Joko.... Bahaya itu tidak 

ada! Itu hanya perasaan manusia! Dan bahaya itu juga 

ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di hu-

kum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!”

“Ah.... Repot kalau sudah begini!” batin Joko. “Tapi 

satu hal yang aku masih sangsi, bagaimana dia bisa 

menyusul begitu cepat?! Aku akan mencobanya sekali 

lagi!”

Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu ber-

kata.

“Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau 

nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku 

atau....”

“Anak muda.... Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi 

kau tak usah cemas!” Si kakek telah memotong ucapan 

Joko.

Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali 

berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini 

dia sengaja langsung berlari kencang laksana orang 

kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling 

melihat ke arah si kakek yang ada di belakangnya.

Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditumbuhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke 

belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Murid 

Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia ti-

dak lagi melihat sosok si kakek.

“Ke mana dia?!” Joko memperlambat larinya dengan 

kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si 

kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya 

hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megap-

megap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke 

depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang di-

tunggu tidak juga muncul!

“Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah.... Mengapa 

aku jadi memusingkannya?! Bukankah aku harus se-

gera menemukan di mana Bukit Toyongga?! Walau aku 

belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulun-

gan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba!

Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia 

akan menyusul. Bagaimanapun juga dia telah memberi 

keterangan berharga padaku...,” Joko terus tegak de-

ngan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi 

datang.

Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada 

tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan 

untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan 

menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sin-

ting balikkan tubuh.

Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko 

terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke de-

pan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia me-

lihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu ba-

tang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut 

wajah dan sosok tubuh orang karena sekujur sosok itu 

disemburati asap!

“Busyet! Bagaimana dia bisa berada di depanku?!


Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku 

yang menunggu, tapi dia yang menunggu!”

“Anak muda.... Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu 

sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering ber-

henti! Apa kau takut bahaya itu?!” Orang yang duduk 

bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya 

disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang 

terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak 

bangkit.

“Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyaki-

nanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bu-

kan main-main!” gumam Joko talu melangkah hendak 

mendekati si kakek.

“Anak muda.... Aku memang tidak akan bertanya ke 

mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah 

kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju! 

Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa 

memberi tahu meski kau bertanya! Tapi.... Mungkin 

kau bisa bertanya pada orang itu!” Kepala si kakek 

berpaling ke kanan.

Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana 

si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-

siapa.

“Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa?!” Ka-

rena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat 

keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di 

samping si kakek.

Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Na-

mun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia 

segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek 

melihat.

“Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud 

orang ini?!”

Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suara


nya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan ka-

nan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu ke-

palanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan 

mencari orang yang sembunyi.

Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko 

ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadang-

kan pula di depan kening dengan kepala digerakkan ke 

samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran 

batang pepohonan.

Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mende-

lik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa 

dipermainkan orang, Joko segera berpaling. Si kakek 

tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke ba-

tangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke 

belakang merangkul batangan pohon!

“Kek! Harap kau tidak main-main!”

“Hem.... Begitu?!”

“Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat 

orang! Tapi mana?! Mana orangnya?!” Suara Joko ter-

dengar agak keras karena mulai jengkel.

Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perla-

han membuat Joko tambah dongkol.

“Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda 

gurau!”

“Hem.... Begitu?!”

“Ya! Begitu!” sahut Joko saking jengkelnya.

“Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang 

suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana ser-

ta bagaimana suasananya!”

“Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga 

aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu 

kau anggap bukan main-main?!”

“Aku memang melihat orang...!”

“Mana manusianya?!” sahut murid Pendeta Sinting.


Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah de-

pan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat ce-

pat di antara jajaran pohon.

Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pu-

lang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek 

di sampingnya.

“Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bu-

kan?! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak me-

lihat siapa-siapa!”

“Dia bisa melihat kemunculan orang meski orang-

nya belum kelihatan!” kata Joko dalam hati. “Siapa 

orang tua ini sebenarnya?! Sayang dia pelit untuk 

memberitahukan siapa dirinya!”

Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya 

tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain. 

Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Na-

mun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih 

berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak 

bisa lepas dari pandang mata orang. Hanya saja, Joko 

masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang. 

Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perem-

puan.

“Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak 

akan menunggu lama-lama.... Tapi karena ada kau, 

aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia 

akan memilihmu....”

Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang. 

“Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi pe-

rempuan....”

“Anak muda.... Kau tunggu apa lagi? Bukankah kau 

perlu orang tempat bertanya? Atau kau tadi hanya 

bersenda gurau?!”

Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkele-

bat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan


pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko me-

mandang sesaat. Karena batangan pohon di mana 

orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat 

sebagian pakaian orang.

“Pakaiannya warna kuning. Hem.... Berarti dia bu-

kan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!” 

Joko menghela napas lega. Lalu berteriak.

“Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang 

jahat atau orang yang suka bersenda gurau memper-

mainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana 

bentuk wajahmu!”

“Ah.... Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu 

rupa?!” Si kakek yang bersandar di batangan pohon 

bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya.

Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik ba-

tangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya 

atau perdengarkan suara.

“Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di ba-

lik pohon. Mengapa takut sembunyi?! Aku cuma ingin 

bertanya....”

Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Na-

mun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya 

suara jawaban, Joko buka mulut lagi.

Namun sebelum suaranya sempat keluar, terden-

garlah suara perempuan menyahut.

“Aku tidak mau bicara denganmu!”

Joko kerutkan dahi. “Dari suaranya, aku bisa me-

nebak dia seorang nenek-nenek! Hem.... Sayang sekali! 

Tapi tak apalah.... Aku kali ini hanya perlu bertanya di 

mana beradanya Bukit Toyongga! Anehnya.... Mengapa 

suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersem-

bunyi?! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem.... 

Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia 

sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele


orang.... Tapi mengapa dia tidak mau bicara dengan-

ku?! Ah.... Dasar perempuan.... Sudah tua pun masih 

suka malu-malu kucing!”

Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara.

“Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka 

dahulu! Aku cuma ingin bertanya.... Setelah itu, seu-

mur hidup tidak bicara denganku pun tak apa-apa!”

“Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara de-

nganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku 

hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa 

temanmu itu!” Terdengar suara jawaban.

Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang

bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum de-

ngan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-

lambai.

“Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku! 

Bukan kakek temanku itu!” Joko buka mulut lagi. Na-

mun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di bata-

ngan pohon.

Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arah-

kan pandang matanya pada batangan pohon tempat 

orang sembunyi, terdengar suara sahutan.

“Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan 

tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tam-

pan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!”

Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting 

berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat o-

rang bersembunyi terdengar orang bergumam dan 

mendengus tak senang.

Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap.

“Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku 

tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti 

dari milik kakek temanku itu!”

“Ah.... Yang benar?! Mau memperlihatkan padaku?!


Aku akan keluar!”

Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah 

sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar 

di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan 

mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak 

bergerak-gerak perdengarkan suara!

“Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia! 

Bukan suara orang di balik pohon!”

“Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan 

aku, hah?!”

Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa 

bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara.

“Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya 

aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebu-

kan!”

Meski suara yang baru terdengar nadanya memben-

tak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sen-

takkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana 

orang bersembunyi.

Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di de-

pan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak sa-

tu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita 

berambut hitam lebat digeraikan hingga punggung. 

Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik 

ini mengenakan pakaian warna kuning tipis. Pada ba-

gian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda 

hingga busungan dadanya yang mencuat tampak se-

kali menggoda. Pinggulnya besar ditingkah pakaian 

bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisi-

nya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit reng-

gangkan kaki, Joko bisa melihat jelas pahanya yang 

padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping me-

lilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna 

kuning. Dan tepat di bagian sisi bagian kiri pinggang


nya tampak satu pedang pendek bergagang batu ber-

warna kuning pula.

Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis 

berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat 

tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan 

senyum. Namun mungkin karena teringat akan uca-

pan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan ba-

lik unjukkan tampang ketus seraya alihkan panda-

ngan!

***

DELAPAN



JOKO angkat tangan kanannya menunjuk pada ga-

dis di hadapannya.

“Sun.... Sun.... Sun....”

Gadis cantik berbaju kuning menggoda berpaling 

lagi memandang tak berkesip pada murid Pendeta Sin-

ting. “Walah.... Aku lupa siapa namanya! Yang kuingat 

ada Sun... Sun...!”

Sementara mendengar ucapan Joko, kakek yang 

bersandar di batangan pohon perdengarkan ledakan 

tawa keras. Lalu berujar begitu tawanya putus.

“Anak muda.... Jangan kira aku tak tahu apa arti-

nya Sun.... Sun sama dengan cium, bukan?!”

Mendengar kata-kata si kakek, gadis berbaju ku-

ning makin pentangkan mata. Namun bukan saja me-

mandang pada Joko, tapi juga mendelik pada si kakek!

“Kalian memang pantas digebuk!” teriak si gadis. 

Tangan kanannya diangkat.

“Tunggu!” tahan Joko dengan takupkan kedua tan-

gan di depan dada dan bungkukkan sedikit tubuhnya. 

“Maaf kalau ucapanku ada yang menyinggung! Tapi

harap kau tidak percaya pada ucapan kakek temanku 

itu. Sun artinya bukan cium, tapi pantat! Dan maafkan 

juga jika ucapanku salah! Terus terang, karena kita 

cuma sekali bertemu, aku lupa siapa nama lengkap-

mu! Yang kuingat hanya Sun tadi....”

Si gadis berbaju kuning tipis masih belum buka 

mu-lut. Tangan kanannya tetap berada di atas udara 

siap lepaskan pukulan. Joko anggukkan kepala de-

ngan tersenyum dan berkata lagi.

“Kalau mau, aku ingin dengar lagi siapa nama leng-

kapmu agar aku tidak salah ucap jika kelak berjumpa

lagi!”

“Aku Dewi Bunga Asmara!” Si gadis mulai angkat 

bicara dengan nada ketus.

“Kalau gelarmu itu aku masih ingat! Yang aku lupa, 

namamu yang mengenakan Sun.... Sun.... Sun....”

“Ah.... Aku pernah dengar....” Si kakek menyahut. 

“Kalau tak salah masih berkisar antara Sun Jauh dan 

Sun Dekat!”

“Siapa temanmu itu?!” Si gadis yang menyebut diri-

nya dengan gelar Dewi Bunga Asmara dan tidak lain 

memang murid tunggal Li Muk Cin alias Ratu Selen-

dang Asmara ini ajukan tanya dengan mata menyorot 

tajam pada si kakek.

Karena tak mau dianggap mempermainkan orang, 

meski belum tahu siapa nama si kakek, Joko segera 

menjawab.

“Dia bernama Ci Kam Pek! Namun tak jarang orang 

memanggilnya Ci Ka Long! Dan tentu kau masih ingat 

namaku, bukan?!”

Yang ditanya diam sejenak. “Kau Han Ko, bukan?!”

“Syukur kau masih mengingatnya, hingga aku tak 

usah ulangi lagi! Tapi aku sungguh-sungguh lupa akan 

nama lengkapmu”


“Bang Sun Giok!” kata si gadis.

“Bang Sun Sun!” Si kakek di belakang sana menye-

la. “Jangan percaya dia bernama Han Ko!”

“Jangan hiraukan ucapan temanku itu! Dia me-

mang suka bercanda!” kata Joko setengah berbisik pe-

lan. Namun dari tadi sepasang matanya terus menatap 

pada belahan dada dan paha Bang Sun Giok alias De-

wi Bunga Asmara.

“Dewi.... Aku senang bisa bertemu kau lagi! Dan ku 

harap kau melupakan peristiwa yang pernah terjadi 

antara kita....” Saat itulah Joko sadar. Dia cepat edar-

kan pandang matanya berkeliling. “Celaka kalau dia 

muncul bersama gurunya....” Diam-diam Joko memba-

tin.

Seperti diketahui, Joko pernah bertemu dengan 

Dewi Bunga Asmara beserta gurunya si Ratu Selen-

dang Asmara. Mereka sempat terlibat bentrok karena 

Ratu Selendang Asmara meminta peta wasiat yang ada 

di tangan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya sila-

kan baca serial Joko Sableng dalam episode: “Kuil Atap 

Langit”).

“Ah.... Tampaknya kalian pernah terlibat satu peris-

tiwa! Pasti peristiwa itu masih ada kaitannya dengan 

sun jauh dan sun dekat....” Si kakek perdengarkan su-

ara.

“Hem.... Kakek itu benar-benar bisa membuat sua-

sana jadi panas lagi!” kata Joko dalam hati. Namun dia 

tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dia kini tahu jika 

si kakek bukan orang sembarangan. Hingga untuk me-

redakan gemuruh dada Dewi Bunga Asmara, Joko se-

gera angkat suara.

“Dewi.... Sekali lagi harap kau tidak termakan uca-

pan kakek itu! Dia itu begini!” Joko angkat tangan ka-

nannya, lalu jarinya disilangkan di depan keningnya.


“Kalau temanmu sinting, bagaimana dengan kau 

sendiri?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya.

“Apa tampangku pantas dikatakan orang sinting?!” 

Joko balik bertanya.

“Biasanya, orang itu dilihat dari siapa temannya!”

“Tapi aku orang luar biasa! Banyak temanku yang 

sinting, namun sejauh ini aku masih bisa bertahan un-

tuk tidak ikut sinting!”

Dewi Bunga Asmara amati Joko silih berganti de-

ngan si kakek yang masih tegak bersandar di batangan 

pohon. “Pemuda asing ini ternyata mempesona.... Hem. 

Dia tadi berkata hendak bertanya. Apa yang akan dita-

nyakan?! Saat ini orang tengah sibuk menuju Bukit 

Toyongga akibat selebaran.... Tapi dia dan temannya 

enak-enakan berada di sini! Apakah ini satu bukti jika 

peta wasiat itu benar-benar tidak ada di tangannya?!”

“Dewi.... Sebagai orang daerah sini, tentu kau tahu 

di mana letak Bukit Toyongga....”

Air muka Dewi Bunga Asmara berubah sedikit te-

gang. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain. 

Tampaknya Joko bisa membaca perubahan wajah o-

rang, hingga sebelum Dewi Bunga Asmara buka mulut, 

Joko sudah angkat suara lagi.

“Dewi.... Perlu kukatakan sekali lagi padamu. Peta 

wasiat itu tidak ada padaku!”

“Lalu mengapa kau ingin ke Bukit Toyongga?!”

“Seorang teman mengatakan....”

“Bukan seorang teman! Tapi sebuah undangan yang 

tertera di gulungan sehelai daun!” Dewi Bunga Asmara 

sudah menyahut sebelum ucapan Joko selesai.

“Bagaimana dia bisa tahu?! Jangan-jangan ini ulah 

kakek itu pula! Dia sengaja membuat sandiwara untuk 

mempertemukanku dengan gadis ini! Bukankah dia 

tadi sudah tahu akan kemunculan orang meski orang


nya belum kelihatan?!” Tanpa sadar, Joko berpaling 

pada si kakek.

“Kau tak usah berprasangka buruk pada orang! Se-

karang semua orang tahu jika nanti malam ada se-

buah pertemuan di Bukit Toyongga!” gadis ini berujar 

seakan tahu apa yang ada di benak murid Pendeta 

Sinting.

Joko pandangi sekali lagi gadis cantik di hadapan-

nya. “Dewi.... Kuharap kau juga tidak berprasangka 

padaku.... Kalaupun aku ingin ke Bukit Toyongga, se-

mata-mata hanya ingin tahu bagaimana cerita sebe-

narnya dan bagaimana bentuk peta wasiat itu. Karena 

ulah peta wasiat itu, aku sampai mengalami hal yang 

hampir merenggut nyawaku! Aku dikejar banyak o-

rang! Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa!”

“Bagaimana ini? Apakah ucapannya bisa dipegang?” 

Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama.

“Dewi.... Kau boleh percaya, juga boleh tidak. Tapi 

itulah sebenarnya yang kualami! Dan kalau kau tidak 

mau mengatakan di mana letak Bukit Toyongga, aku 

tidak akan memaksa!” Joko memandang sesaat. Lalu 

tersenyum dan balikkan tubuh melangkah ke arah si 

kakek.

“Aku akan tunjukkan padamu!” kata Dewi Bunga 

Asmara.

Joko balikkan tubuh. “Terima kasih....”

“Tapi aku minta syarat!” Si gadis sambungi ucapan-

nya.

“Hem.... Katakanlah! Mudah-mudahan aku bisa 

mengabulkan syaratmu!”

“Aku bukan saja akan menunjukkan di mana Bukit 

Toyongga. Tapi aku akan mengantarmu sampai ke sa-

na! Tapi.... Tanpa bersama kakek temanmu itu!”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek menyahut. Sementara


Joko palingkan muka pulang balik ke arah Dewi Bun-

ga Asmara dan si kakek.

“Daripada berjalan dengan kakek yang suka usil, 

memang lebih baik berjalan bersama gadis cantik! Apa-

lagi dadanya rendah, pahanya kelihatan dan....”

“Aku minta kau segera memutuskan!” Dewi Bunga 

Asmara berujar.

“Hem.... Baiklah! Syaratmu kupenuhi! Kita ke sana 

berdua!”

“Han Ko!” seru si kakek. “Jangan kau lupa! Pada 

mulanya kau tahu urusan ini dari aku! Tidak sepan-

tasnya kau akan membuangku begitu saja karena ha-

dirnya pihak ketiga!”

“Kek! Aku memang dengar pertama kali darimu. Ta-

pi kau tidak bisa menunjukkan di mana tempat yang 

kutuju! Untuk itulah aku ucapkan terima kasih se-

kaligus maaf jika aku tidak bisa mengajakmu ikut ser-

ta!”

“Tapi kau telah dengar ucapanku, bukan?! Ke mana 

kau pergi, aku akan ikut! Aku tak akan tanya apa tu-

juanmu! Kau juga tak usah khawatir kalau aku meng-

ganggu keasyikanmu! Sebagai orang tua, aku tahu diri 

dan maklum.... Lagi pula, soal sun, sun itu aku sudah 

bosan.... Jangan takut aku akan mengintip!”

Paras wajah Dewi Bunga Asmara tampak bersemu 

merah. Sementara sepasang matanya mendelik besar 

ke arah si kakek. “Ucapannya itu yang membuatku ti-

dak mau berjalan bersamanya!” bisiknya dengan suara 

bergetar.

“Kek! Ini bukan soal intip-intipan apalagi sun-su-

nan, ini urusan ada kaitannya dengan apa yang kua-

lami selama ini! Jadi jangan salah tafsir kalau kami ti-

dak mau mengajakmu ikut serta!”

“Hem.... Begitu?! Selagi aku masih muda dulu....


Aku juga punya banyak alasan agar kepergianku ber-

sama sang kekasih tidak diikuti orang! Jadi kau masih 

kalah masa denganku kalau mengatakan alasan!”

“Bagaimana sekarang?! Melihat dari bagaimana tadi 

dia bisa menyusulku tanpa kuketahui, tampaknya su-

lit menghindari orang itu....” Joko tampak bingung. 

“Hem.... Ada-ada saja yang membuat rejeki besar lepas 

dari tangan....”

Dewi Bunga Asmara melangkah mendekati Joko. 

“Bagaimana kalau dia kita tinggal? Lagi pula kalau 

berjalan dengan orang tua seperti dia, kurasa kita 

akan terlambat sampainya!” bisik Dewi Bunga Asmara.

Pendekar 131 gelengkan kepala. “Dia bukan seperti 

yang kau duga!”

“Maksudmu...?!”

“Aku tadi sudah mencobanya. Dia kutinggal jauh di 

belakang! Dan aku berhenti di sini karena kuduga dia 

tidak bisa menyusulku. Sialnya, tahu-tahu dia sudah 

ada di sini! Bahkan mendahuluiku!”

“Hem.... Begitu?!” Tiba-tiba si kakek berkata lagi. 

“Kalian bisik-bisik membuat rencana?!” Si kakek ter-

tawa ngakak. “Perlu kalian tahu satu hal. Kalian boleh 

membuat seribu satu rencana. Yang pasti aku tetap 

akan ikut!”

“Bagaimana kalau kita gebuk saja?!” usul Dewi 

Bunga Asmara.

“Itu tak mungkin! Kalau dia memiliki ilmu peringan 

tubuh luar biasa, pasti kepandaiannya luar biasa pula! 

Lagi pula aku tak mau membuat masalah!”

“Ah.... Sebenarnya aku ingin berdua saja bersama-

nya....” Dewi Bunga Asmara berkata sendiri dalam ha-

ti. “Mungkin ini tidak akan direstui oleh Guru. Apalagi 

aku disuruhnya pulang dan menunggu sampai dia da-

tang! Tapi.... Aku tidak bisa! Sejak pertama kali jum-pa


tempo hari, sebenarnya aku tertarik padanya... Aku 

tak tahu mengapa ini harus terjadi?”

“Dewi.... Bagaimana sekarang?!”

Karena tengah melamun, ucapan Joko membuat 

Dewi Bunga Asmara gelagapan. Namun gadis ini cepat 

tersenyum dan gelengkan kepala.

“Bagaimana kalau dia kita ajak saja?!”

“Sebenarnya.... Ah, tapi kalau itu keputusanmu, 

aku ikut saja! Tapi kuharap kau berpesan padanya 

agar dia tidak melakukan hal-hal yang tak ada guna-

nya! Dan setibanya di Bukit Toyongga, kuharap pula 

dia tidak mengeluarkan ucapan yang membikin panas 

suasana. Aku menduga, akan banyak tokoh dunia per-

silatan yang hadir.... Dan satu hal lagi, begitu tiba di 

sana, kita harus berpencar!”

“Mengapa begitu?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Guruku pasti akan ada di sana!”

“Hem.... Kau takut karena bersamaku?!”

“Bukan begitu...,” kata Dewi Bunga Asmara dengan 

gelengkan kepala. “Aku tahu bagaimana sifat guruku. 

Dan selama ini dia mungkin masih menduga peta wa-

siat itu berada di tanganmu! Selain itu, bentrokan tem-

po hari mungkin masih tidak bisa dilupakannya! Aku 

tak mau kau celaka gara-gara bersamaku.... Demikian 

pula sebaliknya! Namun setelah itu, aku akan membe-

ritahukan pada Guru bagaimana duduk persoalan se-

benarnya! Dan di sana pula mungkin nanti Guru tahu 

sendiri siapa sebenarnya yang memegang peta wasiat 

itu!”

“Hem.... Bagaimana kalau kita menemui gurumu 

bersama-sama?! Aku yang akan menjelaskan sendiri!”

“Saat seperti sekarang ini, bukan waktu yang tepat 

untuk melakukan hal seperti itu!” ujar Dewi Bunga 

Asmara meski hatinya berdebar senang mendengar


ucapan Joko.

“Hem.... Itu kita bicarakan nanti sambil jalan. Se-

karang aku akan memberi tahu persyaratan apa yang 

harus dilakukan kakek itu kalau dia mau ikut bersa-

ma kita!”

Habis berkata begitu, Joko melompat dan tegak di 

hadapan kakek yang tetap sandarkan tubuh ke bata-

ngan pohon di belakangnya.

“Kek.... Kami memutuskan akan mengajakmu ikut 

sertai Tapi....”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek sudah menyahut sebe-

lum Joko selesai berkata. “Jadi kalian sudah memu-

tuskan. Namun kalian memasang syarat! Ha... Ha... 

Ha... Anak Muda.... Perlu kau tahu satu hal. Jika sese-

orang memasang satu syarat, itu satu bukti kalau 

orang itu kurang percaya diri! Tapi tak apalah.... Kata-

kan apa syarat itu...?!”

“Harap tidak berlaku usil saat di tengah jalan! Dan 

jika sampai di Bukit Toyongga, harap tidak melakukan 

atau berucap yang membikin suasana berubah jadi 

panas....”

“Hem.... Begitu?! Hanya itu syaratnya?!”

Joko menjawab dengan anggukkan kepala. Si kakek 

tertawa panjang. Lalu berujar.

“Syarat mudah.... Aku bersedia melakukannya!”

“Orang aneh.... Sebenarnya apa maksudnya dia 

hendak ikut ke Bukit Toyongga...? Dia juga tidak ber-

tanya ada apa sebenarnya! Hem....” Joko membatin 

memperhatikan si kakek sekali lagi dengan lebih sek-

sama. Yang dipandangi balas memandang.

“Anak muda! Rasanya tak ada dari tubuhku yang 

sedap untuk dipandang! Sementara di belakangmu ada 

pemandangan indah yang terlalu sayang disia-siakan! 

Atau barangkali kau lebih tertarik dengan dada dan


pahaku?!”

Joko menyeringai. Saat lain dia balikkan tubuh dan 

melompat ke arah Dewi Bunga Asmara.

“Dewi.... Kita berangkat sekarang....”

Dewi Bunga Asmara tersenyum lalu anggukkan ke-

pala dan mulai melangkah. Joko berpaling sesaat pada 

si kakek, lalu tanpa buka mulut dia mengikuti langkah 

Dewi Bunga Asmara. Anehnya, meski tahu Pendekar 

131 dan Dewi Bunga Asmara sudah bergerak bahkan 

sudah agak jauh melangkah, si kakek masih saja tegak 

bersandar di batangan pohon. Malah saat sosok murid 

Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara lenyap tidak 

kelihatan, si kakek belum juga beranjak dari tempat-

nya.

Baru begitu sudah agak lama, si kakek mulai me-

langkah dari dekat batangan pohon di mana tadi dia 

bersandar. Herannya, dia tidak segera berkelebat me-

nyusul agar tidak kehilangan jejak. Sebaliknya me-

langkah perlahan-lahan seraya mengisap dua pipa di 

mulutnya. Dan ternyata dia melangkah tidak mengam-

bil arah seperti yang diambil Pendekar 131 dan Dewi 

Bunga Asmara!

***

SEMBILAN



KARENA telah maklum akan kehebatan ilmu peri-

ngan tubuh si kakek, Pendekar 131 memberi saran 

agar Dewi Bunga Asmara berlari sekuat yang dia mam-

pu. Dan begitu si gadis mulai berlari, tanpa meman-

dang ke belakang, murid Pendeta Sinting pun segera 

berlari.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari, pada satu tempat, Dewi Bunga Asmara berhenti.

“Perjalanan kita sudah tak jauh lagi. Kita istirahat 

sejenak!” berkata Dewi Bunga Asmara dengan tangan 

mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dada-

nya tampak bergerak keras turun naik.

Joko ikut hentikan larinya dan tegak menjajari. Dia 

berpaling hendak berkata, namun meski mulutnya te-

lah terbuka, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya se-

pasang matanya tampak membesar memandang tak 

berkesip.

“Edan! Dalam keadaan basah oleh keringat begini 

rupa, sosoknya begitu menggoda....” Joko bergumam 

dalam hati dengan mata menatap tajam pada sosok 

Dewi Bunga Asmara.

Karena pakaian yang dikenakan si gadis sangat ti-

pis dan basah oleh keringat, membuat pakaian itu lak-

sana melekat hingga membikin semua lekukan tubuh-

nya terlihat jelas. Belum lagi gerakan dadanya yang tu-

run naik dan renggangkan kedua kakinya yang mem-

buat belahan pakaian bawahnya melebar menampak-

kan pahanya yang berkulit putih dan padat.

“Aku tidak mendengar suara kakek temanmu itu!” 

Dewi Bunga Asmara kembali angkat suara. Saat ber-

samaan dia gerakkan tubuh menghadap Joko yang te-

gak di sampingnya.

Murid Pendeta Sinting tampak salah tingkah. Dia 

buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain. 

Tampaknya Dewi Bunga Asmara sadar. Dia tundukkan 

kepala melihat ke arah belahan di dadanya yang me-

mang dibuat agak rendah. Lalu memandang pada be-

lahan pakaian di pahanya. Saat lain dia kembali putar 

diri menghadap ke depan. Wajahnya sedikit berubah.

Mungkin karena sama-sama salah tingkah, untuk 

beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mu

lut. Hanya mata mereka yang sesekali melirik.

“Dewi.... Berapa lama lagi perjalanan sampai bukit 

itu?!” Akhirnya Joko memecah kebisuan.

“Kalau kita berlari seperti tadi, mungkin sebelum 

petang kita sudah sampai!”

“Kau yakin memang akan banyak tokoh yang hadir 

di sana?! Apakah tidak mungkin undangan ini hanya 

ulah seseorang yang mengail di air keruh?!”

“Menurut kesimpulanku setelah melihat apa yang 

terjadi beberapa waktu terakhir ini, aku yakin akan 

banyak tokoh yang hadir! Dan aku pun juga menduga, 

undangan ini adalah ulah seseorang! Hanya saja orang 

itu pasti memegang peta wasiat!”

“Mengapa kau menduga begitu?!”

“Kau tahu sendiri. Peta wasiat itu terbagi dua. Satu 

berada di Perguruan Shaolin, satunya lagi masih men-

jadi teka-teki di mana beradanya. Sementara waktunya 

telah tiba. Jika malam ini peta wasiat tidak bisa dis-

atukan, maka peta wasiat itu tidak akan ada artinya 

lagi! Untuk itulah salah seorang yang memegang peta 

wasiat menyebar undangan. Dengan begitu, siapa pun 

yang memegang peta wasiat satunya pasti akan da-

tang, karena dia juga menginginkan separo dari peta 

wasiat! Jika tidak, untuk apa menyebar undangan?! 

Dan karena orang ini belum tahu siapa yang meme-

gang peta wasiat satunya, terpaksa dia memberi un-

dangan pada beberapa orang yang diduga tahu dan 

ikut terlibat memperebutkan peta wasiat itu!”

“Hem.... Selain cantik, bertubuh bagus, dia juga 

pintar!” Joko anggukkan kepala seraya terus melirik.

“Jika kesimpulanmu demikian, berarti akan ada 

bentrokan di bukit itu!”

“Itu mungkin saja terjadi jika tidak ada kesepaka-

tan! Dan untuk itulah sebenarnya aku bertujuan kebukit itu! Karena aku menduga guruku akan ada di 

sana.... Aku tak mau sesuatu menimpa guruku! Meski 

aku yakin, kehadiranku di sana akan membuatnya 

marah!”

“Mengapa kau yakin gurumu akan marah melihat 

kehadiranmu? Apa karena kau datang bersamaku?!”

Dewi Bunga Asmara berpaling tanpa putar tubuh. 

Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Jo-

ko, hingga untuk beberapa lama kedua orang ini sa-

ling pandang. Namun Dewi Bunga Asmara segera alih-

kan pandangannya dan berkata.

“Keberadaanmu bersamaku mungkin saja satu se-

bab. Tapi sebelumnya sudah ada sebab. Kau masih in-

gat pertemuan kita pertama kali?!” Kepala Dewi Bunga 

Asmara kembali menghadap Joko.

Pendekar 131 anggukkan kepala. Kini dia yang alih-

kan pandang matanya dari dada Dewi Bunga Asmara 

ke jurusan lain.

“Hem.... Aku begitu bahagia bersamanya.... Sean-

dainya pertemuan dengannya tanpa didahului satu 

masalah, tentu akan lain ceritanya!” Dewi Bunga As-

mara diam-diam membatin dengan dada berdebar.

“Kau belum menjelaskan, mengapa dengan perte-

muan kita dahulu?!” Joko berujar karena si gadis be-

lum juga buka mulut lagi.

Karena Joko berkata tanpa memandang, Dewi Bun-

ga Asmara memberanikan terus memandang seraya 

berkata.

“Setelah aku, Guru, dan Bayangan Tanpa Wajah ta-

hu kalau kau diselamatkan Bu Beng La Ma, kami ber-

tiga sepakat untuk mengejarmu ke tempat kediaman 

Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Di tengah jalan, 

mungkin karena mengkhawatirkan keselamatanku, 

Guru menyarankan agar aku kembali dan tidak ikut!


Namun aku bersikeras untuk ikut!” Dewi Bunga Asma-

ra hentikan ucapannya sesaat. Namun sebenarnya dia 

berkata sendiri dalam hati. “Sebenarnya aku bersi-

keras ikut karena ingin berjumpa lagi denganmu dan 

untuk yakinkan diri jika kau tidak apa-apa....”

“Pada mulanya, Guru memang mengizinkan aku 

ikut serta. Tapi begitu akan sampai di Kuil Atap Langit, 

tiba-tiba Bayangan Tanpa Wajah mengusulkan agar 

aku kembali saja. Karena dia tahu benar siapa tokoh 

yang hendak dihadapi! Usulan Bayangan Tanpa Wajah 

membuat Guru berubah niat. Hingga akhirnya dia me-

merintahkan padaku untuk kembali saja! Dan meski-

pun aku bersikeras dan memberi alasan, Guru tidak 

mau dengar! Akhirnya aku kembali pulang....”

Dewi Bunga Asmara kembali hentikan keterangan 

dengan wajah sedikit berubah. Setelah menghela na-

pas panjang, dia melanjutkan.

“Beberapa hari sendiri, aku dilanda perasaan cemas 

dan khawatir. Karena sampai menjelang hari ganda se-

puluh, tidak ada kabar berita guruku. Aku sudah ber-

niat untuk mencarinya. Namun sebelum berangkat, 

aku mendapatkan undangan gulungan daun itu....”

Dewi Bunga Asmara putar kepala dengan mata me-

ngedar berkeliling karena saat itu dia teringat kembali 

pada si kakek. Dia sudah buka mulut lagi hendak ber-

tanya karena dia tidak melihat batang hidung orang 

yang dicari. Namun sebelum suaranya terdengar, Joko 

sudah angkat bicara mendahului.

“Kau pernah kenal dengan seorang pemuda yang 

mengenakan pakaian mirip kebaya? Wajahnya tampan 

berkulit putih. Bibirnya diberi pewarna merah. Tangan 

kanannya memegang sebuah kipas....”

Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama dengan 

dahi berkerut. Saat lain kepalanya bergerak menggeleng. “Aku tidak pernah melihatnya! Ada apa?!”

Murid Pendeta Sinting tersenyum dan geleng kepa-

la. “Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. 

Aku cuma heran, ada pemuda yang mengenakan pa-

kaian milik perempuan. Bibirnya dipoles lagi! Apakah 

di negeri ini banyak pemuda yang bertingkah seperti 

dia?!”

Joko tidak mau berterus terang dan coba mengorek 

keterangan. Dia khawatir di negeri ini banyak pemuda 

yang seperti pemuda berkebaya yang ditemuinya bebe-

rapa hari lalu. Karena jika banyak, hal ini akan mem-

buatnya susah. Sebab Joko yakin peta wasiat di tan-

gannya dibawa kabur pemuda berkebaya itu.

“Setahuku, baru kali ini aku mendengar ada pemu-

da seperti yang kau katakan!” Dewi Bunga Asmara 

menjawab seraya memandang ke arah Joko. Panda-

ngannya jelas menyelidik. Lalu bertanya.

“Sebenarnya ada apa dengan pemuda itu?! Kau ben-

trok dengannya?!”

Kembali Joko geleng kepala dan berkata. “Aku 

hanya melihat dan bicara sebentar. Kalaupun aku ber-

tanya tentang dia, karena aku merasa heran tadi! Bah-

kan saking heran dan penasaran, secara diam-diam 

aku mengikutinya. Aku berharap dia pergi ke sebuah 

sungai dan mandi! Aku ingin tahu, apakah miliknya 

ma-sih seperti milik....”

Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu De-

wi Bunga Asmara pelototkan mata dengan raut merah 

padam.

“Maaf. Bukan maksudku berkata yang bukan-bu-

kan. Aku cuma ingin menerangkan agar kau tidak te-

rus bertanya-tanya....”

“Hem.... Apakah kau pernah bertemu lagi dengan 

guruku sejak kau diselamatkan oleh Bu Beng La Ma?!”

Dewi Bunga Asmara alihkan pembicaraan.

Joko menjawab dengan gelengan kepalanya. “Aku 

hanya sempat bertemu dengan pemuda berkebaya itu 

dan kakek pengisap pipa....”

Habis berkata begitu, Joko palingkan kepala ke ka-

nan kiri. Ucapannya membuat dia teringat pada si ka-

kek.

“Ke mana dia?! Dari tadi aku tidak melihat batang 

hidungnya! Jangan-jangan dia sembunyi di sekitar 

tempat ini!” Joko kembali putar kepala dengan mata 

menyelidik.

“Kau mencari seseorang?!” tanya Dewi Bunga Asma-

ra meski dia tahu apa yang tengah dilakukan Joko.

“Kakek temanku itu! Aku tidak melihatnya!”

Dewi Bunga Asmara ikut-ikutan putar kepala de-

ngan mata menyiasati keadaan. Namun hingga bebe-

rapa lama, kedua orang ini tidak melihat sosok si ka-

kek.

“Mungkin dia batalkan niatnya untuk ikut! Di ten-

gah perjalanan tadi, aku sempat mencari-cari dengan 

berpaling ke belakang, tapi aku memang tidak me-

lihatnya!” kata Dewi Bunga Asmara.

Joko tidak sambuti ucapan si gadis. Dan karena te-

lah tahu ulah si kakek sebelumnya, dia terus menye-

lidik untuk yakinkan diri. Dan begitu tidak mene-

mukan orang yang dicari, dia ajukan tanya.

“Dewi.... Kau tahu siapa kakek itu sebenarnya?!”

Yang ditanya sipitkan mata. “Kau ini aneh. Bukan-

kah dia temanmu?! Mengapa kau bertanya padaku 

tentang siapa dia?!”

“Terus terang, sebenarnya aku baru saja berkenalan 

dengannya! Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!”

Dahi Dewi Bunga Asmara makin berkerut. “Bukan-

kah kau tadi menyebutkan namanya padaku Ci Kam


Pek dan Ci Ka Long?!”

“Ah.... Itu cuma main-main.... Sebab jika aku tidak 

menjawab siapa namanya saat itu, pasti kau akan 

menduga jelek padaku!” jawab Joko dengan cengar-

cengir.

“Kau sama saja dengan kakek itu! Suka main-

main!” ujar Dewi Bunga Asmara dengan suara ketus 

dan pasang tampang cemberut. “Namamu yang kau 

beri tahukan padaku jangan-jangan juga main-main! 

Kau bukan Han Ko!”

“Ah.... Namaku memang yang baru kau sebut tadi! 

Aku tidak main-main dengan nama itu!” ujar murid 

Pendeta Sinting seraya bergerak mendekat.

Entah agar orang percaya dan.si gadis tidak cembe-

rut, perlahan-lahan Joko mengambil tangan kanan 

Dewa Bunga Asmara.

Dewi Bunga Asmara sempat terkejut. Anehnya dia 

tidak berusaha menolak, bahkan dia balik meremas 

saat tangan Joko mulai berani meremas. Dada gadis 

ini berdebar keras. Wajahnya berubah merah dan tidak 

berani memandang langsung ke arah murid Pendeta 

Sinting yang makin berani dengan ambil tangan kiri-

nya!

“Kuharap kau percaya padaku....” Joko berkata 

dengan suara agak tersendat seakan tenggelam oleh 

debaran dadanya.

“Kau memang tidak main-main, bukan?!” kata Dewi 

Bunga Asmara dengan palingkan kepala perlahan-

lahan menghadap Joko. Joko gelengkan kepala meski 

dalam hati menahan tawa.

“Kau benar berani menghadap guruku?!” 

“Dia juga manusia sepertiku. Apa yang ditakutkan?! 

Lagi pula masalahnya hanya salah paham.... Tidak ada 

masalah yang tidak bisa diselesaikanl Apalagi....”


Belum lagi Joko lanjutkan ucapannya, Dewi Bunga 

Asmara lepaskan kedua tangannya dari tangan Joko, 

membuat murid Pendeta Sinting terkejut. Dan belum 

hilang rasa kejut Joko, mendadak Dewi Bunga Asmara 

gerakkan kedua tangannya melingkar pada pinggang 

Joko. Saat lain kepalanya disandarkan pada dada Jo-

ko! Pendekar 131 terkesiap. Dadanya bergemuruh. 

Apalagi saat yang sama Dewi Bunga Asmara angkat 

kepalanya tengadah hingga hidungnya yang mancung 

menyentuh ujung dagunya.

“Kau tahu.... Baru saat ini aku merasakan baha-

gia.... Dan kau tahu, sejak pertama kali jumpa dengan-

mu, aku sudah tertarik padamu....” Dewi Bunga Asma-

ra berbisik pelan dengan suara serak.

Joko tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dan 

tanpa sadar kedua tangannya bergerak pula melingkar 

pada pinggang Dewi Bunga Asmara. Saat lain kepala-

nya ditundukkan. Dewi Bunga Asmara memandang 

sesaat pada bola mata Joko. Lalu perlahan-lahan gadis 

ini pejamkan sepasang matanya.

Debaran dada murid Pendeta Sinting makin keras. 

Dan perlahan-lahan kepalanya bergerak ke bawah.

Dewi Bunga Asmara makin pejamkan matanya saat te-

rasa keningnya dicium murid Pendeta Sinting dan saat 

lain bibirnya terasa hangat ketika bibir Joko bergerak 

menyentuh bibirnya.

Untuk beberapa lama kedua orang itu tenggelam 

dalam pelukan mesra hingga satu saat tiba-tiba Dewi 

Bunga Asmara tarik kepalanya dari wajah Joko dengan 

perdengarkan batuk-batuk kecil beberapa kali. Di lain 

pihak, murid Pendeta Sinting pun cepat takupkan tan-

gan kanan pada mulutnya dan berusaha menahan na-

pas.

“Busyet! Ada-ada saja yang mengganggu.... Dari ma


na sebenarnya asap ini...? Hem.... Kalau ada asap, 

pasti ada api! Dan berarti ada orang di tempat ini!” Mu-

rid Pendeta Sinting membatin karena saat itu menda-

dak saja tempat di mana dia berada bersama Dewi 

Bunga Asmara telah dipenuhi asap!

“Dewi.... Aku yakin ada orang lain di tempat ini!” bi-

sik Joko.

“Aku juga menduga demikian!” ujar Dewi Bunga As-

mara dengan palingkan kepala tidak berani meman-

dang.

Joko pentangkan mata. Merasa aneh, karena ter-

nyata asap itu tidak melingkupi sekitar tempat itu. Se-

baliknya hanya berputar-putar di tempat mana Joko 

dan Dewi Bunga Asmara tegak. Lalu memanjang ke 

atas.

Pendekar 131 gerakkan kepala mengikuti arah 

asap. Ternyata asap itu memanjang ke atas dan ber-

sumber dari satu dahan di sebuah pohon!

Karena masih tertutup asap, Joko belum bisa meli-

hat bagaimana asap bisa bersumber pada dahan se-

buah pohon. Namun diam-diam hatinya berdebar dan 

menduga-duga. Saat lain dia berkelebat keluar dari pu-

taran asap yang melingkupinya. Dan hampir bersa-

maan, Dewi Bunga Asmara juga melompat.

Murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara sa-

ma mendongak ke arah dahan pohon dari mana asap 

bersumber. Mata Joko terpentang seketika. Sementara 

Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan 

bergumam tak jelas.

“Kakek usil itu!” bisik murid Pendeta Sinting demi 

melihat satu sosok tubuh enak-enakan duduk bersan-

dar di salah satu dahan dengan mulut kepulkan asap 

dari dua pipa!

***


SEPULUH



“HARAP tidak berburuk duga.... Kalian lihat sendiri. 

Kepalaku tengadah melihat langit. Kalaupun kalian 

terganggu dan batuk-batuk terkena asapku, jangan sa-

lahkan aku. Asap itu yang nyasar tak tahu diri....” 

Orang di atas dahan yang ternyata si kakek adanya 

perdengarkan suara. Saat bersamaan dia menghela 

napas. Asap yang semburat ke bawah laksana disedot 

kekuatan dahsyat. Lalu bergulung-gulung mengecil 

dan masuk amblas ke kedua pipa di mulutnya!

Joko dan Dewi Bunga Asmara berpaling saling pan-

dang tanpa ada yang buka mulut. Namun mau tak 

mau Joko sedikit jengkel dengan ulah si kakek. Dia 

yakin, meluncurnya asap tidak akan terjadi kalau ti-

dak disertai tenaga dalam.

“Kek! Kau telah menerima syarat jika akan terus 

ikut! Tapi dengan....”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek telah memotong. “Aku 

memang telah terima syarat! Tapi kurasa aku masih 

belum melanggar ketentuan!”

“Asapmu itu!”

“Anak muda.... Seharusnya kau berterima kasih! 

Bukan padaku, karena aku tidak mengharap rasa te-

rima kasih! Tapi pada asap itu! Sebab dengan asap itu, 

kau terlepas dari malu besar! Bukan malu padaku, ta-

pi pada seseorang.... Bukan pada gadis cantik di sam-

pingmu itu, tapi pada gadis lain....”

“Kek! Kau bicara apa?! Jangan mencari dalih!”

Si kakek tertawa. “Apa gunanya dalih?! itu dilaku-

kan seseorang yang tidak punya bukti kuat! Sekarang 

coba jangan terus pandangi aku begitu rupa! Bukan

karena aku malu padamu, namun sebagai temanmu,

aku jadi malu pada orang lain!”

“Keki Di sini tidak ada orang lain! Jangan kau terus 

mencari alasan!”

“Sebaiknya kita teruskan perjalanan! Kalau perde-

batan ini dilanjutkan, tidak akan selesai.... Lagi pula 

ini kesalahan kita! Kalau tidak disadarkan olehnya, 

mungkin kita akan terus berada di sini dan itu akan 

membuat kita terlambat!” Dewi Bunga Asmara berbi-

sik.

Namun karena sudah jengkel, Joko tidak pedulikan 

ucapan Dewi Bunga Asmara. Dia kembali berteriak.

“Kek! Karena kau telah melanggar syarat, harap 

sampai di sini saja kau mengikutiku!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-

da! Orang dimabuk cinta memang akan lupa segala-

nya. Tempat, waktu, dan keadaan! Aku maklum hal 

itu.... Tapi sekarang kau tentu telah agak sadar. Ku-

harap kau sekarang ingat tempat, waktu, dan ke-

adaan....”

Joko sudah akan buka mulut lagi. Namun si kakek 

di atas pohon telah lanjutkan ucapan. “Jangan kau po-

tong ucapanku! Sekarang kuharap kalian berdua ber-

paling jauh ke samping kanan sana! Ingat.... Perlahan-

lahan saja dan jangan terkejut!”

Meski belum mengerti ke mana arah tujuan ucapan 

si kakek, baik Pendekar 131 maupun Dewi Bunga As-

mara segera turuti ucapan orang. Mereka berdua ber-

paling ke samping kanan. Dan mungkin karena pena-

saran, Joko bukannya berpaling perlahan-lahan, na-

mun kepalanya disentakkan!

Kepala Joko laksana dipacak. Sepasang matanya 

membesar dengan mulut terkancing rapat. Wajahnya 

berubah merah padam dan tegang. Saat lain dia meli-

rik pada Dewi Bunga Asmara dengan dada berdebar.


Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara tampak terkejut. 

Parasnya berubah merah meski tidak tegang. Bahkan 

pandang matanya mengisyaratkan rasa tidak senangi

“Anak muda sekalian.... Apa pendapat kalian ber-

dua?! Perlu kalian tahu, dia telah tegak di sana hampir 

bersamaan dengan keberadaan kalian di tempat ini! 

Tapi aku tak tahu, apakah dia tengadah ke langit se-

pertiku atau melotot seperti sekarang....”

“Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tahu apa 

yang kulakukan bersama Dewi Bunga Asmara.... Bu-

syet betul! Mengapa aku sampai tidak tahu kehadi-

rannya?!” Joko membatin.

“Dari sikapmu, sepertinya kau kenal dengan dia! 

Siapa dia?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya dengan 

suara pelan namun nadanya agak ketus.

Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya terus arah-

kan pandang matanya ke depan. Pada satu sosok tu-

buh yang tegak dengan mata memandang tak berke-

sip ke arah Joko dan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah 

seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan 

pakaian warna merah muda. Rambutnya panjang dige-

rai dan diberi hiasan pita.

“Mei Hua.... Mengapa dia berada di tempat ini?! 

Apakah dia juga bermaksud ke Bukit Toyongga?!”

“Kau belum jawab pertanyaanku.... Kau kenal de-

ngan gadis itu?! Siapa dia...? Ada hubungan apa de-

nganmu?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya. Sepa-

sang matanya terus memperhatikan sosok gadis di se-

berang sana. Di lain pihak, gadis berbaju merah muda 

dan bukan lain ternyata adalah Mei Hua, juga arahkan 

pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara. Hingga 

untuk beberapa lama kedua gadis ini sama perang 

pandang.

“Aku memang mengenalnya.... Dia bernama Mei


Hua....” Akhirnya Joko menjawab dengan suara di-

tekan.

“Hem.... Hubunganmu dengannya?!” tanya Dewi 

Bunga Asmara.

“Hanya sebagai sahabat! Dia pernah menolongku....”

“Aku tak mau kau dustai ! Kalau dia hanya sebagai 

sahabat, mengapa pancaran matanya membayangkan 

rasa cemburu?! Kau kekasihnya...?!”

“Dewi.... Terus terang saja. Aku orang baru di negeri 

ini. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat, aku bi-

sa menjalin hubungan dengan dia?!”

“Ah.... Benarkah ucapannya?! Jangan-jangan gadis 

itu sama sepertiku! Meski baru saja kenal tapi sudah 

jatuh cinta.... Kalau benar, apa yang harus kulaku-

kan...? Dia berwajah cantik.... Mungkinkah pemuda ini 

akan lebih tertarik padanya?!” Dewi Bunga Asmara 

membatin.

Sementara di depan sana, Mei Hua juga berkata 

sendiri dalam hati. “Siapa gadis di sampingnya itu?! 

Ah.... Mengapa aku bodoh? Bukankah mereka tadi be-

gitu mesra saling peluk cium?! Pasti dia kekasihnya?! 

Hem.... Tidak kusangka sama sekali kalau pemuda 

yang selama ini selalu kurindu telah memiliki seorang 

kekasih! Seharusnya aku dulu bertanya dan menye-

lidik dahulu.... Kini semuanya sudah terlambat! Hanya 

saja.... Mengapa sesingkat itu dia punya seorang ke-

kasih di negeri ini? Jangan-jangan dia pemuda yang 

suka mempermainkan perempuan! Terbukti dia tidak 

tahu tempat dan keadaan! Dia berpeluk cium seenak-

nya saja di sembarang tempat! Malah dia seolah tak 

peduli dengan diriku dan orang tua yang ada di atas 

pohon! Dia tidak risih bercinta di depan orang! Hem.... 

Sebaiknya kuteruskan perjalanan ini ke Bukit Toyong-

ga! Dari gelagatnya, mereka juga akan menuju ke sana!


Atau aku batalkan saja ke sana?! Bukankah tidak ada 

gunanya lagi?! Aku ke sana demi pemuda itu. Seka-

rang aku tahu dia di sini dan bercinta dengan seorang 

gadis! Tapi, aku akan teruskan perjalanan ini! Aku se-

karang tahu siapa sebenarnya pemuda itu! Dan me-

lihat tingkahnya, dia tidak pantas memegang peta wa-

siat! Akan kukatakan nanti pada orang-orang di sana 

siapa sebenarnya pemegang peta wasiat itu!”

Berpikir begitu, setelah memandang silih berganti 

pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, Mei Hua 

balikkan tubuh.

“Mei Hua! Tunggu!” Joko menahan seraya berkele-

bat dan tegak menghadang di hadapan Mei Hua.

Mei Hua batalkan niat. Meski dia tegak di hadapan 

Joko, namun sepasang mata gadis cantik ini meman-

dang ke jurusan lain. Bahkan dia tidak berusaha buka 

mulut.

“Dari sikapnya, aku tahu dia cemburu...,” Joko 

membatin lalu berkata.

“Mei Hua.... Kalau tak keberatan, mau katakan pa-

daku kau hendak ke mana?!”

“Itu urusanku! Dan jangan coba-coba menghadang! 

Dan perlu kau tahu, malam nanti, aku menunggumu! 

Kau tentu sudah tahu di mana tempatnya!”

“Kau perlu sesuatu dariku?!” tanya Joko dengan co-

ba sunggingkan senyum.

“Bukan hanya aku! Tapi semua kaum persilatan di 

negeri ini! Bahkan juga pihak kerajaan pun perlu se-

suatu darimu! Kau tak pantas memegang sesuatu itu!”

“Aku tahu apa yang dimaksudkannya! Pasti urusan 

peta wasiat itu! Apakah aku harus mengatakan terus 

terang padanya soal lenyapnya peta wasiat itu dari 

tanganku? Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkin-

kah dia mau percaya ucapanku?!”


Selagi Joko membatin begitu, Mei Hua sudah ang-

kat bicara lagi.

“Masih ada yang ingin kau katakan?! Aku tak mau 

membuat orang lain marah padaku karena kau bicara 

denganku! Dan mulai saat ini, harap kau tidak lagi 

memandangku sebagai sahabat! Anggap saja kita tidak 

pernah bertemu!”

“Mei Hua.... Jangan kau terlalu cepat menuduh! 

Aku dan....”

“Katakan saja apa perlumu menahanku!” Mei Hua 

sudah menukas dengan suara keras. Dan sejauh ini 

dia tidak memandang ke arah murid Pendeta Sinting. 

“Kau tidak perlu memberi penjelasan! Aku sudah tahu. 

Perbuatan lebih bisa bicara daripada kata-kata!”

“Ah.... Repot! Kalau ini dibiarkan dan aku tidak ber-

terus terang, hal ini akan jadi urusan besar di bukit 

sana!”

Membatin begitu, akhirnya Joko memutuskan un-

tuk berterus terang. Hingga setelah melirik pada Dewi 

Bunga Asmara, dia berkata pelan.

“Mei Hua.... Kau boleh mempercayai ucapanku atau 

tidak. Tapi ucapan ini hanya kau yang tahu, karena 

aku percaya padamu!” Joko hentikan ucapannya dan 

berharap Mei Hua mau berpaling memandang ke arah-

nya. Namun ternyata Mei Hua tetap tegak dengan mata 

memandang ke jurusan lain.

Joko menghela napas lalu lanjutkan ucapan. “Peta 

wasiat itu lenyap diambil orang!”

Mai Hua tidak terkejut dengan kata-kata Pendekar. 

Bahkan dia sunggingkan senyum bernada sinis dan 

dingin. Saat lain dia berucap.

“Hanya itu yang ingin kau sampaikan?! Ingat.... Aku 

tak mau orang lain memandangku dengan tatapan 

cemburu! Dan aku tak ingin membuat urusan gara


gara kau tegak di hadapanku!”

“Mei Hua.... Dia itu sahabatku.... Jangan kau men-

duga yang tidak-tidak! Aku....”

“Aku tak ingin membicarakan gadis itu! Dia keka-

sihmu atau sahabatmu atau apamu, itu urusanmu! 

Dan kalau peta wasiat di tanganmu lenyap, aku tahu 

siapa orang yang mengambilnya! Kau begitu gigih 

mempertahankan dari tangan beberapa tokoh.... Tak 

tahunya kau patah di bawah ketiak perempuan! Aku 

tetap akan mengambilnya nanti malam di Bukit To-

yongga!”

“Mei Hua.... Tunggu!” seru Joko tatkala melihat Mei 

Hua sudah berkelebat begitu selesai bicara.

Namun kali ini Mei Hua tidak pedulikan teriakan 

orang. Dia terus berlari dan kemudian lenyap di depan 

sana. Semua orang tidak tahu, begitu sosoknya berke-

lebat, gadis cantik putri Panglima Muda Lie itu te-

teskan air mata!

“Anak muda.... Kau masih ingat kata-kataku, bu-

kan?! Orang tak perlu takut menghadapi bahaya, ka-

rena bahaya itu dibuat manusia itu sendiri! Kalau o-

rang tidak membuat tindakan di luar hukum alam, 

pasti bahaya itu tidak ada....” Kakek di atas pohon per-

dengarkan suara.

Karena masih bingung, Joko tidak pedulikan uca-

pan si kakek. Dewi Bunga Asmara pun tidak acuhkan 

kata-kata orang tua di atas pohon karena dadanya 

saat itu mulai panas terbakar perasaan cemburu. Bah-

kan begitu Mei Hua berlalu, Dewi Bunga Asmara sege-

ra berkelebat dan tegak di samping Joko dan langsung 

berucap ketus.

“Aku tahu ke mana gadis itu pergi! Kau selama ini 

memang telah berjanji dengannya untuk bertemu di 

sana?!”


“Aku tidak pernah berjanji...,” ujar Joko pelan. Na-

mun dalam hati dia membatin. “Mudah-mudahan dia 

tidak mendengar pembicaraanku dengan Mei Hua ta-

di...”

“Sebelum kita lanjutkan perjalanan dan bertemu 

dengan guruku, aku ingin satu kepastian darimu! Aku 

tak mau nantinya mendapat malu di hadapan guruku!”

“Kepastian apa?!”

“Katakan terus terang apa hubunganmu dengan ga-

dis itu tadi!”

“Sial betul aku hari ini! Kalau sampai aku salah 

ucap, aku tidak akan pernah sampai ke Bukit Toyong-

ga....” Joko membatin lalu berkata.

“Dewi.... Dia sahabatku.... Jadi kau tak usah berbu-

ruk duga padanya!”

“Benar...?!” tanya Dewi Bunga Asmara dengan bibir 

mulai akan tersenyum.

“Sayang aku tidak bisa membelah dadaku.... Kalau 

dapat, kau tentu akan melihat ucapanku benar ada-

nya....”

“Hem.... Begitu?! Puitis betul ucapanmu.... Orang 

lagi kasmaran, kadang-kadang ucapannya sukar di-

tangkap nalar.... Anehnya, orang yang mendengar me-

ngerti begitu saja.... Dasar cinta!” Si kakek di atas po-

hon perdengarkan suara.

Joko melirik ke atas dengan mata mendelik. Semen-

tara mendengar ucapan Pendekar, Dewi Bunga Asmara 

langsung mendekat dengan bibir tersenyum. Dan de-

ngan cepat gadis ini mengambil lengan murid Pendeta 

Sinting.

“Kita lanjutkan perjalanan ini! Aku sudah tak sabar 

ingin bertemu dengan guruku....”

“Aduh.... Bagaimana ini nanti?! Benar-benar bisa 

celaka!”


“Apa yang tengah kau pikirkan?! Kau masih teringat 

gadis itu?!” Dewi Bunga Asmara menegur kala Joko 

agak enggan meski dia telah berusaha mengajaknya 

melangkah tinggalkan tempat itu.

Joko gelengkan kepala. “Aku masih merasa heran, 

bagaimana kakek temanku itu tahu-tahu berada di si-

ni?!”

“Itu urusannya dia! Mengapa kau pusing memikir-

kannya?! Mungkin saja dia tadi sembunyi....”

“Aku harus memanggil kakek itu dan jalan bersa-

ma-sama. Jika tidak, akan jadi urusan besar kalau 

sampai aku terus jalan dengan bergandengan tangan 

begini rupa hingga Bukit Toyongga!”

Setelah berpikir begitu, Joko tengadah dan berte-

riak.

“Kek! Kuharap kau turun dan jalan bersama-sama 

kami! Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan-

mu!”

“Hem.... Begitu?! Kau jangan menjebakku, Anak 

Muda! Aku tahu, ucapanmu itu semata-mata agar aku 

berlaku usil pada kalian saat jalan bersama. Dengan 

begitu kalian akan mendepakku tidak boleh ikut! Lebih 

baik aku jalan sendiri saja.... Lagi pula, terlalu sering 

melihat orang bermesraan, membuat aku jadi berdebar 

dan jadi ingin punya kekasih! Padahal aku sudah 

punya kekasih. Kalau aku sampai punya kekasih lagi, 

itu melanggar hukum alam. Dan aku tak mau mem-

buat bahaya!” Si kakek tertawa terkekeh. Lalu lan-

jutkan ucapannya.

“Punya kekasih baru memang sedap betul! Tapi ka-

lau kekasih lama tahu, aku bisa sendiri laaagiiii....”

Joko menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia hen-

dak berteriak merayu lagi. Tapi Dewi Bunga Asmara te-

lah menyeretnya untuk melangkah. Kakek di atas pohon kepulkan asapnya seraya gerakkan tangan kiri 

kanan pulang balik melambai ke arah murid Pendeta 

Sinting. Orang ini menunggu sampai Joko dan Dewi 

Bunga Asmara lenyap di depan sana. Dan begitu sosok 

murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara tidak 

kelihatan, si kakek meluncur turun lalu berkelebat. 

Dan lagi-lagi dia mengambil jalan tidak searah dengan 

yang diambil Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara.

***

SEBELAS



KARENA ditindih perasaan jengkel, geram, dan cem-

buru, Mei Hua berlari laksana orang kesetanan. Gadis 

cantik jelita putri Panglima Muda Lie ini baru hentikan 

larinya tatkala dadanya terasa sesak sulit bernapas. 

Bukan saja karena dibuat berlari dengan pengerahan 

segenap ilmu peringan tubuhnya, namun juga karena 

dibuat terisak sepanjang dia berlari. Hingga begitu 

langkahnya berhenti, gadis ini merasakan kedua ka-

kinya berat. Saat lain sosoknya jatuh menggelosoh di 

atas tanah dengan kedua tangan menakup di depan 

wajah.

Mei Hua tidak sadar berapa lama dia duduk meng-

gelosoh di atas tanah dengan sosok berguncang mena-

han isakan tangis. Yang dia tahu, tiba-tiba telinganya 

mendengar suara orang berkata.

“Tidak disangka, di tempat sepi begini ada seorang 

gadis duduk sendirian dengan wajah tertutup tangan 

dan menangis. Dari suara isakanmu, pasti baru saja 

terjadi peristiwa yang sangat memilukan! Dan melihat 

tempat yang kau pilih, tentu urusannya masih berkai-

tan dengan asmara....”


Mei Hua buru-buru hentikan isakan. Dia jelas dapat 

menebak jika yang baru saja perdengarkan suara ada-

lah seorang perempuan. Kedua tangannya perlahan di-

turunkan. Namun belum sampai wajahnya terbuka, 

kembali terdengar ucapan.

“Urusan asmara kadang-kadang memang sangat 

menyakitkan. Herannya, orang tidak juga merasa jera 

untuk melewatinya. Padahal dia tahu, kepedihan itu 

sudah di hadapan mata jika dia sudah tenggelam mele-

wati api asmara....”

Niat Mei Hua yang hendak palingkan kepala seketi-

ka dibatalkan. Dia usap linangan air matanya dengan 

kedua tangan seraya membatin.

“Suara yang pertama jelas suara milik seorang pe-

rempuan. Dan suara yang kedua adalah milik seorang 

laki-laki! Hem.... Berarti ada dua orang di tempat ini! 

Mengapa mereka berdua seakan tahu apa yang tengah 

menimpaku? Siapa mereka sebenarnya? Ataukah me-

reka berdua juga tahu apa yang tadi terjadi antara aku 

dengan pemuda asing serta gadis itu?!”

Mungkin karena merasa malu karena mendapati 

orang yang bersuara telah tahu apa urusannya, Mei 

Hua tidak berusaha berpaling saat dia berkata.

“Harap tidak mengganggu dan segera tinggalkan 

tempat ini!”

“Ah.... Tidak ada maksud untuk mengganggumu. 

Aku hanya kebetulan lewat dan tahu kau berada di si-

ni! Dan kalaupun aku berhenti, karena mataku seper-

tinya pernah mengenalimu!”

Mei Hua jelas mendengar suara yang baru saja ter-

dengar adalah suara si perempuan. Dadanya jadi ber-

debar tidak enak. Dan dia terlonjak kaget saat ter-

dengar suara tadi.

“Kalau mataku tidak salah pandang, bukankah kau


putri Panglima Muda Lie?!”

Telinga Mei Hua jelas mendengar jika suara yang 

baru saja adalah suara si laki-laki.

Mei Hua tegarkan diri. Saat lain kepalanya berpa-

ling. Sesaat mata gadis ini menyipit dengan dahi ber-

kerut. Mungkin belum percaya, dia bergerak bangkit 

lalu putar diri menghadap orang.

“Aneh.... Jelas-jelas telingaku mendengar suara dua 

orang! Perempuan dan laki-laki. Tapi yang di hada-

panku hanya satu orang! Sikap dan dandanannya pun 

aneh....”

Mei Hua memang hanya melihat satu sosok tubuh. 

Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya 

putih, hidungnya mancung. Rambutnya yang hitam le-

bat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan 

si pemuda yang membuat Mei Hua sipitkan mata de-

ngan dahi berkerut. Karena meski dia adalah seorang 

pemuda, namun bibir pemuda ini dipoles merah me-

nyala. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan polesan 

berwarna merah muda. Selain itu, ternyata pemuda ini 

juga mengenakan pakaian mirip kebaya yang biasanya 

dikenakan orang perempuan! Dadanya tampak mem-

busung kencang laksana seorang dara. Tangan kanan-

nya bergerak gemulai pulang balik mainkan sebuah 

kipas.

Mei Hua edarkan pandangan berkeliling karena dari 

suara orang yang tadi terdengar, dia masih menduga 

kalau di tempat itu bukan hanya satu orang yang 

muncul.

“Kau mencari seseorang?!” tanya si pemuda berke-

baya. Mei Hua mendengar suara si pemuda persis se-

perti suara seorang perempuan.

Mei Hua berpaling tanpa menjawab. Dahinya makin 

berkerut. “Jangan-jangan suara dua orang tadi hanya


dia yang mengucapkannya!”

“Kau putri Panglima Muda Lie, bukan?!”

“Ah.... Jadi benar dia orangnya! Tidak ada orang 

lain di tempat ini!” Mei Hua terus membatin begitu si 

pemuda berkebaya perdengarkan suara lagi. Namun 

kali ini jelas suaranya adalah suara laki-laki.

“Siapa pemuda ini?! Dari mana dia tahu aku adalah 

putri panglima?! Ataukah dia teman ayahku...?! Bisa 

celaka kalau dia benar-benar mengenal ayahku dan 

sekarang hendak pergi ke Bukit Toyongga!”

“Siapa kau?!” Mei Hua ajukan tanya setelah agak 

lama berdiam diri.

“Kau belum jawab pertanyaanku....” Si pemuda ber-

kebaya angkat suara.

“Aku tidak akan menjawab!” kata Mei Hua dengan 

nada agak ketus karena dadanya masih dibuncah rasa 

jengkel.

“Hem.... Kau pun tak akan tahu siapa diriku! Tapi

satu hal yang pasti, mataku tak mungkin salah me-

ngenalimu!”

Mei Hua menyeringai. “Salah atau benar itu urusan-

mu! Yang pasti kau salah dalam satu urusan ini!” Mei 

Hua arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu 

lanjutkan ucapan. “Harap segera tinggalkan tempat 

ini!”

Pemuda berkebaya tertawa panjang. “Dari arah 

yang kau tuju, pasti kau hendak ke Bukit Toyongga! 

Tampaknya bukan hanya ayahmu yang tertarik uru-

san peta wasiat, namun kau juga suka melibatkan diri 

dalam urusan ini! Hem.... Mau turut saranku?!”

“Aku tak butuh saran! Aku perlu kau segera angkat 

kaki dari hadapanku!”

Si pemuda berkebaya bukannya segera melangkah 

pergi. Namun makin keraskan tawanya dan berkata.


“Sedang patah hati?! Mau katakan siapa pemuda 

yang menyakiti hatimu?!”

Mei Hua berpaling dengan mata mendelik angker. 

Saat lain dia membentak.

“Kalau kau tak bisa diberi tahu dengan ucapan, aku 

punya cara lain! Sebelum niatku berubah, harap sege-

ra turuti ucapanku!”

Si pemuda berkebaya gelengkan kepala. “Kau me-

mang putri salah seorang pembesar negeri ini. Tapi bu-

kan berarti kau bisa seenaknya saja mengusir orang! 

Lagi pula tempat ini bukan milik ayahmu!”

Ucapan orang membuat Mei Hua makin geram, na-

mun dia sadar jika ucapan orang benar adanya. Hing-

ga dia segera menyahut.

“Aku tidak mengusirmu. Aku hanya tak ingin di-

ganggu apalagi urusannya berkaitan dengan pribadi-

ku!”

“Aku tak akan ikut campur urusanmu. Aku hanya 

bertanya, siapa tahu aku bisa menolong....”

“Maaf, aku tidak perlu bantuan orang lain....”

“Hem.... Kalau begitu jawabmu, aku tidak memak-

sa. Dan kuharap kau juga tidak memaksaku untuk 

angkat kaki dari tempat ini!”

“Terus di sini bersama orang ini akan membuat da-

daku jengkel. Lebih baik aku saja yang pergi!” Akhir-

nya Mei Hua memutuskan. Dia putar diri lalu berkele-

bat.

“Tunggu!” Mendadak si pemuda berkebaya mena-

han.

Mei Hua batalkan niat meski dengan dada tambah 

dongkol. “Kau mau bicara?! Silakan. Tapi jangan harap 

kau akan mendapat jawaban apa-apa dariku!”

“Aku tidak perlu jawaban. Namun tak ada salahnya 

kau dengarkan ucapanku.... Sebagai putri panglima,


pasti kau telah tahu siapa yang memegang peta wasiat, 

karena pihak kerajaan telah ikut campur urusan ini 

meski secara diam-diam. Dan kalaupun kau ikut-iku-

tan hendak pergi ke Bukit Toyongga, kurasa bukan ka-

rena peta wasiat itu. Namun kau lebih tertarik dengan 

orang yang memegang peta wasiat itu! Bagaimana? Be-

tul bukan?!”

“Dari mana dia tahu?!” Mei Hua membatin dengan 

paras berubah kaget. Sementara melihat sikap orang, 

tampaknya si pemuda berkebaya dapat membaca.

“Hem.... Dugaanku tampaknya tidak jauh meleset! 

Dan jangan-jangan dia menangis akibat urusan de-

ngan pemuda itu....” Membatin si pemuda berkebaya 

dengan bibir tersenyum. Di lain pihak, tampaknya Mei 

Hua jadi terpancing mendapati orang sebut-sebut pe-

muda yang membawa peta wasiat. Mei Hua sudah bisa 

menebak jika yang dimaksud si pemuda berkebaya 

adalah Pendekar.

Mendapati pancingannya mengena, si pemuda ber-

kebaya tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera beru-

jar.

“Aku tahu betul siapa pemuda itu.... Kau boleh per-

caya boleh tidak. Dia sebenarnya adalah sahabatku...”

Mei Hua kontan balikkan tubuh. “Kalau kau saha-

batnya, kau juga perlu mendapatkan hajaran!”

“Hem.... Antara dia dengan pemuda itu tampaknya 

ada urusan! Dugaanku tidak meleset lagi!” Si pemuda 

berkebaya lagi-lagi membatin mendapati sikap Mei 

Hua. Lalu berkata. “Ah.... Apa pun yang dilakukan sa-

habatku itu, tidak selayaknya getahnya juga kau lim-

pahkan padaku! Itu urusan kalian berdua.... Cuma sa-

tu hal yang harus kau tahu, selama ini dia sering 

membicarakanmu.... Kalau aku tak salah pandang, 

tampaknya dia tertarik padamu....”


Dada Mei Hua berdebar. Sepasang matanya ber-

binar. Bibirnya hampir saja sunggingkan senyum jika 

tiba-tiba saja dia tidak teringat akan kejadian yang ba-

ru dilihat.

“Kau jangan berkata mengada-ada! Dan kalaupun

dia tertarik padaku, kau kira aku juga tertarik pada-

nya?!” kata Mei Hua dengan suara keras.

“Ah.... Ada apa sebenarnya antara kau dengannya?! 

Beberapa hari yang lalu dia masih membicarakanmu 

dan tampaknya tidak terjadi apa-apa! Jangan-jangan 

dia menyembunyikan sesuatu padaku! Tapi itu tak 

mungkin.... Dia selalu berterus terang padaku.... Atau 

kau....”

Belum sampai si pemuda berkebaya lanjutkan uca-

pan, Mei Hua telah menyahut.

“Aku melihat sendiri dia bercinta dengan gadis lain! 

Kalau kau sahabatnya, katakan padanya. Jika bercinta 

harap lihat tempat dan keadaan! Jangan bercinta se-

enaknya di sembarang tempat!”

“Ah.... Kau jangan mengarang cerita! Tak mungkin 

dia melakukan hal itu! Aku tahu betul siapa dia! 

Mungkin saja kau salah lihat....”

“Mataku tidak buta! Dan lagi pula apa perlunya aku 

mengarang cerita?!”

“Kalau betul, kau bisa mengatakan siapa gadis yang 

bercinta dengannya?!”

“Aku tak kenal gadis itu!”

“Kau bisa mengatakan ciri-cirinya?! Siapa tahu aku 

bisa menerangkan padamu hingga tidak ada lagi ke-

salahpahaman antara kalian berdua!”

“Terlambat kalau kau akan menengahi urusan ini! 

Tapi agar kau percaya, akan kukatakan padamu ciri-

ciri gadis binal itu! Dia berwajah cantik. Mengenakan 

pakaian warna kuning. Dadanya dibuka lebar begitu


juga pahanya!”

Pemuda berkebaya dongakkan kepala seolah berpi-

kir dan mengingat. Kejap lain dia berucap.

“Dia tidak pernah sebut-sebut gadis dengan ciri 

yang kau sebutkan. Tapi kalau aku tak salah, aku bias 

menebak siapa gadis itu adanya!”

Si pemuda berkebaya hentikan ucapannya sesaat. 

Sementara Mei Hua tampak menunggu dan menyimak 

ucapan orang dengan seksama. Dia memang ingin ta-

hu siapa sebenarnya gadis berbaju kuning yang ber-

mesraan dengan Pendekar.

“Siapa dia?!” Mei Hua ajukan tanya karena si pe-

muda berkebaya tidak segera lanjutkan ucapannya.

“Dia bernama Bang Sun Giok. Namun orang lebih 

mengenalnya dengan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah 

murid tunggal seorang tokoh dunia persilatan bernama 

Li Muk Cin yang lebih dikenal dengan Ratu Selendang 

Asmara....”

“Pantas.... Selama ini aku hanya dengar namanya 

tanpa tahu bagaimana orangnya!” ujar Mei Hua. “Dan 

ternyata memang benar! Dan kalau memang dia, aku 

kini tidak heran lagi. Gadis macam dia memang tidak 

memandang tempat bila bercinta!”

“Tunggu dulu.... Apakah benar kau melihat sendiri 

sahabatku itu bersama gadis yang kusebutkan tadi?!” 

tanya pemuda berkebaya.

“Untuk apa aku membuat cerita dusta?!”

“Kalau saja bukan kau yang berkata, mungkin aku 

masih sangsi!”

“Kau sahabatnya! Aku tak heran kalau kau sangsi 

dan membelanya!”

“Aku tidak membelanya. Hanya aku terkejut. Bagai-

mana mungkin hal ini bisa terjadi?! Karena selama ini 

dia tidak pernah cerita tentang Dewi Bunga Asmara!”


“Laki-laki di mana-mana sama! Dia tidak akan me-

lihat siapa yang diajaknya bercinta!”

“Hem.... Dari tadi ucapanmu selalu bernada ketus. 

Kau tampak diliputi perasaan cemburu. Kalau tak sa-

lah duga, kau berada di sini menangis sendirian pasti 

masih ada kaitannya dengan gadis berbaju kuning 

itu....”

Tampang Mei Hua tampak berubah. Namun karena 

tak mau orang tahu, dia segera menyahut.

“Dugaanmu salah! Ada hal lain yang membuatku 

berada di sini! Dan jangan bertanya hal apa itu. Kare-

na aku tidak akan menjawab!”

Si pemuda berkebaya tertawa. “Aku tak akan ber-

tanya. Karena semua keteranganmu tadi sudah cukup 

buatku untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah 

terjadi.... Hanya saja aku masih heran. Kau tadi bilang 

mereka bercinta tidak memandang tempat keadaan. 

Apakah hal ini benar?!”

Pertanyaan si pemuda membuat dada Mei Hua yang 

sudah agak mereda jadi kembali bergemuruh. Dia sen-

takkan kepalanya ke jurusan lain seraya berkata.

“Dia berpeluk cium di tempat terbuka! Sampai dia 

tidak tahu jika aku lewat! Bahkan dia tidak pedulikan 

seseorang yang ada di atasnya!”

“Aneh.... Bagaimana mungkin?! Barangkali orang 

itu tengah mengintip!”

“Tidak! Orang yang di atasnya itu tidak mengintip!

Malah mungkin karena malu, orang itu sengaja tenga-

dahkan kepala terus menerus! Dan ternyata dia adalah 

temannya!”

“Astaga! Bagaimana bisa begitu?!” gumam si pemu-

da berkebaya dengan tampang sedikit berubah. Namun 

Mei Hua tidak begitu memperhatikan perubahan wajah 

orang, karena gadis ini menduga perubahan itu karena


terkejut tidak percaya.

“Dia seorang kakek?!” tanya pemuda berkebaya.

“Benar!”

“Wajahnya tidak kelihatan karena selalu tertutup 

batu putih?!”

Mei Hua geleng kepala membuat pemuda berkebaya 

sedikit kerut dahi. Diam-diam pemuda ini membatin. 

“Siapa yang bersamanya?!”

“Kakek itu wajahnya memang terlihat samar-samar. 

Namun bukan karena tertutup batu putih. Melainkan 

tertutup asap putih yang selalu mengepul dari dua pi-

pa di mulutnya!”

Kali ini si pemuda berkebaya tidak bisa lagi mena-

han rasa kejutnya. Hingga Mei Hua dapat menebak ji-

ka rasa kejut orang bukan karena keterangannya, tapi 

ada sebab lain.

“Mengapa kau terkejut?! Kau kenal dengan kakek 

itu?!”

“Karena pemuda itu adalah sahabatku, tentu aku 

kenal siapa kakek itu!”

“Siapa dia?!”

“Aku tidak akan mengatakannya padamu! Bukan 

karena apa, aku malu sendiri jika punya teman yang 

tindakannya memalukan begitu rupa! Bagaimana 

mungkin dia diam begitu saja melihat sahabatnya ber-

buat yang tidak senonoh di hadapan matanya?!”

Mei Hua tersenyum mendengar ucapan si pemuda 

berkebaya. Namun tiba-tiba senyumnya pupus tatkala 

dia menyadari sesuatu. “Aneh.... Bukankah pemuda 

pembawa peta wasiat itu pemuda asing?! Bagaimana 

pemuda ini bisa mengatakan sebagai sahabatnya?! Da-

ri paras wajahnya serta dia mengenal banyak tokoh di 

negeri ini, aku yakin pemuda ini asli dari negeri ini...”

Berpikir begitu, Mei Hua sudah buka mulut hendak


bertanya. Namun si pemuda berkebaya keburu angkat 

suara mendahului.

“Kau bertemu mereka di mana?!”

“Kira-kira lima ratus tombak dari sini!”

“Kau menduga mereka akan ke Bukit Toyongga?!”

“Aku tak bisa menerka. Tapi dari jalan yang mereka 

tempuh dan hari yang ditentukan, aku hampir yakin 

mereka juga hendak ke Bukit Toyongga!”

“Ah.... Kalau begitu, aku harus menghadang mere-

ka!”

Mei Hua mengernyit. Namun belum lagi dia ajukan 

tanya, si pemuda berkebaya sudah bersuara lagi se-

olah tahu apa yang akan ditanyakan orang.

“Kau pasti telah tahu siapa Ratu Selendang Asmara. 

Muridnya pasti tidak akan jauh berbeda! Sahabatku 

itu tidak boleh bersama gadis binal itu! Siapa tahu ga-

dis itu punya tujuan tertentu!”

“Yang kau maksud, gadis itu hendak menginginkan 

peta wasiat?!” tanya Mei Hua.

“Betul! Pasti gadis itu menggoda sahabatku dengan 

kemontokan tubuhnya! Lalu akan mengambil peta wa-

siat itu begitu sahabatku terlena! Ini tidak boleh terja-

di!”

Si pemuda berkebaya balikkan tubuh. Mei Hua ter-

senyum sekali lagi dan ikut putar diri. Saat lain gadis 

putri Panglima Muda Lie ini berkata.

“Mudah-mudahan kau tidak terlambat! Karena dia 

telah mengatakan jika peta wasiat di tangannya sudah 

lenyap diambil orang! Tapi aku tidak percaya itu! Dan 

kalaupun benar-benar lenyap, aku tahu siapa yang 

mengambilnya! Pasti gadis binal yang bercinta dengan-

nya itu!”

Habis berkata begitu, Mei Hua hendak berkelebat. 

Namun mendadak dia teringat lagi akan kejanggalan

yang belum sempat ditanyakan karena si pemuda ber-

kebaya keburu ajukan tanya. Mei Hua cepat balikkan 

tubuh lagi. Dia terkejut. Karena dia sekarang tinggal 

seorang diri. Pemuda berkebaya tidak kelihatan lagi 

batang hidungnya!


                          SELESAI


Segera terbit:


WASIAT DARAH DI BUKIT 

TOYONGGA


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar