SATU
PENDEKAR 131 Joko Sableng, Guru Besar Liang
San, dan Bidadari Bulan Emas tidak melihat siapa-
siapa meski baru saja telinga masing-masing menden-
gar suara dua orang. Suara seorang laki-laki dan pe-
rempuan. Bahkan sekalipun mereka telah putar pan-
dangan masing-masing sekali lagi dengan mata dipen-
tang besar-besar. Sementara Dewa Cadas Pangeran ti-
dak acuhkan ucapan yang baru saja terdengar. Orang
tua yang wajahnya tertutup batu putih ini terus lang-
kah-kan kaki mendekati Bidadari Bulan Emas!
Seperti dituturkan dalam episode: “Dewa Cadas
Pangeran”, ketika Pendekar 131 akan menyelidik ke
Perguruan Shaolin, mendadak muncul Guru Besar
Liang San. Setelah terjadi pembicaraan, keduanya ta-
hu siapa orang yang ada di hadapannya. Tapi ketika
Guru Besar Liang San bersikeras meminta peta wasiat
pada murid Pendeta Sinting dan terjadi bentrok, mun-
cullah Bidadari Bulan Emas. Dengan pesona tubuh-
nya, Bidadari Bulan Emas coba menggoda Joko.
Untuk mengalihkan perhatian Guru Besar Liang
San, Joko pura-pura tertarik dengan Bidadari Bulan
Emas. Kedua orang ini akhirnya hendak pergi. Guru
Besar Liang San tidak membiarkan begitu saja. Namun
belum sampai Guru Besar Liang San berbuat sesuatu,
muncul Dewa Cadas Pangeran. Dewa Cadas Pangeran
minta agar Joko memberikan kesempatan padanya un-
tuk dapat membawa pergi Bidadari Bulan Emas. Kare-
na merasa yakin Dewa Cadas Pangeran tahu apa yang
tengah dihadapi dan maklum apa yang tersirat di balik
ucapan Dewa Cadas Pangeran, akhirnya Joko meng-
izinkan Dewa Cadas Pangeran untuk membawa pergi
Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas terkejut
besar. Sementara Guru Besar Liang San sama paling-
kan kepala dengan raut membayangkan rasa kaget.
Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tampak tenang-
tenang saja, malah orang ini gerakkan kaki mendekati
Bidadari Bulan Emas.
“Aneh! Dari gerakan kepala Guru Besar Liang San
dan Bidadari Bulan Emas, jelas kalau suara dua orang
tadi benar-benar ada! Tapi mana manusianya?!” Pen-
dekar 131 kernyitkan kening. Ekor matanya melirik
pada Dewa Cadas Pangeran yang bergerak ke arah Bi-
dadari Bulan Emas. “Jangan-jangan suara tadi diper-
dengarkan orang tua ini! Bukankah kalau dia perde-
ngarkan suara, orang tidak akan tahu karena muka-
nya tertutup batu putih?! Tapi suara tadi jelas ber-
sumber dari arah seberang lain! Atau mungkinkah dia
pergunakan ilmu memindahkan suara?!”
Kalau murid Pendeta Sinting bertanya-tanya ten-
tang siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan
suara, tidak demikian halnya dengan Bidadari Bulan
Emas. Walau dia juga menduga-duga, namun perhati-
annya justru tertuju pada gerakan Dewa Cadas Pange-
ran. Hingga begitu kepalanya berpaling dan tak me-
lihat siapa-siapa, perempuan bertubuh sintal mulus
dan berparas cantik ini cepat alihkan pandang mata-
nya pada Dewa Cadas Pangeran.
“Celaka kalau dia memang hendak mengajakku
pergi! Ini bisa merusak rencanaku pada Pendekar 131
Joko Sableng! Padahal siasatku hampir saja berjalan
lancar! Jahanam betul! Menurut yang kudengar, orang
tua itu berilmu tinggi dan memiliki keanehan.... Apa
yang harus kulakukan sekarang?!” Bidadari Bulan E-
mas membatin dengan wajah makin tegang dan dada
berdebar.
Sementara di lain pihak, Guru Besar Liang San te-
gak dengan tampang geram. Apalagi kala sepasang ma-
tanya tidak menemukan sosok orang yang suaranya
baru saja terdengar.
“Keparat! Urusan satu belum juga tuntas, sudah
ada lagi penghalang yang muncul!” Orang tua berke-
pala gundul dan sekarang menjadi Pimpinan Pergu-
ruan Shaolin ini tidak pedulikan gerakan Dewa Cadas
Pangeran. Dia menoleh pada Pendekar 131 begitu se-
pasang matanya tidak melihat sosok orang yang baru
saja perdengarkan suara.
Saat itulah, kembali tempat itu dipecah dengan ter-
dengarnya suara. “Aku telah berkata! Telingamu telah
mendengar! Kalau kau teruskan langkah, berarti kau
menjemput kematian!” Semua orang di tempat itu tahu
kalau suara yang baru terdengar adalah suara seorang
laki-laki. Semua juga tahu jika suara teguran itu ditu-
jukan pada Dewa Cadas Pangeran. Karena dialah satu-
satunya orang yang bergerak melangkah mendekati
Bidadari Bulan Emas.
Belum sampai ada yang gerakkan kepala, suara lain
menyahut. “Perintah telah diperdengarkan! Kalau ingin
nyawa selamat, turuti perintah kami!” Suara ini adalah
suara perempuan.
Tahu kalau ucapan orang ditujukan padanya, Dewa
Cadas Pangeran hentikan tindakan. Namun orang tua
ini tidak berusaha gerakkan kepala ke sumber suara
meski hampir bersamaan Pendekar, Guru Besar Liang
San, dan Bidadari Bulan Emas berpaling ke arah dari
mana suara terdengar! Ketiga orang ini melihat satu
sosok bayangan berkelebat. Kejap lain di depan sana
telah tegak satu sosok tubuh!
Guru Besar Liang San, Pendekar, dan Bidadari Bu-
lan Emas tegak di tempat masing-masing dengan mata
mendelik dan mulut sama terkancing. Mereka melihat
seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, hi-
dungnya mancung. Rambutnya hitam lebat dibiarkan
bergerai. Tapi bukan karena ketampanan wajah orang
yang membuat Guru Besar Liang San, Joko, dan Bida-
dari Bulan Emas pentangkan mata. Ternyata, meski
sosok yang muncul adalah seorang pemuda, bibir pe-
muda ini diberi warna merah menyala! Pipi kanan kiri-
nya yang berkulit putih juga disaput dengan pewarna
merah muda. Bahkan dia juga mengenakan pakaian
panjang mirip kebaya milik seorang perempuan! Tan-
gan kirinya disilangkan di depan dadanya yang men-
cuat kencang, sementara tangan kanannya bergerak
pulang balik lemah gemulai mempermainkan sebuah
kipas.
Melihat tampang orang yang baru muncul, perla-
han-lahan ketegangan di wajah Joko lenyap. Bibirnya
sunggingkan senyum meski dalam hati dia berkata.
“Dari lagak dan tampangnya, pasti suara dua orang
tadi diperdengarkan oleh pemuda satu ini!”
Sementara demi melihat munculnya si pemuda,
Guru Besar Liang San mendengus. Dia memperhatikan
agak lama. Lalu edarkan pandangan berkeliling.
“Apakah dua suara tadi diucapkan oleh pemuda
ini?! Ataukah ada orang lain?! Aku belum pernah me-
lihat pemuda ini.... Jangan-jangan kemunculannya
bersamaan dengan....”
Belum sampai Guru Besar Liang San teruskan kata
hatinya, murid Pendeta Sinting telah angkat suara.
“Boleh kami tahu siapa kau adanya?! Dan apakah
kau yang mengucapkan perintah tadi?!”
Yang ditanya tidak menjawab. Dia sapukan pan-
dang matanya pada Guru Besar Liang San, lalu ke
arah Bidadari Bulan Emas dan Dewa Cadas Pangeran.
Terakhir si pemuda hujamkan matanya pada Pende-
kar. Untuk beberapa saat sepasang matanya meneliti
dari kaki sampai kepala.
Dipandangi orang begitu rupa, Joko makin lebarkan
senyum meski dalam hati dia terus membatin. “Apa-
kah perangai orang macam dia di negeri ini sama de-
ngan di tanah Jawa?! Yang kudengar, orang seperti dia
lebih suka sama laki-laki! Hem.... Seandainya dia be-
nar-benar seorang perempuan, sungguh sayang kalau
dilewatkan berlalu begitu saja.... Kulitnya putih, bibir-
nya merah menggoda. Rambutnya panjang bergerai.
Dadanya....”
“Apa yang kau lihat?! Mengapa senyam-senyum?!”
Mendadak si pemuda yang mengenakan kebaya perde-
ngarkan suara. Suaranya keras menggelegar dan jelas
suaranya adalah suara seorang laki-laki. Tangan ka-
nannya yang bergerak pulang balik berkipas dihenti-
kan. Sepasang matanya dibeliakkan menusuk tajam ke
dalam bola mata murid Pendeta Sinting.
Belum sempat Joko buka mulut, si pemuda telah
sambungi ucapannya. “Dari apa yang kudengar dan
kulihat, kau adalah pemuda asing dari seberang laut
bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Benar?!”
Selain Dewa Cadas Pangeran, semua yang ada di
tempat itu sempat terkejut. Karena suara si pemuda
kali ini jelas suara milik seorang perempuan! Tapi yang
paling tampak kaget adalah murid Pendeta Sinting
demi mendapati si pemuda telah tahu siapa dirinya.
“Dugaannya tepat! Berarti dia telah lama berada di
sekitar tempat ini dan mendengar pembicaraanku de-
ngan Guru Besar Liang San, Bidadari Bulan Emas,
serta Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dalam hati.
Namun Joko tidak mau tunjukkan rasa kaget. Dia te-
tap sunggingkan senyum lalu berucap.
“Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kau dengar
dan kau lihat di tempat ini. Kalau kau ingin penjela-
san, kita pergi dari sini!”
Ucapan Joko membuat Bidadari Bulan Emas ber-
paling. “Celaka! Apakah dia telah tahu rencanaku?!
Tadi dia memberikan kesempatan yang kuberikan pa-
da Dewa Cadas Pangeran, sekarang dia mengajak pergi
pemuda yang baru datang itu! Ini tidak boleh terjadi!
Siapa tahu pemuda banci itu juga tahu urusan peta
wasiat!”
Membatin begitu, tanpa memandang pada pemuda
yang mengenakan kebaya, Bidadari Bulan Emas ang-
kat bicara.
“Pemuda berkebaya! Harap katakan saja apa mak-
sud kedatanganmu!”
Yang ditanya lagi-lagi tidak segera menjawab. Seba-
liknya dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata
dengan tangan kanan kembali bergerak pulang balik
berkipas-kipas.
“Perempuan cantik! Hari ini aku mendapat rejeki
besar. Maksud pertama kedatanganku tadi sebenarnya
tertarik dengan pemuda asing bergelar Pendekar 131
Joko Sableng itu. Sebelum aku utarakan apa maksud-
ku, ternyata Pendekar 131 telah tahu.... Malah kau de-
ngar sendiri dia mengajakku pergi dari sini!” Suara si
pemuda kali ini adalah suara milik seorang perem-
puan.
Tanpa menunggu sambutan Bidadari Bulan Emas,
si pemuda berkebaya berpaling sesaat pada Bidadari
Bulan Emas. Bibirnya yang merah sunggingkan se-
nyum. Lalu kepalanya menoleh pada Joko. Sebelah
matanya dikedipkan lalu berkata. Suaranya masih se-
perti suara perempuan.
“Pendekar.... Aku memang ingin banyak penjelasan
darimu. Dan kurasa tempat ini memang kurang enak
kalau dibuat menjelaskan. Apalagi ada yang lebih ku-
inginkan darimu daripada sebuah penjelasan!” Si pe-
muda hentikan ucapannya sejenak. Dada Joko jadi
berdebar. Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan
Emas tegak dengan mata saling lontar pandang. Kedua
orang ini tampaknya telah dapat menangkap apa tu-
juan kata-kata si pemuda berkebaya.
Si pemuda berkebaya sapukan pandangannya se-
kali lagi. Saat bersamaan terdengar dia tertawa pen-
dek. Lalu berkata.
“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan! Aku
belum selesai dengan ucapanku. Yang kuinginkan le-
bih bukanlah ada hubungannya dengan peta wasiat!”
Si pemuda lontarkan pandang matanya pada Pende-
kar. Lalu lanjutkan ucapan. “Dia seorang pemuda tam-
pan.... Tanpa kujelaskan lebih lanjut, kurasa kalian
tahu apa maksudku!” Si pemuda tertawa cekikikan.
Kipas di tangan kanannya ditutupkan pada mulutnya.
Sementara sebelah matanya berkedip-kedip.
“Busyet! Ternyata di sini dan di tanah Jawa tidak
ada bedanya!” gumam Pendekar 131 dengan kecut. Se-
nyumnya yang dari tadi terus tersungging mendadak
pupus.
“Kita pergi sekarang, Pendekar?! Aku tahu tempat
yang aman untuk menjelaskan dan bersenang-se-
nang!” Si pemuda berkebaya berujar dengan perde-
ngarkan suara perempuan. Saat lain dia melangkah ke
arah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum
dan kembali berkipas-kipas.
Namun belum sampai bergerak lebih jauh, Bidadari
Bulan Emas membentak.
“Siapa pun kau adanya, jangan kira gampang me-
motong langkah orang!”
Si pemuda berkebaya hentikan langkah. “Pemuda
tampan itu telah melepasmu untuk diberikan pada
orang tua yang malu-malu tunjukkan wajah itu! Jadi
sekarang dia bebas menentukan langkah! Dan seperti
kau dengar tadi, dia mengajakku pergi dari sini! Apa-
kah aku salah kalau menuruti kemauannya?! Lagi pu-
la sejak pertama aku memang tertarik padanya! Baru
kali ini aku menemukan pemuda imut-imut seperti
dia... Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau saja tergoda, apa-
kah keliru jika aku juga tergiur?! Padahal di balik se-
mua ini, aku tidak punya keinginan lain! Berbeda de-
nganmu.... Kurasa di balik ketergodaanmu, kau punya
keinginan lain!”
Paras wajah Bidadari Bulan Emas merah padam.
Sementara si pemuda berkebaya tersenyum lagi lalu
teruskan langkah. Namun baru mendapat tiga tindak,
terdengar bentakan keras.
“Ingat! Penentu hidup matimu adalah gerakan ke-
dua kakimu! Sekali lagi kau gerakkan kaki maju, itu
adalah akhir hidupmu!” Yang perdengarkan bentakan
adalah Guru Besar Liang San.
Untuk kedua kalinya si pemuda berkebaya hentikan
langkah. Kepalanya berpaling pada Guru Besar Liang
San. Kipas di tangan kanannya disentakkan. Seketika
kipas itu menutup. Saat lain kedua tangannya disatu-
kan di depan dadanya yang membusung kencang. Tu-
buh bagian atasnya sedikit dibungkukkan. Lalu ter-
dengar ucapannya.
“Amitaba.... Kalau aku boleh bertanya. Apakah Per-
guruan Shaolin mengajarkan gerakan kaki maju ada-
lah akhir hidup seseorang?!”
“Jangan bicara soal ajaran di tempat ini!” sahut
Guru Besar Liang San.
“Kalau begitu, jangan keluarkan ucapan aneh di
tempat ini!” Si pemuda berkebaya menimpali.
“Hem.... Jika demikian, berarti aku sekarang bisa
lanjutkan acaraku?!” Dewa Cadas Pangeran yang sejak
tadi diam, perdengarkan suara.
Karena tidak ada yang buka mulut menjawab, Dewa
Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Lalu kakinya
bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas karuan saja jadi tercekat. Se-
mentara pemuda berkebaya rundukkan kepala sekali
lagi. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka.
Saat berikutnya dia tidak acuhkan peringatan Guru
Besar Liang San. Kakinya bergerak melangkah.
Mungkin tak dapat menahan rasa geram, apalagi
dengan ucapan si pemuda berkebaya, Guru Besar
Liang San angkat kedua tangannya.
Bidadari Bulan Emas melirik. Perempuan setengah
baya berparas cantik ini berpikir cepat. Kejap lain dia
berkelebat ke arah Joko yang tegak tidak jauh dari
tempatnya.
Pendekar 131 terkesiap. Terlambat baginya untuk
membuat gerakan. Hingga belum sempat dia tahu apa
yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, sosoknya
telah melesat dalam dekapan si perempuan yang me-
nyambarnya dan berkelebat tinggalkan tempat itu!
Tahu apa yang terjadi, Guru Besar Liang San u-
rungkan niat kelebatkan tangan ke arah pemuda ber-
kebaya. Dia cepat putar diri menghadap ke arah mana
Bidadari Bulan Emas berkelebat. Tangan kiri kanan-
nya bergerak lepaskan pukulan.
“Amitaba.... Mengapa kau hendak mencelakai
orang yang mengajakku pergi?!” Si pemuda berkebaya
berteriak melengking. Kipas di tangan kanannya disen-
takkan memotong pukulan tangan Guru Besar Liang
San.
Di lain pihak, Dewa Cadas Pangeran dongakkan ke-
pala. “Ini kesempatan baik di akhir usiaku.... Berse-
nang-senang dengan perempuan cantik! Dia tak boleh
lari begitu saja!” serunya. Kejap lain kepalanya ditarik
ke belakang lalu disentakkan ke depan! Batu putih di
ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya me-
lenting deras ke udara. Bersamaan itu satu gelombang
luar biasa dahsyat berkiblat!
***
DUA
BUMMM!
Terdengar ledakan keras saat gelombang angin pu-
kulan Guru Besar Liang San dipotong gerakan kipas si
pemuda berkebaya yang juga lesatkan satu gelombang
hebat.
Sementara hampir bersamaan dengan terdengarnya
ledakan, sosok Bidadari Bulan Emas tampak limbung
tersapu gelombang yang menyambar keluar dari gera-
kan batu putih yang selalu menutupi wajah Dewa Ca-
das Pangeran.
Bidadari Bulan Emas cepat kerahkan tenaga dalam.
Tapi belum sampai berbuat sesuatu, dia merasakan
tubuhnya mencelat! Namun perempuan ini tidak hen-
dak lepaskan dekapannya pada sosok murid Pendeta
Sinting. Hingga saat lain kedua orang ini tampak jatuh
bertindihan di atas tanah! Bidadari Bulan Emas ber-
ada di bawah sementara Joko jatuh di atas tubuhnya.
Kalau tadi Joko berusaha lepaskan diri dari deka-
pan Bidadari Bulan Emas, tapi begitu merasakan ge-
lombang menyambar, kedua tangannya segera meling-
kar pada tubuh sang Bidadari. Dan begitu merasakan
sosoknya jatuh di atas sosok Bidadari Bulan Emas, en-
tah karena khawatir akan mendapat pukulan lagi, Jo-
ko cepat benamkan kepalanya ke atas dada Bidadari
Bulan Emas. Sementara kedua tangannya makin di-
kencangkan merangkul tubuh si perempuan.
Di lain pihak, karena tak mau dirinya dihantam lagi
sementara dia tidak bisa bergerak karena tertindih so-
sok murid Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas ber-
usaha lepaskan diri. Namun Joko makin kencangkan
lingkaran kedua tangannya serta makin benamkan ke-
palanya menindih dada Bidadari Bulan Emas, mem-
buat si perempuan berseru.
“Bukan sekarang saatnya bersenang-senang, Pen-
dekar!”
Joko seolah tidak mendengarkan seruan orang. Ma-
lah dia makin eratkan lingkaran kedua tangannya
hingga Bidadari Bulan Emas tampak megap-megap tak
bisa bernapas!
Di seberang samping, melihat gelombang pukulan-
nya dipotong si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang
San tak bisa lagi menindih gemuruh kobaran amarah.
Namun Guru Besar Liang San kini jadi maklum. Gera-
kan si pemuda berkebaya yang memotong pukulannya
dan sempat membuat sosoknya bergetar satu tanda ji-
ka si pemuda berkebaya tidak bisa dilihat sebelah ma-
ta. Hingga begitu terdengar ledakan, Guru Besar Liang
San cepat lipat gandakan tenaga dalam. Kedua tan-
gannya cepat ditakupkan di depan dada. Namun begi-
tu melirik dan melihat apa yang terjadi pada Bidadari
Bulan Emas dan Pendekar, dia membatin.
“Hem.... Perempuan itu bisa berbuat hal di luar du-
gaan jika keadaannya terus begitu! Tanpa diketahui
orang, mungkin saja kedua tangannya bergerak me-
nyelinap dan mengambil peta wasiat itu!”
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San sapukan
pandang matanya pada si pemuda berkebaya dan De-
wa Cadas Pangeran. Saat lain tiba-tiba laki-laki ber-
kepala gundul ini berkelebat ke arah Bidadari Bulan
Emas dan murid Pendeta Sinting yang masih bertindi-
han di atas tanah.
Bidadari Bulan Emas terkesiap kaget melihat gera-
kan sosok Guru Besar Liang San. Sementara si pemu-
da berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran tidak mem-
buat gerakan atau perdengarkan suara meski kedua-
nya melihat gerakan Guru Besar Liang San. Hal ini
makin membuat Bidadari Bulan Emas jadi tercekat.
“Pendekar! Lepaskan tanganmu!” Bidadari Bulan
Emas berbisik dengan suara tersendat.
Tapi Joko seolah tidak mendengar. Dia hanya ge-
rakkan kepala ke arah samping. Dan begitu melihat
kelebatan sosok Guru Besar Liang San, dia cepat be-
namkan kembali kepalanya pada dada Bidadari Bulan
Emas seolah ngeri. Saat bersamaan kedua tangannya
makin kencang memeluk tubuh Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas tak mau menanggung risiko.
Kaki kanan kirinya ditekuk lalu dihantamkan ke atas.
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Pelu-
kan tangannya pada sosok Bidadari Bulan Emas seke-
tika lepas. Saat lain sosok tubuh bagian bawahnya
mencelat ke udara. Bidadari Bulan Emas sentakkan
kedua tangannya yang kini sudah bisa bergerak bebas
ke arah bahu kiri kanan Joko.
Bukkk! Bukkk!
Untuk kedua kalinya terdengar seruan dari mulut
murid Pendeta Sinting. Sosoknya melenting ke udara.
Guru Besar Liang San pentangkan mata melihat
pada kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Dan begitu
matanya tidak melihat apa-apa pada kedua tangan si
perempuan, laki-laki berkepala gundul ini lipat ganda-
kan tenaga dalamnya. Saat berikutnya dia teruskan
kelebatan menyongsong sosok Pendekar 131 yang kini
meluncur deras ke bawah. Kedua tangannya bergerak
menyambar. Bukannya lepaskan pukulan, tapi sengaja
menyahut ke arah pinggang kanan kiri Joko.
Rupanya Bidadari Bulan Emas bisa menangkap ge-
lagat. Hingga begitu Guru Besar Liang San teruskan
kelebatan dan gerakkan kedua tangannya, perempuan
bertubuh sintal ini gulingkan tubuhnya dua kali. Saat
lain dia gerakkan kedua tangannya memotong gerakan
Guru Besar Liang San.
Si pemuda berkebaya tampaknya tidak diam begitu
saja demi melihat luncuran tubuh murid Pendeta Sin-
ting. Kipas di tangan kanannya segera disentakkan.
Satu gelombang dahsyat kembali melesat.
Guru Besar Liang San cepat rundukkan kepala be-
gitu rasakan sambaran gelombang dari arah belakang.
Dan dia cepat putar kedua tangannya ketika tahu Bi-
dadari Bulan Emas memotong gerakannya. Lalu kedua
tangannya disentakkan ke arah Bidadari Bulan Emas.
Bummm!
Untuk kedua kalinya tempat itu diguncang dengan
suara ledakan ketika gelombang yang keluar dari ke-
dua tangan Bidadari Bulan Emas bentrok dengan ge-
lombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.
Saat bersamaan, Joko kembali perdengarkan se-
ruan tatkala rasakan tubuhnya mencelat tersapu ge-
lombang yang melesat dari kipas pemuda berkebaya.
Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari jangkauan
Guru Besar Liang San. Dan untuk kesekian kalinya
tempat itu dibuncah seruan tertahan dari mulut murid
Pendeta Sinting ketika sosoknya jatuh terjengkang di
atas tanah.
Di lain pihak, begitu ledakan terdengar, sosok Guru
Besar Liang San tampak bergetar. Kelebatannya ter-
henti. Sepasang matanya menyengat tajam pada sosok
Bidadari Bulan Emas yang bergerak bangkit setelah
bergulingan di atas tanah.
Guru Besar Liang San tidak menunggu lama. Begitu
Bidadari Bulan Emas bergerak tegak, dia melesat de-
ngan kedua tangan berkelebat.
“Amitaba.... Dia calon pengantinku di mana aku bi-
sa mereguk kenikmatan pada akhir usiaku! Harap
Guru Besar Liang San mau mengerti.... Kalau dia sam-
pai cedera, aku tak tahu ke mana lagi harus mencari
penggantinya!”
Habis berkata begitu, Dewa Cadas Pangeran gerak-
kan kepalanya. Batu putih di depan wajahnya bergerak
menyambar ke atas udara. Saat bersamaan satu ge-
lombang angin melesat ke arah Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San putar diri di atas udara. Na-
mun orang ini tidak mau berlaku ayal, apalagi dia te-
lah menangkap gerakan kedua tangan Bidadari Bulan
Emas. Hingga untuk menjaga diri dari pukulan Bida-
dari Bulan Emas selagi dirinya akan menghadang ge-
lombang yang menyambar ke arahnya, tangan kirinya
bergerak lepaskan pukulan terlebih dahulu pada Bida-
dari Bulan Emas, sementara tangan kanannya berge-
rak lepaskan pukulan menghadang gelombang dari
Dewa Cadas Pangeran.
Terdengar dua ledakan berturut-turut. Karena ha-
rus menahan dua gempuran, sosok Guru Besar Liang
San tampak mencelat di atas udara. Sementara sosok
Bidadari Bulan Emas terhuyung dua tindak ke bela-
kang. Namun Bidadari Bulan Emas kali ini tidak sia-
siakan kesempatan, apalagi tahu jika Dewa Cadas Pa
ngeran tidak akan membiarkan dirinya cedera oleh
pukulan Guru Besar Liang San.
Bidadari Bulan Emas kerahkan hampir setengah
dari tenaga dalamnya. Lalu melompat mengejar ke a-
rah Guru Besar Liang San. Kedua tangannya diangkat.
Guru Besar Liang San mendarat di atas tanah de-
ngan kaki sedikit bergetar. Sepasang matanya dipen-
tang besar melihat pada gerakan sosok Bidadari Bulan
Emas. Namun laki-laki berkepala gundul ini tidak
membuat gerakan apa-apa meski tahu kedua tangan
Bidadari Bulan Emas hendak lepaskan pukulan ke
arahnya. Sebaliknya ia sunggingkan senyum lalu sepa-
sang matanya dipejamkan. Kedua tangannya diangkat
ditakupkan di depan dada.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tatkala kedua tangan Bi-
dadari Bulan Emas menghantam telak dada Guru Be-
sar Liang San.
Namun Bidadari Bulan Emas tampak terkesiap ka-
get. Sosok Guru Besar Liang San tidak bergeming dari
tempatnya! Malah sepasang kakinya amblas masuk ke
dalam tanah sebatas mata kaki!
Bidadari Bulan Emas mundur dua tindak. Sepasang
matanya dibeliakkan seolah tidak percaya. Saat lain
kembali kedua tangan perempuan ini bergerak.
Bukkk! Bukkk!
Untuk kedua kalinya dada Guru Besar Liang San
perdengarkan benturan keras akibat hantaman kedua
tangan Bidadari Bulan Emas. Namun sosok Guru Be-
sar Liang San lagi-lagi tidak bergeming. Malah kedua
tangan Bidadari Bulan Emas terpental balik ke bela-
kang!
Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang.
Dia perhatikan sekali lagi sosok Guru Besar Liang San
dari kaki sampai kepala. Saat lain dia bergerak maju.
Kedua tangannya bergerak cepat menghantam ke ba-
gian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San.
“Kau tak akan bisa menemukan di mana letak kele-
mahanku!” Guru Besar Liang San berucap tanpa buka
kelopak matanya. Sosoknya pulang balik ke depan ke
belakang akibat hantaman-hantaman kedua tangan
Bidadari Bulan Emas yang coba mencari titik lemah
Guru Besar Liang San. Namun sejauh ini sosok tubuh
Guru Besar Liang San tetap tidak bergerak dari tem-
patnya!
Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan Guru
Besar Liang San. Dia yakin ada bagian titik lemah dari
laki-laki berkepala gundul ini. Hingga dia teruskan
hantamannya ke bagian tertentu dari tubuh Guru Be-
sar Liang San.
“Cukup!” Mendadak Guru Besar Liang San berte-
riak. Kedua tangannya berkelebat. Karena tidak men-
duga, apa pun yang akan dilakukan Bidadari Bulan E-
mas, terlambat bagi perempuan ini untuk mengha-
dang kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Bulan Emas menjerit. Sosoknya mental ke
belakang. Di atas udara, dari mulutnya tampak me-
nyembur kucuran darah. Saat lain sosoknya terban-
ting di atas udara sebelum akhirnya meluncur ke ba-
wah.
Belum sampai sosok Bidadari Bulan Emas terje-
rembab di atas tanah, satu sosok tubuh berkelebat.
Satu benda putih meluncur. Sosok Bidadari Bulan
Emas tertahan di udara oleh benda putih yang ternya-
ta adalah batu putih di ujung tambang milik Dewa Ca-
das Pa-ngeran.
Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala melihat
sosok Bidadari Bulan Emas yang tertahan oleh batu
putihnya. Namun cuma sekejap. Saat lain orang tua ini
gerakkan kepalanya. Tambang pengikat batu putih
bergerak ke belakang. Sosok Bidadari Bulan Emas me-
luncur lagi ke bawah. Namun kali ini kedua tangan
Dewa Cadas Pangeran telah menantinya!
***
TIGA
SI PEMUDA berkebaya sesaat tadi terkejut melihat
hantaman-hantaman kedua tangan Bidadari Bulan
Emas seakan tidak dirasa oleh Guru Besar Liang San.
Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Pen-
dekar 131 yang bergerak bangkit di seberang sana.
Dan ketika Dewa Cadas Pangeran berkelebat menye-
lamatkan Bidadari Bulan Emas, dia segera melesat ke
arah Joko.
“Untuk sementara sebaiknya aku pergi dari sini!”
gumam Joko. Dia pandangi gerakan pemuda berke-
baya dan tidak membuat gerakan apa-apa.
“Pendekar! Akan kutunjukkan tempat yang baik un-
tuk bicara!” kata pemuda berkebaya seraya teruskan
lesatannya. Kejap lain kedua tangannya telah me-
nyambar sosok murid Pendeta Sinting lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Pendekar 131 memang tidak berusaha untuk le-
paskan diri dari sambaran tangan si pemuda berke-
baya. Dia berpikir akan lebih enak menghadapi pemu-
da ber-kebaya daripada harus berhadapan dengan
Guru Besar Liang San, Dewa Cadas Pangeran, dan Bi-
dadari Bulan Emas.
“Aku akan menurut saja ke mana dia membawaku
pergi. Namun aku harus segera bisa meloloskan diri
dan kembali mengikuti jejak Guru Besar Liang San!”
kata Joko dalam hati sembari melirik pada pemuda
berkebaya yang melesat dengan membawa tubuhnya.
Mendapati apa yang dilakukan si pemuda berke-
baya, Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Dida-
hului bentakan keras, sosoknya berkelebat mengejar.
Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran tertawa panjang,
lalu melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu
de-ngan membopong sosok Bidadari Bulan Emas.
Takut kehilangan jejak, Guru Besar Liang San ke-
rahkan hampir segenap ilmu peringan tubuhnya.
Hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menang-
kap arah kelebatan si pemuda berkebaya. Saat itu juga
Guru Besar Liang San sentakkan kedua tangannya le-
pas pukulan jarak jauh!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang ganas semburat menghantam ke
arah pemuda berkebaya.
“Pendekar.... Kita cari selamat sendiri-sendiri!” bisik
pemuda berkebaya. Kedua tangannya bergerak. Sosok
murid Pendeta Sinting lepas mencelat. Saat bersamaan
dia balikkan tubuh lalu kedua tangannya diangkat. Ki-
pas di tangan kanannya disentakkan membuka lalu di-
kibaskan. Sementara tangan kirinya berkelebat meng-
hantam dengan telapak terbuka.
Werrr! Wuuutt!
Terdengar deruan keras. Dua gelombang menyam-
bar susul menyusul menghadang gelombang dari ke-
dua tangan Guru Besar Liang San.
Bummmm! Bummmm!
Dua ledakan keras terdengar mengguncang tempat
itu. Sesaat pemandangan tertutup semburatan tanah.
Sosok Guru Besar Liang San tampak terhuyung
huyung. Wajahnya berubah pucat pasi. Di seberang, si
pemuda berkebaya terlihat limbung. Namun pemuda
berbibir merah dan mengenakan pakaian milik perem-
puan ini cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia
kembali berkelebat. Bukan untuk menghantam balik
ke arah Guru Besar Liang San, tapi tinggalkan tempat
itu!
Guru Besar Liang San masih melihat kelebatan si
pemuda. Sebenarnya dia hendak mengejar, namun ke-
tika pandangannya menumbuk pada sosok murid Pen-
deta Sinting, dia urungkan niat. Sebaliknya dia segera
melesat ke arah Pendekar.
“Busyet! Mengapa dia lari?! Jangan-jangan pemuda
tadi kambratnya Guru Besar Liang San! Mereka senga-
ja bersekongkol dan pura-pura bermusuhan agar da-
pat mengalihkan perhatian orang dan membawaku ke
tempat ini!” Joko bergumam sendiri seraya edarkan
pandangan. Sosok pemuda berkebaya memang telah
tidak kelihatan lagi.
“Aku tidak akan ulangi ucapan! Kau telah tahu se-
muanya!” Guru Besar Liang San angkat suara. Kedua
tangannya diulurkan ke depan. “Serahkan peta wasiat
itu!”
“Aku juga tidak akan ulangi keterangan! Kau telah
mendengar semuanya!” jawab Joko.
Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah tidak sa-
bar. Namun orang ini tampaknya masih coba menahan
diri. Apalagi dia tahu pemuda di hadapannya telah ku-
asai ilmu Sembilan Gerbang Matahari, ilmu yang dimi-
liki salah satu tokoh ternama di dataran Tibet.
“Anak Muda.... Kalau boleh aku tahu, mengapa kau
bersikeras menyimpan peta wasiat itu? Padahal kau
tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya di tanganmu!”
Pendekar 131 tidak buka mulut menjawab. Guru
Besar Liang San tersenyum, lalu teruskan ucapannya.
“Kalau kau ingin imbalan, katakan saja apa imbalan
yang kau minta! Aku bahkan bisa memberimu lebih
dari apa yang dijanjikan Bidadari Bulan Emas!”
“Hem.... Benar kau akan memberikan imbalan yang
kuminta?!” tanya murid Pendeta Sinting.
Guru Besar Liang San tarik pulang kedua tangan-
nya dengan bibir tersenyum. Kepalanya mengangguk.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan sesaat. Lalu
berkata. “Aku ingin separo lagi dari peta wasiat itu!”
Guru Besar Liang San tegak dengan tampang terke-
jut. Sepasang matanya mendelik besar. Untuk bebera-
pa lama lelaki berkepala gundul ini kancingkan mulut.
“Bagaimana?! Imbalan yang kuminta tidak susah,
bukan?!” ujar Joko seraya ikut-ikutan sunggingkan se-
nyum.
“Hem.... Baiklah! Tapi aku minta kau tunjukkan du-
lu peta wasiat yang ada di tanganmu! Karena kau tadi
mengatakan peta wasiat itu telah kau berikan pada
Guru Besar Pu Yi!”
Kini ganti Pendekar 131 yang terkesiap mendengar
jawaban Guru Besar Liang San. Dia sama sekali tidak
menduga akan mendapat jawaban demikian. Karena
dia tadi merasa yakin jika Guru Besar Liang San tidak
akan kabulkan permintaannya.
“Aku tidak mau dibodohi orang.... Siapa tahu kau
memang benar-benar telah berikan peta wasiat itu pa-
da orang lain!” Guru Besar Liang San sambungi uca-
pannya dengan tetap sunggingkan senyum. “Barang
yang kau minta sekarang kubawa!” Tangan kanan
Guru Besar Liang San bergerak menyelinap ke balik
selempang kain merah di pundaknya. “Tunjukkan peta
wasiat itu, dan kau akan segera mendapatkan apa
yang kau minta....”
“Hem.... Meski dia berkata hendak memberikan apa
yang kuminta, tapi aku tidak percaya dengan janjinya!
Namun tidak ada salahnya aku ingin melihat kebena-
ran ucapannya sekaligus melihat separo dari peta wa-
siat itu!” Joko membatin. Perlahan-lahan dia juga seli-
napkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.
Tiba-tiba paras wajah Pendekar 131 berubah. Dia
hentikan sejenak gerakan tangan kanannya. Kening-
nya berkerut. Saat lain kembali tangannya bergerak di
balik pakaiannya. Sementara di seberang sana, Guru
Besar Liang San memperhatikan dengan seksama. Di-
am-diam orang ini telah siapkan tenaga dalam pada
kedua tangannya dan siap melesat ke depan.
“Celaka! Kantong itu tidak ada! Ke mana?! Tak
mungkin jatuh....”
“Bagaimana, Anak Muda?! Aku hanya ingin melihat
dulu. Tidak susah, bukan?!” tanya Guru Besar Liang
San seolah menirukan ucapan Joko tadi.
Joko tidak hiraukan pertanyaan orang. Kini tangan
kirinya ikut digerakkan menyelinap ke balik pakaian-
nya. Namun hingga pakaiannya kedodoran, Joko tidak
menemukan apa yang dicari.
“Kantong itu benar-benar lenyap!” gumam Joko se-
raya hentikan gerakan kedua tangannya. “Astaga! Ja-
ngan-jangan ini ulah pemuda berkebaya itu!” Tanpa
sadar kepala Joko berpaling ke arah mana tadi si pe-
muda berkelebat pergi.
“Hem.... Dia lari begitu saja. Padahal sebelumnya
hendak mengajakku pergi.... Ini satu petunjuk kalau
dia yang mengambil kantong itu saat membawa tubuh-
ku berlari! Sialan betul!”
“Anak muda.... Bagaimana?! Kau merasa keberatan
dengan usulku?!” Guru Besar Liang San kembali aju-
kan tanya. Tangan kanannya dikeluarkan lagi dari balik selempang kain merahnya.
Joko berpaling. Matanya melihat ke arah tangan ka-
nan Guru Besar Liang San. Ternyata tangan kanan itu
tetap kosong. “Hem.... Jangan-jangan pertanyaan dan
usulnya tadi hanya untuk meyakinkan kalau apa yang
diminta sudah tidak ada di tanganku! Jadi benar dia
bersekongkol dengan pemuda berkebaya itu!”
Berpikir begitu, tanpa buka mulut menjawab perta-
nyaan orang, Pendekar 131 segera berkelebat ke arah
mana tadi pemuda berkebaya melesat pergi.
Namun Guru Besar Liang San tidak tinggal diam.
Sebelum Joko bergerak lebih jauh, dia telah ikut ber-
kelebat dan tegak menghadang.
“Anak muda! Aku telah memberimu beberapa jalan.
Namun tampaknya kau keras kepala! Mungkin jalan
kematian yang kau inginkan!” Tangan kiri kanan Guru
Besar Lang San terangkat.
“Peta wasiat itu lenyap dari tanganku! Pemuda tadi
telah mengambilnya!”
Guru Besar Liang San kernyitkan dahi. Namun saat
lain dia perdengarkan tawa panjang. “Kau jangan ber-
kata dusta padaku, Anak Muda!”
“Guru Besar Liang San! Kau boleh percaya atau ti-
dak! Yang jelas pemuda temanmu itu telah mengam-
bilnya!”
“Aku tidak kenal pemuda itu! Kau jangan berkata
mengada-ada! Mungkin kau yang berteman dengan
pemuda itu!”
Murid Pendeta Sinting tidak acuhkan kata-kata
Guru Besar Liang San, dia kembali arahkan pandang
matanya ke jurusan mana si pemuda berkebaya berke-
lebat.
“Dia pasti belum jauh dari tempat ini! Aku harus
mendapatkan kembali peta wasiat itu!”
Membatin begitu, dia cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya di-
sentakkan ke depan lepaskan pukulan. Bukan lang-
sung mengarah pada Guru Besar Liang San, tapi se-
ngaja dihantamkan pada tanah dua tindak di hadapan
Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San sempat terkejut. Karena me-
ngira pukulan ditujukan ke arahnya, kedua tangannya
segera pula dikelebatkan lepaskan pukulan hadangan.
Blaarrr!
Tanah di hadapan Guru Besar Liang San langsung
membubung ke udara menutupi pemandangan. Dan
mungkin tahu gelagat, begitu terdengar ledakan keras
akibat bentroknya pukulan, Guru Besar Liang San ce-
pat berkelebat menerobos hamburan tanah. Namun
ternyata Joko sudah tak kehilangan lagi batang hi-
dungnya!
Guru Besar Liang San tegak dengan sosok bergetar
keras. Kedua tangannya mendelik besar memperhati-
kan berkeliling.
“Bagaimana ini bisa terjadi?! Mungkinkah peta wa-
siat itu benar-benar jatuh ke tangan pemuda berke-
baya itu?! Dari sikapnya, kedua orang tadi memang ti-
dak saling kenal....”
Guru Besar Liang San arahkan pandangannya ke
jurusan si pemuda berkelebat pergi. “Kalau ucapannya
benar, berarti anak muda asing itu mengejar pemuda
berkebaya. Mereka tidak boleh lolos dari tanganku!”
Guru Besar Liang San mendongak sesaat. Entah
apa yang dipikirkannya. Yang jelas kepalanya tampak
bergerak mengangguk sejenak. Kejap lain dia berkele-
bat mengambil arah ke mana tadi si pemuda berke-
baya berlari tinggalkan tempat itu.
***
EMPAT
DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat laksana
dikejar setan. Jarak keduanya kira-kira lima belas
langkah. Meski tampak dikejar, namun sosok yang be-
rada di depan tidak berusaha menyelinap atau mem-
percepat larinya. Sementara sosok yang berada di bela-
kang, meski tampak mengejar namun tidak berusaha
memperpendek jarak. Hanya saja dia terus memperha-
ti-kan seolah tidak mau kehilangan orang di hadapan-
nya.
Pada satu tempat sepi, sosok yang berada di depan
memperlambat larinya. Saat lain dia berhenti dan lang-
sung putar diri. Sosok yang berada di belakang ikut
berhenti dan tegak memandang ke depan.
Sosok yang tadi berada di depan ternyata adalah
seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pa-
kaian warna merah. Rambutnya panjang digeraikan
menutup sebagian pundak kanan kirinya. Matanya bu-
lat dengan hidung mancung dan bibir merah. Semen-
tara sosok yang tadi berada di belakang dan kini tegak
memandang ke arah gadis berbaju merah ternyata juga
seorang gadis berwajah cantik. Dia mengenakan pa-
kaian warna merah muda. Rambutnya diberi pita war-
na merah muda pula.
Untuk beberapa lama kedua gadis cantik ini sama
lempar pandang tanpa ada yang buka mulut. Namun
pandang mata mereka jelas membayangkan rasa tidak
senang.
“Siao Ling Ling.... Aku telah turuti permintaanmu!
Harap segera utarakan apa yang akan kau bicarakan!”
Gadis berbaju merah muda angkat bicara.
Gadis jelita berpakaian merah yang dipanggil Siao
Ling Ling alihkan pandangan.
“Mei Hua.... Kita telah saling kenal bahkan bersa-
habat! Kuharap pembicaraan kita nanti tidak membuat
putusnya persahabatan kita!” Siao Ling Ling buka mu-
lut. Gadis berbaju merah muda yang ternyata bukan
lain adalah Mei Hua ikut alihkan pandang matanya ke
jurusan lain. (Tentang Siao Ling Ling dan Mei Hua, si-
lakan baca serial Joko Sableng dalam episode: “Dewa
Cadas Pangeran”).
“Siao Ling Ling.... Harap tidak terlalu jauh men-
duga! Kurasa persahabatan lebih dari segalanya...,”
ujar Mei Hua.
“Dari sikapmu, ternyata kau sudah kenal dengan
pemuda asing itu! Benar?!” Siao Ling Ling ajukan
tanya.
Yang ditanya tidak segera buka mulut. Dia arahkan
kembali pandang matanya pada Siao Ling Ling. “Aku
memang telah mengenalnya. Tapi harap tidak punya
prasangka yang bukan-bukan....”
Seperti diketahui, ketika hendak menyelidik ke Kuil
Shaolin, Pendekar 131 bertemu dengan Siao Ling Ling.
Namun belum sampai kedua orang ini bicara lebih
jauh, muncullah Mei Hua. Baik Siao Ling Ling maupun
Mei Hua tampak sama terkejut. Tapi Siao Ling Ling ke-
lihatan lebih kaget demi mendapati Joko telah men-
genal Mei Hua. Mei Hua sendiri tampak curiga de-ngan
Siao Ling Ling. Hingga dia hendak mengajaknya bicara.
Namun Siao Ling Ling tidak mau bicara di hadapan
Joko hingga akhirnya kedua gadis ini setuju untuk
mencari tempat.
“Aku tidak punya perangkap.... Aku hanya merasa
heran. Bukankah kau telah tahu siapa pemuda asing
itu?!” Siao Ling Ling menyahut.
Mei Hua tersenyum meski tampak dipaksakan.
“Aku tahu betul siapa dia! Dia adalah seorang pemuda
asing yang kini menjadi buruan kerajaan bahkan bebe-
rapa tokoh dunia persilatan negeri ini!”
“Hem.... Kau tahu apa akibatnya jika berhubungan
dengan seorang buruan kerajaan?!”
“Siao Ling Ling! Harap kau tidak campur adukkan
urusan kerajaan dengan rasa persahabatan! Siapa pun
adanya pemuda asing itu, yang jelas aku hanya bersa-
habat!”
Siao Ling Ling tertawa perlahan. “Mei Hua.... Kau
harus tahu siapa dirimu dan siapa pemuda asing itu!
Jika hal itu diketahui orang kerajaan, kau tentu bisa
bayangkan akibatnya!”
“Kau mengancamku?!” tanya Mei Hua dengan suara
ketus.
Siao Ling Ling gelang kepala. “Aku hanya mempe-
ringatkan! Ini demi kebaikanmu!”
“Siao Ling Ling! Aku tahu mana yang terbaik untuk-
ku!”
“Hem.... Dari ucapanmu, kuduga dia tidak hanya
se-kadar sebagai sahabat. Namun kau telah jatuh cin-
ta padanya!”
Paras muka Mei Hua seketika berubah merah pa-
dam. “Kau telah lancang menduga! Sekarang aku ingin
tahu apa maksudmu sebenarnya mengajakku bicara!”
“Kau ini aneh.... Bukankah tadi kau yang lebih da-
hulu hendak mengajakku bicara saat berada di depan
pemuda asing itu?! Mengapa sekarang kau berbalik
kata?! Seharusnya aku yang bertanya, apa yang hen-
dak kau bicarakan denganku?!”
“Mengapa kau ingin tahu siapa sebenarnya pemuda
asing itu?!” tanya Mei Hua.
“Hem.... Berarti dia telah mendengar pembicara-
anku dengan pemuda asing itu! Jadi mungkin dia telah
berada di sekitar tempat itu ketika aku menemukan
pemuda asing itu! Hem.... Apa benar antara keduanya
telah terjalin hubungan tertentu?! Tapi secepat itu-
kah?! Bukankah pemuda asing itu baru saja muncul di
negeri ini?! Ataukah ini hanya siasatnya saja untuk
mendapatkan sesuatu yang selama ini diburu oleh pi-
hak kerajaan dan tokoh rimba persilatan negeri ini?!”
Siao Ling Ling menduga-duga dalam hati.
Karena Siao Ling Ling tidak segera angkat suara,
Mei Hua kembali berucap.
“Kau menginginkan sesuatu darinya?! Atau kau ter-
tarik padanya?!”
Pertanyaan Mei Hua membuat tampang Siao Ling
Ling berubah. Namun gadis berbaju merah ini segera
perdengarkan suara tawa dan berkata.
“Mei Hua! Kalau aku memberi ingat padamu, mung-
kinkah aku melakukan hal yang akibatnya kita berdua
sudah tahu?!”
“Mulut bisa saja bicara, tapi hati orang sukar di-
duga!”
“Nada ucapanmu menunjukkan kau cemburu pada-
ku!” kata Siao Ling Ling dengan keraskan suara tawa-
nya. “Tapi perlu kau dengar! Aku masih bisa melihat
siapa diriku dan siapa pemuda asing itu!”
“Hem.... Jika demikian, apakah kau akan memberi-
tahukan urusan ini pada pihak kerajaan?!”
“Aku masih melihatmu sebagai sahabat! Tapi kalau
kau tidak hiraukan peringatanku, aku tahu apa yang
harus kulakukan!”
Mei Hua memandang tajam pada Siao Ling Ling.
Saat lain dia balikkan tubuh seraya berkata. “Masih
ada yang akan kau utarakan?!”
“Kita sama tahu siapa kita sebenarnya! Aku akan
menutup urusan ini jika kau melakukan peringatanku!
Jauhi pemuda itu dan jangan turut campur urusan ke-
rajaan!”
“Kau telah ikut campur urusan pribadiku! Terserah
apa yang akan kau lakukan. Yang jelas aku tidak bu-
tuh peringatanmu! Selamat tinggal!”
Mei Hua gerakkan tubuh berkelebat. Namun Siao
Ling Ling segera berteriak.
“Tunggu!”
Mei Hua batalkan niat. Namun dia tidak balikkan
tubuh saat berucap.
“Jangan berkata lagi jika itu masih ada kaitannya
dengan pemuda asing itu!”
Siao Ling Ling hendak buka mulut. Namun belum
sampai suaranya terdengar, ekor matanya menangkap
kelebatan satu sosok bayangan ke arahnya. Dia cepat
berpaling. Di lain pihak, Mei Hua juga segera menoleh.
Walau sama terkejut, tapi Mei Hua tidak bisa me-
nyembunyikan perasaannya. Malah saat itu juga dia
segera berkelebat ke samping, di mana tahu-tahu telah
tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki
setengah baya mengenakan pakaian kebesaran kera-
jaan. Pancaran wajahnya dingin. Alis matanya tebal se-
dikit mencuat ke atas di bagian ujung sampingnya.
Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata ki-
rinya terlihat tahi lalat agak besar.
“Ayah...,” Mei Hua berkata dengan mata menyelidik
ke dalam bola mata laki-laki yang tegak di hadapan-
nya. Diam-diam gadis ini merasa khawatir. “Apakah
dia tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling
Ling...?!”
Laki-laki di hadapan Mei Hua anggukkan kepalanya
sejenak. Lalu berpaling pada Siao Ling Ling. Dia bung-
kukkan tubuh hormat seraya berkata.
“Tuan Putri.... Harap maafkan jika kehadiranku mengejutkanmu.... Aku sama sekali tidak menduga kalau
Tuan Putri berada di sini....”
Siao Ling Ling tersenyum. Dia melirik sesaat pada
Mei Hua sebelum berkata pelan. “Panglima Muda Lie....
Aku juga kebetulan berada di sini. Secara tidak senga-
ja aku bertemu dengan putrimu.... Kau tengah menca-
rinya?!”
Laki-laki di hadapan Mei Hua yang ternyata ayah
gadis cantik berbaju merah muda itu dan tidak lain
ternyata Panglima Muda Lie, tidak menjawab pertanya-
an Siao Ling Ling. Sebaliknya dia berkata.
“Tuan Putri.... Saat ini keadaan tidak aman. Se-
baiknya Tuan Putri tidak keluar tanpa pengawalan....
Jika Yang Mulia Baginda tahu....”
Belum sampai Panglima Muda Lie teruskan ucapan,
Siao Ling Ling segera menukas.
“Panglima Muda Lie.... Terima kasih atas peringa-
tanmu. Namun tentunya peringatan ini bukan berlaku
untukku saja, bukan?! Sebagai putri seorang pang-
lima, Mei Hua juga sebaiknya tidak keluar tanpa pe-
ngawal....” Mata Siao Ling Ling melirik pada Mei Hua.
“Aku harus pergi....”
“Tuan Putri!” seru Panglima Muda Lie. Laki-laki ini
hendak mendekat. Tapi sebelum melangkah, Siao Ling
Ling telah berucap.
“Panglima.... Putrimu lebih membutuhkan penga-
walan.... Dan kuharap pertemuan kita kali ini cukup
untuk kita bertiga saja yang tahu....”
Habis berkata begitu, Siao Ling Ling berkelebat
tinggalkan tempat itu. Panglima Muda Lie memandang
sesaat lalu berpaling pada Mei Hua.
“Mei Hua.... Ada apa sebenarnya?! Harap kau tidak
membuat masalah! Kau pasti tahu akibatnya jika bikin
urusan dengan putri penguasa negeri ini!”
“Ayah.... Aku tahu....”
“Hem.... Lalu ada apa sebenarnya?! Dari ucapan
Tuan Putri tadi, tampaknya ada sesuatu di antara ka-
lian!”
Mei Hua terdiam beberapa saat. “Dari pertanyaan-
nya, berarti dia tidak tahu apa yang kubicarakan de-
ngan Siao Ling Ling....” Mei Hua membatin. Lalu buka
mulut.
“Ayah.... Seperti Ayah dengar tadi, dia hanya mem-
beri ingat agar aku tidak keluar tanpa pengawalan!”
“Hem.... Benar?!”
“Tidak ada gunanya berkata dusta pada Ayah!”
Panglima Muda Lie memandang beberapa lama pa-
da putrinya. “Anakku.... Kuharap kau mengerti siapa
kita. Dan kalaupun ada masalah antara kau dengan
Tuan Putri Siao, kau harus mengalah! Dan satu hal la-
gi, jangan kau keluar tanpa adanya orang yang me-
ngawal!”
“Ayah.... Rasanya aku tidak pantas kalau kau sa-
makan dengan Putri Siao. Sebagai putri raja, dia me-
mang sudah selayaknya mendapat pengawal! Sementa-
ra aku hanya anak seorang panglima! Lagi pula aku
sudah dewasa dan bisa menjaga diri!”
“Mei Hua.... Aku tidak menyamakan kedudukanmu
dengan Tuan Putri Siao. Namun sebaiknya kau meng-
gunakan kesempatan yang diberikan pihak kerajaan.
Apalagi saat ini keadaan tidak begitu aman.... Aku per-
caya kau bisa menjaga diri. Tapi perlu kau tahu, saat
ini banyak kejadian yang mengakibatkan munculnya
beberapa orang berilmu tinggi. Aku tak mau kau akan
dijadikan batu loncatan bagi orang yang punya tujuan
tertentu!”
“Ayah.... Apakah yang kau maksud ada kaitannya
dengan kejadian di biara Perguruan Shaolin?”
“Mei Hua.... Seharusnya kau tidak perlu tahu uru-
san ini. Namun agar kau berhati-hati, terpaksa aku
memberitahukan padamu.”
“Jadi betul dugaanku?!”
Panglima Muda Lie anggukkan kepala. “Sejak keja-
dian di Perguruan Shaolin, keadaan memang tidak
aman lagi! Menurut beberapa penyelidik pihak kera-
jaan, sekarang ini telah muncul beberapa tokoh yang
tidak dikenal bahkan ada pula tokoh yang sudah di-
kabarkan tewas, ternyata muncul lagi!”
Paras wajah Mei Hua tampak sedikit berubah. Dia
alihkan pandang matanya jauh ke depan sana. Aneh-
nya, yang muncul perlahan-lahan di depan sana ada-
lah sosok Pendekar 131 Joko Sableng!
Mei Hua cepat angkat kedua tangannya dan diusap-
kan pada kelopak matanya. Dia terdengar menggumam
tak jelas, membuat Panglima Muda Lie berpaling.
“Kau memikirkan sesuatu, Anakku?!”
Mungkin takut sikapnya ditangkap sang ayah, Mei
Hua tidak berpaling saat berucap. “Ayah.... Kalau be-
nar banyak beberapa tokoh yang muncul, pasti ada se-
suatu yang luar biasa! Dan selama ini menurut A-yah,
bukankah pihak kerajaan tidak pernah ikut campur
masalah dunia persilatan?!”
Panglima Muda Lie tidak segera menyahut. Dia
dongakkan kepala. Lalu saat lain dia putar pandangan
berkeliling sebelum akhirnya berkata.
“Pada dasarnya, pihak kerajaan memang tidak akan
pernah ikut campur urusan dunia persilatan. Namun
karena urusan yang timbul saat ini adalah urusan
yang sangat penting, terpaksa pihak kerajaan ikut tu-
run tangan meski hal itu dilakukan dengan secara di-
am-diam!”
“Hem.... Saatnya aku mengorek keterangan lebih jelas!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu berkata.
“Ayah.... Boleh aku tahu, urusan apakah sebenar-
nya?!”
Sekali lagi kepala Panglima Muda Lie berputar da-
hulu sebelum berkata.
“Menurut keterangan yang bisa dipercaya, Pergu-
ruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat! Sebenar-
nya, sudah banyak tokoh yang coba mengambilnya da-
ri Perguruan Shaolin. Namun usaha itu selalu gagal
hingga sampai terjadinya peristiwa berdarah di pergu-
ruan itu beberapa waktu yang lalu....”
“Dalam peristiwa berdarah itu, apakah pihak kera-
jaan juga terlibat?!”
“Hem.... Aku tidak boleh berterus terang padanya
meski dia anakku! Ini adalah rahasia kerajaan!” Pang-
lima Muda Lie membatin seraya tertawa dan berkata.
“Mei Hua.... Kau jangan salah paham. Kalaupun pi-
hak kerajaan ikut campur dalam urusan Perguruan
Shaolin, bukan berarti pihak kerajaan terlibat dalam
peristiwa berdarah itu! Kau tahu.... Begitu peristiwa
terjadi, salah seorang guru besar di perguruan itu le-
nyap meloloskan diri dan tidak ada kabar beritanya
hingga sekarang! Ini satu petunjuk kalau peristiwa itu
terjadi akibat perselisihan di dalam tubuh Perguruan
Shaolin sendiri!”
“Guru besar itu lenyap dengan membawa peta wa-
siat?!” tanya Mei Hua.
“Sampai sekarang belum jelas! Dan untuk itulah pi-
hak kerajaan terpaksa turun tangan. Hal ini dilaku-
kan agar tidak terus terjadi saling pertumpahan darah!
Sebab hal itu bisa digunakan pihak tertentu untuk
mengusik keamanan pihak kerajaan!”
“Aku juga mendengar tentang munculnya seorang
pemuda asing. Apakah....”
Belum sampai Mei Hua lanjutkan ucapannya, Pang-
lima Muda Lie telah menukas.
“Tampaknya kau sudah terlalu banyak tahu urusan
ini! Siapa yang memberi keterangan?!”
Mei Hua tertawa pendek. “Ayah.... Urusan ini seka-
rang sudah menjadi buah bibir di mana-mana! Bahkan
aku mendapat keterangan pemuda asing itu sekarang
menjadi orang buruan kerajaan! Hal ini bagiku sangat
aneh.... Apalah artinya seorang pemuda asing hingga
harus diburu begitu rupa?!”
“Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!” Pang-
lima Muda Lie tampak kebingungan. Mei Hua arahkan
pandang matanya pada sang ayah.
“Ayah.... Apakah benar, pemuda asing itu membawa
peta wasiat?!”
Panglima Muda Lie terkesiap. Untuk beberapa lama
dia terdiam. Mei Hua tengadahkan kepala dan sam-
bungi ucapannya.
“Ayah.... Ayah tak usah berdusta padaku! Aku
hanya sekadar ingin tahu....”
“Pemuda itu memang membawa peta wasiat!” A-
khirnya Panglima Muda Lie berterus terang setelah
berpikir agak lama.
“Aneh.... Ayah tadi mengatakan peta wasiat itu be-
rada di Perguruan Shaolin. Lalu bagaimana seorang
pemuda asing bisa membawa peta wasiat?!”
“Mei Hua.... Aku akan menceritakan padamu. Tapi
kuharap ini adalah satu-satunya rahasia kerajaan
yang kau dengar!” Panglima Muda Lie sekali lagi putar
pandangan berkeliling sebelum lanjutkan ucapan.
“Sebenarnya peta wasiat itu dipecah menjadi dua
bagian. Separo disimpan dalam Perguruan Shaolin, se-
paronya lagi disimpan di satu tempat rahasia. Hal ini
mungkin untuk menjaga keamanannya. Dan beberapa
waktu yang lalu, seorang kepercayaan dari Perguruan
Shaolin diberi tugas untuk mengambil separo dari peta
wasiat itu yang disimpan di lain tempat. Hal ini dila-
kukan karena menurut yang kudengar, peta wasiat itu
baru bisa dilihat pada bulan ini!” Panglima Muda Lie
hentikan keterangan sejenak. Setelah memandang ke
arah putrinya, dia melanjutkan.
“Rupanya kepergian orang kepercayaan shaolin da-
pat dicium beberapa orang yang telah memperhitung-
kan! Mereka menghadang dan meminta separo dari pe-
ta wasiat itu! Tapi orang shaolin itu memilih mati dari-
pada menyerahkan peta wasiat pada orang yang tidak
berhak! Terjadilah bentrokan dahsyat. Orang keper-
cayaan shaolin itu akhirnya terluka parah. Namun dia
berhasil melarikan diri menyeberang laut! Dan ternyata
diselamatkan oleh pemuda asing itu! Sejak itu orang
kepercayaan shaolin tidak diketahui ke mana rimba-
nya! Karena pemuda asing itu yang menyelamatkan,
pasti peta wasiat itu berada di tangannya!”
“Hem.... Tapi mengapa pihak kerajaan ikut membu-
runya?! Bukankah kalau pemuda itu kini yang mem-
bawa peta wasiat, itu adalah urusan Perguruan Shao-
lin?!”
“Benar! Tapi dengan kemunculannya, keamanan
kerajaan jadi kacau! Dan kalaupun pihak kerajaan
memburunya, itu untuk mengembalikan peta wasiat
pada pihak yang berhak. Dengan demikian, keamanan
bisa terjaga!”
“Ayah....”
“Mei Hua....” Panglima Muda Lie sudah memotong
sebelum Mei Hua lanjutkan ucapan. “Kuharap kau ti-
dak terlalu ingin tahu urusan ini! Selain tidak ada arti-
nya bagimu, ini adalah rahasia kerajaan! Aku masih
punya tugas yang harus kuselesaikan! Aku akan mengantarmu pulang!”
Sebenarnya Mei Hua masih ingin buka mulut. Na-
mun Panglima Muda Lie sudah ulurkan tangan kanan-
nya. Saat lain dia telah menggandeng putrinya dan me-
langkah meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
LINGKARAN malam telah menguak hamparan bumi.
Udara dingin mulai menusuk menggantikan suasana
sengatan sang matahari. Dan perlahan-lahan sang
rembulan muncul.
Satu sosok bayangan tampak berkelebat melintas
dataran sepi, lalu berhenti tidak jauh dari hamparan
ilalang tinggi. Beberapa saat sosok ini putar kepala
dengan mata dipentang besar. Lalu dongakkan kepala
melihat bundaran sang rembulan. Paras wajah orang
ini tiba-tiba berubah. Ada bayang kekecewaan dan ke-
sal di raut mukanya.
“Bulan sudah tidak utuh lagi! Malam ini adalah ma-
lam kesembilan belas! Berarti waktuku tinggal satu ha-
ri lagi! Sementara jejak pemuda berkebaya itu tidak bi-
sa kudapatkan! Sialan betul! Tampaknya peta wasiat
itu tidak bisa kuraih....”
Orang yang bergumam itu alihkan pandang mata-
nya dari sinar bulan. Kini pandangannya jauh menelu-
suri kegelapan malam.
“Kalau aku tidak bisa mendapatkan peta wasiat itu,
orang lain pun tidak boleh mendapatkannya! Aku ha-
rus mengambil separo dari peta wasiat yang tersim-
pan.... Siapa tahu pemuda berkebaya itu adalah kaki
tangan pihak kerajaan! Aku menangkap tanda-tanda
buruk pada sikap Yang Mulia Baginda Ku Nang....”
Setelah berpikir begitu, orang ini yang ternyata ada-
lah seorang laki-laki berkepala gundul, mengenakan
pakaian kuning panjang yang di pundaknya menye-
lempang kain merah dan bukan lain adalah Guru Be-
sar Liang San, segera berkelebat.
Begitu mencapai sebuah aliran sungai kecil, Guru
Besar Liang San hentikan larinya. Dia tegak dengan
kepala mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Ke-
dua tangannya ditakupkan di depan dada. Kejap lain
dia putar kepala dengan mata tembusi pekatnya sua-
sana.
Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San terus
memperhatikan sekeliling. Setelah yakin suasana a-
man, dia berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak
di dekat sebuah gundukan batu padas.
Guru Besar Liang San putar pandangan sekali lagi
sebelum akhirnya jongkok. Dengan cepat tangan kiri-
nya bergerak ditempelkan pada batu padas. Namun o-
rang ini tidak segera melakukan sesuatu. Dia berhenti
agak lama Paras mukanya tampak tegang. Malah tan-
gan kiri kanannya bergetar. Sepasang matanya mende-
lik.
“Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan!” gumam-
nya dalam hati dengan dada berdegup keras. Saat lain
tangan kirinya digerakkan. Batu padas terangkat.
Guru Besar Liang San menghela napas kala mata-
nya melihat sebuah kotak kulit di bawah batu padas
yang terangkat. Saat bersamaan bibirnya sunggingkan
senyum. Lalu dengan cepat tangan kanannya bergerak.
Kotak kulit diambil, lalu tangan kirinya kembali dige-
rakkan. Batu padas kembali bergerak menutup.
Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San mem-
perhatikan kotak kulit di tangannya. Setelah putar kepala, tangan kanannya kembali bergerak kotak kulit.
Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San menghela
napas ketika pandang matanya menumbuk sebuah ge-
lang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran gelang itu
sebesar jari telunjuk berwarna keputihan. Di bawah
gelang terlihat kain beludru berwarna merah.
Guru Besar Liang San ambil gelang di dalam kotak
kulit. Ditimang-timang sesaat dengan tangan tetap ber-
getar sebelum akhirnya dimasukkan ke balik pakai-
annya. Kotak kulit ditutup lagi. Tangan kiri kembali
mengangkat batu padas, lalu kotak kulit yang telah
kosong diletakkan kembali seperti semula.
Setelah batu padas tertutup lagi, Guru Besar Liang
San beranjak bangkit. Tanpa putar kepala, dia segera
berkelebat.
“Malam baru saja menjelang. Mengapa buru-buru
pergi?!” Mendadak satu suara terdengar.
Kejut Guru Besar Liang San bukan alang kepalang.
Darahnya laksana sirap. Dan laksana disentak setan,
kepalanya segera berpaling. Dia urungkan niat berke-
lebat. Tenaga dalamnya cepat dialihkan pada kedua
tangannya. Sepasang matanya dibeliakkan. Namun se-
jauh ini Guru Besar Liang San belum melihat siapa-
siapa, membuat tubuhnya bergetar dan wajahnya te-
gang.
“Siapa pun adanya orang ini, dia harus mampus!”
gumam Guru Besar Liang San.
Baru saja dia bergumam, satu sosok tubuh melesat
dan tahu-tahu sejarak sepuluh langkah di hadapannya
telah duduk bersila satu sosok tubuh!
Dia adalah seorang kakek mengenakan jubah warna
putih tanpa leher. Paras wajahnya agak bulat dengan
mata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan diling-
karkan melilit pada lehernya. Pada daun telinga kiri
nya tampak menggantung sebuah anting-anting agak
besar. Kakek ini hanya memiliki tangan dan kaki sebe-
lah kiri.
Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San picing-
kan mata. Saat lain mulutnya perdengarkan guma-
man. “Tiyang Pengembara Agung!”
Kakek di depan sana dan bukan lain memang
Tiyang Pengembara Agung, tersenyum lalu angkat sua-
ra.
“Amitaba.... Selamat malam dan selamat berjumpa
Guru Besar Liang San.... Kuharap kau tidak terkejut
dengan keberadaanku di sini. Lebih-lebih harap tidak
menduga yang bukan-bukan....”
Untuk menutup rasa curiga orang, Guru Besar
Liang San angkat kedua tangannya di depan dada se-
raya berkata.
“Amitaba.... Tidak sangka kalau malam ini kita bisa
bertemu. Namun sayang.... Malam ini aku tidak punya
waktu banyak. Aku harus segera pergi. Namun kalau
ada yang hendak kau katakan, aku senang untuk
mendengarkannya....”
“Ah.... Memang sayang kalau kau tidak punya wak-
tu banyak! Padahal karena lama tidak bertemu, aku
ingin berbincang lama denganmu....”
“Tiyang Pengembara Agung.... Kalau kau ingin ber-
bincang, kau bisa datang ke tempatku. Dan memang
ada beberapa hal yang ingin kubicarakan de-
nganmu....” Guru Besar Liang San arahkan pandang
matanya jauh melewati pundak Tiyang Pengembara A-
gung sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Aku me-
nunggumu di tempatku empat hari di depan! Sekarang
aku harus pergi!”
“Malam ini kau sangat lain dari biasanya.... Pasti
ada sesuatu. Sebagai sahabat, kau tak keberatan mengatakannya padaku? Siapa tahu aku....”
Belum sampai ucapan Tiyang Pengembara Agung
selesai, Guru Besar Liang San telah memotong dengan
suara agak keras dan bergetar.
“Harap maafkan! Kau telah dengar aku tidak punya
waktu banyak! Lagi pula aku tidak punya satu masa-
lah apa pun! Kalaupun ada yang ingin kubicarakan
denganmu itu ada hubungannya dengan Perguruan
Shaolin. Dan rasanya kurang pantas membicarakan
soal shaolin di tempat ini!”
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan
Tiyang Pengembara Agung, Guru Besar Liang San ber-
kelebat tinggalkan tempat itu.
Tiyang Pengembara Agung tidak berusaha men-
cegah kepergian Guru Besar Liang San. Hanya saja,
bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar
Liang San, Tiyang Pengembara Agung angkat bicara.
“Guru Besar.... Manusia telah berencana dan ber-
tindak. Namun jarang manusia yang tahu, bahwa uru-
san rencana dan tindakan tidak terlampau sederhana
seperti prasangka manusia!”
Sebenarnya Guru Besar Liang San ingin berhenti
karena dia menangkap gelagat di balik ucapan Tiyang
Pengembara Agung. Namun karena tak mau kebera-
daannya di tempat itu diketahui orang lain lagi, dia te-
ruskan kelebatannya meski dalam hati dia mulai di-
buncah dengan kegelisahan.
Seperti diketahui, begitu berhasil mendapatkan ko-
tak kulit berisi separo peta wasiat dengan bantuan Ba-
ginda Ku Nang, Guru Besar Liang San dan Yang Mulia
Baginda Ku Nang sepakat untuk menyimpan kotak ku-
lit di satu tempat yang hanya mereka berdua yang ta-
hu. Dan mereka berdua berjanji tidak akan me-
ngambil kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari ke
duanya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sab-
leng dalam episode: “Kuil Atap Langit”).
***
Sementara itu di lain tempat, dua sosok tubuh tam-
pak tegak berdiri dengan sesekali kepala mereka ber-
paling ke kiri kanan dan ke belakang. Saat lain mereka
saling lontar pandang. Tapi mulut masing-masing
orang ini sama terkancing.
“Tampaknya orang yang kita tunggu tidak akan
muncul!” Akhirnya orang yang sebelah kanan angkat
suara karena sudah tidak sabar. Paras wajahnya pun
membayangkan rasa jengkel dan tidak senang. Dia
adalah seorang nenek berambut putih mengenakan
pakaian panjang warna hitam. Sepasang matanya sipit
tanpa ditingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya
tampak menyelempang selendang warna hitam pan-
jang menjulai menyapu tanah. Nenek ini tidak lain
adalah Li Muk Cin atau yang lebih dikenal dengan ge-
laran Ratu Selendang Asmara.
“Kuharap kau bersabar! Ini urusan penting! Tak
mungkin dia tidak muncul!” orang sebelah kiri menya-
hut tanpa menoleh. Dia adalah orang laki-laki menge-
nakan pakaian warna hitam panjang sebatas lutut.
Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut
wajahnya telah dipenuhi kerutan tanda dia telah beru-
sia lanjut. Parasnya agak bulat dengan mata sipit.
Kumis dan jenggotnya lebar serta hitam. Dan ternyata
bukan hanya pakaian, rambut, dan kumis serta jeng-
gotnya yang hitam, sekujur tubuh kulit laki-laki ini ju-
ga berwarna hitam legam. Hingga yang kelihatan putih
hanyalah larikan kecil pada sepasang matanya! Laki-
laki ini bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah.
“Urusan penting itu sekarang tidak ada artinya lagi!
Dan rasanya percuma kita menunggunya! Ini hanya
akan mendatangkan masalah baru!” Ratu Selendang
Asmara kembali angkat suara.
“Kita memang gagal mendapatkan peta wasiat itu!
Tapi bagaimanapun juga aku harus mengatakannya!
Dengan begitu aku bisa lepas beban dan bebas bertin-
dak tanpa bayang-bayang kekhawatiran!”
“Kalau dia nanti meminta tebusan atas kegagalan-
mu ini?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa Wajah tertawa dahulu sebelum
menjawab. “Aku tidak punya perjanjian apa-apa jika
gagal!”
Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah ganti
Ratu Selendang Asmara yang tertawa dahulu sebelum
menyahut.
“Kau sadar siapa orang yang akan kau hadapi?!”
Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. “Dia memang
seorang raja penguasa negeri ini! Tapi aku tidak akan
tinggal diam kalau dia meminta sesuatu yang sebe-
lumnya tidak ada sepakat!”
Suara Bayangan Tanpa Wajah belum habis, tiba-
tiba satu sosok tubuh berkelebat. Ratu Selendang As-
mara dan Bayangan Tanpa Wajah melihat seorang laki-
laki berusia lima puluh tahunan. Kumis dan jenggot-
nya panjang serta lebat dan telah berwarna putih.
Rambutnya yang juga telah putih dan panjang digerai-
kan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir
agak tinggi. Kedua alisnya mata mencuat ke atas. Se-
mentara sepasang matanya tajam.
“Yang Mulia Baginda....” Bayangan Tanpa Wajah
bungkukkan sedikit tubuhnya. Sementara ekor mata-
nya melirik pada Ratu Selendang Asmara. Laki-laki
berwajah hitam ini tegang sesaat begitu melihat si ne-
nek tetap diam dan tak membuat gerakan apa-apa!
“Jahanam! Dia bisa bikin masalah!” ujar Bayangan
Tanpa Wajah melihat sikap acuh Ratu Selendang As-
mara. Dia segera berbisik. “Kuharap kau tidak memu-
lai suatu urusan dengan tanpa memberi hormat atas
kedatangannya! Kau tahu bukan siapa yang kini di
hadapan kita?!”
“Aku tahu siapa dia! Dia adalah Baginda Ku Nang!
Tapi aku tidak bisa memberi hormat pada pihak kera-
jaan! Aku orang rimba persilatan! Dan pihak kerajaan
ada di luar jalur dunia persilatan!” Ratu Selendang As-
mara balas berbisik.
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bayan-
gan Tanpa Wajah menggebuk muka si nenek. Namun
karena tahu keadaan, dia coba menahan diri dan ber-
kata.
“Ucapanmu benar! Namun kuharap saat ini kau sa-
dar, apa yang menjadi urusan masih ada hubungan-
nya dengan dunia persilatan! Kau lihat.... Dia tidak
mengenakan pakaian kebesaran seorang raja. Berarti
malam ini dia sebagai salah satu dari kaum dunia per-
silatan!”
“Aku tidak suka basa-basi.... Dan aku memang ti-
dak ingin dihormati!” Tiba-tiba orang yang baru mun-
cul dan ternyata adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang
buka mulut. Dia memandang sesaat pada Ratu Selen-
dang Asmara dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu
alihkan pandang matanya pada Bayangan Tanpa Wa-
jah.
“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah...,” kata Baginda
Ku Nang. “Kita dahulu sepakat tanpa kehadiran orang
lain! Dan kuharap kesepakatan itu masih berlaku!”
Merasa ucapan Baginda Ku Nang ditujukan pada-
nya, Ratu Selendang Asmara tengadahkan kepala se-
dikit dan berkata.
“Aku tak bermaksud ikut campur! Kalaupun aku
berada di sini, itu karena dipaksa!”
Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan
Tanpa Wajah dengan mata mendelik angker. Tanpa
menunggu orang buka suara, nenek ini melangkah
menjauh.
“Sahabat.... Kulihat wajahmu tidak ceria....” Bagin-
da Ku Nang berkata dengan mata memandang ke arah
Ratu Selendang Asmara yang terus melangkah.
“Maafkan, Yang Mulia.... Kami gagal mendapatkan
peta wasiat dan menangkap pemuda asing itu!”
Baginda Ku Nang tertawa. “Air mukamu telah mem-
beri jawaban sebelum kau berkata! Dan aku maklum
atas kegagalanmu meski aku sedikit merasa kecewa!”
“Pemuda asing itu bukan saja berilmu tinggi, na-
mun ada beberapa orang....”
“Bukan itu yang membuatku kecewa!” Baginda Ku
Nang memotong seraya gelengkan kepala. “Namun ke-
hadiranmu yang tidak seorang diri! Padahal kau tahu,
urusan ini akan menjadi bumerang bagi kerajaan jika
ada orang lain yang mencium!”
“Harap maafkan kami, Yang Mulia! Aku diharuskan
mencari seorang teman dalam menyelesaikan urusan
ini. Dan Yang Mulia tidak usah khawatir, Ratu Selen-
dang Asmara telah berjanji tidak akan membocorkan
keterlibatan pihak kerajaan dalam urusan satu ini....”
“Hem.... Mudah-mudahan ucapanmu benar!” ujar
Baginda Ku Nang meski dalam hati dia membatin. “Dia
telah menambah pekerjaan! Seharusnya hanya satu
orang yang kubunuh. Kini bertambah satu lagi! Tapi
untuk sementara ini mereka berdua akan kubiarkan
hidup dahulu! Tenaga mereka masih kubutuhkan. Se-
telah semuanya beres.... Kematian adalah imbalan
yang pantas bagi mereka berdua!”
“Sahabatku Bayangan Tanpa Wajah.... Aku berte-
rima kasih padamu atas jerih payahmu meski tidak
mendatangkan hasil. Namun kuharap kegagalan ini
bukan menjadi jalan putusnya hubungan kita....”
“Maksud Yang Mulia?!”
“Aku ingin kau bersama Ratu Selendang Asmara te-
rus melakukan pemburuan! Dan berhasil atau tidak,
esok malam, kalian kutunggu di Bukit Toyongga!”
“Yang Mulia....” Hanya itu yang sempat terucap dari
mulut Bayangan Tanpa Wajah. Karena saat yang sama
Baginda Ku Nang telah menukas.
“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Walau kalian
nanti gagal, namun aku tetap akan memberi imbalan
atas apa yang telah kalian lakukan! Dan satu hal lagi,
sebarkan berita kalau akan ada pertemuan besar di
Bukit Toyongga pada besok malam! Sebarkan kabar
kalau pertemuan besar itu ada hubungannya dengan
peta wasiat!”
“Yang Mulia....”
Lagi-lagi belum sampai Bayangan Tanpa Wajah te-
ruskan ucapan, Baginda Ku Nang telah menyahut.
“Sahabatku.... Aku tahu. Peta wasiat itu kini berada
di tangan dua orang.... Salah seorang pasti membutuh-
kan satunya! Dan kedua-duanya pasti tidak akan me-
nyia-nyiakan kesempatan ini! Selanjutnya pasti kau
sudah bisa menebak!”
Bayangan Tanpa Wajah menatap sejenak pada Ba-
ginda Ku Nang. Entah apa yang dipikirkan, yang jelas
laki-laki berwajah hitam ini sunggingkan senyum den-
gan kepala mengangguk.
Baginda Ku Nang dongakkan kepala memandang
bulan. “Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Aku tak in-
gin menyita waktumu. Sebab waktumu hanya malam
ini sampai besok petang!”
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang balikkan tu-
buh dan berkelebat tinggalkan tempat itu setelah meli-
rik sesaat pada Ratu Selendang Asmara yang tegak di
seberang sana.
Sesaat setelah sosok Baginda Ku Nang tidak keli-
hatan, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat ke arah Ratu
Selendang Asmara.
“Aku tak mau turut campur lagi! Aku tahu siasat
apa yang akan dilakukannya!”
“Jangan bodoh! Ini kesempatan bagi kita! Aku juga
tahu apa yang terpikir dalam benaknya! Tapi kita juga
orang yang tidak mudah dikelabui, bukan?!”
“Apa maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Dia boleh punya siasat. Namun kita juga punya
rencana! Kita akan pura-pura mengikuti perintahnya
dengan menyebar berita. Dan begitu saat pertemuan
berlangsung, kita tunjukkan siapa kita!”
“Dia tidak mungkin datang sendiri!”
“Jangan kau lupa! Ini masalah rahasia kerajaan!
Kalaupun dia tidak datang sendiri, mungkin hanya be-
berapa orang yang dibawa! Dia tidak mungkin berani
ambil risiko dengan mengerahkan prajurit!”
Ratu Selendang Asmara tersenyum. “Hem.... Berarti
dia membuat lobang sendiri atas kuburnya!”
“Dan kita bisa menangguk keuntungan atas lobang
itu!” sahut Bayangan Tanpa Wajah seraya tertawa ber-
gelak panjang.
“Tapi bagaimana mungkin kita bisa sebarkan berita
itu? Bukankah waktu kita hanya sedikit?!”
Masih dengan tertawa Bayangan Tanpa Wajah ber-
kata. “Kita buat undangan untuk beberapa tokoh yang
masih ada kaitannya dengan urusan ini! Setelah itu ki-
ta tinggal menunggu seraya membuat rencana!”
Habis berkata begitu, masih tertawa ngakak, Baya
ngan Tanpa Wajah berkelebat yang kemudian diikuti
Ratu Selendang Asmara yang juga ikut-ikutan tertawa
panjang.
***
ENAM
PENDEKAR 131 duduk menggelosoh di bawah seba-
tang pohon dengan tampang lusuh. Beberapa kali ta-
ngan kiri kanannya bergerak pulang balik menggaruk
rambutnya yang acak-acakan. Dan sesekali tangan
kanannya dibuka ditadangkan di atas kening mengha-
dang silaunya matahari yang baru saja muncul dari
lintasan kaki langit di sebelah timur.
“Tampaknya tidak saja nasibku yang jelek hingga
terdampar di negeri orang.... Malah pesanan orang
yang sudah ada di tangan lenyap pula disambar orang!
Belum lagi di sini harus bertemu dengan beberapa o-
rang aneh dan tindakannya sukar diduga! Tahu begini
akibatnya.... Aku pilih tinggal di kampung halaman
sendiri. Di sana aku masih bisa melihat Putri Kayan-
gan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa....”
“Kasmaran memang aneh.... Meski telah menyebe-
rang laut, namun tak juga hilang dari kelopak mata!”
Satu suara mendadak terdengar membuat Joko pu-
tuskan gumaman.
Meski terkejut, namun murid Pendeta Sinting tidak
segera palingkan kepala. Diam-diam dia membatin.
“Siapa pun dia adanya, aku tak akan melayani! Keda-
tangannya mungkin hanya akan mempersulit urusan!
Anehnya.... Mengapa dia seolah tahu kalau aku tengah
melamunkan....”
Belum lagi Joko sempat lanjutkan kata hatinya,
terdengar lagi suara.
“Harinya telah tiba. Kalau manusia masih juga teng-
gelam pada ketidakpastian, bukan hanya sia-sia perja-
lanan jauh, tapi malapetaka akan datang!”
Ucapan orang membuat Pendekar 131 palingkan
kepala. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut.
Paras wajahnya lonjong. Rambutnya putih dan pan-
jang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada
mulutnya yang mungil terdapat satu pipa cangklong
yang terus menerus kepulkan asap. Dia mengenakan
celana pendek warna putih kusam, pakaian atasnya
berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelem-
pang sebuah ikat pinggang besar yang dihias beberapa
pipa. Anehnya, setiap mulut orang ini kepulkan asap
dari pipa di mulutnya, semua pipa yang menggantung
pada ikat pinggang di pundaknya ikut semburkan a-
sap! Hingga begitu asap mengepul, wajah orang ini
hanya terlihat samar-samar.
“Lagi-lagi orang aneh! Pasti membawa masalah ba-
ru! Tapi dia tahu kalau aku telah menyeberangi laut!
Dia juga sebut-sebut harinya telah tiba! Hari ini me-
mang hari ganda sepuluh.... Apakah ini masih ada hu-
bungannya dengan peta wasiat itu?! Tapi apa yang bisa
dia lakukan untukku?!”
Orang tua di depan sana kembali isap pipanya. Saat
lain sosoknya terlihat samar-samar karena tertutup
asap yang menyembur dari semua pipa yang ada pada
ikat pinggang di pundaknya. Joko menunggu orang be-
rucap lagi. Namun hingga agak lama, orang tua itu ti-
dak perdengarkan suara. Bahkan dia mulai bergerak
melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
Beberapa saat Pendekar 131 tampak bimbang.
“Ah.... Tak ada salahnya kalau aku bertanya!” Akhir-
nya Joko memutuskan seraya beranjak bangkit dan
angkat suara.
“Orang tua! Pasti kau seorang peramal!”
Orang tua di depan sana hentikan langkah. Dia je-
rengkan matanya yang besar menatap angker pada
murid Pendeta Sinting. Joko merinding dengan sen-
yum dipaksakan.
Mendadak orang tua di hadapan Joko tertawa ber-
gelak panjang. Murid Pendeta Sinting pupuskan sen-
yum dengan dahi berkerut. “Aneh.... Apakah ucapanku
ada yang lucu?!” Joko pentangkan mata beberapa saat.
Kerutan di keningnya makin membersit tatkala men-
dapati pipa di mulut orang tidak bergeming sama seka-
li meski orangnya tertawa ngakak!
“Dari sikapnya, jelas dia bukan orang sembarang-
an!”
Baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba orang tua
itu putuskan gelakan tawanya. Sepasang matanya
kembali menusuk tak berkesip pada Joko. Namun se-
jauh ini dia belum perdengarkan suara meski Joko
mencoba diam untuk memberi kesempatan.
“Orang tua! Benarkah kau seorang peramal?!” Kare-
na tak sabar akhirnya Joko kembali ajukan tanya.
“Hem.... Peramal?! Bagaimana kau bisa menduga
begitu, hah?!” Orang tua di hadapan Joko perdengar-
kan bentakan.
“Ucapanmu tadi, Kek!” sahut Joko. “Kau seolah da-
pat membaca pikiran orang.... Kau juga seakan tahu
apa yang tengah dilakukan orang!”
“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-
da! Ucapanku tadi tidak ada sangkut pautnya dengan
dirimu! Apa yang kuucapkan adalah apa yang tengah
kualami!”
“Hem.... Kalau ucapannya benar, apakah mungkin?!
Dia tadi sebut-sebut tentang kasmaran! Apakah mungkin orang seusia dia masih juga kasmaran?! Dan kalau
juga benar, berarti dia bukan asli orang negeri ini! Ka-
rena dia tadi juga sebut-sebut tentang menyeberang
laut!” Joko membatin. Lalu seraya menahan tawa dia
berkata.
“Kek! Kau tengah kasmaran?!”
“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”
“Sialan! Mengapa dia balik bertanya?!” kata Joko
dalam hati. Dia memperhatikan orang sesaat sebelum
akhirnya berkata.
“Kek! Bukankah kau mengatakan apa yang kau
ucapkan adalah apa yang tengah kau alami! Sementa-
ra kau tadi sebut-sebut soal kasmaran! Berarti kau se-
karang tengah jatuh cinta!”
“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak
Muda! Perihal cinta tidak boleh diutarakan pada orang
lain! Itu porno! Kau tahu porno, bukan?!”
“Hem.... Baiklah! Kalau membicarakan cinta kau
anggap porno, aku akan membicarakan hal satunya
lagi! Kau bukan asli orang negeri ini, bukan?!”
“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”
Meski mulai agak jengkel dengan ucapan orang, na-
mun akhirnya Joko berkata juga. “Kek! Bukankah kau
tadi sebut-sebut tentang menyeberang laut?!”
“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak
Muda! Tabu membicarakan asal usul orang! Apalagi
pada orang yang belum dikenal!”
“Aku Joko Sableng!”
“Hem.... Begitu?!”
“Kau sendiri siapa, Kek?”
“Jangan tanya soal nama, Anak Muda! Itu tidak
pantas! Kau tahu, nama kadang-kadang bisa membuat
orang lupa diri!”
“Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggil
mu?!”
“Aku tidak menyuruhmu untuk memanggilku!”
“Tepat dugaanku!” gumam Joko dengan geleng ke-
pala. “Percuma melayani orang seperti dia!” Joko balik-
kan tubuh. “Tapi mengapa dia tadi sebut-sebut hari-
nya telah tiba! Pasti ini masih ada hubungannya de-
ngan peta wasiat itu!” Joko kembali putar diri meng-
hadap orang.
“Kek! Kau tadi sebut-sebut harinya telah tiba! Mau
kau memberi penjelasan padaku?!”
“Hem.... Mengapa kau menduga ucapan itu perlu
penjelasan?!”
“Busyet benar! Aku bisa terjebak sendiri bila terus
bicara dengan orang ini! Lebih baik aku pergi saja da-
ripada menambah pusing kepala!”
Meski Joko telah berpikir begitu, entah karena apa
dia tidak segera bergerak tinggalkan tempat itu. Malah
dia pandangi orang tua di hadapannya dengan lebih
seksama.
“Anak muda.... Aku tidak bisa memberi penjelasan
apa-apa! Karena sebenarnya aku pun tak mengerti
dengan ucapanku tadi!”
“Hem.... Begitu?!” Joko ikut-ikutan apa yang tadi
dikatakan orang.
Orang tua di hadapan murid Pendeta Sinting ang-
gukkan kepala. “Aku tadi berkata karena membaca
ini!” Tangan kanan si orang tua bergerak ke salah satu
pipa di ikat pinggang yang ada di pundaknya. Pipa itu
dicabut lalu diletakkan di sebelah pipa yang ada di
mulutnya. Saat lain dia meniup.
Wuuttt!
Dari lobang pipa melesat keluar gulungan kecil ber-
warna hijau kecoklatan. Joko sempat tersentak kaget.
Karena gulungan itu meluncur deras ke arahnya dengan perdengarkan deruan keras.
Mungkin karena khawatir, Joko tidak berusaha me-
nangkap. Dia gerakkan kaki ke kanan menghindar
hingga gulungan itu jatuh di sebelahnya. Sementara
kepalanya bergerak mengikuti arah jatuhnya gulun-
gan.
Saat gulungan berada di atas tanah, gulungan itu
membuka. Ternyata gulungan itu adalah sehelai daun.
Joko picingkan mata. Karena saat gulungan terbu-
ka, terlihat tulisan:
Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga. Peta wasiat
akan disatukan.
Joko ulangi membaca tulisan beberapa kali. Dada-
nya berdebar. Kejap lain dia arahkan pandang mata-
nya pada si orang tua. Namun sebelum dia buka mu-
lut, si orang tua telah mendahului.
“Joko! Jangan ajukan tanya. Percuma saja, karena
aku juga tidak mengerti apa tujuannya! Yang ku tahu,
hari ganda sepuluh adalah malam nanti! Itulah sebab-
nya mengapa aku tadi bicara harinya telah tiba!”
“Kek! Dari mana kau mendapatkan ini?!”
“Aku tidak pernah bertanya nama seseorang! Kare-
na menurutku itu tidak pantas! Apalagi aku bukanlah
orang daerah sini!”
“Apakah tulisan ini bisa dipercaya?!” tanya Joko da-
lam hati. Sekali lagi Joko pandangi tulisan yang tertera
di daun. Lalu memandang pada si kakek.
“Ini bukan buatanmu, bukan?!”
“Hem.... Mengapa kau bisa menduga begitu?!”
“Aku bertanya, Kek!”
Si kakek tertawa panjang. Tapi dua pipa di mulut-
nya tidak juga bergeming. “Anak Muda.... Kau telah dengar bahwa aku tidak mengerti! Itulah sebabnya kuka-
takan aku tidak bisa memberi penjelasan apa-apa! Jadi
kau salah duga kalau mengira aku yang membuatnya!”
“Kek! Kau pernah dengar tentang peta wasiat?!”
“Kau boleh percaya boleh tidak! Kata-kata itu pun
baru saat ini aku membaca dan mendengarnya! Aku
tidak tahu apa itu peta wasiat! Yang ku tahu tongkat
wasiat!”
“Tongkat wasiat?!” Joko bergumam mengulangi
ucapan si kakek.
“Benar! Tongkat wasiat! Kalau itu aku tahu betul
dan mengenalnya sampai ke ujung-ujungnya!”
“Apakah itu sebuah tongkat sakti?!”
“Lebih seribu kali sakti! Karena dengan perantara
tongkat itu muncul yang namanya anak manusia! Dan
tanpa adanya tongkat itu, laki-laki tidak akan ada arti-
nya!”
“Kek! Kalau tongkat itu aku juga punya!”
“Hem.... Begitu?! Syukurlah.... Mudah-mudahan
kau bisa mempergunakannya dengan baik!”
“Kau tidak tahu peta wasiat! Sekarang, kau tahu di
mana Bukit Toyongga?!”
Yang ditanya gelengkan kepala. Joko menghela na-
pas. Lalu berkata lagi.
“Kek! Terima kasih atas pemberitahuanmu ini!” Jo-
ko anggukkan kepala dengan mata melirik. Saat lain
dia putar diri hendak tinggalkan tempat itu.
“Tunggu! Kau hendak ke mana?!”
Joko terdiam beberapa lama. Si kakek membuat ge-
rakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di
samping murid Pendeta Sinting.
“Anak muda! Seperti halnya dirimu, aku adalah o-
rang asing! Tidak keberatan bukan kalau kau kute-
mani?!”
“Kek! Aku....”
“Aku tidak peduli ke mana kau pergi! Aku juga tidak
akan tanya ke mana kau akan pergi dan apa tujuan-
mu! Yang pasti aku ikut!”
“Orang seperti ini bisa menghadang rencana kalau
kemauannya tidak dituruti! Lagi pula siapa tahu dia
nanti bisa membantu!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko anggukkan kepala
seraya berkata.
“Baiklah, Kek! Kita jalan bersama....” Joko melang-
kah dahulu. Si kakek tertawa, lalu melangkah di bela-
kang Pendekar.
***
TUJUH
ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, be-
gitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa me-
noleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah
di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh-
nya. Kejap lain dia berkelebat.
Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya
dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang
dilirik tampak enak-enakan melangkah dengan isap
dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari
sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua
orang ini mulai jauh.
“Hem.... Apa sebaiknya kutinggal saja? Tidak mung-
kin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!”
Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke de-
pan.
“Mengapa berhenti, Anak Muda?! Ada sesuatu yang
menarik perhatianmu?!”
Pendekar 131 tersentak dan berpaling. “Aneh.... Dia
baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu
sudah ada di sini!”
Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya,
Joko segera menyahut.
“Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku?!”
“Hem.... Mengapa kau masih sangsikan diriku?! Kau
merasa keberatan?!”
“Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi
mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak
akan merasa menyesal? Bukankah saat ini kau lagi
kasmaran?”
Si kakek tertawa bergelak. “Joko.... Bahaya itu tidak
ada! Itu hanya perasaan manusia! Dan bahaya itu juga
ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di hu-
kum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!”
“Ah.... Repot kalau sudah begini!” batin Joko. “Tapi
satu hal yang aku masih sangsi, bagaimana dia bisa
menyusul begitu cepat?! Aku akan mencobanya sekali
lagi!”
Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu ber-
kata.
“Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau
nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku
atau....”
“Anak muda.... Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi
kau tak usah cemas!” Si kakek telah memotong ucapan
Joko.
Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali
berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini
dia sengaja langsung berlari kencang laksana orang
kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling
melihat ke arah si kakek yang ada di belakangnya.
Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditumbuhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke
belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Murid
Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia ti-
dak lagi melihat sosok si kakek.
“Ke mana dia?!” Joko memperlambat larinya dengan
kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si
kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya
hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megap-
megap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke
depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang di-
tunggu tidak juga muncul!
“Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah.... Mengapa
aku jadi memusingkannya?! Bukankah aku harus se-
gera menemukan di mana Bukit Toyongga?! Walau aku
belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulun-
gan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba!
Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia
akan menyusul. Bagaimanapun juga dia telah memberi
keterangan berharga padaku...,” Joko terus tegak de-
ngan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi
datang.
Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada
tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan
untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan
menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sin-
ting balikkan tubuh.
Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko
terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke de-
pan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia me-
lihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu ba-
tang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut
wajah dan sosok tubuh orang karena sekujur sosok itu
disemburati asap!
“Busyet! Bagaimana dia bisa berada di depanku?!
Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku
yang menunggu, tapi dia yang menunggu!”
“Anak muda.... Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu
sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering ber-
henti! Apa kau takut bahaya itu?!” Orang yang duduk
bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya
disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang
terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak
bangkit.
“Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyaki-
nanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bu-
kan main-main!” gumam Joko talu melangkah hendak
mendekati si kakek.
“Anak muda.... Aku memang tidak akan bertanya ke
mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah
kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju!
Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa
memberi tahu meski kau bertanya! Tapi.... Mungkin
kau bisa bertanya pada orang itu!” Kepala si kakek
berpaling ke kanan.
Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana
si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-
siapa.
“Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa?!” Ka-
rena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat
keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di
samping si kakek.
Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Na-
mun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia
segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek
melihat.
“Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud
orang ini?!”
Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suara
nya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan ka-
nan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu ke-
palanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan
mencari orang yang sembunyi.
Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko
ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadang-
kan pula di depan kening dengan kepala digerakkan ke
samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran
batang pepohonan.
Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mende-
lik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa
dipermainkan orang, Joko segera berpaling. Si kakek
tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke ba-
tangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke
belakang merangkul batangan pohon!
“Kek! Harap kau tidak main-main!”
“Hem.... Begitu?!”
“Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat
orang! Tapi mana?! Mana orangnya?!” Suara Joko ter-
dengar agak keras karena mulai jengkel.
Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perla-
han membuat Joko tambah dongkol.
“Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda
gurau!”
“Hem.... Begitu?!”
“Ya! Begitu!” sahut Joko saking jengkelnya.
“Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang
suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana ser-
ta bagaimana suasananya!”
“Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga
aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu
kau anggap bukan main-main?!”
“Aku memang melihat orang...!”
“Mana manusianya?!” sahut murid Pendeta Sinting.
Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah de-
pan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat ce-
pat di antara jajaran pohon.
Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pu-
lang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek
di sampingnya.
“Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bu-
kan?! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak me-
lihat siapa-siapa!”
“Dia bisa melihat kemunculan orang meski orang-
nya belum kelihatan!” kata Joko dalam hati. “Siapa
orang tua ini sebenarnya?! Sayang dia pelit untuk
memberitahukan siapa dirinya!”
Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya
tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain.
Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Na-
mun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih
berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak
bisa lepas dari pandang mata orang. Hanya saja, Joko
masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang.
Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perem-
puan.
“Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak
akan menunggu lama-lama.... Tapi karena ada kau,
aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia
akan memilihmu....”
Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang.
“Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi pe-
rempuan....”
“Anak muda.... Kau tunggu apa lagi? Bukankah kau
perlu orang tempat bertanya? Atau kau tadi hanya
bersenda gurau?!”
Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkele-
bat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan
pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko me-
mandang sesaat. Karena batangan pohon di mana
orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat
sebagian pakaian orang.
“Pakaiannya warna kuning. Hem.... Berarti dia bu-
kan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!”
Joko menghela napas lega. Lalu berteriak.
“Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang
jahat atau orang yang suka bersenda gurau memper-
mainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana
bentuk wajahmu!”
“Ah.... Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu
rupa?!” Si kakek yang bersandar di batangan pohon
bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya.
Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik ba-
tangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya
atau perdengarkan suara.
“Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di ba-
lik pohon. Mengapa takut sembunyi?! Aku cuma ingin
bertanya....”
Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Na-
mun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya
suara jawaban, Joko buka mulut lagi.
Namun sebelum suaranya sempat keluar, terden-
garlah suara perempuan menyahut.
“Aku tidak mau bicara denganmu!”
Joko kerutkan dahi. “Dari suaranya, aku bisa me-
nebak dia seorang nenek-nenek! Hem.... Sayang sekali!
Tapi tak apalah.... Aku kali ini hanya perlu bertanya di
mana beradanya Bukit Toyongga! Anehnya.... Mengapa
suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersem-
bunyi?! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem....
Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia
sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele
orang.... Tapi mengapa dia tidak mau bicara dengan-
ku?! Ah.... Dasar perempuan.... Sudah tua pun masih
suka malu-malu kucing!”
Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara.
“Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka
dahulu! Aku cuma ingin bertanya.... Setelah itu, seu-
mur hidup tidak bicara denganku pun tak apa-apa!”
“Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara de-
nganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku
hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa
temanmu itu!” Terdengar suara jawaban.
Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang
bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum de-
ngan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-
lambai.
“Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku!
Bukan kakek temanku itu!” Joko buka mulut lagi. Na-
mun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di bata-
ngan pohon.
Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arah-
kan pandang matanya pada batangan pohon tempat
orang sembunyi, terdengar suara sahutan.
“Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan
tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tam-
pan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!”
Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting
berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat o-
rang bersembunyi terdengar orang bergumam dan
mendengus tak senang.
Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap.
“Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku
tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti
dari milik kakek temanku itu!”
“Ah.... Yang benar?! Mau memperlihatkan padaku?!
Aku akan keluar!”
Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah
sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar
di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan
mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak
bergerak-gerak perdengarkan suara!
“Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia!
Bukan suara orang di balik pohon!”
“Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan
aku, hah?!”
Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa
bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara.
“Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya
aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebu-
kan!”
Meski suara yang baru terdengar nadanya memben-
tak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sen-
takkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana
orang bersembunyi.
Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di de-
pan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak sa-
tu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita
berambut hitam lebat digeraikan hingga punggung.
Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik
ini mengenakan pakaian warna kuning tipis. Pada ba-
gian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda
hingga busungan dadanya yang mencuat tampak se-
kali menggoda. Pinggulnya besar ditingkah pakaian
bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisi-
nya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit reng-
gangkan kaki, Joko bisa melihat jelas pahanya yang
padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping me-
lilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna
kuning. Dan tepat di bagian sisi bagian kiri pinggang
nya tampak satu pedang pendek bergagang batu ber-
warna kuning pula.
Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis
berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat
tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan
senyum. Namun mungkin karena teringat akan uca-
pan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan ba-
lik unjukkan tampang ketus seraya alihkan panda-
ngan!
***
DELAPAN
JOKO angkat tangan kanannya menunjuk pada ga-
dis di hadapannya.
“Sun.... Sun.... Sun....”
Gadis cantik berbaju kuning menggoda berpaling
lagi memandang tak berkesip pada murid Pendeta Sin-
ting. “Walah.... Aku lupa siapa namanya! Yang kuingat
ada Sun... Sun...!”
Sementara mendengar ucapan Joko, kakek yang
bersandar di batangan pohon perdengarkan ledakan
tawa keras. Lalu berujar begitu tawanya putus.
“Anak muda.... Jangan kira aku tak tahu apa arti-
nya Sun.... Sun sama dengan cium, bukan?!”
Mendengar kata-kata si kakek, gadis berbaju ku-
ning makin pentangkan mata. Namun bukan saja me-
mandang pada Joko, tapi juga mendelik pada si kakek!
“Kalian memang pantas digebuk!” teriak si gadis.
Tangan kanannya diangkat.
“Tunggu!” tahan Joko dengan takupkan kedua tan-
gan di depan dada dan bungkukkan sedikit tubuhnya.
“Maaf kalau ucapanku ada yang menyinggung! Tapi
harap kau tidak percaya pada ucapan kakek temanku
itu. Sun artinya bukan cium, tapi pantat! Dan maafkan
juga jika ucapanku salah! Terus terang, karena kita
cuma sekali bertemu, aku lupa siapa nama lengkap-
mu! Yang kuingat hanya Sun tadi....”
Si gadis berbaju kuning tipis masih belum buka
mu-lut. Tangan kanannya tetap berada di atas udara
siap lepaskan pukulan. Joko anggukkan kepala de-
ngan tersenyum dan berkata lagi.
“Kalau mau, aku ingin dengar lagi siapa nama leng-
kapmu agar aku tidak salah ucap jika kelak berjumpa
lagi!”
“Aku Dewi Bunga Asmara!” Si gadis mulai angkat
bicara dengan nada ketus.
“Kalau gelarmu itu aku masih ingat! Yang aku lupa,
namamu yang mengenakan Sun.... Sun.... Sun....”
“Ah.... Aku pernah dengar....” Si kakek menyahut.
“Kalau tak salah masih berkisar antara Sun Jauh dan
Sun Dekat!”
“Siapa temanmu itu?!” Si gadis yang menyebut diri-
nya dengan gelar Dewi Bunga Asmara dan tidak lain
memang murid tunggal Li Muk Cin alias Ratu Selen-
dang Asmara ini ajukan tanya dengan mata menyorot
tajam pada si kakek.
Karena tak mau dianggap mempermainkan orang,
meski belum tahu siapa nama si kakek, Joko segera
menjawab.
“Dia bernama Ci Kam Pek! Namun tak jarang orang
memanggilnya Ci Ka Long! Dan tentu kau masih ingat
namaku, bukan?!”
Yang ditanya diam sejenak. “Kau Han Ko, bukan?!”
“Syukur kau masih mengingatnya, hingga aku tak
usah ulangi lagi! Tapi aku sungguh-sungguh lupa akan
nama lengkapmu”
“Bang Sun Giok!” kata si gadis.
“Bang Sun Sun!” Si kakek di belakang sana menye-
la. “Jangan percaya dia bernama Han Ko!”
“Jangan hiraukan ucapan temanku itu! Dia me-
mang suka bercanda!” kata Joko setengah berbisik pe-
lan. Namun dari tadi sepasang matanya terus menatap
pada belahan dada dan paha Bang Sun Giok alias De-
wi Bunga Asmara.
“Dewi.... Aku senang bisa bertemu kau lagi! Dan ku
harap kau melupakan peristiwa yang pernah terjadi
antara kita....” Saat itulah Joko sadar. Dia cepat edar-
kan pandang matanya berkeliling. “Celaka kalau dia
muncul bersama gurunya....” Diam-diam Joko memba-
tin.
Seperti diketahui, Joko pernah bertemu dengan
Dewi Bunga Asmara beserta gurunya si Ratu Selen-
dang Asmara. Mereka sempat terlibat bentrok karena
Ratu Selendang Asmara meminta peta wasiat yang ada
di tangan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya sila-
kan baca serial Joko Sableng dalam episode: “Kuil Atap
Langit”).
“Ah.... Tampaknya kalian pernah terlibat satu peris-
tiwa! Pasti peristiwa itu masih ada kaitannya dengan
sun jauh dan sun dekat....” Si kakek perdengarkan su-
ara.
“Hem.... Kakek itu benar-benar bisa membuat sua-
sana jadi panas lagi!” kata Joko dalam hati. Namun dia
tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dia kini tahu jika
si kakek bukan orang sembarangan. Hingga untuk me-
redakan gemuruh dada Dewi Bunga Asmara, Joko se-
gera angkat suara.
“Dewi.... Sekali lagi harap kau tidak termakan uca-
pan kakek itu! Dia itu begini!” Joko angkat tangan ka-
nannya, lalu jarinya disilangkan di depan keningnya.
“Kalau temanmu sinting, bagaimana dengan kau
sendiri?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya.
“Apa tampangku pantas dikatakan orang sinting?!”
Joko balik bertanya.
“Biasanya, orang itu dilihat dari siapa temannya!”
“Tapi aku orang luar biasa! Banyak temanku yang
sinting, namun sejauh ini aku masih bisa bertahan un-
tuk tidak ikut sinting!”
Dewi Bunga Asmara amati Joko silih berganti de-
ngan si kakek yang masih tegak bersandar di batangan
pohon. “Pemuda asing ini ternyata mempesona.... Hem.
Dia tadi berkata hendak bertanya. Apa yang akan dita-
nyakan?! Saat ini orang tengah sibuk menuju Bukit
Toyongga akibat selebaran.... Tapi dia dan temannya
enak-enakan berada di sini! Apakah ini satu bukti jika
peta wasiat itu benar-benar tidak ada di tangannya?!”
“Dewi.... Sebagai orang daerah sini, tentu kau tahu
di mana letak Bukit Toyongga....”
Air muka Dewi Bunga Asmara berubah sedikit te-
gang. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Tampaknya Joko bisa membaca perubahan wajah o-
rang, hingga sebelum Dewi Bunga Asmara buka mulut,
Joko sudah angkat suara lagi.
“Dewi.... Perlu kukatakan sekali lagi padamu. Peta
wasiat itu tidak ada padaku!”
“Lalu mengapa kau ingin ke Bukit Toyongga?!”
“Seorang teman mengatakan....”
“Bukan seorang teman! Tapi sebuah undangan yang
tertera di gulungan sehelai daun!” Dewi Bunga Asmara
sudah menyahut sebelum ucapan Joko selesai.
“Bagaimana dia bisa tahu?! Jangan-jangan ini ulah
kakek itu pula! Dia sengaja membuat sandiwara untuk
mempertemukanku dengan gadis ini! Bukankah dia
tadi sudah tahu akan kemunculan orang meski orang
nya belum kelihatan?!” Tanpa sadar, Joko berpaling
pada si kakek.
“Kau tak usah berprasangka buruk pada orang! Se-
karang semua orang tahu jika nanti malam ada se-
buah pertemuan di Bukit Toyongga!” gadis ini berujar
seakan tahu apa yang ada di benak murid Pendeta
Sinting.
Joko pandangi sekali lagi gadis cantik di hadapan-
nya. “Dewi.... Kuharap kau juga tidak berprasangka
padaku.... Kalaupun aku ingin ke Bukit Toyongga, se-
mata-mata hanya ingin tahu bagaimana cerita sebe-
narnya dan bagaimana bentuk peta wasiat itu. Karena
ulah peta wasiat itu, aku sampai mengalami hal yang
hampir merenggut nyawaku! Aku dikejar banyak o-
rang! Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa!”
“Bagaimana ini? Apakah ucapannya bisa dipegang?”
Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama.
“Dewi.... Kau boleh percaya, juga boleh tidak. Tapi
itulah sebenarnya yang kualami! Dan kalau kau tidak
mau mengatakan di mana letak Bukit Toyongga, aku
tidak akan memaksa!” Joko memandang sesaat. Lalu
tersenyum dan balikkan tubuh melangkah ke arah si
kakek.
“Aku akan tunjukkan padamu!” kata Dewi Bunga
Asmara.
Joko balikkan tubuh. “Terima kasih....”
“Tapi aku minta syarat!” Si gadis sambungi ucapan-
nya.
“Hem.... Katakanlah! Mudah-mudahan aku bisa
mengabulkan syaratmu!”
“Aku bukan saja akan menunjukkan di mana Bukit
Toyongga. Tapi aku akan mengantarmu sampai ke sa-
na! Tapi.... Tanpa bersama kakek temanmu itu!”
“Hem.... Begitu?!” Si kakek menyahut. Sementara
Joko palingkan muka pulang balik ke arah Dewi Bun-
ga Asmara dan si kakek.
“Daripada berjalan dengan kakek yang suka usil,
memang lebih baik berjalan bersama gadis cantik! Apa-
lagi dadanya rendah, pahanya kelihatan dan....”
“Aku minta kau segera memutuskan!” Dewi Bunga
Asmara berujar.
“Hem.... Baiklah! Syaratmu kupenuhi! Kita ke sana
berdua!”
“Han Ko!” seru si kakek. “Jangan kau lupa! Pada
mulanya kau tahu urusan ini dari aku! Tidak sepan-
tasnya kau akan membuangku begitu saja karena ha-
dirnya pihak ketiga!”
“Kek! Aku memang dengar pertama kali darimu. Ta-
pi kau tidak bisa menunjukkan di mana tempat yang
kutuju! Untuk itulah aku ucapkan terima kasih se-
kaligus maaf jika aku tidak bisa mengajakmu ikut ser-
ta!”
“Tapi kau telah dengar ucapanku, bukan?! Ke mana
kau pergi, aku akan ikut! Aku tak akan tanya apa tu-
juanmu! Kau juga tak usah khawatir kalau aku meng-
ganggu keasyikanmu! Sebagai orang tua, aku tahu diri
dan maklum.... Lagi pula, soal sun, sun itu aku sudah
bosan.... Jangan takut aku akan mengintip!”
Paras wajah Dewi Bunga Asmara tampak bersemu
merah. Sementara sepasang matanya mendelik besar
ke arah si kakek. “Ucapannya itu yang membuatku ti-
dak mau berjalan bersamanya!” bisiknya dengan suara
bergetar.
“Kek! Ini bukan soal intip-intipan apalagi sun-su-
nan, ini urusan ada kaitannya dengan apa yang kua-
lami selama ini! Jadi jangan salah tafsir kalau kami ti-
dak mau mengajakmu ikut serta!”
“Hem.... Begitu?! Selagi aku masih muda dulu....
Aku juga punya banyak alasan agar kepergianku ber-
sama sang kekasih tidak diikuti orang! Jadi kau masih
kalah masa denganku kalau mengatakan alasan!”
“Bagaimana sekarang?! Melihat dari bagaimana tadi
dia bisa menyusulku tanpa kuketahui, tampaknya su-
lit menghindari orang itu....” Joko tampak bingung.
“Hem.... Ada-ada saja yang membuat rejeki besar lepas
dari tangan....”
Dewi Bunga Asmara melangkah mendekati Joko.
“Bagaimana kalau dia kita tinggal? Lagi pula kalau
berjalan dengan orang tua seperti dia, kurasa kita
akan terlambat sampainya!” bisik Dewi Bunga Asmara.
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Dia bukan seperti
yang kau duga!”
“Maksudmu...?!”
“Aku tadi sudah mencobanya. Dia kutinggal jauh di
belakang! Dan aku berhenti di sini karena kuduga dia
tidak bisa menyusulku. Sialnya, tahu-tahu dia sudah
ada di sini! Bahkan mendahuluiku!”
“Hem.... Begitu?!” Tiba-tiba si kakek berkata lagi.
“Kalian bisik-bisik membuat rencana?!” Si kakek ter-
tawa ngakak. “Perlu kalian tahu satu hal. Kalian boleh
membuat seribu satu rencana. Yang pasti aku tetap
akan ikut!”
“Bagaimana kalau kita gebuk saja?!” usul Dewi
Bunga Asmara.
“Itu tak mungkin! Kalau dia memiliki ilmu peringan
tubuh luar biasa, pasti kepandaiannya luar biasa pula!
Lagi pula aku tak mau membuat masalah!”
“Ah.... Sebenarnya aku ingin berdua saja bersama-
nya....” Dewi Bunga Asmara berkata sendiri dalam ha-
ti. “Mungkin ini tidak akan direstui oleh Guru. Apalagi
aku disuruhnya pulang dan menunggu sampai dia da-
tang! Tapi.... Aku tidak bisa! Sejak pertama kali jum-pa
tempo hari, sebenarnya aku tertarik padanya... Aku
tak tahu mengapa ini harus terjadi?”
“Dewi.... Bagaimana sekarang?!”
Karena tengah melamun, ucapan Joko membuat
Dewi Bunga Asmara gelagapan. Namun gadis ini cepat
tersenyum dan gelengkan kepala.
“Bagaimana kalau dia kita ajak saja?!”
“Sebenarnya.... Ah, tapi kalau itu keputusanmu,
aku ikut saja! Tapi kuharap kau berpesan padanya
agar dia tidak melakukan hal-hal yang tak ada guna-
nya! Dan setibanya di Bukit Toyongga, kuharap pula
dia tidak mengeluarkan ucapan yang membikin panas
suasana. Aku menduga, akan banyak tokoh dunia per-
silatan yang hadir.... Dan satu hal lagi, begitu tiba di
sana, kita harus berpencar!”
“Mengapa begitu?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Guruku pasti akan ada di sana!”
“Hem.... Kau takut karena bersamaku?!”
“Bukan begitu...,” kata Dewi Bunga Asmara dengan
gelengkan kepala. “Aku tahu bagaimana sifat guruku.
Dan selama ini dia mungkin masih menduga peta wa-
siat itu berada di tanganmu! Selain itu, bentrokan tem-
po hari mungkin masih tidak bisa dilupakannya! Aku
tak mau kau celaka gara-gara bersamaku.... Demikian
pula sebaliknya! Namun setelah itu, aku akan membe-
ritahukan pada Guru bagaimana duduk persoalan se-
benarnya! Dan di sana pula mungkin nanti Guru tahu
sendiri siapa sebenarnya yang memegang peta wasiat
itu!”
“Hem.... Bagaimana kalau kita menemui gurumu
bersama-sama?! Aku yang akan menjelaskan sendiri!”
“Saat seperti sekarang ini, bukan waktu yang tepat
untuk melakukan hal seperti itu!” ujar Dewi Bunga
Asmara meski hatinya berdebar senang mendengar
ucapan Joko.
“Hem.... Itu kita bicarakan nanti sambil jalan. Se-
karang aku akan memberi tahu persyaratan apa yang
harus dilakukan kakek itu kalau dia mau ikut bersa-
ma kita!”
Habis berkata begitu, Joko melompat dan tegak di
hadapan kakek yang tetap sandarkan tubuh ke bata-
ngan pohon di belakangnya.
“Kek.... Kami memutuskan akan mengajakmu ikut
sertai Tapi....”
“Hem.... Begitu?!” Si kakek sudah menyahut sebe-
lum Joko selesai berkata. “Jadi kalian sudah memu-
tuskan. Namun kalian memasang syarat! Ha... Ha...
Ha... Anak Muda.... Perlu kau tahu satu hal. Jika sese-
orang memasang satu syarat, itu satu bukti kalau
orang itu kurang percaya diri! Tapi tak apalah.... Kata-
kan apa syarat itu...?!”
“Harap tidak berlaku usil saat di tengah jalan! Dan
jika sampai di Bukit Toyongga, harap tidak melakukan
atau berucap yang membikin suasana berubah jadi
panas....”
“Hem.... Begitu?! Hanya itu syaratnya?!”
Joko menjawab dengan anggukkan kepala. Si kakek
tertawa panjang. Lalu berujar.
“Syarat mudah.... Aku bersedia melakukannya!”
“Orang aneh.... Sebenarnya apa maksudnya dia
hendak ikut ke Bukit Toyongga...? Dia juga tidak ber-
tanya ada apa sebenarnya! Hem....” Joko membatin
memperhatikan si kakek sekali lagi dengan lebih sek-
sama. Yang dipandangi balas memandang.
“Anak muda! Rasanya tak ada dari tubuhku yang
sedap untuk dipandang! Sementara di belakangmu ada
pemandangan indah yang terlalu sayang disia-siakan!
Atau barangkali kau lebih tertarik dengan dada dan
pahaku?!”
Joko menyeringai. Saat lain dia balikkan tubuh dan
melompat ke arah Dewi Bunga Asmara.
“Dewi.... Kita berangkat sekarang....”
Dewi Bunga Asmara tersenyum lalu anggukkan ke-
pala dan mulai melangkah. Joko berpaling sesaat pada
si kakek, lalu tanpa buka mulut dia mengikuti langkah
Dewi Bunga Asmara. Anehnya, meski tahu Pendekar
131 dan Dewi Bunga Asmara sudah bergerak bahkan
sudah agak jauh melangkah, si kakek masih saja tegak
bersandar di batangan pohon. Malah saat sosok murid
Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara lenyap tidak
kelihatan, si kakek belum juga beranjak dari tempat-
nya.
Baru begitu sudah agak lama, si kakek mulai me-
langkah dari dekat batangan pohon di mana tadi dia
bersandar. Herannya, dia tidak segera berkelebat me-
nyusul agar tidak kehilangan jejak. Sebaliknya me-
langkah perlahan-lahan seraya mengisap dua pipa di
mulutnya. Dan ternyata dia melangkah tidak mengam-
bil arah seperti yang diambil Pendekar 131 dan Dewi
Bunga Asmara!
***
SEMBILAN
KARENA telah maklum akan kehebatan ilmu peri-
ngan tubuh si kakek, Pendekar 131 memberi saran
agar Dewi Bunga Asmara berlari sekuat yang dia mam-
pu. Dan begitu si gadis mulai berlari, tanpa meman-
dang ke belakang, murid Pendeta Sinting pun segera
berlari.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari, pada satu tempat, Dewi Bunga Asmara berhenti.
“Perjalanan kita sudah tak jauh lagi. Kita istirahat
sejenak!” berkata Dewi Bunga Asmara dengan tangan
mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dada-
nya tampak bergerak keras turun naik.
Joko ikut hentikan larinya dan tegak menjajari. Dia
berpaling hendak berkata, namun meski mulutnya te-
lah terbuka, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya se-
pasang matanya tampak membesar memandang tak
berkesip.
“Edan! Dalam keadaan basah oleh keringat begini
rupa, sosoknya begitu menggoda....” Joko bergumam
dalam hati dengan mata menatap tajam pada sosok
Dewi Bunga Asmara.
Karena pakaian yang dikenakan si gadis sangat ti-
pis dan basah oleh keringat, membuat pakaian itu lak-
sana melekat hingga membikin semua lekukan tubuh-
nya terlihat jelas. Belum lagi gerakan dadanya yang tu-
run naik dan renggangkan kedua kakinya yang mem-
buat belahan pakaian bawahnya melebar menampak-
kan pahanya yang berkulit putih dan padat.
“Aku tidak mendengar suara kakek temanmu itu!”
Dewi Bunga Asmara kembali angkat suara. Saat ber-
samaan dia gerakkan tubuh menghadap Joko yang te-
gak di sampingnya.
Murid Pendeta Sinting tampak salah tingkah. Dia
buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Tampaknya Dewi Bunga Asmara sadar. Dia tundukkan
kepala melihat ke arah belahan di dadanya yang me-
mang dibuat agak rendah. Lalu memandang pada be-
lahan pakaian di pahanya. Saat lain dia kembali putar
diri menghadap ke depan. Wajahnya sedikit berubah.
Mungkin karena sama-sama salah tingkah, untuk
beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mu
lut. Hanya mata mereka yang sesekali melirik.
“Dewi.... Berapa lama lagi perjalanan sampai bukit
itu?!” Akhirnya Joko memecah kebisuan.
“Kalau kita berlari seperti tadi, mungkin sebelum
petang kita sudah sampai!”
“Kau yakin memang akan banyak tokoh yang hadir
di sana?! Apakah tidak mungkin undangan ini hanya
ulah seseorang yang mengail di air keruh?!”
“Menurut kesimpulanku setelah melihat apa yang
terjadi beberapa waktu terakhir ini, aku yakin akan
banyak tokoh yang hadir! Dan aku pun juga menduga,
undangan ini adalah ulah seseorang! Hanya saja orang
itu pasti memegang peta wasiat!”
“Mengapa kau menduga begitu?!”
“Kau tahu sendiri. Peta wasiat itu terbagi dua. Satu
berada di Perguruan Shaolin, satunya lagi masih men-
jadi teka-teki di mana beradanya. Sementara waktunya
telah tiba. Jika malam ini peta wasiat tidak bisa dis-
atukan, maka peta wasiat itu tidak akan ada artinya
lagi! Untuk itulah salah seorang yang memegang peta
wasiat menyebar undangan. Dengan begitu, siapa pun
yang memegang peta wasiat satunya pasti akan da-
tang, karena dia juga menginginkan separo dari peta
wasiat! Jika tidak, untuk apa menyebar undangan?!
Dan karena orang ini belum tahu siapa yang meme-
gang peta wasiat satunya, terpaksa dia memberi un-
dangan pada beberapa orang yang diduga tahu dan
ikut terlibat memperebutkan peta wasiat itu!”
“Hem.... Selain cantik, bertubuh bagus, dia juga
pintar!” Joko anggukkan kepala seraya terus melirik.
“Jika kesimpulanmu demikian, berarti akan ada
bentrokan di bukit itu!”
“Itu mungkin saja terjadi jika tidak ada kesepaka-
tan! Dan untuk itulah sebenarnya aku bertujuan kebukit itu! Karena aku menduga guruku akan ada di
sana.... Aku tak mau sesuatu menimpa guruku! Meski
aku yakin, kehadiranku di sana akan membuatnya
marah!”
“Mengapa kau yakin gurumu akan marah melihat
kehadiranmu? Apa karena kau datang bersamaku?!”
Dewi Bunga Asmara berpaling tanpa putar tubuh.
Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Jo-
ko, hingga untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ling pandang. Namun Dewi Bunga Asmara segera alih-
kan pandangannya dan berkata.
“Keberadaanmu bersamaku mungkin saja satu se-
bab. Tapi sebelumnya sudah ada sebab. Kau masih in-
gat pertemuan kita pertama kali?!” Kepala Dewi Bunga
Asmara kembali menghadap Joko.
Pendekar 131 anggukkan kepala. Kini dia yang alih-
kan pandang matanya dari dada Dewi Bunga Asmara
ke jurusan lain.
“Hem.... Aku begitu bahagia bersamanya.... Sean-
dainya pertemuan dengannya tanpa didahului satu
masalah, tentu akan lain ceritanya!” Dewi Bunga As-
mara diam-diam membatin dengan dada berdebar.
“Kau belum menjelaskan, mengapa dengan perte-
muan kita dahulu?!” Joko berujar karena si gadis be-
lum juga buka mulut lagi.
Karena Joko berkata tanpa memandang, Dewi Bun-
ga Asmara memberanikan terus memandang seraya
berkata.
“Setelah aku, Guru, dan Bayangan Tanpa Wajah ta-
hu kalau kau diselamatkan Bu Beng La Ma, kami ber-
tiga sepakat untuk mengejarmu ke tempat kediaman
Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Di tengah jalan,
mungkin karena mengkhawatirkan keselamatanku,
Guru menyarankan agar aku kembali dan tidak ikut!
Namun aku bersikeras untuk ikut!” Dewi Bunga Asma-
ra hentikan ucapannya sesaat. Namun sebenarnya dia
berkata sendiri dalam hati. “Sebenarnya aku bersi-
keras ikut karena ingin berjumpa lagi denganmu dan
untuk yakinkan diri jika kau tidak apa-apa....”
“Pada mulanya, Guru memang mengizinkan aku
ikut serta. Tapi begitu akan sampai di Kuil Atap Langit,
tiba-tiba Bayangan Tanpa Wajah mengusulkan agar
aku kembali saja. Karena dia tahu benar siapa tokoh
yang hendak dihadapi! Usulan Bayangan Tanpa Wajah
membuat Guru berubah niat. Hingga akhirnya dia me-
merintahkan padaku untuk kembali saja! Dan meski-
pun aku bersikeras dan memberi alasan, Guru tidak
mau dengar! Akhirnya aku kembali pulang....”
Dewi Bunga Asmara kembali hentikan keterangan
dengan wajah sedikit berubah. Setelah menghela na-
pas panjang, dia melanjutkan.
“Beberapa hari sendiri, aku dilanda perasaan cemas
dan khawatir. Karena sampai menjelang hari ganda se-
puluh, tidak ada kabar berita guruku. Aku sudah ber-
niat untuk mencarinya. Namun sebelum berangkat,
aku mendapatkan undangan gulungan daun itu....”
Dewi Bunga Asmara putar kepala dengan mata me-
ngedar berkeliling karena saat itu dia teringat kembali
pada si kakek. Dia sudah buka mulut lagi hendak ber-
tanya karena dia tidak melihat batang hidung orang
yang dicari. Namun sebelum suaranya terdengar, Joko
sudah angkat bicara mendahului.
“Kau pernah kenal dengan seorang pemuda yang
mengenakan pakaian mirip kebaya? Wajahnya tampan
berkulit putih. Bibirnya diberi pewarna merah. Tangan
kanannya memegang sebuah kipas....”
Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama dengan
dahi berkerut. Saat lain kepalanya bergerak menggeleng. “Aku tidak pernah melihatnya! Ada apa?!”
Murid Pendeta Sinting tersenyum dan geleng kepa-
la. “Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya.
Aku cuma heran, ada pemuda yang mengenakan pa-
kaian milik perempuan. Bibirnya dipoles lagi! Apakah
di negeri ini banyak pemuda yang bertingkah seperti
dia?!”
Joko tidak mau berterus terang dan coba mengorek
keterangan. Dia khawatir di negeri ini banyak pemuda
yang seperti pemuda berkebaya yang ditemuinya bebe-
rapa hari lalu. Karena jika banyak, hal ini akan mem-
buatnya susah. Sebab Joko yakin peta wasiat di tan-
gannya dibawa kabur pemuda berkebaya itu.
“Setahuku, baru kali ini aku mendengar ada pemu-
da seperti yang kau katakan!” Dewi Bunga Asmara
menjawab seraya memandang ke arah Joko. Panda-
ngannya jelas menyelidik. Lalu bertanya.
“Sebenarnya ada apa dengan pemuda itu?! Kau ben-
trok dengannya?!”
Kembali Joko geleng kepala dan berkata. “Aku
hanya melihat dan bicara sebentar. Kalaupun aku ber-
tanya tentang dia, karena aku merasa heran tadi! Bah-
kan saking heran dan penasaran, secara diam-diam
aku mengikutinya. Aku berharap dia pergi ke sebuah
sungai dan mandi! Aku ingin tahu, apakah miliknya
ma-sih seperti milik....”
Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu De-
wi Bunga Asmara pelototkan mata dengan raut merah
padam.
“Maaf. Bukan maksudku berkata yang bukan-bu-
kan. Aku cuma ingin menerangkan agar kau tidak te-
rus bertanya-tanya....”
“Hem.... Apakah kau pernah bertemu lagi dengan
guruku sejak kau diselamatkan oleh Bu Beng La Ma?!”
Dewi Bunga Asmara alihkan pembicaraan.
Joko menjawab dengan gelengan kepalanya. “Aku
hanya sempat bertemu dengan pemuda berkebaya itu
dan kakek pengisap pipa....”
Habis berkata begitu, Joko palingkan kepala ke ka-
nan kiri. Ucapannya membuat dia teringat pada si ka-
kek.
“Ke mana dia?! Dari tadi aku tidak melihat batang
hidungnya! Jangan-jangan dia sembunyi di sekitar
tempat ini!” Joko kembali putar kepala dengan mata
menyelidik.
“Kau mencari seseorang?!” tanya Dewi Bunga Asma-
ra meski dia tahu apa yang tengah dilakukan Joko.
“Kakek temanku itu! Aku tidak melihatnya!”
Dewi Bunga Asmara ikut-ikutan putar kepala de-
ngan mata menyiasati keadaan. Namun hingga bebe-
rapa lama, kedua orang ini tidak melihat sosok si ka-
kek.
“Mungkin dia batalkan niatnya untuk ikut! Di ten-
gah perjalanan tadi, aku sempat mencari-cari dengan
berpaling ke belakang, tapi aku memang tidak me-
lihatnya!” kata Dewi Bunga Asmara.
Joko tidak sambuti ucapan si gadis. Dan karena te-
lah tahu ulah si kakek sebelumnya, dia terus menye-
lidik untuk yakinkan diri. Dan begitu tidak mene-
mukan orang yang dicari, dia ajukan tanya.
“Dewi.... Kau tahu siapa kakek itu sebenarnya?!”
Yang ditanya sipitkan mata. “Kau ini aneh. Bukan-
kah dia temanmu?! Mengapa kau bertanya padaku
tentang siapa dia?!”
“Terus terang, sebenarnya aku baru saja berkenalan
dengannya! Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!”
Dahi Dewi Bunga Asmara makin berkerut. “Bukan-
kah kau tadi menyebutkan namanya padaku Ci Kam
Pek dan Ci Ka Long?!”
“Ah.... Itu cuma main-main.... Sebab jika aku tidak
menjawab siapa namanya saat itu, pasti kau akan
menduga jelek padaku!” jawab Joko dengan cengar-
cengir.
“Kau sama saja dengan kakek itu! Suka main-
main!” ujar Dewi Bunga Asmara dengan suara ketus
dan pasang tampang cemberut. “Namamu yang kau
beri tahukan padaku jangan-jangan juga main-main!
Kau bukan Han Ko!”
“Ah.... Namaku memang yang baru kau sebut tadi!
Aku tidak main-main dengan nama itu!” ujar murid
Pendeta Sinting seraya bergerak mendekat.
Entah agar orang percaya dan.si gadis tidak cembe-
rut, perlahan-lahan Joko mengambil tangan kanan
Dewa Bunga Asmara.
Dewi Bunga Asmara sempat terkejut. Anehnya dia
tidak berusaha menolak, bahkan dia balik meremas
saat tangan Joko mulai berani meremas. Dada gadis
ini berdebar keras. Wajahnya berubah merah dan tidak
berani memandang langsung ke arah murid Pendeta
Sinting yang makin berani dengan ambil tangan kiri-
nya!
“Kuharap kau percaya padaku....” Joko berkata
dengan suara agak tersendat seakan tenggelam oleh
debaran dadanya.
“Kau memang tidak main-main, bukan?!” kata Dewi
Bunga Asmara dengan palingkan kepala perlahan-
lahan menghadap Joko. Joko gelengkan kepala meski
dalam hati menahan tawa.
“Kau benar berani menghadap guruku?!”
“Dia juga manusia sepertiku. Apa yang ditakutkan?!
Lagi pula masalahnya hanya salah paham.... Tidak ada
masalah yang tidak bisa diselesaikanl Apalagi....”
Belum lagi Joko lanjutkan ucapannya, Dewi Bunga
Asmara lepaskan kedua tangannya dari tangan Joko,
membuat murid Pendeta Sinting terkejut. Dan belum
hilang rasa kejut Joko, mendadak Dewi Bunga Asmara
gerakkan kedua tangannya melingkar pada pinggang
Joko. Saat lain kepalanya disandarkan pada dada Jo-
ko! Pendekar 131 terkesiap. Dadanya bergemuruh.
Apalagi saat yang sama Dewi Bunga Asmara angkat
kepalanya tengadah hingga hidungnya yang mancung
menyentuh ujung dagunya.
“Kau tahu.... Baru saat ini aku merasakan baha-
gia.... Dan kau tahu, sejak pertama kali jumpa dengan-
mu, aku sudah tertarik padamu....” Dewi Bunga Asma-
ra berbisik pelan dengan suara serak.
Joko tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dan
tanpa sadar kedua tangannya bergerak pula melingkar
pada pinggang Dewi Bunga Asmara. Saat lain kepala-
nya ditundukkan. Dewi Bunga Asmara memandang
sesaat pada bola mata Joko. Lalu perlahan-lahan gadis
ini pejamkan sepasang matanya.
Debaran dada murid Pendeta Sinting makin keras.
Dan perlahan-lahan kepalanya bergerak ke bawah.
Dewi Bunga Asmara makin pejamkan matanya saat te-
rasa keningnya dicium murid Pendeta Sinting dan saat
lain bibirnya terasa hangat ketika bibir Joko bergerak
menyentuh bibirnya.
Untuk beberapa lama kedua orang itu tenggelam
dalam pelukan mesra hingga satu saat tiba-tiba Dewi
Bunga Asmara tarik kepalanya dari wajah Joko dengan
perdengarkan batuk-batuk kecil beberapa kali. Di lain
pihak, murid Pendeta Sinting pun cepat takupkan tan-
gan kanan pada mulutnya dan berusaha menahan na-
pas.
“Busyet! Ada-ada saja yang mengganggu.... Dari ma
na sebenarnya asap ini...? Hem.... Kalau ada asap,
pasti ada api! Dan berarti ada orang di tempat ini!” Mu-
rid Pendeta Sinting membatin karena saat itu menda-
dak saja tempat di mana dia berada bersama Dewi
Bunga Asmara telah dipenuhi asap!
“Dewi.... Aku yakin ada orang lain di tempat ini!” bi-
sik Joko.
“Aku juga menduga demikian!” ujar Dewi Bunga As-
mara dengan palingkan kepala tidak berani meman-
dang.
Joko pentangkan mata. Merasa aneh, karena ter-
nyata asap itu tidak melingkupi sekitar tempat itu. Se-
baliknya hanya berputar-putar di tempat mana Joko
dan Dewi Bunga Asmara tegak. Lalu memanjang ke
atas.
Pendekar 131 gerakkan kepala mengikuti arah
asap. Ternyata asap itu memanjang ke atas dan ber-
sumber dari satu dahan di sebuah pohon!
Karena masih tertutup asap, Joko belum bisa meli-
hat bagaimana asap bisa bersumber pada dahan se-
buah pohon. Namun diam-diam hatinya berdebar dan
menduga-duga. Saat lain dia berkelebat keluar dari pu-
taran asap yang melingkupinya. Dan hampir bersa-
maan, Dewi Bunga Asmara juga melompat.
Murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara sa-
ma mendongak ke arah dahan pohon dari mana asap
bersumber. Mata Joko terpentang seketika. Sementara
Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan
bergumam tak jelas.
“Kakek usil itu!” bisik murid Pendeta Sinting demi
melihat satu sosok tubuh enak-enakan duduk bersan-
dar di salah satu dahan dengan mulut kepulkan asap
dari dua pipa!
***
SEPULUH
“HARAP tidak berburuk duga.... Kalian lihat sendiri.
Kepalaku tengadah melihat langit. Kalaupun kalian
terganggu dan batuk-batuk terkena asapku, jangan sa-
lahkan aku. Asap itu yang nyasar tak tahu diri....”
Orang di atas dahan yang ternyata si kakek adanya
perdengarkan suara. Saat bersamaan dia menghela
napas. Asap yang semburat ke bawah laksana disedot
kekuatan dahsyat. Lalu bergulung-gulung mengecil
dan masuk amblas ke kedua pipa di mulutnya!
Joko dan Dewi Bunga Asmara berpaling saling pan-
dang tanpa ada yang buka mulut. Namun mau tak
mau Joko sedikit jengkel dengan ulah si kakek. Dia
yakin, meluncurnya asap tidak akan terjadi kalau ti-
dak disertai tenaga dalam.
“Kek! Kau telah menerima syarat jika akan terus
ikut! Tapi dengan....”
“Hem.... Begitu?!” Si kakek telah memotong. “Aku
memang telah terima syarat! Tapi kurasa aku masih
belum melanggar ketentuan!”
“Asapmu itu!”
“Anak muda.... Seharusnya kau berterima kasih!
Bukan padaku, karena aku tidak mengharap rasa te-
rima kasih! Tapi pada asap itu! Sebab dengan asap itu,
kau terlepas dari malu besar! Bukan malu padaku, ta-
pi pada seseorang.... Bukan pada gadis cantik di sam-
pingmu itu, tapi pada gadis lain....”
“Kek! Kau bicara apa?! Jangan mencari dalih!”
Si kakek tertawa. “Apa gunanya dalih?! itu dilaku-
kan seseorang yang tidak punya bukti kuat! Sekarang
coba jangan terus pandangi aku begitu rupa! Bukan
karena aku malu padamu, namun sebagai temanmu,
aku jadi malu pada orang lain!”
“Keki Di sini tidak ada orang lain! Jangan kau terus
mencari alasan!”
“Sebaiknya kita teruskan perjalanan! Kalau perde-
batan ini dilanjutkan, tidak akan selesai.... Lagi pula
ini kesalahan kita! Kalau tidak disadarkan olehnya,
mungkin kita akan terus berada di sini dan itu akan
membuat kita terlambat!” Dewi Bunga Asmara berbi-
sik.
Namun karena sudah jengkel, Joko tidak pedulikan
ucapan Dewi Bunga Asmara. Dia kembali berteriak.
“Kek! Karena kau telah melanggar syarat, harap
sampai di sini saja kau mengikutiku!”
“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-
da! Orang dimabuk cinta memang akan lupa segala-
nya. Tempat, waktu, dan keadaan! Aku maklum hal
itu.... Tapi sekarang kau tentu telah agak sadar. Ku-
harap kau sekarang ingat tempat, waktu, dan ke-
adaan....”
Joko sudah akan buka mulut lagi. Namun si kakek
di atas pohon telah lanjutkan ucapan. “Jangan kau po-
tong ucapanku! Sekarang kuharap kalian berdua ber-
paling jauh ke samping kanan sana! Ingat.... Perlahan-
lahan saja dan jangan terkejut!”
Meski belum mengerti ke mana arah tujuan ucapan
si kakek, baik Pendekar 131 maupun Dewi Bunga As-
mara segera turuti ucapan orang. Mereka berdua ber-
paling ke samping kanan. Dan mungkin karena pena-
saran, Joko bukannya berpaling perlahan-lahan, na-
mun kepalanya disentakkan!
Kepala Joko laksana dipacak. Sepasang matanya
membesar dengan mulut terkancing rapat. Wajahnya
berubah merah padam dan tegang. Saat lain dia meli-
rik pada Dewi Bunga Asmara dengan dada berdebar.
Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara tampak terkejut.
Parasnya berubah merah meski tidak tegang. Bahkan
pandang matanya mengisyaratkan rasa tidak senangi
“Anak muda sekalian.... Apa pendapat kalian ber-
dua?! Perlu kalian tahu, dia telah tegak di sana hampir
bersamaan dengan keberadaan kalian di tempat ini!
Tapi aku tak tahu, apakah dia tengadah ke langit se-
pertiku atau melotot seperti sekarang....”
“Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tahu apa
yang kulakukan bersama Dewi Bunga Asmara.... Bu-
syet betul! Mengapa aku sampai tidak tahu kehadi-
rannya?!” Joko membatin.
“Dari sikapmu, sepertinya kau kenal dengan dia!
Siapa dia?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya dengan
suara pelan namun nadanya agak ketus.
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya terus arah-
kan pandang matanya ke depan. Pada satu sosok tu-
buh yang tegak dengan mata memandang tak berke-
sip ke arah Joko dan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan
pakaian warna merah muda. Rambutnya panjang dige-
rai dan diberi hiasan pita.
“Mei Hua.... Mengapa dia berada di tempat ini?!
Apakah dia juga bermaksud ke Bukit Toyongga?!”
“Kau belum jawab pertanyaanku.... Kau kenal de-
ngan gadis itu?! Siapa dia...? Ada hubungan apa de-
nganmu?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya. Sepa-
sang matanya terus memperhatikan sosok gadis di se-
berang sana. Di lain pihak, gadis berbaju merah muda
dan bukan lain ternyata adalah Mei Hua, juga arahkan
pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara. Hingga
untuk beberapa lama kedua gadis ini sama perang
pandang.
“Aku memang mengenalnya.... Dia bernama Mei
Hua....” Akhirnya Joko menjawab dengan suara di-
tekan.
“Hem.... Hubunganmu dengannya?!” tanya Dewi
Bunga Asmara.
“Hanya sebagai sahabat! Dia pernah menolongku....”
“Aku tak mau kau dustai ! Kalau dia hanya sebagai
sahabat, mengapa pancaran matanya membayangkan
rasa cemburu?! Kau kekasihnya...?!”
“Dewi.... Terus terang saja. Aku orang baru di negeri
ini. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat, aku bi-
sa menjalin hubungan dengan dia?!”
“Ah.... Benarkah ucapannya?! Jangan-jangan gadis
itu sama sepertiku! Meski baru saja kenal tapi sudah
jatuh cinta.... Kalau benar, apa yang harus kulaku-
kan...? Dia berwajah cantik.... Mungkinkah pemuda ini
akan lebih tertarik padanya?!” Dewi Bunga Asmara
membatin.
Sementara di depan sana, Mei Hua juga berkata
sendiri dalam hati. “Siapa gadis di sampingnya itu?!
Ah.... Mengapa aku bodoh? Bukankah mereka tadi be-
gitu mesra saling peluk cium?! Pasti dia kekasihnya?!
Hem.... Tidak kusangka sama sekali kalau pemuda
yang selama ini selalu kurindu telah memiliki seorang
kekasih! Seharusnya aku dulu bertanya dan menye-
lidik dahulu.... Kini semuanya sudah terlambat! Hanya
saja.... Mengapa sesingkat itu dia punya seorang ke-
kasih di negeri ini? Jangan-jangan dia pemuda yang
suka mempermainkan perempuan! Terbukti dia tidak
tahu tempat dan keadaan! Dia berpeluk cium seenak-
nya saja di sembarang tempat! Malah dia seolah tak
peduli dengan diriku dan orang tua yang ada di atas
pohon! Dia tidak risih bercinta di depan orang! Hem....
Sebaiknya kuteruskan perjalanan ini ke Bukit Toyong-
ga! Dari gelagatnya, mereka juga akan menuju ke sana!
Atau aku batalkan saja ke sana?! Bukankah tidak ada
gunanya lagi?! Aku ke sana demi pemuda itu. Seka-
rang aku tahu dia di sini dan bercinta dengan seorang
gadis! Tapi, aku akan teruskan perjalanan ini! Aku se-
karang tahu siapa sebenarnya pemuda itu! Dan me-
lihat tingkahnya, dia tidak pantas memegang peta wa-
siat! Akan kukatakan nanti pada orang-orang di sana
siapa sebenarnya pemegang peta wasiat itu!”
Berpikir begitu, setelah memandang silih berganti
pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, Mei Hua
balikkan tubuh.
“Mei Hua! Tunggu!” Joko menahan seraya berkele-
bat dan tegak menghadang di hadapan Mei Hua.
Mei Hua batalkan niat. Meski dia tegak di hadapan
Joko, namun sepasang mata gadis cantik ini meman-
dang ke jurusan lain. Bahkan dia tidak berusaha buka
mulut.
“Dari sikapnya, aku tahu dia cemburu...,” Joko
membatin lalu berkata.
“Mei Hua.... Kalau tak keberatan, mau katakan pa-
daku kau hendak ke mana?!”
“Itu urusanku! Dan jangan coba-coba menghadang!
Dan perlu kau tahu, malam nanti, aku menunggumu!
Kau tentu sudah tahu di mana tempatnya!”
“Kau perlu sesuatu dariku?!” tanya Joko dengan co-
ba sunggingkan senyum.
“Bukan hanya aku! Tapi semua kaum persilatan di
negeri ini! Bahkan juga pihak kerajaan pun perlu se-
suatu darimu! Kau tak pantas memegang sesuatu itu!”
“Aku tahu apa yang dimaksudkannya! Pasti urusan
peta wasiat itu! Apakah aku harus mengatakan terus
terang padanya soal lenyapnya peta wasiat itu dari
tanganku? Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkin-
kah dia mau percaya ucapanku?!”
Selagi Joko membatin begitu, Mei Hua sudah ang-
kat bicara lagi.
“Masih ada yang ingin kau katakan?! Aku tak mau
membuat orang lain marah padaku karena kau bicara
denganku! Dan mulai saat ini, harap kau tidak lagi
memandangku sebagai sahabat! Anggap saja kita tidak
pernah bertemu!”
“Mei Hua.... Jangan kau terlalu cepat menuduh!
Aku dan....”
“Katakan saja apa perlumu menahanku!” Mei Hua
sudah menukas dengan suara keras. Dan sejauh ini
dia tidak memandang ke arah murid Pendeta Sinting.
“Kau tidak perlu memberi penjelasan! Aku sudah tahu.
Perbuatan lebih bisa bicara daripada kata-kata!”
“Ah.... Repot! Kalau ini dibiarkan dan aku tidak ber-
terus terang, hal ini akan jadi urusan besar di bukit
sana!”
Membatin begitu, akhirnya Joko memutuskan un-
tuk berterus terang. Hingga setelah melirik pada Dewi
Bunga Asmara, dia berkata pelan.
“Mei Hua.... Kau boleh mempercayai ucapanku atau
tidak. Tapi ucapan ini hanya kau yang tahu, karena
aku percaya padamu!” Joko hentikan ucapannya dan
berharap Mei Hua mau berpaling memandang ke arah-
nya. Namun ternyata Mei Hua tetap tegak dengan mata
memandang ke jurusan lain.
Joko menghela napas lalu lanjutkan ucapan. “Peta
wasiat itu lenyap diambil orang!”
Mai Hua tidak terkejut dengan kata-kata Pendekar.
Bahkan dia sunggingkan senyum bernada sinis dan
dingin. Saat lain dia berucap.
“Hanya itu yang ingin kau sampaikan?! Ingat.... Aku
tak mau orang lain memandangku dengan tatapan
cemburu! Dan aku tak ingin membuat urusan gara
gara kau tegak di hadapanku!”
“Mei Hua.... Dia itu sahabatku.... Jangan kau men-
duga yang tidak-tidak! Aku....”
“Aku tak ingin membicarakan gadis itu! Dia keka-
sihmu atau sahabatmu atau apamu, itu urusanmu!
Dan kalau peta wasiat di tanganmu lenyap, aku tahu
siapa orang yang mengambilnya! Kau begitu gigih
mempertahankan dari tangan beberapa tokoh.... Tak
tahunya kau patah di bawah ketiak perempuan! Aku
tetap akan mengambilnya nanti malam di Bukit To-
yongga!”
“Mei Hua.... Tunggu!” seru Joko tatkala melihat Mei
Hua sudah berkelebat begitu selesai bicara.
Namun kali ini Mei Hua tidak pedulikan teriakan
orang. Dia terus berlari dan kemudian lenyap di depan
sana. Semua orang tidak tahu, begitu sosoknya berke-
lebat, gadis cantik putri Panglima Muda Lie itu te-
teskan air mata!
“Anak muda.... Kau masih ingat kata-kataku, bu-
kan?! Orang tak perlu takut menghadapi bahaya, ka-
rena bahaya itu dibuat manusia itu sendiri! Kalau o-
rang tidak membuat tindakan di luar hukum alam,
pasti bahaya itu tidak ada....” Kakek di atas pohon per-
dengarkan suara.
Karena masih bingung, Joko tidak pedulikan uca-
pan si kakek. Dewi Bunga Asmara pun tidak acuhkan
kata-kata orang tua di atas pohon karena dadanya
saat itu mulai panas terbakar perasaan cemburu. Bah-
kan begitu Mei Hua berlalu, Dewi Bunga Asmara sege-
ra berkelebat dan tegak di samping Joko dan langsung
berucap ketus.
“Aku tahu ke mana gadis itu pergi! Kau selama ini
memang telah berjanji dengannya untuk bertemu di
sana?!”
“Aku tidak pernah berjanji...,” ujar Joko pelan. Na-
mun dalam hati dia membatin. “Mudah-mudahan dia
tidak mendengar pembicaraanku dengan Mei Hua ta-
di...”
“Sebelum kita lanjutkan perjalanan dan bertemu
dengan guruku, aku ingin satu kepastian darimu! Aku
tak mau nantinya mendapat malu di hadapan guruku!”
“Kepastian apa?!”
“Katakan terus terang apa hubunganmu dengan ga-
dis itu tadi!”
“Sial betul aku hari ini! Kalau sampai aku salah
ucap, aku tidak akan pernah sampai ke Bukit Toyong-
ga....” Joko membatin lalu berkata.
“Dewi.... Dia sahabatku.... Jadi kau tak usah berbu-
ruk duga padanya!”
“Benar...?!” tanya Dewi Bunga Asmara dengan bibir
mulai akan tersenyum.
“Sayang aku tidak bisa membelah dadaku.... Kalau
dapat, kau tentu akan melihat ucapanku benar ada-
nya....”
“Hem.... Begitu?! Puitis betul ucapanmu.... Orang
lagi kasmaran, kadang-kadang ucapannya sukar di-
tangkap nalar.... Anehnya, orang yang mendengar me-
ngerti begitu saja.... Dasar cinta!” Si kakek di atas po-
hon perdengarkan suara.
Joko melirik ke atas dengan mata mendelik. Semen-
tara mendengar ucapan Pendekar, Dewi Bunga Asmara
langsung mendekat dengan bibir tersenyum. Dan de-
ngan cepat gadis ini mengambil lengan murid Pendeta
Sinting.
“Kita lanjutkan perjalanan ini! Aku sudah tak sabar
ingin bertemu dengan guruku....”
“Aduh.... Bagaimana ini nanti?! Benar-benar bisa
celaka!”
“Apa yang tengah kau pikirkan?! Kau masih teringat
gadis itu?!” Dewi Bunga Asmara menegur kala Joko
agak enggan meski dia telah berusaha mengajaknya
melangkah tinggalkan tempat itu.
Joko gelengkan kepala. “Aku masih merasa heran,
bagaimana kakek temanku itu tahu-tahu berada di si-
ni?!”
“Itu urusannya dia! Mengapa kau pusing memikir-
kannya?! Mungkin saja dia tadi sembunyi....”
“Aku harus memanggil kakek itu dan jalan bersa-
ma-sama. Jika tidak, akan jadi urusan besar kalau
sampai aku terus jalan dengan bergandengan tangan
begini rupa hingga Bukit Toyongga!”
Setelah berpikir begitu, Joko tengadah dan berte-
riak.
“Kek! Kuharap kau turun dan jalan bersama-sama
kami! Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan-
mu!”
“Hem.... Begitu?! Kau jangan menjebakku, Anak
Muda! Aku tahu, ucapanmu itu semata-mata agar aku
berlaku usil pada kalian saat jalan bersama. Dengan
begitu kalian akan mendepakku tidak boleh ikut! Lebih
baik aku jalan sendiri saja.... Lagi pula, terlalu sering
melihat orang bermesraan, membuat aku jadi berdebar
dan jadi ingin punya kekasih! Padahal aku sudah
punya kekasih. Kalau aku sampai punya kekasih lagi,
itu melanggar hukum alam. Dan aku tak mau mem-
buat bahaya!” Si kakek tertawa terkekeh. Lalu lan-
jutkan ucapannya.
“Punya kekasih baru memang sedap betul! Tapi ka-
lau kekasih lama tahu, aku bisa sendiri laaagiiii....”
Joko menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia hen-
dak berteriak merayu lagi. Tapi Dewi Bunga Asmara te-
lah menyeretnya untuk melangkah. Kakek di atas pohon kepulkan asapnya seraya gerakkan tangan kiri
kanan pulang balik melambai ke arah murid Pendeta
Sinting. Orang ini menunggu sampai Joko dan Dewi
Bunga Asmara lenyap di depan sana. Dan begitu sosok
murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara tidak
kelihatan, si kakek meluncur turun lalu berkelebat.
Dan lagi-lagi dia mengambil jalan tidak searah dengan
yang diambil Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara.
***
SEBELAS
KARENA ditindih perasaan jengkel, geram, dan cem-
buru, Mei Hua berlari laksana orang kesetanan. Gadis
cantik jelita putri Panglima Muda Lie ini baru hentikan
larinya tatkala dadanya terasa sesak sulit bernapas.
Bukan saja karena dibuat berlari dengan pengerahan
segenap ilmu peringan tubuhnya, namun juga karena
dibuat terisak sepanjang dia berlari. Hingga begitu
langkahnya berhenti, gadis ini merasakan kedua ka-
kinya berat. Saat lain sosoknya jatuh menggelosoh di
atas tanah dengan kedua tangan menakup di depan
wajah.
Mei Hua tidak sadar berapa lama dia duduk meng-
gelosoh di atas tanah dengan sosok berguncang mena-
han isakan tangis. Yang dia tahu, tiba-tiba telinganya
mendengar suara orang berkata.
“Tidak disangka, di tempat sepi begini ada seorang
gadis duduk sendirian dengan wajah tertutup tangan
dan menangis. Dari suara isakanmu, pasti baru saja
terjadi peristiwa yang sangat memilukan! Dan melihat
tempat yang kau pilih, tentu urusannya masih berkai-
tan dengan asmara....”
Mei Hua buru-buru hentikan isakan. Dia jelas dapat
menebak jika yang baru saja perdengarkan suara ada-
lah seorang perempuan. Kedua tangannya perlahan di-
turunkan. Namun belum sampai wajahnya terbuka,
kembali terdengar ucapan.
“Urusan asmara kadang-kadang memang sangat
menyakitkan. Herannya, orang tidak juga merasa jera
untuk melewatinya. Padahal dia tahu, kepedihan itu
sudah di hadapan mata jika dia sudah tenggelam mele-
wati api asmara....”
Niat Mei Hua yang hendak palingkan kepala seketi-
ka dibatalkan. Dia usap linangan air matanya dengan
kedua tangan seraya membatin.
“Suara yang pertama jelas suara milik seorang pe-
rempuan. Dan suara yang kedua adalah milik seorang
laki-laki! Hem.... Berarti ada dua orang di tempat ini!
Mengapa mereka berdua seakan tahu apa yang tengah
menimpaku? Siapa mereka sebenarnya? Ataukah me-
reka berdua juga tahu apa yang tadi terjadi antara aku
dengan pemuda asing serta gadis itu?!”
Mungkin karena merasa malu karena mendapati
orang yang bersuara telah tahu apa urusannya, Mei
Hua tidak berusaha berpaling saat dia berkata.
“Harap tidak mengganggu dan segera tinggalkan
tempat ini!”
“Ah.... Tidak ada maksud untuk mengganggumu.
Aku hanya kebetulan lewat dan tahu kau berada di si-
ni! Dan kalaupun aku berhenti, karena mataku seper-
tinya pernah mengenalimu!”
Mei Hua jelas mendengar suara yang baru saja ter-
dengar adalah suara si perempuan. Dadanya jadi ber-
debar tidak enak. Dan dia terlonjak kaget saat ter-
dengar suara tadi.
“Kalau mataku tidak salah pandang, bukankah kau
putri Panglima Muda Lie?!”
Telinga Mei Hua jelas mendengar jika suara yang
baru saja adalah suara si laki-laki.
Mei Hua tegarkan diri. Saat lain kepalanya berpa-
ling. Sesaat mata gadis ini menyipit dengan dahi ber-
kerut. Mungkin belum percaya, dia bergerak bangkit
lalu putar diri menghadap orang.
“Aneh.... Jelas-jelas telingaku mendengar suara dua
orang! Perempuan dan laki-laki. Tapi yang di hada-
panku hanya satu orang! Sikap dan dandanannya pun
aneh....”
Mei Hua memang hanya melihat satu sosok tubuh.
Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya
putih, hidungnya mancung. Rambutnya yang hitam le-
bat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan
si pemuda yang membuat Mei Hua sipitkan mata de-
ngan dahi berkerut. Karena meski dia adalah seorang
pemuda, namun bibir pemuda ini dipoles merah me-
nyala. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan polesan
berwarna merah muda. Selain itu, ternyata pemuda ini
juga mengenakan pakaian mirip kebaya yang biasanya
dikenakan orang perempuan! Dadanya tampak mem-
busung kencang laksana seorang dara. Tangan kanan-
nya bergerak gemulai pulang balik mainkan sebuah
kipas.
Mei Hua edarkan pandangan berkeliling karena dari
suara orang yang tadi terdengar, dia masih menduga
kalau di tempat itu bukan hanya satu orang yang
muncul.
“Kau mencari seseorang?!” tanya si pemuda berke-
baya. Mei Hua mendengar suara si pemuda persis se-
perti suara seorang perempuan.
Mei Hua berpaling tanpa menjawab. Dahinya makin
berkerut. “Jangan-jangan suara dua orang tadi hanya
dia yang mengucapkannya!”
“Kau putri Panglima Muda Lie, bukan?!”
“Ah.... Jadi benar dia orangnya! Tidak ada orang
lain di tempat ini!” Mei Hua terus membatin begitu si
pemuda berkebaya perdengarkan suara lagi. Namun
kali ini jelas suaranya adalah suara laki-laki.
“Siapa pemuda ini?! Dari mana dia tahu aku adalah
putri panglima?! Ataukah dia teman ayahku...?! Bisa
celaka kalau dia benar-benar mengenal ayahku dan
sekarang hendak pergi ke Bukit Toyongga!”
“Siapa kau?!” Mei Hua ajukan tanya setelah agak
lama berdiam diri.
“Kau belum jawab pertanyaanku....” Si pemuda ber-
kebaya angkat suara.
“Aku tidak akan menjawab!” kata Mei Hua dengan
nada agak ketus karena dadanya masih dibuncah rasa
jengkel.
“Hem.... Kau pun tak akan tahu siapa diriku! Tapi
satu hal yang pasti, mataku tak mungkin salah me-
ngenalimu!”
Mei Hua menyeringai. “Salah atau benar itu urusan-
mu! Yang pasti kau salah dalam satu urusan ini!” Mei
Hua arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu
lanjutkan ucapan. “Harap segera tinggalkan tempat
ini!”
Pemuda berkebaya tertawa panjang. “Dari arah
yang kau tuju, pasti kau hendak ke Bukit Toyongga!
Tampaknya bukan hanya ayahmu yang tertarik uru-
san peta wasiat, namun kau juga suka melibatkan diri
dalam urusan ini! Hem.... Mau turut saranku?!”
“Aku tak butuh saran! Aku perlu kau segera angkat
kaki dari hadapanku!”
Si pemuda berkebaya bukannya segera melangkah
pergi. Namun makin keraskan tawanya dan berkata.
“Sedang patah hati?! Mau katakan siapa pemuda
yang menyakiti hatimu?!”
Mei Hua berpaling dengan mata mendelik angker.
Saat lain dia membentak.
“Kalau kau tak bisa diberi tahu dengan ucapan, aku
punya cara lain! Sebelum niatku berubah, harap sege-
ra turuti ucapanku!”
Si pemuda berkebaya gelengkan kepala. “Kau me-
mang putri salah seorang pembesar negeri ini. Tapi bu-
kan berarti kau bisa seenaknya saja mengusir orang!
Lagi pula tempat ini bukan milik ayahmu!”
Ucapan orang membuat Mei Hua makin geram, na-
mun dia sadar jika ucapan orang benar adanya. Hing-
ga dia segera menyahut.
“Aku tidak mengusirmu. Aku hanya tak ingin di-
ganggu apalagi urusannya berkaitan dengan pribadi-
ku!”
“Aku tak akan ikut campur urusanmu. Aku hanya
bertanya, siapa tahu aku bisa menolong....”
“Maaf, aku tidak perlu bantuan orang lain....”
“Hem.... Kalau begitu jawabmu, aku tidak memak-
sa. Dan kuharap kau juga tidak memaksaku untuk
angkat kaki dari tempat ini!”
“Terus di sini bersama orang ini akan membuat da-
daku jengkel. Lebih baik aku saja yang pergi!” Akhir-
nya Mei Hua memutuskan. Dia putar diri lalu berkele-
bat.
“Tunggu!” Mendadak si pemuda berkebaya mena-
han.
Mei Hua batalkan niat meski dengan dada tambah
dongkol. “Kau mau bicara?! Silakan. Tapi jangan harap
kau akan mendapat jawaban apa-apa dariku!”
“Aku tidak perlu jawaban. Namun tak ada salahnya
kau dengarkan ucapanku.... Sebagai putri panglima,
pasti kau telah tahu siapa yang memegang peta wasiat,
karena pihak kerajaan telah ikut campur urusan ini
meski secara diam-diam. Dan kalaupun kau ikut-iku-
tan hendak pergi ke Bukit Toyongga, kurasa bukan ka-
rena peta wasiat itu. Namun kau lebih tertarik dengan
orang yang memegang peta wasiat itu! Bagaimana? Be-
tul bukan?!”
“Dari mana dia tahu?!” Mei Hua membatin dengan
paras berubah kaget. Sementara melihat sikap orang,
tampaknya si pemuda berkebaya dapat membaca.
“Hem.... Dugaanku tampaknya tidak jauh meleset!
Dan jangan-jangan dia menangis akibat urusan de-
ngan pemuda itu....” Membatin si pemuda berkebaya
dengan bibir tersenyum. Di lain pihak, tampaknya Mei
Hua jadi terpancing mendapati orang sebut-sebut pe-
muda yang membawa peta wasiat. Mei Hua sudah bisa
menebak jika yang dimaksud si pemuda berkebaya
adalah Pendekar.
Mendapati pancingannya mengena, si pemuda ber-
kebaya tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera beru-
jar.
“Aku tahu betul siapa pemuda itu.... Kau boleh per-
caya boleh tidak. Dia sebenarnya adalah sahabatku...”
Mei Hua kontan balikkan tubuh. “Kalau kau saha-
batnya, kau juga perlu mendapatkan hajaran!”
“Hem.... Antara dia dengan pemuda itu tampaknya
ada urusan! Dugaanku tidak meleset lagi!” Si pemuda
berkebaya lagi-lagi membatin mendapati sikap Mei
Hua. Lalu berkata. “Ah.... Apa pun yang dilakukan sa-
habatku itu, tidak selayaknya getahnya juga kau lim-
pahkan padaku! Itu urusan kalian berdua.... Cuma sa-
tu hal yang harus kau tahu, selama ini dia sering
membicarakanmu.... Kalau aku tak salah pandang,
tampaknya dia tertarik padamu....”
Dada Mei Hua berdebar. Sepasang matanya ber-
binar. Bibirnya hampir saja sunggingkan senyum jika
tiba-tiba saja dia tidak teringat akan kejadian yang ba-
ru dilihat.
“Kau jangan berkata mengada-ada! Dan kalaupun
dia tertarik padaku, kau kira aku juga tertarik pada-
nya?!” kata Mei Hua dengan suara keras.
“Ah.... Ada apa sebenarnya antara kau dengannya?!
Beberapa hari yang lalu dia masih membicarakanmu
dan tampaknya tidak terjadi apa-apa! Jangan-jangan
dia menyembunyikan sesuatu padaku! Tapi itu tak
mungkin.... Dia selalu berterus terang padaku.... Atau
kau....”
Belum sampai si pemuda berkebaya lanjutkan uca-
pan, Mei Hua telah menyahut.
“Aku melihat sendiri dia bercinta dengan gadis lain!
Kalau kau sahabatnya, katakan padanya. Jika bercinta
harap lihat tempat dan keadaan! Jangan bercinta se-
enaknya di sembarang tempat!”
“Ah.... Kau jangan mengarang cerita! Tak mungkin
dia melakukan hal itu! Aku tahu betul siapa dia!
Mungkin saja kau salah lihat....”
“Mataku tidak buta! Dan lagi pula apa perlunya aku
mengarang cerita?!”
“Kalau betul, kau bisa mengatakan siapa gadis yang
bercinta dengannya?!”
“Aku tak kenal gadis itu!”
“Kau bisa mengatakan ciri-cirinya?! Siapa tahu aku
bisa menerangkan padamu hingga tidak ada lagi ke-
salahpahaman antara kalian berdua!”
“Terlambat kalau kau akan menengahi urusan ini!
Tapi agar kau percaya, akan kukatakan padamu ciri-
ciri gadis binal itu! Dia berwajah cantik. Mengenakan
pakaian warna kuning. Dadanya dibuka lebar begitu
juga pahanya!”
Pemuda berkebaya dongakkan kepala seolah berpi-
kir dan mengingat. Kejap lain dia berucap.
“Dia tidak pernah sebut-sebut gadis dengan ciri
yang kau sebutkan. Tapi kalau aku tak salah, aku bias
menebak siapa gadis itu adanya!”
Si pemuda berkebaya hentikan ucapannya sesaat.
Sementara Mei Hua tampak menunggu dan menyimak
ucapan orang dengan seksama. Dia memang ingin ta-
hu siapa sebenarnya gadis berbaju kuning yang ber-
mesraan dengan Pendekar.
“Siapa dia?!” Mei Hua ajukan tanya karena si pe-
muda berkebaya tidak segera lanjutkan ucapannya.
“Dia bernama Bang Sun Giok. Namun orang lebih
mengenalnya dengan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
murid tunggal seorang tokoh dunia persilatan bernama
Li Muk Cin yang lebih dikenal dengan Ratu Selendang
Asmara....”
“Pantas.... Selama ini aku hanya dengar namanya
tanpa tahu bagaimana orangnya!” ujar Mei Hua. “Dan
ternyata memang benar! Dan kalau memang dia, aku
kini tidak heran lagi. Gadis macam dia memang tidak
memandang tempat bila bercinta!”
“Tunggu dulu.... Apakah benar kau melihat sendiri
sahabatku itu bersama gadis yang kusebutkan tadi?!”
tanya pemuda berkebaya.
“Untuk apa aku membuat cerita dusta?!”
“Kalau saja bukan kau yang berkata, mungkin aku
masih sangsi!”
“Kau sahabatnya! Aku tak heran kalau kau sangsi
dan membelanya!”
“Aku tidak membelanya. Hanya aku terkejut. Bagai-
mana mungkin hal ini bisa terjadi?! Karena selama ini
dia tidak pernah cerita tentang Dewi Bunga Asmara!”
“Laki-laki di mana-mana sama! Dia tidak akan me-
lihat siapa yang diajaknya bercinta!”
“Hem.... Dari tadi ucapanmu selalu bernada ketus.
Kau tampak diliputi perasaan cemburu. Kalau tak sa-
lah duga, kau berada di sini menangis sendirian pasti
masih ada kaitannya dengan gadis berbaju kuning
itu....”
Tampang Mei Hua tampak berubah. Namun karena
tak mau orang tahu, dia segera menyahut.
“Dugaanmu salah! Ada hal lain yang membuatku
berada di sini! Dan jangan bertanya hal apa itu. Kare-
na aku tidak akan menjawab!”
Si pemuda berkebaya tertawa. “Aku tak akan ber-
tanya. Karena semua keteranganmu tadi sudah cukup
buatku untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah
terjadi.... Hanya saja aku masih heran. Kau tadi bilang
mereka bercinta tidak memandang tempat keadaan.
Apakah hal ini benar?!”
Pertanyaan si pemuda membuat dada Mei Hua yang
sudah agak mereda jadi kembali bergemuruh. Dia sen-
takkan kepalanya ke jurusan lain seraya berkata.
“Dia berpeluk cium di tempat terbuka! Sampai dia
tidak tahu jika aku lewat! Bahkan dia tidak pedulikan
seseorang yang ada di atasnya!”
“Aneh.... Bagaimana mungkin?! Barangkali orang
itu tengah mengintip!”
“Tidak! Orang yang di atasnya itu tidak mengintip!
Malah mungkin karena malu, orang itu sengaja tenga-
dahkan kepala terus menerus! Dan ternyata dia adalah
temannya!”
“Astaga! Bagaimana bisa begitu?!” gumam si pemu-
da berkebaya dengan tampang sedikit berubah. Namun
Mei Hua tidak begitu memperhatikan perubahan wajah
orang, karena gadis ini menduga perubahan itu karena
terkejut tidak percaya.
“Dia seorang kakek?!” tanya pemuda berkebaya.
“Benar!”
“Wajahnya tidak kelihatan karena selalu tertutup
batu putih?!”
Mei Hua geleng kepala membuat pemuda berkebaya
sedikit kerut dahi. Diam-diam pemuda ini membatin.
“Siapa yang bersamanya?!”
“Kakek itu wajahnya memang terlihat samar-samar.
Namun bukan karena tertutup batu putih. Melainkan
tertutup asap putih yang selalu mengepul dari dua pi-
pa di mulutnya!”
Kali ini si pemuda berkebaya tidak bisa lagi mena-
han rasa kejutnya. Hingga Mei Hua dapat menebak ji-
ka rasa kejut orang bukan karena keterangannya, tapi
ada sebab lain.
“Mengapa kau terkejut?! Kau kenal dengan kakek
itu?!”
“Karena pemuda itu adalah sahabatku, tentu aku
kenal siapa kakek itu!”
“Siapa dia?!”
“Aku tidak akan mengatakannya padamu! Bukan
karena apa, aku malu sendiri jika punya teman yang
tindakannya memalukan begitu rupa! Bagaimana
mungkin dia diam begitu saja melihat sahabatnya ber-
buat yang tidak senonoh di hadapan matanya?!”
Mei Hua tersenyum mendengar ucapan si pemuda
berkebaya. Namun tiba-tiba senyumnya pupus tatkala
dia menyadari sesuatu. “Aneh.... Bukankah pemuda
pembawa peta wasiat itu pemuda asing?! Bagaimana
pemuda ini bisa mengatakan sebagai sahabatnya?! Da-
ri paras wajahnya serta dia mengenal banyak tokoh di
negeri ini, aku yakin pemuda ini asli dari negeri ini...”
Berpikir begitu, Mei Hua sudah buka mulut hendak
bertanya. Namun si pemuda berkebaya keburu angkat
suara mendahului.
“Kau bertemu mereka di mana?!”
“Kira-kira lima ratus tombak dari sini!”
“Kau menduga mereka akan ke Bukit Toyongga?!”
“Aku tak bisa menerka. Tapi dari jalan yang mereka
tempuh dan hari yang ditentukan, aku hampir yakin
mereka juga hendak ke Bukit Toyongga!”
“Ah.... Kalau begitu, aku harus menghadang mere-
ka!”
Mei Hua mengernyit. Namun belum lagi dia ajukan
tanya, si pemuda berkebaya sudah bersuara lagi se-
olah tahu apa yang akan ditanyakan orang.
“Kau pasti telah tahu siapa Ratu Selendang Asmara.
Muridnya pasti tidak akan jauh berbeda! Sahabatku
itu tidak boleh bersama gadis binal itu! Siapa tahu ga-
dis itu punya tujuan tertentu!”
“Yang kau maksud, gadis itu hendak menginginkan
peta wasiat?!” tanya Mei Hua.
“Betul! Pasti gadis itu menggoda sahabatku dengan
kemontokan tubuhnya! Lalu akan mengambil peta wa-
siat itu begitu sahabatku terlena! Ini tidak boleh terja-
di!”
Si pemuda berkebaya balikkan tubuh. Mei Hua ter-
senyum sekali lagi dan ikut putar diri. Saat lain gadis
putri Panglima Muda Lie ini berkata.
“Mudah-mudahan kau tidak terlambat! Karena dia
telah mengatakan jika peta wasiat di tangannya sudah
lenyap diambil orang! Tapi aku tidak percaya itu! Dan
kalaupun benar-benar lenyap, aku tahu siapa yang
mengambilnya! Pasti gadis binal yang bercinta dengan-
nya itu!”
Habis berkata begitu, Mei Hua hendak berkelebat.
Namun mendadak dia teringat lagi akan kejanggalan
yang belum sempat ditanyakan karena si pemuda ber-
kebaya keburu ajukan tanya. Mei Hua cepat balikkan
tubuh lagi. Dia terkejut. Karena dia sekarang tinggal
seorang diri. Pemuda berkebaya tidak kelihatan lagi
batang hidungnya!
SELESAI
Segera terbit:
WASIAT DARAH DI BUKIT
TOYONGGA
0 comments:
Posting Komentar