SATU
PERAHU itu melaju cepat laksana kesetanan
menerjang gulungan ombak menuju pulau. Saat
itu matahari sudah sejengkal di atas permukaan
air laut. Begitu matahari benar-benar tenggelam
dan suasana berubah gelap, laju perahu sudah
beberapa tombak lagi mencapai pulau.
Tegak di atas perahu adalah dua sosok tubuh.
Sebelah depan seorang laki-laki berusia tiga
puluhan tahun. Rambutnya panjang sebahu
menutupi sebagian pundak dan wajahnya yang
tampan dan keras. Sepasang matanya tajam
dengan alis tebal mencuat serta kumis lebat
melintang. Laki-laki ini mengenakan pakaian
jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis
baju berwarna putih.
Sementara di sebelah belakang adalah
seorang perempuan berusia dua puluh lima
tahunan. Parasnya cantik jelita. Rambutnya
digulung tinggi ke atas diikat dengan kain
berwarna merah. Kulitnya putih bersih. Lehernya
jenjang. Dadanya mencuat padat ditingkah
pinggul besar yang dilapis pakaian tipis dan ketat
berwarna putih. Sepasang matanya bulat di
bawah alis mata yang tebal dan hitam.
Seakan tak sabar, belum sampai benar-benar
merapat ke pulau, si laki-laki berpaling ke arah si
perempuan tanpa buka suara. Saat lain, laksana
terbang si laki-laki berkelebat. Gerakan berpaling
si laki-laki tampaknya sudah cukup membuat si
perempuan maklum. Hampir bersamaan dengan
berkelebatnya si laki-laki, si perempuan
membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat
menjajari kelebatan si laki-laki di udara. Kejap
lain kedua orang ini sudah tegak di atas dua
bongkahan batu di kawasan pulau.
Untuk beberapa saat kedua orang itu lepas
pandangan berkeliling lalu saling pandang.
Wajah mereka jelas berubah tegang ketika tiba-
tiba telinga mereka menangkap suara lolongan
anjing di sela suara gemuruh hantaman
gelombang yang abadi mendera batu-batu
lamping pulau.
Belum lenyap ketegangan kedua orang yang
baru muncul di kawasan pulau, mendadak
mereka mendengar suara derap ladam kaki-kaki
kuda! Namun semua itu berlangsung sekejap.
Laksana dibungkam setan, suara lolongan dan
derap ladam kaki-kaki kuda lenyap. Kawasan
pulau disentak kesunyian.
"Kau yakin ini tempat yang dijanjikan?!" Si laki-
laki angkat suara dengan alihkan pandangannya
ke tengah pulau. Suaranya berat dan bergetar.
"Nada ucapanmu menunjukkan hatimu
dilanda ketakutan!" Si perempuan menyahut lalu
tertawa pendek.
"Aku memang takut! Tapi bukan karena
urusan di tempat ini! Aku mengkhawatirkan anak-
anak kita...."
"Anak-anak kita berada di tempat aman. Kau
tak perlu cemas!"
Si laki-laki menghela napas panjang. "Kau
yakin ini tempatnya?!" Dia kembali ajukan tanya.
"Aku tak pernah salah alamat! Cuma aku perlu
bertanya sekali lagi padamu. Kau siap
melakukan ini?!"
"Demi keabadian kita, aku siap melakukan
apa saja!
Mendengar ucapan si laki-laki, si perempuan
tersenyum. Ketegangan di wajahnya pupus
seketika. Dia lalu melompat dan tegak di
samping si laki-laki. Kedua tangannya segera
melingkar pada pinggang si laki-laki, dan sekali
membuat gerakan berputar, sosoknya berdiri
tepat di hadapan si laki-laki. Sepasang matanya
dipejamkan, mulutnya dibuka perlahan-lahan.
Dadanya yang mencuat kencang terlihat mulai
bergerak turun naik.
"Bidadari Tujuh Langit...! Tahan gejolakmu!
Sekarang bukan saatnya bersenang-senang!"
kata si laki-laki seraya lepaskan lingkaran kedua
tangan si perempuan yang dipanggilnya Bidadari
Tujuh Langit.
"Aku...."
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan
ucapan, si laki-laki telah memotong. "Kalau kau
tak mampu menahan diri, lebih baik kita
tinggalkan tempat ini!"
Bidadari Tujuh Langit buka kelopak matanya.
Dia menghela napas mengatasi gejolak yang
sudah mendera dadanya. Tampangnya jelas
membayangkan perasaan kecewa.
"Bidadari...! Urusan yang kita hadapi bukan
masalah main-main! Bahkan kita belum tahu
benar apakah kita berdiri di tempat yang tidak
salah! Kuharap kau mengerti...!"
"Kalian tidak berdiri di tempat yang salah!"
Mendadak mereka dikejutkan dengan satu
suara.
Memandang ke depan, mereka melihat
seorang gadis muda berparas cantik luar biasa.
Bola matanya bulat. Bulu matanya lentik.
Hidungnya mancung dengar bibir merah ranum.
Dia mengenakan pakaian amat tipis! berwarna
kuning muda. Bagian dadanya diberi belahan
memanjang sampai depan perut, hingga bagian
samping dadanya yang membusung kencang
terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya
diberi dua belahan di bagian depan memanjang
sampai di atas lutut. Hingga pahanya yang putih
dan padat terpampang jelas.
Ada keanehan dengan gadis cantik
berpakaian menggoda ini. Meski jelas kalau
wajah dan bentuk tubuhnya menunjukkan dia
masih muda, namun rambutnya sudah memutih!
"Dewi Keabadian...!" Hampir berbarengan
Bidadari Tujuh Langit dan laki-laki di sampingnya
bergumam. I
"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Aku
tidak menduga kalau pada akhirnya kalian
datang ke tempat ini! Ini satu bukti, selain kalian
pemberani, kalian juga adalah manusia-manusia
serakah yang tak puas dengan keadaan! Kalian
ingin sesuatu yang seharusnya bukan milik
kalian!" Gadis cantik berambut putih buka mulut.
Walau nada ucapannya agak sengit, namun
ketika mengucapkan, gadis yang dikenali
BidadariTujuh Langit dan si laki-laki dengan
sebutan Dewi abadian ini sunggingkan senyum.
Malah pingguln yang besar digerakkan
bergoyang. Hingga bukan sa pahanya makin
terlihat, namun dadanya yang kenca mencuat
tampak bergerak-gerak menggoda.
"Datuk Kala Sutera! Tahan mata dan
pikiranmu! Biaraku yang berkata!" Bidadari Tujuh
Langit berbisik; pada laki-laki di sebelahnya.
Laki-laki berparas tampan yang dipanggil
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala dengan
menahan debaran dadanya. Laki-laki ini coba
alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Tapi
hal itu hanya mampu dilakukan beberapa saat.
Saat berikutnya sepasang matanya telah kembali
mencari sosok tubuh Dewi Keabadian.
Walau tanpa berpaling, tampaknya Bidadari
Tujuh Langit bisa menangkap apa yang dirasakan
Datuk Kala Sutera, hingga dengan suara agak
keras dia kembali berkata.
"Kau dengar ucapanku, Datuk! Tahan mata
dan pikiranmu! Sekali kau tenggelam, rencana
kita beran-takan!"
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit
melompat turun dari bongkahan batu dan tegak
sepuluh langkah di hadapan Dewi Keabadian.
Lalu berkata.
"Dewi Keabadian...! Kami datang memenuhi
janjimu beberapa tahun silam!"
Dewi Keabadian tersenyum. "Aku memang
tidak lupa dengan segala ucap janjiku! Tapi aku
ingin dengar sekali lagi apa yang pernah
kuucapkan pada kalian beberapa tahun yang
lalu...."
"Kami berdua ingin hidup abadi sepertimu.
Kau telah menjanjikan hal itu pada kami!"
"Bukankah selama ini kalian telah memiliki
ilmu keabadian itu?! Kalian tampak masih muda.
Berwajah cantik dan tampan walau usia kalian
hampir tiga kali lipat dari usia yang tampak!"
"Dewi.... Kau tahu. Apa yang kami miliki
sekarang ada batasnya! Kami hanya bisa
bertahan lima tahun lagi! Setelah itu wajah kami
berubah sesuai berapa usia kita sebenarnya!
Kami telah mengatakan hal itu padamu pada
beberapa tahun silam. Dan kau sanggup
memberi apa yang membuatmu tetap muda dan
cantik meski usiamu tidak bisa dihitung lagi!"
"Bidadari.... Janji memang harus ditepati! Tapi
apakah kau dan suamimu sanggup melakukan
apa syaratnya?!"
"Kami tidak akan datang menemuimu jika
kami takut melakukan syarat yang kau minta!"
"Aku tidak hanya butuh kesanggupanmu. Tapi
juga perlu kesiapan suamimu!" kata Dewi
Keabadian dengan arahkan pandang matanya
pada Datuk Kala Sutera. Gadis cantik berambut
putih ini kembali gerakkan pinggulnya. Sepasang
kakinya digerakkan agak merentang hingga
belahan pada pakaian bawahnya tersingkap
lebar.
Bidadari Tujuh Langit berpaling pada Datuk
Kala Sutera yang tampak mendelik tak berkesip
pandangi singkapan kain Dewi Keabadian.
"Datuk Kala Sutera.... Kau sanggup memenuhi
syaratku?!" tanya Dewi Keabadian.
Yang ditanya tidak segera menjawab.
Sebaliknya melirik pada Bidadari Tujuh Langit.
"Kau kelihatan bimbang...," ujar Dewi
Keabadian seraya tertawa lalu alihkan
pandangannya pada Bidadari Tujuh Langit dan
berkata.
"Bidadari.:.! Kau masih punya waktu lima
tahun lagi! Kembalilah lima tahun kemudian! Itu
pun kalau suamimu tidak merasa ragu-ragu lagi!"
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian
balikkan tubuh. Namun sebelum gadis muda ini
melangkah, Bidadari Tujuh Langit angkat suara.
"Dewi! Tunggu!"
"Aku perlu jawaban suamimu! Bukan
jawabanmu!" kata Dewi Keabadian tanpa putar
diri.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepalanya
berpaling pada suaminya Datuk Kala Sutera.
Saat itulah Datuk Kala Sutera buka mulut.
"Aku sanggup melakukan apa saja syaratmu,
Dewi Keabadian!"
Dewi Keabadian perdengarkan tawa panjang
seraya putar tubuh. Saat yang sama Datuk Kala
Sutera melompat dan tegak menjajari Bidadari
Tujuh Langit.
"Datuk.... Kita harus berhati-hati. Selain
memiliki ilmu tinggi, tindakannya sulit ditebak!
Tapi kalau kita bisa mendapatkan sepasang
cincin pada kedua ibu jari kakinya, bukan saja
kita akan memiliki ilmu keabadian, namun kita
akan menjadi sepasang manusia yang tiada
tanding!" Bidadari Tujuh Langit berbisik. Lalu
arahkan pandangannya pada kedua ibu jari Dewi
Keabadian.
Kedua ibu jari Dewi Keabadian memang
mengenakan cincin dari batu giok. Yang di
sebelah kiri berwarna merah, di sebelah kanan
berwarna hijau. Inilah cincin yang dikenal sebagai
Sepasang Cincin Keabadian.
"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh langit!"
berkata Dewi Keabadian seraya pandang silih
berganti pada kedua orang di hadapannya.
"Sebelum kukatakan syarat yang kuminta, aku
beri kalian kesempatan untuk berpikir lagi!
Kesempatan kalian masih panjang.... Sejak
malam ini hingga lima tahun kemudian!"
"Aku telah berpikir seribu kali sebelum datang
ke tempat ini menemuimu!" Bidadari Tujuh Langit
menyahut. "Katakan saja syarat yang kau minta
malam ini! Aku dan suamiku akan memenuhinya
malam ini juga!"
"Hem.... Begitu?!" gumam Dewi Keabadian
seraya tertawa perlahan. Lalu putuskan tawanya
dan tengadah.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit
saling lontar pandang tanpa ada yang buka
suara. Saat berikutnya mereka memandang pada
Dewi Keabadian de-ngan dada berdebar.
"Aku minta Datuk Kala Sutera menemaniku di
pulau ini dua purnama sejak malam ini! Setelah
itu setiap menjelang purnama, dia harus berada
di sisiku! Dan kau, Bidadari Tujuh Langit!. Kau
harus bersemadi di tempat ini dua purnama!
Setelah itu, setiap menjelang purnama kau harus
mengantarkan suamimu untukku!"
Ucapan Dewi Keabadian membuat tegak
Bidadari Tujuh Langit bergetar. Sepasang
matanya mem-belalak. Di sebelahnya, Datuk
Kala Sutera berdebar tidak enak.
"Syarat mudah, bukan?!" Dewi Keabadian
bertanya sambil luruskan kepala dan
sunggingkan senyum.
"Syarat gila! Tak mungkin aku melakukannya!"
gumam Datuk Kala Sutera. "Aku tahu apa
akibatnya jika lakukan hal itu!"
"Aku juga tahu akibatnya! Bahkan aku bisa
menduga, kau tidak akan bertahan satu
purnama!" sahut Bidadari Tujuh Langit. "Tapi kau
harus terima syarat itu!"
"Kau ingin aku tewas di tangannya dengan
tubuh tak berdarah?!" desis Datuk Kala Sutera.
"Kita bukan manusia yang mudah dibodohil
KitJ datang dengan rencana.... Lakukan apa yang
dimintai dan begitu dia terlena, kau punya bagian
kaki sebelah kanan, aku punya bagian sebelah
kiri!" ?Tapi...."
"Lalukan saja, Datuk! Atau kita gagal
mendapatkan apa yang kita cita-citakan!"
"Kalian akan menjawab malam ini atau...."
"Aku siap melakukannya malam ini juga!"
Bidadari Tujuh Langit sudah menukas sebelum
Dewi Keabadian selesai dengan ucapannya.
"Bukan hanya kau yang harus memberi
jawaban...!" ujar Dewi Keabadian sambil
tersenyum dan memandang ke arah Datuk Kala
Sutera.
"Aku juga siap lakukan syaratmu!" Datuk Kala
Sutera buka mulut dengan suara bergetar.
"Sejak malam ini?!" tanya Dewi Keabadian.
Datuk Kala Sutera menjawab dengan isyarat
anggukan kepala. Dewi Keabadian tertawa
panjang. Bidadari Tujuh Langit memandang
dengan senyum dingin.
"Bidadari Tujuh Langit!" kata Dewi Keabadian
seraya arahkan tangannya menunjuk pada satu
bongkahan batu sejarak delapan langkah di
samping tempat tegaknya Bidadari Tujuh Langit.
"Kau duduklah bersemadi di bongkahan batu itu
hingga dua purnama mendatang!" Dewi
Keabadian arahkan pandangan pada Datuk Kala
Sutera. "Dan kau, calon pendampingku.... Ikutlah
aku!"
Dewi Keabadian balikkan tubuh. Lalu
melangkah dengan pinggul sedikit digoyang.
Datuk Kala Sutera berpaling pada Bidadari
Tujuh Langit. Belum sampai dia buka suara,
Bidadari Tujuh Langit sudah mendahului.
"Ingat! Sekali kau tenggelam, bukan saja
rencana kita berantakan, tapi nyawamu tidak
bisa diselamatkan!"
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu
melangkah perlahan mengikuti Dewi Keabadian.
Bidadari Tujuh Langit pandangi gerakan Datuk
Kala Sutera dan Dewi Keabadian. Saat lain dia
berkelebat' lalu duduk di atas bongkahan batu
yang tadi ditunjuk Dewi Keabadian.
---ooo0dw0ooo---
DUA
TAMPAKNYA Bidadari Tujuh Langit tidak bisa
tenang. Belum sampai dia duduk di atas
bongkahan batu, perempuan cantik ini sudah
bergerak bangkit dengan mata nyalang pandangi
sosok Dewi Keabadian dan Datuk Kala Sutera
yang terus melangkah di depan sana.
“Aku tak boleh menunggu! Bukan tak mungkin
perempuan itu memuslihatiku! Tak mustahil pula
Datuk Kala Sutera akan tenggelam dalam
nafsunya! Aku bisa celaka!"
Seolah tidak sabar, Bidadari Tujuh Langit
segera berkelebat. Datuk Kala Sutera yang
merasakan desiran angin segera berpaling. Laki-
laki ini sempat terkesiap. Dia coba buka mulut.
Tapi terlambat. Bidadari Tujuh Langit bukan saja
telah melesat melewatinya, namun melakukan
sesuatu yang sama sekali tidak diduga.
Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya
dan sekonyong-konyong lepaskan pukulan ke
arah Dewi Keabadian!
“Gila! Apa yang dilakukannya?! Dia bisa
merusak rencana!" desis Datuk Kala Sutera.
Namun dia hanya bisa mendesis tanpa mampu
membuat gerakan. Karena apa pun yang akan
dilakukan, sudah sangat terlambat, hingga dia
hentikan langkah dan diam mematung.
Di depan sana, tiba-tiba Dewi keabadian
melompat ke udara seraya balikkan tubuh.
Kedua kakinya bergerak lakukan tendangan.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua
tangannya mental balik ke udara. Sosoknya
terbanting di Udara lalu jatuh terjengkang di atas
tanah!
"Tampaknya kau belum siap, Bidadari...." Dewi
Keabadian berkata. Meski baru saja dibokong,
namun gadis cantik berambut putih ini
tersenyum.
Bidadari Tujuh Langit bergerak bangkit.
Parasnya tampak berubah. Datuk Kala Sutera
segera melompat dan tegak menjajari.
"Kalian masih punya waktu lima tahun untuk
berpikir! Namun harus kalian ingat. Setiap kali
syarat yang kuminta bisa berubah! Dan setiap
waktu pula tempat pertemuan kita bisa
berpindah!"
"Maafkan aku, Dewi...," ujar Bidadari Tujuh
Langit! dengan suara bergetar parau. "Rasanya
aku tidak perlu menunggu sampai lima tahun....
Aku tidak mungkin mampu melakukan
syaratmu!"
Dewi Keabadian kembali tersenyum saat
berkata. "Aku senang mendengar ucapanmu.
Mudah-mudahan kau tidak tergoda lagi dengan
keinginan seperti yang kau minta malam ini!"
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian
balikkan tubuh. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit
memberi isyarat pada Datuk Kala Sutera.
Si Datuk terlihat bimbang. Namun begitu
Bidadari Tujuh Langit mendelik. Datuk Kala
Sutera anggukkan kepala.
Begitu Dewi Keabadian mulai melangkah,
mendadak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera sama selinapkan tangan masing-masing
ke balik pakaiannya. Saat lain kedua orang ini
melesat ke arah Dewi Keabadian dengan tangan
kanan hujamkan pedang pendek pada bagian
bawah sosok sang Dewi!
Tampaknya Dewi Keabadian bisa membaca
gelagat orang. Bersamaan dengan bergeraknya
tangan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera, Dewi Keabadian melompat ke udara, lalu
membalik seraya lepaskan tendangan!
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
yang sudah siap membaca gerak orang tidak sia-
siakan kesempatan. Dengan kerahkan tenaga
dalam, mereka tarik pulang tangan kanan
masing-masing keatas. Lalu menghadang
tendangan....
Prass! Prass!
Terdengar suara benda putus. Disusul dengan
terdengarnya suara seruan tertahan.
Tangan kanan Bidadari Tujuh Langit dan
Datuk Kala Sutera mencelat balik ke udara.
Pedang di tangan masing-masing orang terlepas
mental. Saat berikutnya sosok kedua orang ini
tersapu amblas ke samping kanan kiri sebelum
akhirnya terkapar di atas tanah.
Namun baik Bidadari Tujuh Langit maupun
Datuk Kala Sutera seolah tidak pedulikan
keadaan diri masing-masing. Mereka segera
bangkit dengan kepala mendongak dan mata
mendelik tak berkesip memperhatikan dua
benda putih yang melayang di udara.
"Kita berhasil! Cepat lakukan sesuatu!" Teriak
Bidadari Tujuh Langit.
Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Terlihat
Dewi Keabadian terduduk di atas tanah dengan
paras berubah seraya mengawasi kedua kakinya.
Kedua kaki sang Dewi putus tepat pada
pergelangan dan kucurkan darah!
"Kalian berlaku licik padaku!" Dewi Keabadian
berteriak. Anehnya meski kedua kakinya telah
putus terbabat pedang Bidadari Tujuh Langit dan
Datuk Kala Sutera, namun bibir gadis ini tetap
tersenyum! Memandang sesaat silih berganti
pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera lalu mengikuti gerakan putusan kedua
kakinya. Saat lain gadis cantik berambut putih ini
membuat gerakan.
Namun sebelum melakukan tindakan lebih
jauh, Datuk Kala Sutera mendahului dengan
sentakkan kedua tangannya ke arah sang Dewi
lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat menggebrak ganas
dengan semburkan hawa panas luar biasa.
Dewi Keabadian terkesiap kaget. Dia batalkan
niat berkelebat. Lalu seraya masih sunggingkan
senyum, gadis cantik ini sentakkan pula kedua
tangannya meng hadang pukulan yang datang.
Bumm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar. Sosok Dewi
Keabadian terseret setengah tombak di atas
tanah dengan bahu berguncang keras. Di lain
pihak, sosok Datuk Kal Sutera tersapu mental
hingga beberapa tombak sebelum akhirnya
terhenti setelah menghantam satu bongkahan
batu hingga pecah berantakan! Mulutnya
mengembung lalu terbatuk muntahkan darah.
Saat ledakan keras terdengar, Bidadari Tujuh
langit tidak membuang kesempatan. Dia
mengikuti gerakan penggalan kedua kaki Dewi
Keabadian lalu sekali berkelebat, sosoknya
melenting ke udara. Kedua tangannya bergerak
menyambar ke arah penggalan kedua kaki Dewi
Keabadian.
Tampaknya Bidadari Tujuh Langit tidak mau
berlaku ayal. Begitu kedua tangannya berhasil
menyambar kedua penggalan kaki Dewi
Keabadian, dia membuat gerakan jungkir balik
dua kali seraya lepas pandangan sekilas. Namun
hal itu sudah cukup membuat sang Bidadari tahu
persis di mana tempat Dewi Keabadian.
Bidadari Tujuh Langit cepat selinapkan
penggalan kaki sang Dewi ke balik pakaiannya.
Saat lain kedua tangannya menyentak lepas
pukulan jarak jauh ke arah Dewi Keabadian!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang ganas berkiblat lurus.
Walau dalam keadaan terjepit karena baru
saja menghadang pukulan yang dilepas Datuk
Kala Sutera dan kedua pergelangan kakinya
putus, namun sang Dewi masih mampu
sentakkan kedua tangannya.
Blarr! Blaarr!
Pulau itu laksana ditelan gempa dahsyat.
Beberapa bongkahan batu yang banyak
bertebaran bergetar keras dan sebagian
langsung muncrat bertabur ke udara.
Dewi Keabadian perdengarkan jeritan tinggi.
Sosoknya kembali tersapu deras ke belakang
dan membentur satu bongkahan batu lalu mental
balik dan terkapar. Kedua pergelangan kakinya
yang terbabat putus makin kucurkan darah.
Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit
terpelanting di udara dengan mulut semburkan
darah. Lalu terjengkang roboh di atas tanah
dengan bahu tersentak-sentak.
Bidadari Tujuh Langit kerahkan segenap
tenaga yang dimiliki. Lalu kedua tangannya
menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika kedua
tangannya ditarik keluar, terlihat dua penggalan
kaki Dewi Keabadian yang berlumur darah. Sang
Bidadari memperhatikan sekilas pada Sepasang
Cincin Keabadian di dua ibu jari penggalan kaki
sang Dewi.
Dengan cepat Bidadari Tujuh Langit lepas
cincin di penggalan kaki sebelah kiri yang
berwarna merah dan dimasukkan pada ibu jari
kaki kirinya. Lalu bergerak bangkit seraya
campakkan penggalan kaki sang Dewi yang
sudah tidak bercincin.
Karena gerakan tangan Bidadari Tujuh Langit
bukan gerakan biasa, penggalan kaki milik sang
Dewi yang sudah tidak bercincin itu langsung
amblas masuk hampir setengahnya ke dalam
tanah!
Hampir bersamaan dengan amblasnya
penggalan kaki milik sang Dewi, Bidadari Tujuh
Langit sentakkan tangan satunya yang masih
memegang penggalan kaki ke arah Datuk Kala
Sutera yang sudah bangkit dan bersandar di
salah satu bongkahan batu.
Datuk Kala Sutera tidak mau menunggu. Dia
hantamkan punggungnya pada bongkahan batu
di mana dia bersandar. Sosoknya melesat ke
depan menyongsong penggalan kaki kanan Dewi
Keabadian.
Di atas udara, Datuk Kala Sutera cepat
lepaskan cincin di penggalan kaki, lalu
mengenakannya pada ibu jari kaki kanannya
seraya jungkir balik sebelum akhirnya melayang
turun dan tegak terhuyung di sebelah Bidadari
Tujuh Langit.
"Akhirnya kita berhasil!" gumam Bidadari Tujuh
Langit sambil usap darah di sudut mulutnya.
"Kita harus Cepat tinggalkan tempat ini!"
Seakan tak sabar, sang Bidadari cepat gaet
lengan Datuk Kala Sutera dan diseretnya
menyingkir menuju pinggiran pulau.
Di lain pihak, Dewi Keabadian cepat tarik
kedua kakinya lalu ditekuk dengan lutut sejajar
dada. Dia segera menotok beberapa tempat di
sekitar kedua kakinya yang terbabat putus.
Kucuran darahnya berhenti seketika. Lalu
arahkan pandangannya pada sosok Bidadari
Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera yang terus
hcrkelebat menuju pinggiran pulau.
"Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera!"
Dewi Keabadian berteriak tanpa membuat
gerakan. "Sebelum kalian tinggalkan tempat ini,
kalian harus dengar ucapanku!"
Ada satu keanehan. Bersamaan dengan
terdengarnya teriakan sang Dewi, Bidadari Tujuh
Langit dan Datuk Kala Sutera rasakan kedua
kakinya diganduli kekuatan dahsyat. Hingga
meski kedua orang ini kerahkan segenap tenaga
luar dalamnya, mereka tetap tidak mampu untuk
melangkah! Dan pada saat yang sama, mereka
laksana dihantam gelombang luar biasa kuat
hingga sosok kedua orang ini berputar
menghadap Dewi Keabadian!
Datuk Kala Sutera tercekat dan tidak berani
memandang ke arah sang Dewi. Tengkuknya
dingin dengan kedua lutut goyah. Namun tidak
demikian halnya dengan Bidadari Tujuh Langit.
Perempuan cantik bertubuh bahenol ini
sunggingkan senyum dingin meski raut
keterkejutan tak bisa dilenyapkan dari wajahnya.
Dia memandang sekilas pada suaminya Datuk
Kala Sutera lalu beralih pada Dewi Keabadian.
Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke
depan saking kagetnya. Sepasang matanya
mendelik besar, Dan seolah tidak percaya, dia
sapukan pandangan berkeliling seraya
menggumam.
"Jangan-jangan ada orang lain di tempat inil
Tapi...." Bidadari Tujuh Langit memperhatikan
sekali lagi pada satu sosok tubuh yang duduk
bersandar pada satu bongkahan batu.
Dia adalah seorang perempuan berusia amat
lanjut. Sekujur kulit wajahnya telah mengeriput.
Sepasang matanya menjorok masuk ke dalam
rongga yang amat dalam. Rambutnya putih awut-
awutan. Mengenakan pakaian warna kuning
muda yang bagian dadanya diberi belahan
memanjang ke bawah hampir sampai depan
perutnya hingga terlihat jelas sebagian kulit
dadanya yang keriput.
"Dari-pakaiannya jelas dia. Tapi...." Kembali
Bidadari Tujuh Langit dilanda kebimbangan. Saat
itulah dia ingat sesuatu. Bidadari Tujuh Langit
segera memperhatikan pada kedua kaki
perempuan tua yang duduk bersandar. Ternyata
sepasang kaki nenek ini terputus hingga
pergelangan!
Bidadari Tujuh Langit baru tersenyum lega dan
menarik napas panjang. Lalu berbisik pada
Datuk Kala Sutera.
"Kau tak perlu takut.... Dia sudah tidak ada
apa-apanya lagi! Lihatlah!"
Perlahan-lahan Datuk Kala Sutera beranikan
dia arahkan pandangan pada Dewi Keabadian.
Seperti halnya Bidadari Tujuh Langit, sang
Datuk tampak tercengang tak percaya hingga
penggalan kaki kanan sang Dewi yang masih
terpegang tangan kanannya terlepas jatuh!
"Yakinkan matamu dengan melihat kedua
kakinya!" bisik Bidadari Tujuh Langit seakan bisa
menangkap rasa tidak percaya Datuk Kala
Sutera meski dia tidak berpaling.
"Sekarang aku percaya kalau dia Dewi
Keabadian!" Akhirnya Datuk Kala Sutera
bergumam setelah melihat kedua kaki si nenek
berambut putih yang duduk ber-aandar.
"Dia bukan hanya kehilangan keabadian
tubuhnya, namun ilmunya juga sirna! Kita tak
usah khawatir! Bahkan kalau perlu, dia kita bikin
mampus sekarang juga! Parempuan cabul
macam dia sudah layak menerima imbalan
setimpal di akhir hidupnya!" berkata Bidadari
Tujuh Langit dengan tangan terkepal.
"Kita jangan menambah urusan! Apa yang kita
cari sudah kita dapat! Sebaiknya kita segera
pergi! Lagi pula mikan tak mungkin dia masih
memiliki kekuatan! Bukankah semua
tindakannya selama ini sukar ditebak?! kau lihat
sendiri apa yang baru saja terjadi. Kita bukan
saja tak mampu melangkah, namun tubuh kita
berputar menghadapnya seperti digerakkan
tenaga dahsyat!"
Bidadari Tujuh Langit berpikir sesaat. Lalu
berbisik.
"Kalau dia kita biarkan hidup, jangan-jangan
dia akan mencari kita! Lebih baik kita tuntaskan
urusan ini!"
"Jangan mencari celaka!" sentak Datuk Kala
Su-Ina. Mungkin karena khawatir si istri akan
lakukan tindakan yang tidak diduga, sang Datuk
segera gaet tangan sang Bidadari, lalu diseretnya
berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Kalian tak akan pergi sebelum dengar
ucapanku!" Terdengar suara Dewi Keabadian
yang kini telah berubah menjadi seorang nenek-
nenek berkulit keriput.
---ooo0dw0ooo
TIGA
BIDADARI Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
tersentak kaget. Bukan karena ucapan sang
Dewi, melainkan karena bersamaan dengan
terdengarnya suara itu, mereka tidak mampu
gerakkan tubuh untuk melangkah teruskan niat
hendak tinggalkan tempat llu! Meski keduanya
telah kerahkan segenap tenaga dalam yang
mereka miliki
Belum lenyap rasa kaget Bidadari Tujuh Langit
dan Datuk Kala Sutera, Dewi Keabadian kembali
perdengarkan suara.
"Malam ini kalian telah bertindak licik pada
seseorang yang punya niat baik!" Dewi
Keabadian hentikan ucapannya sesaat. Bidadari
Tujuh Langit hendak buka mulut perdengarkan
suara. Namun meski mulutnya lelah menganga
terbuka, tidak terdengar sepatah kata dari
mulutnya. Suara itu laksana tenggelam dalam
tenggorokannya! *-~
"Kalian tahu...." Dewi Keabadian teruskan
ucapan. "Kalian terlalu punya prasangka buruk
padaku! Kalian hanya melihat apa yang terlihat
mata dan mendengar apa yang tertangkap
telinga kalian! Kalian tidak bisa berpikir apa
sesungguhnya di balik yang terlihat dan
terdengar!"
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
hanya bisa simak ucapan orang tanpa bisa
membuat gerakan atau perdengarkan suara.
Mereka berdua kernyitkan dahi. Bukan saja
heran dengan apa yang dialami, namun juga
merasa aneh dengan kata-kata Dewi Keabadian.
Di depan sana, Dewi Keabadian tersenyum.
Lalu? lanjutkan ucapan.
"Kalian tahu.... Aku meminta syarat berat
karena! aku berharap kalian mengurungkan niat!
Dan kau, Datuk Kala Sutera! Kuminta kau
menemaniku bukan untuk] tujuan jelek seperti
yang kalian kira! Aku akan membawamu ke satu
tempat agar kau bisa berpikir lebih jernih! Dan
kau Bidadari Tujuh Langit! Kau kuminta
bersemadi, agar kau bisa menimbang kembali
semua permintaanmu. Karena apa yang kalian
minta adalah sesuatu yang bukan menjadi hak
kalian! Keabadian hanya dimiliki] oleh Sang
Maha Abadi! Bukan milik manusia! Apa yang
kumiliki selama ini, dan kini berpindah ke tangan
kalian hanyalah keabadian semu! Itu hanya
keabadian menurut manusia! Kelak semuanya
pasti akan berakhir dan kita akan kembali
menghadap Yang Maha Abadi!"
Untuk kedua kalinya Dewi Keabadian hentikan
ucapan. Dia sandarkan tubuh lalu mendongak
seraya teruskan ucapan.
"Kalian juga perlu tahu.... Kalau selama ini
kalian melihatku berpakaian dan bersikap
menggoda, semua itu hanyalah ujian! Jika kalian
berpikiran baik, kalian tentu tidak akan menduga
yang bukan-bukan! Justru semua itu akan
mengingatkan kalian pada Yang Maha Pencipta
Keindahan!"
Dewi Keabadian membuat gerakan satu kali.
Sosoknya melesat ke udara dan tahu-tahu telah
duduk bersila di bongkahan batu di mana dia tadi
bersandal Lalu lanjutkan ucapan.
"Malam ini kalian telah salah sangka dan
serakah pada seseorangl Hal ini kelak akan
membuahkan hasil yang sama pada diri kalian
masing-masing I Kalian akan salah sangka pada
anak-anak kalian bahkan pada kailan berdua!
Kalian dan anak-anak kalian akan dihinggapi
sifat serakah untuk mendapatkan sesuatu!
Pertolongan memang akan datang! Tapi
kedatangannya sudah sangat terlambat dan
justru pertolongan itu datangnya dari sesuatu
yang sangat menyakitkan hati!"
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
terpana. Mereka merasakan kuduk masing-
masing laksana diguyur es. Sekuat tenaga
mereka coba bebaskan diri agar dapat bergerak
dan segera tinggalkan tempat Hu. Namun usaha
mereka tidak berhasil.
Di seberang, Dewi Keabadian menghela napas
panjang dengan bibir masih sunggingkan
senyum. Lalu angkat suara lagi.
"Karena negeri daratan Himalaya ini telah
kotor dengan tindakan kalian, maka pertolongan
itu akan datang dari manusia di luar daratan
Himalaya! Dan Sepasang Cincin Keabadian tidak
akan lepas dari kaki kalian masing-masing
sebelum kalian mengalami nasib yang seperti
kalian lakukan padaku! Dan kalian juga perlu
tahu.... Sepasang Cincin Keabadian memang
akan membuat kalian tetap muda. Tapi
Sepasang Cincin Keabadian akan membuat
kalian buta! Bukan tidak idsa melihat, tapi kalian
tidak akan mengenal mana anak, mana suami,
mana istri!" Dewi Keabadian tertawa perlahan.
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
makin tercekat.
Di seberang, tiba-tiba Dewi Keabadian
sentakkan tubuhnya ke belakang. Sosoknya
melesat beberapa tombak ke belakang lalu
duduk bersila di atas tanah.
Saat berikutnya kembali dia berkata.
"Sepasang Cincin Keabadian tidak bisa
dipisahkan! Jika dipakai terpisah, maka hal itu
akan membual si pemakai mengidap satu
penyakit! Memang penyakit itu tidak terlihat dan
tidak terasa! Tapi penyakit itu sungguh
memilukan hati! Karena kalian memakai terpisah
satu sama lain, kelak kalian akan saling
mencari!"
Untuk kesekian kalinya Dewi Keabadian
hentikan ucapan. Lalu arahkan matanya pada
Bidadari Tujuh ngit dan berkata.
"Bidadari Tujuh Langit! Kau boleh pergi!"
Begitu ucapan Dewi Keabadian selesai,
mendadak Bidadari Tujuh Langit bisa gerakkan
kembali anggota tubuhnya. Perempuan berwajah
cantik dan bertubuh sintal ini tersenyum.
Memandang beberapa saat pada Dewi
Keabadian. Lalu berpaling pada Datuk Kala
Sutera. Namun ada yang aneh. Tatkala sang
Bidadari memandang wajah Datuk Kala Sutera,
perempuan ini tampak terkejut seperti melihat
orang yang tidak dikenali' Saat lain tanpa buka
suara lagi, dia putar diri lalu enak saja berkelebat
menuju pinggiran pulau!
Datuk Kala Sutera tercengang. Dia hendak
berteriak. Tapi suaranya tersumbat
ditenggorokan. Dia coba putar diri. Tapi kekuatan
dahsyat membuat sosoknya tetap diam tak
bergerakl
Dewi Keabadian tertawa perlahan. Dan begitu
sosok Bidadari Tujuh Langit melompat dari
pinggiran pulau, Dewi Keabadian angkat suara.
"Datuk Kala Sutera! Sekarang kau juga boleh
tinggalkan tempat ini!"
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian
membuat satu kali gerakan. Tubuhnya melesat
lalu lenyap ditelan kegelapan di depan sana.
Bersamaan dengan sirnanya sosok sang Dewi,
Datuk Kala Sutera bisa gerakkan tubuh. Laki-laki
berparas tampan ini memandang berkeliling
beberapa saat. Lalu tengadah dengan dahi
berkerut.
"Apa yang telah kulakukan di tempat ini?!
Mengapa aku bisa berada di tempat ini?!" Datuk
Kala Sutera berusaha mengingat-ingat. Tapi dia
tidak ingat apa-apa lagi! Bahkan dia lupa pada
istrinya Bidadari Tujuh Langit!
Datuk Kala Sutera edarkan pandang matanya
sekali lagi menembus kegelapan suasana pulau.
Lalu dia ingat akan perahunya. Dia cepat
balikkan tubuh. Lalu berkelebat menuju pinggiran
pulau.
Tegak berdiri di salah satu lamping pulau,
Datuk Kala Sutera tundukkan kepala
memperhatikan dirinya. "Aneh.... Aku merasakan
sesuatu! Gerakanku jadi ringan! Tenaga dalamku
tiba-tiba bertambah! Apa yang terjadi...?!"
Karena tidak juga menemukan jawaban,
Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya ke
tengah laut. Saat itulah matanya menangkap
gerakan sebuah perahu.
"Perahuku.... Bagaimana bisa berada di
tengah laut?! Tapi.... Perahu itu berpenumpang!
Siapa dia...?! Dari sikapnya jelas dia seorang
perempuan!"
Datuk Kala Sutera mengukur jarak. Lalu
berteriak.
"Hai! Tunggu!"
Walau saat itu suara gemuruh gelombang
terus menyembur, anehnya teriakan Datuk Kala
Sutera mampu didengar oleh si penumpang
perahu yang bukan lain adalah Bidadari Tujuh
Langit. Perempuan cantik dari sintal ini segera
palingkan kepala. Samar-samar matanya
menangkap satu sosok tubuh yang berdiri tegak
di lamping pulau.
"Siapa dia?!" gumam Bidadari Tujuh Langit
seraya kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Lalu
perahu di mana dia berada mendadak terhenti
bahkan tidak bergeming sama sekali meski
dihantam gelombang!
Melihat si penumpang hentikan laju
perahunya, Datuk Kala Sutera tidak berpikir dua
kali. Dia segera melesat ceburkan diri ke dalam
laut lalu berenang menghadang gelombang ke
arah perahu.
Sebenarnya Datuk Kala Sutera hanya coba-
coba. Dia berpikir, seandainya tidak mampu
menghadang gempuran gelombang, dia akan
berbalik dan menunggu hingga pagi hari.
Namun begitu dia bukan hanya mampu
menerjang gulungan ombak, namun gerakannya
amat ringan, Datuk Kala Sutera teruskan
berenang. Sementara entah karena apa, Bidadari
Tujuh Langit tidak berusaha mene-i ruskan laju
perahunya. Dia diam menunggu sambil sesekali
gerakkan kepala berusaha melihat sosok orang
yang timbul tenggelam berenang ke arah
perahunya.
Begitu Bidadari Tujuh Langit melihat dua
tangan menggapai bagian samping perahunya,
perempuan ini segera bergerak mendekat. Ujung
dayung segera dijulurkan yang cepat ditangkap
oleh Datuk Kala Sutera.
Wuuutt!
Bidadari Tujuh Langit gerakkan dayung. Satu
sosok tubuh melesat dari dalam air laut lalu
tegak di lantai perahu dengan tubuh dan pakaian
basah kucurkan air.
Datuk Kala Sutera sisir rambutnya yang basah
dengan jari-jari tangannya lalu memandang ke
arah Bidadari Tujuh Langit seraya tersenyum dan
berkata.
"Terima kasih.... Kau tak keberatan jika aku
ikut menumpang?!"
Bidadari Tujuh Langit ikut sunggingkan
senyum. Lalu anggukkan kepala. Diam-diam
dalam hati dia berkata. "Siapa laki-laki ini?!
Wajahnya tampan.... Tapi aku tidak tertarik...."
Membatin begitu, tanpa angkat suara lagi
Bidadari Tujuh Langit melangkah ke bagian
depan perahu. Lalu ayunkan dayung ke dalam air
laut. Perahu itu kembali melaju cepat menembus
gulungan ombak.
"Aku ingat benar! Ini adalah perahu milikku!
Tapi bagaimana bisa dibawa perempuan cantik
ini? Siapa dia...?!" Datuk Kala Sutera pandangi
bagian belakang sosok Bidadari Tujuh Langit.
Pakaian putih tipis dan ketat yang dikenakan
sang Bidadari membuat dada Datuk Kala Sutera
berdebar. Apalagi gerakan perahu membuat
pinggul sang Bidadari bergerak-gerak menggoda.
Datuk Kala Sutera menelan ludah. Lalu
melangkah mendekati sang Bidadari. Tapi belum
sampai melangkah jauh, Bidadari Tujuh Langit
sudah bersuara.
"Laki-laki tak dikenal! Aku telah berbaik hati
menolongmu memberi tumpangan! Jangan coba
bertindak macam-macam! Tanganku bisa
melemparkanmu ke tengah laut!"
Datuk Kala Sutera hentikan langkah.
"Bagaimana bisa begini?! Ini perahu milikku! Aku
yakin betull Tapi.... Ah, daripada membuat
keributan, lebih baik aku diam saja! Lagi pula
bukan hanya dia gadis cantik yang nanti bisa
kudapatkan di daratan sana!"
Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera
ambili dayung yang tergeletak di lantai perahu.
Saat lain dia ayunkan dayung ke dalam air laut
dari bagian belakang perahu. Laju perahu makin
deras.
Derasnya laju perahu sudah cukup membuat
Bidadari Tujuh Langit maklum apa yang
dilakukan laki-laki di belakangnya.
"Hem.... Selain berwajah tampan, dia juga
memiliki tenaga dalam lumayan! Sayangnya aku
tidak terpikat...!"
Baru saja Bidadari Tujuh Langit membatin
begitu, Datuk Kala Sutera berkata.
"Boleh aku tahu siapa kau adanya?!"
Bidadari Tujuh Langit tertawa tanpa berpaling.
Puas tertawa dia berucap. "Aku yang memberimu
tumpangan! Seharusnya kau yang
memperkenalkan diri terlebih dahulu!"
"Aku Datuk Kala Sutera!"
"Nama bagus.... Boleh aku tahu, apa yang kau
lakukan di pulau itu?!"
Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab.
Seballiknya menoleh ke arah pulau yang kini
terlihat saman samar hitam di kejauhan sana.
Dia coba mengingat. Tapi selalu gagal. Hingga
akhirnya dia berkata.
"Aku telah mengatakan siapa diriku. Harap
kau sudi memperkenalkan diri!"
"Aku Bidadari Tujuh Langit!"
"Nama yang seindah orangnya!" puji sang
Datuk membuat Bidadari Tujuh Langit tertawa
cekikikan. Pujian orang tidak membuat dada
perempuan ini berdebar, sebaliknya pujian itu
terdengar lucu hingga sang Bidadari tertawa
cekikikan! Lalu berucap.
"Kau masih tak mau memberitahukan apa
yang kau lakukan di pulau itu?!"
Karena tak mau mendapat dugaan yang
bukan-bukan, enak saja Datuk Kala Sutera
menjawab.
"Aku tengah memancing! Namun tiba-tiba
ombak besar datang! Kailku mencelat dan
perahu terbawa arus sebelum akhirnya pecah
berantakan dihantam gelombang! Akhirnya aku
menunggu hingga aku melihatmu...."
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. "Mudah-
mudahan kau tidak berkata dusta padaku...,"
gumamnya membuat sang Datuk terkejut.
Namun Datuk Kala Sutera tidak mau
tunjukkan rasa kejutnya dan segera alihkan
pembicaraan orang dengan berkata.
"Sebenarnya aku tadi melihatmu di pinggiran
pulau. Cuma aku masih khawatir. Menurut
beberapa orang, pulau itu berpenghuni! Bukan
manusia tapi sejenis makhluk halus.... Setelah
aku yakin, baru aku berani berteriak! Kau baru
mengunjungi pulau itu, bukan?!"
Kini ganti Bidadari Tujuh Langit yang terdiam
beberapa lama. Perempuan ini seperti halnya
Datuk Kala Sutera tadi, coba mengingat-ingat.
Namun dia juga gagal menemukan jawaban.
Hingga akhirnya dia berucap.
"Seperti katamu.... Aku juga sering mendengar
orang mengatakan pulau itu berpenghuni.
Karena penasaran, aku coba membuktikan
ucapan orangl Ternyata yang kutemukan bukan
penghuni semacam makhluk halus, tapi laki-laki
berwajah tampan yang terdampar karena
perahunya hancur diterjang gelombang!"
Pujian Bidadari Tujuh Langit membuat dada
Datuk Kala Sutera berdegup keras. Hidungnya
kembang kempis. Dia tatapi pinggul sang
Bidadari yang terus bergerak-gerak karena
guncangan perahu. Mungkin tak bisa menahan
gejolak nafsunya, sang Datuk gerakkan kaki
melangkah.
Namun baru mendapat satu tindak, tiba-tiba
gejolak nafsunya padam! Kaki sang Datuk
tersurut. Dahinya berkerut.
"Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa
tiba-tiba aku tidak berselera dengan perempuan
itu?! Jangan-jangan dia...."
Belum sampai Datuk Kala Sutera lanjutkan
kata hatinya, Bidadari Tujuh Langit sudah
berkata.
"Aku sudah tidak membutuhkan perahu ini
lagi! Kau boleh mengambilnya untuk pergi
memancingi"
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit
berkelebat menerabas air laut. Pakaian putihnya
basah kuyup hingga membuat lekuk sosoknya
terlihat jelas.
"Astaga!" Datuk Kala Sutera terjengah sendiri.
Ternyata dia sudah berada tidak jauh dari pesisir
pantai., Dia segera campakkan dayung di
tangannya lalu berkelebat mengejar Bidadari
Tujuh Langit yang terus berlari di atas pesisir.
"Aku harus tahu apa yang terjadi dengan
diriku! Mengapa aku tiba-tiba tidak berselera
dengan perempuan I"
Rasa penasaran sang Datuk membuat laki-laki
ini makin percepat larinya. Sementara di depan
sana, sang Bidadari terus berlari laksana
kesetanan. Namun diam-diam dia merasa tengah
diikuti. Hingga pada satu tempat, perempuan
cantik bertubuh sintal ini hentikan larinya dan
langsung balikkan tubuh.
"Mengapa kau mengikutiku, hah?!" Datuk Kala
Sutera hentikan langkah tujuh tindak di hadapan
sang Bidadari. Dia tidak buka mulut menjawab.
Namun pandangi sosok sang Bidadari yang
makin mempesona. Dadanya yang kencang
membusung bergerak-gerak turun naik dan
lekukan pinggulnya makin terlihat karena
pakaian yang dikenakan basah.
Datuk Kala Sutera menahan napas. Masih
tanpa buka mulut menjawab, laki-laki ini
melangkah ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Bidadari Tujuh Langit mendelik angker.
Gerakan orang sudah membuatnya sadar apa
yang diinginkan orang. Diam-diam dia kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangannya lalu buka
mulut.
Tapi sebelum suaranya terdengar, mulut sang
Bidadari kembali mengatup. Dahinya mengernyit
dengan mata sedikit memicing.
Di sebelah depan, mendadak Datuk Kala
Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya
membelalak beberapa saat. Laki-laki ini
bukannya melihat raut cantik dan tubuh sintal
terbalut kain basah dan ketat milik Bidadari
Tujuh Langit. Sebaliknya melihat wajah seorang
nenek-nenek berkulit keriput dengan rambut
pulih awut-awutan. Sepasang matanya kelabu
masuk ke dalam rongga yang cekung dan dalam.
Dadanya yang kendor bergerak-gerak.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun yang
terlihat oleh Datuk Kala Sutera adalah bibir hitam
yang menyeringai! Hingga membuat gejolak
nafsu si Datuk padam seketika!
Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera balikkan
tubuh. Laksana terbang dia berkelebat dan
berlari denga perdengarkan sumpah serapah.
Bidadari Tujuh Langit terkesiap. Namun tak lama
kemudian tawanya meledak mengikuti ke mana
sang Datuk berlari kesetanan!
---ooo0dw0ooo---
EMPAT
MALAM sudah hampir berujung ketika
beberapa sosok bayangan berkelebat cepat
laksana setan gentayangan menuju satu
kawasan yang banyak ditumbuhi ilalang tinggi
dan beberapa jajaran pohon besar.
Walau beberapa sosok bayangan itu menuju
tem-pnt yang sama, namun dari cara berkelebat
dan sikapnya, jelas mereka tidak datang secara
bersama-sama. Mereka berkelebat sendiri-
sendiri dan tampak berhati-hati seakan tak mau
dilihat orang. Bahkan di antara mereka sengaja
melompat dari satu batangan pohon ke batangan
pohon lain seraya menyelinap sembunyi
beberapa langkah. Sebagian lagi rebahkan diri di
ranggasan ilalang dan baru melesat keluar
tatkala merasa keadaan benar-benar aman.
Sosok yang berkelebat paling depan sesaat
arahkan pandangan berkeliling dari sela
ranggasan ilalang.
"Hem.... Ada beberapa orang di belakang!
Siapa mereka?! Apakah mereka juga punya
maksud sama sepertiku?! Aku tak boleh
kedahuluan mereka! Aku telah menunggu
kesempatan balas dendam ini beberapa tahun!"
Membatin begitu, sosok yang paling depan ini
segara beranjak bangkit dengan kerahkan
tenaga dalam nada kedua tangannya. Lalu
edarkan pandangan berkeliling sesaat. Saat lain
berkelebat.
Begitu melewati ranggasan ilalang, orang ini
segara memandang lurus ke depan. Terlihat lima
bangunan kecil yang berdiri berjajar. Bangunan
itu berbentu mirip kuil. Dan keSimanya
berbentuk sama baik besar dan warnanya. Tepat
di belakang lima bangunan itu terdapat satu
bangunan lagi berbentuk pendopo agak besar.
"Hem.... Ternyata apa yang kudengar sesuai
dengan kenyataan. Mereka mendirikan lima
bangunan untuk anak-anaknya! Dan mereka
menamakan bangunan itu Istana Lima Bidadari!
Hem.... Keparatnya pasti yang tinggal di
bangunan pendopo itu!"
Orang ini arahkan pandangannya pada
bangunar berbentuk pendopo di belakang lima
bangunan yang selama ini memang dikenal
dengan Istana Lima Bidadari. Dia adalah seorang
laki-laki berusia setengah baya bertampang
angker. Parasnya bulat ditingkahi kumis lebat
dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata
sebelah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah
kul berbentuk bundar berwarna hitam yang
diikatkan ke belakang kepalanya. Pada pipi
kirinya melintang codet besar dan panjang
sampai telinga. Rambutnya leba dan panjang
dibiarkan bergerai menutupi sebagian wa jahnya.
Laki-laki ini mengenakan pakaian hitam-hitan
yang dilapis dengan jubah panjang berwarna
hitam se batas lutut.
Laki-laki bermata satu edarkan pandangan
seka lagi. Lalu berkelebat. Namun belum sampai
benar-benar bergerak, telinganya mendengar
suara tangisan bayi. Laki-laki ini urungkan niat.
Lalu arahkan matanya pada bangunan pendopo
dengan mata mendelik tak berkesip.
Namun setelah agak lama menunggu, laki-laki
iri tidak juga melihat tanda-tanda adanya orang
yang ke luar dari bangunan pendopo.
"Tangisan itu jelas dari salah satu bangunan
Istana Lima Bidadari! Anehnya mengapa dua
keparat itu tidak muncul juga?! Apakah mereka
tengah tenggelam dalam gelutan nafsu hingga
telinganya tidak mendengar tangis anaknya...?
Hem.... Bidadari Tujuh Langit memang masih
muda dan cantik serta bertubuh aduhai....
Sebelum jahanamnya kulempar ke neraka, aku
ingin mencicipi kemontokan tubuhnya!"
Laki-laki bermata satu sudah tak sabaran.
Namun ia berusaha menahan diri. Tampaknya
dia sadar siapa yang dihadapi. Hingga dia tidak
mau bertindak ayal meski bayangan kemontokan
orang sudah berada di pelupuk matanya.
Namun setelah ditunggu agak lama, tidak juga
ada tanda-tanda kemunculan orang yang
diharapkan, sementara tangisan bayi makin lama
makin keras, laki-laki bermata satu pupus
kesabarannya. Dengan kerahkan hampir
segenap tenaga dalamnya dia berkelebat.
Seakan sudah bisa menebak jika orang yang
diharap tidak berada di salah satu Istana Lima
Bidadari, si laki-laki bermata satu langsung
berkelebat ke arah bangunan berbentuk
pendopo.
Dia mengendap-endap beberapa lama di luar
bangunan dengan mata nyalang tak berkesip.
"Aneh.... Sepertinya keparat-keparat itu tidak
ada! Aku tidak mampu mengendus aroma
mereka! Atau Jangan-jangan ini satu jebakan!
Tapi...." Si laki-laki bermata satu tidak lanjutkan
kata hatinya. Dia segera merapat ke bagian pintu
satu-satunya yang ada. Dia tahan telinga.
Sementara mata satunya liar mengedar keliling.
"Jahanam benar! Bangunan ini tampaknya
kosong!" gumam laki-laki bermata satu. Sekali
melompat dan membuat gerakan, pintu
bangunan pendopo ambrol berantakan! Dan
tahu-tahu sosoknya telah tegak di ruangan
tengah yang hanya diterangi sebuah obor bambu.
Laki-laki bermata satu arahkan pandang
matanya pada satu ruangan berpintu. Laiu
melangkah perlahan mendekati dengan kedua
tangan terangkat di atas kepala. Dia berhenti dua
tindak di depan pintu.
"Kamar ini rupanya juga kosong! Jadi kedua
jahanam itu benar-benar tidak ada di tempat ini!
Ke mana mereka?!" Si laki-laki bermata satu
luruskan kakinya ke arah pintu. Sekali dorong,
pintu itu terbuka menganga tanpa membuat
suara!
Sekali iongokkan kepala, si laki-laki sudah
bisa menduga jika kamar itu memang kosong.
Hingga tanpa masuk, dia segera balikkan tubuh.
"Aku harus menunggu! Mereka meninggalkan
bel berapa anak! Tak mungkin mereka pergi
jauhi"
Setelah menyiasati keadaan beberapa lama, si
laki laki bermata satu melangkah keluar
bangunan pendopo. Saat itulah matanya
menangkap gerakan berkelebat di antara
ranggasah ilalang di depan sana.
Kalau tadinya laki-laki bermata satu sudah
bertekad hendak menunggu, tapi demi melihat
gerakan beberapa sosok bayangan di ranggasan
ilalang, mendadak niatnya berubah.
"Aku yakin mereka bukanlah kedua jahanam
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Suteral Aku
tak mau membuka urusan dengan orang lain
sebelum urusanki dengan dua keparat jahanam
itu selesai tuntasi Hem.... Kalau aku tetap berada
di sini, bukan tak mungkin aku bisa membuka
urusan dengan orang lain! Padahal aku tudah
bersumpah, kedua tanganku tidak akan berlumur
darah sebelum dapat mengalirkan darah kedua
jahanam itu!"
Si laki-laki bermata satu berpikir sesaat. Saat
itulah suara tangisan bayi tiba-tiba terputus.
Entah apa yang dipikirkan laki-laki bermata
satu, yang jelas dia segera berkelebat ke arah
salah satu bangunan Istana Lima Bidadari dari
mana tadi suara tangisan bayi terdengar.
Karena sudah yakin tidak ada orang lain di
Istana Lima Bidadari, laki-laki bermata satu
segera berkelebat masuk pada salah satu
bangunan paling ujung di mana suara tangisan
bayi terdengar.
Bangunan berbentuk kuil itu diterangi sebuah
obor kecil. Tepat di tengahnya terdapat lantai
agak tinggi berbentuk segi empat beralas jerami
tebai. Jerami itu tampak melesak tepat di bagian
tengahnya dan tampak bergerak-gerak.
"Hem.... Malam ini aku tidak berhasil menemui
kedua jahanam itu! Tapi aku akan membuat
mereka mencariku!" Si laki-laki bermata satu
tersenyum dingin lalu melangkah ke arah lantai
tinggi beralas jerami. Kepalanya segera bergerak
meiongok.
"Bayi cantik dan montok!" Desisnya. "Dengan
bayi Ini kuyakin tak perlu susah-susah lagi
mencari jahanam ibu bapaknya! Justru mereka
yang akan mencariku!"
Tanpa pikir panjang lagi si laki-laki bermata
satu julurkan tangan kirinya ke arah bayi. Sekali
angkat, bayi di atas jerami tebal telah berada di
tangannya. Mungkin karena kasar, bayi
perempuan itu segera perdengarkan tangisan
keras.
Si laki-laki bermata satu tidak ambil peduli.
Malah dia putar-putar tangan kirinya hingga si
bayi makin keraskan tangisnya.
"Kau adalah jaminan nyawa kedua
orangtuamu!" si laki-laki bermata satu berteriak.
Lalu tarik pulang tangan kirinya. Si bayi
didekapnya lalu dengan tenang berkelebat
tinggalkan salah satu bangunan Istana Lima
Bidadari.
Baru saja si laki-laki bermata satu berlalu,
satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di depan
bangunan pendopo.
"Sayang aku tidak bisa melihat jelas siapa
adanya manusia berpakaian hitam-hitam tadi!
Tapi apa peduliku?! Kedatanganku perlu dengan
Bidadari Tujuh Langit dan si jahanam Datuk Kala
Sutera! Mereka harus membayar nyawa satu-
satunya muridku yang tewas dll tangan mereka!"
Sosok di depan pendopo memandang berkeliling
sebelum akhirnya arahkan pandangannya ke
pintu pendopo yang telah ambrol berantakan.
"Tampaknya aku tidak akan menemukan
kedua manusia itu malam ini! Apa yang harus
kulakukan?! Tak mungkin aku menunggu!" Saat
itulah tiba-tiba telinga orang ini mendengar
isakan tangis bayi.
Orang di depan bangunan pendopo berpaling
pada salah satu bangunan Istana Lima Bidadari
untuk menentukan sumber isakan tangis. Saat
lain dia berkelebat dan tegak di depan salah satu
bangunan di sebelali kanan bangunan mana tadi
laki-laki bermata satu berkelebat keluar seraya
membopong bayi.
Tanpa berpikir dua kali, orang di depan
bangunan salah satu kuil Istana Lima Bidadari
segera melompat masuk. Dia melihat seorang
bayi perempuan di atas tumpukan jerami kering
dan tebal.
"Hem.... Dia bisa kujadikan sandera bagi
nyawa Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera!" gumam orang di sebelah bayi yang
tengah terisak dan gapai-gapaikan kedua
tangannya.
Dia adalah seorang perempuan berusia
sangat lanjut berambut putih panjang menjulai
hingga betis. Sosoknya tambun besar hingga
gumpalan daging di perutnya tampak bergerak
turun naik ketika nenek ini membuat gerakan.
Sepasang matanya sipit. Bukan karena bola
matanya kecil, namun karena tebalnya kulit
wajah. Hidungnya besar dan masuk ke dalam
gumpalan kulit wajahnya yang tebal. Mulutnya
hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup
tebalnya .kulit, wajah kedua pipinya. Nenek ini
mengenakan pakaian warna merah menyala
yang sangat ketat.
SI nenek bertubuh tambun besar pandangi
bayi di atas jerami beberapa saat. Lalu dengan
tersenyum kedua tangannya bergerak. Bayi di
atas jerami telah berpindah pada kedua
tangannya. Saat lain nenek ini berkelebat keluar.
Bayi perempuan bukannya dibopong tangan
kedua tangannya, namun enak saja diletakkan di
atas gumpalan daging perutnya!
Hampir bersamaan dengan melesatnya sosok
si nenek, dua sosok bayangan menerabas
ranggasan ilalang lalu tegak berjajar di depan
salah satu Istana Lima Bidadari di sebelah mana
si nenek baru saja keluar.
Dua sosok ini adalah seorang laki-laki dan
perempuan. Yang laki-laki sudah tua, sementara
si perempuan masih muda. Si laki-laki berwajah
lonjong dengan kulit putih. Sosoknya kerempeng
hingga raut wajahnya hampir-hampir saja tidak
tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang.
Sepasang matanya membelalak besar seolah
hendak mencelat keluar dari dalam rongganya.
Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih
gombrang besar. Saking besarnya, sosoknya
tampak bergoyang-goyang ketika pakaiannya
ditiup angin, hingga orang tua ini terus bergerak-
gerak meski tidak tengah membuat gerakan apa-
apa!
Sementara sosok perempuan di sebelah laki-
laki tua berpakaian gombrang berparas cantik
jelita. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi.
Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung
dengan bibir dipoles merah menyala. Lehernya
jenjang dengan dada membusung kencang.
Pinggulnya yang besar dibalut dengan pakaiai
tipis dan ketat warna biru.
"Dari gelagat beberapa orang tadi, jelas kita
tidak akan bertemu dengan keparat Bidadari
Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera! Tapi kita tak
perlu kecil hati! Kita punya sesuatu yang pasti
membuat kedua keparat itu memburu ke mana
kita pergi!" Si laki-laki tua bertubuh kerempeng
angkat suara dengan mata mengarah pada kuil
di hadapannya.
"Kau ambil yang sebelah sana! Aku akan ambil
yang di depan Ku!" kembali si orang tua berkata
serayg arahkan telunjuknya pada bangunan kuil
yang bersebelahan dengan bangunan kuil di
hadapannya.
Tanpa ada yang buka suara lagi, kedua orang
iri segera melompat masuk ke dalam bangunan
kuil yang bersebelahan. Kejap kemudian
keduanya sudah keluar lagi dengan kedua
tangan masing-masing orang mendekap seorang
bayi.
Dengan satu isyarat, laki-laki tua bertubuh
kerempeng segera melesat menembus dinginnya
udara dini hari yang kemudian disusul oleh si
perempuan muda.
Tanpa diketahui oleh si orang tua bertubuh
kerempeng dan si perempuan muda berwajah
cantik, sepasang mata dari tadi tampak mendelik
tak berkesip dari sela ranggasan ilalang.
"Satu, dua, tiga, empat...." Si pemilik mata
perdengarkan hitungan seraya arahkan matanya
pada jajaran bangunan Istana Lima Bidadari.
"Hem.... Tinggal satu yang belum dimasuki orang!
Mudah-mudahan kedatanganku tidak sia-sia
meski tampaknya aku tidak menemukan
manusia yang kucari!"
Mata dari seia ranggasan ilalang itu mengedar
beberapa saat. Saat lain, si pemilik mata angkat
tubuhnya yang sengaja direbahkan sejajar tanah.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki bertubuh
pendek. Hingga meski dia telah tegak berdiri, tapi
kepaianya tidak sampai mencapai ujung ilalang!
Laki-laki cebol ini berparas buiat besar.
Hidungnya melesak ke dalam dengan mata alpit.
Rambutnya lebat dan panjang hingga menyapu
tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar,
hingga kotika tegak, laki-laki ini tampak doyong
ke depan! Di pinggangnya tampak sebuah
pedang panjang berkilat. hebatnya, pedang itu
bukannya diselipkan, namun seakan lentur,
pedang berkilat itu diikatkan melingkar pada
pinggangnya!
Si laki-laki cebol membuat satu kali gerakan.
Mendadak sosoknya melesat cepat dan tahu-
tahu sudah tegak doyong di depan bangunan
Istana Lima Bidadari paling ujung yang memang
belum dimasuki orang.
Tanpa putar kepala si laki-laki cebol segera
melangkah memasuki bangunan dan sekali
kakinya menghentak, sosoknya melenting dan
tegak di atas tumpukan jerami tebal di mana
teronggok satu bayi perem-puan.
Anehnya, meski si laki-laki cebol tebal tegak di
atas tumpukan jerami, namun tumpukan jerami
itu tidak bergerak atau melesak! Hingga bayi di
atas jerami tidak terusik.
Si laki-laki cebol pandangi beberapa lama
pada sosok bayi di sampingnya. Saat lain
wajahnya ditegakkan tengadah. Lalu terdengar
gelakan tawanya! Tapi meski suara tawa itu
keras menggema, si bayi tetap diam tak terusik!
"Rejekiku besar! Ternyata aku masih kebagian
satu!" ujar si laki-laki cebol di sela geraian
tawanya. Dani masih tertawa ngakak, bagian
atas tubuhnya disentakkan ke bawah. Tangannya
menggapai lalu digerakkan ke atas.
Bayi perempuan di atas tumpukan jerami
melayang ke udara. Lalu turun ke bawah. Si laki-
laki cebol hanya pandangi bayangan sosok si bayi
tanpa membuat gerakan. Empat jengkal lagi bayi
itu berada di atas kepalanya! iaki-laki ini
sorongkan tubuhnya ke depan hingga tubuhnya
makin doyong.
Plukkk!
Si bayi teronggok diam di atas punuk besar
laki-laki cebol. Si laki-laki putar tubuh. Lalu
dengan masih tertawa ngakak, sosoknya melesat
keluar bangunanl
Suara tawa si laki-laki cebol belum lenyap,
mendadak satu bayangan berkelebat. Bayangan
ini langsung menerabas ke arah bangunan
pendopo di belakang bangunan Istana Lima
Bidadari. Dari caranya, jelas jika bayangan ini
sudah paham dengan situasi di tempat itu.
Si bayangan terus memasuki bangunan
pendopo dan berlari mondar-mandir ke seantero
bangunan. Sikapnya jelas membayangkan kalau
dia tengah mencari sesuatu.
"Di mana dia...?! Kalau pergi, mengapa tidak
memberi tahu padaku?!" gumam si bayangan
seraya hentikan langkah. Ternyata dia adalah
seorang perempuan berusia dua puluh lima
tahunan. Wajahnya jelita dengan rambut
digulung ke atas. Perempuan ini mengenakan
pakaian warna putih tipis dan ketat membungkus
tubuhnya yang berdada kencang dan berpinggul
besar. Perempuan ini tidak lain adalah Bidadari
Tujuh Langit.
"Hem.... Tampaknya dia memang telah pergi!
Tapi apa peduliku sekarang?! Aku sudah tidak
tertarik padanya! Hanya saja mengapa aku tidak
mendengar suara tangis...."
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan
gu-I maman, perempuan ini telah melesat keluar
dari ba-! ngunan pendopo dan masuk ke dalam
kuil paling ujung di mana laki-laki cebol baru saja
keluar.
Tanpa mendekati tumpukan jerami tebal di
atas lantai agak tinggi yang berada di tengah
bangunan kuil, tampaknya Bidadari Tujuh Langit
sudah bisa menduga. Ia balikkan tubuh, lalu
melangkah ke arah satu persatu bangunan kuil
Istana Lima Bidadari. Seperti halnya tatkala
masuk bangunan pertama, sang Bidadari tidak
teruskan langkah untuk mendekati jerami tebal.
Dia su dah balikkan tubuh lalu melangkah ke
arah bangunan satunya hingga bangunan paling
ujung di mana tadi laki-laki bermata satu masuk.
"Hem.... Tampaknya dia pergi dengan
membawa serta anak-anakku! Tak apa.... Dia
juga ayahnya!" Bidadari Tujuh Langit bergumam
lagi lalu tertawa perlahan. Dan seolah tidak
merasa kehilangan darah daging yang
dilahirkannya, perempuan cantik bertubuh sintal
ini enak saja melangkah keluar bahkan sambil
sunggingkan senyum!
---ooo0dw0ooo---
LIMA
BARU saja Bidadari Tujuh Langit melangkah
keluar, mendadak satu sosok bayangan
berkelebat dan tegak sepuluh langkah di
hadapan sang Bi-iladari.
Bidadari Tujuh Langit pupuskan senyum.
Sepasang matanya serta-merta mendelik angker.
Dan laksana terbang dia melompat ke depan
seraya membentak.
"Mengapa kau masih mengikutiku, nah?!"
Orang yang dibentak tak kalah kagetnya.
Malah sepasang kakinya tersurut satu tindak dan
memandang ha depan dengan tatapan tak
percaya. Dia adalah searang laki-iaki berusia tiga
puluh tahunan bertampang daras dan tampan.
Rambutnya panjang sebahu dengan kumis tebal
melintang. Laki-iaki ini mengenakan jubah
panjang sebatas mata kaki melapis pakaian
dalam berwarna putih, la tak lain adalah Datuk
Kala Sutera.
"Siapa perempuan ini sebenarnya?! Mengapa
dia berada di sini?! Ini adalah tempatku! Juga
tempat beberapa anakku!"
Ingat akan anaknya, Datuk Kala Sutera
bukannya segera menjawab pertanyaan Bidadari
Tujuh Langit. Sebaliknya segera berkelebat.
Namun Bidadari Tujuh Langit cepat
menghadang dengan kedua tangan terangkat
dan berteriak lantang.
"Berani kau memasuki tempatku, aku tak
segan melepas selembar nyawamu!"
Untuk kedua kalinya sang Datuk terlengak
kaget.
"Aneh.... Dia sebelumnya mengaku sebagai
pemilik perahu, padahal itu perahuku! Kini dia
mengatakan ini adalah tempatnya! Padahal aku
tidak buta! Ini adalah tempatku!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya Datuk Kala
Sutera balas membentak.
"Kau jangan mengada-ada! Ini adalah
tempatkul Cepat tinggalkan tempat ini!"
Mendengar ucapan orang, Bidadari Tujuh
Langit tertawa bergelak hingga dadanya yang
membusung kencang bergerak turun naik
menggoda. Lalu berkata.
"Kau lagi-lagi berani berkata dusta padakul
Peal tama kali jumpa kau mengaku sebagai
pemancing di laut yang kapalnya berantakan dan
kailnya mencelat di hantam gelombang ombak!
Sekarang kau mengaku ini adalah tempatmu!
Aku mau bertanya. Apa sebenarnya yang kau
inginkan?!"
Mungkin karena merasa jengkel, seraya
menata! tajam pada gerakan dada sang Bidadari
serta pinggulnya yang besar, sang Datuk angkat
suara. "Aku menginginkan dirimu!"
Gelakan tawa Bidadari Tujuh Langit makin
melengking tinggi, lalu berucap di sela gelakan
tawanya.
"Kalau hanya itu yang kau inginkan,
sebetulnya kau tak perlu mengikutiku hingga
kapalmu terhantam gelombang dan mengaku-
aku sebagai pemilik tempat ini Aku akan turuti
semua keinginanmu...! Kapan kau memintanya?!
Sekarang...?! Di mana...?l Di sini atau kau cari
tempat lain...?!"
Seraya berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit
putuskan gelakan tawanya, lalu tersenyum. Tapi
diam diam dalam hati dia berkata. "Sayang sekali
aku tidak berselera sedikit pun padamu! Kau
akan melihat tubuhku, tapi setelah itu kedua biji
matamu akan kucungkil keluar!"
Di lain pihak, mendengar kata-kata Bidadari
Tujuh langit, dada Datuk Kala Sutera berdebur
keras. Matanya nyalang pandangi sekujur tubuh
perempuan di hadapannya dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Datuk Kala Sutera lupa
dengan apa yang baru dialaminya di dekat pesisir
pantai beberapa saat yang lalu.
"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar
Bidadari Tulah Langit dengan makin kembangkan
senyum. "Kau memintanya sekarang...?! Di
sini...?!"
Walau ucapan sang Bidadari bernada tanya,
sebelum sang Datuk sempat buka mulut
menjawab, tangan tang Bidadari sudah
diluruhkan ke bawah. Lalu perlahan-lahan
menarik bagian bawah pakaiannya dengan
kepala ditegakkan dan mulut perdengarkan
desahan panjang!
Sepasang mata sang Datuk makin mendelik
melihat singkapan pakaian sang Bidadari hingga
perlahan-lahan pahanya yang padat dan putih
mulus terlihat jelas, apalagi saat itu matahari
mulai unjuk diri dari kaki langit.
"Sebenarnya.... Sejak di atas perahu tadi
malam, aku sudah merindukanmu.
Mendekatlah...." Bidadari tujuh Langit berkata
seolah berbisik. Sepasang matanya dipejamkan
setengah terbuka. Sementara kedua tangannya
terus menarik pakaian bawahnya yang membuat
dada Datuk Kala Sutera berdebar karena
singkapan pakaian itu sudah hampir mencapai
pangkal paha. Malah bukan hanya sampai di situ
saja, begitu singkapan pakaiannya hampir
mencapai pangkal paha, sang Bidadari segera
rebahkan diri di atas tanah. Dia sengaja
menghela napas panjang hingga bukan saja
pahanya yang kini tersingkap jelas, tapi dadanya
yang membusung tampak bergerak-gerak
mempesona!
Datuk Kala Sutera tidak menunggu lagi. Begitu
Bidadari Tujuh Langit rebahkan diri dengan sikap
makin menggoda, dia segera melangkah
mendekati dengan sosok bergetar karena
dilanda nafsu yang membara. Tapi empat
langkah lagi sampai, mendadak sang Datuk
hentikan tindakannya. Gejolak nafsunya yang
sudah membakar sampai ubun-ubun lenyap
seketika! Karena laki-laki ini melihat perubahan
pada diri Bidadari Tujuh Langit. Rambutnya yang
terurai jatuh dan hitam lebat perlahan-lahan
memutih dan awut-awutan. Sepasang matanya
yang bulat berganti jadi sepasang mata kelabu
dan menjorok masuk dalam cekungan rongga
yang dalam. Wajahnya yang berkulit putih dan
kencang berubah menjadi pucat mengeriput!
Dadanya yang membusung menjadi kendor.
Sepasang pahanya yang padat kencang dan
mulus beralih menjadi paha yang dibungkus kulit
mengeriput. Senyum dan desahannya berubah
jadi seringai dan kecipak mulut milik nenek-
nenek yang tidak bergigi!
Sikap Datuk Kala Sutera membuat Bidadari
Tujuh Langit buka kelopak matanya. Dia
memperhatikan sesaat, lalu berucap seraya terus
tersenyum. "Kau ingin aku membukanya...?!"
"Tahanl" teriak Datuk Kala Sutera dengan
pulang balikkan kedua tangannya di depan dada.
"Kau terlalu malu-malu...," kata sang Bidadari
setengah berbisik. Dia angkat tubuhnya sedikit.
Tangan kanannya dibuat tumpuan tubuh, lalu
tangan kirinya bergerak ke arah dada. Sekali
menyentak, dada itu terbuka!
Datuk Kala Sutera bergumam tak jelas. Saat
itu juga dia segera berpaling lalu balikkan tubuh.
"Kau ingin ketika berbalik aku sudah tidak
mengenakan apa-apa lagi?! Aku tahu
keinginanmu itu.... Dan aku tak segan
melakukannya untukmu...." Bidadari Tujuh Langit
berkata. Lalu bergerak bangkit dengan kedua
tangan bergerak. Bukan untuk lakukan apa yang
baru aaja diucapkan namun lepaskan pukulan ke
arah Datuk Kala Sutera!
Di lain pihak, sang Datuk segera ambil
langkah teribu. Bukan karena tahu kalau tengah
dihantam, namun karena merasa geram dan
khawatir pada diri sendiri!
Tapi baru saja berkelebat, satu gelombang
dahsyat sudah menggebrak dari arah belakang,,
membuat sang Datuk cepat balikkan tubuh
seraya hantamkan kedua tangannya.
Bummm!
Tempat itu bergetar keras. Sosok Bidadari
Tujuh Langit dan sang Datuk sama tersurut satu
tindak. Paras keduanya berubah.
Datuk Kala Sutera tersentak mendelik. Sosok
Bidadari Tujuh Langit kelihatan berubah lagi
menjadi perempuan cantik bertubuh sintall Tapi
bukan hanya itu yang membuat sang Datuk
kaget.
"Heran.... Aku tidak mendengar suara
tangisan! Padahal dentuman tadi keras....
Seharusnya mereka terbangun dan menangis....
Ada apa ini?! Apakah akui benar-benar salah
alamat?!"
Datuk Kala Sutera arahkan pandangannya ke
de- I pan pada beberapa bangunan berbentuk
kuil dan bangunan pendopo. Entah apa yang
terlihat matanya, yang jelas laki-laki ini segera
usap-usap matanya seraya bergumam dalam
hati.
"Astaga! Aku memang salah alamat! Ini bukan
tempat tinggalku! Bagaimana ini bisa terjadi...?!
Padahal aku merasa yakin jalan yang kutempuh
adalah jalan yang biasa kulalui!"
Untuk beberapa saat dada sang Datuk dilanda
kebingungan. Namun hai itu tidak membuatnya
lengah. Hingga begitu tahu gelagat jika sang
Bidadari akan lepaskan pukulan lagi, Datuk Kala
Sutera sudah sentakkan kedua tangan
mendahului.
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin yang perdengarkan suara
gemuruh berkiblat ganas ke arah Bidadari Tujuh
Langit.
Sang Bidadari tak mau berlaku ayal. Seraya
melompat menyingkir, kedua tangannya
berkelebat.
Untuk kedua kalinya tempat yang mulai
dikenal orang dengan Istana Lima Bidadari
bergetar keras laki sana dihantam gempa. Sosok
Bidadari Tujuh Langit sempat tersapu di udara
hingga beberapa langkah. Namun sekali
perempuan cantik ini sentakkan tangannya ke
bawah, gerakan tubuhnya terhenti lalu melayang
turun dan tegak di atas tanah.
Bidadari Tujuh Langit tidak mau menunggu
lama. Begitu kakinya menginjak tanah, kedua
tangannya sol gera berkelebat menghantam.
Namun sedahsyat apa pun gelombang angin
yang melesat keluar dari kedua tangan sang
Bidadari, gelombang itu hanya menghantam
tempat kosong, karena sosok Datuk Kala Sutera
sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu!
"Hari ini kau beruntung, Datuk Gila! Tapi tidak
pada pertemuan berikutnya!" teriak Bidadari
Tujuh Langit.
"Kau tidak akan bertemu dengannya! Ini
adalah pertemuanmu yang terakhir!" Mendadak
satu suara menyahut.
Sentakkan kepala ke samping, Bidadari Tujuh
Langit melihat seorang perempuan setengah
baya. Walau usia perempuan ini tidak muda lagi,
tapi wajahnya masih cantik. Rambutnya
digeraikan ke samping menutupi bagian kanan
wajahnya yang berkulit putih. Sepasang matanya
bundar. Mulutnya membentuk bagus dan diberi
pewarna merah. Pipi kiri kanannya juga disaput
dengan pewarna merah muda. Dia mengenakan
pakaian ketat warna Jingga. Bagian dadanya
dibuat rendah hingga lembahan kedua
payudaranya yang masih kencang membusung
terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya yang
juga berwarna Jingga dibuat pendek di atas lutut
seolah ingin menunjukkan kedua pahanya yang
mulus dan padat berisi.
Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar. Bukan
karena kemunculan orang, namun karena
dandanan si pe-Htmpuan! Entah sadar atau
tidak, sang Bidadari bergumam. "Aku
menginginkan dirimu...."
Perempuan di hadapan Bidadari Tujuh Langit
tertawa pendek. Lalu berkata.
"Bidadari Tujuh Langit! Bukan kau yang
menginginkan diriku, tapi akulah yang
menginginkan selembar nyawamu!" Si
perempuan melangkah dan berhenti delapan
langkah di hadapan sang Bidadari.
"Sepertinya aku pernah melihatmu.... Sayang
aku lupa di mana dan kapan!" ujar Bidadari Tujuh
Langit sambil terus menatap bagian dada dan
paha orang.
"Agar nyawamu kelak tidak penasaran, aku
perlu memberi tahu padamu! Kau bukan hanya
pernah melihatku. Tapi kita punya urusan yang
baru selesai jika di antara kita terbujur di dalam
tanah!"
"Hem.... Begitu?! Karena aku telah banyak
membuat manusia terbujur di dalam tanah, aku
sampai lupa nama dan jumlah mereka! Kau
kuberi penghormatan untuk sebutkan diri
sebelum kuantar ke dalam tanah!"
"Aku Puspa Jingga! Aku datang menjemput
nyawamu sebagai ganti nyawa guruku Sukma
Jingga!"
Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala
dengan! tersenyum. Lalu berkata.
"Puspa Jingga.... Bagaimana kalau kita
lupakan! saja urusan tak berguna itu? Sebagai
gantinya bagai-' mana kalau kita bersenang-
senang?!" Bidadari Tujuh Langit berpaling ke
belakang. Lalu lanjutkan ucapan! "Kau tinggal
pilih tempat yang kau sukai! Istana Lima Bidadari
atau ruang pendopo! Atau kalau kau suka, kita
bisa menempatinya bergiliran!"
Puspa Jingga membelalak. Dia sama sekali
tidak menduga akan ucapan Bidadari Tujuh
Langit, meski dari tatapan mata sang Bidadari,
pada awalnya Puspa' Jingga sudah merasa
curiga.
Bidadari Tujuh Langit menoleh lagi pada
Puspa Jingga dengan bibir makin merekah.
Namun tatapannya jelas makin membayangkan
nafsu yang menggelora.
"Bagaimana?! Kau setuju dengan usulku,
bukan?! Kita bisa melewati malam-malam dingin
dengan kehangatan yang kau belum pernah
merasakannya...."
"Keparat cabul!" teriak Puspa Jingga seraya
melompat ke depan. Kedua kakinya membuat
gerakan menendang.
Bidadari Tujuh Langit membelalak. Karena
begitu membuat gerakan menendang, kain
bagian bawah Puspa Jingga tersingkap lebar.
Namun Bidadari Tujuh Langit tidak bisa
lanjutkan memandang pada singkapan kain
Puspa Jingga, karena pada saat itu kedua kaki
Puspa Jingga sudah dua jengkal di depan
wajahnya!
Bidadari Tujuh Langit berseru. Tangan kiri
kanannya bergerak.
Bukk! Bukk!
Puspa Jingga berteriak tegang. Sosoknya
terbanting di udara sebelum akhirnya
terjengkang roboh di atas tanah!
Hal ini bukan hanya membuat Puspa Jingga
yang terkejut. Namun Bidadari Tujuh Langit
sendiri tampak rnelengak kaget.
"Ada perubahan pada diriku.... Tenaga
dalamku tiba-tiba berlipat ganda!" Seakan tidak
percaya pada dirinya sendiri, Bidadari Tujuh
Langit tundukkan kepala memperhatikan dirinya.
Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada
ibu jari kaki kirinya yang mengenakan cincin
berwarna merah.
"Astaga.... Bukankah aku telah mendapatkan
Sepasang Cincin Keabadian...? Tapi mana
satunya...?!" Bidadari Tujuh Langit coba
mengingat.
Belum sampai menemukan jawaban, tiba-tiba
Puspa Jingga sudah menyergap dengan lepaskan
pukulan di atas udara.
Karena sudah percaya diri, apalagi dia
berhadapan dengan murid seorang guru yang
pernah dibuatnya mampus, Bidadari Tujuh Langit
segera melesat ke samping. Gelombang pukulan
yang dilepas Puspa Jingga tiga jengkal
menghantam tempat kosong di sebelahnya.
Begitu berhasil menghindar, sang Bidadari
tidak lagi memberi kesempatan pada lawan
untuk lepaskan pukulan kedua kalinya. Dia
sentakkan kakinya ke tanah. Serta-merta
sosoknya melesat ke arah Puspa Jingga yang
tengah melayang turun.
Kecepatan Bidadari Tujuh Langit membuat
Puspa Jingga terkesiap kaget. Tapi perempuan
setengah baya berparas cantik berpotongan
bahenol ini tidak tinggal diam. Dia menunggu
sosok sang Bidadari dengan angkat kedua
tangannya. Dan begitu sosok Bidadari Tujuh
Langit tepat berada di hadapannya, kedua
tangannya segera berkelebat.
Wuutt! Wuutt!
Namun Puspa Jingga rupanya salah terka.
Karena begitu hampir sampai dan kedua tangan
Puspa Jingga berkelebat lepas pukulan, Bidadari
Tujuh Langit cepat tarik pulang kepalanya.
Tubuhnya disentakkan ke belakang hingga
punggungnya sejajar tanah. Saat berikutnya
kedua kakinya menghajar kedua kaki Puspa
Jingga.
Bukk! Bukk!
Puspa Jingga berseru. Bagian bawah tubuhnya
tersentak ke depan sementara bagian atas
tubuhnya terdorong ke belakang.
Sebelum sosok Puspa Jingga benar-benar
terjengkang dengan punggung menghantam
tanah, Bidadari Tujuh Langit sudah melesat dan
sarangkan totokan dahsyat!
Bukkk!
Akhirnya punggung Puspa Jingga benar-benar
menghempas tanah. Namun sosok itu tidak
bergerak-gerak lagi.
"Lepaskan aku!" teriak Puspa Jingga dengan
suara bergetar dan kuduk merinding. Dia hanya
bisa berteriak tanpa mampu membuat gerakan.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum dan
melangkah mendekat dengan mata berkilat
karena desakan nafsu. Sebab kain bagian bawah
Puspa Jingga tersingkap lebar memperlihatkan
auratnyal
"Aku sudah menawarkan padamu untuk
bersenang-senang melupakan urusan.... Tapi
tampaknya kau lebih suka kita bersenang-senang
dengan jalan begini.... Apa hendak dikata.... Aku
akan turuti keinginanmu...!"
Ucapan Bidadari Tujuh Langit membuat Puspa
Jingga makin tercekat. Dan matanya membelalak
besar ketika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit
menggerakkan kedua tangannya ke arah
dadanya.
Brett!
Pakaian atas Puspa Jingga robek menganga.
Dadanya yang kencang putih terbuka lebar.
"Jahanam! Apa yang akan kau lakukan?!" seru
Puspa Jingga dengan suara tersendat
"Kita akan bersenang-senang selama
beberapa malam sebelum aku mengantarmu
melanjutkan perjalanan ke liang tanah.... Hik....
Hik.... Hik.... Dadamu indah, pahamu bagus....
Sayang kalau segera dipersembahkan untuk
gumpalan tanah. Tapi aku masih memberimu
kesempatan untuk memilih tempat...."
"Keparat cabul! Lepaskan aku! Lepaskan...!"
Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dengan
teriakan Puspa Jingga. Dia membuat gerakan
sekali lagi. Puspa Jingga memekik tinggi, karena
kain bawahnya terbabat robek!
"Perempuan jalang! Perempuan binal!
Perempuan...."
Puspa Jingga tidak teruskan ucapan
makiannyaj karena Bidadari Tujuh Langit sudah
bungkukkan tubuh. ? Lalu saat tegak berdiri,
sosok Puspa Jingga sudah berada di
panggulannya!
"Kau tidak mau memilih tempat.... Aku yang
akan memilih! Kita mulai dari Istana Lima
Bidadari paling ujung...," kata Bidadari Tujuh
Langit sambil melangkah ke arah salah satu
bangunan Istana Lima Bidadari yang paling
ujung.
Puspa Jingga kembali berteriak memaki-maki.
Namun dia hanya bisa berteriak tanpa bisa
bergerak, hingga enak saja Bidadari Tujuh Langit
teruskan langkah; dengan sesekali tangan
kanannya yang bebas merabai dada Puspa
Jingga!
---ooo0dw0ooo---
ENAM
ENAM belas tahun setelah peristiwa di Istana
Lima Bidadari....
Saat itu matahari baru saja beranjak.
Bentangan langit hanya diSemaraki saputan
awan kecil yang berarak dari lamping
Pegunungan Himalaya. Seorang pemuda tampak
melangkah perlahan menuju satu kedai agak
besar di sudut perbatasan desa.
Mungkin satu-satunya kedai yang ada, kedai
itu tampak banyak didatangi pengunjung. Si
pemuda hentikan langkah di halaman kedai. Tapi
meski sudah tegak di halaman kedai, kepala si
pemuda bukannya lurus menghadap kedai,
melainkan ke jurusan lain. Baru selolah agak
lama, kepalanya berpaling ke arah kedai. Namun
itu hanya sekejap. Di lain saat wajahnya
ditegakkan memandang matahari yang baru
muncul. Bersamaan itu tangan kanannya
diangkat. Jari kelingkingnya dimasukkan pada
lobang telinganya. Hingga beberapa saat
kemudian bahunya terlihat berguncang. Kakinya
terangkat berjingkat. Lalu kepalanya bergerak
pulang balik dengan mimik cengengesan!
Beberapa orang di dalam kedai yang sempat
melihat tingkah si pemuda berambut agak
panjang sedikit acak-acakan dan berparas
tampan berpakaian putih-putih itu tampak
kernyitkan dahi. Malah si pemilik kedai yang tadi
melangkah ke pintu masuk karena menduga si
pemuda hendak memasuki kedainya segera
balikkan tubuh dengan perdengarkan gumaman
tak jelas dengan kepala menggeleng. Raut
mukanya jelas membayangkan perasaan
kecewa.
"Mungkin belum rejeki.... Padahal aku hampir
yakin pemuda itu adalah orang asing...." Orang
tua pemilik kedai terus bergumam seraya
memberesi beberapa bumbung bekas tempat
minum para pengunjung yang telah pergi. Namun
seakan masih berharap, sambil memberesi
bumbung, sepasang mata pemilik kedai sesekali
melirik ke halaman kedai di mana si pemuda
tegak.
Mendadak mata orang tua pemilik kedai
membesar. Gerakan kedua tangannya yang
memberesi bumbung bekas minuman terhenti.
Dan buru-buru dia putar diri setengah lingkaran
lalu melangkah ke arah pintu dengan
sunggingkan senyum.
Si pemuda yang tadi tegak di halaman kedai
telah berada di depan pintu dengan mata
memandang lepas ke dalam kedai. Dia seolah
acuh dengan tatapan dan bungkukan tubuh si
pemilik kedai. Sebaliknya karena setiap kali
angkat tubuhnya dengan bibir sunggingkan
senyum tapi belum juga dilihat oleh si pemuda, si
pemilik kedai terpaksa beberapa kali pulang
balikkan tubuh untuk membungkuk dan
tersenyum.
Dan mungkin karena capek sementara si
pemuda belum juga memandang ke arahnya,
akhirnya si pemilik kedai hentikan gerakannya.
Justru pada saat itulah si pemuda arahkan
pandang matanya pada si pemilik kedai dengan
sunggingkan senyum. Lalu melangkah dan
berhenti tepat di pintu masuk.
"Silakan.... Silakan...." Si orang tua pemilik
kedai berujar seraya membungkuk dan lebarkan
tangan kanannya
Si pemuda teruskan langkah dan kini tegak di
balik tilnlu. Namun dia tidak segera memilih
tempat duduk. sebaliknya memperhatikan
beberapa orang di dalam kedai yang tengah
bersantap.
"Perutku memang minta segera diisi.... Tapi
mungkinkah aku bisa melakukan seperti
mereka...?!"
Entah karena apa, si pemuda angkat kedua
tangannya dengan jari-jari digerakkan.
Sementara sepasang niatanya memandang silih
berganti pada jari-jari tangan beberapa
pengunjung yang lagi bersantap dan jari-jari
tangannya sendiri.
"Hem.... Tampaknya tidak sulit. Tapi aku ragu
bisa melakukannya...," gumam si pemuda sambil
geleng kepala
Si pemilik kedai yang sedari tadi mengawasi
gerak-gerik si pemuda tampaknya bisa membaca
gelagat. Dia buru-buru mendekat seraya berkata
dengan suara direndahkan seolah khawatir
didengar orang lain.
"Anak muda.... Aku tahu kesulitanmu.... Tapi
kurasa Itu bukan satu halangan. Kau bisa makan
dengan menggunakan tangan atau kau katakan
saja kau ingin Mnggunakan apa.... Kami siap
melayanimu...." Si pemilik kedai sapukan
pandangan pada beberapa penunjung, lalu
lanjutkan ucapan.
"Mereka memang sudah terbiasa makan
dengan menggunakan supit bambu. Kau tak
usah terpengaruh dengan keadaan mereka yang
memang penduduk asli negeri ini...."
Si pemuda berpaling pada orang tua pemilik
kedai, nampaknya dia sudah bisa menebak kalau
aku bukan orang negeri ini.... Mudah-mudahan
dia bisa memberi keterangan padaku “
Baru saja si pemuda membatin begitu, si
pemilik kedai sudah berpaling lagi dan bertanya.
"Kau ingin makan apa?! Cap Cai...? Siomay...?J
Bakmi keriting? Opor burung laut?'
Si pemuda kernyitkan kening. Dengan mata
sedikit dibelalakkan dia sorongkan kepala ke
depan memperhatikan beberapa mangkuk di
meja beberapa pengunjung.
"Mana yang harus kupilih...?! Bukan saja aku
baru kali ini mendengar nama-nama makanan
itu, tapi juga baru pertama kali ini melihat
bagaimana bentuknya...!"
"Kau juga ingin pesan minuman apa?! Kedai
kami menyediakan segala jenis minuman.... Kau
tinggal biang!"
Entah karena malu karena beberapa orang
penguni jung memperhatikan, si pemuda
melangkah menuju meja kosong yang berada
paling sudut dekat pintu masuk tempat
memasak. Si pemilik kedai melangkah mengikuti
di belakangnya. Lalu ajukan tanya lagi begitu si
pemuda duduk.
"Kau pesan makanan dan minuman apa, Anak
Muda...?"
"Coba sebutkan lagi makanan yang
tersedia...," ujar si pemuda. Bukan karena ingin
memilih, melainkan lupa dengan nama makanan
yang tadi disebutkan si pemilik kedai.
Dengan masih sunggingkan senyum, orang tua
pemilik kedai segera sebutkan lagi makanan
yang tersedia di kedainya. Bahkan tanpa ditanya,
dia juga sebutkan beberapa minuman yang juga
tersedia.
"Bakmi keriting dan rendaman air anggur!" Si
pemuda langsung memesan. Karena hanya dua
nama itu yang bisa diingatnya.
Orang tua pemilik kedai anggukkan kepala.
Namun baru saja hendak balikkan tubuh
sediakan pesanan, si pemuda tarik lengannya
agak keras hingga sosoknya tersentak doyong ke
depan.
Berubahlah paras si pemilik kedai. Kedua
lututnya goyah. Sepasang matanya membelalak
ketakutan. Dengan terbata-bata dia segera
berucap.
"Kau.... Kau boleh makan sesuka hatimu....
Aku siap melayani apa kemauanmu.... Kau tak
usah bayar.... Asal...."
Ucapan si pemilik kedai belum selesai,
mendadak ganti paras si pemuda yang berubah
tegang. Ketegangan ini membuat cekalan tangan
pada lengan pemilik kedai makin keras!
"Bagaimana sekarang.... Aku baru ingat kalau
tidak berbekal uang sepeser pun!" Si pemuda
membatin. "Daripada nantinya babak belur di
tempat ini karena makan tidak bayar, lebih baik
aku pergi...."
Si pemuda lepaskan cekalan pada lengan si
pemilik kedai. Lalu beranjak bangkit.
Entah apa yang ada di benak si pemilik kedai,
belum sampai kaki si pemuda melangkah, kini
ganti si pemilik kedai yang pegangi lengan si
pemuda. Saking kerasnya pegangan si pemilik
kedai, ganti sosok si pemuda yang tersentak
hingga kembali terduduk.
"Harap kau tidak segera pergi sebelum aku
sediakan apa yang kau pesan! Kau tak usah
pikirkan uang untuk membayar...."
"Dari mana dia tahu aku tidak berbekal
uang...?l" Si pemuda terus berkata dalam hati
lalu arahkan pandangan berkeliling. Takut apa
yang dibicarakan didengar pengunjung lain.
Di lain pihak, tanpa menunggu jawaban si
pemuda, si pemilik kedai cepat balikkan tubuh.
Namun si pemuda buru-buru mencegah dengan
pegang kembali le ngan si pemilik kedai.
Khawatir terjadi kesalah pahaman lagi, si
pemuda cepat sorongkan kepalanya mendekati
wajah si pemilik kedai.
Si pemilik kedai tarik kepalanya ke belakang
dengan raut tegang. Namun belum sampai dia
buka suara si pemuda sudah berbisik.
"Orang tua.... Kau tahu kesulitanku tadi,
bukan...?!
"Anak muda.... Sudah kubilang. Kau tak usah
bayar apa yang nanti kau pesan...."
"Bukan itu maksudku.... Aku tak bisa makan
seperi mereka!" ujar si pemuda sambil layangkan
pandangan pada beberapa pengunjung.
Si pemilik kedai menghela napas lega lalu
angguk kan kepala. Dan bergegas ke belakang
dengan tubuh masih bergetar ketakutan.
"Hem.... Tampaknya dia tadi salah sangka
dengan tindakanku.... Dikira aku berbuat macam-
macam.... Tapi hal ini membawa rejeki besar
bagiku! Dia menawarkan makan dan minum
tanpa bayar...." Si pemuda tertawa sendiri.
Saat itulah beberapa pengunjung kedai
berpaling Si pemuda putuskan tawanya lalu
balas menatap pada pandangan pengunjung
dengan wajah bimbang bertanya-tanya.
"Ada apa ini...? Mengapa mereka
memandangku begitu rupa?! Apa yang salah
dengan diriku?! Apa mereka dengar
pembicaraanku dengan pemilik kedai tadi? Apa
mereka juga tahu kalau aku tidak berbekal
uang...?!"
Selagi bertanya-tanya sendiri dalam hati, mata
si pemuda menangkap salah seorang
pengunjung yang angkat tangan kanannya. Lalu
jari telunjuknya dilin-tangkan miring di depan
keningnya!
"Astaga! Jadi mereka menganggapku orang
sinting! Mungkin karena aku baru saja tertawa
sendiri! Hem.... Apa mereka tak tahu kalau aku
ini memang muridnya orang sinting...." Ingat akan
hal itu, si pemuda jadi geli. Hingga saat itu juga
kembali tawanya meledak! Membuat beberapa
orang pengunjung sama lintangkanjari telunjuk di
depan kening seraya anggukkan kepala.
Sementara mendengar suara tawa si pemuda,
si pemilik kedai jadi khawatir. Hingga dia
tergopoh-gopoh keluar sambil membawa
pesanan.
"Silakan.... Silakan, Anak Muda.... Tak usah
sungkan-sungkan!" ujar pemilik kedai dengan
terbungkuk-bungkuk dan suara bergetar.
Si pemuda anggukkan kepala seraya putuskan
tawanya. Lalu memperhatikan hidangan yang
disuguhkan di depan mejanya, Beberapa saat
sepasang matanya menyipit. Lalu alihkan
pandangannya pada si pemilik kedai.
"Anak muda.... Kalau kau tak berkenan
dengan hidangan ini, aku bersedia mengganti
dengan hidangan ynng lain.... Dan kau tetap tak
usah pikirkan harga. Kau kgin hidangan ini
diganti?" tanya si pemilik kedai lagi-lagi salah
duga dengan sikap si pemuda yang sebenarnya
merasa kebingungan dengan makanan yang
dihidangkandi mejanya. Karena baru tahu yang
dihadapan-nya adalah bakmi keriting.
Karena si pemuda tidak menjawab, si pemilik
kedai lagi-lagi salah sangka hingga dia cepat
balikkan tubuh hendak balik ke arah tempat
memasak.
"Orang tua.... Kurasa hidangan ini telah
cukup...."
"Benar...?"
Yang ditanya anggukkan kepala dengan
sungging-kan senyum, takut si pemilik kedai
akan tambah salah duga.
Si pemilik kedai ikut tersenyum. Lalu
bungkukkan tubuh dan ngeloyor ke belakang
tanpa berpaling iagi. "Daripada kelaparan, lebih
baik kumakan saja! Apa lagi makanan ini
gratis...," gumam si pemuda. Tanpa pikir panjang
lagi, kaki kanannya segera diangkat lalu ditekuk
dengan telapak bertumpu pada tempat duduk.
Saat kemudian tangannya sudah bergerak mulai
menyantap makanan di atas meja.
Beberapa pengunjung lagi-lagi terkesima
melihat bagaimana si pemuda makan dengan
menggunakan tangan. Hingga untuk beberapa
saat di antara mereka saling lontarkan
pandangan. Lalu beberapa di antaranya buru-
buru tinggalkan uang di meja dan saling bisik
Lalu tinggalkan kedai dengan mata sesekali
melirik ke arah si pemuda yang makan dengan
lahap tanpa hiraukan pandangan orang di
sekitarnya.
Ketika selesai makan, si pemuda tampak
kemyitkan dahi. Ternyata yang tinggal di dalam
kedai hanya dia sendiri!
"Kapan mereka pergi...?! Hem.... Mungkin
mereka masih menganggapku manusia gila...,"
gumam si pemuda seraya geleng kepala lalu
tertawa ngakak. Hingga karena takut, si pemilik
kedai segera keluar lalu menghampiri dengan
tubuh bergetar dan wajah tegang.
"Orang tua.... Makananmu enak.... Kapan-
kapan kalau aku lewat, pasti aku akah mampir
ke sini lagi.... Herapa yang harus kubayar?!"
Tangan si pemuda menyelinap ke balik
pakaiannya.
Si pemilik kedai pulang balikkan kedua
tangannya ke depan dada sembari berkata.
"Tadi sudah kukatakan.... Makanan dan
minuman ini tak usah dibayar.... Malah aku
makin senang jika kau kapan-kapan mampir lagi
ke kedai ini...."
Si pemuda geleng kepala dengan tangan
masih berada di balik pakaiannya. "Orang tua....
Aku tak bisa makan dan minum tanpa bayar!
Harap katakan saja berapa harga makanan dan
minuman ini!"
"Anak muda.... Anggap ini sebagai satu
penghormatanku atas kedatanganmu di negeri
ini! Pergunakan uangmu untuk bekal lanjutkan
perjalanan,..."
"Ah.... Terima kasih. Benar kau tidak mau
dibayar?!" Walau nadanya bertanya, namun si
pemuda sudah tank keluar tangannya dari balik
pakaiannya.
"Aku tidak pernah berpura-pura, Anak Muda!
Lagi pula apalah artinya harga makanan ini
dibanding dengan persahabatan kita?! Kau mau
bersahabat denganku, bukan...?"
"Ah.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Aku
orang bisa bersahabat denganmu. Sebagai
sahabat, kau tak keberatan memberi penjelasan
padaku?I"
"Anak muda.... Kedai bukan saja tempat untuk
makan dan minum. Tapi aku sengaja
menyediakan diri untuk memberi penjelasan apa
saja yang ditanyakan orang! Apalagi padamu,
yang sekarang sudah kuanggap sebagai sahabat
dan aku tahu pasti kau bukan berasal dari negeri
ini.... Kalau boleh tahu. Kau berasal dari mana?"
Si pemuda berpikir sesaat. Lalu menjawab.
"Aku dari tanah Jawa."
"Hem.... Aku pernah dengar nama yang baru
kau sebut. Kalau tak salah tanah itu masih ada
kaitannya dengan seorang Kaisar bernama Ku
Bilai Khan.... Yang menurut sejarah pernah
berhubungan dengan Kerajaan Singasari dan
Kerajaan Kediri!"
"Betul...."
"Kau jauh-jauh datang sampai negeri Himalaya
ini pasti bukan tanpa tujuan. Dan dari jauhnya,
pasti tujuanmu sangat penting!"
"Hem.... Aku tidak boleh berterus terang
bagaimana sampai aku terdampar di negeri ini!"
kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata.
"Aku memang punya tujuan sangat penting.
Kau tahu di mana letak Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai?!"
Saking terkejutnya dengan pertanyaan si
pemuda, orang tua pemilik kedai surutkan
langkah. Karena di belakangnya ada bangku,
tanpa ampun lagi sosok tubuh belakangnya
menghantam bangku. Kalau saja tangannya
tidak segera menggapai tangan meja, niscaya
tubuhnya akan terhumbalang jatuh.
"Kek.... Apa yang membuatmu terkejut dengan
pertanyaanku?!"
Yang ditanya pandangi pemuda di
hadapannya beberapa saat sebelum akhirnya
angkat suara.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda...?!"
"Aku hanya seorang pengelana dari tanah
Jawa yang tengah mencari Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai...!"
"Maksudku.... Siapa namamu?!"
"Kau boleh memanggilku Joko.... Joko
Sableng!"
"Bagaimana kau bisa mengenal penghuni
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?"
"Kek.... Aku tak mau berpura-pura. Tadi harap
jangan kecewa kalau aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu. Yang kuharap justru kau memberi
penjelasan padaku di mana letak lembah itu!"
"Han Pek Kun! Biar aku yang memberi
penjelasan!" Mendadak satu suara menyahut.
Dua sosok tubuh ber-kolebat menerabas pintu.
Si pemuda yang bukan lain ternyata adalah
murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng berpaling. Si pemilik kedai
yang baru saja dipanggil suara dengan sebutan
Han Pek Kun ikut pula menoleh.
----ooo0dw0ooo
TUJUH
MEMANDANG ke depan, Pendekar 131 dan
Han Pek Kun melihat seorang laki-laki bertubuh
cebol berparas bulat besar dengan hidung
melesak ke dalam ditingkah sepasang mata sipit.
Rambutnya lebat serta panjang menjulai hingga
menyapu lantai. Pada punggungnya terlihat
punuk besar, membuat laki-laki ini doyong ke
depan saat tegak berdiri. Pada pinggangnya
tampak melilit sebuah pedang berkilat.
Tegak di samping laki-laki cebol adalah
seorand gadis cantik jelita mengenakan pakaian
warna hijaui Rambutnya yang hitam lebat
dikepang dua, salah satunya dilingkarkan pada
lehernya yang putih dan jenjang. Hidungnya
mancung dengan mata bulat. Dadanya kencang
membusung dipadu dengan pinggul besar dan
padat hingga terlihat mempesona. Seperti halnya
laki-laki cebol di sampingnya, gadis cantik ini juga
mengenakan sebuah pedang berkilat yang
seakan lentur dan diikatkan pada pinggangnya
yang ramping.
Untuk beberapa saat mata Joko memandang
tak berkesip pada si gadis. Lalu coba tersenyum
dengan anggukkan kepala. Namun Joko cepat-
cepat pupuskan senyumnya ketika si gadis
pasang tampang ketus dan alihkan pandangan
ke jurusan lain.
"Hem.... Mereka mengenali siapa adanya
pemilik kedai ini. Berarti orang tua bernama Han
Pek Kun mengenali siapa mereka!" Joko
membatin lalu tanpa berpaling dia berbisik.
"Kek.... Kuharap kau tidak berpura-pura. Siapa
mereka?!"
Yang ditanya pandang silih berganti pada
kedua orang di seberang depan. Lalu angkat
suara berbisik.
"Yang laki-laki bergelar Iblis Pedang Kasih. Si
gadis dijuluki Bidadari Pedang Cinta.... Mereka
adalah langgananku...."
"Hem.... Begitu? Tapi mengapa nada suara
sahutannya tadi tidak enak...? Ada apa
sebenarnya di Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai?!"
Belum sampai Han Pek Kun menjawab, tiba-
tiba laki-laki cebol yang dikatakan Han Pek Kun
dengan gelar Iblis Pedang Kasih perdengarkan
gelakan tawa panjang. Namun hingga tawanya
putus, laki-laki ini tidak juga angkat suara.
Sebaliknya justru gadis yang disebut Bidadari
Pedang Cinta yang berkata masih tanpa
memandang ke arah Joko atau Han Pek Kun.
"Siapa kau?! Apa tujuanmu hendak ke
Lembah nujuh Bintang Tujuh Sungai?l"
Ditanya begitu, Joko bukannya segera
menjawab, sebaliknya enak-enak bersiul dengan
kepala bergerak-gerak. Di sampingnya, Han Pek
Kun tampak kerutkan kening dengan mimik
cemas. Matanya sesekali melirik ke arah Bidadari
Pedang Cinta lalu beralih pada Pendekar 131.
"Kau punya mulut. Mengapa tidak
menjawab?!" Bidadari Pedang Cinta membentak
lalu sentakkan kepala menghadap pada murid
Pendeta Sinting. Sepalang mata gadis ini kontan
mendelik melihat sikap Joko yang terus bersiul-
siul.
"Jawab!" Bidadari Pedang Cinta berteriak
lengking seraya hentakkan kaki kanannya.
Beberapa meja di dn iam kedai langsung
bergetar hebat. Beberapa bumbung bambu dan
mangkuk di atas meja mencelat mental.
Murid Pendeta Sinting putuskan siulannya.
Acuh tak acuh dia angkat suara. "Kau tanya pada
siapa?l Pa daku...? Atau pada...."
"Padamu!" tukas Bidadari Pedang Cinta masih
dengan suara ketus.
"Hem.... Apa yang harus kujawab?!"
Menangkap gelagat tidak baik, Han Pek Kun
cepaj berbisik pada Pendekar 131.
"Dia bertanya siapa kau dan apa tujuanmu ke
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Kuharap
kau menjawab dengan apa adanya, Anak
Muda.... Bukan karena apa. Sebagal sahabat,
aku tidak mau terjadi apa-api dengan dirimu!"
Joko anggukkan kepala. Lalu angkat bicara.
"Menurut kakek Han Pek Kun, kau bertanya
apakah aku sudah punya gandengan apa
belum...." Joko hentikan ucapannya sesaat. Lalu
melanjutkan dengan alihkan pandangan. "Kalau
saja bukan kau yang bertanya, mungkin aku tak
mau berterus terang, apalagi ini adalah urusan
pribadiku. Aku belum punya gandengan.... Kau
sendiri?!"
Bidadari Pedang Cinta tersentak dengan
tampang berubah. Hak Pek Kun tak kalah
kagetnya namun rasiatakut lebih terlihat jelas.
Hingga saking takutnya dan tak tahu apa yang
harus dilakukan, orang tua ini hanya bisi
memandang silih berganti pada Bidadari Pedang
Cinu dan Pendekar 131.
"Han Pek Kun!" Bidadari Pedang Cinta
membentak,
"Tampaknya kau sudah berani jual lagak di
hadapanku dengan alihkan pertanyaan!"
"Jangan salah...," ujar Han Pek Kun sambil
menjura hormat. "Aku tidak mengatakan apa
yang diucapkan pemuda ini tadi.... Aku
mengatakan apa yang tadi kau lanyakan! Dia
yang mengarang ucapan...!" Kepala Han Pek Kun
berpaling pada murid Pendeta Sinting.
Kini Bidadari Pedang Cinta memandang dingin
pada Joko lalu berkata.
"Kau jangan berani berkata lancang, Orang
Asing! Uan lekas jawab pertanyaanku tadi! Siapa
kau dan apa tujuanmu ke Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai!"
"Dia bernama Joko Sableng berasal dari tanah
Jawa...." Yang menjawab adalah Han Pek Kun.
"Aku tidak bertanya padamu!" Bidadari Pedang
Cin-ia menghardik.
"Bidadari.... Kau sudah tahu siapa aku. Apa
yang dikatakan Kakek Han Pek Kun benar!"
sahut Joko.
"Kau belum jawab satu lagi pertanyaanku!"
"Aku hendak menemui seseorang!"
"Siapa?!"
"Bidadari.... Kau tadi datang dengan janji akan
memberi penjelasan! Berarti kau sudah tahu
siapa yang hendak kutemui!"
Sejak Joko memanggil dirinya Bidadari,
sebenarnya Bidadari Pedang Cinta sempat
terkejut mendapati murid Pendeta Sinting sudah
tahu siapa dirinya. Namun gadis ini tak hendak
menanyakan dari mana si pemuda tahu. Apalagi
mengetahui sikap Joko yang acuh tak acuh.
"Apa hubunganmu dengan penghuni Lembah
Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!" Bidadari Pedang
Cinta ajukan tanya lagi.
"Tergantung...!" enak saja Joko menyahut.
"Tergantung apa?!"
"Siapa kelak yang akan kutemui di lembah
itul"
"Setan betul manusia satu ini! Siapa dia
sebenar» nya?! Mengapa dia hendak ke Lembah
Tujuh Bintang Tujuh Sungai? Dan apa
hubungannya?!" Bidadari Padang Cinta terus
bertanya-tanya dalam hati. "Apakah lembah itu
dihuni lebih dari seorang?! Tapi menurut Eyang,
hanya satu manusia penghuni lembah itu!"
Habis membatin begitu, Bidadari Pedang Cinta
berpaling pada Iblis Pedang Kasih. Lalu bertanya
dengan suara pelan.
"Eyang.... Apakah lembah itu dihuni lebih dari
satu orang?!"
"Cucuku.... Mengapa kau termakan dengan
ucapan manusia asing?! Kau dengar sendiri
pemuda itu berasal dari tanah Jawa. Aku tahu
tanah Jawa. Sebuah negeri nun jauh di seberang
lautan sana! Mana mungkin dia tahu banyak
tentang daerah ini?!"
"Jadi...?!"
"Pasti dia hanya menduga-dugal Dia cuma tahi
nama Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai tanpa
tahu siapa penghuninya!"
"Tapi tak mungkin dia jauh-jauh datang ke sini
kalau tidak paham dengan daerah dan orang
yang ditujui"
"Hem.... Lalu menurutmu bagaimana?!"
"Dia pasti tahu siapa penghuni lembah itu!
Hanyk mungkin dia belum tahu di mana letak
lembah itul Km harus segera lakukan sesuatu!
Kita tak boleh kedahuluan orang lain!"
"Lalu...?!"
"Kita harus cepat menuju ke sana!"
Tanpa menunggu sahutan dari Iblis Pedang
Kasih, didadari Pedang Cinta putar diri. Tanpa
buka suara pula, Iblis Pedang Kasih ikut-ikutan
balikkan tubuh.
"Tunggu! Bukankah tadi salah satu dari kalian
berjanji akan menjelaskan padaku di mana letak
lembah yang kucari?!" tahan Joko seraya ajukan
tanya.
"Kau akan dapat penjelasan kalau kau jujur
jawab pertanyaanku!" jawab Bidadari Pedang
Cinta.
"Kek! Apa ucapan gadis cantik itu bisa
dipercaya?!" Joko bertanya pada Han Pek Kun
yang sudah bisa bernapas lega tatkala
mengetahui tidak terjadi keributan di kedainya.
"Biasanya.... Dia bisa dipercaya! Tapi untuk
urusan yang satu ini, aku tak bisa memastikan!
Soalnya...."
Belum sampai Han Pek Kun lanjutkan
ucapannya, Bidadari Pedang Cinta sudah angkat
suara.
"Pemuda asing! Kau ingin penjelasan atau
ingin perjalananmu sia-sia?!"
"Aku hendak bertemu dengan Kakek Dewa
Asap Kayangan!"
Hampir berbarengan, Bidadari Pedang Cinta
dan Iblis Pedang Kasih balikkan tubuh.
"Apa urusanmu hendak bertemu dengan
manusia satu itu, hah?!" Kembali Bidadari
Pedang Cinta ajukan tanya.
Nada pertanyaan si gadis membuat Joko
maklum ada sesuatu yang tak beres antara
kedua orang di hadapannya dengan Dewa Asap
Kayangan. Seorang tokoh yang pernah
dijumpainya di Bukit Toyongga saat terjadi
peristiwa peta wasiat.
"Aku tak bisa mengatakan. Yang jelas aku
tidak punya niat jelek!" Akhirnya Joko menjawab
setelah agak lama terdiam.
Bidadari Pedang Cinta menatap beberapa
lama pada bola mata Joko seakan ingin
meyakinkan ucapan orang. Lalu tersenyum dan
berkata.
"Kau terlambat.... Lebih baik kau urungkan
niatmu ke lembah itu!"
"Terlambat...?! Terlambat bagaimana?!"
Sambil tertawa pelan Bidadari Pedang Cinta
angkati suara.
"Orang yang akan kau temui sudah pergi
selama-lamanya!"
"Ke mana?!"
Bidadari Pedang Cinta bukannya menjawab,
melainkan mendelik dengan dada bergemuruh
dirasuki hawa amarah. Di sampingnya, Han Pek
Kun kembali berdebar-debar. Orang tua pemilik
kedai ini segera berbisik.
"Anak muda.... Aku tak tahu pasti benar
tidaknya ucapan gadis itu. Aku hanya ingin
menjelaskan. Yang] dimaksud gadis itu, orang
yang akan kau temui sudah meninggal dunia!"
Mendengar bisikan Bidadari Pedang Cinta,
kontan saja tawa Joko meledak. Membuat si
gadis langsung membentak pada Han Pek Kun.
"Apa yang kau katakan padanya?!"
Belum sampai yang ditanya menjawab, murid
Pendeta Sinting sudah berucap. "Kakek ini
mengatakan jika orang yang kucari pergi ke
tempat kekasih barunya! Aku percaya.... Karena
orang yang akan kutemui memang memiliki
banyak kekasih! Malah menurut kabar yang bisa
dipercaya, beberapa kekasihnya adalah gadis-
gadis muda berparas cantik jelita! Aku tidak
berani menduga. Tapi aku berharap kau bukan
salah satu dari...."
"Orang tua sialan!" teriak Bidadari Pedang
Cinta seraya memutar tubuh menghadap lurus
pada Han Pek Kun. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi.
Kuduk Han Pek Kun jadi dingin. Wajahnya
pucat. Dia ingin buka mulut untuk menjelaskan
apa sebenarnya yang dikatakan pada Joko.
Namun karena sudah ketakutan, orang tua ini
tidak mampu untuk berkata. Malah saat lain dia
beringsut mundur dan tegak di belakang murid
Pendeta Sinting dengan tangan cekal kedua
tangan Joko.
"Anak muda.... Kau benar-benar hendak
membuatku celaka! Kau tahu.... Gadis itu bukan
gadis sembarangan! Ilmunya tinggi! Beberapa
tokoh yang sudah dikenal kalangan rimba
persilatan negeri ini banyak yang dibuat bertekuk
lutut...!" bisik Han Pek Kun dengan suara
tersendat dan tubuh menggigil.
"Bagus! Tampaknya kalian ingin mendapat
hajaran bersama-sama!" kata Bidadari Pedang
Cinta. Kedua tangannya menyentak lepaskan
pukulan.
Tapi sebelum ada gelombang angin yang
berkiblat, iblis Pedang Kasih yang tegak di
samping si gadis gerakkan kepalanya.
Werrr!
Rambut panjang milik Iblis Pedang Kasih yang
menjulai menyapu tanah berkibar perdengarkan
suar angker. Hebatnya, julaian rambut itu tiba-
tiba berubah kaku dan lurus menghadang
gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta!
Tanpa buka suara bertanya, Bidadari Pedang
Cinta sudah tahu isyarat apa yang dilakukan
eyangnya. Dia segera luruhkan kedua tangannya.
"Jangan bertindak ceroboh, Cucuku.... Seorang
pemuda yang berani melakukan perjalanan jauh
untuk menemui seseorang yang dikenal sebagai
tokoh berilmu tinggi, tak mungkin membawa
bekal cekak! Kita tak usah pedulikan ucapan
mereka! Kita bisa terlambat sampai ke tempat
tujuan! Padahal bukan hanya Lemi bah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai yang harus kita tuju!"
"Anak muda.... Kau telah dengar ucapan orang
cebol itu. Kuharap kau tidak membuat urusan
lagi yang bisa membuatku celaka!" bisik Han Pek
Kun seraya gerakkan kepala coba sembunyikan
wajahnya dari pandangan Bidadari Pedang Cinta.
"Dengar pemuda asing! Hari ini kau beruntungl
Tapi sekali kita bertemu lagi dan kau masih juga
berucap tak karuan, tak akan ada yang bisa
menghalangi tindakanku!"
Iblis Pedang Kasih gerakkan kepalanya lagi.
Rambutnya yang kaku dan baru saja menahan
gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta
segera berkibar ke udara sebelum akhirnya luruh
menjulai tanah di belakangan sosoknya.
"Cucuku____Kita pergi sekarang!" kata Iblis
Pedang
Kasih seraya balikkan tubuh lalu berkelebat
keluar dari dalam kedai.
"Bidadari.... Aku memang mengharapkan kita
bisa bertemu lagi.... Dan perlu kau tahu. Selama
ini aku banyak bertemu dengan gadis cantik. Tapi
hanya kau yang membuatku ingin bertemu lagi....
Dan lagi.... Dan lagi...l"
Entah karena apa, mendadak dada gadis
cantik di samping Iblis Pedang Kasih ini jadi
berdebar. Paras wajahnya bersemu merah. Entah
sadar atau tidak, bibirnya sunggingkan senyum.
Dan tanpa berucap lagi dia putar diri sambil
melirik lalu berkelebat menyusul eyangnya.
---ooo0dw0ooo---
DELAPAN
KEK.... Maafkan ucapanku tadi! Dan terima
kasih atas makanan dan minuman yang telah
kau sediakan!" Joko berkata begitu Iblis Pedang
Kasih dan Bidadari Pedang Cinta berlalu.
Han Pek Kun lepaskan cekalan kedua
tangannya pada lengan murid Pendeta Sinting
lalu melangkah dan tegak menjajari seraya
berucap pelan.
"Kau pandai bicara, Anak Muda.... Dan meski
aku tadi tidak melihat, tapi aku tahu pasti jika
gadis cantik itu akan salah duga dengan
ucapanmu yang terakhir tadi!"
Joko hanya tersenyum. Lalu melangkah
menuju pintu kedai.
"Tunggu!" mendadak Han Pek Kun menahan
begitu Joko akan melangkah keluar. "Sebagai
sahabat, aku pesan padamu, Anak Muda! Kau
boleh saja bicara tak karuan pada orang. Tapi
jangan pada seorang gadisl Ucapanmu bisa
menjadi urusan besar di kelak kemudian haril
Apalagi ucapan itu ada hubungannya dengan
urusan hati dan perasaan! Bagi seorang gadis,
ucapan candamu bisa diartikan laini"
"Tapi aku memang ingin bertemu lagi dengan
gadis tadil Aku tidak bercanda!"
"Aku tahu.... Tapi ucapan terakhirmu, bisa
diartikan lain!"
"Ah.... Kurasa itu urusan gadis itu, Kek!"
"Kau memang akan menuju Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai?!" Hak Pek Kun alihkan
pembicaraan.
Murid Pendeta Sinting menjawab dengan
anggukkan kepala tanpa menoleh ke belakang.
Lalu berkata.
"Kau yakin jika penghuni lembah itu memang
telah tewas seperti ucapan Bidadari tadi?!"
"Tidak ada hal yang lebih pasti sebelum kau
membuktikan sendiri!"
Kembali Joko anggukkan kepala lalu sekali
membuat gerakan berkelebat, sosoknya melesat
ke arah mana tadi Iblis Pedang Kasih dan
Bidadari Pedang Cinta pergi.
"Mereka bisa kujadikan sebagai penunjuk
jalan! Aku tahu, mereka tengah menuju ke sana!
Hem.... Ada urusan apa antara mereka dengan
Dewa Asap Kayangan? Bidadari Pedang Cinta....
Wajahnya mengingatkanku pada seseorang...."
Joko terus berkata dalam hati sambil berkelebat.
Di pelupuk matanya muncul bayangan Dewi
Bunga Asmara, Bidadari Bulan Emas, Mei Hua,
dan Siao Ling Ling. Beberapa gadis cantik yang
sempat terlibat urusan dengannya beberapa
wakta yang lalu di Bukit Toyongga.
Pada satu tempat, tiba-tiba Joko hentikan
larinya. Memandang ke depan dan ke samping,
dia tidak melihat siapa-siapa. Yang terlihat cuma
hamparan tanah terbuka yang banyak ditebari
bongkahan-bongkahan batu besar.
"Heran.... Ke mana mereka?! Mataku baru
saja malah bisa menangkap kelebatan sosoknya!
Tapi...." Joko putuskan gumaman. Kepalanya
berpaling ke arah satu bongkahan batu sepuluh
langkah di sampingnya. Hem.... Aku yakin. Ada
manusia di balik bongkahan balu besar itu!
Berarti mereka tahu kalau tengah kuikuti! Apa
hendak dikata. Apa pun urusan mereka dengan
Dewa Asap Kayangan, yang jelas aku tidak ingin
membuat masalah dengan mereka!"
Membatin begitu, Joko segera berseru. "Aku
tidak mengikuti kalian! Tujuan kita sama! Jadi
bukankah lebih baik kita jalan bersama-sama?!"
Tidak ada suara sahutan atau tanda-tanda
munculnya seseorang dari balik bongkahan batu
di mana mata Joko tengah memandang.
"Aku tahu kalian berada di sini! Mengapa suka
bercanda main sembunyi?!"
Karena tidak juga ada suara yang menyahut
atai munculnya seseorang, Joko segera berkata
lagi dengan kepala berpaling ke arah jurusan
lain.
"Bidadari.... Kau masih ingat ucapanku,
bukan?! Selama ini aku telah bertemu banyak
gadis cantik. Tapi hanya kau seorang yang
membuatku ingin bertemu lagi.... Dan lagi.... Dan
lagi...!"
Joko menunggu beberapa saat. Karena tidak
juga ada suara sahutan, akhirnya Joko berseru
agak lantang.
"Bidadari.... Kau jangan membuat dadaku
berdebat tak enak dengan terus sembunyikan
diri di balik batu.... Aku ingin melihat wajahmu
sekali lagi...."
"Bidadarimu sudah turuti keinginanmu....
Bidadari mu juga ingin melihat wajahmu sekali
lagi.... Dan lagi.... Dan lagi, ah...," sahut sebuah
suara.
"Ah, tampaknya kau juga suka bercanda
dengar mengubah-ubah suara...," ujar Joko
sambil sungging kan senyum dan berpaling.
Senyum murid Pendeta Sinting lenyap laksana
di sabet setan. Matanya mendelik dengan kepala
pulanj balik bergerak ke depan ke belakang!
Pada sisi bongkahan batu, terlihat nongolan
kepala milik seorang nenek berambut putih.
Sepasang matanya sipit. Tapi bukan karena bola
matanya kecil melainkan karena tertutup kulit di
sekitar matanya. Hidungnya besar, mulutnya
hampir-hampir tidak kelihatan karena masuk ke
dalam gumpalan daging kedua pipinyal
"Ternyata kau masih tetap tampan,
Pujaanku.... Seperti halnya dirimu, selama ini aku
telah banyak bertemu dengan pemuda berwajah
tampan. Tapi hanya kau seorang yang membuat
mataku tak bisa terpejam, membuat dadaku tak
bisa tenteram, membuat mulutku tak mampu
bergumam, membuat langkahku tak bisa
berdebam, membuat tidurku tak bisa tenggelam,
membuat jari-jariku tak kuasa menggenggam.
Ah.... Ah...!"
Mungkin karena tersentak kaget sebab
dugaannya meleset, untuk beberapa saat Joko
tegak tanpa buka mulut atau membuat gerakan.
Di lain pihak, kepala nenek di sisi bongkahan
batu sunggingkan senyum serta pejamkan mata.
Lalu terdengar lagi ucapannya.
"Pujaanku.... Kau tahu. Karena dirimu, yang
kulihat putih jadi hitam legam. Yang kudengar
lirih jadi berdentam-dentam. Batu yang
kugenggam jadi permata mu-tumanikam! Yang
kumakan sayur bayam jadi terasa tai ayam. Ah....
Ah...."
"Busyet! Mengapa jadi berubah begini?! Lain
yang kucari lain pula yang kudapati!" gumam
Joko gusar. Lalu lepas pandangan berkeliling.
"Pujaanku.... Kau tadi mengatakan ingin
melihat Bidadarimu sekali lagi.... Dan lagi.... Dan
lagi, ah.... Mengapa kau sekarang suka bercanda
dengan memperhatikan yang lain?! Apakah diriku
berubah di matamu...?! Kau jangan membuat
hatiku panas dingin tak karuan.... Pandanglah
aku, Pujaanku.... Aku mengenakan baju baru....
Gaya baru, potongan baru...." Mulut yang
melesak di antara gumpalan daging kedua pipi si
nenek tersenyum.
Joko berusaha tidak memandang, tapi laksana
ada kekuatan dahsyat, perlahan-lahan bola
matanya berputar memandang ke arah si nenek!
Si nenek tersenyum sekali lagi. Lalu perlahan-
lahan kepalanya terangkat dari sisi bongkahan
batu.
Pendekar 131 melihat sebuah leher besar,
lalu dada si nenek yang mengendor besar disusul
dengan terlihatnya perut tambun besar yang
dibungkus pakaian! warna merah menyala yang
sangat ketat! Dan ternyatai rambut putih si
nenek menjuntai panjang sampai kedua
betisnya!
"Bagaimana menurutmu, Pujaanku...?! Hari ini
aku tampil beda, bukan?!"
Mungkin tak mau membuat urusan dengan
orang, Joko segera buka mulut.
"Penampilanmu hari ini memang beda, Nek...l
Hingga membuat mataku hampir-hampir tidak
bisa mengenalimu lagi!"
"Jadi kau lupa pada Bidadarimu ini...?!"
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?
Aku hanya tidak mengenalimu lagi!"
"Ah.... Ah.... Apa bedanya lupa dengan tidak
mengenali, Pujaanku?l"
"Lupa berarti tidak ingat. Tidak mengenali
sama dengan lupa.... Lupa berarti tidak
mengenali. Tidak mengenali berarti tidak ingat!"
"Ah.... Ah.... Mengapa kau membuat
Bidadarimu jadi bingung, Pujaanku?! Apakah ini
satu isyarat ada orang lain di hatimu?! Adakah ini
satu tanda kau punya Bidadari lain?! Adakah ini
satu petunjuk ada Bidadari lain yang lebih dariku
dalam pandanganmu?! Adakah ini satu bukti jika
semua ucapanmu hanyalah rayuan gombal
belaka?!"
Habis berkata begitu, si nenek angkat kedua
tangannya ditakupkan pada wajahnya. Saat
kemudian terdengar suara isak tangisnya! Hingga
dadanya bergerak turun naik, sementara
gumpalan daging perutnya bergoyang-goyang!
"Nek...."
Belum sampai Joko lanjutkan ucapan, si
nenek sudah memotong dengan suara lengking.
"Kau sekarang memanggilku nenek! Padahal
selama ini kau selalu menyebutku Bidadari!"
Dengan sikap kesal dan ingin tertawa,
akhirnya Joko berucap.
"Bidadari...."
"Bukan Bidadari! Tapi Bidadariku!" Si nenek
sudah menukas lagi. Lalu lanjutkan isak
tangisnya.
Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala.
Lalu buka mulut.
"Bidadariku.... Mungkin kau salah lihat....
Aku.... Aku bukan pujaanmu!"
Si nenek renggangkan jari-jari kedua
tangannya yang menutupi wajah. Lalu
memperhatikan beberapa lama sebelum
akhirnya angkat suara dengan serak parau.
"Kau tega-teganya berkata begitu pada
Bidadarimu yang selama ini selalu merindukan
bertemu denganmu.... Mengapa?! Mengapa?!
Ah.... Ah...l"
Kalau saja tidak sedang berhadapan dengan
orang aneh, tentu tawa Joko sudah meledak
sejak tadi. Namun karena sadar siapa orang yang
dihadapi serta ingin selesaikan urusan di tempat
itu, Joko tahan ledakan tawanya, meski perutnya
sudah bergerak-gerak dan bahunya berguncang.
"Bidadariku.... Terus terang saja. Baru kali ini
aku bertemu denganmu...."
Kontan si nenek berseru tertahan. Tangan
kanannya diluruskan menunjuk pada murid
Pendeta Sinting sementara tangan kirinya terus
menutupi wajahnya. Lalu berkata setengah
membentak.
"Bidadari mana yang telah menutup
pandanganmu hingga kau bisa berkata begitu?!
Bidadari model apa yang telah membuat lidahmu
terbalik hingga lancang bicara begitu, hah?!"
"Bidadariku.... Kuharap kau tidak terlalu cepat
menuduh! Kau perlu tahu. Aku bukan berasal
dari negeri ini. Aku datang dari negeri di seberang
laut...l"
"Hem.... Jadi Bidadari seberang laut itu yang
membuat kau berubah?!"
"Bukan! Maksudku.... Aku dilahirkan di negeri
seberang laut. Aku bukan asli orang sini! Dan
kalaupun aku sampai terdampar di negeri ini,
mungkin ini hanya sebuah nasib yang telah
tertulis untukku...."
"Mana mungkin aku percaya padamu! Kau
berani berkata dusta padaku karena kau telah
punya simpanan Bidadari lain!"
"Nek.... Eh, Bidadariku.... Aku bicara sungguh-
sungguh!"
"Hem.... Jangan kau kira aku tidak tahu siapa
Bidadari simpananmu itu, Pujaanku! Jangan kira
pula aku tidak tahu di mana kau sembunyikan
Bidadari simpananmu itu!"
Habis berkata begitu, tangan kanan si nenek
yang menunjuk lurus pada sosok murid Pendeta
Sinting perlahan-lahan bergerak ke samping
kanan menunjuk pada satu bongkahan batu
besar.
"Jangankan hanya bongkahan batu sebesar itu
yang kau buat menutupi Bidadari simpananmul
Sekalipun Gunung Himalaya kau letakkan di
depan hidungnya, dia tak mungkin bisa lolos dari
pandangan mataku!"
Mendadak terdengar gumaman makian
bersumber dari balik bongkahan batu di mana
tangan si nenek menunjuk. Joko kancingkan
mulut lalu palingkan kepala dengan dahi
berkerut.
Dari balik bongkahan batu muncul satu sosok
tubuh milik seorang gadis berparas cantik jelita
mengenakan pakaian warna hijau.
"Bidadari Pedang Cinta...." Pendekar 131
bergumam mengenali siapa adanya gadis yang
keluar dari balik bongkahan batu.
Si gadis yang bukan lain memang Bidadari
Pedang Cinta adanya mendelik angker silih
berganti pada Pendekar 131 dan si nenek yang
masih menunjuk ke arahnya, sementara tangan
satunya lagi tetap mendekap wajahnya dengan
jari-jari direnggangkan.
"Pemuda asing!" Bidadari Pedang Cinta
berteriak llnggl. "Aku akan buktikan ucapanku
bahwa tidak ada yang akan bisa menghalangi
tindakanku!" Tangan kanan sang Bidadari lalu
terangkat menunjuk lurus pada si nenek dan
berteriak. "Dan kau nenek gila! Kau telah berani
bicara lancang menuduhku yang bukan-bukan!
Mulutmu layak mendapat imbalan!"
Belum sampai ucapannya selesai, Bidadari
Pedang Cinta sudah melesat dan tegak lima
langkah di depan murid Pendeta Sinting dengan
tampang garang.
"Bidadari.... Harap tidak masukkan hati apa
yang diucapkan...." Pendekar 131 kebingungan
meneruskan ucapannya. Apalagi saat itu
terdengar si nenek telah bergumam.
"Pada gadis itu, sekali berkata kau sudah
menyebutnya Bidadari.... Sementara pada
Bidadarimu ini, kau I masih salah-salah melulu!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas
panjang. Sementara si nenek tarik pulang
tangannya yang tadi diluruskan pada Bidadari
Pedang Cinta. Tangan kirinya yang mendekap
wajahnya juga diturunkan. Lalu balikkan tubuh
seraya berkata.
"Pujaanku.... Kau kuberi waktu untuk
menimbang! Setelah itu kau harus memberi
keputusan! Kau pilih Bidadarimu ini yang selalu
setia, atau pilih Bidadari model dia yang berbaju
hijau itu!"
"Tetap di tempatmu, Nenek Gila!" sentak
Bidadari! Pedang Cinta tak mampu menahan
gelegak hawa kemarahan. Lalu melompat ke
arah Pendekar 131 dengan kedua tangan
berkelebat lepaskan pukulan!
---ooo0dw0ooo---
SEMBILAN
KARENA tak ada kesempatan lagi menghindar,
sementara kalau tidak dihadang jelas pukulan itu
mengandung tenaga dalam tinggi yang bisa
membuat luka dalam, terpaksa Joko angkat
kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Pedang Cinta berseru tertahan.
Sosoknya mundur dua tindak dengan paras
berubah. Gadis ini tidak menduga kalau akibat
bentrok itu akan membuat sosoknya tersurut dan
kedua tangannya terasa ngilu dan berwarna
merah.
Di lain pihak, meski tidak merasakan sakit luar
biasa, murid Pendeta Sinting segera goyang-
goyangkan tubuhnya dengan keras, lalu kakinya
diseret beberapa langkah ke belakang dengan
tampang dibuat seakan merasakan kesakitan
hebat. Malah kedua tangannya dikibas-kibaskan
lalu diselinapkan ke balik pakaiannya.
Di seberang, si nenek putar diri lagi
menghadap. Memandang silih berganti pada
Bidadari Pedang Cinta dan Pendekar 131 lalu
berkata.
"Pujaanku.... Aku tahu. Ini semua hanya
sandiwaramu agar hatiku tidak remuk redam....
Sebenarnya bukan sandiwara seperti ini yang
kuharap! Aku minta kau memutuskan satu
pilihan, Pujaanku.... Hanya saja kuminta kau
selalu ingat akan semua janji-janjimu padaku!
Ingat akan segala yang pernah kau katakan
padaku di saat-saat bulan tengah purnama! Kau
tentu masih ingat ketika mengatakan Bidadarimu
ini laksana bulan purnama.... Mengatakan
indahnya tubuhku seperti riak gelombang lautan
samudera.... Lentiknya bulu mataku bak jajaran
rimbun dedaunan di lereng Gunung Hi-malaya...
Geraian rambutku selaksa rintik hujan di pagi
buta.... Merdunya suaraku bagaikan amukan
gemuruh raksasa.... Cara jalanku laksana...."
"Diam!" Bidadari Pedang Cinta menghardik.
"Sekali kau buka mulut lagi, jangan kira aku tak
mampu membuat tubuhmu jatuh terjengkang!"
"Ah.... Ah.... Mengapa kau marah padaku?!
Apakah kau tak sadar?! Seharusnya aku yang
punya hak untuk marah padamu! Pujaanku bisa
tidak mengenaliku lagi gara-gara bertemu
denganmu! Gara-gara bicara tak ujung pangkal
denganmu! Gara-gara...."
Belum sempat si nenek lanjutkan ucapan,
Bidadari Pedang Cinta sudah hantamkan kedua
tangannya lepas pukulan jarak jauh.
Wuutt! Wuuuut!
Dua gelombang angin perdengarkan suara
bergemuruh keras berkiblat.
Si nenek unjukkan tampang ngeri dengan
angka! kedua tangannya di depan dada
digerakkan pulang balik ke samping kiri kanan
seakan memberi isyarat agan Bidadari Pedang
Cinta tidak teruskan pukulannya.
Hebatnya, saat itu juga gelombang yang
berkiblat ke arah si nenek laksana dihantam
kekuatan dahsyatj dan ambyar semburat ke
samping kiri kanan! Malah ka-j lau saja si gadis
tidak segera lipat gandakan tenaga] dalam untuk
kuasai goyangan tubuhnya, niscaya sol soknya
akan tersapu pulang balik ke samping!
"Hem.... Aku sudah menduga kalau nenek itu
bukan orang sembarangan! Hanya saja, aku
belum bisa menduga apa maksud sebenarnya
nenek itu...." Diam-diam Joko membatin.
Di lain pihak, mendapati apa yang terjadi,
Bidadari sedang Cinta tampak terkesiap kaget.
Dia kini sadar jika yang dihadapi adalah orang
berilmu tinggi. Namun karena sudah telanjur
bicara, dia tak mau dibuat malu. Maka dia segera
kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Didahului bentakan keras, sosok Bidadari
Pedang Cinta melesat ke arah si nenek.
Setengah jalan kedua tangannya menghantam.
Wuutt! Wuutt!
Gelombang dahsyat menghampar diikuti
bertebar-nya hawa panas luar biasa.
Si nenek tampak tercekat tegang. Sepasang
matanya mendelik memejam dengan kedua
tangan menakup pada gumpalan daging
perutnya.
"Pujaanku! Pujaanku! Mengapa kau diam saja
melihat Bidadarimu akan mampus dibunuh
orang...?!" Si nenek berteriak pada murid
Pendeta Sinting1.
Karena maklum ucapan si nenek hanya
bercanda, Joko tenang-tenang saja malah
tersenyum. Namun hingga gelombang pukulan
Bidadari Pedang Cinta setengah depa di hadapan
si nenek dan perempuan tua bertubuh tambun
besar ini tidak juga membuat gerakan, Joko
pupuskan senyum. Dia angkat kedua tangannya
hendak menghadang gelombang, meski hal itu
akan membuat si nenek tidak bisa lolos dari bias
bentroknya pukulan.
Namun sebelum kedua tangan Joko benar-
benar bergerak, tiba-tiba si nenek pukul-pukul
kedua tangannya pada gumpalan daging di
perutnya.
Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukk!
Terdengar suara dentuman mendengung
beberapa kali. Bersamaan itu tepat di pusar si
nenek melesat empat sinar berwarna kelabu
tipis.
Bummm! Bummm!
Tanah terbuka yang banyak ditebari
bongkahan batu-batu besar itu bergetar keras.
Beberapa bongkahan batu bergerak-gerak dan
sebagian di antaranya] langsung mencelat
mental tersapu dua gelombang pukulan Bidadari
Pedang Cinta yang tiba-tiba bertabur semburat
terhantam empat sinar kelabu dari pusar si,
nenek!
Sosok Bidadari Pedang Cinta terjungkir balik di
udara sebelum akhirnya terpental beberapa
tombak ke belakang dengan mulut perdengarkan
teriakan tegang.
Karena terkejut dan hebatnya bias pukulan
yang menghajar, Bidadari Pedang Cinta terlambat
untuk membuat gerakan agar sosoknya tidak
terpental menghajar bongkahan batu yang sudah
menanti di belakangnya.
Setengah tombak lagi sosok Bidadari Pedang
Cinta menghantam bongkahan batu, tiba-tiba
satu bayangan berkelebat. Justru saat itulah
Bidadari Pedang Cinta membuat gerakan karena
terkejut ada dua tangan yang menyambar
tubuhnya. Hingga tak ampun lagi sosok Bidadari
Pedang Cinta dan bayangan yang berkelebat
menyelamatkan jatuh bergulingan di atas tanah.
Namun hal ini membuat sosok Bidadari Pedang
Cinta selamat dari menghajar bongkahan batu.
Di lain pihak, sosok si nenek hanya bergerak-
gerak bagian dada dan perutnya yang tambun
besar. Lalu rambutnya yang panjang berkibar-
kibar dengan mata memejam membuka!
Pada saat mata si nenek membuka dan
memandang ke depan, mendadak nenek ini
menjerit tinggi hingga sosok besarnya terlonjak
ke udara. Lalu melayang turun dengan kedua
tangan mendekap wajahnya dan berseru.
"Pujaanku! Pujaanku! Tega benar kau padaku!
Berani-beraninya kau beradegan mesra di depan
mata bidadarimu ini! Adakah ini satu isyarat
kalau kau memilih dia...?! Aku tak rela! Kau harus
katakan apa salah dosa Bidadarimu ini hingga
kau tega berbuat seperti itu! Seperti itu! Seperti
itu!"
Teriakan si nenek membuat Bidadari Pedang
Cinta sadar. Apalagi dia merasakan dua tangan
tengah memeluk tubuhnya dengan erat. Gadis
cantik ini segera berpaling ke belakang.
Bidadari Pedang Cinta tersentak tegang.
Matanya mendelik angker. Seakan lupa kalau
dirinya diselamatkan orang, kedua tangannya
segera sentakkan dua langan yang melingkar di
pinggangnya. Saat lain sosoknya berputar. Kaki
kiri kanannya membuat gerakan menendang!
Bukkkl Bukk!
Satu sosok tubuh berbalut pakaian putih
terpental dengan berteriak kaget.. Lalu sosoknya
terjengkang di atas tanah.
Tampaknya Bidadari Pedang Cinta belum
puas. Dia segera bangkit lalu melompat dan
berteriak.
"Kau manusia lancang yang berani memeluk
tubuhkul"
Bukkk!
Lagi-lagi kaki Bidadari Pedang Cinta
menghantami sasaran. Terdengar orang berseru
kesakitan.
"Bidadari.... Maaf.... Aku tak sengaja...," kata
orang yang baru saja terpental karena tendangan
kaki sang Bidadari. Dia tidak lain adalah
Pendekar 131 Joko Sableng.
"Ah.... Ah.... Di hadapanku kau bicara maaf tak
sengaja! Tapi di belakangku pasti kau bicara
lain!" Si nenek berkata lalu buka kedua
tangannya.
Bidadari Pedang Cinta memandang tajam
pada Joko dengan dada bergemuruh keras.
Namun perlahan-lahan ada perasaan lain yang
menyelinap. Dia sadar, kalau tindakan Joko tadi
semata-mata untuk menyelamatkan tubuhnya
dari benturan dengan bongkahan batu.
Di lain pihak, murid Pendeta Sinting segera
bangkit terhuyung-huyung seraya pegangi
dadanya yang terkena tendangan kaki Bidadari
Pedang Cinta. Lalu memandang ke arah si gadis.
Kesadaran membuat Bidadari Pedang Cinta
tak berani memandang lama-lama pada
Pendekat 131. Dia segera alihkan pandangannya
ke jurusan lain dengan paras bersemu merah.
Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada
satu sosok tubuh yang duduk bersila di atas satu
bongkahan batu.
"Eyang...," bisik Bidadari Pedang Cinta. Entah
karena apa, paras gadis ini makin memerah lalu
perlahan-lahan melangkah ke arah sosok di atas
bongkahan batu yang tidak lain adalah Iblis
Pedang Kasih.
"Cucuku.... Kau masih kurang hati-hati dalam
menghadapi orangl Kau tahu siapa nenek
bertubuh umbun besar itu?!" Iblis Pedang Kasih
segera ajukan tanya begitu Bidadari Pedang
Cinta tegak di sebelah Bongkahan batu.
Seraya melirik pada Pendekat 131, Bidadari
Pedang Cinta gelengkan kepala.
"Untung dia hanya main-main hingga kau tidak
mengalami luka! Jika tidak, aku tak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi
denganmu...!"
"Eyang.... Siapa dia?!"
"Dia yang mana, yang kau tanyakan?! Karena
pandanganmu sasarannya lain!" tanya Iblis
Pedang Kasih seraya tertawa pelan.
Ucapan Iblis Pedang Kasih membuat Bidadari
Pedang Cinta terkesiap dan buru-buru alihkan
pandangannya dari sosok murid Pendeta Sinting
ke arah nenek hertubuh tambun besar. Wajahnya
jelas berubah dan suaranya serak tatkala buka
mulut menjawab.
"Yang kutanyakan siapa nenek bertubuh besar
itu?"
"Kau masih ingat dengan ceritaku tentang
seorang bernama Putri Pusar Jagat?!"
Bidadari Pedang Cinta berpaling. "Astagal Jadi
diakah adikmu yang sering kau ceritakan itu?"
"Di negeri ini hanya ada satu Putri Pusar Jagat!
Dan dia adalah adikku sendiri!"
Bukan saja Bidadari Pedang Cinta yang
terlengak knget. Namun Joko ikut-ikutan terkejut.
Dia pulang balikkan kepala memandang silih
berganti pada Iblis Pedang Kasih dan nenek yang
disebutnya dengan Putri Pusar Jagat.
"Jadi Eyang mengajakku ke tempat ini untuk
bertemu dengannya?!" tanya Bidadari Pedang
Cinta.
"Itu salah satunya. Ada lagi hal yang perlu kita
bicarakan dengannya!"
"Urusan apa, Eyang?! Mengapa Eyang tidak
mem bicarakannya sebelum ini?"
"Waktunya belum tepat, Cucuku.... Dan kurasa
saal inilah waktu yang tepat untuk bicara
dengannyal"
"Apakah ada hubungannya dengan penghuni
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Pertanyaan Bidadari Pedang Cinta membuat
Joko pasang telinga baik-baik, karena dia punya
kepentingan dengan Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai. Namun hingga ditunggu agak lama,
ternyata Iblis Pedang Kasih tidak buka mulut
memberi jawaban. Sebaliknya berkata.
"Cucuku.... Kau harus memberi hormat
padanya...'
Bidadari Pedang Cinta arahkan pandangannya
pada Putri Pusar Jagat. Beberapa saat gadis ini
tampak bimbang apalagi ingat apa yang baru
saja dilakukan terhadap si nenek.
Di lain pihak, Putri Pusar Jagat terlihat
melangkah mendekati Pendekar 131. Lalu
berkata.
"Pujaanku.... Hendak ke mana kau
sebenarnya?!"
"Lebih baik aku berterus terang padanya...."
Joko membatin, lalu angkat suara.
"Aku akan ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai...l"
"Dengan maksud?!"
Joko terdiam. Dia tampak bimbang. "Untuk
yang ini aku tidak boleh berterus terang!" katanya
dalam hati lalu buka mulut.
"Aku mendapat pesan dari seseorang yang
harus disampaikan padanya!"
Putri Pusar Jagat manggut-manggut. Lalu
putar langkah menuju Bidadari Pedang Cinta
yang masih ragu ragu.
"Nek.... Maaf atas semua yang tadi
kulakukan...." Disadari Pedang Cinta akhirnya
bergumam begitu si nenek bertubuh tambun
besar sudah dekat dengannya, lalu bungkukkan
tubuh menjura hormat.
"Kau masih cemburu padaku...?!" Putri Pusar
Jagat bertanya sambil tersenyum.
"Nek.... Bukankah tadi kau yang tampak
cemburu padaku?!" ujar Bidadari Pedang Cinta
memberanikan diri setelah dilihatnya si nenek
tersenyum.
Putri Pusar Jagat tertawa bergelak hingga
gumpalan daging di perutnya bergerak pulang
balik ke atas ke bawah. Lalu berujar.
"Hari ini mungkin ucapanmu benar. Tapi tidak
lama lagi mungkin akan jadi berbalik! Kau tidak
saja akan cemburu padaku, tapi juga pada
beberapa gadis lain...."
Wajah Bidadari Pedang Cinta jadi berubah
merah, sebaliknya murid Pendeta Sinting
cengengesan senang.
"Senang bisa bertemu lagi denganmu, Adikku
nan cantik maha jelita! Aku berharap kau sehat-
sehat saja sehingga kita bisa melakukan
perjalanan hari ini juga!" berkata Iblis Pedang
Kasih seraya memberi isyarat mempersilakan.
Putri Pusar Jagat membuat gerakan satu kali.
Sosok besarnya melesat lalu duduk seraya
ongkang-ongkang kaki di sisi bongkahan batu di
mana Iblis Pedang Kasih duduk bersila.
"Aku juga gembira melihatmu, Kakakku yang
gagah maha perkasal Aku sudah menunggumu
dan siap lakukan perjalanan hari ini! Tapi
sebelum kita pergi aku ingin memberitahukan
padamu satu hal...."
"Katakanlah...."
"Tampaknya kita akan punya hajat besar...."
Mata si nenek melirik pada Bidadari Pedang
Cinta yang tegak sambil mendengarkan
pembicaraan dengan seksam
"Adikku.... Aku belum berpikir sampai sejauh
itu. Aku tidak berani memaksa.... Dia sudah
dewasa! Apa lagi sebenarnya bukan kita yang
berhak punya hajat!"
"Ah.... Ah...! Kau harus paham, Kakakku....
Sejak saat ini kita harus sudah pikirkan urusan
hajatan itul Kita tidak usah lagi pikirkan kita yang
berhak atau tidak. Dan justru karena dia sudah
dewasa, kita harus segera mencarikan pasangan
yang cocok! Kau sudah punya pandangan?!"
Yang ditanya tersenyum. Lalu geleng kepala.
Putri Pusar Jagat alihkan lirikan matanya pada
murid Pendata Sinting. Lalu berkata pelan.
"Bagaimana; dengan pemuda itu?! Kurasa
mereka bisa jadi pasangan serasi! Yang gadis
cantik, yang pemuda tampan!"
Mendengar bisik-bisik antara Iblis Pedang
Cinta dan Putri Pusar Jagat, Bidadari Pedang
Cinta jadi berdebar tidak enak, meski entah
karena apa, diam-diam dia merasa senang.
"Mungkinkah yang dibicarakan mereka adalah
diri ku?! Ah.... Tapi, bukankah menurut Eyang,
adiknya itu juga memiliki cucu seorang gadis
sebaya denganku?! Jangan-jangan cucunya
sendiri yang dibicarakan dengan Eyang.... Tapi
mengapa tiba-tiba hendak dijodohkan dengan
pemuda itu?!"
"Adikku.... Urusan hajat ini sebaiknya kita
bicarakan nanti di tempat tujuan saja! Dan
menurutku, sebaiknya keputusannya diserahkan
pada yang bersangkutan!"
"Hem.... Baiklah! Apa dia kita ajak serta?!"
Iblis Pedang Kasih terdiam beberapa saat.
Lalu buka mulut dengan sorongkan kepalanya
mendekati telinga adiknya.
Bidadari Pedang Cinta menarik napas dengan
raut sedikit kecewa, karena dia tidak bisa
mencuri dengar apa yang dibicarakan eyangnya.
Padahal dia sudah berharap-harap cemas, sebab
dia yakin yang dimaksud eyangnya dengan Putri
Pusar Jagat tidak lain adalah Pendekar 131. ?
"Cucuku.... Kita berangkat sekarang!"
Mendadak Iblis Pedang Kasih angkat suara.
Habis berkata begitu hampir berbarengan,
Iblis Periang Kasih dan adiknya berkelebat tanpa
mempedulikan murid Pendeta Sinting yang tetap
tegak dengan sesekali memandang ke arah
Bidadari Pedang cinta.
Bidadari Pedang Cinta berpaling melihat ke
arah kelebatan eyangnya dan si nenek. Dia
sudah hendak berkelebat menyusul. Tapi dia
terlihat bimbang dengan beberapa kali menarik
napas panjang.
"Ah.... Mungkin aku salah duga!" Akhirnya
Bidadari
---ooo0dw0ooo---
SEPULUH
DITINGGAL sendirian, Joko segera berpikir.
"Mereka tidak mencegah atau memerintah....
Berarti mereka memberi kesempatan padaku
untuk mengikuti!"
Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya Pendekar
131 ikut berkelebat ke arah mana tadi tiga orang
itu berlari.
Bidadari Pedang Cinta yang berlari di belakang
Putri Pusar Jagat dan Iblis Pedang Kasih segera
memperlambat larinya begitu menyadari Joko
ikut mengejar di belakangnya. Namun gadis ini
pura-pura tidak tahu kalau tengah diikuti.
Pada satu tempat, karena perhatiannya
terpecah antara mengawasi dua orang di depan
agar tidak kehilangan jejak dan
mengkhawatirkan orang di belakangnya takut
kalau tidak terus mengikuti, Bidadari Pedang
Cinta kehilangan jejak eyangnya dan si nenek.
Hingga akhirnya sang Bidadari berhenti dan
tegak dengan putar pandangan berkeliling.
"Ke mana aku harus mencari? Mengapa
mereka tidak pernah menoleh padaku selama
berlari tadi?! Ah.... Apa yang harus kulakukan
sekarang?!"
Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin
begitu, mendadak gadis ini merasakan siuran
angin di belakangnya. Dada cucu Iblis Pedang
Kasih ini jadi berdebar Dia tidak berusaha buka
mulut atau putar diri meski hal itu ingin sekali
dilakukannya. Gadis ini sudah bisa menduga
siapa adanya orang yang tegak di belakangnya
Namun karena ditunggu agak lama tidak juga
terdengar suara, akhirnya Bidadari Pedang Cinta
beranikan diri membuat gerakan membalik.
Paras wajah gadii cantik ini langsung berubah.
Ternyata dugaannya meleset!
Yang tegak di hadapannya adalah seorang
perempuan berwajah jelita berusia kira-kira dua
puluh lima tahunan. Rambutnya digulung tinggi
ke atas seolah ingin menunjukkan lehernya yang
putih dan jenjang. Dada mencuat padat.
Pinggulnya besar dan kencang dilapli pakaian
tipis dan ketat warna putih. Sepasang matanya
bulat ditingkah goresan alis mata yang hitam dan
tebal.
Karena dugaannya salah, Bidadari Pedang
Cinta* segera putar pandangan sekeliling
dengan mata mencari-cari. Tapi dia tidak
menemukan orang yang dicari.
"Hem.... Jangan-jangan yang mengikuti dari
tadi perempuan ini! Bukan pemuda bernama
Joko Sableng itu.... Ah, mengapa aku tidak
berpaling dari tadi?l Kalau saja bukan pemuda
itu yang mengikuti, tentu aku tidak perlu
memperlambat lari hingga aku sendiri kehilangan
jejak!"
Setelah membatin begitu, tanpa buka mulut
Bidadari Pedang Cinta segera putar diri. Lalu
berkelebat meneruskan larinya.
Tapi Bidadari Pedang Cinta jadi tersentak
sendiri Belum sampai dia benar-benar berlari, si
perempuan berwajah cantik bertubuh sintal yang
tadi tegak di belakangnya sudah berdiri dengan
sikap menghadang di hadapannya!
Menangkap gelagat tidak baik, Bidadari
Pedang Cinta segera buka mulut.
"Harap memberi jalan!"
Perempuan di depan Bidadari Pedang Cinta
bukannya memberi jalan atau buka suara
menyahut. Sebaliknya memandang sekujur tubuh
Bidadari Pedang Cinta ilari kepala sampai kakil
Lalu bibirnya yang dipoles merah menyala
bergerak sunggingkan senyum dengan kepala
manggut-manggut.
Dipandangi orang begitu rupa, Bidadari
Pedang Cinta jadi jengah sendiri. Apalagi dia bisa
merasakan pandangan itu lain dari pandangan
perempuan lainnya terhadap seorang
perempuan.
"Aku harus segera pergi. Kuharap...."
Belum sampai Bidadari Pedang Cinta
lanjutkan ucapan, perempuan di hadapannya
sudah menukas.
"Mau katakan kau hendak pergi ke mana?!"
Bidadari Pedang Cinta gelengkan kepala tanpa
buka suara. Lalu alihkan pandangan ke jurusan
lain berharap bisa menemukan Pendekar 131.
"Sudi mengatakan siapa namamu?!" Si
perempuan hurpakaian putih kembali ajukan
tanya.
"Aku Bidadari Pedang Cinta...," jawab sang
Bidadari dengan suara agak ketus.
"Hem.... Gelar bagus.... Sebagus pemilik
namanya!" ujar perempuan berpakaian putih
seraya menatap pada iiada Bidadari Pedang
Cinta. "Bagaimana kalau kita jalan bersama?!"
"Maaf, aku ingin sendirian! Dan kuharap kau
mengerti. Waktuku tidak banyak!"
"Hem.... Ingin jumpa kekasih?!"
"Aku tidak punya waktu melayanimu!" sentak
Bidadari Pedang Cinta mulai agak jengkel dengan
ucapan perempuan berpakaian putih. Dia
melangkah ke samping lalu hendak berlari.
Namun perempuan berpakaian putih ikut-
ikutan bergerak ke samping, membuat Bidadari
Pedang Cinta batalkan niat dan kembali
perdengarkan suara membentak.
"Tampaknya kau tak mau mengerti! Sekarang
aku ingin tahu. Apa maumu sebenarnya?!"
"Bagaimana kalau kita bersenang-senang
barang sebentar?!"
Dahi Bidadari Pedang Cinta berkerut. Dadanya
berdebar tidak enak. Namun karena belum
paham maksud orang, dia segera berkata.
"Bersenang-senang bagaimana maksudmu?!"
Perempuan berpakaian putih tipis tertawa
perlahan. Dia tegakkah wajah mendongak. Lalu
berkata lirih.
"Gelarmu menggunakan kata-kata Cinta....
Bagai-mana kalau kau bukan hanya
menggunakan untuk namamu, tapi juga
membaginya denganku?!"
"Aku tidak mengerti arti kata-katamu!"
"Gadis rupawan,... Bagaimana kalau kita
menikmati cinta itu?!"
"Aneh.... Apa maksud sebenarnya orang ini?l
Dia terlalu berbelit-belit bicara!" Bidadari Pedang
Cinta membatin.
Seakan bisa membaca benak orang,
perempuan berpakaian putih segera luruskan
kepala lalu berkata lagi.
"Bidadari.... Bagaimana kalau kita
meluangkan' waktu sejenak untuk menikmati
hidup Ini dengan bersenang-senang di bawah
naungan cinta?! Aku akan men> imwamu
menikmati indahnya surga dunia.... Aku punya
umpat yang tenang untuk mereguk kenikmatan
itu...."
"Keparat!" maki Bidadari Pedang Cinta begitu
sadar him maksud perempuan berpakaian putih
tipis.
"Aku tahu.... Makianmu hanya karena kau
belum pernah menikmati surga dunia itu.... Tapi
aku yakin, sekali kau merasakan, kau akan...."
Perempuan berpakaian putih tipis tidak lanjutkan
ucapannya dengan kala kata, melainkan tertawa
cekikikan!
"Perempuan cabuli Kau salah berkata pada
orang!"
SI perempuan di hadapan Bidadari Pedang
Cinta galangkan kepala. "Gadis rupawan.... Aku
tak pernah salah berkata pada orang! Apalagi
salah pilih mana orang yang layak atau tidak
untuk mereguk kenikmatan bersamaku____
Mendengar pembicaraan Bidadari Pedang
Cinta dengan perempuan berpakaian putih, di
balik batangan pohon di mana dia bersembunyi,
Pendekar 131 hampir saja meloncat keluar.
Matanya mendelik dengan mulut menganga!
Saat mengikuti berkelebatnya Bidadari
Pedang Cinta, Joko sengaja menjaga jarak
sekiranya tidak kehilangan jejak orang yang
diikuti sementara orang yang diikuti tidak merasa
curiga. Dia juga selalu berkelebat dengan
sesekali menyelinap sembunyi ketika melewati
daerah yang banyak ditumbuhi jajaran pohon.
Hingga pada satu tempat Joko merasakan ada
satu sosok bayangan yang berkelebat cepat dari
sebelah samping. Murid Pendeta Sinting tidak
mau ambil risiko, lalu segera menyelinap
sembunyi ketika melihat Bida-ii«l Pedang Cinta
hentikan larinya di sebelah depan sana. Lalu
pasang telinga baik-baik ketika mendapati satu
sosok tubuh sudah berhadapan dengan Bidadari
Pedang Cinta. Namun sejauh ini murid Pendeta
Sinting belum melihat raut wajah perempuan
yang bicara dengan Bidadari Pedang Cinta,
karena dia tidak berani membuat gerakan takut
keberadaannya diketahui.
"Perempuan cabul!" Terdengar Bidadari
Pedanu Cinta membentak. "Aku memberimu
waktu untuk segera pergi dari hadapanku!"
Terdengar suara tawa cekikikan. Lalu. "Aku
akan pergi asal bersamamu, wahai Cintaku.”
Hawa kemarahan Bidadari Pedang Cinta
sudah sampai ke ubun-ubun. Tapi gadis ini masih
bisa menahan diri. Apalagi ketika ingat ia harus
segera mengejar eyangnya. Kalau terjadi bentrok,
berarti dia akan makin jauh tertinggal dan makin
sulit menjajaki jejak si eyang dan si nenek. Maka
dia segera putar diri setengah ling karan dan
mendahului tinggalkan tempat itu.
"Gadis cantik.... Kau tak akan tinggalkan
tempat Ini tanpa bersamaku...," kata perempuan
berpakaian putik tipis seraya umbar senyum dan
mengerdip nakal.
Sikap orang membuat pupus pertahanan
Bidadari Pedang Cinta. Dia batalkan niat
tinggalkan tempat itu Lalu memandang tajam
dan membentak.
"Aku telah memberi ingati Jangan salahkan
aku kalau kau...."
"Percayalah padaku, Gadis Rupawan!" potong
pa rempuan berpakaian putih tipis. "Sekali kau
mereguk cinta bersamaku, kau akan enggan
meninggalkan diriku...."
"Mulut kotor!" seru Bidadari Pedang Cinta.
Sekali lompat tangannya sudah ikut berkelebat
lepas pukulan ke arah bahu kanan kiri
perempuan berpakaian pulih.
Yang diserang tidak membuat gerakan.
Sebaliknya tertawa pendek. Namun sejengkal
lagi bahu kiri kanannya terhajar pukulan orang, si
perempuan berpakaian putih gerakkan kedua
bahunya yang menjadi sasaran pukulan.
BukkkI Bukkkl
Kedua tangan Bidadari Pedang Cinta
menghajar telak kedua bahu perempuan
berpakaian putih. Anehnya, justru yang
perdengarkan seruan tertahan adalah Bidadari
Pedang Cinta. Malah saat itu juga kedua
tangannya mencelat mental ke udara. Sosoknya
tersurut beberapa tindak. Parasnya berubah
pucat pasi.
Di lain pihak, perempuan berpakian putih
tetap tegak di tempatnya sambil tersenyum dan
sekali lagi kedlpkan sebelah matanya. Dia sama
sekali tidak merasakan pukulan yang menghajar
kedua bahunya.
Saat terjadi benturan, Joko cepat membuat
gerakan mengintip. Dia hanya sempat melihat
sekilas. Namun sudah cukup baginya untuk
mengetahui jika perempuan yang tengah bentrok
dengan Bidadari Pedang Cinta adalah
perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal.
Lebih dari itu dia juga maklum, lawan yang
dihadapi sang Bidadari adalah perempuan
berilmu sangat tinggi. Dan begitu sosok Bidadari
Pedang Cinta tersurut, Pendekar 131 segera
selinapkan diri lagi ke balik halangan pohon.
Sementara itu mendapati apa yang dialami,
Bidadari Pedang Cinta sempat terkesima. Namun
perasaan curiga membuat gadis ini tak mau
terlena. Dia cepat kerahkan segenap tenaga
dalamnya. Lalu dengan tatapan garang kedua
tangannya diangkat.
Perempuan bertubuh sintal di hadapan
Bidadari Pedang Cinta lagi-lagi hadapi gerakan
orang dengan tersenyum. Lalu berkata.
"Aku ingin kemesraan di antara kita tidak
dibuka dengan silang sengketa, Gadisku.... Hal
itu tidak perlu terjadi...."
Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut dengari
ucapan, sebaliknya lepaskan pukulan jarak jauh.
Wuutt! Wuuutt!
Dua gelombang menderu ganas menyambar
ka arah perempuan bertubuh sintal berpakaian
putih.
Tahu kalau gelombang yang menyambar
kearahnya dimuati tenaga dalam tinggi,
perempuan berpakaian putih cepat hentakkan
kaki. Sosoknya melesat ke udara. Membuat
gerakan berputar di atas lalu menyambut
gelombang yang datang dengan tangan kanan
mendorong.
Wuuttt!
Bummmm!
Terdengar dentuman keras. Untuk kedua
kalinya Bidadari Pedang Cinta berseru tegang.
Dua gelombang yang melesat keluar dari kedua
tangannya serta-merta berantakan di udara.
Gadis ini merasakan tubuhnya dihempas
gulungan gelombang luar biasa. Belum sampai
dia berbuat sesuatu, sosoknya telah tersapu
deras dan jatuh terjengkang.
Sementara perempuan berpakaian putih
tampak terhuyung di udara. Namun begitu
perempuan ini membuat gerakan berputar sekali
lagi, huyungannya terhenti lalu melayang turun
dan tegak lima langkah di hadapan tempat
terjengkangnya Bidadari Pedang Cinta. Dengan
mata berkilat penuh nafsu, ditatapnya gerakan
daun Bidadari Pedang Cinta yang turun naik
dengan mata setengah terpejam merasakan
sakit pada kedua lengan dan nyeri pada
dadanya.
"Gadisku.... Aku tahu. Kau belum pernah
mereguk kenikmatan itu. Pasti kau masih malu-
malu untuk mereguk di tempat terbuka seperti ini
meski sebenarnya aku sudah tak sabar....
Bidadari Tujuh Langit-mu ini akan membawamu
ke tempat yang berpanorama indah agar
pengalaman pertamamu menjadi kenangan tak
terlupakan sepanjang hidupmu...."
Perempuan bertubuh sintal di hadapan
Bidadari Pedang Cinta, yang ternyata adalah
Bidadari Tujuh Langit, bergerak mendekati
Bidadari Pedang Cinta dengan dada dibuncah
nafsu. Di lain pihak, kuduk Bidadari Pedang Cinta
jadi meremang. Tapi dia cepat sadar apa yang
akan dilakukan orang terhadapnya. Maka dia
buru-buru bangkit duduk di atas tanah dengan
tangan bergerak ke bagian pinggang di mana
melilit sebuah Pedang berkilat.
Namun sebelum Bidadari Tujuh Langit
teruskan langkah dan Bidadari Pedang Cinta
lepas pedang di pinggangnya, terdengar satu
suara menegur. "Harap tidak teruskan langkah!"
Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah dengan
dagu mengembung besar dan pelipis bergerak-
gerak tanda menahan hawa amarah. Bidadari
Pedang Cinta hentikan gerakan tangannya
dengan dahi berkerut dan dada berdebar. Diam
diam gadis ini membatin.
"Jelas aku pernah dengar suara itu, Itu adalah
suara Joko Sableng.... Ternyata dia masih berada
di sekitar tempat ini...."
Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin
begitu! satu sosok tubuh berkelebat. Bidadari
Tujuh Langit dari Bidadari Pedang Cinta
berpaling.
Paras kedua perempuan yang sama-sama
berwajah cantik jelita itu berubah. Bidadari Tujuh
Langit segera kembangkan senyum dengan mata
berbinar, sementara Bidadari Pedang Cinta
tersentak hampir tak percaya. Karena dugaan
keduanya salah!
SELESAI
--oo0dw0oo
Segera terbit:
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
BIDADARI DELAPAN SAMUDERA
0 comments:
Posting Komentar