..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 06 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE MISTERI ISTANA LIMA BIDADARI

JOKO SABLENG EPISODE ISTANA LIMA BIDADARI

 SATU 



PERAHU itu melaju cepat laksana kesetanan 

menerjang gulungan ombak menuju pulau. Saat 

itu matahari sudah sejengkal di atas permukaan 

air laut. Begitu matahari benar-benar tenggelam 

dan suasana berubah gelap, laju perahu sudah 

beberapa tombak lagi mencapai pulau. 

Tegak di atas perahu adalah dua sosok tubuh. 

Sebelah depan seorang laki-laki berusia tiga 

puluhan tahun. Rambutnya panjang sebahu 

menutupi sebagian pundak dan wajahnya yang 

tampan dan keras. Sepasang matanya tajam 

dengan alis tebal mencuat serta kumis lebat 

melintang. Laki-laki ini mengenakan pakaian 

jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis 

baju berwarna putih. 

Sementara di sebelah belakang adalah 

seorang perempuan berusia dua puluh lima 

tahunan. Parasnya cantik jelita. Rambutnya 

digulung tinggi ke atas diikat dengan kain 

berwarna merah. Kulitnya putih bersih. Lehernya 

jenjang. Dadanya mencuat padat ditingkah 

pinggul besar yang dilapis pakaian tipis dan ketat 

berwarna putih. Sepasang matanya bulat di 

bawah alis mata yang tebal dan hitam. 

Seakan tak sabar, belum sampai benar-benar 

merapat ke pulau, si laki-laki berpaling ke arah si


perempuan tanpa buka suara. Saat lain, laksana 

terbang si laki-laki berkelebat. Gerakan berpaling 

si laki-laki tampaknya sudah cukup membuat si 

perempuan maklum. Hampir bersamaan dengan 

berkelebatnya si laki-laki, si perempuan 

membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat 

menjajari kelebatan si laki-laki di udara. Kejap 

lain kedua orang ini sudah tegak di atas dua 

bongkahan batu di kawasan pulau. 

Untuk beberapa saat kedua orang itu lepas 

pandangan berkeliling lalu saling pandang. 

Wajah mereka jelas berubah tegang ketika tiba-

tiba telinga mereka menangkap suara lolongan 

anjing di sela suara gemuruh hantaman 

gelombang yang abadi mendera batu-batu 

lamping pulau. 

Belum lenyap ketegangan kedua orang yang 

baru muncul di kawasan pulau, mendadak 

mereka mendengar suara derap ladam kaki-kaki 

kuda! Namun semua itu berlangsung sekejap. 

Laksana dibungkam setan, suara lolongan dan 

derap ladam kaki-kaki kuda lenyap. Kawasan 

pulau disentak kesunyian. 

"Kau yakin ini tempat yang dijanjikan?!" Si laki-

laki angkat suara dengan alihkan pandangannya 

ke tengah pulau. Suaranya berat dan bergetar. 

"Nada ucapanmu menunjukkan hatimu 

dilanda ketakutan!" Si perempuan menyahut lalu 

tertawa pendek.


"Aku memang takut! Tapi bukan karena 

urusan di tempat ini! Aku mengkhawatirkan anak-

anak kita...." 

"Anak-anak kita berada di tempat aman. Kau 

tak perlu cemas!" 

Si laki-laki menghela napas panjang. "Kau 

yakin ini tempatnya?!" Dia kembali ajukan tanya. 

"Aku tak pernah salah alamat! Cuma aku perlu 

bertanya sekali lagi padamu. Kau siap 

melakukan ini?!" 

"Demi keabadian kita, aku siap melakukan 

apa saja! 

Mendengar ucapan si laki-laki, si perempuan 

tersenyum. Ketegangan di wajahnya pupus 

seketika. Dia lalu melompat dan tegak di 

samping si laki-laki. Kedua tangannya segera 

melingkar pada pinggang si laki-laki, dan sekali 

membuat gerakan berputar, sosoknya berdiri 

tepat di hadapan si laki-laki. Sepasang matanya 

dipejamkan, mulutnya dibuka perlahan-lahan. 

Dadanya yang mencuat kencang terlihat mulai 

bergerak turun naik. 

"Bidadari Tujuh Langit...! Tahan gejolakmu! 

Sekarang bukan saatnya bersenang-senang!" 

kata si laki-laki seraya lepaskan lingkaran kedua 

tangan si perempuan yang dipanggilnya Bidadari 

Tujuh Langit. 

"Aku...."


Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan 

ucapan, si laki-laki telah memotong. "Kalau kau 

tak mampu menahan diri, lebih baik kita 

tinggalkan tempat ini!" 

Bidadari Tujuh Langit buka kelopak matanya. 

Dia menghela napas mengatasi gejolak yang 

sudah mendera dadanya. Tampangnya jelas 

membayangkan perasaan kecewa. 

"Bidadari...! Urusan yang kita hadapi bukan 

masalah main-main! Bahkan kita belum tahu 

benar apakah kita berdiri di tempat yang tidak 

salah! Kuharap kau mengerti...!" 

"Kalian tidak berdiri di tempat yang salah!" 

Mendadak mereka dikejutkan dengan satu 

suara. 

Memandang ke depan, mereka melihat 

seorang gadis muda berparas cantik luar biasa. 

Bola matanya bulat. Bulu matanya lentik. 

Hidungnya mancung dengar bibir merah ranum. 

Dia mengenakan pakaian amat tipis! berwarna 

kuning muda. Bagian dadanya diberi belahan 

memanjang sampai depan perut, hingga bagian 

samping dadanya yang membusung kencang 

terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya 

diberi dua belahan di bagian depan memanjang 

sampai di atas lutut. Hingga pahanya yang putih 

dan padat terpampang jelas. 

Ada keanehan dengan gadis cantik


berpakaian menggoda ini. Meski jelas kalau 

wajah dan bentuk tubuhnya menunjukkan dia 

masih muda, namun rambutnya sudah memutih! 

"Dewi Keabadian...!" Hampir berbarengan 

Bidadari Tujuh Langit dan laki-laki di sampingnya 

bergumam. I 

"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Aku 

tidak menduga kalau pada akhirnya kalian 

datang ke tempat ini! Ini satu bukti, selain kalian 

pemberani, kalian juga adalah manusia-manusia 

serakah yang tak puas dengan keadaan! Kalian 

ingin sesuatu yang seharusnya bukan milik 

kalian!" Gadis cantik berambut putih buka mulut. 

Walau nada ucapannya agak sengit, namun 

ketika mengucapkan, gadis yang dikenali 

BidadariTujuh Langit dan si laki-laki dengan 

sebutan Dewi abadian ini sunggingkan senyum. 

Malah pingguln yang besar digerakkan 

bergoyang. Hingga bukan sa pahanya makin 

terlihat, namun dadanya yang kenca mencuat 

tampak bergerak-gerak menggoda. 

"Datuk Kala Sutera! Tahan mata dan 

pikiranmu! Biaraku yang berkata!" Bidadari Tujuh 

Langit berbisik; pada laki-laki di sebelahnya. 

Laki-laki berparas tampan yang dipanggil 

Datuk Kala Sutera anggukkan kepala dengan 

menahan debaran dadanya. Laki-laki ini coba 

alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Tapi 

hal itu hanya mampu dilakukan beberapa saat.


Saat berikutnya sepasang matanya telah kembali 

mencari sosok tubuh Dewi Keabadian. 

Walau tanpa berpaling, tampaknya Bidadari 

Tujuh Langit bisa menangkap apa yang dirasakan 

Datuk Kala Sutera, hingga dengan suara agak 

keras dia kembali berkata. 

"Kau dengar ucapanku, Datuk! Tahan mata 

dan pikiranmu! Sekali kau tenggelam, rencana 

kita beran-takan!" 

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit 

melompat turun dari bongkahan batu dan tegak 

sepuluh langkah di hadapan Dewi Keabadian. 

Lalu berkata. 

"Dewi Keabadian...! Kami datang memenuhi 

janjimu beberapa tahun silam!" 

Dewi Keabadian tersenyum. "Aku memang 

tidak lupa dengan segala ucap janjiku! Tapi aku 

ingin dengar sekali lagi apa yang pernah 

kuucapkan pada kalian beberapa tahun yang 

lalu...." 

"Kami berdua ingin hidup abadi sepertimu. 

Kau telah menjanjikan hal itu pada kami!" 

"Bukankah selama ini kalian telah memiliki 

ilmu keabadian itu?! Kalian tampak masih muda. 

Berwajah cantik dan tampan walau usia kalian 

hampir tiga kali lipat dari usia yang tampak!" 

"Dewi.... Kau tahu. Apa yang kami miliki


sekarang ada batasnya! Kami hanya bisa 

bertahan lima tahun lagi! Setelah itu wajah kami 

berubah sesuai berapa usia kita sebenarnya! 

Kami telah mengatakan hal itu padamu pada 

beberapa tahun silam. Dan kau sanggup 

memberi apa yang membuatmu tetap muda dan 

cantik meski usiamu tidak bisa dihitung lagi!" 

"Bidadari.... Janji memang harus ditepati! Tapi 

apakah kau dan suamimu sanggup melakukan 

apa syaratnya?!" 

"Kami tidak akan datang menemuimu jika 

kami takut melakukan syarat yang kau minta!" 

"Aku tidak hanya butuh kesanggupanmu. Tapi 

juga perlu kesiapan suamimu!" kata Dewi 

Keabadian dengan arahkan pandang matanya 

pada Datuk Kala Sutera. Gadis cantik berambut 

putih ini kembali gerakkan pinggulnya. Sepasang 

kakinya digerakkan agak merentang hingga 

belahan pada pakaian bawahnya tersingkap 

lebar. 

Bidadari Tujuh Langit berpaling pada Datuk 

Kala Sutera yang tampak mendelik tak berkesip 

pandangi singkapan kain Dewi Keabadian. 

"Datuk Kala Sutera.... Kau sanggup memenuhi 

syaratku?!" tanya Dewi Keabadian. 

Yang ditanya tidak segera menjawab. 

Sebaliknya melirik pada Bidadari Tujuh Langit. 

"Kau kelihatan bimbang...," ujar Dewi


Keabadian seraya tertawa lalu alihkan 

pandangannya pada Bidadari Tujuh Langit dan 

berkata. 

"Bidadari.:.! Kau masih punya waktu lima 

tahun lagi! Kembalilah lima tahun kemudian! Itu 

pun kalau suamimu tidak merasa ragu-ragu lagi!" 

Habis berkata begitu, Dewi Keabadian 

balikkan tubuh. Namun sebelum gadis muda ini 

melangkah, Bidadari Tujuh Langit angkat suara. 

"Dewi! Tunggu!" 

"Aku perlu jawaban suamimu! Bukan 

jawabanmu!" kata Dewi Keabadian tanpa putar 

diri. 

Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepalanya 

berpaling pada suaminya Datuk Kala Sutera. 

Saat itulah Datuk Kala Sutera buka mulut. 

"Aku sanggup melakukan apa saja syaratmu, 

Dewi Keabadian!" 

Dewi Keabadian perdengarkan tawa panjang 

seraya putar tubuh. Saat yang sama Datuk Kala 

Sutera melompat dan tegak menjajari Bidadari 

Tujuh Langit. 

"Datuk.... Kita harus berhati-hati. Selain 

memiliki ilmu tinggi, tindakannya sulit ditebak! 

Tapi kalau kita bisa mendapatkan sepasang 

cincin pada kedua ibu jari kakinya, bukan saja 

kita akan memiliki ilmu keabadian, namun kita


akan menjadi sepasang manusia yang tiada 

tanding!" Bidadari Tujuh Langit berbisik. Lalu 

arahkan pandangannya pada kedua ibu jari Dewi 

Keabadian. 

Kedua ibu jari Dewi Keabadian memang 

mengenakan cincin dari batu giok. Yang di 

sebelah kiri berwarna merah, di sebelah kanan 

berwarna hijau. Inilah cincin yang dikenal sebagai 

Sepasang Cincin Keabadian. 

"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh langit!" 

berkata Dewi Keabadian seraya pandang silih 

berganti pada kedua orang di hadapannya. 

"Sebelum kukatakan syarat yang kuminta, aku 

beri kalian kesempatan untuk berpikir lagi! 

Kesempatan kalian masih panjang.... Sejak 

malam ini hingga lima tahun kemudian!" 

"Aku telah berpikir seribu kali sebelum datang 

ke tempat ini menemuimu!" Bidadari Tujuh Langit 

menyahut. "Katakan saja syarat yang kau minta 

malam ini! Aku dan suamiku akan memenuhinya 

malam ini juga!" 

"Hem.... Begitu?!" gumam Dewi Keabadian 

seraya tertawa perlahan. Lalu putuskan tawanya 

dan tengadah. 

Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit 

saling lontar pandang tanpa ada yang buka 

suara. Saat berikutnya mereka memandang pada 

Dewi Keabadian de-ngan dada berdebar.


"Aku minta Datuk Kala Sutera menemaniku di 

pulau ini dua purnama sejak malam ini! Setelah 

itu setiap menjelang purnama, dia harus berada 

di sisiku! Dan kau, Bidadari Tujuh Langit!. Kau 

harus bersemadi di tempat ini dua purnama! 

Setelah itu, setiap menjelang purnama kau harus 

mengantarkan suamimu untukku!" 

Ucapan Dewi Keabadian membuat tegak 

Bidadari Tujuh Langit bergetar. Sepasang 

matanya mem-belalak. Di sebelahnya, Datuk 

Kala Sutera berdebar tidak enak. 

"Syarat mudah, bukan?!" Dewi Keabadian 

bertanya sambil luruskan kepala dan 

sunggingkan senyum. 

"Syarat gila! Tak mungkin aku melakukannya!" 

gumam Datuk Kala Sutera. "Aku tahu apa 

akibatnya jika lakukan hal itu!" 

"Aku juga tahu akibatnya! Bahkan aku bisa 

menduga, kau tidak akan bertahan satu 

purnama!" sahut Bidadari Tujuh Langit. "Tapi kau 

harus terima syarat itu!" 

"Kau ingin aku tewas di tangannya dengan 

tubuh tak berdarah?!" desis Datuk Kala Sutera. 

"Kita bukan manusia yang mudah dibodohil 

KitJ datang dengan rencana.... Lakukan apa yang 

dimintai dan begitu dia terlena, kau punya bagian 

kaki sebelah kanan, aku punya bagian sebelah 

kiri!" ?Tapi...."


"Lalukan saja, Datuk! Atau kita gagal 

mendapatkan apa yang kita cita-citakan!" 

"Kalian akan menjawab malam ini atau...." 

"Aku siap melakukannya malam ini juga!" 

Bidadari Tujuh Langit sudah menukas sebelum 

Dewi Keabadian selesai dengan ucapannya. 

"Bukan hanya kau yang harus memberi 

jawaban...!" ujar Dewi Keabadian sambil 

tersenyum dan memandang ke arah Datuk Kala 

Sutera. 

"Aku juga siap lakukan syaratmu!" Datuk Kala 

Sutera buka mulut dengan suara bergetar. 

"Sejak malam ini?!" tanya Dewi Keabadian. 

Datuk Kala Sutera menjawab dengan isyarat 

anggukan kepala. Dewi Keabadian tertawa 

panjang. Bidadari Tujuh Langit memandang 

dengan senyum dingin. 

"Bidadari Tujuh Langit!" kata Dewi Keabadian 

seraya arahkan tangannya menunjuk pada satu 

bongkahan batu sejarak delapan langkah di 

samping tempat tegaknya Bidadari Tujuh Langit. 

"Kau duduklah bersemadi di bongkahan batu itu 

hingga dua purnama mendatang!" Dewi 

Keabadian arahkan pandangan pada Datuk Kala 

Sutera. "Dan kau, calon pendampingku.... Ikutlah 

aku!" 

Dewi Keabadian balikkan tubuh. Lalu


melangkah dengan pinggul sedikit digoyang. 

Datuk Kala Sutera berpaling pada Bidadari 

Tujuh Langit. Belum sampai dia buka suara, 

Bidadari Tujuh Langit sudah mendahului. 

"Ingat! Sekali kau tenggelam, bukan saja 

rencana kita berantakan, tapi nyawamu tidak 

bisa diselamatkan!" 

Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu 

melangkah perlahan mengikuti Dewi Keabadian. 

Bidadari Tujuh Langit pandangi gerakan Datuk 

Kala Sutera dan Dewi Keabadian. Saat lain dia 

berkelebat' lalu duduk di atas bongkahan batu 

yang tadi ditunjuk Dewi Keabadian. 

---ooo0dw0ooo--- 

DUA 



TAMPAKNYA Bidadari Tujuh Langit tidak bisa 

tenang. Belum sampai dia duduk di atas 

bongkahan batu, perempuan cantik ini sudah 

bergerak bangkit dengan mata nyalang pandangi 

sosok Dewi Keabadian dan Datuk Kala Sutera 

yang terus melangkah di depan sana. 

“Aku tak boleh menunggu! Bukan tak mungkin 

perempuan itu memuslihatiku! Tak mustahil pula 

Datuk Kala Sutera akan tenggelam dalam 

nafsunya! Aku bisa celaka!"


Seolah tidak sabar, Bidadari Tujuh Langit 

segera berkelebat. Datuk Kala Sutera yang 

merasakan desiran angin segera berpaling. Laki-

laki ini sempat terkesiap. Dia coba buka mulut. 

Tapi terlambat. Bidadari Tujuh Langit bukan saja 

telah melesat melewatinya, namun melakukan 

sesuatu yang sama sekali tidak diduga. 

Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya 

dan sekonyong-konyong lepaskan pukulan ke 

arah Dewi Keabadian! 

“Gila! Apa yang dilakukannya?! Dia bisa 

merusak rencana!" desis Datuk Kala Sutera. 

Namun dia hanya bisa mendesis tanpa mampu 

membuat gerakan. Karena apa pun yang akan 

dilakukan, sudah sangat terlambat, hingga dia 

hentikan langkah dan diam mematung. 

Di depan sana, tiba-tiba Dewi keabadian 

melompat ke udara seraya balikkan tubuh. 

Kedua kakinya bergerak lakukan tendangan. 

Bukkk! Bukkk! 

Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua 

tangannya mental balik ke udara. Sosoknya 

terbanting di Udara lalu jatuh terjengkang di atas 

tanah! 

"Tampaknya kau belum siap, Bidadari...." Dewi 

Keabadian berkata. Meski baru saja dibokong, 

namun gadis cantik berambut putih ini 

tersenyum.


Bidadari Tujuh Langit bergerak bangkit. 

Parasnya tampak berubah. Datuk Kala Sutera 

segera melompat dan tegak menjajari. 

"Kalian masih punya waktu lima tahun untuk 

berpikir! Namun harus kalian ingat. Setiap kali 

syarat yang kuminta bisa berubah! Dan setiap 

waktu pula tempat pertemuan kita bisa 

berpindah!" 

"Maafkan aku, Dewi...," ujar Bidadari Tujuh 

Langit! dengan suara bergetar parau. "Rasanya 

aku tidak perlu menunggu sampai lima tahun.... 

Aku tidak mungkin mampu melakukan 

syaratmu!" 

Dewi Keabadian kembali tersenyum saat 

berkata. "Aku senang mendengar ucapanmu. 

Mudah-mudahan kau tidak tergoda lagi dengan 

keinginan seperti yang kau minta malam ini!" 

Habis berkata begitu, Dewi Keabadian 

balikkan tubuh. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit 

memberi isyarat pada Datuk Kala Sutera. 

Si Datuk terlihat bimbang. Namun begitu 

Bidadari Tujuh Langit mendelik. Datuk Kala 

Sutera anggukkan kepala. 

Begitu Dewi Keabadian mulai melangkah, 

mendadak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera sama selinapkan tangan masing-masing 

ke balik pakaiannya. Saat lain kedua orang ini 

melesat ke arah Dewi Keabadian dengan tangan


kanan hujamkan pedang pendek pada bagian 

bawah sosok sang Dewi! 

Tampaknya Dewi Keabadian bisa membaca 

gelagat orang. Bersamaan dengan bergeraknya 

tangan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera, Dewi Keabadian melompat ke udara, lalu 

membalik seraya lepaskan tendangan! 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

yang sudah siap membaca gerak orang tidak sia-

siakan kesempatan. Dengan kerahkan tenaga 

dalam, mereka tarik pulang tangan kanan 

masing-masing keatas. Lalu menghadang 

tendangan.... 

Prass! Prass! 

Terdengar suara benda putus. Disusul dengan 

terdengarnya suara seruan tertahan. 

Tangan kanan Bidadari Tujuh Langit dan 

Datuk Kala Sutera mencelat balik ke udara. 

Pedang di tangan masing-masing orang terlepas 

mental. Saat berikutnya sosok kedua orang ini 

tersapu amblas ke samping kanan kiri sebelum 

akhirnya terkapar di atas tanah. 

Namun baik Bidadari Tujuh Langit maupun 

Datuk Kala Sutera seolah tidak pedulikan 

keadaan diri masing-masing. Mereka segera 

bangkit dengan kepala mendongak dan mata 

mendelik tak berkesip memperhatikan dua 

benda putih yang melayang di udara.


"Kita berhasil! Cepat lakukan sesuatu!" Teriak 

Bidadari Tujuh Langit. 

Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Terlihat 

Dewi Keabadian terduduk di atas tanah dengan 

paras berubah seraya mengawasi kedua kakinya. 

Kedua kaki sang Dewi putus tepat pada 

pergelangan dan kucurkan darah! 

"Kalian berlaku licik padaku!" Dewi Keabadian 

berteriak. Anehnya meski kedua kakinya telah 

putus terbabat pedang Bidadari Tujuh Langit dan 

Datuk Kala Sutera, namun bibir gadis ini tetap 

tersenyum! Memandang sesaat silih berganti 

pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera lalu mengikuti gerakan putusan kedua 

kakinya. Saat lain gadis cantik berambut putih ini 

membuat gerakan. 

Namun sebelum melakukan tindakan lebih 

jauh, Datuk Kala Sutera mendahului dengan 

sentakkan kedua tangannya ke arah sang Dewi 

lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam 

tinggi! 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang dahsyat menggebrak ganas 

dengan semburkan hawa panas luar biasa. 

Dewi Keabadian terkesiap kaget. Dia batalkan 

niat berkelebat. Lalu seraya masih sunggingkan 

senyum, gadis cantik ini sentakkan pula kedua 

tangannya meng hadang pukulan yang datang.


Bumm! Bummm! 

Dua ledakan keras terdengar. Sosok Dewi 

Keabadian terseret setengah tombak di atas 

tanah dengan bahu berguncang keras. Di lain 

pihak, sosok Datuk Kal Sutera tersapu mental 

hingga beberapa tombak sebelum akhirnya 

terhenti setelah menghantam satu bongkahan 

batu hingga pecah berantakan! Mulutnya 

mengembung lalu terbatuk muntahkan darah. 

Saat ledakan keras terdengar, Bidadari Tujuh 

langit tidak membuang kesempatan. Dia 

mengikuti gerakan penggalan kedua kaki Dewi 

Keabadian lalu sekali berkelebat, sosoknya 

melenting ke udara. Kedua tangannya bergerak 

menyambar ke arah penggalan kedua kaki Dewi 

Keabadian. 

Tampaknya Bidadari Tujuh Langit tidak mau 

berlaku ayal. Begitu kedua tangannya berhasil 

menyambar kedua penggalan kaki Dewi 

Keabadian, dia membuat gerakan jungkir balik 

dua kali seraya lepas pandangan sekilas. Namun 

hal itu sudah cukup membuat sang Bidadari tahu 

persis di mana tempat Dewi Keabadian. 

Bidadari Tujuh Langit cepat selinapkan 

penggalan kaki sang Dewi ke balik pakaiannya. 

Saat lain kedua tangannya menyentak lepas 

pukulan jarak jauh ke arah Dewi Keabadian! 

Wuutt! Wuutt!


Dua gelombang ganas berkiblat lurus. 

Walau dalam keadaan terjepit karena baru 

saja menghadang pukulan yang dilepas Datuk 

Kala Sutera dan kedua pergelangan kakinya 

putus, namun sang Dewi masih mampu 

sentakkan kedua tangannya. 

Blarr! Blaarr! 

Pulau itu laksana ditelan gempa dahsyat. 

Beberapa bongkahan batu yang banyak 

bertebaran bergetar keras dan sebagian 

langsung muncrat bertabur ke udara. 

Dewi Keabadian perdengarkan jeritan tinggi. 

Sosoknya kembali tersapu deras ke belakang 

dan membentur satu bongkahan batu lalu mental 

balik dan terkapar. Kedua pergelangan kakinya 

yang terbabat putus makin kucurkan darah. 

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit 

terpelanting di udara dengan mulut semburkan 

darah. Lalu terjengkang roboh di atas tanah 

dengan bahu tersentak-sentak. 

Bidadari Tujuh Langit kerahkan segenap 

tenaga yang dimiliki. Lalu kedua tangannya 

menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika kedua 

tangannya ditarik keluar, terlihat dua penggalan 

kaki Dewi Keabadian yang berlumur darah. Sang 

Bidadari memperhatikan sekilas pada Sepasang 

Cincin Keabadian di dua ibu jari penggalan kaki 

sang Dewi.


Dengan cepat Bidadari Tujuh Langit lepas 

cincin di penggalan kaki sebelah kiri yang 

berwarna merah dan dimasukkan pada ibu jari 

kaki kirinya. Lalu bergerak bangkit seraya 

campakkan penggalan kaki sang Dewi yang 

sudah tidak bercincin. 

Karena gerakan tangan Bidadari Tujuh Langit 

bukan gerakan biasa, penggalan kaki milik sang 

Dewi yang sudah tidak bercincin itu langsung 

amblas masuk hampir setengahnya ke dalam 

tanah! 

Hampir bersamaan dengan amblasnya 

penggalan kaki milik sang Dewi, Bidadari Tujuh 

Langit sentakkan tangan satunya yang masih 

memegang penggalan kaki ke arah Datuk Kala 

Sutera yang sudah bangkit dan bersandar di 

salah satu bongkahan batu. 

Datuk Kala Sutera tidak mau menunggu. Dia 

hantamkan punggungnya pada bongkahan batu 

di mana dia bersandar. Sosoknya melesat ke 

depan menyongsong penggalan kaki kanan Dewi 

Keabadian. 

Di atas udara, Datuk Kala Sutera cepat 

lepaskan cincin di penggalan kaki, lalu 

mengenakannya pada ibu jari kaki kanannya 

seraya jungkir balik sebelum akhirnya melayang 

turun dan tegak terhuyung di sebelah Bidadari 

Tujuh Langit.


"Akhirnya kita berhasil!" gumam Bidadari Tujuh 

Langit sambil usap darah di sudut mulutnya. 

"Kita harus Cepat tinggalkan tempat ini!" 

Seakan tak sabar, sang Bidadari cepat gaet 

lengan Datuk Kala Sutera dan diseretnya 

menyingkir menuju pinggiran pulau. 

Di lain pihak, Dewi Keabadian cepat tarik 

kedua kakinya lalu ditekuk dengan lutut sejajar 

dada. Dia segera menotok beberapa tempat di 

sekitar kedua kakinya yang terbabat putus. 

Kucuran darahnya berhenti seketika. Lalu 

arahkan pandangannya pada sosok Bidadari 

Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera yang terus 

hcrkelebat menuju pinggiran pulau. 

"Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera!" 

Dewi Keabadian berteriak tanpa membuat 

gerakan. "Sebelum kalian tinggalkan tempat ini, 

kalian harus dengar ucapanku!" 

Ada satu keanehan. Bersamaan dengan 

terdengarnya teriakan sang Dewi, Bidadari Tujuh 

Langit dan Datuk Kala Sutera rasakan kedua 

kakinya diganduli kekuatan dahsyat. Hingga 

meski kedua orang ini kerahkan segenap tenaga 

luar dalamnya, mereka tetap tidak mampu untuk 

melangkah! Dan pada saat yang sama, mereka 

laksana dihantam gelombang luar biasa kuat 

hingga sosok kedua orang ini berputar 

menghadap Dewi Keabadian!


Datuk Kala Sutera tercekat dan tidak berani 

memandang ke arah sang Dewi. Tengkuknya 

dingin dengan kedua lutut goyah. Namun tidak 

demikian halnya dengan Bidadari Tujuh Langit. 

Perempuan cantik bertubuh bahenol ini 

sunggingkan senyum dingin meski raut 

keterkejutan tak bisa dilenyapkan dari wajahnya. 

Dia memandang sekilas pada suaminya Datuk 

Kala Sutera lalu beralih pada Dewi Keabadian. 

Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke 

depan saking kagetnya. Sepasang matanya 

mendelik besar, Dan seolah tidak percaya, dia 

sapukan pandangan berkeliling seraya 

menggumam. 

"Jangan-jangan ada orang lain di tempat inil 

Tapi...." Bidadari Tujuh Langit memperhatikan 

sekali lagi pada satu sosok tubuh yang duduk 

bersandar pada satu bongkahan batu. 

Dia adalah seorang perempuan berusia amat 

lanjut. Sekujur kulit wajahnya telah mengeriput. 

Sepasang matanya menjorok masuk ke dalam 

rongga yang amat dalam. Rambutnya putih awut-

awutan. Mengenakan pakaian warna kuning 

muda yang bagian dadanya diberi belahan 

memanjang ke bawah hampir sampai depan 

perutnya hingga terlihat jelas sebagian kulit 

dadanya yang keriput. 

"Dari-pakaiannya jelas dia. Tapi...." Kembali 

Bidadari Tujuh Langit dilanda kebimbangan. Saat


itulah dia ingat sesuatu. Bidadari Tujuh Langit 

segera memperhatikan pada kedua kaki 

perempuan tua yang duduk bersandar. Ternyata 

sepasang kaki nenek ini terputus hingga 

pergelangan! 

Bidadari Tujuh Langit baru tersenyum lega dan 

menarik napas panjang. Lalu berbisik pada 

Datuk Kala Sutera. 

"Kau tak perlu takut.... Dia sudah tidak ada 

apa-apanya lagi! Lihatlah!" 

Perlahan-lahan Datuk Kala Sutera beranikan 

dia arahkan pandangan pada Dewi Keabadian. 

Seperti halnya Bidadari Tujuh Langit, sang 

Datuk tampak tercengang tak percaya hingga 

penggalan kaki kanan sang Dewi yang masih 

terpegang tangan kanannya terlepas jatuh! 

"Yakinkan matamu dengan melihat kedua 

kakinya!" bisik Bidadari Tujuh Langit seakan bisa 

menangkap rasa tidak percaya Datuk Kala 

Sutera meski dia tidak berpaling. 

"Sekarang aku percaya kalau dia Dewi 

Keabadian!" Akhirnya Datuk Kala Sutera 

bergumam setelah melihat kedua kaki si nenek 

berambut putih yang duduk ber-aandar. 

"Dia bukan hanya kehilangan keabadian 

tubuhnya, namun ilmunya juga sirna! Kita tak 

usah khawatir! Bahkan kalau perlu, dia kita bikin 

mampus sekarang juga! Parempuan cabul


macam dia sudah layak menerima imbalan 

setimpal di akhir hidupnya!" berkata Bidadari 

Tujuh Langit dengan tangan terkepal. 

"Kita jangan menambah urusan! Apa yang kita 

cari sudah kita dapat! Sebaiknya kita segera 

pergi! Lagi pula mikan tak mungkin dia masih 

memiliki kekuatan! Bukankah semua 

tindakannya selama ini sukar ditebak?! kau lihat 

sendiri apa yang baru saja terjadi. Kita bukan 

saja tak mampu melangkah, namun tubuh kita 

berputar menghadapnya seperti digerakkan 

tenaga dahsyat!" 

Bidadari Tujuh Langit berpikir sesaat. Lalu 

berbisik. 

"Kalau dia kita biarkan hidup, jangan-jangan 

dia akan mencari kita! Lebih baik kita tuntaskan 

urusan ini!" 

"Jangan mencari celaka!" sentak Datuk Kala 

Su-Ina. Mungkin karena khawatir si istri akan 

lakukan tindakan yang tidak diduga, sang Datuk 

segera gaet tangan sang Bidadari, lalu diseretnya 

berkelebat tinggalkan tempat itu. 

"Kalian tak akan pergi sebelum dengar 

ucapanku!" Terdengar suara Dewi Keabadian 

yang kini telah berubah menjadi seorang nenek-

nenek berkulit keriput. 

---ooo0dw0ooo


TIGA 



BIDADARI Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

tersentak kaget. Bukan karena ucapan sang 

Dewi, melainkan karena bersamaan dengan 

terdengarnya suara itu, mereka tidak mampu 

gerakkan tubuh untuk melangkah teruskan niat 

hendak tinggalkan tempat llu! Meski keduanya 

telah kerahkan segenap tenaga dalam yang 

mereka miliki 

Belum lenyap rasa kaget Bidadari Tujuh Langit 

dan Datuk Kala Sutera, Dewi Keabadian kembali 

perdengarkan suara. 

"Malam ini kalian telah bertindak licik pada 

seseorang yang punya niat baik!" Dewi 

Keabadian hentikan ucapannya sesaat. Bidadari 

Tujuh Langit hendak buka mulut perdengarkan 

suara. Namun meski mulutnya lelah menganga 

terbuka, tidak terdengar sepatah kata dari 

mulutnya. Suara itu laksana tenggelam dalam 

tenggorokannya! *-~ 

"Kalian tahu...." Dewi Keabadian teruskan 

ucapan. "Kalian terlalu punya prasangka buruk 

padaku! Kalian hanya melihat apa yang terlihat 

mata dan mendengar apa yang tertangkap 

telinga kalian! Kalian tidak bisa berpikir apa 

sesungguhnya di balik yang terlihat dan 

terdengar!" 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera


hanya bisa simak ucapan orang tanpa bisa 

membuat gerakan atau perdengarkan suara. 

Mereka berdua kernyitkan dahi. Bukan saja 

heran dengan apa yang dialami, namun juga 

merasa aneh dengan kata-kata Dewi Keabadian. 

Di depan sana, Dewi Keabadian tersenyum. 

Lalu? lanjutkan ucapan. 

"Kalian tahu.... Aku meminta syarat berat 

karena! aku berharap kalian mengurungkan niat! 

Dan kau, Datuk Kala Sutera! Kuminta kau 

menemaniku bukan untuk] tujuan jelek seperti 

yang kalian kira! Aku akan membawamu ke satu 

tempat agar kau bisa berpikir lebih jernih! Dan 

kau Bidadari Tujuh Langit! Kau kuminta 

bersemadi, agar kau bisa menimbang kembali 

semua permintaanmu. Karena apa yang kalian 

minta adalah sesuatu yang bukan menjadi hak 

kalian! Keabadian hanya dimiliki] oleh Sang 

Maha Abadi! Bukan milik manusia! Apa yang 

kumiliki selama ini, dan kini berpindah ke tangan 

kalian hanyalah keabadian semu! Itu hanya 

keabadian menurut manusia! Kelak semuanya 

pasti akan berakhir dan kita akan kembali 

menghadap Yang Maha Abadi!" 

Untuk kedua kalinya Dewi Keabadian hentikan 

ucapan. Dia sandarkan tubuh lalu mendongak 

seraya teruskan ucapan. 

"Kalian juga perlu tahu.... Kalau selama ini 

kalian melihatku berpakaian dan bersikap


menggoda, semua itu hanyalah ujian! Jika kalian 

berpikiran baik, kalian tentu tidak akan menduga 

yang bukan-bukan! Justru semua itu akan 

mengingatkan kalian pada Yang Maha Pencipta 

Keindahan!" 

Dewi Keabadian membuat gerakan satu kali. 

Sosoknya melesat ke udara dan tahu-tahu telah 

duduk bersila di bongkahan batu di mana dia tadi 

bersandal Lalu lanjutkan ucapan. 

"Malam ini kalian telah salah sangka dan 

serakah pada seseorangl Hal ini kelak akan 

membuahkan hasil yang sama pada diri kalian 

masing-masing I Kalian akan salah sangka pada 

anak-anak kalian bahkan pada kailan berdua! 

Kalian dan anak-anak kalian akan dihinggapi 

sifat serakah untuk mendapatkan sesuatu! 

Pertolongan memang akan datang! Tapi 

kedatangannya sudah sangat terlambat dan 

justru pertolongan itu datangnya dari sesuatu 

yang sangat menyakitkan hati!" 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

terpana. Mereka merasakan kuduk masing-

masing laksana diguyur es. Sekuat tenaga 

mereka coba bebaskan diri agar dapat bergerak 

dan segera tinggalkan tempat Hu. Namun usaha 

mereka tidak berhasil. 

Di seberang, Dewi Keabadian menghela napas 

panjang dengan bibir masih sunggingkan 

senyum. Lalu angkat suara lagi.


"Karena negeri daratan Himalaya ini telah 

kotor dengan tindakan kalian, maka pertolongan 

itu akan datang dari manusia di luar daratan 

Himalaya! Dan Sepasang Cincin Keabadian tidak 

akan lepas dari kaki kalian masing-masing 

sebelum kalian mengalami nasib yang seperti 

kalian lakukan padaku! Dan kalian juga perlu 

tahu.... Sepasang Cincin Keabadian memang 

akan membuat kalian tetap muda. Tapi 

Sepasang Cincin Keabadian akan membuat 

kalian buta! Bukan tidak idsa melihat, tapi kalian 

tidak akan mengenal mana anak, mana suami, 

mana istri!" Dewi Keabadian tertawa perlahan. 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

makin tercekat. 

Di seberang, tiba-tiba Dewi Keabadian 

sentakkan tubuhnya ke belakang. Sosoknya 

melesat beberapa tombak ke belakang lalu 

duduk bersila di atas tanah. 

Saat berikutnya kembali dia berkata. 

"Sepasang Cincin Keabadian tidak bisa 

dipisahkan! Jika dipakai terpisah, maka hal itu 

akan membual si pemakai mengidap satu 

penyakit! Memang penyakit itu tidak terlihat dan 

tidak terasa! Tapi penyakit itu sungguh 

memilukan hati! Karena kalian memakai terpisah 

satu sama lain, kelak kalian akan saling 

mencari!" 

Untuk kesekian kalinya Dewi Keabadian


hentikan ucapan. Lalu arahkan matanya pada 

Bidadari Tujuh ngit dan berkata. 

"Bidadari Tujuh Langit! Kau boleh pergi!" 

Begitu ucapan Dewi Keabadian selesai, 

mendadak Bidadari Tujuh Langit bisa gerakkan 

kembali anggota tubuhnya. Perempuan berwajah 

cantik dan bertubuh sintal ini tersenyum. 

Memandang beberapa saat pada Dewi 

Keabadian. Lalu berpaling pada Datuk Kala 

Sutera. Namun ada yang aneh. Tatkala sang 

Bidadari memandang wajah Datuk Kala Sutera, 

perempuan ini tampak terkejut seperti melihat 

orang yang tidak dikenali' Saat lain tanpa buka 

suara lagi, dia putar diri lalu enak saja berkelebat 

menuju pinggiran pulau! 

Datuk Kala Sutera tercengang. Dia hendak 

berteriak. Tapi suaranya tersumbat 

ditenggorokan. Dia coba putar diri. Tapi kekuatan 

dahsyat membuat sosoknya tetap diam tak 

bergerakl 

Dewi Keabadian tertawa perlahan. Dan begitu 

sosok Bidadari Tujuh Langit melompat dari 

pinggiran pulau, Dewi Keabadian angkat suara. 

"Datuk Kala Sutera! Sekarang kau juga boleh 

tinggalkan tempat ini!" 

Habis berkata begitu, Dewi Keabadian 

membuat satu kali gerakan. Tubuhnya melesat 

lalu lenyap ditelan kegelapan di depan sana.




Bersamaan dengan sirnanya sosok sang Dewi, 

Datuk Kala Sutera bisa gerakkan tubuh. Laki-laki 

berparas tampan ini memandang berkeliling 

beberapa saat. Lalu tengadah dengan dahi 

berkerut. 

"Apa yang telah kulakukan di tempat ini?! 

Mengapa aku bisa berada di tempat ini?!" Datuk 

Kala Sutera berusaha mengingat-ingat. Tapi dia 

tidak ingat apa-apa lagi! Bahkan dia lupa pada 

istrinya Bidadari Tujuh Langit! 

Datuk Kala Sutera edarkan pandang matanya 

sekali lagi menembus kegelapan suasana pulau. 

Lalu dia ingat akan perahunya. Dia cepat 

balikkan tubuh. Lalu berkelebat menuju pinggiran 

pulau. 

Tegak berdiri di salah satu lamping pulau, 

Datuk Kala Sutera tundukkan kepala 

memperhatikan dirinya. "Aneh.... Aku merasakan 

sesuatu! Gerakanku jadi ringan! Tenaga dalamku 

tiba-tiba bertambah! Apa yang terjadi...?!" 

Karena tidak juga menemukan jawaban, 

Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya ke 

tengah laut. Saat itulah matanya menangkap 

gerakan sebuah perahu. 

"Perahuku.... Bagaimana bisa berada di 

tengah laut?! Tapi.... Perahu itu berpenumpang! 

Siapa dia...?! Dari sikapnya jelas dia seorang 

perempuan!"


Datuk Kala Sutera mengukur jarak. Lalu 

berteriak. 

"Hai! Tunggu!" 

Walau saat itu suara gemuruh gelombang 

terus menyembur, anehnya teriakan Datuk Kala 

Sutera mampu didengar oleh si penumpang 

perahu yang bukan lain adalah Bidadari Tujuh 

Langit. Perempuan cantik dari sintal ini segera 

palingkan kepala. Samar-samar matanya 

menangkap satu sosok tubuh yang berdiri tegak 

di lamping pulau. 

"Siapa dia?!" gumam Bidadari Tujuh Langit 

seraya kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Lalu 

perahu di mana dia berada mendadak terhenti 

bahkan tidak bergeming sama sekali meski 

dihantam gelombang! 

Melihat si penumpang hentikan laju 

perahunya, Datuk Kala Sutera tidak berpikir dua 

kali. Dia segera melesat ceburkan diri ke dalam 

laut lalu berenang menghadang gelombang ke 

arah perahu. 

Sebenarnya Datuk Kala Sutera hanya coba-

coba. Dia berpikir, seandainya tidak mampu 

menghadang gempuran gelombang, dia akan 

berbalik dan menunggu hingga pagi hari. 

Namun begitu dia bukan hanya mampu 

menerjang gulungan ombak, namun gerakannya 

amat ringan, Datuk Kala Sutera teruskan


berenang. Sementara entah karena apa, Bidadari 

Tujuh Langit tidak berusaha mene-i ruskan laju 

perahunya. Dia diam menunggu sambil sesekali 

gerakkan kepala berusaha melihat sosok orang 

yang timbul tenggelam berenang ke arah 

perahunya. 

Begitu Bidadari Tujuh Langit melihat dua 

tangan menggapai bagian samping perahunya, 

perempuan ini segera bergerak mendekat. Ujung 

dayung segera dijulurkan yang cepat ditangkap 

oleh Datuk Kala Sutera. 

Wuuutt! 

Bidadari Tujuh Langit gerakkan dayung. Satu 

sosok tubuh melesat dari dalam air laut lalu 

tegak di lantai perahu dengan tubuh dan pakaian 

basah kucurkan air. 

Datuk Kala Sutera sisir rambutnya yang basah 

dengan jari-jari tangannya lalu memandang ke 

arah Bidadari Tujuh Langit seraya tersenyum dan 

berkata. 

"Terima kasih.... Kau tak keberatan jika aku 

ikut menumpang?!" 

Bidadari Tujuh Langit ikut sunggingkan 

senyum. Lalu anggukkan kepala. Diam-diam 

dalam hati dia berkata. "Siapa laki-laki ini?! 

Wajahnya tampan.... Tapi aku tidak tertarik...." 

Membatin begitu, tanpa angkat suara lagi 

Bidadari Tujuh Langit melangkah ke bagian


depan perahu. Lalu ayunkan dayung ke dalam air 

laut. Perahu itu kembali melaju cepat menembus 

gulungan ombak. 

"Aku ingat benar! Ini adalah perahu milikku! 

Tapi bagaimana bisa dibawa perempuan cantik 

ini? Siapa dia...?!" Datuk Kala Sutera pandangi 

bagian belakang sosok Bidadari Tujuh Langit. 

Pakaian putih tipis dan ketat yang dikenakan 

sang Bidadari membuat dada Datuk Kala Sutera 

berdebar. Apalagi gerakan perahu membuat 

pinggul sang Bidadari bergerak-gerak menggoda. 

Datuk Kala Sutera menelan ludah. Lalu 

melangkah mendekati sang Bidadari. Tapi belum 

sampai melangkah jauh, Bidadari Tujuh Langit 

sudah bersuara. 

"Laki-laki tak dikenal! Aku telah berbaik hati 

menolongmu memberi tumpangan! Jangan coba 

bertindak macam-macam! Tanganku bisa 

melemparkanmu ke tengah laut!" 

Datuk Kala Sutera hentikan langkah. 

"Bagaimana bisa begini?! Ini perahu milikku! Aku 

yakin betull Tapi.... Ah, daripada membuat 

keributan, lebih baik aku diam saja! Lagi pula 

bukan hanya dia gadis cantik yang nanti bisa 

kudapatkan di daratan sana!" 

Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera 

ambili dayung yang tergeletak di lantai perahu. 

Saat lain dia ayunkan dayung ke dalam air laut


dari bagian belakang perahu. Laju perahu makin 

deras. 

Derasnya laju perahu sudah cukup membuat 

Bidadari Tujuh Langit maklum apa yang 

dilakukan laki-laki di belakangnya. 

"Hem.... Selain berwajah tampan, dia juga 

memiliki tenaga dalam lumayan! Sayangnya aku 

tidak terpikat...!" 

Baru saja Bidadari Tujuh Langit membatin 

begitu, Datuk Kala Sutera berkata. 

"Boleh aku tahu siapa kau adanya?!" 

Bidadari Tujuh Langit tertawa tanpa berpaling. 

Puas tertawa dia berucap. "Aku yang memberimu 

tumpangan! Seharusnya kau yang 

memperkenalkan diri terlebih dahulu!" 

"Aku Datuk Kala Sutera!" 

"Nama bagus.... Boleh aku tahu, apa yang kau 

lakukan di pulau itu?!" 

Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. 

Seballiknya menoleh ke arah pulau yang kini 

terlihat saman samar hitam di kejauhan sana. 

Dia coba mengingat. Tapi selalu gagal. Hingga 

akhirnya dia berkata. 

"Aku telah mengatakan siapa diriku. Harap 

kau sudi memperkenalkan diri!" 

"Aku Bidadari Tujuh Langit!"


"Nama yang seindah orangnya!" puji sang 

Datuk membuat Bidadari Tujuh Langit tertawa 

cekikikan. Pujian orang tidak membuat dada 

perempuan ini berdebar, sebaliknya pujian itu 

terdengar lucu hingga sang Bidadari tertawa 

cekikikan! Lalu berucap. 

"Kau masih tak mau memberitahukan apa 

yang kau lakukan di pulau itu?!" 

Karena tak mau mendapat dugaan yang 

bukan-bukan, enak saja Datuk Kala Sutera 

menjawab. 

"Aku tengah memancing! Namun tiba-tiba 

ombak besar datang! Kailku mencelat dan 

perahu terbawa arus sebelum akhirnya pecah 

berantakan dihantam gelombang! Akhirnya aku 

menunggu hingga aku melihatmu...." 

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. "Mudah-

mudahan kau tidak berkata dusta padaku...," 

gumamnya membuat sang Datuk terkejut. 

Namun Datuk Kala Sutera tidak mau 

tunjukkan rasa kejutnya dan segera alihkan 

pembicaraan orang dengan berkata. 

"Sebenarnya aku tadi melihatmu di pinggiran 

pulau. Cuma aku masih khawatir. Menurut 

beberapa orang, pulau itu berpenghuni! Bukan 

manusia tapi sejenis makhluk halus.... Setelah 

aku yakin, baru aku berani berteriak! Kau baru 

mengunjungi pulau itu, bukan?!"


Kini ganti Bidadari Tujuh Langit yang terdiam 

beberapa lama. Perempuan ini seperti halnya 

Datuk Kala Sutera tadi, coba mengingat-ingat. 

Namun dia juga gagal menemukan jawaban. 

Hingga akhirnya dia berucap. 

"Seperti katamu.... Aku juga sering mendengar 

orang mengatakan pulau itu berpenghuni. 

Karena penasaran, aku coba membuktikan 

ucapan orangl Ternyata yang kutemukan bukan 

penghuni semacam makhluk halus, tapi laki-laki 

berwajah tampan yang terdampar karena 

perahunya hancur diterjang gelombang!" 

Pujian Bidadari Tujuh Langit membuat dada 

Datuk Kala Sutera berdegup keras. Hidungnya 

kembang kempis. Dia tatapi pinggul sang 

Bidadari yang terus bergerak-gerak karena 

guncangan perahu. Mungkin tak bisa menahan 

gejolak nafsunya, sang Datuk gerakkan kaki 

melangkah. 

Namun baru mendapat satu tindak, tiba-tiba 

gejolak nafsunya padam! Kaki sang Datuk 

tersurut. Dahinya berkerut. 

"Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa 

tiba-tiba aku tidak berselera dengan perempuan 

itu?! Jangan-jangan dia...." 

Belum sampai Datuk Kala Sutera lanjutkan 

kata hatinya, Bidadari Tujuh Langit sudah 

berkata.


"Aku sudah tidak membutuhkan perahu ini 

lagi! Kau boleh mengambilnya untuk pergi 

memancingi" 

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit 

berkelebat menerabas air laut. Pakaian putihnya 

basah kuyup hingga membuat lekuk sosoknya 

terlihat jelas. 

"Astaga!" Datuk Kala Sutera terjengah sendiri. 

Ternyata dia sudah berada tidak jauh dari pesisir 

pantai., Dia segera campakkan dayung di 

tangannya lalu berkelebat mengejar Bidadari 

Tujuh Langit yang terus berlari di atas pesisir. 

"Aku harus tahu apa yang terjadi dengan 

diriku! Mengapa aku tiba-tiba tidak berselera 

dengan perempuan I" 

Rasa penasaran sang Datuk membuat laki-laki 

ini makin percepat larinya. Sementara di depan 

sana, sang Bidadari terus berlari laksana 

kesetanan. Namun diam-diam dia merasa tengah 

diikuti. Hingga pada satu tempat, perempuan 

cantik bertubuh sintal ini hentikan larinya dan 

langsung balikkan tubuh. 

"Mengapa kau mengikutiku, hah?!" Datuk Kala 

Sutera hentikan langkah tujuh tindak di hadapan 

sang Bidadari. Dia tidak buka mulut menjawab. 

Namun pandangi sosok sang Bidadari yang 

makin mempesona. Dadanya yang kencang 

membusung bergerak-gerak turun naik dan


lekukan pinggulnya makin terlihat karena 

pakaian yang dikenakan basah. 

Datuk Kala Sutera menahan napas. Masih 

tanpa buka mulut menjawab, laki-laki ini 

melangkah ke arah Bidadari Tujuh Langit. 

Bidadari Tujuh Langit mendelik angker. 

Gerakan orang sudah membuatnya sadar apa 

yang diinginkan orang. Diam-diam dia kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya lalu buka 

mulut. 

Tapi sebelum suaranya terdengar, mulut sang 

Bidadari kembali mengatup. Dahinya mengernyit 

dengan mata sedikit memicing. 

Di sebelah depan, mendadak Datuk Kala 

Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya 

membelalak beberapa saat. Laki-laki ini 

bukannya melihat raut cantik dan tubuh sintal 

terbalut kain basah dan ketat milik Bidadari 

Tujuh Langit. Sebaliknya melihat wajah seorang 

nenek-nenek berkulit keriput dengan rambut 

pulih awut-awutan. Sepasang matanya kelabu 

masuk ke dalam rongga yang cekung dan dalam. 

Dadanya yang kendor bergerak-gerak. 

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun yang 

terlihat oleh Datuk Kala Sutera adalah bibir hitam 

yang menyeringai! Hingga membuat gejolak 

nafsu si Datuk padam seketika! 

Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera balikkan


tubuh. Laksana terbang dia berkelebat dan 

berlari denga perdengarkan sumpah serapah. 

Bidadari Tujuh Langit terkesiap. Namun tak lama 

kemudian tawanya meledak mengikuti ke mana 

sang Datuk berlari kesetanan! 

---ooo0dw0ooo--- 

EMPAT 



MALAM sudah hampir berujung ketika 

beberapa sosok bayangan berkelebat cepat 

laksana setan gentayangan menuju satu 

kawasan yang banyak ditumbuhi ilalang tinggi 

dan beberapa jajaran pohon besar. 

Walau beberapa sosok bayangan itu menuju 

tem-pnt yang sama, namun dari cara berkelebat 

dan sikapnya, jelas mereka tidak datang secara 

bersama-sama. Mereka berkelebat sendiri-

sendiri dan tampak berhati-hati seakan tak mau 

dilihat orang. Bahkan di antara mereka sengaja 

melompat dari satu batangan pohon ke batangan 

pohon lain seraya menyelinap sembunyi 

beberapa langkah. Sebagian lagi rebahkan diri di 

ranggasan ilalang dan baru melesat keluar 

tatkala merasa keadaan benar-benar aman. 

Sosok yang berkelebat paling depan sesaat 

arahkan pandangan berkeliling dari sela 

ranggasan ilalang. 

"Hem.... Ada beberapa orang di belakang!


Siapa mereka?! Apakah mereka juga punya 

maksud sama sepertiku?! Aku tak boleh 

kedahuluan mereka! Aku telah menunggu 

kesempatan balas dendam ini beberapa tahun!" 

Membatin begitu, sosok yang paling depan ini 

segara beranjak bangkit dengan kerahkan 

tenaga dalam nada kedua tangannya. Lalu 

edarkan pandangan berkeliling sesaat. Saat lain 

berkelebat. 

Begitu melewati ranggasan ilalang, orang ini 

segara memandang lurus ke depan. Terlihat lima 

bangunan kecil yang berdiri berjajar. Bangunan 

itu berbentu mirip kuil. Dan keSimanya 

berbentuk sama baik besar dan warnanya. Tepat 

di belakang lima bangunan itu terdapat satu 

bangunan lagi berbentuk pendopo agak besar. 

"Hem.... Ternyata apa yang kudengar sesuai 

dengan kenyataan. Mereka mendirikan lima 

bangunan untuk anak-anaknya! Dan mereka 

menamakan bangunan itu Istana Lima Bidadari! 

Hem.... Keparatnya pasti yang tinggal di 

bangunan pendopo itu!" 

Orang ini arahkan pandangannya pada 

bangunar berbentuk pendopo di belakang lima 

bangunan yang selama ini memang dikenal 

dengan Istana Lima Bidadari. Dia adalah seorang 

laki-laki berusia setengah baya bertampang 

angker. Parasnya bulat ditingkahi kumis lebat 

dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata


sebelah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah 

kul berbentuk bundar berwarna hitam yang 

diikatkan ke belakang kepalanya. Pada pipi 

kirinya melintang codet besar dan panjang 

sampai telinga. Rambutnya leba dan panjang 

dibiarkan bergerai menutupi sebagian wa jahnya. 

Laki-laki ini mengenakan pakaian hitam-hitan 

yang dilapis dengan jubah panjang berwarna 

hitam se batas lutut. 

Laki-laki bermata satu edarkan pandangan 

seka lagi. Lalu berkelebat. Namun belum sampai 

benar-benar bergerak, telinganya mendengar 

suara tangisan bayi. Laki-laki ini urungkan niat. 

Lalu arahkan matanya pada bangunan pendopo 

dengan mata mendelik tak berkesip. 

Namun setelah agak lama menunggu, laki-laki 

iri tidak juga melihat tanda-tanda adanya orang 

yang ke luar dari bangunan pendopo. 

"Tangisan itu jelas dari salah satu bangunan 

Istana Lima Bidadari! Anehnya mengapa dua 

keparat itu tidak muncul juga?! Apakah mereka 

tengah tenggelam dalam gelutan nafsu hingga 

telinganya tidak mendengar tangis anaknya...? 

Hem.... Bidadari Tujuh Langit memang masih 

muda dan cantik serta bertubuh aduhai.... 

Sebelum jahanamnya kulempar ke neraka, aku 

ingin mencicipi kemontokan tubuhnya!" 

Laki-laki bermata satu sudah tak sabaran. 

Namun ia berusaha menahan diri. Tampaknya


dia sadar siapa yang dihadapi. Hingga dia tidak 

mau bertindak ayal meski bayangan kemontokan 

orang sudah berada di pelupuk matanya. 

Namun setelah ditunggu agak lama, tidak juga 

ada tanda-tanda kemunculan orang yang 

diharapkan, sementara tangisan bayi makin lama 

makin keras, laki-laki bermata satu pupus 

kesabarannya. Dengan kerahkan hampir 

segenap tenaga dalamnya dia berkelebat. 

Seakan sudah bisa menebak jika orang yang 

diharap tidak berada di salah satu Istana Lima 

Bidadari, si laki-laki bermata satu langsung 

berkelebat ke arah bangunan berbentuk 

pendopo. 

Dia mengendap-endap beberapa lama di luar 

bangunan dengan mata nyalang tak berkesip. 

"Aneh.... Sepertinya keparat-keparat itu tidak 

ada! Aku tidak mampu mengendus aroma 

mereka! Atau Jangan-jangan ini satu jebakan! 

Tapi...." Si laki-laki bermata satu tidak lanjutkan 

kata hatinya. Dia segera merapat ke bagian pintu 

satu-satunya yang ada. Dia tahan telinga. 

Sementara mata satunya liar mengedar keliling. 

"Jahanam benar! Bangunan ini tampaknya 

kosong!" gumam laki-laki bermata satu. Sekali 

melompat dan membuat gerakan, pintu 

bangunan pendopo ambrol berantakan! Dan 

tahu-tahu sosoknya telah tegak di ruangan




tengah yang hanya diterangi sebuah obor bambu. 

Laki-laki bermata satu arahkan pandang 

matanya pada satu ruangan berpintu. Laiu 

melangkah perlahan mendekati dengan kedua 

tangan terangkat di atas kepala. Dia berhenti dua 

tindak di depan pintu. 

"Kamar ini rupanya juga kosong! Jadi kedua 

jahanam itu benar-benar tidak ada di tempat ini! 

Ke mana mereka?!" Si laki-laki bermata satu 

luruskan kakinya ke arah pintu. Sekali dorong, 

pintu itu terbuka menganga tanpa membuat 

suara! 

Sekali iongokkan kepala, si laki-laki sudah 

bisa menduga jika kamar itu memang kosong. 

Hingga tanpa masuk, dia segera balikkan tubuh. 

"Aku harus menunggu! Mereka meninggalkan 

bel berapa anak! Tak mungkin mereka pergi 

jauhi" 

Setelah menyiasati keadaan beberapa lama, si 

laki laki bermata satu melangkah keluar 

bangunan pendopo. Saat itulah matanya 

menangkap gerakan berkelebat di antara 

ranggasah ilalang di depan sana. 

Kalau tadinya laki-laki bermata satu sudah 

bertekad hendak menunggu, tapi demi melihat 

gerakan beberapa sosok bayangan di ranggasan 

ilalang, mendadak niatnya berubah. 

"Aku yakin mereka bukanlah kedua jahanam


Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Suteral Aku 

tak mau membuka urusan dengan orang lain 

sebelum urusanki dengan dua keparat jahanam 

itu selesai tuntasi Hem.... Kalau aku tetap berada 

di sini, bukan tak mungkin aku bisa membuka 

urusan dengan orang lain! Padahal aku tudah 

bersumpah, kedua tanganku tidak akan berlumur 

darah sebelum dapat mengalirkan darah kedua 

jahanam itu!" 

Si laki-laki bermata satu berpikir sesaat. Saat 

itulah suara tangisan bayi tiba-tiba terputus. 

Entah apa yang dipikirkan laki-laki bermata 

satu, yang jelas dia segera berkelebat ke arah 

salah satu bangunan Istana Lima Bidadari dari 

mana tadi suara tangisan bayi terdengar. 

Karena sudah yakin tidak ada orang lain di 

Istana Lima Bidadari, laki-laki bermata satu 

segera berkelebat masuk pada salah satu 

bangunan paling ujung di mana suara tangisan 

bayi terdengar. 

Bangunan berbentuk kuil itu diterangi sebuah 

obor kecil. Tepat di tengahnya terdapat lantai 

agak tinggi berbentuk segi empat beralas jerami 

tebai. Jerami itu tampak melesak tepat di bagian 

tengahnya dan tampak bergerak-gerak. 

"Hem.... Malam ini aku tidak berhasil menemui 

kedua jahanam itu! Tapi aku akan membuat 

mereka mencariku!" Si laki-laki bermata satu


tersenyum dingin lalu melangkah ke arah lantai 

tinggi beralas jerami. Kepalanya segera bergerak 

meiongok. 

"Bayi cantik dan montok!" Desisnya. "Dengan 

bayi Ini kuyakin tak perlu susah-susah lagi 

mencari jahanam ibu bapaknya! Justru mereka 

yang akan mencariku!" 

Tanpa pikir panjang lagi si laki-laki bermata 

satu julurkan tangan kirinya ke arah bayi. Sekali 

angkat, bayi di atas jerami tebal telah berada di 

tangannya. Mungkin karena kasar, bayi 

perempuan itu segera perdengarkan tangisan 

keras. 

Si laki-laki bermata satu tidak ambil peduli. 

Malah dia putar-putar tangan kirinya hingga si 

bayi makin keraskan tangisnya. 

"Kau adalah jaminan nyawa kedua 

orangtuamu!" si laki-laki bermata satu berteriak. 

Lalu tarik pulang tangan kirinya. Si bayi 

didekapnya lalu dengan tenang berkelebat 

tinggalkan salah satu bangunan Istana Lima 

Bidadari. 

Baru saja si laki-laki bermata satu berlalu, 

satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di depan 

bangunan pendopo. 

"Sayang aku tidak bisa melihat jelas siapa 

adanya manusia berpakaian hitam-hitam tadi! 

Tapi apa peduliku?! Kedatanganku perlu dengan


Bidadari Tujuh Langit dan si jahanam Datuk Kala 

Sutera! Mereka harus membayar nyawa satu-

satunya muridku yang tewas dll tangan mereka!" 

Sosok di depan pendopo memandang berkeliling 

sebelum akhirnya arahkan pandangannya ke 

pintu pendopo yang telah ambrol berantakan. 

"Tampaknya aku tidak akan menemukan 

kedua manusia itu malam ini! Apa yang harus 

kulakukan?! Tak mungkin aku menunggu!" Saat 

itulah tiba-tiba telinga orang ini mendengar 

isakan tangis bayi. 

Orang di depan bangunan pendopo berpaling 

pada salah satu bangunan Istana Lima Bidadari 

untuk menentukan sumber isakan tangis. Saat 

lain dia berkelebat dan tegak di depan salah satu 

bangunan di sebelali kanan bangunan mana tadi 

laki-laki bermata satu berkelebat keluar seraya 

membopong bayi. 

Tanpa berpikir dua kali, orang di depan 

bangunan salah satu kuil Istana Lima Bidadari 

segera melompat masuk. Dia melihat seorang 

bayi perempuan di atas tumpukan jerami kering 

dan tebal. 

"Hem.... Dia bisa kujadikan sandera bagi 

nyawa Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera!" gumam orang di sebelah bayi yang 

tengah terisak dan gapai-gapaikan kedua 

tangannya.


Dia adalah seorang perempuan berusia 

sangat lanjut berambut putih panjang menjulai 

hingga betis. Sosoknya tambun besar hingga 

gumpalan daging di perutnya tampak bergerak 

turun naik ketika nenek ini membuat gerakan. 

Sepasang matanya sipit. Bukan karena bola 

matanya kecil, namun karena tebalnya kulit 

wajah. Hidungnya besar dan masuk ke dalam 

gumpalan kulit wajahnya yang tebal. Mulutnya 

hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup 

tebalnya .kulit, wajah kedua pipinya. Nenek ini 

mengenakan pakaian warna merah menyala 

yang sangat ketat. 

SI nenek bertubuh tambun besar pandangi 

bayi di atas jerami beberapa saat. Lalu dengan 

tersenyum kedua tangannya bergerak. Bayi di 

atas jerami telah berpindah pada kedua 

tangannya. Saat lain nenek ini berkelebat keluar. 

Bayi perempuan bukannya dibopong tangan 

kedua tangannya, namun enak saja diletakkan di 

atas gumpalan daging perutnya! 

Hampir bersamaan dengan melesatnya sosok 

si nenek, dua sosok bayangan menerabas 

ranggasan ilalang lalu tegak berjajar di depan 

salah satu Istana Lima Bidadari di sebelah mana 

si nenek baru saja keluar. 

Dua sosok ini adalah seorang laki-laki dan 

perempuan. Yang laki-laki sudah tua, sementara 

si perempuan masih muda. Si laki-laki berwajah


lonjong dengan kulit putih. Sosoknya kerempeng 

hingga raut wajahnya hampir-hampir saja tidak 

tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. 

Sepasang matanya membelalak besar seolah 

hendak mencelat keluar dari dalam rongganya. 

Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih 

gombrang besar. Saking besarnya, sosoknya 

tampak bergoyang-goyang ketika pakaiannya 

ditiup angin, hingga orang tua ini terus bergerak-

gerak meski tidak tengah membuat gerakan apa-

apa! 

Sementara sosok perempuan di sebelah laki-

laki tua berpakaian gombrang berparas cantik 

jelita. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi. 

Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung 

dengan bibir dipoles merah menyala. Lehernya 

jenjang dengan dada membusung kencang. 

Pinggulnya yang besar dibalut dengan pakaiai 

tipis dan ketat warna biru. 

"Dari gelagat beberapa orang tadi, jelas kita 

tidak akan bertemu dengan keparat Bidadari 

Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera! Tapi kita tak 

perlu kecil hati! Kita punya sesuatu yang pasti 

membuat kedua keparat itu memburu ke mana 

kita pergi!" Si laki-laki tua bertubuh kerempeng 

angkat suara dengan mata mengarah pada kuil 

di hadapannya. 

"Kau ambil yang sebelah sana! Aku akan ambil 

yang di depan Ku!" kembali si orang tua berkata


serayg arahkan telunjuknya pada bangunan kuil 

yang bersebelahan dengan bangunan kuil di 

hadapannya. 

Tanpa ada yang buka suara lagi, kedua orang 

iri segera melompat masuk ke dalam bangunan 

kuil yang bersebelahan. Kejap kemudian 

keduanya sudah keluar lagi dengan kedua 

tangan masing-masing orang mendekap seorang 

bayi. 

Dengan satu isyarat, laki-laki tua bertubuh 

kerempeng segera melesat menembus dinginnya 

udara dini hari yang kemudian disusul oleh si 

perempuan muda. 

Tanpa diketahui oleh si orang tua bertubuh 

kerempeng dan si perempuan muda berwajah 

cantik, sepasang mata dari tadi tampak mendelik 

tak berkesip dari sela ranggasan ilalang. 

"Satu, dua, tiga, empat...." Si pemilik mata 

perdengarkan hitungan seraya arahkan matanya 

pada jajaran bangunan Istana Lima Bidadari. 

"Hem.... Tinggal satu yang belum dimasuki orang! 

Mudah-mudahan kedatanganku tidak sia-sia 

meski tampaknya aku tidak menemukan 

manusia yang kucari!" 

Mata dari seia ranggasan ilalang itu mengedar 

beberapa saat. Saat lain, si pemilik mata angkat 

tubuhnya yang sengaja direbahkan sejajar tanah. 

Ternyata dia adalah seorang laki-laki bertubuh


pendek. Hingga meski dia telah tegak berdiri, tapi 

kepaianya tidak sampai mencapai ujung ilalang! 

Laki-laki cebol ini berparas buiat besar. 

Hidungnya melesak ke dalam dengan mata alpit. 

Rambutnya lebat dan panjang hingga menyapu 

tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar, 

hingga kotika tegak, laki-laki ini tampak doyong 

ke depan! Di pinggangnya tampak sebuah 

pedang panjang berkilat. hebatnya, pedang itu 

bukannya diselipkan, namun seakan lentur, 

pedang berkilat itu diikatkan melingkar pada 

pinggangnya! 

Si laki-laki cebol membuat satu kali gerakan. 

Mendadak sosoknya melesat cepat dan tahu-

tahu sudah tegak doyong di depan bangunan 

Istana Lima Bidadari paling ujung yang memang 

belum dimasuki orang. 

Tanpa putar kepala si laki-laki cebol segera 

melangkah memasuki bangunan dan sekali 

kakinya menghentak, sosoknya melenting dan 

tegak di atas tumpukan jerami tebal di mana 

teronggok satu bayi perem-puan. 

Anehnya, meski si laki-laki cebol tebal tegak di 

atas tumpukan jerami, namun tumpukan jerami 

itu tidak bergerak atau melesak! Hingga bayi di 

atas jerami tidak terusik. 

Si laki-laki cebol pandangi beberapa lama 

pada sosok bayi di sampingnya. Saat lain 

wajahnya ditegakkan tengadah. Lalu terdengar


gelakan tawanya! Tapi meski suara tawa itu 

keras menggema, si bayi tetap diam tak terusik! 

"Rejekiku besar! Ternyata aku masih kebagian 

satu!" ujar si laki-laki cebol di sela geraian 

tawanya. Dani masih tertawa ngakak, bagian 

atas tubuhnya disentakkan ke bawah. Tangannya 

menggapai lalu digerakkan ke atas. 

Bayi perempuan di atas tumpukan jerami 

melayang ke udara. Lalu turun ke bawah. Si laki-

laki cebol hanya pandangi bayangan sosok si bayi 

tanpa membuat gerakan. Empat jengkal lagi bayi 

itu berada di atas kepalanya! iaki-laki ini 

sorongkan tubuhnya ke depan hingga tubuhnya 

makin doyong. 

Plukkk! 

Si bayi teronggok diam di atas punuk besar 

laki-laki cebol. Si laki-laki putar tubuh. Lalu 

dengan masih tertawa ngakak, sosoknya melesat 

keluar bangunanl 

Suara tawa si laki-laki cebol belum lenyap, 

mendadak satu bayangan berkelebat. Bayangan 

ini langsung menerabas ke arah bangunan 

pendopo di belakang bangunan Istana Lima 

Bidadari. Dari caranya, jelas jika bayangan ini 

sudah paham dengan situasi di tempat itu. 

Si bayangan terus memasuki bangunan 

pendopo dan berlari mondar-mandir ke seantero 

bangunan. Sikapnya jelas membayangkan kalau


dia tengah mencari sesuatu. 

"Di mana dia...?! Kalau pergi, mengapa tidak 

memberi tahu padaku?!" gumam si bayangan 

seraya hentikan langkah. Ternyata dia adalah 

seorang perempuan berusia dua puluh lima 

tahunan. Wajahnya jelita dengan rambut 

digulung ke atas. Perempuan ini mengenakan 

pakaian warna putih tipis dan ketat membungkus 

tubuhnya yang berdada kencang dan berpinggul 

besar. Perempuan ini tidak lain adalah Bidadari 

Tujuh Langit. 

"Hem.... Tampaknya dia memang telah pergi! 

Tapi apa peduliku sekarang?! Aku sudah tidak 

tertarik padanya! Hanya saja mengapa aku tidak 

mendengar suara tangis...." 

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan 

gu-I maman, perempuan ini telah melesat keluar 

dari ba-! ngunan pendopo dan masuk ke dalam 

kuil paling ujung di mana laki-laki cebol baru saja 

keluar. 

Tanpa mendekati tumpukan jerami tebal di 

atas lantai agak tinggi yang berada di tengah 

bangunan kuil, tampaknya Bidadari Tujuh Langit 

sudah bisa menduga. Ia balikkan tubuh, lalu 

melangkah ke arah satu persatu bangunan kuil 

Istana Lima Bidadari. Seperti halnya tatkala 

masuk bangunan pertama, sang Bidadari tidak 

teruskan langkah untuk mendekati jerami tebal. 

Dia su dah balikkan tubuh lalu melangkah ke


arah bangunan satunya hingga bangunan paling 

ujung di mana tadi laki-laki bermata satu masuk. 

"Hem.... Tampaknya dia pergi dengan 

membawa serta anak-anakku! Tak apa.... Dia 

juga ayahnya!" Bidadari Tujuh Langit bergumam 

lagi lalu tertawa perlahan. Dan seolah tidak 

merasa kehilangan darah daging yang 

dilahirkannya, perempuan cantik bertubuh sintal 

ini enak saja melangkah keluar bahkan sambil 

sunggingkan senyum! 

---ooo0dw0ooo--- 

LIMA 



BARU saja Bidadari Tujuh Langit melangkah 

keluar, mendadak satu sosok bayangan 

berkelebat dan tegak sepuluh langkah di 

hadapan sang Bi-iladari. 

Bidadari Tujuh Langit pupuskan senyum. 

Sepasang matanya serta-merta mendelik angker. 

Dan laksana terbang dia melompat ke depan 

seraya membentak. 

"Mengapa kau masih mengikutiku, nah?!" 

Orang yang dibentak tak kalah kagetnya. 

Malah sepasang kakinya tersurut satu tindak dan 

memandang ha depan dengan tatapan tak 

percaya. Dia adalah searang laki-iaki berusia tiga 

puluh tahunan bertampang daras dan tampan.


Rambutnya panjang sebahu dengan kumis tebal 

melintang. Laki-iaki ini mengenakan jubah 

panjang sebatas mata kaki melapis pakaian 

dalam berwarna putih, la tak lain adalah Datuk 

Kala Sutera. 

"Siapa perempuan ini sebenarnya?! Mengapa 

dia berada di sini?! Ini adalah tempatku! Juga 

tempat beberapa anakku!" 

Ingat akan anaknya, Datuk Kala Sutera 

bukannya segera menjawab pertanyaan Bidadari 

Tujuh Langit. Sebaliknya segera berkelebat. 

Namun Bidadari Tujuh Langit cepat 

menghadang dengan kedua tangan terangkat 

dan berteriak lantang. 

"Berani kau memasuki tempatku, aku tak 

segan melepas selembar nyawamu!" 

Untuk kedua kalinya sang Datuk terlengak 

kaget. 

"Aneh.... Dia sebelumnya mengaku sebagai 

pemilik perahu, padahal itu perahuku! Kini dia 

mengatakan ini adalah tempatnya! Padahal aku 

tidak buta! Ini adalah tempatku!" 

Berpikir sampai di situ, akhirnya Datuk Kala 

Sutera balas membentak. 

"Kau jangan mengada-ada! Ini adalah 

tempatkul Cepat tinggalkan tempat ini!" 

Mendengar ucapan orang, Bidadari Tujuh


Langit tertawa bergelak hingga dadanya yang 

membusung kencang bergerak turun naik 

menggoda. Lalu berkata. 

"Kau lagi-lagi berani berkata dusta padakul 

Peal tama kali jumpa kau mengaku sebagai 

pemancing di laut yang kapalnya berantakan dan 

kailnya mencelat di hantam gelombang ombak! 

Sekarang kau mengaku ini adalah tempatmu! 

Aku mau bertanya. Apa sebenarnya yang kau 

inginkan?!" 

Mungkin karena merasa jengkel, seraya 

menata! tajam pada gerakan dada sang Bidadari 

serta pinggulnya yang besar, sang Datuk angkat 

suara. "Aku menginginkan dirimu!" 

Gelakan tawa Bidadari Tujuh Langit makin 

melengking tinggi, lalu berucap di sela gelakan 

tawanya. 

"Kalau hanya itu yang kau inginkan, 

sebetulnya kau tak perlu mengikutiku hingga 

kapalmu terhantam gelombang dan mengaku-

aku sebagai pemilik tempat ini Aku akan turuti 

semua keinginanmu...! Kapan kau memintanya?! 

Sekarang...?! Di mana...?l Di sini atau kau cari 

tempat lain...?!" 

Seraya berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit 

putuskan gelakan tawanya, lalu tersenyum. Tapi 

diam diam dalam hati dia berkata. "Sayang sekali 

aku tidak berselera sedikit pun padamu! Kau


akan melihat tubuhku, tapi setelah itu kedua biji 

matamu akan kucungkil keluar!" 

Di lain pihak, mendengar kata-kata Bidadari 

Tujuh langit, dada Datuk Kala Sutera berdebur 

keras. Matanya nyalang pandangi sekujur tubuh 

perempuan di hadapannya dari ujung rambut 

sampai ujung kaki. Datuk Kala Sutera lupa 

dengan apa yang baru dialaminya di dekat pesisir 

pantai beberapa saat yang lalu. 

"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar 

Bidadari Tulah Langit dengan makin kembangkan 

senyum. "Kau memintanya sekarang...?! Di 

sini...?!" 

Walau ucapan sang Bidadari bernada tanya, 

sebelum sang Datuk sempat buka mulut 

menjawab, tangan tang Bidadari sudah 

diluruhkan ke bawah. Lalu perlahan-lahan 

menarik bagian bawah pakaiannya dengan 

kepala ditegakkan dan mulut perdengarkan 

desahan panjang! 

Sepasang mata sang Datuk makin mendelik 

melihat singkapan pakaian sang Bidadari hingga 

perlahan-lahan pahanya yang padat dan putih 

mulus terlihat jelas, apalagi saat itu matahari 

mulai unjuk diri dari kaki langit. 

"Sebenarnya.... Sejak di atas perahu tadi 

malam, aku sudah merindukanmu. 

Mendekatlah...." Bidadari tujuh Langit berkata


seolah berbisik. Sepasang matanya dipejamkan 

setengah terbuka. Sementara kedua tangannya 

terus menarik pakaian bawahnya yang membuat 

dada Datuk Kala Sutera berdebar karena 

singkapan pakaian itu sudah hampir mencapai 

pangkal paha. Malah bukan hanya sampai di situ 

saja, begitu singkapan pakaiannya hampir 

mencapai pangkal paha, sang Bidadari segera 

rebahkan diri di atas tanah. Dia sengaja 

menghela napas panjang hingga bukan saja 

pahanya yang kini tersingkap jelas, tapi dadanya 

yang membusung tampak bergerak-gerak 

mempesona! 

Datuk Kala Sutera tidak menunggu lagi. Begitu 

Bidadari Tujuh Langit rebahkan diri dengan sikap 

makin menggoda, dia segera melangkah 

mendekati dengan sosok bergetar karena 

dilanda nafsu yang membara. Tapi empat 

langkah lagi sampai, mendadak sang Datuk 

hentikan tindakannya. Gejolak nafsunya yang 

sudah membakar sampai ubun-ubun lenyap 

seketika! Karena laki-laki ini melihat perubahan 

pada diri Bidadari Tujuh Langit. Rambutnya yang 

terurai jatuh dan hitam lebat perlahan-lahan 

memutih dan awut-awutan. Sepasang matanya 

yang bulat berganti jadi sepasang mata kelabu 

dan menjorok masuk dalam cekungan rongga 

yang dalam. Wajahnya yang berkulit putih dan 

kencang berubah menjadi pucat mengeriput! 

Dadanya yang membusung menjadi kendor.


Sepasang pahanya yang padat kencang dan 

mulus beralih menjadi paha yang dibungkus kulit 

mengeriput. Senyum dan desahannya berubah 

jadi seringai dan kecipak mulut milik nenek-

nenek yang tidak bergigi! 

Sikap Datuk Kala Sutera membuat Bidadari 

Tujuh Langit buka kelopak matanya. Dia 

memperhatikan sesaat, lalu berucap seraya terus 

tersenyum. "Kau ingin aku membukanya...?!" 

"Tahanl" teriak Datuk Kala Sutera dengan 

pulang balikkan kedua tangannya di depan dada. 

"Kau terlalu malu-malu...," kata sang Bidadari 

setengah berbisik. Dia angkat tubuhnya sedikit. 

Tangan kanannya dibuat tumpuan tubuh, lalu 

tangan kirinya bergerak ke arah dada. Sekali 

menyentak, dada itu terbuka! 

Datuk Kala Sutera bergumam tak jelas. Saat 

itu juga dia segera berpaling lalu balikkan tubuh. 

"Kau ingin ketika berbalik aku sudah tidak 

mengenakan apa-apa lagi?! Aku tahu 

keinginanmu itu.... Dan aku tak segan 

melakukannya untukmu...." Bidadari Tujuh Langit 

berkata. Lalu bergerak bangkit dengan kedua 

tangan bergerak. Bukan untuk lakukan apa yang 

baru aaja diucapkan namun lepaskan pukulan ke 

arah Datuk Kala Sutera! 

Di lain pihak, sang Datuk segera ambil 

langkah teribu. Bukan karena tahu kalau tengah


dihantam, namun karena merasa geram dan 

khawatir pada diri sendiri! 

Tapi baru saja berkelebat, satu gelombang 

dahsyat sudah menggebrak dari arah belakang,, 

membuat sang Datuk cepat balikkan tubuh 

seraya hantamkan kedua tangannya. 

Bummm! 

Tempat itu bergetar keras. Sosok Bidadari 

Tujuh Langit dan sang Datuk sama tersurut satu 

tindak. Paras keduanya berubah. 

Datuk Kala Sutera tersentak mendelik. Sosok 

Bidadari Tujuh Langit kelihatan berubah lagi 

menjadi perempuan cantik bertubuh sintall Tapi 

bukan hanya itu yang membuat sang Datuk 

kaget. 

"Heran.... Aku tidak mendengar suara 

tangisan! Padahal dentuman tadi keras.... 

Seharusnya mereka terbangun dan menangis.... 

Ada apa ini?! Apakah akui benar-benar salah 

alamat?!" 

Datuk Kala Sutera arahkan pandangannya ke 

de- I pan pada beberapa bangunan berbentuk 

kuil dan bangunan pendopo. Entah apa yang 

terlihat matanya, yang jelas laki-laki ini segera 

usap-usap matanya seraya bergumam dalam 

hati. 

"Astaga! Aku memang salah alamat! Ini bukan 

tempat tinggalku! Bagaimana ini bisa terjadi...?!


Padahal aku merasa yakin jalan yang kutempuh 

adalah jalan yang biasa kulalui!" 

Untuk beberapa saat dada sang Datuk dilanda 

kebingungan. Namun hai itu tidak membuatnya 

lengah. Hingga begitu tahu gelagat jika sang 

Bidadari akan lepaskan pukulan lagi, Datuk Kala 

Sutera sudah sentakkan kedua tangan 

mendahului. 

Wuutt! Wuutt! 

Gelombang angin yang perdengarkan suara 

gemuruh berkiblat ganas ke arah Bidadari Tujuh 

Langit. 

Sang Bidadari tak mau berlaku ayal. Seraya 

melompat menyingkir, kedua tangannya 

berkelebat. 

Untuk kedua kalinya tempat yang mulai 

dikenal orang dengan Istana Lima Bidadari 

bergetar keras laki sana dihantam gempa. Sosok 

Bidadari Tujuh Langit sempat tersapu di udara 

hingga beberapa langkah. Namun sekali 

perempuan cantik ini sentakkan tangannya ke 

bawah, gerakan tubuhnya terhenti lalu melayang 

turun dan tegak di atas tanah. 

Bidadari Tujuh Langit tidak mau menunggu 

lama. Begitu kakinya menginjak tanah, kedua 

tangannya sol gera berkelebat menghantam. 

Namun sedahsyat apa pun gelombang angin 

yang melesat keluar dari kedua tangan sang


Bidadari, gelombang itu hanya menghantam 

tempat kosong, karena sosok Datuk Kala Sutera 

sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu! 

"Hari ini kau beruntung, Datuk Gila! Tapi tidak 

pada pertemuan berikutnya!" teriak Bidadari 

Tujuh Langit. 

"Kau tidak akan bertemu dengannya! Ini 

adalah pertemuanmu yang terakhir!" Mendadak 

satu suara menyahut. 

Sentakkan kepala ke samping, Bidadari Tujuh 

Langit melihat seorang perempuan setengah 

baya. Walau usia perempuan ini tidak muda lagi, 

tapi wajahnya masih cantik. Rambutnya 

digeraikan ke samping menutupi bagian kanan 

wajahnya yang berkulit putih. Sepasang matanya 

bundar. Mulutnya membentuk bagus dan diberi 

pewarna merah. Pipi kiri kanannya juga disaput 

dengan pewarna merah muda. Dia mengenakan 

pakaian ketat warna Jingga. Bagian dadanya 

dibuat rendah hingga lembahan kedua 

payudaranya yang masih kencang membusung 

terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya yang 

juga berwarna Jingga dibuat pendek di atas lutut 

seolah ingin menunjukkan kedua pahanya yang 

mulus dan padat berisi. 

Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar. Bukan 

karena kemunculan orang, namun karena 

dandanan si pe-Htmpuan! Entah sadar atau 

tidak, sang Bidadari bergumam. "Aku


menginginkan dirimu...." 

Perempuan di hadapan Bidadari Tujuh Langit 

tertawa pendek. Lalu berkata. 

"Bidadari Tujuh Langit! Bukan kau yang 

menginginkan diriku, tapi akulah yang 

menginginkan selembar nyawamu!" Si 

perempuan melangkah dan berhenti delapan 

langkah di hadapan sang Bidadari. 

"Sepertinya aku pernah melihatmu.... Sayang 

aku lupa di mana dan kapan!" ujar Bidadari Tujuh 

Langit sambil terus menatap bagian dada dan 

paha orang. 

"Agar nyawamu kelak tidak penasaran, aku 

perlu memberi tahu padamu! Kau bukan hanya 

pernah melihatku. Tapi kita punya urusan yang 

baru selesai jika di antara kita terbujur di dalam 

tanah!" 

"Hem.... Begitu?! Karena aku telah banyak 

membuat manusia terbujur di dalam tanah, aku 

sampai lupa nama dan jumlah mereka! Kau 

kuberi penghormatan untuk sebutkan diri 

sebelum kuantar ke dalam tanah!" 

"Aku Puspa Jingga! Aku datang menjemput 

nyawamu sebagai ganti nyawa guruku Sukma 

Jingga!" 

Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala 

dengan! tersenyum. Lalu berkata.


"Puspa Jingga.... Bagaimana kalau kita 

lupakan! saja urusan tak berguna itu? Sebagai 

gantinya bagai-' mana kalau kita bersenang-

senang?!" Bidadari Tujuh Langit berpaling ke 

belakang. Lalu lanjutkan ucapan! "Kau tinggal 

pilih tempat yang kau sukai! Istana Lima Bidadari 

atau ruang pendopo! Atau kalau kau suka, kita 

bisa menempatinya bergiliran!" 

Puspa Jingga membelalak. Dia sama sekali 

tidak menduga akan ucapan Bidadari Tujuh 

Langit, meski dari tatapan mata sang Bidadari, 

pada awalnya Puspa' Jingga sudah merasa 

curiga. 

Bidadari Tujuh Langit menoleh lagi pada 

Puspa Jingga dengan bibir makin merekah. 

Namun tatapannya jelas makin membayangkan 

nafsu yang menggelora. 

"Bagaimana?! Kau setuju dengan usulku, 

bukan?! Kita bisa melewati malam-malam dingin 

dengan kehangatan yang kau belum pernah 

merasakannya...." 

"Keparat cabul!" teriak Puspa Jingga seraya 

melompat ke depan. Kedua kakinya membuat 

gerakan menendang. 

Bidadari Tujuh Langit membelalak. Karena 

begitu membuat gerakan menendang, kain 

bagian bawah Puspa Jingga tersingkap lebar. 

Namun Bidadari Tujuh Langit tidak bisa


lanjutkan memandang pada singkapan kain 

Puspa Jingga, karena pada saat itu kedua kaki 

Puspa Jingga sudah dua jengkal di depan 

wajahnya! 

Bidadari Tujuh Langit berseru. Tangan kiri 

kanannya bergerak. 

Bukk! Bukk! 

Puspa Jingga berteriak tegang. Sosoknya 

terbanting di udara sebelum akhirnya 

terjengkang roboh di atas tanah! 

Hal ini bukan hanya membuat Puspa Jingga 

yang terkejut. Namun Bidadari Tujuh Langit 

sendiri tampak rnelengak kaget. 

"Ada perubahan pada diriku.... Tenaga 

dalamku tiba-tiba berlipat ganda!" Seakan tidak 

percaya pada dirinya sendiri, Bidadari Tujuh 

Langit tundukkan kepala memperhatikan dirinya. 

Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada 

ibu jari kaki kirinya yang mengenakan cincin 

berwarna merah. 

"Astaga.... Bukankah aku telah mendapatkan 

Sepasang Cincin Keabadian...? Tapi mana 

satunya...?!" Bidadari Tujuh Langit coba 

mengingat. 

Belum sampai menemukan jawaban, tiba-tiba 

Puspa Jingga sudah menyergap dengan lepaskan 

pukulan di atas udara.


Karena sudah percaya diri, apalagi dia 

berhadapan dengan murid seorang guru yang 

pernah dibuatnya mampus, Bidadari Tujuh Langit 

segera melesat ke samping. Gelombang pukulan 

yang dilepas Puspa Jingga tiga jengkal 

menghantam tempat kosong di sebelahnya. 

Begitu berhasil menghindar, sang Bidadari 

tidak lagi memberi kesempatan pada lawan 

untuk lepaskan pukulan kedua kalinya. Dia 

sentakkan kakinya ke tanah. Serta-merta 

sosoknya melesat ke arah Puspa Jingga yang 

tengah melayang turun. 

Kecepatan Bidadari Tujuh Langit membuat 

Puspa Jingga terkesiap kaget. Tapi perempuan 

setengah baya berparas cantik berpotongan 

bahenol ini tidak tinggal diam. Dia menunggu 

sosok sang Bidadari dengan angkat kedua 

tangannya. Dan begitu sosok Bidadari Tujuh 

Langit tepat berada di hadapannya, kedua 

tangannya segera berkelebat. 

Wuutt! Wuutt! 

Namun Puspa Jingga rupanya salah terka. 

Karena begitu hampir sampai dan kedua tangan 

Puspa Jingga berkelebat lepas pukulan, Bidadari 

Tujuh Langit cepat tarik pulang kepalanya. 

Tubuhnya disentakkan ke belakang hingga 

punggungnya sejajar tanah. Saat berikutnya 

kedua kakinya menghajar kedua kaki Puspa 

Jingga.


Bukk! Bukk! 

Puspa Jingga berseru. Bagian bawah tubuhnya 

tersentak ke depan sementara bagian atas 

tubuhnya terdorong ke belakang. 

Sebelum sosok Puspa Jingga benar-benar 

terjengkang dengan punggung menghantam 

tanah, Bidadari Tujuh Langit sudah melesat dan 

sarangkan totokan dahsyat! 

Bukkk! 

Akhirnya punggung Puspa Jingga benar-benar 

menghempas tanah. Namun sosok itu tidak 

bergerak-gerak lagi. 

"Lepaskan aku!" teriak Puspa Jingga dengan 

suara bergetar dan kuduk merinding. Dia hanya 

bisa berteriak tanpa mampu membuat gerakan. 

Bidadari Tujuh Langit tersenyum dan 

melangkah mendekat dengan mata berkilat 

karena desakan nafsu. Sebab kain bagian bawah 

Puspa Jingga tersingkap lebar memperlihatkan 

auratnyal 

"Aku sudah menawarkan padamu untuk 

bersenang-senang melupakan urusan.... Tapi 

tampaknya kau lebih suka kita bersenang-senang 

dengan jalan begini.... Apa hendak dikata.... Aku 

akan turuti keinginanmu...!" 

Ucapan Bidadari Tujuh Langit membuat Puspa 

Jingga makin tercekat. Dan matanya membelalak


besar ketika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit 

menggerakkan kedua tangannya ke arah 

dadanya. 

Brett! 

Pakaian atas Puspa Jingga robek menganga. 

Dadanya yang kencang putih terbuka lebar. 

"Jahanam! Apa yang akan kau lakukan?!" seru 

Puspa Jingga dengan suara tersendat 

"Kita akan bersenang-senang selama 

beberapa malam sebelum aku mengantarmu 

melanjutkan perjalanan ke liang tanah.... Hik.... 

Hik.... Hik.... Dadamu indah, pahamu bagus.... 

Sayang kalau segera dipersembahkan untuk 

gumpalan tanah. Tapi aku masih memberimu 

kesempatan untuk memilih tempat...." 

"Keparat cabul! Lepaskan aku! Lepaskan...!" 

Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dengan 

teriakan Puspa Jingga. Dia membuat gerakan 

sekali lagi. Puspa Jingga memekik tinggi, karena 

kain bawahnya terbabat robek! 

"Perempuan jalang! Perempuan binal! 

Perempuan...." 

Puspa Jingga tidak teruskan ucapan 

makiannyaj karena Bidadari Tujuh Langit sudah 

bungkukkan tubuh. ? Lalu saat tegak berdiri, 

sosok Puspa Jingga sudah berada di 

panggulannya!


"Kau tidak mau memilih tempat.... Aku yang 

akan memilih! Kita mulai dari Istana Lima 

Bidadari paling ujung...," kata Bidadari Tujuh 

Langit sambil melangkah ke arah salah satu 

bangunan Istana Lima Bidadari yang paling 

ujung. 

Puspa Jingga kembali berteriak memaki-maki. 

Namun dia hanya bisa berteriak tanpa bisa 

bergerak, hingga enak saja Bidadari Tujuh Langit 

teruskan langkah; dengan sesekali tangan 

kanannya yang bebas merabai dada Puspa 

Jingga! 

 ---ooo0dw0ooo--- 

ENAM 



ENAM belas tahun setelah peristiwa di Istana 

Lima Bidadari.... 

Saat itu matahari baru saja beranjak. 

Bentangan langit hanya diSemaraki saputan 

awan kecil yang berarak dari lamping 

Pegunungan Himalaya. Seorang pemuda tampak 

melangkah perlahan menuju satu kedai agak 

besar di sudut perbatasan desa. 

Mungkin satu-satunya kedai yang ada, kedai 

itu tampak banyak didatangi pengunjung. Si 

pemuda hentikan langkah di halaman kedai. Tapi 

meski sudah tegak di halaman kedai, kepala si 

pemuda bukannya lurus menghadap kedai,


melainkan ke jurusan lain. Baru selolah agak 

lama, kepalanya berpaling ke arah kedai. Namun 

itu hanya sekejap. Di lain saat wajahnya 

ditegakkan memandang matahari yang baru 

muncul. Bersamaan itu tangan kanannya 

diangkat. Jari kelingkingnya dimasukkan pada 

lobang telinganya. Hingga beberapa saat 

kemudian bahunya terlihat berguncang. Kakinya 

terangkat berjingkat. Lalu kepalanya bergerak 

pulang balik dengan mimik cengengesan! 

Beberapa orang di dalam kedai yang sempat 

melihat tingkah si pemuda berambut agak 

panjang sedikit acak-acakan dan berparas 

tampan berpakaian putih-putih itu tampak 

kernyitkan dahi. Malah si pemilik kedai yang tadi 

melangkah ke pintu masuk karena menduga si 

pemuda hendak memasuki kedainya segera 

balikkan tubuh dengan perdengarkan gumaman 

tak jelas dengan kepala menggeleng. Raut 

mukanya jelas membayangkan perasaan 

kecewa. 

"Mungkin belum rejeki.... Padahal aku hampir 

yakin pemuda itu adalah orang asing...." Orang 

tua pemilik kedai terus bergumam seraya 

memberesi beberapa bumbung bekas tempat 

minum para pengunjung yang telah pergi. Namun 

seakan masih berharap, sambil memberesi 

bumbung, sepasang mata pemilik kedai sesekali 

melirik ke halaman kedai di mana si pemuda 

tegak.


Mendadak mata orang tua pemilik kedai 

membesar. Gerakan kedua tangannya yang 

memberesi bumbung bekas minuman terhenti. 

Dan buru-buru dia putar diri setengah lingkaran 

lalu melangkah ke arah pintu dengan 

sunggingkan senyum. 

Si pemuda yang tadi tegak di halaman kedai 

telah berada di depan pintu dengan mata 

memandang lepas ke dalam kedai. Dia seolah 

acuh dengan tatapan dan bungkukan tubuh si 

pemilik kedai. Sebaliknya karena setiap kali 

angkat tubuhnya dengan bibir sunggingkan 

senyum tapi belum juga dilihat oleh si pemuda, si 

pemilik kedai terpaksa beberapa kali pulang 

balikkan tubuh untuk membungkuk dan 

tersenyum. 

Dan mungkin karena capek sementara si 

pemuda belum juga memandang ke arahnya, 

akhirnya si pemilik kedai hentikan gerakannya. 

Justru pada saat itulah si pemuda arahkan 

pandang matanya pada si pemilik kedai dengan 

sunggingkan senyum. Lalu melangkah dan 

berhenti tepat di pintu masuk. 

"Silakan.... Silakan...." Si orang tua pemilik 

kedai berujar seraya membungkuk dan lebarkan 

tangan kanannya 

Si pemuda teruskan langkah dan kini tegak di 

balik tilnlu. Namun dia tidak segera memilih 

tempat duduk. sebaliknya memperhatikan


beberapa orang di dalam kedai yang tengah 

bersantap. 

"Perutku memang minta segera diisi.... Tapi 

mungkinkah aku bisa melakukan seperti 

mereka...?!" 

Entah karena apa, si pemuda angkat kedua 

tangannya dengan jari-jari digerakkan. 

Sementara sepasang niatanya memandang silih 

berganti pada jari-jari tangan beberapa 

pengunjung yang lagi bersantap dan jari-jari 

tangannya sendiri. 

"Hem.... Tampaknya tidak sulit. Tapi aku ragu 

bisa melakukannya...," gumam si pemuda sambil 

geleng kepala 

Si pemilik kedai yang sedari tadi mengawasi 

gerak-gerik si pemuda tampaknya bisa membaca 

gelagat. Dia buru-buru mendekat seraya berkata 

dengan suara direndahkan seolah khawatir 

didengar orang lain. 

"Anak muda.... Aku tahu kesulitanmu.... Tapi 

kurasa Itu bukan satu halangan. Kau bisa makan 

dengan menggunakan tangan atau kau katakan 

saja kau ingin Mnggunakan apa.... Kami siap 

melayanimu...." Si pemilik kedai sapukan 

pandangan pada beberapa penunjung, lalu 

lanjutkan ucapan. 

"Mereka memang sudah terbiasa makan 

dengan menggunakan supit bambu. Kau tak


usah terpengaruh dengan keadaan mereka yang 

memang penduduk asli negeri ini...." 

Si pemuda berpaling pada orang tua pemilik 

kedai, nampaknya dia sudah bisa menebak kalau 

aku bukan orang negeri ini.... Mudah-mudahan 

dia bisa memberi keterangan padaku “ 

Baru saja si pemuda membatin begitu, si 

pemilik kedai sudah berpaling lagi dan bertanya. 

"Kau ingin makan apa?! Cap Cai...? Siomay...?J 

Bakmi keriting? Opor burung laut?' 

Si pemuda kernyitkan kening. Dengan mata 

sedikit dibelalakkan dia sorongkan kepala ke 

depan memperhatikan beberapa mangkuk di 

meja beberapa pengunjung. 

"Mana yang harus kupilih...?! Bukan saja aku 

baru kali ini mendengar nama-nama makanan 

itu, tapi juga baru pertama kali ini melihat 

bagaimana bentuknya...!" 

"Kau juga ingin pesan minuman apa?! Kedai 

kami menyediakan segala jenis minuman.... Kau 

tinggal biang!" 

Entah karena malu karena beberapa orang 

penguni jung memperhatikan, si pemuda 

melangkah menuju meja kosong yang berada 

paling sudut dekat pintu masuk tempat 

memasak. Si pemilik kedai melangkah mengikuti 

di belakangnya. Lalu ajukan tanya lagi begitu si 

pemuda duduk.


"Kau pesan makanan dan minuman apa, Anak 

Muda...?" 

"Coba sebutkan lagi makanan yang 

tersedia...," ujar si pemuda. Bukan karena ingin 

memilih, melainkan lupa dengan nama makanan 

yang tadi disebutkan si pemilik kedai. 

Dengan masih sunggingkan senyum, orang tua 

pemilik kedai segera sebutkan lagi makanan 

yang tersedia di kedainya. Bahkan tanpa ditanya, 

dia juga sebutkan beberapa minuman yang juga 

tersedia. 

"Bakmi keriting dan rendaman air anggur!" Si 

pemuda langsung memesan. Karena hanya dua 

nama itu yang bisa diingatnya. 

Orang tua pemilik kedai anggukkan kepala. 

Namun baru saja hendak balikkan tubuh 

sediakan pesanan, si pemuda tarik lengannya 

agak keras hingga sosoknya tersentak doyong ke 

depan. 

Berubahlah paras si pemilik kedai. Kedua 

lututnya goyah. Sepasang matanya membelalak 

ketakutan. Dengan terbata-bata dia segera 

berucap. 

"Kau.... Kau boleh makan sesuka hatimu.... 

Aku siap melayani apa kemauanmu.... Kau tak 

usah bayar.... Asal...." 

Ucapan si pemilik kedai belum selesai, 

mendadak ganti paras si pemuda yang berubah


tegang. Ketegangan ini membuat cekalan tangan 

pada lengan pemilik kedai makin keras! 

"Bagaimana sekarang.... Aku baru ingat kalau 

tidak berbekal uang sepeser pun!" Si pemuda 

membatin. "Daripada nantinya babak belur di 

tempat ini karena makan tidak bayar, lebih baik 

aku pergi...." 

Si pemuda lepaskan cekalan pada lengan si 

pemilik kedai. Lalu beranjak bangkit. 

Entah apa yang ada di benak si pemilik kedai, 

belum sampai kaki si pemuda melangkah, kini 

ganti si pemilik kedai yang pegangi lengan si 

pemuda. Saking kerasnya pegangan si pemilik 

kedai, ganti sosok si pemuda yang tersentak 

hingga kembali terduduk. 

"Harap kau tidak segera pergi sebelum aku 

sediakan apa yang kau pesan! Kau tak usah 

pikirkan uang untuk membayar...." 

"Dari mana dia tahu aku tidak berbekal 

uang...?l" Si pemuda terus berkata dalam hati 

lalu arahkan pandangan berkeliling. Takut apa 

yang dibicarakan didengar pengunjung lain. 

Di lain pihak, tanpa menunggu jawaban si 

pemuda, si pemilik kedai cepat balikkan tubuh. 

Namun si pemuda buru-buru mencegah dengan 

pegang kembali le ngan si pemilik kedai. 

Khawatir terjadi kesalah pahaman lagi, si 

pemuda cepat sorongkan kepalanya mendekati


wajah si pemilik kedai. 

Si pemilik kedai tarik kepalanya ke belakang 

dengan raut tegang. Namun belum sampai dia 

buka suara si pemuda sudah berbisik. 

"Orang tua.... Kau tahu kesulitanku tadi, 

bukan...?! 

"Anak muda.... Sudah kubilang. Kau tak usah 

bayar apa yang nanti kau pesan...." 

"Bukan itu maksudku.... Aku tak bisa makan 

seperi mereka!" ujar si pemuda sambil layangkan 

pandangan pada beberapa pengunjung. 

Si pemilik kedai menghela napas lega lalu 

angguk kan kepala. Dan bergegas ke belakang 

dengan tubuh masih bergetar ketakutan. 

"Hem.... Tampaknya dia tadi salah sangka 

dengan tindakanku.... Dikira aku berbuat macam-

macam.... Tapi hal ini membawa rejeki besar 

bagiku! Dia menawarkan makan dan minum 

tanpa bayar...." Si pemuda tertawa sendiri. 

Saat itulah beberapa pengunjung kedai 

berpaling Si pemuda putuskan tawanya lalu 

balas menatap pada pandangan pengunjung 

dengan wajah bimbang bertanya-tanya. 

"Ada apa ini...? Mengapa mereka 

memandangku begitu rupa?! Apa yang salah 

dengan diriku?! Apa mereka dengar 

pembicaraanku dengan pemilik kedai tadi? Apa


mereka juga tahu kalau aku tidak berbekal 

uang...?!" 

Selagi bertanya-tanya sendiri dalam hati, mata 

si pemuda menangkap salah seorang 

pengunjung yang angkat tangan kanannya. Lalu 

jari telunjuknya dilin-tangkan miring di depan 

keningnya! 

"Astaga! Jadi mereka menganggapku orang 

sinting! Mungkin karena aku baru saja tertawa 

sendiri! Hem.... Apa mereka tak tahu kalau aku 

ini memang muridnya orang sinting...." Ingat akan 

hal itu, si pemuda jadi geli. Hingga saat itu juga 

kembali tawanya meledak! Membuat beberapa 

orang pengunjung sama lintangkanjari telunjuk di 

depan kening seraya anggukkan kepala. 

Sementara mendengar suara tawa si pemuda, 

si pemilik kedai jadi khawatir. Hingga dia 

tergopoh-gopoh keluar sambil membawa 

pesanan. 

"Silakan.... Silakan, Anak Muda.... Tak usah 

sungkan-sungkan!" ujar pemilik kedai dengan 

terbungkuk-bungkuk dan suara bergetar. 

Si pemuda anggukkan kepala seraya putuskan 

tawanya. Lalu memperhatikan hidangan yang 

disuguhkan di depan mejanya, Beberapa saat 

sepasang matanya menyipit. Lalu alihkan 

pandangannya pada si pemilik kedai. 

"Anak muda.... Kalau kau tak berkenan


dengan hidangan ini, aku bersedia mengganti 

dengan hidangan ynng lain.... Dan kau tetap tak 

usah pikirkan harga. Kau kgin hidangan ini 

diganti?" tanya si pemilik kedai lagi-lagi salah 

duga dengan sikap si pemuda yang sebenarnya 

merasa kebingungan dengan makanan yang 

dihidangkandi mejanya. Karena baru tahu yang 

dihadapan-nya adalah bakmi keriting. 

Karena si pemuda tidak menjawab, si pemilik 

kedai lagi-lagi salah sangka hingga dia cepat 

balikkan tubuh hendak balik ke arah tempat 

memasak. 

"Orang tua.... Kurasa hidangan ini telah 

cukup...." 

"Benar...?" 

Yang ditanya anggukkan kepala dengan 

sungging-kan senyum, takut si pemilik kedai 

akan tambah salah duga. 

Si pemilik kedai ikut tersenyum. Lalu 

bungkukkan tubuh dan ngeloyor ke belakang 

tanpa berpaling iagi. "Daripada kelaparan, lebih 

baik kumakan saja! Apa lagi makanan ini 

gratis...," gumam si pemuda. Tanpa pikir panjang 

lagi, kaki kanannya segera diangkat lalu ditekuk 

dengan telapak bertumpu pada tempat duduk. 

Saat kemudian tangannya sudah bergerak mulai 

menyantap makanan di atas meja. 

Beberapa pengunjung lagi-lagi terkesima


melihat bagaimana si pemuda makan dengan 

menggunakan tangan. Hingga untuk beberapa 

saat di antara mereka saling lontarkan 

pandangan. Lalu beberapa di antaranya buru-

buru tinggalkan uang di meja dan saling bisik 

Lalu tinggalkan kedai dengan mata sesekali 

melirik ke arah si pemuda yang makan dengan 

lahap tanpa hiraukan pandangan orang di 

sekitarnya. 

Ketika selesai makan, si pemuda tampak 

kemyitkan dahi. Ternyata yang tinggal di dalam 

kedai hanya dia sendiri! 

"Kapan mereka pergi...?! Hem.... Mungkin 

mereka masih menganggapku manusia gila...," 

gumam si pemuda seraya geleng kepala lalu 

tertawa ngakak. Hingga karena takut, si pemilik 

kedai segera keluar lalu menghampiri dengan 

tubuh bergetar dan wajah tegang. 

"Orang tua.... Makananmu enak.... Kapan-

kapan kalau aku lewat, pasti aku akah mampir 

ke sini lagi.... Herapa yang harus kubayar?!" 

Tangan si pemuda menyelinap ke balik 

pakaiannya. 

Si pemilik kedai pulang balikkan kedua 

tangannya ke depan dada sembari berkata. 

"Tadi sudah kukatakan.... Makanan dan 

minuman ini tak usah dibayar.... Malah aku 

makin senang jika kau kapan-kapan mampir lagi


ke kedai ini...." 

Si pemuda geleng kepala dengan tangan 

masih berada di balik pakaiannya. "Orang tua.... 

Aku tak bisa makan dan minum tanpa bayar! 

Harap katakan saja berapa harga makanan dan 

minuman ini!" 

"Anak muda.... Anggap ini sebagai satu 

penghormatanku atas kedatanganmu di negeri 

ini! Pergunakan uangmu untuk bekal lanjutkan 

perjalanan,..." 

"Ah.... Terima kasih. Benar kau tidak mau 

dibayar?!" Walau nadanya bertanya, namun si 

pemuda sudah tank keluar tangannya dari balik 

pakaiannya. 

"Aku tidak pernah berpura-pura, Anak Muda! 

Lagi pula apalah artinya harga makanan ini 

dibanding dengan persahabatan kita?! Kau mau 

bersahabat denganku, bukan...?" 

"Ah.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Aku 

orang bisa bersahabat denganmu. Sebagai 

sahabat, kau tak keberatan memberi penjelasan 

padaku?I" 

"Anak muda.... Kedai bukan saja tempat untuk 

makan dan minum. Tapi aku sengaja 

menyediakan diri untuk memberi penjelasan apa 

saja yang ditanyakan orang! Apalagi padamu, 

yang sekarang sudah kuanggap sebagai sahabat 

dan aku tahu pasti kau bukan berasal dari negeri


ini.... Kalau boleh tahu. Kau berasal dari mana?" 

Si pemuda berpikir sesaat. Lalu menjawab. 

"Aku dari tanah Jawa." 

"Hem.... Aku pernah dengar nama yang baru 

kau sebut. Kalau tak salah tanah itu masih ada 

kaitannya dengan seorang Kaisar bernama Ku 

Bilai Khan.... Yang menurut sejarah pernah 

berhubungan dengan Kerajaan Singasari dan 

Kerajaan Kediri!" 

"Betul...." 

"Kau jauh-jauh datang sampai negeri Himalaya 

ini pasti bukan tanpa tujuan. Dan dari jauhnya, 

pasti tujuanmu sangat penting!" 

"Hem.... Aku tidak boleh berterus terang 

bagaimana sampai aku terdampar di negeri ini!" 

kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata. 

"Aku memang punya tujuan sangat penting. 

Kau tahu di mana letak Lembah Tujuh Bintang 

Tujuh Sungai?!" 

Saking terkejutnya dengan pertanyaan si 

pemuda, orang tua pemilik kedai surutkan 

langkah. Karena di belakangnya ada bangku, 

tanpa ampun lagi sosok tubuh belakangnya 

menghantam bangku. Kalau saja tangannya 

tidak segera menggapai tangan meja, niscaya 

tubuhnya akan terhumbalang jatuh. 

"Kek.... Apa yang membuatmu terkejut dengan


pertanyaanku?!" 

Yang ditanya pandangi pemuda di 

hadapannya beberapa saat sebelum akhirnya 

angkat suara. 

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda...?!" 

"Aku hanya seorang pengelana dari tanah 

Jawa yang tengah mencari Lembah Tujuh Bintang 

Tujuh Sungai...!" 

"Maksudku.... Siapa namamu?!" 

"Kau boleh memanggilku Joko.... Joko 

Sableng!" 

"Bagaimana kau bisa mengenal penghuni 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?" 

"Kek.... Aku tak mau berpura-pura. Tadi harap 

jangan kecewa kalau aku tidak bisa menjawab 

pertanyaanmu. Yang kuharap justru kau memberi 

penjelasan padaku di mana letak lembah itu!" 

"Han Pek Kun! Biar aku yang memberi 

penjelasan!" Mendadak satu suara menyahut. 

Dua sosok tubuh ber-kolebat menerabas pintu. 

Si pemuda yang bukan lain ternyata adalah 

murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng berpaling. Si pemilik kedai 

yang baru saja dipanggil suara dengan sebutan 

Han Pek Kun ikut pula menoleh. 

----ooo0dw0ooo


TUJUH 



MEMANDANG ke depan, Pendekar 131 dan 

Han Pek Kun melihat seorang laki-laki bertubuh 

cebol berparas bulat besar dengan hidung 

melesak ke dalam ditingkah sepasang mata sipit. 

Rambutnya lebat serta panjang menjulai hingga 

menyapu lantai. Pada punggungnya terlihat 

punuk besar, membuat laki-laki ini doyong ke 

depan saat tegak berdiri. Pada pinggangnya 

tampak melilit sebuah pedang berkilat. 

Tegak di samping laki-laki cebol adalah 

seorand gadis cantik jelita mengenakan pakaian 

warna hijaui Rambutnya yang hitam lebat 

dikepang dua, salah satunya dilingkarkan pada 

lehernya yang putih dan jenjang. Hidungnya 

mancung dengan mata bulat. Dadanya kencang 

membusung dipadu dengan pinggul besar dan 

padat hingga terlihat mempesona. Seperti halnya 

laki-laki cebol di sampingnya, gadis cantik ini juga 

mengenakan sebuah pedang berkilat yang 

seakan lentur dan diikatkan pada pinggangnya 

yang ramping. 

Untuk beberapa saat mata Joko memandang 

tak berkesip pada si gadis. Lalu coba tersenyum 

dengan anggukkan kepala. Namun Joko cepat-

cepat pupuskan senyumnya ketika si gadis 

pasang tampang ketus dan alihkan pandangan 

ke jurusan lain. 

"Hem.... Mereka mengenali siapa adanya

pemilik kedai ini. Berarti orang tua bernama Han 

Pek Kun mengenali siapa mereka!" Joko 

membatin lalu tanpa berpaling dia berbisik. 

"Kek.... Kuharap kau tidak berpura-pura. Siapa 

mereka?!" 

Yang ditanya pandang silih berganti pada 

kedua orang di seberang depan. Lalu angkat 

suara berbisik. 

"Yang laki-laki bergelar Iblis Pedang Kasih. Si 

gadis dijuluki Bidadari Pedang Cinta.... Mereka 

adalah langgananku...." 

"Hem.... Begitu? Tapi mengapa nada suara 

sahutannya tadi tidak enak...? Ada apa 

sebenarnya di Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai?!" 

Belum sampai Han Pek Kun menjawab, tiba-

tiba laki-laki cebol yang dikatakan Han Pek Kun 

dengan gelar Iblis Pedang Kasih perdengarkan 

gelakan tawa panjang. Namun hingga tawanya 

putus, laki-laki ini tidak juga angkat suara. 

Sebaliknya justru gadis yang disebut Bidadari 

Pedang Cinta yang berkata masih tanpa 

memandang ke arah Joko atau Han Pek Kun. 

"Siapa kau?! Apa tujuanmu hendak ke 

Lembah nujuh Bintang Tujuh Sungai?l" 

Ditanya begitu, Joko bukannya segera 

menjawab, sebaliknya enak-enak bersiul dengan 

kepala bergerak-gerak. Di sampingnya, Han Pek

Kun tampak kerutkan kening dengan mimik 

cemas. Matanya sesekali melirik ke arah Bidadari 

Pedang Cinta lalu beralih pada Pendekar 131. 

"Kau punya mulut. Mengapa tidak 

menjawab?!" Bidadari Pedang Cinta membentak 

lalu sentakkan kepala menghadap pada murid 

Pendeta Sinting. Sepalang mata gadis ini kontan 

mendelik melihat sikap Joko yang terus bersiul-

siul. 

"Jawab!" Bidadari Pedang Cinta berteriak 

lengking seraya hentakkan kaki kanannya. 

Beberapa meja di dn iam kedai langsung 

bergetar hebat. Beberapa bumbung bambu dan 

mangkuk di atas meja mencelat mental. 

Murid Pendeta Sinting putuskan siulannya. 

Acuh tak acuh dia angkat suara. "Kau tanya pada 

siapa?l Pa daku...? Atau pada...." 

"Padamu!" tukas Bidadari Pedang Cinta masih 

dengan suara ketus. 

"Hem.... Apa yang harus kujawab?!" 

Menangkap gelagat tidak baik, Han Pek Kun 

cepaj berbisik pada Pendekar 131. 

"Dia bertanya siapa kau dan apa tujuanmu ke 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Kuharap 

kau menjawab dengan apa adanya, Anak 

Muda.... Bukan karena apa. Sebagal sahabat, 

aku tidak mau terjadi apa-api dengan dirimu!"


Joko anggukkan kepala. Lalu angkat bicara. 

"Menurut kakek Han Pek Kun, kau bertanya 

apakah aku sudah punya gandengan apa 

belum...." Joko hentikan ucapannya sesaat. Lalu 

melanjutkan dengan alihkan pandangan. "Kalau 

saja bukan kau yang bertanya, mungkin aku tak 

mau berterus terang, apalagi ini adalah urusan 

pribadiku. Aku belum punya gandengan.... Kau 

sendiri?!" 

Bidadari Pedang Cinta tersentak dengan 

tampang berubah. Hak Pek Kun tak kalah 

kagetnya namun rasiatakut lebih terlihat jelas. 

Hingga saking takutnya dan tak tahu apa yang 

harus dilakukan, orang tua ini hanya bisi 

memandang silih berganti pada Bidadari Pedang 

Cinu dan Pendekar 131. 

"Han Pek Kun!" Bidadari Pedang Cinta 

membentak, 

"Tampaknya kau sudah berani jual lagak di 

hadapanku dengan alihkan pertanyaan!" 

"Jangan salah...," ujar Han Pek Kun sambil 

menjura hormat. "Aku tidak mengatakan apa 

yang diucapkan pemuda ini tadi.... Aku 

mengatakan apa yang tadi kau lanyakan! Dia 

yang mengarang ucapan...!" Kepala Han Pek Kun 

berpaling pada murid Pendeta Sinting. 

Kini Bidadari Pedang Cinta memandang dingin 

pada Joko lalu berkata.


"Kau jangan berani berkata lancang, Orang 

Asing! Uan lekas jawab pertanyaanku tadi! Siapa 

kau dan apa tujuanmu ke Lembah Tujuh Bintang 

Tujuh Sungai!" 

"Dia bernama Joko Sableng berasal dari tanah 

Jawa...." Yang menjawab adalah Han Pek Kun. 

"Aku tidak bertanya padamu!" Bidadari Pedang 

Cin-ia menghardik. 

"Bidadari.... Kau sudah tahu siapa aku. Apa 

yang dikatakan Kakek Han Pek Kun benar!" 

sahut Joko. 

"Kau belum jawab satu lagi pertanyaanku!" 

"Aku hendak menemui seseorang!" 

"Siapa?!" 

"Bidadari.... Kau tadi datang dengan janji akan 

memberi penjelasan! Berarti kau sudah tahu 

siapa yang hendak kutemui!" 

Sejak Joko memanggil dirinya Bidadari, 

sebenarnya Bidadari Pedang Cinta sempat 

terkejut mendapati murid Pendeta Sinting sudah 

tahu siapa dirinya. Namun gadis ini tak hendak 

menanyakan dari mana si pemuda tahu. Apalagi 

mengetahui sikap Joko yang acuh tak acuh. 

"Apa hubunganmu dengan penghuni Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!" Bidadari Pedang 

Cinta ajukan tanya lagi.


"Tergantung...!" enak saja Joko menyahut. 

"Tergantung apa?!" 

"Siapa kelak yang akan kutemui di lembah 

itul" 

"Setan betul manusia satu ini! Siapa dia 

sebenar» nya?! Mengapa dia hendak ke Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Sungai? Dan apa 

hubungannya?!" Bidadari Padang Cinta terus 

bertanya-tanya dalam hati. "Apakah lembah itu 

dihuni lebih dari seorang?! Tapi menurut Eyang, 

hanya satu manusia penghuni lembah itu!" 

Habis membatin begitu, Bidadari Pedang Cinta 

berpaling pada Iblis Pedang Kasih. Lalu bertanya 

dengan suara pelan. 

"Eyang.... Apakah lembah itu dihuni lebih dari 

satu orang?!" 

"Cucuku.... Mengapa kau termakan dengan 

ucapan manusia asing?! Kau dengar sendiri 

pemuda itu berasal dari tanah Jawa. Aku tahu 

tanah Jawa. Sebuah negeri nun jauh di seberang 

lautan sana! Mana mungkin dia tahu banyak 

tentang daerah ini?!" 

"Jadi...?!" 

"Pasti dia hanya menduga-dugal Dia cuma tahi 

nama Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai tanpa 

tahu siapa penghuninya!" 

"Tapi tak mungkin dia jauh-jauh datang ke sini


kalau tidak paham dengan daerah dan orang 

yang ditujui" 

"Hem.... Lalu menurutmu bagaimana?!" 

"Dia pasti tahu siapa penghuni lembah itu! 

Hanyk mungkin dia belum tahu di mana letak 

lembah itul Km harus segera lakukan sesuatu! 

Kita tak boleh kedahuluan orang lain!" 

"Lalu...?!" 

"Kita harus cepat menuju ke sana!" 

Tanpa menunggu sahutan dari Iblis Pedang 

Kasih, didadari Pedang Cinta putar diri. Tanpa 

buka suara pula, Iblis Pedang Kasih ikut-ikutan 

balikkan tubuh. 

"Tunggu! Bukankah tadi salah satu dari kalian 

berjanji akan menjelaskan padaku di mana letak 

lembah yang kucari?!" tahan Joko seraya ajukan 

tanya. 

"Kau akan dapat penjelasan kalau kau jujur 

jawab pertanyaanku!" jawab Bidadari Pedang 

Cinta. 

"Kek! Apa ucapan gadis cantik itu bisa 

dipercaya?!" Joko bertanya pada Han Pek Kun 

yang sudah bisa bernapas lega tatkala 

mengetahui tidak terjadi keributan di kedainya. 

"Biasanya.... Dia bisa dipercaya! Tapi untuk 

urusan yang satu ini, aku tak bisa memastikan! 

Soalnya...."


Belum sampai Han Pek Kun lanjutkan 

ucapannya, Bidadari Pedang Cinta sudah angkat 

suara. 

"Pemuda asing! Kau ingin penjelasan atau 

ingin perjalananmu sia-sia?!" 

"Aku hendak bertemu dengan Kakek Dewa 

Asap Kayangan!" 

Hampir berbarengan, Bidadari Pedang Cinta 

dan Iblis Pedang Kasih balikkan tubuh. 

"Apa urusanmu hendak bertemu dengan 

manusia satu itu, hah?!" Kembali Bidadari 

Pedang Cinta ajukan tanya. 

Nada pertanyaan si gadis membuat Joko 

maklum ada sesuatu yang tak beres antara 

kedua orang di hadapannya dengan Dewa Asap 

Kayangan. Seorang tokoh yang pernah 

dijumpainya di Bukit Toyongga saat terjadi 

peristiwa peta wasiat. 

"Aku tak bisa mengatakan. Yang jelas aku 

tidak punya niat jelek!" Akhirnya Joko menjawab 

setelah agak lama terdiam. 

Bidadari Pedang Cinta menatap beberapa 

lama pada bola mata Joko seakan ingin 

meyakinkan ucapan orang. Lalu tersenyum dan 

berkata. 

"Kau terlambat.... Lebih baik kau urungkan 

niatmu ke lembah itu!"


"Terlambat...?! Terlambat bagaimana?!" 

Sambil tertawa pelan Bidadari Pedang Cinta 

angkati suara. 

"Orang yang akan kau temui sudah pergi 

selama-lamanya!" 

"Ke mana?!" 

Bidadari Pedang Cinta bukannya menjawab, 

melainkan mendelik dengan dada bergemuruh 

dirasuki hawa amarah. Di sampingnya, Han Pek 

Kun kembali berdebar-debar. Orang tua pemilik 

kedai ini segera berbisik. 

"Anak muda.... Aku tak tahu pasti benar 

tidaknya ucapan gadis itu. Aku hanya ingin 

menjelaskan. Yang] dimaksud gadis itu, orang 

yang akan kau temui sudah meninggal dunia!" 

Mendengar bisikan Bidadari Pedang Cinta, 

kontan saja tawa Joko meledak. Membuat si 

gadis langsung membentak pada Han Pek Kun. 

"Apa yang kau katakan padanya?!" 

Belum sampai yang ditanya menjawab, murid 

Pendeta Sinting sudah berucap. "Kakek ini 

mengatakan jika orang yang kucari pergi ke 

tempat kekasih barunya! Aku percaya.... Karena 

orang yang akan kutemui memang memiliki 

banyak kekasih! Malah menurut kabar yang bisa 

dipercaya, beberapa kekasihnya adalah gadis-

gadis muda berparas cantik jelita! Aku tidak


berani menduga. Tapi aku berharap kau bukan 

salah satu dari...." 

"Orang tua sialan!" teriak Bidadari Pedang 

Cinta seraya memutar tubuh menghadap lurus 

pada Han Pek Kun. Kedua tangannya diangkat 

tinggi-tinggi. 

Kuduk Han Pek Kun jadi dingin. Wajahnya 

pucat. Dia ingin buka mulut untuk menjelaskan 

apa sebenarnya yang dikatakan pada Joko. 

Namun karena sudah ketakutan, orang tua ini 

tidak mampu untuk berkata. Malah saat lain dia 

beringsut mundur dan tegak di belakang murid 

Pendeta Sinting dengan tangan cekal kedua 

tangan Joko. 

"Anak muda.... Kau benar-benar hendak 

membuatku celaka! Kau tahu.... Gadis itu bukan 

gadis sembarangan! Ilmunya tinggi! Beberapa 

tokoh yang sudah dikenal kalangan rimba 

persilatan negeri ini banyak yang dibuat bertekuk 

lutut...!" bisik Han Pek Kun dengan suara 

tersendat dan tubuh menggigil. 

"Bagus! Tampaknya kalian ingin mendapat 

hajaran bersama-sama!" kata Bidadari Pedang 

Cinta. Kedua tangannya menyentak lepaskan 

pukulan. 

Tapi sebelum ada gelombang angin yang 

berkiblat, iblis Pedang Kasih yang tegak di 

samping si gadis gerakkan kepalanya.


Werrr! 

Rambut panjang milik Iblis Pedang Kasih yang 

menjulai menyapu tanah berkibar perdengarkan 

suar angker. Hebatnya, julaian rambut itu tiba-

tiba berubah kaku dan lurus menghadang 

gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta! 

Tanpa buka suara bertanya, Bidadari Pedang 

Cinta sudah tahu isyarat apa yang dilakukan 

eyangnya. Dia segera luruhkan kedua tangannya. 

"Jangan bertindak ceroboh, Cucuku.... Seorang 

pemuda yang berani melakukan perjalanan jauh 

untuk menemui seseorang yang dikenal sebagai 

tokoh berilmu tinggi, tak mungkin membawa 

bekal cekak! Kita tak usah pedulikan ucapan 

mereka! Kita bisa terlambat sampai ke tempat 

tujuan! Padahal bukan hanya Lemi bah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai yang harus kita tuju!" 

"Anak muda.... Kau telah dengar ucapan orang 

cebol itu. Kuharap kau tidak membuat urusan 

lagi yang bisa membuatku celaka!" bisik Han Pek 

Kun seraya gerakkan kepala coba sembunyikan 

wajahnya dari pandangan Bidadari Pedang Cinta. 

"Dengar pemuda asing! Hari ini kau beruntungl 

Tapi sekali kita bertemu lagi dan kau masih juga 

berucap tak karuan, tak akan ada yang bisa 

menghalangi tindakanku!" 

Iblis Pedang Kasih gerakkan kepalanya lagi. 

Rambutnya yang kaku dan baru saja menahan


gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta 

segera berkibar ke udara sebelum akhirnya luruh 

menjulai tanah di belakangan sosoknya. 

"Cucuku____Kita pergi sekarang!" kata Iblis 

Pedang 

Kasih seraya balikkan tubuh lalu berkelebat 

keluar dari dalam kedai. 

"Bidadari.... Aku memang mengharapkan kita 

bisa bertemu lagi.... Dan perlu kau tahu. Selama 

ini aku banyak bertemu dengan gadis cantik. Tapi 

hanya kau yang membuatku ingin bertemu lagi.... 

Dan lagi.... Dan lagi...l" 

Entah karena apa, mendadak dada gadis 

cantik di samping Iblis Pedang Kasih ini jadi 

berdebar. Paras wajahnya bersemu merah. Entah 

sadar atau tidak, bibirnya sunggingkan senyum. 

Dan tanpa berucap lagi dia putar diri sambil 

melirik lalu berkelebat menyusul eyangnya. 

---ooo0dw0ooo--- 

DELAPAN 



KEK.... Maafkan ucapanku tadi! Dan terima 

kasih atas makanan dan minuman yang telah 

kau sediakan!" Joko berkata begitu Iblis Pedang 

Kasih dan Bidadari Pedang Cinta berlalu. 

Han Pek Kun lepaskan cekalan kedua 

tangannya pada lengan murid Pendeta Sinting


lalu melangkah dan tegak menjajari seraya 

berucap pelan. 

"Kau pandai bicara, Anak Muda.... Dan meski 

aku tadi tidak melihat, tapi aku tahu pasti jika 

gadis cantik itu akan salah duga dengan 

ucapanmu yang terakhir tadi!" 

Joko hanya tersenyum. Lalu melangkah 

menuju pintu kedai. 

"Tunggu!" mendadak Han Pek Kun menahan 

begitu Joko akan melangkah keluar. "Sebagai 

sahabat, aku pesan padamu, Anak Muda! Kau 

boleh saja bicara tak karuan pada orang. Tapi 

jangan pada seorang gadisl Ucapanmu bisa 

menjadi urusan besar di kelak kemudian haril 

Apalagi ucapan itu ada hubungannya dengan 

urusan hati dan perasaan! Bagi seorang gadis, 

ucapan candamu bisa diartikan laini" 

"Tapi aku memang ingin bertemu lagi dengan 

gadis tadil Aku tidak bercanda!" 

"Aku tahu.... Tapi ucapan terakhirmu, bisa 

diartikan lain!" 

"Ah.... Kurasa itu urusan gadis itu, Kek!" 

"Kau memang akan menuju Lembah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai?!" Hak Pek Kun alihkan 

pembicaraan. 

Murid Pendeta Sinting menjawab dengan 

anggukkan kepala tanpa menoleh ke belakang.


Lalu berkata. 

"Kau yakin jika penghuni lembah itu memang 

telah tewas seperti ucapan Bidadari tadi?!" 

"Tidak ada hal yang lebih pasti sebelum kau 

membuktikan sendiri!" 

Kembali Joko anggukkan kepala lalu sekali 

membuat gerakan berkelebat, sosoknya melesat 

ke arah mana tadi Iblis Pedang Kasih dan 

Bidadari Pedang Cinta pergi. 

"Mereka bisa kujadikan sebagai penunjuk 

jalan! Aku tahu, mereka tengah menuju ke sana! 

Hem.... Ada urusan apa antara mereka dengan 

Dewa Asap Kayangan? Bidadari Pedang Cinta.... 

Wajahnya mengingatkanku pada seseorang...." 

Joko terus berkata dalam hati sambil berkelebat. 

Di pelupuk matanya muncul bayangan Dewi 

Bunga Asmara, Bidadari Bulan Emas, Mei Hua, 

dan Siao Ling Ling. Beberapa gadis cantik yang 

sempat terlibat urusan dengannya beberapa 

wakta yang lalu di Bukit Toyongga. 

Pada satu tempat, tiba-tiba Joko hentikan 

larinya. Memandang ke depan dan ke samping, 

dia tidak melihat siapa-siapa. Yang terlihat cuma 

hamparan tanah terbuka yang banyak ditebari 

bongkahan-bongkahan batu besar. 

"Heran.... Ke mana mereka?! Mataku baru 

saja malah bisa menangkap kelebatan sosoknya! 

Tapi...." Joko putuskan gumaman. Kepalanya


berpaling ke arah satu bongkahan batu sepuluh 

langkah di sampingnya. Hem.... Aku yakin. Ada 

manusia di balik bongkahan balu besar itu! 

Berarti mereka tahu kalau tengah kuikuti! Apa 

hendak dikata. Apa pun urusan mereka dengan 

Dewa Asap Kayangan, yang jelas aku tidak ingin 

membuat masalah dengan mereka!" 

Membatin begitu, Joko segera berseru. "Aku 

tidak mengikuti kalian! Tujuan kita sama! Jadi 

bukankah lebih baik kita jalan bersama-sama?!" 

Tidak ada suara sahutan atau tanda-tanda 

munculnya seseorang dari balik bongkahan batu 

di mana mata Joko tengah memandang. 

"Aku tahu kalian berada di sini! Mengapa suka 

bercanda main sembunyi?!" 

Karena tidak juga ada suara yang menyahut 

atai munculnya seseorang, Joko segera berkata 

lagi dengan kepala berpaling ke arah jurusan 

lain. 

"Bidadari.... Kau masih ingat ucapanku, 

bukan?! Selama ini aku telah bertemu banyak 

gadis cantik. Tapi hanya kau seorang yang 

membuatku ingin bertemu lagi.... Dan lagi.... Dan 

lagi...!" 

Joko menunggu beberapa saat. Karena tidak 

juga ada suara sahutan, akhirnya Joko berseru 

agak lantang. 

"Bidadari.... Kau jangan membuat dadaku


berdebat tak enak dengan terus sembunyikan 

diri di balik batu.... Aku ingin melihat wajahmu 

sekali lagi...." 

"Bidadarimu sudah turuti keinginanmu.... 

Bidadari mu juga ingin melihat wajahmu sekali 

lagi.... Dan lagi.... Dan lagi, ah...," sahut sebuah 

suara. 

"Ah, tampaknya kau juga suka bercanda 

dengar mengubah-ubah suara...," ujar Joko 

sambil sungging kan senyum dan berpaling. 

Senyum murid Pendeta Sinting lenyap laksana 

di sabet setan. Matanya mendelik dengan kepala 

pulanj balik bergerak ke depan ke belakang! 

Pada sisi bongkahan batu, terlihat nongolan 

kepala milik seorang nenek berambut putih. 

Sepasang matanya sipit. Tapi bukan karena bola 

matanya kecil melainkan karena tertutup kulit di 

sekitar matanya. Hidungnya besar, mulutnya 

hampir-hampir tidak kelihatan karena masuk ke 

dalam gumpalan daging kedua pipinyal 

"Ternyata kau masih tetap tampan, 

Pujaanku.... Seperti halnya dirimu, selama ini aku 

telah banyak bertemu dengan pemuda berwajah 

tampan. Tapi hanya kau seorang yang membuat 

mataku tak bisa terpejam, membuat dadaku tak 

bisa tenteram, membuat mulutku tak mampu 

bergumam, membuat langkahku tak bisa 

berdebam, membuat tidurku tak bisa tenggelam,


membuat jari-jariku tak kuasa menggenggam. 

Ah.... Ah...!" 

Mungkin karena tersentak kaget sebab 

dugaannya meleset, untuk beberapa saat Joko 

tegak tanpa buka mulut atau membuat gerakan. 

Di lain pihak, kepala nenek di sisi bongkahan 

batu sunggingkan senyum serta pejamkan mata. 

Lalu terdengar lagi ucapannya. 

"Pujaanku.... Kau tahu. Karena dirimu, yang 

kulihat putih jadi hitam legam. Yang kudengar 

lirih jadi berdentam-dentam. Batu yang 

kugenggam jadi permata mu-tumanikam! Yang 

kumakan sayur bayam jadi terasa tai ayam. Ah.... 

Ah...." 

"Busyet! Mengapa jadi berubah begini?! Lain 

yang kucari lain pula yang kudapati!" gumam 

Joko gusar. Lalu lepas pandangan berkeliling. 

"Pujaanku.... Kau tadi mengatakan ingin 

melihat Bidadarimu sekali lagi.... Dan lagi.... Dan 

lagi, ah.... Mengapa kau sekarang suka bercanda 

dengan memperhatikan yang lain?! Apakah diriku 

berubah di matamu...?! Kau jangan membuat 

hatiku panas dingin tak karuan.... Pandanglah 

aku, Pujaanku.... Aku mengenakan baju baru.... 

Gaya baru, potongan baru...." Mulut yang 

melesak di antara gumpalan daging kedua pipi si 

nenek tersenyum. 

Joko berusaha tidak memandang, tapi laksana


ada kekuatan dahsyat, perlahan-lahan bola 

matanya berputar memandang ke arah si nenek! 

Si nenek tersenyum sekali lagi. Lalu perlahan-

lahan kepalanya terangkat dari sisi bongkahan 

batu. 

Pendekar 131 melihat sebuah leher besar, 

lalu dada si nenek yang mengendor besar disusul 

dengan terlihatnya perut tambun besar yang 

dibungkus pakaian! warna merah menyala yang 

sangat ketat! Dan ternyatai rambut putih si 

nenek menjuntai panjang sampai kedua 

betisnya! 

"Bagaimana menurutmu, Pujaanku...?! Hari ini 

aku tampil beda, bukan?!" 

Mungkin tak mau membuat urusan dengan 

orang, Joko segera buka mulut. 

"Penampilanmu hari ini memang beda, Nek...l 

Hingga membuat mataku hampir-hampir tidak 

bisa mengenalimu lagi!" 

"Jadi kau lupa pada Bidadarimu ini...?!" 

"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? 

Aku hanya tidak mengenalimu lagi!" 

"Ah.... Ah.... Apa bedanya lupa dengan tidak 

mengenali, Pujaanku?l" 

"Lupa berarti tidak ingat. Tidak mengenali 

sama dengan lupa.... Lupa berarti tidak 

mengenali. Tidak mengenali berarti tidak ingat!"


"Ah.... Ah.... Mengapa kau membuat 

Bidadarimu jadi bingung, Pujaanku?! Apakah ini 

satu isyarat ada orang lain di hatimu?! Adakah ini 

satu tanda kau punya Bidadari lain?! Adakah ini 

satu petunjuk ada Bidadari lain yang lebih dariku 

dalam pandanganmu?! Adakah ini satu bukti jika 

semua ucapanmu hanyalah rayuan gombal 

belaka?!" 

Habis berkata begitu, si nenek angkat kedua 

tangannya ditakupkan pada wajahnya. Saat 

kemudian terdengar suara isak tangisnya! Hingga 

dadanya bergerak turun naik, sementara 

gumpalan daging perutnya bergoyang-goyang! 

"Nek...." 

Belum sampai Joko lanjutkan ucapan, si 

nenek sudah memotong dengan suara lengking. 

"Kau sekarang memanggilku nenek! Padahal 

selama ini kau selalu menyebutku Bidadari!" 

Dengan sikap kesal dan ingin tertawa, 

akhirnya Joko berucap. 

"Bidadari...." 

"Bukan Bidadari! Tapi Bidadariku!" Si nenek 

sudah menukas lagi. Lalu lanjutkan isak 

tangisnya. 

Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. 

Lalu buka mulut. 

"Bidadariku.... Mungkin kau salah lihat....


Aku.... Aku bukan pujaanmu!" 

Si nenek renggangkan jari-jari kedua 

tangannya yang menutupi wajah. Lalu 

memperhatikan beberapa lama sebelum 

akhirnya angkat suara dengan serak parau. 

"Kau tega-teganya berkata begitu pada 

Bidadarimu yang selama ini selalu merindukan 

bertemu denganmu.... Mengapa?! Mengapa?! 

Ah.... Ah...l" 

Kalau saja tidak sedang berhadapan dengan 

orang aneh, tentu tawa Joko sudah meledak 

sejak tadi. Namun karena sadar siapa orang yang 

dihadapi serta ingin selesaikan urusan di tempat 

itu, Joko tahan ledakan tawanya, meski perutnya 

sudah bergerak-gerak dan bahunya berguncang. 

"Bidadariku.... Terus terang saja. Baru kali ini 

aku bertemu denganmu...." 

Kontan si nenek berseru tertahan. Tangan 

kanannya diluruskan menunjuk pada murid 

Pendeta Sinting sementara tangan kirinya terus 

menutupi wajahnya. Lalu berkata setengah 

membentak. 

"Bidadari mana yang telah menutup 

pandanganmu hingga kau bisa berkata begitu?! 

Bidadari model apa yang telah membuat lidahmu 

terbalik hingga lancang bicara begitu, hah?!" 

"Bidadariku.... Kuharap kau tidak terlalu cepat 

menuduh! Kau perlu tahu. Aku bukan berasal


dari negeri ini. Aku datang dari negeri di seberang 

laut...l" 

"Hem.... Jadi Bidadari seberang laut itu yang 

membuat kau berubah?!" 

"Bukan! Maksudku.... Aku dilahirkan di negeri 

seberang laut. Aku bukan asli orang sini! Dan 

kalaupun aku sampai terdampar di negeri ini, 

mungkin ini hanya sebuah nasib yang telah 

tertulis untukku...." 

"Mana mungkin aku percaya padamu! Kau 

berani berkata dusta padaku karena kau telah 

punya simpanan Bidadari lain!" 

"Nek.... Eh, Bidadariku.... Aku bicara sungguh-

sungguh!" 

"Hem.... Jangan kau kira aku tidak tahu siapa 

Bidadari simpananmu itu, Pujaanku! Jangan kira 

pula aku tidak tahu di mana kau sembunyikan 

Bidadari simpananmu itu!" 

Habis berkata begitu, tangan kanan si nenek 

yang menunjuk lurus pada sosok murid Pendeta 

Sinting perlahan-lahan bergerak ke samping 

kanan menunjuk pada satu bongkahan batu 

besar. 

"Jangankan hanya bongkahan batu sebesar itu 

yang kau buat menutupi Bidadari simpananmul 

Sekalipun Gunung Himalaya kau letakkan di 

depan hidungnya, dia tak mungkin bisa lolos dari 

pandangan mataku!"


Mendadak terdengar gumaman makian 

bersumber dari balik bongkahan batu di mana 

tangan si nenek menunjuk. Joko kancingkan 

mulut lalu palingkan kepala dengan dahi 

berkerut. 

Dari balik bongkahan batu muncul satu sosok 

tubuh milik seorang gadis berparas cantik jelita 

mengenakan pakaian warna hijau. 

"Bidadari Pedang Cinta...." Pendekar 131 

bergumam mengenali siapa adanya gadis yang 

keluar dari balik bongkahan batu. 

Si gadis yang bukan lain memang Bidadari 

Pedang Cinta adanya mendelik angker silih 

berganti pada Pendekar 131 dan si nenek yang 

masih menunjuk ke arahnya, sementara tangan 

satunya lagi tetap mendekap wajahnya dengan 

jari-jari direnggangkan. 

"Pemuda asing!" Bidadari Pedang Cinta 

berteriak llnggl. "Aku akan buktikan ucapanku 

bahwa tidak ada yang akan bisa menghalangi 

tindakanku!" Tangan kanan sang Bidadari lalu 

terangkat menunjuk lurus pada si nenek dan 

berteriak. "Dan kau nenek gila! Kau telah berani 

bicara lancang menuduhku yang bukan-bukan! 

Mulutmu layak mendapat imbalan!" 

Belum sampai ucapannya selesai, Bidadari 

Pedang Cinta sudah melesat dan tegak lima 

langkah di depan murid Pendeta Sinting dengan


tampang garang. 

"Bidadari.... Harap tidak masukkan hati apa 

yang diucapkan...." Pendekar 131 kebingungan 

meneruskan ucapannya. Apalagi saat itu 

terdengar si nenek telah bergumam. 

"Pada gadis itu, sekali berkata kau sudah 

menyebutnya Bidadari.... Sementara pada 

Bidadarimu ini, kau I masih salah-salah melulu!" 

Murid Pendeta Sinting menghela napas 

panjang. Sementara si nenek tarik pulang 

tangannya yang tadi diluruskan pada Bidadari 

Pedang Cinta. Tangan kirinya yang mendekap 

wajahnya juga diturunkan. Lalu balikkan tubuh 

seraya berkata. 

"Pujaanku.... Kau kuberi waktu untuk 

menimbang! Setelah itu kau harus memberi 

keputusan! Kau pilih Bidadarimu ini yang selalu 

setia, atau pilih Bidadari model dia yang berbaju 

hijau itu!" 

"Tetap di tempatmu, Nenek Gila!" sentak 

Bidadari! Pedang Cinta tak mampu menahan 

gelegak hawa kemarahan. Lalu melompat ke 

arah Pendekar 131 dengan kedua tangan 

berkelebat lepaskan pukulan! 

---ooo0dw0ooo--- 

SEMBILAN


KARENA tak ada kesempatan lagi menghindar, 

sementara kalau tidak dihadang jelas pukulan itu 

mengandung tenaga dalam tinggi yang bisa 

membuat luka dalam, terpaksa Joko angkat 

kedua tangannya. 

Bukkk! Bukkk! 

Bidadari Pedang Cinta berseru tertahan. 

Sosoknya mundur dua tindak dengan paras 

berubah. Gadis ini tidak menduga kalau akibat 

bentrok itu akan membuat sosoknya tersurut dan 

kedua tangannya terasa ngilu dan berwarna 

merah. 

Di lain pihak, meski tidak merasakan sakit luar 

biasa, murid Pendeta Sinting segera goyang-

goyangkan tubuhnya dengan keras, lalu kakinya 

diseret beberapa langkah ke belakang dengan 

tampang dibuat seakan merasakan kesakitan 

hebat. Malah kedua tangannya dikibas-kibaskan 

lalu diselinapkan ke balik pakaiannya. 

Di seberang, si nenek putar diri lagi 

menghadap. Memandang silih berganti pada 

Bidadari Pedang Cinta dan Pendekar 131 lalu 

berkata. 

"Pujaanku.... Aku tahu. Ini semua hanya 

sandiwaramu agar hatiku tidak remuk redam.... 

Sebenarnya bukan sandiwara seperti ini yang 

kuharap! Aku minta kau memutuskan satu 

pilihan, Pujaanku.... Hanya saja kuminta kau


selalu ingat akan semua janji-janjimu padaku! 

Ingat akan segala yang pernah kau katakan 

padaku di saat-saat bulan tengah purnama! Kau 

tentu masih ingat ketika mengatakan Bidadarimu 

ini laksana bulan purnama.... Mengatakan 

indahnya tubuhku seperti riak gelombang lautan 

samudera.... Lentiknya bulu mataku bak jajaran 

rimbun dedaunan di lereng Gunung Hi-malaya... 

Geraian rambutku selaksa rintik hujan di pagi 

buta.... Merdunya suaraku bagaikan amukan 

gemuruh raksasa.... Cara jalanku laksana...." 

"Diam!" Bidadari Pedang Cinta menghardik. 

"Sekali kau buka mulut lagi, jangan kira aku tak 

mampu membuat tubuhmu jatuh terjengkang!" 

"Ah.... Ah.... Mengapa kau marah padaku?! 

Apakah kau tak sadar?! Seharusnya aku yang 

punya hak untuk marah padamu! Pujaanku bisa 

tidak mengenaliku lagi gara-gara bertemu 

denganmu! Gara-gara bicara tak ujung pangkal 

denganmu! Gara-gara...." 

Belum sempat si nenek lanjutkan ucapan, 

Bidadari Pedang Cinta sudah hantamkan kedua 

tangannya lepas pukulan jarak jauh. 

Wuutt! Wuuuut! 

Dua gelombang angin perdengarkan suara 

bergemuruh keras berkiblat. 

Si nenek unjukkan tampang ngeri dengan 

angka! kedua tangannya di depan dada


digerakkan pulang balik ke samping kiri kanan 

seakan memberi isyarat agan Bidadari Pedang 

Cinta tidak teruskan pukulannya. 

Hebatnya, saat itu juga gelombang yang 

berkiblat ke arah si nenek laksana dihantam 

kekuatan dahsyatj dan ambyar semburat ke 

samping kiri kanan! Malah ka-j lau saja si gadis 

tidak segera lipat gandakan tenaga] dalam untuk 

kuasai goyangan tubuhnya, niscaya sol soknya 

akan tersapu pulang balik ke samping! 

"Hem.... Aku sudah menduga kalau nenek itu 

bukan orang sembarangan! Hanya saja, aku 

belum bisa menduga apa maksud sebenarnya 

nenek itu...." Diam-diam Joko membatin. 

Di lain pihak, mendapati apa yang terjadi, 

Bidadari sedang Cinta tampak terkesiap kaget. 

Dia kini sadar jika yang dihadapi adalah orang 

berilmu tinggi. Namun karena sudah telanjur 

bicara, dia tak mau dibuat malu. Maka dia segera 

kerahkan segenap tenaga dalamnya. 

Didahului bentakan keras, sosok Bidadari 

Pedang Cinta melesat ke arah si nenek. 

Setengah jalan kedua tangannya menghantam. 

Wuutt! Wuutt! 

Gelombang dahsyat menghampar diikuti 

bertebar-nya hawa panas luar biasa. 

Si nenek tampak tercekat tegang. Sepasang 

matanya mendelik memejam dengan kedua


tangan menakup pada gumpalan daging 

perutnya. 

"Pujaanku! Pujaanku! Mengapa kau diam saja 

melihat Bidadarimu akan mampus dibunuh 

orang...?!" Si nenek berteriak pada murid 

Pendeta Sinting1. 

Karena maklum ucapan si nenek hanya 

bercanda, Joko tenang-tenang saja malah 

tersenyum. Namun hingga gelombang pukulan 

Bidadari Pedang Cinta setengah depa di hadapan 

si nenek dan perempuan tua bertubuh tambun 

besar ini tidak juga membuat gerakan, Joko 

pupuskan senyum. Dia angkat kedua tangannya 

hendak menghadang gelombang, meski hal itu 

akan membuat si nenek tidak bisa lolos dari bias 

bentroknya pukulan. 

Namun sebelum kedua tangan Joko benar-

benar bergerak, tiba-tiba si nenek pukul-pukul 

kedua tangannya pada gumpalan daging di 

perutnya. 

Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukk! 

Terdengar suara dentuman mendengung 

beberapa kali. Bersamaan itu tepat di pusar si 

nenek melesat empat sinar berwarna kelabu 

tipis. 

Bummm! Bummm! 

Tanah terbuka yang banyak ditebari 

bongkahan batu-batu besar itu bergetar keras.


Beberapa bongkahan batu bergerak-gerak dan 

sebagian di antaranya] langsung mencelat 

mental tersapu dua gelombang pukulan Bidadari 

Pedang Cinta yang tiba-tiba bertabur semburat 

terhantam empat sinar kelabu dari pusar si, 

nenek! 

Sosok Bidadari Pedang Cinta terjungkir balik di 

udara sebelum akhirnya terpental beberapa 

tombak ke belakang dengan mulut perdengarkan 

teriakan tegang. 

Karena terkejut dan hebatnya bias pukulan 

yang menghajar, Bidadari Pedang Cinta terlambat 

untuk membuat gerakan agar sosoknya tidak 

terpental menghajar bongkahan batu yang sudah 

menanti di belakangnya. 

Setengah tombak lagi sosok Bidadari Pedang 

Cinta menghantam bongkahan batu, tiba-tiba 

satu bayangan berkelebat. Justru saat itulah 

Bidadari Pedang Cinta membuat gerakan karena 

terkejut ada dua tangan yang menyambar 

tubuhnya. Hingga tak ampun lagi sosok Bidadari 

Pedang Cinta dan bayangan yang berkelebat 

menyelamatkan jatuh bergulingan di atas tanah. 

Namun hal ini membuat sosok Bidadari Pedang 

Cinta selamat dari menghajar bongkahan batu. 

Di lain pihak, sosok si nenek hanya bergerak-

gerak bagian dada dan perutnya yang tambun 

besar. Lalu rambutnya yang panjang berkibar-

kibar dengan mata memejam membuka!


Pada saat mata si nenek membuka dan 

memandang ke depan, mendadak nenek ini 

menjerit tinggi hingga sosok besarnya terlonjak 

ke udara. Lalu melayang turun dengan kedua 

tangan mendekap wajahnya dan berseru. 

"Pujaanku! Pujaanku! Tega benar kau padaku! 

Berani-beraninya kau beradegan mesra di depan 

mata bidadarimu ini! Adakah ini satu isyarat 

kalau kau memilih dia...?! Aku tak rela! Kau harus 

katakan apa salah dosa Bidadarimu ini hingga 

kau tega berbuat seperti itu! Seperti itu! Seperti 

itu!" 

Teriakan si nenek membuat Bidadari Pedang 

Cinta sadar. Apalagi dia merasakan dua tangan 

tengah memeluk tubuhnya dengan erat. Gadis 

cantik ini segera berpaling ke belakang. 

Bidadari Pedang Cinta tersentak tegang. 

Matanya mendelik angker. Seakan lupa kalau 

dirinya diselamatkan orang, kedua tangannya 

segera sentakkan dua langan yang melingkar di 

pinggangnya. Saat lain sosoknya berputar. Kaki 

kiri kanannya membuat gerakan menendang! 

Bukkkl Bukk! 

Satu sosok tubuh berbalut pakaian putih 

terpental dengan berteriak kaget.. Lalu sosoknya 

terjengkang di atas tanah. 

Tampaknya Bidadari Pedang Cinta belum 

puas. Dia segera bangkit lalu melompat dan


berteriak. 

"Kau manusia lancang yang berani memeluk 

tubuhkul" 

Bukkk! 

Lagi-lagi kaki Bidadari Pedang Cinta 

menghantami sasaran. Terdengar orang berseru 

kesakitan. 

"Bidadari.... Maaf.... Aku tak sengaja...," kata 

orang yang baru saja terpental karena tendangan 

kaki sang Bidadari. Dia tidak lain adalah 

Pendekar 131 Joko Sableng. 

"Ah.... Ah.... Di hadapanku kau bicara maaf tak 

sengaja! Tapi di belakangku pasti kau bicara 

lain!" Si nenek berkata lalu buka kedua 

tangannya. 

Bidadari Pedang Cinta memandang tajam 

pada Joko dengan dada bergemuruh keras. 

Namun perlahan-lahan ada perasaan lain yang 

menyelinap. Dia sadar, kalau tindakan Joko tadi 

semata-mata untuk menyelamatkan tubuhnya 

dari benturan dengan bongkahan batu. 

Di lain pihak, murid Pendeta Sinting segera 

bangkit terhuyung-huyung seraya pegangi 

dadanya yang terkena tendangan kaki Bidadari 

Pedang Cinta. Lalu memandang ke arah si gadis. 

Kesadaran membuat Bidadari Pedang Cinta 

tak berani memandang lama-lama pada


Pendekat 131. Dia segera alihkan pandangannya 

ke jurusan lain dengan paras bersemu merah. 

Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada 

satu sosok tubuh yang duduk bersila di atas satu 

bongkahan batu. 

"Eyang...," bisik Bidadari Pedang Cinta. Entah 

karena apa, paras gadis ini makin memerah lalu 

perlahan-lahan melangkah ke arah sosok di atas 

bongkahan batu yang tidak lain adalah Iblis 

Pedang Kasih. 

"Cucuku.... Kau masih kurang hati-hati dalam 

menghadapi orangl Kau tahu siapa nenek 

bertubuh umbun besar itu?!" Iblis Pedang Kasih 

segera ajukan tanya begitu Bidadari Pedang 

Cinta tegak di sebelah Bongkahan batu. 

Seraya melirik pada Pendekat 131, Bidadari 

Pedang Cinta gelengkan kepala. 

"Untung dia hanya main-main hingga kau tidak 

mengalami luka! Jika tidak, aku tak bisa 

membayangkan apa yang akan terjadi 

denganmu...!" 

"Eyang.... Siapa dia?!" 

"Dia yang mana, yang kau tanyakan?! Karena 

pandanganmu sasarannya lain!" tanya Iblis 

Pedang Kasih seraya tertawa pelan. 

Ucapan Iblis Pedang Kasih membuat Bidadari 

Pedang Cinta terkesiap dan buru-buru alihkan 

pandangannya dari sosok murid Pendeta Sinting


ke arah nenek hertubuh tambun besar. Wajahnya 

jelas berubah dan suaranya serak tatkala buka 

mulut menjawab. 

"Yang kutanyakan siapa nenek bertubuh besar 

itu?" 

"Kau masih ingat dengan ceritaku tentang 

seorang bernama Putri Pusar Jagat?!" 

Bidadari Pedang Cinta berpaling. "Astagal Jadi 

diakah adikmu yang sering kau ceritakan itu?" 

"Di negeri ini hanya ada satu Putri Pusar Jagat! 

Dan dia adalah adikku sendiri!" 

Bukan saja Bidadari Pedang Cinta yang 

terlengak knget. Namun Joko ikut-ikutan terkejut. 

Dia pulang balikkan kepala memandang silih 

berganti pada Iblis Pedang Kasih dan nenek yang 

disebutnya dengan Putri Pusar Jagat. 

"Jadi Eyang mengajakku ke tempat ini untuk 

bertemu dengannya?!" tanya Bidadari Pedang 

Cinta. 

"Itu salah satunya. Ada lagi hal yang perlu kita 

bicarakan dengannya!" 

"Urusan apa, Eyang?! Mengapa Eyang tidak 

mem bicarakannya sebelum ini?" 

"Waktunya belum tepat, Cucuku.... Dan kurasa 

saal inilah waktu yang tepat untuk bicara 

dengannyal"


"Apakah ada hubungannya dengan penghuni 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!" 

Pertanyaan Bidadari Pedang Cinta membuat 

Joko pasang telinga baik-baik, karena dia punya 

kepentingan dengan Lembah Tujuh Bintang 

Tujuh Sungai. Namun hingga ditunggu agak lama, 

ternyata Iblis Pedang Kasih tidak buka mulut 

memberi jawaban. Sebaliknya berkata. 

"Cucuku.... Kau harus memberi hormat 

padanya...' 

Bidadari Pedang Cinta arahkan pandangannya 

pada Putri Pusar Jagat. Beberapa saat gadis ini 

tampak bimbang apalagi ingat apa yang baru 

saja dilakukan terhadap si nenek. 

Di lain pihak, Putri Pusar Jagat terlihat 

melangkah mendekati Pendekar 131. Lalu 

berkata. 

"Pujaanku.... Hendak ke mana kau 

sebenarnya?!" 

"Lebih baik aku berterus terang padanya...." 

Joko membatin, lalu angkat suara. 

"Aku akan ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai...l" 

"Dengan maksud?!" 

Joko terdiam. Dia tampak bimbang. "Untuk 

yang ini aku tidak boleh berterus terang!" katanya 

dalam hati lalu buka mulut.


"Aku mendapat pesan dari seseorang yang 

harus disampaikan padanya!" 

Putri Pusar Jagat manggut-manggut. Lalu 

putar langkah menuju Bidadari Pedang Cinta 

yang masih ragu ragu. 

"Nek.... Maaf atas semua yang tadi 

kulakukan...." Disadari Pedang Cinta akhirnya 

bergumam begitu si nenek bertubuh tambun 

besar sudah dekat dengannya, lalu bungkukkan 

tubuh menjura hormat. 

"Kau masih cemburu padaku...?!" Putri Pusar 

Jagat bertanya sambil tersenyum. 

"Nek.... Bukankah tadi kau yang tampak 

cemburu padaku?!" ujar Bidadari Pedang Cinta 

memberanikan diri setelah dilihatnya si nenek 

tersenyum. 

Putri Pusar Jagat tertawa bergelak hingga 

gumpalan daging di perutnya bergerak pulang 

balik ke atas ke bawah. Lalu berujar. 

"Hari ini mungkin ucapanmu benar. Tapi tidak 

lama lagi mungkin akan jadi berbalik! Kau tidak 

saja akan cemburu padaku, tapi juga pada 

beberapa gadis lain...." 

Wajah Bidadari Pedang Cinta jadi berubah 

merah, sebaliknya murid Pendeta Sinting 

cengengesan senang. 

"Senang bisa bertemu lagi denganmu, Adikku


nan cantik maha jelita! Aku berharap kau sehat-

sehat saja sehingga kita bisa melakukan 

perjalanan hari ini juga!" berkata Iblis Pedang 

Kasih seraya memberi isyarat mempersilakan. 

Putri Pusar Jagat membuat gerakan satu kali. 

Sosok besarnya melesat lalu duduk seraya 

ongkang-ongkang kaki di sisi bongkahan batu di 

mana Iblis Pedang Kasih duduk bersila. 

"Aku juga gembira melihatmu, Kakakku yang 

gagah maha perkasal Aku sudah menunggumu 

dan siap lakukan perjalanan hari ini! Tapi 

sebelum kita pergi aku ingin memberitahukan 

padamu satu hal...." 

"Katakanlah...." 

"Tampaknya kita akan punya hajat besar...." 

Mata si nenek melirik pada Bidadari Pedang 

Cinta yang tegak sambil mendengarkan 

pembicaraan dengan seksam 

"Adikku.... Aku belum berpikir sampai sejauh 

itu. Aku tidak berani memaksa.... Dia sudah 

dewasa! Apa lagi sebenarnya bukan kita yang 

berhak punya hajat!" 

"Ah.... Ah...! Kau harus paham, Kakakku.... 

Sejak saat ini kita harus sudah pikirkan urusan 

hajatan itul Kita tidak usah lagi pikirkan kita yang 

berhak atau tidak. Dan justru karena dia sudah 

dewasa, kita harus segera mencarikan pasangan 

yang cocok! Kau sudah punya pandangan?!"


Yang ditanya tersenyum. Lalu geleng kepala. 

Putri Pusar Jagat alihkan lirikan matanya pada 

murid Pendata Sinting. Lalu berkata pelan. 

"Bagaimana; dengan pemuda itu?! Kurasa 

mereka bisa jadi pasangan serasi! Yang gadis 

cantik, yang pemuda tampan!" 

Mendengar bisik-bisik antara Iblis Pedang 

Cinta dan Putri Pusar Jagat, Bidadari Pedang 

Cinta jadi berdebar tidak enak, meski entah 

karena apa, diam-diam dia merasa senang. 

"Mungkinkah yang dibicarakan mereka adalah 

diri ku?! Ah.... Tapi, bukankah menurut Eyang, 

adiknya itu juga memiliki cucu seorang gadis 

sebaya denganku?! Jangan-jangan cucunya 

sendiri yang dibicarakan dengan Eyang.... Tapi 

mengapa tiba-tiba hendak dijodohkan dengan 

pemuda itu?!" 

"Adikku.... Urusan hajat ini sebaiknya kita 

bicarakan nanti di tempat tujuan saja! Dan 

menurutku, sebaiknya keputusannya diserahkan 

pada yang bersangkutan!" 

"Hem.... Baiklah! Apa dia kita ajak serta?!" 

Iblis Pedang Kasih terdiam beberapa saat. 

Lalu buka mulut dengan sorongkan kepalanya 

mendekati telinga adiknya. 

Bidadari Pedang Cinta menarik napas dengan 

raut sedikit kecewa, karena dia tidak bisa 

mencuri dengar apa yang dibicarakan eyangnya.


Padahal dia sudah berharap-harap cemas, sebab 

dia yakin yang dimaksud eyangnya dengan Putri 

Pusar Jagat tidak lain adalah Pendekar 131. ? 

"Cucuku.... Kita berangkat sekarang!" 

Mendadak Iblis Pedang Kasih angkat suara. 

Habis berkata begitu hampir berbarengan, 

Iblis Periang Kasih dan adiknya berkelebat tanpa 

mempedulikan murid Pendeta Sinting yang tetap 

tegak dengan sesekali memandang ke arah 

Bidadari Pedang cinta. 

Bidadari Pedang Cinta berpaling melihat ke 

arah kelebatan eyangnya dan si nenek. Dia 

sudah hendak berkelebat menyusul. Tapi dia 

terlihat bimbang dengan beberapa kali menarik 

napas panjang. 

"Ah.... Mungkin aku salah duga!" Akhirnya 

Bidadari 

---ooo0dw0ooo--- 

SEPULUH 



DITINGGAL sendirian, Joko segera berpikir. 

"Mereka tidak mencegah atau memerintah.... 

Berarti mereka memberi kesempatan padaku 

untuk mengikuti!" 

Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya Pendekar 

131 ikut berkelebat ke arah mana tadi tiga orang 

itu berlari.


Bidadari Pedang Cinta yang berlari di belakang 

Putri Pusar Jagat dan Iblis Pedang Kasih segera 

memperlambat larinya begitu menyadari Joko 

ikut mengejar di belakangnya. Namun gadis ini 

pura-pura tidak tahu kalau tengah diikuti. 

Pada satu tempat, karena perhatiannya 

terpecah antara mengawasi dua orang di depan 

agar tidak kehilangan jejak dan 

mengkhawatirkan orang di belakangnya takut 

kalau tidak terus mengikuti, Bidadari Pedang 

Cinta kehilangan jejak eyangnya dan si nenek. 

Hingga akhirnya sang Bidadari berhenti dan 

tegak dengan putar pandangan berkeliling. 

"Ke mana aku harus mencari? Mengapa 

mereka tidak pernah menoleh padaku selama 

berlari tadi?! Ah.... Apa yang harus kulakukan 

sekarang?!" 

Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin 

begitu, mendadak gadis ini merasakan siuran 

angin di belakangnya. Dada cucu Iblis Pedang 

Kasih ini jadi berdebar Dia tidak berusaha buka 

mulut atau putar diri meski hal itu ingin sekali 

dilakukannya. Gadis ini sudah bisa menduga 

siapa adanya orang yang tegak di belakangnya 

Namun karena ditunggu agak lama tidak juga 

terdengar suara, akhirnya Bidadari Pedang Cinta 

beranikan diri membuat gerakan membalik. 

Paras wajah gadii cantik ini langsung berubah. 

Ternyata dugaannya meleset!


Yang tegak di hadapannya adalah seorang 

perempuan berwajah jelita berusia kira-kira dua 

puluh lima tahunan. Rambutnya digulung tinggi 

ke atas seolah ingin menunjukkan lehernya yang 

putih dan jenjang. Dada mencuat padat. 

Pinggulnya besar dan kencang dilapli pakaian 

tipis dan ketat warna putih. Sepasang matanya 

bulat ditingkah goresan alis mata yang hitam dan 

tebal. 

Karena dugaannya salah, Bidadari Pedang 

Cinta* segera putar pandangan sekeliling 

dengan mata mencari-cari. Tapi dia tidak 

menemukan orang yang dicari. 

"Hem.... Jangan-jangan yang mengikuti dari 

tadi perempuan ini! Bukan pemuda bernama 

Joko Sableng itu.... Ah, mengapa aku tidak 

berpaling dari tadi?l Kalau saja bukan pemuda 

itu yang mengikuti, tentu aku tidak perlu 

memperlambat lari hingga aku sendiri kehilangan 

jejak!" 

Setelah membatin begitu, tanpa buka mulut 

Bidadari Pedang Cinta segera putar diri. Lalu 

berkelebat meneruskan larinya. 

Tapi Bidadari Pedang Cinta jadi tersentak 

sendiri Belum sampai dia benar-benar berlari, si 

perempuan berwajah cantik bertubuh sintal yang 

tadi tegak di belakangnya sudah berdiri dengan 

sikap menghadang di hadapannya!


Menangkap gelagat tidak baik, Bidadari 

Pedang Cinta segera buka mulut. 

"Harap memberi jalan!" 

Perempuan di depan Bidadari Pedang Cinta 

bukannya memberi jalan atau buka suara 

menyahut. Sebaliknya memandang sekujur tubuh 

Bidadari Pedang Cinta ilari kepala sampai kakil 

Lalu bibirnya yang dipoles merah menyala 

bergerak sunggingkan senyum dengan kepala 

manggut-manggut. 

Dipandangi orang begitu rupa, Bidadari 

Pedang Cinta jadi jengah sendiri. Apalagi dia bisa 

merasakan pandangan itu lain dari pandangan 

perempuan lainnya terhadap seorang 

perempuan. 

"Aku harus segera pergi. Kuharap...." 

Belum sampai Bidadari Pedang Cinta 

lanjutkan ucapan, perempuan di hadapannya 

sudah menukas. 

"Mau katakan kau hendak pergi ke mana?!" 

Bidadari Pedang Cinta gelengkan kepala tanpa 

buka suara. Lalu alihkan pandangan ke jurusan 

lain berharap bisa menemukan Pendekar 131. 

"Sudi mengatakan siapa namamu?!" Si 

perempuan hurpakaian putih kembali ajukan 

tanya. 

"Aku Bidadari Pedang Cinta...," jawab sang


Bidadari dengan suara agak ketus. 

"Hem.... Gelar bagus.... Sebagus pemilik 

namanya!" ujar perempuan berpakaian putih 

seraya menatap pada iiada Bidadari Pedang 

Cinta. "Bagaimana kalau kita jalan bersama?!" 

"Maaf, aku ingin sendirian! Dan kuharap kau 

mengerti. Waktuku tidak banyak!" 

"Hem.... Ingin jumpa kekasih?!" 

"Aku tidak punya waktu melayanimu!" sentak 

Bidadari Pedang Cinta mulai agak jengkel dengan 

ucapan perempuan berpakaian putih. Dia 

melangkah ke samping lalu hendak berlari. 

Namun perempuan berpakaian putih ikut-

ikutan bergerak ke samping, membuat Bidadari 

Pedang Cinta batalkan niat dan kembali 

perdengarkan suara membentak. 

"Tampaknya kau tak mau mengerti! Sekarang 

aku ingin tahu. Apa maumu sebenarnya?!" 

"Bagaimana kalau kita bersenang-senang 

barang sebentar?!" 

Dahi Bidadari Pedang Cinta berkerut. Dadanya 

berdebar tidak enak. Namun karena belum 

paham maksud orang, dia segera berkata. 

"Bersenang-senang bagaimana maksudmu?!" 

Perempuan berpakaian putih tipis tertawa 

perlahan. Dia tegakkah wajah mendongak. Lalu


berkata lirih. 

"Gelarmu menggunakan kata-kata Cinta.... 

Bagai-mana kalau kau bukan hanya 

menggunakan untuk namamu, tapi juga 

membaginya denganku?!" 

"Aku tidak mengerti arti kata-katamu!" 

"Gadis rupawan,... Bagaimana kalau kita 

menikmati cinta itu?!" 

"Aneh.... Apa maksud sebenarnya orang ini?l 

Dia terlalu berbelit-belit bicara!" Bidadari Pedang 

Cinta membatin. 

Seakan bisa membaca benak orang, 

perempuan berpakaian putih segera luruskan 

kepala lalu berkata lagi. 

"Bidadari.... Bagaimana kalau kita 

meluangkan' waktu sejenak untuk menikmati 

hidup Ini dengan bersenang-senang di bawah 

naungan cinta?! Aku akan men> imwamu 

menikmati indahnya surga dunia.... Aku punya 

umpat yang tenang untuk mereguk kenikmatan 

itu...." 

"Keparat!" maki Bidadari Pedang Cinta begitu 

sadar him maksud perempuan berpakaian putih 

tipis. 

"Aku tahu.... Makianmu hanya karena kau 

belum pernah menikmati surga dunia itu.... Tapi 

aku yakin, sekali kau merasakan, kau akan...."


Perempuan berpakaian putih tipis tidak lanjutkan 

ucapannya dengan kala kata, melainkan tertawa 

cekikikan! 

"Perempuan cabuli Kau salah berkata pada 

orang!" 

SI perempuan di hadapan Bidadari Pedang 

Cinta galangkan kepala. "Gadis rupawan.... Aku 

tak pernah salah berkata pada orang! Apalagi 

salah pilih mana orang yang layak atau tidak 

untuk mereguk kenikmatan bersamaku____ 

Mendengar pembicaraan Bidadari Pedang 

Cinta dengan perempuan berpakaian putih, di 

balik batangan pohon di mana dia bersembunyi, 

Pendekar 131 hampir saja meloncat keluar. 

Matanya mendelik dengan mulut menganga! 

Saat mengikuti berkelebatnya Bidadari 

Pedang Cinta, Joko sengaja menjaga jarak 

sekiranya tidak kehilangan jejak orang yang 

diikuti sementara orang yang diikuti tidak merasa 

curiga. Dia juga selalu berkelebat dengan 

sesekali menyelinap sembunyi ketika melewati 

daerah yang banyak ditumbuhi jajaran pohon. 

Hingga pada satu tempat Joko merasakan ada 

satu sosok bayangan yang berkelebat cepat dari 

sebelah samping. Murid Pendeta Sinting tidak 

mau ambil risiko, lalu segera menyelinap 

sembunyi ketika melihat Bida-ii«l Pedang Cinta 

hentikan larinya di sebelah depan sana. Lalu


pasang telinga baik-baik ketika mendapati satu 

sosok tubuh sudah berhadapan dengan Bidadari 

Pedang Cinta. Namun sejauh ini murid Pendeta 

Sinting belum melihat raut wajah perempuan 

yang bicara dengan Bidadari Pedang Cinta, 

karena dia tidak berani membuat gerakan takut 

keberadaannya diketahui. 

"Perempuan cabul!" Terdengar Bidadari 

Pedanu Cinta membentak. "Aku memberimu 

waktu untuk segera pergi dari hadapanku!" 

Terdengar suara tawa cekikikan. Lalu. "Aku 

akan pergi asal bersamamu, wahai Cintaku.” 

Hawa kemarahan Bidadari Pedang Cinta 

sudah sampai ke ubun-ubun. Tapi gadis ini masih 

bisa menahan diri. Apalagi ketika ingat ia harus 

segera mengejar eyangnya. Kalau terjadi bentrok, 

berarti dia akan makin jauh tertinggal dan makin 

sulit menjajaki jejak si eyang dan si nenek. Maka 

dia segera putar diri setengah ling karan dan 

mendahului tinggalkan tempat itu. 

"Gadis cantik.... Kau tak akan tinggalkan 

tempat Ini tanpa bersamaku...," kata perempuan 

berpakaian putik tipis seraya umbar senyum dan 

mengerdip nakal. 

Sikap orang membuat pupus pertahanan 

Bidadari Pedang Cinta. Dia batalkan niat 

tinggalkan tempat itu Lalu memandang tajam 

dan membentak.


"Aku telah memberi ingati Jangan salahkan 

aku kalau kau...." 

"Percayalah padaku, Gadis Rupawan!" potong 

pa rempuan berpakaian putih tipis. "Sekali kau 

mereguk cinta bersamaku, kau akan enggan 

meninggalkan diriku...." 

"Mulut kotor!" seru Bidadari Pedang Cinta. 

Sekali lompat tangannya sudah ikut berkelebat 

lepas pukulan ke arah bahu kanan kiri 

perempuan berpakaian pulih. 

Yang diserang tidak membuat gerakan. 

Sebaliknya tertawa pendek. Namun sejengkal 

lagi bahu kiri kanannya terhajar pukulan orang, si 

perempuan berpakaian putih gerakkan kedua 

bahunya yang menjadi sasaran pukulan. 

BukkkI Bukkkl 

Kedua tangan Bidadari Pedang Cinta 

menghajar telak kedua bahu perempuan 

berpakaian putih. Anehnya, justru yang 

perdengarkan seruan tertahan adalah Bidadari 

Pedang Cinta. Malah saat itu juga kedua 

tangannya mencelat mental ke udara. Sosoknya 

tersurut beberapa tindak. Parasnya berubah 

pucat pasi. 

Di lain pihak, perempuan berpakian putih 

tetap tegak di tempatnya sambil tersenyum dan 

sekali lagi kedlpkan sebelah matanya. Dia sama 

sekali tidak merasakan pukulan yang menghajar


kedua bahunya. 

Saat terjadi benturan, Joko cepat membuat 

gerakan mengintip. Dia hanya sempat melihat 

sekilas. Namun sudah cukup baginya untuk 

mengetahui jika perempuan yang tengah bentrok 

dengan Bidadari Pedang Cinta adalah 

perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal. 

Lebih dari itu dia juga maklum, lawan yang 

dihadapi sang Bidadari adalah perempuan 

berilmu sangat tinggi. Dan begitu sosok Bidadari 

Pedang Cinta tersurut, Pendekar 131 segera 

selinapkan diri lagi ke balik halangan pohon. 

Sementara itu mendapati apa yang dialami, 

Bidadari Pedang Cinta sempat terkesima. Namun 

perasaan curiga membuat gadis ini tak mau 

terlena. Dia cepat kerahkan segenap tenaga 

dalamnya. Lalu dengan tatapan garang kedua 

tangannya diangkat. 

Perempuan bertubuh sintal di hadapan 

Bidadari Pedang Cinta lagi-lagi hadapi gerakan 

orang dengan tersenyum. Lalu berkata. 

"Aku ingin kemesraan di antara kita tidak 

dibuka dengan silang sengketa, Gadisku.... Hal 

itu tidak perlu terjadi...." 

Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut dengari 

ucapan, sebaliknya lepaskan pukulan jarak jauh. 

Wuutt! Wuuutt! 

Dua gelombang menderu ganas menyambar


ka arah perempuan bertubuh sintal berpakaian 

putih. 

Tahu kalau gelombang yang menyambar 

kearahnya dimuati tenaga dalam tinggi, 

perempuan berpakaian putih cepat hentakkan 

kaki. Sosoknya melesat ke udara. Membuat 

gerakan berputar di atas lalu menyambut 

gelombang yang datang dengan tangan kanan 

mendorong. 

Wuuttt! 

Bummmm! 

Terdengar dentuman keras. Untuk kedua 

kalinya Bidadari Pedang Cinta berseru tegang. 

Dua gelombang yang melesat keluar dari kedua 

tangannya serta-merta berantakan di udara. 

Gadis ini merasakan tubuhnya dihempas 

gulungan gelombang luar biasa. Belum sampai 

dia berbuat sesuatu, sosoknya telah tersapu 

deras dan jatuh terjengkang. 

Sementara perempuan berpakaian putih 

tampak terhuyung di udara. Namun begitu 

perempuan ini membuat gerakan berputar sekali 

lagi, huyungannya terhenti lalu melayang turun 

dan tegak lima langkah di hadapan tempat 

terjengkangnya Bidadari Pedang Cinta. Dengan 

mata berkilat penuh nafsu, ditatapnya gerakan 

daun Bidadari Pedang Cinta yang turun naik 

dengan mata setengah terpejam merasakan


sakit pada kedua lengan dan nyeri pada 

dadanya. 

"Gadisku.... Aku tahu. Kau belum pernah 

mereguk kenikmatan itu. Pasti kau masih malu-

malu untuk mereguk di tempat terbuka seperti ini 

meski sebenarnya aku sudah tak sabar.... 

Bidadari Tujuh Langit-mu ini akan membawamu 

ke tempat yang berpanorama indah agar 

pengalaman pertamamu menjadi kenangan tak 

terlupakan sepanjang hidupmu...." 

Perempuan bertubuh sintal di hadapan 

Bidadari Pedang Cinta, yang ternyata adalah 

Bidadari Tujuh Langit, bergerak mendekati 

Bidadari Pedang Cinta dengan dada dibuncah 

nafsu. Di lain pihak, kuduk Bidadari Pedang Cinta 

jadi meremang. Tapi dia cepat sadar apa yang 

akan dilakukan orang terhadapnya. Maka dia 

buru-buru bangkit duduk di atas tanah dengan 

tangan bergerak ke bagian pinggang di mana 

melilit sebuah Pedang berkilat. 

Namun sebelum Bidadari Tujuh Langit 

teruskan langkah dan Bidadari Pedang Cinta 

lepas pedang di pinggangnya, terdengar satu 

suara menegur. "Harap tidak teruskan langkah!" 

Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah dengan 

dagu mengembung besar dan pelipis bergerak-

gerak tanda menahan hawa amarah. Bidadari 

Pedang Cinta hentikan gerakan tangannya 

dengan dahi berkerut dan dada berdebar. Diam


diam gadis ini membatin. 

"Jelas aku pernah dengar suara itu, Itu adalah 

suara Joko Sableng.... Ternyata dia masih berada 

di sekitar tempat ini...." 

Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin 

begitu! satu sosok tubuh berkelebat. Bidadari 

Tujuh Langit dari Bidadari Pedang Cinta 

berpaling. 

Paras kedua perempuan yang sama-sama 

berwajah cantik jelita itu berubah. Bidadari Tujuh 

Langit segera kembangkan senyum dengan mata 

berbinar, sementara Bidadari Pedang Cinta 

tersentak hampir tak percaya. Karena dugaan 

keduanya salah! 



                      SELESAI 


--oo0dw0oo


Segera terbit: 

PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131 

JOKO SABLENG 

BIDADARI DELAPAN SAMUDERA

Share:

0 comments:

Posting Komentar