..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 07 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE RAHASIA DARAH KUTUKAN

Buat pengarang cerita ini saya matjenuhkhairil mohon maaf gambarnya agak saya rubah sedikit tapi gambar nya masih dalam lingkup cover ini

 SATU



GADIS cantik berpakaian warna ungu yang ram-

butnya dikelabang dua itu melompat dari sisi rumpun 

bambu dan tegak beberapa langkah di hadapan orang 

yang duduk rangkapkan kaki serta sembunyikan wa-

jahnya di belakang rangkapan kedua kakinya. Sepa-

sang matanya yang bulat beberapa saat memperha-

tikan orang di hadapannya dan gadis ini seolah acuh 

dengan pandangan beberapa mata yang saat Itu ten-

gah terpusat padanya.

“Paduka Seribu Masalah! Aku telah lama mencari-

mu. Harap tidak tinggalkan tempat ini. Aku butuh be-

berapa keterangan!” Berkata gadis berbaju ungu.

Orang yang duduk rangkapkan kaki dan bukan lain 

memang Paduka Seribu Masalah adanya urungkan 

niat berkelebat. Lalu perdengarkan suara.

“Aku takut mengingat apakah kita pernah bertemu 

atau belum....”

“Aku Dayang Tiga Purnama!” sahut gadis berbaju 

ungu. Lalu putar pandangan berkeliling. Yang terlihat 

pertama adalah dua gadis berparas cantik yang duduk 

berjajar. Sebelah kanan mengenakan pakaian warna 

merah. Di sampingnya mengenakan baju warna ku-

ning. Dari sudut bibir kedua gadis ini masih terlihat 

genangan darah. Jelas kalau keduanya tengah terluka 

dalam. Mereka adalah Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala.

Orang kedua yang terlihat adalah seorang gadis 

cantik berbaju hijau yang rambutnya dikepang dua. 

Salah satu kepangannya dilingkarkan pada lehernya 

yang jenjang dan putih. Gadis ini tidak lain adalah Bi-

dadari Pedang Cinta.


Tidak jauh dari Bidadari Pedang Cinta, terlihat seo-

rang perempuan bertubuh bahenol berparas cantik je-

lita berusia kira-kira dua puluh lima tahunan. Perem-

puan ini tegak dengan dada berguncang. Pakaian putih 

ketat yang dikenakan tampak robek memanjang di ba-

gian bawah hingga kedua pahanya yang putih mulus 

dan kencang terlihat jelas. Perempuan ini adalah Bida-

dari Tujuh Langit.

Orang terakhir yang terlihat oleh gadis berbaju un-

gu dan bukan lain memang Dayang Tiga Purnama ada-

lah orang yang pernah ditemuinya ketika dia bersama 

Pendekar 131. Dia adalah seorang nenek berpakaian 

selempang kain warna hitam yang sanggulan rambut-

nya dihias dua buah pedang. Nenek yang selama ini 

dikenal kalangan rimba persilatan dengan julukan Ne-

nek Selir.

Seperti diketahui, setelah Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala tidak puas dengan jawa-

ban yang diberikan pasangan guru mereka yang dike-

nal dengan si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan 

Perempuan Kembang Darah, akhirnya Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berusaha men-

cari Paduka Seribu Masalah. Mereka akhirnya bertemu 

dengan Paduka Seribu Masalah dan memperoleh jawa-

ban.

Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala berkelebat pergi dari hadapan Paduka Seri-

bu Masalah, kedua gadis ini mendengar ucapan Padu-

ka Seribu Masalah yang membuat mereka merasa cu-

riga jika ada orang lain yang mencuri dengar pembi-

caraan mereka dengan Paduka Seribu Masalah. Akhir-

nya mereka memutuskan kembali ke tempat mana me-

reka tadi berbincang dengan Paduka Seribu Masalah.

Kedua gadis itu melihat Bidadari Pedang Cinta. Tapi


saat lain muncullah Bidadari Tujuh Langit. Karena su-

dah memendam dendam pada Bidadari Tujuh Langit 

akibat tindakan tidak senonoh yang diperbuat sang Bi-

dadari, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala segera saja mengeroyok Bidadari Tujuh 

Langit.

Di saat kritis, mendadak muncul Nenek Selir mem-

bantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala. Sementara Paduka Seribu Masalah sendiri ti-

dak tinggal diam. Dia juga sempat memberikan ban-

tuan.

Akhirnya Bidadari Tujuh Langit tumpahkan kema-

rahan pada Paduka Seribu Masalah. Tapi akhirnya Bi-

dadari Tujuh Langit merasa sadar jika orang yang di-

hadapi bukan saja berilmu tinggi tapi juga memiliki 

kesaktian aneh. Hingga akhirnya Bidadari Tujuh La-

ngit tidak buka mulut atau mencegah saat Paduka Se-

ribu Masalah hendak berkelebat pergi setelah mengu-

capkan beberapa saran.

Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah be-

nar-benar berkelebat pergi, mendadak terdengar satu 

seruan menahan kepergian Paduka Seribu Masalah. 

Yang muncul ternyata Dayang Tiga Purnama.

Dayang Tiga Purnama sendiri saat Itu baru saja 

mengikuti perjalanan murid Pendeta Sinting. Setelah 

mendengar keterangan dari mulut Pendekar 131 ten-

tang siapa sebenarnya Paduka Seribu Masalah dan 

memberikan ancaman pada Joko, gadis berbaju ungu 

ini kembali ke hutan bambu.

Saat langkahnya mulai memasuki kawasan hutan 

bambu, Dayang Tiga Purnama mendengar beberapa 

debuman. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera berkele-

bat ke arah sumber suara. Saat itulah dari tempatnya 

mendekam dia melihat Paduka Seribu Masalah.


Dayang Tiga Purnama tidak pedulikan lagi beberapa 

orang yang ada di sekitar Paduka Seribu Masalah. Dia 

segera saja melompat lalu berkata pada sang Paduka.

“Dayang Tiga Purnama...” Paduka Seribu Masalah 

perdengarkan gumaman ulangi ucapan Dayang Tiga 

Purnama yang memperkenalkan diri. “Aku tidak berani 

memastikan apakah aku pernah dengar nama itu atau 

tidak...”

“Paduka... Kita pernah bertemu ketika kau bersama 

pemuda asing bernama Joko Sableng yang bergelar 

Pendekar 131!” kata Dayang Tiga Purnama.

“Ah... Aku sekarang ingat! Apakah kau masih ber-

sama pemuda sahabatku itu?!”

Mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah, semua 

orang yang ada di tempat itu jadi terkejut. Lebih-lebih 

Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit.

“Mengapa kau diam?!” tanya Paduka Seribu Masa-

lah ketika tidak mendapat sahutan dari Dayang Tiga 

Purnama. “Kau takut mengatakannya padaku?!”

“Dia sudah pulang ke negeri asalnya!” kata Dayang 

Tiga Purnama.

Kalau saja saat itu berada sendirian, niscaya kaki 

Bidadari Pedang Cinta sudah tersurut mundur saking 

kagetnya mendengar ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Apakah benar keterangan gadis itu?! Apa hubu-

ngannya dengan pemuda asing itu hingga dia tahu?!” 

Diam-diam Bidadari Pedang Cinta membatin dengan 

dada berdebar.

Di lain pihak, mendengar kata-kata Dayang Tiga 

Purnama, Nenek Selir terkesiap. Laksana terbang dia 

melompat lalu tegak beberapa langkah di hadapan si 

gadis. Lalu membentak.

“Jangan kau bicara mengada-ada! Dari mana kau 

tahu pemuda sialan itu sudah pulang ke negeri asal


nya, hah?! Kapan kau bertemu dan di mana?!”

Jelas si nenek marah besar dan penasaran, karena 

tidak berselang lama, dia sempat bertemu dengan mu-

rid Pendeta Sinting. Bahkan Nenek Selir sudah mem-

bekal niat akan membuat perhitungan dengan Pende-

kar 131 karena akibat ulah Joko, Wang Su Ji alias 

Manusia Tanah Merah bisa selamat dari tangan maut-

nya bahkan bisa meloloskan diri.

Dayang Tiga Purnama yang sempat geram ketika 

pertama kali bertemu dengan Nenek Selir berpaling ke 

jurusan lain dan berkata ketus.

“Aku tidak bisa mengatakan kapan, di mana berte-

mu dengan pemuda itu! Aku juga tidak mengada-ada 

bicara! Yang jelas dia sudah pulang ke negeri asalnya! 

Terserah mau percaya atau tidak!”

“Kau bicara dusta!” bentak Nenek Selir. Wajahnya 

berubah angker.

Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Aku su-

dah bilang. Terserah kau mau percaya atau tidak! Itu 

bukan urusanku! Aku punya hal yang harus kubicara-

kan dengan Paduka Seribu Masalah. Harap tidak me-

nyela!”

Ucapan Dayang Tiga Purnama membuat Nenek Selir 

makin penasaran. Tanpa mau tahu urusan orang, ne-

nek ini segera buka mulut.

“Kau boleh bicara dengannya sampai kau mampus! 

Tapi kalau kau belum memberi penjelasan jelas, jan-

gan harap kau bisa bicara dengannya!”

“Hem... Nenek ini begitu penasaran dan marah de-

ngan keteranganku! Jangan-jangan tuduhan kalau ke-

dua cucunya dibuat hamil oleh pemuda asing itu be-

nar adanya!” kata Dayang Tiga Purnama dalam hati in-

gat akan tuduhan Nenek Selir pada Joko saat mereka 

pertama kali bertemu. “Atau nenek ini punya maksud


lain?! Mungkinkah dia tahu kalau pemuda itu men-

dapatkan pedang sakti dan takut kalau dia kehilangan 

jejak?!”

Berpikir begitu, Dayang Tiga Purnama segera ber-

paling menghadap Nenek Selir. Lalu berkata.

“Kau tak akan dapat penjelasan apa-apa sebelum 

kau katakan mengapa kau begitu penasaran saat ku-

katakan pemuda itu pulang ke negeri asalnya!”

Nenek Selir sapukan pandangan berkeliling sebelum 

berkata menjawab.

“Pemuda sialan itu telah menyelamatkan manusia 

jahanam yang harus kubunuh!”

“Benar?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan ter-

tawa pendek.

Mata Nenek Selir melotot besar. Sosoknya bergetar. 

Sambil bantingkan kaki kanan dia buka mulut dengan 

suara keras.

“Kau pikir aku penasaran karena merasa ditinggal-

kan, begitu hah?! Kau kira aku kecewa dengan ke- per-

giannya seperti saat kau kecewa ketika kukatakan pe-

muda sialan itu telah menghamili kedua cucuku, begi-

tu?!”

Tampang Dayang Tiga Purnama merah mengelam. 

Sepasang matanya melirik pada semua orang yang ada 

di tempat itu. Namun karena tak mau dibuat malu di 

hadapan orang, gadis ini segera buka suara.

“Aku tidak tahu apa sebenarnya urusanmu dengan 

pemuda itu! Aku hanya ingin meyakinkan! Dan kau 

salah besar kalau menduga aku kecewa saat kau kata-

kan pemuda itu menghamili kedua cucumu!” Dayang 

Tiga Purnama gelengkan kepala. “Bahkan jika kau ka-

takan seratus cucumu hamil karena pemuda itu, aku 

tidak akan merasa kecewa!”

Orang yang paling tidak enak mendengar pembicaraan Dayang Tiga Purnama dengan Nenek Selir adalah 

Bidadari Pedang Cinta. Dada gadis ini makin berdebar. 

Berkali-kali dia lempar pandang mata pada Dayang Ti-

ga Purnama dan Nenek Selir seolah tidak percaya den-

gan apa yang dibicarakan keduanya.

“Benarkah Joko Sableng menghamili kedua cucu 

nenek itu?! Ketika pertama kali aku bertemu dengan 

nenek itu, dia minta keterangan ke mana perginya Jo-

ko Sableng... Mungkinkah ini ada kaitannya dengan 

urusan hamilnya kedua cucunya?! Hem...” Bidadari 

Pedang Cinta membatin seraya menghela napas pan-

jang. Tanpa sadar terbayang raut wajah Pendekar 131 

di kelopak matanya. Namun bayangan itu segera le-

nyap begitu terdengar ucapan Nenek Selir.

“Kau masih juga berkata dusta! Aku sudah kenyang 

merasakan pahit getirnya dunia! Aku tahu bagaimana 

perasaanmu ketika kukatakan pemuda itu menghamili 

kedua cucuku! Kau kecewa dan sakit hati! Karena se-

benaranya kau menyukai pemuda sialan itu!”

Dayang Tiga Purnama laksana mendengar gemuruh 

di gendang telinganya. Hingga walau mulutnya sudah 

menganga akan buka suara, namun tidak terdengar 

sepatah kata pun.

Mendapati sikap orang, Nenek Selir tertawa cekiki-

kan panjang. Lalu berkata.

“Kau bernasib buruk... Hik... Hlk... HIK...! Kau ta-

hu. Pemuda sialan itu adalah kekasih gadis cantik 

berbaju hijau itu!” Jari tangan kanan Nenek Selir ber-

gerak lurus menunjuk Bidadari Pedang Cinta.

Bidadari Pedang Cinta tercengang. Laksana disen-

tak satu kekuatan dahsyat, sosoknya berkelebat dan 

tegak di hadapan Nenek Selir tidak jauh dari samping 

Dayang Tiga Purnama.

“Nek! Jangan berani bicara lancang menuduh yang


bukan-bukan!” tegur Bidadari Pedang Cinta.

Nenek Selir makin panjangkan tawa cekikikannya. 

“Anak sekarang memang pandai menutupi perasaan! 

Mereka tak sadar, jika sikapnya itu akan membawa 

bencana di kelak kemudian hari! Hik... Hik... Hik..!”

“Nek! Tuduhanmu sudah keterlaluan!” bentak Bida-

dari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga 

Purnama dan sambungi ucapan. “Harap kau tidak per-

caya dengan bualannya! Aku tidak punya hubungan 

apa-apa dengan pemuda itu!”

Dayang Tiga Purnama tersenyum walau sikap Bida-

dari Pedang Cinta sudah cukup membuatnya maklum 

kalau sebenarnya gadis berbaju hijau itu punya pera-

saan lain pada murid Pendeta Sinting.

“Kau juga harap tidak percaya dengan keterangan 

mulutnya! Apa yang dikatakannya tidak benar!”

Mendengar perbincangan Dayang Tiga Purnama dan 

Bidadari Pedang Cinta, Nenek Selir putuskan tawanya. 

Lalu berujar.

“Kalian berdua tidak mau membuka diri! Itu terse-

rah kalian! Duka sengsara, kalian yang kelak akan me-

rasakannya sendiri!”

Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan pandang 

matanya pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata.

“Aku telah mengatakan mengapa aku penasaran de-

ngan kepergian pemuda sialan itu! Sekarang jawab ka-

pan dan di mana kau bertemu dengannya hingga kau

tahu jika pemuda itu sudah pulang balik ke negeri 

asalnya!”

“Kemarin malam!”

“Di mana?!” sahut Nenek Selir seolah tak sabar.

Dayang Tiga Purnama tidak segera menjawab. Seba-

liknya tengadahkan kepala.

“Di mana?!” Nenek Selir ulangi pertanyaan dengan


suara makin keras.

“Perjalanannya setengah hari dari sini. Di satu tem-

pat yang banyak diterjali batu-batu. Aku tak tahu apa 

nama tempat itu!” jawab Dayang Tiga Purnama dengan 

enggan karena dada gadis ini sebenarnya sudah di

buncah kemarahan.

“Lalu bagaimana kau tahu dia pulang ke negeri 

asalnya?! Kau mengantarnya hingga pesisir laut?!”

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia yang me-

ngatakan jika hendak pulang ke negeri asalnya! Dan 

kau harus tahu. Kalaupun dia tidak meninggalkan ne-

geri ini, dia harus mengadu nyawa denganku!”

Habis menjawab begitu, Dayang Tiga Purnama me-

langkah ke arah Paduka Seribu Masalah seraya ber-

ucap.

“Aku punya sesuatu yang lebih penting daripada 

membicarakan pemuda asing itu! Harap tidak menyela 

lagi!”

Dayang Tiga Purnama berhenti dua tindak di hada-

pan Paduka Seribu Masalah. “Bagaimana sekarang?! 

Rasanya tidak mungkin mengatakan urusanku pada 

Paduka Seribu Masalah di hadapan banyak orang be-

gini rupa...”

Baru saja Dayang Tiga Purnama membatin begitu, 

Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara.

“Sepertinya kau tidak berani buka suara. Kau ingin 

kita bicara hanya berdua-dua saja?!”

“Kau tidak keberatan kita cari tempat lain?” sambut 

Dayang Tiga Purnama dengan lega.

Paduka Seribu Masalah tertawa. “Aku paling tidak 

takut kalau diajak gadis cantik....”

Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Dayang 

Tiga Purnama melirik pada Bidadari Pedang Cinta. La-

lu tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak tinggalku tempat itu.

Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah 

membuat gerakan lebih jauh, dan Dayang Tiga Purna-

ma baru mendapat satu tindak, terdengar suara.

“Siapa pun adanya laki-laki yang duduk rang-

kapkan kaki, dia boleh pergi! Tapi tidak kau gadis ber-

nama Dayang Tiga Purnama!”

***

DUA



ORANG yang pertama kail tersentak kaget dan lang-

sung putar kepala adalah Dayang Tiga Purnama. Dis-

usul kemudian oleh Bidadari Pedang Cinta. Kemudian 

Nenek Selir lalu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala. Mereka sama arahkan pandang ma-

ta masing-masing pada Bidadari Tujuh Langit, orang 

yang baru saja perdengarkan suara.

Bidadari Pedang Cinta, Galuh Sembilan Gerhana, 

dan Galuh Empat Cakrawala, serta Nenek Selir sudah 

maklum apa maksud ucapan Bidadari Tujuh Langit. 

Namun tidak demikian halnya dengan Dayang Tiga 

Purnama. Gadis ini segera buka mulut.

“Aku tidak kenal siapa dirimu. Mengapa berani 

mencegah?!”

Bidadari Tujuh Langit arahkan pandangan pada so-

sok Paduka Seribu Masalah. Saat pertama kali Dayang 

Tiga Purnama muncul dan langsung menyebut nama 

Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit sempat 

terlonjak kaget. Mula-mula dia hampir tidak percaya. 

Namun setelah simak pembicaraan orang dan apa 

y

ang dialaminya saat bentrok dengan Paduka Se-ribu


Masalah, dia mulai yakin.

Keyakinan yang timbul membuat Bidadari Tujuh 

Langit menjadi khawatir. Namun ingat akan kesaktian 

cincin yang berada di kaki kirinya, perlahan-lahan rasa 

khawatir itu lenyap. Malah dia merasa girang men-

dapati kemunculan sosok Dayang Tiga Purnama.

Setelah memperhatikan Paduka Seribu Masalah, 

Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan pada 

Dayang Tiga Purnama. Sambil sunggingkan senyum 

dia berkata.

“Kita memang belum kenal. Karena itulah aku men-

cegahmu. Aku....”

“Aku tidak punya waktu banyak! Harap katakan sa-

ja jika punya maksud!” Dayang Tiga Purnama sudah 

memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit selesaikan 

ucapan.

Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Begitu pentingkah 

urusanmu?!”

“Hem... Aku tak tahu apa maksud perempuan ini. 

Tidak ada gunanya aku meladeni!” bisik Dayang Tiga 

Purnama dalam hati. Lalu tanpa menjawab pertanya-

an orang, dia putar kepala lagi ke arah Paduka Seribu 

Masalah. Saat lain dia teruskan langkah seraya berka-

ta.

“Paduka.... Harap Ikuti aku...!”

Bidadari Tujuh Langit memandang beberapa lama. 

Dadanya sempat terguncang melihat gerakan sosok 

Dayang Tiga Purnama yang terus melangkah. Semen-

tara Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman 

tak jelas. Lalu putar duduk menghadap arah mana 

Dayang Tiga Purnama tengah melangkah.

Belum sampai Paduka Seribu Masalah bergerak, 

Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat dan tahu-tahu 

tegak menghadang di depan Dayang Tiga Purnama.


Sikap Bidadari Tujuh Langit membuat Dayang Tiga 

Purnama tak bisa menahan kemarahan. Dia langsung 

membentak.

“Kau tidak mau mengatakan apa maksudmu! Seka-

rang kau tegak menghadang! Apa maumu sebenar-

nya?!”

“Aku ingin mengajakmu.... Dan kita lupakan seje-

nak urusan dunia!”

“Bicaramu aneh! Aku tidak mengerti!”

“Nanti kau akan mengerti....”

Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Sayang 

sekali aku masih punya sesuatu yang harus kubicara-

kan dengan Paduka Seribu Masalah. Jika tidak, mung-

kin aku akan mempertimbangkan ajakanmu!” kata 

Dayang Tiga Purnama meski dalam hati dia coba me-

nindih ucapan yang keras.

Dayang Tiga Purnama menyisi ke samping. Berpa-

ling pada Paduka Seribu Masalah seraya berkata.

“Paduka.... Kita berangkat sekarang!”

“Kau akan pergi dari sini jika bersamaku...,” Bida-

dari Tujuh Langit menyahut.

Kali ini Dayang Tiga Purnama tidak bisa menahan 

diri lagi. Dengan suara keras dia berucap.

“Dengar sekali lagi! Aku masih punya urusan! Dan 

kalau aku tidak mau pergi bersamamu, kau mau 

apa?!”

“Aku ingin lihat, apakah kau bisa menahan ajakan-

ku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan bibir tetap 

tersenyum.

“Kau yang ingin tahu. Jangan salahkan aku kalau 

kutunjukkan!”

Dayang Tiga Purnama melompat. Begitu dua lang-

kah di hadapan Bidadari Tujuh Langit, kedua tangan-

nya dikelebatkan lepas pukulan.


Bidadari Tujuh Langit hadapi pukulan dengan se-

nyum tanpa membuat gerakan apa-apa. Perempuan 

berparas cantik bertubuh bahenol ini tampaknya bisa 

membaca jika pukulan yang tengah dilancarkan orang 

hanya mengandalkan tenaga luar.

Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama sempat terkejut 

melihat Bidadari Tujuh Langit tidak membuat gerakan 

menghadang atau berkelit. Dia sudah hendak tarik pu-

lang kedua tangannya. Tapi ingat akan ucapan Bida-

dari Tujuh Langit, dan merasa jika pukulannya hanya 

mengandalkan tenaga luar, akhirnya Dayang Tiga Pur-

nama teruskan pukulan.

Bukkk! Bukkk!

Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak tengadah ke 

samping kiri kanan.

Dayang Tiga Purnama surutkan langkah dua tin-

dak. Lalu memandang tajam dengan sedikit heran.

Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit usap dagu-

nya yang baru saja terhantam tangan Dayang Tiga 

Purnama. Tanpa buka mulut dia melangkah mendeka-

ti.

“Awas! Jangan beri dia kesempatan untuk menja-

mah tubuhmu!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala ber-

teriak.

“Dia perempuan gila sinting yang punya kelainan! 

Dia lebih suka melihat tubuh perempuan daripada tu-

buh laki-laki!” Galuh Sembilan Gerhana menimpali.

Ucapan kedua gadis itu membuat Dayang Tiga Pur-

nama tercekat dengan mata melotot memperhatikan 

sosok Bidadari Tujuh Langit seolah melihat hantu gen-

tayangan. Kuduknya jadi dingin. Tanpa sadar dia cepat 

kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit berhenti. Per-

lahan-lahan kepalanya diputar ke tempat mana Galuh


Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bera-

da. Bibirnya kembangkan senyum. Namun sekonyong-

konyong kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan

jarak jauh bertenaga dalam tinggi!

Wuutt! Wuutt!

Dua sinar merah berkiblat ganas ke arah Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.

Karena dari tadi sudah waspada, meski Bidadari 

Tujuh Langit lepas pukulan secara tiba-tiba, Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak 

merasa terkejut. Tapi kedua gadis ini tidak mau ber-

tindak ayal. Apalagi mereka sadar jika tengah terluka 

dalam. Memaksakan bentrok pukulan hanya akan 

memperparah luka dalam bahkan mungkin bisa mem-

buat mereka tewas.

Menyadari akan hal itu, begitu dua sinar merah 

berkiblat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, Ga-

luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

segera sentak tubuh masing-masing bergulingan di 

atas tanah. Dan maklum jika Paduka Seribu Masalah 

adalah orang yang mampu menghadapi Bidadari Tujuh 

Langit, kedua gadis ini gulingkan tubuh hindarkan diri 

ke tempat mana Paduka Seribu Masalah berada.

Wusss! Wuuss!

Beberapa rumpun bambu di belakang sana tadi Ga-

luh Sembilan Gerhana dana Galuh Empat Cakrawala 

berada terhantam rata lalu amblas semburat. Bebera-

pa orang di situ rasakan pijakan masing-masing berge-

tar keras.

Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri mengikuti 

gulingan tubuh Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala begitu mendapati kedua gadis itu bi-

sa selamatkan diri dari pukulannya. Saat lain dia 

membuat gerakan hendak mengejar.

Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba 

Dayang Tiga Purnama sudah mendahului berkelebat 

dan tegak menghadang.

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun tiba-tiba 

dia melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat sa-

rangkan totokan pada beberapa bagian tubuh Dayang 

Tiga Purnama.

Gerakan tidak terduga Bidadari Tujuh Langit mem-

buat Dayang Tiga Purnama terlambat untuk membuat 

gerakan menghadang walau dia masih mampu angkat 

kedua tangannya.

Saat itulah terdengar orang bergumam dari balik 

rumpun bambu. Lalu satu gelombang melesat lurus ke 

arah Bidadari Tujuh Langit.

Kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang siap lan-

carkan totokan tertahan dan terpental ke belakang. 

Sosoknya ikut terjajar dua langkah ke samping. Saat 

yang sama sosok Dayang Tiga Purnama tersentak lalu 

jatuh terduduk di atas tanah.

Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Dia lang-

sung putar diri menghadap rumpun bambu dari mana 

tadi gelombang melesat dan mampu menahan gera-

kannya. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama juga bu-

ru-buru bergerak bangkit dan ikut palingkan kepala ke 

arah rumpun bambu.

Karena rumpun bambu sangat tebal, Bidadari Tu-

juh Langit tidak mampu melihat siapa adanya orang di 

baliknya. Hingga sambil angkat kedua tangannya dia 

berteriak.

“Kau berani campuri urusanku. Mengapa pengecut 

tidak berani unjuk diri?!”

“Nah.... Apa kubilang!” Tiba-tiba terdengar suara 

dari balik rumpun bambu tebal. “Kini semuanya ter-

lambat! Karena kau yang membuat ulah, kau juga


yang harus berani turuti kemauannya!”

“Ah.... Bagaimana bisa begitu?! Kau tadi yang me-

nyuruhku! Sekarang curi tangan! Memang benar aku

yang membuat ulah. Tapi kau yang menyuruh! Jadi 

kau yang harus turuti kemauannya!” terdengar suara 

orang kedua menyahut.

Mendengar suara dari balik rumpun bambu, Nenek 

Selir terkesiap. “Telingaku hafal betul suara jahanam-

nya! Yang bicara pertama tadi pasti dia!” Nenek Selir 

pentangkan mata lalu alirkan tenaga dalam pada ke-

dua tangannya.

Kalau Nenek Selir mengenali suara orang yang per-

tama, lain halnya dengan Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama. Bidadari Pedang Cinta ker-

nyitkan dahi seraya membatin.

“Aku seperti pernah dengar suara orang yang ke-

dua.... Tapi mungkinkah dia?! Ah, mengapa aku selalu 

mengharap...?! Bukankah dia bukan pemuda baik-

baik?! Dia telah menghamili kedua cucu nenek itu!”

Jika Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, diam-

diam Dayang Tiga Purnama juga berkata dalam hati.

“Aku yakin siapa adanya orang yang kedua! Ter-

nyata dia belum hengkang dari negeri ini! Hem.... Dia 

memang baru saja menyelamatkan aku. Tapi jangan 

mimpi tindakannya itu bisa menghapus ancaman ku!” 

Gadis berbaju ungu ini segera pula kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya.

Karena hanya terdengar suara tanpa adanya orang 

yang muncul unjuk diri, Bidadari Tujuh Langit habis 

kesabaran. Kedua tangannya digerakkan. Namun sebe-

lum dua sinar merah sempat melesat, Nenek Selir ber-

teriak.

“Tahan serangan!”

Nenek Selir melompat dan tegak menjajari Bidadari


Tujuh Langit. Sang Bidadari melirik lalu berucap.

“Wajahmu berubah! Kau mengenali siapa adanya 

jahanam di balik rumpun bambu itu?!”

“Itu bukan urusanmu! Sekarang kau menyingkirlah! 

Urusan manusia di balik rumpun bambu menjadi hak-

ku!”

“Enak saja kau bicara! Siapa pun adanya manusia 

di balik rumpun bambu, mereka telah membuka uru-

san denganku! Kau yang harus menyingkir!”

Baru saja Bidadari Tujuh Langit bicara begitu, men-

dadak dari balik rumpun bambu terdengar orang ter-

tawa cekikikan. Disusul dengan terdengarnya suara.

“Mengapa harus turuti kemauan perempuan-

perempuan jelek begitu?! Yang satu sudah bau tanah 

tapi masih cerewet! Yang satu benar masih cantik dan 

bahenol. Sayang, salah satu anggota tubuhnya ada 

yang tidak beres! Hik... Hik... Hik...! Lebih baik kita 

lanjutkan saja acara kita....”

Sosok Nenek Selir bergetar keras. Bukan saja kare-

na ucapan orang, tapi karena ucapan itu jelas diper-

dengarkan oleh seorang perempuan!

“Jahanam betul! Keparat itu membawa makhluk pe-

rempuan!” desis si nenek seraya lipat gandakan tenaga 

dalam.

“Betul... Betul..! Lebih baik kita lanjutkan acara ki-

ta. Di sana kulihat ada aliran sungai. Kita berenang 

berempat... Daripada harus melayani perempuan-pe-

rempuan aneh yang tak jelas juntrungannya!” Ter-

dengar suara perempuan dari balik rumpun bambu 

menyahut suara perempuan yang pertama.

Nenek Selir dan Bidadari Tujuh Langit tak bisa me-

nahan diri masing-masing. Belum habis suara sahutan 

perempuan yang kedua, tangan masing-masing sudah 

berkelebat lepas pukulan ke arah rumpun bambu.


Blamm! Blammm!

Kawasan hutan bambu bergetar keras. Rumpun 

bambu di mana dari baliknya tadi terdengar sahut-

sahutan orang bicara langsung mental amblas rata de-

ngan tanah! Malah di sana sini terlihat lobang men-

ganga besar.

Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sama pen-

tang mata. Dan hampir berbarengan mereka berdua 

melompat ke bekas rumpun bambu yang sudah rata 

dengan tanah. Kepala keduanya bergerak memutar.

“Keparat! Mana jahanam-jahanam busuk itu?!” de-

sis Nenek Selir seraya putar kedua tangannya siap le-

pas pukulan di mana pun orang terlihat muncul.

“Suara-suara tadi jelas dari rumpun bambu ini! Ta-

pi ke mana mereka?! Kalau kena hantam, tidak kulihat 

potongan tubuhnya! Kalau tidak mampus, tidak ku-

lihat batang hidungnya! Jangan-jangan yang kudengar 

tadi hanya permainan pengalihan suara!” Bidadari Tu-

juh Langit menduga-duga begitu dia juga tidak melihat 

siapa- siapa.

Sementara itu, Bidadari Pedang Cinta yang sesaat 

tadi sempat berdebar dengan tindakan Bidadari Tujuh 

Langit dan Nenek Selir, segera pula putar pandangan 

berkeliling.

Mendadak sepasang mata Bidadari Pedang Cinta 

melotot besar tatkala tanpa sengaja matanya menum-

buk pada satu sosok tubuh di balik salah satu rimbun 

bambu tidak jauh dari tempat tegaknya. Saking kaget-

nya, meski gadis cantik ini coba menahan diri, namun 

tak urung terdengar seruan dari mulutnya.

Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir serta-merta 

berpaling. Lalu sama arahkan pandangan ke arah ma-

na Bidadari Pedang Cinta tengah memandang terkejut.

Saat yang sama terdengar suara orang mengeluh.


Namun suara keluhan itu terputus ketika tiba-tiba dua 

sosok bayangan hitam dan putih berkelebat dan tegak 

beberapa langkah dari sumber suara keluhan!

***

TIGA



SOSOK bayangan hitam yang bukan lain adalah Ne-

nek Selir segera berpaling pada sosok putih yang ter-

nyata adalah Bidadari Tujuh Langit. Lalu berteriak.

“Jangan berani lancang turun tangan dulu! Aku in-

gin tahu tampang jahanam-jahanam keparat itu!”

Tanpa menunggu sambutan Bidadari Tujuh Langit, 

Nenek Selir segera arahkan pandangan ke satu rum-

pun bambu di mana terlihat satu sosok tubuh tengah 

mendekam sembunyi. Orang ini tidak terlihat raut wa-

jahnya, karena sengaja sembunyikan wajah dengan 

menunduk dalam-dalam.

Bersamaan dengan berpaling si nenek, perlahan-

lahan orang yang mendekam sembunyi angkat wajah-

nya. Dari sela rumpun bambu, baik Nenek Selir mau-

pun Bidadari Tujuh Langit melihat raut tampan milik 

seorang pemuda yang keduanya sudah sangat menge-

nalinya.

Anehnya, begitu wajah di sela rumpun terangkat, 

orang ini bukannya memandang pada si nenek atau 

Bidadari Tujuh Langit. Melainkan pada sosok Bidadari 

Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama yang tegak 

agak jauh.

“Cepat keluar!” bentak Nenek Selir.

Dengan pasang tampang nyengir, orang di sela rum-

pun bambu bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan me-

langkah keluar dengan senyam-senyum.


Nenek Selir mendelik angker. Bidadari Tujuh Langit 

menyeringai dingin. Sementara Bidadari Pedang Cinta 

menghela napas panjang, lalu lontar lirikan pada 

Dayang Tiga Purnama yang tampak kuasa diri dari ra-

sa tak percaya dan kaget.

Yang muncul dari balik rumpun bambu adalah se-

orang pemuda berambut panjang acak-acakan menge-

nakan pakaian putih-putih.

“Setan kecil jahanam!” Nenek Selir membentak. “Le-

kas suruh keluar sekalian Tua Bangka keparat yang 

bersamamu! Juga dua gundik yang bersama kalian! 

Cepat!”

Si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta 

Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng menjura hormat. 

Lalu buka mulut.

“Nek... Aku telah berulang kali menyuruhnya ke-

luar. Tapi dia bandel. Mungkin kalau kau sendiri yang 

memerintah, dia akan keluar!”

“Baik! Aku akan menyuruhnya keluar dengan cara-

ku!” kata Nenek Selir seraya maju dua langkah dan 

angkat kedua tangannya.

“Nek! Apa yang akan kau lakukan?!” teriak murid 

Pendeta Sinting saat melihat kedua tangan si nenek 

diarahkan lurus padanya.

Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya gerakkan 

kedua tangan lepas pukulan!

“Celaka! Dia bisa mampus kalau menghadapi nenek 

itu dengan bercanda!” Tiba-tiba terdengar orang ber-

gumam. Lalu satu rumpun bambu di bagian samping 

bergerak menguak. Satu sosok tubuh berkelebat ke-

luar seraya berteriak.

“Tunggu!”

Seorang kakek berambut putih panjang mengena-

kan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu telah tegak


di seberang samping.

Semula kepala menoleh. Nenek Selir tampak ter-

guncang. Sepasang matanya mendelik nanari sosok 

orang yang bukan lain adalah Wang Su Ji alias Manu-

sia Tanah Merah.

“Beberapa saat berselang takdir nyawamu masih 

baik! Kau masih mendapat pertolongan perempuan 

gembrot sialan itu! Lalu pagi tadi, nyawa jahanammu 

masih tertolong setan kecil dari negeri asing ini!” Tan-

gan kiri Nenek Selir diluruskan tepat ke arah murid 

Pendeta Sinting. “Sekarang setan pun tak akan bisa 

menyelamatkan selembar nyawamu!” Nenek Selir ber-

teriak. Lalu melompat dan tegak delapan langkah di 

hadapan Manusia Tanah Merah.

Begitu tegak di hadapan Manusia Tanah Merah, 

kembali si nenek sudah berkata.

“Sebelum nyawamu kurobek, lekas suruh unjuk 

tampang perempuan-perempuan kalian yang punya 

mulut tak karuan itu!” Kepala si nenek pulang balik 

memandang ke arah Manusia Tanah Merah dan Pen-

dekar 131.

“Nek...! Kami tidak bersama perempuan-perempuan 

yang kau bilang bermulut tak karuan!” Pendekar 131 

menyahut.

“Mulut manusia negeri asing ternyata bukan saja 

pandai merayu perempuan, tapi juga pintar berdusta!” 

bentak Nenek Selir.

“Ah... Mungkin kau salah dengar, Nek! Kau terlalu 

terbawa perasaan, hingga suara laki-laki bisa berubah 

jadi suara perempuan!” Enak saja Joko berkata.

“Biar aku yang menjelaskan,” Manusia Tanah me-

rah buka suara. “Kami memang tidak bersama perem-

puan. Kalaupun tadi kau dengar suara-suara perem-

puan, itu juga adalah suara kami....”


Nenek Selir mendengus. Tiba-tiba dia berpaling pa-

da Dayang Tiga Purnama. Lalu berseru.

“Gadis berbaju ungu! Kau tadi bilang manusia asing 

itu sudah pulang ke negeri asalnya. Sekarang batang 

hidungnya ada di hadapanmu. Apa jawabmu, hah?! 

Apa yang ada dalam benakmu hingga berani lancang 

menutup-nutupi?! Kau takut dia mampus?!”

Tampang Dayang Tiga Purnama berubah merah me-

ngelam. Dadanya laksana dibakar mendengar ucapan 

si nenek. Namun karena sadar jika kata-kata Nenek 

Selir benar adanya, gadis ini coba menahan diri untuk 

tidak meladeni ucapan si nenek. Sebaliknya dia segera 

berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Pendekar 131.

“Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku! Sekali 

kau masih kutemukan di negeri ini, kita akan menga-

du jiwa!” teriak Dayang Tiga Purnama dengan angkat 

kedua tangan.

“Hem... Manusia-manusia di tempat ini tampaknya 

sudah saling punya sengketa. Lebih baik aku mundur 

dahulu walau sebenarnya aku ingin membunuh pe-

muda tampan ini! Terjadinya bentrokan akan meng-

untungkan bagiku.... Aku nanti hanya tinggal meng-

ambil hasilnya!” Bidadari Tujuh Langit yang tegak ti-

dak jauh dari Joko berkata sendiri dalam hati. Setelah

melirik ke arah Dayang Tiga Purnama yang tegak bebe-

rapa langkah di sampingnya, perempuan bertubuh ba-

henol ini perlahan-lahan surutkan langkah ke bela-

kang.

“Dayang...,” kata Joko. “Sebenarnya aku sendiri su-

dah tidak betah berada lama-lama di negeri aneh ini! 

Tapi bagaimana lagi aku harus berbuat jika kehendak 

lain masih menuntunku tetap di negeri ini, bahkan 

mengharuskan kita bertemu lagi?!”

“Kau pandai mencari alasan! Jelasnya kau memang


tidak ingin tinggalkan negeri ini! Dan berarti kau ingin 

mengadu jiwa denganku!”

Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melom-

pat. Kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan ke 

arah murid Pendeta Sinting!

Tapi baru setengah jalan kedua tangan Dayang Tiga 

Purnama menderu ganas mengarah pada batok kepala 

Joko, mendadak Nenek Selir berteriak.

“Jangan berani menyentuh tubuhnya!”

Satu gelombang menyambar lurus ke arah Dayang 

Tiga Purnama, membuat gerakan kedua tangan gadis 

ini tertahan, bahkan saat lain sosoknya terjajar mun-

dur satu tindak!

Dalam kaget dan marahnya, Dayang Tiga Purnama 

berpaling pada Nenek Selir. Namun sebelum si gadis 

buka mulut, si nenek sudah mendahului.

“Dia berhutang janji padaku! Aku tak ingin setan 

negeri asing itu mampus sebelum selesaikan janji den-

ganku!”

“Janji apa?!” Membentak Dayang Tiga Purnama.

“Kau sudah tahu masalahnya! Mengapa pura-pura 

bodoh?!”

Habis bicara begitu, Nenek Selir putar diri lagi 

menghadap Manusia Tanah Merah. Namun sebelum 

nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pe-

dang ini sempat buka mulut, Pendekar 131 berucap.

“Nek! Saat datangnya hari perjanjian masih kurang 

beberapa hari lagi. Sekarang aku harus pergi mencari 

tempat yang tenang. Aku tak mau nantinya terkecoh! 

Jika saatnya tiba, aku akan muncul di tempat yang ki-

ta tentukan!” Joko palingkan kepala ke arah Manusia 

Tanah Merah. Lalu sambungi ucapannya.

“Kek! Sebenarnya aku ingin terus bersamamu. Tapi 

keadaan tidak memungkinkan.... Aku harus pergi dulu!”

Joko terus putar tubuh. Kini menghadap Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang 

sekarang tegak tidak jauh dari Paduka Seribu Masa-

lah.

“Kalian tidak membutuhkan keterangan apa-apa la-

gi dariku?!”

Kedua gadis yang ditanya saling pandang. Galuh 

Sembilan Gerhana berbisik.

“Manusia satu ini aneh. Semua yang dilakukannya 

dianggap main-main!”

“Orang macam begini, mampus pun akan tertawa!” 

sahut Galuh Empat Cakrawala.

Karena tidak ada yang menjawab, Joko putar pan-

dangan dan berhenti kala saling pandang dengan mata 

Bidadari Pedang Cinta.

“Senang jumpa denganmu lagi, Bidadari.... Terima 

kasih atas keteranganmu tempo hari!”

Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut walau sebe-

narnya dia ingin sekali buka mulut.

Seperti diketahui, Joko sempat bertemu dengan Ga-

luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. 

Dan dari keterangan Joko pula akhirnya kedua gadis 

ini bisa bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit yang 

tengah dicarinya. Sementara di lain pihak, dari kete-

rangan Bidadari Pedang Cinta, akhirnya Joko sampai 

ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.

Murid Pendeta Sinting teruskan pandangan. Begitu 

matanya menumbuk pada sosok Dayang Tiga Purna-

ma, dia berkata.

“Aku tidak bisa memastikan kapan hengkang dari 

negeri ini! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Orang 

yang kau cari sudah ada di dekatmu!” Joko melirik ke 

arah Paduka Seribu Masalah. Lalu teruskan pandangan ke arah Bidadari Tujuh Langit.

Namun kali ini sebelum Joko sempat bicara, Bida-

dari Tujuh Langit sudah mendahului.

“Kau tidak akan pernah hengkang dari negeri ini!” 

Sambil berteriak begitu, Bidadari Tujuh Langit kembali 

berkelebat lalu tegak lima langkah di hadapan Joko.

“Bidadari Tujuh Langit! Manusia sepertiku kurasa 

tidak ada gunanya bagimu!” ujar Pendekar 131 seraya 

hendak balikkan tubuh.

“Kau memang tidak berguna! Dan kau pasti tahu di 

mana tempat manusia yang tak ada gunanya!”

Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Bida-

dari Tujuh Langit. Dia teruskan gerakan membalik. 

Saat itulah Bidadari Tujuh Langit menyergap ke depan.

Wuutt! Wuutt!

Joko merasakan deruan angker berkiblat dari arah 

samping. Joko tidak tinggal diam. Dia segera mengha-

dang dengan sentakkan kedua tangannya.

Bukk! Bukk!

Pendekar 131 terjajar dua langkah dengan tangan 

terpental. Di sampingnya Bidadari Tujuh Langit tersen-

tak mundur dan perdengarkan jeritan tertahan. Na-

mun perempuan ini cepat kuasai diri. Saat lain dia te-

lah pentang mata. Sementara kedua tangannya diang-

kat tinggi-tinggi.

Karena sudah pernah bentrok, Pendekar 131 tidak 

mau bertindak gegabah. Dia kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’.

Didahului bentakan garang, Bidadari Tujuh Langit 

melompat mundur. Saat lain kedua tangannya meng-

hantam. Sepasang matanya dipentang besar-besar.

Wuutt! Wuutt!

Wusss! Wusss!

Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat


dua sinar merah. Bersamaan dengan itu dari sepasang 

mata sang Bidadari berkiblat dua sinar hitam yang 

membuat suasana mendadak laksana ditelan kegela-

pan!

Dari serangan yang dilancarkan jelas kalau Bidadari 

Tujuh Langit ingin membunuh Joko dalam satu kali 

gebrakan.

“Tahan serangan!” teriak Nenek Selir ketika Bidada-

ri Tujuh Langit membuat gerakan menghantam.

Namun teriakan si nenek sudah sangat terlambat. 

Di lain pihak Joko tekuk lutut. Lalu sentakkan kedua 

tangan.

Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting melesat 

gelombang dahsyat disertai kiblatan sinar kuning yang 

membawa hawa panas menyengat.

“Kalau sampai terjadi apa-apa pada pemuda asing 

itu, urusan ketiga gadis itu bisa tak karuan! Lagi pula 

aku tidak akan membiarkan seorang pun menjamah 

tubuhnya karena dia telah berani kurang ajar padaku!” 

Nenek Selir mendesis. Lalu kedua tangannya bergerak. 

Dua pedang di sanggulan rambutnya ditarik lalu di-

hantamkan memotong pukulan Bidadari Tujuh Langit.

Blamm! Blamm! Blaamm!

Tiga ledakan keras terdengar tiga kali berturut-turut 

ketika pukulan yang dilepas ketiga orang itu bertemu 

di udara. Suasana gelap pecah dengan semburatnya 

bunga-bunga api. Sinar merah dari kedua tangan Bi-

dadari Tujuh Langit bertabur. Sinar kuning pukulan 

‘Lembur Kuning’ bertebaran kian kemari di udara. Se-

mentara dua kobaran api yang keluar dari kedua pe-

dang di tangan Nenek Selir terbongkar padam.

Bidadari Tujuh Langit berteriak tegang. Sosoknya 

mental ke udara lalu menukik deras dan jatuh terjeng-

kang di atas tanah dengan mata terpejam dan mulut


megap-megap. Saat lain dari mulutnya terlihat lelehan 

darah!

Saat yang hampir bersamaan, sosok Nenek Selir 

laksana dihantam kekuatan hebat. Sosoknya terjung-

kal ke udara dua setengah tombak. Lalu tersentak dan 

terbanting sebelum akhirnya meluncur jungkir balik ke 

bawah dan jatuh punggung di atas tanah dengan mu-

lut mengembung dan kepala pulang balik tersentak-

sentak. Ketika kepalanya tersentak terakhir kali, mu-

lutnya terbuka semburkan darah! Sanggulan rambut-

nya terlepas terurai menutupi sebagian pundak dan 

sebagian wajahnya yang pucat pasi!

Di seberang, begitu terdengar ledakan, sosok Pende-

kar 131 terlempar dua tombak ke belakang lalu jatuh 

terjepit di antara sela rumpun bambu dengan kedua 

tangan terkulai dan mata terpejam terbuka merasakan 

darahnya yang jungkir balik tak karuan.

Namun murid Pendeta Sinting adalah orang yang 

paling beruntung dibanding Bidadari Tujuh Langit dan 

Nenek Selir. Karena pukulan yang dilancarkan Bidada-

ri Tujuh Langit terpangkas dahulu oleh pukulan yang 

dilepas Nenek Selir. Hingga begitu pukulannya ben-

trok, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir 

sudah mengalami bias bentroknya, keadaan Bidadari 

Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias 

bentroknya pukulan terlebih dahulu. Maka meski Joko 

terlempar dan jatuh terjepit di antara rumpun bambu 

dan merasakan darahnya menyentak-nyentak, namun 

dia tidak sampai semburkan darah.

***


EMPAT



KETIKA Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan 

Pendekar 131 sama lepas pukulan, semua orang yang 

ada di tempat Itu tampaknya maklum jika akan terjadi 

sesuatu yang hebat. Hingga saat itu juga Dayang Tiga 

Purnama dan Bidadari Pedang Cinta segera melompat 

menyingkir. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-

pat Cakrawala berdiri tegak lalu buru-buru berkelebat 

menjauh. Cuma Paduka Seribu Masalah yang tetap 

duduk di tempatnya semula. Sementara Manusia Ta-

nah Merah sesaat tadi tampak hendak buka mulut 

mencegah tindakan Nenek Selir yang memotong puku-

lan Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai suara-

nya terdengar, si nenek sudah keburu lepas pukulan. 

Orang tua berjubah tanpa lengan ini akhirnya hanya 

geleng kepala lalu mundur beberapa langkah.

Di lain pihak, begitu masing-masing sosok yang le-

pas pukulan sama terpental jatuh, Bidadari Tujuh La-

ngit adalah orang yang pertama kali bergerak bangkit. 

Disusul Nenek Selir. Untuk beberapa saat kedua pe-

rempuan ini sama perang pandang dengan unjuk tam-

pang seringai dingin. Lalu sama arahkan pandangan 

pada sosok murid Pendeta Sinting yang terjepit di an-

tara rumpun bambu. Saat lain, seakan sadar apa yang 

harus mereka lakukan, kedua orang ini segera kerah-

kan hawa sakti untuk kuasai luka dalam masing-

masing. Lalu lipat gandakan tenaga dalam.

Pendekar 131 buka sepasang matanya. Lalu angkat 

wajah memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit dan 

Nenek Selir. Tahu apa yang sudah dilakukan orang, 

Joko cepat sibakkan bambu yang menjepit tubuhnya.

Bunggg! Bunggg! Bungggg!


Belum sampai Joko bertindak lebih jauh, mendadak 

kawasan hutan bambu itu dipecah dengan terdengar-

nya suara gaung menggelegar bertalu-talu.

Semua orang yang ada di tempat itu rasakan liang 

telinga laksana ditusuk-tusuk dan dada dihantam ge-

lombang dahsyat.

“Jahanam! Ada saja yang merusak pekerjaanku!” 

Nenek Selir mendengus karena dengan terdengarnya 

suara gaung, pengerahan tenaga dalamnya jadi kacau.

Bidadari Tujuh Langit sendiri tampak terkesiap. 

“Ulah siapa ini?! Gaung gila! Aku tak bisa pusatkan te-

naga dalam!” rutuknya dalam hati seraya sapukan 

pandangan berkeliling ke arah satu persatu orang yang 

ada di tempat itu.

“Eyang Guru...! Dia berada di sekitar sini!” Dayang 

Tiga Purnama bergumam pelan seraya kerahkan tena-

ga dalam menutup jalan pendengaran.

“Aku pernah dengar suara gaung Ini...,” kata Joko 

dalam hati seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua 

telinga.

Selagi orang-orang sama membatin, mendadak sua-

ra gaung sirna. Tapi cuma sekejap. Di lain saat ter-

dengar deruan angker membubung ke angkasa.

Ketika semua orang tengadah, mereka melihat se-

buah gulungan benda hitam. Namun belum sampai 

ada yang tahu benda apa itu, mendadak gulungan 

benda hitam menukik deras ke tempat mana beberapa 

orang tengah berada.

Blaaarrr!

Gulungan benda hitam semburat pecah perdengar-

kan ledakan dahsyat. Suasana berubah laksana di-

genggam kegelapan. Lalu asap putih menebar me-

nungkup tempat itu. Semua orang selain Paduka Seri-

bu Masalah tersentak dan buru-buru tundukkan ke


pala sambil takupkan kedua tangan pada wajah kare-

na mereka merasakan mata masing-masing perih dan

kucurkan air mata.

“Jahanam! Jahanam! Siapa berani kurang ajar ber-

lagak buat kekacauan ini?!” Nenek Selir memaki habis-

habisan.

“Munculnya pemuda asing keparat itu selalu saja 

membawa petaka!” Bidadari Tujuh Langit juga me-

nyumpah-nyumpah. “Jika keparat itu tidak segera ku-

bereskan, rejeki yang sudah di tangan terus akan me-

layang! Nenek bangsat itu juga harus kuhabisi se-

karang! Dia bisa jadi batu sandungan di kelak kemu-

dian hari!”

Setelah suasana kembali terang dan asap putih 

yang tebarkan rasa perih di mata lenyap, Nenek Selir 

cepat turunkan kedua tangan dari wajahnya. Lalu pu-

tar kepala dengan mata dibeliakkan.

Untuk kesekian kalinya, dari mulut si nenek ter-

dengar makian panjang pendek ketika tahu yang ting-

gal di tempat hanya Galuh Sembilan Gerhana, Galuh

Empat Cakrawala, Bidadari Tujuh Langit, dan Pende-

kar 131.

Sosok Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Me-

rah, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari Pedang Cinta 

tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

“Siapa pun adanya jahanam yang punya pekerjaan 

ini, pasti dia masih kambratnya salah satu gadis yang 

berbaju hijau atau gadis baju ungu!” desis Nenek Selir 

sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang meng-

genggam pedang. Yang dimaksud gadis baju hijau dan 

baju ungu oleh si nenek adalah Bidadari Pedang Cinta 

dan Dayang Tiga Purnama. “Tapi tidak tertutup ke-

mungkinan yang punya ulah ini adalah gundik jaha-

nam Wang Su Ji! Buktinya dia juga lenyap! Sialan betul!” Nenek Selir bantingkan kaki.

Di tempat lain, Bidadari Tujuh Langit cepat pula tu-

runkan kedua tangan dari wajah. Lalu lepas panda-

ngan berkeliling. Perempuan cantik jelita bertubuh ba-

henol ini tampak beringas kala tahu tinggal siapa saja 

yang berada di tempat itu.

Dalam geram dan marahnya mata Bidadari Tujuh 

Langit saling bentrok dengan mata Nenek Selir. Kema-

rahan sang Bidadari sudah naik ke ubun-ubun apalagi 

dia tahu karena pangkasan pukulan si nenek, dia ha-

rus mengalami luka dalam walau segera bisa diatasi.

Namun Bidadari Tujuh Langit masih menindih kei-

nginan ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara 

gumaman dari rumpun bambu di mana Joko jongkok 

sambil tutupi wajah. Dia cepat berpaling.

“Wang Su Ji pasti belum jauh dari tempat ini. Urus-

anku dengannya lebih penting daripada masalah di 

tempat ini! Aku harus segera mengejarnya!” Nenek Se-

lir membatin lalu berteriak.

“Bidadari Tujuh Langit! Silakan kau punya sengketa 

dengan pemuda asing sialan itu! Tapi jika dia mampus 

di tanganmu, aku akan menagih nyawamu sebagai 

ganti nyawanya!”

Habis berkata begitu, Nenek Selir putar langkah. Bi-

dadari Tujuh Langit tidak pedulikan teriakan si nenek. 

Sebaliknya angkat kedua tangannya.

Di depan sana, murid Pendeta Sinting bergerak 

bangkit sambil kucek-kucek mata. Ketika dia balikkan 

tubuh, sosoknya tersurut dua tindak melihat kedua 

tangan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat lepas

pukulan ke arahnya!

Namun belum sampai sinar merah melesat dari ke-

dua tangan Bidadari Tujuh Langit dan dari sepasang 

matanya melesat sinar hitam, tiba-tiba Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sentakkan 

tangan masing-masing.

Wuutt! Wuutt!

Wuutt! Wuutt!

Dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana me-

lesat arakan awan hitam yang membuat suasana jadi 

remang-remang. Sedang dari kedua tangan Galuh Em-

pat Cakrawala berkiblat sinar pelangi. Kedua gadis ini 

kembali telah lepas pukulan ‘Inti Gerhana’ dan ‘Inti 

Cakrawala’.

Bidadari Tujuh Langit terkejut. Dia batalkan niat 

lepas pukulan ke arah Pendekar 131. Lalu putar tubuh 

dan serta-merta hantamkan kedua tangan mengha-

dang pukulan yang datang.

Melihat apa yang terjadi, entah mengapa tiba-tiba 

Nenek Selir urung teruskan langkah. Malah saat itu 

juga dia angkat kedua tangannya siap membantu Ga-

luh Sembilan Gerhana dan saudaranya.

Di lain pihak, Joko cepat melompat dari sela rum-

pun bambu. Sesaat dia bimbang. Dia sebenarnya ingin 

membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala. Dia dapat membaca, kedua gadis itu tidak 

akan mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit. Joko 

sudah angkat kedua tangannya. Tapi mendadak dia 

urungkan niat ketika sekilas dapat melihat gerakan 

kedua tangan Nenek Selir.

Di udara, pukulan dari masing-masing ketiga orang 

terus melesat. Nenek Selir sudah kelebatkan kedua 

tangannya. Namun sekonyong-konyong, dari arah 

samping terdengar suara dahsyat bergemuruh.

Ketika Nenek Selir melirik, kagetlah nenek ini. Dua 

gelombang angin luar biasa menggebrak lurus ke 

arahnya!

Karena tak ada kesempatan lagi untuk menghadang


gelombang yang tiba-tiba datang, sambil berteriak ma-

rah dia jatuhkan diri sama rata dengan tanah hindari 

gelombang.

Wusss! Wusss!

Dua gelombang lewat dua jengkal di atas tubuh Ne-

nek Selir. Rambut nenek ini tampak berkibar-kibar ke 

udara lalu sosoknya terseret hingga dua tombak di 

atas tanah! Kedua tangannya yang tadi lepas pukulan 

membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala tersentak ke bawah hingga kobaran api dari 

kedua pedangnya menghantam udara kosong!

Saat itulah terdengar dentuman keras ketika puku-

lan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala bertemu pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh 

Langit.

Kedua gadis murid si Pasangan Mesum ini terpekik. 

Sosok keduanya langsung mencelat dan terkapar di 

atas tanah. Dari mulut masing-masing semburkan da-

rah. .

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala tampaknya salah menduga. Mereka tadi mengira 

Bidadari Tujuh Langit tidak akan mampu memutar ge-

rakan tangannya yang saat itu tengah lepas pukulan 

ke arah murid Pendeta Sinting. Hingga tanpa pikir 

panjang lagi, mereka segera lepas pukulan. Karena me-

reka pikir itulah kesempatan baik untuk membuat ba-

lasan Ternyata dugaan mereka meleset.

Di seberang, Bidadari Tujuh Langit hanya terjajar 

beberapa tindak. Saat lain perempuan ini sudah ang-

kat kedua tangannya lagi siap lepas pukulan!

Yang paling kecewa adalah Pendekar 131. Karena 

dia tadi dapat menangkap gerakan kedua tangan Ne-

nek Selir, dia urungkan niat untuk ikut menghadang 

pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dia tidak menduga jika tiba- tiba Nenek Selir mendapat serangan gelap dari 

arah samping. Hingga pukulan si nenek melenceng 

dan akibatnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala harus menghadang pukulan Bidada-

ri Tujuh Langit tanpa bantuan orang lain.

Begitu sosoknya terhenti, Nenek Selir cepat mem-

buat gerakan jungkir balik. Lalu tegak kembali di atas 

tanah seraya berteriak.

“Siapa berani pengecut membokongku, hah?” Kedua 

tangannya yang memegang pedang diacung-acungkan 

memutar.

Belum habis teriakan si nenek, dua sosok berkele-

bat dan langsung tegak di tempat itu dengan kepala lu-

rus menghadap ke arah sosok Galuh Sembilan Gerha-

na dan Galuh Empat Cakrawala.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!” 

Joko bergumam mengenali seorang laki-laki berusia 

lanjut berparas lonjong dengan kulit putih pucat lak-

sana tidak dialiri darah. Sosoknya kerempeng hingga 

anggota tubuhnya yang kelihatan hampir-hampir tidak 

tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. Se-

pasang matanya melotot besar. Orang tua kerempeng 

ini mengenakan pakaian gombrong besar berwarna pu-

tih. Begitu gombrongnya pakaian yang dikenakan, 

hembusan angin yang masih mendera tempat itu aki-

bat bentroknya pukulan membuat sosok orang tua ini 

laksana bergerak-gerak hendak amblas tersapu. Pa-

dahal dia tidak membuat gerakan apa-apa.

Tegak di samping orang tua berpakaian gombrong 

besar adalah seorang perempuan berparas cantik wa-

lau usianya tidak muda. Rambutnya hitam lebat di-

kuncir tinggi. Kulitnya putih bersih. Hidungnya man-

cung, bibirnya dipoles merah menyala. Dadanya men-

cuat kencang dan padat. Pinggulnya yang besar menggoda dibalut pakaian tipis ketat warna biru.

Nenek Selir mendelik angker dengan dada panas, 

apalagi mendapati kedua orang yang muncul dan dia 

yakini manusia yang membokongnya seakan tidak me-

lihat keberadaannya di tempat itu.

Untuk beberapa saat si nenek memperhatikan de-

ngan kepala disorongkan ke depan. Jelas wajahnya 

menggambarkan kebimbangan.

Sementara dua orang yang baru muncul sama 

sunggingkan senyum melihat Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala terbungkuk-bungkuk 

bangkit sambil pegangi dada masing-masing. Lalu tan-

pa pedulikan pandangan orang, kedua sosok yang ba-

ru muncul saling berpaling. Saat lain kepala kedua-

nya bergerak ke depan. Kedua orang ini berciuman 

sambil lingkarkan tangan masing-masing ke pinggang 

lainnya!

“Gila! Dua jahanam itu adalah si Pasangan Mesum!” 

desis Nenek Selir sambil lemparkan pandangan ke ju-

rusan lain dengan tampang berubah.

“Tanpa kucari, akhirnya kau datang sendiri, Perem-

puanku.... Gayamu sungguh luar biasa! Hingga aku 

tak sabar ingin segera menikmatimu!” Bidadari Tujuh 

Langit buka suara begitu melihat siapa adanya kedua 

orang yang muncul. Sepasang matanya terus menatap 

pada sosok si perempuan berbaju biru ketat yang ma-

sih berciuman dengan si orang tua bertubuh kerem-

peng berpakaian gombrong.

“Edan! Edan!” rutuk Joko dalam hati melihat apa 

yang tengah dilakukan dua sosok yang baru muncul 

yang bukan lain memang Iblis Muka Setan dan Perem-

puan Kembang Darah. Sepasang tokoh yang dikenal 

dengan gelar Pasangan Mesum.

Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, Iblis Muka Setan sudah hendak tarik pulang ciumannya dari 

bibir Perempuan Kembang Darah. Namun si Perem-

puan Kembang Darah cepat rapatkan tangannya yang 

melingkar di pinggang si laki-laki. Lalu daratkan bibir-

nya lagi ke bibir Iblis Muka Setan.

Nenek Selir melirik. Ketika dilihatnya kedua orang 

itu masih juga berciuman, si nenek langsung berteriak.

“Binatang saja masih punya rasa malu bercinta di 

depan orang! Kalian manusia adanya mengapa tidak 

punya kemaluan?!”

“Nek! Ucapanmu salah! Mana mungkin mereka be-

rani bercinta di depan orang kalau mereka tidak punya 

kemaluan?! Yang benar, mereka manusia adanya men-

gapa tidak punya malu-malu?!” Pendekar 131 menya-

hut lalu tertawa bergelak.

“Setan! Berani kau menyalahkan ucapanku! Kau 

yang bodoh! Apa itu malu-malu?!” Nenek Selir kembali 

berteriak.

“Malu-malu artinya sama dengan malu! Berhubung 

manusia yang tidak punya malu ada dua orang, apa 

salah kalau dikatakan malu-malu?!” ujar murid Pen-

deta Sinting.

“Ah, kau sok pintar bicara! Yang jelas apa pun na-

manya, mereka tidak punya kemaluan!”

“Astaga! Dari mana kau tahu, Nek?!” tanya Joko 

dengan pasang tampang sungguh-sungguh.

“Suruh saja mereka singkap pakaian yang dikena-

kan! Mereka pasti memilih mampus daripada buka pa-

kaian! Dan karena tidak punya kemaluan, maka hilang 

pula rasa malu-malunya!”

“Bidadari Tujuh Langit! Kau dengar ucapan nenek 

itu! Apa kau masih tertarik dengan perempuan berbaju 

biru itu?!” Joko berteriak ajukan tanya pada Bidadari 

Tujuh Langit.


Pertanyaan Joko bukannya disahut Bidadari Tujuh 

Langit, tapi disambut Nenek Selir.

“Bagi dia, tidak perlu apakah adanya orang itu utuh 

atau tidak! Yang penting wujudnya perempuan! Nenek-

nenek pun jadilah! Malah akhir-akhir ini kudengar dia 

lebih gandrung dengan nenek-nenek!”

Joko perdengarkan seruan kaget. Lalu buka mulut. 

“Bagaimana bisa begitu?!”

“Aku tak bisa menjelaskan! Aku khawatir nanti di-

kira tidak punya kemaluan! Ah, salah.... Aku khawatir 

nanti dikira tidak punya malu ungkapkan hal-hal luar 

biasa begitu di depan orang banyak! Apalagi kau ada-

lah orang negeri asing! Kalau sampai kabar berita ini 

tersebar hingga negerimu, bisa celaka seumur-umur 

semua nenek-nenek negeri ini!”

***

LIMA



BIDADARI Tujuh Langit tegak dengan dagu terang-

kat mendengar kata-kata Pendekar 131 serta Nenek 

Selir. Sementara Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah sama lepas pelukan tangan masing-

masing di pinggang lainnya. Lalu tarik pulang wajah-

nya. Iblis Muka Setan berpaling pada Nenek Selir. Se-

dang Perempuan Kembang Darah sentakkan wajah 

menghadap murid Pendeta Sinting.

Walau sudah bisa membaca raut kemarahan pada 

wajah orang, tapi Joko seakan tidak peduli. Sambil 

alihkan pandangan dari tatapan Perempuan Kembang 

Darah dan lirikan tajam Bidadari Tujuh Langit, dia 

buka suara.

“Nek! Kau bilang nenek-nenek negeri ini bisa celaka

seumur-umur. Bagaimana maksudmu?!”

“Huss! Jangan keras-keras!” bentak si nenek.

Joko tengadahkan wajah. Lalu mulutnya membuat 

gerakan seperti orang bicara tapi tanpa perdengarkan 

suara.

“Bagaimana tidak bisa celaka seumur-umur. Kalau 

sampai berita tersebar, orang-orang pasti menduga jika 

seluruh nenek negeri ini sudah melakukan hal-hal luar 

biasa yang memalukan!” kata si nenek setelah Joko 

hentikan gerakan mulutnya.

“Bahkan tidak mustahil orang-orang akan menduga 

semua nenek negeri ini tidak punya kemaluan!” sahut 

Joko.

“Sialan! Ujung ucapanmu pulang balik ke situ lagi!”

“Jahanam!” Iblis Muka Setan menghardik. “Mulut 

nenek satu ini perlu dibuat tidak bisa bicara!”

“Soal dia dan manusia asing itu kita tunda. Seka-

rang sudah saatnya kita selesaikan urusan lama!” Me-

nyahut Perempuan Kembang Darah. Lalu perempuan 

cantik ini putar tubuh lurus menghadap Bidadari Tu-

juh Langit.

Iblis Muka Setan mendelik sesaat pada Nenek Selir. 

Si nenek kedipkan sebelah mata lalu tertawa cekiki-

kan. Kalau saja di situ tidak ada Bidadari Tujuh Lan-

git, pasti Iblis Muka Setan sudah berkelebat dan 

menggebuk si nenek.

Melihat Perempuan Kembang Darah menghadap ke 

arahnya, Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berka-

ta.

“Perempuanku... Lebih baik kita lupakan urusan 

lama! Aku punya urusan yang pasti akan membuatmu 

kesenangan! Kau bisa tanyakan pada kedua muridmu 

itu... Sekali mereka merasakan, mereka terus mencari-

ku...”

Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Seba-

liknya perempuan ini diam-diam salurkan tenaga da-

lam pada kedua tangannya.

Bidadari Tujuh Langit saput bibirnya dengan lidah. 

Lalu buka suara lagi.

“Pasanganmu memang tampan. Tapi di mana enak-

nya bercinta dengan tulang belulang begitu rupa?! Kau 

harus sadar, Perempuanku! Kau perempuan cantik 

bertubuh bagus. Kau layak merasakan kenikmatan da-

ripada sekadar rasa tulang belulang! Hik... Hik... 

Hik...!”

Iblis Muka Setan sudah tidak sabaran mendengar 

ucapan Bidadari Tujuh Langit. Tapi tampaknya Perem-

puan Kembang Darah masih bisa menahan diri. Dia 

segera berkata.

“Biarkan mulutnya membuka sepuasnya! Mungkin 

saat ini terakhir kali dia bisa bicara!”

Baru saja Perempuan Kembang Darah berkata begi-

tu, dari bagian belakang Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala sama berseru tertahan meli-

hat siapa yang tegak di seberang depan.

Sesaat tadi, kedua gadis ini memang belum menya-

dari siapa kedua orang yang tegak di seberang depan. 

Karena mereka berdua masih coba kuasai diri akibat 

bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Dan begitu me-

reka dapat tegak dan buka mata, mereka kaget.

Galuh Empat Cakrawala sudah hendak buka mulut. 

Tapi buru-buru Galuh Sembilan Gerhana menahan 

dengan berbisik.

“Jangan bicara dulu! Ada yang tak beres...”

Galuh Empat Cakrawala berpaling. Belum sampai 

gadis berbaju kuning ini buka suara, Galuh Sembilan 

Gerhana sudah bicara lagi.

“Walau sekilas, aku tadi melihat nenek itu hendak


membantu kita. Tapi tiba-tiba ada gelombang yang 

membokongnya! Aku tahu benar. Pukulan itu adalah 

pukulan Guru kita berdua! Mengapa mereka berdua 

menahan orang yang hendak membantu kita? Menga-

pa mereka berdua sepertinya menginginkan kita mam-

pus?! Jangan-jangan mereka berdua sendiri yang 

membunuh kedua orangtua kita!”

Galuh Empat Cakrawala terdiam beberapa lama si-

mak ucapan saudaranya. “Tapi... Apa mungkin?! Kalau 

memang mereka menginginkan kita mampus, bu-

kankah mereka berdua tidak usah membesarkan kita 

atau membekali kita dengan ilmu silat?! Dan kalaupun 

benar dia inginkan nyawa kita, tentu mudah bagi me-

reka melakukannya! Mengapa harus cari jalan begi-

ni?!”

Galuh Sembilan Gerhana menghela napas. Kepa-

lanya bergerak menggeleng perlahan. “Itulah yang tak 

kumengerti. Tapi jika tidak, mengapa mereka tadi tidak 

langsung saja membantu kita?! Bukankah Bidadari bi-

nal itu adalah musuh besarnya?! Lebih-lebih lagi men-

gapa mereka menahan nenek itu yang jelas akan 

membantu kita?!”

“Kita tunggu saja...,” akhirnya Galuh Empat Cakra-

wala memutuskan. “Pasti ada sesuatu yang disembu-

nyikan hingga mereka lakukan itu pada kita! Tapi satu 

hal yang pasti, menurut Paduka Seribu Masalah, se-

mua keterangan Guru berdua tidak benar!”

Kalau kedua gadis murid Pasangan Mesum itu ber-

bisik menduga-duga, diam-diam Nenek Selir juga 

membatin dalam hati.

“Bidadari edan itu mengatakan kedua gadis cantik 

itu adalah murid pasangan gila itu! Jika benar, men-

gapa pasangan gila itu menahan gerakanku?! Ada se-

suatu yang aneh! Dan ketika menyaksikan kedua mu


ridnya terluka, sepertinya pasangan gila itu tenang-

tenang saja! Malah senyum-senyum dan berciuman! 

Kasihan nasib kedua gadis itu.... Dari ucapannya, jelas 

mereka telah menjadi korban kelainan Bidadari edan 

sialan itu!”

Nenek Selir pandangi berlama-lama Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Entah mengapa 

tiba-tiba timbul rasa iba pada diri si nenek. Hingga ka-

lau tadi sudah memutuskan untuk berkelebat menge-

jar Manusia Tanah Merah, kini dia melupakan urusan-

nya dengan laki-laki bekas kekasihnya itu. Malah de-

ngan melirik ke arah Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah, dia melangkah ke arah Galuh-Empat 

Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana.

Namun baru saja mendapat empat tindak, tiba-tiba 

terdengar suara.

“Tampaknya kau juga tertarik dengan kedua gadis 

itu! Hik... Hik... Hik...! Silakan... Silakan! Mereka ber-

dua sudah pernah mendapat pelajaran dariku. Tentu 

kau sudah tak perlu lagi memberi pelajaran tamba-

han... Kau tinggal buka baju dan berbasah-basah ria! 

Tapi harap tidak melakukannya di sini meski aku tahu 

kau sudah tidak kuat menahan diri... Aku takut nan-

tinya tertarik melihat potongan tubuhmu!”

Nenek Selir hentikan langkah dengan kepala disen-

takkan ke arah Bidadari Tujuh Langit yang baru saja 

perdengarkan suara. Tampang si nenek berubah me-

rah mengetam. Kedua lutut dan tangannya bergetar.

“Tampangmu berubah! Kau malu..?! Hik... Hik...

Hik...! Mengapa harus malu kalau kau sebenarnya le-

bih tertarik dengan gadis daripada dengan laki-laki?! 

Malah kalau kau mau berterus terang, di hadapan kita 

ada seorang perempuan yahud yang selama ini hanya 

menikmati tulang belulang! Kita bisa menikmati tubuhnya bersama-sama. Hik... Hik... Hik..! Kita bawa 

dia melayang-layang hingga dia sadar, apa yang kita 

berikan lebih asyik daripada apa yang selama ini dia 

pamerkan di hadapan manusia!” Bidadari Tujuh Langit 

kembali berkata.

“Waduh... Apa telingaku tidak salah dengar?!” Pen-

dekar 131 berseru. Matanya dipelototkan pada Nenek 

Selir di seberang sana. “Jika betul, bukan saja nenek-

nenek negeri ini yang bisa celaka seumur-umur. Tapi 

para gadis pun bisa tertimpa malapetaka dari ujung 

rambut sampai ujung kaki1”

Nenek Selir balik melotot angker pada murid Pen-

deta Sinting. Lalu membentak.

“Beraninya mulutmu menuduhku yang bukan-bu-

kan! Apa kau ingin tanganku memutus tanggal kepala-

mu atas bawah, hah?!”

“Aku tidak menuduh, Nek! Aku hanya...”

“Diam!” hardik Nenek Selir. Dia berpaling mendelik 

pada Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai dia 

buka mulut, Perempuan Kembang Darah yang merasa 

tersindir dengan ucapan Bidadari Tujuh Langit sudah 

berkelebat ke depan.

Bidadari Tujuh Langit tidak berdiam diri. Hampir 

bersamaan dengan berkelebatnya sosok Perempuan 

Kembang Darah, dia membuat gerakan melompat ke 

depan songsong Perempuan Kembang Darah.

Di atas udara, Perempuan Kembang Darah kele-

batkan kedua tangan dan kedua kakinya sekaligus! 

Bidadari Tujuh Langit sambuti dengan hantamkan ke-

dua tangan dan tendangkan kedua kaki.

Bukk! Bukk! Bukk! Bukk!

Sosok Perempuan Kembang Darah terjajar dua 

langkah di atas udara. Di hadapannya Bidadari Tujuh 

Langit tersentak satu langkah. Perempuan Kembang

Darah membuat gerakan berputar di atas udara. Saat 

lain kembali sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan 

dan kakinya lagi-lagi berkelebat. Bidadari Tujuh Langit 

tidak tinggal diam. Dia kembali sambuti pukulan la-

wan dengan gerakkan kedua tangan dan kaki.

Terjadilah saling adu tangan dan kaki di atas udara. 

Hingga untuk beberapa lama terdengar suara bentro-

kan bertubi-tubi. Suara benturan baru terputus ketika 

sosok Perempuan Kembang Darah terbanting mencelat 

dan perdengarkan seruan tertahan.

Mendapati apa yang terjadi, Iblis Muka Setan cepat 

berkelebat lalu menyambar sosok kekasihnya. Hingga 

sosok Perempuan Kembang Darah selamat dari bentu-

ran dengan tanah di bawahnya.

Di pihak lain, Bidadari Tujuh Langit terpental deras 

ke belakang. Lalu limbung sebelum akhirnya meluncur 

jatuh. Namun dalam keadaan begitu rupa, perempuan 

cantik ini masih mampu membuat gerakan jungkir ba-

lik satu kali. Lalu tegak terbungkuk-bungkuk di atas 

tanah dengan paras berubah memperhatikan kedua 

tangannya yang bengkak merah.

Begitu berhasil menyambar sosok Perempuan Kem-

bang Darah, Iblis Muka Setan cepat meletakkan tubuh 

kekasihnya di atas tanah dan meneliti. Tiba-tiba sepa-

sang mata Iblis Muka Setan mendelik besar. Dari mu-

lutnya keluar suara seruan tegang ketika melihat ba-

gaimana kedua kaki Perempuan Kembang Darah beru-

bah menjadi merah laksana dipanggang! Kulitnya me-

ngelupas dan tulang betisnya patah!

“Aku gagal memutus kaki kirinya....” Perempuan 

Kembang Darah berucap dengan suara tersendat. “Kau 

harus hati-hati menghadapi kaki kirinya....”

“Aku menawarkan kenikmatan. Kau minta yang la-

in! Hik... Hik... Hik..!” Berkata Bidadari Tujuh Langit


lalu melangkah ke arah Perempuan Kembang Darah 

yang masih tergeletak di samping Iblis Muka Setan.

Laksana terbang, Iblis Muka Setan bergerak bang-

kit. Saat yang sama, Perempuan Kembang Darah ikut 

bergerak. Karena kedua kakinya patah, perempuan ini 

hanya bisa bergerak duduk.

“Iblis Muka Setan! Untuk terakhir kalinya kuberi 

kesempatan padamu untuk mencium kekasihmu!” ka-

ta Bidadari Tujuh Langit sambil kacak pinggang dan 

berhenti sepuluh langkah di hadapan Iblis Muka Se-

tan. Pandang matanya bukan terarah pada Iblis Muka 

Setan, melainkan menelusuri sosok Perempuan Kem-

bang Darah yang duduk selonjorkan kedua kaki.

Iblis Muka Setan sambuti ucapan Bidadari Tujuh 

Langit dengan angkat kedua tangan. Namun laki-laki 

kerempeng ini bukannya segera membuat gerakan 

menghantam. Dia hentakkan kaki ke tanah. Sosoknya 

membal ke udara.

Dari atas udara, kedua tangannya disapukan ke 

pakaiannya yang gombrong besar.

Weerr!

Pakaian putih gombrong milik Iblis Muka Setan ber-

kelebat perdengarkan deruan angker. Beberapa rang-

kum angin dahsyat berkiblat lurus ke arah Bidadari 

Tujuh Langit. Saat lain kedua tangan laki-laki ini te-

rangkat ke udara, lalu dihantamkan ke bawah.

Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Inilah tanda 

jika Iblis Muka Setan lepas pukulan ‘Inti Gerhana*.

Melihat apa yang dilakukan Iblis Muka Setan, Pe-

rempuan Kembang Darah buru-buru kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangan. Lalu dihantamkan ke de-

pan.

Wuutt! Wuutt!

Gelapnya suasana sesaat pecah diterjang sinar pelangi yang melesat dari kedua tangan Perempuan Kem-

bang Darah.

Bidadari Tujuh Langit rasakan sosoknya tersapu 

saat terdengar deruan dari pakaian gombrong Iblis 

Muka Setan. Rambutnya berkibar. Pakaian bawahnya 

yang robek menyingkap hingga terlihat jelas sepasang 

pahanya yang mulus padat.

Bidadari Tujuh Langit cepat melompat mundur saat 

mana suasana berubah gelap. Lalu seraya tengadah 

tembusi kegelapan dia hantamkan kedua tangan sam-

bil pentang mata. Di lain saat dia angkat kaki kirinya. 

Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya di-

kelebatkan membuat gerakan menendang ketika sinar 

pelangi melesat memecah suasana gelap.

Bummm! Bummm! Bummm!

Terdengar beberapa kali dentuman dahsyat ketika 

dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat sinar 

merah dan dari sepasang matanya melesat dua sinar 

hitam. Saat lain dari kaki kirinya juga berkiblat sem-

buran sinar merah menyala.

Suasana gelap laksana disentak kekuatan dahsyat. 

Lalu semburat dan berubah jadi terang kembali. Sinar 

pelangi bertabur pecah porak-poranda. Sementara si-

nar merah dan hitam yang berkiblat dari pukulan Bi-

dadari Tujuh Langit muncrat bertebaran kian kemari.

Iblis Muka Setan terbanting dua kali di atas udara. 

Lalu terlempar beberapa tombak. Ketika melayang tu-

run, laki-laki ini tak bisa lagi kuasai diri. Hingga jatuh 

terkapar menghantam tanah!

Krakk! Krraakk!

Terdengar suara seperti benda patah.

Iblis Muka Setan berseru tertahan. Lehernya lunglai 

ke samping dengan tulang bersembulan keluar. Darah 

mengucur deras dari lehernya yang patah dan mulut


nya yang menganga terbuka. Kekasih Perempuan Kem-

bang Darah ini sesaat gerak-gerakkan mulutnya seolah 

ingin bicara dengan memaksakan kepala bergerak 

menghadap pada Perempuan Kembang Darah yang ju-

ga terkapar di atas tanah dengan mulut semburkan 

darah. Namun belum sampai ada suara yang terde-

ngar, mulutnya mengatup rapat laksana ditakup se-

tan. Kedua kakinya yang sesaat tadi bergerak-gerak 

terdiam seketika. Sepasang matanya yang melotot be-

sar pancarkan pandangan kosong!

***

ENAM



WALAU dalam keadaan terluka dalam cukup parah, 

Perempuan Kembang Darah masih sempat dengar se-

ruan tertahan Iblis Muka Setan. Dengan menahan rasa 

sakit pada sekujur tubuh, perempuan ini menoleh pa-

da kekasihnya yang saat itu tengah memaksakan diri 

gerakkan lehernya yang patah dengan mulut membuka 

berusaha berucap.

Begitu mendapati Iblis Muka Setan katupkan mulut 

dan gerakan kakinya terdiam, kaget Perempuan Kem-

bang Darah bukan alang kepalang. Laksana kalap, dia 

bergerak tegak dan hendak berkelebat. Dia lupa jika 

kedua kakinya sudah patah. Hingga begitu belum sam-

pai tegak, sosok perempuan ini terjengkang roboh!

Namun Perempuan Kembang Darah seperti orang 

kesetanan. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. 

Lalu bergulingan ke arah Iblis Muka Setan.

Perempuan Kembang Darah melolong tinggi begitu 

mendapati Iblis Muka Setan sudah tidak bernyawa la-

gi. Dia menangis sambil memeluk! sosok mayat ke

kasihnya. Tapi hal itu cuma sekejap. Ketika dia sadar, 

perempuan ini putuskan tangisnya. Lalu angkat wa-

jahnya disentakkan menghadap Bidadari Tujuh Langit 

yang saat itu terbungkuk-bungkuk bangkit dengan ke-

dua tangan pegangi dadanya.

“Bidadari laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!” te-

riak Perempuan Kembang Darah. Dia angkat kedua 

tangannya. Namun perempuan ini jadi tercekat sendiri 

ketika sadar kalau tenaga dalam yang disalurkan pada 

kedua tangannya terasa hampa! Bahkan kedua tan-

gannya segera luruh ke bawah seolah tidak bertenaga!

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mu-

lut, dia melangkah mendekati. Perempuan Kembang 

Darah tercekat dengan kuduk dingin. Sementara Ga-

luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

saling pandang seolah tak tahu apa yang harus dilaku-

kan.

“Seandainya kau terima tawaranku, tidak mungkin 

kau mengalami nasib buruk seperti ini! Kini semuanya 

terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya bagimu! Ke-

matian adalah hal terbaik yang harus kau terima!” ka-

ta Bidadari Tujuh Langit seraya hentikan langkah tu-

juh tindak di hadapan Perempuan Kembang Darah.

Dalam keadaan tidak berdaya begitu rupa, tampak-

nya Perempuan Kembang Darah sudah tidak punya 

harapan sama sekali. Hal ini membuat dia tidak punya 

beban lagi. Hingga begitu dengar ucapan Bidadari Tu-

juh Langit, dia tertawa panjang. Lalu berucap.

“Kau boleh membunuhku berapa kali kau suka! 

Kau boleh hidup seribu tahun lagi! Tapi satu hal yang 

harus kau tahu. Aku mati dengan membawa kepua-

san! Aku memang tidak berhasil membunuhmu, tapi 

setidaknya aku telah membuatmu lebih sengsara dari 

kematian!”


Ucapan orang membuat Bidadari Tujuh Langit balik 

tertawa panjang. “Orang sekarat memang selalu bicara 

tanpa juntrungan! Kau tahu. Dalam hidup, aku tidak 

akan pernah mengalami sengsara! Justru seluruh hi-

dupku terisi dengan kenikmatan! Sayang kau harus 

mampus sebelum membagi kenikmatan denganku...!”

“Kau boleh bicara tidak pernah mengalami seng-

sara. Tapi aku tahu. Kau masih punya ganjalan besar 

dalam hidupmu!”

Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa. “Aku 

punya bekal untuk membunuh semua orang! Aku....”

“Kau ingat peristiwa enam belas tahun silam?!” Pe-

rempuan Kembang Darah sudah memotong sebelum 

Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapan.

“Aku tidak pernah mengingat apa yang telah terjadi! 

Maka kau salah besar jika mendugaku punya ganjalan 

hidup!”

“Bagus! Apa kau juga tidak pernah ingat siapa sua-

mimu?!” Bertanya Perempuan Kembang Darah.

Bidadari Tujuh Langit terdiam sesaat. Semua orang 

yang ada di situ tidak ada yang buka suara membuat 

gerakan. Mereka seakan terkesima dengan perbinca-

ngan Bidadari Tujuh Langit dan Perempuan Kembang 

Darah. Namun semua orang di situ dapat menangkap 

raut terkejut pada paras Bidadari Tujuh Langit men-

dengar pertanyaan Perempuan Kembang Darah.

“Bagiku, laki-laki adalah bangkai yang harus dising-

kirkan! Jadi jangan tanya perihal laki-laki!” ujar Bida-

dari Tujuh Langit setelah terdiam sesaat. Namun se-

benarnya dada perempuan ini sempat berdebar tidak 

enak dengan pertanyaan orang. Hanya sejauh ini dia 

tidak tahu mengapa.

“Baik! Aku tidak akan tanya perihal laki-laki! Seka-

rang aku tanya. Kau juga tidak ingat dengan anak


yang kau lahirkan?!”

Berubahlah tampang Bidadari Tujuh Langit. Dia 

mendelik besar. Saat lain dia membentak.

“Kau tahu apa tentang itu, hah?”

“Bagus.... Nada ucapanmu memberi satu petunjuk 

kalau kau ingat dengan anak-anak yang kau lahirkan!” 

kata Perempuan Kembang Darah seraya tertawa pen-

dek. “Selama ini kau pernah bertemu dengan mere-

ka?!”

Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya te-

ngadahkan kepala. Perempuan Kembang Darah lagi-

lagi tertawa. Lalu berucap.

“Kau tahu kalau selama ini mereka mencarimu?!”

“Jahanam! Apa maksud pertanyaan perempuan 

ini?! Mungkinkah dia tahu perihal anak-anakku?! E-

nam belas tahun lamanya aku coba menyirap kabar 

tentang keberadaan anak-anakku. Tapi aku tidak per-

nah mendapat keterangan yang benar! Kini, ada pe-

rempuan sekarat yang ucapannya aneh!” Bidadari Tu-

juh Langit membatin dengan dada di buncah kebim-

bangan.

“Wajahmu berubah. Mulutmu tidak berkata menja-

wab. Jadi kau berdusta kalau selama ini tidak punya 

ganjalan hidup! Bahkan sebenarnya kau masih ingat 

siapa suamimu...!”

Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala. “Aku tahu. 

Kau pura-pura tahu segalanya. Padahal sebenarnya 

kau tidak tahu apa-apa! Kau sengaja menggantungkan 

ucapan agar aku tidak membunuhmu! Jangan mimpi!” 

Bidadari Tujuh Langit geleng kepala.

Lagi-lagi Perempuan Kembang Darah tertawa men-

dengar kata-kata orang. “Dengar, Bidadari Binal! Hari 

ini aku rela mampus seribu kali. Karena aku telah 

membuatmu lebih sengsara daripada kematian!”


“Jahanam! Dari tadi dia bicara hal itu! Apa maksud 

sebenarnya?!” Kembali Bidadari Tujuh Langit memba-

tin. “Jangan-jangan dia....” Bidadari Tujuh Langit me-

lompat dan tegak dua langkah di hadapan Perempuan 

Kembang Darah.

“Membunuhmu saat ini bukan pekerjaan sulit. Tapi 

aku bersumpah akan membuatmu mampus perlahan-

lahan jika kau tidak mengatakan apa maksud ucapan-

mu!”

Sikap orang membuat Perempuan Kembang Darah 

tertawa bergelak seakan lupa akan keadaan dirinya. 

Puas tertawa dia berpaling ke jurusan lain sambil ber-

kata.

“Karena kebinalanmu hingga kau tidak sadar siapa 

saja yang selama ini telah kau jadikan korban! Tapi se-

muanya sudah terlambat! Dan perempuan macammu 

memang sudah layak menerima penyesalan!”

Ucapan Perempuan Kembang Darah membuat Ga-

luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

saling pandang dengan dada berdebar. Mereka tadi se-

benarnya sudah hendak berkelebat ke arah Iblis Muka 

Setan. Mereka memang masih agak jengkel setelah 

mendengar keterangan dari Paduka Seribu Masalah ji-

ka semua hal yang diucapkan guru mereka tidak benar 

adanya. Tapi kematian gurunya mau tak mau mem-

buat kedua gadis ini seakan melupakan kejengkelan-

nya. Namun begitu sadar akan keadaan diri masing-

masing, apalagi ingat jika masih punya sesuatu yang 

harus di-selesaikan, akhirnya kedua gadis ini batalkan 

niat untuk mendekati gurunya.

“Jangan-jangan yang dimaksud Guru adalah....” Ga-

luh Sembilan Gerhana yang berbisik tidak lanjutkan 

ucapan, karena Galuh Empat Cakrawala sudah menukas.


“Kita memang telah jadi korban kebinalan Bidadari 

keparat itu! Tapi masih banyak lagi yang lainnya! Dan 

mustahil kita masih ada hubungan dengan Bidadari 

binal itu! Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Baru saja Galuh Empat Cakrawala berbisik begitu, 

di depan sana Bidadari Tujuh Langit maju satu tindak 

lagi. Lalu berkata dengan senyum dingin.

“Aku tanya. Kau tahu perihal anak-anakku?!”

Perempuan Kembang Darah tersenyum. “Sebelum 

kujawab tanyamu, jawab dulu pertanyaanku! Jika kau 

melakukan pekerjaan gila menggauli perempuan, apa-

kah kau tidak bisa membedakan rasa antara anak sen-

diri dan orang lain?!”

“Jahanam! Kau....”

“Jangan berteriak atau membuat gerakan!” potong 

Perempuan Kembang Darah sambil berpaling. “Jawab 

saja tanyakan kalau kau ingin mendengar jawaban da-

ri pertanyaanmu!”

“Itu pertanyaan gila!”

“Tapi perlu mendapat jawaban!”

“Aku tidak akan menjawab!”

“Berarti ganjalanmu akan terus berlangsung!”

Bidadari Tujuh Langit tegak dengan dada bergun-

cang. Saat itulah matanya menumbuk pada sosok Ga-

luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. 

Beberapa saat perempuan ini pandangi dua gadis ber-

baju merah dan kuning dengan perasaan tak karuan. 

Tapi saat lain perempuan bertubuh bahenol ini geleng 

kepala dengan menggumam.

“Mustahil.... Bukan! Bukan mereka!”

Di lain pihak, dipandangi Bidadari Tujuh Langit be-

gitu rupa, mau tak mau membuat Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala merasa tak enak 

hati. Namun ingat akan tindakan yang telah dilakukan

orang terhadap mereka. Galuh Empat Cakrawala sege-

ra berbisik.

“Kalaupun benar dia orang yang kita cari, aku akan 

membunuhnya!”

“Segalanya bisa saja terjadi! Mengapa sudah yakin 

mustahil?!” Perempuan Kembang Darah berkata begitu 

mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit yang te-

gak hanya dua langkah di hadapannya.

Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke arah Pe-

rempuan Kembang Darah. “Katakan siapa adanya ke-

dua gadis muridmu itu!”

Perempuan Kembang Darah tidak buru-buru buka 

mulut. Sebaliknya menoleh ke arah Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sama kan-

cingkan mulut dengan mata memandang tak berkesip 

menunggu jawaban orang.

“Telingamu dengar pertanyaan orang! Mengapa ti-

dak jawab?!” Bidadari Tujuh Langit membentak karena 

Perempuan Kembang Darah tidak segera buka mulut.

“Kau pernah berbuat gila pada mereka?!” Perem-

puan Kembang Darah balik ajukan tanya.

Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya. Na-

mun kali ini Perempuan Kembang Darah bukannya 

merasa takut. Sebaliknya tertawa perlahan seraya ber-

ucap.

“Kau tidak akan lakukan apa-apa padaku sebelum 

kujawab pertanyaanmu....”

Bidadari Tujuh Langit menggeram. Kedua tangan-

nya berkelebat. Namun setelah jalan, dia hentikan ge-

rakan kedua tangannya, membuat Perempuan Kem-

bang Darah makin keraskan tawa dan berkata lagi.

“Mengapa tidak kau teruskan?! Kau takut aku 

mampus?!”

Kesabaran Bidadari Tujuh Langit pupus. “Aku tidak


butuh jawabanmu!” hardiknya. Kedua tangannya dite-

ruskan berkelebat. Namun entah mengapa tiba-tiba dia 

belokkan arah kelebatan tangannya.

Bummm! Bummm!

Tanah empat langkah di samping Perempuan Kem-

bang Darah muncrat semburat. Sebagian luruh berta-

buran pada sosok mayat Iblis Muka Setan dan Perem-

puan Kembang Darah.

“Aku tak segan membuatmu seperti tanah itu kalau 

kau tidak segera buka mulut!” bentak Bidadari Tujuh 

Langit. Lalu angkat kedua tangannya lagi.

“Aku akan menjawab kalau kau jawab dulu perta-

nyaanku. Kau pernah berbuat gila pada kedua gadis 

itu?!”

“Mereka telah berani kurang ajar menipuku! Untung 

aku memberinya dengan imbalan kenikmatan!”

“Hem... Begitu?! Apa rasanya lain?!”

Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Empat Ca-

krawala sudah merah mengelam. Kalau saja mereka 

tak sadar tengah terluka dalam, pasti kedua gadis ini 

akan nekat berkelebat.

Bidadari Tujuh Langit mendengus. Lalu melangkah 

satu tindak. Tangan kanannya berkelebat jambak ram-

but Perempuan Kembang Darah hingga kepala perem-

puan berbaju biru ini tersentak tengadah. Namun jelas 

tidak ada raut ketakutan pada wajahnya! Membuat Bi-

dadari Tujuh Langit bantingkan kaki dan berteriak.

“Jawab tanyaku atau kuputus tanggal kepalamu! 

Siapa adanya kedua muridmu itu!”

Mata Perempuan Kembang Darah melirik dengan bi-

bir sunggingkan senyum. Lalu perempuan kekasih Ib-

lis Muka Setan ini pejamkan matanya dan berkata.

“Enam belas tahun lalu aku mengambil mereka dari 

Istana Lima Bidadari!”


Bidadari Tujuh Langit rasakan darahnya laksana si-

rap. Tanpa sadar tangan kanannya yang menjambak 

rambut orang disentakkan ke depan. Hingga kepala 

Perempuan Kembang Darah teleng ke depan. Namun 

saat lain kembali Bidadari Tujuh Langit gerakkan tan-

gan kanan dan sentakkan rambut Perempuan Kem-

bang Darah ke belakang.

“Katakan sekali lagi siapa adanya kedua muridmu 

itu!”

Perempuan Kembang Darah tertawa panjang. “E-

nam belas tahun lalu aku mengambilnya dari Istana 

Lima Bidadari!”

Bidadari Tujuh Langit tahan napas. Kepalanya ber-

putar memandang ke arah Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala yang masih tidak me-

ngerti, karena mereka tidak tahu Istana Lima Bidadari.

“Benarkah ucapan perempuan ini?! Apa dia tidak 

mengada-ada?!” Bidadari Tujuh Langit membatin. Lalu 

seolah belum yakin dengan jawaban orang, dia kembali 

bertanya.

“Benar kau mengambilnya dari Istana Lima Bidada-

ri?!”

“Telingamu tidak tuli! Apa...”

Hanya sampai di situ ucapan yang terdengar dari 

mulut Perempuan Kembang Darah, karena bersama 

dengan itu kaki kiri Bidadari Tujuh Langit terangkat.

“Tahan!” hampir bersamaan Galuh Sembilan Gerha-

na dan Galuh Empat Cakrawala berteriak.

Namun Bidadari Tujuh Langit tidak acuhkan teria-

kan orang. Kaki kanannya yang dibuat tumpuan tu-

buh diputar. Kaki kirinya berkelebat.

Desss!

Perempuan Kembang Darah tidak sempat lagi per-

dengarkan suara keluhan. Karena darah sudah semburat dari mulutnya. Saat yang sama sosoknya mental

dan jatuh terkapar tiga tombak di belakang sana tanpa 

bergerak-gerak lagi! Nyawa perempuan kekasih Iblis 

Muka Setan ini putus dengan dada melesak dan beru-

bah menjadi laksana dipanggang!

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala tersentak kaget. Dan keduanya jadi merinding ke-

tika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit berpaling ke arah 

mereka dan berkelebat lalu tegak hanya beberapa lang-

kah di hadapan mereka dengan mata memandang tak 

berkesip!

***

TUJUH



SEMENTARA itu, melihat apa yang terjadi Pendekar 

131 sejak tadi sempat serba salah. Dalam hati kecilnya 

dia tidak bisa membiarkan begitu saja Bidadari Tujuh 

Langit bertindak kasar pada orang yang sudah tidak 

berdaya. Namun dia sadar, apa pun yang akan dilaku-

kannya tidak akan bisa membantu. Selain jarak antara 

dia dengan Bidadari Tujuh Langit agak jauh, sengketa 

antara kedua perempuan itu tidak mungkin dapat dis-

elesaikan dengan cara baik-baik. Hingga akhirnya mu-

rid Pendeta Sinting hanya bisa tegak memandang.

Di lain pihak, Nenek Selir tegak diam laksana pa-

tung begitu mendengar dan melihat apa yang terjadi. 

Dan sosoknya bergetar ketika melihat Bidadari Tujuh 

Langit sudah tegak di hadapan Galuh Sembilan Ger-

hana dan Galuh Empat Cakrawala.

“Selama ini aku telah dengar perihal perempuan bi-

nal itu! Tapi mungkinkah benar jika kedua gadis itu 

adalah anak-anaknya?! Ah... Aku tak dapat bayang


kan bagaimana perasaan mereka kalau benar mereka 

adalah ibu dan anak! Padahal mereka berdua telah di-

perlakukan gila oleh perempuan itu..! Nasib manusia 

memang tidak bisa diduga! Dia mencari anaknya, begi-

tu jumpa ternyata...” Nenek Selir tidak lanjutkan uca-

pan. Dia gelengkan kepala. Lalu menghela napas pan-

jang. “Selama ini aku juga tengah mencari di mana 

rimbanya anakku! Tapi aku belum juga mendapat titik 

terang! Mungkinkah pada akhirnya nanti aku bisa ber-

temu dengan anakku?!” Kembali Nenek Selir menghela 

napas panjang. Saat itulah dia mendengar bentakan 

Bidadari Tujuh Langit.

“Kalian berdua! Jangan berani berkata dusta pada-

ku! Katakan siapa kalian sebenarnya?!”

Galuh Empat Cakrawala berpaling pada Galuh Sem-

bilan Gerhana dan berbisik.

“Siapa pun adanya perempuan ini, dia harus mam-

pus di tangan kita! Siapkan tenaga dalam semampu 

kau bisa!”

Tanpa menunggu sambutan, Galuh Empat Cakra-

wala segera alihkan pandangan pada Bidadari Tujuh 

Langit dan berkata.

“Kau telah tahu siapa kami! Kau tidak perlu lagi 

bertanya!”

Bidadari Tujuh Langit menggeram dalam hati. Na-

mun raut wajahnya jelas membayangkan perasaan 

bimbang. Beberapa saat lamanya dia menatapi sosok 

kedua gadis di hadapannya sambil menghela napas. 

Saat kemudian dia buka mulut. Kali ini suaranya di-

tekan rendah. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum.

“Sebenarnya di antara kita tidak ada silang seng-

keta. Kalaupun ada itu karena salah paham kalian! 

Jadi...”

“Kau telah membuat aib! Aneh jika kau mengatakan


di antara kita tak ada silang sengketa! Justru sengketa 

kita tak akan tuntas sebelum salah satu di antara kita 

mampus!” Galuh Empat Cakrawala sudah memotong.

“Baiklah kalau hal itu kalian anggap urusan besar!

Tapi mari kita lupakan sejenak urusan itu! Aku perlu 

keterangan benar dari kalian!”

“Kau telah tahu. Kami berdua adalah murid Iblis 

Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah!” Yang 

buka suara Galuh Sembilan Gerhana.

“Aku tahu... Yang jadi pertanyaan, kalian tahu siapa 

sebenarnya adanya kalian?”

Tidak ada yang menjawab. Bidadari Tujuh Langit 

kembali menghela napas panjang. Lalu berkata.

“Pada pertemuan kita dahulu, kalian mengatakan 

akulah yang membunuh kedua orang tua kalian, hing-

ga kalian mencariku untuk membalas! Sekarang aku 

tanya. Kalian tahu siapa orang tua kalian yang kubu-

nuh?!”

Setelah terdiam agak lama, akhirnya Galuh Empat 

Cakrawala yang menjawab.

“Kami memang tidak tahu! Tapi kami percaya kau-

lah yang membunuhnya!”

“Kalian dengar ucapan guru perempuan kalian ta-

di?!”

“Telinga kami masih sempurna!” jawab Galuh Em-

pat Cakrawala.

“Bagus! Kalian pernah dengar tentang Istana Lima 

Bidadari?!”

“Itu bukan urusan kami! Kalaupun kami tahu, apa 

pedulimu?!”

“Dengar! Istana Lima Bidadari adalah istana yang 

kubangun pada beberapa puluh tahun silam! Istana 

itu kubangun untuk kelima anakku! Kalau benar uca-

pan guru perempuan kalian, berarti kalian adalah....”


“Jangan mimpi! Kami tidak percaya dengan ketera-

ngan itu!” Galuh Empat Cakrawala lagi-lagi sudah me-

nukas ucapan Bidadari Tujuh Langit.

“Hem.... Aku masih ingat benar. Kelima anakku ku-

beri tanda!” Bidadari Tujuh Langit berkata sendiri da-

lam hati dengan coba menindih rasa jengkel dengan ja-

waban yang didengar.

Setelah berpikir agak lama, akhirnya perempuan 

bertubuh bahenol ini buka mulut lagi

“Kalian boleh tidak percaya dengan keterangan 

yang kalian dengar. Tapi apa kalian tahu jika di...”

“Percuma kau meyakinkan!” Kali ini yang memotong 

adalah Galuh Sembilan Gerhana. “Siapa pun adanya 

dirimu, kau tetap manusia yang harus mampus di tan-

gan kami!”

“Terpaksa aku harus bertindak dengan caraku sen-

diri!” gumam Bidadari Tujuh Langit. “Kalau ternyata 

mereka bukan, mereka harus menyusul si Pasangan 

Mesum!”

Berpikir begitu Bidadari Tujuh Langit segera maju 

dua tindak. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-

pat Cakrawala sudah waspada dengan gerakan orang. 

Hingga meski dalam keadaan terluka dalam cukup pa-

rah, namun kedua gadis ini sekuat tenaga coba kerah-

kan tenaga dalam yang tersisa. Lalu serentak mereka 

berdua angkat tangan masing-masing.

Bidadari Tujuh Langit terlihat bimbang. Beberapa 

kali dia menghela napas dengan kepala tengadah.

“Aku ingin mengajak kalian bicara baik-baik! Siapa 

tahu di antara kita memang masih ada hubungan...” 

Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut setelah 

agak lama berpikir.

“Terlambat kau mengatakan hal itu! Seandainya 

kau mengatakannya sebelum menabur aib, mungkin


kami masih bisa menerima!” kata Galuh Empat Cakra-

wala.

“Hem... Bodohnya diriku. Seharusnya aku melihat 

tanda itu sebelum peristiwa itu terjadi! Tapi semuanya 

memang sudah terlambat! Apa yang harus kulakukan 

sekarang?! Membunuh mereka?! Dan percaya saja jika 

mereka bukanlah anak yang diambil dari Istana Lima 

Bidadari pada enam belas tahun silam?! Tapi selama 

ini aku telah berusaha mencari. Sekarang ada sebuah 

titik terang. Apakah kesempatan ini akan kulewatkan 

begitu saja?!”

Dalam kebimbangannya begitu rupa, tiba-tiba Bida-

dari Tujuh Langit ingat akan ucapan Iblis Muka Setan 

dan Perempuan Kembang Darah saat mereka bertemu 

tidak lama berselang.

“Dua manusia itu pernah mengatakan aku akan 

berperang dengan perasaanku sendiri! Dan saatnya ti-

dak lama lagi!” Terngiang kembali ucapan Iblis Muka 

Setan ketika dia bertemu dengan laki-laki berpakaian 

gombrong itu pada beberapa hari yang lalu. “Apakah 

kejadian hari ini yang dimaksud ucapannya?! Hem....”

Kalau Bidadari Tujuh Langit dilanda perasaan bim-

bang, sebenarnya diam-diam Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala juga didera perasaan ra-

gu-ragu. Hanya saja karena rasa marah lebih mengu-

asai diri kedua gadis ini, mereka tidak begitu acuhkan 

perasaan.

“Ah.... Sebaiknya aku menunggu waktu yang tepat!” 

Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan. “Mung-

kin saat ini mereka masih marah dengan peristiwa 

tempo hari. Saat lain siapa tahu pikiran mereka beru-

bah!”

Habis berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit tatapi 

kedua gadis di hadapannya. Dia tersenyum, lalu tanpa


buka mulut lagi dia balikkan tubuh dan melangkah 

menjauh.

Saat itulah Galuh Empat Cakrawala memberi isya-

rat pada saudaranya. Saat lain kedua gadis ini telah 

sentakkan tangan masing-masing.

Wuutt! Wuutt!

Wuutt! Wuuut!

Empat gelombang melabrak lurus ke arah Bidadari 

Tujuh Langit.

Walau gelombang yang melesat itu hanya mengan-

dalkan sisa-sisa tenaga dalam, namun gelombang itu 

masih mampu melabrak hancur bongkahan batu be-

sar!

Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun kali ini ti-

dak membuat gerakan apa-apa. Dia hanya kerahkan 

tenaga dalam untuk menahan diri.

Dess! Dess!

Sosok Bidadari Tujuh Langit terpental satu tombak 

dan terhuyung-huyung.

Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala tidak menunggu lagi. Me-

reka segera angkat tangan masing-masing, lalu kemba-

li lepaskan pukulan!

Bidadari Tujuh Langit menghadapi gelombang yang 

datang dengan bibir tersenyum dan kepala lurus me-

natap silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala. Lagi-lagi perempuan Ini tidak 

membuat gerakan hadangan atau menghindar.

Dess! Dess!

Untuk kedua kalinya sosok Bidadari Tujuh Langit 

terpental lalu jatuh terduduk satu setengah tombak 

dari tempatnya semula. Paras wajahnya berubah. Na-

mun saat lain perempuan ini telah sunggingkan se-

nyum dan berkata.


“Kalian kuberi kesempatan untuk tumpahkan apa 

yang kalian mau... Karena aku percaya kalian adalah 

anak-anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari..!”

“Siapa berani sebut-sebut Istana Lima Bidadari?!” 

Tiba-tiba satu teguran terdengar. Satu sosok tubuh 

berkelebat.

Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke samping. 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

berpaling. Nenek Selir pentangkan mata lalu bergu-

mam.

“Manusia apa lagi yang muncul ini?! Nada ucapan-

nya seperti dia tahu benar Istana Lima Bidadari!”

Orang terakhir yang menoleh adalah murid Pendeta 

Sinting. Tapi justru dia orang yang paling tersentak 

kaget!

Di tempat itu telah tegak seorang pemuda berparas 

tampan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Sosok-

nya yang kekar dibalut dengan jubah hitam panjang 

melapis pakaian warna putih. Rambutnya hitam pan-

jang. Jika orang yang melihat meneliti dari ujung ram-

but sampai ujung kaki, maka akan tahu jika pemuda 

berjubah hitam ini mengenakan sebuah cincin ber-

warna hijau pada ibu jari kaki kanannya.

“Datuk Kala Sutera!” gumam Pendekar 131 menge-

nali siapa pemuda berjubah hitam. Dia memperhatikan 

sesaat seraya membatin.

“Pemuda ini mencari tahu tentang kelima anaknya 

yang katanya lenyap begitu saja pada enam belas ta-

hun silam! Sementara Bidadari Tujuh Langit juga se-

but-sebut masa enam belas tahun silam! Apa hubu-

ngan antara keduanya?! Dari ucapan Putri Pusar Bu-

mi, cincin yang dikenakan di jari kaki Bidadari Tujuh 

Langit itu pasti yang disebut-sebut Sepasang Cincin 

Keabadian! Lalu beberapa saat lalu, kekasih Nenek Se


lir itu mengatakan pedang putih yang berada di dalam 

kotak emas berukir bernama Pedang Keabadian! Apa-

kah keduanya juga ada kaitannya?! Atau hanya nama 

saja yang sama?!”

Selagi Joko membatin begitu, di seberang depan sa-

na mendadak pemuda berjubah hitam panjang berpal-

ing ke arahnya. Sepasang mata si pemuda membeliak 

angker dengan mulut menyeringai.

“Pasti dia menagih janji! Apa yang harus kukatakan 

padanya?!” Joko mendesis dengan bibir coba terse-

nyum pada si pemuda berjubah hitam yang bukan lain 

memang Datuk Kala Sutera adanya.

Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu putar 

kepala ke arah Nenek Selir. Saat itulah si nenek baru 

sadar siapa adanya si pemuda.

“Sialan! Nyatanya dia!” gumam Nenek Selir.

Seperti diketahui, ketika terjadi pertemuan antara 

Datuk Kala Sutera dengan Pendekar 131 beberapa hari 

yang lalu, muncullah Nenek Selir. Karena kemunculan 

nenek ini akhirnya Joko bisa lolos.

Untuk beberapa saat Datuk Kala Sutera pandangi 

Nenek Selir dengan seksama. Lalu angkat tangan kiri-

nya. Kepalanya didongakkan. Tangan kirinya terus di-

putar lurus ke arah murid Pendeta Sinting. Lalu ter-

dengar ucapannya.

“Kau!” Tangan kiri Datuk Kala Sutera memutar ke 

arah si nenek. “Dan kau! Jangan berani beranjak dari 

tempat masing-masing! Urusan kita tempo hari belum 

selesai!”

“Aku tak punya urusan apa-apa denganmu!” Nenek 

Selir berteriak.

Datuk Kala Sutera tarik pulang tangannya. Masih 

dengan tengadahkan kepala dia kembali berucap.

“Kau telah membawa kabur pemuda itu! Padahal


dia harus menjawab pertanyaanku! Silakan kau ang-

gap itu bukan satu urusan! Tapi bagiku itu adalah 

urusan besar!”

“Siapa yang membawa kabur?! Dia sendiri yang me-

ngikutiku! Lagi pula apa untungnya aku membawa ka-

bur pemuda jelek begitu?! Sementara aku banyak 

punya kenalan pemuda tampan?! Hik... Hik... Hik..!”

“Nek! Mengapa kau sekarang berkata begitu?! Saat 

kau membawaku kabur, kau bilang akulah pemuda 

paling tampan yang pernah kau temukan! Setelah uru-

sanmu selesai, enak saja kau bilang aku pemuda je-

lek!” Joko berteriak menyahut.

“Tutup mulut kalian! Jangan kira aku percaya pada 

sandiwara gila ini!” bentak Datuk Kala Sutera. Datuk 

Kala Sutera tampaknya bisa membaca gelagat, karena 

pada pertemuan mereka tempo hari, pemuda berjubah 

hitam ini sempat terkecoh dengan ucapan Nenek Selir 

dan Pendekar 131.

Habis membentak begitu, Datuk Kala Sutera arah-

kan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.

Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-

dang. Sepasang mata Datuk Kala Sutera tampak me-

nyipit membelalak. Kepalanya disorongkan ke depan 

ke belakang. Diam-diam pemuda Ini membatin.

“Sepertinya mataku pernah melihat sosok perem-

puan cantik ini! Tapi di mana...? Dia sebut-sebut Ista-

na Lima Bidadari. Dari mana dia tahu?! Padahal cerita 

Istana Lima Bidadari sudah enam belas tahun silam!”

Jika diam-diam Datuk Kala Sutera membatin, Bida-

dari Tujuh Langit ternyata juga berkata dalam hati. 

“Aku ingat benar jika pernah bertemu dengan pemuda 

ini! Sayang aku tidak ingat kapan dan di mana! Aneh-

nya mengapa dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari la-

yaknya orang yang tahu?!”


Melihat sikap kedua orang di seberang depan, Ne-

nek Selir kernyitkan dahi. “Aneh.... Sandiwara apa 

yang tengah dimainkan kedua manusia itu?! Aku yakin 

yang perempuan adalah Bidadari Tujuh Langit. Yang 

laki-laki adalah Datuk Kala Sutera. Cincin pada ibu ja-

ri keduanya membuktikan hal itu. Semua orang di ko-

long tanah Tibet juga sudah tahu kalau kedua ma-

nusia itu adalah pasangan suami-istri! Tapi mengapa 

mereka seperti orang yang tidak saling kenal?! Tidak 

ada yang bicara atau saling sapa! Mereka hanya saling 

mendelik layaknya orang baru jatuh cinta!”

Selagi Nenek Selir menduga-duga, di seberang de-

pan Datuk Kala Sutera buka mulut.

“Harap tidak keberatan mengatakan siapa dirimu!”

“Gila! Ada apa ini...?! Apakah pemuda itu sudah la-

mur?!” Nenek Selir mendesis.

“Kau yang harus katakan dulu siapa adanya diri-

mu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara.

Si nenek terkejut. “Aku memang mendengar kedua 

manusia itu berpisah. Tapi adalah gila kalau sekarang 

tidak saling kenal!”

***

DELAPAN



DATUK Kala Sutera pandangi lekat-lekat wajah Bi-

dadari Tujuh Langit. Mendadak dia surutkan langkah 

dengan mata maki mementang.

“Aku ingat! Bukankah dia perempuan yang kutemui 

ketika aku baru mendapatkan cincin dari Sepasang 

Cincin Keabadian?! Perempuan ini pula yang sempat 

membawa perahuku! Dia juga yang kutemukan di seki-

tar Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam!” Datuk Kala Sutera membatin. “Astaga! Perem-

puan ini pula yang sosoknya bisa berubah menjadi ne-

nek-nenek!” Datuk Kala Sutera tercekat dengan kuduk 

dingin. Lalu putar pandangan berkeliling.

“Kau tak mau sebutkan diri! Lebih baik kau segera 

angkat kaki dari tempat ini!” Bidadari Tujuh Langit 

buka mulut.

Datuk Kala Sutera tidak hiraukan ucapan orang. 

Sebaliknya dia terus membatin. “Apa hubungan pe-

rempuan ini dengan gadis baju ungu bernama Dayang 

Tiga Purnama.... Gadis itu juga berubah sosoknya 

menjadi nenek-nenek saat hendak kudekati!” Sang Da-

tuk ingat pertemuannya dengan Dayang Tiga Purnama 

belum lama berselang. Saat itu di mata sang Datuk, 

sosok Dayang Tiga Purnama memang berubah menjadi 

seorang nenek-nenek ketika sang Datuk mulai dibakar 

nafsu dan hendak mendekati. Hingga Datuk Kala Su-

tera batalkan niat dan kabur.

Karena ucapannya tidak diacuhkan orang, Bidadari 

Tujuh Langit pasang tampang angker. Lalu mulutnya 

membuka hendak membentak. Namun tiba-tiba mulut 

itu terkancing lagi. Sepasang matanya mendelik.

“Kalau tak salah, bukankah manusia laki-laki ber-

jubah hitam panjang ini adalah manusia yang kuberi 

tumpangan perahu setelah aku mendapatkan cincin 

dari Sepasang Cincin Keabadian?! Bukankah dia juga 

yang coba-coba mengikuti langkahku hingga ke Istana 

Lima Bidadari?! Tapi saat itu dia bersikap aneh... Ti-

dak ada hujan tidak ada angin mendadak dia lari tung-

gang langgang! Hem... Peristiwa itu sudah berlalu e-

nam belas tahun silam... Hem.... Anehnya, wajah dan 

sosoknya tidak mengalami perubahan! Apakah dia....”

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan 

membatin, Datuk Kala Sutera buka suara.

“Kau tahu apa tentang Istana Lima Bidadari?!”

“Aku yang seharusnya tanya padamu! Kau tiba-tiba 

muncul dan ikut campur pembicaraanku!” sahut Bi-

dadari Tujuh Langit.

Datuk Kala Sutera sekali lagi pandangi sosok Bida-

dari Tujuh Langit dengan lebih seksama. Lalu berucap.

“Aku Datuk Kala Sutera! Akulah yang membangun 

Istana Lima Bidadari!”

Bidadari Tujuh Langit terdiam beberapa saat. Na-

mun kejap lain tiba-tiba dia perdengarkan tawa berge-

lak panjang. Dengan angkat tangan menunjuk pada 

sosok sang Datuk dia berkata.

“Kau dahulu kuberi tumpangan perahu! Kau juga 

coba-coba mengikutiku hingga ke Istana Lima Bidada-

ri! Adalah aneh kalau kau sekarang mengatakan kau 

yang membangun Istana Lima Bidadari!”

“Hem... Jadi benar! Dialah perempuan yang sempat 

kujumpai pada enam belas tahun silam!” Membatin 

Datuk Kala Sutera. Lalu berkata.

“Sebenarnya aku yang harus merasa aneh! Kau ta-

hu? Perahu yang kau bawa sebenarnya adalah milik-

ku! Kalaupun saat itu aku pura-pura sebagai pengait 

yang perahunya hancur diterjang badai, karena saat 

itu aku tak mau ribut denganmu! Dan kau harus juga 

tahu. Aku tidak mengikutimu! Saat itu aku memang 

tengah menuju Istana Lima Bidadari!”

Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa mende-

ngar keterangan Datuk Kala Sutera. Namun laksana 

disentak setan, perempuan ini putuskan gelakan ta-

wanya. Lalu membentak.

“Siapa pun adanya dirimu, aku tak punya waktu 

banyak untuk bicara denganmu. Katakan saja apa 

maumu sebenarnya!”

“Kau sebut-sebut anak yang diambil dari Istana Li


ma Bidadari. Aku ingin tahu siapa yang kau maksud!” 

Datuk Kala Sutera arahkan pandangan pada Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lalu 

teruskan ucapan. “Kedua gadis itu?!”

“Kuperingatkan agar kau lekas angkat kaki dari ha-

dapanku!” kata Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab 

pertanyaan orang.

“Aku tanya! Aku tak akan pergi sebelum mendapat 

jawaban! Lagi pula aku punya urusan dengan pemuda 

dan nenek keparat itu!” Datuk Kala Sutera pulang ba-

likkan kepala memandang silih berganti pada Pende-

kar 131 dan Nenek Selir.

“Kau boleh punya urusan dengan siapa saja! Tapi 

kalau kau kait-kaitkan dengan Istana Lima Bidadari, 

kau akan menyesal! Bukan saja kau tak akan menda-

pat keterangan apa-apa, tapi kau juga tak akan sele-

saikan urusanmu yang lain. Karena kau akan mampus 

terlebih dahulu!”

Kali ini Datuk Kala Sutera yang tertawa panjang. 

“Ucapanmu aneh. Aku yang membangun Istana Lima

Bidadari. Tapi kau mengatakan aku akan menyesal ka-

lau kait-kaitkan urusan dengan istana yang kuba-

ngun!”

“Hem.... Begitu?!” ujar Bidadari Tujuh Langit de-

ngan senyum dingin. “Aku tanya. Kau yang memba-

ngun Istana Lima Bidadari. Mengapa kau sekarang 

mencari keterangan yang ada kaitannya dengan istana 

itu?!”

“Karena anakku lenyap dari istana itu pada enam 

belas tahun lalu!”

Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Tapi 

cuma sesaat. Saat lain perempuan ini tertawa dan ber-

kata.

“Tampaknya kau pandai mengarang cerita.... Bisa


ceritakan padaku bagaimana anakmu bisa lenyap?!”

Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Bidadari 

Tujuh Langit alihkan pandangan. Lalu buka mulut la-

gi.

“Kau tak tahu bagaimana anakmu lenyap. Bagai-

mana mungkin orang akan percaya jika kau manusia-

nya yang membangun istana itu?! Kau terlalu menga-

da-ada cerita.... Sebelum aku muak, jalan terbaikmu 

adalah menyingkir dari tempat ini!”

Datuk Kala Sutera geleng kepala dengan menyerin-

gai. “Aku tanya sekali lagi. Kedua gadis itukah yang 

kau sebut-sebut sebagai anak yang diambil dari Istana 

Lima Bidadari?!”

“Kalau aku tak mau jawab, kau mau apa?!”

Melasa ditantang begitu rupa, dada Datuk Kala Su-

tera laksana dibakar. Tapi laki-laki ini masih coba me-

nindih hawa kemarahan. Lalu berkata.

“Enam belas tahun silam aku sengaja menghindar 

agar tidak terjadi silang masalah denganmu! Tapi se-

karang...”

“Sekarang mengapa?!” sahut Bidadari Tujuh Langit.

“Aku tak segan membunuhmu jika kau tidak mau 

jawab pertanyaanku tadi!”

Bidadari Tujuh Langit lagi-lagi tertawa. “Dari tadi 

aku sudah tidak mau jawab pertanyaanmu. Mengapa 

kau masih diam saja?!”

Belum habis ucapan Bidadari Tujuh Langit. Datuk 

Kala Sutera sudah berkelebat dan tegak hanya bebera-

pa langkah di hadapan sang Bidadari.

“Terakhir kali aku bicara. Jawab....”

Ucapan Datuk Kala Sutera terputus. Karena bersa-

maan dengan itu mendadak Bidadari Tujuh Langit su-

dah menyergap ke depan. Kedua tangan dikelebatkan 

menghantam!


Bukk! Bukk!

Kedua tandan Bidadari Tujuh Langit bentrok de-

ngan kedua tangan Datuk Kala Sutera yang diangkat 

menghadang pukulan yang datang. Kedua orang ini 

sama tersentak mundur. Wajah masing-masing beru-

bah.

Bidadari Tujuh Langit memandang sesaat pada so-

sok Datuk Kala Sutera. Dari bentroknya tangan, tam-

paknya sang Bidadari maklum jika lawan memiliki te-

naga dalam cukup kuat. Hingga begitu tersentak mun-

dur, dia cepat lipat gandakan tenaga dalam pada ke-

dua kaki. Saat lain kembali dia berkelebat ke depan.

Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sendiri tampaknya 

tidak mau bertindak ayal. Begitu tahu apa yang dila-

kukan orang, dia tidak menunggu. Dia segera pula 

berkelebat menyongsong sosok Bidadari Tujuh Langit.

Di atas udara. Bidadari Tujuh Langit putar tubuh-

nya ke kiri. Lalu sekonyong-konyong kaki kirinya 

membuat gerakan menendang!

Wuutt!

Terdengar deruan angker. Sekilas tampak sinar me-

rah berkiblat.

Datuk Kala Sutera tekuk kaki kanannya. Saat lain 

kaki kanannya dihantamkan ke samping kanan meng-

hadang tendangan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.

Wuutt!

Dari kelebatan kaki kanan Datuk Kala Sutera ter-

dengar deruan yang tak kalah angkernya. Dan saat 

yang sama terlihat kilatan sinar hijau.

Bukkkk!

Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Su-

tera sama perdengarkan seruan tegang. Kaki kiri sang 

Bidadari terpental balik ke udara. Sosoknya Ikut terpu-

tar. Lalu tersapu mencelat ke belakang. Perempuan ini


memang tak sampai jatuh. Namun sempat terhuyung-

huyung di atas tanah beberapa saat dengan ke-dua lu-

tut goyah.

Dua tombak di seberang, Datuk Kala Sutera tampak 

melayang turun dengan sosok tersentak-sentak. Sesaat 

pemuda berjubah hitam ini sempat oleng ke samping. 

Namun begitu sosoknya membuat gerakan berputar. 

Dia telah kembali tegak.

“Aneh.... Kaki kiriku mencelat! Baru kali ini aku 

mengalaminya!” Bidadari Tujuh Langit mendelik mem-

perhatikan kaki kirinya. Kaki kiri itu memang tidak 

mengalami cedera apa-apa. Namun Bidadari Tujuh 

Langit rasakan kaki itu tegang kaku dan laksana luluh 

lantak!

“Siapa laki-laki itu sebenarnya?!” Bidadari Tujuh 

Langit sentakkan kepala lurus pandangi sosok Datuk

Kala Sutera. Saat yang sama, Datuk Kala Sutera yang 

diam-diam juga merasa heran tengah menatap tajam 

pada Bidadari Tujuh Langit.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laksana didorong 

kekuatan dahsyat, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera sama surutkan langkah dengan mulut per-

dengarkan seruan tertahan kala masing-masing mata 

keduanya melihat ibu jari kaki lainnya mengenakan 

cincin!

“Aku ingat betul! Cincin yang kukenakan adalah 

cincin dari Dewi Keabadian. Cuma aku tak habis pikir. 

Bagaimana aku lupa mengapa hanya satu cincin yang 

kudapatkan?! Dan aku tahu persis, cincin yang dike-

nakan pemuda itu adalah pasangan dari cincin yang 

kupakai! Bagaimana bisa begini?!” Sang Bidadari mem-

batin.

Di lain pihak, Datuk Kala Sutera juga berkata da-

lam hati. “Perempuan itu mengenakan cincin di ibu jari


kaki kiri. Jelas itu adalah cincin dari Sepasang Cincin 

Keabadian! Bagaimana dia bisa mendapatkannya?! 

Aku lupa sama sekali. Bagaimana saat itu aku hanya 

mendapatkan satu cincin?!” Datuk Kala Sutera meng-

geleng. Lalu tengadah coba mengingat. Tapi sekuat te-

naga dia mencoba, tetap saja tak bisa.

“Hem... Aku harus bisa merebut cincin itu dari tan-

gannya!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan 

setelah agak lama berpikir namun tak juga ingat apa 

yang telah dilakukannya saat mendapatkan cincin 

yang kini berada di ibu jari kaki kirinya.

Sementara itu begitu tak bisa mengingat, Datuk Ka-

la Sutera segera arahkan pandangan pada Bidadari 

Tujuh Langit dan bergumam sendiri.

“Cincin yang dikenakan adalah pasangan dari cin-

cin yang kupakai! Sekarang tak penting bagaimana dia 

bisa mendapatkan cincin itu! Yang pasti, dia harus 

menyerahkan padaku!”

Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangan. Lalu berteriak.

“Aku akan melupakan urusan pertanyaan yang be-

lum kau jawab! Tapi sebagai gantinya, kau harus se-

rahkan cincin di ibu jari kaki kirimu!”

Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker. 

Sambil menyeringai dia menyahut.

“Sebelum kuturuti permintaanmu, serahkan dahulu 

cincin hijau di ibu jari kaki kananmu!”

“Aku meminta baik-baik!” kata Datuk Kala Sutera 

sambil angkat kedua tangan.

“Kau kira aku takut?!” sahut Bidadari Tujuh Langit 

dengan ikut angkat kedua tangan. Lalu sepasang ma-

tanya dipentang.

Datuk Kala Sutera melangkah maju. Bidadari Tujuh 

Langit tidak tinggal diam. Dia ikut gerakkan kaki melangkah ke depan. Mata masing-masing saling perang 

pandang. Saat lain hampir bersamaan kedua orang ini 

sama gerakkan tangan masing-masing.

Namun baru setengah jalan, tiba-tiba satu sosok 

tubuh berkelebat. Dua rangkum gelombang berkiblat 

ke arah Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit.

Datangnya gelombang serangan yang tiba-tiba bu-

kannya membuat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tu-

juh Langit hilang kewaspadaan. Mereka tak mau ber-

laku ayal. Kesempatan kecil tidak mustahil akan di-

manfaatkan lawan. Hingga tanpa berpaling ke arah da-

tangnya gelombang, kedua orang ini hanya putar gera-

kan tangan masing-masing lalu dihantamkan meng-

hadang gelombang yang datang. Sementara tangan sa-

tunya tetap berada di atas udara berjaga-jaga.

Bummm! Bummm!

Dua ledakan keras terdengar ketika gelombang yang 

tiba-tiba berkiblat terhadang gelombang yang melesat 

dari tangan kanan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tu-

juh Langit.

Suara ledakan belum lenyap, terdengar orang ber-

suara.

“Enam belas tahun buka waktu yang panjang! Tapi 

terlalu lama bagi sebuah urusan darah! Datuk Kala 

Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu 

lagi!”

Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling 

pandang beberapa saat. Lalu serentak mereka berpal-

ing.

Memandang ke depan, sang Datuk dan sang Bida-

dari melihat seorang laki-laki berusia agak lanjut ber-

tampang angker. Parasnya bulat ditingkah kumis lebat 

dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata sebe-

lah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah kulit berbentuk bundar berwarna hitam yang diikatkan ke be-

lakang kepalanya. Pada pipi kirinya melintang codet 

besar dan panjang sampai telinga. Rambutnya dibiar-

kan bergerai panjang menutupi sebagian paras wajah 

dan pundaknya. Laki-laki ini mengenakan pakaian hi-

tam-hitam yang dilapis dengan jubah panjang warna 

hitam sebatas lutut.

“Enam belas tahun berlalu! Tapi pasti kalian tak lu-

pa padaku!” berkata laki-laki bermata satu sambil me-

mandang silih berganti pada Datuk Kala Sutera dan 

Bidadari Tujuh Langit.

Namun mata satu-satunya laki-laki berjubah hitam 

ini terhenti dan terpentang besar kala melihat pakaian 

bawah Bidadari Tujuh Langit yang robek dan sedikit 

menyingkap hingga sembulan kedua pahanya yang pu-

tih dan padat terlihat jelas!

***

SEMBILAN



SETAN Enam Lembah!” hampir bersamaan Datuk 

Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit bergumam.

“Syukur mata kalian belum buta untuk mengenali-

ku! Ha... Ha... Ha...!” Laki-laki bermata satu berucap 

tanpa alihkan pandangannya dari paha Bidadari Tujuh 

Langit. Malah dia usap-usap dagunya dengan lidah di-

keluarkan sedikit menyaput bibirnya.

Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sama 

unjuk tampang terkejut. Bukan karena ucapan laki-la-

ki yang baru disebutnya sebagai Setan Enam Lembah, 

melainkan merasa heran dapat bersama-sama menge-

nali siapa adanya si laki-laki!

“Kemunculan manusia mata satu ini pasti ada hubungannya dengan peristiwa lama! Anehnya, apa kai-

tannya dengan perempuan baju putih yang dipanggil-

nya Bidadari Tujuh Langit ini?!” Datuk Kala Sutera 

membatin.

Baru saja sang Datuk membatin begitu, Bidadari 

Tujuh Langit sudah buka suara.

“Setan Enam Lembah! Puluhan tahun silam nyawa-

mu masih kusisakan! Sebelum sisanya kuambil seka-

lian, masih ada waktu bagimu untuk enyah dari tem-

pat ini!”

Setan Enam Lembah tertawa panjang. “Tadi sudah 

kukatakan. Enam belas tahun bukan waktu yang pan-

jang. Tapi terlalu lama untuk sebuah urusan darah! 

Kau tahu. Aku sudah tak tahan untuk menunggu lagi! 

Enam belas tahun lalu nyawamu memang masih utuh. 

Tapi akan berakhir hari ini!”

“Hem... Ternyata Setan itu punya urusan pula de-

ngan perempuan itu!” Datuk Kala Sutera terus memba-

tin. “Anehnya, mengapa urusan itu terjadi enam belas 

tahun lalu? Sama dengan terjadinya urusanku dengan 

setan mata satu itu?!”

“Setan Enam Lembah!” Kembali Bidadari Tujuh La-

ngit buka mulut. “Kau datang mengantar sisa nyawa! 

Aku tak segan untuk mengambilnya!” Bidadari Tujuh 

Langit berkelebat ke depan. Sekali kedua tangannya 

bergerak, dua sinar merah berkiblat!

Setan Enam Lembah tahu gelagat. Dia bukannya 

menghadang pukulan yang datang dengan sentakkan 

kedua tangan, namun berkelebat menghindar. Lalu 

memutar arah dan tahu-tahu sudah tegak dua lang-

kah di samping Bidadari Tujuh Langit!

Gerakan cepat Setan Enam Lembah sempat mem-

buat Bidadari Tujuh Langit terkesiap kaget. Namun be-

lum sampai lenyap rasa kagetnya, kaki kanan orang


sudah menderu di depan wajahnya!

Bidadari Tujuh Langit pukulkan tangan kanan kiri. 

Tapi sebelum kedua tangannya menghantam kaki ka-

nan orang, Setan Enam Lembah sudah tendangkan 

kaki kiri ke arah pinggul sang Bidadari.

Bukkk!

Sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping. 

Kedua tangan perempuan ini memang masih terus 

menghantam, namun karena sosoknya terlempar, han-

taman kedua tangannya melabrak udara kosong.

Setan Enam Lembah tidak mau memberi kesempa-

tan. Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke 

samping, dia susuli dengan sentakkan kedua tangan 

lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!

Wuutt! Wuuuutt!

Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Sambil me-

lesat setengah tombak ke udara, kedua tangan dan 

kakinya disentakkan sekaligus!

Tempat Itu laksana ditelan sinar merah ketika dari 

kedua tangan dan kaki Bidadari Tujuh Langit melesat 

sinar merah yang berkiblat susul menyusul.

Baru saja Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan, 

mendadak Datuk Kala Sutera melompat ke depan. 

Tanpa diduga sama sekali, pemuda berjubah hitam 

panjang ini sentakkan kedua tangan ke arah Bidadari 

Tujuh Langit!

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angin yang disemburati warna hijau 

menggebrak ganas.

Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua tan-

gannya yang baru saja lepas pukulan menghadang pu-

kulan Setan Enam Lembah memang masih bergerak 

terangkat. Namun belum sampai dihantamkan, puku-

lan Datuk Kala Sutera sudah menerjang!


Blaarr! Blarrr!

Di depan, terdengar ledakan hebat ketika pukulan 

Setan Enam Lembah bentrok dengan pukulan yang di-

lepas Bidadari Tujuh Langit. Kawasan hutan bambu 

itu berguncang keras. Tanahnya semburat bertabur ke 

udara.

Sosok Setan Enam Lembah tersapu dan jatuh ter-

jengkang di atas tanah dengan mulut langsung sem-

burkan darah. Jubah yang dikenakan robek hingga se-

batas pinggang. Rambutnya yang panjang terpangkas 

dan tebarkan hawa seperti rambut terbakar. Kulit se-

kujur tubuhnya mengelupas hingga sekujur tubuh la-

ki- laki ini berubah menjadi merah keputih-putihan!

Di lain pihak, saat pukulan yang dilepas bentrok 

dengan pukulan Setan Enam Lembah, sosok Bidadari 

Tujuh Langit tersentak ke belakang. Dan belum sem-

pat dia kuasai diri, mendadak pukulan yang dilepas 

Datuk Kala Sutera menyongsong! Hingga tanpa ampun 

lagi sosok perempuan bertubuh bahenol Ini mental de-

ras malah sempat terbanting di udara beberapa kali 

sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan 

mulut perdengarkan seruan tertahan dan kucurkan 

darah!

“Jahanam licik!” maki Bidadari Tujuh Langit seraya 

cepat salurkan hawa sakti untuk meredam rasa nyeri 

pada dada dan kedua lengannya yang terasa seakan 

tanggal. Saat lain dia terbungkuk-bungkuk bangkit.

Datuk Kala Sutera tersenyum. Lalu melompat ke 

arah Bidadari Tujuh Langit. Namun gerakannya terta-

han ketika tiba-tiba Setan Enam Lembah gelundung-

kan diri dan sekonyong-konyong mentalkan tubuhnya 

ke udara menghadang gerakan Datuk Kala Sutera 

dengan sentakkan kakinya!

Datuk Kala Sutera tak mau gegabah. Dia tahu gerakan cepat orang. Hingga begitu kaki Setan Enam Lem-

bah bergerak, dia cepat papasi dengan tendangan. Se-

mentara kedua tangannya terangkat di udara.

Perhitungan Datuk Kala Sutera tidak meleset. Se-

bab begitu kakinya bergerak menendang, Setan Enam 

Lembah dorongkan kedua tangannya!

Wuutt! Wuutt!

Gelombang angin dahsyat menderu angker lurus ke 

arah kepala sang Datuk.

Datuk Kala Sutera cepat rundukkan kepala. Kedua 

tangannya digerakkan. Saat itulah mendadak dua si-

nar merah menyala berkiblat!

Datuk Kala Sutera tercekat. Dalam keadaan seperti 

itu dia diharuskan memilih. Menghadang pukulan Se-

tan Enam Lembah atau menghadang sinar merah yang 

ternyata dilepas oleh Bidadari Tujuh Langit.

Karena sadar kematian Bidadari Tujuh Langit lebih 

berharga daripada kematian Setan Enam Lembah, ak-

hirnya Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya 

menghadang kiblatan sinar merah pukulan Bidadari 

Tujuh Langit.

Desss! Bummm!

Sinar merah dan hijau tampak semburat ke udara. 

Datuk Kala Sutera terhempas beberapa tombak ke 

udara, lalu melayang jatuh dengan sosok terputar se-

belum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah.

Untuk beberapa saat sosok Datuk Kala Sutera ter-

diam. Namun saat lain pemuda ini telah bergerak 

bangkit. Hanya saja, begitu kepalanya terangkat, mu-

lutnya tampak mengembung. Lalu semburkan darah!

Hampir bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Da-

tuk, sosok Setan Enam Lembah juga meluncur deras 

sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah. Laki-laki 

ini sebenarnya tidak terkena pukulan apa-apa. Bahkan


pukulan yang dilepas mampu membuat sosok Datuk 

Kala Sutera terlempar ke udara. Namun bias bentrok-

nya pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera tidak mampu ditahan karena dirinya telah ter-

luka dalam. Hingga begitu terdengar ledakan, sosoknya 

terpental lalu melayang deras ke bawah menghantam 

tanah!

Jika Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit 

masih mampu bergerak bangkit, tidak demikian halnya 

dengan Setan Enam Lembah. Laki-laki ini tetap berada 

di atas tanah tanpa mampu bergerak bangkit. Namun 

diam-diam dia kerahkan tenaga dalam yang bisa dila-

kukan. Dan melirik ke arah Bidadari Tujuh Langit dan 

Datuk Kala Sutera.

Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sen-

diri langsung saling pandang. Saat lain keduanya sama 

angkat tangan masing-masing. Namun hingga agak la-

ma, kedua orang ini belum juga ada yang membuat ge-

rakan. Malah sesekali mata mereka melirik ke arah Se-

tan Enam Lembah. Jelas mereka bimbang. Di satu sisi 

jika mereka saling pukul, tidak tertutup kemungkinan 

Setan Enam Lembah menggunakan kesempatan itu 

untuk lepas pukulan. Sementara kalau mereka lepas 

pukulan langsung ke arah Setan Enam Lembah ti-dak 

mustahil salah satunya akan mencuri kesempatan itu 

untuk menghantam.

“Urusan ini akan tertunda kalau tidak segera disele-

saikan!” Akhirnya Datuk Kala Sutera bergumam. “Se-

tan itu harus kuhabisi dahulu! Jika tidak, dia bisa 

menghalangi langkahku!”

Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera lipat 

gandakan tenaga dalam pada tangan kiri. Saat lain dia 

melompat ke samping. Tangan kanan dihantamkan ke 

arah Setan Enam Lembah. Sementara tangan kiri terus


berada di atas udara berjaga-jaga kalau Bidadari Tujuh 

Langit lepaskan pukulan.

Namun ternyata Bidadari Tujuh Langit tidak me-

manfaatkan kesempatan menghantamnya sang Datuk 

untuk lepas pukulan ke arah pemuda berjubah hitam 

itu. Sebaliknya justru perempuan ini ikut berkelebat 

dan lepas pukulan ke arah Setan Enam Lembah!

Apa yang dilakukan Datuk Kala Sutera dan Bidada-

ri Tujuh Langit membuat Setan Enam Lembah tercen-

gang. Laki-laki bermata satu ini tadi sempat terkejut 

dan hampir saja tak percaya ketika melihat Datuk Kala 

Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pukul. Tapi 

hal itu mau tak mau membuatnya lega meski dia tak 

tahu mengapa kedua orang yang dikenalnya sebagai 

suami-istri itu saling pukul.

Namun rasa lega itu mendadak sirna ketika tahu-

tahu keduanya kini lepas pukulan bersamaan ke arah-

nya.

Dalam keterkejutannya, Setan Enam Lembah masih 

mampu berpikir cepat. Dia tidak mungkin mampu 

menghadang pukulan dua orang sekaligus. Apalagi dia 

sudah tidak bisa bergerak bangkit.

Maka Setan Enam Lembah cepat sentakkan tubuh 

bergulingan menghindari pukulan yang dilepas Datuk 

Kala Sutera yang hanya sentakkan tangan kanannya.

Wusss!

Gelombang pukulan Datuk Kala Sutera menderu 

hanya beberapa jengkal di samping Setan Enam Lem-

bah yang memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki 

ilmu peringan tubuh tingkat tinggi hingga gerakannya 

sangat cepat.

Begitu lolos dari serapan Datuk Kala Sutera, Setan

Enam Lembah sentakkan kedua tangan menghadang 

pukulan Bidadari Tujuh Langit.


Dua jengkal lagi dua pukulan itu bentrok di udara, 

mendadak dari arah samping, terdengar suara deruan 

dahsyat. Lalu dua rangkum angin luar biasa berkiblat 

memangkas pukulan Bidadari Tujuh Langit!

Bummm!

Pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit terta-

han sesaat di udara. Lalu semburat. Hebatnya sembu-

ratan itu masih terus menderu! Saat itulah gelombang 

yang dilepas Setan Enam Lembah melabrak!

Setan Enam Lembah terguling hingga dua tombak. 

Sementara Bidadari Tujuh Langit tersurut dua lang-

kah.

“Siapa berani ikut campur?!” Bidadari Tujuh Langit 

berteriak seraya berpaling.

Saat bersamaan satu sosok bayangan berkelebat. 

Semua kepala yang ada di tempat itu bergerak mengi-

kuti berkelebatnya sosok bayangan yang saat lain telah 

tegak dua langkah di samping Setan Enam Lembah.

***

SEPULUH



DIA ternyata adalah seorang gadis berparas jelita. 

Rambutnya yang hitam lebat disanggul ke atas. Sepa-

sang matanya bundar dipadu dengan bulu mata lentik. 

Hidung mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. 

Kulitnya putih bersih dibalut dengan pakaian warna 

biru.

“Eyang....” Gadis jelita berbaju biru perdengarkan 

suara dan langsung jatuhkan diri di hadapan Setan 

Enam Lembah. Bahunya tampak berguncang keras. 

Saat lain terdengar isakan tangisnya.

Perlahan Setan Enam Lembah buka sepasang mata


nya. Melihat siapa yang ada di hadapannya laki-laki 

bermata satu ini coba sunggingkan senyum meski dari 

sudut bibirnya terus kucurkan darah.

“Aku senang melihatmu di tempat ini...,” kata Setan 

Enam Lembah. Suaranya tersendat dan hampir tidak 

terdengar. “Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu?!”

“Jangan banyak bicara dulu, Eyang! Aku akan ber-

usaha menolongmu! Kita tinggalkan tempat ini!” Gadis 

berbaju biru buka suara. Lalu bergerak bangkit.

“Jangan berlaku tolol! Pertolongan apa pun tidak 

akan membuatku hidup! Dan saat ini adalah hari ke-

sempatanmu!”

“Eyang.... Lupakan semua itu! Kau lebih berharga 

dari segalanya!” Gadis berbaju biru teruskan gerakan-

nya. Namun tangan Setan Enam Lembah segera me-

narik ujung pakaian yang dikenakan gadis di hadapan-

nya, hingga gerakan bangkit si gadis tertahan.

“Ini kesempatan terakhir kali bicara denganmu! Kau 

lihat laki-laki berjubah hitam itu! Kau harus membu-

nuhnya! Setelah itu...” Ucapan Setan Enam Lembah 

terputus. Kepalanya yang tadi tengadah karena mengi-

kuti gerakan bangkit si gadis perlahan-lahan lunglai. 

Tangan kanannya yang memegang ujung baju si gadis 

terlepas.

“Eyang....” Gadis baju biru menjerit. Lalu menubruk 

sosok Setan Enam Lembah yang sudah tidak bernyawa 

lagi.

Untuk beberapa saat tempat itu hanya dipecah oleh 

tangisan gadis baju biru. Namun tiba-tiba si gadis pu-

tuskan suara tangisnya. Dan laksana kesetanan, gadis 

ini bergerak bangkit dan balikkan tubuh menghadap 

Datuk Kala Sutera!

Bersamaan dengan membaliknya sosok si gadis, 

Pendekar 131 yang sedari tadi hanya bisa diam surutkan langkah kaget. Di seberang depan, Nenek Selir 

juga tak kalah kagetnya. Malah kalau saja nenek ini ti-

dak cepat sadar, mungkin dia sudah buka mulut ber-

teriak.

Yang tampak kaget tapi sunggingkan senyum ada-

lah Bidadari Tujuh Langit. Malah perempuan ini segera 

melangkah maju hendak mendekat.

“Harap berhenti!” Gadis berbaju biru segera mem-

bentak tanpa berpaling ke arah Bidadari Tujuh Langit. 

Lalu melompat dan tegak beberapa langkah di hada-

pan Datuk Kala Sutera.

“Bidadari Delapan Samudera!” Pendekar 131 bergu-

mam tahu siapa adanya gadis baju biru. “Dari sikap-

nya jangan-jangan Datuk Kala Sutera yang selama ini 

dicari! Aku jadi makin bingung dengan urusan orang-

orang di tempat ini! Sepertinya semua masih ada kai-

tannya. Tapi....”

Joko tidak lanjutkan gumaman. Karena saat itu Ne-

nek Selir sudah buka mulut.

“Hai! Kau lupa padaku...?!’

Gadis baju biru yang bukan lain memang Bidadari 

Delapan Samudera adanya melirik ke arah Nenek Selir. 

Sesaat bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya mengang-

guk. Tapi saat lain kembali pandang matanya meng-

arah pada Datuk Kala Sutera.

“Hai!” Joko ikut-ikutan berteriak seraya lambaikan 

tangan. “Kau ingat padaku?” Joko sorongkan wajah ke 

depan.

Bidadari Delapan Samudera tampak terkejut begitu 

menoleh dan melihat siapa orang yang lambaikan tan-

gan. Dadanya jadi berdebar apalagi dia baru saja me-

lihat adanya Nenek Selir di tempat itu.

“Pemuda itu berada di tempat ini. Demikian juga 

nenek berselempang kain hitam. Apa mereka....”


“Kau lupa padaku?!” Joko ulangi pertanyaan. Lalu 

melangkah mendekati.

Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera sudah 

akan buka mulut mencegah. Namun walau mulutnya 

sudah terbuka menganga, tapi tidak ada suara yang 

terdengar.

Baru ketika Joko hampir mendekat, suara Bidadari 

Delapan Samudera terdengar.

“Aku tahu siapa kau! Tapi harap tidak lanjutkan 

langkah!”

Murid Pendeta Sinting berhenti. Pandangi sosok Bi-

dadari Delapan Samudera sesaat lalu berucap.

“Bidadari.... Kita perlu bicara!”

Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Tidak 

ada yang perlu kita bicarakan! Harap melangkah mun-

dur!”

“Hem.... Terlalu bahaya kalau gadis ini harus ber-

hadapan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi bagaimana 

aku harus menghalangi niatnya?! Siapa pun adanya 

laki-laki mata satu itu, pasti dia adalah orang yang se-

lama ini dekat dengannya! Dan kematiannya akan 

membuat dia bertindak nekat!” Pendekar 131 berkata 

dalam hati. Lalu berkata.

“Bidadari.... Kau mungkin lupa. Ada....”

“Aku mau bicara dengan pemuda berjubah hitam 

ini! Harap tidak buka suara!” Bidadari Delapan Samu-

dera menukas ucapan Joko. Lalu teruskan ucapan se-

raya memandang lekat-lekat pada Datuk Kala Su-tera.

“Kau telah membunuh eyang guruku! Tapi itu bu-

kan hal penting bagiku!” Bidadari Delapan Samudera 

geleng kepala walau sebenarnya dia harus kuatkan diri 

untuk mengatakan hal itu. “Asal kau jawab dengan ju-

jur pertanyaanku!”

Datuk Kala Sutera balas memandang dengan tersenyum. Namun dia segera alihkan pandang matanya 

pada Bidadari Tujuh Langit. “Kalau aku meladeni gadis 

ini, urusan cincin itu bisa tertunda lagi! Yang akan di-

bicarakan pasti mampusnya manusia mata satu itu!”

Berpikir begitu, tanpa buka mulut sambuti ucapan 

Bidadari Delapan Samudera, Datuk Kala Sutera segera 

melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Tapi gera-

kannya tertahan ketika Bidadari Delapan Samudera 

ikut melompat memotong gerakan sang Datuk.

“Aku tak punya waktu untuk jawab pertanyaanmu! 

Menyingkirlah dari hadapanku atau kau akan menyu-

sui gurumu!”

“Jelitaku....” Bidadari Tujuh Langit menyahut. “Beri 

jalan padanya. Apa pun pertanyaanmu, nanti aku 

akan menjawabnya!”

“Aku tak perlu bertanya padamu! Jangan berani bi-

cara atau bergerak dari tempatmu!” bentak Bidadari 

Delapan Samudera.

Selagi Bidadari Delapan Samudera bicara, Datuk 

Kala Sutera gerakkan tangan kanan.

Tanah di sekitar tempat tegaknya Bidadari Delapan 

Samudera muncrat semburat. Hingga untuk beberapa 

saat pandangan gadis jelita ini terhalang. Ketika sem-

buratan tanah luruh, Datu Kala Sutera sudah tidak 

terlihat lagi di hadapan si gadis.

Bidadari Delapan Samudera berpaling ke arah mana 

Bidadari Tujuh Langit berada. Ternyata sang Datuk 

sudah tegak di hadapan perempuan bertubuh bahenol 

ini dengan tangan terangkat ke udara. Di hadapannya, 

Bidadari Tujuh Langit juga angkat kedua tangannya 

dengan mata terpentang besar.

Bidadari Delapan Samudera hendak melompat. Tapi 

belum sampai bergerak, Datuk Kala Sutera sudah me-

lompat ke arah Bidadari Tujuh Langit dengan tubuh


dilorotkan ke bawah. Tangan kiri kanannya menyam-

bar ke arah kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.

Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Kedua ka-

kinya disentakkan ke belakang. Lalu sorongkan tubuh 

bagian atasnya ke bawah. Tangan kiri kanan berkele-

bat menghadang gerakan kedua tangan Datuk Kala 

Sutera.

Bukkk! Bukkk!

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama 

terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah.

Melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting ce-

pat berkelebat ke arah Bidadari Delapan Samudera. 

Dengan pegang lengan si gadis, Joko berbisik.

“Memang tidak ada yang perlu kita bicarakan. Tapi 

lebih baik kita pergi dari tempat ini!”

Ketika merasa lengannya dipegang orang, hampir 

saja Bidadari Delapan Samudera kelebatkan tangan. 

Namun begitu mendengar suara orang, dia tahan gera-

kannya. Entah mengapa dada gadis ini berdegup ken-

cang. Hingga dia bukannya simak ucapan yang terde-

ngar, melainkan coba kuasai diri.

Melihat si gadis hanya diam saja, Joko cepat tarik 

tangannya mengajak Bidadari Delapan Samudera men-

jauh.

“Jangan berani teruskan tindakan! Harap lepaskan 

tanganmu!” Bidadari Delapan Samudera buka mulut 

setengah membentak begitu sosoknya terseret.

“Bidadari.... Aku tahu bagaimana perasaanmu saat 

ini. Tapi terlalu bahaya jika turuti kemarahan!”

Bidadari Delapan Samudera berpaling dan menatap 

sesaat pada sepasang bola mata murid Pendeta Sin-

ting, “terima kasih.... Tapi aku telah tentukan apa yang 

harus kulakukan! Harap lepaskan tanganmu dan men-

jauh dari tempat ini!”


Joko mempererat cekalan tangannya pada lengan 

Bidadari Delapan Samudera. “Harap jangan berlaku 

bodoh! Kau sama saja dengan bunuh diri! Kau tahu 

siapa yang akan kau hadapi?!”

“Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan ba-

giku! Bahkan aku memilih mati daripada hidup dengan 

rahasia yang terselubung!”

“Bidadari... Aku tahu seseorang yang mungkin da-

pat ungkap rahasia hidupmu!”

Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Hanya 

laki-laki berjubah hitam itu yang tahu! Aku tak ingin 

dia mampus sebelum buka mulut jawab pertanya-

anku!”

Bidadari Delapan Samudera tepiskan cekalan tan-

gan pendekar 131. “Aku tak segan membunuhmu jika 

kau halangi tindakanku!”

Joko lepaskan cekalan tangannya. Namun secepat 

kilat kedua tangannya bergerak kembali sarangkan to-

tokan!

Bidadari Delapan Samudera berseru tertahan ketika 

mendapati apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting.

“Apa yang kau lakukan?! Apa maksudmu dengan 

semua ini?! Kau telah membuat satu kesalahan besar! 

Aku akan membunuhmu!” Bidadari Delapan Samudera 

berteriak setengah menjerit. Tapi hanya itu yang bisa 

dilakukan, karena bersamaan itu sosoknya melorot ja-

tuh.

Pendekar 131 cepat menyambar sosok Bidadari De-

lapan Samudera. Saat lain berkelebat ke arah Nenek 

Selir.

“Nek! Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada 

gadis ini! Sekarang aku harus pergi dulu!”

Joko letakkan tubuh Bidadari Delapan Samudera di 

hadapan si nenek yang masih tegak dengan kedua


tangan memegang pedang.

Yang diajak bicara bukannya cepat menyahut, me-

lainkan memandang tajam pada Joko.

“Kau tak akan pergi dari sini, Setan Seberang! Do-

samu padaku sudah tidak bisa diucapkan kata-kata!”

Berubahlah paras Pendekar 131. “Astaga! Tadi dia 

bercanda denganku! Mengapa sekarang tiba-tiba beru-

bah?!”

“Nek...!”

“Jangan buka mulut!” hardik si nenek. “Kau tetap di 

sini atau pedangku akan memutus batang lehermu se-

karang juga!”

“Nek....” Kali ini Bidadari Delapan Samudera yang 

angkat suara dengan mata mendelik ke arah Joko yang 

tegak di sampingnya. “Harap tak keberatan mele-

paskan aku dari totokan ini!”

Nenek Selir alihkan pandang matanya pada Bidada-

ri Delapan Samudera yang tergeletak di atas tanah. 

Mendadak nenek ini perdengarkan tawa cekikikan. 

“Pemuda itu yang menotokmu. Mengapa minta aku 

yang harus membebaskan?!”

“Nek! Harap tidak terus bercanda! Memang dia yang 

lakukan pekerjaan keparat ini! Tapi kurasa kau bisa 

membantuku!”

“Kalau aku turuti permintaanmu, berarti aku mem-

buat satu urusan! Padahal urusanku dengan dia be-

lum selesai! Tunggulah sampai aku tuntaskan persoa-

lan! Setelah itu kita lihat nanti!”

Bidadari Delapan Samudera bergumam tak jelas. 

Lalu berkata pada Joko dengan suara meradang.

“Pemuda asing! Kalau kau ingin sesuatu, mengapa 

berlaku pengecut seperti ini?! Lepaskan totokanku!”

Joko tidak pedulikan radangan Bidadari Delapan 

Samudera. Sebaliknya dia memutar tubuh.


“Kau akan tetap di sini!” Nenek Selir sudah buka 

suara sebelum Joko teruskan gerakan.

Ketika murid Pendeta Sinting melirik, matanya 

membelalak dan kuduknya jadi dingin. Nenek Selir te-

lah angkat kedua tangannya yang memegang gagang.

“Nek.... Baiklah! Kalau apa yang kulakukan tempo 

hari kau anggap satu dosa, aku menerima! Tapi ku-

mohon kau memberiku kesempatan....”

“Kesempatanmu sudah habis!”

“Tapi....”

“Kau pergi dengan leher putus atau tetap di sini 

hingga aku memutuskan!”

Selagi Pendekar 131 dan Nenek Selir bicara, diam-

diam Bidadari Delapan Samudera coba kerahkan tena-

ga dalam untuk lepaskan diri dari totokan. Namun 

hingga tubuhnya bergetar dan berkeringat, dia tidak 

mampu membebaskan diri.

“Lebih baik kalian membunuhku!” Bidadari Delapan 

Samudera berteriak.

“Itu urusan mudah!” sahut Nenek Selir.

“Mengapa tidak kau lakukan?! Apa sebenarnya yang 

kalian inginkan?!”

“Jangan bertanya padaku! Bukan aku yang mela-

kukannya!”

“Tapi setidaknya kau bisa lakukan sesuatu untuk-

ku! Aku telah menceritakan semuanya padamu! Seha-

rusnya kau mengerti!”

Nenek Selir anggukkan kepala. “Kau memang telah 

cerita banyak padaku. Tapi satu cerita bukanlah me-

rupakan jaminan aku harus lakukan sesuatu pada-

mu!”

“Ah... Ternyata aku salah sangka pada kalian... Se-

lama ini kukira kalian orang-orang yang....”

“Percuma kau mengeluh!” Nenek Selir memotong.


“Diam saja di situ! Lihat apa yang terjadi!”

Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan matanya 

ke depan. Walau tetap waspada khawatir si nenek me-

lakukan sesuatu yang tak terduga, perlahan-lahan Jo-

ko ikut putar kepala lalu memandang ke depan, di 

tempat mana Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh 

Langit tampak sama bergerak bangkit.

***

SEBELAS



KITA tinggalkan dahulu ketegangan di tempat mana 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada. 

Kita menuju satu tempat tidak jauh dari tempat mana 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada.

Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Bida-

dari Tujuh Langit, Nenek Selir dan Pendekar 131, men-

dadak terdengar gaung aneh yang membuat semua 

orang harus salurkan hawa sakti dan tutup jalan pen-

dengaran. Lalu terlihat gulungan benda hitam menu-

kik dari atas udara. Saat lain suasana berubah gelap 

dan semua orang rasakan matanya perih.

Ketika suasana berubah terang lagi, ternyata Padu-

ka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Bidadari 

Pedang Cinta, dan Dayang Tiga Purnama sudah le-

nyap.

Ketika suasana berubah gelap dan semua orang ra-

sakan matanya perih, mendadak Dayang Tiga Purna-

ma dan Bidadari Pedang Cinta rasakan siuran angin di 

sebelahnya. Kedua gadis ini cepat membuat gerakan. 

Khawatir yang berkelebat ke arahnya adalah Bidadari 

Tujuh Langit atau Datuk Kala Sutera.

Namun belum sempat kedua gadis Ini bergerak ledi hadapan perempuan tambun besar. Sementara 

Dayang Tiga Purnama sudah menjura hormat dua tin-

dak di hadapan si perempuan tambun besar seraya 

ber-ucap lagi.

“Eyang.... Aku harus segera kembali. Aku telah me-

nemukan orang yang selama ini kucari!”

Si perempuan tambun besar geleng kepala. “Dia 

tengah menuju kemari. Kau tak usah kembali!”

Si perempuan tambun besar arahkan matanya pada 

sosok Bidadari Pedang Cinta. Bibirnya tersenyum. Bi-

dadari Pedang Cinta balas anggukkan kepala lalu ber-

kata.

“Putri Pusar Bumi... Sebenarnya aku tengah me-

nuju ke tempatmu...”

“Aku tahu..,” ujar perempuan bertubuh tambun be-

sar yang ternyata bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.

“Eyang... Kau mengenalnya. Siapa dia?!” bertanya 

Dayang Tiga Purnama sambil melirik ke arah Bidadari 

Pedang Cinta.

“Kau ingat kakak kandungku si cebol berambut 

panjang itu?!”

“Iblis Pedang Kasih..,” gumam Dayang Tiga Purna-

ma.

“Hem.... Dia adalah muridnya.”

Dayang Tiga Purnama berpaling pada Bidadari Pe-

dang Cinta yang tidak lain memang murid tunggal Iblis 

Pedang Kasih, kakak kandung Putri Pusar Bumi.

“Nenek tadi mengatakan gadis ini adalah kekasih 

pemuda negeri seberang itu.... Benarkah?!” Dayang Ti-

ga Purnama ingat ucapan Nenek Selir.

Di lain pihak, diam-diam Bidadari Pedang Cinta ju-

ga tengah berkata dalam hati. “Gadis ini punya silang 

sengketa dengan Joko Sableng. Apa yang harus kuka-

takan padanya?! Jangan-jangan dia percaya ucapan


nenek tadi kalau aku adalah kekasih pemuda itu... 

Aku harus menjelaskan padanya!”

“Mengapa kalian diam saja?! Kuharap kalian bisa 

menyelesaikan ganjalan di hati jika hal itu ada di anta-

ra kalian!” berkata Putri Pusar Bumi bisa membaca ge-

lagat.

Hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama sama geleng kepala lalu saling 

lem-par senyum dan anggukkan kepala.

“Eyang... Tidak ada apa-apa di antara aku dengan 

dia! Aku baru saja bertemu dengannya...” Dayang Tiga 

Purnama buka suara.

“Betul! Tidak ada ganjalan apa-apa di antara ka-

mi...” Bidadari Pedang Cinta menimpali.

“Bagus! Hal itulah yang kuharapkan!” kata Putri 

Pusar Bumi sambil berpaling pada satu jurusan. “Kita 

akan membicarakan sesuatu. Apa pun nantinya yang 

akan kalian dengar, kuharap kalian percaya walau se-

benarnya mungkin kalian tidak menduga dan tidak 

percaya....”

Dada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Pur-

nama sama berdebar. Belum sampai ada yang buka 

mulut bertanya, Putri Pusar Bumi sudah berkata lagi.

“Mereka sudah datang....”

Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta 

berpaling ke arah mana mata Putri Pusar Bumi tengah 

memandang.

Dari sebuah tikungan rumpun bambu tampak se-

orang kakek bertubuh pendek melangkah perlahan-

lahan. Kakek ini berambut panjang hingga menjulai 

tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar hingga 

kala melangkah, sosok orang ini seperti doyong ke de-

pan. Pada pinggangnya tampak melilit sebuah pedang 

berkilat.


“Eyang Guru...,” gumam Bidadari Pedang Cinta me-

ngenali siapa adanya laki-laki bertubuh pendek yang 

tengah melangkah. Dia bukan lain memang Eyang 

Guru gadis berbaju hijau ini, yakni Iblis Pedang Kasih.

“Apa yang akan dibicarakan...?! Kedengarannya 

aneh! Aku harus percaya walau sebenarnya aku tidak

menduga dan tidak percaya....”

Selagi Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, 

pandang matanya menumbuk pada dua sosok tubuh 

yang muncul di belakang Iblis Pedang Kasih. Yang se-

belah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut 

mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Di 

sebelahnya adalah satu sosok tubuh yang tidak terli-

hat raut wajahnya karena orang Ini sengaja sembunyi-

kan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya yang 

ditekuk. Orang ini menjajari laki-laki berjubah tanpa 

lengan dengan cara melompat-lompat sambil terus 

sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua ka-

kinya.

“Aku tidak kenal siapa orang tua berjubah tanpa 

lengan. Tapi yang pasti satunya adalah Paduka Seribu 

Masalah!” Dayang Tiga Purnama bergumam yang 

hanya mengenali orang yang sembunyikan wajah di 

bela-kang rangkapan kedua kakinya dan yang bukan 

lain memang Paduka Seribu Masalah adanya.

Hanya beberapa saat, ketiga orang yang muncul da-

ri tikungan sudah berada tidak jauh dari tempat te-

gaknya Bidadari Pedang Cinta.

Putri Pusar Bumi segera melangkah mendekati keti-

ga orang yang baru muncul. Lalu buka suara seraya 

memandang ke arah laki-laki berjubah tanpa lengan.

“Manusia Tanah Merah. Tidak kusangka kalau kita 

akan bertemu lagi! Bagaimana kabarmu?! Ah... Ah..!”

“Terima kasih kau masih ingat padaku..,” berkata


laki-laki berjubah tanpa lengan yang memang Manusia 

Tanah Merah adanya. “Sayang, menginjak usia bau ta-

nah, aku harus mengalami nasib kurang beruntung... 

Tapi aku tidak menyesal. Jika tidak begitu, jangan-

jangan urusanku akan berlanjut di dalam tanah!”

Putri pusar Bumi arahkan pandang matanya pada 

Iblis Pedang Kasih. “Rasanya sudah tiba saatnya kita 

mulai pembicaraan ini!”

Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala sambil melirik 

pada muridnya Bidadari Pedang Cinta, membuat gadis 

ini makin tak enak.

Putri Pusar Bumi menghela napas panjang. Lalu 

berpaling pada Paduka Seribu Masalah yang duduk 

rangkapkan kaki dengan sembunyikan wajah di bela-

kang kedua kakinya. Lalu buka mulut.

“Sahabatku, Paduka Seribu Masalah... Terima ka-

sih kau mau bergabung bersama kami. Kuharap kau 

nanti mau...”

Belum habis ucapan Putri Pusar Bumi, Paduka Se-

ribu Masalah sudah perdengarkan suara.

“Jangan berharap banyak. Aku takut memberi hara-

pan! Tapi aku senang bertemu dengan kalian. Sudah 

lama rasanya kita tidak saling bertemu muka!”

Mungkin sudah mengenal siapa adanya Paduka Se-

ribu Masalah, Putri Pusar Bumi tidak lagi sambuti 

ucapan orang. Sebaliknya segera alihkan pandangan 

silih berganti pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari 

Pedang Cinta. Lalu berkata.

“Dayang Tiga Purnama... Bidadari Pedang Cinta... 

Kalian tadi telah dengar ucapanku. Sekali lagi kuharap 

kalian nanti percaya dengan apa yang kalian de-

ngar...” Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya sesaat. 

Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sa-

ling pandang dengan wajah heran tak mengerti. Namun kedua gadis ini tidak ada yang berusaha buka 

mulut.

“Sebenarnya apa yang akan kukatakan pada kalian 

sudah tersimpan selama enam belas tahun. Kalaupun 

baru kali ini kuutarakan, karena harus menunggu saat 

yang tepat!”

Untuk kedua kalinya Putri Pusar Bumi hentikan 

ucapan, membuat Dayang Tiga Purnama dan Bidadari 

Pedang Cinta makin tak enak hati dan berdebar-debar.

“Sebenarnya kalian berdua adalah saudara kan-

dung....”

Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama 

sama surutkan langkah kaget. Mata mereka saling 

pandang membelalak. Mulut mereka menganga tanpa 

ada yang perdengarkan suara.

“Dayang Tiga Purnama....” Putri Pusar Bumi lan-

jutkan ucapan. “Kalau selama ini aku menyuruhmu 

mencari keterangan pada Paduka Seribu Masalah, ka-

rena selain dia tahu banyak masalah orang, terus te-

rang se-lama ini aku tak berani mengatakannya pada-

mu. Aku ingin kau mendengar dari Paduka Seribu Ma-

salah. Karena aku yakin kau pasti akan percaya... Lain 

halnya kalau aku bilang langsung kepadamu. Tapi ka-

rena keadaannya sudah mendesak, aku harus berani 

terus terang padamu. Lagi pula di sini ada Paduka Se-

ribu Masalah...”

Dayang Tiga Purnama menghela napas panjang. La-

lu buka mulut dengan suara tersendat.

“Lalu siapa orangtua kami?!”

Putri Pusar Bumi bukannya segera menjawab, me-

lainkan berpaling pada Iblis Pedang Kasih.

“Harap tidak sembunyikan sesuatu! Kalau kami me-

mang saudara kandung, harap katakan siapa orangtua 

kami!” Bidadari Pedang Cinta ikut buka suara.


“Paduka Seribu Masalah… Harap kau membantu 

kami mengatakannya!” Iblis Pedang Kasih angkat sua-

ra.

“Ah... Mengapa kalian takut mengatakannya?! Ka-

lau kalian saja merasa takut, apalagi aku...”

“Paduka... Masalahnya bukan takut atau tidak. Tapi 

ucapanmu pasti lebih bisa dipercaya...” Iblis Pedang 

Kasih kembali buka suara.

“Aku tak berani... Aku tak berani!”

“Paduka Seribu Masalah... Aku bukannya ingin 

ikut campur. Tapi hal ini adalah urusan sangat pen-

ting bagi seorang anak manusia! Harap kau tidak takut 

mengatakan yang sebenarnya!” Manusia Tanah Merah 

ikut bicara.

Paduka Seribu Masalah gerakkan pantat ke bela-

kang. Kepalanya seakan-akan digerakkan terangkat. 

Namun saat lain kembali orang ini benamkan wajah 

dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya. 

Terdengar dia menghela napas panjang sebelum akhir-

nya terdengar ucapan.

“Baiklah... Tapi kuharap ini adalah keterangan te-

rakhir yang dapat kuberikan. Aku takut jika menjawab 

pertanyaan lainnya...”

Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sama ang-

gukkan kepala. Sementara Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama terlihat makin tegang.

“Gadis-gadis cantik... Ibu kalian adalah Bidadari 

Tujuh Langit... Ayah kalian adalah Datuk Kala Su-

tera...”

Saking kagetnya, hampir bersamaan Bidadari Pe-

dang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat dan 

tegak di kanan kiri Paduka Seribu Masalah.

“Harap jangan bertanya lagi. Aku tidak berani men-

jawab!” Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan


suara sebelum ada yang buka mulut.

“Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta... Ka-

lian Ingat ucapanku tadi... Kalian harus percaya apa 

yang telah kalian dengar!”

“Tapi itu tidak mungkin! Bidadari Tujuh Langit ada-

lah perempuan yang memiliki kelainan! Bagaimana 

mungkin perempuan seperti dia punya anak?!” Bidada-

ri Pedang Cinta berteriak.

“Kelainan itu terjadi setelah dia melahirkan kalian,” 

kata Putri Pusar Bumi.

“Datuk Kala Sutera selama Ini tidak kenal siapa is-

trinya! Bagaimana mungkin dia juga bisa memiliki 

anak?!” Kali ini yang buka suara adalah Dayang Tiga 

Purnama ingat akan keterangan Pendekar 131.

“Kejanggalan aneh Itu memang masih jadi tanda 

tanya besar hingga sekarang... Mungkin Paduka Seribu 

Masalah bisa memberi penjelasan..,” berkata Iblis Pe-

dang Kasih.

Paduka Seribu Masalah gerakkan kepala pulang ba-

lik perlahan di belakang rangkapan kedua kakinya.

“Kalian tadi sudah dengar. Harap jangan bertanya 

lagi... Aku takut!”

“Aku tidak percaya dengan semua ini!” Bidadari Pe-

dang Cinta berseru dengan tubuh bergetar dan suara 

serak.

“Aku juga tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama 

ikut berteriak.

“Anak-anak cantik... Harap tenangkan diri...” Manu-

sia Tanah Merah coba menenangkan suasana.

“Tidak! Aku tak bisa tenang sebelum bisa membuk-

tikan sendiri!” teriak Bidadari Pedang Cinta.

“Bukti memang diperlukan... Tapi harap kau berla-

ku tenang dan tabahkan hati. Apalagi hal ini tidak 

mudah!” kembali Manusia Tanah Merah angkat bicara.


Bidadari Pedang Cinta memandang lekat-lekat pada 

Dayang Tiga Purnama. Yang dipandang balas meman-

dang.

“Benarkah semua ini?! Benarkah?!” Bidadari Pedang 

Cinta membatin. “Seandainya bukan Bidadari Tujuh 

Langit yang disebutkan namanya...” Bidadari Pedang 

Cinta menghela napas panjang.

“Bidadari... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi 

kau harus sadar. Ini adalah kenyataan yang harus kau

terima! Siapa pun adanya Bidadari Tujuh Langit, kau 

harus menganggap apa adanya!” berkata Iblis Pedang 

Kasih.

“Aku bisa menerima kenyataan macam apa pun, 

Eyang. Tapi dalam hal satu ini, rasanya aku sulit dan 

belum percaya!” ujar Bidadari Pedang Cinta. Lalu aju-

kan tanya pada Dayang Tiga Purnama.

“Kau sendiri bagaimana?!”

Dayang Tiga Purnama terdiam beberapa saat sebe-

lum akhirnya buka mulut.

“Aku tak bisa menjawab sebelum aku mendapat ke-

terangan pasti dari orang yang bersangkutan! Hanya 

saja rasa percaya ini begitu kecil dibanding tidak per-

caya!” Dayang Tiga Purnama tengadahkan kepala. Lalu 

lanjutkan ucapan seperti bicara dengan diri sendiri.

“Seandainya benar, sebagai seorang ibu pasti dia 

akan mencari anak-anaknya! Tapi hal itu tidak dia la-

kukan!”

“Perempuan itu bukan saja tidak berusaha mencari 

anak-anaknya! Tapi sudah berani hendak berbuat gila 

menjijikkan pada anaknya! Tidak pantas perempuan 

seperti dia dipanggil ibu!” Bidadari Pedang Cinta sahuti 

ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Bukan hanya Itu. Laki-laki bernama Datuk Kala 

Sutera Itu juga tidak layak dipanggil ayah! Dia pernah


berusaha hendak bertindak aib padaku!” Dayang Tiga 

Purnama menimpali.

“Anak-anakku...,” kata Putri Pusar Bumi. “Mereka 

melakukannya karena tidak tahu siapa sebenarnya ka-

lian adanya!”

“Eyang... Justru itulah yang membuatku tidak per-

caya. Bagaimana seorang ayah dan seorang ibu tidak 

bisa mengenali anak-anaknya!”

“Eyang...” Bidadari Pedang Cinta berkata seraya

berpaling pada Iblis Pedang Kasih. “Aku harus pergi....”

“Tunggu!” tahan Iblis Pedang Kasih.

Tapi Bidadari Pedang Cinta seolah tidak mendengar 

teriakan orang. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu 

dan berlari sekuat yang dia bisa.

Dayang Tiga Purnama berpaling pada Putri Pusar 

Bumi. Tanpa buka mulut, gadis ini balikkan tubuh la-

lu berkelebat mengejar Bidadari Pedang Cinta.

Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih, Manusia Ta-

nah Merah saling pandang. Tanpa ada yang coba buka 

suara, perlahan-lahan ketiga orang ini melangkah me-

ninggalkan tempat itu mengambil arah mana tadi Bi-

dadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berke-

lebat.

“Hai... Mengapa kalian tidak mengajakku?! Kalian 

takut aku ikut serta?!” Paduka Seribu Masalah perde-

ngarkan teriakan. Saat lain orang ini melompat-lompat 

mengejar dengan kaki ditekuk dan wajah disembunyi-

kan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya!




                     SELESAI



Segera terbit:

KARMA MANUSIA SESAT







































Share:

0 comments:

Posting Komentar