SATU
GADIS cantik berpakaian warna ungu yang ram-
butnya dikelabang dua itu melompat dari sisi rumpun
bambu dan tegak beberapa langkah di hadapan orang
yang duduk rangkapkan kaki serta sembunyikan wa-
jahnya di belakang rangkapan kedua kakinya. Sepa-
sang matanya yang bulat beberapa saat memperha-
tikan orang di hadapannya dan gadis ini seolah acuh
dengan pandangan beberapa mata yang saat Itu ten-
gah terpusat padanya.
“Paduka Seribu Masalah! Aku telah lama mencari-
mu. Harap tidak tinggalkan tempat ini. Aku butuh be-
berapa keterangan!” Berkata gadis berbaju ungu.
Orang yang duduk rangkapkan kaki dan bukan lain
memang Paduka Seribu Masalah adanya urungkan
niat berkelebat. Lalu perdengarkan suara.
“Aku takut mengingat apakah kita pernah bertemu
atau belum....”
“Aku Dayang Tiga Purnama!” sahut gadis berbaju
ungu. Lalu putar pandangan berkeliling. Yang terlihat
pertama adalah dua gadis berparas cantik yang duduk
berjajar. Sebelah kanan mengenakan pakaian warna
merah. Di sampingnya mengenakan baju warna ku-
ning. Dari sudut bibir kedua gadis ini masih terlihat
genangan darah. Jelas kalau keduanya tengah terluka
dalam. Mereka adalah Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala.
Orang kedua yang terlihat adalah seorang gadis
cantik berbaju hijau yang rambutnya dikepang dua.
Salah satu kepangannya dilingkarkan pada lehernya
yang jenjang dan putih. Gadis ini tidak lain adalah Bi-
dadari Pedang Cinta.
Tidak jauh dari Bidadari Pedang Cinta, terlihat seo-
rang perempuan bertubuh bahenol berparas cantik je-
lita berusia kira-kira dua puluh lima tahunan. Perem-
puan ini tegak dengan dada berguncang. Pakaian putih
ketat yang dikenakan tampak robek memanjang di ba-
gian bawah hingga kedua pahanya yang putih mulus
dan kencang terlihat jelas. Perempuan ini adalah Bida-
dari Tujuh Langit.
Orang terakhir yang terlihat oleh gadis berbaju un-
gu dan bukan lain memang Dayang Tiga Purnama ada-
lah orang yang pernah ditemuinya ketika dia bersama
Pendekar 131. Dia adalah seorang nenek berpakaian
selempang kain warna hitam yang sanggulan rambut-
nya dihias dua buah pedang. Nenek yang selama ini
dikenal kalangan rimba persilatan dengan julukan Ne-
nek Selir.
Seperti diketahui, setelah Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala tidak puas dengan jawa-
ban yang diberikan pasangan guru mereka yang dike-
nal dengan si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan
Perempuan Kembang Darah, akhirnya Galuh Sembilan
Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berusaha men-
cari Paduka Seribu Masalah. Mereka akhirnya bertemu
dengan Paduka Seribu Masalah dan memperoleh jawa-
ban.
Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala berkelebat pergi dari hadapan Paduka Seri-
bu Masalah, kedua gadis ini mendengar ucapan Padu-
ka Seribu Masalah yang membuat mereka merasa cu-
riga jika ada orang lain yang mencuri dengar pembi-
caraan mereka dengan Paduka Seribu Masalah. Akhir-
nya mereka memutuskan kembali ke tempat mana me-
reka tadi berbincang dengan Paduka Seribu Masalah.
Kedua gadis itu melihat Bidadari Pedang Cinta. Tapi
saat lain muncullah Bidadari Tujuh Langit. Karena su-
dah memendam dendam pada Bidadari Tujuh Langit
akibat tindakan tidak senonoh yang diperbuat sang Bi-
dadari, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala segera saja mengeroyok Bidadari Tujuh
Langit.
Di saat kritis, mendadak muncul Nenek Selir mem-
bantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala. Sementara Paduka Seribu Masalah sendiri ti-
dak tinggal diam. Dia juga sempat memberikan ban-
tuan.
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit tumpahkan kema-
rahan pada Paduka Seribu Masalah. Tapi akhirnya Bi-
dadari Tujuh Langit merasa sadar jika orang yang di-
hadapi bukan saja berilmu tinggi tapi juga memiliki
kesaktian aneh. Hingga akhirnya Bidadari Tujuh La-
ngit tidak buka mulut atau mencegah saat Paduka Se-
ribu Masalah hendak berkelebat pergi setelah mengu-
capkan beberapa saran.
Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah be-
nar-benar berkelebat pergi, mendadak terdengar satu
seruan menahan kepergian Paduka Seribu Masalah.
Yang muncul ternyata Dayang Tiga Purnama.
Dayang Tiga Purnama sendiri saat Itu baru saja
mengikuti perjalanan murid Pendeta Sinting. Setelah
mendengar keterangan dari mulut Pendekar 131 ten-
tang siapa sebenarnya Paduka Seribu Masalah dan
memberikan ancaman pada Joko, gadis berbaju ungu
ini kembali ke hutan bambu.
Saat langkahnya mulai memasuki kawasan hutan
bambu, Dayang Tiga Purnama mendengar beberapa
debuman. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera berkele-
bat ke arah sumber suara. Saat itulah dari tempatnya
mendekam dia melihat Paduka Seribu Masalah.
Dayang Tiga Purnama tidak pedulikan lagi beberapa
orang yang ada di sekitar Paduka Seribu Masalah. Dia
segera saja melompat lalu berkata pada sang Paduka.
“Dayang Tiga Purnama...” Paduka Seribu Masalah
perdengarkan gumaman ulangi ucapan Dayang Tiga
Purnama yang memperkenalkan diri. “Aku tidak berani
memastikan apakah aku pernah dengar nama itu atau
tidak...”
“Paduka... Kita pernah bertemu ketika kau bersama
pemuda asing bernama Joko Sableng yang bergelar
Pendekar 131!” kata Dayang Tiga Purnama.
“Ah... Aku sekarang ingat! Apakah kau masih ber-
sama pemuda sahabatku itu?!”
Mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah, semua
orang yang ada di tempat itu jadi terkejut. Lebih-lebih
Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit.
“Mengapa kau diam?!” tanya Paduka Seribu Masa-
lah ketika tidak mendapat sahutan dari Dayang Tiga
Purnama. “Kau takut mengatakannya padaku?!”
“Dia sudah pulang ke negeri asalnya!” kata Dayang
Tiga Purnama.
Kalau saja saat itu berada sendirian, niscaya kaki
Bidadari Pedang Cinta sudah tersurut mundur saking
kagetnya mendengar ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Apakah benar keterangan gadis itu?! Apa hubu-
ngannya dengan pemuda asing itu hingga dia tahu?!”
Diam-diam Bidadari Pedang Cinta membatin dengan
dada berdebar.
Di lain pihak, mendengar kata-kata Dayang Tiga
Purnama, Nenek Selir terkesiap. Laksana terbang dia
melompat lalu tegak beberapa langkah di hadapan si
gadis. Lalu membentak.
“Jangan kau bicara mengada-ada! Dari mana kau
tahu pemuda sialan itu sudah pulang ke negeri asal
nya, hah?! Kapan kau bertemu dan di mana?!”
Jelas si nenek marah besar dan penasaran, karena
tidak berselang lama, dia sempat bertemu dengan mu-
rid Pendeta Sinting. Bahkan Nenek Selir sudah mem-
bekal niat akan membuat perhitungan dengan Pende-
kar 131 karena akibat ulah Joko, Wang Su Ji alias
Manusia Tanah Merah bisa selamat dari tangan maut-
nya bahkan bisa meloloskan diri.
Dayang Tiga Purnama yang sempat geram ketika
pertama kali bertemu dengan Nenek Selir berpaling ke
jurusan lain dan berkata ketus.
“Aku tidak bisa mengatakan kapan, di mana berte-
mu dengan pemuda itu! Aku juga tidak mengada-ada
bicara! Yang jelas dia sudah pulang ke negeri asalnya!
Terserah mau percaya atau tidak!”
“Kau bicara dusta!” bentak Nenek Selir. Wajahnya
berubah angker.
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Aku su-
dah bilang. Terserah kau mau percaya atau tidak! Itu
bukan urusanku! Aku punya hal yang harus kubicara-
kan dengan Paduka Seribu Masalah. Harap tidak me-
nyela!”
Ucapan Dayang Tiga Purnama membuat Nenek Selir
makin penasaran. Tanpa mau tahu urusan orang, ne-
nek ini segera buka mulut.
“Kau boleh bicara dengannya sampai kau mampus!
Tapi kalau kau belum memberi penjelasan jelas, jan-
gan harap kau bisa bicara dengannya!”
“Hem... Nenek ini begitu penasaran dan marah de-
ngan keteranganku! Jangan-jangan tuduhan kalau ke-
dua cucunya dibuat hamil oleh pemuda asing itu be-
nar adanya!” kata Dayang Tiga Purnama dalam hati in-
gat akan tuduhan Nenek Selir pada Joko saat mereka
pertama kali bertemu. “Atau nenek ini punya maksud
lain?! Mungkinkah dia tahu kalau pemuda itu men-
dapatkan pedang sakti dan takut kalau dia kehilangan
jejak?!”
Berpikir begitu, Dayang Tiga Purnama segera ber-
paling menghadap Nenek Selir. Lalu berkata.
“Kau tak akan dapat penjelasan apa-apa sebelum
kau katakan mengapa kau begitu penasaran saat ku-
katakan pemuda itu pulang ke negeri asalnya!”
Nenek Selir sapukan pandangan berkeliling sebelum
berkata menjawab.
“Pemuda sialan itu telah menyelamatkan manusia
jahanam yang harus kubunuh!”
“Benar?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan ter-
tawa pendek.
Mata Nenek Selir melotot besar. Sosoknya bergetar.
Sambil bantingkan kaki kanan dia buka mulut dengan
suara keras.
“Kau pikir aku penasaran karena merasa ditinggal-
kan, begitu hah?! Kau kira aku kecewa dengan ke- per-
giannya seperti saat kau kecewa ketika kukatakan pe-
muda sialan itu telah menghamili kedua cucuku, begi-
tu?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama merah mengelam.
Sepasang matanya melirik pada semua orang yang ada
di tempat itu. Namun karena tak mau dibuat malu di
hadapan orang, gadis ini segera buka suara.
“Aku tidak tahu apa sebenarnya urusanmu dengan
pemuda itu! Aku hanya ingin meyakinkan! Dan kau
salah besar kalau menduga aku kecewa saat kau kata-
kan pemuda itu menghamili kedua cucumu!” Dayang
Tiga Purnama gelengkan kepala. “Bahkan jika kau ka-
takan seratus cucumu hamil karena pemuda itu, aku
tidak akan merasa kecewa!”
Orang yang paling tidak enak mendengar pembicaraan Dayang Tiga Purnama dengan Nenek Selir adalah
Bidadari Pedang Cinta. Dada gadis ini makin berdebar.
Berkali-kali dia lempar pandang mata pada Dayang Ti-
ga Purnama dan Nenek Selir seolah tidak percaya den-
gan apa yang dibicarakan keduanya.
“Benarkah Joko Sableng menghamili kedua cucu
nenek itu?! Ketika pertama kali aku bertemu dengan
nenek itu, dia minta keterangan ke mana perginya Jo-
ko Sableng... Mungkinkah ini ada kaitannya dengan
urusan hamilnya kedua cucunya?! Hem...” Bidadari
Pedang Cinta membatin seraya menghela napas pan-
jang. Tanpa sadar terbayang raut wajah Pendekar 131
di kelopak matanya. Namun bayangan itu segera le-
nyap begitu terdengar ucapan Nenek Selir.
“Kau masih juga berkata dusta! Aku sudah kenyang
merasakan pahit getirnya dunia! Aku tahu bagaimana
perasaanmu ketika kukatakan pemuda itu menghamili
kedua cucuku! Kau kecewa dan sakit hati! Karena se-
benaranya kau menyukai pemuda sialan itu!”
Dayang Tiga Purnama laksana mendengar gemuruh
di gendang telinganya. Hingga walau mulutnya sudah
menganga akan buka suara, namun tidak terdengar
sepatah kata pun.
Mendapati sikap orang, Nenek Selir tertawa cekiki-
kan panjang. Lalu berkata.
“Kau bernasib buruk... Hik... Hlk... HIK...! Kau ta-
hu. Pemuda sialan itu adalah kekasih gadis cantik
berbaju hijau itu!” Jari tangan kanan Nenek Selir ber-
gerak lurus menunjuk Bidadari Pedang Cinta.
Bidadari Pedang Cinta tercengang. Laksana disen-
tak satu kekuatan dahsyat, sosoknya berkelebat dan
tegak di hadapan Nenek Selir tidak jauh dari samping
Dayang Tiga Purnama.
“Nek! Jangan berani bicara lancang menuduh yang
bukan-bukan!” tegur Bidadari Pedang Cinta.
Nenek Selir makin panjangkan tawa cekikikannya.
“Anak sekarang memang pandai menutupi perasaan!
Mereka tak sadar, jika sikapnya itu akan membawa
bencana di kelak kemudian hari! Hik... Hik... Hik..!”
“Nek! Tuduhanmu sudah keterlaluan!” bentak Bida-
dari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga
Purnama dan sambungi ucapan. “Harap kau tidak per-
caya dengan bualannya! Aku tidak punya hubungan
apa-apa dengan pemuda itu!”
Dayang Tiga Purnama tersenyum walau sikap Bida-
dari Pedang Cinta sudah cukup membuatnya maklum
kalau sebenarnya gadis berbaju hijau itu punya pera-
saan lain pada murid Pendeta Sinting.
“Kau juga harap tidak percaya dengan keterangan
mulutnya! Apa yang dikatakannya tidak benar!”
Mendengar perbincangan Dayang Tiga Purnama dan
Bidadari Pedang Cinta, Nenek Selir putuskan tawanya.
Lalu berujar.
“Kalian berdua tidak mau membuka diri! Itu terse-
rah kalian! Duka sengsara, kalian yang kelak akan me-
rasakannya sendiri!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan pandang
matanya pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata.
“Aku telah mengatakan mengapa aku penasaran de-
ngan kepergian pemuda sialan itu! Sekarang jawab ka-
pan dan di mana kau bertemu dengannya hingga kau
tahu jika pemuda itu sudah pulang balik ke negeri
asalnya!”
“Kemarin malam!”
“Di mana?!” sahut Nenek Selir seolah tak sabar.
Dayang Tiga Purnama tidak segera menjawab. Seba-
liknya tengadahkan kepala.
“Di mana?!” Nenek Selir ulangi pertanyaan dengan
suara makin keras.
“Perjalanannya setengah hari dari sini. Di satu tem-
pat yang banyak diterjali batu-batu. Aku tak tahu apa
nama tempat itu!” jawab Dayang Tiga Purnama dengan
enggan karena dada gadis ini sebenarnya sudah di
buncah kemarahan.
“Lalu bagaimana kau tahu dia pulang ke negeri
asalnya?! Kau mengantarnya hingga pesisir laut?!”
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia yang me-
ngatakan jika hendak pulang ke negeri asalnya! Dan
kau harus tahu. Kalaupun dia tidak meninggalkan ne-
geri ini, dia harus mengadu nyawa denganku!”
Habis menjawab begitu, Dayang Tiga Purnama me-
langkah ke arah Paduka Seribu Masalah seraya ber-
ucap.
“Aku punya sesuatu yang lebih penting daripada
membicarakan pemuda asing itu! Harap tidak menyela
lagi!”
Dayang Tiga Purnama berhenti dua tindak di hada-
pan Paduka Seribu Masalah. “Bagaimana sekarang?!
Rasanya tidak mungkin mengatakan urusanku pada
Paduka Seribu Masalah di hadapan banyak orang be-
gini rupa...”
Baru saja Dayang Tiga Purnama membatin begitu,
Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara.
“Sepertinya kau tidak berani buka suara. Kau ingin
kita bicara hanya berdua-dua saja?!”
“Kau tidak keberatan kita cari tempat lain?” sambut
Dayang Tiga Purnama dengan lega.
Paduka Seribu Masalah tertawa. “Aku paling tidak
takut kalau diajak gadis cantik....”
Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Dayang
Tiga Purnama melirik pada Bidadari Pedang Cinta. La-
lu tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak tinggalku tempat itu.
Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah
membuat gerakan lebih jauh, dan Dayang Tiga Purna-
ma baru mendapat satu tindak, terdengar suara.
“Siapa pun adanya laki-laki yang duduk rang-
kapkan kaki, dia boleh pergi! Tapi tidak kau gadis ber-
nama Dayang Tiga Purnama!”
***
DUA
ORANG yang pertama kail tersentak kaget dan lang-
sung putar kepala adalah Dayang Tiga Purnama. Dis-
usul kemudian oleh Bidadari Pedang Cinta. Kemudian
Nenek Selir lalu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh
Empat Cakrawala. Mereka sama arahkan pandang ma-
ta masing-masing pada Bidadari Tujuh Langit, orang
yang baru saja perdengarkan suara.
Bidadari Pedang Cinta, Galuh Sembilan Gerhana,
dan Galuh Empat Cakrawala, serta Nenek Selir sudah
maklum apa maksud ucapan Bidadari Tujuh Langit.
Namun tidak demikian halnya dengan Dayang Tiga
Purnama. Gadis ini segera buka mulut.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Mengapa berani
mencegah?!”
Bidadari Tujuh Langit arahkan pandangan pada so-
sok Paduka Seribu Masalah. Saat pertama kali Dayang
Tiga Purnama muncul dan langsung menyebut nama
Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit sempat
terlonjak kaget. Mula-mula dia hampir tidak percaya.
Namun setelah simak pembicaraan orang dan apa
y
ang dialaminya saat bentrok dengan Paduka Se-ribu
Masalah, dia mulai yakin.
Keyakinan yang timbul membuat Bidadari Tujuh
Langit menjadi khawatir. Namun ingat akan kesaktian
cincin yang berada di kaki kirinya, perlahan-lahan rasa
khawatir itu lenyap. Malah dia merasa girang men-
dapati kemunculan sosok Dayang Tiga Purnama.
Setelah memperhatikan Paduka Seribu Masalah,
Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan pada
Dayang Tiga Purnama. Sambil sunggingkan senyum
dia berkata.
“Kita memang belum kenal. Karena itulah aku men-
cegahmu. Aku....”
“Aku tidak punya waktu banyak! Harap katakan sa-
ja jika punya maksud!” Dayang Tiga Purnama sudah
memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit selesaikan
ucapan.
Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Begitu pentingkah
urusanmu?!”
“Hem... Aku tak tahu apa maksud perempuan ini.
Tidak ada gunanya aku meladeni!” bisik Dayang Tiga
Purnama dalam hati. Lalu tanpa menjawab pertanya-
an orang, dia putar kepala lagi ke arah Paduka Seribu
Masalah. Saat lain dia teruskan langkah seraya berka-
ta.
“Paduka.... Harap Ikuti aku...!”
Bidadari Tujuh Langit memandang beberapa lama.
Dadanya sempat terguncang melihat gerakan sosok
Dayang Tiga Purnama yang terus melangkah. Semen-
tara Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman
tak jelas. Lalu putar duduk menghadap arah mana
Dayang Tiga Purnama tengah melangkah.
Belum sampai Paduka Seribu Masalah bergerak,
Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat dan tahu-tahu
tegak menghadang di depan Dayang Tiga Purnama.
Sikap Bidadari Tujuh Langit membuat Dayang Tiga
Purnama tak bisa menahan kemarahan. Dia langsung
membentak.
“Kau tidak mau mengatakan apa maksudmu! Seka-
rang kau tegak menghadang! Apa maumu sebenar-
nya?!”
“Aku ingin mengajakmu.... Dan kita lupakan seje-
nak urusan dunia!”
“Bicaramu aneh! Aku tidak mengerti!”
“Nanti kau akan mengerti....”
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Sayang
sekali aku masih punya sesuatu yang harus kubicara-
kan dengan Paduka Seribu Masalah. Jika tidak, mung-
kin aku akan mempertimbangkan ajakanmu!” kata
Dayang Tiga Purnama meski dalam hati dia coba me-
nindih ucapan yang keras.
Dayang Tiga Purnama menyisi ke samping. Berpa-
ling pada Paduka Seribu Masalah seraya berkata.
“Paduka.... Kita berangkat sekarang!”
“Kau akan pergi dari sini jika bersamaku...,” Bida-
dari Tujuh Langit menyahut.
Kali ini Dayang Tiga Purnama tidak bisa menahan
diri lagi. Dengan suara keras dia berucap.
“Dengar sekali lagi! Aku masih punya urusan! Dan
kalau aku tidak mau pergi bersamamu, kau mau
apa?!”
“Aku ingin lihat, apakah kau bisa menahan ajakan-
ku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan bibir tetap
tersenyum.
“Kau yang ingin tahu. Jangan salahkan aku kalau
kutunjukkan!”
Dayang Tiga Purnama melompat. Begitu dua lang-
kah di hadapan Bidadari Tujuh Langit, kedua tangan-
nya dikelebatkan lepas pukulan.
Bidadari Tujuh Langit hadapi pukulan dengan se-
nyum tanpa membuat gerakan apa-apa. Perempuan
berparas cantik bertubuh bahenol ini tampaknya bisa
membaca jika pukulan yang tengah dilancarkan orang
hanya mengandalkan tenaga luar.
Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama sempat terkejut
melihat Bidadari Tujuh Langit tidak membuat gerakan
menghadang atau berkelit. Dia sudah hendak tarik pu-
lang kedua tangannya. Tapi ingat akan ucapan Bida-
dari Tujuh Langit, dan merasa jika pukulannya hanya
mengandalkan tenaga luar, akhirnya Dayang Tiga Pur-
nama teruskan pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak tengadah ke
samping kiri kanan.
Dayang Tiga Purnama surutkan langkah dua tin-
dak. Lalu memandang tajam dengan sedikit heran.
Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit usap dagu-
nya yang baru saja terhantam tangan Dayang Tiga
Purnama. Tanpa buka mulut dia melangkah mendeka-
ti.
“Awas! Jangan beri dia kesempatan untuk menja-
mah tubuhmu!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala ber-
teriak.
“Dia perempuan gila sinting yang punya kelainan!
Dia lebih suka melihat tubuh perempuan daripada tu-
buh laki-laki!” Galuh Sembilan Gerhana menimpali.
Ucapan kedua gadis itu membuat Dayang Tiga Pur-
nama tercekat dengan mata melotot memperhatikan
sosok Bidadari Tujuh Langit seolah melihat hantu gen-
tayangan. Kuduknya jadi dingin. Tanpa sadar dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit berhenti. Per-
lahan-lahan kepalanya diputar ke tempat mana Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bera-
da. Bibirnya kembangkan senyum. Namun sekonyong-
konyong kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan
jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuutt!
Dua sinar merah berkiblat ganas ke arah Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
Karena dari tadi sudah waspada, meski Bidadari
Tujuh Langit lepas pukulan secara tiba-tiba, Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak
merasa terkejut. Tapi kedua gadis ini tidak mau ber-
tindak ayal. Apalagi mereka sadar jika tengah terluka
dalam. Memaksakan bentrok pukulan hanya akan
memperparah luka dalam bahkan mungkin bisa mem-
buat mereka tewas.
Menyadari akan hal itu, begitu dua sinar merah
berkiblat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, Ga-
luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
segera sentak tubuh masing-masing bergulingan di
atas tanah. Dan maklum jika Paduka Seribu Masalah
adalah orang yang mampu menghadapi Bidadari Tujuh
Langit, kedua gadis ini gulingkan tubuh hindarkan diri
ke tempat mana Paduka Seribu Masalah berada.
Wusss! Wuuss!
Beberapa rumpun bambu di belakang sana tadi Ga-
luh Sembilan Gerhana dana Galuh Empat Cakrawala
berada terhantam rata lalu amblas semburat. Bebera-
pa orang di situ rasakan pijakan masing-masing berge-
tar keras.
Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri mengikuti
gulingan tubuh Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh
Empat Cakrawala begitu mendapati kedua gadis itu bi-
sa selamatkan diri dari pukulannya. Saat lain dia
membuat gerakan hendak mengejar.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba
Dayang Tiga Purnama sudah mendahului berkelebat
dan tegak menghadang.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun tiba-tiba
dia melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat sa-
rangkan totokan pada beberapa bagian tubuh Dayang
Tiga Purnama.
Gerakan tidak terduga Bidadari Tujuh Langit mem-
buat Dayang Tiga Purnama terlambat untuk membuat
gerakan menghadang walau dia masih mampu angkat
kedua tangannya.
Saat itulah terdengar orang bergumam dari balik
rumpun bambu. Lalu satu gelombang melesat lurus ke
arah Bidadari Tujuh Langit.
Kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang siap lan-
carkan totokan tertahan dan terpental ke belakang.
Sosoknya ikut terjajar dua langkah ke samping. Saat
yang sama sosok Dayang Tiga Purnama tersentak lalu
jatuh terduduk di atas tanah.
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Dia lang-
sung putar diri menghadap rumpun bambu dari mana
tadi gelombang melesat dan mampu menahan gera-
kannya. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama juga bu-
ru-buru bergerak bangkit dan ikut palingkan kepala ke
arah rumpun bambu.
Karena rumpun bambu sangat tebal, Bidadari Tu-
juh Langit tidak mampu melihat siapa adanya orang di
baliknya. Hingga sambil angkat kedua tangannya dia
berteriak.
“Kau berani campuri urusanku. Mengapa pengecut
tidak berani unjuk diri?!”
“Nah.... Apa kubilang!” Tiba-tiba terdengar suara
dari balik rumpun bambu tebal. “Kini semuanya ter-
lambat! Karena kau yang membuat ulah, kau juga
yang harus berani turuti kemauannya!”
“Ah.... Bagaimana bisa begitu?! Kau tadi yang me-
nyuruhku! Sekarang curi tangan! Memang benar aku
yang membuat ulah. Tapi kau yang menyuruh! Jadi
kau yang harus turuti kemauannya!” terdengar suara
orang kedua menyahut.
Mendengar suara dari balik rumpun bambu, Nenek
Selir terkesiap. “Telingaku hafal betul suara jahanam-
nya! Yang bicara pertama tadi pasti dia!” Nenek Selir
pentangkan mata lalu alirkan tenaga dalam pada ke-
dua tangannya.
Kalau Nenek Selir mengenali suara orang yang per-
tama, lain halnya dengan Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama. Bidadari Pedang Cinta ker-
nyitkan dahi seraya membatin.
“Aku seperti pernah dengar suara orang yang ke-
dua.... Tapi mungkinkah dia?! Ah, mengapa aku selalu
mengharap...?! Bukankah dia bukan pemuda baik-
baik?! Dia telah menghamili kedua cucu nenek itu!”
Jika Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, diam-
diam Dayang Tiga Purnama juga berkata dalam hati.
“Aku yakin siapa adanya orang yang kedua! Ter-
nyata dia belum hengkang dari negeri ini! Hem.... Dia
memang baru saja menyelamatkan aku. Tapi jangan
mimpi tindakannya itu bisa menghapus ancaman ku!”
Gadis berbaju ungu ini segera pula kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
Karena hanya terdengar suara tanpa adanya orang
yang muncul unjuk diri, Bidadari Tujuh Langit habis
kesabaran. Kedua tangannya digerakkan. Namun sebe-
lum dua sinar merah sempat melesat, Nenek Selir ber-
teriak.
“Tahan serangan!”
Nenek Selir melompat dan tegak menjajari Bidadari
Tujuh Langit. Sang Bidadari melirik lalu berucap.
“Wajahmu berubah! Kau mengenali siapa adanya
jahanam di balik rumpun bambu itu?!”
“Itu bukan urusanmu! Sekarang kau menyingkirlah!
Urusan manusia di balik rumpun bambu menjadi hak-
ku!”
“Enak saja kau bicara! Siapa pun adanya manusia
di balik rumpun bambu, mereka telah membuka uru-
san denganku! Kau yang harus menyingkir!”
Baru saja Bidadari Tujuh Langit bicara begitu, men-
dadak dari balik rumpun bambu terdengar orang ter-
tawa cekikikan. Disusul dengan terdengarnya suara.
“Mengapa harus turuti kemauan perempuan-
perempuan jelek begitu?! Yang satu sudah bau tanah
tapi masih cerewet! Yang satu benar masih cantik dan
bahenol. Sayang, salah satu anggota tubuhnya ada
yang tidak beres! Hik... Hik... Hik...! Lebih baik kita
lanjutkan saja acara kita....”
Sosok Nenek Selir bergetar keras. Bukan saja kare-
na ucapan orang, tapi karena ucapan itu jelas diper-
dengarkan oleh seorang perempuan!
“Jahanam betul! Keparat itu membawa makhluk pe-
rempuan!” desis si nenek seraya lipat gandakan tenaga
dalam.
“Betul... Betul..! Lebih baik kita lanjutkan acara ki-
ta. Di sana kulihat ada aliran sungai. Kita berenang
berempat... Daripada harus melayani perempuan-pe-
rempuan aneh yang tak jelas juntrungannya!” Ter-
dengar suara perempuan dari balik rumpun bambu
menyahut suara perempuan yang pertama.
Nenek Selir dan Bidadari Tujuh Langit tak bisa me-
nahan diri masing-masing. Belum habis suara sahutan
perempuan yang kedua, tangan masing-masing sudah
berkelebat lepas pukulan ke arah rumpun bambu.
Blamm! Blammm!
Kawasan hutan bambu bergetar keras. Rumpun
bambu di mana dari baliknya tadi terdengar sahut-
sahutan orang bicara langsung mental amblas rata de-
ngan tanah! Malah di sana sini terlihat lobang men-
ganga besar.
Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sama pen-
tang mata. Dan hampir berbarengan mereka berdua
melompat ke bekas rumpun bambu yang sudah rata
dengan tanah. Kepala keduanya bergerak memutar.
“Keparat! Mana jahanam-jahanam busuk itu?!” de-
sis Nenek Selir seraya putar kedua tangannya siap le-
pas pukulan di mana pun orang terlihat muncul.
“Suara-suara tadi jelas dari rumpun bambu ini! Ta-
pi ke mana mereka?! Kalau kena hantam, tidak kulihat
potongan tubuhnya! Kalau tidak mampus, tidak ku-
lihat batang hidungnya! Jangan-jangan yang kudengar
tadi hanya permainan pengalihan suara!” Bidadari Tu-
juh Langit menduga-duga begitu dia juga tidak melihat
siapa- siapa.
Sementara itu, Bidadari Pedang Cinta yang sesaat
tadi sempat berdebar dengan tindakan Bidadari Tujuh
Langit dan Nenek Selir, segera pula putar pandangan
berkeliling.
Mendadak sepasang mata Bidadari Pedang Cinta
melotot besar tatkala tanpa sengaja matanya menum-
buk pada satu sosok tubuh di balik salah satu rimbun
bambu tidak jauh dari tempat tegaknya. Saking kaget-
nya, meski gadis cantik ini coba menahan diri, namun
tak urung terdengar seruan dari mulutnya.
Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir serta-merta
berpaling. Lalu sama arahkan pandangan ke arah ma-
na Bidadari Pedang Cinta tengah memandang terkejut.
Saat yang sama terdengar suara orang mengeluh.
Namun suara keluhan itu terputus ketika tiba-tiba dua
sosok bayangan hitam dan putih berkelebat dan tegak
beberapa langkah dari sumber suara keluhan!
***
TIGA
SOSOK bayangan hitam yang bukan lain adalah Ne-
nek Selir segera berpaling pada sosok putih yang ter-
nyata adalah Bidadari Tujuh Langit. Lalu berteriak.
“Jangan berani lancang turun tangan dulu! Aku in-
gin tahu tampang jahanam-jahanam keparat itu!”
Tanpa menunggu sambutan Bidadari Tujuh Langit,
Nenek Selir segera arahkan pandangan ke satu rum-
pun bambu di mana terlihat satu sosok tubuh tengah
mendekam sembunyi. Orang ini tidak terlihat raut wa-
jahnya, karena sengaja sembunyikan wajah dengan
menunduk dalam-dalam.
Bersamaan dengan berpaling si nenek, perlahan-
lahan orang yang mendekam sembunyi angkat wajah-
nya. Dari sela rumpun bambu, baik Nenek Selir mau-
pun Bidadari Tujuh Langit melihat raut tampan milik
seorang pemuda yang keduanya sudah sangat menge-
nalinya.
Anehnya, begitu wajah di sela rumpun terangkat,
orang ini bukannya memandang pada si nenek atau
Bidadari Tujuh Langit. Melainkan pada sosok Bidadari
Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama yang tegak
agak jauh.
“Cepat keluar!” bentak Nenek Selir.
Dengan pasang tampang nyengir, orang di sela rum-
pun bambu bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan me-
langkah keluar dengan senyam-senyum.
Nenek Selir mendelik angker. Bidadari Tujuh Langit
menyeringai dingin. Sementara Bidadari Pedang Cinta
menghela napas panjang, lalu lontar lirikan pada
Dayang Tiga Purnama yang tampak kuasa diri dari ra-
sa tak percaya dan kaget.
Yang muncul dari balik rumpun bambu adalah se-
orang pemuda berambut panjang acak-acakan menge-
nakan pakaian putih-putih.
“Setan kecil jahanam!” Nenek Selir membentak. “Le-
kas suruh keluar sekalian Tua Bangka keparat yang
bersamamu! Juga dua gundik yang bersama kalian!
Cepat!”
Si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta
Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng menjura hormat.
Lalu buka mulut.
“Nek... Aku telah berulang kali menyuruhnya ke-
luar. Tapi dia bandel. Mungkin kalau kau sendiri yang
memerintah, dia akan keluar!”
“Baik! Aku akan menyuruhnya keluar dengan cara-
ku!” kata Nenek Selir seraya maju dua langkah dan
angkat kedua tangannya.
“Nek! Apa yang akan kau lakukan?!” teriak murid
Pendeta Sinting saat melihat kedua tangan si nenek
diarahkan lurus padanya.
Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya gerakkan
kedua tangan lepas pukulan!
“Celaka! Dia bisa mampus kalau menghadapi nenek
itu dengan bercanda!” Tiba-tiba terdengar orang ber-
gumam. Lalu satu rumpun bambu di bagian samping
bergerak menguak. Satu sosok tubuh berkelebat ke-
luar seraya berteriak.
“Tunggu!”
Seorang kakek berambut putih panjang mengena-
kan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu telah tegak
di seberang samping.
Semula kepala menoleh. Nenek Selir tampak ter-
guncang. Sepasang matanya mendelik nanari sosok
orang yang bukan lain adalah Wang Su Ji alias Manu-
sia Tanah Merah.
“Beberapa saat berselang takdir nyawamu masih
baik! Kau masih mendapat pertolongan perempuan
gembrot sialan itu! Lalu pagi tadi, nyawa jahanammu
masih tertolong setan kecil dari negeri asing ini!” Tan-
gan kiri Nenek Selir diluruskan tepat ke arah murid
Pendeta Sinting. “Sekarang setan pun tak akan bisa
menyelamatkan selembar nyawamu!” Nenek Selir ber-
teriak. Lalu melompat dan tegak delapan langkah di
hadapan Manusia Tanah Merah.
Begitu tegak di hadapan Manusia Tanah Merah,
kembali si nenek sudah berkata.
“Sebelum nyawamu kurobek, lekas suruh unjuk
tampang perempuan-perempuan kalian yang punya
mulut tak karuan itu!” Kepala si nenek pulang balik
memandang ke arah Manusia Tanah Merah dan Pen-
dekar 131.
“Nek...! Kami tidak bersama perempuan-perempuan
yang kau bilang bermulut tak karuan!” Pendekar 131
menyahut.
“Mulut manusia negeri asing ternyata bukan saja
pandai merayu perempuan, tapi juga pintar berdusta!”
bentak Nenek Selir.
“Ah... Mungkin kau salah dengar, Nek! Kau terlalu
terbawa perasaan, hingga suara laki-laki bisa berubah
jadi suara perempuan!” Enak saja Joko berkata.
“Biar aku yang menjelaskan,” Manusia Tanah me-
rah buka suara. “Kami memang tidak bersama perem-
puan. Kalaupun tadi kau dengar suara-suara perem-
puan, itu juga adalah suara kami....”
Nenek Selir mendengus. Tiba-tiba dia berpaling pa-
da Dayang Tiga Purnama. Lalu berseru.
“Gadis berbaju ungu! Kau tadi bilang manusia asing
itu sudah pulang ke negeri asalnya. Sekarang batang
hidungnya ada di hadapanmu. Apa jawabmu, hah?!
Apa yang ada dalam benakmu hingga berani lancang
menutup-nutupi?! Kau takut dia mampus?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama berubah merah me-
ngelam. Dadanya laksana dibakar mendengar ucapan
si nenek. Namun karena sadar jika kata-kata Nenek
Selir benar adanya, gadis ini coba menahan diri untuk
tidak meladeni ucapan si nenek. Sebaliknya dia segera
berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Pendekar 131.
“Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku! Sekali
kau masih kutemukan di negeri ini, kita akan menga-
du jiwa!” teriak Dayang Tiga Purnama dengan angkat
kedua tangan.
“Hem... Manusia-manusia di tempat ini tampaknya
sudah saling punya sengketa. Lebih baik aku mundur
dahulu walau sebenarnya aku ingin membunuh pe-
muda tampan ini! Terjadinya bentrokan akan meng-
untungkan bagiku.... Aku nanti hanya tinggal meng-
ambil hasilnya!” Bidadari Tujuh Langit yang tegak ti-
dak jauh dari Joko berkata sendiri dalam hati. Setelah
melirik ke arah Dayang Tiga Purnama yang tegak bebe-
rapa langkah di sampingnya, perempuan bertubuh ba-
henol ini perlahan-lahan surutkan langkah ke bela-
kang.
“Dayang...,” kata Joko. “Sebenarnya aku sendiri su-
dah tidak betah berada lama-lama di negeri aneh ini!
Tapi bagaimana lagi aku harus berbuat jika kehendak
lain masih menuntunku tetap di negeri ini, bahkan
mengharuskan kita bertemu lagi?!”
“Kau pandai mencari alasan! Jelasnya kau memang
tidak ingin tinggalkan negeri ini! Dan berarti kau ingin
mengadu jiwa denganku!”
Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melom-
pat. Kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan ke
arah murid Pendeta Sinting!
Tapi baru setengah jalan kedua tangan Dayang Tiga
Purnama menderu ganas mengarah pada batok kepala
Joko, mendadak Nenek Selir berteriak.
“Jangan berani menyentuh tubuhnya!”
Satu gelombang menyambar lurus ke arah Dayang
Tiga Purnama, membuat gerakan kedua tangan gadis
ini tertahan, bahkan saat lain sosoknya terjajar mun-
dur satu tindak!
Dalam kaget dan marahnya, Dayang Tiga Purnama
berpaling pada Nenek Selir. Namun sebelum si gadis
buka mulut, si nenek sudah mendahului.
“Dia berhutang janji padaku! Aku tak ingin setan
negeri asing itu mampus sebelum selesaikan janji den-
ganku!”
“Janji apa?!” Membentak Dayang Tiga Purnama.
“Kau sudah tahu masalahnya! Mengapa pura-pura
bodoh?!”
Habis bicara begitu, Nenek Selir putar diri lagi
menghadap Manusia Tanah Merah. Namun sebelum
nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pe-
dang ini sempat buka mulut, Pendekar 131 berucap.
“Nek! Saat datangnya hari perjanjian masih kurang
beberapa hari lagi. Sekarang aku harus pergi mencari
tempat yang tenang. Aku tak mau nantinya terkecoh!
Jika saatnya tiba, aku akan muncul di tempat yang ki-
ta tentukan!” Joko palingkan kepala ke arah Manusia
Tanah Merah. Lalu sambungi ucapannya.
“Kek! Sebenarnya aku ingin terus bersamamu. Tapi
keadaan tidak memungkinkan.... Aku harus pergi dulu!”
Joko terus putar tubuh. Kini menghadap Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang
sekarang tegak tidak jauh dari Paduka Seribu Masa-
lah.
“Kalian tidak membutuhkan keterangan apa-apa la-
gi dariku?!”
Kedua gadis yang ditanya saling pandang. Galuh
Sembilan Gerhana berbisik.
“Manusia satu ini aneh. Semua yang dilakukannya
dianggap main-main!”
“Orang macam begini, mampus pun akan tertawa!”
sahut Galuh Empat Cakrawala.
Karena tidak ada yang menjawab, Joko putar pan-
dangan dan berhenti kala saling pandang dengan mata
Bidadari Pedang Cinta.
“Senang jumpa denganmu lagi, Bidadari.... Terima
kasih atas keteranganmu tempo hari!”
Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut walau sebe-
narnya dia ingin sekali buka mulut.
Seperti diketahui, Joko sempat bertemu dengan Ga-
luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
Dan dari keterangan Joko pula akhirnya kedua gadis
ini bisa bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit yang
tengah dicarinya. Sementara di lain pihak, dari kete-
rangan Bidadari Pedang Cinta, akhirnya Joko sampai
ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.
Murid Pendeta Sinting teruskan pandangan. Begitu
matanya menumbuk pada sosok Dayang Tiga Purna-
ma, dia berkata.
“Aku tidak bisa memastikan kapan hengkang dari
negeri ini! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Orang
yang kau cari sudah ada di dekatmu!” Joko melirik ke
arah Paduka Seribu Masalah. Lalu teruskan pandangan ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Namun kali ini sebelum Joko sempat bicara, Bida-
dari Tujuh Langit sudah mendahului.
“Kau tidak akan pernah hengkang dari negeri ini!”
Sambil berteriak begitu, Bidadari Tujuh Langit kembali
berkelebat lalu tegak lima langkah di hadapan Joko.
“Bidadari Tujuh Langit! Manusia sepertiku kurasa
tidak ada gunanya bagimu!” ujar Pendekar 131 seraya
hendak balikkan tubuh.
“Kau memang tidak berguna! Dan kau pasti tahu di
mana tempat manusia yang tak ada gunanya!”
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Bida-
dari Tujuh Langit. Dia teruskan gerakan membalik.
Saat itulah Bidadari Tujuh Langit menyergap ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Joko merasakan deruan angker berkiblat dari arah
samping. Joko tidak tinggal diam. Dia segera mengha-
dang dengan sentakkan kedua tangannya.
Bukk! Bukk!
Pendekar 131 terjajar dua langkah dengan tangan
terpental. Di sampingnya Bidadari Tujuh Langit tersen-
tak mundur dan perdengarkan jeritan tertahan. Na-
mun perempuan ini cepat kuasai diri. Saat lain dia te-
lah pentang mata. Sementara kedua tangannya diang-
kat tinggi-tinggi.
Karena sudah pernah bentrok, Pendekar 131 tidak
mau bertindak gegabah. Dia kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’.
Didahului bentakan garang, Bidadari Tujuh Langit
melompat mundur. Saat lain kedua tangannya meng-
hantam. Sepasang matanya dipentang besar-besar.
Wuutt! Wuutt!
Wusss! Wusss!
Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat
dua sinar merah. Bersamaan dengan itu dari sepasang
mata sang Bidadari berkiblat dua sinar hitam yang
membuat suasana mendadak laksana ditelan kegela-
pan!
Dari serangan yang dilancarkan jelas kalau Bidadari
Tujuh Langit ingin membunuh Joko dalam satu kali
gebrakan.
“Tahan serangan!” teriak Nenek Selir ketika Bidada-
ri Tujuh Langit membuat gerakan menghantam.
Namun teriakan si nenek sudah sangat terlambat.
Di lain pihak Joko tekuk lutut. Lalu sentakkan kedua
tangan.
Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting melesat
gelombang dahsyat disertai kiblatan sinar kuning yang
membawa hawa panas menyengat.
“Kalau sampai terjadi apa-apa pada pemuda asing
itu, urusan ketiga gadis itu bisa tak karuan! Lagi pula
aku tidak akan membiarkan seorang pun menjamah
tubuhnya karena dia telah berani kurang ajar padaku!”
Nenek Selir mendesis. Lalu kedua tangannya bergerak.
Dua pedang di sanggulan rambutnya ditarik lalu di-
hantamkan memotong pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Blamm! Blamm! Blaamm!
Tiga ledakan keras terdengar tiga kali berturut-turut
ketika pukulan yang dilepas ketiga orang itu bertemu
di udara. Suasana gelap pecah dengan semburatnya
bunga-bunga api. Sinar merah dari kedua tangan Bi-
dadari Tujuh Langit bertabur. Sinar kuning pukulan
‘Lembur Kuning’ bertebaran kian kemari di udara. Se-
mentara dua kobaran api yang keluar dari kedua pe-
dang di tangan Nenek Selir terbongkar padam.
Bidadari Tujuh Langit berteriak tegang. Sosoknya
mental ke udara lalu menukik deras dan jatuh terjeng-
kang di atas tanah dengan mata terpejam dan mulut
megap-megap. Saat lain dari mulutnya terlihat lelehan
darah!
Saat yang hampir bersamaan, sosok Nenek Selir
laksana dihantam kekuatan hebat. Sosoknya terjung-
kal ke udara dua setengah tombak. Lalu tersentak dan
terbanting sebelum akhirnya meluncur jungkir balik ke
bawah dan jatuh punggung di atas tanah dengan mu-
lut mengembung dan kepala pulang balik tersentak-
sentak. Ketika kepalanya tersentak terakhir kali, mu-
lutnya terbuka semburkan darah! Sanggulan rambut-
nya terlepas terurai menutupi sebagian pundak dan
sebagian wajahnya yang pucat pasi!
Di seberang, begitu terdengar ledakan, sosok Pende-
kar 131 terlempar dua tombak ke belakang lalu jatuh
terjepit di antara sela rumpun bambu dengan kedua
tangan terkulai dan mata terpejam terbuka merasakan
darahnya yang jungkir balik tak karuan.
Namun murid Pendeta Sinting adalah orang yang
paling beruntung dibanding Bidadari Tujuh Langit dan
Nenek Selir. Karena pukulan yang dilancarkan Bidada-
ri Tujuh Langit terpangkas dahulu oleh pukulan yang
dilepas Nenek Selir. Hingga begitu pukulannya ben-
trok, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir
sudah mengalami bias bentroknya, keadaan Bidadari
Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias
bentroknya pukulan terlebih dahulu. Maka meski Joko
terlempar dan jatuh terjepit di antara rumpun bambu
dan merasakan darahnya menyentak-nyentak, namun
dia tidak sampai semburkan darah.
***
EMPAT
KETIKA Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan
Pendekar 131 sama lepas pukulan, semua orang yang
ada di tempat Itu tampaknya maklum jika akan terjadi
sesuatu yang hebat. Hingga saat itu juga Dayang Tiga
Purnama dan Bidadari Pedang Cinta segera melompat
menyingkir. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-
pat Cakrawala berdiri tegak lalu buru-buru berkelebat
menjauh. Cuma Paduka Seribu Masalah yang tetap
duduk di tempatnya semula. Sementara Manusia Ta-
nah Merah sesaat tadi tampak hendak buka mulut
mencegah tindakan Nenek Selir yang memotong puku-
lan Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai suara-
nya terdengar, si nenek sudah keburu lepas pukulan.
Orang tua berjubah tanpa lengan ini akhirnya hanya
geleng kepala lalu mundur beberapa langkah.
Di lain pihak, begitu masing-masing sosok yang le-
pas pukulan sama terpental jatuh, Bidadari Tujuh La-
ngit adalah orang yang pertama kali bergerak bangkit.
Disusul Nenek Selir. Untuk beberapa saat kedua pe-
rempuan ini sama perang pandang dengan unjuk tam-
pang seringai dingin. Lalu sama arahkan pandangan
pada sosok murid Pendeta Sinting yang terjepit di an-
tara rumpun bambu. Saat lain, seakan sadar apa yang
harus mereka lakukan, kedua orang ini segera kerah-
kan hawa sakti untuk kuasai luka dalam masing-
masing. Lalu lipat gandakan tenaga dalam.
Pendekar 131 buka sepasang matanya. Lalu angkat
wajah memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit dan
Nenek Selir. Tahu apa yang sudah dilakukan orang,
Joko cepat sibakkan bambu yang menjepit tubuhnya.
Bunggg! Bunggg! Bungggg!
Belum sampai Joko bertindak lebih jauh, mendadak
kawasan hutan bambu itu dipecah dengan terdengar-
nya suara gaung menggelegar bertalu-talu.
Semua orang yang ada di tempat itu rasakan liang
telinga laksana ditusuk-tusuk dan dada dihantam ge-
lombang dahsyat.
“Jahanam! Ada saja yang merusak pekerjaanku!”
Nenek Selir mendengus karena dengan terdengarnya
suara gaung, pengerahan tenaga dalamnya jadi kacau.
Bidadari Tujuh Langit sendiri tampak terkesiap.
“Ulah siapa ini?! Gaung gila! Aku tak bisa pusatkan te-
naga dalam!” rutuknya dalam hati seraya sapukan
pandangan berkeliling ke arah satu persatu orang yang
ada di tempat itu.
“Eyang Guru...! Dia berada di sekitar sini!” Dayang
Tiga Purnama bergumam pelan seraya kerahkan tena-
ga dalam menutup jalan pendengaran.
“Aku pernah dengar suara gaung Ini...,” kata Joko
dalam hati seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua
telinga.
Selagi orang-orang sama membatin, mendadak sua-
ra gaung sirna. Tapi cuma sekejap. Di lain saat ter-
dengar deruan angker membubung ke angkasa.
Ketika semua orang tengadah, mereka melihat se-
buah gulungan benda hitam. Namun belum sampai
ada yang tahu benda apa itu, mendadak gulungan
benda hitam menukik deras ke tempat mana beberapa
orang tengah berada.
Blaaarrr!
Gulungan benda hitam semburat pecah perdengar-
kan ledakan dahsyat. Suasana berubah laksana di-
genggam kegelapan. Lalu asap putih menebar me-
nungkup tempat itu. Semua orang selain Paduka Seri-
bu Masalah tersentak dan buru-buru tundukkan ke
pala sambil takupkan kedua tangan pada wajah kare-
na mereka merasakan mata masing-masing perih dan
kucurkan air mata.
“Jahanam! Jahanam! Siapa berani kurang ajar ber-
lagak buat kekacauan ini?!” Nenek Selir memaki habis-
habisan.
“Munculnya pemuda asing keparat itu selalu saja
membawa petaka!” Bidadari Tujuh Langit juga me-
nyumpah-nyumpah. “Jika keparat itu tidak segera ku-
bereskan, rejeki yang sudah di tangan terus akan me-
layang! Nenek bangsat itu juga harus kuhabisi se-
karang! Dia bisa jadi batu sandungan di kelak kemu-
dian hari!”
Setelah suasana kembali terang dan asap putih
yang tebarkan rasa perih di mata lenyap, Nenek Selir
cepat turunkan kedua tangan dari wajahnya. Lalu pu-
tar kepala dengan mata dibeliakkan.
Untuk kesekian kalinya, dari mulut si nenek ter-
dengar makian panjang pendek ketika tahu yang ting-
gal di tempat hanya Galuh Sembilan Gerhana, Galuh
Empat Cakrawala, Bidadari Tujuh Langit, dan Pende-
kar 131.
Sosok Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Me-
rah, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari Pedang Cinta
tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Siapa pun adanya jahanam yang punya pekerjaan
ini, pasti dia masih kambratnya salah satu gadis yang
berbaju hijau atau gadis baju ungu!” desis Nenek Selir
sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang meng-
genggam pedang. Yang dimaksud gadis baju hijau dan
baju ungu oleh si nenek adalah Bidadari Pedang Cinta
dan Dayang Tiga Purnama. “Tapi tidak tertutup ke-
mungkinan yang punya ulah ini adalah gundik jaha-
nam Wang Su Ji! Buktinya dia juga lenyap! Sialan betul!” Nenek Selir bantingkan kaki.
Di tempat lain, Bidadari Tujuh Langit cepat pula tu-
runkan kedua tangan dari wajah. Lalu lepas panda-
ngan berkeliling. Perempuan cantik jelita bertubuh ba-
henol ini tampak beringas kala tahu tinggal siapa saja
yang berada di tempat itu.
Dalam geram dan marahnya mata Bidadari Tujuh
Langit saling bentrok dengan mata Nenek Selir. Kema-
rahan sang Bidadari sudah naik ke ubun-ubun apalagi
dia tahu karena pangkasan pukulan si nenek, dia ha-
rus mengalami luka dalam walau segera bisa diatasi.
Namun Bidadari Tujuh Langit masih menindih kei-
nginan ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara
gumaman dari rumpun bambu di mana Joko jongkok
sambil tutupi wajah. Dia cepat berpaling.
“Wang Su Ji pasti belum jauh dari tempat ini. Urus-
anku dengannya lebih penting daripada masalah di
tempat ini! Aku harus segera mengejarnya!” Nenek Se-
lir membatin lalu berteriak.
“Bidadari Tujuh Langit! Silakan kau punya sengketa
dengan pemuda asing sialan itu! Tapi jika dia mampus
di tanganmu, aku akan menagih nyawamu sebagai
ganti nyawanya!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir putar langkah. Bi-
dadari Tujuh Langit tidak pedulikan teriakan si nenek.
Sebaliknya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, murid Pendeta Sinting bergerak
bangkit sambil kucek-kucek mata. Ketika dia balikkan
tubuh, sosoknya tersurut dua tindak melihat kedua
tangan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat lepas
pukulan ke arahnya!
Namun belum sampai sinar merah melesat dari ke-
dua tangan Bidadari Tujuh Langit dan dari sepasang
matanya melesat sinar hitam, tiba-tiba Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sentakkan
tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt!
Wuutt! Wuutt!
Dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana me-
lesat arakan awan hitam yang membuat suasana jadi
remang-remang. Sedang dari kedua tangan Galuh Em-
pat Cakrawala berkiblat sinar pelangi. Kedua gadis ini
kembali telah lepas pukulan ‘Inti Gerhana’ dan ‘Inti
Cakrawala’.
Bidadari Tujuh Langit terkejut. Dia batalkan niat
lepas pukulan ke arah Pendekar 131. Lalu putar tubuh
dan serta-merta hantamkan kedua tangan mengha-
dang pukulan yang datang.
Melihat apa yang terjadi, entah mengapa tiba-tiba
Nenek Selir urung teruskan langkah. Malah saat itu
juga dia angkat kedua tangannya siap membantu Ga-
luh Sembilan Gerhana dan saudaranya.
Di lain pihak, Joko cepat melompat dari sela rum-
pun bambu. Sesaat dia bimbang. Dia sebenarnya ingin
membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala. Dia dapat membaca, kedua gadis itu tidak
akan mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit. Joko
sudah angkat kedua tangannya. Tapi mendadak dia
urungkan niat ketika sekilas dapat melihat gerakan
kedua tangan Nenek Selir.
Di udara, pukulan dari masing-masing ketiga orang
terus melesat. Nenek Selir sudah kelebatkan kedua
tangannya. Namun sekonyong-konyong, dari arah
samping terdengar suara dahsyat bergemuruh.
Ketika Nenek Selir melirik, kagetlah nenek ini. Dua
gelombang angin luar biasa menggebrak lurus ke
arahnya!
Karena tak ada kesempatan lagi untuk menghadang
gelombang yang tiba-tiba datang, sambil berteriak ma-
rah dia jatuhkan diri sama rata dengan tanah hindari
gelombang.
Wusss! Wusss!
Dua gelombang lewat dua jengkal di atas tubuh Ne-
nek Selir. Rambut nenek ini tampak berkibar-kibar ke
udara lalu sosoknya terseret hingga dua tombak di
atas tanah! Kedua tangannya yang tadi lepas pukulan
membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala tersentak ke bawah hingga kobaran api dari
kedua pedangnya menghantam udara kosong!
Saat itulah terdengar dentuman keras ketika puku-
lan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala bertemu pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh
Langit.
Kedua gadis murid si Pasangan Mesum ini terpekik.
Sosok keduanya langsung mencelat dan terkapar di
atas tanah. Dari mulut masing-masing semburkan da-
rah. .
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala tampaknya salah menduga. Mereka tadi mengira
Bidadari Tujuh Langit tidak akan mampu memutar ge-
rakan tangannya yang saat itu tengah lepas pukulan
ke arah murid Pendeta Sinting. Hingga tanpa pikir
panjang lagi, mereka segera lepas pukulan. Karena me-
reka pikir itulah kesempatan baik untuk membuat ba-
lasan Ternyata dugaan mereka meleset.
Di seberang, Bidadari Tujuh Langit hanya terjajar
beberapa tindak. Saat lain perempuan ini sudah ang-
kat kedua tangannya lagi siap lepas pukulan!
Yang paling kecewa adalah Pendekar 131. Karena
dia tadi dapat menangkap gerakan kedua tangan Ne-
nek Selir, dia urungkan niat untuk ikut menghadang
pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dia tidak menduga jika tiba- tiba Nenek Selir mendapat serangan gelap dari
arah samping. Hingga pukulan si nenek melenceng
dan akibatnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh
Empat Cakrawala harus menghadang pukulan Bidada-
ri Tujuh Langit tanpa bantuan orang lain.
Begitu sosoknya terhenti, Nenek Selir cepat mem-
buat gerakan jungkir balik. Lalu tegak kembali di atas
tanah seraya berteriak.
“Siapa berani pengecut membokongku, hah?” Kedua
tangannya yang memegang pedang diacung-acungkan
memutar.
Belum habis teriakan si nenek, dua sosok berkele-
bat dan langsung tegak di tempat itu dengan kepala lu-
rus menghadap ke arah sosok Galuh Sembilan Gerha-
na dan Galuh Empat Cakrawala.
“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!”
Joko bergumam mengenali seorang laki-laki berusia
lanjut berparas lonjong dengan kulit putih pucat lak-
sana tidak dialiri darah. Sosoknya kerempeng hingga
anggota tubuhnya yang kelihatan hampir-hampir tidak
tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. Se-
pasang matanya melotot besar. Orang tua kerempeng
ini mengenakan pakaian gombrong besar berwarna pu-
tih. Begitu gombrongnya pakaian yang dikenakan,
hembusan angin yang masih mendera tempat itu aki-
bat bentroknya pukulan membuat sosok orang tua ini
laksana bergerak-gerak hendak amblas tersapu. Pa-
dahal dia tidak membuat gerakan apa-apa.
Tegak di samping orang tua berpakaian gombrong
besar adalah seorang perempuan berparas cantik wa-
lau usianya tidak muda. Rambutnya hitam lebat di-
kuncir tinggi. Kulitnya putih bersih. Hidungnya man-
cung, bibirnya dipoles merah menyala. Dadanya men-
cuat kencang dan padat. Pinggulnya yang besar menggoda dibalut pakaian tipis ketat warna biru.
Nenek Selir mendelik angker dengan dada panas,
apalagi mendapati kedua orang yang muncul dan dia
yakini manusia yang membokongnya seakan tidak me-
lihat keberadaannya di tempat itu.
Untuk beberapa saat si nenek memperhatikan de-
ngan kepala disorongkan ke depan. Jelas wajahnya
menggambarkan kebimbangan.
Sementara dua orang yang baru muncul sama
sunggingkan senyum melihat Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala terbungkuk-bungkuk
bangkit sambil pegangi dada masing-masing. Lalu tan-
pa pedulikan pandangan orang, kedua sosok yang ba-
ru muncul saling berpaling. Saat lain kepala kedua-
nya bergerak ke depan. Kedua orang ini berciuman
sambil lingkarkan tangan masing-masing ke pinggang
lainnya!
“Gila! Dua jahanam itu adalah si Pasangan Mesum!”
desis Nenek Selir sambil lemparkan pandangan ke ju-
rusan lain dengan tampang berubah.
“Tanpa kucari, akhirnya kau datang sendiri, Perem-
puanku.... Gayamu sungguh luar biasa! Hingga aku
tak sabar ingin segera menikmatimu!” Bidadari Tujuh
Langit buka suara begitu melihat siapa adanya kedua
orang yang muncul. Sepasang matanya terus menatap
pada sosok si perempuan berbaju biru ketat yang ma-
sih berciuman dengan si orang tua bertubuh kerem-
peng berpakaian gombrong.
“Edan! Edan!” rutuk Joko dalam hati melihat apa
yang tengah dilakukan dua sosok yang baru muncul
yang bukan lain memang Iblis Muka Setan dan Perem-
puan Kembang Darah. Sepasang tokoh yang dikenal
dengan gelar Pasangan Mesum.
Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, Iblis Muka Setan sudah hendak tarik pulang ciumannya dari
bibir Perempuan Kembang Darah. Namun si Perem-
puan Kembang Darah cepat rapatkan tangannya yang
melingkar di pinggang si laki-laki. Lalu daratkan bibir-
nya lagi ke bibir Iblis Muka Setan.
Nenek Selir melirik. Ketika dilihatnya kedua orang
itu masih juga berciuman, si nenek langsung berteriak.
“Binatang saja masih punya rasa malu bercinta di
depan orang! Kalian manusia adanya mengapa tidak
punya kemaluan?!”
“Nek! Ucapanmu salah! Mana mungkin mereka be-
rani bercinta di depan orang kalau mereka tidak punya
kemaluan?! Yang benar, mereka manusia adanya men-
gapa tidak punya malu-malu?!” Pendekar 131 menya-
hut lalu tertawa bergelak.
“Setan! Berani kau menyalahkan ucapanku! Kau
yang bodoh! Apa itu malu-malu?!” Nenek Selir kembali
berteriak.
“Malu-malu artinya sama dengan malu! Berhubung
manusia yang tidak punya malu ada dua orang, apa
salah kalau dikatakan malu-malu?!” ujar murid Pen-
deta Sinting.
“Ah, kau sok pintar bicara! Yang jelas apa pun na-
manya, mereka tidak punya kemaluan!”
“Astaga! Dari mana kau tahu, Nek?!” tanya Joko
dengan pasang tampang sungguh-sungguh.
“Suruh saja mereka singkap pakaian yang dikena-
kan! Mereka pasti memilih mampus daripada buka pa-
kaian! Dan karena tidak punya kemaluan, maka hilang
pula rasa malu-malunya!”
“Bidadari Tujuh Langit! Kau dengar ucapan nenek
itu! Apa kau masih tertarik dengan perempuan berbaju
biru itu?!” Joko berteriak ajukan tanya pada Bidadari
Tujuh Langit.
Pertanyaan Joko bukannya disahut Bidadari Tujuh
Langit, tapi disambut Nenek Selir.
“Bagi dia, tidak perlu apakah adanya orang itu utuh
atau tidak! Yang penting wujudnya perempuan! Nenek-
nenek pun jadilah! Malah akhir-akhir ini kudengar dia
lebih gandrung dengan nenek-nenek!”
Joko perdengarkan seruan kaget. Lalu buka mulut.
“Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku tak bisa menjelaskan! Aku khawatir nanti di-
kira tidak punya kemaluan! Ah, salah.... Aku khawatir
nanti dikira tidak punya malu ungkapkan hal-hal luar
biasa begitu di depan orang banyak! Apalagi kau ada-
lah orang negeri asing! Kalau sampai kabar berita ini
tersebar hingga negerimu, bisa celaka seumur-umur
semua nenek-nenek negeri ini!”
***
LIMA
BIDADARI Tujuh Langit tegak dengan dagu terang-
kat mendengar kata-kata Pendekar 131 serta Nenek
Selir. Sementara Iblis Muka Setan dan Perempuan
Kembang Darah sama lepas pelukan tangan masing-
masing di pinggang lainnya. Lalu tarik pulang wajah-
nya. Iblis Muka Setan berpaling pada Nenek Selir. Se-
dang Perempuan Kembang Darah sentakkan wajah
menghadap murid Pendeta Sinting.
Walau sudah bisa membaca raut kemarahan pada
wajah orang, tapi Joko seakan tidak peduli. Sambil
alihkan pandangan dari tatapan Perempuan Kembang
Darah dan lirikan tajam Bidadari Tujuh Langit, dia
buka suara.
“Nek! Kau bilang nenek-nenek negeri ini bisa celaka
seumur-umur. Bagaimana maksudmu?!”
“Huss! Jangan keras-keras!” bentak si nenek.
Joko tengadahkan wajah. Lalu mulutnya membuat
gerakan seperti orang bicara tapi tanpa perdengarkan
suara.
“Bagaimana tidak bisa celaka seumur-umur. Kalau
sampai berita tersebar, orang-orang pasti menduga jika
seluruh nenek negeri ini sudah melakukan hal-hal luar
biasa yang memalukan!” kata si nenek setelah Joko
hentikan gerakan mulutnya.
“Bahkan tidak mustahil orang-orang akan menduga
semua nenek negeri ini tidak punya kemaluan!” sahut
Joko.
“Sialan! Ujung ucapanmu pulang balik ke situ lagi!”
“Jahanam!” Iblis Muka Setan menghardik. “Mulut
nenek satu ini perlu dibuat tidak bisa bicara!”
“Soal dia dan manusia asing itu kita tunda. Seka-
rang sudah saatnya kita selesaikan urusan lama!” Me-
nyahut Perempuan Kembang Darah. Lalu perempuan
cantik ini putar tubuh lurus menghadap Bidadari Tu-
juh Langit.
Iblis Muka Setan mendelik sesaat pada Nenek Selir.
Si nenek kedipkan sebelah mata lalu tertawa cekiki-
kan. Kalau saja di situ tidak ada Bidadari Tujuh Lan-
git, pasti Iblis Muka Setan sudah berkelebat dan
menggebuk si nenek.
Melihat Perempuan Kembang Darah menghadap ke
arahnya, Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berka-
ta.
“Perempuanku... Lebih baik kita lupakan urusan
lama! Aku punya urusan yang pasti akan membuatmu
kesenangan! Kau bisa tanyakan pada kedua muridmu
itu... Sekali mereka merasakan, mereka terus mencari-
ku...”
Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Seba-
liknya perempuan ini diam-diam salurkan tenaga da-
lam pada kedua tangannya.
Bidadari Tujuh Langit saput bibirnya dengan lidah.
Lalu buka suara lagi.
“Pasanganmu memang tampan. Tapi di mana enak-
nya bercinta dengan tulang belulang begitu rupa?! Kau
harus sadar, Perempuanku! Kau perempuan cantik
bertubuh bagus. Kau layak merasakan kenikmatan da-
ripada sekadar rasa tulang belulang! Hik... Hik...
Hik...!”
Iblis Muka Setan sudah tidak sabaran mendengar
ucapan Bidadari Tujuh Langit. Tapi tampaknya Perem-
puan Kembang Darah masih bisa menahan diri. Dia
segera berkata.
“Biarkan mulutnya membuka sepuasnya! Mungkin
saat ini terakhir kali dia bisa bicara!”
Baru saja Perempuan Kembang Darah berkata begi-
tu, dari bagian belakang Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala sama berseru tertahan meli-
hat siapa yang tegak di seberang depan.
Sesaat tadi, kedua gadis ini memang belum menya-
dari siapa kedua orang yang tegak di seberang depan.
Karena mereka berdua masih coba kuasai diri akibat
bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Dan begitu me-
reka dapat tegak dan buka mata, mereka kaget.
Galuh Empat Cakrawala sudah hendak buka mulut.
Tapi buru-buru Galuh Sembilan Gerhana menahan
dengan berbisik.
“Jangan bicara dulu! Ada yang tak beres...”
Galuh Empat Cakrawala berpaling. Belum sampai
gadis berbaju kuning ini buka suara, Galuh Sembilan
Gerhana sudah bicara lagi.
“Walau sekilas, aku tadi melihat nenek itu hendak
membantu kita. Tapi tiba-tiba ada gelombang yang
membokongnya! Aku tahu benar. Pukulan itu adalah
pukulan Guru kita berdua! Mengapa mereka berdua
menahan orang yang hendak membantu kita? Menga-
pa mereka berdua sepertinya menginginkan kita mam-
pus?! Jangan-jangan mereka berdua sendiri yang
membunuh kedua orangtua kita!”
Galuh Empat Cakrawala terdiam beberapa lama si-
mak ucapan saudaranya. “Tapi... Apa mungkin?! Kalau
memang mereka menginginkan kita mampus, bu-
kankah mereka berdua tidak usah membesarkan kita
atau membekali kita dengan ilmu silat?! Dan kalaupun
benar dia inginkan nyawa kita, tentu mudah bagi me-
reka melakukannya! Mengapa harus cari jalan begi-
ni?!”
Galuh Sembilan Gerhana menghela napas. Kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan. “Itulah yang tak
kumengerti. Tapi jika tidak, mengapa mereka tadi tidak
langsung saja membantu kita?! Bukankah Bidadari bi-
nal itu adalah musuh besarnya?! Lebih-lebih lagi men-
gapa mereka menahan nenek itu yang jelas akan
membantu kita?!”
“Kita tunggu saja...,” akhirnya Galuh Empat Cakra-
wala memutuskan. “Pasti ada sesuatu yang disembu-
nyikan hingga mereka lakukan itu pada kita! Tapi satu
hal yang pasti, menurut Paduka Seribu Masalah, se-
mua keterangan Guru berdua tidak benar!”
Kalau kedua gadis murid Pasangan Mesum itu ber-
bisik menduga-duga, diam-diam Nenek Selir juga
membatin dalam hati.
“Bidadari edan itu mengatakan kedua gadis cantik
itu adalah murid pasangan gila itu! Jika benar, men-
gapa pasangan gila itu menahan gerakanku?! Ada se-
suatu yang aneh! Dan ketika menyaksikan kedua mu
ridnya terluka, sepertinya pasangan gila itu tenang-
tenang saja! Malah senyum-senyum dan berciuman!
Kasihan nasib kedua gadis itu.... Dari ucapannya, jelas
mereka telah menjadi korban kelainan Bidadari edan
sialan itu!”
Nenek Selir pandangi berlama-lama Galuh Sembilan
Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Entah mengapa
tiba-tiba timbul rasa iba pada diri si nenek. Hingga ka-
lau tadi sudah memutuskan untuk berkelebat menge-
jar Manusia Tanah Merah, kini dia melupakan urusan-
nya dengan laki-laki bekas kekasihnya itu. Malah de-
ngan melirik ke arah Iblis Muka Setan dan Perempuan
Kembang Darah, dia melangkah ke arah Galuh-Empat
Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana.
Namun baru saja mendapat empat tindak, tiba-tiba
terdengar suara.
“Tampaknya kau juga tertarik dengan kedua gadis
itu! Hik... Hik... Hik...! Silakan... Silakan! Mereka ber-
dua sudah pernah mendapat pelajaran dariku. Tentu
kau sudah tak perlu lagi memberi pelajaran tamba-
han... Kau tinggal buka baju dan berbasah-basah ria!
Tapi harap tidak melakukannya di sini meski aku tahu
kau sudah tidak kuat menahan diri... Aku takut nan-
tinya tertarik melihat potongan tubuhmu!”
Nenek Selir hentikan langkah dengan kepala disen-
takkan ke arah Bidadari Tujuh Langit yang baru saja
perdengarkan suara. Tampang si nenek berubah me-
rah mengetam. Kedua lutut dan tangannya bergetar.
“Tampangmu berubah! Kau malu..?! Hik... Hik...
Hik...! Mengapa harus malu kalau kau sebenarnya le-
bih tertarik dengan gadis daripada dengan laki-laki?!
Malah kalau kau mau berterus terang, di hadapan kita
ada seorang perempuan yahud yang selama ini hanya
menikmati tulang belulang! Kita bisa menikmati tubuhnya bersama-sama. Hik... Hik... Hik..! Kita bawa
dia melayang-layang hingga dia sadar, apa yang kita
berikan lebih asyik daripada apa yang selama ini dia
pamerkan di hadapan manusia!” Bidadari Tujuh Langit
kembali berkata.
“Waduh... Apa telingaku tidak salah dengar?!” Pen-
dekar 131 berseru. Matanya dipelototkan pada Nenek
Selir di seberang sana. “Jika betul, bukan saja nenek-
nenek negeri ini yang bisa celaka seumur-umur. Tapi
para gadis pun bisa tertimpa malapetaka dari ujung
rambut sampai ujung kaki1”
Nenek Selir balik melotot angker pada murid Pen-
deta Sinting. Lalu membentak.
“Beraninya mulutmu menuduhku yang bukan-bu-
kan! Apa kau ingin tanganku memutus tanggal kepala-
mu atas bawah, hah?!”
“Aku tidak menuduh, Nek! Aku hanya...”
“Diam!” hardik Nenek Selir. Dia berpaling mendelik
pada Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai dia
buka mulut, Perempuan Kembang Darah yang merasa
tersindir dengan ucapan Bidadari Tujuh Langit sudah
berkelebat ke depan.
Bidadari Tujuh Langit tidak berdiam diri. Hampir
bersamaan dengan berkelebatnya sosok Perempuan
Kembang Darah, dia membuat gerakan melompat ke
depan songsong Perempuan Kembang Darah.
Di atas udara, Perempuan Kembang Darah kele-
batkan kedua tangan dan kedua kakinya sekaligus!
Bidadari Tujuh Langit sambuti dengan hantamkan ke-
dua tangan dan tendangkan kedua kaki.
Bukk! Bukk! Bukk! Bukk!
Sosok Perempuan Kembang Darah terjajar dua
langkah di atas udara. Di hadapannya Bidadari Tujuh
Langit tersentak satu langkah. Perempuan Kembang
Darah membuat gerakan berputar di atas udara. Saat
lain kembali sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan
dan kakinya lagi-lagi berkelebat. Bidadari Tujuh Langit
tidak tinggal diam. Dia kembali sambuti pukulan la-
wan dengan gerakkan kedua tangan dan kaki.
Terjadilah saling adu tangan dan kaki di atas udara.
Hingga untuk beberapa lama terdengar suara bentro-
kan bertubi-tubi. Suara benturan baru terputus ketika
sosok Perempuan Kembang Darah terbanting mencelat
dan perdengarkan seruan tertahan.
Mendapati apa yang terjadi, Iblis Muka Setan cepat
berkelebat lalu menyambar sosok kekasihnya. Hingga
sosok Perempuan Kembang Darah selamat dari bentu-
ran dengan tanah di bawahnya.
Di pihak lain, Bidadari Tujuh Langit terpental deras
ke belakang. Lalu limbung sebelum akhirnya meluncur
jatuh. Namun dalam keadaan begitu rupa, perempuan
cantik ini masih mampu membuat gerakan jungkir ba-
lik satu kali. Lalu tegak terbungkuk-bungkuk di atas
tanah dengan paras berubah memperhatikan kedua
tangannya yang bengkak merah.
Begitu berhasil menyambar sosok Perempuan Kem-
bang Darah, Iblis Muka Setan cepat meletakkan tubuh
kekasihnya di atas tanah dan meneliti. Tiba-tiba sepa-
sang mata Iblis Muka Setan mendelik besar. Dari mu-
lutnya keluar suara seruan tegang ketika melihat ba-
gaimana kedua kaki Perempuan Kembang Darah beru-
bah menjadi merah laksana dipanggang! Kulitnya me-
ngelupas dan tulang betisnya patah!
“Aku gagal memutus kaki kirinya....” Perempuan
Kembang Darah berucap dengan suara tersendat. “Kau
harus hati-hati menghadapi kaki kirinya....”
“Aku menawarkan kenikmatan. Kau minta yang la-
in! Hik... Hik... Hik..!” Berkata Bidadari Tujuh Langit
lalu melangkah ke arah Perempuan Kembang Darah
yang masih tergeletak di samping Iblis Muka Setan.
Laksana terbang, Iblis Muka Setan bergerak bang-
kit. Saat yang sama, Perempuan Kembang Darah ikut
bergerak. Karena kedua kakinya patah, perempuan ini
hanya bisa bergerak duduk.
“Iblis Muka Setan! Untuk terakhir kalinya kuberi
kesempatan padamu untuk mencium kekasihmu!” ka-
ta Bidadari Tujuh Langit sambil kacak pinggang dan
berhenti sepuluh langkah di hadapan Iblis Muka Se-
tan. Pandang matanya bukan terarah pada Iblis Muka
Setan, melainkan menelusuri sosok Perempuan Kem-
bang Darah yang duduk selonjorkan kedua kaki.
Iblis Muka Setan sambuti ucapan Bidadari Tujuh
Langit dengan angkat kedua tangan. Namun laki-laki
kerempeng ini bukannya segera membuat gerakan
menghantam. Dia hentakkan kaki ke tanah. Sosoknya
membal ke udara.
Dari atas udara, kedua tangannya disapukan ke
pakaiannya yang gombrong besar.
Weerr!
Pakaian putih gombrong milik Iblis Muka Setan ber-
kelebat perdengarkan deruan angker. Beberapa rang-
kum angin dahsyat berkiblat lurus ke arah Bidadari
Tujuh Langit. Saat lain kedua tangan laki-laki ini te-
rangkat ke udara, lalu dihantamkan ke bawah.
Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Inilah tanda
jika Iblis Muka Setan lepas pukulan ‘Inti Gerhana*.
Melihat apa yang dilakukan Iblis Muka Setan, Pe-
rempuan Kembang Darah buru-buru kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangan. Lalu dihantamkan ke de-
pan.
Wuutt! Wuutt!
Gelapnya suasana sesaat pecah diterjang sinar pelangi yang melesat dari kedua tangan Perempuan Kem-
bang Darah.
Bidadari Tujuh Langit rasakan sosoknya tersapu
saat terdengar deruan dari pakaian gombrong Iblis
Muka Setan. Rambutnya berkibar. Pakaian bawahnya
yang robek menyingkap hingga terlihat jelas sepasang
pahanya yang mulus padat.
Bidadari Tujuh Langit cepat melompat mundur saat
mana suasana berubah gelap. Lalu seraya tengadah
tembusi kegelapan dia hantamkan kedua tangan sam-
bil pentang mata. Di lain saat dia angkat kaki kirinya.
Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya di-
kelebatkan membuat gerakan menendang ketika sinar
pelangi melesat memecah suasana gelap.
Bummm! Bummm! Bummm!
Terdengar beberapa kali dentuman dahsyat ketika
dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat sinar
merah dan dari sepasang matanya melesat dua sinar
hitam. Saat lain dari kaki kirinya juga berkiblat sem-
buran sinar merah menyala.
Suasana gelap laksana disentak kekuatan dahsyat.
Lalu semburat dan berubah jadi terang kembali. Sinar
pelangi bertabur pecah porak-poranda. Sementara si-
nar merah dan hitam yang berkiblat dari pukulan Bi-
dadari Tujuh Langit muncrat bertebaran kian kemari.
Iblis Muka Setan terbanting dua kali di atas udara.
Lalu terlempar beberapa tombak. Ketika melayang tu-
run, laki-laki ini tak bisa lagi kuasai diri. Hingga jatuh
terkapar menghantam tanah!
Krakk! Krraakk!
Terdengar suara seperti benda patah.
Iblis Muka Setan berseru tertahan. Lehernya lunglai
ke samping dengan tulang bersembulan keluar. Darah
mengucur deras dari lehernya yang patah dan mulut
nya yang menganga terbuka. Kekasih Perempuan Kem-
bang Darah ini sesaat gerak-gerakkan mulutnya seolah
ingin bicara dengan memaksakan kepala bergerak
menghadap pada Perempuan Kembang Darah yang ju-
ga terkapar di atas tanah dengan mulut semburkan
darah. Namun belum sampai ada suara yang terde-
ngar, mulutnya mengatup rapat laksana ditakup se-
tan. Kedua kakinya yang sesaat tadi bergerak-gerak
terdiam seketika. Sepasang matanya yang melotot be-
sar pancarkan pandangan kosong!
***
ENAM
WALAU dalam keadaan terluka dalam cukup parah,
Perempuan Kembang Darah masih sempat dengar se-
ruan tertahan Iblis Muka Setan. Dengan menahan rasa
sakit pada sekujur tubuh, perempuan ini menoleh pa-
da kekasihnya yang saat itu tengah memaksakan diri
gerakkan lehernya yang patah dengan mulut membuka
berusaha berucap.
Begitu mendapati Iblis Muka Setan katupkan mulut
dan gerakan kakinya terdiam, kaget Perempuan Kem-
bang Darah bukan alang kepalang. Laksana kalap, dia
bergerak tegak dan hendak berkelebat. Dia lupa jika
kedua kakinya sudah patah. Hingga begitu belum sam-
pai tegak, sosok perempuan ini terjengkang roboh!
Namun Perempuan Kembang Darah seperti orang
kesetanan. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya.
Lalu bergulingan ke arah Iblis Muka Setan.
Perempuan Kembang Darah melolong tinggi begitu
mendapati Iblis Muka Setan sudah tidak bernyawa la-
gi. Dia menangis sambil memeluk! sosok mayat ke
kasihnya. Tapi hal itu cuma sekejap. Ketika dia sadar,
perempuan ini putuskan tangisnya. Lalu angkat wa-
jahnya disentakkan menghadap Bidadari Tujuh Langit
yang saat itu terbungkuk-bungkuk bangkit dengan ke-
dua tangan pegangi dadanya.
“Bidadari laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!” te-
riak Perempuan Kembang Darah. Dia angkat kedua
tangannya. Namun perempuan ini jadi tercekat sendiri
ketika sadar kalau tenaga dalam yang disalurkan pada
kedua tangannya terasa hampa! Bahkan kedua tan-
gannya segera luruh ke bawah seolah tidak bertenaga!
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mu-
lut, dia melangkah mendekati. Perempuan Kembang
Darah tercekat dengan kuduk dingin. Sementara Ga-
luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
saling pandang seolah tak tahu apa yang harus dilaku-
kan.
“Seandainya kau terima tawaranku, tidak mungkin
kau mengalami nasib buruk seperti ini! Kini semuanya
terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya bagimu! Ke-
matian adalah hal terbaik yang harus kau terima!” ka-
ta Bidadari Tujuh Langit seraya hentikan langkah tu-
juh tindak di hadapan Perempuan Kembang Darah.
Dalam keadaan tidak berdaya begitu rupa, tampak-
nya Perempuan Kembang Darah sudah tidak punya
harapan sama sekali. Hal ini membuat dia tidak punya
beban lagi. Hingga begitu dengar ucapan Bidadari Tu-
juh Langit, dia tertawa panjang. Lalu berucap.
“Kau boleh membunuhku berapa kali kau suka!
Kau boleh hidup seribu tahun lagi! Tapi satu hal yang
harus kau tahu. Aku mati dengan membawa kepua-
san! Aku memang tidak berhasil membunuhmu, tapi
setidaknya aku telah membuatmu lebih sengsara dari
kematian!”
Ucapan orang membuat Bidadari Tujuh Langit balik
tertawa panjang. “Orang sekarat memang selalu bicara
tanpa juntrungan! Kau tahu. Dalam hidup, aku tidak
akan pernah mengalami sengsara! Justru seluruh hi-
dupku terisi dengan kenikmatan! Sayang kau harus
mampus sebelum membagi kenikmatan denganku...!”
“Kau boleh bicara tidak pernah mengalami seng-
sara. Tapi aku tahu. Kau masih punya ganjalan besar
dalam hidupmu!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa. “Aku
punya bekal untuk membunuh semua orang! Aku....”
“Kau ingat peristiwa enam belas tahun silam?!” Pe-
rempuan Kembang Darah sudah memotong sebelum
Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapan.
“Aku tidak pernah mengingat apa yang telah terjadi!
Maka kau salah besar jika mendugaku punya ganjalan
hidup!”
“Bagus! Apa kau juga tidak pernah ingat siapa sua-
mimu?!” Bertanya Perempuan Kembang Darah.
Bidadari Tujuh Langit terdiam sesaat. Semua orang
yang ada di situ tidak ada yang buka suara membuat
gerakan. Mereka seakan terkesima dengan perbinca-
ngan Bidadari Tujuh Langit dan Perempuan Kembang
Darah. Namun semua orang di situ dapat menangkap
raut terkejut pada paras Bidadari Tujuh Langit men-
dengar pertanyaan Perempuan Kembang Darah.
“Bagiku, laki-laki adalah bangkai yang harus dising-
kirkan! Jadi jangan tanya perihal laki-laki!” ujar Bida-
dari Tujuh Langit setelah terdiam sesaat. Namun se-
benarnya dada perempuan ini sempat berdebar tidak
enak dengan pertanyaan orang. Hanya sejauh ini dia
tidak tahu mengapa.
“Baik! Aku tidak akan tanya perihal laki-laki! Seka-
rang aku tanya. Kau juga tidak ingat dengan anak
yang kau lahirkan?!”
Berubahlah tampang Bidadari Tujuh Langit. Dia
mendelik besar. Saat lain dia membentak.
“Kau tahu apa tentang itu, hah?”
“Bagus.... Nada ucapanmu memberi satu petunjuk
kalau kau ingat dengan anak-anak yang kau lahirkan!”
kata Perempuan Kembang Darah seraya tertawa pen-
dek. “Selama ini kau pernah bertemu dengan mere-
ka?!”
Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya te-
ngadahkan kepala. Perempuan Kembang Darah lagi-
lagi tertawa. Lalu berucap.
“Kau tahu kalau selama ini mereka mencarimu?!”
“Jahanam! Apa maksud pertanyaan perempuan
ini?! Mungkinkah dia tahu perihal anak-anakku?! E-
nam belas tahun lamanya aku coba menyirap kabar
tentang keberadaan anak-anakku. Tapi aku tidak per-
nah mendapat keterangan yang benar! Kini, ada pe-
rempuan sekarat yang ucapannya aneh!” Bidadari Tu-
juh Langit membatin dengan dada di buncah kebim-
bangan.
“Wajahmu berubah. Mulutmu tidak berkata menja-
wab. Jadi kau berdusta kalau selama ini tidak punya
ganjalan hidup! Bahkan sebenarnya kau masih ingat
siapa suamimu...!”
Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala. “Aku tahu.
Kau pura-pura tahu segalanya. Padahal sebenarnya
kau tidak tahu apa-apa! Kau sengaja menggantungkan
ucapan agar aku tidak membunuhmu! Jangan mimpi!”
Bidadari Tujuh Langit geleng kepala.
Lagi-lagi Perempuan Kembang Darah tertawa men-
dengar kata-kata orang. “Dengar, Bidadari Binal! Hari
ini aku rela mampus seribu kali. Karena aku telah
membuatmu lebih sengsara daripada kematian!”
“Jahanam! Dari tadi dia bicara hal itu! Apa maksud
sebenarnya?!” Kembali Bidadari Tujuh Langit memba-
tin. “Jangan-jangan dia....” Bidadari Tujuh Langit me-
lompat dan tegak dua langkah di hadapan Perempuan
Kembang Darah.
“Membunuhmu saat ini bukan pekerjaan sulit. Tapi
aku bersumpah akan membuatmu mampus perlahan-
lahan jika kau tidak mengatakan apa maksud ucapan-
mu!”
Sikap orang membuat Perempuan Kembang Darah
tertawa bergelak seakan lupa akan keadaan dirinya.
Puas tertawa dia berpaling ke jurusan lain sambil ber-
kata.
“Karena kebinalanmu hingga kau tidak sadar siapa
saja yang selama ini telah kau jadikan korban! Tapi se-
muanya sudah terlambat! Dan perempuan macammu
memang sudah layak menerima penyesalan!”
Ucapan Perempuan Kembang Darah membuat Ga-
luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
saling pandang dengan dada berdebar. Mereka tadi se-
benarnya sudah hendak berkelebat ke arah Iblis Muka
Setan. Mereka memang masih agak jengkel setelah
mendengar keterangan dari Paduka Seribu Masalah ji-
ka semua hal yang diucapkan guru mereka tidak benar
adanya. Tapi kematian gurunya mau tak mau mem-
buat kedua gadis ini seakan melupakan kejengkelan-
nya. Namun begitu sadar akan keadaan diri masing-
masing, apalagi ingat jika masih punya sesuatu yang
harus di-selesaikan, akhirnya kedua gadis ini batalkan
niat untuk mendekati gurunya.
“Jangan-jangan yang dimaksud Guru adalah....” Ga-
luh Sembilan Gerhana yang berbisik tidak lanjutkan
ucapan, karena Galuh Empat Cakrawala sudah menukas.
“Kita memang telah jadi korban kebinalan Bidadari
keparat itu! Tapi masih banyak lagi yang lainnya! Dan
mustahil kita masih ada hubungan dengan Bidadari
binal itu! Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Baru saja Galuh Empat Cakrawala berbisik begitu,
di depan sana Bidadari Tujuh Langit maju satu tindak
lagi. Lalu berkata dengan senyum dingin.
“Aku tanya. Kau tahu perihal anak-anakku?!”
Perempuan Kembang Darah tersenyum. “Sebelum
kujawab tanyamu, jawab dulu pertanyaanku! Jika kau
melakukan pekerjaan gila menggauli perempuan, apa-
kah kau tidak bisa membedakan rasa antara anak sen-
diri dan orang lain?!”
“Jahanam! Kau....”
“Jangan berteriak atau membuat gerakan!” potong
Perempuan Kembang Darah sambil berpaling. “Jawab
saja tanyakan kalau kau ingin mendengar jawaban da-
ri pertanyaanmu!”
“Itu pertanyaan gila!”
“Tapi perlu mendapat jawaban!”
“Aku tidak akan menjawab!”
“Berarti ganjalanmu akan terus berlangsung!”
Bidadari Tujuh Langit tegak dengan dada bergun-
cang. Saat itulah matanya menumbuk pada sosok Ga-
luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
Beberapa saat perempuan ini pandangi dua gadis ber-
baju merah dan kuning dengan perasaan tak karuan.
Tapi saat lain perempuan bertubuh bahenol ini geleng
kepala dengan menggumam.
“Mustahil.... Bukan! Bukan mereka!”
Di lain pihak, dipandangi Bidadari Tujuh Langit be-
gitu rupa, mau tak mau membuat Galuh Sembilan
Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala merasa tak enak
hati. Namun ingat akan tindakan yang telah dilakukan
orang terhadap mereka. Galuh Empat Cakrawala sege-
ra berbisik.
“Kalaupun benar dia orang yang kita cari, aku akan
membunuhnya!”
“Segalanya bisa saja terjadi! Mengapa sudah yakin
mustahil?!” Perempuan Kembang Darah berkata begitu
mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit yang te-
gak hanya dua langkah di hadapannya.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke arah Pe-
rempuan Kembang Darah. “Katakan siapa adanya ke-
dua gadis muridmu itu!”
Perempuan Kembang Darah tidak buru-buru buka
mulut. Sebaliknya menoleh ke arah Galuh Sembilan
Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sama kan-
cingkan mulut dengan mata memandang tak berkesip
menunggu jawaban orang.
“Telingamu dengar pertanyaan orang! Mengapa ti-
dak jawab?!” Bidadari Tujuh Langit membentak karena
Perempuan Kembang Darah tidak segera buka mulut.
“Kau pernah berbuat gila pada mereka?!” Perem-
puan Kembang Darah balik ajukan tanya.
Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya. Na-
mun kali ini Perempuan Kembang Darah bukannya
merasa takut. Sebaliknya tertawa perlahan seraya ber-
ucap.
“Kau tidak akan lakukan apa-apa padaku sebelum
kujawab pertanyaanmu....”
Bidadari Tujuh Langit menggeram. Kedua tangan-
nya berkelebat. Namun setelah jalan, dia hentikan ge-
rakan kedua tangannya, membuat Perempuan Kem-
bang Darah makin keraskan tawa dan berkata lagi.
“Mengapa tidak kau teruskan?! Kau takut aku
mampus?!”
Kesabaran Bidadari Tujuh Langit pupus. “Aku tidak
butuh jawabanmu!” hardiknya. Kedua tangannya dite-
ruskan berkelebat. Namun entah mengapa tiba-tiba dia
belokkan arah kelebatan tangannya.
Bummm! Bummm!
Tanah empat langkah di samping Perempuan Kem-
bang Darah muncrat semburat. Sebagian luruh berta-
buran pada sosok mayat Iblis Muka Setan dan Perem-
puan Kembang Darah.
“Aku tak segan membuatmu seperti tanah itu kalau
kau tidak segera buka mulut!” bentak Bidadari Tujuh
Langit. Lalu angkat kedua tangannya lagi.
“Aku akan menjawab kalau kau jawab dulu perta-
nyaanku. Kau pernah berbuat gila pada kedua gadis
itu?!”
“Mereka telah berani kurang ajar menipuku! Untung
aku memberinya dengan imbalan kenikmatan!”
“Hem... Begitu?! Apa rasanya lain?!”
Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Empat Ca-
krawala sudah merah mengelam. Kalau saja mereka
tak sadar tengah terluka dalam, pasti kedua gadis ini
akan nekat berkelebat.
Bidadari Tujuh Langit mendengus. Lalu melangkah
satu tindak. Tangan kanannya berkelebat jambak ram-
but Perempuan Kembang Darah hingga kepala perem-
puan berbaju biru ini tersentak tengadah. Namun jelas
tidak ada raut ketakutan pada wajahnya! Membuat Bi-
dadari Tujuh Langit bantingkan kaki dan berteriak.
“Jawab tanyaku atau kuputus tanggal kepalamu!
Siapa adanya kedua muridmu itu!”
Mata Perempuan Kembang Darah melirik dengan bi-
bir sunggingkan senyum. Lalu perempuan kekasih Ib-
lis Muka Setan ini pejamkan matanya dan berkata.
“Enam belas tahun lalu aku mengambil mereka dari
Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit rasakan darahnya laksana si-
rap. Tanpa sadar tangan kanannya yang menjambak
rambut orang disentakkan ke depan. Hingga kepala
Perempuan Kembang Darah teleng ke depan. Namun
saat lain kembali Bidadari Tujuh Langit gerakkan tan-
gan kanan dan sentakkan rambut Perempuan Kem-
bang Darah ke belakang.
“Katakan sekali lagi siapa adanya kedua muridmu
itu!”
Perempuan Kembang Darah tertawa panjang. “E-
nam belas tahun lalu aku mengambilnya dari Istana
Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit tahan napas. Kepalanya ber-
putar memandang ke arah Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala yang masih tidak me-
ngerti, karena mereka tidak tahu Istana Lima Bidadari.
“Benarkah ucapan perempuan ini?! Apa dia tidak
mengada-ada?!” Bidadari Tujuh Langit membatin. Lalu
seolah belum yakin dengan jawaban orang, dia kembali
bertanya.
“Benar kau mengambilnya dari Istana Lima Bidada-
ri?!”
“Telingamu tidak tuli! Apa...”
Hanya sampai di situ ucapan yang terdengar dari
mulut Perempuan Kembang Darah, karena bersama
dengan itu kaki kiri Bidadari Tujuh Langit terangkat.
“Tahan!” hampir bersamaan Galuh Sembilan Gerha-
na dan Galuh Empat Cakrawala berteriak.
Namun Bidadari Tujuh Langit tidak acuhkan teria-
kan orang. Kaki kanannya yang dibuat tumpuan tu-
buh diputar. Kaki kirinya berkelebat.
Desss!
Perempuan Kembang Darah tidak sempat lagi per-
dengarkan suara keluhan. Karena darah sudah semburat dari mulutnya. Saat yang sama sosoknya mental
dan jatuh terkapar tiga tombak di belakang sana tanpa
bergerak-gerak lagi! Nyawa perempuan kekasih Iblis
Muka Setan ini putus dengan dada melesak dan beru-
bah menjadi laksana dipanggang!
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala tersentak kaget. Dan keduanya jadi merinding ke-
tika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit berpaling ke arah
mereka dan berkelebat lalu tegak hanya beberapa lang-
kah di hadapan mereka dengan mata memandang tak
berkesip!
***
TUJUH
SEMENTARA itu, melihat apa yang terjadi Pendekar
131 sejak tadi sempat serba salah. Dalam hati kecilnya
dia tidak bisa membiarkan begitu saja Bidadari Tujuh
Langit bertindak kasar pada orang yang sudah tidak
berdaya. Namun dia sadar, apa pun yang akan dilaku-
kannya tidak akan bisa membantu. Selain jarak antara
dia dengan Bidadari Tujuh Langit agak jauh, sengketa
antara kedua perempuan itu tidak mungkin dapat dis-
elesaikan dengan cara baik-baik. Hingga akhirnya mu-
rid Pendeta Sinting hanya bisa tegak memandang.
Di lain pihak, Nenek Selir tegak diam laksana pa-
tung begitu mendengar dan melihat apa yang terjadi.
Dan sosoknya bergetar ketika melihat Bidadari Tujuh
Langit sudah tegak di hadapan Galuh Sembilan Ger-
hana dan Galuh Empat Cakrawala.
“Selama ini aku telah dengar perihal perempuan bi-
nal itu! Tapi mungkinkah benar jika kedua gadis itu
adalah anak-anaknya?! Ah... Aku tak dapat bayang
kan bagaimana perasaan mereka kalau benar mereka
adalah ibu dan anak! Padahal mereka berdua telah di-
perlakukan gila oleh perempuan itu..! Nasib manusia
memang tidak bisa diduga! Dia mencari anaknya, begi-
tu jumpa ternyata...” Nenek Selir tidak lanjutkan uca-
pan. Dia gelengkan kepala. Lalu menghela napas pan-
jang. “Selama ini aku juga tengah mencari di mana
rimbanya anakku! Tapi aku belum juga mendapat titik
terang! Mungkinkah pada akhirnya nanti aku bisa ber-
temu dengan anakku?!” Kembali Nenek Selir menghela
napas panjang. Saat itulah dia mendengar bentakan
Bidadari Tujuh Langit.
“Kalian berdua! Jangan berani berkata dusta pada-
ku! Katakan siapa kalian sebenarnya?!”
Galuh Empat Cakrawala berpaling pada Galuh Sem-
bilan Gerhana dan berbisik.
“Siapa pun adanya perempuan ini, dia harus mam-
pus di tangan kita! Siapkan tenaga dalam semampu
kau bisa!”
Tanpa menunggu sambutan, Galuh Empat Cakra-
wala segera alihkan pandangan pada Bidadari Tujuh
Langit dan berkata.
“Kau telah tahu siapa kami! Kau tidak perlu lagi
bertanya!”
Bidadari Tujuh Langit menggeram dalam hati. Na-
mun raut wajahnya jelas membayangkan perasaan
bimbang. Beberapa saat lamanya dia menatapi sosok
kedua gadis di hadapannya sambil menghela napas.
Saat kemudian dia buka mulut. Kali ini suaranya di-
tekan rendah. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum.
“Sebenarnya di antara kita tidak ada silang seng-
keta. Kalaupun ada itu karena salah paham kalian!
Jadi...”
“Kau telah membuat aib! Aneh jika kau mengatakan
di antara kita tak ada silang sengketa! Justru sengketa
kita tak akan tuntas sebelum salah satu di antara kita
mampus!” Galuh Empat Cakrawala sudah memotong.
“Baiklah kalau hal itu kalian anggap urusan besar!
Tapi mari kita lupakan sejenak urusan itu! Aku perlu
keterangan benar dari kalian!”
“Kau telah tahu. Kami berdua adalah murid Iblis
Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah!” Yang
buka suara Galuh Sembilan Gerhana.
“Aku tahu... Yang jadi pertanyaan, kalian tahu siapa
sebenarnya adanya kalian?”
Tidak ada yang menjawab. Bidadari Tujuh Langit
kembali menghela napas panjang. Lalu berkata.
“Pada pertemuan kita dahulu, kalian mengatakan
akulah yang membunuh kedua orang tua kalian, hing-
ga kalian mencariku untuk membalas! Sekarang aku
tanya. Kalian tahu siapa orang tua kalian yang kubu-
nuh?!”
Setelah terdiam agak lama, akhirnya Galuh Empat
Cakrawala yang menjawab.
“Kami memang tidak tahu! Tapi kami percaya kau-
lah yang membunuhnya!”
“Kalian dengar ucapan guru perempuan kalian ta-
di?!”
“Telinga kami masih sempurna!” jawab Galuh Em-
pat Cakrawala.
“Bagus! Kalian pernah dengar tentang Istana Lima
Bidadari?!”
“Itu bukan urusan kami! Kalaupun kami tahu, apa
pedulimu?!”
“Dengar! Istana Lima Bidadari adalah istana yang
kubangun pada beberapa puluh tahun silam! Istana
itu kubangun untuk kelima anakku! Kalau benar uca-
pan guru perempuan kalian, berarti kalian adalah....”
“Jangan mimpi! Kami tidak percaya dengan ketera-
ngan itu!” Galuh Empat Cakrawala lagi-lagi sudah me-
nukas ucapan Bidadari Tujuh Langit.
“Hem.... Aku masih ingat benar. Kelima anakku ku-
beri tanda!” Bidadari Tujuh Langit berkata sendiri da-
lam hati dengan coba menindih rasa jengkel dengan ja-
waban yang didengar.
Setelah berpikir agak lama, akhirnya perempuan
bertubuh bahenol ini buka mulut lagi
“Kalian boleh tidak percaya dengan keterangan
yang kalian dengar. Tapi apa kalian tahu jika di...”
“Percuma kau meyakinkan!” Kali ini yang memotong
adalah Galuh Sembilan Gerhana. “Siapa pun adanya
dirimu, kau tetap manusia yang harus mampus di tan-
gan kami!”
“Terpaksa aku harus bertindak dengan caraku sen-
diri!” gumam Bidadari Tujuh Langit. “Kalau ternyata
mereka bukan, mereka harus menyusul si Pasangan
Mesum!”
Berpikir begitu Bidadari Tujuh Langit segera maju
dua tindak. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-
pat Cakrawala sudah waspada dengan gerakan orang.
Hingga meski dalam keadaan terluka dalam cukup pa-
rah, namun kedua gadis ini sekuat tenaga coba kerah-
kan tenaga dalam yang tersisa. Lalu serentak mereka
berdua angkat tangan masing-masing.
Bidadari Tujuh Langit terlihat bimbang. Beberapa
kali dia menghela napas dengan kepala tengadah.
“Aku ingin mengajak kalian bicara baik-baik! Siapa
tahu di antara kita memang masih ada hubungan...”
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut setelah
agak lama berpikir.
“Terlambat kau mengatakan hal itu! Seandainya
kau mengatakannya sebelum menabur aib, mungkin
kami masih bisa menerima!” kata Galuh Empat Cakra-
wala.
“Hem... Bodohnya diriku. Seharusnya aku melihat
tanda itu sebelum peristiwa itu terjadi! Tapi semuanya
memang sudah terlambat! Apa yang harus kulakukan
sekarang?! Membunuh mereka?! Dan percaya saja jika
mereka bukanlah anak yang diambil dari Istana Lima
Bidadari pada enam belas tahun silam?! Tapi selama
ini aku telah berusaha mencari. Sekarang ada sebuah
titik terang. Apakah kesempatan ini akan kulewatkan
begitu saja?!”
Dalam kebimbangannya begitu rupa, tiba-tiba Bida-
dari Tujuh Langit ingat akan ucapan Iblis Muka Setan
dan Perempuan Kembang Darah saat mereka bertemu
tidak lama berselang.
“Dua manusia itu pernah mengatakan aku akan
berperang dengan perasaanku sendiri! Dan saatnya ti-
dak lama lagi!” Terngiang kembali ucapan Iblis Muka
Setan ketika dia bertemu dengan laki-laki berpakaian
gombrong itu pada beberapa hari yang lalu. “Apakah
kejadian hari ini yang dimaksud ucapannya?! Hem....”
Kalau Bidadari Tujuh Langit dilanda perasaan bim-
bang, sebenarnya diam-diam Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala juga didera perasaan ra-
gu-ragu. Hanya saja karena rasa marah lebih mengu-
asai diri kedua gadis ini, mereka tidak begitu acuhkan
perasaan.
“Ah.... Sebaiknya aku menunggu waktu yang tepat!”
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan. “Mung-
kin saat ini mereka masih marah dengan peristiwa
tempo hari. Saat lain siapa tahu pikiran mereka beru-
bah!”
Habis berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit tatapi
kedua gadis di hadapannya. Dia tersenyum, lalu tanpa
buka mulut lagi dia balikkan tubuh dan melangkah
menjauh.
Saat itulah Galuh Empat Cakrawala memberi isya-
rat pada saudaranya. Saat lain kedua gadis ini telah
sentakkan tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt!
Wuutt! Wuuut!
Empat gelombang melabrak lurus ke arah Bidadari
Tujuh Langit.
Walau gelombang yang melesat itu hanya mengan-
dalkan sisa-sisa tenaga dalam, namun gelombang itu
masih mampu melabrak hancur bongkahan batu be-
sar!
Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun kali ini ti-
dak membuat gerakan apa-apa. Dia hanya kerahkan
tenaga dalam untuk menahan diri.
Dess! Dess!
Sosok Bidadari Tujuh Langit terpental satu tombak
dan terhuyung-huyung.
Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala tidak menunggu lagi. Me-
reka segera angkat tangan masing-masing, lalu kemba-
li lepaskan pukulan!
Bidadari Tujuh Langit menghadapi gelombang yang
datang dengan bibir tersenyum dan kepala lurus me-
natap silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala. Lagi-lagi perempuan Ini tidak
membuat gerakan hadangan atau menghindar.
Dess! Dess!
Untuk kedua kalinya sosok Bidadari Tujuh Langit
terpental lalu jatuh terduduk satu setengah tombak
dari tempatnya semula. Paras wajahnya berubah. Na-
mun saat lain perempuan ini telah sunggingkan se-
nyum dan berkata.
“Kalian kuberi kesempatan untuk tumpahkan apa
yang kalian mau... Karena aku percaya kalian adalah
anak-anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari..!”
“Siapa berani sebut-sebut Istana Lima Bidadari?!”
Tiba-tiba satu teguran terdengar. Satu sosok tubuh
berkelebat.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke samping.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
berpaling. Nenek Selir pentangkan mata lalu bergu-
mam.
“Manusia apa lagi yang muncul ini?! Nada ucapan-
nya seperti dia tahu benar Istana Lima Bidadari!”
Orang terakhir yang menoleh adalah murid Pendeta
Sinting. Tapi justru dia orang yang paling tersentak
kaget!
Di tempat itu telah tegak seorang pemuda berparas
tampan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Sosok-
nya yang kekar dibalut dengan jubah hitam panjang
melapis pakaian warna putih. Rambutnya hitam pan-
jang. Jika orang yang melihat meneliti dari ujung ram-
but sampai ujung kaki, maka akan tahu jika pemuda
berjubah hitam ini mengenakan sebuah cincin ber-
warna hijau pada ibu jari kaki kanannya.
“Datuk Kala Sutera!” gumam Pendekar 131 menge-
nali siapa pemuda berjubah hitam. Dia memperhatikan
sesaat seraya membatin.
“Pemuda ini mencari tahu tentang kelima anaknya
yang katanya lenyap begitu saja pada enam belas ta-
hun silam! Sementara Bidadari Tujuh Langit juga se-
but-sebut masa enam belas tahun silam! Apa hubu-
ngan antara keduanya?! Dari ucapan Putri Pusar Bu-
mi, cincin yang dikenakan di jari kaki Bidadari Tujuh
Langit itu pasti yang disebut-sebut Sepasang Cincin
Keabadian! Lalu beberapa saat lalu, kekasih Nenek Se
lir itu mengatakan pedang putih yang berada di dalam
kotak emas berukir bernama Pedang Keabadian! Apa-
kah keduanya juga ada kaitannya?! Atau hanya nama
saja yang sama?!”
Selagi Joko membatin begitu, di seberang depan sa-
na mendadak pemuda berjubah hitam panjang berpal-
ing ke arahnya. Sepasang mata si pemuda membeliak
angker dengan mulut menyeringai.
“Pasti dia menagih janji! Apa yang harus kukatakan
padanya?!” Joko mendesis dengan bibir coba terse-
nyum pada si pemuda berjubah hitam yang bukan lain
memang Datuk Kala Sutera adanya.
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu putar
kepala ke arah Nenek Selir. Saat itulah si nenek baru
sadar siapa adanya si pemuda.
“Sialan! Nyatanya dia!” gumam Nenek Selir.
Seperti diketahui, ketika terjadi pertemuan antara
Datuk Kala Sutera dengan Pendekar 131 beberapa hari
yang lalu, muncullah Nenek Selir. Karena kemunculan
nenek ini akhirnya Joko bisa lolos.
Untuk beberapa saat Datuk Kala Sutera pandangi
Nenek Selir dengan seksama. Lalu angkat tangan kiri-
nya. Kepalanya didongakkan. Tangan kirinya terus di-
putar lurus ke arah murid Pendeta Sinting. Lalu ter-
dengar ucapannya.
“Kau!” Tangan kiri Datuk Kala Sutera memutar ke
arah si nenek. “Dan kau! Jangan berani beranjak dari
tempat masing-masing! Urusan kita tempo hari belum
selesai!”
“Aku tak punya urusan apa-apa denganmu!” Nenek
Selir berteriak.
Datuk Kala Sutera tarik pulang tangannya. Masih
dengan tengadahkan kepala dia kembali berucap.
“Kau telah membawa kabur pemuda itu! Padahal
dia harus menjawab pertanyaanku! Silakan kau ang-
gap itu bukan satu urusan! Tapi bagiku itu adalah
urusan besar!”
“Siapa yang membawa kabur?! Dia sendiri yang me-
ngikutiku! Lagi pula apa untungnya aku membawa ka-
bur pemuda jelek begitu?! Sementara aku banyak
punya kenalan pemuda tampan?! Hik... Hik... Hik..!”
“Nek! Mengapa kau sekarang berkata begitu?! Saat
kau membawaku kabur, kau bilang akulah pemuda
paling tampan yang pernah kau temukan! Setelah uru-
sanmu selesai, enak saja kau bilang aku pemuda je-
lek!” Joko berteriak menyahut.
“Tutup mulut kalian! Jangan kira aku percaya pada
sandiwara gila ini!” bentak Datuk Kala Sutera. Datuk
Kala Sutera tampaknya bisa membaca gelagat, karena
pada pertemuan mereka tempo hari, pemuda berjubah
hitam ini sempat terkecoh dengan ucapan Nenek Selir
dan Pendekar 131.
Habis membentak begitu, Datuk Kala Sutera arah-
kan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.
Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-
dang. Sepasang mata Datuk Kala Sutera tampak me-
nyipit membelalak. Kepalanya disorongkan ke depan
ke belakang. Diam-diam pemuda Ini membatin.
“Sepertinya mataku pernah melihat sosok perem-
puan cantik ini! Tapi di mana...? Dia sebut-sebut Ista-
na Lima Bidadari. Dari mana dia tahu?! Padahal cerita
Istana Lima Bidadari sudah enam belas tahun silam!”
Jika diam-diam Datuk Kala Sutera membatin, Bida-
dari Tujuh Langit ternyata juga berkata dalam hati.
“Aku ingat benar jika pernah bertemu dengan pemuda
ini! Sayang aku tidak ingat kapan dan di mana! Aneh-
nya mengapa dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari la-
yaknya orang yang tahu?!”
Melihat sikap kedua orang di seberang depan, Ne-
nek Selir kernyitkan dahi. “Aneh.... Sandiwara apa
yang tengah dimainkan kedua manusia itu?! Aku yakin
yang perempuan adalah Bidadari Tujuh Langit. Yang
laki-laki adalah Datuk Kala Sutera. Cincin pada ibu ja-
ri keduanya membuktikan hal itu. Semua orang di ko-
long tanah Tibet juga sudah tahu kalau kedua ma-
nusia itu adalah pasangan suami-istri! Tapi mengapa
mereka seperti orang yang tidak saling kenal?! Tidak
ada yang bicara atau saling sapa! Mereka hanya saling
mendelik layaknya orang baru jatuh cinta!”
Selagi Nenek Selir menduga-duga, di seberang de-
pan Datuk Kala Sutera buka mulut.
“Harap tidak keberatan mengatakan siapa dirimu!”
“Gila! Ada apa ini...?! Apakah pemuda itu sudah la-
mur?!” Nenek Selir mendesis.
“Kau yang harus katakan dulu siapa adanya diri-
mu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara.
Si nenek terkejut. “Aku memang mendengar kedua
manusia itu berpisah. Tapi adalah gila kalau sekarang
tidak saling kenal!”
***
DELAPAN
DATUK Kala Sutera pandangi lekat-lekat wajah Bi-
dadari Tujuh Langit. Mendadak dia surutkan langkah
dengan mata maki mementang.
“Aku ingat! Bukankah dia perempuan yang kutemui
ketika aku baru mendapatkan cincin dari Sepasang
Cincin Keabadian?! Perempuan ini pula yang sempat
membawa perahuku! Dia juga yang kutemukan di seki-
tar Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam!” Datuk Kala Sutera membatin. “Astaga! Perem-
puan ini pula yang sosoknya bisa berubah menjadi ne-
nek-nenek!” Datuk Kala Sutera tercekat dengan kuduk
dingin. Lalu putar pandangan berkeliling.
“Kau tak mau sebutkan diri! Lebih baik kau segera
angkat kaki dari tempat ini!” Bidadari Tujuh Langit
buka mulut.
Datuk Kala Sutera tidak hiraukan ucapan orang.
Sebaliknya dia terus membatin. “Apa hubungan pe-
rempuan ini dengan gadis baju ungu bernama Dayang
Tiga Purnama.... Gadis itu juga berubah sosoknya
menjadi nenek-nenek saat hendak kudekati!” Sang Da-
tuk ingat pertemuannya dengan Dayang Tiga Purnama
belum lama berselang. Saat itu di mata sang Datuk,
sosok Dayang Tiga Purnama memang berubah menjadi
seorang nenek-nenek ketika sang Datuk mulai dibakar
nafsu dan hendak mendekati. Hingga Datuk Kala Su-
tera batalkan niat dan kabur.
Karena ucapannya tidak diacuhkan orang, Bidadari
Tujuh Langit pasang tampang angker. Lalu mulutnya
membuka hendak membentak. Namun tiba-tiba mulut
itu terkancing lagi. Sepasang matanya mendelik.
“Kalau tak salah, bukankah manusia laki-laki ber-
jubah hitam panjang ini adalah manusia yang kuberi
tumpangan perahu setelah aku mendapatkan cincin
dari Sepasang Cincin Keabadian?! Bukankah dia juga
yang coba-coba mengikuti langkahku hingga ke Istana
Lima Bidadari?! Tapi saat itu dia bersikap aneh... Ti-
dak ada hujan tidak ada angin mendadak dia lari tung-
gang langgang! Hem... Peristiwa itu sudah berlalu e-
nam belas tahun silam... Hem.... Anehnya, wajah dan
sosoknya tidak mengalami perubahan! Apakah dia....”
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan
membatin, Datuk Kala Sutera buka suara.
“Kau tahu apa tentang Istana Lima Bidadari?!”
“Aku yang seharusnya tanya padamu! Kau tiba-tiba
muncul dan ikut campur pembicaraanku!” sahut Bi-
dadari Tujuh Langit.
Datuk Kala Sutera sekali lagi pandangi sosok Bida-
dari Tujuh Langit dengan lebih seksama. Lalu berucap.
“Aku Datuk Kala Sutera! Akulah yang membangun
Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit terdiam beberapa saat. Na-
mun kejap lain tiba-tiba dia perdengarkan tawa berge-
lak panjang. Dengan angkat tangan menunjuk pada
sosok sang Datuk dia berkata.
“Kau dahulu kuberi tumpangan perahu! Kau juga
coba-coba mengikutiku hingga ke Istana Lima Bidada-
ri! Adalah aneh kalau kau sekarang mengatakan kau
yang membangun Istana Lima Bidadari!”
“Hem... Jadi benar! Dialah perempuan yang sempat
kujumpai pada enam belas tahun silam!” Membatin
Datuk Kala Sutera. Lalu berkata.
“Sebenarnya aku yang harus merasa aneh! Kau ta-
hu? Perahu yang kau bawa sebenarnya adalah milik-
ku! Kalaupun saat itu aku pura-pura sebagai pengait
yang perahunya hancur diterjang badai, karena saat
itu aku tak mau ribut denganmu! Dan kau harus juga
tahu. Aku tidak mengikutimu! Saat itu aku memang
tengah menuju Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa mende-
ngar keterangan Datuk Kala Sutera. Namun laksana
disentak setan, perempuan ini putuskan gelakan ta-
wanya. Lalu membentak.
“Siapa pun adanya dirimu, aku tak punya waktu
banyak untuk bicara denganmu. Katakan saja apa
maumu sebenarnya!”
“Kau sebut-sebut anak yang diambil dari Istana Li
ma Bidadari. Aku ingin tahu siapa yang kau maksud!”
Datuk Kala Sutera arahkan pandangan pada Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lalu
teruskan ucapan. “Kedua gadis itu?!”
“Kuperingatkan agar kau lekas angkat kaki dari ha-
dapanku!” kata Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab
pertanyaan orang.
“Aku tanya! Aku tak akan pergi sebelum mendapat
jawaban! Lagi pula aku punya urusan dengan pemuda
dan nenek keparat itu!” Datuk Kala Sutera pulang ba-
likkan kepala memandang silih berganti pada Pende-
kar 131 dan Nenek Selir.
“Kau boleh punya urusan dengan siapa saja! Tapi
kalau kau kait-kaitkan dengan Istana Lima Bidadari,
kau akan menyesal! Bukan saja kau tak akan menda-
pat keterangan apa-apa, tapi kau juga tak akan sele-
saikan urusanmu yang lain. Karena kau akan mampus
terlebih dahulu!”
Kali ini Datuk Kala Sutera yang tertawa panjang.
“Ucapanmu aneh. Aku yang membangun Istana Lima
Bidadari. Tapi kau mengatakan aku akan menyesal ka-
lau kait-kaitkan urusan dengan istana yang kuba-
ngun!”
“Hem.... Begitu?!” ujar Bidadari Tujuh Langit de-
ngan senyum dingin. “Aku tanya. Kau yang memba-
ngun Istana Lima Bidadari. Mengapa kau sekarang
mencari keterangan yang ada kaitannya dengan istana
itu?!”
“Karena anakku lenyap dari istana itu pada enam
belas tahun lalu!”
Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Tapi
cuma sesaat. Saat lain perempuan ini tertawa dan ber-
kata.
“Tampaknya kau pandai mengarang cerita.... Bisa
ceritakan padaku bagaimana anakmu bisa lenyap?!”
Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Bidadari
Tujuh Langit alihkan pandangan. Lalu buka mulut la-
gi.
“Kau tak tahu bagaimana anakmu lenyap. Bagai-
mana mungkin orang akan percaya jika kau manusia-
nya yang membangun istana itu?! Kau terlalu menga-
da-ada cerita.... Sebelum aku muak, jalan terbaikmu
adalah menyingkir dari tempat ini!”
Datuk Kala Sutera geleng kepala dengan menyerin-
gai. “Aku tanya sekali lagi. Kedua gadis itukah yang
kau sebut-sebut sebagai anak yang diambil dari Istana
Lima Bidadari?!”
“Kalau aku tak mau jawab, kau mau apa?!”
Melasa ditantang begitu rupa, dada Datuk Kala Su-
tera laksana dibakar. Tapi laki-laki ini masih coba me-
nindih hawa kemarahan. Lalu berkata.
“Enam belas tahun silam aku sengaja menghindar
agar tidak terjadi silang masalah denganmu! Tapi se-
karang...”
“Sekarang mengapa?!” sahut Bidadari Tujuh Langit.
“Aku tak segan membunuhmu jika kau tidak mau
jawab pertanyaanku tadi!”
Bidadari Tujuh Langit lagi-lagi tertawa. “Dari tadi
aku sudah tidak mau jawab pertanyaanmu. Mengapa
kau masih diam saja?!”
Belum habis ucapan Bidadari Tujuh Langit. Datuk
Kala Sutera sudah berkelebat dan tegak hanya bebera-
pa langkah di hadapan sang Bidadari.
“Terakhir kali aku bicara. Jawab....”
Ucapan Datuk Kala Sutera terputus. Karena bersa-
maan dengan itu mendadak Bidadari Tujuh Langit su-
dah menyergap ke depan. Kedua tangan dikelebatkan
menghantam!
Bukk! Bukk!
Kedua tandan Bidadari Tujuh Langit bentrok de-
ngan kedua tangan Datuk Kala Sutera yang diangkat
menghadang pukulan yang datang. Kedua orang ini
sama tersentak mundur. Wajah masing-masing beru-
bah.
Bidadari Tujuh Langit memandang sesaat pada so-
sok Datuk Kala Sutera. Dari bentroknya tangan, tam-
paknya sang Bidadari maklum jika lawan memiliki te-
naga dalam cukup kuat. Hingga begitu tersentak mun-
dur, dia cepat lipat gandakan tenaga dalam pada ke-
dua kaki. Saat lain kembali dia berkelebat ke depan.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sendiri tampaknya
tidak mau bertindak ayal. Begitu tahu apa yang dila-
kukan orang, dia tidak menunggu. Dia segera pula
berkelebat menyongsong sosok Bidadari Tujuh Langit.
Di atas udara. Bidadari Tujuh Langit putar tubuh-
nya ke kiri. Lalu sekonyong-konyong kaki kirinya
membuat gerakan menendang!
Wuutt!
Terdengar deruan angker. Sekilas tampak sinar me-
rah berkiblat.
Datuk Kala Sutera tekuk kaki kanannya. Saat lain
kaki kanannya dihantamkan ke samping kanan meng-
hadang tendangan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.
Wuutt!
Dari kelebatan kaki kanan Datuk Kala Sutera ter-
dengar deruan yang tak kalah angkernya. Dan saat
yang sama terlihat kilatan sinar hijau.
Bukkkk!
Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Su-
tera sama perdengarkan seruan tegang. Kaki kiri sang
Bidadari terpental balik ke udara. Sosoknya Ikut terpu-
tar. Lalu tersapu mencelat ke belakang. Perempuan ini
memang tak sampai jatuh. Namun sempat terhuyung-
huyung di atas tanah beberapa saat dengan ke-dua lu-
tut goyah.
Dua tombak di seberang, Datuk Kala Sutera tampak
melayang turun dengan sosok tersentak-sentak. Sesaat
pemuda berjubah hitam ini sempat oleng ke samping.
Namun begitu sosoknya membuat gerakan berputar.
Dia telah kembali tegak.
“Aneh.... Kaki kiriku mencelat! Baru kali ini aku
mengalaminya!” Bidadari Tujuh Langit mendelik mem-
perhatikan kaki kirinya. Kaki kiri itu memang tidak
mengalami cedera apa-apa. Namun Bidadari Tujuh
Langit rasakan kaki itu tegang kaku dan laksana luluh
lantak!
“Siapa laki-laki itu sebenarnya?!” Bidadari Tujuh
Langit sentakkan kepala lurus pandangi sosok Datuk
Kala Sutera. Saat yang sama, Datuk Kala Sutera yang
diam-diam juga merasa heran tengah menatap tajam
pada Bidadari Tujuh Langit.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laksana didorong
kekuatan dahsyat, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera sama surutkan langkah dengan mulut per-
dengarkan seruan tertahan kala masing-masing mata
keduanya melihat ibu jari kaki lainnya mengenakan
cincin!
“Aku ingat betul! Cincin yang kukenakan adalah
cincin dari Dewi Keabadian. Cuma aku tak habis pikir.
Bagaimana aku lupa mengapa hanya satu cincin yang
kudapatkan?! Dan aku tahu persis, cincin yang dike-
nakan pemuda itu adalah pasangan dari cincin yang
kupakai! Bagaimana bisa begini?!” Sang Bidadari mem-
batin.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera juga berkata da-
lam hati. “Perempuan itu mengenakan cincin di ibu jari
kaki kiri. Jelas itu adalah cincin dari Sepasang Cincin
Keabadian! Bagaimana dia bisa mendapatkannya?!
Aku lupa sama sekali. Bagaimana saat itu aku hanya
mendapatkan satu cincin?!” Datuk Kala Sutera meng-
geleng. Lalu tengadah coba mengingat. Tapi sekuat te-
naga dia mencoba, tetap saja tak bisa.
“Hem... Aku harus bisa merebut cincin itu dari tan-
gannya!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan
setelah agak lama berpikir namun tak juga ingat apa
yang telah dilakukannya saat mendapatkan cincin
yang kini berada di ibu jari kaki kirinya.
Sementara itu begitu tak bisa mengingat, Datuk Ka-
la Sutera segera arahkan pandangan pada Bidadari
Tujuh Langit dan bergumam sendiri.
“Cincin yang dikenakan adalah pasangan dari cin-
cin yang kupakai! Sekarang tak penting bagaimana dia
bisa mendapatkan cincin itu! Yang pasti, dia harus
menyerahkan padaku!”
Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangan. Lalu berteriak.
“Aku akan melupakan urusan pertanyaan yang be-
lum kau jawab! Tapi sebagai gantinya, kau harus se-
rahkan cincin di ibu jari kaki kirimu!”
Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker.
Sambil menyeringai dia menyahut.
“Sebelum kuturuti permintaanmu, serahkan dahulu
cincin hijau di ibu jari kaki kananmu!”
“Aku meminta baik-baik!” kata Datuk Kala Sutera
sambil angkat kedua tangan.
“Kau kira aku takut?!” sahut Bidadari Tujuh Langit
dengan ikut angkat kedua tangan. Lalu sepasang ma-
tanya dipentang.
Datuk Kala Sutera melangkah maju. Bidadari Tujuh
Langit tidak tinggal diam. Dia ikut gerakkan kaki melangkah ke depan. Mata masing-masing saling perang
pandang. Saat lain hampir bersamaan kedua orang ini
sama gerakkan tangan masing-masing.
Namun baru setengah jalan, tiba-tiba satu sosok
tubuh berkelebat. Dua rangkum gelombang berkiblat
ke arah Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit.
Datangnya gelombang serangan yang tiba-tiba bu-
kannya membuat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tu-
juh Langit hilang kewaspadaan. Mereka tak mau ber-
laku ayal. Kesempatan kecil tidak mustahil akan di-
manfaatkan lawan. Hingga tanpa berpaling ke arah da-
tangnya gelombang, kedua orang ini hanya putar gera-
kan tangan masing-masing lalu dihantamkan meng-
hadang gelombang yang datang. Sementara tangan sa-
tunya tetap berada di atas udara berjaga-jaga.
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar ketika gelombang yang
tiba-tiba berkiblat terhadang gelombang yang melesat
dari tangan kanan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tu-
juh Langit.
Suara ledakan belum lenyap, terdengar orang ber-
suara.
“Enam belas tahun buka waktu yang panjang! Tapi
terlalu lama bagi sebuah urusan darah! Datuk Kala
Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu
lagi!”
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling
pandang beberapa saat. Lalu serentak mereka berpal-
ing.
Memandang ke depan, sang Datuk dan sang Bida-
dari melihat seorang laki-laki berusia agak lanjut ber-
tampang angker. Parasnya bulat ditingkah kumis lebat
dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata sebe-
lah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah kulit berbentuk bundar berwarna hitam yang diikatkan ke be-
lakang kepalanya. Pada pipi kirinya melintang codet
besar dan panjang sampai telinga. Rambutnya dibiar-
kan bergerai panjang menutupi sebagian paras wajah
dan pundaknya. Laki-laki ini mengenakan pakaian hi-
tam-hitam yang dilapis dengan jubah panjang warna
hitam sebatas lutut.
“Enam belas tahun berlalu! Tapi pasti kalian tak lu-
pa padaku!” berkata laki-laki bermata satu sambil me-
mandang silih berganti pada Datuk Kala Sutera dan
Bidadari Tujuh Langit.
Namun mata satu-satunya laki-laki berjubah hitam
ini terhenti dan terpentang besar kala melihat pakaian
bawah Bidadari Tujuh Langit yang robek dan sedikit
menyingkap hingga sembulan kedua pahanya yang pu-
tih dan padat terlihat jelas!
***
SEMBILAN
SETAN Enam Lembah!” hampir bersamaan Datuk
Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit bergumam.
“Syukur mata kalian belum buta untuk mengenali-
ku! Ha... Ha... Ha...!” Laki-laki bermata satu berucap
tanpa alihkan pandangannya dari paha Bidadari Tujuh
Langit. Malah dia usap-usap dagunya dengan lidah di-
keluarkan sedikit menyaput bibirnya.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sama
unjuk tampang terkejut. Bukan karena ucapan laki-la-
ki yang baru disebutnya sebagai Setan Enam Lembah,
melainkan merasa heran dapat bersama-sama menge-
nali siapa adanya si laki-laki!
“Kemunculan manusia mata satu ini pasti ada hubungannya dengan peristiwa lama! Anehnya, apa kai-
tannya dengan perempuan baju putih yang dipanggil-
nya Bidadari Tujuh Langit ini?!” Datuk Kala Sutera
membatin.
Baru saja sang Datuk membatin begitu, Bidadari
Tujuh Langit sudah buka suara.
“Setan Enam Lembah! Puluhan tahun silam nyawa-
mu masih kusisakan! Sebelum sisanya kuambil seka-
lian, masih ada waktu bagimu untuk enyah dari tem-
pat ini!”
Setan Enam Lembah tertawa panjang. “Tadi sudah
kukatakan. Enam belas tahun bukan waktu yang pan-
jang. Tapi terlalu lama untuk sebuah urusan darah!
Kau tahu. Aku sudah tak tahan untuk menunggu lagi!
Enam belas tahun lalu nyawamu memang masih utuh.
Tapi akan berakhir hari ini!”
“Hem... Ternyata Setan itu punya urusan pula de-
ngan perempuan itu!” Datuk Kala Sutera terus memba-
tin. “Anehnya, mengapa urusan itu terjadi enam belas
tahun lalu? Sama dengan terjadinya urusanku dengan
setan mata satu itu?!”
“Setan Enam Lembah!” Kembali Bidadari Tujuh La-
ngit buka mulut. “Kau datang mengantar sisa nyawa!
Aku tak segan untuk mengambilnya!” Bidadari Tujuh
Langit berkelebat ke depan. Sekali kedua tangannya
bergerak, dua sinar merah berkiblat!
Setan Enam Lembah tahu gelagat. Dia bukannya
menghadang pukulan yang datang dengan sentakkan
kedua tangan, namun berkelebat menghindar. Lalu
memutar arah dan tahu-tahu sudah tegak dua lang-
kah di samping Bidadari Tujuh Langit!
Gerakan cepat Setan Enam Lembah sempat mem-
buat Bidadari Tujuh Langit terkesiap kaget. Namun be-
lum sampai lenyap rasa kagetnya, kaki kanan orang
sudah menderu di depan wajahnya!
Bidadari Tujuh Langit pukulkan tangan kanan kiri.
Tapi sebelum kedua tangannya menghantam kaki ka-
nan orang, Setan Enam Lembah sudah tendangkan
kaki kiri ke arah pinggul sang Bidadari.
Bukkk!
Sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping.
Kedua tangan perempuan ini memang masih terus
menghantam, namun karena sosoknya terlempar, han-
taman kedua tangannya melabrak udara kosong.
Setan Enam Lembah tidak mau memberi kesempa-
tan. Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke
samping, dia susuli dengan sentakkan kedua tangan
lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuuuutt!
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Sambil me-
lesat setengah tombak ke udara, kedua tangan dan
kakinya disentakkan sekaligus!
Tempat Itu laksana ditelan sinar merah ketika dari
kedua tangan dan kaki Bidadari Tujuh Langit melesat
sinar merah yang berkiblat susul menyusul.
Baru saja Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan,
mendadak Datuk Kala Sutera melompat ke depan.
Tanpa diduga sama sekali, pemuda berjubah hitam
panjang ini sentakkan kedua tangan ke arah Bidadari
Tujuh Langit!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin yang disemburati warna hijau
menggebrak ganas.
Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua tan-
gannya yang baru saja lepas pukulan menghadang pu-
kulan Setan Enam Lembah memang masih bergerak
terangkat. Namun belum sampai dihantamkan, puku-
lan Datuk Kala Sutera sudah menerjang!
Blaarr! Blarrr!
Di depan, terdengar ledakan hebat ketika pukulan
Setan Enam Lembah bentrok dengan pukulan yang di-
lepas Bidadari Tujuh Langit. Kawasan hutan bambu
itu berguncang keras. Tanahnya semburat bertabur ke
udara.
Sosok Setan Enam Lembah tersapu dan jatuh ter-
jengkang di atas tanah dengan mulut langsung sem-
burkan darah. Jubah yang dikenakan robek hingga se-
batas pinggang. Rambutnya yang panjang terpangkas
dan tebarkan hawa seperti rambut terbakar. Kulit se-
kujur tubuhnya mengelupas hingga sekujur tubuh la-
ki- laki ini berubah menjadi merah keputih-putihan!
Di lain pihak, saat pukulan yang dilepas bentrok
dengan pukulan Setan Enam Lembah, sosok Bidadari
Tujuh Langit tersentak ke belakang. Dan belum sem-
pat dia kuasai diri, mendadak pukulan yang dilepas
Datuk Kala Sutera menyongsong! Hingga tanpa ampun
lagi sosok perempuan bertubuh bahenol Ini mental de-
ras malah sempat terbanting di udara beberapa kali
sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan
mulut perdengarkan seruan tertahan dan kucurkan
darah!
“Jahanam licik!” maki Bidadari Tujuh Langit seraya
cepat salurkan hawa sakti untuk meredam rasa nyeri
pada dada dan kedua lengannya yang terasa seakan
tanggal. Saat lain dia terbungkuk-bungkuk bangkit.
Datuk Kala Sutera tersenyum. Lalu melompat ke
arah Bidadari Tujuh Langit. Namun gerakannya terta-
han ketika tiba-tiba Setan Enam Lembah gelundung-
kan diri dan sekonyong-konyong mentalkan tubuhnya
ke udara menghadang gerakan Datuk Kala Sutera
dengan sentakkan kakinya!
Datuk Kala Sutera tak mau gegabah. Dia tahu gerakan cepat orang. Hingga begitu kaki Setan Enam Lem-
bah bergerak, dia cepat papasi dengan tendangan. Se-
mentara kedua tangannya terangkat di udara.
Perhitungan Datuk Kala Sutera tidak meleset. Se-
bab begitu kakinya bergerak menendang, Setan Enam
Lembah dorongkan kedua tangannya!
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin dahsyat menderu angker lurus ke
arah kepala sang Datuk.
Datuk Kala Sutera cepat rundukkan kepala. Kedua
tangannya digerakkan. Saat itulah mendadak dua si-
nar merah menyala berkiblat!
Datuk Kala Sutera tercekat. Dalam keadaan seperti
itu dia diharuskan memilih. Menghadang pukulan Se-
tan Enam Lembah atau menghadang sinar merah yang
ternyata dilepas oleh Bidadari Tujuh Langit.
Karena sadar kematian Bidadari Tujuh Langit lebih
berharga daripada kematian Setan Enam Lembah, ak-
hirnya Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya
menghadang kiblatan sinar merah pukulan Bidadari
Tujuh Langit.
Desss! Bummm!
Sinar merah dan hijau tampak semburat ke udara.
Datuk Kala Sutera terhempas beberapa tombak ke
udara, lalu melayang jatuh dengan sosok terputar se-
belum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah.
Untuk beberapa saat sosok Datuk Kala Sutera ter-
diam. Namun saat lain pemuda ini telah bergerak
bangkit. Hanya saja, begitu kepalanya terangkat, mu-
lutnya tampak mengembung. Lalu semburkan darah!
Hampir bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Da-
tuk, sosok Setan Enam Lembah juga meluncur deras
sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah. Laki-laki
ini sebenarnya tidak terkena pukulan apa-apa. Bahkan
pukulan yang dilepas mampu membuat sosok Datuk
Kala Sutera terlempar ke udara. Namun bias bentrok-
nya pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera tidak mampu ditahan karena dirinya telah ter-
luka dalam. Hingga begitu terdengar ledakan, sosoknya
terpental lalu melayang deras ke bawah menghantam
tanah!
Jika Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit
masih mampu bergerak bangkit, tidak demikian halnya
dengan Setan Enam Lembah. Laki-laki ini tetap berada
di atas tanah tanpa mampu bergerak bangkit. Namun
diam-diam dia kerahkan tenaga dalam yang bisa dila-
kukan. Dan melirik ke arah Bidadari Tujuh Langit dan
Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sen-
diri langsung saling pandang. Saat lain keduanya sama
angkat tangan masing-masing. Namun hingga agak la-
ma, kedua orang ini belum juga ada yang membuat ge-
rakan. Malah sesekali mata mereka melirik ke arah Se-
tan Enam Lembah. Jelas mereka bimbang. Di satu sisi
jika mereka saling pukul, tidak tertutup kemungkinan
Setan Enam Lembah menggunakan kesempatan itu
untuk lepas pukulan. Sementara kalau mereka lepas
pukulan langsung ke arah Setan Enam Lembah ti-dak
mustahil salah satunya akan mencuri kesempatan itu
untuk menghantam.
“Urusan ini akan tertunda kalau tidak segera disele-
saikan!” Akhirnya Datuk Kala Sutera bergumam. “Se-
tan itu harus kuhabisi dahulu! Jika tidak, dia bisa
menghalangi langkahku!”
Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera lipat
gandakan tenaga dalam pada tangan kiri. Saat lain dia
melompat ke samping. Tangan kanan dihantamkan ke
arah Setan Enam Lembah. Sementara tangan kiri terus
berada di atas udara berjaga-jaga kalau Bidadari Tujuh
Langit lepaskan pukulan.
Namun ternyata Bidadari Tujuh Langit tidak me-
manfaatkan kesempatan menghantamnya sang Datuk
untuk lepas pukulan ke arah pemuda berjubah hitam
itu. Sebaliknya justru perempuan ini ikut berkelebat
dan lepas pukulan ke arah Setan Enam Lembah!
Apa yang dilakukan Datuk Kala Sutera dan Bidada-
ri Tujuh Langit membuat Setan Enam Lembah tercen-
gang. Laki-laki bermata satu ini tadi sempat terkejut
dan hampir saja tak percaya ketika melihat Datuk Kala
Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pukul. Tapi
hal itu mau tak mau membuatnya lega meski dia tak
tahu mengapa kedua orang yang dikenalnya sebagai
suami-istri itu saling pukul.
Namun rasa lega itu mendadak sirna ketika tahu-
tahu keduanya kini lepas pukulan bersamaan ke arah-
nya.
Dalam keterkejutannya, Setan Enam Lembah masih
mampu berpikir cepat. Dia tidak mungkin mampu
menghadang pukulan dua orang sekaligus. Apalagi dia
sudah tidak bisa bergerak bangkit.
Maka Setan Enam Lembah cepat sentakkan tubuh
bergulingan menghindari pukulan yang dilepas Datuk
Kala Sutera yang hanya sentakkan tangan kanannya.
Wusss!
Gelombang pukulan Datuk Kala Sutera menderu
hanya beberapa jengkal di samping Setan Enam Lem-
bah yang memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki
ilmu peringan tubuh tingkat tinggi hingga gerakannya
sangat cepat.
Begitu lolos dari serapan Datuk Kala Sutera, Setan
Enam Lembah sentakkan kedua tangan menghadang
pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Dua jengkal lagi dua pukulan itu bentrok di udara,
mendadak dari arah samping, terdengar suara deruan
dahsyat. Lalu dua rangkum angin luar biasa berkiblat
memangkas pukulan Bidadari Tujuh Langit!
Bummm!
Pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit terta-
han sesaat di udara. Lalu semburat. Hebatnya sembu-
ratan itu masih terus menderu! Saat itulah gelombang
yang dilepas Setan Enam Lembah melabrak!
Setan Enam Lembah terguling hingga dua tombak.
Sementara Bidadari Tujuh Langit tersurut dua lang-
kah.
“Siapa berani ikut campur?!” Bidadari Tujuh Langit
berteriak seraya berpaling.
Saat bersamaan satu sosok bayangan berkelebat.
Semua kepala yang ada di tempat itu bergerak mengi-
kuti berkelebatnya sosok bayangan yang saat lain telah
tegak dua langkah di samping Setan Enam Lembah.
***
SEPULUH
DIA ternyata adalah seorang gadis berparas jelita.
Rambutnya yang hitam lebat disanggul ke atas. Sepa-
sang matanya bundar dipadu dengan bulu mata lentik.
Hidung mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan.
Kulitnya putih bersih dibalut dengan pakaian warna
biru.
“Eyang....” Gadis jelita berbaju biru perdengarkan
suara dan langsung jatuhkan diri di hadapan Setan
Enam Lembah. Bahunya tampak berguncang keras.
Saat lain terdengar isakan tangisnya.
Perlahan Setan Enam Lembah buka sepasang mata
nya. Melihat siapa yang ada di hadapannya laki-laki
bermata satu ini coba sunggingkan senyum meski dari
sudut bibirnya terus kucurkan darah.
“Aku senang melihatmu di tempat ini...,” kata Setan
Enam Lembah. Suaranya tersendat dan hampir tidak
terdengar. “Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu?!”
“Jangan banyak bicara dulu, Eyang! Aku akan ber-
usaha menolongmu! Kita tinggalkan tempat ini!” Gadis
berbaju biru buka suara. Lalu bergerak bangkit.
“Jangan berlaku tolol! Pertolongan apa pun tidak
akan membuatku hidup! Dan saat ini adalah hari ke-
sempatanmu!”
“Eyang.... Lupakan semua itu! Kau lebih berharga
dari segalanya!” Gadis berbaju biru teruskan gerakan-
nya. Namun tangan Setan Enam Lembah segera me-
narik ujung pakaian yang dikenakan gadis di hadapan-
nya, hingga gerakan bangkit si gadis tertahan.
“Ini kesempatan terakhir kali bicara denganmu! Kau
lihat laki-laki berjubah hitam itu! Kau harus membu-
nuhnya! Setelah itu...” Ucapan Setan Enam Lembah
terputus. Kepalanya yang tadi tengadah karena mengi-
kuti gerakan bangkit si gadis perlahan-lahan lunglai.
Tangan kanannya yang memegang ujung baju si gadis
terlepas.
“Eyang....” Gadis baju biru menjerit. Lalu menubruk
sosok Setan Enam Lembah yang sudah tidak bernyawa
lagi.
Untuk beberapa saat tempat itu hanya dipecah oleh
tangisan gadis baju biru. Namun tiba-tiba si gadis pu-
tuskan suara tangisnya. Dan laksana kesetanan, gadis
ini bergerak bangkit dan balikkan tubuh menghadap
Datuk Kala Sutera!
Bersamaan dengan membaliknya sosok si gadis,
Pendekar 131 yang sedari tadi hanya bisa diam surutkan langkah kaget. Di seberang depan, Nenek Selir
juga tak kalah kagetnya. Malah kalau saja nenek ini ti-
dak cepat sadar, mungkin dia sudah buka mulut ber-
teriak.
Yang tampak kaget tapi sunggingkan senyum ada-
lah Bidadari Tujuh Langit. Malah perempuan ini segera
melangkah maju hendak mendekat.
“Harap berhenti!” Gadis berbaju biru segera mem-
bentak tanpa berpaling ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Lalu melompat dan tegak beberapa langkah di hada-
pan Datuk Kala Sutera.
“Bidadari Delapan Samudera!” Pendekar 131 bergu-
mam tahu siapa adanya gadis baju biru. “Dari sikap-
nya jangan-jangan Datuk Kala Sutera yang selama ini
dicari! Aku jadi makin bingung dengan urusan orang-
orang di tempat ini! Sepertinya semua masih ada kai-
tannya. Tapi....”
Joko tidak lanjutkan gumaman. Karena saat itu Ne-
nek Selir sudah buka mulut.
“Hai! Kau lupa padaku...?!’
Gadis baju biru yang bukan lain memang Bidadari
Delapan Samudera adanya melirik ke arah Nenek Selir.
Sesaat bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya mengang-
guk. Tapi saat lain kembali pandang matanya meng-
arah pada Datuk Kala Sutera.
“Hai!” Joko ikut-ikutan berteriak seraya lambaikan
tangan. “Kau ingat padaku?” Joko sorongkan wajah ke
depan.
Bidadari Delapan Samudera tampak terkejut begitu
menoleh dan melihat siapa orang yang lambaikan tan-
gan. Dadanya jadi berdebar apalagi dia baru saja me-
lihat adanya Nenek Selir di tempat itu.
“Pemuda itu berada di tempat ini. Demikian juga
nenek berselempang kain hitam. Apa mereka....”
“Kau lupa padaku?!” Joko ulangi pertanyaan. Lalu
melangkah mendekati.
Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera sudah
akan buka mulut mencegah. Namun walau mulutnya
sudah terbuka menganga, tapi tidak ada suara yang
terdengar.
Baru ketika Joko hampir mendekat, suara Bidadari
Delapan Samudera terdengar.
“Aku tahu siapa kau! Tapi harap tidak lanjutkan
langkah!”
Murid Pendeta Sinting berhenti. Pandangi sosok Bi-
dadari Delapan Samudera sesaat lalu berucap.
“Bidadari.... Kita perlu bicara!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Tidak
ada yang perlu kita bicarakan! Harap melangkah mun-
dur!”
“Hem.... Terlalu bahaya kalau gadis ini harus ber-
hadapan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi bagaimana
aku harus menghalangi niatnya?! Siapa pun adanya
laki-laki mata satu itu, pasti dia adalah orang yang se-
lama ini dekat dengannya! Dan kematiannya akan
membuat dia bertindak nekat!” Pendekar 131 berkata
dalam hati. Lalu berkata.
“Bidadari.... Kau mungkin lupa. Ada....”
“Aku mau bicara dengan pemuda berjubah hitam
ini! Harap tidak buka suara!” Bidadari Delapan Samu-
dera menukas ucapan Joko. Lalu teruskan ucapan se-
raya memandang lekat-lekat pada Datuk Kala Su-tera.
“Kau telah membunuh eyang guruku! Tapi itu bu-
kan hal penting bagiku!” Bidadari Delapan Samudera
geleng kepala walau sebenarnya dia harus kuatkan diri
untuk mengatakan hal itu. “Asal kau jawab dengan ju-
jur pertanyaanku!”
Datuk Kala Sutera balas memandang dengan tersenyum. Namun dia segera alihkan pandang matanya
pada Bidadari Tujuh Langit. “Kalau aku meladeni gadis
ini, urusan cincin itu bisa tertunda lagi! Yang akan di-
bicarakan pasti mampusnya manusia mata satu itu!”
Berpikir begitu, tanpa buka mulut sambuti ucapan
Bidadari Delapan Samudera, Datuk Kala Sutera segera
melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Tapi gera-
kannya tertahan ketika Bidadari Delapan Samudera
ikut melompat memotong gerakan sang Datuk.
“Aku tak punya waktu untuk jawab pertanyaanmu!
Menyingkirlah dari hadapanku atau kau akan menyu-
sui gurumu!”
“Jelitaku....” Bidadari Tujuh Langit menyahut. “Beri
jalan padanya. Apa pun pertanyaanmu, nanti aku
akan menjawabnya!”
“Aku tak perlu bertanya padamu! Jangan berani bi-
cara atau bergerak dari tempatmu!” bentak Bidadari
Delapan Samudera.
Selagi Bidadari Delapan Samudera bicara, Datuk
Kala Sutera gerakkan tangan kanan.
Tanah di sekitar tempat tegaknya Bidadari Delapan
Samudera muncrat semburat. Hingga untuk beberapa
saat pandangan gadis jelita ini terhalang. Ketika sem-
buratan tanah luruh, Datu Kala Sutera sudah tidak
terlihat lagi di hadapan si gadis.
Bidadari Delapan Samudera berpaling ke arah mana
Bidadari Tujuh Langit berada. Ternyata sang Datuk
sudah tegak di hadapan perempuan bertubuh bahenol
ini dengan tangan terangkat ke udara. Di hadapannya,
Bidadari Tujuh Langit juga angkat kedua tangannya
dengan mata terpentang besar.
Bidadari Delapan Samudera hendak melompat. Tapi
belum sampai bergerak, Datuk Kala Sutera sudah me-
lompat ke arah Bidadari Tujuh Langit dengan tubuh
dilorotkan ke bawah. Tangan kiri kanannya menyam-
bar ke arah kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.
Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Kedua ka-
kinya disentakkan ke belakang. Lalu sorongkan tubuh
bagian atasnya ke bawah. Tangan kiri kanan berkele-
bat menghadang gerakan kedua tangan Datuk Kala
Sutera.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama
terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah.
Melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting ce-
pat berkelebat ke arah Bidadari Delapan Samudera.
Dengan pegang lengan si gadis, Joko berbisik.
“Memang tidak ada yang perlu kita bicarakan. Tapi
lebih baik kita pergi dari tempat ini!”
Ketika merasa lengannya dipegang orang, hampir
saja Bidadari Delapan Samudera kelebatkan tangan.
Namun begitu mendengar suara orang, dia tahan gera-
kannya. Entah mengapa dada gadis ini berdegup ken-
cang. Hingga dia bukannya simak ucapan yang terde-
ngar, melainkan coba kuasai diri.
Melihat si gadis hanya diam saja, Joko cepat tarik
tangannya mengajak Bidadari Delapan Samudera men-
jauh.
“Jangan berani teruskan tindakan! Harap lepaskan
tanganmu!” Bidadari Delapan Samudera buka mulut
setengah membentak begitu sosoknya terseret.
“Bidadari.... Aku tahu bagaimana perasaanmu saat
ini. Tapi terlalu bahaya jika turuti kemarahan!”
Bidadari Delapan Samudera berpaling dan menatap
sesaat pada sepasang bola mata murid Pendeta Sin-
ting, “terima kasih.... Tapi aku telah tentukan apa yang
harus kulakukan! Harap lepaskan tanganmu dan men-
jauh dari tempat ini!”
Joko mempererat cekalan tangannya pada lengan
Bidadari Delapan Samudera. “Harap jangan berlaku
bodoh! Kau sama saja dengan bunuh diri! Kau tahu
siapa yang akan kau hadapi?!”
“Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan ba-
giku! Bahkan aku memilih mati daripada hidup dengan
rahasia yang terselubung!”
“Bidadari... Aku tahu seseorang yang mungkin da-
pat ungkap rahasia hidupmu!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Hanya
laki-laki berjubah hitam itu yang tahu! Aku tak ingin
dia mampus sebelum buka mulut jawab pertanya-
anku!”
Bidadari Delapan Samudera tepiskan cekalan tan-
gan pendekar 131. “Aku tak segan membunuhmu jika
kau halangi tindakanku!”
Joko lepaskan cekalan tangannya. Namun secepat
kilat kedua tangannya bergerak kembali sarangkan to-
tokan!
Bidadari Delapan Samudera berseru tertahan ketika
mendapati apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting.
“Apa yang kau lakukan?! Apa maksudmu dengan
semua ini?! Kau telah membuat satu kesalahan besar!
Aku akan membunuhmu!” Bidadari Delapan Samudera
berteriak setengah menjerit. Tapi hanya itu yang bisa
dilakukan, karena bersamaan itu sosoknya melorot ja-
tuh.
Pendekar 131 cepat menyambar sosok Bidadari De-
lapan Samudera. Saat lain berkelebat ke arah Nenek
Selir.
“Nek! Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada
gadis ini! Sekarang aku harus pergi dulu!”
Joko letakkan tubuh Bidadari Delapan Samudera di
hadapan si nenek yang masih tegak dengan kedua
tangan memegang pedang.
Yang diajak bicara bukannya cepat menyahut, me-
lainkan memandang tajam pada Joko.
“Kau tak akan pergi dari sini, Setan Seberang! Do-
samu padaku sudah tidak bisa diucapkan kata-kata!”
Berubahlah paras Pendekar 131. “Astaga! Tadi dia
bercanda denganku! Mengapa sekarang tiba-tiba beru-
bah?!”
“Nek...!”
“Jangan buka mulut!” hardik si nenek. “Kau tetap di
sini atau pedangku akan memutus batang lehermu se-
karang juga!”
“Nek....” Kali ini Bidadari Delapan Samudera yang
angkat suara dengan mata mendelik ke arah Joko yang
tegak di sampingnya. “Harap tak keberatan mele-
paskan aku dari totokan ini!”
Nenek Selir alihkan pandang matanya pada Bidada-
ri Delapan Samudera yang tergeletak di atas tanah.
Mendadak nenek ini perdengarkan tawa cekikikan.
“Pemuda itu yang menotokmu. Mengapa minta aku
yang harus membebaskan?!”
“Nek! Harap tidak terus bercanda! Memang dia yang
lakukan pekerjaan keparat ini! Tapi kurasa kau bisa
membantuku!”
“Kalau aku turuti permintaanmu, berarti aku mem-
buat satu urusan! Padahal urusanku dengan dia be-
lum selesai! Tunggulah sampai aku tuntaskan persoa-
lan! Setelah itu kita lihat nanti!”
Bidadari Delapan Samudera bergumam tak jelas.
Lalu berkata pada Joko dengan suara meradang.
“Pemuda asing! Kalau kau ingin sesuatu, mengapa
berlaku pengecut seperti ini?! Lepaskan totokanku!”
Joko tidak pedulikan radangan Bidadari Delapan
Samudera. Sebaliknya dia memutar tubuh.
“Kau akan tetap di sini!” Nenek Selir sudah buka
suara sebelum Joko teruskan gerakan.
Ketika murid Pendeta Sinting melirik, matanya
membelalak dan kuduknya jadi dingin. Nenek Selir te-
lah angkat kedua tangannya yang memegang gagang.
“Nek.... Baiklah! Kalau apa yang kulakukan tempo
hari kau anggap satu dosa, aku menerima! Tapi ku-
mohon kau memberiku kesempatan....”
“Kesempatanmu sudah habis!”
“Tapi....”
“Kau pergi dengan leher putus atau tetap di sini
hingga aku memutuskan!”
Selagi Pendekar 131 dan Nenek Selir bicara, diam-
diam Bidadari Delapan Samudera coba kerahkan tena-
ga dalam untuk lepaskan diri dari totokan. Namun
hingga tubuhnya bergetar dan berkeringat, dia tidak
mampu membebaskan diri.
“Lebih baik kalian membunuhku!” Bidadari Delapan
Samudera berteriak.
“Itu urusan mudah!” sahut Nenek Selir.
“Mengapa tidak kau lakukan?! Apa sebenarnya yang
kalian inginkan?!”
“Jangan bertanya padaku! Bukan aku yang mela-
kukannya!”
“Tapi setidaknya kau bisa lakukan sesuatu untuk-
ku! Aku telah menceritakan semuanya padamu! Seha-
rusnya kau mengerti!”
Nenek Selir anggukkan kepala. “Kau memang telah
cerita banyak padaku. Tapi satu cerita bukanlah me-
rupakan jaminan aku harus lakukan sesuatu pada-
mu!”
“Ah... Ternyata aku salah sangka pada kalian... Se-
lama ini kukira kalian orang-orang yang....”
“Percuma kau mengeluh!” Nenek Selir memotong.
“Diam saja di situ! Lihat apa yang terjadi!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan matanya
ke depan. Walau tetap waspada khawatir si nenek me-
lakukan sesuatu yang tak terduga, perlahan-lahan Jo-
ko ikut putar kepala lalu memandang ke depan, di
tempat mana Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh
Langit tampak sama bergerak bangkit.
***
SEBELAS
KITA tinggalkan dahulu ketegangan di tempat mana
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada.
Kita menuju satu tempat tidak jauh dari tempat mana
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada.
Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Bida-
dari Tujuh Langit, Nenek Selir dan Pendekar 131, men-
dadak terdengar gaung aneh yang membuat semua
orang harus salurkan hawa sakti dan tutup jalan pen-
dengaran. Lalu terlihat gulungan benda hitam menu-
kik dari atas udara. Saat lain suasana berubah gelap
dan semua orang rasakan matanya perih.
Ketika suasana berubah terang lagi, ternyata Padu-
ka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Bidadari
Pedang Cinta, dan Dayang Tiga Purnama sudah le-
nyap.
Ketika suasana berubah gelap dan semua orang ra-
sakan matanya perih, mendadak Dayang Tiga Purna-
ma dan Bidadari Pedang Cinta rasakan siuran angin di
sebelahnya. Kedua gadis ini cepat membuat gerakan.
Khawatir yang berkelebat ke arahnya adalah Bidadari
Tujuh Langit atau Datuk Kala Sutera.
Namun belum sempat kedua gadis Ini bergerak ledi hadapan perempuan tambun besar. Sementara
Dayang Tiga Purnama sudah menjura hormat dua tin-
dak di hadapan si perempuan tambun besar seraya
ber-ucap lagi.
“Eyang.... Aku harus segera kembali. Aku telah me-
nemukan orang yang selama ini kucari!”
Si perempuan tambun besar geleng kepala. “Dia
tengah menuju kemari. Kau tak usah kembali!”
Si perempuan tambun besar arahkan matanya pada
sosok Bidadari Pedang Cinta. Bibirnya tersenyum. Bi-
dadari Pedang Cinta balas anggukkan kepala lalu ber-
kata.
“Putri Pusar Bumi... Sebenarnya aku tengah me-
nuju ke tempatmu...”
“Aku tahu..,” ujar perempuan bertubuh tambun be-
sar yang ternyata bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
“Eyang... Kau mengenalnya. Siapa dia?!” bertanya
Dayang Tiga Purnama sambil melirik ke arah Bidadari
Pedang Cinta.
“Kau ingat kakak kandungku si cebol berambut
panjang itu?!”
“Iblis Pedang Kasih..,” gumam Dayang Tiga Purna-
ma.
“Hem.... Dia adalah muridnya.”
Dayang Tiga Purnama berpaling pada Bidadari Pe-
dang Cinta yang tidak lain memang murid tunggal Iblis
Pedang Kasih, kakak kandung Putri Pusar Bumi.
“Nenek tadi mengatakan gadis ini adalah kekasih
pemuda negeri seberang itu.... Benarkah?!” Dayang Ti-
ga Purnama ingat ucapan Nenek Selir.
Di lain pihak, diam-diam Bidadari Pedang Cinta ju-
ga tengah berkata dalam hati. “Gadis ini punya silang
sengketa dengan Joko Sableng. Apa yang harus kuka-
takan padanya?! Jangan-jangan dia percaya ucapan
nenek tadi kalau aku adalah kekasih pemuda itu...
Aku harus menjelaskan padanya!”
“Mengapa kalian diam saja?! Kuharap kalian bisa
menyelesaikan ganjalan di hati jika hal itu ada di anta-
ra kalian!” berkata Putri Pusar Bumi bisa membaca ge-
lagat.
Hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama sama geleng kepala lalu saling
lem-par senyum dan anggukkan kepala.
“Eyang... Tidak ada apa-apa di antara aku dengan
dia! Aku baru saja bertemu dengannya...” Dayang Tiga
Purnama buka suara.
“Betul! Tidak ada ganjalan apa-apa di antara ka-
mi...” Bidadari Pedang Cinta menimpali.
“Bagus! Hal itulah yang kuharapkan!” kata Putri
Pusar Bumi sambil berpaling pada satu jurusan. “Kita
akan membicarakan sesuatu. Apa pun nantinya yang
akan kalian dengar, kuharap kalian percaya walau se-
benarnya mungkin kalian tidak menduga dan tidak
percaya....”
Dada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Pur-
nama sama berdebar. Belum sampai ada yang buka
mulut bertanya, Putri Pusar Bumi sudah berkata lagi.
“Mereka sudah datang....”
Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta
berpaling ke arah mana mata Putri Pusar Bumi tengah
memandang.
Dari sebuah tikungan rumpun bambu tampak se-
orang kakek bertubuh pendek melangkah perlahan-
lahan. Kakek ini berambut panjang hingga menjulai
tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar hingga
kala melangkah, sosok orang ini seperti doyong ke de-
pan. Pada pinggangnya tampak melilit sebuah pedang
berkilat.
“Eyang Guru...,” gumam Bidadari Pedang Cinta me-
ngenali siapa adanya laki-laki bertubuh pendek yang
tengah melangkah. Dia bukan lain memang Eyang
Guru gadis berbaju hijau ini, yakni Iblis Pedang Kasih.
“Apa yang akan dibicarakan...?! Kedengarannya
aneh! Aku harus percaya walau sebenarnya aku tidak
menduga dan tidak percaya....”
Selagi Bidadari Pedang Cinta membatin begitu,
pandang matanya menumbuk pada dua sosok tubuh
yang muncul di belakang Iblis Pedang Kasih. Yang se-
belah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Di
sebelahnya adalah satu sosok tubuh yang tidak terli-
hat raut wajahnya karena orang Ini sengaja sembunyi-
kan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya yang
ditekuk. Orang ini menjajari laki-laki berjubah tanpa
lengan dengan cara melompat-lompat sambil terus
sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua ka-
kinya.
“Aku tidak kenal siapa orang tua berjubah tanpa
lengan. Tapi yang pasti satunya adalah Paduka Seribu
Masalah!” Dayang Tiga Purnama bergumam yang
hanya mengenali orang yang sembunyikan wajah di
bela-kang rangkapan kedua kakinya dan yang bukan
lain memang Paduka Seribu Masalah adanya.
Hanya beberapa saat, ketiga orang yang muncul da-
ri tikungan sudah berada tidak jauh dari tempat te-
gaknya Bidadari Pedang Cinta.
Putri Pusar Bumi segera melangkah mendekati keti-
ga orang yang baru muncul. Lalu buka suara seraya
memandang ke arah laki-laki berjubah tanpa lengan.
“Manusia Tanah Merah. Tidak kusangka kalau kita
akan bertemu lagi! Bagaimana kabarmu?! Ah... Ah..!”
“Terima kasih kau masih ingat padaku..,” berkata
laki-laki berjubah tanpa lengan yang memang Manusia
Tanah Merah adanya. “Sayang, menginjak usia bau ta-
nah, aku harus mengalami nasib kurang beruntung...
Tapi aku tidak menyesal. Jika tidak begitu, jangan-
jangan urusanku akan berlanjut di dalam tanah!”
Putri pusar Bumi arahkan pandang matanya pada
Iblis Pedang Kasih. “Rasanya sudah tiba saatnya kita
mulai pembicaraan ini!”
Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala sambil melirik
pada muridnya Bidadari Pedang Cinta, membuat gadis
ini makin tak enak.
Putri Pusar Bumi menghela napas panjang. Lalu
berpaling pada Paduka Seribu Masalah yang duduk
rangkapkan kaki dengan sembunyikan wajah di bela-
kang kedua kakinya. Lalu buka mulut.
“Sahabatku, Paduka Seribu Masalah... Terima ka-
sih kau mau bergabung bersama kami. Kuharap kau
nanti mau...”
Belum habis ucapan Putri Pusar Bumi, Paduka Se-
ribu Masalah sudah perdengarkan suara.
“Jangan berharap banyak. Aku takut memberi hara-
pan! Tapi aku senang bertemu dengan kalian. Sudah
lama rasanya kita tidak saling bertemu muka!”
Mungkin sudah mengenal siapa adanya Paduka Se-
ribu Masalah, Putri Pusar Bumi tidak lagi sambuti
ucapan orang. Sebaliknya segera alihkan pandangan
silih berganti pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari
Pedang Cinta. Lalu berkata.
“Dayang Tiga Purnama... Bidadari Pedang Cinta...
Kalian tadi telah dengar ucapanku. Sekali lagi kuharap
kalian nanti percaya dengan apa yang kalian de-
ngar...” Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya sesaat.
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sa-
ling pandang dengan wajah heran tak mengerti. Namun kedua gadis ini tidak ada yang berusaha buka
mulut.
“Sebenarnya apa yang akan kukatakan pada kalian
sudah tersimpan selama enam belas tahun. Kalaupun
baru kali ini kuutarakan, karena harus menunggu saat
yang tepat!”
Untuk kedua kalinya Putri Pusar Bumi hentikan
ucapan, membuat Dayang Tiga Purnama dan Bidadari
Pedang Cinta makin tak enak hati dan berdebar-debar.
“Sebenarnya kalian berdua adalah saudara kan-
dung....”
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama
sama surutkan langkah kaget. Mata mereka saling
pandang membelalak. Mulut mereka menganga tanpa
ada yang perdengarkan suara.
“Dayang Tiga Purnama....” Putri Pusar Bumi lan-
jutkan ucapan. “Kalau selama ini aku menyuruhmu
mencari keterangan pada Paduka Seribu Masalah, ka-
rena selain dia tahu banyak masalah orang, terus te-
rang se-lama ini aku tak berani mengatakannya pada-
mu. Aku ingin kau mendengar dari Paduka Seribu Ma-
salah. Karena aku yakin kau pasti akan percaya... Lain
halnya kalau aku bilang langsung kepadamu. Tapi ka-
rena keadaannya sudah mendesak, aku harus berani
terus terang padamu. Lagi pula di sini ada Paduka Se-
ribu Masalah...”
Dayang Tiga Purnama menghela napas panjang. La-
lu buka mulut dengan suara tersendat.
“Lalu siapa orangtua kami?!”
Putri Pusar Bumi bukannya segera menjawab, me-
lainkan berpaling pada Iblis Pedang Kasih.
“Harap tidak sembunyikan sesuatu! Kalau kami me-
mang saudara kandung, harap katakan siapa orangtua
kami!” Bidadari Pedang Cinta ikut buka suara.
“Paduka Seribu Masalah… Harap kau membantu
kami mengatakannya!” Iblis Pedang Kasih angkat sua-
ra.
“Ah... Mengapa kalian takut mengatakannya?! Ka-
lau kalian saja merasa takut, apalagi aku...”
“Paduka... Masalahnya bukan takut atau tidak. Tapi
ucapanmu pasti lebih bisa dipercaya...” Iblis Pedang
Kasih kembali buka suara.
“Aku tak berani... Aku tak berani!”
“Paduka Seribu Masalah... Aku bukannya ingin
ikut campur. Tapi hal ini adalah urusan sangat pen-
ting bagi seorang anak manusia! Harap kau tidak takut
mengatakan yang sebenarnya!” Manusia Tanah Merah
ikut bicara.
Paduka Seribu Masalah gerakkan pantat ke bela-
kang. Kepalanya seakan-akan digerakkan terangkat.
Namun saat lain kembali orang ini benamkan wajah
dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya.
Terdengar dia menghela napas panjang sebelum akhir-
nya terdengar ucapan.
“Baiklah... Tapi kuharap ini adalah keterangan te-
rakhir yang dapat kuberikan. Aku takut jika menjawab
pertanyaan lainnya...”
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sama ang-
gukkan kepala. Sementara Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama terlihat makin tegang.
“Gadis-gadis cantik... Ibu kalian adalah Bidadari
Tujuh Langit... Ayah kalian adalah Datuk Kala Su-
tera...”
Saking kagetnya, hampir bersamaan Bidadari Pe-
dang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat dan
tegak di kanan kiri Paduka Seribu Masalah.
“Harap jangan bertanya lagi. Aku tidak berani men-
jawab!” Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan
suara sebelum ada yang buka mulut.
“Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta... Ka-
lian Ingat ucapanku tadi... Kalian harus percaya apa
yang telah kalian dengar!”
“Tapi itu tidak mungkin! Bidadari Tujuh Langit ada-
lah perempuan yang memiliki kelainan! Bagaimana
mungkin perempuan seperti dia punya anak?!” Bidada-
ri Pedang Cinta berteriak.
“Kelainan itu terjadi setelah dia melahirkan kalian,”
kata Putri Pusar Bumi.
“Datuk Kala Sutera selama Ini tidak kenal siapa is-
trinya! Bagaimana mungkin dia juga bisa memiliki
anak?!” Kali ini yang buka suara adalah Dayang Tiga
Purnama ingat akan keterangan Pendekar 131.
“Kejanggalan aneh Itu memang masih jadi tanda
tanya besar hingga sekarang... Mungkin Paduka Seribu
Masalah bisa memberi penjelasan..,” berkata Iblis Pe-
dang Kasih.
Paduka Seribu Masalah gerakkan kepala pulang ba-
lik perlahan di belakang rangkapan kedua kakinya.
“Kalian tadi sudah dengar. Harap jangan bertanya
lagi... Aku takut!”
“Aku tidak percaya dengan semua ini!” Bidadari Pe-
dang Cinta berseru dengan tubuh bergetar dan suara
serak.
“Aku juga tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama
ikut berteriak.
“Anak-anak cantik... Harap tenangkan diri...” Manu-
sia Tanah Merah coba menenangkan suasana.
“Tidak! Aku tak bisa tenang sebelum bisa membuk-
tikan sendiri!” teriak Bidadari Pedang Cinta.
“Bukti memang diperlukan... Tapi harap kau berla-
ku tenang dan tabahkan hati. Apalagi hal ini tidak
mudah!” kembali Manusia Tanah Merah angkat bicara.
Bidadari Pedang Cinta memandang lekat-lekat pada
Dayang Tiga Purnama. Yang dipandang balas meman-
dang.
“Benarkah semua ini?! Benarkah?!” Bidadari Pedang
Cinta membatin. “Seandainya bukan Bidadari Tujuh
Langit yang disebutkan namanya...” Bidadari Pedang
Cinta menghela napas panjang.
“Bidadari... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi
kau harus sadar. Ini adalah kenyataan yang harus kau
terima! Siapa pun adanya Bidadari Tujuh Langit, kau
harus menganggap apa adanya!” berkata Iblis Pedang
Kasih.
“Aku bisa menerima kenyataan macam apa pun,
Eyang. Tapi dalam hal satu ini, rasanya aku sulit dan
belum percaya!” ujar Bidadari Pedang Cinta. Lalu aju-
kan tanya pada Dayang Tiga Purnama.
“Kau sendiri bagaimana?!”
Dayang Tiga Purnama terdiam beberapa saat sebe-
lum akhirnya buka mulut.
“Aku tak bisa menjawab sebelum aku mendapat ke-
terangan pasti dari orang yang bersangkutan! Hanya
saja rasa percaya ini begitu kecil dibanding tidak per-
caya!” Dayang Tiga Purnama tengadahkan kepala. Lalu
lanjutkan ucapan seperti bicara dengan diri sendiri.
“Seandainya benar, sebagai seorang ibu pasti dia
akan mencari anak-anaknya! Tapi hal itu tidak dia la-
kukan!”
“Perempuan itu bukan saja tidak berusaha mencari
anak-anaknya! Tapi sudah berani hendak berbuat gila
menjijikkan pada anaknya! Tidak pantas perempuan
seperti dia dipanggil ibu!” Bidadari Pedang Cinta sahuti
ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Bukan hanya Itu. Laki-laki bernama Datuk Kala
Sutera Itu juga tidak layak dipanggil ayah! Dia pernah
berusaha hendak bertindak aib padaku!” Dayang Tiga
Purnama menimpali.
“Anak-anakku...,” kata Putri Pusar Bumi. “Mereka
melakukannya karena tidak tahu siapa sebenarnya ka-
lian adanya!”
“Eyang... Justru itulah yang membuatku tidak per-
caya. Bagaimana seorang ayah dan seorang ibu tidak
bisa mengenali anak-anaknya!”
“Eyang...” Bidadari Pedang Cinta berkata seraya
berpaling pada Iblis Pedang Kasih. “Aku harus pergi....”
“Tunggu!” tahan Iblis Pedang Kasih.
Tapi Bidadari Pedang Cinta seolah tidak mendengar
teriakan orang. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu
dan berlari sekuat yang dia bisa.
Dayang Tiga Purnama berpaling pada Putri Pusar
Bumi. Tanpa buka mulut, gadis ini balikkan tubuh la-
lu berkelebat mengejar Bidadari Pedang Cinta.
Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih, Manusia Ta-
nah Merah saling pandang. Tanpa ada yang coba buka
suara, perlahan-lahan ketiga orang ini melangkah me-
ninggalkan tempat itu mengambil arah mana tadi Bi-
dadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berke-
lebat.
“Hai... Mengapa kalian tidak mengajakku?! Kalian
takut aku ikut serta?!” Paduka Seribu Masalah perde-
ngarkan teriakan. Saat lain orang ini melompat-lompat
mengejar dengan kaki ditekuk dan wajah disembunyi-
kan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya!
SELESAI
Segera terbit:
KARMA MANUSIA SESAT
0 comments:
Posting Komentar