SATU
BIDADARI Tujuh Langit tegak terbungkuk-bungkuk den-
gan mata memandang liar pada sosok Datuk Kala Sutera
yang juga beranjak bangkit. Untuk beberapa saat kedua
orang ini saling perang pandang. Bidadari Delapan Samu-
dera terbujur kaku di atas tanah tak bisa bergerak karena
ditotok oleh Pendekar 131 Joko Sableng. Sementara murid
Pendeta Sinting sendiri tegak dihadapan Nenek Selir dengan
sikap bimbang dan mulut terkancing rapat. Sepasang ma-
tanya melirik pulang balik ke arah si nenek dan Bidadari
Tujuh Langit serta Datuk Kala Sutera. Di lain pihak, Nenek
Selir melotot angker pada murid Pendeta Sinting. Di sebe-
rang agak jauh, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala saling pandang satu sama lain dengan wajah ra-
gu-ragu tak tahu apa yang harus diperbuat.
“Kuperintahkan kau untuk lepas cincin di ibu Jarimu!”
Mendadak Datuk Kala Sutera perdengarkan bentakan ga-
rang seraya maju satu tindak.
Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. Tanpa sambu-
ti bentakan orang, laksana terbang dia berkelebat ke arah
Datuk Kala Sutera.
Namun Bidadari Tujuh Langit tahan gerakan tatkala ti-
ba-tiba dia merasa ada sambaran angin menderu disamping
kanannya. Berpaling, perempuan bertubuh sintal ini meli-
hat berkelebatnya satu bayangan hijau.
“Kau!” Bidadari Tujuh Langit berseru dengan bibir mere-
bak sunggingkan senyum.
“Aku tahu.... Kau pasti akan kembali!”
Sosok di hadapan Bidadari Tujuh Langit yang ternyata
adalah seorang gadis berparas cantik berpakaian warna hi-
jau berambut panjang dikepang dua, salah satu kepangan
rambutnya dilingkarkan pada lehernya yang jenjang putih,
memandang sosok Bidadari Tujuh Langit dari ujung kaki
hingga ujung rambut. Saat kemudian gadis ini alihkan
pandang matanya pada sosok Datuk Kala Sutera.
Gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bidadari Pe-
dang Cinta menghela napas panjang berulang kali. Tiba-
tiba dia angkat tangan kanannya. Lalu menunjuk silih ber-
ganti pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera se-
raya berseru.
“Katakan siapa adanya kalian sebenarnya!”
“Dan jangan berani sembunyikan sesuatu!” Satu suara
mendadak terdengar menimpali. Satu sosok tubuh berkele-
bat dan tahu-tahu di samping Bidadari Pedang Cinta telah
tegak seorang gadis berwajah jelita mengenakan pakaian
warna ungu. Dia tidak lain adalah Dayang Tiga Purnama.
Seperti diketahui, saat terjadi ketegangan di hutan bam-
bu, mendadak terdengar suara gaung dahsyat yang mem-
buat semua orang merasakan telinga masing-masing laksa-
na ditusuk-tusuk. Belum sampai orang tahu siapa yang
membuat ulah, mendadak satu benda hitam meluncur ke
atas langit lalu menukik dan ambyar perdengarkan suara
keras. Bersamaan itu suasana berubah menjadi gelap guli-
ta. Dan ketika suasana terang kembali, ternyata sosok
Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta, Manusia Ta-
nah Merah, serta Paduka Seribu Masalah sudah tidak keli-
hatan lagi di tempat terjadinya ketegangan.
Ternyata Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang
Cinta dibawa lari oleh Putri Pusar Bumi yang ternyata ada-
lah eyang guru Dayang Tiga Purnama. Dan saat berikutnya
muncullah Iblis Pedang Kasih eyang guru Bidadari Pedang
Cinta yang muncul bersama Manusia Tanah Merah dan Pa-
duka Seribu Masalah.
Putri Pusar Bumi akhirnya berterus terang mengatakan
siapa sebenarnya orangtua Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama. Namun kedua gadis ini tidak per-
caya. Hingga karena penasaran dan ingin membuktikan,
Bidadari Pedang Cinta segera berlari kembali ke arah terja-
dinya ketegangan di hutan bambu. Dayang Tiga Purnama
tidak tinggal diam. Dia pun segera berkelebat menyusul.
“Kau telah tahu siapa aku...!” Bidadari Tujuh Langit
menjawab seraya melirik pada sosok Dayang Tiga Purnama.
“Aku ingin tahu asal-usulmu!” kata Bidadari Pedang Cin-
ta.
Walau merasa heran dengan pertanyaan orang, namun
Bidadari Tujuh Langit segera buka mulut.
“Bukan di sini tempatnya untuk memenuhi permin-
taanmu!”
“Aku ingin mendengarnya di tempat ini!” Kali ini Dayang
Tiga Purnama yang angkat suara.
“Hem.... Mau katakan padaku. Ada apa sebenarnya
dengan kalian berdua?!”
“Jawab saja pertanyaan!” hampir bersamaan Bidadari
Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berteriak menya-
hut pertanyaan Bidadari Tujuh Langit.
Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. “Aku tak bisa me-
menuhi permintaan kalian di tempat ini! Dan kalaupun
nantinya aku mau turuti apa permintaan kalian di tempat
lain, aku akan ajukan beberapa....”
“Tidak ada tempat lain dan tidak ada syarat!” Bidadari
Pedang Cinta sudah menukas ucapan Bidadari Tujuh Lan-
git.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mulut lagi
dia arahkan pandang matanya pada Datuk Kala Sutera.
Dayang Tiga Purnama tampaknya bisa membaca gelagat.
Sebelum Bidadari Tujuh Langit buka mulut atau membuat
gerakan, Dayang Tiga Purnama mendahului.
“Kau tidak akan selesaikan urusan dengan siapa saja di
tempat ini sebelum kau jawab pertanyaan tentang asal-
usulmu!”
Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dengan ucapan orang.
Dia segera melompat ke arah Datuk Kala Sutera.
Karena sudah bisa membaca gelagat, Dayang Tiga Pur-
nama segera berkelebat memotong gerakan Bidadari Tujuh
Langit dan tegak menghadang seraya berseru.
“Jangan anggap pertanyaan kami main-main!”
“Perlu kau dengar, Jelitaku... Untung kau punya wajah
yang menarik seleraku. Jika tidak, mungkin mulutmu su-
dah kubuat tidak bisa terbuka lagi!” Berkata Bidadari Tujuh
Langit tanpa memandang pada sosok Dayang Tiga Purna-
ma.
Dayang Tiga Purnama mendengus. Dia sudah hendak
berkelebat. Namun Bidadari Tujuh Langit ternyata menda-
hului. Perempuan berbaju putih bertubuh bahenol ini mele-
sat ke arah Dayang Tiga Purnama dengan kedua tangan
bergerak hendak sarangkan totokan.
Melihat gerakan Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang
Cinta tidak tinggal diam. Dia segera melompat menghadang
gerakan Bidadari Tujuh Langit seraya kelebatkan kedua
tangan.
Bukk! Bukkk!
Kedua tangan Bidadari Pedang Cinta bentrok dengan ke-
dua tangan Bidadari Tujuh Langit yang sesaat tadi hendak
lepas totokan ke arah Dayang Tiga Purnama. Sosok Bidada-
ri Pedang Cinta terjajar beberapa langkah ke belakang. Se-
mentara Bidadari Tujuh Langit hanya tertahan gerakannya.
Saat itulah Dayang Tiga Purnama berkelebat dengan kedua
tangan lepas pukulan.
Bidadari Tujuh Langit hadapi serangan tanpa membuat
gerakan apa-apa. Namun begitu kedua tangan Dayang Tiga
Purnama sejengkal lagi melabrak ke arah kepalanya, dia ta-
rik sedikit kepalanya ke belakang. Saat bersamaan kaki ki-
rinya membuat gerakan menendang dengan putar tubuh-
nya setengah lingkaran.
Dayang Tiga Purnama sempat terkejut. Namun gadis Ini
tidak kehilangan akal. Dia tahan gerakannya. Lalu kedua
tangannya di hantamkan ke arah kaki Bidadari Tujuh Lan-
git.
Bukkk!
Dayang Tiga Purnama perdengarkan seruan tertahan.
Sosoknya terpental terbang. Lalu tegak terhuyung-huyung
di atas tanah dengan kedua tangan dikibas-kibaskan. Ke
dua tangan gadis ini tampak mengembung merah.
Bidadari Tujuh Langit melirik sesaat. Lalu berkelebat ke
arah Dayang Tiga Purnama.
Saat itulah mendadak terdengar deruan dahsyat. Satu
gelombang angin berkiblat. Gerak Bidadari Tujuh Langit
tertahan di udara beberapa saat, lalu terdorong ke samping.
Sambil angkat kedua tangannya, Bidadari Tujuh Langit
turun dan sentakkan kepala berpaling ke arah mana tadi
gelombang yang menahan gerakannya bersumber.
“Jahanam!” bentak Bidadari Tujuh Langit dengan mata
mendelik angker saat tahu murid Pendeta Sinting angkat
kedua tangannya di atas udara, pertanda dialah yang baru
saja membuat hadangan.
“Aku tidak bermaksud merecoki urusanmu!” berkata
Pendekar 131.
“Aku hanya ingin....” Belum sampai ucapan Joko selesai,
Bidadari Tujuh Langit sudah hantamkan kedua tangannya
dengan mata dipentang besar-besar.
Wuutt! Wuuutt!
Wuuss! Wuusss!
Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat dua
sinar merah. Bersamaan dengan itu dua sinar hitam mela-
brak keluar dari sepasang matanya, membuat suasana be-
rubah kelam.
Pendekar 131 yang sudah pernah bentrok dengan Bida-
dari Tujuh Langit tidak mau menghadang serangan orang.
Sebaliknya segera berkelebat menghindar.
Gerakan Joko membuat Nenek Selir yang tegak tidak
jauh darinya jadi terkesiap kaget. Bukan saja dua sinar me-
rah hantaman kedua tangan Bidadari Tujuh Langit itu kini
harus dihadang, namun dia juga harus menyelamatkan Bi-
dadari Delapan Samudera yang dalam keadaan tertotok ti-
dak jauh di depannya!
“Sialan! Mengapa kau melarikan diri?! Kau sengaja men-
gumpankan diriku?!” Nenek Selir berteriak seraya maju sa-
tu tindak. Kedua tangannya yang memegang pedang dihan
tamkan ke depan. Saat yang sama, kaki kanannya digerak-
kan ke arah bawah sosok Bidadari Delapan Samudera lalu
disentakkan ke atas.
Wuuss! Wuuss!
Dari kedua pedang si nenek melesat keluar dua kobaran
api yang membuat suasana gelap terbelah. Lalu terdengar
gelegar dahsyat tatkala dua sinar merah bentrok dengan
dua kobaran api.
Ketika gelegar dahsyat terdengar, di tempat itu ada dua
suara seruan tegang. Lalu dua sosok tubuh tampak melam-
bung ke udara.
Sosok pertama adalah Bidadari Delapan Samudera. Ga-
dis ini perdengarkan seruan tegang ketika merasakan tu-
buhnya tersentak ke udara akibat gerakan kaki kanan Ne-
nek Selir. Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari han-
taman dua sinar merah yang dilepas Bidadari Tujuh Langit.
Sosok kedua adalah Nenek Selir sendiri. Begitu bentro-
kan terjadi, sosok nenek ini terjengkang hampir roboh di
atas tanah. Namun kedua tangannya yang memegang pe-
dang segera bergerak menghantam.
Clep! Cleep!
Dua pedang si nenek menancap di atas tanah. Gerakan
si nenek terhenti. Kejap lain kedua tangannya menyentak.
Sosoknya melenting ke udara menyongsong sosok Bidadari
Delapan Samudera yang mulai meluncur ke bawah.
Dengan bergumam tak jelas, Nenek Selir cepat menyam-
bar tubuh Bidadari Delapan Samudera. Lalu melayang tu-
run tepat di samping kedua pedangnya. Dan enak saja so-
sok Bidadari Delapan Samudera dicampakkan di atas ta-
nah. Lalu kedua tangannya kembali menyambar dua pe-
dangnya dan berpaling ke arah murid Pendeta Sinting den-
gan mata dijerengkan besar-besar.
Pendekar 131 saat itu tengah pentangkan mata. Bukan
membalas pandangan angker Nenek Selir, melainkan me-
mandang ke arah sosok Dayang Tiga Purnama!
Ketika baru saja lepas pukulan ke arah murid Pendeta
Sinting dan suasana berubah gelap, Bidadari Tujuh Langit
cepat berkelebat ke arah Dayang Tiga Purnama. Dayang Ti-
ga Purnama memang merasakan sambaran angin di sam-
pingnya. Dia pun sempat berpaling.
Dalam gelapnya suasana, dia masih mampu melihat sia-
pa gerangan adanya sosok yang berkelebat ke arahnya.
Namun belum sampai dia membuat gerakan, mendadak be-
berapa tusukan telah melanda lambung dan bahunya. Ga-
dis ini berseru tegang karena sekujur tubuhnya sudah ke-
jang kaku tak bisa digerakkan!
Sadar apa yang terjadi, Dayang Tiga Purnama cepat ke-
rahkan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan yang
telah bersarang di tubuhnya. Namun baru saja dia kerah-
kan tenaga dalam, gelegar dahsyat bentroknya pukulan Bi-
dadari Tujuh Langit dan Nenek Selir terdengar.
Sosok Dayang Tiga Purnama terpental beberapa tombak.
Sementara sosok Bidadari Tujuh Langit yang baru saja sa-
rangkan totokan pada Dayang Tiga Purnama terdorong.
Namun perempuan ini masih sempat menyambar sosok
Dayang Tiga Purnama. Hingga tatkala sosoknya terdorong,
sosok Dayang Tiga Purnama terseret di dekatnya.
“Nek! Harap kau lepaskan aku...!” Bidadari Delapan Sa-
mudera buka suara.
Nenek Selir tidak menyahut. Dia terus pandangi murid
Pendeta Sinting yang saat itu masih juga arahkan pandang
matanya pada sosok Dayang Tiga Purnama yang terbujur
diam di dekat Bidadari Tujuh Langit.
“Nek.... Kuharap kau mau menolongku.... Aku akan....”
“Diam!” bentak Nenek Selir tanpa berpaling.
“Seharusnya kau sudah bersyukur tidak sampai mam-
pus! Jangan minta yang bukan-bukan! Lagi pula bukan aku
yang membuatmu tidak bisa bergerak!”
“Tapi tidak ada salahnya....”
“Sialan!” Lagi-lagi Nenek Selir sudah menukas sebelum
Bidadari Delapan Samudera lanjutkan ucapan.
“Kalau kau tidak bisa diam, aku tak segan membuatmu
tak bisa buka mulut!”
Bidadari Delapan Samudera menghela napas. Lalu per-
lahan-lahan alihkan pandang matanya pada Pendekar 131.
Mendadak mata gadis ini berubah garang. Karena akibat to-
tokan Joko, dia hanya bisa perdengarkan suara tanpa bisa
berbuat sesuatu.
“Pendekar 131! Harap kau lepaskan diriku kalau kau tak
ingin membuat panjang masalah!” Bidadari Delapan Samu-
dera berteriak.
Belum sampai Joko buka suara menyahut atau berpal-
ing, di depan sana Bidadari Tujuh Langit sudah melesat ke
arahnya. Kedua tangannya dihantamkan lepas pukulan ja-
rak jauh!
***
DUA
WALAU masih ada kesempatan untuk membuat gerakan
menghadang pukulan, tapi murid Pendeta Sinting tidak
mau membuang tenaga. Apalagi dia mulai yakin ada sesua-
tu yang perlu diselesaikan antara Bidadari Tujuh Langit
dengan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama
serta Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawa-
la. Maka begitu Bidadari Tujuh Langit melesat dan lepas
pukulan, Pendekar 131 cepat berkelebat menghindar.
Bummm! Bummm!
Tanah di mana tadi Joko tegak berdiri tampak muncrat
ke udara. Hutan bambu kembali bergetar keras.
Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri ke arah murid
Pendeta Sinting berkelebat menghindar. Namun belum
sampai perempuan cantik ini membuat gerakan lebih lan-
jut, mendadak Datuk Kala Sutera sudah melompat dan te-
gak di hadapan Bidadari Tujuh Langit.
“Pemuda itu masih punya tanggungan denganku! Jan-
gan berani mengusik nyawanya!” kata Datuk Kala Sutera
dengan tangan kiri menunjuk pada murid Pendeta Sinting.
“Persetan dengan segala macam tanggungan!” bentak Bi-
dadari Tujuh Langit.
“Tunggu!” tahan Datuk Kala Sutera ketika melihat Bida-
dari Tujuh Langit sudah angkat kedua tangannya.
“Di antara kita ada sesuatu yang harus diselesaikan.
Namun harap kau bersabar dahulu!” Datuk Kala Sutera pu-
tar diri menghadap Pendekar 131. Bidadari Tujuh Langit
sudah gerakkan kedua tangan. Tapi entah karena apa,
mendadak perempuan ini hentikan gerakan kedua tangan-
nya.
Di lain pihak, begitu menangkap gelagat Bidadari Tujuh
Langit tahan gerakan kedua tangannya, Datuk Kala Sutera
buka mulut berteriak pada Joko.
“Sebenarnya waktumu sudah lewat! Tapi aku masih
memberi kesempatan padamu untuk buka suara menjawab
pertanyaanku tempo hari!”
“Sebenarnya kau salah alamat, Datuk Kala Sutera! Aku
bukan Paduka Seribu Masalah seperti yang kau duga!”
“Hem.... Lanjutkan keteranganmu!” desis Datuk Kala Su-
tera.
“Kau sudah tahu kelanjutannya!”
“Baik! Siapa pun kau adanya, yang jelas kau berjanji
akan jawab pertanyaanku! Sekarang aku menunggu jawa-
banmu!”
“Saat itu aku bercanda.... Jadi....”
Joko putuskan ucapan, karena saat itu Datuk Kala Su-
tera sudah berkelebat dan tegak beberapa langkah di hada-
pan murid Pendeta Sinting.
“Aku butuh jawaban atau....”
“Berani kau menyentuh tubuhnya, kau membuka uru-
san denganku!” Mendadak Nenek Selir berteriak. Saat ber-
samaan dia melompat ke arah Pendekar 131. Tangan ki-
rinya yang memegang pedang menunjuk lurus pada Joko.
Lalu terdengar sambungan ucapannya.
“Tanganku yang paling berhak menentukan hidup dan
matinya pemuda sialan ini!” Datuk Kala Sutera pandangi
sosok Nenek Selir dengan dagu terangkat. Tanpa buka mu-
lut dia angkat kedua tangannya.
“Hem.... Dengan mampusnya kedua manusia itu, urusan
akan lebih ringan!” diam-diam Bidadari Tujuh Langit mem-
batin. Lalu lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangan
seraya melirik silih berganti pada Nenek Selir dan Pendekar
131. Begitu Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya,
Bidadari Tujuh Langit serta-merta ikut lepas pukulan ke
arah Nenek Selir dan Pendekar 131.
Dari kedua tangan Datuk Kala Sutera melesat dua sinar
kehijauan. Sementara dari kedua tangan Bidadari Tujuh
Langit melabrak dua sinar merah.
Nenek Selir menggerendeng panjang pendek. Kedua pe-
dang di tangannya segera dihantamkan ke depan. Dua ko-
baran api melesat keluar perdengarkan deruan dahsyat dan
semburkan hawa panas luar biasa.
Melihat apa yang terjadi, Joko tidak berdiam diri. Dia se-
gera sentakkan kedua tangan lepas pukulan sakti ‘Lembur
Kuning’. Hingga saat itu juga dua gelombang berkiblat
membawa sinar berwarna kekuningan serta hawa panas
menyengat.
Blaarr! Blarr!
Dua ledakan dahsyat mengguncang tempat Itu ketika
empat pukulan orang bertemu di udara. Empat sosok sama
terpental dan terjajar duduk di atas tanah.
Datuk Kala Sutera cepat bergerak bangkit. Lalu menoleh
pada Bidadari Tujuh Langit yang juga terhuyung-huyung
berdiri. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-
dang.
“Aku tidak bermaksud membantumu!” Berkata Bidadari
Tujuh Langit sambil kerahkan tenaga dalam kembali. “Ke-
dua manusia itu telah membuat dosa besar padaku! Aku
berhak mencicipi kedua nyawa mereka!”
“Hem.... Baik! Agar urusan di antara kita nanti segera
tuntas, aku tawarkan padamu untuk menghabisi kedua
manusia itu bersama-sama!” kata Datuk Kala Sutera sambi
alihkan pandangan.
“Aku setuju!” kata Bidadari Tujuh Langit.
Di seberang, Nenek Selir dan murid Pendeta Sinting
langsung saling berpandangan begitu mereka tegak berdiri.
“Nek.... Lebih baik kita menyingkir saja dari tempat ini!
Tak ada gunanya kita meladeni mereka!”
Nenek Selir tertawa cekikikan panjang. “Percuma kau
menyingkir dari tempat ini! Kau kira nyawamu bisa selamat
dengan angkat kaki dari sini?!” Kepala si nenek menggeleng.
“Kau salah duga, Manusia Asing! Menyingkir atau tidak,
nyawamu tidak akan selamat! Dan kau tak perlu khawatir.
Bukan kedua makhluk itu yang akan membuatmu mam-
pus. Tapi kedua tanganku sendiri!”
Baru saja Nenek Selir berucap begitu, laksana dikoman-
do Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama
membuat gerakan berkelebat. Dan tahu-tahu keduanya su-
dah tegak lima langkah di hadapan Nenek Selir.
“Kuingatkan pada kalian berdua! Kalian masih....” Hanya
sampai di situ ucapan yang terdengar dari mulut Nenek Se-
lir. Karena bersamaan dengan itu Datuk Kala Sutera dan
Bidadari Tujuh Langit sudah sama melompat ke depan. Bi-
dadari Tujuh Langit angkat kaki kirinya lalu membuat ge-
rakan menendang. Sementara Datuk Kala Sutera angkat
kaki kanannya dan dihantamkan!
Wuutt! Wuutt!
Dari kaki kiri Bidadari Tujuh Langit berkiblat sinar me-
rah menyala. Sementara dari kaki kanan Datuk Kala Sutera
melesat sinar hijau menyala terang. Belum sampai kedua
sinar itu menggebrak, Nenek Selir sudah merasakan sosok-
nya laksana tersapu kekuatan dahsyat. Sosok nenek ini
bergetar dan tersentak-sentak. Hingga begitu kedua tan-
gannya membuat gerakan mengangkat pedang, sosoknya
terhuyung.
“Nek! Mundur!” teriak murid Pendeta Sinting sekali sen-
takkan tangan kiri lepas pukulan ‘Serat Biru’.
Dari tangan kiri Pendekar 131 melesat beberapa sinar bi-
ru terang laksana benang. Nenek Selir tidak hiraukan te-
riakkan Joko. Dengan sosok terhuyung, kedua tangannya
bergerak membabatkan pedang.
Namun sebelum dua kobaran api melesat keluar dari tu-
buh pedang di kedua tangan si nenek, kaki kiri Bidadari
Tujuh Langit dan kaki kanan Datuk Kala Sutera sudah da-
tang mendahului!
Tapi tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-
tera tersentak kaget ketika merasakan kaki masing-masing
yang dibuat tumpuan tegaknya bergetar keras. Memandang
ke bawah, kedua orang ini tercengang menyaksikan bebe-
rapa sinar biru terang telah melilit kaki masing-masing
yang dibuat tumpuan.
Dengan perdengarkan bentakan keras, Bidadari Tujuh
Langit dan Datuk Kala Sutera hantamkan tangan masing-
masing ke arah serat biru. Sementara kaki masing-masing
yang membuat gerakan menendang diteruskan.
Namun sebelum dari tangan Bidadari Tujuh Langit dan
Datuk Kala Sutera menggebrak gelombang angin memotong
serat biru, Joko sentakkan tangan kirinya.
Bidadari Tujuh Langit perdengarkan seruan tertahan ke-
tika merasakan kaki satunya terdorong ke depan, hingga
kaki kirinya yang tengah menendang tersentak balik ke be-
lakang! Saat lain perempuan ini terhuyung sebelum akhir-
nya jatuh terduduk di atas tanah.
Saat yang sama, Datuk Kala Sutera merasakan kakinya
yang dibuat tumpuan tegak, goyah, dan tersentak. Pemuda
berjubah hitam ini memang sempat hentakkan kakinya
yang terlilit serat biru di belakang. Namun di seberang de-
pan, murid Pendeta Sinting cepat melompat ke belakang
dua tindak. Kaki Datuk Kala Sutera kembali tersentak ke
depan dengan keras sebelum akhirnya dia terjengkang ja-
tuh.
Di hadapan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sute-
ra, Nenek Selir yang sesaat tadi sempat tercengang menda
pati kaki dua orang berkelebat menggebrak ke arahnya se-
mentara dirinya sudah tidak punya kesempatan lagi untuk
membuat kedua tangannya bergerak, cepat ayunkan kedua
pedang menyilang ke arah Bidadari Tujuh Langit serta Da-
tuk Kala Sutera yang terduduk di hadapannya.
“Tahan serangan!” Joko berteriak. Nenek Selir seolah ti-
dak mendengar teriakan. Dia teruskan saja gerakan kedua
tangannya. Sementara Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera sudah siap menghadang dengan angkat tangan
masing-masing.
Setengah depa lagi kedua pedang si nenek menghantam,
dan Bidadari Tujuh Langit serta Datuk Kala Sutera siap
sentakkan tangan masing-masing, Pendekar 131 berkelebat
ke depan menyergap Nenek Selir.
Si nenek perdengarkan makian tak karuan ketika mera-
sakan ada satu sosok tubuh menggelayuti pinggangnya dan
menahan gerak kedua tangannya. Dengan hentakkan kaki
kanan, Nenek Selir hantamkan kedua sikunya ke belakang.
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 131 berseru tegang. Kedua tangannya yang
menelikung pinggang si nenek sempat terpental lepas. Na-
mun Joko cepat menyergap kembali dan lagi-lagi meneli-
kung pinggang Nenek Selir!
“Jahanam bangsat!” maki Nenek Selir seraya putar per-
gelangan kedua tangannya yang memegang pedang. Lalu
serta-merta kedua tangannya ditusukkan ke belakang!
“Nek! Awas di depan!” Joko berteriak ketika mendapati
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama sentak-
kan tangan masing-masing.
Nenek Selir tampaknya tak peduli. Dia teruskan saja tu-
sukan kedua pedangnya ke belakang!
“Celaka! Kita bisa mampus, Nek!” teriak Joko sambil sen-
takkan kedua tangannya yang menelikung pinggang Nenek
Selir. Sementara dia makin rapatkan tubuhnya pada sosok
si nenek!
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 131 dan Nenek Selir jatuh bergedebukan di
atas tanah. Saat bersamaan, gelombang sinar merah dan
hijau hantaman tangan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera lewat dua jengkal di atas mereka!
Mendapati pukulannya lolos, Bidadari Tujuh Langit dan
Datuk Kala Sutera cepat bergerak bangkit. Lalu kembali
sama sentakkan tangan masing-masing ke arah Nenek Selir
dan Pendekar 131 yang masih terbujur di atas tanah.
“Nek! Awas pedangmu!” Lagi-lagi Joko berteriak. Lalu
hantamkan kaki kanan kirinya ke atas tanah. Sementara
kedua tangannya makin dirapatkan pada pinggang si ne-
nek.
Kali ini tampaknya Nenek Selir mulai sadar akan bahaya
yang mengancam dirinya. Maka begitu mendengar teriakan
Joko, kedua tangannya yang tadi menusuk ke belakang se-
gera ditarik ke depan. Nenek ini sebenarnya hendak meng-
hadang pukulan yang dating dengan hantamkan kedua pe-
dangnya. Namun belum sampai kedua tangannya bergerak,
sosoknya sudah terseret di atas tanah akibat hentakan kaki
Joko.
Bumm! Bumm!
Hantaman Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
menghantam tanah di mana tadi Nenek Selir dan Joko ter-
bujur.
Sosok Nenek Selir dan Pendekar 131 yang masih saling
bertempelan dan terseret, laksana disapu gelombang dah-
syat akibat bias pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera yang lolos menghantam sasaran. Sosok kedua-
nya terpelanting ke udara dan sempat terbanting di atas
udara membuat kedua tangan Joko yang memegang ping-
gang si nenek terlepas!
Bukkk!
Nenek Selir melayang jatuh terlebih dahulu di atas tanah
dengan posisi telentang. Nenek ini cepat kerahkan tenaga
dalam lalu bangkit. Namun baru saja tubuhnya terangkat
ke atas, dari udara sosok Joko melayang deras dan....
Bukkk!
Pendekar 131 terbanting keras dengan posisi menelung-
kup. Namun Joko jadi tersentak kaget. Karena dia bukan
jatuh di atas tanah, melainkan di atas sosok Nenek Selir!
Kepalanya masuk ke dalam sela paha si nenek, sementara
kedua kakinya sendiri sempat menghantam bahu kanan ki-
ri Nenek Selir, hingga bagian atas tubuh nenek ini yang tadi
akan terangkat terdorong balik dan menghantam tanah!
“Sialan edan! Mengapa kau ciumi pahaku?!” Nenek Selir
berseru. Bahu kiri kanannya disentakkan.
“Nek! Apa enaknya mencium pahamu?! Kau yang meng-
gelitiki pahaku!”
“Keparat!” maki Nenek Selir dengan sekali lagi sentak-
kan bahu kanan kirinya.
Kaki kanan kiri Joko yang melintang di atas bahu si ne-
nek terpental ke udara. Saat yang sama Nenek Selir angkat
kaki kanannya dan dihantamkan pada tubuh murid Pende-
ta Sinting.
Bukkk! Breett!
Joko mengeluh tinggi. Kepalanya tersentak keluar dari
paha si nenek. Lalu sosoknya terbanting ke samping dan te-
lentang di samping Nenek Selir! Pakaian yang dikenakan
robek di bagian pinggang kanan.
Nenek Selir berpaling. Dan ketika dilihatnya Joko
cengar-cengir, si nenek jadi geram. Pedang di tangan ka-
nannya dilepas. Dengan putar tubuhnya, tangan kanan di-
hantamkan ke arah sosok Pendekar 131!
Joko tidak tinggal diam. Dia tahu hantaman si nenek ti-
dak main-main. Maka dia cepat gulingkan diri menjauh.
Walau Joko sempat lolos dari hantaman tangan kanan
Nenek Selir, tapi ternyata tangan si nenek masih mampu
menyambar pinggang kanan Joko yang robek.
Breett!
Pakaian murid Pendeta Sinting makin menganga. Nenek
Selir tercekat dengan tangan bergetar. Karena tangannya
merasakan memegang sesuatu yang makin lama membuat
sekujur tubuhnya laksana dihimpit bongkahan es!
***
TIGA
DALAM keterkejutannya, Nenek Selir cepat bangkit ber-
diri. Lalu tarik pulang tangan kanannya didekatkan pada
wajahnya. Namun baru setengah jalan, tampaknya si nenek
sudah tak mampu menggerakkan tangan lebih jauh. Dia
merasakan tangan kanannya kaku tak bisa digerakkan.
“Jahanam! Benda apa ini?!” teriak Nenek Selir seraya
campakkan benda yang berada di tangan kanannya ke atas
tanah. Lalu pentangkan mata memandang tak berkesip.
“Bentuknya mirip kotak.... Warnanya kuning. Anehnya
pada salah satu sisinya terlihat seperti sebuah gagang pe-
dang! Sialannya, mengapa aku merasakan hawa dingin luar
biasa?!” Nenek Selir membatin dengan mata terus memper-
hatikan benda yang tadi sempat disambarnya dari pinggang
Joko yang ternyata adalah sebuah kotak berwarna kuning
berukir. Pada salah satu sisinya terlihat sebuah gagang pe-
dang.
Di lain pihak, begitu lolos dari hantaman tangan kanan
Nenek Selir, Pendekar 131 segera bangkit. Dia tersenyum
sesaat lalu tundukkan kepala pandangi pakaiannya yang
robek menganga. Tiba-tiba senyumnya laksana dirobek se-
tan. Matanya terpentang besar-besar.
“Celaka! Ke mana Pedang Keabadian itu?! Jangan-
jangan....”
Murid Pendeta Sinting cepat sentakkan kepala meman-
dang ke arah Nenek Selir. Dan saat dilihatnya mata si ne-
nek tak berkesip memandang ke satu arah, Joko perlahan-
lahan ikut arahkan pandang matanya ke arah mana mata si
nenek tengah memandang.
“Astaga! Pedang itu....” Joko mendesis. Laksana terbang
dia berkelebat ke arah mana kotak berukir kuning yang tidak lain adalah Pedang Keabadian tergeletak di atas tanah.
“Jangan berani teruskan gerakan!” Tiba-tiba Bidadari
Tujuh Langit berteriak. Tangan kanannya didorong ke arah
Pendekar 131 yang tengah berkelebat.
Joko buru-buru tahan gerakan seraya putar arah. Lalu
tegak dengan mata memandang pada Pedang Keabadian.
Saat bersamaan mendadak Bidadari Tujuh Langit berkele-
bat ke arah Pedang Keabadian dengan tangan kiri terangkat
ke udara sementara tangan kanan menyambar ke arah pe-
dang.
Begitu cepat gerakan Bidadari Tujuh Langit, hingga Ne-
nek Selir, Datuk Kala Sutera, dan Pendekar 131 sendiri su-
dah sangat terlambat untuk membuat gerakan mengha-
dang.
Begitu sejengkal lagi tangan kanan Bidadari Tujuh Lan-
git menyentuh kotak berukir, perempuan ini lipat gandakan
tenaga dalam pada tangan kirinya yang terangkat ke udara.
Dia tidak mau bertindak ayal. Dia siap sentakkan tangan
kiri menghadang segala kemungkinan. Saat bersamaan
tangan kanannya bergerak menyambar Pedang Keabadian.
Begitu kotak kuning berukir tergenggam tangan kanan,
Bidadari Tujuh Langit teruskan berkelebat lalu tegak men-
jauh.
Tapi baru saja sepasang kakinya berpijak di atas tanah,
perempuan cantik bertubuh bahenol ini perdengarkan se-
ruan lirih. Tangan kanannya bergetar keras. Air mukanya
berubah.
Bidadari Tujuh Langit cepat sentakkan kepala dengan
mata terpentang besar pandangi kotak kuning berukir di
tangan kanannya. Dia bergumam tak jelas dengan kepala
pulang balik menggeleng. Perempuan ini merasakan aliran
hawa dingin menusuk menjalari tangan kanan. Kejap lain
hawa dingin itu sudah merasuki hampir sekujur tubuhnya!
Tangan kanannya mulai terasa tegang kaku. Namun Bida-
dari Tujuh Langit tak hendak lepaskan kotak di tangannya.
Dia mulai yakin kotak di tangan kanannya bukan kotak
sembarangan. Maka dia segera kerahkan hawa sakti untuk
menahan tusukan hawa dingin.
Tapi Bidadari Tujuh Langit jadi terlengak. Begitu dia
alirkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin, tusukan
hawa dingin itu makin menggila! Dan perlahan-lahan dari
tangan kanannya mulai tebarkan asap putih!
Apa yang terjadi membuat Bidadari Tujuh Langit makin
yakin kalau kotak di tangan kanannya mengandung kekua-
tan hebat. Hingga meski dia mulai merasakan separo dari
tubuhnya sudah tegang laksana tak bisa digerakkan, dan
penyaluran hawa sakti makin membuat hawa dingin meng-
gila, perempuan ini nekat tidak juga lepaskan kotak dari
tangan kanannya. Bahkan dia lipat gandakan penyaluran
hawa sakti!
Tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit menjerit. Dia merasakan
sekujur anggota tubuhnya laksana dihimpit bongkahan sal-
ju. Makin dia berusaha kerahkan hawa sakti, hawa dingin
itu makin menggila! Bahkan kini dari sekujur anggota tu-
buhnya telah kepulkan asap putih!
“Benda jahanam!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit me-
maki seraya lepaskan kotak berukir di tangan kanannya.
Pendekar 131 bernapas lega. Sementara semua orang di
tempat itu terkesima hingga tak ada yang buka suara atau
membuat gerakan.
“Hem... Ada keanehan lagi dengan pedang itu!” memba-
tin murid Pendeta Sinting.
“Ketika pedang telah masuk ke dalam kotak, aku tidak
lagi merasakan hawa dingin. Aku merasakan hawa dingin
gila itu saat pedang berada di luar! Kini walau pedang itu
berada dalam kotak, namun hawa dingin itu sepertinya su-
dah terasa!”
“Kalau nenek dan Bidadari Tujuh Langit tidak mampu
memegang kotak itu, pasti benda itu barang mustika!
Hem....” Datuk Kala Sutera berkata dalam hati. Lalu lempar
lirikan pada semua orang yang tegak di tempat itu.
Joko bisa membaca gelagat orang. Hingga belum sampai
Datuk Kala Sutera membuat gerakan, dia perdengarkan ta-
wa bergelak panjang dan berkata.
“Terus terang. Apa yang kalian lihat adalah sebuah ben-
da mustika keramat! Untuk memegangnya diperlukan bebe-
rapa persyaratan!”
“Siapa percaya mulut manusia asing sepertimu! Kau
hanya mengada-ada! Kau kira aku tidak tahu benda apa
itu, hah?!” Nenek Selir berteriak.
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa saat.
“Kekasih nenek ini yang bercerita banyak tentang pedang
itu! Hem.... Mungkin saja benar ucapannya kalau dia tahu
benda apa yang ada di hadapannya itu. Tapi aku yakin dia
tidak tahu bagaimana cara mengatasi hawa dingin yang ke-
luar dari pedang itu.... Terbukti dia tidak mampu untuk
memegangnya!”
Berpikir begitu, akhirnya seraya tengadahkan kepala,
Joko buka mulut.
“Nek! Sebagai seorang tokoh ternama negeri ini, aku per-
caya kalau kau tahu benda apa yang ada di hadapanmu!
Tapi aku tidak percaya kalau kau tahu bagaimana cara
memegangnya! Kau telah membuktikan sendiri!”
Nenek Selir tidak menyahut. Sebaliknya melangkah
mendekati kotak kuning berukir berisi Pedang Keabadian.
“Nek! Harap tidak berlaku nekat! Juga jangan memaksa-
kan kehendak niat! Hal itu hanya akan membawa kiamat!”
Nenek Selir hentikan langkah seraya tawa cekikikan
panjang. Namun tiba-tiba dia putuskan tawanya lalu mem-
bentak.
“Kau kira aku takut dengan gertakanmu, hah?! Kau pikir
aku tak tahu apa yang ada dalam benakmu hingga kau ke-
luarkan gertakan, hah?!” Si nenek menyeringai. Lalu seraya
ikut dongakkan kepala dia lanjutkan ucapan.
“Aku tahu! Kau takut benda itu jatuh ke tangan orang
lain! Tapi kau harus sadar dan tahu diri! Benda itu berasal
dari negeri ini, dan pantang dibawa kabur ke negeri lain!”
“Hem.... Jadi kau menginginkannya?!” tanya Joko.
“Aku sampai di tempat ini mencari nyawa orang! Tapi ji-
ka ternyata takdir menuliskan aku mendapatkan benda
sakti, apa salahnya kalau aku mengambilnya?!”
“Nek! Aku hanya memperingatkan! Untuk memegang
benda itu diperlukan beberapa syarat!”
“Kau tahu apa tentang benda itu?! Kau manusia asing!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir teruskan langkah. Se-
mentara Bidadari Tujuh Langit yang tegak tidak jauh dari
kotak kuning berukir tampak ragu-ragu. Dia pandangi ko-
tak kuning dan langkah-langkah Nenek Selir silih berganti.
Tapi entah karena apa, mendadak perempuan ini melang-
kah mundur seolah memberi kesempatan pada si nenek.
Mendapati Bidadari Tujuh Langit surutkan langkah, Ne-
nek Selir makin percepat langkah. Namun nenek ini tidak
bodoh. Secara diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangan dan kakinya.
“Nek! Jauhi benda itu!” Sekali lagi Joko buka mulut
memperingatkan ketika dilihatnya Nenek Selir sudah tegak
satu langkah di samping kotak kuning berukir.
Yang diperingati tertawa pendek, membuat Joko mau tak
mau jadi berdebar tidak enak.
“Jangan-jangan nenek ini tahu bagaimana cara menga-
tasi hawa dingin itu! Tapi, mengapa dia tadi....”
Joko tidak lanjutkan membatin karena bersamaan
dengan itu Nenek Selir sudah membuat gerakan membung-
kuk. Tangan kanannya yang tidak memegang pedang di-
ayunkan ke bawah.
Kotak kuning berukir tahu-tahu sudah berada di tangan
kanan Nenek Selir. Untuk beberapa saat nenek ini memang
mampu memegang kotak kuning meski diam-diam dia mu-
lai merasakan hawa dingin menusuk sekujur tubuhnya.
“Ah... Apa yang harus kulakukan?! Dia mampu meme-
gang kotak itu!” gumam Pendekar 131 dengan dada makin
berdebar.
Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit sempat tercengang
dan hendak buka mulut melihat Nenek Selir seolah tidak
merasakan hawa dingin seperti saat dia memegangnya.
Namun belum sampai perempuan ini perdengarkan suara,
tiba-tiba Nenek Selir perdengarkan seruan tertahan. Malah
sosoknya sempat terlonjak dan tersurut beberapa langkah!
Saat lain mendadak si nenek kibaskan tangan kanannya.
Kotak kuning berukir mencelat ke udara!
Murid Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Dia cepat
berkelebat. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba
Datuk Kala Sutera sudah mendahului melesat ke udara.
Tangan kiri kanannya bergerak menyambar kotak yang me-
layang di udara. Karena sudah melihat apa yang terjadi, se-
raya menyambar sang Datuk kerahkan segenap tenaga da-
lam serta salurkan hawa sakti.
Begitu tegak di atas tanah, Datuk Kala Sutera yang mu-
lai merasakan hawa dingin langsung gerakkan tangan ka-
nan ke arah gagang pedang. Namun baru saja tangan ka-
nannya menyentuh gagang pedang, pemuda berjubah hitam
ini rasakan sekujur tubuhnya kaku. Tangan kanannya te-
gang beku tak bisa digerakkan! Makin dia lipat gandakan
hawa sakti, hawa dingin yang mendera sekujur tubuhnya
makin menusuk. Hingga beberapa saat kemudian, sosoknya
bergetar keras. Lalu dengan satu sentakan keras, kotak
kuning berukir di tangan kirinya dicampakkan hingga me-
lesak masuk hampir setengahnya ke dalam tanah!
“Apa kubilang?! Untuk memegang benda itu diperlukan
beberapa syarat!” Joko buka mulut setelah beberapa saat
terdiam dengan wajah tegang menyaksikan Nenek Selir dan
Datuk Kala Sutera yang sesaat tadi sepertinya mampu
mengatasi hawa dingin yang keluar dari kotak berisi Pedang
Keabadian.
Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera, dan Nenek
Selir berpaling pada Joko.
“Pemuda asing sialan! Jangan kau terus mengada-ada!
Bagaimana kau bisa mengatakan untuk memegangnya per-
lu beberapa syarat?! Padahal kau bukan berasal dari negeri
ini. Sementara benda itu adalah milik seorang tokoh yang
dilahirkan di negeri ini!” Yang angkat suara adalah Nenek
Selir.
“Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang jelas, kalian
lihat sendiri. Benda itu tadi berada di pinggangku. Lalu apa
kalian lihat aku merasa kedinginan?!”
“Hem.... Bagus! Sekarang katakan apa syarat yang diper-
lukan! Jika kau tidak mengatakannya, jangan harap kau
bisa menyentuhnya!” Nenek Selir kembali berteriak.
“Kalau aku mengatakan syaratnya, apa kau....”
“Itu kita putuskan nanti setelah kau mengatakan apa
syaratnya!” Nenek Selir sudah memotong.
Pendekar 131 gelengkan kepala.
“Peraturan itu enak padamu, tapi tidak enak padaku!”
“Terserah! Yang pasti kau telah dengar peraturannya!”
“Tidak bisa.... Tidak bisa...,” gumam Joko berulang
kali.
“Bagus! Berarti kau telah tahu akibatnya!” ujar Nenek
Selir seraya angkat tangan kirinya yang masih memegang
pedang. Sementara tangan kanannya ditarik ke belakang.
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tidak ber-
diam diri. Tahu apa yang diperbuat si nenek, kedua orang
ini cepat pula angkat kedua tangan masing-maslng.
“Celaka! Mengapa jadi begini?! Kalau mereka maju satu
persatu mungkin aku masih mampu menahan. Tapi kalau
mereka berbarengan....” Kuduk Joko jadi merinding dingin.
Tampangnya berubah.
“Pemuda asing! Dalam satu hal aku dan kedua makhluk
itu memang berbeda! Namun dalam hal satu ini, mungkin
kami punya persamaan! Jadi kau harus berpikir dan jangan
berlaku bodoh!” Nenek Selir berucap. Lalu tertawa cekiki-
kan.
“Baik.... Baik... Akan kukatakan apa yang kau inginkan!”
Akhirnya Joko buka mulut seraya alihkan pandangan ke
jurusan lain. Lalu sambung! ucapannya.
“Kalian tahu hidung?!”
Nenek Selir mendengus. Bidadari Tujuh Langit mengge
ram. Sedangkan Datuk Kala Sutera gerak-gerakkan jari
tangannya hingga perdengarkan suara berkeretekan tanda
dadanya makin geram.
“Aku tanya. Mengapa kalian tidak ada yang buka mulut
menjawab?!” Joko bertanya seraya mendongak.
“Jangan kau bicara main-main!” bentak si nenek.
“Siapa main-main?! Kau yang bercanda! Aku tanya hi-
dung kau jawab jangan bicara main-main!”
“Keparat!” maki si nenek seraya bantingkan kaki.
“Aku tidak buta! Aku tahu mana hidung, mana mulut,
dan mana perut!”
Joko luruskan kepala seraya tersenyum.
“Bagus! Aku bersyukur kau sudah tahu malah bisa
membedakan!” Joko arahkan pandang matanya pada Bida-
dari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera silih berganti. La-
lu angkat suara.
“Bagaimana dengan kalian?! Kalian belum ada yang bu-
ka suara menjawab!”
Walau dengan tampang sama berubah akhirnya hampir
bersamaan kedua orang yang ditanya buka mulut.
“Aku tahu mana yang disebut hidung!”
“Bagus! Bagus! Harap kalian tidak salah sangka dengan
pertanyaanku tadi. Hal itu penting kutanyakan, karena aku
khawatir apa yang disebut hidung di negeri asalku berbeda
dengan yang disebut hidung di negeri ini! Dan agar nan-
tinya tidak terjadi salah paham, aku ingin agar kalian tun-
juk mana yang kalian sebut hidung!”
Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit, dan Datuk Kala Su-
tera saling lirik. Tampang masing-masing jelas mem-
bayangkan rasa marah. Malah si nenek sudah buka mulut
hendak membentak. Namun Joko buru-buru mendahului.
“Harap tidak marah dahulu! Hal ini harus dibuktikan
agar nantinya tidak terjadi salah paham! Aku tidak mau
disalahkan hanya gara-gara salah sebut!”
Walau dengan seringai dingin dan dada panas, namun
karena memang ingin tahu apa yang menjadi persyaratan,
akhirnya Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit, dan Datuk Ka-
la Sutera angkat tangan masing-masing dan menunjuk pa-
da hidungnya!
***
EMPAT
PENDEKAR 131 picingkan mata dengan kepala di so-
rongkan ke depan ke belakang. Lalu sapukan pandangan ke
arah Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Datuk Kala
Sutera.
Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Datuk Kala Su-
tera saling pandang dengan tampang berubah merah
mengelam.
“Mengapa kau tertawa ngakak, hah?!” Si nenek yang su-
dah tak sabaran membentak.
Murid Pendeta Sinting putuskan tawanya.
“Untung aku ingin membuktikan dahulu. Jika tidak, ten-
tu kalian akan salah paham!”
“Apa maksudmu?!” tanya Nenek Selir.
“Di negeri asalku, benda di atas mulut yang kalian tun-
juk namanya bukan hidung!”
“Jahanam! Kau terlalu mengada-ada! Sampai ujung du-
nia pun yang namanya hidung adalah benda di atas mulut
ini!” kata Nenek Selir dengan suara keras seraya pencet hi-
dungnya sendiri.
Joko gelengkan kepala.
“Kalian boleh percaya boleh tidak! Di negeri asalku apa
yang kalian tunjuk bukan hidung. Tapi ketiak!”
“Baik!” Kali ini Bidadari Tujuh Langit yang buka suara.
“Lalu menurut negeri asalmu, mana yang disebut hidung?!”
“Pangkal tangan kalian masing-masing adalah hidung
menurut negeri asalku!”
“Keparat! Itu ketiak!” bentak Nenek Selir.
“Ya, memang keparat! Tapi apa boleh buat. Yang kau sebut ketiak itu di negeri asalku disebut hidung!”
“Teruskan keteranganmu!” Bidadari Tujuh Langit buka
mulut lagi tak mau berdebat.
“Hidung menurut negeri asalku dan ketiak menurut ne-
geri ini, kalian tahu memiliki hiasan rambut. Kalian harus
mencari tujuh helai rambut itu yang sebelah kanan.”
“Kau jangan berani bicara dusta! Bagaimana mungkin
syaratnya begitu mudah?! Aku tidak percaya!” kata Nenek
Selir masih dengan suara tinggi.
“Aku belum selesai bicara, Nek! Harap tidak memotong
dahulu!” kata Joko seraya sentakkan wajah mendongak.
Lalu sambungi ucapannya.
“Untuk menahan hawa dingin benda kuning berukir itu.
kalian harus mencari tujuh helai rambut hidung sebelah
kanan dari seorang nenek-nenek berusia tujuh puluh ta-
hun. Tujuh helai rambut itu harus berasal dari nenek yang
berbeda! Jika sudah terkumpul, kalian harus membakarnya
di bawah cahaya bulan purnama. Lalu abunya kalian te-
lan!”
“Kau menyindirku!” Nenek Selir kembali membentak.
“Mentang-mentang kau tahu ketiakku tidak ada bu-
lunya!”
Joko tertawa panjang seraya geleng kepala.
“Nek.... Aku bicara apa adanya! Lagi pula mana aku tahu
kalau hidungmu tidak ada bulunya?!”
Untuk beberapa saat Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit,
dan Datuk Kala Sutera saling pandang.
“Kau percaya dengan ocehannya?!” tanya Nenek Selir
pada Bidadari Tujuh Langit.
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya mendengus se-
raya alihkan pandangan ke jurusan lain.
Nenek Selir tertawa cekikikan. Lalu arahkan pandang
matanya pada Datuk Kala Sutera dan bertanya.
“Kau sendiri percaya dengan keterangan pemuda asing
sialan itu?!”
“Itu urusanku!”
Nenek Selir makin keraskan cekikikannya. Lalu alihkan
pandangan pada murid Pendeta Sinting dan kembali buka
mulut.
“Kau tidak bicara dusta?!”
“Itu urusanmu!” Enak saja Joko menjawab.
“Kau menduga aku bicara dusta silakan. Jika sebalik-
nya, juga terserah! Yang jelas, kalau sampai aku dapat ber-
tahan dari hawa dingin itu, tidak lain berkat aku menelan
abu tujuh helai rambut tujuh hidung tujuh nenek berusia
tujuh puluh tahun pada malam purnama!
“Hem.... Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirmu
menghirup udara di kolong bumi! Tapi kau beruntung...,”
ujar si nenek.
“Beruntung bagaimana, Nek?!”
‘Untuk sementara ini nyawamu kuperpanjang sampai
aku dapat membuktikan kebenaran keteranganmu! Jika
nanti ternyata keteranganmu dusta, kau harus mampus
dua kali di tanganku! Kau dengar?!”
Joko anggukkan kepala. Lalu tanpa buka mulut lagi dia
melangkah ke arah kotak kuning berukir.
“Tahan gerakanmu!” Bidadari Tujuh Langit berteriak.
“Aku juga memperpanjang usia selembar nyawamu! Se-
karang berbalik dan tinggalkan tempat ini!”
“Aneh.... Lalu bagaimana dengan kotak itu?! Bukankah
di antara kalian tidak ada yang mampu menyentuhnya?!”
“Itu urusan mudah! Kami nanti dapat memutuskan!”
“Keputusan apa pun yang nantinya kalian ambil, tidak
akan menyelesaikan masalah! Karena kalian bertiga belum
ada yang memenuhi syarat!”
“Jangan banyak mulut!” Kali ini Datuk Kala Sutera yang
buka suara.
“Lekas angkat kaki dari sini atau nyawamu akan me-
layang hari Ini Juga!”
“Betul! Cepat enyahlah dari tempat ini! Tapi harus kau
ingat! Semua ini hanya sementara waktu. Jika saatnya tiba,
tidak ada tempat di kolong langit ini untuk kau jadikan
liang persembunyian!”
“Eh, jadi kalian menginginkan kotak kuning itu?!’ tanya
Joko.
“Dasar manusia asing bodoh! Kau kira untuk apa aku
bertanya tadi, hah?!” bentak Nenek Selir.
“Aku tidak menduga sejauh itu! Aku tadi menyangka
pertanyaan itu hanya sekadar kalian ingin tahu agar nan-
tinya dapat menyentuh kotak itu! Tidak terlintas dalam be-
nakku kalau kalian ternyata menginginkan kotak itu!”
“Hem.... Sekarang katakan. Kalau aku menginginkan ko-
tak itu, kau mau apa?!” tanya Bidadari Tujuh Langit.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa! Tapi harap kau tahu.
Aku sampai di tempat ini dengan membawa kotak itu. Jadi
kalaupun aku kalian usir dari tempat ini, kotak itu harus
tetap kubawa serta!”
“Kau harus enyah tanpa membawa kotak itu!” kata Da-
tuk Kala Sutera.
“Kotak itu harus tetap berada di sini!” Bidadari Tujuh
Langit menimpali.
“Benar! Kotak itu berasal dari negeri ini! Tidak layak kau
membawanya!” Nenek Selir ikut menyahut.
“Siapa yang membikin aturan begitu?!” tanya Joko se-
raya sapukan pandangan.
Belum sampai ada yang buka mulut menjawab, tiba-tiba
terdengar suara lain menyahut.
“Harap lupakan dahulu urusan kotak itu! Ada yang lebih
penting dari itu!” Tiga sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak
tidak jauh dari tempat terbujurnya sosok Bidadari Delapan
Samudera.
Semua kepala berpaling. Yang tegak di sebelah kanan
sosok Bidadari Delapan Samudera adalah seorang perem-
puan bertubuh tambun besar mengenakan pakaian warna
merah ketat. Raut wajahnya bengkak besar disamaki kulit
hingga sepasang matanya hampir-hampir saja tidak keliha-
tan. Hidungnya melesak masuk ke dalam gumpalan kulit
kedua pipinya. Rambutnya putih panjang sebatas betis.
Nenek ini bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
Di sebelah Putri Pusar Bumi, tegak seorang laki-laki ber-
tubuh pendek berambut panjang menjulai hingga menyapu
tanah. Di punggungnya tampak sebuah punuk besar, se-
mentara pada pinggangnya terlihat melilit sebuah ikat ping-
gang dari pedang berkilat. Laki-laki cebol ini adalah Iblis
Pedang Kasih.
Tidak jauh dari Iblis Pedang Kasih terlihat satu sosok
tubuh milik seorang laki-laki yang duduk dengan kedua
kaki dirangkapkan. Kepalanya dimasukkan dalam-dalam di
belakang rangkapan kedua kakinya hingga raut wajah
orang ini tidak bisa dikenali. Dia tidak lain adalah tokoh
yang dikenal dengan julukan Paduka Seribu Masalah.
“Paduka Seribu Masalah! Harap lepaskan aku dari toto-
kan ini!” Berkata Bidadari Delapan Samudera seraya me-
mandang pada Paduka Seribu Masalah.
“Harap tidak meminta padaku, Gadis Cantik. Aku takut
memenuhi permintaanmu!”
Bidadari Delapan Samudera perdengarkan keluhan. Lalu
arahkan pandang matanya pada Putri Pusar Bumi dan Iblis
Pedang Kasih. Lalu buka mulut lagi.
“Kalian juga tak mau membantuku?!”
Putri Pusar Bumi sentakkan kepala berpaling. Bidadari
Delapan Samudera terkesiap kaget. Karena bersamaan
dengan itu rambut putih panjang milik Putri Pusar Bumi
menderu angker ke arahnya!
“Apa yang hendak kau lakukan?!” Bidadari Delapan Sa-
mudera masih sempat berteriak. Namun karena dalam kea-
daan tertotok, gadis ini hanya bisa berteriak tanpa mampu
membuat gerakan.
Sosok Bidadari Delapan Samudera tiba-tiba terangkat ke
udara. Gadis ini sudah akan berteriak lagi. Apalagi ketika
dia merasakan sosoknya meluncur jatuh ke bawah! Tapi be-
lum sampai suaranya terdengar, rambut putih Putri Pusar
Bumi kembali berkelebat.
Terdengar suara seperti orang tercekik. Sosok Bidadari
Delapan Samudera tahu-tahu sudah terlilit rambut si nenek
tambun di udara. Sosok gadis ini sesaat tertahan di udara
lalu melayang turun perlahan-lahan hingga akhirnya me-
nyentuh tanah.
Begitu sosok Bidadari Delapan Samudera bersentuhan
dengan tanah, Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya lagi.
Sosok Bidadari Delapan Samudera terguling ke samping
beberapa kali.
Bidadari Delapan Samudera sudah hendak berseru. Na-
mun tiba-tiba gadis ini kancingkan mulutnya lagi ketika ti-
ba-tiba dia merasakan dapat menggerakkan anggota tu-
buhnya!
Sadar apa yang telah dilakukan Putri Pusar Bumi, Bida-
dari Delapan Samudera segera bergerak bangkit. Lalu men-
jura hormat dan berkata.
“Terima kasih....”
Putri Pusar Bumi tersenyum. Lalu berbisik pada Iblis
Pedang Kasih yang tegak di sampingnya.
“Kulihat Dayang Tiga Purnama dalam keadaan tak ber-
daya! Lakukan sesuatu padanya!”
Iblis Pedang Kasih arahkan pandang matanya pada so-
sok Dayang Tiga Purnama yang masih terbujur diam di atas
tanah karena ditotok oleh Bidadari Tujuh Langit. Kejap lain
tiba-tiba laki-laki bertubuh cebol ini luruskan kedua tan-
gannya ke depan. Lalu serta-merta ditarik ke belakang.
Di seberang depan, Dayang Tiga Purnama rasakan so-
soknya disedot kekuatan dahsyat. Hingga saat itu juga so-
soknya terseret ke arah Iblis Pedang Kasih!
Bidadari Tujuh Langit sebenarnya sudah hendak mela-
kukan gerakan menghadang dengan sentakkan kedua tan-
gannya memotong gerakan sosok Dayang Tiga Purnama.
Tapi karena sadar gerakannya akan kalah cepat, perem-
puan berpakaian putih ini akhirnya urungkan niat meski
dengan mata melotot angker dan dada panas dilanda hawa
kemarahan.
Begitu sosok Dayang Tiga Purnama berada dua langkah
di depan Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih luruhkan
kedua tangannya ke bawah. Seretan sosok Dayang Tiga
Purnama terhenti.
Putri Pusar Bumi bungkukkan tubuh. Jari tangan ka-
nannya bergerak beberapa kali pada beberapa bagian tubuh
Dayang Tiga Purnama. Begitu Putri Pusar Bumi angkat
tangan kanannya, Dayang Tiga Purnama mampu bergerak
bangkit.
“Cucuku.... Harap kau bersabar! Mari kita selesaikan
semua ini dengan bicara baik-baik! Kekerasan hanya akan
mendatangkan penyesalan! Dan kekerasan tidak akan me-
nyelesaikan masalah!” berkata Putri Pusar Bumi.
“Eyang.... Aku sudah mencoba bicara baik-baik! Tapi
ternyata tidak membawa hasil! Kedua manusia itu bung-
kam tidak mau menjawab!”
“Biar nanti aku yang bicara!” ujar Putri Pusar Bumi lalu
berpaling pada Bidadari Pedang Cinta yang sedari tadi
hanya tegak diam. Putri Pusar Bumi memberi isyarat
dengan lambaian tangan.
Sesaat Bidadari Pedang Cinta tampak bimbang. Namun
ketika dilihatnya Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala, ga-
dis cantik berbaju hijau ini perlahan-lahan melangkah
mendekat.
Begitu Bidadari Pedang Cinta tegak di samping Dayang
Tiga Purnama, Bidadari Delapan Samudera berkelebat ke
depan.
“Sebenarnya aku takut bicara. Tapi kalau boleh aku
mengatakan, harap kau jangan terburu nafsu, Gadis Jeli-
ta...” Mendadak Paduka Seribu Masalah berucap.
Bidadari Delapan Samudera batalkan niat. Memandang
sesaat pada Datuk Kala Sutera lalu perlahan-lahan mende-
kati Paduka Seribu Masalah dan berkata.
“Aku perlu jawaban pasti dari pemuda berjubah hitam
itu! Sekaligus dia harus membayar nyawa eyang guruku!”
“Aku takut mengatakannya. Tapi aku tidak takut untuk
memberi penjelasan jika mungkin nantinya kau akan memperoleh apa yang kau inginkan!” ujar Paduka Seribu Masa-
lah.
“Kau dapat menduga ada apa di balik ucapan sahabat
kita itu?!” Putri Pusar Bumi berbisik pada Iblis Pedang Ka-
sih. Iblis Pedang Kasih gelengkan kepala.
“Aku tak tahu pasti. Namun satu hal. Aku pernah ber-
bincang dengan gadis baju biru itu. Sepertinya dia punya
masalah yang sama dengan Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama!”
Di seberang depan, melihat munculnya Putri Pusar Bu-
mi, Iblis Pedang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah, Pende-
kar 131 menghela napas lega. Tapi tidak demikian halnya
dengan Nenek Selir.
Nenek berselempang kain hitam itu mendelik lalu putar
pandangan berkeliling.
“Wang Su Ji lenyap bersama manusia yang duduk rang-
kapkan kaki itu! Sekarang dia muncul lagi tanpa si jaha-
nam Wang Su Ji! Pasti dia tahu di mana beradanya si kepa-
rat itu! Dan si perempuan gembrot itu.... Tempo hari dia
muncul menyelamatkan Wang Su Ji. Kalau kemunculannya
kali ini masih juga ada kaitannya dengan Wang Su Ji, dia
akan tahu dengan siapa dia harus berhadapan! Sekarang
manusia yang duduk rangkapkan kaki itu harus memberi
jawaban padaku!”
Berpikir begitu, Nenek Selir jadi lupa akan urusan kotak
kuning berukir. Dia berkelebat ke depan lalu tegak sepuluh
langkah di hadapan Paduka Seribu Masalah.
Namun belum sampai Nenek Selir buka mulut, Paduka
Seribu Masalah sudah perdengarkan suara mendahului.
“Sahabatku, Nenek Selir! Harap kau tidak takut men-
dengarnya. Orang yang kau cari berada di sekitar tempat
ini. Hanya saja dia belum mau tunjukkan diri. Kuharap kau
bersabar menunggu!”
“Bagus! Kau telah tahu sebelum aku bertanya! Tapi
sayang sekali. Aku tak bisa menunggu! Katakan di mana
beradanya jahanam itu!”
“Sekali lagi harap kau bersabar dan tabahkan hati! Ka-
rena....”
“Simpan dulu nasihatmu! Aku ingin tahu di mana bera-
danya keparat itu!”
***
LIMA
PADUKA Seribu Masalah tertawa.
“Sahabatku Nenek Selir.... Aku tak takut mengatakan
kalau kau punya sengketa besar dengan Wang Su Ji alias
sahabatku Manusia Tanah Merah....”
“Kalau kau sudah tahu, mengapa kau masih tidak mau
mengatakan di mana beradanya bangsat itu?!”
“Saat untuk hal itu akan tiba! Sekali lagi kuharap kau
bersabar! Karena masih ada hal penting di tempat ini....”
“Persetan dengan segala hal penting! Aku hanya ingin
tahu di mana bangsat itu berada!”
“Sahabatku Nenek Selir. Jangan takut kalau kukatakan
jika hal penting itu masih ada kaitannya dengan dirimu!”
“Setan! Kau tahu apa tentang diriku, hah?! Dalam hi-
dupku, hal yang paling penting adalah mencari sekaligus
mencabut selembar nyawa jahanam itu!”
Paduka Seribu Masalah kembali perdengarkan tawa.
“Sebenarnya aku takut mengatakannya. Tapi hari ini ter-
paksa kuberanikan diri. Semua ini kukatakan demi kebena-
ran dan tenteramnya arena negeri Tibet....”
“Kau terlalu sok tahu masalah orang!”
“Silahkan kau mau bilang apa. Yang jelas, bukankah se-
lama ini kau tengah mencari seseorang yang pernah lahir
dari rahimmu?!”
Nenek Selir terdiam. Tegaknya tampak bergetar. Mulut-
nya komat-kamit namun tak perdengarkan suara. Sepasang
matanya mendelik pada sosok Paduka Seribu Masalah. Lalu
mengedar berkeliling.
“Sahabatku Nenek Selir.... Kau harus bersyukur. Karena
mungkin segala yang jadi ganjalan hatimu selama ini akan
terungkap!”
“Kau memang digelari orang Paduka Seribu Masalah! Se-
lama ini banyak orang mencarimu untuk bertanya! Tapi ha-
ri ini jangan berharap aku percaya dengan ucapanmu!”
“Aku tidak memintamu untuk percaya! Tapi jika nan-
tinya bukti yang akan mengungkapkan, apakah kau masih
tidak akan percaya?!”
“Bukti apa yang akan kau ungkapkan, hah?!”
“Untuk hal itu sekali lagi waktunya akan tiba! Sekarang
akan kita selesaikan dahulu urusan beberapa orang di tem-
pat ini!”
. “Urusan apa?! Urusan siapa?!” tanya si nenek dengan
suara melengking.
“Kau dengar saja.... Nanti kau akan mengerti. Tapi harap
nantinya kau tidak terkejut apalagi tidak percaya!”
Nenek Selir terdiam beberapa lama. Sebenarnya dia su-
dah tak sabar. Tapi entah karena apa, setelah berpikir se-
saat, nenek berselempang kain hitam ini perlahan-lahan
surutkan langkah ke belakang.
Seakan dapat melihat gerakan orang, Paduka Seribu Ma-
salah segera putar duduknya menghadap Putri Pusar Bumi
seraya berkata.
“Sahabatku Putri Pusar Bumi. Aku tidak punya banyak
waktu. Harap segera kau mulai saja bicara!”
Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu arahkan pan-
dang matanya pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera.
“Ada urusan apa ini?!” Diam-diam Bidadari Tujuh Langit
membatin. Hatinya jadi tak enak. Apalagi kini sepasang ma-
ta Putri Pusar Bumi menatap lekat-lekat ke arahnya.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera tidak begitu peduli
dengan apa yang didengar dan tatapan Putri Pusar Bumi.
Karena begitu melihat kemunculan Paduka Seribu Masalah,
pemuda berjubah hitam ini jadi geram. Dalam hati dia ber
kata.
“Ternyata dia yang asli Paduka Seribu Masalah! Hem....
Dia telah menipuku dengan menunjuk orang lain sebagai
Paduka Seribu Masalah!” Datuk Kala Sutera ingat akan per-
temuannya dengan Paduka Seribu Masalah beberapa hari
berselang. Di mana saat itu Paduka Seribu Masalah tidak
mau berterus terang mengatakan siapa dirinya. Malah ju-
stru saat itu Pendekar 131 yang mengaku sebagai Paduka
Seribu Masalah.
“Bidadari Tujuh Langit....” Putri Pusar Bumi angkat sua-
ra setelah agak lama hanya diam dan pandangi sosok Bida-
dari Tujuh Langit.
“Menurut kabar yang kudengar, kau mempunyai lima
anak perempuan. Harap jujur jawab pertanyaanku. Benar
atau tidak apa yang baru kukatakan?!”
Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar. “Apa maksud per-
tanyaan manusia satu Ini? Dia pernah punya silang sengke-
ta denganku pada beberapa puluh tahun silam. Apa ada
hubungannya dengan urusan sengketa itu?!”
“Apa maksud pertanyaanmu?!” Bidadari Tujuh Langit
balik bertanya.
“Aku hanya ingin membuktikan kebenaran berita itu!”
“Untuk apa?! Kalau kau ingin meneruskan sengketa la-
ma, kau tak usah membicarakan urusan itu!”
“Sengketa lama Itu telah kukubur dalam-dalam!”
“Kau takut?!” tanya Bidadari Tujuh Langit seraya terta-
wa.
“Waktu telah mengubah segalanya! Seandainya aku ma-
sih seperti pada beberapa puluh tahun silam, mungkin ti-
dak ada gunanya aku bicara denganmu! Yang akan bicara
adalah kedua tanganku!”
“Hem.... Aku tak tahu pasti. Ucapanmu itu hanya karena
takut menghadapiku atau....”
“Bidadari Tujuh Langit.... Kau telah dengar ucapanku.
Aku tidak punya waktu banyak untuk duduk di tempat ini!
Harap jawab saja apa yang ditanyakan padamu!” Yang per
dengarkan suara adalah Paduka Seribu Masalah.
“Aku tak punya urusan denganmu! Kalau kau tak punya
waktu banyak, mengapa kau tidak segera angkat kaki dari
tempat ini?!”
“Kepergiannya hanya akan membuatmu menyesal, Bida-
dari Tujuh Langit!” Kali ini Iblis Pedang Kasih yang bicara.
“Menyesal?!” Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang.
“Jangankan hanya pergi angkat kaki. Dia mampus pun
aku tak akan merasa menyesal!”
“Harap jangan berdebat. Aku takut mendengarnya! Kalau
memang dia tak mau jawab pertanyaan, untuk apa kita
memaksa?! Bukankah dengan begitu dia akan lebih mende-
rita?! Karena selama hidupnya kelak dia tidak akan pernah
tahu siapa anak-anak yang pernah dilahirkannya!”
“Jahanam! Apa kaitannya semua ini dengan ucapan-
mu?!” tanya Bidadari Tujuh Langit dengan melompat bebe-
rapa langkah.
“Jawab saja pertanyaanku dahulu. Nantinya kau akan
mengerti!” Putri Pusar Bumi menyahut.
Bidadari Tujuh Langit tergagu diam. Matanya silih ber-
ganti memandang pada sosok Putri Pusar Bumi, Iblis Pe-
dang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah.
“Bidadari Tujuh Langit... Kau tak usah malu-malu men-
gatakannya! Semua ini demi kebaikanmu!” kata Putri Pusar
Bumi.
“Aku memang memiliki lima orang anak perempuan!”
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut dengar suara
bergetar.
“Kau tahu di mana mereka saat ini?!” tanya Putri Pusar
Bumi.
Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. Sementara Datuk
Kala Sutera tampak terkejut dan palingkan kepala pada Bi-
dadari Tujuh Langit. Diam-diam pemuda berjubah hitam ini
membatin. “Aneh.... Sepertinya ada kesamaan antara aku
dengan perempuan ini. Dia memiliki lima orang anak pe-
rempuan. Namun dia Juga tak tahu di mana beradanya
anak-anaknya! Herannya lagi, dia juga pernah sebut-sebut
Istana Lima Bidadari.... Siapa perempuan ini sebenarnya?!
Dia mengenakan salah satu cincin dari Sepasang Cincin
Keabadian. Dia juga sempat kujumpai saat aku baru saja
mendapatkan salah satu dari Sepasang Cincin Keabadian!”
Baru saja Datuk Kala Sutera membatin begitu, Putri Pu-
sar Bumi sudah perdengarkan suara lagi.
. “Bidadari Tujuh Langit.... Kau mengenal siapa adanya
pemuda berjubah hitam itu?”
“Kalau kau belum tahu. Kau bisa menanyakan sendiri
siapa dia!”
“Semua orang sudah tahu siapa nama pemuda itu! Yang
kumaksud, apakah kau kenal lebih dari hanya sekadar na-
manya?!”
Bidadari Tujuh Langit tersenyum dingin. “Bagiku laki-
laki adalah sampah! Jadi jangan tanya apakah aku menge-
nalnya lebih dari sekadar nama!”
“Bidadari.... Aku tidak memaksamu. Tapi ada baiknya
kau lihat sekali lagi wajah pemuda berjubah hitam itu.
Mungkin kau akan ingat sesuatu....”
“Walau wajahmu penuh gumpalan daging dan siapa pun
akan muak melihatnya, namun bagiku lebih baik melihat
wajahmu daripada melihat tampang laki-laki itu! Tanpa ku-
beri tahu kau tentu sudah bisa menebak apa sebabnya!
Hik.... Hik.... Hik...!”
“Ah.... Ah.... Jadi kau masih tertarik padaku?!” tanya Pu-
tri Pusar Bumi sambil dongakkan kepala lalu putar tubuh-
nya dengan pantat digoyang-goyang.
Bidadari Tujuh Langit putuskan tawanya. Lalu memben-
tak.
“Jangan mengalihkan urusan! Kau telah bertanya ba-
nyak padaku. Sekarang jawab! Apa maksud semua perta-
nyaanmu tadi?!”
Putri Pusar Bumi hentikan gerakannya begitu lurus
menghadap Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat suara.
“Pertanyaanku belum selesai! Dan kau tak usah khawatir. Setelah semua pertanyaanku terjawab, aku akan men-
gatakan apa maksud semua ini!” Putri Pusar Bumi melirik
sesaat pada Bidadari Tujuh Langit. Lalu sambung ucapan-
nya.
“Kalau kau punya anak. Berarti kau pernah punya sua-
mi! Bisa mengatakan padaku siapa nama suamimu?!”
“Dengar telingamu! Bagiku laki-laki adalah sampah! Jika
kau bertanya yang ada kaitannya dengan makhluk laki-laki,
kau tak akan mendapat jawaban apa- apa!”
“Hem.... Jadi kau tidak kenal suamimu?!”
Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab. Sebaliknya melo-
tot dengan mulut terkancing rapat.
Putri Pusar Bumi nyengir. Lalu berpaling pada Iblis Pe-
dang Kasih dan berbisik.
“Pekerjaanku selesai! Sekarang tiba giliranmu!”
Iblis Pedang Kasih maju satu tindak. Sepasang matanya
terarah pada Datuk Kala Sutera.
Menangkap gelagat jika Iblis Pedang Kasih hendak bicara
dengan sang Datuk, Bidadari Tujuh Langit buru-buru men-
dahului.
“Aku tidak mau disela!”
“Bidadari Tujuh Langit!” kata Iblis Pedang Kasih. “Harap
kau bersabar. Aku akan bicara dulu dengan pemuda itu!”
Tanpa menunggu sahutan orang, Iblis Pedang Kasih su-
dah ajukan tanya pada Datuk Kala Sutera.
“Datuk! Dari keterangan seorang sahabatku, kau tengah
mencari lima orang anak-anakmu! Betul?!”
Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Sebaliknya
arahkan pandang matanya pada Pendekar 131. Lalu beralih
pada sosok Paduka Seribu Masalah. Kejap lain dia buka
mulut.
“Aku akan jawab pertanyaanmu. Tapi aku minta jaminan
kau nanti akan memberi keterangan yang benar!”
“Bukan hanya keterangan benar yang akan kau da-
patkan! Tapi lebih dari itu!” ujar Iblis Pedang Kasih.
“Hem.... Bagus! Jika nantinya ucapanmu dusta, jangan
mimpi kau bisa lolos dari tanganku seperti yang pernah ter-
jadi pada beberapa puluh tahun lalu!”
“Nyatanya kau masih ingat peristiwa itu....”
“Katakan. Pertanyaan apa lagi yang harus kujawab!” Da-
tuk Kala Sutera segera menyahut seolah tak sabar.
“Kau belum jawab pertanyaanku tadi....”
“Aku memang tengah mencari kelima anak-anak-
ku!”
“Kau tahu bagaimana raut wajah mereka?!”
“Aku meninggalkannya saat mereka masih bayi!”
“Kalau kau punya anak, pasti kau punya seorang istri
yang melahirkan kelima anak-anakmu! Kau bisa mengata-
kan siapa istrimu?!”
“Aku tak bisa menjawab!”
Iblis Pedang Kasih tersenyum.
“Mengapa?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu! Masih ada yang
perlu kujawab?!”
“Kau mengenal siapa adanya perempuan berbaju putih
berparas cantik jelita itu?!” Iblis Pedang Kasih arahkan
pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.
“Menurut yang kudengar dia hanyalah seorang perem-
puan binal yang punya kelainan!”
Ucapan Datuk Kala Sutera bukannya membuat Bidadari
Tujuh Langit marah. Sebaliknya perempuan ini tertawa
panjang.
Iblis Pedang Kasih mundur satu tindak. Lalu berbisik
pada Paduka Seribu Masalah.
“Sahabatku.... Sesuai perjanjian kita tadi, sekarang tiba
giliranmu!”
“Hai! Kau ingat dengan jaminan tadi?!” Datuk Kala Sute-
ra berteriak.
“Aku masih ingat! Tapi harap kau tunggu dahulu. Saha-
batku ini akan bicara!”
“Bidadari Tujuh Langit.... Datuk Kala Sutera...!” Paduka
Seribu Masalah sudah perdengarkan suara menyahut ucapan Iblis Pedang Kasih tanpa memberi kesempatan pada
Datuk Kala Sutera untuk buka mulut.
“Menurut beberapa orang sahabatku, kalian berdua
mengenakan Sepasang Cincin Keabadian. Kalian ingat ba-
gaimana hingga bisa mendapatkan cincin itu?!”
Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Sutera
tidak ada yang buka mulut menjawab. Kedua orang ini
hanya saling pandang sesaat.
“Baik! Itu urusan kalian... Tapi harap kalian tahu. Sepa-
sang Cincin Keabadian tak mungkin lepas dari pemiliknya
secara satu-persatu! Dan ini menjadi satu petunjuk jika ka-
lian berdua pernah saling kenal tidak hanya sekadar nama!
Bagaimana jawab kalian?!”
Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
tidak ada yang menyahut. Namun diam-diam kedua orang
ini coba mengingat. Hanya saja meski keduanya telah beru-
saha, mereka tidak ingat lagi apa yang pernah mereka la-
kukan!
“Kalian tidak ada yang menyahut. Mengapa?!” tanya Pa-
duka Seribu Masalah.
“Kalian takut?!”
“Kau tadi bicara tak punya waktu banyak! Sekarang kau
banyak mulut!” Bidadari Tujuh Langit membentak.
“Katakan saja terus terang! Ada apa ini sebenarnya!”
“Begitu maumu?! Baik.... Harap kalian berdua tidak ta-
kut mendengarnya! Sebenarnya kalian berdua adalah pa-
sangan suami-istri! Dan kalaupun sampai akhirnya kalian
berdua tidak saling kenal, kalian tentu lebih tahu apa se-
babnya....”
***
ENAM
BIDADARI Tujuh Langit simak ucapan Paduka Seribu
Masalah dengan kepala didongakkan. Sementara Datuk Ka-
la Sutera pandangi sosok sang Paduka dengan mulut ter-
kancing rapat. Mendadak Bidadari Tujuh Langit tertawa
bergerai. Namun hanya sesaat. Kejap lain perempuan ini
membentak dengan mata nyalang menatap sosok Paduka
Seribu Masalah.
“Mulutmu lancang bicara! Kau sepertinya lebih tahu sia-
pa diriku daripada aku!”
“Bidadari Tujuh Langit.... Dalam hal ini, aku tidak takut
mengatakan jika semua orang di daratan Tibet tahu kalau
kau adalah istri Datuk Kala Sutera!”
“Aku tidak kenal dengan pemuda itu sebelum ini!”
“Bagaimana dengan dirimu, Datuk Kala Sutera?!” Padu-
ka Seribu Masalah bertanya pada sang Datuk yang sedari
tadi hanya diam.
“Enam belas tahun lalu, aku memang pernah berjumpa
dengannya! Tapi tidak lebih dari sekadar jumpa! Jadi ada-
lah lucu kalau kau mengatakan aku adalah suaminya! Apa-
lagi telingamu dengar sendiri. Perempuan itu lebih suka ja-
sad perempuan daripada sosok laki-laki!”
“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera! Kalian ten-
gah menjalani suratan hidup yang harus kalian terima apa
pun kenyataannya! Kalian adalah pasangan suami-istri dan
kalian memiliki lima orang anak perempuan! Dan harap ka-
lian tidak tersinggung kalau kukatakan, kalian tidak saling
kenal karena ulah kalian sendiri pada masa enam belas ta-
hun silam! Saat mana kalian mendapatkan Sepasang Cin-
cin Keabadian dari tangan Dewi Keabadian!”
“Kau boleh bicara panjang lebar! Yang jelas aku tidak
pernah mengenalnya sebelum ini!”
“Sekarang masalahnya bukan mengenal atau tidak sebe-
lum ini! Kau mengatakan memiliki lima orang anak. Semen-
tara Datuk Kala Sutera juga tengah mencari lima orang
anaknya! Kalian juga mengenakan....”
“Cukup!” potong Bidadari Tujuh Langit.
“Selama kau dikenal sebagai manusia yang tahu banyak
masalah orang! Sekarang coba katakan di mana kelima
anakku?!”
“Sebelum kujawab, aku minta kau memperhatikan keli-
ma gadis yang saat ini berada di tempat ini!”
Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala, Bi-
dadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan
Dayang Tiga Purnama, serentak saling pandang satu sama
lain dengan dada berdebar tidak enak.
Sementara Bidadari Tujuh Langit langsung sapukan
pandangannya memperhatikan satu persatu kelima gadis di
tempat itu. Datuk Kala Sutera ikut-ikutan gerakkan kepala
memandang berganti-ganti.
“Apa pendapatmu?!” bertanya Paduka Seribu Masalah.
Bidadari Tujuh Langit kancingkan mulut tidak menja-
wab.
“Aku memang tidak pernah melihat mereka. Tapi dari
beberapa orang sahabat, aku diyakinkan kalau wajah me-
reka hampir mirip! Benar?!”
Entah karena apa, walau tanpa buka mulut, Bidadari
Tujuh Langit sambuti pertanyaan Paduka Seribu Masalah
dengan anggukkan kepala.
“Bidadari Tujuh Langit! Seandainya saat ini kau bertemu
dengan anak-anakmu, apakah ada sesuatu yang mem-
buatmu mengenalnya?!”
“Apakah mereka anak-anakku?!” Mendadak Bidadari Tu-
juh Langit ajukan tanya dengan suara sedikit bergetar.
“Aku tanya.. Seandainya saat ini kau bertemu dengan
anak-anakmu, apakah ada sesuatu yang membuatmu men-
genal mereka?!” Paduka Seribu Masalah ulangi pertanyaan.
“Aku memberi tanda pada kelima anakku! Jadi meski
aku tidak pernah bertemu, aku bisa mengenali mereka!”
Belum sampai ucapan Bidadari Tujuh Langit selesai, Pa-
duka Seribu Masalah putar duduknya menghadap Bidadari
Delapan Samudera. Si gadis jadi terkejut dan makin berde-
bar.
“Gadis cantik baju biru! Selama ini kau mencari seseo-
rang yang bisa membuka rahasia hidupmu. Kau tidak kebe-
ratan jika Bidadari Tujuh Langit....”
“Aku tidak sudi!” Bidadari Delapan Samudera sudah
menukas.
“Bukan dia yang bisa membuka rahasia hidupku! Tapi
manusia berjubah hitam itu!” Tangan Bidadari Delapan
Samudera menunjuk lurus pada Datuk Kala Sutera.
Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Lalu berucap
lagi.
“Gadis baju hijau bernama Bidadari Pedang Cinta. Dan
kau gadis baju ungu bernama Dayang Tiga Purnama…
Apakah kalian....”
Hanya sampai disitu ucapan yang terdengar dari Paduka
Seribu Masalah. Karena hampir bersamaan Bidadari Pe-
dang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sudah buka mulut.
“Aku tak akan pernah percaya kalau dia adalah manusia
yang melahirkanku!” kata Bidadari Pedang Cinta.
“Bukti apa pun yang akan diucapkan, aku tak akan per-
nah mau mengakui dia sebagai seorang ibu!” timpal Dayang
Tiga Purnama.
Paduka Seribu Masalah gerak-gerakkan kepalanya di be-
lakang rangkapan kedua kakinya. Lalu putar duduknya
menghadap Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala. Namun belum sampai dia perdengarkan suara,
Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana su-
dah mendahului.
“Dia bukan saja tak layak dipanggil ibu. Tapi mampus
pun sebenarnya masih tidak pantas!” kata Galuh Sembilan
Gerhana.
“Bagi dia seharusnya malu untuk mencari anak-
anaknya!” sahut Galuh Empat Cakrawala.
“Aku tanya sekali lagi. Apakah mereka anak-anakku?!”
tanya Bidadari Tujuh Langit sambil arahkan pandang matanya pada Paduka Seribu Masalah.
“Sebenarnya aku takut untuk mengatakannya. Tapi....”
“Aku tak ingin dengar alasan!”
“Mereka memang anak-anak yang pernah kau lahirkan!”
Tampang Bidadari Tujuh Langit berubah. Dia men-
dongak dengan perdengarkan gumaman tak jelas. Sementa-
ra semua orang di tempat itu terdiam tak ada yang buka
suara atau membuat gerakan.
Namun keheningan itu hanya beberapa saat. Karena ti-
ba-tiba murid Pendeta Sinting yang sedari tadi diam simak
perbincangan orang membuat gerakan berkelebat ke arah
Pedang Keabadian.
Nenek Selir hanya bisa berteriak marah karena terlambat
untuk membuat gerakan menghadang. Sementara Bidadari
Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera buru-buru sentakkan
tangan masing-masing.
Dua jengkal lagi tangan kanan Joko menyentuh kotak
kuning berukir berisi Pedang Keabadian, mendadak ter-
dengar deruan gelombang angin dari arah samping.
Pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera
langsung ambyar di tengah jalan tanpa perdengarkan leda-
kan! Sementara sosok murid Pendeta Sinting langsung ter-
jengkang dan bergulingan di atas tanah!
Semua orang terkesiap kaget. Semua kepala berpaling ke
arah sumber datangnya gelombang yang mampu membuat
buyar pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sute-
ra serta membikin sosok murid Pendeta Sinting terjengkang
bergulingan.
Namun semua orang jadi terlengak kaget. Karena mereka
tidak melihat siapa-siapa!
“Jahanam! Jangan-jangan ini ulah manusia bangsat
Wang Su Ji! Bukankah Paduka Seribu Masalah mengata-
kan dia tidak berada jauh dari tempat ini?!” Nenek Selir
menduga-duga. Dia pentang mata besar-besar lalu meman-
dang liar ke arah sumber datangnya gelombang angin. Tapi
dia tetap tidak melihat siapa-siapa?
Selagi semua orang terkesima begitu rupa, Bidadari Tu-
juh Langit tidak buang kesempatan. Dia cepat melompat ke
arah kotak kuning.
Datuk Kala Sutera tampaknya sudah bisa membaca ge-
lagat. Hingga begitu Bidadari Tujuh Langit melompat, pe-
muda berjubah hitam ini segera pula berkelebat memotong.
Bukk! Bukk!
Kedua kaki Bidadari Tujuh Langit berbenturan dengan
sepasang kaki Datuk Kala Sutera. Sosok Bidadari Tujuh
Langit langsung terjungkal roboh tidak jauh dari kotak
kuning berukir. Sementara Datuk Kala Sutera terbanting
menghantam tanah dua tombak dari sosok Bidadari Tujuh
Langit.
Mungkin karena khawatir Bidadari Tujuh Langit segera
menyambar kotak kuning di sebelahnya, Datuk Kala Sutera
segera bangkit. Sekali berkelebat, sosoknya sudah berada di
hadapan Bidadari Tujuh Langit dengan kaki kanan mem-
buat sapuan menendangi
Wuutt!
Satu sinar hijau berkiblat ganas menyongsong kepala
Bidadari Tujuh Langit yang berusaha bergerak.
Bidadari Tujuh Langit tersentak kaget. Terlambat ba-
ginya untuk angkat kaki kiri menghadang tendangan kaki
kanan sang Datuk. Tapi perempuan ini berpikir cepat. Dia
segera ulurkan tangan kanan ke arah gagang pedang pada
kotak berukir yang menancap di atas tanah.
Walau sadar dirinya tidak mampu menahan hawa dingin
pada kotak kuning dan belum tahu mengapa pada salah sa-
tu sisi kotak terdapat gagang pedang, namun sang Bidadari
tampaknya maklum kalau kotak itu mengandung kekuatan.
Hingga dengan salurkan hawa saktinya, dia teruskan gera-
kan tangan ke arah gagang pedang.
Untuk sesaat hawa dingin memang menyelimuti tangan-
nya. Namun Bidadari Tujuh Langit kuatkan diri. Dengan
berteriak dia sentakkan tangannya ke atas.
Wuutt!
Terdengar suara berdesing. Tangan kanan Bidadari Tu-
juh Langit terangkat ke udara. Semua orang di tempat itu
tercengang melihat bagaimana ternyata tangan kanan Bi-
dadari Tujuh Langit sudah memegang sebuah pedang putih
berkilat!
Begitu tangannya terangkat, mendadak Bidadari Tujuh
Langit berteriak lagi. Karena dia merasakan sekujur tubuh-
nya sudah regang kaku tak bisa digerakkan.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sempat terkesiap kare-
na bersamaan dengan terhunusnya pedang, dia merasakan
sosoknya tersapu mental. Hingga tendangan kaki kanannya
bukan saja tertahan di udara, namun juga tersurut.
Datuk Kala Sutera lipat gandakan tenaga dalam. Dia
makin khawatir apalagi melihat Bidadari Tujuh Langit su-
dah memegang pedang. Hingga sambil lipat gandakan tena-
ga dalam, dia kembali sentakkan kaki kanannya.
Karena merasa sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa
digerakkan, sementara tendangan kaki sang Datuk makin
dekat, akhirnya tanpa banyak pikir lagi Bidadari Tujuh
Langit babatkan pedang di tangan kanannya seraya dilepas.
Praass!
Datuk Kala Sutera menjerit seakan merobek langit. So-
soknya terhuyung ke belakang dengan bertumpu pada satu
kaki. Karena kaki kanannya telah terputus sebatas perge-
langan dan kucurkan darah.
Pedang putih meluncur dan menancap di atas tanah.
Sementara Bidadari Tujuh Langit terbanting lagi menghan-
tam tanah. Tapi bersamaan dengan itu hawa dingin yang
sesaat tadi membuat sekujur tubuhnya kaku sirna seketi-
ka.
Datuk Kala Sutera memandang sesaat pada pergelangan
kakinya. Lalu beralih pada putusan kakinya yang tergeletak
tidak jauh dari menancapnya pedang. Saat berikutnya
mendadak pemuda berjubah hitam ini melompat ke arah
pedang putih berkilat.
Begitu tangan kanannya berhasil memegang gagang pe
dang, Datuk Kala Sutera cepat kerahkan hawa sakti untuk
menahan hawa dingin. Lalu dengan bentakan garang dia
sentakkan tangan kanannya.
Wuutt!
Pedang putih tercabut dari tanah terangkat ke udara
perdengarkan desingan tajam.
Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun tiba-tiba ma-
tanya membeliak. Darahnya laksana sirap melihat bagai-
mana sekonyong-konyong Datuk Kala Sutera tahu-tahu su-
dah gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang ke
arah kaki kirinya yang mengenakan cincin berwarna merah
dari Sepasang Cincin Keabadian!
Dalam kagetnya, Bidadari Tujuh Langit masih sempat
lepas pukulan ke arah Datuk Kala Sutera dengan sentak-
kan kedua tangan.
Dess! Craass!
Datuk Kala Sutera terpental dengan mulut perdengarkan
seruan dan hamburkan darah. Karena pukulan Bidadari
Tujuh Langit tepat menghantam sosoknya.
Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit tercengang dalam
beberapa saat. Namun saat lain perempuan ini menjerit
tinggi.
Ketika pukulan Bidadari Tujuh Langit tepat menghantam
sosok Datuk Kala Sutera, pemuda berjubah hitam ini cepat
sentakkan pedang di tangan kanannya. Walau sosoknya
sempat terpental, hebatnya pedang putih berkilat di
tangannya terus menderu. Bidadari Tujuh Langit memang
sempat sentakkan kaki kirinya untuk menghindari luncu-
ran pedang. Tapi luncuran pedang itu lebih cepat gerakan-
nya. Hingga meski Bidadari Tujuh Langit sudah sekuat te-
naga hindarkan kaki kirinya, namun tak urung pedang itu
masih mampu membabat dan tepat membelah setengah te-
lapak kaki Bidadari Tujuh Langit!
Beberapa orang di tempat itu, terlebih murid Pendeta
Sinting, sesaat tadi memang sudah hendak membuat gera-
kan melerai. Tapi karena cepatnya peristiwa, dan karena
khawatir dengan pedang yang telah berada di tangan orang,
Joko jadi urungkan niat.
Sementara melihat apa yang terjadi, Galuh Sembilan
Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama-sama mem-
buat isyarat. Dendam dalam diri kedua gadis ini memang
sudah tak bisa ditahan lagi. Hingga begitu melihat kesem-
patan, keduanya segera saling memberi isyarat. Kejap lain
keduanya melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Saat bersamaan, Bidadari Delapan Samudera yang men-
dapat pesan dari gurunya agar membunuh Datuk Kala Su-
tera tidak lama menunggu. Dia segera pula berkelebat ke
arah sang Datuk.
“Harap tidak ada yang membuat gerakan!” Mendadak
terdengar orang bersuara. Lalu dua gelombang mengham-
par. Satu menghantam pada sosok Bidadari Tujuh Langit.
Satu lagi menyapu ke arah sosok Datuk Kala Sutera.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
serta Bidadari Delapan Samudera tidak ada yang hiraukan
seruan orang. Ketiganya teruskan gerakan meski saat itu
mereka tahu ada dua gelombang yang tengah memotong ge-
rakan mereka dan menghantam ke arah sosok Bidadari Tu-
juh Langit dan Datuk Kala Sutera.
Beberapa langkah lagi Galuh Sembilan Gerhana dan Ga-
luh Empat Cakrawala sampai di hadapan sosok Bidadari
Tujuh Langit dan Bidadari Delapan Semudera mencapai so-
sok Datuk Kala Sutera, tiba-tiba ketiga gadis ini berseru te-
gang. Sosok ketiganya mental balik lalu sama jatuh terdu-
duk di atas tanah tersambar dua gelombang yang tengah
menyapu ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kata
Sutera!
Saat lain sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera terpelanting ke udara. Lalu secara aneh mendadak
sosok keduanya tersapu ke arah satu jurusan sebelum ak-
hirnya jatuh punggung diatas tanah saling berdampingan!
***
TUJUH
ANEHNYA, semua orang di tempat itu tidak langsung in-
gin tahu siapa gerangan orang yang baru saja perdengarkan
suara dan jelas baru saja lepas dua gelombang angin aneh
yang membuat sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera jatuh berdampingan di seberang depan.
Sebaliknya semua mata terpaku pada sosok Bidadari Tu-
juh Langit dan Datuk Kala Sutera yang dengan sekuat te-
naga berusaha bangkit duduk.
“Gila! Apa mataku tidak salah lihat?!” Nenek Selir pen-
tangkan mata lalu kucek-kucek matanya dengan tangan
kanan yang tidak menggenggam pedang. Saat lain kembali
memelototi sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-
tera.
“Heran! Apa yang terjadi dengan mereka?!” Joko ikut
bergumam. Lalu sapukan pandangan pada semua orang di
tempat itu.
“Mereka juga tampak terkejut! Berarti mataku tidak me-
nipu! Mereka juga melihat perubahan itu!”
Di seberang depan, begitu berhasil duduk, Bidadari Tu-
juh Langit segera berpaling. Dia sudah akan buka mulut.
Namun tiba-tiba mulutnya terkancing kembali. Sepasang
matanya melotot pada sosok Datuk Kala Sutera.
Di sebelahnya, sang Datuk segera pula menoleh begitu
mampu bergerak duduk. Seperti halnya Bidadari Tujuh
Langit, pemuda berjubah hitam ini buru-buru urungkan
niat untuk buka mulut. Sebaliknya memandang lekat-lekat
pada sosok Bidadari Tujuh Langit.
Secara aneh, dalam pandangan orang-orang di tempat
itu, baik sosok Bidadari Tujuh Langit maupun sosok Datuk
Kala Sutera perlahan-lahan berubah. Rambut hitam lebat
milik kedua orang ini berubah menjadi hitam bercampur
putih. Lalu kulit sekujur tubuh keduanya juga berubah
berkerut-kerut. Dan hanya beberapa saat, sosok keduanya
telah menjadi seorang laki-laki dan perempuan paruh baya!
“Aneh.... Mengapa dia berubah?!” Bidadari Tujuh Langit
sempat menduga-duga.
“Tapi mengapa dia memandangku begitu rupa?! Jangan-
jangan ada yang....” Sang Bidadari tidak lanjutkan guma-
mannya. Sebaliknya alihkan pandang matanya ke arah di-
rinya sendiri. Saat yang sama Datuk Kala Sutera juga
memperhatikan dirinya.
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama-
sama berseru tegang. Keduanya hampir saja terlonjak jika
saja tidak terdengar satu suara.
“Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera! Harap kalian
tidak terkejut! Lebih lagi kuharap kalian masih mengenali-
ku!”
Satu sosok bayangan putih berkelebat dari arah mana
tadi dua gelombang menyapu sosok Bidadari Tujuh Langit
dan Datuk Kala Sutera. Lalu satu sosok tubuh tahu-tahu
telah duduk berselonjor kaki sepuluh langkah di hadapan
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera.
Paduka Seribu Masalah renggangkan rangkapan kedua
kakinya. Sementara semua orang di tempat itu segera alih-
kan pandang mata masing-masing pada orang yang baru
muncul.
Mereka melihat seorang nenek berambut putih menge-
nakan pakaian putih. Kedua kakinya yang berselonjor tam-
pak terputus hingga nenek ini tidak memiliki telapak kaki.
“Kau tahu siapa nenek itu?!” Putri Pusar Bumi berbisik
pada iblis Pedang Kasih.
Yang ditanya geleng kepala. “Aku tidak pernah bertemu
dengan nenek itu! Mungkin sahabat kita Paduka Seribu
Masalah bisa mengenalinya!”
Baru saja Iblis Pedang Kasih berucap begitu, nenek be-
rambut putih yang duduk berselonjor kaki berpaling pada
Putri Pusar Bumi. Bibirnya tersenyum. Lalu terdengar dia
berucap.
“Kita memang belum pernah bertemu. Tapi aku mungkin
bisa mengenalimu. Bukankah kau Putri Pusar Bumi?!”
Belum sampai Putri Pusar Bumi menyahut, si nenek be-
rambut putih sudah alihkan pandangannya pada Iblis Pe-
dang Kasih seraya berkata.
“Dan kau, bukankah Iblis Pedang Kasih...?!”
Lagi-lagi belum sampai yang disapa angkat bicara, si ne-
nek sudah beralih memandang pada Paduka Seribu Masa-
lah sambil sambung ucapannya.
“Paduka Seribu Masalah.. Senang bisa Jumpa denganmu
lagi. Maaf kalau aku tadi menyela pembicaraanmu!”
“Siapa dia?!” Iblis Pedang Kasih berbisik pada Paduka
Seribu Masalah.
“Jangan bertanya... Aku tidak berani memberi kete-
rangan!”
Tanpa menunggu sahutan, si nenek segera gerakkan ke-
pala. Kini pandangan matanya tertuju pada sosok Pendekar
131.
“Kuharap kau betah berada di negeri ini untuk sementa-
ra waktu, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng...
Walau kau harus menghadapi kenyataan yang mungkin be-
lum kau mengerti....”
Murid Pendeta Sinting tersentak kaget mendapati orang
telah tahu siapa dirinya. Hingga begitu si nenek selesai
berucap, Joko buru-buru menjura hormat seraya berkata.
“Terima kasih kau telah mengenaliku. Namun kuharap
kau tidak keberatan untuk mengatakan siapa dirimu....”
“Permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bukan sekarang!
Nanti kau akan tahu sendiri!” kata nenek berselonjor kaki
seraya berpaling pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Ka-
la Sutera.
“Sialan! Siapa nenek putih tak punya telapak kaki ini!
Dia seolah memandang sebelah mata padaku!” Nenek Selir
mendesis sendirian karena merasa tidak disapa oleh orang.
“Jangan-jangan dia simpanan Wang Su Ji! Dia cemburu
padaku lalu....”
Nenek Selir menyeringai. Saat lain dia edarkan pan-
dangan berkeliling lalu terhenti pada tempat dimana nenek
yang berselonjor kaki tadi melesat keluar. Karena tidak juga
melihat tanda-tanda adanya orang, Nenek Selir tampaknya
tidak sabar. Dia segera berkelebat lalu tegak tidak jauh dari
nenek yang duduk selonjorkan kaki.
“Nenek Selir.... Ada apa?!”
Nenek Selir terperanjat mendapati nenek yang berselon-
jor kaki langsung bertanya dan dapat mengenali siapa
adanya si nenek berselempang kain hitam ini.
“Kurang ajar betul! Dia juga telah mengenaliku! Pasti ja-
hanam laki-laki itu yang memberi tahu!” desis Nenek Selir
dengan mata melotot. Lalu buka mulut dengan suara keras
membahana.
“Kau siapa, hah?!”
“Mungkin kedua orang itu nanti bisa menjawab perta-
nyaanmu!”
“Aku ingin tahu dari mulutmu sendiri! Bukan dari mere-
ka!”
“Ah.... Sudahlah.... Tidak ada untungnya kita berdebat.
Hanya kuharap kau tidak segera pergi dari tempat ini!”
“Jangan memberi aturan padaku! Pergi atau tidak, itu
urusanku!”
Nenek berambut putih yang duduk berselonjor terse-
nyum.
“Nenek Selir.... Kuminta waktu padamu. Aku ingin bicara
dulu dengan kedua orang itu!”
Tanpa menunggu lagi, si nenek berambut putih berbaju
putih sambungi ucapannya ditujukan pada Bidadari Tujuh
Langit dan Datuk Kala Sutera.
“Bagaimana?! Kalian masih mengenaliku?!”
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera meman-
dang tanpa ada yang buka suara. Sebaliknya kedua orang
ini membuat gerakan untuk bangkit berdiri meski mereka
tahu jika salah satu kaki mereka telah putus dan kucurkan
darah.
Tapi kedua orang ini jadi terkesiap mendapati bukan sa-
ja mereka tidak mampu untuk bergerak bangkit, namun juga tidak kuasa untuk alihkan pandang matanya dari sosok
perempuan tua berambut putih yang duduk selonjorkan
kaki!
“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera! Kalian tidak
akan mampu bergerak bangkit jika belum jawab perta-
nyaanku!” Berkata nenek berambut putih.
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tersentak
diam. Namun diam-diam keduanya sama kerahkan tenaga
dalam.
Si nenek berambut putih tersenyum seraya gelengkan
kepala.
“Kalian telah terluka seperti yang kualami enam belas
tahun silam.... Kalian ingat?!”
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera ter-
cengang. Bukan hanya karena ucapan orang, namun juga
ternyata keduanya tidak mampu bergerak walau mereka te-
lah kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki!
“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Bidadari Tujuh Langit
dengan suara serak parau.
“Malam itu kalian datang ke sebuah pulau sepi. Kalian
menginginkan sesuatu yang semestinya bukan menjadi hak
seorang manusia! Kalian ingin tetap hidup dengan tubuh
tidak berubah selamanya....”
Nenek yang duduk selonjorkan kaki hentikan ucapannya
sesaat. Lalu dongakkan kepala. Di depannya, Bidadari Tu-
juh Langit dan Datuk Kala Sutera kernyitkan dahi masing-
masing dengan mulut terbuka menganga tanpa perdengar-
kan suara.
“Malam itu...,” kata si nenek berambut putih berucap la-
gi.
“Dengan licik kalian telah menipu seseorang dan bertin-
dak jahat padanya hanya gara-gara kalian menginginkan
benda berupa sepasang cincin... Peristiwa itu terjadi enam
belas tahun silam....”
“Dewi Keabadian!” hampir bersamaan Bidadari Tujuh
Langit dan Datuk Kala Sutera bergumam.
“Syukur kalian masih mengingatnya... Sekarang kuharap
kalian juga ingat siapa orang yang ada di samping kalian
masing-masing....”
Entah karena apa, walau sebenarnya tidak ingin mem-
buat gerakan, namun seakan ada kekuatan dahsyat, kepala
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama berpal-
ing saling berhadapan!
Sementara mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit
dan Datuk Kala Sutera yang mengucapkan nama si nenek,
Nenek Selir tersurut kaget hingga melotot besar pandangi
sosok orang di sampingnya lekat-lekat. Di lain pihak, Putri
Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih saling berpandangan.
Pendekar 131 ikut-ikutan terkejut lalu ikut pula arahkan
matanya pada sosok nenek yang duduk berselonjor kaki.
Di depan, tiba-tiba baik Bidadari Tujuh Langit maupun
Datuk Kala Sutera seakan tersadar dari lamunan panjang.
Secara aneh, mereka mendadak dapat mengenali siapa
adanya orang di hadapannya!
“Bidadari Tujuh Langit istriku...,” desis Datuk Kala Sute-
ra dengan suara seakan tercekat di tenggorokan.
“Kau.... Datuk Kala Sutera...!” gumam Bidadari Tujuh
Langit setengah berbisik.
Seakan lupa pada keadaan masing-masing, Bidadari Tu-
juh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak hendak julur-
kan tangan. Namun keduanya tercengang ketika menyadari
tangan mereka tak bisa digerakkan!
“Apa yang terjadi dengan diriku?!” gumam Bidadari Tu-
juh Langit seraya berpaling pada nenek yang duduk berse-
lonjor kaki dan bukan lain memang Dewi Keabadian. Se-
mentara Datuk Kala Sutera tergagu heran lalu perlahan-
lahan arahkan pandang matanya pula pada Dewi Keaba-
dian.
“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera. Aku datang
hanya untuk memperingatkan! Bahwa sebagai manusia bi-
asa, tidak layak untuk minta sesuatu yang bukan menjadi
haknya! Keabadian hanya berhak dimiliki yang Maha Abadi!
Dan kalaupun ada Sepasang Cincin Keabadian yang me-
mang mampu membuat si pemakainya terlihat tetap awet
muda dan tidak berubah, itu hanyalah bersifat sementara.
Pada saatnya, si pemakai itu akan menuruti kodratnya un-
tuk kembali kehadapan Sang Pencipta dengan apa pun ja-
lannya! Dan satu hal lagi.... Setiap perbuatan, kelak pasti
akan menumbuhkan hasil!”
Dewi Keabadian hentikan ucapannya sejenak. Lalu tarik
kedua kakinya dan ditekuk membuat sikap seperti orang
duduk bersila. Saat kemudian kembali dia berkata.
“Pada satu malam enam belas tahun silam, kalian ber-
dua telah memotong kedua kakiku untuk mengambil Sepa-
sang Cincin Keabadian. Hari ini, kalian berdua mendapat
hasil apa yang telah kalian lakukan padaku! Mudah-
mudahan hal ini bisa kalian jadikan satu pelajaran berhar-
ga! Masih banyak waktu bagi kalian untuk menebus segala
yang telah kalian lakukan!”
Seperti diketahui, pada enam belas tahun silam, Bidada-
ri Tujuh Langit bersama suaminya Datuk Kala Sutera seca-
ra licik telah memotong kedua kaki Dewi Keabadian karena
keduanya menginginkan Sepasang Cincin Keabadian yang
dikenakan pada ibu jari kedua kaki sang Dewi.
Begitu kedua kaki Dewi Keabadian putus, dan Sepasang
Cincin Keabadian berpindah ke ibu jari kaki Bidadari Tujuh
Langit dan Datuk Kala Sutera, sosok Dewi Keabadian yang
sebelumnya terlihat cantik jelita berubah menjadi sosok
seorang nenek-nenek.
Tapi sebelum Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-
tera berkelebat pergi, tiba-tiba kedua orang ini secara aneh
tidak mampu meneruskan gerakan. Inilah kehebatan Dewi
Keabadian. Dia mampu mengerahkan tenaga dalam untuk
membuat sosok orang tidak mampu bergerak. Dan saat itu-
lah Dewi Keabadian mengucapkan kata-kata jika suatu saat
kelak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera akan
mengalami nasib yang sama seperti apa yang telah mereka
lakukan pada sang Dewi. Dan lebih dari itu, keduanya akan
berubah! Mereka tidak akan saling mengenali satu sama
lain! Bahkan mereka tidak akan mengenali siapa anak-anak
mereka!
“Dewi.... Harap....”
“Bidadari Tujuh Langit!” Dewi Keabadian menukas uca-
pan Bidadari Tujuh Langit.
“Tidak perlu kau mengucapkan kata maaf! Semuanya
sudah terjadi...!”
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian putar diri. Saat
lain dia berkelebat ke arah potongan telapak kaki kiri Bida-
dari Tujuh Langit dan pergelangan kaki kanan Datuk Kala
Sutera yang masih tergeletak di atas tanah.
Begitu potongan kedua kaki itu berada di tangan, Dewi
Keabadian segera lepaskan cincin berwarna merah pada ibu
jari potongan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit dan cincin
berwarna hijau pada ibu jari potongan kaki kanan Datuk
Kala Sutera. Saat kemudian sang Dewi mengenakan kedua
cincin yang dikenal dengan Sepasang Cincin Keabadian itu
pada ibu jari kedua tangannya sambil duduk bersila. Begitu
Sepasang Cincin Keabadian masuk pada kedua ibu jari tan-
gan Dewi Keabadian, secara perlahan-lahan sosok sang
Dewi berubah. Rambutnya yang putih berubah jadi hitam
lebat. Kulitnya yang pucat keriput menjadi putih kencang.
Hingga dalam beberapa saat saja sosoknya yang tadi seperti
nenek-nenek telah berganti menjadi sosok gadis muda ber-
paras cantik jelita!
Semua orang di tempat itu sempat terlengak. Dan belum
sampai ada yang buka suara, Dewi Keabadian telah putar
duduknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata.
“Pendekar 131! Kutitipkan Pedang Keabadian padamu!”
“Dewi... Rasanya aku tak sanggup!” Pendekar 131 segera
menyahut ingat jika dia tidak mampu menahan hawa
dingin yang dipancarkan Pedang Keabadian. Dewi Keaba-
dian tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kedua tangannya lalu
didorong ke arah Joko!
DELAPAN
KARENA tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang,
Pendekar 131 sempat terkejut dan cepat-cepat berkelebat
hindarkan diri, walau dari dorongan kedua tangan Dewi
Keabadian tidak terdengar adanya deruan atau berkiblatnya
gelombang angin.
Namun belum sampai Joko bergerak lebih jauh, dia me-
rasakan sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa digerak-
kan! Saat bersamaan dia merasakan aliran hawa dingin
menusuk hingga untuk beberapa saat sosok murid Pendeta
Sinting menggigil dan terhuyung-huyung.
Di seberang depan, Dewi Keabadian tarik pulang kedua
tangannya. Hawa dingin dan huyungan sosok Pendekar 131
terhenti seketika.
“Ambil pedang Itu, Pendekar 131!” Dewi Keabadian beru-
cap.
Joko menghela napas. Matanya memandang beberapa
saat dengan pandangan bimbang. Tapi dia merasakan satu
keanehan. Mendadak ada satu dorongan yang membuat
kedua kakinya bergerak melangkah meski sebenarnya dia
belum berniat untuk bertindak!
“Ambil pedang itu, Pendekar 131!” Kembali Dewi Keaba-
dian berkata saat langkah-langkah Joko mendekati Pedang
Keabadian yang masih berada di atas tanah.
Apa yang dilakukan sang Dewi membuat Joko sadar jika
perempuan itu tidak berniat jahat. Maka dengan tangan se-
dikit bergetar, Joko bungkukkan tubuh. Lalu perlahan-
lahan tangan kanannya dijulurkan ke arah pedang.
Sesaat murid Pendeta Sinting masih terlihat ragu-ragu,
khawatir masih belum mampu untuk kuasai hawa dingin
yang memancar dari Pedang Keabadian. Hingga dia diam-
diam kerahkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin.
Lalu teruskan gerakan tangan kanan.
Ketika tangan kanannya menyentuh Pedang Keabadian,
sesaat hawa dingin memang masih terasa menjalar pada
tangannya. Namun cuma sekejap. Saat lain Joko sudah ti-
dak lagi merasakan hawa dingin. Hingga dengan tenang Jo-
ko mengambil Pedang Keabadian. Lalu melangkah ke arah
kotak kuning berukir yang masuk amblas ke dalam tanah
tidak jauh dari tergeletaknya Pedang Keabadian.
Kotak kuning berukir dicabut dengan tangan kiri. Lalu
perlahan-lahan ujung Pedang Keabadian dimasukkan ke
dalam lobang yang ada pada salah satu sisi kotak kuning
berukir.
Untuk beberapa saat semua mata yang ada di tempat itu
memandang tak berkesip. Mereka seolah hampir tak per-
caya jika kotak berukir yang hanya dua jengkal itu mampu
menahan panjangnya tubuh pedang.
Begitu ujung pedang sudah masuk, Dewi Keabadian
arahkan pandang matanya pada Putri Pusar Bumi, Iblis Pe-
dang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk
rangkapkan kaki.
“Sahabat sekalian. Sebenarnya aku masih ingin berbin-
cang dengan kalian. Namun rasanya waktunya kurang baik.
Mudah-mudahan kita kelak akan dipertemukan lagi!”
Habis berucap begitu, Dewi Keabadian putar pandangan
ke arah sosok Nenek Selir dan berkata.
“Nenek Selir... Maaf kalau aku tidak bisa membicarakan
urusanmu. Tapi aku percaya. Apa yang selama Ini menjadi
ganjalan hidupmu akan segera berakhir!”
Sebenarnya si nenek akan buka mulut. Namun sebelum
suaranya terdengar, Dewi Keabadian sudah putar duduk-
nya menghadap Pendekar 131 dan berucap.
“Pendekar 131! Sekali lagi kutitipkan Pedang Keabadian
padamu! Pergunakan pedang itu sebagaimana mestinya! In-
gat... Pedang itu hanya titipan... Mungkin satu hari kelak
pedang itu harus rela kau serahkan pada orang lain!”
Joko anggukkan kepala.
“Terima kasih, Dewi....”
Dewi Keabadian tersenyum. Lalu putar pandangan ber-
keliling ke arah Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat
Cakrawala, Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Sa-
mudera, dan Dayang Tiga Purnama.
“Gadis-gadis cantik... Aku tidak bisa memberikan penje-
lasan panjang lebar. Aku hanya berpesan agar kalian mau
menerima suratan kenyataan ini dengan lapang dada dan
tabah! Kalian tidak bersalah dalam hal ini! Dan kalian ha-
rap menerima apa adanya Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera! Siapa pun mereka adanya, apa pun yang me-
reka lakukan, terimalah mereka sebagai manusia yang telah
melahirkan kalian berlima!”
Dewi Keabadian rangkapkan kedua tangannya. Lalu
edarkan pandangan sekali lagi pada semua orang yang ada
di tempat itu.
“Aku harus segera pergi....”
“Tunggu!” Nenek Selir menahan seraya melompat ke ha-
dapan Dewi Keabadian.
“Nenek Selir!” Dewi Keabadian sudah mendahului berka-
ta sebelum si nenek sempat angkat suara. Siapa yang kau
cari tidak jauh dari tempat ini! Percayalah dia akan muncul
menemuimu dan menyelesaikan urusannya! Hanya satu hal
yang dapat kukatakan. Jangan terburu mengambil keputu-
san! Karena kau masih ada hubungannya dengan peristiwa
di tempat ini!”
Si nenek tersentak kaget.
“Apa hubungannya?!”
“Orang yang selama ini kau cari ada di tempat ini!”
“Aku sudah tahu! Aku sudah mencium bau bangkainya!”
sahut Nenek Selir.
Dewi Keabadian geleng kepala.
“Maksudku bukan orang yang selama ini kau cari untuk
membalas dendam. Tapi darah dagingmu sendiri yang hi-
lang dari tanganmu pada beberapa puluh tahun silam!”
Nenek Selir tegak dengan sosok bergetar dan mulut
ternganga. Tanpa sadar sepasang matanya liar mengedar
berkeliling.
“Yang dimaksud perempuan ini pasti anakku! Tapi yang
mana...?! Menurut ucapannya, kelima gadis di tempat ini
adalah anak-anak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera. Sementara sudah tidak ada perempuan lain yang
sepertinya pantas menjadi anakku!” Diam-diam Nenek Selir
membatin. Saat itulah pandang matanya tertumbuk pada
sosok Bidadari Tujuh Langit. Dada si nenek jadi berdebar
tidak enak.
“Mungkinkah...? Mungkinkah dia?! Tapi tak mungkin....”
Kepala si nenek bergerak menggeleng. Lalu berpaling pada
Dewi Keabadian dan berkata dengan suara tersendat parau.
“Dewi.... Kalau yang kau maksud ucapanmu adalah
anakku, harap tunjuk yang mana!”
Dewi Keabadian gelengkan kepala.
“Sebagai orang yang telah melahirkan, firasatmu sudah
dapat menebak. Lain daripada itu, kau tentu memiliki se-
suatu yang tidak bisa kau lupakan dari darah daging yang
telah kau lahirkan!”
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian membuat gerakan
memutar duduknya. Mula-mula pelan. Namun makin lama
putaran tubuhnya makin kencang hingga hanya beberapa
saat sosoknya hanya merupakan putaran bayang-bayang.
Kejap lain bayangan sosok Dewi Keabadian melesat dan le-
nyap dari tempat itu!
“Sialan betul! Dia tinggalkan tempat ini dengan meng-
gantung masalah! Tapi aku memang memiliki sesuatu yang
tak bisa kulupakan dari tubuh anakku!” desis Nenek Selir
seraya memperhatikan kelebatan sosok bayangan Dewi
Keabadian.
Hanya beberapa saat setelah lenyapnya sosok bayangan
Dewi Keabadian, mendadak Putri Pusar Bumi angkat suara
seraya arahkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama.
“Cucuku.... Kau telah dengar sendiri ucapan Dewi Kea-
badian! Sekali lagi kuharap kau mau menerima kenyataan
ini! Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera adalah
orangtuamu! Enam belas tahun silam aku mengambilmu
dari Lima Istana Bidadari, tempat tinggal kedua orangtua
mu!”
“Cucuku Bidadari Pedang Cinta....” Kali ini Iblis Pedang
Kasih yang menyahut seraya arahkan matanya pada Bida-
dari Pedang Cinta.
“Enam belas tahun lalu, aku juga mengambilmu dari Is-
tana Lima Bidadari! Jadi terimalah Bidadari Tujuh Langit
dan Datuk Kala Sutera sebagai kedua orang yang telah me-
lahirkanmu ke atas dunia!”
Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta sama
berpaling pada Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih.
Lalu saling berpandangan satu sama lain. Mereka berdua
seolah masih belum percaya dengan keterangan Dewi Kea-
badian dan ucapan yang baru didengarnya. Kedua gadis ini
seakan masih tak mau bergeming dengan kenyataan diha-
dapan mereka apalagi jika ingat akan tindakan Bidadari Tu-
juh Langit yang pernah hendak melakukan tindakan tidak
senonoh pada mereka.
Sementara diseberang depan, begitu sosok bayangan
Dewi Keabadian lenyap, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk
Kala Sutera sama arahkan pandang mata masing-masing
pada kelima gadis yang berada di tempat itu. Lalu begitu
mendengar ucapan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Ka-
sih, keduanya serta merta arahkan pandang mata masing-
masing pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang
Cinta.
Bidadari Tujuh Langit menghela napas panjang. Lalu
terdengar dia berucap.
“Bidadari Pedang Cinta... Dayang Tiga Purnama... Dari
keterangan Dewi Keabadian dan Putri Pusar Bumi serta Ib-
lis Pedang Kasih, aku percaya jika kalian berdua adalah
dua dari kelima anakku... Tapi percayalah! Aku tidak mera-
sa kecewa jika kalian berdua tidak mau mengakui aku dan
Datuk Kala Sutera sebagai orangtuamu! Karena kami ber-
dua memang tidak pantas dikatakan sebagai orangtua!” Bi-
dadari Tujuh Langit hentikan ucapannya. Sepasang ma-
tanya terlihat berkaca-kaca.
“Aku dan Datuk Kala Sutera tidak akan ingkari kenya-
taan! Kami berdua memang telah bertindak licik dan jahat!
Kami berdua terlalu serakah untuk mencari sesuatu yang
memang bukan semestinya menjadi hak kami! Hingga aki-
batnya bukan saja kami berdua yang harus menanggung
akibatnya, tapi kalian berdua juga harus menerima pahit-
nya... Kuharap kalian berdua mau memaafkan kami....”
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendongak.
Kedua bahunya tampak berguncang keras. Lalu terdengar
isakannya. Saat kemudian dia luruskan kepala memandang
silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga
Purnama. Tanpa pedulikan kaki kirinya yang kucurkan da-
rah dan luka dalam yang dideritanya, perempuan yang kini
telah berubah menjadi sosok seorang wanita paruh baya ini
bergerak merangkak ke arah Bidadari Pedang Cinta. Aneh-
nya, kalau sesaat tadi dia laksana tegang kaku tak bisa
bergerak saat Dewi Keabadian berkata, kini dia kembali da-
pat menggerakkan anggota tubuhnya!
Semua orang yang ada di tempat itu tegak tanpa ada
yang buka suara atau membuat gerakan. Mata mereka ter-
tuju pada gerakan Bidadari Tujuh Langit yang terus me-
rangkak perlahan-lahan ke arah Bidadari Pedang Cinta.
Begitu lima tindakan di hadapan Bidadari Pedang Cinta,
mendadak Bidadari Tujuh Langit melompat lalu jatuhkan
diri di kaki Bidadari Pedang Cinta.
“Anakku....” Suara Bidadari Tujuh Langit laksana teng-
gelam dalam isakan tangisnya. Kedua tangannya pegangi
pergelangan kedua kaki Bidadari Pedang Cinta. “Terakhir
kalinya aku minta maaf padamu... Karena setelah ini kema-
tian adalah hal terbaik yang akan kuambil.... Manusia se-
pertiku tidak layak lagi berada di atas dunia apalagi harus
berhadapan dengan anak-anak yang kulahirkan tapi harus
menerima derita sengsara akibat ulahku... Aku malu den-
gan apa yang pernah kulakukan padamu... Aku sekarang
pasrahkan diri padamu... Seandainya kau mau, aku minta
tanganmulah yang mengakhiri hidupku agar terlepas beban
deritaku ini...”
Bidadari Pedang Cinta mula-mula tidak bergeming den-
gan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Malah gadis Ini sempat
hendak lepaskan dan tarik mundur kedua kakinya yang di-
pegang Bidadari Tujuh Langit.
“Anakku... Kedua tanganku memang sudah tak pantas
membelaimu... Tapi izinkanlah untuk terakhir kalinya aku
memegang kedua kakimu...” Bidadari Tujuh Langit eratkan
pegangannya pada kedua pergelangan kaki Bidadari Pedang
Cinta. Saat kemudian dia sorongkan wajahnya lalu menci-
umi kedua kaki Bidadari Pedang Cinta dengan hamburkan
tangis.
Bagaimanapun tegar dan kokohnya hati Bidadari Pedang
Cinta, melihat apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit,
perlahan-lahan hati gadis ini luluh juga. Dia tengadahkan
kepala dengan mata dipejamkan. Lalu tekuk kedua kakinya
dan bergerak melorot ke bawah dengan bahu berguncang
dan sosok bergetar menahan tangis.
Bidadari Pedang Cinta ulurkan kedua tangannya men-
gambil kepala Bidadari Tujuh Langit lalu diangkat tenga-
dah. Saat kemudian dia bungkukkan wajah lalu menciumi
wajah Bidadari Tujuh Langit dengan mata berlinang dan
berkata terisak.
“Ibu....” Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Bi-
dadari Pedang Cinta meski sebenarnya mulutnya masih
terbuka hendak mengucapkan kata-kata selanjutnya.
Melihat apa yang terjadi, tampaknya Dayang Tiga Pur-
nama tak bisa menahan diri. Dia berlari menghampiri Bida-
dari Tujuh Langit yang masih saling berciuman dengan Bi-
dadari Pedang Cinta. Lalu ikut jatuhkan diri dan berkata.
“Ibu... Aku mohon maaf... Aku...” Belum sampai sua-
ranya berlanjut, tangisnya sudah menghambur.
Bidadari Tujuh Langit tarik pulang wajahnya dari wajah
Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga
Purnama. Saat kemudian kedua orang ini sudah saling ber-
pelukan dengan terisak-isak tanpa ada yang sempat buka
suara.
Ketika Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama
saling berpelukan, di seberang sana Datuk Kala Sutera
tampak mendongak dengan sosok bergetar.
Sepasang matanya terpejam rapat. Walau laki-laki ini ti-
dak perdengarkan tangisan, tapi sikapnya jelas jika dia ten-
gah menahan diri. Kejap lain pemuda berjubah hitam yang
kini telah berubah menjadi laki-laki paruh baya ini lu-
ruskan kepalanya memandang ke arah Bidadari Tujuh Lan-
git. Lalu perlahan-lahan menoleh pada Bidadari Delapan
Samudera yang tegak dengan menghela napas panjang be-
rulang kali.
Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera membuat gerakan
seperti orang hendak merangkak. Lalu bergerak ke arah Bi-
dadari Delapan Samudera. Namun baru mendapat bebera-
pa langkah, Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat
menghambur ke arah Datuk Kala Sutera dan tegak dua
langkah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca dan ba-
hu berguncang keras.
“Anakku....” Datuk Kala Sutera sekuat tenaga coba buka
mulut seraya duduk tatapi sosok Bidadari Delapan Samu-
dera.
“Kau menginginkan nyawaku bukan?! Lakukanlah apa
yang ingin kau lakukan!” Datuk Kala Sutera pejamkan se-
pasang matanya.
“Dosa yang kulakukan telah melampaui batas... Aku bu-
kan saja telah membuatmu menderita. Namun juga telah
membunuh orang yang mengasuhmu... Pantas kalau tan-
ganmulah yang berhak untuk menghabisiku...”
Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala. Mulutnya
sudah terbuka. Namun justru bukan suara yang kemudian
terdengar sebaliknya isakan tangis. Lalu kejap lain Bidadari
Delapan Samudera sudah menghambur ke arah Datuk Kala
Sutera dan merangkulnya dengan berbisik.
“Ayah....” Bidadari Delapan Samudera tak kuasa lan-
jutkan ucapan. Sementara Datuk Kala Sutera perlahan
lahan buka sepasang matanya. Melihat Bidadari Delapan
Samudera telah rangkul tubuhnya, laki-laki ini tak mampu
lagi menahan diri. Sepasang matanya berlinang dengan ke-
dua tangan bergerak membalas rangkulan Bidadari Dela-
pan Samudera.
“Terima kasih kau masih mau menyebutku sebagai Ayah
meski sebenarnya hal itu tak pantas kuterima dan keluar
dari mulutmu....”
“Ayah... Jangan ucapkan kata-kata itu lagi... Sekarang
kau harus menemui Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Ti-
ga Purnama...”
Habis berbisik begitu, tiba-tiba Bidadari Delapan Samu-
dera bergerak bangkit. Saat kemudian dia angkat sosok Da-
tuk Kala Sutera. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke
arah bidadari Tujuh Langit yang masih berpelukan dengan
Dayang Tiga Purnama.
Belum sampai langkah Bidadari Delapan Samudera
mendekati tempat Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang
Cinta sudah berpaling. Kejap lain gadis berbaju hijau ini
bangkit lalu menghambur menyongsong sosok Datuk Kala
Sutera yang berada dalam bopongan Bidadari Delapan Sa-
mudera. Saat kemudian terdengar lagi isakan tangis Bida-
dari Pedang Cinta begitu dia merangkul sosok Datuk Kala
Sutera yang sudah didudukkan oleh Bidadari Delapan Sa-
mudera.
Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama cepat
menoleh. Melihat apa yang terjadi, kedua orang segera le-
paskan pelukan masing-masing lalu laksana terbang.
Dayang Tiga Purnama sudah melompat dan ikut memeluk
sosok Datuk Kala Sutera. Sementara Bidadari Tujuh Langit
merangkak menghampiri.
Begitu dekat, Bidadari Delapan Samudera segera me-
nyongsong lalu memeluk Bidadari Tujuh Langit. Hingga un-
tuk beberapa saat tempat itu hanya dipenuhi dengan suara
isakan tangis.
Agak jauh di sebelah samping, Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala pandang berlama-lama tanpa
ada yang buka mulut. Mereka berdua seolah tidak percaya
dengan apa yang dilihat dan didengar. Hingga pada satu
saat, Galuh Sembilan Gerhana berbisik pada Galuh Empat
Cakrawala.
“Rasanya aku belum percaya dengan kejadian ini! Mung-
kinkah benar?!”
“Jangan bertanya padaku... Aku sendiri masih tak bisa
membayangkan... Bagaimana sikap kita seandainya dia be-
nar-benar orangtua kita?! Padahal...” Galuh Empat Cakra-
wala tak mampu lanjutkan gumaman. Sebaliknya berpaling
ke jurusan lain dengan mata berkaca-kaca. Dia teringat ba-
gaimana dia telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh
Bidadari Tujuh Langit.
“Tidak!!!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak
histeris. Kedua tangannya diangkat ditakupkan pada wa-
jahnya.
Teriakan Galuh Empat Cakrawala membuat Bidadari Tu-
juh Langit lepaskan pelukan dari Bidadari Delapan Samu-
dera. Lalu berpaling pada Galuh Empat Cakrawala dan Ga-
luh Sembilan Gerhana.
Sosok Bidadari Tujuh Langit terlihat bergetar hebat. Dia
seolah tahu apa yang dirasakan Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala. Hingga setelah memejamkan
sepasang matanya, dia merangkak mendekati kedua gadis
itu.
“Galuh Empat Cakrawala... Galuh Sembilan Gerhana...
Tak ada ucapan yang pantas kalian dengar dari mulutku...
Bahkan tidak ada maaf yang layak kalian berikan pada-
ku...”
Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya begitu
berhenti tiga langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala. Sepasang matanya dibuka la-
lu memandang beberapa saat silih berganti pada kedua ga-
dis di hadapannya.
“Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...
Aku memang telah bertindak yang mungkin tidak bisa di-
maafkan! Tapi kuharap kalian tidak segan mengakui Datuk
Kala Sutera sebagai ayah kalian...”
Habis berucap begitu, mendadak Bidadari Tujuh Langit
hantamkan kedua tangannya ke arah kepalanya!
“Ibu!” Bidadari Delapan Samudera berteriak seraya me-
lompat dan menahan gerakan kedua tangan Bidadari Tujuh
Langit yang hendak menghantam kepalanya sendiri.
“Anakku Bidadari Delapan Samudera...,” ucap Bidadari
Tujuh Langit seraya pandangi sosok Bidadari Delapan Sa-
mudera yang tegak disampingnya. Kepalanya menggeleng
“Aku malu dengan apa yang telah kulakukan pada kedu-
anya... Aku... Aku...” Bidadari Tujuh Langit tidak mampu
lagi lanjutkan ucapan. Sebaliknya coba gerakkan lagi kedua
tangannya yang ditahan Bidadari Delapan Samudera.
“Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...”
Berkata Bidadari Delapan Samudera dengan suara seten-
gah berbisik.
“Kalau kalian masih mau mengakui aku sebagai sauda-
ra, kuharap kalian mau menerimanya sebagai Ibu, meski
apa pun tindakan yang telah dilakukannya pada kalian...”
Galuh Empat Cakrawala berpaling dengan mata berkaca-
kaca dan dipentang besar-besar. Lalu melangkah satu tin-
dak menghampiri Bidadari Tujuh Langit.
***
SEMBILAN
“KAU bisa berkata begitu karena kau tidak merasakan
derita aib yang telah kualami!” Galuh Empat Cakrawala
berteriak seraya menunjuk pada Bidadari Delapan Samude-
ra.
“Anakku Bidadari Delapan Samudera... Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Aku telah melakukan tindakan
hitam yang rasanya sulit untuk dihapus! Begitu hitamnya
tindakan yang telah kulakukan, ucapan pembelaan pun ra-
sanya sudah tidak pada tempatnya lagi! Semua sudah te-
lanjur terjadi... Dan ini semua memang karena aku sudah
tenggelam dalam angkara nafsu. Sebenarnya aku ingin hi-
dup lebih lama lagi apalagi aku telah menemukan kembali
apa yang sudah hilang dari tanganku enam belas tahun la-
manya. Namun kalau tewas lebih diinginkan oleh Galuh
Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana, aku den-
gan senang hati akan menyerahkan diri pada mereka...
Aku maklum, tewasnya diriku mungkin belum sebanding
dengan aib yang telah kucorengkan. Tapi di atas semua itu,
aku masih bersyukur. Karena pada akhirnya aku bisa ber-
temu kembali dengan anak-anakku...”
Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada
Galuh Empat Cakrawala yang tegak dua tindak dihadapan-
nya.
“Galuh Empat Cakrawala... Aku siap menghadapi apa
yang akan kau lakukan... Ayo, lakukanlah anakku... Mam-
pus di tanganmu kurasa lebih baik...” Bidadari Tujuh Lan-
git tersenyum seraya anggukkan kepala.
Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Da-
tuk Kala Sutera saling lepaskan rangkulan. Lalu meman-
dang pada Bidadari Tujuh Langit dan Galuh Empat Cakra-
wala. Sementara semua orang ditempat itu juga sama tuju-
kan pandangan ke satu arah dengan dada berdebar.
“Galuh Empat Cakrawala... Harap kau tidak bimbang,
Percayalah, kau tidak salah jika membunuhku... Lakukan-
lah, Nak...”
Galuh Empat Cakrawala gigit bibirnya sendiri. Sosoknya
bergetar. Dia pandangi lekat-lekat sosok Bidadari Tujuh
Langit. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Bidadari
Delapan Samudera saling pandang.
“Anakku... Sekiranya...” Hanya sampai disitu ucapan Bi-
dadari Tujuh Langit. Karena mendadak saja Galuh Empat
Cakrawala melompat ke hadapan Bidadari Tujuh Langit dan
memeluk tubuhnya dengan tangis melengking.
Sesaat tadi Bidadari Delapan Samudera sempat mem-
buat gerakan berjaga-jaga takut Galuh Empat Cakrawala
turunkan tangan kasar lakukan ucapan Bidadari Tujuh
Langit. Dia lepaskan kedua tangannya yang sedari tadi me-
nahan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Lalu diam-diam
kerahkan tenaga dalam untuk menghadapi segala kemung-
kinan.
Tapi begitu mendapati apa yang dilakukan Galuh Empat
Cakrawala, Bidadari Delapan Samudera cepat surutkan
langkah satu tindak dengan mata berlinang. Sementara Ga-
luh Sembilan Gerhana segera berlari lalu ikut memeluk so-
sok Bidadari Tujuh Langit!
Untuk beberapa saat kembali tempat itu dipecah dengan
isak tangis dan helaan-helaan napas panjang.
“Anak-anakku... Mari kita bergabung dengan mereka...”
Datuk Kala Sutera berbisik pada Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama.
Tanpa perdengarkan sahutan, Bidadari Pedang Cinta
dan Dayang Tiga Purnama segera membopong sosok Datuk
Kala Sutera lalu melangkah mendekati Bidadari Tujuh Lan-
git yang tengah bertangis-tangisan dengan Galuh Empat
Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana.
“Terima kasih, Anak-anakku...” Bidadari Tujuh Langit
berucap dengan suara tersendat serak.
“Di akhir usiaku ini, aku Ingin menghabiskan dengan
mensucikan diri dan merawat kalian... Aku ingin menebus
apa yang selama ini tidak kulakukan sebagai seorang ibu...”
“Dan sejak hari ini, kuharap tidak ada lagi kata berpisah
diantara kita!” Tiba-tiba Datuk Kala Sutera yang sudah ti-
dak jauh dari Bidadari Tujuh Langit menyahut.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
berpaling. Saat berikutnya kedua gadis ini bangkit lalu
menghampiri Datuk Kala Sutera. Sang Datuk tersenyum se-
raya lebarkan kedua tangannya.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
bungkukkan tubuh lalu keduanya masuk dalam rengkuhan
kedua tangan Datuk Kala Sutera tanpa ada yang buka sua-
ra.
***
Yang paling resah dan gelisah melihat pemandangan ber-
temunya anak dan orangtua itu adalah Nenek Selir. Sedari
tadi sepasang matanya terus memperhatikan sosok Bidada-
ri Tujuh Langit. Namun beberapa kali kepala nenek ini
membuat gerakan menggeleng. Lalu saat lain bergumam
tak jelas. Saat itulah ekor mata Nenek Selir menangkap ge-
rakan satu sosok tubuh keluar dari balik rumpun bambu.
Hanya dengan ekor mata, tampaknya si nenek sudah bi-
sa menebak siapa gerangan adanya sosok yang muncul.
Laksana orang kalap, sambil berteriak tinggi Nenek Selir
melompat dan menghadang gerakan orang yang baru mun-
cul.
Teriakan si nenek membuat Galuh Empat Cakrawala
dan Galuh Sembilan Gerhana lepaskan pelukannya pada
sosok Datuk Kala Sutera. Saat bersamaan, semua mata
berpaling pada sosok yang baru muncul. Dia adalah seo-
rang kakek berambut putih mengenakan jubah tanpa
lengan berwarna abu-abu.
“Bagus! Tampaknya kau bukan laki-laki pengecut yang
takut unjuk tampang!” Nenek Selir membentak. Tangan ki-
rinya yang masih memegang pedang diangkat ke udara.
Sementara tangan kanannya diletakkan di atas pinggang
dengan mata membeliak angker.
“Sahabatku Nenek Selir... Kau ingat ucapan Dewi Kea-
badian?! Aku takut untuk mengulanginya. Tapi rasanya
kau masih tidak lupa...” Paduka Seribu Masalah angkat su-
ara.
Nenek Selir mendengus lalu tanpa berpaling ke arah Pa-
duka Seribu Masalah, dia berteriak.
“Jangan ada yang berani buka suara ikut campur! Dan
jangan mimpi aku percaya membabi buta dengan ucapan
keterangan orang! Di tempat ini tidak ada urusan yang ada
hubungannya dengan masalahku! Kalaupun ada, itu adalah
urusan selembar nyawa manusia bangsat ini!” Pedang di
tangan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk ke arah wajah
laki-laki berjubah abu-abu tanpa lengan yang bukan lain
adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah, kkekasih
Nenek Selir semasa masih muda. Paduka Seribu Masalah
perdengarkan tawa pendek lalu berucap.
“Sahabatku Nenek Selir... Percaya membabi-buta me-
mang tidak baik. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mem-
buktikan dahulu... Siapa tahu kau menemukan satu kebe-
naran!”
“Apa yang perlu dibuktikan, hah?!” bentak Nenek Selir
seraya sentakkan wajah berpaling ke arah Paduka Seribu
Masalah.
“Aku tak berani mengatakannya. Karena kau tentu su-
dah tahu apa yang seharusnya kau buktikan!”
“Tidak ada yang perlu dibuktikan di tempat ini! Tidak
ada manusia yang layak mendapat pembuktian di tempat
ini! Kau dengar?!”
“Tapi....”
“Sialan! Kau pikir di tempat ini ada makhluk yang dika-
takan Dewi sialan tadi?! Coba tunjuk! Yang mana?! Yang
mana?! Dia..?!” Tangan kiri Nenek Selir yang memegang pe-
dang bergerak memutar menunjuk lurus ke arah Putri Pu-
sar Bumi seraya perdengarkan cekikikan. Lalu sambungi
ucapannya.
“Kau kira dia pantas menjadi anakku, hah...?! Coba ang-
kat kepalamu dari belakang rangkapan kedua kakimu! Lalu
lihat baik-baik! Apa kesamaan antara aku dengan dia?! Wa-
jahnya...?! Gumpalan dagingnya?! Atau potongan tubuh-
nya?!”
“Yu Sin Yin...” Manusia Tanah Merah buka mulut
dengan suara pelan.
“Aku telah dengar apa yang diucapkan Dewi Keabadian.
Harap maafkan aku kalau aku sendiri tidak tahu bagaima
na mengenali anak yang kau lahirkan meski itu adalah da-
rah dagingku. Karena aku tidak menyaksikannya saat kau
melahirkan.... Jadi kuharap....”
“Tutup mulutmu, Wang Su Ji! Urusanmu denganku ada-
lah masalah nyawa! Bukan masalah anak yang kulahirkan!”
“Seperti sudah kukatakan, aku memang bersalah pada-
mu... Tapi kau harus sadar, bagaimanapun juga yang kau
lahirkan adalah anakku!”
“Hem.... Begitu kau sudah tidak laku lagi, lalu kau me-
rengek-rengek padaku dengan alasan anak! Jangan mimpi!
Jangan berharap!”
“Jangan salah duga, Yu Sin Yin... Kalaupun aku berha-
rap bisa bertemu dengan anak kita, hal itu karena aku
ingin menebus kesalahanku... Aku akan minta maaf... Sete-
lah itu mati pun aku akan tenang.”
“Kau terlalu bermimpi, Wang Su Ji!” Nenek Selir putar
arah pedangnya pada sosok Wang Su Ji alias Manusia Ta-
nah Merah.
Di lain pihak, entah karena apa Manusia Tanah Merah
tenang-tenang saja menghadapi acungan pedang Nenek Se-
lir. Bahkan kakek ini hanya memandang sekilas. Lalu arah-
kan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.
“Hem.... Pandanglah sepuasmu perempuan itu! Karena
hari ini terakhir kalinya kau dapat memandang perempuan
cantik!”
“Ah... Ah... Tampaknya dia masih cemburu! Hik... Hik...
Hik...!” Tiba-tiba Putri Pusar Bumi angkat suara seraya ter-
tawa cekikikan.
Tampang Nenek Selir berubah merah mengelam. Sepa-
sang matanya mendelik. Namun sebelum nenek ini sempat
buka mulut, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara.
“Sahabatku Nenek Selir... Sebenarnya aku takut untuk
berkata. Tapi demi mendengar keterangan Dewi Keabadian,
aku percaya di tempat ini ada seseorang yang selama ini
kau cari!”
“Jahanam! Sedari tadi kau hanya bicara tapi tak mau
tunjuk orang!” bentak Nenek Selir.
“Sahabatku... Seandainya aku tunjuk orang, kau mau
percaya?!”
Nenek Selir terdiam dengan dada berdebar. Entah kare-
na apa mendadak dia ikut arahkan pandang matanya pada
Bidadari Tujuh Langit yang saat itu duduk di antara Bida-
dari Delapan Samudera, serta Bidadari Pedang Cinta, dan
Dayang Tiga Purnama.
Bidadari Tujuh Langit tampak tersentak kaget menden-
gar ucapan Paduka Seribu Masalah serta mendapati tata-
pan Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir. Dia balas me-
natap silih berganti pada Manusia Tanah Merah dan Nenek
Selir dengan menghela napas panjang.
“Bidadari Tujuh Langit!” Mendadak Nenek Selir berucap
dengan suara lantang. “Siapa kau sebenarnya?!”
Yang ditanya berpaling sesaat pada anak-anaknya. Lalu
berucap pelan.
“Apa maksudmu, Nek?!”
“Bodoh! Aku tanya siapa kau sebenarnya?! Dari mana
asal-usulmu! Siapa orangtuamu!”
***
SEPULUH
BIDADARI Tujuh Langit terdiam beberapa saat dengan
kepala ditengadahkan. Lalu berucap dengan suara agak pa-
rau.
“Waktu masih kecil aku hidup bersama seorang laki-laki
tua dan seorang nenek. Pada mulanya aku menduga mere-
ka berdua adalah orangtuaku. Tapi begitu si laki-laki akan
meninggalkan dunia, dia sempat memberi tahu kalau sebe-
narnya diriku bukanlah anak kandungnya....” Bidadari Tu-
juh Langit hentikan ucapan dengan kepala diluruskan dan
pandang matanya menerawang jauh. Saat kemudian dia
lanjutkan ucapannya.
“Aku berusaha bertanya pada nenek. Tapi aku tidak
memperoleh jawaban pasti. Dia tidak tahu-menahu soal di-
riku. Yang jelas ketika suaminya pulang, dia telah memba-
waku. Sang suami mengatakan aku adalah anak dari saha-
batnya! Aku telah berusaha mencari tahu. Namun hingga
aku besar, aku tidak mampu menyingkap siapa kedua
orangtuaku sebenarnya....”
Nenek Selir tampak tercekat diam dengan mata melotot
tak berkesip. Dada nenek ini laksana dihimpit beban berat
hingga untuk beberapa lama dia tak kuasa buka mulut
meski mulutnya telah terbuka hendak berucap.
“Yu Sin Yin....” Manusia Tanah Merah berkata pada Ne-
nek Selir dengan menyebut nama asli si nenek.
“Bukankah kau bisa mengenali anakmu?!”
Nenek Selir berpaling pada Manusia Tanah Merah. Un-
tuk beberapa lama kedua orang tua ini saling perang pan-
dang. Dendam yang sudah tertanam di dasar hati si nenek
memang sukar dihapus begitu saja. Namun entah mengapa,
begitu agak lama saling berpandangan, perlahan-lahan hati
si nenek berubah. Malah kejap lain dia berpaling dengan
bahu sedikit terguncang.
Manusia Tanah Merah memberanikan diri melangkah
mendekati. Dan begitu mendapati si nenek tidak buka mu-
lut atau membuat gerakan, Manusia Tanah Merah pegang
lengan kanan Nenek Selir seraya berkata.
“Yu Sin Yin.... Kau jangan merasa bersalah dalam hal
ini. Semuanya adalah berpulang pada diriku! Akulah yang
harus menanggung semua dosa ini! Sekarang harap kau ti-
dak keberatan untuk membuktikan siapa sebenarnya Bida-
dari Tujuh Langit... Kau tidak menolak permintaanku, bu-
kan...?! Percayalah. Setelah kita tahu siapa anak kita, aku
akan menepati ucapanku rela mati di tanganmu...”
Nenek Selir menghela napas panjang. Perlahan dia lu-
ruhkan pegangan tangan Manusia Tanah Merah. Lalu me-
langkah ke arah Bidadari Tujuh Langit yang duduk dengan
sosok bergetar.
“Bidadari Tujuh Langit..,” kata Nenek Selir begitu tegak
hanya beberapa langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit.
“Kau tidak keberatan kalau aku....”
“Nenek Selir...” ujar Bidadari Tujuh Langit sebelum si
nenek selesaikan ucapan.
“Aku telah menemukan anak-anakku dengan bantuan
beberapa orang. Sekarang aku tidak akan keberatan untuk
membantumu! Katakan apa yang akan kau lakukan....”
“Berbaliklah! Lalu singkapkan rambutmu hingga teng-
kukmu kelihatan!”
Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala. Tanpa buka
mulut dia putar diri. Kedua tangannya diangkat kebelakang
lalu sibakkan uraian rambutnya yang telah memutih hingga
tengkuknya kelihatan.
Sepasang mata si nenek tampak membeliak besar begitu
melihat tepat pada tengkuk Bidadari Tujuh Langit sebuah
lingkaran hitam menyerupai tahi lalat.
“Aku tidak akan pernah lupa! Anakku memiliki tanda
lingkaran hitam pada tengkuknya! Jadi...” Sosok Nenek Se-
lir bergetar. Kedua lututnya goyah. Pedang di tangan ki-
rinya perlahan-lahan jatuh ke atas tanah. Saat bersamaan
dia melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit.
“Aku percaya... Aku percaya... Kau adalah anakku!” de-
sis Nenek Selir seraya pandangi lingkaran hitam di tengkuk
Bidadari Tujuh Langit. Saat kemudian dia ulurkan kedua
tangannya membalikkan sosok Bidadari Tujuh Langit.
Begitu Bidadari Tujuh Langit berputar menghadap si ne-
nek, Nenek Selir segera saja merangkulnya lalu menciumi
dengan tangis meledak!
“Anakku... Maafkan aku yang selama ini tidak...”
Bidadari Tujuh Langit tercekat dengan kedua tangan
membalas pelukan tangan si nenek.
“Tak ada yang harus dimaafkan, Ibu...” Akhirnya Bidada-
ri Tujuh Langit berhasil buka suara. Sepasang matanya
berlinang.
“Kalau anak-anakku mau mengakui dan memaafkan
aku, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama pada di-
rimu?”
Melihat apa yang terjadi, Manusia Tanah Merah tegak
termangu dengan mulut terkancing. Dia seolah tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Hingga pada akhirnya Nenek Se-
lir berpaling seraya berkata.
“Wang Su Ji.... Mengapa kau masih tegak seperti pa-
tung?!”
Manusia Tanah Merah usap mukanya. Lalu perlahan
melangkah mendekat. Namun belum sampai ke hadapan
Nenek Selir yang masih memeluk Bidadari Tujuh Langit,
Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari
Delapan Samudera sudah mendahului menghambur me-
nyongsong Manusia Tanah Merah lalu sama berebutan
memeluk.
“Kek...I” Hampir bersamaan ketiga gadis itu berucap.
Manusia Tanah Merah tak kuasa lagi menahan gejolak
dadanya. Seraya membelai rambut ketiga gadis yang meme-
luknya, kakek ini tersedu-sedu seraya berucap.
“Cucu-cucuku.... Aku tak tahu harus berkata apa atas
pengakuan kalian ini....”
“Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala...”
Datuk Kala Sutera berkata pada kedua gadis yang berada di
sampingnya.
“Kau juga adalah cucu kakek itu....”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
segera bergerak bangkit. Lalu berlari dan ikut menghambur
dalam pelukan Manusia Tanah Merah.
Begitu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala menghambur ke arah Manusia Tanah Merah, Da-
tuk Kala Sutera perlahan-lahan seret dirinya dengan duduk
ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu jatuhkan diri berlutut
di hadapan Nenek Selir.
“Ibu... Aku juga minta maaf... Terimalah juga salam
hormatku...”
Nenek Selir berpaling dengan anggukkan kepala. Lalu
pegangi bahu Datuk Kala Sutera dan membantunya untuk
bergerak angkat wajahnya.
‘Menantuku... Jangan ucapkan permintaan maaf. Diri ki-
ta semua memiliki andil dosa dalam hal ini...”
Bidadari Tujuh Langit ikut menoleh pada Datuk Kala Su-
tera. Keduanya sesaat saling pandang. Lalu secara bersa-
maan tangan keduanya bergerak dan saling genggam den-
gan mata sama linangkan air mata.
“Bidadari Tujuh Langit... Mari kita sambut Ayah kita...,”
kata Datuk Kala Sutera. Bidadari Tujuh Langit tersenyum
dengan anggukkan kepala. Saat kemudian, masih dengan
berpegangan tangan, kedua orang Ini bergerak seret diri
masing-masing ke arah Manusia Tanah Merah.
“Cucu-cucuku... Aku harus menemui ibu dan ayahmu
dahulu...” Manusia Tanah Merah berbisik begitu melihat
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak ke
arahnya.
Kelima gadis yang tengah merangkul sosok Manusia Ta-
nah Merah sama lepaskan pelukan masing-masing. Saat
kemudian Manusia Tanah Merah melompat ke hadapan Bi-
dadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Lalu memeluk
keduanya.
Mungkin gembira dan haru, ketiga orang itu tidak ada
yang sempat buka suara. Ketiganya hanya berpelukan
dengan sama terisak-isak.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar orang bersua-
ra.
“Nenek... Mulai saat ini kuharap tidak ada lagi kebencian
di hatimu pada Kakek! Dan kami semua ingin lihat kalian
berdua saling berpelukan...” Yang bersuara adalah Bidadari
Delapan Samudera.
“Aku tak mau!” Nenek Selir menyahut dengan tampang
merah padam dan cemberut.
“Cucu-cucuku... Harap jangan terlalu banyak meminta
pada nenekmu... Semua kejadian ini berpangkal pada diri-
ku yang tidak menghiraukan Nenek dan Ibu kalian. Pengakuan kalian semua pada diriku sudah merupakan sesuatu
yang lebih. Dan dengan peristiwa ini, rasanya mati pun aku
tersenyum. Dan tak ada yang lebih berhak atas nyawaku
selain nenekmu...” Berkata Manusia Tanah Merah seraya
lepaskan pelukan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah Nenek Se-
lir. Manusia Tanah Merah berhenti tiga langkah dihadapan
si nenek. Dia memandang sesaat lalu menunduk dan ber-
kata.
“Yu Sin Yin... Tuhan telah memberiku lebih dari apa
yang selama ini selalu kuminta... Seperti ucapanku, seka-
rang aku pasrahkan diri ini padamu...”
Nenek Selir menatap tajam. Dia tidak menyahut ucapan
orang. Lalu alihkan pandangannya pada Bidadari Tujuh
Langit dan kelima cucunya.
“Sahabat sekalian... Apa yang selama ini tertutup sudah
terbuka jelas. Rasanya kurang bijaksana kalau semua ini
masih harus dicampuri dengan balas dendam dan kesom-
bongan diri... Bukankah lebih baik kita melupakan apa
yang telah terjadi dan menebus semuanya dengan hidup
berdampingan secara damai? Kita semua tidak tahu kapan
datangnya ajal. Sebelum hal itu terjadi, kurasa tidak ada
yang lebih baik daripada saling memaafkan....” Paduka Se-
ribu Masalah perdengarkan suara.
“Nek... Harap tidak usah malu-malu... Kalau seandainya
kakek di depanmu harus mati, aku yakin kau akan terus
tersiksa seumur-umur...” Pendekar 131 yang sedari tadi
hanya diam ikut buka suara.
“Lagi pula rasanya tidak mungkin orang akan menemu-
kan cinta di kala usia sudah bau tanah begitu rupa! Hik....
Hik.... Hik...! Jika kesempatan ini disia-siakan, hanya ada
satu kemungkinan yang terjadi...” Putri Pusar Bumi me-
nyahut.
“Betul!” Joko kembali buka mulut menimpali. “Kemung-
kinannya adalah pasti sudah ada orang ketiga yang me-
nunggu dengan membawakan sekeranjang cinta... Cuma
aku tidak begitu yakin. Masalahnya, kakek-kakek yang ja-
tuh cinta biasanya hanya mencari sesuatu! Lebih dari itu,
aku khawatir. Seandainya kakek yang menunggu Nenek Se-
lir tahu bagaimana paras kelima cucunya, jangan-jangan
dia nanti berpaling....”
Nenek Selir berpaling dengan pasang tampang angker.
“Kau pikir aku punya laki-laki lain, hah?!”
“Kalau tidak, mengapa kau tidak memaafkan sahabatku
itu?!” Iblis Pedang Kasih berujar.
“Siapa tidak memaafkan?!” Si nenek balik bertanya.
“Nah, apa lagi yang kau tunggu Kakek Manusia Tanah
Merah?!” Joko menyahut.
Manusia Tanah Merah melirik ke arah murid Pendeta
Sinting. Lalu perlahan bergerak mendekati Nenek Selir.
Yang didekati alihkan pandangan ke jurusan lain dengan
wajah berubah. Manusia Tanah Merah berbisik seraya pe-
gang kedua lengan si nenek.
“Yu Sin Yin... Terima kasih kau mau memaafkan
diriku...”
Nenek Selir tidak menjawab. Namun sikapnya jelas kalau
dia sudah mampu melupakan perasaan dendam kesumat-
nya yang telah mendera dirinya selama berpuluh-puluh ta-
hun.
“Wan Su Ji! Jangan berbuat memalukan di depan
orang!” Tiba-tiba Nenek Selir mendesis tajam begitu mera-
sakan wajah Manusia Tanah Merah mendekati wajahnya.
“Ah... Ah... Tampaknya kita tidak jadi melihat adegan se-
ru....” Putri Pusar Bumi berteriak lalu tertawa cekikikan
hingga gumpalan daging pada wajah dan perutnya bergun-
cang-guncang.
“Ah, Itu karena di sini banyak mata yang melihat. Kelak
kalau sudah berduaan, aku percaya, bukan si kakek yang
mendekat tapi si nenek yang minta!” Joko menimpali lalu
ikut tertawa.
“Sialan! Kau kira aku masih memimpikan hal-hal begitu,
hah?!” Nenek Selir membentak sambil luruhkan kedua tangan Manusia Tanah Merah yang memegangi bahunya.
“Ah Sudahlah... Apa yang nanti akan dilakukan kedua-
nya, itu menjadi urusan mereka! Yang jelas urusan di tem-
pat ini kurasa sudah selesai! Dan tiba waktunya aku mohon
diri!” Paduka Seribu Masalah buka suara. Lalu putar du-
duknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata.
“Pendekar 131! Sampaikan salam perkenalanku pada
semua sahabat di negeri asalmu. Kalau nanti ada waktu
dan takdir menuliskan, bukan tak mungkin kita akan ber-
temu lagi....”
“Paduka Seribu Masalah... Sebenarnya aku ingin menga-
jakmu sekarang juga! Aku bukan saja mempunyai banyak
kenalan sahabat. Tapi juga memiliki beberapa nenek-nenek
yang wajahnya masih sedap untuk dilihat! Bodi yang layak
untuk memikat!”
“Terima kasih, Anak Muda... Sebenarnya itu tawaran ba-
gus. Tapi aku masih punya pekerjaan. Jadi untuk sementa-
ra waktu aku harus menunggu hingga saat yang baik untuk
berkunjung ke negeri asalmu!”
Habis berucap begitu, Paduka Seribu Masalah putar du-
duknya.
“Sahabat sekalian. Aku harus pergi sekarang. Selamat
tinggal...” Paduka Seribu Masalah membuat satu kali gera-
kan. Sosoknya melesat dengan masih duduk rangkapkan
kaki tinggalkan tempat itu.
Hanya sesaat setelah Paduka Seribu Masalah berlalu,
Putri Pusar Bumi buka mulut seraya memandang pada
Dayang Tiga Purnama.
“Cucuku Dayang Tiga Purnama... Hari ini kau telah me-
nemukan apa yang selama ini kau cari. Dengan begitu tu-
gasku telah selesai....”
“Eyang...!” Dayang Tiga Purnama yang selama ini menja-
di murid dan diasuh oleh Putri Pusar Bumi berlari mende-
kati.
“Sebenarnya....”
“Aku tahu....” Putri Pusar Bumi sudah memotong ucapan
Dayang Tiga Purnama.
“Sekarang yang penting kau telah bertemu dengan kedua
orangtua dan kakek nenekmu. Jangan terburu mengambil
keputusan... Dan kalaupun kau ingin bertemu denganku,
kau tahu di mana dapat menemuiku...”
Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala.
“Eyang... Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Se-
telah aku menghabiskan hari bersama kedua orangtua, ne-
nek-kakek, dan saudara-saudaraku, aku akan datang me-
nemuimu...”
Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu berpaling pada
saudaranya Iblis Pedang Kasih. Saat itulah Bidadari Pedang
Cinta berkelebat dan tegak dihadapan Iblis Pedang Kasih
seraya berucap.
“Eyang... Kalau kau tidak keberatan, kuharap kau mau
ikut bersama kami...”
Iblis Pedang Kasih yang selama ini mengasuh Bidadari
Pedang Cinta geleng kepala.
“Cucuku Bidadari Pedang Cinta... Setiap pertemuan pas-
ti ada perpisahan. Lagi pula kau telah bertemu dengan
orang yang lebih berhak atas dirimu... Aku ikut gembira
dengan peristiwa ini meski sebenarnya aku juga berat un-
tuk berpisah denganmu... Jagalah dirimu baik-baik. Dan
kalau ada kesempatan, aku akan senang jika kau datang
berkunjung ke tempatku...”
“Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih... Kuucapkan te-
rima kasih atas semua waktu dan jerih payahmu untuk
membesarkan anak-anakku. Jika nanti ada kesempatan,
kami semua akan berkunjung ke tempat kalian berdua...”
Bidadari Tujuh Langit berucap seraya menjura hormat.
“Aku juga mengucapkan terima kasih!” Nenek Selir me-
nyahut.
“Aku berharap kalian berdua cepat dapat pasangan! Un-
tuk sementara waktu sebaiknya kalian berdua menerima
tawaran Pendekar 131! Di negeri asing, tentunya kalian
akan mudah untuk mendapatkan pasangan! Karena biasanya orang baru akan menjadi pusat perhatian... Apalagi
jika kalian bertindak gila-gilaan!”
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tertawa.
“Aku bukannya unjuk kesombongan. Kalau hanya untuk
cari pasangan, tidak usah jauh-jauh harus ke negeri orang.
Apalagi ditambah dengan bertindak gila-gilaan! Di sini saja
kalau aku mau, banyak kakek-kakek yang antri menunggu
jawaban!” Putri Pusar Bumi berkata. Lalu menoleh pada
Iblis Pedang Kasih.
“Rasanya waktu kita sudah cukup! Kita harus segera
pergi!”
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sudah putar di-
ri. Namun belum sampai keduanya bergerak lebih jauh,
Pendekar 131 berteriak.
“Tunggu!”
Berbarengan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih
berpaling.
“Jangan menawarkan yang tidak-tidak, Sahabat Muda..!”
Iblis Pedang Kasih yang angkat suara.
“Kalau masalah pasangan, di negeri ini kami berdua su-
dah banyak yang naksir!”
“Bukan itu masalahnya!” ujar Pendekar 131.
“Lalu?!” tanya Iblis Pedang Kasih.
“Aku datang ke negeri ini tanpa sengaja. Aku belum tahu
seluk-beluk negeri ini dengan baik. Jika kalian tidak kebe-
ratan, aku minta petunjuk pada kalian untuk memberi ke-
terangan mana jalan yang harus kuambil agar cepat men-
capai pesisir!”
“Sayang sekali, Anak Muda.... Bukannya aku tidak mau
memberi keterangan. Namun kurasa nantinya ada orang
yang lebih berhak memberi petunjuk!” Putri Pusar Bumi
menyahut. Lalu melirik pada Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama. Saat lain dia menarik tangan Iblis
Pedang Kasih dan menyeretnya berkelebat tinggalkan tem-
pat itu.
Begitu sosok Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tidak kelihatan lagi, Joko arahkan pandang matanya pada
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama.
Sebenarnya Pendekar 131 hendak berkata. Namun entah
karena apa dia batalkan niat untuk buka mulut. Sebaliknya
buru-buru balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tem-
pat itu tanpa bicara.
“Hai! Kau kira urusanmu di tempat ini sudah selesai,
hah?!” Mendadak Nenek Selir berteriak.
Joko tersentak kaget. Lalu putar diri menghadap Nenek
Selir dengan tampang berubah heran.
“Apa maksudmu, Nek?!” tanya Joko sambil sapukan
pandangan berkeliling.
“Kau pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa, hah?!”
“Nek! Bukankah urusanmu dengan kakek itu sudah se-
lesai?! Kurasa di antara kita sudah tidak ada yang perlu
diselesaikan! Atau barangkali kau ingin pesan sesuatu pa-
daku?! Maaf, Nek... Bukannya aku tidak mau membawa pe-
sanmu. Aku takut.. Seandainya saja kau masih sendirian,
mungkin aku tak segan menawarkan beberapa saha-
batku....”
“Sialan! Ini urusanmu!”
“Hah.... Urusan apa, Nek?!”
Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya berpaling silih
berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan
Samudera serta Dayang Tiga Purnama.
Gerakan kepala Nenek Selir membuat Joko tersentak ka-
get.
“Astaga! Jangan-jangan Ini ada kaitannya dengan per-
soalan ketiga gadis itu! Ah... Aku harus segera tinggalkan
tempat ini! Urusannya akan jadi ruwet dan tak karuan!” Di-
am-diam Pendekar 131 membatin. Lalu tanpa buka mulut
lagi dia berlari tinggalkan tempat itu.
***
SEBELAS
SEBENARNYA Nenek Selir sudah hendak berkelebat
mengejar. Namun Bidadari Delapan Samudera cepat me-
lompat menghadang di depan si nenek dan berkata.
“Nek.... Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan
pemuda itu! Harap nenek dan kakek menungguku di tem-
pat ini! Demikian juga Ayah dan Ibu!”
Tanpa menunggu sahutan, Bidadari Delapan Samudera
sudah berkelebat mengejar ke arah mana Pendekar 131
berlari.
Melihat apa yang dilakukan Bidadari Delapan Samudera,
Bidadari Pedang Cinta jadi tidak enak hati. Dia berpaling
sesaat pada Nenek Selir dan kedua orang- tuanya.
“Aku harus menjelaskan semuanya! Aku tak ingin ada
perselisihan!” membatin Bidadari Pedang Cinta. Dia sebe-
narnya hendak mengutarakan maksudnya pada Dayang Ti-
ga Purnama yang tegak tidak jauh dari tempatnya. Namun
setelah dipikir sejenak, gadis berbaju hijau ini urungkan
niat. Hingga tanpa buka suara lagi, dia berkelebat mengejar
Bidadari Delapan Samudera.
Mendapati kelebatan Bidadari Delapan Samudera dan
Bidadari Pedang Cinta, diam-diam Dayang Tiga Purnama
Ikut-ikutan jadi merasa tidak enak. Hingga tanpa pikir pan-
jang lagi, gadis yang pernah diasuh oleh Putri Pusar Bumi
ini ikut berlari mengejar.
“Ada apa ini?!” Manusia Tanah Merah bertanya pada Ne-
nek Selir.
“Sebelum peristiwa ini, aku telah berjumpa dengan me-
reka. Aku tahu, di antara mereka ada ganjalan hati yang
harus diselesaikan! Kalau tidak, bukan tak mungkin nan-
tinya akan menjadi penghalang persaudaraan!
“Maksudmu?!”
“Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta
serta Dayang Tiga Purnama sama-sama tertarik dengan
pemuda asing sialan itu!”
Seperti diketahui, ketika awal berjumpa dengan murid
Pendeta Sinting, secara diam-diam Bidadari Pedang Cinta
sudah tertarik. Hanya saja karena saat Itu dia bersama Iblis
Pedang Kasih dan baru saja berkenalan, Bidadari Pedang
Cinta tidak berani berterus terang meski sikapnya sudah
berubah.
Namun begitu terjadi pertemuan dengan Bidadari Dela-
pan Samudera, Bidadari Pedang Cinta salah duga. Dia
menduga Bidadari Delapan Samudera adalah kekasih Pen-
dekar 131. Apalagi saat itu Joko mengucapkan kata-kata
yang seolah-olah Bidadari Delapan Samudera memang ke-
kasihnya.
Di lain pihak, begitu bertemu dengan Joko, diam-diam
Bidadari Delapan Samudera sudah tertarik. Namun begitu
mendengar ucapan Joko, Bidadari Delapan Samudera jadi
salah tanggap. Dia menyangka Bidadari Pedang Cinta ada-
lah kekasih Joko.
Sementara itu, Dayang Tiga Purnama sendiri sebenarnya
juga tertarik dengan murid Pendeta Sinting. Hanya saja ga-
dis ini tidak mau menunjukkan sikap. Lain halnya dengan
Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta
yang terang-terangan tampak cemburu ketika mengetahui
salah satunya berada berdua-duaan dengan Pendekar 131.
“Ibu.... Jika benar keteranganmu, kita harus mengejar
mereka! Mereka masih muda. Aku takut terjadi apa-apa...
Aku tidak mau pertemuan ini dikacaukan dengan masalah
pemuda itu!” Bidadari Tujuh Langit berkata pada Nenek Se-
lir.
Nenek Selir geleng kepala.
“Tidak, Anakku.... Kalau kita ikut campur, justru bukan
mustahil akan terjadi salah paham! Biarkan mereka menye-
lesaikan urusan mereka dengan caranya sendiri! Aku per-
caya. Rasa persaudaraan mereka tentu lebih penting dari-
pada urusan seorang laki-laki!”
“Tapi....”
“Sudahlah, Anakku! Percayalah pada mereka! Kita tunggu mereka di sini!”
Sebenarnya Bidadari Tujuh Langit masih ingin mengejar
anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu yang baru saja me-
nemukan anak-anaknya, rasa khawatir lebih mendera da-
danya. Apalagi dia maklum, anak-anaknya adalah perem-
puan sementara yang jadi persoalan adalah seorang laki-
laki. Dia juga sadar kalau perempuan akan lebih mendahu-
lukan perasaan daripada akal.
Namun begitu sadar akan keadaan dirinya yang masih
terluka dalam dan telapak kaki kirinya yang terputus sepa-
ro, Bidadari Tujuh Langit terpaksa harus memendam
keinginannya dan akhirnya dengan dada tidak enak dia te-
tap diam di tempat itu.
Sementara itu, walau yakin Nenek Selir tidak mengejar
namun Pendekar 131 tidak mau bertindak ayal. Dia kerah-
kan segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari sekuat
yang dia mampu.
Pada satu tempat agak sepi jauh dari hutan bambu, ba-
ru murid Pendeta Sinting memperlambat larinya setelah be-
rulang kali pulang balikkan kepala menyiasati keadaan.
Dan begitu merasa keadaan benar-benar aman, Joko henti-
kan larinya dan langsung menyelinap sembunyi di balik sa-
tu batangan pohon agak besar.
Pendekar 131 tengadahkan kepala dengan mata dipe-
jamkan dan kedua tangan mengusap wajah dan basah.
“Aku harus segera ke pesisir! Aku tidak mau lagi terlibat
dengan urusan di negeri ini! Apalagi urusannya berkaitan
dengan perempuan! Lebih-lebih lagi mereka adalah sauda-
ra!”
Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu sosok
tubuh berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di ba-
lik mana Joko bersembunyi.
“Pendekar 131! Harap keluar dari balik pohon! Kita perlu
bicara!”
Dalam kagetnya, Joko cepat berpaling. Dia melihat Bida-
dari Delapan Samudera tegak dengan mata memandang
jauh ke depan.
“Pendekar 131! Waktuku tidak banyak.... Kau sendiri
tentu harus segera tinggalkan tempat ini. Maka kuharap
kau segera keluar...!”
Dengan sapukan pandangan berkeliling, perlahan Joko
melangkah keluar dari balik pohon.
Bidadari Delapan Samudera menoleh. Untuk beberapa
saat gadis ini memandang tajam pada murid Pendeta
Sinting. Lalu buka mulut dengan suara lirih dan bergetar.
“Pendekar 131... Harap kau memaafkan atas semua si-
kapku padamu. Terus terang, aku memang tertarik pada-
mu. Tapi aku tidak mau melukai hati saudaraku... Jadi ka-
laupun kau memang punya hubungan dengan saudaraku,
kuharap kau mau menjelaskan bahwa di antara kita tidak
ada hubungan apa-apa!”
Bidadari Delapan Samudera masih menduga kalau anta-
ra Joko dan Bidadari Pedang Cinta benar-benar ada hu-
bungan kekasih.
“Bidadari Delapan Samudera... Ucapan itu tidak perlu
kau katakan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan....”
“Pendekar 131!” Bidadari Delapan Samudera memotong.
“Harap tidak menutup-nutupi! Ini demi kedamaian persau-
daraanku... Sekali lagi kuharap kau mau mengerti!”
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera ber-
paling ke belakang.
“Aku tahu. Bidadari Pedang Cinta mengejar mengikuti-
ku! Aku harus segera pergi....”
“Pendekar 131! Aku harus segera tinggalkan tempat ini.
Sekali lagi kuharap kau turuti permintaanku....” Bidadari
Delapan Samudera arahkan pandang matanya pada Joko
dengan paksakan diri sunggingkan senyum. Saat lain tanpa
buka mulut lagi gadis berbaju biru ini berkelebat tinggalkan
tempat itu.
Joko hendak menahan, namun tampaknya dia bisa
membaca gelagat kepala Bidadari Delapan Samudera. Hing-
ga dia urungkan niat buru-buru berpaling. Saat itulah dari
arah seberang terlihat satu sosok tubuh berlari cepat.
“Bidadari Pedang Cinta...,” gumam Joko mengenali siapa
adanya sosok yang berkelebat cepat ke arahnya.
“Pendekar 131!” kata sosok yang baru muncul dan me-
mang Bidadari Pedang Cinta adanya begitu tegak beberapa
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
“Kau tentunya sudah tahu apa hubunganku dengan Bi-
dadari Delapan Samudera. Untuk itu aku berharap kau tadi
sudah menjelaskan padanya!”
“Bidadari... Sebenarnya tidak ada yang perlu dijelaskan!
Dan kuharap kau mau percaya. Aku tidak punya hubungan
tertentu dengan Bidadari Delapan Samudera!”
Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang seraya
sedikit dongakkan kepala.
“Aku tak bisa memastikan apakah ucapannya benar
atau tidak! Seandainya saja hal ini tidak berkaitan dengan
Bidadari Delapan Samudera yang ternyata adalah saudara-
ku sendiri... Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Aku
memang tertarik pada pemuda ini. Namun daripada nan-
tinya terjadi hal-hal yang kurang enak dengan Bidadari De-
lapan Samudera, lebih baik aku berusaha melupakannya
walau aku perlu waktu...” Diam-diam Bidadari Pedang Cin-
ta berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.
“Pendekar 131.... Apa pun ucapanmu, seandainya kau
memang punya hubungan, aku tetap meminta agar kau ke-
lak mau menjelaskan sendiri pada Bidadari Delapan Samu-
dera.”
Mendengar ucapan Bidadari Pedang Cinta, Joko tertawa
pelan.
“Kau ini aneh... Kelak kapan yang kau maksud?! Kau ta-
hu. Hari ini aku tengah dalam perjalanan pulang kam-
pung!”
Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Entah
apa yang dirasakan gadis ini. Yang jelas dia menghela na-
pas panjang beberapa kali seraya bergumam tak jelas. Dan
saat lain tanpa buka suara lagi, gadis yang pernah diambil
dari Istana Lima Bidadari oleh Iblis Pedang Kasih ini putar
diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Hanya beberapa saat setelah sosok Bidadari Pedang Cin-
ta berkelebat, satu sosok tubuh berlari dan tahu-tahu telah
tegak di hadapan Joko.
“Kau akan segera tinggalkan negeri ini?!” tanya sosok
yang baru muncul dan tak lain adalah Dayang Tiga Purna-
ma.
“Rasanya memang begitu! Ada pesan untukku?!” Joko
balik bertanya seraya menatap lekat-lekat gadis dihadapan-
nya.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya balas
memandang.
“Kau tak usah takut mengatakannya....”
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. Lalu berkata.
“Aku menemui hanya untuk minta maaf atas tindakanku
tempo hari!”
“Hanya itu!”
Dayang Tiga Purnama terdiam tidak buka suara atau
memberi isyarat dengan gerakan anggota tubuhnya.
Joko tertawa lalau berucap.
“Seharusnya aku yang minta maaf. Karena sejak perte-
muan kita pertama kali, aku telah berdusta padamu...”
Dayang Tiga Purnama tersenyum. Lalu alihkan pan-
dangan dan berujar.
“Kuucapkan selamat jalan...”
“Hanya itu?!”
Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya sege-
ra berlari tinggalkan tempat itu tanpa buka suara.
“Hai! Tunggu!” Joko berteriak menahan. Namun yang di-
teriaki seolah tidak mendengar. Dia terus saja berlari.
“Mengejar gadis itu bukan tak mungkin akan menda-
tangkan bencana baru. Lebih baik aku segera teruskan per-
jalanan pulang. Negeri ini sudah memberikan beberapa
urusan aneh yang sering tidak kumengerti! Tapi aku ber-
syukur karena bisa bertemu dengan gadis-gadis cantik yang
anehnya ternyata adalah masih saudara!”
Joko pandangi kelebatan sosok Dayang Tiga Purnama
hingga lenyap. Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan
tempat itu dengan pikiran kembali melayang pada peristiwa
yang menyebabkan dia sampai ke negeri Tibet hingga keja-
dian pertemuan antara anak, ibu, dan cucu yang baru saja
terjadi.
Setelah melakukan perjalanan sehari semalam dan ber-
tanya kian kemari, pada akhirnya Pendekar 131 sampai ju-
ga di pesisir. Saat itulah Joko mulai sadar dan merasa ke-
bingungan.
“Bagaimana aku harus pulang?! Tak mungkin aku bere-
nang melewati hamparan laut seluas ini! Aku perlu perahu!
Tapi dari mana aku bisa mendapatkan?!” Joko layangkan
pandangan ke bentangan laut luas dihadapannya. Saat itu-
lah dia melihat sebuah perahu bergerak menepi lurus ke
arahnya.
Joko pentangkan mata besar-besar dengan sekali mem-
buat gerakan yang serta-merta membawa sosoknya seakan
menyongsong perahu yang tengah menepi.
“Aneh... Perahu itu bergerak menuju kemari! Tapi aku
tidak melihat penumpangnya!” Joko bergumam dengan
memperhatikan gerakan perahu dan meneliti dengan sek-
sama.
Perahu yang tengah menuju lurus ke arah Pendekar 131
ternyata memang tidak kelihatan penumpangnya.
“Keanehan apa lagi ini?! Jangan-jangan ini awal babak
baru dari satu hadangan!” Kuduk Joko jadi dingin.
“Kuucapkan selamat tinggal, Anak Muda!” Tiba-tiba ter-
dengar satu suara.
“Kalau ada waktu, negeri ini masih bersedia menerima
kedatanganmu lagi!” Satu suara lain menyahut.
Joko tercekat. Karena dua suara yang terdengar jelas da-
tangnya dari arah perahu yang terus melaju ke arahnya!
“Jangan-jangan dugaanku benar!” pikir Joko dengan ma-
ta makin dipentang.
Baru saja Joko berpikir begitu, mendadak dari arah pe-
rahu muncul dua sosok tubuh tegak duduk di lantai pera-
hu.
“Astaga! Mereka tadi sengaja sembunyikan diri dengan
menelentang di lantai perahu hingga batang hidungnya ti-
dak kelihatan!” Joko mendesis dengan mata makin dije-
rengkan.
“Sepertinya aku pernah melihat mereka!” Joko mendelik
makin besar.
“Dewa Asap Kayangan! Dewa Cadas Pangeran!” Joko ber-
teriak begitu mampu mengenali siapa adanya kedua orang
yang duduk di lantai perahu.
“Terima kasih kau masih mengenaliku!” Berkata orang
yang duduk di sebelah kanan. Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Pada mulutnya terlihat sebuah pipa yang
kepulkan asap putih. Sementara dipundaknya menyelem-
pang sebuah ikat pinggang besar yang dihiasi beberapa pi-
pa. Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh negeri Ti-
bet yang dikenal dengan julukan Dewa Asap Kayangan.
Duduk di sebelah Dewa Asap Kayangan adalah seorang
kakek berpakaian compang-camping. Raut wajah kakek ini
tidak kelihatan karena tepat di hadapan wajahnya terlihat
sebuah batu putih yang digantungkan pada satu tambang
yang berpangkal pada punggungnya. Kakek ini tidak bukan
adalah Dewa Cadas Pangeran.
Habis berkata, Dewa Asap Kayangan bergerak bangkit
disusul kemudian oleh Dewa Cadas Pangeran. Kejap lain
kedua kakek ini berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di
hadapan Pendekar 131. Sementara perahu yang ditumpangi
keduanya tampak mengapung di dekat pesisir.
“Pendekar 131!” kata Dewa Cadas Pangeran.
“Kami berdua tidak bisa memberimu bekal apa-apa!
Mungkin hanya perahu itu yang dapat kami berikan sebagai
kenang-kenangan!”
“Ah... Terima kasih! Sebenarnya benda itulah yang
paling kubutuhkan saat Ini!”
“Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang hendak kau sam-
paikan?!” Yang bicara adalah Dewa Asap Kayangan.
Joko terdiam dengan dada berdebar tidak enak. Dia
maklum ke mana arah bicara Dewa Asap Kayangan.
“Pasti ini ada hubungannya dengan tawaran mereka
tempo hari yang memintaku untuk mengawini Dewi Bunga
Asmara! Apa yang harus kukatakan pada mereka?”
Selagi Joko membatin begitu, Dewa Cadas Pangeran su-
dah berkata.
“Anak muda.... Lupakan urusan kawin tempo hari! Na-
mun kau harus tahu. Seandainya saat itu kau mau mene-
rima, mungkin kau tidak akan terlibat jauh dengan urusan
para gadis-gadis Itu! Mereka tidak akan terlalu berharap
padamu karena mereka tahu jika kau telah memiliki istri!”
Sambil berkata kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak
berputar.
“Lihat! Mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan
padamu! Tapi aku tahu. Mereka sebenarnya ingin lebih da-
ripada hanya mengucapkan selamat jalan....” Dewa Cadas
Pangeran sambungi ucapannya.
Pendekar 131 kernyitkan kening. Lalu gerakkan kepala
mengikuti gerakan kepala Dewa Cadas Pangeran. Joko ter-
surut kaget ketika di ujung seberang utara sana dia melihat
seorang gadis berbaju hijau tegak dengan mata memandang
ke arahnya.
“Bidadari Pedang Cinta...” Joko mendesis dalam hati
mengenali siapa adanya gadis berbaju hijau.
Joko menghela napas. Lalu teruskan gerakan kepala.
Lagi-lagi dia tersentak ketika di ujung sebelah barat dia me-
lihat seorang gadis berbaju biru tegak dengan kepala sedikit
mendongak.
“Bidadari Delapan Samudera!” gumam Joko dengan sua-
ra bergetar.
“Masih ada satu lagi, Anak Muda!” ujar Dewa Cadas
Pangeran ketika Joko hendak arahkan pandangannya kem-
bali pada sosok Bidadari Pedang Cinta.
Joko hentikan gerakan kepalanya yang akan berpaling
pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu teruskan berpaling ke
arah samping. Di sana tegak seorang gadis berwajah cantik
mengenakan pakaian warna ungu.
“Astaga! Dayang Tiga Purnama!” Joko mengenali siapa
adanya gadis berbaju ungu.
“Pendekar 131! Saatnya kau pulang!” Dewa Asap Kayan-
gan berujar.
“Mereka memang menarik. Tapi kalau kau turuti keingi-
nan, aku tidak bisa menjamin apakah nanti kau bisa pu-
lang ke negeri asalmu atau tidak!” Dewa Cadas Pangeran
menimpali.
Pendekar 131 anggukkan kepala.
“Terima kasih atas nasihat kalian berdua. Sekarang aku
harus pergi! Sampaikan salamku pada Dewi Bunga Asma-
ra!”
Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran sama
anggukkan kepala. Joko menjura hormat. Lalu sapukan
pandangan ke arah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Dela-
pan Samudera, dan Dayang Tiga Purnama. Joko tersenyum
lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah perahu.
Begitu tegak di atas perahu, Joko lambaikan kedua tan-
gannya. Bidadari Pedang Cinta perlahan angkat tangan ka-
nannya lalu membalas lambaian tangan Joko. Saat bersa-
maan Bidadari Delapan Samudera ikut angkat tangan ka-
nannya dan melambai. Sementara Dayang Tiga Purnama
hanya tegak diam. Namun pandang matanya terus tak ber-
kesip menatap pada sosok Pendekar 131 yang perlahan-
lahan balikkan tubuh sebelum akhirnya dibawa melaju oleh
perahu.
SELESAI
Segera terbit:
DARAH KERAMAT
0 comments:
Posting Komentar