..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 07 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE KARMA MANUSIA SESAT

JOKO SABLENG EPISODE KARMA MANUSIA SESAT

 SATU



BIDADARI Tujuh Langit tegak terbungkuk-bungkuk den-

gan mata memandang liar pada sosok Datuk Kala Sutera 

yang juga beranjak bangkit. Untuk beberapa saat kedua 

orang ini saling perang pandang. Bidadari Delapan Samu-

dera terbujur kaku di atas tanah tak bisa bergerak karena 

ditotok oleh Pendekar 131 Joko Sableng. Sementara murid 

Pendeta Sinting sendiri tegak dihadapan Nenek Selir dengan 

sikap bimbang dan mulut terkancing rapat. Sepasang ma-

tanya melirik pulang balik ke arah si nenek dan Bidadari 

Tujuh Langit serta Datuk Kala Sutera. Di lain pihak, Nenek 

Selir melotot angker pada murid Pendeta Sinting. Di sebe-

rang agak jauh, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala saling pandang satu sama lain dengan wajah ra-

gu-ragu tak tahu apa yang harus diperbuat.

“Kuperintahkan kau untuk lepas cincin di ibu Jarimu!” 

Mendadak Datuk Kala Sutera perdengarkan bentakan ga-

rang seraya maju satu tindak.

Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. Tanpa sambu-

ti bentakan orang, laksana terbang dia berkelebat ke arah 

Datuk Kala Sutera.

Namun Bidadari Tujuh Langit tahan gerakan tatkala ti-

ba-tiba dia merasa ada sambaran angin menderu disamping 

kanannya. Berpaling, perempuan bertubuh sintal ini meli-

hat berkelebatnya satu bayangan hijau.

“Kau!” Bidadari Tujuh Langit berseru dengan bibir mere-

bak sunggingkan senyum. 

“Aku tahu.... Kau pasti akan kembali!”

Sosok di hadapan Bidadari Tujuh Langit yang ternyata 

adalah seorang gadis berparas cantik berpakaian warna hi-

jau berambut panjang dikepang dua, salah satu kepangan 

rambutnya dilingkarkan pada lehernya yang jenjang putih, 

memandang sosok Bidadari Tujuh Langit dari ujung kaki 

hingga ujung rambut. Saat kemudian gadis ini alihkan


pandang matanya pada sosok Datuk Kala Sutera.

Gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bidadari Pe-

dang Cinta menghela napas panjang berulang kali. Tiba-

tiba dia angkat tangan kanannya. Lalu menunjuk silih ber-

ganti pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera se-

raya berseru.

“Katakan siapa adanya kalian sebenarnya!”

“Dan jangan berani sembunyikan sesuatu!” Satu suara 

mendadak terdengar menimpali. Satu sosok tubuh berkele-

bat dan tahu-tahu di samping Bidadari Pedang Cinta telah 

tegak seorang gadis berwajah jelita mengenakan pakaian 

warna ungu. Dia tidak lain adalah Dayang Tiga Purnama.

Seperti diketahui, saat terjadi ketegangan di hutan bam-

bu, mendadak terdengar suara gaung dahsyat yang mem-

buat semua orang merasakan telinga masing-masing laksa-

na ditusuk-tusuk. Belum sampai orang tahu siapa yang 

membuat ulah, mendadak satu benda hitam meluncur ke 

atas langit lalu menukik dan ambyar perdengarkan suara 

keras. Bersamaan itu suasana berubah menjadi gelap guli-

ta. Dan ketika suasana terang kembali, ternyata sosok 

Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta, Manusia Ta-

nah Merah, serta Paduka Seribu Masalah sudah tidak keli-

hatan lagi di tempat terjadinya ketegangan.

Ternyata Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang 

Cinta dibawa lari oleh Putri Pusar Bumi yang ternyata ada-

lah eyang guru Dayang Tiga Purnama. Dan saat berikutnya 

muncullah Iblis Pedang Kasih eyang guru Bidadari Pedang 

Cinta yang muncul bersama Manusia Tanah Merah dan Pa-

duka Seribu Masalah.

Putri Pusar Bumi akhirnya berterus terang mengatakan 

siapa sebenarnya orangtua Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama. Namun kedua gadis ini tidak per-

caya. Hingga karena penasaran dan ingin membuktikan, 

Bidadari Pedang Cinta segera berlari kembali ke arah terja-

dinya ketegangan di hutan bambu. Dayang Tiga Purnama 

tidak tinggal diam. Dia pun segera berkelebat menyusul.


“Kau telah tahu siapa aku...!” Bidadari Tujuh Langit 

menjawab seraya melirik pada sosok Dayang Tiga Purnama.

“Aku ingin tahu asal-usulmu!” kata Bidadari Pedang Cin-

ta.

Walau merasa heran dengan pertanyaan orang, namun 

Bidadari Tujuh Langit segera buka mulut.

“Bukan di sini tempatnya untuk memenuhi permin-

taanmu!”

“Aku ingin mendengarnya di tempat ini!” Kali ini Dayang 

Tiga Purnama yang angkat suara.

“Hem.... Mau katakan padaku. Ada apa sebenarnya 

dengan kalian berdua?!”

“Jawab saja pertanyaan!” hampir bersamaan Bidadari 

Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berteriak menya-

hut pertanyaan Bidadari Tujuh Langit.

Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. “Aku tak bisa me-

menuhi permintaan kalian di tempat ini! Dan kalaupun 

nantinya aku mau turuti apa permintaan kalian di tempat 

lain, aku akan ajukan beberapa....”

“Tidak ada tempat lain dan tidak ada syarat!” Bidadari 

Pedang Cinta sudah menukas ucapan Bidadari Tujuh Lan-

git.

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mulut lagi 

dia arahkan pandang matanya pada Datuk Kala Sutera.

Dayang Tiga Purnama tampaknya bisa membaca gelagat. 

Sebelum Bidadari Tujuh Langit buka mulut atau membuat 

gerakan, Dayang Tiga Purnama mendahului.

“Kau tidak akan selesaikan urusan dengan siapa saja di 

tempat ini sebelum kau jawab pertanyaan tentang asal-

usulmu!”

Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dengan ucapan orang. 

Dia segera melompat ke arah Datuk Kala Sutera.

Karena sudah bisa membaca gelagat, Dayang Tiga Pur-

nama segera berkelebat memotong gerakan Bidadari Tujuh 

Langit dan tegak menghadang seraya berseru.

“Jangan anggap pertanyaan kami main-main!”


“Perlu kau dengar, Jelitaku... Untung kau punya wajah 

yang menarik seleraku. Jika tidak, mungkin mulutmu su-

dah kubuat tidak bisa terbuka lagi!” Berkata Bidadari Tujuh 

Langit tanpa memandang pada sosok Dayang Tiga Purna-

ma.

Dayang Tiga Purnama mendengus. Dia sudah hendak 

berkelebat. Namun Bidadari Tujuh Langit ternyata menda-

hului. Perempuan berbaju putih bertubuh bahenol ini mele-

sat ke arah Dayang Tiga Purnama dengan kedua tangan 

bergerak hendak sarangkan totokan.

Melihat gerakan Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang 

Cinta tidak tinggal diam. Dia segera melompat menghadang 

gerakan Bidadari Tujuh Langit seraya kelebatkan kedua 

tangan.

Bukk! Bukkk!

Kedua tangan Bidadari Pedang Cinta bentrok dengan ke-

dua tangan Bidadari Tujuh Langit yang sesaat tadi hendak 

lepas totokan ke arah Dayang Tiga Purnama. Sosok Bidada-

ri Pedang Cinta terjajar beberapa langkah ke belakang. Se-

mentara Bidadari Tujuh Langit hanya tertahan gerakannya. 

Saat itulah Dayang Tiga Purnama berkelebat dengan kedua 

tangan lepas pukulan.

Bidadari Tujuh Langit hadapi serangan tanpa membuat 

gerakan apa-apa. Namun begitu kedua tangan Dayang Tiga 

Purnama sejengkal lagi melabrak ke arah kepalanya, dia ta-

rik sedikit kepalanya ke belakang. Saat bersamaan kaki ki-

rinya membuat gerakan menendang dengan putar tubuh-

nya setengah lingkaran.

Dayang Tiga Purnama sempat terkejut. Namun gadis Ini 

tidak kehilangan akal. Dia tahan gerakannya. Lalu kedua 

tangannya di hantamkan ke arah kaki Bidadari Tujuh Lan-

git.

Bukkk!

Dayang Tiga Purnama perdengarkan seruan tertahan. 

Sosoknya terpental terbang. Lalu tegak terhuyung-huyung 

di atas tanah dengan kedua tangan dikibas-kibaskan. Ke


dua tangan gadis ini tampak mengembung merah.

Bidadari Tujuh Langit melirik sesaat. Lalu berkelebat ke 

arah Dayang Tiga Purnama.

Saat itulah mendadak terdengar deruan dahsyat. Satu 

gelombang angin berkiblat. Gerak Bidadari Tujuh Langit 

tertahan di udara beberapa saat, lalu terdorong ke samping.

Sambil angkat kedua tangannya, Bidadari Tujuh Langit 

turun dan sentakkan kepala berpaling ke arah mana tadi

gelombang yang menahan gerakannya bersumber.

“Jahanam!” bentak Bidadari Tujuh Langit dengan mata 

mendelik angker saat tahu murid Pendeta Sinting angkat 

kedua tangannya di atas udara, pertanda dialah yang baru 

saja membuat hadangan.

“Aku tidak bermaksud merecoki urusanmu!” berkata 

Pendekar 131. 

“Aku hanya ingin....” Belum sampai ucapan Joko selesai, 

Bidadari Tujuh Langit sudah hantamkan kedua tangannya 

dengan mata dipentang besar-besar.

Wuutt! Wuuutt!

Wuuss! Wuusss!

Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat dua 

sinar merah. Bersamaan dengan itu dua sinar hitam mela-

brak keluar dari sepasang matanya, membuat suasana be-

rubah kelam.

Pendekar 131 yang sudah pernah bentrok dengan Bida-

dari Tujuh Langit tidak mau menghadang serangan orang. 

Sebaliknya segera berkelebat menghindar.

Gerakan Joko membuat Nenek Selir yang tegak tidak 

jauh darinya jadi terkesiap kaget. Bukan saja dua sinar me-

rah hantaman kedua tangan Bidadari Tujuh Langit itu kini 

harus dihadang, namun dia juga harus menyelamatkan Bi-

dadari Delapan Samudera yang dalam keadaan tertotok ti-

dak jauh di depannya!

“Sialan! Mengapa kau melarikan diri?! Kau sengaja men-

gumpankan diriku?!” Nenek Selir berteriak seraya maju sa-

tu tindak. Kedua tangannya yang memegang pedang dihan


tamkan ke depan. Saat yang sama, kaki kanannya digerak-

kan ke arah bawah sosok Bidadari Delapan Samudera lalu 

disentakkan ke atas.

Wuuss! Wuuss!

Dari kedua pedang si nenek melesat keluar dua kobaran 

api yang membuat suasana gelap terbelah. Lalu terdengar 

gelegar dahsyat tatkala dua sinar merah bentrok dengan 

dua kobaran api.

Ketika gelegar dahsyat terdengar, di tempat itu ada dua 

suara seruan tegang. Lalu dua sosok tubuh tampak melam-

bung ke udara.

Sosok pertama adalah Bidadari Delapan Samudera. Ga-

dis ini perdengarkan seruan tegang ketika merasakan tu-

buhnya tersentak ke udara akibat gerakan kaki kanan Ne-

nek Selir. Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari han-

taman dua sinar merah yang dilepas Bidadari Tujuh Langit.

Sosok kedua adalah Nenek Selir sendiri. Begitu bentro-

kan terjadi, sosok nenek ini terjengkang hampir roboh di 

atas tanah. Namun kedua tangannya yang memegang pe-

dang segera bergerak menghantam.

Clep! Cleep!

Dua pedang si nenek menancap di atas tanah. Gerakan 

si nenek terhenti. Kejap lain kedua tangannya menyentak. 

Sosoknya melenting ke udara menyongsong sosok Bidadari 

Delapan Samudera yang mulai meluncur ke bawah.

Dengan bergumam tak jelas, Nenek Selir cepat menyam-

bar tubuh Bidadari Delapan Samudera. Lalu melayang tu-

run tepat di samping kedua pedangnya. Dan enak saja so-

sok Bidadari Delapan Samudera dicampakkan di atas ta-

nah. Lalu kedua tangannya kembali menyambar dua pe-

dangnya dan berpaling ke arah murid Pendeta Sinting den-

gan mata dijerengkan besar-besar.

Pendekar 131 saat itu tengah pentangkan mata. Bukan 

membalas pandangan angker Nenek Selir, melainkan me-

mandang ke arah sosok Dayang Tiga Purnama!

Ketika baru saja lepas pukulan ke arah murid Pendeta


Sinting dan suasana berubah gelap, Bidadari Tujuh Langit 

cepat berkelebat ke arah Dayang Tiga Purnama. Dayang Ti-

ga Purnama memang merasakan sambaran angin di sam-

pingnya. Dia pun sempat berpaling.

Dalam gelapnya suasana, dia masih mampu melihat sia-

pa gerangan adanya sosok yang berkelebat ke arahnya. 

Namun belum sampai dia membuat gerakan, mendadak be-

berapa tusukan telah melanda lambung dan bahunya. Ga-

dis ini berseru tegang karena sekujur tubuhnya sudah ke-

jang kaku tak bisa digerakkan!

Sadar apa yang terjadi, Dayang Tiga Purnama cepat ke-

rahkan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan yang 

telah bersarang di tubuhnya. Namun baru saja dia kerah-

kan tenaga dalam, gelegar dahsyat bentroknya pukulan Bi-

dadari Tujuh Langit dan Nenek Selir terdengar.

Sosok Dayang Tiga Purnama terpental beberapa tombak. 

Sementara sosok Bidadari Tujuh Langit yang baru saja sa-

rangkan totokan pada Dayang Tiga Purnama terdorong. 

Namun perempuan ini masih sempat menyambar sosok 

Dayang Tiga Purnama. Hingga tatkala sosoknya terdorong, 

sosok Dayang Tiga Purnama terseret di dekatnya.

“Nek! Harap kau lepaskan aku...!” Bidadari Delapan Sa-

mudera buka suara.

Nenek Selir tidak menyahut. Dia terus pandangi murid 

Pendeta Sinting yang saat itu masih juga arahkan pandang 

matanya pada sosok Dayang Tiga Purnama yang terbujur 

diam di dekat Bidadari Tujuh Langit.

“Nek.... Kuharap kau mau menolongku.... Aku akan....”

“Diam!” bentak Nenek Selir tanpa berpaling. 

“Seharusnya kau sudah bersyukur tidak sampai mam-

pus! Jangan minta yang bukan-bukan! Lagi pula bukan aku 

yang membuatmu tidak bisa bergerak!”

“Tapi tidak ada salahnya....”

“Sialan!” Lagi-lagi Nenek Selir sudah menukas sebelum 

Bidadari Delapan Samudera lanjutkan ucapan.

“Kalau kau tidak bisa diam, aku tak segan membuatmu


tak bisa buka mulut!”

Bidadari Delapan Samudera menghela napas. Lalu per-

lahan-lahan alihkan pandang matanya pada Pendekar 131. 

Mendadak mata gadis ini berubah garang. Karena akibat to-

tokan Joko, dia hanya bisa perdengarkan suara tanpa bisa 

berbuat sesuatu.

“Pendekar 131! Harap kau lepaskan diriku kalau kau tak 

ingin membuat panjang masalah!” Bidadari Delapan Samu-

dera berteriak.

Belum sampai Joko buka suara menyahut atau berpal-

ing, di depan sana Bidadari Tujuh Langit sudah melesat ke 

arahnya. Kedua tangannya dihantamkan lepas pukulan ja-

rak jauh!

***

DUA



WALAU masih ada kesempatan untuk membuat gerakan 

menghadang pukulan, tapi murid Pendeta Sinting tidak 

mau membuang tenaga. Apalagi dia mulai yakin ada sesua-

tu yang perlu diselesaikan antara Bidadari Tujuh Langit 

dengan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama 

serta Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawa-

la. Maka begitu Bidadari Tujuh Langit melesat dan lepas

pukulan, Pendekar 131 cepat berkelebat menghindar.

Bummm! Bummm!

Tanah di mana tadi Joko tegak berdiri tampak muncrat 

ke udara. Hutan bambu kembali bergetar keras.

Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri ke arah murid 

Pendeta Sinting berkelebat menghindar. Namun belum 

sampai perempuan cantik ini membuat gerakan lebih lan-

jut, mendadak Datuk Kala Sutera sudah melompat dan te-

gak di hadapan Bidadari Tujuh Langit.

“Pemuda itu masih punya tanggungan denganku! Jan-

gan berani mengusik nyawanya!” kata Datuk Kala Sutera


dengan tangan kiri menunjuk pada murid Pendeta Sinting.

“Persetan dengan segala macam tanggungan!” bentak Bi-

dadari Tujuh Langit.

“Tunggu!” tahan Datuk Kala Sutera ketika melihat Bida-

dari Tujuh Langit sudah angkat kedua tangannya. 

“Di antara kita ada sesuatu yang harus diselesaikan. 

Namun harap kau bersabar dahulu!” Datuk Kala Sutera pu-

tar diri menghadap Pendekar 131. Bidadari Tujuh Langit 

sudah gerakkan kedua tangan. Tapi entah karena apa, 

mendadak perempuan ini hentikan gerakan kedua tangan-

nya.

Di lain pihak, begitu menangkap gelagat Bidadari Tujuh 

Langit tahan gerakan kedua tangannya, Datuk Kala Sutera 

buka mulut berteriak pada Joko.

“Sebenarnya waktumu sudah lewat! Tapi aku masih 

memberi kesempatan padamu untuk buka suara menjawab 

pertanyaanku tempo hari!”

“Sebenarnya kau salah alamat, Datuk Kala Sutera! Aku 

bukan Paduka Seribu Masalah seperti yang kau duga!”

“Hem.... Lanjutkan keteranganmu!” desis Datuk Kala Su-

tera.

“Kau sudah tahu kelanjutannya!”

“Baik! Siapa pun kau adanya, yang jelas kau berjanji 

akan jawab pertanyaanku! Sekarang aku menunggu jawa-

banmu!”

“Saat itu aku bercanda.... Jadi....”

Joko putuskan ucapan, karena saat itu Datuk Kala Su-

tera sudah berkelebat dan tegak beberapa langkah di hada-

pan murid Pendeta Sinting. 

“Aku butuh jawaban atau....”

“Berani kau menyentuh tubuhnya, kau membuka uru-

san denganku!” Mendadak Nenek Selir berteriak. Saat ber-

samaan dia melompat ke arah Pendekar 131. Tangan ki-

rinya yang memegang pedang menunjuk lurus pada Joko. 

Lalu terdengar sambungan ucapannya. 

“Tanganku yang paling berhak menentukan hidup dan


matinya pemuda sialan ini!” Datuk Kala Sutera pandangi 

sosok Nenek Selir dengan dagu terangkat. Tanpa buka mu-

lut dia angkat kedua tangannya.

“Hem.... Dengan mampusnya kedua manusia itu, urusan 

akan lebih ringan!” diam-diam Bidadari Tujuh Langit mem-

batin. Lalu lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangan 

seraya melirik silih berganti pada Nenek Selir dan Pendekar 

131. Begitu Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya, 

Bidadari Tujuh Langit serta-merta ikut lepas pukulan ke 

arah Nenek Selir dan Pendekar 131.

Dari kedua tangan Datuk Kala Sutera melesat dua sinar 

kehijauan. Sementara dari kedua tangan Bidadari Tujuh 

Langit melabrak dua sinar merah.

Nenek Selir menggerendeng panjang pendek. Kedua pe-

dang di tangannya segera dihantamkan ke depan. Dua ko-

baran api melesat keluar perdengarkan deruan dahsyat dan 

semburkan hawa panas luar biasa.

Melihat apa yang terjadi, Joko tidak berdiam diri. Dia se-

gera sentakkan kedua tangan lepas pukulan sakti ‘Lembur 

Kuning’. Hingga saat itu juga dua gelombang berkiblat 

membawa sinar berwarna kekuningan serta hawa panas 

menyengat.

Blaarr! Blarr!

Dua ledakan dahsyat mengguncang tempat Itu ketika 

empat pukulan orang bertemu di udara. Empat sosok sama 

terpental dan terjajar duduk di atas tanah.

Datuk Kala Sutera cepat bergerak bangkit. Lalu menoleh 

pada Bidadari Tujuh Langit yang juga terhuyung-huyung 

berdiri. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-

dang.

“Aku tidak bermaksud membantumu!” Berkata Bidadari 

Tujuh Langit sambil kerahkan tenaga dalam kembali. “Ke-

dua manusia itu telah membuat dosa besar padaku! Aku 

berhak mencicipi kedua nyawa mereka!”

“Hem.... Baik! Agar urusan di antara kita nanti segera 

tuntas, aku tawarkan padamu untuk menghabisi kedua


manusia itu bersama-sama!” kata Datuk Kala Sutera sambi 

alihkan pandangan.

“Aku setuju!” kata Bidadari Tujuh Langit.

Di seberang, Nenek Selir dan murid Pendeta Sinting 

langsung saling berpandangan begitu mereka tegak berdiri.

“Nek.... Lebih baik kita menyingkir saja dari tempat ini! 

Tak ada gunanya kita meladeni mereka!”

Nenek Selir tertawa cekikikan panjang. “Percuma kau 

menyingkir dari tempat ini! Kau kira nyawamu bisa selamat 

dengan angkat kaki dari sini?!” Kepala si nenek menggeleng. 

“Kau salah duga, Manusia Asing! Menyingkir atau tidak,

nyawamu tidak akan selamat! Dan kau tak perlu khawatir. 

Bukan kedua makhluk itu yang akan membuatmu mam-

pus. Tapi kedua tanganku sendiri!”

Baru saja Nenek Selir berucap begitu, laksana dikoman-

do Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama 

membuat gerakan berkelebat. Dan tahu-tahu keduanya su-

dah tegak lima langkah di hadapan Nenek Selir.

“Kuingatkan pada kalian berdua! Kalian masih....” Hanya 

sampai di situ ucapan yang terdengar dari mulut Nenek Se-

lir. Karena bersamaan dengan itu Datuk Kala Sutera dan 

Bidadari Tujuh Langit sudah sama melompat ke depan. Bi-

dadari Tujuh Langit angkat kaki kirinya lalu membuat ge-

rakan menendang. Sementara Datuk Kala Sutera angkat 

kaki kanannya dan dihantamkan!

Wuutt! Wuutt!

Dari kaki kiri Bidadari Tujuh Langit berkiblat sinar me-

rah menyala. Sementara dari kaki kanan Datuk Kala Sutera 

melesat sinar hijau menyala terang. Belum sampai kedua 

sinar itu menggebrak, Nenek Selir sudah merasakan sosok-

nya laksana tersapu kekuatan dahsyat. Sosok nenek ini 

bergetar dan tersentak-sentak. Hingga begitu kedua tan-

gannya membuat gerakan mengangkat pedang, sosoknya 

terhuyung.

“Nek! Mundur!” teriak murid Pendeta Sinting sekali sen-

takkan tangan kiri lepas pukulan ‘Serat Biru’.


Dari tangan kiri Pendekar 131 melesat beberapa sinar bi-

ru terang laksana benang. Nenek Selir tidak hiraukan te-

riakkan Joko. Dengan sosok terhuyung, kedua tangannya 

bergerak membabatkan pedang.

Namun sebelum dua kobaran api melesat keluar dari tu-

buh pedang di kedua tangan si nenek, kaki kiri Bidadari 

Tujuh Langit dan kaki kanan Datuk Kala Sutera sudah da-

tang mendahului!

Tapi tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-

tera tersentak kaget ketika merasakan kaki masing-masing 

yang dibuat tumpuan tegaknya bergetar keras. Memandang 

ke bawah, kedua orang ini tercengang menyaksikan bebe-

rapa sinar biru terang telah melilit kaki masing-masing 

yang dibuat tumpuan.

Dengan perdengarkan bentakan keras, Bidadari Tujuh 

Langit dan Datuk Kala Sutera hantamkan tangan masing-

masing ke arah serat biru. Sementara kaki masing-masing 

yang membuat gerakan menendang diteruskan.

Namun sebelum dari tangan Bidadari Tujuh Langit dan 

Datuk Kala Sutera menggebrak gelombang angin memotong 

serat biru, Joko sentakkan tangan kirinya.

Bidadari Tujuh Langit perdengarkan seruan tertahan ke-

tika merasakan kaki satunya terdorong ke depan, hingga 

kaki kirinya yang tengah menendang tersentak balik ke be-

lakang! Saat lain perempuan ini terhuyung sebelum akhir-

nya jatuh terduduk di atas tanah.

Saat yang sama, Datuk Kala Sutera merasakan kakinya 

yang dibuat tumpuan tegak, goyah, dan tersentak. Pemuda 

berjubah hitam ini memang sempat hentakkan kakinya 

yang terlilit serat biru di belakang. Namun di seberang de-

pan, murid Pendeta Sinting cepat melompat ke belakang 

dua tindak. Kaki Datuk Kala Sutera kembali tersentak ke 

depan dengan keras sebelum akhirnya dia terjengkang ja-

tuh.

Di hadapan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sute-

ra, Nenek Selir yang sesaat tadi sempat tercengang menda


pati kaki dua orang berkelebat menggebrak ke arahnya se-

mentara dirinya sudah tidak punya kesempatan lagi untuk 

membuat kedua tangannya bergerak, cepat ayunkan kedua 

pedang menyilang ke arah Bidadari Tujuh Langit serta Da-

tuk Kala Sutera yang terduduk di hadapannya.

“Tahan serangan!” Joko berteriak. Nenek Selir seolah ti-

dak mendengar teriakan. Dia teruskan saja gerakan kedua 

tangannya. Sementara Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera sudah siap menghadang dengan angkat tangan 

masing-masing.

Setengah depa lagi kedua pedang si nenek menghantam, 

dan Bidadari Tujuh Langit serta Datuk Kala Sutera siap 

sentakkan tangan masing-masing, Pendekar 131 berkelebat 

ke depan menyergap Nenek Selir.

Si nenek perdengarkan makian tak karuan ketika mera-

sakan ada satu sosok tubuh menggelayuti pinggangnya dan 

menahan gerak kedua tangannya. Dengan hentakkan kaki 

kanan, Nenek Selir hantamkan kedua sikunya ke belakang.

Bukkk! Bukkk!

Pendekar 131 berseru tegang. Kedua tangannya yang 

menelikung pinggang si nenek sempat terpental lepas. Na-

mun Joko cepat menyergap kembali dan lagi-lagi meneli-

kung pinggang Nenek Selir!

“Jahanam bangsat!” maki Nenek Selir seraya putar per-

gelangan kedua tangannya yang memegang pedang. Lalu 

serta-merta kedua tangannya ditusukkan ke belakang!

“Nek! Awas di depan!” Joko berteriak ketika mendapati 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama sentak-

kan tangan masing-masing.

Nenek Selir tampaknya tak peduli. Dia teruskan saja tu-

sukan kedua pedangnya ke belakang!

“Celaka! Kita bisa mampus, Nek!” teriak Joko sambil sen-

takkan kedua tangannya yang menelikung pinggang Nenek 

Selir. Sementara dia makin rapatkan tubuhnya pada sosok 

si nenek!

Bukkk! Bukkk!


Pendekar 131 dan Nenek Selir jatuh bergedebukan di 

atas tanah. Saat bersamaan, gelombang sinar merah dan 

hijau hantaman tangan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera lewat dua jengkal di atas mereka!

Mendapati pukulannya lolos, Bidadari Tujuh Langit dan 

Datuk Kala Sutera cepat bergerak bangkit. Lalu kembali 

sama sentakkan tangan masing-masing ke arah Nenek Selir 

dan Pendekar 131 yang masih terbujur di atas tanah.

“Nek! Awas pedangmu!” Lagi-lagi Joko berteriak. Lalu 

hantamkan kaki kanan kirinya ke atas tanah. Sementara 

kedua tangannya makin dirapatkan pada pinggang si ne-

nek.

Kali ini tampaknya Nenek Selir mulai sadar akan bahaya 

yang mengancam dirinya. Maka begitu mendengar teriakan 

Joko, kedua tangannya yang tadi menusuk ke belakang se-

gera ditarik ke depan. Nenek ini sebenarnya hendak meng-

hadang pukulan yang dating dengan hantamkan kedua pe-

dangnya. Namun belum sampai kedua tangannya bergerak, 

sosoknya sudah terseret di atas tanah akibat hentakan kaki 

Joko.

Bumm! Bumm!

Hantaman Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

menghantam tanah di mana tadi Nenek Selir dan Joko ter-

bujur.

Sosok Nenek Selir dan Pendekar 131 yang masih saling 

bertempelan dan terseret, laksana disapu gelombang dah-

syat akibat bias pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera yang lolos menghantam sasaran. Sosok kedua-

nya terpelanting ke udara dan sempat terbanting di atas 

udara membuat kedua tangan Joko yang memegang ping-

gang si nenek terlepas!

Bukkk!

Nenek Selir melayang jatuh terlebih dahulu di atas tanah 

dengan posisi telentang. Nenek ini cepat kerahkan tenaga 

dalam lalu bangkit. Namun baru saja tubuhnya terangkat 

ke atas, dari udara sosok Joko melayang deras dan....


Bukkk!

Pendekar 131 terbanting keras dengan posisi menelung-

kup. Namun Joko jadi tersentak kaget. Karena dia bukan 

jatuh di atas tanah, melainkan di atas sosok Nenek Selir! 

Kepalanya masuk ke dalam sela paha si nenek, sementara 

kedua kakinya sendiri sempat menghantam bahu kanan ki-

ri Nenek Selir, hingga bagian atas tubuh nenek ini yang tadi 

akan terangkat terdorong balik dan menghantam tanah!

“Sialan edan! Mengapa kau ciumi pahaku?!” Nenek Selir 

berseru. Bahu kiri kanannya disentakkan.

“Nek! Apa enaknya mencium pahamu?! Kau yang meng-

gelitiki pahaku!”

“Keparat!” maki Nenek Selir dengan sekali lagi sentak-

kan bahu kanan kirinya.

Kaki kanan kiri Joko yang melintang di atas bahu si ne-

nek terpental ke udara. Saat yang sama Nenek Selir angkat 

kaki kanannya dan dihantamkan pada tubuh murid Pende-

ta Sinting.

Bukkk! Breett!

Joko mengeluh tinggi. Kepalanya tersentak keluar dari 

paha si nenek. Lalu sosoknya terbanting ke samping dan te-

lentang di samping Nenek Selir! Pakaian yang dikenakan 

robek di bagian pinggang kanan.

Nenek Selir berpaling. Dan ketika dilihatnya Joko 

cengar-cengir, si nenek jadi geram. Pedang di tangan ka-

nannya dilepas. Dengan putar tubuhnya, tangan kanan di-

hantamkan ke arah sosok Pendekar 131!

Joko tidak tinggal diam. Dia tahu hantaman si nenek ti-

dak main-main. Maka dia cepat gulingkan diri menjauh.

Walau Joko sempat lolos dari hantaman tangan kanan 

Nenek Selir, tapi ternyata tangan si nenek masih mampu 

menyambar pinggang kanan Joko yang robek.

Breett!

Pakaian murid Pendeta Sinting makin menganga. Nenek 

Selir tercekat dengan tangan bergetar. Karena tangannya 

merasakan memegang sesuatu yang makin lama membuat


sekujur tubuhnya laksana dihimpit bongkahan es!

***

TIGA



DALAM keterkejutannya, Nenek Selir cepat bangkit ber-

diri. Lalu tarik pulang tangan kanannya didekatkan pada 

wajahnya. Namun baru setengah jalan, tampaknya si nenek 

sudah tak mampu menggerakkan tangan lebih jauh. Dia 

merasakan tangan kanannya kaku tak bisa digerakkan.

“Jahanam! Benda apa ini?!” teriak Nenek Selir seraya 

campakkan benda yang berada di tangan kanannya ke atas 

tanah. Lalu pentangkan mata memandang tak berkesip.

“Bentuknya mirip kotak.... Warnanya kuning. Anehnya 

pada salah satu sisinya terlihat seperti sebuah gagang pe-

dang! Sialannya, mengapa aku merasakan hawa dingin luar 

biasa?!” Nenek Selir membatin dengan mata terus memper-

hatikan benda yang tadi sempat disambarnya dari pinggang 

Joko yang ternyata adalah sebuah kotak berwarna kuning 

berukir. Pada salah satu sisinya terlihat sebuah gagang pe-

dang.

Di lain pihak, begitu lolos dari hantaman tangan kanan 

Nenek Selir, Pendekar 131 segera bangkit. Dia tersenyum 

sesaat lalu tundukkan kepala pandangi pakaiannya yang 

robek menganga. Tiba-tiba senyumnya laksana dirobek se-

tan. Matanya terpentang besar-besar.

“Celaka! Ke mana Pedang Keabadian itu?! Jangan-

jangan....”

Murid Pendeta Sinting cepat sentakkan kepala meman-

dang ke arah Nenek Selir. Dan saat dilihatnya mata si ne-

nek tak berkesip memandang ke satu arah, Joko perlahan-

lahan ikut arahkan pandang matanya ke arah mana mata si 

nenek tengah memandang.

“Astaga! Pedang itu....” Joko mendesis. Laksana terbang 

dia berkelebat ke arah mana kotak berukir kuning yang tidak lain adalah Pedang Keabadian tergeletak di atas tanah.

“Jangan berani teruskan gerakan!” Tiba-tiba Bidadari 

Tujuh Langit berteriak. Tangan kanannya didorong ke arah 

Pendekar 131 yang tengah berkelebat.

Joko buru-buru tahan gerakan seraya putar arah. Lalu 

tegak dengan mata memandang pada Pedang Keabadian. 

Saat bersamaan mendadak Bidadari Tujuh Langit berkele-

bat ke arah Pedang Keabadian dengan tangan kiri terangkat 

ke udara sementara tangan kanan menyambar ke arah pe-

dang.

Begitu cepat gerakan Bidadari Tujuh Langit, hingga Ne-

nek Selir, Datuk Kala Sutera, dan Pendekar 131 sendiri su-

dah sangat terlambat untuk membuat gerakan mengha-

dang.

Begitu sejengkal lagi tangan kanan Bidadari Tujuh Lan-

git menyentuh kotak berukir, perempuan ini lipat gandakan 

tenaga dalam pada tangan kirinya yang terangkat ke udara. 

Dia tidak mau bertindak ayal. Dia siap sentakkan tangan 

kiri menghadang segala kemungkinan. Saat bersamaan 

tangan kanannya bergerak menyambar Pedang Keabadian.

Begitu kotak kuning berukir tergenggam tangan kanan, 

Bidadari Tujuh Langit teruskan berkelebat lalu tegak men-

jauh.

Tapi baru saja sepasang kakinya berpijak di atas tanah, 

perempuan cantik bertubuh bahenol ini perdengarkan se-

ruan lirih. Tangan kanannya bergetar keras. Air mukanya 

berubah.

Bidadari Tujuh Langit cepat sentakkan kepala dengan 

mata terpentang besar pandangi kotak kuning berukir di 

tangan kanannya. Dia bergumam tak jelas dengan kepala 

pulang balik menggeleng. Perempuan ini merasakan aliran 

hawa dingin menusuk menjalari tangan kanan. Kejap lain 

hawa dingin itu sudah merasuki hampir sekujur tubuhnya! 

Tangan kanannya mulai terasa tegang kaku. Namun Bida-

dari Tujuh Langit tak hendak lepaskan kotak di tangannya. 

Dia mulai yakin kotak di tangan kanannya bukan kotak


sembarangan. Maka dia segera kerahkan hawa sakti untuk 

menahan tusukan hawa dingin.

Tapi Bidadari Tujuh Langit jadi terlengak. Begitu dia 

alirkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin, tusukan 

hawa dingin itu makin menggila! Dan perlahan-lahan dari 

tangan kanannya mulai tebarkan asap putih!

Apa yang terjadi membuat Bidadari Tujuh Langit makin 

yakin kalau kotak di tangan kanannya mengandung kekua-

tan hebat. Hingga meski dia mulai merasakan separo dari 

tubuhnya sudah tegang laksana tak bisa digerakkan, dan 

penyaluran hawa sakti makin membuat hawa dingin meng-

gila, perempuan ini nekat tidak juga lepaskan kotak dari 

tangan kanannya. Bahkan dia lipat gandakan penyaluran 

hawa sakti!

Tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit menjerit. Dia merasakan

sekujur anggota tubuhnya laksana dihimpit bongkahan sal-

ju. Makin dia berusaha kerahkan hawa sakti, hawa dingin 

itu makin menggila! Bahkan kini dari sekujur anggota tu-

buhnya telah kepulkan asap putih!

“Benda jahanam!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit me-

maki seraya lepaskan kotak berukir di tangan kanannya.

Pendekar 131 bernapas lega. Sementara semua orang di 

tempat itu terkesima hingga tak ada yang buka suara atau 

membuat gerakan.

“Hem... Ada keanehan lagi dengan pedang itu!” memba-

tin murid Pendeta Sinting. 

“Ketika pedang telah masuk ke dalam kotak, aku tidak 

lagi merasakan hawa dingin. Aku merasakan hawa dingin 

gila itu saat pedang berada di luar! Kini walau pedang itu 

berada dalam kotak, namun hawa dingin itu sepertinya su-

dah terasa!”

“Kalau nenek dan Bidadari Tujuh Langit tidak mampu 

memegang kotak itu, pasti benda itu barang mustika! 

Hem....” Datuk Kala Sutera berkata dalam hati. Lalu lempar 

lirikan pada semua orang yang tegak di tempat itu.

Joko bisa membaca gelagat orang. Hingga belum sampai


Datuk Kala Sutera membuat gerakan, dia perdengarkan ta-

wa bergelak panjang dan berkata.

“Terus terang. Apa yang kalian lihat adalah sebuah ben-

da mustika keramat! Untuk memegangnya diperlukan bebe-

rapa persyaratan!”

“Siapa percaya mulut manusia asing sepertimu! Kau 

hanya mengada-ada! Kau kira aku tidak tahu benda apa 

itu, hah?!” Nenek Selir berteriak.

Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa saat. 

“Kekasih nenek ini yang bercerita banyak tentang pedang 

itu! Hem.... Mungkin saja benar ucapannya kalau dia tahu 

benda apa yang ada di hadapannya itu. Tapi aku yakin dia 

tidak tahu bagaimana cara mengatasi hawa dingin yang ke-

luar dari pedang itu.... Terbukti dia tidak mampu untuk 

memegangnya!”

Berpikir begitu, akhirnya seraya tengadahkan kepala, 

Joko buka mulut.

“Nek! Sebagai seorang tokoh ternama negeri ini, aku per-

caya kalau kau tahu benda apa yang ada di hadapanmu! 

Tapi aku tidak percaya kalau kau tahu bagaimana cara 

memegangnya! Kau telah membuktikan sendiri!”

Nenek Selir tidak menyahut. Sebaliknya melangkah 

mendekati kotak kuning berukir berisi Pedang Keabadian.

“Nek! Harap tidak berlaku nekat! Juga jangan memaksa-

kan kehendak niat! Hal itu hanya akan membawa kiamat!”

Nenek Selir hentikan langkah seraya tawa cekikikan 

panjang. Namun tiba-tiba dia putuskan tawanya lalu mem-

bentak.

“Kau kira aku takut dengan gertakanmu, hah?! Kau pikir 

aku tak tahu apa yang ada dalam benakmu hingga kau ke-

luarkan gertakan, hah?!” Si nenek menyeringai. Lalu seraya 

ikut dongakkan kepala dia lanjutkan ucapan.

“Aku tahu! Kau takut benda itu jatuh ke tangan orang 

lain! Tapi kau harus sadar dan tahu diri! Benda itu berasal 

dari negeri ini, dan pantang dibawa kabur ke negeri lain!”

“Hem.... Jadi kau menginginkannya?!” tanya Joko.


“Aku sampai di tempat ini mencari nyawa orang! Tapi ji-

ka ternyata takdir menuliskan aku mendapatkan benda 

sakti, apa salahnya kalau aku mengambilnya?!”

“Nek! Aku hanya memperingatkan! Untuk memegang 

benda itu diperlukan beberapa syarat!”

“Kau tahu apa tentang benda itu?! Kau manusia asing!”

Habis berkata begitu, Nenek Selir teruskan langkah. Se-

mentara Bidadari Tujuh Langit yang tegak tidak jauh dari 

kotak kuning berukir tampak ragu-ragu. Dia pandangi ko-

tak kuning dan langkah-langkah Nenek Selir silih berganti. 

Tapi entah karena apa, mendadak perempuan ini melang-

kah mundur seolah memberi kesempatan pada si nenek.

Mendapati Bidadari Tujuh Langit surutkan langkah, Ne-

nek Selir makin percepat langkah. Namun nenek ini tidak 

bodoh. Secara diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada 

kedua tangan dan kakinya.

“Nek! Jauhi benda itu!” Sekali lagi Joko buka mulut 

memperingatkan ketika dilihatnya Nenek Selir sudah tegak 

satu langkah di samping kotak kuning berukir.

Yang diperingati tertawa pendek, membuat Joko mau tak 

mau jadi berdebar tidak enak. 

“Jangan-jangan nenek ini tahu bagaimana cara menga-

tasi hawa dingin itu! Tapi, mengapa dia tadi....”

Joko tidak lanjutkan membatin karena bersamaan 

dengan itu Nenek Selir sudah membuat gerakan membung-

kuk. Tangan kanannya yang tidak memegang pedang di-

ayunkan ke bawah.

Kotak kuning berukir tahu-tahu sudah berada di tangan 

kanan Nenek Selir. Untuk beberapa saat nenek ini memang 

mampu memegang kotak kuning meski diam-diam dia mu-

lai merasakan hawa dingin menusuk sekujur tubuhnya.

“Ah... Apa yang harus kulakukan?! Dia mampu meme-

gang kotak itu!” gumam Pendekar 131 dengan dada makin 

berdebar.

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit sempat tercengang 

dan hendak buka mulut melihat Nenek Selir seolah tidak


merasakan hawa dingin seperti saat dia memegangnya. 

Namun belum sampai perempuan ini perdengarkan suara, 

tiba-tiba Nenek Selir perdengarkan seruan tertahan. Malah 

sosoknya sempat terlonjak dan tersurut beberapa langkah! 

Saat lain mendadak si nenek kibaskan tangan kanannya. 

Kotak kuning berukir mencelat ke udara!

Murid Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Dia cepat 

berkelebat. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba 

Datuk Kala Sutera sudah mendahului melesat ke udara. 

Tangan kiri kanannya bergerak menyambar kotak yang me-

layang di udara. Karena sudah melihat apa yang terjadi, se-

raya menyambar sang Datuk kerahkan segenap tenaga da-

lam serta salurkan hawa sakti.

Begitu tegak di atas tanah, Datuk Kala Sutera yang mu-

lai merasakan hawa dingin langsung gerakkan tangan ka-

nan ke arah gagang pedang. Namun baru saja tangan ka-

nannya menyentuh gagang pedang, pemuda berjubah hitam 

ini rasakan sekujur tubuhnya kaku. Tangan kanannya te-

gang beku tak bisa digerakkan! Makin dia lipat gandakan 

hawa sakti, hawa dingin yang mendera sekujur tubuhnya 

makin menusuk. Hingga beberapa saat kemudian, sosoknya 

bergetar keras. Lalu dengan satu sentakan keras, kotak 

kuning berukir di tangan kirinya dicampakkan hingga me-

lesak masuk hampir setengahnya ke dalam tanah!

“Apa kubilang?! Untuk memegang benda itu diperlukan 

beberapa syarat!” Joko buka mulut setelah beberapa saat 

terdiam dengan wajah tegang menyaksikan Nenek Selir dan 

Datuk Kala Sutera yang sesaat tadi sepertinya mampu 

mengatasi hawa dingin yang keluar dari kotak berisi Pedang 

Keabadian.

Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera, dan Nenek 

Selir berpaling pada Joko.

“Pemuda asing sialan! Jangan kau terus mengada-ada! 

Bagaimana kau bisa mengatakan untuk memegangnya per-

lu beberapa syarat?! Padahal kau bukan berasal dari negeri 

ini. Sementara benda itu adalah milik seorang tokoh yang


dilahirkan di negeri ini!” Yang angkat suara adalah Nenek 

Selir.

“Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang jelas, kalian 

lihat sendiri. Benda itu tadi berada di pinggangku. Lalu apa 

kalian lihat aku merasa kedinginan?!”

“Hem.... Bagus! Sekarang katakan apa syarat yang diper-

lukan! Jika kau tidak mengatakannya, jangan harap kau 

bisa menyentuhnya!” Nenek Selir kembali berteriak.

“Kalau aku mengatakan syaratnya, apa kau....”

“Itu kita putuskan nanti setelah kau mengatakan apa 

syaratnya!” Nenek Selir sudah memotong.

Pendekar 131 gelengkan kepala. 

“Peraturan itu enak padamu, tapi tidak enak padaku!”

“Terserah! Yang pasti kau telah dengar peraturannya!”

“Tidak bisa.... Tidak bisa...,” gumam Joko berulang

kali.

“Bagus! Berarti kau telah tahu akibatnya!” ujar Nenek 

Selir seraya angkat tangan kirinya yang masih memegang 

pedang. Sementara tangan kanannya ditarik ke belakang.

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tidak ber-

diam diri. Tahu apa yang diperbuat si nenek, kedua orang 

ini cepat pula angkat kedua tangan masing-maslng.

“Celaka! Mengapa jadi begini?! Kalau mereka maju satu 

persatu mungkin aku masih mampu menahan. Tapi kalau 

mereka berbarengan....” Kuduk Joko jadi merinding dingin. 

Tampangnya berubah.

“Pemuda asing! Dalam satu hal aku dan kedua makhluk 

itu memang berbeda! Namun dalam hal satu ini, mungkin 

kami punya persamaan! Jadi kau harus berpikir dan jangan 

berlaku bodoh!” Nenek Selir berucap. Lalu tertawa cekiki-

kan.

“Baik.... Baik... Akan kukatakan apa yang kau inginkan!” 

Akhirnya Joko buka mulut seraya alihkan pandangan ke 

jurusan lain. Lalu sambung! ucapannya.

“Kalian tahu hidung?!”

Nenek Selir mendengus. Bidadari Tujuh Langit mengge


ram. Sedangkan Datuk Kala Sutera gerak-gerakkan jari 

tangannya hingga perdengarkan suara berkeretekan tanda 

dadanya makin geram.

“Aku tanya. Mengapa kalian tidak ada yang buka mulut 

menjawab?!” Joko bertanya seraya mendongak.

“Jangan kau bicara main-main!” bentak si nenek.

“Siapa main-main?! Kau yang bercanda! Aku tanya hi-

dung kau jawab jangan bicara main-main!”

“Keparat!” maki si nenek seraya bantingkan kaki. 

“Aku tidak buta! Aku tahu mana hidung, mana mulut, 

dan mana perut!”

Joko luruskan kepala seraya tersenyum. 

“Bagus! Aku bersyukur kau sudah tahu malah bisa 

membedakan!” Joko arahkan pandang matanya pada Bida-

dari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera silih berganti. La-

lu angkat suara.

“Bagaimana dengan kalian?! Kalian belum ada yang bu-

ka suara menjawab!”

Walau dengan tampang sama berubah akhirnya hampir 

bersamaan kedua orang yang ditanya buka mulut.

“Aku tahu mana yang disebut hidung!”

“Bagus! Bagus! Harap kalian tidak salah sangka dengan 

pertanyaanku tadi. Hal itu penting kutanyakan, karena aku 

khawatir apa yang disebut hidung di negeri asalku berbeda 

dengan yang disebut hidung di negeri ini! Dan agar nan-

tinya tidak terjadi salah paham, aku ingin agar kalian tun-

juk mana yang kalian sebut hidung!”

Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit, dan Datuk Kala Su-

tera saling lirik. Tampang masing-masing jelas mem-

bayangkan rasa marah. Malah si nenek sudah buka mulut 

hendak membentak. Namun Joko buru-buru mendahului.

“Harap tidak marah dahulu! Hal ini harus dibuktikan 

agar nantinya tidak terjadi salah paham! Aku tidak mau

disalahkan hanya gara-gara salah sebut!”

Walau dengan seringai dingin dan dada panas, namun 

karena memang ingin tahu apa yang menjadi persyaratan,


akhirnya Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit, dan Datuk Ka-

la Sutera angkat tangan masing-masing dan menunjuk pa-

da hidungnya! 

***

EMPAT



PENDEKAR 131 picingkan mata dengan kepala di so-

rongkan ke depan ke belakang. Lalu sapukan pandangan ke 

arah Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Datuk Kala 

Sutera.

Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Datuk Kala Su-

tera saling pandang dengan tampang berubah merah 

mengelam.

“Mengapa kau tertawa ngakak, hah?!” Si nenek yang su-

dah tak sabaran membentak.

Murid Pendeta Sinting putuskan tawanya. 

“Untung aku ingin membuktikan dahulu. Jika tidak, ten-

tu kalian akan salah paham!”

“Apa maksudmu?!” tanya Nenek Selir.

“Di negeri asalku, benda di atas mulut yang kalian tun-

juk namanya bukan hidung!”

“Jahanam! Kau terlalu mengada-ada! Sampai ujung du-

nia pun yang namanya hidung adalah benda di atas mulut 

ini!” kata Nenek Selir dengan suara keras seraya pencet hi-

dungnya sendiri.

Joko gelengkan kepala. 

“Kalian boleh percaya boleh tidak! Di negeri asalku apa 

yang kalian tunjuk bukan hidung. Tapi ketiak!”

“Baik!” Kali ini Bidadari Tujuh Langit yang buka suara. 

“Lalu menurut negeri asalmu, mana yang disebut hidung?!”

“Pangkal tangan kalian masing-masing adalah hidung 

menurut negeri asalku!”

“Keparat! Itu ketiak!” bentak Nenek Selir.

“Ya, memang keparat! Tapi apa boleh buat. Yang kau sebut ketiak itu di negeri asalku disebut hidung!”

“Teruskan keteranganmu!” Bidadari Tujuh Langit buka 

mulut lagi tak mau berdebat.

“Hidung menurut negeri asalku dan ketiak menurut ne-

geri ini, kalian tahu memiliki hiasan rambut. Kalian harus 

mencari tujuh helai rambut itu yang sebelah kanan.”

“Kau jangan berani bicara dusta! Bagaimana mungkin 

syaratnya begitu mudah?! Aku tidak percaya!” kata Nenek 

Selir masih dengan suara tinggi.

“Aku belum selesai bicara, Nek! Harap tidak memotong 

dahulu!” kata Joko seraya sentakkan wajah mendongak. 

Lalu sambungi ucapannya.

“Untuk menahan hawa dingin benda kuning berukir itu. 

kalian harus mencari tujuh helai rambut hidung sebelah 

kanan dari seorang nenek-nenek berusia tujuh puluh ta-

hun. Tujuh helai rambut itu harus berasal dari nenek yang 

berbeda! Jika sudah terkumpul, kalian harus membakarnya 

di bawah cahaya bulan purnama. Lalu abunya kalian te-

lan!”

“Kau menyindirku!” Nenek Selir kembali membentak.

“Mentang-mentang kau tahu ketiakku tidak ada bu-

lunya!”

Joko tertawa panjang seraya geleng kepala. 

“Nek.... Aku bicara apa adanya! Lagi pula mana aku tahu 

kalau hidungmu tidak ada bulunya?!”

Untuk beberapa saat Nenek Selir, Bidadari Tujuh Langit, 

dan Datuk Kala Sutera saling pandang.

“Kau percaya dengan ocehannya?!” tanya Nenek Selir 

pada Bidadari Tujuh Langit.

Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya mendengus se-

raya alihkan pandangan ke jurusan lain.

Nenek Selir tertawa cekikikan. Lalu arahkan pandang 

matanya pada Datuk Kala Sutera dan bertanya.

“Kau sendiri percaya dengan keterangan pemuda asing 

sialan itu?!”

“Itu urusanku!”


Nenek Selir makin keraskan cekikikannya. Lalu alihkan 

pandangan pada murid Pendeta Sinting dan kembali buka 

mulut.

“Kau tidak bicara dusta?!”

“Itu urusanmu!” Enak saja Joko menjawab. 

“Kau menduga aku bicara dusta silakan. Jika sebalik-

nya, juga terserah! Yang jelas, kalau sampai aku dapat ber-

tahan dari hawa dingin itu, tidak lain berkat aku menelan 

abu tujuh helai rambut tujuh hidung tujuh nenek berusia 

tujuh puluh tahun pada malam purnama!

“Hem.... Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirmu 

menghirup udara di kolong bumi! Tapi kau beruntung...,” 

ujar si nenek.

“Beruntung bagaimana, Nek?!”

‘Untuk sementara ini nyawamu kuperpanjang sampai 

aku dapat membuktikan kebenaran keteranganmu! Jika 

nanti ternyata keteranganmu dusta, kau harus mampus 

dua kali di tanganku! Kau dengar?!”

Joko anggukkan kepala. Lalu tanpa buka mulut lagi dia

melangkah ke arah kotak kuning berukir.

“Tahan gerakanmu!” Bidadari Tujuh Langit berteriak.

“Aku juga memperpanjang usia selembar nyawamu! Se-

karang berbalik dan tinggalkan tempat ini!”

“Aneh.... Lalu bagaimana dengan kotak itu?! Bukankah 

di antara kalian tidak ada yang mampu menyentuhnya?!”

“Itu urusan mudah! Kami nanti dapat memutuskan!”

“Keputusan apa pun yang nantinya kalian ambil, tidak 

akan menyelesaikan masalah! Karena kalian bertiga belum 

ada yang memenuhi syarat!”

“Jangan banyak mulut!” Kali ini Datuk Kala Sutera yang 

buka suara. 

“Lekas angkat kaki dari sini atau nyawamu akan me-

layang hari Ini Juga!”

“Betul! Cepat enyahlah dari tempat ini! Tapi harus kau 

ingat! Semua ini hanya sementara waktu. Jika saatnya tiba, 

tidak ada tempat di kolong langit ini untuk kau jadikan


liang persembunyian!”

“Eh, jadi kalian menginginkan kotak kuning itu?!’ tanya 

Joko.

“Dasar manusia asing bodoh! Kau kira untuk apa aku 

bertanya tadi, hah?!” bentak Nenek Selir.

“Aku tidak menduga sejauh itu! Aku tadi menyangka 

pertanyaan itu hanya sekadar kalian ingin tahu agar nan-

tinya dapat menyentuh kotak itu! Tidak terlintas dalam be-

nakku kalau kalian ternyata menginginkan kotak itu!”

“Hem.... Sekarang katakan. Kalau aku menginginkan ko-

tak itu, kau mau apa?!” tanya Bidadari Tujuh Langit.

“Aku tidak akan berbuat apa-apa! Tapi harap kau tahu. 

Aku sampai di tempat ini dengan membawa kotak itu. Jadi 

kalaupun aku kalian usir dari tempat ini, kotak itu harus 

tetap kubawa serta!”

“Kau harus enyah tanpa membawa kotak itu!” kata Da-

tuk Kala Sutera.

“Kotak itu harus tetap berada di sini!” Bidadari Tujuh 

Langit menimpali.

“Benar! Kotak itu berasal dari negeri ini! Tidak layak kau 

membawanya!” Nenek Selir ikut menyahut.

“Siapa yang membikin aturan begitu?!” tanya Joko se-

raya sapukan pandangan.

Belum sampai ada yang buka mulut menjawab, tiba-tiba 

terdengar suara lain menyahut.

“Harap lupakan dahulu urusan kotak itu! Ada yang lebih 

penting dari itu!” Tiga sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak 

tidak jauh dari tempat terbujurnya sosok Bidadari Delapan 

Samudera.

Semua kepala berpaling. Yang tegak di sebelah kanan 

sosok Bidadari Delapan Samudera adalah seorang perem-

puan bertubuh tambun besar mengenakan pakaian warna 

merah ketat. Raut wajahnya bengkak besar disamaki kulit 

hingga sepasang matanya hampir-hampir saja tidak keliha-

tan. Hidungnya melesak masuk ke dalam gumpalan kulit 

kedua pipinya. Rambutnya putih panjang sebatas betis.


Nenek ini bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.

Di sebelah Putri Pusar Bumi, tegak seorang laki-laki ber-

tubuh pendek berambut panjang menjulai hingga menyapu 

tanah. Di punggungnya tampak sebuah punuk besar, se-

mentara pada pinggangnya terlihat melilit sebuah ikat ping-

gang dari pedang berkilat. Laki-laki cebol ini adalah Iblis 

Pedang Kasih.

Tidak jauh dari Iblis Pedang Kasih terlihat satu sosok 

tubuh milik seorang laki-laki yang duduk dengan kedua 

kaki dirangkapkan. Kepalanya dimasukkan dalam-dalam di 

belakang rangkapan kedua kakinya hingga raut wajah 

orang ini tidak bisa dikenali. Dia tidak lain adalah tokoh 

yang dikenal dengan julukan Paduka Seribu Masalah.

“Paduka Seribu Masalah! Harap lepaskan aku dari toto-

kan ini!” Berkata Bidadari Delapan Samudera seraya me-

mandang pada Paduka Seribu Masalah.

“Harap tidak meminta padaku, Gadis Cantik. Aku takut 

memenuhi permintaanmu!”

Bidadari Delapan Samudera perdengarkan keluhan. Lalu 

arahkan pandang matanya pada Putri Pusar Bumi dan Iblis 

Pedang Kasih. Lalu buka mulut lagi.

“Kalian juga tak mau membantuku?!”

Putri Pusar Bumi sentakkan kepala berpaling. Bidadari 

Delapan Samudera terkesiap kaget. Karena bersamaan 

dengan itu rambut putih panjang milik Putri Pusar Bumi 

menderu angker ke arahnya!

“Apa yang hendak kau lakukan?!” Bidadari Delapan Sa-

mudera masih sempat berteriak. Namun karena dalam kea-

daan tertotok, gadis ini hanya bisa berteriak tanpa mampu 

membuat gerakan.

Sosok Bidadari Delapan Samudera tiba-tiba terangkat ke 

udara. Gadis ini sudah akan berteriak lagi. Apalagi ketika 

dia merasakan sosoknya meluncur jatuh ke bawah! Tapi be-

lum sampai suaranya terdengar, rambut putih Putri Pusar 

Bumi kembali berkelebat.

Terdengar suara seperti orang tercekik. Sosok Bidadari


Delapan Samudera tahu-tahu sudah terlilit rambut si nenek 

tambun di udara. Sosok gadis ini sesaat tertahan di udara 

lalu melayang turun perlahan-lahan hingga akhirnya me-

nyentuh tanah.

Begitu sosok Bidadari Delapan Samudera bersentuhan 

dengan tanah, Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya lagi. 

Sosok Bidadari Delapan Samudera terguling ke samping 

beberapa kali.

Bidadari Delapan Samudera sudah hendak berseru. Na-

mun tiba-tiba gadis ini kancingkan mulutnya lagi ketika ti-

ba-tiba dia merasakan dapat menggerakkan anggota tu-

buhnya!

Sadar apa yang telah dilakukan Putri Pusar Bumi, Bida-

dari Delapan Samudera segera bergerak bangkit. Lalu men-

jura hormat dan berkata.

“Terima kasih....”

Putri Pusar Bumi tersenyum. Lalu berbisik pada Iblis 

Pedang Kasih yang tegak di sampingnya.

“Kulihat Dayang Tiga Purnama dalam keadaan tak ber-

daya! Lakukan sesuatu padanya!”

Iblis Pedang Kasih arahkan pandang matanya pada so-

sok Dayang Tiga Purnama yang masih terbujur diam di atas 

tanah karena ditotok oleh Bidadari Tujuh Langit. Kejap lain 

tiba-tiba laki-laki bertubuh cebol ini luruskan kedua tan-

gannya ke depan. Lalu serta-merta ditarik ke belakang.

Di seberang depan, Dayang Tiga Purnama rasakan so-

soknya disedot kekuatan dahsyat. Hingga saat itu juga so-

soknya terseret ke arah Iblis Pedang Kasih!

Bidadari Tujuh Langit sebenarnya sudah hendak mela-

kukan gerakan menghadang dengan sentakkan kedua tan-

gannya memotong gerakan sosok Dayang Tiga Purnama. 

Tapi karena sadar gerakannya akan kalah cepat, perem-

puan berpakaian putih ini akhirnya urungkan niat meski 

dengan mata melotot angker dan dada panas dilanda hawa 

kemarahan.

Begitu sosok Dayang Tiga Purnama berada dua langkah


di depan Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih luruhkan 

kedua tangannya ke bawah. Seretan sosok Dayang Tiga 

Purnama terhenti.

Putri Pusar Bumi bungkukkan tubuh. Jari tangan ka-

nannya bergerak beberapa kali pada beberapa bagian tubuh 

Dayang Tiga Purnama. Begitu Putri Pusar Bumi angkat 

tangan kanannya, Dayang Tiga Purnama mampu bergerak 

bangkit.

“Cucuku.... Harap kau bersabar! Mari kita selesaikan 

semua ini dengan bicara baik-baik! Kekerasan hanya akan 

mendatangkan penyesalan! Dan kekerasan tidak akan me-

nyelesaikan masalah!” berkata Putri Pusar Bumi.

“Eyang.... Aku sudah mencoba bicara baik-baik! Tapi 

ternyata tidak membawa hasil! Kedua manusia itu bung-

kam tidak mau menjawab!”

“Biar nanti aku yang bicara!” ujar Putri Pusar Bumi lalu 

berpaling pada Bidadari Pedang Cinta yang sedari tadi 

hanya tegak diam. Putri Pusar Bumi memberi isyarat 

dengan lambaian tangan.

Sesaat Bidadari Pedang Cinta tampak bimbang. Namun 

ketika dilihatnya Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala, ga-

dis cantik berbaju hijau ini perlahan-lahan melangkah 

mendekat.

Begitu Bidadari Pedang Cinta tegak di samping Dayang 

Tiga Purnama, Bidadari Delapan Samudera berkelebat ke 

depan.

“Sebenarnya aku takut bicara. Tapi kalau boleh aku 

mengatakan, harap kau jangan terburu nafsu, Gadis Jeli-

ta...” Mendadak Paduka Seribu Masalah berucap.

Bidadari Delapan Samudera batalkan niat. Memandang 

sesaat pada Datuk Kala Sutera lalu perlahan-lahan mende-

kati Paduka Seribu Masalah dan berkata.

“Aku perlu jawaban pasti dari pemuda berjubah hitam 

itu! Sekaligus dia harus membayar nyawa eyang guruku!”

“Aku takut mengatakannya. Tapi aku tidak takut untuk 

memberi penjelasan jika mungkin nantinya kau akan memperoleh apa yang kau inginkan!” ujar Paduka Seribu Masa-

lah.

“Kau dapat menduga ada apa di balik ucapan sahabat 

kita itu?!” Putri Pusar Bumi berbisik pada Iblis Pedang Ka-

sih. Iblis Pedang Kasih gelengkan kepala. 

“Aku tak tahu pasti. Namun satu hal. Aku pernah ber-

bincang dengan gadis baju biru itu. Sepertinya dia punya 

masalah yang sama dengan Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama!”

Di seberang depan, melihat munculnya Putri Pusar Bu-

mi, Iblis Pedang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah, Pende-

kar 131 menghela napas lega. Tapi tidak demikian halnya 

dengan Nenek Selir.

Nenek berselempang kain hitam itu mendelik lalu putar 

pandangan berkeliling.

“Wang Su Ji lenyap bersama manusia yang duduk rang-

kapkan kaki itu! Sekarang dia muncul lagi tanpa si jaha-

nam Wang Su Ji! Pasti dia tahu di mana beradanya si kepa-

rat itu! Dan si perempuan gembrot itu.... Tempo hari dia 

muncul menyelamatkan Wang Su Ji. Kalau kemunculannya 

kali ini masih juga ada kaitannya dengan Wang Su Ji, dia 

akan tahu dengan siapa dia harus berhadapan! Sekarang 

manusia yang duduk rangkapkan kaki itu harus memberi 

jawaban padaku!”

Berpikir begitu, Nenek Selir jadi lupa akan urusan kotak 

kuning berukir. Dia berkelebat ke depan lalu tegak sepuluh 

langkah di hadapan Paduka Seribu Masalah.

Namun belum sampai Nenek Selir buka mulut, Paduka 

Seribu Masalah sudah perdengarkan suara mendahului.

“Sahabatku, Nenek Selir! Harap kau tidak takut men-

dengarnya. Orang yang kau cari berada di sekitar tempat 

ini. Hanya saja dia belum mau tunjukkan diri. Kuharap kau 

bersabar menunggu!”

“Bagus! Kau telah tahu sebelum aku bertanya! Tapi 

sayang sekali. Aku tak bisa menunggu! Katakan di mana 

beradanya jahanam itu!”


“Sekali lagi harap kau bersabar dan tabahkan hati! Ka-

rena....”

“Simpan dulu nasihatmu! Aku ingin tahu di mana bera-

danya keparat itu!”

***

LIMA



PADUKA Seribu Masalah tertawa. 

“Sahabatku Nenek Selir.... Aku tak takut mengatakan 

kalau kau punya sengketa besar dengan Wang Su Ji alias 

sahabatku Manusia Tanah Merah....”

“Kalau kau sudah tahu, mengapa kau masih tidak mau 

mengatakan di mana beradanya bangsat itu?!”

“Saat untuk hal itu akan tiba! Sekali lagi kuharap kau 

bersabar! Karena masih ada hal penting di tempat ini....”

“Persetan dengan segala hal penting! Aku hanya ingin 

tahu di mana bangsat itu berada!”

“Sahabatku Nenek Selir. Jangan takut kalau kukatakan 

jika hal penting itu masih ada kaitannya dengan dirimu!”

“Setan! Kau tahu apa tentang diriku, hah?! Dalam hi-

dupku, hal yang paling penting adalah mencari sekaligus 

mencabut selembar nyawa jahanam itu!”

Paduka Seribu Masalah kembali perdengarkan tawa. 

“Sebenarnya aku takut mengatakannya. Tapi hari ini ter-

paksa kuberanikan diri. Semua ini kukatakan demi kebena-

ran dan tenteramnya arena negeri Tibet....”

“Kau terlalu sok tahu masalah orang!”

“Silahkan kau mau bilang apa. Yang jelas, bukankah se-

lama ini kau tengah mencari seseorang yang pernah lahir 

dari rahimmu?!”

Nenek Selir terdiam. Tegaknya tampak bergetar. Mulut-

nya komat-kamit namun tak perdengarkan suara. Sepasang 

matanya mendelik pada sosok Paduka Seribu Masalah. Lalu 

mengedar berkeliling.


“Sahabatku Nenek Selir.... Kau harus bersyukur. Karena 

mungkin segala yang jadi ganjalan hatimu selama ini akan 

terungkap!”

“Kau memang digelari orang Paduka Seribu Masalah! Se-

lama ini banyak orang mencarimu untuk bertanya! Tapi ha-

ri ini jangan berharap aku percaya dengan ucapanmu!”

“Aku tidak memintamu untuk percaya! Tapi jika nan-

tinya bukti yang akan mengungkapkan, apakah kau masih 

tidak akan percaya?!”

“Bukti apa yang akan kau ungkapkan, hah?!”

“Untuk hal itu sekali lagi waktunya akan tiba! Sekarang 

akan kita selesaikan dahulu urusan beberapa orang di tem-

pat ini!”

. “Urusan apa?! Urusan siapa?!” tanya si nenek dengan 

suara melengking.

“Kau dengar saja.... Nanti kau akan mengerti. Tapi harap 

nantinya kau tidak terkejut apalagi tidak percaya!”

Nenek Selir terdiam beberapa lama. Sebenarnya dia su-

dah tak sabar. Tapi entah karena apa, setelah berpikir se-

saat, nenek berselempang kain hitam ini perlahan-lahan 

surutkan langkah ke belakang.

Seakan dapat melihat gerakan orang, Paduka Seribu Ma-

salah segera putar duduknya menghadap Putri Pusar Bumi 

seraya berkata.

“Sahabatku Putri Pusar Bumi. Aku tidak punya banyak 

waktu. Harap segera kau mulai saja bicara!”

Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu arahkan pan-

dang matanya pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera.

“Ada urusan apa ini?!” Diam-diam Bidadari Tujuh Langit 

membatin. Hatinya jadi tak enak. Apalagi kini sepasang ma-

ta Putri Pusar Bumi menatap lekat-lekat ke arahnya.

Di lain pihak, Datuk Kala Sutera tidak begitu peduli 

dengan apa yang didengar dan tatapan Putri Pusar Bumi. 

Karena begitu melihat kemunculan Paduka Seribu Masalah, 

pemuda berjubah hitam ini jadi geram. Dalam hati dia ber


kata.

“Ternyata dia yang asli Paduka Seribu Masalah! Hem.... 

Dia telah menipuku dengan menunjuk orang lain sebagai 

Paduka Seribu Masalah!” Datuk Kala Sutera ingat akan per-

temuannya dengan Paduka Seribu Masalah beberapa hari 

berselang. Di mana saat itu Paduka Seribu Masalah tidak 

mau berterus terang mengatakan siapa dirinya. Malah ju-

stru saat itu Pendekar 131 yang mengaku sebagai Paduka 

Seribu Masalah.

“Bidadari Tujuh Langit....” Putri Pusar Bumi angkat sua-

ra setelah agak lama hanya diam dan pandangi sosok Bida-

dari Tujuh Langit. 

“Menurut kabar yang kudengar, kau mempunyai lima 

anak perempuan. Harap jujur jawab pertanyaanku. Benar 

atau tidak apa yang baru kukatakan?!”

Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar. “Apa maksud per-

tanyaan manusia satu Ini? Dia pernah punya silang sengke-

ta denganku pada beberapa puluh tahun silam. Apa ada 

hubungannya dengan urusan sengketa itu?!”

“Apa maksud pertanyaanmu?!” Bidadari Tujuh Langit 

balik bertanya.

“Aku hanya ingin membuktikan kebenaran berita itu!”

“Untuk apa?! Kalau kau ingin meneruskan sengketa la-

ma, kau tak usah membicarakan urusan itu!”

“Sengketa lama Itu telah kukubur dalam-dalam!”

“Kau takut?!” tanya Bidadari Tujuh Langit seraya terta-

wa.

“Waktu telah mengubah segalanya! Seandainya aku ma-

sih seperti pada beberapa puluh tahun silam, mungkin ti-

dak ada gunanya aku bicara denganmu! Yang akan bicara 

adalah kedua tanganku!”

“Hem.... Aku tak tahu pasti. Ucapanmu itu hanya karena 

takut menghadapiku atau....”

“Bidadari Tujuh Langit.... Kau telah dengar ucapanku. 

Aku tidak punya waktu banyak untuk duduk di tempat ini! 

Harap jawab saja apa yang ditanyakan padamu!” Yang per


dengarkan suara adalah Paduka Seribu Masalah.

“Aku tak punya urusan denganmu! Kalau kau tak punya 

waktu banyak, mengapa kau tidak segera angkat kaki dari 

tempat ini?!”

“Kepergiannya hanya akan membuatmu menyesal, Bida-

dari Tujuh Langit!” Kali ini Iblis Pedang Kasih yang bicara.

“Menyesal?!” Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang.

“Jangankan hanya pergi angkat kaki. Dia mampus pun 

aku tak akan merasa menyesal!”

“Harap jangan berdebat. Aku takut mendengarnya! Kalau 

memang dia tak mau jawab pertanyaan, untuk apa kita 

memaksa?! Bukankah dengan begitu dia akan lebih mende-

rita?! Karena selama hidupnya kelak dia tidak akan pernah 

tahu siapa anak-anak yang pernah dilahirkannya!”

“Jahanam! Apa kaitannya semua ini dengan ucapan-

mu?!” tanya Bidadari Tujuh Langit dengan melompat bebe-

rapa langkah.

“Jawab saja pertanyaanku dahulu. Nantinya kau akan 

mengerti!” Putri Pusar Bumi menyahut.

Bidadari Tujuh Langit tergagu diam. Matanya silih ber-

ganti memandang pada sosok Putri Pusar Bumi, Iblis Pe-

dang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah.

“Bidadari Tujuh Langit... Kau tak usah malu-malu men-

gatakannya! Semua ini demi kebaikanmu!” kata Putri Pusar 

Bumi.

“Aku memang memiliki lima orang anak perempuan!” 

Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut dengar suara 

bergetar.

“Kau tahu di mana mereka saat ini?!” tanya Putri Pusar 

Bumi.

Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. Sementara Datuk 

Kala Sutera tampak terkejut dan palingkan kepala pada Bi-

dadari Tujuh Langit. Diam-diam pemuda berjubah hitam ini 

membatin. “Aneh.... Sepertinya ada kesamaan antara aku 

dengan perempuan ini. Dia memiliki lima orang anak pe-

rempuan. Namun dia Juga tak tahu di mana beradanya


anak-anaknya! Herannya lagi, dia juga pernah sebut-sebut 

Istana Lima Bidadari.... Siapa perempuan ini sebenarnya?! 

Dia mengenakan salah satu cincin dari Sepasang Cincin 

Keabadian. Dia juga sempat kujumpai saat aku baru saja 

mendapatkan salah satu dari Sepasang Cincin Keabadian!”

Baru saja Datuk Kala Sutera membatin begitu, Putri Pu-

sar Bumi sudah perdengarkan suara lagi.

. “Bidadari Tujuh Langit.... Kau mengenal siapa adanya 

pemuda berjubah hitam itu?”

“Kalau kau belum tahu. Kau bisa menanyakan sendiri 

siapa dia!”

“Semua orang sudah tahu siapa nama pemuda itu! Yang 

kumaksud, apakah kau kenal lebih dari hanya sekadar na-

manya?!”

Bidadari Tujuh Langit tersenyum dingin. “Bagiku laki-

laki adalah sampah! Jadi jangan tanya apakah aku menge-

nalnya lebih dari sekadar nama!”

“Bidadari.... Aku tidak memaksamu. Tapi ada baiknya 

kau lihat sekali lagi wajah pemuda berjubah hitam itu. 

Mungkin kau akan ingat sesuatu....”

“Walau wajahmu penuh gumpalan daging dan siapa pun 

akan muak melihatnya, namun bagiku lebih baik melihat 

wajahmu daripada melihat tampang laki-laki itu! Tanpa ku-

beri tahu kau tentu sudah bisa menebak apa sebabnya! 

Hik.... Hik.... Hik...!”

“Ah.... Ah.... Jadi kau masih tertarik padaku?!” tanya Pu-

tri Pusar Bumi sambil dongakkan kepala lalu putar tubuh-

nya dengan pantat digoyang-goyang.

Bidadari Tujuh Langit putuskan tawanya. Lalu memben-

tak. 

“Jangan mengalihkan urusan! Kau telah bertanya ba-

nyak padaku. Sekarang jawab! Apa maksud semua perta-

nyaanmu tadi?!”

Putri Pusar Bumi hentikan gerakannya begitu lurus 

menghadap Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat suara.

“Pertanyaanku belum selesai! Dan kau tak usah khawatir. Setelah semua pertanyaanku terjawab, aku akan men-

gatakan apa maksud semua ini!” Putri Pusar Bumi melirik 

sesaat pada Bidadari Tujuh Langit. Lalu sambung ucapan-

nya.

“Kalau kau punya anak. Berarti kau pernah punya sua-

mi! Bisa mengatakan padaku siapa nama suamimu?!”

“Dengar telingamu! Bagiku laki-laki adalah sampah! Jika 

kau bertanya yang ada kaitannya dengan makhluk laki-laki, 

kau tak akan mendapat jawaban apa- apa!”

“Hem.... Jadi kau tidak kenal suamimu?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab. Sebaliknya melo-

tot dengan mulut terkancing rapat.

Putri Pusar Bumi nyengir. Lalu berpaling pada Iblis Pe-

dang Kasih dan berbisik.

“Pekerjaanku selesai! Sekarang tiba giliranmu!”

Iblis Pedang Kasih maju satu tindak. Sepasang matanya 

terarah pada Datuk Kala Sutera.

Menangkap gelagat jika Iblis Pedang Kasih hendak bicara 

dengan sang Datuk, Bidadari Tujuh Langit buru-buru men-

dahului.

“Aku tidak mau disela!”

“Bidadari Tujuh Langit!” kata Iblis Pedang Kasih. “Harap 

kau bersabar. Aku akan bicara dulu dengan pemuda itu!”

Tanpa menunggu sahutan orang, Iblis Pedang Kasih su-

dah ajukan tanya pada Datuk Kala Sutera.

“Datuk! Dari keterangan seorang sahabatku, kau tengah 

mencari lima orang anak-anakmu! Betul?!”

Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Sebaliknya 

arahkan pandang matanya pada Pendekar 131. Lalu beralih 

pada sosok Paduka Seribu Masalah. Kejap lain dia buka 

mulut.

“Aku akan jawab pertanyaanmu. Tapi aku minta jaminan 

kau nanti akan memberi keterangan yang benar!”

“Bukan hanya keterangan benar yang akan kau da-

patkan! Tapi lebih dari itu!” ujar Iblis Pedang Kasih.

“Hem.... Bagus! Jika nantinya ucapanmu dusta, jangan


mimpi kau bisa lolos dari tanganku seperti yang pernah ter-

jadi pada beberapa puluh tahun lalu!”

“Nyatanya kau masih ingat peristiwa itu....”

“Katakan. Pertanyaan apa lagi yang harus kujawab!” Da-

tuk Kala Sutera segera menyahut seolah tak sabar.

“Kau belum jawab pertanyaanku tadi....”

“Aku memang tengah mencari kelima anak-anak-

ku!”

“Kau tahu bagaimana raut wajah mereka?!”

“Aku meninggalkannya saat mereka masih bayi!”

“Kalau kau punya anak, pasti kau punya seorang istri 

yang melahirkan kelima anak-anakmu! Kau bisa mengata-

kan siapa istrimu?!”

“Aku tak bisa menjawab!”

Iblis Pedang Kasih tersenyum. 

“Mengapa?!”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu! Masih ada yang 

perlu kujawab?!”

“Kau mengenal siapa adanya perempuan berbaju putih 

berparas cantik jelita itu?!” Iblis Pedang Kasih arahkan 

pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.

“Menurut yang kudengar dia hanyalah seorang perem-

puan binal yang punya kelainan!”

Ucapan Datuk Kala Sutera bukannya membuat Bidadari 

Tujuh Langit marah. Sebaliknya perempuan ini tertawa 

panjang.

Iblis Pedang Kasih mundur satu tindak. Lalu berbisik 

pada Paduka Seribu Masalah.

“Sahabatku.... Sesuai perjanjian kita tadi, sekarang tiba 

giliranmu!”

“Hai! Kau ingat dengan jaminan tadi?!” Datuk Kala Sute-

ra berteriak.

“Aku masih ingat! Tapi harap kau tunggu dahulu. Saha-

batku ini akan bicara!”

“Bidadari Tujuh Langit.... Datuk Kala Sutera...!” Paduka 

Seribu Masalah sudah perdengarkan suara menyahut ucapan Iblis Pedang Kasih tanpa memberi kesempatan pada 

Datuk Kala Sutera untuk buka mulut.

“Menurut beberapa orang sahabatku, kalian berdua 

mengenakan Sepasang Cincin Keabadian. Kalian ingat ba-

gaimana hingga bisa mendapatkan cincin itu?!”

Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Sutera 

tidak ada yang buka mulut menjawab. Kedua orang ini 

hanya saling pandang sesaat.

“Baik! Itu urusan kalian... Tapi harap kalian tahu. Sepa-

sang Cincin Keabadian tak mungkin lepas dari pemiliknya 

secara satu-persatu! Dan ini menjadi satu petunjuk jika ka-

lian berdua pernah saling kenal tidak hanya sekadar nama! 

Bagaimana jawab kalian?!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

tidak ada yang menyahut. Namun diam-diam kedua orang 

ini coba mengingat. Hanya saja meski keduanya telah beru-

saha, mereka tidak ingat lagi apa yang pernah mereka la-

kukan!

“Kalian tidak ada yang menyahut. Mengapa?!” tanya Pa-

duka Seribu Masalah. 

“Kalian takut?!”

“Kau tadi bicara tak punya waktu banyak! Sekarang kau 

banyak mulut!” Bidadari Tujuh Langit membentak.

“Katakan saja terus terang! Ada apa ini sebenarnya!”

“Begitu maumu?! Baik.... Harap kalian berdua tidak ta-

kut mendengarnya! Sebenarnya kalian berdua adalah pa-

sangan suami-istri! Dan kalaupun sampai akhirnya kalian 

berdua tidak saling kenal, kalian tentu lebih tahu apa se-

babnya....”

***


ENAM


BIDADARI Tujuh Langit simak ucapan Paduka Seribu 

Masalah dengan kepala didongakkan. Sementara Datuk Ka-

la Sutera pandangi sosok sang Paduka dengan mulut ter-

kancing rapat. Mendadak Bidadari Tujuh Langit tertawa 

bergerai. Namun hanya sesaat. Kejap lain perempuan ini 

membentak dengan mata nyalang menatap sosok Paduka 

Seribu Masalah.

“Mulutmu lancang bicara! Kau sepertinya lebih tahu sia-

pa diriku daripada aku!”

“Bidadari Tujuh Langit.... Dalam hal ini, aku tidak takut 

mengatakan jika semua orang di daratan Tibet tahu kalau 

kau adalah istri Datuk Kala Sutera!”

“Aku tidak kenal dengan pemuda itu sebelum ini!”

“Bagaimana dengan dirimu, Datuk Kala Sutera?!” Padu-

ka Seribu Masalah bertanya pada sang Datuk yang sedari 

tadi hanya diam.

“Enam belas tahun lalu, aku memang pernah berjumpa 

dengannya! Tapi tidak lebih dari sekadar jumpa! Jadi ada-

lah lucu kalau kau mengatakan aku adalah suaminya! Apa-

lagi telingamu dengar sendiri. Perempuan itu lebih suka ja-

sad perempuan daripada sosok laki-laki!”

“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera! Kalian ten-

gah menjalani suratan hidup yang harus kalian terima apa 

pun kenyataannya! Kalian adalah pasangan suami-istri dan 

kalian memiliki lima orang anak perempuan! Dan harap ka-

lian tidak tersinggung kalau kukatakan, kalian tidak saling 

kenal karena ulah kalian sendiri pada masa enam belas ta-

hun silam! Saat mana kalian mendapatkan Sepasang Cin-

cin Keabadian dari tangan Dewi Keabadian!”

“Kau boleh bicara panjang lebar! Yang jelas aku tidak

pernah mengenalnya sebelum ini!”

“Sekarang masalahnya bukan mengenal atau tidak sebe-

lum ini! Kau mengatakan memiliki lima orang anak. Semen-

tara Datuk Kala Sutera juga tengah mencari lima orang


anaknya! Kalian juga mengenakan....”

“Cukup!” potong Bidadari Tujuh Langit. 

“Selama kau dikenal sebagai manusia yang tahu banyak 

masalah orang! Sekarang coba katakan di mana kelima 

anakku?!”

“Sebelum kujawab, aku minta kau memperhatikan keli-

ma gadis yang saat ini berada di tempat ini!”

Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala, Bi-

dadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan 

Dayang Tiga Purnama, serentak saling pandang satu sama 

lain dengan dada berdebar tidak enak.

Sementara Bidadari Tujuh Langit langsung sapukan 

pandangannya memperhatikan satu persatu kelima gadis di 

tempat itu. Datuk Kala Sutera ikut-ikutan gerakkan kepala 

memandang berganti-ganti.

“Apa pendapatmu?!” bertanya Paduka Seribu Masalah.

Bidadari Tujuh Langit kancingkan mulut tidak menja-

wab.

“Aku memang tidak pernah melihat mereka. Tapi dari 

beberapa orang sahabat, aku diyakinkan kalau wajah me-

reka hampir mirip! Benar?!”

Entah karena apa, walau tanpa buka mulut, Bidadari 

Tujuh Langit sambuti pertanyaan Paduka Seribu Masalah 

dengan anggukkan kepala.

“Bidadari Tujuh Langit! Seandainya saat ini kau bertemu 

dengan anak-anakmu, apakah ada sesuatu yang mem-

buatmu mengenalnya?!”

“Apakah mereka anak-anakku?!” Mendadak Bidadari Tu-

juh Langit ajukan tanya dengan suara sedikit bergetar.

“Aku tanya.. Seandainya saat ini kau bertemu dengan 

anak-anakmu, apakah ada sesuatu yang membuatmu men-

genal mereka?!” Paduka Seribu Masalah ulangi pertanyaan.

“Aku memberi tanda pada kelima anakku! Jadi meski 

aku tidak pernah bertemu, aku bisa mengenali mereka!”

Belum sampai ucapan Bidadari Tujuh Langit selesai, Pa-

duka Seribu Masalah putar duduknya menghadap Bidadari


Delapan Samudera. Si gadis jadi terkejut dan makin berde-

bar.

“Gadis cantik baju biru! Selama ini kau mencari seseo-

rang yang bisa membuka rahasia hidupmu. Kau tidak kebe-

ratan jika Bidadari Tujuh Langit....”

“Aku tidak sudi!” Bidadari Delapan Samudera sudah 

menukas. 

“Bukan dia yang bisa membuka rahasia hidupku! Tapi 

manusia berjubah hitam itu!” Tangan Bidadari Delapan 

Samudera menunjuk lurus pada Datuk Kala Sutera.

Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Lalu berucap 

lagi.

“Gadis baju hijau bernama Bidadari Pedang Cinta. Dan 

kau gadis baju ungu bernama Dayang Tiga Purnama…

Apakah kalian....”

Hanya sampai disitu ucapan yang terdengar dari Paduka 

Seribu Masalah. Karena hampir bersamaan Bidadari Pe-

dang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sudah buka mulut.

“Aku tak akan pernah percaya kalau dia adalah manusia 

yang melahirkanku!” kata Bidadari Pedang Cinta.

“Bukti apa pun yang akan diucapkan, aku tak akan per-

nah mau mengakui dia sebagai seorang ibu!” timpal Dayang 

Tiga Purnama.

Paduka Seribu Masalah gerak-gerakkan kepalanya di be-

lakang rangkapan kedua kakinya. Lalu putar duduknya 

menghadap Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala. Namun belum sampai dia perdengarkan suara, 

Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana su-

dah mendahului.

“Dia bukan saja tak layak dipanggil ibu. Tapi mampus 

pun sebenarnya masih tidak pantas!” kata Galuh Sembilan 

Gerhana.

“Bagi dia seharusnya malu untuk mencari anak-

anaknya!” sahut Galuh Empat Cakrawala.

“Aku tanya sekali lagi. Apakah mereka anak-anakku?!” 

tanya Bidadari Tujuh Langit sambil arahkan pandang matanya pada Paduka Seribu Masalah.

“Sebenarnya aku takut untuk mengatakannya. Tapi....”

“Aku tak ingin dengar alasan!”

“Mereka memang anak-anak yang pernah kau lahirkan!”

Tampang Bidadari Tujuh Langit berubah. Dia men-

dongak dengan perdengarkan gumaman tak jelas. Sementa-

ra semua orang di tempat itu terdiam tak ada yang buka 

suara atau membuat gerakan.

Namun keheningan itu hanya beberapa saat. Karena ti-

ba-tiba murid Pendeta Sinting yang sedari tadi diam simak 

perbincangan orang membuat gerakan berkelebat ke arah 

Pedang Keabadian.

Nenek Selir hanya bisa berteriak marah karena terlambat 

untuk membuat gerakan menghadang. Sementara Bidadari 

Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera buru-buru sentakkan 

tangan masing-masing.

Dua jengkal lagi tangan kanan Joko menyentuh kotak 

kuning berukir berisi Pedang Keabadian, mendadak ter-

dengar deruan gelombang angin dari arah samping.

Pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera 

langsung ambyar di tengah jalan tanpa perdengarkan leda-

kan! Sementara sosok murid Pendeta Sinting langsung ter-

jengkang dan bergulingan di atas tanah!

Semua orang terkesiap kaget. Semua kepala berpaling ke 

arah sumber datangnya gelombang yang mampu membuat 

buyar pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sute-

ra serta membikin sosok murid Pendeta Sinting terjengkang 

bergulingan.

Namun semua orang jadi terlengak kaget. Karena mereka 

tidak melihat siapa-siapa!

“Jahanam! Jangan-jangan ini ulah manusia bangsat 

Wang Su Ji! Bukankah Paduka Seribu Masalah mengata-

kan dia tidak berada jauh dari tempat ini?!” Nenek Selir 

menduga-duga. Dia pentang mata besar-besar lalu meman-

dang liar ke arah sumber datangnya gelombang angin. Tapi 

dia tetap tidak melihat siapa-siapa?


Selagi semua orang terkesima begitu rupa, Bidadari Tu-

juh Langit tidak buang kesempatan. Dia cepat melompat ke 

arah kotak kuning.

Datuk Kala Sutera tampaknya sudah bisa membaca ge-

lagat. Hingga begitu Bidadari Tujuh Langit melompat, pe-

muda berjubah hitam ini segera pula berkelebat memotong.

Bukk! Bukk!

Kedua kaki Bidadari Tujuh Langit berbenturan dengan 

sepasang kaki Datuk Kala Sutera. Sosok Bidadari Tujuh 

Langit langsung terjungkal roboh tidak jauh dari kotak 

kuning berukir. Sementara Datuk Kala Sutera terbanting 

menghantam tanah dua tombak dari sosok Bidadari Tujuh 

Langit.

Mungkin karena khawatir Bidadari Tujuh Langit segera 

menyambar kotak kuning di sebelahnya, Datuk Kala Sutera

segera bangkit. Sekali berkelebat, sosoknya sudah berada di 

hadapan Bidadari Tujuh Langit dengan kaki kanan mem-

buat sapuan menendangi

Wuutt!

Satu sinar hijau berkiblat ganas menyongsong kepala 

Bidadari Tujuh Langit yang berusaha bergerak.

Bidadari Tujuh Langit tersentak kaget. Terlambat ba-

ginya untuk angkat kaki kiri menghadang tendangan kaki 

kanan sang Datuk. Tapi perempuan ini berpikir cepat. Dia 

segera ulurkan tangan kanan ke arah gagang pedang pada 

kotak berukir yang menancap di atas tanah.

Walau sadar dirinya tidak mampu menahan hawa dingin 

pada kotak kuning dan belum tahu mengapa pada salah sa-

tu sisi kotak terdapat gagang pedang, namun sang Bidadari 

tampaknya maklum kalau kotak itu mengandung kekuatan. 

Hingga dengan salurkan hawa saktinya, dia teruskan gera-

kan tangan ke arah gagang pedang.

Untuk sesaat hawa dingin memang menyelimuti tangan-

nya. Namun Bidadari Tujuh Langit kuatkan diri. Dengan 

berteriak dia sentakkan tangannya ke atas.

Wuutt!


Terdengar suara berdesing. Tangan kanan Bidadari Tu-

juh Langit terangkat ke udara. Semua orang di tempat itu 

tercengang melihat bagaimana ternyata tangan kanan Bi-

dadari Tujuh Langit sudah memegang sebuah pedang putih 

berkilat!

Begitu tangannya terangkat, mendadak Bidadari Tujuh 

Langit berteriak lagi. Karena dia merasakan sekujur tubuh-

nya sudah regang kaku tak bisa digerakkan.

Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sempat terkesiap kare-

na bersamaan dengan terhunusnya pedang, dia merasakan 

sosoknya tersapu mental. Hingga tendangan kaki kanannya 

bukan saja tertahan di udara, namun juga tersurut.

Datuk Kala Sutera lipat gandakan tenaga dalam. Dia 

makin khawatir apalagi melihat Bidadari Tujuh Langit su-

dah memegang pedang. Hingga sambil lipat gandakan tena-

ga dalam, dia kembali sentakkan kaki kanannya.

Karena merasa sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa 

digerakkan, sementara tendangan kaki sang Datuk makin 

dekat, akhirnya tanpa banyak pikir lagi Bidadari Tujuh 

Langit babatkan pedang di tangan kanannya seraya dilepas.

Praass!

Datuk Kala Sutera menjerit seakan merobek langit. So-

soknya terhuyung ke belakang dengan bertumpu pada satu 

kaki. Karena kaki kanannya telah terputus sebatas perge-

langan dan kucurkan darah.

Pedang putih meluncur dan menancap di atas tanah. 

Sementara Bidadari Tujuh Langit terbanting lagi menghan-

tam tanah. Tapi bersamaan dengan itu hawa dingin yang 

sesaat tadi membuat sekujur tubuhnya kaku sirna seketi-

ka.

Datuk Kala Sutera memandang sesaat pada pergelangan 

kakinya. Lalu beralih pada putusan kakinya yang tergeletak 

tidak jauh dari menancapnya pedang. Saat berikutnya 

mendadak pemuda berjubah hitam ini melompat ke arah 

pedang putih berkilat.

Begitu tangan kanannya berhasil memegang gagang pe


dang, Datuk Kala Sutera cepat kerahkan hawa sakti untuk 

menahan hawa dingin. Lalu dengan bentakan garang dia 

sentakkan tangan kanannya.

Wuutt!

Pedang putih tercabut dari tanah terangkat ke udara 

perdengarkan desingan tajam.

Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun tiba-tiba ma-

tanya membeliak. Darahnya laksana sirap melihat bagai-

mana sekonyong-konyong Datuk Kala Sutera tahu-tahu su-

dah gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang ke 

arah kaki kirinya yang mengenakan cincin berwarna merah 

dari Sepasang Cincin Keabadian!

Dalam kagetnya, Bidadari Tujuh Langit masih sempat 

lepas pukulan ke arah Datuk Kala Sutera dengan sentak-

kan kedua tangan.

Dess! Craass!

Datuk Kala Sutera terpental dengan mulut perdengarkan 

seruan dan hamburkan darah. Karena pukulan Bidadari 

Tujuh Langit tepat menghantam sosoknya.

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit tercengang dalam 

beberapa saat. Namun saat lain perempuan ini menjerit 

tinggi.

Ketika pukulan Bidadari Tujuh Langit tepat menghantam 

sosok Datuk Kala Sutera, pemuda berjubah hitam ini cepat 

sentakkan pedang di tangan kanannya. Walau sosoknya 

sempat terpental, hebatnya pedang putih berkilat di 

tangannya terus menderu. Bidadari Tujuh Langit memang 

sempat sentakkan kaki kirinya untuk menghindari luncu-

ran pedang. Tapi luncuran pedang itu lebih cepat gerakan-

nya. Hingga meski Bidadari Tujuh Langit sudah sekuat te-

naga hindarkan kaki kirinya, namun tak urung pedang itu 

masih mampu membabat dan tepat membelah setengah te-

lapak kaki Bidadari Tujuh Langit!

Beberapa orang di tempat itu, terlebih murid Pendeta 

Sinting, sesaat tadi memang sudah hendak membuat gera-

kan melerai. Tapi karena cepatnya peristiwa, dan karena


khawatir dengan pedang yang telah berada di tangan orang, 

Joko jadi urungkan niat.

Sementara melihat apa yang terjadi, Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama-sama mem-

buat isyarat. Dendam dalam diri kedua gadis ini memang 

sudah tak bisa ditahan lagi. Hingga begitu melihat kesem-

patan, keduanya segera saling memberi isyarat. Kejap lain 

keduanya melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit.

Saat bersamaan, Bidadari Delapan Samudera yang men-

dapat pesan dari gurunya agar membunuh Datuk Kala Su-

tera tidak lama menunggu. Dia segera pula berkelebat ke 

arah sang Datuk.

“Harap tidak ada yang membuat gerakan!” Mendadak 

terdengar orang bersuara. Lalu dua gelombang mengham-

par. Satu menghantam pada sosok Bidadari Tujuh Langit. 

Satu lagi menyapu ke arah sosok Datuk Kala Sutera.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

serta Bidadari Delapan Samudera tidak ada yang hiraukan 

seruan orang. Ketiganya teruskan gerakan meski saat itu 

mereka tahu ada dua gelombang yang tengah memotong ge-

rakan mereka dan menghantam ke arah sosok Bidadari Tu-

juh Langit dan Datuk Kala Sutera.

Beberapa langkah lagi Galuh Sembilan Gerhana dan Ga-

luh Empat Cakrawala sampai di hadapan sosok Bidadari 

Tujuh Langit dan Bidadari Delapan Semudera mencapai so-

sok Datuk Kala Sutera, tiba-tiba ketiga gadis ini berseru te-

gang. Sosok ketiganya mental balik lalu sama jatuh terdu-

duk di atas tanah tersambar dua gelombang yang tengah 

menyapu ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kata 

Sutera!

Saat lain sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera terpelanting ke udara. Lalu secara aneh mendadak 

sosok keduanya tersapu ke arah satu jurusan sebelum ak-

hirnya jatuh punggung diatas tanah saling berdampingan!

***


TUJUH


ANEHNYA, semua orang di tempat itu tidak langsung in-

gin tahu siapa gerangan orang yang baru saja perdengarkan 

suara dan jelas baru saja lepas dua gelombang angin aneh 

yang membuat sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera jatuh berdampingan di seberang depan.

Sebaliknya semua mata terpaku pada sosok Bidadari Tu-

juh Langit dan Datuk Kala Sutera yang dengan sekuat te-

naga berusaha bangkit duduk.

“Gila! Apa mataku tidak salah lihat?!” Nenek Selir pen-

tangkan mata lalu kucek-kucek matanya dengan tangan 

kanan yang tidak menggenggam pedang. Saat lain kembali 

memelototi sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-

tera.

“Heran! Apa yang terjadi dengan mereka?!” Joko ikut 

bergumam. Lalu sapukan pandangan pada semua orang di 

tempat itu. 

“Mereka juga tampak terkejut! Berarti mataku tidak me-

nipu! Mereka juga melihat perubahan itu!”

Di seberang depan, begitu berhasil duduk, Bidadari Tu-

juh Langit segera berpaling. Dia sudah akan buka mulut. 

Namun tiba-tiba mulutnya terkancing kembali. Sepasang 

matanya melotot pada sosok Datuk Kala Sutera.

Di sebelahnya, sang Datuk segera pula menoleh begitu 

mampu bergerak duduk. Seperti halnya Bidadari Tujuh 

Langit, pemuda berjubah hitam ini buru-buru urungkan 

niat untuk buka mulut. Sebaliknya memandang lekat-lekat 

pada sosok Bidadari Tujuh Langit.

Secara aneh, dalam pandangan orang-orang di tempat 

itu, baik sosok Bidadari Tujuh Langit maupun sosok Datuk 

Kala Sutera perlahan-lahan berubah. Rambut hitam lebat 

milik kedua orang ini berubah menjadi hitam bercampur 

putih. Lalu kulit sekujur tubuh keduanya juga berubah 

berkerut-kerut. Dan hanya beberapa saat, sosok keduanya 

telah menjadi seorang laki-laki dan perempuan paruh baya!


“Aneh.... Mengapa dia berubah?!” Bidadari Tujuh Langit 

sempat menduga-duga. 

“Tapi mengapa dia memandangku begitu rupa?! Jangan-

jangan ada yang....” Sang Bidadari tidak lanjutkan guma-

mannya. Sebaliknya alihkan pandang matanya ke arah di-

rinya sendiri. Saat yang sama Datuk Kala Sutera juga 

memperhatikan dirinya.

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama-

sama berseru tegang. Keduanya hampir saja terlonjak jika 

saja tidak terdengar satu suara.

“Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera! Harap kalian 

tidak terkejut! Lebih lagi kuharap kalian masih mengenali-

ku!”

Satu sosok bayangan putih berkelebat dari arah mana 

tadi dua gelombang menyapu sosok Bidadari Tujuh Langit 

dan Datuk Kala Sutera. Lalu satu sosok tubuh tahu-tahu 

telah duduk berselonjor kaki sepuluh langkah di hadapan 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera.

Paduka Seribu Masalah renggangkan rangkapan kedua 

kakinya. Sementara semua orang di tempat itu segera alih-

kan pandang mata masing-masing pada orang yang baru 

muncul.

Mereka melihat seorang nenek berambut putih menge-

nakan pakaian putih. Kedua kakinya yang berselonjor tam-

pak terputus hingga nenek ini tidak memiliki telapak kaki.

“Kau tahu siapa nenek itu?!” Putri Pusar Bumi berbisik 

pada iblis Pedang Kasih.

Yang ditanya geleng kepala. “Aku tidak pernah bertemu 

dengan nenek itu! Mungkin sahabat kita Paduka Seribu 

Masalah bisa mengenalinya!”

Baru saja Iblis Pedang Kasih berucap begitu, nenek be-

rambut putih yang duduk berselonjor kaki berpaling pada 

Putri Pusar Bumi. Bibirnya tersenyum. Lalu terdengar dia 

berucap.

“Kita memang belum pernah bertemu. Tapi aku mungkin 

bisa mengenalimu. Bukankah kau Putri Pusar Bumi?!”


Belum sampai Putri Pusar Bumi menyahut, si nenek be-

rambut putih sudah alihkan pandangannya pada Iblis Pe-

dang Kasih seraya berkata.

“Dan kau, bukankah Iblis Pedang Kasih...?!”

Lagi-lagi belum sampai yang disapa angkat bicara, si ne-

nek sudah beralih memandang pada Paduka Seribu Masa-

lah sambil sambung ucapannya.

“Paduka Seribu Masalah.. Senang bisa Jumpa denganmu 

lagi. Maaf kalau aku tadi menyela pembicaraanmu!”

“Siapa dia?!” Iblis Pedang Kasih berbisik pada Paduka 

Seribu Masalah.

“Jangan bertanya... Aku tidak berani memberi kete-

rangan!”

Tanpa menunggu sahutan, si nenek segera gerakkan ke-

pala. Kini pandangan matanya tertuju pada sosok Pendekar 

131.

“Kuharap kau betah berada di negeri ini untuk sementa-

ra waktu, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng...

Walau kau harus menghadapi kenyataan yang mungkin be-

lum kau mengerti....”

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget mendapati orang 

telah tahu siapa dirinya. Hingga begitu si nenek selesai 

berucap, Joko buru-buru menjura hormat seraya berkata.

“Terima kasih kau telah mengenaliku. Namun kuharap 

kau tidak keberatan untuk mengatakan siapa dirimu....”

“Permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bukan sekarang! 

Nanti kau akan tahu sendiri!” kata nenek berselonjor kaki 

seraya berpaling pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Ka-

la Sutera.

“Sialan! Siapa nenek putih tak punya telapak kaki ini! 

Dia seolah memandang sebelah mata padaku!” Nenek Selir 

mendesis sendirian karena merasa tidak disapa oleh orang. 

“Jangan-jangan dia simpanan Wang Su Ji! Dia cemburu 

padaku lalu....”

Nenek Selir menyeringai. Saat lain dia edarkan pan-

dangan berkeliling lalu terhenti pada tempat dimana nenek


yang berselonjor kaki tadi melesat keluar. Karena tidak juga 

melihat tanda-tanda adanya orang, Nenek Selir tampaknya 

tidak sabar. Dia segera berkelebat lalu tegak tidak jauh dari 

nenek yang duduk selonjorkan kaki.

“Nenek Selir.... Ada apa?!”

Nenek Selir terperanjat mendapati nenek yang berselon-

jor kaki langsung bertanya dan dapat mengenali siapa 

adanya si nenek berselempang kain hitam ini.

“Kurang ajar betul! Dia juga telah mengenaliku! Pasti ja-

hanam laki-laki itu yang memberi tahu!” desis Nenek Selir 

dengan mata melotot. Lalu buka mulut dengan suara keras 

membahana.

“Kau siapa, hah?!”

“Mungkin kedua orang itu nanti bisa menjawab perta-

nyaanmu!”

“Aku ingin tahu dari mulutmu sendiri! Bukan dari mere-

ka!”

“Ah.... Sudahlah.... Tidak ada untungnya kita berdebat. 

Hanya kuharap kau tidak segera pergi dari tempat ini!”

“Jangan memberi aturan padaku! Pergi atau tidak, itu 

urusanku!”

Nenek berambut putih yang duduk berselonjor terse-

nyum. 

“Nenek Selir.... Kuminta waktu padamu. Aku ingin bicara 

dulu dengan kedua orang itu!”

Tanpa menunggu lagi, si nenek berambut putih berbaju 

putih sambungi ucapannya ditujukan pada Bidadari Tujuh 

Langit dan Datuk Kala Sutera.

“Bagaimana?! Kalian masih mengenaliku?!”

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera meman-

dang tanpa ada yang buka suara. Sebaliknya kedua orang 

ini membuat gerakan untuk bangkit berdiri meski mereka 

tahu jika salah satu kaki mereka telah putus dan kucurkan 

darah.

Tapi kedua orang ini jadi terkesiap mendapati bukan sa-

ja mereka tidak mampu untuk bergerak bangkit, namun juga tidak kuasa untuk alihkan pandang matanya dari sosok 

perempuan tua berambut putih yang duduk selonjorkan 

kaki!

“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera! Kalian tidak 

akan mampu bergerak bangkit jika belum jawab perta-

nyaanku!” Berkata nenek berambut putih.

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tersentak 

diam. Namun diam-diam keduanya sama kerahkan tenaga 

dalam.

Si nenek berambut putih tersenyum seraya gelengkan 

kepala. 

“Kalian telah terluka seperti yang kualami enam belas 

tahun silam.... Kalian ingat?!”

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera ter-

cengang. Bukan hanya karena ucapan orang, namun juga 

ternyata keduanya tidak mampu bergerak walau mereka te-

lah kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki!

“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Bidadari Tujuh Langit 

dengan suara serak parau.

“Malam itu kalian datang ke sebuah pulau sepi. Kalian 

menginginkan sesuatu yang semestinya bukan menjadi hak 

seorang manusia! Kalian ingin tetap hidup dengan tubuh 

tidak berubah selamanya....”

Nenek yang duduk selonjorkan kaki hentikan ucapannya 

sesaat. Lalu dongakkan kepala. Di depannya, Bidadari Tu-

juh Langit dan Datuk Kala Sutera kernyitkan dahi masing-

masing dengan mulut terbuka menganga tanpa perdengar-

kan suara.

“Malam itu...,” kata si nenek berambut putih berucap la-

gi. 

“Dengan licik kalian telah menipu seseorang dan bertin-

dak jahat padanya hanya gara-gara kalian menginginkan 

benda berupa sepasang cincin... Peristiwa itu terjadi enam 

belas tahun silam....”

“Dewi Keabadian!” hampir bersamaan Bidadari Tujuh 

Langit dan Datuk Kala Sutera bergumam.


“Syukur kalian masih mengingatnya... Sekarang kuharap 

kalian juga ingat siapa orang yang ada di samping kalian 

masing-masing....”

Entah karena apa, walau sebenarnya tidak ingin mem-

buat gerakan, namun seakan ada kekuatan dahsyat, kepala 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama berpal-

ing saling berhadapan!

Sementara mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit 

dan Datuk Kala Sutera yang mengucapkan nama si nenek, 

Nenek Selir tersurut kaget hingga melotot besar pandangi 

sosok orang di sampingnya lekat-lekat. Di lain pihak, Putri 

Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih saling berpandangan. 

Pendekar 131 ikut-ikutan terkejut lalu ikut pula arahkan 

matanya pada sosok nenek yang duduk berselonjor kaki.

Di depan, tiba-tiba baik Bidadari Tujuh Langit maupun 

Datuk Kala Sutera seakan tersadar dari lamunan panjang. 

Secara aneh, mereka mendadak dapat mengenali siapa 

adanya orang di hadapannya!

“Bidadari Tujuh Langit istriku...,” desis Datuk Kala Sute-

ra dengan suara seakan tercekat di tenggorokan.

“Kau.... Datuk Kala Sutera...!” gumam Bidadari Tujuh 

Langit setengah berbisik.

Seakan lupa pada keadaan masing-masing, Bidadari Tu-

juh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak hendak julur-

kan tangan. Namun keduanya tercengang ketika menyadari 

tangan mereka tak bisa digerakkan!

“Apa yang terjadi dengan diriku?!” gumam Bidadari Tu-

juh Langit seraya berpaling pada nenek yang duduk berse-

lonjor kaki dan bukan lain memang Dewi Keabadian. Se-

mentara Datuk Kala Sutera tergagu heran lalu perlahan-

lahan arahkan pandang matanya pula pada Dewi Keaba-

dian.

“Bidadari Tujuh Langit, Datuk Kala Sutera. Aku datang 

hanya untuk memperingatkan! Bahwa sebagai manusia bi-

asa, tidak layak untuk minta sesuatu yang bukan menjadi 

haknya! Keabadian hanya berhak dimiliki yang Maha Abadi!


Dan kalaupun ada Sepasang Cincin Keabadian yang me-

mang mampu membuat si pemakainya terlihat tetap awet 

muda dan tidak berubah, itu hanyalah bersifat sementara. 

Pada saatnya, si pemakai itu akan menuruti kodratnya un-

tuk kembali kehadapan Sang Pencipta dengan apa pun ja-

lannya! Dan satu hal lagi.... Setiap perbuatan, kelak pasti 

akan menumbuhkan hasil!”

Dewi Keabadian hentikan ucapannya sejenak. Lalu tarik 

kedua kakinya dan ditekuk membuat sikap seperti orang 

duduk bersila. Saat kemudian kembali dia berkata.

“Pada satu malam enam belas tahun silam, kalian ber-

dua telah memotong kedua kakiku untuk mengambil Sepa-

sang Cincin Keabadian. Hari ini, kalian berdua mendapat 

hasil apa yang telah kalian lakukan padaku! Mudah-

mudahan hal ini bisa kalian jadikan satu pelajaran berhar-

ga! Masih banyak waktu bagi kalian untuk menebus segala 

yang telah kalian lakukan!”

Seperti diketahui, pada enam belas tahun silam, Bidada-

ri Tujuh Langit bersama suaminya Datuk Kala Sutera seca-

ra licik telah memotong kedua kaki Dewi Keabadian karena 

keduanya menginginkan Sepasang Cincin Keabadian yang 

dikenakan pada ibu jari kedua kaki sang Dewi.

Begitu kedua kaki Dewi Keabadian putus, dan Sepasang 

Cincin Keabadian berpindah ke ibu jari kaki Bidadari Tujuh 

Langit dan Datuk Kala Sutera, sosok Dewi Keabadian yang 

sebelumnya terlihat cantik jelita berubah menjadi sosok 

seorang nenek-nenek.

Tapi sebelum Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Su-

tera berkelebat pergi, tiba-tiba kedua orang ini secara aneh 

tidak mampu meneruskan gerakan. Inilah kehebatan Dewi 

Keabadian. Dia mampu mengerahkan tenaga dalam untuk 

membuat sosok orang tidak mampu bergerak. Dan saat itu-

lah Dewi Keabadian mengucapkan kata-kata jika suatu saat 

kelak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera akan 

mengalami nasib yang sama seperti apa yang telah mereka 

lakukan pada sang Dewi. Dan lebih dari itu, keduanya akan


berubah! Mereka tidak akan saling mengenali satu sama 

lain! Bahkan mereka tidak akan mengenali siapa anak-anak 

mereka!

“Dewi.... Harap....”

“Bidadari Tujuh Langit!” Dewi Keabadian menukas uca-

pan Bidadari Tujuh Langit.

“Tidak perlu kau mengucapkan kata maaf! Semuanya 

sudah terjadi...!”

Habis berkata begitu, Dewi Keabadian putar diri. Saat 

lain dia berkelebat ke arah potongan telapak kaki kiri Bida-

dari Tujuh Langit dan pergelangan kaki kanan Datuk Kala 

Sutera yang masih tergeletak di atas tanah.

Begitu potongan kedua kaki itu berada di tangan, Dewi 

Keabadian segera lepaskan cincin berwarna merah pada ibu 

jari potongan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit dan cincin 

berwarna hijau pada ibu jari potongan kaki kanan Datuk 

Kala Sutera. Saat kemudian sang Dewi mengenakan kedua 

cincin yang dikenal dengan Sepasang Cincin Keabadian itu 

pada ibu jari kedua tangannya sambil duduk bersila. Begitu 

Sepasang Cincin Keabadian masuk pada kedua ibu jari tan-

gan Dewi Keabadian, secara perlahan-lahan sosok sang 

Dewi berubah. Rambutnya yang putih berubah jadi hitam 

lebat. Kulitnya yang pucat keriput menjadi putih kencang. 

Hingga dalam beberapa saat saja sosoknya yang tadi seperti 

nenek-nenek telah berganti menjadi sosok gadis muda ber-

paras cantik jelita!

Semua orang di tempat itu sempat terlengak. Dan belum 

sampai ada yang buka suara, Dewi Keabadian telah putar 

duduknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata.

“Pendekar 131! Kutitipkan Pedang Keabadian padamu!”

“Dewi... Rasanya aku tak sanggup!” Pendekar 131 segera 

menyahut ingat jika dia tidak mampu menahan hawa 

dingin yang dipancarkan Pedang Keabadian. Dewi Keaba-

dian tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kedua tangannya lalu 

didorong ke arah Joko!


DELAPAN


KARENA tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang, 

Pendekar 131 sempat terkejut dan cepat-cepat berkelebat 

hindarkan diri, walau dari dorongan kedua tangan Dewi 

Keabadian tidak terdengar adanya deruan atau berkiblatnya 

gelombang angin.

Namun belum sampai Joko bergerak lebih jauh, dia me-

rasakan sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa digerak-

kan! Saat bersamaan dia merasakan aliran hawa dingin 

menusuk hingga untuk beberapa saat sosok murid Pendeta 

Sinting menggigil dan terhuyung-huyung.

Di seberang depan, Dewi Keabadian tarik pulang kedua 

tangannya. Hawa dingin dan huyungan sosok Pendekar 131 

terhenti seketika.

“Ambil pedang Itu, Pendekar 131!” Dewi Keabadian beru-

cap.

Joko menghela napas. Matanya memandang beberapa 

saat dengan pandangan bimbang. Tapi dia merasakan satu 

keanehan. Mendadak ada satu dorongan yang membuat 

kedua kakinya bergerak melangkah meski sebenarnya dia 

belum berniat untuk bertindak!

“Ambil pedang itu, Pendekar 131!” Kembali Dewi Keaba-

dian berkata saat langkah-langkah Joko mendekati Pedang 

Keabadian yang masih berada di atas tanah.

Apa yang dilakukan sang Dewi membuat Joko sadar jika 

perempuan itu tidak berniat jahat. Maka dengan tangan se-

dikit bergetar, Joko bungkukkan tubuh. Lalu perlahan-

lahan tangan kanannya dijulurkan ke arah pedang.

Sesaat murid Pendeta Sinting masih terlihat ragu-ragu, 

khawatir masih belum mampu untuk kuasai hawa dingin 

yang memancar dari Pedang Keabadian. Hingga dia diam-

diam kerahkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin. 

Lalu teruskan gerakan tangan kanan.

Ketika tangan kanannya menyentuh Pedang Keabadian, 

sesaat hawa dingin memang masih terasa menjalar pada


tangannya. Namun cuma sekejap. Saat lain Joko sudah ti-

dak lagi merasakan hawa dingin. Hingga dengan tenang Jo-

ko mengambil Pedang Keabadian. Lalu melangkah ke arah 

kotak kuning berukir yang masuk amblas ke dalam tanah 

tidak jauh dari tergeletaknya Pedang Keabadian.

Kotak kuning berukir dicabut dengan tangan kiri. Lalu 

perlahan-lahan ujung Pedang Keabadian dimasukkan ke 

dalam lobang yang ada pada salah satu sisi kotak kuning 

berukir.

Untuk beberapa saat semua mata yang ada di tempat itu 

memandang tak berkesip. Mereka seolah hampir tak per-

caya jika kotak berukir yang hanya dua jengkal itu mampu 

menahan panjangnya tubuh pedang.

Begitu ujung pedang sudah masuk, Dewi Keabadian 

arahkan pandang matanya pada Putri Pusar Bumi, Iblis Pe-

dang Kasih, dan Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk 

rangkapkan kaki.

“Sahabat sekalian. Sebenarnya aku masih ingin berbin-

cang dengan kalian. Namun rasanya waktunya kurang baik.

Mudah-mudahan kita kelak akan dipertemukan lagi!”

Habis berucap begitu, Dewi Keabadian putar pandangan 

ke arah sosok Nenek Selir dan berkata.

“Nenek Selir... Maaf kalau aku tidak bisa membicarakan 

urusanmu. Tapi aku percaya. Apa yang selama Ini menjadi 

ganjalan hidupmu akan segera berakhir!”

Sebenarnya si nenek akan buka mulut. Namun sebelum 

suaranya terdengar, Dewi Keabadian sudah putar duduk-

nya menghadap Pendekar 131 dan berucap.

“Pendekar 131! Sekali lagi kutitipkan Pedang Keabadian 

padamu! Pergunakan pedang itu sebagaimana mestinya! In-

gat... Pedang itu hanya titipan... Mungkin satu hari kelak 

pedang itu harus rela kau serahkan pada orang lain!”

Joko anggukkan kepala. 

“Terima kasih, Dewi....”

Dewi Keabadian tersenyum. Lalu putar pandangan ber-

keliling ke arah Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat


Cakrawala, Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Sa-

mudera, dan Dayang Tiga Purnama.

“Gadis-gadis cantik... Aku tidak bisa memberikan penje-

lasan panjang lebar. Aku hanya berpesan agar kalian mau 

menerima suratan kenyataan ini dengan lapang dada dan 

tabah! Kalian tidak bersalah dalam hal ini! Dan kalian ha-

rap menerima apa adanya Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera! Siapa pun mereka adanya, apa pun yang me-

reka lakukan, terimalah mereka sebagai manusia yang telah 

melahirkan kalian berlima!”

Dewi Keabadian rangkapkan kedua tangannya. Lalu 

edarkan pandangan sekali lagi pada semua orang yang ada 

di tempat itu.

“Aku harus segera pergi....”

“Tunggu!” Nenek Selir menahan seraya melompat ke ha-

dapan Dewi Keabadian.

“Nenek Selir!” Dewi Keabadian sudah mendahului berka-

ta sebelum si nenek sempat angkat suara. Siapa yang kau 

cari tidak jauh dari tempat ini! Percayalah dia akan muncul 

menemuimu dan menyelesaikan urusannya! Hanya satu hal 

yang dapat kukatakan. Jangan terburu mengambil keputu-

san! Karena kau masih ada hubungannya dengan peristiwa 

di tempat ini!”

Si nenek tersentak kaget. 

“Apa hubungannya?!”

“Orang yang selama ini kau cari ada di tempat ini!”

“Aku sudah tahu! Aku sudah mencium bau bangkainya!” 

sahut Nenek Selir.

Dewi Keabadian geleng kepala. 

“Maksudku bukan orang yang selama ini kau cari untuk 

membalas dendam. Tapi darah dagingmu sendiri yang hi-

lang dari tanganmu pada beberapa puluh tahun silam!”

Nenek Selir tegak dengan sosok bergetar dan mulut 

ternganga. Tanpa sadar sepasang matanya liar mengedar 

berkeliling.

“Yang dimaksud perempuan ini pasti anakku! Tapi yang


mana...?! Menurut ucapannya, kelima gadis di tempat ini 

adalah anak-anak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera. Sementara sudah tidak ada perempuan lain yang

sepertinya pantas menjadi anakku!” Diam-diam Nenek Selir 

membatin. Saat itulah pandang matanya tertumbuk pada 

sosok Bidadari Tujuh Langit. Dada si nenek jadi berdebar 

tidak enak. 

“Mungkinkah...? Mungkinkah dia?! Tapi tak mungkin....” 

Kepala si nenek bergerak menggeleng. Lalu berpaling pada 

Dewi Keabadian dan berkata dengan suara tersendat parau.

“Dewi.... Kalau yang kau maksud ucapanmu adalah 

anakku, harap tunjuk yang mana!”

Dewi Keabadian gelengkan kepala. 

“Sebagai orang yang telah melahirkan, firasatmu sudah 

dapat menebak. Lain daripada itu, kau tentu memiliki se-

suatu yang tidak bisa kau lupakan dari darah daging yang 

telah kau lahirkan!”

Habis berkata begitu, Dewi Keabadian membuat gerakan 

memutar duduknya. Mula-mula pelan. Namun makin lama 

putaran tubuhnya makin kencang hingga hanya beberapa 

saat sosoknya hanya merupakan putaran bayang-bayang. 

Kejap lain bayangan sosok Dewi Keabadian melesat dan le-

nyap dari tempat itu!

“Sialan betul! Dia tinggalkan tempat ini dengan meng-

gantung masalah! Tapi aku memang memiliki sesuatu yang 

tak bisa kulupakan dari tubuh anakku!” desis Nenek Selir 

seraya memperhatikan kelebatan sosok bayangan Dewi 

Keabadian.

Hanya beberapa saat setelah lenyapnya sosok bayangan 

Dewi Keabadian, mendadak Putri Pusar Bumi angkat suara 

seraya arahkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama.

“Cucuku.... Kau telah dengar sendiri ucapan Dewi Kea-

badian! Sekali lagi kuharap kau mau menerima kenyataan 

ini! Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera adalah 

orangtuamu! Enam belas tahun silam aku mengambilmu 

dari Lima Istana Bidadari, tempat tinggal kedua orangtua


mu!”

“Cucuku Bidadari Pedang Cinta....” Kali ini Iblis Pedang 

Kasih yang menyahut seraya arahkan matanya pada Bida-

dari Pedang Cinta. 

“Enam belas tahun lalu, aku juga mengambilmu dari Is-

tana Lima Bidadari! Jadi terimalah Bidadari Tujuh Langit 

dan Datuk Kala Sutera sebagai kedua orang yang telah me-

lahirkanmu ke atas dunia!”

Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta sama 

berpaling pada Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih. 

Lalu saling berpandangan satu sama lain. Mereka berdua 

seolah masih belum percaya dengan keterangan Dewi Kea-

badian dan ucapan yang baru didengarnya. Kedua gadis ini 

seakan masih tak mau bergeming dengan kenyataan diha-

dapan mereka apalagi jika ingat akan tindakan Bidadari Tu-

juh Langit yang pernah hendak melakukan tindakan tidak 

senonoh pada mereka.

Sementara diseberang depan, begitu sosok bayangan 

Dewi Keabadian lenyap, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk 

Kala Sutera sama arahkan pandang mata masing-masing 

pada kelima gadis yang berada di tempat itu. Lalu begitu 

mendengar ucapan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Ka-

sih, keduanya serta merta arahkan pandang mata masing-

masing pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang 

Cinta.

Bidadari Tujuh Langit menghela napas panjang. Lalu 

terdengar dia berucap.

“Bidadari Pedang Cinta... Dayang Tiga Purnama... Dari 

keterangan Dewi Keabadian dan Putri Pusar Bumi serta Ib-

lis Pedang Kasih, aku percaya jika kalian berdua adalah 

dua dari kelima anakku... Tapi percayalah! Aku tidak mera-

sa kecewa jika kalian berdua tidak mau mengakui aku dan 

Datuk Kala Sutera sebagai orangtuamu! Karena kami ber-

dua memang tidak pantas dikatakan sebagai orangtua!” Bi-

dadari Tujuh Langit hentikan ucapannya. Sepasang ma-

tanya terlihat berkaca-kaca.


“Aku dan Datuk Kala Sutera tidak akan ingkari kenya-

taan! Kami berdua memang telah bertindak licik dan jahat! 

Kami berdua terlalu serakah untuk mencari sesuatu yang 

memang bukan semestinya menjadi hak kami! Hingga aki-

batnya bukan saja kami berdua yang harus menanggung 

akibatnya, tapi kalian berdua juga harus menerima pahit-

nya... Kuharap kalian berdua mau memaafkan kami....”

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendongak. 

Kedua bahunya tampak berguncang keras. Lalu terdengar 

isakannya. Saat kemudian dia luruskan kepala memandang 

silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga 

Purnama. Tanpa pedulikan kaki kirinya yang kucurkan da-

rah dan luka dalam yang dideritanya, perempuan yang kini 

telah berubah menjadi sosok seorang wanita paruh baya ini 

bergerak merangkak ke arah Bidadari Pedang Cinta. Aneh-

nya, kalau sesaat tadi dia laksana tegang kaku tak bisa 

bergerak saat Dewi Keabadian berkata, kini dia kembali da-

pat menggerakkan anggota tubuhnya!

Semua orang yang ada di tempat itu tegak tanpa ada 

yang buka suara atau membuat gerakan. Mata mereka ter-

tuju pada gerakan Bidadari Tujuh Langit yang terus me-

rangkak perlahan-lahan ke arah Bidadari Pedang Cinta.

Begitu lima tindakan di hadapan Bidadari Pedang Cinta, 

mendadak Bidadari Tujuh Langit melompat lalu jatuhkan 

diri di kaki Bidadari Pedang Cinta.

“Anakku....” Suara Bidadari Tujuh Langit laksana teng-

gelam dalam isakan tangisnya. Kedua tangannya pegangi 

pergelangan kedua kaki Bidadari Pedang Cinta. “Terakhir 

kalinya aku minta maaf padamu... Karena setelah ini kema-

tian adalah hal terbaik yang akan kuambil.... Manusia se-

pertiku tidak layak lagi berada di atas dunia apalagi harus 

berhadapan dengan anak-anak yang kulahirkan tapi harus 

menerima derita sengsara akibat ulahku... Aku malu den-

gan apa yang pernah kulakukan padamu... Aku sekarang 

pasrahkan diri padamu... Seandainya kau mau, aku minta 

tanganmulah yang mengakhiri hidupku agar terlepas beban


deritaku ini...”

Bidadari Pedang Cinta mula-mula tidak bergeming den-

gan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Malah gadis Ini sempat 

hendak lepaskan dan tarik mundur kedua kakinya yang di-

pegang Bidadari Tujuh Langit.

“Anakku... Kedua tanganku memang sudah tak pantas 

membelaimu... Tapi izinkanlah untuk terakhir kalinya aku 

memegang kedua kakimu...” Bidadari Tujuh Langit eratkan 

pegangannya pada kedua pergelangan kaki Bidadari Pedang 

Cinta. Saat kemudian dia sorongkan wajahnya lalu menci-

umi kedua kaki Bidadari Pedang Cinta dengan hamburkan 

tangis.

Bagaimanapun tegar dan kokohnya hati Bidadari Pedang 

Cinta, melihat apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit, 

perlahan-lahan hati gadis ini luluh juga. Dia tengadahkan 

kepala dengan mata dipejamkan. Lalu tekuk kedua kakinya 

dan bergerak melorot ke bawah dengan bahu berguncang 

dan sosok bergetar menahan tangis.

Bidadari Pedang Cinta ulurkan kedua tangannya men-

gambil kepala Bidadari Tujuh Langit lalu diangkat tenga-

dah. Saat kemudian dia bungkukkan wajah lalu menciumi 

wajah Bidadari Tujuh Langit dengan mata berlinang dan 

berkata terisak.

“Ibu....” Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Bi-

dadari Pedang Cinta meski sebenarnya mulutnya masih 

terbuka hendak mengucapkan kata-kata selanjutnya.

Melihat apa yang terjadi, tampaknya Dayang Tiga Pur-

nama tak bisa menahan diri. Dia berlari menghampiri Bida-

dari Tujuh Langit yang masih saling berciuman dengan Bi-

dadari Pedang Cinta. Lalu ikut jatuhkan diri dan berkata.

“Ibu... Aku mohon maaf... Aku...” Belum sampai sua-

ranya berlanjut, tangisnya sudah menghambur.

Bidadari Tujuh Langit tarik pulang wajahnya dari wajah 

Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga 

Purnama. Saat kemudian kedua orang ini sudah saling ber-

pelukan dengan terisak-isak tanpa ada yang sempat buka


suara.

Ketika Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama 

saling berpelukan, di seberang sana Datuk Kala Sutera 

tampak mendongak dengan sosok bergetar.

Sepasang matanya terpejam rapat. Walau laki-laki ini ti-

dak perdengarkan tangisan, tapi sikapnya jelas jika dia ten-

gah menahan diri. Kejap lain pemuda berjubah hitam yang 

kini telah berubah menjadi laki-laki paruh baya ini lu-

ruskan kepalanya memandang ke arah Bidadari Tujuh Lan-

git. Lalu perlahan-lahan menoleh pada Bidadari Delapan 

Samudera yang tegak dengan menghela napas panjang be-

rulang kali.

Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera membuat gerakan 

seperti orang hendak merangkak. Lalu bergerak ke arah Bi-

dadari Delapan Samudera. Namun baru mendapat bebera-

pa langkah, Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat 

menghambur ke arah Datuk Kala Sutera dan tegak dua 

langkah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca dan ba-

hu berguncang keras.

“Anakku....” Datuk Kala Sutera sekuat tenaga coba buka 

mulut seraya duduk tatapi sosok Bidadari Delapan Samu-

dera. 

“Kau menginginkan nyawaku bukan?! Lakukanlah apa 

yang ingin kau lakukan!” Datuk Kala Sutera pejamkan se-

pasang matanya. 

“Dosa yang kulakukan telah melampaui batas... Aku bu-

kan saja telah membuatmu menderita. Namun juga telah 

membunuh orang yang mengasuhmu... Pantas kalau tan-

ganmulah yang berhak untuk menghabisiku...”

Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala. Mulutnya 

sudah terbuka. Namun justru bukan suara yang kemudian 

terdengar sebaliknya isakan tangis. Lalu kejap lain Bidadari 

Delapan Samudera sudah menghambur ke arah Datuk Kala 

Sutera dan merangkulnya dengan berbisik.

“Ayah....” Bidadari Delapan Samudera tak kuasa lan-

jutkan ucapan. Sementara Datuk Kala Sutera perlahan


lahan buka sepasang matanya. Melihat Bidadari Delapan 

Samudera telah rangkul tubuhnya, laki-laki ini tak mampu

lagi menahan diri. Sepasang matanya berlinang dengan ke-

dua tangan bergerak membalas rangkulan Bidadari Dela-

pan Samudera.

“Terima kasih kau masih mau menyebutku sebagai Ayah 

meski sebenarnya hal itu tak pantas kuterima dan keluar 

dari mulutmu....”

“Ayah... Jangan ucapkan kata-kata itu lagi... Sekarang 

kau harus menemui Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Ti-

ga Purnama...”

Habis berbisik begitu, tiba-tiba Bidadari Delapan Samu-

dera bergerak bangkit. Saat kemudian dia angkat sosok Da-

tuk Kala Sutera. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke 

arah bidadari Tujuh Langit yang masih berpelukan dengan 

Dayang Tiga Purnama.

Belum sampai langkah Bidadari Delapan Samudera 

mendekati tempat Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang 

Cinta sudah berpaling. Kejap lain gadis berbaju hijau ini 

bangkit lalu menghambur menyongsong sosok Datuk Kala 

Sutera yang berada dalam bopongan Bidadari Delapan Sa-

mudera. Saat kemudian terdengar lagi isakan tangis Bida-

dari Pedang Cinta begitu dia merangkul sosok Datuk Kala 

Sutera yang sudah didudukkan oleh Bidadari Delapan Sa-

mudera.

Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama cepat 

menoleh. Melihat apa yang terjadi, kedua orang segera le-

paskan pelukan masing-masing lalu laksana terbang. 

Dayang Tiga Purnama sudah melompat dan ikut memeluk 

sosok Datuk Kala Sutera. Sementara Bidadari Tujuh Langit 

merangkak menghampiri.

Begitu dekat, Bidadari Delapan Samudera segera me-

nyongsong lalu memeluk Bidadari Tujuh Langit. Hingga un-

tuk beberapa saat tempat itu hanya dipenuhi dengan suara 

isakan tangis.

Agak jauh di sebelah samping, Galuh Sembilan Gerhana


dan Galuh Empat Cakrawala pandang berlama-lama tanpa 

ada yang buka mulut. Mereka berdua seolah tidak percaya 

dengan apa yang dilihat dan didengar. Hingga pada satu 

saat, Galuh Sembilan Gerhana berbisik pada Galuh Empat 

Cakrawala.

“Rasanya aku belum percaya dengan kejadian ini! Mung-

kinkah benar?!”

“Jangan bertanya padaku... Aku sendiri masih tak bisa 

membayangkan... Bagaimana sikap kita seandainya dia be-

nar-benar orangtua kita?! Padahal...” Galuh Empat Cakra-

wala tak mampu lanjutkan gumaman. Sebaliknya berpaling 

ke jurusan lain dengan mata berkaca-kaca. Dia teringat ba-

gaimana dia telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh 

Bidadari Tujuh Langit.

“Tidak!!!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak 

histeris. Kedua tangannya diangkat ditakupkan pada wa-

jahnya.

Teriakan Galuh Empat Cakrawala membuat Bidadari Tu-

juh Langit lepaskan pelukan dari Bidadari Delapan Samu-

dera. Lalu berpaling pada Galuh Empat Cakrawala dan Ga-

luh Sembilan Gerhana.

Sosok Bidadari Tujuh Langit terlihat bergetar hebat. Dia 

seolah tahu apa yang dirasakan Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala. Hingga setelah memejamkan 

sepasang matanya, dia merangkak mendekati kedua gadis 

itu.

“Galuh Empat Cakrawala... Galuh Sembilan Gerhana...

Tak ada ucapan yang pantas kalian dengar dari mulutku...

Bahkan tidak ada maaf yang layak kalian berikan pada-

ku...”

Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya begitu 

berhenti tiga langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala. Sepasang matanya dibuka la-

lu memandang beberapa saat silih berganti pada kedua ga-

dis di hadapannya.

“Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...


Aku memang telah bertindak yang mungkin tidak bisa di-

maafkan! Tapi kuharap kalian tidak segan mengakui Datuk 

Kala Sutera sebagai ayah kalian...”

Habis berucap begitu, mendadak Bidadari Tujuh Langit 

hantamkan kedua tangannya ke arah kepalanya!

“Ibu!” Bidadari Delapan Samudera berteriak seraya me-

lompat dan menahan gerakan kedua tangan Bidadari Tujuh 

Langit yang hendak menghantam kepalanya sendiri.

“Anakku Bidadari Delapan Samudera...,” ucap Bidadari 

Tujuh Langit seraya pandangi sosok Bidadari Delapan Sa-

mudera yang tegak disampingnya. Kepalanya menggeleng

“Aku malu dengan apa yang telah kulakukan pada kedu-

anya... Aku... Aku...” Bidadari Tujuh Langit tidak mampu 

lagi lanjutkan ucapan. Sebaliknya coba gerakkan lagi kedua 

tangannya yang ditahan Bidadari Delapan Samudera.

“Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...” 

Berkata Bidadari Delapan Samudera dengan suara seten-

gah berbisik. 

“Kalau kalian masih mau mengakui aku sebagai sauda-

ra, kuharap kalian mau menerimanya sebagai Ibu, meski

apa pun tindakan yang telah dilakukannya pada kalian...”

Galuh Empat Cakrawala berpaling dengan mata berkaca-

kaca dan dipentang besar-besar. Lalu melangkah satu tin-

dak menghampiri Bidadari Tujuh Langit.

***

SEMBILAN



“KAU bisa berkata begitu karena kau tidak merasakan 

derita aib yang telah kualami!” Galuh Empat Cakrawala 

berteriak seraya menunjuk pada Bidadari Delapan Samude-

ra.

“Anakku Bidadari Delapan Samudera... Apa yang di-

ucapkannya memang benar. Aku telah melakukan tindakan 

hitam yang rasanya sulit untuk dihapus! Begitu hitamnya

tindakan yang telah kulakukan, ucapan pembelaan pun ra-

sanya sudah tidak pada tempatnya lagi! Semua sudah te-

lanjur terjadi... Dan ini semua memang karena aku sudah 

tenggelam dalam angkara nafsu. Sebenarnya aku ingin hi-

dup lebih lama lagi apalagi aku telah menemukan kembali 

apa yang sudah hilang dari tanganku enam belas tahun la-

manya. Namun kalau tewas lebih diinginkan oleh Galuh 

Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana, aku den-

gan senang hati akan menyerahkan diri pada mereka... 

Aku maklum, tewasnya diriku mungkin belum sebanding

dengan aib yang telah kucorengkan. Tapi di atas semua itu, 

aku masih bersyukur. Karena pada akhirnya aku bisa ber-

temu kembali dengan anak-anakku...”

Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada 

Galuh Empat Cakrawala yang tegak dua tindak dihadapan-

nya.

“Galuh Empat Cakrawala... Aku siap menghadapi apa 

yang akan kau lakukan... Ayo, lakukanlah anakku... Mam-

pus di tanganmu kurasa lebih baik...” Bidadari Tujuh Lan-

git tersenyum seraya anggukkan kepala.

Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Da-

tuk Kala Sutera saling lepaskan rangkulan. Lalu meman-

dang pada Bidadari Tujuh Langit dan Galuh Empat Cakra-

wala. Sementara semua orang ditempat itu juga sama tuju-

kan pandangan ke satu arah dengan dada berdebar.

“Galuh Empat Cakrawala... Harap kau tidak bimbang,

Percayalah, kau tidak salah jika membunuhku... Lakukan-

lah, Nak...”

Galuh Empat Cakrawala gigit bibirnya sendiri. Sosoknya 

bergetar. Dia pandangi lekat-lekat sosok Bidadari Tujuh 

Langit. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Bidadari 

Delapan Samudera saling pandang.

“Anakku... Sekiranya...” Hanya sampai disitu ucapan Bi-

dadari Tujuh Langit. Karena mendadak saja Galuh Empat 

Cakrawala melompat ke hadapan Bidadari Tujuh Langit dan 

memeluk tubuhnya dengan tangis melengking.


Sesaat tadi Bidadari Delapan Samudera sempat mem-

buat gerakan berjaga-jaga takut Galuh Empat Cakrawala 

turunkan tangan kasar lakukan ucapan Bidadari Tujuh 

Langit. Dia lepaskan kedua tangannya yang sedari tadi me-

nahan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Lalu diam-diam 

kerahkan tenaga dalam untuk menghadapi segala kemung-

kinan.

Tapi begitu mendapati apa yang dilakukan Galuh Empat 

Cakrawala, Bidadari Delapan Samudera cepat surutkan 

langkah satu tindak dengan mata berlinang. Sementara Ga-

luh Sembilan Gerhana segera berlari lalu ikut memeluk so-

sok Bidadari Tujuh Langit!

Untuk beberapa saat kembali tempat itu dipecah dengan 

isak tangis dan helaan-helaan napas panjang.

“Anak-anakku... Mari kita bergabung dengan mereka...” 

Datuk Kala Sutera berbisik pada Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama.

Tanpa perdengarkan sahutan, Bidadari Pedang Cinta 

dan Dayang Tiga Purnama segera membopong sosok Datuk 

Kala Sutera lalu melangkah mendekati Bidadari Tujuh Lan-

git yang tengah bertangis-tangisan dengan Galuh Empat 

Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana.

“Terima kasih, Anak-anakku...” Bidadari Tujuh Langit 

berucap dengan suara tersendat serak. 

“Di akhir usiaku ini, aku Ingin menghabiskan dengan 

mensucikan diri dan merawat kalian... Aku ingin menebus 

apa yang selama ini tidak kulakukan sebagai seorang ibu...”

“Dan sejak hari ini, kuharap tidak ada lagi kata berpisah 

diantara kita!” Tiba-tiba Datuk Kala Sutera yang sudah ti-

dak jauh dari Bidadari Tujuh Langit menyahut.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

berpaling. Saat berikutnya kedua gadis ini bangkit lalu 

menghampiri Datuk Kala Sutera. Sang Datuk tersenyum se-

raya lebarkan kedua tangannya.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

bungkukkan tubuh lalu keduanya masuk dalam rengkuhan


kedua tangan Datuk Kala Sutera tanpa ada yang buka sua-

ra.

***

Yang paling resah dan gelisah melihat pemandangan ber-

temunya anak dan orangtua itu adalah Nenek Selir. Sedari 

tadi sepasang matanya terus memperhatikan sosok Bidada-

ri Tujuh Langit. Namun beberapa kali kepala nenek ini 

membuat gerakan menggeleng. Lalu saat lain bergumam 

tak jelas. Saat itulah ekor mata Nenek Selir menangkap ge-

rakan satu sosok tubuh keluar dari balik rumpun bambu.

Hanya dengan ekor mata, tampaknya si nenek sudah bi-

sa menebak siapa gerangan adanya sosok yang muncul. 

Laksana orang kalap, sambil berteriak tinggi Nenek Selir 

melompat dan menghadang gerakan orang yang baru mun-

cul.

Teriakan si nenek membuat Galuh Empat Cakrawala 

dan Galuh Sembilan Gerhana lepaskan pelukannya pada 

sosok Datuk Kala Sutera. Saat bersamaan, semua mata 

berpaling pada sosok yang baru muncul. Dia adalah seo-

rang kakek berambut putih mengenakan jubah tanpa 

lengan berwarna abu-abu.

“Bagus! Tampaknya kau bukan laki-laki pengecut yang 

takut unjuk tampang!” Nenek Selir membentak. Tangan ki-

rinya yang masih memegang pedang diangkat ke udara. 

Sementara tangan kanannya diletakkan di atas pinggang 

dengan mata membeliak angker.

“Sahabatku Nenek Selir... Kau ingat ucapan Dewi Kea-

badian?! Aku takut untuk mengulanginya. Tapi rasanya 

kau masih tidak lupa...” Paduka Seribu Masalah angkat su-

ara.

Nenek Selir mendengus lalu tanpa berpaling ke arah Pa-

duka Seribu Masalah, dia berteriak.

“Jangan ada yang berani buka suara ikut campur! Dan 

jangan mimpi aku percaya membabi buta dengan ucapan


keterangan orang! Di tempat ini tidak ada urusan yang ada 

hubungannya dengan masalahku! Kalaupun ada, itu adalah 

urusan selembar nyawa manusia bangsat ini!” Pedang di 

tangan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk ke arah wajah 

laki-laki berjubah abu-abu tanpa lengan yang bukan lain 

adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah, kkekasih

Nenek Selir semasa masih muda. Paduka Seribu Masalah 

perdengarkan tawa pendek lalu berucap. 

“Sahabatku Nenek Selir... Percaya membabi-buta me-

mang tidak baik. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mem-

buktikan dahulu... Siapa tahu kau menemukan satu kebe-

naran!”

“Apa yang perlu dibuktikan, hah?!” bentak Nenek Selir 

seraya sentakkan wajah berpaling ke arah Paduka Seribu 

Masalah.

“Aku tak berani mengatakannya. Karena kau tentu su-

dah tahu apa yang seharusnya kau buktikan!”

“Tidak ada yang perlu dibuktikan di tempat ini! Tidak 

ada manusia yang layak mendapat pembuktian di tempat 

ini! Kau dengar?!”

“Tapi....”

“Sialan! Kau pikir di tempat ini ada makhluk yang dika-

takan Dewi sialan tadi?! Coba tunjuk! Yang mana?! Yang 

mana?! Dia..?!” Tangan kiri Nenek Selir yang memegang pe-

dang bergerak memutar menunjuk lurus ke arah Putri Pu-

sar Bumi seraya perdengarkan cekikikan. Lalu sambungi 

ucapannya. 

“Kau kira dia pantas menjadi anakku, hah...?! Coba ang-

kat kepalamu dari belakang rangkapan kedua kakimu! Lalu 

lihat baik-baik! Apa kesamaan antara aku dengan dia?! Wa-

jahnya...?! Gumpalan dagingnya?! Atau potongan tubuh-

nya?!”

“Yu Sin Yin...” Manusia Tanah Merah buka mulut 

dengan suara pelan. 

“Aku telah dengar apa yang diucapkan Dewi Keabadian. 

Harap maafkan aku kalau aku sendiri tidak tahu bagaima


na mengenali anak yang kau lahirkan meski itu adalah da-

rah dagingku. Karena aku tidak menyaksikannya saat kau 

melahirkan.... Jadi kuharap....”

“Tutup mulutmu, Wang Su Ji! Urusanmu denganku ada-

lah masalah nyawa! Bukan masalah anak yang kulahirkan!”

“Seperti sudah kukatakan, aku memang bersalah pada-

mu... Tapi kau harus sadar, bagaimanapun juga yang kau 

lahirkan adalah anakku!”

“Hem.... Begitu kau sudah tidak laku lagi, lalu kau me-

rengek-rengek padaku dengan alasan anak! Jangan mimpi! 

Jangan berharap!”

“Jangan salah duga, Yu Sin Yin... Kalaupun aku berha-

rap bisa bertemu dengan anak kita, hal itu karena aku 

ingin menebus kesalahanku... Aku akan minta maaf... Sete-

lah itu mati pun aku akan tenang.”

“Kau terlalu bermimpi, Wang Su Ji!” Nenek Selir putar 

arah pedangnya pada sosok Wang Su Ji alias Manusia Ta-

nah Merah.

Di lain pihak, entah karena apa Manusia Tanah Merah 

tenang-tenang saja menghadapi acungan pedang Nenek Se-

lir. Bahkan kakek ini hanya memandang sekilas. Lalu arah-

kan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.

“Hem.... Pandanglah sepuasmu perempuan itu! Karena 

hari ini terakhir kalinya kau dapat memandang perempuan 

cantik!”

“Ah... Ah... Tampaknya dia masih cemburu! Hik... Hik... 

Hik...!” Tiba-tiba Putri Pusar Bumi angkat suara seraya ter-

tawa cekikikan.

Tampang Nenek Selir berubah merah mengelam. Sepa-

sang matanya mendelik. Namun sebelum nenek ini sempat 

buka mulut, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara.

“Sahabatku Nenek Selir... Sebenarnya aku takut untuk 

berkata. Tapi demi mendengar keterangan Dewi Keabadian, 

aku percaya di tempat ini ada seseorang yang selama ini 

kau cari!”

“Jahanam! Sedari tadi kau hanya bicara tapi tak mau


tunjuk orang!” bentak Nenek Selir.

“Sahabatku... Seandainya aku tunjuk orang, kau mau 

percaya?!”

Nenek Selir terdiam dengan dada berdebar. Entah kare-

na apa mendadak dia ikut arahkan pandang matanya pada 

Bidadari Tujuh Langit yang saat itu duduk di antara Bida-

dari Delapan Samudera, serta Bidadari Pedang Cinta, dan 

Dayang Tiga Purnama.

Bidadari Tujuh Langit tampak tersentak kaget menden-

gar ucapan Paduka Seribu Masalah serta mendapati tata-

pan Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir. Dia balas me-

natap silih berganti pada Manusia Tanah Merah dan Nenek 

Selir dengan menghela napas panjang.

“Bidadari Tujuh Langit!” Mendadak Nenek Selir berucap 

dengan suara lantang. “Siapa kau sebenarnya?!”

Yang ditanya berpaling sesaat pada anak-anaknya. Lalu 

berucap pelan.

“Apa maksudmu, Nek?!”

“Bodoh! Aku tanya siapa kau sebenarnya?! Dari mana 

asal-usulmu! Siapa orangtuamu!”

***

SEPULUH



BIDADARI Tujuh Langit terdiam beberapa saat dengan 

kepala ditengadahkan. Lalu berucap dengan suara agak pa-

rau.

“Waktu masih kecil aku hidup bersama seorang laki-laki 

tua dan seorang nenek. Pada mulanya aku menduga mere-

ka berdua adalah orangtuaku. Tapi begitu si laki-laki akan 

meninggalkan dunia, dia sempat memberi tahu kalau sebe-

narnya diriku bukanlah anak kandungnya....” Bidadari Tu-

juh Langit hentikan ucapan dengan kepala diluruskan dan 

pandang matanya menerawang jauh. Saat kemudian dia 

lanjutkan ucapannya.

“Aku berusaha bertanya pada nenek. Tapi aku tidak 

memperoleh jawaban pasti. Dia tidak tahu-menahu soal di-

riku. Yang jelas ketika suaminya pulang, dia telah memba-

waku. Sang suami mengatakan aku adalah anak dari saha-

batnya! Aku telah berusaha mencari tahu. Namun hingga 

aku besar, aku tidak mampu menyingkap siapa kedua 

orangtuaku sebenarnya....”

Nenek Selir tampak tercekat diam dengan mata melotot 

tak berkesip. Dada nenek ini laksana dihimpit beban berat 

hingga untuk beberapa lama dia tak kuasa buka mulut 

meski mulutnya telah terbuka hendak berucap.

“Yu Sin Yin....” Manusia Tanah Merah berkata pada Ne-

nek Selir dengan menyebut nama asli si nenek.

“Bukankah kau bisa mengenali anakmu?!”

Nenek Selir berpaling pada Manusia Tanah Merah. Un-

tuk beberapa lama kedua orang tua ini saling perang pan-

dang. Dendam yang sudah tertanam di dasar hati si nenek 

memang sukar dihapus begitu saja. Namun entah mengapa, 

begitu agak lama saling berpandangan, perlahan-lahan hati 

si nenek berubah. Malah kejap lain dia berpaling dengan 

bahu sedikit terguncang.

Manusia Tanah Merah memberanikan diri melangkah 

mendekati. Dan begitu mendapati si nenek tidak buka mu-

lut atau membuat gerakan, Manusia Tanah Merah pegang 

lengan kanan Nenek Selir seraya berkata.

“Yu Sin Yin.... Kau jangan merasa bersalah dalam hal 

ini. Semuanya adalah berpulang pada diriku! Akulah yang 

harus menanggung semua dosa ini! Sekarang harap kau ti-

dak keberatan untuk membuktikan siapa sebenarnya Bida-

dari Tujuh Langit... Kau tidak menolak permintaanku, bu-

kan...?! Percayalah. Setelah kita tahu siapa anak kita, aku 

akan menepati ucapanku rela mati di tanganmu...”

Nenek Selir menghela napas panjang. Perlahan dia lu-

ruhkan pegangan tangan Manusia Tanah Merah. Lalu me-

langkah ke arah Bidadari Tujuh Langit yang duduk dengan

sosok bergetar.


“Bidadari Tujuh Langit..,” kata Nenek Selir begitu tegak 

hanya beberapa langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit.

“Kau tidak keberatan kalau aku....”

“Nenek Selir...” ujar Bidadari Tujuh Langit sebelum si 

nenek selesaikan ucapan. 

“Aku telah menemukan anak-anakku dengan bantuan 

beberapa orang. Sekarang aku tidak akan keberatan untuk 

membantumu! Katakan apa yang akan kau lakukan....”

“Berbaliklah! Lalu singkapkan rambutmu hingga teng-

kukmu kelihatan!”

Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala. Tanpa buka 

mulut dia putar diri. Kedua tangannya diangkat kebelakang 

lalu sibakkan uraian rambutnya yang telah memutih hingga 

tengkuknya kelihatan.

Sepasang mata si nenek tampak membeliak besar begitu 

melihat tepat pada tengkuk Bidadari Tujuh Langit sebuah 

lingkaran hitam menyerupai tahi lalat.

“Aku tidak akan pernah lupa! Anakku memiliki tanda 

lingkaran hitam pada tengkuknya! Jadi...” Sosok Nenek Se-

lir bergetar. Kedua lututnya goyah. Pedang di tangan ki-

rinya perlahan-lahan jatuh ke atas tanah. Saat bersamaan 

dia melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit.

“Aku percaya... Aku percaya... Kau adalah anakku!” de-

sis Nenek Selir seraya pandangi lingkaran hitam di tengkuk 

Bidadari Tujuh Langit. Saat kemudian dia ulurkan kedua 

tangannya membalikkan sosok Bidadari Tujuh Langit.

Begitu Bidadari Tujuh Langit berputar menghadap si ne-

nek, Nenek Selir segera saja merangkulnya lalu menciumi 

dengan tangis meledak!

“Anakku... Maafkan aku yang selama ini tidak...”

Bidadari Tujuh Langit tercekat dengan kedua tangan 

membalas pelukan tangan si nenek. 

“Tak ada yang harus dimaafkan, Ibu...” Akhirnya Bidada-

ri Tujuh Langit berhasil buka suara. Sepasang matanya 

berlinang. 

“Kalau anak-anakku mau mengakui dan memaafkan


aku, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama pada di-

rimu?”

Melihat apa yang terjadi, Manusia Tanah Merah tegak 

termangu dengan mulut terkancing. Dia seolah tidak tahu 

apa yang harus dilakukan. Hingga pada akhirnya Nenek Se-

lir berpaling seraya berkata.

“Wang Su Ji.... Mengapa kau masih tegak seperti pa-

tung?!”

Manusia Tanah Merah usap mukanya. Lalu perlahan 

melangkah mendekat. Namun belum sampai ke hadapan 

Nenek Selir yang masih memeluk Bidadari Tujuh Langit, 

Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari 

Delapan Samudera sudah mendahului menghambur me-

nyongsong Manusia Tanah Merah lalu sama berebutan 

memeluk.

“Kek...I” Hampir bersamaan ketiga gadis itu berucap.

Manusia Tanah Merah tak kuasa lagi menahan gejolak 

dadanya. Seraya membelai rambut ketiga gadis yang meme-

luknya, kakek ini tersedu-sedu seraya berucap.

“Cucu-cucuku.... Aku tak tahu harus berkata apa atas 

pengakuan kalian ini....”

“Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala...” 

Datuk Kala Sutera berkata pada kedua gadis yang berada di 

sampingnya. 

“Kau juga adalah cucu kakek itu....”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

segera bergerak bangkit. Lalu berlari dan ikut menghambur 

dalam pelukan Manusia Tanah Merah.

Begitu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala menghambur ke arah Manusia Tanah Merah, Da-

tuk Kala Sutera perlahan-lahan seret dirinya dengan duduk 

ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu jatuhkan diri berlutut 

di hadapan Nenek Selir.

“Ibu... Aku juga minta maaf... Terimalah juga salam 

hormatku...”

Nenek Selir berpaling dengan anggukkan kepala. Lalu


pegangi bahu Datuk Kala Sutera dan membantunya untuk 

bergerak angkat wajahnya.

‘Menantuku... Jangan ucapkan permintaan maaf. Diri ki-

ta semua memiliki andil dosa dalam hal ini...”

Bidadari Tujuh Langit ikut menoleh pada Datuk Kala Su-

tera. Keduanya sesaat saling pandang. Lalu secara bersa-

maan tangan keduanya bergerak dan saling genggam den-

gan mata sama linangkan air mata.

“Bidadari Tujuh Langit... Mari kita sambut Ayah kita...,” 

kata Datuk Kala Sutera. Bidadari Tujuh Langit tersenyum 

dengan anggukkan kepala. Saat kemudian, masih dengan 

berpegangan tangan, kedua orang Ini bergerak seret diri 

masing-masing ke arah Manusia Tanah Merah.

“Cucu-cucuku... Aku harus menemui ibu dan ayahmu 

dahulu...” Manusia Tanah Merah berbisik begitu melihat 

Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak ke 

arahnya.

Kelima gadis yang tengah merangkul sosok Manusia Ta-

nah Merah sama lepaskan pelukan masing-masing. Saat 

kemudian Manusia Tanah Merah melompat ke hadapan Bi-

dadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Lalu memeluk 

keduanya.

Mungkin gembira dan haru, ketiga orang itu tidak ada 

yang sempat buka suara. Ketiganya hanya berpelukan 

dengan sama terisak-isak.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar orang bersua-

ra.

“Nenek... Mulai saat ini kuharap tidak ada lagi kebencian 

di hatimu pada Kakek! Dan kami semua ingin lihat kalian 

berdua saling berpelukan...” Yang bersuara adalah Bidadari 

Delapan Samudera.

“Aku tak mau!” Nenek Selir menyahut dengan tampang 

merah padam dan cemberut.

“Cucu-cucuku... Harap jangan terlalu banyak meminta 

pada nenekmu... Semua kejadian ini berpangkal pada diri-

ku yang tidak menghiraukan Nenek dan Ibu kalian. Pengakuan kalian semua pada diriku sudah merupakan sesuatu 

yang lebih. Dan dengan peristiwa ini, rasanya mati pun aku 

tersenyum. Dan tak ada yang lebih berhak atas nyawaku 

selain nenekmu...” Berkata Manusia Tanah Merah seraya 

lepaskan pelukan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala 

Sutera. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah Nenek Se-

lir. Manusia Tanah Merah berhenti tiga langkah dihadapan 

si nenek. Dia memandang sesaat lalu menunduk dan ber-

kata.

“Yu Sin Yin... Tuhan telah memberiku lebih dari apa 

yang selama ini selalu kuminta... Seperti ucapanku, seka-

rang aku pasrahkan diri ini padamu...”

Nenek Selir menatap tajam. Dia tidak menyahut ucapan 

orang. Lalu alihkan pandangannya pada Bidadari Tujuh 

Langit dan kelima cucunya.

“Sahabat sekalian... Apa yang selama ini tertutup sudah 

terbuka jelas. Rasanya kurang bijaksana kalau semua ini 

masih harus dicampuri dengan balas dendam dan kesom-

bongan diri... Bukankah lebih baik kita melupakan apa 

yang telah terjadi dan menebus semuanya dengan hidup 

berdampingan secara damai? Kita semua tidak tahu kapan 

datangnya ajal. Sebelum hal itu terjadi, kurasa tidak ada 

yang lebih baik daripada saling memaafkan....” Paduka Se-

ribu Masalah perdengarkan suara.

“Nek... Harap tidak usah malu-malu... Kalau seandainya 

kakek di depanmu harus mati, aku yakin kau akan terus 

tersiksa seumur-umur...” Pendekar 131 yang sedari tadi 

hanya diam ikut buka suara.

“Lagi pula rasanya tidak mungkin orang akan menemu-

kan cinta di kala usia sudah bau tanah begitu rupa! Hik.... 

Hik.... Hik...! Jika kesempatan ini disia-siakan, hanya ada 

satu kemungkinan yang terjadi...” Putri Pusar Bumi me-

nyahut.

“Betul!” Joko kembali buka mulut menimpali. “Kemung-

kinannya adalah pasti sudah ada orang ketiga yang me-

nunggu dengan membawakan sekeranjang cinta... Cuma


aku tidak begitu yakin. Masalahnya, kakek-kakek yang ja-

tuh cinta biasanya hanya mencari sesuatu! Lebih dari itu, 

aku khawatir. Seandainya kakek yang menunggu Nenek Se-

lir tahu bagaimana paras kelima cucunya, jangan-jangan 

dia nanti berpaling....”

Nenek Selir berpaling dengan pasang tampang angker. 

“Kau pikir aku punya laki-laki lain, hah?!”

“Kalau tidak, mengapa kau tidak memaafkan sahabatku 

itu?!” Iblis Pedang Kasih berujar.

“Siapa tidak memaafkan?!” Si nenek balik bertanya.

“Nah, apa lagi yang kau tunggu Kakek Manusia Tanah 

Merah?!” Joko menyahut.

Manusia Tanah Merah melirik ke arah murid Pendeta 

Sinting. Lalu perlahan bergerak mendekati Nenek Selir.

Yang didekati alihkan pandangan ke jurusan lain dengan

wajah berubah. Manusia Tanah Merah berbisik seraya pe-

gang kedua lengan si nenek.

“Yu Sin Yin... Terima kasih kau mau memaafkan 

diriku...”

Nenek Selir tidak menjawab. Namun sikapnya jelas kalau 

dia sudah mampu melupakan perasaan dendam kesumat-

nya yang telah mendera dirinya selama berpuluh-puluh ta-

hun.

“Wan Su Ji! Jangan berbuat memalukan di depan 

orang!” Tiba-tiba Nenek Selir mendesis tajam begitu mera-

sakan wajah Manusia Tanah Merah mendekati wajahnya.

“Ah... Ah... Tampaknya kita tidak jadi melihat adegan se-

ru....” Putri Pusar Bumi berteriak lalu tertawa cekikikan 

hingga gumpalan daging pada wajah dan perutnya bergun-

cang-guncang.

“Ah, Itu karena di sini banyak mata yang melihat. Kelak 

kalau sudah berduaan, aku percaya, bukan si kakek yang 

mendekat tapi si nenek yang minta!” Joko menimpali lalu 

ikut tertawa.

“Sialan! Kau kira aku masih memimpikan hal-hal begitu, 

hah?!” Nenek Selir membentak sambil luruhkan kedua tangan Manusia Tanah Merah yang memegangi bahunya.

“Ah Sudahlah... Apa yang nanti akan dilakukan kedua-

nya, itu menjadi urusan mereka! Yang jelas urusan di tem-

pat ini kurasa sudah selesai! Dan tiba waktunya aku mohon 

diri!” Paduka Seribu Masalah buka suara. Lalu putar du-

duknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata.

“Pendekar 131! Sampaikan salam perkenalanku pada 

semua sahabat di negeri asalmu. Kalau nanti ada waktu 

dan takdir menuliskan, bukan tak mungkin kita akan ber-

temu lagi....”

“Paduka Seribu Masalah... Sebenarnya aku ingin menga-

jakmu sekarang juga! Aku bukan saja mempunyai banyak 

kenalan sahabat. Tapi juga memiliki beberapa nenek-nenek 

yang wajahnya masih sedap untuk dilihat! Bodi yang layak 

untuk memikat!”

“Terima kasih, Anak Muda... Sebenarnya itu tawaran ba-

gus. Tapi aku masih punya pekerjaan. Jadi untuk sementa-

ra waktu aku harus menunggu hingga saat yang baik untuk 

berkunjung ke negeri asalmu!”

Habis berucap begitu, Paduka Seribu Masalah putar du-

duknya. 

“Sahabat sekalian. Aku harus pergi sekarang. Selamat 

tinggal...” Paduka Seribu Masalah membuat satu kali gera-

kan. Sosoknya melesat dengan masih duduk rangkapkan 

kaki tinggalkan tempat itu.

Hanya sesaat setelah Paduka Seribu Masalah berlalu, 

Putri Pusar Bumi buka mulut seraya memandang pada 

Dayang Tiga Purnama.

“Cucuku Dayang Tiga Purnama... Hari ini kau telah me-

nemukan apa yang selama ini kau cari. Dengan begitu tu-

gasku telah selesai....”

“Eyang...!” Dayang Tiga Purnama yang selama ini menja-

di murid dan diasuh oleh Putri Pusar Bumi berlari mende-

kati. 

“Sebenarnya....”

“Aku tahu....” Putri Pusar Bumi sudah memotong ucapan


Dayang Tiga Purnama. 

“Sekarang yang penting kau telah bertemu dengan kedua 

orangtua dan kakek nenekmu. Jangan terburu mengambil 

keputusan... Dan kalaupun kau ingin bertemu denganku, 

kau tahu di mana dapat menemuiku...”

Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala. 

“Eyang... Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Se-

telah aku menghabiskan hari bersama kedua orangtua, ne-

nek-kakek, dan saudara-saudaraku, aku akan datang me-

nemuimu...”

Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu berpaling pada 

saudaranya Iblis Pedang Kasih. Saat itulah Bidadari Pedang 

Cinta berkelebat dan tegak dihadapan Iblis Pedang Kasih 

seraya berucap.

“Eyang... Kalau kau tidak keberatan, kuharap kau mau 

ikut bersama kami...”

Iblis Pedang Kasih yang selama ini mengasuh Bidadari 

Pedang Cinta geleng kepala. 

“Cucuku Bidadari Pedang Cinta... Setiap pertemuan pas-

ti ada perpisahan. Lagi pula kau telah bertemu dengan 

orang yang lebih berhak atas dirimu... Aku ikut gembira 

dengan peristiwa ini meski sebenarnya aku juga berat un-

tuk berpisah denganmu... Jagalah dirimu baik-baik. Dan 

kalau ada kesempatan, aku akan senang jika kau datang 

berkunjung ke tempatku...”

“Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih... Kuucapkan te-

rima kasih atas semua waktu dan jerih payahmu untuk 

membesarkan anak-anakku. Jika nanti ada kesempatan, 

kami semua akan berkunjung ke tempat kalian berdua...” 

Bidadari Tujuh Langit berucap seraya menjura hormat.

“Aku juga mengucapkan terima kasih!” Nenek Selir me-

nyahut. 

“Aku berharap kalian berdua cepat dapat pasangan! Un-

tuk sementara waktu sebaiknya kalian berdua menerima 

tawaran Pendekar 131! Di negeri asing, tentunya kalian 

akan mudah untuk mendapatkan pasangan! Karena biasanya orang baru akan menjadi pusat perhatian... Apalagi 

jika kalian bertindak gila-gilaan!”

Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tertawa. 

“Aku bukannya unjuk kesombongan. Kalau hanya untuk 

cari pasangan, tidak usah jauh-jauh harus ke negeri orang. 

Apalagi ditambah dengan bertindak gila-gilaan! Di sini saja 

kalau aku mau, banyak kakek-kakek yang antri menunggu 

jawaban!” Putri Pusar Bumi berkata. Lalu menoleh pada 

Iblis Pedang Kasih.

“Rasanya waktu kita sudah cukup! Kita harus segera 

pergi!”

Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sudah putar di-

ri. Namun belum sampai keduanya bergerak lebih jauh, 

Pendekar 131 berteriak.

“Tunggu!”

Berbarengan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih 

berpaling. 

“Jangan menawarkan yang tidak-tidak, Sahabat Muda..!” 

Iblis Pedang Kasih yang angkat suara. 

“Kalau masalah pasangan, di negeri ini kami berdua su-

dah banyak yang naksir!”

“Bukan itu masalahnya!” ujar Pendekar 131.

“Lalu?!” tanya Iblis Pedang Kasih.

“Aku datang ke negeri ini tanpa sengaja. Aku belum tahu 

seluk-beluk negeri ini dengan baik. Jika kalian tidak kebe-

ratan, aku minta petunjuk pada kalian untuk memberi ke-

terangan mana jalan yang harus kuambil agar cepat men-

capai pesisir!”

“Sayang sekali, Anak Muda.... Bukannya aku tidak mau 

memberi keterangan. Namun kurasa nantinya ada orang 

yang lebih berhak memberi petunjuk!” Putri Pusar Bumi 

menyahut. Lalu melirik pada Bidadari Pedang Cinta dan 

Dayang Tiga Purnama. Saat lain dia menarik tangan Iblis 

Pedang Kasih dan menyeretnya berkelebat tinggalkan tem-

pat itu.

Begitu sosok Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tidak kelihatan lagi, Joko arahkan pandang matanya pada 

Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama.

Sebenarnya Pendekar 131 hendak berkata. Namun entah 

karena apa dia batalkan niat untuk buka mulut. Sebaliknya 

buru-buru balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tem-

pat itu tanpa bicara.

“Hai! Kau kira urusanmu di tempat ini sudah selesai, 

hah?!” Mendadak Nenek Selir berteriak.

Joko tersentak kaget. Lalu putar diri menghadap Nenek 

Selir dengan tampang berubah heran.

“Apa maksudmu, Nek?!” tanya Joko sambil sapukan 

pandangan berkeliling.

“Kau pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa, hah?!”

“Nek! Bukankah urusanmu dengan kakek itu sudah se-

lesai?! Kurasa di antara kita sudah tidak ada yang perlu 

diselesaikan! Atau barangkali kau ingin pesan sesuatu pa-

daku?! Maaf, Nek... Bukannya aku tidak mau membawa pe-

sanmu. Aku takut.. Seandainya saja kau masih sendirian, 

mungkin aku tak segan menawarkan beberapa saha-

batku....”

“Sialan! Ini urusanmu!”

“Hah.... Urusan apa, Nek?!”

Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya berpaling silih 

berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan 

Samudera serta Dayang Tiga Purnama.

Gerakan kepala Nenek Selir membuat Joko tersentak ka-

get. 

“Astaga! Jangan-jangan Ini ada kaitannya dengan per-

soalan ketiga gadis itu! Ah... Aku harus segera tinggalkan 

tempat ini! Urusannya akan jadi ruwet dan tak karuan!” Di-

am-diam Pendekar 131 membatin. Lalu tanpa buka mulut 

lagi dia berlari tinggalkan tempat itu.

***


SEBELAS


SEBENARNYA Nenek Selir sudah hendak berkelebat 

mengejar. Namun Bidadari Delapan Samudera cepat me-

lompat menghadang di depan si nenek dan berkata.

“Nek.... Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan 

pemuda itu! Harap nenek dan kakek menungguku di tem-

pat ini! Demikian juga Ayah dan Ibu!”

Tanpa menunggu sahutan, Bidadari Delapan Samudera 

sudah berkelebat mengejar ke arah mana Pendekar 131 

berlari.

Melihat apa yang dilakukan Bidadari Delapan Samudera, 

Bidadari Pedang Cinta jadi tidak enak hati. Dia berpaling 

sesaat pada Nenek Selir dan kedua orang- tuanya. 

“Aku harus menjelaskan semuanya! Aku tak ingin ada 

perselisihan!” membatin Bidadari Pedang Cinta. Dia sebe-

narnya hendak mengutarakan maksudnya pada Dayang Ti-

ga Purnama yang tegak tidak jauh dari tempatnya. Namun 

setelah dipikir sejenak, gadis berbaju hijau ini urungkan 

niat. Hingga tanpa buka suara lagi, dia berkelebat mengejar 

Bidadari Delapan Samudera.

Mendapati kelebatan Bidadari Delapan Samudera dan 

Bidadari Pedang Cinta, diam-diam Dayang Tiga Purnama 

Ikut-ikutan jadi merasa tidak enak. Hingga tanpa pikir pan-

jang lagi, gadis yang pernah diasuh oleh Putri Pusar Bumi 

ini ikut berlari mengejar.

“Ada apa ini?!” Manusia Tanah Merah bertanya pada Ne-

nek Selir.

“Sebelum peristiwa ini, aku telah berjumpa dengan me-

reka. Aku tahu, di antara mereka ada ganjalan hati yang 

harus diselesaikan! Kalau tidak, bukan tak mungkin nan-

tinya akan menjadi penghalang persaudaraan!

“Maksudmu?!”

“Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta 

serta Dayang Tiga Purnama sama-sama tertarik dengan 

pemuda asing sialan itu!”


Seperti diketahui, ketika awal berjumpa dengan murid 

Pendeta Sinting, secara diam-diam Bidadari Pedang Cinta 

sudah tertarik. Hanya saja karena saat Itu dia bersama Iblis 

Pedang Kasih dan baru saja berkenalan, Bidadari Pedang 

Cinta tidak berani berterus terang meski sikapnya sudah 

berubah.

Namun begitu terjadi pertemuan dengan Bidadari Dela-

pan Samudera, Bidadari Pedang Cinta salah duga. Dia 

menduga Bidadari Delapan Samudera adalah kekasih Pen-

dekar 131. Apalagi saat itu Joko mengucapkan kata-kata 

yang seolah-olah Bidadari Delapan Samudera memang ke-

kasihnya.

Di lain pihak, begitu bertemu dengan Joko, diam-diam 

Bidadari Delapan Samudera sudah tertarik. Namun begitu 

mendengar ucapan Joko, Bidadari Delapan Samudera jadi 

salah tanggap. Dia menyangka Bidadari Pedang Cinta ada-

lah kekasih Joko.

Sementara itu, Dayang Tiga Purnama sendiri sebenarnya 

juga tertarik dengan murid Pendeta Sinting. Hanya saja ga-

dis ini tidak mau menunjukkan sikap. Lain halnya dengan 

Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta 

yang terang-terangan tampak cemburu ketika mengetahui 

salah satunya berada berdua-duaan dengan Pendekar 131.

“Ibu.... Jika benar keteranganmu, kita harus mengejar 

mereka! Mereka masih muda. Aku takut terjadi apa-apa...

Aku tidak mau pertemuan ini dikacaukan dengan masalah 

pemuda itu!” Bidadari Tujuh Langit berkata pada Nenek Se-

lir.

Nenek Selir geleng kepala. 

“Tidak, Anakku.... Kalau kita ikut campur, justru bukan 

mustahil akan terjadi salah paham! Biarkan mereka menye-

lesaikan urusan mereka dengan caranya sendiri! Aku per-

caya. Rasa persaudaraan mereka tentu lebih penting dari-

pada urusan seorang laki-laki!”

“Tapi....”

“Sudahlah, Anakku! Percayalah pada mereka! Kita tunggu mereka di sini!”

Sebenarnya Bidadari Tujuh Langit masih ingin mengejar 

anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu yang baru saja me-

nemukan anak-anaknya, rasa khawatir lebih mendera da-

danya. Apalagi dia maklum, anak-anaknya adalah perem-

puan sementara yang jadi persoalan adalah seorang laki-

laki. Dia juga sadar kalau perempuan akan lebih mendahu-

lukan perasaan daripada akal.

Namun begitu sadar akan keadaan dirinya yang masih 

terluka dalam dan telapak kaki kirinya yang terputus sepa-

ro, Bidadari Tujuh Langit terpaksa harus memendam 

keinginannya dan akhirnya dengan dada tidak enak dia te-

tap diam di tempat itu.

Sementara itu, walau yakin Nenek Selir tidak mengejar 

namun Pendekar 131 tidak mau bertindak ayal. Dia kerah-

kan segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari sekuat 

yang dia mampu.

Pada satu tempat agak sepi jauh dari hutan bambu, ba-

ru murid Pendeta Sinting memperlambat larinya setelah be-

rulang kali pulang balikkan kepala menyiasati keadaan. 

Dan begitu merasa keadaan benar-benar aman, Joko henti-

kan larinya dan langsung menyelinap sembunyi di balik sa-

tu batangan pohon agak besar.

Pendekar 131 tengadahkan kepala dengan mata dipe-

jamkan dan kedua tangan mengusap wajah dan basah.

“Aku harus segera ke pesisir! Aku tidak mau lagi terlibat 

dengan urusan di negeri ini! Apalagi urusannya berkaitan 

dengan perempuan! Lebih-lebih lagi mereka adalah sauda-

ra!”

Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu sosok 

tubuh berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di ba-

lik mana Joko bersembunyi.

“Pendekar 131! Harap keluar dari balik pohon! Kita perlu 

bicara!”

Dalam kagetnya, Joko cepat berpaling. Dia melihat Bida-

dari Delapan Samudera tegak dengan mata memandang


jauh ke depan.

“Pendekar 131! Waktuku tidak banyak.... Kau sendiri 

tentu harus segera tinggalkan tempat ini. Maka kuharap 

kau segera keluar...!”

Dengan sapukan pandangan berkeliling, perlahan Joko 

melangkah keluar dari balik pohon.

Bidadari Delapan Samudera menoleh. Untuk beberapa 

saat gadis ini memandang tajam pada murid Pendeta 

Sinting. Lalu buka mulut dengan suara lirih dan bergetar.

“Pendekar 131... Harap kau memaafkan atas semua si-

kapku padamu. Terus terang, aku memang tertarik pada-

mu. Tapi aku tidak mau melukai hati saudaraku... Jadi ka-

laupun kau memang punya hubungan dengan saudaraku, 

kuharap kau mau menjelaskan bahwa di antara kita tidak 

ada hubungan apa-apa!”

Bidadari Delapan Samudera masih menduga kalau anta-

ra Joko dan Bidadari Pedang Cinta benar-benar ada hu-

bungan kekasih.

“Bidadari Delapan Samudera... Ucapan itu tidak perlu 

kau katakan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan....”

“Pendekar 131!” Bidadari Delapan Samudera memotong. 

“Harap tidak menutup-nutupi! Ini demi kedamaian persau-

daraanku... Sekali lagi kuharap kau mau mengerti!”

Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera ber-

paling ke belakang. 

“Aku tahu. Bidadari Pedang Cinta mengejar mengikuti-

ku! Aku harus segera pergi....”

“Pendekar 131! Aku harus segera tinggalkan tempat ini. 

Sekali lagi kuharap kau turuti permintaanku....” Bidadari 

Delapan Samudera arahkan pandang matanya pada Joko 

dengan paksakan diri sunggingkan senyum. Saat lain tanpa 

buka mulut lagi gadis berbaju biru ini berkelebat tinggalkan 

tempat itu.

Joko hendak menahan, namun tampaknya dia bisa 

membaca gelagat kepala Bidadari Delapan Samudera. Hing-

ga dia urungkan niat buru-buru berpaling. Saat itulah dari


arah seberang terlihat satu sosok tubuh berlari cepat.

“Bidadari Pedang Cinta...,” gumam Joko mengenali siapa 

adanya sosok yang berkelebat cepat ke arahnya.

“Pendekar 131!” kata sosok yang baru muncul dan me-

mang Bidadari Pedang Cinta adanya begitu tegak beberapa 

langkah di hadapan murid Pendeta Sinting. 

“Kau tentunya sudah tahu apa hubunganku dengan Bi-

dadari Delapan Samudera. Untuk itu aku berharap kau tadi 

sudah menjelaskan padanya!”

“Bidadari... Sebenarnya tidak ada yang perlu dijelaskan! 

Dan kuharap kau mau percaya. Aku tidak punya hubungan 

tertentu dengan Bidadari Delapan Samudera!”

Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang seraya 

sedikit dongakkan kepala. 

“Aku tak bisa memastikan apakah ucapannya benar 

atau tidak! Seandainya saja hal ini tidak berkaitan dengan 

Bidadari Delapan Samudera yang ternyata adalah saudara-

ku sendiri... Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Aku 

memang tertarik pada pemuda ini. Namun daripada nan-

tinya terjadi hal-hal yang kurang enak dengan Bidadari De-

lapan Samudera, lebih baik aku berusaha melupakannya 

walau aku perlu waktu...” Diam-diam Bidadari Pedang Cin-

ta berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.

“Pendekar 131.... Apa pun ucapanmu, seandainya kau 

memang punya hubungan, aku tetap meminta agar kau ke-

lak mau menjelaskan sendiri pada Bidadari Delapan Samu-

dera.”

Mendengar ucapan Bidadari Pedang Cinta, Joko tertawa 

pelan. 

“Kau ini aneh... Kelak kapan yang kau maksud?! Kau ta-

hu. Hari ini aku tengah dalam perjalanan pulang kam-

pung!”

Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Entah 

apa yang dirasakan gadis ini. Yang jelas dia menghela na-

pas panjang beberapa kali seraya bergumam tak jelas. Dan 

saat lain tanpa buka suara lagi, gadis yang pernah diambil


dari Istana Lima Bidadari oleh Iblis Pedang Kasih ini putar 

diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

Hanya beberapa saat setelah sosok Bidadari Pedang Cin-

ta berkelebat, satu sosok tubuh berlari dan tahu-tahu telah 

tegak di hadapan Joko.

“Kau akan segera tinggalkan negeri ini?!” tanya sosok 

yang baru muncul dan tak lain adalah Dayang Tiga Purna-

ma.

“Rasanya memang begitu! Ada pesan untukku?!” Joko 

balik bertanya seraya menatap lekat-lekat gadis dihadapan-

nya.

Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya balas 

memandang.

“Kau tak usah takut mengatakannya....”

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. Lalu berkata. 

“Aku menemui hanya untuk minta maaf atas tindakanku 

tempo hari!”

“Hanya itu!”

Dayang Tiga Purnama terdiam tidak buka suara atau 

memberi isyarat dengan gerakan anggota tubuhnya.

Joko tertawa lalau berucap. 

“Seharusnya aku yang minta maaf. Karena sejak perte-

muan kita pertama kali, aku telah berdusta padamu...”

Dayang Tiga Purnama tersenyum. Lalu alihkan pan-

dangan dan berujar.

“Kuucapkan selamat jalan...”

“Hanya itu?!”

Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya sege-

ra berlari tinggalkan tempat itu tanpa buka suara.

“Hai! Tunggu!” Joko berteriak menahan. Namun yang di-

teriaki seolah tidak mendengar. Dia terus saja berlari.

“Mengejar gadis itu bukan tak mungkin akan menda-

tangkan bencana baru. Lebih baik aku segera teruskan per-

jalanan pulang. Negeri ini sudah memberikan beberapa 

urusan aneh yang sering tidak kumengerti! Tapi aku ber-

syukur karena bisa bertemu dengan gadis-gadis cantik yang


anehnya ternyata adalah masih saudara!”

Joko pandangi kelebatan sosok Dayang Tiga Purnama 

hingga lenyap. Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan 

tempat itu dengan pikiran kembali melayang pada peristiwa 

yang menyebabkan dia sampai ke negeri Tibet hingga keja-

dian pertemuan antara anak, ibu, dan cucu yang baru saja 

terjadi.

Setelah melakukan perjalanan sehari semalam dan ber-

tanya kian kemari, pada akhirnya Pendekar 131 sampai ju-

ga di pesisir. Saat itulah Joko mulai sadar dan merasa ke-

bingungan.

“Bagaimana aku harus pulang?! Tak mungkin aku bere-

nang melewati hamparan laut seluas ini! Aku perlu perahu! 

Tapi dari mana aku bisa mendapatkan?!” Joko layangkan 

pandangan ke bentangan laut luas dihadapannya. Saat itu-

lah dia melihat sebuah perahu bergerak menepi lurus ke 

arahnya.

Joko pentangkan mata besar-besar dengan sekali mem-

buat gerakan yang serta-merta membawa sosoknya seakan 

menyongsong perahu yang tengah menepi.

“Aneh... Perahu itu bergerak menuju kemari! Tapi aku 

tidak melihat penumpangnya!” Joko bergumam dengan 

memperhatikan gerakan perahu dan meneliti dengan sek-

sama.

Perahu yang tengah menuju lurus ke arah Pendekar 131 

ternyata memang tidak kelihatan penumpangnya.

“Keanehan apa lagi ini?! Jangan-jangan ini awal babak 

baru dari satu hadangan!” Kuduk Joko jadi dingin.

“Kuucapkan selamat tinggal, Anak Muda!” Tiba-tiba ter-

dengar satu suara.

“Kalau ada waktu, negeri ini masih bersedia menerima 

kedatanganmu lagi!” Satu suara lain menyahut.

Joko tercekat. Karena dua suara yang terdengar jelas da-

tangnya dari arah perahu yang terus melaju ke arahnya!

“Jangan-jangan dugaanku benar!” pikir Joko dengan ma-

ta makin dipentang.


Baru saja Joko berpikir begitu, mendadak dari arah pe-

rahu muncul dua sosok tubuh tegak duduk di lantai pera-

hu.

“Astaga! Mereka tadi sengaja sembunyikan diri dengan 

menelentang di lantai perahu hingga batang hidungnya ti-

dak kelihatan!” Joko mendesis dengan mata makin dije-

rengkan.

“Sepertinya aku pernah melihat mereka!” Joko mendelik 

makin besar. 

“Dewa Asap Kayangan! Dewa Cadas Pangeran!” Joko ber-

teriak begitu mampu mengenali siapa adanya kedua orang 

yang duduk di lantai perahu.

“Terima kasih kau masih mengenaliku!” Berkata orang 

yang duduk di sebelah kanan. Dia adalah seorang laki-laki 

berusia lanjut. Pada mulutnya terlihat sebuah pipa yang 

kepulkan asap putih. Sementara dipundaknya menyelem-

pang sebuah ikat pinggang besar yang dihiasi beberapa pi-

pa. Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh negeri Ti-

bet yang dikenal dengan julukan Dewa Asap Kayangan.

Duduk di sebelah Dewa Asap Kayangan adalah seorang 

kakek berpakaian compang-camping. Raut wajah kakek ini 

tidak kelihatan karena tepat di hadapan wajahnya terlihat 

sebuah batu putih yang digantungkan pada satu tambang 

yang berpangkal pada punggungnya. Kakek ini tidak bukan 

adalah Dewa Cadas Pangeran.

Habis berkata, Dewa Asap Kayangan bergerak bangkit 

disusul kemudian oleh Dewa Cadas Pangeran. Kejap lain 

kedua kakek ini berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di 

hadapan Pendekar 131. Sementara perahu yang ditumpangi 

keduanya tampak mengapung di dekat pesisir.

“Pendekar 131!” kata Dewa Cadas Pangeran. 

“Kami berdua tidak bisa memberimu bekal apa-apa! 

Mungkin hanya perahu itu yang dapat kami berikan sebagai 

kenang-kenangan!”

“Ah... Terima kasih! Sebenarnya benda itulah yang 

paling kubutuhkan saat Ini!”


“Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang hendak kau sam-

paikan?!” Yang bicara adalah Dewa Asap Kayangan.

Joko terdiam dengan dada berdebar tidak enak. Dia 

maklum ke mana arah bicara Dewa Asap Kayangan. 

“Pasti ini ada hubungannya dengan tawaran mereka 

tempo hari yang memintaku untuk mengawini Dewi Bunga 

Asmara! Apa yang harus kukatakan pada mereka?”

Selagi Joko membatin begitu, Dewa Cadas Pangeran su-

dah berkata.

“Anak muda.... Lupakan urusan kawin tempo hari! Na-

mun kau harus tahu. Seandainya saat itu kau mau mene-

rima, mungkin kau tidak akan terlibat jauh dengan urusan 

para gadis-gadis Itu! Mereka tidak akan terlalu berharap 

padamu karena mereka tahu jika kau telah memiliki istri!”

Sambil berkata kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak 

berputar. 

“Lihat! Mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan 

padamu! Tapi aku tahu. Mereka sebenarnya ingin lebih da-

ripada hanya mengucapkan selamat jalan....” Dewa Cadas 

Pangeran sambungi ucapannya.

Pendekar 131 kernyitkan kening. Lalu gerakkan kepala 

mengikuti gerakan kepala Dewa Cadas Pangeran. Joko ter-

surut kaget ketika di ujung seberang utara sana dia melihat 

seorang gadis berbaju hijau tegak dengan mata memandang 

ke arahnya.

“Bidadari Pedang Cinta...” Joko mendesis dalam hati 

mengenali siapa adanya gadis berbaju hijau.

Joko menghela napas. Lalu teruskan gerakan kepala. 

Lagi-lagi dia tersentak ketika di ujung sebelah barat dia me-

lihat seorang gadis berbaju biru tegak dengan kepala sedikit 

mendongak.

“Bidadari Delapan Samudera!” gumam Joko dengan sua-

ra bergetar.

“Masih ada satu lagi, Anak Muda!” ujar Dewa Cadas 

Pangeran ketika Joko hendak arahkan pandangannya kem-

bali pada sosok Bidadari Pedang Cinta.


Joko hentikan gerakan kepalanya yang akan berpaling 

pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu teruskan berpaling ke 

arah samping. Di sana tegak seorang gadis berwajah cantik 

mengenakan pakaian warna ungu.

“Astaga! Dayang Tiga Purnama!” Joko mengenali siapa 

adanya gadis berbaju ungu.

“Pendekar 131! Saatnya kau pulang!” Dewa Asap Kayan-

gan berujar.

“Mereka memang menarik. Tapi kalau kau turuti keingi-

nan, aku tidak bisa menjamin apakah nanti kau bisa pu-

lang ke negeri asalmu atau tidak!” Dewa Cadas Pangeran 

menimpali.

Pendekar 131 anggukkan kepala. 

“Terima kasih atas nasihat kalian berdua. Sekarang aku 

harus pergi! Sampaikan salamku pada Dewi Bunga Asma-

ra!”

Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran sama 

anggukkan kepala. Joko menjura hormat. Lalu sapukan 

pandangan ke arah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Dela-

pan Samudera, dan Dayang Tiga Purnama. Joko tersenyum 

lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah perahu.

Begitu tegak di atas perahu, Joko lambaikan kedua tan-

gannya. Bidadari Pedang Cinta perlahan angkat tangan ka-

nannya lalu membalas lambaian tangan Joko. Saat bersa-

maan Bidadari Delapan Samudera ikut angkat tangan ka-

nannya dan melambai. Sementara Dayang Tiga Purnama 

hanya tegak diam. Namun pandang matanya terus tak ber-

kesip menatap pada sosok Pendekar 131 yang perlahan-

lahan balikkan tubuh sebelum akhirnya dibawa melaju oleh 

perahu.


                    SELESAI


Segera terbit:

DARAH KERAMAT














Share:

0 comments:

Posting Komentar