..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 07 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE PEDANG KEADILAN

JOKO SABLENG EPISODE PEDANG KEADILAN

 SATU



MATAHARI mulai menapak langit tatkala 

Pendekar 131 Joko Sableng hentikan larinya 

tidak jauh dari kawasan yang menuju hutan 

bambu. Setelah memperhatikan keadaan 

sekeliling beberapa saat, dia buru-buru 

berkelebat lalu menyelinap di balik satu 

batangan pohon agak besar 

Setelah mengawasi keadaan sekali 

jagi, murid Pendeta Sinting selinapkan 

tangan mengeluarkan satu rentangan kain 

putih agak kusam darj balik pakaiannya. 

"Hem.... Aku akan memulai perjalanan 

dari sini!" gumam Joko sambil pentang mata 

melihat gambar peta yang tertera di 

rentangan kain putih., 

Setelah agak lama memperhatikan peta, 

Pendekar 131 lipat kembali rentangan kain 

putih kusam yang bukan lain adalah kain 

peta yang sempat jadi bahan perselisihan 

di antara tokoh-tokoh Perguruan Shaolin 

dan pihak kerajaan serta beberapa tokoh 

dunia persilatan tanah Tibet. 

"Mudah-mudahan aku tidak menemui 

hadangan!* kata Joko lalu berkelebat 

keluar dari balik batangan pohon dan


berlari menuju arah seperti yang baru saja 

dilihatnya di peta. | 

Begitu sosok murid Pendeta Sinting 

berkelebat, dari satu batangan pohon 

sejarak dua belas tangkah dari pohon mana 

tadi Joko mendekam sembunyi, mendadak satu 

sosok tubuh melayang turun. Kejap lain 

sosok ini berlari mengambil jurusan 

seperti yang diambil Pendekar 131, 

Tanpa diketahui oleh murid Pendeta 

Sinting dan sosok bayangan yang baru 

melayang turun dan berke-

lebat, dari tadi sepasang mata bulat 

dan tajam terus mengawasi gerak-gerik 

orang dari celah dua gugusan tanah agak 

tinggi. 

"Hem.... Hendak ke mana pemuda itu?! 

Aku tak melihat apa yang tengah 

diperhatikannya di balik pohon. Tapi 

gelagatnya dia tengah mencari sesuatu! 

Gerak-geriknya mencurigakan! Apakah aku 

harus mengikutinya...?! Lalu ke mana nenek 

yang sanggulan rambut kepalanya dihias dua 

pedang itu...?!" Pemilik sepasang mata 

dari celah dua gugusan tanah bergumam 

sendiri. Lalu bola matanya bergerak 

memandang ke arah batangan pohon di mana 

tadi satu sosok tubuh melayang turun lalu 

berlari seolah mengejar murid Pendeta Sin-

ting. 

"Aku tidak bisa melihat jelas raut 

wajahnya. Tapi dari sikapnya, sepertinya 

dia mengenal pemuda dari seberang itu! Apa 

yang harus kulakukan sekarang?! Mengikuti


mereka...?! Tapi untuk apa?! Bukankah aku 

punya urusan yang belum selesai...?!" 

Sepasang mata bulat di celah dua gugusan 

tanah agak tinggi bergerak setengah 

memejam. Lalu terdengar lagi gumamannya. 

"Selama ini aku hampir putus asa 

selesaikan urus-anku. Bahkan aku hampir 

tidak percaya dengan nasib ini.... Hem.... 

Aku memang belum percaya benar dengan 

ucapan pemuda dari negeri asing itu. Tapi 

dialah satu-satunya orang yang pernah 

kutemui dan sedikit bisa memberi 

harapan.... Daripada menyelidik sendiri 

yang belum tentu ada hasilnya, bukankah 

lebih baik aku mengikutinya?! Siapa tahu 

dia tengah mencari sahabatnya...." 

Setelah bergumam begitu, sepasang 

mata di celah dua gugusan tanah agak 

tinggi bergerak mengedar. Saat lain 

kepalanya lenyap dari celah dua gugusan 

tanah. Lalu satu sosok bayangan berkelebat 

dari balik dua gugusan tanah dan berlari 

mengikuti arah sosok bayangan yang tadi 

mengejar Pendekar 131. 

Pendekar 131 terus berlari dengan 

kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. 

Tapi sesekali dia berhenti dan menyelinap 

mencari tempat agak tersembunyi. Lalu 

setelah memperhatikan arah kanan kiri, dia 

berkelebat lagi. 

Begitu matahari mulai tergelincir dan 

langkahnya memasuki satu kawasan terjal 

berbatu, murid Pendeta Sinting hentikan 

larinya.


"Peta yang diberi tanda bundaran itu 

berakhir di sini! Hem.... Aku harus 

berhati-hati. Bukan mustahil di tempat 

macam begini terdapat jebakan yang tidak 

terduga! Apalagi aku merasa ada seseorang 

yang mengikutiku! Siapa dia...?! 

Mungkinkah nenek geblek itu...?!" Joko 

berkata dalam hati seraya lepas pandangan 

ke arah kawasan berupa terjalan-terjalan 

batu di hadapannya. Dia pasang pendengaran 

baik-baik. Karena firasatnya mengatakan 

jika dari tadi diikuti seseorang. Pendekar 

131 memang tidak bisa menduga siapa adanya 

orang yang mengikuti, namun dia punya pra-

sangka orang itu adalah Nenek Selir. 

Karena nenek itulah orang terakhir yang 

ditemuinya sebelum dia berlari menuju 

kawasan hutan bambu. 

Seperti diketahui, saat terjadi 

bentrok antara murid Pendeta Sinting dan 

Nenek Selir di satu pihak dengan Datuk 

Kala Sutera, Nenek Selir cepat sarangkan 

totokan pada Pendekar 131 lalu membawanya 

pergi. Kedua orang ini akhirnya berpisah 

setelah terjadi adu mulut. 

Begitu berpisah, sebenarnya murid 

Pendeta Sinting berniat kembali ke hutan 

bambu karena dari kawasan itulah dia akan 

memulai perjalanan seperti yang tertera 

dalam peta. Namun karena merasa di kawasan 

hutan bambu belum aman, juga masih 

khawatir kalau 

Yu Sin Yin alias Nenek Selir akan 

mengikutinya, Pendekar 131 sengaja


berkelebat berputar-putar dan sempat 

istirahat di satu tempat terbuka. 

Begitu pagi menjelang, Joko segera 

berlari balik menuju kawasan hutan bambu 

setelah yakin tidak diikuti orang. 

"Aku akan mulai menyelidiki atau 

mencari tahu dulu siapa orang yang 

mengikutiku?" kata Joko lalu perlahan-

lahan putar diri dengan mata liar tak 

berkesip memperhatikan berkeliling. 

"Aku tak bisa tenteram kalau tidak 

tahu siapa adanya orang yang terus 

mengikutiku!" Akhirnya Joko memutuskan 

setelah dia tidak melihat siapa-siapa. 

Pendekar 131 berkelebat ke arah mana 

dia tadi datang. Namun walau sudah 

berputar tiga kali, dia tidak juga 

menemukan siapa-siapa, 

"Aneh.... Apakah ini hanya firasatku 

saja...?!" Joko tegak diam dengan kepala 

tengadah. Dia berpikir agak lama. Lalu 

berlari lagi menuju kawasan berbatu 

terjal. 

Setelah menyiasati keadaan dengan 

seksama, perlahan-lahan Joko mulai 

melangkah menelusuri celah terjalan batu-

batu dengan mata dipentang besar. Tapi 

hingga matahari sudah berubah warna 

kekuningan, dia tidak menemukan tanda-

tanda seperti apa yang tertera daiam peta. 

"Mungkinkah benda itu berada di dalam 

tanah?! Celaka! Tanah seluas ini, 

bagaimana aku harus membongkarnya?! Belum 

lagi harus memecah terjalan-ter-jalan


batu! Tak mungkin hal itu kulakukan...." 

Pendekar 131 geleng kepala. Lalu duduk 

berselonjor bersandar punggung pada satu 

terjalan batu dengan menghela napas 

berulang kali. 

"Jangan-jangan peta itu palsu.... Di 

tempat ini tidak ada tanda-tanda adanya 

benda yang selama ini menjadi 

silang sengketa beberapa tokoh negeri 

ini! Tapi.,.. Seandainya begitu, mungkin 

Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran 

sudah mencegahku. Hem.... Aku telah 

berusaha mencari. Kalau pada akhirnya aku 

tidak mendapatkan, pasti aku hanya 

ditakdirkan mendapatkan peta ini tanpa 

dikehendaki untuk mendapatkan bendanya! 

Atau jangan-jangan aku salah mengambil 

jurusan!" 

Ingat begitu, Pendekar 131 segera 

mengambil kembali lipatan kain peta dari 

daiam pakaiannya. Lalu direntangkan dan 

diperhatikan sekali dengan seksama. 

Telunjuk tangan kanannya bergerak 

menelusuri rentangan kain peta. 

"Hem.... Sepertinya aku sudah 

mengambil jalan yang benar! Dan bundaran 

ini berakhir di sini! Tapi mengapa aku 

tidak menemukan bendanya?! Di mana,. M 

Joko lipat kembali kain peta dan 

diselinapkan lagi ke balik pakaiannya. 

Saat itulah mendadak Pendekar 131 

merasakan batu di mana dia bersandar 

bergerak-gerak. Sambil kerutkan kening 

Joko cepat tarik punggungnya lalu


membalik. Sepasang matanya dtjerengkan 

memperhatikan terjalan batu di mana dia 

tadi bersandar. 

"Aneh.... Bagaimana terjalan batu 

begini besar bisa bergeser saat 

kusandari...? Jangan-jangan....' Joko ti-

dak lanjutkan ucapan. Dia buru-buru 

bangkit lalu maju memperhatikan terjalan 

batu yang ternyata memang bergeser sedikit 

dari tempatnya semula. 

Setelah mengawasi sekeliling, Joko 

letakkan kedua tapak tangan pada terjalan 

batu. Dengan menghela napas, dia 

mendorong. 

Sepasang mata murid Pendeta Sinting 

membelalak hampir tidak percaya ketika 

menyaksikan bagaimana bersamaan dengan 

bergeraknya tangan mendorong, terjalan 

batu itu bergerak menggeser! 

Begitu geseran agak memanjang, 

terlihatlah pinggiran sebuah lobang. 

Pendekar 131 jadi penasaran. Hingga tanpa 

sadar dia mendorong makin keras. Terjalan 

batu laksana dihantam lalu meluncur cepat. 

Dan tampaklah sebuah lobang menganga agak 

besar! Ada satu keanehan, kalau lobang itu 

tidak begitu dalam dan suasana masih 

terang, namun Joko hanya melihat sebuah 

bersitan benda putih. Sementara di 

sekitarnya hanya terlihat suasana hitam 

kelam! 

Murid Pendeta Sinting cepat tarik 

pulang kedua tangannya. Saat bersamaan 

kepalanya melongok ke dalam lobang.


Sekonyong-konyong sepasang matanya 

mendelik ketika melihat apa benda putih 

berkilat yang tegak memanjang ke atas. 

"Sebuah pedang tanpa sarung!" desis 

murid Pendeta Sinting dengan suara 

bergetar parau. "Mungkin inilah pedang 

yang tergambar dalam peta! Aku telah 

menemukannya! Jadi peta ini asli...." 

Dengan tangan bergetar dan dada 

berdebar, perlahan-lahan Joko ulurkan 

kedua tangannya masuk ke dalam lobang. 

Sepasang matanya mendelik tak berkedip 

memperhatikan sosok pedang yang tegak 

dengan gagang berada di atas dan ujung di 

bawah. 

Dengan menghela napas panjang, Joko 

teruskan gerakan kedua tangannya menyentuh 

gagang pedang. Namun murid Pendeta Sinting 

ini hentikan gerakan kedua tangannya 

tatkala tiba-tiba dia merasakan hawa di-

ngin menyelimuti kedua tangannya yang 

hanya satu jengkal di atas gagang pedang. 

Joko berpikir sesaat. Kejap lain dia 

teruskan gerakan kedua tangannya. Begitu 

kedua tangannya benar-benar menyentuh 

gagang pedang, mendadak hawa dingin makin 

menusuk dan mulai menjalar dari kedua 

telapak tangannya yang memegang gagang 

pedang terus pada lengan dan sekujur 

tubuhnya! 

Joko cepat kerahkan tenaga dalam dan 

hawa murni untuk menahan hawa dingin yang 

dalam beberapa saat mampu membuat kedua 

tangannya tegang kaku laksana tidak bisa


digerakkan! 

Hawa dingin memang sedikit berkurang. 

Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. 

Saat lain bahkan murid Pendeta Sinting 

laksana dihimpit bongkahan batu es. Hingga 

bukan saja tidak mampu menggerakkan kedua 

tangan, namun tubuhnya laksana terpaku! 

"Celaka! Apa yang terjadi?!" teriak 

Joko lalu lipat gandakan hawa murni. Namun 

kali ini pengerahan hawa murni itu tidak 

membantu melenyapkan hawa dingin yang 

merasuk ke dalam tubuhnya. Joko tidak 

berani berlaku ayal. Dia cepat sentakkan 

kedua tangannya dari gagang pedang. Lalu 

cepat-cepat ditarik ke atas. 

Ketika diperhatikan, terkejutlah 

murid Pendeta Sinting. Kedua telapak 

tangannya berubah menjadi kehitaman dan 

sulit digerakkan serta kepulkan asap pu-

tih! 

"Pedang sakti luar biasa! Pantas 

banyak tokoh yang memperebutkannya!" kata 

Joko lalu kerahkan lagi hawa murni. 

Perlahan-lahan kedua telapak tangan dan 

sekujur tubuhnya memang menjadi hangat 

normal kembali. Saat itulah dia ingat akan 

gambar peta. 

"Dalam gambar peta, pedang ini 

menancap pada satu kotak! Mungkin dengan 

mengeluarkan kotak itu, aku nanti bisa 

dapatkan jalan bagaimana mengambil pedang 

itu!" 

Berpikir begitu, setelah kerahkan 

hawa murni, Joko rebahkan diri sejajar


dengan tanah. Lalu perlahan-lahan kedua 

tangannya digerakkan masuk ke dalam 

lobang. Hawa dingin kembali terasa ketika 

kedua tangannya mulai mendekati gagang 

pedang. Joko berusaha tidak menyentuh dan 

teruskan gerakan tangan merapat pinggiran 

lobang. 

Begitu gagang pedang tepat lurus 

dengan ujung lengan, kedua tangan murid 

Pendeta Sinting merasakan menyentuh 

sesuatu yang keras dan terasa dingin. Joko 

perlahan-iahajp gerakkan jari meraba. 

"Hem.... Dari bentuknya, pasti ini 

adalah kotak itu!" 

Joko cepat kerahkan tenaga dalam. 

Saat lain kedua tangannya dimasukkan agak 

dalam. Begitu dapat menyentuh bagian bawah 

benda yang diduganya adalah kotak seperti 

yang tergambar dalam peta, Joko cepat 

sentakkan kedua tangannya ke atas. 

Wuutt! 

Pendekar 131 tersedak dan terlengak 

kaget ketika bersamaan dengan sentakan 

kedua tangannya, tiba-tiba satu gelombang 

deras menderu dari bawah. Bersamaan itu 

pegangan kedua tangannya pada benda yang 

diduganya kotak terlepas! Saat yang sama 

terasa hawa dingin berkelebat ke atas. 

Joko pentangkan mata melihat apa yang 

terjadi. Namun baru saja kepalanya hendak 

melongok lebih dalam ke lobang, satu benda 

putih berkilat menyambar ke atas! Ur.urn 

swiul 

Pendekar 131 cepat tarik pulang


kepalanya. Dan serta-merta kedua tangannya 

disentakkan ke atas. 

Wusss! 

Bersamaan dengan tertariknya kepala 

dan kedua tangan, satu gelombang angin 

dingin berkiblat dari dalam lobang. Lalu 

terlihat satu benda putih berkilat melesat 

keluar. 

Kepala dan kedua tangan Joko 

terpental ke belakang. Lalu tubuh bagian 

atasnya laksana disapu gelombang dahsyat 

hingga tubuhnya terdorong ke atas. Lalu 

mental tersapu dan terjengkang jungkir 

balik di atas tanah! 

Dalam kagetnya, Joko masih bisa 

berpikir cepat. Apa pun yang baru saja 

terjadi, Joko bisa memastikan kalau pedang 

dan kotak di bawahnya telah melesat 

keluar. Hingga walau sosoknya tersapu 

jungkir balik, namun dia tetap arahkan 

pandang matanya ke arah lobang. 

Murid Pendeta Sinting melihat satu 

tubuh pedang putih berkilat menancap pada 

sebuah kotak berwarna hitam melesat keluar 

dari lobang dan terus membubung ke udara. 

Khawatir terjadi sesuatu yang tidak 

diinginkan, walau sadar akan kedahsyatan 

pedang yang menancap pada kotak hitam, 

murid Pendeta Sinting segera bangkit lalu 

melesat mengejar pedang dan kotak hitam 

yang masih terapung di atas udara. 

Dua jengkal lagi tangan kanan 

Pendekar 131 mampu meraih gagang pedang 

dan hawa dingin sudah mulai terasa,


mendadak dari arah samping terdengar satu 

seruan. Satu sosok tubuh berkelebat. Tahu-

tahu pedang yang menancap pada kotak hitam 

lenyap dari udara disambar tangan lain! 

Darah Pendekar 131 laksana sirap. Dia 

maklum seseorang telah mendahuluinya. Dia 

cepat berpaling mengikuti gerakan sosok 

bayangan yang baru saja menyambar pedang 

dan kotak hitam. Lalu dari atas udara, 

murid Pendeta Sinting teruskan kelebatan 

dan tegak di samping salah satu terjalan 

batu. 

DUA 

TEGAKKAN wajah memandang ke atas, 

Pendekar 131 melihat satu sosok tubuh 

berwajah dahsyat milik seorang laki-laki. 

Kepalanya plontos dan di bagian risi kanan 

terlihat rengkah. Raut wajahnya bukan saja 

tidak tertutup lapisan daging, namun 

hampir separo wajahnya melesak masuk 

dengan tulang patah dan sebagian lagi 

bertonjolan keluar. Mata sebelah kiri 

melesak masuk di antara tulang yang porak-

poranda, sementara mata kanan menjorok 

keluar seakan hendak mencelat terbang. 

Pada kepala dan wajahnya terlihat bercak-

bercak noda darah yang telah lama 

mengering, dan mungkin karena lamanya, 

bercak darah itu melekat seolah lapisan 

daging! Pakaian yang dikenakan sudah 

compang-camping dan di sana-sini juga 

terlihat noda tetesan darah yang


mengering. 

Laki-laki berparas angker yang tegak 

di atas tonjolan batu tengadah dengan 

tangan kiri menopang kotak hitam, 

sementara tangan kanan memegang gagang 

pedang yang menancap tembus pada kotak 

hitam di bawahnya. Sosoknya tampak 

bergetar menggigil. Tangan kanan hingga 

sebatas lengan kepulkan asap putih. 

"Siapa manusia angker ini?! 

Mungkinkah dia yang terus mengikutiku 

selama ini?! Ah.... Itu tidak penting. 

Yang jelas dia harus mengembalikan pedang 

dan kotak hitam itu padaku!" 

Berpikir begitu, Joko langsung buka 

mulut. 

"Harap serahkan kotak hitam dan 

pedang di tanganmu padaku!" 

Laki-laki yang tegak di atas tonjolan 

batu gerakkar kepala memandang angker pada 

sosok murid Pendeta Sinting. Tulang pada 

wajahnya yang sudah porak-poranda tampak 

bergerak-gerak. Sementara dadanya yang 

terbuka terlihat turun naik dengan keras. 

Namun laki-laki ini tidak segera menyahut. 

Sebaliknya gerakkan tangan kanan hendak 

mencabut pedang yang menancap pada kotak 

hitam yang ditopang tangan kirinya. 

Namun walau laki-laki itu telah 

kerahkan tenaga dalam hingga sosoknya 

bergetar keras, pedang di tangan kanannya 

tidak mampu dia cabut. Malah asap putih 

makin mengepul dan kini keluar dari 

sekujur tubuhnya.


Laki-laki di atas tonjolan batu 

mendelik. Saat lain tiba-tiba dia berseru 

tegang. Tangan kanannya disentakkan lepas 

dari gagang pedang. Mungkin karena ke-

rasnya sentakan, kotak hitam yang ditopang 

lepas dan meluncur jatuh! 

Murid Pendeta Sinting tidak tinggal 

diam. Dia segera berkelebat menyongsong 

kotak hitam dan pedang yang melayang ke 

bawah. Namun si laki-laki di atas tonjolan 

batu tidak berdiam diri. Bersamaan dengan 

bergeraknya sosok murid Pendeta Sinting, 

dia melesat ke bawah lalu gerakkan kaki 

kanan menendang. 

Bukkk! 

Kotak hitam yang tertancap pedang 

tersapu deras dan melayang beberapa tombak 

sebelum akhirnya jatuh di atas tanah. 

Pendekar 131 putar arah. Lalu 

teruskan kelebatan mengejar ke arah mana 

kotak hitam dan pedang jatuh di atas 

tanah. 

Tapi baru setengah jalan, dari arah 

samping terdengar deruan keras. Saat 

berpaling, terlihat satu gelombang dahsyat 

berkiblat ke arahnya! 

Murid Pendeta Sinting batalkan niat 

teruskan kelebatan. Lalu melompat 

hindarkan diri. 

Brakkk! 

Satu tonjolan batu di sebelah depan 

sana tampak hancur porak-poranda terhajar 

gelombang yang lolos menghantam sosok 

murid Pendeta Sinting.


Pendekar 131 tidak pedulikan serangan 

orang. Dia cepat piuar diri lalu kembali 

hendak berkelebat ke arah kotak hitam. 

Namun gerakannya tertahan tatkala tahu-

tahu si laki-laki berparas angker ternyata 

sudah tegak hanya beberapa langkah di 

samping kotak hitam yang tertancap pedang. 

"Siapa pun kau adanya, harap sebutkan 

diri!" kata Joko seraya melompat dan tegak 

dua belas tangkah di hadapan si laki lakL 

Laki-laki yang ditegur gerak-gerakkan 

jari kedua tangannya yang sesaat tadi 

dirasakan tegang kaku seolah tak bisa 

digerakkan karena aliran hawa dingin yang 

menjalar ketika tangan kanannya memegang 

gagang pedang. Saat lain dia buka mulut 

"Buka matamu lebar-lebar, Pendekar 

131 Joko Sableng!" 

Murid Pendeta Sinting tertegun diam 

mendapati orang tahu siapa dirinya. 

Sepasang matanya dibeliak-kan besar-besar 

pandangi orang dari kepala sampai kaki. 

"Dia tahu siapa aku! Apkah aku 

mengenalnya...?!" Joko mengingat-ingat. 

Saat itulah si laki-laki perdengarkan 

suara lagi. "Bentangan laut bukan halangan 

bagiku untuk mendapatkanmu, Pendekar 131! 

Bahkan sampai ke ujung dunia pun jangan 

kira nyawamu bisa lolos dari tanganku! 

Ha.... Ha.... Ha...! Hari ini aku mendapat 

rejeki besar. Bukan hanya bisa mencabut 

selembar nyawamu, tapi juga mendapat 

senjata sakti!" 

"Nada ucapannya menunjukkan kalau dia


bukan berasal dari negeri ini! Lebih dari 

itu dia memendam dendam kesumat padaku! 

Siapa manusia ini sebenarnya?!" Kembali 

Pendekar 131 coba mengingat. Namun karena 

dia tidak mampu, akhirnya berucap. 

"Katakan siapa kau sebenarnya?!" 

"Manusia yang sudah bau kalangan 

tanah terkadang lupa pada orang yang 

dikenalnya!" sahut laki-laki berkepala 

gundul yang bagian sisinya rengkah. Lalu 

tertawa bergelak panjang. 

"Kau tak mau sebutkan diri. Aku tidak 

memaksa. Tapi...." 

"Sebelum kau mampus, kau harus tahu 

dulu siapa aku!" potong si laki-laki. 

"Hem.... Mengapa tidak segera kau 

katakan?!" kata Joko setengah meradang. 

"Jangan meradang, Pendekar 131! Saat 

ini kau tengah berada di negeri asing. 

Jauh dari beberapa manusia jahanam yang 

biasa menolongmu! Di tanah Jawa mungkin 

kau bisa berlagak. Tapi di sini?! Siapa 

yang akan menolongmu, hah?! 

Murid Pendeta Sinting terdiam 

beberapa saat. Sebelum dia buka mulut, si 

laki-laki bertampang angker sudah angkat 

suara lagi. 

"Kau ingat tentang peristiwa Kitab 

Hitam diKedung Ombo?! Kau tidak lupa 

tangan siapa yang membabat putus tangan 

manusia jahanam bergelar Malaikat Penggali 

Kubur?! Kau ingat siapa yang memberimu pe-

tunjuk beradanya Kitab Hitam saat berada 

di Bukit Sela-mangleng?!"


Sesaat Pendekar 131 simak ucapan 

orang dengan dahi berkerut. Saat lain 

mendadak dia tercengang dengan kaki 

tersurut satu tindak. Sepasang matanya 

dijerangkan. Mulutnya terbuka mendesis. 

"Iblis Rangkap Jiwa...!" 

Laki-laki bertampang angker tertawa 

ngakak. "Bagus! Kau masih ingat gelarku!" 

"Aku hampir saja tidak percaya.... 

Bagaimana manusia ini bisa sampai negeri 

ini?! Kemunculannya pasti membawa dendam 

lama!" 

Selagi Joko membatin begitu, laki-

laki bertampang angker yang bukan lain 

adalah Iblis Rangkap Jiwa adanya tegakkan 

wajah mendongak. Lalu berkata. 

"Pendekar 131! Hari ini saat 

keberuntunganmu telah habis! Usia nyawamu 

sudah sejengkal di at?s tanah! Sungguh kau 

manusia bernasib sial! Harus mampus jauh 

dari kampung halaman!" 

"Celaka! Manusia satu ini berilmu 

sangat tinggi dan kebal segala pukulan! 

Aku memang tahu kelemahannya. Tapi di 

tempat seperti ini, mustahil aku bisa men-

dapatkan perempuan apalagi perempuan itu 

harus berbuka buka pantat!" Joko membatin 

dengan tampang berubah. Saat itulah 

mendadak dia ingat kalau dia punya firasat 

tengah diikuti Nenek Selir. Dengan cepat 

dia putar kepala dan memandang 

berkeliling. Namun begitu dia tidak 

mendapati siapa-siapa, tampangnya tambah 

tegang.


Seperti pernah diceritakan, saat 

terjadi geger Kitab Hitam di tanah Jawa, 

muncul seorang tokoh bergelar Iblis 

Rangkap Jiwa. Tokoh ini berilmu sangat 

tinggi dan kebal terhadap segala pukulan. 

Namun ternyata Iblis Rangkap Jiwa memiliki 

kelemahan. Seluruh ilmu yang dimiliki akan 

punah selama setengah hari kalau dia me-

lihat pantat laki-laki dan perempuan 

secara bersamaan. 

Ketika terjadi peristiwa berdarah 

malam purnama di Kedung Ombo, Iblis 

Rangkap Jiwa memang sempat teriuka parah 

hingga kepahnya yang plontos rengkah, dan 

sebagian tulang wajahnya porak-poranda. 

Namun karena dia kebal segala pukulan, dia 

masih bisa bertahan. Kalau saja saat itu 

dia tidak tengah menghadapi beberapa tokoh 

tanah Jawa yang punya ilmu aneh-aneh, 

pasti dia akan teruskan bentrok. 

Dan berpikir masih ada waktu untuk 

membalas dendam, akhirnya dengan membawa 

luka parah Iblis Rangkap Jiwa meiarikan 

diri dari kancah bentrokan di Kedung Ombo. 

Sejak saat itu, ibiis Rangkap Jiwa terus 

menyeiidik di mana beradanya murid Pendeta 

Sinting. Melalui petunjuk seorang sakti, 

akhirnya Iblis Rangkap Jiwa dapat 

mengetahui di mana kini Pendekar 131 

berada. Akhirnya Iblis Rangkap Jiwa 

menyusul menyeberang laut menuju daratan 

Tibet. 

"Pendekar 131!" Berkata Iblis Rangkap 

Jiwa bisa membaca gelagat gerakan kepala


dan pandangan Joko. "Kau mencari 

seseorang?! Terlambat.... Ini negeri 

asing! Bukan tanah Jawa di mana kau bisa 

mendapatkan bantuan!" 

"Hem.... Apa boleh buat! Tidak ada 

jalan lain. Kalau dia masih inginkan 

nyawaku, aku akan meladeninya! Dia boleh 

kebal pukulan. Tapi kalau terus-terusan 

kuhantam, apa mungkin masih bertahan?!" 

Berpikir begitu, Joko cepat kerahkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya langsung 

siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Karena 

dia tahu siapa orang yang kini 

dihadapinya. 

Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa 

melirik pada pedang yang menancap di kotak 

hitam yang tidak jauh dari tempat 

tegaknya. 

"Pedang Celaka! Sekujur tubuhku 

laksana kaku tak bisa digerakkan oleh hawa 

dingin keparat pedang itu! Tapi aku 

gembira. Pasti pedang itu sakti 

mandraguna! Begitu aku selesaikan urusan 

nyawa jahanam satu itu, aku akan mencari 

jalan bagaimana mencabutnya!" 

"Kau menginginkan pedang itu?!" Joko 

ajukan tanya ketika dilihatnya Iblis 

Rangkap Jiwa melirik ke arah pedang. 

Iblis Rangkap JKva menyeringai. "Aku 

datang perlu menagih hutang sekaligus 

meminta bunganya! Tapi kalau ternyata aku 

mendapatkan benda mustika, apa salahnya 

aku mengambilnya?! Kudengar kau telah 

mendapatkan sebuah peta wasiat yang banyak


diperbincangkan tokoh negeri mk 

Keberadaanmu di tempat sepi Ini serta 

gelagatmu yang sembunyi-sembunyi tentu 

pedang itulah yang ada dalam peta wasiat 

itu! Hari ini saat keberuntungan ada di 

pihakku, Pendekar 131! Aku pulang ke tanah 

Jawa bukan saja membawa namamu, tapi juga 

mendapatkan pedang mustika!" 

Wuutt! 

Bersama selesainya ucapan, tangan 

kanan Iblis Rangkap Jiwa bergerak. Satu 

gelombang dahsyat berkiblat lurus 

perdengarkan deruan hebat. 

Pendekar 131 tidak tinggal diam. 

Kedua tangannya diangkat lalu lepas 

pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu 

juga dua gelombang dan sinar berwarna 

kekuningan melesat menghadang gelombang 

yang keluar dari tangan Iblis Rangkap 

Jiwa. 

Bummm! 

Terdengar ledakan keras. Beberapa 

tonjolan batu di sekitar tempat Itu 

bergetar keras dan sebagian porak-poranda. 

Sosok murid Pendeta Sinting tersurut satu 

langkah ke belakang. Di lain pihak, sosok 

Iblis Rangkap Jiwa terhuyung-huyung. Namun 

hanya beberapa saat. Di lain kejap 

sosoknya tegak diam malah orang ini 

laksana tidak merasakan apa-apa! Padahal 

kedua tangan Joko terasa ngilu dan dadanya 

berdenyut sesak! 

Sementara begitu terjadi bentrok 

pukulan, pedang di atas kotak hitam


terlihat bergoyang-goyang bersamaan dengan 

bergesernya kotak hitam di mana pedang 

menancap. Hebatnya bersamaan dengan 

goyangan tubuh pedang, suasana di sekitar 

tempat itu bersit-kan cahaya putih. Lalu 

hawa dingin menusuk menyungkupi 

Baik Iblis Rangkap Jiwa maupun 

Pendekar 131 merasakan diri masing-masing 

kedinginan. Joko cepat kerahkan hawa murni 

untuk menahan hawa dingin yang menyebar 

dari gerakan pedang. Lalu kembali kerahkan 

tenaga dalam dan siapkan pukulan 'Serat 

Biru'. Hingga saat itu juga tangan kirinya 

telah berubah warna menjadi kebiruan. 

Di seberang, Iblis Rangkap Jiwa hanya 

kerahkan hawa murni untuk menolak 

menebarnya hawa dingin. Dia tidak peduli 

dengan apa yang terjadi pada tangan kiri 

Joko, karena laki-laki ini yakin tidak 

akan mengalami cedera apa-apa walau 

dihantam pukulan apa saja. Malah saat itu 

laki-laki yang wajahnya sudah porak-

poranda akibat terluka saat terjadi 

peristiwa di Kedung Ombo ini tengah 

berpikir keras bagaimana cara mencabut 

pedang dari kotak hitam. 

Murid Pendeta Sinting tidak mau 

menunggu. Begitu tangan kirinya telah 

berubah menjadi kebiruan, dia • epat 

membuat gerakan menghantam. 

Wuutt! Wuutt! 

Dari tangan kanan Joko melesat satu 

gelombang perdengarkan deruan keras. 

Sementara dari tangan kirinya melesat


beberapa serat biru terang laksana benang. 

Iblis Rangkap Jiwa tidak unjukkan 

rasa gentar mendapati pukulan dahsyat yang 

tengah menyongsong ke arahnya. Sebaliknya 

menghadang pukulan hanya dengan 

tengadahkan kepala dan kedua tangan kacak 

pinggang! 

Desss! 

Gelombang dari tangan kanan Joko 

menghantam telak sosok Iblis Rangkap Jiwa 

hingga tubuh laki-laki itu tersentak 

terjajar ke belakang. Saat yang sama, se-

rat-serat biru laksana benang telah 

membelit tubuhnya! 

Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa 

pendek. Saat lain orang ini berseru keras. 

Dess! Dess! Desss! 

Serat-serat biru yang membelit tubuh 

Iblis Rangkap Jiwa putus lalu bertabur ke 

udara. 

Pendekar 131 laksana didorong 

kekuatan dahsyat. Sosoknya tersentak 

hingga beberapa langkah ke belakang dan 

saat lain terjengkang di atas tanah dengan 

mulut megap-megap dan tampang pucat pasi. 

Murid Pendeta Sinting cepat bergerak 

bangkit. Namun baru saja sosoknya tegak, 

mulutnya semburkan 

Di lain pihak, bersamaan dengan 

bertaburnya serat biru, sosok Iblis 

Rangkap Jiwa terlempar beberapa tombak ke 

udara. Laki-laki ini sempat terbanting dua 

kali di atas udara sebelum akhirnya 

meluncur deras ke bawah dan menghantam


sisi satu tonjolan batu. 

Iblis Rangkap Jiwa mengerang. Sisi 

kepalanya yang rengkah tampak kucurkan 

darah. Namun laki-laki ini laksana tidak 

mengalami rasa kesakitan. Saat itu juga 

dia membuat gerakan berdiri. Terhuyung-

huyung beberapa saat sebelum akhirnya 

tegak diam dengan mulut semburkan tawa 

bergelak! 

Tapi laksana dirobek setan, mendadak 

Iblis Rangkap Jiwa putuskan gelakan 

tawanya. Saat lain sosoknya berkelebat ke 

arah murid Pendeta Sinting. Kedua kaki 

tangannya bergerak sekaligus lepaskan 

pukulan ke arah kepala dan perut Joko! 

Joko sempat terlengak mendapati 

gerakan cepat orang. Namun dia cepat 

mundur satu tindak. Sosoknya < 

Usonggengkan ke samping. Dari arah 

samping, kedua tangannya dihantamkan 

menghadang! 

Bukkk! Bukkk! 

Iblis Rangkap Jiwa terbanting ke 

samping menghantam tanah. Di lain pihak, 

kedua tangan Joko langsung terpental ke 

udara. Saat yang sama sosoknya terputar 

lalu roboh menghajar tanah. Dari mulutnya 

kembali semburkan darah. Kedua tangannya 

mengembung boear. 


TIGA 



IBLIS Rangkap Jiwa usap kepala dan 

mulutnya yang I kucurkan darah. Mata


kanannya yang menjorok keluar menatap 

angker pada sosok murid Pendeta Sinting 

yang tengah berusaha bangkit. Saat lain 

tiba-tiba laki-laki ini membuat gerakan 

salto dua kali. 

Pendekar 131 terkesiap. Walau dia 

sudah waspada, namun belum sampai dia 

membuat gerakan, sosok Iblis Rangkap Jiwa 

sudah melayang di atas tubuhnya dengan 

kaki kiri kanan menyapu. 

Dalam keadaan terjepit, Joko masih 

sempat angkat tangan kanannya. Bukkk! 

Pendekar 131 berhasil menghadang 

tendangan kaki kanan Iblis Rangkap Jiwa. 

Tapi kaki kiri lawan terus berkelebat 

tidak mampu dibendung. 

Desss! 

Joko berseru tertahan. Sosoknya 

langsung mencelat mental ke udara. Iblis 

Rangkap Jiwa tersentak deras di udara. 

Tapi laki-laki ini cepat kuasai diri dan 

tanpa membuang waktu, dia berkelebat 

mengejar sosok Joko yang melayang tersapu 

di udara. 

Untuk kedua kalinya murid Pendeta 

Sinting terkejut mendapati Iblis Rangkap 

Jiwa tahu-tahu sudah melayang di atas 

tubuhnya. Dia sudah berpikir akan menahan 

gempuran orang dengan pedang di balik 

pakaiannya, karena dia tidak punya cara 

lain untuk selamatkan diri. 

Tapi baru saja tangan kanannya 

memegang gagang pedang di balik 

pakaiannya, kaki kanan kiri Iblis Rangkap


Jiwa sudah datang menggebrak. 

Bukkk! Bukkk! 

Di atas udara, sosok murid Pendeta 

Sinting terbanting pulang balik ke atas ke 

bawah terhantam kedua kaki Iblis Rangkap 

Jiwa yang menyapu dari arah bawah dan 

atas. Tangan kanannya yang hendak 

keluarkan pedang terpental. Dan pedang di 

balik pakaiannya ikut mencelat keluar dan 

ke udara perdengarkan desingan 

menggidikkan dan pancarkan cahaya 

kekuningan. 

Braakk! 

Sosok murid Pendeta Sinting terus 

meluncur sebelum akhirnya terhenti setelah 

menghantam satu sisi tonjolan batu hingga 

perdengarkan derakan keras. Keningnya 

robek dan kucurkan darah. Sementara dada-

nya terasa nyeri dan laksana pecah karena 

terhantam kaki Iblis Rangkap Jiwa. 

"Celaka! Pedangku terlepas!" gumam 

Joko dengan mata nyalang memperhatikan ke 

arah Iblis Rangkap Jiwa yang sudah tegak 

di seberang dengan tangan kiri kanan usap 

kepala dan wajahnya. 

"Aku memang masih belum lepas pukulan 

‘Sundrik Cakra'. Tapi kurasa pukulan apa 

pun tak akan mampu membuat manusia itu 

mampus” Apalagi, dalam keadaan begini rupa 

terlalu bahaya jika lepas pukulan 'Sundrik 

Cakra'.....Satu-satunya jalan menghadapi 

nya adalah dengan Pedang Tumpul 131.... 

Tapi pedang itu...." 

Pendekar 131 kembali nyalangkan mata


mencari-cari. Saat itulah matanya melihat 

Pedang Tumpul 131 miliknya tegak menancap 

di atas tanah hanya beberapa jengkal di 

sebelah pedang yang menancap di kotak 

hitam. 

Walau sadar dirinya telah terluka, 

namun melihat pedangnya tertancap tidak 

jauh dari pedang di atas kotak hitam, dan 

berpikir bahwa cara menghadapi Iblis 

Rangkap Jiwa hanya dengan pedang, 

Joko tahan rasa sakit yang mendera sekujur 

tubuhnya. Lalu kerahkan tenaga dalam. 

Sosoknya tampak berguncang keras. 

"Pendekar 131!" teriak Iblis Rangkap 

Jiwa. "Sebelum kau mampus, kau perlu tahu 

siapa jahanam-jahanamnya yang akan segera 

menyusulmu! Pertama adalah keparat gurumu 

si Pendeta Sinting. Lalu jahanam tua 

bangka yang tidak bergigi itu! Selanjutnya 

nenek bangsat berjuluk Ratu Malam itu! Dan 

manusia buta Gendeng Panuntun!" 

Yang dimaksud Iblis Rangkap Jiwa 

dengan tua bangka tak bergigi bukan lain 

adalah Iblis Ompong. Salah seorang tokoh 

tanah Jawa yang sempat terlibat dalam 

bentrok di Kedung Ombo, dan juga masih 

saudara seperguruan dengan Ratu Malam dan 

Gendeng Panuntun. 

Pendekar 131 tidak hiraukan teriakan 

iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya cepat 

bergerak sandarkan punggung pada tonjolan 

batu di belakangnya. Saat lain kedua 

tangannya disentakkan ke arah Iblis 

Rangkap Jiwa lepas pukulan 'Lembur


Kuning'. 

Tempat itu seketika berubah menjadi 

semburat kekuningan. Lalu dua gelombang 

luar biasa dahsyat berkiblat dengan 

tebarkan hawa panas. 

Mendapati serangan yang datang, kali 

ini tampaknya Iblis Rangkap Jiwa tidak 

tinggal diam. Dia angkat kedua tangannya 

lalu disentakkan menghadang pukulan lawan. 

Di saat yang sama, begitu lepas 

pukulan 'Lembur Kuning', Joko cepat 

bergerak bangkit. Lalu sekuat tenaga dia 

berkelebat ke arah Pedang Tumpul 131. 

Bummm! Bummm! 

Ledakan hebat kembali mengguncang 

tanah yang banyak ditebari tonjolan batu 

itu. iblis Rangkap Jiwa mencelat dan 

tersungkur jatuh punggung di atas tanah. 

Sementara sosok murid Pendeta Sinting yang 

tengah berkelebat ke arah pedangnya 

tersapu lalu jatuh terkapar. 

Namun kesadaran bahwa hanya dengan 

pedang tindakan Iblis Rangkap Jiwa dapat 

ditahan, Pendekar 131 kerahkan sisa tenaga 

dalam dalam dan luarnya. Saat lain seraya 

menahan rasa sakit, dia bergulingan ke 

arah Pedang Tumpul 131 yang menancap tidak 

jauh dari pedang yang menancap di atas 

kotak hitam. 

Begitu bisa mengukur tangannya mampu 

menjangkau pedang, Joko cepat hentikan 

gulingan tubuhnya. Tangan kanannya segera 

diangkat menjangkau gagang Pedang Tumpul 

131. Lalu dengan bertumpu pada tangan


kanan yang telah menggenggam gagang Pedang 

Tumpul 131, Joko berusaha bangkit. 

Sesaat memang berhasil. Sosoknya 

bergerak tegak. Tapi tiba-tiba tubuh 

bagian atasnya doyong ke samping. Darah 

muncrat menyembur dari mulutnya. Kepalanya 

laksana diputar baling-baling. Pandangan-

nya berkunang-kunang. 

"Celaka! Pandanganku kabur!" desis 

murid Pendeta Sinting dengan mulut 

bergetar dan kedua lutut goyah. 

Di seberang depan, Iblis Rangkap Jiwa 

sudah bangkit dan sekali lagi laki-laki 

ini seolah tidak merasakan sakit meski 

baru saja jatuh punggung akibat bentrokan 

yang membuat luka dalam Joko bertambah pa-

rah. Malah saat lain Iblis Rangkap Jiwa 

perdengarkan tawa bergelak panjang 

mendapati sosok murid Pendeta Sinting 

doyong dan kedua lututnya goyah. 

Namun sekonyong-konyong gelakan tawa 

Iblis Rangkap Jiwa terputus. Mata yang 

melesak masuk di antara tulang wajahnya 

yang porak-poranda dan mata sebelahnya 

yang menjorok keluar, melotot besar. 

Tulang rahangnya terangkat dan mulutnya 

terkancing rapat ketika melihat perubahan 

yang terjadi di seberang depan. 

Ketika tubuh bagian atas murid 

Pendeta Sinting makin doyong dan kedua 

kakinya menekuk, tiba-tiba dia ingat akan 

pedang yang menancap di atas kotak hitam 

yang tidak jauh dari tempatnya. 

Pendekar 131 segera sentakkan kepala


pulang balik untuk mengatasi kekaburan 

pandangan. Dan begitu sekilas dapat 

menangkap di mana beradanya pedang yang 

menancap di kotak hitam, tangan kirinya 

segera digerakkan ke arah gagang untuk 

menopang tubuh agar tidak jatuh. 

Karena pandangannya masih agak kabur, 

beberapa kali tangan kiri Joko sempat 

gagal memegang gagang pedang yang menancap 

di atas kotak hitam hingga sosoknya 

berguncang. Namun Joko sempat bernapas 

lega, karena meski tangan kirinya gagal 

memegang gagang pedang, dia tidak lagi 

merasakan hawa dingin walau dia berada 

dekat dengan pedang. 

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya 

untuk keempat kalinya, tangan kiri Joko 

berhasil memegang gagang pedang yang 

menancap di atas kotak hitam. Doyongan 

tubuhnya terhenti. Lalu perlahan-lahan 

dengan tangan kanan bertumpu pada gagang 

Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri 

bertumpu pada gagang yang menancap pada 

kotak hitam. Joko angkat tubuhnya ke atas. 

Hawa dingin memang menjalar saat 

tangan kirinya berhasil menggenggam gagang 

pedang yang menancap di atas kotak hitam. 

Namun ada keanehan. Hawa dingin itu hanya 

menjalar pada separo anggota tubuhnya 

sebelah kiri. Dan hawa dingin itu tidak 

lagi menusuk seperti saat dia hendak cabut 

pedang dari lobang di bawah tonjolan batu. 

Bahkan beberapa saat kemudian, hawa dingin 

di separo bagian tubuhnya perlahan-lahan


sirna. Bukan itu saja, rasa sakit yang 

mendera sekujur tubuhnya akibat luka dalam 

yang cukup parah, perlahan-lahan pula 

lenyap. 

"Aneh.... Apa yang terjadi?! Aliran 

darahku tidak lagi menyentak-nyentak. 

Pandanganku normal lagi? Dan hawa dingin 

dari pedang di tangan kiriku ini tidak 

terasa lagi.... Tapi apa pun yang terjadi, 

aku harus tetap berpura-pura terluka'" 

Berpikir begitu, meski tidak 

merasakan hawa dingin dan luka dalam 

tubuhnya lenyap, Joko segera perdengarkan 

erangan. Lalu tubuhnya diguncang-guncang 

dengan tangan kanan memegang gagang Pedang 

Tumpul 131 sementara tangan kiri memegang 

gagang pedang yang menancap di kotak 

hitam. 

Tapi murid Pendeta Sinting jadi 

tersentak sendiri. Bersamaan dengan 

guncangan tubuhnya, ternyata pedang di 

tangan kirinya juga bergerak-gerak. Saat 

Joko coba menarik, ternyata pedang di 

tangan kirinya bergerak ke atas! 

"Pedang ini bisa kucabut! Tapi aku 

harus menunggu saat yang tepat!" gumam 

Joko dalam hati. Lalu kembali tekan pedang 

di tangan kirinya hingga kembali menancap 

seperti semula. Saat bersamaan Joko 

kembali membuat sikap orang tengah terluka 

dalam cukup parah. 

Di seberang depan, melihat perubahan 

pada diri Pendekar 131, Iblis Rangkap Jiwa 

pada mulanya memang sempat tercengang. Dia


menangkap ada sesuatu yang tak beres. 

Hingga dia putuskan gelakan tawanya dan 

memandang lekat-lekat ke arah sosok murid 

Pendeta Sinting. Namun begitu mendapati 

Pendekar 131 mengerang kesakitan dan 

tubuhnya berguncang kembali, laki-laki 

bertampang angker ini sunggingkan senyum 

lebar. Lalu sekali membuat gerakan melom-

pat, sosoknya sudah tegak lima langkah di 

hadapan Joko. 

Namun begitu, tampaknya Iblis Rangkap 

Jiwa tidak berani bertindak ayal. Beberapa 

saat dia tegak diam memperhatikan. 

"Manusia jahanam ini banyak akalnya! Dia 

memang sudah terluka dalam hampir mampus, 

tapi aku harus tetap berhati-hati. Pedang 

di tangan kanannya masih berbahaya! Sekali 

salah hitung, bisa membuat aku celaka 

sendiri!" 

Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandang 

matanya ke arah tangan kanan Joko yang 

memegang gagang Pedang Tumpul 131. Lalu 

beralih pada tangan kiri Joko yang 

memegang gagang pedang yang menancap di 

kotak hitam untuk menopang tubuhnya. 

"Aneh.... Ketika dia tadi hendak 

mengambilnya dari dalam lobang, jelas dia 

tersentak kaget! Pasti dia mengalami hal 

seperti apa yang kurasa ketika tanganku 

hendak mencabut pedang celaka sialan itu! 

Tapi mengapa sekarang sepertinya dia tidak 

mengalami apa-apa?! Padahal aku tadi 

merasakan sekujur tubuhku laksana dihimpit 

bongkahan es! Tanganku kaku tak bisa


digerakkan dan mengeluarkan asap putih! 

Setan jahanam apa yang membuat dia 

bertahan?! Mungkinkah dia memiliki cara 

untuk menahan hawa dingin laknat itu?! 

Hem.... Terpaksa aku tidak membunuhnya da-

hulu. Aku akan mengorek keterangan dari 

mulutnya mengapa dia sampai bisa bertahan! 

Kalau tidak, aku tidak akan mampu membawa 

pedang itu ke tanah Jawa!'* Iblis Rangkap 

Jiwa membatin. Lalu buka mulut. 

"Pendekar 131 Joko Sableng! 

Membunuhmu saat ini semudah meludah ke 

atas tanah! Pada awalnya, aku memang 

berniat membunuhmu. Dosamu padaku setinggi 

tujuh langit sedalam delapan laut. Tapi 

bagiku pantang membunuh manusia yang sudah 

tidak berdaya. Kau kuberi kesempatan untuk 

hidup! Namun kau harus menerima syaratku!" 

Pendekar 131 gelengkan kepala pulang 

balik. Lalu buka suara. 

"Aku berterima kasih atas kelapangan 

dadamu tidak membunuhku.... Katakan syarat 

yang kau minta...!" 

"Pertama. Kau harus tinggalkan kedua 

pedang itu! Kedua. Jangan kau berani lagi 

menginjak tanah Jawa! Ketiga. Katakan 

padaku bagaimana kau bisa bertahan melawan 

hawa dingin yang keluar dari pedang di ta-

ngan kirimu! Jika salah satu syarat yang 

kuminta tidak kau penuhi, terpaksa aku 

melanggar pantangan! Aku akan membunuhmu 

meski keadaanmu sudah hampir mampus tak 

berdaya!" 

"iblis Rangkap Jiwa!" kata Joko


dengan suara bergetar setengah tersendat. 

Kepalanya digerak-gerakkan pulang balik 

membuat sikap seperti orang yang tengah 

hilangkan rasa kabur pada pandangannya. 

"Syarat pertama dan ketiga mungkin bisa 

kupenuhi! Tapi syaratmu yang kedua, 

rasanya sulit kuterima...." Joko hentikan 

ucapannya sesaat. Sepasang matanya dipan-

tang besar memandang pada sosok orang di 

hadapannya. Lalu mulutnya kembali 

menyambung. "Kau tahu.... Aku punya 

beberapa kekasih di tanah Jawa,... Bahkan 

dua di antaranya kini tengah hamil 

besar.... Kalau aku tidak kau beri izin 

menginjak tanah Jawa lagi, bagaimana nasib 

beberapa gadis itu?! Apalagi yang saat ini 

tengah hamil besar?! Siapa yang akan 

menunggui mereka saat melahirkan nanti?! 

Belum lagi, siapa pula kelak yang akan 

bertanggung jawab mengakui anak-

anaknya...?!" 

"Hem.... Begitu?! Baik.... Syarat 

kedua kuhilangkan! Sekarang kau katakan 

dahulu bagaimana caranya bisa bertahan 

melawan hawa dingin yang keluar dari 

pedang di tangan kirimu!" 

Pendekar 131 pejamkan mata dengan 

tangan sengaja dibuat bergetar. Lalu 

menyahut. 

"Kau tahu bulu ketiak?!" 

"Jahanam! Nyawamu sudah di mulut! 

Masih juga kau bicara main-main!" 

"Ah.... Siapa main-main.... Aku 

bersungguh-sungguh! Kau tahu bulu ketiak,


bukan?!" 

"Teruskan bicaramu!" bentak Iblis 

Rangkap Jiwa. 

"Pedang di tangan kiriku ini adalah 

pedang maha dahsyat dan maha aneh! Pedang 

inilah yang menjadi bahan sengketa 

beberapa tokoh di daratan Tibet! Kalau 

bukan karena pedang ini, tidak mungkin aku 

jauh-jauh sampai negeri ini! Pedang...." 

"Keparat! Jangan berbelit-belit!" 

hardik Iblis Rangkap Jiwa memotong. 

"Baik.... Baik...! Seperti kukatakan 

tadi. Pedang ini selain maha dahsyat juga 

maha aneh. Kau tadi sudah mengalaminya 

sendiri. Dan untuk bisa bertahan dari 

keanehannya, kau harus mencari bulu ketiak 

tujuh perempuan yang usianya tepat tujuh 

puluh tahun! Kau cukup mengambil tujuh 

helai rambut ketiak tujuh perempuan 

tersebut yang sebelah kiri.... Jika sudah 

terkumpul, kau harus membungkusnya dengan 

robekan kain berwarna putih. Lalu kau 

bakar. Abunya kau telan saat menjelang 

bulan purnama!" 


EMPAT 



IBLIS Rangkap Jiwa tegak dengan sosok 

bergetar keras. Tulang wajahnya yang 

porak-poranda bergerak-gerak, pertanda 

dadanya telah diamuk hawa kemarahan luar 

biasa. Tanpa buka mulut lagi, tangan kiri 

kanannya diangkat. 

"Iblis Rangkap Jiwa!" Joko buru-buru


berseru. "Apa yang akan kau lakukan?!" 

"Bercandalah sepuasmu, Pendekar 131! 

Sebentar lagi saatmu bercanda sudah 

pupus!" sentak Iblis Rangkap Jiwa. 

"Tunggu!" teriak murid Pendeta 

Sinting dengan suara bergetar. Dia coba 

angkat sedikit tubuhnya ke atas. "Kau kira 

aku bercanda?!" Joko geleng-gelengkan 

kepalanya. "Tidak! Aku berkata sungguh-

sungguh! Keanehan pedang ini hanya bisa 

ditahan dengan apa yang baru saja 

kukatakan! Kau boleh percaya atau 

tidak.... Yang jelas aku baru bisa 

bertahan dari hawa laknat pedang Ini 

setelah menelan abu tujuh helai bulu 

ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh 

tahun saat menjelang bulan purnama!" Joko 

hentikan ucapannya sesaat seraya melirik 

ke arah Iblis Rangkap Jiwa. 

"Aku tahu...," Joko sambungi kata-

katanya. "Kau manusia berilmu tinggi. Tapi 

kau boleh mencoba sekali lagi untuk 

memegang gagang pedang ini sambil kerahkan 

tenaga dalam yang kau miliki! Jika kau 

bertahan, aku akan turuti ketiga syaratmu! 

Aku tidak akan injakkan kaki lagi di tanah 

Jawa!" 

Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa 

lama. Jelas sikapnya menunjukkan kebim-

bangan hati. 

"Saat memegang pedang tadi, aku sudah 

coba kerahkan hawa murni dan tenaga dalam. 

Tapi hawa dingin sialan itu tidak mampu 

kutahan! Apakah benar keterangan jahanam


kecil ini?! Hem.... Kalau benar, berarti 

selain pedang ini dahsyat, juga aneh.... 

Jika aku berhasil membawanya ke tanah 

Jawa, aku tak perlu lagi khawatir pedang 

ini akan lenyap disambar orang lain, 

karena selain persyaratannya aneh, juga 

tidak diduga orang.... Tujuh helai bulu 

ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh 

tahun...." Membatin Iblis Rangkap Jiwa. 

"Hem.... Kalau aku tidak segera 

mendapatkan bulu ketiak itu, bagaimana 

nanti ceritanya?! Di mana akan kutaruh 

pedang itu...?!" 

Iblis Rangkap Jiwa kembali didera 

perasaan bimbang. Namun pada akhirnya 

laki-laki ini memutuskan. "Itu urusan 

nanti. Yang penting aku telah mendapatkan 

keterangan! Dan tiba saatnya menghabisi 

jahanam kecil itu!" 

Setelah membatin begitu, Iblis 

Rangkap Jiwa maju satu tindak seraya 

berucap. 

"Sekarang berbaliklah! Dan tinggalkan 

tempat ini!" 

"Tunggu!" kata murid Pendeta Sinting. 

"Setelah kupikir sekali lagi, aku 

memutuskan untuk tidak kembali ke tanah 

Jawa...." 

"Itu urusanmu!" sahut Iblis Rangkap 

Jiwa. 

"Betul! Itu memang urusanku. Tapi 

kuharap kau tidak keberatan kalau kuminta 

untuk sampaikan pesan...." 

"Pengampunan nyawamu sudah lebih dari


cukup! Jangan minta tambah!" 

"Ah.... Jika begitu keputusanmu, 

rasanya aku tidak bisa menuruti syaratmu!" 

"Berarti kau pilih mampus!" 

"Mungkin itu bukan pilihan terbaik. 

Tapi daripada hidup tanpa bisa memberi 

kabar pesan, bukankah...." 

"Kau telah putuskan jalanmu sendiri!" 

bentak Iblis Rangkap Jiwa. Kemarahan yang 

mendera dadanya membuat dia kurang 

waspada. Dia tidak lagi memikirkan kalau 

saat itu tangan kiri kanan murid Pendeta 

Sinting masih menggenggam gagang dua 

pedang. Hingga begitu membentak, sosoknya 

melesat ke depan Kedua tangannya 

dihantamkan sekaligus ke arah kepala 

Pendekar 131! 

Di lain pihak, karena sudah waspada 

dengan sikap orang, begitu Iblis Rangkap 

Jiwa melesat, Pendekar 131 sentakkan kedua 

tangannya yang bertumpu pada dua pedang. 

Sett! Sett! 

Pedang Tumpul 131 dan pedang putih 

yang di atas kotak hitam tercabut. 

Terdengar desingan angker. Dua kilatan 

sinar kuning dan sinar putih semburat. 

Lalu bertabur hawa panas dan dingin. 

Iblis Rangkap Jiwa sempat terlengak. 

Namun sudah terlambat untuk tarik pulang 

gerakan kedua tangannya. Di lain pihak, 

Joko cepat putar kedua tangannya ke depan. 

Dua pedang di tangan disentakkan 

menghadang kedua tangan Iblis Rangkap 

Jiwa.


Dalam keadaan terjepit begitu rupa, 

Iblis Rangkap Jiwa masih sempat untuk 

berpikir. Hingga meski merasa terlambat 

untuk tarik kedua tangannya, dia tidak 

pasrah begitu saja. Kaki kiri kanannya 

segera diangkat lalu disapukan ke bawah 

mengambil ruang di antara babatan kedua 

pedang. 

Craass! Craass! 

Bukkk! Bukkk! 

Terdengar dua seruan tertahan. Sosok 

Iblis Rangkap Jiwa tersentak mundur. Lalu 

roboh terjengkang di atas tanah dengan 

mata mendelik memperhatikan kedua 

tangannya yang kucurkan darah karena putus 

sebatas siku! 

DI seberang, sosok murid Pendeta 

Sinting terpental dua tombak dan jatuh 

telentang di atas tanah. Dadanya yang baru 

saja terhantam kedua kaki Iblis Rangkap 

Jiwa laksana disentak kekuatan dahsyat 

hingga untuk beberapa saat dia pejamkan 

mata dengan mulut megap-megap. Sosoknya 

bergetar keras. Dua pedang di kedua 

tangannya hampir saja lepas mental. Namun 

karena sadar jika lawan bukan manusia 

sembarangan, Joko cepat genggam erat-erat 

gagang dua pedang. 

"Aku bersumpah akan mencincang 

tubuhmu!" teriak Iblis Rangkap Jiwa marah. 

Dia kuatkan diri untuk bergerak bangkit. 

Darah makin deras mengucur dari kedua 

tangannya. Namun seolah tidak mengalami 

apa apa, laki-laki berkepala gundul yang


sebagian sudah rengkah ini segera membuat 

gerakan berkelebat. Kemarahan yang makin 

menggelegak membuatnya berlaku nekat. 

Hingga hanya mengandalkan kedua kaki, dia 

menerjang ke arah murid Pendeta Sinting 

yang mulai bergerak bangkit. 

Pendekar 131 tidak mau berlaku 

sembarangan. Walau Iblis Rangkap Jiwa 

tidak lagi dapat lepaskan pukulan dengan 

kedua tangan, namun kedua kakinya masih 

merupakan senjata yang tidak boleh 

dipandang sebelah mata. Hingga begitu 

sosok Iblis Rangkap Jiwa berkelebat dengan 

sapukan kedua kaki, Joko cepat pula 

sambarkan kedua pedang ke arah gerakan 

kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa. 

Craass! Craass! 

Untuk kedua kalinya iblis Rangkap 

Jiwa perdengarkan seruan melengking. 

Sosoknya terbanting kesamping dengan kedua 

kaki putus sebatas betis! Darah muncrat 

membasahi sebagian pakaiannya yang com-

pang-camping. Untuk beberapa saat laki-

laki ini memandang angker dengan tubuh 

digerak-gerakkan. Namun karena kedua kaki 

dan tangannya sudah putus, dia tidak bisa 

berbuat banyak. Malah dalam beberapa saat 

kemudian, sosoknya diam tak bergerak 

dengan mata terpejam rapat! 

Di atas tanah, Pendekar 131 menarik 

napas seraya melirik pada sosok Iblis 

Rangkap Jiwa. Lalu bergerak bangkit. 

"Sebenarnya aku tak ingin semua ini 

terjadi! Tapi kalau dibiarkan, tindakannya


akan membuat geger! Bukan saja di daratan 

Tibet, tapi juga di tanah Jawa!" gumam 

Joko sambil memperhatikan sekali lagi ke 

arah sosok Iblis Rangkap Jiwa yang 

tergeletak diam dengan kedua tangan dan 

kaki terus kucurkan darah. 

"Aku tidak bisa memastikan dia masih 

hidup atau sudah tewas.... Kalau masih 

hidup, mudah-mudahan perisiiwa ini 

merupakan pelajaran kedua baginya! Kalau 

ternyata tewas, mungkin sudah takdirnya 

harus mampus di negeri orang!" 

Habis bergumam begitu, Joko kerahkan 

tenaga dalam untuk mengatasi rasa nyeri 

pada dadanya akibat hantaman kedua kaki 

Iblis Rangkap Jiwa. Saat lain dia 

melangkah ke arah kotak hitam di mana tadi 

pedang yang masih di tangan kirinya 

menancap. 

Pendekar 131 jongkok di sebelah kotak 

hitam. Sesaat matanya membelalak. Walau 

jelas dia tadi melihat pedang di tangan 

kirinya menancap di atas kotak hitam, 

namun ternyata kotak hitam itu tidak 

berlobang! Saat itulah Joko segera 

dekatkan pedang di tangan kirinya. Lalu 

diperhatikan berlama-lama. 

"Aku akan memeriksa apa isi kotak 

hitam ini!" kata 

Joko setelah agak lama memperhatikan 

pedang putih di tangan kirinya. 

Pedang putih diletakkan di atas 

tanah. Lalu Pedang Tumpul 131 yang masih 

berada di tangan kanan dimasukkan ke


sarung pedang yang masih berada di balik 

pakaiannya. 

Joko memperhatikan sesaat pada kotak 

hitam. Lalu mengambil pedang putih. Namun 

mendadak dia tersentak dan hampir saja 

terlonjak berdiri. Tangan kanannya yang 

menyentuh pedang putih tiba-tiba dialiri 

hawa dingin menusuk! 

"Astaga! Apa yang terjadi?!" seru 

Joko seraya tarik tangan kanannya. 

Sepasang mata dipentang besar-besar 

memperhatikan pedang putih yang tergeletak 

di atas tanah. "Mengapa hawa dingin itu 

kembali terasa?!" 

Mungkin belum percaya, Joko kembali 

gerakkan tangan kanan ke arah pedang. 

Namun kali ini dengan kerahkan hawa murni 

dan tenaga dalam. Hawa dingin memang masih 

terasa saat tangan kanannya menyentuh 

gagang pedang. Namun cuma sesaat. Kejap 

lain tangan kanannya laksana diguyur es. 

Dan sekujur tubuhnya dingin dan kepulkan 

asap putih! 

Karena penasaran, Joko lipat gandakan 

tenaga dalam dan pengerahan hawa murni. 

Namun dia hanya bisa bertahan beberapa 

saat. Saat lain tubuhnya laksana kaku! 

Hingga seraya mendesis, Joko lepaskan ga-

gang pedang putih. 

"Celaka! Kalau aku tidak bisa membuka 

rahasia !ni, berarti aku tidak bisa 

membawanya!" bisik Joko. Lalu terdiam 

beberapa lama berpikir. Namun sejauh ini 

tampaknya dia gagal menemukan jalan


keluar. 

"Ah.... Lebih baik kulihat dahulu apa 

isi kotak itu. Siapa tahu di sana 

tersimpan satu petunjuk!" 

Pendekar 131 segera ulurkan kedua 

tangan pada kotak hitam. Laiu dengan 

jerengkan mata dan kerahkan hawa murni, 

perlahan-lahan dia membuka kotak hitam. 

Sesaat mata Joko menyipit. Karena 

ternyata kotak hitam itu hanya berisi 

sebuah benda berbentuk kotak sepanjang 

satu jengkal dan lebarnya setengah 

jengkal. Kotak itu berwarna kuning dan 

berukir. 

Dengan tangan agak gemetar, Joko 

mengambil kotak kuning berukir di dalam 

kotak hitam. 

"Emas! Kotak ini terbuat dari emas!" 

desis Joko setelah memperhatikan kotak 

kuning berukir yang kini berada di tangan. 

Pendekar 131 membolak-balik kotak 

kuning berukir. Kotak itu tebalnya 

seperempat jengkal. Anehnya, hanya ada 

satu lobang tipis memanjang pada satu 

sisinya. Sementara ketiga sisi lainnya 

tertutup rapat. 

"Aneh.... Kotak apa ini...?!" gumam 

Joko lalu dekatkan lobang tipis memanjang 

ke arah matanya. Dia mengintip bagian 

dalam dari lobang tipis. 

"Tidak ada apa-apanya! Lobang tipis 

ini terus memanjang sampai bagian ujung! 

Hem.... Apa pun adanya kotak berukir ini, 

pasti ada gunanya! Tapi untuk apa...?!"


Murid Pendeta Sinting menghela napas 

panjang lalu letakkan kotak kuning berukir 

di atas kotak hitam yang sudah ditutup 

lagi. Lalu berpaling pada pedang putih 

yang masih berada di atas tanah. 

Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 

131 coba berpikir. Namun pada akhirnya ia 

geleng kepala. "Aku tak mampu berpikir 

lagi bagaimana caranya membawa pedang 

serta apa gunanya kotak kuning berukir 

ini! Haruskah aku meninggalkannya di 

sini?!" 

Baru saja berpikir begitu, mendadak 

matanya menumbuk pada lobang tipis di 

kotak kuning berukir. Laiu kepalanya 

berpaling pada tubuh pedang. Beberapa saat 

kepalanya bergerak pulang balik ke arah 

lobang tipis memanjang dan tubuh pedang. 

"Dari ukuran dan tipisnya lobang, 

jangan-jangan lobang itu tempat masuknya 

ujung pedang. Tapi apa mungkin?! Pedang 

itu panjangnya hampir tiga jengkal. 

Sementara kotak kuning berukir itu 

panjangnya hanya satu jengkal?! Tapi tak 

ada salahnya aku mencoba...." 

Joko cepat gerakkan tangan hendak 

mengambil pedang. Namun mendadak 

gerakannya tertahan ketika dia ingat kalau 

tidak kuasa menahan hawa dingin yang 

keluar ketika tangannya menyentuh gagang 

pedang. 

"Busyet! Bagaimana ini...?!" Joko 

kembali menghela napas panjang dan geleng-

geleng kepala. Saat Itulah tiba-tiba ia


ingat. "Hawa dingin dari pedang itu sudah 

terasa ketika tangan kananku memegang 

gagang Pedang Tumpul 131.... Jangan-

jangan...." 

Pendekar 131 cepat cabut Pedang 

Tumpul 131 dari sarung di balik 

pakaiannya. Pedang Tumpul 131 dipegang 

tangan kiri. Lalu dengan menahan napas dia 

gerakkan tangan kanan ke arah pedang putih 

yang tergeletak di atas tanah. 

Joko menarik napas lega karena meski 

pada mulanya hawa dingin masih terasa dan 

menjalar ke bagian separo dari tubuhnya, 

namun hawa dingin itu hanya berlangsung 

beberapa saat. Kejap lain hawa dingin itu 

tidak lagi terasa! 

Pendekar 131 gerakkan tangan kiri ke 

arah kolak kuning berukir dan ujung ibu 

jarinya ditekankan pada kotak kuning 

berukir. Lalu perlahan-lahan tangan ka-

nannya yang telah memegang gagang pedang 

putih diangkat dan perlahan-lahan pula 

ujung pedang putih dimasukkan ke dalam 

lobang tipis memanjang pada kotak kuning 

berukir. 

"Tepat!" desis Joko ketika ujung 

pedang perlahan-lahan masuk ke lobang 

tipis memanjang di kotak kuning berukir. 

Namun Joko masih tidak berani memastikan. 

Karena nyatanya panjang pedang tidak 

mungkin bisa masuk seluruhnya ke dalam 

kotak yang hanya sepanjang satu jengkal. 

Namun murid Pendeta Sinting jadi 

terkesima tatkala merasakan ujung pedang


terus masuk padahal dari ukurannya, jelas 

jika seandainya kotak berukir itu 

berlobang di ujung belakangnya, maka ujung 

pedang pasti sudah nongol tembus. 

Dengan perlahan-lahan dan mata 

membelalak tak berkesip, tangan kanan Joko 

terus dorong pedang putih masuk ke dalam 

lobang tipis memanjang. Dan dia hampir 

tidak percaya ketika gagang pedang merapat 

pada lobang tipis, tapi ujung pedang yang 

masuk ke dalam tidak terasa terhalang 

apalagi tembus di belakang sana! 

"Luar biasa!" desis murid Pendeta 

Sinting ketika melihat bagaimana sekarang 

pedang itu hanya terlihat gagangnya yang 

berada di luar kotak kuning berukir. 

Sementara tubuh pedang yang panjangnya 

tiga jengkal masuk ke dalam kotak yang 

hanya memiliki panjang satu jengkal! 

Tapi rasa lega murid Pendeta Sinting 

tidak berlangsung lama saat dia ingat 

bagaimana cara membawa kotak berukir. 

"Tidak mungkin aku membawanya dengan 

tangan satu memegang Pedang Tumpul 131.... 

Tapi...." 

Entah karena ingin mencoba, Joko 

cepat letakkan kotak emas berukir di atas 

kotak hitam. Lalu memasukkan Pedang Tumpul 

131 ke balik pakaiannya. Saat lain kedua 

tangannya bergerak ke arah kotak emas 

berukir di atas kotak hitam. 

Tangan murid Pendeta Sinting tampak 

bergetar tatkala mulai menyentuh gagang 

pedang yang nongol di bagian luar kotak


emas berukir. Namun dia laksana terbang 

saat tangannya tidak lagi merasakan hawa 

dingin menjalar dari tangannya yang telah 

menyentuh gagang pedang! 

Karena tidak lagi merasakan hawa 

dingin, buru-buru Joko angkat kotak emas 

berukir dengan tangan kiri. Sementara 

tangan kanan memegang gagang pedang dan 

didekatkan ke arah tubuhnya. 

"Aku berhasil! Ternyata pedang Ini 

tidak pancarkan hawa dingin saat masuk ke 

dalam kotak emas inil" Joko sunggingkan 

senyum lalu setelah agak lama memper-

hatikan dia bergerak bangkit. 

Kotak berukir kuning perlahan-lahan 

disimpan ke balik pakaiannya. Lalu arahkan 

pandangan ke arah kotak hitam pembungkus 

kotak emas di atas tanah. "Hem.... Mungkin 

pembungkus itu tak perlu kubawa serta!" 

gumam Joko. Lalu dengan gerak-gerakkan ke-

dua tangannya yang terasa ngilu karena 

tegang, dia melangkah tinggalkan tempat 

itu. 


LIMA 



NAMUN baru saja mendapat sepuluh 

langkah, sekonyong-konyong terdengar 

deruan angker. Pendekar 131 balikkan 

tubuh. Memandang ke depan, dia tersentak 

dengan mata membeliak. 

Sosok Iblis Rangkap Jiwa melesat 

lurus ke arahnya dengan posisi telungkup 

di atas udara! Dari kedua tangan dan

kakinya muncrat cairan darah. Sementara 

sepasang matanya menyengat angker dari 

wajahnya yang dahsyat! 

"Dia belum mampus!" desis murid 

Pendeta Sinting. Baru saja terdengar 

desisan, dan belum sempat membuat gerakan 

apa-apa, sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah 

berada setengah depa di hadapan Joko! 

Kepalanya yang rengkah di bagian satu 

sisinya ditundukkan dan siap dihantamkan 

pada dada murid Pendeta Sinting! 

Cepatnya lesatan sosok Iblis Rangkap 

Jiwa dan terkejutnya murid Pendeta Sinting 

membuat Joko terlambat membuat gerakan. 

Hingga baru saja Joko angkat kedua 

tangannya, kepala Iblis Rangkap Jiwa sudah 

satu setengah jengkal di hadapannya! 

Satu jengkal lagi kepala Iblis 

Rangkap Jiwa menghantam dada Pendekar 131, 

mendadak terdengar deruan dari arah 

samping. Satu gelombang berkiblat. Sosok 

Pendekar 131 tersentak dua langkah ke 

samping. Saat yang sama, kepala Iblis 

Rangkap Jiwa yang siap menghantam dada 

tersentak ke atas mendongak. Lalu sosoknya 

tersapu dan terbanting dua kali di atas 

udara sebelum akhirnya meluncur deras dan 

jatuh menghantam tonjolan batu agak 

runcing. 

Prakkk! 

Iblis Rangkap Jiwa melolong tinggi. 

Kepalanya pecah menghantam batu. Beberapa 

saat sosok laki-laki yang kedua tangan dan 

kakinya telah terbabat putus ini berusaha


angkat kepalanya yang telah bersimbah da-

rah. Namun saat lain kepalanya lunglai. 

Lolongannya terputus. Lalu sosoknya diam 

tak bergerak-gerak lagi! 

Pendekar 131 cepat berpaling ke 

samping. Satu sosok bayangan berkelebat. 

Lalu satu sosok tubuh telah tegak 

memandang tajam pada Joko. 

Hampir saja Joko surutkan langkah. 

Dia melihat seorang gadis muda berparas 

cantik berambut panjang dikelabang dua. 

Sepasang matanya bulat tajam. Kulitnya 

putih dengan bibir merah tanpa polesan. 

Gadis ini mengenakan pakaian warna ungu. 

"Dayang Tiga Purnama!" bisik Pendekar 

131 mengenali siapa adanya gadis cantik 

berambut kelabang dua berbaju ungu. 

"Bagaimana dia bisa berada di tempat 

ini?! Mungkinkah masih ada orang lain 

lagi...?! Joko putar pandangan 

berkeliling. Lalu kembali memandang pada 

gadis berbaju ungu yang bukan lain memang 

Dayang Tiga Purnama adanya. 

"Dayang.... Terima kasih...." 

"Simpan dulu rasa terima kasihmu, 

Pendekar 131 Joko Sableng!" 

Sahutan ketus Dayang Tiga Purnama 

membuat murid Pendeta Sinting maklum. 

Dalam hati dia membatin. "Aku tahu. 

Mungkin dia masih percaya dengan kete-

rangan Nenek Selir kalau aku menghamili 

kedua cucunya! Mungkin juga dia masih 

jengkel karena merasa tertipu saat Datuk 

Kala Sutera memanggilku Paduka Seribu


Masalah, sementara aku memperkenalkan diri 

padanya dengan Joko Sableng! Hem.... Tapi 

satu ha! yang pasti, dia sudah lama berada 

di tempat Ini! Terbukti ia memanggilku 

lengkap! Panggilan itu pasti didengarnya 

dari mu!ut Iblis Rangkap Jiwa ketika masih 

bernyawa tadi!" 

Pendekar 131 tersenyum. Lalu 

melangkah mendekat. 

"Jangan berani lanjutkan langkah!" 

Dayang Tiga Purnama membentak. Joko 

batalkan niat mendekati. Senyumnya 

diputus. 

"Ada apa dengan gadis ini?! 

Mungkinkah dia menginginkan pedang putih 

di dalam kotak berukir emas?!" Joko 

menduga-duga seraya menatap tajam pada 

gadis di hadapannya. Lalu berkata. 

"Dayang Tiga Purnama.... Kalau ada 

ganjalan di hati, harap katakan!" 

Dayang Tiga Purnama tidak segera buka 

mulut. Dalam hati gadis ini berkata. "Aku 

telah mengikutinya sejak dari hutan bambu. 

Aku juga telah dengar percakapannya dengan 

manusia yang bernama Iblis Rangkap JiWa 

itu! Dia telah mendapatkan pedang 

sakti.... Kalau tidak mendapat keterangan 

dari tokoh negeri ini, mustahil dia dapat 

memperoleh pedang itu.... Jadi jangan-

jangan benar semua keterangannya kalau dia 

banyak punya sahabat di negeri ini meski 

dia baru saja injakkan kaki di tanah Tibet 

ini.... Dia harus segera memberi ke-

terangan di mana aku bisa bertemu dengan


Paduka Seribu Masalah!" 

Habis membatin begitu, Dayang Tiga 

Purnama buka suara. 

"Aku perlu jawaban jujur! Di mana aku 

bisa bertemu dengan Paduka Seribu 

Masalah?!" 

Belum sampai Joko buka mulut 

menjawab, si gadis sudah sambung! 

ucapannya. "Tapi jangan bicara main-main! 

Aku tidak suka bercanda!" 

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, boleh 

aku tanya?!" 

Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. 

Sebaliknya arahkan pandangannya ke jurusan 

lain. 

"Selain pertanyaanmu tadi, apakah 

nanti masih ada pertanyaan lain?!" Joko 

buka mulut lagi setelah ditunggu tidak 

juga ada sahutan dari Dayang Tiga Purnama. 

"Siapa dirimu sekarang sudah jelas 

bagiku! Kau juga tak perlu khawatir! Aku 

tidak menginginkan pedang putih di 

tanganmu! Jelas?!" 

Joko anggukkan kepala. Lalu berkata. 

"Aku tidak main-main dengan jawabanku.... 

Kuharap kau nantinya percaya!" Joko 

memandang sekilas pada bagian samping raut 

wajah Dayang Tiga Purnama. Lalu melanjut 

kan. 

"Kau masih ingat dengan orang yang 

bersamaku ketika kita pertama kali 

bertemu?" 

Dayang Tiga Purnama berpaling. Belum 

sampai dia buka mulut, Joko mendahului.


"Orang yang selalu duduk rangkapkan 

kaki dan sembunyikan wajah di belakang 

rangkapan kedua kakinya, Itulah Paduka 

Seribu Masalah...." 

Wajah Dayang Tiga Purnama berubah. 

Sepasang matanya sedikit membeliak. Dengan 

suara tinggi dia bertanya. 

"Kalau ucapanmu benar, mengapa kau 

tidak mengatakannya saat itu?!" Dada 

Dayang Tiga Purnama tampak berguncang. 

"Kau jangan mempermainkan aku! Jangan kira 

aku bodoh seperti manusia dari negeri 

asalmu itu yang begitu saja percaya saat 

kau katakana harus mencari tujuh helai 

bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh 

puluh tahun sebagai penangkal dari hawa 

dingin pedang di tanganmu!" 

"Hem.... Dugaanku tepat! Berarti dia 

sudah lama berada di sekitar tempat ini!" 

Joko membatin mendengar kata-kata Dayang 

Tiga Purnama. Lalu berkata. 

"Aku tahu kapan saatnya bercanda dan 

kapan waktunya bersungguh-sungguh! 

Ucapanku tentang bulu ketiak itu memang 

main-main! Tapi keteranganku tentang siapa 

adanya Paduka Seribu Masalah bersungguh-

sungguh!" 

"Tapi mengapa kau tidak mengatakannya 

saat itu juga?! Bukankah saat itu aku 

telah mengatakan padamu semua rahasiaku?! 

Mengapa kau tidak berterus terang?! 

Padahal aku sudah berterus terang padamu?! 

Seharusnya kau jujur kalau untuk 

keterangan yang kuminta kau membutuhkan


imbalan!" 

Tampang murid Pendeta Sinting berubah 

merah padam. Tapi belum sempat dia buka 

suara, si gadis berucap lagi. 

"Sekarang katakan imbalan apa yang 

kau minta jika aku menginginkan keterangan 

di mana beradanya Paduka Seribu Masalah!" 

"Dayang.... Aku tidak mengharap 

imbalan apa-apa!" 

"Lalu apa maksudmu tidak mau berterus 

terang mengatakan orang yang kucari?! 

Padahal...." 

"Dayang.... Saat itu aku sendiri 

belum yakin kalau orang yang duduk 

rangkapkan kaki dan sembunyikan wajahnya 

itu adalah Paduka Seribu Masalah!" 

"Kau pandai bicara berbelit-belit! 

Waktu bertemu itu, kau katakan dia adalah 

sahabatmu! Bagaimana mungkin kau tidak 

yakin dengan orang yang kau katakan 

sebagai sahabat apalagi saat itu 

bersamamu?!" 

Seperti diketahui, saat menuju Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Sungai, Pendekar 131 

dan Paduka Seribu Masalah sempat bertemu 

dengan Dayang Tiga Purnama. Saat itu 

Dayang Tiga Purnama berterus terang me-

ngatakan pada Joko tentang ganjalan 

hatinya. Dia mencari seorang bergelar 

Paduka Seribu Masalah. Karena saat itu 

murid Pendeta Sinting sendiri belum yakin 

kalau orang yang bersamanya adalah Paduka 

Seribu Masalah, Joko tidak mau mengatakan 

siapa adanya orang yang bersamanya. Dia


hanya mengatakan, Paduka Seribu Masalah 

adalah salah seorang sahabatnya. (Untuk 

jelasnya silakan baca seria! Joko Sableng 

dalam episode : "Dayang Tiga Purnama"). 

"Kau tidak menjawab memberi alasan!" 

kata Dayang Tiga Purnama ketika Joko hanya 

diam mendengar kata-kata si gadis. 

"Dayang.... Saat itu aku harus buru-

buru menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai. Terus terang saja. Ketika itu aku 

masih ragu-ragu tentang siapa adanya orang 

yang bersamaku. Aku baru bertemu dengannya 

di hutan bambu. Aku baru yakin kalau dia 

adalah Paduka Seribu Masalah setelah tiba 

di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!" 

"Bagaimana kau bisa yakin?!" 

"Dua orang sahabatku di lembah itu 

yang memberi keterangan!" 

"Siapa mereka?!" Dayang Tiga Purnama 

terus mengejar. 

"Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap 

Kayangan!" 

"Hem.... Aku pernah dengar nama kedua 

orang yang baru disebut!" kata Dayang Tiga 

Purnama dalam hati. Lalu bertanya lagi. 

"Ketika kau balik, kau tidak bersama 

orang yang kau katakan sebagai Paduka 

Seribu Masalah. Ke mana dia?!" 

"Kami berpisah ketika sampai di 

sungai keenam...." "Dia balik ke Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Su-ngai?!" 

Joko gelengkan kepala. "Aku tak tahu 

pasti. Dia tidak mengatakannya padaku!" 

"Kau pernah berjanji akan mengatakan


urusanku pada Paduka Seribu Masalah! Lalu 

setelah kau yakin orang itu adalah Paduka 

Seribu Masalah, apakah kau menanyakan 

urusanku padanya?!" 

Pendekar 131 terdiam. Dadanya 

berdebar tidak enak. Perlahan-lahan dia 

berpaling dengan memoatin. "Apa yang harus 

kukatakan padanya?! Paduka Seribu Masalah 

tidak mau menjawab perihal gadis ini 

dengan alasan hal itu masih ada kaitannya 

dengan urusan perkawinanku dengan Dewi 

Bunga Asmara!" 

"Kau tidak mengatakan pada Paduka 

Seribu Masalah perihal diriku?!" Dayang 

Tiga Purnama ulangi pertanyaan. 

"Aku.... Aku belum sempat 

menanyakannya. Saat itu aku tengah 

menyelesaikan urusanku...." Akhirnya Joko 

menjawab dengan berdusta. Karena khawatir 

Dayang Tiga Purnama tidak percaya dengan 

apa yang menjadi jawaban Paduka Seribu 

Masalah. 

Dayang Tiga Purnama perdengarkan 

gumaman tak jelas. Sepasang matanya 

mendelik. Dan dia sentakkan wajahnya 

berpaling saat berucap ketus. 

"Tahu kau ingkar janji dan suka 

bercanda, tidak mungkin aku mengatakan 

terus terang padamu perihal diriku!" 

"Maaf, saat itu aku benar-benar tidak 

ingat dan lupa...." 

"Hem.... Karena kau tenggelam dengan 

urusan hamilnya dua gadis di negeri asalmu 

dan hamilnya dua gadis cucu nenek


bersanggul pedang itu?!" sahut Dayang Tiga 

Purnama. 

"Celaka! Jangan-jangan dia menduga 

alasan yang kukatakan pada Iblis Rangkap 

Jiwa benar-benar terjadi! Dan juga mengira 

tuduhan nenek geblek itu benar!" gumam 

Joko dengan paras mengelam merah. 

"Pemuda negeri asing!" ujar Dayang 

Tiga Purnama masih tanpa memandang dengan 

suara keras. "Siapa pun kau adanya, yang 

jelas kau telah disebut sebagai Pendekar! 

Di daratan Tibet, seorang pendekar pantang 

memiliki hubungan dengan beberapa gadis! 

Apalagi sampai menodai dua gadis hingga 

hamil! Jika manusia begitu hidup di 

daratan Tibet, siapa pun berhak mem-

bunuhnya! Kuingatkan kau agar segera 

kembali ke tanah kelahiranmu! Jika aku 

masih menemukanmu berkeliaran di tanah 

Tibet, aku tak segan membunuhmu! Karena 

bukan tak mungkin kau mencari mangsa di 

daratan ini! Buktinya kau telah berurusan 

dengan dua cucu nenek bersanggul pedang 

itu!" 

Joko ternganga besar mendengar kata-

kata si gadis. Namun belum sampai dia buka 

mulut, Dayang Tiga Purnama telah berucap 

lagi. 

"Saat ini kau memang telah 

mendapatkan pedang sakti! Tapi bukan 

berarti kau bisa seenaknya saja membuat 

ulah di negeri ini! Ingat! Sekali kau 

kutemukan masih berada di daratan Tibet, 

kita akan berhadapan mengadu nyawa!"


"Hem.... Saat kutinggalkan bersama 

Nenek Selir, gadis ini tinggal berdua 

dengan Datuk Kala Sutera. Kalau dia bisa 

lolos, berarti ilmunya tidak rendah! Dan 

terbukti pukulannya tadi membuat Iblis 

Rangkap Jiwa terpental dan jatuh tewas!" 

Joko berkata dalam hati. Joko tidak pernah 

tahu, kalau lolosnya Dayang Tiga Purnama 

dari Datuk Kalau Sutera karena sesuatu 

yang Dayang Tiga Purnarra sendiri tidak 

menyadarinya. 

"Dayang...," kata Joko dengan suara 

pelan. "Mau dengar penjelasanku?!" 

'Hem.... Kau ingin memberi alasan 

tentang beberapa gadis yang hami! itu?! 

Tuduhan nenek bersanggul pedang Stu 

mungkin benar mungkin juga salah! Tapi ke-

terangan dari mulutmu sendiri ketika 

hampir mampus di tangan musuh dari negeri 

asalmu itu, tidak membutuhkan penjelasan 

lagi!" 

"Tapi...." 

"Kembalilah ke negeri asalmu, 

Pendekar 131! Kau tidak pantas hidup di 

bumi Tibet!" 

Habis berkata begitu, Dayang Tiga 

Purnama berpaling dan memandang tajam. 

Lalu berkata lagi. 

"Kalau keteranganmu tentang Paduka 

Seribu Masalah main-main, kelak aku akan 

mencarimu ke tanah Jawa!" 

Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. 

Lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan 

tempat itu.


Sebenarnya Pendekar 131 sudah hendak 

buka mulut. Namun dipikir tidak ada 

gunanya dan bisa memperuncing masalah, 

akhirnya Joko hanya diam saja dan 

memperhatikan sosok Dayang Tiga Purnama 

dengan geleng kepala. 

"Mungkin sebaiknya aku segera 

tinggalkan negeri ini.... Di sini aku 

didera urusan aneh-aneh yang tidak 

kumengerti!" Joko berpaling sesaat pada 

sosok Iblis Rangkap Jiwa. Dia menghela 

napas panjang. 

"Ternyata bentangan samudera bukan 

jadi perintang terlampiasnya sebuah 

dendam! Mudah-mudahan orang yang duduk 

rangkapkan kaki Itu adalah benar Paduka 

Seribu Masalah. Hingga tidak sampai Dayang 

Tiga Purnama jauh-jauh memburuku sampai ke 

tanah Jawa...." 

Habis bergumam begitu, Pendekar 131 

selinapkan tangan kiri kanan ke balik 

pakaiannya meyakinkan keberadaan Pedang 

Tumpul 131 dan kotak emas berukir berisi 

pedang putih. Saat lain balikkan tubuh 

lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. 


ENAM 



KARENA khawatir tersesat, Pendekar 

131 Joko Sableng terpaksa berkelebat 

mengikuti jalan mana dia tadi sampai ke 

tempat ditemukannya pedang putih yang 

menancap pada kotak hitam. Seraya berlari, 

dia terus bersikap waspada. Malah sesekali


berhenti dengan pasang telinga dan pentang 

mata. Dia sadar, beberapa tokoh negeri 

Tibet banyak yang sudah tahu kalau peta 

wasiat yang pernah banyak dibicarakan 

berada di tangannya. Bukan mustahil, 

secara diam-diam ada yang terus 

mengikutinya dan mencari kesempatan untuk 

merampas apa-yang telah didapatkannya. 

Kekhawatiran pula yang membuat murid 

Pendeta Sinting beristirahat di satu 

tempat dan baru meneruskan perjalanan 

setelah pagi menjelang. 

Ketika langkahnya mendekati kawasan 

yang berdekatan dengan hutan bambu di mana 

dia kemarin mulai mengadakan perjalanan, 

Pendekar 131 memperlambat larinya. Saat 

itulah mendadak dia menangkap kelebatan 

satu sosok bayangan menuju ke arahnya. 

Buru-buru dia melesat lalu mendekam 

sembunyi di atas sebuah pohon berdaun 

rindang. 

Pendekar 131 pentangkan mata dan 

pasang telinga tanpa berani membuat 

gerakan atau perdengarkan suara. Dan dia 

merasakan dadanya berdebar ketika tiba-

tiba satu sosok tubuh telah tegak si 

samping sebuah batangan pohon di seberang 

bawah sana hanya beberapa tombak dari 

pohon di mana dia mendekam sembunyikan 

diri. 

Ketika sekali lagi murid Pendeta 

Sinting memperhatikan, hampir saja 

mulutnya terbuka. Dia melihat seorang 

laki-laki berusia lanjut berambut putih


panjang mengenakan jubah tanpa lengan 

berwarna abu-abu. Laki-laki ini tegak 

dengan pundak kanan memanggul satu sosok 

tubuh yang membuat Joko tercengang hampir 

tidak percaya. Yang dipanggul adalah 

seorang yang sangat dikenalnya dan belum 

lama sempat bertemu. 

"Nenek Selir!" desis Joko mengenali 

sosok yang ada di panggulan pundak orang. 

"Apa yang terjadi dengan nenek slebor 

itu?! Dia tidak bergerak tidak bersuara! 

Astaga! Dari bahunya terlihat tetesan 

darah! Telah terjadi sesuatu padanya! Apa 

yang harus kulakukan?! Menolongnya...?! 

Tapi bukankah—" 

Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan 

membatin. Dia simak baik-baik keadaan di 

bawah sana. Laki-laki berjubah tanpa 

lengan perlahan-lahan turunkan sosok di 

atas panggulannya yang ternyata adalah 

seorang perempuan tua mengenakan pakaian 

selempang kain warna hitam. Rambutnya yang 

putih disanggul tinggi dan dihias dua 

pedang berkilat. Nenek ini bukan lain 

memang Nenek Selir alias Yu Sin Yin. 

Begitu sosok si nenek tergeletak di 

atas tanah di bawah pohon, si laki-laki 

berjubah tanpa lengan gerakkan kedua 

tangan ke arah bahu kiri si nenek yang 

masih teteskan darah. 

Begitu kedua tangan si laki-laki 

membuat gerakan menusuk beberapa kail dan 

ditempelkan, dari bahu kiri si nenek yang 

pakaiannya robek, semburkan dar

kehitaman! Sosok Nenek Seiir terlihat 

terlonjak. Namun sejauh ini dia tidak 

perdengarkan suara atau membuat gerakan 

lain. 

"Apa pun yang dilakukan kakek itu, 

dia tengah menolong! Siapa adanya kakek 

itu?!" 

Baru saja Joko membatin begitu, di 

bawah sana si laki-laki usap bahu kiri 

Nenek Selir yang baru saja muncratkan 

darah. Saat lain kedua tangannya menusuk 

beberapa anggota tubuh si nenek dan 

terakhir pada lehernya. 

Heekkk! 

Terdengar suara laksana orang 

tercekik. Saat yang sama sosok si nenek 

terlonjak dengan mata terbuka nyalang. 

Mata itu sesaat memandang tajam ke atas 

lalu mengedar berkeliling. 

Murid Pendeta Sinting diam-diam 

terkesiap. "Celaka kalau dia sampai tahu 

keberadaanku di sini! Ah.... Seharusnya 

aku tadi langsung saja pergi ketika dia 

daiam keadaan tidak sadar! Kini semuanya 

sudah terlambat.... Terpaksa aku .harus 

menunggu hingga mereka pergi...." Joko 

rundukkan kepala meringkuk. 

Sementara di bawah sana, begitu mata 

si nenek menumbuk pada sosok laki-laki 

berjubah abu-abu tanpa lengan, sesaat 

matanya membesar. Kejap lain laksana 

terbang dia bergerak bangkit. Kedua 

tangannya diangkat tinggi-tinggi. 

Namun mendadak raut wajah si nenek


berubah. Sosoknya bergetar. Kedua 

tangannya gemetar. 

"Yu Sin Yin.... Racun dalam tubuhmu 

belum seluruhnya punah. Kau harus kerahkan 

tenaga murni untuk mengatasinyal Aku hanya 

berhasil mengeluarkan sebagian...." 

Berkata laki-laki berjubah tanpa lengan. 

"Beraninya kau menyentuh tubuhku! 

Jahanam! Kau kira dengan tindakanmu ini 

aku akan ucapkan terima kasih dan 

menganggap hangus semua yang telah kau 

lakukan?!" 

Si laki-laki di hadapan Nenek Selir 

gelengkan kepala. "Seandainya yang terluka 

bukan kau, aku akan melakukan tindakan 

yang sama! Jadi jangan kira semua Ini 

kulakukan dengan berharap satu maksud!" 

"Wang Su Ji! Kau masih pandai bicara 

mengambil hati orang! Tapi jangan berharap 

aku merubah niat hanya karena tindakanmu 

ini! Kau tetap harus mampus di tanganku!" 

bentak Nenek Selir seraya kerahkan hawa 

murni karena diam-diam nenek ini memang 

merasakan sekujur tubuhnya masih laksana 

ditusuk ribuan jarum meski tidak lagi 

sehebat saat berada di hutan bambu. 

Seperti diketahui, Nenek Selir secara 

tidak terduga bertemu dengan Wang Su Ji 

alias Manusia Tanah Merah. Laki-laki yang 

pada masa mudanya pernah menjadi 

kekasihnya dan pada akhirnya berkhianat. 

Ketika si nenek hendak lampiaskan dendam, 

mendadak muncul Siluman Sebelas Muara dan 

Ratu Pulau Mayat. Kemunculan kedua orang


ini hendak balas dendam atas tindakan 

Nenek Selir yang diduga telah membunuh 

saudara mereka. Ratu Pulau Mayat akhirnya 

tewas bunuh diri karena tidak tahan 

menahan rasa panas pada sekujur tubuhnya. 

Sementara Siluman Sebe.as Muara melarikan 

diri dengan terluka. Namun sebuah pisau 

beracun milik Siluman Sebelas Muara sempat 

bersarang pada bahu kiri Nenek Selir. 

Dengan cepat racun itu menjalar ke seluruh 

tubuh si nenek walau si nenek telah henti-

kan jalan darahnya dan kerahkan hawa 

murni. Tapi Nenek Selir tidak pernah 

menduga kalau racun di pisau Siluman 

Sebelas Muara akan makin menjadi-jadi jika 

ditahan dengan pengerahan hawa murni. 

Dalam keadaan terkena racun dan 

hampir saja roboh, Wang Su Ji cepat 

bertindak dan membawa si nenek bekas 

kekasihnya di masa muda itu meninggalkan 

hutan bambu. Karena khawatir masih ada 

orang lain yang memendam dendam pada Nenek 

Selir akibat ulah si nenek pada beberapa 

puluh tahun silam, Wang Su Ji alias 

Manusia Tanah Merah sengaja beristirahat 

pada satu tempat aman seraya mengobati si 

nenek. Ketika suasana berganti pagi, Wang 

Su Ji teruskan perjalanan membawa si nenek 

pergi jauh-jauh dari hutan bambu. 

Manusia Tanah Merah sunggingkan 

senyum. "Yu Sin Yln.... Aku tahu dan 

sadar. Perempuan mana pun pasti akan 

mengucapkan kata-kata yang sama seper-

timul Tapi percayalah.... Kulakukan semua


ini bukan berharap kau merubah niat untuk 

membunuhku! Dan kau sendiri sudah dengar. 

Aku akan pasrahkan diri padamu.... Tapi 

setelah kita tahu siapa dan di mana adanya 

anak kita!" 

"Itu hanya mimpi! Itu hanya 

khayalanmul Kau harus mampus tanpa harus 

tahu siapa dan di mana anakmu! Kau tidak 

pantas bertemu dengannya!" teriak Nenek 

Selir setengah menjerit. 

"Manusia sepertiku memang tidak 

pantas bertemu dengan anak yang disia-

siakan. Tapi sebagai seorang ayah, 

bagaimanapun juga aku masih berharap bisa 

be Hiu sebelum ajal datang menjemput.... 

Lagi pula...." 

"Cukup!" potong si nenek sambil 

gerakkan kedua tangan yang masih berada di 

udara. 

Sett! Settt! 

Dua buah pedang yang menghias di 

sanggulan rambutnya kini telah tergenggam 

pada kedua tangannya. 

"Kau kelak bisa bertemu anakmu di 

liang kuburi" seru Nenek Selir sambil maju 

dua langkah. Dua pedang di tangan diangkat 

tinggi-tinggi. 

Manusia Tanah Merah menghela napas 

panjang. Wajahnya berubah tegang. Dia 

maklum, dalam keadaan dibuncah hawa marah 

dan dendam begitu rupa, tidak mungkin 

baginya dapat menyadarkan si nenek. Hingga 

tanpa membuat gerakan apa-apa dia berucap. 

"Yu Sin Yin.... Aku memang telah


menyakiti hatimu. Dan pada mulanya aku 

berharap kau mau memaafkan aku. Tapi kalau 

pintu maafmu telah tertutup, aku tak bisa 

berbuat lain! Dan kalau kau tidak juga 

memberi waktu lagi padaku untuk bisa 

bertemu dengan anak kita, aku pun tidak 

akan memaksa. Sekarang lakukanlah apa yang 

kau inginkan...." 

"Keparat! Kau kira aku akan trenyuh 

mendengar ucapanmu, hah?!" 

"Manusia sepertiku sudah tidak pantas 

lagi mengharap apa-apa...." 

"Bagus! Bersiaplah!" bentak Nenek 

Selir dengan suara serak. Dia maju satu 

tindak lagi. Kini jarak antara nenek dan 

kakek itu tinggal tiga langkah. 

Si nenek pandangi sosok Manusia Tanah 

Merah dengan dagu mengembung dan mata 

berkilat merah laksana dibakar. Saat lain 

kedua tangannya bergerak! 

Terdengar deruan angker dari gerakan 

kedua pedang di kedua tangan Nenek Selir. 

Bara api telah semburat di tubuh dua 

pedang yang berarti si nenek telah 

kerahkan ilmu kesaktian 'Bara Api Neraka'. 

Manusia Tanah Merah sunggingkan 

senyum. Lalu sepasang matanya digerakkan 

memejam. Laki-laki ini tidak berusaha 

membuat gerakan apa-apa pertanda dia sudah 

pasrah menjemput ajal di tangan bekas 

kekasihnya. 

Namun belum sampai bara api melesat 

keluar dari dua pedang si nenek, dan 

gerakan kedua tangannya baru setengah


jalan, mendadak si nenek tahan gerakannya. 

Sosoknya gemetar. Kepalanya digerakkan pu-

lang balik menggeleng perlahan. Lalu 

terdengar gumamannya tak jelas. Malah saat 

lain kaki kanannya 

bergerak menghentak! Hingga tanah di 

bawahnya bergetar dan muncrat semburat. 

Manusia Tanah Merah perlahan membuka 

matanya. Masih dengan tersenyum dia 

berkata setengah berbisik. 

"Yu Sin Yin.... Jangan turutkan 

perasaan.... Kau nanti akan menyesal. Aku 

tahu. Kau masih menyin-taiku.... Bukankah 

lebih baik kita bangun kembali puing-puing 

kehancuran ini...? Kita telah sama-sama 

tua. Untuk apa masih harus selesaikan 

masalah dengan jalan kekerasan jika jaian 

lain masih bisa kita tempuh...?! Apalagi 

kita masih punya sesuatu yang harus 

diselesaikan bersama-sama...." 

"Keparat!" Mendadak si nenek 

menghardik. "Siapa masih menyintaimu?! 

Justru aku akan menyesal jika bukan 

tanganku sendiri yang mencabut selembar 

nyawa jahanammu!" 

Dengan selesainya ucapan, kedua 

tangan Nenek Selir teruskan berkelebat! 

Terdengar seruan tertahan dari atas 

sebuah pohon. Lalu dua gelombang dahsyat 

berkiblat. 

Kedua tangan Nenek Selir terperai ke 

udara. Sosoknya terjajar tiga langkah ke 

samping. Saat yang sama, sosok Manusia 

Tanah Merah tersapu dan tersen-tak-sentak


mundur hingga beberapa langkah! 

Dua bara api dari tubuh dua pedang si 

nenek memang melesatl Keluar hingga 

semburkan hawa panas. Namun karena kedua 

tangan si nenek terpental dan sosok 

Manusia Tanah Merah tersapu, lesatan dua 

bara api berkiblat melenceng den menghajar 

dua batangan pohon di sebelah samping. 

Blammm! Blammm! 

Dua pohon besar itu langsung terbakar 

dan berderak tumbang perdengarkan suara 

bergemuruh keras. Tanahnya terbongkar dan 

semburat menutupi pemandangan. 

Dalam marah dan gusarnya, Nenek Selir 

tegakkan wajah berpaling tengadah tembusi 

keadaan yang agak gelap karena semburatan 

tanah. Saat lain dia membuat gerakan dan 

tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan 

kepala mendongak di bawah salah satu 

pohon. Beberapa saat sepasang matanya 

mendelik liar mengawasi rimbun dedaunan 

pohon di bawah mana dia tegak. 

"Jahanam! Jelas gelombang laknat yang 

menahan gerakanku tadi berasal dari pohon 

ini! Jelas pula aku melihat jahanamnya 

mendekam di sela rimbun dedaunannya! 

Telingaku pun jelas mendengar seruannya! 

Aneh.... Tapi mana tampang bangsatnya?!" 

Nenek Selir menggeram dalam hati karena 

meski telah memperhatikan beberapa saat, 

dia tidak melihat siapa-siapa! 

Si nenek melirik sekilas ke samping. 

Manusia Tanah Merah masih tegak seraya me 

mandang ke arah si nenek. Saat itu juga


Nenek Selir membentak. 

"Wang Su Jin! Jangan coba-coba 

bergerak tinggalkan tempat ini! Aku akan 

selesaikan dulu jahanam yang berani 

lancang ikut campur urusanku!" 

Habis berteriak begitu, kembali Nenek 

Selir tengadah memandang ke arah pohon di 

atasnya dengan mata makin merah dan 

membelalak. Lalu berteriak keras. 

"Aku hanya bicara satu kali! Cepat 

tunjukkan tampangmu!" 

Tampaknya ancaman si nenek tidak 

main-main. Begitu tidak ada sahutan atau 

tanda-tanda kemunculan orang, kedua tangan 

si nenek yang masih menggenggam dua pedang 

segera dikelecatkan ke atas. 

Wuuss! Wusssi 

Hawa panas menyengat menebar tatkala 

dari tubuh dan pedang Nenek Selir melesat 

dua kobaran api perdengarkan suara gemuruh 

menggidikkan. 

Rimbun dedaunan pohon di bawah mana 

Nenek Selir berada langsung amblas mental 

dan terbakar. Saat lain batangan pohonnya 

bergetar keras sebelum akhirnya tumbang 

dengan mengelupas hangus dan pecah-pecah! 

Bersamaan dengan berderak tumbangnya 

batangan pohon, satu sosok putih 

berkelebat dari baliknya. Lalu tegak di 

seberang depan sana dengan membelakangi 

Nenek Selir dan Manusia Tanah Merah! 

Sepasang mata Nenek Selir memandang 

berkilat. "Rambutnya sedikit panjang acak-

acakan. Pakaiannya putih....." Si nenek


mendesis dengan dada bergerak turun naik 

keras. "Jahanaml Jangan-jangan bangsatnya 

si...." 

Nenek Selir putuskan desisan. Lalu 

berkelebat dan tegak tujuh langkah di 

belakang sosok yang baru saja melompat 

keluar dari batangan pohon yang baru saja 

tumbang terhantam pukulannya. 

"Setan sekalipun kau adanya, kau 

ingin mampus tanpa unjukkan tampang?!" 

Nenek Selir berteriak. Kedua tangannya 

diangkat tinggi-tinggi. 

Perlahan-lahan sosok berbaju putih di 

hadapan si nenek bergerak memutar. 

Walau tadi sudah menduga, namun 

begitu sosok di hadapannya yang tadi tegak 

membelakangi membalik, Nenek Selir masih 

sempat terlengak dan tersurut kaget. 

Sementara orang di hadapannya sunggingkan 

senyum. Namun senyumnya laksana tersentak 

putus ketika matanya melihat kedua tangan 

si nenek yang terangkat tinggi-tinggi dan 

siap bergerak! Hingga dia cepat buka 

mulut. 

Nek! tunggu...! Kau harus dengar dulu 

penjelasanku!" 

"Penjelasan itu kau katakan saja 

nanti pada setan di neraka!" sentak nenek 

Selir dengan nanari sosok di hadapannya 

dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah 

tidak percaya. 

"Tidak bisa! Aku tak punya urusan 

dengan setan di neraka! Urusannya 

denganmu!" Orang di hadapan si nenek yang


bukan lain adalah murid Pendeta Sinting 

ikut-ikutan berkata keras dengan mata 

terus melirik ke arah kedua tangan si 

nenek. 

"Persetan dengan segala macam urusan! 

Kau telah berani kurang ajar menghalangi 

tindakanku! Kau harus mampus tanpa perlu 

memberi penjelasan!" 

"Tidak bisal Mampus atau tidak aku 

harus memberi penjelasan! Persetan kau 

perlu atau tidak dengan penjelasanku!" 

"Yu Sin Yin.... Berilah waktu 

padanya....Jangan kau tumpahkan kemarahan 

mu padaku terhadap orang lain...." Manusia 

Tanah Merah angkat suara. 

Nenek Selir berpaling dengan seringai 

dingin. 


TUJUH 



WANG Su Ji! Mulutmu berani mengatur!" 

Nenek Selir membentak. "Kau jangan terlalu 

berprasangka jauh.... Setiap tindakan 

orang pasti punya tujuan. Siapa pun adanya 

pemuda itu, tentu punya alasan hingga dia 

berani kurang ajar menghalangi 

tindakanmu.... Apalagi kulihat kau telah 

mengenalinya!" 

"Betul! Betul!" Joko menyahut "Aku 

hanya ingin menjelaskan satu hal. Setelah 

itu aku akan pergi!" 

Nenek Selir menoleh lagi pada murid 

Pendeta Sinting. Saat yang sama, Joko 

segera buka mulut.


"Nek...! Dengan adanya pertemuan 

antara kau dan kakek itu, berarti aku 

sudah tidak punya kewajiban lagi menjawab 

pertanyaanmu! Hal ini harus kujelaskan 

agar nantinya tidak terjadi salah paham di 

antara kita!" 

Seperti dmetahui, ketika bertemu 

pertama kali dengan Nenek Selir, si nenek 

memberi waktu setengah purnama pada murid 

Pendeta Sinting untuk menjawab di mana 

beradanya Wang Su Ji alias Manus a Tanah 

Merah yang sebenarnya saat itu masih belum 

diketahui oleh Joko. 

Dan begitu Pendekar 131 mendengar 

percakapan antara si nenek dengan kakek 

berjubah tanpa lengan, dia sudah dapat 

menduga kalau orang yang selama ini dicari 

oleh si nenek adalah laki-laki yang kini 

berada di hadapannya. 

"Pemuda asing!" berkata Nenek Selir 

masih dengan suara tinggi. "Kau masih 

punya tanggungan nyawa padaku! Tanggungan 

itu baru impas kalau kau sudah memutuskan 

gadis mana yang kau pilih!" 

Seperti diketahui pula, Nenek Selir 

yang tengah mencari jejak kekasih lamanya 

bertemu dengan Bidadari Delapan Samudera 

yang saat itu tengah dilanda kebimbangan 

atas sikap dan ucapan Joko. Karena punya 

nasib yang hampir sama, akhirnya Nenek 

Selir memutuskan untuk membantu Bidadari 

Delapan Samudera. Dan si nenek akhirnya 

bertemu juga dengan Bidadari Pedang Cinta 

sebelum akhirnya menemukan Pendekar 131


yang saat itu bersama Dayang Tiga Purnama 

di hutan bambu. 

Melihat Joko bersama Dayang Tiga 

Purnama, Nenek Selir menjadi marah. Dia 

menduga murid Pendeta Sinting adalah 

manusia yang suka mempermainkan perempuan. 

Hingga pada akhirnya si nenek minta agar 

joko memberi keputusan siapa di antara 

ketiga gadis itu yang dipilihnya! Nenek 

Selir memberi waktu sepuluh hari. Hal ini 

dilakukan si nenek karena dia tak mau ada 

perempuan yang dibuat main-main oleh laki-

laki. Dia telah merasakan bagaimana 

pahitnya dikhianati. Lebih dari itu, 

karena dia sebenarnya punya seorang anak 

perempuan yang hingga saat ini tidak 

diketahui di mana rimbanya. 

"Sekarang katakan padaku. Siapa di 

antara gadis itu yang kau pilih!" Nenek 

Selir kembali berkata setelah agak lama di 

antara Joko, si nenek dan Manusia Tanah 

Merah tidak ada yang buka suara. 

"Nek.... Aku adalah orang dari 

seberang laut. Kau boleh percaya boleh 

juga tidak. Sebenarnya aku tidak punya 

maksud untuk datang ke negeri ini. Jadi 

sulit rasanya kalau aku harus memutuskan 

untuk memilih gadis negeri ini! Apalagi 

tujuanku bukan mencari gadis!" 

"Persetan dengan keteranganmu! Yang 

jelas kau telah ucapkan janji untuk 

memberi piiihan! Lagi pula jangan mimpi 

aku bisa percaya dengan keterangan 

manusia laki-laki sepertimu! Semua


laki-laki adalah Jahanam keparat! Termasuk 

dirimu!" "Nek...." 

"Jangan teruskan bicara!" tukas si 

nenek. "Kau kuberi waktu untuk bicara 

kalau memberi jawaban pilihan atas ketiga 

gadis itu! Jika tidak, segeralah enyah 

dari hadapanku sebelum aku muak melihat 

tampangmu dan kedua tanganku makin gatal 

ingin segera membunuhmu!" Kepala s! nenek 

mendongak. Lalu teruskan bicara. 

"Untung kau bertemu sebelum masa 

waktu yang kuberikan habis! Jika 

sebaliknya, jangan harap nyawamu masih 

utuh!" 

"Ah, daripada cari penyakit baru, 

lebih baik aku pergi saja! Aku akan segera 

pulang ke tanah Jawa. Kalau dia penasaran 

dan masih minta pertanggungan jawab, tentu 

dia akan mencariku!" Joko membatin. 

"He! Apa lagi yang kau tunggu, nah?!" 

Joko anggukkan kepala. Lalu tanpa 

buka mulut lagi dia putar diri. Namun 

gerakannya ditahan tatkala dia menangkap 

gerakan pada Manusia Tanah Merah. 

"Keparat! Rupanya kau manusia yang 

tak tahu diuntung dan tak mau diberi 

enak!" bentak Nenek Selir melihat Joko 

tahan gerakannya. 

"Nek.... Tunggu! Harap kau sudi 

memberi saran padaku...." 

Nenek Selir melotot. Namun sebelum 

dia buka mulut, Joko mendahului. 

"Kau tentu sudah mengenal tiga gadis 

yang hendak kupilih. Menurutmu, mana di

antara ketiganya yang kira-kira sesuai 

dengan diriku?! Si baju ungu yang ram-

butnya dikelabang dua?! Atau si baju hijau 

yang berparas cantik menawan?! Atau si 

baju biru yang jelita?!" 

Si nenek tidak menjawab. Joko 

sunggingkan senyum seraya melirik ke 

tempat mana tadi Manusia Tanah Merah 

berada. Lalu buka mulut. 

"Menurut yang kudengar...." 

Baru saja Joko berucap begitu, si 

nenek sudah melompat. Tangan kanannya 

disentakkan. 

Wuuttt! 

Satu gelombang menyambar. Pedang di 

tangan kanan si nenek berkelebat. Namun 

tidak semburkan kobaran api. Karena 

tindakan si nenek sebenarnya hanya ingin 

agar Joko segera pergi. Namun gelombang 

yang menyambar akibat gebrakan tangan 

kanannya tidak bisa dianggap main-main. 

Murid Pendeta Sinting buru-buru putar 

diri. Lalu seraya berkelebat dia 

berteriak. 

"Nek! Apa pun yang nantinya bakal 

terjadi ditempai ini, kuharap kau tidak 

lempar tuduhan padaku!" 

Byurr! 

Tanah dua langkah di samping mana 

tadi Joko tegak berdiri semburat terkena 

gelombang yang menyambar dari tangan kanan 

Nenek Selir. 

Si nenek tegak dengan mata mendelik 

memperhatikan kelebatan sosok murid


Pendeta Sinting. 

"Jahanam! Apa maksud ucapannya...?! 

Jangan-jangan...." 

Nenek Selir cepat balikkan tubuh. 

Mendadak paras wajahnya berubah membesi. 

Matanya terpentang besar laksana hendak 

mencelat dari rongganya. Sekujur tubuhnya 

berguncang keras. Karena ternyata Manusia 

Tanah Merah sudah tidak kelihatan lagi 

batang hidungnya di tempat itu! 

"Jahanam! Jahanam! Ke mana manusia 

jahanam itu?!" Laksana kalap, Nenek Selir 

berkelebat mengitari tempat di mana tadi 

dilihatnya Manusia Tanah Merah tegak 

berdiri. Kedua tangannya diacung-acungkan. 

Mulutnya perdengarkan teriakan-teriakan 

tak karuan. 

Setelah berkelebat berkeliling 

beberapa kali dan sosok yang dicari tidak 

juga ditemukan, Nenek Selir hentikan 

kelebatan dan tegak dengan tubuh bergetar 

basah kuyup. Sepasang matanya menatap 

tajam pada batangan pohon di dekat mana 

tadi Manusia Tanah Merah tegak berdiri. 

Saking marahnya, batangan pohon itu tiba-

tiba membentuk sosok Manusia Tanah Merah! 

Nenek Selir serta-merta melompat. 

Pedang di tangan kanan kirinya dibabatkan 

beberapa kali. Brakk! Brakk! Brakk! 

Terdengar beberapa kali derakan 

keras. Batangan pohon itu langsung 

bergetar dan tumbang semburat! 

Tampaknya si nenek beium puas. Walau 

batangan pohon audah tumbang dan semburat


mengudara, dia teruskan kelebatan kedua 

pedangnya. 

Nenek Selir tidak tahu sampai berapa 

lama dia bertindak seperti orang kesurupan 

begitu rupa. Yang jelas dia baru hentikan 

babatan kedua pedangnya ketika merasakan 

kedua tangannya ngilu dan kedua kakinya 

goyah. 

"Berpuluh tahun aku mencarinya! 

Berpuluh tahun pula aku memperdalam Ilmu 

untuk membunuhnya! Tapi begitu aku bertemu 

dengannya, begitu aku tegak di hadapannya 

siap membunuh, aku tidak bisa melakukan-

nya! Mengapa...?! Mengapa?!" 

Kepala Nenek Selir tengadah. Dadanya 

berguncang keras. Lalu perlahan-lahan 

lututnya menekuk dan sosoknya jatuh 

terduduk di atas tanah. Pedang pada kedua 

tangannya terlepas. Saat kepalanya 

bergerak menunduk, air mata meluncur deras 

membasahi kedua pipinya yang pucat 

mengeriput! 

"Jahanam itu telah membuat hidupku 

sengsara dan merana.... Bahkan telah 

membuatku iupa pada anakl Tidak seharusnya 

aku berlaku lemah menghadapinya! Aku harus 

membunuhnya! Harus! Saat ini dia lolos. 

Tapi tidak untuk kedua kalinya! Dan pemuda 

asing itu! Gara-gara dia, jahanam itu bisa 

lolos! Dia juga hai us terbunuh di 

tanganku!" Si nenek kepalkan kedua tangan-

nya lalu dihantamkan ke atas tanah hingga 

membentuk lobang menganga. 

"Anakku.... Di mana kau sekarang


berada? Mungkinkah kita akan bertemu...? 

Kalau saja saat itu aku tidak tenggelam 

dalam bara dendam akibat ulah laki-laki 

jahanam itu, pasti kita tidak akan 

berpisah.... Anakku, aku telah membuat 

kesalahan besar terhadapmu.... Seandainya 

kita nanti bertemu, mudah-mudahan kau mau 

mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat 

itu... Kuharap kau mau memaafkan 

ibumu...." Nenek Selir kembali tengadah. 

Air mata kembali bergulir dari sudut 

sepasang matanya. Saat lain nenek ini 

perdengarkan gumaman tak jelas dengan 

kedua tangan diangkat lalu ditekapkan pada 

raut wajahnya. 

* * 

Sementara itu, di lain pihak Pendekar 

131 terus berkelebat dengan kerahkan 

segenap ilmu peringan tubuhnya. Tampaknya 

dia sudah bisa membaca apa yang akan 

terjadi saat dia melihat Manusia Tanah Me-

rah membuat gerakan berkelebat pergi 

ketika dia tadi hendak balikkan tubuh. 

Pada satu tempat agak sepi, baru Joko 

berani memperlambat larinya setelah pulang 

balikkan kepala berpaling ke belakang dan 

ke samping. 

"Hem.... Siapa pun adanya kakek 

berjubah tanpa lengan itu, yang pasti dia 

adalah orang yang dicari Nenek SelirI 

Hem.... Ulah cinta di masa muda, ternyata


tidak bisa sirna walau usia sudah bau 

tanah...." 

Baru saja Joko bergumam begitu, 

mendadak satu suara terdengar. 

"Anak muda.... Tidak selamanya cinta 

itu membuat orang bahagia! Untuk itu kau 

harus seribu kali berpikir jika berhadapan 

dengan urusan cinta dan perempuan!" 

Sekonyong-konyong Pendekar 131 

hentikan larinya. Lalu berpaling ke 

samping. 

KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta 

Sinting yang terlengak kaget ketika tiba-

tiba terdengar suara orang begitu sampai 

pada satu tempat agak sepi, padahal 

sebelumnya dia menduga tempat di mana dia 

berada sudah agak jauh dari tempat perte-

muan antara Nenek Selir dan Manusia Tanah 

Merah. 

Kita kembali ke kawasan tidak jauh 

dari hutan bambu. Saat itu dua sosok 

bayangan tampak berkelebat cepat hingga 

sosok keduanya hanya laksana bayang-

bayang. Mereka berlari menuju hutan bambu. 

Dan begitu sosok keduanya mulai memasuki 

hutan, sosok keduanya lenyap laksana 

ditelan bumi! Berbaur dengan rimbunnya 

rumpun ranggasan semak dan bambu. 

Sosok kedua bayangan itu baru 

terlihat lagi saat keduanya hampir 

mencapai aliran sungai di ujung hutan. 

Mereka tegak berjajar dengan kepala sama 

berputar memperhatikan berkeliling. Sosok 

di sebelah kanan ternyata adalah seorang


gadis berparas cantik. Rambutnya hitam 

lebat disanggul tinggi ke atas dan diberi 

konde. Kulitnya putih. Hidungnya mancung 

dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini 

mengenakan pakaian warna merah. Sementara 

di sebelahnya, ternyata adalah juga 

seorang gadis berparas cantik. Sekail 

orang melihat, pasti sudah bisa menebak 

jika gadis di sebelah kiri adalah saudara 

kembar gadis berbaju merah. Karena sosok 

dan parasnya sangat mirip. Yang membedakan 

keduanya adalah pakaian yang dikenakan. 

Kalau yang sebelah kanan mengenakan baju 

warna merah, gadis sebelah kiri memakai 

baju warna kuning. Kedua gadis ini bukan 

lain adalah Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala. Murid Iblis Muka 

Setan dan Perempuan Kembang Darah yang 

lebih dikenal dengan Pasangan Mesum. 

"Galuh Empat Cakrawala.... Menurut 

beberapa keterangan yang kita dapat, orang 

yang kita cari berada di sekitar tempat 

ini. Tapi aku tidak menangkap adanya orang 

di sekitar tempat ini. Jangan-jangan semua 

keterangan yang kita dapat bohong belaka!" 

Berkata gadis cantik berbaju merah si 

Galuh Sembilan Gerhana dengan lepas 

pandangan berkeliling tembusi rimbun rum-

pun bambu. 

"Kita tidak boleh putus asa! Kita 

belum menyelidik ke seluruh hutan! Mencari 

Orang macam Paduka Seribu Masalah bukan 

pekerjaan mudah yang tidak membutuhkan 

tenaga dan waktu!" Gadis berbaju kuning si


Galuh Empat Cakrawala menyahut. 

"Aku punya usul. Kalau setelah 

menyelidik ke seluruh hutan ini dan kita 

tidak menemukan Paduka Seribu Masalah, 

kita hentikan mencari orang itu! Kita 

langsung mencari si perempuan binal 

Bidadari Tujuh Langit! Kita memang belum 

yakin benar apakah keterangan Guru bahwa 

pembunuh orangtua kita adalah Bidadari 

jahanam itu. Tapi Bidadari binal jahanam 

itu telah bertindak menjijikkan pada kita! 

Aib yang telah ditanamkan pada diri kita 

tidak bisa hapus sebelum tanganku bisa 

mencincang tubuhnya!" Berkata Galuh 

Sembilan Gerhana. Paras wajahnya berubah 

kelam membesi. Kedua tangannya mengepal. 

Dadanya yang membusung kencang bergerak 

turun naik. Jeias gadis cantik ini dilanda 

hawa kemarahan luar biasa. 

Mendengar kata-kata saudaranya, Galuh 

Empat Cakrawala dongakkan wajah. Urat-urat 

pada lehernya yang jenjang dan putih 

tampak bersembulan keluar. Pelipis kanan 

kirinya bergerak-gerak. 

"Jahanam binal itu memang harus 

segera kita cari! Sekali bertemu, hanya 

ada satu pilihan! Kita yang mampu atau 

Bidadari binal Itu yang berkalang tanah!" 

Seperti diketahui, Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala mendapat 

keterangan dari guru mereka si Pasangan 

Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah, jika orang tua mereka tewas 

di tangan Bidadari Tujuh Langit. Kedua


gadis itu segera mencari Bidadari Tujuh 

Langit. Ketika mereka bertemu dengan 

Bidadari Tujuh Langit, ternyata mereka 

bukan saja tidak mampu melawan Bidadari 

Tujuh Langit meski sudah menggunakan cara 

tertentu. Namun kedua gadis ini harus 

mengalami nasib tidak baik. Mereka 

diperlakukan tidak senonoh oleh Bidadari 

Tujuh Langit yang diketahui memiliki 

kelainan lebih suka bercinta dengan sesama 

jenis daripada dengan laki-laki, ini 

akibat kutuk yang diucapkan Dewi Keabadian 

ketika Bidadari Tujuh Langit dan suaminya 

Datuk Kala Sutera bertindak licik merampas 

Sepasang Cincin Keabadian dari tangan Dewi 

Keabadian. 

"Di depan sana ada aliaran sungai! 

Berarti tempat itu adalah perbatasan 

kawasan hutan ini! Kita mulai menyelidik 

dari pinggiran sungai!" kata Galuh 

Sembilan Gerhana. 

Tanpa menunggu sahutan Galuh Empat 

Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana 

berkelebat menuju aliran sungai. Galuh 

Empat Cakrawala lepas pandangan 

berkeliling sekali lagi. Lalu berlari 

menyusul Galuh Sembilan Gerhana. 

Kalau saat menuju hutan bambu kedua 

gadis berparas cantik murid si Pasangan 

Mesum itu berlari laksana kesetanan, kali 

ini keduanya berlari agak peian. Malah 

sesekali berhenti dan putar pandangan 

dengan mata mendelik tak berkeslp. 

Pada satu tikungan, mendadak Galuh


Sembilan Gerhana yang berada di depan 

hentikan larinya. 

"Kau melihat sesuatu?!" Bertanya 

Galuh Empat Cakrawala begitu tegak di 

samping Galuh Sembilan Gerhana. 

Yang ditanya tidak segera menyahut. 

Sebaliknya beliakkan mata memandang pada 

satu jurusan. Galuh Empat Cakrawala 

memandang sesaat pada Galuh Sembilan 

Gerhana, lalu ikut lepas pandangan ke arah 

mana mata Galuh Sembilah Gerhana tengah 

menatap. 

Laksana terbang, mendadak Galuh Empat 

Cakrawala melompat. Lalu tegak hanya 

beberapa langkah di hadapan satu sosok 

tubuh yang duduk meringkuk di sebelah 

rimbun rumpun bambu. 

Hampir bersamaan dengan melompatnya 

Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan 

Gerhana membuat gerakan. Tahu-tahu 

sosoknya sudah tegak di samping 

saudaranya. 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala sama tegak dengan mulut 

terkancing dan mata saling lempar lirikan. 

Saat lain terdengar Galuh Sembilan Gerhana 

berbisik. 

"Dari beberapa keterangan yang kita 

peroleh, tampaknya orang itu mempunyai 

ciri yang dimiliki Paduka Seribu Masalah!" 

Galuh Empat Cakrawala anggukkan 

kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada 

sosok yang duduk meringkuk beberapa 

langkah di hadapannya.


Orang yang duduk di sebelah rumpun 

bambu Itu adalah seorang laki-laki. Namun 

baik Galuh Sembilan Gerhana maupun Galuh 

Empat Cakrawala tidak bisa melihat wajah 

orang karena sosok itu sengaja tekuk ke 

dua kakinya dirangkapkan di depan dada. 

Sementara kepalanya dibenamkan dalam-dalam 

di belakang rangkapan kedua kakinya. Kedua 

tangannya dilingkarkan menakup pula pada 

rangkapan kedua kakinya. 

Beberapa saat berlalu. Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala seolah 

tenggelam dalam rasa terkesima. Hingga 

keduanya hanya diam memandang tanpa 

membuat gerakan atau buka mulut. Hingga 

pada satu saat, Galuh Empat Cakrawala 

berbisik. 

"Dari cirinya jelas dia adalah Paduka 

Seribu Masalah! Apa lagi yang kita 

tunggu?!" 

Laksana dikomando, Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera 

maju lalu serta-merta berlutut di hadapan 

sosok yang duduk rangkapkan kaki. 

"Bukankah yang ada di hadapan kami 

adalah Paduka Seribu Masalah?!" Yang buka 

suara adalah Galuh Empat Cakrawala dengan 

suara sedikit bergetar. 

Tidak ada sahutan. Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama 

rasakan dada masing-masing berdebar tidak 

enak. Seraya berlutut rapatkan kening di 

tanah mata masing-masing gadis ini melirik 

pada lainnya. Pandangan mereka jelas


membayangkan kebimbangan. 

Namun tidak berapa lama kemudian 

terdengar ucapan Galuh Sembilan Gerhana. 

"Kami berdua mencari Paduka Seribu 

Masalah. Bukankah yang ada di hadapan kami 

saat ini adalah orang yang kami cari?!" 

Lagi-lagi tidak terdengar sahutan. 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala sama angkat kepala. Saat itulah 

terdengar suara dari sosok yang duduk 

rangkapkan kaki. 

"Gadis-gadis cantik.... Jangan 

bertanya begitu. 

Aku takut menjawabnya...." 

Mendengar ucapan orang, mau tak mau 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala tersentak kaget. Mereka berdua 

bingung tak tahu harus bagaimana. Hingga 

keduanya hanya saling pandang. 

"Bagaimana sekarang?!" bisik Galuh 

Sembilan Gerhana setelah agak lama 

terdiam. 

"Aku tetap menduga dialah Paduka 

Seribu Masalah! Kita langsung saja 

bertanya! Dan kalaupun nantinya dugaanku 

salah, itu tak akan membawa akibat apa-

apa!" jawab Galuh Empat Cakrawaia. 

Gaiuh Sembilan Gerhana anggukkan 

kepala. Lalu berucap. 

"Aku adalah Galuh Sembilan Gerhana. 

Di sampingku ini saudaraku Galuh Empat 

Cakrawala. Kami berdua perlu beberapa 

keterangan. Harap Paduka Seribu Masalah 

sudi menjawabnya...."


Orang yang duduk rangkapkan kaki dan 

sembunyikan kepala di belakang kedua 

rangkapan kakinya dan bukan lain adalah 

Paduka Seribu Masalah adanya renggangkan 

sedikit rangkapkan kedua kakinya. Lalu 

terdengar ucapannya. 

"Sebenarnya aku takut menjawab. Tapi 

kalau nantinya aku beranikan diri memberi 

keterangan, harap kalian berdua tidak 

langsung percaya. Kalian masih harus 

menyelidik kebenarannya...." 

Sahutan orang membuat Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawaia 

sunggingkan senyum. Mereka hampir yakin 

kaiau orang di hadapannya adalah Paduka 

Seribu Masalah. 

"Terima kasih...." Hampir berbarengan 

kedua gadis cantik itu berucap seraya 

menjura hormat. 

"Paduka.... Menurut keterangan yang 

kami dapat dari Guru kami, kedua orangtua 

kami tewas di tangan Bidadari Tujuh 

Langit. Apakah benar keterangan itu?!” 

Yang ajukan tanya adalah Galuh Sembilan 

Gerhana. 

"Kalian sudah menyelidik?!" Paduka 

Seribu Masalah balik bertanya. 

"Kami sudah bertemu dengan Bidadari 

Tujuh Langit. Dari ucapan perempuan binal 

itu kami jadi bimbang akan keterangan Guru 

kami!" kata Galuh Empat Cakrawala. 

"Gadis-gadis cantik.... Seperti 

kukatakan tadi, kalian jangan langsung 

percaya pada keteranganku kalau kukatakan


jika keterangan guru kalian tidak 

benar...." 

Kagetlah Galuh Sembiian Gerhana dan 

Gaiuh Empat Cakrawala. Sosok mereka 

bergetar dan saling pandang. 

"Lalu siapa sebenarnya yang membunuh 

kedua orangtua kami?!" tanya Galuh 

Sembiian Gerhana dengan suara parau. 

"Orang tua kalian masih hidup! Bahkan 

nenek dan kakek kalian masih ada!" 

Saking kagetnya, Gaiuh Sembilan 

Gerhana dan Gaiuh Empat Cakrawala laksana 

hendak melonjak berdiri. 

"Harap Paduka katakan siapa mereka 

dan di mana pula mereka!" kata Gaiuh 

Sembilan Gerhana dengan suara agak tinggi 

karena tak menduga jawaban orang. 

"Gadis-gadis cantik.... Aku takut 

menjawab pertanyaan itu!" 

"Kau mau mengatakan kaiau kami beri 

imbalan?!" tanya Galuh Empat Cakrawala. 

Paduka Seribu Masalah perdengarkan 

tawa bergelak panjang. Laiu berucap. 

"Kalian gadis-gadis cantik bertubuh 

bagus.... Tapi harap kalian tahu. Aku 

paling takut berdekatan dengan gadis 

cantik bertubuh bagus! Apalagi sampai 

harus menerima imbalan...." 

"Hem.... Lalu mengapa kau takut 

menjawab?!" tanya Galuh Sembilan Gerhana. 

"Aku tak berani mengatakan alasannya. 

Tapi ada satu hal yang aku tidak takut 

mengatakannya pada kalian. Kalian kelak 

akan bertemu dengan mereka...."


"Bagaimana kami bisa bertemu dan tahu 

mereka adalah orangtua kami kalau kami 

tidak tahu siapa mereka dan di mana tempat 

tinggalnya?!" kata Galuh Sembilan Gerhana. 

"Waktu yang akan memberi petunjuk!" 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala sama kerutkan dahi. Belum 

ada yang sempat buka mulut, Paduka Seribu 

Masalah telah perdengarkan suara lagi. 

"Ada pula satu hal yang aku berani 

mengatakan pada kalian. Kalian boleh punya 

dendam setinggi langit sedalam laut pada 

Bidadari Tujuh Langit. Tapi harap kalian 

tidak mengusiknya hingga kalian tahu siapa 

orang tua yang kalian cari! Jangan 

bertanya mengapa begitu, aku tidak berani 

menjawab!" 

Kembali Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala terlihat heran. 

Namun kali ini juga tampak geram. 

"Paduka! Perempuan binal itu telah 

menoreh aib yang tak bisa kami lupakan! 

Kami tidak bisa mendiamkan perempuan 

jahanam itu terus hidup! Kami tidak bisa 

menjamin apakah kami nanti mampu melakukan 

saranmu atau tidak jika bertemu 

dengannya!" 

"Ah.... Kalau begitu, terserah kalian 

meski sebenarnya aku takut mengatakan hal 

ini...." 

"Paduka.... Sekali lagi kami ucapkan 

terima kasih atas keteranganmu. Sebelum 

kami pergi, kami masih berharap jika kau 

mau mengatakan siapa sebenarnya orangtua


kami." 

"Aku takut menjawab. Tapi aku tidak 

takut memberi saran. Apa pun yang 

dikatakan guru kalian, harap kalian mau 

melupakannya! Jasa yang ditanamkan pada 

kalian terlalu kecil jika dibanding 

keterangannya yang tidak benar!" 

"Tapi setidaknya mereka harus memberi 

alasan mengapa memberi keterangan yang 

tidak benar! Hingga akhirnya kami harus 

mengalami nasib buruk! Kalau saja kami 

tidak tengah mencari siapa orangtua kami, 

mati lebih kami pilih daripada hidup 

dengan mengemban aib menjijikkan seperti 

ini!" Yang buka mulut adalah Galuh 

Sembilan Gerhana. Suaranya bergetar dan 

bahunya berguncang. 

"Kita hidup hanya menjalani 

suratan.... Kita tidak bisa menentukan 

sendiri suratan yang harus kita lalui, 

walau sedikit banyak ulah tindakan orang-

orang terdekat kita kelak mempengaruhi 

jalannya suratan...." 

"Kita sudah mendapat keterangan. 

Selanjutnya kita bicarakan nanti!" bisik 

Galuh Empat Cakrawala. Lalu tanpa menunggu 

sahutan saudaranya, gadis berbaju kuning 

ini angkat suara. 

"Paduka.... Kami harus segera 

pergi...." 

Sambil berucap, kembali Galuh Empat 

Cakrawala menjura hormat. Galuh Sembilan 

Gerhana sebenarnya masih ingin buka mulut. 

Namun tindakan saudaranya membuat gadis


berbaju merah ini batalkan niat dan ikut 

menjura. Saat lain keduanya bergerak 

bangkit. Putar diri lalu berkelebat 

tinggalkan Paduka Seribu Masalah. 

Hampir bersamaan dengan berputarnya 

sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala, mendadak sosok Paduka 

Seribu Masalah bergerak memutar setengah 

lingkaran. Saat lain terdengar orang ini 

berucap. 

"Sebenarnya aku tidak berani buka 

mulut. Tapi aku lebih takut jika dilihat 

orang dari tempat kegelapan! Aku memang 

takut unjukkan wajah. Tapi kuharap kau 

berani memperlihatkan diri!" 

Terdengar gumaman tak jelas. Lalu 

satu sosok tubuh perlahan-lahan terlihat 

melangkah dari balik gerumbulan rumpun 

hambu! 


SEMBILAN


 

DIA adalah seorang gadis berwajah 

cantik mengenakan pakaian warna hijau. 

Rambutnya yang hitam lebat dikepang dua, 

salah satunya dilingkarkan pada lehernya 

yang putih mulus dan jenjang. Hidungnya 

mancung dengan mata bulat tajam. Dadanya 

membusung kencang dipadu dengan pinggul 

besar dan padat. Pada pinggangnya terlihat 

sebuah pedang lentur yang melingkar 

laksana ikat pinggang. 

Untuk beberapa saat si gadis yang 

baru muncul dari batik rumpun bambu


memperhatikan pada Paduka Seribu Masalah. 

Diam-diam dia membatin. "Paduka Seribu 

Masalah.... Aku pernah dengar nama tokoh 

ini dari Eyang.... Dan dua gadis bernama 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala itu, ternyata mempunyai beban 

hidup berat.... Aku pernah bertemu mereka 

saat bersama pemuda asing itu. Hem.... Tak 

kusangka kalau mereka mencari Bidadari 

Tujuh Langit dengan maksud membunuh...." 

"Terima kasih kau tidak takut 

memperlihatkan diri. Berani mengatakan 

tengah bermaksud ke mana?!" Paduka Seribu 

Masalah bertanya. 

Karena sudah maklum orang di 

hadapannya bukan orang sembarangan, meski 

Paduka Seribu Masalah sembunyikan wajah di 

belakang kedua rangkapan kakinya, si gadis 

jawab pertanyaan orang dengan gelengan 

kepala. 

Sementara itu, begitu berlari agak 

jauh mendadak Galuh Sembilan Gerhana 

berhenti. Lalu berpaling pada Gaiuh Empat 

Cakrawala seraya berucap. 

"Kau dengar ucapan Paduka Seribu 

Masalah ketika kita akan pergi tadi?!" 

Yang ditanya anggukkan kepala. Galuh 

Sembilan Gerhana balikkan tubuh menghadap 

ke arah mana dia tadi datang. "Kita harus 

kembali ke sana! Pasti ada orang Kain 

telah mencuri dengar pembicaraan kita de-

ngan Paduka Seribu Masalah!" 

Galuh Empat Cakrawala cekal lengan 

Galuh Sembilan Gerhana yang sudah akan


berkelebat seraya berkata. 

"Kita sudah mendapat keterangan! Tak 

ada gunanya kita kembali ke sana! Dan 

kalaupun ada orang lain mencuri dengar 

pembicaraan kita, apa peduli kita?! Se-

karang kita menemui Guru. Mereka harus 

menjelaskan siapa sebenarnya orangtua 

kita! Mustahil mereka tidak tahu!" Habis 

berkata begitu, Galuh Empat Cakrawala ikut 

balikkan tubuh. 

"Tapi aku curiga! Kita harus buktikan 

dulu siapa orang di balik kegelapan itu!" 

Tanpa menunggu sahutan, Galuh 

Sembilan Gerhana berkelebat. Galuh Empat 

Cakrawala hendak berteriak menahan, namun 

entah kenapa apa dia urungkan niat. Lalu 

berkelebat menyusul. 

Beberapa saat kemudian Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sudah 

mendekam sembunyi tidak jauh dari tempat 

Paduka Seribu Masalah. Dan ketika mereka 

melihat ke depan, keduanya sempat terkejut 

begitu melihat gadis cantik berbaju hijau 

yang tegak di hadapan Paduka Seribu 

Masalah. 

"Gadis yang bersama pemuda asing gila 

itu!" Berbisik Galuh Sembilan Gerhana 

seraya terus memandang ke arah gadis 

berbaju hijau yang bukan lain adalah 

Bidadari Pedang Cinta. 

"Kita sudah tahu siapa adanya orang 

dari balik kegelapan! Kita harus segera 

pergi! Kita tidak ada urusan dengan gadis 

baju hijau itu!" kata Galuh Empat


Cakrawala. 

"Kita memang tidak punya urusan 

dengan gadis itu! Tapi tak ada salahnya 

kita dengar pembicaraan mereka! Gadis itu 

telah mencuri dengar pembicaraan kita!" 

Galuh Sembiian Gerhana menyahut dan cekal 

lengan saudaranya ketika dilihatnya Galuh 

Empat Cakrawala hendak pergi. 

Di seberang depan, begitu Bidadari 

Pedang Cinta geleng kepala, Paduka Seribu 

Masalah perdengarkan suara. 

"Anak gadis.... Kau tidak berani 

menjawab. Silakan teruskan perjalanan...." 

Bidadari Pedang Cinta sudah gerakkan 

kaki. Tapi entah mengapa tiba-tiba dia 

tahan gerakan. Mulutnya hendak membuka. 

Tapi tiba-tiba dikancingkan kembali. Saat 

lain dia teruskan gerakan kakinya yang 

memutar. Tanpa buka mulut dia berkelebat. 

Namun belum sampai benar-benar 

berkelebat, mendadak rimbun rumpun bambu 

bergerak menguak. Satu sosok tubuh melesat 

keluar dan tegak dengan sikap menghadang 

di hadapan Bidadari Pedang Cinta. 

Memandang ke depan, Bidadari Pedang 

Cinta tersurut kaget. Matanya mendelik 

besar. 

Namun yang paling tampak terkejut 

adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala. Laksana melihat setan 

gentayangan di siang bolong, kedua gadis 

ini perdengarkan seruan tertahan. Mata 

masing-masing melotot besar. 

Di lain pihak, Paduka Seribu Masalah


cepat melompat dengan posisi masih duduk 

rangkapkan kaki lalu duduk dengan 

sandarkan punggung pada satu batangan 

bambu dengan kepala makin dibenamkan 

dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua 

kakinya. 

"Senang bisa bertemu denganmu lagi, 

Gadisku...." Sosok yang baru muncul dari 

balik rumpun bambu perdengarkan suara. Dia 

adalah seorang perempuan berusia sekitar 

dua puluh lima tahunan. Wajahnya cantik 

jelita. Rambutnya digulung tinggi ke atas 

diikat dengan kain berwarna merah. 

Kulitnya putih bersih. Lehernya jenjang 

dengan dada mencuat padat ditingkah 

pinggul besar yang dilapis pakaian tipis 

dan ketat berwarna putih. Pada ibu jari 

kaki kirinya terlihat melingkar sebuah 

cincin berwarna merah. 

"Bidadari Tujuh Langit!" desis 

Bidadari Pedang Cinta dengan suara 

bergetar mengenali siapa adanya perempuan 

cantik jelita di hadapannya. Dagu gadis 

ini langsung mengembung besar. Dia ingat 

bagaimana Bidadari Tujuh Langit tatkala 

hendak melakukan tindakan tidak senonoh 

padanya. 

"Terima kasih kau masih mengingat 

namaku...," ujar perempuan berbaju putih 

di hadapan Bidadari Pedang Cinta yang 

tidak lain memang Bidadari Tujuh Langit 

adanya. "Kau tahu.... Sejak perpisahan 

itu, aku tidak bisa pergi bersama-sama. 

Bagaimana kalau sekarang kita lanjutkan


acara kita yang gagal itu...?!" Bidadari 

Tujuh Langit melangkah mendekat dengan 

bibir sungglngkan senyum. Dada perempuan 

cantik ini tampak bergerak turun naik agak 

keras. Sepasang matanya menelusuri sosok 

Bidadari Pedang Cinta dari dada hingga 

paha. 

"Sekali kau melangkah lagi...." Baru 

saja Bidadari Pedang Cinta berucap begitu, 

terdengar seruan. 

"Bidadari binal! Acara kita belum 

selesai! Jangan berani tinggalkan tempat 

ini!" Dua sosok tubuh berkelebat. 

Bidadari Tujuh Langit berpaling. 

Melihat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala tegak, perempuan cantik 

bertubuh bahenol ini sungglngkan senyum. 

Memandang silih berganti pada dua sosok di 

hadapannya seraya jilati bibir lalu 

berkata. 

"Apa yang kubilang pada kalian dulu 

benar, bukan?! Setelah kita merasakan 

kenikmatan bercinta, kalian pasti akan 

selalu mencariku dan mengatakan acara kita 

belum selesai.... Hik.... Hik.... Hik...! 

Acara bercinta memang tidak akan pernah 

selesai.... Dan aku akan selalu menerima 

acara yang kalian inginkan! Setelah ke-

bersamaan kita tempo hari, tentu kalian 

punya gaya tersendiri yang lebih 

mengasyikkan...." 

Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala berubah merah 

mengetam. Bukan saja karena geram namun


juga malu pada Bidadari Pedang Cinta. 

Namun belum sampai di antara keduanya ada 

yang buka mulut. Bidadari Tujuh Langit 

sudah sambung! ucapannya. 

"Sebelum kalian pergi tempo hari, aku 

menitip pesan untuk guru kalian yang 

perempuan. Apa pesan itu sudah kalian 

sampaikan?!" 

"Persetan dengan segala macam pesan! 

Sekarang kau harus tebus aib yang sudah 

kau taburkanl" sentak Galuh Sembilan 

Gerhana. 

Bidadari Tujuh Langit tertawa 

panjang. "Kalian sebut apa yang telah kita 

lakukan adalah aib?! Pasti kailan mendapat 

pelajaran kurang bagus.... Apa yang telah 

kita lakukan bukan aib! Itu adalah 

keindahan.... Buah dari pohon bernama 

cinta!" 

"Perempuan gila bermulut kotor!" 

bentak Galuh 

Empat Cakrawala. "Perempuan macam kau 

tidak layak diberi hidup di kolong 

langiti" 

Bidadari Tujuh Langit makin keraskan 

tawa panjangnya. Lalu berucap. 

"Selama ini aku memang banyak hidup 

di awang-awang menikmati indahnya 

cinta.... Dan kalian pasti masih bisa 

merasakan sisa-sisa bagaimana enaknya 

hidup di awang-awang tempo hari...." 

"Keparat!" sentak Galuh Empat 

Cakrawala. Kedua tangannya diangkat. 

Tahan dulu!" Galuh Empat Cakrawala


berbisik. "Kita korek dulu keterangan dari 

mulut busuknya tentang orangtua kita!" 

"Mana bisa mulut perempuan macam dia 

dipercaya?!" 

"Kita memang tidak harus begitu saja 

percaya! Tapi setidaknya dia berkata benar 

soal keterangannya kalau bukan dia yang 

membunuh kedua orangtua kita! Siapa tahu, 

dari mulut busuknya nanti kita mendapat 

satu petunjuk tentang kedua orangtua 

kita!" 

Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala berbisik-bisik, 

Bidadari Tujuh Langit berpaling pada 

Bidadari Pedang Cinta. Lalu berkata sambil 

kembangkan bibir. 

"Gadisku.....Jangan terlalu termakan 

ucapan kedua gadis cantik temanku itu.... 

Mereka berkata begitu karena ada di 

hadapanmu...." 

Habis berucap begitu Bidadari Tujuh 

Langit hendak teruskan langkah mendekati 

Bidadari Pedang Cinta. Namun belum sampai 

bergerak, Bidadari Pedang Cinta sudah buka 

mulut. 

"Harap jangan libatkan aku dengan 

urusan kedua gadis itu!" 

"Aku tidak bermaksud begitu. Aku...." 

"Cukup!" potong Bidadari Pedang Cinta. 

"Dua gadis itu punya urusan denganmu. Aku 

akan menunggu hingga kau menyelesaikan 

urusan mereka. Setelah itu kita tuntaskan 

urusan ulahmu tempo hari!" 

Baru saja Bidadari Pedang Cinta


berucap begitu, Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala sudah berkelebat dan 

tegak di sebelah samping kiri kanan 

Bidadari Tujuh Langit. 

"Perempuan binal! Sebelum urusan kita 

mulai, aku tanya padamu. Kalau kau jawab 

dengan benar dan jujur, mungkin kami masih 

bisa memberi satu ampunan!" kata Galuh 

Sembilan Gerhana. 

Bidadari Tujuh Langit menoleh pulang 

baiik ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala sambil tersenyum dan 

berkata. 

"Aku tahu apa yang kalian tanyakan! 

Kalian ingin tahu di mana dan siapa kedua 

orangtua kalian, bukan?!" 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala saiing pandang tanpa ada 

yang langsung menjawab. Bidadari Tujuh 

Langit mendongak. Lalu berucap. 

"Aku akan memberi tahu. Tapi aku 

tanya dulu. Imbalan apa yang akan kalian 

berikan padaku?! Bersenang-senang seperti 

tempo hari?! Atau kalian punya sesuatu 

yang lebih menggiurkan untuk kita nikmati 

bersama-sama?!" 

Mendengar ucapan Bidadari Tujuh 

Langit, Galuh Empat Cakrawala melompat 

mendekati saudaranya seraya berbisik. 

"Percuma kita minta keterangan dari 

mulut binalnya! Dan kalaupun dia memberi 

keterangan pasti tidak 

benar! Urusan di mana beradanya kedua 

orangtua kita bisa kita tanyakan pada


Guru. Sekarang saatnya perempuan binai itu 

kita pesiangi!" 

Habis berkata begitu, Galuh Empat 

Cakrawala angkat kedua tangannya di depan 

kening. Kedua kakinya direnggangkan dengan 

sepasang mata dipejamkan. 

Mendapati apa yang dilakukan Galuh 

Empat Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana 

tak tinggal diam. Dia membuat gerakan yang 

sama. Kejap lain hampir berbarengan, kedua 

gadis murid Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah yang dikenal dengan si Pa-

sangan Mesum ini kelebatkan tangan masing-

masing! 

Wuutt! Wuuutt! 

Wuutt! Wuuutt! 

Dari kedua tangan Galuh Empat 

Cakrawala menggebrak tiga sinar pelangi 

perdengarkan suara bergemuruh. Sementara 

dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana 

melesat arakan awan hitam yang membuat 

suasana tiba-tiba berubah menjadi redup 

laksana tengah terjadi gerhana. Namun 

bersamaan itu pula suasana menjadi panas 

menyengat. Masing-masing gadis ini telah 

lepas pukulan 'Inti Cakrawala' dan 'Inti 

Gerhana'. 

Bidadari Tujuh Langit hadapi serangan 

lawan dengan sunggingkan senyum. Kejap 

lain dia tekuk kedua kakinya. Sekali kedua 

tangannya berkelebat, satu sinar merah 

menyala berkiblat menggidikkan! 

Blaarr! Blaarr! 

Dua ledakan keras terdengar berturut


turut mengguncang kawasan hutan bambu. Dua 

seruan tertahan melengking terdengar 

menyusuli ketika sinar pelangi dan arakan 

hitam semburat porak-poranda di udara ter-

hantam sinar merah. 

Sosok Galuh Sembilan Gerhana dar. 

Galuh Empat Cakrawala tersentak-sentak 

mundur beberapa saat lalu mencelat mental 

dengan masing-masing mulut semburkan darah 

sebelum akhirnya tergolek di atas tanah 

dengan mata terpejam dan sosok berguncang-

guncang keras. 

Di seberang, Bidadari Tujuh Langit 

hanya tersurut mundur tiga langkah. 

Sosoknya memang sempat terhuyung dan oleng 

ke samping. Namun saat lain perempuan 

bertubuh bahenol berparas cantik ini telah 

tegak dengan kaki laksana terpacak dan 

bibir sunggingkan senyum. 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala cepat kuasai diri. Lalu 

sama bergerak bangkit. Begitu sosok 

masing-masing tegak, dari mulut mereka 

kembali semburkan darah! Tanda luka dalam 

kedua gadis ini cukup parah. 

Namun rasa marah dan dendam tampaknya 

membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala lupa akan luka dalam yang 

diderita. Bahkan mereka lupa pada saran 

Paduka Seribu Masalah! Hingga walau tegak 

dengan semburkan darah, mereka segera 

membuat gerakan melompat dan tegak 

berjajar ke belakang. Galuh Empat 

Cakrawala tegak di depan, Galuh Sembilan


Gerhana tegak di belakang. 

Galuh Empat Cakrawala takupkan kedua 

tangan di depan kening sementara Galuh 

Sembilan Gerhana angkat kedua tangannya 

lalu telapak kedua tangannya ditempelkan 

pada punggung Galuh Empat Cakrawala. 

Inilah tanda kalau kedua gadis ini akan 

lepaskan gabungan 'Inti Cakrawala' dan 

'inti Gerhana'. 

Bidadari Tujuh Langit memandang 

sekilas. Saat lain tiba-tiba dia melompat 

ke depan. Setengah jalan kedua tangannya 

berkelebat lepas pukulan! 

Galuh Empat Cakrawala dan Galuh 

Sembilan Gerhana tampak terkesiap kaget. 

Karena mereka tidak menduga jika Bidadari 

Tujuh Langit akan membuat gerakan begitu 

cepat sambil lepas pukulan. Sementara 

mereka berdua baru saja kerahkan tenaga 

dalami 


SEPULUH 



DALAM kejutnya masing-masing, Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala 

masih mampu berpikir cepat. Bagaimanapun 

juga mereka harus menghadang pukulan meski 

baru saja kerahkan tenaga dalam. Jika 

tidak, mereka sadar apa akibatnya. Hingga 

saat itu juga kedua gadis ini segera 

membuat gerakan. 

Galuh Sembilan Gerhana yang berada di 

belakang sentakkan kedua telapak tangannya 

dengan keras pada punggung Galuh Empat

Cakrawala. Saat yang sama Galuh Empat 

Cakrawala hantamkan kedua tangannya ke 

depan. 

Wuutt! Wuutt! 

Dari kedua tangan Galuh Empat 

Cakrawala melesat sinar pelangi yang 

ditaburi arakan awan semburkan hawa panas 

dan perdengarkan suara hebat. 

Setengah tombak lagi pukulan yang 

dilepas Bidadari Tujuh Langit bentrok 

dengan gabungan pukulan Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala, 

mendadak terdengar orang bersuara. 

"Aku tidak berani berada di sini 

terus-terusanl Aku takut!" Lalu terlihat 

satu gulungan gelombang aneh yang melesat 

berputar dan langsung menebar laksana jala 

ke arah sinar merah pukulan Bidadari Tujuh 

Langit. 

Settt! 

Sinar merah tiba-tiba masuk ke dalam 

gelombang yang membentuk jala. Lalu 

berkiblat lurus ke atas udara beberapa 

tombak menghindari bentrok dengan pukulan 

gabungan 'Inti Cakrawala' dan 'Inti 

Gerhana'. 

Bummm! 

Di atas udara sana, sinai merah yang 

terbungkus jala semburat meledak. Bidadari 

Tujuh Langit tersentak di atas udara 

sambil perdengarkan seruan terkejut te-

gang. Lalu sosoknya terpental mundur. Saat 

itulah gabungan pukulan 'Inti Cakrawala' 

dan 'Inti Gerhana' yang lolos bentrok

dengan pukulan Bidadari Tujuh Langit 

datang menyongsong! 

Bidadari Tujuh Langit menggeram 

marah. Sambil berputar satu kali di atas 

udara kaki kirinya digerakkan membuat 

tendangan. 

Wuutt! 

Satu sinar merah menyala terpencar 

dari kaki kiri sang Bidadari. 

Walau sinar merah menyala itu sempat 

melesat menggidikkan, tapi gabungan 

pukulan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala lebih cepat menggebrak. 

Hingga walau Bidadari Tujuh Langit ma-?h 

membuat gerakan menghindar, tak urung 

pinggulnya tersambar. 

Bidadari Tujuh Langit berseru 

tertahan. Sosoknya terbanting di udara 

lalu meluncur ke bawah dan jatuh terduduk. 

Di lain pihak, sinar merah menyala 

yang terpancar dari kaki kiri Bidadari 

Tujuh Langit terus berkiblat menderu ke 

arah Galuh Sambilan Gerhana dan Galuh Em-

pat Cakrawala. 

Karena keadaannya sudah terluka dalam 

dan baru saja lepas gabungan pukulan, 

sudah sangat terlambat bagi Galuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala untuk 

dapat membuat gerakan menghindar. 

Beberapa langkah lagi sinar merah 

menyala menghantam, mendadak satu 

gelombang menderu ke arah Gaiuh Sembilan 

Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. 

Wussssss!


Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala perdengarkan suara 

menjerit. Sosok keduanya tersapu mental ke 

samping lalu jatuh bergulingan. Namun 

tersapunya sosok masing-masing gadis ini 

membuat mereka selamat dari kiblatan sinar 

merah menyala dari kaki kiri Bidadari 

Tujuh Langit. 

Biammm! 

Sinar merah menyala menghantam 

gerumbulan bambu di depan sana dan 

langsung keluarkan ledakan keras membuat 

kawasan hutan bambu laksana dihantam gempa 

luar biasa. Malah saking hebatnya ledakan 

yang ditimbulkan, sosok Galuh Sembilan 

Gerhana dan Gaiuh Empat Cakrawala 

terlonjak setengah tombak ke udara! 

Sementara Bidadari Pedang Cinta yang 

sedari tadi hanya melihat rasakan 

pijakannya goyah dan sosoknya terhuyung-

huyung hendak roboh. Kalau saja gadis ini 

tidak segera kerahkan tenaga dalam, 

niscaya sosoknya akan jatuh punggung di 

atas tanah. 

Bidadari Tujuh Langit cepat lipat 

gandakan tenaga dalam kuasai diri dari 

rasa sakit yang mendera pinggulnya. Dan 

perempuan bahenol ini sempat mendengus 

ketika melihat pakaian di bagian 

pinggulnya robek dan kulit di baliknya 

melepuh merah. 

Bidadari Tujuh Langit bergerak 

bangkit. Dan langsung putar diri setengah 

lingkaran. Sepasang matanya mendelik


angker menatap pada jurusan mana tadi men-

deru satu gelombang yang membuat sosok 

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala tersapu mental hingga selamat 

dari sinar merah menyala yang terpancar 

dari kaki kirinya. 

"Siapa kau?!" Bidadari Tujuh Langit 

membentak ketika sepasang matanya melihat 

seorang nenek berkain selempang hitam yang 

sanggulan rambutnya dihias dua buah 

pedang, tegak dengan mata memandang pada 

Bidadari Pedang Cinta dan Galuh Sembilan 

Gerhana serta Galuh Empat Cakrawala. 

Yang ditegur tidak menjawab. 

Sebaliknya terus putar pandangan dan kini 

menatap lurus pada Paduka Seribu Masalah 

yang tetap duduk meringkuk rangkapkan kaki 

di sebelah rumpun bambu. 

Dagu Bidadari Tujuh Langit tampak 

terangkat dan matanya makin mendelik 

mendapati tegurannya tidak disambut. 

Perempuan bertubuh bahenol berparas cantik 

ini hentakkan kaki kanan seraya buka 

bentakan. "Nenek bangsatl Siapa kau?!" 

Bersamaan terdengarnya bentakan tanah di 

tempat itu bergetar. Lalu tanah yang 

terhentak kaki kanan sang Bidadari muncrat 

membentuk lobang besar. 

Si nenek berkain selempang hitam yang 

sanggulan rambutnya dihias dua pedang dan 

bukan lain adalah Nenek Selir adanya 

perdengarkan tawa cekikikan. Lalu 

perlahan-lahan gerakkan kepala ke arah 

Bidadari Tujuh Langit. Lalu mulutnya


membuka. 

"Bidadari Tujuh Langit.... Rentang 

waktu ternyata telah membuatmu berubah. 

Perubahan suasana nyatanya telah membuatmu 

menjadi lain. Kau melupakan aku.... Kau 

tidak lagi mengingatku, oh cintaku...." 

Bidadari Tujuh Langit rasakan dadanya 

berdesir. Keningnya berkerut dan mata 

sedikit menyipit memperhatikan sosok si 

nenek dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit 

dapat menduga arti ucapan si nenek, Nenek 

Selir sudah buka suara lagi. 

"Oh cintaku.... Sebenarnya aku tidak 

kecewa seandainya kau hanya meninggalkan 

diriku.... Yang kusesalkan, ternyata kau 

tidak ingat pada diriku lagi...." Suara si 

nenek terdengar parau dan tersendat. Malah 

kedua tangannya segera ditakupkan pada 

wajahnya. Namun tiba-tiba Nenek Selir itu 

turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya 

melotot besar-besar pandangi sosok 

Bidadari Tujuh Langit. Lalu membentak 

garang. 

"Mengapa?! Mengapa ini kau lakukan 

paduku?! Mengapa kau sampai tak ingat lagi 

pada kekasihmu Ini?! Mengapa kau tega 

berbuat begini?! Apa salahku...?!" 

"Nenek gilai Kau bicara apa?!" sentak 

Bidadari Tujuh Langit setelah agak lama 

terdiam dan sapukan pandangan pada semua 

orang yang ada di situ. 

"Oh cintaku.... Kau masih juga berani 

bertanya aku bicara apa...," ujar si


nenek. Suaranya kembali serak parau malah 

bahunya tampak berguncang seolah menahan 

Isakan. "Adakah ini karena kau sekarang 

telah dikelilingi gadis-gadis cantik?! 

Apakah hal ini kau lakukan setelah kau 

melihat tubuhku tidak kencang lagi?! 

Setelah dadaku tidak mencuat padat lagi?! 

Setelah pinggulku keropos tak 

menggairahkan lagi?" 

Nenek Selir kembali takupkan kedua 

tangan pada wajah. Lalu sambung! ucapan. 

"Kita telah habiskan waktu dengan 

keindahan dan kemesraan. Telah kita isi 

berlalunya malam-malam dingin dengan 

kehangatan dari segala kehangatan! Aku 

tidak menduga kalau sesingkat ini kau bisa 

melupakan semua itu.... Lebih tidak 

kusangka lagi jika semudah ini kau 

melupakan aku...." 

"Nenek gila jahanam! Aku tidak kenal 

kau! Jangan alihkan urusan dengan cari 

alasan tak karuan!" teriak Bidadari Tujuh 

Langit. 

Si Nenek Selir turunkan kedua tangan 

dari wajah lalu buka mulut. 

"Benar kau tidak kena! aku...?!" 

Kepala si nenek menggeleng. "Aku tidak 

percaya. Aku tidak percaya...." 

Sikap Nenek Selir membuat Bidadari 

Tujuh Langit marah bukan alang kepalang, 

ia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat 

kedua tangannya. 

"Apa pun yang akan kau lakukan, aku 

akan menerima. Aku rela mati kalau di


tanganmu. Tapi sebelum kau lakukan semua 

ini, kuharap kau mau mengakui apa yang 

pernah kita jalani bersama.... Kalau kau 

masih juga tak percaya, aku punya seorang 

saksi..,." Nenek Selir arahkan pandangan 

pada Paduka Seribu Masalah. 

Bidadari Tujuh Langit sentakkan 

kepala mengikuti ke mana mata si nenek 

memandang. Sosoknya makin bergetar. Diam-

diam perempuan ini membatin. 

"Siapa pun adanya manusia yang 

sembunyikan wajah ini, yang jelas dialah 

jahanam yang telah menahan pukulanku 

tadi!" 

Selagi Bidadari Tujuh Langit membatin 

begitu, Nenek Selir sudah berucap lagi. 

"Kau bisa tanyakan padanya! Dialah 

saksi hidup kalau kita pernah menghabiskan 

malam-malam dingin dengan kehangatan.... 

Kau pernah jadi kekasihku dan aku pernah 

jadi kekasihmu..,." 

"Nek.... Jangan kau suruh orang 

bertanya padaku.... Aku tidak berani 

menjawab," kata Paduka Seribu Masalah 

sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang 

melingkar pada rangkapan kedua kakinya. 

"Ah.... Kau juga tak kusangka kalau 

bicara begitu!" bentak si nenek. "Padahal 

kau dulu pernah berjanji akan menengahi 

jika terjadi hal-hal yang tidak beres hu-

bunganku dengan kekasihku itu.... Apa pula 

yang membuatmu berubah?! Apa...?!" 

"Nek.... Jangan memaksaku begitu 

rupa. Aku takut..."


Mendengar ucapan-ucapan orang, hawa 

amarah di dada Bidadari Tujuh Langit makin 

menggelegak. Namun perempuan ini tidak mau 

berlaku ayal. Dia maklum, apa yang telah 

dilakukan orang dalam menghadang 

pukulannya tadi, sudah cukup membuatnya 

sadar jika siapa pun adanya orang, dia 

memiliki ilmu langka namun tidak bisa 

dianggap main-main. 

Sementara itu, melihat munculnya 

Nenek Selir, Bidadari Pedang Cinta tampak 

terkejut. Namun yang lebih membuat gadis 

berbaju hijau ini tidak percaya adalah 

ucapan si nenek. Hingga untuk beberapa 

saat dia hanya tegak diam dengan mata 

mendelik dan simak gerak-gerik serta 

ucapan orang. Lalu berkata dalam hati. 

"Nenek aneh.... Siapa dia sebenar 

nya?! Saat bertemu pertama kali, dia 

sepertinya menyangkal ketika kukatakan dia 

adalah kaki tangan Bidadari Tujuh Langit. 

Sekarang dia mengakui terus terang.... 

Lalu mengapa dia menanyakan ke mana 

perginya pemuda asing bernama Joko Sableng 

itu...?!" Bidadari Pedang Cinta ingat 

pertemuannya dengan Nenek Selir. 

Di lain pihak, Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala perlahan-lahan 

bergerak duduk. Saling pandang sesaat, 

lalu sama kerahkan tenaga dalam untuk 

kuasai aliran darah masing-masing yang 

laksana jungkir balik seraya memandang ke 

arah Nenek Selir. 

"Kau bisa menduga siapa adanya nenek


itu?" tanya Galuh Sembilan Gerhana 

setengah berbisik setelah sedikit dapat 

kuasai diri. 

Galuh Empat Cakrawala geleng kepala. 

"Tapi yang jelas dia telah menolong kita! 

Kalau saja kita tidak tersapu pukulannya, 

mungkin kita sudah mampus terhajar pukulan 

jahanam binal itu!" 

"Sekarang bagaimana?! Kita terluka 

dalam. Tidak mungkin bisa lakukan apa-

apa!" 

Untuk kedua kalinya Galuh Empat 

Cakrawala geleng kepala. "Kita memang 

telah terluka! Tapi luka hati kita lebih 

dalam dan parah! Kita tidak akan 

tinggalkan tempat ini sebelum takdir 

memutuskan perempuan binal itu atau kita 

yang mampus!" 

"Tapi...." 

"Aku telah memutuskan!" tukas Galuh 

Empat Cakrawala yang sepertinya punya 

pendirian teguh dan tak sabaran. "Aku 

tidak akan tinggalkan tempat ini! Kalau 

kau takut, silakan pergi!" 

"Aku bukannya takut. Tapi kita harus 

tahu diri! Keadaan tidak memungkinkan!" 

"Kukira, lebih baik beruntung 

daripada harus memiliki ilmu setinggi 

langit! Perempuan jahanam binal itu boleh 

memiliki ilmu tinggi, tapi kalau 

keberuntungan tidak berpihak padanya, dia 

akan mampus di tanganku! Lagi pula selagi 

mereka berbincang, kita gunakan kesempatan 

ini untuk pulihkan tenaga! Kita lakukan


apa saja, yang penting perempuan keparat 

itu tercabik mampus!" 

Habis berkata begitu, Galuh Empat 

Cakrawala pejamkan mata. Kedua tangan 

ditakupkan di depan dada. Gaiuh Sembilan 

Gerhana sapukan pandangan sekali lagi ke 

arah Bidadari Tujuh Langit yang tengah 

berbincang dengan Nenek Selir. Lalu 

membuat sikap yang sama seperti Galuh 

Empat Cakrawala. 

Di depan, setelah memperhatikan sosok 

Paduka Seribu Masalah beberapa lama, 

Bidadari Tujuh Langit buka mulut. 

"Aku beri kesempatan pada kalian 

berdua, Nenek gila dan kau manusia yang 

sembunyikan wajah untuk memperkenalkan 

diri!" 

"Oh cintaku.... Nyatanya kau tidak 

main-main kalau kau tidak mengenaliku...." 

Si nenek menyahut. "Sementara sebenarnya 

aku tadi masih punya harapan jika semua 

ini hanyalah senda gurau seperti biasa kau 

lakukan bila aku ngambek dan minta kau 

rayu...." 

"Nek.... Jangan bercanda terus. Aku 

takut! Lebih baik katakan saja siapa 

dirimu. Siapa tahu dia nanti bisa 

ingat...." Berkata Paduka Seribu Masalah. 

"Bagus! Tampaknya kalian berdua 

manusia-manusia yang minta mampus sambil 

bercanda!" hardik Bidadari Tujuh Langit. 

Tangan kiri kanannya yang berada di atas 

udara digerakkan memutar. Tangan kiri 

diarahkan pada Nenek Selir, tangan kanan


diluruskan pada Paduka Seribu Masalah. 

Kedua tangan itu tampak bergetar keras 

tanda telah dialiri tenaga dalam tinggi. 

"Bidadari! Tunggu.... Aku tidak tahu 

menahu masalahnya! Harap tidak takut 

dengan keteranganku ini!" kata Paduka 

Seribu Masalah. 

Bidadari Tujuh Langit tidak hiraukan 

teriakan Paduka Seribu Masalah. Belum 

sampai ucapan orang selesai, tangan kiri 

kanannya sudah bergerak lepas pukulan. 

Satu ke arah Nenek Selir satunya lagi 

lurus ke arah Paduka Seribu Masalah. 

"Nek.... Aku takut!" seru Paduka 

Seribu Masalah. Sambil berteriak orang ini 

lepaskan kedua tangannya yang melingkar 

pada rangkapan kedua kakinya. Lalu sekali 

kedua tangannya disentuhkan pada tanah di 

bawahnya, sosoknya melesat ke depan. 

Anehnya di atas udara, masih dengan duduk 

rangkapkan kaki, Paduka Seribu Masalah 

tidak membuat gerakan apa-apa lagi meski 

saat itu lesatannya menyongsong gelombang 

pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh 

Langit! 

Di lain pihak, Nenek Selir sempat 

tercengang melihat apa yang dilakukan 

Paduka Seribu Masalah. Namun dia tidak 

bisa berpikir lama, karena saat itu gelom-

bang angin dahsyat yang melesat berkiblat 

dari tangan Bidadari Tujuh Langit sudah 

dua tombak di hadapannya! 

Nenek Selir angkat satu tangannya. 

Lalu dipukulan ke depan.


Wuuttt! Biammm! 

Ledakan keras mengguncang saat 

gelombang pukulan Bidadari Tujuh Langit 

dihadang gelombang yang keluar dari tangan 

Nenek Selir. Sosok Bidadari Tujuh Langit 

bergoyang-goyang. Parasnya berubah. Tangan 

kanannya yang tadi lepas pukulan ke arah 

si nenek terpental balik ke belakang. 

Hingga sosoknya miring. 

Saat yang sama, terdengar suara. 

Wuusssl ketika gelombang yang menyongsong 

Paduka Seribu Masalah menghantam telak 

sosok laki-laki yang rangkapkan kaki itu 

di atas udara. 

Anehnya, gelombang pukulan Bidadari 

Tujuh Langit laksana menghantam udara 

kosong! Dan terus bergelombang lurus ke 

depan. Sementara sosok Paduka Seribu 

Masalah sendiri juga terus melesat setelah 

melewati gelombang pukulan Bidadari Tujuh 

Langit!

 

SEBELAS 



BIDADARI Tujuh Langit tersentak 

tegang. Matanya mendelik tak berkesip 

melihat bagaimana sosok Paduka Seribu 

Masalah enak saja menerobos gelombang 

pukulannya di atas udara tanpa mengalami 

cedera apa-apa! Dan perempuan ini tersurut 

kaget ketika mendadak saja di atas udara 

sana sosok Paduka Seribu Masalah memutar 

lalu menukik lurus ke arahnya! 

Bidadari Tujuh Langit berteriak

melengking dan hampir saja tidak percaya 

ketika belum sampai dia membuat gerakan, 

tahu-tahu sosok Paduka Seribu Masalah 

sudah duduk rangkapkan kaki satu tindak di 

sebelahnya! 

Di seberang, Nenek Selir yang sempat 

terguncang akibat pukulannya bentrok 

dengan pukulan Bidadari Tujuh Langit dan 

tangannya juga terpental ke belakang, 

segera arahkan pandangan matanya ke arah 

sosok Paduka Seribu Masalah. Mulutnya 

perdengarkan gumaman tak jelas. 

Di lain pihak, Bidadari Pedang Cinta 

juga tak kalah kagetnya mendapati tindakan 

Paduka Seribu Masalah. Hingga sambil 

terheran-heran dia menatap iekat-lekat 

silih berganti pada sosok Paduka Seribu 

Masalah dan Bidadari Tujuh Langit. 

Sementara mendengar teriakan lengking 

Bidadari Tujuh Langit, Galuh Sembilan Ger-

hana dan Galuh Empat Cakrawala segera buka 

kelopak mata masing-masing. Dan mata 

mereka kontan saja membeliak ketika 

melihat sosok Paduka Seribu Masalah sudah 

duduk di sebelah Bidadari Tujuh Langit. 

Dalam keterkejutannya melihat orang 

sudah dudukdi sebelahnya, Bidadari Tujuh 

Langit tidak mau berlaku ceroboh. Kalau 

orang bisa melakukan tindakan di luar 

dugaannya, tidak mustahil mencelakakannya. 

Maka begitu sosok Paduka Seribu Masalah 

duduk di sebelahnya, Bidadari Tujuh Langit 

segera lepas tendangan! 

Wuuttt!


Kaki Bidadari Tujuh Langit menderu 

angker. 

Paduka Seribu Masalah berseru 

tertahan. Saat bersamaan dia sentakkan 

tubuhnya ke belakang. Rangkapan kedua 

kakinya dibuka lalu dihadangkan ke arah 

kaki Bidadari Tujuh Langit. 

Bukkk! Settt! 

Pertama kali terdengar benturan 

keras. Sosok Paduka Seribu Masalah 

tersentak bergoyang-goyang. Di lain pihak, 

sosok Bidadari Tujuh Langit tersurut mun-

dur. Namun perempuan bertubuh bahenol ini 

terkejut setengah mati tatkala dia 

merasakan kakinya kaku tak bisa 

digerakkan! 

Memandang ke depan, Bidadari Tujuh 

Langit tercekat luar biasa. Ternyata 

kakinya yang tadi menendang tahu-tahu 

sudah masuk ke dalam rangkapan kedua kaki 

Paduka Seribu Masalah! Dan perempuan ini 

makin tegang ketika mendapati dirinya tak 

mampu lepaskan kakinya dari jepitan 

rangkapan kedua kaki orang meski dia telah 

kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya 

hingga keringat dinginnya keluar membasahi 

sekujur tubuhnya! 

"Hik.... Hik.... Hik...! Biasanya 

kekasihku itu tidak mengenakan pakaian 

dalam, apa sekarang dia tetap begitu?!" 

Nenek Selir berteriak. 

"Nek.... Jangan bertanya macam-macam! 

Aku takut menjawab! Lagi pula aku tidak 

berani mengungkapkan semua ini! Terlalu


indah jika dilukiskan...!" Paduka Seribu 

Masalah menyahut seraya tekuk tubuh bagian 

atasnya merapat pada perut hingga semua 

orang di tempat itu tidak bisa melihat 

raut wajahnya 

"Ini kesempatan bagi kita!" Berbisik 

Galuh Empat Cakrawala tatkala melihat apa 

yang terjadi. 

"Jangan gegabah! Dia belum apa-apa! 

Dia hanya tidak bisa menggerakkan kaki 

satunya. Sementara kaki satunya lagi dan 

kedua tangannya masih bisa membunuh!" 

Galuh Sembilan Gerhana menyahut. 

Baru saja terdengar sahutan begitu, 

di depan sana Bidadari Tujuh Langit 

berteriak. Kaki satunya diangkat. Seraya 

melompat setengah tombak kakinya yang ba-

bas dihantamkan ke arah sosok Paduka 

Seribu Masalah. 

Wuuttt! 

Kaki kiri Bidadari Tujuh Langit 

berkelebat angker seraya pancarkan sinar 

merah menyala. Namun belum sampai kaki itu 

benar-benar berkelebat, tangan kanan 

Paduka Seribu Masalah sudah terangkat lalu 

dengan gerakan yang sukar dilihat mata 

biasa tangan itu tahu-tahu sudah mencekal 

pergelangan kaki Bidadari Tujuh Langit! 

Dan kini sosok Paduka Seribu Masalah tepat 

berada di bawah sosok Bidadari Tujuh 

Langit yang tegak mengangkang di udara 

dengan kaki satu masuk dalam rangkapan 

kedua kakinya sementara kaki satunya lagi 

berada di cekalan tangannya.


"Rejekimu besar sekali hari ini!" 

lagi-lagi Nenek Selir berteriak. "Kau 

nanti tidak takut menceritakannya padaku, 

bukan?! Sudah lama aku tidak pernah lagi 

melihatnya! Tentu sekarang sudah mengalami 

banyak perubahan.... Hik.... Hik.... 

Hik...!" 

"Nek! Aku takut berjanji.... Kalau 

kau tidak takut, silakan kau kemari! 

Silakan lihat sendiri perubahan itu ada 

atau tidak...." Paduka Seribu Masalah 

menyambut!. 

Di atas udara, Bidadari Tujuh Langit 

tegak dengan sosok bergetar keras. Namun 

bagaimanapun juga kuduk perempuan ini jadi 

merinding. Selama malang melintang dalam 

kancah rimba persilatan di tanah Tibet, 

baru kali ini dia menemukan lawan yang 

aneh. Dia memang pernah dengar nama tokoh 

bergelar Paduka Seribu Masalah, namun dia 

tidak pernah bertemu dan sejauh ini belum 

bisa menduga kalau yang dihadapi saat itu 

adalah Paduka Seribu Masalah. 

"Nek! Mengapa kau masih diam di 

situ?! Kau tidak berani melihatnya?!" 

Paduka Seribu Masalah ajukan tanya. 

Belum sampai Nenek Selir buka mulut, 

tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit sentakkan 

kedua tangannya lepas pukulan bertenaga 

dalam tinggi ke arah sosok Paduka Seribu 

Masalah yang meringkuk di bawah kang-

kangan kedua kakinya. 

Paduka Seribu Masalah perdengarkan 

suara seperti orang tersedak. Kepalanya


digerakkan ke atas masuk ke dalam sela 

kedua kaki Bidadari Tujuh Langit. Tangan 

kanannya yang memegang pergelangan kaki 

sang Bidadari direntang. Sementara 

rangkapan kedua kakinya disentakkan 

berlawanan arah dengan gerakan tangannya. 

Breett! 

Pakaian Bidadari Tujuh Langit robek 

memanjang dari bagian bawah hingga 

pinggul. 

Bersamaan dengan robeknya pakaian, 

Paduka Seribu Masalah lepas cekalan 

tangannya pada pergelangan kaki sang 

Bidadari. Rangkapan kedua kakinya juga 

direnggangkan hingga kaki sang Bidadari 

keluar dari jepitannya. Saat lain dengan 

tarik rangkapan kedua kakinya dan 

merapatkan kepala di balik rangkapan kedua 

kakinya, Paduka Seribu Masalah melesat ke 

atas masuk ke pakaian Bidadari Tujuh 

Langit! 

Bidadari Tujuh Langit berterik marah 

dan kaget. Karena bersamaan dengan melesat 

masuknya sosok Paduka Seribu Matalah ke 

balik pakaiannya yang robek, sosoknya ikut 

terlempar ke udara. Hingga mau tak mau 

membuat perempuan berparas cantik bertubuh 

bahenol ini urungkan niat lepas pukulan ke 

arah sosok Paduka Seribu Masalah, 

sebaliknya cepat putar gerakan kedua 

tangannya laiu memukul ke arah sosok sang 

Paduka di balik pakaian bawahnya! 

Tapi baru saja kedua tangan Bidadari 

Tujuh Langit membuat gerakan berputar,


Paduka Seribu Masalah jatuhkan diri ke 

bawah dan duduk di atas tanah dengan 

tangan kiri kanan usap-usap kepalanya yang 

dimasukkan dalam-dalam di belakang 

rangkapan kedua kakinya! 

Di lain pihak, mendapati orang sudah 

meluncur ke bawah, Bidadari Tujuh Langit 

membuat gerakan jungkir balik dua kaii 

sebelum akhirnya menjejak tanah lima belas 

langkah dari sosok Paduka Seribu Masalah. 

Tampaknya sang Bidadari sadar, terlalu 

bahaya jika tidak mengambil jarak dengan 

Paduka Seribu Masalah. Hingga ketika di 

atas udara dia mengambil Keputusan untuk 

menjaga jarak. Tapi ada satu hal yang 

membuat Bidadari Tujuh Langit merasa heran 

dan bertanya-tanya dalam hati. Paduka 

Seribu Masalah tidak punya maksud untuk 

mencelakai dirinya! Karena jika saja mau, 

tidak sulit bagi Paduka Seribu Masalah 

untuk lepas pukulan saat dirinya berada di 

balik pakaian bawah sang Bidadari! 

Kesadaran itulah yang membuat 

Bidadari Tujuh Langit sempat tegak diam 

beberapa lama seraya memandang pada sosok 

Paduka Seribu Masalah. 

"Bidadari...," tiba-tiba Paduka 

Seribu Masalah berucap. "Jangan 

memandangku begitu rupa. Aku takut.... 

Sekarang aku harus segera pergi. Tapi 

sebelum itu aku tak takut mengatakan 

sesuatu.... Apa pun ganjalan hati yang ada 

di antara semua yang ada di sini, kuharap 

kalian semua tidak takut untuk


melupakannya. Harap tahan diri agar tidak 

ada tetesan darah lagi yang mengalir di 

antara kailan. Sebab penyesalan di akhir 

urusan tidak ada gunanya...." 

Habis berkata begitu, Paduka Seribu 

Masalah putar tubuhnya. Namun belum sampai 

sosoknya berkelebat, terdengar satu 

seruan. 

"Paduka Seribu Masalah! Harap tidak 

tinggalkan tempat ini!" 

Satu bayangan berkelebat. Lalu satu 

sosok tubuh telah tegak di hadapan Paduka 

Seribu Masalah! 


DUA BELAS


 

KITA tinggalkan dulu apa yang terjadi 

di hutan bambu. Kita kembali pada murid 

Pendeta Sinting. 

Dalam kagetnya karena tiba-tiba 

terdengar suara, Pendekar 131 segera 

berpaling. 

"Wang Su Ji!" desis Joko mengenali 

siapa adanya orang yang bersuara dan kini 

tegak di seberang sana. Ketegangan murid 

Pendeta Sinting sirna. Namun khawatir jika 

orang merasa tidak enak sebab dia 

tertangkap basah mencuri dengar 

pembicaraan Wang Su Ji alias Manusia Tanah 

Merah dengan Nenek Selir, Joko segera 

anggukkan kepala seraya berkata. 

"Harap tidak salah duga. Aku tadi 

tidak sengaja berada di tempat mana kau 

dan nenek itu tengah bicara!"


Wang Su Ji balas mengangguk. Sambil 

tersenyum dia berkata. 

"Percuma hal itu dibicarakan, Anak 

Muda. Semuanya sudah terjadi. Yang perlu 

kutanyakan. Bagaimana kau bisa punya 

urusan dengan nenek itu?! Padahal dari 

pembicaraan kalian, kau adalah orang asing 

di negeri ini! Kau tak keberatan 

menjelaskan?!" 

Setelah terdiam agak lama, akhirnya 

Joko menuturkan pertemuannya dengan Nenek 

Selir dan pembicaraannya dengan si nenek 

hingga terjadi satu perjanjian. 

Seperti diketahui, saat Joko bersama 

Dayang Tiga Purnama, mendadak muncul Nenek 

Selir yang menyusul setelah bertemu dengan 

Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari 

Pedang Cinta dan setelah mendengar cerita 

dari Bidadari Delapan Samudera dan Bida-

dari Pedang Cinta tentang kegelisahan hati 

kedua gadis itu karena ucapan serta sikap 

Pendekar 131. 

"Hem.... Sebagai orang muda, kuharap 

kau mengerti. Pengalaman yang pernah 

dilalui membuat dia tidak mau orang lain 

mengalami nasib yang sama seperti dia. 

Jadi jangan punya dugaan yang bukan-bukan 

padanya...," kata Wang Su Ji setelah 

mendengar penuturan murid Pendeta Sinting. 

Joko tersenyum dan anggukkan kepala. 

Lalu buka mulut. 

"Kek.... Aku bisa mengerti dengan 

sikap nenek itu. Yang aku tak habis pikir, 

mengapa kau bersikeras menolongnya.



Padahal kau tahu. Begitu dia sembuh, yang 

dilakukan pertama kali adalah 

membunuhmu?!" 

Manusia Tanah Merah tertawa sebelum 

akhirnya berkata. "Anak muda. Sejak aku 

sadar apa yang selama ini kulakukan pada 

Yu Sin Yin, aku sudah punya tekad untuk 

rela serahkan jiwa ragaku padanya. Bahkan 

sebenarnya hal itu saja belum cukup jika 

dibanding dengan penderitaan Yu Sin Yin 

akibat ulahku. Jadi aku akan melakukan apa 

saja agar dia tetap hk'up dan lakukan apa 

saja yang selama ini menjadi keinginannya! 

Cuma aku masih punya satu keinginan 

sebelum Yu Sin Yin mencabut nyawaku...." 

"Bertemu dengan anak kalian?" tanya 

Joko. 

Wang Su Ji anggukkan kepaia. "Tapi 

aku tidak yakin. Apakah aku bisa bertemu 

dengan anakku dalam waktu dekat ini. 

Apalagi Yu Sin Yin pasti tidak akan ting-

gal diam begitu tahu aku teiah berada di 

sekitar tempat ini!" 

"Seandainya aku bisa membantu...," 

ujar Joko seolah ikut larut dalam ucapan 

Wang Su Ji. 

Wang Su Ji tersenyum dan geleng 

kepala. Lalu berkata pelan. "Mungkin hanya 

ada satu orang yang bisa membantuku. Dan 

justru karena orang Itu, aku datang ke 

kawasan ini. Sialnya Yu Sin Yin terlebih 

dahulu menemukanku sebelum aku bertemu 

dengan orang di mana aku bisa 

menggantungkan bantuan."


"Hem.... Yang kau maksud Paduka 

Seribu Masalah?!" tanya Joko. 

"Nyatanya kau sudah banyak mengenal 

orang negeri ini, Anak Muda. Kau pernah 

bertemu dengannya?!" 

Murid Pendeta Sinting anggukkan 

kepala. Manusia Tanah Merah melangkah 

mendekati Joko. Begitu dekat orang tua 

berjubah tanpa lengan ini buka suara. 

"Kau anak muda yang beruntung. Mau 

mengatakan apa yang membuatmu jauh-jauh 

sampai negeri ini?!" 

"Aku tidak punya maksud apa-apa! Dan 

kalaupun aku sampai menginjak tanah negeri 

ini, semata-mata hanya karena tidak 

sengaja!" Lalu Joko menuturkan 

perjalanannya hingga sampai tanah Tibet. 

Dan karena percaya yang diajak bicara 

adalah orang baik-baik, murid Pendeta 

Sinting sengaja menuturkan pengalamannya 

terus terang tanpa ada yang disembunyikan. 

Bahkan hingga dia menceritakan tentang 

pedang putih daiam kotak emas berukir yang 

baru didapat. 

Manusia Tanah Merah sempat terbengong 

dan terlonjak kaget ketika Joko menuturkan 

pedang putih dalam kotak emas berukir. 

"Anak muda.... Aku pernah dengar 

cerita pedang itu. Tapi karena tidak ada 

orang yang membicarakan, aku tidak lagi 

percaya kalau pedang itu benar-benar ada! 

Justru yang ramai dibicarakan kalangan 

rimba persilatan sejak lama adalah urusan 

peta wasiat yang tersimpan di Perguruan


Shaolin. Sungguh tidak kusangka kalau 

ternyata pedang itulah isi dari peta 

wasiat yang menggegerkan itu! Dan lebih 

tidak kusangka lagi kalau pada akhirnya 

kaulah yang mendapatkannya! Hanya 

saja...." 

"Hanya mengapa, Kek?!" sahut Joko 

karena Manusia Tanah Merah putuskan 

ucapan. 

"Aku tidak yakin apakah pedang itu 

berjodoh denganmu!" 

Joko terlengak diam. "Tampaknya dia 

tahu banyak tentang pedang ini. Apakah 

ketidakmampuanku menahan hawa dingin yang 

menjalar dari pedang ini ada kaitannya 

dengan ucapan orang ini kalau pedang dalam 

kotak berukir tidak berjodoh denganku?" 

kata Joko dalam hati. Lalu berkata. 

"Kek.... Mengapa kau punya dugaan 

pedang itu tidak berjodoh denganku?!" 

"Menurut satu-satunya keterangan yang 

kudengar, Pedang itu hanya berjodoh dengan 

perempuan! Kau tahu, Anak Muda.... Laki-

laki adalah ibarat air. Karena dia 

melakukan dan menghadapi persoalan dengan 

mendahulukan pikiran akal. Hingga dia 

masih bisa sedikit menahan diri. 

Sebaliknya perempuan adalah ibarat bara 

api. Dalam menghadapi persoalan, seorang 

perempuan masih mendahulukan perasaan 

daripada akal pikiran. Hingga dia akan 

cepat dilanda hawa kemarahan...." 

Manusia Tanah Merah hentikan kata-

katanya sejenak. Lalu bertanya.


"Kau telah pegang pedang itu. Apakah 

kau mengalami satu keanehan?!" 

"Aku tidak mampu menahan hawa dingin 

yang terpancar dari dalam pedang itu!" 

"Hem.... Sekarang agak jelas 

persoalannya. Dan kau tentu tahu apa 

sebabnya kau tidak mampu menahan hawa 

dingin meski aku percaya kau telah ber-

usaha menahan." 

"Pedang itu diciptakan oleh 

penciptanya dengan sengaja dialiri hawa 

dingin. Dan karena aku laki-laki yang tadi 

kau ibaratkan seperti air, maka aku tidak 

akan mampu bertahan! Karena perempuan 

adalah ibarat bara api, maka dia akan 

bertahan jika menahan pedang yang 

diciptakan dengan hawa dingin!" 

"Itu mungkin hanya salah satu sebab. 

Dan pasti masih banyak hai lagi 

penyebabnya yang belum kita ketahui! Tapi 

salah satu sebab itu sudah merupakan satu 

petunjuk jika pedang itu tidak berjodoh di 

tangan laki-laki! Apalagi jika dilihat 

dari namanya...." 

"Kau tahu nama pedang itu?!" 

"Pedang Keabadian! Itulah nama yang 

pernah kudengar!" 

"Pedang Keabadian...," Joko ulangi 

ucapan Manusia Tanah Merah. Tiba-tiba 

murid Pendeta Sinting ingat akan 

keterangan perempuan berkerudung yang 

ternyata adalah Hantu Pesolek yang tengah 

menyamar. "Apa hubungan nama pedang Itu 

dengan Sepasang Cincin Keabadian yang


disebut-sebut milik Dewi Keabadian?! Tapi 

itu keterangan Hantu Pesolek yang mungkin 

saja mengada-ada...." 

"Kau tampak berubah. Ada apa, Anak 

Muda...?! Kau tidak harus percaya pada 

semua ucapanku. Bagaimanapun juga kau 

telah mendapatkan pedang itu! Berarti kau 

berhak memilikinya!" 

"Kau pernah dengar tentang Sepasang 

Cincin Keabadian yang katanya milik Dewi 

Keabadian?!" Joko balik bertanya. 

Manusia Tanah Merah anggukkan kepala. 

"Pedang itu memang masih ada kaitannya 

dengan Dewi Keabadian. Pedang itu...." 

Belum sampai Manusia Tanah Merah 

lanjutkan ucapan, mendadak mereka 

mendengar suara ledakan beberapa kali. 

Pendekar 131 dan Manusia Tanah Merah 

berpaling ke arah sumber terdengarnya 

ledakan. 

"Kawasan hutan bambu!" bisik Manusia 

Tanah Merah. "Yu Sin Yin masih berada di 

sekitar kawasan itu...." Wajah Manusia 

Tanah Merah tampak berubah. Saat lain 

cekal lengan murid Pendeta Sinting. Tanpa 

buka mulut lagi, laki-laki berjubah tanpa 

lengan ini berkelebat sambil menyeret 

Pendekar 131. 


              SELESAI 


Segera menyusul: 



RAHASIA DARAH KUTUKAN

Share:

0 comments:

Posting Komentar